Cheng Hoa Kiam 13
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Kui-bo Thai-houw tertawa puas. Tak salah lagi, inilah Ngo-heng-giok-cu. Ia lalu memberi isyarat kepada empat orang pelayan dan kepada Kun Hong untuk pergi dari situ. Dengan tindakan lemah lembut wanita hebat ini meninggalkan tempat itu, diikuti oleh empat orang pelayannya. Kun Hong juga meninggalkan tempat itu akan tetapi lebih dulu ia menghampiri Eng Lan dan menyabar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan dibawa pergi menyusul Kui-bo Thai-houw !
Wi Liong membuka matanya dan ia merasa seperti baru sadar dari tidur yang enak sekali. Kemudian ia teringat dan cepat-cepat ia bangun, apa lagi selelah mendengar suara tangisan riuh-rendah di sekelilingnya. Ia melompat dan melihat keadaan yang mengerikan. Tempat itu penuh dengan mayat, tidak saja mayat Cui Kim, Hak Lui, Sui-toanio dan lima orang kakek Ngo-heng-tin. akan tetapi juga mayat belasan orang anak buah Ngo-tok-kauw yang tadi menjadi korban ketika tamu-tamu agung itu pergi dan mereka hendak membela kematian kauwcu mereka
Ketika melihat semua ini dan mendapat kenyataan pula. bahwa Eng Lan tidak berada di situ, Wi Liong seketika menjadi cekatan dan waras kembali.
"Apa yang telah terjadi " Siapa membunuh mereka dan mana nona Pui......?" tanyanya kepada orang-orang yang sedang menangisi kematian pemimpin-pemimpin mereka itu.
"Siapa lagi kalau bukan iblis-iblis Ban-mo-to " Nona tawanan itupun mereka bawa pergi ........" jawab seorang anggauta Ngo-tok-kauw.
Mendengar ini, Wi Liong tanpa berkata apa-apa lagi cepat melompat pergi dari tempat itu untuk mengejar orang - orang Ban-mo-to. Ia dapat menduga bahwa Kui-bo Thai-houw kembali datang mengacau dan membunuhi orang - orang Ngo-tok-kauw, malah kini menculik Eng Lan. Apa maksudnya menculik Eng Lan "
Selagi ia berlari - lari di dalam hutan, tiba-tiba muncul Pak-thian Koai-jin. Kakek ini kelihatan girang ketika mengenalnya. "Eh, eh, kau sudah bisa membebaskan diri " Syukur ......... syukur ........ dan mana Eng Lan ?"
Dari ucapan ini saja Wi Liong tahu bahwa kakek ini tadi sudah melihat dia dan Eng Lan tertawan akan tetapi tidak kuasa menolong, maka iapun menuturkan dengan singkat,
"Selagi aku pingsan Ngo-tok-kauw diserbu orang-orang Ban-mo-to, para- pemimpinnya dibunuh dan tahu-tahu Eng Lan mereka bawa pergi. Aku hendak menyusul ke Ban-mo-to untuk menolongnya."
Pak-thian Koai-jin nampak terkejut. "Ayaaa ......... ! Anak itu memang bernasib baik ......!"
Wi Liong mau tak mau melongo mendengar kata - kata ini.
"Bernasib baik " Bagaimana maksud locianpwe " Bukankah dia berada dalam bahaya ?"
Pak-thian Koai-jin mengangguk-angguk. "Justeru itulah kukatakan bernasib baik, selalu dalam bahaya akan tetapi aku percaya selalu akan tertolong. Coba saja pikir, mana ada orang yang begitu banyak menghadapi pengalaman-pengalaman hebat seperti dia" Baru saja ditawan Ngo-tok-kauw, sekarang ditawan orang - orang Ban-mo-to ! Dia ditawan berarti tidak dibunuh, dan ini berarti dia masih ada harapan ditolong."
Memang Pak-thian Koai-jin kalau bicara seenaknya saja, akan tetapi diam-diam Wi Liong harus membenarkan pendapatnya itu biarpun kedengarannya aneh. "Betapapun juga, locianpwe, aku sudah lama mendengar tentang kekejaman orang-orang Ban-mo-to yang kabarnya tidak kalah oleh Thai Khek Sian dan orang- orang Mo-kauw yang lain, tentu saja jauh lebih kejam dari pada Ngo-tok-kauw. Lebih baik kita cepat - cepat menyusul dan berusaha menolong muridmu itu."
Tiba. - tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kelihatan ekormu! Jadi kau mencinta muridku " Bagas ......... bagus ......... setelah dia tertolong akan kuusahakan supaya dia mau menerimamu ......... ha-ha-ha !"
Wi Liong kaget dan mengerutkan keningnya, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Locianpwe, bagaimana kau bisa bilang begitu " Aku ......... aku tidak bisa mencinta dia, juga tidak mencinta wanita lain, aku hendak menolongnya karena itu sudah merupakan kewajibanku. Kuharap mulai sekarang locianpwe janganlah mengganggu muridmu itu tentang perjodohannya dengan aku, karena kalau aku tidak salah terka, muridmu itu mencinta Kun Hong dan ini baik sekali. Locianpwe sebagai gurunya seyogianya, membantunya supaya dia dapat berjodoh dengan pilihan hatinya sendiri, jangan malah merintangi."
Pak-thian Koai-jin melengak mendengar kata-kata yang panjang lebar ini. Ia terang sekali kecewa, lalu mengomel sambil menghela napas panjang pendek,
"Apa kau kira aku tidak tahu bahwa dia tergila - gila pada Kun Hong " Aku ke mana - mana mengikutinya dan mencarikan batu Im-yang-giok-cu, apakah itu semua bukan karena aku hendak membantunya menolong Kun Hong " Hanya saja, aku lebih suka. kalau dia memilih engkau. Sudahlah ......... sudahlah ......... orang- orang muda jaman sekarang memang keras kepala ........."
"Locianpwe, marilah segera menyusul orang-orang Ban-mo-to. jangan sampai kita terlambat dan terjadi apa-apa dengan muridmu itu."
Teringat akan hal ini, Pak-thian Koai-jin menjadi bersemangat lagi dan berangkatlah dua orang itu, berlari cepat ke timur untuk menyusul orang-orang Ban-mo-to. Baru saja mereka keluar dari hutan itu dan tiba di jalan besar, terdengar seruan nyaring sekali dari kanan,
"Haaaiii ! Bukankah itu Pak-thian Koai-jin yang di depan !"
Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong berhenti dan membalikkan tubuh. Seorang laki-laki tinggi besar dan berpakaian panglima perang dengan langkah lebar berlari-lari ke arah mereka.
"See-thian Hoat-ong, dari mana kau berlari-lari seorang diri " Apa hendak maju perang ?" Pak-thian Koai-jin menyambut kawan ini dengan kelakarnya.
"Hendak menengoki Kong Bu, puteraku yang pada waktu ini bertugas di pantai timur. Kau hendak ke mana dan ini ........." See-thian Hoat-ong sudah sampai di depan mereka dan tiba-tiba kata-katanya terhenti ketika ia mengenal Wi Liong. Mukanya berubah dan sepasang alis yang tebal itu berkerut menandakan hatinya tak senang.
"Hemmm, orang muda she Thio. Jadi kau masih hidup ?"
Wi Liong menjura memberi hormat sambil berkata dengan senyum, "Berkat doa restu lo-enghiong, siauwte masih dapat bernapas sampai sekarang."
Jawaban ini merupakan tangkisan serangan atau pembalasan atas sikap yang tidak menyenangkan dan kata - kata teguran yang tidak semestinya tadi, akan tetapi See-thian Hoat-ong yang jujur, seperti tidak merasakan ini. Malah ia menjawab.
"Siapa mendoakan kau hidup " Lebih baik kau mati di jurang itu dari pada hidup mengandung dosa - dosa besar. Keluarga Kwa hancur berantakan karena kau. Kwa-suheng dan isterinya yang baru saja berkumpul kembali setelah belasan tahun, karena kau menjadi terpisah lagi dan sekarang masing - masing entah berada di mana. Lebih hebat lagi, karena kau Siok Lan menghabiskan hidupnya, mati muda. Kasihan sekali ! Bukankah semua dosa ini perbuatanmu ?"
Mendengar ucapan itu, tadinya muka Wi Liong menjadi merah, akan tetapi kalimat-kalimat terakhir yang menyatakan bahwa Siok Lan mati, membuat mukanya seketika menjadi pucat dan suaranya menggigil ketika ia membantah,
'"Lo-enghiong harap jangan main-main. Belum lama ini aku sendiri dengan sepasang mata melihat nona Kwa Siok Lan melangsungkan pesta pernikahannya dan sekarang sudah menjadi nyonya yang berbahagia dan terhormat dari Wu-kiang Siauw-ong Chi Kian yang terkenal dengan sebutan Chi-loya seorang gagah perkasa, budiman dan pengaruhnya di wilayah Sungai Wu-kiang amat besar. Bagaimana lo-enghiong sekarang secara ngawur menyatakan bahwa dia, mati muda ?"
"O-ho-ho, jadi kau sudah tahu akan hal itu, he " Kau tahu kepala tidak tahu ekornya. Baiklah sekarang kau mendengar dari aku, hendak kulihat bagaimana sikapmu, orang muda perusak rumah tangga orang. Dengarlah baik-baik. Memang betul Siok Lan telah menikah dengan Chi Kian. kaukira aku tidak tahu" Akupun baru saja datang ke sana karena ingin mengurus hal itu, ingin menegur mengapa tahu - tahu dia bisa menikah dengan murid keponakanku. Dan kau tahu apa yang kulihat di sana " Hanya makam Siok Lan dan makam Chi Kiam ! Kau tahu apa yang terjadi menurut para penduduk di sana " Semenjak kau pengacau ini datang lalu pergi, Siok Lan menyusul ke sungai dan menusuk dada sendiri dengan pedang sambil melompat ke sungai disusul oleh Chi Kian yang tidak pandai berenang dan hendak menolong isterinya. Nah. matilah mereka. Coba katakan, kalau bukan untuk kau, mengapa Siok Lan melakukan perbuatan gila merampas nyawa sendiri itu " "
Wajah Wi Liong makin pucat, kakinya menggigil dan tanpa daya lagi ia jatuh berlutut di depan See-thian Hoat-ong. "Lo-enghiong ........ demi Tuhan, tidak bohongkah kata - katamu ini ;........ ?" Suaranya pilu dan gemetar, matanya yang memandang See-thian Hoat-ong benar-benar memelas (menimbulkan kasihan).
Agak reda kemarahan See-thian Hoat-ong melihat keadaan Wi Liong ini. Ia terkejut juga dan diam - diam ia harus mengaku bahwa pemuda ini memang betul- betul mencinta Siok Lan. Akan tetapi ia mendongkol sekali mendengar pertanyaan Wi Liong yang seakan-akan tidak percaya kepadanya.
"Selama hidup aku tak pernah membohong, tidak seperti kau !" jawabnya ketus.
"Siok Lan ......... !" Wi Liong memekik kemudian roboh pingsan !
See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai jin saling pandang, kemudian menoleh ke arah tubuh pemuda yang pingsan itu. Pak-thian Koai-jin menggeleng- geleng kepala. "Sayang ......... sayang ......... orang muda gagah menjadi lemah karena cinta kasih ......."
See-thian Hoat-ong sebaliknya menjadi kasihan sekali kepada pemuda ini. Ia tidak tahu bagaimanakah sebenarnya hubungan antara pemuda ini dan Siok Lan yang kelihatannya begitu penuh rahasia. Ia hanya berdiri dengan kaki terpentang dan mengelus-elus dagunya, melihat Pak-thian Koai-jin yang mengurut jalan darah di belakang kepala Wi Liong. Tak lama kemudian pemuda itu sadar kembali. Pemuda ini siuman, bangun duduk, menggeleng-geleng kepala lalu tersenyum ! Ia hanya berkata perlahan, akan tetapi dapat terdengar oleh dua orang kakek itu,
"Bagus, Siok Lan, kau telah mengakali aku ......... aku terima kalah dan biarlah sisa hidupku penuh penderitaan batin sebagai hukuman kebodohanku ........."
"Wi Liong, kau ini pemuda apa " Mengapa begini lemah " Yang sudah mati biarlah mati, apa sih enaknya orang hidup " Baru enak kalau hidup bisa menolong orang hidup yang lain. Sekarang Eng Lan dalam bahaya, apa artinya hidupmu kalau kau tidak bisa menolong orang lain yang sengsara ?" kata Pak-thian Koai-jin sambil menepuk pundak pemuda itu.
Ucapan orang aneh yang kadang - kadang seenak perutnya sendiri itu kali ini benar-benar menancap di ulu hati Wi Liong. Pemuda ini serentak bangun, menoleh kepadanya dan berkata, "Kau betul, locianpwe. Mari kita kejar iblis - iblis Ban-mo-to !"
Pak-thian Koai-jin girang sekali. "Eh, panglima, kau bilang anakmu bertugas di pantai timur " Kalau begitu kita sejalan, hayo kita jalan bersama."
See-thian Hoat-ong terpaksa ikut berlari mendampingi dua orang itu dan ia bertanya, "Ada terjadi apa sih dengan nona Eng Lan ?"
Sambil berlari Pak-thian Koai-jin lalu menceritakan secara singkat apa yang telah ia alami menghadapi Ngo-tok-kauw dan bagaimana Eng Lan terculik oleh orang - orang Ban-mo-to yang menyerbu perkumpulan Agama Lima Racun itu. Mendengar penuturan itu, See-thian Hoat-ong berkata marah, "Sudah lama sekali Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to melakukan perbuatan sewenang - wenang dan mengandalkan kepandaian sendiri menghina orang lain. Benar - benar keterlaluan kalau dalam membasmi Ngo-tok-kauw dia masih menculik muridmu. Pak-thian Koai-jin, biarpun aku belum tentu bisa menangkan Kui-bo Thai-houw, akan tetapi percayalah, golok besarku masih cukup tajam untuk kupakai membantumu menyusul ke Ban-mo-to !"
Tentu saja Pak-thian Koai-jin girang sekali dan ia memang membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti See-thian Hoat-ong ini. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan lebih cepat lagi. Dasar ketiganya orang - orang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, maka perjalanan itu dilakukan amat cepatnya. Mereka mempergunakan ilmu lari yang kecepatannya tidak kalah dengan orang menunggang kuda sehingga sebentar saja mereka sudah melalui beberapa li dan dalam waktu sehari mereka telah melewati jarak yang jauh sekali.
Pada suatu siang hari ketika tiga orang ini sudah mendekati pantai timur. ketika tiba di daerah yang berbukit batu karang, mereka mendengar suara orang mengeluh dan mencaci - maki.
"Itu suara Bu-ji (anak Bu) .......... !" kata See-thian Hoat-ong.
Tergesa - gesa mereka lalu menuju ke tempat itu. ketika mereka melewati sebuah batu besar, benar saja mereka melihat pemuda gagah itu, Kong Bu, sedang berdiri sambil mengaduh - aduh memegangi pundak kanannya yang berdarah. Pemuda ini nampak kesakitan sekali, ia menyumpah-nyumpah dan sikapnya yang kasar jujur ini benar-benar serupa dengan watak ayahnya. See-thiari Hoat-ong. Juga wajah dan bentuk tubuhnya yang kekar serupa benar dengan ayahnya.
"Aduh ......... aduh ...... keparat Beng Kun Cinjin ......." pemuda itu mengeluh dan memaki - maki.
"Bu-ji, kau kenapa ?" ayahnya berseru keras sambil lari menghampiri puteranya.
Agaknya saking menahan sakit dan kemarahan. Kong Bu tadi tidak melihat datangnya tiga orang itu. Mendengar suara ayahnya, ia mengangkat muka dan jalan terpincang - pincang menghampiri ayahnya, menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Ayah, harap ayah balaskan penghinaan ini dan tolong dua nona Liok ...... !"
"Nanti dulu soal itu. Kau maju sini, coba kuperiksa lukamu," kata ayahnya. Kong Bu berdiri dan melangkah maju. See-thian Hoat-ong memeriksa luka di pundak dan paha. Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong juga turut memeriksa.
Pundak pemuda itu tidak besar lukanya akan tetapi warna biru kehitaman di sekitar luka itu yang makin membesar amat mengkhawatirkan. Juga pahanya yang hanya luka sebesar tusukan jarum terasa sakit dan berwarna hitam pula.
"Hemm, agaknya terluka oleh senjata beracun ........." kata See-thian Hoat-ong.
"Seperti pukulan Hek-tok-sin-ciang !" tiba tiba Wi Liong berseru heran. Ia tahu bahwa Hek-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Racun Hitam) adalah sebuah di antara ilmu-ilmu lihai dari Thai Khek Sian. Kiranya hanya Thai Khek Sian atau ......... Kun Hong sebagai murid tokoh itu yang mampu melakukannya. Akan tetapi, seingatnya, Kun Hong tidak memelihara kuku panjang dan untuk menggunakan ilmu ini, diperlukan kuku panjang untuk menjadi senjata. Kuku-kuku jari tangan yang direndam racun akan merupakan senjata yang amat ampuh dalam menggunakan Hek-tok-sin-ciang. "Mungkinkah Thai Khek Sian keluyuran sampai di sini ?"
Mendengar ini. Kong Bu memandang kepada Wi Liong dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu" Ayah, siapakah saudara ini ?"
"Dia Thio Wi Liong, murid Thian Te Cu. Bu-ji, apa yang terjadi" Betulkah kau terluka oleh Thai Khek Sian " "
"Memang betul, ayah. Beng Kun-Cinjin datang bersama Thai Khek Sian, maksudnya Thai Khek Sian hanya mengundang Tai It Cinjin untuk menghadiri pertemuan di Pek-go-to yang akan diadakan, oleh Thai Khek Sian pada musim semi tahun depan. Akan tetapi iblis itu melihat dua orang nona Liok murid Tai It Cinjin dan dia menculik mereka. Aku melihat dan mencoba mencegahnya, akan tetapi dua pukulannya membuat aku roboh."
See-thian Hoat-ong mengerutkan alisnya yang gompyok. "Bukankah Beng Kun Cinjin itu masih keponakan Tai It Cinjin " Mengapa datang bersama Thai Khek Sian"
"Itulah yang amat menggemaskan," kata Kong Bu mengertak gigi menahan sakit. "Tadinya ia bersembunyi di Kim-le-san sini bersama Tai it Cinjin. Akan tetapi semenjak dua nona Liok menghalanginya membunuh Kun Hong, agaknya dia mendendam dan marah. Dia pergi tanpa pamit dan tahu-tahu telah bersekutu dengan Thai Khek Sian. Mungkin dia juga yang membujuk iblis itu untuk menculik ji-wi Liokmoi......" Ia berhenti sebentar dan nampak gelisah sekali, gelisah memikirkan dua orang gadis itu tanpa memperdulikan rasa sakit pada bubuhnya sendiri. Hal ini mudah dimengerti oleh karena Liok Hui Nio adalah tunangannya dan Liok Hui San adik tunangannya itu !.
"Ayah, harap ayah suka menolong dua nona itu. Ayah, kejarlah Thai Khek Sian dan minta kembali Hui Nio dan Hui Sian !"
See-thian Hoat-ong bingung. Permintaan puteranya ini hanya mudah diucapkan akan tetapi sungguh amat sukar dilaksanakan. Bagaimana dia bisa menghadapi Thai Khek Sian" Membantu Pak-thian Koai-jin yang hendak menolong muridnya dari Ban-mo to saja sudah sukar apa lagi sekarang menolong dua orang nona dari tangan Thai Khek Sian, seorang diri lagi !
Selagi ia termangu - mangu, Wi Liong cepat berkata, "Lo-enghiong, biarlah aku yang pergi menyusul Thai Khek Sian dan mencoba menolong dua orang nona Liok." Kemudian pemuda ini berpaling kepada Pak-thian Koai-jin dan berkata. "Locianpwe, sekarang timbul dua urusan yang hampir sama sifatnya, keduanya membutuhkan bantuan kita untuk menolongnya. Nona Pui Eng Lan perlu sekali ditolong, demikian juga kedua orang nona Liok, dan kesemuanya memerlukan pertolongan cepat. Oleh karena itu. sebaiknya kita membagi tugas. Biarlah aku yang mengejar Thai Khek Sian dan mencoba menolong ji-wi Liok siocia, sedangkan locianpwe bersama lo-enghiong pergi ke Ban-mo-to menolong nona Pui. Aku tidak begitu mengkhawatirkan keselamatan nona Pui karena aku menduga bahwa Kun Hong berada di Ban-mo-to kalau menilik dari penuturan Kong-ciangkun tadi. Malah agaknya Kun Hong yang sudah membawa pergi nona Eng Lan. Benar tidaknya harap locianpwe selidiki di Ban-mo-to."
Karena ucapan ini memang beralasan, Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong tak dapat membantah lagi. Akan tetapi Kong Bu ragu-ragu. Masa urusan begitu pentingnya, menolong dua orang gadis itu dari tangan iblis Thai Khek Sian, harus diserahkan kepada pemuda yang nampak lemah ini "
"Ayah, Thai Khek Sian itu amat lihai dan berbahaya ........ bagaimana saudara Thio ini bisa pergi sendiri saja ?"
"Hemm, kau tidak tahu. Sepuluh orang ayahmu ini masih belum mampu menandingi dia seorang." kata See-thian Hoat-ong yang sudah tahu akan kelihaian murid Thian Te Cu itu.
Kong Bu tercengang, juga girang sekali. Ia memberi hormat dengan amat canggung karena pundaknya sakit, lalu berkata. "Maaf aku bermata tidak dapat melihat orang pandai. Kalau saudara Thio yang akan menolong ji-wi Liok-siocia itulah baik sekali. Tentang urusan ke Ban-mo-to kalau perlu bantuan, kiranya Tai It Cinjin dan Im-yang Siang-cu berdua tentu suka menolong, apa lagi kalau mendengar bahwa saudara Thio mau menolong ji-wi Liok-siocia. Biar aku yang akan minta bantuan mereka."
Wi Liong mengangguk - angguk. "Tepat sekali dan Kong-ciangkun sendiri juga harus berobat. Obat yang paling baik bagi pengusiran racun berada di tangan Kui-bo Thai-houw, yaitu Ngo heng-giok-cu yang dirampasnya dari Ngo-tok-kauw belum lama ini." Wi Liong memang sudah melihat betapa tongkat pendek lambang Ngo-tok-kauw telah patah dan batu kemala Ngo-heng-giok-cu lenyap. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan pentolan Ban-mo-to itu "
Demikianlah, setelah semua setuju, Wi Liong lalu berpisah dari tiga orang itu. Ia berlari cepat sekali dan sekali berkelebat ia lenyap, membuat Kong Bu kagum dan baru percaya bahwa pemuda itu betul - betul lihai. Tadinya ia sudah amat kagum melihat Kun Hong yang dianggapnya lihai sekali dan jarang tandingannya, akan tetapi siapa kira sekarang ada pemuda ke dua yang juga luar biasa lihainya.
Sementara itu, Wi Liong melakukan perjalanan cepat sekali. Ia sudah tidak sabar dan ingin cepat - cepat pergi ke Pek-go-to, pulau yang menjadi sarang Thai Khek Sian dan kaki tangannya. Yang membuat Wi Liong buru - buru mengajukan diri untuk mengejar Thai Khek Sian. bukan hanya karena ingin menolong dua orang gadis she Liok yang belum dikenalnya. Kalau bicara tentang menolong, tentu saja ia lebih mengutamakan Eng Lan untuk dtolongnya, karena gadis ini sudah dikenalnya. Akan tetapi, tadi ia mendengar disebutnya nama Beng Kun Cinjin ! Nama yang sudah lama dicari - cari, yang sudah lama ia ingin jumpai, nama musuh besarnya, pembunuh ayah bundanya ! Tentu saja mendengar nama ini ia mengesampingkan urusan - urusan yang lain dan mengutamakan mengejar Beng Kun Cinjin. Jadi sesungguhnya ia bukan hanya hendak menolong dua orang saudara Liok dan mengejar Thai Khek Sian. melainkan lebih penting lagi ia mengejar Beng Kun Cinjin. musuh besarnya yang tahu - tahu sekarang muncul di samping Thai Khek Sian, hal yang sama sekali tak pernah disangka - sangkanya itu.
Bagaimanakah Beng Kun Cinjin tahu - tahu bisa bersekutu dengan Thai Khek Sian, pentolan golongan Mo-kauw itu " Biarpun Kong Bu sudah menceritakannya dengan singkat, akan tetapi hal ini perlu dijelaskan lagi. Tadinya Beng Kun Cinjin yang melarikan dini karena takut akan pembalasan anaknya sendiri, bersembunyi di tempat Tai It Cinjin pamannya. Akan tetapi setelah ia gagal membunuh Kun Hong yang malah dibela oleh dua orang saudara Liok yang menjadi murid Tai It Cinjin, ia merasa tidak aman di tempat itu. Pergilah ia ke Pek-go-to dan menyerahkan diri kepada Thai Khek Sian serta mohon perlindungan. Tentu saja Thai Khek Sian suka mendapat kaki tangan baru yang cukup tangguh seperti Beng Kun Cinjin, apa lagi mengingat bahwa orang ini adalah putera Gan Yan Ki yang terhitung masih saudara seperguruan sendiri. Dengan menyerahnya Beng Kun Cinjin Gan Tui kepadanya, berarti bahwa permusuhan turun - temurun antara tiga orang kakek sakti Wuyi-san, yang seorang telah ia menangkan. Dengan Beng Kun Cinjin kiranya ia akan dapat menang menghadapi Thian Te Cu kelak
Thai Khek Sian malah menurunkan pelajaran kepada Beng Kun Cinjin setelah ia mendengar obrolan Beng Kun Cinjin bahwa murid tokoh itu, Kun Hong, sekarang telah menyeleweng dan mendekati musuh - musuh Mo-kauw, dan bahwa Kun Hong adalah puteranya sendiri yang hendak membunuhnya. Dalam diri Beng Kun Cinjin yang pandai mengumpak dan menjilat, Thai Khek Sian mendapatkan seorang murid yang cocok sekali.
Beng Kun Cinjin pernah menjadi pembantu Raja Mongol. maka sekarang ia membisikkan siasat kepada Thai Khek Sian untuk mengadakan undangan kepada para tokoh besar di dunia kang-ouw, untuk menentukan siapa di antara para tokoh yang paling jago, sekalian merayakan ulang lahun ke delapan puluh dari Thai Khek Sian.
"Kita melakukan persiapan, memberi tahu Kaisar Mongol untuk menyergap mereka. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua lalat. Pertama, membasmi golongan - golongan berbahaya yang memusuhi kita, ke dua. Kaisar Mongol akan berterima kasih sekali kepada kita," kata Beng Kun Cinjin menutup siasatnya.
Thai Khek Sian menjadi girang sekali. Makin jahat rencana orang, makin kagumlah dia, karena di dalam benak orang ini tidak ada istilah jahat, yang ada hanyalah pintar atau bodoh, menang atau kalah. Setiap jalan, betapapun kejinya, betapapun jahat dan curangnya, akan ditempuh demi kemenangannya.
Di samping menyebar undangan untuk menghadiri pesta ulang tahun ke delapanpuluh di Pek-go-to, juga Beng Kun Cinjin menyatakan bahwa Tai It Cinjin yang menjadi pamannya, kakak ipar dari Gan Yan Ki selalu mengagulkan kepandaian.
"Dia perlu diundang," kata Beng Kun Cinjin, dan dia mempunyai dua orang murid yang cantik - cantik. Sayang sebetulnya dua orang gadis itu berada di sana, sebetulnya lebih patut berada di Pek-go-to menjadi murid Sian-su."
Gosokan - gosokan ini tentu saja mudah termakan oleh Thai Khek Sian. Maka bersama Beng Kun Cinjin ia lalu mendatangi Tai It Cinjin di Kim-le-san, memberi undangan sekalian "minta" dua orang murid itu. Hui Nio dan Hui Sian, menjadi muridnya ! Tai It Cinjin tidak berani apa-apa, akan tetapi Kong Bu yang melihat kekasihnya hendak dibawa lalu menyerang, akibatnya dia sendiri yang dua kali kena dipukul oleh Thai Khek Sian sampai terluka.
Hui Nio dan Hui Sian sedih dan gelisah bukan main ketika mereka dibawa dengan paksa oleh manusia iblis Thai Khiek Sian ke Pulau Pek-go-to. "Heh-heh-heh. kalian akan hidup senang di pulauku, dan kalian baru mengenal ilmu silat tinggi kalau menjadi muridku." kata kakek mengerikan itu kepada mereka. Baiknya Thai Khek Sian sudah terlalu tua untuk memperlihatkan sikap kurang ajar dan tidak mengganggu mereka. Memang kakek ini wataknya luar biasa sekali. Semenjak ia masih muda sekalipun, biar ia amat jahat, keji dan tidak ada kekejaman yang tak dilakukannya, namun ia tidak sudi menguasai wanita dengan kekerasan.
Wanita harus tunduk kepadanya, malah sebagian besar memperebutkan kasih sayangnya ! Memang aneh, akan tetapi kakek sakti ini memiliki kesaktian yang dapat menarik hati wanita. Hebatnya, biarpun di pulaunya banyak terdapat wanita - wanita muda yang cantik dan yang menjadi selir juga muridnya, namun ia tidak perduli apakah mereka itu setia kepadanya atau tidak. Malah sudah beberapa tahun ini. mungkin berhubung dengan usianya yang sudah delapanpuluh kurang, ia tidak begitu perdulikan mereka lagi dan sudah merasa "ayem" melihat selir- selirnya itu berada di sekelilingnya, berpakaian rapi, tersenyum - senyum dan menggembirakan hatinya dengan kemudaan mereka, dengan kegembiraan mereka dan semangat mereka belajar ilmu silat.
Thai Khek Sian menculik Hui Nio dan Hui Sian sama sekali bukan karena ia kegilaan dua orang gadis ini. Di pulaunya terdapat banyak wanita muda yang jauh lebih cantik dari pada mereka enci adik ini. Dia menculiknya hanya untuk memperlihatkan kepada murid barunya, Beng Kun Cinjin. akan kekuasaan dan kepandaiannya, bahwa dia berani menculik murid Tai It Cinjin. Terutama sekali untuk menghina Tai It Cinjin yang sikapnya sombong itu.
Maka, biarpun sedih dan gelisah. Hui Nio dan Hui Sian merasa lega juga ketika di Pulau Pek-go-to mereka berdua dilepas begitu saja di pulau itu. Pedang mereka malah tidak dirampas dan mereka boleh berbuat sesuka hati mereka. Makan, pakai sudah tersedia cukup dan Thai Khek Sian tak pernah mengganggu mereka karena kakek ini merasa yakin bahwa akhirnya dua orang gadis inipun, seperti yang lain - lain. dengan suka rela akan tunduk kepadanya.
Dua orang enci adik itu merasa bingung, Biarpun mereka dibiarkan bebas di pulau yang amat indah itu, akan tetapi apakah enaknya orang ditawan " Mereka sama sekali tidak berdaya. Tidak ada perahu yang tidak terjaga kuat yang dapat mereka curi. Untuk pergi dari pulau itu menyeberang ke daratan adalah hal tidak mungkin. Memberontak " Percuma, jangankan sampai Thai Khek Sian atau Beng Kun Cinjin turun tangan, baru murid - murid Thai Khek Sian, wanita - wanita cantik yang berada di situ dan hidup seperti puteri - puteri kahyangan itu saja sudah merupakan lawan tangguh sekali.
Pernah mereka didatangi dua orang gadis cantik sekali di antara banyak sekali wanita muda cantik - cantik itu. Seorang berpakaian merah dan yang ke dua berpakaian hijau. Pakaian mereka indah dan ketat dan harus diakui oleh enci adik ini bahwa dua orang wanita muda ini benar-benar cantik dan gagah, membuat mereka terheran - heran bagaimana dua orang wanita seperti ini bisa menjadi selir Thai Khek Sian. Si baju hijau berkata tersenyum manis,
"Kedua adik, bukankah kalian ini Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian murid Tai It Cinjin yang berkenan dibawa ke sini oleh Siansu " Ah, kalian beruntung sekali kalau terpilih menjadi murid Siansu. Hendaknya kalian baik - baik menjaga diri dan kalau kalian bisa mengambil hatinya menerima warisan ilmu, benar - benar kalian akan menjadi dua orang wanita perkasa ........"
"Tutup mulut !" Hui Sian membentak marah. "Siapa sudi menjadi muridnya" Kami diculik dan dipaksa ke sini. Kalau tidak, apa kau kira kami sudi menginjakkan kaki ke pulau kotor ini ?"
"Aduh galaknya ! Enci, buat apa kita bicara dengan dua serigala ini " Mari kita pergi saja," kata yang berbaju merah.
Akan tetapi yang berbaju hijau menggelengkan kepala sehingga anting - antingnya yang terbuat dari batu kemala indah itu bergoyang-goyang lucu sekali.
"Sudah jamak yang baru datang bersikap begini. Kelak juga akan berubah kalau sudah bosan bersikap marah - marah. Dua adik Liok, ketahuilah, aku Cheng In dan ini adikku Ang Hwa. Kalau kalian perlu akan sesuatu, boleh cari kami dan kami akan senang sekali kalau dapat menolong kalian."
Tiba-tiba Hui Nio memberi isyarat kepada adiknya dan keduanya mencabut pedang lalu melompat ke dekat Cheng In dan Ang Hwa sambil menodongkan pedang masing-masing.
"Kalian mau tolong " Baik, hayo lekas antar kami ke tempat perahu agar kami dapat lolos dari tempat ini. Kalau kalian membantah, pedang ini akan menembus dada kalian !" kata Hui Nio perlahan. Ia melihat kesempatan baik sekali. Agaknya Cheng In dan Ang Hwa ini merupakan orang - orang penting pula di situ, maka siapa tahu mereka ini dapat menolong di bawah ancaman pedang.
Akan tetapi, Cheng In dan Ang Hwa tiba-tiba tertawa cekikikan lalu menutupi mulut masing-masing.
"Kenapa tertawa ?" Hui Nio membentak gemas.
"Kalian ini lucu, lucu sekali !" Cheng In berkata lalu tertawa lagi dengan adiknya, Ang Hwa.
"Apanya yang lucu " Apakah ujung pedang ini lucu ?" Hui Sian membentak sambil menodongkan ujung pedangnya ke arah leher Ang Hwa.
"Apa kalian hendak memamerkan sedikit permainan pedang " Baiklah, mari kita main - main sebentar," kata Ang Hwa dan dengan gerakan bagaikan kilat cepatnya dia dan Cheng In sudah melompat ke belakang. Gerakan ini demikian gesitnya, sama sekali berlawanan dengan gerak-gerik mereka yang lemah lembut tadi dan di lain saat mereka sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya.
"Mau main - main dengan pedang " Boleh, majulah !" kata Cheng In, senyumnya manis mengejek.
Hui Nio dan Hui Sian sudah kepalang untuk mundur, mereka lalu maju menerjang dengan pedang mereka. Cheng In dan Ang Hwa menangkis dan kedua pasang enci adik ini bertempur seru. Akan tetapi ternyata bahwa tingkat dua orang murid dan kekasih Thai Khek Sian itu masih jauh lebih unggul. Sebentar saja gulungan sinar pedang mereka sudah mengurung rapat dan membuat murid - murid Tai It Cinjin kewalahan, terdesak mundur akan tetapi tidak ada jalan untuk keluar dari kurungan sinar pedang lawan. Beberapa jurus kemudian, terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Cheng In dan Ang Hwa telah berhasil membuat pedang lawan terpental dan menancap di atas tanah.
Hui Nio dan Hui Sian berdiri pucat. Akan tetapi Cheng In dan Ang Hwa tidak menyerang lagi, malah menyimpan pedang masing - masing dan sambil tertawa - tawa meninggalkan enci adik itu yang menjadi malu sekali. Hui Sian segera menjatuhkan diri menangis di atas rumput. Hui Nio menghampiri adiknya dan menghibur.
"Mereka terlampau kuat. Tidak ada jalan untuk keluar dari pulau ini dengan kekerasan. Kita harus bersabar sambil menanti kesempatan dan mencari akal," kata Hui Nio menghibur adiknya.
Dua orang gadis ini tidak tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda menghampiri mereka dari balik batu gunung - gunungan. Baru mereka kaget ketika pemuda itu menyapa, "Apakah ji-wi (kalian) ini ji-wi Liok-siocia dari Kim-le-san?"
Hui Nio dan adiknya menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian seperti orang kota atau golongan terpelajar, sikapnya lemah lembut dan wajahnya tampan sekali. Mereka tidak mengenalnya dan mengira bahwa orang ini tentu anggauta penghuni pulau ini atau kaki tangan Thai Khek Sian
"Betul." jawab Hui Nio ketus, "apakah kau ini begundal Thai Khek Sian dan mau apa dekat-dekat di sini " Pergilah !"
Pemuda itu tersenyum dan mengangkat tangan menjura. "Ji-wi siocia jangan salah sangka. Aku datang atas suruhan Kong Bu ciangkun untuk menolongmu."
Hui Nio sudah kelihatan girang sekali akan tetapi Hui Sian membentak. "Bohong! Siapa percaya obrolanmu " Apa kau bisa terbang ke pulau ini ?"
"Aku tidak bisa terbang." kata pemuda itu yang bukan lain Wi Liong adanya, "akan tetapi dengan pertolongan perahu kecil aku bisa menyeberang ke sini dan memasuki pulau tanpa ketahuan. Nona Liok, ada hal penting yang hendak kutanyakan kepada kalian. Apakah Beng Kun Cinjin berada di pulau ini ?" Wi Liong mengajukan pertanyaan ini dengan bernafsu sehingga suaranya agak menggigil. Hal ini disalah-artikan oleh Hui Sian yang berkata ketus,
"Kalau terhadap Beng Kun Cinjin saja kau ketakutan setengah mati, bagaimana kau akan mampu menolong kami ?"
"Hui Sian, jangan sembarangan bicara." Hui Nio menegur adiknya yang kewat (genit) itu, kemudian ia menghadapi Wi Liong. "Sudara ini siapakah dan untuk apa menanyakan Beng Kun Cinjin " "
Wi Liong menarik napas panjang. Ia mendongkol tidak dipercaya penuh oleh dua orang gadis ini. "Namaku Thio Wi Liong. Aku mendapat tugas menolong kalian berdua, akan tetapi sebelum aku lakukan hal itu, lebih dulu aku hendak mencari dan membunuh Beng Kun Cinjin."
Mendengar ini, dua orang enci adik itu melongo. Alangkah mudahnya pemuda ini bicara. Tidak saja Beng Kun Cinjin. sendiri merupakan seorang jago tua yang berilmu tinggi, juga di situ banyak orang pandai seperti Cheng In dan Ang Hwa tadi, jangan lagi bicara tentang Thai Khek Sian. Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda ini hendak menolong mereka, mau rasanya mereka mentertawakan pemuda ini seperti tadi Cheng In dan Ang Hwa mentertawakan mereka.
"Tentu saja Beng Kun Cinjin berada di rumah besar sana bersama Thai Khek Sian." kata Hui Sian sambil menudingkan telunjuknya yang kecil ke arah timur di mana tepat di tengah tengah pulau itu terdapat perumahan Thai Khek Sian dan murid - murid atau selir - selirnya. Dengan menyebut nama Thai Khek Sian, gadis ini hendak membikin kaget Wi Liong supaya jangan demikian besar omongannya. Akan tetapi siapa sangka, pemuda itu dengan mata bersinar - sinar girang mendengar Beng Kun Cinjin benar - benar berada di situ, lalu berkelebat pergi sambil berkata,
"Kalau begitu aku akan mencarinya lebih dulu!" Tubuhnya sekali berkelebat lenyap dari pandang mata dua orang gadis itu, membuat Hui Nio dan Hui Sian melongo terheran-heran dan kagum. Timbul harapan dalam hati mereka melihat kelihaian pemuda itu maka dengan cepat mereka memungut pedang masing- masing dan berlari mengejar, dengan maksud hendak membantu pemuda yang hendak menolong mereka dan membunuh Beng Kun Cinjin itu. Dua orang gadis ini memang orang - orang berjiwa gagah dan tabah sekali. Biarpun maklum akan menghadapi orang-orang sakti, mereka tidak gentar.
Dengan gerakan cepat sekali Wi Liong berlari menuju ke bangunan rumah-rumah di tengah pulau yang indah itu. Beberapa orang wanita muda cantik jelita yang duduk di taman bunga kaget melihat ia berlari-lari dan para wanita itu lalu membicarakan pemuda tampan yang lewat itu dengan penuh gairah.
Semenjak Kun Hong pergi meninggalkan pulau ini. mereka kesunyian dan sekarang melihat Wi Liong, tentu saja mereka menjadi gembira. Serentak mereka berdiri dan dengan gerakan ringan mereka mengejar, menyangka bahwa pemuda itu adalah tamu dari Siansu.
Wi Liong tidak memperdulikan para wanita itu yang pakaiannya indah - indah, orangnya muda - muda dan cantik - cantik. Ia terus berlari maju penuh nafsu, dan tak lama kemudian ia tiba di sebuah taman penuh batu-batu besar berbentuk gunung - gunungan yang membuat tempat itu kelihatan indah sekali. Tempat ini letaknya tak jauh dari perumahan yang sudah kelihatan dari situ tembok-temboknya dan tiba - tiba ia melihat seorang laki - laki tinggi besar berkepala gundul di atas sebuah batu, duduk bersila sambil minum arak dari guci, kelihatan senang puas sambil menikmati pemandangan yang memang indah, bunga-bunga dan gadis-gadis cantik bermain-main di antara bunga yang bertebaran di seluruh pulau itu !
Wi Liong belum pernah bertemu dengan Beng Kun Cinjin. Ia pernah melihat Thai Khek Sian maka ia tahu bahwa kakek ini bukan Thai Khek Sian, dan melihat bentuk tubuh yang kekar dengan kulit kehitaman, kepala gundul dan tasbeh panjang tergantung di leher hwesio itu, hatinya berdebar. Ia sudah mendengar dari pamannya bagaimana macamnya musuh besar itu.
"Apakah kau yang bernama Beng Kun Cinjin ?" tanyanya singkat, tangannya yang memegang suling gemetar saking tegangnya perasaannya.
Beng Kun Cinjin yang baru merasa aman setelah berada di Pek-go-to dekat dengan Thai Khek Sian, sedang duduk melamun penuh kesenangan. Ia tidak suka lagi mendekati gadis - gadis itu, akan tetapi melihat mereka bermain di dalam taman sungguh merupakan pemandangan yang menyedapkan hati dan pikiran. Di tempat ini ia merasa aman betul, maka ia kembali kepada kebiasaan lama ketika masih berada di istana kaisar, yaitu minum arak wangi sepuasnya ! Siapa yang ia takuti di tempat Thai Khek Sian " Kun Hong boleh datang, ia tidak takut !
Maka iapun kaget mendengar suara orang menyebut namanya. Ketika ia menengok ogah-ogahan sambil menenggak arak, hampir saja ia lepaskan gucinya karena mengira pemuda itu Kun Hong. Memang Wi Liong sebaya dengan Kun Hong,dan keduanya memang orang - orang muda yang tampan sekali. Akan tetapi ia segera melihat bahwa pemuda ini bukan Kun Hong, maka ia memandang rendah lalu balas bertanya.
"Orang muda, kau siapa dan bagaimana bisa mengenal nama pinceng ?"
"Beng Kun Cinjin, kalau begitu kau bersiaplah untuk mampus di tanganku !" Wi Liong maju selangkah, suling di tangannya tergetar.
Beng Kun Cinjin menunda minumnya, matanya memandang terbelalak kepada pemuda tampan itu, terheran - heran. "Eh. eh, orang muda apa kau sudah gila " Ataukah kau kemasukan roh dari malaikat pencabut nyawa " Siapakah kau yang tiada hujan tiada angin hendak membunuhku ?" Ia masih tidak perdulikan pemuda ini, memandang rendah dan sekali lagi menenggak arak dari guci itu.
"Mau tahu siapa aku " Baiklah agar kau jangan mampus penasaran. Bukalah telingamu baik-baik, jahanam keparat. Masih ingatkah kau kepada Thio Houw dan Kwee Goat ?"
Beng Kun Cinjin terkejut dan menurunkan guci arak dari mulutnya.
"Dia ......... mereka ......... itu murid - muridku. Kau siapalkah ?"
"Thio Houw adalah ayahku dan Kwee Goat ibuku. Namaku Thio Wi Liong, Nah, Beng Kun Cinjin, tentu kau tahu mengapa anak dari orang-orang yang kaubunuh sekarang datang hendak menuntut balas. Bersiaplah !"
Pucat wajah Beng Kun Cinjin mendengar ini. bukan pucat karena takut melihat pemuda ini, melainkan karena kaget diingatkan akan perbuatannya dahulu yang benar - benar amat ia sesalkan itu. Apa lagi sekarang ketika ia memandang penuh perhatian, wajah Wi Liong membayangkan wajah, Kwee Goat, murid perempuan yang dahulu amat ia sayang sebagai puteri sendiri. Biarpun ia kaget sekali, namun ia masih memandang rendah dan tidak mau kalah gertak.
"Ah, jadi kau anak dua orang muridku yang durhaka itu " Wi Liong, kau masih muda dan melihat wajahmu mirip wajah ibumu, baik kuampunkan kekurang-ajaranmu ini. Pergilah saja dan ketahuilah bahwa orang tuamu mati karena salah mereka sendiri, karena kedurhakaan mereka terhadap guru."
"Bangsat gundul keparat ! Selain membunuh ayah bundaku, kau secara keji membutakan mata paman Kwee Sun Tek. Setelah melakukan kekejian - kekejian itu, apakah sekarang masih berani menyangkal " Rasakanlah pembalasanku !" Cepat Wi Liong menerjang maju. akan tetapi sambil menggereng marah Beng Kun Cinjin menubruk dari atas dan memukul kepala Wi Liong dengan guci araknya. Wi Liong menangkis dengan sulingnya.
"Prakkk ............ !" Guci arak itu pecah berkeping - keping dan isinya menyiram muka Beng Kun Cinjin, membuat dia gelagapan. Baiknya dia terus menggulingkan diri ke belakang dengan amat cepat, kalau tidak tentu kepalanya yang gundul itu berkenalan dengan suling di tangan Wi Liong.
"Hebat ......... !" Beberapa suara halus mengeluarkan suara pujian. Itulah suara Cheng In, Ang Hwa, dan perempuan-perempuan lain yang tertarik dan sudah berada di situ. Mereka hanya menonton karena Beng Kun Cinjin adalah murid baru yang selalu menyendiri, sedangkan pemuda itu tak seorangpun kenal. Akan tetapi, para murid Thai Khek Sian yang rata- rata memiliki ilmu silat tinggi, melihat segebrakan saja sudah kagum karena mereka sudah tahu akan kelihaian Beng Kun Cinjin dan kini. sekali tangkis dengan suling saja Beng Kun Cinjin menjadi sibuk. Ini saja sudah cukup membuktikan kehebatan pemuda itu maka mereka pada mengeluarkan suara pujian.
Sementara itu, Beng Kun Cinjin yang tadinya kaget setengah mati sekarang menjadi marah dan penasaran. Ia telah mengambil tasbeh dari lehernya dan dengan suara seperti seekor harimau mengamuk, ia menerjang maju menyerang pemuda yang hanya bersenjata sebatang suling itu.
"Cici Cheng In. benar dia itu ........ benar orang she Thio itu ......... !" tiba - tiba Ang Hwa berkata. Memang dahulu pernah Cheng In dan Ang Hwa bertempur melawan Wi Liong ketika mereka berdua menjadi utusan Thai Khek Sian mengadakan pertemuan dengan ketua - ketua Hai-liong-pang dan mereka telah dikalahkan oleh pemuda tampan itu.
Adapun Wi Liong yang mengelak dari serangan tasbeh. mendengar suara ini serasa ia kenal. Ketika ia melirik, ia melihat Cheng In dan Ang Hwa. Tahulah ia bahwa ia telah terkepung oleh murid - murid Thai Khek Sian yang lihai. Akan tetapi ia tidak takut dan kini mencurahkan perhatiannya untuk melayani Beng Kun Cinjin. Melihat hebatnya gerakan tasbeh, ia segera memutar sulingnya dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah mendesak hebat dan membuat Beng Kun Cinjin mandi keringat !
"Adik Ang Hwa, orang she Thio ini benar-benar mengagumkan sekali Kepandaiannya sudah makin lihai saja ....... !" terdengar Cheng In memuji.
"Hwesio itu mana bisa menang !" kata Ang Hwa.
Memang Beng Kun Cinjin terdesak hebat oleh suling di tangan Wi Liong yang mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk membunuh musuh besar ini. Akan tetapi Beng Kun Cinjin bukannya lawan sembarangan. Ilmu silatnya tinggi dan tenaganya besar, baik tenaga lweekang apa lagi tenaga gwakangnya. Dia adalah seorang ahli gwa-kang yang sudah dapat menguasai lweekang tinggi, dan senjatanya berupa tasbeh itupun merupakan senjata yang amat ampuh dan sukar dilawan.
Kalau saja bukan Wi Liong murid terkasih Thian Te Cu yang menghadapinya, sukarlah menangkan hwesio yang banyak pengalamannya ini.
Yang bingung dan cemas adalah Beng Kun Cinjin sendiri. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa di samping Kun Hong yang ditakuti kini muncul seorang pemuda lain yang menjadi musuh besarnya, putera dari Thio Houw dan Kwee Goat, yang kepandaiannya malah tidak kalah oleh Kun Hong. Beng Kun Cinjin boleh jadi gagah perkasa dan sakti, akan tetapi dalam satu hal ia amat lemah, yaitu ia takut mati.
Ngeri ia menghadapi kematian, maka ia selalu ketakutan terhadap Kun Hong. sekarang ia makin takut lagi dengan munculnya Wi Liong. Ia masih mencoba untuk mengerahkan tenaga dan balas menyerang dengan tasbehnya. Kalau perlu ia akan mengadu nyawa, pikirnya nekat karena suling pemuda itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh batang dan mengurungnya dari semua jurusan. Ia yang tadinya hanya mampu menangkis saja, sekarang tidak perduli suling lawan dan membarengi dengan hantaman tasbeh ke arah kepala pemuda itu. Serangan yang nekat sekali!
Mana Wi Liong sudi mati bersama musuh besarnya " Ia menarik sulingnya dan menangkis hantaman itu. Hebatnya, begitu tasbeh tertangkis, senjata aneh ini terus melibat suling dengan kuatnya, tak dapat terlepas lagi ! Beng Kun Cinjin merasa diri cerdik, dengan girang ia membetot untuk merampas suling. Kepandaiannya "melibat dan merampas" ini dahulu selalu menjadi modalnya dalam pertempuran menghadapi lawan berat dan jarang sekali gagal. Dengan modal gerakan ini ia selalu dapat merampas senjata lawan dan mencapai kemenangan. Akan tetapi kali ini. ia tidak mampu merampas suling yang ringan itu! Malah - malah ketika ia hendak menarik kembali tasbehnya dan melepaskan libatan, ia tidak sanggup, seakan - akan suling itu berakar dan menjadi satu dengan tasbeh. Kini ia tidak tahu lagi apakah tasbehnya yang melibat ataukah suling lawan yang menahan !
Beng Kun Cinjin menggunakan tangan kirinya untuk memukul ke depan sambal melangkah maju. Angin menyambar kuat karena inilah pukulan Pat-in-ciang (Pukulan Mendorong Awan) yang lihainya bukan main dan dahulu sudah merobohkan entah berapa banyak lawan. Akan tetapi kali ini ia menghadapi Wi Liong. Pemuda itu dengan tenang juga menggerakkan tangan kirinya dan dengan telapak tangan dibuka ia menerima pukulan itu.
"Plakk......... !" Beng Kun Cinjin mengeluh dan mencelat ke belakang, tasbehnya putus untaiannya dan berjatuhan di atas tanah, menggelinding ke sana ke mari. Hwesio itu sendiri setelah dapat menguasai keseimbangan badan dan tidak terhuyung lagi, berdiri dengan muka pucat. Ia telah mendapa luka di dalam dada karena pukulannya sendiri membalik ketika bertemu dengan tangan Wi Liong.
"Bagus sekali ......... !" terdengar Cheng In memuji.'
"Pemuda hebat ......... !" Ang Hwa juga memuji dengan muka merah dan mata bersinar-sinar.
Wi Liong tidak perdulikan semua itu, ia melangkah maju perlahan untuk menghampiri musuh besarnya dan melanjutkan pertempuran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencela,
"Biar tampan dan lihai, musuh tetap musuh tak boleh dipuji. Hayo kalian pergi !"
Para wanita muda itu tidak ada yang berani membantah, cepat pada pergi berlari - lari dari tempat situ.
Wi Liong menengok dan kagetlah ia melihat Thai Khek Sian muncul dengan tiba - tiba. Ia kaget karena melihat kakek ini sekarang lebih mengerikan lagi dari pada dahulu ketika ia bertemu untuk pertama kalinya. Kakek ini masih tetap berkulit hitam, bertelanjang dada hanya mengenakan celana hitam panjang, kepalanya gundul, kuku jari tangannya panjang - panjang seperti cakar setan. Yang lebih mengerikan lagi, sekarang kakek ini memakai sebuah kalung yang mengikat sebuah tengkorak manusia. Tengkorak itu bergerak-gerak tergantung di depan dadanya, mengerikan sekali. Ia tidak tahu bahwa inilah "pakaian" Thai Khek Sian di waktu ia sedang bersamadhi atau melatih ilmunya. Tadi ia tengah bersamadhi maka ia "berpakaian" seperti ini dan ia keluar karena terganggu oleh suara - suara itu, terutama sekali karena pendengarannya yang luar biasa itu sudah dapat menangkap angin - angin pukulan dua orang yang sedang bertempur di taman.
"Gan Tui, kau mundurlah !"
Tentu saja Beng Kun Cinjin menjadi girang sekali dan cepat pergi dari situ untuk mengobati luka di dalam dadanya.
"Bocah kurang ajar, kau siapa dan bagaimana kau berani memasuki pulauku membuat kacau ?" Thai Khek Sian menegur.
Wi Liong berlaku waspada dan bersikap tenang. "Aku bernama Thio Wi Liong. aku bukan pengacau hanya akan membunuh Beng Kun Cinjin untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku. Thai Khek Siansu, harap kau minggir dan jangan mencampuri urusanku dengan ........."
Tiba - tiba Thai Khek Sian menubruk maju dan menyerang dengan kuku-kuku jari tangan kirinya, mencengkeram ke arah leher Wi Liong sambil tertawa - tawa.
"Kau curang !" Wi Liong berseru marah sambil menangkis dengan sulingnya. Ketika suling itu bertemu dengan kuku meruncing itu. terdengar suara nyaring seperti senjata-senjata tajam bertemu dan Wi Liong merasa telapak tangannya tergetar. Ia maklum akan kelihaian lawan, maka ia berlaku hati - hati sekali. Tadipun kalau ia tidak hati-hati, ia sudah kena dibokong dengan penyerangan tiba-tiba selagi ia bicara. Selain lihai, juga Thai Khek Sian amat curang, licin, penuh tipu muslihat, pendeknya segala macam kejahatan dan kecurangan memenuhi kepala yang gundul plontos itu.
Thai Khek Sian penasaran sekali. Ia sebagai seorang tokoh besar, seorang pentolan Mo-kauw nomor wahid, masa tidak bisa merobohkan seorang pemuda dengan sekali serang " Benar memalukan, pikirnya. Baiknya selir-selirnya sudah pada pergi dari situ, kalau tidak ia dapat kehilangan muka karena serangannya tadi gagal. Dengan kemarahan meluap ia menyerang lagi, Wi Liong menangkis dan di lain detik terjadilah serang - menyerang yang hebatnya bukan main. Wi Long memusatkan seluruh perhatian, tenaga, dan kepandaiannya ke dalam semua gerakannya. Selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi lawan setangguh ini dan setiap gerakan harus diperhitungkan benar - benar. Ia cukup maklum bahwa sekali saja meleset dan terkena pukulan kakek ini berarti maut baginya.
Thai Khek Sian makin penasaran. Ternyata bocah ini dapat melayaninya dengan baik ! Setiap serangan darinya selalu dapat dielakkan atau ditangkis, malah dapat membalas dengan penyerangan kilat. Suling itu hebat sekali. Ia memperhatikan gerak tipu - gerak tipu pemuda itu dan tiba-tiba ia berteriak,
"Kau murid Thian Te Cu......... !!" Sambil berteriak begini ia melompat mundur.
Wi Liong menyilangkan suling di depan dadanya, sikapnya tetap tenang dan keren. "Betul, dan aku musuh besar Beng Kun Cinjin. Dia pembunuh ayah bundaku. Harap kau orang tua jangan mencampuri urusanku."
Thai Khek Sian tertawa bergelak. Tengkorak di depan dadanya bergerak- gerak mengangguk-angguk. "Bocah kurang ajar, kau berhadapan dengan susiokmu (paman gurumu) sendiri berani bersikap begini tak tahu adat ?"
Wi Liong tersenyum sindir. "Kau tidak pernah mengakui suhu sebagai suheng (kakak seperguruan), bagaimana aku bisa mengakui kau sebagai susiok?"
"Bocah sombong, kau perlu dihajar !" Dengan gemas sekali Thai Khek Sian menerjang maju dengan sepuluh jari kukunya. Kukunya panjang-panjang dan setiap jari merupakan semacam pisau berbisa yang amat menakutkan. Bukan hanya berbisa, malah mengandung kekuatan tak kalah oleh pedang sehingga tiap kali bertemu dengan suling Wi Liong, terdengar suara nyaring seperti baja bertemu.
Wi Liong tidak berani berlaku lambat. Cepat ia menandingi kakek itu dengan ilmu pedangnya yang sempurna, yang dimainkan dengan suling. Kalau pukulan - pukulan Thai Khek Sian mendatangkan angin bersiutan sehingga daun-daun tetanaman di taman itu pada gugur, adalah suling Wi Liong mengeluarkan suara melengking seperti ditiup, dan suling itu dalam tangannya seperti berubah menjadi banyak sekali. Gulungan sinar suling bergelombang mengimbangi gerakan kuku-kuku jari lawannya. Mereka telah bertanding lagi dengan hebatnya, seru dan mati - matian. Makin lama Thai Khek Sian makin marah karena penasaran sekali. Sampai puluhan jurus belum juga ia dapat mengalahkan lawannya yang muda. Jangan kata mengalahkan, mendesakpun tidak mampu. Matanya mengeluarkan cahaya berapi, kepalanya seperti mengeluarkan uap dan gerakannya makin menggila.
Wi Liong diam-diam terkejut bukan main. Setiap pertemuan antara sulingnya dengan tangan manusia iblis itu, ia merasa lengannya tergetar
Akan tetapi ia mengumpulkan semangatnya dan melawan mati-matian sepenuh tenaga. Pertempuran itu bukan main hebatnya. Pepohonan tercabut dan roboh, batu - batu pada pecah yang berada di dekat tempat itu. semua itu hanya terkena hawa pukulan yang membabi-buta.
Dua orang gadis, Hui Nio dan Hui Siam yang sudah menyusul sampai di situ. menonton dari belakang batu besar dengan muka pucat. Selama hidupnya belum pernah mereka menyakskan pertandingan sehebat itu. Angin - angin pukulan menyambar sampai ke tempat mereka dan hanya dengan berlindung di balik batu besar itu mereka dapat menonton. Kalau tidak, hawa pukulan itu tentu menyerang mereka dan biarpun jaraknya jauh, kiranya mereka takkan dapat menahan dan akan roboh. Malah suara melengkingnya suling yang keluar dari senjata Wi Liong tak kuat mereka dengarkan lebih lama lagi. Suara itu mengandung khikang tinggi, membuat mereka lemas dan tulang - tulang terasa sakit. Terpaksa mereka menggunakan saputangan untuk menutupi kedua telinga !
Puluhan jurus telah lewat. Bahkan ratusan jurus. Sejam, dua jam, tiga, empat jam sudah dua orang itu bertanding, akan tetapi masih belum ada yang kalah atau menang. Mereka sudah tidak kelihatan lagi, sudah berubah menjadi dua gundukan sinar yang aneh, sinar bergulung-gulung dan menyambar ke sana ke mari seperti dua ekor naga sakti bermain - main di angkasa raya.
Akhirnya Thai Khek Sian tak dapat menahan sabar lagi. Memang Wi Liong sudah lama sejak tadi terdesak hebat, akan tetapi ia masih terus mempertahankan diri dan karena Thai Khek Sian ingin merobohkan pemuda itu dengan ilmu silatnya maka sebegitu lama ia belum mampu merobohkan pemuda itu. Setelah-kesabarannya habis, tiba-tiba kakek ini mengeluarkan pekik yang luar biasa dahsyatnya, bukan pekik manusia lagi melainkan suara yang patutnya keluar dari neraka jahanarm. Tengkorak yang tergantung di dadanya tiba-tiba mengeluarkan asap putih dari mulut yang menyambar ke arah Wi Liong. Pemuda ini memang sudah sibuk terkurung oleh jari - jari tangan berkuku tajam itu sehingga ia tidak keburu lagi menghindarkan diri. Sekali ia menyedot asap itu, tubuhnya terhuyung dan ia roboh pingsan di atas tanah ! Thai Khek Sian tertawa tergelak, akan tetapi, ia masih ingat bahwa pemuda ini adalah murid Thian Te Cu maka ia tidak mau membunuhnya. Betapapun juga. ia masih merasa ngeri untuk menanam permusuhan dan menimbulkan marahnya Mayat Hidup Thian Te Cu itu. Baru muridnya saja sudah begini hebat, pikirnya, entah bagaimana lihainya kakek itu yang sudah lama sekali tak pernah ia jumpai.
Selagi Thai Khek San tertawa-tawa girang, muncul Hui Nio dan Hui Sian dari tempat sembunyinya. Dua orang gadis ini yang menganggap Wi Liong sebagai penolong mereka, tentu saja tidak bisa tinggal diam melihat penolong mereka roboh pingsan. Mereka takut kalau - kalau Thai Khek Sian membunuh pemuda itu. Hui Sian dengan tabah lalu melompat ke depan Thai Khek Sian dengan pedang di tangan.
"Kau baru bisa bunuh dia melalui mayatku !" katanya gagah sambil bersiap untuk bertempur.
Sedangkan Hui Nio yang melihat wajah pemuda itu pucat dan napasnya tidak ada lagi, cepat mengangkat tubuh atas Wi Liong dan dipangkunya. Wi liong sudah lemas dan pucat, napasnya tidak ada lagi seperti orang mati.
"Kau.........kau membunuhnya ......... !" kata Hui Nio marah sekali. Dengan perlahan ia lalu menurunkan tubuh Wi Liong di atas rumput dan melompat di samping Hui Sian dengan pedang di tangan.
"Eh-he-he. kalian ini mau apa ?" Thai Khek Sian mentertawakan mereka. "Pemuda itu apamu sih?"
"Bukan apa - apa !" jawab Hui Sian tegas. "Akan tetapi dia mau menolong kami keluar dan sini. Oleh karena kau telah membunuhnya, kamipun hendak mengadu nyawa denganmu !" Setelah, berkata demikian, Hui Sian lalu menerjang maju, diikuti oleh Hui Nio.
Thai Khek Sian tertawa bergelak. Tentu saja dua orang gadis itu bukan lawannya. Ia membuat gerakan aneh ke kanan kiri, terdengar bunyi "krak-krak !" dan dua batang pedang di tangan Hui Nio dan Hui Sian itu telah kena ia rampas dan ia patah - patahkan ! Lalu ia melempar pedang - pedang itu sambil tertawa terkekeh - kekeh.
Akan tetapi Hui Nio dan Hui Sian tidak mau sampai di situ saja. Biarpun pedang mereka sudah dirampas, mereka serentak maju dan menyerang dengan kepalan dan tendangan mereka ! Thai Khek Sian mulai marah. Ia membiarkan dua orang gadis itu memukul dadanya, pukulan - pukulan itu terpental dan dua orang gadis itu merasa tangan mereka sakit sekali. Pada saat itu Thai Khek Sian memberi tanda panggilan dengan teriakannya dan datanglah Cheng In dan Ang Hwa berlarian.
"Robohkan mereka, tapi jangan bunuh" kata Thai Khek Sian.
Cheng In dan Ang Hwa bertindak cepat. Mereka menyerang Hui Nio dan Hui Sian yang tentu saja berusaha melawan. Akan tetapi dari jauh Thai Khek Sian mendorong mereka sehingga keduanya jatuh terguling. Pada saat itu Cheng In dan Ang Hwa sudah menotok jalan darah mereka, membuat dua orang gadis tawanan itu tak berdaya lagi.. Melihat Wi Liong juga rebah tak bergerak, Cheng In dan Ang Hwa menjadi khawatir sekali.
"Bawa mereka ke dalam perahu, lepaskan perahu di tengah lautan. Biarkan ombak yang memutuskan mati hidup mereka !" perintah Thai Khek Sian.
Cheng In dan Ang Hwa sudah kenal betul watak Thai Khek Sian. Dari suara kakek ini saja tahulah mereka bahwa kakek ini sedang kesal hati dan tidak ingin perintahnya dibantah. Maka tanpa berani banyak cakap lagi dua orang wanita cantik ini lalu menjalankan perintah itu. Mereka mengangkat tubuh Wi Liong yang sudah lemas seperti mayat, juga tubuh dua saudara Liok dan membawanya ke dalam sebuah perahu, dibantu oleh seorang kawan lain. Lalu perahu itu mereka dayung ke tengah lautan, antara Pulau Pek-go-to dan daratan kemudian berpindah perahu dan meninggalkan perahu kecil bergolak - golek di atas lautan. Dengan hati berat Cheng In dan Ang Hwa meninggalkan perahu itu, berat hati mereka melihat Wi Liong, akan tetapi tidak berdaya menolong, takut kepada Thai Khek Sian.
Apa sebabnya Thai Khek Sian tidak mau membunuh Wi Liong " Dan mengapa pula ia melepaskan Hui Nio dan Hui Sian " Kakek ini biarpun kejam dan berwatak aneh, ia cerdik luar biasa dan dapat melihat datangnya akibat-akibat buruk kalau ia membunuh pemuda itu. Ia tahu dari pertempurannya melawan Wi Liong tadi bahwa Thian Te Cu sudah menurunkan hampir seluruh kepandaiannya kepada muridnya. Dia takkan mampu mengalahkan Wi Liong kalau saja ia tidak mempergunakan uap beracun. Dengan ilmu silat saja, kiranya ia takkan dapat mengalahkan Wi Liong. Maka ia dapat membayangkan betapa besar kesayangan Thian Te Cu kepada muridnya. Kalau ia membunuh Wi Liong, tentu kelak Thian Te Cu takkan mau mengampunkannya. Lain lagi kalau ia bisa mengatasi Thian Te Cu. tentu ia takkan takut. Akan tetapi, melihat tingkat kepandaian Wi Liong, benar-benar Thian Te Cu tak boleh dipandang ringan.
Beberapa bulan lagi ia akan mengadakan pertemuan dengan tokoh - tokoh besar maka tak boleh ia menanam permusuhan besar dengan tokoh yang masih terhitung suhengnya itu. Inilah yang menyebabkan ia tidak mau membunuh Wi Liong dan menyuruh dua orang muridnya, Cheng In dan Ang Hwa. melepaskan Wi Liong di atas perahu di tengah lautan. Juga ia tidak mau mengganggu Hui Sian dan Hui Nio karena ia tidak mau kalau hal ini kelak dipergunakan oleh Thai It Cinjin yang membencinya untuk menyerangnya di depan umum. Pula, diam-diam ia kagum melihat sikap dua orang gadis yang membela Wi Liong tadi.
Akan tetapi Thai Khek Sian menjadi amat penasaran dan gelisah. Hatinya mengkal dan tak senang sekali oleh kenyataan bahwa menghadapi Wi Liong saja ia tidak mampu mengalahkannya. Ia merasa khawatir bahwa ia takkan dapat menjadi tokoh nomor satu di dunia, yang penentuannya akan ia adakan kelak pada waktu para tokoh berkumpul di pulaunya. Maka sepergi Cheng In dan Ang Hwa yang memenuhi perintahnya, yaitu membawa tubuh Wi Liong. Hui Nio, dan Hui Sian ke perahu dan melepaskan perahu itu di atas laut, kakek ini lalu memasuki bilik samadhinya untuk tekun melatih diri mencari kemajuan untuk ia pergunakan kelak menghadapi tokoh - tokoh besar, terutama sekali Thian Te Cu.
Sementara itu. di atas lautan, sebuah perahu kecil terapung - apung dipermainkan ombak, miring ke kanan kiri, terayun-ayun seperti dalam buaian tangan ibu yang mencinta. Beberapa ekor ikan hiu yang sisiknya loreng - loreng seperti harimau meluncur di kanan kiri perahu, mendorong-dorong dengan moncongnya, mengharapkan perahu itu terguling seakan-akan binatang air yang amat ganas ini sudah tahu atau mencium bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu tak berdaya lagi. Gerakan perahu oleh ayunan ombak amat halus, akan tetapi dorongan moncong ikan-ikan itu kasar dan keras seperti menggugah orang-orang yang berada di dalam perahu.
Wi Liong lebih dulu sadar atau lebih tepat lagi siuman dari pada keadaan pingsan. Goyangan-goyangan kasar akibat perbuatan ikan-ikan itu membuat kepalanya beberapa kali terbentur pada kayu keras pinggiran perahu. Begitu siuman, pemuda ini membuka mata dan alangkah kaget, jengah dan herannya ketika ia mendapatkan dirinya bertumpuk tidak karuan dengan dua orang gadis Liok, boleh dibilang saling berpelukan tidak sewajarnya dengan Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian ! Yang membuat ia malu bukan main adalah kenyataan betapa ia beradu muka dengan Hui Sian seperti orang berciuman. Ia melihat pipi yang kemerahan dan mata yang bersinar aneh dari gadis itu, seakan-akan Hui Sian membiarkan keadaan seperti itu, bahkan merasa senang ! Tentu saja ia tidak tahu bahwa gadis itu seperti juga encinya, biarpun panca inderanya masih bekerja, namun karena jalan darah mereka tertotok, mereka tidak kuasa bergerak. Oleh karena inilah, betapapun malu dan jengah hati Hui Sian, gadis ini tidak dapat mencegah ia berciuman tanpa disengaja dengan Wi Liong.
Wi Liong cepat bangun duduk dan memandang ke kanan kiri. Baru ia tahu bahwa ia bertumpuk di dalam perahu kecil bersama Hui Sian dan Hui Nio, dan betapa perahu itu terayun-ayun di tengah lautan. Kaget ia melihat ikan-ikan hiu berseliweran di pinggir perahu. Kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri perahu mengirim pukulan dan dua ekor ikan hiu sebesar bantal berkelojotan lalu terapung dalam keadaan mati. Bangkai mereka ini segera menjadi rebutan kawan-kawan sendiri. Mengerikan ! Dengan tangannya pula, Wi Liong mendayung perahu menjauhi gerombolan ikan liar itu. Kemudian ia menoleh ke arah Hui Nio dan Hui Sian.
Melihat dua orang nona ini masih saja rebah seperti tadi, tidak bergerak sama sekali, barulah Wi Liong sadar bahwa mereka itu berada dalam keadaan tertotok. Lenyaplah sebagian besar rasa heran dan jengahnya akan sikap dua orang gadis yang seakan-akan mandah dan diam saja berpelukan dengan dia tadi. Segera ia mengulur tangan membuka jalan darah mereka.
Hui Nio dan Hui Sian mengeluh, menggeliat melemaskan urat-urat tubuh yang kaku, kemudian Hui Sian menangis sambil menyembunyikan muka di pangkuan encinya yang menghiburnya.
"Eh, nona mengapa menangis " Kita sudah terhindar dari bahaya, terbebas dari Thai Khek Sian yang keji. Seharusnya kita bergirang, biarpun aku tidak mengerti bagaimana kita bisa tertolong dari bahaya maut."
"Sian-moi, sudahlah jangan menangis, Thio-taihiap berkata betul, tak perlu kau bersedih karena kita sudah dibebaskan oleh siluman itu dan tak perlu kau malu karena kau tidak berdaya."
Wi Liong terheran mendengar kata - kata terakhir, ia sama sekali tidak tahu bahwa Hui Sian tadi menangis karena setelah siuman menjadi malu sekali teringat akan keadaannya dengan Wi Liong tadi. juga tidak tahu bahwa Hui Nio mengerti pula akan keadaan mereka yang aneh tadi. Namun, tetap saja warna merah menjalar di seluruh mukanya ketika Hui Sian mengangkat muka dan bertemu pandang dengannya. Bukan main keadaan tadi. pikirnya, dan sekarang dia yang tak berani memandang pipi merah itu lama-lama!
"Sekarang harap ji-wi terangkan bagaimana kita bisa berada di perahu ini ?" tanya Wi Liong, menujukan pertanyaannya kepada Hui Nio karena sekarang pandang mata Hui Sian kepadanya seakan - akan mengandung seribu bahasa yang membuat ia berdebar dan takut - takut.
"Memang aneh pengalaman kita." Hui Nio mulai menuturkan pengalaman tadi. "kau bertempur dengan kakek siluman dan kau tiba- tiba roboh pingsan entah mengapa aku tidak tahu. Kami mencoba untuk melawan kakek itu. akan tetapi pedang kami dipatahkan dan segebrakan saja kami roboh. Kami ditotok tak berdaya oleh perempuan-perempuan baju hijau dan merah ........." sampai di sini Hui Nio kelihatan gemas sekali. "Tentu saja aku sudah habis harapan dan menyerahkan diri kepada nasib. Akan tetapi aneh sekali, kakek itu tidak membunuh dan tidak mengganggu kita malah ia menyuruh dua orang perempuan itu untuk membawa kita ke perahu lalu dilepas di tengah lautan, ditinggalkan begitu saja ........." Wajah Hui Nio tiba - tiba menjadi merah karena tadipun ia rebah dengan kepala di atas dada Wi Liong !
Mendengar penuturan ini, Wi Liong mengangguk-angguk dan berkata perlahan, seperti kepada diri sendiri. "Bagus dia masih punya rasa takut kepada suhu ......... !"
Tiba - tiba ada suara menjawab kara-kata ini, suara yang datangnya sayup sampai seperti terbawa angin yang datang bertiup.
"Siapa takut gurumu" Aku sengaja memberi kau hidup supaya kau bisa cerita kepada suhumu betapa muridnya tidak berdaya menghadapi aku, dan bahwa pada musim chun nanti gurumu harus datang mengadu ilmu !"
Wi Liong berdiri di atas perahu, lalu menghadap ke arah Pulau Pek-go-to, berkata mengerahkan khikangnya, melakukan ilmu yang disebut Coan-im-jit-bit (Mengirim Suara dari Jauh),
"Thai Khek Siansu. tidak usah guruku sendiri datang. Kelak cukup aku yang datang membalas kebaikanmu membebaskan aku dari maut !" Ucapan ini dikeluarkan oleh Wi Liong dengan nada penasaran dan pahit sekali. Memang, bagi seorang gagah, dibebaskan begitu saja oleh seorang musuh, merupakan semacam penghinaan yang harus dibalas pula !
Thai Khek Sian tidak menjawab pula, hanya terdengar suara ketawanya yang menggema di seluruh permukaan air seperti suara iblis tertawa. Memang hebat kepandaian kakek itu, tidak tahunya sejak tadi ia masih mengawasi orang - orang muda ini dari jauh. Betapapun lihainya Thai Khek Sian yang harus diakui pula oleh Wi Liong, namun pemuda ini masih penasaran. Dia memang kalah, akan tetapi kekalahan yang tidak sah, karena kakek itu menggunakan kecurangan. Ia harus minta nasihat gurunya dalam hal ini dan kelak, jika masanya tiba. ia akan menghadapi Thai Khek Sian lagi untuk menebus kekalahannya, untuk menebus penghinaan tadi dan sekali waktu ia harus dapat membebaskan pula kakek iblis itu dari maut, seperti tadi !
Sementara itu, Hui Nio dan adiknya memandang kepada Wi Liong dengan melongo. Memang tadipun ketika menyaksikan pertempuran antara pemuda ini dengan Thai Khek Sian, mereka sudah kagum sekali. Sekarang baru mereka takluk betul dan mengakui bahwa pemuda ini adalah seorang sakti. Malah lebih hebat dari pada Kun Hong, pikir mereka. Hui Sian makin kagum saja. Baru-baru ini ia bertemu dengan Kun Hong yang amat mengagumkan hatinya, sekarang ia bertemu dengan pemuda yang malah melebihi Kun Hong. Hal ini adalah karena hati gadis ini masih kosong, maka ia tertarik kepada pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan tampan. Tidak demikian dengan Hui Nio. Biarpun ia juga merasa kagum sekali melihat Wi Liong, namun hatinya sudah tertambat kepada Kong Bu dan di dunia ini tidak ada pemuda yang dapat melebihi Kong Bu tunangannya itu.
"Thio-taihiap telah bersusah payah menolong kami berdua kakak adik. maka kau adalah penolong kami yang patut kami muliakan. Terima kasih banyak. Thiotaihiap dan semoga Thian saja kelak membalas budi ini kalau kami tidak kuasa membalasnya." kata Hui Nio sambil menjura dengan hormat.
Wi Liong terkejut dan cepat-cepat membalas penghormatan itu. "Harap ji-wi siocia (nona berdua) jangan mempergunakan banyak peraturan sungkan. Mana bisa aku disebut penolong !" Ia tertawa pahit teringat akan kekalahannya lagi. "Belum sempat menolong aku sudah tertawan! Kalau ada bicara tentang menolong, kiranya harus dikatakan bahwa kita bertiga ini tertolong oleh Thai Khek Sian !"
"Jangan berkata begitu, taihiap. Yang patut di hargai bukanlah perbuatannya, melainkan usahanya. Usaha yang baiklah yang patut dihargai tanpa melihat bagaimana hasilnya. Taihiap sudah bersusah payah berusaha menolong kami dengan melupakan keselamatan diri sendiri, betapapun hasil usaha pertolongan itu. tetap saja kami merasa berterima kasih sekali dan taihiap adalah penolong kami !"
Wi Liong tersenyum dan kagum mendengar ucapan gadis ini yang sekaligus membayangkan kecerdasan otaknya dan kebaikan hatinya.
"Enci Hui, kau bagaimana sih " Kalau tidak datang Thio-taihiap. apakah kita sekarang bisa ter-bebas dan berada di atas perahu ini" Biarpun yang melepaskan kita adalah Thai Khek Sian, akan te-tapi sebetulnya yang dilepas adalah taihiap dan kita hanya membonceng saja. Bukankah begitu " "
Hui Nio tertawa menutupi mulutnya, memandang kepada Wi Liong. "Kau betul, Hui Sian. Aku sampai lupa. Nah, taihiap. Kau mendengar sendiri. Memang, biarpun kau dirobohkan Thai Khek Sian. akan tetapi usahamu menolong kami berhasil baik, buktinya kami sudah terbebas! Kalau tidak kau datang menyerbu, mana bisa kami dibebaskan ?"
Wi Liong terpaksa mengakui kebenaran kata - kata ini. "Sudahlah, di antara orang sendiri mana perlu bicara tentang tolong-menolong " Yang ada hanya wajib."
"Ketika datang, taihiap bilang disuruh oleh Kong-twako. Bagaimana kau bisa bertemu dan berkenalan dengan dia ?" tanya Hui Sian.
"Apakah luka-lukanya sudah sembuh......?" Hui Nio menyambung dengan suara mengandung penuh kekhawatiran akan keselamatan tunangannya itu.
"Mari bantu aku mendayung perahu ini menuju ke daratan, nanti kuceritakan," ajak Wi Liong.
Tiga orang muda itu lalu mendayung perahu mempergunakan tangan saja. Biarpun hanya telapak tangan yang menggantikan dayung, Hui Nio dan Hui Sian di sebelah kiri perahu sedangkan Wi Liong di sebelah kanan, namun karena mereka bertiga adalah orang-orang terlatih dan memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga yang luar biasa, maka perahu dapat meluncur cepat, tidak kalah oleh perahu yang didayung oleh tukang - tukang perahu mempergunakan dayung yang baik.
Dengan singkat Wi Liong lalu menceritakan perjalanannya.
Dua orang gadis itu gembira sekali mendengar bahwa Wi Liong sudah kenal baik dengan See-thian Hoat-ong Kong Lek In ayah Kong Bu dan lebih kagum lagi mendengar betapa Pak-thian Koai-jin juga datang untuk bersama See-thian Hoat-ong menolong Pui Eng Lan murid Pak-thian Koai-jin yang terculik oleh Kui-bo Thai-houw.
"Kui-bo Thai-houw lihai dan berbahaya sekali ........." kata Hui Nio.
"Karena itu aku harus lekas-lekas menyusul ke sana untuk membantu kawan-kawan," kata Wi Liong yang kini merasa khawatir juga mengingat betapa See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai-jin hendak menolong Eng Lan di Pulau Ban-mo-to, menghadapi Kui-bo Thai-houw yang berbahaya.
"Taihiap, biarkan kami ikut. Kami akan membantu sedapat mungkin," kata Hui Sian dengan suara memohon. "Dengan perahu ini dari sini kita bisa langsung pergi ke Ban-mo-to. arahnya ke selatan."
Wi Liong menggeleng kepala. "Tidak perlu, nona. Selain kalian sudah lelah dan mengalami kekagetan, juga perjalanan itu amat berbahaya. Kalau sampai terjadi apa - apa dengan kalian, bagaimana aku akan berkata kepada See-thian Hoat-ong lo-enghiong " Mari kalian kuantar mendarat lebih dulu setelah itu terpaksa aku akan mendahului kalian pergi ke Ban-mo-to."
Hui Sian nampak merengut, akan tetapi kakaknya yang lebih cerdik lalu berkata, "Hui Sian. kau ini masa masih hendak membikin susah Thio-taihiap " Kau sendiri tahu betapa lihainya penghuni Ban-mo-to dan perjalanan itu kiranya tidak kurang bahayanya dari pada ke Pek-go to Malah-malah iblis betina itu bisa lebih kejam dari pada iblis Pek-go-to. Kita yang berkepandaian rendah jangan kata membantu, malah-malah membikin repot saja. Jangan bersikap seperti anak kecil!"
Hui Sian mengangguk-angguk maklum. Wi Liong merasa tidak enak sekali. "Aku sama sekali tidak berani memandang rendah kepada kalian. Ilmu kepandaian kalian sudah cukup tinggi, malah lebih tinggi dari pada kebanyakan gadis ahli silat. Sedikitnya setingkat dengan kepandaian nona Pui Eng Lan. Akan tetapi, biarpun aku tidak bermaksud meremehkan kalian, namun kata-kata yang diucapkan oleh nona Hui Nio tadi tepat sekali. Kalau sampai terjadi pertempuran, seperti ketika aku menghadapi Thai Khek Sian tadi, bagaimana aku bisa melindungi kalian" Kabarnya, Kui-bo Thai-houw tidak kalah lihainya oleh Thai Khek Sian."
Dua orang gadis itu tak dapat membantah lagi setelah mendengar ucapan yang jujur ini. Mereka menjadi makin kagum dan suka kepada pemuda yang selain lihai, juga halus perangainya dan jujur sikapnya ini. Setelah memandang beberapa lamanya dengan kagum, Hui Sian bertanya,
"Thio-taihiap ini murid siapakah " Agaknya Thai Khek Sian takut kepada suhumu."
"Suhu disebut Thian Te Cu."
Dua orang gadis itu terkejut sekali. "Si Mayat Hidup ?"
"Hush ...... Hui Sian. jangan kurang ajar!" tegur Hui Nio kepada adiknya yang tadi menyebutkan "Si Mayat Hidup".
Akan tetapi Wi Liong hanya tersenyum. "Begitulah orang - orang yang tidak suka menyebut nama suhu. Anehnya, bagaimana kau bisa tahu nama poyokan itu, nona ?"
Muka Hui Sian menjadi merah. "Maafkan, aku tidak sengaja mengejek. Aku mendengar nama itu dari......... dari ........."
"Begini, taihiap. Yang suka menyebut nama itu adalah suhu kami,"
"Siapakah guru kalian ?"
"Suhu adalah Thai It Cinjin di Bukit Kum-Ie-san," jawab Hui Nio.
Wi Liong tercengang. Teringat ia kepada kakek tinggi besar berkepala botak bermata lebar yang lengannya berbulu, kakek yang bersama Im-yang Siang-cu pernah menyerbu Wuyi-san. Ia mengangguk-angguk dan maklumlah ia kini mengapa Hui Sian mengenal poyokan gurunya itu. Memang ia tahu bahwa ipar dari Gan Yan Ki itu benci kepada Thian Te Cu dan lebih benci kepada Thai Khek Sian. seorang tokoh yang amat aneh.
"Dan di sana tinggal pula dua orang kakek yang disebut Im-yang Siang-cu?" tanyanya minta kepastian.
"Im-yang Siang-cu adalah tokoh - tokoh Bu-tong-pai, mereka paman- paman guru kami," kata Hui Sian. kaget dan heran bagaimana pemuda ini bisa mengenal susiok-susioknya.
"Dan Beng Kun Cinjin, itu, bukankah dia itu....... keponakan suhu kalian, Thai It Cinjin " Mengapa dia malah bersama Thai Khek Sian menculik kalian yang menjadi murid-murid pamannya ?"
"Keledai gundul itu!" Hui Sian memaki. "Siapa tahu akan maksudnya" Tadinya ia berada di Kum-Ie-san, menumpang kepada suhu, sikapnya baik-baik dan dia diperlakukan baik pula oleh guru dan kami semua. Ia melarikan diri setelah Kim-Ie-san didatangi pemuda yang bernama Kun Hong itu. Tahu - tahu .ia lari ke Pek-go-to dan bersekutu dengan iblis itu menculik kami."
Selama perjalanan ke daratan, Wi Liong mengobrol dengan dua orang gadis itu. Hui Sian memang ramah-tamah, lincah dan pandai bergaul. Juga Wi Liong mendapat banyak keterangan sehingga ia tahu banyak tentang Kun Hong. tentang Ban-mo-to, tentang Thai It Cinjin dan lain - lain. Setelah tiba di darat, ia lalu berpisah dengan kedua orang gadis itu.
"Kalian tahu betapa perlunya aku harus menyusul ke Ban-mo-to. Di sana ada Kong Bu, ada See-thian Hoat-ong, ada Pak-thian Koai-jin, ada nona Pui. dan mungkin mereka itu membutuhkan bantuanku. Maafkan aku terpaksa meninggalkan kalian, menyesal sekali karena sesungguhnya menyenangkan melakukan perjalanan dengan kalian yang ramah dan manis budi."
"Taihiap, kalau sudah pulang dari Ban-mo-to. harap kau sudi mampir ke Kim-Ie-san." kata Hui Sian,
Wi Liong mengangguk. "Kalau tiada halangan," jawabnya. Kemudian setelah berpamit sekali lagi, tubuhnya berkelebat lenyap dan dua orang aadis itu untuk beberapa lama masih berdiri kagum. Kemudian keduanya lalu melanjutkan perjalanan, pulang ke Kim-Ie-san.
Dengan cepat sekali Wi Liong melakukan perjalanan kembali ke Kim-Ie-san. Untung baginya bahwa Thai Khek Sian benar-benar tidak ingin menimbulkan kemarahan Thian Te Cu maka ketika merobohkannya, hanya mempergunakan asap beracun yang tidak berbahaya, hanya membuat dia pingsan saja. Akan tetapi pengalaman ini bagi Wi Liong terasa amat pahit dan menyakitkan hati. Sudah dua kali dia roboh oleh kakek pentolan Mo-kauw itu. Pertama kali dahulu lebih hebat lagi, baru segebrakan saja ia sudah roboh dan pasti akan tewas kalau tidak ada Cheng In dan Ang Hwa yang menolongnya. Sekarang kembali dia roboh setelah ia menerima gemblengan dari suhunya. Pengalaman ini membuatnya lebih hati-hati kelak kalau menghadapi lawan-lawan tangguh semacam Thai Khek Sian.
Cheng In dan Ang Hwa......... ! Teringat akan dua orang gadis ini, mau tidak mau Wi Liong terkenang pula kepada Hui Nio dan Hui Sian. Terutama sekali Hui Sian ! Terbayang ia ketika ia rebah di perahu, boleh dibilang bertumpang tindih dengan dua orang gadis itu. Lagi - lagi pemuda ini menarik napas panjang. Kenapa nasibnya selalu membawanya kepada wanita - wanita yang menarik dan yang mendebarkan jantungnya " Setelah ia kehilangan Siok Lan, setelah hatinya rusak dan patah mendengar betapa Siok Lan telah meninggal dunia karena hendak bersetia kepadanya, kenapa masih saja ada gadis - gadis yang menghadang dalam perjalanan hidupnya " Tidak, pikirnya mantap. Aku takkan memperdulikan mereka. Tidak ada seorangpun gadis di dunia ini seperti Siok Lan !
Ketika tiba di Kim-Ie-san, ia mendapat kenyataan bahwa tak seorangpun di antara tokoh - tokoh yang hendak menolong Eng Lan nampak sudah kembali ! Semua orang pergi ke Ban-mo-to. Tidak hanya See-thian Hoat-ong, Pak-thian Koai-jin, dan Kong Bu, bahkan Thai It Cinjin dan kedua Im-yang Siang-cu keduanya juga ikut pergi menyeberang ke Ban-mo-to. Dan tak seorangpun kembali!
Hati Wi Liong menjadi tidak enak sekali. Ia belum pernah bertemu dengan Kui-bo Thai-houw, akan tetapi sudah lama ia mendengar akan kelihaian nenek itu dan tentang bahayanya pergi ke Ban-mo-to yang kabarnya malah tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Thai Khek Sian di Pekgo-to. Ia merasa amat khawatr akan keselamatan Eng Lan dan yang lain - lain.
Tanpa membuang waktu lagi Wi Liong lalu niengejar ke pantai, hendak menyusul ke Ban-mo-to menghadapi Kui-bo Thai-houw ! Ia belum pernah merasai kelihaian permaisuri itu, maka diam-diam ia ingin belajar kenal. Ternyata harapannya ini terpenuhi dengan cepat, malah sebelum ia tiba di Ban-mo-to.
Ketika ia menuju ke pantai dan melewati daerah pegunungan yang masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Thai It Cinjin di Kim-Ie-san, dari jauh ia melihat banyak orang berkumpul di sebuah tanah datar di antara gunung - gunung kecil dari batu kapur.
Di bagian kiri berkumpul sederetan orang berpakaian seragam, nampaknya seperti ahli - ahlj silat dan sikap mereka tenang keren dengan kedua lengan disembunyikan di belakang badan. Ada duapuluh empat orang yang berdiri di sebelah kiri dengan kaki terpentang lebar dan mata memandang ke depan. Di sebelah kanan kelihatan beberapa orang petani yang agaknya juga tertarik dan melihat apa yang terjadi di situ. Apakah yang mereka lihat "
Dua orang kakek aneh yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago tengah berlagak. Yang seorang bertubuh pendek, kepalanya gundul pelontos, jangankan rambut, bekasnyapun tidak ada seperti kulit bawang yang menutupi batok kepalanya. Kepala itu tidak rata pula, benjal-benjol biarpun bentuknya bundar. Matanya seperti meram terus, akan tetapi mulutnya nyengir terus seperti orang merasa geli hatinya. Bajunya, seperti celananya, sudah koyak-koyak pada ujungnya. Kakek pendek gundul ini berdiri dengan sebuah senjata aneh di tangan kanan. Senjatanya ini belum pernah terlihat di dunia persilatan, karena merupakan senjata bergagang yang luar biasa. Bentuknya gepeng bulat, merupakan gigi-gigi seperti roda bergigi, gagang itu dipasang sampai di tengah roda sehingga roda dapat berputaran. Gigi-giginya tajam dan runcing.
Yang dihadapinya adalah seorang setengah tua yang menyeramkan. Laki - laki ini bertubuh tinggi besar, alisnya tebal sekali akan tetapi tidak panjang, dahinya lebar dan yang paling menarik dan menyeramkan adalah gurat - gurat bekas luka pada mukanya di alis mata kanan kiri dan di pipinya seperti bekas luka bacokan senjata tajam. Kedua tangan orang tinggi besar ini memegang senjata sepasang gembolan yang dahsyat, gembolan baja yang diberi duri. Melihat sikap dan pakaiannya, tentu orang ini serombongan dengan barisan orang yang berdiri di belakangnya.
Wi Liong menjadi tertarik hatinya dan menyelinap untuk mengintai karena ia mendengar nama Kui-bo Thai-houw disebut - sebut. Yang menyebut nama ini adalah orang tinggi besar yang mukanya bergores cacad itu.
"Tak perduli kau sahabat baik Kui-bo Thai-houw atau masih keponakan Raja Neraka, jangan harap kau akan menakutkan aku dan boleh menghina Pek-eng-pai (Perkumpulan Garuda Putih)," kata si muka cacad.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulut yang selalu tersenyum-senyum itu tiba-tiba terbuka dan mengeluarkan suara ketawa terbahak. Wi Liong bergidik mendengar ini, juga geli. Suara ketawa ini mengingatkan ia akan suara seekor ular besar di dalam hutan.
"Kak-kak-hah-hah ! Sombongmu ! Mukamu yang penuh goretan pedang itu saja sudah menunjukkan kelemahanmu, toh kau bersikap seperti orang yang tak pernah terkalahkan ! Hah-hah, kau dan dua losin orang-orangmu ini sudah bosan hidup agaknya, berani sekali menghina Thai-houw. Aku Si Naga Sakti tidak bisa memberi ampun lagi !" Sambi1 berkata demikian, orang gemuk pendek, yang lucu ini menggerak - gerakkan senjata roda bergigi di tangannya penuh ancaman. Akan tetapi karena mulutnya selalu menyeringai ia sama sekali tidak kelihatan galak atau keren, malah lucu menggelikan. Wi Liong sampai menahan suara ketawanya mendengar orang lucu ini menyebut diri sendiri Si Naga Sakti !
Akan tetapi, bagi orang yang cacad mukanya itu sama sekali tidak dapat melihat kelucuan ini, dengan marah ia lalu mengayun sepasang senjata gembolannya dan sambil menggereng seperti singa ia mulai menyerang. Gembolan baja yang demikian beratnya, ditambah duri - duri lagi, menyambar ke arah kepala yang gundul pelontos dan kehhatan halus kulitnya itu seperti buah tomat besar yang sudah masak. Kalau kena tentu akan bejat!
Tidak disangka orang gemuk pendek berkepala gundul itu ternyata gesit sekali gerak-geraknya. Sambaran gembolan kiri ke arah kepalanya yang licin pelontos itu dapat ia kelit ke kiri dengan mudahnya dan ketika lawannya menyerang lagi dengan gembolan kanan, ia sudah menangkis dengan senjatanya roda bergigi. "Klang ......... !!" Terdengar bunyi nyaring disusul muncratnya bunga api ketika dua senjata itu bertemu. Keduanya terpental mundur, sekilas memeriksa senjata masing - masing dan merasa lega karena senjata mereka tidak rusak dalam pertemuan dahsyat itu. Dengan cepat mereka menerjang maju lagi, lebih hebat dan lebih hati-hati dari pada tadi karena maklum bahwa lawan bukan orang lemah. Di lain saat dua orang jagoan itu sudah saling hantam lagi dengan sengitnya.
Siapakah kedua orang yang tahu-tahu sudah berkelahi mati-matan ini" Pertanyaan ini memasuki kepala Wi Liong. Orang muka cacad itu memang kepala perkumpulan Pek-eng-pai, bernama Tek Loan berjuluk Eng-jiauw-ong (Raja Kuku Garuda), merupakan orang terkemuka di selatan dan perkumpulannya Pek-eng-pai biarpun tidak besar namun cukup berpengaruh. Pada hari itu ia membawa anggauta-anggautanya hendak mengunjungi Thai It Cinjin dengan keperluan ............ meminang Liok Hui Sian ! Ia pernah bertemu dengan Hui Nio dan Hui Sian, dan karena ia sudah tahu pula bahwa Hui Nio sudah bertunangan dengan putera See-thian Hoat-ong, maka ia datang melamar adiknya, Hui Sian. Tentu saja kalau mengingat akan usia dan mukanya yang bercacad, tidak patut orang ini melamar Hui Sian. Akan tetapi ia mengandalkan kepandaiannya, dan kekayaannya. Pula, ia memang kenal baik dengan Thai It Cinjin dan Im-yang Siangcu. Maka besar harapannya akan diterima pinangannya itu.
Ketika tiba di Kim-Ie-san. ia mendapatkan rumah Thai It Cinjin kosong dan. tak seorangpun dapat dijumpainya kecuali para pelayan yang menyatakan bahwa Thai It Cinjin dan kawan-kawannya sedang pergi ke Ban-mo-to. Tek Loan orangnya sombong. Ia memang sudah pernah mendengar nama Kui-bo Thai-houw dari Ban-mo-to, akan tetapi karena di daerahnya sendiri ia merupakan orang nomor wahid. mana ia takuti segala macam Kui-bo Thai-houw" Dengan semangat sebesar Gunung Thai-san. ia lalu mengajak anak buahnya menyusul ke Ban-mo-to. Dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan si gundul lucu itu. Si gundul ini petentang-petenteng menghadang jalan, malah datang-datang menegur marah suaranya -akan tetapi masih tersenyum - senyum mulutnya,
"Kalian ini bocah - bocah dari mana berani memasuki wilayah yang sudah dikuasakan oleh Thai-houw kepadaku untuk menjaga" Tanpa seijin Thai-houw, tidak boleh orang luar dan orang asing memasuki wilayah sini. Hayo kalian ini lekas pergi minggat, kecuali kalau sudah meninggalkan benda tanggungan."
"Benda tanggungan apa?" tanya Tek Loan yang masih bingung mendengar teguran itu.
"Benda tanggungannya kepala kalian." Si gundul berkata sambil pecengas-pecengis.
Tentu saja Tek Loan menjadi marah dan seperti sudah dituturkan di bagian atas, mereka lalu bertempur hebat. Tentu saja Tek Loan terkejut sekali ketika mendapatkenyataan bahwa si gundul yang lucu ini ternyata tidak lucu kepandaiannya jauh dari pada lucu, tak boleh dibuat mainan. Senjata roda bergigi itu lihai dan berbahaya sekali. Terpaksa Tek Loan yang di kandang sendiri menjadi jago nomor satu itu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan berusaha mati- matian merobohkan lawan gundul pacul ini.
"Remuk kepalamu !" bentaknya sambil mengerahkan tenaga, menghantam kepala si gundul itu. Hantaman ini hebat sekali, agaknya sudah tak keburu ditangkis atau dielakkan lagi.
"Belum, tidak kena!" terdengar si gundul mengejek dan aneh sekali, tiba- tiba kepalanya hilang ! Benar - benar hebat si gundul ini. Agaknya ia mempunyai ilmu bulus, karena kepalanya seperti disedot masuk bersembunyi di dalam dadanya. Tentu saja tidak demikian halnya, hanya saking cepatnya gerakan lehernya dan tubuhnya yang merendah, seakan - akan kepalanya hilang.
Seketika Tek Loan kaget sekali dan terheran-heran. Akan tetapi melihat bahwa lawannya sudah berhasil menghindarkan diri kemarahannya memuncak.
"Pecah dadamu !" bentaknya dan kini tubuhnya mumbul ke atas dan seperti seekor burung garuda, ia menyambar dari atas, mengayun gembolan kanan menghantam dada si gundul.
"Pecah apanya, kena juga tidak !" Si gundul kembali mengejek sambil menangkis dengan senjata roda bergigi.
"Klangggg......... !" Bunga api berpijar dan tiba-tiba si gundul marah - marah. Ia berjingklak-jingklak (meloncat-loncat dengan sebelah kaki), kaki kirinya diangkat dan dengan kaki kanan ia meloncat berputaran.
"Aduh ...... aduh ...... curang .......!" keluhnya. Ternyata ketika dua senjata tadi bertemu, sebuah di antara duri - duri baja di gembolan Tek Loan telah patah dan menyambar betis kaki kirinya. Tentu saja ini menyakitkan sekali.
Tek Loan yang melihat ini, tertawa bergelak. "Hah ha-ha, monyet gundul rasakan kelihaianku. Ha-ha-ha !"
"Curang ! Cuhhh ......... !!" Si gundul tiba-tiba meludah ke arah muka Tek Loan.
Karuan saja ketua Pek-eng-pai ini menjadi gelagapan, Ia tadi sedang tertawa karena girang, mentertawakan lawannya yang terluka, maka ketika serangan air ludah lawan datang, ia tidak sempat mengelak dan penuhlah mukanya dengan air ludah. Hebatnya, air ludah yang mengenai mukanya itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ini karena si gundul bukan sembarangan orang dan bukan sembarangan meludah, melainkan mempergunakan lweekangnya.
Lebih celaka lagi bagi Tek Loan, selagi matanya pedas terkena hujan air ludah dan ia tengah gebres - gebres karena hidung dan mulutnya juga kebagian air ludah, si gundul sudah maju menerjangnya lagi dengan mulut tetap menyengir kuda !
Dengan repot sekali Tek Loan memutar sepasang gembolannya melindungi tubuhnya sambil memberi isyarat kepada kawan - kawannya. Serentak lima orang kawannya melompat maju mengeroyok si gundul itu.
"Eh-eh. curang ! Licik ! Mana ada aturan main keroyokan ?" Biarpun ia sibuk sekali-melompat ke sana ke mari menghadapi keroyokan itu, si gundul ini masih sempat memaki dan mencela.
"Apa macammu ini tidak curang ?" Tek Loan membentak marah.
"Apanya yang curang ?" Si gundul balas membentak sambil melompat ke belakang akan tetapi segera dikejar dan dikepung lagi.
"Mana ada aturan bertempur terdesak lalu meludahi muka !" omel Tek Loan mendongkol.
Untuk sesaat si gundul tak dapat menjawab, memutar senjata melindungi diri sambil memutar otak. Kemudian ia menjawab, agaknya sudah mendapat alasan baik untuk menyangkal bahwa ia curang.
"Habis baumu tidak enak, bikin orang ingin meludah !"
Tentu saja jawaban ini bukan membikin Tek Loan menarik kembali tuduhannya bahwa si gundul curang, malah - malah membuat ia marah bukan main.
"Bunuh monyet gundul ini ! Penggal lehernya !" Sambil berkata demikian, bersama lima orang kawannya Tek Loan mendesak maju. Si gundul masih mencoba mempertahankan diri, akan tetapi repot sekali dia sampai tubuhnya basah semua oleh peluh. Kepalanya yang seperti bola karet itupun sampai mengeluarkan keringat berbutir - butir.
Melihat ini. Wi Liong menjadi kasihan. Biarpun ia tidak tahu siapa adanya si gundul ini, dan orang macam apa adanya mereka semua itu, tidak tahu pula siapa salah siapa benar dalam pertempuran itu. akan tetapi ia suka melihat si gundul yang amat lucu.
Sekarang melihat si gundul dikeroyok dan terdesak hebat sehingga berbahaya keselamatannya, Wi Liong mengambil keputusan hendak menolongnya. Akan tetapi ia tidak jadi bergerak karena tiba - tiba telinganya mendengar berkesiurnya angin disusul suara ketawa cekikikan, suara ketawa beberapa orang wanita. Kagetlah dia karena dalam suara ketawa ini terkandung khikang yang hebat juga.
"Engko Ek Kok, apa kadal-kadal itu mengganggumu ?" terdengar suara seorang wanita dan muncullah empat orang wanita yang lucu, gemuk-gemuk genit-genit dan serupa, baik wajah maupun pakaiannya, mukanya burik - burik semua, serupa pula bopengnya.
"Jangan takut," sambung wanita ke dua.
"'Kami membantumu," kata yang ke tiga.
"Mari basmi kadal - kadal ini, engko Ek Kok !" kata yang ke empat.
"Ha-ha-ho-ho-kak-kak-kak, bagus sekali kalian datang, adik - adikku yang manis, adik-adikku yang denok ayu ! Kadal - kadal ini menjemukan, hayo ganyang !" sahut si gundul yang sebetulnya bernama Phang Ek Kok dan dia adalah saudara sekandung, kakak empat orang wanita kembar ini. Empat orang wanita kembar ini bukan lain adalah Phang Si Hwa, Phang Tung Hwa, Phang Nam Hwa, dan Phang Pai Hwa yang menjadi pelayan-pelayan kesayangan dari Kui-bo Thai-houw!
Begitu empat orang perawan tua kembar empat yang genit dan lihai ini menyerbu, mainkan sabuk tali dan pukulan-pukulan mereka yang hebat dalam bentuk barisan segi empat, bubarlah keroyokan Tek Loan dan lima orang kawannya.
Hebat dan anehnya, begitu terlepas dari kepungan dan mendapat bantuan, Phang Ek Kok kakek gundul itu lalu menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar kepada batu gunung dan ..... tidur mendengkur, mengorok seperti babi dipotong lehernya ! Benar-benar tokoh yang lihai, aneh dan lucu sekali. Belum lama Phang Ek Kok datang ke Ban-mo-to. Seperti biasa, ia datang untuk menjenguk empat orang adik kembar yang amat dikasihinya itu, datang bersama seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Akan tetapi Kui-bo Thai-houw tidak suka melihat dia lama - lama di Ban-mo-to. Sungguhpun tiada alasan bagi Kui-bo Thai-houw untuk membenci orang lucu ini, akan tetapi ia tidak suka melihat tokoh yang kadang- kadang bermulut lancang, bicara seenaknya saja tanpa sungkan lagi. Akan tetapi mengingat empat orang pelayannya, Kui-bo Thai-houw masih selalu bersabar. Sekarang melihat kedatangan kakek gundul aneh ini yang bicara tidak karuan ketika kakek ini melihat Kun Hong di situ, ia lalu menyuruh Ek Kok untuk mengawasi keadaan di wilayah Kim-le-san.
"Daerah itu sekarang tidak bertuan, kau boleh awasi dan wakili aku menjaga daerah itu. Jangan boleh lain orang kangkangi," demikian pesan Kui-bo Thai-houw. Karena dia memang aneh, Ek Kok taat tanpa banyak bertanya lagi. Puteri-nya yang masih suka tinggal di Ban-mo-to. terpaksa ikut juga, akan tetapi tidak ikut ayahnya yang suka berkeliaran, melainkan tinggal di dekat bekas tempat tinggal Thai It Cinjin melakukan penjagaan mentaati perintah ratu Ban-mo-to.
Setelah empat orang nenek kembar itu menggantikan kakak mereka menghadapi Tek Loan dan kawan-kawannya, ketua Pek-eng-pai menjadi terdesak. Malah dua orang pembantunya telah kena dirobohkan sehingga sekarang keadaan menjadi empat lawan empat.
"Maju, serbu ......... !!" perintah Tek Loan kepada orang-orangnya dan menyerbulah belasan orang itu dengan senjata tajam di tangan. Betapapun lihainya empat orang pelayan Kui-bo Thai-houw itu, menghadapi keroyokan duapuluh lebih orang-orang Pek-eng-pai yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu, repot jugalah mereka.
"Engko Ek Kok........."
"......... jangan ngorok aja........."
"......... bangunlah segera ........."
"......... bantulah kami ......... !" Demikian mereka bersahut-sahutan minta bantuan kakak mereka yang masih tidur mendengkur sambil bergerak secepatnya untuk melindungi diri dari hujan senjata para pengeroyok. Akan tetapi kakek gundul itu tetap saja mengorok.
Melihat munculnya empat orang wanita yang juga amat lucu dan aneh. mukanya buruk-buruk dan ada mirip-miripnya dengan Ek Kok si gundul. Wi Liong menjadi makin geli dan tertarik. Alangkah banyaknya orang - orang aneh di dunia ini, pikirnya kagum. Juga ia harus memuji ilmu silat empat orang wanita itu yang betul-betul lihai sekali. Akan tetapi ia juga kaget melihat betapa setiap orang pengeroyok yang roboh di tangan empat orang wanita ini, kesemuanya roboh untuk selamanya karena tak dapat bangun lagi, sudah tewas. Diam - diam ia ngeri juga melihat keganasan hati orang yang dilakukan dengan tertawa-tawa cekikikan ! Karena melihat kekejaman inilah membuat Wi Liong ragu-ragu dan tidak mau turun tangan membantu biarpun empat orang wanita itu mulai terkurung dan terdesak oleh para anggauta Pek-eng-pai.
Pada saat ia sedang bimbang, ia kaget sekali mendengar berkesiurnya angin yang luar biasa disertai bau semerbak harum. Segera disusul jerit-jerit mengerikan dan ketika Wi Liong memandang, hampir ia berteriak kaget karena semua orang Pek-eng-pai, berikut kepalanya, Tek Loan dan sisanya yang masih ada sembilan belas orang, semua rcboh tak dapat bangun lagi ! Dan sebagai gantinya, di atas sebuah batu besar berdiri seorang wanita cantik agung dan angkuh, seorang wanita yang sebetulnya sudah tua akan tetapi karena pakaiannya yang indah, karena hiasan - hiasan dan rawatan mukanya yang dulu memang cantik jelita, ia masih nampak muda dan tetap menarik, apa lagi kerling matanya yang masih seindah mata burung hong dan bibirnya yang merah semringah membayangkan gairah hati yang tak kunjung padam. Dari tubuhnya keluar bau semerbak yang harum tadi. Wi Liong melongo. Tak dapat disangikal lagi, wanita ini memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Ginkangnya sempurna sampai-sampai kedatangannya begitu cepat sukar diikuti pandangan mata. kepandaiannya tinggi sehingga dalam sekejap mata saja semua pengeroyok sudah dirobohkannya Akan tetapi alangkah kejam dan ganasnya ! Ataukah dia tidak membunuh semua orang itu " Dari tempat Wi Liong bersembunyi, orang-orang yang rcboh itu seperti orang pingsan atau terkena totokan saja. akan tetapi tarikan muka pada para korban itu mengerikan dan meragukan hatinya.
Wanita cantik itu membuka mulut dan suaranya halus berpengaruh. "Ek Kok. percuma saja kau memakai julukan Sin-liong (Naga Sakti). Menghadapi orang - orang seperti ini saja kau tidak dapat mengatasi. Karena sudah cukup lama kau bertemu dan melepas rindu dengan keempat orang adikmu, sekarang kau pergilah bersama anakmu dan jangan kau datang kembali sebelum membawa serta anakmu yang seorang lagi. Aku ingin melihat si kembar bersatu kembali !" Setelah berkata demikian, wanita itu memberi isyarat dengan lambaian tangannya dan empat orang wanita burik yang aneh itu seperti anjing - anjing piaraan lalu mengikuti wanita itu. Adapun kakek gundul itu, tanpa berani membantah lagi lalu pergi dari situ berlari-lari cepat. Tadi begitu wanita cantik itu muncul, ia sudah bangun dan berdiri dengan kepala tunduk.
Tinggal Wi Liong seorang diri di tempat sembunyinya. Keadaan sunyi sepi, mengerikan sekali kalau melihat tubuh-tubuh bertumpuk menggeletak di sana-sini! Wi Liong melompat keluar dan seruan kaget serta marah keluar dari bibirnya ketika ia memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa semua anggauta Pek-eng pai itu sudah mati terkena pukulan jarak jauh yang luar biasa keji dan lihainya.
"Kui-bo Thai-houw ......... !" bisiknya mengertak gigi saking gemasnya. "Tak salah lagi, dia tentu Kui-bo Thai-houw. Siapa lagi kalau bukan dia di dunia ini yang begini kejam ?"
Makin gelisah hatinya memikirkan keselamatan Eng Lan dan orang-orang lain yang mendatangi Ban-mo-to. Ia cepat melompat, memanggil-manggil para petani yang tadi lari cerai - berai setelah terjadi pertempuran hebat.
"Sudah tidak ada orang jahat lagi. Mayat-mayat itu perlu segera dikubur, kalau tidak, akan membusuk dan akan meracuni daerah ini. Harap saudara-saudara mengumpulkan teman - teman untuk mengurus dan menguburnya. Aku hendak menyusul kawan - kawan ke Ban-mo-to." Setelah berkata demikian, pemuda ini cepat berlari kencang mengejar Kui-bo Thai-houw dan empat orang pelayannya. Ia tidak perdulikan lagi kakek gundul tadi. Kalau saja Wi Liong mengikuti perjalanan kakek gundul ini dan melihat puterinya, tentu pemuda itu akan mengalami kekagetan yang hebat !
Wi Liong mengerahkan kepandaiannya untuk mengejar Kui-bo Thai-houw, akan tetapi karena yang dikejarnya juga bukan sembarang orang, maka ketika ia tiba di pantai, ia melihat Kui-bo Thai-houw dan empat orang pelayannya itu telah naik sebuah perahu mewah yang sudah mulai bergerak ke tengah lautan pula. Di atas perahu itu ia hanya melihat empat orang pelayan kembar yang gemuk - gemuk tadi, yang berdiri memandang kepadanya sambil tertawa - tawa cekikikan dan menuding - nuding dengan telunjuk seakan-akan mentertawakannya. Wi Liong membanting kaki saking gemasnya, kemudian mencabut sebatang tonggak yang agaknya tadi dipakai untuk mengikat perahu.
"Tunggu dulu .........!!" teriaknya dan pemuda perkasa ini mengenjot tubuhnya melompat kc depan. Seperti seekor burung melayang, tubuhnya meluncur ringan dari pantai, mengejar perahu. Akan tetapi jarak antara pantai dan perahu itu sudah terlampau jauh. maka lompatannya yang hebat ini tidak bisa mencapai perahu. Hal ini sudah diperhitungkannya, maka ia segera melempar tonggak tadi ke atas air dan ketika kedua kakinya turun, ia menginjak tonggak yang terapung itu dan mengenjot lagi mempergunakan tonggak sebagai dasar loncatan. Dengan cara demikian ia bisa sampai di perahu !
"Hebat sekali ......... "
"Pemuda ganteng ......... "
"Tapi tidak boleh........."
"Naik ke perahu ......... !" Empat orang nenek kembar itu berkata dan bagaikan dikomando saja, tangan mereka dengan gerakan sama menyambit sebuah kim-chi-piauw (senjata rahasia seperti uang logam) ke arah tubuh Wi Liong yang masih melayang ke arah perahu itu. Serangan ini benar - benar berbahaya sekail Tubuh yang sedang melayang dalam loncatan itu mana bisa mengelak " Wi Liong yang melihat serangan ini, mengulur iangan dan berhasil menyampok dua buah mata uang, akan tetapi yang dua lagi ia biarkan mengenai dada dan perutnya setelah ia mengerahkan lweekang menghentikan jalan darah dan membikin kebal dada dan perutnya. Dengan demikian, dua buah senjata rahasia itu mental ketika menyentuh kulit dada dan perutnya, dan hanya membikin bolong pakaiannya saja.
"Ayaaa ..... Lihai sekali ...... "
"Pemuda ganteng ......."
"Perlu lekas ......."
"Laporkan Thai-houw ........ !!" Empat orang wanita itu serentak berlari memasuki bilik perahu yang dicat merah.
"Siluman - siluman jangan lari ........ !" Wi Liong membentak. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kedua kakinya turun ke atas perahu, baru saja dua kaki itu menyentuh papan perahu dan ia masih menjaga keseimbangan tubuhnya, secara mendadak perahu itu terguling ke kanan seperti roboh terkena serangan hebat dari bawah perahu.
"Celaka ......... !' Wi Liong berseru keras. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, karenanya ia menjadi kaget dan bingung. Dari pada terguling bersama perahu dan ada bahaya tertindih, ia malah melompat ke kiri dan menceburkan diri ke dalam air. Biarpun bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang saja Wi Liong juga dapat maka ia tidak takut - takut melompat ke dalam air melihat perahu itu roboh.
Aneh bin ajaib ! Perahu yang tadinya mendadak terguling roboh ke kanan itu kini tiba - tiba dan serentak bisa bangun lagi ! Dan muncullah Kui-bo Thai-houw di atas dek diiringkan oleh empat orang nenek dan delapan orang pelayan yang muda-muda dan cantik - cantik.
"Hih-hih-hih........."
"Aduh lucunya........"
"Ada ikan bagus ........."
"Tak ada buntutnya ......... !" Empat orang nenek itu mengejek Wi Liong yang masih menggerak - gerakkan kaki tangannya di dalam air untuk menjaga tubuhnya jangan sampai tenggelam. Delapan orang pelayan yang berpakaian serba hijau dan serba merah menutupi mulut dengan ujung lengan baju menahan ketawa. Mereka ini selain cantik - cantik jelita, juga gerak gerik mereka halus dan sopan seperti puteri - puteri istana saja.
"Tangkap ikan itu," terdengar Kui-bo Thai-houw memerintah dengan suara halus.
"Ikan liar itu ........."
"Berbahaya dan kuat ........."
"Kalau akan ditangkap........."
"Sebaiknya menggunakan jala emas."
Kui-bo Thai-houw mengangguk setuju dengan mata masih menatap tajam ke arah Wi Liong. Empat orang nenek kembar itu segera berlari masuk dan tak lama kemudian keluar lagi membawa sebuah jala yang terbuat dari pada benang halus berwarna keemasan. Atas isyarat Kui-bo Thai-houw, mereka lalu melempar jala itu ke arah Wl L;ong sambil tertawa-tawa dan memegangi ujung jala yang merupakan tali panjang.
Wi Liong boleh menjagoi di daratan, akan tetapi di dalam air kepandaiannya terbatas, tak banyak bedanya dengan orang biasa. Ia tadi mendongkol bukan main ketika melihat perahu itu tiba - tiba "bangun" lagi dan tahulah ia bahwa ia telah ditipu mentah - mentah, bahwa perahu tadi miring bukannya akan roboh tenggelam melainkan sengaja dimiringkan oleh orang pandai dari dalam perahu. Orang sakti seperti Kui-bo Thai-houw tentu saja sanggup melakukan hal ini.
Istana Tanpa Bayangan 4 Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana Rahasia Istana Terlarang 14
Kui-bo Thai-houw tertawa puas. Tak salah lagi, inilah Ngo-heng-giok-cu. Ia lalu memberi isyarat kepada empat orang pelayan dan kepada Kun Hong untuk pergi dari situ. Dengan tindakan lemah lembut wanita hebat ini meninggalkan tempat itu, diikuti oleh empat orang pelayannya. Kun Hong juga meninggalkan tempat itu akan tetapi lebih dulu ia menghampiri Eng Lan dan menyabar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan dibawa pergi menyusul Kui-bo Thai-houw !
Wi Liong membuka matanya dan ia merasa seperti baru sadar dari tidur yang enak sekali. Kemudian ia teringat dan cepat-cepat ia bangun, apa lagi selelah mendengar suara tangisan riuh-rendah di sekelilingnya. Ia melompat dan melihat keadaan yang mengerikan. Tempat itu penuh dengan mayat, tidak saja mayat Cui Kim, Hak Lui, Sui-toanio dan lima orang kakek Ngo-heng-tin. akan tetapi juga mayat belasan orang anak buah Ngo-tok-kauw yang tadi menjadi korban ketika tamu-tamu agung itu pergi dan mereka hendak membela kematian kauwcu mereka
Ketika melihat semua ini dan mendapat kenyataan pula. bahwa Eng Lan tidak berada di situ, Wi Liong seketika menjadi cekatan dan waras kembali.
"Apa yang telah terjadi " Siapa membunuh mereka dan mana nona Pui......?" tanyanya kepada orang-orang yang sedang menangisi kematian pemimpin-pemimpin mereka itu.
"Siapa lagi kalau bukan iblis-iblis Ban-mo-to " Nona tawanan itupun mereka bawa pergi ........" jawab seorang anggauta Ngo-tok-kauw.
Mendengar ini, Wi Liong tanpa berkata apa-apa lagi cepat melompat pergi dari tempat itu untuk mengejar orang - orang Ban-mo-to. Ia dapat menduga bahwa Kui-bo Thai-houw kembali datang mengacau dan membunuhi orang - orang Ngo-tok-kauw, malah kini menculik Eng Lan. Apa maksudnya menculik Eng Lan "
Selagi ia berlari - lari di dalam hutan, tiba-tiba muncul Pak-thian Koai-jin. Kakek ini kelihatan girang ketika mengenalnya. "Eh, eh, kau sudah bisa membebaskan diri " Syukur ......... syukur ........ dan mana Eng Lan ?"
Dari ucapan ini saja Wi Liong tahu bahwa kakek ini tadi sudah melihat dia dan Eng Lan tertawan akan tetapi tidak kuasa menolong, maka iapun menuturkan dengan singkat,
"Selagi aku pingsan Ngo-tok-kauw diserbu orang-orang Ban-mo-to, para- pemimpinnya dibunuh dan tahu-tahu Eng Lan mereka bawa pergi. Aku hendak menyusul ke Ban-mo-to untuk menolongnya."
Pak-thian Koai-jin nampak terkejut. "Ayaaa ......... ! Anak itu memang bernasib baik ......!"
Wi Liong mau tak mau melongo mendengar kata - kata ini.
"Bernasib baik " Bagaimana maksud locianpwe " Bukankah dia berada dalam bahaya ?"
Pak-thian Koai-jin mengangguk-angguk. "Justeru itulah kukatakan bernasib baik, selalu dalam bahaya akan tetapi aku percaya selalu akan tertolong. Coba saja pikir, mana ada orang yang begitu banyak menghadapi pengalaman-pengalaman hebat seperti dia" Baru saja ditawan Ngo-tok-kauw, sekarang ditawan orang - orang Ban-mo-to ! Dia ditawan berarti tidak dibunuh, dan ini berarti dia masih ada harapan ditolong."
Memang Pak-thian Koai-jin kalau bicara seenaknya saja, akan tetapi diam-diam Wi Liong harus membenarkan pendapatnya itu biarpun kedengarannya aneh. "Betapapun juga, locianpwe, aku sudah lama mendengar tentang kekejaman orang-orang Ban-mo-to yang kabarnya tidak kalah oleh Thai Khek Sian dan orang- orang Mo-kauw yang lain, tentu saja jauh lebih kejam dari pada Ngo-tok-kauw. Lebih baik kita cepat - cepat menyusul dan berusaha menolong muridmu itu."
Tiba. - tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kelihatan ekormu! Jadi kau mencinta muridku " Bagas ......... bagus ......... setelah dia tertolong akan kuusahakan supaya dia mau menerimamu ......... ha-ha-ha !"
Wi Liong kaget dan mengerutkan keningnya, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Locianpwe, bagaimana kau bisa bilang begitu " Aku ......... aku tidak bisa mencinta dia, juga tidak mencinta wanita lain, aku hendak menolongnya karena itu sudah merupakan kewajibanku. Kuharap mulai sekarang locianpwe janganlah mengganggu muridmu itu tentang perjodohannya dengan aku, karena kalau aku tidak salah terka, muridmu itu mencinta Kun Hong dan ini baik sekali. Locianpwe sebagai gurunya seyogianya, membantunya supaya dia dapat berjodoh dengan pilihan hatinya sendiri, jangan malah merintangi."
Pak-thian Koai-jin melengak mendengar kata-kata yang panjang lebar ini. Ia terang sekali kecewa, lalu mengomel sambil menghela napas panjang pendek,
"Apa kau kira aku tidak tahu bahwa dia tergila - gila pada Kun Hong " Aku ke mana - mana mengikutinya dan mencarikan batu Im-yang-giok-cu, apakah itu semua bukan karena aku hendak membantunya menolong Kun Hong " Hanya saja, aku lebih suka. kalau dia memilih engkau. Sudahlah ......... sudahlah ......... orang- orang muda jaman sekarang memang keras kepala ........."
"Locianpwe, marilah segera menyusul orang-orang Ban-mo-to. jangan sampai kita terlambat dan terjadi apa-apa dengan muridmu itu."
Teringat akan hal ini, Pak-thian Koai-jin menjadi bersemangat lagi dan berangkatlah dua orang itu, berlari cepat ke timur untuk menyusul orang-orang Ban-mo-to. Baru saja mereka keluar dari hutan itu dan tiba di jalan besar, terdengar seruan nyaring sekali dari kanan,
"Haaaiii ! Bukankah itu Pak-thian Koai-jin yang di depan !"
Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong berhenti dan membalikkan tubuh. Seorang laki-laki tinggi besar dan berpakaian panglima perang dengan langkah lebar berlari-lari ke arah mereka.
"See-thian Hoat-ong, dari mana kau berlari-lari seorang diri " Apa hendak maju perang ?" Pak-thian Koai-jin menyambut kawan ini dengan kelakarnya.
"Hendak menengoki Kong Bu, puteraku yang pada waktu ini bertugas di pantai timur. Kau hendak ke mana dan ini ........." See-thian Hoat-ong sudah sampai di depan mereka dan tiba-tiba kata-katanya terhenti ketika ia mengenal Wi Liong. Mukanya berubah dan sepasang alis yang tebal itu berkerut menandakan hatinya tak senang.
"Hemmm, orang muda she Thio. Jadi kau masih hidup ?"
Wi Liong menjura memberi hormat sambil berkata dengan senyum, "Berkat doa restu lo-enghiong, siauwte masih dapat bernapas sampai sekarang."
Jawaban ini merupakan tangkisan serangan atau pembalasan atas sikap yang tidak menyenangkan dan kata - kata teguran yang tidak semestinya tadi, akan tetapi See-thian Hoat-ong yang jujur, seperti tidak merasakan ini. Malah ia menjawab.
"Siapa mendoakan kau hidup " Lebih baik kau mati di jurang itu dari pada hidup mengandung dosa - dosa besar. Keluarga Kwa hancur berantakan karena kau. Kwa-suheng dan isterinya yang baru saja berkumpul kembali setelah belasan tahun, karena kau menjadi terpisah lagi dan sekarang masing - masing entah berada di mana. Lebih hebat lagi, karena kau Siok Lan menghabiskan hidupnya, mati muda. Kasihan sekali ! Bukankah semua dosa ini perbuatanmu ?"
Mendengar ucapan itu, tadinya muka Wi Liong menjadi merah, akan tetapi kalimat-kalimat terakhir yang menyatakan bahwa Siok Lan mati, membuat mukanya seketika menjadi pucat dan suaranya menggigil ketika ia membantah,
'"Lo-enghiong harap jangan main-main. Belum lama ini aku sendiri dengan sepasang mata melihat nona Kwa Siok Lan melangsungkan pesta pernikahannya dan sekarang sudah menjadi nyonya yang berbahagia dan terhormat dari Wu-kiang Siauw-ong Chi Kian yang terkenal dengan sebutan Chi-loya seorang gagah perkasa, budiman dan pengaruhnya di wilayah Sungai Wu-kiang amat besar. Bagaimana lo-enghiong sekarang secara ngawur menyatakan bahwa dia, mati muda ?"
"O-ho-ho, jadi kau sudah tahu akan hal itu, he " Kau tahu kepala tidak tahu ekornya. Baiklah sekarang kau mendengar dari aku, hendak kulihat bagaimana sikapmu, orang muda perusak rumah tangga orang. Dengarlah baik-baik. Memang betul Siok Lan telah menikah dengan Chi Kian. kaukira aku tidak tahu" Akupun baru saja datang ke sana karena ingin mengurus hal itu, ingin menegur mengapa tahu - tahu dia bisa menikah dengan murid keponakanku. Dan kau tahu apa yang kulihat di sana " Hanya makam Siok Lan dan makam Chi Kiam ! Kau tahu apa yang terjadi menurut para penduduk di sana " Semenjak kau pengacau ini datang lalu pergi, Siok Lan menyusul ke sungai dan menusuk dada sendiri dengan pedang sambil melompat ke sungai disusul oleh Chi Kian yang tidak pandai berenang dan hendak menolong isterinya. Nah. matilah mereka. Coba katakan, kalau bukan untuk kau, mengapa Siok Lan melakukan perbuatan gila merampas nyawa sendiri itu " "
Wajah Wi Liong makin pucat, kakinya menggigil dan tanpa daya lagi ia jatuh berlutut di depan See-thian Hoat-ong. "Lo-enghiong ........ demi Tuhan, tidak bohongkah kata - katamu ini ;........ ?" Suaranya pilu dan gemetar, matanya yang memandang See-thian Hoat-ong benar-benar memelas (menimbulkan kasihan).
Agak reda kemarahan See-thian Hoat-ong melihat keadaan Wi Liong ini. Ia terkejut juga dan diam - diam ia harus mengaku bahwa pemuda ini memang betul- betul mencinta Siok Lan. Akan tetapi ia mendongkol sekali mendengar pertanyaan Wi Liong yang seakan-akan tidak percaya kepadanya.
"Selama hidup aku tak pernah membohong, tidak seperti kau !" jawabnya ketus.
"Siok Lan ......... !" Wi Liong memekik kemudian roboh pingsan !
See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai jin saling pandang, kemudian menoleh ke arah tubuh pemuda yang pingsan itu. Pak-thian Koai-jin menggeleng- geleng kepala. "Sayang ......... sayang ......... orang muda gagah menjadi lemah karena cinta kasih ......."
See-thian Hoat-ong sebaliknya menjadi kasihan sekali kepada pemuda ini. Ia tidak tahu bagaimanakah sebenarnya hubungan antara pemuda ini dan Siok Lan yang kelihatannya begitu penuh rahasia. Ia hanya berdiri dengan kaki terpentang dan mengelus-elus dagunya, melihat Pak-thian Koai-jin yang mengurut jalan darah di belakang kepala Wi Liong. Tak lama kemudian pemuda itu sadar kembali. Pemuda ini siuman, bangun duduk, menggeleng-geleng kepala lalu tersenyum ! Ia hanya berkata perlahan, akan tetapi dapat terdengar oleh dua orang kakek itu,
"Bagus, Siok Lan, kau telah mengakali aku ......... aku terima kalah dan biarlah sisa hidupku penuh penderitaan batin sebagai hukuman kebodohanku ........."
"Wi Liong, kau ini pemuda apa " Mengapa begini lemah " Yang sudah mati biarlah mati, apa sih enaknya orang hidup " Baru enak kalau hidup bisa menolong orang hidup yang lain. Sekarang Eng Lan dalam bahaya, apa artinya hidupmu kalau kau tidak bisa menolong orang lain yang sengsara ?" kata Pak-thian Koai-jin sambil menepuk pundak pemuda itu.
Ucapan orang aneh yang kadang - kadang seenak perutnya sendiri itu kali ini benar-benar menancap di ulu hati Wi Liong. Pemuda ini serentak bangun, menoleh kepadanya dan berkata, "Kau betul, locianpwe. Mari kita kejar iblis - iblis Ban-mo-to !"
Pak-thian Koai-jin girang sekali. "Eh, panglima, kau bilang anakmu bertugas di pantai timur " Kalau begitu kita sejalan, hayo kita jalan bersama."
See-thian Hoat-ong terpaksa ikut berlari mendampingi dua orang itu dan ia bertanya, "Ada terjadi apa sih dengan nona Eng Lan ?"
Sambil berlari Pak-thian Koai-jin lalu menceritakan secara singkat apa yang telah ia alami menghadapi Ngo-tok-kauw dan bagaimana Eng Lan terculik oleh orang - orang Ban-mo-to yang menyerbu perkumpulan Agama Lima Racun itu. Mendengar penuturan itu, See-thian Hoat-ong berkata marah, "Sudah lama sekali Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to melakukan perbuatan sewenang - wenang dan mengandalkan kepandaian sendiri menghina orang lain. Benar - benar keterlaluan kalau dalam membasmi Ngo-tok-kauw dia masih menculik muridmu. Pak-thian Koai-jin, biarpun aku belum tentu bisa menangkan Kui-bo Thai-houw, akan tetapi percayalah, golok besarku masih cukup tajam untuk kupakai membantumu menyusul ke Ban-mo-to !"
Tentu saja Pak-thian Koai-jin girang sekali dan ia memang membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti See-thian Hoat-ong ini. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan lebih cepat lagi. Dasar ketiganya orang - orang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, maka perjalanan itu dilakukan amat cepatnya. Mereka mempergunakan ilmu lari yang kecepatannya tidak kalah dengan orang menunggang kuda sehingga sebentar saja mereka sudah melalui beberapa li dan dalam waktu sehari mereka telah melewati jarak yang jauh sekali.
Pada suatu siang hari ketika tiga orang ini sudah mendekati pantai timur. ketika tiba di daerah yang berbukit batu karang, mereka mendengar suara orang mengeluh dan mencaci - maki.
"Itu suara Bu-ji (anak Bu) .......... !" kata See-thian Hoat-ong.
Tergesa - gesa mereka lalu menuju ke tempat itu. ketika mereka melewati sebuah batu besar, benar saja mereka melihat pemuda gagah itu, Kong Bu, sedang berdiri sambil mengaduh - aduh memegangi pundak kanannya yang berdarah. Pemuda ini nampak kesakitan sekali, ia menyumpah-nyumpah dan sikapnya yang kasar jujur ini benar-benar serupa dengan watak ayahnya. See-thiari Hoat-ong. Juga wajah dan bentuk tubuhnya yang kekar serupa benar dengan ayahnya.
"Aduh ......... aduh ...... keparat Beng Kun Cinjin ......." pemuda itu mengeluh dan memaki - maki.
"Bu-ji, kau kenapa ?" ayahnya berseru keras sambil lari menghampiri puteranya.
Agaknya saking menahan sakit dan kemarahan. Kong Bu tadi tidak melihat datangnya tiga orang itu. Mendengar suara ayahnya, ia mengangkat muka dan jalan terpincang - pincang menghampiri ayahnya, menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Ayah, harap ayah balaskan penghinaan ini dan tolong dua nona Liok ...... !"
"Nanti dulu soal itu. Kau maju sini, coba kuperiksa lukamu," kata ayahnya. Kong Bu berdiri dan melangkah maju. See-thian Hoat-ong memeriksa luka di pundak dan paha. Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong juga turut memeriksa.
Pundak pemuda itu tidak besar lukanya akan tetapi warna biru kehitaman di sekitar luka itu yang makin membesar amat mengkhawatirkan. Juga pahanya yang hanya luka sebesar tusukan jarum terasa sakit dan berwarna hitam pula.
"Hemm, agaknya terluka oleh senjata beracun ........." kata See-thian Hoat-ong.
"Seperti pukulan Hek-tok-sin-ciang !" tiba tiba Wi Liong berseru heran. Ia tahu bahwa Hek-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Racun Hitam) adalah sebuah di antara ilmu-ilmu lihai dari Thai Khek Sian. Kiranya hanya Thai Khek Sian atau ......... Kun Hong sebagai murid tokoh itu yang mampu melakukannya. Akan tetapi, seingatnya, Kun Hong tidak memelihara kuku panjang dan untuk menggunakan ilmu ini, diperlukan kuku panjang untuk menjadi senjata. Kuku-kuku jari tangan yang direndam racun akan merupakan senjata yang amat ampuh dalam menggunakan Hek-tok-sin-ciang. "Mungkinkah Thai Khek Sian keluyuran sampai di sini ?"
Mendengar ini. Kong Bu memandang kepada Wi Liong dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu" Ayah, siapakah saudara ini ?"
"Dia Thio Wi Liong, murid Thian Te Cu. Bu-ji, apa yang terjadi" Betulkah kau terluka oleh Thai Khek Sian " "
"Memang betul, ayah. Beng Kun-Cinjin datang bersama Thai Khek Sian, maksudnya Thai Khek Sian hanya mengundang Tai It Cinjin untuk menghadiri pertemuan di Pek-go-to yang akan diadakan, oleh Thai Khek Sian pada musim semi tahun depan. Akan tetapi iblis itu melihat dua orang nona Liok murid Tai It Cinjin dan dia menculik mereka. Aku melihat dan mencoba mencegahnya, akan tetapi dua pukulannya membuat aku roboh."
See-thian Hoat-ong mengerutkan alisnya yang gompyok. "Bukankah Beng Kun Cinjin itu masih keponakan Tai It Cinjin " Mengapa datang bersama Thai Khek Sian"
"Itulah yang amat menggemaskan," kata Kong Bu mengertak gigi menahan sakit. "Tadinya ia bersembunyi di Kim-le-san sini bersama Tai it Cinjin. Akan tetapi semenjak dua nona Liok menghalanginya membunuh Kun Hong, agaknya dia mendendam dan marah. Dia pergi tanpa pamit dan tahu-tahu telah bersekutu dengan Thai Khek Sian. Mungkin dia juga yang membujuk iblis itu untuk menculik ji-wi Liokmoi......" Ia berhenti sebentar dan nampak gelisah sekali, gelisah memikirkan dua orang gadis itu tanpa memperdulikan rasa sakit pada bubuhnya sendiri. Hal ini mudah dimengerti oleh karena Liok Hui Nio adalah tunangannya dan Liok Hui San adik tunangannya itu !.
"Ayah, harap ayah suka menolong dua nona itu. Ayah, kejarlah Thai Khek Sian dan minta kembali Hui Nio dan Hui Sian !"
See-thian Hoat-ong bingung. Permintaan puteranya ini hanya mudah diucapkan akan tetapi sungguh amat sukar dilaksanakan. Bagaimana dia bisa menghadapi Thai Khek Sian" Membantu Pak-thian Koai-jin yang hendak menolong muridnya dari Ban-mo to saja sudah sukar apa lagi sekarang menolong dua orang nona dari tangan Thai Khek Sian, seorang diri lagi !
Selagi ia termangu - mangu, Wi Liong cepat berkata, "Lo-enghiong, biarlah aku yang pergi menyusul Thai Khek Sian dan mencoba menolong dua orang nona Liok." Kemudian pemuda ini berpaling kepada Pak-thian Koai-jin dan berkata. "Locianpwe, sekarang timbul dua urusan yang hampir sama sifatnya, keduanya membutuhkan bantuan kita untuk menolongnya. Nona Pui Eng Lan perlu sekali ditolong, demikian juga kedua orang nona Liok, dan kesemuanya memerlukan pertolongan cepat. Oleh karena itu. sebaiknya kita membagi tugas. Biarlah aku yang mengejar Thai Khek Sian dan mencoba menolong ji-wi Liok siocia, sedangkan locianpwe bersama lo-enghiong pergi ke Ban-mo-to menolong nona Pui. Aku tidak begitu mengkhawatirkan keselamatan nona Pui karena aku menduga bahwa Kun Hong berada di Ban-mo-to kalau menilik dari penuturan Kong-ciangkun tadi. Malah agaknya Kun Hong yang sudah membawa pergi nona Eng Lan. Benar tidaknya harap locianpwe selidiki di Ban-mo-to."
Karena ucapan ini memang beralasan, Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong tak dapat membantah lagi. Akan tetapi Kong Bu ragu-ragu. Masa urusan begitu pentingnya, menolong dua orang gadis itu dari tangan iblis Thai Khek Sian, harus diserahkan kepada pemuda yang nampak lemah ini "
"Ayah, Thai Khek Sian itu amat lihai dan berbahaya ........ bagaimana saudara Thio ini bisa pergi sendiri saja ?"
"Hemm, kau tidak tahu. Sepuluh orang ayahmu ini masih belum mampu menandingi dia seorang." kata See-thian Hoat-ong yang sudah tahu akan kelihaian murid Thian Te Cu itu.
Kong Bu tercengang, juga girang sekali. Ia memberi hormat dengan amat canggung karena pundaknya sakit, lalu berkata. "Maaf aku bermata tidak dapat melihat orang pandai. Kalau saudara Thio yang akan menolong ji-wi Liok-siocia itulah baik sekali. Tentang urusan ke Ban-mo-to kalau perlu bantuan, kiranya Tai It Cinjin dan Im-yang Siang-cu berdua tentu suka menolong, apa lagi kalau mendengar bahwa saudara Thio mau menolong ji-wi Liok-siocia. Biar aku yang akan minta bantuan mereka."
Wi Liong mengangguk - angguk. "Tepat sekali dan Kong-ciangkun sendiri juga harus berobat. Obat yang paling baik bagi pengusiran racun berada di tangan Kui-bo Thai-houw, yaitu Ngo heng-giok-cu yang dirampasnya dari Ngo-tok-kauw belum lama ini." Wi Liong memang sudah melihat betapa tongkat pendek lambang Ngo-tok-kauw telah patah dan batu kemala Ngo-heng-giok-cu lenyap. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan pentolan Ban-mo-to itu "
Demikianlah, setelah semua setuju, Wi Liong lalu berpisah dari tiga orang itu. Ia berlari cepat sekali dan sekali berkelebat ia lenyap, membuat Kong Bu kagum dan baru percaya bahwa pemuda itu betul - betul lihai. Tadinya ia sudah amat kagum melihat Kun Hong yang dianggapnya lihai sekali dan jarang tandingannya, akan tetapi siapa kira sekarang ada pemuda ke dua yang juga luar biasa lihainya.
Sementara itu, Wi Liong melakukan perjalanan cepat sekali. Ia sudah tidak sabar dan ingin cepat - cepat pergi ke Pek-go-to, pulau yang menjadi sarang Thai Khek Sian dan kaki tangannya. Yang membuat Wi Liong buru - buru mengajukan diri untuk mengejar Thai Khek Sian. bukan hanya karena ingin menolong dua orang gadis she Liok yang belum dikenalnya. Kalau bicara tentang menolong, tentu saja ia lebih mengutamakan Eng Lan untuk dtolongnya, karena gadis ini sudah dikenalnya. Akan tetapi, tadi ia mendengar disebutnya nama Beng Kun Cinjin ! Nama yang sudah lama dicari - cari, yang sudah lama ia ingin jumpai, nama musuh besarnya, pembunuh ayah bundanya ! Tentu saja mendengar nama ini ia mengesampingkan urusan - urusan yang lain dan mengutamakan mengejar Beng Kun Cinjin. Jadi sesungguhnya ia bukan hanya hendak menolong dua orang saudara Liok dan mengejar Thai Khek Sian. melainkan lebih penting lagi ia mengejar Beng Kun Cinjin. musuh besarnya yang tahu - tahu sekarang muncul di samping Thai Khek Sian, hal yang sama sekali tak pernah disangka - sangkanya itu.
Bagaimanakah Beng Kun Cinjin tahu - tahu bisa bersekutu dengan Thai Khek Sian, pentolan golongan Mo-kauw itu " Biarpun Kong Bu sudah menceritakannya dengan singkat, akan tetapi hal ini perlu dijelaskan lagi. Tadinya Beng Kun Cinjin yang melarikan dini karena takut akan pembalasan anaknya sendiri, bersembunyi di tempat Tai It Cinjin pamannya. Akan tetapi setelah ia gagal membunuh Kun Hong yang malah dibela oleh dua orang saudara Liok yang menjadi murid Tai It Cinjin, ia merasa tidak aman di tempat itu. Pergilah ia ke Pek-go-to dan menyerahkan diri kepada Thai Khek Sian serta mohon perlindungan. Tentu saja Thai Khek Sian suka mendapat kaki tangan baru yang cukup tangguh seperti Beng Kun Cinjin, apa lagi mengingat bahwa orang ini adalah putera Gan Yan Ki yang terhitung masih saudara seperguruan sendiri. Dengan menyerahnya Beng Kun Cinjin Gan Tui kepadanya, berarti bahwa permusuhan turun - temurun antara tiga orang kakek sakti Wuyi-san, yang seorang telah ia menangkan. Dengan Beng Kun Cinjin kiranya ia akan dapat menang menghadapi Thian Te Cu kelak
Thai Khek Sian malah menurunkan pelajaran kepada Beng Kun Cinjin setelah ia mendengar obrolan Beng Kun Cinjin bahwa murid tokoh itu, Kun Hong, sekarang telah menyeleweng dan mendekati musuh - musuh Mo-kauw, dan bahwa Kun Hong adalah puteranya sendiri yang hendak membunuhnya. Dalam diri Beng Kun Cinjin yang pandai mengumpak dan menjilat, Thai Khek Sian mendapatkan seorang murid yang cocok sekali.
Beng Kun Cinjin pernah menjadi pembantu Raja Mongol. maka sekarang ia membisikkan siasat kepada Thai Khek Sian untuk mengadakan undangan kepada para tokoh besar di dunia kang-ouw, untuk menentukan siapa di antara para tokoh yang paling jago, sekalian merayakan ulang lahun ke delapan puluh dari Thai Khek Sian.
"Kita melakukan persiapan, memberi tahu Kaisar Mongol untuk menyergap mereka. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua lalat. Pertama, membasmi golongan - golongan berbahaya yang memusuhi kita, ke dua. Kaisar Mongol akan berterima kasih sekali kepada kita," kata Beng Kun Cinjin menutup siasatnya.
Thai Khek Sian menjadi girang sekali. Makin jahat rencana orang, makin kagumlah dia, karena di dalam benak orang ini tidak ada istilah jahat, yang ada hanyalah pintar atau bodoh, menang atau kalah. Setiap jalan, betapapun kejinya, betapapun jahat dan curangnya, akan ditempuh demi kemenangannya.
Di samping menyebar undangan untuk menghadiri pesta ulang tahun ke delapanpuluh di Pek-go-to, juga Beng Kun Cinjin menyatakan bahwa Tai It Cinjin yang menjadi pamannya, kakak ipar dari Gan Yan Ki selalu mengagulkan kepandaian.
"Dia perlu diundang," kata Beng Kun Cinjin, dan dia mempunyai dua orang murid yang cantik - cantik. Sayang sebetulnya dua orang gadis itu berada di sana, sebetulnya lebih patut berada di Pek-go-to menjadi murid Sian-su."
Gosokan - gosokan ini tentu saja mudah termakan oleh Thai Khek Sian. Maka bersama Beng Kun Cinjin ia lalu mendatangi Tai It Cinjin di Kim-le-san, memberi undangan sekalian "minta" dua orang murid itu. Hui Nio dan Hui Sian, menjadi muridnya ! Tai It Cinjin tidak berani apa-apa, akan tetapi Kong Bu yang melihat kekasihnya hendak dibawa lalu menyerang, akibatnya dia sendiri yang dua kali kena dipukul oleh Thai Khek Sian sampai terluka.
Hui Nio dan Hui Sian sedih dan gelisah bukan main ketika mereka dibawa dengan paksa oleh manusia iblis Thai Khiek Sian ke Pulau Pek-go-to. "Heh-heh-heh. kalian akan hidup senang di pulauku, dan kalian baru mengenal ilmu silat tinggi kalau menjadi muridku." kata kakek mengerikan itu kepada mereka. Baiknya Thai Khek Sian sudah terlalu tua untuk memperlihatkan sikap kurang ajar dan tidak mengganggu mereka. Memang kakek ini wataknya luar biasa sekali. Semenjak ia masih muda sekalipun, biar ia amat jahat, keji dan tidak ada kekejaman yang tak dilakukannya, namun ia tidak sudi menguasai wanita dengan kekerasan.
Wanita harus tunduk kepadanya, malah sebagian besar memperebutkan kasih sayangnya ! Memang aneh, akan tetapi kakek sakti ini memiliki kesaktian yang dapat menarik hati wanita. Hebatnya, biarpun di pulaunya banyak terdapat wanita - wanita muda yang cantik dan yang menjadi selir juga muridnya, namun ia tidak perduli apakah mereka itu setia kepadanya atau tidak. Malah sudah beberapa tahun ini. mungkin berhubung dengan usianya yang sudah delapanpuluh kurang, ia tidak begitu perdulikan mereka lagi dan sudah merasa "ayem" melihat selir- selirnya itu berada di sekelilingnya, berpakaian rapi, tersenyum - senyum dan menggembirakan hatinya dengan kemudaan mereka, dengan kegembiraan mereka dan semangat mereka belajar ilmu silat.
Thai Khek Sian menculik Hui Nio dan Hui Sian sama sekali bukan karena ia kegilaan dua orang gadis ini. Di pulaunya terdapat banyak wanita muda yang jauh lebih cantik dari pada mereka enci adik ini. Dia menculiknya hanya untuk memperlihatkan kepada murid barunya, Beng Kun Cinjin. akan kekuasaan dan kepandaiannya, bahwa dia berani menculik murid Tai It Cinjin. Terutama sekali untuk menghina Tai It Cinjin yang sikapnya sombong itu.
Maka, biarpun sedih dan gelisah. Hui Nio dan Hui Sian merasa lega juga ketika di Pulau Pek-go-to mereka berdua dilepas begitu saja di pulau itu. Pedang mereka malah tidak dirampas dan mereka boleh berbuat sesuka hati mereka. Makan, pakai sudah tersedia cukup dan Thai Khek Sian tak pernah mengganggu mereka karena kakek ini merasa yakin bahwa akhirnya dua orang gadis inipun, seperti yang lain - lain. dengan suka rela akan tunduk kepadanya.
Dua orang enci adik itu merasa bingung, Biarpun mereka dibiarkan bebas di pulau yang amat indah itu, akan tetapi apakah enaknya orang ditawan " Mereka sama sekali tidak berdaya. Tidak ada perahu yang tidak terjaga kuat yang dapat mereka curi. Untuk pergi dari pulau itu menyeberang ke daratan adalah hal tidak mungkin. Memberontak " Percuma, jangankan sampai Thai Khek Sian atau Beng Kun Cinjin turun tangan, baru murid - murid Thai Khek Sian, wanita - wanita cantik yang berada di situ dan hidup seperti puteri - puteri kahyangan itu saja sudah merupakan lawan tangguh sekali.
Pernah mereka didatangi dua orang gadis cantik sekali di antara banyak sekali wanita muda cantik - cantik itu. Seorang berpakaian merah dan yang ke dua berpakaian hijau. Pakaian mereka indah dan ketat dan harus diakui oleh enci adik ini bahwa dua orang wanita muda ini benar-benar cantik dan gagah, membuat mereka terheran - heran bagaimana dua orang wanita seperti ini bisa menjadi selir Thai Khek Sian. Si baju hijau berkata tersenyum manis,
"Kedua adik, bukankah kalian ini Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian murid Tai It Cinjin yang berkenan dibawa ke sini oleh Siansu " Ah, kalian beruntung sekali kalau terpilih menjadi murid Siansu. Hendaknya kalian baik - baik menjaga diri dan kalau kalian bisa mengambil hatinya menerima warisan ilmu, benar - benar kalian akan menjadi dua orang wanita perkasa ........"
"Tutup mulut !" Hui Sian membentak marah. "Siapa sudi menjadi muridnya" Kami diculik dan dipaksa ke sini. Kalau tidak, apa kau kira kami sudi menginjakkan kaki ke pulau kotor ini ?"
"Aduh galaknya ! Enci, buat apa kita bicara dengan dua serigala ini " Mari kita pergi saja," kata yang berbaju merah.
Akan tetapi yang berbaju hijau menggelengkan kepala sehingga anting - antingnya yang terbuat dari batu kemala indah itu bergoyang-goyang lucu sekali.
"Sudah jamak yang baru datang bersikap begini. Kelak juga akan berubah kalau sudah bosan bersikap marah - marah. Dua adik Liok, ketahuilah, aku Cheng In dan ini adikku Ang Hwa. Kalau kalian perlu akan sesuatu, boleh cari kami dan kami akan senang sekali kalau dapat menolong kalian."
Tiba-tiba Hui Nio memberi isyarat kepada adiknya dan keduanya mencabut pedang lalu melompat ke dekat Cheng In dan Ang Hwa sambil menodongkan pedang masing-masing.
"Kalian mau tolong " Baik, hayo lekas antar kami ke tempat perahu agar kami dapat lolos dari tempat ini. Kalau kalian membantah, pedang ini akan menembus dada kalian !" kata Hui Nio perlahan. Ia melihat kesempatan baik sekali. Agaknya Cheng In dan Ang Hwa ini merupakan orang - orang penting pula di situ, maka siapa tahu mereka ini dapat menolong di bawah ancaman pedang.
Akan tetapi, Cheng In dan Ang Hwa tiba-tiba tertawa cekikikan lalu menutupi mulut masing-masing.
"Kenapa tertawa ?" Hui Nio membentak gemas.
"Kalian ini lucu, lucu sekali !" Cheng In berkata lalu tertawa lagi dengan adiknya, Ang Hwa.
"Apanya yang lucu " Apakah ujung pedang ini lucu ?" Hui Sian membentak sambil menodongkan ujung pedangnya ke arah leher Ang Hwa.
"Apa kalian hendak memamerkan sedikit permainan pedang " Baiklah, mari kita main - main sebentar," kata Ang Hwa dan dengan gerakan bagaikan kilat cepatnya dia dan Cheng In sudah melompat ke belakang. Gerakan ini demikian gesitnya, sama sekali berlawanan dengan gerak-gerik mereka yang lemah lembut tadi dan di lain saat mereka sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya.
"Mau main - main dengan pedang " Boleh, majulah !" kata Cheng In, senyumnya manis mengejek.
Hui Nio dan Hui Sian sudah kepalang untuk mundur, mereka lalu maju menerjang dengan pedang mereka. Cheng In dan Ang Hwa menangkis dan kedua pasang enci adik ini bertempur seru. Akan tetapi ternyata bahwa tingkat dua orang murid dan kekasih Thai Khek Sian itu masih jauh lebih unggul. Sebentar saja gulungan sinar pedang mereka sudah mengurung rapat dan membuat murid - murid Tai It Cinjin kewalahan, terdesak mundur akan tetapi tidak ada jalan untuk keluar dari kurungan sinar pedang lawan. Beberapa jurus kemudian, terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Cheng In dan Ang Hwa telah berhasil membuat pedang lawan terpental dan menancap di atas tanah.
Hui Nio dan Hui Sian berdiri pucat. Akan tetapi Cheng In dan Ang Hwa tidak menyerang lagi, malah menyimpan pedang masing - masing dan sambil tertawa - tawa meninggalkan enci adik itu yang menjadi malu sekali. Hui Sian segera menjatuhkan diri menangis di atas rumput. Hui Nio menghampiri adiknya dan menghibur.
"Mereka terlampau kuat. Tidak ada jalan untuk keluar dari pulau ini dengan kekerasan. Kita harus bersabar sambil menanti kesempatan dan mencari akal," kata Hui Nio menghibur adiknya.
Dua orang gadis ini tidak tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda menghampiri mereka dari balik batu gunung - gunungan. Baru mereka kaget ketika pemuda itu menyapa, "Apakah ji-wi (kalian) ini ji-wi Liok-siocia dari Kim-le-san?"
Hui Nio dan adiknya menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian seperti orang kota atau golongan terpelajar, sikapnya lemah lembut dan wajahnya tampan sekali. Mereka tidak mengenalnya dan mengira bahwa orang ini tentu anggauta penghuni pulau ini atau kaki tangan Thai Khek Sian
"Betul." jawab Hui Nio ketus, "apakah kau ini begundal Thai Khek Sian dan mau apa dekat-dekat di sini " Pergilah !"
Pemuda itu tersenyum dan mengangkat tangan menjura. "Ji-wi siocia jangan salah sangka. Aku datang atas suruhan Kong Bu ciangkun untuk menolongmu."
Hui Nio sudah kelihatan girang sekali akan tetapi Hui Sian membentak. "Bohong! Siapa percaya obrolanmu " Apa kau bisa terbang ke pulau ini ?"
"Aku tidak bisa terbang." kata pemuda itu yang bukan lain Wi Liong adanya, "akan tetapi dengan pertolongan perahu kecil aku bisa menyeberang ke sini dan memasuki pulau tanpa ketahuan. Nona Liok, ada hal penting yang hendak kutanyakan kepada kalian. Apakah Beng Kun Cinjin berada di pulau ini ?" Wi Liong mengajukan pertanyaan ini dengan bernafsu sehingga suaranya agak menggigil. Hal ini disalah-artikan oleh Hui Sian yang berkata ketus,
"Kalau terhadap Beng Kun Cinjin saja kau ketakutan setengah mati, bagaimana kau akan mampu menolong kami ?"
"Hui Sian, jangan sembarangan bicara." Hui Nio menegur adiknya yang kewat (genit) itu, kemudian ia menghadapi Wi Liong. "Sudara ini siapakah dan untuk apa menanyakan Beng Kun Cinjin " "
Wi Liong menarik napas panjang. Ia mendongkol tidak dipercaya penuh oleh dua orang gadis ini. "Namaku Thio Wi Liong. Aku mendapat tugas menolong kalian berdua, akan tetapi sebelum aku lakukan hal itu, lebih dulu aku hendak mencari dan membunuh Beng Kun Cinjin."
Mendengar ini, dua orang enci adik itu melongo. Alangkah mudahnya pemuda ini bicara. Tidak saja Beng Kun Cinjin. sendiri merupakan seorang jago tua yang berilmu tinggi, juga di situ banyak orang pandai seperti Cheng In dan Ang Hwa tadi, jangan lagi bicara tentang Thai Khek Sian. Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda ini hendak menolong mereka, mau rasanya mereka mentertawakan pemuda ini seperti tadi Cheng In dan Ang Hwa mentertawakan mereka.
"Tentu saja Beng Kun Cinjin berada di rumah besar sana bersama Thai Khek Sian." kata Hui Sian sambil menudingkan telunjuknya yang kecil ke arah timur di mana tepat di tengah tengah pulau itu terdapat perumahan Thai Khek Sian dan murid - murid atau selir - selirnya. Dengan menyebut nama Thai Khek Sian, gadis ini hendak membikin kaget Wi Liong supaya jangan demikian besar omongannya. Akan tetapi siapa sangka, pemuda itu dengan mata bersinar - sinar girang mendengar Beng Kun Cinjin benar - benar berada di situ, lalu berkelebat pergi sambil berkata,
"Kalau begitu aku akan mencarinya lebih dulu!" Tubuhnya sekali berkelebat lenyap dari pandang mata dua orang gadis itu, membuat Hui Nio dan Hui Sian melongo terheran-heran dan kagum. Timbul harapan dalam hati mereka melihat kelihaian pemuda itu maka dengan cepat mereka memungut pedang masing- masing dan berlari mengejar, dengan maksud hendak membantu pemuda yang hendak menolong mereka dan membunuh Beng Kun Cinjin itu. Dua orang gadis ini memang orang - orang berjiwa gagah dan tabah sekali. Biarpun maklum akan menghadapi orang-orang sakti, mereka tidak gentar.
Dengan gerakan cepat sekali Wi Liong berlari menuju ke bangunan rumah-rumah di tengah pulau yang indah itu. Beberapa orang wanita muda cantik jelita yang duduk di taman bunga kaget melihat ia berlari-lari dan para wanita itu lalu membicarakan pemuda tampan yang lewat itu dengan penuh gairah.
Semenjak Kun Hong pergi meninggalkan pulau ini. mereka kesunyian dan sekarang melihat Wi Liong, tentu saja mereka menjadi gembira. Serentak mereka berdiri dan dengan gerakan ringan mereka mengejar, menyangka bahwa pemuda itu adalah tamu dari Siansu.
Wi Liong tidak memperdulikan para wanita itu yang pakaiannya indah - indah, orangnya muda - muda dan cantik - cantik. Ia terus berlari maju penuh nafsu, dan tak lama kemudian ia tiba di sebuah taman penuh batu-batu besar berbentuk gunung - gunungan yang membuat tempat itu kelihatan indah sekali. Tempat ini letaknya tak jauh dari perumahan yang sudah kelihatan dari situ tembok-temboknya dan tiba - tiba ia melihat seorang laki - laki tinggi besar berkepala gundul di atas sebuah batu, duduk bersila sambil minum arak dari guci, kelihatan senang puas sambil menikmati pemandangan yang memang indah, bunga-bunga dan gadis-gadis cantik bermain-main di antara bunga yang bertebaran di seluruh pulau itu !
Wi Liong belum pernah bertemu dengan Beng Kun Cinjin. Ia pernah melihat Thai Khek Sian maka ia tahu bahwa kakek ini bukan Thai Khek Sian, dan melihat bentuk tubuh yang kekar dengan kulit kehitaman, kepala gundul dan tasbeh panjang tergantung di leher hwesio itu, hatinya berdebar. Ia sudah mendengar dari pamannya bagaimana macamnya musuh besar itu.
"Apakah kau yang bernama Beng Kun Cinjin ?" tanyanya singkat, tangannya yang memegang suling gemetar saking tegangnya perasaannya.
Beng Kun Cinjin yang baru merasa aman setelah berada di Pek-go-to dekat dengan Thai Khek Sian, sedang duduk melamun penuh kesenangan. Ia tidak suka lagi mendekati gadis - gadis itu, akan tetapi melihat mereka bermain di dalam taman sungguh merupakan pemandangan yang menyedapkan hati dan pikiran. Di tempat ini ia merasa aman betul, maka ia kembali kepada kebiasaan lama ketika masih berada di istana kaisar, yaitu minum arak wangi sepuasnya ! Siapa yang ia takuti di tempat Thai Khek Sian " Kun Hong boleh datang, ia tidak takut !
Maka iapun kaget mendengar suara orang menyebut namanya. Ketika ia menengok ogah-ogahan sambil menenggak arak, hampir saja ia lepaskan gucinya karena mengira pemuda itu Kun Hong. Memang Wi Liong sebaya dengan Kun Hong,dan keduanya memang orang - orang muda yang tampan sekali. Akan tetapi ia segera melihat bahwa pemuda ini bukan Kun Hong, maka ia memandang rendah lalu balas bertanya.
"Orang muda, kau siapa dan bagaimana bisa mengenal nama pinceng ?"
"Beng Kun Cinjin, kalau begitu kau bersiaplah untuk mampus di tanganku !" Wi Liong maju selangkah, suling di tangannya tergetar.
Beng Kun Cinjin menunda minumnya, matanya memandang terbelalak kepada pemuda tampan itu, terheran - heran. "Eh. eh, orang muda apa kau sudah gila " Ataukah kau kemasukan roh dari malaikat pencabut nyawa " Siapakah kau yang tiada hujan tiada angin hendak membunuhku ?" Ia masih tidak perdulikan pemuda ini, memandang rendah dan sekali lagi menenggak arak dari guci itu.
"Mau tahu siapa aku " Baiklah agar kau jangan mampus penasaran. Bukalah telingamu baik-baik, jahanam keparat. Masih ingatkah kau kepada Thio Houw dan Kwee Goat ?"
Beng Kun Cinjin terkejut dan menurunkan guci arak dari mulutnya.
"Dia ......... mereka ......... itu murid - muridku. Kau siapalkah ?"
"Thio Houw adalah ayahku dan Kwee Goat ibuku. Namaku Thio Wi Liong, Nah, Beng Kun Cinjin, tentu kau tahu mengapa anak dari orang-orang yang kaubunuh sekarang datang hendak menuntut balas. Bersiaplah !"
Pucat wajah Beng Kun Cinjin mendengar ini. bukan pucat karena takut melihat pemuda ini, melainkan karena kaget diingatkan akan perbuatannya dahulu yang benar - benar amat ia sesalkan itu. Apa lagi sekarang ketika ia memandang penuh perhatian, wajah Wi Liong membayangkan wajah, Kwee Goat, murid perempuan yang dahulu amat ia sayang sebagai puteri sendiri. Biarpun ia kaget sekali, namun ia masih memandang rendah dan tidak mau kalah gertak.
"Ah, jadi kau anak dua orang muridku yang durhaka itu " Wi Liong, kau masih muda dan melihat wajahmu mirip wajah ibumu, baik kuampunkan kekurang-ajaranmu ini. Pergilah saja dan ketahuilah bahwa orang tuamu mati karena salah mereka sendiri, karena kedurhakaan mereka terhadap guru."
"Bangsat gundul keparat ! Selain membunuh ayah bundaku, kau secara keji membutakan mata paman Kwee Sun Tek. Setelah melakukan kekejian - kekejian itu, apakah sekarang masih berani menyangkal " Rasakanlah pembalasanku !" Cepat Wi Liong menerjang maju. akan tetapi sambil menggereng marah Beng Kun Cinjin menubruk dari atas dan memukul kepala Wi Liong dengan guci araknya. Wi Liong menangkis dengan sulingnya.
"Prakkk ............ !" Guci arak itu pecah berkeping - keping dan isinya menyiram muka Beng Kun Cinjin, membuat dia gelagapan. Baiknya dia terus menggulingkan diri ke belakang dengan amat cepat, kalau tidak tentu kepalanya yang gundul itu berkenalan dengan suling di tangan Wi Liong.
"Hebat ......... !" Beberapa suara halus mengeluarkan suara pujian. Itulah suara Cheng In, Ang Hwa, dan perempuan-perempuan lain yang tertarik dan sudah berada di situ. Mereka hanya menonton karena Beng Kun Cinjin adalah murid baru yang selalu menyendiri, sedangkan pemuda itu tak seorangpun kenal. Akan tetapi, para murid Thai Khek Sian yang rata- rata memiliki ilmu silat tinggi, melihat segebrakan saja sudah kagum karena mereka sudah tahu akan kelihaian Beng Kun Cinjin dan kini. sekali tangkis dengan suling saja Beng Kun Cinjin menjadi sibuk. Ini saja sudah cukup membuktikan kehebatan pemuda itu maka mereka pada mengeluarkan suara pujian.
Sementara itu, Beng Kun Cinjin yang tadinya kaget setengah mati sekarang menjadi marah dan penasaran. Ia telah mengambil tasbeh dari lehernya dan dengan suara seperti seekor harimau mengamuk, ia menerjang maju menyerang pemuda yang hanya bersenjata sebatang suling itu.
"Cici Cheng In. benar dia itu ........ benar orang she Thio itu ......... !" tiba - tiba Ang Hwa berkata. Memang dahulu pernah Cheng In dan Ang Hwa bertempur melawan Wi Liong ketika mereka berdua menjadi utusan Thai Khek Sian mengadakan pertemuan dengan ketua - ketua Hai-liong-pang dan mereka telah dikalahkan oleh pemuda tampan itu.
Adapun Wi Liong yang mengelak dari serangan tasbeh. mendengar suara ini serasa ia kenal. Ketika ia melirik, ia melihat Cheng In dan Ang Hwa. Tahulah ia bahwa ia telah terkepung oleh murid - murid Thai Khek Sian yang lihai. Akan tetapi ia tidak takut dan kini mencurahkan perhatiannya untuk melayani Beng Kun Cinjin. Melihat hebatnya gerakan tasbeh, ia segera memutar sulingnya dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah mendesak hebat dan membuat Beng Kun Cinjin mandi keringat !
"Adik Ang Hwa, orang she Thio ini benar-benar mengagumkan sekali Kepandaiannya sudah makin lihai saja ....... !" terdengar Cheng In memuji.
"Hwesio itu mana bisa menang !" kata Ang Hwa.
Memang Beng Kun Cinjin terdesak hebat oleh suling di tangan Wi Liong yang mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk membunuh musuh besar ini. Akan tetapi Beng Kun Cinjin bukannya lawan sembarangan. Ilmu silatnya tinggi dan tenaganya besar, baik tenaga lweekang apa lagi tenaga gwakangnya. Dia adalah seorang ahli gwa-kang yang sudah dapat menguasai lweekang tinggi, dan senjatanya berupa tasbeh itupun merupakan senjata yang amat ampuh dan sukar dilawan.
Kalau saja bukan Wi Liong murid terkasih Thian Te Cu yang menghadapinya, sukarlah menangkan hwesio yang banyak pengalamannya ini.
Yang bingung dan cemas adalah Beng Kun Cinjin sendiri. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa di samping Kun Hong yang ditakuti kini muncul seorang pemuda lain yang menjadi musuh besarnya, putera dari Thio Houw dan Kwee Goat, yang kepandaiannya malah tidak kalah oleh Kun Hong. Beng Kun Cinjin boleh jadi gagah perkasa dan sakti, akan tetapi dalam satu hal ia amat lemah, yaitu ia takut mati.
Ngeri ia menghadapi kematian, maka ia selalu ketakutan terhadap Kun Hong. sekarang ia makin takut lagi dengan munculnya Wi Liong. Ia masih mencoba untuk mengerahkan tenaga dan balas menyerang dengan tasbehnya. Kalau perlu ia akan mengadu nyawa, pikirnya nekat karena suling pemuda itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh batang dan mengurungnya dari semua jurusan. Ia yang tadinya hanya mampu menangkis saja, sekarang tidak perduli suling lawan dan membarengi dengan hantaman tasbeh ke arah kepala pemuda itu. Serangan yang nekat sekali!
Mana Wi Liong sudi mati bersama musuh besarnya " Ia menarik sulingnya dan menangkis hantaman itu. Hebatnya, begitu tasbeh tertangkis, senjata aneh ini terus melibat suling dengan kuatnya, tak dapat terlepas lagi ! Beng Kun Cinjin merasa diri cerdik, dengan girang ia membetot untuk merampas suling. Kepandaiannya "melibat dan merampas" ini dahulu selalu menjadi modalnya dalam pertempuran menghadapi lawan berat dan jarang sekali gagal. Dengan modal gerakan ini ia selalu dapat merampas senjata lawan dan mencapai kemenangan. Akan tetapi kali ini. ia tidak mampu merampas suling yang ringan itu! Malah - malah ketika ia hendak menarik kembali tasbehnya dan melepaskan libatan, ia tidak sanggup, seakan - akan suling itu berakar dan menjadi satu dengan tasbeh. Kini ia tidak tahu lagi apakah tasbehnya yang melibat ataukah suling lawan yang menahan !
Beng Kun Cinjin menggunakan tangan kirinya untuk memukul ke depan sambal melangkah maju. Angin menyambar kuat karena inilah pukulan Pat-in-ciang (Pukulan Mendorong Awan) yang lihainya bukan main dan dahulu sudah merobohkan entah berapa banyak lawan. Akan tetapi kali ini ia menghadapi Wi Liong. Pemuda itu dengan tenang juga menggerakkan tangan kirinya dan dengan telapak tangan dibuka ia menerima pukulan itu.
"Plakk......... !" Beng Kun Cinjin mengeluh dan mencelat ke belakang, tasbehnya putus untaiannya dan berjatuhan di atas tanah, menggelinding ke sana ke mari. Hwesio itu sendiri setelah dapat menguasai keseimbangan badan dan tidak terhuyung lagi, berdiri dengan muka pucat. Ia telah mendapa luka di dalam dada karena pukulannya sendiri membalik ketika bertemu dengan tangan Wi Liong.
"Bagus sekali ......... !" terdengar Cheng In memuji.'
"Pemuda hebat ......... !" Ang Hwa juga memuji dengan muka merah dan mata bersinar-sinar.
Wi Liong tidak perdulikan semua itu, ia melangkah maju perlahan untuk menghampiri musuh besarnya dan melanjutkan pertempuran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencela,
"Biar tampan dan lihai, musuh tetap musuh tak boleh dipuji. Hayo kalian pergi !"
Para wanita muda itu tidak ada yang berani membantah, cepat pada pergi berlari - lari dari tempat situ.
Wi Liong menengok dan kagetlah ia melihat Thai Khek Sian muncul dengan tiba - tiba. Ia kaget karena melihat kakek ini sekarang lebih mengerikan lagi dari pada dahulu ketika ia bertemu untuk pertama kalinya. Kakek ini masih tetap berkulit hitam, bertelanjang dada hanya mengenakan celana hitam panjang, kepalanya gundul, kuku jari tangannya panjang - panjang seperti cakar setan. Yang lebih mengerikan lagi, sekarang kakek ini memakai sebuah kalung yang mengikat sebuah tengkorak manusia. Tengkorak itu bergerak-gerak tergantung di depan dadanya, mengerikan sekali. Ia tidak tahu bahwa inilah "pakaian" Thai Khek Sian di waktu ia sedang bersamadhi atau melatih ilmunya. Tadi ia tengah bersamadhi maka ia "berpakaian" seperti ini dan ia keluar karena terganggu oleh suara - suara itu, terutama sekali karena pendengarannya yang luar biasa itu sudah dapat menangkap angin - angin pukulan dua orang yang sedang bertempur di taman.
"Gan Tui, kau mundurlah !"
Tentu saja Beng Kun Cinjin menjadi girang sekali dan cepat pergi dari situ untuk mengobati luka di dalam dadanya.
"Bocah kurang ajar, kau siapa dan bagaimana kau berani memasuki pulauku membuat kacau ?" Thai Khek Sian menegur.
Wi Liong berlaku waspada dan bersikap tenang. "Aku bernama Thio Wi Liong. aku bukan pengacau hanya akan membunuh Beng Kun Cinjin untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku. Thai Khek Siansu, harap kau minggir dan jangan mencampuri urusanku dengan ........."
Tiba - tiba Thai Khek Sian menubruk maju dan menyerang dengan kuku-kuku jari tangan kirinya, mencengkeram ke arah leher Wi Liong sambil tertawa - tawa.
"Kau curang !" Wi Liong berseru marah sambil menangkis dengan sulingnya. Ketika suling itu bertemu dengan kuku meruncing itu. terdengar suara nyaring seperti senjata-senjata tajam bertemu dan Wi Liong merasa telapak tangannya tergetar. Ia maklum akan kelihaian lawan, maka ia berlaku hati - hati sekali. Tadipun kalau ia tidak hati-hati, ia sudah kena dibokong dengan penyerangan tiba-tiba selagi ia bicara. Selain lihai, juga Thai Khek Sian amat curang, licin, penuh tipu muslihat, pendeknya segala macam kejahatan dan kecurangan memenuhi kepala yang gundul plontos itu.
Thai Khek Sian penasaran sekali. Ia sebagai seorang tokoh besar, seorang pentolan Mo-kauw nomor wahid, masa tidak bisa merobohkan seorang pemuda dengan sekali serang " Benar memalukan, pikirnya. Baiknya selir-selirnya sudah pada pergi dari situ, kalau tidak ia dapat kehilangan muka karena serangannya tadi gagal. Dengan kemarahan meluap ia menyerang lagi, Wi Liong menangkis dan di lain detik terjadilah serang - menyerang yang hebatnya bukan main. Wi Long memusatkan seluruh perhatian, tenaga, dan kepandaiannya ke dalam semua gerakannya. Selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi lawan setangguh ini dan setiap gerakan harus diperhitungkan benar - benar. Ia cukup maklum bahwa sekali saja meleset dan terkena pukulan kakek ini berarti maut baginya.
Thai Khek Sian makin penasaran. Ternyata bocah ini dapat melayaninya dengan baik ! Setiap serangan darinya selalu dapat dielakkan atau ditangkis, malah dapat membalas dengan penyerangan kilat. Suling itu hebat sekali. Ia memperhatikan gerak tipu - gerak tipu pemuda itu dan tiba-tiba ia berteriak,
"Kau murid Thian Te Cu......... !!" Sambil berteriak begini ia melompat mundur.
Wi Liong menyilangkan suling di depan dadanya, sikapnya tetap tenang dan keren. "Betul, dan aku musuh besar Beng Kun Cinjin. Dia pembunuh ayah bundaku. Harap kau orang tua jangan mencampuri urusanku."
Thai Khek Sian tertawa bergelak. Tengkorak di depan dadanya bergerak- gerak mengangguk-angguk. "Bocah kurang ajar, kau berhadapan dengan susiokmu (paman gurumu) sendiri berani bersikap begini tak tahu adat ?"
Wi Liong tersenyum sindir. "Kau tidak pernah mengakui suhu sebagai suheng (kakak seperguruan), bagaimana aku bisa mengakui kau sebagai susiok?"
"Bocah sombong, kau perlu dihajar !" Dengan gemas sekali Thai Khek Sian menerjang maju dengan sepuluh jari kukunya. Kukunya panjang-panjang dan setiap jari merupakan semacam pisau berbisa yang amat menakutkan. Bukan hanya berbisa, malah mengandung kekuatan tak kalah oleh pedang sehingga tiap kali bertemu dengan suling Wi Liong, terdengar suara nyaring seperti baja bertemu.
Wi Liong tidak berani berlaku lambat. Cepat ia menandingi kakek itu dengan ilmu pedangnya yang sempurna, yang dimainkan dengan suling. Kalau pukulan - pukulan Thai Khek Sian mendatangkan angin bersiutan sehingga daun-daun tetanaman di taman itu pada gugur, adalah suling Wi Liong mengeluarkan suara melengking seperti ditiup, dan suling itu dalam tangannya seperti berubah menjadi banyak sekali. Gulungan sinar suling bergelombang mengimbangi gerakan kuku-kuku jari lawannya. Mereka telah bertanding lagi dengan hebatnya, seru dan mati - matian. Makin lama Thai Khek Sian makin marah karena penasaran sekali. Sampai puluhan jurus belum juga ia dapat mengalahkan lawannya yang muda. Jangan kata mengalahkan, mendesakpun tidak mampu. Matanya mengeluarkan cahaya berapi, kepalanya seperti mengeluarkan uap dan gerakannya makin menggila.
Wi Liong diam-diam terkejut bukan main. Setiap pertemuan antara sulingnya dengan tangan manusia iblis itu, ia merasa lengannya tergetar
Akan tetapi ia mengumpulkan semangatnya dan melawan mati-matian sepenuh tenaga. Pertempuran itu bukan main hebatnya. Pepohonan tercabut dan roboh, batu - batu pada pecah yang berada di dekat tempat itu. semua itu hanya terkena hawa pukulan yang membabi-buta.
Dua orang gadis, Hui Nio dan Hui Siam yang sudah menyusul sampai di situ. menonton dari belakang batu besar dengan muka pucat. Selama hidupnya belum pernah mereka menyakskan pertandingan sehebat itu. Angin - angin pukulan menyambar sampai ke tempat mereka dan hanya dengan berlindung di balik batu besar itu mereka dapat menonton. Kalau tidak, hawa pukulan itu tentu menyerang mereka dan biarpun jaraknya jauh, kiranya mereka takkan dapat menahan dan akan roboh. Malah suara melengkingnya suling yang keluar dari senjata Wi Liong tak kuat mereka dengarkan lebih lama lagi. Suara itu mengandung khikang tinggi, membuat mereka lemas dan tulang - tulang terasa sakit. Terpaksa mereka menggunakan saputangan untuk menutupi kedua telinga !
Puluhan jurus telah lewat. Bahkan ratusan jurus. Sejam, dua jam, tiga, empat jam sudah dua orang itu bertanding, akan tetapi masih belum ada yang kalah atau menang. Mereka sudah tidak kelihatan lagi, sudah berubah menjadi dua gundukan sinar yang aneh, sinar bergulung-gulung dan menyambar ke sana ke mari seperti dua ekor naga sakti bermain - main di angkasa raya.
Akhirnya Thai Khek Sian tak dapat menahan sabar lagi. Memang Wi Liong sudah lama sejak tadi terdesak hebat, akan tetapi ia masih terus mempertahankan diri dan karena Thai Khek Sian ingin merobohkan pemuda itu dengan ilmu silatnya maka sebegitu lama ia belum mampu merobohkan pemuda itu. Setelah-kesabarannya habis, tiba-tiba kakek ini mengeluarkan pekik yang luar biasa dahsyatnya, bukan pekik manusia lagi melainkan suara yang patutnya keluar dari neraka jahanarm. Tengkorak yang tergantung di dadanya tiba-tiba mengeluarkan asap putih dari mulut yang menyambar ke arah Wi Liong. Pemuda ini memang sudah sibuk terkurung oleh jari - jari tangan berkuku tajam itu sehingga ia tidak keburu lagi menghindarkan diri. Sekali ia menyedot asap itu, tubuhnya terhuyung dan ia roboh pingsan di atas tanah ! Thai Khek Sian tertawa tergelak, akan tetapi, ia masih ingat bahwa pemuda ini adalah murid Thian Te Cu maka ia tidak mau membunuhnya. Betapapun juga. ia masih merasa ngeri untuk menanam permusuhan dan menimbulkan marahnya Mayat Hidup Thian Te Cu itu. Baru muridnya saja sudah begini hebat, pikirnya, entah bagaimana lihainya kakek itu yang sudah lama sekali tak pernah ia jumpai.
Selagi Thai Khek San tertawa-tawa girang, muncul Hui Nio dan Hui Sian dari tempat sembunyinya. Dua orang gadis ini yang menganggap Wi Liong sebagai penolong mereka, tentu saja tidak bisa tinggal diam melihat penolong mereka roboh pingsan. Mereka takut kalau - kalau Thai Khek Sian membunuh pemuda itu. Hui Sian dengan tabah lalu melompat ke depan Thai Khek Sian dengan pedang di tangan.
"Kau baru bisa bunuh dia melalui mayatku !" katanya gagah sambil bersiap untuk bertempur.
Sedangkan Hui Nio yang melihat wajah pemuda itu pucat dan napasnya tidak ada lagi, cepat mengangkat tubuh atas Wi Liong dan dipangkunya. Wi liong sudah lemas dan pucat, napasnya tidak ada lagi seperti orang mati.
"Kau.........kau membunuhnya ......... !" kata Hui Nio marah sekali. Dengan perlahan ia lalu menurunkan tubuh Wi Liong di atas rumput dan melompat di samping Hui Sian dengan pedang di tangan.
"Eh-he-he. kalian ini mau apa ?" Thai Khek Sian mentertawakan mereka. "Pemuda itu apamu sih?"
"Bukan apa - apa !" jawab Hui Sian tegas. "Akan tetapi dia mau menolong kami keluar dan sini. Oleh karena kau telah membunuhnya, kamipun hendak mengadu nyawa denganmu !" Setelah, berkata demikian, Hui Sian lalu menerjang maju, diikuti oleh Hui Nio.
Thai Khek Sian tertawa bergelak. Tentu saja dua orang gadis itu bukan lawannya. Ia membuat gerakan aneh ke kanan kiri, terdengar bunyi "krak-krak !" dan dua batang pedang di tangan Hui Nio dan Hui Sian itu telah kena ia rampas dan ia patah - patahkan ! Lalu ia melempar pedang - pedang itu sambil tertawa terkekeh - kekeh.
Akan tetapi Hui Nio dan Hui Sian tidak mau sampai di situ saja. Biarpun pedang mereka sudah dirampas, mereka serentak maju dan menyerang dengan kepalan dan tendangan mereka ! Thai Khek Sian mulai marah. Ia membiarkan dua orang gadis itu memukul dadanya, pukulan - pukulan itu terpental dan dua orang gadis itu merasa tangan mereka sakit sekali. Pada saat itu Thai Khek Sian memberi tanda panggilan dengan teriakannya dan datanglah Cheng In dan Ang Hwa berlarian.
"Robohkan mereka, tapi jangan bunuh" kata Thai Khek Sian.
Cheng In dan Ang Hwa bertindak cepat. Mereka menyerang Hui Nio dan Hui Sian yang tentu saja berusaha melawan. Akan tetapi dari jauh Thai Khek Sian mendorong mereka sehingga keduanya jatuh terguling. Pada saat itu Cheng In dan Ang Hwa sudah menotok jalan darah mereka, membuat dua orang gadis tawanan itu tak berdaya lagi.. Melihat Wi Liong juga rebah tak bergerak, Cheng In dan Ang Hwa menjadi khawatir sekali.
"Bawa mereka ke dalam perahu, lepaskan perahu di tengah lautan. Biarkan ombak yang memutuskan mati hidup mereka !" perintah Thai Khek Sian.
Cheng In dan Ang Hwa sudah kenal betul watak Thai Khek Sian. Dari suara kakek ini saja tahulah mereka bahwa kakek ini sedang kesal hati dan tidak ingin perintahnya dibantah. Maka tanpa berani banyak cakap lagi dua orang wanita cantik ini lalu menjalankan perintah itu. Mereka mengangkat tubuh Wi Liong yang sudah lemas seperti mayat, juga tubuh dua saudara Liok dan membawanya ke dalam sebuah perahu, dibantu oleh seorang kawan lain. Lalu perahu itu mereka dayung ke tengah lautan, antara Pulau Pek-go-to dan daratan kemudian berpindah perahu dan meninggalkan perahu kecil bergolak - golek di atas lautan. Dengan hati berat Cheng In dan Ang Hwa meninggalkan perahu itu, berat hati mereka melihat Wi Liong, akan tetapi tidak berdaya menolong, takut kepada Thai Khek Sian.
Apa sebabnya Thai Khek Sian tidak mau membunuh Wi Liong " Dan mengapa pula ia melepaskan Hui Nio dan Hui Sian " Kakek ini biarpun kejam dan berwatak aneh, ia cerdik luar biasa dan dapat melihat datangnya akibat-akibat buruk kalau ia membunuh pemuda itu. Ia tahu dari pertempurannya melawan Wi Liong tadi bahwa Thian Te Cu sudah menurunkan hampir seluruh kepandaiannya kepada muridnya. Dia takkan mampu mengalahkan Wi Liong kalau saja ia tidak mempergunakan uap beracun. Dengan ilmu silat saja, kiranya ia takkan dapat mengalahkan Wi Liong. Maka ia dapat membayangkan betapa besar kesayangan Thian Te Cu kepada muridnya. Kalau ia membunuh Wi Liong, tentu kelak Thian Te Cu takkan mau mengampunkannya. Lain lagi kalau ia bisa mengatasi Thian Te Cu. tentu ia takkan takut. Akan tetapi, melihat tingkat kepandaian Wi Liong, benar-benar Thian Te Cu tak boleh dipandang ringan.
Beberapa bulan lagi ia akan mengadakan pertemuan dengan tokoh - tokoh besar maka tak boleh ia menanam permusuhan besar dengan tokoh yang masih terhitung suhengnya itu. Inilah yang menyebabkan ia tidak mau membunuh Wi Liong dan menyuruh dua orang muridnya, Cheng In dan Ang Hwa. melepaskan Wi Liong di atas perahu di tengah lautan. Juga ia tidak mau mengganggu Hui Sian dan Hui Nio karena ia tidak mau kalau hal ini kelak dipergunakan oleh Thai It Cinjin yang membencinya untuk menyerangnya di depan umum. Pula, diam-diam ia kagum melihat sikap dua orang gadis yang membela Wi Liong tadi.
Akan tetapi Thai Khek Sian menjadi amat penasaran dan gelisah. Hatinya mengkal dan tak senang sekali oleh kenyataan bahwa menghadapi Wi Liong saja ia tidak mampu mengalahkannya. Ia merasa khawatir bahwa ia takkan dapat menjadi tokoh nomor satu di dunia, yang penentuannya akan ia adakan kelak pada waktu para tokoh berkumpul di pulaunya. Maka sepergi Cheng In dan Ang Hwa yang memenuhi perintahnya, yaitu membawa tubuh Wi Liong. Hui Nio, dan Hui Sian ke perahu dan melepaskan perahu itu di atas laut, kakek ini lalu memasuki bilik samadhinya untuk tekun melatih diri mencari kemajuan untuk ia pergunakan kelak menghadapi tokoh - tokoh besar, terutama sekali Thian Te Cu.
Sementara itu. di atas lautan, sebuah perahu kecil terapung - apung dipermainkan ombak, miring ke kanan kiri, terayun-ayun seperti dalam buaian tangan ibu yang mencinta. Beberapa ekor ikan hiu yang sisiknya loreng - loreng seperti harimau meluncur di kanan kiri perahu, mendorong-dorong dengan moncongnya, mengharapkan perahu itu terguling seakan-akan binatang air yang amat ganas ini sudah tahu atau mencium bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu tak berdaya lagi. Gerakan perahu oleh ayunan ombak amat halus, akan tetapi dorongan moncong ikan-ikan itu kasar dan keras seperti menggugah orang-orang yang berada di dalam perahu.
Wi Liong lebih dulu sadar atau lebih tepat lagi siuman dari pada keadaan pingsan. Goyangan-goyangan kasar akibat perbuatan ikan-ikan itu membuat kepalanya beberapa kali terbentur pada kayu keras pinggiran perahu. Begitu siuman, pemuda ini membuka mata dan alangkah kaget, jengah dan herannya ketika ia mendapatkan dirinya bertumpuk tidak karuan dengan dua orang gadis Liok, boleh dibilang saling berpelukan tidak sewajarnya dengan Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian ! Yang membuat ia malu bukan main adalah kenyataan betapa ia beradu muka dengan Hui Sian seperti orang berciuman. Ia melihat pipi yang kemerahan dan mata yang bersinar aneh dari gadis itu, seakan-akan Hui Sian membiarkan keadaan seperti itu, bahkan merasa senang ! Tentu saja ia tidak tahu bahwa gadis itu seperti juga encinya, biarpun panca inderanya masih bekerja, namun karena jalan darah mereka tertotok, mereka tidak kuasa bergerak. Oleh karena inilah, betapapun malu dan jengah hati Hui Sian, gadis ini tidak dapat mencegah ia berciuman tanpa disengaja dengan Wi Liong.
Wi Liong cepat bangun duduk dan memandang ke kanan kiri. Baru ia tahu bahwa ia bertumpuk di dalam perahu kecil bersama Hui Sian dan Hui Nio, dan betapa perahu itu terayun-ayun di tengah lautan. Kaget ia melihat ikan-ikan hiu berseliweran di pinggir perahu. Kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri perahu mengirim pukulan dan dua ekor ikan hiu sebesar bantal berkelojotan lalu terapung dalam keadaan mati. Bangkai mereka ini segera menjadi rebutan kawan-kawan sendiri. Mengerikan ! Dengan tangannya pula, Wi Liong mendayung perahu menjauhi gerombolan ikan liar itu. Kemudian ia menoleh ke arah Hui Nio dan Hui Sian.
Melihat dua orang nona ini masih saja rebah seperti tadi, tidak bergerak sama sekali, barulah Wi Liong sadar bahwa mereka itu berada dalam keadaan tertotok. Lenyaplah sebagian besar rasa heran dan jengahnya akan sikap dua orang gadis yang seakan-akan mandah dan diam saja berpelukan dengan dia tadi. Segera ia mengulur tangan membuka jalan darah mereka.
Hui Nio dan Hui Sian mengeluh, menggeliat melemaskan urat-urat tubuh yang kaku, kemudian Hui Sian menangis sambil menyembunyikan muka di pangkuan encinya yang menghiburnya.
"Eh, nona mengapa menangis " Kita sudah terhindar dari bahaya, terbebas dari Thai Khek Sian yang keji. Seharusnya kita bergirang, biarpun aku tidak mengerti bagaimana kita bisa tertolong dari bahaya maut."
"Sian-moi, sudahlah jangan menangis, Thio-taihiap berkata betul, tak perlu kau bersedih karena kita sudah dibebaskan oleh siluman itu dan tak perlu kau malu karena kau tidak berdaya."
Wi Liong terheran mendengar kata - kata terakhir, ia sama sekali tidak tahu bahwa Hui Sian tadi menangis karena setelah siuman menjadi malu sekali teringat akan keadaannya dengan Wi Liong tadi. juga tidak tahu bahwa Hui Nio mengerti pula akan keadaan mereka yang aneh tadi. Namun, tetap saja warna merah menjalar di seluruh mukanya ketika Hui Sian mengangkat muka dan bertemu pandang dengannya. Bukan main keadaan tadi. pikirnya, dan sekarang dia yang tak berani memandang pipi merah itu lama-lama!
"Sekarang harap ji-wi terangkan bagaimana kita bisa berada di perahu ini ?" tanya Wi Liong, menujukan pertanyaannya kepada Hui Nio karena sekarang pandang mata Hui Sian kepadanya seakan - akan mengandung seribu bahasa yang membuat ia berdebar dan takut - takut.
"Memang aneh pengalaman kita." Hui Nio mulai menuturkan pengalaman tadi. "kau bertempur dengan kakek siluman dan kau tiba- tiba roboh pingsan entah mengapa aku tidak tahu. Kami mencoba untuk melawan kakek itu. akan tetapi pedang kami dipatahkan dan segebrakan saja kami roboh. Kami ditotok tak berdaya oleh perempuan-perempuan baju hijau dan merah ........." sampai di sini Hui Nio kelihatan gemas sekali. "Tentu saja aku sudah habis harapan dan menyerahkan diri kepada nasib. Akan tetapi aneh sekali, kakek itu tidak membunuh dan tidak mengganggu kita malah ia menyuruh dua orang perempuan itu untuk membawa kita ke perahu lalu dilepas di tengah lautan, ditinggalkan begitu saja ........." Wajah Hui Nio tiba - tiba menjadi merah karena tadipun ia rebah dengan kepala di atas dada Wi Liong !
Mendengar penuturan ini, Wi Liong mengangguk-angguk dan berkata perlahan, seperti kepada diri sendiri. "Bagus dia masih punya rasa takut kepada suhu ......... !"
Tiba - tiba ada suara menjawab kara-kata ini, suara yang datangnya sayup sampai seperti terbawa angin yang datang bertiup.
"Siapa takut gurumu" Aku sengaja memberi kau hidup supaya kau bisa cerita kepada suhumu betapa muridnya tidak berdaya menghadapi aku, dan bahwa pada musim chun nanti gurumu harus datang mengadu ilmu !"
Wi Liong berdiri di atas perahu, lalu menghadap ke arah Pulau Pek-go-to, berkata mengerahkan khikangnya, melakukan ilmu yang disebut Coan-im-jit-bit (Mengirim Suara dari Jauh),
"Thai Khek Siansu. tidak usah guruku sendiri datang. Kelak cukup aku yang datang membalas kebaikanmu membebaskan aku dari maut !" Ucapan ini dikeluarkan oleh Wi Liong dengan nada penasaran dan pahit sekali. Memang, bagi seorang gagah, dibebaskan begitu saja oleh seorang musuh, merupakan semacam penghinaan yang harus dibalas pula !
Thai Khek Sian tidak menjawab pula, hanya terdengar suara ketawanya yang menggema di seluruh permukaan air seperti suara iblis tertawa. Memang hebat kepandaian kakek itu, tidak tahunya sejak tadi ia masih mengawasi orang - orang muda ini dari jauh. Betapapun lihainya Thai Khek Sian yang harus diakui pula oleh Wi Liong, namun pemuda ini masih penasaran. Dia memang kalah, akan tetapi kekalahan yang tidak sah, karena kakek itu menggunakan kecurangan. Ia harus minta nasihat gurunya dalam hal ini dan kelak, jika masanya tiba. ia akan menghadapi Thai Khek Sian lagi untuk menebus kekalahannya, untuk menebus penghinaan tadi dan sekali waktu ia harus dapat membebaskan pula kakek iblis itu dari maut, seperti tadi !
Sementara itu, Hui Nio dan adiknya memandang kepada Wi Liong dengan melongo. Memang tadipun ketika menyaksikan pertempuran antara pemuda ini dengan Thai Khek Sian, mereka sudah kagum sekali. Sekarang baru mereka takluk betul dan mengakui bahwa pemuda ini adalah seorang sakti. Malah lebih hebat dari pada Kun Hong, pikir mereka. Hui Sian makin kagum saja. Baru-baru ini ia bertemu dengan Kun Hong yang amat mengagumkan hatinya, sekarang ia bertemu dengan pemuda yang malah melebihi Kun Hong. Hal ini adalah karena hati gadis ini masih kosong, maka ia tertarik kepada pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan tampan. Tidak demikian dengan Hui Nio. Biarpun ia juga merasa kagum sekali melihat Wi Liong, namun hatinya sudah tertambat kepada Kong Bu dan di dunia ini tidak ada pemuda yang dapat melebihi Kong Bu tunangannya itu.
"Thio-taihiap telah bersusah payah menolong kami berdua kakak adik. maka kau adalah penolong kami yang patut kami muliakan. Terima kasih banyak. Thiotaihiap dan semoga Thian saja kelak membalas budi ini kalau kami tidak kuasa membalasnya." kata Hui Nio sambil menjura dengan hormat.
Wi Liong terkejut dan cepat-cepat membalas penghormatan itu. "Harap ji-wi siocia (nona berdua) jangan mempergunakan banyak peraturan sungkan. Mana bisa aku disebut penolong !" Ia tertawa pahit teringat akan kekalahannya lagi. "Belum sempat menolong aku sudah tertawan! Kalau ada bicara tentang menolong, kiranya harus dikatakan bahwa kita bertiga ini tertolong oleh Thai Khek Sian !"
"Jangan berkata begitu, taihiap. Yang patut di hargai bukanlah perbuatannya, melainkan usahanya. Usaha yang baiklah yang patut dihargai tanpa melihat bagaimana hasilnya. Taihiap sudah bersusah payah berusaha menolong kami dengan melupakan keselamatan diri sendiri, betapapun hasil usaha pertolongan itu. tetap saja kami merasa berterima kasih sekali dan taihiap adalah penolong kami !"
Wi Liong tersenyum dan kagum mendengar ucapan gadis ini yang sekaligus membayangkan kecerdasan otaknya dan kebaikan hatinya.
"Enci Hui, kau bagaimana sih " Kalau tidak datang Thio-taihiap. apakah kita sekarang bisa ter-bebas dan berada di atas perahu ini" Biarpun yang melepaskan kita adalah Thai Khek Sian, akan te-tapi sebetulnya yang dilepas adalah taihiap dan kita hanya membonceng saja. Bukankah begitu " "
Hui Nio tertawa menutupi mulutnya, memandang kepada Wi Liong. "Kau betul, Hui Sian. Aku sampai lupa. Nah, taihiap. Kau mendengar sendiri. Memang, biarpun kau dirobohkan Thai Khek Sian. akan tetapi usahamu menolong kami berhasil baik, buktinya kami sudah terbebas! Kalau tidak kau datang menyerbu, mana bisa kami dibebaskan ?"
Wi Liong terpaksa mengakui kebenaran kata - kata ini. "Sudahlah, di antara orang sendiri mana perlu bicara tentang tolong-menolong " Yang ada hanya wajib."
"Ketika datang, taihiap bilang disuruh oleh Kong-twako. Bagaimana kau bisa bertemu dan berkenalan dengan dia ?" tanya Hui Sian.
"Apakah luka-lukanya sudah sembuh......?" Hui Nio menyambung dengan suara mengandung penuh kekhawatiran akan keselamatan tunangannya itu.
"Mari bantu aku mendayung perahu ini menuju ke daratan, nanti kuceritakan," ajak Wi Liong.
Tiga orang muda itu lalu mendayung perahu mempergunakan tangan saja. Biarpun hanya telapak tangan yang menggantikan dayung, Hui Nio dan Hui Sian di sebelah kiri perahu sedangkan Wi Liong di sebelah kanan, namun karena mereka bertiga adalah orang-orang terlatih dan memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga yang luar biasa, maka perahu dapat meluncur cepat, tidak kalah oleh perahu yang didayung oleh tukang - tukang perahu mempergunakan dayung yang baik.
Dengan singkat Wi Liong lalu menceritakan perjalanannya.
Dua orang gadis itu gembira sekali mendengar bahwa Wi Liong sudah kenal baik dengan See-thian Hoat-ong Kong Lek In ayah Kong Bu dan lebih kagum lagi mendengar betapa Pak-thian Koai-jin juga datang untuk bersama See-thian Hoat-ong menolong Pui Eng Lan murid Pak-thian Koai-jin yang terculik oleh Kui-bo Thai-houw.
"Kui-bo Thai-houw lihai dan berbahaya sekali ........." kata Hui Nio.
"Karena itu aku harus lekas-lekas menyusul ke sana untuk membantu kawan-kawan," kata Wi Liong yang kini merasa khawatir juga mengingat betapa See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai-jin hendak menolong Eng Lan di Pulau Ban-mo-to, menghadapi Kui-bo Thai-houw yang berbahaya.
"Taihiap, biarkan kami ikut. Kami akan membantu sedapat mungkin," kata Hui Sian dengan suara memohon. "Dengan perahu ini dari sini kita bisa langsung pergi ke Ban-mo-to. arahnya ke selatan."
Wi Liong menggeleng kepala. "Tidak perlu, nona. Selain kalian sudah lelah dan mengalami kekagetan, juga perjalanan itu amat berbahaya. Kalau sampai terjadi apa - apa dengan kalian, bagaimana aku akan berkata kepada See-thian Hoat-ong lo-enghiong " Mari kalian kuantar mendarat lebih dulu setelah itu terpaksa aku akan mendahului kalian pergi ke Ban-mo-to."
Hui Sian nampak merengut, akan tetapi kakaknya yang lebih cerdik lalu berkata, "Hui Sian. kau ini masa masih hendak membikin susah Thio-taihiap " Kau sendiri tahu betapa lihainya penghuni Ban-mo-to dan perjalanan itu kiranya tidak kurang bahayanya dari pada ke Pek-go to Malah-malah iblis betina itu bisa lebih kejam dari pada iblis Pek-go-to. Kita yang berkepandaian rendah jangan kata membantu, malah-malah membikin repot saja. Jangan bersikap seperti anak kecil!"
Hui Sian mengangguk-angguk maklum. Wi Liong merasa tidak enak sekali. "Aku sama sekali tidak berani memandang rendah kepada kalian. Ilmu kepandaian kalian sudah cukup tinggi, malah lebih tinggi dari pada kebanyakan gadis ahli silat. Sedikitnya setingkat dengan kepandaian nona Pui Eng Lan. Akan tetapi, biarpun aku tidak bermaksud meremehkan kalian, namun kata-kata yang diucapkan oleh nona Hui Nio tadi tepat sekali. Kalau sampai terjadi pertempuran, seperti ketika aku menghadapi Thai Khek Sian tadi, bagaimana aku bisa melindungi kalian" Kabarnya, Kui-bo Thai-houw tidak kalah lihainya oleh Thai Khek Sian."
Dua orang gadis itu tak dapat membantah lagi setelah mendengar ucapan yang jujur ini. Mereka menjadi makin kagum dan suka kepada pemuda yang selain lihai, juga halus perangainya dan jujur sikapnya ini. Setelah memandang beberapa lamanya dengan kagum, Hui Sian bertanya,
"Thio-taihiap ini murid siapakah " Agaknya Thai Khek Sian takut kepada suhumu."
"Suhu disebut Thian Te Cu."
Dua orang gadis itu terkejut sekali. "Si Mayat Hidup ?"
"Hush ...... Hui Sian. jangan kurang ajar!" tegur Hui Nio kepada adiknya yang tadi menyebutkan "Si Mayat Hidup".
Akan tetapi Wi Liong hanya tersenyum. "Begitulah orang - orang yang tidak suka menyebut nama suhu. Anehnya, bagaimana kau bisa tahu nama poyokan itu, nona ?"
Muka Hui Sian menjadi merah. "Maafkan, aku tidak sengaja mengejek. Aku mendengar nama itu dari......... dari ........."
"Begini, taihiap. Yang suka menyebut nama itu adalah suhu kami,"
"Siapakah guru kalian ?"
"Suhu adalah Thai It Cinjin di Bukit Kum-Ie-san," jawab Hui Nio.
Wi Liong tercengang. Teringat ia kepada kakek tinggi besar berkepala botak bermata lebar yang lengannya berbulu, kakek yang bersama Im-yang Siang-cu pernah menyerbu Wuyi-san. Ia mengangguk-angguk dan maklumlah ia kini mengapa Hui Sian mengenal poyokan gurunya itu. Memang ia tahu bahwa ipar dari Gan Yan Ki itu benci kepada Thian Te Cu dan lebih benci kepada Thai Khek Sian. seorang tokoh yang amat aneh.
"Dan di sana tinggal pula dua orang kakek yang disebut Im-yang Siang-cu?" tanyanya minta kepastian.
"Im-yang Siang-cu adalah tokoh - tokoh Bu-tong-pai, mereka paman- paman guru kami," kata Hui Sian. kaget dan heran bagaimana pemuda ini bisa mengenal susiok-susioknya.
"Dan Beng Kun Cinjin, itu, bukankah dia itu....... keponakan suhu kalian, Thai It Cinjin " Mengapa dia malah bersama Thai Khek Sian menculik kalian yang menjadi murid-murid pamannya ?"
"Keledai gundul itu!" Hui Sian memaki. "Siapa tahu akan maksudnya" Tadinya ia berada di Kum-Ie-san, menumpang kepada suhu, sikapnya baik-baik dan dia diperlakukan baik pula oleh guru dan kami semua. Ia melarikan diri setelah Kim-Ie-san didatangi pemuda yang bernama Kun Hong itu. Tahu - tahu .ia lari ke Pek-go-to dan bersekutu dengan iblis itu menculik kami."
Selama perjalanan ke daratan, Wi Liong mengobrol dengan dua orang gadis itu. Hui Sian memang ramah-tamah, lincah dan pandai bergaul. Juga Wi Liong mendapat banyak keterangan sehingga ia tahu banyak tentang Kun Hong. tentang Ban-mo-to, tentang Thai It Cinjin dan lain - lain. Setelah tiba di darat, ia lalu berpisah dengan kedua orang gadis itu.
"Kalian tahu betapa perlunya aku harus menyusul ke Ban-mo-to. Di sana ada Kong Bu, ada See-thian Hoat-ong, ada Pak-thian Koai-jin, ada nona Pui. dan mungkin mereka itu membutuhkan bantuanku. Maafkan aku terpaksa meninggalkan kalian, menyesal sekali karena sesungguhnya menyenangkan melakukan perjalanan dengan kalian yang ramah dan manis budi."
"Taihiap, kalau sudah pulang dari Ban-mo-to. harap kau sudi mampir ke Kim-Ie-san." kata Hui Sian,
Wi Liong mengangguk. "Kalau tiada halangan," jawabnya. Kemudian setelah berpamit sekali lagi, tubuhnya berkelebat lenyap dan dua orang aadis itu untuk beberapa lama masih berdiri kagum. Kemudian keduanya lalu melanjutkan perjalanan, pulang ke Kim-Ie-san.
Dengan cepat sekali Wi Liong melakukan perjalanan kembali ke Kim-Ie-san. Untung baginya bahwa Thai Khek Sian benar-benar tidak ingin menimbulkan kemarahan Thian Te Cu maka ketika merobohkannya, hanya mempergunakan asap beracun yang tidak berbahaya, hanya membuat dia pingsan saja. Akan tetapi pengalaman ini bagi Wi Liong terasa amat pahit dan menyakitkan hati. Sudah dua kali dia roboh oleh kakek pentolan Mo-kauw itu. Pertama kali dahulu lebih hebat lagi, baru segebrakan saja ia sudah roboh dan pasti akan tewas kalau tidak ada Cheng In dan Ang Hwa yang menolongnya. Sekarang kembali dia roboh setelah ia menerima gemblengan dari suhunya. Pengalaman ini membuatnya lebih hati-hati kelak kalau menghadapi lawan-lawan tangguh semacam Thai Khek Sian.
Cheng In dan Ang Hwa......... ! Teringat akan dua orang gadis ini, mau tidak mau Wi Liong terkenang pula kepada Hui Nio dan Hui Sian. Terutama sekali Hui Sian ! Terbayang ia ketika ia rebah di perahu, boleh dibilang bertumpang tindih dengan dua orang gadis itu. Lagi - lagi pemuda ini menarik napas panjang. Kenapa nasibnya selalu membawanya kepada wanita - wanita yang menarik dan yang mendebarkan jantungnya " Setelah ia kehilangan Siok Lan, setelah hatinya rusak dan patah mendengar betapa Siok Lan telah meninggal dunia karena hendak bersetia kepadanya, kenapa masih saja ada gadis - gadis yang menghadang dalam perjalanan hidupnya " Tidak, pikirnya mantap. Aku takkan memperdulikan mereka. Tidak ada seorangpun gadis di dunia ini seperti Siok Lan !
Ketika tiba di Kim-Ie-san, ia mendapat kenyataan bahwa tak seorangpun di antara tokoh - tokoh yang hendak menolong Eng Lan nampak sudah kembali ! Semua orang pergi ke Ban-mo-to. Tidak hanya See-thian Hoat-ong, Pak-thian Koai-jin, dan Kong Bu, bahkan Thai It Cinjin dan kedua Im-yang Siang-cu keduanya juga ikut pergi menyeberang ke Ban-mo-to. Dan tak seorangpun kembali!
Hati Wi Liong menjadi tidak enak sekali. Ia belum pernah bertemu dengan Kui-bo Thai-houw, akan tetapi sudah lama ia mendengar akan kelihaian nenek itu dan tentang bahayanya pergi ke Ban-mo-to yang kabarnya malah tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Thai Khek Sian di Pekgo-to. Ia merasa amat khawatr akan keselamatan Eng Lan dan yang lain - lain.
Tanpa membuang waktu lagi Wi Liong lalu niengejar ke pantai, hendak menyusul ke Ban-mo-to menghadapi Kui-bo Thai-houw ! Ia belum pernah merasai kelihaian permaisuri itu, maka diam-diam ia ingin belajar kenal. Ternyata harapannya ini terpenuhi dengan cepat, malah sebelum ia tiba di Ban-mo-to.
Ketika ia menuju ke pantai dan melewati daerah pegunungan yang masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Thai It Cinjin di Kim-Ie-san, dari jauh ia melihat banyak orang berkumpul di sebuah tanah datar di antara gunung - gunung kecil dari batu kapur.
Di bagian kiri berkumpul sederetan orang berpakaian seragam, nampaknya seperti ahli - ahlj silat dan sikap mereka tenang keren dengan kedua lengan disembunyikan di belakang badan. Ada duapuluh empat orang yang berdiri di sebelah kiri dengan kaki terpentang lebar dan mata memandang ke depan. Di sebelah kanan kelihatan beberapa orang petani yang agaknya juga tertarik dan melihat apa yang terjadi di situ. Apakah yang mereka lihat "
Dua orang kakek aneh yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago tengah berlagak. Yang seorang bertubuh pendek, kepalanya gundul pelontos, jangankan rambut, bekasnyapun tidak ada seperti kulit bawang yang menutupi batok kepalanya. Kepala itu tidak rata pula, benjal-benjol biarpun bentuknya bundar. Matanya seperti meram terus, akan tetapi mulutnya nyengir terus seperti orang merasa geli hatinya. Bajunya, seperti celananya, sudah koyak-koyak pada ujungnya. Kakek pendek gundul ini berdiri dengan sebuah senjata aneh di tangan kanan. Senjatanya ini belum pernah terlihat di dunia persilatan, karena merupakan senjata bergagang yang luar biasa. Bentuknya gepeng bulat, merupakan gigi-gigi seperti roda bergigi, gagang itu dipasang sampai di tengah roda sehingga roda dapat berputaran. Gigi-giginya tajam dan runcing.
Yang dihadapinya adalah seorang setengah tua yang menyeramkan. Laki - laki ini bertubuh tinggi besar, alisnya tebal sekali akan tetapi tidak panjang, dahinya lebar dan yang paling menarik dan menyeramkan adalah gurat - gurat bekas luka pada mukanya di alis mata kanan kiri dan di pipinya seperti bekas luka bacokan senjata tajam. Kedua tangan orang tinggi besar ini memegang senjata sepasang gembolan yang dahsyat, gembolan baja yang diberi duri. Melihat sikap dan pakaiannya, tentu orang ini serombongan dengan barisan orang yang berdiri di belakangnya.
Wi Liong menjadi tertarik hatinya dan menyelinap untuk mengintai karena ia mendengar nama Kui-bo Thai-houw disebut - sebut. Yang menyebut nama ini adalah orang tinggi besar yang mukanya bergores cacad itu.
"Tak perduli kau sahabat baik Kui-bo Thai-houw atau masih keponakan Raja Neraka, jangan harap kau akan menakutkan aku dan boleh menghina Pek-eng-pai (Perkumpulan Garuda Putih)," kata si muka cacad.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulut yang selalu tersenyum-senyum itu tiba-tiba terbuka dan mengeluarkan suara ketawa terbahak. Wi Liong bergidik mendengar ini, juga geli. Suara ketawa ini mengingatkan ia akan suara seekor ular besar di dalam hutan.
"Kak-kak-hah-hah ! Sombongmu ! Mukamu yang penuh goretan pedang itu saja sudah menunjukkan kelemahanmu, toh kau bersikap seperti orang yang tak pernah terkalahkan ! Hah-hah, kau dan dua losin orang-orangmu ini sudah bosan hidup agaknya, berani sekali menghina Thai-houw. Aku Si Naga Sakti tidak bisa memberi ampun lagi !" Sambi1 berkata demikian, orang gemuk pendek, yang lucu ini menggerak - gerakkan senjata roda bergigi di tangannya penuh ancaman. Akan tetapi karena mulutnya selalu menyeringai ia sama sekali tidak kelihatan galak atau keren, malah lucu menggelikan. Wi Liong sampai menahan suara ketawanya mendengar orang lucu ini menyebut diri sendiri Si Naga Sakti !
Akan tetapi, bagi orang yang cacad mukanya itu sama sekali tidak dapat melihat kelucuan ini, dengan marah ia lalu mengayun sepasang senjata gembolannya dan sambil menggereng seperti singa ia mulai menyerang. Gembolan baja yang demikian beratnya, ditambah duri - duri lagi, menyambar ke arah kepala yang gundul pelontos dan kehhatan halus kulitnya itu seperti buah tomat besar yang sudah masak. Kalau kena tentu akan bejat!
Tidak disangka orang gemuk pendek berkepala gundul itu ternyata gesit sekali gerak-geraknya. Sambaran gembolan kiri ke arah kepalanya yang licin pelontos itu dapat ia kelit ke kiri dengan mudahnya dan ketika lawannya menyerang lagi dengan gembolan kanan, ia sudah menangkis dengan senjatanya roda bergigi. "Klang ......... !!" Terdengar bunyi nyaring disusul muncratnya bunga api ketika dua senjata itu bertemu. Keduanya terpental mundur, sekilas memeriksa senjata masing - masing dan merasa lega karena senjata mereka tidak rusak dalam pertemuan dahsyat itu. Dengan cepat mereka menerjang maju lagi, lebih hebat dan lebih hati-hati dari pada tadi karena maklum bahwa lawan bukan orang lemah. Di lain saat dua orang jagoan itu sudah saling hantam lagi dengan sengitnya.
Siapakah kedua orang yang tahu-tahu sudah berkelahi mati-matan ini" Pertanyaan ini memasuki kepala Wi Liong. Orang muka cacad itu memang kepala perkumpulan Pek-eng-pai, bernama Tek Loan berjuluk Eng-jiauw-ong (Raja Kuku Garuda), merupakan orang terkemuka di selatan dan perkumpulannya Pek-eng-pai biarpun tidak besar namun cukup berpengaruh. Pada hari itu ia membawa anggauta-anggautanya hendak mengunjungi Thai It Cinjin dengan keperluan ............ meminang Liok Hui Sian ! Ia pernah bertemu dengan Hui Nio dan Hui Sian, dan karena ia sudah tahu pula bahwa Hui Nio sudah bertunangan dengan putera See-thian Hoat-ong, maka ia datang melamar adiknya, Hui Sian. Tentu saja kalau mengingat akan usia dan mukanya yang bercacad, tidak patut orang ini melamar Hui Sian. Akan tetapi ia mengandalkan kepandaiannya, dan kekayaannya. Pula, ia memang kenal baik dengan Thai It Cinjin dan Im-yang Siangcu. Maka besar harapannya akan diterima pinangannya itu.
Ketika tiba di Kim-Ie-san. ia mendapatkan rumah Thai It Cinjin kosong dan. tak seorangpun dapat dijumpainya kecuali para pelayan yang menyatakan bahwa Thai It Cinjin dan kawan-kawannya sedang pergi ke Ban-mo-to. Tek Loan orangnya sombong. Ia memang sudah pernah mendengar nama Kui-bo Thai-houw dari Ban-mo-to, akan tetapi karena di daerahnya sendiri ia merupakan orang nomor wahid. mana ia takuti segala macam Kui-bo Thai-houw" Dengan semangat sebesar Gunung Thai-san. ia lalu mengajak anak buahnya menyusul ke Ban-mo-to. Dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan si gundul lucu itu. Si gundul ini petentang-petenteng menghadang jalan, malah datang-datang menegur marah suaranya -akan tetapi masih tersenyum - senyum mulutnya,
"Kalian ini bocah - bocah dari mana berani memasuki wilayah yang sudah dikuasakan oleh Thai-houw kepadaku untuk menjaga" Tanpa seijin Thai-houw, tidak boleh orang luar dan orang asing memasuki wilayah sini. Hayo kalian ini lekas pergi minggat, kecuali kalau sudah meninggalkan benda tanggungan."
"Benda tanggungan apa?" tanya Tek Loan yang masih bingung mendengar teguran itu.
"Benda tanggungannya kepala kalian." Si gundul berkata sambil pecengas-pecengis.
Tentu saja Tek Loan menjadi marah dan seperti sudah dituturkan di bagian atas, mereka lalu bertempur hebat. Tentu saja Tek Loan terkejut sekali ketika mendapatkenyataan bahwa si gundul yang lucu ini ternyata tidak lucu kepandaiannya jauh dari pada lucu, tak boleh dibuat mainan. Senjata roda bergigi itu lihai dan berbahaya sekali. Terpaksa Tek Loan yang di kandang sendiri menjadi jago nomor satu itu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan berusaha mati- matian merobohkan lawan gundul pacul ini.
"Remuk kepalamu !" bentaknya sambil mengerahkan tenaga, menghantam kepala si gundul itu. Hantaman ini hebat sekali, agaknya sudah tak keburu ditangkis atau dielakkan lagi.
"Belum, tidak kena!" terdengar si gundul mengejek dan aneh sekali, tiba- tiba kepalanya hilang ! Benar - benar hebat si gundul ini. Agaknya ia mempunyai ilmu bulus, karena kepalanya seperti disedot masuk bersembunyi di dalam dadanya. Tentu saja tidak demikian halnya, hanya saking cepatnya gerakan lehernya dan tubuhnya yang merendah, seakan - akan kepalanya hilang.
Seketika Tek Loan kaget sekali dan terheran-heran. Akan tetapi melihat bahwa lawannya sudah berhasil menghindarkan diri kemarahannya memuncak.
"Pecah dadamu !" bentaknya dan kini tubuhnya mumbul ke atas dan seperti seekor burung garuda, ia menyambar dari atas, mengayun gembolan kanan menghantam dada si gundul.
"Pecah apanya, kena juga tidak !" Si gundul kembali mengejek sambil menangkis dengan senjata roda bergigi.
"Klangggg......... !" Bunga api berpijar dan tiba-tiba si gundul marah - marah. Ia berjingklak-jingklak (meloncat-loncat dengan sebelah kaki), kaki kirinya diangkat dan dengan kaki kanan ia meloncat berputaran.
"Aduh ...... aduh ...... curang .......!" keluhnya. Ternyata ketika dua senjata tadi bertemu, sebuah di antara duri - duri baja di gembolan Tek Loan telah patah dan menyambar betis kaki kirinya. Tentu saja ini menyakitkan sekali.
Tek Loan yang melihat ini, tertawa bergelak. "Hah ha-ha, monyet gundul rasakan kelihaianku. Ha-ha-ha !"
"Curang ! Cuhhh ......... !!" Si gundul tiba-tiba meludah ke arah muka Tek Loan.
Karuan saja ketua Pek-eng-pai ini menjadi gelagapan, Ia tadi sedang tertawa karena girang, mentertawakan lawannya yang terluka, maka ketika serangan air ludah lawan datang, ia tidak sempat mengelak dan penuhlah mukanya dengan air ludah. Hebatnya, air ludah yang mengenai mukanya itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ini karena si gundul bukan sembarangan orang dan bukan sembarangan meludah, melainkan mempergunakan lweekangnya.
Lebih celaka lagi bagi Tek Loan, selagi matanya pedas terkena hujan air ludah dan ia tengah gebres - gebres karena hidung dan mulutnya juga kebagian air ludah, si gundul sudah maju menerjangnya lagi dengan mulut tetap menyengir kuda !
Dengan repot sekali Tek Loan memutar sepasang gembolannya melindungi tubuhnya sambil memberi isyarat kepada kawan - kawannya. Serentak lima orang kawannya melompat maju mengeroyok si gundul itu.
"Eh-eh. curang ! Licik ! Mana ada aturan main keroyokan ?" Biarpun ia sibuk sekali-melompat ke sana ke mari menghadapi keroyokan itu, si gundul ini masih sempat memaki dan mencela.
"Apa macammu ini tidak curang ?" Tek Loan membentak marah.
"Apanya yang curang ?" Si gundul balas membentak sambil melompat ke belakang akan tetapi segera dikejar dan dikepung lagi.
"Mana ada aturan bertempur terdesak lalu meludahi muka !" omel Tek Loan mendongkol.
Untuk sesaat si gundul tak dapat menjawab, memutar senjata melindungi diri sambil memutar otak. Kemudian ia menjawab, agaknya sudah mendapat alasan baik untuk menyangkal bahwa ia curang.
"Habis baumu tidak enak, bikin orang ingin meludah !"
Tentu saja jawaban ini bukan membikin Tek Loan menarik kembali tuduhannya bahwa si gundul curang, malah - malah membuat ia marah bukan main.
"Bunuh monyet gundul ini ! Penggal lehernya !" Sambil berkata demikian, bersama lima orang kawannya Tek Loan mendesak maju. Si gundul masih mencoba mempertahankan diri, akan tetapi repot sekali dia sampai tubuhnya basah semua oleh peluh. Kepalanya yang seperti bola karet itupun sampai mengeluarkan keringat berbutir - butir.
Melihat ini. Wi Liong menjadi kasihan. Biarpun ia tidak tahu siapa adanya si gundul ini, dan orang macam apa adanya mereka semua itu, tidak tahu pula siapa salah siapa benar dalam pertempuran itu. akan tetapi ia suka melihat si gundul yang amat lucu.
Sekarang melihat si gundul dikeroyok dan terdesak hebat sehingga berbahaya keselamatannya, Wi Liong mengambil keputusan hendak menolongnya. Akan tetapi ia tidak jadi bergerak karena tiba - tiba telinganya mendengar berkesiurnya angin disusul suara ketawa cekikikan, suara ketawa beberapa orang wanita. Kagetlah dia karena dalam suara ketawa ini terkandung khikang yang hebat juga.
"Engko Ek Kok, apa kadal-kadal itu mengganggumu ?" terdengar suara seorang wanita dan muncullah empat orang wanita yang lucu, gemuk-gemuk genit-genit dan serupa, baik wajah maupun pakaiannya, mukanya burik - burik semua, serupa pula bopengnya.
"Jangan takut," sambung wanita ke dua.
"'Kami membantumu," kata yang ke tiga.
"Mari basmi kadal - kadal ini, engko Ek Kok !" kata yang ke empat.
"Ha-ha-ho-ho-kak-kak-kak, bagus sekali kalian datang, adik - adikku yang manis, adik-adikku yang denok ayu ! Kadal - kadal ini menjemukan, hayo ganyang !" sahut si gundul yang sebetulnya bernama Phang Ek Kok dan dia adalah saudara sekandung, kakak empat orang wanita kembar ini. Empat orang wanita kembar ini bukan lain adalah Phang Si Hwa, Phang Tung Hwa, Phang Nam Hwa, dan Phang Pai Hwa yang menjadi pelayan-pelayan kesayangan dari Kui-bo Thai-houw!
Begitu empat orang perawan tua kembar empat yang genit dan lihai ini menyerbu, mainkan sabuk tali dan pukulan-pukulan mereka yang hebat dalam bentuk barisan segi empat, bubarlah keroyokan Tek Loan dan lima orang kawannya.
Hebat dan anehnya, begitu terlepas dari kepungan dan mendapat bantuan, Phang Ek Kok kakek gundul itu lalu menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar kepada batu gunung dan ..... tidur mendengkur, mengorok seperti babi dipotong lehernya ! Benar-benar tokoh yang lihai, aneh dan lucu sekali. Belum lama Phang Ek Kok datang ke Ban-mo-to. Seperti biasa, ia datang untuk menjenguk empat orang adik kembar yang amat dikasihinya itu, datang bersama seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Akan tetapi Kui-bo Thai-houw tidak suka melihat dia lama - lama di Ban-mo-to. Sungguhpun tiada alasan bagi Kui-bo Thai-houw untuk membenci orang lucu ini, akan tetapi ia tidak suka melihat tokoh yang kadang- kadang bermulut lancang, bicara seenaknya saja tanpa sungkan lagi. Akan tetapi mengingat empat orang pelayannya, Kui-bo Thai-houw masih selalu bersabar. Sekarang melihat kedatangan kakek gundul aneh ini yang bicara tidak karuan ketika kakek ini melihat Kun Hong di situ, ia lalu menyuruh Ek Kok untuk mengawasi keadaan di wilayah Kim-le-san.
"Daerah itu sekarang tidak bertuan, kau boleh awasi dan wakili aku menjaga daerah itu. Jangan boleh lain orang kangkangi," demikian pesan Kui-bo Thai-houw. Karena dia memang aneh, Ek Kok taat tanpa banyak bertanya lagi. Puteri-nya yang masih suka tinggal di Ban-mo-to. terpaksa ikut juga, akan tetapi tidak ikut ayahnya yang suka berkeliaran, melainkan tinggal di dekat bekas tempat tinggal Thai It Cinjin melakukan penjagaan mentaati perintah ratu Ban-mo-to.
Setelah empat orang nenek kembar itu menggantikan kakak mereka menghadapi Tek Loan dan kawan-kawannya, ketua Pek-eng-pai menjadi terdesak. Malah dua orang pembantunya telah kena dirobohkan sehingga sekarang keadaan menjadi empat lawan empat.
"Maju, serbu ......... !!" perintah Tek Loan kepada orang-orangnya dan menyerbulah belasan orang itu dengan senjata tajam di tangan. Betapapun lihainya empat orang pelayan Kui-bo Thai-houw itu, menghadapi keroyokan duapuluh lebih orang-orang Pek-eng-pai yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu, repot jugalah mereka.
"Engko Ek Kok........."
"......... jangan ngorok aja........."
"......... bangunlah segera ........."
"......... bantulah kami ......... !" Demikian mereka bersahut-sahutan minta bantuan kakak mereka yang masih tidur mendengkur sambil bergerak secepatnya untuk melindungi diri dari hujan senjata para pengeroyok. Akan tetapi kakek gundul itu tetap saja mengorok.
Melihat munculnya empat orang wanita yang juga amat lucu dan aneh. mukanya buruk-buruk dan ada mirip-miripnya dengan Ek Kok si gundul. Wi Liong menjadi makin geli dan tertarik. Alangkah banyaknya orang - orang aneh di dunia ini, pikirnya kagum. Juga ia harus memuji ilmu silat empat orang wanita itu yang betul-betul lihai sekali. Akan tetapi ia juga kaget melihat betapa setiap orang pengeroyok yang roboh di tangan empat orang wanita ini, kesemuanya roboh untuk selamanya karena tak dapat bangun lagi, sudah tewas. Diam - diam ia ngeri juga melihat keganasan hati orang yang dilakukan dengan tertawa-tawa cekikikan ! Karena melihat kekejaman inilah membuat Wi Liong ragu-ragu dan tidak mau turun tangan membantu biarpun empat orang wanita itu mulai terkurung dan terdesak oleh para anggauta Pek-eng-pai.
Pada saat ia sedang bimbang, ia kaget sekali mendengar berkesiurnya angin yang luar biasa disertai bau semerbak harum. Segera disusul jerit-jerit mengerikan dan ketika Wi Liong memandang, hampir ia berteriak kaget karena semua orang Pek-eng-pai, berikut kepalanya, Tek Loan dan sisanya yang masih ada sembilan belas orang, semua rcboh tak dapat bangun lagi ! Dan sebagai gantinya, di atas sebuah batu besar berdiri seorang wanita cantik agung dan angkuh, seorang wanita yang sebetulnya sudah tua akan tetapi karena pakaiannya yang indah, karena hiasan - hiasan dan rawatan mukanya yang dulu memang cantik jelita, ia masih nampak muda dan tetap menarik, apa lagi kerling matanya yang masih seindah mata burung hong dan bibirnya yang merah semringah membayangkan gairah hati yang tak kunjung padam. Dari tubuhnya keluar bau semerbak yang harum tadi. Wi Liong melongo. Tak dapat disangikal lagi, wanita ini memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Ginkangnya sempurna sampai-sampai kedatangannya begitu cepat sukar diikuti pandangan mata. kepandaiannya tinggi sehingga dalam sekejap mata saja semua pengeroyok sudah dirobohkannya Akan tetapi alangkah kejam dan ganasnya ! Ataukah dia tidak membunuh semua orang itu " Dari tempat Wi Liong bersembunyi, orang-orang yang rcboh itu seperti orang pingsan atau terkena totokan saja. akan tetapi tarikan muka pada para korban itu mengerikan dan meragukan hatinya.
Wanita cantik itu membuka mulut dan suaranya halus berpengaruh. "Ek Kok. percuma saja kau memakai julukan Sin-liong (Naga Sakti). Menghadapi orang - orang seperti ini saja kau tidak dapat mengatasi. Karena sudah cukup lama kau bertemu dan melepas rindu dengan keempat orang adikmu, sekarang kau pergilah bersama anakmu dan jangan kau datang kembali sebelum membawa serta anakmu yang seorang lagi. Aku ingin melihat si kembar bersatu kembali !" Setelah berkata demikian, wanita itu memberi isyarat dengan lambaian tangannya dan empat orang wanita burik yang aneh itu seperti anjing - anjing piaraan lalu mengikuti wanita itu. Adapun kakek gundul itu, tanpa berani membantah lagi lalu pergi dari situ berlari-lari cepat. Tadi begitu wanita cantik itu muncul, ia sudah bangun dan berdiri dengan kepala tunduk.
Tinggal Wi Liong seorang diri di tempat sembunyinya. Keadaan sunyi sepi, mengerikan sekali kalau melihat tubuh-tubuh bertumpuk menggeletak di sana-sini! Wi Liong melompat keluar dan seruan kaget serta marah keluar dari bibirnya ketika ia memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa semua anggauta Pek-eng pai itu sudah mati terkena pukulan jarak jauh yang luar biasa keji dan lihainya.
"Kui-bo Thai-houw ......... !" bisiknya mengertak gigi saking gemasnya. "Tak salah lagi, dia tentu Kui-bo Thai-houw. Siapa lagi kalau bukan dia di dunia ini yang begini kejam ?"
Makin gelisah hatinya memikirkan keselamatan Eng Lan dan orang-orang lain yang mendatangi Ban-mo-to. Ia cepat melompat, memanggil-manggil para petani yang tadi lari cerai - berai setelah terjadi pertempuran hebat.
"Sudah tidak ada orang jahat lagi. Mayat-mayat itu perlu segera dikubur, kalau tidak, akan membusuk dan akan meracuni daerah ini. Harap saudara-saudara mengumpulkan teman - teman untuk mengurus dan menguburnya. Aku hendak menyusul kawan - kawan ke Ban-mo-to." Setelah berkata demikian, pemuda ini cepat berlari kencang mengejar Kui-bo Thai-houw dan empat orang pelayannya. Ia tidak perdulikan lagi kakek gundul tadi. Kalau saja Wi Liong mengikuti perjalanan kakek gundul ini dan melihat puterinya, tentu pemuda itu akan mengalami kekagetan yang hebat !
Wi Liong mengerahkan kepandaiannya untuk mengejar Kui-bo Thai-houw, akan tetapi karena yang dikejarnya juga bukan sembarang orang, maka ketika ia tiba di pantai, ia melihat Kui-bo Thai-houw dan empat orang pelayannya itu telah naik sebuah perahu mewah yang sudah mulai bergerak ke tengah lautan pula. Di atas perahu itu ia hanya melihat empat orang pelayan kembar yang gemuk - gemuk tadi, yang berdiri memandang kepadanya sambil tertawa - tawa cekikikan dan menuding - nuding dengan telunjuk seakan-akan mentertawakannya. Wi Liong membanting kaki saking gemasnya, kemudian mencabut sebatang tonggak yang agaknya tadi dipakai untuk mengikat perahu.
"Tunggu dulu .........!!" teriaknya dan pemuda perkasa ini mengenjot tubuhnya melompat kc depan. Seperti seekor burung melayang, tubuhnya meluncur ringan dari pantai, mengejar perahu. Akan tetapi jarak antara pantai dan perahu itu sudah terlampau jauh. maka lompatannya yang hebat ini tidak bisa mencapai perahu. Hal ini sudah diperhitungkannya, maka ia segera melempar tonggak tadi ke atas air dan ketika kedua kakinya turun, ia menginjak tonggak yang terapung itu dan mengenjot lagi mempergunakan tonggak sebagai dasar loncatan. Dengan cara demikian ia bisa sampai di perahu !
"Hebat sekali ......... "
"Pemuda ganteng ......... "
"Tapi tidak boleh........."
"Naik ke perahu ......... !" Empat orang nenek kembar itu berkata dan bagaikan dikomando saja, tangan mereka dengan gerakan sama menyambit sebuah kim-chi-piauw (senjata rahasia seperti uang logam) ke arah tubuh Wi Liong yang masih melayang ke arah perahu itu. Serangan ini benar - benar berbahaya sekail Tubuh yang sedang melayang dalam loncatan itu mana bisa mengelak " Wi Liong yang melihat serangan ini, mengulur iangan dan berhasil menyampok dua buah mata uang, akan tetapi yang dua lagi ia biarkan mengenai dada dan perutnya setelah ia mengerahkan lweekang menghentikan jalan darah dan membikin kebal dada dan perutnya. Dengan demikian, dua buah senjata rahasia itu mental ketika menyentuh kulit dada dan perutnya, dan hanya membikin bolong pakaiannya saja.
"Ayaaa ..... Lihai sekali ...... "
"Pemuda ganteng ......."
"Perlu lekas ......."
"Laporkan Thai-houw ........ !!" Empat orang wanita itu serentak berlari memasuki bilik perahu yang dicat merah.
"Siluman - siluman jangan lari ........ !" Wi Liong membentak. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kedua kakinya turun ke atas perahu, baru saja dua kaki itu menyentuh papan perahu dan ia masih menjaga keseimbangan tubuhnya, secara mendadak perahu itu terguling ke kanan seperti roboh terkena serangan hebat dari bawah perahu.
"Celaka ......... !' Wi Liong berseru keras. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, karenanya ia menjadi kaget dan bingung. Dari pada terguling bersama perahu dan ada bahaya tertindih, ia malah melompat ke kiri dan menceburkan diri ke dalam air. Biarpun bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang saja Wi Liong juga dapat maka ia tidak takut - takut melompat ke dalam air melihat perahu itu roboh.
Aneh bin ajaib ! Perahu yang tadinya mendadak terguling roboh ke kanan itu kini tiba - tiba dan serentak bisa bangun lagi ! Dan muncullah Kui-bo Thai-houw di atas dek diiringkan oleh empat orang nenek dan delapan orang pelayan yang muda-muda dan cantik - cantik.
"Hih-hih-hih........."
"Aduh lucunya........"
"Ada ikan bagus ........."
"Tak ada buntutnya ......... !" Empat orang nenek itu mengejek Wi Liong yang masih menggerak - gerakkan kaki tangannya di dalam air untuk menjaga tubuhnya jangan sampai tenggelam. Delapan orang pelayan yang berpakaian serba hijau dan serba merah menutupi mulut dengan ujung lengan baju menahan ketawa. Mereka ini selain cantik - cantik jelita, juga gerak gerik mereka halus dan sopan seperti puteri - puteri istana saja.
"Tangkap ikan itu," terdengar Kui-bo Thai-houw memerintah dengan suara halus.
"Ikan liar itu ........."
"Berbahaya dan kuat ........."
"Kalau akan ditangkap........."
"Sebaiknya menggunakan jala emas."
Kui-bo Thai-houw mengangguk setuju dengan mata masih menatap tajam ke arah Wi Liong. Empat orang nenek kembar itu segera berlari masuk dan tak lama kemudian keluar lagi membawa sebuah jala yang terbuat dari pada benang halus berwarna keemasan. Atas isyarat Kui-bo Thai-houw, mereka lalu melempar jala itu ke arah Wl L;ong sambil tertawa-tawa dan memegangi ujung jala yang merupakan tali panjang.
Wi Liong boleh menjagoi di daratan, akan tetapi di dalam air kepandaiannya terbatas, tak banyak bedanya dengan orang biasa. Ia tadi mendongkol bukan main ketika melihat perahu itu tiba - tiba "bangun" lagi dan tahulah ia bahwa ia telah ditipu mentah - mentah, bahwa perahu tadi miring bukannya akan roboh tenggelam melainkan sengaja dimiringkan oleh orang pandai dari dalam perahu. Orang sakti seperti Kui-bo Thai-houw tentu saja sanggup melakukan hal ini.
Istana Tanpa Bayangan 4 Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana Rahasia Istana Terlarang 14