Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 36

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 36


Prajurit itu mengangguk-angguk.
Sedikit lewat tengah hari, Ki Tumenggung Jayayuda memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk beristirahat. Meskipun disediakan kuda bagi Ki Tumenggung, dan beberapa orang pemimpin yang lain, tetapi mereka telah ikut merasakan betapa lelahnya berjalan kaki. Karena Ki Tumenggung sendiri menempuh perjalanan dengan berjalan kaki sebagaimana para prajurit yang lain, maka para pemimpin yang lainpun terpaksa harus berjalan pula.
Perjalanan pasukan itu ternyata telah menarik banyak perhatian. Orang-orang yang berada di sawah menjadi berdebar-debar. Tidak terpasang rontek dan umbul-umbul. Tidak pula nampak kelebet terikat pada tunggul.
Jika pasukan itu melewati padukuhan, maka orang-orang padukuhanpun justru menonton dengan wajah-wajah berkerut. Pasukan itu tidak membunyikan genderang perang. Tetapi pasukan yang bersenjata tombak di paling depan menggenggam tombak mereka di tangan.
Meskipun demikian, pasukan itu tidak menunjukkan sikap bermusuhan dengan orang-orang padukuhan itu. Bahkan para prajurit itu sempat tersenyum kepada anak-anak yang berdiri di pinggir jalan.
Dalam pada itu, iring-iringan prajurit itu bergerak lagi setelah beristirahat beberapa saat untuk minum dan makan. Panas matahari terasa semakin menyala meskipun matahari mulai merayap turun.
Jika para prajurit itu merasa terpanggang oleh panasnya matahari di perjalanan, maka Kasadha telah terpanggang oleh kegelisahannya sendiri. Semakin dekat dengan Tanah Perdikan Sembojan, maka terasa hatinya menjadi semakin bergejolak.
Ki Rangga Dipayudapun mengetahui dengan pasti kegelisahan yang membakar jantung Kasadha. Karena itu, maka Ki Rangga sempat berjalan di sebelahnya. Ia berusaha untuk sejauh mungkin menenangkan kegelisahan itu.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Rangga sendiri juga selalu dibayangi oleh persoalan pribadinya. Persoalan anak gadisnya.
"Dengan tidak langsung Riris telah menggerakkan pasukan sebesar ini," berkata Ki Rangga di dalam hati. Tetapi sama sekali bukan sebuah kebanggaan. Justru keluhan yang pedih.
Semakin rendah matahari, maka sengatan sinarnyapun menjadi semakin lunak. Para prajurit itu melangkah membelakangi matahari yang meluncur turun di sisi Barat langit.
Berita tentang kedatangan pasukan segelar sepapan dari Pajang itu telah mendahului kedatangan pasukan itu sendiri. Dua orang saudagar berkuda yang melihat iring-iringan pasukan itu telah melarikan kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Dua orang penghubung berkuda dari yang melihatnya segera melaporkannya kepada Ki Tumenggung.
"Apakah kami harus menangkap mereka?"
Ki Tumenggung menggeleng. Katanya, "Biarkan mereka mendahului kita sampai di Tanah Perdikan."
"Keduanya dapat memberitahukan kehadiran kita," jawab salah seorang penghubung itu.
"Aku memang bermaksud demikian. Biarlah Kepala Tanah Perdikan Sembojan sempat berpikir untuk yang terakhir kalinya," jawab Ki Tumenggung Jayayuda.
Kedua penghubung itu saling berpandangan. Namun kemudian mereka mengangguk-angguk kecil.
Sebenarnyalah kedua orang saudagar berkuda yang melarikan kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Sembojan telah memberitahukan kedatangan pasukan yang terhitung besar mendekati Tanah Perdikan itu kepada anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan.
"Benar katamu?" berkata anak muda itu.
"Aku tidak pernah bermimpi sambil duduk di punggung kuda," jawab saudagar itu.
Anak muda itu menjadi berdebar-debar. Katanya, "Baiklah. Aku akan segera memberikan laporan. Terima kasih."
Anak muda itupun segera menyampaikan berita kedatangan pasukan itu kepada pemimpin pengawal di padukuhannya.
Dalam waktu singkat, para pengawal padukuhan itu dikumpulkan. Mereka harus bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk sekalipun.
Selagi para pengawal padukuhan itu bersiap, maka dua orang pengawal berkuda telah berpacu menuju ke padukuhan induk. Namun di sepanjang padukuhan yang dilewati, penghubung itu telah memberitahukan kedatangan pasukan Pajang yang besar.
"Kau melihat kedatangan pasukan itu?" bertanya seorang anak muda di padukuhan yang dilewatinya.
"Dua orang berkuda yang melewati Tanah Perdikan ini memberitahukan kepada kami."
"Apakah mereka yakin bahwa pasukan itu menuju kemari dan bukan mengambil ancang-ancang untuk menyerang Madiun dari sisi Selatan?" bertanya anak muda itu.
"Menurut kedua orang berkuda itu, pasukan Pajang itu menuju ke Tanah Perdikan ini. Sementara itu kita tahu hubungan yang memburuk antara Tanah Perdikan ini dengan Pajang."
"Ya. Dan kita tidak tahu, persoalan yang sebenarnya yang membuat Risang menjauhi Pajang."
"Apapun yang terjadi, kita harus mempertahankan Tanah Perdikan ini."
Demikianlah berita tentang kedatangan pasukan Pajang itupun segera menjalar dari satu padukuhan ke padukuhan lainnya. Para penghubung berkuda berterbangan menyusuri jalan-jalan yang menghubungkan padukuhan-padukuhan dan Kademangan-kademangan di Tanah Perdikan Sembojan. Para pengawal sengaja tidak membunyikan tanda-tanda bahaya agar tidak membuat rakyat Tanah Perdikan Sembojan menjadi sangat gelisah.
Tatanan yang mapan di Tanah Perdikan Sembojan kemungkinan gerak yang cepat bagi para pengawal. Dalam waktu singkat, maka di setiap padukuhan, pasukan pengawal telah disiapkan. Bahkan kemudian bukan hanya anak-anak muda, tetapi juga laki-laki yang sudah lebih tua, tetapi masih memiliki kemampuan untuk bertempur telah bersiap pula. Sebagian besar dari mereka di masa mudanya juga pernah menjadi pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan bahkan mengalami pertempuran-pertempuran yang mendebarkan.
Meskipun mereka tidak tahu dengan pasti, apa sebabnya, bahwa Tanah Perdikan Sembojan dalam waktu yang terhitung singkat menjadi demikian jauhnya dari Pajang, tetapi setiap orang di Tanah Perdikan Sembojan merasa wajib untuk mempertahankan Tanah Perdikan mereka.
Di masa-masa yang lampau, Tanah Perdikan Sembojan pernah berperang melawan Jipang, Pajang dan campur tangan kelompok-kelompok prajurit Madiun bersama beberapa orang padepokan.
Dalam pada itu, dua orang penghubung berkuda telah sampai ke padukuhan induk. Kedua orang itupun segera menghadap Risang dan menyampaikan laporan tentang gerakan pasukan Pajang.
"Prajurit Pajang," Risang terkejut.
"Ya. Menurut dua orang berkuda itu, prajurit Pajang segelar sepapan telah bergerak mendekati Tanah Perdikan ini."
Wajah Risang menjadi sangat tegang. Seolah-olah ia baru sadar, setelah beberapa lama ia bermain dengan api, maka tiba-tiba saja tangannya telah terbakar.
"Kau lihat sendiri?" bertanya Risang.
"Belum. Kami baru mendapat keterangan dari dua orang berkuda yang melihat sendiri gerak pasukan itu."
Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantung Risang. Pajang benar-benar telah mengirimkan pasukan yang kuat ke Tanah Perdikan.
Nyi Wiradana juga mendengar laporan itu, jantungnya serasa akan meledak. Karena itu, tanpa menunggu Risang, Nyi Wiradana telah mengambil sikap.
Dengan tergesa-gesa Nyi Wiradana melangkah ke halaman dan menuju ke serambi gandok. Sambi Wulung dan Jati Wulung biasanya berada di serambi gandok itu.
Dengan suara yang bergetar setelah memberitahukan itu Nyi Wiradana berkata, "Tolong. Lihat, apakah pasukan itu benar-benar mendekati Tanah Perdikan ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sigapnya mereka berlari ke kandang kuda.
Ketika Risang turun ke halaman, ia melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung berpacu langsung dari kandang. Satu hal yang tidak pernah mereka lakukan.
Sesaat Risang dengan termangu-mangu berdiri. Wajahnya menjadi tegang ketika ibunya berjalan mendekatinya sambil berkata, "Seharusnya kau tidak akan terkejut Risang. Bukankah kau sudah memperhitungkan bahwa hal seperti ini akan terjadi" Sekang kerahkan semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan. Biarlah kita bersama-sama hancur menjadi debu. Tanah Perdikan Sembojan akan tinggal menjadi dongeng bagi anak cucu yang masih sempat hidup di atas tanah ini."
Risang tidak segera menjawab. Sementara ibunya berkata pula, "Kenapa kau menjadi bingung. Cepat berbenah diri. Ambil senjatamu yang paling sesuai. Perintahkan para pengawal untuk menyusun barisan." Ibunya berhenti sejenak, lalu katanya, "Aku akan memberitahukan kepada Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Biarlah mereka menjadi saksi kehancuran tanah ini."
Nyi Wiradana tidak menunggu jawaban Risang. Iapun segera melangkah masuk ke dalam biliknya.
Risang masih berdiri termangu-mangu. Ia baru sempat berpikir sungguh-sungguh tentang tingkah lakunya di saat-saat terakhir atas Tanah Perdikannya.
Risang baru membayangkan, bahwa air di sungai-sungai akan menjadi merah oleh darah. Tangis perempuan dan anak-anak akan membahana di seluruh Tanah Perdikan yang akan menjadi debu ini. Tubuh yang diam membeku berserakan dimana-mana karena prajurit Pajang yang menjadi garang dalam perang, sehingga bukan saja para pengawal, tetapi semua laki-laki akan dibantai tanpa ampun. Harta benda akan dijarah dan perempuan serta gadis-gadis akan kehilangan derajat kemanusiaan mereka.
Rasa-rasanya jantung Risang akan terlepas dari tangkainya. Ia sudah menjebak Tanah Perdikannya sendiri ke dalam bencana yang sangat besar. Hanya karena Risang, Kepala Tanah Perdikan Sembojan menjadi kecewa ketika ia mengetahui bahwa gadis yang dicintainya telah menerima lamaran laki-laki lain. Dan laki-laki lain itu adalah adiknya sendiri.
Sinar matahari yang mulai temaram, justru seakan-akan telah membakar langit. Mega-mega yang dihanyutkan angin menjadi merah membara. Burung-burung bangau yang putih dengan cepat melintas menuju ke sarang.
Risang tidak segera berbuat sesuatu. Ia justru berjalan selangkah-selangkah ke regol halaman rumahnya. Dengan pandangan kosong Risang memperhatikan jalan yang membujur di depan rumahnya, rumah kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Dua orang penghubung yang memberikan laporan kepadanya masih berdiri termangu-mangu. Keduanya menunggu perintah yang akan diberikan oleh Risang. Mereka menyayangkan bahwa Risang akan berdiri di tangga pendapa sambil berteriak memanggil pemimpin pengawal di padukuhan induk itu. Kemudian memerintahkan semuanya bersiap untuk menghadapi pasukan Pajang.
Tetapi Risang nampak menjadi bingung.
Mereka terkejut ketika mereka mendengar suara Nyi Wiradana yang berdiri di pendapa, "Risang. Apa perintahmu sekarang?"
Risang berpaling. Wajahnya menjadi sangat tegang. Ia melihat ibunya sudah mengenakan pakaian khususnya dengan sepasang pedang di lambungnya.
Seperti digerakkan oleh tenaga yang tidak dikendalikan nalarnya, Risang melangkah mendekati ibunya. Sementara ibunyapun telah memberikan perintah kepada kedua orang penghubung itu, "Kembali ke padukuhanmu. Siapkan para pengawal dan kerahkan segala kekuatan yang ada. Kita akan bertempur sampai orang terakhir."
Risang memandangi ibunya dengan penuh kebimbangan. Sementara itu kedua orang penghubung itu menunggu, apakah Risang akan memberikan perintah atau tidak.
Tetapi Risang tidak mengatakan sesuatu.
Dalam keragu-raguan itu, kedua penghubung itu mendengar Nyi Wiradana mengulangi perintahnya, "Cepat. Sampaikan perintahku. Bukan hanya padukuhanmu, tetapi beranting perintah ini harus sampai kesemua Kademangan dan padukuhan di seluruh tlatah Tanah Perdikan Sembojan. Kalian masih harus menunggu perintah berikutnya yang segera akan kami berikan."
"Baik, Nyi," jawab penghubung itu.
"Kalian singgah sebentar di rumah pemimpin pengawal padukuhan induk. Sampaikan kepadanya, aku memanggilnya."
"Baik Nyi," jawab penghubung itu.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah berderap di atas panggung kudanya meninggalkan regol halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Nyi Wiradanapun kemudian berpaling kepada Risang sambil berkata, "Sekarang, apa yang akan kau lakukan" Aku sudah memerintahkan menyiapkan para pengawal. Mereka tentu menunggu perintah berikutnya. Di mana mereka harus berkumpul untuk menghadapi pasukan yang datang dari Pajang?"
"Aku menjadi bingung ibu," jawab Risang.
"Kenapa kau menjadi bingung" Bukankah seperti ini yang kau inginkan" Kau ingin rakyat Tanah Perdikan dan bahkan Tanah Perdikan ini lenyap" Kau ingin kami menjadi tumbal bagi Riris, gadis titisan bidadari yang tidak ada duanya di dunia ini?"
Sekali lagi Risang terkejut. Kata-kata ibunya itu langsung menusuk sampai ke ulu hati.
Tetapi Risang tidak dapat menjawab. Bahkan kemudian iapun merasa betapa ia telah menjadi terlalu dalam terseret ke dalam pusaran perasaannya.
"Apakah Tanah Perdikan ini bersama rakyatnya harus menjadi tumbal bagi Riris" Besok atau lusa Tanah Perdikan ini akan lenyap. Beberapa waktu kemudian, Riris akan memasuki upacara pernikahannya dengan Kasadha. Keduanya akan hidup berbahagia karena tidak akan ada lagi orang yang mengganggunya. Sementara itu Tanah Perdikan ini akan dilupakan orang."
Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Risang yang menjadi gemetar. Namun ibunya itu kemudian berkata, "Sekarang tidak ada kesempatan untuk membuat pertimbangan apapun. Segala sesuatunya tentu sudah terlambat."
Risang masih belum sempat membuat pertimbangan. Karena itu, maka anak muda itu justru telah terduduk di tangga pendapa.
Dalam pada itu, maka pemimpin pengawal dari padukuhan induk dengan tergesa-gesa telah memasuki halaman rumah Risang. Risang yang duduk di tangga pendapa melihat kehadiran anak muda itu. Di luar sadarnya, maka iapun telah bangkit berdiri.
"Berikan perintah kepadanya," berkata ibunya. Sejenak Risang menjadi gemetar. Namun kemudian terasa tenaga yang tidak dikenalnya telah bergejolak di dalam dadanya. Risang yang hampir kehilangan pegangan itu tidak mempunyai pilihan. Segala sesuatunya telah terjadi, dan Risang telah terperosok ke dalam keterlanjurannya.
Karena itu, maka segala sesuatunya seakan-akan telah berjalan dengan sendirinya tanpa dapat dikendalikannya lagi.
"Siapkan semua pengawal," berkata Risang sambil berdiri tegak di tangga pendapa.
"Aku telah mendengar dari kedua penghubung itu. Tetapi apakah Kakang Rembaka yang memimpin para pengawal di seluruh Tanah Perdikan ini sudah mendapat perintah?"
Risang masih belum dapat mengendalikan dirinya sepenuhnya. Karena itu, maka iapun berteriak, "panggil Rembaka."
Pemimpin pengawal di padukuhan induk itupun segera meninggalkan Risang yang termangu-mangu yang kemudian berdiri tegak memandang ke kejauhan dengan tatapan mata yang kosong.
"Naiklah," perintah ibunya.
Risangpun telah bergerak pula. Kakinya melangkahi tangga pendapa. Kemudian satu-satu langkahnya terayun menuju ke pringgitan dan kemudian duduk di atas tikar yang sudah terbentang.
Sejenak kemudian Rembakapun telah datang dan duduk di hadapan Risang. Tetapi Rembaka nampak gelisah. Dengan nada berat ia berkata, "Aku, pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini akhirnya mendengar juga kedatangan pasukan Pajang, meskipun justru yang terakhir dan bahkan hampir terlampaui pula."
Risang tidak segera dapat menjawab. Hatinya yang sedang terguncang-guncang itu masih belum dapat diendapkannya. Namun seakan-akan tidak mendengar kata-kata Rembaka ia berkata, "Siapkan semua pengawal."
Tetapi Rembaka menjawab, "Tidak perlu. Semua pemimpin pengawal di padukuhan sudah melakukannya."
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi kau pemimpin pengawal seluruh Tanah Perdikan. Dengar perintahku. Siapkan semua pengawal. Kau dengar?"
Rembaka mengerutkan dahinya. Tetapi ia sadar, bahwa Risang tidak dalam keadaan wajar. Karena itu, maka diurungkannya niatnya untuk menyatakan kekecewaannya, bahwa ia justru mendapat perintah terakhir.
Sementara itu, Nyi Wiradanapun berkata, "Lakukan perintahnya. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
Rembaka mengangguk kecil sambil menjawab, "Baik Nyi. Aku akan melakukannya."
"Perintah berikutnya akan menyusul. Kita menunggu laporan dari paman Sambi Wulung dan Jati Wulung. Kita masih belum tahu, dimana pasukan Pajang itu akan memasang gelarnya atau tempat mereka berkemah."
"Baik Nyi," jawab Rembaka.
"Siapkan para penghubung berkuda. Segala-galanya harus dengan cepat diketahui oleh seisi Tanah Perdikan. Aku sependapat bahwa sementara tidak dipergunakan isyarat kentongan sampai keadaan memaksa."
Rembakapun kemudian telah meninggalkan rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan langsung pergi ke banjar.
Di banjar, anak-anak muda sudah banyak yang berkumpul. Mereka telah menyiapkan senjata masing-masing.
Rembakapun kemudian telah berada di banjar pula. Diperintahkannya kepada penghubung berkuda untuk bersiap-siap sepenuhnya. Setiap saat mereka dapat bergerak untuk menyongsong kedatangan pasukan Pajang.
Karena itu, maka para penghubung harus bersiap menyebarkan perintah berikutnya.
Kepada pemimpin pengawal di padukuhan induk, Rembakapun memerintahkan, agar mengirimkan beberapa orang pengawal ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
"Aku akan berada disana. Setiap saat dapat turun perintah baru."
Beberapa saat kemudian, maka Rembaka dan beberapa orang pengawal telah kembali berada di rumah Kepala Tanah Perdikan. Mereka berada pada kesiagaan tertinggi. Setiap saat mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Pada saat yang gawat itu, Gandar pulang dari sawah. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Namun dari para pengawal yang berada di rumah Kepala Tanah Perdikan ia mendengar tentang kedatangan prajurit dari Pajang.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat Risang berada di luar. Tetapi Gandar sendiri tidak berniat untuk mencarinya di dalam rumahnya.
Ternyata Risang yang gelisah itu sedang duduk di ruang dalam rumahnya. Ia masih tetap dibayangi oleh berbagai macam peristiwa buruk yang dapat terjadi di dalam peperangan.
Nyi Wiradanalah yang kemudian justru keluar lewat pintu pringgitan. Ketika kemudian ia berdiri di pendapa, maka Gandarpun mendekatinya. Meskipun Gandar tahu, bahwa keadaan menjadi gawat, tetapi ia tetap nampak tenang.
"Apa yang terjadi, Nyi?" bertanya Gandar.
"Kau dari mana?" bertanya Nyi Wiradana.
"Dari sawah," jawab Gandar.
"Untuk apa kau pergi ke sawah berlama-lama" Bukankah sudah ada orang yang bertugas mengerjakannya?"
"Aku ingin menghirup udara yang segar Nyi. Disini udara menjadi semakin lama semakin pengap," jawab Gandar.
"Panggillah pemimpin pengawal itu. Kita akan berbicara sebentar," berkata Nyi Wiradana. "Bawa anak itu ke pringgitan."
Gandar mengangguk kecil. Sejenak kemudian, maka Rembaka dan Gandar telah duduk bersama Nyi Wiradana di pringgitan.
"Di mana Risang?" bertanya Gandar.
"Ia masih sulit untuk berpikir. Ia berada di dalam."
"Apakah kedatangan pasukan Pajang itu mengejutkannya?"
"Ya." "Seharusnya ia tidak terkejut lagi. Lambat atau cepat, Pajang tentu akan mengirimkan pasukannya," desis Gandar. Lalu iapun bertanya pula, "Apa yang akan dilakukan oleh Risang" Apakah ia akan menyerah atau akan melawan?"
"Aku belum tahu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi sulit baginya untuk menarik kembali keterlibatannya."
Namun dalam pada itu Rembaka yang duduk bersama mereka menyahut, "Tidak ada yang akan menyerah apapun alasannya. Kita akan mempertahankan Tanah Perdikan ini sampai orang yang terakhir. Kita tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Tiba-tiba aja Pajang telah memusuhi kita."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Risangpun sulit menjelaskan, apa yang sebenarnya terjadi.
"Apakah Nyi Wiradana dan paman Gandar meragukan kesetiaan kami?"
"Tidak," Nyi Wiradana menggeleng. "Kami tidak pernah meragukan kesetiaan kalian."
"Lalu apa lagi soalnya" Kenapa paman Gandar menyebut-nyebut kemungkinan Kakang Risang untuk menyerah?"
"Bukan maksudku. Barangkali aku khilaf," sahut Gandar.
"Sekarang, apakah semua pengawal sudah siap?"
"Semua padukuhan telah mempersiapkan diri, Nyi. Kami menunggu perintah selanjutnya."
"Baiklah," desis Nyi Wiradana. Lalu katanya, "Jika demikian, baiklah. Gandar, aku serahkan para pengawal kepadamu dan kepada Rembaka. Kalian akan memimpin mereka. Tetapi kalian harus menunggu perintah selanjutnya."
"Baik, Nyi. Semuanya sudah siap. Perintah apapun yang akan kami terima, akan kami laksanakan dengan sebaik-baiknya," sahut Rembaka.
Gandar dan Rembakapun kemudian minta diri untuk turun ke halaman, berbaur dengan para pengawal yang telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah meninggalkan kudanya di balik sebuah gerumbul. Keduanya berjalan menyongsong pasukan Pajang yang menurut dua orang saudagar berkuda telah mendekati Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu malampun telah turun. Gelap telah menyelimuti Tanah Perdikan Sembojan. Di bulak yang luas nampak berpuluh ribu kunang bertengger di daun padi yang hijau subur.
"Jika terjadi perang, hancurlah tanaman di sawah, karena para prajurit dan pengawal akan lebih banyak menghiraukan jiwa mereka daripada tanaman padi di sawah itu," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Air di sawah itu tentu akan menjadi merah oleh darah. Bahkan air yang mengalir di parit itupun akan berbau darah pula.
"Kita sudah berada di luar batas Tanah Perdikan Sembojan," berkata Sambi Wulung.
"Mereka akan berada di jalur ini," sahut Jati Wulung.
Kedua orang itupun kemudian berjalan lebih jauh lagi. Mereka yakin bahwa mereka akan menemukan perkemahan para prajurit Pajang, karena menurut perhitungan Sambi Wulung dan Jati Wulung, para prajurit Pajang akan bermalam semalam untuk dapat beristirahat.
Secepatnya baru besok pagi mereka akan menyerang Tanah Perdikan Sembojan jika Risang tidak mengadakan pembicaraan khusus dengan Senapati yang memimpin pasukan dari Pajang itu.
Ternyata bahwa akhirnya Sambi Wulung dan Jati Wulung berhasil menemukan perkemahan para prajurit Pajang. Dari kejauhan keduanya melihat oncor yang menyala menebar di satu daerah yang luas. Selain itu nampak pula perapian yang mengepulkan asap.
"Pasukan Pajang sama sekali tidak menyamarkan diri. Satu tantangan terbuka," berkata Jati Wulung.
Dengan sangat berhati-hati keduanya menyusup semakin dekat. Kemampuan mereka yang tinggi memungkinkan mereka mengamati isi perkemahan itu.
"Habislah Tanah Perdikan ini," desis Sambi Wulung.
Jati Wulung tidak menyahut. Tetapi iapun sependapat, bahwa dengan kekuatan sebesar itu, maka Tanah Perdikan Sembojan tidak akan mampu bertahan lagi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Sambi Wulung dan Jati Wulung itu sudah berderap kembali ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Dengan rinci keduanya memberikan laporan tentang keberadaan pasukan Pajang di sebelah perbatasan.
Nyi Wiradana mendengarkan laporan itu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi segala sesuatunya telah terjadi. Pasukan Pajang itu telah berada di hadapan hidung Tanah Perdikan Sembojan. Jika Senapati yang memimpin pasukan itu mengangkat tangannya, maka arus banjir bandang itu akan menghantam dan menyapu isi Tanah Perdikan Sembojan.
Nyi Wiradana tidak minta pertimbangan lagi kepada Risang. Dipanggilnya Rembaka dan Gandar untuk datang ke pringgitan.
"Risang," berkata Nyi Wiradana kepada Risang, "perintahkan Rembaka dan Gandar mempersiapkan pasukannya. Kita tidak akan bertahan di perbatasan. Tetapi kita akan bertahan di belakang dinding padukuhan induk ini. Biarlah padukuhan induk ini menjadi debu. Tetapi dengan demikian kerusakan akan dapat dibatasi."
Risang memandang ibunya dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia menyahut, Nyi Wiradanapun berkata, "Kita tidak mempunyai pilihan lain."
Risang memang tidak sempat membuat pertimbangan. Yang dapat dilakukan kemudian adalah menirukan ibunya. Tanah Perdikan akan menyusun pertahanan di batas dinding padukuhan induk.
"Lalu, bagaimana dengan para penghuni padukuhan yang mungkin akan dilalui oleh pasukan Pajang?" bertanya Gandar.
"Singkirkan mereka. Biarlah mereka menyibak. Bawa mereka mengungsi ke padukuhan-padukuhan lain yang lebih jauh dari garis perjalanan pasukan Pajang."
"Baik, Nyi," sahut Gandar.
"Ingat, semuanya harus siap malam ini," pesan Nyi Wiradana.
"Baik Nyi," jawab Gandar sambil mengangguk-angguk.
Nyi Wiradana sebagaimana para pemimpin Tanah Perdikan yang lain memang menduga, bahwa esok pagi-pagi, pasukan Pajang itu tentu akan bergerak dan menyerang Tanah Perdikan Sembojan. Menghancurkannya dan selanjutnya membiarkan Tanah Perdikan Sembojan dilupakan orang.
Malam itu memang terjadi kesibukan yang luar biasa. Meskipun para pengawal berusaha menenangkan penghuni beberapa padukuhan yang harus mengungsi, tetapi mereka telah menjadi gelisah.
"Kita mempunyai banyak waktu," berkata para pengawal. "Kita dapat berbenah sampai menjelang fajar. Menurut perhitungan, baru besok lewat fajar, mereka akan menyerang."
Tetapi kegelisahan itu tidak dapat diredam. Anak-anak yang sudah mengantuk dipaksa untuk berjalan dalam kegelapan. Yang lain menangis ketakutan. Seorang gadis kecil merengek karena golek kayunya tertinggal.
Di saat orang-orang yang tinggal di padukuhan yang mungkin akan dilalui pasukan Pajang mengungsi, para pengawal dari padukuhan telah berkumpul di padukuhan induk, sehingga padukuhan induk itu rasa-rasanya menjadi sesak. Seperti padukuhan-padukuhan lain, maka para penghuninya juga dipersilahkan untuk mengungsi. Perempuan, anak-anak, laki-laki tua dan orang-orang sakit telah dipindahkan ke padukuhan yang lain.
"Kita akan pertahankan padukuhan induk ini," berkata Nyi Wiradana.
Dalam pada itu, Risang dengan jantung yang bergejolak telah menyaksikan bagaimana para pengawal mempersiapkan diri. Bagaimana mereka hilir mudik untuk menyiapkan pertahanan, sedangkan yang lain membantu para pengungsi menyingkir.
Tidak seorangpun yang berpangku tangan, sehingga sebelum mereka mulai turun ke medan, tenaga mereka telah habis terperas untuk membuat persiapan-persiapan dalam waktu yang sangat pendek.
Namun Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar masih sempat memperingatkan para pengawal, agar mereka yang sempat beristirahat, supaya mempergunakan waktunya sebaik-baiknya.
Malam itu Risang berjalan menyusuri jalan di padukuhan induk. Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak melepaskannya berjalan seorang diri dengan hati yang bergejolak. Bahkan seakan-akan sedang kehilangan pegangan.
Ketika Risang berdiri di depan banjar, maka Rembaka dan empat orang pemimpin pengawal dari kademangan-kademangan di lingkungan Tanah Perdikan itu menyatakan kesediaan mereka untuk mempertahankan Tanah Perdikan itu sampai kemungkinan terakhir.
"Kami memilih lebur bersama-sama dengan Tanah Perdikan ini," berkata Rembaka mewakili kawan-kawannya.
"Terima kasih," Risang mengangguk-angguk. Tetapi satu pertanyaan tiba-tiba saja muncul di dalam hatinya, "Untuk apa sebenarnya mereka sebenarnya mati" Untuk apa?"
Tetapi segala sesuatunya memang sudah terlanjur. Apakah Risang akan mundur dari keterlanjurannya" Ketika dilihatnya pasukan segelar sepapan di hadapannya, hatinya menjadi kecut dan kemudian menyerahkan diri"
Jantung Risang bagaikan akan pecah oleh kegelisahan yang mencengkam.
Namun ketika ia memasuki banjar dan melihat kesiagaan anak-anak muda, maka menyalalah tekad di dalam hatinya. Risang tidak lagi ingat apa sebenarnya yang menjadi sebab ketegangan yang memuncak itu. Tetapi yang kemudian bergelora di dalam hatinya adalah, kecintaannya kepada Tanah Perdikannya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata lantang di hadapan para pengawal, "Aku akan berada di antara kalian. Kita pertahankan Tanah Perdikan ini. Jika Tanah Perdikan ini akan lebur, biarlah kita ikut lebur pula di dalamnya."
Sikap Risang itu mendapat sambutan yang luar biasa. Tiba-tiba saja terdengar suara mengguruh, "Kita pertahankan tanah ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya dapat menekan dada mereka masing-masing. Di luar sadarnya Sambi Wulung berdesis, "Apaboleh buat."
Menjelang fajar, maka tersusunlah pertahanan yang kuat di padukuhan induk. Risang yang ada di antara mereka memerintahkan, agar mereka bertahan di belakang dinding.
Ketika ayam lantang berkokok, maka setiap jantungpun menjadi berdebar-debar. Beberapa orang pengawas telah bersiap di tempat-tempat tersembunyi.
Tetapi pasukan Pajang masih belum bergerak. Tidak ada tanda-tanda bahwa pasukan Pajang akan menyerang hari itu.
Sebenarnyalah pasukan Pajang memang tidak bergerak. Ki Tumenggung Jayayuda masih ingin memberi kesempatan kepada Risang untuk membuat pertimbangan yang terakhir kalinya.
Tetapi hati Risang benar-benar telah membeku. Ia tidak peduli lagi kepada Riris. Kepada Kasadha dan kepada Ki Rangga Dipayuda. Tetapi Risang tidak mau menyerah. Ia harus mempertahankan Tanah Perdikannya sampai lumat.
Semalam, Nyi Wiradana sempat berada di dalam biliknya sambil menangis. Tetapi kemudian digeretakkan giginya. Dengan sepasang pedang di lambungnya, maka ia bukan lagi perempuan yang cengeng, yang mudah menitikkan air mata.
Matahari yang memanjat langit memancarkan sinarnya menyiram Tanah Perdikan Sembojan yang sepi. Seakan-akan kehidupan di Tanah Perdikan itu telah terhenti. Pasar menjadi lengang. Tidak seorangpun pergi ke sawah atau turun ke sungai membawa jala. Yang nampak adalah ujung-ujung senjata di balik dinding padukuhan induk Tanah Perdikan.
Dalam ketegangan itu, dua orang berkuda berpacu menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Dua orang perwira telah datang untuk menemui Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
"Hari ini kesempatan terakhir bagi Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk mengambil sikap. Prajurit Pajang telah ada di perbatasan."
Tetapi dengan lantang Risang yang seakan-akan telah kehilangan pribadinya itu menjawab, "Aku sama sekali tidak berubah sikap."
Kedua orang perwira itu tidak bertanya lebih jauh, keduanya memang berharap mendapat jawaban yang demikian. Bersama para prajurit keduanya sudah terlanjur bersiap untuk berperang. Jika perang gagal maka perjalanan panjang yang telah mereka tempuh itu menjadi sia-sia.
Jawaban Risang itupun kemudian telah menjadi laporan bagi Ki Tumenggung Jayayuda.
Ki Tumenggung ternyata menjadi sangat gelisah. Ia membawa pasukan yang kuat yang tentu akan dapat menghancurkan Tanah Perdikan. Ia mendapat waktu sepekan selain perjalanan yang ditempuh di saat pasukannya berangkat dan kembali. Ki Tumenggung memperhitungkan bahwa jalan kembali ke Pajang tentu akan ditempuh dalam waktu yang lebih panjang. Di antara mereka tentu terdapat orang-orang yang terluka. Tawanan terpenting dan pengendalian atas prajurit-prajurit Pajang sendiri. Dalam pertempuran kadang-kadang para prajurit memang lepas kendali. Mereka memperlakukan orang-orang yang dianggap kalah perang dengan sewenang-wenang.
"Kenapa kekerasan ini harus terjadi?" desis Ki Tumenggung.
Haripun merambat semakin tinggi. Sementara itu, pasukan Pajangpun berada dalam kesiagaan yang semakin tinggi. Ketegangan yang semakin mencengkam, membuat mereka tidak sabar lagi menunggu sampai esok pagi.
Yang paling tersiksa di antara para prajurit Pajang adalah Kasadha. Ia menjadi pendiam. Bahkan ia selalu menyingkir dan menyendiri. Kepalanya sudah menjadi pening dan penalarannya rasa-rasanya menjadi kabur.
Tanah Perdikan Sembojan adalah tanah yang diwariskan oleh kakeknya kepada ayahnya. Kemudian kepada kakaknya. Tanah Perdikan yang tumbuh semakin subur di tangan kakaknya, Risang. Sekarang ia datang bersama pasukan segelar sepapan untuk menghancurkannya.
Dalam pada itu, di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan, Risang menjadi semakin gelisah. Ia tidak berpikir lagi tentang dirinya sendiri. Tetapi dengan melihat kesibukan para pengawal mempersiapkan pertahanan di padukuhan induk itu, jantungnya rasa-rasanya hampir meledak.
"Sebagian besar dari mereka akan binasa," berkata Risang kepada diri sendiri.
Tetapi para pengawal itu sendiri sudah menyatakan tekadnya, bahwa mereka tidak akan menyerah apapun yang akan terjadi.
Ketika matahari mulai turun, maka rasa-rasanya ketegangan menjadi semakin memuncak. Para pengawal menjadi semakin sibuk mempersiapkan senjata dan membuat panggungan di belakang dinding padukuhan induk. Mereka yakin, bahwa esok pagi di saat matahari terbit, pasukan Pajang akan datang menyerang.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka halaman rumah Kepala Tanah Perdikan itu dikejutkan oleh kehadiran dua orang yang menuntun kudanya diiringi oleh beberapa orang pengawal. Dua orang perempuan dengan mengenakan pakaian khusus sebagaimana dipakai oleh Nyi Wiradana.
Nyi Wiradana dan Risang terkejut melihat kedua orang itu. Kedua orang perempuan itu adalah Warsi dan adik sepupunya.
"Kau?" desis Nyi Wiradana.
"Ya, Nyi," jawab ibu Kasadha.
Dalam pada itu, salah seorang yang mengawalnya berkata, "Mereka berkeras untuk menghadap Nyi Wiradana. Mereka datang lewat pintu gerbang samping. Mereka tidak bersenjata."
Tetapi Nyi Wiradana menyahut, "Kau kira mereka tidak bersenjata. Senjatanya adalah sebuah rantai yang disimpannya di bawah bajunya."
"Sekarang, segala sesuatunya terserah kepada Nyi Wiradana."
"Warsi?" bertanya Nyi Wiradana. "Pasukan Pajang telah ada di perbatasan. Anakmu tentu ada disana. Sekarang kau datang dan berkeras untuk menemui aku. Apa maksudmu" Apakah kau akan menantang aku untuk berperang tanding" Warsi. Sejak dahulu aku selalu siap menerima tantanganmu. Jika kau sekarang datang dan menantang aku, sementara anakmu datang bersama pasukan yang kuat untuk menggilas Tanah Perdikan ini, aku tidak berkeberatan. Jika Puguh berhasil membinasakan Risang, maka akan ada dua kemungkinan. Tanah Perdikan ini hapus dari muka bumi, atau anakmu yang akan mewarisinya menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Tidak. Tidak Nyi," suara Warsi menjadi serak. "Aku tidak berniat untuk melakukannya. Ketika Kasadha memberitahukan persoalannya kepadaku dalam hubungannya dengan anak Ki Rangga Dipayuda, aku berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ia tidak mau mendengar kata-kataku. Kasadha justru menyudutkan aku, bahwa aku tidak pernah menyiapkannya menjadi manusia seperti sekarang ini. Aku merasa Nyi. Tetapi aku tidak dapat tinggal diam. Aku tidak dapat melihat Tanah Perdikan ini menjadi debu. Karena itu, aku telah melakukan apa yang sudah tidak pernah aku lakukan lagi. Aku mengamati gerak pasukan Pajang." Warsi berhenti sejenak, lalu, "Sekarang aku datang menyatakan diri berdiri di belakang Nyi Wiradana. Apapun yang terjadi, biarlah aku ikut berada di dalamnya. Jika Tanah Perdikan ini lebur bersama isinya, biarlah aku ikut lebur pula. Aku tidak ingin melihat Kasadha menghancurkan tanah peninggalan ayahnya ini."
Nyi Wiradana melihat kejujuran membayang di wajah Warsi. Wajah yang memang sudah berubah. Wajah itu tidak lagi membayangkan wajah iblis betina.
Apalagi ketika Nyi Wiradana melihat titik-titik air di pelupuk mata ibu Kasadha itu. Nyi Wiradana percaya, bahwa air mata itu bukan sekedar permainan perasaan Warsi.
Karena itu, maka iapun berkata, "Marilah. Naiklah."
Warsi masih saja ragu-ragu. Ketika ia memandang Risang yang berdiri dengan tegang, maka iapun berkata, "Ngger. Jika aku diberi kesempatan, biarlah aku menebus segala kesalahanku. Jika aku terkubur bersama Tanah Perdikan ini, maka rasa-rasanya hutangku baru dapat aku lunasi."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian iapun berkata, "Silahkan naik, Bibi."
Warsi bersama saudara sepupunya itupun kemudian telah duduk di pringgitan. Nyi Wiradanapun kemudian berkata, "Duduklah. Kami masih harus melakukan persiapan-persiapan."
"Beri aku tugas," berkata Warsi.
"Pada saatnya nanti. Menurut perhitunganku, besok menjelang matahari terbit, mereka akan datang," sahut Nyi Wiradana.
Ketika Nyi Wiradana masuk ke ruang dalam, maka diperintahkannya untuk menyiapkan bilik di gandok bagi Warsi dan saudara sepupunya.
Menjelang sore hari, maka segala sesuatunya telah benar-benar siap. Dua orang pengawal yang mengamati pasukan Pajang telah memberikan laporan. Pasukan itu nampaknya telah bersiap-siap pula. Tetapi memang belum nampak gerakan apapun.
"Malam nanti mereka baru akan bergerak," berkata Nyi Wiradana. "Karena itu, pergunakan waktu sebaik-baiknya. Sebagian dari mereka harus beristirahat sebaik-baiknya bergantian. Besok kita akan bertempur habis-habisan."
Dalam pada itu, mataharipun meluncur semakin rendah. Cahayanya menjadi kemerah-merahan menyangkut di bibir awan. Langitpun menjadi semakin buram.
Kegelisahan Kasadha hampir tidak tertahankan lagi. Ia tidak dapat membiarkan pertempuran terjadi.
Dengan gelisah Kasadha berjalan hilir mudik dalam kesendiriannya. Ketika dua orang pemimpin kelompok datang kepadanya, maka Kasadha itupun berkata, "Tinggalkan aku disini."
"Waktunya makan sudah tiba, Ki Lurah," berkata salah seorang dari kedua orang pemimpin kelompok itu.
"Baiklah. Nanti aku akan segera menyusul," jawab Kasadha.
"Sesudah makan, Ki Tumenggung akan berbicara dengan para pemimpin pasukan. Ki Lurah juga dipanggil."
"Baik. Nanti aku akan datang. Pergilah dahulu."
Kedua pemimpin kelompok itupun kembali ke pasukannya yang sedang makan. Merekapun kemudian ikut makan bersama mereka. Namun Kasadha tidak juga segera datang.
"Ki Lurah masih belum datang," berkata salah seorang dari kedua pemimpin kelompok yang menyusulnya.
Kawannya mengangguk-angguk sambil menyahut, "Sebentar lagi, Ki Lurah harus menghadap Ki Tumenggung."
"Ya. Sementara itu, Ki Lurah masih belum makan."
Belum lagi bibir mereka terkatup, maka Ki Rangga Dipayuda telah datang mencari Ki Lurah Kasadha. Kedua pemimpin kelompok itulah yang kemudian memberitahukan kepada Ki Rangga tentang Ki Lurah Kasadha.
"Dimana Ki Lurah sekarang?" bertanya Ki Rangga.
"Marilah, Ki Rangga," jawab salah seorang dari kedua orang pemimpin kelompok itu. "Ki Lurah ingin menyendiri."
Jantung Ki Rangga memang menjadi berdebar-debar. Bersama kedua orang pemimpin kelompok itu mereka melangkah menuju ke tempat Kasadha menyembunyikan kegelisahannya.
Sementara itu, malampun mulai turun perlahan-lahan. Angin yang sejuk mengalir mengusap tubuh yang basah oleh keringat.
Tetapi ketika mereka sampai di tempat Kasadha semula mencari ketenangan dengan menyendiri, ternyata Kasadha sudah tidak ada.
"Tadi Ki Lurah ada disini," berkata pemimpin kelompok itu.
"Mungkin ia langsung menghadiri pertemuan itu," berkata Ki Rangga Dipayuda dengan ragu.
"Mudah-mudahan," desis salah seorang dari kedua orang pemimpin kelompok itu.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ragu, namun Ki Rangga itupun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Sedangkan kedua orang pemimpin pengawal itu masih menunggu. Mungkin Ki Lurah Kasadha sedang berjalan-jalan keluar lingkungan perkemahan.
"Ki Lurah nampak sangat gelisah," berkata salah seorang dari mereka.
"Menurut penglihatanku, bahwa sejak masih berada di barak," jawab yang lain.
Dalam pada itu, Ki Rangga yang kemudian menghadiri pertemuan dengan para perwira yang ada di dalam pasukan Pajang itu, menjadi semakin gelisah. Ternyata Kasadha tidak ada di antara mereka.
Ki Rangga itupun kemudian mendekati Ki Tumenggung sambil berdesis, "Ki Tumenggung, Kasadha tidak ada di perkemahan ini."
"Dimana anak itu menurut dugaan Ki Rangga."
"Aku tidak dapat menduganya Ki Tumenggung. Semula ia hanya ingin menyendiri di pinggir lingkungan perkemahan. Tetapi kemudian ia tidak berada di tempatnya."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan berbicara lebih dahulu dengan para pemimpin pasukan. Biarlah ia datang menyusul."
Ki Rangga Dipayuda mengangguk. Katanya, "Baiklah Ki Tumenggung. Ki Lurah Kasadha sudah mengetahui bahwa ia harus menghadiri pertemuan ini."
Tetapi sebelum pertemuan itu dimulai, maka seorang prajurit yang bertugas telah memberikan laporan bahwa ia melihat Kasadha meninggalkan perkemahan.
"Kemana?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Aku tidak tahu Ki Rangga. Ketika aku bertanya, Ki Lurah Kasadha tidak menjawab. Ki Lurah hanya mengatakan bahwa Ki Lurah ingin keluar sebentar. Kami mencoba mencegahnya, tetapi Ki Lurah tidak dapat dicegahnya, tetapi Ki Lurah tidak dapat dicegah lagi. Bahkan ketika aku mencoba memaksanya, maka tiba-tiba saja Ki Lurah telah memukul wajahku. Pukulannya demikian telah mengenai bagian bawah rahangku, sehingga aku jatuh dan tidak ingat apa-apa lagi sesaat. Baru kemudian aku sadar dan memberi laporan kepada pemimpin kelompokku. Namun pemimpin kelompokku memerintahkan aku langsung memberikan laporan kepada Ki Tumenggung agar persoalannya menjadi jelas."
"Kemana arahnya?" bertanya Ki Rangga.
"Aku tidak melihat kemana Ki Lurah itu pergi, karena untuk beberapa saat aku tidak ingat apa-apa lagi."
"Kau bertugas dimana?"
"Di dekat tugu batas Tanah Perdikan itu."


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di Jalan induk?"
"Ya." Ki Ranggapun menjadi sangat tegang. Namun kemudian ia berkata kepada Ki Tumenggung, "Aku akan mencarinya, Ki Tumenggung."
"Kemana?" bertanya Ki Tumenggung.
"Aku belum pasti. Tetapi mudah-mudahan aku dapat menemukannya untuk membawanya kepada Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Ia nampak ragu-ragu sesaat. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Tetapi Ki Rangga harus segera kembali sehingga kita akan dapat mengambil langkah-langkah yang penting. Ingat Ki Rangga, besok kita akan memasuki Tanah Perdikan Sembojan".
"Baik Ki Tumenggung."
"Jika Ki Rangga akan membawa pengawal, bawalah berapa yang Ki Rangga Perlukan."
"Tidak, Ki Tumenggung, aku akan pergi sendiri."
Ki Tumenggung masih saja nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, "Berhati-hatilah. Aku tidak mau kehilangan orang-orangku sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi."
Demikianlah, dengan ijin Ki Tumenggung, maka Ki Ranggapun telah bangkit berdiri. Tetapi ia masih berbisik di telinga Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, "Baiklah. Mudah-mudahan kau berhasil."
Dalam pada itu, pintu gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan menjadi gempar. Seorang prajurit muda tiba-tiba saja telah muncul di hadapan para pengawal yang bertugas. Bukan petugas sandi yang mengendap-endap. Bukan pula utusan Ki Tumenggung yang membawa pesan khusus. Tetapi yang datang itu ada seorang prajurit muda yang sudah dikenal baik oleh para pengawal.
"Kasadha," desis Rembaka, yang kebetulan berada di regol padukuhan induk.
"Bawa aku kepada Risang," berkata Kasadha singkat.
"Kau mau apa?" bertanya Rembaka.
"Bawa aku kepadanya. Kau tahu siapa aku. Kau tidak perlu mencurigai aku. Aku hanya seorang diri."
Rembaka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Marilah. Aku antar kau ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
Bersama beberapa orang pengawal, Rembaka telah mengantar Kasadha langsung ke rumah Kepala Tanah Perdikan. Sementara itu, para pengawalpun saling bertanya, apakah maksudnya datang menemui Risang.
Tetapi tidak seorangpun yang dapat menjelaskan maksud kedatangan Kasadha itu.
Kedatangan Kasadha di halaman rumah Risang memang sangat mengejutkan. Dengan serta-merta Risang yang ada di ruang dalam telah meloncat bangkit. Namun ibunya telah memegang lengannya sambil berkata, "Tunggu. Kita akan menemuinya."
Sejenak kemudian, maka Risang dan Nyi Wiradana telah berdiri di tangga pendapa. Namun yang mengejutkan Kasadha, bahwa ibunya dan bibinya ada di rumah itu pula.
"Ibu," desis Kasadha.
"Kasadha," jawab ibunya, "aku pernah menikmati sejuknya udara Tanah Perdikan ini. Aku pernah meneguk airnya yang segar dan aku pernah makan nasinya yang putih. Sekarang adalah menjadi kewajibanku untuk ikut mempertahankan Tanah Perdikan ini."
Wajah Kasadha menjadi tegang. Dengan lantang iapun berkata, "Itu tidak perlu ibu. Tidak perlu terjadi perang antara Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan. Persoalannya sebenarnya dapat dibatasi."
"Apa maksudmu Kasadha?" bertanya Risang.
"Marilah kita membuat perjanjian. Kita tidak boleh mengorbankan anak-anak muda pengawal Tanah Perdikan ini. Kita juga tidak boleh mengorbankan para prajurit Pajang yang sangat diperlukan untuk menghadapi Madiun."
"Janji apa?" "Persoalannya adalah persoalanmu dan persoalanku. Kau dan aku. Yang seharusnya menyelesaikan persoalan ini adalah kau dan aku pula. Bukan orang lain. Biarlah ibu kita masing-masing menjadi saksi."
"Bagus," teriak Risang. Perasaannya yang selama ini tertahan di dalam dadanya, seakan-akan mendapat jalan untuk melompat keluar. Ia tidak ingat lagi persoalan apakah sebenarnya yang menjadi sumber permusuhan. Namun yang terasa di dalam dadanya adalah, bagaimana mereka harus menyelesaikannya.
"Tetapi sekali lagi aku peringatkan, kita harus membuat perjanjian," sahut Kasadha. Selanjutnya ia berkata pula, "Kau harus mengurungkan perang dengan Pajang. Jika kau berhasil membunuh aku, maka kau harus menemui Ki Tumenggung. Membatalkan perang dan tunduk kepada segala perintah Pajang, karena sebenarnya kau tidak mempunyai persoalan dengan Pajang. Tetapi jika aku yang membunuhmu, aku akan mencegah Ki Tumenggung untuk tidak memasuki Tanah Perdikan Sembojan dengan cara apapun juga."
Wajah Risang menjadi merah. Dengan geram ia menjawab, "Bagus, aku terima tantanganmu. Kita, kau dan aku, akan membuat perhitungan tersendiri."
"Yang hadir disini akan menjadi saksi dari perjanjian yang telah kami buat."
Nyi Wiradana yang berdiri di tangga pendapa menjadi berdebar-debar. Ia tidak meragukan kemampuan anaknya yang telah menguasai ilmu Janget Kinatelon. Tetapi iapun menyadari, bahwa Kasadha juga memiliki ilmu yang tinggi.
"Ibu berdua," berkata Kasadha lantang, "berjanjilah, bahwa kalian akan menjadi saksi."
Tiba-tiba saja terdengar suara dari antara orang-orang yang berdiri di halaman, "Aku menjadi saksi."
Ketika semua orang berpaling ke arah suara itu, maka Ki Rangga Dipayuda melangkah memasuki lingkaran orang di halaman itu bersama Ki Ajar Paguhan.
"Guru," desis Kasadha.
"Aku melihat Ki Rangga memasuki pintu gerbang padukuhan ini. Akupun telah mengikut pula. Aku juga akan menjadi saksi."
Dari tangga pendapa terdengar Nyi Wiradana yang berdiri tegak dengan sepasang pedang di lambung berkata lantang, "Aku juga akan menjadi saksi."
Berbeda dengan Nyi Wiradana, maka Warsi telah menundukkan wajahnya. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya itu sambil terisak.
"Terkutuklah aku," desisnya.
"Ibu tidak usah menangis. Kami adalah laki-laki yang menyelesaikan persoalan kami dengan cara seorang laki-laki," berkata Kasadha.
Tetapi Warsi tidak berhenti menangis, justru terbayang kembali bagaimana ia pernah berperang tanding dengan Nyi Wiradana. Seakan-akan telah terulang kembali, apa yang pernah terjadi waktu itu. Dua orang perempuan telah berperang tanding. Bahkan tidak hanya sekali. Kini anak-anak merekalah yang berperang tanding pula.
Tetapi Warsi tidak dapat mencegahnya.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itupun telah bersiap untuk menentukan siapakah yang terbaik di antara mereka.
Halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu telah dicengkam ketegangan. Para pengawal yang ada di halaman itu tanpa sadar, telah berdiri melingkar membentuk arena.
Malam menjadi semakin malam. Langit nampak gelap disaput awam Bintang tidak nampak berkeredipan di langit, seakan-akan sengaja menyembunyikan wajahnya agar mereka tidak melihat dua orang kakak beradik yang sebelumnya nampak selalu rukun meskipun mereka dilahirkan oleh dua orang ibu yang pernah berniat untuk saling membunuh, tetapi yang ternyata kemudian keduanyapun telah memasuki arena perang tanding.
Kasadha adalah seorang Lurah prajurit yang berpengaruh di dalam baraknya. Ia pernah dianggap seorang yang memiliki ilmu yang paling tinggi di dalam baraknya. Di bawah asuhan seorang guru yang baik dan berilmu sangat tinggi, maka Kasadha tumbuh menjadi seorang yang pilih tanding.
Sedangkan Risang, Kepala Tanah Perdikan Sembojan telah menempa diri di bawah bimbingan dua orang kakek dan seorang neneknya yang telah melahirkan ilmu yang mereka sebut Janget Kinatelon. Ilmu yang jarang ada duanya.
Umur mereka tidak berselisih banyak. Sedangkan ujud merekapun hampir serupa. Kedua-duanya mirip sekali dengan ayahnya, Ki Wiradana.
Ki Rangga Dipayuda yang berdiri di arena itupun kemudian berkata, "Kalian adalah anak-anak muda pilihan. Karena itu, kalian akan memasuki perang tanding dengan jujur."
Kasadha dan Risang tidak menjawab. Namun keduanyapun mulai bergeser.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Kedua orang anak muda yang jantungnya sedang terbakar itu dengan cepat meningkatkan ilmu mereka. Sehingga dalam waktu dekat, perkelahian itupun menjadi sangat seru.
Lampu minyak di kedua sudut pendapa, serta oncor di regol, memancarkan sinar yang temaram. Bayangan tiang-tiang pendapa dan pepohonan di pendapa bergoyang seirama dengan semilirnya angin malam.
Kasadha dan Risang telah terlibat dalam pertempuran yang cepat. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Dengan garangnya keduanya saling menyerang dan menghindar. Saling mendesak dan sekali-sekali telah terjadi benturan yang keras, sehingga keduanya telah terdorong beberapa langkah surut.
Namun dengan cepat keduanya meloncat kembali untuk menyerang dengan kemampuan yang semakin tinggi.
Kedua anak muda itu adalah anak muda yang dilandasi dengan bekal ilmu yang tinggi, pengalaman yang luas dan hati yang membara. Karena itu, maka perkelahian di antara mereka adalah perkelahian yang mendebarkan setiap jantung orang-orang yang menyaksikannya.
Ki Rangga Dipayuda bagaikan membeku di tempatnya. Ia melihat kedua orang anak muda yang dikenalnya dengan baik itu sedang berperang tanding. Mereka nampaknya ingin menyelesaikan perang tanding itu sampai tuntas.
Ketika keduanya menjadi basah oleh keringat, maka serangan-serangan mereka mulai menembus pertahanan lawan. Tangan Risang yang sempat menyusup dengan cepat sebelum Kasadha sempat menangkis dan mengelak, telah mengenai dada Kasadha sehingga Kasadha terdorong surut. Dadanya serasa terhimpit oleh sebongkah batu padas. Namun ketika Risang mencoba memburunya, maka tiba-tiba saja Kasadha melenting sambil berputar. Kakinya terayun mendatar menghantam kening Risang.
Risang terpelanting jatuh. Tetapi sekali ia berputar di tanah, kemudian iapun telah melenting berdiri. Demikian Kasadha mendekat sambil mengayunkan tangannya, maka Risang dengan cepat merendah, berjongkok pada satu lututnya. Namun tangannya dengan cepat menghantam perut Kasadha.
Kasadha mengaduh tertahan. Ketika ia terbungkuk sambil menahan perutnya yang serasa akan pecah, kaki Risang telah menyambar dahinya.
Kasadhalah yang kemudian terlempar jatuh. Tetapi dengan cepat Kasadhapun telah bangkit berdiri. Risang yang bergerak dengan cepat, telah menahan diri, karena Kasadha telah siap membentur serangannya.
Sejenak keduanya saling berpandangan. Namun kemudian perkelahianpun telah menyala lagi. Perlahan-lahan tetapi pasti keduanya meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis. Bahkan kemudian mereka telah menembus batas kekuatan ilmu mereka selapis demi selapis pula.
Keduanya berloncatan dengan cepatnya, sambar-menyambar seperti dua ekor burung rajawali yang sedang berlaga. Patuk mematuk sementara tangan merekapun menerkam dengan kuku-kuku yang mengembang.
Demikian sengit pertempuran itu, sehingga pepohonan yang ada di halaman itu terguncang. Daun-daun yang kuning runtuh berguguran di tanah. Ranting-ranting yang kering berpatahan dan lepas dari dahan.
Akhirnya keduanya telah memasuki tataran puncak ilmu mereka. Ketika Kasadha meloncat dengan serangan kaki menyamping, Risang dengan tangkasnya meloncat mengelak. Dengan garangnya Kasadha memburunya. Dengan satu putaran, kaki kanannya menyambar ke arah kening Risang. Namun Risang sempat meloncat surut, sehingga kakinya tidak menyentuh lawannya sama sekali. Tetapi kakinya itu telah menghantam sebatang pohon sawo kecik yang tumbuh di halaman itu.
Demikian dahsyatnya kemampuan ilmu Kasadha, maka pohon sawo itupun telah bergoyang seakan-akan akarnya yang menghunjam ke dalam tanah diguncang oleh ular raksasa menyangga bumi.
Namun ketegangan itupun kemudian menjadi semakin memuncak ketika beberapa orang yang berilmu tinggi mulai melihat perubahan keseimbangan. Meskipun orang kebanyakan dan bahkan para pengawal belum mengetahuinya, tetapi mulai membayang, bahwa tenaga Kasadha sudah sampai ke batas, sehingga yang terjadi kemudian memang mendebarkan. Tenaga Kasadha mulai menyusut sedikit demi sedikit, sehingga memang tidak segera dapat dilihat.
Ki Ajar Paguhan menjadi sangat cemas melihat keadaan muridnya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, Jika ia melibatkan diri, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit dan bahkan tidak akan dapat di kekang lagi.
Karena itu, maka Ki Ajar Paguhan tidak berbuat sesuatu.
Sementara itu, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar memang menjadi sangat tegang. Apapun yang terjadi, maka mereka tidak akan dapat mencampuri persoalan antara Kasadha dan Risang yang telah bersepakat untuk berperang tanding.
Nyi Wiradana menarik nafas panjang. Ia semakin berpengharapan bahwa dengan ilmunya yang sangat tinggi, Risang akan dapat mengalahkan adiknya.
Namun dalam pada itu, sebelum yang tidak diharapkan terjadi, maka kembali seisi halaman itu terkejut. Beberapa orang pengawal telah memasuki halaman banjar itu sambil membawa dua orang laki-laki dan perempuan.
Sebelum semuanya sadar, siapakah yang datang itu, maka perempuan itupun telah berlari memasuki arena sambil berteriak-teriak bagaikan kehilangan kesadarannya, "Jadi inikah yang terjadi?"
Kasadha dan Risang yang tengah berkelahi dalam tataran puncaknya itupun berloncatan surut. Di hadapan mereka berdiri Riris yang datang ke Tanah Perdikan itu diantar oleh Jangkung.
"Kau Riris?" suara Ki Rangga Dipayuda menjadi serak.
"Aku sudah mendengar dari para pengawal yang berada di regol halaman tentang apa yang terjadi disini. Nah ternyata disini ada ayah, ada Nyi Wiradana ada orang-orang tua. Bagus. Berkelahilah kalian pahlawan-pahlawan. Siapa yang dapat membunuh lawannya akan mendapatkan hadiah tertinggi, seorang perempuan. Ayo, lakukanlah, jangan hanya dua orang, marilah, siapa yang akan ikut beramai-ramai memperebutkan aku" Marilah paman Sambi Wulung, paman Jati Wulung dan siapa saja. Siapa yang dapat membunuh lawan-lawannya akan menjadi suamiku. Inikah nilai seorang perempuan sebagai satu pribadi ayah" Tidak lebih dari seekor betina yang diperebutkan oleh jantan yang berlaga sampai mati tanpa mendapat kesempatan untuk berbicara" Sebenarnya aku datang bersama Kakang Jangkung untuk menjelaskan sikapku, jika aku diorangkan sebagaimana kalian, maka aku akan berhak untuk berbicara. Kami datang tanpa menghiraukan bahaya yang memang hampir saja mencekik kami. Tetapi para pengawal masih mau mendengar keterangan kami dan membiarkan kami datang. Tetapi ternyata disini, aku tidak lagi diorangkan. Nah, sekarang berkelahilah. Siapa saja. Kepada yang menang aku akan mengabdi dengan sepenuh hati. Orang tua, anak-anak, bebahu Tanah Perdikan, kakek-kakek, ayo, siapa saja. Aku tidak akan mengelak. Bukankah begitu ayah" Kakang Kasadha" Kakang Risang" Nyi Wiradana?"
Halaman rumah Kepala Tanah Perdikan itupun dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Sedangkan Riris berdiri di tengah-tengah arena perkelahian.
Sementara itu Ririspun melangkah menepi sambil berteriak, "Ayo, kenapa kalian berhenti?"
"Riris," Ki Rangga Dipayuda melangkah mendekati anak gadisnya sambil berdesis, "Aku minta maaf. Aku telah hanyut dalam permainan perasaan yang tidak terkendali."
Riris memandang ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dengan suara bergetar ia bertanya, "Ayah. Kenapa mereka tidak bertanya kepadaku. Mengapa mereka sama sekali tidak menghargai aku sebagai satu pribadi" Bukankah ayah mengatakan, bahwa aku mempunyai hak untuk memilih yang terbaik menurut pendapatku."
"Ya, Riris. Kau berhak untuk memilih."
"Tetapi kenapa hal ini terjadi" Apakah hak itu sama sekali sudah tidak dihargai lagi?"
"Bukan begitu, Riris. persoalannya telah menyangkut hubungan antara Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan."
"Hal itu terjadi karena mereka menganggap aku tidak lebih dari seonggok daging yang tidak berhak menentukan sikapnya."
"Bukan maksud kami Riris."
Dalam pada itu, jantung Risang terasa berdentang semakin keras. Kehadiran Riris serta ungkapan perasaannya yang menghentak-hentak itu terasa sebagai satu kekuatan yang dengan paksa telah membuka pintu hatinya yang tertutup. Kekuatan yang tidak dapat dilawannya telah menghantam dan memecahkan pintu yang tertutup itu.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba telah mencengkamnya, "Apakah kau pernah bertanya kepada Riris, apakah ia mencintaimu" Bagaimana mungkin kau mempertaruhkan Tanah Perdikanmu, sedangkan Riris tidak mencintaimu."
Gejolak di dalam dada Risang itu telah menghempaskannya pada satu kesadaran, bahwa apa yang dilakukannya itu tidak lebih dari satu kedunguan dari seseorang yang sangat mementingkan diri sendiri.
Tiba-tiba saja tubuh Risang telah bergetar. Tiba-tiba saja Risang telah beranjak dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa Risang naik tangga dan melintasi pendapa. Terdengar pintu pringgitan berderak keras.
Nyi Wiradanalah yang kemudian menyusulnya masuk ke ruang dalam rumahnya.
Risang masih berdiri tegak di tengah-tengah ruang dalam rumahnya. Demikian ibunya melangkah masuk sambil menutup pintu, maka Risangpun segera berlutut di hadapannya sambil berkata dengan suara yang tersendat-sendat, "Ibu. Aku mohon maaf."
Ibunya menariknya untuk berdiri. Sambil memeluk anaknya Nyi Wiradana berkata, "Mudah-mudahan segala sesuatunya belum terlambat Risang."
Malam itu Kasadha dan Risang memang dapat menyelesaikan persoalan mereka dengan tuntas. Tidak di arena perang tanding, tetapi di pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Keduanya telah menemukan kembali diri mereka masing-masing. Riris yang duduk di antara mereka di pendapa, menangis tersedu-sedu. Namun ia sudah menuang gumpalan-gumpalan yang menyumbat dadanya.
Ki Rangga Dipayudalah yang kemudian mengajak Risang untuk menghadap Ki Tumenggung Jayayuda bersama Kasadha. Dengan penuh harapan Ki Rangga Dipayuda berkata, "Perang tidak usah terjadi di Tanah Perdikan ini."
Di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan, Nyi Wiradana, Warsi dan sepupunya, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar duduk di pringgitan juga dengan penuh harap.
Di perkemahan, Risang telah menghadap Ki Tumenggung Jayayuda bersama Ki Rangga Dipayuda. Dengan jiwa besar, Ki Tumenggung dapat menerima sikap Kepala Tanah Perdikan yang sudah berubah.
Namun Ki Tumenggung Jayayuda itupun kemudian berkata kepada Ki Rangga Dipayuda, "Ki Rangga, baru saja aku menerima utusan dari Pajang. Kangjeng Adipati memerintahkan agar persoalan Tanah Perdikan diselesaikan lebih cepat. Kangjeng Adipati telah mendapat perintah dari Panembahan Senapati untuk bersiap, sementara pasukan dari Mataram telah bergerak. Perang dengan Madiun tidak dapat dielakkan lagi. Tetapi Kangjeng Adipati tidak memerintahkan kita untuk terus ke Madiun. Tetapi kita harus kembali ke Pajang dan berangkat bersama-sama dalam satu kesatuan pasukan yang besar untuk mengimbangi jumlah prajurit Madiun yang tidak terhitung."
"Menurut pendapatku, Ki Tumenggung, persoalan dengan Tanah Perdikan Sembojan memang sudah selesai. Tidak ada seorang korbanpun yang jatuh."
Ki Jayayuda mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata, "Aku akan tetap menjatuhkan hukuman kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Bahwa Sembojan harus ikut memikul tanggung jawab terhadap perang di Madiun. Mataram tentu memerlukan pasukan pengawal dari Tanah Perdikan ini."
Risang mengangguk dalam-dalam sambil berkata, "Kami akan menyiapkannya Ki Tumenggung."
"Besok, pasukan Pajang akan segera kembali. Aku minta Kepala Tanah Perdikan Sembojan ikut bersama kami. Bukan sebagai tawanan, tetapi condong kepada kemungkinan untuk mengerahkan kekuatan menghadapi Madiun. Itu perlu dibicarakan lebih jauh serta perincian rencana yang lebih matang agar justru tidak terjadi salah paham."
Demikianlah, ketika matahari terbit, Tanah Perdikan Sembojan rasa-rasanya telah terbangun dalam suasana yang baru. Tidak ada masalah yang mengganjal. Warsi merasa canggung, bahwa ia akan mendapat seorang menantu, anak seorang Rangga. Sementara sepupunya dengan ikhlas melepaskan harapan untuk bermenantukan seorang Lurah Prajurit.
Dalam pada itu, Risang sendiri telah ikut bersama pasukan Pajang bersama Kasadha sebagai dua orang kakak beradik.
Di Pajang, di sela-sela pembicaraan yang bersungguh-sungguh tentang kesediaan pasukan pengawal Tanah Perdikan untuk ikut serta pergi ke Madiun, maka Risang sempat singgah di rumah Ki Tumenggung Jayayuda.
Sekali lagi, Risang terkejut, justru pada saat ia memasuki pintu gerbang rumah Ki Tumenggung, seekor kuda hampir saja melanggarnya. Seorang gadis di punggung kuda itu berusaha untuk menguasai kudanya yang meringkik sambil melonjak. Namun perlahan-lahan kuda itu dapat ditenangkannya kembali.
Tetapi gadis itu tidak menghentak kudanya kembali. Bahkan gadis itu kemudian meloncat turun sambil berkata Maaf Ki Sanak. Aku telah mengejutkan Ki Sanak lagi.
"Ah, tidak apa-apa. Bukankah aku tidak apa-apa?"
"Ki Sanak terkejut?" bertanya gadis itu.
"Sedikit," jawab Risang.
"Marilah, duduklah. Biarlah aku mengambil minum untuk Ki Sanak, untuk mengendapkan debar di jantung Ki Sanak."
Risang termangu-mangu sejenak. Ia memandang saja gadis yang dengan cekatan mengikatkan kendali kudanya pada patok-patok di halaman. Kemudian berloncatan naik tangga sambil sekali lagi mempersilahkan. Naiklah. Ayah ada di rumah.
Risang memandang gadis itu melintasi pendapa dan pringgitan, kemudian hilang di balik pintu.
Seorang juru taman yang tua datang mendekatinya sambil berdesis, "Anak itu nakalnya bukan main."
"Bukankah gadis itu anak Ki Tumenggung?" bertanya Risang.
"Ya," jawab juru taman itu.
"Siapa namanya?" bertanya Risang.
"Miat." "Miat" Siapa nama lengkapnya?"
"Nama lengkapnya, Lintang Sumirat. Ayah dan ibunya memanggilnya Miat."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat bertanya lebih panjang lagi. Ketika pintu pringgitan terbuka, maka Ki Tumenggung telah melangkah keluar dari ruang dalam.
Hari-hari berikutnya, Tanah Perdikan Sembojan menjadi sibuk dengan persiapan perang. Mereka akan ikut terlibat dalam perang antara Mataram melawan Madiun.
Nyi Wiradana yang rambutnya telah mulai ubanan serta ibu Kasadha yang masih berada di Tanah Perdikan ikut sibuk bersama Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan Rembaka menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan persiapan perang. Bukan hanya kebutuhan kewadagan, tetapi juga kesiapan jiwani para pengawal.
Namun dalam pada itu, jika Risang melihat ibunya melarikan kudanya di bulak-bulak panjang, maka Risang selalu teringat kepada anak gadis Ki Tumenggung. Lintang Sumirat.
TAMAT Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
The Feels Fat 1 Dewa Arak 29 Ilmu Halimun Jaka Lola 9
^