Sayap Sayap Cinta 4
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono Bagian 4
"Baiklah. Ceritakan secara singkat saja."
"Terima kasih atas kebaikan hatimu mau mende-
ngarkan ceritaku. Sebelumnya aku ingin tahu, pu-
kul berapa kau nanti harus mengajar piano?"
Yulia tersipu-sipu. "Sebetulnya hari ini aku tidak punya jadwal
mengajar musik," sahutnya terus-terang.
"Itu artinya, kau tadi hanya mencari alasan un-
tuk menghindariku," Gatot bergumam. "Nah, seka-
rang kau mau duduk manis dan mendengarkan se-
mua ceritaku, kan?" http://pustaka-indo.blogspot.com218
"Kaupikir aku belum duduk dengan manis?"
Yulia mendengus lagi. "Maksudku, aku ingin mengajakmu makan di
luar. Bicara dengan perut kosong kan tidak enak.
Bagaimana?" "Terserah. Terus terang perutku memang lapar."
Gatot tersenyum. Yulia memang perempuan yang
polos dan lurus-lurus saja pikirannya. Sungguh me-
nyenangkan berada bersamanya.
"Oke, kita makan di restoran lesehan ya" Aku
punya langganan rumah makan yang ikan gurame
gorengnya sangat lezat. Mau?"
"Kan aku sudah bilang terserah."
"Oke. Kita makan di tempat langgananku,"
Gatot memutuskan sambil mempercepat laju ken-
daraannya. "Aku yakin kau tidak akan menyesal.
Ikan gorengnya lezat, sambalnya sedap, dan gule
kepalanya enak." Rumah makan yang diiklankan Gatot tadi luas
tempatnya. Di luar juga disediakan sejumlah da-
ngau bagi para tamu yang ingin duduk lesehan.
Gatot mengajak duduk di dangau paling ujung,
menghadap empang yang dipenuhi aneka ikan. Sete-
lah memesan makanan, ia menatap Yulia beberapa
saat lamanya. "Sudah bisa kumulai ceritanya?" tanyanya kemu-
dian. "Ya." "Ceritanya kumulai dari awal perjumpaan kita di
kompleks pertokoan beberapa bulan yang lalu ya."
http://pustaka-indo.blogspot.com219
"Oke." "Sebelum pertemuan kita di emperan toko waktu
itu, kondisi hubunganku dengan Nuning menga-
lami krisis. Aku sedang jengkel sekali terhadap
Nuning. Kami bertengkar, entah untuk yang kebe-
rapa belas kalinya semenjak kami bertunangan. Kali
itu untuk pertama kalinya aku benar-benar serius
memikirkannya. Pada sore hari sebelum kita berjum-
pa di emperan toko saat berteduh waktu itu, aku
sudah mulai meragukan kelanjutan hubunganku
dengan Nuning. Berjam-jam lamanya sebelum per-
tokoan tutup, aku hilir-mudik di sana sambil mere-
nung dan menganalisa kembali segala hal menyang-
kut hubunganku dengan dia. Sejujurnya, saat itu
aku merasa sedih. Semakin lama aku mempelajari-
nya, semakin aku merasa yakin pertunanganku de-
ngan Nuning suatu kekeliruan besar. Bila dilanjut-
kan, tidak akan baik jadinya. Bagi dia sendiri
maupun bagiku. Nah, waktu sedang memikirkan
bagaimana caraku memutuskan pertunangan, lampu
di kompleks pertokoan itu mendadak padam. Be-
lum sempat aku berpikir apa pun tiba-tiba tubuhku
ditabrak olehmu. Ingat peristiwa itu, kan?"
"Ya, aku ingat."
"Waktu itu ada beberapa hal penting yang men-
jadi alasan bagiku untuk tidak melanjutkan pertu-
nangan kami. Pertama, belum lama bertunangan
saja aku sudah capek dan letih karena terus-terusan
menjaga perasaannya. Kedua, aku sadar betul bah-
wa sebenarnya sifat, kebiasaan, dan kesukaan kami
http://pustaka-indo.blogspot.com220
tidak cocok satu sama lain. Ketiga, aku mulai sadar
bahwa di antara kami tidak ada cinta sebagaimana
mestinya, sebab hubungan yang ada lebih banyak
demi kepentingan keluarga. Keempat, pola pikir
dan pola rasa kami terlalu lebar bentangan jarak-
nya. Kelima..." "Keluarga kalian kan bersahabat sudah lama seka-
li, dan hubunganmu dengan Nuning juga amat
dekat," Yulia menyela bicara Gatot yang belum
usai. "Kenapa ketidakcocokan itu baru terpikirkan
belakangan ini?" "Itu karena sebelum kami bertunangan, masalah-
masalah yang ada tidak kurasakan sampai ke hati.
Selama ini aku selalu menganggap Nuning sebagai
adikku sendiri, sehingga aku sering bersabar dan
mengalah kepadanya. Ketika kami sudah bertunang-
an, situasinya menjadi lain. Sebagai laki-laki nor-
mal, aku ingin mempunyai istri yang bisa diajak
bicara, yang bisa memberi dan menerima secara
timbal-balik, saling mengisi dan saling menyempur-
nakan. Pada kenyataannya, hubungan kami benar-
benar timpang." "Aku jadi tidak enak mendengar ceritamu. Bagai-
manapun juga, aku ini orang luar," Yulia menang-
gapi ucapan Gatot. "Aku tidak akan bercerita bila kau tidak kenal
siapa Nuning. Kau pasti masih ingat seperti apa dia
dulu." "Iya sih. Beberapa hari lalu waktu ia datang ke
rumahku, sikapnya yang mau menang sendiri, ang-
http://pustaka-indo.blogspot.com221
kuh, kurang menghargai orang, dan maaf... merasa
tak perlu bersopan santun terhadap orang-orang
tertentu masih saja seperti masa kecil dulu," sahut
Yulia terus terang. "Kau tidak usah sungkan-sungkan mengatakan
kebenaran. Memang seperti itulah Nuning, yang
sangat dimanja oleh orang-orang sekelilingnya. Sifat-
sifat masa kecilnya nyaris tidak berubah. Kau tadi
bilang Nuning merasa tak perlu bersopan santun
terhadap orang-orang tertentu. Apa maksudmu?"
"Orang-orang yang dianggapnya tidak selevel.
Termasuk aku. Sudah begitu, aku ini dianggap pe-
rempuan murahan. Begitu pula keluargaku."
"Aku sudah bisa membayangkan ucapan apa saja
yang dilontarkannya kepadamu. Ia memang keter-
laluan. Terhadap keluargaku pun ia memandang
sebelah mata, terlebih ketika aku dan adik-adikku
masih dalam keadaan morat-marit saat sedang meng-
angkat diri dari kebangkrutan yang dialami perusaha-
an ayahku. Ia bersikap seolah dirinya paling penting
dalam kehidupanku, sampai hal yang sekecil-kecilnya
pun ia mau mengatur. Padahal, ia belum menjadi
istriku." "Itu karena ia amat memperhatikanmu."
"Apa pun alasannya, hal-hal semacam itu sering
menimbulkan rasa tidak suka pihak keluargaku.
Terutama ibuku." "Kalau begitu, isilah sebaik-baiknya masa pertu-
nangan kalian untuk saling mengenal dalam arti
yang lebih mendalam, saling menyesuaikan diri."
http://pustaka-indo.blogspot.com222
"Tanpa kaubilang pun aku sudah melakukannya.
Sebaliknya, menurut anggapan Nuning masa pertu-
nangan adalah awal kepemilikannya atas diriku.
Kau pasti masih ingat, sejak dulu orangtua Nuning
sering menitipkan Nuning padaku, baik dalam hal
pengawasan pergaulannya maupun melindunginya.
Nah, setelah kami bertunangan sikap kepemilikan
itu semakin lama semakin berkembang. Begitupun
kemanjaannya berlanjut menjadi sikap dominasi,
aku harus menuruti apa pun kehendaknya. Ia ingin
menguasai, mengatur, dan menjadikan diriku milik-
nya. Oleh sebab itu, ia mudah sekali cemburu.
Bahkan, terhadap adik-adikku sendiri pun ia merasa
cemburu bila aku memperhatikan kebutuhan mere-
ka. Hal-hal semacam itulah yang menjadi penyebab
pertengkaran demi pertengkaran kami."
"Sudahlah. Aku tidak enak mendengarkan cerita-
mu. Lagi pula, tak baik menceritakan kekurangan
tunangan sendiri pada orang lain." Yulia semakin
merasa tak enak. "Aku mengerti perasaanmu. Aku perlu mencerita-
kan ini supaya kau bisa mengerti kenapa ia datang
ke rumahmu dan langsung melabrakmu. Seperti
yang sudah kukatakan tadi, ia cemburu dan iri ter-
hadap siapa saja yang dekat dengan diriku. Kau
masih ingat kan ketika aku menolak usulmu untuk
menceritakan pada Nuning mengenai sandiwara
kita menghadapi Hendra" Nah, itulah jawabannya.
Apalagi setelah ia tahu kau sekarang tidak lagi se-
perti gadis urakan."
http://pustaka-indo.blogspot.com223
"Dari mana ia tahu?"
"Dari aku. Ketika aku bercerita tentang perjum-
paan kita, ia ingin sekali tahu bagaimana dirimu
sekarang." "Misalnya?" "Ketika ia bertanya apakah kau masih... liar, aku
menjawab masih. Liar yang ada dalam pikirannya
tentu saja berbeda dengan liar yang kumaksud. Liar
menurut pandanganku adalah liarnya seekor ang-
sa." "Angsa?" Gatot agak tersipu ditanya seperti itu.
"Eh... sejak perjumpaan kita di pertokoan waktu
itu, aku memang menganggapmu seperti angsa liar.
Cantik, mandiri, lincah, liar," sahutnya agak terba-
ta-bata. "Maaf" tetapi itu positif kok. Pokoknya
lain dari yang lain."
"Ah, sudahlah." Yulia merasa malu. "Lalu, apa
lagi yang ditanyakannya?"
"Ia bertanya apakah kau masih cantik. Tentu saja
kujawab ya. Kau memang cantik, kan" Nah, sejak
itu bila aku menyebut-nyebut namamu, ia mulai
bertingkah menyebalkan. Aku tahu ia merasa cem-
buru dan pasti juga iri karena ingat padamu, yang
dulu disukai banyak anak laki-laki. Terutama karena
kau selalu memenangkan pertengkaran setiap adu
bicara dengannya." "Teman lelakiku kan senang kepadaku karena
aku bisa diajak bermain apa saja bersama mereka."
"Ya, aku tahu. Nuning juga tahu itu," jawab
http://pustaka-indo.blogspot.com224
Gatot. "Belakangan sesudah keluargamu pindah
dari Jalan Mahoni, aku mempunyai dugaan kuat
bahwa sebenarnya Nuning juga ingin sepertimu
bermain dengan bebas di alam terbuka. Akan teta-
pi, ibunya selalu melarang ia dekat-dekat dengan
anak laki-laki atau bermain yang dianggapnya ku-
rang pantas. Ibunya tak ingin keanggunan yang
berhasil terbentuk dalam diri Nuning ternoda. Ibu-
nya juga takut ia terjatuh lalu luka dan kulit mulus-
nya ternoda. Takut pula pakaiannya jadi kotor, dan
hal-hal semacam itulah. Kau pasti ingat semua
itu." "Ya, memang." "Nah, kembali ke persoalanku dengan Nuning.
Meskipun aku semakin lama semakin sadar bahwa
hubungan kami tidak sehat, tetapi tidak mudah
bagiku memutuskan pertunangan kami. Apalagi se-
tiap sikapku berubah sedikit saja, Nuning langsung
menyebut-nyebut namamu. Bisa-bisa kau terbawa-
bawa. Repot, jadinya."
"Bila memang sadar adanya jurang perbedaan di
antara kalian, kenapa kalian bertunangan?"
"Pihak keluargaku yang menyarankan," sahut
Gatot. "Kok aneh" Mereka sudah tahu kalian bukan pa-
sangan yang cocok, kan?"
"Ya, justru itulah kenapa keluargaku menyarankan
pertunangan sebagai upaya tidak menuruti keinginan
keluarga Nuning. Mereka maunya aku dan Nuning
segera menikah tanpa pertunangan lebih dulu."
http://pustaka-indo.blogspot.com225
"Kenapa orangtua Nuning ingin supaya anaknya
segera menikah denganmu?"
"Ada beberapa alasan yang kuketahui. Alasan per-
tama, karena mereka ingin Nuning ada yang melin-
dungi dan menemani hidupnya. Kedua, laki-laki
yang mereka anggap paling tepat untuk Nuning
adalah aku, yang sudah kenal baik siapa dia. Keti-
ga, ayah Nuning ingin segera mempunyai menantu
yang bisa menjadi tangan kanan di perusahaannya.
Aku dinilai pas untuk jabatan tersebut. Mereka
tidak percaya pada orang, selain diriku. Mereka
mengkhawatirkan masa depan Nuning."
"Kasihan," Yulia berucap tulus.
"Kau merasa kasihan kepada mereka, tetapi tidak
kasihan terhadapku. Aku terbelenggu."
"Nuning juga terbelenggu oleh sikap keluarganya
yang over protective itu lho. Karena kondisi yang
dibangun lingkungannya, terlalu banyak dilindungi,
diatur orangtua, ditakut-takuti ini dan itu. Meskipun
tujuannya supaya berhati-hati dalam bergaul, ia jadi
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak bebas menentukan dirinya sendiri. Lingkup per-
gaulannya juga sempit. Ia jadi tergantung pada orang-
orang terdekat, termasuk dirimu. Tidak heran bila ia
ingin memiliki dirimu seutuhnya."
"Aku sependapat denganmu. Sejak kecil, Nuning
memang terlalu banyak menggantungkan diri kepa-
daku. Mestinya sekarang sebagai gadis dewasa yang
sudah matang, ia harus bisa memilah-milah ajaran
mana yang bisa dipakai sampai tua dan mana yang
harus ditinggalkan."
http://pustaka-indo.blogspot.com226
"Harus ada orang yang bisa mengarahkan dia
untuk berpikir dan bersikap lebih dewasa dan man-
diri," kata Yulia dengan tulus hati. "Kurasa, kaulah
orang yang paling tepat untuk itu."
"Aku tidak sanggup. Menghadapi perempuan se-
perti Nuning yang setiap saat minta perhatian, se-
tiap menit menelepon hanya untuk hal-hal sepele,
lama-lama aku bisa gila."
"Maklumilah keadaannya."
"Masa aku harus terus-menerus memaklumi diri-
nya. Aku ini manusia biasa dengan pelbagai kebu-
tuhan. Bertahun-tahun aku telah memupuk sikap
toleran terhadapnya. Namun, hal itu justru mem-
buat Nuning malah jadi penjajah, dan aku menjadi
si terjajah." Gatot tersenyum sinis. "Aku sudah le-
lah menghadapinya. Sangat!"
Yulia terdiam. Bisa terbayangkan olehnya bagai-
mana kesalnya Gatot menghadapi Nuning. Apalagi
bukan sekali atau dua kali saja terjadi, tetapi sering
kali. Melihat Yulia terdiam, laki-laki itu melanjutkan
bicaranya. "Dalam keadaan seperti itulah aku bertemu kem-
bali denganmu. Rasanya bagaikan menemukan oase
di tengah padang gurun yang terik. Bersamamu
aku bisa mengobrol apa saja. Bersamamu aku bisa
tertawa dan adu argumentasi yang sehat dalam sua-
sana yang menyenangkan. Ada keasyikan tersendiri
yang kurasakan. Aku seperti dibius untuk melupa-
kan persoalanku. Bersamamu tidak ada suasana di
http://pustaka-indo.blogspot.com227
mana aku harus mengalah atau memanjakan bayi
besar yang suka ngambek. Aneh, kan?"
"Anehnya apa?" "Bersamamu, seluruh tekanan dan kekacauan ba-
tinku terbang semua," jawab Gatot apa adanya.
"Itu bukan hal yang aneh. Kau berjumpa dengan-
ku yang dalam banyak hal serba berbeda daripada
Nuning. Meskipun demikian, kau tidak boleh me-
makai itu sebagai pembenaran diri untuk mening-
galkan Nuning begitu saja. Ia gadis yang kurang
bergaul. Pahamilah itu."
"Justru karena itulah aku jadi bingung menentu-
kan bagaimana caraku memutuskan pertunangan
kami. Kalau ia masih saja berada di dekatku, itu
akan mempersempit peluang pemuda-pemuda lain
mendekatinya. Susahnya, ia sudah terbiasa dengan
kehadiranku. Tak bisa kubayangkan apa yang akan
terjadi padanya kalau pertunangan kami putus."
"Terkadang, cinta membutuhkan pengorbanan.
Setidak-tidaknya pemahaman dan maaf."
Gatot tertawa kering "Cinta" Ah, romantisnya," gumamnya dengan
nada tak enak. Yulia terdiam. Apalagi pelayan sudah datang
membawa makanan pesanan mereka. Gatot melirik
Yulia sesaat lamanya. Ia mengerti, Yulia pasti mera-
sa tidak enak setelah mendengar cerita Nuning dari
mulutnya. "Ayo kita makan dulu tanpa memikirkan hal-hal
yang tak menyenangkan. Rusak nanti selera makan
http://pustaka-indo.blogspot.com228
kita," katanya setelah pelayan selesai mengatur ma-
kanan yang mereka pesan. Yulia mengangguk dan mencoba sekuat tenaga
tidak terpengaruh suasana hatinya. Namun, ketika
isi piringnya sudah hampir habis, pikirannya tak
bisa lagi tercurah kepada makanan yang terhidang
di depannya. Masih banyak yang mengganjal di
balik dadanya. "Aku sedang berpikir-pikir... sebetulnya apa sih
maksudmu menceritakan hubunganmu dengan
Nuning kepadaku?" tanyanya.
"Supaya kau tahu betapa beratnya perjuangan
batinku yang rasanya seperti tak pernah ada usai-
nya." Gatot menjawab pertanyaan Yulia, sambil
melayangkan pandangannya ke luar. Tatapannya
tampak letih. "Aku sudah tahu sekarang. Menurutku, pasti
akan ada jalan untuk mengatasinya."
"Apakah kau bisa menduga mengapa sikapku ke-
pada Nuning bisa begitu sabar ketika kami masih
belum bertunangan?" "Aku tidak tahu persisnya."
"Itu karena aku selalu menganggapnya sebagai
adik. Ketika aku sudah menjadi tunangannya dan
menghadapi sikapnya yang semakin menyita seluruh
perhatianku, hatiku berontak. Bukan seperti dialah
istri yang kudambakan."
"Apakah sebelumnya hal itu tidak pernah kaupi-
kirkan?" "Kuakui memang pernah," sahut Gatot. "Namun,
http://pustaka-indo.blogspot.com229
tidak begitu kuhiraukan. Aku sudah terbiasa dengan
keberadaannya, sehingga pikirku kalau kami meni-
kah nanti kehidupan kami akan berjalan dengan
wajar, seolah sudah dengan semestinya. Ia cantik.
Ia pandai. Ia sudah dipersiapkan oleh ibunya untuk
menjadi ibu rumah tangga. Jadi, masa sih perasaan-
ku akan tetap berhenti di tempat dengan mengang-
gapnya sebagai adik, dan bukan sebagai perempuan
yang akan menggugah gairah asmaraku. Ternyata
aku keliru." "Apakah sebelum dengan Nuning, kau pernah
berpacaran dengan gadis lain?" Yulia bertanya tanpa
merasa sungkan. Ia ingin tahu isi hati Gatot.
"Pernah," Gatot menjawab pertanyaan Yulia.
"Dua kali. Berbeda dengan apa yang kualami bersa-
ma Nuning, dengan kedua pacarku terdahulu aku
tidak pernah mengalami perasaan tertekan. Putus-
nya hubungan kami juga bukan disebabkan adanya
keraguan yang berkaitan dengan sifat kami masing-
masing. Yang pertama, putus karena ia pindah ke
luar negeri dan di sana menemukan laki-laki lain.
Yang kedua, karena perbedaan prinsip hidup yang
paling mendasar. Kami beda agama."
"Jadi, setelah kau dan Nuning bertunangan, baru
kau sadar bahwa ada hal-hal penting yang seharus-
nya ada di antara kalian, tetapi pada kenyataannya
jauh dari harapan?" "Kurang lebih begitu."
"Lalu, kau ingin memutuskan pertunangan ka-
lian?" http://pustaka-indo.blogspot.com230
"Ya. Ternyata itu tidak mudah. Aku belum mene-
mukan kesempatan atau cara yang paling tepat agar
tidak menyakiti perasaannya. Baru saja aku bermak-
sud mengambil jarak secara bertahap, Nuning su-
dah seperti kebakaran rambut."
"Bisa kubayangkan."
"Lebih-lebih sekarang ini, karena masalahnya
menjadi lebih kompleks lagi."
"Kenapa?" "Karena ada orang ketiga."
"Orang ketiga?" Yulia mengernyitkan alisnya.
Apa maksudnya" "Ya, orang ketiga. Orang itu adalah kau!" Gatot
menjawab dengan suara tegas.
Yulia tersentak. "Aku" Aku orang ketiga?" serunya. "Kok aku?"
"Sssshh... jangan keras-keras bicaramu," Gatot
menoleh ke sekeliling. Untung tidak ada yang me-
merhatikan mereka. "Dengarkan aku, Yulia. Aku
akan melakukan pengakuan terhadapmu. Apakah
kau siap mendengarnya?"
Yulia mengangguk. Gatot mengumpulkan kebera-
nian di ujung lidahnya. "Selama kita bergaul" apalagi ketika kita ber-
main sandiwara di hadapan Hendra, terus terang
perasaanku amat senang. Hatiku berbunga-bunga
rasanya. Aku merasakan sesuatu yang tak pernah
kualami bersama gadis-gadis lain. Apalagi, bersama
Nuning. Setiap akan bertemu denganmu, hatiku
gembira sekali. Detak jantungku seperti sedang ber-
http://pustaka-indo.blogspot.com231
pacu membawa gairah kerinduan dan keinginan
segera berjumpa denganmu...."
Yulia terpana. Perasaannya jadi kacau-balau se-
hingga ia melarikan pandangannya ke tempat lain
dengan pipi yang pelan-pelan merona merah. Me-
merhatikan perubahan wajahnya, Gatot menarik
napas panjang baru kemudian melanjutkan bicara-
nya. "Maafkan aku, Yulia. Apa yang kukatakan tadi
adalah kenyataan. Jadi, tolong jangan salahkan aku.
Bagaimana bisa aku menolak datangnya perasaan
yang bagaikan air bah derasnya?"
Yulia tertunduk dengan perasaan semakin cam-
pur aduk. Apakah yang diucapkan Gatot merupa-
kan pernyataan cinta"
"Yulia, kau pasti tidak mengira bagaimana setiap
kali lenganmu melingkari pinggangku, jantungku
meloncat-loncat seperti mau copot. Belum pernah
aku mengalami gairah sedemikian rupa, sehingga
aku tak lagi mampu menahan diri ketika" ketika...
kita bercumbu di dangau dua bulan yang lalu." De-
ngan terengah-engah menahan perasaan, Gatot mu-
lai mengakui apa yang ada di dalam dadanya. "Kau
telah menganggap itu kotor" seolah aku hanya
dikuasai berahi kelelakian belaka. Seperti yang su-
dah kukatakan di dalam mobil tadi, aku jadi ter-
singgung sehingga tanpa sadar melontarkan kata-
kata tuduhan yang menyebabkanmu marah sampai
kau menamparku." Yulia tidak berani menanggapi perkataan Gatot.
http://pustaka-indo.blogspot.com232
Seluruh wajahnya tampak semakin merah padam.
Ia mulai memahami perasaan dan pikiran Gatot.
Jantungnya langsung bergerak liar menyebabkan
tubuhnya gemetar, karena sesungguhnya pengakuan
Gatot itu persis sama seperti yang dirasa dan di-
alaminya setiap kali ia bersama laki-laki itu. Apakah
Gatot mencintainya" Sudah beberapa waktu lama-
nya Yulia sadar bahwa dirinya mencintai Gatot.
Namun, apakah pengakuan Gatot tadi adalah ung-
kapan cinta, ia tidak berani memastikannya. Pernya-
taan itu tidak terucap. Gatot menatap wajah cantik yang tampak meme-
rah dan sedang tertunduk di hadapannya. Dugaan
yang selama ini timbul-tenggelam di hatinya, mulai
menunjukkan kepastian. Sedikit atau banyak, Yulia
juga mempunyai perasaan yang sama seperti diri-
nya. Mana mungkin gadis baik-baik mau dicumbu
laki-laki yang bukan apa-apanya bila tidak ada pe-
rasaan khusus di hatinya, bukan"
"Kuteruskan ya...." Sambil mencoba menyingkir-
kan sejenak pikiran itu, Gatot melanjutkan bicara-
nya. Kali ini suaranya terdengar serak, menahan
perasaan hati yang ada di dalam dadanya. "Aku
ingin menjelaskan kenapa waktu itu aku mengucap-
kan kata-kata yang membuatmu marah besar. Kau
pasti tidak mengerti, saat itu otakku benar-benar
sedang dikuasai rasa tersinggung akibat tuduhanmu.
Sadar atau tidak, kau telah memandangku rendah
seolah aku ini biasa bercumbu dengan perempuan.
Padahal sungguh mati, aku tidak pernah bertindak
http://pustaka-indo.blogspot.com233
segila seperti apa yang kualami bersamamu ketika
kita di dangau waktu itu. Terdorong oleh rasa ter-
singgung, dugaanku langsung saja melesat terlalu
jauh dengan pemikiran bahwa apa yang kauucapkan
merupakan refleksi dirimu. Kau telah mengukur
baju orang dengan ukuran badan sendiri. Apalagi
ketika itu aku mengira" kau janda muda yang su-
dah bertahun-tahun hidup seperti petapa. Sepercik
perkiraan pun tidak pernah singgah di otakku bah-
wa ternyata kau masih perawan. Oleh karena itu,
begitu tahu kenyataan sebenarnya hatiku jadi re-
muk-redam. Aku menyesal sekali telah mengucap-
kan perkataan yang tak kupikirkan lebih dulu."
"Kau langsung memandangku tinggi begitu tahu
aku masih perawan," Yulia berkata pelan. "Itu me-
nyakitkan hatiku." "Kau salah mengerti dan penilaianmu sangat ke-
liru. Aku menilai seseorang bukan karena keadaan
fisiknya atau tempelan-tempelan lain yang tidak
menyentuh nilai kemanusiaannya yang hakiki."
Gatot melanjutkan penjelasannya. "Aku menyesali
perkataanku karena ternyata kau bukan perempuan
yang mudah tergoda nafsu asmara. Bayangkan,
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hendra punya banyak kesempatan mengambil hak-
nya, tetapi kau bersikeras menjaga diri demi suatu
prinsip. Itulah yang menyebabkan aku menyesal.
Bukan karena kau masih perawan."
Yulia terdiam lagi. Wajahnya tertunduk. Namun,
wajahnya yang semula sudah mulai normal kembali,
kini merona merah lagi. Gatot tidak membiarkan
http://pustaka-indo.blogspot.com234
waktu berlalu begitu saja. Lekas-lekas ia meraih ke-
sempatan yang ada untuk melanjutkan bicaranya.
"Yulia, tidakkah kau mempunyai sedikit saja
kata-kata maaf untukku" Dua bulan lebih aku ber-
upaya mencari kesempatan mendengar kata maaf-
mu, tetapi selalu saja dihadang oleh keluarga dan
teman-temanmu. Sekarang aku ingin mendengarnya
langsung dari mulutmu sendiri," katanya.
Yulia menarik napas panjang, kemudian pelan-pe-
lan diangkatnya wajahnya. Mata mereka bertemu
di udara, "Aku sudah memaafkanmu sejak tadi. Jadi, kau
tak perlu merasa bersalah sampai sedemikian rupa,"
gumamnya. "Betulkah...?" "Kenapa kau ragu?"
"Karena aku merasa kau belum memaafkanku
sepenuhnya." "Aku sudah memaafkanmu sepenuhnya. Kalau-
pun ada yang masih mengganjal, itu tak ada kaitan-
nya dengan dirimu." "Apa pun itu katakanlah padaku."
Yulia menghela napas pajang lagi.
"Apa yang masih mengganjal di hatiku lebih ber-
kaitan dengan peristiwa traumatik masa kecilku.
Aku sadar, noda-noda yang dilakukan ibuku bersa-
ma Oom Hardi, dan Mbak Tiwi dengan Kak
Herman, telah mencampakkan nama harum keluar-
ga kami ke tepi jalan. Aku ikut terbawa getahnya.
Aku yakin ketika kau menuduhku terseret nafsu
http://pustaka-indo.blogspot.com235
biologis, pasti kau tidak berpikir sejauh itu. Entah
mengapa, aku merasa kehormatan dan harga diriku
terluka." Gatot tersentak. Dadanya seperti ditinju. Ternya-
ta bukan Yulia yang mengukur baju orang dengan
ukuran dirinya sendiri. Namun, sebaliknya. Kini ia
mulai memahami kemarahan dan luka hati Yulia
akibat perkataannya waktu itu. Pantaslah Yulia
tidak mau menemuinya dan membentengi diri agar
jangan sampai mereka bertemu.
"Aduh, Yulia, aku telah melukai hatimu ya?"
Gatot berkata dengan suara terbata-bata. "Ampuni-
lah aku. Percayalah, sama sekali aku tidak mengait-
kan pikiranku sampai sejauh itu."
"Aku percaya. Aku juga sudah memaafkanmu.
Jika harga diriku terluka, itu bukan salahmu. Aku
saja yang masih belum bisa melepaskan diri dari
penyakit kronis masa kanak-kanakku."
"Terlebih-lebih, Nuning datang melabrakmu de-
ngan kata-kata makian yang melukai harga dirimu."
Mendengar perkataan Gatot, sekali lagi Yulia
menghela napas panjang. Tiba-tiba saja ia merasa
amat letih. Mereka telah berbicara panjang-lebar,
dan sudah bisa saling memahami. Apa guna semua
itu" Hari esok toh masih akan tetap sama seperti
sekarang. "Sejujurnya, aku memang terluka oleh kata-kata
indahnya," kata Yulia kemudian, sambil mengibaskan
tangannya ke udara. "Sudahlah. Lupakan saja. Aku
tidak ingin memperpanjang masalah ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com236
"Baiklah, aku setuju." Gatot mengangguk. Ia
juga sudah tidak ingin membahasnya lagi. "Sebelum
kita meninggalkan rumah makan ini, berilah aku
kesempatan sekali lagi mengatakan sesuatu."
"Mengatakan apa?"
Gatot tidak segera menjawab pertanyaan Yulia.
Sebagai gantinya, laki-laki itu meraih telapak ta-
ngan Yulia. "Yulia, kau tadi sudah mendengar perasaan-pera-
saan yang menguasaiku berkaitan dengan dirimu,
kan" Aku yakin, entah sedikit atau banyak, kau
pasti sudah mempunyai dugaan apa penyebabnya.
Demi suatu kepastian, aku akan mengatakannya
secara jelas kalimat demi kalimat." Suara Gatot se-
makin lama semakin bergetar. Begitupun tangannya,
sehingga telapak tangan Yulia yang masih berada di
dalam genggamannya ikut bergetar. "Yulia, meski-
pun aku tidak menginginkannya, ternyata aku telah
jatuh cinta kepadamu. Bahkan, sejak awal perjum-
paan kita kembali, perasaan itu sudah mulai meng-
intip di hatiku." Yulia menahan napas. Dugaannya benar. Jadi,
ternyata bukan hanya dirinya yang mencintai
Gatot. Gatot pun mempunyai perasaan yang sama
terhadapnya. Bahkan, itu sudah terjadi pada pan-
dangan pertama setelah sekian belas tahun lamanya
mereka tidak berjumpa. "Tadi kau menyinggung masalah keperawanan
dan menganggapku terlalu mengagungkan hal itu,"
suara bergetar itu terdengar lagi ke telinga Yulia.
http://pustaka-indo.blogspot.com237
"Padahal, seperti pengakuanku tadi, aku sudah men-
cintaimu ketika aku masih mengira dirimu seorang
janda yang tidak perawan lagi. Jadi, sekali lagi, aku
sungguh mencintaimu apa adanya. Aku" tidak
tahu apakah perasaanku berbalas atau tidak. Yang
penting saat ini, aku telah menyatakan apa yang
kurasakan, sebab aku tidak ingin kau mengira cum-
buanku waktu itu tanpa perasaan cinta sehingga
kedengarannya jadi... kotor."
Hati Yulia bergetar. Bahkan, perasaannya begitu
berbunga-bunga setelah mendengar pengakuan
Gatot. Rupanya mereka sama-sama jatuh cinta. Na-
mun, seperti yang telah terpikirkan olehnya tadi, apa
arti semua itu buat kehidupan mereka, khususnya
bagi dirinya" Apalagi ia sadar betul, peristiwa serupa
telah terjadi kembali dalam kehidupan pribadinya. Ia
telah menjadi orang ketiga lagi, sama se-perti ketika
ia berhubungan dengan Hendra beberapa tahun yang
lalu. Bedanya, sehari sebelum pernikahannya dengan
Hendra dilaksanakan, ia baru tahu bahwa ternyata
dirinya adalah orang ketiga, orang yang muncul di
antara pasangan yang sudah menikah.
Namun, kini situasinya berbeda. Jauh-jauh hari
sebelum jatuh cinta kepada Gatot, Yulia tahu laki-
laki itu sudah bertunangan. Melanjutkan hubungan
dengan Gatot, bukan hanya tidak ada masa depan-
nya tetapi juga akan menghancurkan hati perem-
puan lain. Ia tidak mau itu terjadi. Apa pun alasan-
nya. Oleh sebab itu, ia tidak boleh membiarkan
perasaan mereka semakin berkembang. Bermegah-
http://pustaka-indo.blogspot.com238
megah di atas penderitaan orang, tak pernah masuk
ke dalam pikirannya. Dengan pikiran seperti itu, lekas-lekas Yulia me-
narik tangannya dari genggaman Gatot.
"Ini tidak boleh terjadi. Kau tidak boleh mencin-
taiku," katanya kemudian dengan suara tegas. "Kau
harus mengembalikan hatimu kepada yang berhak.
Yaitu, Nuning!" "Mengembalikan" Apa yang harus kukembalikan
kepada Nuning" Aku belum pernah mencintainya
dengan cinta yang seharusnya ada di antara sepasang
insan yang sudah mengenakan cincin pertunangan.
Sudah kukatakan berulang kali, aku menganggapnya
sebagai adik sendiri!" Gatot membantah.
"Kalaupun belum pernah mencintainya, tidak
seharusnya kau mencintai perempuan lain. Bahkan,
setelah sadar bahwa ternyata dirimu tidak mencintai
Nuning, semestinya dalam masa pertunangan kau
berusaha bisa mencintainya," suara Yulia semakin
terdengar tegas dan mendesak. "Perasaanmu kepada-
ku, pindahkanlah kepada Nuning."
"Memangnya cinta itu apa menurutmu, Yulia"
Makanan?" Gatot menjawab, dengan suara kesal.
"Perasaan paling indah kauanggap makanan yang
bisa dipindah di piring lonjong atau piring bulat.
Mana bisa sih" Apakah..."
"Kau jangan keras kepala!" Yulia menyela perka-
taan Gatot, sebelum laki-laki itu menyelesaikan
bicaranya. Ia sudah tidak sabar. "Ingat, saat ini kau
masih tunangan Nuning. Tidak pantas kau meng-
http://pustaka-indo.blogspot.com239
ucapkan pernyataan cinta kepada perempuan lain.
Mengerti?" "Tidak. Aku tidak mengerti. Aku hanya tahu
bahwa jauh sebelum kita bertemu kembali, aku su-
dah meragukan hubunganku dengan Nuning. Bah-
kan, sudah terpikirkan olehku untuk memutuskan
pertunangan kami." Gatot membantah lagi.
"Oke, itu bila ditinjau dari pihakmu. Sekarang
mari kita bahas dari sudut pandangku," Yulia masih
tetap ingin berusaha menyadarkan Gatot. "Aku su-
dah pernah mengalami bagaimana rasanya menjadi
orang ketiga, meskipun itu tidak kuketahui sebelum-
nya. Kau pasti bisa membayangkannya, karena kau
tahu sendiri bagaimana usahaku melepaskan diri
dari Hendra demi memperbaiki kesalahan langkah-
ku. Nah, aku tidak ingin hal itu terulang kembali
dalam hidupku. Satu kali sudah terlalu banyak un-
tukku. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga
lagi!" Gatot terdiam beberapa saat lamanya. Namun,
kemudian ia menengadah dan menatap mata Yulia
lekat-lekat. "Kau mengatakan begitu" karena tidak ada cin-
ta di hatimu," desahnya.
"Kau salah. Aku mencintai Mas Hendra pada
mulanya. Jadi, aku juga merasakan patah hati, mes-
kipun bisa segera kuatasi," Yulia menjawab apa
adanya. "Maksudku, kau bisa dengan tegas mengatakan
tidak akan menjadi orang ketiga di antara diriku
http://pustaka-indo.blogspot.com240
dengan Nuning, itu karena tak ada cinta di hati-
mu." "Kaupikir aku perempuan apa" Tanpa cinta kok
bisa-bisanya aku mau saja kaucumbu... ketika kita
di dangau waktu itu?"
"Maksudmu?" Meskipun dugaan itu begitu besar
di kepala Gatot, tapi ia ingin mendengar sendiri
dari mulut Yulia secara meyakinkan.
"Aku juga mencintaimu." Setitik air mata mulai
ikut menyela di antara pembicaraan mereka. "Te-
tapi... cinta" tidak harus memiliki, kan?"
Gatot mengulurkan lagi tangannya dan meraih
tangan Yulia sebelum ia mengelakkannya.
"Terima kasih, Sayang. Terima kasih....," katanya.
"Selagi masih hidup aku masih boleh berharap"
kita akan bisa bersatu."
"Bersikaplah realistis. Jangan karena berjumpa
denganku, kau lalu mengingkari janji pertunangan-
mu dengan Nuning. Bersikap kesatrialah."
"Yulia, kau tidak menyimak apa yang kukatakan
tadi," Gatot menjawab ucapan Yulia dengan perasaan
jengkel. "Aku sudah bercerita panjang-lebar kepada-
mu, bahwa sebelum aku bertemu denganmu kembali
keinginanku berpisah dengan Nuning sudah berkali-
kali datang dalam pikiranku. Ayolah, jangan memper-
berat langkah kakiku. Perasaan cintaku kepadamu
berdiri sendiri, di jalur lain hatiku dan... "
"Lalu apa maumu?" Yulia memotong perkataan
Gatot. "Terus terang, aku tidak tahu harus mengatakan
http://pustaka-indo.blogspot.com241
apa sekarang. Sebab bila yang ditanya apa mauku,
pasti jawabku adalah aku ingin menjalin hubungan
cinta bersamamu. Kalau ditanya apa yang akan aku
lakukan dalam kehidupan pribadiku nanti, jawab-
nya adalah aku tidak tahu harus bagaimana." Gatot
mengeluh. "Aku seperti bukan laki-laki dewasa,
kan" Bayangkan, membolos dari kantor dan meng-
ajakmu makan siang bersama tetapi tidak tahu apa
yang harus kulakukan esok atau lusa. Tolol ya?"
"Itu karena kau membiarkan dirimu tenggelam
dalam masalah yang kauhadapi sehingga pikiran
dan hatimu kacau, tidak tahu langkah apa yang
harus kautempuh. Rasiomu macet. Karena aku ber-
ada di luar masalahmu, mataku masih bisa terbuka
untuk melihat dengan lebih jelas. Saranku, kemba-
lilah kepada Nuning. Hindarilah perjumpaan de-
nganku"." suara Yulia mulai tersendat saat menga-
takan kalimat terakhir. "Sakit, memang. Sakit
sekali. Akan tetapi, itulah yang pantas dilakukan.
Jangan menyakiti hati orang lain."
"Kau tidak mengerti perasaanku, Yulia. Aku iba-
rat orang tenggelam di dasar danau yang dalam,
dan ketika nyawaku nyaris melayang... tiba-tiba saja
menemukan udara yang membuatku bisa bernapas
lega. Dalam kondisi seperti itu, masa aku harus
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan diriku tenggelam lagi?"
"Jangan egois. Jangan hanya perasaanmu sendiri
yang kaupentingkan. Akan ada banyak orang lain
yang terluka bila kau memutuskan pertunanganmu
dengan Nuning." http://pustaka-indo.blogspot.com242
"Kau benar, Yulia. Aku memang egois." Gatot
mengangguk. "Setelah bertahun-tahun lamanya aku
mengalah dan memenuhi keinginan orang lain, ti-
dak bolehkah aku sekarang menuruti hasrat hatiku
sendiri?" "Bagaimana caranya" Kau tadi bilang, tidak tahu
harus bagaimana. Sekarang setelah kuberi tahu, kau
tidak mau mendengarkan."
"Saat ini aku memang belum tahu harus berbuat
apa. Namun, ada satu hal yang bisa aku katakan,
yaitu biarkan aku menemuimu kapan saja aku me-
rindukanmu." "Tidak. Aku tak mau. Sudah cukup aku meng-
alami pahitnya menjadi orang ketiga. Aku tidak
ingin mengulanginya lagi." Selesai bicara seperti itu,
Yulia menggigit bibirnya sendiri. Kalau tidak, bibir
itu akan tampak gemetar karena sesungguhnya ia
juga masih ingin bertemu Gatot selalu. Namun, ia
harus bersikap adil dan tahu diri.
Gatot sempat melihat bibir yang bergetar itu. Ia
bisa memahami perasaan Yulia. Bertahun lalu, Yulia
hampir saja menjadi penyebab runtuhnya sebuah
perkawinan yang sudah membuahkan beberapa
orang anak. Sebagai orang yang sangat kuat meme-
gang prinsip-prinsip kebenaran, peristiwa itu pasti
menimbulkan kenangan yang teramat pahit.
Melihat Gatot terdiam, Yulia meraih tasnya, ke-
mudian menghabiskan es jeruknya yang masih terisi
setengah gelas lebih. "Aku akan pulang sekarang," katanya kemudian.
http://pustaka-indo.blogspot.com243
"Kita sudahi pertemuan ini. Demi kebaikan semua
pihak, lupakan apa yang pernah terjadi di antara
kita." Gatot melihat lagi bibir Yulia bergetar. Kalau
tidak ingat bahwa mereka berada di tempat umum,
ingin sekali ia meraih tubuh molek itu ke dalam
pelukannya. Jadi, Gatot hanya bisa menarik napas panjang,
memejamkan matanya sejenak kemudian meraih
kunci mobil yang ada di samping gelas minumnya.
Dalam situasi tak menentu begini, sangat tidak bi-
jaksana bila ia menentang kemauan Yulia. Karena-
nya, ia terpaksa berdiri dan mengekor di belakang
Yulia. Sesampai di pelataran parkir baru ia bersuara
lagi. "Yulia, izinkan aku mengantarkan sampai ke ru-
mahmu," pintanya dengan pandangan memohon
yang meluluhkan hati Yulia.
"Baiklah untuk kali ini. Tidak untuk lain kali."
Gatot mengangguk. Di jalan, mereka lebih ba-
nyak berdiam diri daripada berkata-kata. Kalaupun
berbicara, hanya pendek-pendek dan tak ada kaitan-
nya dengan apa yang terjadi di antara mereka. Na-
mun, hati kedua insan itu sama-sama bergemuruh.
Ketika mereka telah tiba di depan pagar rumah,
barulah Yulia menyinggung lagi masalah mereka.
"Aku tidak menyilakanmu turun ya. Memperpan-
jang pertemuan tidak ada gunanya dan tak akan
mengubah apa-apa dalam kehidupan kita. Terima
kasih atas makan siang yang lezat tadi, dan terima
kasih pula atas segala hal yang pernah kita alami
http://pustaka-indo.blogspot.com244
bersama. Simpan sajalah semua itu sebagai bagian
dari lintasan sejarah kehidupan kita, lalu lupakan-
lah." Usai berkata seperti itu, Yulia langsung turun
dari mobil, menutup pintunya dan bergegas menu-
ju rumahnya. Setelah mendorong pintu pagar, tan-
pa menoleh sekali pun buru-buru ia masuk ha-
laman dan menutup kembali pintu pagar.
Yulia merasa inilah akhir perjumpaannya dengan
Gatot. Namun, baru saja ia masuk ke kamarnya,
HP-nya berbunyi. Melihat nama Gatot yang ter-
pampang di layar, otaknya menyuruhnya agar sege-
ra mematikan ponselnya itu. Akan tetapi, dorongan
hatinya mengalahkan suara otaknya. Terdengarlah
suara Gatot yang bagaikan air bah di telinganya.
"Yulia, salah satu penyebab aku mencintaimu
adalah karena kau memiliki kepribadian menonjol
yang berbeda daripada perempuan-perempuan lain
yang pernah kukenal. Kau begitu lugas, tanpa ba-
nyak mempersoalkan hal-hal yang tak perlu dima-
salahkan. Kau mau diajak masuk dalam kondisi apa
pun, termasuk diajak prihatin. Ketika perusahaan
ayahku bangkrut, aku baru sadar betul bahwa kehi-
dupan manusia seperti roda berputar. Ada saatnya
kalah, ada saatnya pula menang. Dari kata-katamu
ketika kita mengobrol mengenai kehidupan, aku
mendapatkan banyak wawasan yang semula tak be-
gitu kupahami," begitu laki-laki itu bicara, nyaris
tanpa mengambil napas. "Jangan terlalu banyak memuji. Kalau kau mene-
mukan sedikit saja kekuranganku, kau akan kece-
http://pustaka-indo.blogspot.com245
wa," Yulia menanggapi perkataan Gatot. Namun,
tampaknya laki-laki itu masih belum puas. Seperti
air bah kecepatannya, Gatot segera melanjutkan
bicaranya. "Aku menyukai pandangan hidupmu yang kom-
promis, mau mencoba menerima apa pun keadaan
dan situasi yang ada sebagai kenyataan hidup yang
harus dijalani. Melihat bagaimana jelitanya dirimu,
dan menyimak kemampuan otakmu yang cemer-
lang, kau benar-benar bisa hadir sebagai sosok apa
adanya." "Jangan salah menilai."
"Aku benar-benar amat mengagumimu. Sayang
sekali kenapa kita baru berjumpa kembali sesudah
cincin pertunanganku dengan Nuning melingkari
jari manisku....," suara Gatot terdengar penuh pera-
saan. Hati Yulia tergetar karenanya. Namun, ia tidak
ingin memperlihatkan kelemahan hatinya. Lekas-le-
kas ia menanggapi lagi perkataan Gatot tadi.
"Kau belum mengenalku lebih mendalam. Seper-
ti perempuan lain di dunia ini, aku juga punya
banyak kekurangan. Seperti perempuan lain,
Nuning pasti juga mempunyai kelebihan. Kalau
kau belum melihatnya, cari itu. Kewajibanmulah
menemukan emas pada diri tunanganmu. Jadi, ja-
ngan berlebihan memujiku."
"Aku tidak sedang membahas Nuning. Yang ku-
bicarakan adalah dirimu. Aku sadar bahwa setiap
manusia tidak ada yang sempurna dan masing-masing
http://pustaka-indo.blogspot.com246
mempunyai kekurangan. Begitupun dirimu, aku su-
dah melihatnya. Kau galak, tangkas bicara, pemarah,
sulit dijangkau bagai angsa liar, berani menampar
orang dan memaki-maki bila kau menganggap itu
perlu demi memegang kebenaran dan keadilan," kata
Gatot tanpa peduli apa pun kata-kata Yulia. "Aku
mencintai seluruh kekuranganmu. Kedengarannya
memang romantis, tetapi sebenarnya itulah kenyataan
yang ada. Aku mencintai apa yang ada padamu. Kele-
bihan, kekurangan dan semuanya."
Pernyataan itu sungguh menyentuh hati Yulia
hingga ke kedalaman relung-relungnya. Namun, ia
malah jadi sedih. Sebenarnya seperti itu jugalah
yang dirasakannya terhadap laki-laki itu. Ia mencin-
tai Gatot apa adanya. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Namun, ia harus kuat menahan
diri. Oleh sebab itu, lekas-lekas ia memutuskan
pembicaraan lewat udara itu.
"Cukup, ya. Telingaku terasa panas. Baterai pon-
selku juga mulai melemah. Kita akhiri pembicaraan
kita. Terima kasih atas perasaanmu kepadaku. Sekali
lagi" terima kasih."
"Tunggu dulu, jangan matikan ponselmu," Gatot
yang sudah menduga Yulia akan mematikan HP-
nya, cepat-cepat menjawab ucapannya. "Yulia, boleh
atau tidak, suka atau tidak, aku akan datang men-
jumpaimu bila kerinduan hatiku tak tertahankan
lagi. Jangan melarangku."
Sebelum Yulia mempunyai kesempatan membalas
perkataan Gatot, laki-laki itu telah mematikan pon-
http://pustaka-indo.blogspot.com247
selnya. Yulia menatap benda itu dengan perasaan
campur aduk. Tanpa sadar air matanya mengalir
dan membasahi kedua belah pipinya yang mulus.
Alangkah peliknya kehidupan ini. Alangkah pelik-
nya hati manusia. Alangkah peliknya nasib dan
perjalanan hidupnya. Alangkah...
Memang segala yang terjadi di dunia ini serbapelik.
Betapa tidak" Dua minggu kemudian, ia diundang
makan malam seorang kenalan yang mengadakan
syukuran. Yulia pergi bersama Dedi, adiknya.
"Katamu cuma syukuran saja, Mbak." Dedi ber-
bisik, ketika mereka melihat betapa banyaknya tamu
yang datang dan makanan yang berlimpah dengan
iringan musik organ tunggal. "Kok ini pesta?"
"Namanya juga syukuran orang kaya," jawab Yulia
sambil tertawa. "Kita tidak memalukan, kan?"
"Wah, mana ada yang bisa mengalahkanmu sih,
Mbak?" Dedi menyeringai. "Pakaianmu modis dan
kelihatan mewah, meski terbuat dari bahan biasa.
Kau tampak cantik sekali. Tampangku lebih keren
daripada Ari Wibowo, kan?"
"Laut siapa yang menggarami?" Yulia tertawa,
sambil memijit hidung Dedi. Tepat saat itu ia meli-
hat Dahlia, bekas teman sekampusnya muncul di
dekat mereka. "Mesra betul sih kakak-adik ini," sapanya sambil
tertawa. "Apa kabar, Yulia" Apa kabar Ardi?"
"Ini Dedi, Dahlia."
http://pustaka-indo.blogspot.com248
"Oh, maaf. Wajah kalian mirip sih. Sama-sama
ganteng." Dahlia tersenyum. Mereka bersalaman
dengan hangat. "Kau semakin cantik saja, Dahlia."
"Tidak secantik dirimu, Yulia. Kusangka kau tadi
artis lho." "Jangan meledek!" Yulia tersenyum. "Eh, daripada
saling memuji yang tidak ada manfaatnya, aku ingin
mendengar bagaimana kabarmu sekarang. Masih
bekerja di perusahaan minuman terkenal itu?"
"Sudah tiga bulan lebih ini aku pindah ke per-
usahaan lain," jawab Dahlia.
"Wah, pasti lebih hebat daripada sebelumnya.
Padahal di perusahaan minuman itu kau sudah
menjadi sekretaris direksi, kan?"
"Ya, begitulah," jawab Dahlia sambil tertawa.
"Bukan karena itu aku menyukai pekerjaanku yang
sekarang. Suasana di kantorku yang sekarang ini
serba menyenangkan, hubungan antarkaryawan pe-
nuh kekeluargaan. Apalagi salah seorang pemilik
perusahaan sangat baik terhadap semua anak buah-
nya. Penuh pengertian pula."
"Aduh" jangan-jangan ada sesuatu yang muncul
di hatimu terhadap bos-mu itu," Yulia menggoda.
"Kalau aku belum punya kekasih, mungkin aku
bisa jatuh hati juga padanya. Orangnya ganteng,
lemah-lembut dan baik hati. Kaya-raya, pula."
"Jatuh hati juga?" Yulia mengerling. "Apa mak-
sudmu?" "Maksudku, banyak perempuan jatuh hati kepa-
http://pustaka-indo.blogspot.com249
danya. Sayangnya, bos-ku meskipun ramah dan
berwibawa, mengenai urusan pribadi agak keras.
Keramahannya bisa mendadak berubah menjadi di-
ngin bila ada perempuan yang berusaha mendekati-
nya. Mungkin karena kekasihnya cantik sekali."
"Hebat juga bos-mu itu. Bisa memisahkan antara
kantor, pekerjaan dan urusan pribadi," komentar
Yulia sambil lalu. "Siapa dia?"
"Namanya Gatot Prabowo."
Yulia yang semula hanya iseng bertanya, tersentak
begitu mendengar nama yang disebut Dahlia.
Nama orang lain yang kebetulan sama ataukah me-
mang orang yang sama" Namun, mana mungkin"
Gatot yang dikenalnya bukan orang yang kaya-raya
dan usahanya masih belum stabil setelah mengalami
kebangkrutan. "Gatot Prabowo" tanyanya iseng. "Rumahnya di
mana?" "Jalan Andalas nomor tujuh."
Yulia menahan napas. Gatot juga tinggal di jalan
yang sama. "Orangnya tinggi, gagah, dan rambutnya tebal?"
tanyanya lagi. "Ya. Dengan sedikit cambang. Kau kenal dia,
Yulia?" Dahlia meliriknya.
Bukan hanya kenal, kata hati Yulia dengan
pikiran kacau. Ternyata dunia begitu sempit.
"Yah" cuma kenal-kenal begitu saja," sahutnya
mengelak. "Ia bukan orang yang kaya-raya. Kaya,
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin. Kaya-raya sih tidak."
http://pustaka-indo.blogspot.com250
"Gatot Prabowo bos-ku, jelas kaya-raya, Yulia.
Mobilnya banyak dan semuanya mewah. Rumah
dan tanahnya di mana-mana. Perusahaannya yang
sedang berkembang sudah pula mulai melebarkan
sayapnya ke mana-mana, dan membuka cabang di
beberapa kota." "Kalau begitu, orang yang kita bicarakan beda
meskipun secara fisik apa yang kaugambarkan sama
seperti Gatot kenalanku yang cuma punya motor
besar dan mobil kantor yang tidak terlalu me-
wah." Mendengar perkataan Yulia, Dahlia tertawa.
"Kau tahu harga motor besarnya" Sama seperti
harga mobil. Ia memang suka sekali mengendarai
motor kesayangannya itu ke mana-mana."
Deg! Dada Yulia seperti dipukul martil besar.
Sakit sekali rasanya. Kenapa Gatot menyembunyikan
kenyataan sebenarnya" Kenapa laki-laki itu tidak
mau bersikap jujur kepadanya" Apa alasannya"
"Aku tidak yakin orang yang kaumaksud adalah
orang yang sama dengan kenalanku," Yulia pura-
pura acuh tak acuh. "Kenalanku tidak kaya kok.
Bos-mu pemilik perusahaan, kan?"
"Sebetulnya sih perusahaan keluarga. Ia yang me-
majukannya setelah beberapa waktu sempat bang-
krut." Hmm, jadi memang bos Dahlia adalah
Gatot yang dikenalnya. "Bos-mu berkantor di mana sih?" tanyanya ke-
mudian sambil lalu. Dahlia menyebutkan nama perusahaan dan seka-
http://pustaka-indo.blogspot.com251
ligus alamatnya pula. Diam-diam Yulia mencatatnya
dalam hati. Sekarang cukuplah yang ingin dike-
tahuinya. Dengan pandainya, Yulia mulai mengalih-
kan pembicaraan. Yulia merasa telah dibohongi.
Apa pun alasan Gatot menyembunyikan kenyataan
itu, sudah jelas laki-laki itu telah bersikap tidak ju-
jur terhadapnya. Pulang dari pesta, kepala Yulia seperti dijepit besi
rasanya. Berdenyut-denyut dan sakit sekali. Air
mata mengalir tak henti-hentinya dan membasahi
bantalnya, karena secara tiba-tiba ia merasa ada ju-
rang yang semakin lebar dan semakin luas terben-
tang di antara dirinya dengan Gatot. Laki-laki yang
belum lama ini menghujaninya dengan pujian dan
kata-kata indah terasa begitu jauh darinya.
Yulia merasa tidak tahan menanggungnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com252
Suara ketukan di pintu kelas yang terbuka menye-
babkan Yulia mengangkat wajahnya.
"Selamat siang, Ibu Yulia," salah seorang murid-
nya langsung menyapanya, begitu mata Yulia mena-
tap ke ambang pintu. "Selamat siang, Ani. Ada apa?" Ia sedang mengo-
reksi kertas-kertas ulangan para muridnya. Mata
pelajaran yang menjadi tugasnya sudah diselesaikan-
nya satu jam lebih yang lalu, tetapi ia belum mau
pulang. Lebih enak mengerjakan pekerjaannya di
kelas yang kosong begini. Sepi, tenang dan tidak
ada yang mengganggu. Di rumah, ada saja yang
menyita waktunya. "Ada yang mencari Ibu di luar sana," Ani men-
jawab sopan. "Siapa" Laki-laki atau perempuan, An?"
"Laki-laki," jawab Ani. "Itu lho, Bu, teman Ibu
yang sering menjemput dengan motor besar."
Tujuh http://pustaka-indo.blogspot.com253
Hampir saja Yulia menyuruh Ani berbohong de-
ngan mengatakan kepada Gatot bahwa ia sudah pu-
lang sejak tadi, tetapi segera dibatalkannya Tidak baik
mendidik murid berbohong. Apa pun alasannya.
"Tolong katakan untuk menunggu sebentar ya,
Ani," katanya kemudian. "Ibu selesaikan dulu satu
kertas ulangan ini."
"Beliau disuruh menunggu di ruang tamu guru,
Bu?" "Tidak usah. Sebentar lagi Ibu akan menemui-
nya." "Baik, Bu. " "Terima kasih."
Sepeninggal Ani, dengan perasaan enggan yang
luar biasa, Yulia terpaksa mengemasi pekerjaannya.
Menghindari Gatot terus-menerus lama-lama capai
juga. Oleh sebab itu, dengan memaksakan diri, ia
meninggalkan ruang yang semula terasa tenang dan
damai. Ini adalah pertama kalinya Yulia dan Gatot ber-
temu lagi setelah mereka berpisah lebih dari satu
bulan yang lalu. Sebenarnya ia tidak ingin bertemu
dengan laki-laki itu. Namun, di halaman sekolah
tempat murid-muidnya berada, Yulia tak bisa meng-
umbar perasaannya. Jadi, terpaksalah ia mencoba
bersikap wajar. "Apa kabar?" Gatot yang tahu persis perasaan Yulia tidak men-
jawab sapaan itu, tetapi malah melontarkan perasa-
an senangnya. http://pustaka-indo.blogspot.com254
"Sekarang aku tahu bagaimana cara yang paling
tepat menemuimu. Lewat murid-muridmu. Kau
pasti tidak bisa berbohong atau menyuruh mereka
berbohong demi menjaga wibawamu," katanya sam-
bil tertawa. Yulia tidak mau menanggapi perkataan Gatot. Ia
diam saja. Sekarang terasa betapa lebar jurang yang
ada di antara mereka. Ketika melihat Yulia hanya
diam, Gatot tidak ingin suasana tak enak itu menje-
rat dirinya. "Aku baru saja pulang dari Semarang, Yulia. Ku-
bawakan ikan bandeng asap untukmu."
"Terima kasih."
"Aku juga membawakanmu lumpia. Ada yang
basah, ada yang baru digoreng."
"Terima kasih."
"Sekarang ayolah naik ke boncengan motorku.
Kuantar kau pulang."
Yulia menurut dan langsung duduk di boncengan
motor besar yang menurut Dahlia harganya hampir
sama dengan harga mobil. Gatot yang mengira
akan menerima protes Yulia atau paling sedikit pe-
nolakan atas tawarannya mengantarkan pulang,
merasa heran. Bukan begini Yulia yang dikenalnya
selama ini. "Kau kelihatan lain hari ini," kata Gatot setelah
mereka berada di jalan raya, jauh dari pandangan
murid-murid Yulia. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," Yulia menjawab pendek.
"Kalau memang tidak ada apa-apa, kutraktir kau
http://pustaka-indo.blogspot.com255
makan siang ya" Aku yakin kau belum makan sesu-
dah selesai mengajar tadi. Mau, ya?"
"Terserah." Lagi-lagi tidak ada penolakan dari pihak Yulia
yang justru menyebabkan Gatot merasa asing.
"Aku merasa kau berbeda daripada biasanya.
Asing rasanya," gumamnya kemudian.
Yulia tidak menjawab. Di dalam hatinya ia me-
ngatakan bahwa rasa asing itu bahkan telah dirasa-
kannya jauh-jauh hari sebelum pertemuan mereka
siang ini. Karena tahu percuma saja mengorek isi hati
Yulia, Gatot terpaksa diam dan tanpa bicara apa-
apa lagi melarikan motornya ke sebuah rumah
makan di Jalan Pramuka. Tanpa banyak bicara
pula, ia minta Yulia menulis pesanan makanan yang
diinginkannya. Untuk kesekian kalinya Gatot me-
rasa heran, Yulia langsung melakukan yang diminta-
nya. Tanpa protes, bahkan tanpa membuang-buang
waktu. Lama-lama karena merasa tak tahan, Gatot
mengatakan keheranannya begitu pelayan rumah
makan sudah pergi dari dekat meja mereka.
"Kenapa hari ini kau tampak... amat berbeda?"
"Bedanya?" "Kau kelihatan aneh," Gatot menjawab terus-
terang. "Seperti bukan dirimu. Ada apa sih?"
"Karena kau juga terasa aneh dan asing bagiku."
"Di mana letak keanehan dan asingnya diriku?"
Gatot mengerutkan dahinya dalam-dalam.
"Kau benar-benar mau tahu apa sebabnya?"
http://pustaka-indo.blogspot.com256
"Ya. Tentu saja."
"Kalau begitu, aku akan memulainya dengan me-
lontarkan satu pertanyaan untukmu," Yulia mencon-
dongkan tubuhnya ke depan. "Kenapa kau suka
naik motor padahal di rumahmu ada banyak mobil
mewah dan di kantormu pun demikian."
Gatot terperanjat, tidak mengira akan mendengar
pertanyaan seperti itu. Matanya nyalang menatap
Yulia, nyaris tak berkedip. Baru kemudian ia mena-
rik napas panjang. "Kau" kau tahu dari mana?" tanyanya kemu-
dian. Sikapnya seperti prajurit kalah perang.
"Tidak penting dari mana aku mendengar hal
itu, karena letak masalahnya bukan di situ. Ada
prinsip kejujuran yang telah kaulanggar, padahal
kau tahu betul aku paling tidak suka dibohongi,
apa pun alasannya. Kalau orang lain yang menutupi
suatu kenyataan dariku, aku tak mau ambil pusing.
Kau yang kenal aku siapa dan tahu betul bagaima-
na diriku... bisa-bisanya menutupi itu seolah materi
begitu prinsip bagiku. Seolah aku begitu peduli kau
kaya atau miskin." Gatot tersandar di kursinya. Meremas pelan ram-
butnya sendiri, kemudian menarik napas panjang.
"Untuk satu kejujuran, aku memang sangat suka
naik motor. Ketika usaha ayahku bangkrut, aku
terpaksa naik motor ke mana-mana. Rasanya lebih
praktis, lebih enak, dan lebih cepat. Kecuali pada
saat musim hujan. Ketika aku sudah punya uang
lagi, kubeli motor besar ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com257
Yulia tidak memberi komentar apa pun. Ia me-
mahami apa yang dikatakan Gatot. Selama mereka
bergaul, laki-laki itu memang sangat suka naik mo-
tor dan amat menikmatinya.
Melihat Yulia hanya diam saja, Gatot merasa ti-
dak enak. Ia lebih suka melihat Yulia yang marah-
marah dan memaki-maki daripada Yulia yang diam
seperti patung. "Yulia, apakah kau masih ingat pada percakapan
kita waktu berjumpa pertama kalinya di emperan
toko, mengenai bangkrutnya perusahaan ayahku?"
tanyanya kemudian. "Ya." "Mudah-mudahan saja kau juga masih ingat apa
yang kaukatakan ketika menanggapi keadaanku
itu," Gatot berkata lagi. "Ada banyak komentarmu
mengenai pelbagai hikmah yang semula tidak kusa-
dari. Waktu itu aku benar-benar merasa senang
mendapat banyak wawasan baru darimu. Kau me-
ngatakan waktu itu bahwa setelah aku berhasil me-
nyelamatkan perusahaan ayahku pasti rasanya sa-
ngat manis, karena bisa merasakan nikmatnya
mendapat sen demi sen dari perasan keringat sendi-
ri dan perasan air mata. Itu sungguh-sungguh ku-
alami. Kaunamakan itu seni hidup dan aku setuju
seratus persen." "Kau tidak bercerita bahwa hasil upayamu itu
justru jauh melampaui apa yang pernah dirintis
oleh ayahmu." "Waktu itu aku tidak menyangka kita akan men-
http://pustaka-indo.blogspot.com258
jadi akrab, sehingga aku menganggap tidak perlu
menceritakan keadaan yang sebenarnya. Apalagi aku
benar-benar merasa bebas bergaul denganmu, yang
tidak melihat diriku ini siapa, apakah sebagai direk-
tur utama, sebagai pemilik perusahaan ataukah
orang biasa. Kau juga bisa menanggapiku dengan
amat menyenangkan ketika aku bercerita pernah
menjual motor bertahun-tahun lalu ketika harus
memasukkan salah seorang adikku ke universitas.
Katamu, berhasil menyekolahkan adik sampai men-
jadi sarjana karena jual motor terasa jauh lebih
berharga daripada membayar kuliah dari kelebihan
uang yang aku miliki. Dan memang seperti itulah
yang benar-benar aku rasakan."
Yulia hanya mengangguk, teringat pada percakap-
an mereka di emperan toko saat menunggu redanya
hujan hampir setahun yang lalu.
"Waktu itu kau telah membuatku merasa bangga
atas apa yang berhasil kurintis dari nol." Gatot ber-
kata lagi. "Padahal, semula aku menganggap itu
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Aku merasa
senang sekali atas perjumpaan kita kembali waktu
itu. Namun, ketika kau mengatakan bahwa kau ti-
dak suka dengan orang kaya, karena menurutmu
mereka sombong, snob, merasa status sosialnya lebih
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggi dan berkelas... cara menilai segala sesuatu
dengan tolok ukur materi, terus terang aku jadi ta-
kut kau menjauhiku karena" kekayaanku."
"Jadi, begitu caramu menilai dan mengukurku?"
Yulia berkata lugas. "Maksudmu?"
http://pustaka-indo.blogspot.com259
"Menurutmu, aku memakai ukuran materi untuk
menjalin persahabatan dengan seseorang" Kalau me-
reka kaya, aku tidak suka bergaul dengan mereka.
Kalau tidak kaya, aku suka bergaul dengan mereka.
Begitu" Betapa rendahnya penilaianmu terhadap
diriku. Kaupikir aku ini anak kemarin sore yang
bergaul dengan seseorang karena latar belakang me-
reka, dan bukan karena diri mereka sendiri apa pun
keadaannya?" Wajah Yulia tampak merah padam
menahan amarah saat berkata-kata.
"Jangan marah, Yulia. Waktu itu pikiranku me-
mang sedang goblok-gobloknya."
"Itu bukan hanya goblok, tetapi juga melecehkan
orang. Kaupikir aku ini orang aneh yang antimateri
dan harta benda" Sama seperti orang lain, aku juga
suka kekayaan, karena dengan uang ada banyak hal
bisa ditangani dengan lebih mudah. Akan tetapi,
bila harta benda dipakai sebagai tolok ukur untuk
menilai orang, aku benar-benar sangat benci. Kau
sendiri pernah bercerita kepadaku bahwa banyak
gadis yang suka mengejar-ngejar pemuda kaya dan
karenanya kau muak melihat mereka."
"Itu benar...."
"Ya, secara implisit kau bermaksud mengatakan
bahwa gadis-gadis yang tidak silau pada harta ben-
da adalah gadis-gadis yang baik dan pantas diajak
bergaul. Dengan kata lain, aku menempati peni-
laian tinggi di hatimu karena aku berbeda dengan
perempuan-perempuan lain yang silau harta benda.
Padahal, dengan begitu kau juga sama saja memakai
http://pustaka-indo.blogspot.com260
materi atau harta benda sebagai tolok ukur penilai-
anmu. Terus terang, aku merasa tersinggung karena-
nya." Gatot menggeleng-geleng. "Aku tidak seperti itu, Yulia. Kau terlalu picik
mengukur diriku," gumamnya kemudian.
"Faktanya, kau tidak mau menceritakan keberhasil-
anmu mengelola perusahaan ayahmu. Aku memang
pernah bilang benci pada laki-laki kaya yang memiliki
kedudukan, karena laki-laki seperti itu sering mere-
mehkan perempuan dengan menganggap mereka
mudah silau oleh harta benda. Padahal, yang kubenci
bukan materi itu sendiri, tetapi orang-orang yang me-
makai materi sebagai tolok-ukur untuk menilai sese-
orang." "Sudahlah, Yulia. Kita tidak usah memperpanjang
masalah ini. Percayalah, sama sekali aku tidak me-
nilai dirimu melalui kacamata harta-benda atau
materi. Aku cuma tidak ingin ada ganjalan di anta-
ra kita, karena masalah kedudukan dan keberhasil-
anku merintis karier."
"Ganjalan?" Yulia menjawab ketus. "Serendah
itukah aku menempatkan suatu perasaan?"
"Ah, aku salah bicara lagi. Sudahlah, Yulia, aku
segan berbantah kata denganmu. Asal kau tahu
saja, sama sekali aku tidak bermaksud merendahkan
atau melecehkan dirimu. Kusadari ataupun tidak."
"Aku juga lelah berbantah kata. Jangan mengira
aku antikekayaan. Sekali lagi, aku cuma tidak suka
terhadap orang yang menata sikap atau perilakunya
http://pustaka-indo.blogspot.com261
dengan landasan materi, kedudukan, pangkat, dan
jabatan." "Sudahlah, Yulia, kita akhiri perbantahan ini.
Aku minta maaf... beribu-ribu minta maaf bila aku
kauanggap melecehkanmu...."
"Aku tidak punya gudang tempat persediaan
maaf. Kau telah memandangku lewat ukuran yang
kaubuat sendiri, sehingga aku merasa asing. Kau
yang kukenal selama ini ternyata kau yang lain"."
Karena belum puas melampiaskan kekecewaannya,
Yulia melanjutkan pembicaraan. "Itulah yang menye-
babkan aku merasa asing terhadapmu. Rasanya, aku
tidak mengenalmu." Mendengar perkataan Yulia, Gatot merasa seperti
ada pukulan menyakitkan di ulu hatinya. Ia mulai
sadar sekarang kenapa Yulia marah kepadanya, dan
kenapa Yulia berusaha menjauhinya.
"Rupanya aku masih harus belajar banyak dari-
mu".," gumamnya. "Aku benar-benar tidak me-
nyangka... telah membuatmu merasa terlecehkan."
Yulia menggeleng. "Yang harus kaupelajari bukan dariku, tetapi dari
kehidupan yang kita alami setiap hari, di mana ada
banyak kearifan dan pemahaman makna kehidupan
yang sesungguhnya." "Aku takluk padamu, Yulia. Kau benar-benar pe-
rempuan yang sangat istimewa....," Gatot berkata
dengan suara menggeletar.
"Jangan berlebihan memujiku."
http://pustaka-indo.blogspot.com262
"Tidak berlebihan, Yulia. Semakin kukenal diri-
mu, semakin aku mengagumimu...."
"Aku tidak suka kaupuji," jawab Yulia dengan
cepat. "Jadi tolong, hentikan itu. Apalagi semua
yang kukatakan bukan sesuatu yang istimewa. Ada
banyak perempuan yang berkemampuan melebihi
diriku." "Mungkin. Akan tetapi, kekagumanku hanya
padamu, Yulia. Tidak pada perempuan lain apa pun
kehebatan mereka. Itu karena aku mencintaimu.
Amat sangat." Suara Gatot terdengar bergetar, se-
hingga mau tak mau perasaan Yulia tersentuh men-
dengarnya. "Sudahlah, sebaiknya hal-hal semacam itu tidak
usah dibicarakan lagi," Yulia menarik napas pan-
jang, merasa tak enak. Untungnya ia melihat pela-
yan sedang berjalan membawa baki berisi pesanan
makanan mereka. "Lihat itu, pesanan makanan kita
sudah datang." "Kalau begitu, kita makan siang dulu."
Mereka makan tanpa banyak bicara seperti tadi.
Kalaupun bicara, yang mereka percakapkan tidak
ada kaitannya dengan pembicaraan mereka sebelum-
nya. Keduanya sama-sama menjaga jangan sampai
selera makan mereka patah. Baru setelah makan
siang usai, Gatot melanjutkan bicaranya tadi.
"Mulai hari ini aku akan lebih mawas diri," kata-
nya. "Seperti kata-katamu tadi, memang seharusnya
aku lebih banyak belajar dari kehidupan."
"Kalau kita jeli dan peka, kehidupan merupakan
http://pustaka-indo.blogspot.com263
tempat pembelajaran yang paling baik dan paling
kaya." "Ya, kau benar." Gatot menarik napas panjang
lagi. "Yulia, rasanya aku semakin tak bisa lepas dari-
mu. Izinkan aku tetap mencintaimu dan sesekali
menjumpaimu seperti ini."
"Kau baru saja bilang ingin belajar dari kehidup-
an. Sekarang, kenapa kau seperti lupa bahwa aku
ini bukan siapa-siapa dalam kehidupanmu. Ada
Nuning yang akan menemani hidupmu. Belajarlah
mencintainya dan meniti kehidupan masa depanmu
bersama dia. Aku berada di luar pagar. Ingat itu."
Usai berkata, Yulia melihat arlojinya. "Aku harus
segera tiba di rumah. Menjelang sore ada muridku
yang akan datang ke rumah untuk belajar piano.
Ini betul, bukan dalih untuk menghindarimu."
"Kuantar pulang ya biar cepat sampai rumah?"
"Tidak perlu. Aku akan naik taksi. Kebetulan
habis dapat honor," Yulia bersikeras pulang sen-
diri. "Baiklah kalau begitu," Gatot mengalah. "Akan
tetapi, bila sesekali aku ingin bertemu denganmu,
janganlah aku kautolak."
"Aku ingin kita jangan lagi bertemu agar perha-
tianmu bisa tercurah sepenuhnya kepada Nuning.
Jadi, jangan mempersulit keadaan," Yulia menjawab
dengan tegas. "Nah, hargai komitmen kita."
"Oke. Namun, jangan salahkan bila aku tidak
bisa mencintai Nuning. Cinta tak bisa dipaksakan,
Yulia," Gatot berkata dengan suara keras. "Cinta
http://pustaka-indo.blogspot.com264
datang begitu saja. Jadi, juga jangan salahkan bila
aku sangat mencintaimu."
Yulia terdiam. Di dalam taksi, ia termangu-ma-
ngu sendirian ketika perkataan Gatot terngiang
kembali di telinganya. Gatot benar. Cinta memang
tidak bisa dipaksakan datangnya dan tidak bisa di-
paksa pula perginya. Datangnya seperti pencuri.
Tak diketahui kapan datangnya, tiba-tiba saja hati-
nya sudah dibawa pergi. Meski dalam keadaan sa-
dar ia tahu mencintai Gatot adalah suatu kekeli-
ruan, tetapi dalam keadaan tak sadar bagaimana ia
bisa menghindarinya" Perasaan cinta tiba-tiba sudah
tertanam di hatinya, dan sudah tumbuh berkem-
bang meluas dalam sanubarinya. Namun, karena
itu cinta terlarang, ia harus berani menyingkirkan-
nya, entah bagaimanapun caranya.
Yulia boleh merasa bangga bisa memiliki ketegasan
melarang Gatot menjumpainya, karena sadar bahwa
dirinya berada di luar pagar. Namun, jauh di relung
hatinya, ia harus jujur mengakui bahwa ketegasan itu
sebenarnya lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Sebab, kalau mereka masih sering bertemu akan sema-
kin sulit baginya menjauhi laki-laki itu. Bahkan,
kalau mau jujur sebenarnya perasaan tersinggung dan
asing yang dirasakannya saat mengetahui bahwa
ternyata Gatot sangat kaya dan mempunyai kedu-
dukan pun dilandasi rasa kecewa, karena ternyata
mereka berada di dua kutub yang berbeda. Bukankah
dengan demikian sebenarnya ia sendiri pun memakai
tolok ukur materi untuk menilai suatu hubungan,
http://pustaka-indo.blogspot.com265
bukan" Mengingat hal itu, Yulia merasa malu pada
dirinya sendiri. Ketegaran yang berhasil diperlihatkan
kepada laki-laki itu adalah ketegaran yang palsu. Kebi-
jaksanaan yang membuat Gatot semakin menga-
guminya, hanyalah sesuatu yang rapuh. Sebab, sebe-
narnya ia juga masih ingin selalu bertemu dengan
Gatot. Hasrat untuk dihangati pelukan seorang laki-
laki, ada dalam hatinya. Ironisnya, laki-laki itu berna-
ma Gatot Prabowo. Dirinya tidaklah seistimewa seperti yang dikata-
kan Gatot. Justru karena itulah ia meminta Gatot
tidak lagi datang menjumpainya. Hal itu bukan
hanya karena ia ingin agar Gatot mengembalikan
perhatiannya pada Nuning saja, tetapi terutama ka-
rena ia menyadari kelemahan dirinya sendiri. Cinta-
nya kepada laki-laki itu bisa menyingkirkan akal
sehat dan kewarasan otaknya, dan bisa membahaya-
kan hubungan Gatot dengan Nuning. Padahal, ia
benar-benar tak ingin menyela di antara mereka
dan menjadi orang ketiga. Apalagi Gatot sudah
tahu bahwa ia juga mencintainya. Mudah-mudahan
saja laki-laki itu bisa memegang komitmen mereka
untuk tidak lagi bertemu.
Namun sayang, suatu pagi di hari libur ketika Yulia
keluar dari kamar setelah mandi, Oom Hardi bilang
di ruang tamu ada Gatot sedang menunggunya. Ia
terkejut. Ini tidak boleh terjadi. Sejak makan siang di
Jalan Pramuka tiga minggu lalu, mereka tidak pernah
http://pustaka-indo.blogspot.com266
bertemu lagi. Bahkan saling mengirim SMS pun
tidak. Yulia tidak menghendakinya.
"Sejak kamu baru masuk kamar mandi tadi ia
sudah menunggumu," kata Oom Hardi. "Temuilah
dia. Apa pun alasannya harus kauhadapi. Menghin-
darinya terus-menerus bukan pemecahan masalah
yang baik." "Baik, Pak." Yulia tidak ingin berbantah kata de-
ngan ayah tirinya. Sama seperti ibunya, laki-laki itu
juga lebih suka bila Yulia menghadapi apa pun
yang tak menyenangkan demi menunjukkan kete-
gasan dan kejelasan sikap. Menghindar terus bukan
cara yang baik untuk menyelesaikan masalah.
Saat Yulia menemui Gatot, ia mengenakan jeans
warna putih dengan blus longgar model kemeja
berwarna dasar merah dengan bunga kecil-kecil pu-
tih yang cantik dan begitu pantas membalut tubuh-
nya yang elok. Ia tampak sangat segar seperti gadis
remaja. Melihat keindahan di depannya itu Gatot
menatapnya tanpa sedetik pun mengejapkan mata
sehingga Yulia merasa canggung.
"Ada perlu denganku?" tanyanya, tanpa peduli
apakah pertanyaan itu sopan atau tidak. Gatot ha-
rus tahu, ia telah menyalahi komitmen mereka un-
tuk tidak lagi bertemu. "Aku rindu kepadamu, Yulia." Gatot tersenyum
mesra. "Kurasa, hari ini kita sedang mempunyai
selera sama. Lihat pakaianku."
Yulia menatap pakaian Gatot. Laki-laki itu me-
ngenakan jeans warna broken white dengan kaus
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://pustaka-indo.blogspot.com267
berwarna merah tua. Baru sekali ini Yulia melihat
Gatot berpakaian sesantai itu. Ia tampak tampan
dan segar. Menyaksikan itu, pipi Yulia mulai mero-
na merah. "Kebetulan," gumamnya agak tersipu.
"Kebetulan yang serasi," kata Gatot sambil terse-
nyum manis. "Yulia, tujuanku datang ke sini sebe-
narnya ingin mengajakmu jalan-jalan ke suatu
tempat yang menyenangkan."
"Untuk apa?" "Kok untuk apa. Tentu saja untuk mendapatkan
suasana santai, tenang, dan udara segar," Gatot me-
nyeringai. "Yulia, aku baru saja pulang dari dinas
keliling Indonesia, dua minggu lebih lamanya. Aku
lelah, stres, dan bosan. Apakah aku tidak boleh
mencari suasana yang sama sekali lain?"
"Tentu saja boleh dan bahkan harus. Orang ti-
dak bisa bekerja terus-menerus. Bisa jebol otaknya.
Kenapa tidak mengajak Nuning saja?"
"Sudah kuajak. Ia menolak dan malah minta aku
mengantarkannya belanja beberapa keperluan."
"Belanja kan juga bisa dijadikan acara santai
yang menyenangkan" Kenapa tidak kauturuti saja
keinginannya." "Kau belum pernah pergi berbelanja dengan
Nuning, jadi bisa bilang begitu. Nuning bila belanja
bisa seharian. Di sela-sela belanja, makan siangnya di
suatu tempat lalu makan malamnya di tempat lain
lagi. Itu benar, Yulia. Aku tidak mengada-ada. Ia gadis
manja dan maunya diperhatikan."
http://pustaka-indo.blogspot.com268
"Jangan menceritakan kekurangan orang di de-
panku!" Yulia memberi komentar sengit.
"Kalau begitu, jangan menyuruhku mengikuti
kemauan Nuning. " "Apa salahnya mendampingi tunangan belanja?"
"Kan bisa hari lain. Ia tahu aku baru saja kembali
ke rumah kemarin sore setelah dua minggu lebih
bekerja tanpa henti di kantor-kantor cabang kami.
Tega-teganya ia menyuruhku menemaninya belanja.
Apalagi aku sudah lebih dulu mengajaknya jalan-jalan
mencari udara segar. Bukan di pertokoan yang pasti
penuh orang di hari libur begini. Aku ini butuh
refreshing, bukan jadi pengiring gadis manja."
Yulia terdiam. Ia mengerti bagaimana kesalnya
perasaan Gatot. Nuning memang keterlaluan, pikir-
nya dalam hati. Sifatnya masih saja seperti masa
kanak-kanaknya. Masih teringat jelas olehnya bagai-
mana Nuning kecil dulu sering merengek-rengek
pada ibu atau ayahnya bila menginginkan sesuatu.
Heboh sekali. Anak-anak lain sering menontonnya
berguling-guling di lantai. Begitu orangtuanya me-
menuhi kemauannya, mendadak sontak air muka-
nya menjadi cerah. "Kau bisa memahami keadaanku, kan?" Terde-
ngar oleh Yulia, Gatot bicara lagi. "Nah bagaimana,
kau mau menemaniku mencari suasana santai?"
"Masalahnya bukan mau atau tidak, tetapi pantas
atau tidak. Tak pantas aku menemanimu jalan-ja-
lan. Lagi pula, komitmen kita masih tetap berlaku.
Jadi, sebaiknya kita tidak pergi berduaan."
http://pustaka-indo.blogspot.com269
"Aku benar-benar membutuhkan suasana yang
bisa membuatku segar kembali, sehingga besok aku
bisa bekerja dengan tenaga yang baru," kata Gatot
penuh harapan. "Mau ya, menemaniku?"
"Kalau kau bisa telaten membujukku begini, ke-
napa kau tidak melakukan hal yang sama pada
Nuning, sampai akhirnya ia mau kauajak menemani
jalan-jalan mencari udara segar?"
"Yulia, kau tadi bilang tidak mau mendengar aku
menceritakan kekurangan orang, kan" Jadi, jangan
tanyakan hal itu. Aku tak mungkin mengemis belas
kasihanmu seperti ini kalau berhasil membujuk
Nuning. Ia keras kepala."
Yulia terdiam lagi. Kali ini Gatot tidak membiar-
kannya. "Aku yakin kau bisa membayangkan bagaimana
Nuning menolak keinginanku mentah-mentah. Se-
karang aku datang ke sini meminta kemurahan
hatimu agar mau menemaniku mencari udara segar.
Apakah itu berlebihan" Kan cuma sekali ini saja.
Kita berteman sudah cukup lama. Kita... bersahabat
akrab belakangan ini. Tegakah kau membiarkan aku
pulang dengan tangan hampa?"
"Jadi, aku kaujadikan ban serep atau cadangan
ya." "Wah, bukan begitu, Yulia. Bila menuruti ke-
inginan hatiku, orang yang pertama-tama akan ku-
ajak adalah kau. Bukan Nuning." Gatot tersenyum
lembut. "Bagaimana, Yulia" Maukah kau menemani-
ku jalan-jalan untuk kali ini saja?"
http://pustaka-indo.blogspot.com270
Sulit menolak ajakan itu. Apalagi Yulia sendiri
pun sebenarnya ingin menghibur diri, tetapi tidak
tahu mau ke mana. Pergi sendirian pasti tidak enak
rasanya. Mau mengajak salah seorang adiknya, mere-
ka sudah punya acara sendiri. Namun, untuk meng-
iyakan keinginan Gatot, hatinya terasa berat. Pantas-
kah mereka jalan bersama"
Gatot yang sempat menangkap adanya kebim-
bangan di wajah Yulia segera membujuk lagi.
"Yulia, ayolah. Jangan terlalu mendengarkan su-
peregomu. Kita kan bersahabat dan teman lama.
Sesekali pergi bersama, tidak apa-apa. Lagi pula,
kita kan tidak berbuat sesuatu yang melanggar atur-
an, hanya sekadar jalan-jalan mencari udara se-
gar." Yulia terdiam beberapa saat lamanya, baru kemu-
dian bertanya. "Hanya untuk kali ini saja, kan?"
"Ya." "Ke mana kita akan pergi?"
"Ke Cibodas." "Wah, jauh juga."
"Namanya mencari udara segar ya ke sanalah
kita akan pergi. Pemandangannya indah, udaranya
sejuk dan segar. Kalau kita berangkat sekarang, sore
nanti kita sudah tiba ke rumah kembali. Mau ya"
Mau dong ya?" Cara Gatot membujuk mengingatkan Yulia pada
Dedi, adiknya, yang sering bersikap seperti itu jika
minta sesuatu. "Mau ya, Mbak" Mau dong ya?"
Luluhlah hati Yulia pada akhirnya. Untuk sekali
http://pustaka-indo.blogspot.com271
ini saja pergi dengan Gatot, rasanya tidak terlalu
berlebihan. Gatot membutuhkan teman untuk di-
ajak pergi. Laki-laki itu pernah membantunya de-
ngan tulus ikhlas ketika dirinya sedang menghadapi
perceraiannya dengan Hendra.
"Baiklah. Sesekali menjadi ban serep tak apa,"
sahutnya kemudian. "Ban serep?" "Ya. Ban cadangan."
"Jangan begitu, Yulia. Tadi aku sudah bilang kan,
bila menuruti keinginan hatiku, dirimulah yang
pertama-tama akan kuajak menemaniku, bukan
Nuning." "Ah, sudahlah." Yulia mengibaskan tangannya ke
udara. "Nah, apa yang harus kubawa?"
"Tikar, kalau ada."
"Oke. Kebetulan aku juga punya dua botol air
mineral yang belum dibuka." Aneh, membayangkan
akan berduaan lagi dengan Gatot memberi perasaan
senang dalam dirinya. Tanpa disadarinya ia mulai
bercanda. "Makanan kecil dan barang-barang kecil
lainnya?" Gatot tersenyum. Wajah Yulia ketika mengeluar-
kan kata-kata canda itu tampak bersinar dan sangat
cantik menurutnya. "Bawa tikarnya saja," sahutnya sambil tertawa.
"Nanti di jalan kita beli makanan kecil."
"Ya sudah, aku bawa air mineralnya saja."
" Di sepanjang Jalan Raya Puncak banyak toko dan
mini market. Nanti kita mampir beli sesuatu."
http://pustaka-indo.blogspot.com272
Yulia mengangguk. "Aku akan mengambil tas dan ganti sepatu."
Ketika Yulia ke ruang tamu lagi, tangannya su-
dah memegang segulung tikar dan dua botol air
mineral. "Kita naik motor besarmu lagi?" tanyanya.
"Kali ini kita naik mobil."
Yulia mengatupkan bibirnya, teringat kembali
bagaimana Gatot selama ini menyembunyikan ke-
adaan yang sebenarnya. Melihat lekuk bibir Yulia,
Gatot sadar Yulia teringat pada kekayaan yang dimi-
likinya. Karena itu lekas-lekas ia mengalihkan pikir-
an Yulia. "Ayolah, Yulia, jangan mempersoalkan dan ja-
ngan mengingat-ingat kembali yang sudah-sudah.
Kita ingin rileks, kan" Segeralah naik ke mobil dan
kita berangkat sebelum matahari tinggi."
Karena sadar apa yang dikatakan Gatot benar,
terpaksalah ia menahan lidahnya untuk tidak menyin-
dir Gatot. Bagaimanapun, naik mobil ke Cibodas
pasti lebih nyaman daripada naik motor.
"Baiklah. Karena kau datang mendadak begini,
biarkan aku sarapan dulu ya" Kau mau ikut sarapan
bersamaku" Ada nasi goreng istimewa buatan Ibu
May?" "Kalau tidak sedang terburu-buru, aku senang
sekali kauajak sarapan. Karena aku tidak ingin kehi-
langan waktu, kita berangkat sekarang saja. Soal
sarapan, nanti kita mampir di rumah makan. Ada
bubur ayam enak di sekitar Cibulan."
http://pustaka-indo.blogspot.com273
Yulia terpaksa mengiyakan. Setelah menaruh ti-
kar di bagasi dan Gatot membukakan pintu untuk-
nya, Yulia langsung masuk ke dalam mobil yang
interiornya cukup mewah. Joknya dari kulit dan
ada TV di bagian depan. "Kau benar-benar kaya, kulihat....," kata Yulia,
ketika mereka sudah berada di jalan raya. "Mobil
ini benar-benar nyaman. Serbalengkap dan me-
wah"." "Please, jangan mulai lagi," pinta Gatot.
"Aku cuma mengatakan sesuai kenyataan kok."
"Lalu, kau merasa asing terhadapku?" Gatot ber-
tanya kesal. "Untungnya tidak. Cuma saja aku masih merasa
kesal karena kau sengaja menyembunyikan kenyata-
an sebenarnya dariku, seakan-akan aku ini hanya
bisa menilai orang dari materi yang dimiliki."
"Sudah" sudah" jangan mulai lagi. Kita tutup
saja lembar cerita itu. Aku minta maaf sekali lagi bila
hal itu masih menjadi ganjalan di hatimu," kata Gatot
sambil menyeringai. "Lagi pula, aku ingat kau tidak
punya gudang persediaan yang isinya maaf."
Mendengar itu mau tidak mau Yulia tersenyum.
Ia memang pernah mengatakan hal itu ketika Gatot
minta maaf kepadanya. Ah, memang menyenangkan
pergi berduaan dengan kekasih hati. Akan halnya
Gatot, begitu melihat senyum yang merekah di bi-
bir Yulia, ikut tersenyum.
"Sudah lama aku merindukan senyum manismu
itu, Yulia".," komentar laki-laki itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com274
"Jangan merayuku. Tak mempan."
"Aku tidak merayumu, Yulia. Aku bahkan ingin
mengulangi kemesraan-kemesraan perjalanan sandi-
wara kita waktu itu. Manis sekali rasanya. Indah
dan..." "Kalau kau masih saja mengoceh macam-macam,
turunkan aku di sini. Perjalanan kita ke Cibodas
batal," Yulia memotong.
"Wah, penyakit lamamu kambuh. Galak, suka
mengancam." "Biar saja." Gatot tertawa. Tangannya menjangkau CD, ke-
mudian diputarnya. Tak lama kemudian terdengar
lagu-lagu yang manis. "Suka lagu-lagu begini, kan?" tanya Gatot.
"Suka." "Lagu-lagu klasik juga suka, kan" Ini aku bawa.
Aku tahu kau menyukainya. Aku pernah melihat
buku-buku musikmu banyak sekali lagu klasik-
nya." "Ya, aku memang suka sekali lagu-lagu klasik
maupun semiklasik. Namun, kurang cocok didengar
sekarang." "Ya. Apalagi kalau lagu-lagu itu keluar dari jari-
jemarimu. Asyik sekali mendengarnya. Aku bisa
betah berjam-jam mendengarnya."
"Kapan kau pernah mendengarku memainkan-
nya?" "Kalau cuma satu atau dua lagu, aku sudah per-
nah beberapa kali mendengar kau memainkannya.
http://pustaka-indo.blogspot.com275
Aku pernah memintamu memainkannya, kan" Ka-
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lau lebih dari setengah jam dengan beberapa lagu
baru sekali aku menikmatinya. Menyenangkan se-
kali." "Oh ya, kau pernah minta aku memainkan lagu
Edelweiss. Kapan kau mendengarkan aku memain-
kan banyak lagu" Aku tidak ingat."
"Waktu aku datang ke rumahmu, tetapi tidak
ada orang yang melihatku. Jadi, aku duduk di teras
menikmati permainanmu dari luar dengan diam-
diam. Rasanya seperti menonton konser."
"Sialan! Itu tidak sopan, tahu?"
"Gadis cantik tidak boleh mengumpat!" Gatot
tertawa lebar. Yulia tersenyum. Hilang sudah rasa asing yang
pernah dirasakannya terhadap laki-laki itu. Ia mulai
menyukai suasana santai yang terasa di pagi hari
itu. Sudah lama sekali ia tidak menikmati kedekat-
an dan suasana mesra seperti ini bersama Gatot.
Perjalanan ke Cibodas itu pun menjadi menyenang-
kan kendati ketika keluar dari tol jalanan agak se-
dikit macet. Gatot yang sedang gembira mulai me-
nyanyi mengikuti lagu dari TV kecil. Suara Gatot
ternyata bagus. "Ternyata suaramu bagus. Selama ini aku tidak
tahu kau suka menyanyi," komentar Yulia sambil
tersenyum. "Mana bisa aku menyanyi sambil naik motor.
Bisa jadi tontonan gratis." Gatot tertawa lembut.
Yulia tersenyum lagi. Ah, sudah berapa kali ia
http://pustaka-indo.blogspot.com276
tersenyum hari ini" Dua kali, tiga kali, atau lebih"
Berduaan dengan Gatot memang terasa menyenang-
kan. Apakah Gatot juga merasa senang" Tahukah ia
bahwa seperti perasaan Gatot terhadapnya, Yulia
juga masih amat mencintainya kendati berulang
kali mengatakan bahwa sebaiknya mereka berhenti
bertemu. Mobil yang dikendarai Gatot melaju di jalan
yang terus menanjak. Semakin ke atas udara kian
terasa segar. Merasakan itu Gatot menoleh ke arah
Yulia. "Bagaimana kalau AC-nya kumatikan dan mem-
biarkan udara segar masuk ke dalam mobil" Setu-
ju?" "Kenapa tidak" Apa pun hebatnya udara yang
diciptakan manusia, tak ada yang bisa menyamai
sempurnanya udara ciptaan Tuhan. Lagi pula, kalau
aku naik kendaraan umum kan tidak memakai
AC." "Oke." Selama perjalanan menuju tempat yang dituju,
mereka bisa mengobrol banyak hal tanpa sekali pun
menyinggung hal-hal yang bisa merusak suasana.
Di Cibodas mereka memilih tempat yang agak ter-
pencil, di atas hamparan rumput yang luas. Yulia
menggelar tikar di bawah pohon ketapang besar
yang berdaun lebar. Kemudian, diaturnya minuman
dan makanan yang mereka beli di jalan tadi.
"Nah, pikniklah kita hari ini," kata Yulia sambil
mengempaskan tubuhnya ke atas tikar. Nyaman
http://pustaka-indo.blogspot.com277
rasanya. "Meskipun udara di sini tidak sedingin
ketika aku masih kecil, tetapi dibanding kota Jakar-
ta yang pengap tempat ini sungguh kaya oksi-
gen." "Ya," Gatot menjawab, sambil meraih botol mi-
neral yang langsung dibuka kemudian diminumnya.
"Mmh, segar." Yulia meniru perbuatan Gatot. Minum air mine-
ral. Tiba-tiba ia teringat pada kejadian beberapa
bulan lalu, saat ia dan Gatot berduaan di dangau
dan nyaris kehilangan akal sehat. Rasanya telah
lama berlalu sejak mereka berpisah dan meninggal-
kan tanah luas milik keluarga Gatot. Sambil mena-
rik napas panjang karena merindukan saat-saat ma-
nis bersama Gatot, ia duduk memeluk lutut dan
mencoba mengalihkan perhatiannya ke kejauhan,
ke tempat rombongan anak sekolah yang sedang
bermain bersama guru mereka.
"Kok diam saja?" Gatot mengusik lamunan Yulia.
"Sepertinya ada kabut tipis lewat di dekat kita. Di-
ngin, ya?" "Sedikit," Yulia asal menjawab. Sebenarnya ia ti-
dak merasa dingin. Ia teringat pada cumbuan mere-
ka beberapa bulan lalu, dan teringat pada keputus-
annya untuk tidak bertemu lagi dengan Gatot demi
kebaikan semua pihak. Sekarang, mereka telah me-
langgar komitmen itu. Mendengar jawaban Yulia, Gatot menggeser du-
duknya mendekati Yulia. "Kuhangatkan dengan pelukanku ya" Kau sih ti-
http://pustaka-indo.blogspot.com278
dak membawa baju hangat," Gatot berkata dengan
suara lembut. Yulia gelisah. Hatinya berperang. Ia merindukan
pelukan Gatot. Sekarang laki-laki itu menawarkan
lengannya. Siapa yang tidak jadi bimbang, meski ia
sadar hal itu terlalu intim buat dua orang insan
yang bukan sepasang kekasih. Gatot dapat merasa-
kan kegelisahan hatinya. "Hanya pelukan, Yulia. Daripada kedinginan
begitu," kata Gatot dengan suara lembut. Kelihatan-
nya alam mendukung keinginan Gatot, sebab angin
gunung yang terasa sejuk tiba-tiba turun. Tubuh
Yulia menggigil tanpa ia mampu menahannya. Gi-
gilan yang sebenarnya bukan karena udara yang
dingin, melainkan karena dambaan yang ada di da-
lam hatinya. Karena Yulia tidak juga menjawab, Gatot segera
melingkarkan lengannya ke tubuh Yulia dan meme-
luknya erat-erat. Untuk beberapa detik lamanya
tubuh Yulia menegang, tetapi akhirnya pasrah dan
ia membiarkan Gatot memeluk tubuhnya. Agar
hatinya tidak terpengaruh pada kedekatan fisik yang
ada di antara mereka, Yulia mengalihkan perhatian-
nya ke arah jalan setapak di mana beberapa pasang
muda-mudi sedang berjalan sambil tertawa-tawa.
Gatot pandai memilih tempat, pikir Yulia. Ia
bisa memperhatikan orang-orang yang lewat di seki-
tar mereka, tetapi tidak sebaliknya. Tempat mereka
duduk, selain teraling beberapa batang pohon besar
http://pustaka-indo.blogspot.com279
juga diselingi tanaman-tanaman hias yang ditata
sedemikian rupa. Sedang Yulia memandang ke kejauhan, tiba-tiba
ia merasa wajah Gatot dibenamkan ke dalam kerim-
bunan rambutnya. Ia tersentak karenanya.
"Apa-apaan sih?" serunya. Jantungnya mulai ber-
pacu keras. Suara debarnya serasa memekakkan
telinga dan nyaris meledakkan dadanya.
"Aku cuma mau mencium aroma rambutmu.
Kau baru saja keramas dan memberi sentuhan
hairtonic ya?" Yulia mengangguk. Ia tidak berani bicara lagi,
takut terdengar getarannya.
"Mm" pantas, terasa wangi dan lembut di wa-
jahku," kata Gatot lagi, masih sambil menciumi
dan sesekali meraba permukaan rambut Yulia.
"Rambutmu indah sekali, Yulia. Sehat, hitam, lebat
dan ikal." Merasa tidak enak karena Gatot telah melakukan
sesuatu yang berlebihan bagi sepasang sahabat, Yulia
berusaha menghentikannya sebelum dirinya terha-
nyut dalam suasana mesra yang dibangkitkan Gatot.
"Rambutku biasa saja. Jangan berlebihan," kata-
nya, dengan suara bergetar. "Jangan kauciumi begi-
tu, ah. Risi, aku." "Jangan hentikan aku, Yulia. Apa yang kulakukan
merupakan luapan hati... didorong oleh perasaan
cintaku yang menggebu-gebu."
Yulia bermaksud mendorong dada Gatot, tetapi
tiba-tiba saja dengan kecupan bibirnya yang mema-
http://pustaka-indo.blogspot.com280
bukkan lelaki itu telah melumpuhkan kewarasan
otaknya dan melenyapkan keinginan Yulia untuk
protes keras. Bahkan, ketika laki-laki itu juga menge-
cupi dagu dan lekuk lehernya, Yulia membalasnya
tanpa disadari. Keduanya mulai saling memeluk,
mencium dan mengelus. Dunia seperti lenyap seke-
tika. Indra keenam Yulia merasakan betapa dalam
cinta laki-laki itu terhadapnya. Seluruh gerakan dan
bahasa tubuhnya begitu penuh perasaan dan kelem-
butan. Caranya mencium, mengelus dan memeluk
terasa menggetarkan. Desahan napasnya mengandung
berjuta rasa, sementara matanya yang semakin kelam
berlumur kemesraan yang amat pekat.
Yulia yang sesungguhnya ingin bersikap tegas,
mulai lupa diri. Yang ada di kepala dan hatinya
hanyalah menikmati cumbuan dari satu-satunya le-
laki yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tak ada
apa pun lagi di dunia ini yang ia cintai melebihi
Gatot. Tidak ada siapa pun di hatinya kecuali
Gatot. Bahkan, ketika bibir Gatot yang hangat tera-
sa mulai merambati leher, Yulia pun merintihkan
nama laki-laki itu dengan sepenuh perasaannya.
"Gatot"." Gatot tersentak. Desahan napas dan rintihan
Yulia yang mendesiskan namanya jelas mengungkap-
kan perasaan cinta Yulia kepadanya. Gatot sudah
tahu, bahwa Yulia mencintainya. Bahwa cinta itu
masih memenuhi hati, pikiran dan bahkan tubuh
Yulia sehingga tercetus lewat bibirnya. Ia baru me-
nyadarinya sekarang. http://pustaka-indo.blogspot.com281
"Yulia".," bisiknya kemudian, sambil mengecup
mata Yulia yang terpejam. "Terima kasih... kau ma-
sih mencintaiku." Mendengar kata-kata itu, tubuh Yulia yang semu-
la terasa hangat oleh gelora asmaranya mendadak
seperti disiram air es. Ia tersentak dan langsung
membuka matanya. Pandang mata kedua orang itu
pun saling bertaut, penuh kemesraan. Namun, ti-
dak lama. Yulia segera sadar diri bahwa perbuatan
mereka sudah kelewat jauh. Cara satu-satunya agar
Gatot tidak membiarkan harapan tumbuh di hati-
nya, ia harus mengingkari kenyataan sebenarnya.
"Cukup. Kita sama-sama sedang lupa diri," kata-
nya kemudian, sambil menarik tubuhnya dari peluk-
an Gatot. "Sama-sama terbawa suasana. Tempat
yang indah" udara yang sejuk" suasana yang ro-
mantis... telah menyingkirkan akal sehat kita."
"Aku melakukan semua tadi dengan penuh kesa-
daran, Yulia. Itulah ungkapan cintaku!" Gatot mem-
bantah. "Mungkin. Namun, aku tidak mencintaimu. Pera-
saan cintaku terhadapmu sudah mati beberapa bu-
lan yang lalu," dusta Yulia.
Gatot terpana beberapa saat lamanya, kemudian
dengan tatapan tajam ia memandang mata Yulia
sehingga wajahnya mulai merona merah.
"Kau bohong, Yulia. Tak mungkin kau bisa teng-
gelam dalam pesona kemesraan tadi bila tidak ada
cinta di hatimu!" katanya kemudian, dengan suara
menuntut. "Bersikap jujurlah!"
http://pustaka-indo.blogspot.com282
"Aku sudah jujur mengatakannya kepadamu tadi.
Bahwa" aku terhanyut suasana....," Yulia menja-
wab, sambil mengalihkan pandangannya ke tempat
lain. Ia tidak ingin Gatot tahu kebohongannya.
"Jadi... kau membalas perlakuan mesraku tadi...
karena pengaruh suasana" atau kau lebih dikuasai
sesuatu yang tak ada kaitannya dengan cinta. Begi-
tu?" "Yyyaa....," Yulia terpaksa menjawab sekenanya
saja. Gatot terdiam. Pandang matanya menembus wa-
jah dan bola mata Yulia, sehingga ia cepat-cepat
memejamkan matanya. "Jadi, kau benar-benar sudah tidak mencintaiku
lagi, Yulia?" "Ya... cintaku sudah hilang."
"Kau bohong, Yulia. Aku tahu betul, kau sedang
berbohong kepadaku."
"Aku tidak berbohong. Aku" aku memang ti-
dak mencintaimu." "Lalu, apa arti balasan ciuman dan kemesraanmu
tadi?" Gatot mendesak terus. "Karena faktor biolo-
gis?" "Ya." Mendengar jawaban yang tak masuk akal itu,
Gatot jadi semakin yakin bahwa Yulia telah berbo-
hong. "Kau bohong, Yulia. Sesungguhnya kau pun ma-
sih mencintaiku. Ya, kan" Jawablah dengan jujur!"
Yulia mulai tergagap. Matanya yang liar dan be-
http://pustaka-indo.blogspot.com283
sar, yang semula menatapi apa yang ada di sekitar-
nya kecuali membalas pandang mata Gatot, mulai
basah oleh air mata. "Jangan mendesakku begitu, aku... aku tak ta-
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
han. Kalau memang kau merasa yakin bahwa cinta-
ku kepadamu masih tetap berkobar" tolong itu
jangan kauucapkan. Jangan jadikan bahan pembica-
raan kita. Aku" tak sanggup mendengarnya. Du-
nia juga tak mau mendengar sesuatu" yang tak
pantas" diucapkan."
Mendengar suara Yulia yang bergelombang dan
isi kata-katanya yang menyiratkan perasaannya yang
terdalam, hati Gatot menjadi luluh. Ia tahu Yulia
memang masih tetap mencintainya. Namun, karena
sadar cinta mereka cinta terlarang, ia mencoba
mengingkarinya meskipun pengingkaran itu terasa
amat rapuh. "Yah... lupakanlah kata-kataku tadi, Sayang,"
bisiknya sambil mengecupi rambut Yulia. "Aku"
tidak akan mengucapkannya lagi."
Merasakan betapa besar pengertian Gatot, Yulia
ganti tidak tahan mendengarnya. Tangisnya mele-
dak, dan tanpa mampu menahan diri lagi ia mena-
ngis tersedu-sedu di dada Gatot. Seluruh tekanan
perasaan yang selama berbulan-bulan mengimpit
dadanya terluap ke luar dalam bentuk tangis.
Gatot membiarkannya. Ia memahami sepenuhnya
apa yang dirasakan Yulia. Ia sangat perasa dan emo-
sional. Dalam memadu cinta pun demikian. Yulia
juga termasuk orang yang sangat kuat berpegang
http://pustaka-indo.blogspot.com284
pada prinsip hidup yang dirasa paling benar. Oleh
karena itu, demi berpegang pada patokan nilai-nilai
yang diyakininya itu, ia tidak mau mengakui perasa-
an cintanya. Gatot merasa terharu. Karenanya ia
hanya bisa mengelusi rambut Yulia dan membiarkan
tangisnya tumpah semua. Lama kemudian baru Yulia mampu menguasai
dirinya. Perasaan malu mencekam hatinya, karena
ia bukan orang yang mudah mengeluarkan air
mata. Cinta telah menyebabkannya jadi perempuan
cengeng. Gatot yang sangat memahami perasaan Yulia,
mengambil saputangan dari pantalonnya, kemudian
diulurkannya kepadanya. "Hapuslah wajahmu yang basah, Yulia. Saputa-
ngan ini bersih," bisiknya. "Aku tidak ingin ada
orang melihatmu menangis di sini."
Yulia mengangguk. Setelah menghapus wajahnya
dengan saputangan milik Gatot, benda itu disim-
pannya di dalam tasnya. "Saputangan ini akan... kusimpan," katanya ke-
mudian dengan suara serak. "Biar aku selalu ingat
agar tidak lagi menangisi cinta."
Gatot mengangguk dengan penuh pengertian.
Pandang matanya lurus mengarah ke lembah yang
dipenuhi anak-anak yang sedang berlarian gembi-
ra. "Aku ingin pulang sekarang." Suara Yulia yang
masih saja serak mulai terdengar lagi.
"Oke...." Gatot mengangguk lagi. Ia tidak ingin
http://pustaka-indo.blogspot.com285
membantah apa pun perkataan dan keinginan
Yulia. "Jadi" kita tidak makan dulu?"
"Aku masih kenyang."
"Makanan kecil?"
"Tidak. Perutku terasa penuh."
"Jadi?" "Aku ingin segera pulang. Sekarang."
"Baiklah." "Sesudah hari ini, tolong jangan datang lagi men-
jumpaiku selama cincin pertunangan masih meling-
kari jari manismu. Aku tidak mau bertemu dengan-
mu bila tidak bersama Nuning," kata Yulia lagi.
"Aku pernah mengatakan hal ini kepadamu, kan?"
"Ya...." "Harus betul-betul dilaksanakan ya. Jangan hanya
untuk melegakan hatiku saja," kata Yulia lagi. Ada
tuntutan keras dalam suaranya.
"Baiklah," Gatot menjawab pelan.
"Bukannya aku kejam, tetapi ini demi kebaikan
kita semua," Yulia berkata lagi. Suaranya terdengar
menggetar lagi. Dengan susah-payah Gatot berusaha
mati-matian agar tidak merengkuh tubuh Yulia ke
dalam pelukannya. "Aku mengerti." Gatot juga ingin melampiaskan
tangis, sebenarnya. Kalaupun itu ia lakukan, apa
gunanya" Mereka bisa terjebak dalam persoalan
yang sama, yang hanya akan menyakitkan saja.
Sejuknya udara Cibodas, nyamannya situasi di
tempat itu dan pemandangan indah di sekitar mere-
ka, tak lagi terasakan olehnya. Ia tahu betul, apa
http://pustaka-indo.blogspot.com286
yang dikatakan Yulia merupakan suatu kepastian
yang tak bisa diubah. Bahkan, tidak ada kompromi
lagi. Jadi artinya, perjumpaan di antara mereka hari
ini merupakan perjumpaan yang terakhir kalinya.
Kecuali, jika ia datang bersama Nuning. Bujukan
apa pun yang akan dikatakan kepada Yulia untuk
mengajaknya pergi lagi, tidak akan didengar. Lebih
baik menjaga mati-matian daripada membiarkan
diri terperangkap lagi ke dalam pusaran cinta yang
ada. Mereka sama-sama menyadari kelemahan hati
masing-masing. Cinta yang menggebu-gebu bisa
menyebabkan mereka lupa diri. Bahkan lupa segala-
nya, termasuk melupakan komitmen mereka untuk
tidak lagi mengadakan pertemuan.
Dengan hati tertekan dan perasaaan yang amat
sedih, kedua insan itu pun pulang kembali ke
Jakarta. Suara musik yang terdengar lembut sepan-
jang perjalanan mereka pulang, seperti tangis hati
mereka. Menyayat-nyayat hingga ke lubuk hati.
Pesta mereka telah berakhir dan meninggalkan
kenangan teramat menyakitkan.
http://pustaka-indo.blogspot.com287
Dua minggu telah berlalu semenjak Gatot meng-
ajak Yulia ke Cibodas. Yulia selalu berusaha melupa-
kan Gatot dan menengggelamkan seluruh kenangan
bersama laki-laki itu jauh di sudut hatinya.
Memang berat dan tidak mudah melakukannya.
Seperti anak kecil yang baru pertama kali merasa-
kan betapa lezatnya sebatang cokelat dan tiba-tiba
direnggut dari genggamannya, Yulia juga mengalami
perasaan yang sama tatkala cintanya harus dibuang
jauh-jauh. Susahnya, Yulia tidak bisa menangis
sekeras-kerasnya seperti anak kecil yang kehilangan
cokelatnya. Ia perempuan dewasa yang tahu di
mana tempat dan posisinya. Kesalahan memang ada
pada dirinya, karena mencintai laki-laki yang sudah
bertunangan. Karenanya, ia hanya bisa memendam
kekecewaan di dalam sanubarinya.
Sering kali di malam-malam sepi ia tidak dapat
Delapan http://pustaka-indo.blogspot.com288
tidur. Hatinya seperti disayat-sayat membayangkan
Gatot sebentar lagi akan menjadi milik Nuning.
Gatot akan memberi kemesraan, ciuman, belaian
dan cumbuan seperti yang pernah diberikan untuk-
nya kepada Nuning. Bahkan lebih dari itu, karena
Nuning adalah istrinya yang sah. Tentu saja bayang-
an itu menyiksa batin Yulia. Sepanjang malam ia
tidur dengan pelbagai mimpi buruk yang menyebab-
kannya kurang tidur. Di siang hari pun ia kehilang-
an selera makan. Bahkan, terkadang konsentrasinya
mengajar juga mulai terganggu. Dalam waktu dua
minggu, ia sudah kehilangan bobot sekitar dua kilo-
gram. Apa yang dialami Yulia selama dua minggu ma-
sih belum apa-apa dibandingkan dengan kejadian
yang menimpa dirinya beberapa hari kemudian.
Siang itu, saat ia baru saja selesai mengajar dan se-
dang berjalan ke luar kelas, salah seorang muridnya
Amanat Marga 12 Rajawali Emas 44. Perjalanan Maut Brisingr 11
"Baiklah. Ceritakan secara singkat saja."
"Terima kasih atas kebaikan hatimu mau mende-
ngarkan ceritaku. Sebelumnya aku ingin tahu, pu-
kul berapa kau nanti harus mengajar piano?"
Yulia tersipu-sipu. "Sebetulnya hari ini aku tidak punya jadwal
mengajar musik," sahutnya terus-terang.
"Itu artinya, kau tadi hanya mencari alasan un-
tuk menghindariku," Gatot bergumam. "Nah, seka-
rang kau mau duduk manis dan mendengarkan se-
mua ceritaku, kan?" http://pustaka-indo.blogspot.com218
"Kaupikir aku belum duduk dengan manis?"
Yulia mendengus lagi. "Maksudku, aku ingin mengajakmu makan di
luar. Bicara dengan perut kosong kan tidak enak.
Bagaimana?" "Terserah. Terus terang perutku memang lapar."
Gatot tersenyum. Yulia memang perempuan yang
polos dan lurus-lurus saja pikirannya. Sungguh me-
nyenangkan berada bersamanya.
"Oke, kita makan di restoran lesehan ya" Aku
punya langganan rumah makan yang ikan gurame
gorengnya sangat lezat. Mau?"
"Kan aku sudah bilang terserah."
"Oke. Kita makan di tempat langgananku,"
Gatot memutuskan sambil mempercepat laju ken-
daraannya. "Aku yakin kau tidak akan menyesal.
Ikan gorengnya lezat, sambalnya sedap, dan gule
kepalanya enak." Rumah makan yang diiklankan Gatot tadi luas
tempatnya. Di luar juga disediakan sejumlah da-
ngau bagi para tamu yang ingin duduk lesehan.
Gatot mengajak duduk di dangau paling ujung,
menghadap empang yang dipenuhi aneka ikan. Sete-
lah memesan makanan, ia menatap Yulia beberapa
saat lamanya. "Sudah bisa kumulai ceritanya?" tanyanya kemu-
dian. "Ya." "Ceritanya kumulai dari awal perjumpaan kita di
kompleks pertokoan beberapa bulan yang lalu ya."
http://pustaka-indo.blogspot.com219
"Oke." "Sebelum pertemuan kita di emperan toko waktu
itu, kondisi hubunganku dengan Nuning menga-
lami krisis. Aku sedang jengkel sekali terhadap
Nuning. Kami bertengkar, entah untuk yang kebe-
rapa belas kalinya semenjak kami bertunangan. Kali
itu untuk pertama kalinya aku benar-benar serius
memikirkannya. Pada sore hari sebelum kita berjum-
pa di emperan toko saat berteduh waktu itu, aku
sudah mulai meragukan kelanjutan hubunganku
dengan Nuning. Berjam-jam lamanya sebelum per-
tokoan tutup, aku hilir-mudik di sana sambil mere-
nung dan menganalisa kembali segala hal menyang-
kut hubunganku dengan dia. Sejujurnya, saat itu
aku merasa sedih. Semakin lama aku mempelajari-
nya, semakin aku merasa yakin pertunanganku de-
ngan Nuning suatu kekeliruan besar. Bila dilanjut-
kan, tidak akan baik jadinya. Bagi dia sendiri
maupun bagiku. Nah, waktu sedang memikirkan
bagaimana caraku memutuskan pertunangan, lampu
di kompleks pertokoan itu mendadak padam. Be-
lum sempat aku berpikir apa pun tiba-tiba tubuhku
ditabrak olehmu. Ingat peristiwa itu, kan?"
"Ya, aku ingat."
"Waktu itu ada beberapa hal penting yang men-
jadi alasan bagiku untuk tidak melanjutkan pertu-
nangan kami. Pertama, belum lama bertunangan
saja aku sudah capek dan letih karena terus-terusan
menjaga perasaannya. Kedua, aku sadar betul bah-
wa sebenarnya sifat, kebiasaan, dan kesukaan kami
http://pustaka-indo.blogspot.com220
tidak cocok satu sama lain. Ketiga, aku mulai sadar
bahwa di antara kami tidak ada cinta sebagaimana
mestinya, sebab hubungan yang ada lebih banyak
demi kepentingan keluarga. Keempat, pola pikir
dan pola rasa kami terlalu lebar bentangan jarak-
nya. Kelima..." "Keluarga kalian kan bersahabat sudah lama seka-
li, dan hubunganmu dengan Nuning juga amat
dekat," Yulia menyela bicara Gatot yang belum
usai. "Kenapa ketidakcocokan itu baru terpikirkan
belakangan ini?" "Itu karena sebelum kami bertunangan, masalah-
masalah yang ada tidak kurasakan sampai ke hati.
Selama ini aku selalu menganggap Nuning sebagai
adikku sendiri, sehingga aku sering bersabar dan
mengalah kepadanya. Ketika kami sudah bertunang-
an, situasinya menjadi lain. Sebagai laki-laki nor-
mal, aku ingin mempunyai istri yang bisa diajak
bicara, yang bisa memberi dan menerima secara
timbal-balik, saling mengisi dan saling menyempur-
nakan. Pada kenyataannya, hubungan kami benar-
benar timpang." "Aku jadi tidak enak mendengar ceritamu. Bagai-
manapun juga, aku ini orang luar," Yulia menang-
gapi ucapan Gatot. "Aku tidak akan bercerita bila kau tidak kenal
siapa Nuning. Kau pasti masih ingat seperti apa dia
dulu." "Iya sih. Beberapa hari lalu waktu ia datang ke
rumahku, sikapnya yang mau menang sendiri, ang-
http://pustaka-indo.blogspot.com221
kuh, kurang menghargai orang, dan maaf... merasa
tak perlu bersopan santun terhadap orang-orang
tertentu masih saja seperti masa kecil dulu," sahut
Yulia terus terang. "Kau tidak usah sungkan-sungkan mengatakan
kebenaran. Memang seperti itulah Nuning, yang
sangat dimanja oleh orang-orang sekelilingnya. Sifat-
sifat masa kecilnya nyaris tidak berubah. Kau tadi
bilang Nuning merasa tak perlu bersopan santun
terhadap orang-orang tertentu. Apa maksudmu?"
"Orang-orang yang dianggapnya tidak selevel.
Termasuk aku. Sudah begitu, aku ini dianggap pe-
rempuan murahan. Begitu pula keluargaku."
"Aku sudah bisa membayangkan ucapan apa saja
yang dilontarkannya kepadamu. Ia memang keter-
laluan. Terhadap keluargaku pun ia memandang
sebelah mata, terlebih ketika aku dan adik-adikku
masih dalam keadaan morat-marit saat sedang meng-
angkat diri dari kebangkrutan yang dialami perusaha-
an ayahku. Ia bersikap seolah dirinya paling penting
dalam kehidupanku, sampai hal yang sekecil-kecilnya
pun ia mau mengatur. Padahal, ia belum menjadi
istriku." "Itu karena ia amat memperhatikanmu."
"Apa pun alasannya, hal-hal semacam itu sering
menimbulkan rasa tidak suka pihak keluargaku.
Terutama ibuku." "Kalau begitu, isilah sebaik-baiknya masa pertu-
nangan kalian untuk saling mengenal dalam arti
yang lebih mendalam, saling menyesuaikan diri."
http://pustaka-indo.blogspot.com222
"Tanpa kaubilang pun aku sudah melakukannya.
Sebaliknya, menurut anggapan Nuning masa pertu-
nangan adalah awal kepemilikannya atas diriku.
Kau pasti masih ingat, sejak dulu orangtua Nuning
sering menitipkan Nuning padaku, baik dalam hal
pengawasan pergaulannya maupun melindunginya.
Nah, setelah kami bertunangan sikap kepemilikan
itu semakin lama semakin berkembang. Begitupun
kemanjaannya berlanjut menjadi sikap dominasi,
aku harus menuruti apa pun kehendaknya. Ia ingin
menguasai, mengatur, dan menjadikan diriku milik-
nya. Oleh sebab itu, ia mudah sekali cemburu.
Bahkan, terhadap adik-adikku sendiri pun ia merasa
cemburu bila aku memperhatikan kebutuhan mere-
ka. Hal-hal semacam itulah yang menjadi penyebab
pertengkaran demi pertengkaran kami."
"Sudahlah. Aku tidak enak mendengarkan cerita-
mu. Lagi pula, tak baik menceritakan kekurangan
tunangan sendiri pada orang lain." Yulia semakin
merasa tak enak. "Aku mengerti perasaanmu. Aku perlu mencerita-
kan ini supaya kau bisa mengerti kenapa ia datang
ke rumahmu dan langsung melabrakmu. Seperti
yang sudah kukatakan tadi, ia cemburu dan iri ter-
hadap siapa saja yang dekat dengan diriku. Kau
masih ingat kan ketika aku menolak usulmu untuk
menceritakan pada Nuning mengenai sandiwara
kita menghadapi Hendra" Nah, itulah jawabannya.
Apalagi setelah ia tahu kau sekarang tidak lagi se-
perti gadis urakan."
http://pustaka-indo.blogspot.com223
"Dari mana ia tahu?"
"Dari aku. Ketika aku bercerita tentang perjum-
paan kita, ia ingin sekali tahu bagaimana dirimu
sekarang." "Misalnya?" "Ketika ia bertanya apakah kau masih... liar, aku
menjawab masih. Liar yang ada dalam pikirannya
tentu saja berbeda dengan liar yang kumaksud. Liar
menurut pandanganku adalah liarnya seekor ang-
sa." "Angsa?" Gatot agak tersipu ditanya seperti itu.
"Eh... sejak perjumpaan kita di pertokoan waktu
itu, aku memang menganggapmu seperti angsa liar.
Cantik, mandiri, lincah, liar," sahutnya agak terba-
ta-bata. "Maaf" tetapi itu positif kok. Pokoknya
lain dari yang lain."
"Ah, sudahlah." Yulia merasa malu. "Lalu, apa
lagi yang ditanyakannya?"
"Ia bertanya apakah kau masih cantik. Tentu saja
kujawab ya. Kau memang cantik, kan" Nah, sejak
itu bila aku menyebut-nyebut namamu, ia mulai
bertingkah menyebalkan. Aku tahu ia merasa cem-
buru dan pasti juga iri karena ingat padamu, yang
dulu disukai banyak anak laki-laki. Terutama karena
kau selalu memenangkan pertengkaran setiap adu
bicara dengannya." "Teman lelakiku kan senang kepadaku karena
aku bisa diajak bermain apa saja bersama mereka."
"Ya, aku tahu. Nuning juga tahu itu," jawab
http://pustaka-indo.blogspot.com224
Gatot. "Belakangan sesudah keluargamu pindah
dari Jalan Mahoni, aku mempunyai dugaan kuat
bahwa sebenarnya Nuning juga ingin sepertimu
bermain dengan bebas di alam terbuka. Akan teta-
pi, ibunya selalu melarang ia dekat-dekat dengan
anak laki-laki atau bermain yang dianggapnya ku-
rang pantas. Ibunya tak ingin keanggunan yang
berhasil terbentuk dalam diri Nuning ternoda. Ibu-
nya juga takut ia terjatuh lalu luka dan kulit mulus-
nya ternoda. Takut pula pakaiannya jadi kotor, dan
hal-hal semacam itulah. Kau pasti ingat semua
itu." "Ya, memang." "Nah, kembali ke persoalanku dengan Nuning.
Meskipun aku semakin lama semakin sadar bahwa
hubungan kami tidak sehat, tetapi tidak mudah
bagiku memutuskan pertunangan kami. Apalagi se-
tiap sikapku berubah sedikit saja, Nuning langsung
menyebut-nyebut namamu. Bisa-bisa kau terbawa-
bawa. Repot, jadinya."
"Bila memang sadar adanya jurang perbedaan di
antara kalian, kenapa kalian bertunangan?"
"Pihak keluargaku yang menyarankan," sahut
Gatot. "Kok aneh" Mereka sudah tahu kalian bukan pa-
sangan yang cocok, kan?"
"Ya, justru itulah kenapa keluargaku menyarankan
pertunangan sebagai upaya tidak menuruti keinginan
keluarga Nuning. Mereka maunya aku dan Nuning
segera menikah tanpa pertunangan lebih dulu."
http://pustaka-indo.blogspot.com225
"Kenapa orangtua Nuning ingin supaya anaknya
segera menikah denganmu?"
"Ada beberapa alasan yang kuketahui. Alasan per-
tama, karena mereka ingin Nuning ada yang melin-
dungi dan menemani hidupnya. Kedua, laki-laki
yang mereka anggap paling tepat untuk Nuning
adalah aku, yang sudah kenal baik siapa dia. Keti-
ga, ayah Nuning ingin segera mempunyai menantu
yang bisa menjadi tangan kanan di perusahaannya.
Aku dinilai pas untuk jabatan tersebut. Mereka
tidak percaya pada orang, selain diriku. Mereka
mengkhawatirkan masa depan Nuning."
"Kasihan," Yulia berucap tulus.
"Kau merasa kasihan kepada mereka, tetapi tidak
kasihan terhadapku. Aku terbelenggu."
"Nuning juga terbelenggu oleh sikap keluarganya
yang over protective itu lho. Karena kondisi yang
dibangun lingkungannya, terlalu banyak dilindungi,
diatur orangtua, ditakut-takuti ini dan itu. Meskipun
tujuannya supaya berhati-hati dalam bergaul, ia jadi
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak bebas menentukan dirinya sendiri. Lingkup per-
gaulannya juga sempit. Ia jadi tergantung pada orang-
orang terdekat, termasuk dirimu. Tidak heran bila ia
ingin memiliki dirimu seutuhnya."
"Aku sependapat denganmu. Sejak kecil, Nuning
memang terlalu banyak menggantungkan diri kepa-
daku. Mestinya sekarang sebagai gadis dewasa yang
sudah matang, ia harus bisa memilah-milah ajaran
mana yang bisa dipakai sampai tua dan mana yang
harus ditinggalkan."
http://pustaka-indo.blogspot.com226
"Harus ada orang yang bisa mengarahkan dia
untuk berpikir dan bersikap lebih dewasa dan man-
diri," kata Yulia dengan tulus hati. "Kurasa, kaulah
orang yang paling tepat untuk itu."
"Aku tidak sanggup. Menghadapi perempuan se-
perti Nuning yang setiap saat minta perhatian, se-
tiap menit menelepon hanya untuk hal-hal sepele,
lama-lama aku bisa gila."
"Maklumilah keadaannya."
"Masa aku harus terus-menerus memaklumi diri-
nya. Aku ini manusia biasa dengan pelbagai kebu-
tuhan. Bertahun-tahun aku telah memupuk sikap
toleran terhadapnya. Namun, hal itu justru mem-
buat Nuning malah jadi penjajah, dan aku menjadi
si terjajah." Gatot tersenyum sinis. "Aku sudah le-
lah menghadapinya. Sangat!"
Yulia terdiam. Bisa terbayangkan olehnya bagai-
mana kesalnya Gatot menghadapi Nuning. Apalagi
bukan sekali atau dua kali saja terjadi, tetapi sering
kali. Melihat Yulia terdiam, laki-laki itu melanjutkan
bicaranya. "Dalam keadaan seperti itulah aku bertemu kem-
bali denganmu. Rasanya bagaikan menemukan oase
di tengah padang gurun yang terik. Bersamamu
aku bisa mengobrol apa saja. Bersamamu aku bisa
tertawa dan adu argumentasi yang sehat dalam sua-
sana yang menyenangkan. Ada keasyikan tersendiri
yang kurasakan. Aku seperti dibius untuk melupa-
kan persoalanku. Bersamamu tidak ada suasana di
http://pustaka-indo.blogspot.com227
mana aku harus mengalah atau memanjakan bayi
besar yang suka ngambek. Aneh, kan?"
"Anehnya apa?" "Bersamamu, seluruh tekanan dan kekacauan ba-
tinku terbang semua," jawab Gatot apa adanya.
"Itu bukan hal yang aneh. Kau berjumpa dengan-
ku yang dalam banyak hal serba berbeda daripada
Nuning. Meskipun demikian, kau tidak boleh me-
makai itu sebagai pembenaran diri untuk mening-
galkan Nuning begitu saja. Ia gadis yang kurang
bergaul. Pahamilah itu."
"Justru karena itulah aku jadi bingung menentu-
kan bagaimana caraku memutuskan pertunangan
kami. Kalau ia masih saja berada di dekatku, itu
akan mempersempit peluang pemuda-pemuda lain
mendekatinya. Susahnya, ia sudah terbiasa dengan
kehadiranku. Tak bisa kubayangkan apa yang akan
terjadi padanya kalau pertunangan kami putus."
"Terkadang, cinta membutuhkan pengorbanan.
Setidak-tidaknya pemahaman dan maaf."
Gatot tertawa kering "Cinta" Ah, romantisnya," gumamnya dengan
nada tak enak. Yulia terdiam. Apalagi pelayan sudah datang
membawa makanan pesanan mereka. Gatot melirik
Yulia sesaat lamanya. Ia mengerti, Yulia pasti mera-
sa tidak enak setelah mendengar cerita Nuning dari
mulutnya. "Ayo kita makan dulu tanpa memikirkan hal-hal
yang tak menyenangkan. Rusak nanti selera makan
http://pustaka-indo.blogspot.com228
kita," katanya setelah pelayan selesai mengatur ma-
kanan yang mereka pesan. Yulia mengangguk dan mencoba sekuat tenaga
tidak terpengaruh suasana hatinya. Namun, ketika
isi piringnya sudah hampir habis, pikirannya tak
bisa lagi tercurah kepada makanan yang terhidang
di depannya. Masih banyak yang mengganjal di
balik dadanya. "Aku sedang berpikir-pikir... sebetulnya apa sih
maksudmu menceritakan hubunganmu dengan
Nuning kepadaku?" tanyanya.
"Supaya kau tahu betapa beratnya perjuangan
batinku yang rasanya seperti tak pernah ada usai-
nya." Gatot menjawab pertanyaan Yulia, sambil
melayangkan pandangannya ke luar. Tatapannya
tampak letih. "Aku sudah tahu sekarang. Menurutku, pasti
akan ada jalan untuk mengatasinya."
"Apakah kau bisa menduga mengapa sikapku ke-
pada Nuning bisa begitu sabar ketika kami masih
belum bertunangan?" "Aku tidak tahu persisnya."
"Itu karena aku selalu menganggapnya sebagai
adik. Ketika aku sudah menjadi tunangannya dan
menghadapi sikapnya yang semakin menyita seluruh
perhatianku, hatiku berontak. Bukan seperti dialah
istri yang kudambakan."
"Apakah sebelumnya hal itu tidak pernah kaupi-
kirkan?" "Kuakui memang pernah," sahut Gatot. "Namun,
http://pustaka-indo.blogspot.com229
tidak begitu kuhiraukan. Aku sudah terbiasa dengan
keberadaannya, sehingga pikirku kalau kami meni-
kah nanti kehidupan kami akan berjalan dengan
wajar, seolah sudah dengan semestinya. Ia cantik.
Ia pandai. Ia sudah dipersiapkan oleh ibunya untuk
menjadi ibu rumah tangga. Jadi, masa sih perasaan-
ku akan tetap berhenti di tempat dengan mengang-
gapnya sebagai adik, dan bukan sebagai perempuan
yang akan menggugah gairah asmaraku. Ternyata
aku keliru." "Apakah sebelum dengan Nuning, kau pernah
berpacaran dengan gadis lain?" Yulia bertanya tanpa
merasa sungkan. Ia ingin tahu isi hati Gatot.
"Pernah," Gatot menjawab pertanyaan Yulia.
"Dua kali. Berbeda dengan apa yang kualami bersa-
ma Nuning, dengan kedua pacarku terdahulu aku
tidak pernah mengalami perasaan tertekan. Putus-
nya hubungan kami juga bukan disebabkan adanya
keraguan yang berkaitan dengan sifat kami masing-
masing. Yang pertama, putus karena ia pindah ke
luar negeri dan di sana menemukan laki-laki lain.
Yang kedua, karena perbedaan prinsip hidup yang
paling mendasar. Kami beda agama."
"Jadi, setelah kau dan Nuning bertunangan, baru
kau sadar bahwa ada hal-hal penting yang seharus-
nya ada di antara kalian, tetapi pada kenyataannya
jauh dari harapan?" "Kurang lebih begitu."
"Lalu, kau ingin memutuskan pertunangan ka-
lian?" http://pustaka-indo.blogspot.com230
"Ya. Ternyata itu tidak mudah. Aku belum mene-
mukan kesempatan atau cara yang paling tepat agar
tidak menyakiti perasaannya. Baru saja aku bermak-
sud mengambil jarak secara bertahap, Nuning su-
dah seperti kebakaran rambut."
"Bisa kubayangkan."
"Lebih-lebih sekarang ini, karena masalahnya
menjadi lebih kompleks lagi."
"Kenapa?" "Karena ada orang ketiga."
"Orang ketiga?" Yulia mengernyitkan alisnya.
Apa maksudnya" "Ya, orang ketiga. Orang itu adalah kau!" Gatot
menjawab dengan suara tegas.
Yulia tersentak. "Aku" Aku orang ketiga?" serunya. "Kok aku?"
"Sssshh... jangan keras-keras bicaramu," Gatot
menoleh ke sekeliling. Untung tidak ada yang me-
merhatikan mereka. "Dengarkan aku, Yulia. Aku
akan melakukan pengakuan terhadapmu. Apakah
kau siap mendengarnya?"
Yulia mengangguk. Gatot mengumpulkan kebera-
nian di ujung lidahnya. "Selama kita bergaul" apalagi ketika kita ber-
main sandiwara di hadapan Hendra, terus terang
perasaanku amat senang. Hatiku berbunga-bunga
rasanya. Aku merasakan sesuatu yang tak pernah
kualami bersama gadis-gadis lain. Apalagi, bersama
Nuning. Setiap akan bertemu denganmu, hatiku
gembira sekali. Detak jantungku seperti sedang ber-
http://pustaka-indo.blogspot.com231
pacu membawa gairah kerinduan dan keinginan
segera berjumpa denganmu...."
Yulia terpana. Perasaannya jadi kacau-balau se-
hingga ia melarikan pandangannya ke tempat lain
dengan pipi yang pelan-pelan merona merah. Me-
merhatikan perubahan wajahnya, Gatot menarik
napas panjang baru kemudian melanjutkan bicara-
nya. "Maafkan aku, Yulia. Apa yang kukatakan tadi
adalah kenyataan. Jadi, tolong jangan salahkan aku.
Bagaimana bisa aku menolak datangnya perasaan
yang bagaikan air bah derasnya?"
Yulia tertunduk dengan perasaan semakin cam-
pur aduk. Apakah yang diucapkan Gatot merupa-
kan pernyataan cinta"
"Yulia, kau pasti tidak mengira bagaimana setiap
kali lenganmu melingkari pinggangku, jantungku
meloncat-loncat seperti mau copot. Belum pernah
aku mengalami gairah sedemikian rupa, sehingga
aku tak lagi mampu menahan diri ketika" ketika...
kita bercumbu di dangau dua bulan yang lalu." De-
ngan terengah-engah menahan perasaan, Gatot mu-
lai mengakui apa yang ada di dalam dadanya. "Kau
telah menganggap itu kotor" seolah aku hanya
dikuasai berahi kelelakian belaka. Seperti yang su-
dah kukatakan di dalam mobil tadi, aku jadi ter-
singgung sehingga tanpa sadar melontarkan kata-
kata tuduhan yang menyebabkanmu marah sampai
kau menamparku." Yulia tidak berani menanggapi perkataan Gatot.
http://pustaka-indo.blogspot.com232
Seluruh wajahnya tampak semakin merah padam.
Ia mulai memahami perasaan dan pikiran Gatot.
Jantungnya langsung bergerak liar menyebabkan
tubuhnya gemetar, karena sesungguhnya pengakuan
Gatot itu persis sama seperti yang dirasa dan di-
alaminya setiap kali ia bersama laki-laki itu. Apakah
Gatot mencintainya" Sudah beberapa waktu lama-
nya Yulia sadar bahwa dirinya mencintai Gatot.
Namun, apakah pengakuan Gatot tadi adalah ung-
kapan cinta, ia tidak berani memastikannya. Pernya-
taan itu tidak terucap. Gatot menatap wajah cantik yang tampak meme-
rah dan sedang tertunduk di hadapannya. Dugaan
yang selama ini timbul-tenggelam di hatinya, mulai
menunjukkan kepastian. Sedikit atau banyak, Yulia
juga mempunyai perasaan yang sama seperti diri-
nya. Mana mungkin gadis baik-baik mau dicumbu
laki-laki yang bukan apa-apanya bila tidak ada pe-
rasaan khusus di hatinya, bukan"
"Kuteruskan ya...." Sambil mencoba menyingkir-
kan sejenak pikiran itu, Gatot melanjutkan bicara-
nya. Kali ini suaranya terdengar serak, menahan
perasaan hati yang ada di dalam dadanya. "Aku
ingin menjelaskan kenapa waktu itu aku mengucap-
kan kata-kata yang membuatmu marah besar. Kau
pasti tidak mengerti, saat itu otakku benar-benar
sedang dikuasai rasa tersinggung akibat tuduhanmu.
Sadar atau tidak, kau telah memandangku rendah
seolah aku ini biasa bercumbu dengan perempuan.
Padahal sungguh mati, aku tidak pernah bertindak
http://pustaka-indo.blogspot.com233
segila seperti apa yang kualami bersamamu ketika
kita di dangau waktu itu. Terdorong oleh rasa ter-
singgung, dugaanku langsung saja melesat terlalu
jauh dengan pemikiran bahwa apa yang kauucapkan
merupakan refleksi dirimu. Kau telah mengukur
baju orang dengan ukuran badan sendiri. Apalagi
ketika itu aku mengira" kau janda muda yang su-
dah bertahun-tahun hidup seperti petapa. Sepercik
perkiraan pun tidak pernah singgah di otakku bah-
wa ternyata kau masih perawan. Oleh karena itu,
begitu tahu kenyataan sebenarnya hatiku jadi re-
muk-redam. Aku menyesal sekali telah mengucap-
kan perkataan yang tak kupikirkan lebih dulu."
"Kau langsung memandangku tinggi begitu tahu
aku masih perawan," Yulia berkata pelan. "Itu me-
nyakitkan hatiku." "Kau salah mengerti dan penilaianmu sangat ke-
liru. Aku menilai seseorang bukan karena keadaan
fisiknya atau tempelan-tempelan lain yang tidak
menyentuh nilai kemanusiaannya yang hakiki."
Gatot melanjutkan penjelasannya. "Aku menyesali
perkataanku karena ternyata kau bukan perempuan
yang mudah tergoda nafsu asmara. Bayangkan,
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hendra punya banyak kesempatan mengambil hak-
nya, tetapi kau bersikeras menjaga diri demi suatu
prinsip. Itulah yang menyebabkan aku menyesal.
Bukan karena kau masih perawan."
Yulia terdiam lagi. Wajahnya tertunduk. Namun,
wajahnya yang semula sudah mulai normal kembali,
kini merona merah lagi. Gatot tidak membiarkan
http://pustaka-indo.blogspot.com234
waktu berlalu begitu saja. Lekas-lekas ia meraih ke-
sempatan yang ada untuk melanjutkan bicaranya.
"Yulia, tidakkah kau mempunyai sedikit saja
kata-kata maaf untukku" Dua bulan lebih aku ber-
upaya mencari kesempatan mendengar kata maaf-
mu, tetapi selalu saja dihadang oleh keluarga dan
teman-temanmu. Sekarang aku ingin mendengarnya
langsung dari mulutmu sendiri," katanya.
Yulia menarik napas panjang, kemudian pelan-pe-
lan diangkatnya wajahnya. Mata mereka bertemu
di udara, "Aku sudah memaafkanmu sejak tadi. Jadi, kau
tak perlu merasa bersalah sampai sedemikian rupa,"
gumamnya. "Betulkah...?" "Kenapa kau ragu?"
"Karena aku merasa kau belum memaafkanku
sepenuhnya." "Aku sudah memaafkanmu sepenuhnya. Kalau-
pun ada yang masih mengganjal, itu tak ada kaitan-
nya dengan dirimu." "Apa pun itu katakanlah padaku."
Yulia menghela napas pajang lagi.
"Apa yang masih mengganjal di hatiku lebih ber-
kaitan dengan peristiwa traumatik masa kecilku.
Aku sadar, noda-noda yang dilakukan ibuku bersa-
ma Oom Hardi, dan Mbak Tiwi dengan Kak
Herman, telah mencampakkan nama harum keluar-
ga kami ke tepi jalan. Aku ikut terbawa getahnya.
Aku yakin ketika kau menuduhku terseret nafsu
http://pustaka-indo.blogspot.com235
biologis, pasti kau tidak berpikir sejauh itu. Entah
mengapa, aku merasa kehormatan dan harga diriku
terluka." Gatot tersentak. Dadanya seperti ditinju. Ternya-
ta bukan Yulia yang mengukur baju orang dengan
ukuran dirinya sendiri. Namun, sebaliknya. Kini ia
mulai memahami kemarahan dan luka hati Yulia
akibat perkataannya waktu itu. Pantaslah Yulia
tidak mau menemuinya dan membentengi diri agar
jangan sampai mereka bertemu.
"Aduh, Yulia, aku telah melukai hatimu ya?"
Gatot berkata dengan suara terbata-bata. "Ampuni-
lah aku. Percayalah, sama sekali aku tidak mengait-
kan pikiranku sampai sejauh itu."
"Aku percaya. Aku juga sudah memaafkanmu.
Jika harga diriku terluka, itu bukan salahmu. Aku
saja yang masih belum bisa melepaskan diri dari
penyakit kronis masa kanak-kanakku."
"Terlebih-lebih, Nuning datang melabrakmu de-
ngan kata-kata makian yang melukai harga dirimu."
Mendengar perkataan Gatot, sekali lagi Yulia
menghela napas panjang. Tiba-tiba saja ia merasa
amat letih. Mereka telah berbicara panjang-lebar,
dan sudah bisa saling memahami. Apa guna semua
itu" Hari esok toh masih akan tetap sama seperti
sekarang. "Sejujurnya, aku memang terluka oleh kata-kata
indahnya," kata Yulia kemudian, sambil mengibaskan
tangannya ke udara. "Sudahlah. Lupakan saja. Aku
tidak ingin memperpanjang masalah ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com236
"Baiklah, aku setuju." Gatot mengangguk. Ia
juga sudah tidak ingin membahasnya lagi. "Sebelum
kita meninggalkan rumah makan ini, berilah aku
kesempatan sekali lagi mengatakan sesuatu."
"Mengatakan apa?"
Gatot tidak segera menjawab pertanyaan Yulia.
Sebagai gantinya, laki-laki itu meraih telapak ta-
ngan Yulia. "Yulia, kau tadi sudah mendengar perasaan-pera-
saan yang menguasaiku berkaitan dengan dirimu,
kan" Aku yakin, entah sedikit atau banyak, kau
pasti sudah mempunyai dugaan apa penyebabnya.
Demi suatu kepastian, aku akan mengatakannya
secara jelas kalimat demi kalimat." Suara Gatot se-
makin lama semakin bergetar. Begitupun tangannya,
sehingga telapak tangan Yulia yang masih berada di
dalam genggamannya ikut bergetar. "Yulia, meski-
pun aku tidak menginginkannya, ternyata aku telah
jatuh cinta kepadamu. Bahkan, sejak awal perjum-
paan kita kembali, perasaan itu sudah mulai meng-
intip di hatiku." Yulia menahan napas. Dugaannya benar. Jadi,
ternyata bukan hanya dirinya yang mencintai
Gatot. Gatot pun mempunyai perasaan yang sama
terhadapnya. Bahkan, itu sudah terjadi pada pan-
dangan pertama setelah sekian belas tahun lamanya
mereka tidak berjumpa. "Tadi kau menyinggung masalah keperawanan
dan menganggapku terlalu mengagungkan hal itu,"
suara bergetar itu terdengar lagi ke telinga Yulia.
http://pustaka-indo.blogspot.com237
"Padahal, seperti pengakuanku tadi, aku sudah men-
cintaimu ketika aku masih mengira dirimu seorang
janda yang tidak perawan lagi. Jadi, sekali lagi, aku
sungguh mencintaimu apa adanya. Aku" tidak
tahu apakah perasaanku berbalas atau tidak. Yang
penting saat ini, aku telah menyatakan apa yang
kurasakan, sebab aku tidak ingin kau mengira cum-
buanku waktu itu tanpa perasaan cinta sehingga
kedengarannya jadi... kotor."
Hati Yulia bergetar. Bahkan, perasaannya begitu
berbunga-bunga setelah mendengar pengakuan
Gatot. Rupanya mereka sama-sama jatuh cinta. Na-
mun, seperti yang telah terpikirkan olehnya tadi, apa
arti semua itu buat kehidupan mereka, khususnya
bagi dirinya" Apalagi ia sadar betul, peristiwa serupa
telah terjadi kembali dalam kehidupan pribadinya. Ia
telah menjadi orang ketiga lagi, sama se-perti ketika
ia berhubungan dengan Hendra beberapa tahun yang
lalu. Bedanya, sehari sebelum pernikahannya dengan
Hendra dilaksanakan, ia baru tahu bahwa ternyata
dirinya adalah orang ketiga, orang yang muncul di
antara pasangan yang sudah menikah.
Namun, kini situasinya berbeda. Jauh-jauh hari
sebelum jatuh cinta kepada Gatot, Yulia tahu laki-
laki itu sudah bertunangan. Melanjutkan hubungan
dengan Gatot, bukan hanya tidak ada masa depan-
nya tetapi juga akan menghancurkan hati perem-
puan lain. Ia tidak mau itu terjadi. Apa pun alasan-
nya. Oleh sebab itu, ia tidak boleh membiarkan
perasaan mereka semakin berkembang. Bermegah-
http://pustaka-indo.blogspot.com238
megah di atas penderitaan orang, tak pernah masuk
ke dalam pikirannya. Dengan pikiran seperti itu, lekas-lekas Yulia me-
narik tangannya dari genggaman Gatot.
"Ini tidak boleh terjadi. Kau tidak boleh mencin-
taiku," katanya kemudian dengan suara tegas. "Kau
harus mengembalikan hatimu kepada yang berhak.
Yaitu, Nuning!" "Mengembalikan" Apa yang harus kukembalikan
kepada Nuning" Aku belum pernah mencintainya
dengan cinta yang seharusnya ada di antara sepasang
insan yang sudah mengenakan cincin pertunangan.
Sudah kukatakan berulang kali, aku menganggapnya
sebagai adik sendiri!" Gatot membantah.
"Kalaupun belum pernah mencintainya, tidak
seharusnya kau mencintai perempuan lain. Bahkan,
setelah sadar bahwa ternyata dirimu tidak mencintai
Nuning, semestinya dalam masa pertunangan kau
berusaha bisa mencintainya," suara Yulia semakin
terdengar tegas dan mendesak. "Perasaanmu kepada-
ku, pindahkanlah kepada Nuning."
"Memangnya cinta itu apa menurutmu, Yulia"
Makanan?" Gatot menjawab, dengan suara kesal.
"Perasaan paling indah kauanggap makanan yang
bisa dipindah di piring lonjong atau piring bulat.
Mana bisa sih" Apakah..."
"Kau jangan keras kepala!" Yulia menyela perka-
taan Gatot, sebelum laki-laki itu menyelesaikan
bicaranya. Ia sudah tidak sabar. "Ingat, saat ini kau
masih tunangan Nuning. Tidak pantas kau meng-
http://pustaka-indo.blogspot.com239
ucapkan pernyataan cinta kepada perempuan lain.
Mengerti?" "Tidak. Aku tidak mengerti. Aku hanya tahu
bahwa jauh sebelum kita bertemu kembali, aku su-
dah meragukan hubunganku dengan Nuning. Bah-
kan, sudah terpikirkan olehku untuk memutuskan
pertunangan kami." Gatot membantah lagi.
"Oke, itu bila ditinjau dari pihakmu. Sekarang
mari kita bahas dari sudut pandangku," Yulia masih
tetap ingin berusaha menyadarkan Gatot. "Aku su-
dah pernah mengalami bagaimana rasanya menjadi
orang ketiga, meskipun itu tidak kuketahui sebelum-
nya. Kau pasti bisa membayangkannya, karena kau
tahu sendiri bagaimana usahaku melepaskan diri
dari Hendra demi memperbaiki kesalahan langkah-
ku. Nah, aku tidak ingin hal itu terulang kembali
dalam hidupku. Satu kali sudah terlalu banyak un-
tukku. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga
lagi!" Gatot terdiam beberapa saat lamanya. Namun,
kemudian ia menengadah dan menatap mata Yulia
lekat-lekat. "Kau mengatakan begitu" karena tidak ada cin-
ta di hatimu," desahnya.
"Kau salah. Aku mencintai Mas Hendra pada
mulanya. Jadi, aku juga merasakan patah hati, mes-
kipun bisa segera kuatasi," Yulia menjawab apa
adanya. "Maksudku, kau bisa dengan tegas mengatakan
tidak akan menjadi orang ketiga di antara diriku
http://pustaka-indo.blogspot.com240
dengan Nuning, itu karena tak ada cinta di hati-
mu." "Kaupikir aku perempuan apa" Tanpa cinta kok
bisa-bisanya aku mau saja kaucumbu... ketika kita
di dangau waktu itu?"
"Maksudmu?" Meskipun dugaan itu begitu besar
di kepala Gatot, tapi ia ingin mendengar sendiri
dari mulut Yulia secara meyakinkan.
"Aku juga mencintaimu." Setitik air mata mulai
ikut menyela di antara pembicaraan mereka. "Te-
tapi... cinta" tidak harus memiliki, kan?"
Gatot mengulurkan lagi tangannya dan meraih
tangan Yulia sebelum ia mengelakkannya.
"Terima kasih, Sayang. Terima kasih....," katanya.
"Selagi masih hidup aku masih boleh berharap"
kita akan bisa bersatu."
"Bersikaplah realistis. Jangan karena berjumpa
denganku, kau lalu mengingkari janji pertunangan-
mu dengan Nuning. Bersikap kesatrialah."
"Yulia, kau tidak menyimak apa yang kukatakan
tadi," Gatot menjawab ucapan Yulia dengan perasaan
jengkel. "Aku sudah bercerita panjang-lebar kepada-
mu, bahwa sebelum aku bertemu denganmu kembali
keinginanku berpisah dengan Nuning sudah berkali-
kali datang dalam pikiranku. Ayolah, jangan memper-
berat langkah kakiku. Perasaan cintaku kepadamu
berdiri sendiri, di jalur lain hatiku dan... "
"Lalu apa maumu?" Yulia memotong perkataan
Gatot. "Terus terang, aku tidak tahu harus mengatakan
http://pustaka-indo.blogspot.com241
apa sekarang. Sebab bila yang ditanya apa mauku,
pasti jawabku adalah aku ingin menjalin hubungan
cinta bersamamu. Kalau ditanya apa yang akan aku
lakukan dalam kehidupan pribadiku nanti, jawab-
nya adalah aku tidak tahu harus bagaimana." Gatot
mengeluh. "Aku seperti bukan laki-laki dewasa,
kan" Bayangkan, membolos dari kantor dan meng-
ajakmu makan siang bersama tetapi tidak tahu apa
yang harus kulakukan esok atau lusa. Tolol ya?"
"Itu karena kau membiarkan dirimu tenggelam
dalam masalah yang kauhadapi sehingga pikiran
dan hatimu kacau, tidak tahu langkah apa yang
harus kautempuh. Rasiomu macet. Karena aku ber-
ada di luar masalahmu, mataku masih bisa terbuka
untuk melihat dengan lebih jelas. Saranku, kemba-
lilah kepada Nuning. Hindarilah perjumpaan de-
nganku"." suara Yulia mulai tersendat saat menga-
takan kalimat terakhir. "Sakit, memang. Sakit
sekali. Akan tetapi, itulah yang pantas dilakukan.
Jangan menyakiti hati orang lain."
"Kau tidak mengerti perasaanku, Yulia. Aku iba-
rat orang tenggelam di dasar danau yang dalam,
dan ketika nyawaku nyaris melayang... tiba-tiba saja
menemukan udara yang membuatku bisa bernapas
lega. Dalam kondisi seperti itu, masa aku harus
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan diriku tenggelam lagi?"
"Jangan egois. Jangan hanya perasaanmu sendiri
yang kaupentingkan. Akan ada banyak orang lain
yang terluka bila kau memutuskan pertunanganmu
dengan Nuning." http://pustaka-indo.blogspot.com242
"Kau benar, Yulia. Aku memang egois." Gatot
mengangguk. "Setelah bertahun-tahun lamanya aku
mengalah dan memenuhi keinginan orang lain, ti-
dak bolehkah aku sekarang menuruti hasrat hatiku
sendiri?" "Bagaimana caranya" Kau tadi bilang, tidak tahu
harus bagaimana. Sekarang setelah kuberi tahu, kau
tidak mau mendengarkan."
"Saat ini aku memang belum tahu harus berbuat
apa. Namun, ada satu hal yang bisa aku katakan,
yaitu biarkan aku menemuimu kapan saja aku me-
rindukanmu." "Tidak. Aku tak mau. Sudah cukup aku meng-
alami pahitnya menjadi orang ketiga. Aku tidak
ingin mengulanginya lagi." Selesai bicara seperti itu,
Yulia menggigit bibirnya sendiri. Kalau tidak, bibir
itu akan tampak gemetar karena sesungguhnya ia
juga masih ingin bertemu Gatot selalu. Namun, ia
harus bersikap adil dan tahu diri.
Gatot sempat melihat bibir yang bergetar itu. Ia
bisa memahami perasaan Yulia. Bertahun lalu, Yulia
hampir saja menjadi penyebab runtuhnya sebuah
perkawinan yang sudah membuahkan beberapa
orang anak. Sebagai orang yang sangat kuat meme-
gang prinsip-prinsip kebenaran, peristiwa itu pasti
menimbulkan kenangan yang teramat pahit.
Melihat Gatot terdiam, Yulia meraih tasnya, ke-
mudian menghabiskan es jeruknya yang masih terisi
setengah gelas lebih. "Aku akan pulang sekarang," katanya kemudian.
http://pustaka-indo.blogspot.com243
"Kita sudahi pertemuan ini. Demi kebaikan semua
pihak, lupakan apa yang pernah terjadi di antara
kita." Gatot melihat lagi bibir Yulia bergetar. Kalau
tidak ingat bahwa mereka berada di tempat umum,
ingin sekali ia meraih tubuh molek itu ke dalam
pelukannya. Jadi, Gatot hanya bisa menarik napas panjang,
memejamkan matanya sejenak kemudian meraih
kunci mobil yang ada di samping gelas minumnya.
Dalam situasi tak menentu begini, sangat tidak bi-
jaksana bila ia menentang kemauan Yulia. Karena-
nya, ia terpaksa berdiri dan mengekor di belakang
Yulia. Sesampai di pelataran parkir baru ia bersuara
lagi. "Yulia, izinkan aku mengantarkan sampai ke ru-
mahmu," pintanya dengan pandangan memohon
yang meluluhkan hati Yulia.
"Baiklah untuk kali ini. Tidak untuk lain kali."
Gatot mengangguk. Di jalan, mereka lebih ba-
nyak berdiam diri daripada berkata-kata. Kalaupun
berbicara, hanya pendek-pendek dan tak ada kaitan-
nya dengan apa yang terjadi di antara mereka. Na-
mun, hati kedua insan itu sama-sama bergemuruh.
Ketika mereka telah tiba di depan pagar rumah,
barulah Yulia menyinggung lagi masalah mereka.
"Aku tidak menyilakanmu turun ya. Memperpan-
jang pertemuan tidak ada gunanya dan tak akan
mengubah apa-apa dalam kehidupan kita. Terima
kasih atas makan siang yang lezat tadi, dan terima
kasih pula atas segala hal yang pernah kita alami
http://pustaka-indo.blogspot.com244
bersama. Simpan sajalah semua itu sebagai bagian
dari lintasan sejarah kehidupan kita, lalu lupakan-
lah." Usai berkata seperti itu, Yulia langsung turun
dari mobil, menutup pintunya dan bergegas menu-
ju rumahnya. Setelah mendorong pintu pagar, tan-
pa menoleh sekali pun buru-buru ia masuk ha-
laman dan menutup kembali pintu pagar.
Yulia merasa inilah akhir perjumpaannya dengan
Gatot. Namun, baru saja ia masuk ke kamarnya,
HP-nya berbunyi. Melihat nama Gatot yang ter-
pampang di layar, otaknya menyuruhnya agar sege-
ra mematikan ponselnya itu. Akan tetapi, dorongan
hatinya mengalahkan suara otaknya. Terdengarlah
suara Gatot yang bagaikan air bah di telinganya.
"Yulia, salah satu penyebab aku mencintaimu
adalah karena kau memiliki kepribadian menonjol
yang berbeda daripada perempuan-perempuan lain
yang pernah kukenal. Kau begitu lugas, tanpa ba-
nyak mempersoalkan hal-hal yang tak perlu dima-
salahkan. Kau mau diajak masuk dalam kondisi apa
pun, termasuk diajak prihatin. Ketika perusahaan
ayahku bangkrut, aku baru sadar betul bahwa kehi-
dupan manusia seperti roda berputar. Ada saatnya
kalah, ada saatnya pula menang. Dari kata-katamu
ketika kita mengobrol mengenai kehidupan, aku
mendapatkan banyak wawasan yang semula tak be-
gitu kupahami," begitu laki-laki itu bicara, nyaris
tanpa mengambil napas. "Jangan terlalu banyak memuji. Kalau kau mene-
mukan sedikit saja kekuranganku, kau akan kece-
http://pustaka-indo.blogspot.com245
wa," Yulia menanggapi perkataan Gatot. Namun,
tampaknya laki-laki itu masih belum puas. Seperti
air bah kecepatannya, Gatot segera melanjutkan
bicaranya. "Aku menyukai pandangan hidupmu yang kom-
promis, mau mencoba menerima apa pun keadaan
dan situasi yang ada sebagai kenyataan hidup yang
harus dijalani. Melihat bagaimana jelitanya dirimu,
dan menyimak kemampuan otakmu yang cemer-
lang, kau benar-benar bisa hadir sebagai sosok apa
adanya." "Jangan salah menilai."
"Aku benar-benar amat mengagumimu. Sayang
sekali kenapa kita baru berjumpa kembali sesudah
cincin pertunanganku dengan Nuning melingkari
jari manisku....," suara Gatot terdengar penuh pera-
saan. Hati Yulia tergetar karenanya. Namun, ia tidak
ingin memperlihatkan kelemahan hatinya. Lekas-le-
kas ia menanggapi lagi perkataan Gatot tadi.
"Kau belum mengenalku lebih mendalam. Seper-
ti perempuan lain di dunia ini, aku juga punya
banyak kekurangan. Seperti perempuan lain,
Nuning pasti juga mempunyai kelebihan. Kalau
kau belum melihatnya, cari itu. Kewajibanmulah
menemukan emas pada diri tunanganmu. Jadi, ja-
ngan berlebihan memujiku."
"Aku tidak sedang membahas Nuning. Yang ku-
bicarakan adalah dirimu. Aku sadar bahwa setiap
manusia tidak ada yang sempurna dan masing-masing
http://pustaka-indo.blogspot.com246
mempunyai kekurangan. Begitupun dirimu, aku su-
dah melihatnya. Kau galak, tangkas bicara, pemarah,
sulit dijangkau bagai angsa liar, berani menampar
orang dan memaki-maki bila kau menganggap itu
perlu demi memegang kebenaran dan keadilan," kata
Gatot tanpa peduli apa pun kata-kata Yulia. "Aku
mencintai seluruh kekuranganmu. Kedengarannya
memang romantis, tetapi sebenarnya itulah kenyataan
yang ada. Aku mencintai apa yang ada padamu. Kele-
bihan, kekurangan dan semuanya."
Pernyataan itu sungguh menyentuh hati Yulia
hingga ke kedalaman relung-relungnya. Namun, ia
malah jadi sedih. Sebenarnya seperti itu jugalah
yang dirasakannya terhadap laki-laki itu. Ia mencin-
tai Gatot apa adanya. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Namun, ia harus kuat menahan
diri. Oleh sebab itu, lekas-lekas ia memutuskan
pembicaraan lewat udara itu.
"Cukup, ya. Telingaku terasa panas. Baterai pon-
selku juga mulai melemah. Kita akhiri pembicaraan
kita. Terima kasih atas perasaanmu kepadaku. Sekali
lagi" terima kasih."
"Tunggu dulu, jangan matikan ponselmu," Gatot
yang sudah menduga Yulia akan mematikan HP-
nya, cepat-cepat menjawab ucapannya. "Yulia, boleh
atau tidak, suka atau tidak, aku akan datang men-
jumpaimu bila kerinduan hatiku tak tertahankan
lagi. Jangan melarangku."
Sebelum Yulia mempunyai kesempatan membalas
perkataan Gatot, laki-laki itu telah mematikan pon-
http://pustaka-indo.blogspot.com247
selnya. Yulia menatap benda itu dengan perasaan
campur aduk. Tanpa sadar air matanya mengalir
dan membasahi kedua belah pipinya yang mulus.
Alangkah peliknya kehidupan ini. Alangkah pelik-
nya hati manusia. Alangkah peliknya nasib dan
perjalanan hidupnya. Alangkah...
Memang segala yang terjadi di dunia ini serbapelik.
Betapa tidak" Dua minggu kemudian, ia diundang
makan malam seorang kenalan yang mengadakan
syukuran. Yulia pergi bersama Dedi, adiknya.
"Katamu cuma syukuran saja, Mbak." Dedi ber-
bisik, ketika mereka melihat betapa banyaknya tamu
yang datang dan makanan yang berlimpah dengan
iringan musik organ tunggal. "Kok ini pesta?"
"Namanya juga syukuran orang kaya," jawab Yulia
sambil tertawa. "Kita tidak memalukan, kan?"
"Wah, mana ada yang bisa mengalahkanmu sih,
Mbak?" Dedi menyeringai. "Pakaianmu modis dan
kelihatan mewah, meski terbuat dari bahan biasa.
Kau tampak cantik sekali. Tampangku lebih keren
daripada Ari Wibowo, kan?"
"Laut siapa yang menggarami?" Yulia tertawa,
sambil memijit hidung Dedi. Tepat saat itu ia meli-
hat Dahlia, bekas teman sekampusnya muncul di
dekat mereka. "Mesra betul sih kakak-adik ini," sapanya sambil
tertawa. "Apa kabar, Yulia" Apa kabar Ardi?"
"Ini Dedi, Dahlia."
http://pustaka-indo.blogspot.com248
"Oh, maaf. Wajah kalian mirip sih. Sama-sama
ganteng." Dahlia tersenyum. Mereka bersalaman
dengan hangat. "Kau semakin cantik saja, Dahlia."
"Tidak secantik dirimu, Yulia. Kusangka kau tadi
artis lho." "Jangan meledek!" Yulia tersenyum. "Eh, daripada
saling memuji yang tidak ada manfaatnya, aku ingin
mendengar bagaimana kabarmu sekarang. Masih
bekerja di perusahaan minuman terkenal itu?"
"Sudah tiga bulan lebih ini aku pindah ke per-
usahaan lain," jawab Dahlia.
"Wah, pasti lebih hebat daripada sebelumnya.
Padahal di perusahaan minuman itu kau sudah
menjadi sekretaris direksi, kan?"
"Ya, begitulah," jawab Dahlia sambil tertawa.
"Bukan karena itu aku menyukai pekerjaanku yang
sekarang. Suasana di kantorku yang sekarang ini
serba menyenangkan, hubungan antarkaryawan pe-
nuh kekeluargaan. Apalagi salah seorang pemilik
perusahaan sangat baik terhadap semua anak buah-
nya. Penuh pengertian pula."
"Aduh" jangan-jangan ada sesuatu yang muncul
di hatimu terhadap bos-mu itu," Yulia menggoda.
"Kalau aku belum punya kekasih, mungkin aku
bisa jatuh hati juga padanya. Orangnya ganteng,
lemah-lembut dan baik hati. Kaya-raya, pula."
"Jatuh hati juga?" Yulia mengerling. "Apa mak-
sudmu?" "Maksudku, banyak perempuan jatuh hati kepa-
http://pustaka-indo.blogspot.com249
danya. Sayangnya, bos-ku meskipun ramah dan
berwibawa, mengenai urusan pribadi agak keras.
Keramahannya bisa mendadak berubah menjadi di-
ngin bila ada perempuan yang berusaha mendekati-
nya. Mungkin karena kekasihnya cantik sekali."
"Hebat juga bos-mu itu. Bisa memisahkan antara
kantor, pekerjaan dan urusan pribadi," komentar
Yulia sambil lalu. "Siapa dia?"
"Namanya Gatot Prabowo."
Yulia yang semula hanya iseng bertanya, tersentak
begitu mendengar nama yang disebut Dahlia.
Nama orang lain yang kebetulan sama ataukah me-
mang orang yang sama" Namun, mana mungkin"
Gatot yang dikenalnya bukan orang yang kaya-raya
dan usahanya masih belum stabil setelah mengalami
kebangkrutan. "Gatot Prabowo" tanyanya iseng. "Rumahnya di
mana?" "Jalan Andalas nomor tujuh."
Yulia menahan napas. Gatot juga tinggal di jalan
yang sama. "Orangnya tinggi, gagah, dan rambutnya tebal?"
tanyanya lagi. "Ya. Dengan sedikit cambang. Kau kenal dia,
Yulia?" Dahlia meliriknya.
Bukan hanya kenal, kata hati Yulia dengan
pikiran kacau. Ternyata dunia begitu sempit.
"Yah" cuma kenal-kenal begitu saja," sahutnya
mengelak. "Ia bukan orang yang kaya-raya. Kaya,
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin. Kaya-raya sih tidak."
http://pustaka-indo.blogspot.com250
"Gatot Prabowo bos-ku, jelas kaya-raya, Yulia.
Mobilnya banyak dan semuanya mewah. Rumah
dan tanahnya di mana-mana. Perusahaannya yang
sedang berkembang sudah pula mulai melebarkan
sayapnya ke mana-mana, dan membuka cabang di
beberapa kota." "Kalau begitu, orang yang kita bicarakan beda
meskipun secara fisik apa yang kaugambarkan sama
seperti Gatot kenalanku yang cuma punya motor
besar dan mobil kantor yang tidak terlalu me-
wah." Mendengar perkataan Yulia, Dahlia tertawa.
"Kau tahu harga motor besarnya" Sama seperti
harga mobil. Ia memang suka sekali mengendarai
motor kesayangannya itu ke mana-mana."
Deg! Dada Yulia seperti dipukul martil besar.
Sakit sekali rasanya. Kenapa Gatot menyembunyikan
kenyataan sebenarnya" Kenapa laki-laki itu tidak
mau bersikap jujur kepadanya" Apa alasannya"
"Aku tidak yakin orang yang kaumaksud adalah
orang yang sama dengan kenalanku," Yulia pura-
pura acuh tak acuh. "Kenalanku tidak kaya kok.
Bos-mu pemilik perusahaan, kan?"
"Sebetulnya sih perusahaan keluarga. Ia yang me-
majukannya setelah beberapa waktu sempat bang-
krut." Hmm, jadi memang bos Dahlia adalah
Gatot yang dikenalnya. "Bos-mu berkantor di mana sih?" tanyanya ke-
mudian sambil lalu. Dahlia menyebutkan nama perusahaan dan seka-
http://pustaka-indo.blogspot.com251
ligus alamatnya pula. Diam-diam Yulia mencatatnya
dalam hati. Sekarang cukuplah yang ingin dike-
tahuinya. Dengan pandainya, Yulia mulai mengalih-
kan pembicaraan. Yulia merasa telah dibohongi.
Apa pun alasan Gatot menyembunyikan kenyataan
itu, sudah jelas laki-laki itu telah bersikap tidak ju-
jur terhadapnya. Pulang dari pesta, kepala Yulia seperti dijepit besi
rasanya. Berdenyut-denyut dan sakit sekali. Air
mata mengalir tak henti-hentinya dan membasahi
bantalnya, karena secara tiba-tiba ia merasa ada ju-
rang yang semakin lebar dan semakin luas terben-
tang di antara dirinya dengan Gatot. Laki-laki yang
belum lama ini menghujaninya dengan pujian dan
kata-kata indah terasa begitu jauh darinya.
Yulia merasa tidak tahan menanggungnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com252
Suara ketukan di pintu kelas yang terbuka menye-
babkan Yulia mengangkat wajahnya.
"Selamat siang, Ibu Yulia," salah seorang murid-
nya langsung menyapanya, begitu mata Yulia mena-
tap ke ambang pintu. "Selamat siang, Ani. Ada apa?" Ia sedang mengo-
reksi kertas-kertas ulangan para muridnya. Mata
pelajaran yang menjadi tugasnya sudah diselesaikan-
nya satu jam lebih yang lalu, tetapi ia belum mau
pulang. Lebih enak mengerjakan pekerjaannya di
kelas yang kosong begini. Sepi, tenang dan tidak
ada yang mengganggu. Di rumah, ada saja yang
menyita waktunya. "Ada yang mencari Ibu di luar sana," Ani men-
jawab sopan. "Siapa" Laki-laki atau perempuan, An?"
"Laki-laki," jawab Ani. "Itu lho, Bu, teman Ibu
yang sering menjemput dengan motor besar."
Tujuh http://pustaka-indo.blogspot.com253
Hampir saja Yulia menyuruh Ani berbohong de-
ngan mengatakan kepada Gatot bahwa ia sudah pu-
lang sejak tadi, tetapi segera dibatalkannya Tidak baik
mendidik murid berbohong. Apa pun alasannya.
"Tolong katakan untuk menunggu sebentar ya,
Ani," katanya kemudian. "Ibu selesaikan dulu satu
kertas ulangan ini."
"Beliau disuruh menunggu di ruang tamu guru,
Bu?" "Tidak usah. Sebentar lagi Ibu akan menemui-
nya." "Baik, Bu. " "Terima kasih."
Sepeninggal Ani, dengan perasaan enggan yang
luar biasa, Yulia terpaksa mengemasi pekerjaannya.
Menghindari Gatot terus-menerus lama-lama capai
juga. Oleh sebab itu, dengan memaksakan diri, ia
meninggalkan ruang yang semula terasa tenang dan
damai. Ini adalah pertama kalinya Yulia dan Gatot ber-
temu lagi setelah mereka berpisah lebih dari satu
bulan yang lalu. Sebenarnya ia tidak ingin bertemu
dengan laki-laki itu. Namun, di halaman sekolah
tempat murid-muidnya berada, Yulia tak bisa meng-
umbar perasaannya. Jadi, terpaksalah ia mencoba
bersikap wajar. "Apa kabar?" Gatot yang tahu persis perasaan Yulia tidak men-
jawab sapaan itu, tetapi malah melontarkan perasa-
an senangnya. http://pustaka-indo.blogspot.com254
"Sekarang aku tahu bagaimana cara yang paling
tepat menemuimu. Lewat murid-muridmu. Kau
pasti tidak bisa berbohong atau menyuruh mereka
berbohong demi menjaga wibawamu," katanya sam-
bil tertawa. Yulia tidak mau menanggapi perkataan Gatot. Ia
diam saja. Sekarang terasa betapa lebar jurang yang
ada di antara mereka. Ketika melihat Yulia hanya
diam, Gatot tidak ingin suasana tak enak itu menje-
rat dirinya. "Aku baru saja pulang dari Semarang, Yulia. Ku-
bawakan ikan bandeng asap untukmu."
"Terima kasih."
"Aku juga membawakanmu lumpia. Ada yang
basah, ada yang baru digoreng."
"Terima kasih."
"Sekarang ayolah naik ke boncengan motorku.
Kuantar kau pulang."
Yulia menurut dan langsung duduk di boncengan
motor besar yang menurut Dahlia harganya hampir
sama dengan harga mobil. Gatot yang mengira
akan menerima protes Yulia atau paling sedikit pe-
nolakan atas tawarannya mengantarkan pulang,
merasa heran. Bukan begini Yulia yang dikenalnya
selama ini. "Kau kelihatan lain hari ini," kata Gatot setelah
mereka berada di jalan raya, jauh dari pandangan
murid-murid Yulia. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," Yulia menjawab pendek.
"Kalau memang tidak ada apa-apa, kutraktir kau
http://pustaka-indo.blogspot.com255
makan siang ya" Aku yakin kau belum makan sesu-
dah selesai mengajar tadi. Mau, ya?"
"Terserah." Lagi-lagi tidak ada penolakan dari pihak Yulia
yang justru menyebabkan Gatot merasa asing.
"Aku merasa kau berbeda daripada biasanya.
Asing rasanya," gumamnya kemudian.
Yulia tidak menjawab. Di dalam hatinya ia me-
ngatakan bahwa rasa asing itu bahkan telah dirasa-
kannya jauh-jauh hari sebelum pertemuan mereka
siang ini. Karena tahu percuma saja mengorek isi hati
Yulia, Gatot terpaksa diam dan tanpa bicara apa-
apa lagi melarikan motornya ke sebuah rumah
makan di Jalan Pramuka. Tanpa banyak bicara
pula, ia minta Yulia menulis pesanan makanan yang
diinginkannya. Untuk kesekian kalinya Gatot me-
rasa heran, Yulia langsung melakukan yang diminta-
nya. Tanpa protes, bahkan tanpa membuang-buang
waktu. Lama-lama karena merasa tak tahan, Gatot
mengatakan keheranannya begitu pelayan rumah
makan sudah pergi dari dekat meja mereka.
"Kenapa hari ini kau tampak... amat berbeda?"
"Bedanya?" "Kau kelihatan aneh," Gatot menjawab terus-
terang. "Seperti bukan dirimu. Ada apa sih?"
"Karena kau juga terasa aneh dan asing bagiku."
"Di mana letak keanehan dan asingnya diriku?"
Gatot mengerutkan dahinya dalam-dalam.
"Kau benar-benar mau tahu apa sebabnya?"
http://pustaka-indo.blogspot.com256
"Ya. Tentu saja."
"Kalau begitu, aku akan memulainya dengan me-
lontarkan satu pertanyaan untukmu," Yulia mencon-
dongkan tubuhnya ke depan. "Kenapa kau suka
naik motor padahal di rumahmu ada banyak mobil
mewah dan di kantormu pun demikian."
Gatot terperanjat, tidak mengira akan mendengar
pertanyaan seperti itu. Matanya nyalang menatap
Yulia, nyaris tak berkedip. Baru kemudian ia mena-
rik napas panjang. "Kau" kau tahu dari mana?" tanyanya kemu-
dian. Sikapnya seperti prajurit kalah perang.
"Tidak penting dari mana aku mendengar hal
itu, karena letak masalahnya bukan di situ. Ada
prinsip kejujuran yang telah kaulanggar, padahal
kau tahu betul aku paling tidak suka dibohongi,
apa pun alasannya. Kalau orang lain yang menutupi
suatu kenyataan dariku, aku tak mau ambil pusing.
Kau yang kenal aku siapa dan tahu betul bagaima-
na diriku... bisa-bisanya menutupi itu seolah materi
begitu prinsip bagiku. Seolah aku begitu peduli kau
kaya atau miskin." Gatot tersandar di kursinya. Meremas pelan ram-
butnya sendiri, kemudian menarik napas panjang.
"Untuk satu kejujuran, aku memang sangat suka
naik motor. Ketika usaha ayahku bangkrut, aku
terpaksa naik motor ke mana-mana. Rasanya lebih
praktis, lebih enak, dan lebih cepat. Kecuali pada
saat musim hujan. Ketika aku sudah punya uang
lagi, kubeli motor besar ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com257
Yulia tidak memberi komentar apa pun. Ia me-
mahami apa yang dikatakan Gatot. Selama mereka
bergaul, laki-laki itu memang sangat suka naik mo-
tor dan amat menikmatinya.
Melihat Yulia hanya diam saja, Gatot merasa ti-
dak enak. Ia lebih suka melihat Yulia yang marah-
marah dan memaki-maki daripada Yulia yang diam
seperti patung. "Yulia, apakah kau masih ingat pada percakapan
kita waktu berjumpa pertama kalinya di emperan
toko, mengenai bangkrutnya perusahaan ayahku?"
tanyanya kemudian. "Ya." "Mudah-mudahan saja kau juga masih ingat apa
yang kaukatakan ketika menanggapi keadaanku
itu," Gatot berkata lagi. "Ada banyak komentarmu
mengenai pelbagai hikmah yang semula tidak kusa-
dari. Waktu itu aku benar-benar merasa senang
mendapat banyak wawasan baru darimu. Kau me-
ngatakan waktu itu bahwa setelah aku berhasil me-
nyelamatkan perusahaan ayahku pasti rasanya sa-
ngat manis, karena bisa merasakan nikmatnya
mendapat sen demi sen dari perasan keringat sendi-
ri dan perasan air mata. Itu sungguh-sungguh ku-
alami. Kaunamakan itu seni hidup dan aku setuju
seratus persen." "Kau tidak bercerita bahwa hasil upayamu itu
justru jauh melampaui apa yang pernah dirintis
oleh ayahmu." "Waktu itu aku tidak menyangka kita akan men-
http://pustaka-indo.blogspot.com258
jadi akrab, sehingga aku menganggap tidak perlu
menceritakan keadaan yang sebenarnya. Apalagi aku
benar-benar merasa bebas bergaul denganmu, yang
tidak melihat diriku ini siapa, apakah sebagai direk-
tur utama, sebagai pemilik perusahaan ataukah
orang biasa. Kau juga bisa menanggapiku dengan
amat menyenangkan ketika aku bercerita pernah
menjual motor bertahun-tahun lalu ketika harus
memasukkan salah seorang adikku ke universitas.
Katamu, berhasil menyekolahkan adik sampai men-
jadi sarjana karena jual motor terasa jauh lebih
berharga daripada membayar kuliah dari kelebihan
uang yang aku miliki. Dan memang seperti itulah
yang benar-benar aku rasakan."
Yulia hanya mengangguk, teringat pada percakap-
an mereka di emperan toko saat menunggu redanya
hujan hampir setahun yang lalu.
"Waktu itu kau telah membuatku merasa bangga
atas apa yang berhasil kurintis dari nol." Gatot ber-
kata lagi. "Padahal, semula aku menganggap itu
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Aku merasa
senang sekali atas perjumpaan kita kembali waktu
itu. Namun, ketika kau mengatakan bahwa kau ti-
dak suka dengan orang kaya, karena menurutmu
mereka sombong, snob, merasa status sosialnya lebih
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggi dan berkelas... cara menilai segala sesuatu
dengan tolok ukur materi, terus terang aku jadi ta-
kut kau menjauhiku karena" kekayaanku."
"Jadi, begitu caramu menilai dan mengukurku?"
Yulia berkata lugas. "Maksudmu?"
http://pustaka-indo.blogspot.com259
"Menurutmu, aku memakai ukuran materi untuk
menjalin persahabatan dengan seseorang" Kalau me-
reka kaya, aku tidak suka bergaul dengan mereka.
Kalau tidak kaya, aku suka bergaul dengan mereka.
Begitu" Betapa rendahnya penilaianmu terhadap
diriku. Kaupikir aku ini anak kemarin sore yang
bergaul dengan seseorang karena latar belakang me-
reka, dan bukan karena diri mereka sendiri apa pun
keadaannya?" Wajah Yulia tampak merah padam
menahan amarah saat berkata-kata.
"Jangan marah, Yulia. Waktu itu pikiranku me-
mang sedang goblok-gobloknya."
"Itu bukan hanya goblok, tetapi juga melecehkan
orang. Kaupikir aku ini orang aneh yang antimateri
dan harta benda" Sama seperti orang lain, aku juga
suka kekayaan, karena dengan uang ada banyak hal
bisa ditangani dengan lebih mudah. Akan tetapi,
bila harta benda dipakai sebagai tolok ukur untuk
menilai orang, aku benar-benar sangat benci. Kau
sendiri pernah bercerita kepadaku bahwa banyak
gadis yang suka mengejar-ngejar pemuda kaya dan
karenanya kau muak melihat mereka."
"Itu benar...."
"Ya, secara implisit kau bermaksud mengatakan
bahwa gadis-gadis yang tidak silau pada harta ben-
da adalah gadis-gadis yang baik dan pantas diajak
bergaul. Dengan kata lain, aku menempati peni-
laian tinggi di hatimu karena aku berbeda dengan
perempuan-perempuan lain yang silau harta benda.
Padahal, dengan begitu kau juga sama saja memakai
http://pustaka-indo.blogspot.com260
materi atau harta benda sebagai tolok ukur penilai-
anmu. Terus terang, aku merasa tersinggung karena-
nya." Gatot menggeleng-geleng. "Aku tidak seperti itu, Yulia. Kau terlalu picik
mengukur diriku," gumamnya kemudian.
"Faktanya, kau tidak mau menceritakan keberhasil-
anmu mengelola perusahaan ayahmu. Aku memang
pernah bilang benci pada laki-laki kaya yang memiliki
kedudukan, karena laki-laki seperti itu sering mere-
mehkan perempuan dengan menganggap mereka
mudah silau oleh harta benda. Padahal, yang kubenci
bukan materi itu sendiri, tetapi orang-orang yang me-
makai materi sebagai tolok-ukur untuk menilai sese-
orang." "Sudahlah, Yulia. Kita tidak usah memperpanjang
masalah ini. Percayalah, sama sekali aku tidak me-
nilai dirimu melalui kacamata harta-benda atau
materi. Aku cuma tidak ingin ada ganjalan di anta-
ra kita, karena masalah kedudukan dan keberhasil-
anku merintis karier."
"Ganjalan?" Yulia menjawab ketus. "Serendah
itukah aku menempatkan suatu perasaan?"
"Ah, aku salah bicara lagi. Sudahlah, Yulia, aku
segan berbantah kata denganmu. Asal kau tahu
saja, sama sekali aku tidak bermaksud merendahkan
atau melecehkan dirimu. Kusadari ataupun tidak."
"Aku juga lelah berbantah kata. Jangan mengira
aku antikekayaan. Sekali lagi, aku cuma tidak suka
terhadap orang yang menata sikap atau perilakunya
http://pustaka-indo.blogspot.com261
dengan landasan materi, kedudukan, pangkat, dan
jabatan." "Sudahlah, Yulia, kita akhiri perbantahan ini.
Aku minta maaf... beribu-ribu minta maaf bila aku
kauanggap melecehkanmu...."
"Aku tidak punya gudang tempat persediaan
maaf. Kau telah memandangku lewat ukuran yang
kaubuat sendiri, sehingga aku merasa asing. Kau
yang kukenal selama ini ternyata kau yang lain"."
Karena belum puas melampiaskan kekecewaannya,
Yulia melanjutkan pembicaraan. "Itulah yang menye-
babkan aku merasa asing terhadapmu. Rasanya, aku
tidak mengenalmu." Mendengar perkataan Yulia, Gatot merasa seperti
ada pukulan menyakitkan di ulu hatinya. Ia mulai
sadar sekarang kenapa Yulia marah kepadanya, dan
kenapa Yulia berusaha menjauhinya.
"Rupanya aku masih harus belajar banyak dari-
mu".," gumamnya. "Aku benar-benar tidak me-
nyangka... telah membuatmu merasa terlecehkan."
Yulia menggeleng. "Yang harus kaupelajari bukan dariku, tetapi dari
kehidupan yang kita alami setiap hari, di mana ada
banyak kearifan dan pemahaman makna kehidupan
yang sesungguhnya." "Aku takluk padamu, Yulia. Kau benar-benar pe-
rempuan yang sangat istimewa....," Gatot berkata
dengan suara menggeletar.
"Jangan berlebihan memujiku."
http://pustaka-indo.blogspot.com262
"Tidak berlebihan, Yulia. Semakin kukenal diri-
mu, semakin aku mengagumimu...."
"Aku tidak suka kaupuji," jawab Yulia dengan
cepat. "Jadi tolong, hentikan itu. Apalagi semua
yang kukatakan bukan sesuatu yang istimewa. Ada
banyak perempuan yang berkemampuan melebihi
diriku." "Mungkin. Akan tetapi, kekagumanku hanya
padamu, Yulia. Tidak pada perempuan lain apa pun
kehebatan mereka. Itu karena aku mencintaimu.
Amat sangat." Suara Gatot terdengar bergetar, se-
hingga mau tak mau perasaan Yulia tersentuh men-
dengarnya. "Sudahlah, sebaiknya hal-hal semacam itu tidak
usah dibicarakan lagi," Yulia menarik napas pan-
jang, merasa tak enak. Untungnya ia melihat pela-
yan sedang berjalan membawa baki berisi pesanan
makanan mereka. "Lihat itu, pesanan makanan kita
sudah datang." "Kalau begitu, kita makan siang dulu."
Mereka makan tanpa banyak bicara seperti tadi.
Kalaupun bicara, yang mereka percakapkan tidak
ada kaitannya dengan pembicaraan mereka sebelum-
nya. Keduanya sama-sama menjaga jangan sampai
selera makan mereka patah. Baru setelah makan
siang usai, Gatot melanjutkan bicaranya tadi.
"Mulai hari ini aku akan lebih mawas diri," kata-
nya. "Seperti kata-katamu tadi, memang seharusnya
aku lebih banyak belajar dari kehidupan."
"Kalau kita jeli dan peka, kehidupan merupakan
http://pustaka-indo.blogspot.com263
tempat pembelajaran yang paling baik dan paling
kaya." "Ya, kau benar." Gatot menarik napas panjang
lagi. "Yulia, rasanya aku semakin tak bisa lepas dari-
mu. Izinkan aku tetap mencintaimu dan sesekali
menjumpaimu seperti ini."
"Kau baru saja bilang ingin belajar dari kehidup-
an. Sekarang, kenapa kau seperti lupa bahwa aku
ini bukan siapa-siapa dalam kehidupanmu. Ada
Nuning yang akan menemani hidupmu. Belajarlah
mencintainya dan meniti kehidupan masa depanmu
bersama dia. Aku berada di luar pagar. Ingat itu."
Usai berkata, Yulia melihat arlojinya. "Aku harus
segera tiba di rumah. Menjelang sore ada muridku
yang akan datang ke rumah untuk belajar piano.
Ini betul, bukan dalih untuk menghindarimu."
"Kuantar pulang ya biar cepat sampai rumah?"
"Tidak perlu. Aku akan naik taksi. Kebetulan
habis dapat honor," Yulia bersikeras pulang sen-
diri. "Baiklah kalau begitu," Gatot mengalah. "Akan
tetapi, bila sesekali aku ingin bertemu denganmu,
janganlah aku kautolak."
"Aku ingin kita jangan lagi bertemu agar perha-
tianmu bisa tercurah sepenuhnya kepada Nuning.
Jadi, jangan mempersulit keadaan," Yulia menjawab
dengan tegas. "Nah, hargai komitmen kita."
"Oke. Namun, jangan salahkan bila aku tidak
bisa mencintai Nuning. Cinta tak bisa dipaksakan,
Yulia," Gatot berkata dengan suara keras. "Cinta
http://pustaka-indo.blogspot.com264
datang begitu saja. Jadi, juga jangan salahkan bila
aku sangat mencintaimu."
Yulia terdiam. Di dalam taksi, ia termangu-ma-
ngu sendirian ketika perkataan Gatot terngiang
kembali di telinganya. Gatot benar. Cinta memang
tidak bisa dipaksakan datangnya dan tidak bisa di-
paksa pula perginya. Datangnya seperti pencuri.
Tak diketahui kapan datangnya, tiba-tiba saja hati-
nya sudah dibawa pergi. Meski dalam keadaan sa-
dar ia tahu mencintai Gatot adalah suatu kekeli-
ruan, tetapi dalam keadaan tak sadar bagaimana ia
bisa menghindarinya" Perasaan cinta tiba-tiba sudah
tertanam di hatinya, dan sudah tumbuh berkem-
bang meluas dalam sanubarinya. Namun, karena
itu cinta terlarang, ia harus berani menyingkirkan-
nya, entah bagaimanapun caranya.
Yulia boleh merasa bangga bisa memiliki ketegasan
melarang Gatot menjumpainya, karena sadar bahwa
dirinya berada di luar pagar. Namun, jauh di relung
hatinya, ia harus jujur mengakui bahwa ketegasan itu
sebenarnya lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Sebab, kalau mereka masih sering bertemu akan sema-
kin sulit baginya menjauhi laki-laki itu. Bahkan,
kalau mau jujur sebenarnya perasaan tersinggung dan
asing yang dirasakannya saat mengetahui bahwa
ternyata Gatot sangat kaya dan mempunyai kedu-
dukan pun dilandasi rasa kecewa, karena ternyata
mereka berada di dua kutub yang berbeda. Bukankah
dengan demikian sebenarnya ia sendiri pun memakai
tolok ukur materi untuk menilai suatu hubungan,
http://pustaka-indo.blogspot.com265
bukan" Mengingat hal itu, Yulia merasa malu pada
dirinya sendiri. Ketegaran yang berhasil diperlihatkan
kepada laki-laki itu adalah ketegaran yang palsu. Kebi-
jaksanaan yang membuat Gatot semakin menga-
guminya, hanyalah sesuatu yang rapuh. Sebab, sebe-
narnya ia juga masih ingin selalu bertemu dengan
Gatot. Hasrat untuk dihangati pelukan seorang laki-
laki, ada dalam hatinya. Ironisnya, laki-laki itu berna-
ma Gatot Prabowo. Dirinya tidaklah seistimewa seperti yang dikata-
kan Gatot. Justru karena itulah ia meminta Gatot
tidak lagi datang menjumpainya. Hal itu bukan
hanya karena ia ingin agar Gatot mengembalikan
perhatiannya pada Nuning saja, tetapi terutama ka-
rena ia menyadari kelemahan dirinya sendiri. Cinta-
nya kepada laki-laki itu bisa menyingkirkan akal
sehat dan kewarasan otaknya, dan bisa membahaya-
kan hubungan Gatot dengan Nuning. Padahal, ia
benar-benar tak ingin menyela di antara mereka
dan menjadi orang ketiga. Apalagi Gatot sudah
tahu bahwa ia juga mencintainya. Mudah-mudahan
saja laki-laki itu bisa memegang komitmen mereka
untuk tidak lagi bertemu.
Namun sayang, suatu pagi di hari libur ketika Yulia
keluar dari kamar setelah mandi, Oom Hardi bilang
di ruang tamu ada Gatot sedang menunggunya. Ia
terkejut. Ini tidak boleh terjadi. Sejak makan siang di
Jalan Pramuka tiga minggu lalu, mereka tidak pernah
http://pustaka-indo.blogspot.com266
bertemu lagi. Bahkan saling mengirim SMS pun
tidak. Yulia tidak menghendakinya.
"Sejak kamu baru masuk kamar mandi tadi ia
sudah menunggumu," kata Oom Hardi. "Temuilah
dia. Apa pun alasannya harus kauhadapi. Menghin-
darinya terus-menerus bukan pemecahan masalah
yang baik." "Baik, Pak." Yulia tidak ingin berbantah kata de-
ngan ayah tirinya. Sama seperti ibunya, laki-laki itu
juga lebih suka bila Yulia menghadapi apa pun
yang tak menyenangkan demi menunjukkan kete-
gasan dan kejelasan sikap. Menghindar terus bukan
cara yang baik untuk menyelesaikan masalah.
Saat Yulia menemui Gatot, ia mengenakan jeans
warna putih dengan blus longgar model kemeja
berwarna dasar merah dengan bunga kecil-kecil pu-
tih yang cantik dan begitu pantas membalut tubuh-
nya yang elok. Ia tampak sangat segar seperti gadis
remaja. Melihat keindahan di depannya itu Gatot
menatapnya tanpa sedetik pun mengejapkan mata
sehingga Yulia merasa canggung.
"Ada perlu denganku?" tanyanya, tanpa peduli
apakah pertanyaan itu sopan atau tidak. Gatot ha-
rus tahu, ia telah menyalahi komitmen mereka un-
tuk tidak lagi bertemu. "Aku rindu kepadamu, Yulia." Gatot tersenyum
mesra. "Kurasa, hari ini kita sedang mempunyai
selera sama. Lihat pakaianku."
Yulia menatap pakaian Gatot. Laki-laki itu me-
ngenakan jeans warna broken white dengan kaus
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://pustaka-indo.blogspot.com267
berwarna merah tua. Baru sekali ini Yulia melihat
Gatot berpakaian sesantai itu. Ia tampak tampan
dan segar. Menyaksikan itu, pipi Yulia mulai mero-
na merah. "Kebetulan," gumamnya agak tersipu.
"Kebetulan yang serasi," kata Gatot sambil terse-
nyum manis. "Yulia, tujuanku datang ke sini sebe-
narnya ingin mengajakmu jalan-jalan ke suatu
tempat yang menyenangkan."
"Untuk apa?" "Kok untuk apa. Tentu saja untuk mendapatkan
suasana santai, tenang, dan udara segar," Gatot me-
nyeringai. "Yulia, aku baru saja pulang dari dinas
keliling Indonesia, dua minggu lebih lamanya. Aku
lelah, stres, dan bosan. Apakah aku tidak boleh
mencari suasana yang sama sekali lain?"
"Tentu saja boleh dan bahkan harus. Orang ti-
dak bisa bekerja terus-menerus. Bisa jebol otaknya.
Kenapa tidak mengajak Nuning saja?"
"Sudah kuajak. Ia menolak dan malah minta aku
mengantarkannya belanja beberapa keperluan."
"Belanja kan juga bisa dijadikan acara santai
yang menyenangkan" Kenapa tidak kauturuti saja
keinginannya." "Kau belum pernah pergi berbelanja dengan
Nuning, jadi bisa bilang begitu. Nuning bila belanja
bisa seharian. Di sela-sela belanja, makan siangnya di
suatu tempat lalu makan malamnya di tempat lain
lagi. Itu benar, Yulia. Aku tidak mengada-ada. Ia gadis
manja dan maunya diperhatikan."
http://pustaka-indo.blogspot.com268
"Jangan menceritakan kekurangan orang di de-
panku!" Yulia memberi komentar sengit.
"Kalau begitu, jangan menyuruhku mengikuti
kemauan Nuning. " "Apa salahnya mendampingi tunangan belanja?"
"Kan bisa hari lain. Ia tahu aku baru saja kembali
ke rumah kemarin sore setelah dua minggu lebih
bekerja tanpa henti di kantor-kantor cabang kami.
Tega-teganya ia menyuruhku menemaninya belanja.
Apalagi aku sudah lebih dulu mengajaknya jalan-jalan
mencari udara segar. Bukan di pertokoan yang pasti
penuh orang di hari libur begini. Aku ini butuh
refreshing, bukan jadi pengiring gadis manja."
Yulia terdiam. Ia mengerti bagaimana kesalnya
perasaan Gatot. Nuning memang keterlaluan, pikir-
nya dalam hati. Sifatnya masih saja seperti masa
kanak-kanaknya. Masih teringat jelas olehnya bagai-
mana Nuning kecil dulu sering merengek-rengek
pada ibu atau ayahnya bila menginginkan sesuatu.
Heboh sekali. Anak-anak lain sering menontonnya
berguling-guling di lantai. Begitu orangtuanya me-
menuhi kemauannya, mendadak sontak air muka-
nya menjadi cerah. "Kau bisa memahami keadaanku, kan?" Terde-
ngar oleh Yulia, Gatot bicara lagi. "Nah bagaimana,
kau mau menemaniku mencari suasana santai?"
"Masalahnya bukan mau atau tidak, tetapi pantas
atau tidak. Tak pantas aku menemanimu jalan-ja-
lan. Lagi pula, komitmen kita masih tetap berlaku.
Jadi, sebaiknya kita tidak pergi berduaan."
http://pustaka-indo.blogspot.com269
"Aku benar-benar membutuhkan suasana yang
bisa membuatku segar kembali, sehingga besok aku
bisa bekerja dengan tenaga yang baru," kata Gatot
penuh harapan. "Mau ya, menemaniku?"
"Kalau kau bisa telaten membujukku begini, ke-
napa kau tidak melakukan hal yang sama pada
Nuning, sampai akhirnya ia mau kauajak menemani
jalan-jalan mencari udara segar?"
"Yulia, kau tadi bilang tidak mau mendengar aku
menceritakan kekurangan orang, kan" Jadi, jangan
tanyakan hal itu. Aku tak mungkin mengemis belas
kasihanmu seperti ini kalau berhasil membujuk
Nuning. Ia keras kepala."
Yulia terdiam lagi. Kali ini Gatot tidak membiar-
kannya. "Aku yakin kau bisa membayangkan bagaimana
Nuning menolak keinginanku mentah-mentah. Se-
karang aku datang ke sini meminta kemurahan
hatimu agar mau menemaniku mencari udara segar.
Apakah itu berlebihan" Kan cuma sekali ini saja.
Kita berteman sudah cukup lama. Kita... bersahabat
akrab belakangan ini. Tegakah kau membiarkan aku
pulang dengan tangan hampa?"
"Jadi, aku kaujadikan ban serep atau cadangan
ya." "Wah, bukan begitu, Yulia. Bila menuruti ke-
inginan hatiku, orang yang pertama-tama akan ku-
ajak adalah kau. Bukan Nuning." Gatot tersenyum
lembut. "Bagaimana, Yulia" Maukah kau menemani-
ku jalan-jalan untuk kali ini saja?"
http://pustaka-indo.blogspot.com270
Sulit menolak ajakan itu. Apalagi Yulia sendiri
pun sebenarnya ingin menghibur diri, tetapi tidak
tahu mau ke mana. Pergi sendirian pasti tidak enak
rasanya. Mau mengajak salah seorang adiknya, mere-
ka sudah punya acara sendiri. Namun, untuk meng-
iyakan keinginan Gatot, hatinya terasa berat. Pantas-
kah mereka jalan bersama"
Gatot yang sempat menangkap adanya kebim-
bangan di wajah Yulia segera membujuk lagi.
"Yulia, ayolah. Jangan terlalu mendengarkan su-
peregomu. Kita kan bersahabat dan teman lama.
Sesekali pergi bersama, tidak apa-apa. Lagi pula,
kita kan tidak berbuat sesuatu yang melanggar atur-
an, hanya sekadar jalan-jalan mencari udara se-
gar." Yulia terdiam beberapa saat lamanya, baru kemu-
dian bertanya. "Hanya untuk kali ini saja, kan?"
"Ya." "Ke mana kita akan pergi?"
"Ke Cibodas." "Wah, jauh juga."
"Namanya mencari udara segar ya ke sanalah
kita akan pergi. Pemandangannya indah, udaranya
sejuk dan segar. Kalau kita berangkat sekarang, sore
nanti kita sudah tiba ke rumah kembali. Mau ya"
Mau dong ya?" Cara Gatot membujuk mengingatkan Yulia pada
Dedi, adiknya, yang sering bersikap seperti itu jika
minta sesuatu. "Mau ya, Mbak" Mau dong ya?"
Luluhlah hati Yulia pada akhirnya. Untuk sekali
http://pustaka-indo.blogspot.com271
ini saja pergi dengan Gatot, rasanya tidak terlalu
berlebihan. Gatot membutuhkan teman untuk di-
ajak pergi. Laki-laki itu pernah membantunya de-
ngan tulus ikhlas ketika dirinya sedang menghadapi
perceraiannya dengan Hendra.
"Baiklah. Sesekali menjadi ban serep tak apa,"
sahutnya kemudian. "Ban serep?" "Ya. Ban cadangan."
"Jangan begitu, Yulia. Tadi aku sudah bilang kan,
bila menuruti keinginan hatiku, dirimulah yang
pertama-tama akan kuajak menemaniku, bukan
Nuning." "Ah, sudahlah." Yulia mengibaskan tangannya ke
udara. "Nah, apa yang harus kubawa?"
"Tikar, kalau ada."
"Oke. Kebetulan aku juga punya dua botol air
mineral yang belum dibuka." Aneh, membayangkan
akan berduaan lagi dengan Gatot memberi perasaan
senang dalam dirinya. Tanpa disadarinya ia mulai
bercanda. "Makanan kecil dan barang-barang kecil
lainnya?" Gatot tersenyum. Wajah Yulia ketika mengeluar-
kan kata-kata canda itu tampak bersinar dan sangat
cantik menurutnya. "Bawa tikarnya saja," sahutnya sambil tertawa.
"Nanti di jalan kita beli makanan kecil."
"Ya sudah, aku bawa air mineralnya saja."
" Di sepanjang Jalan Raya Puncak banyak toko dan
mini market. Nanti kita mampir beli sesuatu."
http://pustaka-indo.blogspot.com272
Yulia mengangguk. "Aku akan mengambil tas dan ganti sepatu."
Ketika Yulia ke ruang tamu lagi, tangannya su-
dah memegang segulung tikar dan dua botol air
mineral. "Kita naik motor besarmu lagi?" tanyanya.
"Kali ini kita naik mobil."
Yulia mengatupkan bibirnya, teringat kembali
bagaimana Gatot selama ini menyembunyikan ke-
adaan yang sebenarnya. Melihat lekuk bibir Yulia,
Gatot sadar Yulia teringat pada kekayaan yang dimi-
likinya. Karena itu lekas-lekas ia mengalihkan pikir-
an Yulia. "Ayolah, Yulia, jangan mempersoalkan dan ja-
ngan mengingat-ingat kembali yang sudah-sudah.
Kita ingin rileks, kan" Segeralah naik ke mobil dan
kita berangkat sebelum matahari tinggi."
Karena sadar apa yang dikatakan Gatot benar,
terpaksalah ia menahan lidahnya untuk tidak menyin-
dir Gatot. Bagaimanapun, naik mobil ke Cibodas
pasti lebih nyaman daripada naik motor.
"Baiklah. Karena kau datang mendadak begini,
biarkan aku sarapan dulu ya" Kau mau ikut sarapan
bersamaku" Ada nasi goreng istimewa buatan Ibu
May?" "Kalau tidak sedang terburu-buru, aku senang
sekali kauajak sarapan. Karena aku tidak ingin kehi-
langan waktu, kita berangkat sekarang saja. Soal
sarapan, nanti kita mampir di rumah makan. Ada
bubur ayam enak di sekitar Cibulan."
http://pustaka-indo.blogspot.com273
Yulia terpaksa mengiyakan. Setelah menaruh ti-
kar di bagasi dan Gatot membukakan pintu untuk-
nya, Yulia langsung masuk ke dalam mobil yang
interiornya cukup mewah. Joknya dari kulit dan
ada TV di bagian depan. "Kau benar-benar kaya, kulihat....," kata Yulia,
ketika mereka sudah berada di jalan raya. "Mobil
ini benar-benar nyaman. Serbalengkap dan me-
wah"." "Please, jangan mulai lagi," pinta Gatot.
"Aku cuma mengatakan sesuai kenyataan kok."
"Lalu, kau merasa asing terhadapku?" Gatot ber-
tanya kesal. "Untungnya tidak. Cuma saja aku masih merasa
kesal karena kau sengaja menyembunyikan kenyata-
an sebenarnya dariku, seakan-akan aku ini hanya
bisa menilai orang dari materi yang dimiliki."
"Sudah" sudah" jangan mulai lagi. Kita tutup
saja lembar cerita itu. Aku minta maaf sekali lagi bila
hal itu masih menjadi ganjalan di hatimu," kata Gatot
sambil menyeringai. "Lagi pula, aku ingat kau tidak
punya gudang persediaan yang isinya maaf."
Mendengar itu mau tidak mau Yulia tersenyum.
Ia memang pernah mengatakan hal itu ketika Gatot
minta maaf kepadanya. Ah, memang menyenangkan
pergi berduaan dengan kekasih hati. Akan halnya
Gatot, begitu melihat senyum yang merekah di bi-
bir Yulia, ikut tersenyum.
"Sudah lama aku merindukan senyum manismu
itu, Yulia".," komentar laki-laki itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com274
"Jangan merayuku. Tak mempan."
"Aku tidak merayumu, Yulia. Aku bahkan ingin
mengulangi kemesraan-kemesraan perjalanan sandi-
wara kita waktu itu. Manis sekali rasanya. Indah
dan..." "Kalau kau masih saja mengoceh macam-macam,
turunkan aku di sini. Perjalanan kita ke Cibodas
batal," Yulia memotong.
"Wah, penyakit lamamu kambuh. Galak, suka
mengancam." "Biar saja." Gatot tertawa. Tangannya menjangkau CD, ke-
mudian diputarnya. Tak lama kemudian terdengar
lagu-lagu yang manis. "Suka lagu-lagu begini, kan?" tanya Gatot.
"Suka." "Lagu-lagu klasik juga suka, kan" Ini aku bawa.
Aku tahu kau menyukainya. Aku pernah melihat
buku-buku musikmu banyak sekali lagu klasik-
nya." "Ya, aku memang suka sekali lagu-lagu klasik
maupun semiklasik. Namun, kurang cocok didengar
sekarang." "Ya. Apalagi kalau lagu-lagu itu keluar dari jari-
jemarimu. Asyik sekali mendengarnya. Aku bisa
betah berjam-jam mendengarnya."
"Kapan kau pernah mendengarku memainkan-
nya?" "Kalau cuma satu atau dua lagu, aku sudah per-
nah beberapa kali mendengar kau memainkannya.
http://pustaka-indo.blogspot.com275
Aku pernah memintamu memainkannya, kan" Ka-
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lau lebih dari setengah jam dengan beberapa lagu
baru sekali aku menikmatinya. Menyenangkan se-
kali." "Oh ya, kau pernah minta aku memainkan lagu
Edelweiss. Kapan kau mendengarkan aku memain-
kan banyak lagu" Aku tidak ingat."
"Waktu aku datang ke rumahmu, tetapi tidak
ada orang yang melihatku. Jadi, aku duduk di teras
menikmati permainanmu dari luar dengan diam-
diam. Rasanya seperti menonton konser."
"Sialan! Itu tidak sopan, tahu?"
"Gadis cantik tidak boleh mengumpat!" Gatot
tertawa lebar. Yulia tersenyum. Hilang sudah rasa asing yang
pernah dirasakannya terhadap laki-laki itu. Ia mulai
menyukai suasana santai yang terasa di pagi hari
itu. Sudah lama sekali ia tidak menikmati kedekat-
an dan suasana mesra seperti ini bersama Gatot.
Perjalanan ke Cibodas itu pun menjadi menyenang-
kan kendati ketika keluar dari tol jalanan agak se-
dikit macet. Gatot yang sedang gembira mulai me-
nyanyi mengikuti lagu dari TV kecil. Suara Gatot
ternyata bagus. "Ternyata suaramu bagus. Selama ini aku tidak
tahu kau suka menyanyi," komentar Yulia sambil
tersenyum. "Mana bisa aku menyanyi sambil naik motor.
Bisa jadi tontonan gratis." Gatot tertawa lembut.
Yulia tersenyum lagi. Ah, sudah berapa kali ia
http://pustaka-indo.blogspot.com276
tersenyum hari ini" Dua kali, tiga kali, atau lebih"
Berduaan dengan Gatot memang terasa menyenang-
kan. Apakah Gatot juga merasa senang" Tahukah ia
bahwa seperti perasaan Gatot terhadapnya, Yulia
juga masih amat mencintainya kendati berulang
kali mengatakan bahwa sebaiknya mereka berhenti
bertemu. Mobil yang dikendarai Gatot melaju di jalan
yang terus menanjak. Semakin ke atas udara kian
terasa segar. Merasakan itu Gatot menoleh ke arah
Yulia. "Bagaimana kalau AC-nya kumatikan dan mem-
biarkan udara segar masuk ke dalam mobil" Setu-
ju?" "Kenapa tidak" Apa pun hebatnya udara yang
diciptakan manusia, tak ada yang bisa menyamai
sempurnanya udara ciptaan Tuhan. Lagi pula, kalau
aku naik kendaraan umum kan tidak memakai
AC." "Oke." Selama perjalanan menuju tempat yang dituju,
mereka bisa mengobrol banyak hal tanpa sekali pun
menyinggung hal-hal yang bisa merusak suasana.
Di Cibodas mereka memilih tempat yang agak ter-
pencil, di atas hamparan rumput yang luas. Yulia
menggelar tikar di bawah pohon ketapang besar
yang berdaun lebar. Kemudian, diaturnya minuman
dan makanan yang mereka beli di jalan tadi.
"Nah, pikniklah kita hari ini," kata Yulia sambil
mengempaskan tubuhnya ke atas tikar. Nyaman
http://pustaka-indo.blogspot.com277
rasanya. "Meskipun udara di sini tidak sedingin
ketika aku masih kecil, tetapi dibanding kota Jakar-
ta yang pengap tempat ini sungguh kaya oksi-
gen." "Ya," Gatot menjawab, sambil meraih botol mi-
neral yang langsung dibuka kemudian diminumnya.
"Mmh, segar." Yulia meniru perbuatan Gatot. Minum air mine-
ral. Tiba-tiba ia teringat pada kejadian beberapa
bulan lalu, saat ia dan Gatot berduaan di dangau
dan nyaris kehilangan akal sehat. Rasanya telah
lama berlalu sejak mereka berpisah dan meninggal-
kan tanah luas milik keluarga Gatot. Sambil mena-
rik napas panjang karena merindukan saat-saat ma-
nis bersama Gatot, ia duduk memeluk lutut dan
mencoba mengalihkan perhatiannya ke kejauhan,
ke tempat rombongan anak sekolah yang sedang
bermain bersama guru mereka.
"Kok diam saja?" Gatot mengusik lamunan Yulia.
"Sepertinya ada kabut tipis lewat di dekat kita. Di-
ngin, ya?" "Sedikit," Yulia asal menjawab. Sebenarnya ia ti-
dak merasa dingin. Ia teringat pada cumbuan mere-
ka beberapa bulan lalu, dan teringat pada keputus-
annya untuk tidak bertemu lagi dengan Gatot demi
kebaikan semua pihak. Sekarang, mereka telah me-
langgar komitmen itu. Mendengar jawaban Yulia, Gatot menggeser du-
duknya mendekati Yulia. "Kuhangatkan dengan pelukanku ya" Kau sih ti-
http://pustaka-indo.blogspot.com278
dak membawa baju hangat," Gatot berkata dengan
suara lembut. Yulia gelisah. Hatinya berperang. Ia merindukan
pelukan Gatot. Sekarang laki-laki itu menawarkan
lengannya. Siapa yang tidak jadi bimbang, meski ia
sadar hal itu terlalu intim buat dua orang insan
yang bukan sepasang kekasih. Gatot dapat merasa-
kan kegelisahan hatinya. "Hanya pelukan, Yulia. Daripada kedinginan
begitu," kata Gatot dengan suara lembut. Kelihatan-
nya alam mendukung keinginan Gatot, sebab angin
gunung yang terasa sejuk tiba-tiba turun. Tubuh
Yulia menggigil tanpa ia mampu menahannya. Gi-
gilan yang sebenarnya bukan karena udara yang
dingin, melainkan karena dambaan yang ada di da-
lam hatinya. Karena Yulia tidak juga menjawab, Gatot segera
melingkarkan lengannya ke tubuh Yulia dan meme-
luknya erat-erat. Untuk beberapa detik lamanya
tubuh Yulia menegang, tetapi akhirnya pasrah dan
ia membiarkan Gatot memeluk tubuhnya. Agar
hatinya tidak terpengaruh pada kedekatan fisik yang
ada di antara mereka, Yulia mengalihkan perhatian-
nya ke arah jalan setapak di mana beberapa pasang
muda-mudi sedang berjalan sambil tertawa-tawa.
Gatot pandai memilih tempat, pikir Yulia. Ia
bisa memperhatikan orang-orang yang lewat di seki-
tar mereka, tetapi tidak sebaliknya. Tempat mereka
duduk, selain teraling beberapa batang pohon besar
http://pustaka-indo.blogspot.com279
juga diselingi tanaman-tanaman hias yang ditata
sedemikian rupa. Sedang Yulia memandang ke kejauhan, tiba-tiba
ia merasa wajah Gatot dibenamkan ke dalam kerim-
bunan rambutnya. Ia tersentak karenanya.
"Apa-apaan sih?" serunya. Jantungnya mulai ber-
pacu keras. Suara debarnya serasa memekakkan
telinga dan nyaris meledakkan dadanya.
"Aku cuma mau mencium aroma rambutmu.
Kau baru saja keramas dan memberi sentuhan
hairtonic ya?" Yulia mengangguk. Ia tidak berani bicara lagi,
takut terdengar getarannya.
"Mm" pantas, terasa wangi dan lembut di wa-
jahku," kata Gatot lagi, masih sambil menciumi
dan sesekali meraba permukaan rambut Yulia.
"Rambutmu indah sekali, Yulia. Sehat, hitam, lebat
dan ikal." Merasa tidak enak karena Gatot telah melakukan
sesuatu yang berlebihan bagi sepasang sahabat, Yulia
berusaha menghentikannya sebelum dirinya terha-
nyut dalam suasana mesra yang dibangkitkan Gatot.
"Rambutku biasa saja. Jangan berlebihan," kata-
nya, dengan suara bergetar. "Jangan kauciumi begi-
tu, ah. Risi, aku." "Jangan hentikan aku, Yulia. Apa yang kulakukan
merupakan luapan hati... didorong oleh perasaan
cintaku yang menggebu-gebu."
Yulia bermaksud mendorong dada Gatot, tetapi
tiba-tiba saja dengan kecupan bibirnya yang mema-
http://pustaka-indo.blogspot.com280
bukkan lelaki itu telah melumpuhkan kewarasan
otaknya dan melenyapkan keinginan Yulia untuk
protes keras. Bahkan, ketika laki-laki itu juga menge-
cupi dagu dan lekuk lehernya, Yulia membalasnya
tanpa disadari. Keduanya mulai saling memeluk,
mencium dan mengelus. Dunia seperti lenyap seke-
tika. Indra keenam Yulia merasakan betapa dalam
cinta laki-laki itu terhadapnya. Seluruh gerakan dan
bahasa tubuhnya begitu penuh perasaan dan kelem-
butan. Caranya mencium, mengelus dan memeluk
terasa menggetarkan. Desahan napasnya mengandung
berjuta rasa, sementara matanya yang semakin kelam
berlumur kemesraan yang amat pekat.
Yulia yang sesungguhnya ingin bersikap tegas,
mulai lupa diri. Yang ada di kepala dan hatinya
hanyalah menikmati cumbuan dari satu-satunya le-
laki yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tak ada
apa pun lagi di dunia ini yang ia cintai melebihi
Gatot. Tidak ada siapa pun di hatinya kecuali
Gatot. Bahkan, ketika bibir Gatot yang hangat tera-
sa mulai merambati leher, Yulia pun merintihkan
nama laki-laki itu dengan sepenuh perasaannya.
"Gatot"." Gatot tersentak. Desahan napas dan rintihan
Yulia yang mendesiskan namanya jelas mengungkap-
kan perasaan cinta Yulia kepadanya. Gatot sudah
tahu, bahwa Yulia mencintainya. Bahwa cinta itu
masih memenuhi hati, pikiran dan bahkan tubuh
Yulia sehingga tercetus lewat bibirnya. Ia baru me-
nyadarinya sekarang. http://pustaka-indo.blogspot.com281
"Yulia".," bisiknya kemudian, sambil mengecup
mata Yulia yang terpejam. "Terima kasih... kau ma-
sih mencintaiku." Mendengar kata-kata itu, tubuh Yulia yang semu-
la terasa hangat oleh gelora asmaranya mendadak
seperti disiram air es. Ia tersentak dan langsung
membuka matanya. Pandang mata kedua orang itu
pun saling bertaut, penuh kemesraan. Namun, ti-
dak lama. Yulia segera sadar diri bahwa perbuatan
mereka sudah kelewat jauh. Cara satu-satunya agar
Gatot tidak membiarkan harapan tumbuh di hati-
nya, ia harus mengingkari kenyataan sebenarnya.
"Cukup. Kita sama-sama sedang lupa diri," kata-
nya kemudian, sambil menarik tubuhnya dari peluk-
an Gatot. "Sama-sama terbawa suasana. Tempat
yang indah" udara yang sejuk" suasana yang ro-
mantis... telah menyingkirkan akal sehat kita."
"Aku melakukan semua tadi dengan penuh kesa-
daran, Yulia. Itulah ungkapan cintaku!" Gatot mem-
bantah. "Mungkin. Namun, aku tidak mencintaimu. Pera-
saan cintaku terhadapmu sudah mati beberapa bu-
lan yang lalu," dusta Yulia.
Gatot terpana beberapa saat lamanya, kemudian
dengan tatapan tajam ia memandang mata Yulia
sehingga wajahnya mulai merona merah.
"Kau bohong, Yulia. Tak mungkin kau bisa teng-
gelam dalam pesona kemesraan tadi bila tidak ada
cinta di hatimu!" katanya kemudian, dengan suara
menuntut. "Bersikap jujurlah!"
http://pustaka-indo.blogspot.com282
"Aku sudah jujur mengatakannya kepadamu tadi.
Bahwa" aku terhanyut suasana....," Yulia menja-
wab, sambil mengalihkan pandangannya ke tempat
lain. Ia tidak ingin Gatot tahu kebohongannya.
"Jadi... kau membalas perlakuan mesraku tadi...
karena pengaruh suasana" atau kau lebih dikuasai
sesuatu yang tak ada kaitannya dengan cinta. Begi-
tu?" "Yyyaa....," Yulia terpaksa menjawab sekenanya
saja. Gatot terdiam. Pandang matanya menembus wa-
jah dan bola mata Yulia, sehingga ia cepat-cepat
memejamkan matanya. "Jadi, kau benar-benar sudah tidak mencintaiku
lagi, Yulia?" "Ya... cintaku sudah hilang."
"Kau bohong, Yulia. Aku tahu betul, kau sedang
berbohong kepadaku."
"Aku tidak berbohong. Aku" aku memang ti-
dak mencintaimu." "Lalu, apa arti balasan ciuman dan kemesraanmu
tadi?" Gatot mendesak terus. "Karena faktor biolo-
gis?" "Ya." Mendengar jawaban yang tak masuk akal itu,
Gatot jadi semakin yakin bahwa Yulia telah berbo-
hong. "Kau bohong, Yulia. Sesungguhnya kau pun ma-
sih mencintaiku. Ya, kan" Jawablah dengan jujur!"
Yulia mulai tergagap. Matanya yang liar dan be-
http://pustaka-indo.blogspot.com283
sar, yang semula menatapi apa yang ada di sekitar-
nya kecuali membalas pandang mata Gatot, mulai
basah oleh air mata. "Jangan mendesakku begitu, aku... aku tak ta-
Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
han. Kalau memang kau merasa yakin bahwa cinta-
ku kepadamu masih tetap berkobar" tolong itu
jangan kauucapkan. Jangan jadikan bahan pembica-
raan kita. Aku" tak sanggup mendengarnya. Du-
nia juga tak mau mendengar sesuatu" yang tak
pantas" diucapkan."
Mendengar suara Yulia yang bergelombang dan
isi kata-katanya yang menyiratkan perasaannya yang
terdalam, hati Gatot menjadi luluh. Ia tahu Yulia
memang masih tetap mencintainya. Namun, karena
sadar cinta mereka cinta terlarang, ia mencoba
mengingkarinya meskipun pengingkaran itu terasa
amat rapuh. "Yah... lupakanlah kata-kataku tadi, Sayang,"
bisiknya sambil mengecupi rambut Yulia. "Aku"
tidak akan mengucapkannya lagi."
Merasakan betapa besar pengertian Gatot, Yulia
ganti tidak tahan mendengarnya. Tangisnya mele-
dak, dan tanpa mampu menahan diri lagi ia mena-
ngis tersedu-sedu di dada Gatot. Seluruh tekanan
perasaan yang selama berbulan-bulan mengimpit
dadanya terluap ke luar dalam bentuk tangis.
Gatot membiarkannya. Ia memahami sepenuhnya
apa yang dirasakan Yulia. Ia sangat perasa dan emo-
sional. Dalam memadu cinta pun demikian. Yulia
juga termasuk orang yang sangat kuat berpegang
http://pustaka-indo.blogspot.com284
pada prinsip hidup yang dirasa paling benar. Oleh
karena itu, demi berpegang pada patokan nilai-nilai
yang diyakininya itu, ia tidak mau mengakui perasa-
an cintanya. Gatot merasa terharu. Karenanya ia
hanya bisa mengelusi rambut Yulia dan membiarkan
tangisnya tumpah semua. Lama kemudian baru Yulia mampu menguasai
dirinya. Perasaan malu mencekam hatinya, karena
ia bukan orang yang mudah mengeluarkan air
mata. Cinta telah menyebabkannya jadi perempuan
cengeng. Gatot yang sangat memahami perasaan Yulia,
mengambil saputangan dari pantalonnya, kemudian
diulurkannya kepadanya. "Hapuslah wajahmu yang basah, Yulia. Saputa-
ngan ini bersih," bisiknya. "Aku tidak ingin ada
orang melihatmu menangis di sini."
Yulia mengangguk. Setelah menghapus wajahnya
dengan saputangan milik Gatot, benda itu disim-
pannya di dalam tasnya. "Saputangan ini akan... kusimpan," katanya ke-
mudian dengan suara serak. "Biar aku selalu ingat
agar tidak lagi menangisi cinta."
Gatot mengangguk dengan penuh pengertian.
Pandang matanya lurus mengarah ke lembah yang
dipenuhi anak-anak yang sedang berlarian gembi-
ra. "Aku ingin pulang sekarang." Suara Yulia yang
masih saja serak mulai terdengar lagi.
"Oke...." Gatot mengangguk lagi. Ia tidak ingin
http://pustaka-indo.blogspot.com285
membantah apa pun perkataan dan keinginan
Yulia. "Jadi" kita tidak makan dulu?"
"Aku masih kenyang."
"Makanan kecil?"
"Tidak. Perutku terasa penuh."
"Jadi?" "Aku ingin segera pulang. Sekarang."
"Baiklah." "Sesudah hari ini, tolong jangan datang lagi men-
jumpaiku selama cincin pertunangan masih meling-
kari jari manismu. Aku tidak mau bertemu dengan-
mu bila tidak bersama Nuning," kata Yulia lagi.
"Aku pernah mengatakan hal ini kepadamu, kan?"
"Ya...." "Harus betul-betul dilaksanakan ya. Jangan hanya
untuk melegakan hatiku saja," kata Yulia lagi. Ada
tuntutan keras dalam suaranya.
"Baiklah," Gatot menjawab pelan.
"Bukannya aku kejam, tetapi ini demi kebaikan
kita semua," Yulia berkata lagi. Suaranya terdengar
menggetar lagi. Dengan susah-payah Gatot berusaha
mati-matian agar tidak merengkuh tubuh Yulia ke
dalam pelukannya. "Aku mengerti." Gatot juga ingin melampiaskan
tangis, sebenarnya. Kalaupun itu ia lakukan, apa
gunanya" Mereka bisa terjebak dalam persoalan
yang sama, yang hanya akan menyakitkan saja.
Sejuknya udara Cibodas, nyamannya situasi di
tempat itu dan pemandangan indah di sekitar mere-
ka, tak lagi terasakan olehnya. Ia tahu betul, apa
http://pustaka-indo.blogspot.com286
yang dikatakan Yulia merupakan suatu kepastian
yang tak bisa diubah. Bahkan, tidak ada kompromi
lagi. Jadi artinya, perjumpaan di antara mereka hari
ini merupakan perjumpaan yang terakhir kalinya.
Kecuali, jika ia datang bersama Nuning. Bujukan
apa pun yang akan dikatakan kepada Yulia untuk
mengajaknya pergi lagi, tidak akan didengar. Lebih
baik menjaga mati-matian daripada membiarkan
diri terperangkap lagi ke dalam pusaran cinta yang
ada. Mereka sama-sama menyadari kelemahan hati
masing-masing. Cinta yang menggebu-gebu bisa
menyebabkan mereka lupa diri. Bahkan lupa segala-
nya, termasuk melupakan komitmen mereka untuk
tidak lagi mengadakan pertemuan.
Dengan hati tertekan dan perasaaan yang amat
sedih, kedua insan itu pun pulang kembali ke
Jakarta. Suara musik yang terdengar lembut sepan-
jang perjalanan mereka pulang, seperti tangis hati
mereka. Menyayat-nyayat hingga ke lubuk hati.
Pesta mereka telah berakhir dan meninggalkan
kenangan teramat menyakitkan.
http://pustaka-indo.blogspot.com287
Dua minggu telah berlalu semenjak Gatot meng-
ajak Yulia ke Cibodas. Yulia selalu berusaha melupa-
kan Gatot dan menengggelamkan seluruh kenangan
bersama laki-laki itu jauh di sudut hatinya.
Memang berat dan tidak mudah melakukannya.
Seperti anak kecil yang baru pertama kali merasa-
kan betapa lezatnya sebatang cokelat dan tiba-tiba
direnggut dari genggamannya, Yulia juga mengalami
perasaan yang sama tatkala cintanya harus dibuang
jauh-jauh. Susahnya, Yulia tidak bisa menangis
sekeras-kerasnya seperti anak kecil yang kehilangan
cokelatnya. Ia perempuan dewasa yang tahu di
mana tempat dan posisinya. Kesalahan memang ada
pada dirinya, karena mencintai laki-laki yang sudah
bertunangan. Karenanya, ia hanya bisa memendam
kekecewaan di dalam sanubarinya.
Sering kali di malam-malam sepi ia tidak dapat
Delapan http://pustaka-indo.blogspot.com288
tidur. Hatinya seperti disayat-sayat membayangkan
Gatot sebentar lagi akan menjadi milik Nuning.
Gatot akan memberi kemesraan, ciuman, belaian
dan cumbuan seperti yang pernah diberikan untuk-
nya kepada Nuning. Bahkan lebih dari itu, karena
Nuning adalah istrinya yang sah. Tentu saja bayang-
an itu menyiksa batin Yulia. Sepanjang malam ia
tidur dengan pelbagai mimpi buruk yang menyebab-
kannya kurang tidur. Di siang hari pun ia kehilang-
an selera makan. Bahkan, terkadang konsentrasinya
mengajar juga mulai terganggu. Dalam waktu dua
minggu, ia sudah kehilangan bobot sekitar dua kilo-
gram. Apa yang dialami Yulia selama dua minggu ma-
sih belum apa-apa dibandingkan dengan kejadian
yang menimpa dirinya beberapa hari kemudian.
Siang itu, saat ia baru saja selesai mengajar dan se-
dang berjalan ke luar kelas, salah seorang muridnya
Amanat Marga 12 Rajawali Emas 44. Perjalanan Maut Brisingr 11