Pencarian

Elemen Kekosongan 2

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 2


menyadari akan "kelebihan" dari adik angkat mereka ini, suatu "kelu-
paan" yang dilengkapi dengan pemahaman gerakan yang mendarah
daging. Ketiga orang itu pun berdiskusi kembali saling mengemukakan piki-
rannya masing-masing. Sambil kadang salah seorang, berdasarkan
pemahaman lainnya, mempraktekkan ilmunya kembali dengan pema-
haman hasil diskusi tersebut. Kadang diperoleh penyelesaian kadang
pun tidak. Sampai lama dan berminggu-minggu mereka berlatih,
berdiskusi dan bertapa. Dan waktu pun berlalu tanpa terasa di Pulau
Gunung Api di Laut Antara Dua Pulau tersebut.
Mereka tidak menyadari bahwa ilmu-ilmu mereka yang sama, yang
51 mengisyaratkan adanya penegakkan kedamaian dalam implentasi
ilmunya, membuat mereka saling melengkapi pemahaman masing-
masing sehingga menghasilkan ilmu-ilmu baru yang kelak akan meng-
guncangkan dunia persilatan, baik di Negeri Tongkat Ditanam Jadi
Tanaman, di Negeri Matahari Muncul maupun di Kaki Langit sendiri.
Dan sang angin pun bertiup menjauh, melihat ketiga orang yang
sedang gandrung dan tekun pada pemahaman ilmu sebenarnya dari
Jalan Pendekar. Sang angin pun tersenyum, sambil perlahan men-
doakan agar pemahaman mereka dan ilmu-ilmu yang tercipta dari
mereka dapat membawa kedamaian pada manusia dan alam sekelil-
ingnya. *** "Saudara Asap," panggil Ki Tampar saat Asap melintas di depan
rumahnya. "Oh, maaf Ki Tampar," jawab Asap dengan sopan, "saya tidak melihat
Ki Tampar ada di rumah."
"Tak apa-apa, saya memang sedang mengaso, tapi mendengar suara
saudara dan nak Rintah, membuat saya keluar dan ingin menyapa,"
jelasnya sambil tersenyaum.
"Maafkan atas kerasnya suaraku Ki," jawab Rintah, seorang anak
muda yang telah akrab dengan Asap sejak rombongan Pinggiran sun-
gai merah bermukin di Desa Luar Rimba Hijau.
"Tidak.., tidak..," jawab Ki Tampar sambil menggoyang-goyangkan
tangannya, "aku tidak terganggu. Aku malah tertarik dengan pem-
bicaraan kalian itu. Mengenai hubungan antara Ki Tapa dan Petapa
Lain Pulau." Rintah dan Asap terlihat malu, karena mereka menyadari bahwa uca-
pan mereka mengenai seseorang yang dituakan di desa itu, tidak se-
harusnya sampai terdengar oleh orang lain.
Ki Tampar yang memahami keingintahaun dua orang berdarah muda
itu hanya tersenyum, lalu lanjutnya, "tidak apa-apa bila kalian
berdiskusi mengenai hal tersebut, tapi janganlah sampai mengarang-
ngarang cerita atau menduga-duga. Sebaiknya kalian tanyakan sendiri
52 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
pada Ki Tapa bila ada kesempatan."
Kedua anak muda tersebut mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kebetulan Ki Tapa ingin bertemu dengan engkau, Asap. Besok
malam," memberitahu Ki Tampar.
"Eh, ada keperluan apa Ki?" tanya Asap ingin tahu, "bukankah bi-
asanya Ki Tampar berdua dengan Ki Gisang yang berhubungan den-
gan Ki Tapa?" "Benar, biasanya begitu. Juga dalam hari-hari semenjak rombon-
ganmu datang. Akan tetapi mungkin ada hal yang ingin diutarakan
Ki Tapa atau ditanyakannya kepadamu," jawab Ki Tampar penuh ra-
hasia. "E.., maaf Ki Tampar," tanya Rintah malu-malu, "apakah saya boleh
ikut?" "Boleh.., boleh..," jawab Ki Tampar, "Ki Tapa mengatakan sebaiknya
beberapa anak muda ikut bersama Asap. Ada hal yang ingin disam-
paikan." "Wah, benar-benar menarik dan menegangkan ini. Jarang-jarang
kami-kami bisa ikut bertemu Ki Tapa," sahut Rintah dengan antu-
sias. "Kabarkan ini pada kawula muda yang tertarik, agar mereka besok
malam, setelah matahari terbenam dapat bersiapa-siap," sahut Ki
Tampar, "Kita berangkat setelah bulan muncul setengah tinggi lan-
git." Kedua anak muda itu mengiyakan dan kemudian mereka berlalu untuk
memberi kabar yang tidak biasa itu kepada kawula muda di Desa Luar
Rimba Hijau. Suatu pertemuan yang aneh dan tidak biasa. Menye-
babkan banyak tanda tanya baik di benak Rintah maupun Asap,
apalagi bagi anak-anak muda yang lainnya.
Di alun-alun Desa Luar Rimba Hijau berkumpulah sekitar dua puluh
empat orang muda-muda. Sebagian besar terdiri dari laki-laki dan
hanya ada tiga orang perempuan. Di depan mereka semua berdiri
seakan menunggu suatu tanda, Ki Gisang dan Ki Tampar. Tak jauh
53 dari sana berdiri Ki Surya dan beberapa petinggi desa yang sedang
memperhatikan kegiatan yang akan dilakukan oleh para orang muda
tersebut. Sebagian penduduk yang berada di sana mulai menyalakan obornya,
karena matahari telah perlahan hilang dari pandangan, sedangkan bu-
lan belum muncul. Beberapa kawula muda yang ada ikut membantu
memancangkan tongkat-tongkat obor di sekeliling alun-alun sehingga
suasana menjadi lebih terang dan nyaman.
Ini merupakan hari yang telah ditunggu lama oleh para orang muda
di Desa Luar Rimba Hijau. Hari ini Ki Tapa, sebagai seorang pen-
guhi Rimba dan Gunung Hijau yang hanya diketahui penduduk desa,
berkenan untuk bertemu dengan beberapa kawula muda yang diten-
tukannya melalui Ki Gisang dan Ki Tampar. Pertanyaan-pertanyaan
dan komentar-komentar sudah tentu terucap di antara mereka, dan
bahkan juga di antara para kawula tua. Apa gerangan yang dikehen-
daki oleh Ki Tapa dari para pemudi dan pemuda desa ini. Dan yang
membuat peristiwa ini semakin menarik adalah bungkamnya baik Ki
Gisang maupun Ki Tampar perihal ada apa di balik ini semua. Sudah
tentu beberapa tetua desa seperti halnya Ki Surya mengetahui, akan
tetapi pura-pura tidak tahu dan melemparkannya pada kedua orang
tersebut. Dulu sekali waktu Hamparan Hijau menyerang Desa Ujung, sebelum
menjadi Desa Luar Rimba Hijau, pernah Petapa Lain Pulau men-
gatakan niatnya untuk mendidik pemudi dan pemuda pilihan dari
Desa Ujung sebagai pewaris ilmunya, sehingga mereka dapat men-
jaga desanya dari marabahaya, baik dari manusia atau alam, dengan
membaca tanda-tandanya. Akan tetapi sayangnya setelah membantu
penduduk mengatasi Hamparan Hijau, Petapa Lain Pula lebih banyak
berdiam di dalam Rimba dan Gunung Hijau dan tidak mengingat
kembali niatannya itu. Sampai suatu saat tidak lagi terdengar peri-
hal Petapa Lain Pulau melainkan munculnya Ki Tapa yang menolong
penduduk desa apabila ada permasalahan. Hilangnya Petapa Lain Pu-
lau yang digantikan oleh Ki Tapa ini walaupun menjadi pertanyaan
bagi sebaian besar penduduk Desa Luar Rimba Hijau, akan tetapi
tidak diajukan oleh siapa pun. Bahkan Ki Gisang dan Ki Tampar
tidak mengerti. Mereka berdua, sebagai penghubung, percaya begitu
saja karena Ki Tapa berkomunikasi melalui portal dengan tanda-tanda
54 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
yang sama seperti diwariskan oleh leluhur mereka saat berhubungan
dengan Petapa Lain Pulau. Oleh karena itu peristiwa ini mungkin
akan menjawab pertanyaan mengenai pergantian penghuni Rimba dan
Gunung Hijau yang berhubungan dengan penduduk desa, sudah tentu
membuat sebagian penduduk tertarik untuk mengamatinya.
"Jaka," panggil Ki Gisang perlahan kepada pemuda Desa Luar Rimba
Hijau yang ditugaskan untuk mengatur pemudi dan pemuda yang akan
ikut untuk menemui Ki Tapa malam ini, "sudah semua datang, kawula
muda yang diminta Ki Tapa?"
"Belum, Ki Gisang," jawab Jaka dengan hormat, "masih ada dua
orang lagi. Rantih dan Misbaya."
"Coba kau susul mereka ke rumahnya! Bisa-bisa mereka lupa, dan
kita tidak dapat menanti sepanjang malam di sini," usul Ki Gisang.
"Tak perlu," tiba-tiba Ki Tampar yang berada di sampingnya menyahut,
"lihat di ujung lapangan sebelah barat. Itu mereka datang!"
Dan benar, di ujung lapangan dalam arah yang ditunjukkan oleh Ki
Tampar, tampak Rantih dan Misbaya berlari-lari sambil membawa
segumpalan kain, yang merupakan perlengkapan mereka untuk meng-
hadap Ki Tapa. Setelah kedua orang itu tiba, mulailah para pemudi dan pemuda itu
duduk membentuk lingkaran, dengan Ki Gisang dan Ki Tampar be-
rada di tengah dan para tetua desa berikut Ki Surya di luar lingkaran.
Para penduduk desa lainnya yang juga tertarik untuk datang berdiri
setombak dua tombak agak jauh dari lingkaran tersebut.
Ki Tampar membuka pembicaraan, "kawula muda Desa Luar Rimba
Hijau. Saat ini adalah saat yang kita, sebagai penghuni Desa Luar
Rimba Hijau, sejak lama ditunggu-tunggu. Atas permintaan Ki Tapa,
sebagai salah seorang penghuni Rimba dan Gunung Hijau, dan per-
setujuan para tetua desa, kalian ini akan menghadap Ki Tapa untuk
menggenapi apa yang pernah dijanjikan oleh salah seorang dari mereka
di masa lalu." Ki Tampar berhenti sebentar untuk mengabil nafas, kemudian lanjut-
nya, "kalian akan dilatih dan kelak dipilih sebagai pewaris dari Pergu-
55 ruan Rimba dan Gunung Hijau, yang bertugas salah satunya menjaga
desa kita ini." Suasana menjadi hening di mana setiap orang berusaha mencerna apa
yang sedang disampaikan oleh Ki Tampar.
"Hanya itulah yang dapat saya sampaikan, selengkapnya kelak akan
diberikan penjelasan oleh Ki Tapa di dalam rimba," kata Ki Tampar.
"Adapun," sambung Ki Gisang, "Ki Surya mewakili para tetua Desa
Luar Rimba Hijau akan menyampaikan beberapa pesan berkaitan den-
gan kegiatan ini. Ki Surya kami persilakan."
Ki Surya diikuti oleh beberap tetua desa berjalan menuju ke dalam
lingkaran, saat mereka masuk, menyibaklah para pemudi dan pe-
mudi di kiri dan kanan rombongan itu, membuatkan jalan masuk bagi
mereka. Setelah para tetua berada dalam lingkaran, menutuplah lagi
mereka yang tadi menyibak, sehingga membentuk kembali lingkaran
yang utuh. Ki Surya tetap berdiri dan memandang berputar, sedangkan para
tetua lainnya duduk di tengah-tengah lingkaran menghadap ke arah
luar, sehingga punggung mereka saling bersentuhan.
Belum seucap kata pun diluncurkan oleh Ki Surya, melainkan ia malah
berjalan berkeliling, dan masih saja menatap satu persatu dua puluh
empat orang muda itu, dua puluh tiga orang kawula muda desanya
dan satu orang anggota rombongan dari Desa Pinggiran Sungai Merah,
Asap. Setelah puas mengingat-ingat satu persatu wajah para kawula muda
tersebut, Ki Surya pun berdiri kembali di tengah-tengah lingkaran.
Lalu ucapnya, "Para kawula muda desa sekalian, saya mewakili para
tua-tua desa ini hanya berpesan agar kalian benar-benar belajar den-
gan baik saat di dalam rimba. Perihal apakah akan menjadi pewaris
atau tidak bukan pokok permasalahannya, melainkan berlatih dan be-
lajar untuk mengenal alam ini lebih dekat. Itu yang penting."
Kemudian petuah-petuah dan nasihat-nasihat masih pula diberikan
oleh Ki Surya dan juga oleh beberapa tetua lainnya, yang diharap-
kan dapat diingat-ingat dan dipatuhi oleh para kawula muda selama
56 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
berada dalam rimba. Mereka yang mendengarkannya termasuk warga
desa di luar lingkaran tersebut mencerna dan mengingat-ingatnya sam-
bil mengangguk-angguk. Setelah setiap tetua desa selesai memberikan nasihat dan petuahnya,
mereka pun berdiri dan kembali berjalan ke luar dari lingkaran. Dan
seperti tadi orang yang berada dalam jalan mereka pun memberi jalan
dengan menyibakkan lingkaran untuk kemudian menutupnya kembali.
Tinggal Ki Gisang dan Ki Tampar di tengah lingkaran. Lingkaran
yang terdiri dari dua puluh empat orang kawula muda. Dua puluh
satu pemuda dan tiga orang perempuan. Kawula muda pilihan yang
akan bertemu dengan Ki Tapa untuk dilatih agar dapat dipilih untuk
mewarisi ilmu-ilmu Perguruan Rimba dan Gunung Hijau.
"Sebelum kita berangkat," ucap Ki Tampar memecahkan keheningan,
"ada yang akan ditanyakan kembali?"
"Ada Ki," jawab Paras Tampan, seorang pemuda berbadan tegap dan
gagah yang saat itu memakai pakaian dengan warna dominan abu-abu
muda. "Utarakan nak Paras Tampan," kata Ki Tampar, "lebih baik sekarang
sebelum kita masuk ke dalam rimba."
"Berapa lama latihan ini berlangsung sampai kita dipilih untuk men-
jadi ahli waris" Apakah sesekali kita boleh ke luar rimba?" tanya
Paras Tampan beruntun. "Lamanya latihan dan apa kalian boleh keluar dari rimba selama lati-
han akan ditentukan oleh Ki Tapa, kami berdua tidak diberikan pesan
perihal hal itu," jawab Ki Tampar. "Ada pertanyaan lain?"
Paras Tampan menggeleng sambil menundukkan mukanya. Sebe-
narnya baginya tidak ada masalah berapa lama ia harus berlatih di
dalam rimba, akan tetapi Citra Wangi lah yang menjadi persoalan.
Seorang dara yang baru saja dijodohkan dengan dirinya. Ingin tentu
seorang yang baru dijodohkan untuk berkenalan lebih dekat dengan
calonnya. Dan ini pun dirasakan oleh Paras Tampan dengan sangat.
Akan tetapi saat ia dipanggil oleh Ki Gisang untuk ikut pelatihan di
dalam rimba, tak terpikirkan olehnya bahwa ia harus meninggalkan
57 sang pujaan hati. Citra Wangi sendiri pun merasa kehilangan dan
menyesalkan mengapa ia tidak terpilih untuk ikut berlatih di dalam
rimba. Oleh karena itu mereka berjanji pada saat setiap bulan baru
untuk bertemu di tepi Rimba Hijau untuk saling melepas rindu. Tak
sampai hati Citra Wangi untuk melepas tunangannya, oleh karena itu
tidak hadir dirinya saat pertemuan di alun-alun desa tersebut.
Setelah melihat bahwa tidak ada lagi pertanyaan dari kawula muda
yang akan ikut pelatihan di dalam rimba, Ki Gisang dan Ki Tampar
pun menyuruh mereka untuk beranjak pergi menuju portal tempat di
mana penghuni Desa Luar Rimba Hijau dan Penghuni Gunung dan
Rimba Hijau berkomunikasi. Di sana di pelataran berbatu tersebut,
ternyata telah dipersiapkan obor-obor yang telah tertancap rapi. De-
lapan buah pada ketiga sisi dan kosong pada sisi yang menghadap
ke utara. Sekilas dapatlah diterka bahwa ketiga sisi yang terisikan
obor-obor tersebut mewakili dua puluh empat kawula muda itu.
Rombongan pun berhenti di hadapan sisi yang tidak dipasangi obor,
sambil tetap berdiri, Ki Gisang menghampiri sisi tersebut dan mem-
baca simbol-simbol yang terpahat di sisi utara tersebut. Umumnya
sisi bagian utara, yang mengarah ke Gunung Hijau, jarang dipergu-
nakan. Sisi itu berisikan petunjuk untuk memasuki Rimba Hijau se-
cara aman. Setelah memperhatikan lambang-lambang tersebut, kemu-
dian Ki Gisang membuka lontar yang diambilnya dari buntalan kain di
punggungnya, dan mencocokkan beberapa lambang dan tulisan. Sete-
lah mengerti apa yang dituliskan di sana, ia pun mengangsurkannya
kepada Ki Tampar. Jika Ki Gisang membaca salah satu sisi lontar dan
lambang pada sisi utara portal, maka Ki Tampar membaca pada sisi
lain dari lontar. Dua sisi yang berlainan pada lontar dan kunci pada
simbol di sisi utara portal, bersesuaian dengan petunjuk jalan masuk
dan jalan keluar dari rimba. Bila orang tidak mengetahui petunjuk
tersebut, dapat dipastikan ia akan tersesat dan bisa berbulan-bulan


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lamanya berputar-putar di dalam Rimba Hijau tersebut.
Setelah mereka berdua merasa yakin akan bahwa telah mengerti
petunjuk-petunjuk yang ada, mulailah rombongan itu berjalan ke
arah utara, menuju Rimba dan Gunung Hijau, melalui jalan setapak
di tengah tanah lapang berumput tersebut. Bulan saat itu sudah lebih
dari setengah langit tingginya. Saat yang tepat, menurut petunjuk
dari portal dan lontar, untuk memasuki Rimba dan Gunung Hijau.
58 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
Rombongan itu berjalan dengan perlahan-lahan Masing-masing kawula
muda terdiam dan bermain dengan pikirannya masing-masing. Rimba
dan Gunung Hijau yang selama ini menjadi semacam mitos bagi
mereka sejak turun-temurun akan dikunjungi hari ini. Mereka akan
berlatih di sana. Di tempat yang selama ini terlarang untuk dimasuki.
Siapa yang tidak bersemangat dan tegang dengan keadaan seperti itu.
Rimba pun mulai dimasuki. Pohon-pohon tinggi dan lebat menju-
lang sampai ke atas, sehingga langit yang berbintang banyak pun
hanya tampak samar-samar di tengah-tengah rimbunan dedaunan.
Pada beberapa tempat bahkan kanopi pohon-pohon tinggi saling
menutupi sehingga tiada lagi sinar bulan yang dapat menerangai per-
jalanan mereka. Untung bagi setiap anggota rombongan tersebut
telah dilengkapi dengan obor di tangan kanan dan tongkat di tangan
kiri. Tongkat itu berperan untuk menunjang jalan mereka agar lebih
stabil. Perjalan yang tidak mudah. Kadang setelah tiada lagi pohon-pohon
lebat dan tinggi yang hanya menyediakan kegelapan, tampaklah langit
kembali di atas kepala, akan tetapi dengan sungai berbatu-batu di
bawah kaki atau padang rumput dengan batu-batu berwarna aneh
yang dapat berpendar di malam hari. Atau bisa juga jalan setapak
yang di kiri-kanannya terdapat lumpur yang bergelembung-gelembung
mengeluarkan gas yang baunya mirip kentut.
Selama dalam perjalanan itu ditemui banyak batu-batu besar yang
bertuliskan simbol-simbol aneh. Ki Gisang dengan cermat memeriksa
setiap jengkal permukaan batu-batu itu untuk mencari simbol yang
tertera di atasnya. Kemudian setelah ketemu, diamat-amatinya den-
gan ingatan mengenai pemecahan yang diberikan pada portal dan ha-
laman atas lontar. Sambil sesekali ia melihat ketinggian bulan. Sete-
lah itu menentukan arah, dan rombongan itu pun berjalan beriringan
mengikutinya. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka tidak mau mengganggu
konsentrasi Ki Gisang dalam mencerna makna lambang-lambang itu
untuk menentukan arah, jika sampai ia salah menafsirkan, bisa-bisa
mereka tidak sampai ke tempat Ki Tapa, melainkan tersasar di dalam
Rimba Hijau. 59 Perjalanan itu kadang berlangsung lambat kadang cepat dari satu
batu ke batu lainnya, hal itu dikarenakan petunjuk yang diberikan
berkaitan dengan tinggi bulan di langit. Bila tidak kira-kira tepat
saat mengartikan lambang yang ada, maka bisa makna yang salah
dapat diperoleh. Dalam artian ini, berarti arah yang salah akan dip-
ilih. Oleh karena itu walaupun tidak mengerti mengenai hal ini, para
kawula muda hanya diam saja dan mengikuti Ki Gisang yang berjalan
di depan. Ki Tampar berjalan paling belakang sambil memperhatikan
panjangnya barisan. Tanpa diketahui siapa pun Paras Tampan diam-diam mencatat dalam
hatinya lokasi-lokasi yang dilaluinya. Ia adalah seorang yang memi-
liki ingatan yang baik, sesuatu yang pernah dilihatnya, sukar untuk
dilupakan. Ia berusaha mengingat-ingat, karena ia berencana untuk
sesekali kembali ke pinggir Rimba Hijau untuk bertemu dengan kekasi-
hnya, Citra Wangi. Setelah beberapa saat berjalan, di mana beberapa kawula muda,
terutama yang perempuan, merasa kakinya hampir habis, sampailah
mereka di suatu tanah lapang luas, di tengah-tengah rerimbunan
pohon-pohon tinggi. Di salah satu sisi lapangan luas itu menjulang tinggi ke atas sebuah
gunung batu terjal dengan puncaknya tidak terlihat karena tertutup
awan dan gelapnya langit. Itulah Gunung Hijau. Gunung yang baru
kali ini dilihat oleh rombongan itu dari dekat. Biasanya mereka hanya
bisa melihatnya dari jauh, dari luar Rimba Hijau. Saat ini mereka
bisa melihatnya pada jarak sedekat ini. Benar-benar merupakan suatu
gunung yang mengagumkan dan mengiriskan. Tinggi, terkesan kasar,
kekar dan dingin. Di tengah-tengah tanah lapang luar berumput setinggi mata kaki
tersebut terdapat sebuah pondokan sederhana yang terbuat dari kayu
dengan atap dari rerumputan. Di dalamnya terlihat cahaya api yang
memberikan bayang-bayang seseorang. Ki Tapa.
Rombongan itu pun dengan didahului oleh Ki Gisang menuju ke
rumah itu yang berada di sebelah kanan dari arah mereka datang
tadi. Kali ini mereka tidak lagi berjalan beriring-iring seperti semut,
melainkan bergerombol. Ki Gisang dan Ki Tampar pun tidak mence-
60 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
gahnya. Di tempat ini sudah tidak ada lagi bahaya akan tersesat,
oleh karena itu dibiarkannya mereka melepas sedikit ketegangannya
dengan bergerombol. Setelah sampai di depan pintu gubuk tersebut, berhentilah mereka
dan Ki Gisang mengucapkan salam.
"Masuklah," sebagai jawaban dari orang yang berada di dalam rumah
tersebut. Mereka pun masuk satu persatu ke dalam rumah itu.
Rumah yang sederhana. Tidak banyak perabot di dalamnya. Ter-
dapat sebuah meja panjang yang kelihatannya akan muat diisi oleh
mereka semua. Orang yang mempersilahkan mereka masuk tampak
sedang berdiri dekat sebuah panci besar. Ia membelakangi mereka.
Tampaknya ia sedang memasak sesuatu, karena terlihat sesekali dita-
mbahkannya sesuatu ke dalam panci, sambil melirik ke suatu catatan
pada daun lontar. Bau sedap pun mengembang di udara.
"Duduklah semua pada kursi di samping meja panjang," perintah
orang itu sambil tetap mengaduk-aduk panci yang sedang dijerangkan-
nya di atas api. "Sebentar lagi makan malam selesai," lanjutnya.
Para kawula muda pun bertanya-tanya dalam hatinya. Makan malam,
di tengah malam" Benar-benar makan malam. Mereka semua se-
belum berangkat dari Desa Luar Rimba Hijau telah masing-masing
mengisi perutnya. Akan tetapi setelah perjalanan yang cukup mele-
lahkan melewati Rimba Hijau, sudah pasti tiada lagi persediaan dalam
usus mereka. Pemberitahuan mengenai makan malan ini sudah tentu
amat menggembirakan. Tapi mereka diam saja. Menunggu dengan
hormat apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang aneh terse-
but, yang sampai saat itu pun belum memperlihatkan mukanya, masih
membelakangi tamu-tamunya.
Suasana pun hening. Suara jangkrik di luar dan di dalam rumah
pun dapat terdengar dengan jelas. Kadang dihentikan oleh "uhu-uhu"
burung hantu yang sedang berburu mangsanya. Tikus-tikus.
"Akhirnya selesai," ucap orang itu. Kemudian ia berbalik. Tam-
pak seorang yang sudah tua akan tetapi dengan raut muka gembira
61 dan berwajah ramah, dilengkapi dengan kerut-kerut pada sudut mata
dan mulutnya. Rambutnya awut-awutan pendek segenggam tangan.
Mungkin dipotong dengan menggunakan pedang atau pisau sehingga
terlihat tidak rata. Akan tetapi cocok dengan pakaiannya yang seder-
hana, kasar dan bersih. Ialah Ki Tapa, yang mengundang dua puluh
empat kawula muda itu melalui Ki Gisang dan Ki Tampar.
"Mari-mari makan," lanjutnya, sambil diambilnya piring-piring dari
kayu dan gelasnya yang langsung dilempar-lempar seenaknya. Tiada
yang jatuh ke lantai, melainkan jatuh tepat di depat setiap orang yang
duduk di kursi pada meja panjang sersebut. Dua puluh tujuh pir-
ing kayu dan gelasnya, "terbang" dari tangannya menuju ke hadapan
orang-orang tersebut. Termasuk di kepala meja, tempat ia akan duduk
nanti. Benar-benar demonstrasi tenaga dalam yang mengagumkan.
Tak tahan para kawula muda itu pun berdecak kagum, dan pandangan
mereka pada Ki Tapa semakin menghormat setelah melihat pertun-
jukkan itu. Belum habis kekaguman mereka, kembali Ki Tapa menun-
jukkan sesuatu yang lebih keren, ia dengan santai menyuap makanan
dari dalam panci sebesar kerbau itu dan melemparkannya seakan-akan
dalam arah yang asal-asalan. Bukannya jatuh atau mengenai salah
seorang yang duduk, melainkan makanan tersebut masuk ke dalam
masing-masing piring tersebut. Dua puluh tujuh piring kayu telah
terisi oleh makanan. Makanan berupa bubur kental berbau gurih dan
harum. Selanjutnya Ki Tapa masih mengambil air dari gentong besar
yang ada di dekat panci dan kembali menyiduknya serta melemparkan
ke dalam masing-masing gelas, tanpa ada sececerpun air yang tumpah.
"Yang barusan namanya Jurus Menunggang Angin Mengendalikan
Wujud," jelasnya sambil duduk di ujung meja. "mari makan, jan-
gan malu-malu. Di panci masih banyak tersedia. Cukup untuk tam-
bah setiap orang." Lalu tanpa menunggu tamu-tamunya, ia dengan
lahap menyantap makanannya. Semua pun makan tanpa bersuara,
menunggu-nunggu ucapan Ki Tapa.
Setelah habis Ki Tapa masih menawarkan untuk tambah, hanya beber-
apa orang yang masih lapar, selebihnya merasa telah cukup. Ternyata
walaupun terlihat sedikit, makanan tersebut mengenyangkan. Entah
apa kandungannya, tapi yang pasti terlihat bergizi tinggi.
62 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
Setelah Ki Tapa selesai makan dan juga kawula muda yang menambah
makanannya. Duduklah ia agak santai sambil memandang satu per-
satu tamu-tamunya itu. Yang dipandang tiada yang tahan bertatapan
dengan matanya yang ramah akan tetapi menyorot dengan tajam.
"Tapa dan Gisang, terima kasih telah bersusah payah membawa
mereka-mereka ini ke pondokku," ucap Ki Tapa, "aku harap kalian
tidak segan di rumah ini. Beristirahatlah selama aku dan para kawula
muda ini berada di lapangan sana."
Mereka berdua mengiyakan, tidak membantah mengapa mereka tidak
boleh melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Tapa dengan para
kawula muda itu. Setelah menyuruh masing-masing kawula muda untuk meninggalkan
barang-barang bawaannya di salah satu sudut ruangan, Ki Tapa pun
mengisyaratkan mereka untuk mengikutinya keluar rumah, menuju
lapangan di sekitarnya. Katanya pelan seperti hembusan angin, walaupun demikian terdengar
jelas bagi semua orang, "Bagi jumlah kalian ke dalam tiga kelompok.
Masing-masing kelompok delapan orang. Setiap delapan orang ten-
tukan pusat dan berdiri menghadap ke delapan mata angin. Gunung
Hijau adalah arah Utara. Punggung bersentuhan."
Mereka pun mematuhi perintah itu dan membagi jumlahnya menjadi
tiga kelompok. Setelah itu masing-masing kelompok mengambil jarak
dan menentukan titik tengah sebagai pusat mata angin mereka. Ke-
mudian mereka berdiri saling membelakangi dan menghadap ke arah
delapan mata angin, empat mata angin utama dan empat mata angin
antara. "Setiap orang maju sepuluh langkah," perintah Ki Tapa.
Kemudian ia menyuruh masing-masing untuk duduk menyilangkan
kaki dan mengheningkan cipta.
"Jangan tidur, dengarkan alam sekitar kalian. Dengarkan napas
kalian, denyut jantung, aliran darah. Gatal-gatal di pantat, semilir
angin di rambut, wangi uap air di udara. Pejamkan mata dan rasakan
semua itu," perintahnya selanjutnya, "sampai kusuruh berhenti."
63 Kemudian Ki Tapa pun berjalan berkeliling, membetulkan postur
masing-masing kawula muda tersebut. Punggung tidak tegak. Pe-
rut kurang ditarik ke dalam. Dubur tidak diangkat. Bahu tidak
rileks. Kepada tidak tegak. Setelah yakin semua menjalankan apa
yang diperintahkannya, duduklah Ki Tapa di atas sebuah batu, tidak
jauh dari ketiga lingkaran yang masing-masing dibentuk oleh depalan
kawula muda itu. Dipejamkan matanya dan ia pun ikut menghen-
ingkan cipta, merasakan alam sekitarnya.
Begitulah kawula muda Desa Luar Rimba Hijau, pada awal malam
pertamanya di dalam Rimba Hijau, telah memulai latihan-latihan un-
tuk meningkatkan kemampuannya, agar dapat kemudian dipilih untuk
menjadi ahli waris Perguruan Rimba dan Gunung Hijau. Dua puluh
empat orang muda-mudi itu berlatih dengan tekun di bawah petun-
juk Ki Tapa. Keesokan harinya Ki Gisang dan Ki Tampar pun pulang
kembali ke Desa Luar Rimba Hijau meninggalkan kawula muda desa
mereka dalam salah satu babak baru kehidupan mereka. Berlatih di
dalam Rimba dan Gunung Hijau. Saat mereka pamit para kawula
muda itu belum beranjak dari posisi mereka tadi malam. Mereka
berdua pun tidak bertemu dengan Ki Tapa, melainkan hanya mem-
baca sebuah pesan pada dinding dekat tempat mereka tidur, bahwa
mereka sebaiknya pergi kembali ke desa sebelum matahari naik tinggi,
agar dapat menemukan jalan pulang.
*** Sudah terlalu lama kita tidak mengikuti perkembangan dari Pergu-
ruan Atas Angin yang dahulu dipimpin oleh Ki Jagad Hitam. Telah
terjadi banyak perubahan di sana. Misalnya saja, sepeninggalnya Ki
Jagad Hitam, tampuk kepemimpinannya dipegang oleh Tapak Ke-
lam, salah seorang murid yang termasuk dalam keenambelas orang
Lingkaran Dalam. Lingkaran Dalam sendiri telah lama dibubarkan,
dan masing-masing dari mereka ada yang keluar dan hidup seba-
gai orang biasa atau membuka perguruan baru. Hanya sedikit yang
masih bertahan tetap dalam perguruan. Kemudian banyak aturan-
aturan perguruan yang diubah, dan juga pencarian lebih lanjut men-
genai kitab-kitab yang hilang, yaitu Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa,
Angin-angin, Batu-batu serta Seribu Ramuan, tidak lagi menjadi tu-
juan perguruan itu, melainkan sebanyak-banyaknya mencari murid
baru dan memperluas perguruan. Hal ini dipicu oleh berdirinya kem-
64 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
bali Perguruan Tapak Ganda yang telah dimusnahkan oleh Pergu-
ruan Atas angin beberapa dekade yang lalu. Dengan mendatangkan
banyak orang luar yang sakti, sisa-sisa murid perguruan Kapak Ganda
membangun kembali perguruan mereka untuk membalaskan sakit hati
mereka kepada Perguruan Atas Angin.
Bagian 2 Perubahan-perubahan Seorang anak berbaju kumuh dan lusuh tampak habis menangis di
pinggir jalan yang berdebu. Debu-debu beterbangan semakin tinggi
dari jalanan yang berbatu dan bertanah, saat dilalui oleh pedati atau
pun kuda. Seakan tak peduli dengan panasnya matahari dan sesaknya
napas menghirup udara kering berdebu itu, sang anak masih duduk
di sana. Tak jauh dari sana tampak seorang tua berjalang sambil bernyanyi-
nyanyi kecil seakan-akan hidup ini penuh dengan kecerian belaka.
"Burung bersiul bersahut-sahutan, matahari bersinar cerah, kera-kera
bermain di hutan, bunga semerbak merekah.
Buat apa susah, susah itu tak ada gunanya, buat apa resah, resah itu
juga tiada gunanya. Tralala.., trilili.., haha.., hihi.. Nanana..., ninini..., dada.., didi.."
Saat padangan matanya bertemu dengan sang bocah lusuh, orang
aneh itu pun berhenti. Dengan masih tersenyum, dikelilinginya bocah
itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus, tulang bagus,
postur tepat, sayang sedikit perasa.., hmm...," gumamnya.
Anak tersebut tampak tak peduli. Pandang matanya kosong. Ia masih
saja duduk termangu, sementara orang aneh itu masih berjalan berke-
liling, mematut-matut dan menilai-nilai dirinya.
65

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

66 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
"Hey, cah bagus, siapa namamu?" tanya orang itu tiba-tiba.
Seakan tidak mendengar pertanyaan tersebut, sang bocah yang di-
panggil "cah bagus" itu masih saja termangu dalam pikirannya.
"Wah sayang, kecil-kecil sudah budeg," lanjut orang itu seperti
berbicara pada dirinya sendiri.
Entah karena kata "budeg" atau memang baru saja tersadar dari keter-
menungannya, bocah itu baru saat itu menatap sang orang aneh. Lalu
ucapnya, "Nggak ada hujan atau angin, ngatain orang budeg. Situ
yang ngomongnya nggak kedengeran."
Mendengar jawaban yang kasar dan lugas tersebut, alih-alih marah,
orang aneh tersebut malah tertawa terbahak-bahak. Senang ia
bertemu dengan anak yang perangainya mirip dengannya.
"Nah tuh, sekarang malah ketawa nggak ketulungan, ngeri ah! Kabur.."
jawab anak itu. Sudah lupa sedihnya ia saat berhadapan dengan orang
aneh itu. "Wah, wah kamu itu lucu bener.." kata orang aneh tersebut sam-
bil menghapus air matanya yang berlerenan karena tertawa terbahak-
bahak tadi. Ia memang begitu, saat tertawa, tidak bisa menahan air
matanya. "Nama saya Lantang, paman," jawabnya dan lanjutnya, "kalau pa-
man, siapa?" Tercengang juga orang itu mendengar pertanyaan balik dari bocah
yang mengaku Lantang namanya itu. Tidak biasanya ada bocah yang
demikian berani dan tak malu-malu seperti ini.
"Namaku Rancana, tapi orang-orang biasanya memanggilku dengan
julukan Bayangan Menangis Tertawa," jawabnya jenaka.
Mimik dan cara menjawab yang menarik itu membuat Lantang men-
jadi makin ceria sehingga sesaat dapat melupakan kedukaannya,
dan ia pun berkomentar, "tentu saja, karena paman tertawa sam-
bil menangis, bukan?"
"Hahaha, benar-benar," jawab Rancana terkesan, "engkau cerdik
67 sekali Lantang. Eh, maukah engkau menjadi muridku?" Katanya
kemudian mengutarakan maksudnya yang sedari tadi telah disimpan-
nya di dalam hati, sejak ia melihat bahwa bocah tersebut memiliki
struktur tubuh yang cocok untuk menjadi seorang jago silat.
"Menjadi murid paman" Apa yang bisa dipelajari dari paman"
Menyanyi?" tanyanya penuh selidik, karena tidak melihat kelebihan
Rancana si Bayangan Menangis Tertawa itu.
Kembali Rancana tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan
yang lucu dan jujur itu. Setelah berhenti tertawa dan juga menyapu
air matanya, ia pun akhirnya berkata, "tentu saja belajar kanuragan,
ilmu silat, dengan paman. Maukah?"
Lantang terdiam dan kemudian dengan lemas menggeleng, "tidak pa-
man." Lanjutnya kemudian, "saya benci ilmu silat, ilmu yang berguna
hanya untuk mengundang kekerasan."
Terkejut juga hati Rancana mendengar jawaban sang bocah. Tidak
biasanya bocah-bocah menolak apabila diajari ilmu silat. Secara
umum amat senang anak-anak belajar silat, apalagi bila tahu bahwa
dirinya yang akan menjadi guru. Benar-benar bocah ini aneh dan
amat menarik hatinya. "Logika yang tidak tepat itu, cah bagus," terangnya kemudian, "ilmu
silat ataupun kanuragan itu sama halnya seperti pisau atau api. Kita
dapat menggunakan pisau untuk membantu pekerjaan kita sehari-
hari, misalnya memotong daging untuk dimasak, memotong sayuran
sebelum direbus dan sebagainya. Akan tetapi pisau dapat pula di-
gunakan untuk mengancam orang lain, membunuh atau perbuatan
jahat lainnya. Demikian pula dengan api, api yang diatur dapat digu-
nakan untuk memasak, melunakkan logam, mencetak emas dan lain-
nya. Akan tetapi api yang tidak terkendali dapat menyebabkan ke-
bakaran rumah dan hutan."
Mendengar uraian mengenai baik buruknya sesuatu yang relatif ter-
hadap cara penggunaannya itu membuat Lantang menjadi sedikit bin-
gung. Nalarnya masih meyakini bahwa ilmu silat hanyalah sumber
kekerasan belaka, sehingga ucapnya, "tapi paman..., untuk apa ilmu
silat jika kita tidak mau berseteru secara "sik dengan orang lain" Buat
apa mempelajarinya?"
68 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
"Banyak manfaat ilmu silat selain untuk bekelahi, cah bagus. Antara
lain untuk menjaga kesehatan. Mempertinggi daya tahan tubuh ter-
hadap penyakit. Melancarkan peredaran darah, melancarkan nafas,
membuat diri selalu bersemangat dan juga melatih konsentrasi dan
kesabaran," jelas Rancana.
"Wah, saya belum pernah mendengar hal seperti itu, paman!" jawab
Lantang jujur. Sesaat, keheningan pun lewat di antara mereka berdua. Walaupun
bibit-bibit persahabatan telah muncul di antara dua insan tersebut
akan tetapi waktu masih perlu untuk menanti agar hal tersebut tum-
buh dan berbuah. Salah satu dari mereka harus bisa meyakinkan yang
lain. Rancana, si Bayangan Menangis Tertawa, merasa ada yang aneh
dengan keadaan Lantang, si bocah lusuh di pinggir jalan itu, maka
tanyanya lebih jauh, "coba jelaskan pikiranmu mengapa kamu terlihat
tidak senang ilmu silat! Atau ada sesuatu yang pernah engkau alami
yang menyebabkan engkau benci ilmu silat?"
Diingatkan akan tragedi yang barus saja dialaminya. Lantang men-
dadak terlihat murung, dan sejentik air mata terlihat pada sudut
matanya yang mulai berkaca-kaca. Akan tetapi ia berusaha untuk
tidak menangis. Ia tadi telah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan
lagi menangis. Ia tidak mau terlihat lemah, ia akan membuktikan
pada orang-orang yang menyebabkannya menderita bahwa ia bukan
anak cengeng dan ia bisa hidup dengan kekuatannya sendiri. Tapi
walaupun demikian ingatan yang masih segar akan semua peristiwa
tersebut membuatnya kembali bersedih.
"Apa yang sebenarnya terjadi, cah bagus?" tanya Rancana den-
gan hati-hati, perubahan wajah Lantang yang jelas terlihat itu,
mengisyaratkan adanya peristiwa hebat yang mengguncangkan jiwa
anak itu. "Menangislah, tidak pantang seorang lelaki menangis. Bila
itu dapat menolong mengeluarkan bebanmu, menangislah!"
Tak tahan dengan anjuran dan juga suara Rancana yang bersimpati
membuat bendungan air mata Lantang hancur, dan bergulirlah air
matanya jatuh, walaupun tanpa suara. Selain suara angin dan debu
yang beterbangan, tiada suara lain di sekitar mereka. Hening. Dan
69 Rancana pun membiarkan Lantang menggunakan waktunya.
Setelah mengeluarkan bebannya melalui tangis, tenanglah Lantang.
Sedikit lebih baik perasaannya. Dengan perlahan-lahan diceritakan-
nya peristiwa yang terjadi pada diri dan keluarganya, dan mengapa ia
sampai terdampar di tempat itu.
*** Bukit Utara di sebelah selatan Paparan Karang Utara yang di waktu
siang hari umumnya tampak lengang, tiba-tiba saja dipenuhi banyak
sekali orang-orang yang berpakaian ringkas dan memiliki gerakan man-
tap. Orang-orang ahli silat.
Di sisi timur berdiri sembilang orang. Naga Geni dan delapan orang
Penjuru Angin. Sedangkan di sisi timur berdiri juga sembilan orang.
Ki Jagad Hitam dan delapan orang sisa dari Lingkaran Dalam. Perte-
muan ini merupakan kala kedua sejak pertempuran pertama di tempat
yang sama. Dalam pertempuran pertama hampir hilang seluruh murid
perguruan Kapak Ganda, sehingga hanya tersisa sang guru Naga Geni
dan delapan orang murid utamanya. Dan itu harus dibayar mahal oleh
perguruan Atas Angin dengan tewasnya separuh anggota lingkaran
dalam dan hampir seluruh murid tingkat satu dan dua.
Kedudukan yang sama sembilan lawan sembilan ini tentu saja mem-
besarkan hati orang-orang perguruan Kapak Ganda, karena mereka
berada di daerahnya sendiri. Lain dengan orang-orang Perguruan
Atas Angin yang tidak terbiasa pada daerah berbatu-batu seperti
ini. Akan tetapi ada hal yang tidak diketahui oleh Naga Geni dan
murid-muridnya, bahwa Ki Jagad Hitam telah memerintahkan untuk
meminta bantuan pada sisa-sisa muridnya. Dan bantuan ini langsung
menyerang mereka yang ada di Bukit Utara melainkan akan meny-
erang dan menguasai markas Perguruan Kapak Ganda yang saat ini
sedang kosong. Apabila siasat ini berhasil sudah tentu orang-orang
Perguruan Kapak Ganda akan menjadi hilang semangatnya dan mu-
dah untuk dijatuhkan. "He.. Jagad Hitam, menyerahlah. Hampir habis itu murid-muridmu
kami bantai." teriak Naga Geni jumawa, "bahkan separuh dari
Lingkaran Dalam yang dibanggakanmu itu sudah masuk liang kubur."
70 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Ki Jagag Hitam yang tidak terpancing dan dengan kalem jawabnya,
"Naga Geni, berkacalah, orang-orangmu juga hampir habis. Lebih
baik kamu penggal sendiri kepala murid-muridmu itu, daripada aku
yang melakukannya." Tak bisa terima dengan ejekan itu, malah Naga Geni yang termakan
sendiri dengan siasatnya untuk memancing emosi Ki Jagad Hitam.
Dengan tanpa "ba-bi-bu" lagi, ia pun menyerah Ki Jagad Hitam den-
gan ilmu silatnya yang bernama Kapak Pengantar Nyawa. Gerakan-
gerakan dalam ilmu tersebut didominasi oleh sabetan-sabetan mel-
ingkar menyilang, yang seakan-akan tiada memberi ruang untuk kabur
atau menyerang. Dengan dua buah kapak, yang menjadi ciri Pergu-
ruan Kapak Ganda, Naga Geni merengsek maju, tidak memberi ruang
gerak pada Ki Jagad Hitam.
Alih-alih melompat mundur untuk menghindar Ki Jagad Hitam malah
meloncak ke atas terbalik dan menyerang belakang kepala Naga Geni
dengan tangannya yang siap mencengkram ubun-ubun. Ia melihat
bahwa jurus-jurus dari Kapak Pengantar Nyawa kuat pada arah depan
akan tetapi kosong pada arah atas sebelah belakang.
Kaget melihat serangan yang berbahaya itu Naga Geni tak kehilangan
akal, dengan segera ia menekuk tubuhnya ke depan untuk menghidar
serangan pada belakang kepalanya, dan sambil berjungkir balik dilem-
parkannya ke belakang kedua kapaknya satu per satu. Satu kapak di
satu waktu dan yang lainnya di lain waktu, dengan arah putaran yang
berbeda. "Hemm," dengus Ki Jagad Hitam yang hampir saja menjadi makanan
kapak kedua yang dilemparkan oleh Naga Geni. Ia dapat dengan mu-
dah melihat lemparan kapak pertama, akan tetapi tidak yang kedua,
karena dilemparkan dalam bayangan kapak pertama dan lebih cepat.
Dengan pengaturan tenaga yang mumpuni, kapak kedua Naga Geni
bisa datang lebih dulu dari yang pertama.
Akhirnya berada keduanya pada jarak aman untuk diserang. Keringat
panas akibat gerakan yang banyak menguras tenaga tampak mengalir
deras dari kening keduanya. Di antaranya juga terdapat keringat din-
gin menetes, mengingat hampir saja nyawa mereka melayang di tangan
lawannya masing-masing. 71 Dengan isyarat tangannya Naga Geni memerintahkan semua murid-
muridnya dari Penjuru Angin untuk maju. Bersamaan maju pula sisa-
sisa dari Lingkaran Dalam. Setelah masing-masing memilih lawannya
satu-satu, maju pula kembali Naga Geni berhadapan dengan Ki Jagad
Hitam. Bertempuran pun kembali dimulai. Setiap orang melakukan jurus
demi jurus, tipu demi tipu untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Tingkat ilmu yang seimbang dan daya tahan diperlihatkan dalam
masing-masing pertempuran. Matahari pun telah meminggalkan po-
sisi tertingginya, akan tetapi belum terlihat ada yang menang atau
kalah dari kesembilan perkelahian tersebut.
Mendadak terdengar suara, "Guru, perguruan diserang..."
Mendengar berita itu, sontak hilang konsentrasi orang-orang Pergu-
ruan Kapak Ganda yang sedang bertempur. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh orang-orang Perguruan Atas angin, mereka pun
meningkatkan daya serang mereka sampai semampu-mampunya. Ak-
ibatnya sudah dapat diduga, berselang tak berapa lama jatuh satu
persatu kedelapan Penjuru Angin di tangan sisa-sisa Lingkaran Dalam.
Sampai tinggal Naga Geni yang masih dapat berdiri, itu pun dengan
penuh luka pukulan di sana-sini.
Hilang sudah semangat Naga Geni melihat tumbangnya kedelapan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
murid utamanya, dan juga mendengar berita bahwa perguruannya
telah diserang saat ia dan murid-muridnya berada di sini. Ia kalah
bukan hanya oleh ilmu silat dari Perguruan Atas Angin yang lebih baik
melainkan pula oleh siasat keji mereka untuk menyerang perguruan
saat penghuninya sedang bertempur di luar. Mengingat kebodohan
dan kekalahannya itu Naga Geni pun memutar kapak gandanya lebih
cepat dan melemparkan ke samping. Dengan berdesing kedua ka-
pak itu berputar dalam arah yang berbeda dan kembali kepada yang
melemparnya setelah terbang miring melengkung.
Dan, "capp..!" terpenggallah kepala Naga Geni rapih oleh kedua ka-
paknya. Ia tidak sudah dikalahkan dan dipermalukan oleh Ki Jagad
Hitam. Lebih baik ia membuhuh diri dari pada dibunuh. Toh, sudah
tidak ada yang tinggal dari perguruannya. Murid-muridnya, perguru-
annya, semua telah habis dibasmi oleh Perguruan Atas Angin.
72 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Melihat hal tersebut bergelak tawa Ki Jaga Hitam, "hahaha..., bagus
Naga Geni, lebih baik engkau bunuh diri, dari pada aku bersusah-
payah membunuhmu. Mulai hari ini orang-orang akan melupakanmu
dan juga Perguruan Kapak Ganda." Tidak ada sedikitpun rasa menye-
sal atau kasihan dalam diri Ki Jagad Hitam. Semua yang dilakukannya
dirasakan merupakan sudah sepantasnya, yang membela keunggulan
nama perguruannya. Perguruan Atas Angin. Perguruan yang paling
tangguh di bumi persilatan.
Setelah beristirahat sebentar kemudian, Ki Jagad Hitam pun turun
dari Bukit Utara menuju Desa Paparan Karang Utara untuk melihat
hasil kerja murid-muridnya yang berhasil membumihanguskan rumah-
rumah Perguruan Kapak Ganda.
Tampak puing-puing bangunan yang telah habis dilalap api. Juga
tumpukan batu-batu yang digunakan sebagai gapura pintu utama per-
guruan. Semuanya hancur, jika boleh dikatakan, hanya setinggi lu-
tut dari atas tanah. Hampir-hampir tak tersisa kejayaan Perguruan
Kapak Ganda. Beberapa sosok mayat murid-murid tingkat rendah
perguruan yang pada saat terakhirnya masih membela rumah-rumah
mereka, tampak di mana-mana. Ada yang mati hangus terbakar, ada
pula yang tertusuk golok ataupun tombak.
Di tengah-tengah puing-puing tersebut terdapat sekumpulan anak-
anak yang berwajah pucat dan muka habis menangis. Pakaian mereka
kotor dinodai tanah dan percikan-percikan darah. Mereka adalah
anak-anak dari murid-murid Perguruan Kapak Ganda yang masih
hidup karena berlindung pada satu ruang bawah tanah di salah satu
rumah. Secara kebetulah tempat tersebut ditemukan oleh seorang
murid Perguruan Atas Angin.
"Hmm, cikal bakal masalah," kata Ki Jagad Hitam, "bunuh saja se-
muanya!" "Ki Jagad Hitam," usul seorang dari Lingkaran Dalam, "terlalu enak
apabila dibunuh. Mengapa tidak kita buat mereka menjadi gembel
saja dan disuruh mengemis. Pada akhirnya mereka pun akan mati
juga, bukan?" "Boleh juga usulmu itu, Tapak Kelam," ujar Ki Jagad Hitam. "Sesuka-
mulah," lanjutnya yang artinya telah memberi ijin untuk melak-
73 sanakan niatan itu.

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mendapat persetujuan dari Ki Jagad Hitam, dengan dibantu
oleh beberapa murid Perguruan Atas Angin, Tapak Kelam pun
memerintahkan anak-anak yang malang itu untuk mengganti paka-
iannya dengan rombengan yang disediakan. Mengotorkan mukanya
dan menyuruh mereka untuk berguling-guling di atas debu dan ko-
toran hewan. Setelah puas menyiksa mereka, Tapak Kelam pun
masih menghadiahi mereka masing-masing satu totokan di punggung.
Seperti halnya Ki Jagad Hitam, Tapak Kelam pun kuatir apabila
anak-anak itu besar nanti akan menuntut balas, oleh karena itu ia
menutup jalan darah penting dari tubuh mereka. Dengan demikian
sehebat apapun mereka belajar, tidak akan bisa mereka mencapai
tingkatan ahli dalam bela diri. Benar-benar suatu siasat yang keji
dan jahat. Lebih jahat ketimbang membunuh begitu saja anak-anak
itu. *** Tak tanah Rancana mendengar cerita yang dikisahkan oleh Lantang,
tentang bagaimana orang tuanya, yang merupakan salah seorang
murid rendahan Perguruan Kapak Ganda dibantai oleh orang-orang
Perguruan Atas Angin. Selain itu anak-anak yang selamat masih pula
disiksa, dipermalukan dan disuruh untuk mengemis. Mungkin masih
lebih baik apabila mereka dibunuh saja.
"Jadi itu alasanmu, mengapa tidak ingin mempelajari ilmu silat,"
tanya Rancana si Bayangan Menangis Tertawa, untuk meyakinkan.
"Benar, paman."
"Tidak inginkah engkau membalas dendam kedua orang tuamu?"
"Keinginan ada, paman. Tapi apa dayaku. Lebih baik aku melupakan
hal itu dan memulai kehidupanku sendiri."
"Bukankah dengan demikian enkau malah membiarkan orang-orang
yang jahat itu berkeliaran. Terlebih mereka telah menewaskan kedua
orang tuamu dan juga kerabat-kerabatnya."
Lantang pun terdiam. Pada masa itu memang sudah menjadi su-
atu kewajiban bahwa anak yang orang tuanya dibunuh, harus me-
74 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
nuntut balas. Hal itu sebagai suatu bakti kepada mendiang orang
tuanya. Lantang tahu hal itu, tapi balas dendam bukanlah hal yang
disukainya. Ia sedari kecil tidak suka kekerasan. Bila teman-teman
sepermainannya mengganggunya, ia hanya menjauh dan menghindar.
Entah sikap ini timbul dari keminderannya akan pekerjaan ayahnya
yang hanya murid rendahan dan juga pengurus kandang kuda, atau
merupakan bawaan. Ayahnya pun sudah berulang kali menasehatinya
untuk menghadapi orang-orang yang mengganggunya, akan tetapi ia
tidak bisa. Ia memilih lebih baik menyendiri, jauh dari keramaian,
dari pada harus berseteru dengan orang lain.
"Tapi paman, saya tidak suka kekerasan."
"Begini saja, bagaimana jika kamu menjadi muridmu dan belajar silat,
akan tetapi ilmu itu jangan digunakan. Anggap saja semacan cara
untuk menjadi sehat. Sehat itu perlu dalam bekerja untuk menafkahi
hidup, bukan?" Akhirnya Lantang pun setuju. Ia pun mengangkat guru pada Rancana
si Bayangan Menangis Tertawa, salah seorang ahli silat yang tidak
banyak pada masa itu. Terutama dalam hal ilmu meringankan tubuh.
*** Iring-iringan kereta kuda berjalan berurut-urutan. Tujuh buah kereta
yang masing-masing ditarik oleh dua buah kuda semuanya. Berjalan
pelan-pelan seakan-akan waktu tak begitu penting artinya. Dua buah
kereta yang di depan berisikan hanya barang-barang. Ada kotak-
kotak, gulungan-gulungan kain, sayur mayur dan barang-barang lain-
nya. Tiga kereta yang di tengah berisikan orang-orang, hal ini dapat
terlihat dari kepala-kepala yang tampak dari lobang-lobang jendela
pada kain terpal yang menutupi kereta-kereta kuda tersebut. Sedan-
gkan sisa kereta selebihnya berisikan batang-batang kayu seperti ba-
han dasar untuk membuat tombak.
Yang mengejutkan adalah pada tiap-tiap kereta ada simbol dua buah
kapak bersilangan dalam suatu lingkaran. Lambang Perguruan Ka-
pak Ganda. Apakah orang-orang ini juga anggota Perguruan Kapak
Ganda, yang tidak tahu bahwa perguruannya telah ditumpas habis
oleh Perguruan Atas Angin" Ya, mereka adalah sisa-sisa dari Pergu-
ruan Kapak Ganda, yang tidak tahu-menahu atas bencana yang telah
75 menimpa perguruan mereka. Saat bencana itu terjadi mereka sedang
pergi ke Tanah Seberang Pulau untuk mengundang beberapa tokoh
sakti yang akan dijadikan pelatih di perguruan.
Sebenarnya tokoh-tokoh sakti dari Tanah Seberang Pulau itu bukan-
lah orang-orang lain dari sang guru, Naga Geni. Melainkah mereka itu
adalah saudara-saudara angkatnya, saat ia mencari ilmu di Tanah Se-
berang Pulau. Adapun ketiga tokoh yang diundang itu adalah Mayat
Pucat, Sabit Kematian dan Cermin Maut. Dua tokoh pertama adalah
laki-laki setengah tua seperti halnya Naga Geni, sedangkan yang ter-
akhir adalah seorang perempuan setengah baya yang masih terlihat
cantik dengan dandanannya yang tebal. Mereka-mereka ini bisa sal-
ing mengangkat saudara karena kesamaan sifat yang tidak mematuhi
norma-norma yang umumnya dipatuhi oleh seorang pendekar. Bisa
dibilang mereka adalah anggota dari golongan sesat. Orang-orang
berilmu akan tetapi memanfaatkan ilmunya semena-mena kepada
sesamanya. Jika Naga Geni memiliki Kapak Pengantar Nyawa, yang merupakan
ilmu silat bersenjata kedua kapaknya yang memenuhi ruang gerak
lawan " menyapu ke segala arah, maka ketiga orang ini memilki
masing-masing keahlian atau ilmu yang canggih pula digunakan dalam
bertempur. Mayat Pucat, sesuai dengan julukannya memiliki ilmu
yang bersifat dingin. Ilmu yang diperolehnya setelah bertahun-tahun
bertapa bersama mayat-mayat di kuburan. Dengan cara ini ia dapat
menyerap sisa-sisa energi dari mayat-mayat saat terurai dalam tanah.
Semakin segar mayat yang akan digunakan, semakin baik. Bahkan
tidak jarang, ia menculik orang dan membunuhnya untuk digunakan
sebagai alat latihan. Selain itu orang-orang yang matinya penasaran,
ketakutan, marah dan tidak rela, memberikan tenaga yang lebih baik
bagi Mayat Pucat, ketimbang orang yang meninggal dengan baik-baik.
Oleh karena itu Mayat Pucat tidak suka mengganggu kuburan para
pendeta atau orang-orang suci, karena percuma. Energi yang tersisa
dari mayat-mayat mereka tidak dapat dimanfaatkannya. Senjata an-
dalannya adalah kepalan tangan dan juga kuku kaki dan tangannya
yang sudah kuning menghitam. Mengandung racun keji dan ganas.
Lain pula halnya dengan Sabit Kematian. Wujudnya yang selalu
berjubah dan bertudung kepala itu, mirip dengan malaikat pencabut
nyawa pada hikayat-hikayat di suatu tanah jauh. Senjata andalan-
76 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
nya adalah semacam sabit besar yang dikaitkan pada tongkat setinggi
kepala. Dengan sejata ini Sabit Kematian merupakan ahli tempur
jarak menengah. Dengan loncatan-loncatannya ia bisa menghabisi
musuh yang menyerangnya sampai jarak dua tiga tombak.
Tokoh terakhir adalah Cermin Maut. Apabila dilihat dari wujudnya,
maka tiadalah orang yang akan berprasangka bahwa wanita yang ter-
lihat halus ini merupakan salah satu dedengkot kaum sesat. Dengan
ilmunya yang dikenal sebagai Tarian Penjemput Nyawa, Cermin Maut
dapat mempesona musuh yang tidak kuat batinnya untuk kemudian
membunuhnya. Sudah banyak jago-jago muda, terutama yang tam-
pan, yang menjadi korban Tarian Penjemput Nyawa-nya. Biasanya
mereka itu telah terjebak pada pesonanya sebelum dibunuh.
Mendengar bahwa saudara angkat mereka Naga Geni telah menjadi ke-
tua suatu perguruan dan hidup makmur, tergiur pula ketiga orang ini
untuk mengunjunginya. Terlebih setelah datang utusan yang mengun-
dang mereka untuk menjadi guru di Perguruan Kapak Ganda tersebut.
Oleh karena itu bergegaslah mereka berangkat sambil tak lupa untuk
membawa barang-barang yang dapat digunakan sebagai senjata untuk
membantu tugas mereka sebagai guru nanti.
Tak terlukiskan bagaimana marah dan sedihnya ketiga orang itu saat
tiba di pintu Perguruan Kapak Ganda yang tiada lagi berwujud.
Hanya puing dan reruntuhan yang ada. Sesekali masih ada asap dari
kayu-kayu yang belum habis terbakar. Tiada sisa satu orang pun yang
dapat memberi tahu apa yang terjadi. Sayangnya mereka tidak tahu
bahwa ada anak-anak yang tidak dibunuh, akan tetapi sudah disebar
kemana-mana. Mereka-mereka inilah yang masih dapat menceritakan
apa yang terjadi. "Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang," tanya seorang dari
mereka. "Bagaimana kalau kita bangun lagi saja perguruan ini," usul seorang,
"toh saudara Naga Geni memang mengundang kita untuk menjadi
guru di sini. Tak ada salahnya bila kita meneruskan pekerjaannya.
Sambil kita menyusun kekuatan dan mencari tahu siapa dalang di
belakang peristiwa ini semua."
Kedua temannya mengangguk-angguk setuju. Pun tidak ada gunanya
77 apabila mereka kembali ke Tanah Seberang Pulau setelah jauh-jauh ke
Paparan Karang Utara. Harus ada yang dikerjakan dan membangun
kembali Perguruan Tapak Ganda merupakan suatu hal yang masuk
akal untuk diusahakan. Sebagai orang yang paling supel diantara mereka bertiga Cermin Maut
pun mengambil alih tampuk pimpinan dan kedua orang itu pun setuju-
setuju saja. Karena bagi mereka pimpinan bukanlah sesuatu yang
diimpikan, melainkan ketinggilan ilmu silat baru merupakan kebang-
gaan. Dengan bantuan rombongan dari orang-orang Perguruan Kapak
Ganda yang masih tersisa ketiga saudara angkat golongan sesat itu
pun mulai membangun kembali Perguruan Kapak Ganda. Mereka
mencari murid-murid yang dianggap baik dan dapat dididik sebagai
murid yang handal. Kadang proses pencarian murid dilakukan melalui
bujukan bahkan paksaan. Dengan cara itu Perguruan Kapak Ganda
dalam waktu singkat kembali memiliki jumlah murid yang banyak.
*** "Dua ratus tiga puluh tujuh..!"
"Dua ratus tiga puluh delapan..!"
Begitulah suara-suara yang sayup-sayup terdengar dari suatu arah
mata angin di dalam Rimba Hijau, di kaki Gunung Hijau. Pagi masih
malas menggeliat untuk pergi dari peraduannya, walaupun foton-foton
sang surya telah membombardirnya. Tak malu sang pagi pada muda-
mudi yang telah bangun dan berkeringat sejak tadi.
"Tiga ratus delapan belas..!"
"Tiga ratus sembilan belas..!"
Dengan semakin dekatnya sumber suara itu, terdengar semakin jelas
bahwa suara-suara tersebut tidak berasal dari satu orang, melainkan
berganti-ganti. Ada belasan lebih orang-orang muda yang sedang ber-
jalan dengan cara yang tidak biasa. Dan pada setiap langkahnya
mereka meneriakkan jumlah langkah yang telah dilampaui.
Bila mula-mula mereka menghadap ke utara dan kaki kanan berada
78 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
di belakang, maka kaki yang berada di belakang tersebut menghadap
ke arah timur laut, sedangkan kaki yang di depan persis menghadap
utara, dengan titik tengah kedua telapak kaki berada segaris meng-
hadap ke utara. Apabila melangkah ke depan, berat badan perlahan dipindahkan ke
kaki kiri dengan memutar perlahan tumit, sehingga telapak kaki kiri
menghadap ke barat laut. Dengan bersamaan kaki kanan diayunkan
ke depan dan diletakkan persih menghadap utara, dengan jarak kira-
kira selebar bahu. Hal yang sama pun dilakukan apabila melangkah
ke belakang dengan urut-urutan yang berbalikan.
Cara melangkah ini dinamakan Melangkah Maju Mundur Kaki Mem-
bentuk Sudut oleh Ki Tapa saat ia mengajarkan bentuk gerakan ini
kepada dua puluh empat murid-muridnya.
"Kuda-kuda adalah bagian penting dari ilmu silat. Tanpa kuda-kuda
tidak ada ilmu silat," jelas Ki Tapa. "Dengan adanya kuda-kuda,
tenaga pinjaman dari bumi dapat dipindahkan. Bisa dibelokkan, di-
alirkan, ditahan atau digentak-balikkan. Tergantung apa yang hendak
diperoleh." Lanjutnya, "bila tenaga kita kuat dan lawan kurang kuat, dan kita
tahu atau menduga bahwa lawan tidak akan mengelak, bisa kita ba-
likkan tenaga lawan secara langsung. Ini dikenal sebagai keras lawan
keras. Yang kuat akan menang. Kalian bisa berikan seluruh tenaga
kalian untuk satu serangan ini, jika yakin masuk dan menang. Akan
tetapi hati-hati, jika lawan bisa mengelak atau membelokkan. Karena
saat serangan atau tenaga kita lewat, dan kita kehilangan kendali,
saat itulah serangan akan masuk. Kita merugi, tenaga sudah habis
diberikan, sehingga sulit untuk menariknya untuk digunakan sebagai
tenaga bertahan." Begitulah sekelumit keterangan yang diberikan oleh Ki Tapa pada
suatu hari saat mengajari murid-muridnya mengenai teori-teori ger-
akan bela diri. Dengan manggut-manggut terlihat seperti mengerti
para muda itu mengiyakan apa yang diminta oleh Ki Tapa, yaitu
melakukan sepuluh kali latihan Melangkah Maju Mundur Kaki Mem-
bentuk Sudut, dengan setiap kalinya terdiri dari dua arah, maju dan
mundur yang harus dilakukan sebanyak 1000 langkah. Untuk itu
79 mereka dibagi dalam tiga kelompok, masing-masing delapan orang,
yang melakukannya dengan beriringan. Dalam masing-masing kelom-
pok diangkat satu pemimpin, yang dirasa Ki Tapa paling banyak
mengerti gerakan yang baru diajarkan.
Bakat murid-muridnya memang berbeda-beda, dan Ki Tapa dapat
melihat dari cara mereka mendengarkan dan kemudian melatihnya.
Ada yang dapat dengan mudah menerima contoh dan teori yang
diberikan, akan tetapi sulit untuk melakukannya, karena mereka bisa
dengan mudah melihat, akan tetapi tidak melakukannya. Mereka bisa
mengoreksi gerakan-gerakan teman-temannya, dibandingkan dengan
ingatan mereka akan gerakan Ki Tapa. Akan tetapi saat diminta
untuk melakukannya, mereka kurang lancar.
Ada pula yang sulit untuk mengingat-ingat, dan bahkan tidak mau.
Mereka yang termasuk dalam golongan ini, biasanya minta langsung
untuk menirukan. Ingatan mereka akan terekam dengan sendirinya
dalam gerakan. Tanpa perlu mengingat-ingat dan membayangkan.
Dengan arif Ki Tapa berusaha memadukan kedua jenis perangai ini
dan juga yang berada di antaranya, agar mereka saling membantu,
melengkapi dan mengingatkan. Melalui cara ini murid-muridnya dapat
dengan mudah mencerna apa yang ia ajarkan. Dengan bersama-sama
mereka saling membantu proses pembelajaran.
"Wah Rintah, keliru itu langkahmu," kata Misbaya, "kaki yang be-
lakang jangan segaris dengan kaki yang depan. Harus agak serong..!"
"Betul Rintah", sahut Rantih, adiknya.
Begitulah mereka saling mengingatkan dan membantu. Dan yang
dibantu pun dengan senang hati menerima petunjuk yang diberikan.
Karena mereka sama-sama baru mulai mempelajari bela diri dan
juga cara Ki Tapa yang tidak membeda-bedakan mereka, tumbuhlah
semacam rasa kekeluargaan diantara mereka. Sehingga latihan meru-
pakan waktu yang menyenangkan dan ditunggu-tunggu oleh para
kawula muda itu setiap hari.
"Habis sudah napasku," ucap Paras Tampan terengah-engah. Walaupun
demikian ia dan Asap termasuk sebagian kecil yang sudah menyele-
saikan sepuluh kali 1000 langkah maju mundur pada pagi itu. Dan
80 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
seperti petunjuk yang sebelumnya diberikan oleh Ki Tapa, mereka
jangan menekuk kakinya, melainkan melonjorkannya sambil duduk
dan mengetar-getarkannya untuk pelemasan.


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menunggu teman-temannya menyelesaikan kurang dari lima
puluh langkah lagi, Asap, Paras Tampan dan Gentong memijit-mijit
kaki mereka dan memborehkan semacam daun-daunan yang telah
dibusukkan dan diberi ramuan. Dengan tujuan agar otot-otot yang
telah dipaksa untuk melangkah dapat terobati.
"Ramuan ini tidak akan menghilangkan rasa pegal pada kaki kalian,"
begitu jelas Ki Tapa, "akan tetapi akan membantu peredaran darah
untuk secepatnya mengganti bagian-bagian yang lelah dengan yang
masih segar. Dengan cara ini tubuh kalian akan terlatih untuk cepat
segar kembali." Benar, setelah beberapa saat mereka merasa telah memiliki tenaga
kembali untuk melangkah, walaupun rasa lelah dan pegal masih
menghinggapi kedua kaki mereka.
Tak lama kemudian, kurang lebih sepeminum teh hijau, selesailah
semua kawula muda yang masih berlatih gerakan Melangkah Maju
Mundur Kaki Membentuk Sudut tersebut. Dan mereka pun bergabung
dengan rekan-rekannya yang telah lebih dulu selesai, untuk mele-
maskan otot-otot kakinya dan juga memborehkan ramuan daun-daun
seperti dipesankan oleh Ki Tapa. Kawan-kawan yang telah selesai
lebih dahulu dan telah segar kembali membantu kawan-kawan yang
baru saja beristirahat. Sambil sesekali juga bercanda ria.
Di kejauhan Ki Tapa tersenyum melihat minggu pertama latihan para
kawula muda itu. Ia senang bahwa para muda itu dapat saling bek-
erja sama dan membantu. Walaupun demikian ia melihat bahwa di
antara mereka terdapat bibit-bibit yang kurang baik dalam perangai.
Ia sendiri belum tahu mengapa ia merasakah hal itu. Tapi untuk se-
mentara ia hanya akan menyimpan hal itu di belakang kepalanya saja.
Hanya sebagai catatan. *** Waktu makan siang pun datang. Kedua puluh empat orang muda itu
pun makan bersama-sama dengan Ki Tapa. Di tengah padang rumput,
81 lapangan lain yang berada di tengah Rimba Hijau. Saat ini para
kawula muda baru mengetaui terdapat dua buah lapangan terbuka
di tengah-tengah Rimba Hijau. Yang pertama adalah lapangan di
sekitar pondok di mana mereka bermalam dan yang kedua adalah
lapangan tempat mereka berlatih 1000 langkah ini. Ukurang lapangan
yang pertama tidak mencukupi untuk melatih 1000 langkah, ungkap
Ki Tapa, oleh karena itu mereka pun beranjak ke lapangan ini untuk
mencari tempat yang cukup. Dan karena setelah makan dan sedikit
waktu beristirahat mereka akan kembali melakukan latihan di tempat
yang sama, makanan pun dihadirkan di sana.
Makan siang yang sederhana. Nasi dan ikan bakar. Sayur-sayuran se-
bagai lalap dan sambal. Makanan yang ditemani dengan udara segar
dan keluarnya keringat akibat bekerja "sik akan menjadi bertambah
lezat. Hal itu yang sering tidak disadari bahwa kelezatan itu bukan
perkara rasa dan campuran bumbu saja, akan tetapi terkait pula den-
gan kebutuhan tubuh akan asupan energi dari luar. Apabila tubuh
butuh tambahan tenaga, makanan sederhana pun akan menjadi lezat.
Sedangkan makanan lezat pun akan menjadi hambar, apabila perut
telah kenyang atau banyak hal yang dipikirkan.
Sebenarnya perihal bagaimana makanan-makanan yang disantap
mereka dapat hadir, telah menjadi pertanyaan tersendiri di benak
masing-masing kawula muda itu. Mereka pernah juga membicarakan-
nya. Walaupun mereka tahu Ki Tapa memiliki ilmu, akan tetapi untuk
menyiapkan makanan untuk dua puluh lima orang dan tiga kali sehari
itu, bukanlah perkara mudah. Apalagi Ki Tapa masih kadang-kadang
mengawasi mereka latihan.
Memang pada saat kedatangan mereka pertama kali ke pondok Ki
Tapa, mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang
Ki Tapa sendirilah yang memasak. Akan tetapi saat itu hanyalah
semacam sup dalam periuk besar. Sedangkan hari-hari selanjutnya,
kadang terdapat sayuran, ikan, kelinci dan jenis-jenis makanan lain
yang akan menyita waktu untuk mempersiapkannya.
Pernah sekali waktu Rantih dan Gentong secara tak sengaja meli-
hat sesosok bayangan yang bergerak amat cepat di belakang rumah
Ki Tapa. Sedemikian cepat sehingga mereka tidak bisa mengenali
apakah itu manusia atau bukan. Dan yang aneh tercium bau wewan-
82 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
gian bunga pada saat itu.
Saat hal tersebut diutarakan oleh Misbaya ke hadapan Ki Tapa saat
mereka semua sedang bersantap malam, Ki Tapa hanya tersenyum.
Lalu jawabnya, "banyak hal-hal yang belum kalian tahu mengenai
kehidupan di Rimba Hijau, apalagi di Gunung Hijau ini. Untuk se-
mentara waktu, simpanlah dulu pertanyaan itu. Pada saatnya semua
akan jelas dengan sendirinya. Dengan semakin berisinya kalian, akan
semakin jelas apa yang tampak."
Perkataan itu mengisyaratkan bahwa mereka tidak boleh lebih jauh
bertanya-tanya atau mencari tahu mengenai hal-hal yang bagi mereka
masih merupakan tanda tanya. Dengan patuh kawula muda itu tidak
bertanya-tanya lagi, melainkah dengan tekun berlatih dan berlatih.
Hal ini sudah tentu melegakan dan menggembirakan hati Ki Tapa.
Dalam acara makan bersama seperti itu, seperti halnya dalam latihan,
tumbuh pula rasa kebersamaan dalam membagi makanan. Bagi yang
memiliki lambung yang besar dan panjang mendapat donor dari yang
kurang kebutuhan makannya. Dengan cara itu tidak ada makanan
yang tersisa atau dibuang. Selalu tandas dan bersih. Sudah tentu hal
ini akan menggembirakan orang yang memasaknya, siapapun dia.
"Gentong, ini bagianku," kata Kirani, salah seorang kawula muda
putri, kepada Gentong sambil mengangsurkan sebagaian makanan-
nya. Ia, Kirani, umumnya hanya makan setengah porsi, sedangkan
Gentong butuh satu sampai dua porsi. Kekurangan setengahnya,
biasanya diberikan dari beberapa orang kawan-kawan lainnya, satu
orang sepersepuluh. Lima orang telah menggenapi setengah yang ku-
rang dari kebutuhannya. Ki Tapa juga melatih para kawula muda untuk tidak makan ter-
lalu kenyang. Asal cukup untuk menghasilkan tenaga. Apabila kita
berlatih teratur dan mawas diri, kita akan tahu batas lapar dan
kenyang kita. Begitu pesannya. Tapi untuk Gentong hal ini tidak
dapat dicegah, karena memang ia memiliki postur yang lebih besar
dan juga tenaga yang dikeluarkannya saat latihan, lebih dari yang
lain. Ini juga dikarenakan bobotnya yang memang lebih dari rata-
rata kebanyakan kawula muda yang lain. Ki Tapa pun memaklumi hal
ini, sehingga ia tidak mencegah terjadinya sumbangan saling silang di
83 antara mereka saat makan.
"Baiklah, makan telah usai dan juga waktu istirahat," kata Ki Tapa,
"tolong bereskan sisa-sisa daun dan mangkoknya. Kembalikan ke
dalam keranjang di sana. Dan kalian kembali duduk dalam posisi
Tiga Buah Delapan Mata Angin. Seperti pada saat kalian pertama
kali tiba ke sini. Lakukan sampai seribu tarikan nafas."
Para kawula muda itu pun mengangguk dan mereka mengambil tem-
pat untuk mulai melakukan mengheninkan cipta, sambil menunggu
beberapa kawan yang membereskan sisa-sisa makan siang.
Setelah semua siap, mulailah mereka kembali membangun tiga lingkaran
yang masing-masing bergaris tengah dua puluh langkah. Setiap orang
menghadap pada masing-masing mata angin utama dan antara. Ke-
mudian tanpa diperintah, seakan-akan telah biasa, mereka turun dan
bersila hampir dalam saat yang bersamaan. Dan mulai mendengarkan
alam sekitar dan juga diri mereka sendiri.
Keheningan alam pun menyelimuti ketiga lingkaran manusia itu. An-
gin semilir. Serbuk-serbuk bunga. Semut-semut yang berjalan. Dan
juga kupu-kupu yang beterbagangan lirih dalam aliran udara yang
gemulai. "Kita tidak boleh mengintip anak-anak itu berlatih, Coreng!" sahut
sesosok bayangan setinggi kambing dari sebuah semak-semak di ujung
timur laut lapangan itu. "Sekali-kali bolehlah, Moreng!" bantah bayangan lain yang berada di
sebelahnya. "Bagaiman kalau Ki Tapa tahu nanti?" tanya temannya balik.
"Kita diminta untuk tidak menampakkan diri dan mengganggu, tapi
tidak untuk tidak melihat, ya "kan?" jawab temannya kukuh.
Lamat-lamat terdengarn suara bagai angin semilir. Kecil, halus, tapi
jelas. Sontak mengagetkan kedua insan itu.
"Moreng.., Coreng.., ada perlu apa kalian di sini?" yang ternyata
merupakan suara Ki Tapa. Tidak terlihat wujudnya, tapi terdengar
suaranya. 84 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Kedua makhluk yang ternyata mirip manusia, akan tetapi dengan
tinggi tidak sampai sepinggang orang dewasa itu, langsung dengan
ringannya melesat hilang dari tempat itu. Sebuah gerakan yang hanya
dimiliki oleh ahli-ahli bela diri papan atas. Dengan hanya beber-
apa gerakan mereka telah sampai pada suatu pondok yang terbuat
dari batu yang disusun-susun. Masing-masing satuan batu berukuran
sebesar kerbau paling kecil. Dan paling besar berukuran sebesar ga-
jah. Entah siapa yang bisa membuat rumah yang menakjubkan seperti
itu. Sesampainya di depan Pondok Batu, kedua orang kate tersebut lang-
sung berlutut di depan Ki Tapa yang telah berdiri di depan mereka.
Wajahnya masih terlihat ramah, akan tetapi tanpa senyum.
"Berikan penjelasan, Coreng.., Moreng..!" katanya tegas.
"Maaf Ki Tapa, kami hanya ingin melihat mereka berlatih," jawab
Coreng. "Iya, Ki Tapa, maafkan kami," sahut Moreng, tak tega melihat saha-
batnya merasa bersalah. Ki Tapa pun menghela nafas, lalu lanjutnya, "Baiklah, tak apa-apan."
Tapi tanyanya kemudian, "tapi kalian tahu "kan alasan mengapa aku
tidak memperbolehkan mereka untuk bertemu dengan kalian?"
Kedua orang Manusia Tiga Kaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidakkah, Kakak Hitam-Putih memberitahu sesuatu pada kalian,
berkaitan dengan hubungan dengan manusia?"
"Hanya bahwa kami, Manusia Tiga Kaki, sedapat mungkin tidak
menampakkan diri kepada manusia," jawab Coreng.
"Iya, Ki," tambah Moreng.
Ki Tapa pun berpikir sejenak. Ia tidak tahu apakah ia harus menje-
laskan hal ini kepada mereka atau tidak. Tapi akhirnya ia memutuskan
untuk lebih baik memberitahukannya. Dengan mengetahuinya, maka
orang dapat dengan bijaksana mengantisipasinya.
"Begini," terang Ki Tapa, "bahwa kalian itu bangsa Manusia Tiga
85 Kaki memiliki tenaga alami yang berbeda dengan manusia. Tenaga
kalian yang secara alami digunakan untuk hidup itu, dapat berbahaya
bagi manusia." "Akan tetapi Ki Tapa sendiri...?" tanya Coreng bingung.
"Benar, aku tidak apa-apa. Itu karena aku telah memiliki cukup
tenaga dasar sehingga tidak terpengaruh oleh tenaga alami kalian.
Apabila dikatakan tidak terpengaruh, sebenarnya juga tidak seluruh-
nya benar," jelas Ki Tapa, "jika aku tidak berlatih dan selalu bersama
dengan seorang Manusia Tiga Kaki, maka tenagaku akan habis dan
mati. Terserap. Dalam kurang dari waktu selang satu purnama."
"Ihh.." jawab seorang di antara mereka. Terkejut mengenai akibat
yang dapat dialami oleh manusia saat bersua terlalu lama dengan
seorang Manusia Tiga Kaki.
"Mengapa hal itu terjadi, aku tidak bisa menjelaskan. Mungkin sudah
hukum alam," jawab Ki Tapa. "Oleh karena itu aku tegaskan lagi,
bahwa sebelum para kawula muda mencapai tahap tertentu, jangan
tampakkan wujud kalian. Bila mereka telah cukup kuat, kalian akan
tampak dengan sendirinya bagi mereka. Dan di saat itu, bolehlah
kalian berkenalan." Kedua Manusia Tiga Kaki itu pun mengangguk mengiyakan. Setelah
mereka mengerti apa bahaya yang akan dialami oleh manusia yang
belum memiliki cukup tenaga saat bertemu mereka, dapatlah mereka
menerima larangan itu dengan lapang dada. Sebelumnya, ingin sekali
mereka berinteraksi dengan manusia yang katanya memiliki banyak
kelebihan dari bangsa mereka.
Apakah sebenarnya Manusia Tiga Kaki itu" Dahulu kala, saat Rimba
dan Gunung Hijau belum terlarang, dan belum terdapat Hamparan
Hijau sebanyak sekarang, telah berdiam seorang sakti dari Negeri Ker-
ing Kerontang di salah satu daratan luas di selatan. Di mana orang-
orang yang tinggal di sana umumnya berkulit gelap dan berambut
pendek. Orang sakti tersebut dikenal sebagai Mawon Sanmdi (Baron
Samedi), yang mengambil nama dari salah satu Lua (Loa) dari Uduu
(Voodoo). Dalam Uduu dipercaya bahwa Lua yang bernama Ma-
won Sanmdi ini bertugas sebagai penjaga perbatasan antara dunia
manusia dan dunia orang mati. Dan juga dikenal sebagai Yang Da-
86 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
pat Membangkitkan. Mawon Sanmdi, yang dulunya bernama Cipta
Raga, bukanlah seorang penganut Uduu sebenarnya, melainkan hanya
kenal dengan seorang pendeta Uduu. Lalu dengan cerdiknya ia pura-
pura ingin belajar pada sang guru untuk kemudian mencuri kitab-
kitab pusakanya. Dengan terinsiprasi oleh kitab-kitab kuna tersebut,
Mawon Sanmdi melakukan berbagai macam percobaan menggunakan
manusia sebagai sarananya.
Salah satu percobaannya adalah dengan mengawin-kawinkah manu-
sia yang dapat ditangkapnya, dengan kesaktiannya yang tinggi, dan
dipaksa untuk berkembang biak dengan pasangan yang dipilihnya.
Kalimat-kalimat yang tersirat dalam kitab curian yang harusnya di-
pahami dengan hati yang bersih dan tenang, disalahtaksirkan secara
semena-mena oleh Mawon Sanmdi sebagai sesuatu yang dapat di-
lakukan. Seakan-akan berperan sebagai Sang Pencipta sendiri, ia ingin
menciptakan suatu jenis manusia yang belum ada sebelumnya.
Dengan melakukan variasi-variasi perubahan sifat manusia yang ditun-
jang oleh ramuan-ramuan, perkawinan-perkawinan dan pengamatan-
nya, berhasilah Mawon Sanmdi menciptakan beberapa spesies baru
yang lain sama sekali dengan manusia. Baik ukurannya, tenaganya,
maupun sifatnya. Beberapa spesies bahkan saling kawin campur
sendiri, sehingga tercipta banyak jenis makhluk yang Mawon San-
mdi sendiri tidak memperkirakan sebelumnya. Salah satunya adalah
Manusia Tiga Kaki ini yang memiliki tenaga lebih besar dari manusia
dan juga gerakan yang lebih cepat. Akan tetapi mereka ini berbahaya
bagi manusia karena dapat menyerap energi kehidupan dari manusia.
Dan hanya dari manusia. Hitam-Putih, yang dipanggil kakak oleh Ki Tapa adalah pemimpin
kelompok Manusia Tiga Kaki yang berdiam di Rimba Hijau. Sebu-
tan kakak ini pun dikarenakan ia dan Ki Tapa pernah berhari-hari
bertarung tanpa ada yang menang, hanya dengan berbekal keta-
hanan tubuh dan kemampuan alamiahnya saja, Hitam-Putih dapat
menang, dan Ki Tapa terkuras tenaganya. Hasil dari pertaruangan
mati-matian ini menumbuhkan rasa persahabatan antara keduanya.
Sampai-sampai Ki Tapa pun dilayani oleh bangsa Manusia Tiga Kaki
tak ubahnya sebagai keluarga dari Hitam-Putih, pemimpin mereka.
Itulah sebabnya Ki Tapa dapat memperoleh bantuan Coreng dan
Moreng dalam hal menyediakan makanan bagi murid-muridnya.
87 Dan tidak hanya itu, Coreng dan Moreng pun yang tahu bahwa Ki
Tapa memiliki kepandaian tidak berselisih jauh dengan Hitam-Putih
pemimpin mereka, meminta agar Ki Tapa mau mengajari mereka
ilmu-ilmu yang dimilikinya. Dengan senang hati, dan sudah tentu
atas persetujuan Hitam-Putih, Ki Tapa mengajarkan ilmu-ilmunya.
Hanya sayangnya, berkaitan dengan struktur tubuh yang berbeda


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan juga aliran darah yang sama sekali lain, tak banyak yang dapat
diajarkan oleh Ki Tapa. Selain itu secara alamiah bangsa Manu-
sia Tiga Kaki ini pun telah memiliki tenaga dasar dan kecepatan
yang melebihi manusia pada umumnya. Ki Tapa akhirnya hanya
dapat mengajarkan mereka cara mengendalikan tenaga mereka dan
bagaimana mereka dapat memperhalus gerakan mereka, sehingga
tidak terlalu memboroskan tenaga.
*** "Cukup, waktu mengheningkan cipta usai.." ucap Ki Tapa perlahan
tapi jelas terdengar oleh kedua puluh empat kawula muda tersebut.
Sebagai reaksinya, beranjaklah mereka masing-masing dari posisi
duduknya. Beberapa tampak tersungkur dan meringis, karena kaki
mereka yang kesemutan. Tertekuk hampir dua tiga jam lamanya.
Sementara beberapa tampak tenang-tenang saja. Di antara yang
tenang-tenang itu tampak Paras Tampan, Misbaya, Rintah dan Asap.
"Kalian minumlah ramuan yang kubawa ini," angsur Ki Tapa kepada
Gentong yang berada di dekatnya. Dengan sigap Gentong menerima
periuk besar yang diangsurkan, dan ia hampir tidak dapat menahan
berat periuk tersebut, apabila tidak cepat dibantu oleh Bayan yang
kebetulan berada di dekatnya. Periuk besi yang penuh berisi ramuan,
tampak ringan di tangan Ki Tapa tersebut, ternyata memiliki bobot
hampir setengah kerbau bunting.
"Periuk ini tidak sembarang orang bisa menikmati isinya," kekeh Ki
Tapa saat melihat murid-muridnya mencoba untuk mengangkatnya.
Banyak dari mereka yang masih menyangka kalau Gentong hanya
tidak sigap untuk menerima periuk itu dan bukan karena beratnya.
Setelah beberapa mencoba, yakinlah mereka bahwa periuk tersebut
memang benar-benar berat adanya.
"Dengan menggunakan campuran logam-logam tertentu yang berat
88 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
dan keras, periuk ini dibuat," lanjut Ki Tapa, "akibatnya saat ra-
muan direbus di dalamnya, khasiat dari logam-logam istimewa terse-
but akan larut dan memberikan manfaat kepada yang meminumnya.
Akan tetapi hati-hati, ramuan yang tidak cocok, akan menghasilkan
racun pada larutannya."
Mendengar bahwa periuk, yang kemudian diketahui bernama Periuk
Kerbau, dapat menghasilkan ramuan yang bermanfaat dan juga ra-
muan beracun, tak terasa bergidik hati anak-anak muda tersebut.
Pikir mereka, bagaimana jika yang mereka minum saat ini adalah
racun. Seakan-akan tahu apa yang mereka pikirkan, berkatalah Ki Tapa,
"Jangan kuatir, selagi aku sendiri yang membuat ramuan, yakinlah
kalian bahwa ramuan tersebut cocok untuk periuk ini. Akan tetapi
peringatan ini hanya bagi yang ingin coba-coba untuk menggunakan-
nya." Mengangguk-angguk beberapa anak muda di hadapatn Ki Tapa. Be-
berapa dari mereka tampak kecut, karena ada yang memang pernah
tersirat dalam pikirannya untuk meminjam periuk itu, begitu melihat-
nya, untuk memasak sejenis masakan. Tak jadilah setelah mendengar
cerita Ki Tapa ini. Selang tak berapa lama, setelah dirasakan ramuan sudah seharusnya
bekerja, Ki Tapa pun berkata. "perhatikan gerakan berikut ini!" Sam-
bil lalu ia memperagakan suatu gerakan tertentu dengan kaki agak
ditekuk dan melangkah ke depan. Berulang-ulang diperagakannya.
"Ini disebut Langkah Ayam," jelas Ki Tapa, "jangan pandang remeh
gerakan sederhana ini. Ada kisah menarik mengenai gerakan ini yang
telah melegenda." Terdapat beberapa macam cerita mengenai Li Jeng (Li Zheng) dari
Negara Tengah (Tiongkok), yang salah satu diantaranya menceri-
takan bagaimana ia melatih Langkah Ayam (Ji Xing Bu) ini, saat
ia mengawal barang-barang hantaran. Pertama ia mengejar kereta-
keretanya, sampai menghampiri, dan kemudian ia melangkah ke arah
yang berlawanan sampai suatu saat dan kembali mengejar lagi. Den-
gan cara ini, kaki-kakinya menjadi kuat, lentur gerakannya akan
tetapi mantap. Dalam akhir hidupnya dikabarkan bahwa ilmu Li
89 Jeng sedemikian tingginya, sehingga ia dapat mendorong orang yang
menantangnya terlempar jauh dengan tetap memegang semangkuk
air pada tangan yang lain. Dengan tanpa ada setetes air pun yang
tumpah. Mendengar cerita yang mengagumkan tentang Li Jeng dari Ki Tapa
itu, membuat anak-anak bertambah semangat untuk berlatih, bahkan
perintah untuk mengulangi Langkah Ayam sebanyak sepuluh kali
seribu itu pun tidak menyurutkan semangat mereka. Mereka ingin
berlatih dan berlatih. Agar seperti Li Jeng, mungkin pikir mereka.
Melihat semangatnya murid-muridnya melakukan Langkah Ayam,
Ki Tapa pun tersenyum. Sesaat setelah semua murid-muridnya be-
rada pada ujung lain lapangan dari tempat ia berada, dengan lirih ia
berkata, "Coreng.., Moreng.., tolong Periuk Kerbaunya..!"
Terdengar jawaban lirih pula, "baik, Ki..!" Dan secara tiba-tiba Periuk
Kerbau pun menghilang seperti ditelan udara. Dibawa pergi oleh ke-
dua Manusia Tiga Kaki tersebut.
*** Pada jarak ribuan kerbau dewasa dari sana, tampak seorang kakek
sedang menggaruk-garuk kepalanya bingung. Ia baru saja memeriksa
badan muridnya, dan menemukan bahwa muridnya ini memiliki jalan
darah yang aneh. Jalan darah yang tidak bisa dilatih untuk men-
galirkan tenaga dalam. Sudah berulang kali ia mencoba, menotok
sana dan sini untuk melancarkan jalan darah yang diduganya tersum-
bat. Akan tetapi percuma. Aliran hawa tak bisa mengalir dengan
lancar. Energi memang dapat dihimpun tapi tetap berada di pusar
dan berputar-putar saja di sana. Tidak bisa dialirkan. Tidak bisa
digunakan. Tak dapat ditahannya rasa kecewa yang tampak pada wa-
jah. Sedih hatinya melihat muridnya, yang dia tahu memiliki tulang
dan daging cocok untuk menuruni ilmu-ilmunya. Akan tetapi entah
karena apa, jalan darahnya tidak lancar.
Kedua orang guru dan murid itu adalah Rancana si Bayangan Menangis
Tertawa dan Lantang. Setelah bersedia untuk berguru pada Rancana,
Lantang pun dibawanya ke rumahnya yang terletak di sebuah pu-
lau kecil di tengah danau. Kawasan yang sunyi dan sepi. Tidak
banyak orang yang hidup di sana. Hanya beberapa orang nelayan dan
90 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
pemburu serta petani hidup di sekitar danau itu. Di Pulau Tengah
Danau itu sendiri hanya hidup sepasang suami istri tua dan anak
tanggungnya. Ditambah Rancana dan Lantang, hanya lima orang
yang hidup di sana. "Guru..," panggil Lantang perlahan. Ia dapat menyelami kesedi-
han hati Rancana, gurunya, saat mengetahui bahwa tubuhnya, yang
dikatakan gurunya sebelumnya memiliki struktur tulang dan jalan
darah seorang pesilat, tidak dapat mengalirkan hawa yang telah di-
pusatkan di bawah pusar. "Janganlah terlalu bersedih. Walaupun
saya tidak bisa mengalirkan hawa, saya tetap akan belajar ilmu silat
pada guru." Mendengar usaha muridnya yang hendak menghibur dirinya, menghela
napas panjanglah Rancana. Lantang ini memang benar-benar anak
yang baik pikirnya. Pun sudah tidak mungkin menjadi seorang ahli
silat tinggi, masih mau dia belajar silat hanya sekedar untuk menye-
nangkan hatinya. Bila saja Lantang itu benar-benar anaknya sendiri.
"Lantang, tahukah kau apa artinya ini" Tanpa bisa mengalirkan hawa,
ilmu silat yang engkau pelajari, hanyalah kembangan jurus-jurus be-
laka. Tidak ada tenaga dalam yang mendasari keampuhan suatu ilmu
silat. Tidaklah bisa engkau mencapai tahapan yang tinggi tanpa bisa
mengalirkan tenaga atau hawa ke seluruh tubuh," ucap Rancana pada
muridnya, masih dengan nada yang sedih.
"Saya tahu, guru!" dan kemudian jelasnya, "bahwa jalan darah saya
tersumbat atau tidak dapat mengalirkan hawa itu mungkin sudah
suratan bagi saya. Dan seperti guru ingat dulu, saya tidak suka kek-
erasan sehingga pernah menolak untuk berguru pada guru. Bukankah
hal ini malah sesuai" Saya belajar silat tapi bukan untuk kekerasan.
Toh, saya tidak akan menggunakannya."
Geleng-geleng kepala Rancana mendengarkan uraian muridnya yang
panjang-lebar tersebut. Dalam hatinya masih dirasakan penasaran
mengenai keanehan tubuh Lantang. Ia berjanji untuk terus men-
cari tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Berdasarkan pengalaman-
nya tidak ada yang salah pada tubuh anak ini. Bila ketidaklancaran
atau ketidakmampuan mengalirkan hawa ini adalah buatan orang, su-
dah tentu ia bisa mengetahuinya. Akan tetapi hal ini tidak dilihat-
91 nya. Apa mungkin ada orang yang selihai itu, yang mempu mence-
lakakan jalan darah anak ini, tanpa anak ini menyadari dan juga
dirinya yang memeriksanya. Untuk sementara Rancana menyimpan
dulu pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam hatinya. Tak mau ia
mengingatkan Lantang pada bencana yang dialaminya dan juga kelu-
arganya. "Baiklah kalau begitu, Lantang," kata Rancana pada akhirnya. "Mu-
lai hari ini kita latihan gerakan-gerakan dan mengheningkan cipta
saja. Dengan itu walaupun engkau tidak dapat mengalirkan hawa,
setidaknya akan tetap terkumpul hawa di bawah pusar. Aku harap
suatu saat jalan darahmu dapat terbuka sehingga engkau dapat me-
manfaatkan hawa yang sudah kau himpun sampai saat itu tiba."
"Baik, guru," sahut Lantang patuh.
Terlihat Rancana berpikir sejenak. Lalu katanya, "ada satu seni bela
diri yang kelihatannya cocok dengan keadaanmu, yang dikenal sebagai
Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Ilmu ini berasal dari Negeri
Matahari Muncul jauh di sana, di balik lautan."
"Wah, terdengar sangat menarik, guru!" tanggap Lantang.
"Pencipta ilmu ini, Guru Tua Morehe Uwesiba, dapat mengalahkan
seorang lawan berpedang dan bahkan dengan menggunakan tangan
kosong serta tidak melukai lawannya. Jadi dengan ilmu ini, bila engkau
berlatih dengan baik, engkau akan dapat membela dirimu sendiri,"
jelas Rancana. "Benar-benar merupakan ilmu pertahanan yang baik
dan halus. Tidak akan mendatangkan banyak lawan."
"Suka saya mendengarkannya, guru," ucap Lantang, "tidak mengisyaratkan
adanya kekerasan di dalamnya."
Tersenyum Rancana mendengar ucapan muridnya. Lantang ternyata
masih tidak bisa membuang pikiran bahwa ia belajar bela diri bukan
untuk menimbulkan kekerasan. Melainkan hanya untuk membela diri.
Benar-benar pribadi yang baik pikir Rancana.
"Cobalah engkau serang aku, Lantang!" perintah Rancana.
"Tapi.., guru..?" bantah Lantang.
92 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
"Ini hanya pura-pura.., bagaimana kamu nanti dapat membela diri
kalau tidak tahu bagaimana orang menyerang," jelas gurunya.
"Baik, guru!" jawabnya mengiyakan.
Lantang pun menyerang gurunya dengan pukulan lurus ke depan, kaki
kanan di majukan serentak dengan tangan kanan dikepalkan dan di-
arahkan ke dada gurunya, Rancana. Hanya sayang posisi tersebut di-
lakukannya terlalu maju, sehingga berat badannya tidak lagi berada
di antara kedua kakinya. Dan hal ini pun disadari oleh gurunya. Den-
gan cantik dan lemas, Rancana hanya menggeser salah satu kakinya,
sambil memutar tubuhnya, membiarkan tangan itu lewat sekian jari
di depan dadanya. Kemudian alih-alih menangkis serangan Lantang,
ia malah menarik tangan lantang pada arah pukulannya. Dengan
demikian semakin bertambah lajulah Lantang, maju tersuruk dan ke-
hilangan keseimbangan. Pada saat yang tepat, ditangkapnya tangan
kirinya yang masih berayun di belakang, sehingga Lantang batal ter-
jatuh. "Kamu mengerti salahmu?" tanya Rancana.
"Tidak, guru?" jawab Lantang muridnya jujur.
"Kamu menghabiskan semua tenagamu pada serangan itu," jelas gu-
runya. "Serangan lurus ke depan, memang serangan paling seder-
hana dan rumit. Sederhana karena geraknya mudah, secara alami
bisa setiap orang melakukannya, tanpa tipu-tipu. Rumit karena harus
pada saat yang tepat. Bila tidak pada saat yang tepat, jenis serangan
ini akan dapat dengan mudah ditebak, dielakkan dan dimusnahkan.
Bahkan dipukul balik. Seperti yang barusan aku lakukan kepadamu."
Lantang mengangguk-angguk, mencoba mengerti penjelasan yang
diberikan oleh gurunya. Ia baru dapat menerima beberapa bagian,
mengapa serangannya itu tidak berhasil. Bagian lain masih gelap
baginya. Melihat kebingungan muridnya, Rancana hanya tersenyum. Lalu di-
ajaknya Lantang untuk melakukan gerakan yang sama, akan tetapi
dengan lebih lambat. Dengan gerakan lambat tersebut dapat Lan-
tang melihat bahwa ia tidak seharunya menyerang sehingga kedudukan
kakinya tidak lagi stabil. Dengan hanya toelan kecil dari gurunya dari
93 belakang, ia dapat tersungkur, apalagi ditarik seperti tadi.
Setelah mengerti, Lantang kemudian mencoba menyerang akan tetapi
dengan masih menempatkan berat badannya sebelum lewat kaki de-
pan, tidak melebihi. Dengan cara ini apabila gurunya membalas seran-
gannya ia, masih memiliki kesempatan untuk menghindar dan men-
gubah kedudukan kakinya. Dan ia tidak lagi tersungkur. Akan tetapi
dengan pemahaman yang baru ini, jangkauan serangannya tidak lagi
sepanjang yang pertama. "Guru, memang dengan cara ini, saya tidak lagi terguling, tapi
bukankah pukulan saya pun tidak mengenai?" tanyanya bingung.
"Benar, Lantang," jawab gurunya, "Kamu benar. Dengan demikian,
engkau harus punya rasa, apakah pukulanmu sampai apa tidak. Bila
tidak sampai. Jangan lepaskan. Mendekatlah, sampai kamu merasa
bahwa tanganmu, dengan kedudukan yang stabil, dapat mengenaiku.
Cobalah!" Lantang pun mencoba. Memajukan kakinya, baru memukul. Belum
sampai. Maju lagi. Belum sampai. Setelah tiga-empat telapak kaki,
barulah pukulannya persis mengenai kulit dada gurunya.
"Bagus," ucap Rancana, "pada jarak segini, baru pukulan lurus itu
boleh dilepaskan." Lantang pun mengangguk-angguk.
"Cobalah!" ucap gurunya.
Lantang menarik kepalannya dan dalam posisi yang tidak berubah,
dilepaskannya kepalannya ke arah dada gurunya. Gurunya tidak
bereaksi. Akan tetapi pada saat hampir mengenai kulit dadanya,
gurunya hanya beringsut sedikit mundur. Dan pukulan itu tidak lagi
mengenai. Penasaran pada hal tersebut, alih-alih menarik kembali
pukulannya dan terlebih dahulu memajukan kakinya, Lantang lang-
sung mengejar gurunya dengan pukulannya. Kesalahan yang sama
terjadi lagi. Ia kehilangan keseimbangan dan gurunya memanfaatkan
hal itu dengan menariknya. Lantang pun kembali terjatuh. Kali ini
Rancana membiarkannya. Ingin melihat apakah muridnya mengeluh
saat terjatuh. 94 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
"Maaf, guru! Saya lupa lagi," ucap Lantang sambil bangkit dari jatuh-
nya. "Tidak apa-apa. Ada baiknya kita latihan dulu serangan lurus ke
depan. Tirukan aku!" perintah gurunya.
Rancana pun menunjukkan gerakan serangan ke muka lurus dan berte-
naga, akan tetapi dengan kedudukan yang masih stabil. Saat bergerak,
kaki belakang melurus dan pinggang berputar. Ia ambil tenaga bumi
untuk diteruskan. Bumi, telapak kaki, paha, pinggang, lengan dan
meledak sampai ke kepalan. Pukulan Meriam.
Lantang mencoba menirukan. Akan tetapi gerakannya tidak saling


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjang, pinggang keburu diputar tapi telapak kaki belum meno-
lak. Sebelum tenaganya sampai ke dada, tangan sudah dikembangkan.
Alhasil, hanya gerakannya mirip, tanpa tenaga.
Dengan sabar Rancana menunjukkan kembali bagaimana seharusnya
gerakan itu dilakukan. Berulang-ulang kali. Sampai akhirnya Lantang
bisa sedikit menyalurkan tenaga bumi ke ujung kepalannya. Dan se-
bagai hasilnya otot-ototnya kaku dan lelah tubuhnya. Tapi ia tidak
mengeluh, bahkan saat gurunya memerintahkannya untuk melakukan
gerakan itu kembali, akan tetapi untuk tangan kiri dan kaki kanan.
Guru dan murid itu pun berlatih sampai matahari hilang dari pan-
dangan mata untuk sembunyi di balik bumi sebelah barat. Rancana
menghentikan latihan itu. Dia melihat bahwa Lantang sudah terlihat
lelah, akan tetapi tidak minta berhenti. Kagum ia pada semangat
muridnya. "Kita istirahat dulu. Sudah waktunya beristirahat. Mengisi perut,"
kata Rancana. "kamu mandilah dulu dan bersih-bersih. Temui aku
nanti di Rumah Kayu."
"Baik, guru!" jawab Lantang yang pun beranjak pergi untuk memenuhi
peraintah gurunya. Rancana masih melihatnya punggung muridnya yang berjalan untuk
kemudian menghilang di balik rerimbunan. Menuju ceruk kecil, di
mana terdapat air yang mengalir keluar dari batu-batu. Hasil rembe-
san sungai di atasnya. 95 Kemudian melangkahlah ia perlahan menuju Rumah Kayu. Suatu
bangunan sederhana di dekat tanah lapang di depan pintu desa.
Sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa tempat itu merupakan desa
karena hanya lima orang yang tinggal di sana. Rancana dan Lan-
tang muridnya, serta satu keluarga lagi, yang hanya terdiri dari lima
orang. Dulu sekali tinggal banyak keluarga di desa itu. Akan tetapi
suatu saat pernah terjadi badai besar yang menyapu orang-orang yang
tinggal di sana. Setela kejadian itu, tak ada lagi orang yang berani
tinggal di pulau itu kecuali keluarga itu ditambah Racana. Keanehan
ini sudah pasti mengisyaratkan bahwa keluarga itu juga bukan orang
biasa-biasa. Pulau Tengah Danau dan Danau Tengah Gunung itu terletak di sela-
tan agak jauh dari mana-mana. Di selatannya terdapat padang batu-
batu yang terus membentang sepanjang mata memandang dengan di-
jemput lautan pada horisonnya. Tidak ada kehidupan yang dapat
berlangsung kiranya di Padang Batu-batu itu. Di timur dan barat-
nya membentang kaki-kaki gunung, Gunung Berdanau Bepulau dina-
makan orang. Gunung tersebut yang membentang memanjang ribuan
kambing dewasa. Bila dilihat dari atas, Gunung Berdanau Berpulau
seakan-akan menjadi pipih, karena panjangnya pada arah timur-barat,
akan tetapi pendek pada arah utara-selatan.
Waktu Rancana tiba di Rumah Kayu, tampak ketiga orang lain itu,
orang selain Rancana dan muridnya yang tinggal di pulau itu. Mereka
telah menunggu. Hidangan makan malam telah tersedia. Memang
untuk urusan masakah keluarga itulah yang menanganinya. Sebagai
imbalannya Rancana diminta untuk membeli atau menukar barang-
barang kebutuhan mereka di kota. Atau juga mencari kabar sesu-
atu yang ingin mereka tahu. Kadang bertanya-tanya juga Rancana
mengenai siapakah sebenarnya ketiga orang ini, yang dapat hidup
terasing di Pulau Tengah Danau ini. Akan tetapi karena mereka juga
tidak bertanya-tanya tentang dirinya dan menyediakan kebutuhannya
dengan baik, akhirnya Rancana pun menahan mulutnya. Lebih baik
membiarkan mereka menceritakannya sendiri kelak. Itu lebih baik,
sehingga tidak merusak persahabatan yang telah tumbuh.
"Selamat malam, Ki Sura, Nyi Sura, dan Telaga," katanya kepada
ketiga orang itu. 96 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
"Malam Ki Rancana," jawab Telaga, anak dari Ki dan Nyi Sura.
Sedangkan Nyi dan Ki Sura hanya mengangguk tersenyum ramah.
Tidak banyak bicara mereka. Memang pendiam orangnya. Hanya
Telaga yang banyak bicara. Dulu sebelum Rancana datang, tidak ada
teman bicara dia. Saat ini dengan adanya Rancana dan juga Lan-
tang, senanglah Telaga, karena ada orang yang dapat diajar bicara.
Tidak hanya mendengarkan dan memberikan komentar-komentar pen-
dek seperti kedua orang tuanya.
"Wah, makan besar hari ini ya?" komentar Rancana saat melihat
makanan yang dihidangkan. Ada ikan mas bakar, pecel belut, kerang
sambal, lalapan, sayur bening, terong dan sudah tentu nasi. Biasanya
hanya ikan bakar dan sambal serta nasi. Mungkin makan ini karena
ia baru saja datang dan membawa seorang murid, sehingga perlu dis-
ambut seperti itu. Seperti telah diduganya, komentar tidak datang baik dari Ki Sura
ataupun Nyi Sura, melainkan dari Telaga. "Betul, Ki Rancana," je-
lasnya, "ini untuk menyambut Ki Rancana dan terutama anak itu.
Eh, siapa namanya, Ki?"
"Lantang.., Lantang nama anak itu Telaga. Saat ini ia sedang bersih-
bersih dulu di ceruk sana," jelas Rancana.
"Ceruk mana, Ki Rancana?" tanya Telaga tiba-tiba. Tersirat rasa
kuatir dalam wajahnya. "Ceruk sebelah bawah Sungai Batu Hitam.." jawab Rancana agak
bingung, melihat perubahan wajah ketiga orang tersebut.
Sebelum ada seorang pun yang berkata, melesat Ki Sura diikuti oleh
istrinya, ke arah ceruk di bawah Sungai Batu Hitam. Telaga pun
bangun sambil menggapainya untuk ikut serta. Baru saat ini Ran-
cana dapat melihat kegesitan keluarga itu. Ia yang disebut Bayan-
gan Menangis Tertawa dan terkenal karena ilmu meringankan dirinya,
merasa agak malu melihat bahwa kepandaian tiga orang itu seti-
daknya sama atau lebih darinya. Apalagi Ki Sura. Ia dapat melaju
seakan-akan tanpa mengeluarkan tenaga dengan kecepatan yang men-
gagumkan. "Ada apa sebenarnya.." tanya Rancana agak kuatir melihat orang-
97 orang beranjak menuju tempat muridnya yang sedang bersih-bersih.
Telaga pun meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya secara vertikal,
meminta Rancana untuk tidak bertanya-tanya. Lalu bisiknya lirih,
"perhatikan saja. Ayah pasti bisa menolong muridmu, Ki."
Beberapa hembusan napas sampailah mereka berempat di ceruk
yang terletak di bawah Sungai Batu Hitam. Sungai tersebut dise-
but demikian karena mengalir di atas batu-batu yang merapat dan
berwarna hitam. Seakan-akan suatu parit dari batu. Di bawahnya
terdapat banyak ceruk-ceruk setinggi dua kali orang dewasa yang
mengalirkan air rembesannya. Dalam suatu ceruk yang paling besar,
di mana air-air berkumpul membentuk suatu genangan air yang luas,
tampak Lantang sedang berdiri terpaku. Ia tampak telah bersih-
bersih, akan tetapi tidak langsung berpakaian, melainkan melihat
pada suatu arah tertentu. Ada sesuatu di balik batu besar di sisi
ceruk itu. Terdengar suara lirih Ki Sura, "cah bagus, jangan bergerak. Biar
aku yang menangani Undinen itu." Yang dimaksud dengan Undinen
adalah sosok terlihat seperti wanita yang badannya berkilauan biru hi-
jau bersisik. Rambutnya panjang sebahu, berparas cantik dan memi-
liki tinggi seperti umumnya anak-anak remaja wanita.
Ki Sura dengan perlahan mengambil sesuatu dari kantongnya. Se-
batang kecil obor dan batu pemantik api. Dengan suatu cara ter-
tentu, dinyalakannya obor kecil dan ditunjukkannya pada Undinen
itu. Sang Undinen pun berteriak kecil dan memandang marah pada Ki
Sura. Bukan lagi padangan ramah dan memikat seperti ditunjukkan-
nya pada Lantang tadi. Ia pun mulai mendesis-desis perlahan. Ki
Sura tetap menggerak-gerakkan obornya sambil perlahan mendekati
Lantang. Undinen itu pun bergerak mundur. Tampaknya ia tidak
suka api. Setelah kira-kira berjajar dengan Lantang, ditariknya tan-
gan anak muda yang masih terpaku itu dan diajaknya perlahan-lahan
mundur ke arah ketiga orang lainnya. Undine itu maju setapak dua
akan tetapi tidak lebih karena masih takut dengan obor yang di bawah
oleh Ki Sura. Saat-saat yang menegangkan. Rancana sendiri tidak tahu makhluk
apa itu yang ada di depan mereka. Tapi sebagai seorang ahli silat
98 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
ia dapat merasakan aura yang tinggi, menghimpit dan amat dingin
muncul dari makhluk itu. Makhluk yang disebut Undinen oleh Ki
Sura. Dengan ukuran aura seperti itu, sudah bisa dipastikan kuat
juga tenaga atau hawa makhluk itu. Dan belum diketahui apa yang
akan terjadi apabila makhluk tersebut menyerang muridnya.
Akhinya sampailah Ki Sura dan Lantang di tepian air, selangkah demi
selangkah, keluar dari ceruk itu. Nun jauh di tengah-tengah genan-
gan air dalam ceruk, masih tampak sosok Undinen itu memandangi
mereka. Saat kemudian membaliklah ia dan menghilang ke dalam ali-
ran air yang mengalir ke bawah di ujung genangan air di samping
ceruk itu. Udara perlahan-lahan mulai terasa hangat setelah ketidakhadiran
sosok Undinen di dekat mereka. Muka lantang yang tadinya pucat
mulai terlihat memerah. Dengan segera Nyi Sura menyampirkan kain
yang dibawanya ke pundak Lantang, agar anak itu tidak lebih jauh
kedinginan. Belum ada sepatah kata pun terucap di antara mereka. Lantang
masih dalam ketegangannya. Rancana masih bingung mengenai apa
yang terjadi dan apa sebenarnya makhluk itu. Ketiga orang lain yang
lebih mengerti keadaan saat itu, tidak banyak berucap. Mereka mem-
biarkan lebih dulu Rancana, dan terutama Lantang untuk kembali
memulihkan perasaannya yang terguncang.
*** Makan malam yang tadinya digelar di hadapan kelima orang itu pun
telah ludes. Pindah tempat ke dalam lambung mereka. Begitulah
orang-orang yang bersyukur. Apa yang dihidangkan dilahap tanpa
sisa-sisa. Akan tetapi bila tidak ada, tidak mengeluh. Orang-orang
yang sederhana. Sunyi sesaat. Hanya terdengar gemerisik angin membelai daun-daun
nyiur yang digunakan sebagai atap dari Rumah Kayu itu. Ditemani
dengan suara jangkrik yang memainkan orkestra mereka. Malam itu
sebenarnya sangatlah indah, bila saja tidak ada peristiwa sebelumnya.
Atas tekanan rasa ingin tahunya yang sudah membuncah, bertanyalah
Lantang pada Ki Sura, "maaf Ki Sura, apakah tadi itu" Yang mem-
99 buatku seakan-akan membeku. Tidak punya semangat lagi untuk be-
ranjak." Ki Sura tersenyum. Juga istrinya. Malah lebih lebar senyum anaknya
Telaga. Hanya Rancana yang tidak. Ia masih merasakan ketegan-
gan tadi. Rasa dingin yang lembab dan menakutkan saat terdapat
Undinen, sang Roh Air. "Itu adalah Roh air, Undinen," jelas Ki Sura lambat-lambat, "yang
merupakan bagian dari roh empat elemen, yaitu api, air, udara dan
tanah. Undinen adalah salah satu contoh Roh Air, selain Duyung dan
Nixen. Sedangkan contoh Roh Api misalnya Salamander dan Naga,
Roh Udara misalnya Sylphen dan Roh Tanah misalnya Gnomen, Troll,
Irrwische dan Orang Gunung Kerdil (Bergmnchen)."
Sunyi kembali menyeruak di antara mereka. Rancana dan Lantang
merasa seakan-akan keempat macam makhluk yang baru disebutkan
oleh Ki Sura itu ada di belakang mereka dan ikut mendengarkan pem-
bicaraan itu. "Roh-roh Empat Elemen itu, merupakan makhluk-makhluk purba
yang dulu dipercaya ada oleh orang-orang dan tertulis dalam buku-
buku kuno. Dan entah kenapa sebagian dari mereka itu muncul setelah
badai besar yang menyapu seluruh penduduk dari pulau ini. Dengan
adanya makhluk-makhluk itu di sini, maka tidak ada orang-orang yang
berani tinggal di sini," jelas Ki Sura lebih lanjut.
"Jika demikian, mengapa Ki Sura, Nyi Sura dan Kakang Telaga masih
tinggal di sini?" tanya Lantang penasaran. Masih terasa dinginnya
udara saat ia ditatap oleh Undinen. Dan hal yang masih tidak di-
mengertinya, adalah dengan adanya makhluk-makhluk lain yang dari
ceritanya lebih mengerikan, akan tetapi mengapa keluarga itu masih
saja berdiam di pulau ini.
"Sebenarnya, mereka tidaklah terlalu berbahaya, apabila kita tahu
bagaimana menyikapinya," jelas Nyi Sura arif. Baru kali ini Rancana
Ajian Canda Birawa 2 Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis Iblis Berwajah Seribu 3
^