Api Di Bukit Menoreh 8
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8
"Sudahlah Glagah Putih," cegah Ki Gede, "kami serahkan saja kepadanya, bagaimana ia mengartikan pernyataan kita. Tetapi kita tidak akan mencabut keputusan yang telah kita ambil. Biarlah ia membawa mayat kakang Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak pulang ke padepokannya. Biarlah ia mengatakan kepada Ki Saba Lintang, pernyataanku ini. Tetapi aku ingin menasehatkan, jangan mengatakan apa-apa kepada Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang tahu, bahwa putut Mawekas telah menyebut nama Saba Lintang dihadapan kita, maka ia tentu akan mengalami nasib buruk. Apalagi sepeninggal Ki Kapat Argajalu. Bagi Saba Lintang, para pengikut kakang Kapat Argajalu akan menjadi barang mainan yang tidak berharga."
"Ki Gede tidak akan dapat mengadu domba antara kami dengan Ki Saba Lintang."
"Sudah aku katakan, terserah kepadamu. Tetapi menurut pendapatku, Saba Lintang akan menjadi sangat marah jika ia tahu, bahwa kau telah mengaku berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang."
"Bukankah aku tidak mengatakan bahwa kami, terutama guru, berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang."
"Cukup Mawekas. Nampaknya kau masih harus belajar banyak tentang sifat dan watak seseorang. Sudahlah. Jika kau tidak dapat mengerti apa yang kami maksudkan, lupakan saja pernyataan kami tentang hubungan antara gurumu dan Ki Saba Lintang. Tetapi jangan menyesal jika pada suatu hari Saba Lintang datang untuk memporak-porandakan padepokanmu." Ki Gede berhenti sejenak. Namun ketika Putut Mawekas akan menjawab, Ki Gede berkata, "Tunggu. Jangan menyela. Yang aku katakan hanyalah satu peringatan bahwa hal seperti itu dapat terjadi."
Putut Mawekas menarik nafas panjang.
Beberapa saat kemudian, maka Putut Mawekas itupun meninggalkan pertemuan di banjar itu. Beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan dan prajurit dari Pasukan Khusus masih saja mengawalnya dengan ketat.
Malam itu Putut Mawekas telah mempersiapkan diri bersama beberapa orang cantrik atas ijin Ki Gede, untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya. Mereka akan membawa tubuh Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak yang terbunuh di peperangan kembali ke padepokan mereka. Satu perjalanan yang panjang. Sementara itu mereka tidak dapat berlama-lama berada di jalan, justru karena mereka membawa mayat gurunya.
Dalam ketegangan perasaan, malam itu Putut Mawekas serta beberapa orang cantrik yang telah mendapat ijin untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, bahkan hampir tidak dapat tidur. Mereka hanya sempat tidur sekejap-sekejap. Namun di dini hari mereka sudah mempersiapkan diri untuk berangkat meninggalkan Tanah Perdikan.
Swandaru dan Glagah Putih dan Prastawa sempat menunggui pada saat-saat mereka akan berangkat.
Agaknya jantung Putut Mawekas masih terasa pedih oleh sikap Glagah Putih dan Ki Gede Menoreh. Karena itu, wajahnya masih nampak gelap. Ketika ia minta diri mewakili kawan-kawannya, terasa pada getar suaranya, bahwa masih ada sesuatu yang tersangkut di dadanya.
"Selamat jalan," berkata Swandaru.
"Terima kasih," jawab Putut itu.
Sementara itu Glagah Putih masih saja berdiam diri.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan kecil telah berlalu meninggalkan padukuhan Jati Anyar. Bahkan selanjutnya meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengusung tiga sosok mayat. Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anak laki-lakinya. Soma dan Tumpak.
"Putut Mawekas tidak ikhlas terhadap sikap kita," desis Swandaru.
"Biar saja," jawab Glagah Putih, "kesempatan yang diberikan oleh Ki Gede sudah terlalu banyak baginya. Kecuali putut itu masih tetap dibiarkan hidup, iapun dapat meninggalkan Tanah Perdikan ini tanpa cidera. Jika dengan kebaikan hati Ki Gede, putut edan itu masih kurang, maka pada satu kesempatan aku justru akan membunuhnya."
Swandaru menarik nafas panjang. Katanya, "Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi. Biarlah putut itu pergi membawa ketiga sosok mayat itu serta membawa kesan dan sikapnya terhadap Tanah Perdikan ini. Jika ia akan kembali lagi ke mari, biarlah ia kembali."
"Agaknya putut itu akan kembali," sahut Glagah Putih, "ia akan menghubungi Ki Saba Lintang. Ki Saba Lintang akan menemui dan membujuk lagi beberapa perguruan untuk memusuhi Tanah Perdikan. Tetapi Ki Saba Lintang sendiri sudah tidak akan berani datang langsung ke Tanah Perdikan ini. Justru kelicikannya itulah yang sangat berbahaya. Ada saja akalnya untuk membujuk seseorang agar memusuhi Tanah Perdikan ini. Jika kali ini tiba-tiba uwa Kapat Argajalu datang dan bahkan kemudian menyerang Tanah Perdikan ini bukankah hal seperti ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya" Dengan hubungan keluarga yang masih ada diantara Ki Kapat Argajalu dengan Ki Argajaya dan Ki Gede, maka Ki Kapat Argajalu yang mungkin berdasarkan atas gagasan Ki Saba Lintang, maka Ki Kapat Argajalu mempunyai lubang, dimana ia harus mulai dengan rencananya yang ternyata kemudian tersusun rapi."
Glagah Putih yang masih marah itu bergumam, "Jika ia berani kembali dengan siapapun, maka ia akan aku singkirkan pertama kali."
"Jangan kau bebani perasaanmu dengan kebencian seperti itu," berkata Swandaru.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia sempat menilai sikap Swandaru. Nampaknya ketika Swandaru menjadi semakin tua, hatinya menjadi semakin mengendap, sehingga Swandaru itu dapat menasehatinya.
Justru karena nasehat itu diucapkan oleh Swandaru, maka kesannya justru berbeda. Nasehat itu seakan-akan telah menghujam jauh ke dalam lubuk hatinya.
"Ya," berkata Glagah Putih kepada diri sendiri, "kenapa aku harus menyiksa diri sendiri dengan perasaan benci yang tidak berkesudahan."
Dengan demikian, maka rasa-rasanya Glagah Putih itu telah meletakkan beban yang tersangkut di rongga dadanya.
Namun keduanya terkejut ketika seseorang telah memapah seseorang mendekati mereka.
"Siapa?" "Ki Demang Pudak Lawang."
"Ki Demang Pudak Lawang," ulang Glagah Putih sambil melangkah mendekat. Katika ia mengangkat wajah orang itu, dilihatnya wajah yang sangat pucat. Bibir yang kering dan bergetar.
"Kenapa orang itu?" tanya Prastawa.
"Ki Demang kami ketemukan dengan tidak sengaja di sebuah rumah. Tubuhnya terikat sehingga Ki Demang tidak dapat beringsut kemana-mana."
"Bawa ke banjar. Serahkan kepada tabib yang bertugas agar merawat Ki Demang Pudak Lawang. Usahakan agar keadaannya membaik. Kami memerlukan keterangannya."
Ki Demang Pudak Lawang yang lemah itupun segera dibawa ke pendapa banjar. Ternyata orang-orang yang berada di banjar juga berusaha untuk menyelamatkan jiwanya. Orang itu diperlukan keterangannya.
Dalam pada itu, sejak hari itu, Tanah Perdikan Menoreh mulai membenahi tatanan kehidupan, terutama di padukuhan Jati Anyar yang telah dijadikan ajang peperangan, serta di seluruh kademangan Pudak Lawang. Para pemimpin yang ada di Tanah Perdikan, mulai disebar di tempat-tempat yang memerlukan pembinaan setelah perang.
Sementara itu, para tawanan telah ditempatkan di sebuah barak tidak lauh dari barak para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Ki Lurah Agung Sedayu sebagai pemimpin prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan, telah mengambil alih para tawanan dari tugas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian diserahkan kepada para piajurit Mataram. Agung Sedayu pun segera menyusun laporan dan disampaikannya ke Mataram, tentang gejolak yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
"Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan telah aku libatnya langsung," berkata Agung Sedayu didalam laporan tertulisnya.
Dalam pada itu untuk sementara kademangan Jati Anyar dipegang langsung oleh Ki Gede Menoreh, Ki Gede sempat mengumpulkan para bebahu dan dengan terpaksa telah menahan mereka.
"Kita telah bekerja sama bertahun-tahun," berkata Ki Gede kepada mereka, "kecuali Ki Demang yang belum cukup lama menggantikan kedudukan ayahnya. Mungkin karena ia belum berpengalaman, atau justru karena nafsunya yang meronta-ronta didalam dadanya, Ki Demang telah terbujuk oleh Ki Kapat Argajalu."
Ki Demang yang masih lemah itu menjawab dengan suara yang bergetar, "Kami mohon ampun, Ki Gede."
"Untuk sementara kalian terpaksa kami tahan. Pengkhianatan kalian tidak dapat begitu saja kami lupakan. Kami akan minta petunjuk kepada Mataram, apa yang sebaiknya kami lakukan. Ternyata kalian tidak saja terbatas melawan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi kalian telah melawan kekuasaan Mataram. Kalian tahu, bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah melibatkan diri dibawah pimpinan langsung Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi kalian masih saja tetap melawan. Sehingga dengan demikian, maka berarti bahwa kalian telah melawan kekuasaan Mataram pula."
"Ki Kapat Argajalulah yang melakukannya. Aku tidak dapat berbuat banyak."
"Jangan membuat bermacam-macam alasan. Kau sudah tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kalian telah berkhianat."
"Ampun Ki Gede. Jangan sebut kami pengkhianat."
"Bukankah kau telah mengkaitkan pengkhianatan itu dengan hukuman mati?"
Ki Demang menundukkan kepalanya. Tubuhnya terasa menjadi semakin lemah, sehingga rasa-rasanya tulang-tulangnya telah tercerabut dari tubuhnya.
Tetapi Ki Demang memang tidak dapat ingkar akan perbuatannya, sehingga yang tersisa kemudian hanyalah penyelesan saja.
Ketika Ki Gede mulai membenahi kademangan Pudak Lawang, maka Ki Gede telah menunjuk seorang yang dianggap dapat dipercaya untuk memangku jabatan Demang di Pudak Lawang, Ki Gede sudah mengatakan kepadanya, bahwa kedudukan yang dipangkunya itu hanyalah untuk sementara. Namun sebelum ada seorang Demang yang ditetapkan, maka orang itu berkewajiban untuk melaksanakan tugas seorang Demang. Tetapi iapun menerima hak yang seharusnya diterima oleh seorang Demang. Tanah bengkok dan hak-hak yang lain.
Swandaru dan Pandan Wangi tidak segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja dilana prahara. Namun prahara di Tanah Perdikan itu telah memepringatkannya untuk mulai berpikir dengan sungguh-sungguh, apa yang seharusnya dilakukan jika pada saatnya harus ada pewarisan kekuasaan.
"Memang tidak terlalu tergesa-gesa Swandaru," berkata Ki Gede, "tetapi kita harus sudah mulai memikirkannya. Saba Lintang tentu masih akan menggelitik beberapa orang berilmu tinggi yang bodoh, sehingga dapat dijadikan alat bagi kepentingan Ki Saba Lintang."
Swandaru mengangguk-angguk. Saba Lintang tidak hanya menyusup lewat Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi juga lewat kademangan Sangkal Putung. Hampir saja hubungan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh retak justru karena Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat mendukung keingingan Swandaru yang telah disusupi racun lewat godaan yang sangat lembut. Swandaru hampir menjadi gila pada saat hatinya digelitik oleh keinginan untuk menjadi Sangkal Putung Tanah Perdikan.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ki Saba Lintang adalah seorang yang sangat cerdik dan licik. Ia mampu memperalat orang-orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.
"Pikirkan hal itu Swandaru," berkata Ki Gede Menoreh.
"Ya, ayah," jawab Swandaru, "aku akan memikirkannya. Nampaknya akan terdapat banyak persoalan."
"Ya. Selain itu, kaupun harus berhati-hati. Mungkin Saba Lintang akan merunduk Sangkal Putung. Baru kemudian ia berhasil mendapatkan tongkat baja putih yang sebuah lagi. Jika keduanya sudah menyatu, maka Kedung Jati rasa-rasanya akan bangkit lagi. Tetapi dengan sifat dan watak yang sudah berbeda. Sehingga kebangkitannya itu justru akan lebih banyak menimbulkan bencana bagi umat manusia, terutama di lingkungan kekuasaan Mataram. Karena Mataram tidak akan membiarkan perguruan Keduang Jati itu bangkit lagi."
"Ya, ayah. Saba Lintang memang sangat licik. Tetapi pengecut, sehingga jarang sekali nampak di medan pertempuran."
Berbagai pesan telah diberikan kepada Swandaru dan Pandan Wangi, apa yang sebaiknya dilakukannya Antara lain, Ki Gede berkata, "Kau juga harus memperkuat pertahananmu, Swandaru. Anak-anak muda di seluruh padukuhan harus sudah siap digerakkan."
"Ya, ayah." "Dalam keadaan putus asa mungkin saja Saba Lintang mengerahkan segenap kekuatannya untuk menyerang Sangkal Putung."
"Ya, ayah." "Nah, sekarang pergilah untuk beristirahat. Besok kita akan melanjutkannya."
Keadaan kademangan Pudak Lawang memang sudah menjadi sedikit parah. Racun yang ditebarkan oleh Ki Kapat Argajalu nampaknya masih saja mencengkam sekelompok anak-anak mudanya. Mereka masih saja bersikap bermusuhan dengan para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah bahwa para anak-anak muda Pudak Lawang masih berada dibawah pengaruh mimpi buruk mereka.
Setelah beberapa hari Swandaru dan Pandan Wangi berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka merekapun telah minta diri. Mereka tidak dapat meninggalkan Sangkal Putung terlalu lama. Ki Demang Sangkal Putung sudah menjadi semakin tua. Meskipun usianya tidak terpaut banyak dari Ki Gede, tetapi rasa-rasanya Ki Demang Sangkal Putung sudah jauh lebih tua.
"Baiklah ngger. Tetapi ingat-ingatlah pesanku. Saba Lintang akan dapat menjadi seakan-akan titisan Tohpati yang memiliki tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati setelah Ki Patih Mantahun. Tohpati telah gagal menguasai ki mangan Sangkal Putung, karena waktu itu di Sangkal Putung ad Widura dan kemudian Ki Untara."
"Ya, ayah." Swandaru mengangguk-angguk.
"Ki Untara itu sekarang masih berada di Jati Anom. Demikian pula Ki Widura. Jika titisan Tohpati itu bangkit lagi unjuk menerkam Sangkal Putung, maka jangan segan-segan berbicara dengan orang-orang yang pernah mengalahkan Tohpati itu."
"Ya, ayah. Termasuk kakang Agung Sedayu."
"Bukankah waktu itu Agung Sedayu baru saja bangkit?"
"Ya, ayah." "Nah, biarlah malam nanti kita mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang sudah ikut menyelamatkan Tanah Perdikan ini. Kau dapat minta diri dan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada mereka."
"Ya. Ayah. " Sebenarnya malam itu di rumah Ki Gede telah diselenggarakan sebuah pertemuan yang khusus. Yang diundang adalah orang-orang berilmu tinggi yang ikut serta mempertahankan Jati Anyar. Selain Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih serta isteri-isteri mereka, juga diundang Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Juga diundang para Demang, para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan dari padukuhan-padukuhan yang ada di Tanah Perdikan.
Pada kesempatan itu, Ki Gede mengucapkan terima kasih kepada mereka atas kesediaan mereka berjuang mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan dalam pertemuan itu pula, Prastawa telah minta maaf kepada seluruh rakyat di Tanah Perdikan, bahwa kesetiaannya pernah diguncang oleh Ki Kapat Argajalu.
"Hatiku memang rapuh," berkata Prastawa, "aku mohon maaf kepada seluruh rakyat Tanah Perdikan ini. Untunglah bahwa akhirnya Yang Maha Agung telah menyelamatkan jiwaku dari pengkhianatan yang memalukan."
Dimalam itu pula, Swandaru telah minta diri kepada rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Seperti Ki Gede maka iapun mengucapkan terima kasih atas kesetiaan rakyat terhadap Tanah Perdikannya.
"Kesetiaan kalian, kalian tujukan kepada Tanah ini. Tidak kepada seseorang, satu keluarga atu sekelompok orang. Itulah kebanggan rakyat Tanah Perdikan menoreh. Tetapi kesetiaan itu juga dituntut pula terhadap para pemimpinnya.
Pertemuan itu berlangsung sampai jauh malam. Mewakili rakyat Tanah Perdikan, seorang Demang telah mengucapkan selamat jalan kepada Swandaru dan Pandan Wangi yang esok pagi akan meninggalkan Tanah Perdikan kembali ke Sangkal Putung.
Namun Demang itupun berkata, "Ki Swandaru. Aku mohon peristiwa ini menjadi sebuah peringatan bagi Ki Swandaru. Bahwa ada celah-celah yang perlu segera diisi agar di kemudian hari tidak dapat dipergunakan oleh seseorang untuk mencari persoalan di Tanah Perdikan ini. Mungkin saja ada orang lain yang asal saja ingin membuat kekisruhan di Tanah Perdikan ini. Tetapi mungkin pula ada sekelompok orang yang merasa mendapat peluang untuk mencari keuntungan dalam kericuhan-kericuhan di Tanah ini. Bahkan orang-orang jahat dan kelanjutan dari usaha Ki Saba Lintang yang akan dapat bekerja sama."
Swandaru mengangguk-angguk. Ditanggapinya pernyataan itu dengan ucapan terima kasih. Apa yang dikatakan Ki Demang itu, sejalan dengan pesan-pesan yang telah diberikan oleh Ki Gede sendiri.
Ketika terdengar suara kentongan dalam irama dara muluk diwayah tengah malam, maka pertemuan itupun telah ditutup oleh Ki Gede.
Dikeesokan harinya, ketika fajar menyingsing, Swandaru dan Pandan Wangi telah siap meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Pandan Wangi dengan pedang rangkap di kedua lambungnya, sedangkan Swandaru telah melilitkan cambuknya dibawah bajunya.
Beberapa orang telah berkumpul di halaman rumah Ki Gede , Agung Sedayu dan Sekar Mirah , Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Juyaraga, Empu Wisanata, Nyi Dwani dan beberapa orang yang lain. Ki Argajaya dan Prastawa yang sudah berada di halaman itu.
"Sudahlah," berkata Pandan Wangi, "setiap orang pernah melakukan kekhilafan. Kau boleh saja menyesali Prastawa. Tetapi jangan menghambat langkah-langkahmu selanjutnya. Tentu saja pengalaman yang membuatmu menyesal itu jangan terulang lagi."
"Ya, mbokayu. Aku mengerti. Aku berjanji untuk tidak melakukannya lagi di masa depan."
Pandan Wangi menepuk bahu adik sepupunya sambil tersenyum. Katanya, "Jika ada waktu luang, datanglah ke Sangkal Putung, Prastawa. Kau tentu juga memerlukan waktu untuk beristirahat."
"Terima kasih mbokayu. Pada suatu hari aku akan sampai ke Sangkal Putung."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Swandaru dan Pandan Wangi itupun telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah melarikan kuda mereka di bulak persawahan menuju ke tempat penyeberangan.
Pandan Wangi yang jarang-jarang berada di Tanah Perdikan Menoreh sejak ia berada di Sangkal Putung, sempat memperhatikan tanaman yang subur, yang membentang dari cakrawala sampai ke cakrawala.
Sebagaimana kademangan Sangkal Putung, maka Tanah Perdikan Menoreh menghasilkan beras yang cukup bagi rakyatnya. Selain beras masih ada penghasilan-penghasilan lain yang bukan saja memenuhi kebutuhan, tetapi juga dapat ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan selain pangan.
Kecuali hasil buminya, di Tanah Perdikan Menoreh juga terdapat berbagai macam kerajinan tangan yang menunjang kesejahteraan hidup.
"Nampaknya kesuburan tanahnya serta kemampuan mereka menghasilkan barang-barang kerajinan, telah membuat Ki Kapat Argajalu bermnimpi untuk menguasai Tanah Perdikan ini," berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Sementara itu perjalanan merekapun menjadi semakin dekat dengan tempat penyeberangan di Kali Praga.
Sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, tanah Perdikan Menoreh masih saja sibuk berbenah diri. Glagah Putih dan Prastawa menjadi sangat sibuk. Perlahan-lahan mereka berusaha mendekatkan kembali Pudak Lawang dengan kademangan-kademangan lain di Tanah Perdikan Menoreh.
Satu usaha yang sulit. Tetapi harus dilakukan bagi keutuhan Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih dan Prastawa, bahkan Ki Gede sendiri telah mengingatkan kepada rakyat kademangan Pudak Lawang dan kademangan-kademangan lain, agar mereka tidak saling mendendam,
"Lupakan apa yang sudah terjadi demi masa depan tanah ini. Jika kita masih saling mendendam, maka luka di tabuh Tanah Perdikan ini tidak akan segera sembuh, yang koyak tidak akan segera bertaut."
Usaha itu memerlukan kesabaran yang tinggi. Sementara itu, pemangku jabatan Demang di Pudak Lawang telah bekerja keras untuk memberikan sesuluh kepada rakyatnya.
"Kita harus mengakui, bahwa sumber pertaka yang melanda Tanah Perdikan itu adalah kademangan kita. Tetapi bukan atas kehendak kita. Bukan gagasan murni orang-orang Pudak Lawang. Ki Demang telah terpengaruh oleh orang-orang asing itu, meskipun mereka saudara sepupu Ki Gede. Namun ternyata mereka telah menyebarkan racun di antara kita. Harapan-harapan yang melambung tinggi sampai ke awan. Bahkan Prastawa, putera Ki Argajayapun hampir saja terseret ke dalam arus yang menentang lulanan dan paugeran yang berlaku di Tanah Perdikan ini."
Rakyat Pudak Lawang sebagian terbesar dapat mengerti sehingga merekapun mengakui sebagaimana dikatakan oleh pemangku Demang Pudak Lawang itu.
Tetapi masih ada juga diantara mereka yang keras kepala. Yang merasa bahwa apa yang telah mereka lakukan itu benar.
Dengan demikian, maka sikap rakyat Pudak Lawang sendiri masih terbelah.
Ki Gede dan pemangku jabatan Demang di Pudak Lawang menyadari, bahwa segala sesuatunya tidak akan dapat diselesaikan dengan serta merta. Tetapi harus dengan perlahan-lahan penuh kesabaran.
Ki Lurah Agung Sedayupun sudah dipanggil ke Mataram atas dasar laporan yang telah disampaikannya, Ki Lurah Agung Sedayu harus memberikan beberapa keterangan dan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambilnya dengan melibatkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, sehingga ada beberapa orang telah gugur karenanya.
Tetapi penjelasan Ki Lurah Agung Sedayu dapat diterima, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu tidak dianggap bersalah dengan tindakannya itu.
Sementara itu, ketika keadaan sudah hampir menjadi pulih kembali, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah sembuh sama sekali dari luka-luka dalamnya, teringat akan tugas yang sebenarnya masih harus diembannya. Mendapatkan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.
Satu tugas yang sangat, berat. Namun Glagah Putih tidak diberi batasan waktu serta keharusan berhasil. Bahkan jika perlu, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat mint abantuan prajurit Mataram dan Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan atau dimanapun juga.
Untuk melengkapi pertanda akan tugas yang diembannya, agar tidak timbul salah paham, maka lewat Ki Patih Mandaraka dan kemudian Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih telah mendapat sebuah lempeng tembaga yang dapat dikenakan di ikat pinggangnya yang memuat huruf-huruf yang menyatakan akan hak dan kewajibannya ditengarai oleh lambang kerajaan Mataram yang berbentuk Mahkota serta sayap-sayap burung garuda yang mengembang.
Ketika niatnya untuk melanjutkan tugasnya itu dikemukannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurahpun bertanya, "Darimana kau akan mulai, Glagah Putih."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Dengan nada berat Glagah Putihpun berkata, "Aku belum memikirkan lebih dalam Kakang. Tetapi bagaimana jika aku pergi ke Barat dan mengamati padepokan yang ditinggalkan oleh Ki Kapat Argajalu."
"Kau sudah dikenal oleh para pengikut Ki Kapat Argajalu yang dibebaskan itu, Glagah Putih."
"Aku akan menemui mereka dan berbicara berterus terang. Jika mereka orang-orang yang mempunyai jantung, mereka akan mengerti, bahwa mereka telah dijerumuskan oleh Ki Saba Lintang. Mereka akan dapat memperbandingkan sifat dan watak Ki Saba Lintang dengan Ki Gede disini.
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Jika kau tempuh jalan itu, maka akan sangat berbahaya bagimu, Glagah Putih. Aku tidak yakin jika orang-orang yang telah dibebaskan itu berterima kasih kepada Ki Gede. Tetapi justru dapat sebaliknya. Mereka mendendam karena Ki Gede dan para pengikutnya telah membunuh Ki Kapat Argajalu yang mereka anggap sebagai seorang yang tidak ada duanya di dunia ini bahkan kedua anaknya telah terbunuh pula disini."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun berkata, "Tetapi itu adalah satu-satunya jalan yang nampak sekarang kakang. Meskipun samar-samar, tetapi agaknya akan lebih baik daripada aku harus meloncat ke sebuah lubang yang gelap pekat.
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Seandainya niatmu itu benar-benar kau lakukan, kapan kau akan berangkat, Glagah Putih?"
"Aku memerlukan persiapan, kakang. Kau juga harus meyakinkan apakah Rara Wulan benar-benar telah pulih seutuhnya, lugu kemampuan serta aji pamungkasnya. Jika ia sudah pulih, maka iiku tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk melakukan persiapan-persiapan kakang.
"Baiklah Glagah Putih. Kau sudah dewasa penuh. Bahkan knu sudah berkeluarga. Karena itu, sebaiknya segala sesuatunya kau bicarakan dengan isterimu. Kau bicarakan dengan sungguh-sungguh. Kau pelajari untung dan ruginya pada setiap langkah yang kau rencanakan. Kau tidak lagi sekedar menuruti keinginan saja seperti anak-anak muda. Tetapi kau harus mengambil keputusan dengan mempertimbangkan baik dan buruk. Mandiri serta bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada dirimu sendiri, kepada lingkunganmu dan terlebih-lebih lagi, kepada Yang Maha Agung. Demikian pula isterimu. Dalam langkah bersama, maka kalian akan mempertanggungjawabkan bersama pula."
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Ya Kakang."
"Nah, sebelum kau mengambil keputusan untuk benar-benar berangkat ke Barat, kau mempunyai waktu untuk memikirkannya dan membicarakannya dengan isterimu."
"Ya, kakang." "Tetapi aku ingin memperingatkan kau Glagah Putih. Jangan kau biarkan dirimu untuk tetap bertualang sampai hari tuamu. Kau tahu, bahwa aku tidak mempunyai keturunan. Mungkin aku dapat berbangga dengan sedikit ilmu yang aku miliki. Tetapi tidak ada orang yang akan dapat menyambung sejarah hidupku. Sejarah keluargaku. Untung kakang Untara mempunyai seorang anak laki-laki yang dapat menyambung kelanjutan nama keluargaku. Jika tidak, maka aliran darah keluargaku akan terputus sampai disini."
Demikian pula mbokayumu Sekar Mirah. Untung pulalah bahwa kakak laki-lakinya mempunyai keturunan pula. Aku berdoa, agar cucu kakang Untara dan cucu adi Swanaru kelak tidak hanya satu orang saja. Tetapi lebih dari itu. Setidaknya dua orang sebagaimana aku dan kakang Untara. Tetapi dari yang dua itu, hendaknya akan dapat berkembang lebih banyak lagi.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu, dalam saat saar senja memasuki malam, selagi Ki Lurah Agung Sedayu duduk di amben yang agak besar di ruang dalam menjelang makan malam, terpancar pada keduanya kesepian yang mencengkam. Pada saat-saat yang demikian, akan menjadi semarak, jika ada anak-anak yang ikut duduk diantara mereka.
Anak-anak yang menjadi semakin besar dan sudah mulai belajar berbagai macam ilmu.
Tetapi anak-anak itu tidak pernah ada di pangkuan mereka. Mereka tidak pernah menggendong seorang bayi yang sedang menangis sambil mendendangkan lagu-lagu pujian atau lagu-lagu belaian agar mereka tertidur nyenyak dengan mimpi indah.
Glagah Putih juga pernah melihat dengan tidak sengaja, Sekar Mirah mengusap matanya yang basah ketika ia melihat seorang anak laki-laki yang berlari-lari dijalan di depan rumahnya mengejar kakaknya yang lebih besar, yang sengaja mengganggu adiknya. Ketika Sekar Mirah mendengar anak mengganggu adiknya. Ketika Sekar Mirah mendengar anak itu berteriak memanggil kakanya sambil m enangis, maka Sekar Mirahlah yang berlari kepadanya. Digendongnya anak itu sambil dibelainya dengan kasih sayang. Sekar Mirah tidak mengusap air mata anak itu, tetapi ia justru mengusap air matanya sendiri.
Glagah Putih terbangun dari angan-angannya ketika Ki Lurah Agung Sedayu bertanya. "Kau tahu maksudku, Glagah Putih?"
"Aku tahu kakang."
"Paman Widura tentu juga menginginkan seorang cucu. Sutu-satunya harapan yang dapat memberinya seorang cucu adalah, kau Glagah Putih."
Glagah Putih menundukkan wajahnya. Dengan nada berat iapun berkata, "Ya, kakang. Aku mengerti. Tetapi aku berharap bahwa sebelumnya aku ingin memberikan arti dari hidup kami berdua bagi Mataram."
"Jika kau tidak mendapatkan tongkat baja putih itu" "
Glagah Putih, terdiam. "Glagah Putih. Yang mendapat tugas untuk menemukan tongkat baja putih itu tentu dapat berganti orang. Para pemimpin Mataram menyadari, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat dan sulit. Karena itu mereka tidak dengan semena-mena memerintahkan kepada seseorang bahwa orang itu harus dapat membawa tongkat baja putih dan menyerahkannya ke Mataram. Para pemimpin Mataram masih berpijak kepada kenyataan akan keterbatasan seseorang. Karena itu, maka yang diperintahkan oleh Mataram adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat membawa tongkat itu ke Mataram. Tetapi jika usaha itu harus gagal karena berbagai macam kendala, maka Mataram tidak akan menyalahkannya."
"Ya kakang. Mataram memang tidak memerintahkan aku untuk pergi, mencari tongkat baja putih itu dengan ancaman bahwa aku tidak boleh pulang sebelum aku berhasil."
"Karena itu, maka kau harus mempunyai batasan waktu bagi dirimu sendiri. Maksudku, pada lewat batasan waktu itu kau tidak dapat membawa tongkat baja putih itu ke Mataram, maka kau dapat mengembalikan tugasmu itu. Para pemimpin di Mataram tentu dapat mengerti. Bahkan orang-orang yang memiliki nama besar di Matarampun mungkin tidak akan dapat melakukannya."
"Aku akan memikirkannya kelak kakang."
"Baiklah, Glagah Putih. Tetapi jangan kau sia-siakan tugasmu secara pribadi. Jangan kau biarkan kerinduan paman Widura membantu di dadanya."
"Aku mengerti, kakang."
"Nah. Aku ingin menasehatkan kepadamu. Kemanapun kau akan mencari tongkat baja putih itu, sebaiknya kau menemui ayahmu dan minta diri."
"Aku pernah datang minta diri kepada ayah, kakang."
"Tetapi ada baiknya kau ulang. Agaknya kau juga sudah lama tidak menemui ayahmu dan kakak sepupumu, kakang Untara. Akan lebih baik jika kau sempat singgah di rumah adi Swandaru barang sehari. Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh?"
"Ya. Kakang. Biarlah nanti aku membicarakannya dengan Rara Wulan."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat mencegah niat Glagah Putih dan Rara Wulan untuk memburu tongkat baja putih itu. Selain menjalankan tugas yang memang dibebankan kepada mereka, keduanya memang menginginkan sebuah pengembaraan selain mereka masih terhitung muda.
Nampaknya mereka ingin mendapatkan pengalaman dalam sebuah petualangan, meskipun kadang-kadang mereka harus menghadapi bahaya yang sangat berat.
Malam itu Glagah Putih telah membicarakan segala sesuatunya dengan Rara Wulan. Bahkan keduanya sempat berada di banjar untuk mengamati, apakah Rara Wulan benar-benar telah pulang kembali setelah ia terluka pada saat Rara Wulan membenturkan ilmunya melawan pamungkas Tumpak.
Namun baik Rara Wulan, maupun Glagah Putih telah meyakini bahwa segala sesuatunya telah pulih kembali. Kekuatan ilmu Rara Wulanpun telah putih seperti sedia-kala. Kemampuan dan ketrampi-lannya, tenaga dalamnya dan segala-galanya telah menjadi pulih kembali.
"Kita dapat berangkat kapan saja, kakang," berkata Rara Wulan.
"Kakang Agung Sedayu menganjurkan agar kita minta diri kepada ayah di padepokan orang Bercambuk."
"Bukankah kita berniat berjalan ke Barat?"
"Aku Sudah mengatakannya kepada kakang Agung Sedayu. Tetapi kakang Agung Sedayu tetap minta agar kita menyempatkan diri untuk menemui ayah, kakang Untara dan jika mungkin kakang Swandaru."
Rara Wulan mengangguk kecil.
"Rara Wulan," berkata Glagah Putih kemudian, "kakang Agung Sedayu menyinggung akan kerinduan ayah Widura terhadap seorang cucu."
"Cucu?" sahut Rara Wulan dengan nada tinggi.
"Ya." "Apa maksud kakang Agung Sedayu?"
"Kita harus dapat memaklumi. Kakang Agung Sedayu sendiri tidak mempunyai seorang anak. Mbokayu Sekar Mirah sangat merindukan dapat menimang seorang bayi ditangannya. Tetapi sia-sia. Meskipun Kakang Agung Sedayu tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi kakang Agung Sedayu sudah mengingatkan agar pada satu saat kita dapat hidup wajar bersama dengan anak-anak kita."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia memang belum memikirkan keberadaan seorang anak diantara mereka. Tetapi yang dikatakan oleh Agung Sedayu lewat suaminya itu memang menyentuh perasaannya.
"Rara Wulan," berkata Glagah Putih kemudian, "aku sudah mengatakan kepada kakang Agung Sedayu, bahwa setelah kita menjalani tugas yang satu ini, berhasil atau tidak berhasil, aku akan memikirkan pendapatnya itu. Hidup wajar disebuah rumah kecil dengan beberapa orang anak. Kita akan bekerja disawah sebagai petani yang harus rajin agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari."
Rara Wulan mengangguk kecil. Wajahnya kemudian tertunduk. Nampaknya ia sedang merenungi kata-kata suaminya, bahwa akhirnya mereka memang harus menempatkan diri dalam satu keluarga yang dapat hidup tenteram dan serasi. Meskipun di setiap keluarga akan selalu terdengar tawa dan tangis, namun dengan penuh pengertian dari setiap anggauta keluarga, maka bangunan keluarga yang dilandasi dengan kasih itu akan dapat berdiri dengan kokoh.
Ketika Rara Wulan kemudian menarik nafas panjang, Glagah Putihpun berkata, "Rara Wulan. Kita akan bersiap-siap. Tetapi kita akan memenuhi pendapat kakang Agung Sedayu, bahwa kita akan pergi ke Jati Anom untuk minta diri kepada ayah dan kepada kakang Untara serta singgah sebentar di Sangkal Putung."
"Baik, kakang."
"Dalam tiga atau empat hari mendatang, kita akan berangkat untuk waktu yang tidak dapat ditentukan."
"Ya, kakang." Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mempersiapkan dirinya. Sekar Mirah berpendapat bahwa sebaiknya Rara Wulan juga membawa senjata kewadagan. Agar tidak semata-mata dengan menggantungkan pedang di lambungnya, maka Sekar Mirah telah mengusulkan agar Rara Wulan mempelajari sifat dan watak sehelai selendang. Apakah Rara Wulan mampu mempergunakan sehelai selendang untuk dijadikan sebuah senjata kewadagan. Namun kemudian permainan selendangnya akan berkait dengan ilmu tenaga dalamnya. Ketrampilan tangannya dan kecepatan geraknya.
"Kau dapat mencobanya," berkata Glagah Putih, "kau sudah mempunyai dasar ilmu yang memadai."
"Sebagai murid utama Orang Bercambuk, kakang tentu juga memiliki ilmu itu dengan mapan."
"Ya." "Kita akan mencobanya, apakah ilmu cambuk kakang itu akan berarti untuk mempermainkan sehelai selendang."
Hampir sehari penuh, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di dalam sanggarnya. Bahkan di malam harinya Agung Sedayu dan Sekar Mirah ikut berada didalam sanggar itu pula.
Sedikit lewat tengah malam, Rara Wulan dan Glagah Putih menghentikan pencaharian mereka. Namun Rara Wulan telah menemukan landasan unsur-unsur gerak untuk mempergunakan sehelai selendang sebagai senjata ditopang oleh ilmu tenaga dalamnya yang tinggi.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah menempatkan dirinya sebagai salah satu murid utama Perguruan Orang Bercambuk. Sehingga karena itu, maka dihari berikutnya, Glagah Putihpun telah menjelajahi pula ilmunya itu di sanggar bersama Ki Lurah Agung Sedayu.
Tetapi Glagah Putih tidak memerlukan sehelai cambuk. Dengan pengalamannya yang luas serta kecerdasannya, maka Glagah Putih telah mampu meluluhkan, ilmu cambuknya dengan berbagai macam ilmu yang pernah dipelajarinya. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih dapat mempergunakan berbagai macam ilmu yang telah luluh itu untuk menompang kemampuannya mempergunakan senjata khususnya, ikat pinggangnya.
Karena itulah, ketika kedua orang suami isteri itu siap untuk meninggalkan Tanah Perdikan , maka.keduanya tidak nampak membawa senjata apapun. Tetapi Rara Wulan telah menyangkutkan selendang lurik berwarna ungu di bahunya, sedangkan Glagah Putih mengenakan ikat pinggangnya yang khusus pula, dengan timang yang telah dilekati lempengan tembaga pertanda wewenang dan kewajibannya.
Menjelang keberangkatannya, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghadap Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya untuk minta diri. Ditemuinya pula Prastawa yang masih sibuk memperbaiki berbagai macam tatanan yang ditumbangkan oleh Ki Demang Pudak Lawang, Glagah Putih dan Rara Wulan juga minta diri kepada linpu Wisanata dan Nyi Dwani yang agaknya merasa lebih tenteram menetap di Tanah Perdikan Menoreh daripada bertualang bersama Ki Saba Lintang.
Di malam hari, menjelang kepergiannya esok pagi, Ki Jayaraga masih juga memberikan berbagai macam pesan. Ki Jayaraga yang lelah menjadikan Glagah Putih sebagai muridnya berharap bahwa Glagah Putih pada satu hari kembali dengan selamat di Tanah Perdikan Menoreh.
"Ngger," berkata Ki Jayaraga, "jangan pergi terlalu lama. Aku sudah tua. Aku tidak tahu, umurku masih ada berapa tahun lagi. Aku berharap bahwa aku masih dapat melihat kau pulang."
"Kami tidak akan terlalu lama guru," jawab Glagah Putih, "seandainya tugas kami harus kami jalani sampai berbilang tahun, maka setiap kali kami akan pulang meskipun hanya sebentar."
"Bagus. Aku memang berharap kau setiap kali singgah di Tanah Perdikan ini. Jangan sampai sepuluh tahun atau lebih tanpa pulang sama sekali, sehingga kadang-kadang segala hubungan telah terputus."
"Ya, guru. Kakang Agung Sedayupun telah berpesan, agar aku membatasi diri dengan petualanganku. Kakang Agung Sedayu berharap aku dapat hidup wajar sebagaimana kebanyakan keluarga. Tinggal di sebuah rumah. Membangun rumah tangga yang baik bersama anak-anak."
"Aku sangat sependapat, Glagah Putih. Kalian memang bukan dilahirkan untuk menjadi petualang. Karena itu, ingat-ingatlah pesan kakakmu yang juga gurumu itu."
"Ya guru." Pagi itu, ketika langit cerah dan berwarna kemerah-merahan oleh cahaya fajar, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah siap untuk berangkat. Di halaman Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Sukra melepas mereka sampai ke regol halaman. Keduanya akan menempuh perjalanan yang panjang. Namun mula-mula mereka akan pergi ke Jati Anom dan Sangkal Putung.
Di Regol Sukra masih juga bertanya, "Kapan kau akan pulang ke rumah ini?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku tidak dapat mengatakannya Sukra. Tetapi jangan cemas. Berlatih terus. Aku sudah berpesan kepada kakang Agung Sedayu, bahwa setiap kali kau akan minta bantuannya."
Sukra menarik nafas panjang. Ia sudah menjadi remaja yang mendekati dewasa, sehingga ia sudah mulai berpikir lebih panjang dari pikiran anak-anak.
Sambil mengangguk Sukrapun berkata, "Terima kasih. Aku akan mencoba menanyakan kepada Ki Lurah."
"Tanyakan kepadanya kapan saja kau perlu."
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah dilepas. Sekar Mirah sempat memeluknya dan mencium keningnya, "Hati-hati di jalan Rara."
"Ya, mbokayu." Setelah mencium tangan Agung Sedayu, maka Rara Wulan itupun melangkah surut.
Sejenak kemudian bersama suaminya Rara Wulan itu berjalan semakin lama semakin jauh.
Ada titik airi di mata Sekar Mirah. Namun Ki Lurah Agung Sedayupun berkata, "mereka masih muda. Mereka ingin melihat dunia ini lebih banyak lagi. Pada saatnya mereka akan menjadi lebih tenang dan tinggal di sebuah rumah yang akan menjadi sarang keluarga mereka."
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi tidak ada sepatah katapun yang meluncur dari bibirnya.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh. Mereka sengaja tidak naik kuda. Ada beberapa pertimbangan sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Sudah berpuluh kali mereka menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh ke Jati Anom. Berjalan kaki maupun naik kuda. Karena itu, maka rasa-rasanya apa yang mereka lakukan itu adalah kerja yang sudah terbiasa.
Glagah Putih dan Rara Wulan memilih lewat jalan penyeberangan di sisi utara. Mereka memang berniat untuk pergi ke Jati Anom lanpa melewati Mataram. Mereka akan menelusuri jalan-jalan sempit di kaki Gunung Merapi.
Glagah Putih dan Rara Wulan merasa berjalan tanpa diburu oleh waktu. Karena itu, maka mereka tidak merasa tergesa-gesa.
Ketika mereka sampai di tepian, mereka sengaja memberi tempat lebih dahulu kepada keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, seorang nenek tua dan enam orang anak. Yang terbesar berumur sekitar sepuluh tahun dengan lima orang adiknya.
"Bagaimana dengan angger berdua?" bertanya ayah dari enam orang anak itu.
"Aku dapat ikut rakit yang kemudian," jawab Glagah Putih, "jika aku ikut dalam rakit itu, nanti ada diantara kalian yang harus tinggal di tepian sebelah Barat Kali Praga ini."
"Tetapi angger berdua datang lebih dahulu."
"Tidak apa-apa. Kami tidak tergesa-gesa," jawab Glagah Putih.
"Terima kasih ngger. Kami akan menyeberang lebih dahulu."
Beberapa saat kemudian, maka rakitpun mulai bergerak.
Sementara itu, beberapa orang anak muda berdatangan turun dari tebing yang landai di tepian. Seorang diantara mereka berkata, "Kalau kita lebih cepat sedikit, kita dapat memakai rakit itu."
"Kita pakai yang datang dari sebelah Timur itu."
"Ya," sahut kawannya. Lalu iapun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "He, kau berikan kesempatanmu kepada orang yang menyeberang bersama cindil abangnya itu. Nanti kaupun harus memberi tempat kepada kami jika rakit yang menepi dari arah Timur itu berhenti."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putihpun berkata, "Silahkan Ki Sanak. Aku tidak tergesa-gesa."
"Bagus." Namun kawannya yang bertubuh tinggi, tegap seperti raksasa berkata, "Tetapi biarlah perempuan itu naik rakit bersama kami."
"Perempuan itu isteriku, Ki Sanak. Ia akan naik rakit bersamaku."
"Bukankah bisa saja ia naik rakit bersama kami" Nanti biarlah ia menunggumu di tepian seberang."
"Itu tidak perlu."
"Mungkin kau menganggap tidak perlu. Tetapi aku berpendapat sebaiknya isterimu naik rakit bersama kami."
Seorang kawannya yang lain tiba-tiba saja menyahut, "Ya. Biarlah ia naik rakit bersama kami."
"Bukankah itu tidak wajar, Ki Sanak. Perempuan itu berpergian bersama suaminya. Kenapa ia harus naik rakit bersama orang lain" Sementara suaminya juga akan menyerbang dengan rakit."
"Jangan banyak omong. He, marilah duduk. Ikut aku."
Jilid 357 GLAGAH PUTIH menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa seperti itu masih juga terulang. Masih saja ada persoalan-persoalan kecil yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Tetapi agaknya anak-anak muda itu sulit untuk diajak berbicara.
"Nah, rakit itu sudah semakin menepi. Marilah nduk. Jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu. Bahkan kau akan mendapatkan apa yang belum pernah diberikan oleh suamimu."
Jantung Rara Wulan terasa bergejolak. Ketika ia berhadapan dengan Soma dan Tumpak, darahnya serasa mendidih. Bahkan ia telah bertempur dengan Tumpak dan ia tidak dapat menghindari dari pembunuhan yang dilakukannya pada saat ia membentur ilmu lawannya dengan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Tetapi anak-anak ini berbeda. Mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Mereka tidak menyadari, bahwa tingkah lakunya itu akan dapat berakibat buruk.
Menghadapi anak-anak muda itu, akhirnya Rara Wulan berkata -Anak-anak. Jangan bermain api. Kalian tentu tahu, bahwa tangan kalian akan dapat hangus. Sebagaimana jika kalian bermain air, maka pakaian kalian akan dapat menjadi basah.
"He. Perempuan itu memanggil kita anak-anak," orang yang bertubuh raksasa itu berteriak."
"Ya. Kalian masih terlalu kanak-kanak untuk mengetahui apa yang sebenarnya kalian hadapi sekarang ini," Glagah Putihlah yang menyahut, "karena itu, urungkan niatmu. Jangan mencelakai diri sendiri."
"He, bocah edan. Apa maksudmu he" Menggertak kami, atau sengaja mempermainkan kami" Jika kau masih menyebut kami anak-anak, aku akan menyumbat mulutmu dengan pasir."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu rakit yang ditunggu itu sudah menepi.
"Nah, Ki Sanak. Rakit itu sudah menepi. Jika kalian ingin mempergunakannya lebih dahulu pergunakan. Kami akan menyeberang dengan rakit berikutnya, karena nampaknya rakit itu tidak akan dapat memuat kita semuanya sekaligus."
"Sudah aku katakan, kau tinggal disini. Perempuan itu akan ikut bersama kami."
Glagah Putih memang tidak sesabar Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, "Pergilah kalian semuanya atau kami akan mengusir kalian seperti mengusir sekumpulan kucing hutan."
Wajah anak-anak muda itu menjadi merah. Seorang yang bertubuh raksasa itupun segera melangkah maju. Diraihnya baju Glagah Putih. Sambil mengguncakan iapun berkata, "Ulangi perkataanmu. Aku benar-benar akan menyumbat mulutmu dengan pasir."
Namun tidak seorangpun tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba saja anak itu muda yang bertubuh raksasa itu melangkah surut setapak. Tangannya yang mencengkam baju Glagah Putih itu terlepas. Perlahan-lahan anak muda itu jatuh pada lututnya. Namun kemudian iapun berguling di pasir tepian.
"Apa yang terjadi?" teriak seorang kawannya.
Kawan-kawannya sudah siap untuk meloncat mendekatinya. Namun segera berhenti. Dipandanginya Glagah Putih yang sedang membenahi pakaianya yang menjadi kusut.
"Siapa lagi?" bertanya Glagah Putih.
"Kau bunuh kawanku," teriak seorang anak muda yang lain.
"Kawanmu tidak mati. Lihat, matanya terbuka. Bahkan ia dapat berkedip. Ia tidak mati. Bahkan pingsanpun tidak."
Glagah Putih itupun kemudian melangkah surut beberapa langkah untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan anak muda bertubuh raksasa itu mendekatinya.
Sebenarnyalah, merekapun serentak berloncatan dan berlutut di sebelah menyebelah orang bertubuh raksasa itu.
"Kau kenapa, he?" bertanya seorang kawannya.
Yang lain sambil mengguncang-guncang menyebut namanya. Yang lain lagi memijit-mijit keningnya.
"Kau kenapa" Kenapa?" bertanya kawan-kawannya.
Tetapi anak muda bertubuh raksasa itu tidak menjawab. Matanya memang terbuka . Ia sempat melirik kepada kawan-kawannya. Tetapi ia tidak bergerak sama sekali.
"Ia menjadi lumpuh," berkata seseorang. "lumpuh dan sekaligus bisu."
"Orang itu tentu mempunyai ilmu iblis."
"Orang itu tukang sihir."
"Bunuh saja," teriak seorang diantara mereka dengan kerasnya. Suaranya melengking mengatasi suara kawan-kawannya.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun seorang yang lain menyahut, "Ya. Kita bunuh tukang sihir itu. Ia dapat mengacaukan tatanan kehidupan orang banyak."
"Aku bukan tukang sihir," sahut Glagah Putih.
"Bukankah sudah terbukti. Kau sihir kawanku itu."
"Aku tidak menyihirnya. Tetapi aku dapat berbuat demikian terhadap kalian semuanya. Marilah siapakah yang akan menjalani lebih dahulu."
"Anak iblis, kau."
"Bukan aku. Tetapi kalian. Apa yang akan kalian lakukan terhadap isteriku adalah kelakuan iblis. Selain iblis tidak akan berbuat seperti itu."
"Diam kau. Sekarang apa yang akan terjadi padamu harus kau jalani tukang sihir."
"Jangan mencari perkara anak-anak muda. Jika kalian berkeras maka kalian semuanya nanti akan mengalaminya."
Wajah anak-anak muda yang marah itu menjadi merah. Mereka mulai berteriak-teriak agar suami istri yang dianggap tukang sihir itu dibunuh saja. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang bergerak mendahului kawan-kawannya.
"Nah, siapakah yang paling awal akan menjadi lumpuh seperti anak itu, majulah."
"Iblis kau. Kau harus dibunuh," anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Tetapi mereka masih saja berdiri bergerombol.
Tidak seorangpun yang bergerak mendahului yang lain.
Glagah Putihpun kemudian berkata, "Kawanmu itu tidak apa-apa. Biarkan saja ia dalam keadaan seperti itu. Nanti, sesilir bawang, ia akan pulih kembali."
Glagah Putih tidak menunggu lagi. Dibimbingnya Rara Wulan menuju rakit yang sudah menepi. Beberapa orang sudah turun meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi di tepian itu. Tetapi dari atas rakit mereka melihat suasana yang menegangkan.
Anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Seorang diantara merek suaranya melengking tinggi, "Jangan lari pengecut. Aku bunuh kau."
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menanggapinya. Sambil berjalan menuju ke rakit Glagah Putih berpaling. Katanya, "Maaf anak-anak muda. Aku tidak sempat bermain-main bersama kalian."
Tidak .seorangpun yang berusaha mengejar. Tidak seorangpun yang berani menyerang lebih dahulu. Mereka hanya berani berteriak-teriak sambil mengacungkan tinju mereka.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sudah naik ke atas rakit, maka Glagah Putihpun berkata, "Marilah, Ki Sanak. Kita segera saja menyeberang."
"Tetapi..." "Kau memerlukan penumpang" Biarlah kami berdua membayar untuk limang orang."
Tukang satang itu memang ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia memutuskan untuk menyeberang tanpa menunggu anak-anak muda yang nampaknya juga akan menyeberang itu. Bahkan mungkin anak-anak muda yang berteriak-teriak itu akan dapat membuat persoalan. Kawan-kawannya pernah mengalami, bahwa anak-anak muda yang nakal tidak mati memberikan upah penyeberangan. Bahkan adik tukang satang itu, yang juga sering turun ke sungai, telah dirampok oleh beberapa orang yang nampaknya berwajah garang. Uang pendapatnya yang tidak seberapa telah diminta seluruhnya oleh orang itu.
Ternyata anak-anak muda itu tidak berusaha menghentikan rakit yang menyeberang kembali ke Timur tanpa mereka, karena mereka masih harus menunggui seorang kawannya yang mengalami keadaan yang tidak mereka mengerti.
"Siapakah mereka itu, Ki Sanak?" bertanya salah seorang dari dua orang tukang satang.
"Kami tidak mengenal mereka."
"Tetapi ketika kami menyeberang ke Barat, kami melihat telah terjadi ketegangan antara Ki Sanak dengan mereka?"
"Sedikit salah paham. Tetapi sudah teratasi."
Tukang Satang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia sempat berceritera tentang kawan-kawannya yang mengalami perlakuan buruk serta adiknya yang pernah dirampok orang .
Sementara itu, orang yang telah dikacaukan syarafnya dengan sentuhan pada beberapa simpulnya oleh Glagah Putih itu mulai pulih kembali. Orang bertubuh raksasa itu mulai dapat menggerakkan kaki dan tangannya. Kemudian seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan ia berusaha bangkit. Kawan-kawannya yang melihat ia mulai bergerak, telah membantunya. Bahkan kemudian berdiri.
"Di mana iblis itu?" tiba-tiba saja ia berteriak.
"Menyeberang," jawab seorang kawannya.
"Kenapa kalian tidak mencegahnya. Aku ingin membunuhnya."
"Kami tidak dapat meninggalkan kau sendiri."
"Kenapa?" "Kami memang ragu-ragu," sahut yang lain, yang agaknya lebih jujur.
"Kalian takut?"
"Lihat ke dirimu sendiri," berkata anak muda yang agaknya mempunyai pengaruh yang besar atas kawan-kawannya, termasuk anak muda bertubuh raksasa itu, "apa yang dapat kau lakukan ketika kau menghadapinya?"
"Kau menjadi seperti batang pohon pisang yang tidak berdaya. Hanya matamu saja yang menandai bahwa yang tidak hidup."
Anak muda bertubuh raksasa itu terdiam. Sementara anak muda yang berpengaruh itu berkata lebih lanjut, "Orang itu tentu memiliki kemampuan sihir. Karena itu, kita tidak dapat bertindak tergesa-gesa tanpa membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak. Terus terang, aku tidak ingin mengalami keadaan seperti kau."
Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak menjawab.
"Kita akan menyeberang," berkata anak muda yang berpengaruh itu.
Namun rakit berikutnya masih agak jauh. Rakit itu bergerak lamban sekali. Dua tukang satang masing-masing mempergunakan sebatang bambu yang panjang untuk mendorong rakitnya menyeberangkan.
Demikian rakit yang berikutnya minggir, yang membawa beberapa orang yang menyeberang dari sisi Timur, maka anak-anak muda itupun segera berloncatan naik.
"Cepat. Kayuh ke seberang."
Kedua orang tukang satangnya termangu-mangu sejenak. Seorang diantara merekapun kemudian berkata, "Lihat. Ada dua orang yang turun ke tepian. Mungkin mereka juga akan menyeberang."
"Kami tidak mau menunggu."
"Mereka akan segera sampai kemari."
"Cepat. Jangan membantah lagi atau kalian berdua aku melemparkan ke sungai. Biarlah kami mengayuh sendiri rakit ini."
"Tetapi." "Diam," bentak orang bertubuh raksasa itu, "kayuh, sekarang ke sungai. Jika kau menjawab sepatah kata lagi, aku koyak mulutmu."
Tukang satang itupun menjadi ketakutan. Tanpa menjawab lagi, maka rakit itupun mulai bergerak.
Ternyata kedua orang yang sudah turun ke tepian itu melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak, "Tunggu. Tunggu."
"Jangan berhenti," bentak seorang diantara anak-anak muda itu.
Tukang satang itu tidak membantah. Rakit itupun meluncur terus. Semakin lama menjadi semakin ketengah.
Sementara itu rakit yang didepan, yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulan telah menepi. Keduanyapun segera turun. Seperti yang mereka janjikan, Glagah Putih dan Rara Wulan membayar upah menyeberang untuk lima orang.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling, mereka melihat anak-anak muda yang mengganggu mereka telah menyeberang pula. Namun Glagah Putih itupun berkata, "Mereka tidak akan mengganggu kita lagi."
"Kakang," sahut Rara Wulan, "aku cenderung ingin membuat mereka benar-benar jera."
"Sudahlah. Jika mereka tidak berbuat apa-apa lagi, lupakan saja mereka."
Rara Wulan mengangguk. Keduanyapun kemudian melangkah melintasi tepian berpasir. Ada beberapa orang yang akan menyeberang dari arah timur ke Barat. Merekapun mempercepat langkah mereka dan langsung naik ke rakit yang baru saja menepi dan menurunkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke tebing yang landai disisi Timur, maka anak-anak muda itupun berloncatan turun dari rakitnya.
"Kalian belum membayar upahnya," berkata salah seorang dan kedua tukang satang itu.
Tetapi bukan upah yang didapatnya. Seorang diantara anak-anak muda itu telah memukulnya sehingga tukang satang itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan akhirnya orang itu jatuh terlentang.
Kawannya segera berlari mendapatkannya dan membantunya berdiri.
"Kalian akan melawan?" bentak anak muda itu.
Kedua orang tukang satang itu terdiam. Mereka tidak akan berani melawan anak-anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang tukang satang itupun hanya berdiam saja.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah berada diatas tebing yang landai itu kebetulan berpaling. Keduanyapun segera berhenti. Namun anak-anak muda itupun segera pergi meninggalkan tukang satang yang kesakitan itu.
Ternyata keduanya tidak menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi mereka justru pergi ke arah yang lain.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Sekali-sekali anak-anak itu memang memerlukan sedikit peringatan."
"Bukankah aku sudah mengatakan tadi, kakang."
"Ya. Aku kira mereka hanya akan mengganggu kita."
Rara Wulan masih berdiri termangu-mangu. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, "Marilah. Kita meneruskan perjalanan."
Keduanyapun berjalan terus. Mereka tidak lagi menghiraukan anak-anak muda yang berjalan ke arah hulu Kali Praga sepanjang tepian berpasir.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang meneruskan perjalanan itu memang terasa agak lamban. Rara Wulan yang menganakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan, berpakaian panjang dan menyangkutkan selendang di bahunya, tidak dapat berjalan secepat jika ia mengenakan pakaian khususnya.
Ketika panas matahari terasa menjadi semakin menyengat, pakaian Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi basah oleh keringat. Sekali-sekali mereka menyeka kening.
"Kita sakan sampai di Jati Anom di sore hari," desis Glagah Putih.
"Apakah maksud kakang, aku harus berjalan lebih cepat?"
"Tidak. Tidak. Bukan itu. Kita memang lebih enak berjalan dengan tidak merasa tergesa-gesa. Kita tidak diburu waktu."
Rara Wulan menarik nafas panjang.
"Jika kita menemui sebuah kedai, maka kita akan dapat beristirahat sambil menghirup minuman," berkata Glagah Putih.
Kita menyusuri jalan yang tidak terlalu ramai. Padukuhan-padukuhan yang kita lewatipun bukan padukuhan-padukuhan yang besar," sahut Rara Wulan.
"Tetapi kita tentu akan menjumpai sebuah kedai."
Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki padukuhan yang agak besar, maka merekapun telah mendapatkan sebuah kedai yang pintunya masih terbuka. Disebelah kedai itu terdapat sebuah simpang empat.
Jalan yang dilalui oleh Glagah Putih itu menyilang jalang yang agak lebih besar. Agaknya jalan itu adalah jalan yang lebih ramai.
"Kakang pernah melewati jalan itu?" bertanya Rara Wulan.
Glagah Putih mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Aku pernah melewati jalan itu. Kita nanti juga akan mengikuti jalan itu. Jalan yang agak lebih baik dari jalan yang kita lewati."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Keduanyapun kemudian singgah'di kedai itu. Ketika mereka masuk, didalamnya sudah ada beberapa orang yang lebih dahulu datang.
Kepada pelayan kedai itu, Glagah Putihpun segera memesan minum dan makan. Kecuali haus merekapun sudah merasa lapar pula.
Dari percakapan beberapa orang yang sudah ada di kedai itu. Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui, bahwa tidak jauh dari simpang ampat itu terdapat sebuah sendang yang tidak terlalu luas. Disekitar sendang itu terdapat berbagai macam pohon raksasa. Ada sebuah tugu batu yang sudah sangat tua.
Sendang itu ternyata banyak dikunjungi orang. Siang dan malam. Pada hari apa saja. Bukan hanya pada hari-hari tertentu.
Orang-orang yang berada di kedai itu ternyata juga baru pulang dari kunjungan mereka ke sendang itu.
Seorang diantara mereka tiba-tiba saja berkata kepada pemilik kedai itu, "Kang. Aku berjanji. Jika permohonanku di kabulkan oleh Kiai dan Nyai Berkah, aku akan datang lagi kemari bersama keluargaku."
"Terimakasih, Ki Sanak. Aku menunggu kehadiran Ki Sanak beserta keluarga."
"Aku juga," berkata yang lain, "jika dalam tahun ini aku benar-benar dikaruniai anak laki-laki, maka aku akan datang dengan anakku itu."
"Jadi kau akan menunggu setahun lagi?" bertanya kawanya.
"Ya." "Kenapa begitu lama?"
"Bagaimana aku tahu, bahwa aku mempunyai anak laki-laki sebelum bayi itu lahir?"
"Kenapa harus laki-laki?"
"Aku ingin anak laki-laki."
"Kau tidak boleh memilih. Kau harus menerima apa adanya."
"He" Jadi?"
"Katakan, jika isterimu mulai mengandung, kau akan datang lagi kemari dengan isterimu itu."
Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Baik. Baik. Jika isteriku mengandung, tanpa menunggu kelahirannya, aku akan mengajaknya kemari. Bahkan seadainya aku tidak berujar sekalipun isteriku akan senang sekali makan nasi megana dengan pepes udang dan wader pari."
Kawan-kawannya tertawa. Seorang diantara mereka berkata, "Kenapa kau harus menunggu isterimu itu mengandung. Ajak saja isterimu esok kemari."
Orang itupun tertawa pula.
Namun seisi kedai itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Semakin lama terdengar semakin dekat. Tidak hanya satu dua, tetapi banyak.
Beberapa saat kemudian, mereka melihat sekelompok anak-anak muda melarikan kuda mereka melintasi simpang ampat itu. Anak-anak muda itu menyusuri jalan yang lebih kecil seperti sedang berburu rusa.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Ada diantara mereka dapat segera mereka jumpai di penyeberangan.
"Agaknya mereka mencari kita," berkata Glagah Putih.
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Kita tinggalkan kedai ini."
"Kita akan melarikan diri?"
"Bukan begitu. Aku hanya bermaksud agar kedai ini tidak mereka jadikan sasaran kemarahan mereka. Mungkin bukan hari ini. Tetapi esok atau lusa. Bahkan seandainya mereka menemukan kita disini, mereka akan dapat menimbulkan kerusakan di kedai ini."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kita keluar dari kedai ini. Tetapi biar aku habiskan dahulu nasi megana ini. Seperti yang dikatakan orang itu, nasi megana disini termasuk nasi megana yang enak. Lebih enak dari nasi megana yang pernah aku makan sebelumnya."
"Kau tahu, kenapa?"
Rara Wulan menggeleng. "Seharusnya kau lebih tahu. Ada gereh petek kecil-kecil di bumbu megana itu."
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk sambil tersenyum, "lidahmu tajam sekali kakang."
Demikian mereka selesai makan dan menghabiskan minuman mereka, maka merekapun segera minta diri.
Keduanya meninggalkan kedai itu setelah mereka membayar harga makan dan minuman mereka. Merekapun segera melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka tidak jadi mengikuti jalan yang besar dan ramai itu. Tetapi mereka mengikuti jalan yang lebih sempit. Jalan yang dilalui oleh anak-anak muda yang memacu kuda mereka.
Beberapa saat setelah mereka melewati simpang empat, Rara Wulan-pun berkata, "Mereka sudah sangat jauh, kakang. Mereka memacu kuda mereka. Mereka mengira kita sudah jauh pula."
"Ya. Tetapi mereka tentu akan kembali pula lewat jalan ini. Mudah-mudahan kita bertemu dan dapat berbicara dengan mereka. Jika mereka tidak menemukan kita, mungkin sekali mereka akan bertanya kepada pemilik kedai itu. Jika jawaban pemilik kedai itu tidak memuaskan mereka, akan dapat terjadi keributan. Kedai itu akan dapat mereka rusakkan.
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Keduanyapun berjalan terus. Bahkan seakan-akan mereka telah melupakan anak-anak muda yang berkuda itu. Mereka sempat memperhatikan tanah persawahan yang bersusun seperti tangga raksasa di kaki Gunung Merapi itu. Di kejauhan mereka melihat hutan yang lebat memanjat sampai ke lambung.
Namun tiba-tiba jauh di hadapan mereka, dijalan yang agak menurun di tengah-tengah bulak, iring-iringan anak-anak muda yang mereka larikan kuda mereka itu, nampak berpacu menuju Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Mereka sudah kembali. Setelah agak jauh mereka tidak menyusul kita, maka mereka menduga bahwa kita telah mengambil jalan yang menyilang itu," berkata Glagah Putih.
"Ya. Jumlahnya bertambah. Sekitar sepuluh orang," sahut Rara Wulan.
"Ya. Mudah-mudahan mereka dapat diajak berbicara."
"Jika tidak, maka kita harus membuat mereka benar-benar jera."
"Jika mereka mempunyai ilmu yang tinggi?"
"Kitalah yang akan menjadi jera."
Keduanyapun tertawa. Tetapi penglihatan mereka atas lawan-lawannya mereka jika mereka telibat dalam perselisihan, biasanya tidak terlalu meleset. Demikian pula penglihatan biasanya tidak terlalu meleset.
Demikian pula penglihatan mereka atas kemampuan anak-anak yang beriringan di atas punggung kuda itu.
Anak-anak muda yang melarikan kuda mereka menyusuri jalan bulak itu semakin lama menjadi semakin dekat. Agaknya merekapun telah melihat Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan berlawanan arah mereka.
"Anak iblis," geram seorang di antara anak-anak muda yang berkuda itu, "mereka sama sekali tidak menjadi cemas. Mereka masih saja berjalan dengan tenangnya. Bahkan sambil berbincang-bincang seperti sedang berjalan di terang bulan."
"Mereka akan segera menyadari, bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita."
"Ya, bagi kita," sahut yang lain.
"Kenapa " "
"Mereka memang bukan apa-apa bagi kita. Tetapi bagaimana bagi kita masing-masing?"
"Edan kau. Jika kau takut, minggirlah."
"Kenapa kau harus takut" Bukankah aku sependapat bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita. Mungkin aku akan ketakutan dan melarikan diri jika kau sendiri bertemu dengan mereka."
Anak muda yang bertubuh raksasa, yang telah menjadi lumpuh ketika beberapa simpul syarafnya disentuh oleh Glagah Putih berkata, "Jika mereka tidak licik dan menyerang dengan tiba-tiba, aku akan mengatasi mereka."
"Jangan sombong."
"Aku tidak sombong. Aku yakin akan kemampuanku."
"Baik," sahut anak muda yang meragukan kemampuan mereka seorang-seorang, "kita akan menjadi penonton. Biarlah ia berhadapan sendiri dengan laki-laki tukang sihir itu."
Wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu menjadi tegang. Dengan serta-merta iapun berkata, "Tetapi kita sudah berniat untuk membuat mereka berdua jera. Kemudian melemparkan laki-laki itu di pinggir jalan, serta membawa perempuannya kembali ke sarang kita."
Beberapa orang yang lain tertawa. Sementara itu kuda mereka berlari terus, semakin lama semakin dekat dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan iring-iringan itu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan Glagah Putihpun berdesis, "Aku tidak ingin membunuh. Tetapi aku tidak tahu, apakah tidak terjadi jika kita harus berkelahi melawan sekian banyak orang."
"Ya. Ternyata jumlah mereka tidak hanya sepuluh, tetapi dua belas." Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu, iring-iringan anak-anak muda berkuda itu menjadi semakin dekat. Glagah Putih dan Rara Wulan segera menepi. Mereka naik ke atas gundukan tanah di pinggir jalan agar mereka tidak terinjak oleh kaki kuda.
Namun kedua belas ekor kuda itupun telah ditarik kendalinya hampir serentak, sehingga kuda-kuda itupun segera berhenti.
Seorang anak muda yang berkumis lebat, yang nampaknya pemimpin dari sekelompok anak muda itupun berkata lantang, "He, kaukah yang bertemu dengan kawan-kawanku di tepian Kali Praga?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diamatinya anak-anak muda yang masih duduk di punggung kuda itu.
Namun demikian sambil mengangguk iapun menjawab, "Ya. Kami telah bertemu mereka di tepian. Bahkan kawanmu yang bertubuh raksasa itu telah mengganggu kami berdua."
Tetapi anak muda yang bertubuh raksasa itu berteriak, "Bohong. Kau telah memfitnah."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, "Kenapa kau menjadi begitu ketakutan ketika aku mengatakan bahwa kau telah mengganggu kami " Apakah dengan demikian kau akan mendapat hukuman dari pemimpinmu itu ?"
"Bukan aku yang mengganggu kalian. Tetapi kalianlah yang telah mengganggu aku."
"Apa yang telah aku lakukan sehingga aku dapat menyebut kami telah mengganggumu ?"
Seorang anak muda yang lain tiba-tiba saja menyahut, "Perempuan itulah yang telah mengganggu kami."
"Kenapa dengan isteriku."
"Wajahnya, sikapnya dan keperempuannya yang telah mengganggu perasaan kami."
Beberapa orang anak muda yang lain tertawa. Namun anak muda yang berkumis lebat itupun membentak, "Ini bukan lelucon. Kita telah dihina oleh orang itu."
"Ya," suara anak muda yang bertubuh raksasa itu lantang, "kita harus membalas hinaan itu. Kita harus mempermalukan mereka dihadapan orang banyak."
"Mempermalukan mereka?" bertanya seorang kawannya, "apa yang akan kita lakukan?"
"Seret mereka ke padukuhan. Nah, banyak cara untuk mempermalukan mereka."
Tetapi pemimpin anak-anak muda itu berkata, "Kami tidak akan menyeret kalian jika kalian menyerah dan membiarkan apa saja yang akan kami lakukan atas kalian. Kami akan membawa kalian ke padukuhan dengan cara yang baik. Kemudian kalianpun akan kami tinggal dan kami serahkan kepada orang-orang padukuhan setelah kami melaksanakan hukuman yang ingin kami trapkan kepada kalian. Itu adalah keputusanku. Kawan-kawanku tidak akan dapat merubahnya. Karena itu, kalian dapat memilih. Menjalani hukuman berdasarkan atas hukumanku itu, atau aku akan menyerahkan kalian kepada kawan-kawanku."
"Ki Sanak. Kami tidak merasa besalah, kenapa Ki Sanak akan menghukum kami?"
"Mungkin kalian merasa tidak bersalah. Tetapi kami menganggap kalian bersalah."
"Seandainya kami bersalah, apakah Ki Sanak dan kawan-kawan Ki Sanak berhak menjatuhkan hukuman itu kepada kami ?"
"Tentu. Siapakah yang akan melarang kami menjatuhkan hukuman apapun kepada kalian. Bahkan seandainya kami berniat mengubur kalian berdua di tebing disela-sela batu-batu padas itu?"
Namun tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, "Kakang masih bersabar menghadapi anak-anak bengal itu."
Glagah Putih menarik nafas panjang, sementara itu orang berkumis tebal itupun dengan serta merta menanggapinya, "kau sebut kami anak-anak bengal ?"
"Ya," jawab Rara Wulan tanpa ragu-ragu, "anak-anak yang tidak tahu diri. Hak apa yang kalian miliki sehingga akan menghukum kami" Hak kalian tidak lebih dari hak yang kami miliki. Karena itu jika kalian akan menghukum kami, maka kamilah yang akan melakukan lebih dahulu. Kami berdua akan menghukum kalian."
"Edan," teriak anak muda berkumis lebat itu, "ternyata kalian benar, kawan-kawan, kedua orang ini adalah orang-orang gila. Karena itu, jangan menunggu lebih lama lagi. Tangkap mereka dan seret ke padukuhan di simpang empat itu. Setidak-tidak kita akan menunjukkan kepada orang-orang di padukuhan itu, bahwa kita sudah menangkap sepasang orang gila. Kita dapat mengikat mereka di prapatan dan membiarkan mereka menjadi menonton tontonan. Orang-orang yang pulang dan pergi ke sendang akan dapat menonton yang temu sangat menarik bagi mereka."
Rara Wulan memang sudah kehabisan kesabaran. Tiba-tiba saja ia telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya yang dipakainya di bawah kain panjangnya.
Tanpa berbicara lagi, Rara Wulan telah menarik tangan Glagah Putih meloncat turun ke jalan diantara kedua belas anak muda yang masih berada di punggung kuda.
Adalah tidak terduga, bahwa Rara Wulan telah menghentakkan selendangnya menyentuh perut salah seekor kuda itu, sehingga kuda itupun terkejut. Sambil meringkik keras kuda itu mengangkat kedua kaki depannya. Namun ketika sekali lagi perutnya tersentuh selendang Rara Wulan, maka kuda itu menjandi binal. Kuda itupun meloncat menerjang kuda-kuda yang lain berlari kencang sekali. Beruntunglah bahwa anak muda yang berada dipunggungnya sudah terjatuh pada saat kuda itu berdiri. Sehingga ia tidak lagi dibawa lari oleh kuda yang seakan-akan menjadi gila itu.
Beberapa orang yang lain, yang tidak berhasil menguasai kudanya, telah berloncatan turun pula, sehingga lima dari dua belas ekor kuda telah berlari meninggalkan kuda-kuda yang lain, yang masih dapat dijinakkan.
Kuda dari anak muda yang berkumis itupun telah berlari pula. Anak muda yang berkumis lebat itupun telah terjatuh pula. Tangannya yang sebelah kiri berasa menjadi sangat ngeri. Sedangkan punggungnya menjadi sakit pula.
Demikian pula kawan-kawannya yang telah meloncat dan terjatuh dari kudanya.
Orang-orang yang kesakitan itu mengumpat-umpat kasar. Sedangkan kawan-kawannya yang lainpun telah berloncatan turun pula. Merekapun segera mengikat kuda-kuda mereka pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu.
Namun untuk beberapa saat mereka termangu-mangu melihat pakaian yang dikenakan oleh Rara Wulan. Dengan demikian mereka sadar, bahwa mereka berhadapan dengan seorang perempuan yang tentu bukan sebagaimana kebanyakan perempuan.
"Perempuan ini tentu memiliki kemampuan dalam olah kanuragan," berkata anak-anak muda itu dalam hatinya, "karena itu, maka ia sama sekali tidak nampak menjadi cemas dan ketakutan."
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan masih saja mencoba memberi peringatan. Dengan lantang Glagah Putih berkata, "Aku masih akan mencoba menghindari kekerasan. Kekerasan tidak akan berarti dan tidak akan menguntungkan bagi kita. Mungkin ada diantara kita yang terluka atau mangalami cidera yang parah. Karena itu, dengarlah kata-kataku. Biarlah kami berdua pergi."
"Begitu enaknya kalian pergi tanpa mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian. Kalian telah mengejutkan kuda kami. Kalian telah membuat beberapa orang diantara kami terjatuh dari kuda dan sekarang kuda-kuda kami sudah berlari pergi. Kuda-kuda kami yang mahal itu akan dapat hilang dan tidak kami ketemukan kembali. Nah. siapakah yang akan bertanggung jawab."
"Sudahlah kakang," berkata Rara Wulan, "kita selesaikan saja persoalan ini menurut cara yang mereka kehendaki. Lebih cepat lebih baik. Kita masih harus menempuh perjalanan panjang."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu anak muda berkumis lebat itu berkata lantang kepada kawan-kawannya, "Kepung mereka berdua. Jangan beri kesempatan melarikan diri. Dosa mereka sudah bertumpuk. Hukuman bagi mereka akan menjadi semakin berat."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab lagi. Mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi anak-anak muda yang bengal itu.
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Tetapi anak-anak muda itu masih belum mulai menyerang mereka.
"Bersiaplah," teriak anak muda yang berkumis lebat.
Yang lain tidak menyambut. Mereka semuanya sudah siap. Tetapi belum ada yang memulainya.
Akhirnya anak muda yang berkumis lebat itu bergeser mendekati Rara Wulan. Agaknya ia memilih untuk bertempur melawan perempuan itu daripada laki-laki yang mempunyai kekuatan sihir itu.
Namun kawan-kawannya yang lainpun segera bergerser pula. Tetapi semuanya mengerahkan perhatian mereka kepada Rara Wulan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak, ia melihat kepungan yang berat sebelah.
"Mereka agaknya telah memilih kau, Rara," desis Glagah Putih kembali tersenyum.
"Awas kau kakang. Jika kau sudah selesai, aku cubit lalu aku putar tiga kali sampai kulitmu terkelupas," sahut Rara Wulan.
"Bukan salahku. Mereka memilih sendiri."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia justru bergeser menjahui Glagah Putih. Seakan-akan justru memberikan kesempatan kepada dua belas anak-anak muda itu untuk bertempur melawannya seorang diri.
Namun sebenarnyalah, dua orang itu telah berkelempok siap menyerang Rara Wulan.
Rara Wulan tidak mau terlalu banyak kesulitan untuk mengalahkan mereka, karena itu, maka Rara Wulanpun langsung memutar selendangnya. Agaknya Rara Wulanpun ingin tahu apa yang dapat dilakukannya dengan selendangnya itu.
Dalam pada itu, anak muda berkumis lebat itupun berkata, "Kita akan melumpuhkan mereka seorang demi seorang."
"Apakah kita harus minta dengan hormat kepada laki-laki itu agar ia tidak ikut campur lebih dahulu?" bertanya anak muda yang meragukan kemampuan kawan-kawannya kawan-kawannya seorang-seorang.
Glagah Putih tidak dapat menahan senyumnya. Katanya, "Terserah kepada kalian. Apakan kalian akan berkelahi melawan kami berdua atau dengan licik kalian ingin berkelahi dengan istriku saja, baru kemudian kalian akan melawan aku. Dengan demikian kalian berharap bahwa kalian tidak akan mengalami kesulitan karena kalian akan melawan kami seorang demi seorang."
"Persetan kau tukang sihir. Jangan melibatkan diri. Jika kau mencoba melibatkan diri, maka kami akan membunuh istrimu."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Bagaimana kau dapat membunuh istriku. Kalian sama sekali tidak akan mampu menyentuhnya."
"Persetan kau tukang sihir," teriak anak muda berkumis lebat. Lalu iapun memberikan aba-aba kepada kawan-kawannya, "Tangkap perempuan itu. Jika suaminya ikut campur, bunuh saja istrinya yang sombong itu."
Anak-anak muda itupun bergeser mendekati Rara Wulan. Anak muda yang berkumis lebat itulah yang mulai menyerang di ikuti oleh kawan-kawannya.
Tetapi beberapa orang segera terlempar keluar lingkaran perkelahian. Seorang di antara mereka berteriak kesakitan, yang lain mengerang dan menyeringai sambil mencoba menahan sakit.
Sedangkan Rara Wulan yang berputar itu telah menyentuh beberapa orang lawannya, sehingga mereka menjadi kesakitan.
Bahkan ada diantara mereka yang terdorong beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah berbatu padas.
"Iblis betina," geram anak muda yang berkumis lebat, "apakah kalian sepasang suami istri yang kerasukan iblis?"
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi selendangnya berputar semakin cepat. Suaranyapun bergaung memantulkan gema di lereng Gunung.
Anak-anak muda itu menjadi semakin marah. Merekapun mengerahkan kemampuan mereka, menyerang Rara Wulan dari berbagai arah.
Tetapi tidak seorangpun yang mampu menyentuhnya. Bahkan tiga orang lagi jatuh terlentang. Dengan sudah payah mereka mencoba bangkit. Namun punggung mereka rasa-rasanya menjadi retak.
Belum lagi ketiganya dapat berdiri tegak dan memasuki arena perkelahian, maka dua orang yang lain berteriak keras sekali. Ternyata selendang di tangan perempuan itu dapat memukul bahu mereka seperti sebatang tongkat kayu galih asem.
Rara-rasanya1 sebelah tangan kedua orang itu menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi.
Dalam waktu yang terhitung pendek, tujuh orang sudah tidak dapat bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka. Ada yang tulang punggungnya bagaikan patah. Ada yang sebelah tangannya seolah-olah menjadi lumpuh, ada yang perutnya mual dan nafasnya menjadi sesak. Ada yang tiga giginya patah. Kecuali mulutnya berdarah, maka dari hidungnyapun telah mengalir darah pula.
Ternyata kedua belas orang itu tidak mampu berbuat banyak melawan Rara Wulan yang hanya seorang diri.
Namun kedua belas orang itu tidak mampu melihat kenyataan. Apalagi mereka yang masih belum mengalami cidera. Mereka justru mengerahkan kemampuan mereka untuk mendesak dan menguasai perempuan yang berkelahi bersenjata selendangnya itu.
Namun mereka tidak berdaya apa-apa. Jika ujung selendangnya itu menyentuh tubuh mereka, maka terasa betapa sakitnya.
Glagah Putih memperhatikan perkelahian itu sambil berdiri diatas sebongkah batu padas di pinggir jalan. Meskipun Glagah Putih tidak melibatkan diri dalam perkelahian itu, tetapi Glagah Putih selalu siap jika ada kemungkinan buruk akan terjadi pada Rara Wulan.
Namun dengan demikian, Glagah Putih dapat melihat penguasaan Rara Wulan atas senjata barunya. Senjata yang memiliki beberapa persamaan dengan cambuk, tetapi juga memiliki beberapa perbedaan sifat dan watak.
Namun ternyata Rara Wulan telah mampu menguasainya, sehingga melawan dua belas orang anak muda, Rara Wulan tidak mengalami telalu banyak kesulitan.
Tetapi Glagah Putihpun kemudian menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda berkumis tebalitu menari pisau belati panjangnya.
"Tidak ada pilihan lain," geram anak muda berkumis lebat itu, "jika kau tidak menyerah, maka kami terpaksa membantaimu disini."
Ketika kawan-kawannya melihat anak muda berkumis tebal itu menarik senjatannya, maka yang lainpun telah melakukannya pula. Yang membawa pedang di lambungnya, telah menarik pedangnya pula. Yang membawa parang, golok, luwuk dan sebagainya telah berada di genggaman tangan mereka.
Rara Wulanpun bergerser surut. Diamatinya anak-anak yang telah menggenggam senjata di tangan mereka itu.
"Jangan menyesali nasibmu yang buruk, iblis betina," geram anak muda yang berkumis lebat itu, "meskipun demikian, aku masih memberimu kesempatan sekali lagi. Kesempatan yang terakhir. Menyerahlah."
Tetapi yang menjawab adalah Glagah Putih, "Anak-anak muda. Kalian telah memilih penyelesaian yang sangat berbahaya. Jika kalian mempergunakan senjata kalian, maka kalian semuanya berada dalam bahaya."
"Persetan kau tukang sihir. Jika kau menjadi ketakutan, suruh isterimu menyerah. Kami akan mengikatnya dan membawanya ke prapatan di dekat kedai itu. Kami akan menyeretnya seperti menyeret seekor kambing sakit-sakitan."
"Senjata di tangan kalian sama sekali tidak akan menolong kalian. Tetapi yang akan terjadi adalah sebaliknya."
"Omong kosong. Jangan mencoba menakut-nakuti kami."
Glagah Putihpun segera meloncat turun. Ia tidak dapat membiarkan Rara Wulan bertempur seorang diri melawan dua belas orang yang bersenjata. Meskipun sebagian dari anak-anak muda itu sudah merasa kesakitan, tetapi dengan senjata ditangan, mereka akan tetap berbahaya. Apa lagi apabila ada diantara mereka yang memiliki sejenis senjata rahasia yang dapat dilontarkannya.
Dengan nada berat Glagah Putihpun berkata, "Jangan main-main dengan nyawa kalian anak-anak muda. Akulah yang memperingatkan kalian. Akulah yang memberi kalian kesempatan. Pergilah. Jangan ganggu kami lagi."
Tetapi anak muda berkumis lebat itu membentak, "Minggir kau laki-laki jahanam. Aku akan berurusan dengan istrimu."
"Aku bukan laki-laki gila yang membiarkan isterinya berkelahi melawan dua belas orang bersenjata. Meskipun aku tahu, jika aku terjun, maka bahayanya akan menjadi jauh lebih besar bagi kalian."
"Sombongnya kau orang gila. Bersiaplah. Kalian berdua akan mati."
Namun terdengar Rara Wulan berkata, "jangan mencampuri permainan kami, kakang. Aku akan menyelesaikannya."
"Jangan berlelah-lelah dalam permainan yang tidak menarik sama sekali itu, Rara. Biarlah aku ikut, agar mainan buruk ini lekas selesai. Bukankah kita masih akan berjalan jauh."
"Terlambat. Kau terlambat menyatakan diri ikut bermain."
Glagah Putih menarik nafas dalam. Agaknya Rara Wulan ingin menyelesaikan sendiri.
Namun Glagah Putih masih juga berkata, "Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?"
Rara Wulan tidak menjawab. Sementara itu, anak-anak muda itu masih mengepungnya. Hanya anak muda yang berkumis lebat itu sajalah yang berdiri dan bersiap menghadapi Glagah Putih.
"Kau sendiri?" bertanya Glagah Putih.
"Jangan sombong. Aku tidak akan memberimu kesempatan untuk menyihirku."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati anak muda berkumis lebat yang menggenggam pisau belati panjang itu.
Anak muda berkumis lebat yang menjadi pemimpin dari anak-anak muda yang lain itupun kemudian berteriak, "Paksa perempuan itu menyerah. Jika laki-laki ini tidak mau menyerah juga, maka perempuan itu akan kita bunuh."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu, sebelas orang bersenjata telah menyerang Rara Wulan.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rara Wulan yang bersenjata selendang itu berloncatan dengan cepat. Ia tidak sekedar menyentuh lawan-lawannya dengan selendangnya. Tetapi Rara Wulan benar-benar mempergunakan selandangnya untuk menghentikan perlawanan lawan-lawannya.
Ketika Rara Wulan memutar selendangnya dilambari dengan tenaga dalamnya yang semakin ditingkatkan, maka dua pucuk senjata telah terlempar dari tangan pemiliknya. Demikian kedua orang itu memburu senjatanya, maka seorang diantara lawan-lawannya Rara Wulan itu berteriak kesakitan. Selendang itu telah melukainya. Lambung anak muda yang berteriak kesakitan itu ternyata telah terkoyak menyilang. Darah benar-benar telah mengallir dari luka itu.
Beberapa orang yang melihat kawannya terkapar dengan darah merah mengalir dan menitik di bumi itu, menjadi sangat marah. Namun sekaligus mereka menjadi berdebar-debar.
Dalam pada itu, anak muda yang berkumis lebat itupun sudah tidak berdaya. Dengan cepat Glagah Putih telah berhasil merampas pisau belati panjang itu, kemudian melemparkannya jauh-jauh. Anak muda berkumis lebat yang kehilangan senjata itupun berloncatan mundur. Ketika Glagah Putih bergeser mendekatinya, maka iapun berteriak, "Menyerahlah atau isterimu akan dicincang lumat."
"Siapa yang mencincangnya. Kawan-kawanmu tidak berdaya menghadapinya."
Anak muda berkumis lebat itu masih akan menjawab.
Tetapi seorang lagi kawannya terdorong beberapa langkah surut. Kemudian, anak muda itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga akhirnya anak muda itu terjatuh. Dari dadanya mengalir darah. Sebuah luka memanjang tergores di dada itu.
Anak muda berkumis lebat itu termangu-mangu. Glagah Putih tidak segera menyerangnya. Seakan-akan Glagah Putih dengan sengaja memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Glagah Putih sendiri bagaikan tercengkam melihat Rara Wulan mempermainkan senjatanya. Ternyata Rara Wulan benar-benar menguasai selendangnya, sehingga sakan-akan selendangnya itu mampu bergerak sendiri sesuai dengan keinginan Rara Wulan.
Selendang itu sekali-sekali melingkar dengan lentur. Namun tiba-tiba saja selendang tiu seakan-akan telah berubah menjadi sebuah tongkat besi yang keras. Tetapi sejenak kemudian, ujung selendangnya menjadi bagaikan tajamnya mata pedang yang baru diasah. Bahkan dengan tidak terduga, ujung selendang itu dapat pula mematuk seperti pangkal landean tombak panjang yang terbuat dari kuningan.
Dengan lambaran tenaga dalamnya, maka selendang itu menjadi sangat berbahaya di tangan Rara Wulan.
Dalam pada itu, anak muda yang berkumis lebat itu menjadi sangat gelisah. Kawan-kawannya tidak segera berhasil menangkap perempuan itu untuk memaksa suaminya menyerah. Bahkan satu demi satu kawan-kawannya terlempar keluar arena dengan darah yang membasahi pakaian mereka.
"Kau sendiri bagaimana?" bertanya Glagah Putih.
Anak muda itu tidak segera menjawab.
"Ambil pisau belatimu. Jika kau ingin menangkap perempuan itu, libatkan dirimu."
Anak muda itu tidak segera menjawab. Namun ketika seorang lagi kawannya yang bertubuh raksasa itu mengaduh kesakitan karena lengannya terkoyak, maka anak berkumis lebat itupun berkata, "Aku akan mengambil pisau belatiku. Aku akan membunuh perempuan itu."
"Ambilah. Aku tidak akan menghalangimu."
Mula-mula anak muda itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya iapun melangkah memungut pisau belatinya. Sementara itu, Glagah Putih sama sekali tidak mengganggunya.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan," desis Glagah Putih.
Anak muda berkumis lebat itu temangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah melangkah maju mendekati arena pertempuran.
Tetapi ketika ia memasuki arena, maka hampir semua kawan-kawannya sudah terluka. Meskipun mereka masih mengepung Rara Wulan, tetapi lingkaran kepungan itupun menjadi semakin longgar. Anak-anak muda itu menjadi tidak berani lagi mendekat. Bahkan dua orang yang masih belum tersentuh senjata Rara Wulanpun telah menjadi ketakutan.
"Kita bunuh perempuan itu," teriak anak muda berkumis lebat itu.
Tetapi tidak seorangpun yang beranjak dari tempatnya.
"Jangan takut, "teriak anak muda itu.
Kawan-kawannya masih belum bergerak. Sementara itu Glagah Putih berkata, "Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja" Kenapa kau tidak segera menyerangnya."
Wajah anak muda itu menjadi merah. Namun ketika ia bergeser setapak maju, Rara Wulan berdiri tegak menghadap kepadanya, sehingga anak muda berkumis lebat itu bagaikan membeku di tempat.
Dalam pada itu terdengar Rara Wulan berkata, "Aku memberi kesempatan terakhir pada kalian. Pergilah. Siapa yang tinggal akan aku bunuh tanpa belas kasihan."
Wajah-wajahpun menjadi pucat. Agaknya perempuan itu tidak sekedar menakut-nakutinya. Ia benar-benar akan melakukannya. Sementara itu, ketika seorang diantara mereka bergeser mundur, maka kawan-kawannyapun bergeser mundur pula.
"Apakah kalian takut?" teriak anak muda berkumis lebat.
Tidak ada yang menjawab. Tetapi mereka masih saja bergerak menjauhi Rara Wulan.
Ketika Rara Wulan melangkah maju ke arah anak muda berkumis lebat itu, maka anak muda itupun bergeser mundur pula sambil berteriak, "Cepat. Selesaikan perempuan itu."
Tidak ada yang bergerak maju. Sementara Glagah Putih berkata pula, "Kenapa kau sendiri tidak melangkah maju?"
Anak muda itu justru melangkah surut ketika Rara Wulan menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba saja Rara Wulan itu membentaknya, "Pergi, pergi."
Anak muda berkumis lebat itu terkejut. Seakan-akan di luar kehendaknya ketika anak muda itu meloncat beberapa langkah surut. Sementara Rara Wulan masih saja mendekatinya.
"Pergi, pergi," Rara Wulan itu menjerit dengan nada tinggi.
Tiba-tiba saja anak muda berkumis lebat itu meloncat meninggalkan arena. Dengan sekuat tenaganya ia berlari menyusuri jalan berbatu padas itu. Kawan-kawannya yang telah kehilangan kudanya pun telah berlari pula mengikutinya. Yang lain, yang telah mengikat kudanya di pinggir jalan, berlari ke kuda mereka.
Sejenak kemudian, maka dua belas orang anak muda itu sudah berlari meninggalkan Rara Wulan.
Sepeninggal mereka, maka Glagah Putih pun berkata, "Permainan selendangmu ternyata diluar dugaan, Rara."
Namun wajah Rara Wulan masih saja tegang. Katanya, "Ya seadanya saja."
"Bukan seadanya. Ilmumu benar-benar mengagumkan. Selama ini aku hanya melihat kau berlatih di sanggar. Tetapi kali ini aku melihat kau berlatih menghadapi sebelas orang bersenjata."
"Apanya yang mengagumkan ?" nada suara Rara Wulan datar.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia baru merasakan bahwa sikap Rara Wulan agak berbeda. Karena itu maka iapun bertanya, "Kenapa kau tidak memperbolehkan aku ikut bermain?"
"Untuk apa kau ikut" Bukankah sejak semula kau sudah mengatakan bahwa anak-anak muda itu lebih tertarik kepadaku dari kepadamu."
Glagah Putih tiba-tiba tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Rara Wulan itu meloncat mencubit lengannya kemudian memutarnya.
"Rara. Sakit," Glagah Putih berteriak.
"Aku tidak peduli. Kenapa kau tidak minta kakangmu itu menurunkan ilmu kebalnya kepadamu."
"Lepaskan. Lepaskan. Besok kalau aku sudah memiliki ilmu kebal, kau dapat melakukannya lagi."
Rara Wulan tidak melapaskannya. Bahkan tangannya memutar semakin keras, sehingga Glagah Putih harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa pedih lengannya itu.
"Lepaskan Rara. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Huh," Rara Wulan melepaskan lengan Glagah Putih sambil berkata, "Lain kali aku buat kau jera dengan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce."
"Baik. Baik. Lain kali kita tidak akan bertemu lagi dengan dua belas anak muda yang bodoh itu."
Rara Wulan hampir saja meloncat lagi. Tangannya sudah terjulur. Namun niatnya diurungkannya. Bahkan Rara Wulan dan juga Glagah Putih bergerser beberapa langkah mundur.
Dihadapan mereka muncul dari gumpalan-gumpalan padas tebing, seorang yang sudah sangat tua.
"Hampir lima puluh tahun aku menunggu," desis laki-laki tua, berjanggut dan berkumis putih. Rambut yang terjulur di bawah ikat kepalanyapun nampak sudah putih seperti kapas.
"Kau siapa Kiai?" bertanya Glagah Putih.
Sambil terbungkuk-bungkuk orang itu bergerser selangkah maju. Tangan kanannya berpegangan pada sebatang tongkat kayu.
Orang tua itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Kemudian suaranya yang paraupun terdengar pula, "Apakah benar kalian dua orang suami isteri?"
"Ya, Kiai." "Apakah kalian sudah mempunyai anak?"
"Belum Kiai." "Aku menunggu kalian lewat. Sudah aku katakan, sudah hampir limapuluh tahun aku menunggu."
"Aku sudah pernah lewat jalan ini, Kiai."
"Kebetulan aku tidak melihatnya. Tetapi menjelang batas hidupku, akhirnya aku dapat menemukan kalian. Bukan hanya karena kalian suami isteri yang belum mempunyai anak. Tetapi memiliki unsur-unsur gerak yang nampak pada kalian berdua."
"Maksud Kiai?" "Aku sempat melihat kalian berkelahi melawan anak-anak muda bengal itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu.
"Ngger. Sebenarnya aku ingin mempersilahkan kalian singgah. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian berdua."
"Dimana rumah Kiai?"
"Di tengah-tengah hutan itu. Aku tinggal di sebuah rumah yang aku ketemukan disana. Rumah yang sudah sangat tua. Nampaknya rumah itu dibangun pada masa permulaan kerajaan Demak. Namun kemudian telah ditinggalkan penghuninya. Ketika aku ketemukan rumah itu, rumah itu sudah kosong. Kotor dan rusak. Aku mencoba membersihkannya dan tinggal didalamnya."
"Kiai sendirian saja?"
"Tidak. Aku tinggal bersama seorang muridku yang setia. Juga seorang yang sudah tua, meskipun ketika ia menjadi muridku, ia masih seorang remaja."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Menilik ujud, sinar matanya serta bayangan di wajahnya, orang tua itu bukan seorang yang jahat. Tetapi siapa tahu isi hati seseorang.
"Angger berdua," berkata orang itu pula, "sekali lagi aku ingin mempersilahkan kalian berdua singgah. Aku ingin minta kalian berdua menolongku. Aku sudah terlalu tua."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduannya mengangguk kecil.
"Baiklah, Kiai," berkata Glagah Putih, "aku akan singgah. Tetapi jika berkenan, aku ingin bertanya, siapakah Kiai itu sebenarnya?"
"Aku bukan orang penting yang pernah dikenal, ngger, namaku Namaskara. Orang memanggilku Kiai Namaskara. Tetapi itu adalah karena salahku sendiri. Aku jarang sekali keluar dan rumah yang aku ketemukan itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Namaskara itupun berkata, "Marilah ngger. Ikutlah aku. Tetapi aku sudah tidak dapat berjalan lebih cepat dari seorang bayi yang sedang merangkak."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Mereka kemudian mengikuti orang yang sudah sangat tua itu berjalan diantara onggokan batu-batu padas, menyelinap ke arah hutan di Kaki Gunung Merapi.
Glagah Putih yang sudah melewati jalan itu, tidak pernah mengetahui, bahwa ada lorong kecil di tebing, di balik onggokan batu-batu padas yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang kurus dan tidak banyak berdaun.
Kiai Namaskara berjalan terlalu lambat bertelekan tongkat kayunya. Sebelah tangannya berpegangan pada bongkah-bongkah batu padas di sebelah lorong sempit itu.
Ternyata jalan yang harus ditempuh cukup panjang. Lepas dari tebing berbatu-batu padas, mereka sampai ke sebuah lorong yang basah. Kemudian mereka memasuki hutan di kaki Gunung. Hutan yang masih lebat tertutup oleh segala jenis pepohonan. Dari pohon-pohon raksasa sampai ke pohon-pohon perdu serta batang ilalang.
Jalan menjadi semakin sulit, Kiai Namaskara berjalan semakin lambat.
Tetapi ketika Glagah Putih akan membantunya, orang yang sudah sangat tua itu berkata, "Terima kasih, ngger. Biarlah aku berjalan sendiri. Aku sudah terbiasa melewati lorong setapak ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berusaha membantu Kiai Namaskara yang berjalan di depan dengan tongkat kayunya.
Namun beberapa saat kemudian jantung Glagah Putih dan Rara Wulan berdebaran. Tiba-tiba saja dihadapan mereka berdiri dua ekor harimau loreng yang sangat besar. Hampir sebesar kerbau.
"Tunggu Kiai," berkata Glagah Putih, "biarlah aku dan istriku berjalan di depan."
"Kenapa?" bertanya Kiai Namaskara.
"Harimau itu." Kiai Namaskara tersenyum. Katanya, "Harimau yang baik, ngger. Harimau itu tidak akan mengganggu kita."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Mereka siap untuk memusatkan nalar budinya, mempergunakan ilmu pamungkas mereka menghadapi sepasang harimau yang besar itu.
Sebenarnyalah sepasang harimau itu tidak mengganggu ketika Kiai Namaskara berjalan disebelah mereka. Sambil mengelus kepala kedua ekor harimau itu berganti-ganti, Kiai Namaskara berkata, "Jangan ganggu tamuku."
Kedua ekor harimau itu menjilat punggung telapak tangan Kiai Namaskara, seakan-akan mereka sedang mencium tangan itu.
"Bagus," berkata Kiai Namaskara, "pergilah bermain."
Kedua ekor harimau itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Bagaimanapun juga Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempersiapkan diri. Harimau tentu berbeda dengan seseorang yang dengan langsung memahami pesan sebagaimana diucapkan oleh Kiai Namaskara itu.
Namun kedua harimau itu memang tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Mereka melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak. Namun kedua ekor harimau itupun kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka, masuk ke dalam belukar yang lebat.
Kiai Namaskarapun melanjutkan perjalanannya yang lambat diikuti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bertiga mereka memasuki hutan di lereng Gunung itu semakin dalam.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi heran. Jalan yang mereka lalui semakin dalam justru menjadi semakin lebar.
Langkah Kiai Namaskara terhenti ketika beberapa ekor kera berloncatan ke pundak dan tangannya. Beberapa yang lain menghadang di tengah jalan.
"Minggir," berkata Kiai Namaskara, "jangan halangi jalanku. Aku membawa dua orang tamu."
Beberapa ekor kera itu berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara Kiai Namaskarapun berkata pula, "Minggirlah. Kami akan lewat."
Kera-kera itupun berloncatan menepi. Tidak seekorpun diantara mereka yang mengganggu.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin heran ketika mereka melihat sebuah pintu gerbang tua yang sudah rusak. Namun bekasnya, pintu gerbang itu tentu pintu gerbang yang baik. Tiang-tiangnya, tulang-tulang atapnya berukir dan bahkan masih ada bekas sunggingan berwarna-warni. Namun sudah menjadi buram dan bahkan terkelupas.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dan berjalan dibawah pintu gerbang yang sudah rusak itu, Glagah Putih sempat mengamati ukiran dan sunggingan di tiangnya.
"Prada. Kau lihat Rara."
Yang menyahut justru Kiai Namaskara, "Ya. Prada. Bangunan yang ada didalam halaman yang berpintu gerbang itu juga berukir, di sungging dan diwarnai dengan prada pula, meskipun sudah menjadi hampir tidak kelihatan tertutup oleh debu dan yang lain mulai terkelupas. Aku tidak mampu menyelamatkan bangunan yang menjadi semakin rusak itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun mereka tertegun ketika mereka melangkah memasuki halaman yang luas, yang nampak bersih dan terpelihara rapi.
Di tengah-tengah halaman yang tua itu berdiri sebuah rumah tua yang sudah mulai rusak, meskipun tidak mendapat perawatan yang cukup. Tetapi kayu-kayunya mulai menjadi lapuk. Disana sini nampak beberapa, jenis kayu yang berbeda dari bangunan aslinya. Nampaknya ada beberapa bagian yang sudah diganti tetapi dengan bahan seadanya.
Meskipun demikian, namun keagungan bangunan itu masih terasa.
"Marilah. Inilah rumahku. Karena rumah ini tidak berpenghuni serta tidak seorangpun yang mengaku memilikinya, maka rumah inipun telah aku akui sebagai rumahku."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun melangkah mengikuti Kiai Namaskara.
Langkah mereka tertegun ketika dari pintu seketeng muncul seorang yang bertubuh agak bongkok. Ketika orang itu berjalan mendekati Kiai Namaskara, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat orang itu agak timpang pula. Segores luka nampak di wajahnya. Sebelah telinganya agak lebih besar dari telinganya yang satu lagi.
"Ia adalah muridku yang setia," berkata Kiai Namaskara.
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat.
Dengan suaranya yang bernada tinggi, orang itu berkata, "Selamat datang di istana kami."
"Terima kasih," jawab Glagah Putih.
"Namanya Sangli," berkata Kiai Namaskara, "ia ikut aku sejak remaja. Sekarang rambutnya, kumisnya yang tipis, janggutnya yang jarang, sudah memutih semuanya. Bahkan ia sudah nampak setua aku sendiri."
Orang itu tersenyum. Meskipun tubuhnya dan wajahnya cacat tetapi nampak kelembutan terpancar di wajahnya.
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka melihat sekelompok serigala keluar dari pintu seketeng. Namun ketika orang yang agak bongkok itu mengayunkan tangannya maka serigala-serigala itupun berlarian menjauh.
Disudut gandok, serigala-serigala itu berpapasan dengan beberapa ekor domba yang berlari-larian ke halaman. Serigala-serigala itu hanya berpaling saja. Tetapi tidak seekorpun dari serigala-serigala itu mengganggu domba-domba itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan menahan nafas. Tetapi kemudian jantung mereka telah dicengkam oleh keheranan. Serigala-serigala itu tidak berbuat apa-apa. Apalagi menerkamnya.
Domba-domba itupun sama sekali tidak menjadi ketakutan. Agaknya mereka sudah terbiasa bergaul dengan serigala dan bahkan ketika dua ekor harimau yang besar itu memasuki halaman itu.
Tidak terasa ada permusuhan di halaman rumah yang besar itu. Dua ekor harimau itupun kemudian berjalan perlahan-lahan, ke halaman samping dan hilang dibalik tanaman perdu, yang agaknya merupakan tanaman yang daunnya, atau batangnya atau akarnya dapat dipergunakan untuk membuat obat-obatan. Segerumbul-segerumbul, terpisah-pisah menurut jenisnya.
"Marilah ngger. Naiklah," Kiai Namaskara memepersilahkan.
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian naik ke pendapa.
Di pringgitan telah terbentang tikar pandan yang putih.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian duduk ditemui oleh Kiai Namaskara dan Ki Sangli.
"Angger berdua," berkata Kiai Namaskara kemudian, "setelah duduk sejenak, perkenankan aku mengetahui, siapakah angger berdua ini."
"Tetapi bukankah Kiai sudah menunggu kami hampir lima puluh tahun?"
Kiai Namaskara tersenyum. Katanya, "Aku memang sudah menunggu selama lima puluh tahun. Tetapi aku tidak tahu siapakah yang aku tunggu itu. Baru kemudian, setelah aku melihat angger berdua, sikap angger menanggapi kelakuan anak-anak muda itu, maka aku baru tahu, bahwa anggerlah yang aku tunggu."
"Kenapa kami berdua, Kiai."
"Angger belum menjawab pertanyaanku."
"O," Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Namaku Glagah Putih, Kiai. Perempuan ini adalah isteriku. Namanya Rara Wulan. Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, "Sekarang, angger berdua akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke Jati Anom. Ayahku tinggal di Jati Anom."
"Jika aku boleh tahu, siapakah nama ayah angger?"
"Orang memanggil ayahku, Ki Widura."
"Ki Widura," ulang Kiai Namaskara.
"Ya, Kiai." Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Katanya, "Aku seperti orang asing yang tidak mengenal siapa-siapa. Tetapi orangpun tidak mengenal aku."
"Selain Kiai sudah memperkenalkan nama Kiai, siapakah sebenarnya Kiai Namaskara itu" Seperti yang Kiai katakan, Kiai menemukan rumah ini. Dengan demikian maka Kiai tentu berasal dari tempat yang lain."
"Ya, ngger. Tetapi seperti yang aku katakan, aku bukan orang penting. Aku orang kebanyakan sehingga namaku tidak akan pernah dikenal oleh siapapun. Aku anak-anak keluarga padesan. Aku mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku menetap di sebuah padepokan. Sebuah padepokan kecil di lereng Gunung Kelud. Muridku tidak lebih dari sembilan orang. Tetapi tidak semua muridku memenuhi harapanku. Ada diantara mereka yang bersikap baik. Tetapi ada pula yang sebaliknya. Tetapi aku sadar, bahwa hal seperti itu dapat saja terjadi. Mereka bukan benda-benda mati yang dapat aku bentuk menurut keinginan dan seleraku. Mereka adalah sosok yang hidup, berakal budi. Mereka dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan keluarga mereka, dipengaruhi oleh pergaulan mereka dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup mereka. Sehingga karena itu, wajarlah jika sembilan murid-muridku itu mempunyai sembilan sipat dan watak yang berbeda-beda."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Terakhir aku kehilangan delapan dari sembilan muridku. Seorang diantara mereka menyatakan kesetiaannya kepadaku. Ia ikut aku kemanapun aku pergi, karena akupun kemudian telah meninggalkan padepokan kecilku dan kembali mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku temukan rumah ini."
"Sudah lama Kiai tinggal di rumah ini?" bertanya Glagah Putih.
"Sudah lebih dari lima puluh tahun."
"Lima puluh tahun?"
"Ya. Tetapi saat itu aku belum memisahkan diri dari kehidupan. Aku masih berhubungan dengan kehidupan sesama meskipun aku tidak pernah berterus-terang bahwa aku tinggal disini. Tetapi hampir sepuluh tahun terakhir, hubunganku dengan sesama itu semakin menjadi jauh. Dan terakhir aku jarang sekali keluar dari tempat ini."
"Tetapi Kiai sudah menunggu lima puluh tahun."
"Jika aku katakan bahwa aku menunggu, bukan berarti aku tidak mencari. Tetapi aku memang tidak pernah bertemu dengan orang yang aku cari itu. Aku harus menunggu sampai hampir lima-puluh tahun. Barulah aku bertemu dengan orang yang aku cari."
"Siapakah yang sebenarnya Kiai tunggu itu" Kami berdua atau orang lain yang mempunyai beberapa persamaan dengan kami. Atau sikap dan sifat-sifat kami yang dapat Kiai tangkap pada saat Kiai mengamati kami berdua?"
"Ngger. Aku tahu bahwa bukan angger berdua saja yang memiliki sifat dan watak yang menarik perhatianku. Tetapi angger berdualah yang pertama-tama kami temui sekarang ini."
"Apakah yang telah kami lakukan" Berkelahi?"
"Ya berkelahi. Tetapi angger berdua berkelahi bukan dikendalikan oleh kebencian, dendam dan kedengkian. Angger berkelahi karena alasan yang sangat masuk akal. Bahkan pada akhirnya, nampak jelas, bahwa angger berkelahi bukan dikendalikan oleh nafsu berkelahi semata-mata."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-manggu. Keduanya saling berpandangan sejenak. Sementara itu Kiai Namaskara berkata selanjutnya, "Aku tertarik kepada sikap kalian di akhir perkelahian itu. Kalian brarkan anak-anak bengal itu pergi. Semula aku menduga, bahwa tentu akan jatuh korban dalam perkelahian yang jum-Jahnya tidak seimbang itu. Tetapi ternyata tidak. Kalian biarkan mereka pergi meskipun sebenarnya kalian dapat mencegahnya jika kalian mau. Menghukum mereka dan berbuat apa saja untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi yang kalian lakukan bukan itu."
"Tetapi aku sudah melukai beberapa orang diantara mereka, Kiai," sela Rara Wulan.
"Kau memang sedang marah ngger. Tetapi itu wajar sekali. Seperti orang lain, kaupun dapat menjadi marah karena kau dan suamimu sudah diganggu. Tetapi kemarahan itu tidak membakar kebencian dan dendam didadamu. Kau tumpahkan kemarahanmu. Sesudah itu, sudah. Jika saja ada diantara mereka yang kau bunuh, maka sikapkupun akan berbeda."
Rara Wulan mengerutkan dahinya.
"Kau bentak mereka dengan marah. Tetapi kemarahanmu bersih. Kau suruh mereka pergi tanpa berniat memuaskan kemarahanmu dengan mencelakai mereka meskipun itu dapat kau lakukan."
Tiga Setan Darah Cambuk Api 1 Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge Sembilan Pembawa Cincin 1
"Sudahlah Glagah Putih," cegah Ki Gede, "kami serahkan saja kepadanya, bagaimana ia mengartikan pernyataan kita. Tetapi kita tidak akan mencabut keputusan yang telah kita ambil. Biarlah ia membawa mayat kakang Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak pulang ke padepokannya. Biarlah ia mengatakan kepada Ki Saba Lintang, pernyataanku ini. Tetapi aku ingin menasehatkan, jangan mengatakan apa-apa kepada Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang tahu, bahwa putut Mawekas telah menyebut nama Saba Lintang dihadapan kita, maka ia tentu akan mengalami nasib buruk. Apalagi sepeninggal Ki Kapat Argajalu. Bagi Saba Lintang, para pengikut kakang Kapat Argajalu akan menjadi barang mainan yang tidak berharga."
"Ki Gede tidak akan dapat mengadu domba antara kami dengan Ki Saba Lintang."
"Sudah aku katakan, terserah kepadamu. Tetapi menurut pendapatku, Saba Lintang akan menjadi sangat marah jika ia tahu, bahwa kau telah mengaku berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang."
"Bukankah aku tidak mengatakan bahwa kami, terutama guru, berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang."
"Cukup Mawekas. Nampaknya kau masih harus belajar banyak tentang sifat dan watak seseorang. Sudahlah. Jika kau tidak dapat mengerti apa yang kami maksudkan, lupakan saja pernyataan kami tentang hubungan antara gurumu dan Ki Saba Lintang. Tetapi jangan menyesal jika pada suatu hari Saba Lintang datang untuk memporak-porandakan padepokanmu." Ki Gede berhenti sejenak. Namun ketika Putut Mawekas akan menjawab, Ki Gede berkata, "Tunggu. Jangan menyela. Yang aku katakan hanyalah satu peringatan bahwa hal seperti itu dapat terjadi."
Putut Mawekas menarik nafas panjang.
Beberapa saat kemudian, maka Putut Mawekas itupun meninggalkan pertemuan di banjar itu. Beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan dan prajurit dari Pasukan Khusus masih saja mengawalnya dengan ketat.
Malam itu Putut Mawekas telah mempersiapkan diri bersama beberapa orang cantrik atas ijin Ki Gede, untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya. Mereka akan membawa tubuh Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak yang terbunuh di peperangan kembali ke padepokan mereka. Satu perjalanan yang panjang. Sementara itu mereka tidak dapat berlama-lama berada di jalan, justru karena mereka membawa mayat gurunya.
Dalam ketegangan perasaan, malam itu Putut Mawekas serta beberapa orang cantrik yang telah mendapat ijin untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, bahkan hampir tidak dapat tidur. Mereka hanya sempat tidur sekejap-sekejap. Namun di dini hari mereka sudah mempersiapkan diri untuk berangkat meninggalkan Tanah Perdikan.
Swandaru dan Glagah Putih dan Prastawa sempat menunggui pada saat-saat mereka akan berangkat.
Agaknya jantung Putut Mawekas masih terasa pedih oleh sikap Glagah Putih dan Ki Gede Menoreh. Karena itu, wajahnya masih nampak gelap. Ketika ia minta diri mewakili kawan-kawannya, terasa pada getar suaranya, bahwa masih ada sesuatu yang tersangkut di dadanya.
"Selamat jalan," berkata Swandaru.
"Terima kasih," jawab Putut itu.
Sementara itu Glagah Putih masih saja berdiam diri.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan kecil telah berlalu meninggalkan padukuhan Jati Anyar. Bahkan selanjutnya meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengusung tiga sosok mayat. Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anak laki-lakinya. Soma dan Tumpak.
"Putut Mawekas tidak ikhlas terhadap sikap kita," desis Swandaru.
"Biar saja," jawab Glagah Putih, "kesempatan yang diberikan oleh Ki Gede sudah terlalu banyak baginya. Kecuali putut itu masih tetap dibiarkan hidup, iapun dapat meninggalkan Tanah Perdikan ini tanpa cidera. Jika dengan kebaikan hati Ki Gede, putut edan itu masih kurang, maka pada satu kesempatan aku justru akan membunuhnya."
Swandaru menarik nafas panjang. Katanya, "Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi. Biarlah putut itu pergi membawa ketiga sosok mayat itu serta membawa kesan dan sikapnya terhadap Tanah Perdikan ini. Jika ia akan kembali lagi ke mari, biarlah ia kembali."
"Agaknya putut itu akan kembali," sahut Glagah Putih, "ia akan menghubungi Ki Saba Lintang. Ki Saba Lintang akan menemui dan membujuk lagi beberapa perguruan untuk memusuhi Tanah Perdikan. Tetapi Ki Saba Lintang sendiri sudah tidak akan berani datang langsung ke Tanah Perdikan ini. Justru kelicikannya itulah yang sangat berbahaya. Ada saja akalnya untuk membujuk seseorang agar memusuhi Tanah Perdikan ini. Jika kali ini tiba-tiba uwa Kapat Argajalu datang dan bahkan kemudian menyerang Tanah Perdikan ini bukankah hal seperti ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya" Dengan hubungan keluarga yang masih ada diantara Ki Kapat Argajalu dengan Ki Argajaya dan Ki Gede, maka Ki Kapat Argajalu yang mungkin berdasarkan atas gagasan Ki Saba Lintang, maka Ki Kapat Argajalu mempunyai lubang, dimana ia harus mulai dengan rencananya yang ternyata kemudian tersusun rapi."
Glagah Putih yang masih marah itu bergumam, "Jika ia berani kembali dengan siapapun, maka ia akan aku singkirkan pertama kali."
"Jangan kau bebani perasaanmu dengan kebencian seperti itu," berkata Swandaru.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia sempat menilai sikap Swandaru. Nampaknya ketika Swandaru menjadi semakin tua, hatinya menjadi semakin mengendap, sehingga Swandaru itu dapat menasehatinya.
Justru karena nasehat itu diucapkan oleh Swandaru, maka kesannya justru berbeda. Nasehat itu seakan-akan telah menghujam jauh ke dalam lubuk hatinya.
"Ya," berkata Glagah Putih kepada diri sendiri, "kenapa aku harus menyiksa diri sendiri dengan perasaan benci yang tidak berkesudahan."
Dengan demikian, maka rasa-rasanya Glagah Putih itu telah meletakkan beban yang tersangkut di rongga dadanya.
Namun keduanya terkejut ketika seseorang telah memapah seseorang mendekati mereka.
"Siapa?" "Ki Demang Pudak Lawang."
"Ki Demang Pudak Lawang," ulang Glagah Putih sambil melangkah mendekat. Katika ia mengangkat wajah orang itu, dilihatnya wajah yang sangat pucat. Bibir yang kering dan bergetar.
"Kenapa orang itu?" tanya Prastawa.
"Ki Demang kami ketemukan dengan tidak sengaja di sebuah rumah. Tubuhnya terikat sehingga Ki Demang tidak dapat beringsut kemana-mana."
"Bawa ke banjar. Serahkan kepada tabib yang bertugas agar merawat Ki Demang Pudak Lawang. Usahakan agar keadaannya membaik. Kami memerlukan keterangannya."
Ki Demang Pudak Lawang yang lemah itupun segera dibawa ke pendapa banjar. Ternyata orang-orang yang berada di banjar juga berusaha untuk menyelamatkan jiwanya. Orang itu diperlukan keterangannya.
Dalam pada itu, sejak hari itu, Tanah Perdikan Menoreh mulai membenahi tatanan kehidupan, terutama di padukuhan Jati Anyar yang telah dijadikan ajang peperangan, serta di seluruh kademangan Pudak Lawang. Para pemimpin yang ada di Tanah Perdikan, mulai disebar di tempat-tempat yang memerlukan pembinaan setelah perang.
Sementara itu, para tawanan telah ditempatkan di sebuah barak tidak lauh dari barak para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Ki Lurah Agung Sedayu sebagai pemimpin prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan, telah mengambil alih para tawanan dari tugas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian diserahkan kepada para piajurit Mataram. Agung Sedayu pun segera menyusun laporan dan disampaikannya ke Mataram, tentang gejolak yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
"Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan telah aku libatnya langsung," berkata Agung Sedayu didalam laporan tertulisnya.
Dalam pada itu untuk sementara kademangan Jati Anyar dipegang langsung oleh Ki Gede Menoreh, Ki Gede sempat mengumpulkan para bebahu dan dengan terpaksa telah menahan mereka.
"Kita telah bekerja sama bertahun-tahun," berkata Ki Gede kepada mereka, "kecuali Ki Demang yang belum cukup lama menggantikan kedudukan ayahnya. Mungkin karena ia belum berpengalaman, atau justru karena nafsunya yang meronta-ronta didalam dadanya, Ki Demang telah terbujuk oleh Ki Kapat Argajalu."
Ki Demang yang masih lemah itu menjawab dengan suara yang bergetar, "Kami mohon ampun, Ki Gede."
"Untuk sementara kalian terpaksa kami tahan. Pengkhianatan kalian tidak dapat begitu saja kami lupakan. Kami akan minta petunjuk kepada Mataram, apa yang sebaiknya kami lakukan. Ternyata kalian tidak saja terbatas melawan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi kalian telah melawan kekuasaan Mataram. Kalian tahu, bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah melibatkan diri dibawah pimpinan langsung Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi kalian masih saja tetap melawan. Sehingga dengan demikian, maka berarti bahwa kalian telah melawan kekuasaan Mataram pula."
"Ki Kapat Argajalulah yang melakukannya. Aku tidak dapat berbuat banyak."
"Jangan membuat bermacam-macam alasan. Kau sudah tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kalian telah berkhianat."
"Ampun Ki Gede. Jangan sebut kami pengkhianat."
"Bukankah kau telah mengkaitkan pengkhianatan itu dengan hukuman mati?"
Ki Demang menundukkan kepalanya. Tubuhnya terasa menjadi semakin lemah, sehingga rasa-rasanya tulang-tulangnya telah tercerabut dari tubuhnya.
Tetapi Ki Demang memang tidak dapat ingkar akan perbuatannya, sehingga yang tersisa kemudian hanyalah penyelesan saja.
Ketika Ki Gede mulai membenahi kademangan Pudak Lawang, maka Ki Gede telah menunjuk seorang yang dianggap dapat dipercaya untuk memangku jabatan Demang di Pudak Lawang, Ki Gede sudah mengatakan kepadanya, bahwa kedudukan yang dipangkunya itu hanyalah untuk sementara. Namun sebelum ada seorang Demang yang ditetapkan, maka orang itu berkewajiban untuk melaksanakan tugas seorang Demang. Tetapi iapun menerima hak yang seharusnya diterima oleh seorang Demang. Tanah bengkok dan hak-hak yang lain.
Swandaru dan Pandan Wangi tidak segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja dilana prahara. Namun prahara di Tanah Perdikan itu telah memepringatkannya untuk mulai berpikir dengan sungguh-sungguh, apa yang seharusnya dilakukan jika pada saatnya harus ada pewarisan kekuasaan.
"Memang tidak terlalu tergesa-gesa Swandaru," berkata Ki Gede, "tetapi kita harus sudah mulai memikirkannya. Saba Lintang tentu masih akan menggelitik beberapa orang berilmu tinggi yang bodoh, sehingga dapat dijadikan alat bagi kepentingan Ki Saba Lintang."
Swandaru mengangguk-angguk. Saba Lintang tidak hanya menyusup lewat Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi juga lewat kademangan Sangkal Putung. Hampir saja hubungan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh retak justru karena Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat mendukung keingingan Swandaru yang telah disusupi racun lewat godaan yang sangat lembut. Swandaru hampir menjadi gila pada saat hatinya digelitik oleh keinginan untuk menjadi Sangkal Putung Tanah Perdikan.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ki Saba Lintang adalah seorang yang sangat cerdik dan licik. Ia mampu memperalat orang-orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.
"Pikirkan hal itu Swandaru," berkata Ki Gede Menoreh.
"Ya, ayah," jawab Swandaru, "aku akan memikirkannya. Nampaknya akan terdapat banyak persoalan."
"Ya. Selain itu, kaupun harus berhati-hati. Mungkin Saba Lintang akan merunduk Sangkal Putung. Baru kemudian ia berhasil mendapatkan tongkat baja putih yang sebuah lagi. Jika keduanya sudah menyatu, maka Kedung Jati rasa-rasanya akan bangkit lagi. Tetapi dengan sifat dan watak yang sudah berbeda. Sehingga kebangkitannya itu justru akan lebih banyak menimbulkan bencana bagi umat manusia, terutama di lingkungan kekuasaan Mataram. Karena Mataram tidak akan membiarkan perguruan Keduang Jati itu bangkit lagi."
"Ya, ayah. Saba Lintang memang sangat licik. Tetapi pengecut, sehingga jarang sekali nampak di medan pertempuran."
Berbagai pesan telah diberikan kepada Swandaru dan Pandan Wangi, apa yang sebaiknya dilakukannya Antara lain, Ki Gede berkata, "Kau juga harus memperkuat pertahananmu, Swandaru. Anak-anak muda di seluruh padukuhan harus sudah siap digerakkan."
"Ya, ayah." "Dalam keadaan putus asa mungkin saja Saba Lintang mengerahkan segenap kekuatannya untuk menyerang Sangkal Putung."
"Ya, ayah." "Nah, sekarang pergilah untuk beristirahat. Besok kita akan melanjutkannya."
Keadaan kademangan Pudak Lawang memang sudah menjadi sedikit parah. Racun yang ditebarkan oleh Ki Kapat Argajalu nampaknya masih saja mencengkam sekelompok anak-anak mudanya. Mereka masih saja bersikap bermusuhan dengan para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah bahwa para anak-anak muda Pudak Lawang masih berada dibawah pengaruh mimpi buruk mereka.
Setelah beberapa hari Swandaru dan Pandan Wangi berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka merekapun telah minta diri. Mereka tidak dapat meninggalkan Sangkal Putung terlalu lama. Ki Demang Sangkal Putung sudah menjadi semakin tua. Meskipun usianya tidak terpaut banyak dari Ki Gede, tetapi rasa-rasanya Ki Demang Sangkal Putung sudah jauh lebih tua.
"Baiklah ngger. Tetapi ingat-ingatlah pesanku. Saba Lintang akan dapat menjadi seakan-akan titisan Tohpati yang memiliki tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati setelah Ki Patih Mantahun. Tohpati telah gagal menguasai ki mangan Sangkal Putung, karena waktu itu di Sangkal Putung ad Widura dan kemudian Ki Untara."
"Ya, ayah." Swandaru mengangguk-angguk.
"Ki Untara itu sekarang masih berada di Jati Anom. Demikian pula Ki Widura. Jika titisan Tohpati itu bangkit lagi unjuk menerkam Sangkal Putung, maka jangan segan-segan berbicara dengan orang-orang yang pernah mengalahkan Tohpati itu."
"Ya, ayah. Termasuk kakang Agung Sedayu."
"Bukankah waktu itu Agung Sedayu baru saja bangkit?"
"Ya, ayah." "Nah, biarlah malam nanti kita mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang sudah ikut menyelamatkan Tanah Perdikan ini. Kau dapat minta diri dan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada mereka."
"Ya. Ayah. " Sebenarnya malam itu di rumah Ki Gede telah diselenggarakan sebuah pertemuan yang khusus. Yang diundang adalah orang-orang berilmu tinggi yang ikut serta mempertahankan Jati Anyar. Selain Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih serta isteri-isteri mereka, juga diundang Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Juga diundang para Demang, para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan dari padukuhan-padukuhan yang ada di Tanah Perdikan.
Pada kesempatan itu, Ki Gede mengucapkan terima kasih kepada mereka atas kesediaan mereka berjuang mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan dalam pertemuan itu pula, Prastawa telah minta maaf kepada seluruh rakyat di Tanah Perdikan, bahwa kesetiaannya pernah diguncang oleh Ki Kapat Argajalu.
"Hatiku memang rapuh," berkata Prastawa, "aku mohon maaf kepada seluruh rakyat Tanah Perdikan ini. Untunglah bahwa akhirnya Yang Maha Agung telah menyelamatkan jiwaku dari pengkhianatan yang memalukan."
Dimalam itu pula, Swandaru telah minta diri kepada rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Seperti Ki Gede maka iapun mengucapkan terima kasih atas kesetiaan rakyat terhadap Tanah Perdikannya.
"Kesetiaan kalian, kalian tujukan kepada Tanah ini. Tidak kepada seseorang, satu keluarga atu sekelompok orang. Itulah kebanggan rakyat Tanah Perdikan menoreh. Tetapi kesetiaan itu juga dituntut pula terhadap para pemimpinnya.
Pertemuan itu berlangsung sampai jauh malam. Mewakili rakyat Tanah Perdikan, seorang Demang telah mengucapkan selamat jalan kepada Swandaru dan Pandan Wangi yang esok pagi akan meninggalkan Tanah Perdikan kembali ke Sangkal Putung.
Namun Demang itupun berkata, "Ki Swandaru. Aku mohon peristiwa ini menjadi sebuah peringatan bagi Ki Swandaru. Bahwa ada celah-celah yang perlu segera diisi agar di kemudian hari tidak dapat dipergunakan oleh seseorang untuk mencari persoalan di Tanah Perdikan ini. Mungkin saja ada orang lain yang asal saja ingin membuat kekisruhan di Tanah Perdikan ini. Tetapi mungkin pula ada sekelompok orang yang merasa mendapat peluang untuk mencari keuntungan dalam kericuhan-kericuhan di Tanah ini. Bahkan orang-orang jahat dan kelanjutan dari usaha Ki Saba Lintang yang akan dapat bekerja sama."
Swandaru mengangguk-angguk. Ditanggapinya pernyataan itu dengan ucapan terima kasih. Apa yang dikatakan Ki Demang itu, sejalan dengan pesan-pesan yang telah diberikan oleh Ki Gede sendiri.
Ketika terdengar suara kentongan dalam irama dara muluk diwayah tengah malam, maka pertemuan itupun telah ditutup oleh Ki Gede.
Dikeesokan harinya, ketika fajar menyingsing, Swandaru dan Pandan Wangi telah siap meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Pandan Wangi dengan pedang rangkap di kedua lambungnya, sedangkan Swandaru telah melilitkan cambuknya dibawah bajunya.
Beberapa orang telah berkumpul di halaman rumah Ki Gede , Agung Sedayu dan Sekar Mirah , Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Juyaraga, Empu Wisanata, Nyi Dwani dan beberapa orang yang lain. Ki Argajaya dan Prastawa yang sudah berada di halaman itu.
"Sudahlah," berkata Pandan Wangi, "setiap orang pernah melakukan kekhilafan. Kau boleh saja menyesali Prastawa. Tetapi jangan menghambat langkah-langkahmu selanjutnya. Tentu saja pengalaman yang membuatmu menyesal itu jangan terulang lagi."
"Ya, mbokayu. Aku mengerti. Aku berjanji untuk tidak melakukannya lagi di masa depan."
Pandan Wangi menepuk bahu adik sepupunya sambil tersenyum. Katanya, "Jika ada waktu luang, datanglah ke Sangkal Putung, Prastawa. Kau tentu juga memerlukan waktu untuk beristirahat."
"Terima kasih mbokayu. Pada suatu hari aku akan sampai ke Sangkal Putung."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Swandaru dan Pandan Wangi itupun telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah melarikan kuda mereka di bulak persawahan menuju ke tempat penyeberangan.
Pandan Wangi yang jarang-jarang berada di Tanah Perdikan Menoreh sejak ia berada di Sangkal Putung, sempat memperhatikan tanaman yang subur, yang membentang dari cakrawala sampai ke cakrawala.
Sebagaimana kademangan Sangkal Putung, maka Tanah Perdikan Menoreh menghasilkan beras yang cukup bagi rakyatnya. Selain beras masih ada penghasilan-penghasilan lain yang bukan saja memenuhi kebutuhan, tetapi juga dapat ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan selain pangan.
Kecuali hasil buminya, di Tanah Perdikan Menoreh juga terdapat berbagai macam kerajinan tangan yang menunjang kesejahteraan hidup.
"Nampaknya kesuburan tanahnya serta kemampuan mereka menghasilkan barang-barang kerajinan, telah membuat Ki Kapat Argajalu bermnimpi untuk menguasai Tanah Perdikan ini," berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Sementara itu perjalanan merekapun menjadi semakin dekat dengan tempat penyeberangan di Kali Praga.
Sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, tanah Perdikan Menoreh masih saja sibuk berbenah diri. Glagah Putih dan Prastawa menjadi sangat sibuk. Perlahan-lahan mereka berusaha mendekatkan kembali Pudak Lawang dengan kademangan-kademangan lain di Tanah Perdikan Menoreh.
Satu usaha yang sulit. Tetapi harus dilakukan bagi keutuhan Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih dan Prastawa, bahkan Ki Gede sendiri telah mengingatkan kepada rakyat kademangan Pudak Lawang dan kademangan-kademangan lain, agar mereka tidak saling mendendam,
"Lupakan apa yang sudah terjadi demi masa depan tanah ini. Jika kita masih saling mendendam, maka luka di tabuh Tanah Perdikan ini tidak akan segera sembuh, yang koyak tidak akan segera bertaut."
Usaha itu memerlukan kesabaran yang tinggi. Sementara itu, pemangku jabatan Demang di Pudak Lawang telah bekerja keras untuk memberikan sesuluh kepada rakyatnya.
"Kita harus mengakui, bahwa sumber pertaka yang melanda Tanah Perdikan itu adalah kademangan kita. Tetapi bukan atas kehendak kita. Bukan gagasan murni orang-orang Pudak Lawang. Ki Demang telah terpengaruh oleh orang-orang asing itu, meskipun mereka saudara sepupu Ki Gede. Namun ternyata mereka telah menyebarkan racun di antara kita. Harapan-harapan yang melambung tinggi sampai ke awan. Bahkan Prastawa, putera Ki Argajayapun hampir saja terseret ke dalam arus yang menentang lulanan dan paugeran yang berlaku di Tanah Perdikan ini."
Rakyat Pudak Lawang sebagian terbesar dapat mengerti sehingga merekapun mengakui sebagaimana dikatakan oleh pemangku Demang Pudak Lawang itu.
Tetapi masih ada juga diantara mereka yang keras kepala. Yang merasa bahwa apa yang telah mereka lakukan itu benar.
Dengan demikian, maka sikap rakyat Pudak Lawang sendiri masih terbelah.
Ki Gede dan pemangku jabatan Demang di Pudak Lawang menyadari, bahwa segala sesuatunya tidak akan dapat diselesaikan dengan serta merta. Tetapi harus dengan perlahan-lahan penuh kesabaran.
Ki Lurah Agung Sedayupun sudah dipanggil ke Mataram atas dasar laporan yang telah disampaikannya, Ki Lurah Agung Sedayu harus memberikan beberapa keterangan dan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambilnya dengan melibatkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, sehingga ada beberapa orang telah gugur karenanya.
Tetapi penjelasan Ki Lurah Agung Sedayu dapat diterima, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu tidak dianggap bersalah dengan tindakannya itu.
Sementara itu, ketika keadaan sudah hampir menjadi pulih kembali, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah sembuh sama sekali dari luka-luka dalamnya, teringat akan tugas yang sebenarnya masih harus diembannya. Mendapatkan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.
Satu tugas yang sangat, berat. Namun Glagah Putih tidak diberi batasan waktu serta keharusan berhasil. Bahkan jika perlu, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat mint abantuan prajurit Mataram dan Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan atau dimanapun juga.
Untuk melengkapi pertanda akan tugas yang diembannya, agar tidak timbul salah paham, maka lewat Ki Patih Mandaraka dan kemudian Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih telah mendapat sebuah lempeng tembaga yang dapat dikenakan di ikat pinggangnya yang memuat huruf-huruf yang menyatakan akan hak dan kewajibannya ditengarai oleh lambang kerajaan Mataram yang berbentuk Mahkota serta sayap-sayap burung garuda yang mengembang.
Ketika niatnya untuk melanjutkan tugasnya itu dikemukannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurahpun bertanya, "Darimana kau akan mulai, Glagah Putih."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Dengan nada berat Glagah Putihpun berkata, "Aku belum memikirkan lebih dalam Kakang. Tetapi bagaimana jika aku pergi ke Barat dan mengamati padepokan yang ditinggalkan oleh Ki Kapat Argajalu."
"Kau sudah dikenal oleh para pengikut Ki Kapat Argajalu yang dibebaskan itu, Glagah Putih."
"Aku akan menemui mereka dan berbicara berterus terang. Jika mereka orang-orang yang mempunyai jantung, mereka akan mengerti, bahwa mereka telah dijerumuskan oleh Ki Saba Lintang. Mereka akan dapat memperbandingkan sifat dan watak Ki Saba Lintang dengan Ki Gede disini.
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Jika kau tempuh jalan itu, maka akan sangat berbahaya bagimu, Glagah Putih. Aku tidak yakin jika orang-orang yang telah dibebaskan itu berterima kasih kepada Ki Gede. Tetapi justru dapat sebaliknya. Mereka mendendam karena Ki Gede dan para pengikutnya telah membunuh Ki Kapat Argajalu yang mereka anggap sebagai seorang yang tidak ada duanya di dunia ini bahkan kedua anaknya telah terbunuh pula disini."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun berkata, "Tetapi itu adalah satu-satunya jalan yang nampak sekarang kakang. Meskipun samar-samar, tetapi agaknya akan lebih baik daripada aku harus meloncat ke sebuah lubang yang gelap pekat.
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Seandainya niatmu itu benar-benar kau lakukan, kapan kau akan berangkat, Glagah Putih?"
"Aku memerlukan persiapan, kakang. Kau juga harus meyakinkan apakah Rara Wulan benar-benar telah pulih seutuhnya, lugu kemampuan serta aji pamungkasnya. Jika ia sudah pulih, maka iiku tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk melakukan persiapan-persiapan kakang.
"Baiklah Glagah Putih. Kau sudah dewasa penuh. Bahkan knu sudah berkeluarga. Karena itu, sebaiknya segala sesuatunya kau bicarakan dengan isterimu. Kau bicarakan dengan sungguh-sungguh. Kau pelajari untung dan ruginya pada setiap langkah yang kau rencanakan. Kau tidak lagi sekedar menuruti keinginan saja seperti anak-anak muda. Tetapi kau harus mengambil keputusan dengan mempertimbangkan baik dan buruk. Mandiri serta bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada dirimu sendiri, kepada lingkunganmu dan terlebih-lebih lagi, kepada Yang Maha Agung. Demikian pula isterimu. Dalam langkah bersama, maka kalian akan mempertanggungjawabkan bersama pula."
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Ya Kakang."
"Nah, sebelum kau mengambil keputusan untuk benar-benar berangkat ke Barat, kau mempunyai waktu untuk memikirkannya dan membicarakannya dengan isterimu."
"Ya, kakang." "Tetapi aku ingin memperingatkan kau Glagah Putih. Jangan kau biarkan dirimu untuk tetap bertualang sampai hari tuamu. Kau tahu, bahwa aku tidak mempunyai keturunan. Mungkin aku dapat berbangga dengan sedikit ilmu yang aku miliki. Tetapi tidak ada orang yang akan dapat menyambung sejarah hidupku. Sejarah keluargaku. Untung kakang Untara mempunyai seorang anak laki-laki yang dapat menyambung kelanjutan nama keluargaku. Jika tidak, maka aliran darah keluargaku akan terputus sampai disini."
Demikian pula mbokayumu Sekar Mirah. Untung pulalah bahwa kakak laki-lakinya mempunyai keturunan pula. Aku berdoa, agar cucu kakang Untara dan cucu adi Swanaru kelak tidak hanya satu orang saja. Tetapi lebih dari itu. Setidaknya dua orang sebagaimana aku dan kakang Untara. Tetapi dari yang dua itu, hendaknya akan dapat berkembang lebih banyak lagi.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu, dalam saat saar senja memasuki malam, selagi Ki Lurah Agung Sedayu duduk di amben yang agak besar di ruang dalam menjelang makan malam, terpancar pada keduanya kesepian yang mencengkam. Pada saat-saat yang demikian, akan menjadi semarak, jika ada anak-anak yang ikut duduk diantara mereka.
Anak-anak yang menjadi semakin besar dan sudah mulai belajar berbagai macam ilmu.
Tetapi anak-anak itu tidak pernah ada di pangkuan mereka. Mereka tidak pernah menggendong seorang bayi yang sedang menangis sambil mendendangkan lagu-lagu pujian atau lagu-lagu belaian agar mereka tertidur nyenyak dengan mimpi indah.
Glagah Putih juga pernah melihat dengan tidak sengaja, Sekar Mirah mengusap matanya yang basah ketika ia melihat seorang anak laki-laki yang berlari-lari dijalan di depan rumahnya mengejar kakaknya yang lebih besar, yang sengaja mengganggu adiknya. Ketika Sekar Mirah mendengar anak mengganggu adiknya. Ketika Sekar Mirah mendengar anak itu berteriak memanggil kakanya sambil m enangis, maka Sekar Mirahlah yang berlari kepadanya. Digendongnya anak itu sambil dibelainya dengan kasih sayang. Sekar Mirah tidak mengusap air mata anak itu, tetapi ia justru mengusap air matanya sendiri.
Glagah Putih terbangun dari angan-angannya ketika Ki Lurah Agung Sedayu bertanya. "Kau tahu maksudku, Glagah Putih?"
"Aku tahu kakang."
"Paman Widura tentu juga menginginkan seorang cucu. Sutu-satunya harapan yang dapat memberinya seorang cucu adalah, kau Glagah Putih."
Glagah Putih menundukkan wajahnya. Dengan nada berat iapun berkata, "Ya, kakang. Aku mengerti. Tetapi aku berharap bahwa sebelumnya aku ingin memberikan arti dari hidup kami berdua bagi Mataram."
"Jika kau tidak mendapatkan tongkat baja putih itu" "
Glagah Putih, terdiam. "Glagah Putih. Yang mendapat tugas untuk menemukan tongkat baja putih itu tentu dapat berganti orang. Para pemimpin Mataram menyadari, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat dan sulit. Karena itu mereka tidak dengan semena-mena memerintahkan kepada seseorang bahwa orang itu harus dapat membawa tongkat baja putih dan menyerahkannya ke Mataram. Para pemimpin Mataram masih berpijak kepada kenyataan akan keterbatasan seseorang. Karena itu, maka yang diperintahkan oleh Mataram adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat membawa tongkat itu ke Mataram. Tetapi jika usaha itu harus gagal karena berbagai macam kendala, maka Mataram tidak akan menyalahkannya."
"Ya kakang. Mataram memang tidak memerintahkan aku untuk pergi, mencari tongkat baja putih itu dengan ancaman bahwa aku tidak boleh pulang sebelum aku berhasil."
"Karena itu, maka kau harus mempunyai batasan waktu bagi dirimu sendiri. Maksudku, pada lewat batasan waktu itu kau tidak dapat membawa tongkat baja putih itu ke Mataram, maka kau dapat mengembalikan tugasmu itu. Para pemimpin di Mataram tentu dapat mengerti. Bahkan orang-orang yang memiliki nama besar di Matarampun mungkin tidak akan dapat melakukannya."
"Aku akan memikirkannya kelak kakang."
"Baiklah, Glagah Putih. Tetapi jangan kau sia-siakan tugasmu secara pribadi. Jangan kau biarkan kerinduan paman Widura membantu di dadanya."
"Aku mengerti, kakang."
"Nah. Aku ingin menasehatkan kepadamu. Kemanapun kau akan mencari tongkat baja putih itu, sebaiknya kau menemui ayahmu dan minta diri."
"Aku pernah datang minta diri kepada ayah, kakang."
"Tetapi ada baiknya kau ulang. Agaknya kau juga sudah lama tidak menemui ayahmu dan kakak sepupumu, kakang Untara. Akan lebih baik jika kau sempat singgah di rumah adi Swandaru barang sehari. Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh?"
"Ya. Kakang. Biarlah nanti aku membicarakannya dengan Rara Wulan."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat mencegah niat Glagah Putih dan Rara Wulan untuk memburu tongkat baja putih itu. Selain menjalankan tugas yang memang dibebankan kepada mereka, keduanya memang menginginkan sebuah pengembaraan selain mereka masih terhitung muda.
Nampaknya mereka ingin mendapatkan pengalaman dalam sebuah petualangan, meskipun kadang-kadang mereka harus menghadapi bahaya yang sangat berat.
Malam itu Glagah Putih telah membicarakan segala sesuatunya dengan Rara Wulan. Bahkan keduanya sempat berada di banjar untuk mengamati, apakah Rara Wulan benar-benar telah pulang kembali setelah ia terluka pada saat Rara Wulan membenturkan ilmunya melawan pamungkas Tumpak.
Namun baik Rara Wulan, maupun Glagah Putih telah meyakini bahwa segala sesuatunya telah pulih kembali. Kekuatan ilmu Rara Wulanpun telah putih seperti sedia-kala. Kemampuan dan ketrampi-lannya, tenaga dalamnya dan segala-galanya telah menjadi pulih kembali.
"Kita dapat berangkat kapan saja, kakang," berkata Rara Wulan.
"Kakang Agung Sedayu menganjurkan agar kita minta diri kepada ayah di padepokan orang Bercambuk."
"Bukankah kita berniat berjalan ke Barat?"
"Aku Sudah mengatakannya kepada kakang Agung Sedayu. Tetapi kakang Agung Sedayu tetap minta agar kita menyempatkan diri untuk menemui ayah, kakang Untara dan jika mungkin kakang Swandaru."
Rara Wulan mengangguk kecil.
"Rara Wulan," berkata Glagah Putih kemudian, "kakang Agung Sedayu menyinggung akan kerinduan ayah Widura terhadap seorang cucu."
"Cucu?" sahut Rara Wulan dengan nada tinggi.
"Ya." "Apa maksud kakang Agung Sedayu?"
"Kita harus dapat memaklumi. Kakang Agung Sedayu sendiri tidak mempunyai seorang anak. Mbokayu Sekar Mirah sangat merindukan dapat menimang seorang bayi ditangannya. Tetapi sia-sia. Meskipun Kakang Agung Sedayu tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi kakang Agung Sedayu sudah mengingatkan agar pada satu saat kita dapat hidup wajar bersama dengan anak-anak kita."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia memang belum memikirkan keberadaan seorang anak diantara mereka. Tetapi yang dikatakan oleh Agung Sedayu lewat suaminya itu memang menyentuh perasaannya.
"Rara Wulan," berkata Glagah Putih kemudian, "aku sudah mengatakan kepada kakang Agung Sedayu, bahwa setelah kita menjalani tugas yang satu ini, berhasil atau tidak berhasil, aku akan memikirkan pendapatnya itu. Hidup wajar disebuah rumah kecil dengan beberapa orang anak. Kita akan bekerja disawah sebagai petani yang harus rajin agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari."
Rara Wulan mengangguk kecil. Wajahnya kemudian tertunduk. Nampaknya ia sedang merenungi kata-kata suaminya, bahwa akhirnya mereka memang harus menempatkan diri dalam satu keluarga yang dapat hidup tenteram dan serasi. Meskipun di setiap keluarga akan selalu terdengar tawa dan tangis, namun dengan penuh pengertian dari setiap anggauta keluarga, maka bangunan keluarga yang dilandasi dengan kasih itu akan dapat berdiri dengan kokoh.
Ketika Rara Wulan kemudian menarik nafas panjang, Glagah Putihpun berkata, "Rara Wulan. Kita akan bersiap-siap. Tetapi kita akan memenuhi pendapat kakang Agung Sedayu, bahwa kita akan pergi ke Jati Anom untuk minta diri kepada ayah dan kepada kakang Untara serta singgah sebentar di Sangkal Putung."
"Baik, kakang."
"Dalam tiga atau empat hari mendatang, kita akan berangkat untuk waktu yang tidak dapat ditentukan."
"Ya, kakang." Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mempersiapkan dirinya. Sekar Mirah berpendapat bahwa sebaiknya Rara Wulan juga membawa senjata kewadagan. Agar tidak semata-mata dengan menggantungkan pedang di lambungnya, maka Sekar Mirah telah mengusulkan agar Rara Wulan mempelajari sifat dan watak sehelai selendang. Apakah Rara Wulan mampu mempergunakan sehelai selendang untuk dijadikan sebuah senjata kewadagan. Namun kemudian permainan selendangnya akan berkait dengan ilmu tenaga dalamnya. Ketrampilan tangannya dan kecepatan geraknya.
"Kau dapat mencobanya," berkata Glagah Putih, "kau sudah mempunyai dasar ilmu yang memadai."
"Sebagai murid utama Orang Bercambuk, kakang tentu juga memiliki ilmu itu dengan mapan."
"Ya." "Kita akan mencobanya, apakah ilmu cambuk kakang itu akan berarti untuk mempermainkan sehelai selendang."
Hampir sehari penuh, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di dalam sanggarnya. Bahkan di malam harinya Agung Sedayu dan Sekar Mirah ikut berada didalam sanggar itu pula.
Sedikit lewat tengah malam, Rara Wulan dan Glagah Putih menghentikan pencaharian mereka. Namun Rara Wulan telah menemukan landasan unsur-unsur gerak untuk mempergunakan sehelai selendang sebagai senjata ditopang oleh ilmu tenaga dalamnya yang tinggi.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah menempatkan dirinya sebagai salah satu murid utama Perguruan Orang Bercambuk. Sehingga karena itu, maka dihari berikutnya, Glagah Putihpun telah menjelajahi pula ilmunya itu di sanggar bersama Ki Lurah Agung Sedayu.
Tetapi Glagah Putih tidak memerlukan sehelai cambuk. Dengan pengalamannya yang luas serta kecerdasannya, maka Glagah Putih telah mampu meluluhkan, ilmu cambuknya dengan berbagai macam ilmu yang pernah dipelajarinya. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih dapat mempergunakan berbagai macam ilmu yang telah luluh itu untuk menompang kemampuannya mempergunakan senjata khususnya, ikat pinggangnya.
Karena itulah, ketika kedua orang suami isteri itu siap untuk meninggalkan Tanah Perdikan , maka.keduanya tidak nampak membawa senjata apapun. Tetapi Rara Wulan telah menyangkutkan selendang lurik berwarna ungu di bahunya, sedangkan Glagah Putih mengenakan ikat pinggangnya yang khusus pula, dengan timang yang telah dilekati lempengan tembaga pertanda wewenang dan kewajibannya.
Menjelang keberangkatannya, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghadap Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya untuk minta diri. Ditemuinya pula Prastawa yang masih sibuk memperbaiki berbagai macam tatanan yang ditumbangkan oleh Ki Demang Pudak Lawang, Glagah Putih dan Rara Wulan juga minta diri kepada linpu Wisanata dan Nyi Dwani yang agaknya merasa lebih tenteram menetap di Tanah Perdikan Menoreh daripada bertualang bersama Ki Saba Lintang.
Di malam hari, menjelang kepergiannya esok pagi, Ki Jayaraga masih juga memberikan berbagai macam pesan. Ki Jayaraga yang lelah menjadikan Glagah Putih sebagai muridnya berharap bahwa Glagah Putih pada satu hari kembali dengan selamat di Tanah Perdikan Menoreh.
"Ngger," berkata Ki Jayaraga, "jangan pergi terlalu lama. Aku sudah tua. Aku tidak tahu, umurku masih ada berapa tahun lagi. Aku berharap bahwa aku masih dapat melihat kau pulang."
"Kami tidak akan terlalu lama guru," jawab Glagah Putih, "seandainya tugas kami harus kami jalani sampai berbilang tahun, maka setiap kali kami akan pulang meskipun hanya sebentar."
"Bagus. Aku memang berharap kau setiap kali singgah di Tanah Perdikan ini. Jangan sampai sepuluh tahun atau lebih tanpa pulang sama sekali, sehingga kadang-kadang segala hubungan telah terputus."
"Ya, guru. Kakang Agung Sedayupun telah berpesan, agar aku membatasi diri dengan petualanganku. Kakang Agung Sedayu berharap aku dapat hidup wajar sebagaimana kebanyakan keluarga. Tinggal di sebuah rumah. Membangun rumah tangga yang baik bersama anak-anak."
"Aku sangat sependapat, Glagah Putih. Kalian memang bukan dilahirkan untuk menjadi petualang. Karena itu, ingat-ingatlah pesan kakakmu yang juga gurumu itu."
"Ya guru." Pagi itu, ketika langit cerah dan berwarna kemerah-merahan oleh cahaya fajar, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah siap untuk berangkat. Di halaman Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Sukra melepas mereka sampai ke regol halaman. Keduanya akan menempuh perjalanan yang panjang. Namun mula-mula mereka akan pergi ke Jati Anom dan Sangkal Putung.
Di Regol Sukra masih juga bertanya, "Kapan kau akan pulang ke rumah ini?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku tidak dapat mengatakannya Sukra. Tetapi jangan cemas. Berlatih terus. Aku sudah berpesan kepada kakang Agung Sedayu, bahwa setiap kali kau akan minta bantuannya."
Sukra menarik nafas panjang. Ia sudah menjadi remaja yang mendekati dewasa, sehingga ia sudah mulai berpikir lebih panjang dari pikiran anak-anak.
Sambil mengangguk Sukrapun berkata, "Terima kasih. Aku akan mencoba menanyakan kepada Ki Lurah."
"Tanyakan kepadanya kapan saja kau perlu."
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah dilepas. Sekar Mirah sempat memeluknya dan mencium keningnya, "Hati-hati di jalan Rara."
"Ya, mbokayu." Setelah mencium tangan Agung Sedayu, maka Rara Wulan itupun melangkah surut.
Sejenak kemudian bersama suaminya Rara Wulan itu berjalan semakin lama semakin jauh.
Ada titik airi di mata Sekar Mirah. Namun Ki Lurah Agung Sedayupun berkata, "mereka masih muda. Mereka ingin melihat dunia ini lebih banyak lagi. Pada saatnya mereka akan menjadi lebih tenang dan tinggal di sebuah rumah yang akan menjadi sarang keluarga mereka."
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi tidak ada sepatah katapun yang meluncur dari bibirnya.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh. Mereka sengaja tidak naik kuda. Ada beberapa pertimbangan sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Sudah berpuluh kali mereka menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh ke Jati Anom. Berjalan kaki maupun naik kuda. Karena itu, maka rasa-rasanya apa yang mereka lakukan itu adalah kerja yang sudah terbiasa.
Glagah Putih dan Rara Wulan memilih lewat jalan penyeberangan di sisi utara. Mereka memang berniat untuk pergi ke Jati Anom lanpa melewati Mataram. Mereka akan menelusuri jalan-jalan sempit di kaki Gunung Merapi.
Glagah Putih dan Rara Wulan merasa berjalan tanpa diburu oleh waktu. Karena itu, maka mereka tidak merasa tergesa-gesa.
Ketika mereka sampai di tepian, mereka sengaja memberi tempat lebih dahulu kepada keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, seorang nenek tua dan enam orang anak. Yang terbesar berumur sekitar sepuluh tahun dengan lima orang adiknya.
"Bagaimana dengan angger berdua?" bertanya ayah dari enam orang anak itu.
"Aku dapat ikut rakit yang kemudian," jawab Glagah Putih, "jika aku ikut dalam rakit itu, nanti ada diantara kalian yang harus tinggal di tepian sebelah Barat Kali Praga ini."
"Tetapi angger berdua datang lebih dahulu."
"Tidak apa-apa. Kami tidak tergesa-gesa," jawab Glagah Putih.
"Terima kasih ngger. Kami akan menyeberang lebih dahulu."
Beberapa saat kemudian, maka rakitpun mulai bergerak.
Sementara itu, beberapa orang anak muda berdatangan turun dari tebing yang landai di tepian. Seorang diantara mereka berkata, "Kalau kita lebih cepat sedikit, kita dapat memakai rakit itu."
"Kita pakai yang datang dari sebelah Timur itu."
"Ya," sahut kawannya. Lalu iapun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "He, kau berikan kesempatanmu kepada orang yang menyeberang bersama cindil abangnya itu. Nanti kaupun harus memberi tempat kepada kami jika rakit yang menepi dari arah Timur itu berhenti."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putihpun berkata, "Silahkan Ki Sanak. Aku tidak tergesa-gesa."
"Bagus." Namun kawannya yang bertubuh tinggi, tegap seperti raksasa berkata, "Tetapi biarlah perempuan itu naik rakit bersama kami."
"Perempuan itu isteriku, Ki Sanak. Ia akan naik rakit bersamaku."
"Bukankah bisa saja ia naik rakit bersama kami" Nanti biarlah ia menunggumu di tepian seberang."
"Itu tidak perlu."
"Mungkin kau menganggap tidak perlu. Tetapi aku berpendapat sebaiknya isterimu naik rakit bersama kami."
Seorang kawannya yang lain tiba-tiba saja menyahut, "Ya. Biarlah ia naik rakit bersama kami."
"Bukankah itu tidak wajar, Ki Sanak. Perempuan itu berpergian bersama suaminya. Kenapa ia harus naik rakit bersama orang lain" Sementara suaminya juga akan menyerbang dengan rakit."
"Jangan banyak omong. He, marilah duduk. Ikut aku."
Jilid 357 GLAGAH PUTIH menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa seperti itu masih juga terulang. Masih saja ada persoalan-persoalan kecil yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Tetapi agaknya anak-anak muda itu sulit untuk diajak berbicara.
"Nah, rakit itu sudah semakin menepi. Marilah nduk. Jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu. Bahkan kau akan mendapatkan apa yang belum pernah diberikan oleh suamimu."
Jantung Rara Wulan terasa bergejolak. Ketika ia berhadapan dengan Soma dan Tumpak, darahnya serasa mendidih. Bahkan ia telah bertempur dengan Tumpak dan ia tidak dapat menghindari dari pembunuhan yang dilakukannya pada saat ia membentur ilmu lawannya dengan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Tetapi anak-anak ini berbeda. Mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Mereka tidak menyadari, bahwa tingkah lakunya itu akan dapat berakibat buruk.
Menghadapi anak-anak muda itu, akhirnya Rara Wulan berkata -Anak-anak. Jangan bermain api. Kalian tentu tahu, bahwa tangan kalian akan dapat hangus. Sebagaimana jika kalian bermain air, maka pakaian kalian akan dapat menjadi basah.
"He. Perempuan itu memanggil kita anak-anak," orang yang bertubuh raksasa itu berteriak."
"Ya. Kalian masih terlalu kanak-kanak untuk mengetahui apa yang sebenarnya kalian hadapi sekarang ini," Glagah Putihlah yang menyahut, "karena itu, urungkan niatmu. Jangan mencelakai diri sendiri."
"He, bocah edan. Apa maksudmu he" Menggertak kami, atau sengaja mempermainkan kami" Jika kau masih menyebut kami anak-anak, aku akan menyumbat mulutmu dengan pasir."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu rakit yang ditunggu itu sudah menepi.
"Nah, Ki Sanak. Rakit itu sudah menepi. Jika kalian ingin mempergunakannya lebih dahulu pergunakan. Kami akan menyeberang dengan rakit berikutnya, karena nampaknya rakit itu tidak akan dapat memuat kita semuanya sekaligus."
"Sudah aku katakan, kau tinggal disini. Perempuan itu akan ikut bersama kami."
Glagah Putih memang tidak sesabar Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, "Pergilah kalian semuanya atau kami akan mengusir kalian seperti mengusir sekumpulan kucing hutan."
Wajah anak-anak muda itu menjadi merah. Seorang yang bertubuh raksasa itupun segera melangkah maju. Diraihnya baju Glagah Putih. Sambil mengguncakan iapun berkata, "Ulangi perkataanmu. Aku benar-benar akan menyumbat mulutmu dengan pasir."
Namun tidak seorangpun tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba saja anak itu muda yang bertubuh raksasa itu melangkah surut setapak. Tangannya yang mencengkam baju Glagah Putih itu terlepas. Perlahan-lahan anak muda itu jatuh pada lututnya. Namun kemudian iapun berguling di pasir tepian.
"Apa yang terjadi?" teriak seorang kawannya.
Kawan-kawannya sudah siap untuk meloncat mendekatinya. Namun segera berhenti. Dipandanginya Glagah Putih yang sedang membenahi pakaianya yang menjadi kusut.
"Siapa lagi?" bertanya Glagah Putih.
"Kau bunuh kawanku," teriak seorang anak muda yang lain.
"Kawanmu tidak mati. Lihat, matanya terbuka. Bahkan ia dapat berkedip. Ia tidak mati. Bahkan pingsanpun tidak."
Glagah Putih itupun kemudian melangkah surut beberapa langkah untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan anak muda bertubuh raksasa itu mendekatinya.
Sebenarnyalah, merekapun serentak berloncatan dan berlutut di sebelah menyebelah orang bertubuh raksasa itu.
"Kau kenapa, he?" bertanya seorang kawannya.
Yang lain sambil mengguncang-guncang menyebut namanya. Yang lain lagi memijit-mijit keningnya.
"Kau kenapa" Kenapa?" bertanya kawan-kawannya.
Tetapi anak muda bertubuh raksasa itu tidak menjawab. Matanya memang terbuka . Ia sempat melirik kepada kawan-kawannya. Tetapi ia tidak bergerak sama sekali.
"Ia menjadi lumpuh," berkata seseorang. "lumpuh dan sekaligus bisu."
"Orang itu tentu mempunyai ilmu iblis."
"Orang itu tukang sihir."
"Bunuh saja," teriak seorang diantara mereka dengan kerasnya. Suaranya melengking mengatasi suara kawan-kawannya.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun seorang yang lain menyahut, "Ya. Kita bunuh tukang sihir itu. Ia dapat mengacaukan tatanan kehidupan orang banyak."
"Aku bukan tukang sihir," sahut Glagah Putih.
"Bukankah sudah terbukti. Kau sihir kawanku itu."
"Aku tidak menyihirnya. Tetapi aku dapat berbuat demikian terhadap kalian semuanya. Marilah siapakah yang akan menjalani lebih dahulu."
"Anak iblis, kau."
"Bukan aku. Tetapi kalian. Apa yang akan kalian lakukan terhadap isteriku adalah kelakuan iblis. Selain iblis tidak akan berbuat seperti itu."
"Diam kau. Sekarang apa yang akan terjadi padamu harus kau jalani tukang sihir."
"Jangan mencari perkara anak-anak muda. Jika kalian berkeras maka kalian semuanya nanti akan mengalaminya."
Wajah anak-anak muda yang marah itu menjadi merah. Mereka mulai berteriak-teriak agar suami istri yang dianggap tukang sihir itu dibunuh saja. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang bergerak mendahului kawan-kawannya.
"Nah, siapakah yang paling awal akan menjadi lumpuh seperti anak itu, majulah."
"Iblis kau. Kau harus dibunuh," anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Tetapi mereka masih saja berdiri bergerombol.
Tidak seorangpun yang bergerak mendahului yang lain.
Glagah Putihpun kemudian berkata, "Kawanmu itu tidak apa-apa. Biarkan saja ia dalam keadaan seperti itu. Nanti, sesilir bawang, ia akan pulih kembali."
Glagah Putih tidak menunggu lagi. Dibimbingnya Rara Wulan menuju rakit yang sudah menepi. Beberapa orang sudah turun meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi di tepian itu. Tetapi dari atas rakit mereka melihat suasana yang menegangkan.
Anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Seorang diantara merek suaranya melengking tinggi, "Jangan lari pengecut. Aku bunuh kau."
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menanggapinya. Sambil berjalan menuju ke rakit Glagah Putih berpaling. Katanya, "Maaf anak-anak muda. Aku tidak sempat bermain-main bersama kalian."
Tidak .seorangpun yang berusaha mengejar. Tidak seorangpun yang berani menyerang lebih dahulu. Mereka hanya berani berteriak-teriak sambil mengacungkan tinju mereka.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sudah naik ke atas rakit, maka Glagah Putihpun berkata, "Marilah, Ki Sanak. Kita segera saja menyeberang."
"Tetapi..." "Kau memerlukan penumpang" Biarlah kami berdua membayar untuk limang orang."
Tukang satang itu memang ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia memutuskan untuk menyeberang tanpa menunggu anak-anak muda yang nampaknya juga akan menyeberang itu. Bahkan mungkin anak-anak muda yang berteriak-teriak itu akan dapat membuat persoalan. Kawan-kawannya pernah mengalami, bahwa anak-anak muda yang nakal tidak mati memberikan upah penyeberangan. Bahkan adik tukang satang itu, yang juga sering turun ke sungai, telah dirampok oleh beberapa orang yang nampaknya berwajah garang. Uang pendapatnya yang tidak seberapa telah diminta seluruhnya oleh orang itu.
Ternyata anak-anak muda itu tidak berusaha menghentikan rakit yang menyeberang kembali ke Timur tanpa mereka, karena mereka masih harus menunggui seorang kawannya yang mengalami keadaan yang tidak mereka mengerti.
"Siapakah mereka itu, Ki Sanak?" bertanya salah seorang dari dua orang tukang satang.
"Kami tidak mengenal mereka."
"Tetapi ketika kami menyeberang ke Barat, kami melihat telah terjadi ketegangan antara Ki Sanak dengan mereka?"
"Sedikit salah paham. Tetapi sudah teratasi."
Tukang Satang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia sempat berceritera tentang kawan-kawannya yang mengalami perlakuan buruk serta adiknya yang pernah dirampok orang .
Sementara itu, orang yang telah dikacaukan syarafnya dengan sentuhan pada beberapa simpulnya oleh Glagah Putih itu mulai pulih kembali. Orang bertubuh raksasa itu mulai dapat menggerakkan kaki dan tangannya. Kemudian seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan ia berusaha bangkit. Kawan-kawannya yang melihat ia mulai bergerak, telah membantunya. Bahkan kemudian berdiri.
"Di mana iblis itu?" tiba-tiba saja ia berteriak.
"Menyeberang," jawab seorang kawannya.
"Kenapa kalian tidak mencegahnya. Aku ingin membunuhnya."
"Kami tidak dapat meninggalkan kau sendiri."
"Kenapa?" "Kami memang ragu-ragu," sahut yang lain, yang agaknya lebih jujur.
"Kalian takut?"
"Lihat ke dirimu sendiri," berkata anak muda yang agaknya mempunyai pengaruh yang besar atas kawan-kawannya, termasuk anak muda bertubuh raksasa itu, "apa yang dapat kau lakukan ketika kau menghadapinya?"
"Kau menjadi seperti batang pohon pisang yang tidak berdaya. Hanya matamu saja yang menandai bahwa yang tidak hidup."
Anak muda bertubuh raksasa itu terdiam. Sementara anak muda yang berpengaruh itu berkata lebih lanjut, "Orang itu tentu memiliki kemampuan sihir. Karena itu, kita tidak dapat bertindak tergesa-gesa tanpa membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak. Terus terang, aku tidak ingin mengalami keadaan seperti kau."
Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak menjawab.
"Kita akan menyeberang," berkata anak muda yang berpengaruh itu.
Namun rakit berikutnya masih agak jauh. Rakit itu bergerak lamban sekali. Dua tukang satang masing-masing mempergunakan sebatang bambu yang panjang untuk mendorong rakitnya menyeberangkan.
Demikian rakit yang berikutnya minggir, yang membawa beberapa orang yang menyeberang dari sisi Timur, maka anak-anak muda itupun segera berloncatan naik.
"Cepat. Kayuh ke seberang."
Kedua orang tukang satangnya termangu-mangu sejenak. Seorang diantara merekapun kemudian berkata, "Lihat. Ada dua orang yang turun ke tepian. Mungkin mereka juga akan menyeberang."
"Kami tidak mau menunggu."
"Mereka akan segera sampai kemari."
"Cepat. Jangan membantah lagi atau kalian berdua aku melemparkan ke sungai. Biarlah kami mengayuh sendiri rakit ini."
"Tetapi." "Diam," bentak orang bertubuh raksasa itu, "kayuh, sekarang ke sungai. Jika kau menjawab sepatah kata lagi, aku koyak mulutmu."
Tukang satang itupun menjadi ketakutan. Tanpa menjawab lagi, maka rakit itupun mulai bergerak.
Ternyata kedua orang yang sudah turun ke tepian itu melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak, "Tunggu. Tunggu."
"Jangan berhenti," bentak seorang diantara anak-anak muda itu.
Tukang satang itu tidak membantah. Rakit itupun meluncur terus. Semakin lama menjadi semakin ketengah.
Sementara itu rakit yang didepan, yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulan telah menepi. Keduanyapun segera turun. Seperti yang mereka janjikan, Glagah Putih dan Rara Wulan membayar upah menyeberang untuk lima orang.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling, mereka melihat anak-anak muda yang mengganggu mereka telah menyeberang pula. Namun Glagah Putih itupun berkata, "Mereka tidak akan mengganggu kita lagi."
"Kakang," sahut Rara Wulan, "aku cenderung ingin membuat mereka benar-benar jera."
"Sudahlah. Jika mereka tidak berbuat apa-apa lagi, lupakan saja mereka."
Rara Wulan mengangguk. Keduanyapun kemudian melangkah melintasi tepian berpasir. Ada beberapa orang yang akan menyeberang dari arah timur ke Barat. Merekapun mempercepat langkah mereka dan langsung naik ke rakit yang baru saja menepi dan menurunkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke tebing yang landai disisi Timur, maka anak-anak muda itupun berloncatan turun dari rakitnya.
"Kalian belum membayar upahnya," berkata salah seorang dan kedua tukang satang itu.
Tetapi bukan upah yang didapatnya. Seorang diantara anak-anak muda itu telah memukulnya sehingga tukang satang itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan akhirnya orang itu jatuh terlentang.
Kawannya segera berlari mendapatkannya dan membantunya berdiri.
"Kalian akan melawan?" bentak anak muda itu.
Kedua orang tukang satang itu terdiam. Mereka tidak akan berani melawan anak-anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang tukang satang itupun hanya berdiam saja.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah berada diatas tebing yang landai itu kebetulan berpaling. Keduanyapun segera berhenti. Namun anak-anak muda itupun segera pergi meninggalkan tukang satang yang kesakitan itu.
Ternyata keduanya tidak menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi mereka justru pergi ke arah yang lain.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Sekali-sekali anak-anak itu memang memerlukan sedikit peringatan."
"Bukankah aku sudah mengatakan tadi, kakang."
"Ya. Aku kira mereka hanya akan mengganggu kita."
Rara Wulan masih berdiri termangu-mangu. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, "Marilah. Kita meneruskan perjalanan."
Keduanyapun berjalan terus. Mereka tidak lagi menghiraukan anak-anak muda yang berjalan ke arah hulu Kali Praga sepanjang tepian berpasir.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang meneruskan perjalanan itu memang terasa agak lamban. Rara Wulan yang menganakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan, berpakaian panjang dan menyangkutkan selendang di bahunya, tidak dapat berjalan secepat jika ia mengenakan pakaian khususnya.
Ketika panas matahari terasa menjadi semakin menyengat, pakaian Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi basah oleh keringat. Sekali-sekali mereka menyeka kening.
"Kita sakan sampai di Jati Anom di sore hari," desis Glagah Putih.
"Apakah maksud kakang, aku harus berjalan lebih cepat?"
"Tidak. Tidak. Bukan itu. Kita memang lebih enak berjalan dengan tidak merasa tergesa-gesa. Kita tidak diburu waktu."
Rara Wulan menarik nafas panjang.
"Jika kita menemui sebuah kedai, maka kita akan dapat beristirahat sambil menghirup minuman," berkata Glagah Putih.
Kita menyusuri jalan yang tidak terlalu ramai. Padukuhan-padukuhan yang kita lewatipun bukan padukuhan-padukuhan yang besar," sahut Rara Wulan.
"Tetapi kita tentu akan menjumpai sebuah kedai."
Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki padukuhan yang agak besar, maka merekapun telah mendapatkan sebuah kedai yang pintunya masih terbuka. Disebelah kedai itu terdapat sebuah simpang empat.
Jalan yang dilalui oleh Glagah Putih itu menyilang jalang yang agak lebih besar. Agaknya jalan itu adalah jalan yang lebih ramai.
"Kakang pernah melewati jalan itu?" bertanya Rara Wulan.
Glagah Putih mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Aku pernah melewati jalan itu. Kita nanti juga akan mengikuti jalan itu. Jalan yang agak lebih baik dari jalan yang kita lewati."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Keduanyapun kemudian singgah'di kedai itu. Ketika mereka masuk, didalamnya sudah ada beberapa orang yang lebih dahulu datang.
Kepada pelayan kedai itu, Glagah Putihpun segera memesan minum dan makan. Kecuali haus merekapun sudah merasa lapar pula.
Dari percakapan beberapa orang yang sudah ada di kedai itu. Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui, bahwa tidak jauh dari simpang ampat itu terdapat sebuah sendang yang tidak terlalu luas. Disekitar sendang itu terdapat berbagai macam pohon raksasa. Ada sebuah tugu batu yang sudah sangat tua.
Sendang itu ternyata banyak dikunjungi orang. Siang dan malam. Pada hari apa saja. Bukan hanya pada hari-hari tertentu.
Orang-orang yang berada di kedai itu ternyata juga baru pulang dari kunjungan mereka ke sendang itu.
Seorang diantara mereka tiba-tiba saja berkata kepada pemilik kedai itu, "Kang. Aku berjanji. Jika permohonanku di kabulkan oleh Kiai dan Nyai Berkah, aku akan datang lagi kemari bersama keluargaku."
"Terimakasih, Ki Sanak. Aku menunggu kehadiran Ki Sanak beserta keluarga."
"Aku juga," berkata yang lain, "jika dalam tahun ini aku benar-benar dikaruniai anak laki-laki, maka aku akan datang dengan anakku itu."
"Jadi kau akan menunggu setahun lagi?" bertanya kawanya.
"Ya." "Kenapa begitu lama?"
"Bagaimana aku tahu, bahwa aku mempunyai anak laki-laki sebelum bayi itu lahir?"
"Kenapa harus laki-laki?"
"Aku ingin anak laki-laki."
"Kau tidak boleh memilih. Kau harus menerima apa adanya."
"He" Jadi?"
"Katakan, jika isterimu mulai mengandung, kau akan datang lagi kemari dengan isterimu itu."
Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Baik. Baik. Jika isteriku mengandung, tanpa menunggu kelahirannya, aku akan mengajaknya kemari. Bahkan seadainya aku tidak berujar sekalipun isteriku akan senang sekali makan nasi megana dengan pepes udang dan wader pari."
Kawan-kawannya tertawa. Seorang diantara mereka berkata, "Kenapa kau harus menunggu isterimu itu mengandung. Ajak saja isterimu esok kemari."
Orang itupun tertawa pula.
Namun seisi kedai itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Semakin lama terdengar semakin dekat. Tidak hanya satu dua, tetapi banyak.
Beberapa saat kemudian, mereka melihat sekelompok anak-anak muda melarikan kuda mereka melintasi simpang ampat itu. Anak-anak muda itu menyusuri jalan yang lebih kecil seperti sedang berburu rusa.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Ada diantara mereka dapat segera mereka jumpai di penyeberangan.
"Agaknya mereka mencari kita," berkata Glagah Putih.
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Kita tinggalkan kedai ini."
"Kita akan melarikan diri?"
"Bukan begitu. Aku hanya bermaksud agar kedai ini tidak mereka jadikan sasaran kemarahan mereka. Mungkin bukan hari ini. Tetapi esok atau lusa. Bahkan seandainya mereka menemukan kita disini, mereka akan dapat menimbulkan kerusakan di kedai ini."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kita keluar dari kedai ini. Tetapi biar aku habiskan dahulu nasi megana ini. Seperti yang dikatakan orang itu, nasi megana disini termasuk nasi megana yang enak. Lebih enak dari nasi megana yang pernah aku makan sebelumnya."
"Kau tahu, kenapa?"
Rara Wulan menggeleng. "Seharusnya kau lebih tahu. Ada gereh petek kecil-kecil di bumbu megana itu."
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk sambil tersenyum, "lidahmu tajam sekali kakang."
Demikian mereka selesai makan dan menghabiskan minuman mereka, maka merekapun segera minta diri.
Keduanya meninggalkan kedai itu setelah mereka membayar harga makan dan minuman mereka. Merekapun segera melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka tidak jadi mengikuti jalan yang besar dan ramai itu. Tetapi mereka mengikuti jalan yang lebih sempit. Jalan yang dilalui oleh anak-anak muda yang memacu kuda mereka.
Beberapa saat setelah mereka melewati simpang empat, Rara Wulan-pun berkata, "Mereka sudah sangat jauh, kakang. Mereka memacu kuda mereka. Mereka mengira kita sudah jauh pula."
"Ya. Tetapi mereka tentu akan kembali pula lewat jalan ini. Mudah-mudahan kita bertemu dan dapat berbicara dengan mereka. Jika mereka tidak menemukan kita, mungkin sekali mereka akan bertanya kepada pemilik kedai itu. Jika jawaban pemilik kedai itu tidak memuaskan mereka, akan dapat terjadi keributan. Kedai itu akan dapat mereka rusakkan.
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Keduanyapun berjalan terus. Bahkan seakan-akan mereka telah melupakan anak-anak muda yang berkuda itu. Mereka sempat memperhatikan tanah persawahan yang bersusun seperti tangga raksasa di kaki Gunung Merapi itu. Di kejauhan mereka melihat hutan yang lebat memanjat sampai ke lambung.
Namun tiba-tiba jauh di hadapan mereka, dijalan yang agak menurun di tengah-tengah bulak, iring-iringan anak-anak muda yang mereka larikan kuda mereka itu, nampak berpacu menuju Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Mereka sudah kembali. Setelah agak jauh mereka tidak menyusul kita, maka mereka menduga bahwa kita telah mengambil jalan yang menyilang itu," berkata Glagah Putih.
"Ya. Jumlahnya bertambah. Sekitar sepuluh orang," sahut Rara Wulan.
"Ya. Mudah-mudahan mereka dapat diajak berbicara."
"Jika tidak, maka kita harus membuat mereka benar-benar jera."
"Jika mereka mempunyai ilmu yang tinggi?"
"Kitalah yang akan menjadi jera."
Keduanyapun tertawa. Tetapi penglihatan mereka atas lawan-lawannya mereka jika mereka telibat dalam perselisihan, biasanya tidak terlalu meleset. Demikian pula penglihatan biasanya tidak terlalu meleset.
Demikian pula penglihatan mereka atas kemampuan anak-anak yang beriringan di atas punggung kuda itu.
Anak-anak muda yang melarikan kuda mereka menyusuri jalan bulak itu semakin lama menjadi semakin dekat. Agaknya merekapun telah melihat Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan berlawanan arah mereka.
"Anak iblis," geram seorang di antara anak-anak muda yang berkuda itu, "mereka sama sekali tidak menjadi cemas. Mereka masih saja berjalan dengan tenangnya. Bahkan sambil berbincang-bincang seperti sedang berjalan di terang bulan."
"Mereka akan segera menyadari, bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita."
"Ya, bagi kita," sahut yang lain.
"Kenapa " "
"Mereka memang bukan apa-apa bagi kita. Tetapi bagaimana bagi kita masing-masing?"
"Edan kau. Jika kau takut, minggirlah."
"Kenapa kau harus takut" Bukankah aku sependapat bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita. Mungkin aku akan ketakutan dan melarikan diri jika kau sendiri bertemu dengan mereka."
Anak muda yang bertubuh raksasa, yang telah menjadi lumpuh ketika beberapa simpul syarafnya disentuh oleh Glagah Putih berkata, "Jika mereka tidak licik dan menyerang dengan tiba-tiba, aku akan mengatasi mereka."
"Jangan sombong."
"Aku tidak sombong. Aku yakin akan kemampuanku."
"Baik," sahut anak muda yang meragukan kemampuan mereka seorang-seorang, "kita akan menjadi penonton. Biarlah ia berhadapan sendiri dengan laki-laki tukang sihir itu."
Wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu menjadi tegang. Dengan serta-merta iapun berkata, "Tetapi kita sudah berniat untuk membuat mereka berdua jera. Kemudian melemparkan laki-laki itu di pinggir jalan, serta membawa perempuannya kembali ke sarang kita."
Beberapa orang yang lain tertawa. Sementara itu kuda mereka berlari terus, semakin lama semakin dekat dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan iring-iringan itu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan Glagah Putihpun berdesis, "Aku tidak ingin membunuh. Tetapi aku tidak tahu, apakah tidak terjadi jika kita harus berkelahi melawan sekian banyak orang."
"Ya. Ternyata jumlah mereka tidak hanya sepuluh, tetapi dua belas." Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu, iring-iringan anak-anak muda berkuda itu menjadi semakin dekat. Glagah Putih dan Rara Wulan segera menepi. Mereka naik ke atas gundukan tanah di pinggir jalan agar mereka tidak terinjak oleh kaki kuda.
Namun kedua belas ekor kuda itupun telah ditarik kendalinya hampir serentak, sehingga kuda-kuda itupun segera berhenti.
Seorang anak muda yang berkumis lebat, yang nampaknya pemimpin dari sekelompok anak muda itupun berkata lantang, "He, kaukah yang bertemu dengan kawan-kawanku di tepian Kali Praga?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diamatinya anak-anak muda yang masih duduk di punggung kuda itu.
Namun demikian sambil mengangguk iapun menjawab, "Ya. Kami telah bertemu mereka di tepian. Bahkan kawanmu yang bertubuh raksasa itu telah mengganggu kami berdua."
Tetapi anak muda yang bertubuh raksasa itu berteriak, "Bohong. Kau telah memfitnah."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, "Kenapa kau menjadi begitu ketakutan ketika aku mengatakan bahwa kau telah mengganggu kami " Apakah dengan demikian kau akan mendapat hukuman dari pemimpinmu itu ?"
"Bukan aku yang mengganggu kalian. Tetapi kalianlah yang telah mengganggu aku."
"Apa yang telah aku lakukan sehingga aku dapat menyebut kami telah mengganggumu ?"
Seorang anak muda yang lain tiba-tiba saja menyahut, "Perempuan itulah yang telah mengganggu kami."
"Kenapa dengan isteriku."
"Wajahnya, sikapnya dan keperempuannya yang telah mengganggu perasaan kami."
Beberapa orang anak muda yang lain tertawa. Namun anak muda yang berkumis lebat itupun membentak, "Ini bukan lelucon. Kita telah dihina oleh orang itu."
"Ya," suara anak muda yang bertubuh raksasa itu lantang, "kita harus membalas hinaan itu. Kita harus mempermalukan mereka dihadapan orang banyak."
"Mempermalukan mereka?" bertanya seorang kawannya, "apa yang akan kita lakukan?"
"Seret mereka ke padukuhan. Nah, banyak cara untuk mempermalukan mereka."
Tetapi pemimpin anak-anak muda itu berkata, "Kami tidak akan menyeret kalian jika kalian menyerah dan membiarkan apa saja yang akan kami lakukan atas kalian. Kami akan membawa kalian ke padukuhan dengan cara yang baik. Kemudian kalianpun akan kami tinggal dan kami serahkan kepada orang-orang padukuhan setelah kami melaksanakan hukuman yang ingin kami trapkan kepada kalian. Itu adalah keputusanku. Kawan-kawanku tidak akan dapat merubahnya. Karena itu, kalian dapat memilih. Menjalani hukuman berdasarkan atas hukumanku itu, atau aku akan menyerahkan kalian kepada kawan-kawanku."
"Ki Sanak. Kami tidak merasa besalah, kenapa Ki Sanak akan menghukum kami?"
"Mungkin kalian merasa tidak bersalah. Tetapi kami menganggap kalian bersalah."
"Seandainya kami bersalah, apakah Ki Sanak dan kawan-kawan Ki Sanak berhak menjatuhkan hukuman itu kepada kami ?"
"Tentu. Siapakah yang akan melarang kami menjatuhkan hukuman apapun kepada kalian. Bahkan seandainya kami berniat mengubur kalian berdua di tebing disela-sela batu-batu padas itu?"
Namun tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, "Kakang masih bersabar menghadapi anak-anak bengal itu."
Glagah Putih menarik nafas panjang, sementara itu orang berkumis tebal itupun dengan serta merta menanggapinya, "kau sebut kami anak-anak bengal ?"
"Ya," jawab Rara Wulan tanpa ragu-ragu, "anak-anak yang tidak tahu diri. Hak apa yang kalian miliki sehingga akan menghukum kami" Hak kalian tidak lebih dari hak yang kami miliki. Karena itu jika kalian akan menghukum kami, maka kamilah yang akan melakukan lebih dahulu. Kami berdua akan menghukum kalian."
"Edan," teriak anak muda berkumis lebat itu, "ternyata kalian benar, kawan-kawan, kedua orang ini adalah orang-orang gila. Karena itu, jangan menunggu lebih lama lagi. Tangkap mereka dan seret ke padukuhan di simpang empat itu. Setidak-tidak kita akan menunjukkan kepada orang-orang di padukuhan itu, bahwa kita sudah menangkap sepasang orang gila. Kita dapat mengikat mereka di prapatan dan membiarkan mereka menjadi menonton tontonan. Orang-orang yang pulang dan pergi ke sendang akan dapat menonton yang temu sangat menarik bagi mereka."
Rara Wulan memang sudah kehabisan kesabaran. Tiba-tiba saja ia telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya yang dipakainya di bawah kain panjangnya.
Tanpa berbicara lagi, Rara Wulan telah menarik tangan Glagah Putih meloncat turun ke jalan diantara kedua belas anak muda yang masih berada di punggung kuda.
Adalah tidak terduga, bahwa Rara Wulan telah menghentakkan selendangnya menyentuh perut salah seekor kuda itu, sehingga kuda itupun terkejut. Sambil meringkik keras kuda itu mengangkat kedua kaki depannya. Namun ketika sekali lagi perutnya tersentuh selendang Rara Wulan, maka kuda itu menjandi binal. Kuda itupun meloncat menerjang kuda-kuda yang lain berlari kencang sekali. Beruntunglah bahwa anak muda yang berada dipunggungnya sudah terjatuh pada saat kuda itu berdiri. Sehingga ia tidak lagi dibawa lari oleh kuda yang seakan-akan menjadi gila itu.
Beberapa orang yang lain, yang tidak berhasil menguasai kudanya, telah berloncatan turun pula, sehingga lima dari dua belas ekor kuda telah berlari meninggalkan kuda-kuda yang lain, yang masih dapat dijinakkan.
Kuda dari anak muda yang berkumis itupun telah berlari pula. Anak muda yang berkumis lebat itupun telah terjatuh pula. Tangannya yang sebelah kiri berasa menjadi sangat ngeri. Sedangkan punggungnya menjadi sakit pula.
Demikian pula kawan-kawannya yang telah meloncat dan terjatuh dari kudanya.
Orang-orang yang kesakitan itu mengumpat-umpat kasar. Sedangkan kawan-kawannya yang lainpun telah berloncatan turun pula. Merekapun segera mengikat kuda-kuda mereka pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu.
Namun untuk beberapa saat mereka termangu-mangu melihat pakaian yang dikenakan oleh Rara Wulan. Dengan demikian mereka sadar, bahwa mereka berhadapan dengan seorang perempuan yang tentu bukan sebagaimana kebanyakan perempuan.
"Perempuan ini tentu memiliki kemampuan dalam olah kanuragan," berkata anak-anak muda itu dalam hatinya, "karena itu, maka ia sama sekali tidak nampak menjadi cemas dan ketakutan."
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan masih saja mencoba memberi peringatan. Dengan lantang Glagah Putih berkata, "Aku masih akan mencoba menghindari kekerasan. Kekerasan tidak akan berarti dan tidak akan menguntungkan bagi kita. Mungkin ada diantara kita yang terluka atau mangalami cidera yang parah. Karena itu, dengarlah kata-kataku. Biarlah kami berdua pergi."
"Begitu enaknya kalian pergi tanpa mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian. Kalian telah mengejutkan kuda kami. Kalian telah membuat beberapa orang diantara kami terjatuh dari kuda dan sekarang kuda-kuda kami sudah berlari pergi. Kuda-kuda kami yang mahal itu akan dapat hilang dan tidak kami ketemukan kembali. Nah. siapakah yang akan bertanggung jawab."
"Sudahlah kakang," berkata Rara Wulan, "kita selesaikan saja persoalan ini menurut cara yang mereka kehendaki. Lebih cepat lebih baik. Kita masih harus menempuh perjalanan panjang."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu anak muda berkumis lebat itu berkata lantang kepada kawan-kawannya, "Kepung mereka berdua. Jangan beri kesempatan melarikan diri. Dosa mereka sudah bertumpuk. Hukuman bagi mereka akan menjadi semakin berat."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab lagi. Mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi anak-anak muda yang bengal itu.
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Tetapi anak-anak muda itu masih belum mulai menyerang mereka.
"Bersiaplah," teriak anak muda yang berkumis lebat.
Yang lain tidak menyambut. Mereka semuanya sudah siap. Tetapi belum ada yang memulainya.
Akhirnya anak muda yang berkumis lebat itu bergeser mendekati Rara Wulan. Agaknya ia memilih untuk bertempur melawan perempuan itu daripada laki-laki yang mempunyai kekuatan sihir itu.
Namun kawan-kawannya yang lainpun segera bergerser pula. Tetapi semuanya mengerahkan perhatian mereka kepada Rara Wulan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak, ia melihat kepungan yang berat sebelah.
"Mereka agaknya telah memilih kau, Rara," desis Glagah Putih kembali tersenyum.
"Awas kau kakang. Jika kau sudah selesai, aku cubit lalu aku putar tiga kali sampai kulitmu terkelupas," sahut Rara Wulan.
"Bukan salahku. Mereka memilih sendiri."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia justru bergeser menjahui Glagah Putih. Seakan-akan justru memberikan kesempatan kepada dua belas anak-anak muda itu untuk bertempur melawannya seorang diri.
Namun sebenarnyalah, dua orang itu telah berkelempok siap menyerang Rara Wulan.
Rara Wulan tidak mau terlalu banyak kesulitan untuk mengalahkan mereka, karena itu, maka Rara Wulanpun langsung memutar selendangnya. Agaknya Rara Wulanpun ingin tahu apa yang dapat dilakukannya dengan selendangnya itu.
Dalam pada itu, anak muda berkumis lebat itupun berkata, "Kita akan melumpuhkan mereka seorang demi seorang."
"Apakah kita harus minta dengan hormat kepada laki-laki itu agar ia tidak ikut campur lebih dahulu?" bertanya anak muda yang meragukan kemampuan kawan-kawannya kawan-kawannya seorang-seorang.
Glagah Putih tidak dapat menahan senyumnya. Katanya, "Terserah kepada kalian. Apakan kalian akan berkelahi melawan kami berdua atau dengan licik kalian ingin berkelahi dengan istriku saja, baru kemudian kalian akan melawan aku. Dengan demikian kalian berharap bahwa kalian tidak akan mengalami kesulitan karena kalian akan melawan kami seorang demi seorang."
"Persetan kau tukang sihir. Jangan melibatkan diri. Jika kau mencoba melibatkan diri, maka kami akan membunuh istrimu."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Bagaimana kau dapat membunuh istriku. Kalian sama sekali tidak akan mampu menyentuhnya."
"Persetan kau tukang sihir," teriak anak muda berkumis lebat. Lalu iapun memberikan aba-aba kepada kawan-kawannya, "Tangkap perempuan itu. Jika suaminya ikut campur, bunuh saja istrinya yang sombong itu."
Anak-anak muda itupun bergeser mendekati Rara Wulan. Anak muda yang berkumis lebat itulah yang mulai menyerang di ikuti oleh kawan-kawannya.
Tetapi beberapa orang segera terlempar keluar lingkaran perkelahian. Seorang di antara mereka berteriak kesakitan, yang lain mengerang dan menyeringai sambil mencoba menahan sakit.
Sedangkan Rara Wulan yang berputar itu telah menyentuh beberapa orang lawannya, sehingga mereka menjadi kesakitan.
Bahkan ada diantara mereka yang terdorong beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah berbatu padas.
"Iblis betina," geram anak muda yang berkumis lebat, "apakah kalian sepasang suami istri yang kerasukan iblis?"
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi selendangnya berputar semakin cepat. Suaranyapun bergaung memantulkan gema di lereng Gunung.
Anak-anak muda itu menjadi semakin marah. Merekapun mengerahkan kemampuan mereka, menyerang Rara Wulan dari berbagai arah.
Tetapi tidak seorangpun yang mampu menyentuhnya. Bahkan tiga orang lagi jatuh terlentang. Dengan sudah payah mereka mencoba bangkit. Namun punggung mereka rasa-rasanya menjadi retak.
Belum lagi ketiganya dapat berdiri tegak dan memasuki arena perkelahian, maka dua orang yang lain berteriak keras sekali. Ternyata selendang di tangan perempuan itu dapat memukul bahu mereka seperti sebatang tongkat kayu galih asem.
Rara-rasanya1 sebelah tangan kedua orang itu menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi.
Dalam waktu yang terhitung pendek, tujuh orang sudah tidak dapat bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka. Ada yang tulang punggungnya bagaikan patah. Ada yang sebelah tangannya seolah-olah menjadi lumpuh, ada yang perutnya mual dan nafasnya menjadi sesak. Ada yang tiga giginya patah. Kecuali mulutnya berdarah, maka dari hidungnyapun telah mengalir darah pula.
Ternyata kedua belas orang itu tidak mampu berbuat banyak melawan Rara Wulan yang hanya seorang diri.
Namun kedua belas orang itu tidak mampu melihat kenyataan. Apalagi mereka yang masih belum mengalami cidera. Mereka justru mengerahkan kemampuan mereka untuk mendesak dan menguasai perempuan yang berkelahi bersenjata selendangnya itu.
Namun mereka tidak berdaya apa-apa. Jika ujung selendangnya itu menyentuh tubuh mereka, maka terasa betapa sakitnya.
Glagah Putih memperhatikan perkelahian itu sambil berdiri diatas sebongkah batu padas di pinggir jalan. Meskipun Glagah Putih tidak melibatkan diri dalam perkelahian itu, tetapi Glagah Putih selalu siap jika ada kemungkinan buruk akan terjadi pada Rara Wulan.
Namun dengan demikian, Glagah Putih dapat melihat penguasaan Rara Wulan atas senjata barunya. Senjata yang memiliki beberapa persamaan dengan cambuk, tetapi juga memiliki beberapa perbedaan sifat dan watak.
Namun ternyata Rara Wulan telah mampu menguasainya, sehingga melawan dua belas orang anak muda, Rara Wulan tidak mengalami telalu banyak kesulitan.
Tetapi Glagah Putihpun kemudian menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda berkumis tebalitu menari pisau belati panjangnya.
"Tidak ada pilihan lain," geram anak muda berkumis lebat itu, "jika kau tidak menyerah, maka kami terpaksa membantaimu disini."
Ketika kawan-kawannya melihat anak muda berkumis tebal itu menarik senjatannya, maka yang lainpun telah melakukannya pula. Yang membawa pedang di lambungnya, telah menarik pedangnya pula. Yang membawa parang, golok, luwuk dan sebagainya telah berada di genggaman tangan mereka.
Rara Wulanpun bergerser surut. Diamatinya anak-anak yang telah menggenggam senjata di tangan mereka itu.
"Jangan menyesali nasibmu yang buruk, iblis betina," geram anak muda yang berkumis lebat itu, "meskipun demikian, aku masih memberimu kesempatan sekali lagi. Kesempatan yang terakhir. Menyerahlah."
Tetapi yang menjawab adalah Glagah Putih, "Anak-anak muda. Kalian telah memilih penyelesaian yang sangat berbahaya. Jika kalian mempergunakan senjata kalian, maka kalian semuanya berada dalam bahaya."
"Persetan kau tukang sihir. Jika kau menjadi ketakutan, suruh isterimu menyerah. Kami akan mengikatnya dan membawanya ke prapatan di dekat kedai itu. Kami akan menyeretnya seperti menyeret seekor kambing sakit-sakitan."
"Senjata di tangan kalian sama sekali tidak akan menolong kalian. Tetapi yang akan terjadi adalah sebaliknya."
"Omong kosong. Jangan mencoba menakut-nakuti kami."
Glagah Putihpun segera meloncat turun. Ia tidak dapat membiarkan Rara Wulan bertempur seorang diri melawan dua belas orang yang bersenjata. Meskipun sebagian dari anak-anak muda itu sudah merasa kesakitan, tetapi dengan senjata ditangan, mereka akan tetap berbahaya. Apa lagi apabila ada diantara mereka yang memiliki sejenis senjata rahasia yang dapat dilontarkannya.
Dengan nada berat Glagah Putihpun berkata, "Jangan main-main dengan nyawa kalian anak-anak muda. Akulah yang memperingatkan kalian. Akulah yang memberi kalian kesempatan. Pergilah. Jangan ganggu kami lagi."
Tetapi anak muda berkumis lebat itu membentak, "Minggir kau laki-laki jahanam. Aku akan berurusan dengan istrimu."
"Aku bukan laki-laki gila yang membiarkan isterinya berkelahi melawan dua belas orang bersenjata. Meskipun aku tahu, jika aku terjun, maka bahayanya akan menjadi jauh lebih besar bagi kalian."
"Sombongnya kau orang gila. Bersiaplah. Kalian berdua akan mati."
Namun terdengar Rara Wulan berkata, "jangan mencampuri permainan kami, kakang. Aku akan menyelesaikannya."
"Jangan berlelah-lelah dalam permainan yang tidak menarik sama sekali itu, Rara. Biarlah aku ikut, agar mainan buruk ini lekas selesai. Bukankah kita masih akan berjalan jauh."
"Terlambat. Kau terlambat menyatakan diri ikut bermain."
Glagah Putih menarik nafas dalam. Agaknya Rara Wulan ingin menyelesaikan sendiri.
Namun Glagah Putih masih juga berkata, "Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?"
Rara Wulan tidak menjawab. Sementara itu, anak-anak muda itu masih mengepungnya. Hanya anak muda yang berkumis lebat itu sajalah yang berdiri dan bersiap menghadapi Glagah Putih.
"Kau sendiri?" bertanya Glagah Putih.
"Jangan sombong. Aku tidak akan memberimu kesempatan untuk menyihirku."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati anak muda berkumis lebat yang menggenggam pisau belati panjang itu.
Anak muda berkumis lebat yang menjadi pemimpin dari anak-anak muda yang lain itupun kemudian berteriak, "Paksa perempuan itu menyerah. Jika laki-laki ini tidak mau menyerah juga, maka perempuan itu akan kita bunuh."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu, sebelas orang bersenjata telah menyerang Rara Wulan.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rara Wulan yang bersenjata selendang itu berloncatan dengan cepat. Ia tidak sekedar menyentuh lawan-lawannya dengan selendangnya. Tetapi Rara Wulan benar-benar mempergunakan selandangnya untuk menghentikan perlawanan lawan-lawannya.
Ketika Rara Wulan memutar selendangnya dilambari dengan tenaga dalamnya yang semakin ditingkatkan, maka dua pucuk senjata telah terlempar dari tangan pemiliknya. Demikian kedua orang itu memburu senjatanya, maka seorang diantara lawan-lawannya Rara Wulan itu berteriak kesakitan. Selendang itu telah melukainya. Lambung anak muda yang berteriak kesakitan itu ternyata telah terkoyak menyilang. Darah benar-benar telah mengallir dari luka itu.
Beberapa orang yang melihat kawannya terkapar dengan darah merah mengalir dan menitik di bumi itu, menjadi sangat marah. Namun sekaligus mereka menjadi berdebar-debar.
Dalam pada itu, anak muda yang berkumis lebat itupun sudah tidak berdaya. Dengan cepat Glagah Putih telah berhasil merampas pisau belati panjang itu, kemudian melemparkannya jauh-jauh. Anak muda berkumis lebat yang kehilangan senjata itupun berloncatan mundur. Ketika Glagah Putih bergeser mendekatinya, maka iapun berteriak, "Menyerahlah atau isterimu akan dicincang lumat."
"Siapa yang mencincangnya. Kawan-kawanmu tidak berdaya menghadapinya."
Anak muda berkumis lebat itu masih akan menjawab.
Tetapi seorang lagi kawannya terdorong beberapa langkah surut. Kemudian, anak muda itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga akhirnya anak muda itu terjatuh. Dari dadanya mengalir darah. Sebuah luka memanjang tergores di dada itu.
Anak muda berkumis lebat itu termangu-mangu. Glagah Putih tidak segera menyerangnya. Seakan-akan Glagah Putih dengan sengaja memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Glagah Putih sendiri bagaikan tercengkam melihat Rara Wulan mempermainkan senjatanya. Ternyata Rara Wulan benar-benar menguasai selendangnya, sehingga sakan-akan selendangnya itu mampu bergerak sendiri sesuai dengan keinginan Rara Wulan.
Selendang itu sekali-sekali melingkar dengan lentur. Namun tiba-tiba saja selendang tiu seakan-akan telah berubah menjadi sebuah tongkat besi yang keras. Tetapi sejenak kemudian, ujung selendangnya menjadi bagaikan tajamnya mata pedang yang baru diasah. Bahkan dengan tidak terduga, ujung selendang itu dapat pula mematuk seperti pangkal landean tombak panjang yang terbuat dari kuningan.
Dengan lambaran tenaga dalamnya, maka selendang itu menjadi sangat berbahaya di tangan Rara Wulan.
Dalam pada itu, anak muda yang berkumis lebat itu menjadi sangat gelisah. Kawan-kawannya tidak segera berhasil menangkap perempuan itu untuk memaksa suaminya menyerah. Bahkan satu demi satu kawan-kawannya terlempar keluar arena dengan darah yang membasahi pakaian mereka.
"Kau sendiri bagaimana?" bertanya Glagah Putih.
Anak muda itu tidak segera menjawab.
"Ambil pisau belatimu. Jika kau ingin menangkap perempuan itu, libatkan dirimu."
Anak muda itu tidak segera menjawab. Namun ketika seorang lagi kawannya yang bertubuh raksasa itu mengaduh kesakitan karena lengannya terkoyak, maka anak berkumis lebat itupun berkata, "Aku akan mengambil pisau belatiku. Aku akan membunuh perempuan itu."
"Ambilah. Aku tidak akan menghalangimu."
Mula-mula anak muda itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya iapun melangkah memungut pisau belatinya. Sementara itu, Glagah Putih sama sekali tidak mengganggunya.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan," desis Glagah Putih.
Anak muda berkumis lebat itu temangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah melangkah maju mendekati arena pertempuran.
Tetapi ketika ia memasuki arena, maka hampir semua kawan-kawannya sudah terluka. Meskipun mereka masih mengepung Rara Wulan, tetapi lingkaran kepungan itupun menjadi semakin longgar. Anak-anak muda itu menjadi tidak berani lagi mendekat. Bahkan dua orang yang masih belum tersentuh senjata Rara Wulanpun telah menjadi ketakutan.
"Kita bunuh perempuan itu," teriak anak muda berkumis lebat itu.
Tetapi tidak seorangpun yang beranjak dari tempatnya.
"Jangan takut, "teriak anak muda itu.
Kawan-kawannya masih belum bergerak. Sementara itu Glagah Putih berkata, "Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja" Kenapa kau tidak segera menyerangnya."
Wajah anak muda itu menjadi merah. Namun ketika ia bergeser setapak maju, Rara Wulan berdiri tegak menghadap kepadanya, sehingga anak muda berkumis lebat itu bagaikan membeku di tempat.
Dalam pada itu terdengar Rara Wulan berkata, "Aku memberi kesempatan terakhir pada kalian. Pergilah. Siapa yang tinggal akan aku bunuh tanpa belas kasihan."
Wajah-wajahpun menjadi pucat. Agaknya perempuan itu tidak sekedar menakut-nakutinya. Ia benar-benar akan melakukannya. Sementara itu, ketika seorang diantara mereka bergeser mundur, maka kawan-kawannyapun bergeser mundur pula.
"Apakah kalian takut?" teriak anak muda berkumis lebat.
Tidak ada yang menjawab. Tetapi mereka masih saja bergerak menjauhi Rara Wulan.
Ketika Rara Wulan melangkah maju ke arah anak muda berkumis lebat itu, maka anak muda itupun bergeser mundur pula sambil berteriak, "Cepat. Selesaikan perempuan itu."
Tidak ada yang bergerak maju. Sementara Glagah Putih berkata pula, "Kenapa kau sendiri tidak melangkah maju?"
Anak muda itu justru melangkah surut ketika Rara Wulan menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba saja Rara Wulan itu membentaknya, "Pergi, pergi."
Anak muda berkumis lebat itu terkejut. Seakan-akan di luar kehendaknya ketika anak muda itu meloncat beberapa langkah surut. Sementara Rara Wulan masih saja mendekatinya.
"Pergi, pergi," Rara Wulan itu menjerit dengan nada tinggi.
Tiba-tiba saja anak muda berkumis lebat itu meloncat meninggalkan arena. Dengan sekuat tenaganya ia berlari menyusuri jalan berbatu padas itu. Kawan-kawannya yang telah kehilangan kudanya pun telah berlari pula mengikutinya. Yang lain, yang telah mengikat kudanya di pinggir jalan, berlari ke kuda mereka.
Sejenak kemudian, maka dua belas orang anak muda itu sudah berlari meninggalkan Rara Wulan.
Sepeninggal mereka, maka Glagah Putih pun berkata, "Permainan selendangmu ternyata diluar dugaan, Rara."
Namun wajah Rara Wulan masih saja tegang. Katanya, "Ya seadanya saja."
"Bukan seadanya. Ilmumu benar-benar mengagumkan. Selama ini aku hanya melihat kau berlatih di sanggar. Tetapi kali ini aku melihat kau berlatih menghadapi sebelas orang bersenjata."
"Apanya yang mengagumkan ?" nada suara Rara Wulan datar.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia baru merasakan bahwa sikap Rara Wulan agak berbeda. Karena itu maka iapun bertanya, "Kenapa kau tidak memperbolehkan aku ikut bermain?"
"Untuk apa kau ikut" Bukankah sejak semula kau sudah mengatakan bahwa anak-anak muda itu lebih tertarik kepadaku dari kepadamu."
Glagah Putih tiba-tiba tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Rara Wulan itu meloncat mencubit lengannya kemudian memutarnya.
"Rara. Sakit," Glagah Putih berteriak.
"Aku tidak peduli. Kenapa kau tidak minta kakangmu itu menurunkan ilmu kebalnya kepadamu."
"Lepaskan. Lepaskan. Besok kalau aku sudah memiliki ilmu kebal, kau dapat melakukannya lagi."
Rara Wulan tidak melapaskannya. Bahkan tangannya memutar semakin keras, sehingga Glagah Putih harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa pedih lengannya itu.
"Lepaskan Rara. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Huh," Rara Wulan melepaskan lengan Glagah Putih sambil berkata, "Lain kali aku buat kau jera dengan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce."
"Baik. Baik. Lain kali kita tidak akan bertemu lagi dengan dua belas anak muda yang bodoh itu."
Rara Wulan hampir saja meloncat lagi. Tangannya sudah terjulur. Namun niatnya diurungkannya. Bahkan Rara Wulan dan juga Glagah Putih bergerser beberapa langkah mundur.
Dihadapan mereka muncul dari gumpalan-gumpalan padas tebing, seorang yang sudah sangat tua.
"Hampir lima puluh tahun aku menunggu," desis laki-laki tua, berjanggut dan berkumis putih. Rambut yang terjulur di bawah ikat kepalanyapun nampak sudah putih seperti kapas.
"Kau siapa Kiai?" bertanya Glagah Putih.
Sambil terbungkuk-bungkuk orang itu bergerser selangkah maju. Tangan kanannya berpegangan pada sebatang tongkat kayu.
Orang tua itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Kemudian suaranya yang paraupun terdengar pula, "Apakah benar kalian dua orang suami isteri?"
"Ya, Kiai." "Apakah kalian sudah mempunyai anak?"
"Belum Kiai." "Aku menunggu kalian lewat. Sudah aku katakan, sudah hampir limapuluh tahun aku menunggu."
"Aku sudah pernah lewat jalan ini, Kiai."
"Kebetulan aku tidak melihatnya. Tetapi menjelang batas hidupku, akhirnya aku dapat menemukan kalian. Bukan hanya karena kalian suami isteri yang belum mempunyai anak. Tetapi memiliki unsur-unsur gerak yang nampak pada kalian berdua."
"Maksud Kiai?" "Aku sempat melihat kalian berkelahi melawan anak-anak muda bengal itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu.
"Ngger. Sebenarnya aku ingin mempersilahkan kalian singgah. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian berdua."
"Dimana rumah Kiai?"
"Di tengah-tengah hutan itu. Aku tinggal di sebuah rumah yang aku ketemukan disana. Rumah yang sudah sangat tua. Nampaknya rumah itu dibangun pada masa permulaan kerajaan Demak. Namun kemudian telah ditinggalkan penghuninya. Ketika aku ketemukan rumah itu, rumah itu sudah kosong. Kotor dan rusak. Aku mencoba membersihkannya dan tinggal didalamnya."
"Kiai sendirian saja?"
"Tidak. Aku tinggal bersama seorang muridku yang setia. Juga seorang yang sudah tua, meskipun ketika ia menjadi muridku, ia masih seorang remaja."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Menilik ujud, sinar matanya serta bayangan di wajahnya, orang tua itu bukan seorang yang jahat. Tetapi siapa tahu isi hati seseorang.
"Angger berdua," berkata orang itu pula, "sekali lagi aku ingin mempersilahkan kalian berdua singgah. Aku ingin minta kalian berdua menolongku. Aku sudah terlalu tua."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduannya mengangguk kecil.
"Baiklah, Kiai," berkata Glagah Putih, "aku akan singgah. Tetapi jika berkenan, aku ingin bertanya, siapakah Kiai itu sebenarnya?"
"Aku bukan orang penting yang pernah dikenal, ngger, namaku Namaskara. Orang memanggilku Kiai Namaskara. Tetapi itu adalah karena salahku sendiri. Aku jarang sekali keluar dan rumah yang aku ketemukan itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Namaskara itupun berkata, "Marilah ngger. Ikutlah aku. Tetapi aku sudah tidak dapat berjalan lebih cepat dari seorang bayi yang sedang merangkak."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Mereka kemudian mengikuti orang yang sudah sangat tua itu berjalan diantara onggokan batu-batu padas, menyelinap ke arah hutan di Kaki Gunung Merapi.
Glagah Putih yang sudah melewati jalan itu, tidak pernah mengetahui, bahwa ada lorong kecil di tebing, di balik onggokan batu-batu padas yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang kurus dan tidak banyak berdaun.
Kiai Namaskara berjalan terlalu lambat bertelekan tongkat kayunya. Sebelah tangannya berpegangan pada bongkah-bongkah batu padas di sebelah lorong sempit itu.
Ternyata jalan yang harus ditempuh cukup panjang. Lepas dari tebing berbatu-batu padas, mereka sampai ke sebuah lorong yang basah. Kemudian mereka memasuki hutan di kaki Gunung. Hutan yang masih lebat tertutup oleh segala jenis pepohonan. Dari pohon-pohon raksasa sampai ke pohon-pohon perdu serta batang ilalang.
Jalan menjadi semakin sulit, Kiai Namaskara berjalan semakin lambat.
Tetapi ketika Glagah Putih akan membantunya, orang yang sudah sangat tua itu berkata, "Terima kasih, ngger. Biarlah aku berjalan sendiri. Aku sudah terbiasa melewati lorong setapak ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berusaha membantu Kiai Namaskara yang berjalan di depan dengan tongkat kayunya.
Namun beberapa saat kemudian jantung Glagah Putih dan Rara Wulan berdebaran. Tiba-tiba saja dihadapan mereka berdiri dua ekor harimau loreng yang sangat besar. Hampir sebesar kerbau.
"Tunggu Kiai," berkata Glagah Putih, "biarlah aku dan istriku berjalan di depan."
"Kenapa?" bertanya Kiai Namaskara.
"Harimau itu." Kiai Namaskara tersenyum. Katanya, "Harimau yang baik, ngger. Harimau itu tidak akan mengganggu kita."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Mereka siap untuk memusatkan nalar budinya, mempergunakan ilmu pamungkas mereka menghadapi sepasang harimau yang besar itu.
Sebenarnyalah sepasang harimau itu tidak mengganggu ketika Kiai Namaskara berjalan disebelah mereka. Sambil mengelus kepala kedua ekor harimau itu berganti-ganti, Kiai Namaskara berkata, "Jangan ganggu tamuku."
Kedua ekor harimau itu menjilat punggung telapak tangan Kiai Namaskara, seakan-akan mereka sedang mencium tangan itu.
"Bagus," berkata Kiai Namaskara, "pergilah bermain."
Kedua ekor harimau itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Bagaimanapun juga Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempersiapkan diri. Harimau tentu berbeda dengan seseorang yang dengan langsung memahami pesan sebagaimana diucapkan oleh Kiai Namaskara itu.
Namun kedua harimau itu memang tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Mereka melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak. Namun kedua ekor harimau itupun kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka, masuk ke dalam belukar yang lebat.
Kiai Namaskarapun melanjutkan perjalanannya yang lambat diikuti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bertiga mereka memasuki hutan di lereng Gunung itu semakin dalam.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi heran. Jalan yang mereka lalui semakin dalam justru menjadi semakin lebar.
Langkah Kiai Namaskara terhenti ketika beberapa ekor kera berloncatan ke pundak dan tangannya. Beberapa yang lain menghadang di tengah jalan.
"Minggir," berkata Kiai Namaskara, "jangan halangi jalanku. Aku membawa dua orang tamu."
Beberapa ekor kera itu berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara Kiai Namaskarapun berkata pula, "Minggirlah. Kami akan lewat."
Kera-kera itupun berloncatan menepi. Tidak seekorpun diantara mereka yang mengganggu.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin heran ketika mereka melihat sebuah pintu gerbang tua yang sudah rusak. Namun bekasnya, pintu gerbang itu tentu pintu gerbang yang baik. Tiang-tiangnya, tulang-tulang atapnya berukir dan bahkan masih ada bekas sunggingan berwarna-warni. Namun sudah menjadi buram dan bahkan terkelupas.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dan berjalan dibawah pintu gerbang yang sudah rusak itu, Glagah Putih sempat mengamati ukiran dan sunggingan di tiangnya.
"Prada. Kau lihat Rara."
Yang menyahut justru Kiai Namaskara, "Ya. Prada. Bangunan yang ada didalam halaman yang berpintu gerbang itu juga berukir, di sungging dan diwarnai dengan prada pula, meskipun sudah menjadi hampir tidak kelihatan tertutup oleh debu dan yang lain mulai terkelupas. Aku tidak mampu menyelamatkan bangunan yang menjadi semakin rusak itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun mereka tertegun ketika mereka melangkah memasuki halaman yang luas, yang nampak bersih dan terpelihara rapi.
Di tengah-tengah halaman yang tua itu berdiri sebuah rumah tua yang sudah mulai rusak, meskipun tidak mendapat perawatan yang cukup. Tetapi kayu-kayunya mulai menjadi lapuk. Disana sini nampak beberapa, jenis kayu yang berbeda dari bangunan aslinya. Nampaknya ada beberapa bagian yang sudah diganti tetapi dengan bahan seadanya.
Meskipun demikian, namun keagungan bangunan itu masih terasa.
"Marilah. Inilah rumahku. Karena rumah ini tidak berpenghuni serta tidak seorangpun yang mengaku memilikinya, maka rumah inipun telah aku akui sebagai rumahku."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun melangkah mengikuti Kiai Namaskara.
Langkah mereka tertegun ketika dari pintu seketeng muncul seorang yang bertubuh agak bongkok. Ketika orang itu berjalan mendekati Kiai Namaskara, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat orang itu agak timpang pula. Segores luka nampak di wajahnya. Sebelah telinganya agak lebih besar dari telinganya yang satu lagi.
"Ia adalah muridku yang setia," berkata Kiai Namaskara.
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat.
Dengan suaranya yang bernada tinggi, orang itu berkata, "Selamat datang di istana kami."
"Terima kasih," jawab Glagah Putih.
"Namanya Sangli," berkata Kiai Namaskara, "ia ikut aku sejak remaja. Sekarang rambutnya, kumisnya yang tipis, janggutnya yang jarang, sudah memutih semuanya. Bahkan ia sudah nampak setua aku sendiri."
Orang itu tersenyum. Meskipun tubuhnya dan wajahnya cacat tetapi nampak kelembutan terpancar di wajahnya.
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka melihat sekelompok serigala keluar dari pintu seketeng. Namun ketika orang yang agak bongkok itu mengayunkan tangannya maka serigala-serigala itupun berlarian menjauh.
Disudut gandok, serigala-serigala itu berpapasan dengan beberapa ekor domba yang berlari-larian ke halaman. Serigala-serigala itu hanya berpaling saja. Tetapi tidak seekorpun dari serigala-serigala itu mengganggu domba-domba itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan menahan nafas. Tetapi kemudian jantung mereka telah dicengkam oleh keheranan. Serigala-serigala itu tidak berbuat apa-apa. Apalagi menerkamnya.
Domba-domba itupun sama sekali tidak menjadi ketakutan. Agaknya mereka sudah terbiasa bergaul dengan serigala dan bahkan ketika dua ekor harimau yang besar itu memasuki halaman itu.
Tidak terasa ada permusuhan di halaman rumah yang besar itu. Dua ekor harimau itupun kemudian berjalan perlahan-lahan, ke halaman samping dan hilang dibalik tanaman perdu, yang agaknya merupakan tanaman yang daunnya, atau batangnya atau akarnya dapat dipergunakan untuk membuat obat-obatan. Segerumbul-segerumbul, terpisah-pisah menurut jenisnya.
"Marilah ngger. Naiklah," Kiai Namaskara memepersilahkan.
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian naik ke pendapa.
Di pringgitan telah terbentang tikar pandan yang putih.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian duduk ditemui oleh Kiai Namaskara dan Ki Sangli.
"Angger berdua," berkata Kiai Namaskara kemudian, "setelah duduk sejenak, perkenankan aku mengetahui, siapakah angger berdua ini."
"Tetapi bukankah Kiai sudah menunggu kami hampir lima puluh tahun?"
Kiai Namaskara tersenyum. Katanya, "Aku memang sudah menunggu selama lima puluh tahun. Tetapi aku tidak tahu siapakah yang aku tunggu itu. Baru kemudian, setelah aku melihat angger berdua, sikap angger menanggapi kelakuan anak-anak muda itu, maka aku baru tahu, bahwa anggerlah yang aku tunggu."
"Kenapa kami berdua, Kiai."
"Angger belum menjawab pertanyaanku."
"O," Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Namaku Glagah Putih, Kiai. Perempuan ini adalah isteriku. Namanya Rara Wulan. Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, "Sekarang, angger berdua akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke Jati Anom. Ayahku tinggal di Jati Anom."
"Jika aku boleh tahu, siapakah nama ayah angger?"
"Orang memanggil ayahku, Ki Widura."
"Ki Widura," ulang Kiai Namaskara.
"Ya, Kiai." Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Katanya, "Aku seperti orang asing yang tidak mengenal siapa-siapa. Tetapi orangpun tidak mengenal aku."
"Selain Kiai sudah memperkenalkan nama Kiai, siapakah sebenarnya Kiai Namaskara itu" Seperti yang Kiai katakan, Kiai menemukan rumah ini. Dengan demikian maka Kiai tentu berasal dari tempat yang lain."
"Ya, ngger. Tetapi seperti yang aku katakan, aku bukan orang penting. Aku orang kebanyakan sehingga namaku tidak akan pernah dikenal oleh siapapun. Aku anak-anak keluarga padesan. Aku mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku menetap di sebuah padepokan. Sebuah padepokan kecil di lereng Gunung Kelud. Muridku tidak lebih dari sembilan orang. Tetapi tidak semua muridku memenuhi harapanku. Ada diantara mereka yang bersikap baik. Tetapi ada pula yang sebaliknya. Tetapi aku sadar, bahwa hal seperti itu dapat saja terjadi. Mereka bukan benda-benda mati yang dapat aku bentuk menurut keinginan dan seleraku. Mereka adalah sosok yang hidup, berakal budi. Mereka dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan keluarga mereka, dipengaruhi oleh pergaulan mereka dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup mereka. Sehingga karena itu, wajarlah jika sembilan murid-muridku itu mempunyai sembilan sipat dan watak yang berbeda-beda."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Terakhir aku kehilangan delapan dari sembilan muridku. Seorang diantara mereka menyatakan kesetiaannya kepadaku. Ia ikut aku kemanapun aku pergi, karena akupun kemudian telah meninggalkan padepokan kecilku dan kembali mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku temukan rumah ini."
"Sudah lama Kiai tinggal di rumah ini?" bertanya Glagah Putih.
"Sudah lebih dari lima puluh tahun."
"Lima puluh tahun?"
"Ya. Tetapi saat itu aku belum memisahkan diri dari kehidupan. Aku masih berhubungan dengan kehidupan sesama meskipun aku tidak pernah berterus-terang bahwa aku tinggal disini. Tetapi hampir sepuluh tahun terakhir, hubunganku dengan sesama itu semakin menjadi jauh. Dan terakhir aku jarang sekali keluar dari tempat ini."
"Tetapi Kiai sudah menunggu lima puluh tahun."
"Jika aku katakan bahwa aku menunggu, bukan berarti aku tidak mencari. Tetapi aku memang tidak pernah bertemu dengan orang yang aku cari itu. Aku harus menunggu sampai hampir lima-puluh tahun. Barulah aku bertemu dengan orang yang aku cari."
"Siapakah yang sebenarnya Kiai tunggu itu" Kami berdua atau orang lain yang mempunyai beberapa persamaan dengan kami. Atau sikap dan sifat-sifat kami yang dapat Kiai tangkap pada saat Kiai mengamati kami berdua?"
"Ngger. Aku tahu bahwa bukan angger berdua saja yang memiliki sifat dan watak yang menarik perhatianku. Tetapi angger berdualah yang pertama-tama kami temui sekarang ini."
"Apakah yang telah kami lakukan" Berkelahi?"
"Ya berkelahi. Tetapi angger berdua berkelahi bukan dikendalikan oleh kebencian, dendam dan kedengkian. Angger berkelahi karena alasan yang sangat masuk akal. Bahkan pada akhirnya, nampak jelas, bahwa angger berkelahi bukan dikendalikan oleh nafsu berkelahi semata-mata."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-manggu. Keduanya saling berpandangan sejenak. Sementara itu Kiai Namaskara berkata selanjutnya, "Aku tertarik kepada sikap kalian di akhir perkelahian itu. Kalian brarkan anak-anak bengal itu pergi. Semula aku menduga, bahwa tentu akan jatuh korban dalam perkelahian yang jum-Jahnya tidak seimbang itu. Tetapi ternyata tidak. Kalian biarkan mereka pergi meskipun sebenarnya kalian dapat mencegahnya jika kalian mau. Menghukum mereka dan berbuat apa saja untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi yang kalian lakukan bukan itu."
"Tetapi aku sudah melukai beberapa orang diantara mereka, Kiai," sela Rara Wulan.
"Kau memang sedang marah ngger. Tetapi itu wajar sekali. Seperti orang lain, kaupun dapat menjadi marah karena kau dan suamimu sudah diganggu. Tetapi kemarahan itu tidak membakar kebencian dan dendam didadamu. Kau tumpahkan kemarahanmu. Sesudah itu, sudah. Jika saja ada diantara mereka yang kau bunuh, maka sikapkupun akan berbeda."
Rara Wulan mengerutkan dahinya.
"Kau bentak mereka dengan marah. Tetapi kemarahanmu bersih. Kau suruh mereka pergi tanpa berniat memuaskan kemarahanmu dengan mencelakai mereka meskipun itu dapat kau lakukan."
Tiga Setan Darah Cambuk Api 1 Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge Sembilan Pembawa Cincin 1