Api Di Bukit Menoreh 23
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 23
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya"Baikah jika itu yang kau kehendaki, Nyi."
Dengan demikian, maka Nyi Dwani itupun kemudian telah berada didapur pula meskipun tidak dapat ikut membantu kesibukan beberapa orang perempuan yang menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit dan pengawal yang berada di padukuhan induk.
Namun malam itu, di beberapa padukuhan di dekat medan pertempuran telah terjadi kesibukan yang serupa. Mereka mempersiapkan makan dan minum para prajurit dan pengawal yang esok akan turun ke medan. Apalagi setelah para petugas sandi menyatakan, bahwa pasukan Ki Saba'Lintang akan menyerang esok pagi. Baik yang berada di medan sebelah Barat maupun yang berada di Utara.
Laporan itu telah sampai pula kepada Ki Gede di padukuhan induk. Karena itu, maka Ki Gedepun telah memerintahkan kepada Agung Sedayu dan Prastawa untuk bersiap rhenghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, pasukan cadangan yang berada di padukuhan induk serta para pengawal yang masih bertugas di padukuhan-padukuhanpun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sejumlah kudapun telah siap di padukuhan induk. Jika diperlukan, maka pasukan cadangan itu dapat bergerak dengan cepat ke tempat-tempat yang memerlukan. .
Yang bersiap di padukuhan induk sebagai pasukan cadangan, adalah pasukan Ki Sura Panggah yang telah memecah kesatuan lawannya sehingga tidak berdaya lagi. Para petugas sandipun sudah memastikan bahwa disisi Selatan, tidak akan terjadi serangan lagi, sehingga jumlah pasukan yang bertugas disisi Selatan dapat disusut dan ditarik ke padukuhan induk.
Demikianlah, para pemimpin dari kedua pasukan yang siap untuk bertempur itu nampak menjadi sibuk. Mereka hanya mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk menyimpan tenaga mereka sebaik-baiknya untuk menghadapi pertempuran yang akan berkobar esok pagi.
Glagah Putih dan Sabungsari yang telah berada di dalam perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itupun segera melaporkan diri, bahwa mereka telah bersiap untuk ikut dalam pertempuran esok.
" Apakah keadaan kalian sudah pulih ?" bertanya Agung Sedayu kepada Glagah Putih dan Sabungsari.
" Sudah jawab keduanya hampir berbareng.
" Baiklah. Jika demikian, sekarang pergunakan waktu sedikit yang tersisa untuk beristirahat."
" Terima kasih kakang " jawab Glagah Putih -" tetapi bagaimana dengan kakang sendiri ?"
" Aku sudah cukup beristirahat tadi"jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih dan Sabungsari kemudian telah membaringkan' dirinya diatas anyaman daunkelapa disebuah barak yang memanjang. Beberapa orang pengawal masih tidur dengan nyenyaknya. Tetapi ada juga diantara mereka yang nampak gelisah. Agaknya pengawal itu dibayangi oleh mimpi buruk tentang pertempuran yang bakal terjadi esok pagi. Pertempuran yang akan berlangsung dengan keras.
Glagah Putih dan Sabungsari hanya sempat memejamkan matanya sekejap. Beberapa saat kemudian, mereka telah terbangun. Para prajurit dan pengawalpun telah terbangun pula Mereka sudah mulai bersiap-siap. Ada diantara mereka yang pergi kesun-gai. Tetapi ada diantara mereka yang merasa bahwa mereka tidak perlu mandi lebih dahulu. Sedangkan yang lain telah menyiapkan landa merang untuk mandi keramas. Seakan-akan mereka akan pergi ke tempat yang dikeramatkan.
Menjelang fajar, semua orangh suda siap. Mereka sudah makan dan sudah pula minum-minuman hangat.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah berada didalam kelompok mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Agung Sedayu masih sempat memberikan pesan-pesan kepada para pemimpin kelompok, apa yang sebaiknya mereka lakukan menghadapi lawan yang agaknya menjadi semakin banyak dan semakin kuat
" Agaknya ada orang-orang baru didalam pasukan mereka" berkata Agung Sedayu.
Tetapi didalam pasukan Agung Sedayu itupun terdapat, orang-orang baru pula. Pasukan cadangan yang ada di padukuhan induk sebagian telah diserahkan kepada Agung Sedayu dan sebagian lagi kepada Prastawa. Sementara itu, Ki Sura Panggah telah mendapat tugas untuk menggantikan pasukan cadangan itu, setelah pasukannya berhasil menghancurkan pasukan lawan.
Ketika langit mulai diterangi cahaya fajar, maka pasukan yang dipimpin Agung Sedayu itupun telah bersiap sepenuhnya. Laporan terakhir dari petugas sandi menyatakan, bahwa pasukan lawanpun telah siap untuk bergerak pula.
Dalam pada itu, seperti yang pernah dilakukan sebc}amnya. Prastawa ternyata telah memasang segala macam tanda kebesaran. Rontek, umbul-umbul kelebat dengan tunggul-tunggul. Prastawa-pun mempergunakan bende sebagai isyarat bagi pasukannya yang telah disusunnya dalam gelar yang utuh. Gelar yang ditrapkan bagi pasukannya telah berubah. Pasukan Tanah Perdikan itu telah menggelar pasukannya dalam gelar Garuda Nglayang.
" Biarlah seandainya lawan mempergunakan gelar yang sama. Tetapi mereka tidak mampu membuat gelar yang utuh karena mereka terdiri dari kekuatan yang bercampur baur " berkala Prastawa kepada para pemimpin kelompok," tetapi kalianpun harus bersiap membuat gelar Jurang Grawah didalam gelar Gaiuda Nglayang itu jika diperlukan."
Demikianlah, maka pasukan Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Prastawa itu mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Prastawa telah memerintahkan seseorang bersiap memukul bende yang akan dipergunakan sebagai isyarat kepada seluruh pasukannya yang menebar dalam gelar yang lebar.
Ketika semuanya sudah siap, maka Prastawapun berdiri di kepala gelarnya sambil menunggu laporan petugas sandi yang mengamati gerak pasukan lawan.
Ketika langit menjadi kuning, maka petugas sandi itupun telah datang dan memberikan laporan, bahwa pasukan lawan telah siap untuk bergerak.
Prastawapun segera memberi isyarat kepada penghubungnya yang telah siap dengan bende di tangannya.
Sejenak kemudian, maka telah terdengar bende itu meraung-raung untuk yang pertama kalinya. Semua orang dalam pasukan yang dipimpin Prastawa itupun telah memeriksa senjata mereka, kelengkapan mereka serta senjata-senjata cadangan mereka. Pisau belati atau keling atau paser-paser kecil.
Beberapa saat kemudian, maka bende itupun menggelepar untuk yang kedua kalinya. Suaranya melenting tinggi, menggetarkan udara diatas medan.
Para prajurit dan pengawalpun segera bersiap untuk bergerak. Rontek, umbul-umbul, kelebat dan tunggulpuri telah terangkai tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian, maka bende itupun berbunyi untuk ketiga kalinya.
Demikian.bende itu berhenti, maka pasukan yang dipimpin oleh Prastawa itu mulai bergerak menyongsong pasukan lawan yang sudah bergerak maju pula. Ki Sirna Sikara telah memerintahkan pasukannya untuk bergerak dalam gelar yang tidak sempurna.
Tetapi Ki Sirna Sikara memang menganggap gelar itu tidak harus utuh sebagaimana pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Bukan berarti bahwa Ki Sirna Sikara tidak mengenal gelar yang utuh. Ki Sirna Sikara mengerti benar unsur-unsur gelar yang utuh. Ki Sirna Sikara mengerti benar unsur-unsur gelar yang sering dipergunakan oleh pasukan segelar-sepapan. Tetapi menurut pendapat Ki Sirna Sikara, gelar itu tidak perlu utuh dan sempurna. Asal saja pasukannya melebar dibawah pimpinan para pemimpin kelompok yang bertahggung-jawab, maka kemampuan pasukannya tidak, akan kalah dari pasukan yang disusun dalam gelar yang utuh.
Demikianlah, kedua pasukan yang besar itupun telah bergerak maju. Mereka melangkah semakin lama semakin cepat, sementara langitpun menjadi semakin terang.
Kedua pasukan itu tidak menghiraukan lagi, apakah kaki mereka menginjak-injak tanah persawahan, atau pategalan atau padang perdu yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul yang berduri.
Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan terbitnya matahari, kedua pasukan itupun telah saling berhadapan. Dari kedua belah pihak terdengar teriakan yang bagaikan mengguncang langit. Dengan hentakan tenaga, kekuatan dan keberanian, mereka berlari menyongsong lawan. Senjata-senjatapun mulai merunduk.
Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berada dalam gelar yang lebih mapan, ternyata mempunyai kesempatan yang lebih baik. Beberapa kelompok diantara mereka yang bersenjata busur dan anak panah, telah mempergunakan senjatanya itu. Mereka telah dilatih untuk menyerang dengan busur dan anak panah sambil berlari. Bahkan dengan naik kuda sekalipun.
Anak panah yang meluncur itu memang mengejutkan. Tetapi orang-orang dalam pasukan Ki Sima Sikarapun dengan tangkas berusaha melindungi diri mereka. Yang berperisai segera.mengangkat perisai mereka. Yang bersenjata pedang, tombak, bindi dan jenis senjata yang lain berusaha menangkis anak panah yang meluncur ke arah mereka dengan memutar senjata mereka.
Tetapi ada beberapa orang diantara mereka yang telah terjatuh karena anak panah yang meluncur itu mengenai tubuh mereka.
Kawan-kawannya yang berlari berusaha menghindar agar. mereka tidak berantuk tubuh yang terguling. Tetapi ada pula yang berjatuhan saling menimpa, Namun dengan tangkasnya mereka telah meloncat bangkit dan berlari menyusul kawan-kawan mereka, kecuali yang tubuhnya tertembus anak panah.
Namun demikian kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah melempar lembing-lembing mereka. Mereka memang membawa lembing untuk dilemparkan menjelang terjadi benturan antara kedua pasukan itu. Orang-orang dalam pasukan Ki Sima Sikara itu mengumpat kasar. Ujung lembing yang meluncur bagaikan kejar-mengejar itu telah menghentikan beberapa orang diantara mereka pula.
Dengan, demikian, sebelum benturan terjadi, maka pasukan Ki Sima Sikara sudah kehilangan beberapa orang diantara mereka. Beberapa orang telah terluka dan bahkan kemudian telah terinjak dan tertindih oleh kawan-kawannya yang berlari dibelakangnya, namun bahkan ada diantara mereka yang telah kehilangan nyawanya sebelum sempat mendengar dentang senjata beradu.
Sejenak kemudian, matahari yang baru bangkit itu harus menyaksikan benturan antara dua kekuatan yang telah siap untuk bertempur habis-habisan.
Dalam pada itu, para pengawal Tanah Perdikan yang membawa rontek, umbul-umbul dan kelebet telah menancapkan tiang-tiangnya di tanah sementara tangan-tangan merekapun segera menggenggam senjata-senjata mereka.
Dengan gelar yang bulat, pasukan Tanah Perdikan telah menempur pasukan lawan yang menyerang sambil menghentak-hentak dan berteriak-teriak nyaring. Bahkan umpatan-umpatan kasar dan kata-kata yang kotor meluncur dari mulut mereka.
Namun ternyata ada pula diantara mereka yang berada di pasukan Ki Sima Sikara itu yang merasa tidak senang dengan umpatan-umpatan kotor itu.
Dengan tenaga yang masih segar kedua pasukan itu saling mendesak. Sayap-sayap gelar pasukan Tanah Perdikan seakan-akan menampar sayap-sayap pasukan lawan yang kurang terjaga susunannya.
Tetapi beberapa saat kemudian, pasukan yang hiruk-pikuk itu telah melanda seperti arus banjir. Sebagian dari mereka sama sekali tidak menghiraukan kawan-kawan mereka sendiri. Dengan mengandalkan kemampuan mereka seorang-seorang mereka berusaha untuk mengoyak gelar pasukan Tanah Perdikan.
Tetapi para pengawal dan para prajunt yang ada didalam pasukan Tanah Perdikanpun cukup berpengalaman melawan pasukan yang bertempur dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda. Yang bertempur dalam perpaduan yang rapi, yang licin seperti belut, yang kasar sebagaimana segerombolan badak yang mengamuk atau yang bergejolak seperti prahara.
Karena itu, maka para pengawal dan prajurit dalam pasukan Tanah Perdikan itu tidak terkejut lagi.
Beberapa orang pengawal yang belum banyak mempunyai pengalaman, mula-mula memang menjadi bingung. Tetapi latihan-latihan yang berat telah membuat mereka cepat menyesuaikan diri.
Kelompok-kelompok yang pasukannya telah dihancurkan di sisi Selatan dan bergabung dalam pasukan Ki Sima Sikara, bertempur dengan dendam yang menyala di hati mereka. Mereka ingin membalas kekalahan mereka dengan menghancur lumatkan pasukan Tanah Perdikan yang berada disisi Utara.
Namun disisi Utarapun mereka menghadapi pengawal dan prajurit yang tangguh yang justru bertempur dalam,satu kesatuan yang rapat
Sementara ini, disisi Barat, di perbukitan, pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu telah berbenturan dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Namun Ki Saba Lintang sendiri tidak langsung berada diparuh gelar pasukannya. Yang bermimpi untuk berhadapan dan kemudian membunuh Agung Sedayu adalah Ki Darpatenaya.
Setelah membunuh Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Darpatenaya berrdat untuk membunuh pula Empu Wisanata yang dianggapnya telah berkhianat
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi kemudian benar-benar merupakan pertempuran yang keras. Pasukan Ki Saba Lintang yang sudah benar-benar dipersiapkan itu dengan kekuatan yang semakin besar telah berusaha langsung mendesak gelar pasukan Tanah Perdikan.
Tetapi pasukan Tanah Perdikanpun telah bersiap sepenuhnya. Agung Sedayu telah memanfaatkan hari-harinya untuk menyusun pasukan yang mantap untuk menghadapi pasukan Ki Saba Lintang.
Pasukan cadangan yang diserahkan kepada Ki Lurah itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tenaga yang segar itu telah ditebarkan disayap gelar pasukan Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka sayap-sayap gelar pasukan Tanah Perdikan itu akan menggoncang sayap-sayap pasukan lawan. Tenaga-tenaga yang masih segar itu akan menghentak-hentak dan mendesak pasukan lawan yang sudah lebih lama berada di medan yang melelahkah..
Tetapi ternyata di dalam pasukan Ki Saba Lintangpun terdapat orang-orang baru yang masih segar sebagaimana pasukan cadangan Tanah Perdikan yang diturunkan di arena, Sementara itu, mataharipun semakin lama menjadi semakin tinggi. Panasnya terasa menyengat kulit yang basah oleh keringat.
Namun dalam pertempuran yang sengit itu, panas matahari tidak lagi mereka hiraukan. Perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada.lawan-lawan mereka. Mereka tidak mau kehilangan nyawa mereka, meskipun kemungkinan itu akan mudah sekali terjadi di peperangan yang keras.
Sebagaimana diperintahkan, maka pasukan Ki Saba Lintang itupun berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat mendesak dan apabila mungkin memecahkan pertanahan Tanah Perdikan. Orang-orang berilmu tinggi yang ada didalam pasukan itu telah dikerahkan ke medan untuk menghancurkan lawan sebanyak-banyaknya tanpa kendali.
Tetapi para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan telah terlatih untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Sebelum ' mereka dapat bantuan dari orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula, maka mereka harus melawan orang berilmu tinggi itu dalam kelompok-kelompok. Mereka dibekali senjata-senjata lontar untuk mengganggu pemusatan nalar budi lawan-lawan mereka. Pisau-pisau kecil, paser-paser kecil dan bahkan bandil dan apa saja yang dapat mereka lemparkan.
Karena itu, maka orang-orang berilmu tinggi yang tergabung dalam pasukan Ki Saba Lintangpun harus menghadapi kenyataan itu. Orang-orang yang dianggapnya lemah, tetapi cerdik mengerubunginya dan menyerangnya dari segala arah. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada orang berilmu tinggi itu untuk mengetrapkan puncak ilmunya, karena lawan yang mengerubunginya ini menyerangnya dari segala arah, berurutan seperti arus gelombang di lautan Bahkan kadang-kadang dua atau tiga orang menyerang bersamaan. Sedangkan dalam keadaan yang sulit, mereka telah melemparkan senjata-senjata lontar mereka dari segala penjuru.
Meskipun demikian, orang-orang berilmu tinggi benar-benar sangat menyulitkan para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Tanah Perdikan. Bahkan tidak jarang beberapa orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang dipersiapkan untuk melawan orang-orang berilmu tinggi itu harus terlempar dari medan dengan luka-luka yang parah.
Sementara itu, di paruh gelar pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu, Ki Darpatenaya berusaha untuk dapat langsung bertemu dengan Agung Sedayu. Ia ingin segera menyelesaikan Ki Lurah yangdianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Semakin cepat ia menyelesaikan Ki Lurah Agung Sedayu, maka namanyapun tentu akan semakin dihormati. Dalam kepemimpinan yang bakal diangkat pada perguruan Kedung Jati. ia akan dapat dengan mudah menyingkirkan Ki Saba Lintang.
" Buat apa harus menghormati Saba Lintang yang tidak memiliki kelebihan apapun juga itu. " Ki Darpatenaya itu tersenyum.
Di medan yang sengit itu Ki Darpatenaya tidak terlalu banyak terlibat. Tetapi jika seseorang menyerangnya, mak orang itu tentu akan terlempar jatuh dan tidak akan dapat bertempur lagi. Orang itu akan terluka parah atau bahkan terbunuh sekeika.
Bahkan Ki Darpatenaya masih sempat bertanya-tanya di sepanjang medan yang dilaluinya"Dimanakah orang yang bernama Agung Sedayu" Lurah prajurit dari pasukan Khusus yang dibangga-banggakan itu" "
Tetapi suaranya yang keras dan tajam itu, menggelepar diudara tanpa mendapat jawaban. .
Namun beberapa saat kemudian, ketika benturan-benturan diantara kedua pasukan itu terjadi semakin keras, Ki Darpatenaya mulai kehilangan kesabaran. Dengan lantang Ki Darpatenaya itu berteriak nyaring " Ki Lurah Agung Sedayu. Aku menunggu disini. Kita akan bertempur sampai salah seorang diantara kita terbunuh."
Ternyata Ki Darpatenaya tidak saja asal berteriak. Suaranya tidak saja menggetarkan udara diatas medan itu. Tetapi ternyata suara Ki Darpatenaya itu bagaikan menyusup disetiap dada dan mengguncang seluruh rongganya.
Getar itu terasa pula oleh Agung Sedayu. Ia merasakan, seorang yang berilmu tinggi ada di medan. Justru telah berusaha mengguncangkan ketahanan pasukan Tanah Perdikan.
Meskipun Agung Sedayu menyadari, bahwa ada beberapa orang berilmu tinggi di medan itu, tetapi yang seorang ini perlu mendapat perhatiannya secara khusus.
Sementara itu, seorang pengawal telah datang kepada Agung Sedayu untuk memberikan laporan seseorang yang berteriak-teriak mencarinya, Bahkan-teriaknya telah menimbulkan kegelisahan para para pengawal Tanah Perdikan.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " aku akan menemuinya. "
" Marilah, Ki Lurah" berkata pengawal itu.
Agung Sedayupun kemudian mengikuti pengawal itu mencari orang yang telah berteirak-teriak memanggil nama Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah berdiri di. hadapan orang yang bernama Darpatenaya itu.
" Kaukah yang berteriak-teriak memanggil namaku. Ki Sanak."
" O, jadi kaukah yang bernama Agung Sedayu'.' "
" Ya Akulah yang bernama Agung Sedayu itu. "
" Bagus. Ternyata kau benar-benar seorang Senapati yang bertanggung-jawab. "
" Kau siapa Ki Sanak " " bertanya Agung Sedayu.
" Namaku Darpatenaya. Kau pernah mendengar " "
Jilid 318 AGUNG SEDAYU menggeleng sambil menjawab " Belum Ki sanak. Baru sekarang aku mendengar namamu." "
" Ternyata namamu lebih semarak dari namaku, Ki Lurah. Aku sudah mendengar nama kebanggaan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan ini. Juga nama kebanggan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. "
"Terima-kasih atas pujianmu itu, Ki Sanak. "
" Tetapi sayang, bahwa aku datang untuk mematahkan nama besarmu. Dengan demikian, maka namakupun akan segera menjadi lebih dari namamu sekarang. "
" Kau bertempur bagi kepentingan Ki Saba Lintang " " bertanya Agung Sedayu.
Ki Darpatenaya tertawa. Katanya " Begitulah. Kau akan mempergunakan kesempatan untuk memecah-belah pasukan kami " bertanya seperti itu " "
" Kau tentu akan mengatakan, kenapa aku bersedia bertempur untuk Ki Saba Lintang"
" Kau aneh, Ki Sanak. Tetapi baiklah aku berusaha mengerti, bahwa Ki Saba Lintang tidak penting bagimu. Perjuangan yang kau lakukan, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kepemimpinan Ki Saba Lintang."
" Nah, ternyata kau cukup cerdas Ki Lurah. Kau memang pantas untuk menjadi Lurah prajurit. Dahulu, semuda kau, aku sudah menjadi Rangga karena kemampuanku melampaui kemampuan setiap Lurah prajurit. Sebenarnya setiap orang mengakui bahwa kemampuanku berada diatas segala Senapati dan Panglima. Tetapi aku masih belum mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun pada suatu saat aku tentu akan menjadi seorang pemimpin yang besar, yang dapat disejajarkan dengan Panembahan Senapati. "
"Mungin saja, Ki Sanak. "
" Bukan hanya satu kemungkinan, bahkan sekarangpun jika Panembahan Senapati bersedia, aku siap untuk berperang tanding. Jika Mataram menjadi taruhan, maka aku tentu akan merebut singgasana. Aku akan menjadi Maharaja di Mataram. "
" Besok sajalah bermimpi jika kau masih sempat. Sekarang, kau tidak dapat mengingkari kenyatan, bahwa kau berada di bawah perintah Ki Saba Lintang. " .
"Besok aku akan memilin lehernya. "
" Kau salah. Jika kau hari ini menang, maka esok tubuhmu sudah terayun ditiang gantungan. Kau kira Ki Saba Lintang seorang yang dungu ?"
Ki Darpatenaya tertawa berkepanjangan. Suaranya menggelegar mengguncang-guncang seluruh medan.
" Sudah aku kira, bahwa yang namanya Agung Sedayu, Lurah prajurit dari pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan adalah seorang yang ahli mengadu domba" berkata Ki Darpatenaya "tetapi aku bukan jenis orang yang mudah terbakar perasaanku. Aku masih dapat mempergunakan penalaranku dengan baik."
"Aku tidak berniat mengurangi harga dirimu karena kau sekarang, menurut kenyataan yang aku lihat, berada di bahwa perintah Ki Saba Lintang. Tetapi baiklah. Jika kau merasa seorang yang mumpuni, maka kita akan membuktikannya."
" Bersiaplah Ki Lurah Agung Sedayu. Aku ingin tahu, apakah kemampuanmu juga sebesar namamu. Atau namamu melambung karena prajurit-prajuritmu yang pilih tanding. "
"Mungkin kedua-duanya, Ki Sanak. "
" Persetan. Seandainya demikian, maka sekarang kau akan bertemu dengan orang yang akan menghentikan segala-galanya bagimu. Pasukan khusus di Tanah Perdikan ini akan berganti pimpinan. "
" Baiklah. Aku sudah siap menghadapi semua kemungkinan."
Ki Darpatenayapun melangkah mendekat, sementara Agung Sedayupun sudah siap untuk menyambutnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Darpatenaya itupun telah mulai menyerang meskipun masih belum bersunguh-sungguh. Ki Darpatenaya baru sekedar memancing lawannya.
Agung Sedayu bergeser selangkah. Namun ia harus berloncatan lagi ketika Ki Darpatenaya memburunya
Demikianlah, keduanyapun mulai terlibat dalam pertempuran. Kedua belah pihak mulai dengan menjajagi kemampuan lawannya. Baik Agung Sedayu maupun Ki Darpatenaya harus berhati-hati menghadapi lawan yang mereka sadari, berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu, orang-orang berilmu tinggi yang berada didalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu mulai turun ke medan. Suranata yang kecewa ternyata tidak kembali ke medan disisi Utara Bersama Wira Arari, saudara seperguruannya, Suranata justru bergabung dengan pasukan Ki Saba Lintang.
" Ayahmu berada di medan sebelah Utara"berkata Ki Saba Lintang.
" Aku tidak ingin lagi bertemu dengan ayah "; jawab Suranata.
"Jadi?" " Biarlah orang lain membunuhnya Kalau saja semalam aku tidak bertemu dengan ayah, mungkin aku masih tetap ingin bertemu dan berhadapan dengan ayah. Tetapi tiba-tiba saja niatku berubah. Aku akan membunuh siapa saja yang aku temui di medan." ,
Bersama Wira Aran, Suranata bertempur di induk gelar pasukan Ki Saba Lintang. Mereka seakan-akan menjadi Senapati pengapit Ki Darpatenaya. Keduanya berusaha untuk mencegah para prajurit atau pengawal yang akan membantu Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu tidak terbiasa menunggu bantuan. Bahkan pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit itu telah menyibak para prajurit, pengawal serta pengikut Ki Saba Lintang.
. Karena itulah, maka Suranata dan Wira Aran tidak lagi .terikat pada pertempuran antara Ki Darpatenaya dan Agung Sedayu. Merekapun tidak merasa perlu untuk pada suatu saat membantunya. Mereka terlalu yakin, bahwa Ki Darpatenaya tidak akan, terkalahkan oleh siapapun juga. Tidak pula dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu.
Karena itu, maka Suranata dan Wira Aran telah mencari sasaran yang lain.
Suranata yang hatinya masih buram karena pertengkaran yang terjadi antara kedua saudara perempuannya, telah melepaskan.kekesalannya kepada para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan. Dengan ilmunya yang tinggi, maka Suranata telah mengacaukan gelar pasukan Agung Sedayu justru diinduk gelarnya
Sementara itu Wira Aran yang terlalu bangga akan dirinya, ingin menunjukkan kepada lawannya tetapi juga kepada kawan-kawannya sendiri. Wira Aran ingin menepuk dada dengan kemenangan-kemenangannya. Setiap kali ia melemparkan seorang lawan dari arena, maka iapun segera berteriak nyaring memekikkan kemenangannya itu.
Tetapi langkah Wira Aranpun terhenti ketika seseorang telah dengan tiba-tiba saja berdiri di hadapannya.
Wajah Wira Aran menjadi tegang. Seorang perempuan dengan pakaiannya yang khusus berdiri sambil tersenyum memandanginya.
" Kau mengamuk seperti seekor harimau yang terluka " desis perempuan itu.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian berdesis
" Apakah aku berhadapan dengan Srigunting Kuning " "
Nyi Wijil tidak ingin banyak berbicara. Karena itu, maka iapun segera menjawab"Ya. Kau benar Ki Sanak "
" Apakah kau mempunyai nyawa rangkap" Bukankah Srigunting Kuning sudah mati?"
" Aku sudah hidup lagi "jawab Nyi Wijil.
" Omong kosong. Kau bukan Srigunting Kuning. "
" Baik. Aku bukan Srigunting Kuning. "
" Setan kau. Sebut namamu. "
" Aku dapat mengucapkan nama apapun dihadapanmu. "
"Baik. Baik. Kau akan mati tanpa aku kenal namamu. "
" Ada dua kemungkinan"jawab Nyi Wijil " aku mati tanpa kau kenali namaku, atau kaulah yang mati tanpa mengenal namaku,."
" Kau ternyata sosok iblis betina "
" Sebut apapun menurut kehendakmu. Tetapi iblis tidak akan pernah mati. "
" Aku akan membunuhmu. "
Nyi Wijil itupun tertawa. Namun ia masih juga bertanya " Siapa namamu Ki Sanak. Atau kau juga tidak ingin dikenal " "
" Aku tidaK pernah merahasiakan namaku. Aku adalah Wira Aran. Kau perlu mengenalinya sebelum kau mati. "
Nyi Wijil mengangguk kecil. Katanya " Kita akan melihat, siapakah yang akan mati."
Wira Aran tidak menyahut lagi. Tetapi dengan tangkasnya ia meloncat menyerang Nyi Wijil. Tetapi Nyi Wijilpun sudah siap menyambut serangannya.
Suranata sempat melihat saudara seperguruannya bertempur melawan seorang perempuan. Namun seperti Wira Aran, Surana-tapun merasa heran, bahwa ia masih dapat bertemu dengan Srigunting Kuning.
Tetapi agaknya Suranata pernah mendengar dua sosok Srigunting Kuning yang putih dan Srigunting Kuning yang hitam.
" Tentu Srigunting Kuning Putih " berkata Suranata didalam hatinya "Srigunting Kuning yang hitam sudah mati. "
Namun Suranata itupun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang yang sudah ubanan mendekatinya.
Kekecewaan yang tertimbun di dalam dirinya terhadap ayahnya, terhadap saudara-saudara perempuannya dan terhadap keadaan disekitamya yang ditumpahkanhya kepada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itupun telah terhambat.
" Kau siapa, kakek tua"geram Suranata.
" Kau lupa kepadaku ?" bertanya Ki Wijil.
Suranata mengerutkan dahinya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berdesis " Aku pernah bertemu dengan kau, ketika. Dirumah Agung Sedayu ketika aku melihat keadaan Dwani.. "
" Ya. Bukankah kau anak laki-laki Empu Wisanata" "
Suranata mengerutkan dahinya. Iapun kemudian berpaling kearah saudara seperguruannya yang sedang bertempur dengan Srigunting Kuning.
"Perempuan itu adalah perempuan yang kau lihat di dalam rumah Agung Sedayu itu pula" berkata Ki Wijil.
"Pantas" desis orang itu.
" Apa yang pantas ?"bertanya Ki Wijil.
" Ayah menyebut kalian suami istri yang mampu melumatkan gunung. "
Ki Wijil tersenyum. Katanya " Ayahmu memang senang bergurau."
"Aku percaya itu. Ki Wijil. Meskipun demikian, aku ingin memperingatkan Ki Wijil, bahwa aku bukan gunung yang mudah kau lumatkan.".
"Tentu " sahut Ki Wijil " Kau bukan gunung. Gunung tidak akan dapat mengamuk di medan pertempuran seperti ini. Kau jauh lebih berbahaya dari gunung berapi sekalipun. "
"Jika demikian, silahkan menyingkir dari medan ini, Ki wijil. Aku menghindar dari medan di sisi Utara Tanah Perdikan ini karena aku tidak mau bertemu dengan ayah yang menurut pendengaranku berada di sana Tetapi disini aku bertemu dengan salah seorang kawan ayah.- Sebaiknya aku menghindari orang-orang yang sudah aku kenal sebelumnya. "
"Ngger"berkata Ki Wijil " kenapa kau tidak meninggalkan Ki Saba Lintang saja " Sebenarnya untuk apa kau bertempur bersamanya " Mungkin kau memang mempunyai gegayuhan. Tetapi sebaiknya gegayuhan itu kau capai melalui jalan lain. Bukan cara ini. Justru mungkin kau akan menemukan caia yang lebih baik dari bergabung dengan Ki Saba Lintang. "
Suranata menarik nafas panjang. Katanya " Tidak, Ki Sanak. Cara ini adalah cara yang terbaik dan terdekat menurut pendapatku. Meskipun jalanku tidak selalu sejajar dengan jalan yang ditempuh oleh Ki Saba Lintang, tetapi kali ini merasa sesuai dengan cara yang dipilihnya. ."
"Jika demikian, ngger. Maka aku harus berusaha untuk menghentikannya. Angger tentu tahu, bahwa usaha KiSaba Lintang itu tidak akan berhenti sampai disini. Seandainya ia berhasil menguasai Tanah Perdikan ini, dan berhasil mendapatkan tongkat baja putih yang satu lagi, apakah tongkat itu akan diberikannya kepada Nyi Yatni atau Nyi Dwani, maka Ki Saba Lintang tentu akan melanjutkan peperangan yang telah dikobarkannya. Jalan selanjutnya adalah menuju Mataram dan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai Jandasan."
" Aku tahu itu?" sahut Suranata.
"Pada langkah-langkah awal, maka semua golongan yang ada di dalam gerombolan Ki Saba Lintang akan tetap bulat. Tetapi kemudian, mereka akan saling menyingkirkan. Pada saat itu, kau akan merasa kecewa, ngger. Gegayuhanmu akan cabar. Kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau harapkan pada saat kau menyatakan dirimu bekerja bersama Ki Saba Lintang. Kaupun akan kehilangan saudara-saudara perempuanmu.
" Sudahlah, Ki. Jangan sebut-sebut saudara-saudara perempuanku."
" Kau masih mempunyai waktu untuk menarik diri dari perjuangan yang tidak pasti bagimu ini ngger. Sementara itu taruhannya terlalu besar bagimu. "
"Aku sudah terlanjur basah, Ki. Karena itu, jangan hiraukan apa yang terjadi padaku. Kita akan bertempur. Salah seorang diantara kita akan mati. Aku tahu, kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
"Pikirkan, ngger. "
"Aku justru memikirkan yang lain. Apakah Nyi Wijil itu orang yang sama dengan Srigunting Kuning ?"
Ki Wijil tersenyum. Katanya " Apakah padanya nampak ciri-ciri Srigunting Kuning itu. "
"Aku pernah mendengar nama Srigunting.Kuning. Tetapi ada dua nama yang agak membingungkan. Yang satu disebut Srigunting Kuning yang putih sedangkan yang lain adalah Sriguni ing Kuning yang hitam.'"
Ki Wijil justru tertawa. Katanya"Yang jelas perempuan itu adalah Nyi Wijil. Isteriku yang pernah diperkenalkan oleh Empu Wisanata kepadamu saat kau kunjungi adikmu di rumah Ki Lurah Agung Sedayu. "
Suranata mengangguk-angguk. Katanya"Sudahlah, Ki. Sebaiknya Ki Wijil sajalah yang meninggalkan medan ini. Biarlah aku tempuh cara yang telah aku pilih ini, meskipun aku tahu, bahwa jalan masih sangat panjang untuk sampai kepada gegayulianku itu."
Tetapi Ki Wijil itupun kemudian berkata "sayang ngger. Aku pun sudah menempatkan diri didalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut pendapatku, orang-orang Menoreh sekarang ini sedang berjuang untuk mempertahankan haknya. Karena itu, maka aku telah menyatakan diriku bergabung dengan mereka."
"Jika demikian, maka kita akan berhadapan."
"Agaknya memang begitu ngger."
Suranatapun telah bergeser setapak. Katanya "Baiklah Ki Wijil. Bersiaplah. Bagiku agaknya memang lebih baik aku bertemu dengan Ki Wijil daripada dengan ayahku sendiri."
Ki Wijilpun telah mempersiapkan diri pula. Ia sadar, bahwa Suranata tentu tidak sekedar mengandalkan selembar ilmunya. Tetapi Surata tentu sudah membawa bekal ilmu yang cukup, sehingga sebelumnya ia merasa cukup kuat untuk menghadapi ayahnya sendiri Jika kemudian Suranata itu menghindar dari medan disisi Utara, bukannya ia merasa bahwa ilmunya kurang memadai. Tetapi pada saat-saat terakhir, ia merasa enggan bertempur dan bahkan akan saling membunuh dengan ayahnya sendiri.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah terlibat dalam pertempuran. Mula-mula kedua belah pihak baru sekedar menjajagi yang satu terhadap yang lain. Namun kemudian merekapun semakin meningkatkan ilmu mereka.
Dalam pada itu, di induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, orang-orang yang berilmu tinggi telah menebar pula. Seorang yang masih muda yang berwajah tampan berkata kepada Ki Saba Lintang "Biarlah aku berada di sayap kanan saja, Ki Saba Lintang. Nampaknyaa sayap kiri pasukan lawan mampu mengguncang sayap pasukan kita.
" Baiklah. Pergilah ke sayap kanan"
" Sebelum terjadi pertempuran ini aku memang merasa heran, mendengar ceritera bahwa pasukan kita dapat didesak oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku mengira bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang setiap hari kerjanya pada pematang sawah mereka. Namun ternyata mereka adalah prajurit-prajurit yang dapat diandalkan."
" Diantara mereka tentu terdapat prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus."
" Aku tahu. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Menorehpun agaknya memiliki pengalaman keprajuritan yang luas."
" Ya - sahut Ki Saba Lintang - sebagian mereka selalu ikut bersama para prajurit Mataram dalam perang yang besar. Sebagian dari mereka ikut pergi ke Madiun dan yang lain pemah ikut ke Pati."
Orang berwajah tampan itupun kemudian berkata "Aku akan pergi ke sayap kanan. " Sepeninggal orang itu, maka seorang penghubung telah memberikan laporan, bahwa disayap kiri, pasukan Ki Saba Lintang itu mengalami kesulitan.
"Kami berusaha untuk menahan kemajuan pasukan tanah perdikan, Ki Saba Lintang.Tetapi seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh telah mempengaruhi seluruh medan."
"Hanya karena satu orang?"
"Keadaan kedua pasukan dapat dikatakan seimbang, meskipun pasukan kita harus mengerahkan segenap kemampuan. Tetapi justru karena yang seorang itu, maka keseimbanganpun terasa terganggu.
"Apakah orang itu berilmu tinggi?"
"Agaknya memang demikian".
"Agung Sedayu sendiri"."
"Bukan, Ki Saba Lintang. Anak muda itu pada pertempuran yang lalu, tidak berada di medan ini."
Ki Saba Lintang menjadi berdebar-debar. Lalu katanya kepada dua orang saudara seperguruan yang menurut pendapat Ki Saba Lintang dapat diandalkan, "Kalian berdua pergilah"
"Terima kasih. Aku merasa tersiksa disini mengawal Ki Saba Lintang. Kami akan menyelesaikan orang yang sombong itu. Kami akan membawa kepalanya kemari agar Ki Saba Lintang dapat mengenalinya"
Ki Saba Lintang tidak menjawab. Meskipun ia tidak ingin mendapatkan kepala itu, tetapi dibiarkannya saja kedua orang itu untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Jika keduanya dicegah, maka akan akibatnya kurang baik bagi pasukannya. Karena keduanya dapat pergi begitu saja tanpa berbuat apa-apa di peperangan itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang saudara seperguruan itupun segera meninggalkan pasukan induk untuk pergi ke sayap kiri.
Dua-duanya adalah orang-orang yang terhitung gemuk. Namun mampu bergerak sangat tangkas, seolah-olah tubuh mereka tidak mempunyai bobot sama sekali
Disayap kanan, anak muda yang tampan itupun telah berusaha untuk mengetahui, apakah sebabnya, maka pasukan Ki Saba Lintang itu bagaikan diguncang-guncang.
Ternyata di dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh, anak muda yang tampan itu melihat seorang yang berilmu tinggi bertempur di antara para pengawal tanah Perdikan.
Tentu inilah antara lain yang menyebabkan kesulitan di sayap itu.
Orang berwajah tampan itupun kemudian telah mendekatinya Dengan kerut di dahinya, anak muda berwajah tampan itu menyaksikan orang itu bertempur melawan sekelompok orang yang mengepungnya Namun orang itu sama sekali tidak mengalami kesulitan
Pada saat orang berwajah tampan itu mendekat, ia melihat seorang diantara mereka yang mengepung orang berilmu tinggi itu terlempar dan jatuh terbanting.
"Minggirlah - berkata orang berwajah tampan itu dengan suara lantang - orang ini agaknya benar-benar berilmu tinggi."
Orang-orang yang sedang mengepung lawannya itupun menyibak. Sementara orang yang berada dalam kepungan itupun berdiri tegak sambil memandang orang berwajah tampan yang melangkah mendekatinya
"Luar biasa Ki Sanak. Siapakah kau?" Orang yang berada dalam kepungan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab - Namaku Sabungsari."
"Sabungsari - desis orang berwajah tampan itu.
"Kau siapa" - bertanya Sabungsari.
Orang itu tersenyum sambil menjawab - Namaku Tunjung Tuwuh.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya - Nama yang bagus. Apakah kau sudah lama bekerja bersama Ki Saba Lintang" " tanyanya
"Pertanyaan yang rasa-rasanya tidak ada hubungannya dengan pertemuan kita disini."
"Maaf - desis Sabungsari - kau masih muda Menilik ujudmu, lain dengan orang-orang yang mengepungku."
"Apa bedanya" - Tunjung Tuwuh itu tertawa
"Menilik ujudmu, agaknya kau seorang dari lingkungan yang lebih mapan dari orang-orang lain di medan ini"
" Satu kebetulan. Tetapi disisi lain dari pasukan Ki Saba Lintang adalah bekas prajurit yang menurut ujud lahiriahnya memang tidak seperti orang-orang yang mengepungmu. Tetapi ujud lahiriah bukan ukuran. Kami mempunyai satu tekad untuk menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
"Untuk apa?" Tunjung Tuwuh itu tertawa semakin keras. Katanya - pertanyaanmu aneh-aneh Sabungsari. Bersiap sajalah sebelum kau akan mati. Matilah dengan wajah tengadah sebagaimana seorang yang mati di medan perang.
"Aku belum ingin mati - jawab Sabungsari.
"Ingin atau tidak ingin. Aku akan memaksamu untuk mati."
"Kau lucu. Baiklah. Kita akan mencoba saling memaksa." Dahi Tunjung Tuwuh berkerut Katanya dengan nada berat - Kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk keluar dari pertempuran ini."
Hanya namamu sajalah yang akan dikenang oleh kawan-kawanmu, orang tuamu dan oleh pemimpin kelompokmu. Tetapi pemimpin kelompokmu itu jika masih sempat hidup, akan segera melupakanmu dan menggantikan para pengawal yang telah mati dengan orang-orang baru."
" Kidungmu bernada sedih Tunjung Tuwuh . Kenapa kau tidak mendendangkan lagu gembira?"
" Aku bersedih karena setiap kali aku harus membunuh musuh-musuhku. Tetapi salah mereka sendiri, karena mereka tidak mau mendengarkan permgatan-peringatanku."
"Kasihan sekali kau Tunjung Tuwuh. Hidupmu ibarat kegelapan yang tidak berbatas waktu."
"Cukup, Sabungsari. Bersiaplah untuk mati."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapinya
Demikianlah, maka sejenak kemudian Tunjung Tuwuh itupun telah meloncat menyerang Sabungsari. Tetapi Sabungsari telah bersiap sepenuhnya, sehingga sejenak kemudian, maka keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang sengit
Sementara itu, di sayap yang lain, dua orang saudara seperguruan telah berada di medan pula. Seorang penghubung telah menunjukkan kepada kedua orang saudara seperguruan itu, seorang anak muda yang telah bertempur dengan garangnya
"Siapakah namanya?"
"Aku belum sempat mengetahuinya - jawab penghubung itu.
Kedua orang saudara seperguruan itupun dengan serta meria telah mendatangi Glagah Putih yang sedang dengan garangnya menghadapi beberapa orang yang mengepungnya
Kehadiran kedua orang saudara seperguruan itu telah menghentikan Glagah Putih. Dengan geram salah seorang dari kedua orang saudara seperguruan itu bertanya - Namamu siapa anak muda?"
- Glagah Putih -jawab anak muda itu.
"Kau pengawal Tanah Perdikan Menoreh" - bertanya yang lain.
"Ya - jawab Glagah Putih.
"Aku tidak percaya - berkata orang itu pula - apakah kau salah seorang prajurit dari Pasukan Khusus?"
" Bukan - jawab Glagah Putih - sudah aku katakan, aku salah seorang pengawal Tanah Perdikan. Nah apa yang kau maui?"
" Pertanyaanmu aneh. Kau sendiri, untuk apa pergi ke medan., berbelanja atau sekedar ingin mencoba pusaka yang baru?"
"Aku sadari sepenuhnya untuk apa aku berada di medan, serta untuk apa pula aku berperang.
Seorang diantara kedua orang saudara seperguruan itu menyahut -Kau kira aku tersesat sampai ke tempat ini?"
" Aku adalah pengawal Tanah Perdikan ini. Jika aku berada di medan itu sudah jelas. Aku membela dan mempertahankan Tanah Perdikan ini. Kau?"
"Juga sudah jelas. Kami ingin menghancurkan perlawanan para pengawal Tanah Perdikan ini. Kemudian mendudukinya dan memanfaatkan untuk perjuangan kami selanjutnya
" Kalian tahu, apa yang kalian lakukan" Apa yang kalian perjuangkan?"
"Jangan menghina kami, Glagah Putih. Seandainya kau mampu melawan, tetapi kau tidak akan dapat melawan kami berdua Bersiaplah
" Aku sudah bersiap sejak aku mendengar isyarat untuk maju ke medan ini.-
" Anak setan. Jangan terlalu sombong. Kesombonganmu tidak akan berarti apa-apa jika kau nanti terkapar mati."
Glagah Putih justru tertawa Katanya - Kita tidak akan dapat mengatakan, siapakah yang akan mati. Aku, atau salah seorang dari kalian atau kalian berdua"
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang itu tidak bertanya lebih lama Keduanyapun segera bersiap. Seorang diantara mereka menggeram - Kami akan membunuhmu sekarang."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Iapun mulai bergeser selangkah kesamping.
Kedua orang lawannyapun segera mengambil jarak. Dengan ayunan kakinya seorang diantara mereka mulai memancing pertempuran.
Ketika seorang pengawal meloncat mendekati Glagah Putih untuk membantunya maka Glagah Putihpun berkata - Hadapi lawanmu. Jika aku memeriukanmu, aku akan memanggilmu."
Orang itupun menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia meloncat meninggalkanGlagah Putih, memasuki arena pertempuran yang semakin seru. Orang-orang yang semula mengepung Glagah Putihpun telah mendapatkan lawan mereka masing-masing.
Sejenak kemudian maka Glagah Putih telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan kedua orang saudara seperguruan itu. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang garang. Serangan-serangan mereka datang dengan cepat susul-menyusul. Meskipun keduanya nampak agak gemuk, tetapi keduanya mampu bergerak dengan cepat
Dengan demikian, maka Glagah Putih harus menyesuaikan dirinya. Ia harus meningkatkan ilmunya untuk mengimbangi serangan-serangan kedua orang lawannya yang datang beruntun itu.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan kedua orang lawannya itupun segera meningkat semakin keras.
Disisi Utara, kedua pasukan yang bertempur itupun menjadi semakin garang. Dengan susah payah, pasukan Tanah Perdikan berusaha untuk bertahan. Pasukan cadangan yang sudah diturunkan kemedan, memang berhasil memperkokoh pertahanan itu. Mereka adalah tenaga-tenaga yang masih segar.
Tetapi kekuatan lawanpun rasa-rasanya telah meningkat pula, sehingga karena itu, maka pasukan Tanah Perdikan itu harus mengerahkan segala kekuatan yang ada di dalam pasukan itu.
Namun dalam pada itu, para petugas sandi dan pengawas dari Tanah Perdikan Menoreh itu terkejut ketika mereka melihat segerombolan orang yang melintas ditengah-tengah bulak menyusup kebelakang pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
"Pasukan itu " desis seorang pengawal dari sebuah pedukuhan.
" Tentu bukan pasukan Tanah Perdikan. Prastawa sudah memberitahukan bahwa setiap gerakan pasukan dari para pengawal atau prajurit tentu akan membawa kelebet lambang kesatuan mereka masing-masing, atau kelebet para pengawal dari pedukuhan mereka. Tetapi gerombolan itu tidak membawa pertanda apa-apa"
"Siapkan penghubung berkuda"
Sejenak kemudian, maka dua orang penghubung berkudapun telah memacu kudanya menuju ke pedukuhan induk. Pengawal di padukuhan itu masih belum membunyikan kentongan yang dapat menimbulkan keresahan bagi seluruh Tanah Perdikan, karena suara kentongan itu akan mengumandang dan disambut oleh kentongan-kentongan di padukuhan-padukuhan yang lain.
"Apakah kita akan mencegahnya"- bertanya seorang pengawal
"Tentu tidak mungkin - jawab kawannya - berapa jumlah kita yang ada di .sini sekarang"
Kawannya menarik nafas. Bahkan seandainya gerombolan itu berpaling ke padukuhan mereka, maka mereka justru harus menghindar.
" Pengawal dari lima atau enam padukuhan yang tertinggal di padukuhan masing-masing, baru memadai untuk menghentikan mereka. Itupun tanpa satu keyakinan untuk dapat mengusir mereka, apalagi menghancurkan mereka."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu, kawannya berkata Tiga atau empat orang diantara kita akan mengikuti gerombolan itu dari jarak yang cukup jauh. Yang lain, ampat atau lima orang tinggal di padukuhan ini, sekedar untuk dapat memberikan isyarat jika diperlukan.
"Untuk apa kami mengikuti mereka" "
Pengawal yang mempunyai gagasan untuk mengikuti gerombolan itupun berkata"Mereka tentu akan berbuat sesuatu. Menurut arah perjalanan mereka, agaknya mereka akan menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan ini."
" Jadi kenapa kami yang hanya tiga atau empat orang harus mengikutinya?"
" Kita akan memberitahukan kepada para pengawal di setiap pedukuhan agar mengirimkan tiga atau empat orang pengawal menurut keadaan padukuhan masing-masing. Jika terkumpul delapan padukuhan yang sempat kita hubungi berarti akan dapat berkumpul sekitar duapuluh sampai tigapuluh orang. Nah, jumlah itu akan sangat berarti bagi padukuhan induk. Kekuatan gerombolan itu agaknya cukup besar dan sudah diperhitungkan akan dapat mengalahkan para pengawal dan pengawal cadangan yang ada di padukuhan induk."
Kawannya mengangguk-angguk; Katanya " Baik. Siapa yang akan pergi."
Akhirnya tiga orang pengawal telah meninggalkan padukuhan itu dan berusaha mengikuti gerak gerombolan yang memang menuju ke padukuhan induk. Tetapi ketiga orang itu tidak berani terlalu dekat dengan gerombolan itu. Mereka hanya beranijnenelusuri jejaknya saja.
Sementara itu, seorang diantara para pengawal itu telah berlari menuju padukuhan terdekat untuk memberitahukan rencananya bersama kawan-kawannya.
Ternyata para pengawal di padukuhan itupun setuju. Mereka telah mengirimkan empat orang untuk pergi ke padukuhan induk.
"Tetapi kita harus berhati-hati. Jika kita terjebak oleh gerombolan yang agaknya cukup kuat itu, kita akan menjadi ndeg pengamun-amun."
Namun seorang diantara mereka meneruskan hubungan itu ke padukuhan berikutnya. Mereka berharap bahwa sekitar dua puluh lima sampai tigapuluh orang akan dapat terkumpul untuk membantu pasukan cadangan di padukuhan induk.
Dalam pada itu, dua orang penghubung berkuda telah sampai ke padukuhan induk. Merekapun segera menyampaikan laporan tentang pecahan pasukan Ki Sima Sikara yang langsung menuju ke padukuhan induk.
Ki Gedepun segera memanggil Ki Sura Panggah yang berada di banjar padukuhan induk.
" Baiklah Ki Gede " berkata Ki Sura Panggah " aku akan segera mempersiapkan pasukan cadangan untuk melawan mereka."
" Ini bukan untuk pertama kalinya, bahwa padukuhan induk ini mendapat serangan langsung"berkata Ki Gede." karena itulah, maka padukuhan induk ini sudah dilengkapi dengan dinding dan pintu gerbang yang memadai."
"Jika Ki Gede berkenan, kami akan menyongsong mereka diluar dinding padukuhan,"berkata Ki Sura Panggah.
"Kita akan melihat kekuatan mereka, Ki Sura Panggah"berkata Ki Gede "jika kekuatan mereka terlalu besar, maka sebaiknya kita akan bertahan di dalam dinding pedukuhan.
"Tetapi orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu akan dapat menjadi berbahaya bagi padukuhan-padukuhan lain. Jika mereka gagal memasuki padukuhan induk, mereka akan melepaskan kemarahan dan dendam mereka kepada padukuhan-padukuhan lain sepanjang jalan pada saat mereka menarik diri. Bahkan mungkin mereka akan menduduki satu dua padukuhan sebagai landasan serangan mereka terhadap padukuhan induk pada kesempatan lain."
"Tetapi jika induk pasukan mereka di medan pertempuran disisi Utara tidak berhasil mendesak pasukan Tanah Perdikan, maka keadaan pasukan yang menduduki padukuhan di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini menjadi sangat gawaL"
"Ki Gede benar. Tetapi pada gerak mundur mereka akan dapat menimbulkan mala petaka jika pasukan Tanah Perdikan tidak menghalaunya sampai keluar perbatasan atau menangkap dan memaksa mereka menyerah."
" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah, Ki Sura Panggah. Jika menurut perhitungan Ki Sura Panggah kita dapat menahan mereka di luar dinding padukuhan induk dan menghalau mereka sampai
' keluar perbatasan. Tetapi jika kita dalam kesulitan, maka aku minta Ki Sura Panggah memerintahkan seluruh pasukan menarik diri masuk kedalam pintu gerbang padukuhan induk."
" Ya. Ki Gede, kami akan mengadakan penelitian langsung di medan."
Sementara itu, dua orang penghubung telah memberitahukan, bahwa gerombolan yang menuju padukuhan induk sudah menjadi semakin dekat
"Mereka telah membakar beberapa rumah di padukuhan sebelah, KiGede."
"He"KiGede terkejut
Dengan lantang iapun bertanya " bagaimana dengan para penghuninya ?"
"Sebagian besar telah keluar dari padukuhan itu dan berusaha mencapai padukuhan terdekat "Para pengawal?"
"Jumlahnya tidak memadai. Karena itu, mereka justru membantu perempuan dan anak-anak yang mengungsi.
Wajah Ki Gede menjadi tegang. Tiba-tiba saja Ki Gede itu menggeram " Aku sendiri akan memimpin pasukan untuk melawan mereka"
"Jangan kakang"cegah Ki Argajaya"kakang harus tetap berada di sini. Kakang mengendalikan pertempuran di segala medan. Mungkin ada hal-hal yang perlu mendapat pemecahan segera. Jika kakang tidak berada di sini, maka akan dapat terjadi kelambatan-kelam-batan."
"Tetapi mereka sudah berbuat melampaui batas."
"Serahkan pimpinan pasukan cadangan kepada Ki Sura Panggah. Sementara itu, aku juga akan berada di dalam pasukan itu."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia pun mengangguk sambil berkata"Baiklah. Aku serahkan pimpinan pasukan itu kepada Ki Sura Panggah dan kepadamu."
" Kami akan menjalankan tugas ini sebaik-baiknya, Ki Gede " sahut Sura Panggah.
Sementara itu, dua orang pengawal di pintu gerbang pun telah menghadap. Mereka melihat asap yang mengepul tinggi dari padukuhan sebelah,
"Kebakaran, Ki Gede"berkata pengawal itu.
"Berhati-hatilah"berkata Ki Gede"segerombolan musuh sudah berada di padukuhan itu."
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, Ki Sura Panggah dan Ki Argajaya pun telah berada di pintu gerbang. Pada prajurit dan pengawal yang disiapkan sebagai pasukan cadangan setelah mereka menghancurkan pasukan lawan di sisi Selatan sebelumnya tidak dapat beristirahat terlalu lama Tugas yang berat telah menunggu mereka di depan pintu gobang padukuhan induk itu.
Sejenak kemudian, maka pasukan itu pun sudah siap. Ki Sura Panggah telah memberikan perintah agar pasukan itu bergerak, keluar pintu gerbang.
"Kita akan bertempur di luar pintu padukuhan induk. Tugas kita menggagalkan serangan mereka menghalau dan menghancurkan pasukan itu."
"Beberapa kelompok prajurit dan pengawal pun kemudian telah berada di pintu gerbang. Mereka pun segera mempersiapkan diri menyongsong pasukan lawan yang telah keluar dari padukuhan sebelah merayap menuju ke padukuhan induk.
"Jumlah mereka cukup banyak"desis Ki Sura Panggah.
"Lebih banyak dari pasukan cadangan ini"sahut Ki Argajaya. " Tetapi kita akan melumatkan mereka " geram Ki Sura Panggah.
Ki Sura Panggah pun sempat memberitahukan kepada para pemimpin kelompok untuk berhati-hati "Songsong mereka dengan senjata lontar. Jumlah mereka cukup banyak."
Pasukan Ki Sura Panggah itu bergeser beberapa puluh patok dari dinding padukuhan induk. Kepada pengawal di pintu gerbang, Ki Sura Panggah memerintahkan untuk menutup pintu gerbang dan menyelarak kuat-kuat dari dalam. Petugas di panggungan harus siap mengamati keadaan, jika pasukan Tanah Perdikan memerlukan berlindung di belakang dinding padukuhan, maka mereka harus dengan cepat membuka pintu gobang dan bersiap melindungi pasukan yang bergerak masuk dengan anak panah dan lembing.
Ki Sura Panggah dan Ki Argajaya telah membawa pasukannya untuk menyongsong pasukan lawan yang datang menyerang padukuhan induk. Iapun telah memerintahkan para prajurit dan pengawal yang^bersenjata busur dan anak panah untuk bersiap di tempat terbaik.
"Pada saat pasukan itu menyeberangi jalan, maka mereka berada di tempat terbuka. Maka kalian harus memanfaatkannya Kalian lepaskan anak panah kalian untuk mengurangi jumlah lawan"perintah Ki Sura Panggah.
Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal yang bersenjata busur dan anak panah pun segera menyelinap di balik tanaman serta pematang. Mereka berusaha mendekati jalan yang menyilang di hadapan mereka Sementara itu, Ki Sura Panggah dan beserta pasukannya yang lain justru berdiri di pematang dengan senjata yang teracu
Mereka pun segera terlihat oleh pasukan yang menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka pemimpin pasukan itu pun segera memberikan perintah untuk menyerang.
Namun demikian mereka sampai di atas tanggul di pinggir jalan yang menyilang itu, anak panah pun telah meluncur dari busur-busurnya. Susul-menyusul dari balik pepohonan, pematang, dan tanaman yang tumbuh subur di sawah.
Orang-orang yang sedang berlari-larian itu terkejut Beberapa orang diantara mereka sempat berusaha menangkis atau berlindung di balik mereka. Tetapi beberapa orang yang terkejut ternyata terlambat untuk menyelamatkan diri.
Beberapa orang pun telah terguling di jalan dengan darah yang mengalir dari lukanya. Sebagian dari mereka telah mengaduh menahan sakit Tetapi sebagian lagi justru tidak sempat menggeliat karena anak panah itu menancap di dada langsung menusuk jantung.
Pemimpin pasukan yang menyerang padukuhan induk itu berteriak marah sekali. Ternyata mereka menjadi lengah, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa mereka terjebak dalam jangkauan anak panah lawan.
Pasukan itu memang terhambat. Namun mereka pun kemudian melanjutkan serangan mereka ke arah padukuhan induk.
Para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan yang telah melontarkan anak panah mereka, tidak dapat mempergunakan busur mereka lagi ketika pasukan lawan itu justru berlari-larian ke arah mereka Karena itu, maka merekapun segera meletakkan busur mereka dan menarik pedang atau jenis senjata mereka yang lain. Sementara itu, kawan-kawan merekapun telah berlari-larian pula menyongsong lawan yang datang menyerang itu.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit beberapa puluh patok dari pintu gerbang padukuhan induk yang ditutup rapat
. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin memanas, sementara terik mataharipun menjadi panas pula
Pemimpin dari pasukan yang menyerang itupun telah berteriak-teriak memberikan aba-aba Dengan lantang pemimpin pasukan penyerang itu berkata"Kita akan membantai mereka dan seisi padukuhan induk itu hingga lumat untuk menebus kekahalan kita di sisi Selatan."
Namun pemimpin pasukan yang menyerang itu terkejut ketika seseorang mendekatinya sambil berkata lantang " Kita bertemu lagi Ki Pringgareja"
Ki Pringgareja itupun menggeram. Katanya "Setan alas kau Sura Panggah. Kenapa kau berada di sini?"
" Aku tahu kau akan datang kemari. Karena itu, aku bawa pasukanku kemari. Aku ingin menyempurnakan kemenanganku di sisi selatan itu."
" Iblis kau. Kau kira kami akan memberi kemenangan lagi kepadamu?"
" Kau tidak usah memberikan itu. Kami akan mengambil kemenangan itu sendiri."
"Persetan. Sekarang bersiaplah untuk mati. Kami akan memecahkan pintu gerbang padukuhan induk itu dan menghancurkan semua isinya. Memaksa para pemimpin Tanah Perdikan yang pengecut dan tidak berani turun ke medan untuk menyerahkan Tanah Perdikan ini kepada kami"
Ki Sura Panggah tertawa Katanya"Mimpi yang bagus. Ternyata tanpa tidurpun kau dapat bermimpi."
Ki Pringgareja tidak menjawab lagi. Tetapi iapun langsung menyerang Ki Sura Panggah.
Tetapi Ki Sura Panggah telah bersiap sepenuhnya sehingga karena itu, maka pertempuranpun segera menjadi sengit
Ternyata jumlah para penyerang yang cukup banyak itu memang berpengaruh sekali Betapapun para prajurit dan pengawal yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah itu mengerahkan kekuatan dan kemampuannya' namun perlahan-lahan tetapi pasti, pasukan Ki Pringgareja itu mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh mendekati dinding padukuhan induk.
Para pengawal yang ada di panggungan sebelah menyebelah pintu gerbang telah bersiap-siap. Beberapa orang telah siap untuk mengangkat selarak. Sedangkan beberapa orang telah' mempersiapkan anak panah, busur dan lembing. Mereka harus melindungi pasukan Tanah Perdikan itu jika mereka akan berlindung dibelakang dinding padukuhan induk.
Namun dalam pada itu, para pengawal yang menyusul pasukan penyerang itu dari beberapa padukuhan, telah mendekati medan. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang jumlahnya hanya sekitar.tiga atau empat orang. Namun kelompok-kelompok itu berusaha untuk berkumpul menyatukan diri sebelum menyerang pasukan lawan.
" Sudah berapa orang terkumpul di sini ?"bertanya salah seorang pengawal yang berpengaruh diantara kawan-kawannya yang kemudian dianggap sebagai pemimpin kelompok.
"Tiga belas orang"desis kawannya
" Kita tidak usah menunggu lebih banyak lagi. Pasukan yang mempertahankan padukuhan induk itu sudah semakin terdesak "
"Kita akan menyerang mereka dari belakang ?" bertanya seorang diantara mereka.
"Tidak. Sangat berbahaya karena jumlah yang sangat kecil ini."
"Jadi?" "Kita melingkari lawan. Kita menyerang dari samping."
" Baik. Marilah segera kita lakukan. Keadaan pasukan yang bertahan itu semakin terdesak."
Tiga belas orang itupun kemudian telah melingkari arena. Dengan jumlah yang kecil itu, mereka telah menyerang lawan dari arah samping.
- Kedatangan mereka memang mengejutkan. Tiba-tiba saja mereka muncul dari batik gerumbul-gerumbul perdu di pematang. Sedang yang menyelinap dari balik tanaman yang hijau di sawah.
Jumlah mereka memang hanya sedikit Tetapi serangan mereka terhadap lambung pasukan lawan ternyata juga berpengaruh.
Dalam pada itu, beberapa kelompok yang lain pun telah mendekat pula. Seorang yang bertugas untuk mengumpulkan para pengawal yang berdatangan dari beberapa padukuhan itupun memberi tukan bahwa tiga-belas orang telah menyerang lambung.
"Kanan atau kiri ?" bertanya para pengawal yang datang kemudian,
"Lambung kanan"jawab petugas itu.
Para pengawal itupun kemudian sepakat untuk menyerang lawan dilambung yang lain. Lambung kiri
" Berapa orang yang terkumpul " " bertanya salah seorang diantara mereka.
Para pengawal itupun kemudian telah memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin kelompok yang mereka bentuk itu.'
Sejenak kemudian, maka sembilan belas orang itupun telah bergerak ke lambung sebelah kiri untuk membantu pasukan Tanah Perdikan yang mempertahankan padukuhan induk itu. Sementara itu seorang yang bertugas untuk menunggu kawan-kawannya yang mungkin masih akan datang, masih tetap dalam tugasnya
Sebenarnyalah, bahwa masih beberapa orang yang berdatangan, dua orang, kemudian dua orang lagi dan terakhir tiga orang.
"Tujuh orang"desis pengawal yang bertugas itu.
"Apa yang harus kami lakukan " " bertanya salah seorang dari ketujuh orang itu.
"Pergilah ke lambung kanan Yang lain di lambung kiri. " Dalam pada itu, seperti yang melibatkan diri di ujung medan sebelah kanan dari pertempuran itu, maka kehadiran sembilan belas orang dilambung kiri itu telah mengejutkan pula. Dengan serta-merta mereka terjun ke medan pertempuran. Pemimpin mereka telah meneriakkan isyarat sandi bagi setiap pengawal dan prajurit yang tergabung dalam pasukan Tanah Perdikan maupun para pengawal yang bertugas di padukuhan-padukuhan untuk hari itu, sehingga para prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Tanah Perdikan yang sudah terlibat dalam pertempuran segera mengenali mereka
Ternyata kehadiran kelompok-kelompok pengawal yang langsung turun ke medan itu sangat berpengaruh. Getar dari goncangan-goncangan yang terjadi di kedua ujung pasukan lawan itu telah merambat sampai ke seluruh tubuh pasukan
Ternyata Ki Pringgajaya juga merasakan getaran itu. Sebagian kekuatan pasukan itu rasa-rasanya telah terhisap ke kedua ujungnya..
" Apa yang telah terjadi " " bertanya Pringgareja di dalam baunya.
Seperti yang pernah terjadi dalam pertempuran disisi Selatan, seorang penghubung telah berteriak di belakang Ki Sura Panggah, sengaja agar lawannya dapat mendengar "Dua kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan telah datang dan langsung melibatkan diri di kedua ujung medan pertenunan itu,
Ki Sura Panggah sudah mendengar dengan jelas. Tetapi sambil bertempur melawan Ki Pringgareja ia berteriak bertanya"Dua kelompok pasukan pengawal dari mana?"
Yang memberikan laporan, prajurit dari Ganjur yang sudah tahu benar tugasnya itu menjawab"Pasukan cadangan dari padukuhan sebelah."
Namun Ki Pringgaareja pun berteriak"Persetan dengan pasukan itu."
Ki Sura Panggah justru melompat surat untuk mengambil jarak sambil tertawa"Jangan tergetar jantungmu mendengar laporan itu, Ki Sanak. Kalian memang terlalu berani untuk memikul akibat buruk dengan menyerang langsung padukuhan induk itu. Ki Gede tidak terlalu bodoh untuk mengosongkan pertahanan di padukuhan induk ini, karena Ki Gede tahu, bahwa padukuhan induk ini akan mendapat serangan langsung berdasarkan atas pengalamannya. Sudah beberapa kali padukuhan induk itu mendapat serangan, tidak hanya dengan pasukan kecil sebagaimana yang kau bawa ini."
"Cukup " teriak Ki Pringgareja sambil meloncat menyerang dengan garangnya. Namun ia masih juga berteriak " Aku akan menghancurkan padukuhan induk ini. Aku akan membuatnya menjadi karang-abaang. Kau tidak akan dapat menyelamatkannya Pasukanku cukup kuat untuk melawan pasukannya dalam jumlah dua kali lipat"
"Jangan sesumbar Ki Pringgareja Aku akan menghancurkan pasukanmu sekali lagi. Kali ini kau tidak akan luput dari tanganku. "
"Persetan dengan kau Sura Panggah. Pastikan siapakah aku ini, karena kau tidak akan pernah melihat lagi wajah orang lain. Kau akan segera mati."
Tetapi Sura Panggah tertawa lebih keras. Katanya " Suaramu seakan-akan mampu membelah langit Marilah, kita akan membuktikan, siapakah yuang terbaik di antara kita berdua. Kemenanganku terdahulu bukan hanya satu kebetulan."
Pringgareja tidak menjawab lagi. Tetapi sambil berteriak ia meloncat menyerang Ki Sura Panggah.
Demikianlah pertempuran di antara keduanya telah menyala lagi. Dua orang pemimpin yang berilmu tinggi. Mereka berloncatan saling menyerang dan saling bertahan. Semakin lama semakin cepat dan semakin keras.
Sementara itu, kedudukan para prajurit dan pengawal yang mempertahankan padukuhan induk itupun menjadi semakin baik. Pasukan Ki Pringgareja tidak lagi mampu mendesak maju
Dalam pada itu, Ki Argajaya yang juga berada di dalam pertempuran itu mempunyai pengaruh yang besar bagi keseimbangan kedua pasukan itu.
Dengan kemampuannya yang tinggi, Ki Argajaya telah menggetarkan medan. Tiga orang yang mencoba menghentikannya, harus mengerahkan kemampuannya. Namun seorang diantara merekapun telah terlempar dari arena pertempuran. Sedangkan kedua orang yang lain, dengan mengerahkan kemampuan mereka mencoba untuk mengimbangi kemampuan Ki Argajaya
Namun dalam pada itu, seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah menggenapi lawan Ki Argajaya menjadi tiga orang lagi. Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu agaknya memiliki kelebihan dari kawan-kawannya
Karena itulah, maka Ki Argajaya harus meningkatkan kemampuannya pula untuk melawan ketiga orang itu.
" Siapa kau ?"geram orang bertubuh tinggi itu"nampaknya kau salah seorang pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh
Argajaya termangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab" aku pengawal Tanah Perdikan ini.
"Persetan dengan-kau. Siapa namamu " "
"Apakah itu penting."
"Aku ingin membunuh orang yang aku kenal namanya "Karena itu, aku tidak perlu menyebut namaku karena kau tidak akan dapat membunuhku.
Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya Kedua orang yang lain telah melibatkan diri pula
Ki Argajayapun harus bertempur melawan tiga orang lagi Seorang diantaranya adalah orang yang memiliki ilmu melampaui kawan-kawannya
Tetapi Ki Argajaya sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan garangnya senjatanyapun berputaran menyambar-nyambar.
Dalam pada itu pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit, sementara cahaya mataharipun menjadi semakin membakar kulit. Telapak tanganpun telah menjadi basah oleh keringat.
Ternyata Ki Gede tidak dapat tinggal diam duduk di pendapa rumahnya sambil menunggu laporan-laporan dari para penghubung. Apa lagi di depan pintu gerbang padukuhan induk telah terjadi pertempuran, sehingga para penghubung akan menjadi ragu-ragu untuk memasuki
Tetapi Ki Gede berharap bahwa para penghubung akan tanggap pada keadaan dan memasuki padukuhan induk itu lewat pintu regol buju-lan yang dijaga oleh bebarapa orang prajurit diatas panggungan. Para prajurit itu akan mengetahui jika ada seorang akan memasuki padukuhan induk, sehingga pintu regol butulan itu akan dibuka.
Dalam pada itu, Ki Gede sendiri telah berdiri dipanggungan di sebelah pintu gerbang utama padukuhan induk Tanah Perdikan. Tombak pendeknya digenggamnya erat-erat. sambil memandangi pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya Beberapa orang pengawal khusus Ki Gede telah siap pula untuk menerima perintah apa saja yang akan diberikan oleh Ki Gede.
Ketika pasukan Tanah Perdikan itu terdesak perlahan-lahan mendekati dinding padukuhan induk, Ki Gede menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia langsung terjun ke medan bersama beberapa orang pengawal khususnya Namun kemudian dari panggungan itu Ki Gede melihat kelompok-kelompok pengawal yang berdatangan untuk membantu pasukan yang terdesak itu, sehingga keseimbangannyapun telah berubah.
Dada Ki Gede menjadi agak lapang. Pasukan tanah Perdikan tidak lagi terdesak surut perlahan-lahan. Kehadiran kelompok-kelompok pengawal dari padukuhan-padukuhan disekitar padukuhan induk itu, ternyata mempunyai pengarah'yang besar. Bukan saja lambung pasukan lawan yang mengalami kesulitan, tetapi kesulitan itu telah merambat ke-seluruh bagian pasukan yang menyerang padukuhan induk itu.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di perbatasan sebelah Barat tanah Perdikan serta disisi Utara, menjadi semakin sengit pula Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan untuk menghancurkan lawan. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang itupun telah berusaha dengan segenap kekuatan untuk memecah pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Tetapi usaha itu selalu saja sia-sia
Dalam pada itu, di induk gelar pasukan Tanah Perdikan, Agung Sedayu harus bertempur menghadapi Ki Darpatenaya yang berniat untuk membunuhnya sebelum Ki Darpatenaya itu akan bergeser ke pertempuran di medan yang lain untuk membunuh Empu Wisanata.
Tetapi tidak mudah untuk membunuh Agung Sedayu. Ki Darpatenaya yang merasa dirinya mempunyai kemampuan melampaui semua orang itu, menyangka bahwa ia akan dapat dengan cepat membunuh Agung Sedayu, meskipun ia menyadari bahwa Agung Sedayu itu berilmu tinggi. Tetapi ternyata nyawa Agung Sedayu itu cukup liat
Serangan-serangan Ki Darpatenaya yang dianggapnya akan dapat menentukan akhir dari pertempuran, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayupun merasakan, bahwa serangan-serangan Ki Darpatenaya memang menjadi semakin berbahaya. Tangan Ki Darpatenaya itu serasa menjadi semakin keras. Benturan-benturan yang terjadi kemudian, telah menyakiti tulang Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu bukan lawan yang lunak bagi Ki .Darpatenaya Semakin lama Agung Sedayu itu justru menjadi semakin cepat bergerak. Tangan-Ki Darpatenaya yang menjadi semakin keras seperti bau, justru tidak menyakitinya
Ki Darpatenaya adalah orang yang cukup berpengalaman. Ketika kekuatan ilmunya yang tersalur di tangannya tidak menyakiti Agung Sedayu, maka ia pun mulai mengakui, bahwa Agung Sedayu bukan sekedar memiliki kemampuan kewadagan dan ketrampilan serta menguasai unsur-unsur gerak yang rumit
" Itukah sebabnya namamu menjadi besar Agung Sedayu " berkata Ki Darpatenaya
"Apa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau memiliki ilmu kebal Sentuhlah tanganku sama sekali tidak kauhiraukan."
" Aku sudah sangat mengenali jenis ilmu Brajamusti itu, Ki Sanak. Karena itu, aku tidak terkejut karenanya"
"Jangan terlalu sombong, Ki Lurah. Yang kau hadapi bukan Aji Brajamusti. Tetapi Aji Wukir Sewu. Wataknya jauh berbeda."
"Aku berhadapan dengan Aji Brajamusti. Tetapi jika kemudian kau akan mengetrapkan Aji Wukir Sewu, silahkan Ki Sanak."
Ki Darpatenaya tidak menjawab. Tetapi serangannya kemudian datang membadai. Sentuhan-sentuhan tangannya menjadi semakin keras. Sentuhan tangan itu meskipun tidak menyakitinya tetapi dapat dirasakan betapa besar kekuatannya Semakin lama semakin besar. Meskipun tidak memecahkan ilmu kebalnya, namun kekuatannya demikian besar, sehingga mampu mengguncang ketahanan sikap Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak dapat menghadapi Aji W ukir Sewu itu dengan berlindung di balik ilmu kebalnya saja. Namun kemudian Agung Sedayu pun telah mengetrapkan kemampuannya meringankan tubuhnya.
Dengan demikian maka serangan-serangan Ki Darpatenaya itu pun kemudian sulit untuk menyentuhnya. Agung Sedayu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Meloncat, melenting, berputar di udara dan bahkan bergeser dengan kaki yang bagaikan tidak menyentuh tanah.
Perlawanan Agung Sedayu itu telah membuat lawannya menjadi semakin marah, tetapi juga gelisah. Agung Sedayu itu telah membuat lawannya menjadi semakin marah, tetapi juga gelisah. Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya Ki Darpatenaya masih belum mampu mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu
Ki Darpatenaya pun menjadi sangat marah. Karena itu, maka Ki Darpatenaya itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja Ki Darpatenaya itu sudah mencabut pedangnya
Sambil mengacukan pedangnya Ki Darpatenaya itu pun berkata, " Aku ingin tahu, apakah ilmu kebalmu mampu menahan tajamnya pedang pusakaku Kiai Galih yang dialasi dengan kekuatan Aji Wukir Sewu.-"
Dahi Agung Sedayu pun berkerut. Lawannya akan menggabungkan dua kekuatan yang diyakini akan dapat mengoyak ilmu kebalnya
Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi pun menjadi semakin sengit Pedang Kiai Galih di tangan Ki Darpatenaya yang memiliki kekuatan Aji Wukir Sewu, ternyata sangat berbahaya Ketika ujung pedang itu sempat menukik ke arah pundak Agung Sedayu. Meskipun pedang itu tidak menghujam di pundak Agung Sedayu, tetapi pundak Agung Sedayu telah sempat tergores oleh ujung pedang ilu, sehingga darahnya telah menitik dari luka itu.
Agung Sedayu meloncat surut. Sementara Ki Darpatenaya tidak memburunya. Ki Darpatenaya memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk melihat, bahwa kekuatan Aji Wukir Sewunya mampu mendorong pedangnya yang disebutnya Kiai Galih menembus ilmu kebalnya
Sambil tertawa Ki Darpatenaya itu pun berkata"Nah, kau lihat Agung Sedayu. Pundakmu itu terluka. Dengan demikian, kau yakini, bahwa pedangku akan dapat mengoyak perutmuu, menembus jantung di dadamu, atau menyobek lambungmu."
"Ya, aku percaya Ki Sanak. Tetapi sentuhan-sentuhan tipis itu tidak akan banyak berpengaruh. Ujung pedangmu tidak akan mampu menusuk sampai ke jantung. Kau memerlukan kekuatan yang sangat besar untuk menembus ilmu kebalku. Dengan Aji Wukir Sewu itu kau hanya dapat menggores ujung pedangmu di pundakku seperti terpatuk ujung duri di tangkai kembang mawar hutan."
"Mungkin sentuhan pertama itu tidak menyakitimu, Ki Lurah. Tetapi sentuhan berikutnya akan mengejutkanmu."
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Ki Darpatenaya itu pun ' meloncat menyerangnya Pedangnya berputar dengan cepat, kemudian teracu ke arah dada dilambari dengan Aji Wukir Sewu. Demikian besar kekuatan Ki Darpatenaya dengan alas Aji Wukir Sewunya sehingga seakan-akan Ki Darpatenaya mampu memindahkan seribu gunung".
Karena itulah, maka Agung Sedayu benar-benar harus berhati-hati menghadapi ujung pedang Ki Darpatenaya itu.
Dalam pada itu, pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit di medan di perbatasan Barat Tanah Perdikan itu. Kedua pasukan itu saling mendesak dengan garangnya Kedua belah pihak bertempur dengan kerasnya mengerahkan segenap kemampuan.
Namun bagaimanapun juga usaha pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu, namun mereka tidak berhasil mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Medan pertempuran itu rasa-rasanya masih belum beringsut dari semula
Meskipun demikian, korban sudah berjatuhan. Beberapa orang diantara mereka yang ada didalam pasukan itu, terpaksa berhenti bertempur untuk menolong kawan-kawannya yang terluka. Mereka membawa kawan-kawan mereka itu ke belakang garis pertempuran, sementara merekapun segera kembali ke medan. Sedangkan kawan-kawan mereka yang terluka itu segera dirawat oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan pengobatan. Orang-orang yang sudah lewat separo baya, tetapi masih kokoh, telah turun pula untuk membantu merawat para prajurit dan pengawal yang terluka
Dalam pada itu, Suranata masih bertempur melawan Ki Wijil. Keduanya memiliki bekal ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin seru. Suranata yang telah mengembara menjelajahi daerah yang luas itu, mempunyai se-bangsal pengalaman yang dapat mematangkan ilmunya
Namun yang dihadapinya adalah Ki Wijil. Seorang yang berilmu tinggi pula Dilengkapi dengan dukungan pengetahuannya dan pengalaman yang sangat luas pula
Karena itulah, maka Suranatapun segera merasakan tekanan yang semakin lama menjadi semakin berat, sehingga akhirnya Suranata itu mulai terdesak.
Tetapi Suranata yang sedang dicengkam oleh gejolak jiwanya itu tidak segera melihat kenyataan itu. Dengan garangnya ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyelesaikan pertempuran itu.
. Tetapi ternyata justru Suranata sendiri yang semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangannya selalu dapat dipatahkan. Namun dalam pada itu, serangan serangan Ki Wijil semakin sering mengenainya Beberapa kali tubuh Suranata tergores ujung senjata Ki Wijil. Meskipun goresan-goresan itu tidak menghentikan perlawanannya, namun darah telah menitik dari luka-lukanya itu.
Dalam puncak kemarahannya maka Suranata tidak lagi menyandarkan diri kepada senjatanya Tetapi Suranata ingin segera mengakhiri pertempuran dengan ilmu pamungkasnya.
Namun Ki Wijil dapat membaca niat Suranata itu. Karena itu, maka Ki Wijil berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada Suranata untuk memusatkan nalar budinya sampai kepada puncak ilmunya
Serangan-serangan Ki Wijil justru menjadi semakin membadai. Ujung senjata yang berputar menyambar-nyambar semakin sering menyentuh kulit Suranata
.Beberapa kali Suranata mencoba mengambil jarak. Tetapi Ki Wijil benar-benar telah mengerahkan tenaganya untuk memburunya menyerangnya dan merampas segala kesempatan yang mungkin dapat dilakukan.
Suranata itupun menggeram marah sekali. Ki Wijil rasa-rasanya selalu saja melekat dihadapannya, sehingga Suranata benar-benar tak mempunyai kesempatan.
Namun Suranata tidak menyerah. Dihentakkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk menahan serangan Ki Wijil. Namun kemudian Suranata itupun meloncat mengambil jarak.
Suranata tidak menghiraukan lagi serangan-serangan Ki Wijil, ia berusaha dengan kesempatan yang sekejap itu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya
Tetapi kecepatan gerak Ki Wijil memang tidak tertandingi oleh Suranata Pada saat Suranata berlutut pada satu kakinya sambil mengangkat tangannya maka sebilah pisau belati telah menyambar bahunya Demikian kerasnya sehingga Suranata itu terdorong dan kehilangan keseimbangannya
Pada saat yang bersamaan Suranata melepaskan ilmu puncaknya. Dari telapak tangannya yang dihentakkannya, meluncur seleret sinar dengan derasnya Tetapi arahnya sudah tidak terkendali lagi. Sinar itu meluncur naik ke udara
"Licik, kau Ki Wijil - geram Suranata yang kemudian jatuh terlentang. Pisau belati yang dilemparkan oleh Ki Wijil masih menancap di bahunya Kalanya dengan suara tersendat - Kau tidak berani beradu ilmu. Disaat kau tahu bahwa aku berusaha untuk melepaskan ilmu pamungkasku , kau tidak berani beradu dada Seharusnya kaupun bersiap untuk membentur ilmu puncakku dengan ilmu puncakmu. Ternyata bahwa kau tidak lebih dari seorang yang sekedar berpijak pada ilmu kewadagan.
Ki Wijil berdiri termangu-mangui. Ia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, Suranata tidak akan melepaskan ilmu puncaknya Jika hal itu dilakukannya maka lukanya itu akan dapat membunuhnya Urat-urat nadinya yang terpotong oleh pisau belati ku akan memancarkan darah sehingga jantung Suranata itu akan menjadi kering."
"Sudahlah, ngger. Jangan terlalu banyak bergerak. Redamlah kemarahanmu itu."
" Kenapa kau tidak berani membenturkan ilmumu" Bukankah kau suami Srigunting Kuning?"
Ki Wijil menarik nafas daiam-dalam. Dipandanginya Suranata sejenak.. Wajahnya menjadi sangat tegang menahan kesakitan yang mencekam lukanya
Ketika Suranata itu akan bangkit, maka Ki Wijil itupun mencoba menahannya. Katanya - Jangan paksa dirimu Berbaring sajalah."
Suranata yang lemah itupun berbaring kembali. Nafasnya menjadi terengah-engah.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah melingkari Ki Wijil dan Suranata yang terbaring diam. Dengan garangnya mereka menghalau orang-orang yang mencoba mendesak dan berusaha untuk mengambil Suranata yang terluka
"Angger Suranata - berkata Ki Wijil - aku memang tidak ingin membenturkan ilmuku dengan ilmu yang mungkin dilepaskan oleh angger Suranata"
"Kenapa" - geram Suranata yang kesakitan, sementara Ki Wijil . berjongkok di sebelahnya
" Aku tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi aku harap angger Suranataa menyadari kenyataan itu. Aku tahu bahwa saudara perempuan angger Suranata sedang dalam keadaan terluka. Terluka tubuhnya dan terluka hatinya Karena itu, maka sebaiknya angger Suranata tetap hidup, Nyi Yatni itu sangat memerlukan angger Suranata"
Wajah Suranata menjadi tegang. Sementara itu, Ki Wijilpun berkata selanjutnya - Jika kita beradu ilmu puncak, maka aku tidak akan dapat mengendalikan diri lagi Sedangkan aku yakin, bahwa kematangan ilmu angger Suranata masih di bawah kemalangan ilmuku selapis. Karena itu, aku cari jalan lain untuk rnenghentikanmu tanpa membenturkan ilmu kita masing-masing.
"Kau terlalu sombong, Ki Wijil - geram Suranata
"Bukan maksudku, ngger."
"Kau kira benturan ilmu di antara kita akan dapat membunuhku, Ki Wijil. Atau kau sendiri yang menjadi ragu-ragu, bahwa ilmumu akan dapat mengimbangi ilmu pamungkasku."
"Angger Suranata Kau jangan ingkar dari kenyataan ini. Jika aku sekedar ingin membunuhmu, tanpa ilmu pamungkas itupun aku dapat melakukannya."
Wajah Suranata menjadi merah. Sementara itu, perasaan sakitnya semakin mencengkamnya
" Aku akan menarik pisau itu dari bahu angger Suranata - berkata Ki Wijil - bertahanlah. Aku akan menaburkan obat dilukamu agar darahnya menjadi pampat Kemudian biarlah kau dibawa oleh orang-orangmu ke tempat saudara perempuanmu."
Suranata menggeram. Katanya - Tinggalkan aku. Jika aku mati, kau tidak akan merasa kehilangan, Ki Wijil.
Tetapi Ki Wijil tidak menghiraukannya. Disiapkan bumbung berisi obat untuk memampatkan darah. Kemudian dicabutnya pisau belatinya yang tertancap di bahu Suranata.
Terdengar Suranata itu berteriak nyaring. Perasaan sakit benar-benar telah menusuknya sampai ke tulang sumsum.
Namun Ki Wijilpun kemudian telah menaburkan obat yang akan dapat memampatkan darah yang memancar dari luka itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Wijil pun bangkit berdiri. Iapun memberi isyarat, agar para pengawal yang bertempur di sekitarnya itu bergeser mundur.
Sebenarnyalah, demikian para pengawal menyibak, maka beberapa lawanpun dengan serta merta telah berloncatan ke arah rubuh Suranata. Beberapa orangpun kemudian telah memungut tubuh itu dan menggotongnya menyibak kawan-kawannya ke belakang garis pertempuran.
Namun Suranata itu masih hidup.
Bahkan terngiang di telinganya kata-kata Ki Wijil, bahwa Ki Wijil tidak berniat untuk membunuhnya
"Jika aku sempat melepaskan ilmu puncakku, maka Ki Wijil tentu akan membenturnya dengan ilmu puncak pula - berkata Suranata di dalam hatinya Jika itu terjadi, maka agaknya tidak berlebihan sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Wijil. Bahwa ilmunya masih selapis dibawah ilmu Ki Wijil, sehingga benturan ilmu itu tentu akan menghanguskan dadanya
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menyeringai menahan sakit Meskipun demikian, ternyata obat Ki Wijil itu benar-benar telah jauh mengurangi arus darahnya yang memancar dari lukanya.
"Kenapa Ki Wijil tidak mau membunuhku?" Meskipun Ki Wijil tidak menyaksikan sendiri, agaknya ia sudah mendengar apa yang terjadi di halaman rumah Ki Gede. Perselisihan antara kedua orang saudara perempuannya
Suranata itu menarik nafas dalam-dalam, Ki Wijil itu berkata kepadanya - Saudara perempuan angger Suranata sedang dalam keadaan terluka Terluka tubuhnya dan terluka hatinya
" Yatni memang memerlukan aku - berkata Suranata di dalam hatinya
Sementara itu, maka keseimbangan pertempuran telah mulai berguncang. Wira Aran yang bertempur melawan Nyi Wijil, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Ujung pedang Nyi Wijil yang disebutnya sebagai Srigunting Kuning itu, selalu memburunya kemana saja ia bergerak. Kecepatan gerak Nyi Wijil benar-benar secepat gerak seekor burung srigunting yang sedang menyambar bilalang.
Sebenarnyalah, Wira Aran bukan lawan Nyi Wijil. Karena itu, maka akhirnya Wira Aran itu harus mengakui kelebihan Nyi Wijil.
Dengan demikian, maka Wira Aran itupun kemudian telah berusaha untuk mendapatkan bantuan dari orang-orang yang bertempur dibawah pimpinan Ki Saba Lintang itu.
"Hancurkan perempuan iblis ini " teriak Wira Aran.
Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Teriakan Wira Aran itu tidak segera mendapat tanggapan, karena orang-orang dalam pasukan Ki Saba Lintang ini masih harus menghadapi lawan mereka masing-masing.
Namun kemudian dua orang diantara mereka berhasil melepaskan diri dari lawan-lawan mereka dan bergabung dengan Wira Aran melawan perempuan yang disangkanya Srigunting Kuning itu.
Nyi Wijilpun kemudian bertempur melawan ketiga orang itu. Mereka berusaha untuk mengepung Nyi Wijil dan menyerangnya dari arah yang berbeda-beda
Tetapi Nyi Wijil cukup tangkas menghadapi mereka bertiga. Dengan cepatnya ia berloncatan sambil memutar senjatanya. Bahkan sekali-kali melenting keluar dari lingkaran kepungan ketiga orang lawannya
Namun ketiga orang itupun kemudian menjadi gelisah ketika Ki Wijil yang sudah kehilangan lawannya menyibak medan pertempuran dan melangkah mendekati Nyi Wijil yahg bertempur melawan ketiga orang lawan itu.
Tetapi Ki Wijil tidak segera melibatkan diri. Sejenak ia mengamati pertempuran antara Nyi Wijil dari ketiga orang lawannya termasuk Wira Aran.
Namun kemudian iapun tersenyum. Pertempuran itu tidak membahayakan Nyi Wijil.
Wira Aran menjadi semakin gelisah melihat Ki Wiji91 mendekati arena itu Jika Ki wijil melibatkan diri, maka sulit baginya bertiga untuk menghadapi kedua orang suami istri itu.
Tetapi sebelum Ki Wijil memasuki arena pertempuran itu, maka salah seorang dari kedua orang yang membantu Wira Aran itu telah terlempar dari arena Segores luka yang panjang menyilang didadanya
Wira Aran menjadi semakin cemas. Kawannya yang tiggal seorang itupun menjadi berdebar-debar pula. Mereka tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa berdua mereka tidak akan mampu melawan Nyi Wijil. Apalagi jika Ki Wijil melibatkan dirinya pula. Karena itu, maka ketika Nyi Wijil semakin menekan keduanya maka kedua orang itupun telah berusaha membaur dalam pertempuran yang seru diantara orang-orang yang berada didalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu
Tetapi sebelum Wira Aran tenggelam didalamnya, Nyi Wijil telah menyusulnya Sementara itu, Ki Wijil sudah mendampinginya, sehingga orang-orang yang akan mendekatinya telah dihalaunya.
" Jangan menghindar, Wira Aran - Ki Wijillah yang berkata lantang " seharusnya kau berhadapan dengan Empu Wisanata sebagaimana pernah kau katakan, bahwa kau tidak akan pernah melupakannya ketika kau bersama Suranata menemuinya di rumah Agung Sedayu."
"Persetan dengan Empu Wisanata"geram Wira Aran. "Karena Empu Wisanata tidak ada disini, maka biarlah Nyi Wijil sajalah yang mewakilinya"
"Jika kalian tidak menyingkir, aku akan membunuh kalian."
" Kaulah yang tidak pantas untuk tetap hidup. Kau tentu telah menghasut Suranata untuk berani melawan ayahnya."geram Nyi Wijil.
Wira Aran masih akan menyusup diantara pertempuran yang masih berlangsung.
Namun dengan cepat Nyi Wijil menyusulnya, sehingga Wira Aran tidak dapat melarikan dirinya lagi. Sementara itu seorang yang bertempur bersamanya, telah berusaha untuk membantunya sejauh dapat dilakukannya
Ki Wijil ternyata tidak mencampurinya Ia bahkan ikut melibatkan diri, bertempur bersama para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan.
Wira Aran memang tidak dapat lepas dari tangan Nyi Wijil. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian. Nyi Wijil masih juga memberinya peringatan " Menyerahlah Wira Aran. Kau harus ditangkap hidup-hidup dan dibawa menghadap Empu Wisanata"
Persetan, nenek-nenek buruk. Kau tidak dapat memaksakan kehendakmu atasku Sekali lagi aku beri kau kesempatan untuk melarikan diri dari medan. Jika kau tolak kesempatan terakhir ini, maka kau akan mati."
Namun demikian mulut Wira Aran tertutup, maka terdengar ia berteriak nyaring. Ujung senjata Nyi Wijil telah mengoyak lambungnya, sehingga lukapun telah menganga
Wira Aran terhuyung-huyung. Iapun kemudian telah berteriak-teriak mengumpat dan mengaduh sambil berguling-guling menahan sakit.
Nyi Wijil berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ditinggalkannya Wira Aran yang terluka parah itu. Tidak ada niat Nyi Wijil untuk membunuhnya. Jika kawan-kawannya sempat menolongnya biarlah ia tetap hidup. Jika ia masih juga mendendamnya, maka Nyi Wijil akan menunggunya
Dalam pada itu, Ki Wijil dan Nyi Wijilpun kemudian telah bergabung dengan para prajurit dan pengawal dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Kehadiran mereka, benar-benar telah mengacaukan perlawanan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Bersama dengan para prajurit dan pengawal, maka Ki Wijil dan Nyi Wijil itu telah mendesak pasukan lawan. Mereka tidak sempat menyusun kelompok-kelompok untuk menahan Ki Wijil dan Nyi Wijil, karena para prajurit dan pengawal seakan-akan tidak pernah memberi kesempatan.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa orang memang sempat menolong Wira Aran. Tetapi luka-luka Wira Aran terhitung sangat parah. Kegelisahannya serta geraknya yang terlalu banyak, seakan-akan telah memeras darahnya dari tubuhnya.
Berbeda dengan Suranata yang lebih tenang, apalagi Ki Wijil telah memberinya obat untuk mengurangi arus darahnya.
Karena itu, keadaan Suranata masih jauh lebih baik dari keadaan Wira Aran.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah berhadapan dengan dua orang bersaudara seperguruan. Dua orang yang terhitung agak gemuk, tetapi ternyata mereka memiliki ilmu yang tinggi.
Seorang diantara kedua orang bersaudara yang berdiri di hadapan Glagah Putih berdesis " Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga Glagah Putih. Laripun kau tidak akan dapat melakukannya."
Glagah Putih tidak segera menjawab. Namun iapun meloncat kesamping ketika lawannya yang seorang lagi menyerangnya.
Tetapi lawannya yang lainpun segera memburunya. Ujung senjatanya yang telah digenggamnya, terayun mendatar menebas ke arah dada
Tetapi Glagah Putih sempat mengelak. Ujung pedang itu tidak menyentuhnya sama sekali. Sementara itu lawannya yang seorang lagi telah meloncat menjulurkan pedangnya. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih dapat menangkis dengan pedangnya pula "
Tetapi kedua orang lawannya itupun semakin meningkatkan ilmunya pula Semakin lama semakin tinggi.
Glagah Putihpun harus bertempur semakin keras pula. Dua orang lawannya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Disisi Selatan, Glagah Putih harus bertempur menghadapi tiga orang saudara seperguruan yang disebut Rewanda Lantip. Bertiga mereka merupakan kekuatan yang sulit diatasinya meskipun akhirnya Glagah Putih mampu mengalahkan mereka Kemudian dalam pertempuran di sisi Barat itu, ia harus menghadapi sepasang saudara seperguruan. Meskipun kedua orang ini tidak bertempur sekasar ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu, namun keduanya tidak kalah berbahaya dari mereka.
Pedang kedua orang saudara seperguruan itu terayun-ayun mengerikan. Berganti-ganti keduanya terjulur, menebas, terayun mendatar dan kadang-kadang menikam ke arah jantung.
Tetapi kecepatan gerak Glagah Putih mampu melindunginya. Pedang Glagah Putihpun kemudian berputar dengan cepatnya
Namun agaknya kedua orang lawannya yang tidak segera dapat mengalahkannya itu tidak telaten lagi. Keduanyapun kemudian telah merambah ke ilmu puncak mereka. Kedua pedang itupun bergerak beruntun dengan cepatnya. Sekali-kali kedua belah pedang itu justru bersentuhan yang satu dengan yang lain. Bahkan kadang-kadang berbenturan.
Glagah Putih mulai menyadari, bahwa kedua orang lawannya telah sampai kepada ilmu puncak mereka. Sentuhan-sentuhan senjata mereka telah memancarkan bunga api yang bercahaya menyilaukan mata Glagah Putih. Pada saat yang demikian, maka kedua orang lawannya itu menyerangnya berbareng dari arah yang berbeda
Glagah Putih semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali ia harus meloncat mengambil jarak apabila matanya menjadi silau oleh kilatan loncatan api pada sentuhan kedua bilah pedang lawan-lawannya
Namun ternyata Glagah Putihpun telah terlambat melenting ketika matanya bagaikan tertusuk oleh cahaya yang berkilat-kilat sehingga ia sama sekali tidak dapat melihat sesuatu.
Glagah Putih itu menggeram ketika terasa lengannya menjadi pedih. Sekret luka telah mengoyak lengannya sehingga darahpun telah mengalir dari lukanya itu.
Jantung Glagah Puuh memang menjadi panas. Karena itu, ia justru telah menyarungkan pedangnya Yang kemudian digenggamnya adalah ikat pinggangnya
Dengan ikat pinggang yang rasa-rasanya sudah menjadi sangat mapan ditangannya Glagah Puuh menjadi semakin garang. Ketika kedua orang lawannya menyentuhkan pedang-pedang mereka yang satu dengan yang lain, Glagah Putih tidak berusaha mengambil jarak. Glagah Putih justru meloncat mendekati cahaya yang menyilaukan itu Dengan ikat pinggangnya ia memukul percikan bunga api yang memancarkan cahaya yang menusuk matanya
Kedua orang lawannya terkejut. Karena sikap Glagah Putih itu tidak mereka duga sebelumnya, maka pedang merekapun telah tergetar. Bahkan seorang diantara mereka benar-benar tidak sempat mempertahankan pedangnya sehingga pedangnya itupun telah terjatuh di tanah.
Untunglah, bahwa kawannya cepat bertindak. Orang itu telah memutar pedangnya dan menyerang langsung dengan menjulurkan pedangnya itu ke arah perut
Glagah Putih meloncat surut. Sementara itu, seorang dari kedua lawannya yang kehilangan pedangnya itu sempat memungutnya
Namun Glagah Putih tidak membiarkannya Dengan cepatnya ia melenting. Ikat pinggangnya berputar dengan cepat, Satu tebasan mendatar telah membuat lawannya yang baru saja menjulurkan pedangnya harus menangkisnya
Benturan yang keras telah terjadi. Lawan Glagah Putih itu harus mempertahankan pedangnya agar tidak terlepas. Namun telapak tangannya terasa bagaikan menyentuh bara
Orang itu meloncat surut Kawannya yang telah menggenggam. pedangnya dengan cepat mendekatinya Kedua pedang itupun bersentuhan, sehingga cahaya yang silau telah memancar.
Tetapi kedua orang itu ternyata salah hitung. Cahaya yang silau itu tidak membuat lawan mereka kebingungan. Tetapi Glagah Putih justru memanfaatkan saat seperti itu.
Glagah Putih tahu pasti, bahwa kedua senjata lawan-lawannya itu sedang bersentuhan. Seperti yang pernah terjadi, maka jika ia memukul titik percikan yang menyilaukan itu, maka ia akan dapat mengenai kedua senjata lawannya
Karena itu, maka Glagah Putih tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan dialasi oleh kekuatan ilmu Sigar bumi, maka Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan ikat-pinggangnya Ia yakin, bahwa ikat pinggangnya akan mampu membawa beban ilmunya. Jika ia mempergunakan pedangnya, mungkin pedangnya akan patah jika pedang lawan terbuat dari bahan yang lebih baik. Tetapi Glagah Putih percaya akan kelebihan ikat-pinggangnya itu.
Karena itu, ketika ikat pinggang Glagah Putih itu mengenai pusat percikan bunga api yang menyala menyilaukan itu, maka sekali lagi ikat pinggangnya menghantam dua bilah pedang dari kedua orang lawannya. Benturan yang teraku jauh lebih keras dari benturan sebelumnya. Pedang seorang dari mereka telah terlempar dari tangannya, sedangkan pedang yang sebilah lagi telah patah ditengah.
Kedua orang lawan Glagah Puuh itu berloncatan surut Kedua-duanya tidak lagi dapat mempergunakan senjata mereka untuk melawan.
Namun kedua orang itu tidak segera menyerah Justru karena mereka kehilangan senjata mereka, maka keduanyapun telah mengerahkan ilmu puncak mereka.
Jantung Glagah Putih berdesir ketika ia melihat kedua orang itu berloncatan saling mendekat Keduanyapun kemudian berpegangan sebelah tangan masing-masing. Sedangkan tangan yang lain mereka angkat bersama-sama mengarah kepada Glagah Putih. -
Glagah Putih yang memiliki pengalaman yang luas itu segera mengerti, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang saudara seperguruan itu. Karena itu, maka iapun segera memepersiapkan diri.
Disangkutkannya ikat pinggangnya di lehernya, sementara ia siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, justru karena kedua orang lawannya harus bekerja bersama, maka mereka memerlukan waktu sekejap lebih lama dari Glagah Putih sendiri. Karena itu, demikian mereka mengangkat tangan mereka, maka Glagah Putihpun telah meloncat sambil berguling beberapa kali. Namun tanpa bangkit berdiri, Glagah Putih yang kemudian berlutut di satu lututnya itu, telah mengangkat tangannya pula.
Seleret sinar telah meluncur menyambar Glagah Putih dari kedua tangan dua orang bersaudara yang saling berpegangan itu. Namun sinar itu tidak mengenai sasarannya, karena Glagah Putih dengan cepat mengelakkan diri. Bahkan Glagah Putihpun telah membalas menyerang.
Kedua orang saudara seperguruan itu tidak mengira, bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga mampu membalas menyerangnya dari jarak jauh.
Keduanya memang berusaha mengelak. Tetapi ternyata seorang diantara mereka telah terlambat Serangan Glagah Putih telah menyambar seorang diantara kedua orang saudara seperguruan itu, sementara yang lain telah berloncatan sambil menjatuhkan dirinya menyamping.
Terdengar teriakan kesakitan. Orang yang telah dikenai serangan Glagah Putih itu terpelanting beberapa langkah. Tubuhnya terbanting jatuh dengan derasnya.
Dalam pada itu, seorang diantara kedua saudara seperguruan yang luput dari serangan Glagah Putih itu telah berusaha mempersiapkan diri pula. Tanpa dukungan kekuatan saudara seperguruannya orang itu telah menyerang Glagah Putih.
Tetapi ternyata Glagah Putih telah bersiap pula. Ia memang berusaha untuk tidak membenturkan ilmunya ketika ia menyadari, bahwa kedua orang lawannya itu telah menggabungkan kekuatan puncak ilmu mereka. Namun Glagah Putih tidak mengelak, ketika ia mendapat serangan hanya oleh seorang diantara mereka.
Karena itu, pada waktu yang bersamaan, Glagah Putih telah mengangkat tangannya pula. Kedua telapak tangannyapun dibukanya menghadap kearah lawannya
Dengan demikian, maka telah terjadi benturan ilmu dari dua orang yang berilmu tinggi.
Benturan ilmu itu ternyata telah menimbulkan getaran yang bergelombang berbalik kearah mereka yang telah melontarkannya
Demikian serunya benturan yang terjadi, serta gelombang getar balik ilmu mereka masing-masing, maka kedua orang yang sedang beradu ilmu itu telah terpelanting beberapa langkah surut,
Glagah Putih yang terdorong beberapa langkah itu telah kehilangan keseimbangannya sehingga anak muda itu telah terjatuh berguling di tanah.
Dua orang pengawal Tanah Perdikan dengan cepat berlari mendekat sebelum lawan-lawan mereka mengambil kesempatan untuk mencelakai Glagah Putih.
Seorang diantara mereka berlutut di sebelah tubuh Glagah Putih. Dengan susah payah ia membantu Glagah Putih yang berusaha untuk bangkit dan duduk bersandar pada kedua belah tangannya
"Jangan paksakan untuk duduk"berkata pengawal itu.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian justru duduk bersila sambil meletakkan kedua telapak tangannya dilututnya
Nafas Glagah Putihpun menjadi sesak. Karena itu, maka Glagah Putih mencoba untuk memperbaiki keadaannya Sementara itu, perasaan nyeri telah mencengkam dadanya
Dua orang pengawal yang berdiri didekatnya bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan dengan senjata telanjang.
Namun tidak seorangpun lawan yang sempat mendekatinya. Pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya Sorak gemuruh yang menggetarkan medan justru telah menggetarkan jantung disetiap dada lawan.
Kegelisahan melanda orang-orang yang berada'di dalam pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang itu
Dua orang saudara seperguruan yang menjadi kebanggaan para prajurit pengikut Ki Saba Lintang itu ternyata dapat dilumpuhkan oleh anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu.
Sebenarnyalah dalam benturan ilmu yang terjadi, Glagah Putih yang memiliki kematangan ilmu selapis lebih tinggi dari lawannya telah berhasil menghentikan perlawanannya. Dari sela-sela bibir lawannya, menitik darah yang segar. Ternyata benturan ilmu itu telah menghancurkan bagian dalam tubuhnya
Demikian ia terpelanting jatuh, maka ia tidak mampu untuk bangkit kembali Meskipun orang itu masih sempat mengerang, namun kemudian mautpun telah menjemputnya Sementara saudara seperguruannya telah terlebih dahulu menarik nafasnya yang terakhir.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun ternyata telah terluka di bagian dalam tubuhnya Jika saja ia tidak menghindari benturan yang terjadi melawan kedua orang saudara seperguruan yang menyatukan kekuatan mereka, maka tentu Glagah Putih yang akan mengalami bencana itu.
Kematian dua orang saudara seperguruan itu telah mengguncang medan. Orang-orang dalam pasukan Ki Saba Lintang itu menjadi kecut. Mereka menganggap bahwa kedua orang saudara seperguruan itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Namun ternyata anak muda dari Tanah Perdikan itu mampu mengalahkannya
Meskipun kemudian Glagah Putih tidak lagi bertempur diantara para pengawal Tanah Perdikan karena luka-luka dibagian dalam tubuhnya namun kematian kedua orang saudara seperguruan itu sangat mempengaruhi ketahanan jiwa mereka
Karena itu, maka goncangan-goncangan keseimbangan pertempuran telah terjadi. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mendesak lawan-lawan mereka beberapa langkah maju.
. Kegelisahan telah terjadi dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Semakin lama terasa tekanan yang semakin berat dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan Ki Saba Lintang menjadi semakin gelisah. Para penghubungnya telah memberikan laporan, bahwa keadaan pasukannya semakin lama menjadi semakin sulit.
Ki Saba Lintang sendiri akhirnya telah turun ke medan. Seorang pengawalnya yang masih muda dan berilmu tinggi, selalu berada bersamanya
Namun kelompok-kelompok yang kuat dari para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah menahannya. Mereka sempat meninggalkan lawan-lawan mereka, karena lawan-lawan mereka bagaikan telah dihisap oleh Ki Wijil dan Nyi Wijil setelah mereka mematahkan perlawanan Suranata dan Wira Aran.
Diinduk gelar, Agung Sedayu masih berhadapan dengan Ki Darpatenaya Seorang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia sengaja turun ke medan untuk membunuh Agung Sedayu. Kemudian iapun akan bergeser ke medan pertempuran disisi Utara untuk membunuh Empu Wisanata yang telah berkhianat.
Namun selelah bertempur beberapa lama ternyata Ki Darpatenaya masih belum dapat membunuh Agung Sedayu.
" Aku salah hitung"berkata Ki Darpatenaya didalam hatinya" seharusnya aku membunuh Empu Wisanata lebih dahulu. Baru kemudian Agung Sedayu. Jika aku membunuh Wisanata yang berkhianat itu, maka orang-orang berilmu tinggi disisi Utara itu akan dengan cepat menggulung pertahanan pasukan Tanah Perdikan, sementara aku menyempatkan diri membunuh Agung Sedayu. .
Tetapi Ki Darpatenaya sudah terlanjur berhadapan dengan Agung Sedayu yang berilmu kebal Namun demikian, ujung senjata telah mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu itu.
Tetapi luka Agung Sedayu tidak mempengaruhi perlawanannya. Dengan demikian, maka pertempuranpun masih berlangsung dengan sengitnya Pedang Ki Darpatenaya yang disebutnya Kiai Galih,itu beberapa kali mengguncang ilmu kebal Agung Sedayu. Bahkan sekali lagi ujung pedang itu tergores di lengan Agung Sedayu. Memang tidak dalam. Hanya sekret tipis. Namun luka itu membuat Ki Darpatenaya semakin bernafsu. Ia menjadi semakin yakin, bahwa ujung pedangnya akan mampu mengakhiri pertempuran itu.
Kisah Si Rase Terbang 3 From Sumatra With Love Karya Esi Lahur Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 4
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya"Baikah jika itu yang kau kehendaki, Nyi."
Dengan demikian, maka Nyi Dwani itupun kemudian telah berada didapur pula meskipun tidak dapat ikut membantu kesibukan beberapa orang perempuan yang menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit dan pengawal yang berada di padukuhan induk.
Namun malam itu, di beberapa padukuhan di dekat medan pertempuran telah terjadi kesibukan yang serupa. Mereka mempersiapkan makan dan minum para prajurit dan pengawal yang esok akan turun ke medan. Apalagi setelah para petugas sandi menyatakan, bahwa pasukan Ki Saba'Lintang akan menyerang esok pagi. Baik yang berada di medan sebelah Barat maupun yang berada di Utara.
Laporan itu telah sampai pula kepada Ki Gede di padukuhan induk. Karena itu, maka Ki Gedepun telah memerintahkan kepada Agung Sedayu dan Prastawa untuk bersiap rhenghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, pasukan cadangan yang berada di padukuhan induk serta para pengawal yang masih bertugas di padukuhan-padukuhanpun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sejumlah kudapun telah siap di padukuhan induk. Jika diperlukan, maka pasukan cadangan itu dapat bergerak dengan cepat ke tempat-tempat yang memerlukan. .
Yang bersiap di padukuhan induk sebagai pasukan cadangan, adalah pasukan Ki Sura Panggah yang telah memecah kesatuan lawannya sehingga tidak berdaya lagi. Para petugas sandipun sudah memastikan bahwa disisi Selatan, tidak akan terjadi serangan lagi, sehingga jumlah pasukan yang bertugas disisi Selatan dapat disusut dan ditarik ke padukuhan induk.
Demikianlah, para pemimpin dari kedua pasukan yang siap untuk bertempur itu nampak menjadi sibuk. Mereka hanya mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk menyimpan tenaga mereka sebaik-baiknya untuk menghadapi pertempuran yang akan berkobar esok pagi.
Glagah Putih dan Sabungsari yang telah berada di dalam perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itupun segera melaporkan diri, bahwa mereka telah bersiap untuk ikut dalam pertempuran esok.
" Apakah keadaan kalian sudah pulih ?" bertanya Agung Sedayu kepada Glagah Putih dan Sabungsari.
" Sudah jawab keduanya hampir berbareng.
" Baiklah. Jika demikian, sekarang pergunakan waktu sedikit yang tersisa untuk beristirahat."
" Terima kasih kakang " jawab Glagah Putih -" tetapi bagaimana dengan kakang sendiri ?"
" Aku sudah cukup beristirahat tadi"jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih dan Sabungsari kemudian telah membaringkan' dirinya diatas anyaman daunkelapa disebuah barak yang memanjang. Beberapa orang pengawal masih tidur dengan nyenyaknya. Tetapi ada juga diantara mereka yang nampak gelisah. Agaknya pengawal itu dibayangi oleh mimpi buruk tentang pertempuran yang bakal terjadi esok pagi. Pertempuran yang akan berlangsung dengan keras.
Glagah Putih dan Sabungsari hanya sempat memejamkan matanya sekejap. Beberapa saat kemudian, mereka telah terbangun. Para prajurit dan pengawalpun telah terbangun pula Mereka sudah mulai bersiap-siap. Ada diantara mereka yang pergi kesun-gai. Tetapi ada diantara mereka yang merasa bahwa mereka tidak perlu mandi lebih dahulu. Sedangkan yang lain telah menyiapkan landa merang untuk mandi keramas. Seakan-akan mereka akan pergi ke tempat yang dikeramatkan.
Menjelang fajar, semua orangh suda siap. Mereka sudah makan dan sudah pula minum-minuman hangat.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah berada didalam kelompok mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Agung Sedayu masih sempat memberikan pesan-pesan kepada para pemimpin kelompok, apa yang sebaiknya mereka lakukan menghadapi lawan yang agaknya menjadi semakin banyak dan semakin kuat
" Agaknya ada orang-orang baru didalam pasukan mereka" berkata Agung Sedayu.
Tetapi didalam pasukan Agung Sedayu itupun terdapat, orang-orang baru pula. Pasukan cadangan yang ada di padukuhan induk sebagian telah diserahkan kepada Agung Sedayu dan sebagian lagi kepada Prastawa. Sementara itu, Ki Sura Panggah telah mendapat tugas untuk menggantikan pasukan cadangan itu, setelah pasukannya berhasil menghancurkan pasukan lawan.
Ketika langit mulai diterangi cahaya fajar, maka pasukan yang dipimpin Agung Sedayu itupun telah bersiap sepenuhnya. Laporan terakhir dari petugas sandi menyatakan, bahwa pasukan lawanpun telah siap untuk bergerak pula.
Dalam pada itu, seperti yang pernah dilakukan sebc}amnya. Prastawa ternyata telah memasang segala macam tanda kebesaran. Rontek, umbul-umbul kelebat dengan tunggul-tunggul. Prastawa-pun mempergunakan bende sebagai isyarat bagi pasukannya yang telah disusunnya dalam gelar yang utuh. Gelar yang ditrapkan bagi pasukannya telah berubah. Pasukan Tanah Perdikan itu telah menggelar pasukannya dalam gelar Garuda Nglayang.
" Biarlah seandainya lawan mempergunakan gelar yang sama. Tetapi mereka tidak mampu membuat gelar yang utuh karena mereka terdiri dari kekuatan yang bercampur baur " berkala Prastawa kepada para pemimpin kelompok," tetapi kalianpun harus bersiap membuat gelar Jurang Grawah didalam gelar Gaiuda Nglayang itu jika diperlukan."
Demikianlah, maka pasukan Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Prastawa itu mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Prastawa telah memerintahkan seseorang bersiap memukul bende yang akan dipergunakan sebagai isyarat kepada seluruh pasukannya yang menebar dalam gelar yang lebar.
Ketika semuanya sudah siap, maka Prastawapun berdiri di kepala gelarnya sambil menunggu laporan petugas sandi yang mengamati gerak pasukan lawan.
Ketika langit menjadi kuning, maka petugas sandi itupun telah datang dan memberikan laporan, bahwa pasukan lawan telah siap untuk bergerak.
Prastawapun segera memberi isyarat kepada penghubungnya yang telah siap dengan bende di tangannya.
Sejenak kemudian, maka telah terdengar bende itu meraung-raung untuk yang pertama kalinya. Semua orang dalam pasukan yang dipimpin Prastawa itupun telah memeriksa senjata mereka, kelengkapan mereka serta senjata-senjata cadangan mereka. Pisau belati atau keling atau paser-paser kecil.
Beberapa saat kemudian, maka bende itupun menggelepar untuk yang kedua kalinya. Suaranya melenting tinggi, menggetarkan udara diatas medan.
Para prajurit dan pengawalpun segera bersiap untuk bergerak. Rontek, umbul-umbul, kelebat dan tunggulpuri telah terangkai tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian, maka bende itupun berbunyi untuk ketiga kalinya.
Demikian.bende itu berhenti, maka pasukan yang dipimpin oleh Prastawa itu mulai bergerak menyongsong pasukan lawan yang sudah bergerak maju pula. Ki Sirna Sikara telah memerintahkan pasukannya untuk bergerak dalam gelar yang tidak sempurna.
Tetapi Ki Sirna Sikara memang menganggap gelar itu tidak harus utuh sebagaimana pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Bukan berarti bahwa Ki Sirna Sikara tidak mengenal gelar yang utuh. Ki Sirna Sikara mengerti benar unsur-unsur gelar yang utuh. Ki Sirna Sikara mengerti benar unsur-unsur gelar yang sering dipergunakan oleh pasukan segelar-sepapan. Tetapi menurut pendapat Ki Sirna Sikara, gelar itu tidak perlu utuh dan sempurna. Asal saja pasukannya melebar dibawah pimpinan para pemimpin kelompok yang bertahggung-jawab, maka kemampuan pasukannya tidak, akan kalah dari pasukan yang disusun dalam gelar yang utuh.
Demikianlah, kedua pasukan yang besar itupun telah bergerak maju. Mereka melangkah semakin lama semakin cepat, sementara langitpun menjadi semakin terang.
Kedua pasukan itu tidak menghiraukan lagi, apakah kaki mereka menginjak-injak tanah persawahan, atau pategalan atau padang perdu yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul yang berduri.
Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan terbitnya matahari, kedua pasukan itupun telah saling berhadapan. Dari kedua belah pihak terdengar teriakan yang bagaikan mengguncang langit. Dengan hentakan tenaga, kekuatan dan keberanian, mereka berlari menyongsong lawan. Senjata-senjatapun mulai merunduk.
Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berada dalam gelar yang lebih mapan, ternyata mempunyai kesempatan yang lebih baik. Beberapa kelompok diantara mereka yang bersenjata busur dan anak panah, telah mempergunakan senjatanya itu. Mereka telah dilatih untuk menyerang dengan busur dan anak panah sambil berlari. Bahkan dengan naik kuda sekalipun.
Anak panah yang meluncur itu memang mengejutkan. Tetapi orang-orang dalam pasukan Ki Sima Sikarapun dengan tangkas berusaha melindungi diri mereka. Yang berperisai segera.mengangkat perisai mereka. Yang bersenjata pedang, tombak, bindi dan jenis senjata yang lain berusaha menangkis anak panah yang meluncur ke arah mereka dengan memutar senjata mereka.
Tetapi ada beberapa orang diantara mereka yang telah terjatuh karena anak panah yang meluncur itu mengenai tubuh mereka.
Kawan-kawannya yang berlari berusaha menghindar agar. mereka tidak berantuk tubuh yang terguling. Tetapi ada pula yang berjatuhan saling menimpa, Namun dengan tangkasnya mereka telah meloncat bangkit dan berlari menyusul kawan-kawan mereka, kecuali yang tubuhnya tertembus anak panah.
Namun demikian kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah melempar lembing-lembing mereka. Mereka memang membawa lembing untuk dilemparkan menjelang terjadi benturan antara kedua pasukan itu. Orang-orang dalam pasukan Ki Sima Sikara itu mengumpat kasar. Ujung lembing yang meluncur bagaikan kejar-mengejar itu telah menghentikan beberapa orang diantara mereka pula.
Dengan, demikian, sebelum benturan terjadi, maka pasukan Ki Sima Sikara sudah kehilangan beberapa orang diantara mereka. Beberapa orang telah terluka dan bahkan kemudian telah terinjak dan tertindih oleh kawan-kawannya yang berlari dibelakangnya, namun bahkan ada diantara mereka yang telah kehilangan nyawanya sebelum sempat mendengar dentang senjata beradu.
Sejenak kemudian, matahari yang baru bangkit itu harus menyaksikan benturan antara dua kekuatan yang telah siap untuk bertempur habis-habisan.
Dalam pada itu, para pengawal Tanah Perdikan yang membawa rontek, umbul-umbul dan kelebet telah menancapkan tiang-tiangnya di tanah sementara tangan-tangan merekapun segera menggenggam senjata-senjata mereka.
Dengan gelar yang bulat, pasukan Tanah Perdikan telah menempur pasukan lawan yang menyerang sambil menghentak-hentak dan berteriak-teriak nyaring. Bahkan umpatan-umpatan kasar dan kata-kata yang kotor meluncur dari mulut mereka.
Namun ternyata ada pula diantara mereka yang berada di pasukan Ki Sima Sikara itu yang merasa tidak senang dengan umpatan-umpatan kotor itu.
Dengan tenaga yang masih segar kedua pasukan itu saling mendesak. Sayap-sayap gelar pasukan Tanah Perdikan seakan-akan menampar sayap-sayap pasukan lawan yang kurang terjaga susunannya.
Tetapi beberapa saat kemudian, pasukan yang hiruk-pikuk itu telah melanda seperti arus banjir. Sebagian dari mereka sama sekali tidak menghiraukan kawan-kawan mereka sendiri. Dengan mengandalkan kemampuan mereka seorang-seorang mereka berusaha untuk mengoyak gelar pasukan Tanah Perdikan.
Tetapi para pengawal dan para prajunt yang ada didalam pasukan Tanah Perdikanpun cukup berpengalaman melawan pasukan yang bertempur dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda. Yang bertempur dalam perpaduan yang rapi, yang licin seperti belut, yang kasar sebagaimana segerombolan badak yang mengamuk atau yang bergejolak seperti prahara.
Karena itu, maka para pengawal dan prajurit dalam pasukan Tanah Perdikan itu tidak terkejut lagi.
Beberapa orang pengawal yang belum banyak mempunyai pengalaman, mula-mula memang menjadi bingung. Tetapi latihan-latihan yang berat telah membuat mereka cepat menyesuaikan diri.
Kelompok-kelompok yang pasukannya telah dihancurkan di sisi Selatan dan bergabung dalam pasukan Ki Sima Sikara, bertempur dengan dendam yang menyala di hati mereka. Mereka ingin membalas kekalahan mereka dengan menghancur lumatkan pasukan Tanah Perdikan yang berada disisi Utara.
Namun disisi Utarapun mereka menghadapi pengawal dan prajurit yang tangguh yang justru bertempur dalam,satu kesatuan yang rapat
Sementara ini, disisi Barat, di perbukitan, pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu telah berbenturan dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Namun Ki Saba Lintang sendiri tidak langsung berada diparuh gelar pasukannya. Yang bermimpi untuk berhadapan dan kemudian membunuh Agung Sedayu adalah Ki Darpatenaya.
Setelah membunuh Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Darpatenaya berrdat untuk membunuh pula Empu Wisanata yang dianggapnya telah berkhianat
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi kemudian benar-benar merupakan pertempuran yang keras. Pasukan Ki Saba Lintang yang sudah benar-benar dipersiapkan itu dengan kekuatan yang semakin besar telah berusaha langsung mendesak gelar pasukan Tanah Perdikan.
Tetapi pasukan Tanah Perdikanpun telah bersiap sepenuhnya. Agung Sedayu telah memanfaatkan hari-harinya untuk menyusun pasukan yang mantap untuk menghadapi pasukan Ki Saba Lintang.
Pasukan cadangan yang diserahkan kepada Ki Lurah itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tenaga yang segar itu telah ditebarkan disayap gelar pasukan Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka sayap-sayap gelar pasukan Tanah Perdikan itu akan menggoncang sayap-sayap pasukan lawan. Tenaga-tenaga yang masih segar itu akan menghentak-hentak dan mendesak pasukan lawan yang sudah lebih lama berada di medan yang melelahkah..
Tetapi ternyata di dalam pasukan Ki Saba Lintangpun terdapat orang-orang baru yang masih segar sebagaimana pasukan cadangan Tanah Perdikan yang diturunkan di arena, Sementara itu, mataharipun semakin lama menjadi semakin tinggi. Panasnya terasa menyengat kulit yang basah oleh keringat.
Namun dalam pertempuran yang sengit itu, panas matahari tidak lagi mereka hiraukan. Perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada.lawan-lawan mereka. Mereka tidak mau kehilangan nyawa mereka, meskipun kemungkinan itu akan mudah sekali terjadi di peperangan yang keras.
Sebagaimana diperintahkan, maka pasukan Ki Saba Lintang itupun berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat mendesak dan apabila mungkin memecahkan pertanahan Tanah Perdikan. Orang-orang berilmu tinggi yang ada didalam pasukan itu telah dikerahkan ke medan untuk menghancurkan lawan sebanyak-banyaknya tanpa kendali.
Tetapi para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan telah terlatih untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Sebelum ' mereka dapat bantuan dari orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula, maka mereka harus melawan orang berilmu tinggi itu dalam kelompok-kelompok. Mereka dibekali senjata-senjata lontar untuk mengganggu pemusatan nalar budi lawan-lawan mereka. Pisau-pisau kecil, paser-paser kecil dan bahkan bandil dan apa saja yang dapat mereka lemparkan.
Karena itu, maka orang-orang berilmu tinggi yang tergabung dalam pasukan Ki Saba Lintangpun harus menghadapi kenyataan itu. Orang-orang yang dianggapnya lemah, tetapi cerdik mengerubunginya dan menyerangnya dari segala arah. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada orang berilmu tinggi itu untuk mengetrapkan puncak ilmunya, karena lawan yang mengerubunginya ini menyerangnya dari segala arah, berurutan seperti arus gelombang di lautan Bahkan kadang-kadang dua atau tiga orang menyerang bersamaan. Sedangkan dalam keadaan yang sulit, mereka telah melemparkan senjata-senjata lontar mereka dari segala penjuru.
Meskipun demikian, orang-orang berilmu tinggi benar-benar sangat menyulitkan para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Tanah Perdikan. Bahkan tidak jarang beberapa orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang dipersiapkan untuk melawan orang-orang berilmu tinggi itu harus terlempar dari medan dengan luka-luka yang parah.
Sementara itu, di paruh gelar pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu, Ki Darpatenaya berusaha untuk dapat langsung bertemu dengan Agung Sedayu. Ia ingin segera menyelesaikan Ki Lurah yangdianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Semakin cepat ia menyelesaikan Ki Lurah Agung Sedayu, maka namanyapun tentu akan semakin dihormati. Dalam kepemimpinan yang bakal diangkat pada perguruan Kedung Jati. ia akan dapat dengan mudah menyingkirkan Ki Saba Lintang.
" Buat apa harus menghormati Saba Lintang yang tidak memiliki kelebihan apapun juga itu. " Ki Darpatenaya itu tersenyum.
Di medan yang sengit itu Ki Darpatenaya tidak terlalu banyak terlibat. Tetapi jika seseorang menyerangnya, mak orang itu tentu akan terlempar jatuh dan tidak akan dapat bertempur lagi. Orang itu akan terluka parah atau bahkan terbunuh sekeika.
Bahkan Ki Darpatenaya masih sempat bertanya-tanya di sepanjang medan yang dilaluinya"Dimanakah orang yang bernama Agung Sedayu" Lurah prajurit dari pasukan Khusus yang dibangga-banggakan itu" "
Tetapi suaranya yang keras dan tajam itu, menggelepar diudara tanpa mendapat jawaban. .
Namun beberapa saat kemudian, ketika benturan-benturan diantara kedua pasukan itu terjadi semakin keras, Ki Darpatenaya mulai kehilangan kesabaran. Dengan lantang Ki Darpatenaya itu berteriak nyaring " Ki Lurah Agung Sedayu. Aku menunggu disini. Kita akan bertempur sampai salah seorang diantara kita terbunuh."
Ternyata Ki Darpatenaya tidak saja asal berteriak. Suaranya tidak saja menggetarkan udara diatas medan itu. Tetapi ternyata suara Ki Darpatenaya itu bagaikan menyusup disetiap dada dan mengguncang seluruh rongganya.
Getar itu terasa pula oleh Agung Sedayu. Ia merasakan, seorang yang berilmu tinggi ada di medan. Justru telah berusaha mengguncangkan ketahanan pasukan Tanah Perdikan.
Meskipun Agung Sedayu menyadari, bahwa ada beberapa orang berilmu tinggi di medan itu, tetapi yang seorang ini perlu mendapat perhatiannya secara khusus.
Sementara itu, seorang pengawal telah datang kepada Agung Sedayu untuk memberikan laporan seseorang yang berteriak-teriak mencarinya, Bahkan-teriaknya telah menimbulkan kegelisahan para para pengawal Tanah Perdikan.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " aku akan menemuinya. "
" Marilah, Ki Lurah" berkata pengawal itu.
Agung Sedayupun kemudian mengikuti pengawal itu mencari orang yang telah berteirak-teriak memanggil nama Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah berdiri di. hadapan orang yang bernama Darpatenaya itu.
" Kaukah yang berteriak-teriak memanggil namaku. Ki Sanak."
" O, jadi kaukah yang bernama Agung Sedayu'.' "
" Ya Akulah yang bernama Agung Sedayu itu. "
" Bagus. Ternyata kau benar-benar seorang Senapati yang bertanggung-jawab. "
" Kau siapa Ki Sanak " " bertanya Agung Sedayu.
" Namaku Darpatenaya. Kau pernah mendengar " "
Jilid 318 AGUNG SEDAYU menggeleng sambil menjawab " Belum Ki sanak. Baru sekarang aku mendengar namamu." "
" Ternyata namamu lebih semarak dari namaku, Ki Lurah. Aku sudah mendengar nama kebanggaan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan ini. Juga nama kebanggan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. "
"Terima-kasih atas pujianmu itu, Ki Sanak. "
" Tetapi sayang, bahwa aku datang untuk mematahkan nama besarmu. Dengan demikian, maka namakupun akan segera menjadi lebih dari namamu sekarang. "
" Kau bertempur bagi kepentingan Ki Saba Lintang " " bertanya Agung Sedayu.
Ki Darpatenaya tertawa. Katanya " Begitulah. Kau akan mempergunakan kesempatan untuk memecah-belah pasukan kami " bertanya seperti itu " "
" Kau tentu akan mengatakan, kenapa aku bersedia bertempur untuk Ki Saba Lintang"
" Kau aneh, Ki Sanak. Tetapi baiklah aku berusaha mengerti, bahwa Ki Saba Lintang tidak penting bagimu. Perjuangan yang kau lakukan, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kepemimpinan Ki Saba Lintang."
" Nah, ternyata kau cukup cerdas Ki Lurah. Kau memang pantas untuk menjadi Lurah prajurit. Dahulu, semuda kau, aku sudah menjadi Rangga karena kemampuanku melampaui kemampuan setiap Lurah prajurit. Sebenarnya setiap orang mengakui bahwa kemampuanku berada diatas segala Senapati dan Panglima. Tetapi aku masih belum mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun pada suatu saat aku tentu akan menjadi seorang pemimpin yang besar, yang dapat disejajarkan dengan Panembahan Senapati. "
"Mungin saja, Ki Sanak. "
" Bukan hanya satu kemungkinan, bahkan sekarangpun jika Panembahan Senapati bersedia, aku siap untuk berperang tanding. Jika Mataram menjadi taruhan, maka aku tentu akan merebut singgasana. Aku akan menjadi Maharaja di Mataram. "
" Besok sajalah bermimpi jika kau masih sempat. Sekarang, kau tidak dapat mengingkari kenyatan, bahwa kau berada di bawah perintah Ki Saba Lintang. " .
"Besok aku akan memilin lehernya. "
" Kau salah. Jika kau hari ini menang, maka esok tubuhmu sudah terayun ditiang gantungan. Kau kira Ki Saba Lintang seorang yang dungu ?"
Ki Darpatenaya tertawa berkepanjangan. Suaranya menggelegar mengguncang-guncang seluruh medan.
" Sudah aku kira, bahwa yang namanya Agung Sedayu, Lurah prajurit dari pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan adalah seorang yang ahli mengadu domba" berkata Ki Darpatenaya "tetapi aku bukan jenis orang yang mudah terbakar perasaanku. Aku masih dapat mempergunakan penalaranku dengan baik."
"Aku tidak berniat mengurangi harga dirimu karena kau sekarang, menurut kenyataan yang aku lihat, berada di bahwa perintah Ki Saba Lintang. Tetapi baiklah. Jika kau merasa seorang yang mumpuni, maka kita akan membuktikannya."
" Bersiaplah Ki Lurah Agung Sedayu. Aku ingin tahu, apakah kemampuanmu juga sebesar namamu. Atau namamu melambung karena prajurit-prajuritmu yang pilih tanding. "
"Mungkin kedua-duanya, Ki Sanak. "
" Persetan. Seandainya demikian, maka sekarang kau akan bertemu dengan orang yang akan menghentikan segala-galanya bagimu. Pasukan khusus di Tanah Perdikan ini akan berganti pimpinan. "
" Baiklah. Aku sudah siap menghadapi semua kemungkinan."
Ki Darpatenayapun melangkah mendekat, sementara Agung Sedayupun sudah siap untuk menyambutnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Darpatenaya itupun telah mulai menyerang meskipun masih belum bersunguh-sungguh. Ki Darpatenaya baru sekedar memancing lawannya.
Agung Sedayu bergeser selangkah. Namun ia harus berloncatan lagi ketika Ki Darpatenaya memburunya
Demikianlah, keduanyapun mulai terlibat dalam pertempuran. Kedua belah pihak mulai dengan menjajagi kemampuan lawannya. Baik Agung Sedayu maupun Ki Darpatenaya harus berhati-hati menghadapi lawan yang mereka sadari, berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu, orang-orang berilmu tinggi yang berada didalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu mulai turun ke medan. Suranata yang kecewa ternyata tidak kembali ke medan disisi Utara Bersama Wira Arari, saudara seperguruannya, Suranata justru bergabung dengan pasukan Ki Saba Lintang.
" Ayahmu berada di medan sebelah Utara"berkata Ki Saba Lintang.
" Aku tidak ingin lagi bertemu dengan ayah "; jawab Suranata.
"Jadi?" " Biarlah orang lain membunuhnya Kalau saja semalam aku tidak bertemu dengan ayah, mungkin aku masih tetap ingin bertemu dan berhadapan dengan ayah. Tetapi tiba-tiba saja niatku berubah. Aku akan membunuh siapa saja yang aku temui di medan." ,
Bersama Wira Aran, Suranata bertempur di induk gelar pasukan Ki Saba Lintang. Mereka seakan-akan menjadi Senapati pengapit Ki Darpatenaya. Keduanya berusaha untuk mencegah para prajurit atau pengawal yang akan membantu Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu tidak terbiasa menunggu bantuan. Bahkan pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit itu telah menyibak para prajurit, pengawal serta pengikut Ki Saba Lintang.
. Karena itulah, maka Suranata dan Wira Aran tidak lagi .terikat pada pertempuran antara Ki Darpatenaya dan Agung Sedayu. Merekapun tidak merasa perlu untuk pada suatu saat membantunya. Mereka terlalu yakin, bahwa Ki Darpatenaya tidak akan, terkalahkan oleh siapapun juga. Tidak pula dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu.
Karena itu, maka Suranata dan Wira Aran telah mencari sasaran yang lain.
Suranata yang hatinya masih buram karena pertengkaran yang terjadi antara kedua saudara perempuannya, telah melepaskan.kekesalannya kepada para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan. Dengan ilmunya yang tinggi, maka Suranata telah mengacaukan gelar pasukan Agung Sedayu justru diinduk gelarnya
Sementara itu Wira Aran yang terlalu bangga akan dirinya, ingin menunjukkan kepada lawannya tetapi juga kepada kawan-kawannya sendiri. Wira Aran ingin menepuk dada dengan kemenangan-kemenangannya. Setiap kali ia melemparkan seorang lawan dari arena, maka iapun segera berteriak nyaring memekikkan kemenangannya itu.
Tetapi langkah Wira Aranpun terhenti ketika seseorang telah dengan tiba-tiba saja berdiri di hadapannya.
Wajah Wira Aran menjadi tegang. Seorang perempuan dengan pakaiannya yang khusus berdiri sambil tersenyum memandanginya.
" Kau mengamuk seperti seekor harimau yang terluka " desis perempuan itu.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian berdesis
" Apakah aku berhadapan dengan Srigunting Kuning " "
Nyi Wijil tidak ingin banyak berbicara. Karena itu, maka iapun segera menjawab"Ya. Kau benar Ki Sanak "
" Apakah kau mempunyai nyawa rangkap" Bukankah Srigunting Kuning sudah mati?"
" Aku sudah hidup lagi "jawab Nyi Wijil.
" Omong kosong. Kau bukan Srigunting Kuning. "
" Baik. Aku bukan Srigunting Kuning. "
" Setan kau. Sebut namamu. "
" Aku dapat mengucapkan nama apapun dihadapanmu. "
"Baik. Baik. Kau akan mati tanpa aku kenal namamu. "
" Ada dua kemungkinan"jawab Nyi Wijil " aku mati tanpa kau kenali namaku, atau kaulah yang mati tanpa mengenal namaku,."
" Kau ternyata sosok iblis betina "
" Sebut apapun menurut kehendakmu. Tetapi iblis tidak akan pernah mati. "
" Aku akan membunuhmu. "
Nyi Wijil itupun tertawa. Namun ia masih juga bertanya " Siapa namamu Ki Sanak. Atau kau juga tidak ingin dikenal " "
" Aku tidaK pernah merahasiakan namaku. Aku adalah Wira Aran. Kau perlu mengenalinya sebelum kau mati. "
Nyi Wijil mengangguk kecil. Katanya " Kita akan melihat, siapakah yang akan mati."
Wira Aran tidak menyahut lagi. Tetapi dengan tangkasnya ia meloncat menyerang Nyi Wijil. Tetapi Nyi Wijilpun sudah siap menyambut serangannya.
Suranata sempat melihat saudara seperguruannya bertempur melawan seorang perempuan. Namun seperti Wira Aran, Surana-tapun merasa heran, bahwa ia masih dapat bertemu dengan Srigunting Kuning.
Tetapi agaknya Suranata pernah mendengar dua sosok Srigunting Kuning yang putih dan Srigunting Kuning yang hitam.
" Tentu Srigunting Kuning Putih " berkata Suranata didalam hatinya "Srigunting Kuning yang hitam sudah mati. "
Namun Suranata itupun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang yang sudah ubanan mendekatinya.
Kekecewaan yang tertimbun di dalam dirinya terhadap ayahnya, terhadap saudara-saudara perempuannya dan terhadap keadaan disekitamya yang ditumpahkanhya kepada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itupun telah terhambat.
" Kau siapa, kakek tua"geram Suranata.
" Kau lupa kepadaku ?" bertanya Ki Wijil.
Suranata mengerutkan dahinya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berdesis " Aku pernah bertemu dengan kau, ketika. Dirumah Agung Sedayu ketika aku melihat keadaan Dwani.. "
" Ya. Bukankah kau anak laki-laki Empu Wisanata" "
Suranata mengerutkan dahinya. Iapun kemudian berpaling kearah saudara seperguruannya yang sedang bertempur dengan Srigunting Kuning.
"Perempuan itu adalah perempuan yang kau lihat di dalam rumah Agung Sedayu itu pula" berkata Ki Wijil.
"Pantas" desis orang itu.
" Apa yang pantas ?"bertanya Ki Wijil.
" Ayah menyebut kalian suami istri yang mampu melumatkan gunung. "
Ki Wijil tersenyum. Katanya " Ayahmu memang senang bergurau."
"Aku percaya itu. Ki Wijil. Meskipun demikian, aku ingin memperingatkan Ki Wijil, bahwa aku bukan gunung yang mudah kau lumatkan.".
"Tentu " sahut Ki Wijil " Kau bukan gunung. Gunung tidak akan dapat mengamuk di medan pertempuran seperti ini. Kau jauh lebih berbahaya dari gunung berapi sekalipun. "
"Jika demikian, silahkan menyingkir dari medan ini, Ki wijil. Aku menghindar dari medan di sisi Utara Tanah Perdikan ini karena aku tidak mau bertemu dengan ayah yang menurut pendengaranku berada di sana Tetapi disini aku bertemu dengan salah seorang kawan ayah.- Sebaiknya aku menghindari orang-orang yang sudah aku kenal sebelumnya. "
"Ngger"berkata Ki Wijil " kenapa kau tidak meninggalkan Ki Saba Lintang saja " Sebenarnya untuk apa kau bertempur bersamanya " Mungkin kau memang mempunyai gegayuhan. Tetapi sebaiknya gegayuhan itu kau capai melalui jalan lain. Bukan cara ini. Justru mungkin kau akan menemukan caia yang lebih baik dari bergabung dengan Ki Saba Lintang. "
Suranata menarik nafas panjang. Katanya " Tidak, Ki Sanak. Cara ini adalah cara yang terbaik dan terdekat menurut pendapatku. Meskipun jalanku tidak selalu sejajar dengan jalan yang ditempuh oleh Ki Saba Lintang, tetapi kali ini merasa sesuai dengan cara yang dipilihnya. ."
"Jika demikian, ngger. Maka aku harus berusaha untuk menghentikannya. Angger tentu tahu, bahwa usaha KiSaba Lintang itu tidak akan berhenti sampai disini. Seandainya ia berhasil menguasai Tanah Perdikan ini, dan berhasil mendapatkan tongkat baja putih yang satu lagi, apakah tongkat itu akan diberikannya kepada Nyi Yatni atau Nyi Dwani, maka Ki Saba Lintang tentu akan melanjutkan peperangan yang telah dikobarkannya. Jalan selanjutnya adalah menuju Mataram dan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai Jandasan."
" Aku tahu itu?" sahut Suranata.
"Pada langkah-langkah awal, maka semua golongan yang ada di dalam gerombolan Ki Saba Lintang akan tetap bulat. Tetapi kemudian, mereka akan saling menyingkirkan. Pada saat itu, kau akan merasa kecewa, ngger. Gegayuhanmu akan cabar. Kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau harapkan pada saat kau menyatakan dirimu bekerja bersama Ki Saba Lintang. Kaupun akan kehilangan saudara-saudara perempuanmu.
" Sudahlah, Ki. Jangan sebut-sebut saudara-saudara perempuanku."
" Kau masih mempunyai waktu untuk menarik diri dari perjuangan yang tidak pasti bagimu ini ngger. Sementara itu taruhannya terlalu besar bagimu. "
"Aku sudah terlanjur basah, Ki. Karena itu, jangan hiraukan apa yang terjadi padaku. Kita akan bertempur. Salah seorang diantara kita akan mati. Aku tahu, kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
"Pikirkan, ngger. "
"Aku justru memikirkan yang lain. Apakah Nyi Wijil itu orang yang sama dengan Srigunting Kuning ?"
Ki Wijil tersenyum. Katanya " Apakah padanya nampak ciri-ciri Srigunting Kuning itu. "
"Aku pernah mendengar nama Srigunting.Kuning. Tetapi ada dua nama yang agak membingungkan. Yang satu disebut Srigunting Kuning yang putih sedangkan yang lain adalah Sriguni ing Kuning yang hitam.'"
Ki Wijil justru tertawa. Katanya"Yang jelas perempuan itu adalah Nyi Wijil. Isteriku yang pernah diperkenalkan oleh Empu Wisanata kepadamu saat kau kunjungi adikmu di rumah Ki Lurah Agung Sedayu. "
Suranata mengangguk-angguk. Katanya"Sudahlah, Ki. Sebaiknya Ki Wijil sajalah yang meninggalkan medan ini. Biarlah aku tempuh cara yang telah aku pilih ini, meskipun aku tahu, bahwa jalan masih sangat panjang untuk sampai kepada gegayulianku itu."
Tetapi Ki Wijil itupun kemudian berkata "sayang ngger. Aku pun sudah menempatkan diri didalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut pendapatku, orang-orang Menoreh sekarang ini sedang berjuang untuk mempertahankan haknya. Karena itu, maka aku telah menyatakan diriku bergabung dengan mereka."
"Jika demikian, maka kita akan berhadapan."
"Agaknya memang begitu ngger."
Suranatapun telah bergeser setapak. Katanya "Baiklah Ki Wijil. Bersiaplah. Bagiku agaknya memang lebih baik aku bertemu dengan Ki Wijil daripada dengan ayahku sendiri."
Ki Wijilpun telah mempersiapkan diri pula. Ia sadar, bahwa Suranata tentu tidak sekedar mengandalkan selembar ilmunya. Tetapi Surata tentu sudah membawa bekal ilmu yang cukup, sehingga sebelumnya ia merasa cukup kuat untuk menghadapi ayahnya sendiri Jika kemudian Suranata itu menghindar dari medan disisi Utara, bukannya ia merasa bahwa ilmunya kurang memadai. Tetapi pada saat-saat terakhir, ia merasa enggan bertempur dan bahkan akan saling membunuh dengan ayahnya sendiri.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah terlibat dalam pertempuran. Mula-mula kedua belah pihak baru sekedar menjajagi yang satu terhadap yang lain. Namun kemudian merekapun semakin meningkatkan ilmu mereka.
Dalam pada itu, di induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, orang-orang yang berilmu tinggi telah menebar pula. Seorang yang masih muda yang berwajah tampan berkata kepada Ki Saba Lintang "Biarlah aku berada di sayap kanan saja, Ki Saba Lintang. Nampaknyaa sayap kiri pasukan lawan mampu mengguncang sayap pasukan kita.
" Baiklah. Pergilah ke sayap kanan"
" Sebelum terjadi pertempuran ini aku memang merasa heran, mendengar ceritera bahwa pasukan kita dapat didesak oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku mengira bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang setiap hari kerjanya pada pematang sawah mereka. Namun ternyata mereka adalah prajurit-prajurit yang dapat diandalkan."
" Diantara mereka tentu terdapat prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus."
" Aku tahu. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Menorehpun agaknya memiliki pengalaman keprajuritan yang luas."
" Ya - sahut Ki Saba Lintang - sebagian mereka selalu ikut bersama para prajurit Mataram dalam perang yang besar. Sebagian dari mereka ikut pergi ke Madiun dan yang lain pemah ikut ke Pati."
Orang berwajah tampan itupun kemudian berkata "Aku akan pergi ke sayap kanan. " Sepeninggal orang itu, maka seorang penghubung telah memberikan laporan, bahwa disayap kiri, pasukan Ki Saba Lintang itu mengalami kesulitan.
"Kami berusaha untuk menahan kemajuan pasukan tanah perdikan, Ki Saba Lintang.Tetapi seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh telah mempengaruhi seluruh medan."
"Hanya karena satu orang?"
"Keadaan kedua pasukan dapat dikatakan seimbang, meskipun pasukan kita harus mengerahkan segenap kemampuan. Tetapi justru karena yang seorang itu, maka keseimbanganpun terasa terganggu.
"Apakah orang itu berilmu tinggi?"
"Agaknya memang demikian".
"Agung Sedayu sendiri"."
"Bukan, Ki Saba Lintang. Anak muda itu pada pertempuran yang lalu, tidak berada di medan ini."
Ki Saba Lintang menjadi berdebar-debar. Lalu katanya kepada dua orang saudara seperguruan yang menurut pendapat Ki Saba Lintang dapat diandalkan, "Kalian berdua pergilah"
"Terima kasih. Aku merasa tersiksa disini mengawal Ki Saba Lintang. Kami akan menyelesaikan orang yang sombong itu. Kami akan membawa kepalanya kemari agar Ki Saba Lintang dapat mengenalinya"
Ki Saba Lintang tidak menjawab. Meskipun ia tidak ingin mendapatkan kepala itu, tetapi dibiarkannya saja kedua orang itu untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Jika keduanya dicegah, maka akan akibatnya kurang baik bagi pasukannya. Karena keduanya dapat pergi begitu saja tanpa berbuat apa-apa di peperangan itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang saudara seperguruan itupun segera meninggalkan pasukan induk untuk pergi ke sayap kiri.
Dua-duanya adalah orang-orang yang terhitung gemuk. Namun mampu bergerak sangat tangkas, seolah-olah tubuh mereka tidak mempunyai bobot sama sekali
Disayap kanan, anak muda yang tampan itupun telah berusaha untuk mengetahui, apakah sebabnya, maka pasukan Ki Saba Lintang itu bagaikan diguncang-guncang.
Ternyata di dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh, anak muda yang tampan itu melihat seorang yang berilmu tinggi bertempur di antara para pengawal tanah Perdikan.
Tentu inilah antara lain yang menyebabkan kesulitan di sayap itu.
Orang berwajah tampan itupun kemudian telah mendekatinya Dengan kerut di dahinya, anak muda berwajah tampan itu menyaksikan orang itu bertempur melawan sekelompok orang yang mengepungnya Namun orang itu sama sekali tidak mengalami kesulitan
Pada saat orang berwajah tampan itu mendekat, ia melihat seorang diantara mereka yang mengepung orang berilmu tinggi itu terlempar dan jatuh terbanting.
"Minggirlah - berkata orang berwajah tampan itu dengan suara lantang - orang ini agaknya benar-benar berilmu tinggi."
Orang-orang yang sedang mengepung lawannya itupun menyibak. Sementara orang yang berada dalam kepungan itupun berdiri tegak sambil memandang orang berwajah tampan yang melangkah mendekatinya
"Luar biasa Ki Sanak. Siapakah kau?" Orang yang berada dalam kepungan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab - Namaku Sabungsari."
"Sabungsari - desis orang berwajah tampan itu.
"Kau siapa" - bertanya Sabungsari.
Orang itu tersenyum sambil menjawab - Namaku Tunjung Tuwuh.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya - Nama yang bagus. Apakah kau sudah lama bekerja bersama Ki Saba Lintang" " tanyanya
"Pertanyaan yang rasa-rasanya tidak ada hubungannya dengan pertemuan kita disini."
"Maaf - desis Sabungsari - kau masih muda Menilik ujudmu, lain dengan orang-orang yang mengepungku."
"Apa bedanya" - Tunjung Tuwuh itu tertawa
"Menilik ujudmu, agaknya kau seorang dari lingkungan yang lebih mapan dari orang-orang lain di medan ini"
" Satu kebetulan. Tetapi disisi lain dari pasukan Ki Saba Lintang adalah bekas prajurit yang menurut ujud lahiriahnya memang tidak seperti orang-orang yang mengepungmu. Tetapi ujud lahiriah bukan ukuran. Kami mempunyai satu tekad untuk menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
"Untuk apa?" Tunjung Tuwuh itu tertawa semakin keras. Katanya - pertanyaanmu aneh-aneh Sabungsari. Bersiap sajalah sebelum kau akan mati. Matilah dengan wajah tengadah sebagaimana seorang yang mati di medan perang.
"Aku belum ingin mati - jawab Sabungsari.
"Ingin atau tidak ingin. Aku akan memaksamu untuk mati."
"Kau lucu. Baiklah. Kita akan mencoba saling memaksa." Dahi Tunjung Tuwuh berkerut Katanya dengan nada berat - Kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk keluar dari pertempuran ini."
Hanya namamu sajalah yang akan dikenang oleh kawan-kawanmu, orang tuamu dan oleh pemimpin kelompokmu. Tetapi pemimpin kelompokmu itu jika masih sempat hidup, akan segera melupakanmu dan menggantikan para pengawal yang telah mati dengan orang-orang baru."
" Kidungmu bernada sedih Tunjung Tuwuh . Kenapa kau tidak mendendangkan lagu gembira?"
" Aku bersedih karena setiap kali aku harus membunuh musuh-musuhku. Tetapi salah mereka sendiri, karena mereka tidak mau mendengarkan permgatan-peringatanku."
"Kasihan sekali kau Tunjung Tuwuh. Hidupmu ibarat kegelapan yang tidak berbatas waktu."
"Cukup, Sabungsari. Bersiaplah untuk mati."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapinya
Demikianlah, maka sejenak kemudian Tunjung Tuwuh itupun telah meloncat menyerang Sabungsari. Tetapi Sabungsari telah bersiap sepenuhnya, sehingga sejenak kemudian, maka keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang sengit
Sementara itu, di sayap yang lain, dua orang saudara seperguruan telah berada di medan pula. Seorang penghubung telah menunjukkan kepada kedua orang saudara seperguruan itu, seorang anak muda yang telah bertempur dengan garangnya
"Siapakah namanya?"
"Aku belum sempat mengetahuinya - jawab penghubung itu.
Kedua orang saudara seperguruan itupun dengan serta meria telah mendatangi Glagah Putih yang sedang dengan garangnya menghadapi beberapa orang yang mengepungnya
Kehadiran kedua orang saudara seperguruan itu telah menghentikan Glagah Putih. Dengan geram salah seorang dari kedua orang saudara seperguruan itu bertanya - Namamu siapa anak muda?"
- Glagah Putih -jawab anak muda itu.
"Kau pengawal Tanah Perdikan Menoreh" - bertanya yang lain.
"Ya - jawab Glagah Putih.
"Aku tidak percaya - berkata orang itu pula - apakah kau salah seorang prajurit dari Pasukan Khusus?"
" Bukan - jawab Glagah Putih - sudah aku katakan, aku salah seorang pengawal Tanah Perdikan. Nah apa yang kau maui?"
" Pertanyaanmu aneh. Kau sendiri, untuk apa pergi ke medan., berbelanja atau sekedar ingin mencoba pusaka yang baru?"
"Aku sadari sepenuhnya untuk apa aku berada di medan, serta untuk apa pula aku berperang.
Seorang diantara kedua orang saudara seperguruan itu menyahut -Kau kira aku tersesat sampai ke tempat ini?"
" Aku adalah pengawal Tanah Perdikan ini. Jika aku berada di medan itu sudah jelas. Aku membela dan mempertahankan Tanah Perdikan ini. Kau?"
"Juga sudah jelas. Kami ingin menghancurkan perlawanan para pengawal Tanah Perdikan ini. Kemudian mendudukinya dan memanfaatkan untuk perjuangan kami selanjutnya
" Kalian tahu, apa yang kalian lakukan" Apa yang kalian perjuangkan?"
"Jangan menghina kami, Glagah Putih. Seandainya kau mampu melawan, tetapi kau tidak akan dapat melawan kami berdua Bersiaplah
" Aku sudah bersiap sejak aku mendengar isyarat untuk maju ke medan ini.-
" Anak setan. Jangan terlalu sombong. Kesombonganmu tidak akan berarti apa-apa jika kau nanti terkapar mati."
Glagah Putih justru tertawa Katanya - Kita tidak akan dapat mengatakan, siapakah yang akan mati. Aku, atau salah seorang dari kalian atau kalian berdua"
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang itu tidak bertanya lebih lama Keduanyapun segera bersiap. Seorang diantara mereka menggeram - Kami akan membunuhmu sekarang."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Iapun mulai bergeser selangkah kesamping.
Kedua orang lawannyapun segera mengambil jarak. Dengan ayunan kakinya seorang diantara mereka mulai memancing pertempuran.
Ketika seorang pengawal meloncat mendekati Glagah Putih untuk membantunya maka Glagah Putihpun berkata - Hadapi lawanmu. Jika aku memeriukanmu, aku akan memanggilmu."
Orang itupun menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia meloncat meninggalkanGlagah Putih, memasuki arena pertempuran yang semakin seru. Orang-orang yang semula mengepung Glagah Putihpun telah mendapatkan lawan mereka masing-masing.
Sejenak kemudian maka Glagah Putih telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan kedua orang saudara seperguruan itu. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang garang. Serangan-serangan mereka datang dengan cepat susul-menyusul. Meskipun keduanya nampak agak gemuk, tetapi keduanya mampu bergerak dengan cepat
Dengan demikian, maka Glagah Putih harus menyesuaikan dirinya. Ia harus meningkatkan ilmunya untuk mengimbangi serangan-serangan kedua orang lawannya yang datang beruntun itu.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan kedua orang lawannya itupun segera meningkat semakin keras.
Disisi Utara, kedua pasukan yang bertempur itupun menjadi semakin garang. Dengan susah payah, pasukan Tanah Perdikan berusaha untuk bertahan. Pasukan cadangan yang sudah diturunkan kemedan, memang berhasil memperkokoh pertahanan itu. Mereka adalah tenaga-tenaga yang masih segar.
Tetapi kekuatan lawanpun rasa-rasanya telah meningkat pula, sehingga karena itu, maka pasukan Tanah Perdikan itu harus mengerahkan segala kekuatan yang ada di dalam pasukan itu.
Namun dalam pada itu, para petugas sandi dan pengawas dari Tanah Perdikan Menoreh itu terkejut ketika mereka melihat segerombolan orang yang melintas ditengah-tengah bulak menyusup kebelakang pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
"Pasukan itu " desis seorang pengawal dari sebuah pedukuhan.
" Tentu bukan pasukan Tanah Perdikan. Prastawa sudah memberitahukan bahwa setiap gerakan pasukan dari para pengawal atau prajurit tentu akan membawa kelebet lambang kesatuan mereka masing-masing, atau kelebet para pengawal dari pedukuhan mereka. Tetapi gerombolan itu tidak membawa pertanda apa-apa"
"Siapkan penghubung berkuda"
Sejenak kemudian, maka dua orang penghubung berkudapun telah memacu kudanya menuju ke pedukuhan induk. Pengawal di padukuhan itu masih belum membunyikan kentongan yang dapat menimbulkan keresahan bagi seluruh Tanah Perdikan, karena suara kentongan itu akan mengumandang dan disambut oleh kentongan-kentongan di padukuhan-padukuhan yang lain.
"Apakah kita akan mencegahnya"- bertanya seorang pengawal
"Tentu tidak mungkin - jawab kawannya - berapa jumlah kita yang ada di .sini sekarang"
Kawannya menarik nafas. Bahkan seandainya gerombolan itu berpaling ke padukuhan mereka, maka mereka justru harus menghindar.
" Pengawal dari lima atau enam padukuhan yang tertinggal di padukuhan masing-masing, baru memadai untuk menghentikan mereka. Itupun tanpa satu keyakinan untuk dapat mengusir mereka, apalagi menghancurkan mereka."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu, kawannya berkata Tiga atau empat orang diantara kita akan mengikuti gerombolan itu dari jarak yang cukup jauh. Yang lain, ampat atau lima orang tinggal di padukuhan ini, sekedar untuk dapat memberikan isyarat jika diperlukan.
"Untuk apa kami mengikuti mereka" "
Pengawal yang mempunyai gagasan untuk mengikuti gerombolan itupun berkata"Mereka tentu akan berbuat sesuatu. Menurut arah perjalanan mereka, agaknya mereka akan menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan ini."
" Jadi kenapa kami yang hanya tiga atau empat orang harus mengikutinya?"
" Kita akan memberitahukan kepada para pengawal di setiap pedukuhan agar mengirimkan tiga atau empat orang pengawal menurut keadaan padukuhan masing-masing. Jika terkumpul delapan padukuhan yang sempat kita hubungi berarti akan dapat berkumpul sekitar duapuluh sampai tigapuluh orang. Nah, jumlah itu akan sangat berarti bagi padukuhan induk. Kekuatan gerombolan itu agaknya cukup besar dan sudah diperhitungkan akan dapat mengalahkan para pengawal dan pengawal cadangan yang ada di padukuhan induk."
Kawannya mengangguk-angguk; Katanya " Baik. Siapa yang akan pergi."
Akhirnya tiga orang pengawal telah meninggalkan padukuhan itu dan berusaha mengikuti gerak gerombolan yang memang menuju ke padukuhan induk. Tetapi ketiga orang itu tidak berani terlalu dekat dengan gerombolan itu. Mereka hanya beranijnenelusuri jejaknya saja.
Sementara itu, seorang diantara para pengawal itu telah berlari menuju padukuhan terdekat untuk memberitahukan rencananya bersama kawan-kawannya.
Ternyata para pengawal di padukuhan itupun setuju. Mereka telah mengirimkan empat orang untuk pergi ke padukuhan induk.
"Tetapi kita harus berhati-hati. Jika kita terjebak oleh gerombolan yang agaknya cukup kuat itu, kita akan menjadi ndeg pengamun-amun."
Namun seorang diantara mereka meneruskan hubungan itu ke padukuhan berikutnya. Mereka berharap bahwa sekitar dua puluh lima sampai tigapuluh orang akan dapat terkumpul untuk membantu pasukan cadangan di padukuhan induk.
Dalam pada itu, dua orang penghubung berkuda telah sampai ke padukuhan induk. Merekapun segera menyampaikan laporan tentang pecahan pasukan Ki Sima Sikara yang langsung menuju ke padukuhan induk.
Ki Gedepun segera memanggil Ki Sura Panggah yang berada di banjar padukuhan induk.
" Baiklah Ki Gede " berkata Ki Sura Panggah " aku akan segera mempersiapkan pasukan cadangan untuk melawan mereka."
" Ini bukan untuk pertama kalinya, bahwa padukuhan induk ini mendapat serangan langsung"berkata Ki Gede." karena itulah, maka padukuhan induk ini sudah dilengkapi dengan dinding dan pintu gerbang yang memadai."
"Jika Ki Gede berkenan, kami akan menyongsong mereka diluar dinding padukuhan,"berkata Ki Sura Panggah.
"Kita akan melihat kekuatan mereka, Ki Sura Panggah"berkata Ki Gede "jika kekuatan mereka terlalu besar, maka sebaiknya kita akan bertahan di dalam dinding pedukuhan.
"Tetapi orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu akan dapat menjadi berbahaya bagi padukuhan-padukuhan lain. Jika mereka gagal memasuki padukuhan induk, mereka akan melepaskan kemarahan dan dendam mereka kepada padukuhan-padukuhan lain sepanjang jalan pada saat mereka menarik diri. Bahkan mungkin mereka akan menduduki satu dua padukuhan sebagai landasan serangan mereka terhadap padukuhan induk pada kesempatan lain."
"Tetapi jika induk pasukan mereka di medan pertempuran disisi Utara tidak berhasil mendesak pasukan Tanah Perdikan, maka keadaan pasukan yang menduduki padukuhan di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini menjadi sangat gawaL"
"Ki Gede benar. Tetapi pada gerak mundur mereka akan dapat menimbulkan mala petaka jika pasukan Tanah Perdikan tidak menghalaunya sampai keluar perbatasan atau menangkap dan memaksa mereka menyerah."
" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah, Ki Sura Panggah. Jika menurut perhitungan Ki Sura Panggah kita dapat menahan mereka di luar dinding padukuhan induk dan menghalau mereka sampai
' keluar perbatasan. Tetapi jika kita dalam kesulitan, maka aku minta Ki Sura Panggah memerintahkan seluruh pasukan menarik diri masuk kedalam pintu gerbang padukuhan induk."
" Ya. Ki Gede, kami akan mengadakan penelitian langsung di medan."
Sementara itu, dua orang penghubung telah memberitahukan, bahwa gerombolan yang menuju padukuhan induk sudah menjadi semakin dekat
"Mereka telah membakar beberapa rumah di padukuhan sebelah, KiGede."
"He"KiGede terkejut
Dengan lantang iapun bertanya " bagaimana dengan para penghuninya ?"
"Sebagian besar telah keluar dari padukuhan itu dan berusaha mencapai padukuhan terdekat "Para pengawal?"
"Jumlahnya tidak memadai. Karena itu, mereka justru membantu perempuan dan anak-anak yang mengungsi.
Wajah Ki Gede menjadi tegang. Tiba-tiba saja Ki Gede itu menggeram " Aku sendiri akan memimpin pasukan untuk melawan mereka"
"Jangan kakang"cegah Ki Argajaya"kakang harus tetap berada di sini. Kakang mengendalikan pertempuran di segala medan. Mungkin ada hal-hal yang perlu mendapat pemecahan segera. Jika kakang tidak berada di sini, maka akan dapat terjadi kelambatan-kelam-batan."
"Tetapi mereka sudah berbuat melampaui batas."
"Serahkan pimpinan pasukan cadangan kepada Ki Sura Panggah. Sementara itu, aku juga akan berada di dalam pasukan itu."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia pun mengangguk sambil berkata"Baiklah. Aku serahkan pimpinan pasukan itu kepada Ki Sura Panggah dan kepadamu."
" Kami akan menjalankan tugas ini sebaik-baiknya, Ki Gede " sahut Sura Panggah.
Sementara itu, dua orang pengawal di pintu gerbang pun telah menghadap. Mereka melihat asap yang mengepul tinggi dari padukuhan sebelah,
"Kebakaran, Ki Gede"berkata pengawal itu.
"Berhati-hatilah"berkata Ki Gede"segerombolan musuh sudah berada di padukuhan itu."
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, Ki Sura Panggah dan Ki Argajaya pun telah berada di pintu gerbang. Pada prajurit dan pengawal yang disiapkan sebagai pasukan cadangan setelah mereka menghancurkan pasukan lawan di sisi Selatan sebelumnya tidak dapat beristirahat terlalu lama Tugas yang berat telah menunggu mereka di depan pintu gobang padukuhan induk itu.
Sejenak kemudian, maka pasukan itu pun sudah siap. Ki Sura Panggah telah memberikan perintah agar pasukan itu bergerak, keluar pintu gerbang.
"Kita akan bertempur di luar pintu padukuhan induk. Tugas kita menggagalkan serangan mereka menghalau dan menghancurkan pasukan itu."
"Beberapa kelompok prajurit dan pengawal pun kemudian telah berada di pintu gerbang. Mereka pun segera mempersiapkan diri menyongsong pasukan lawan yang telah keluar dari padukuhan sebelah merayap menuju ke padukuhan induk.
"Jumlah mereka cukup banyak"desis Ki Sura Panggah.
"Lebih banyak dari pasukan cadangan ini"sahut Ki Argajaya. " Tetapi kita akan melumatkan mereka " geram Ki Sura Panggah.
Ki Sura Panggah pun sempat memberitahukan kepada para pemimpin kelompok untuk berhati-hati "Songsong mereka dengan senjata lontar. Jumlah mereka cukup banyak."
Pasukan Ki Sura Panggah itu bergeser beberapa puluh patok dari dinding padukuhan induk. Kepada pengawal di pintu gerbang, Ki Sura Panggah memerintahkan untuk menutup pintu gerbang dan menyelarak kuat-kuat dari dalam. Petugas di panggungan harus siap mengamati keadaan, jika pasukan Tanah Perdikan memerlukan berlindung di belakang dinding padukuhan, maka mereka harus dengan cepat membuka pintu gobang dan bersiap melindungi pasukan yang bergerak masuk dengan anak panah dan lembing.
Ki Sura Panggah dan Ki Argajaya telah membawa pasukannya untuk menyongsong pasukan lawan yang datang menyerang padukuhan induk. Iapun telah memerintahkan para prajurit dan pengawal yang^bersenjata busur dan anak panah untuk bersiap di tempat terbaik.
"Pada saat pasukan itu menyeberangi jalan, maka mereka berada di tempat terbuka. Maka kalian harus memanfaatkannya Kalian lepaskan anak panah kalian untuk mengurangi jumlah lawan"perintah Ki Sura Panggah.
Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal yang bersenjata busur dan anak panah pun segera menyelinap di balik tanaman serta pematang. Mereka berusaha mendekati jalan yang menyilang di hadapan mereka Sementara itu, Ki Sura Panggah dan beserta pasukannya yang lain justru berdiri di pematang dengan senjata yang teracu
Mereka pun segera terlihat oleh pasukan yang menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka pemimpin pasukan itu pun segera memberikan perintah untuk menyerang.
Namun demikian mereka sampai di atas tanggul di pinggir jalan yang menyilang itu, anak panah pun telah meluncur dari busur-busurnya. Susul-menyusul dari balik pepohonan, pematang, dan tanaman yang tumbuh subur di sawah.
Orang-orang yang sedang berlari-larian itu terkejut Beberapa orang diantara mereka sempat berusaha menangkis atau berlindung di balik mereka. Tetapi beberapa orang yang terkejut ternyata terlambat untuk menyelamatkan diri.
Beberapa orang pun telah terguling di jalan dengan darah yang mengalir dari lukanya. Sebagian dari mereka telah mengaduh menahan sakit Tetapi sebagian lagi justru tidak sempat menggeliat karena anak panah itu menancap di dada langsung menusuk jantung.
Pemimpin pasukan yang menyerang padukuhan induk itu berteriak marah sekali. Ternyata mereka menjadi lengah, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa mereka terjebak dalam jangkauan anak panah lawan.
Pasukan itu memang terhambat. Namun mereka pun kemudian melanjutkan serangan mereka ke arah padukuhan induk.
Para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan yang telah melontarkan anak panah mereka, tidak dapat mempergunakan busur mereka lagi ketika pasukan lawan itu justru berlari-larian ke arah mereka Karena itu, maka merekapun segera meletakkan busur mereka dan menarik pedang atau jenis senjata mereka yang lain. Sementara itu, kawan-kawan merekapun telah berlari-larian pula menyongsong lawan yang datang menyerang itu.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit beberapa puluh patok dari pintu gerbang padukuhan induk yang ditutup rapat
. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin memanas, sementara terik mataharipun menjadi panas pula
Pemimpin dari pasukan yang menyerang itupun telah berteriak-teriak memberikan aba-aba Dengan lantang pemimpin pasukan penyerang itu berkata"Kita akan membantai mereka dan seisi padukuhan induk itu hingga lumat untuk menebus kekahalan kita di sisi Selatan."
Namun pemimpin pasukan yang menyerang itu terkejut ketika seseorang mendekatinya sambil berkata lantang " Kita bertemu lagi Ki Pringgareja"
Ki Pringgareja itupun menggeram. Katanya "Setan alas kau Sura Panggah. Kenapa kau berada di sini?"
" Aku tahu kau akan datang kemari. Karena itu, aku bawa pasukanku kemari. Aku ingin menyempurnakan kemenanganku di sisi selatan itu."
" Iblis kau. Kau kira kami akan memberi kemenangan lagi kepadamu?"
" Kau tidak usah memberikan itu. Kami akan mengambil kemenangan itu sendiri."
"Persetan. Sekarang bersiaplah untuk mati. Kami akan memecahkan pintu gerbang padukuhan induk itu dan menghancurkan semua isinya. Memaksa para pemimpin Tanah Perdikan yang pengecut dan tidak berani turun ke medan untuk menyerahkan Tanah Perdikan ini kepada kami"
Ki Sura Panggah tertawa Katanya"Mimpi yang bagus. Ternyata tanpa tidurpun kau dapat bermimpi."
Ki Pringgareja tidak menjawab lagi. Tetapi iapun langsung menyerang Ki Sura Panggah.
Tetapi Ki Sura Panggah telah bersiap sepenuhnya sehingga karena itu, maka pertempuranpun segera menjadi sengit
Ternyata jumlah para penyerang yang cukup banyak itu memang berpengaruh sekali Betapapun para prajurit dan pengawal yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah itu mengerahkan kekuatan dan kemampuannya' namun perlahan-lahan tetapi pasti, pasukan Ki Pringgareja itu mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh mendekati dinding padukuhan induk.
Para pengawal yang ada di panggungan sebelah menyebelah pintu gerbang telah bersiap-siap. Beberapa orang telah siap untuk mengangkat selarak. Sedangkan beberapa orang telah' mempersiapkan anak panah, busur dan lembing. Mereka harus melindungi pasukan Tanah Perdikan itu jika mereka akan berlindung dibelakang dinding padukuhan induk.
Namun dalam pada itu, para pengawal yang menyusul pasukan penyerang itu dari beberapa padukuhan, telah mendekati medan. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang jumlahnya hanya sekitar.tiga atau empat orang. Namun kelompok-kelompok itu berusaha untuk berkumpul menyatukan diri sebelum menyerang pasukan lawan.
" Sudah berapa orang terkumpul di sini ?"bertanya salah seorang pengawal yang berpengaruh diantara kawan-kawannya yang kemudian dianggap sebagai pemimpin kelompok.
"Tiga belas orang"desis kawannya
" Kita tidak usah menunggu lebih banyak lagi. Pasukan yang mempertahankan padukuhan induk itu sudah semakin terdesak "
"Kita akan menyerang mereka dari belakang ?" bertanya seorang diantara mereka.
"Tidak. Sangat berbahaya karena jumlah yang sangat kecil ini."
"Jadi?" "Kita melingkari lawan. Kita menyerang dari samping."
" Baik. Marilah segera kita lakukan. Keadaan pasukan yang bertahan itu semakin terdesak."
Tiga belas orang itupun kemudian telah melingkari arena. Dengan jumlah yang kecil itu, mereka telah menyerang lawan dari arah samping.
- Kedatangan mereka memang mengejutkan. Tiba-tiba saja mereka muncul dari batik gerumbul-gerumbul perdu di pematang. Sedang yang menyelinap dari balik tanaman yang hijau di sawah.
Jumlah mereka memang hanya sedikit Tetapi serangan mereka terhadap lambung pasukan lawan ternyata juga berpengaruh.
Dalam pada itu, beberapa kelompok yang lain pun telah mendekat pula. Seorang yang bertugas untuk mengumpulkan para pengawal yang berdatangan dari beberapa padukuhan itupun memberi tukan bahwa tiga-belas orang telah menyerang lambung.
"Kanan atau kiri ?" bertanya para pengawal yang datang kemudian,
"Lambung kanan"jawab petugas itu.
Para pengawal itupun kemudian sepakat untuk menyerang lawan dilambung yang lain. Lambung kiri
" Berapa orang yang terkumpul " " bertanya salah seorang diantara mereka.
Para pengawal itupun kemudian telah memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin kelompok yang mereka bentuk itu.'
Sejenak kemudian, maka sembilan belas orang itupun telah bergerak ke lambung sebelah kiri untuk membantu pasukan Tanah Perdikan yang mempertahankan padukuhan induk itu. Sementara itu seorang yang bertugas untuk menunggu kawan-kawannya yang mungkin masih akan datang, masih tetap dalam tugasnya
Sebenarnyalah, bahwa masih beberapa orang yang berdatangan, dua orang, kemudian dua orang lagi dan terakhir tiga orang.
"Tujuh orang"desis pengawal yang bertugas itu.
"Apa yang harus kami lakukan " " bertanya salah seorang dari ketujuh orang itu.
"Pergilah ke lambung kanan Yang lain di lambung kiri. " Dalam pada itu, seperti yang melibatkan diri di ujung medan sebelah kanan dari pertempuran itu, maka kehadiran sembilan belas orang dilambung kiri itu telah mengejutkan pula. Dengan serta-merta mereka terjun ke medan pertempuran. Pemimpin mereka telah meneriakkan isyarat sandi bagi setiap pengawal dan prajurit yang tergabung dalam pasukan Tanah Perdikan maupun para pengawal yang bertugas di padukuhan-padukuhan untuk hari itu, sehingga para prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Tanah Perdikan yang sudah terlibat dalam pertempuran segera mengenali mereka
Ternyata kehadiran kelompok-kelompok pengawal yang langsung turun ke medan itu sangat berpengaruh. Getar dari goncangan-goncangan yang terjadi di kedua ujung pasukan lawan itu telah merambat sampai ke seluruh tubuh pasukan
Ternyata Ki Pringgajaya juga merasakan getaran itu. Sebagian kekuatan pasukan itu rasa-rasanya telah terhisap ke kedua ujungnya..
" Apa yang telah terjadi " " bertanya Pringgareja di dalam baunya.
Seperti yang pernah terjadi dalam pertempuran disisi Selatan, seorang penghubung telah berteriak di belakang Ki Sura Panggah, sengaja agar lawannya dapat mendengar "Dua kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan telah datang dan langsung melibatkan diri di kedua ujung medan pertenunan itu,
Ki Sura Panggah sudah mendengar dengan jelas. Tetapi sambil bertempur melawan Ki Pringgareja ia berteriak bertanya"Dua kelompok pasukan pengawal dari mana?"
Yang memberikan laporan, prajurit dari Ganjur yang sudah tahu benar tugasnya itu menjawab"Pasukan cadangan dari padukuhan sebelah."
Namun Ki Pringgaareja pun berteriak"Persetan dengan pasukan itu."
Ki Sura Panggah justru melompat surat untuk mengambil jarak sambil tertawa"Jangan tergetar jantungmu mendengar laporan itu, Ki Sanak. Kalian memang terlalu berani untuk memikul akibat buruk dengan menyerang langsung padukuhan induk itu. Ki Gede tidak terlalu bodoh untuk mengosongkan pertahanan di padukuhan induk ini, karena Ki Gede tahu, bahwa padukuhan induk ini akan mendapat serangan langsung berdasarkan atas pengalamannya. Sudah beberapa kali padukuhan induk itu mendapat serangan, tidak hanya dengan pasukan kecil sebagaimana yang kau bawa ini."
"Cukup " teriak Ki Pringgareja sambil meloncat menyerang dengan garangnya. Namun ia masih juga berteriak " Aku akan menghancurkan padukuhan induk ini. Aku akan membuatnya menjadi karang-abaang. Kau tidak akan dapat menyelamatkannya Pasukanku cukup kuat untuk melawan pasukannya dalam jumlah dua kali lipat"
"Jangan sesumbar Ki Pringgareja Aku akan menghancurkan pasukanmu sekali lagi. Kali ini kau tidak akan luput dari tanganku. "
"Persetan dengan kau Sura Panggah. Pastikan siapakah aku ini, karena kau tidak akan pernah melihat lagi wajah orang lain. Kau akan segera mati."
Tetapi Sura Panggah tertawa lebih keras. Katanya " Suaramu seakan-akan mampu membelah langit Marilah, kita akan membuktikan, siapakah yuang terbaik di antara kita berdua. Kemenanganku terdahulu bukan hanya satu kebetulan."
Pringgareja tidak menjawab lagi. Tetapi sambil berteriak ia meloncat menyerang Ki Sura Panggah.
Demikianlah pertempuran di antara keduanya telah menyala lagi. Dua orang pemimpin yang berilmu tinggi. Mereka berloncatan saling menyerang dan saling bertahan. Semakin lama semakin cepat dan semakin keras.
Sementara itu, kedudukan para prajurit dan pengawal yang mempertahankan padukuhan induk itupun menjadi semakin baik. Pasukan Ki Pringgareja tidak lagi mampu mendesak maju
Dalam pada itu, Ki Argajaya yang juga berada di dalam pertempuran itu mempunyai pengaruh yang besar bagi keseimbangan kedua pasukan itu.
Dengan kemampuannya yang tinggi, Ki Argajaya telah menggetarkan medan. Tiga orang yang mencoba menghentikannya, harus mengerahkan kemampuannya. Namun seorang diantara merekapun telah terlempar dari arena pertempuran. Sedangkan kedua orang yang lain, dengan mengerahkan kemampuan mereka mencoba untuk mengimbangi kemampuan Ki Argajaya
Namun dalam pada itu, seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah menggenapi lawan Ki Argajaya menjadi tiga orang lagi. Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu agaknya memiliki kelebihan dari kawan-kawannya
Karena itulah, maka Ki Argajaya harus meningkatkan kemampuannya pula untuk melawan ketiga orang itu.
" Siapa kau ?"geram orang bertubuh tinggi itu"nampaknya kau salah seorang pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh
Argajaya termangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab" aku pengawal Tanah Perdikan ini.
"Persetan dengan-kau. Siapa namamu " "
"Apakah itu penting."
"Aku ingin membunuh orang yang aku kenal namanya "Karena itu, aku tidak perlu menyebut namaku karena kau tidak akan dapat membunuhku.
Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya Kedua orang yang lain telah melibatkan diri pula
Ki Argajayapun harus bertempur melawan tiga orang lagi Seorang diantaranya adalah orang yang memiliki ilmu melampaui kawan-kawannya
Tetapi Ki Argajaya sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan garangnya senjatanyapun berputaran menyambar-nyambar.
Dalam pada itu pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit, sementara cahaya mataharipun menjadi semakin membakar kulit. Telapak tanganpun telah menjadi basah oleh keringat.
Ternyata Ki Gede tidak dapat tinggal diam duduk di pendapa rumahnya sambil menunggu laporan-laporan dari para penghubung. Apa lagi di depan pintu gerbang padukuhan induk telah terjadi pertempuran, sehingga para penghubung akan menjadi ragu-ragu untuk memasuki
Tetapi Ki Gede berharap bahwa para penghubung akan tanggap pada keadaan dan memasuki padukuhan induk itu lewat pintu regol buju-lan yang dijaga oleh bebarapa orang prajurit diatas panggungan. Para prajurit itu akan mengetahui jika ada seorang akan memasuki padukuhan induk, sehingga pintu regol butulan itu akan dibuka.
Dalam pada itu, Ki Gede sendiri telah berdiri dipanggungan di sebelah pintu gerbang utama padukuhan induk Tanah Perdikan. Tombak pendeknya digenggamnya erat-erat. sambil memandangi pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya Beberapa orang pengawal khusus Ki Gede telah siap pula untuk menerima perintah apa saja yang akan diberikan oleh Ki Gede.
Ketika pasukan Tanah Perdikan itu terdesak perlahan-lahan mendekati dinding padukuhan induk, Ki Gede menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia langsung terjun ke medan bersama beberapa orang pengawal khususnya Namun kemudian dari panggungan itu Ki Gede melihat kelompok-kelompok pengawal yang berdatangan untuk membantu pasukan yang terdesak itu, sehingga keseimbangannyapun telah berubah.
Dada Ki Gede menjadi agak lapang. Pasukan tanah Perdikan tidak lagi terdesak surut perlahan-lahan. Kehadiran kelompok-kelompok pengawal dari padukuhan-padukuhan disekitar padukuhan induk itu, ternyata mempunyai pengarah'yang besar. Bukan saja lambung pasukan lawan yang mengalami kesulitan, tetapi kesulitan itu telah merambat ke-seluruh bagian pasukan yang menyerang padukuhan induk itu.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di perbatasan sebelah Barat tanah Perdikan serta disisi Utara, menjadi semakin sengit pula Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan untuk menghancurkan lawan. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang itupun telah berusaha dengan segenap kekuatan untuk memecah pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Tetapi usaha itu selalu saja sia-sia
Dalam pada itu, di induk gelar pasukan Tanah Perdikan, Agung Sedayu harus bertempur menghadapi Ki Darpatenaya yang berniat untuk membunuhnya sebelum Ki Darpatenaya itu akan bergeser ke pertempuran di medan yang lain untuk membunuh Empu Wisanata.
Tetapi tidak mudah untuk membunuh Agung Sedayu. Ki Darpatenaya yang merasa dirinya mempunyai kemampuan melampaui semua orang itu, menyangka bahwa ia akan dapat dengan cepat membunuh Agung Sedayu, meskipun ia menyadari bahwa Agung Sedayu itu berilmu tinggi. Tetapi ternyata nyawa Agung Sedayu itu cukup liat
Serangan-serangan Ki Darpatenaya yang dianggapnya akan dapat menentukan akhir dari pertempuran, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayupun merasakan, bahwa serangan-serangan Ki Darpatenaya memang menjadi semakin berbahaya. Tangan Ki Darpatenaya itu serasa menjadi semakin keras. Benturan-benturan yang terjadi kemudian, telah menyakiti tulang Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu bukan lawan yang lunak bagi Ki .Darpatenaya Semakin lama Agung Sedayu itu justru menjadi semakin cepat bergerak. Tangan-Ki Darpatenaya yang menjadi semakin keras seperti bau, justru tidak menyakitinya
Ki Darpatenaya adalah orang yang cukup berpengalaman. Ketika kekuatan ilmunya yang tersalur di tangannya tidak menyakiti Agung Sedayu, maka ia pun mulai mengakui, bahwa Agung Sedayu bukan sekedar memiliki kemampuan kewadagan dan ketrampilan serta menguasai unsur-unsur gerak yang rumit
" Itukah sebabnya namamu menjadi besar Agung Sedayu " berkata Ki Darpatenaya
"Apa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau memiliki ilmu kebal Sentuhlah tanganku sama sekali tidak kauhiraukan."
" Aku sudah sangat mengenali jenis ilmu Brajamusti itu, Ki Sanak. Karena itu, aku tidak terkejut karenanya"
"Jangan terlalu sombong, Ki Lurah. Yang kau hadapi bukan Aji Brajamusti. Tetapi Aji Wukir Sewu. Wataknya jauh berbeda."
"Aku berhadapan dengan Aji Brajamusti. Tetapi jika kemudian kau akan mengetrapkan Aji Wukir Sewu, silahkan Ki Sanak."
Ki Darpatenaya tidak menjawab. Tetapi serangannya kemudian datang membadai. Sentuhan-sentuhan tangannya menjadi semakin keras. Sentuhan tangan itu meskipun tidak menyakitinya tetapi dapat dirasakan betapa besar kekuatannya Semakin lama semakin besar. Meskipun tidak memecahkan ilmu kebalnya, namun kekuatannya demikian besar, sehingga mampu mengguncang ketahanan sikap Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak dapat menghadapi Aji W ukir Sewu itu dengan berlindung di balik ilmu kebalnya saja. Namun kemudian Agung Sedayu pun telah mengetrapkan kemampuannya meringankan tubuhnya.
Dengan demikian maka serangan-serangan Ki Darpatenaya itu pun kemudian sulit untuk menyentuhnya. Agung Sedayu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Meloncat, melenting, berputar di udara dan bahkan bergeser dengan kaki yang bagaikan tidak menyentuh tanah.
Perlawanan Agung Sedayu itu telah membuat lawannya menjadi semakin marah, tetapi juga gelisah. Agung Sedayu itu telah membuat lawannya menjadi semakin marah, tetapi juga gelisah. Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya Ki Darpatenaya masih belum mampu mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu
Ki Darpatenaya pun menjadi sangat marah. Karena itu, maka Ki Darpatenaya itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja Ki Darpatenaya itu sudah mencabut pedangnya
Sambil mengacukan pedangnya Ki Darpatenaya itu pun berkata, " Aku ingin tahu, apakah ilmu kebalmu mampu menahan tajamnya pedang pusakaku Kiai Galih yang dialasi dengan kekuatan Aji Wukir Sewu.-"
Dahi Agung Sedayu pun berkerut. Lawannya akan menggabungkan dua kekuatan yang diyakini akan dapat mengoyak ilmu kebalnya
Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi pun menjadi semakin sengit Pedang Kiai Galih di tangan Ki Darpatenaya yang memiliki kekuatan Aji Wukir Sewu, ternyata sangat berbahaya Ketika ujung pedang itu sempat menukik ke arah pundak Agung Sedayu. Meskipun pedang itu tidak menghujam di pundak Agung Sedayu, tetapi pundak Agung Sedayu telah sempat tergores oleh ujung pedang ilu, sehingga darahnya telah menitik dari luka itu.
Agung Sedayu meloncat surut. Sementara Ki Darpatenaya tidak memburunya. Ki Darpatenaya memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk melihat, bahwa kekuatan Aji Wukir Sewunya mampu mendorong pedangnya yang disebutnya Kiai Galih menembus ilmu kebalnya
Sambil tertawa Ki Darpatenaya itu pun berkata"Nah, kau lihat Agung Sedayu. Pundakmu itu terluka. Dengan demikian, kau yakini, bahwa pedangku akan dapat mengoyak perutmuu, menembus jantung di dadamu, atau menyobek lambungmu."
"Ya, aku percaya Ki Sanak. Tetapi sentuhan-sentuhan tipis itu tidak akan banyak berpengaruh. Ujung pedangmu tidak akan mampu menusuk sampai ke jantung. Kau memerlukan kekuatan yang sangat besar untuk menembus ilmu kebalku. Dengan Aji Wukir Sewu itu kau hanya dapat menggores ujung pedangmu di pundakku seperti terpatuk ujung duri di tangkai kembang mawar hutan."
"Mungkin sentuhan pertama itu tidak menyakitimu, Ki Lurah. Tetapi sentuhan berikutnya akan mengejutkanmu."
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Ki Darpatenaya itu pun ' meloncat menyerangnya Pedangnya berputar dengan cepat, kemudian teracu ke arah dada dilambari dengan Aji Wukir Sewu. Demikian besar kekuatan Ki Darpatenaya dengan alas Aji Wukir Sewunya sehingga seakan-akan Ki Darpatenaya mampu memindahkan seribu gunung".
Karena itulah, maka Agung Sedayu benar-benar harus berhati-hati menghadapi ujung pedang Ki Darpatenaya itu.
Dalam pada itu, pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit di medan di perbatasan Barat Tanah Perdikan itu. Kedua pasukan itu saling mendesak dengan garangnya Kedua belah pihak bertempur dengan kerasnya mengerahkan segenap kemampuan.
Namun bagaimanapun juga usaha pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu, namun mereka tidak berhasil mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Medan pertempuran itu rasa-rasanya masih belum beringsut dari semula
Meskipun demikian, korban sudah berjatuhan. Beberapa orang diantara mereka yang ada didalam pasukan itu, terpaksa berhenti bertempur untuk menolong kawan-kawannya yang terluka. Mereka membawa kawan-kawan mereka itu ke belakang garis pertempuran, sementara merekapun segera kembali ke medan. Sedangkan kawan-kawan mereka yang terluka itu segera dirawat oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan pengobatan. Orang-orang yang sudah lewat separo baya, tetapi masih kokoh, telah turun pula untuk membantu merawat para prajurit dan pengawal yang terluka
Dalam pada itu, Suranata masih bertempur melawan Ki Wijil. Keduanya memiliki bekal ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin seru. Suranata yang telah mengembara menjelajahi daerah yang luas itu, mempunyai se-bangsal pengalaman yang dapat mematangkan ilmunya
Namun yang dihadapinya adalah Ki Wijil. Seorang yang berilmu tinggi pula Dilengkapi dengan dukungan pengetahuannya dan pengalaman yang sangat luas pula
Karena itulah, maka Suranatapun segera merasakan tekanan yang semakin lama menjadi semakin berat, sehingga akhirnya Suranata itu mulai terdesak.
Tetapi Suranata yang sedang dicengkam oleh gejolak jiwanya itu tidak segera melihat kenyataan itu. Dengan garangnya ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyelesaikan pertempuran itu.
. Tetapi ternyata justru Suranata sendiri yang semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangannya selalu dapat dipatahkan. Namun dalam pada itu, serangan serangan Ki Wijil semakin sering mengenainya Beberapa kali tubuh Suranata tergores ujung senjata Ki Wijil. Meskipun goresan-goresan itu tidak menghentikan perlawanannya, namun darah telah menitik dari luka-lukanya itu.
Dalam puncak kemarahannya maka Suranata tidak lagi menyandarkan diri kepada senjatanya Tetapi Suranata ingin segera mengakhiri pertempuran dengan ilmu pamungkasnya.
Namun Ki Wijil dapat membaca niat Suranata itu. Karena itu, maka Ki Wijil berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada Suranata untuk memusatkan nalar budinya sampai kepada puncak ilmunya
Serangan-serangan Ki Wijil justru menjadi semakin membadai. Ujung senjata yang berputar menyambar-nyambar semakin sering menyentuh kulit Suranata
.Beberapa kali Suranata mencoba mengambil jarak. Tetapi Ki Wijil benar-benar telah mengerahkan tenaganya untuk memburunya menyerangnya dan merampas segala kesempatan yang mungkin dapat dilakukan.
Suranata itupun menggeram marah sekali. Ki Wijil rasa-rasanya selalu saja melekat dihadapannya, sehingga Suranata benar-benar tak mempunyai kesempatan.
Namun Suranata tidak menyerah. Dihentakkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk menahan serangan Ki Wijil. Namun kemudian Suranata itupun meloncat mengambil jarak.
Suranata tidak menghiraukan lagi serangan-serangan Ki Wijil, ia berusaha dengan kesempatan yang sekejap itu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya
Tetapi kecepatan gerak Ki Wijil memang tidak tertandingi oleh Suranata Pada saat Suranata berlutut pada satu kakinya sambil mengangkat tangannya maka sebilah pisau belati telah menyambar bahunya Demikian kerasnya sehingga Suranata itu terdorong dan kehilangan keseimbangannya
Pada saat yang bersamaan Suranata melepaskan ilmu puncaknya. Dari telapak tangannya yang dihentakkannya, meluncur seleret sinar dengan derasnya Tetapi arahnya sudah tidak terkendali lagi. Sinar itu meluncur naik ke udara
"Licik, kau Ki Wijil - geram Suranata yang kemudian jatuh terlentang. Pisau belati yang dilemparkan oleh Ki Wijil masih menancap di bahunya Kalanya dengan suara tersendat - Kau tidak berani beradu ilmu. Disaat kau tahu bahwa aku berusaha untuk melepaskan ilmu pamungkasku , kau tidak berani beradu dada Seharusnya kaupun bersiap untuk membentur ilmu puncakku dengan ilmu puncakmu. Ternyata bahwa kau tidak lebih dari seorang yang sekedar berpijak pada ilmu kewadagan.
Ki Wijil berdiri termangu-mangui. Ia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, Suranata tidak akan melepaskan ilmu puncaknya Jika hal itu dilakukannya maka lukanya itu akan dapat membunuhnya Urat-urat nadinya yang terpotong oleh pisau belati ku akan memancarkan darah sehingga jantung Suranata itu akan menjadi kering."
"Sudahlah, ngger. Jangan terlalu banyak bergerak. Redamlah kemarahanmu itu."
" Kenapa kau tidak berani membenturkan ilmumu" Bukankah kau suami Srigunting Kuning?"
Ki Wijil menarik nafas daiam-dalam. Dipandanginya Suranata sejenak.. Wajahnya menjadi sangat tegang menahan kesakitan yang mencekam lukanya
Ketika Suranata itu akan bangkit, maka Ki Wijil itupun mencoba menahannya. Katanya - Jangan paksa dirimu Berbaring sajalah."
Suranata yang lemah itupun berbaring kembali. Nafasnya menjadi terengah-engah.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah melingkari Ki Wijil dan Suranata yang terbaring diam. Dengan garangnya mereka menghalau orang-orang yang mencoba mendesak dan berusaha untuk mengambil Suranata yang terluka
"Angger Suranata - berkata Ki Wijil - aku memang tidak ingin membenturkan ilmuku dengan ilmu yang mungkin dilepaskan oleh angger Suranata"
"Kenapa" - geram Suranata yang kesakitan, sementara Ki Wijil . berjongkok di sebelahnya
" Aku tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi aku harap angger Suranataa menyadari kenyataan itu. Aku tahu bahwa saudara perempuan angger Suranata sedang dalam keadaan terluka. Terluka tubuhnya dan terluka hatinya Karena itu, maka sebaiknya angger Suranata tetap hidup, Nyi Yatni itu sangat memerlukan angger Suranata"
Wajah Suranata menjadi tegang. Sementara itu, Ki Wijilpun berkata selanjutnya - Jika kita beradu ilmu puncak, maka aku tidak akan dapat mengendalikan diri lagi Sedangkan aku yakin, bahwa kematangan ilmu angger Suranata masih di bawah kemalangan ilmuku selapis. Karena itu, aku cari jalan lain untuk rnenghentikanmu tanpa membenturkan ilmu kita masing-masing.
"Kau terlalu sombong, Ki Wijil - geram Suranata
"Bukan maksudku, ngger."
"Kau kira benturan ilmu di antara kita akan dapat membunuhku, Ki Wijil. Atau kau sendiri yang menjadi ragu-ragu, bahwa ilmumu akan dapat mengimbangi ilmu pamungkasku."
"Angger Suranata Kau jangan ingkar dari kenyataan ini. Jika aku sekedar ingin membunuhmu, tanpa ilmu pamungkas itupun aku dapat melakukannya."
Wajah Suranata menjadi merah. Sementara itu, perasaan sakitnya semakin mencengkamnya
" Aku akan menarik pisau itu dari bahu angger Suranata - berkata Ki Wijil - bertahanlah. Aku akan menaburkan obat dilukamu agar darahnya menjadi pampat Kemudian biarlah kau dibawa oleh orang-orangmu ke tempat saudara perempuanmu."
Suranata menggeram. Katanya - Tinggalkan aku. Jika aku mati, kau tidak akan merasa kehilangan, Ki Wijil.
Tetapi Ki Wijil tidak menghiraukannya. Disiapkan bumbung berisi obat untuk memampatkan darah. Kemudian dicabutnya pisau belatinya yang tertancap di bahu Suranata.
Terdengar Suranata itu berteriak nyaring. Perasaan sakit benar-benar telah menusuknya sampai ke tulang sumsum.
Namun Ki Wijilpun kemudian telah menaburkan obat yang akan dapat memampatkan darah yang memancar dari luka itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Wijil pun bangkit berdiri. Iapun memberi isyarat, agar para pengawal yang bertempur di sekitarnya itu bergeser mundur.
Sebenarnyalah, demikian para pengawal menyibak, maka beberapa lawanpun dengan serta merta telah berloncatan ke arah rubuh Suranata. Beberapa orangpun kemudian telah memungut tubuh itu dan menggotongnya menyibak kawan-kawannya ke belakang garis pertempuran.
Namun Suranata itu masih hidup.
Bahkan terngiang di telinganya kata-kata Ki Wijil, bahwa Ki Wijil tidak berniat untuk membunuhnya
"Jika aku sempat melepaskan ilmu puncakku, maka Ki Wijil tentu akan membenturnya dengan ilmu puncak pula - berkata Suranata di dalam hatinya Jika itu terjadi, maka agaknya tidak berlebihan sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Wijil. Bahwa ilmunya masih selapis dibawah ilmu Ki Wijil, sehingga benturan ilmu itu tentu akan menghanguskan dadanya
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menyeringai menahan sakit Meskipun demikian, ternyata obat Ki Wijil itu benar-benar telah jauh mengurangi arus darahnya yang memancar dari lukanya.
"Kenapa Ki Wijil tidak mau membunuhku?" Meskipun Ki Wijil tidak menyaksikan sendiri, agaknya ia sudah mendengar apa yang terjadi di halaman rumah Ki Gede. Perselisihan antara kedua orang saudara perempuannya
Suranata itu menarik nafas dalam-dalam, Ki Wijil itu berkata kepadanya - Saudara perempuan angger Suranata sedang dalam keadaan terluka Terluka tubuhnya dan terluka hatinya
" Yatni memang memerlukan aku - berkata Suranata di dalam hatinya
Sementara itu, maka keseimbangan pertempuran telah mulai berguncang. Wira Aran yang bertempur melawan Nyi Wijil, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Ujung pedang Nyi Wijil yang disebutnya sebagai Srigunting Kuning itu, selalu memburunya kemana saja ia bergerak. Kecepatan gerak Nyi Wijil benar-benar secepat gerak seekor burung srigunting yang sedang menyambar bilalang.
Sebenarnyalah, Wira Aran bukan lawan Nyi Wijil. Karena itu, maka akhirnya Wira Aran itu harus mengakui kelebihan Nyi Wijil.
Dengan demikian, maka Wira Aran itupun kemudian telah berusaha untuk mendapatkan bantuan dari orang-orang yang bertempur dibawah pimpinan Ki Saba Lintang itu.
"Hancurkan perempuan iblis ini " teriak Wira Aran.
Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Teriakan Wira Aran itu tidak segera mendapat tanggapan, karena orang-orang dalam pasukan Ki Saba Lintang ini masih harus menghadapi lawan mereka masing-masing.
Namun kemudian dua orang diantara mereka berhasil melepaskan diri dari lawan-lawan mereka dan bergabung dengan Wira Aran melawan perempuan yang disangkanya Srigunting Kuning itu.
Nyi Wijilpun kemudian bertempur melawan ketiga orang itu. Mereka berusaha untuk mengepung Nyi Wijil dan menyerangnya dari arah yang berbeda-beda
Tetapi Nyi Wijil cukup tangkas menghadapi mereka bertiga. Dengan cepatnya ia berloncatan sambil memutar senjatanya. Bahkan sekali-kali melenting keluar dari lingkaran kepungan ketiga orang lawannya
Namun ketiga orang itupun kemudian menjadi gelisah ketika Ki Wijil yang sudah kehilangan lawannya menyibak medan pertempuran dan melangkah mendekati Nyi Wijil yahg bertempur melawan ketiga orang lawan itu.
Tetapi Ki Wijil tidak segera melibatkan diri. Sejenak ia mengamati pertempuran antara Nyi Wijil dari ketiga orang lawannya termasuk Wira Aran.
Namun kemudian iapun tersenyum. Pertempuran itu tidak membahayakan Nyi Wijil.
Wira Aran menjadi semakin gelisah melihat Ki Wiji91 mendekati arena itu Jika Ki wijil melibatkan diri, maka sulit baginya bertiga untuk menghadapi kedua orang suami istri itu.
Tetapi sebelum Ki Wijil memasuki arena pertempuran itu, maka salah seorang dari kedua orang yang membantu Wira Aran itu telah terlempar dari arena Segores luka yang panjang menyilang didadanya
Wira Aran menjadi semakin cemas. Kawannya yang tiggal seorang itupun menjadi berdebar-debar pula. Mereka tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa berdua mereka tidak akan mampu melawan Nyi Wijil. Apalagi jika Ki Wijil melibatkan dirinya pula. Karena itu, maka ketika Nyi Wijil semakin menekan keduanya maka kedua orang itupun telah berusaha membaur dalam pertempuran yang seru diantara orang-orang yang berada didalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu
Tetapi sebelum Wira Aran tenggelam didalamnya, Nyi Wijil telah menyusulnya Sementara itu, Ki Wijil sudah mendampinginya, sehingga orang-orang yang akan mendekatinya telah dihalaunya.
" Jangan menghindar, Wira Aran - Ki Wijillah yang berkata lantang " seharusnya kau berhadapan dengan Empu Wisanata sebagaimana pernah kau katakan, bahwa kau tidak akan pernah melupakannya ketika kau bersama Suranata menemuinya di rumah Agung Sedayu."
"Persetan dengan Empu Wisanata"geram Wira Aran. "Karena Empu Wisanata tidak ada disini, maka biarlah Nyi Wijil sajalah yang mewakilinya"
"Jika kalian tidak menyingkir, aku akan membunuh kalian."
" Kaulah yang tidak pantas untuk tetap hidup. Kau tentu telah menghasut Suranata untuk berani melawan ayahnya."geram Nyi Wijil.
Wira Aran masih akan menyusup diantara pertempuran yang masih berlangsung.
Namun dengan cepat Nyi Wijil menyusulnya, sehingga Wira Aran tidak dapat melarikan dirinya lagi. Sementara itu seorang yang bertempur bersamanya, telah berusaha untuk membantunya sejauh dapat dilakukannya
Ki Wijil ternyata tidak mencampurinya Ia bahkan ikut melibatkan diri, bertempur bersama para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan.
Wira Aran memang tidak dapat lepas dari tangan Nyi Wijil. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian. Nyi Wijil masih juga memberinya peringatan " Menyerahlah Wira Aran. Kau harus ditangkap hidup-hidup dan dibawa menghadap Empu Wisanata"
Persetan, nenek-nenek buruk. Kau tidak dapat memaksakan kehendakmu atasku Sekali lagi aku beri kau kesempatan untuk melarikan diri dari medan. Jika kau tolak kesempatan terakhir ini, maka kau akan mati."
Namun demikian mulut Wira Aran tertutup, maka terdengar ia berteriak nyaring. Ujung senjata Nyi Wijil telah mengoyak lambungnya, sehingga lukapun telah menganga
Wira Aran terhuyung-huyung. Iapun kemudian telah berteriak-teriak mengumpat dan mengaduh sambil berguling-guling menahan sakit.
Nyi Wijil berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ditinggalkannya Wira Aran yang terluka parah itu. Tidak ada niat Nyi Wijil untuk membunuhnya. Jika kawan-kawannya sempat menolongnya biarlah ia tetap hidup. Jika ia masih juga mendendamnya, maka Nyi Wijil akan menunggunya
Dalam pada itu, Ki Wijil dan Nyi Wijilpun kemudian telah bergabung dengan para prajurit dan pengawal dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Kehadiran mereka, benar-benar telah mengacaukan perlawanan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Bersama dengan para prajurit dan pengawal, maka Ki Wijil dan Nyi Wijil itu telah mendesak pasukan lawan. Mereka tidak sempat menyusun kelompok-kelompok untuk menahan Ki Wijil dan Nyi Wijil, karena para prajurit dan pengawal seakan-akan tidak pernah memberi kesempatan.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa orang memang sempat menolong Wira Aran. Tetapi luka-luka Wira Aran terhitung sangat parah. Kegelisahannya serta geraknya yang terlalu banyak, seakan-akan telah memeras darahnya dari tubuhnya.
Berbeda dengan Suranata yang lebih tenang, apalagi Ki Wijil telah memberinya obat untuk mengurangi arus darahnya.
Karena itu, keadaan Suranata masih jauh lebih baik dari keadaan Wira Aran.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah berhadapan dengan dua orang bersaudara seperguruan. Dua orang yang terhitung agak gemuk, tetapi ternyata mereka memiliki ilmu yang tinggi.
Seorang diantara kedua orang bersaudara yang berdiri di hadapan Glagah Putih berdesis " Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga Glagah Putih. Laripun kau tidak akan dapat melakukannya."
Glagah Putih tidak segera menjawab. Namun iapun meloncat kesamping ketika lawannya yang seorang lagi menyerangnya.
Tetapi lawannya yang lainpun segera memburunya. Ujung senjatanya yang telah digenggamnya, terayun mendatar menebas ke arah dada
Tetapi Glagah Putih sempat mengelak. Ujung pedang itu tidak menyentuhnya sama sekali. Sementara itu lawannya yang seorang lagi telah meloncat menjulurkan pedangnya. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih dapat menangkis dengan pedangnya pula "
Tetapi kedua orang lawannya itupun semakin meningkatkan ilmunya pula Semakin lama semakin tinggi.
Glagah Putihpun harus bertempur semakin keras pula. Dua orang lawannya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Disisi Selatan, Glagah Putih harus bertempur menghadapi tiga orang saudara seperguruan yang disebut Rewanda Lantip. Bertiga mereka merupakan kekuatan yang sulit diatasinya meskipun akhirnya Glagah Putih mampu mengalahkan mereka Kemudian dalam pertempuran di sisi Barat itu, ia harus menghadapi sepasang saudara seperguruan. Meskipun kedua orang ini tidak bertempur sekasar ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu, namun keduanya tidak kalah berbahaya dari mereka.
Pedang kedua orang saudara seperguruan itu terayun-ayun mengerikan. Berganti-ganti keduanya terjulur, menebas, terayun mendatar dan kadang-kadang menikam ke arah jantung.
Tetapi kecepatan gerak Glagah Putih mampu melindunginya. Pedang Glagah Putihpun kemudian berputar dengan cepatnya
Namun agaknya kedua orang lawannya yang tidak segera dapat mengalahkannya itu tidak telaten lagi. Keduanyapun kemudian telah merambah ke ilmu puncak mereka. Kedua pedang itupun bergerak beruntun dengan cepatnya. Sekali-kali kedua belah pedang itu justru bersentuhan yang satu dengan yang lain. Bahkan kadang-kadang berbenturan.
Glagah Putih mulai menyadari, bahwa kedua orang lawannya telah sampai kepada ilmu puncak mereka. Sentuhan-sentuhan senjata mereka telah memancarkan bunga api yang bercahaya menyilaukan mata Glagah Putih. Pada saat yang demikian, maka kedua orang lawannya itu menyerangnya berbareng dari arah yang berbeda
Glagah Putih semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali ia harus meloncat mengambil jarak apabila matanya menjadi silau oleh kilatan loncatan api pada sentuhan kedua bilah pedang lawan-lawannya
Namun ternyata Glagah Putihpun telah terlambat melenting ketika matanya bagaikan tertusuk oleh cahaya yang berkilat-kilat sehingga ia sama sekali tidak dapat melihat sesuatu.
Glagah Putih itu menggeram ketika terasa lengannya menjadi pedih. Sekret luka telah mengoyak lengannya sehingga darahpun telah mengalir dari lukanya itu.
Jantung Glagah Puuh memang menjadi panas. Karena itu, ia justru telah menyarungkan pedangnya Yang kemudian digenggamnya adalah ikat pinggangnya
Dengan ikat pinggang yang rasa-rasanya sudah menjadi sangat mapan ditangannya Glagah Puuh menjadi semakin garang. Ketika kedua orang lawannya menyentuhkan pedang-pedang mereka yang satu dengan yang lain, Glagah Putih tidak berusaha mengambil jarak. Glagah Putih justru meloncat mendekati cahaya yang menyilaukan itu Dengan ikat pinggangnya ia memukul percikan bunga api yang memancarkan cahaya yang menusuk matanya
Kedua orang lawannya terkejut. Karena sikap Glagah Putih itu tidak mereka duga sebelumnya, maka pedang merekapun telah tergetar. Bahkan seorang diantara mereka benar-benar tidak sempat mempertahankan pedangnya sehingga pedangnya itupun telah terjatuh di tanah.
Untunglah, bahwa kawannya cepat bertindak. Orang itu telah memutar pedangnya dan menyerang langsung dengan menjulurkan pedangnya itu ke arah perut
Glagah Putih meloncat surut. Sementara itu, seorang dari kedua lawannya yang kehilangan pedangnya itu sempat memungutnya
Namun Glagah Putih tidak membiarkannya Dengan cepatnya ia melenting. Ikat pinggangnya berputar dengan cepat, Satu tebasan mendatar telah membuat lawannya yang baru saja menjulurkan pedangnya harus menangkisnya
Benturan yang keras telah terjadi. Lawan Glagah Putih itu harus mempertahankan pedangnya agar tidak terlepas. Namun telapak tangannya terasa bagaikan menyentuh bara
Orang itu meloncat surut Kawannya yang telah menggenggam. pedangnya dengan cepat mendekatinya Kedua pedang itupun bersentuhan, sehingga cahaya yang silau telah memancar.
Tetapi kedua orang itu ternyata salah hitung. Cahaya yang silau itu tidak membuat lawan mereka kebingungan. Tetapi Glagah Putih justru memanfaatkan saat seperti itu.
Glagah Putih tahu pasti, bahwa kedua senjata lawan-lawannya itu sedang bersentuhan. Seperti yang pernah terjadi, maka jika ia memukul titik percikan yang menyilaukan itu, maka ia akan dapat mengenai kedua senjata lawannya
Karena itu, maka Glagah Putih tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan dialasi oleh kekuatan ilmu Sigar bumi, maka Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan ikat-pinggangnya Ia yakin, bahwa ikat pinggangnya akan mampu membawa beban ilmunya. Jika ia mempergunakan pedangnya, mungkin pedangnya akan patah jika pedang lawan terbuat dari bahan yang lebih baik. Tetapi Glagah Putih percaya akan kelebihan ikat-pinggangnya itu.
Karena itu, ketika ikat pinggang Glagah Putih itu mengenai pusat percikan bunga api yang menyala menyilaukan itu, maka sekali lagi ikat pinggangnya menghantam dua bilah pedang dari kedua orang lawannya. Benturan yang teraku jauh lebih keras dari benturan sebelumnya. Pedang seorang dari mereka telah terlempar dari tangannya, sedangkan pedang yang sebilah lagi telah patah ditengah.
Kedua orang lawan Glagah Puuh itu berloncatan surut Kedua-duanya tidak lagi dapat mempergunakan senjata mereka untuk melawan.
Namun kedua orang itu tidak segera menyerah Justru karena mereka kehilangan senjata mereka, maka keduanyapun telah mengerahkan ilmu puncak mereka.
Jantung Glagah Putih berdesir ketika ia melihat kedua orang itu berloncatan saling mendekat Keduanyapun kemudian berpegangan sebelah tangan masing-masing. Sedangkan tangan yang lain mereka angkat bersama-sama mengarah kepada Glagah Putih. -
Glagah Putih yang memiliki pengalaman yang luas itu segera mengerti, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang saudara seperguruan itu. Karena itu, maka iapun segera memepersiapkan diri.
Disangkutkannya ikat pinggangnya di lehernya, sementara ia siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, justru karena kedua orang lawannya harus bekerja bersama, maka mereka memerlukan waktu sekejap lebih lama dari Glagah Putih sendiri. Karena itu, demikian mereka mengangkat tangan mereka, maka Glagah Putihpun telah meloncat sambil berguling beberapa kali. Namun tanpa bangkit berdiri, Glagah Putih yang kemudian berlutut di satu lututnya itu, telah mengangkat tangannya pula.
Seleret sinar telah meluncur menyambar Glagah Putih dari kedua tangan dua orang bersaudara yang saling berpegangan itu. Namun sinar itu tidak mengenai sasarannya, karena Glagah Putih dengan cepat mengelakkan diri. Bahkan Glagah Putihpun telah membalas menyerang.
Kedua orang saudara seperguruan itu tidak mengira, bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga mampu membalas menyerangnya dari jarak jauh.
Keduanya memang berusaha mengelak. Tetapi ternyata seorang diantara mereka telah terlambat Serangan Glagah Putih telah menyambar seorang diantara kedua orang saudara seperguruan itu, sementara yang lain telah berloncatan sambil menjatuhkan dirinya menyamping.
Terdengar teriakan kesakitan. Orang yang telah dikenai serangan Glagah Putih itu terpelanting beberapa langkah. Tubuhnya terbanting jatuh dengan derasnya.
Dalam pada itu, seorang diantara kedua saudara seperguruan yang luput dari serangan Glagah Putih itu telah berusaha mempersiapkan diri pula. Tanpa dukungan kekuatan saudara seperguruannya orang itu telah menyerang Glagah Putih.
Tetapi ternyata Glagah Putih telah bersiap pula. Ia memang berusaha untuk tidak membenturkan ilmunya ketika ia menyadari, bahwa kedua orang lawannya itu telah menggabungkan kekuatan puncak ilmu mereka. Namun Glagah Putih tidak mengelak, ketika ia mendapat serangan hanya oleh seorang diantara mereka.
Karena itu, pada waktu yang bersamaan, Glagah Putih telah mengangkat tangannya pula. Kedua telapak tangannyapun dibukanya menghadap kearah lawannya
Dengan demikian, maka telah terjadi benturan ilmu dari dua orang yang berilmu tinggi.
Benturan ilmu itu ternyata telah menimbulkan getaran yang bergelombang berbalik kearah mereka yang telah melontarkannya
Demikian serunya benturan yang terjadi, serta gelombang getar balik ilmu mereka masing-masing, maka kedua orang yang sedang beradu ilmu itu telah terpelanting beberapa langkah surut,
Glagah Putih yang terdorong beberapa langkah itu telah kehilangan keseimbangannya sehingga anak muda itu telah terjatuh berguling di tanah.
Dua orang pengawal Tanah Perdikan dengan cepat berlari mendekat sebelum lawan-lawan mereka mengambil kesempatan untuk mencelakai Glagah Putih.
Seorang diantara mereka berlutut di sebelah tubuh Glagah Putih. Dengan susah payah ia membantu Glagah Putih yang berusaha untuk bangkit dan duduk bersandar pada kedua belah tangannya
"Jangan paksakan untuk duduk"berkata pengawal itu.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian justru duduk bersila sambil meletakkan kedua telapak tangannya dilututnya
Nafas Glagah Putihpun menjadi sesak. Karena itu, maka Glagah Putih mencoba untuk memperbaiki keadaannya Sementara itu, perasaan nyeri telah mencengkam dadanya
Dua orang pengawal yang berdiri didekatnya bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan dengan senjata telanjang.
Namun tidak seorangpun lawan yang sempat mendekatinya. Pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya Sorak gemuruh yang menggetarkan medan justru telah menggetarkan jantung disetiap dada lawan.
Kegelisahan melanda orang-orang yang berada'di dalam pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang itu
Dua orang saudara seperguruan yang menjadi kebanggaan para prajurit pengikut Ki Saba Lintang itu ternyata dapat dilumpuhkan oleh anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu.
Sebenarnyalah dalam benturan ilmu yang terjadi, Glagah Putih yang memiliki kematangan ilmu selapis lebih tinggi dari lawannya telah berhasil menghentikan perlawanannya. Dari sela-sela bibir lawannya, menitik darah yang segar. Ternyata benturan ilmu itu telah menghancurkan bagian dalam tubuhnya
Demikian ia terpelanting jatuh, maka ia tidak mampu untuk bangkit kembali Meskipun orang itu masih sempat mengerang, namun kemudian mautpun telah menjemputnya Sementara saudara seperguruannya telah terlebih dahulu menarik nafasnya yang terakhir.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun ternyata telah terluka di bagian dalam tubuhnya Jika saja ia tidak menghindari benturan yang terjadi melawan kedua orang saudara seperguruan yang menyatukan kekuatan mereka, maka tentu Glagah Putih yang akan mengalami bencana itu.
Kematian dua orang saudara seperguruan itu telah mengguncang medan. Orang-orang dalam pasukan Ki Saba Lintang itu menjadi kecut. Mereka menganggap bahwa kedua orang saudara seperguruan itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Namun ternyata anak muda dari Tanah Perdikan itu mampu mengalahkannya
Meskipun kemudian Glagah Putih tidak lagi bertempur diantara para pengawal Tanah Perdikan karena luka-luka dibagian dalam tubuhnya namun kematian kedua orang saudara seperguruan itu sangat mempengaruhi ketahanan jiwa mereka
Karena itu, maka goncangan-goncangan keseimbangan pertempuran telah terjadi. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mendesak lawan-lawan mereka beberapa langkah maju.
. Kegelisahan telah terjadi dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Semakin lama terasa tekanan yang semakin berat dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan Ki Saba Lintang menjadi semakin gelisah. Para penghubungnya telah memberikan laporan, bahwa keadaan pasukannya semakin lama menjadi semakin sulit.
Ki Saba Lintang sendiri akhirnya telah turun ke medan. Seorang pengawalnya yang masih muda dan berilmu tinggi, selalu berada bersamanya
Namun kelompok-kelompok yang kuat dari para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah menahannya. Mereka sempat meninggalkan lawan-lawan mereka, karena lawan-lawan mereka bagaikan telah dihisap oleh Ki Wijil dan Nyi Wijil setelah mereka mematahkan perlawanan Suranata dan Wira Aran.
Diinduk gelar, Agung Sedayu masih berhadapan dengan Ki Darpatenaya Seorang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia sengaja turun ke medan untuk membunuh Agung Sedayu. Kemudian iapun akan bergeser ke medan pertempuran disisi Utara untuk membunuh Empu Wisanata yang telah berkhianat.
Namun selelah bertempur beberapa lama ternyata Ki Darpatenaya masih belum dapat membunuh Agung Sedayu.
" Aku salah hitung"berkata Ki Darpatenaya didalam hatinya" seharusnya aku membunuh Empu Wisanata lebih dahulu. Baru kemudian Agung Sedayu. Jika aku membunuh Wisanata yang berkhianat itu, maka orang-orang berilmu tinggi disisi Utara itu akan dengan cepat menggulung pertahanan pasukan Tanah Perdikan, sementara aku menyempatkan diri membunuh Agung Sedayu. .
Tetapi Ki Darpatenaya sudah terlanjur berhadapan dengan Agung Sedayu yang berilmu kebal Namun demikian, ujung senjata telah mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu itu.
Tetapi luka Agung Sedayu tidak mempengaruhi perlawanannya. Dengan demikian, maka pertempuranpun masih berlangsung dengan sengitnya Pedang Ki Darpatenaya yang disebutnya Kiai Galih,itu beberapa kali mengguncang ilmu kebal Agung Sedayu. Bahkan sekali lagi ujung pedang itu tergores di lengan Agung Sedayu. Memang tidak dalam. Hanya sekret tipis. Namun luka itu membuat Ki Darpatenaya semakin bernafsu. Ia menjadi semakin yakin, bahwa ujung pedangnya akan mampu mengakhiri pertempuran itu.
Kisah Si Rase Terbang 3 From Sumatra With Love Karya Esi Lahur Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 4