Pencarian

Elemen Kekosongan 9

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 9


"Cepat..!!" ucap orang tua itu. "Saat-saat ini biasanya penjagaan
tidak ada. Orang-orang itu lengah pada saat-saat pagi seperti ini."
Langsung segar orang tua itu. Bangkit dan bergeras membereskan
perlengkapan tidur mereka yang tidak seberapa. Ia lalu mengajak
muda-mudi yang menyertainya itu pergi ke suatu arah. Ke arah di
mana air menghilang di pandangan mata, jatuh menjadi air terjun.
Di pinggir sungai yang menghilang ke bawah itu Wananggo tampak
berbaring melihat-lihat, ia tidak mau sosoknya terlihat dari bawah
oleh para penjaga di sana. Matanya mncari-cari ke sana dan kemari,
tapi tak dilihatnya seorang pun.
"Aneh!!" gumamnya. Dia mengharapkan melihat satu dua orang pen-
jaga yang pergi meninggalkan tempatnya untuk sarapan, agar ia yakin
bahwa mereka benar-benar pergi dan tidak sembunyi.
"Tapi apa boleh buat, kita coba saja turun sekarang," ucapnya kepada
kedua orang di belakangnya itu.
Dengan perlahan-lahan ketiganya mencari-cari pijakan di pinggir air
terjun, di antara batu-batu yang menonjol, untuk turun ke bawah.
Turun ke arah curahan air terjun itu diterima oleh sebuah danau kecil
yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pulau mungil.
"Hati-hati," ucap orang tua itu kepada muda-mudi tersebut. Ia sendiri
kadang-kadang kesulitan pula memperoleh pijakan. Namun tak lama
biasanya, setelah biasa mudah mereka melanjutkan satu langkah, ke
langkah berikutnya. "Tong!! Tong!!! Tong!!!" tiba-tiba terdengar gaung tabung logam
besar dan berat yang dipukul berulang-ulang.
392 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Wah, kita ketahuan...!!" ucap orang tua itu. Segera ia menggapai
kedua muda-mudi itu untuk mengikutinya bergeser masuk ke dalam
rongga di belakan air terjun. Di sana ternyata terdapat cukup ru-
ang untuk berlindung. Tertutupi oleh tirai air yang mengalir turun,
membuahkan pemandangan yang aneh dan indah.
Sambil sesekali Wananggo melihat dari sudut tirai air itu, di mana ia
menyaksikan beberapa orang dari pulau di tengah danau itu muncul
dan menyeberangi pulau melalui jembatan kecil yang ada. Mereka
tampak dipanggil oleh adanya isyarat itu menuju pusat perguruan.
"Aneh?" ucap orang tua itu lagi, "tadi kupikir kita ketahuan menyusup.
Ternyata mereka ada masalah rupanya. Hehehehe, ini malah untung
buat kita." Kedua anak muda itu hanya memandangnya tanpa suara.
Setelah cukup memperhatikan dan tidak lagi terlihat orang, Wananggo
pun mengisyaratkan agar mereka melanjutkan perjalanan menuruni
tebing di pinggir air terjun itu. Keluar dari ruang di belakang tirai air
dan kembali merambah ke bawah. Perlahan-lahan dan lebih tenang
karena diyakini bahwa para penjaga telah pergi semua.
Perlahan-lahan melewati berbagai jenis dinding dan lapisan tanah
yang kadang telah berlumut subur atas percikan air dari air terjun,
akhirnya sampailah mereka di bawah, di suatu ruang sempit berbatu
di kaki air terjun. Di depan mereka membentang danau kecil yang
ditengahnya terdapat sebuah pulau. Pulau yang mungil dengan se-
buah bangunan terbuat dari batu berwarna kelabu. Di sekitar bangu-
nan tersebut tumbuh pohon-pohon buah dan bunga berwarna-warni.
Wananggo pun memberi isyarat agar mereka mengikutinya, menyelam
dan berenang menuju pulau yang terlihat tersebut. Keduanya men-
gangguk mengiyakan. Ketiganya pun kemudian telah berada di dalam
air yang jernih dan segar itu, berenang menyelam menghampiri pulau
yang menjadi tujuan mereka.
*** Api tampak mengepul di belakang kelima orang yang berjalan dengan
tenang tersebut. Di atas pintu gerbang suatu perguruan silat yang
393 baru saja mereka tinggalkan itu terpampang sebuah nama, "Pergu-
ruan Kapak Ganda", yang papannya sudah miring, bekas digempur.
Di belakang mereka tampak belasan orang terkapar tanpa napas dan
denyut nadi. Mati. Dhoruba tampak senang dengan penyerbuan itu. Senjatanya berupa
parang yang membentuk sudut tumpul, mirip bumerang, tampak
merah oleh darah. Misun seperti biasa tampak tanpa ekspresi, akan
tetapi kapaknya yang juga berwarna merah dalam genggamannya
telah bicara. Angus tampak agak menyesalkan peristiwa itu. Shia
Siaw Liong yang ternyata bersenjatan sepasang pedang, yang dile-
takkan di punggungnya, tampak dingin.
Jika ada yang sedih dan bersemangat, itulah Gentong. Pemuda itu
merasa sedikit puas karena ia telah berhasil membalaskan sebagian ke-
matian dari guru dan saudara-saudara perguruannya dari Rimba dan
Gunung Hijau. Tapi itu belum semua. Dedengkot dari kejadian dulu
belum mendapatkan hukumannya. Ada tiga orang yang dicarinya,
Mayat Pucat, Cermin Maut dan Sabit Kematian. Ketiga orang ini-
lah yang memimpin penyerbuat ke tempatnya, membunuh guru dan
saudara-saudara seperguruannya.
Sayangnya mereka tidak ada di tempat. Dari informasi yang bisa
diberikan anggot perguruan silat tersebut, pada saat-saat akhir hidup-
nya, bahwa ketiga guru utama mereka sedang memimpin penyerbuan
ke Perguruan Atas Angin yang terletak di kota Air jatuh. Mendengar
itu, kelima orang itu segera berangkat pergi. Menuju ke arah yang
sama untuk mencari ketiga orang guru tersebut.
"Mereka sudah pergi kemarin," ucap Misun, "kita tertinggal satu
hari." "Belum tentu," jawah Shia Siaw Liong, "perjalanan memang memakan
waktu satu hari, tapi bisa saja penyerbuan itu tidak berhasil, sehingga
mereka tidak langsung kembali. Menang atau kalah bisa berakibat
lain. Masih ada kemungkinan kita bisa berjumpa dengan mereka di
sana." "Ada berapa jalan menuju ke Kota Air Jatuh dari kota ini?" tanya
Dhoruba kemudian. 394 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Tak banyak," jawab Gentong, "hanya dua, yang satu adalah jalan
yang juga tadi kita lewati yang berlanjut memutar dan yang lain yang
langsung menuju ke sana."
"Mana yang terdekat?" tanya Shia Siaw Liong.
"Yang kedua," jawab Gentong.
"Baik, kita ambil yang kedua," jawab Shia Siaw Liong memutuskan.
"Semoga tidak berselisih jalan dengan mereka."
Yang lain hanya mengangguk dan kemudian berbegas memacu langkah
mereka, berjalan cepat. *** "Mari.., mari, cepat-cepat," ucap orang tua itu kepada dua muda-
mudi di belakangnya. Ketiganya bergegas berjalan mengendap-endap.
Mereka berjalan memutar melewati beberapa pohon yang tumbuh di
tepi pulau yang baru saja mereka capai melalui air itu. Baju mereka
masih basah, tapi tidak terlalu mereka perhatikan.
Bagi Xyra yang Undinen, basah tidak merupakan masalah. Ia adalah
roh air, makhluk yang memang dalam hidupnya, jika tidak di dalam
air, memanfaatkan sifat-sifat air. Dingin adalah temannya dan juga
kelembaban. Bagi kedua orang yang lain, kebiasaan mereka hidup
dalam lingkungan yang dekat dengan air membuat mereka memiliki
ketahanan lebih terhadap keadaan baju yang basah.
Berhati-hati mereka melihat ke kiri dan ke kanan, menghindari bila
ada penjaga yang mungkin ada di tempat itu. Setelah memutari ban-
gunan yang terbuat dari batu berwarna kelabu itu, di belakangnya ter-
lihat terdapat sebuah pulau lain, yang tidak terlihat dari arah mereka
tadi datang. Sebuah pulau yang lebih kecil, yang dihubungkan dengan
pulau mereka sekarang oleh sebuah jembatan kecil. Jembatan beruki-
ran unik berwarna hitam yang melengkung cembung di atas air danau
yang memisahkan kedua pulau itu.
"Hei, ada sebuah pula lagi di sana!" ucap Xyra heran. Ia heran karena
dari atas sana, dari air terjun yang baru mereka turuni itu, tidak ter-
lihat adanya pulau lain kecuali pulau tempat mereka berada sekarang.
Bagaimana ini bisa dijelaskan, di sini ternyata terdapat pulau lain.
395 "Bukan hanya satu, masih ada dua lagi," ucap Wananggo tersenyum.
Ya, ia dulu juga begitu, takjub bahwa dari atas sana tidak terlihat jelas
berapa jumlah pulau yang ada. Setelah di bawah, baru ditemuinya
ternyata ada sampai tiga pulau lain di belakang pulau pertama yang
paling besar. Pulau-pulau yang saling dihubungkan oleh jembatan
unik cembung berwarna hitam tersebut.
"Pernah ada cerita, jauh sebelum tempat ini dikuasai oleh Perguruan
Atas Angin, bahwa tempat ini dibangun oleh seorang yang amat ahli
dalam bangunan, geometri dan ilusi. Dengan cara inilah ia memban-
gun pulau-pulau di air jatuh ini sehingga dari jauh terlihat seperti
satu. Setelah didekati ternyata ada dua. Semakin didekati ada tiga
dan pada akhirnya empat. Mirip dengan prinsip satu bagian ilmu yang
disebut fraktal," jelas Wananggo.
"Fraktal?" tanya Lantang.
"Ya. Jika ada waktu, sehabis kita pergi dari sini, bisa aku bawa kalian
ke seorang pengujar yang ahli akan hal itu. Dengar-dengar ia ada
hubungannya dengan perancang pulau di tengah danau ini," lanjut-
nya. "Baik," ucap kedua muda-mudi tersebut hampir bersamaan.
"Sekarang kita harus menyeberangi jembatan itu," ucapnya.
Berbegas mereka menyeberangi jembatan tersebut setelah memeriksa
bahwa tiada perangkap dan juga tiada penjaga yang menghalangi.
Sekarang mereka telah ada di pulau kedua. Pulau yang ukurannya
lebih kecil dari pulau pertama, akan tetapi dengan susunan yang ham-
pir sama. Bangunan batu dengan warna kelabu yang sama dan pohon-
pohon buah serta tumbuhan bunga warna-warni yang mengelilinginya.
"Kita kitari seperti cara yang tadi," bisik Wananggo.
Yang diajak bicara mengangguk dan mereka pun berjalan mengitari,
melakukan hal yang sama dan tiba di bagian belakangnya. Mene-
mukan pemandangan yang sama dengan sebelumnya, akan tetapi den-
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
gan skala yang lebih kecil dari sebelumnya.
"Masih ingat tempat tadi" Apa yang berbeda?" tanya Wananggo.
396 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Kedua muda-mudi itu terdiam, lalu Lantang menjawab, "Sama persis,
hanya..." "Ukurannya lebih mungil!" selak Xyra.
"Ya, benar. Lebih mungil," tegas Lantang.
"Betul, ini diatur sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak waspada
akan lupa dan tersesat. Padahal ada perbedaannya, yaitu ukuran yang
mengecil," jelas Wananggo.
"Sampai berapa kali kita harus menyeberang?" tanya Xyra kemudian.
"Jumlah pulau yang sebenarnya aku tidak tahu," jawab Wananggo,
"tapi kita butuhkan hanya empat. Maksudnya aku hanya pernah tiga
kali menyeberang sampai pulau keempat. Dan di sanalah aku temukan
pohon yang kita cari."
"Mengapa ada hanya di pulau keempat" Bukannya bila benar teori
fraktal itu, seharusnya ada di setiap pulau?" tanya Xyra kemudian.
"Bila orang dapat merancang semua tumbuhan dan makhluk hidup-
nya, ya jawabnya. Tapi orang hanya dapat merancang letak benda-
benda dan bangunan, tapi tidak makhluk hidup yang ada di sana,"
jawab Wananggo sambil tersenyum. Lalu lanjutnya, "dan kebetulan
di pulau keempat inilah dulu kala tinggal seorang petapa yang ahli
obat-obatan. Ia memiliki kebun tanaman-tanaman berkhasiat. Yang
kita lakukan nanti adalah "meminjam" salah satu buah tanamannya."
"Mencuri..," ucap Xyra agak tak senang.
"Ya, mencuri. Jika sang petapa itu masih hidup, kita bisa minta. Tapi
ia sudah tiada dan meminta pada Perguruan Atas Angin..., lebih baik
begini," ucap Wananggo.
"Bagiku tidak apa-apa mencuri, asal tidak bilang bukan mencuri,"
kata Xyra polos. Lantang dan Wananggo tersenyum mendengar itu.
Akhirnya sampailah mereka di atas pulau keempat. Dan kali ini
Wananggo tidak mengajak mereka untuk memutari bangunan batu
397 berwarna kelabu itu, melainkan memutar ke arah yang berlawanan
untuk mencari pintu masuk.
*** Tapak Kelam benar-benar marah dan putus asa. Empat pilar yang di-
harapkannya telah tersungkur bersimbah darah. Anak muridnya telah
habis dibunuh. Tinggal dirinya yang masih berdiri dengan sedikit
luka-luka dengan tenaga yang hampir habis. Musuh-musuh yang
datang ternyata tidak bisa dianggap remeh. Mereka telah melakukan
strategi sedemikian rupa, sehingga berhasil masuk dengan cepat dan
mengalahkan penjagaan di setiap lapisan. Benar-benar hari akhir bagi
perguruan ini. Di hadapannya tampak tiga orang senyam-senyum. Tiga orang yang
mengerikan, karena dari gayanya ia telah tahu siapa mereka. Tiga
orang pimpinan dari Perguruan Kapak Ganda. Rekan-rekan sepergu-
ruan Naga Geni yang dulu dibunuh oleh gurunya Ki Jagad Hitam.
"Mengecewakan sekali!! Jauh-jauh diserang, ternyata Jagad Hitam
sudah berkalang tanah," ucap seorang perempuan dengan suara merdu
yang melengking. "Ya, betul!! Segitu takunya sampai mati lebih dulu, hehehehe," tam-
bah seorang dengan mukanya yang pucat, rambut kusut dan kuku-
kuku tangan panjang kuning menghitam.
"Sudah, sudah.., tidak usah kecewa. Di sini masih ada muridnya yang
bisa kita apa-apakan," lanjut orang terakhir.
Merinding Tapak Kelam atas ucapan-ucapan mereka itu. Mungkin
mati lebih baik bagi dirinya daripada terjatuh ke tangan ketiga orang
itu. Ia tidak tahu apa rencana mereka selanjutnya terhadap dirinya.
Berpikir itu ia segera mengayunkan tangannya membentuk pukulan
untuk dihujamkan ke dalam lambungnya. Serangan bunuh diri dari
Pukulan Perusak Perut, ilmu ampuh warisan gurunya.
"Eh, nanti dulu, cah bagus. Tidak segampang itu mati..," ucap sang
wanita lawannya yang dengan sejata cermin yang dibawanya meman-
tulkan sesuatu yang diikat dengan selendang sutra halus yang lemas
dan panjang, melesat melibat tangan Tapak Kelam, mencegahnya
398 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
memuntahkan pukulan pada lambungnya untuk membunuh diri.
"Bagus, Cermin Maut!!" sahut rekannya yang segera melayang mendekat
dan menotok Tapak Kelam di beberapa tempat sehingga orang itu
tak dapat lagi bergerak dan hanya berdiri kaku di hadapan ketiga
lawannya itu. "Sudah, kalau mau bunuh, bunuh saja!!" ucap Tapak Kelam lemas.
Lebih baik mati pikirnya daripada jadi mainan ketiga orang ini.
"Hehehe, tidak semudah itu," ucap seorang yang dipanggil Mayat Pu-
cat oleh rekannya. Dari tampangnya yang pucat dan kuku-kukunya
yang panjang dan kuning kehitaman, sudah dapat dikaitkan mengapa
ia menggunakan julukan itu.
"Sekarang katakan di mana kitab-kitab tersebut!" ucapnya kemudian.
"Kitab-kitab apa?" jawab Tapak Kelam bingung.
"Kitab-kitab yang ada di Air Jatuh, yang tersimpan di bawah prasasti!"
serang Sabit Kematian tak sabar.
"Sudah dibawa oleh seseorang lama sekali dulu. Ki Makam namanya,"
jawab Tapak Kelam. Lalu ia menceritakan jalannya peristiwa yang
dulu kala itu terjadi, saat Ki Jagad Hitam masih hidup dan dirinya
masih muda. Saat itu ia masih menjadi salah satu dari enam belas
orang Lingkaran Dalam. "Tak mungkin," jawab Cermin Maut. "Kami sudah mengikuti petun-


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juk yang ada. Bahkan sampai ke Rimba dan Gunung Hijau," tambah-
nya. "Rimba dan Gunung Hijau di timur" Ada apa di sana?" tanya Tapak
Kelam tidak mengerti. "Begitulah petunjuk yang kami dapatkan dari prasasti yang kami
curi?" jawab Sabit Kematian.
"Curi" Jangan bercanda. Prasasti itu masih ada di sana. Di Air
Jatuh," ucap Tapak Kelam semakin bingung.
"Itu palsu," terkikik genit Cermin Maut. Senang ia melihat lawannya
399 itu bingung. Ketiganya kemudian terkekeh-kekeh, senang mereka melihat ketidak-
tahuan dari Tapak Kelam tentang apa yang sebenarnya terjadi. Lalu
mereka menceritakan sedikit tentang penyerbuan mereka ke timur, ke
Rimba dan Gunung Hijau. Juga tentang kitab-kitab yang sedikit dite-
mukan mereka, tapi tidak banyak berarti karena hanya berisikan cara-
cara pengobatan dan latihan dasar kuda-kuda saja. Bidang-bidang
yang tidak menarik bagi mereka. Ilmu-ilmu tinggi dan menggiriskan,
itulah yang mereka cari. "Kita bawa saja dia ke Air Jatuh, kita periksa sekali lagi di sana!"
ucap Sabit Kematian. Kedua rekannya mengangguk. Lalu Mayat Pucat menyambar Tapak
Kelam dengan entengnya dan membawanya berlari cepat, menyusul
kedua rekannya yang telah pergi terlebih dahulu. Sementara itu di lu-
aran sana masih terdengar sisa-sisa murid-murid Perguruan Atas An-
gin yang meregang nyawa. Sisa-sisa terakhir yang dicabut kehidupan-
nya oleh murid-murid Perguruan Kapak Ganda. Tak tersisa. Habis.
Sorak-sorai para pemenang tampak berkumandang di udara. Bergem-
bira layaknya seorang pemenang. Kemenangan atas tumpahnya darah
lawan. Kebuasan melebihi binatang liar. Memangsa tapi tidak untuk
dimakan, hanya untuk kepuasan akan kekuasaan.
*** "Itu di sana!" ucap Misun sambil menunjuk asap kehitaman yang
membumbung tinggi di udara. Kebakaran. Umumnya hanya ke-
bakaran yang dapat menyebabkan asap demikian pekat dan gelap.
Lima orang itu berbegas menuju ke suatu tempat di mana sumber
asap itu berasal. Jauh sebelumnya, di kiri-kanan jalan, telah mereka
lihat banyak sisa-sisa pertempuran. Rumah-rumah yang rusak, kereta
kuda terbalik, mayat dan lain-lain. Hal-hal yang mungkin timbul ak-
ibat perang. "Ya, benar. Kelihatannya sepenanak nasi lagi, sampailah kita di
sana," ucap Gentong.
Yang lain hanya mengangguk dan lalu mempercepat langkah masing-
400 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
masing. Sebagai mereka-yang-tak-bisa mati, orang-orang tersebut
perlu pula asupan tenaga dan juga istirahat. Jika tidak mereka akan
menjadi terlalu lelah dan tidak dapat berbuat apa-apa, walaupun
tidak dapat mati tentunya.
"Misun, benarkan kita itu tidak dapat mati" Bagaimanapun juga luka
kita?" tanya Gentong suatu saat. Baginya keadaan dirinya yang baru
ini masih diselimuti banyak misteri. Ia perlu mencari tahu.
Misun tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir apa yang se-
baiknya dijelaskan. Lalu katanya, "sebenarnya tidak juga. Orang
dapat dipastikan mati bila leher kepada terpisah dari tubuhnya. Dan
itu yang biasanya dilakukan oleh sesama mereka-yang-tak-bisa-mati
atau immortal." "Memenggal kepala?" berkata Gentong sambil tak terasa memegang
lehernya, membayangkan apabila bagian tersebut dipotong oleh se-
buah senjata. "Ya, dan itu kadang menjadi tujuan beberapa orang atau kelompok,
untuk memperoleh ilmu pengetahuan, kekuatan dan menjadi yang
terutama, the one," ucap Misun lagi.
"The one?" tanya Gentong kembali.
"Ya, the one. Itu hanya istilah, yang dituliskan dalam suatu ra-
malan, atau lebih tepatnya mirip peraturan bagi kita, kamum immor-
tal, bahwa pada suatu saat lewat pertarungan di antara kita, akan
tinggal satu orang. The one. Orang yang memiliki pengetahuan dari
lawan-lawan yang dibunuhnya," jelas Misun.
"Bingung aku..," ucap Gentong perlahan. Jelas tampak dalam wajah-
nya kebingungan. "Begini.., jika dua orang kaum immortal bertempur dan satu berhasi
dipenggal kepalanya, maka yang hidup akan menerima "nyawa" yang
kalah dan menjadi bagian dari dirinya, juga hal-hal yang telah dipela-
jarinya. Ilmu pengetahuan, bela diri, dan lain-lain yang ada dalam
kepalanya. Beberapa orang memanfaatkan keadaan itu untuk mencari
kekuatan. Dengan semakin banyak membunuh, mereka akan semakin
kuat. Begitulah," ucap Misun sambil menuliskan sesuatu di atas tanah
401 di depannya. "Aku ini sudah membunuh belasan orang dari kaum kita, Dhoruba
sudah puluhan. Angus dan Shia Siaw Liong bahkan sudah ratusan.
Bukan jumlah yang banyak apabila dalam rentang dua ribu tahun,"
katanya pendek. "Kita sudah sampai," ucap Dhoruba yang segera mencabut golok
bumerangnya. Golok melenkung patah, mirip bumerang dangan satu
sisinya berupa pegangan dan sisi lainnya bagian yang tajam. Golok
tersebut dapat dilempar untuk memenggal kepala musuh.
Kedatangan kelima orang ini, yang sudah jelas-jelas terlihat membawa
senjata, membuat anak-murid Perguruan Kapak Ganda yang baru
saja menang perang langsung siaga. Mereka mengira bahwa kelima
orang ini adalah bala bantuan untuk Perguruan Atas Angin yang baru
saja mereka bantai. "Capp!! Heggg!!" alangkah terkejutnya mereka, yang sebenarnya dise-
babkan oleh kelengahan mereka sendiri yang jumawa sehabis menang
dalam penyerbuan ini, sehingga tidak waspada saat Dhoruba meny-
erang tanpa ba-bi-bu lagi. Melompat dengan kaki-kakinya yang re-
latif panjang bagi orang-orang, merentangkan tangannya yang me-
mang panjang dan menyabet-nyabetkan golok bumerangnya. Segera
berjatuhan beberapa orang dengan luka di bagian leher, atau leher
yang hampir putus. "Musuh datang!!!" teriak salah seorang dari mereka, berusaha mengabari
rekan-rekan mereka yang masih ada di bagian dalam dari lingkungan
bangunan Perguruan Atas Angin.
Segera berlompatan keluar rekan-rekan mereka yang telah siaga den-
gan senjata di tangan. Tapi hal tersebut tidak berarti banyak bagi
Dhoruba yang segera bergerak ke sana kemari. Membacok dan menen-
dang sana-sini. Mengucurkan darah pada anak murid Perguruan
Kapak Ganda, menemani musuh-musuh mereka yang telah terlebih
dahulu hilang nyawan-nyawanya.
"Hei, kenapa kalian diam saja" Ayo bantu aku!!" ucap Dhoruba sambil
terus bertempur. Bajunya yang tak begitu panjang menutupi tubuh-
nya, sudah basah oleh darah lawan-lawannya. Hal ini membuatnya
402 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
makin mengerikan. Hitam dengan baju merah berdarah, tinggi dan
kurus, dan dengan golok bumerang yang menari-nari di atas urat dan
darah lawannya. Angus pun mulai turun ke dalam arena. Ia mencabut pedangnya.
Pedang yang cukup panjang dan berat. Khas pedang Tlatah Skot-
landia. Ia mengayunkan pedangnya sekali dua kali. Sekali tetak
tak ada lawan yang dapat menahan tenaganya. Remuk dan hancur.
Tenaga yang besar ditambah dengan bobot pedang yang berat.
Shia Siaw Liong bergerak cepat, mencabut kedua pedagnya dan
memainkannya bak kupu-kupu menari, berseliweran ke sana-ke mari
yang diikuti oleh percikan darah yang mengambang di udara. Tarian
Kupu-kupu Penjemput Maut.
Misun mengangsurkan Gentong panah dan beberapa tombak. "Pakai
senjata lebih efektif. Lawanmu yang sebenarnya bukan keroco-keroco
ini. Simpan tenagamu," usulnya.
Gentong menangguk mengiyakan. Ia pun menerima senjata-senjata
itu dan menggunakannya sebagaimana ia diajarkan oleh Misun.
Pertempuran itu tak berlangsung lama. Dua ratusan murid-murid
Perguruan Kapak Ganda telah malang melintang di atas tanah. Pu-
tus napasnya. Kelima diam seribu bahasa. Masing-masing kemudian
menyimpan kembali senjatanya.
"Mana dedengkotnya" Siapa namanya" Sabit Kematian?" ucap Dho-
ruba sambil matanya melihat ke sana-ke mari, melucu. Kali-kali saja
yang namanya Sabit Kematian telah tak sengaja terbunuh.
"Di sini," ucap Misun yang tadi meghilang dan sekarang muncul lagi.
Ia menggapai rekan-rekannya untuk mengikuti.
Di dalam suatu ruang terbuka dekat dengan bagian tengah perguruan
tersebut, tampak tubuh-tubuh malang melintang.
"Lihat ini," tunjuk Misun, "cakaran beracun. Cocok dengan gam-
baran Gentong terhadap salah satu tokoh utama mereka, Mayat Pu-
cat." Di sana tergeletak pula empat orang yang dari busananya tampak
403 sedikit berbeda dengan murid-murid Perguruan Atas Angin yang lain.
Ya, mereka adalah Empat Pilar. Bawahan langsung dari Tapak Ke-
lam, pempimpin Perguruan Atas Angin saat itu.
"Ini mungkin murid-murid tingkat pertama," kata Shia Siaw Liong
sambil menunjuk ke arah mayat Empat Pilar. "Bajunya berbeda dan
juga otot-ototnya. Mungkin wakil-wakil ketua."
"Kelihatannya ketuanya belum mati dan dedengkok dari Perguruan
Kapak Ganda pun tidak ada di sini. Di mana mereka?" celingak-
celinguk Dhoruba sambil mengayun-ayunkan golok bumerangnya yang
sudah mengering merah. "Ini ada jejak darah yang seperti terseret," kembali Misun kembali dari
suatu ruang di sebelah, menunjukkan jelas garis-garis yang dibentuk
oleh darah manusia yang terluka dan diseret-seret.
"Mari kita ikut," usul Angus kemudian.
Mereka pun pergi ke bagian belakang dari bangunan Perguruan
Atas Angin yang tampak sunyi itu. Sunyi karena hampir seluruh
penghuninya telah berkalang tanah, begitupula dengan hampir selu-
ruh musuh yang menyerbunya.
*** "Itu, di sana pintu masuknya," tunjuk Wananggo pada suatu rongga
pada bangunan batu berwarna kelabu itu.
Rongga itu tidak terlalu besar, sehingga orang dewasa harus agak
membungkukkan dirinya untuk memasukinya, agar tidak tarantuk
pada langit-langit rongga tersebut. Mereka kemudian satu per satu
memasuki ruangan itu, Wananggo, Lantang dan kemudian akhirnya
diikuti oleh Xyra. Ruangan dalam, di mana ketiga orang itu berada sekarang, terlihat
cukup luas, lebih luas dari yang dibayangkan saat orang melihatnya
dari bangunan batu berwarna kelabu dari luar sana.
"Luas juga, tidak seperti yang aku pikir," ucap Xyra.
"Benar," berkata Lantang membenarkan.
404 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Itu juga salah satu kelebihan tempat ini. Dengan permainan warna,
bentuk dan komposisi tumbuh-tumbuhan serta cahaya, perancang
tempat ini membuat atau ingin menimbulkan kesan, bahwa bangunan-
bangunan di setiap pulau tidaklah besar ruangan di dalamnya, tidak
seperti keadaan sebenarnya," jelas Wananggo kemudian. Ia mencari-
cari dengan matanya sampai pada suatu tulisan di dinding.
"Mana tanaman yang dimaksud, kebunnya pun aku tidak lihat?"
tanya Xyra, karena ia hanya melihat ruangan yang hampir kosong
tersebut. Hanya beberapa rak terbuat dari batu, yang dipahat dalam
dinding, yang tampak di sana-sini. Rak-rak yang di langit-langitnya
tampak sinar kemerah-merahan, seperti dihiasi batuan atau jamur
yang dapat berpendar dalam gelap.
"Inilah kebun itu!" ucap Wananggo puas. Ia senang melihat keti-
dakpercayaan pada mata kedua muda-mudi yang menyertainya itu.
"Aku tidak pernah bilang bahwa kebun tersebut adalah kebun seperti
kebun-kebun tanaman pada umumnya. Dan aku juga tidak pernah
bilang seperti apa tanamannya atau bentuk pohonnya."
Kedua muda-mudi itu masih saja bingung dengan apa yang sedang
dibicarakan oleh Wananggo.
Melihat tanda tanya besar seolah-olah terpampang di benar mereka,
Wananggo pun mengajak mereka ke sudut ruangan itu. Ke suatu tem-
pat yang difungsikan sebagai meja dan kursi, walaupun kesemuanya
itu terbuat dari batu. Batu yang dipotong sedemikian rupa, sehingga
dapat digunakan sebagai meja dan kursi.
Keduanya pun menurut dan duduk berhadapan dengan Wananggo,
yang seperti diduga, akan menceritakan apa-apa yang membingunkan
mereka tadi itu. "Pondok ini adalah milik seorang petapa yang ahli obat-obatan, sa-
habat dari pemiliki tempat ini. Ia ahli segama macam tumbuhan dan
khasiat-khasiat yang terkandung di dalamnya," jelas Wananggo.
"Paman pernah bertemu dengannya?" tanya Xyra menyela.
"Pernah, sekali waktu," jawab Wananggo sambil berpikir sedikit,
"waktu itu aku sedang mencari obat untuk anak dan istriku yang
405 sakit. Suatu penyakit yang aneh. Saat itulah aku bertemu dengan
petapa itu." "Siapa nama petapa itu, paman?" tanya Lantang ingin tahu. Ya,
ingin tahu siapa orang yang kemungkinan bisa memiliki obat untuk
kesembuhannya. Menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Suatu
penyakit yang juga tidak jelas asal-usulnya.
"Nama petapa itu sendiri aku tidak tahu. Yang kutahu ia sering
membawa-bawa sebuah buku tempat ia menuliskan obat-obatannya.
Pernah aku diberitahu judul buku tulisannya itu. Seribu Ramuan
namanya," jawab Wananggo.
"Seribu Ramuan?" ujar Xyra.
Wananggo menangguk mengiyakan.
"Mungkin itu untuk menunjukkan betapa banyaknya ramuan obat-
obatan yang tertulis dalam buku itu," tebak Lantang.
"Mungkin," ucap Wananggo pendek.
"Paman, tapi paman belum menceritakan mana kebun dan tanam-
tanaman obat yang akan kita curi. Di sini tidak ada kebun apalagi
tanam-tanaman," tanya Xyra, yang mengingatkan kembali orang tua
itu akan tujuannya semula mengajak muda-mudi itu ke tempat ini.
"Oh, itu!" jawabnya tersenyum. Alih-alih menjawab, ia malah menga-
jukan pertanyaan, "Xyra dan Lantang, apa sebenarnya tumbuhan dan
hewan" Maksudnya, apa bedanya mereka berdua dan apa hubungan-
nya dengan makhluk hidup lain seperti kita, manusia dan Undinen?"
Kedua orang tersebut, yang satu Undinen dan yang lain manusia,
tampak kaget dengan pertanyaan yang tidak diduga-duga itu. Mereka
tidak dapat langsung menjawab melainkan memikirkannya dulu.
"Tumbuhan tidak bertelur atau beranak?" tebak Lantang.
"Lalu apa yang namanya buah dan umbi" Bukan itu telur dan
anaknya, yang mirip dengan yang dimiliki hewan?" tanya Wananggo,
menanggapi jawaban tersebut.
406 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Lantang hanya cengengesan mendengar pertanyaan balik itu. Lalu ia
kembali terdiam. Berpikir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
sebenarnya tidak gatal. "Ini paman, aku tahu," ucap Xyra, "tumbuhan tidak berpindah tem-
pat. Hewan selalu berpindah tempat."
"Hampir benar," jawab Wananggo. "Tepatnya tumbuhan tidak
berpindah tempat akibat kemauannya melainkan akibat rangsan-


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan dari lingkugan. Lain dengan hewan dan juga kita manusia dan
Undinen, yang berpindah tempat akibat kemauan kita sendiri."
"Masak ada sih tumbuhan yang bisa berpindah tempat, paman?"
tanya Lantang tidak percaya.
"Sebenarnya tidak terlalu tepat apabila dikatakan mereka berpindah
tempat. Lebih tepat bila dikatakan keturunannya atau bagian dari
tubuhnya, yang akan menjadi tumbuhan baru, berpindah tempat,"
jelas Wananggo kemudian. Lalu ia menjelaskan bahwa ada tumbuhan-
tumbuhan yang memanfaatkan angin dan air untuk menyebarkan
bagian tubuhnya atau keturunannya. Ada pula yang tersebar akibat
adanya bencana alam seperti tanah longsor, banjir dan sebagainya.
Manusia dan hewan juga berperan dalam penyebaran itu, sengaja atau
tidak sengaja. Yang sengaja misalnya dengan memindahkan tanaman
dan ditanam di tempat lain, sedangkan yang tidak sengaja misalnya
adalah biji-biji yang tersangkut di sepatu, baju atau tidak hancur
dalam lambung sehingga kembali keluar saat mereka membuang hajat
besar. "Begitulah alam ini, suatu kreasi yang mengagumkan dari Sang Pen-
cipta," ujar Wananggo yang menutup jawaban dari pertanyaannya
itu. "Paman, paman kembali membuat bingung. Menjelaskan suatu hal
tapi hal yang pertama belum jugaa terjelaskan," ucap Xyra kembali.
"Mana tumbuhan obat untuk Lantang, yang menjadi tujuan kita se-
mua ke tempat ini?" Tersenyum Wananggo melihat pertanyaan yang diajukan dengan se-
mangat oleh Xyra. Terlihat jelas kekuatiran dan kasih sayang Undinen
wanita tersebut kepada Lantang.
407 "Sebenarnya aku sudah menjawab secara tidak langsung hal itu," ucap
Wananggo, "hanya saja belum benar-benar menjelaskan apa yang ku-
maksud." Kedua anak muda itu diam, menantikan penjelasan yang akan muncul.
Lalu Wananggo pun menjelaskan, bahwa tumbuhan dan juga hewan,
tidak saja apa-apa yang diketahui oleh kedua orang muda tersebut.
Banyak hewan dan tumbuhan yang berukuran jauh lebih kecil dari
mereka. Bahkan ada yang tidak bisa dilihat oleh mata. Organisme
mikro namanya. Ukurannya sangat kecil. Mereka-mereka ini kadang
dapat membuat hewan dan tumbuhan yang lebih besar menjadi sehat
atau pun sakit. Dengan tidak percaya kedua anak muda itu menunjukkan muka yang
semakin bingung dan tertarik.
"Dulu kala ada seorang pengujar yang bernama Lui Pastur (Louis Pas-
teur) yang menemukan bahwa bahan makanan yang dipanaskan sam-
pai suhu tertentu, kemudian dikenal sebagai pasturisasi, dapat mem-
buat makanan tersebut tidak cepat membusuk dan lebih sehat untuk
dimakan. Hal ini karena renik-renik dari tumbuhan dan hewan yang
hidup dalam bahan makanan mati karena pemanasan tersebut. Inilah
yang disebut sebagai organisme mikro. Amat kecil," jelas Wananggo.
Kedua orang yang dijelaskan hal baru itu tampak mengangguk-
angguk. "Itu sebabnya kita perlu memasak makanan yang kita makan, selain
lezat, juga lebih sehat," ucap Wananggo.
"Tapi katanya, lalapan itu juga sehat, lho!" kata Lantang. Ia menden-
gar hal itu dari mendiang ibu dan ayahnya.
"Benar, benar begitu. Umumnya harus dimasak adalah makanan yang
mengandung atau kemungkinan besar mengandung organisme mikro
yang berbahaya bagi tubuh, atau disebut juga bibit penyakit. Dan itu
terutama daging. Ikan laut masih baik dimakan mentah. Umbi-umbi
yang keras sebaiknya dimasaka agar mudah dicerna oleh lambung,"
jelas Wananggo. Kedua muda-mudi yang diberi penjelasan itu kembali mengangguk-
408 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
angguk. "Tapi paman, itu semua belum menjelaskan letak kebun dan tanaman
yang dimaksud?" protes Xyra kemudian.
Wananggo tersenyum masih, lalu katanya, "Tenang Xyra, kebingun-
ganmu itu juga sama dengan kebingunganku dulu, saat bertemu den-
gan sang petapa penulis kitab Seribu Ramuan." Lalu ia bangkit dari
tempat duduknya dan mengajak keduanya menuju ke rak-rak yang
terbuat dari batu, yang di dalam ceruknya terdapat langit-langit yang
langit-langitnya berpendar kemerahan. "Ini kebun yang kumaksud!"
katanya sambil menunjukk rak-rak tersebut.
Di bawah sinar berpendar merah dari setiap langit-langit dalam ceruk
tersebut, terhampar semacam tempat yang di atasnya diberi tanah
halus berwarna coklat kehitaman dan di atasnya tumbuh tanaman-
tanaman kecil dan mungil, hanya setinggi beberapa jari saja. Beber-
apa tampak berkilauan perak. Yang lain tampak berwarna lembut
dan buram. "Ini kebun yang dimaksud?" tanya Lantang dan Xyra hampir bersamaan.
Baru kali ini mereka melihat kebun yang berukuran "mini" tersebut.
"Ya!" jawab Wananggo sambil tersenyum. Senang ia melihat keter-
tarikan kedua muda-mudi itu, juga keheranannya. Sama seperti
yang terjadi dulu pada dirinya saat petapa, sang penanam tumbuh-
tumbuhan itu, menerangkan pada dirinya.
"Mari kita ambil dan kita gunakan untuk mengobatimu, Lantang,"
ucap Xyra seraya tangannya mengapai ke salah satu tanaman mini
tersebut. "Hai, hati-hati!" cegah Wananggo. "Jangan sembarangan menyentuh-
nya. Ada beberapa yang amat beracun, sekali sentuh dapat seorang
manusia mati. Aku tidak tahu efeknya terhadap Undinen."
Mendengar itu segera Xyra menarik tangannya kembali dan tidak jadi
memetik tanaman yang menarik, yang ada dihadapannya itu.
"Paman, lalu mana yang akan digunakan sebagai obat untuk mengo-
bati Lantang" Bukan yang tadi?" tanya Xyra kemudian.
409 "Bukan," jawab Wananggo pendek. Tampak ia berpikir-pikir agak
keras. "Dulu petapa tersebut pernah bilang kepadaku bahwa saat
malam bulan purnama tanaman itu akan berbunga dan tak lama,
dalam hitungan menit akan berbuah. Saat itulah ia harus dipetik
buahnya dan juga diambil akarnya. Tapi jangan sampai mati. Jika
mati, khasiatnya akan berkurang."
"Tapi kalau kita tidak tahu tanaman yang mana...?" ucap Lantang
menambahkan. "Nah, untuk itu kita butuh kemampuan Xyra sebagai seorang Undi-
nen," jawab Wananggo sambil tersenyum. "Dari cerita kalian, in-
gatkah bila Xyra pertama kali bertemu dan tertarik kepadamu?"
Kedua orang di hadapan Wananggo mengangguk.
"Nah, tumbuhan ini juga akan mengeluarkan semacam aura yang
mirip seperti yang dikeluarkan Lantang pada saat itu, dan di antara
kita bertiga, hanya engkau Xyra yang dapat merasakannya," ucap
Wananggo sambil memandang dara Undinen tersebut.
Xyra mengangguk, "akan aku coba, apapun, demi kesembuhan Lan-
tang." Ucapannya itu diakhiri dengan nada yang pasti. Menunjukkan
niatan yang teguh. Lantang menjadi terharu mendengar hal itu. Tak terasa jemarinya
menggenggam erat jejari Xyra. Hal ini pun tak luput dari perhatian
Wananggo sehingga membuat wajah keduanya merona merah. Malu.
"Kita masih ada sedikit waktu. Lebih baik kita mengheningkan cipta,
meditasi, agar hawa kita murni, sehingga nanti dapat dengan mudah
melakukan pengobatan kepadamu, Lantang. Setelah, tentu saja Xyra
mencarikan tanaman yang tepat, yang hawanya mirip dengan hawa
yang engkau pancarkan," usul Wananggo.
Keduanya mengangguk mengiyakan. Segera mereka mencari tempat
di salah satu ujung ruangan, di mana di sana tidak terdapat rak-
rak berupa ceruk dalam dinding itu. Hening pun menggapai mereka
bertiga yang tenggelam dalam pengaturan napas dan pikiran.
*** 410 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Hehehehe, bagus juga tempat ini?" kekekeh Mayat Pucat saat mereka
berempat tiba di Air Jatuh. "Boleh juga bila kita pindah kemari."
Ucapannya itu dibalas oleh dengusan marah, tapi tanda daya, dari
Tapak Kelam yang sedang dibawa-bawanya. Lunglai bagaikan boneka
saja. "Bisa nanti itu kita bicarakan," ucap Cermin Maut. Mau tak mau
ia mengagumi hal itu pula. Belum pernah ia menemui tempat yang
indah seperti ini. Sabit Kematian hanya diam saja. Tapi matanya tampak juga mengiyakan.
Kagum akan keindahan tempat tersebut.
"Sekarang tunjukkan di mana tempat prasasti tersebut berada," ucap
Mayat Pucat sambil menggoyang-goyangkan Tapak Kelam yang baru
saja dipijit uratnya dan ditotok, sehingga tidak dapat berbuat apa-
apa. Hanya dapat berbicara.
"Di sana, di tengah pulau. Kita harus menyeberang," ucap Tapak
Kelam sambil menggerakan dagunya, mengoyang-goyangkan ke arah
pulau di tengah danau tersebut. Tangannya telah luluh lemas dikerjai
oleh Mayat Pucat. "Ayo jika begitu," ucap Cermin Maut yang segera melayang disusul
oleh kedua saudara seperguruannya.
Segera mereka berada di atas pulau pertama, di hadapan bangu-
nan berwarna kelabu yang terbuat dari batu. Lalu Tapak Kelam
mengisyaratkan untuk memutari bangunan itu sehingga sampailah di
belakangnya. Di tempat di mana terdapat pemandangan yang sama
dengan pemandangan di tempat sebelum mereka tiba di pulau terse-
but. "Ha" Bukannya tadi...," ucap Sabit Kematian sedikit bingung.
Cermin Maut yang paling cerdik dari mereka segera tahu apa yang
dihadapinya. "Benar-benar seni tata bangunan yang tinggi," ucapnya.
Lalu ia segera memandang kepada Tapak Kelam, "ada berapa lipat
bentuk yang sama ini?"
Tapak Kelam yang tadinya berhadap tipuan akibat kesamaan geometri
ini dapat membingungkan ketiganya sehingga ia dapat mencari-cari
411 kesempatan untuk melarikan diri, tampak lemas. Dengan lunglai ia
berkata, "kira-kira sepuluh. Aku hanya pernah sepuluh kali lewat dan
tidak melihat belakang dari yang kesepuluh itu."
Mengangguk-angguk Cermin Maut mendengar hal itu. Keunikan ini
menambah rasa sayangnya untuk memiliki tempat ini.
"Dan di pulau keberapa prasasti itu berada?" tanyanya kemudian.
"Kelima," jawab Tapak Kelam pendek.
"Kalau begitu mari kita segera pergi!" ucap Sabit Kematian yang
segera berlari cepat menyeberang jembatan melengkung cembung
berwarna hitam yang ada di hadapan mereka itu. Yang lain segera
menyusulnya. Begitulah mereka berlari cepat, sampai akhirnya tiba di
pulau kelima. Tak sadar mereka saat melewati pulau keempat bahwa
ada tiga orang dalam bangunan di tengah pulau itu.
*** "Tempat yang menarik," ucap Shia Siaw Liong saat mereka berlima
tiba di Air Jatuh. Di pinggir danau, di mana di hadapan mereka
terdapat sebuah pulau yang dihubungkan dengan sebuah jembatan
melengkung cembung berwarna hitam.
"Menyeberang kita?" tanya Gentong karena ia tidak melihat alternatif
tempat lain yang mungkin menjadi tujuan mereka.
"Ya, ini sedikit tetetasan darah yang tadi," jawab Misun sambil
mencium-cium darah tersebut. Setelah ia bertarung dengan seorang
Manusia Serigala yang juga seorang dari mereka-yang-tak-bisa-mati
dan berhasil memenggal kepalanya, ia mendapatkan kemampuan un-
tuk membaui seperti halnya serigala. Kemampuan yang dulunya
dimiliki oleh lawannya tersebut.
"Jika demikian, mari kita menyeberang," ucap Dhoruba yang segera
meloncat dengan kaki-kakinya yang jenjang, mendahului keempat
orang rekannya, menyeberang ke arah pulau menggunakan jembatan
hitam melengkung cembung tersebut.
Sesampainya di seberang segera Misun mulai lagi mencari-cari jejak
dan tanda-tanda orang-orang yang baru lewat. Setelah menemukan-
412 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
nya ia segera menggapai teman-temannya untuk mengikuti. Begitulah
mereka terus berpindah dari satu pulau ke pulau lain sampai ke pulau
yang keempat. "Aneh.., di sini ada dua jejak menuju arah yang berlawanan. Je-
jak yang dari tadi kita telusuri dan yang baru," ucapnya sambil
berjongkok mengamati percabangan dari jejak-jejak yang ada di hada-
pannya. "Kita ikuti saja yang pertama, itu yang sedari dari ruang perguruan
kita ikuti," usul Shia Siaw Liong.
"Baik jika begitu," lalu ia berdiri dan segera mengikuti rangka-
ian jejak-jejak pertama tadi. Rangkaian jejak-jejak yang membawa
mereka menuju pulau berikutnya. Pulau kelima.
*** Malam pun menjelang tiba. Hampir tanpa awan dan diterangi oleh
rembulan, yang hari itu membulat sempurna, menyajikan malam yang
tidak segelap biasanya. "Mari kita mulai," ucap Wananggo hampir berbisik, menggugah Xyra
dan Lantang dari duduk semadi mereka. "Sudah hampir tengah
malam saat ini. Sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk
merasakan energi dari tumbuhan yang akan digunakan untuk menyem-
buhkan Lantang." Kedua muda-mudi itu pun mengangguk dan meninggalkan posisi
duduk mereka, yang tadi dalam postur Duduk Teratai, dengan lima
titik menghadap ke langit. Kedua telapak tangan dan kaki, ditambah
dengan ubun-ubun kepala. "Sekarang aku dan Lantang akan berdiri dekat pintu masuk, karena
itu adalah posisi yang paling jauh dari rak-rak dalam ceruk batu itu.
Kami harus agak jauh agar tidak hawa kami mengganggu konsen-
trasimu," jelas Wananggo pada Xyra dan juga Lantang.
"Selanjutnya, bayangkan engkau hendak mencari Lantang. Rasakan
hawa yang dikeluarkannya. Telusuri isyarat yang ada, yang datang
kecuali dari arah pintu masuk. Mau tak mau engkau pasti akan
merasakan hawa dari Lantang. Upayakan untuk mencari hawa
413 lain yang mirip di antara tumbuhan-tumbuhan mini tersebut," kata
Wananggo kemudian menambahkan.
Xyra, sang Undinen, mengangguk mengiyakan petunjuk itu dan mulai
berkonsentrasi dengan menutup matanya dan mulai hening.
Dalam ruangan yang sudah tentu lebih gelap dari keadaan di luar,
di mana hanya seberkas sinar rembulan menerobos masuk dan miring
menerangi lantai seluas dua tiga telapak tangan. Putih cemerlang.
Sisa dalam ruangan itu boleh dikatakan hampir gelap. Hanya pendar
kemerahan tampak dari langit-langit rak-rak dalam ceruk batu yang
berjajar di sisi lain dari sisi tempat pintu masuk berada.
Perlawan-lahan mulai tampak kabut tipis dari kepala Xyra. Kabut
yang bersinar kebiruan dalam gelap. Mirip kilauan kunang-kunang,
halus dan bersambung-sambung. Bergerak liar ke sana-kemari seperti
cabang-cabang percikan api yang kemudian berubah menjadi ten-
ang dan mulai membentuk seperti suatu lidah masih berwarna biru
temaram dan bependar. Jika suasana terang, mungkin kabut tersebut
tidak akan jelas terlihat seperti saat ini dalam ruang yang gelap.
Perlahan-lahan lidah cahaya bependar itu bergerak-gerak memanjang
dan memendek, terlihat seperti mencari-cari seuatu. Lalu ia menipis
dan bergerak menuju ke arah pintu keluar. Tepatnya menuju ke arah
di mana Lantang berada.

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Arahkan ke tempat lain, jangan ke sini," bisik Wananggo perlahan.
Ia lihat bahwa Xyra telah berhasil membangkitkan indera pencarinya,
untuk mencari hawa dari Lantang, dengan membayangkan pemuda
itu. "Bayangkan Lantang ada di sisi lain ruangan ini," ucap Wananggo
memberi petunjuk lebih lanjut.
Lidah cahaya itu berhenti memanjang, memutar dan mencari-cari
dalam arah yang berlawanan. Ia bergerak perlahan, kembali meman-
jang dan seperti mencium-cium pada setiap isi dari rak-rak dalam
ceruk-ceruk batu. Ceruk di mana langit-langitnya masih berpendar
kemerahan. Pendaran yang bercampur dengan pendaran lidah ca-
haya Xyra, menghasilkan nuansa warna yang indah dan mempesona
dalam kegelapan ruangan itu.
Dari satu rak batu lidah cahaya itu perpindah, kadang ke rak yang
414 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
sebelah atas, kadang ke rak yang sebelah bawah. Berpindah perlahan
seperti memindai satu per satu, sampai akhirnya tiba pada suatu rak
yang berada cukup tinggi. Ketinggian yang mendekati langit-langit
ruangan itu. Di sana lidah cahaya itu tampak berhenti. Diam seperti mematung.
Cahayanya bertambah terang dan cemerlang, yang kemudian disusul
oleh lidah atau kabut cahaya lembut, juga berwarna biru tembus pan-
dang, yang perlahan merebak dari rak dihadapan nya. Kedua lidah ca-
haya tersebut bergumul, melingkar, saling merengkuh. Menampilkan
nuansa indah pancaran foton-foton dinamik, yang lalu tiba-tiba hi-
lang, melebur dalam kegelapan semula ruangan itu.
"Hehhhh!" tampak Xyra menarik napas panjang. Peluh tampak ber-
jatuhan dari pelipis dahinya. Tampak banyak energi telah dikelu-
arkannya untuk menentukan tumbuhan obat yang tepat untuk Lan-
tang. Kesemuanya itu disaksikan dengan hampir menahan napas oleh Lan-
tang dan Wananggo. Keduanya segera menandai dekat mana peristiwa
itu terjadi. Rak tersebutlah yang mereka cari.
"Atuh napasmu perlahan, kembalikan peredaran hawa dalammu,"
ucap Wananggo perlahan. Ia mengisyaratkan agar Lantang tidak
menyentuh Xyra, agar hawa yang kacau tidak menular pada pemuda
itu. Setelah beberapa saat hening, Xyra pun membuka matanya. Tam-
pak ada sedikit perbedaan dalam sorot matanya. Lebih bercahaya
dan kemilau. Mungkin akibat kontak dengan hawa tumbuhan obat
tersebut tadi. "Bagaimana keadaanmu sekarang," tanya Wananggo.
"Baik..., sudah baik kembali," jawab Xyra pendek. Masih terasa pau-
tan hawa yang tadi dialaminya. Suatu perasaan nyaman luar biasa.
Suatu perasaan nyaman yang dirasakannya dengan membayangkan
sedang bersama Lantang. Pemuda yang dikasihinya.
"Apakah itu tadi?" tanya Lantang yang terlihat kuatir dengan keadaan
sang Undinen. 415 "Pautan hawa, suatu hubungan hawa antara dua entitas," jelas
Wananggo. "kecocokan dua buah hawa akan membawa pada pen-
ingkatan energi dari kedua entitas yang berinteraksi. Itu pula yang
aku harapkan, yang dapat membantu menyembuhkanmu."
"Sayang engkau belum dapat menggunakan Tenaga Air yang engkau
latih dan simpan selama ini," ucap Wananggo, "jika tidak. Kita tidak
perlu melakukan pengobatan dengan meminumkan ramuan dari tum-
buhan tersebut pada dirimu, melainkan cukup dengan kontak hawa
seperti yang dilakukan oleh Xyra tadi."
Lalu Wananggo mencari dudukan untuk dinaiki, membantunya meli-
hat dan mengambil tumbuhan yang tadi telah ditemukan oleh Xyra
melalui kontak hawa. Saat di atas dekat dengan rak yang hampir
menyentuh langit-langit ruangan itu, Wananggo melihat bahwa di
samping tumbuhan-tumbuhan mini tersebut tergeletak juga sebuah
kitab kecil. Entah apa. Dengan re"ek diambilnya kitab itu dan juga
beberapa jumput dari tumbuhan yang ada. Tidak semuanya. Ia in-
gin masih menyisakan beberapa agar dapat tumbuh kembali. Untuk
orang lain, jika suatu saat ada yang membutuhkannya.
"Ini simpan beberapa pucuk dalam kantongmu dan juga kitab ini,"
ucapnya kemudian. Ia mengambil dua pucuk kecil yang akan dio-
lahnya untuk diberikan kepada lantang. Ia bergegas menuju meja
terbuat dari batu yang ada dalam ruangan itu. Dibukanya suatu
kertas berisi bubuk keabuan. Dicampurkannya tumbuhan tadi dan
dilumatkan pelan-pelan dengan ujung jarinya.
Lantang yang tidak mengerti segera menyimpan pucuk-pucuk tum-
buhan mini yang diberikan, berikut kitabnya tersebut. Ia masih ingin
bertanya mengenai kitab apa itu, tapi mimik serius dari Wananggo
menandakan ia tidak ingin diganggu dulu.
*** "Di sana, di dalam bangunan itu..," ujar Tapak Kelam sambil menun-
juk ke suatu bangunan berwarna kelabu yang terbuat dari batu.
Berbegas Sabit Kematian, Mayat Pucat dan Cermin Maut memasuki
tempat tersebut. Tak lupa Mayat Pucat masih "menenteng" Tapak
Kelam yang belum dilepaskannya dari totokannya.
416 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Selepas mereka tiba dalam ruangan dalam bangunan tersebut, berdiri
di hadapan mereke prasasti yang dicari-cari. Prasasti sebesar ker-
bau bunting, yang di atasnya menggambarkan keadaan kota atau
desa pada saat itu, bagaimana perbedaannya sebelum dan sesudah
ilmu-ilmu dari Petapa Seberang diamalkan. Seseorang mungkin da-
pat menafsirkan bahwa isi sebenarnya dari prasasti itu adalah un-
tuk mengejek keberadaan Perguruan Atas Angin yang meruntuhkan
Perguruan Embun dan Angin sebagai pewaris ilmu-ilmu Petapa Se-
berang serta memporak-porandakan tatanan yang telah dibentuk.
Sayangnya, Ki Jagad hitam, pemimpin Perguruan Atas Angin pada
saat itu, tidak tahu sejarah prasasti itu tetap membiarkan prasasti
tersebut berada di sana. Tak jauh dari sana terdapat prasasti lain yang menggambarkan tengan
Ki Jagad Hitam sendiri dan enam belas murid utamanya, Lingkaran
Dalam. Demi melihat prasasti kedua, bertanya Cermin Maut dengan nada
menyindir kepada Tapak Kelam, "Mana prasasti saat engkau menja-
bat jadi ketua?" Tapak Kelam tidak menjawab. Ia hanya tersenyum getir saja. Ya,
ia tidak mendapatkan waktu cukup lama untuk membuat suatu
prasasti agar namanya dapat dikenang sebagai salah satu yang pernah
memimpin perguruan ini. Perguruan yang hari ini hancur oleh ketiga
orang yang berdiri di hadapannya itu.
Tanpa banyak berbicara, Mayat Pucat setelah terlebih dahulu mele-
takkan Tapak Kelam di suatu sudut ruangan, mulai mengamat-amati
prasasti pertama. Prasasti Ki Jagad Hitam dan Lingkaran Dalam
tidak menarik hatinya. Ia hanya tertarik pada prasasti warisan Petapa
Seberang, walaupun ia tahu prasasti tersebut adalah palsu.
Dicobanya untuk menggeser-geser prasast tersebut. "Rrrrrrrgggghhh!"
dengan suara berat bergumam, prasasti sebesar kerbau bunting itu
tergeser dengan mudah. Hal ini menandakan betapa besarnya tenaga
yang dapat dikeluarkan oleh Mayat Pucat.
Sebuah lubang sedalam dengkul tanpak menganga di atas lantai yang
terbuat dari batu. Di dalam lubang tersebut tidak terdapat apa-apa
kecuali empat buah liang yang juga kosong yang terpahat pada keem-
417 pat sisinya. "Kosong, guru Jagad Hitam dulu sudah menemukan tempat itu, dan
tidak ada apa-apa di sana," ucap Tapak Kelam. Entah bagaimana ia
merasa sedikit puas karena ketiga orang musuhnya itu tidak memper-
oleh apa-apa. "Belum tentu," ucap Mayat Pucat yang masih memperhatikan lubang
tersebut. Mengetuk-ketuk di sana sini dan juga di dasar lubang.
Bunyi agak memendam terdengar yang lain dengan ketukan pada per-
mukaan batu di sekelilingnya.
"Kita coba saja, siapa tahu tipuan mirip yang digunakan Murid Ra-
hasia digunakan pula di sini," ucap Cermin Maut yang telah berada
di sisi Mayat Pucat, yang juga memperhatikan dasar lubang tersebut.
"Biar sabitku yang bekerja," kata Sabit Kematian sambil men-
gayunkan sabit panjangnya, untuk mencongkel lapisan di bawah
lubang tersebut. "Hati-hati, kakak Sabit Kematian," ucap Cermin Maut memperingatkan,
"kita tentu tidak ingin bila ada sesuatu di sana, rusak oleh sabitmu
itu." "Huh!! Jangan kuatir, sabit ini bisa kukendalikan sehalus rambut atau
sekeras batu karang," ujarnya menanggapi ucapan adik seperguruan-
nya tersebut. Lalu dengan cara yang mengagumkan Sabit Kematian pun memainkan
sabitnya itu. Mencongkel perlahan, bergaris-garis, sampai tercoak
lapisan di bawah lubang itu sedalam satu kuku. Rata dan berben-
tuk kotak. "Hati-hati, mungkin tidak lama lagi!" ucap Mayat Pucat yang melihat
bahwa lapisan yang dicungkil tersebut tida terbuat dari bahan yang
sama dengan lantai batu di sekelilingnya. Mungkin mereka mendapat
kesempatan untuk mendapatkan sesuatu di sana.
Ketiga orang tersebut sedemikian berkonsentrasi sehingga tidak menyadari
bahwa Tapak Kelam telah dapat membebaskan dirinya dari totokan
Mayat Pucat. Dengan mengatur nafas dan mengalirkan hawa pada
418 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
jalan darah-jalan darah yang macet, Tapak Kelam perlahan-lahan
mulai dapat menggerakkan dirinya kembali. Setelah yakin bahwa
ia dapat menggunakan tenaga dalamnya lagi, ia bersiap-siap untuk
bergerak cepat dan keluar dari bangunan itu.
"Ya.., itu mungkin kain pembungkus sesuatu," ujar Sabit Kematian
saat sabitnya yang terlihat mengerikan tersebut menyentuh sesu-
atu. Dengan perasa ia menghentikan gerak sabitnya dan memper-
silakan kedua saudara seperguruannya untuk melonggok. Setelah
meletakkan sabit tersebut di sisi lubang, ia pun bergabung dengan
dua saudara seperguruannya untuk mulai menggali-gali menggunakan
tangan. Takut merusak apa-apa yang mungkin terkubur di sana.
Kesempatan ini tak lama disia-siakan oleh Tapak Kelam. Ia segera
bangkit dan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
masih tersisa, yang masih dapat dibangkitkan oleh tenaganya, ia
bergegas menyelinap keluar.
Cermin Maut yang membelakanginya mendengar kesiuran angin
menjauh. Segera ia bangkit dan melihat detik terakhir saat sosok
Tapak Kelam telah hilang dari pintu ruangan tersebut. "Keparat, ia
melarikan diri. Akan aku tangkap dia!" Segera Cermin Maut berkele-
bat melompat pergi mengejar.
Sementara itu Mayat Pucat dan Sabit Kematian yang masih sibuk
menggali hanya sekali melirik untuk kemudian melanjutkan penger-
jaan menggali dasar lubang tersebut, yang di dalamnya telah dijumpai
sejumput kain penutup sesuatu. Mereka tidak terlalu mempedulikan
Tapak Kelam yang kabur. Bagi mereka orang itu sudah tidak dibu-
tuhkan lagi. Sudah selesai tugasnya, dan mereka pikir Cermin Maut
dapat menyelesaikan persoalan itu sendiri.
Tapak Kelam yang sedang berpacu dalam langkah dan juga deguban
jantungnya, dapat merasakan kesiuran angin di belakangnya. Suatu
pukulan jarak jauh. Dengan sigap ia bergerak ke samping, mem-
biarkan angin pukulan tersebut lewat di sisinya. Ia lalu mengam-
bil arah lain untuk berlari. Tadinya ia ingin pergi ke pulau keenam
dan seterusnya, karena di sana lebih banyak tempat untuk bersem-
bunyi. Tapi mengingat Cermin Maut telah menghadang di jalan
menuju ke tempat itu, Tapak Kelam akhirnya membatalkan niatnya
419 itu. Sekarang ia menuju ke arah jembatang cembung melengkung yang
lain, yang akan membawanya ke pulau keempat.
Langkahnya berhenti di tengah jalan melihat apa yang ada di hada-
pannya. Di depannya sekarang telah berdiri lima orang, yang terlihat
dari cara berjalannya bukanlah orang-orang biasa. Seorang wanita
dengan gagang pedang kembar menyembul di punggungnya. Seorang
berkulit putih pucat dengan pedangnya yang besar dan telah kering
oleh darah di tangannya. Seorang berkulit hitam dengan lengan dan
kaki yang lebih panjang dari orang kebanyakan, yang di tangannya
terdapat golok yang melengkung patah, golok bumerang. Dan masih
terdapat dua orang lain yang warna kulitnya mirip dengan warna kulit
orang-orang di tanah ini. Seorang bertubuh subur dan besar dan se-
orang berwajah dingin dengan kapak di tangannya.
"Siapa.... kalian...!!" ujarnya tersendat. Ia tidak mengharapkan
muncul lebih banyak musuh dan terlebih di depan jalannya untuk
melarikan diri. "Kamu..., orang Perguruan Atas Angin-kan?" ujar wanita berpedang
kembar tersebut dengan logat yang agak kaku.
"Ya, saya...," tak jadi Tapak Kelam memperkenalkan dirinya sebagai
ketua Perguruan Atas Angin. Ia belum tahu siapa kelima orang yang
menghadangnya ini. Kawan atau lawan. Itu belum jelas.
"Mau lari kemana engkau, Tapak Kelam!!" sebuah suara merdu wanita
segera sampai ke tempat itu, yang diikuti dengan tubuhnya. Ia juga
tampak tertegun dengan munculnya kelima orang di hadapan Tapak
Kelam tersebut. "Jika engkau Tapak Kelam, dan orang ini hendak mengejarmu...,
pastilah anda adalah Cermin Maut, bukan begitu?" ucap gadis itu
sambil memandang wanita yang baru datang tersebut.
Cermin Maut tidak segera menjawab. Seperti halnya Tapak Kelam
ia belum bisa memutuskan apakah kelima orang di hadapannya itu
adalah lawan atau kawan. Dan mereka saat ini sedang dalam waktu
yang genting, waktu di mana hampir saja memperoleh sesuatu di
bawah prasasti batu di dalam bangunan batu berwarna kelabu di be-
lakangnya. Ia segera memutar otak untuk mencari-cari akal.
420 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Ya, saya Cermin Maut, ada perlu apa dan siapa kalian?" katanya
akhirnya sambil menanti respon dari kelima orang tersebut. Entah
bagaimana Tapak Kelam tampak berdiri di sampingnya, seakan-akan
mereka berdua berasal dari kelompok yang sama. Memang lucu,
orang yang berseteru, apabila menghadapi kelompok lain yang di-
anggap musuh bersama, dapat saling mendekat. Tapak Kelam telah
memutuskan untuk bergabung dengan Cermin Maut yang telah ia
tahu misinya dan juga kawan-kawannya. Kelima orang ini belum.
"Kami mencari Sabit Kematian," ucap wanita berpedang kembar tadi
pendek. "Untuk apa?" tanya Cermin Maut. Ia merasa tidak pernah bertemu
dengan kelima orang tersebut, kecuali satu orang yang bertubuh subur
dan besar paling pinggir. Orang tersebut rasa-rasanya pernah dilihat-
nya di suatu tempat, pada suatu saat yang lalu.
"Untuk dibunuh!! Untuk membalaskan kematianku!" ucap orang
bertubuh besar dan subur yang tadi sempat dilirik oleh Cermin Maut.
"Dan engkau juga, serta Mayat Pucat. Kalian telah membunuh kami,
orang-orang Rimba dan Gunung Hijau!!"
"Eh.., kamu!!" ucap Cermin Maut kaget. Sekarang disadarinya di
mana ia pernah melihat pemuda tersebut. Ya, itu adalah salah seo-
rang murid-murid, dari empat murid Ki Tapa dari Rimba dan Gunung
Hijau. "Engkau sudah mati!!" ucap Cermin Maut. Ia ingat bagaimana
Sabit Kematian membunuh pemuda itu dengan menembuskan sabit-
nya dari belakangn ke depan.
"Dan sekarang giliran kalian," kata pemuda tersebut yang segera
menggunakan kepalan tangannya menyerang lurus. Deras dan keras.
Cermin Maut tidak mau meremehkan pukulan yang menimbulkan an-


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gin kesiuran tersebut. Dulu sewaktu di Rimba Hijau anak-anak muda
itu telah menunjukkan kebolehan sebagai pendekar. Serangan mereka
tidak boleh dipandang sebelah mata. Hanya saja mereka masih lugu
dan miskin pengalaman sehingga tidak terlalu sulit untuk dijatuhkan
dengan jurus-jurus yang penuh tipuan dan serangan kosong. Sekarang,
setelah salah seorang dari mereka muncul kembali dari "kematian"
Cermin Maut merasa perlu untuk lebih hati-hati. Orang yang dapat
sembuh dari suatu luka atau bangkit dari kematian, yang kedua ini
421 dia tidak yakin, umumnya memiliki ketahanan yang lebih berlipat.
Cermin Maut lebih memilih untuk menghindar dan memapaki pukulan
pemuda tersebut dari samping ketimbang menghadapi langsung dari
depan. Ia belum dapat mengukur seberapa keras laju pukulan yang
dilepas tersebut. Setelah beberapa gebrakan Cermin Maut merasa bahwa pemuda itu
lebih tangguh dari pertemuan sebelumnya. Selain itu ia juga belum
tahu bagaimana kekuatan dari keempat teman sang pemuda. Lebih
baik ia segera kembali ke tempat kedua rekannya, di dalam sana.
Sambil melirik ke arah Tapak Kelam ia berbalik. Tapak Kelam pun
mengikuti. "Hei...!!! Mau kemana kalian!!" ucap Gentong yang sedari tadi belum
sempat menyentuh Cermin Maut karena kelincahannya bergerak di
sela-sela hawa pukulan yang dilontarkannya.
"Mari kita kejar," ucap Angus yang segera bergegas.
Misun menepuk pundak Gentong, "Mari, masih ada kesempatan en-
gkau membalas pada mereka."
Ternyata Mayat Pucat dan Sabit Kematian telah selesai menggali
dasar lubang yang ditemukan di bawah prasasti. Tampak sebungku-
san kain dikepit oleh Mayat Pucat yang sedang berdiri di pintu bangu-
nan kelabu terbuat dari batu bersama dengan Sabit Kematian. Demi
melihat Cermin Maut datang diikuti oleh Tapak Kelam, agak bin-
gung mereka. Namun segera menjadi jelas saat telah melihat lima
orang yang mengejar di belakangnya.
"Siapa mereka?" tanya Mayat Pucat.
"Tak tahu," jawab Cermin Maut, "seorang dari yang pernah kita
bunuh. Tepatnya oleh kakak Sabit Maut. Dan ia mencarimu. Orang
dari Rimba dan Gunung Hijau....!!"
"Lalu kenapa kita lari?" tanya Sabit Kematian yang juga telah berlari
mengikuti. "Tadi aku pikir kalian belum sempat mengambil barang itu, jadi lebih
baik jika kita mengulur waktu," jawab Cermin Maut.
422 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Dan sekarang?"" tanya Mayat Pucat kembali.
"Ikuti aku!" ucap Tapak Kelam yang sedari tadi hanya diam dan
berlari bersama mereka. "Eh, kamu. Kenapa membantu kami sekarang?" tanya Sabit Kema-
tian heran. "Aku bantu kalian lolos dari sini, tapi bagi aku tahu apa yang ter-
simpan dalam bungkusan itu," ucapnya cerdik. Tapak Kelam telah
berpikir bahwa bekerja sama dengan ketiga orang ini bukanlah suatu
hal yang buruk, apalagi bila bisa mendapatkan ilmu silat tinggi, yang
diduganya tertulis dalam kitab yang dibungkus oleh kain tersebut.
Bungkusan yang dikepit oleh Mayat pucat.
"Belum tentuk kita kalah sama mereka," ucap Sabit Kematian jengkel.
Tidak biasanya mereka berlari-lari dikejar orang. Biasanya mereka
yang dikejar orang. "Kita hadapi saja!"
Saat itu mereka telah tiba di pinggir suatu sumur yang terletak di be-
lakang bangunan tadi. "Mari masuk," ucap Tapak Kelam yang segera
melompat turun. Ia segera menggunakan ilmu meringankan tubuh-
nya sehingga tidak mendarat di atas air melainkan bergeser beberapa
telapak tangan ke pinggir. Di bawah sana ternyata terdapat rongga
yang cukup besar. Sumur itu hanya terlihat kecil dari atas saja.
Berturut-turut Cermin Maut, Mayat Pucat dan disusul oleh Sabit
Kematian meloncat turun dan sekarang telah berada dalam lorong
yang terdapat di pinggir dinding sumur tersebut. Jauh di bawah sana
terdapat air yang merupakan dasar sumur sesungguhnya.
"Eh, tempat apa ini?" ucap Cermin Maut takjub. Ia senang meli-
hat banyaknya tempat-tempat rahasia di Air Jatuh. Membuatnya
semakin jatuh hati. "Ini jalan rahasia, dengan lewat di bawah tanah dan juga di bawah
air, kita bisa ke pulau berikutnya. Pulau keempat. Dan dari sana
melarikan diri keluar," jawab Tapak Kelam menjelaskan.
Lalu bergegas mereka berlalu melewati lorong tesebut. Tampak Sabit
Kematian masih menggerutu karena harus lewat lorong-lorong seperti
itu. Ia lebih memilih untuk bertempur langsung saja.
423 "Mereka menghilang," tunjuk Misun pada sumur yang ada di hada-
pannya. "Jangan semua masuk," ucap Shia Siaw Liong, "jika ada jalan rahasia,
pastilah ini menuju ke tempat lain. Sebagian turun, sebagian cari
jalan keluar lain dari jalan rahasia ini." Berdasarkan pengalamannya
setelah beberapa ratus tahun, Shia Siaw Lion dengan sekali melihat
tahu bahwa di bawah sana pasti ada suatu jalan rahasia yang akan
membawa orang-orang itu ke suatu tempat lain.
"Aku menduga menuju pulau sebelumnya, kembali menuju pergu-
ruan," duga Dhoruba.
Rekan yang lain mengangguk. Akhirnya diputuskan bahwa Dhoruba
dan Misun akan turun ke dalam sumur, sedangkan Gentong, Shia Siaw
Liong dan Angus segera menuju ke pulau keempat untuk mencari jalan
keluar orang-orang itu dan menunggu mereka di sana.
*** "Minumlah ini," ucap Wananggo sambil mengangsurkan ramuan yang
telah diraciknya itu, yang terbuat dari pucuk-pucuk tumbuhan mini
dicampur dengan berbagai serbuk lain.
Lantang pun menenggak ramuan itu yang disusul dengan air yang
telah diambilkan Xyra untuk membasuh kerongkongannya yang terasa
pahit dan terbakar oleh ramuan yang lewat.
"Sekarang coba alirkan hawa, perlahan-lahan. Semoga ramuan itu
bisa membuka simpul-simpul jalan darahmu yang tersumbat," ucap
Wananggo. Tampak dalam wajahnya harapan akan keberhasilan dari
ramuan itu. "Perlu dibantu dengan Tenaga Air-ku, Paman Wananggo?" usul Xyra
kemudian. "Aku belum tahu, sementara biarkan saja dulu ramuan tersebut bek-
erja dengan sendirinya. Kelak mungkin perlu dibantu untuk menjaga
khasiatnya," jawab Wananggo.
Setelah hening beberapa saat, Lantang yang tadi sedang berkonsen-
trasi mengendalikan hawanya, tampak membuka matanya. Wajahnya
424 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
tampak lebih bersinar dan cerah. Dan katanya, "Aku merasa lebih se-
hat dan segar, paman. Ada hawa yang terasa bergerak-gerak di bawah
sini," sambil ia menunjuk titik dua jari di bawah pusarnya. "Tapi aku
belum dapat mengalirkannnya ke mana-mana."
"Aneh...!!" jawab Wananggo sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
"Padahal menurut petapa tersebut..."
"Paman, tak usahlah sedih begitu," ucap Lantang yang merasa tak
enak atas kekecewaan Wananggo, "yang penting kita sudah berusaha.
Apa-apa yang akan terjadi dan tidak terjadi, semuanya kehendak Sang
Pencipta." Lantang sudah seringkali dihadapkan pada upaya penyem-
buhan aliran hawa dalam dirinya. Dulu oleh gurunya Rancana, si
Bayangan Menangis dan Tertawa, juga oleh Ki Sura dan Nyi Sura.
Saat ini oleh Wananggo. Ia amat berterima kasih atas upaya orang-
orang yang ingin menyembuhkan dirinya.
"Sebabanya..., sebabnya hawamu tersumbat itu yang kita tidak tahu,"
kata Wananggo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mari, paman! Mari kita pergi dari ini. Yang punya tempat pasti
tidak suka kita terlalu lama di sini," berkata Lantang setelah ia merasa
tak ada lagi yang bisa mereka lakukan di sini.
Wananggo dan Xyra pun mengangguk setuju. Bergegas mereka keluar
dari bangunan batu berwarna kelabu tersebut. Mencari jalan keluar
menuju air terjun di Air Jatuh.
Tapi rupanya malam itu belum berakhir bagi mereka di Air Jatuh.
Saat lewat di sebuah sumur yang tidak terlalu diperhatikan oleh keti-
ganya, tiba-tiba meloncat sesosok bayangan keluar. Akibat meloncat
dengan tiba-tiba tersebut, hampir saja ia bertubrukan dengan Lan-
tang. Di bawah sinar rembulan tersebut tampak jelas wajah pemuda terse-
but dan juga orang yang hampir menubruknya. "Engkau...!!" tiba-
tiba kenangan lama Lantang menyeruak kembali jauh ke belakang,
ke masa di mana kejadian tersebut terjadi. Kedua orang tuanya dan
orang-orang yang dikenalnya semua dibunuh, dihancurkan.
Ia masih ingat bahwa orang itu, yang ada di hadapannya sekarang,
425 memerintahkan agar ia dan teman-temannya mengenakan pakaian
rombeng, dikotori dengan disuruh berguling-guling di atas tanah
berdebu dan penuh kotoran hewan. Juga diingatnya bahwa ia dan
teman-temannya satu per satu ditohok punggungnya oleh orang itu.
Tidak terlalu sakit, tapi bagi anak kecil seusianya saat itu... Dan
sekarang orang tersebut ada di hadapannya.
"Minggir!!" jawab orang tersebut, yang adalah Tapak Kelam. Ia tidak
mempedulikan Lantang, tidak dalam keadaan segenting saat itu. Ia
segera menanti kemunculan dari ketiga rekan barunya, Cermin Maut,
Sabit Kematian dan Mayat Pucat. Ketiga orang yang ditunggunya
tak lama segera meloncat keluar dari sumur tersebut.
Xyra yang secara alamiah dapat membedakan orang yang baik dan
jahat dari pancaran hawa atau auranya, segera menampakkan wajah
tidak bersahabat terhadap empat orang yang baru saja keluar dari
sumur tersebut. Wananggo yang entah kenapa juga merasa tidak sreg
dengan kehadiran mereka. Segera ia mengajak Lantang untu menjauh
dari sumur tersebut dan mencari jalan untuk pulang.
"Itu di sana!!" tiba-tiba terdengar suara orang, yang dilanjutkan den-
gan datangnya tiga orang, seorang wanita dan dua orang laki-laki.
Mereka setelah tiba segera berhadapan dengan empat orang yang baru
saja keluar dari sumur tersebut.
Mereka segera berhadapan, siap untuk saling serang.
Wananggo segera menggapai Lantang dan Xyra, "Mari kita pergi! Ini
bukan urusan kita." "Paman..," ucap Lantang bergetar, "orang itu..., orang itu...!!"
Wananggo dan Xyra memandang lekat pada Lantang. Tidak biasanya
pemuda itu tampak sedemikian gugup dan teganng. Mungkin efek
samping dari ramuan yang baru saja dimakannya, begitu pikir mereka.
Namun kata-kata selanjutnya yang membuat mereka mengerti.
"Orang itu yang membunuh kedua orang tuaku dan juga orang tua-
orang tua teman-teman mainku," katanya kemudian.
Keduanya terdiam. Wananggo tidak lagi berusaha membawa kedu-
anya pergi dari situ. Tapi ia mengisyaratkan agar mereka tidak lebih
426 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
dulu turut campur. Biarkan dulu apa yang akan terjadi di antara
ketujuh orang tersebut. Sembilan tepatnya sekarang. Dua orang lain nampak baru muncul dari
sumur yang tadi. Sekarang empat orang yang pertama berhadapan
dengan lima orang yang lain. Bersiap hendak saling serang.
"Siapakah kalian ini?" ucap Sabit Kematian jumawa. Ia tidak biasa
bertemu lawan yang seimbang. Dan saat ini kelima orang di hadapan-
nya pun bukan musuh yang cukup tangguh menurut penglihatannya.
Dengan logat yang kaku akan tetapi ucapannya jelas, berkata salah
seorang dari mereka, yang wanita, "saya Shia Siaw Lion, ini Dhoruba,
Angus, Misun dan Gentong. Anda sekalian adalah Sabit Kematian,
Cermin Maut, Mayat Pucat dan Tapak Kelam, bukan?"
"Ya, ini kami. Jika sudah kenal, kenapa tidak cepat menggelinding
dari sini?" ejek Sabit Kematian jumawa.
Amarah atau ejekan yang diharapkan oleh Sabit Kematian dapat dili-
hatnya dari kelima orang lawannya itu tak kunjung tiba, malah salah
seorang dari mereka berkata, "orang sudah hampir mati kok ya, masih
banyak cakap?" "Siapa itu yang omong?" ucap Sabit Kematian yang malah terbakar
emosinya. "Aku! Masih ingat?" ucap seorang pemuda bertubuh besar dan subur
yang segera berangsur maju. Memainkan kepalan tangannya sehingga
jari-jarinya berbunyi "pletak-peletok" gesekan antar tulang-tulangnya.
"Siapa kamu?" katanya penuh selidik. Tak pernah ia rasanya bertemu
dengan orang yang perawakannya seperti itu. Ya, Sabit Kematian
telah terlalu banyak membunuh orang sehingga lupa orang-orang yang
telah ia cabut nyawanya. Dengan perlahan Gentong membuka bajunya, sehingga punggung dan
dadanya terpampang lebar. "Sekarang ingat ini" Yang engkau tem-
busi dari belakang ke muka?" katanya sambi menunjukkan bekas luka
di dadanya. Perlahan berubah wajah Sabit Kematian, ya ia mulai ingat. Tidak
427 banyak orang yang sempat bertarung jarak dekat dengannya sehingga
ia harus menembusi tubuhnya. Umumnya dengan jarak jauh, menebas
kepala sudahlah cukup. Dan satu yang belum lama ini memaksanya
bertempur jarak dekat adalah seorang pemuda bertubuh besar di
Rimba dan Gunung Hijau. Pemuda itu adalah... pemuda yang berada di depannya sekarang.
"Tidak!!! Engkau sudah mati!" ucapnya cepat. Sama seperti keterke-
jutan Cermin Maut saat mengenali Gentong beberapa saat yang lalu.
Orang-orang sesat seperti Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat
Pucat bukanlah orang-orang yang takut pada yang lain. Tapi orang
yang bisa hidup lagi setelah tubuhnya ditembusi sabit sedemikian
rupa, mau tak mau membuat mereka merinding. Bukan hal yang
normal. Hening sesaat. Orang-orang dari mereka-yang-tak-bisa-mati tampak
menikmati keheningan itu. Keheningan orang-orang yang gemetar
akan keanehan kaum mereka.
Tiba-tiba hening itu dipecah oleh desis lirih Wananggo, "Kaum Abadi,
mereka-yang-tak-bisa-mati..., mereka benar-benar nyata adanya...,"
yang ucapannya hampir tak terdengar apabila keadaan tidak benar-
benar sunyi. "Omong kosong!! Engkau pasti saat belum mati dan sekarang sudah
sembuh," ucap Sabit Kematian sambil menenangkan dirinya. Ia lalu
mulai mengambil sikap untuk menyerang. "Tak ada orang yang tak
bisa mati!!" "Sesukamulah, toh tak ada bedanya engaku percaya atau tidak," ucap
Gentong yang segera bergerak menyerang. Pukulan keras dan lurus.
Sabit Kematian dapat dengan segera mengubah gerakannya menghin-
dar dan mengayunkan sabitnya yang dielakkan dengan indah oleh
Gentong. Walau tubuhnya terlihat besar dan berat, lincah masih ger-
aknya. Meloncat ke sana kemari sambil tak lupa melepaskan satu dua
pukulan lurus dan keras. "Duggg!!!" sekali waktu telat Sabit Kematian menghindar, akibat-
nya pinggiran pinggangnya sempat dilabuhi kepalan Gentong. Keras
428 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
cukup sehingga menggetarkan sedikit isi perutnya. Untung saja hawa
tenaganya cukup sehingga masih bisa mengusir hawa pukulan terse-
but keluar. Jika saja tidak, sudah hancur mungkin organ-organ di
dalamnya. Tapak Kelam tampaknya tidak berapa minat untuk melangsungkan
pertempuran itu. Ia malah celingak-celinguk mencari-cari jalan ra-


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hasia lain yang dapat membawanya lari dari sana. Sambil tak lupa
diliriknya bungkusan yang masih dikepit oleh Mayat Pucat. Jika ia
harus pergi dari sana, kitab tersebut harus ikut. Dengan atau tanpa
ketiga orang tersebut. Mayat Pucat dan Cermin Maut belum tampak mengambil tindakan.
Mereka belum menemukan alasan untuk menyerang teman-teman
Gentong. Jika bisa mereka tak perlu bertempur. Sudah cukup energi
mereka habis dalam penyerbuan ini dan apa yang mereka cari sudah
diperoleh, mungkin. Sekarang minat mereka lebih ke arah pergi dari
tempat itu dan mempelajari kitab yang baru saja mereka peroleh.
"Bugg!!?" kembali Sabit Kematian terpukul tubuhnya, kali ini di
bagian tengkuk. Pusing sesaat dirasakannya. Segera ia melom-
pat mundur menjauh. Dalam jarak dekat, senjatana tidak begitu
berfungsi baik. Itulah yang sedari tadi dilakukan Gentong, bertempur
jarak dekat. Untung bagi kepalannya akan tetapi tidak bagi sabit
sang lawan. Dengan jarak yang sekarang agak jauh, Sabit Kematian lebih leluasa
menggerak-gerakkan sabitnya. Mengayun dari atas ke bawah secara
serong dan sebaliknya. Sekarang giliran gentong yang seperti tertutup
ruang geraknya. Di mana-mana, di sekelilingnya tampak kesiuran
sabit mengayun berkelebat sana-sini.
Lantang yang berada di pinggir arena pertarungan itu bersama dengan
Wananggod dan Xyra tampak berusaha menahan emosinya. Campur
baur antara sedih dan marah. Juga sekelebat ingatan yang tidak per-
nah dilupakannya, saat Tapak Kelam mengusir anak-anak yang telah
dihinakannya untuk terlunta-lunta, mengemis dan kelaparan di jalan.
Untung saja ia bertemu dengan gurunya, Rancana, jika tidak mungkin
ia masih di jalanan sana. Bisa jadi telah menjadi makanan burung dan
anjing liar, atau berkalang tanah.
429 Sabit Kematian tampak telah mendapatkan kembali kesigapannya.
Setelah ia mengambil jarak tempur jauh, sekarang ia berani kembali
mengambil jarak tempur dekat. Tapi kali ini cara menggunakan sabit-
nya lain, dipegang di tengah, pinggir berganti-ganti. Cara serang yang
baru ini, walaupun dalam jangkauan tangan Gentong, membuatnya
sedikit kewalahan. Ia belum terbiasa dengan cara serang baru Sabit
Kematian. Diantara kedua orang saudara seperguruannya, Sabit Kematian ham-
pir tidak pernah bertempur tanpa menggunakan senjata. Baru saat
ini ia menggunakan kepalannya juga. Kedua saudaranya tahu bahwa
kepalan tangannya tidaklah terlalu berbahaya dibandingkan dengan
sabitnya, tapi Gentong tidak tahu. Gentong menjadi kalang kabut saat
Sabit Kematian mencengkeram sana-sini dan juga memukul di sela-
sela sabitnya yang berayun-ayun serong ke atas ke bawah. Berkali-kali
ia terpaksa mundur dan maju. Mundur kena sabit jangkauan panjang.
Maju kena cengkeraman. Coba saja ia tahu bahwa lebih tidak berba-
haya saat maju, mungkin dapat ia memasukkan satu dua pukulan ke
tubuh Sabit Kematian. Sementara dua orang tersebut bertarung mati-matian, rekan-rekan
Gentong tampak duduk-duduk tenang, seakan-akan menikmati per-
tarungan tersebut. Lain dengan rekan-rekan Sabit Kematian yang
tampak sedang memikirkan sesuatu cara untuk berlalu dari sana.
"Nak Lantang, baiknya kita segera berlalu dari sini," ajak Wananggo.
"Kaum Abadi, mereka itu, aku tidak tahu apa mereka ada urusan apa
dengan mereka berempat. Kita sebaiknya tidak mencampuri."
"Aku masih ingin mencari tahu apa alasan orang-orang itu melakukan
kekejaman dulu, paman," ucapnya sambil menggerakkan dagunya
mengarah ke Tapak Kelam. "Aku mengerti, Lantang," jawab Wananggo. "Hal itu bisa kita
bicarakan lain kali, sekarang yang penting adalah kesehatanmu dulu.
Lain waktu kita cari lagi orang itu. Siapa namanya" Tapak Kelam?"
Lantang mengangguk. Lalu katanya, "baiklah paman. Memang un-
tuk keselamatan kita juga. Kita tidak tahu apakah Kaum Abadi
nanti setelah selesai urusannya dengan mereka berempat akan mencari
masalah dengan kita. Memang sebaiknya kita pergi."
430 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Lalu dengan perlahan mereka bertiga bergegas berangsur mening-
galkan tempat itu. Adalah Misun yang menyadari kepergian ketiga orang tersebut. Ia pun
tidak ada urusan dengan mereka bertiga. Keperluan ia dan saudara-
saudaranya dari mereka-yang-tak-bisa-mati adalah hanya untuk mem-
bantu Gentong membalaskan kematiannya pada Sabit Kematian. Tapi
ada sesuatu yang menarik baginya dari ketiga orang itu. Entah apa.
Misun pun bergegas menyusul ketiga orang tersebut yang telah berada
di pulau lain, pulau ketiga. Saat ia berlari cepat, kedatangannya telah
dinanti oleh ketiga orang tersebut di tepi pulau. Tampak ketegangan
pada ketiga wajah mereka.
"Howgh! Aku Misun, tak perlu kalian takut. Aku tak ada maksud
jahat," katanya seraya mengangkat telapak tangannya, bagian dalam
menghadap ketiga orang tersebut.
Wananggo yang segera menyadari bahwa itu mungkin sejenis salam
dari Misun, segera mengangkat tangan pula, menirukan, "Aku Wananggo,
dan ini Xyra dan Lantang, ada perlu apa anda mengejar kami?"
"Avanyu, Caiman!!" katanya sambil menunjuk pada Xyra.
Xyra tampak terkejut. Apa yang diucapkan oleh Misun adalah berarti
roh air dalam bahasa Garifuna dan Montana. Suatu ucapan yang
pernah diceritakan oleh ayahnya mengenai leluhur mereka yang berada
di sana. Suatu tlatah jauh di balik planet ini, di tempat yang selalu
berlawanan dengan di sini. Di sini siang di sana malam dan sebaliknya.
Misun lalu membuka baju luarnya, menampakkan segenap kalung
yang digunakannya. Terdapat banyak untaian. Salah satunya berben-
tuk segitiga menghadap ke bawah dengan gambar riak-riak gelombang
pada tengahnya, "Maya, air!!"
Xyra yang entah bagaiman begitu melihat simbol tersebut tampak
tersentuh sehingga secara tak sadar air danau yang berada di sekitar
mereka tampak merebak, berbulir-bulir mengambang di udara, yang
kemilau diterangi sinar bulan purnama. Mengelilingi sekitar mereka
dan kemudian pecah menjadi semacam uap dan kembali jatuh. Men-
jadikan udara tiba-tiba menjadi segar dan lembab.
431 "Avanyu!!" ucap Misun kembali yang segera berlutut hormat kepada
Xyra. Lalu ia melepaskan untaian berbentuk lambang air itu dari
kalungnya dan menyerahkannya kepada Xyra.
Lantang yang takut bila hal itu adalah tipu muslihat bergegas meng-
halangi. Tapi dengan lembut Xyra menghentikan tangannya. Tat-
apannya yang seakan mengatakan, "Tidak apa-apa!" menenangkan
Lantang. Lalu Lantang membiarkan Misun menyerahkan untaian atau
medali tersebut ke tangan Xyra.
"Howgh!! Tugasku telah selesai, terima kasih!!" lalu tanpa memberi
penjelasan ia segera kembali menaiki jembatan cembung hitam me-
lengkung untuk kembali ke pulau keempat, kembali menemui rekan-
rekannya. Selepas kepergian Misun tak ada yang berbicara sampai Wananggo
menggugah lamunan mereka dan mengajak keduanya pergi dari sana.
*** "Untung ada engkau, Tapak Kelam," ujar Mayat Pucat, "jika tidak
mungkin kita sudah menemani Sabit Kematian di pulau itu."
"Betul!!" ucap Cermin Maut kemudian, "Kaum Abadi itu tak bisa
dianggap remeh. Lemparan senjata rahasiaku yang jelas-jelas melukai
mereka tak terasa apa-apa. Bahkan kita lihat sendiri luka mereka
berangsur mengering dan sembuh dalam waktu cepat. Betul-betul
lawan yang tangguh."
Tapak Kelam yang dipuji hanya tersenyum tipis. Ia juga beruntung
masih ingat jalan-jalan liang tikus dari pulau keempat itu untuk keluar
dari Air Jatuh. Jika harus lewat jalan biasa, pasti mereka dapat dike-
jar dan ditangkap oleh mereka-yang-tak-bisa-mati.
Bagi orang-orang seperti Cermin Maut, Mayat Pucat dan Tapak
Kelam, kehilangan seorang rekannya, Sabit Kematian, adalah tidak
terlalu berat. Selama keuntungan masih berada di pihat mereka,
sah-sah saja. Dan saat itu kitab yang berada dalam bungkusan
yang dikepit Mayat Pucatlah yang utama. Untuk dipelajari sehingga
mereka bertiga bisa menjadi lebih tinggi ilmunya untuk malang-
melintang dalam dunia persilatan.
432 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Tanpa kata-kata, ketiganya seakan-akan merupakan tiga sekawan baru.
Melupakan dengan mudah rekan mereka yang baru saja mangkat, yang
mungkin belum dingin tubuhnya.
*** "So, our problem in this land is alreay "nished, isn"t it?" ucap Angus.
"Yeah, right!" sambut Dhoruba.
"Sudah saatnya kita pergi," sambung Shia Siaw Liong.
Gentong masih tampak termenung. Ia masih menatapi sosok Sabit Ke-
matian yang telah hancur isi dadanya akibat pukulannya. Pada suatu
gerakan tipuan, Sabit Kematian menjatuhkan sabitnya dan berharap
Gentong segera masuk melancarkan pukulan. Ia telah mempersiapakn
sebuah pisau kecil untuk menyerang dari belakang. Yang dilupakan
oleh Sabit Kematian adalah bahwa tusukan pada mereka-yang-tak-
bisa-mati tidaklah terlalu berpengaruh sejauh tidak melukai mereka
secara parah. Tusukan kecil dekat jantung tidak mengurangi laju
pukulan Gentong, yang terus tiba dan melumatkan tulang dada dan
organ-organ di dalamnya. Sabit Kematian pun melepaskan napasnya
dengan keadaan tak puas. Ia tak terima bahwa serangannya gagal dan
nyawanya sebagai imbalan. Terlihat jelas hal ini dari wajahnya yang
penasaran. "Gentong, mari!" ucap Misun yang saat itu berada di sampingnya.
Menepuk bahunya, mengajaknya berlalu dari situ.
Gentong masih terdiam sesaat untuk kemudian bangkit, sejenak
dipikirnya sesuatu. Akhirnya dipungutnya sabit milik Sabit Ke-
matian. Ditimang-timangnya dan akhirnya diputuskannya bahwa
itu akan menjadi senjatanya. Juga untuk menjadi peringatan dari
kematiannya sendiri dan kematian sang pembunuhnya.
Melihat itu, Dhoruba terkekeh-kekeh, "Pilihan yang bagus. Senjata
yang sudah "tua". Banyak sudah darah yang dimininumnya. Bagus,
bagus!!" Misun, Angus dan Shia Siaw Liong tidak berkomentar. Mereka segera
berlalu dari sana. Meninggalkan Air Jatuh dan kemudian pula Per-
guruan Atas Angin. Melangkah menuju ke suatu tempat untuk me-
433 nunaikan misi mereka sendiri, terutama bagi kaum mereka, " mereka-
yang-tak-bisa-mati. *** Seseorang tampak berdiri mengitari batu-batu yang ditumpuk rapi,
persegi, membentuk semakam bekas candi atau kuil. Undakan
batu. Berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian sedengkul dari
rerumputan yang mengelilinya yang tumbuh di tanah lapang itu.
Panjang dan lebarnya seukuran dua tombak lebih.
"Ini harusnya tempatnya, portal!" ucap orang itu. "Aku harus mem-
beri tanda di sni, dan mereka akan datang..!"
Telah dicoba-cobanya membaca apa-apa yang ada di sana-sini, di
keempat sisi dari undakan batu atau pelataran batu tersebut, tapi
ia tidak mengerti. "Bahasa apa ini" Tak bisa kau pahami!" ujarnya jengkel.
Ia juga jengkel karena petunjuk yang pernah diterimanya telah ia lu-
pakan. Tahu begitu dicatatnya saat itu sehingga bisa digunakannya
kembali pada saat ini. Setelah seharian dan kemudian dilanjutkan dengan malam ia tak
berhasil pula memecahkan kode-kode itu. Ia, orang tua itu, akhirnya
memutuskan untuk tidur dulu. Siapa tahu orang atau pihak yang
ingin ditemuinya ada singgah di tempat itu sehingga ia bisa bersua
tanpa harus memberi tanda-tanda, yang umumnya harus lebih dahulu
dilakukan. Malam itu ia tidur dengan nyenyaknya sehingga tak tahu apa yang
akan dihadapinya esok pagi.
Saat orang itu bangun, hal pertama yang membingungkannya adalah
ia tidak lagi berada di lapangan rumput yang di tengahnya ada
pelataran batu. Melainkan ia telah tidur di atas sebuah alas tidur
terbuat dari daun-daun dianyam dan berada dalam sebuah rumah
bambu. "Hahh!! Di mana aku?" tanyanya pada dirinya sendiri.
434 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Bergegas ia bangun dan menjadi semakin terkejut setelah merasa
bahwa lantai ruangan yang di mana ia berada tidaklah terlalu keras,
melainkan agak lentur dan mengayun sejalan dengan langkahnya. Per-
lahan dengan agak takut-takut orang tua itu menghampiri jendela
yang ada dan mencoba melihat keluar.
"Ini...., di atas pohon!!" ucapnya kagum. Ya, ia telah berada di dalam
sebuah rumah bambu yang dibangun di atas sebuah pohon yang tinggi.
"Kriettt!!" tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah sesosok
makhluk mirip manusia. Yang membedakan mereka adalah tingginya.
Tinggi makhluk itu tidak sampai ke pinggang orang dewasa. Manusia
Tiga Kaki. Tiga kaki tingginya.
"Selamat datang di tempat kami!" ucap makhluk itu ramah.
Orang itu membalas dengan senyum walau agak sedikit bingung.
"Maafkan bila tadi malam, kami "menculik" anda dari portal, pelataran
batu tempat anda tidur," ucapnya perlahan. "Kami lihat anda tidak
mengenal cara berkomunikasi, jadi kami menunggu sampai anda ter-
lelap dan melihat apa maksud anda. Setelah kami yakin anda tidak
bermaksud jahat, kami kemudian membawa anda ke sini."
Mengangguk-angguk orang tua itu mendengar penjelasan sang Makhluk
Tiga Kaki. "Eh, saya Rancana.... Anda siapa?" tanya orang itu kemudian.
"Saya Coreng..," jawab makhluk itu.
"Eh, saya bermaksud untuk bertemu dengan Ki Tapa," jawab orang
yang mengaku bernama Rancana itu.
Sejurus tak ada jawaban. Makhluk itu tampak sedih dan muram. Lalu
katanya, "Ya, kami tahu. Nanti, biar ketua kami Hitam-Putih yang
menjelaskan. Sekarang makanlah dulu!" Ia kemudian menunjuk pada
bungkusan yang sejak tadi telah ada di sudut ruangan. Rupanya itu
adalah makanan yang telah disiapkan untuk disantap Rancana.
Setelah berkata demikian, Coreng pun berlalu dengan terlebih dahulu
meminta diri, membiarkan Rancana menikmati makan paginya dengan
435 tenang. Masih penuh pertanyaan di benak Rancana. Dari mimik wajah Coreng
yang berubah saat ia mengungkapkan ingin bertemu dengan Ki Tapa
dan juga perihal Manusia Tiga Kaki.
Dunia ini luas rupanya. Di Pulau Tengah Danau di puncak Gu-
nung Berdanau Berpulau ia telah pernah bertemu dengan Undinen.
Dan di sini, di Rimba Hijau, ia bertemu dengan Manusia Tiga Kaki.
Makhluk-makhluk yang dulunya hanya pernah ia dengar ada dalam
cerita, telah ditemuinya. Entah jenis makhluk apa lagi yang kelak
akan dihadapinya. Rancana sejenak terkenang akan muridnya, Lantang. Juga karena
Lantang ia berkunjung ke Rimba dan Gunung Hijau ini, untuk men-
cari tahu dari Ki Tapa, kemungkinan untuk mengobati tersumbatnya
aliran hawa dari muridnya.
"Aku telah tiba di sini, itu yang penting. Berikutnya minta pertolon-
gan mereka," gumamnya.
Ia kemudian beranjak menghampiri penganan yang tadi ditunjuk
Coreng, membuka bungkusnya dan mulai menyantapnya.


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Engkau yakin, Moreng?" tanya Coreng.
"Benar, Coreng! Aku lihat sendiri mereka membongkar kuburan Gen-
tong dan mengambil mayatnya," ucap Moreng meyakinkan.
"Untuk apa ya?" tanya rekannya kemudian.
"Entah!" yang dijawab sang kawan dengan mengangkat bahunya.
"Baiknya kita beritahu saja ketua Hitam-Putih. Pasti ada apa-
apanya!" usul kawannya kemudian.
Yang diajak berbicara menangguk setuju atas usul itu. Bergegas ke-
mudian keduanya bergerak lincah, menyelinap di antara dedaunan dan
pohon-pohon yang tumbuh rapat.
*** 436 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
"Ceng Siang, lihat ini! Hanya manusia yang dapat melakukan keke-
jaman seperti ini..," ucap seorang tua kepada dara muda yang ada di
sampingnya. "Iya, ayah. Hanya manusia," jawab sang dara. Ia merasa merinding
demi melihat mayat di mana-mana. Sebagian telah membusuk dan di-
makan binatang buas. Sebagian masih utuh akan tetapi telah ditutupi
ulat dan lalat. "Perguruan Atas Angin" begitu yang tertulis di pintu gerbang pergu-
ruan silat itu. Akan tetapi lebih cocok dibilang suatu kuburan, karena
selain orang mati, tidak ada manusia yang masih bernafas di dalam
sana. Ceng Liok dan anaknya Ceng Siang kebetulan saja lewat dan ter-
tarik atas lolongan anjing-anjing liar yang jarang didengar siang
hari. Lolongan yang seakan-akan menceritakan bahwa mereka sedang
berpesta-pora. Berpesta santap daging manusia.
"Mari kita bersihkan! Manusia sebagaimana jahatnya pun, jika juga
sudah menjadi mayat, berhak atas persemayaman yang layak," ujar
ayahnya. Dara tersebut hanya menangguk, tampak agak bingung demi meng-
hadapi demikian banyak mayat yang harus dikuburkan.
"Hati-hati, jangan dipegang!!" ucap ayahnya. "Ini gunakan penutup
hidung dan balut tanganmu dengan kain dan lumuri dengan ramuan
ini dulu." Lalu dijelaskannya bahwa mayat yang sudah lama dapat
melepaskan racun dan bibit penyakit bagi yang menyentuhkan. Oleh
karena itu harus segera dikuburkan. Pekerjaan mereka menjadi lebih
sulit karena tak boleh langsung menyentuh mayat-mayat tersebut.
"Cukup engkau dorong dengan tonkat ke sudut sana, nanti aku gali
sebuah lubang besar. Hati-hati dengan bagian tubuh yang lepas dan
cairan yang berceceran!" pesan ayahnya.
Dara itu kembali mengangguk. Sambil menutup hidung, menghindari
bau mayat yang membusuk dan juga jerih melihat pemandangan yang
kejam dan mengerikan itu, sang dara mulai melakukan apa-apa yang
diperintahkan oleh ayahnya.
437 Dengan perlahan-lahan mereka mulai menguburkan mayat-mayat
dalam perguruan tersebut. Perguruan Atas Angin. Perguruan yang
telah tumbang dan tidak menyisakan seorang pun hidup-hidup di
tempat itu. Dalam dua tiga hari akhirnya pekerjaan itu pun selesai. Keduanya
tampak puas. Di beberapa ruang halaman, tampak di ujung-ujungnya
gundukan-gundukan besar. Suatu kuburan masal dari orang-orang
yang terbunuh. Entah dari pihak mana. Yang penting semuanya
telah dikuburkan. "Bagus juga tempat ini. Bagaimana jika kita tinggal di sini saja?"
ucap ayahnya. "Bekas orang mati itu?" jawab anaknya sambil masih membayangkan
puluhan mayat yang telah mereka kuburkan.
"Mereka toh telah mati," balas ayahnya, "dan tempat ini, terutama
air terjun di belakang amatlah indah. Sayang untuk ditinggalkan."
"Ya, di belakang itu amatlah indah. Lalu apa yang kita lakukan untuk
hidup?" tanya anaknya kemudian.
"Bercocok tanam, membuka perguruan silat, berdagang... Atau apa
usulmu?" tanya ayahnya kemudian.
"Membuka kedai saja, aku ada banyak pengalaman," usul anaknya.
"Ya, benar, tapi dari tanam-tanaman kita sendiri, bagaimana?" ucap
ayahnya kemudian. "Setuju! Jadi bumbu-bumu kita tidak mudah ditebak orang. Pintar!!"
kata anaknya antusias. "Tapi omong-omong apa ada yang mau datang ya" Di sekitar sini
terlihat sepi-sepi saja," tanya anaknya kemudian.
"Buat apa dipikirkan, yang penting kita coba. Toh tanpa ada yang
beli kita juga dapat hidup," jawab ayahnya.
Keduanya kemudian tertawa berbarengan. Begitulah pandangan
hidup orang yang sederhana, tidak terlalu takut tidak dapat hidup.
438 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Selama berusaha, pastilah ada jalan dari Sang Pencipta.
*** "Masih jauh, paman Walinggih?" tanya seorang dara kepada orang
tua di sampingnya. "Kita masih harus mendaki gunung ini, Sarini!" ucap orang tua itu
sambil menunjuk gunung tinggi dan megah di hadapannya. Di be-
lakang mereka tampak hutan batu-batu membentang. Padang Batu-
batu. "Apakah kedua orang tua Telaga masih ada di tempatnya?" tanya
Sarini kemudian. Dari Telaga ia mendengar bahwa mereka juga suka
berkelana ke sana ke mari.
"Kita tidak tahu itu, semoga saja. Bila tidak, kita berdiam diri saja
beberapa waktu menunggu mereka. Atau kemungkinan paling jelek
kita tinggalkan pesan," ucap Walinggih sambi memandang dengan
sayang Sarini, dara yang akan ditunangkan dengan muridnya Telaga.
Telaga adalah anak dari Ki dan Nyi Sura, kedua orang yang akan
mereka kunjungi saat ini di atas sana, di gunung. Gunung Berdanau
Berpulau. "Mari kita mulai mendaki, supaya tidak keburu malam sudah sampai
kita di tengah danau di atas sana. Masih dapat engkau berlari cepat?"
tanyanya kemudian. "Masih, paman. Masih ada tenaga sejak pertempuran terakhir itu,"
jawab sang dara ceria. Walinggih tampak geleng-geleng kepala atas sikap itu. Dalam hatinya
ia berkata, "Anak wanita kok senangnya bertempur..!"
"Kencangkan perbekalan dan kainmu, kita akan berlari cepat sekarang.
Jangan sampai ada barang-barang yang tercecer atau lepas," sarannya
kemudian. Dara itu mengangguk. Walinggih sendiri juga memeriksa perbekalan-
nya dan mengencangkan sana-sini dari kain dan jubahnya.
Lalu keduanya mulai beranjak dari situ, mengeluarkan ilmu berlari
439 cepat dan mulai menaiki gunung tinggi itu. Berlari melalui jalan-jalan
menanjak dan curam. Meloncat di sana-sini. Terus semakin tinggi dan
menuju ke atas. Menuju suatu tempat di atas sana. Tempat di mana
terdapat dua orang tua berdiam diri menanti waktu mereka tiba.
Di hadapan kedua orang tua tersebut tampak sesosok makhluk berdiri
tanpa senyum. Sedih bahkan. Memandangi kedua orang tua yang be-
rada dalam posisi duduk bersila di hadapannya, yang mengangguk
perlahan kepadanya. Lalu ia pun menggerakkan tangannya perla-
han dan kemudian bertambah cepat, cepat hampir tak terlihat. Lalu
udara di sekitarnya berubah menjadi dingin, kering. Dan es pun mulai
bermunculan menutupi kedua orang tersebut. Memutih dan mengeras.
Membeku. Sekujur tubh keduanya tampak tertutup lapisan es, bagai
dua buah patung pualam putih.
*** 440 BAGIAN 7. ORANG-ORANG ABADI
Bagian 8 Menari Bersama Air "Ini yang namanya pantai, tepi daratan..," ucap seorang pemuda pada
dirinya sendiri sambil berdiri memandang gulungan-gulungan kecil
ombak yang saling susul dan bertumbuk burai. Pemuda baru saja
tiba dari perjalannya dari arah utara menuju pantai tersebut yang
terletak jauh di selatan. Batas dari tlatah tersebut dengan lautan.
Pantai Selatan. Tak terasa jari-jemari kakinya yang telanjang bermain-main dengan
pasir-pasir pantai. Melesak dan tergores halus. Tanpa terasa ia ber-
jalan perlahan sampai kedua kakinya tercapai oleh sisa-sisa ombak
yang kadang sampai kadang tidak ke tempat ia berpijak.
Bagi pemuda itu, batas darat dan air sebenarnya sudah pernah ia
alami. Ia tidak asing dengan air, akan tetapi bukan air yang bagai
tak bertepi seperti sekarang. Lautan. Melainkan ia pernah tinggal
bersama orang tuanya di sebuah pulau di tengah danau, jauh di utara
sana. Pulau di puncak Gunung Berdanau Berpulau. Sebelah utara
dari Padang Batu-batu. Yang terakhir ini baru saja dilewatinya be-
berapa saat yang lalu. Tempat yang pula di sana hatinya tertambat
dan menjadinya tujuan untuk kembali berlabuh. Tepatnya tiga tahun
dari saat ini. Telaga pemuda itu, setelah puas melamun dan menikmati keindahan
ciptaan Sang Pencipta, mulai mencari-cari dengan matanya kalau-
kalau ada orang untuk ditanyakan. Ia pergi ke pinggir lautan ini
441 442 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
untuk mencari suatu kelompok yang disebut Suku Pelaut. Orang-
orang yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di laut. Bukan hanya
melaut tapi benar-benar hidup di atas air. Dari mereka hendak di-
carinya ilmu-ilmu beladiri tinggi, seperti dipesan oleh orangtuanya.
Ilmu yang cocok dengan jenis tenaga yang telah dilatihnya. Tenaga
Air. Di Padang Batu-batu Telaga telah mendapat dua orang guru yang
mengajarkan ilmu pedang menggunakan pedang panjang, Ilmu Pedang
Panjang dan ilmu berkelahi tangan kosong yang berisikan gerakan-
gerakan menyebet dengan telapak tangan serta tangkisan dan bantin-
gan. Guru yang pertama adalah Walinggih, yang mengajarinya dua
jurus pokok, yaitu Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi dan Sabetan
Tunggal Menuai Dua. Sedangkan dari guru keduanya, Arasan ia mem-
peroleh dua jurus pula, yaitu Menebang Kelapa dan Berkelit Mem-
banting Padi, gerakan-gerakan yang diturunkan dari kegiatan kese-
harian orang-orang yang hidup dari bercocok tanam.
Dengan berbekal Tenaga Air yang telah diturunkan oleh ayah dan
ibunya, Ki dan Nyi Sura, Telaga dapat dengan mudah menyelami dan
mempelajari gerakan-gerakan yang diajarkan oleh kedua guru berikut-
nya selama berada di Padang Batu-batu. Tapi ia belum merasa puas.
Selain belum benar-benar merasa cukup, juga orang tuanya mengan-
jurkan ia mencari orang-orang Suku Pelaut, memohon menjadikan
dirinya murid dan mempelajari gerakan-gerakan beladiri mereka yang
memang khusus dibuat untuk pengamal ilmu Tenaga Air.
Tiba-tiba ia melihat setitik kecil sesuatu berlayar di pinggir horison
mendekat ke arah pantai di sebelah kanannya. Perlahan-lahan titik
tersebut membesar dan terlihat semakin jelas. Sebuah perahu nelayan.
Bergegas ia setengah berlari menuju ke pantai tempat perahu tersebut
hendak berlabuh. Bila ada nelayan mendarat, pasti tak tahu dari sana
ada perkampungan. Dan di perkampungan nelayan adalah tempat
yang baik untuk mulai bertanya mengenai Suku Pelaut yang menjadi
tujuannya sampai ke pantai ini.
Saat perahu yang ditujunya mendarat, Telaga menjadi terkejut saat
mendapati bahwa perahu tersebut dikemudiakan oleh seorang gadis.
Gadis tersebut tampak cekatan dalam menggulung layar untuk kemu-
443 dian melompak keluar dan menarik perahunya sendiri sampai cukup
jauh dari batas air laut. Setelah itu ia mulai membereskan barang-
barang tangkapannya dari laut.
Telaga yang baru kali ini menyaksikan seorang nelayan perempuan,
hanya bisa terpaku melongo. Tak sepatah kata pun terlontar dari
mulutnya. Ia hanya memandang kagum dan membisu.
Gadis tersebut dengan cekatan dan sigap setelah membereskan per-
ahunya dan mengangkat hasil tangkapannya dari laut, bergegas
berlalu dari situ. Ia tidak memperdulikan tatapan Telaga yang masih
berdiri tak jauh dari sana.
"Eh, harus aku ikut dia..," tersadar Telaga dari kekagumannya. Ia
pun kemudian beranjak untuk mengikuti langkah gadis tersebut yang
tidak saja cepat tetapi juga lebar-lebar. Bukan langkah kaki gadis-
gadis kebanyakan. Kira-kira tiga ratus langkah dari tempat perahu gadis itu ditambat-
kan, setelah melalui semak-semak dan pohon-pohon kelapa serta nyiur,
sampailah mereka di suatu lapangan agak terbuka. Tak jauh di de-
pan sana tampak semacam pintu gerbang yang terbuat dari dua buah
pohon kelapa yang hidup. Digantungi berbagai pernik untuk melaut
dan terpampang nama desa itu, Tepi Darat Selatan. Suatu nama yang
menandakan desa itu berada di bagian paling selatan dari daratan itu,
setidaknya menurut para penghuninya.
Setelah gadis tersebut berlalu dari pintu desanya, Telaga menjadi ragu
untuk terus mengikuti. Ia adalah orang asing, tamu tepatnya, yang
belum tahu harus menuju ke mana di desa tersebut. Mengikuti gadis
tersebut sampai ke rumahnya adalah tidak baik. Belum mereka berke-
nalan pula. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur dulu malam itu di luar desa,
baru besok pagi ia akan berkunjung ke sana. Hari sudah menjelang
senja, matahari tampak sudah mulai menghilang di ujung barat pan-
tai. Telaga mencari-cari matanya, sampai menemukan sebuah batu
karang yang dinaungi oleh beberapa pohon kelapa yang agak mem-
bungkuk. Tempat yang cukup baik untuk bermalam. Cukup terlin-
dung dari angin. Ia pun membuka perbekalannya, makan dan setelah
itu mulai beristirahat di sana.
444 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
Tak lama ia pun mulai terlelap dibuai angin semilir yang mengalun
lembut di sela-sela karang yang membelakanginya.
Mungkin karena kurang pengalaman atau karena saking lelahnya,
Telaga tidak waspada sehingga ia tidak menyisakan sedikitpun kesi-
gapan untuk segera terbangun apabila ada suara-suara mencurigakan.
"Ini pemuda yang tadi mengikutimu, Mayiya?" kata suara seorang tua
yang terdengar agak serak.
"Iya, kakek! Pemuda ini," jawabnya.
"Tampaknya tidak bermaksud jahat," ucap orang tua itu lagi sambil
mengamat-amati Telaga yang tertidur pulas, meringkuk miring dan
juga mendengkur. "Belum tentu, mungkin belum muncul saja aksinya," ucap gadis itu.
Rupanya sedari tadi Telaga memperhatikannya dengan kagum, ia su-
dah tahu dan merasa tidak nyaman. Akan tetapi karena tidak ada
siapa-siapa di antara mereka kecuali pasir dan air laut, Mayiya memu-
tuskan untuk segera pulang ke desangnya. Lebih aman di sana. Sete-
lah sampai ke rumahnya lalu ia melaporkan hal ini kepada kakeknya,
Pelaut Ompong. "Jangan terlalu curiga, tidak baik!" ucap kakeknya si Pelaut Ompong
kemudian. "Jadi apa maumu sekarang, apabila engkau masih men-
curigai pemuda itu?"
"Kita tangkap dan ikat saja, kakek! Besok baru kita tanyai," usul
cucunya itu. Suatu usul yang terdengar kasar dan asal-asalan juga.
"Kalau begitu engkau yang tangkap dia," goda kakeknya kemudian.
"Ah, kakek!" rengek sang cucu manja.
"Baik, baik, aku tangkap dia. Tapi awas ya, kalau engkau yang salah,
engkau harus minta maaf kepadanya. Mengerti!" jawab kakeknya


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegas. Dara itu mengangguk. Lalu dengan perlahan kakek itu melangkah ringan, saking ringannya
445 tapak kakinya tidak berbekas di atas pasir yang diinjaknya. Jadi apa-
bila Telaga tidak dalam keadaan tidur pulas pun, sudah sulit untuk
mendengar kedatangan mereka, apalagi saat ia benar-benar merasa
aman dan lelap istirahatnya.
"Hmm, cah.., cahh.., kalo tidur itu sebaiknya tengkurap! Biar gam-
pang notoknya...," gerutu kakek itu saat telah berada di samping
Telaga yang masih tertidur dengan posisi miring meringkuk memeluk
kantung perbekalan dan juga lututnya.
Pedang Kayu Harum 13 Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan Kedele Maut 8
^