Pencarian

Bunga Pedang Embun Hujan 4

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung Bagian 4


"Sekarang aku sudah masuk ke dalam kamar," kata Siau
Ho-ya lagi. "Silahkan duduk!" kepala Jian-jian masih tertunduk.
Siau Ho-ya duduk persis di hadapannya, sikap maupun
mimik mukanya menunjukkan perasaan semakin tak tenang.
Padahal dia adalah seorang lelaki yang sangat tenang,
seorang yang pandai mengendalikan diri. Tapi entah kenapa,
hari ini perasaan hatinya selalu gundah, selalu merasa tak
tenang. Ia tahu, asal dia mau buka mulut berbicara maka perasaan
hatinya yang gundah akan menjadi tenang kembali. Tapi
entah kenapa dia justru bingung, dia tak tahu apa yang harus
diucapkan. Dia berharap Jian-jian mau bicara duluan, tapi Jian-jian
justru tidak melakukan itu, gadis itu tetap bungkam dalam
seribu bahasa. Dia coba mengambil cawan air teh di meja untuk
menenteramkan hatinya, tapi cawan itu diletakkan kembali ke
meja. Sampai lama kemudian, akhirnya tak tahan tanyanya,
"Kenapa kau suruh aku datang kemari?"
Jian-jian tidak langsung menjawab, ia terdiam beberapa
saat kemudian sahutnya perlahan, "Tadi Sun hujin beritahu
aku, katanya kau minta aku tetap tinggal di sini?"
Siau Ho-ya mengangguk. "Kenapa kau suruh aku tetap tinggal di sini?" kembali Jianjian
bertanya. "Sun toa-nio tidak beritahu kepadamu?"
"Aku ingin mendengar kau sendiri yang mengatakan
kepadaku." Tiba-tiba paras muka Siau Ho-ya berubah jadi merah
jengah, sambil menutupi mulurnya ia terbatuk-batuk pelan.
Jian-jian tidak bertanya lagi, ia tahu laki-laki memang tak
bedanya dengan seekor anjing, jangan kelewat didesak. Dia
tahu kapan harus mengencangkan tali senarnya dan kapan
harus mengendurkan tali senar tersebut.
177 Kepalanya tertunduk semakin rendah, bisiknya, "Apakah
kau... kau ingin aku menjadi gundikmu?"
"................."
"Kau sudah beristri?"
"Belum!" "Dankau masih tetap ingin aki i menjadi gundikmu?"
"..............."
"Kenapa?" Pada dasarnya Siau Ho-ya adalah seorang lelaki pendiam
yang tak suka banyak bicara. Apalagi sekarang, pertanyaan
semacam itu memang sangat sulit untuk dijawab.
Setelah menghela napas panjang kembali Jian-jian berkata,
"Padahal sekalipun tidak kau jawab, aku pun sudah tahu
sangat jelas, buat seorang wanita tanpa identitas jelas, tanpa
diketahui asal-usul yang pasti macam aku, tentu saja tidak
pantas menjadi menantu resmi keluarga Ho."
Siau Ho-ya menggenggam tangan sendiri kuat-kuat,
bisiknya agak tergagap, "Tapi aku... aku..."
"Aku sangat berterima kasih sekali atas maksud baikmu
itu," tukas Jian-jian cepat. "Kau telah selamatkan aku,
memperhatikan aku, aku tak akan melupakan budi kebaikan
ini. Sekalipun tidak bisa kubalas pada penghidupan yang
sekarang, pada penirisan berikut aku..."
Ia sama sekali tidak menyelesaikan perkataan itu, tiba-tiba
sambil bangkit berdiri ia mulai melepaskan untaian perhiasan
yang menghiasi kepalanya, melepaskan gelang emas di
kakinya, bahkan mutiara yang berada di ujung sepatunya juga
ikut dilepas, satu demi satu, semuanya diletakkan ke atas
meja. "Kau... hei, apa yang kau lakukan?" seru Siau Ho-ya
dengan perasaan terperanjat.
"Aku tak berani menerima barang-barang berharga seperti
ini, juga tak boleh menerimanya... sedang pakaian ini,
sementara akan kukenakan dulu, nanti selesai kucuci bersih
baru dikembalikan." 178 Tanpa menunggu lebih lama lagi ia segera pergi
meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba Siau Ho-ya melompat bangun, menghadang di
depan pintu sambil serunya, "Kau mau pergi dari sini?"
Jian-jian mengangguk. "Kenapa kau harus pergi secara
mendadak?" kembali Siau Ho-ya bertanya.
"Kenapa aku tak boleh pergi?" Jian-jian balik bertanya.
Kemudian dengan wajah membesi, lanjutnya dengan
dingin, "Biarpun aku hanya seorang perempuan yang tak jelas
identitasnya dan tak pasti asal usulnya, bukan berarti aku
adalah seorang wanita rendahan, lebih baik aku menikah
dengan seorang kusir kereta ketimbang jadi gundik orang
lain!" Semua perkataan itu diutarakan dengan serius dan sangat
tegas, dia seolah-olah telah berubah menjadi seseorang yang
lain. Siau Ho-ya mengawasinya dengan tertegun, ia benar-benar
kaget dan terkesiap dibuatnya.
Mimpipun dia tak menyangka seorang wanita yang
kelihatan begitu lemah-lembut, secara tiba-tiba bisa berubah
menjadi begitu teguh, begitu keras dan serius.
Sambil menarik wajahnya hingga nampak makin serius,
kembali Jian-jian berkata, "Sekarang, kau tentu sudah
mengerti maksudku bukan, bolehkah aku pergi kini?"
"Tidak!" "Apa yang kau inginkan?" Berkilat sepasang mata Siau Hoya:
"Asal kau bersedia, detik ini juga kuberi sepuluh ribu tahil
emas sebagai hadiah..."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Jian-jian sudah
mengayunkan tangannya menampar wajah lelaki itu.
Sepanjang hidup, mungkin baru pertama kali ini dia
ditampar orang, namun Siau Ho-ya sama sekali tidak
menghindar. Sambil menggigit bibir dan air mata jatuh berlinang, seru
Jian-jian dengan sesenggukan, "Kau anggap dengan memberi
179 hadiah sepuluh ribu tahil emas lantas kau bisa membeli semua
wanita yang kau kehendaki..." Mau beli, pergilah membeli,
terserah kau mau beli seribu orang atau sepuluh ribu orang...
tapi ingat, biarpun kau berikan seluruh lantakan emas yang
kau miliki pun jangan harap bisa membeli aku!"
Kemudian dengan napas tersengal-sengal dia hapus air
mata yang membasahi pipinya, masih dengan suara keras
teriaknya, "Lepaskan aku... hei, kau akan lepaskan aku
tidak..." " "Tidak!" Kembali Jian-jian mengayunkan tangannya hendak
menampar, tapi kali ini tangannya telah ditangkap.
Sambil memegangi tangannya kuat kuat, Siau Ho-ya
mengawasi wajah Jian-jian tanpa berkedip, dari pancaran
sinar mata yang muncul dari balik pandangannya sama sekali
tak ada perasaan gusar atau benci, sebaliknya yang muncul
justru perasaan cinta dan sayang yang sangat lembut dan
hangat. "Sebenarnya, mungkin saja aku akan biarkan kau pergi,"
katanya lembut sambil mengawasi terus wajah gadis itu. "Tapi
sekarang, aku tak akan biarkan kau pergi dari sini. Sebab baru
sekarang aku sadar, kau adalah seorang wanita yang paling
susah didapatkan, bila kau kubiarkan pergi maka aku bakal
menyesal sepanjang hidup!"
"Kau..." "Aku akan menjadikan kau sebagai istriku... Satu-satunya
istri yang kumiliki!"
Jian-jian seperti terperanjat seperti juga kegirangan,
serunya gemetar, "Tapi aku... Aku tak pantas."
"Bila kau tak pantas, tak ada perempuan lain di dunia ini
yang lebih pantas lagi!"
"Tapi identitasku... Asal-usulku..."
"Aku tak perduli dengan segala identitas atau asal-usul...
yang ingin kukawini adalah seorang istri, bukan silsilah
keluarga!" 180 Jian-jian kembali memandang pemuda itu, dua deret air
mata sekali lagi jatuh berlinang membasahi sepasang matanya
yang indah. Air mata yang bercucuran kali ini adalah air mata
kegirangan, akhirnya ia berhasil mengubah garis nasib sendiri.
Konon terdapat tigaratus macam cara yang bisa digunakan
seorang wanita untuk menaklukkan kaum lelaki, tapi cara
yang dipergunakannya kali ini jelas merupakan cara yang
paling jitu. Karena dia mengerti kapan harus menarik kencang tali
senarnya, dan tahu pula kapan waktu yang tepat
untukmengendor-kan tali senar itu.
II Lampu lentera. Dengan langkah yang sangat lamban Ting Jan-coat masuk
ke dalam bilik, menyulut lentera yang berada di atas meja
kemudian baru memutar badan mengawasi mereka.
Siau Lui tidak memandang ke arahnya, dia seolah-olah
sudah tak sudi lagi untuk memandang ke arahnya walau
hanya sekejap pun. Ting-ting bersembunyi di sudut pembaringan, ia sangat
ketakutan, badannya gemetar keras sakit ngerinya.
Ting Jan-coat berjalan menghampiri, langkahnya sangat
lambat, tegurnya sambil mentap gadis cilik itu dengan
pandangan tajam: "Kau beritahu kepadanya, obat yang kububuhkan di
lukanya adalah rumput mata cangkul?"
Ting-ting mengangguk lirih, saking takutnya hampir saja ia
menangis tersedu. "Dan kau percaya?" kata Ting Jan-coat sambil menoleh ke
arah Siau Lui. Siau Lui tidak menjawab, ia menampik untuk menjawab.
"Apa yang dia katakan memang benar sekali," lanjut Ting
Jan-coat perlahan. "Aku memang tak rela membiarkan kau
181 pergi, aku memang telah bertemu dengan Liong Su dan
akupun telah meracuni kuda itu sampai mati, apa yang dia
katakan sama sekali tidak bohong."
Siau Lui tertawa dingin. "Tapi soal rumput mata cangkul itu..." mendadak
perempuan itu membuka pakaian sendiri hingga terlihat
sepasang bahunya yang putih bersih bagaikan susu, mulut
luka di bahunya yang ditusuk sendiri tempo hari tampak
dibungkus juga dengan kain perban.
Dengan sekuat tenaga dia robek perban yang membungkus
lukanya itu kemudian melemparkan perban tadi ke hadapan
Siau Lui, teriaknya, "Coba kau lihat, obat apa yang
kugunakan?" Siau Lui tak perlu melihat, ia sudah mengendus bau obat
yang harum semerbak dan terasa sangat aneh itu. Ternyata
obat yang dibubuhkan di mulut luka gadis itu pun rumput
mata cangkul, Siau Lui tertegun.
Tiba-tiba Ting Jan-coat menghela napas panjang,
gumamnya, "Ting-ting, Ting-ting... di tempat mana aku telah
salah kepadamu" Kau... kau... mengapa kau harus
berbohong?" Ting-ting menangis tersedu, tiba-tiba ia melompat ke depan
dan teriaknya, "Benar, aku memang sedang berbohong, aku
ingin merusak hubungan kalian, agar kau tidak mendapatkan
apa-apa, karena aku benci kau... aku benci kau!"
"Kau benci aku?"
"Yaa, aku benci, benci, benci setengah mati... aku benci
kau, aku ingin kau cepat mati, makin cepat makin baik..."
Tiba-tiba ia menutupi wajah sendiri sambil menangis
tersedu-sedu, lalu sambil berlarian keluar dari dalam bilik
teriaknya keras, "Aku tak mau tinggal di sini lagi, tiap hari
harus mendongkol karena kau... sekalipun aku telah
berbohong, kau juga yang mengajarkan kebohongan ini
kepadaku..." Ting Jan-coat tidakmenghalangi kepergiannya, dia hanya
berdiri di situ dengan pandangan tertegun, seperti orang yang
182 kehilangan ingatan, sementara air mata telah jatuh
bercucuran membasahi wajahnya.
Paras muka Siau Lui berubah makin pucat.
Dia sama sekali tak menduga kalau persoalan akan berubah
jadi begini, dia pun tidak menyangka gadis cilik yang
kelihatannya sangat polos dan sangat baik hati ternyata
pandai berbohong. Ting Jan-coat menghela napas panjang, gumamnya, "Aku
tidak menyalahkan dia, ia sengaja berbuat begini mungkin
tujuannya hanya ingin pergi meninggalkan aku, pergi
meninggalkan tempat ini... dunia di luar sana sangat luas,
anak gadis mana yang tak ingin ke sana untuk melihatnya?"
"Kau benar-benar tidak membencinya?" tak tahan Siau Lui
bertanya. "Dia masih seorang anak-anak!"
"Tapi dia sangat membencimu!"
Ting Jan-coat menghela napas sedih, "Banyak persoalan di
dunia ini sebenarnya memang begitu, belum tentu kau
membenci orang yang sangat membencimu, begitu juga
belum tentu kau mencintai orang yang sangat mencitaimu..."
Makin berkata nada suaranya semakin rendah dan lirih
hingga akhirnya sama sekali tak kedengaran apa-apa.
"Benar!" Siau Lui mengangguk. "Banyak kejadian di dunia
ini memang demikian."
Tiba-tiba ia merasa perasaan hatinya berubah jadi sangat
berat, seolah-olah ada batu seberat ribuan kati yang sedang
menindih di atas dadanya.
Lewat lama kemudian ia baru melanjutkan, "Tapi,
bagaimana pun juga kau telah menolongku."
"Aku tidak menolongmu!"
"Tidak?" "Tidak, yang menolong kau adalah dirimu sendiri."
"Tapi aku..." Ting Jan-coat segera menukas, katanya dingin, "Sekarang


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau boleh pergi dari sini, bila tak sanggup berjalan, lebih baik
pergilah dengan merangkak"
183 Ia berlalu lebih dahulu, pergi tanpa berpaling lagi.
Cahaya lampu makin lama terasa makin redup, angin yang
berhembus lewat pun makin lama terasa makin dingin, dari
kejauhan sana kedengaran suara air selokan yang mengalir
deras, seakan-akan suara tangisan seorang gadis yang sedang
bersedih hati. Siau Lui hanya berbaring tak bergerak, dia tak ingin berpikir
apa pun, tak ingin membayangkan persoalan apapun, dia ingin
berbaring tenang di situ, menunggu hadirnya fajar di esok
hari... III Fajar telah menyingsing, cahaya matahari yang berwarna
kuning keemas-emasan memancarkan sinarnya menerangi
seluruh jagad dan setiap sudut kegelapan.
Di tengah hembusan angin fajar yang sepoi-sepoi, terendus
bau harum semerbak yang disebarkan aneka bunga, lamatlamat
terendus juga bau harum nasi yang baru matang
ditanak. Perlahan-lahan Siau Lui bangkit berdiri dan turun dari atas
pembaringan. Luka baru maupun luka lama di sekujur tubuhnya masih
terasa sakit, demikian sakitnya hingga sukar ditahan siapa
pun, tapi dia tak ambil perduli.
Ia telah belajar bagaimana menikmati rasa sakit semacam
itu sebagai suatu kenikmatan tersendiri, sebab hanya tubuh
yang terdiri dari darah daging baru akan munculkan perasaan
sakit, dan rasa sakit di badan akan memperingan rasa sakit di
dalam hatinya. Siapa yang sedang menanak nasi" Diakah" Atau Ting-ting"
Ia tak tahu dengan cara apa mereka lewatkan malam yang
kelam itu, tapi yang pasti malam tadi akan menjadi malam
yang paling panjang bagi mereka berdua.
184 Dapur letaknya di bagian belakang, tidak jauh dari kamar
itu. Namun bagi Siau Lui, perjalanan ini terasa begitu jauh dan
sangat menyiksa, masih untung tak ada luka di kakinya.
Dengan susah payah akhirnya berhasil juga ia mencapai
pintu dapur, keringat dingin telah membasahi separuh
tubuhnya. Seseorang kelihatan berdiri membelakangi pintu, gaun
panjang-nya terurai hingga ke lantai, seseorang yang
memakai baju berwarna putih bersih.
Siau Lui tak menyangka, ternyata perempuan itu masih
pandai juga menanak nasi.
Bila kau pernah melihat betapa garang dan sadisnya dia
berdiri di tengah genangan darah, pasti tak akan menyangka
kalau perempuan itu pun sanggup berdiri di dalam dapur.
Dengan bersandar di atas dinding, Siau Lui perlahan-lahan
berjalan masuk ke dalam ruang dapur.
Tentu saja dia pun mendengar suara langkah pemuda itu,
tapi bukan saja tidak menoleh, apakah dia pun menampik
untuk bicara dengannya"
Siau Lui coba menahan diri, tapi setelah lewat lama sekali
akhirnya dia tak tahan juga, tegurnya, "Di mana Ting-ting?"
Dia tidak menjawab. "Bagaimana pun juga, dia hanya seorang bocah kecil,"
kembali Siau Lui berkata. "Sekalipun telah melakukan
kesalahan besar, tapi siapa yang menjamin bahwa setiap
orang tak pernah melakukan kesalahan" Jika kau bersedia
memaafkan, aku..." "Hei, kau sedang bicara dengan siapa?" mendadak gadis itu
menukas dengan nada suara yang amat dingin.
"Kau!" Tiba-tiba perempuan itu berpaling, katanya setelah
memandang Siau Lui sekejap, "Kau kenal aku" Aneh, kenapa
aku tak kenal kau?" 185 Siau Lui tertegun, walaupun perempuan ini pun memakai
baju berwarna putih salju, tubuhnya juga tinggi semampai,
tapi wajahnya jelek sekali, sederhana dan lagi jelek rupa.
Dengan tangan sebelah dia memegang kuali, tangan yang
lain memegang sebuah sendok kayu yang sedang dipakai
untuk mengaduk nasi. Dia memang mempunyai dua buah
tangan saja. Siau Lui menarik napas panjang, katanya setelah tertawa
paksa, "Rasanya aku memang tak kenal dengan kau."
"Kalau memang tidak kenal, mau apa datang kemari?"
"Datang mencari seseorang."
"Siapa?" "Seorang nona, seorang nona berusia delapan-sembilan
belas tahunan." Perempuan muda berbaju putih itu segera tertawa dingin,
"Aku rasa nona yang dicari seorang lelaki selalu usianya
berkisar delapan-sembilan belas tahunan, jadi tak usah kau
sebut pun aku sudah paham, tapi siapa namanya?"
"Agaknya dia dari marga Ting."
"Aku bukan bermarga Ting!" sahut perempuan berbaju
putih itu "Kau... mengapa kau bisa ada di sini?"
"Ini rumahku, kalau aku tidak di sini lalu harus pergi ke
mana?" "Ini rumahmu?" seru Siau Lui tercengang.
"Betul!" "Dan kau selalu tinggal di sini?"
"Sekarang aku tinggal di sini, sekarang tempat ini adalah
rumahku." "Dahulu?" "Buat apa kau menanyakan urusan masa lalu?" potong
perempuan berbaju putih itu hambar.
Siau Lui tidak bertanya lagi. Sebab dia merasa apa yang
dikatakan perempuan muda berbaju putih itu memang sangat
masuk di akal. Urusan dimasa lalu memang sudah berlalu,
buat apa diungkit kembali" Dan buat apa ditanyakan lagi"
186 Perempuan berbaju putih itu berpaling, sambil
menyodorkan semangkuk nasi tiba-tiba tanyanya, "Kau
merasa lapar?" "Yaaa, lapar sekali."
"Kalau sudah lapar, makanlah nasi itu."
'Terima kasih." Di atas meja sudah tersedia telur dadar, daging kukus,
malah tersedia pula rebung yang di masak minyak wijen,
rebung muda yang nampaknya masih segar.
Siau Lui segera ambil tempat duduk, dalam sekejap mata
nasi dalam mangkuk besar itu telah disantap hingga ludas.
"Waah, kelihatannya kau memang lapar sekali," seru
perempuan berbaju putih itu sambil tersenyum.
"Maka dari itu, kalau boleh aku ingin minta semangkuk
lagi." Perempuan berbaju putih itu segera menyodorkan
mangkuk nasi di hadapannya ke depan pemuda itu, katanya,
"Makanlah, makan yang banyak, kalau kenyang tubuhmu baru
bertenaga." Tiba-tiba perempuan itu tertawa, tertawanya sangat aneh,
kembali lanjutnya, "Tentunya kau tak akan makan gratis
nasiku bukan?" Siau Lui melengak, nasi yang baru saja hendak ditelannya
mendadak terasa menyumbat dalam tenggorokan.
"Kalau sudah makan nasi milik orang lain, paling tidak kau
harus melakukan suatu pekerjaan bagi pemiliknya bukan,
masa kau tak paham aturan ini?" kembali perempuan itu
berkata. Siau Lui mengangguk, tidak menjawab.
"Aku tahu, kau adalah seorang lelaki yang punya harga diri,
manusia macam kau tentunya tak akan makan gratis lantas
kabur bukan?" Siau Lui tidak menjawab, dengan cepat dia habiskan isi
mangkuknya hingga ludas, kemudian setelah meletakkan
kembali sumpitnya ke meja iabaru bertanya, "Pekerjaan apa
yang harus kulakukan?"
187 "Apa saja yang bisa kau kerjakan?" perempuan berbaju
putih itu balik bertanya.
"Aku bisa melakukan banyak pekerjaan."
"Apa keahlianmu yang utama?" Siau Lui mengawasi
sepasang tangannya yang berada di atas meja dengan
pandangan termangu, sementara kelopak matanya kelihatan
semakin menyusut. Sambil mengawasi anak muda itu, kembali perempuan
berbajupurjh itu berkata, "Setiap orang pasti memiliki suatu
keahlian khusus. Ada sementara orang punya keahlian main
kecapi, main catur, melukis atau menulis, ada pula sementara
orang yang ahli dalam pengobatan, ilmu nujum ataupun ilmu
perbintangan, bahkan ada juga sementara orang yang punya
keahlian membunuh orang... kau termasuk yang mana?"
Kembali Siau Lui termenung beberapa saat, kemudian baru
sahutnya sepatah demi sepatah, "Keahlianku adalah menerima
bacokan golok." "Menerima bacokan golok" Menerima bacokan golok juga
termasuk satu keahlian?"
"Belum genap sepuluh hari aku sudah menerima tujuhdelapan
kali bacokan golok, paling tidak pengalamanku dalam
masalah ini cukup banyak," jawab Siau Lui hambar.
"Apa gunanya menerima bacokan golok?"
"Sangat berguna!"
"Coba kau jelaskan, apa gunanya?"
"Aku telah makan nasimu, apa salahnya jika kau
membacokku satu kali, jadi hutang piutang kita segera impas."
Perempuan berbaju putih itu segera tertawa.
"Kenapa aku mesti membacokmu" Apa keuntungannya
buatku?" Setelah memutar biji matanya berulang kali, kembali ia
melanjutkan, "Hmmm... bisa menerima tujuh-delapan bacokan
senjata tanpa kehilangan nyawa, rasanya kemampuanmu ini
terhitung juga satu keahlian."
"Siapa bilang bukan satu keahlian?"
188 "Orang yang mampu menerima bacokan senjata, tentunya
mampu juga bukan untuk membunuh orang?"
"Oh..." "Baik," kata perempuan berbaju putih itu tiba-tiba sambil
bertepuk tangan. "Bagaimana kalau kau membantuku
menghabisi nyawa dua orang" Asal kau berhasil, hutangpiutang
di antara kita kuanggap lunas?"
Perkataan itu sangat enteng dan wajar, seolah-olah karena
orang telah berhutang sebutir telur ayam maka wajar bila
orang lain harus membayar dengan dua butir telur.
"Apa kau tidak merasa nilai harga dari dua mangkuk
nasimu kelewat mahal?" ujar Siau Lui sambil tertawa.
"Tidak, sama sekali tidak mahal!"
"Tidak mahal?" "Kedua mangkuk nasiku sangat istimewa, orang biasa tak
akan bisa mencicipinya!"
"Apa keistimewaannya?"
"Karena dalam nasi itu sudah kucampuri dengan sesuatu
benda yang sangat istimewa!"
"Apa itu?" "Racun!" Ia mengawasi Siau Lui tanpa berkedip, seolah-olah ingin
melihat Siau Lui terjatuh dari duduknya lantaran kaget dan
ketakutan. Tapi Siau Lui tidak kaget, jangan lagi menggerakkan
badannya bahkan mata pun sama sekali tak berkedip
"Kau tidak percaya?" tanya perempuan berbaju putih itu
dengan kening berkerut. "Kedua mangkuk nasi itu sudah habis kumakan. Sekarang,
percaya atau tidak percaya sudah bukan masalah yang
penting." "Tidak penting" Tahukah kau orang yang telah makan
racun bakal mampus?"
"Tentu saja aku tahu."
"Kau pingin mati?"
"Tidak." 189 "Kalau begitu bantulah aku membunuh kedua orang itu,"
kata perempuan berbaju putih itu sambil menghembuskan
napas lega. "Bagaimanapun kau toh tidak kenal dengan
mereka berdua, apalagi cuma dua orang, tidak termasuk
banyak!" "Yaaa, memang tidak banyak." "Tunggulah sampai mereka
muncul di sini, setelah itu kau boleh segera turun tangan
menghabisi nyawa mereka berdua."
"Tidak, aku tak akan membunuh."
"Tidak mau" Kenapa tidak mau?" Berubah paras muka
perempuan muda berbaju putih itu.
"Kalau tidak mau yaaa tidak mau, tak ada kenapa-kenapa."
"Tahukah kau siapa yang ingin kubunuh?"
"justru karena tidak tahu, maka aku tak bisa membunuh
mereka berdua." "Kau ingin tahu siapa mereka berdua?"
"Tidak, juga tak perlu."
"Bila kau tidak membunuh mereka, kau sendiri yang bakal
mampus!" Tiba-tiba Siau Lui tidak bicara lagi, pelan-pelan dia bangkit
berdiri lalu berjalan keluar meninggalkan ruang dapur.
"Mau ke mana kau?" tegur perempuan berbaju putih itu.
"Menunggu saat mati."
"Kau lebih suka mati daripada melakukannya?"
Siau Lui malas untuk menggubris, berpaling pun tidak ia
pergi meninggalkan tempat itu.
Perempuan berbaju putih itu menggigit bibirnya kencangkencang,
sambil mencak-mencak kegusaran, teriaknya keras,
"Kau sebetulnya manusia atau keledai?"
"Keledai!" terdengar suara Siau Lui bergema dari kejauhan.
IV Siau Lui berbaring tanpa bergerak, ia merasa dirinya sangat


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelikan. Sewaktu kawanan tawon datang mencari balas
190 tempo hari, banyak sekali manusia yang mati terbunuh dalam
pertempuran itu. Genangan darah berceceran membasahi
seluruh lantai. Waktu itu dia tidak mati.
Kemudian algojo dari Perguruan Banjir Darah Hiat-yu-bun
menempelkan goloknya di atas leher sendiri, mata golok telah
merobek kulit badannya, dia juga tidak mati.
Lima raja neraka dari lima istana, gerombolan Ngo-thian
Giam-lo, termasuk jagoan-jagoan dunia persilatan yang
berilmu sangat tinggi. Selain kejam, mereka pun sangat
telengas. Tusukan pedangnya waktu itu jelas sekali telah
tembus di badannya, tapi dia pun tidak mati.
Tapi kini, hanya gara-gara menghabiskan dua mangkuk
nasi yang masih panas mengepul, dia harus menunggu ajal di
sini, bahkan mati secara mengenaskan. Apakah kejadian
semacam ini tidak sangat menggelikan"
Tentu saja jika mau dia bisa turun tangan menangkap
perempuan berbaju putih itu dan memaksanya untuk
menyerahkan obat penawar.
Tapi dia tidak berbuat begitu, bukan dikarekan dia takut
tenaga dalam tubuhnya belum pulih sehingga tak mampu
menandingi kemampuan orang... Kalau seseorang harus mati,
apa lagi yang mesti ditakuti" Dia tidak berbuat begini karena
dia merasa malas, merasa segan untuk melakukannya.
Kenapa perempuan berbaju putih itu dapat muncul di sana"
Siapa yang ingin dibunuhnya" Siapa pula perempuan itu"
Siau Lui tidak bertanya, dia malas bertanya. Kini, apapun
yang terjadi sudah tidak menarik minatnya lagi untuk
diketahui, dia tak ambil perduli.
Gejala semacam ini memang satu gejala yang sangat
menakutkan. Mengapa dia berubah jadi begini" Jangankan
orang lain, dia pribadi pun tidak habis mengerti.
Dia pun malas untuk memikirkan semuanya ini, perasaan
menunggu datangnya ajal dirasakan sebagai sesuatu
kenikmatan tersendiri, paling tidak mati akan membuat segala
urusan jadi beres, tak ada yang perlu dirisaukan dan dipikirkan
lagi. 191 "Tiing... tingg... toong... tongg..."
Dari luar kamar terdengar ada suara orang sedang
memukul sesuatu, entah apa yang sedang dipukul hingga
menimbulkan suara nyaring. Sampai lama kemudian suara itu
baru berhenti. Menyusul kemudian dari luar kamar muncul orang, dua
lelaki kekar berbaju hijau berjalan masuk ke samping
pembaringannya sambil menggotong peti mati yang terbuat
dari papan tipis. Rupanya suara ketukan yang terdengar di luar kamar tadi
berasal dari peti mati yang sedang dipaku.
Ia tak mengira orang-orang itu telah memikirkan secara
sempurna, sehingga urusan akhir dirinya pun telah
dipersiapkan lebih dulu. Ketika memandang ke arahnya, kedua lelaki berbaju hijau
itu seperti sedang melihat sesosok mayat saja, tiba-tiba
mereka bungkukkan badan memberi hormat.
Orang hidup memang selalu bersikap lebih hormat
terhadap orang mati. Siau Lui malas menggubris, dia hanya
tiduran tanpa bergerak, keadaannya memang tak berbeda
dengan sesosok mayat. Lelaki berbaju hijau itu berjalan keluar dari kamar, sesaat
kemudian ternyata mereka balik lagi ke dalam sambil
menggotong sebuah peti mati lagi, peti mati yang kedua itu
diletakkan persis di samping peti mati pertama.
Buat satu orang kenapa mesti disediakan dua buah peti
mati" Siau Lui masih malas untuk bertanya... mau sebuah peti
mati atau dua buah peti mati bukan urusannya, buat dia mau
pakai peti mati atau sama sekali tak pakai bukan masalah, dia
tak perduli. Berapa saat lewat dalam keheningan, tiba-tiba perempuan
muda berbaju putih itu muncul kembali dalam ruangan, ia
berdiri di ujung pembaringan sambil mengawasi anak muda
itu. Siau Lui tidak perduli, ia masih pejamkan matanya.
192 "Peti mati sudah disediakan," kata perempuan berbaju
putih itu kemudian. "Hanya saja karena disiapkan secara
mendadak maka peti mati itu kurang mewah, tapi paling tidak
jauh lebih mendingan ketimbang tanpa peti mati sama sekali."
Siau Lui tidak menggubris.
Kembali perempuan berbaju putih itu berkata, "Tolong
tanya apakah kau masih bisa merangkak sendiri masuk ke
dalam peti mati itu" Daripada setelah kau mati nanti aku harus
panggil orang lagi untuk menggotong mayatmu."
Ia mengawasi Siau Lui tanpa berkedip, seolah-olah
berharap anak muda itu akan mencak-mencak kegusaran lalu
beradu jiwa dengannya. Siau Lui tidak marah juga tidak menyerang, dia benarbenar
bangkit berdiri dan merangkak masuk ke dalam peti
mati lalu membaringkan diri secara santai, wajahnya tenang
tidak menunjukkan perubahan perasaan apa pun
Tertegun perempuan muda berbaju putih itu.
Sampai lama kemudian dia baru menghela napas dan
berkata lagi, "Kita belum pernah kenal sebelumnya, tak nyana
hari ini mesti mati bersama, inikah yang disebut jodoh?"
Perempuan itu berjalan mendekati peti mati kedua lalu
merangkak masuk dan membaringkan diri di situ.
Siau Lui benar-benar keheranan, tapi dia masih berusaha
menahan diri tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Dia tak
tahu permainan busuk apa lagi yang sedang direncanakan
perempuan itu. Perempuan berbaju putih itu tidak bicara, setelah
membaringkan diri di dalam peti mati, iapun pejamkan kedua
matanya, seolah-olah sedang menunggu datangnya ajal.
Kembali keheningan mencekam seluruh ruangan, lewat
berapa saat kemudian tiba-tiba perempuan itu menghela
napas, tanyanya, "Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan
sekarang?" Tampaknya ia tahu Siau Lui tak bakal buka suara, maka
kembali lanjutnya, "Aku sedang berpikir,bila orang lain
193 menjumpai kita berdua mati bersama, mungkinkah mereka
akan salah menduga bahwa kita mati karena cinta?"
Siau Lui tak dapat menahan diri lagi, mendadak tegurnya,
"Kenapa kau mesti mati bersamaku?"
"Karena kau telah mencelakai aku."
Dia sendiri yang telah mencelakai orang lain lebih dulu,
sekarang malah menuduh orang lain yang mencelakainya.
Siau Lui kembali tidak berbicara.
"Tahukah kau, kenapa aku mengatakan kau yang telah
mencelakaiku?" tanya perempuan berbaju putih itu lagi.
"Aku tak tahu."
"Sebab jika kau bersedia membantu aku membantai kedua
orang tersebut, maka aku tak usah mati."
"Jadi kedua orang itu mau membunuhmu?" tanya Siau Lui
dengan kening berkerut. Perempuan muda berbaju putih itu menghela napas
panjang. "Bukan hanya ingin membunuhku saja, besar kemungkinan
mereka akan mencincangku hingga hancur berkeping-keping,
sebab itu paling baik bagiku adalah mati duluan."
"Maka kau berbaring dulu ke dalam peti mati?"
"Yaaa, karena akupun sedang menunggu mati, bila mereka
muncul nanti maka aku akan mati duluan."
la tertawa, suara tertawanya sangat memilukan, terusnya,
"Sekalipun setelah kematianku nanti, mereka masih tetap menyeretku
keluar dari peti mati, paling tidak aku toh bisa mati
sewaktu masih berada dalam peti mati."
Walaupun dia melukiskan kejadian itu dengan kata-kata
yang sederhana, tapi dalam kata yang amat singkat itu dia
telah melukiskan betapa kejam dan sadisnya kedua orang
musuhnya, siapapun yang telah mendengar penuturan
tersebut, bisa dipastikan akan menaruh kesan jelek terhadap
kedua orang itu. Siau Lui tidak menunjukkan simpatiknya, dengan suara
ketus ia menegur, "Masih banyak tempat yang bisa kau pakai
untuk mati, kenapa harus datang kemari dan mati di sini?"
194 "Sebab sesungguhnya aku masih belum kepingin mati,
maka aku sengaja melarikan diri kemari."
"Kenapa?" Perempuan muda berbaju putih itu kembali menghela
napas panjang. "Sebab sebenarnya aku mengira disini bakal bertemu orang
yang bakal menolong aku!"
"Siapa?" "Ting Jan-coat!"
"Ooh. .." Siau Lui merasa nama tersebut seakan-akan
sangat dikenalnya, tapi dia pun merasa teramat asing.
Kembali perempuan berbaju putih itu berkata, "Sewaktu
tiba di sini, ternyata ia sudah pergi, maka aku mengira dia
telah meninggalkan pesan kepadamu sebelum pergi."
"Kau salah," sahut Siau Lui dengan nada sedih. "Aku sendiri
pun tidak tahu kalau dia benar-benar akan pergi."
Dia sengaja memperberat nadanya sewaktu menyebut kata
"benar-benar," seakan-akan dia hendak mempertegas
sesuatu, seolah-olah dia menganggap perempuan yang selalu
membayangi dirinya itu tak bakal pergi meninggalkan dirinya.
Tapi dalam hati kecilnya dia lebih berharap Ting Jan-coat
betul-betul telah pergi lantaran putus asa. Ke mana dia telah
pergi" Mungkin jawabannya tetap akan menjadi misteri
sepanjang masa... Namun ada satu hal dia lebih percaya dan yakin, ke mana
pun Ting Jan-coat pergi, walau sampai ke ujung langit atau
dasar samudra pun, perempuan ini akan selalu berusaha
merawat dan menjaganya. Sebab di dalam pandangan serta
hati kecilnya, selain dirinya, di dunia ini sudah tak ada
kehidupan lain. Tiba tiba perempuan muda berbaju putih itu bangun dan
duduk di dalam peti mati, tanyanya, "Sebetulnya apa
hubunganmu dengan Ting Jan-coat?"
"Aku tak punya hubungan apa-apa dengan orang itu."
"Ooh.. ." Lantas kenapa kau bisa berada di sini?"
195 Siau Lui masih tetap berbaring tanpa gerak, sepasang
matanya dipejamkan erat-erat, keadaannya tak ubahnya
sesosok mayat. Sekalipun begitu, paling tidak dia masih punya satu
kelebihan dibandingkan dengan orang mati, dia masih
bernapas.. Dia hanya menghela napas panjang, malas untuk
menjawab, sama sekali tak ingin menjawab.
Keheningan kembali mencekam seluruh ruangan, sampai
lama... lama sekali... belum juga kedengaran sesuatu
gerakan... tak kedengaran suara apa pun.
Tanpa harus menggigit ujung jari sendiri pun Siau Lui tahu
kalau dia masih tetap hidup, sebab ia masih dapat menangkap
suara napas sendiri, orang mati tak mungkin bisa bernapas.
Suara napas itu berasal dari suara napas sendiri, sedang
suasana di peti mati sebelah sangat hening, tak kedengaran
suara apa pun termasuk suara napas. Mungkinkah perempuan
itu sudah mati" Siau Lui melompat bangun dengan perasaan penuh tanda
tanya, dia mencoba periksa peti mati sebelah, ternyata peti
mati itu kosong, tanpa penghuni...
0o0 Siau Ho-ya berjalan keluar dari Say-cu Oh-tiong. Tak jauh
dari Oh-tiong tampak sebuah kereta kuda yang amat mewah
parkir disitu. Dengan langkah kaki yang berat ia berjalan mendekati
kereta itu, menyingkap tirai kereta dan masuk ke dalam
ruangan. Dalam ruang kereta itu duduk seorang perempuan,
dia adalahp erempuan muda berbaju putih itu.
"Kau telah bertemu dengan Liong Su?" dengan nada tak
sabaran perempuan berbaju putih itu bertanya.
Paras muka Siau Ho-ya nampak sangat berat dan serius,
dia mengangguk pelan. Kereta kuda segera dilarikan kencang meninggalkan tempat
itu, begitu kencang larinya kuda membuat ruang kereta
tersebut bergoncang sangat keras.
196 Di tengah keheningan, perempuan berbaaju putih itu
melirik Siau-hou-ya sekejap, tiba tiba katanya:
"Aku turun di sini saja!"
Siau Ho-ya tidak mencegah.
Baru saja perempuan berbaju putih itu hendak menyingkap
tirai untuk melompat turun dari kereta, tiba-tiba tangannya
dicengkeram seseorang, cengkeraman itu sangat kuat dan
kencang. "Ohh...!" perempuan berbaju putih itu berseru tertahan.
"Beritahuaku!" ujar SiauHo-ya dengan nada marah.
"Kenapa kau tak tega turun tangan terhadap orang she Lui
itu?" Perempuan berbaju putih itu tertawa.
"Jika kau betul-betul mencintai nona Jian-jian, seharusnya
kau biarkan orang dari marga Lui itu tetap hidup. Kalau tidak
kau bakal kehilangan perempuan itu!"
"Aku tidak percaya!" tukas Siau Ho-ya.
"Kau tak perlu percaya kepadaku, tapi harus percaya
dengan ucapan Kim Cwan!"
"Hmm! Apalagi orang itu, aku lebih tak percaya!" jawab
Siau Ho-ya dengan nada menghina.
Dia memang punya alasan untuk tidak percaya Kim-cwan,
orang yang gagal mencicipi buah anggur selalu akan
mengatakan kalau anggur itu kecut.
Konon, menurut Kim-cwan, Jian-jian hanya cinta satu orang
sepanjang hidupnya, orang itu adalah Siau Lui, tapi kemudian
Siau Lui juga yang telah meninggalkan dirinya.
Oleh sebab itu Jian-jian ingin balas dendam, ia tak segan
membiarkan dirinya jatuh ke dalam pulukan Siau Ho-ya,


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tujuannya tak lain hanya ingin balas dendam terhadap Siau
Lui, membalas kekejaman hatinya, ketidaksetiaannya. Tapi
kalau bicara soal cinta, dia tetap mencintai Siau Lui.
Siau Ho-ya adalah seorang lelaki yang amat percaya diri,
dia tak percaya dengan mengandalkan asal-usul keluarganya,
wajah tampan yang dimilikinya serta kepandaian silat yang
197 dikuasainya, ia tak berhasil menyingkirkan bayangan Siau Lui
dari dalam benak Jian-jian.
Tapi ada satu hal dia percaya sekali, yaitu apa yang
dikatakan perempuan berbaju putih itu setelah dia bertemu
Siau Lui. Orang itu sama sekali tak pandang penting nyawa
sendiri. Masalah inikah yang membuat Jian-jian sangat merisaukan
Siau Lui" Siau Ho-ya tidak percaya, maka ia sengaja datang
sendiri berjumpa dengan Liong Su.
Mungkin, sesungguhnya dia tak perlu berbuat begitu. Tapi
untuk membuktikan kebenaran kata-kata Kim-cwan, dia
datang juga untuk bertemu LiongSu.
Sekarang dia mengerti, ia benar-benar paham, seorang
lelaki yang bisa membuat Liong Su begitu kagum, begitu
menaruh hormat, memang sangat pantas untuk dicintai
perempuan macam Jian-jian. Mencintainya dengan sepenuh
hati. Perempuan muda berbaju putih itu belum pernah dicintai
lelaki, dia pun belum pernah mencintai lelaki. Yang bisa dia
lakukan hanya membunuh orang, baik lelaki atau perempuan,
semuanya dibunuh tanpa pandang bulu, maka orang
menyebutnya Leng-hiat Kwan-Im (Kwan-Im berdarah dingin).
Atas perintah dari Siau Ho-ya dan atas keterangan yang
berhasil dihimpunnya dari penuturan Liong Su, dia mengambil
kesimpulan. Kemungkinan besar orang yang telah berhasil
melarikan Siau Lui adalah Ting Jan-coat.
Ternyata dugaannya tidak meleset. Ketika ia datang
mencari mereka, Ting Jan-coat maupun Ting-ting telah pergi
meninggalkan tempat itu, tinggal Siau Lui seorang diri sedang
berbaring di atas pembaringan.
Waktu itu Siau Lui sedang tertidur nyenyak, satu
kesempatan yang sangat berharga baginya untuk turun
tangan menghabisi nyawanya. Tapi ia tidak berbuat demikian.
Selama hidup, Leng-hiat Kwan-Im tak pernah ragu atau
sangsi dalam menjalankan aksinya, dia tak kenal arti kata "tak
198 tega." Tapi kenyataan bicara lain, dia telah membuang
peluang yang sangat baik itu dengan begitu saja.
Persoalan inilah yang membuat Siau Ho-ya risau bercampur
marah. Manusia semacam Leng-hiat Kwan-Im saja tak tega
membunuh Siau Lui, hal ini membuktikan posisi Siau Lui dalam
perasaan Jian-jian memang sangat istimewa.
Siau Ho-ya belum pernah merasakan risau atau gundah
pikirannya. Tapi sekarang dia mulai risau, mulai gundah
pikirannya. Jian-jian sudah tidak menundukkan kepalanya. Paras
mukanya mulai bersinar, senyum manis bagai datangnya
musim semi selalu tersungging menghiasi bibirnya.
Kini, bukan saja dia akan mengubah nasib sendiri, juga
berusaha menguasahi nasib orang lain, tak dipungkiri
semuanya ini akan menjadi satu kenyataan.
Siau Ho-ya sudah berada dalam cengkeramannya.
0o0 Malam semakin kelam, keheningan mencekam seluruh
distrik Thiat-say-cu Oh-tong.
Di ruang tengah piaukiok, Liong Su dan Ouyang Ci sedang
duduk berhadapan sambil minum arak. Paras muka mereka
berdua kelihatan sangat serius, arak yang sedang diteguknya
sekarang entah dipakai untuk membangkitkan keberanian atau
justru untuk menghilangkan semua kemurungan hati.
Beberapa orang pengawal bertubuh kekar berdiri berjajar di
sisi ruangan, semuanya menggembol senjata. Barisan
pertempuran telah dipersiapkan, semuanya ini menambah
tegang dan seriusnya keadaan di situ.
Cho Piau, congkoan dari perusahaan ekspedisi itu berjalan
masuk ke dalam ruangan dengan langkah terburu-buru,
setelah memberi hormat katanya, "Cong-piautau, semua
perintahmu telah dilaksanakan!"
"Masih tersisa berapa orang di sini?" tanya Liong Su sambil
menundukkan kepalanya. "Kecuali berapa puluh orang sanak-keluarga, yang lain rela
tetap tinggal di sini."
199 "Sudah kau terangkan situasi yang sedang kita hadapi?"
"Sudah, dan mereka ikhlas mati-hidup bersama Congpiautau!"
sahut Cho Piau penuh semangat.
"Bagus!" Tiba-tiba dia bangkit diri, setelah menyapu sekejap wajah
semua yang hadir dalam ruang tengah, katanya sambil
menghela napas panjang, "Hei...! Walaupun aku tahu, saudara
sekalian tetap di sini karena dasar niat baik, tapi aku... aku tak
tega menyusahkan kalian semua..."
"Brakkk!" tiba tiba Ouyang Ci menggebrak meja dengan
penuh emosi. "Hiat-yu-bun telah muncul di depan pintu rumah
kita, paling-paling kita beradu nyawa dengan mereka! Malam
ini kita harus membuat satu penyelesaian yang tuntas!"
Liong Su mengerutkan dahi, setelah termenung sejenak
katanya lagi, "Malam ini Hiat-yu-bun datang menyerang
secara tiba-tiba, aku rasa Oui Hui Thiat Cing dan Gong Kong,
tiga piautau kita tak sempat balik kemari, dengan andalkan
kita berdua untuk mengatasi situasi pada malam ini, aku
rasa..." Dia memang sudah tua, semua kegagahan dan
keberaniannya di masa lampau telah mulai surut.
Ouyang Ci sangat memahami maksudnya, ia berbicara
begitu bukan untuk menutupi kelemahan sendiri, tapi dia tak
tega membiarkan anak buahnya yang begitu setia mengalami
nasib yang sangat tragis.
Semua orang dalam sungai telaga cukup paham dengan
sepak terjang Hiat-yu-bun, Perguruan Banjir Darah itu. Tahu
betapa kejam dan telengasnya perbuatan mereka.
Ouyang Ci tidak bicara lagi, ia angkat cawannya dan
meneguk habis isinya. Keheningan yang luar biasa kembali mencekam seluruh
gedung... tiba-tiba terdengar beberapa kali jeritan ngeri yang
menyayat hati berkumandang dari luar halaman.
"Mereka datang!" seru Liong Su dengan wajah berubah.
Seorang pengawal buru-buru berlari mendekat sambil
menyodorkan sebuah tombak sepanjang satu koma empat
200 kaki. Baru saja ia menerima tombak tersebut, Ouyang Ci
sambil menggetarkan cambuk hitamnya telah meluncur keluar
dari ruangan. "Ouyang..." Liong Su berteriak cemas.
Tapi dia tidak mencegahnya lebih lanjut.
Dengan satu gerakan yang sangat cepat Ouyang Ci
melompat ke dalam halaman. Di situ dua puluhan orang
pengawal telah terlibat dalam satu pertempuran sengit,
beberapa orang di antaranya telah terkapar bermandikan
darah. Tampaknya mereka sudah keteteran dan tak sanggup
membendung serbuan dua orang musuhnya
Kedua orang penyerang itu bukan lain adalah si Payung
dan si Golok dari Neraka, Giam-lo San dan Giam-loTo.
Mereka sedang menyerbu ke arah ruang tengah dengan
garangnya. Ouyang Ci segera menghadang, ruyung hitamnya
digetarkan kuat kuat mengancam wajah Giam-lo To.
Bagaikan seekor ular berbisa, ruyung hitam itu langsung
menyambar ke depan dan berubah menusuk tubuh lawan.
Giam-lo To buru-buru mengayunkan senjatanya menangkis,
ketika kedua buah senjata itu saling membentur, segera
terdengarlah suara benturan yang amat nyaring.
Menggunakan peluang tersebut, Giam-lo San merangsek ke
depan, senjata payung bajanya dihantamkan ke atas kepala
Ouyang Ci. Liong Su membentak keras, tombaknya digetarkan keras
langsung menangkis datangnya hantaman payung itu.
Di tengah suara bentakan, Liong Su melancarkan berapa
kali tusukan maut dengan tombaknya, serangan yang
dilancarkan secara bertubi-tubi ini memaksa Giam-lo San
harus berkelit ke samping, otomatis ancamannya terhadap
Ouyang Ci pun segera terpatahkan.
"Liong Su!" teriak Giam-lo San sambil tertawa seram.
"Malam ini kalian pasti mampus!"
Liong Su sangat paham, mustahil pihak lawan hanya
mengirim dua orang jago untuk menumpas mereka. Kehadiran
201 orang ini jelas hanya sebagai pembukaan. Jago-jago Hiat-yubun
yang lebih tangguh pasti sudah bersembunyi di tempat
kegelapan dan menunggu peluang untuk melancarkan
serangan mematikan. Musuh yang bersembunyi di kegelapan selalu lebih
menakutkan ketimbang musuh yang telah tampil keluar,
karena bokongan adalah serangan yang sangat menakutkan.
Liong Su tidak takut menghadapi kedua orang itu, tapi dia
tak bisa menduga jagoan tangguh macam apa saja yang
masih bersembunyi dan belum tampil itu.
Tombaknya diputar semakin ketat, kali ini dia tusuk dada
Giam-loSansambilmenghardik, "Hmrnm, kalau cuma kalian
berdua mah masih ketinggalan jauh! Berapa banyak jago yang
kalian bawa kali ini, suruh mereka tampil semuanya!"
"Bunuh ayam tak perlu memakai golok penjagal kerbau,
rasakan dulu kehebatanku ini!" teriak Giam-lo San geram.
Biarpun payung baja itu kelihatan berat sekali, namun
dalam genggamannya kelihatan begitu enteng bagaikan
payung yang terbuat dari kertas biasa. Biarpun digunakan
untuk menusuk atau membabat, semua gerakan dilakukan
enteng sekali. Pertempuran sengit segera berkobar...
Tiba-tiba terdengar suara tertawa seram bergema di
seluruh angkasa. Tidak diketahui berasal darimana suara itu,
tapi tertawanya begitu menyeramkan, membuat bulu kuduk
semua orang pada berdiri.
Bersamaan dengan selesainya suara tertawa itu, terdengar
seseorang dengan suara yang sangat parau dan berat berseru,
"Aku dengar, Ngo-thian Giam-lo lima raja neraka dari lima
istana sangat tersohor di dalam dunia persilatan! Heran,
kenapa makin lama kelihatan semakin tak becus..."
"Sangat tepat perkataanmu itu," sambung suara lain yang
keras, nyaring dan penuh tenaga. "Tempo hari sudah ada tiga
orang yang pecundang, dua yang tersisa memang semakin tak
becus!" 202 Untung malam itu suasana sangat gelap sehingga wajah
Giam lo San dan Giam-lo To yang berubah jadi merah padam
bagaikan kepiting rebus tidak kelihatan jelas.
Seperti terangsang oleh ucapsn tersebut, serangan yang
dilancsrksn kedua orang itu makin gencar dan ketat. Dengan
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya mereka
meneter Liong Su dan Ouy Ci habis-habisan.
Begitu sengit jalannya pertempuran itu membuat kawanan
piausu yang lain tak berpeluang untuk melibatkan diri dalam
pertempuran, mereka hanya bersorak-sorai di pinggir
kalangan sambil memberi semangat.
"Jangan cuma nonton keramaian," kembali suara yang
parau itu berkata. "Lebih baik kita selesaikan panggung
pertarungan ini secepatnya!"
"Baik, kau duluan" Atau aku duluan?" kata suara yang
nyaring kuat itu. 'Tua muda ada urutannya, tentu saja kau harus duluan,"
seru suara parau itu sambil tertawa keras.
"Baik!" Bersamaan dengan seruan itu, tampak sesosok bayangan
hitam meluncur turun dari atas atap rumah, cepat bagaikan
sambaran seekor rajawali yang terjun dari angkasa.
Belum lagi mencapai permukaan tanah, kembali bayangan
hitam itu mengebaskan kedua ujung bajunya ke depan,
selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata segera
berhamburan di angkasa. "Mata uang pencabut nyawa..." teriak Liong Su dengan
perasaan amat kaget. Sayang peringatannya kalah cepat dengan sambaran
cahaya tajam itu, jeritan ngeri yang memilukan hati bergema
silih berganti. Dalam waktu sekejap sudah puluhan orang
piausu yang termakan senjata rahasia itu dan roboh terkapar
di tanah. Siapapun tidak mengira Hiat-yu-bun ternyata berhasil
mengundang dua tokoh senjata rahasia untuk mendukung
aksinya. Lam-chee Pak-sah (mata uang dari selatan pasir dari
203 utara) adalah dua jagoan yang sangat tangguh kepandaiannya.
Nama besar Toh-mia Kim-chee (mata uang pencabut
nyawa) Lamkiong Liong memang bukan nama kosong, ilmu
hujan bunga menyelimuti angkasa yang baru saja digunakan
sungguh mengerikan. Begitu mata uang emasnya disambit
keluar, dalam sekejap mata puluhan orang jago telah
kehilangan nyawa. Liong Su teramat gusar, darah dalam tubuhnya serasa
mendidih, dengan satu tusukan keras dia paksa Giam-lo San
untuk minggir ke samping, kemudian dengan langkah lebar
dia mendekati Lamkiong Liong, bentaknya, "Membokong orang
dengan senjata rahasia bukan termasuk kepandaian
hebat, lihat tombakku!"
Dengan kekuatan yang maha dahsyat bagai sambaran
halilintar dia tusuk dada musuhnya.
Lamkiong Liong tidak melayani tusukan itu, dengan cekatan
dia berkelit kesamping kemudian melejit ke atas atap rumah.
"Liong Su!" ejeknya sambil tertawa. "Pengetahuanmu
benar-benar sangat cupat, aku tidak pernah menggunakan
amgi, yang kupakai adalah..."
Liong Su benar-benar amat gusar, ia tidak memberi
kesempatan kepada musuhnya untuk menyelesaikan
perkataan itu Dengan satu lompatan, ia mengejar ke atas atap


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah sambil melancarkan sebuah serangan maut.
Baru saja telapak kakinya menempel di atas wuwungan
rumah, mendadak terasa ada segulung sambaran angin tajam
mengancam tiba dari samping, di tengah hembusan angin
yang sangat tajam itu terselip segumpal pasir besi yang
mengerikan. Si mata uang dari selatan Lam-chee dan si pasir dari utara
Pak-sah benar-benar merupakan jagoan yang sangat tangguh.
Kerja sama mereka luar biasa bahkan saling menutupi
kelemahan lawan. Orang yang baru saja melancarkan serangan maut itu tak
lain adalah Tok-sah-jiu (si tangan pasir beracun) Gui Ki.
204 Dengan perasaan terkesiap buru-buru Liong Su melompat
mundur ke belakang berusaha menghindarkan diri, sayang keadaan
sudah terlambat, tiba-tiba wajahnya terasa amat sakit
hingga merasuk ke tulang sumsum, belum sadar apa yang
terjadi, tubuhnya sudah roboh terjungkal ke bawah.
"Su-ya..." jerit Ouyang Ci dengan perasaan terkesiap.
Mengetahui saudara angkatnya terluka parah, buru-buru
Ouyang Ci bergeser ke samping dan berusaha memberi
pertolongan. Sayang tindakannya ini membuat perhatiannya
terpecah, menggunakan kesempatan yang sangat baik ini
Giam-lo To mengayunkan senjata cepat-cepat, dengan satu
tebasan kilat dia bacok lengan kanannya yang memegang
ruyung itu hingga terkurung menjadi dua bagian.
Ouyang Ci seperti tidak merasa kesakitan, bahkan ia tidak
sadar kalau lengannya telah terbabat kutung. Menunggu
sampai ia tiba di samping Liong Su dan berniat membopong
tubuhnya, ia baru terkesiap karena bukan saja tangannya tak
bisa digunakan lagi, bahkan badannya jadi sempoyongan.
Tak ampun kedua orang itu bertumbukan satu dengan
lainnya lalu jatuh berguling di atas tanali.
Lam-chee Pak-sah segera memanfaatkan peluang itu
dengan sebaik-baiknya, bagaikan sampiran kilat cepatnya
mereka berdua menyerbu ke tengah gerobolan manusia,
tanpa memberi ampun lagi mereka tebarkan mata uang
pencabut nyawa serta pasir beracunnya ke tengah kawanan
piausu itu. Jeritan ngeri yang memilukan hati bergema silih berganti,
satu per satu kawanan piauwsu itu roboh bergelimpangan ke
atas tanah. Giam-lo To tidak tidak diam, ia langsung menyerbu ke
tengah gedung, sementara Giam-lo San mendekati liong Su
dan Ouyang Ci, dengan gerakan cepat dia ayunkan payungnya
menghantam batok kepala kedua orang itu.
Di saat yang kritis itulah, mendadak tampak sesosok
bayangan manusia berkelebat lewat dari luar tembok
pekarangan dan langsung mendekati arena pertempuran.
205 Gerakan orang itu sudah bukan nekad lagi, lebih tepat
kalau dibilang sudah tak menggubris keselamatan jiwa sendiri.
Tanpa ambil perduli ancaman maut yang datang dari payung
maut tersebut, ia menerkam Giam-lo San dengan satu
terjangan keras. Giam-lo San jadi gelagapan, dia tak mengira musuhnya
begitu nekad. Dalam kaget danbingungnya ia tak sanggup
menghindarkan diri, badannya segera tertumbuk secara telak
Benturan itu betul-betul sangat keras, kedua orang itu
segera terpental dan mundur sempoyongan. Begitu
mendadaknya kejadian ini, Giam-lo San sampai tak sempat
melihat jelas wajah lawannya, meski begitu, ia bisa menebak
siapa gerangan orang itu.
Seumur hidup, Giam-lo San hanya pernah satu kali bertemu
dengan orang senekad ini, orang itu tak lain adalah Siau Lui.
Dugaannya memang tak meleset, orang itu adalah Siau Lui.
Ketika berhasil menerjang tubuh Giam-lo San hingga terpental
mundur, kembali ia menyelinap maju dua langkah, lalu dengan
kecepatan bagai kilat ia cengkeram pergelangan tangan
lawan. Dengan perasaan ngeri bercampur seram buru-buru Giamlo
San melompat mundur melepaskan diri dari ancaman,
teriaknya keras, "Dia adalah Liong Ngo!"
Buru-buru Lamkiong Liong dan Gui Ki membalikkan
tubuhnya hingga bersama Giam-lo San berbentuk posisi
segitiga dan mengepung Siau Lui di tengah arena.
Tahu kalau kedua orang rekannya sudah mulai bertindak,
keberanian Giam-lo San tumbuh kembali. Ia tarik napas
panjang lalu sambil tertawa seram teriaknya, "Liong Ngo,
tepat sekali kedatanganmu kali ini! Kami jadi tak perlu repotrepot
pergi mencarimu!" Sementara itu Siau Lui sudah mengetahui kondisi Liong Su
serta Ouyang Ci yang terluka parah dan roboh terkapar di
tanah, hatinya terasa amat sakit bagaikan diiris-iris. Apa mau
dikata ia tak punya kesempatan lagi untuk menolong mereka.
206 Kini, musuh tangguh berada didepan mata. Kecuali beradu
jiwa, dia sudah tak punya pilihan lain.
Untung saja selembar jiwa yang dimilikinya sekarang sudah
bukan menjadi miliknya lagi, bisa mati demi membela Liong Su
rasanya jauh lebih bernilai ketimbang harus mati gara-gara
salah makan dua mangkuk nasi dari si perempuan berbaju
putih itu. Nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga, jika
seseorang sudah tak takut mati, maka tak ada kejadian
apapun yang lebih menakutkan lagi di dunia ini.
Siau Lui tertawa hambar, sahutnya, "Betul, mungkin
kedatanganku sedikit agak terlambat, tapi bagaimana pun
juga aku telah datang!"
Giam-lo San tidak melancarkan serangan,
iamengerdipkanmatanya ke arah Lamkiong Liong dan Gui Ki
memberi tanda, kemudian sambil melompat mundur serunya,
"Kuserahkan bocah tengik itu kepada kalian berdua!"
Gui Ki tertawa terkekeh-kekeh, katanya dengan suara
parau, "Saudara Lamkiong, kelihatannya kali ini aku harus
turun tangan duluan."
"Baik!" sahut Lamkiong Liong tertawa
Gui Ki menggerakkan bahunya siap melancarkan serangan.
Tapi belum sempat serangan dilepaskan tiba-tiba ia menjerit
kesakitan, sambil menutupi wajahnya dengan kedua belah
tangan, ia berguling guling dilantai sambil berteriak ngeri,
"Aduh mataku.... Mataku..."
Perubahan ini terjadi sangat mendadak dan sama sekali di
luar dugaan siapapun. Lamkiong Liong maupun Giam-lo San
terkesiap, untuk sesaat mereka hanya bisa saling
berpandangan dengan perasaan bingung.
Belum lagi perasaanhati mereka jadi tenang, tiba-tiba dari
atas dinding pekarangan kembali muncul sesosok bayangan
manuisia. Di tengah kegelapan malam yang mencekam
seluruh jagat tampak orang itu berbaju putih salju dia tak lain
adalah Perempuan muda berbaju putih, si Kwan Im berdarah
207 dmgm Leng-hiat Kwan Im "Apakah Leng-hiat Kwan Im yang
datang?" tegur Lamkiong Liong dengan nada terkejut.
"Tajam juga penglihatanmu'" sahut Leng-hiat Kwan-im
dengan suara menyeramkan. "Jadi kau tidak menganggapku
sebagai Ting Jan coat bukan?"
Dalam sungai telaga terdapat dua orang wanita yang
paling sulit dihadapi, mereka adalah si Leng hiat Kwan-im
serta Ting jan-coat, dan kebetulan mereka berdua sama-sama
gemar mengenakan pakaian berwarna putih.
Ketika untuk pertama kalinya Siau Lui melihat bayangan
punggung Leng-hiat Kwan-im, ia sempat mengiranya sebagai
Tingjan-coat. Tampaknya Lamkiong Liong agak segan bercampur takut
terhadap Leng-hiat Kwan-Im, tapi ia menegur juga, "Di antara
kita berdua tak pernah air sumur mengganggu air sungai,
kenapa kau turun tangan begitu keji terhadap Gui Ki?"
"Tapi kalian telah mengganggunya!" jawab Leng-hiat Kwan-
Im sambil menuding ke arah Siau Lui.
"Apa hubungannya dengan kau?"
"Hrnmm, besar sekali hubungan kami!" dengus Leng-hiat
Kwan-Im. Siau Lui tak ingin menerima kebaikan hatinya, bahkan tak
berani menerima kebaikan perempuan semacam ini. Ting Jancoat
yang pernah dijumpai sudah cukup membuatnya pusing
kepala, dia tak ingin berjumpa lagi dengan Ting Jan-coat
kedua. Tak tahan Siau Lui menghela napas panjang, katanya,
"Kenapa sih kau terus menerus membuntutiku...?"
Dalam pada itu Giam-lo San sudah tak bisa menahan diri
lagi, menggunakan kesempatan di saat Leng-hiat Kwan-Im
sedang berbicara dan bercabang perhatiannya, mendadak ia
menerjang ke muka sambil melancarkan sebuah serangan
maut dengan senjatanya. Leng-hiat Kwan-Im sama sekali tidak bergerak, dia cuma
me-nyentilkan jari tangannya ke depan, dua titik cahaya tajam
segera meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.
208 Senjata payung baja milik Giam-lo San ini memang khusus
dibuat untuk mematahkan pelbagai serangan senjata rahasia.
Sayang musuh yang dihadapinya malam ini adalah seorang
jagoan yang sangat tangguh macam Leng-hiat Kwan-Im,
senjata andalannya jadi sama sekali tak berfaedah.
Seandainya dia tidak terburu napsu ingin memetik
keuntungan dari keteledoran lawannya, mungkin nasib tragis
tak akan menimpa dirinya. Belum sempat ia melihat jelas
datangnya cahaya berkilauan itu, tahu-tahu serangan telah
tiba di depan mata, mau berkelitpun sudah tak sempat lagi.
Terdengar ia menjerit kesakitan, tak berbeda dengan
keadaan Gui Ki, dia roboh berguling juga di atas tanah sambil
meraung-raung seperti orang gila.
Giam-lo To sangat terperanjat melihat kejadian itu,
bentaknya penuh kegusaran, "Saudara Lamkiong, apa kau
cuma datang untuk menonton keramaian?"
Di tengah bentakan nyaring, goloknya langsung diayunkan
ke tubuh Leng-hiat Kwan-Im.
Belum sempat Leng-hiat Kwan-Im melakukan sesuatu
tindakan, Siau Lui sudah turun tangan duluan, ia sambut
datangnya bacokan golok itu dengan terjangan kalap.
Biarpun cahaya golok berkilauan memenuhi angkasa, Siau
Lui sama sekali tak dibuat jeri, ia malah menyeruduk makin
nekad. Sekalipun ia sudah tak memikirkan keselatan sendiri, bukan
berarti anak muda itu rela badannya dicincang semaunya oleh
pihak lawan. Dia berkelit ke samping meloloskan diri dari
ancaman itu kemudian sambil memutar tubuh, sepasang
tanganya direntangkan dan langsung memeluk tubuh Giam-lo
To erat-erat. Apa yang dilakukannya sekarang sama-sekali tidak mirip
pertarungan antar jagoan tangguh, caranya bergulat tak
berbeda jauh dengan pertarungan dua orang kasar yang tak
punya kemampuan apa-apa. Rangkulan Siau Lui makin lama semakin mengencang,
jepitan kedua lengannya tak berbeda dengan jepitan besi,
209 begitu kuat dan kencangnya dia memeluk sehingga nyaris
membuat Giam-lo To tak dapat bernapas.
Lamkiong Liong masih berdiri terpaku dengan pandangan
bodoh, diam-diam ia melirik terus ke arah Leng-hiat Kwan-Im,
agaknya kehadiran perempuan berbaju putih itu membuatnya
segan dan takut untuk berbuat seenak sendiri.
Siau Lui semakin mengencang kan pelukannya, kini paras
muka Giam-lo To telah berubah merah padam, otot wajahnya
sudah pula menonjol keluar, bagaimana pun ia coba untuk
meronta, usahanya selalu tidak membuahkan hasil.
Pada saat itulah tiba-tiba dan atas dinding pekarangan
muncul lagi belasan sosok bayangan manusia. Leng-hiat
Kwan-im segera berpaling tapi kemudian wajahnya nampak
sangat terkejut. Siapapun tak akan menyangka dan percaya kalau seorang
wanita ganas macam Leng-hiat Kwan im berdarah dingin bisa
memperlihatkan rasa kaget dan terkesiap yang luar biasa
seperti saat ini. Walaupun malam itu suasana amat gelap, namun dengan
ketajaman matanya, dalam sekilas pandang saja ia sudah
mengenal bahwa kawanan manusia berbaju tengkorak ini tak
lain adalah para pengawal dari Hiat-yu-bun.
Dandanan kawanan jago itu memang sangat aneh, selain
mengenakan pakaian ketat berwarna hitam yang ditempeli
lukisan tengkorak putih. Wajah mereka rata-rata mengenakan
juga topeng tengkorak manusia sehingga kalau dilihat dalam
kegelapan, kemunculan mereka tak ubahnya seperti
kemunculan kawanan tengkorak dari dalam liang kubur,
membuat siapa pun yang melihat jadi bergidik dan bulu
kuduknya pada bangun berdiri.
Tak ada yang menyangka kalau ketua dari Hiat-yu-bun,
Suto Ling bakal tampil sendiri pada malam ini.
Menggunakan kesempatan di saat perempuan itu terkesiap,
Lamkiong Liong segera mengebut-kan sepasang tangannya ke
depan. Duabelas batang mata uang pencabut nyawa dengan
210 memancarkan cahaya keemas-emasan langsung menyebar ke
depan. Leng-hiat Kwan-im terkesiap. Menunggu ia sadar
datangnya ancaman dan berusaha menghindar ke samping,
keadaan sudah terlambat. Di saat yang amat kritis itulah... tiba-tiba Siau Lui
melemparkan tubuh Giam-lo To yang berada dalam
cengkeramannya ke arah datangnya sambitan senjata rahasia
itu. Rupanya dia telah menggunakan tubuh lawannya sebagai
perisai untuk menahan datangnya ancaman.
Duabelas batang mata uang emas serentak menghajar
sekujur tubuh Giam-lo To.
Waktu itu Giam-lo To sudah berada dalam keadaan pingsan
lantaran kesakitan dicengkeram Siau Lui, maka meskipun
sekujur badannya sudah dihajar duabelas buah mata uang
emas, ia sama sekali tidak memperlihatkan rasa kesakitan,
bahkan tak sempat menjerit ngeri lagi tubuhnya roboh
terkapar di tanah dan menemui ajarnya. Satu cara kematian


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat enak baginya.
Leng-hiat Kwan-im teramat gusar, walaupun rasa kaget
belum lenyap dari perasaan hatinya, dengan sorot mata yang
menggidikkan hati ia tatap wajah Lamkiong Liong lekat-lekat,
tegurnya dengan suara menyeramkan, "Kau mengerti aturan
tidak?" Lamkiong Liong terkesiap, ia merasa hawa dingin yang
menggidikkan hati muncul dari atas kepalanya dan menjalar
hingga ke ujung kaki. Sambil tertawa getir ia segera bersiap-sedia adu nyawa. Ia
tahu perempuan berbaju putih itu telah dibuat gusar oleh
bokongannya, serangan yang bakal dilancarkan sudah pasti
sangat mematikan. Pada saat itulah, dari atas dinding pekarangan kembali
terdengar seseorang berteriak keras, "Apakah orang dari
marga Lui itu sudah mampus?"
"Aku masih segar bugar!" jawab Siau Lui sambil
mendengus. 211 "Lamkiong Liong!" terdengar orang di atas dinding
pekarangan itu berseru lagi, "Ketua ada perintah, lepaskan
orang she Lui itu!" Pucuk dicinta ulam tiba, memang itulah yang diharapkan
Lamkiong Liong dalam kondisi seperti ini, cepat-cepat ia soja
ke hadapan Leng-hiat Kwan-im, lalu serunya, "Maaf kalau aku
tak akan melayani lagi!"
Begitu selesai berkata, tubuhnya segera melejit ke udara
dan kabur meninggalkan tempat itu.
"Hmm, tak segampang itu!" hardik Leng-hiat Kwan-Im.
Di tengah bentakan keras, dia ayunkan tangannya
berulang-kali melepaskan beberapa batang jarum beracun ke
tubuh lawan. Lamkiong Liong terperanjat, merasa gelagat tidak
menguntungkan, buru-buru ia berusaha berkelit ke samping.
Sayang usahanya tidak membuahkan hasil, belum lagi
badannya menghindar dari ancaman tersebut, tahu-tahu
berapa batang jarum beracun itu sudah menghajar di atas
tubuhnya. Diiringi jerit kesakitan yang memilukan hati, tubuhnya
langsung roboh terjungkal ke tanah dan jatuh di luar pagar
pekarangan. Leng-hiat Kwan-Im tahu, belasan orang berpakaian
tengkorak itu pasti akan mengeroyok nya, cepat-cepat ia
memperkuat kuda-kudanya dan bersiap sedia.
Di luar dugaan, kawanan tengkorak itu sama sekali tidak
melakukan tindakan apapun, malahan mereka segera
membalikkan badan dan ngeloyor pergi dari arena
pertarungan. Diluar gedung ThiatSay-cu Oh tong, di balik kegelapan
malam yang mencekam, tampak dua orang manusia berdiri
saling berhadapan Kedua orang itu berdiri dengan santai, tidak
memperlihatkan sesuatu gerakan pun.
Belasan orang berdandan tengkorak itu langsung berlari
menghampiri kedua orang itu, salah seorang di antara
212 rombongan tadi segera memberi hormat sambil berkata,
"Lapor ketua, orang dari marga Lui itu masih hidup!"
Ternyata salah seorang diantara dua orang dalam
kegelapan itu adalah Suto Ling, ketua dari Perguruan Hiat-yubun.
"Bagus!" terdengar Suto Ling tertawa. "Berarti jual-beli ini
bisa dilanjutkan!" "Baik," kata orang yang lain dalam kegelapan itu. "Dalam
tiga hari, aku akan mengutus orang untuk mempersembahkan
penggaris mestika Giok-ji-gi ke tanganmu."
"Baik, transaksi dilanjut!"
Tanpa memperdulikan nasib anak-buahnya lagi orang itu
segera membawa serta para pengawalnya berlalu
meninggalkan tempat itu. Dalam kegelapan, kini tinggal satu
orang yang masih berdiri menanti.
Tak lama kemudian Leng-hiat Kwan-Im muncul dari balik
gedung, orang itu segera menyambutnya dan bertanya
dengan tak sabar, "Orang she Lui itu benar-benar belum
mati?" "Dia tak bakal mati," jawab Leng-hiat Kwan-im. "Tapi...
hingga kini aku masih tak habis mengerti, dengan cara apa
kau berhasil membujuk SutoLing...?"
"Kami telah melakukan satu transaksi jual-beli," jawab
orang itu santai. "Transaksi apa?"
"Dengan Penggaris mestika Giok-ji-gi milik keluarga kami,
ditukar dengan selembar nyawa orang she Lui itu."
"Oh" Apa kau tidak menganggap nilai transaksi ini kelewat
mahal" Ehrnm... Rasanya dia sendiri pun tak akan mengira
kalau nilai dari selembar nyawanya ternyata begitu mahal!"
"Tapi tidak mahal bagiku!" tukas orang itu cepat.
Dari balik kegelapan malam muncul sebuah kereta mewah,
dua orang itu segera naik ke dalam kereta dan pergi
meninggalkan tempat itu. Malam semakin kelam...suasana pun makin hening dan
sepi... 213 Malam semakin hening... dua-tiga puluh sosok mayat
manusia roboh bergelimpangan memenuhi seluruh lantai
gedung perusahaan ekspedisi itu. Yang hidup tinggal tak
seberapa. Kondisi Liong Su sudah amat parah, ia dalam keadaan
sekarat, napasnya sangat lirih dan tinggal satu-dua....
Ouyang Ci telah kehilangan sebelah lengannya, meski
begitu ia masih terhitung sangat beruntung karena nyawanya
tidak ikut lenyap. Kini ia sudah memaksakan diri untuk duduk
di lantai. Dengan air mata bercucuran Siau Lui berjongkok di
samping Liong Su, bisiknya lirih, "Aku datang terlambat... aku
datang terlambat..."
Napas Liong Su sudah sangat lemah, tapi senyum kepuasan
menghiasi wajahnya, katanya perlahan, "Bagaimana pun juga,
kau telah datang kemari... Kehadiranmu sudah membuat
hatiku sangat puas!"
"Aku seharusnya datang sehari lebih awal," bisik Siau Lui
penuh rasa menyesal. "Seandainya aku datang sehari lebih
awal... Atau bahkan satu jam lebih awal..."
"Saudaraku," tukas Liong Su sambil tertawa getir, "asal kau
punya ingatan untuk datang mencariku, sekalipun kau baru
muncul setelah kematianku, kau tetap telah datang...
bukankah kita adalah dua bersaudara yang sejati?"
"Benar, benar..." Siau Lui mengangguk, "kau adalah Liong
Su, aku adalah Liong Ngo..."
Liong Su tertawa tergelak.
"Betul! Kita adalah dua bersaudara sejati, hahahaha..."
Gelak tertawanya makin lama semakin melemah dan
akhirnya berhenti, berhenti untuk selamanya.
Liong Su telah meninggal, ia mati dengan perasaan hati
yang sangat tenteram, sekulum senyuman masih sempat
tersungging di ujung bibirnya.
Siau Lui tak sanggup menahan diri lagi, ia peluk jenasah
Liong Su dan teriaknya penuh kesedihan, "Kakak..."
214 Ouyang Ci tidak malu menjadi seorang lelaki berhati baja,
tak setetes air mata pun yang membasahi matanya, dengan
suara yang sangat tenang katanya, "Saudara Lui, Suya tak
salah bersahabat dengan kau, sekarang ia sudah memiliki
saudara sejati macam dirimu, biar harus mati pun dia akan
mati dengan mata terpejam."
"Mereka adalah orang-orang Hiat-yu-bun?" tiba tiba Siau
Lui bertanya. Ouyang Ci tidak menjawab, dia hanya mengangguk.
"Baik!" seru Siau Lui penuh emosi, "aku pasti akan mencari
mereka untuk membuat perhitungan!"
"Jangan!" sela Ouyang Ci gelisah. "Kau tak perlu mencari
mereka. Suya sudah banyak hari menunggu kedatanganmu,
dia berharap kau bisa datang segera karena dia ingin
memberitahukan berita tentang seseorang..."
"Siapa" Berita tentang Jian jian?" potong Siau Lui tak
sabaran. Ouyang Ci menggeleng. "Orang itu pernah datang kemari dan berusaha mencari
berita tentang kau, selain itu ada pula seorang wanita yang
melakukan hal yang sama, wanita itu tak lain adalah
perempuan berbaju putih itu."
"Dia?" "Bukan dia yang diharapkan Suya untuk kau jumpai?"
"Lalu siapakah orang itu?"
"Siau Ho-ya!" "Oh" Kenapa dia suruh aku bertemu dengan orang ini?"
Siau Lui bertanya keheranan, dia tak habis mengerti.
Kembali Ouyang Ci menggeleng. Dia cuma teringat sewaktu
Siau Ho-ya datang mengunjungi Liong Su, sebelum pergi
meninggalkan tempat ini, dia sempat berpesan, "Jika orang
she Lui itu datang kemari, jangan lupa sampaikan kepadanya,
suruh dia datang menemui aku!"
Kenapa Siau Ho-ya pingin bertemu dengan Siau Lui"
Jangankan orang lain, bahkan Liong Su sendiripun tidak tahu,
apalagi Ouyang Ci... 215 Tapi ada satu hal yang mereka ketahui dengan jelas, Siau
Ho-ya adalah orang yang pantas menjadi sahabat, tapi
teramat sulit untuk menjadi sahabatnya.
Dalam dunia ini, yang paling mahal dan paling berharga
bukanlah cinta kasih, melainkan persahabatan... persahabatan
yang tulus dan sejati. Teman sejati tidak banyak jumlahnya, asal bisa mendapat
satu-dua orang saja, biar harus matipun akan mati dengan
mata terpejam. Oleh sebab itu Liong Su merasa sangat puas
karena dia dapat bersahabat dengan Siau Lui.
Sekarang, dia berharap Siau Lui dapa tberjumpa dengan
Siau Ho-ya. Mungkin dia anggap mereka pun bisa menjalin
hubungan persahabatan yang tulus dan sejati.
Dengan perasaan yang amat sedih dan duka Siau Lui
membantu Ouyang Ci membereskan semua persoalan yang
ada di perusahaan ekspedisi itu,sejak itu mereka berdua
menjadi sahabat yang sangat akrab.
Tiba-tiba Ouyang Ci teringat akan satu persoalan, mengapa
pada malam itu Suto Ling menarik kembali pasukannya di saat
yang paling kritis dan melepaskan Siau Lui"
Siau Lui sendiri tak tahu jawabannya.
Selama dua hari terakhir, kondisi perasaan mereka berdua
sangat buruk, mereka masih diliputi perasaan duka yang
sangat mendalam, karenanya pemuda itu tak ingin terburuburu
menjumpai Siau Ho-ya. Dalam kondisi seperti inilah tiba-tiba Siau Ho-ya mengutus
orang mengirim surat undangan, dia mengundang Siau Lui
untuk berkunjung ke rumahnya.
Untuk berapa saat Siau Lui merasa sangat bimbang dan tak
dapat mengambil keputusan, dia coba meminta pendapat
Ouyang Ci. "Aku akan menemanimu kesana!" jawab Ouyang Ci segera.
Siau Lui takbisa menampik lagi. Walaupun dia segan untuk
berkenalan dengan Siau Ho-ya, tapi Liong Su sangat berharap
ia dapat menjumpai orang tersebut, karena itu mau tak mau
dia harus pergi juga. 216 Ketika mereka berdua muncul di depan gedung raja muda,
Siau Ho-ya yang mendapat laporan segera muncul sendiri
untuk menyambut kedatangan mereka.
Kesan pertama yang timbul dalam benak Siau Lui tentang
Siau Ho-ya adalah orang ini tidak sombong, tidak jumawa dan
tidak sok berkuasa. Dalam bayangannya semula, Siau Ho-ya tentu seorang
lelaki yang congkak dan amat jumawa, dia pasti seorang mata
keranjang yang suka main perempuan. Ternyata apa yang
diduganya salah besar. Siau Ho-ya memperlakukan dia bagaikan tamu agung,
malahan khusus menyiapkan pesta yang sangat mewah untuk
menyambut kedatangan mereka.
Setelah tiga putaran arak, tiba tiba Siau Ho-ya berkata,
"Besok adalah hari pernikahan siaute, apakah kalian berdua
sudi memberi muka untuk ikut hadir?"
Siau Lui saling bertukar pandangan dengan Ouyang Ci, lalu
jawabnya, "Malam ini juga aku harus pergi dari sini."
"Tidak bisa menginap dulu barang satu-dua hari?"
Kembali Siau Lui menggeleng.
Buru-buru Ouyang Ci menimpali, "Dia terburu-buru karena
harus mencari seseorang..."
"Masa tak bisa ditunda satu-dua hari saja?" tanya Siau Hoya
sambil tertawa. Kembali Siau Lui menggeleng.
Ouyang Ci menyambung, "Jika sudah tahu jejaknya, biar
ditunda satu-dua jam pun dia tak mau."
"Kini, kalian toh belum lalui kabar beritanya, apa salahnya
jika ditunda satu-dua hari saja" Sam lara Lui, jika kau tak
keberatan, tolong beri muka kepadaku, pergilah setelah
menikmati arak kegeringan siaute esok."
Didesak secara berulang kali Siau Lui merasa sungkan
untuk menolak lagi, maka dia pun menyanggupi secara
terpaksa 217 Siau Ho-ya tidak menunjukkan perubahan wajah apa pun,
sementara dihati kecilnya ia tertawa, inilah keputusan paling
penting yang telah ia lakukan
Walaupun dia sadar, tindakan yang diambilnya saat ini
merupakan keputusan yang bodoh, bah kan bisa-bisa purapura
jadi sungguhan tapi dia memerlukan percobaan semacam
ini, satu percobaan yang maha penting baginya.
Dia adalah seorang lelaki yang kelewat percaya diri, dia
perlu membuktikan satu hal, membukti kan kalau Jian-jian
akan menjadi miliknya untuk selamanya
0o0 Sejak pagi hari suasana sibuk telah mencekam setiap
anggota gedung raja muda itu, hiasan-hiasan mulai
bermunculan disana sini dari jarak berapa li suasana


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegembiraan pun menyelimuti wajah setiap orang.
Jian-jian masih menundukkan kepalanya. Dia tak bisa
menjawab perasaan hatinya saat ini sedang gembira atau
risau, tapi yang pasti banyak permasalahan yang menindih
pikirannya. Akhirnya dia telah mengambil keputusan untuk
merubah nasib hidupnya, apa yang diinginkan dan diharapkan
dalam waktu singkat akan menjadi kenyataan.
Hari ini, dia akan menjadi istrinya Siau Ho-ya, tapi perasaan
bimbang masih menyelimuti pikirannya. Apa yang dikatakan
Kim-cwan sangat tepat, dalam hidupnya kini hanya satu orang
yang benar-benar dicintai, orang itu adalah Siau Lui.
Siau Ho-ya mengawasi gadis itu lama sekali, kemudian baru
panggilnya, 'Jian-jian!"
Jian-jian terkejut, dia angkat kepalanya dan tersenyum,
tanyanya, "Sejak kapan kau masuk kemari?"
"Jian-jian!" tanya Siau Ho-ya sambil menepuk bahunya
perlahan, "apa yang sedang kau pikirkan" Apakah sedang
membayangkan orang she Lui itu?"
Agak berubah paras muka Jian-jian. Tapi segera jawabnya,
"Aku toh sudah beritahu kepadamu, sudah lama aku
melupakan orang ini!"
"Sungguh?" 218 "Kalau aku belum mengambil keputusan tersebut, tak
mungkin kuceritakan semua kisahku kepadamu."
"Aku percaya kepadamu," kata SiauHo-ya tertawa, "aku
hanya ingin tahu, seandainya suatu hari kau bertemu lagi
dengannya, apa yang akan kau lakukan?"
"Selama hidup aku tak ingin berjumpa lagi dengannya,"
tegas Jian-jian penuh rasa dendam.
"Bagaimana kalu seandainya benar-benar bertatap muka?"
Siau Ho-ya mendesak lebih jauh.
"Aku akan menganggapnya sebagai orang asing, orang
yang tidak kukenal!" jawaban Jian-jian sangat tegas, sama
sekali tidak ragu. Siau Ho-ya tersenyum puas, senyum puas yang benarbenar
timbul dari lubuk harinya.
"Mengapa secara tiba-tiba kau ajukan pertanyaan ini
kepadaku?" tiba-tiba Jian-jian bertanya.
"Mungkin aku hanya ingin tahu saja..."
Jian-jian tersenyum, kembali ia tundukkan kepalanya.
Setengah tahun berselang, Tuan Ho mendapat perintah
dari kaisar untuk berangkat ke kota raja memangku jabatan
tinggi, kini Siau Ho-ya adalah tuan rumah ditempat ini.
Tanpa menunggu kehadiran kedua orang tuanya, Siau Hoya
sudah buru-buru melangsungkan pernikahannya, tentu saja
dia berbuat begini karena ada kesulitan yang tak mungkin
dijelaskan kepada orang. Masih untung dia adalah anak
tunggal sehingga apapun yang dia lakukan, dikemudian hari
masih cukup waktu baginya untuk memberi penjelasan.
Hari ini, dia tidak mengundang sanak-keluarga serta
kerabat dekatnya, yang diundang hampir semuanya adalah
jagoan dari dunia persilatan dan tokoh-tokoh sungai telaga.
Baru hari ini surat undangan disebar, tapi kawanan jago itu
sudah berdatangan secara berduyun-duyun
Siau Ho-ya memang punya hobi berkenalan dengan orangorang
persilatan, persis seperti kesenangan orang lain dalam
bermain judi, minum arak atau bahkan bermain perempuan.
219 Siau Lui tak pernah mau ingkar janji, karena ia sudah
menyanggupi Siau Ho-ya untuk menghadiri pernikahanya,
maka dia ikut muncul di situ.
Ouyang Ci tidak ikut hadir, sedikit banyak dia termasuk
seorang piauwsu kenamaan, tentu saja dia tak ingin
kehilangan muka di depan para jagoan dari sungai telaga, dia
tak ingin orang lain tahu kalau sekarang dia telah menjadi
seorang panglima perang berlengan satu.
Tamu undangan datang secara berduyun-duyun, banyak
sekali yang telah hadir di gedung itu, suasana tampak sangat
ramai dan meriah. Siau Lui tidak kenal dengan mereka, dia pun enggan
berkenalan dengan orang-orang persilatan, seorang diri ia
duduk di sudut ruangan sambil minum arak. Dia berencana
selesai minum dia akan segera pergi dari situ.
Waktu itu Siau Ho-ya sedang sibuk melayani tamutamunya,
tampaknya dia belum tahu kalau Siau Lui telah hadir
di dalam gedung. Di tengah suasana yang hiruk pikuk dan ramai itulah, tibatiba
muncul seorang dayang menghampiri Siau Lui, kemudian
katanya, "Tuan, Siau Ho-ya mengundang anda ke halaman
belakang, dia berharap bisa bertemu empat mata dengan
tuan." Siau Lui tidak banyak bicara, dia mengangguk dan segera
membuntuti dayang itu menuju ke halaman belakang.
Dayang itu mengantar Siau Lui sampai di muka pintu
sebuah bangunan, lalu katanya:
"Lui kongcu, harap tunggu sebentar, Siau Ho-ya segera
akan datang." Siau Lui meneruskan langkahnya masuk ke dalam ruangan,
ternyata dia berada di dalam kamar pengantin, di atas
pembaringan duduk seorang wanita yang berdandan sebagai
pengantin, ia duduk dengan kepala tertunduk.
Siau Lui tertegun, cepat-cepat dia berusaha keluar dari
kamar itu. 220 Saat itulah tiba-tiba perempuan itu mendongakkan
kepalanya, ia masih mengenakan cadar pengantinnya.
Walau hanya samar-samar tapi Siau Lui segera merasa
bahwa wajah itu sangat dikenalnya, wajah itu adalah wajah
Jian-jian... perempuan yang mimpi pun tak pernah dilupakan
olehnya. Tentu saja Jian-jian pun mengenalnya, mengenali orang
yang sedang berdiri termangu di hadapannya adalah Siau Lui.
Mereka berdua sama-sama tertegun, melongo.
'Jian-jian.. ."dengan emosi yang meluap dan tak tertahan
Siau Lui berteriak keras.
"Kau..." Jian-jian tidak melanjutkan perkataannya, kembali
ia tertunduk, sementara air mata jatuh bercucuran.
Mendadak terdengar suara batuk ringan menyadarkan
mereka berdua dari lamunan, serentak mereka berpaling ke
arah pintu ruangan, ternyata yang muncul adalah Siau Ho-ya.
"Apakah orang ini yang sedang kau cari?" tegur Siau Ho-ya
tanpa menunjukkan perubahan wajah apapun.
Siau Lui tidak berkata, dia tak tahu apa yang harus
dikatakan, sementara Jian-jian menundukkan kepalanya makin
rendah. Terdengar Siau Ho-ya berkata lagi, "Sekarang kau telah
berjumpa dengannya, apa yang hendak kau ucapkan
kepadanya?" Siau Lui menggeleng. Ia masih terbungkam, tak tahu apa
yang harus dikatakan. Ketika ia membalikkan badan hendak pergi dari situ, tibatiba
terdengar Jian-jian berteriak, "Siau Ho-ya, kenapa kau
membawanya kemari untuk bertemu denganku?"
"Aku harus membuktikan satu hal, setelah berjumpa
dengannya apakah kau akan berubah pikiran?"
"Perasaanku terhadapnya sudah mati!" tukas Jian-jian
tegas. "Dan dia?" Siau Ho-ya menatap gadis itu tajam-tajam.
"Di dalam hatinya sama sekali tak ada aku," sahut Jian-jian
penuh rasa dendam. 221 Siau Lui menggigit bibirnya kuat-kuat, rasa sakit tidak
dirasakan pada bibirnya tapi sakit di dalam hatinya. Ia masih
membungkam dalam seribu bahasa, tetap berdiri dengan
mulut terkunci. "Sekarang kau boleh pergi," tiba tiba Siau Ho-ya berkata.
Siau Lui mengangguk, tanpa bicara ia membalikkan badan
dan berjalan keluar meninggalkan pintu kamar.
Tiba-tiba Jian-jian bangkit diri, tak tahan serunya, "Lui...
aku ingin bertanya satu hal kepadamu."
Siau Lui berhenti, tapi ia tidak berpaling.
"Mengapa kau datang mencariku?" tanya Jian-jian lagi
sambil memburu ke belakang tubuhnya.
Kali ini Siau Lui tidak berdiam diri, sahutnya, "Aku hanya
ingin beritahu satu hal kepadamu. Jika kau tidak pergi malam
itu, kau akan mengalami nasib yang sama seperti anggota
keluargaku, mati dibantai orang!"
"Apa kau bilang?" seru Jian-jian terperanjat.
"Kau hanya mengajukan satu pertanyaan kepadaku, dan
kini sudah kujawab. Persoalan yang lain buat apa ditanyakan
lagi..." Baru saja dia hendak berlalu dari situ, tiba-tiba Siau Ho-ya
berkata, "Jadi kau tergesa-gesa ingin menemukan dia,
lantaran kau ingin memberitahukan perkara ini kepadanya?"
Siau Lui mengangguk. "Aaah, belum tentu begitu" kembali Siau Ho-ya berkata,
"seandainya dia bukan akan menikah denganku pada malam
ini, apa yang kau perbuat setelah menemukan dia?"
"Aku tetap akan memberitahukan persoalan itu kepadanya,
perkataan yang tak beda dengan ucapanku sekarang."
"Oh" Kau bilang seluruh anggota keluargamu telah dibantai
habis, kenapa kau masih hidup?"
"Mungkin aku masih hidup karena ingin menemukan dia,
dan memberitahukan persoalan itu kepadanya."
Tiba-tiba Siau Ho-ya mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak. 222 "Semua ini harus salahkan dirimu sendiri, salahkan dirimu
kenapa salah memilih teman. Seandainya aku kenal denganmu
lebih dulu ketimbang perkenalanmu dengan Kim-cwan,
mungkin sampai sekarang kita masih merupakan sahabat
karib!" "Aku cuma punya seorang sahabat.. tapi dia sudah mati. Di
kemudian hari aku tak akan bersahabat dengan siapa pun,
maka kau tak usah kuatir aku bakal salah memilih sahabat
lagi" "Liong Su adalah sahabatmu?"
Siau Lui mengangguk, matanya berkaca-kaca.
Siau Ho-ya tertawa, kembali ujarnya, "Selain dia, apakah
orang yang pernah menyelamatkan jiwamu juga tak kau
anggap sebagai sahabat?"
"Nyawaku sama sekali tak ada nilainya, lagipula sejak dulu
sudah bukan menjadi milikku."
"Sama sekali takberharga" Tahu begini aku tak perlu
bersedih hati dengan mengorbankan barang pusaka milik
keluargaku, keenakan Suto Ling..."
"Apa kau bilang?" tiba tiba Siau Lui berpaling dan bertanya
dengan perasaan tercengang.
"Baik, aku akan bicara sejujurnya. Malam itu, ketika Hiatyu-
bun mencari Liong Su untuk membuat perhitungan, akulah
yang telah menukar selembar nyawamu dari tangan Suto Ling
dengan senjata penggaris Giok-ji-gi milik keluarga kami."
"Heran..." gumam Siau Lui sambil tertawa getir, "aku
sendiri sudah tidak terlalu ingin hidup terus, kenapa justru
banyak orang yang tidak membiarkan aku mati?"
"Kalau begitu pergilah mampus!" teriak Jian-jian gusar.
Siau Lui tidak berkata, dia membalikkan badan dan berjalan
keluar dari situ. Sewaktu bertemu Jian-jian tadi, sebenarnya dia ingin
menjelaskan kalau pada malam itu dia memang sengaja
mengusirnya agar gadis itu lolos dari pembantaian. Tapi
sekarang dia merasa sudah tak penting lagi untuk berbuat
begini. 223 Baru saja beranda samping dilewati, mendadak Siau Ho-ya
telah menyusul keluar dengan langkah cepat, maka dia pun
menghentikan langkahnya. "Apakah kau hendak pergi begitu saja?" tanya Siau Ho-ya
sambil menahan bahunya. "Ehmm!" "Tahu kalau nyawamu sama sekali tak ada harganya, aku
pun merasa tak perlu memakai senjata penggaris Giok-ji-gi
untuk ditukar denganmu..."
"Memang sama sekali tak perlu..." Siau Lui tertawa paksa.
Siau Ho-ya mendengus dingin.
"Hmm, untung saja Giok-ji-gi belum dihantar. Tapi aku juga
tak ingin ingkar janji, maka aku terpaksa menggunakan
nyawamu untuk dikembalikan kepadanya."
"Soal ini tak perlu kau risaukan, aku bisa menghantar diriku
sendiri." Siau Ho-ya tertawa dingin, mendadak dari balik sakunya dia
cabut keluar sebilah pisau belati, kemudian dengan garang
ditusukkan ke pinggang Siau Lui.
Cepat-cepat Siau Lui mengegos ke samping, mata pisau
yang tajam segera menyambar lewat dari sisi pinggangnya,
kulit bercampur pakaiannya segera robek memanjang dan
mengucurkan darah segar. "Kau..." teriak pemuda itu sambil menahan pergelangan
tangan lawan. Karena tangannya dicengkeram lawan, Siau Ho-ya tak
mampu melancarkan tusukan ke dua, secepat kilat dia
menggerakkan jari tangan kirinya dan langsung mengancam
tiga buah jalan darah penting di dada lawan. Serangannya
cepat lagipula telengas, sama sekali tak berbelas kasihan.
Dengan gerakan yang enteng Siau Lui berkelit ke samping
kemudian melepaskan diri dari jangkauan lawannya dan
langsung lari menuju ke tengah halaman.
Siau Ho-ya tak ingin melepaskan lawannya begitu saja, dia
turut melompat dan mengejar masuk ke tengah halaman
224 sambil bentaknya, "Hei orang she Lui, aku dengar kau tidak
takut mati. Kenapa kau melarian diri sekarang?"
"Karena aku tak ingin mati ditanganmu, aku pun tak ingin
membunuhmu!" "Oh ya?" Siau Ho-ya tertawa tergelak sambil mendesak
maju dua langkah. "Kau tak ingin membunuhku?"
"Sudah banyak kesalahan yang telah kulakukan, aku tak
ingin melakukan kesalahan sekali lagi."
"Oh ya" Kau maksudkan terhadap Jian-jian?"


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Lui tidak menjawab. Dengan hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh
wajahnya, kembali Siau Ho-ya berseru, "Kalau begitu, aku
perlu beritahu kepadamu, aku tak bisa membiarkan kau hidup
karena aku berbuat demikian juga lantaran dia!"
"Sungguh?" perasaan ragu bercampur heran menyelinap
dalam hati Siau Lui. "Malam ini, aku memang sengaja mengatur pertemuan bagi
kalian berdua, aku berbuat begini karena ingin membuktikan
sesuatu, dan sekarang aku tahu, selama kau masih hidup
maka hatinya tak bakal menjadi milikku!"
"Jika aku mati?" tanya Siau Lui setelah termenung sejenak.
"Saat itulah dia akan benar benar menjadi milikku!"
"Dan kau?" "Aku pun akan mencintainya dengan segenap jiwa ragaku!"
"Baik!" seru Siau Lui tanpa ragu lagi. "Kau boleh segera
turun tangan!" Tiba-tiba Siau Ho-ya merangsek maju ke depan, secepat
sambaran kilat ia lancarkan sebuah tusukan ke tubuh lawan.
Dalam perkiraannya, pihak lawan pasti akan berkelit dari
serangan tersebut, maka dia sengaja melancarkan serangan
tipuan dengan menusuk dada lawan
Siau Lui sama sekali tak berkelit, bergerakpun tidak, dia
biarkan pisau itu menembus dada kirinya, mata pisau hingga
tinggal gagangnya menembus ke dalam dadanya...
Secepat kilat Siau Ho-ya mencabut keluar pisaunya, darah
segar segera menyembur keluar bagaikan pancuran,
225 membasahi bajunya... menggenangi seluruh lantai... Tapi Siau
Lui tetap tak bergeming, ia berdiri kaku di tempat.
Waktu itu Siau Ho-ya sudah mempersiapkan serangan
kedua, tapi sikap lawannya segera membuat dia melengak,
tertegun dan keheran-heranan.
"Kau benar-benar tak takut mati?" serunya.
"Bisa hidup hingga hari ini sudah merupakan satu mukjijat
bagiku!" jawab Siau Lui hambar.
Siau Ho-ya telah melancarkan serangan kedua, ujung
pisaunya sedang menusuk ke atas ulu hati Siau Lui...
Saat itulah, tiba-tiba terdengar seseorang menjerit keras,
"Jangan kau bunuh dia..."
Siau Ho-ya segera menghentikan serangan, ujung pisau
masih menempel di atas ulu hati pemuda itu.
Dengan air mata bercucuran Jian-jian berlarian mendekat,
sambil berlari kembali teriaknya, "Siau Ho-ya, tolong lepaskan
dia..." "Kau tak ingin dia mati?" tegur Siau Ho-ya tanpa
menunjukkan perubahan perasaan apa pun.
"Semua masalahku telah kubeberkan kepadamu... tapi
aku... aku masih merahasiakan satu hal..." kembali Jian-jian
berseru. "Rahasia apa?" Jian-jian menunduk, setelah ragu sesaat dia baru angkat
wajahnya, agaknya gadis ini telah mengambil satu keputusan.
Setelah menarik napas panjang, katanya, "Aku... Aku telah
hamil..." "Miliknya?" tanya Siau Ho-ya sambil mengerling ke arah
Siau Lui. Jian-jian mengangguk, lagi-lagi dia menundukkan
kepalanya. Siau Ho-ya merasa sekujur badannya bergetar keras, tapi
mimik mukanya tidak menunjukkan perubahan apa pun.
Setelah tertawa hambar katanya, "Seharusnya kau ceritakan
rahasia ini sejak dulu, kenapa baru sekarang kau
mengungkapnya?" 226 "Aku... aku takut kau menolakku..."
"Lantas kenapa kau beberkan rahasia itu kepadaku
sekarang?" desak Siau Ho-ya.
Jian-jian hanya tertunduk tanpa menjawab.
"Jadi sekarang kau sudah tak ambil perduli?" teriak Siau
Ho-ya penuh emosi. Tiba-tiba Jian-jian menutupi wajahnya dan mulai menangis
tersedu-sedu. Lama... lama sekali... Akhirnya Siau Ho-ya dapat
mengendalikan diri, dia manggut-manggut sambil bergumam,
"Yaaa, mengerti aku sekarang... aku seharusnya percaya
dengan apa yang dikatakan Kim Cwan..."
Menurut Kim Cwan, sepanjang hidupnya Jian-jian hanya
mencintai satu orang dan orang itu adalah Siau Lui, tapi
kemudian ia ditinggal Siau Lui
Oleh sebab itu Jian-jian ingin balas dendam, dia tak segan
membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan Siau Ho-ya,
tujuannya tak lain adalah untuk membalas sakit hati atas
kekejaman dan ketidaksetiaan Siau Lui.
Sekalipun begitu, dia masih mencintai Siau Lui, hanya Siau
Lui yang menjadi idaman hatinya.
Dulu, Siau Ho-ya tak akan percaya. Tapi sekarang, akhirnya
dia percaya juga. Setelah menarik napas panjang mendadak katanya,"
Bawalah Jian-jian dan pergilah dari sini!"
"Aku sudah tak punya hak untuk berbuat begitu..." sahut
Siau Lui sambil memandang Jian-jian sekejap.
"Tapi aku berhak untuk bertanya kepadamu sampai jelas,"
sambung Jian-jian sambil mendongakkan kepalanya,"
sebenarnya kenapa kau bersikap begitu jahat kepadaku?"
"Aku percaya dia pasti mempunyai sebuah alasan yang
sangat baik," sambung Siau Ho-ya, "dan aku merasa tak
berkepentingan untuk mengetahuinya. Lebih baik biar dia
memberi penjelasan kepadamu di kemudian hari."
Jian-jian dan Siau Lui saling berpandangan, mereka samasama
membungkam. 227 Terdengar Siau Ho-ya berkata lagi, "Sekarang kalian boleh
pergi, paling baik kalau pergi lewat pintu belakang!"
Siau Lui tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia cuma
memandang Jian-jian sekejap kemudian secara tiba-tiba
membalikkan badan dan berjalan menuju pintu belakang
Jian-jian kelihatan sedikit agak ragu, dipandangnya Siau
Ho-yaa sekejap dengan perasaan bimbang,
Siau Ho-ya tidak mengatakan apa-apa, dia hanya tertawa.
Akhirnya Jian-jian mengintai di belakang Siau Lui, berjalan
menuju ke pintu belakang.
Lama sekali Siau Ho-ya berdiri termangu di situ, mengawasi
bayangan tubuh kedua orang itu hingga lenyap di balik pintu
belakang. Mendadak dari belakang tubuhnya kedengaran suara
seorang wanita menegur, "Sekarang, tentunya kau sudah
percaya bukan?" "Yaaa, aku percaya!" Siau Ho-ya tidak berpaling, dia
menjawab dengan sangat tenang.
"Kau membiarkan dia pergi dari sini, bagaimana dengan
pesta perkawinanmu malam ini..."
"Pesta perkawinan tetap dilangsungkan!"
"Tapi pengantin wanitanya..."
"Kau!" tukas Siau Ho-ya sambil membalikkan badan.
Perempuan yang berdiri di belakang tubuhnya adalah si
perempuan berbaju putih itu, Leng-hiat Kwan-Im
"Aku?" dengan perasaan girang bercampur kaget
perempuan itu berseru. "Yaaa, betul!" Siau Ho-ya mengangguk. "Sudah kuputuskan
kau yang akan kukawini, toh orang lain tak ada yang tahu
siapa pengantin wanitanya. Atau kau tidak setuju?"
"Tapi aku... aku..." Leng-hiat Kwan-im gelagapan.
Siau Ho-ya tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha... kau malu karena wajahmu jelek" Hahahaha...
Istri yang pantas mendampingiku kalau bukan seorang wanita
cantik yang amat sempurna, dia harus seorang wanita yang
amat jelek wajahnya!"
228 Merah jengah wajah Leng-hiat Kwan-im, sepanjang
hidupnya ia tak pernah merasa sejengah saat ini, sekalipun di
kala dia membunuh orang. Sekarang wajahnya benar-benar memerah, tapi sekulum
senyuman telah menghiasi ujung bibirnya.
Betapapun jeleknya wajah yang dia miliki, paling tidak ia
nampak begitu cantik dan menawan hati di dalam pandangan
Siau Ho-ya saat ini. TAMAT Petualang Asmara 11 Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa Istana Goa Darah 1
^