Duel Di Butong 2
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 2
menunggu ajal." "Aku cukup tahu betapa berat seranganku jelas aku tidak hendak membinasakan
dia." "Kecuali dirimu, masih ada orang lain."
"Biarpun orang lain yang membunuhnya, tetap aku yang akan ditagih hutang."
"Makanya supaya kau tahu aku bermaksud baik, hubungan Ciangkun dengan Lau-to-
pacu biasanya sangat erat."
"Makanya aku pun perlu menerima permintaanmu, begitu?" "Aku cuma minta kau bawa
diriku pada waktu kau hendak pergi."
"Hanya ini saja?" tanya Siau-hong.
"Bagimu hal ini adalah urusan kecil, tapi merupakan urusan besar bagiku."
"Baik, kuterima," kata Siau-hong.
Mendadak Kian-long-kun barlutut dan menyembah tiga kali padanya, lalu menengadah
dan menghela napas lega, serunya, "Sayang aku tidak berekor, kalau ada,
sedikitnya ekorku akan bergoyang sepuluh kali setiap kali melihat dirimu."
"Dimana Ciangkun menanti ajal?"
"Dengan sendirinya di Ciangkunhu (istana panglima)," tutur Kian-long-kun.
Ciangkunhu yang dimaksudkan dikelilingi hutan lebat, Kian-long-kun sudah pergi,
tapi di tengah hutan itu ada suara napas orang serupa napas anjing.
Mending orang itu masih bisa bernapas, sedangkan napas Ciangkun sudah berhenti.
Dengan napas terengah seorang menunggangi tubuh Ciangkun dan mencekik lehernya.
Orang ini tarnyata Tokko Bi adanya.
Siau-hong rnemburu maju, sekali hantam Tokko Bi dibikin mencelat. Wajah Ciangkun
tampak pucat, jantung masih berdetak, mata belum tertutup dan memandang Siau-
hong dengan memohon belas kasihan, seperti ingin bicara apa-apa, biasanya
sesuatu yang diucapkan seorang mendekati ajalnya kebanyakan adalah urusan
penting dan rahasia. Sayang satu kata saja tak sanggup diucapkannya. Waktu Liok Siau-hong mendekatkan
teling"anya ke mulut orang, denyut jantung Ciangkun sudah berhenti.
Napas Tokko Bi masih tersengal-sengal.
Siau-hong menjambret leher bajunya dan membentak, "Kalian bermusuhan?"
Tokko Bi menggeleng. "Apakah dia hendak membunuhmu?"
Tokko Bi tetap menggeleng.
"Habis mengapa hendak kau bunuh dia?"
Tokko Bi menatapnya dengan tajam, napasnya sudah tenang kembali, tiba-tiba ia
balas bertanya, "Memangnya kau sangka aku benar-benar Tokko Bi yang tidak kenal sanak dan tahu
famili?" Siapa pun tidak menyangka dia akan bertanya demikian, Siau-hong juga tercengang,
"Memangnya kau bukan Tokko Bi?"
Tokko Bi menghela napas, tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata yang lebih
mengejutkan, "Lepaskan celanaku!"
Siau-hong balas menatapnya sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia tertawa dan
berkata, "Selamanya aku tidak pernah membuka celana orang lelaki, tapi sekali
ini harus dikecualikan."
Tokko Bi diketahui sudah kakek, tapi daging bagian pantatnya ternyata masih
padat seperti anak muda. "Adakah kau lihat uci-uci di situ?"
Dengan sendirinya Siau-hong melihatnya dengan jelas, uci-uci ini cukup besar dan
dapat dipandang dari tempat jauh.
"Korek uci-uci itu dengan pisau ini," kata Tokko Bi pula sambil menyodorkan
sebilah pisau. Selama hidup Siau-hong entah betapa banyak telah melakukan hal-hal yang aneh,
tapi waktu menerima pisau itu, tidak urung ia merasa ragu sekian lama, habis itu
baru uci-uci itu dipotongnya.
Darah mengalir, satu biji bola emas menerobos jatuh dari uci-uci yang terbelah
itu. "Potong bola emas itu," kata Tokko Bi.
Waktu pisau memotong baru diketahui bola emas ini terbuat dari lilin, di
dalamnya terdapat sepotong kain kuning dan tertulis, "Sun Put-pian, murid
keempat ketua Bu-tong-pay sekarang, atas perintah, menyamar dan berganti rupa
untuk menyelidiki jejak murid murtad. Yang berkepentingan supaya maklum."
Di bawah tulisan ada cap kebesaran ketua Bu-tong-pay dan tanda tangan Ciok-
cinjin, pejabat ketua. "Inilah bekal bagiku dari pejabat ketua untuk membuktikan siapa diriku
sebenarnya bilamana perlu," kata Tokko Bi.
Siau-hong memandangnya dengan tercengang, akhirnya ia menghela napas dan
berkata, "Tampaknya engkau memang tidak mirip Tokko Bi yang sebenarnya."
"Sebelum masuk Bu-tong-pay, semula aku murid Hoa Si-koh. Ilmu rias keluarga Hoa
termashur dan tiada bandingannya di dunia, tapi agar lebih aman kumasuk pula ke
perguruan Tokko Bi dan menjadi budak di sana, sedikitnya kugunakan waktu sepuluh
bulan untuk belajar menirukan gerak-gerik dan suaranya, setelah kurasakan segala
sesuatu cukup sempurna dan tiada setitik ciri pun, barulah kutinggalkan sana."
"Kau bunuh dia?" tanya Siau-hong.
Sun Put-pian mengangguk, "Dengan sendirinya tidak kubiarkan orang lain menemukan
seorang Tokko Bi lagi."
"Siapa murid murtad yang kau cari?"
"Yang pertama ialah Giok Ho."
"Sekarang sudah kau temukan dia?"
"Ya, semua juga berkat dirimu."
"Ciong Bu-kut juga mati di tanganmu?"
"Dia juga murid murtad Bu-tong-pay," tutur Sun Put-pian. "Tidak boleh kubiarkan
dia hidup." Gemerdep sinar mata Liok Siau-hong, "Pada waktu mudanya bukankah Giok-su-kiam-
kek juga murid Bu-tong-pay?"
"Ya, dia dan Ciong Bu-kut sama-sama murid Bu-tong dari keluarga swasta, keduanya
sama dipecat oleh kakek guru kami, Bwe-cinjin."
Bwe-cinjin adalah Suheng Bok-tojin, mengetuai Bu-tong-pay selama 17 tahun dan
kemudian jabatan ketua diserahkan kepada Ciok Gan, pejabat ketua sekarang.
"Cukup lama kami mempelajari keadaan," tutur Sun Put-pian, "Kesimpulan kami
akhirnya menganggap paling aman adalah menyamar sebagai Tokko Bi, cuma saying ..."
"Cuma sayang, rahasiamu dapat diketahui oleh Ciangkun"!" tukas Siau-hong.
Sun Put-pian tersenyum getir, "Semua orang mengira lukanya sangat parah, aku pun
hampir tertipu, siapa tahu orang yang bersembunyi di rumah untuk merawat luka
itu bukanlah dia, melainkan seorang lain, dia sendiri senantiasa mengintai
diriku." "Cara bagaimana dia mengetahui dirimu?"
"Dia memang sahabat lama Tokko Bi, banyak rahasia Tokko Bi masa lampau
diketahuinya, sebaliknya aku tidak tahu. Aku terpancing oleh kata-katanya,
terpaksa harus kubunuh dia untuk menghapus saksi."
"Mengapa kau beritahukan rahasia ini kepadaku?" tanya Siau-hong.
"Keadaan cukup gawat, terpaksa kuberitahukan padamu," jawab Sun Put-pian. "Jadi
kuharap selain kau jaga rahasia bagiku, juga kuminta kau bantu diriku. Aku tidak
dapat berdiam lagi di sini, harus pulang ke Bu-tong selekasnya."
Dia menyengir, lalu berkata pula, "Dengan sendirinya kutahu engkau bukan seorang
yang suka menjual kawan. Dengan sendirinya kutahu engkau tidak bergendakan
dengan isteri Sebun Jui-soat, hal itu tentu cuma alasan belaka dalam permainan
sandiwara kalian untuk membongkar rahasis Yu-Ieng-san-ceng yang misterius ini."
Kembali Siau-hong menatapnya hingga lama, tiba-tiba ia menghela napas panjang
dan barkata, "Sayang, sungguh sayang."
"Sayang apa?" tanya Sun Put-pian.
"Sayang kau salah lihat orang."
Air muka Sun Put-pian berubah, teriaknya bengis, "Memangnya kau lupa siapa yang
membawamu ke sini?" "Aku tidak lupa," jawab Siau-hong dengan dingin, "aku pun tidak lupa selama dua
hari ini sudah tiga kali kau jebak diriku, kalau Lau-to-pacu tidak bertindak,
tentu aku sudah mati di tanganmu."
"Masa tidak dapat kau lihat semua itu sengaja kulakukan agar tidak dicurigai
mereka?" "Tidak, aku tidak tahu," sahut Siau-hong.
Sun Put-pian menatapnya, katanya kemudian dengan gegetun, "Ai, baiklah, kau
sangat baik." "Aku tidak baik, tidak baik sedikitpun," ujar Siau-hong. "Jika demikian kau
harus mati!" Di tengah bentakannya, mendadak Sun Put-pian menubruk maju, langsung dia menutuk
Hian-ki-hiat di dada Liok Siau-hong, jurus serangannya memang kungfu asli Bu-
tong-pay, cepat lagi jitu.
Cuma sayang, waktu serangannya tiba, Hiat-to yang diarahnya sudah berganti
tempat, Liok Siauhong sudah bergeser ke samping.
Tangan Sun Put-pian membalik, kembali ia melancarkan tiga kali serangan
berantai, serangan kuat, gerakan cepat.
"Murid Ciok-tojin memang hebat!" puji Siau-hong dengan gegetun. Selesai
ucapannya, beberapa kali serangan Sun Put-pian itu kembali mengenai tempat
kosong. Betapa cepat dia menyerang selalu Liok Siau-hong terlebih cepat
selangkah. Penggunaan dan gerak perubahan ilmu pukulan Bu-tong-pay tampaknya tidak lebih
sedikit pengetahuan Liok Siau-hong daripada lawannya.
Mandadak Sun Put-pian berhenti menyerang dan melotot, tanyanya, "Kau pun pernah
berlatih kungfu Bu-tong-pay?"
Siau-hong tertawa, "Aku tidak pernah belajar kungfu Bu-tong, tapi banyak
sahabatku orang Bu-tong-pay."
Sinar mata Sun Put-pian menampilkan secercah harapan pula, "Jika begitu, engkau
lebih-lebih harus membantuku lari dari sini."
"Cuma sayang, engkau bukan sahabatku," ujar Siau-hong. "Kau tolong diriku satu
kali, mencelakai aku tiga kali, sekarang aku mengalah sekian jurus seranganmu
pula, utang-piutang kita sejak tadi sudah lunas."
Sun Put-pian menjadi nekat, "Baik, silakan turun tangan!"
"Aku memang sudah siap turun tangan," begitu selesai ucapannya, serentak ia pun
menyerang, yang digunakan juga kungfu Biltong-pay, ilmu pukulan maupun caranya
menutuk. Baru saja Sun Put-pian mengegos ke samping, secepat kilat Siau-hong memburu maju
dan telapak tangannya tepat memotong pada pembuluh darah besar di bagian
tengkuknya. Pada waktu roboh, Sun Put-pian sempat memandang Liok Siau-hong dengan
tercengang. "Masa tidak kau ketahui aku mempunyai dua tangan?" ujar Siau-hong dengan
tertawa. Dengan sendirinya Sun Put-pian tahu, yang tidak diketahuinya adalah tangan
seorang mengapa bisa bergerak secepat itu.
Lau-to-pacu berduduk di kursinya yang longgar besar dan sudah tua itu, ia
pandang Liok Siau-hong, tampaknya sangat gembira.
Kursi tua serupa sahabat lama saja, dapat membuat orang merasa enak dan gembira.
Cuma sayang, Siau-hong tetap tidak melihat jelas wajah asli Lau-to-pacu.
Sun Put-pian menggeletak di depannya, tapi tidak dipandangnya barang sekejap,
tampaknya perhatiannya terhadap Liok Siau-hong jauh lebih besar daripada
terhadap siapa pun. "Orang ini mata-mata musuh, agen Bu-tong-pay," tutur Siau-hong.
"Mengapa tidak kau bunuh dia?" tanya Lau-to-pacu. "Aku tidak berhak membunuh
orang, juga tidak ingin membunuh orang," jawab Siau-hong.
"Jika begitu harus kau bebaskan dia." "Bebaskan dia?" Siau-hong melengak.
"Mata-mata musuh yang sesungguhnya sudah mati semua, tidak pernah ada agen
rahasia musuh dapat hidup lebih tiga hari di sini," kata Lau-to-pacu.
"Masa dia bukan agen rahasia musuh?"
"Dengan sendirinya dia agen rahasia, tapi bukan agen rahasia Bu-tong-pay
melainkan mata-mataku, sekian tahun yang lalu sudah kukirim dia ke Bu-tong-pay
sebagai agen rahasiaku."
Siau-hong melongo. Lau-to-pacu tertawa gembira, "Apapun juga kau harus berterima kasih padanya."
"Untuk apa aku berterima kasih padanya?"
"Justru lantaran dia, maka dapat kupercayai kau sepenuhnya."
"Dia juga utusanmu untuk menguji diriku?"
Lau-to-pacu tertawa, "Ada sementara orang pembawaannya adalah agen rahasia,
asalkan kau beri tugas agen rahasia padanya, pekerjaannya pasti takkan
mengecewakan." "Dan orang ini pembawaannya adalah agen rahasia?"
"Ya, dari ubun-ubun hingga ujung kaki."
Siau-hong menghela napas, sekali depak Sun Put-pian mencelat serupa bola.
Lau-to-pacu juga menghela napas, ucapnya, "Di sinilah letak kejelekan menjadi
agen rahasia, orang semacam ini serupa keledai saja, harus setiap saat siap
menerima depakan orang."
"Aku cuma mendepaknya sekali," ujat Siau-hong.
"Masih ada sebelah kakimu, hendak kau depak siapa?" tanya Lau-to-pacu.
"Depak diriku sendiri."
"Masa kau pun agen rahasia?"
"Aku bukan agen, aku cuma keledai, keledai dungu," ucap Siau-hong dengan gemas.
"Sebab aku ingin menolong putri orang dengan mati-matian, hasilnya adalah sekali
pukulan yang tepat mengenai kudukku."
"Padahal kau sendiri harus tahu, tidak nanti kubiarkan kau tolong dia," ucap
Lau-to-pacu dengan gegetun.
"Aku tidak tahu," kata Siau-hong.
"Rawa itu dimana-mana terdapat perangkap yang bisa mematikan orang, juga ada
pasir bergerak, sekali kejeblos, lenyaplah selamanya. Mana boleh kubiarkan kau
menyerempet bahaya ke tempat begitu?"
"Mengapa tidak boleh?"
"Sebab aku memerlukan tenagamu," kata Lau-to-pacu lebih lanjut. "Ciangkun dan
Ciong But-kut sudah mati, sekarang kaulah tangan kananku, jika aku kehilangan
lagi tangan kanan, betapa besar rencana kerjaku juga akan gagal."
"Maksudmu, mulai sekarang engkau tidak dapat kehilangan aku?"
"Ya," jawab Lau-to-pacu tegas.
Siau-hong tertawa. Pada waktu tertawa itulah tiba-tiba ia melayang maju serupa
burung elang dan tangannya juga serupa cakar.
Sasaran cengkeramannya adalah caping yang dipakai Lau-to-pacu.
Namun Lau-to-pacu tetap berduduk di atas kursi dengan tenang, sedang cengkeraman
Liok Siauhong lantas mengenai tempat kosong.
Padahal biarpun kelinci yang paling licin dan gesit juga sukar lolos dari
cengkeraman elang ini, cara turun tangan Liok Siau-hong jelas terlebih cepat dan
j itu daripada cengkeraman elang.
Namun cengkeramannya mengenai tempat kosong, sebab Lau-to-pacu berikut kursinya
mendadak meluncur ke samping, kursi besar itu seolah-olah lengket pada pantatnya
dan dapat digeser kian kemari.
Siau-hong menghela napas, ia melayang turun, ia tahu sekali luput menyerang,
serangan kedua terlebih sukar mengenai sasarannya.
"Kau ingin melihat diriku?" tanya Lau-to-pacu.
"Kau minta kumati, sedikitnya harus kau perlihatkan dulu padaku sesungguhnya
engkau ini orang macam apa?" ucap Siau-hong dengan menyengir.
"Aku tidak sedap dipandang," kata Lau-to-pacu, "Aku pun tidak minta kau mati
bagiku, bilamana usaha ini berhasil, kita akan sama-sama untung."
"Jika gagal?" tanya Siau-hong.
"Biarpun kau mati juga tidak rugi apa-apa," ujar Lau-to-pacu dengan hambar.
"Engkau memang seorang mati."
"Kau bangun Yu-leng-san-ceng ini memang sengaja mencari orang untuk menyerempet
bahaya bagimu?" "Orang yang datang ke sini memangnya harus mati satu kali, apa alangannya jika
mati sekali lagi?" "Orang mati satu kali, bisa jadi terlebih takut mati lagi?"
Lau-to-pacu sependapat, "Tapi sembunyi di sini apa bedanya dengan mati?"
Siau-hong menghela napas, ia mengakui perbedaannya me mang tidak banyak.
Sorot mata Lau-to-pacu setajam sembilu terpancar dari balik capingnya, tanyanya
tiba-tiba, "Maukah kau berdiam selamanya di sini?"
Segera Siau-hong menggeleng kepala.
"Kecuali kita berdua, di sini masih ada seorang tamu dan rasanya sudah pernah
kau lihat, coba katakan, apa yang kau lihat?"
Siau-hong menyengir, "Rasanya aku tidak melihat apa-apa."
"Dengan sendirinya tak dapat kau lihat, sebab tindak-tanduk mereka sudah
tergosok rata, tiada satu pun yang menonjol sehingga tampaknya mereka adalah
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang biasa saja." "Padahal?" tanya Siau-hong.
"Orang yang mampu datang ke sini pasti tergolong jago kelas tinggi, setiap orang
pasti mempunyai sejarah sendiri yang gilang-gemilang. Serupa dirimu, mereka pun
tidak mau kesepian, tiada seorang pun rela berdiam selama hidup di sini."
Mendadak suaranya bertambah lantang dan sangat gembira, "Dan kesempatan satu-
satunya bagi semua orang untuk melihat sinar matahari dengan bebas adalah
berhasilnya pekerjaan ini."
"Sesungguhnya urusan apa?" akhirnya Siau-hong bertanya.
"Selekasnya kau akan tahu."
"Selekasnya itu kapan?"
"Ialah sekarang."
Baru habis ucapannya, terdengarlah suara genta bergema pula, Lau-to-pacu
berbangkit, katanya dengan suara gembira, "Namun kita harus makan dulu, makan
siang hari ini kujamin pasti sangat memuaskan seleramu."
Hidangan memang banyak, tapi araknya sangat sedikit, jelas Lau-to-pacu
menghendaki pikiran setiap orang selalu dalam keadaan sadar.
Akan tetapi ia sendiri justru menghabiskan satu piala penuh berisi anggur Persi,
malahan dituang penuh lagi.
Untuk pertama kalinya Siau-hong melihat Lau-to-pacu minum arak. Diam-diam ia
membatin, "Hari ini pasti hari bahagia baginya, mungkin sudah sangat lama dia
menunggu datangnya hari ini."
Semua orang sama menunduk dan makan tanpa bicara, tapi semuanya makan sangat
sedikit, kebanyakan juga tidak minum arak.
Siau-hong sendiri minum lebih banyak, lalu diamat-amatinya orang-orang ini
dengan pandangan gembira. Meski semua orang ini sama memakai jubah panjang yang
longgar, tapi di dalam ruangan yang guram, ada beberapa orang di antaranya
kelihatan terlebih menyolok.
Seorang lelaki kekar berwajah penuh panu, sehabis minum dua cawan arak, panu
pada mukanya lantas mencorong seperti mata uang. Seorang lagi bermuka merah dan
berjenggot panjang, tampaknya mirip Kwan Kong di atas panggung.
Seorang gendut, perut buncit. Seorang berwajah kereng, serupa hakim pengadilan.
Seorang nenek ompong tapi rakus makannya.
Masih ada lagi beberapa kakek tinggi kurus dan sangat pen-diam, yang menyolok
mungkin adalah karena pendiamnya mereka.
Kecuali Liu Jing-jing, yang berusia paling muda adalah seorang pendek kecil
serupa anak belasan tahun, bermuka bulat. Dan yang berusia paling tua adalah
beberapa kakek pendiam itu.
Liok Siau-hong berusaha menyelidik, ingin ditemukan asalusul orang-orang ini
dari ingatannya. Orang pertama yang mudah teringat adalah lelaki penuh panu itu, 'Kim-ci-pa' Hoa
Gui, si ma-can tutul. Perawakan orang ini tinggi besar, arak yang diminumnya pasti tidak lebih sedikit
daripada Liok Siau-hong, gerak-geriknya lamban, mukanya yang penuh panu
membuatnya kelihatan agak lucu.
Akan tetapi bila Am-gi atau senjata rahasianya dihamburkan, orang pasti takkan
merasa lucu lagi. Keluarga Hoa di daerah Kanglam adalah ahli Am-gi turun temurun dan sangat
termashur di dunia Kangouw. Hoa Gui ini adalah anak murid keturunan langsung
keluarga Hoa. Malahan ada orang bilang kepandaian Am-gi Hoa Gui sudah termasuk
satu di antara ketiga ahli Am-gi di seluruh dunia ini.
Siau-hong coba memandangnya lagi, kelihatan tidak sedikit arak ditenggaknya,
namun gerak tangannya tetap sangat mantap.
Lantas orang yang berwajah angker itu apakah bukan Toh Thisim, kepala seksi
hukum pada gabungan 72 gerombolan bandit yang sangat ditakuti pada 20 tahun yang
lalu" Dan nenek itu apakah bukan lutung betina dari Cin-nia-siang-wan (dua lutung dari
bukit Cin)" Konon lantaran berebut sebiji buah ajaib yang menurut cerita orang bisa membikin
panjang umur dan awet muda, lalu dia tidak segan-segan menggorok leher lakinya
sendiri, yaitu Seng-jiu-sian-wan Lo Tay-sing, si lutung sakti bertangan suci.
Dan siapakah beberapa kakek berbaju hitam yang pendiam itu" Juga si cebol yang
bermuka bulat dan berkepala besar itu?"
Siau-hong tidak sempat berpikir lagi, sebab diam-diam Liu Jing-jing lagi menarik
ujung bajunya dan mendesis, "Dimanakah binimu?"
Siau-hong melengak, tapi segera ingat yang ditanyakan adalah Yap Ling, jawabnya,
"Kabarnya dia menghilang." "Apakah kau ingin tahu dimana dia?" "Tidak ingin."
Jing-jing mencibir, ia sengaja berolok, "Dasar lelaki, tidak ada lelaki yang
berperasaan. Tapi justru ingin kuberitahukan padamu dimana dia."
Lalu dia tahan suaranya dengan lebih lirih dan mendesis, "Saat ini dia pasti
berada di dalam air."
"Mengapa bisa berada di dalam air" Darimana kau tahu dia berada di dalam air?"
tanya Siau-hong dengan heran.
"Sebab dia kabur dengan mencuri seperangkat baju menyelam dan sepasang cundrik
(senjata di dalam air) milik orang."
Siau-hong terkejut, ada dua hal yang membuatnya terkejut.
Pertama adalah baju dan senjata yang biasa digunakan penyelam itu, alat itu juga
dapat digunakan pada rawa-rawa. Apakah Yap Ling pergi mencari kakaknya" Darimana
diketahuinya kejadian di rawa sana"
Kedua baju menyelam dan cundrik adalah senjata air yang terkenal di dunia
Kangouw, milik seorang tokoh yang sangat termashur, yaitu Hui-hi-tocu Ih Hoan,
kepala pulau Ikan Terbang. Bukan cuma namanya terkenal, kemahirannya menyelam
juga sangat he bat, ilmu pedangnya pun tidak lemah. Jika orang ini belum mati
dan hadir di sini, selayaknya juga sangat menyolok.
Akan tetapi Liok Siau-hong tidak menemukannya.
Rupanya Liu Jing-jing lagi menunggu reaksinya, maka tidak bicara lagi.
Setelah berpikir, akhirnya Siau-hong bertanya, "Urusan ini diketahui Lau-to-pacu
tidak?" "Rasanya tidak ada sesuatu yang terjadi di sini tidak diketahui olehnya," ujar
Jing-jing. Apakah mungkin kepergian Yap Ling mencari kakaknya juga atas izin Lau-to-pacu"
Jika tidak, darimana ia tahu jejak Yap Soat"
Siau-hong tidak bertanya lagi, sebab tiba-tiba diketahuinya ada seorang telah
berada di belakang mereka tanpa suara.
Waktu ia menoleh, tertampak sebuah wajah tanpa muka, itulah Kau-hun-sucia yang
selama ini tidak pernah tampil di depan umum.
Suasana dalam ruangan besar tambah khidmat, agaknya semua orang rada jeri
terhadap manusia yang tidak punya muka ini!
Dia tidak berduduk, melainkan berdiri di belakang Lau-to-pacu dan tidak bergerak
lagi. Pedang tergantung di pinggangnya. Sarung pedang berbentuk antik, terdapat tujuh
titik bekas bacokan golok, jelas pada tempat bekas itu tadinya terbingkai batu
permata. Bukankah pedang ini Jit-sing-pokiam (pedang pusaka bintang tujuh) milik Bu-tong-
pay yang biasanya cuma dipakai oleh pejabat ketua sendiri.
Pada saat itulah mendadak Hay Ki-koat berdiri, lalu mengumumkan dengan suaranya
yang lantang, "Operasi Halilintar dimulai!"
3 Rencana 'Operasi Halilintar' dibagi menjadi empat tahap.
Tahap pertama: Menyerang dan memilih anggota peserta serta membagi tugas.
Tahap kedua: Menyamar dan berganti rupa serta turun gunung secara berkelompok.
Tahap ketiga: Berkumpul dan menunggu perintah, siap tempur.
Tahap keempat-barulah operasi total secara resmi.
Apa yang dimulai sekarang baru tahap pertama, namun cara berlangsungnya sudah
cukup mendebarkan hati orang.
Suasana dalam ruangan besar menjadi tegang, Lau-to-pacu sendiri berbangkit dan
buka suara, "Banyak orang di dunia ini sudah lama seharusnya mati, tapi tidak ada yang
berani mengganggu gugat mereka, banyak urusan yang sudah lama harus dikerjakan,
tapi tidak ada orang berani melakukannya. Maka sekarang tujuan kita adalah
bertindak terhadap orang-orang itu dan menyelesaikan urusan itu."
Tiba-tiba Siau-hong merasakan pembawaan orang ini memang seorang pemimpin, bukan
saja tenang dan dingin, rapi perencanaannya, bahkan seorang ahli pidato, cukup
beberapa patah kata saja sudah menjelaskan keseluruhan tujuan gerakan mereka
ini. "Gerakan kita serupa bunyi guntur dan sambaran kilat, maka kita beri nama
Operasi Halilintar."
Suasana dalam ruangan besar menjadi sunyi, setiap orang sama menunggu
pembicaraannya lebih lanjut.
Cukup lama Lau-to-pacu berhenti bicara, serupa kesunyian sesaat sebelum tibanya
hujan badai, seperti juga agar setiap orang sudah ada persiapan mental untuk
mendengarkan bunyi geledek yang menggetar langit dan memecah bumi itu.
"Untuk pertama kali, yang hendak kita hadapi adalah tujuh orang," Lau-to-pacu
berhenti lagi sejenak, lalu menguraikan nama ketujuh orang ini, "Ciok Gan dari
Bu-tong-pay, Thi-ko Hwesio dari Siau-lim-pay, Ong Cap-te dari Kay-pang, Cui-
siang-hui di sungai Yangce, Ko Hing-kong dari Gan-tang-san, Koh-tojin dari Pah-
san dan si mata elang dari Cap-ji-lian-goan-bu (gabungan 12
pelabuhan)." Suasana ruangan yang sangat sunyi kini tambah hening serupa kuburan, sampai
suara napas dan denyut jantung semua orang seakan berhenti juga.
Walaupun sebelumnya Siau-hong sudah tahu yang hendak dilakukan Lau-to-pacu
adalah suatu pekerjaan besar, tidak urung ia terkejut juga ketika mendengar
nama-nama yang disebutnya itu.
Selang agak lama barulah ada orang mulai mengusap keringat, ada yang minum arak,
malahan ada satu-dua orang yang menyusup ke kolong meja dan tumpah.
Dengan suara terlebih tenang dan tegas Lau-to-pacu berucap pula, "Bilamana
operasi kita ini sukses, selain pasti akan menggemparkan dunia dan disegani
siapa pun, terhadap para peserta juga akan besar manfaatnya."
Kembali dia berhenti, lalu menyambung lagi, "Sudah kuperhitungkan setiap bagian
operasi ini secara mendetail, seharusnya tidak perlu disangsikan lagi akan
suksesnya, cuma, segala apapun sukar terhindar dari hal-hal yang tak terduga,
maka gerakan kali ini tentu juga tak terhindar dari bahaya, sebab itulah aku pun
tidak memaksa setiap orang harus ikut."
Sorot matanya yang tajam menyapu pandang para hadirin dari balik capingnya itu,
lalu serunya lagi dengan tegas, "Nah, siapa yang tidak mau ikut boleh silakan
berdiri, pasti takkan kupaksa."
Suasana sunyi kembali, perlahan Lau-to-pacu berduduk dan menuang arak lagi.
Tanpa terasa Siau-hong juga pegang cawan araknya, baru diketahui dirinya juga
ikut tegang, terbukti telapak tangan sendiri juga berkeringat dingin.
Sampai saat ini belum lagi ada seorang pun yang berdiri, tapi ada orang
bertanya, "Yang tidak mau ikut apakah selanjutnya masih boleh tinggal di sini?"
"Boleh, terserah padamu ingin tinggal berapa lama di sini, pasti tidak ada yang
keberatan." jawab Lau-to-pacu tegas.
Penanya itu ragu sejenak pula, akhirnya dia berdiri dengan perlahan, segera
tertampaklah perutnya yang buncit.
Tiba-tiba Siau-hong teringat siapa orang ini.
20 tahun yang lalu di dunia Kangouw ada empat tokoh ajaib, yang seorang maha
gemuk, seorang maha kurus, seoraiig maha tinggi dan seorang lagi maha pendek.
Si maha gemuk serupa babi itu bernama Cu Pui, kalau dibaca secara terbalik
menjadi 'Pui-cu', artinya babi gemuk.
Tapi bagi orang yang mengenalnya sama tahu dia bukan babi, sebaliknya seorang
yang cerdik dan pintar, orang yang pernah ber gebrak dengan dia lebih-lebih
tidak berani memandangnya sebagai babi, sebab selain gerak-geriknya cepat dan
lincah, bahkan cara turun tangannya juga keji tanpa kenal ampun. Kungfu
andalannya adalah permainan golok dengan berguling di tanah, semacam kung-fu
yang jarang terlihat. Siau-hong tahu ini pasti Cu Pui adanya. Tak tersangka olehnya orang pertama yang
berdiri ialah dia. Padahal Cu Pui pasti bukan seorang penakut.
"Sebabnya aku tidak pergi," dia beralasan, "adalah karena aku kelewat gemuk,
terlalu rnenyolok, betapapun aku menyamar dan berganti rupa tetap akan dikenali
orang." Alasan memang masuk di akal. Bahkan Lau-to-pacu juga harus mengakui kebenaran
alasannya, tapi juga terasa sayang olehnya. Maklumlah, kungfu Cu Pui yang khas
itu sebegitu jauh jarang ada tandingannya, jelas tenaga orang semacam ini sangat
diperlukan Lau-to-pacu. Akan tetapi ia hanya menghela napas perlahan saja dan tidak memberi komentar.
Jika ada seorang berani mendahului berdiri biasanya lantas ada orang kedua dan
begitu seterusnya. Lau-to-pacu tetap tenang dan dingin saja memandangi orang berdiri itu, sampai
pada orang ke-13 barulah air mukanya rada berubah.
Wajah orang ini sangat biasa, tiada sesuatu yang istimewa, gerak-geriknya kaku,
tingkahnya bodoh, tiada sesuatu yang menarik. Akan tetapi orang yang dapat
menggerakkan hati Lau-to-pacu tentu bukan tokoh sembarangan.
"Kau pun tidak ikut?" tanya Lau-to-pacu.
Dengan wajah kaku tanpa sesuatu perasaan orang itu menjawab, "Kau bilang orang
yang tidak mau pergi boleh berdiri, dan aku sudah berdiri sekarang."
"Sebab apa engkau tidak ikut pergi?" tanya pula Lau-to-pacu.
"Sebab baju menyelam dan senjata cundrikku dicuri orang," jawab orang itu.
Setelah mendengar jawaban ini, mau-tak-mau Siau-hong juga melengak. Sungguh
tidak tersangka olehnya orang yang ketolol-tololan ini adalah jago pedang lautan
selatan yang terkenal, yang namanya hanya di bawah Pek-in-sengcu, yaitu Hui-ih-
tocu Ih Hoan. Di daratan Pek-in-sengcu adalah jago pedang termashur, tapi di dalam air jelas
dia bukan tandingan Ih Hoan.
Dalam gerakan Lau-to-pacu kali ini jelas juga sangat memerlukan seorang yang
mahir berenang dan menyelam.
"Prak", mendadak cawan arak yang dipegang Lau-to-pacu teremas hancur.
Pada saat itu juga mendadak terdengar suara jeritan ngeri, seorang yang berduduk
di samping Toh Thi-sim baru saja berdiri segera roboh dan mendekap di atas meja,
sehingga mangkuk piring sama pecah berantakan.
Lalu tertampak darah segar mengucur bercampur dengan arak yang membasahi taplak
meja. Sumpit yang dipegang Toh Thi-sim tampak merah juga, tentu saja merah karena
berlepotan darah. "Kau bunuh dia?" tanya Ih Hoan sambil berpaling ke sana.
Toh Thi-sim mengaku, "Ya, untuk pertama kali ini kubunuh orang dengan sumpit."
"Mengapa kau bunuh dia?" tanya Ih Hoan pula.
"Sebab terlalu banyak rahasia yang diketahuinya, jika dia hidup, mungkin sekali
kita yang akan mati," jawab Toh Thi-sim dengan tak acuh, dicomotnya sepotong
daging dengan sumpitnya yang berlepotan darah itu dan dimakan dengan nikmatnya
tanpa berkedip. 'Loa-jiu-bu-ceng' Toh Thi-sim, si tangan ganas tanpa kenal ampun, dia memang
seorang iblis yang membunuh orang tanpa berkedip.
Ih Hoan masih menatapnya, ucapnya perlahan, "Betapa banyak rahasia yang
diketahuinya juga telah kuketahui, apakah aku pun akan kau bunuh?"
"Ya," sahut Toh Thi-sim dengan dingin, dia tetap tidak berkedip, "Orang yang
tidak mau ikut, seorang pun jangan harap akan keluar rumah ini dengan hidup."
Air muka Ih Hoan berubah seketika.
Belum lagi dia buka mulut, seorang telah mendahului berseru, "Jika Lau-to-pacu
yang berkata demikian, terpaksa aku pasrah nasib, tapi kau
Tidak bersambung ucapannya, sebab dari samping tiba-tiba menyambar tiba
setangkai sumpit dan tepat menembus telinga kirinya ke telinga kanan.
Sumpit yang dipegang si nenek ompong sekarang tersisa sebatang saja, dia lagi
bergumam dengan gegetun, "Wah, tampaknya terpaksa aku harus makan dengan memakai
cakar." Ia benar-benar lantas menggunakan tangannya mencomot sepotong Ang-sio-pay-kut
(tulang iga masak saus manis) terus digerogoti dengan dua biji giginya yang
masih tersisa. Terdengar suara gemuruh, orang yang telinganya tertembus sumpit itu roboh dan
membikin meja di depannya porak poranda.
Beberapa orang yang semula berdiri perlahan bermaksud duduk kembali.
Tapi Toh Thi-sim lantas menjengek, "Yang sudah berdiri dilarang duduk lagi."
Cu Pui tidak tahan, teriaknya, "Ini, keputusan siapa?"
"Keputusan kita bersama," jawab Toh-thi-sim.
Cu Pui tampak sangsi, akhirnya dia berkata dengan tertawa, "Sebenarnya bukan aku
sengaja tidak mau ikut pergi, cuma sayang, aku terlalu gemuk, jika aku
diharuskan ikut pergi, boleh juga asalkan badanku dapat digilas menjadi kurus
seperti lajur mi."
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, gilas dia!" seru Toh Thi-sim.
"Aku yang gilas dia!" serentak si cebol yang bermuka bulat dan berkepala besar
itu melompat maju. Potongan orang ini sungguh sangat lucu, kepalanya sebesar gantang, tubuhnya
justru pendek kecil, waktu berdiri menjadi mirip sebuah tomat tersunduk di atas
sumpit yang ditegakkan. Cu Pui tidak dapat tertawa lagi, malahan air mukanya lantas berubah. Bahwa yang
berdiri di depannya sekarang tiada ubahnya seperti seorang anak kecil, tapi dia
justru ketakutan setengah mati terhadap si cebol ini.
Melihat rasa ketakutan Cu Pui dan melihat pula kepala si cebol yang tidak
seimbang dengan tubuhnya itu, seketika air muka Liok Siau-hong juga berubah.
Apakah mungkin orang ini Toa-tau-kui-ong' Sukong Tau, si raja setan kepala besar
yang paling kejam di antara gerombolan setan dari wilayah barat sana.
Pandangan Siau-hong memang tidak keliru, hal ini terbukti apa yang diteriakkan
Cu Pui, "Sukong Tau, apa sangkut-pautnya urusan ini denganmu, apa kehendakmu?"
"Akan kugilas dirimu menjadi mi," sahut Sukong Tau, si setan kepala besar.
Ia memegang sepasang sumpit, tiba-tiba ia menggosok-gosok kedua sumpit itu pada
telapak tangannya serupa Cu Pui yang sedang digilasnya, mendadak bubuk halus
berhamburan dari celah telapak tangannya.
Waktu dia membuka telapak tangan, sumpit tidak kelihatan lagi, ternyata sumpit
yang dapat digunakan untuk membunuh orang itu telah tergilas luluh menjadi bubuk
oleh tangannya yang kecil serupa tangan anak kecil.
Muka Cu Pui tampak berkerut-kerut, sekujur badan serasa lemas lunglai, ia duduk
terkulai di atas kursinya, ketika Sukong Tau bergaya hendak menubruk ke arahnya,
mendadak ia menjatuhkan diri ke bawah terus menyusup ke kolong meja, siku dan
dengkul bekerja sama, dalam sekejap beberapa meja diterobosnya, gerak cepat dan
gesitnya sungguh sukar dilukiskan.
Cuma sayang, meja itu tidak bersambungan satu dan lain, Sukong Tau telah
melompat ke atas, kesepuluh jarinya terpentang, ia incar dengan baik, begitu
orang menongol dari bawah meja, segera dia menubruk ke situ.
Siapa tahu gefak-gerik Cu Pui yang gemuk seperti babi itu tidak kurang cepatnya,
sekali melejit, kembali ia menyusup ke kolong meja di depan.
Terdengar suara "pluk", jari Sukong Tau menembus permukaan meja, waktu tangan
ditarik kembali, permukaan meja sudah bertambah sepuluh lubang.
Cu Pui terus ngambek sekalian di bawah meja dan tidak mau keluar, gemas Sukong
Tau, disapunya mangkuk piring di atas meja sehingga hidangan dan arak sama
tumpah di atas tubuh seorang, kakek berbaju hitam pendiam itu.
Segera Sukong Tau bermaksud menjungkir-balikkan meja pula, sekonyong-konyong
seorang membentak, "Nanti dulu!"
Sepasang sumpit tahu-tahu terjulur tiba, bilamana tangan Sukong Tau menghantam
meja, sama dengan tangan disodorkan ke ujung sumpit dan bukan mustahil bisa
tembus. Untung reaksi Sukong Tau juga sangat cepat ia tahan mentah-mentah gerak
tangannya. Keempat kakek berbaju hitam masih duduk tenang dan diam di tempatnya sambil
memandangnya dingin. Seperti baru sekarang Sukong Tau melihat mereka, ia tertawa lebar dan berucap,
"Bolehkah minta tolong kalian mendepak keluar babi gemuk di bawah meja itu?"
"Tidak," jengek si kakek yang tubuhnya berlepotan arak dan kuah itu.
"Hendak kau bela dia?" tanya Sukong Tau.
"Asal orang tidak menggangguku, aku pun tidak mengganggu orang," kata si kakek.
"Siapa yang mengganggumu?" tanya Sukong Tau.
"Kau!" jawab si kakek.
"Memangnya kenapa kalau mengganggumu?"
"Jika orang menggangguku, maka dia bukan lagi orang?"
"Aku memang bukan orang, tapi setan," jengek Sukong Tau.
"Kau pun bukan setan, tapi hewan," damprat si kakek. "Aku tidak membunuh orang,
hanya membunuh hewan, membunuh satudua hewan tidak terhitung melanggar pantangan
membunuh." Sukong Tau mengepal erat tinjunya, ruas tulang sekujur badannya berbunyi keriut-
keriut, mukanya yang bulat itu berubah kelam.
Mendadak Lau-to-pacu bersuara, "Orang ini masih berguna bagiku, harap An-
siansing memberi kelonggaran padanya."
Si kakek baju hitam berpikir sejenak, akhirnya mengangguk dan berkata, "Baik,
aku cuma menghendaki sebelah tangannya."
Kembali Sukong Tau tertawa, suara tertawanya seperti ringkik setan.
Kedua tangannya berlatih kungfu yang berbeda, tangan kiri berlatih Pek-kut-jiau
(cakar tulang putih) dan tangan kanan meyakinkan Oh-kut-jiau (cakar tulang
hitam), sudah lebih 20 tahun dia berlatih ilmu tersebut, jika sekarang
kehilangan sebelah tangannya, hal ini sama dengan menghendaki setengah jiwanya.
"Aku menghendaki tangan kirimu," kata si kakek baju hitam.
"Baik, kuberi!" seru Sukong Tau, begitu kata terakhir terucapkan, serentak kedua
tangannya mencakar sekaligus. Tangan yang satu berubah warna putih salju, tangan
yang lain berubah hitam seperti arang.
Dikeluarkannya kekuatan latihan selama 20 tahun, asalkan tersentuh oleh ujung
jarinya, biarpun patung batu juga akan bertambah sepuluh lubang.
Si kakek baju hitam masih duduk tanpa bergerak, ia hanya menghela napas, lengan
bajunya terus menyabet. Terdengar suara "krek" serupa ketimun dipatahkan, menyusul lantas terdengar
jeritan ngeri. Sukong Tau mencelat ke sana, menumbuk dinding dan terbanting ke lantai, lalu
tidak bergerak-lagi, kedua tangannya berlumuran darah, kesepuluh jarinya sudah
patah semua. Si kakek baju hitam menghela napas, katanya, "Mestinya aku cuma menghendaki
sebelah tangannya." Kakek satunya lagi yang berubah menjengek, "Hanya menghendaki sebelah tangannya
kan tidak perlu mengeluarkan tujuh bagian tenagamu?"
"Sudah lama aku tidak pernah bergebrak dengan orang, cara menggunakan tenaga
tidak lagi tepat, pula aku terlalu menilai tinggi kekuatannya," ujar si kakek
berbaju hitam tadi. "Maka kau salah, hewan juga berjiwa, tetap kau langgar pantangan membunuh," kata
si kakek beruban. "Betul, aku salah, Buddha maha kasih!" ucap si kakek berbaju hitam.
Keempat kakek lantas mengucapkan doa dan berdiri perlahan, lalu berkata terhadap
Lau-to-pacu, "Kami mohon diri dulu, kami akan bertapa tiga hari untuk menebus dosa sebagai
tanda terima kasih kepada Cengcu."
Lau-to-pacu berdiri juga dan menjawab, "Dia mencari kematian sendiri, untuk apa
Siansing menista diri sendiri?"
"Bilamana Cengcu ada perintah apa-apa, kami senantiasa siap melaksanakan tugas,"
kata si kakek tadi. Lau-to-pacu seperti merasa lega, ia memberi hormat dan berucap, "Silakan."
Keempat kakek itu lantas melangkah pergi dengan perlahan, setiba di depan Liok
Siau-hong mendadak mereka berhenti, si kakek beruban tiba-tiba bertanya, "Apakah
akhir-akhir ini Liok-kongcu bertemu dengan Koh-kua Siangjin?"
"Pernah bertemu beberapa kali tahun yang lalu," jawab Siau-hong.
"Siangjin terkenal ahli masak, Liok-kongcu pasti sering makan bersamanya."
Siau-hong mengiakan dengan tertawa.
"Jika demikian dia pasti sehat-sehat saja seperti dahulu."
Kembali Siau-hong mengiakan.
Kakek beruban itu memuji' pula kebesaran Buddha, ketiga kakek lain juga berdoa,
lalu melangkah keluar, tetap dengan langkah lamban dan tenang.
Tapi tangan dan kaki Siau-hong terasa dingin. Akhirnya dia ingat asal-usul
keempat kakek ini setelah melihat sikap hormat Lau-to-pacu kepada mereka dan
melihat daya sabet lengan bajunya tadi, melihat ketaatan mereka terhadap agama
Buddha, dapatlah Siau-hong menerka siapa mereka.
Jika tadi dia tidak tahu siapa mereka adalah karena mereka sekarang sudah piara
rambut dan berbaju orang biasa, dengan sendirinya tak terpikir olehnya keempat
kakek itu adalah Hwesio, lebih-lebih tak terduga mereka adalah bekas anggota Go-
lo-han dari Siau-lim-si. Go-lo-han atau lima pengabdi Buddha ini asalnya adalah lima saudara sekandung,
mereka cukur rambut menjadi Hwesio berbareng dan sama-sama masuk Siau-lim-si.
Sekarang mereka cuma tinggal empat orang saja, sebab kakak tertua Bu-liong-lohan
sudah mati. Pada waktu mudanya mereka sudah malang melintang di dunia Kangouw, tak terhitung
jumlah orang yang mereka bunuh, mereka mendapat julukan sebagai lima binatang
buas, yaitu Liong (naga), Hou (harimau), Say (singa), Jio (gajah) dan Pa (macan
tutul). Tangan setiap orang sama penuh berlumuran darah.
Akan tetapi seperti sabda Buddha, taruh pisau jagalmu dan segera menjadi Buddha.
Kelima binatang buas itu seterusnya lantas berubah menjadi Go-lo-han dalam Siau-
lim-si, gelar mereka pun berubah menjadi 'Bu-liong' tanpa naga, Bu-hou, Bu-say,
Bu-jio dan Bu-pa, artinya mereka sudah meninggalkan segala apa yang lalu, yang
ada sekarang hanya sujud kepada Buddha.
Bu-liong bertugas mengurus ruangan kitab, sudah sekian tahun dia bekerja dengan
baik, kedudukannya sudah menanjak menjadi Tianglo (sesepuh), tapi entah mengapa,
pada suatu malam mendadak Bu-liong mabuk lupa daratan, tatakan lilin terbalik
dan api menjilat, seluruh ruangan kitab Sim-lim-si itu hampir terbakar habis
menjadi puing. Karena gusar, Hongtiang atau ketua Siau-lim-si menjatuhkan hukuman kurungan
sepuluh tahun terhadap Bu-liong ditambah 20 kali rangketan. Merasa terhina, Bu-
liong mati dengan menahan dendam.
Karena urusan menyangkut saudara sekandung, sisa keempat Lohan yang lain merasa
penasaran, hati suci mereka berubah kembali dirangsang nafsu membunuh. Mereka
tidak segan-segan melakukan pelanggaran dan berusaha membunuh sang ketua.
Orang Kangouw hanya tahu usaha membunuh mereka itu gagal, tapi tidak ada yang
tahu bagaimana mati-hidup mereka selanjutnya, lebih-lebih tidak ada yang tahu
Bu-liong yang sudah lama diakui suci bersih itu mendadak bisa mabuk"
Peristiwa itu sudah menjadi kasus yang mencurigakan di dunia persilatan, serupa
halnya orang pun tidak tahu mengapa mendadak Ciok Ho dipecat dari Bu-tong-pay.
Akan tetapi sekarang Liok Siau-hong dapat meraba seluk-beluk urusan itu,
mabuknya Bu-liong pasti ada sangkut-pautnya dengan Koh-kua Hwesio, maklum, untuk
makan enak bersama Koh-kua tentu akan dibarengi juga dengan minum beberapa cawan
arak. Tadi keempat kakek itu bertanya tentang keadaan Koh-kua Hwesio, tentunya mereka
berharap Koh-kua masih hidup dengan baik, dengan begitu barulah mereka dapat
menuntut balas padanya. Sekali serang tadi Bu-pa lantas mematahkan tulang tangan lawan dan membunuhnya,
hal ini membuktikan dendam kesumatnya sudah lama terpendam dan belum
terlampiaskan. Yang paling dibenci mereka bukan Koh-kua Hwesio melainkan Siau-lim-si, serupa
halnya Ciok Ho dendam kepada Bu-tong dan Ko Tiu benci kepada Hong-bwe-pang.
Adapun alasan mereka hendak menumpas Koh-tojin dari Pah-san adalah karena Pah-
san kaya dengan tambang emas, dengan sendirinya Koh Hui-hun ingin merampas
kekayaan keluarga Koh itu sebagai milik sendiri.
Sedangkan Hay Ki-koat sudah sukar menancap kaki di lautan bebas, dengan
sendirinya dia ingin merampas kekuasaan Cui-siang-hui yang merajai lembah sungai
Yangce atau Tiangkang itu.
Sedangkan Toh Thi-sim bermusuhan besar dengan Kay-pang. Dan si kakek berjenggot
panjang itu sangat bisa jadi adalah Pek-seng-to-ong Kwan Thian-bu, si raja golok
selalu menang, yang dahulu pernah berebut warisan perguruan Gan-tang dengan Ko
Hing-kong. Jadi gerakan Lau-to-pacu ini sekaligus hendak menjaring segenap musuh mereka,
dengan sendirinya mereka mendukung dengan sepenuh tenaga.
Cuma sasaran mereka itu semuanya adalah pimpinan atau gembong sesuatu perguruan
besar, biasanya sangat sukar bertemu, apalagi berkumpul, jarak tempat tinggal
masing-masing juga sangat jauh, mengapa Lau-to-pacu mampu menjaring mereka
sekaligus dalam suatu operasi total"
Untuk ini Lau-to-pacu sudah mulai memberi penjelasan. "Pada tanggal 13 bulan
empat nanti adalah ulang tahun wafatnya men diang Bwe-cinjin, ketua Bu-tong-pay
yang dulu, juga ulang tahun kesepuluh Ciok Gan menjabat ketua. Konon pada hari
itu dia akan mengangkat ahli-waris Bu-tong-pay yang akan datang."
Dia mendengus, lalu menyambung lagi, "Pada hari itu, di Bu-tong-san tentu akan
berkumpul tamu undangan yang tak terhitung banyaknya, Thi-koh, Ong Cap-te dan
lain-lain pasti juga akan hadir sebagai tamu undangan."
"Apakah pada hari itu kita akan bertindak?" pertanyaan ini mestinya akan
diajukan Liok Siau-hong, tapi telah didahului oleh Toh Thi-sim.
Lau-to-pacu mengangguk, "Maka kita harus berada di Bu-tong-san sehari sebelum
aksi operasi kita." Akan tetapi bilamana rombongan mereka berangkat bersama, tak sampai meninggalkan
wilayah pegunungan ini pasti akan menggemparkan dunia persilatan.
Maka gerakan mereka harus dilakukan secara rahasia, tidak boleh diketahui oleh
siapa pun. Keberangkatan mereka selain dilakukan dengan berkelompok juga setiap orang harus
berganti rupa atau menyamar.
Semua itu sebelumnya sudah dirancang dengan cermat oleh Lau-to-pacu.
"Tentang gerakan kita secara terperinci akan kuatur dengan baik bagi para
peserta, maka kalian tidak perlu pusing kepala," kata Koan-keh-po.
"Aku dapat menjamin, orang yang bertanggung jawab bagi penyamaran kalian mutlak
adalah seorang ahli yang tidak ada bandingannya di dunia ini, bilamana kalian
sudah berganti rupa, ditanggung orang lain tidak kenal lagi kepada wajah asli
kalian." Persoalan satu-satunya sekarang ini adalah: Cara bagaimana membawa senjata ke
atas gunung Bu-tong"
Biasanya tidak ada seorang pun diperbolehkan membawa senjata ke Bu-tong-san,
segala macam senjata harus ditinggalkan di kaki gunung, di suatu tempat yang di
sebut 'Kay-kiam-ti' atau kolam menanggalkan pedang.
"Tapi aku pun dapat menjamin, pada malam operasi harus di laksanakan itu, setiap
orang pasti akan mendapatkan senjata masing-masing yang biasa kalian gunakan,"
kata Lau-to-pacu pula. "Dimana akan didapatkan senjata?" tanya nenek Lo yang sedang melahap sepotong
ayam goreng itu. "Di kakus sana," jawab Lau-to-pacu.
Selagi nenek itu hendak bertanya pula, Koan-keh-po sudah menyodorkan lagi
gepotong babi panggang untuk menutup mulutnya.
Dan bagaimana harus menutup mulut orang-orang seperti Ih Hoan" Bukankah rahasia
yang diketahui mereka sudah terlalu ba-nyak"
Wajah mereka kelihatan pucat, sebab mereka pun menyadari untuk menyelesaikan
persoalan ini hanya ada satu jalan. Hanya orang mati saja takkan membocorkan
rahasia apapun. Dan bila ingin mencari hidup di tengah kematian itu, biasanya juga cuma ada satu
jalan, yaitu, 'Sebelum terbunuh, harus membunuh lebih dulu!'
Karena itulah mendadak Ih Hoan melompat maju, serupa ikan terbang yang meletik
dari dalam air. Hui-hi-ji (semacam cundrik penusuk ikan) yang digunakannya seluruhnya ada lima
pasang, Yap Ling hanya berhasil mencuri empat pasang senjatanya, sisa sepasang
masih tersimpan di dalam bajunya. Sekarang cundrik itu telah berubah menjadi dua
jalur kilat dan menyambar Lau-to-pacu.
Namun Lau-to-pacu tidak bergerak, sebaliknya Ciok Ho yang berdiri di belakangnya
segera bertindak. Jit-sing-kiam atau pedang bintang tujuh mendadak menyambar
bagai sejalur pelangi. Pelangi ketemu sinar kilat, "tring-tring" dua kali, sinar kilat lenyap mendadak,
dua potong ujung cundrik jatuh dari udara, pelangi juga hilang, ujung pedang
sudah bersarang di dalam dada Ih Hoan.
Ia memandang kutungan cundrik yang masih dipegangnya, lalu memandang pula pedang
yang menembus dadanya, kemudian baru menengadah dan memandang orang yang tidak
punya muka di depannya ini, seperti tidak percaya kepada apa yang terjadi ini.
Si manusia tidak bermuka alias Ciok Ho itu juga menatapnya dengan dingin,
tanyanya tiba-tiba, "Bagaimana seranganku ini dibandingkan dengan jurus Thian-gwa-hui-sian andalan
Yap Koh-seng itu?" Ih Hoan mengertak gigi, satu kata pun tak terucapkan, ujung mulutnya yang
berkerut menampilkan senyum ejekan, seakan-akan hendak bilang: "Yap Koh-seng
sudah mati, memangnya mau apa jika kau lebih hebat daripada dia"
Agaknya Ciok Ho tahu maksudnya, tangan yang memegang pedang itu mendadak
berputar, dengan sendirinya mata pedang juga ikut berputar.
Muka Ih Hoan seketika mengejang, mendadak ia meraung dan menubruk maju, darah
lantas muncrat dan tubuh tersunduk lebih dalam di tengah pedang.
Siau-hong tidak tega menyaksikan adegan ngeri itu, ia berbangkit, masih ada
beberapa orang yang berdiri itu belum terbunuh, ia tidak ingin menyaksikan
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka mati satu per satu.
Kabut masih tebal, hawa dingin dan lembab, ia menarik napas dalam-dalam, pikiran
terasa segar, ia perlu ketenangan.
"Kau tidak suka membunuh orang?" terdengar suara Lau-to-pacu, dia ikut keluar
untuk mencari hawa segar juga.
"Aku gemar minum arak, adalah hal lain jika melihat orang lain juga minum arak,"
ujar Siau-hong dengan hambar.
Dia tidak berpaling untuk memandang Lau-to-pacu, tapi dari suaranya diketahuinya
orang merasa puas terhadap jawabannya.
"Aku pun tidak suka melihat, urusan apapun juga akan jauh lebih menyenangkan
jika kulakukan sendiri," kata Lau-to-pacu.
Siau-hong termenung sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Tapi ada
sementara urusan agaknya tidak suka kau kerjakan sendiri."
"Oo, apa?" tanya Lau-to-pacu.
"Kau tahu Yap Ling telah mencuri baju renang dan senjata Ih Hoan, kau pun tahu
apa yang hendak dilakukannya, tapi tidak kau cegah."
"Ya, tidak," Lau-to-pacu mengaku.
"Kau larang kupergi menolong Yap Soat, kau sendiri juga tidak pergi, mengapa kau
biarkan Yap Ling pergi ke sana?"
"Sebab kutahu Yap Leng-hong pasti takkan mencelakai dia." "Kau yakin?"
Lau-to-pacu mengangguk, tiba-tiba suaranya berubah parau, "Ya, sebab dia adalah
putri kandung Yap Leng-hong."
Kembali Siau-hong menarik napas dalam-dalam seperti tidak memperhatikan rasa
pedih dan dendam yang terkandung dalam ucapan orang, katanya pula, "Ada lagi
satu urusan, tampaknya kau pun tidak mau turun tangan sendiri."
Lau-to-pacu menunggu lanjutan ucapannya.
"Apakah kau ingin menggunakan Ciok Ho untuk menghadapi Ciok Gan dari Bu-tong dan
menggunakan keempat saudara binatang buas itu untuk menghadapi Thi-ko Hwesio
dari Siau-lim?" "Itu menyangkut permusuhan mereka, memang mereka perlu menyelesaikannya sendiri
secara tuntas." "Dan mampukah Toh Thi-sim menghadapi Ong Cap-te?"
"Selama belasan tahun ini kungfunya sudah maju pesat, apalagi si nenek Lo akan
membantunya." "Kurasa Koh-tojin bukan tandingan Piauko (Koh Hui-hun), dan antara Cui-siang-hui
dan Hay Ki-koat, kau pegang siapa?"
"Tiangkang adalah pangkalan yang menguntungkan, tentu saja Cui-siang-hui
(terbang di atas air) banyak mengeduk keuntungan dari situ sehingga dia sudah
terlalu gemuk dan tidak sanggup terbang lagi, maka baik di darat maupun di dalam
air, biarpun tiga berbanding satu juga kupegang Hay Ki-koat."
"Akan tetapi Kwan Thian-bu sudah pernah dikalahkan tiga kali oleh Ko Hing-kong,"
kata Siauhong. "Ketiga kali itu disebabkan diam-diam ada orang membantu Ko-Hing-kong."
"Siapa?" tanya Siau-hong.
Lau-to-pacu mendengus, "Tentu dapat kau pikirkan, Ko Hing-kong malang melintang
di Tiangkang, apa sangkut-pautnya kenduri orang mati di Bu-tong-san dengan dia"
Mengapa dia juga perlu hadir?"
Siau-hong manggut-manggut, kiranya orang Bu-tong-pay yang diam-diam membantu Ko
Hing-kong. Tapi urusan dalam perguruan Gan-tang-san, mengapa anak murid Bu-tong-pay perlu
ikut campur" Siau-hong tidak ingin bertanya terlalu banyak, katanya pula, "Sekarang mengenai
Lau-jit si mata elang, seumpama Koan-keh-po tidak mampu mengatasi dia, kalau
ditambah lagi dengan Hoa Gui tentu jauh daripada cukup."
"Hoa Gui ada tugas lain, Ko Tiu juga tidak memerlukan pembantu," kata Lau-to-
pacu. "Wah, tampaknya ketujuh sasaran pokok itu sudah ada orang siap menghadapinya,
urusan pasti akan berhasil dengan baik."
"Ya, pasti akan sukses."
"Lantas apa yang kau minta kukerjakan?" tanya Siau-hong dengan tertawa. "Untuk
manghadapi kawanan Tojin tukang sapu dan tukang cuci piring?"
"Apa yang kuminta kau kerjakan justru merupakan kunci berhasil atau gagalnya
operasi kita ini." "Pekerjaan apa?" tanya Siau-hong.
Lau-to-pacu tertawa, "Apa yang kau ketahui sekarang sudah cukup banyak, urusan
lain biarlah kuberitahukan padamu nanti bilamana malam tanggal 12 bulan empat
sudah tiba." Ia tepuk bahu Siau-hong dan berkata pula, "Maka malam ini boleh kau rileks
sesukamu, boleh kau minum sampai mabuk, sebab besok boleh kau tidur sehari
suntuk." "Harus kutunggu sampai lusa baru boleh turun gunung?" tanya Siau-hong.
"Ya, kau termasuk kelompok terakhir."
"Siapa lagi di antara kelompok terakhir?"
"Koan-keh-po, nenek Lo, Piauko, Kaucu dan Liu Jing-jing," Lau-to-pacu tertawa,
lalu menyambung, "Tontonan menarik biasanya berada pada babak terakhir, dengan
sendirinya kalian harus diatur pada barisan terakhir."
"Apalagi kalau mereka ikut bersamaku, sedikitnya aku takkan mati disergap orang
di tengah jalan." ... Tambah riang tertawa Lau-to-pacu, "Jangan kuatir, sekalipun di tengah perjalanan
kau kepergok S.ebun Jui-soat, kutanggung dia pasti tidak mengenalmu lagi."
"Ya, sebab orang yang akan merias wajahku itu adalah ahli yang tidak ada
bandingannya di dunia ini."
Lau-to-pacu tertawa, "Jika seorang dapat menyamar dirinya sendiri sebagai
anjing, masa perlu lagi kau ragukan kemampuannya?"
Kiranya si ahli rias yang dimaksud ialah Kian-long-kun, si jaka anjing.
Tugas Kian long-kun adalah mengubah wajah setiap orang. agar tidak dikenali
orang lain. Dan bagaimana setelah tugasnya itu selesai"
"Kuminta kau bawa pergi diriku!" inilah permintaan Kian-long-kun, akhirnya Siau-
hong paham artiriya, dengan sendirinya si jaka anjing juga sudah menyadari
bahaya yang mengancam dirinya.
Lau-to-pacu menengadah dan menghembuskan napas panjang, masa tanam sudah
berlalu, yang ditunggu sekarang adalah musim panen, dia seperti sedang
membayangkan buah yang mulai tumbuh itu.
Buah sebiji demi sebiji itu adalah buah kepala.
Mendadak Siau-hong berpaling dan menatapnya, "Dan kau sendiri" Setiap orang
sudah ada tugas yang akan dilaksanakan, kau sendiri akan melakukan apa?"
"Aku kan pemilik modal, aku cuma menunggu hutang yang hendak kalian tagih
bagiku." "Bu-tong-pay hutang pada Ciok Ho, Siau-lim-si hutang kepada kawanan binatang
liar itu, lantas siapa yang hutang padamu?"
"Setiap orang sama hutang padaku," kata Lau-to-pacu, lalu ia tepuk-tepuk pula
bahu Liok Siauhong, sambungnya dengan tersenyum. "Bukankah kau pun hutang
sedikit padaku?" Siau-hong menarik napas panjang, terasa hawa segar masih penuh dalam rongga
dadanya. Ia tahu barang siapa berhutang kepada Lau-to-pacu, cepat atau lambat harus
membayar, tidak saja berikul rentenya, tapi bila berli pat ganda. Ia kuatir
dirinya takkan mampu membayar.
Kian-long-kun berbaring di tempat tidurnya dan memandang langit-langit dengan
terkesima. Sungguh dia ingin tidur, sudah dicobanya memejamkan mata beberapa kali, tapi
tetap sukar pulas. Ia gelisah, ia merasa nasib sendiri ibarat telur di ujung tanduk, mana dia bisa
pulas. Malam sunyi, mendadak terdengar "krek", jendela terbuka dan seorang melayang
masuk, Liok Siau-hong adanya.'
Sebelum Kian-long-kun bersuara, Liok Siau-hong telah mendekap mulutnya sambil
mendesis, "Hanya kau sendiri di dalam rumah ini?"
Memang cuma dia seorang, siapa pun tidak betah tinggal di dalam rumah yang penuh
bergantungan kulit anjing dan kulit manusia, siapa pun tidak tahan oleh bau
busuk kulit yang dimasak di dalam kuali yang selalu mengepul itu.
Menyaru dan berganti rupa bukan pekerjaan yang ringan dan santai sebagaimana
disangka orang, untuk membuat sehelai kedok kulit manusia yang baik tanpa cacat
selain diperlukan ketrampilan tangan yang cekatan, juga diperlukan kesabaran
yang luar biasa. Siau-hong tidak tahan oleh bau busuk yang mengepul di kuali itu, ia bertanya,
"Apa yang kau masak?"
"Masak lem urat kerbau, kedok kulit manusia harus dilem dengan cairan urat
kerbau supaya tidak terlepas."
"Kedok kulit manusia" Benar-benar kau gunakan kulit manusia sebagar kedok?"
"Kedok muka harus dibuat dari kulit manusia tulen barulah seluruh bentuk wajah
dapat berubah sama sekali, bahkan setiap kedok harus dibuat klise sesuai dengan
bentuk wajah orang yang bersangkutan."
Mendadak ia berkata kepada Siau-hong dengan tertawa, "Aku pun sudah membuat
sebuah kedok sesuai bentuk wajahmu."
"Juga terbuat dari kulit manusia?" tanya Siau-hong dengan menyengir.
"Ya, asli, tanggung tulen."
"Berapa banyak seluruhnya kau bikin?"
"Ada 31 helai." kata Kian-long-kun. "Kecuali Lau-to-pacu, setiap orang mendapat
sehelai." Mengapa Lau-to-pacu tidak perlu menyamar" Memangnya dia akan tetap memakai
caping itu ke Bu-tong-san"
"Sesudah berganti rupa, apakah wajah setiap orang itu akan diberi sesuatu tanda
pengenal yang khas?"
"Tidak, setitik pun tidak ada."
"Jika masing-masing tidak saling mengenal lagi, apakah tidak mungkin akan salah
membunuh kawan sendiri?" "Pasti tidak akan terjadi." "Sebab apa?"
"Sebab tugas setiap kelompok tidak sama, ada yang khusus menghadapi kawanan Tosu
Bu-tong dan ada yang khusus menghadapi Hwesio Siau-lim, asalkan kelompok yang
bersangkutan dapat mengingat bentuk masing-masing sesudah menyamar, tentu takkan
terjadi membunuh kawan sendiri."
Siau-hong termenung sejenak, mendadak ia bertanya dengan suara tertahan,
"Dapatkah kau tinggalkan setitik tanda pengenal pada wajah setiap kelompok"
Misalnya ditambah setitik tahi lalat dan sebagainya."
Kian-long-kun memandangnya dengan lerheran-heran, sampai lama barulah ia
bertanya dengan suara lirih, "Kau yakin dapat membawa pergi "diriku?"
"Pasti," jawab Siau-hong.
"Asalkan kau sanggupi permintaanku, tentu kulakukan permintaanmu."
"Cara bagaimana akan kau beri tanda?"
Kian-long-kun terkedip-kedip, katanya kemudian, "Sekarang belum dapat kukatakan,
nanti kalau kita mau berangkat baru akan kuberitahu."
Orang ini hampir serupa Lau-to-pacu saja, kecuali kepada dirinya sendiri ia
tidak percaya kepada siapa pun. Terkadang malahan juga tidak percaya kepada
dirinya sendiri. Tiba-tiba Kian-long-kun bertanya pula, "Apakah Hoa-kuahu berangkat satu kelompok denganmu?"
"Mungkin betul," jawab Siau-hong.
"Kau ingin dia berubah bagaimana bentuknya" Supaya tambah tua dan tambah buruk,
atau lebih muda dan agak cakap?"
"Makin tua makin baik, semakin buruk semakin baik," jawab Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Kian-long-kun.
"Sebab tidak ada orang mau percaya Liok Siau-hong bisa berada bersama seorang
perempuan tua lagi buruk rupa, maka pasti juga tak ada yang mau percaya diriku
inilah Liok Siau-hong."
"Jadi semakin tua dan semakin buruk rupanya, makin aman pula bagimu, bukan saja
orang lain tidak dapat mengenalimu, kau sendiri pun tidak akan tergiur padanya."
Kian-long-kun berkedip, lalu berkata pula dengan tertawa, "Selama beberapa hari
ini memang perlu kau jaga kondisi badanmu, jika tinggal bersama seorang janda
muda, tentu tidak gampang lagi bagimu untuk menyimpan tenaga."
Siau-hong memandangnya, lalu mendengus, "Kau tahu apa penyakitmu?"
Kian-long-kun menggeleng.
"Penyakitmu yang paling parah adalah terlalu banyak bicara."
"Asalkan kau bawa pergi diriku, kujamin sepanjang jalan takkan bicara satu kata
pun," kata Kian-long-kun dengan tertawa.
"Sekalipun kau mau bicara juga ada caraku akan membikin kau tidak mampu bicara."
"Apa caramu?" tanya Kian-long-kun.
"Aku ini kan seorang pesiunan pembesar yang pulang kampung halaman, selain
membawa beberapa pengiring, aku pun membawa seekor anjing," Siau-hong tersenyum,
lalu menyambung, "Dan kau adalah anjing itu. Dengan sendirinya anjing takkan bicara seperti
manusia." Sampai lama Kian-long-kun atau si jaka anjing memandang nya, akhirnya ia
menyengir dan berucap, "Betul, aku adalah anjing itu, cuma kumohon janganlah
engkau lupa bahwa anjing ini hanya suka makan daging dan tidak mau menggerogoti
tulang." "Tapi kau pun jangan lupa, anjing yang tidak menurut pe-rintah, selain cuma
diberi tulang saja, terkadang juga akan makan tahi."
Sambil bergelak tertawa Siau-hong melangkah keluar, tiba-tiba ia berpaling dan
bertanya pula, "Eh, Yap Ling dan Yap Soat termasuk dalam kelompok keberapa?"
"Entah, aku pun tidak tahu," jawab Kian-long-kun. "Dari daftar nama yang
kuterima dari Lau-to-pacu juga tidak terdapat nama mereka."
Malam bertambah larut, Siau-hong berduduk di tempat sepi itu, di tengah kabut
yang dingin, terjadi pula pertentangan batinnya, "Sekarang harus kupergi ke rawa
sana untuk mencari mereka kakak beradik atau minum sampai mabuk saja?"
Akhirnya ia memilih mabuk saja.
Umpama dia tidak pergi mencari mereka juga tidak perlu harus mabuk. Akan tetapi
dia toh mabuk, lupa daratan. Mengapa dia harus mabuk"
Apakah karena dia menanggung sesuatu penderitaan batin yang sukar dikatakan
kepada orang lain" Pada tanggal tiga bulan empat, petang hari, cuaca terang, banyak kabut.
Waktu Siau-hong mendusin, dirasakannya kepala sakit seperti mau pecah, mulut
kering dan pahit, semangat lesu, serupa orang habis sakit berat.
Sekian lama dia mendusin baru membuka mata, dan begitu membuka mata hampir saja
ia melonjak kaget. Aneh, mengapa si nenek Lo bisa berduduk di ujung tempat tidurnya" Bahkan sedang
menatapnya. Ia kucek-kucek matanya yang masih sepat, baru diketahuinya sekarang nenek yang
duduk di ujung tempat tidurnya bukanlah nenek Lo yang lagi makan kacang itu,
namun usianya jelas tidak lebih muda daripada nenek Lo.
"Siapa kau?" tanyanya. Tapi jawaban si nenek membuatnya terkejut pula.
"Aku binimu," ucap nenek itu sambil menjengek, "Sudah 50 tahun bulat kujadi
isterimu, betapapun tak dapat kau sangkal aku ini binimu."
Siau-hong memandangnya dengan tercengang, mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal
dan berguling di tempat tidur.
Nenek ini ternyata Liu Jing-jing adanya, ia dapat mengenali suaranya.
"Mengapa engkau berubah semacam ini?"
"Semua ini gara-gara si anjing buduk itu, aku ingin muda sedikit saja tidak
diluluskan," sambil bicara Liu Jing-jing sibuk makan kacang pula, ditambahkannya
dengan gemas, "Sekarang aku berubah jadi begini, kau sangat senang bukan?"
Siau-hong sengaja berkedip-kedip, lalu menjawab, "Mengapa aku senang?"
"Sebab engkau memang menghendaki aku makin tua makin baik, makin buruk makin
baik, sebab kau memang selalu menghindari diriku, seperti takut akan kutelan
dirimu bulat-bulat."
"Mengapa harus kuhindari dirimu?" Siau-hong tetap berlagak pilon.
"Jika bukan menghindari diriku, mengapa setiap hari kau tenggak arak hingga
mabuk seperti babi mampus?" jengak Jing-jing, lalu sambungnya, "Padahal aku pun
tahu engkau tidak berani menyentuh diriku, namun aku juga rada heran, bilamana
setiap malam kau diharuskan tidur bersama seorang nenek macam diriku ini, mana
bisa kau tahan?" Siau-hong berduduk dan bertanya, "Mengapa setiap malam perlu kutidur bersamamu?"
"Sebab engkau ini pesiunan pembesar kotaraja yang hendak pulang kampung halaman,
aku adalah istrimu, seorang istri yang terkenal sebagai gentong cuka (maksudnya
suka cemburu)." Seketika Siau-hong melongo dan tidak sanggup bicara lagi.
"Ada kabar baik ingin kuberitahukan padamu, yaitu anak kita juga akan selalu
mendampingi perjalanan kita."
Kembali Siau-hong terkejut, "Siapa itu anak kita?"
"Piauko," tutur Jing-jing.
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak Siau-hong rebah kaku di tempat tidur dan tidak bergerak lagi.
Liu Jing-jing tertawa geli, mendadak ia menubruk di atas tubuh Liok Siau-hong,
ucapnya dengan terkikik, "Meski aku sudah tua orangnya, tapi hatiku belum tua,
setiap hari aku masih perlu, tiada gunanya biarpun kau pura-pura mati."
"Tidak nanti aku berlagak mati," sahut Siau-hong dengan tertawa getir, "jika
setiap hari aku diharuskan berbuat begituan dengan seorang nenek, sungguh aku
bisa mati benar-benar."
"Kan dapat kau pejamkan mata dan membayangkan wajahku masa lampau?" ujar Liu
Jing-jing dengan tertawa geli. "Bukankah kaum lelaki kalian suka bilang, asalkan
memejamkan mata, maka setiap perempuan di dunia ini kan sama saja."
Sekarang Liok Siau-hong baru merasakan akibat tingkah-polahnya sendiri. Dia
sendiri yang menggali lubang ini dan dia sendiri yang terjeblos ke dalam lubang
ini. Waktu Kian-long-kun datang, napas Liu Jing-jing tampak masih terengah-engah.
Jika ada yang melihat seorang nenek ompong berlagak serupa gadis remaja dan
berbaring di samping seorang lelaki cakap dengan napas terengah-engah dan mampu
bertahan tanpa tertawa geli, maka kepandaian orang ini pasti tidak kecil.
Kepandaian Kian-long-kun memang tidak kecil. Dia tidak tertawa geli, malahan dia
dapat berlagak tidak tahu, tapi ketika Liok Siau-bong berdiri, tiba-tiba ia
memicingkan mata kepadanya seperti lagi bertanya, "Bagaimana?"
Tidak kepalang dongkol Siau-hong, sungguh dia ingin mengorek biji mata orang
untuk diberi makan kepada Liu Jing-jing sebagai kacang.
Syukur dia tidak sampai bertindak demikian, dari luar lantas melongok seorang
nenek yang lebih tua daripada gabungan usia Liu Jing-jing dan nenek Lo, dengan
suaranya yang lucu lagi berkata,
"Loya dan Thay-thay (tuan dan nyonya) hendaknya bersiap-sfap, begitu fajar tiba
segera kita akan berangkat."
Nenek reyot ini adalah Koan-keh-po, siapa pun tak menyangka seorang tokoh
berpengaruh Hong-bwe-pang dan pernah malang melintang di dunia Kangouw sekarang
bisa berubah menjadi begini.
Liok Siau-hong merasa senang, tiba-tiba ia berseru, "Dimana putraku sayang"
Lekas panggil kemari untuk memberi selamat kepada bapaknya."
Piauko yang tampaknya sudah tambah muda 20 tahun terpaksa masuk dengan muka
muram durja. Segera Siau-hong menarik muka, ucapnya, "Keluarga pembe-sar harus mempunyai
peraturan rumah tangga yang tertib, biarpun di tengah perjalanan juga tidak
boleh menyampingkan peraturan. Maka selanjutnya setiap hari kau harus menghadap
dan memberi selamat pagi dan malam kepadaku, tahu tidak?"
Terpaksa Piauko mengangguk.
"Jika tahu, mengapa tidak lekas berlutut dan menyembah," kata Siau-hong.
Melihat Piauko menurut kepada segala perintahnya dan benar-benar menyembah
padanya, hati Siau-hong tambah riang, apapun juga menjadi bapak memang lebih
baik daripada menjadi anak.
Dengan sendirinya sepanjang perjalanan dia juga takkan kese-pian, kecuali bini,
dia juga punya anak, ada seorang Koan-keh atau pengurus rumah tangga dan juga
seorang Koan-keh-po, nenek pengurus rumah tangga, malahan juga membawa seekor
anjing. "Anjing ini tidak dapat dibawa serta," kata Hay Ki-koat.
Kaitan pada tangannya yang buntung telah ditanggalkan se-hingga bila tidak
tertutup oleh lengan baju, pergelangan tangannya yang terputus itu kelihatan
halus licin, kelihatan lucu.
Namun sikap Hay Ki-koat, si Koan-keh, sangat kereng dan tegas, "Betapapun tidak
boleh kita membawanya."
"Apakah ini juga perintah Lau-to-pacu?" tanya Siau-heng. "Dengan sendirinya,"
sahut Hay Ki-koat. "Jadi kalian akan membunuh dia?" "Begitulah."
Agaknya tugas Kian-long-kun sekarang sudah selesai, mereka tidak memerlukan
tenaganya lagi. "Siapa yang akan turun tangan membunuhnya?" tanya Siau-hong.
"Aku," jawab Hay Ki-koat.
"Tanpa kaitan juga dapat kau bunuh orang?"
"Setiap saat dapat kulakukan."
"Baik, jika begitu sekarang juga boleh kau bunuh diriku," kata Siau-hong.
Air muka Hay Ki-koat berubah, "Apa ... apa maksudmu ini?"
"Maksudku cukup sederhana," ucap Siau-hong dengan ketus. "Dia pergi, aku juga
pergi. Dia mati, aku juga mati."
Dengan sendirinya Liok Siau-hong tidak boleh mati.
Maka Hay Ki-koat menjadi ragu, ia pandang Piauko, Piauko memandang Koan-keh-po
dan Koan-keh-po memandang Liu Jing-jing.
Liu Jing-jing juga memandang Kian-long-kun, tiba-tiba ia bertanya, "Kau ini
anjing jantan atau betina?" "Jantan," jawab Kian-long-kun.
"Ada anjing yang biasanya suka tidur di pinggir ranjang majikannya, bagaimana
dengan kau?" tanya Jing-jing pula. "Aku suka tidur di depan pintu, bahkan tidurku biasanya seperti anjing mampus,
apapun tidak terdengar."
"Asalkan bukan anjing betina, biarkan saja dia mau bawa be-rapa ekor juga boleh,
aku tidak anti." "Dan adakah orang lain tidak setuju?" seru Siau-hong.
Hay Ki-koat menghela napas dan menjawab, "Tidak."
"Ya, setengah orang saja tidak ada," sambung Koan-keh-po.
"Dan kau?" tanya Siau-hong terhadap Piauko.
"Aku ini anak yang berbakti, aku jauh lebih penurut daripada anjing," ucap
Piauko dengan tertawa. Maka ketika fajar tiba, Liok-toaloya atau tuan besar Liok kita lantas berangkat
bersama empat orang dan seekor anjing, beramai mareka meninggalkan Yu-leng-san-
ceng, perkampungan hantu.
Inilah untuk kedua kalinya ia meninggalkan tempat ini, ia tahu sekali ini
dirinya pasti takkan kembali lagi ke sini.
Tanggal lima bulan empat, cuaca cerah.
Liok Siau-hong lagi tersanyum menghadapi sebuah cermin perunggu yang tergosok
sangat licin dan bening. Memandangi bayangan dalam cermin yang bukan lagi dirinya itu, meski agak janggal
rasanya, tapi juga sangat menarik.
Kakek dalam cermin ini dengan sendirinya tidak segagah dan tampan seperti
asalnya, tapi kelihatan angker dan berwibawa, sekali-kali bukan kakek konyol
yang terlalu banyak minum dan kelewat takaran piara bini muda, bukan kakek yang
sebelah kakinya sudah melangkah ke liang kubur.
Untuk hal ini jelas hatinya sangat senang, satu-satunya hal yang disesalkannya
adalah dia tidak dapat mencuci muka.
Sebab itulah dia hanya dapat menggunakan handuk kering dan mengusapnya secara
perlahan saja, lalu berkumur dan sikat gigi, kemudian berpaling dan memandang
nenek yang masih berbaring di tempat tidur itu sambil menggeleng.
Pada saat itulah anjing yang patuh itu telah masuk dengan menggoyang ekor, putra
berbakat juga datang menyampaikan ucap-an salamat pagi.
Siau-hong tambah gembira, katanya dengan tertawa, "Kalian telah bekerja dengan
baik, biarlah kuajak kalian makan di restoran '369' yang terkenal itu."
Restoran '369' sangat terkenal di kota ini, terutama bakpau buatannya, kecil
mungil, masih mengepul panas dari tempat kukusannya, sekaligus orang
menghabiskan 20 biji bakpau ini juga tidak terhitung banyak.
Malahan anjing piaraan Liok-toaloya saja bisa menghabiskan belasan biji bakpau,
sebaliknya pengurus rumah tangganya, baik yang lelaki maupun yang perempuan
terpaksa hanya berdiri di belakang majikan dan melayaninya.
Pembesar negeri, apalagi pejabat di kotaraja, disiplin biasanya jauh lebih keras
daripada orang lain. Pelayan restoran yang menyaksikan semua itu hanya menggeleng kepala saja, dengan
munduk-munduk ia berusaha menyanjung tetamunya yang terhormat, "Tampaknya
menjadi anjing di rumah Toaloya jauh lebih baik daripada jadi manusia."
Liok Siau-hong sedang sibuk tusuk gigi habis makan, tiba-tiba ia berkata, "Jika
kau suka padanya (anjing), kenapa tidak kau bawa dia berjalan-jalan, biarkan dia
kencing dan berak di luar, nanti kuberi persen."
Pelayan tampak ragu, ucapnya kemudian sambil memandang Koan-keh alias Hay Ki-
koat, "Apakah Koan-keh sendiri tidak membawanya pergi."
"Dia tidak suka kepada anjing ini, makanya anjing ini suka menggigit dia," kata
Siau-hong. Pelayan menjadi takut, "Wah, jangan-jangan hamba pun akan digigitnya."
"Hm, kau kira dia mau sembarangan menggigit orang, jika dia tidak mau biarpun
orang minta digigit, anjing ini juga tidak sudi pentang mulut," jengek Siau-
hong. Dengan tersenyum akhirnya pelayan menarik tali pengikat anjing dan membawanya
keluar. Koan-keh dan Koan-keh-po saling pandang, lalu saling pandang pula dengan Piauko.
Nyonya besar alias Liu Jing-jing berkata dengan tersenyum, "Jangan kau kuatir,
anjing bapakmu ini sangat penurut, pasti takkan kabur, seumpama mau kabur juga
tidak mudah." "Sebab apa?" tanya Piauko.
"Sebab kau pun akan ikut pergi, pada waktu dia berak harus kau tunggu di
sampingnya," kata nyonya besar.
Piauko ternyata sangat penurut, ia berbangkit terus keluar.
Siau-hong tartawa, "Tampaknya putra kesayangaii kita ini memang anak yang
berbakti." Liok Siau-hong mempunyai ciri, yaitu setiap hari sehabis makan pagi, tentu pergi
ke belakang, ke kakus. Dalam keadaan begini, betapa besar curiga dan cemburu nyonya besar juga tidak
mungkin mengintilnya pada waktu sang tuan besar membuang hajat.
Akan tetapi anjing tentu tidak pantang menunggui orang dalam keadaan apapun,
waktu berak juga anjing dapat menungguimu. Sebab itulah setiap kali Siau-hong
masuk ke kakus, selalu Kian-long-kun menggoyang ekor dan ikut masuk ke situ.
Hari ini juga tidak terkecuali. Begitu Siau-hong berjongkok, dengan suara
tertahan Kian-long-kun lantas mendesis, "Pelayan itu bukanlah pelayan yang
sesungguhnya." Namun Siau-hong diam saja, sama sekali tidak menghiraukannya.
"Ginkangnya pasti sangat linggi, dapat kuketahui dari suara langkahnya," kata
Kian-long-kun pula. Siau-hong tetap tidak memberi reaksi.
Serupa kebanyakan orang, pada waktu menguras perut, perhatiannya selalu
tercurahkan pada hal yang satu ini.
"Bahkan dapat kulihat dia pasti juga seorang ahli rias dan menyamar, malah
terlebih mahir daripadaku," kata Kian-long-kun pula.
Tiba-tiba Siau-hong berkata, "Apakah kau tahu barang apakah dirimu ini" Kau
siluman, tahu?" "Siluman?" Kian-long-kun melengak.
"Jika seekor anjing dapat bicara secara manusia, apalagi jika bukan siluman?"
"Akan tetapi aku "Dan apakah kau tahu cara bagaimana orang akan memperlakukan siluman?" potong
Siau-hong sebelum lanjut ucapan si jaka anjing.
Kian-long-kun menggeleng.
"Jika tak dibakar hidup-hidup, tentu dipentung sampai mati."
Kian-long-kun tidak berani berucap lagi, cepat ia mengeluyur pergi dengan
mencawat ekor. Siau-hong merasa lega, baginya, bilamana dapat duduk sendiri dengan tenang,
biarpun duduk di atas tong jamban, dirasakannya se-bagai semacam kenikmatan,
kenikmatan yang sukar dicari, sebab mendadak sekarang dia mempunyai seorang bini
tukang intai. Pada waktu dia keluar, dilihatnya Liu Jing-jing sudah menunggu di luar,
tampaknya sudah cukup lama menunggu, hal ini terbukti dari kulit kacang yang
menumpuk sekian banyak di lantai. "Kau suka melihat orang lelaki buang hajat"
Atau gemar mengendus bau kakus?" tanya Siau-hong.
"Aku cuma rada curiga saja," jawab Jing-jing.
"Curiga apa?" "Kucuriga engkau tidak benar-benar membuang hajat melainkan cuma alasan saja
untuk menghindari diriku dan mengadakan pertemuan mesra dengan sahabat anjingmu
itu." "O, makanya kau tunggu di luar, untung dia seekor anjing jantan, kalau betina,
tentu bisa susah," ujar Siau-hong dengan gegetun.
"Jika anjing betina, saat ini pasti sudah menjadi anjing mampus," kata Jing-jing
dengan hambar. Esoknya, cuaca terang, banyak awan.
Pada buku harian Koan-keh-po tercatat, "Makan pagi dilakukan di restoran Kui-
goan-koan di kota timur, antara waktu makan, menyuruh orang melepas anjing lagi,
pergi pulang sekitar setengah jam.
Pelayan yang melepas anjing she Ong, penduduk setempat, sudah 14 tahun menjadi
pelayan, beristeri, punya anak satu lelaki dan satu perempuan."
Catatan ini tentunya akan digunakan sebagai laporan kepada Lau-to-pacu, tapi Hay
Ki-koat tidak setuju, katanya, "Tidak, tidak boleh ditulis demikian."
"Mengapa tidak boleh?" tanya Koan-keh-po.
"Pada hakikatnya kita tidak boleh membawa serta anjing ini, apalagi menyuruh
orang lain melepas anjing, bila laporan ini dibaca Lau-to-pacu pasti akan
dianggap urusan ini tidak sederhana."
"Habis apa yang akan kau lakukan?" tanya Koan-keh-po.
"Jika anjing ini mampus, kan beras segala persoalan?" jengek Hay Ki-koat.
"Kau tidak takut kepada Liok Siau-hong?"
"Bila anjing hidup sudah berubah menjadi anjing mati, serupa beras sudah dimasak
menjadi nasi, lalu apa yang dapat dilakukannya terhadapku?"
"Tapi anjing hidup ini perlu menunggu sampai kapan baru akan menjadi anjing
mati?" "Hampir, selekasnya akan terjadi."
"Besok juga kau mau berjalan-jalan dengan anjing?"
"Apa boleh buat, mungkin selama hidupku baru pertama kali kuiakukan hal ini,"
ucap Hay Ki-koat sambil mengangkat pundak.
"Apakah juga penghabisan kalinya?"
"Ya, pasti." Esoknya hari juga cerah, Hay Ki-koat membawa anjing keluar, sudah berjalan cukup
jauh dan belum nampak bermaksud putar balik.
Piauko mengikut di belakangnya, ia tak tahan dan bertanya, "Mulai kapan kau
gemar berjalan-jalan seperti ini?" "Baru tadi," jawab Hay Ki-koat. "Sekarang kau
hendak pergi kemana?" "Keluar kota?"
"Untuk apa keluar kota?"
"Meski kejadian jamak seekor anjing mati di tengah jalan, tapi kalau dari dalam
kulit anjing keluar satu orang, jelas ini bukan kejadian biasa."
"Ya, dengan sendirinya urusan ini tidak boleh dilihat orang," kata Piauko.
"Makanya kita perlu keluar kota."
Hay Ki-koat memegang erat tali leher anjing, tangan Piauko juga siap memegang
tangkai pedang di balik bajunya.
Anjing ini diketahui paham ucapan manusia, bahkan jago Amgi, bila anjing tidak
jadi mati di tangan manusia, sebaliknya manusia yang mati di tangan anjing,
inilah lelucon yang maha besar.
Siapa tahu anjing ini sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu reaksi.
"Apakah kau tahu isi hati anjing ini, apa yang sedang dipikirnya?" tanya Piauko.
"Aku hanya tahu di sekitar sini seperti tidak ada orang lalu."
"Ya, bayangan setan saja tidak nampak."
Mendadak Hay Ki-koat berhenti, dipandangnya anjing itu, lalu berkata dengan
menyesal, "O, saudaraku anjing, jelek-jelek kita pernah berkawan, makan bersama
dan minum arak berbareng, jika engkau perlu meninggalkan pesan apa-apa, silakan
bicara saja, asal mampu pasti akan kami laksanakan bagimu."
Anjing itu menggoyang-goyangkan ekornya dan menyalak "hung-hung."
"Sampai terlepas kau goyang akormu juga tidak ada gunanya, kami tetap akan
membunuhmu," kata Hay Ki-koat dengan menyesal, berbareng kapalannya lantas
bakerja, "prak", dengan tepat kepala anjing digenjotnya.
Segera terdengar suara tulang kepala retak. Anjing itu mengaing satu kali, dia
masih sempat berdiri tegak, tapi pedang Piauko segera bersarang di lehernya.
Darah muncrat, cepat Hay Ki-koat melompat ke atas, waktu dia turun kembali,
anjing hidup itu sudah menggeletak menjadi anjing mati.
Hay Ki-koat menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, "Tampaknya membunuh
anjing terlebih ringan daripada membunuh manusia."
Tapi Piauko tampak menarik muka dan mendengus, "Mungkin yang kita bunuh adalah
anjing sungguhan." Hay Ki-koat terkejut, cepat ia berjongkok dan memeriksanya. Memang betul, di
dalam kulit anjing memang anjing tulen, anjing ini bukanlah samaran Kian-long-
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kun. "Jelas-jelas kulihat sendiri," ucap Hay Ki-koat dengan melenggong.
"Melihat apa?" tanya Piauko.
"Melihat Kian-long-kun menyusup ke dalam kulit anjing ini dan berubahlah dia
menjadi anjing," tutur Hay Ki-koat. "Anjing kan banyak jenisnya, anjing yang sama jenisnya hampir serupa," jengek
Piauko. "Jika begitu kemana perginya Kian long-kun" Darimana pula datangnya anjing ini?"
"Mengapa tidak kau tanyai Liok Siau-hong?"
Di luar kakus ternyata ada orang menunggu lagi, baru membuka pintu, belum lagi
Siau-hong sempat mengikat celana kolor, sudah terlihatlah Hay Ki-koat.
Tampaknya Hay Ki-koat sudah tidak tahan, seperti orang kebelet dan sudah berak
di celana. Siau-hong menghela napas, gumamnya, "Sungguh aneh, setiap kali aku berak di sini
selalu ada orang antri, jangan-jangan semua orang telah salah makan obat dan
sama mencret?" Dengan gemas Hay Ki-koat menjawab, "Aku tidak salah makan obat segala, cuma
salah membunuh." Siau-hong seperti terkejut, tanyanya, "Siapa yang kau bunuh?"
"Seekor anjing," jawab Ki-koat.
"Sesungguhnya yang kau bunuh manusia atau anjing?"
"Anjing yang kubunuh itu seharusnya manusia, siapa tahu dia benar-benar seekor
anjing, di dalam kulit anjing juga tidak ada manusia."
"Anjing tetap anjing, di dalam kulit anjing dengan sendirinya terdiri dari
daging dan tulang anjing, dangan sendirinya tidak terdapat manusia," kata Siau-
hong. Ia tepuk bahu Hay Ki-koat, lalu menyambung, "Tampaknya engkau sangat
lelah, kukira perlu istirahat, kalau tidak, bukan mustahil engkau bisa gila."
Melihat beringasnya, Hay Ki-koat seperti benar-benar akan gila saking gusarnya,
mendadak ia berteriak, "Dimana Kian-long-kun"!"
Siau-hong menjawab dengan tak acuh, "Dia bukan Koan-keh dan juga bukan putraku,
darimana kutahu dia berada dimana?"
"Tapi yang berkeras ingin membawanya serta dalam perjalan an ini ialah kau
sendiri." "Aku cuma bilang mau membawa serta seekor anjing dan tidak pernah mengatakan
akan membawa serta Kian-long-kun," Siau-hong menepuk bahu Hay Ki-koat pula dan
menambahkan dengan tersenyum, "Sekarang anjingku telah kau bunuh, tapi takkan
kuminta ganti rugi padamu. Apapun juga seorang Koan-keh kan lebih berguna
daripada seekor anjing, apalagi aku pun tidak ingin Koan-keh-po menjadi janda."
Saking gemasnya sampai Hay Ki-koat tidak mampu bersuara lagi.
Akhirnya Siau-hong telah mengikat baik celananya dan melangkah keluar dengan
santai, beberapa langkah berjalan, ia menoleh dan berkata pula dengan tersenyum,
"Kejadian ini harus kau laporkan kepada Lau-to-pacu, dia pasti juga akan sangat
tertarik oleh cerita ini, bisa jadi akan memberi hadiah besar padamu."
Dengan tertawa yang rada-rada bersifat mengejek ia menyambung pula, "Kau pikir
hadiah apa yang akan diberikannya padamu?"
Sudah tentu telah dipikirkan Hay Ki-koat, hadiah apapun pasti sesuatu yang
sangat berat, entah sekali pukulan berat atau sekali bacokan berat.
Mendadak Ki-koat bergelak tertawa, "Haha, sekarang dapatlah kupahami."
"Paham apa?" tanya Siau-hong.
"Jika yang kubunuh adalah anjing, yang mati dengan sendirinya juga anjing,
peduli anjing jenis apa yang jelas kan seekor anjing mati," ia memicingkan mata
dan tersenyum. "Jika manusia mati saja serupa, apalagi anjing."
Siau-hong tertawa, "Hah, tampaknya orang ini memang benar sudah bisa memahami
persoalannya." Pada hari tanggal delapan bulan empat, cuaca mendung, terkadang hujan. Dalam
buku harian Koan-keh-po tercatat singkat: "Menempuh perjalanan sejauh empat
ratus li, anjing mati mendadak."
Esoknya hari tetap mendung, cuaca kelam, jalan pegunungan sunyi senyap, kecuali
batu padas dan belukar, apapun tak tertampak.
"Mengapa kita menuju ke tempat begini?" "Sebab kusir kuatir malam ini tidak
dapat mencapai tempat bermalam, maka memotong jalan yang lebih dekat." "Jalan
ini lebih dekat?" "Seharusnya demikian, akan tetapi sekarang Koan-keh-po menghela napas, lalu
menyambung dengan menyengir, "Sekarang rasanya seperti tersesat."
Mestinya sudah waktunya makan, seharusnya mereka sudah membersihkan badan dan
siap menghadapi meja makan, tapi sekarang mereka justru tersesat di suatu tempat
yang sama sekali asing bagi mereka.
"Aku lapar, tidak kepalang laparku," keluh Liu Jing-jing, nyata dia bukan
perempuan yang tahan uji. "Aku perlu makan sesuatu, lambungku kurang baik."
"Jika benar kau perlu makan sesuatu, boleh kau tiru kambing makan rumput saja di
sini." Jing-jing berkerut kening, "Masa tiada sesuatu makanan di dalam kereta?"
"Tidak ada, bahkan air minum pun tidak ada."
"Lantas bagaimana baiknya?"
"Hanya ada satu jalan."
"Bagaimana?" "Tahan lapar." Mendadak Jing-jing membuka pintu dan melompat turun dari kereta, "Aku tidak
percaya tak ada jalan lain, biar kupergi mencari."
"Cari apa?" "Tempat apa dan dimana pun pasti ada penduduknya, di sekitar sini pasti juga ada
orang," cara bicara Liu Jing-jing seperti penuh keyakinan, padahal dalam hati
sama sekali tidak berdaya.
Tapi dia mau berusaha, sebab dia tidak tahan menderita, tidak tahan lapar.
Apapun yang hendak kau cari, hanya orang yang mau berusaha mencari baru dapat
menemukannya. Di dunia ini banyak kejadian demikian. Orang pertama yang menemukan kereta tentu
seorang yang malas berjalan, justru lan taran manusia tidak mau menderita, maka
hidup manusia banyak mendapat kemajuan.
Karena Jing-jing mau berusaha, mau mencari, maka dia berhasil.
Di balik lereng sana ternyata ada satu keluarga, suatu keluarga besar. Padahal
dimana pun sangat sulit menemukan keluarga besar seperti ini.
Dipandang dalam kegelapan, atap rumah itu serupa gumpalan awan mendung saja,
pintu gerbang yang lebar sedikitnya dapat dimasuki enam ekor kuda berjajar.
Akan tetapi cat pada daun pintu sudah mulai luntur dan terkelupas, pintu juga
tertutup rapat, yang paling aneh adalah rumah sebesar ini hampir tidak terlihat
setitik cahaya lampu apapun.
Konon, di tengah hutan belukar yang tiada manusia sering muncul rumah hantu,
apakah tempat ini adalah rumah hantu"
"Umpama betul rumah hantu juga akan kumasuki dan kulihat," Jing-jing hanya takut
kelaparan dan tidak takut hantu atau setan.
Dia mulai menggedor pintu, gelang tembaga pada daun pintu yang besar itu
dipukulkannya dengan keras, namun di dalam tetap tidak ada suara apapun.
Selagi dia hendak tinggal pergi, mendadak pintu terbuka, hanya terbuka sadikit
dan terpancar cahaya lampu, seorang berdiri di belakang cahaya lampu dan sedang
memandangnya dengan dingin.
Hanya sekilas pandang saja Jing-jing tidak memandang lagi muka orang itu. Orang
ini sungguh tidak mirip manusia, jika dia* dibilang manusia, maka dia pasti
manusia tanah, bila dikatakan dia setan paling-paling juga cuma setan yang
terbuat dari tanah Hat. Sekujur badan orang ini tanah belaka, mukanya, hidungnya, alisnya, sampai
mulutnya, seolah-olah juga tertutup oleh tanah.
Untung dia masih dapat tertawa.
Melihat sikap kaget Jing-jing, tertawalah dia, tertawa geli sehingga tanah yang
menempel di tubuhnya sama rontok.
Baik dia manusia atau setan, asal bisa tertawa, tampaknya menjadi tidak lagi
menakutkan. Jing-jing menabahkan hati dan berucap dengan tertawa, "Kami tersesat..."
Hanya dua kata ia bersuara orang itu lantas memotong, "Kutahu kalian tersesat,
kalau tidak tersesat mustahil akan datang ke tempat setan ini."
Tertawanya bertambah riang, sambungnya pula, "Tapi nyonya juga tidak perlu
takut, meski tempat ini tempat setan, aku bukanlah setan, aku manusia bahkan
manusia yang baik." "Manusia baik kenapa tubuh penuh tanah begini?" tanya Jing-jing.
"Siapa pun kalau menggali cacing selama beberapa hari, pada tubuhnya tentu akan
bertambah tanah sebanyak ini."
Jing-jing tercengang, "Kau lagi menggali cacing."
Orang itu mengangguk, "Ya, sudah 783 ekor cacing kugali."
"Untuk apa menggali cacing sebanyak itu?" tanya Jing-jing semakin terheran-
heran. "Sudah sebanyak ini toh masih belum cukup, aku masih harus menggali 717 ekor
lagi baru cukup jumlahnya."
"Sebab apa?" tanya Jing-jing
"Sebab aku bertaruh dengan orang, barang siapa kalah dia harus menggali 1500
ekor cacing, kurang satu ekor saja tak boleh." "Dan kau kalah?"
Orang itu menghela napas, "Saat ini belum kalah, namun kutahu sendiri pasti akan
kalah." Jing-jing memandangnya dengan terbelalak, "Sungguh istimewa caramu bertaruh ini,
kuyakin orang yang bertaruh denganmu itu pasti juga seorang aneh."
"Bukan saja seorang aneh, malahan seorang busuk," kata orang itu.
Sejak tadi Liok Siau-hong berdiri di kejauhan sana, mendadak ia menimbrung,
"Bukan saja orang busuk, bahkan maha busuk."
"Betul," si penggali cacing ini mengangguk.
"Jika dia orang busuk, lalu kau sendiri bagaimana?"
"Aku pun sama busuknya," kembali penggali cacing menghela napas.
Selagi Siau-hong hendak bicara apa-apa lagi, mendadak Jing-jing menyela, "Kau
bukan orang biisuk, engkau orang baik, kutahu engkau pasti memperbolehkan kami
menumpang mondok semalam di sini."
"Kau ingin bermalam di sini" Sungguh?" tanya orang itu. "Tcntu saja sungguh,"
sahut Jing-jing," Orang itu memandangnya dengan tercengang, jauh lebih tercengang daripada melihat
orang menggali cacing di tengah lumpur.
Jing-jing tidak tahan, katanya pula, "Kami tersesat, di sekitar sini tidak ada
penduduk lain, terpaksa kami mohon menumpang di sini, masa hal ini sangat
mengherankan?" Orang ini mengangguk, lalu menggeleng, gumamnya, "Tidak mengherankan, sedikit
pun tidak mengherankan."
Mulutnya bilang tidak heran, tapi wajahnya kelihatan terheran-heran.
"Memangnya di tempat ini ada setannya?" tanya Jing-jing. "Tidak ada, satu pun
tidak ada." "Jika begitu, bolehkah kami menumpang satu malam di sini?"
Orang itu tertawa pula, "Asalkan kalian suka, tidak menjadi soal berapa lama
kalian akan menumpang tinggal di sini."
Dia membalik dan menuju ke halaman yang gelap dan seram sana sambil bergumam,
seperti lagi bilang, "Mungkin setengah jam saja kalian takkan betah tinggal di
sini, sebab selamanya tidak pernah ada orang yang betah berdiam di sini?"
Bangunan yang berderet di depan sana ada tujuh buah rumah, setiap rumah terdapat
beberapa pelita, semua pelita minyak.
Orang tadi menyalakan semua lampu pada setiap rumah itu, habis itu baru menghela
napas lega, usapnya, "Tempat setan apapun, asalkan ada cahaya lampu, suasana
tentu akan berubah lebih baik."
Padahal tempat ini tidak tarlalu buruk, meski dimana-mana penuh sawang dan debu,
namun pajangan dan perabotnya yang mewah belum lagi rusak, hanya tidak terawat,
lamat-lamat dapat dibayangkan betapa megahnya kehidupan di tempat ini.
Jing-jing coba bertanya pula, "Tapi engkau seperti bilang tidak pernah ada orang
betah tinggal di sini?"
Orang itu mengangguk. "Sebab apa?" tanya Jing-jing.
"Sebab ada sesuatu di sini yang selama ini tidak dapat ditahan oleh siapa pun."
"Sesuatu barang apa" Dimana?"
"Di sini," sahut orang itu sambil menuding.
Yang dituding adalah sebuah kotak kristal yang terletak di atas meja sembahyang
di ruangan tengah, kotak kristal yang sangat tipis dan tembus pandang, di
dalamnya seperti berisi sebuah kelopak bunga yang sudah layu.
"Bunga apakah itu?" tanya Jing-jing.
"Ini bukan bunga, juga bukan sesuatu yang dapat kau bayangkan."
"Memangnya barang apa?" "Biji mata seorang."
Jing-jing terbelalak, tanpa terasa ia menyurut mundur dua langkah.
"Biji mata siapa?"
"Mata seorang perempuan, seorang perempuan yang sangat terkenal, ciri khas yang
paling terkenal pada perempuan ini adalah matanya."
"Mengapa terkenal?"
"Sebab matanya sangat tajam, disebut mata sakti, konon dia sanggup menyulam
dalam kegelapan, bahkan dapat menusuk mati seekor nyamuk dari jarak beberapa
langkah dengan jarum sulamnya."
"Apakah Sin-gan (si mata sakti) Sim Sam-nio yang kau maksudkan?" tanya Jing-
jing. "Siapa lagi selain dia?"
"Siapa pula yang menaruh matanya di sini?"
"Siapa pula kecuali suaminya?"
"Suaminya kan Yap Leng-hong dan berjuluk sebagai Giok-si-kiam-kek itu?"
"Betul, di dunia Kangouw hanya ada seorang Yap Leng hong, untung hanya ada
satu." Tangan Jing-jing tergenggam dan berkeringat.
Apakah dia juga tahu suka-duka dan permusuhan antara Yap Leng-hong dengan Lau-
to-pacu" Mereka dibawa ke sini, hanya secara kebetulan atau diam-diam ada orang sengaja
mengaturnya" Muka penggali cacing itu tertutup semua oleh tanah sehingga sukar diketahui
bagaimana mimik wajahnya. Akan tetapi suaranya terdengar agak parau, ia bertutur
pula. "Di sini seluruhnya ada 93
buah rumah, setiap rumah terdapat sebuah kotak kristal begini."
Segera Jing-jing menerjang masuk ke rumah kedua, benar juga dilihatnya kotak
kristal yang sama, cuma isinya bukanlah biji mata melainkan daun kuping yang
sudah kering. Si penggali cacing mengikut di belakangnya serupa badan halus, ia memberi
penjelasan, "Sesudah Sim Sam-nio mati, Yap Leng-hong telah memotong mayatnya
menjadi 93 bagian "Mengapa dia bertindak demikian?" teriak Jing-jing tak tahan.
Penggali cacing itu menghela napas, "Sebab ia terlalu mencintai isterinya, ingin
melihatnya setiap saat, kemana pun dia pergi ingin melihatnya, baik cuma sebuah
daun telinganya maupun cuma sebiji matanya."
Jing-jing mengertak gigi, hampir saja ia tumpah.
"Konon kakaL-misan Sim Sam-nio adalah Bok-tojin, tokoh Bu-tong-pay yang
terkemuka," tanya Siau-bong tiba-tiba.
Si penggali cacing mengangguk.
"Konon yang menjodohkan mereka justru ialah Bok-tojin sendiri," kata Siau-hong
pula. "Betul," jawab si penggali cacing.
"Perbuatan Yap Leng-hong itu apakah tidak kuatir akan ditindak oleh Bok-tojin?"
"Waktu Bok-tojin hendak bertindak padanya sudah terlalu terlambat," kata si
penggali cacing. "Sebelum tiga bulan Sim Sam-nio mati, Yap Leng-hong juga lantas gila dan
menumbukkan kepalanya pada batu gunung-gunungan di belakang sana, kepalanya
hancur luluh." Seorang kalau mati dengan kapala hancur, dengan sendirinya orang tidak dapat
lagi mengenali wajah aslinya sehingga tidak ada yang dapat membuktikan
sesungguhnya siapa yang mati itu.
"Dan sesudah dia mati, mengapa orang lain tidak memindahkan kotak-kotak kristal
ini?" tanya Jing-jing pula.
"Sebab orang yang ingin memindahkan kotak-kotak ini sekarang juga sudah
berbaring di dalam kotak" jawab si penggali cacing.
"Kotak macam apa?" tanya Jing-jing.
"Kotak panjang, terbuat dari kayu, kotak yang khusus untuk orang mati.
Kebanyakan orang mati akan dimasukkan ke dalam kotak semacam ini."
"Jika begitu, sedikitnya jauh lebih baik daripada terisi di dalam kotak kristal
semacam ini," ujar Jing-jing dengan tertawa.
"Cuma sayang, rasanya tidak jauh lebih baik."
"Sebab apa?" "Sebab kalau dicekik mati oleh tangan setan, tentu rasanya tidak enak."
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tadi kau bilang di sini tidak ada satu setan pun." "Tempat ini memang tidak ada
satu setan, tapi sedikitnya ada . 49 setan, semuanya setan penasaran."
"Semula di tempat ini ada berapa orang?" "49 orang."
"Sekarang sudah mati seluruhnya?"
"Bila setiap hari sebuah mata di dalam kotak kristal selalu mendelik padamu,
apakah kau tahan." "Aku tidak tahan, aku bisa gila."
"Jika kau tidak tahan, orang lain juga tidak tahan, sebab itulah setiap orang
sama ingin memindahkan kotak-kotak kristal ini, akan tetapi siapa pun bila
menyentuh kotak ini, seketika lidahnya akan terjulur, dalam sekejap lantas putus
napas seperti ini ia lantas menjulurkan lidah sendiri sedemikian panjang, serupa
setan gantung yang mengerikan.
Cepat Jing-jing melengos, ia tidak berani memandangnya lagi, tapi masih juga
bertanya, "Dan kau sendiri bagaimana" Tidak pernah kau sentuh kotak-kotak ini?"
Si penggali cacing mengangguk, lalu menggeleng pula, karena lidahnya masih
terjulur sehingga tidak sanggup bersuara.
"Penghuni di sini bukankah sudah mati semua, mengapa engkau masih hidup" Apakah
engkau bukan manusia?" tanya Jing-jing.
Mendadak si panggali cacing merogoh saku, lalu dilemparkannya segenggam benda
hitam lunak ke arah Liu Jing-jing, barang hitam ini makhluk hidup, lunak licin
dan agak basah Iagi, ternyata gumpalan cacing.
Jing-jing menjerit kaget dan hampir saja jatuh kelengar.
Dia bukan perempuan yang mudah kaget dan jatuh kelengar, akan tetapi siapa tahan
cacing yang licin, lunak dan agak basah lagi.
Setelah dia mengelakkan lemparan cacing itu, tahu-tahu si penggali cacing sudah
menghilang, cahaya lampu berkedip dua-tiga kali, lampu di dalam rumah mendadak
padam. Waktu ia berpaling, Liok Siau-hong dan lain-lain juga tidak berada lagi di dalam
rumah ini. Untung rumah di sebelah masih ada cahaya lampu, cepat ia memburu ke sana, tapi
mendadak lampu di rumah inipun padam.
Ia berlari pula ke rumah di depan yang kelihatan ada cahaya lampu, tapi ketika
dia menerjang ke dalam, lampu itu pun padam mendadak.
Cahaya lampu pada ketujuh rumah itu dalam sekejap padam seluruhnya, suasana
menjadi gelap gulita. Sekonyong-konyong Jing-jing tidak dapat melihat apa-apa lagi, sampai tangan
sendiri juga tidak kelihatan.
Apakah biji mata kering di dalam kotak kristal itu masih mendelik padanya"
Apakah ke 49 setan penasaran dengan lidah terjulur itu juga sedang mengintai di
dalam kegelapan" Jing-jing tak dapat melihat mereka, ia bukan si mata sakti.
Lantas kemanakah Liok Siau-hong yang brengsek itu"
"He, tua bangka, kemanakah kau" Orang she Liok, lekas kemari!"
Meski dia berteriak dan gembar-gembor sekian lama, tetap tidak ada jawaban,
tiada suara seorang pun, sampai Koan-keh-po, Kaucu dan Piauko juga entah
mengeluyur kemana perginya"
Apakah mereka juga tercekik mati oleh kawanan setan yang tidak kelihatan"
Jangan-jangan tempat ini adalah sebuah perangkap"
Ia ingin menerjang keluar, tapi sudah dua-tiga kali ia menerjang selalu menumbuk
dinding, sekujur badan sudah basah kuyup oleh keringat dingin.
Terakhir ia jatuh terkulai, kakinya sudah lemas, merangkak bangun saja hampir
tidak sanggup. Dalam kegelapan ada sebuah tangan terjulur tiba dan menariknya bangun.
Apakah Liok Siau-hong"
Ternyata bukan, tangan ini terasa kurus kering dan dingin, panjang kukunya
paling sedikit ada satu inci. "Siapa kau?" Jing-jing tak tahan.
"Tidak dapat kau lihat diriku, tapi dapat kulihat jelas dirimu," dalam kegelapan
ada orang bicara dengan mengikik tawa. "Aku ini bermata sakti."
Itulah suara orang perempuan, memangnya tangan ini terjulur dari kotak kristal"
Suara tertawa itu belum berhenti, sekuatnya Jing-jing menubruk, tapi menubruk
tempat kosong. Tangan yang kurus kering dan dingin itu kembali terjulur dari belakang dan
meraba kerongkongannya dengan perlahan.
Jing-jing bukan perempuan yang mudah kaget dan jatuh kelengar tapi sekarang dia
jatuh semaput. 4 Tanggal sepuluh bulan empat, cuaca cerah.
Waktu Jing-jing mendusin, sang surya telah memancarkan cahaya yang gemilang di
luar jendela. Daun jendela tampak lagi bergerak, pepohonan di luar juga bergerak, bergerak
mundur ke belakang secepat terbang.
Ia kucek-kucek matanya, tiba-tiba diketahui dirinya sudah berada di dalam kereta
lagi. Siau-hong tampak berduduk di depan dan sedang memandangnya dengan tertawa.
Jing-jing coba menggigit bibir, terasa sakit, jelas ini bukan mimpi.
Ia melompat bangun dan melototi Siau-hong. "Selamat pagi," ucap Siau-hong dengan
tersenyum. "Pagi" Sekarang pagi?" tanya Jing-jing.
"Sebenarnya juga tidak pagi lagi, tidurmu semalam sungguh seperti orang mampus,"
sahut Siauhong dengan tertawa. "Dan kau?" tanya Jing-jing dengan gregetan. "Aku
juga tidur sebentar."
Mendadak Jing-jing menubruk ke atas tubuh Siau-hong dan mencekik lehernya,
serunya dengan gemas, "Katakan. lekas katakan, sesungguhnya apa yang terjadi?"
"Kejadian apa?" tanya Siau-hong.
"Kejadian semalam," kata Jing-jing.
Siau-hong menghela napas, ucapnya. "Aku justru ingin tanya padamu sesungguhnya
apa yang terjadi" Mengapa tanpa sebab kepalamu kau tumbukkan ke dinding sehingga
jatuh kelengar?" "Aku tidak gila, mengapa kutumbukkan kepala sendiri?" teriak Jing-jing.
"Jika kau sendiri tidak tahu, darimana aku dapat tahu?" ujar Siau-hong sambil
Menuntut Balas 29 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Petualang Asmara 12
menunggu ajal." "Aku cukup tahu betapa berat seranganku jelas aku tidak hendak membinasakan
dia." "Kecuali dirimu, masih ada orang lain."
"Biarpun orang lain yang membunuhnya, tetap aku yang akan ditagih hutang."
"Makanya supaya kau tahu aku bermaksud baik, hubungan Ciangkun dengan Lau-to-
pacu biasanya sangat erat."
"Makanya aku pun perlu menerima permintaanmu, begitu?" "Aku cuma minta kau bawa
diriku pada waktu kau hendak pergi."
"Hanya ini saja?" tanya Siau-hong.
"Bagimu hal ini adalah urusan kecil, tapi merupakan urusan besar bagiku."
"Baik, kuterima," kata Siau-hong.
Mendadak Kian-long-kun barlutut dan menyembah tiga kali padanya, lalu menengadah
dan menghela napas lega, serunya, "Sayang aku tidak berekor, kalau ada,
sedikitnya ekorku akan bergoyang sepuluh kali setiap kali melihat dirimu."
"Dimana Ciangkun menanti ajal?"
"Dengan sendirinya di Ciangkunhu (istana panglima)," tutur Kian-long-kun.
Ciangkunhu yang dimaksudkan dikelilingi hutan lebat, Kian-long-kun sudah pergi,
tapi di tengah hutan itu ada suara napas orang serupa napas anjing.
Mending orang itu masih bisa bernapas, sedangkan napas Ciangkun sudah berhenti.
Dengan napas terengah seorang menunggangi tubuh Ciangkun dan mencekik lehernya.
Orang ini tarnyata Tokko Bi adanya.
Siau-hong rnemburu maju, sekali hantam Tokko Bi dibikin mencelat. Wajah Ciangkun
tampak pucat, jantung masih berdetak, mata belum tertutup dan memandang Siau-
hong dengan memohon belas kasihan, seperti ingin bicara apa-apa, biasanya
sesuatu yang diucapkan seorang mendekati ajalnya kebanyakan adalah urusan
penting dan rahasia. Sayang satu kata saja tak sanggup diucapkannya. Waktu Liok Siau-hong mendekatkan
teling"anya ke mulut orang, denyut jantung Ciangkun sudah berhenti.
Napas Tokko Bi masih tersengal-sengal.
Siau-hong menjambret leher bajunya dan membentak, "Kalian bermusuhan?"
Tokko Bi menggeleng. "Apakah dia hendak membunuhmu?"
Tokko Bi tetap menggeleng.
"Habis mengapa hendak kau bunuh dia?"
Tokko Bi menatapnya dengan tajam, napasnya sudah tenang kembali, tiba-tiba ia
balas bertanya, "Memangnya kau sangka aku benar-benar Tokko Bi yang tidak kenal sanak dan tahu
famili?" Siapa pun tidak menyangka dia akan bertanya demikian, Siau-hong juga tercengang,
"Memangnya kau bukan Tokko Bi?"
Tokko Bi menghela napas, tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata yang lebih
mengejutkan, "Lepaskan celanaku!"
Siau-hong balas menatapnya sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia tertawa dan
berkata, "Selamanya aku tidak pernah membuka celana orang lelaki, tapi sekali
ini harus dikecualikan."
Tokko Bi diketahui sudah kakek, tapi daging bagian pantatnya ternyata masih
padat seperti anak muda. "Adakah kau lihat uci-uci di situ?"
Dengan sendirinya Siau-hong melihatnya dengan jelas, uci-uci ini cukup besar dan
dapat dipandang dari tempat jauh.
"Korek uci-uci itu dengan pisau ini," kata Tokko Bi pula sambil menyodorkan
sebilah pisau. Selama hidup Siau-hong entah betapa banyak telah melakukan hal-hal yang aneh,
tapi waktu menerima pisau itu, tidak urung ia merasa ragu sekian lama, habis itu
baru uci-uci itu dipotongnya.
Darah mengalir, satu biji bola emas menerobos jatuh dari uci-uci yang terbelah
itu. "Potong bola emas itu," kata Tokko Bi.
Waktu pisau memotong baru diketahui bola emas ini terbuat dari lilin, di
dalamnya terdapat sepotong kain kuning dan tertulis, "Sun Put-pian, murid
keempat ketua Bu-tong-pay sekarang, atas perintah, menyamar dan berganti rupa
untuk menyelidiki jejak murid murtad. Yang berkepentingan supaya maklum."
Di bawah tulisan ada cap kebesaran ketua Bu-tong-pay dan tanda tangan Ciok-
cinjin, pejabat ketua. "Inilah bekal bagiku dari pejabat ketua untuk membuktikan siapa diriku
sebenarnya bilamana perlu," kata Tokko Bi.
Siau-hong memandangnya dengan tercengang, akhirnya ia menghela napas dan
berkata, "Tampaknya engkau memang tidak mirip Tokko Bi yang sebenarnya."
"Sebelum masuk Bu-tong-pay, semula aku murid Hoa Si-koh. Ilmu rias keluarga Hoa
termashur dan tiada bandingannya di dunia, tapi agar lebih aman kumasuk pula ke
perguruan Tokko Bi dan menjadi budak di sana, sedikitnya kugunakan waktu sepuluh
bulan untuk belajar menirukan gerak-gerik dan suaranya, setelah kurasakan segala
sesuatu cukup sempurna dan tiada setitik ciri pun, barulah kutinggalkan sana."
"Kau bunuh dia?" tanya Siau-hong.
Sun Put-pian mengangguk, "Dengan sendirinya tidak kubiarkan orang lain menemukan
seorang Tokko Bi lagi."
"Siapa murid murtad yang kau cari?"
"Yang pertama ialah Giok Ho."
"Sekarang sudah kau temukan dia?"
"Ya, semua juga berkat dirimu."
"Ciong Bu-kut juga mati di tanganmu?"
"Dia juga murid murtad Bu-tong-pay," tutur Sun Put-pian. "Tidak boleh kubiarkan
dia hidup." Gemerdep sinar mata Liok Siau-hong, "Pada waktu mudanya bukankah Giok-su-kiam-
kek juga murid Bu-tong-pay?"
"Ya, dia dan Ciong Bu-kut sama-sama murid Bu-tong dari keluarga swasta, keduanya
sama dipecat oleh kakek guru kami, Bwe-cinjin."
Bwe-cinjin adalah Suheng Bok-tojin, mengetuai Bu-tong-pay selama 17 tahun dan
kemudian jabatan ketua diserahkan kepada Ciok Gan, pejabat ketua sekarang.
"Cukup lama kami mempelajari keadaan," tutur Sun Put-pian, "Kesimpulan kami
akhirnya menganggap paling aman adalah menyamar sebagai Tokko Bi, cuma saying ..."
"Cuma sayang, rahasiamu dapat diketahui oleh Ciangkun"!" tukas Siau-hong.
Sun Put-pian tersenyum getir, "Semua orang mengira lukanya sangat parah, aku pun
hampir tertipu, siapa tahu orang yang bersembunyi di rumah untuk merawat luka
itu bukanlah dia, melainkan seorang lain, dia sendiri senantiasa mengintai
diriku." "Cara bagaimana dia mengetahui dirimu?"
"Dia memang sahabat lama Tokko Bi, banyak rahasia Tokko Bi masa lampau
diketahuinya, sebaliknya aku tidak tahu. Aku terpancing oleh kata-katanya,
terpaksa harus kubunuh dia untuk menghapus saksi."
"Mengapa kau beritahukan rahasia ini kepadaku?" tanya Siau-hong.
"Keadaan cukup gawat, terpaksa kuberitahukan padamu," jawab Sun Put-pian. "Jadi
kuharap selain kau jaga rahasia bagiku, juga kuminta kau bantu diriku. Aku tidak
dapat berdiam lagi di sini, harus pulang ke Bu-tong selekasnya."
Dia menyengir, lalu berkata pula, "Dengan sendirinya kutahu engkau bukan seorang
yang suka menjual kawan. Dengan sendirinya kutahu engkau tidak bergendakan
dengan isteri Sebun Jui-soat, hal itu tentu cuma alasan belaka dalam permainan
sandiwara kalian untuk membongkar rahasis Yu-Ieng-san-ceng yang misterius ini."
Kembali Siau-hong menatapnya hingga lama, tiba-tiba ia menghela napas panjang
dan barkata, "Sayang, sungguh sayang."
"Sayang apa?" tanya Sun Put-pian.
"Sayang kau salah lihat orang."
Air muka Sun Put-pian berubah, teriaknya bengis, "Memangnya kau lupa siapa yang
membawamu ke sini?" "Aku tidak lupa," jawab Siau-hong dengan dingin, "aku pun tidak lupa selama dua
hari ini sudah tiga kali kau jebak diriku, kalau Lau-to-pacu tidak bertindak,
tentu aku sudah mati di tanganmu."
"Masa tidak dapat kau lihat semua itu sengaja kulakukan agar tidak dicurigai
mereka?" "Tidak, aku tidak tahu," sahut Siau-hong.
Sun Put-pian menatapnya, katanya kemudian dengan gegetun, "Ai, baiklah, kau
sangat baik." "Aku tidak baik, tidak baik sedikitpun," ujar Siau-hong. "Jika demikian kau
harus mati!" Di tengah bentakannya, mendadak Sun Put-pian menubruk maju, langsung dia menutuk
Hian-ki-hiat di dada Liok Siau-hong, jurus serangannya memang kungfu asli Bu-
tong-pay, cepat lagi jitu.
Cuma sayang, waktu serangannya tiba, Hiat-to yang diarahnya sudah berganti
tempat, Liok Siauhong sudah bergeser ke samping.
Tangan Sun Put-pian membalik, kembali ia melancarkan tiga kali serangan
berantai, serangan kuat, gerakan cepat.
"Murid Ciok-tojin memang hebat!" puji Siau-hong dengan gegetun. Selesai
ucapannya, beberapa kali serangan Sun Put-pian itu kembali mengenai tempat
kosong. Betapa cepat dia menyerang selalu Liok Siau-hong terlebih cepat
selangkah. Penggunaan dan gerak perubahan ilmu pukulan Bu-tong-pay tampaknya tidak lebih
sedikit pengetahuan Liok Siau-hong daripada lawannya.
Mandadak Sun Put-pian berhenti menyerang dan melotot, tanyanya, "Kau pun pernah
berlatih kungfu Bu-tong-pay?"
Siau-hong tertawa, "Aku tidak pernah belajar kungfu Bu-tong, tapi banyak
sahabatku orang Bu-tong-pay."
Sinar mata Sun Put-pian menampilkan secercah harapan pula, "Jika begitu, engkau
lebih-lebih harus membantuku lari dari sini."
"Cuma sayang, engkau bukan sahabatku," ujar Siau-hong. "Kau tolong diriku satu
kali, mencelakai aku tiga kali, sekarang aku mengalah sekian jurus seranganmu
pula, utang-piutang kita sejak tadi sudah lunas."
Sun Put-pian menjadi nekat, "Baik, silakan turun tangan!"
"Aku memang sudah siap turun tangan," begitu selesai ucapannya, serentak ia pun
menyerang, yang digunakan juga kungfu Biltong-pay, ilmu pukulan maupun caranya
menutuk. Baru saja Sun Put-pian mengegos ke samping, secepat kilat Siau-hong memburu maju
dan telapak tangannya tepat memotong pada pembuluh darah besar di bagian
tengkuknya. Pada waktu roboh, Sun Put-pian sempat memandang Liok Siau-hong dengan
tercengang. "Masa tidak kau ketahui aku mempunyai dua tangan?" ujar Siau-hong dengan
tertawa. Dengan sendirinya Sun Put-pian tahu, yang tidak diketahuinya adalah tangan
seorang mengapa bisa bergerak secepat itu.
Lau-to-pacu berduduk di kursinya yang longgar besar dan sudah tua itu, ia
pandang Liok Siau-hong, tampaknya sangat gembira.
Kursi tua serupa sahabat lama saja, dapat membuat orang merasa enak dan gembira.
Cuma sayang, Siau-hong tetap tidak melihat jelas wajah asli Lau-to-pacu.
Sun Put-pian menggeletak di depannya, tapi tidak dipandangnya barang sekejap,
tampaknya perhatiannya terhadap Liok Siau-hong jauh lebih besar daripada
terhadap siapa pun. "Orang ini mata-mata musuh, agen Bu-tong-pay," tutur Siau-hong.
"Mengapa tidak kau bunuh dia?" tanya Lau-to-pacu. "Aku tidak berhak membunuh
orang, juga tidak ingin membunuh orang," jawab Siau-hong.
"Jika begitu harus kau bebaskan dia." "Bebaskan dia?" Siau-hong melengak.
"Mata-mata musuh yang sesungguhnya sudah mati semua, tidak pernah ada agen
rahasia musuh dapat hidup lebih tiga hari di sini," kata Lau-to-pacu.
"Masa dia bukan agen rahasia musuh?"
"Dengan sendirinya dia agen rahasia, tapi bukan agen rahasia Bu-tong-pay
melainkan mata-mataku, sekian tahun yang lalu sudah kukirim dia ke Bu-tong-pay
sebagai agen rahasiaku."
Siau-hong melongo. Lau-to-pacu tertawa gembira, "Apapun juga kau harus berterima kasih padanya."
"Untuk apa aku berterima kasih padanya?"
"Justru lantaran dia, maka dapat kupercayai kau sepenuhnya."
"Dia juga utusanmu untuk menguji diriku?"
Lau-to-pacu tertawa, "Ada sementara orang pembawaannya adalah agen rahasia,
asalkan kau beri tugas agen rahasia padanya, pekerjaannya pasti takkan
mengecewakan." "Dan orang ini pembawaannya adalah agen rahasia?"
"Ya, dari ubun-ubun hingga ujung kaki."
Siau-hong menghela napas, sekali depak Sun Put-pian mencelat serupa bola.
Lau-to-pacu juga menghela napas, ucapnya, "Di sinilah letak kejelekan menjadi
agen rahasia, orang semacam ini serupa keledai saja, harus setiap saat siap
menerima depakan orang."
"Aku cuma mendepaknya sekali," ujat Siau-hong.
"Masih ada sebelah kakimu, hendak kau depak siapa?" tanya Lau-to-pacu.
"Depak diriku sendiri."
"Masa kau pun agen rahasia?"
"Aku bukan agen, aku cuma keledai, keledai dungu," ucap Siau-hong dengan gemas.
"Sebab aku ingin menolong putri orang dengan mati-matian, hasilnya adalah sekali
pukulan yang tepat mengenai kudukku."
"Padahal kau sendiri harus tahu, tidak nanti kubiarkan kau tolong dia," ucap
Lau-to-pacu dengan gegetun.
"Aku tidak tahu," kata Siau-hong.
"Rawa itu dimana-mana terdapat perangkap yang bisa mematikan orang, juga ada
pasir bergerak, sekali kejeblos, lenyaplah selamanya. Mana boleh kubiarkan kau
menyerempet bahaya ke tempat begitu?"
"Mengapa tidak boleh?"
"Sebab aku memerlukan tenagamu," kata Lau-to-pacu lebih lanjut. "Ciangkun dan
Ciong But-kut sudah mati, sekarang kaulah tangan kananku, jika aku kehilangan
lagi tangan kanan, betapa besar rencana kerjaku juga akan gagal."
"Maksudmu, mulai sekarang engkau tidak dapat kehilangan aku?"
"Ya," jawab Lau-to-pacu tegas.
Siau-hong tertawa. Pada waktu tertawa itulah tiba-tiba ia melayang maju serupa
burung elang dan tangannya juga serupa cakar.
Sasaran cengkeramannya adalah caping yang dipakai Lau-to-pacu.
Namun Lau-to-pacu tetap berduduk di atas kursi dengan tenang, sedang cengkeraman
Liok Siauhong lantas mengenai tempat kosong.
Padahal biarpun kelinci yang paling licin dan gesit juga sukar lolos dari
cengkeraman elang ini, cara turun tangan Liok Siau-hong jelas terlebih cepat dan
j itu daripada cengkeraman elang.
Namun cengkeramannya mengenai tempat kosong, sebab Lau-to-pacu berikut kursinya
mendadak meluncur ke samping, kursi besar itu seolah-olah lengket pada pantatnya
dan dapat digeser kian kemari.
Siau-hong menghela napas, ia melayang turun, ia tahu sekali luput menyerang,
serangan kedua terlebih sukar mengenai sasarannya.
"Kau ingin melihat diriku?" tanya Lau-to-pacu.
"Kau minta kumati, sedikitnya harus kau perlihatkan dulu padaku sesungguhnya
engkau ini orang macam apa?" ucap Siau-hong dengan menyengir.
"Aku tidak sedap dipandang," kata Lau-to-pacu, "Aku pun tidak minta kau mati
bagiku, bilamana usaha ini berhasil, kita akan sama-sama untung."
"Jika gagal?" tanya Siau-hong.
"Biarpun kau mati juga tidak rugi apa-apa," ujar Lau-to-pacu dengan hambar.
"Engkau memang seorang mati."
"Kau bangun Yu-leng-san-ceng ini memang sengaja mencari orang untuk menyerempet
bahaya bagimu?" "Orang yang datang ke sini memangnya harus mati satu kali, apa alangannya jika
mati sekali lagi?" "Orang mati satu kali, bisa jadi terlebih takut mati lagi?"
Lau-to-pacu sependapat, "Tapi sembunyi di sini apa bedanya dengan mati?"
Siau-hong menghela napas, ia mengakui perbedaannya me mang tidak banyak.
Sorot mata Lau-to-pacu setajam sembilu terpancar dari balik capingnya, tanyanya
tiba-tiba, "Maukah kau berdiam selamanya di sini?"
Segera Siau-hong menggeleng kepala.
"Kecuali kita berdua, di sini masih ada seorang tamu dan rasanya sudah pernah
kau lihat, coba katakan, apa yang kau lihat?"
Siau-hong menyengir, "Rasanya aku tidak melihat apa-apa."
"Dengan sendirinya tak dapat kau lihat, sebab tindak-tanduk mereka sudah
tergosok rata, tiada satu pun yang menonjol sehingga tampaknya mereka adalah
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang biasa saja." "Padahal?" tanya Siau-hong.
"Orang yang mampu datang ke sini pasti tergolong jago kelas tinggi, setiap orang
pasti mempunyai sejarah sendiri yang gilang-gemilang. Serupa dirimu, mereka pun
tidak mau kesepian, tiada seorang pun rela berdiam selama hidup di sini."
Mendadak suaranya bertambah lantang dan sangat gembira, "Dan kesempatan satu-
satunya bagi semua orang untuk melihat sinar matahari dengan bebas adalah
berhasilnya pekerjaan ini."
"Sesungguhnya urusan apa?" akhirnya Siau-hong bertanya.
"Selekasnya kau akan tahu."
"Selekasnya itu kapan?"
"Ialah sekarang."
Baru habis ucapannya, terdengarlah suara genta bergema pula, Lau-to-pacu
berbangkit, katanya dengan suara gembira, "Namun kita harus makan dulu, makan
siang hari ini kujamin pasti sangat memuaskan seleramu."
Hidangan memang banyak, tapi araknya sangat sedikit, jelas Lau-to-pacu
menghendaki pikiran setiap orang selalu dalam keadaan sadar.
Akan tetapi ia sendiri justru menghabiskan satu piala penuh berisi anggur Persi,
malahan dituang penuh lagi.
Untuk pertama kalinya Siau-hong melihat Lau-to-pacu minum arak. Diam-diam ia
membatin, "Hari ini pasti hari bahagia baginya, mungkin sudah sangat lama dia
menunggu datangnya hari ini."
Semua orang sama menunduk dan makan tanpa bicara, tapi semuanya makan sangat
sedikit, kebanyakan juga tidak minum arak.
Siau-hong sendiri minum lebih banyak, lalu diamat-amatinya orang-orang ini
dengan pandangan gembira. Meski semua orang ini sama memakai jubah panjang yang
longgar, tapi di dalam ruangan yang guram, ada beberapa orang di antaranya
kelihatan terlebih menyolok.
Seorang lelaki kekar berwajah penuh panu, sehabis minum dua cawan arak, panu
pada mukanya lantas mencorong seperti mata uang. Seorang lagi bermuka merah dan
berjenggot panjang, tampaknya mirip Kwan Kong di atas panggung.
Seorang gendut, perut buncit. Seorang berwajah kereng, serupa hakim pengadilan.
Seorang nenek ompong tapi rakus makannya.
Masih ada lagi beberapa kakek tinggi kurus dan sangat pen-diam, yang menyolok
mungkin adalah karena pendiamnya mereka.
Kecuali Liu Jing-jing, yang berusia paling muda adalah seorang pendek kecil
serupa anak belasan tahun, bermuka bulat. Dan yang berusia paling tua adalah
beberapa kakek pendiam itu.
Liok Siau-hong berusaha menyelidik, ingin ditemukan asalusul orang-orang ini
dari ingatannya. Orang pertama yang mudah teringat adalah lelaki penuh panu itu, 'Kim-ci-pa' Hoa
Gui, si ma-can tutul. Perawakan orang ini tinggi besar, arak yang diminumnya pasti tidak lebih sedikit
daripada Liok Siau-hong, gerak-geriknya lamban, mukanya yang penuh panu
membuatnya kelihatan agak lucu.
Akan tetapi bila Am-gi atau senjata rahasianya dihamburkan, orang pasti takkan
merasa lucu lagi. Keluarga Hoa di daerah Kanglam adalah ahli Am-gi turun temurun dan sangat
termashur di dunia Kangouw. Hoa Gui ini adalah anak murid keturunan langsung
keluarga Hoa. Malahan ada orang bilang kepandaian Am-gi Hoa Gui sudah termasuk
satu di antara ketiga ahli Am-gi di seluruh dunia ini.
Siau-hong coba memandangnya lagi, kelihatan tidak sedikit arak ditenggaknya,
namun gerak tangannya tetap sangat mantap.
Lantas orang yang berwajah angker itu apakah bukan Toh Thisim, kepala seksi
hukum pada gabungan 72 gerombolan bandit yang sangat ditakuti pada 20 tahun yang
lalu" Dan nenek itu apakah bukan lutung betina dari Cin-nia-siang-wan (dua lutung dari
bukit Cin)" Konon lantaran berebut sebiji buah ajaib yang menurut cerita orang bisa membikin
panjang umur dan awet muda, lalu dia tidak segan-segan menggorok leher lakinya
sendiri, yaitu Seng-jiu-sian-wan Lo Tay-sing, si lutung sakti bertangan suci.
Dan siapakah beberapa kakek berbaju hitam yang pendiam itu" Juga si cebol yang
bermuka bulat dan berkepala besar itu?"
Siau-hong tidak sempat berpikir lagi, sebab diam-diam Liu Jing-jing lagi menarik
ujung bajunya dan mendesis, "Dimanakah binimu?"
Siau-hong melengak, tapi segera ingat yang ditanyakan adalah Yap Ling, jawabnya,
"Kabarnya dia menghilang." "Apakah kau ingin tahu dimana dia?" "Tidak ingin."
Jing-jing mencibir, ia sengaja berolok, "Dasar lelaki, tidak ada lelaki yang
berperasaan. Tapi justru ingin kuberitahukan padamu dimana dia."
Lalu dia tahan suaranya dengan lebih lirih dan mendesis, "Saat ini dia pasti
berada di dalam air."
"Mengapa bisa berada di dalam air" Darimana kau tahu dia berada di dalam air?"
tanya Siau-hong dengan heran.
"Sebab dia kabur dengan mencuri seperangkat baju menyelam dan sepasang cundrik
(senjata di dalam air) milik orang."
Siau-hong terkejut, ada dua hal yang membuatnya terkejut.
Pertama adalah baju dan senjata yang biasa digunakan penyelam itu, alat itu juga
dapat digunakan pada rawa-rawa. Apakah Yap Ling pergi mencari kakaknya" Darimana
diketahuinya kejadian di rawa sana"
Kedua baju menyelam dan cundrik adalah senjata air yang terkenal di dunia
Kangouw, milik seorang tokoh yang sangat termashur, yaitu Hui-hi-tocu Ih Hoan,
kepala pulau Ikan Terbang. Bukan cuma namanya terkenal, kemahirannya menyelam
juga sangat he bat, ilmu pedangnya pun tidak lemah. Jika orang ini belum mati
dan hadir di sini, selayaknya juga sangat menyolok.
Akan tetapi Liok Siau-hong tidak menemukannya.
Rupanya Liu Jing-jing lagi menunggu reaksinya, maka tidak bicara lagi.
Setelah berpikir, akhirnya Siau-hong bertanya, "Urusan ini diketahui Lau-to-pacu
tidak?" "Rasanya tidak ada sesuatu yang terjadi di sini tidak diketahui olehnya," ujar
Jing-jing. Apakah mungkin kepergian Yap Ling mencari kakaknya juga atas izin Lau-to-pacu"
Jika tidak, darimana ia tahu jejak Yap Soat"
Siau-hong tidak bertanya lagi, sebab tiba-tiba diketahuinya ada seorang telah
berada di belakang mereka tanpa suara.
Waktu ia menoleh, tertampak sebuah wajah tanpa muka, itulah Kau-hun-sucia yang
selama ini tidak pernah tampil di depan umum.
Suasana dalam ruangan besar tambah khidmat, agaknya semua orang rada jeri
terhadap manusia yang tidak punya muka ini!
Dia tidak berduduk, melainkan berdiri di belakang Lau-to-pacu dan tidak bergerak
lagi. Pedang tergantung di pinggangnya. Sarung pedang berbentuk antik, terdapat tujuh
titik bekas bacokan golok, jelas pada tempat bekas itu tadinya terbingkai batu
permata. Bukankah pedang ini Jit-sing-pokiam (pedang pusaka bintang tujuh) milik Bu-tong-
pay yang biasanya cuma dipakai oleh pejabat ketua sendiri.
Pada saat itulah mendadak Hay Ki-koat berdiri, lalu mengumumkan dengan suaranya
yang lantang, "Operasi Halilintar dimulai!"
3 Rencana 'Operasi Halilintar' dibagi menjadi empat tahap.
Tahap pertama: Menyerang dan memilih anggota peserta serta membagi tugas.
Tahap kedua: Menyamar dan berganti rupa serta turun gunung secara berkelompok.
Tahap ketiga: Berkumpul dan menunggu perintah, siap tempur.
Tahap keempat-barulah operasi total secara resmi.
Apa yang dimulai sekarang baru tahap pertama, namun cara berlangsungnya sudah
cukup mendebarkan hati orang.
Suasana dalam ruangan besar menjadi tegang, Lau-to-pacu sendiri berbangkit dan
buka suara, "Banyak orang di dunia ini sudah lama seharusnya mati, tapi tidak ada yang
berani mengganggu gugat mereka, banyak urusan yang sudah lama harus dikerjakan,
tapi tidak ada orang berani melakukannya. Maka sekarang tujuan kita adalah
bertindak terhadap orang-orang itu dan menyelesaikan urusan itu."
Tiba-tiba Siau-hong merasakan pembawaan orang ini memang seorang pemimpin, bukan
saja tenang dan dingin, rapi perencanaannya, bahkan seorang ahli pidato, cukup
beberapa patah kata saja sudah menjelaskan keseluruhan tujuan gerakan mereka
ini. "Gerakan kita serupa bunyi guntur dan sambaran kilat, maka kita beri nama
Operasi Halilintar."
Suasana dalam ruangan besar menjadi sunyi, setiap orang sama menunggu
pembicaraannya lebih lanjut.
Cukup lama Lau-to-pacu berhenti bicara, serupa kesunyian sesaat sebelum tibanya
hujan badai, seperti juga agar setiap orang sudah ada persiapan mental untuk
mendengarkan bunyi geledek yang menggetar langit dan memecah bumi itu.
"Untuk pertama kali, yang hendak kita hadapi adalah tujuh orang," Lau-to-pacu
berhenti lagi sejenak, lalu menguraikan nama ketujuh orang ini, "Ciok Gan dari
Bu-tong-pay, Thi-ko Hwesio dari Siau-lim-pay, Ong Cap-te dari Kay-pang, Cui-
siang-hui di sungai Yangce, Ko Hing-kong dari Gan-tang-san, Koh-tojin dari Pah-
san dan si mata elang dari Cap-ji-lian-goan-bu (gabungan 12
pelabuhan)." Suasana ruangan yang sangat sunyi kini tambah hening serupa kuburan, sampai
suara napas dan denyut jantung semua orang seakan berhenti juga.
Walaupun sebelumnya Siau-hong sudah tahu yang hendak dilakukan Lau-to-pacu
adalah suatu pekerjaan besar, tidak urung ia terkejut juga ketika mendengar
nama-nama yang disebutnya itu.
Selang agak lama barulah ada orang mulai mengusap keringat, ada yang minum arak,
malahan ada satu-dua orang yang menyusup ke kolong meja dan tumpah.
Dengan suara terlebih tenang dan tegas Lau-to-pacu berucap pula, "Bilamana
operasi kita ini sukses, selain pasti akan menggemparkan dunia dan disegani
siapa pun, terhadap para peserta juga akan besar manfaatnya."
Kembali dia berhenti, lalu menyambung lagi, "Sudah kuperhitungkan setiap bagian
operasi ini secara mendetail, seharusnya tidak perlu disangsikan lagi akan
suksesnya, cuma, segala apapun sukar terhindar dari hal-hal yang tak terduga,
maka gerakan kali ini tentu juga tak terhindar dari bahaya, sebab itulah aku pun
tidak memaksa setiap orang harus ikut."
Sorot matanya yang tajam menyapu pandang para hadirin dari balik capingnya itu,
lalu serunya lagi dengan tegas, "Nah, siapa yang tidak mau ikut boleh silakan
berdiri, pasti takkan kupaksa."
Suasana sunyi kembali, perlahan Lau-to-pacu berduduk dan menuang arak lagi.
Tanpa terasa Siau-hong juga pegang cawan araknya, baru diketahui dirinya juga
ikut tegang, terbukti telapak tangan sendiri juga berkeringat dingin.
Sampai saat ini belum lagi ada seorang pun yang berdiri, tapi ada orang
bertanya, "Yang tidak mau ikut apakah selanjutnya masih boleh tinggal di sini?"
"Boleh, terserah padamu ingin tinggal berapa lama di sini, pasti tidak ada yang
keberatan." jawab Lau-to-pacu tegas.
Penanya itu ragu sejenak pula, akhirnya dia berdiri dengan perlahan, segera
tertampaklah perutnya yang buncit.
Tiba-tiba Siau-hong teringat siapa orang ini.
20 tahun yang lalu di dunia Kangouw ada empat tokoh ajaib, yang seorang maha
gemuk, seorang maha kurus, seoraiig maha tinggi dan seorang lagi maha pendek.
Si maha gemuk serupa babi itu bernama Cu Pui, kalau dibaca secara terbalik
menjadi 'Pui-cu', artinya babi gemuk.
Tapi bagi orang yang mengenalnya sama tahu dia bukan babi, sebaliknya seorang
yang cerdik dan pintar, orang yang pernah ber gebrak dengan dia lebih-lebih
tidak berani memandangnya sebagai babi, sebab selain gerak-geriknya cepat dan
lincah, bahkan cara turun tangannya juga keji tanpa kenal ampun. Kungfu
andalannya adalah permainan golok dengan berguling di tanah, semacam kung-fu
yang jarang terlihat. Siau-hong tahu ini pasti Cu Pui adanya. Tak tersangka olehnya orang pertama yang
berdiri ialah dia. Padahal Cu Pui pasti bukan seorang penakut.
"Sebabnya aku tidak pergi," dia beralasan, "adalah karena aku kelewat gemuk,
terlalu rnenyolok, betapapun aku menyamar dan berganti rupa tetap akan dikenali
orang." Alasan memang masuk di akal. Bahkan Lau-to-pacu juga harus mengakui kebenaran
alasannya, tapi juga terasa sayang olehnya. Maklumlah, kungfu Cu Pui yang khas
itu sebegitu jauh jarang ada tandingannya, jelas tenaga orang semacam ini sangat
diperlukan Lau-to-pacu. Akan tetapi ia hanya menghela napas perlahan saja dan tidak memberi komentar.
Jika ada seorang berani mendahului berdiri biasanya lantas ada orang kedua dan
begitu seterusnya. Lau-to-pacu tetap tenang dan dingin saja memandangi orang berdiri itu, sampai
pada orang ke-13 barulah air mukanya rada berubah.
Wajah orang ini sangat biasa, tiada sesuatu yang istimewa, gerak-geriknya kaku,
tingkahnya bodoh, tiada sesuatu yang menarik. Akan tetapi orang yang dapat
menggerakkan hati Lau-to-pacu tentu bukan tokoh sembarangan.
"Kau pun tidak ikut?" tanya Lau-to-pacu.
Dengan wajah kaku tanpa sesuatu perasaan orang itu menjawab, "Kau bilang orang
yang tidak mau pergi boleh berdiri, dan aku sudah berdiri sekarang."
"Sebab apa engkau tidak ikut pergi?" tanya pula Lau-to-pacu.
"Sebab baju menyelam dan senjata cundrikku dicuri orang," jawab orang itu.
Setelah mendengar jawaban ini, mau-tak-mau Siau-hong juga melengak. Sungguh
tidak tersangka olehnya orang yang ketolol-tololan ini adalah jago pedang lautan
selatan yang terkenal, yang namanya hanya di bawah Pek-in-sengcu, yaitu Hui-ih-
tocu Ih Hoan. Di daratan Pek-in-sengcu adalah jago pedang termashur, tapi di dalam air jelas
dia bukan tandingan Ih Hoan.
Dalam gerakan Lau-to-pacu kali ini jelas juga sangat memerlukan seorang yang
mahir berenang dan menyelam.
"Prak", mendadak cawan arak yang dipegang Lau-to-pacu teremas hancur.
Pada saat itu juga mendadak terdengar suara jeritan ngeri, seorang yang berduduk
di samping Toh Thi-sim baru saja berdiri segera roboh dan mendekap di atas meja,
sehingga mangkuk piring sama pecah berantakan.
Lalu tertampak darah segar mengucur bercampur dengan arak yang membasahi taplak
meja. Sumpit yang dipegang Toh Thi-sim tampak merah juga, tentu saja merah karena
berlepotan darah. "Kau bunuh dia?" tanya Ih Hoan sambil berpaling ke sana.
Toh Thi-sim mengaku, "Ya, untuk pertama kali ini kubunuh orang dengan sumpit."
"Mengapa kau bunuh dia?" tanya Ih Hoan pula.
"Sebab terlalu banyak rahasia yang diketahuinya, jika dia hidup, mungkin sekali
kita yang akan mati," jawab Toh Thi-sim dengan tak acuh, dicomotnya sepotong
daging dengan sumpitnya yang berlepotan darah itu dan dimakan dengan nikmatnya
tanpa berkedip. 'Loa-jiu-bu-ceng' Toh Thi-sim, si tangan ganas tanpa kenal ampun, dia memang
seorang iblis yang membunuh orang tanpa berkedip.
Ih Hoan masih menatapnya, ucapnya perlahan, "Betapa banyak rahasia yang
diketahuinya juga telah kuketahui, apakah aku pun akan kau bunuh?"
"Ya," sahut Toh Thi-sim dengan dingin, dia tetap tidak berkedip, "Orang yang
tidak mau ikut, seorang pun jangan harap akan keluar rumah ini dengan hidup."
Air muka Ih Hoan berubah seketika.
Belum lagi dia buka mulut, seorang telah mendahului berseru, "Jika Lau-to-pacu
yang berkata demikian, terpaksa aku pasrah nasib, tapi kau
Tidak bersambung ucapannya, sebab dari samping tiba-tiba menyambar tiba
setangkai sumpit dan tepat menembus telinga kirinya ke telinga kanan.
Sumpit yang dipegang si nenek ompong sekarang tersisa sebatang saja, dia lagi
bergumam dengan gegetun, "Wah, tampaknya terpaksa aku harus makan dengan memakai
cakar." Ia benar-benar lantas menggunakan tangannya mencomot sepotong Ang-sio-pay-kut
(tulang iga masak saus manis) terus digerogoti dengan dua biji giginya yang
masih tersisa. Terdengar suara gemuruh, orang yang telinganya tertembus sumpit itu roboh dan
membikin meja di depannya porak poranda.
Beberapa orang yang semula berdiri perlahan bermaksud duduk kembali.
Tapi Toh Thi-sim lantas menjengek, "Yang sudah berdiri dilarang duduk lagi."
Cu Pui tidak tahan, teriaknya, "Ini, keputusan siapa?"
"Keputusan kita bersama," jawab Toh-thi-sim.
Cu Pui tampak sangsi, akhirnya dia berkata dengan tertawa, "Sebenarnya bukan aku
sengaja tidak mau ikut pergi, cuma sayang, aku terlalu gemuk, jika aku
diharuskan ikut pergi, boleh juga asalkan badanku dapat digilas menjadi kurus
seperti lajur mi."
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, gilas dia!" seru Toh Thi-sim.
"Aku yang gilas dia!" serentak si cebol yang bermuka bulat dan berkepala besar
itu melompat maju. Potongan orang ini sungguh sangat lucu, kepalanya sebesar gantang, tubuhnya
justru pendek kecil, waktu berdiri menjadi mirip sebuah tomat tersunduk di atas
sumpit yang ditegakkan. Cu Pui tidak dapat tertawa lagi, malahan air mukanya lantas berubah. Bahwa yang
berdiri di depannya sekarang tiada ubahnya seperti seorang anak kecil, tapi dia
justru ketakutan setengah mati terhadap si cebol ini.
Melihat rasa ketakutan Cu Pui dan melihat pula kepala si cebol yang tidak
seimbang dengan tubuhnya itu, seketika air muka Liok Siau-hong juga berubah.
Apakah mungkin orang ini Toa-tau-kui-ong' Sukong Tau, si raja setan kepala besar
yang paling kejam di antara gerombolan setan dari wilayah barat sana.
Pandangan Siau-hong memang tidak keliru, hal ini terbukti apa yang diteriakkan
Cu Pui, "Sukong Tau, apa sangkut-pautnya urusan ini denganmu, apa kehendakmu?"
"Akan kugilas dirimu menjadi mi," sahut Sukong Tau, si setan kepala besar.
Ia memegang sepasang sumpit, tiba-tiba ia menggosok-gosok kedua sumpit itu pada
telapak tangannya serupa Cu Pui yang sedang digilasnya, mendadak bubuk halus
berhamburan dari celah telapak tangannya.
Waktu dia membuka telapak tangan, sumpit tidak kelihatan lagi, ternyata sumpit
yang dapat digunakan untuk membunuh orang itu telah tergilas luluh menjadi bubuk
oleh tangannya yang kecil serupa tangan anak kecil.
Muka Cu Pui tampak berkerut-kerut, sekujur badan serasa lemas lunglai, ia duduk
terkulai di atas kursinya, ketika Sukong Tau bergaya hendak menubruk ke arahnya,
mendadak ia menjatuhkan diri ke bawah terus menyusup ke kolong meja, siku dan
dengkul bekerja sama, dalam sekejap beberapa meja diterobosnya, gerak cepat dan
gesitnya sungguh sukar dilukiskan.
Cuma sayang, meja itu tidak bersambungan satu dan lain, Sukong Tau telah
melompat ke atas, kesepuluh jarinya terpentang, ia incar dengan baik, begitu
orang menongol dari bawah meja, segera dia menubruk ke situ.
Siapa tahu gefak-gerik Cu Pui yang gemuk seperti babi itu tidak kurang cepatnya,
sekali melejit, kembali ia menyusup ke kolong meja di depan.
Terdengar suara "pluk", jari Sukong Tau menembus permukaan meja, waktu tangan
ditarik kembali, permukaan meja sudah bertambah sepuluh lubang.
Cu Pui terus ngambek sekalian di bawah meja dan tidak mau keluar, gemas Sukong
Tau, disapunya mangkuk piring di atas meja sehingga hidangan dan arak sama
tumpah di atas tubuh seorang, kakek berbaju hitam pendiam itu.
Segera Sukong Tau bermaksud menjungkir-balikkan meja pula, sekonyong-konyong
seorang membentak, "Nanti dulu!"
Sepasang sumpit tahu-tahu terjulur tiba, bilamana tangan Sukong Tau menghantam
meja, sama dengan tangan disodorkan ke ujung sumpit dan bukan mustahil bisa
tembus. Untung reaksi Sukong Tau juga sangat cepat ia tahan mentah-mentah gerak
tangannya. Keempat kakek berbaju hitam masih duduk tenang dan diam di tempatnya sambil
memandangnya dingin. Seperti baru sekarang Sukong Tau melihat mereka, ia tertawa lebar dan berucap,
"Bolehkah minta tolong kalian mendepak keluar babi gemuk di bawah meja itu?"
"Tidak," jengek si kakek yang tubuhnya berlepotan arak dan kuah itu.
"Hendak kau bela dia?" tanya Sukong Tau.
"Asal orang tidak menggangguku, aku pun tidak mengganggu orang," kata si kakek.
"Siapa yang mengganggumu?" tanya Sukong Tau.
"Kau!" jawab si kakek.
"Memangnya kenapa kalau mengganggumu?"
"Jika orang menggangguku, maka dia bukan lagi orang?"
"Aku memang bukan orang, tapi setan," jengek Sukong Tau.
"Kau pun bukan setan, tapi hewan," damprat si kakek. "Aku tidak membunuh orang,
hanya membunuh hewan, membunuh satudua hewan tidak terhitung melanggar pantangan
membunuh." Sukong Tau mengepal erat tinjunya, ruas tulang sekujur badannya berbunyi keriut-
keriut, mukanya yang bulat itu berubah kelam.
Mendadak Lau-to-pacu bersuara, "Orang ini masih berguna bagiku, harap An-
siansing memberi kelonggaran padanya."
Si kakek baju hitam berpikir sejenak, akhirnya mengangguk dan berkata, "Baik,
aku cuma menghendaki sebelah tangannya."
Kembali Sukong Tau tertawa, suara tertawanya seperti ringkik setan.
Kedua tangannya berlatih kungfu yang berbeda, tangan kiri berlatih Pek-kut-jiau
(cakar tulang putih) dan tangan kanan meyakinkan Oh-kut-jiau (cakar tulang
hitam), sudah lebih 20 tahun dia berlatih ilmu tersebut, jika sekarang
kehilangan sebelah tangannya, hal ini sama dengan menghendaki setengah jiwanya.
"Aku menghendaki tangan kirimu," kata si kakek baju hitam.
"Baik, kuberi!" seru Sukong Tau, begitu kata terakhir terucapkan, serentak kedua
tangannya mencakar sekaligus. Tangan yang satu berubah warna putih salju, tangan
yang lain berubah hitam seperti arang.
Dikeluarkannya kekuatan latihan selama 20 tahun, asalkan tersentuh oleh ujung
jarinya, biarpun patung batu juga akan bertambah sepuluh lubang.
Si kakek baju hitam masih duduk tanpa bergerak, ia hanya menghela napas, lengan
bajunya terus menyabet. Terdengar suara "krek" serupa ketimun dipatahkan, menyusul lantas terdengar
jeritan ngeri. Sukong Tau mencelat ke sana, menumbuk dinding dan terbanting ke lantai, lalu
tidak bergerak-lagi, kedua tangannya berlumuran darah, kesepuluh jarinya sudah
patah semua. Si kakek baju hitam menghela napas, katanya, "Mestinya aku cuma menghendaki
sebelah tangannya." Kakek satunya lagi yang berubah menjengek, "Hanya menghendaki sebelah tangannya
kan tidak perlu mengeluarkan tujuh bagian tenagamu?"
"Sudah lama aku tidak pernah bergebrak dengan orang, cara menggunakan tenaga
tidak lagi tepat, pula aku terlalu menilai tinggi kekuatannya," ujar si kakek
berbaju hitam tadi. "Maka kau salah, hewan juga berjiwa, tetap kau langgar pantangan membunuh," kata
si kakek beruban. "Betul, aku salah, Buddha maha kasih!" ucap si kakek berbaju hitam.
Keempat kakek lantas mengucapkan doa dan berdiri perlahan, lalu berkata terhadap
Lau-to-pacu, "Kami mohon diri dulu, kami akan bertapa tiga hari untuk menebus dosa sebagai
tanda terima kasih kepada Cengcu."
Lau-to-pacu berdiri juga dan menjawab, "Dia mencari kematian sendiri, untuk apa
Siansing menista diri sendiri?"
"Bilamana Cengcu ada perintah apa-apa, kami senantiasa siap melaksanakan tugas,"
kata si kakek tadi. Lau-to-pacu seperti merasa lega, ia memberi hormat dan berucap, "Silakan."
Keempat kakek itu lantas melangkah pergi dengan perlahan, setiba di depan Liok
Siau-hong mendadak mereka berhenti, si kakek beruban tiba-tiba bertanya, "Apakah
akhir-akhir ini Liok-kongcu bertemu dengan Koh-kua Siangjin?"
"Pernah bertemu beberapa kali tahun yang lalu," jawab Siau-hong.
"Siangjin terkenal ahli masak, Liok-kongcu pasti sering makan bersamanya."
Siau-hong mengiakan dengan tertawa.
"Jika demikian dia pasti sehat-sehat saja seperti dahulu."
Kembali Siau-hong mengiakan.
Kakek beruban itu memuji' pula kebesaran Buddha, ketiga kakek lain juga berdoa,
lalu melangkah keluar, tetap dengan langkah lamban dan tenang.
Tapi tangan dan kaki Siau-hong terasa dingin. Akhirnya dia ingat asal-usul
keempat kakek ini setelah melihat sikap hormat Lau-to-pacu kepada mereka dan
melihat daya sabet lengan bajunya tadi, melihat ketaatan mereka terhadap agama
Buddha, dapatlah Siau-hong menerka siapa mereka.
Jika tadi dia tidak tahu siapa mereka adalah karena mereka sekarang sudah piara
rambut dan berbaju orang biasa, dengan sendirinya tak terpikir olehnya keempat
kakek itu adalah Hwesio, lebih-lebih tak terduga mereka adalah bekas anggota Go-
lo-han dari Siau-lim-si. Go-lo-han atau lima pengabdi Buddha ini asalnya adalah lima saudara sekandung,
mereka cukur rambut menjadi Hwesio berbareng dan sama-sama masuk Siau-lim-si.
Sekarang mereka cuma tinggal empat orang saja, sebab kakak tertua Bu-liong-lohan
sudah mati. Pada waktu mudanya mereka sudah malang melintang di dunia Kangouw, tak terhitung
jumlah orang yang mereka bunuh, mereka mendapat julukan sebagai lima binatang
buas, yaitu Liong (naga), Hou (harimau), Say (singa), Jio (gajah) dan Pa (macan
tutul). Tangan setiap orang sama penuh berlumuran darah.
Akan tetapi seperti sabda Buddha, taruh pisau jagalmu dan segera menjadi Buddha.
Kelima binatang buas itu seterusnya lantas berubah menjadi Go-lo-han dalam Siau-
lim-si, gelar mereka pun berubah menjadi 'Bu-liong' tanpa naga, Bu-hou, Bu-say,
Bu-jio dan Bu-pa, artinya mereka sudah meninggalkan segala apa yang lalu, yang
ada sekarang hanya sujud kepada Buddha.
Bu-liong bertugas mengurus ruangan kitab, sudah sekian tahun dia bekerja dengan
baik, kedudukannya sudah menanjak menjadi Tianglo (sesepuh), tapi entah mengapa,
pada suatu malam mendadak Bu-liong mabuk lupa daratan, tatakan lilin terbalik
dan api menjilat, seluruh ruangan kitab Sim-lim-si itu hampir terbakar habis
menjadi puing. Karena gusar, Hongtiang atau ketua Siau-lim-si menjatuhkan hukuman kurungan
sepuluh tahun terhadap Bu-liong ditambah 20 kali rangketan. Merasa terhina, Bu-
liong mati dengan menahan dendam.
Karena urusan menyangkut saudara sekandung, sisa keempat Lohan yang lain merasa
penasaran, hati suci mereka berubah kembali dirangsang nafsu membunuh. Mereka
tidak segan-segan melakukan pelanggaran dan berusaha membunuh sang ketua.
Orang Kangouw hanya tahu usaha membunuh mereka itu gagal, tapi tidak ada yang
tahu bagaimana mati-hidup mereka selanjutnya, lebih-lebih tidak ada yang tahu
Bu-liong yang sudah lama diakui suci bersih itu mendadak bisa mabuk"
Peristiwa itu sudah menjadi kasus yang mencurigakan di dunia persilatan, serupa
halnya orang pun tidak tahu mengapa mendadak Ciok Ho dipecat dari Bu-tong-pay.
Akan tetapi sekarang Liok Siau-hong dapat meraba seluk-beluk urusan itu,
mabuknya Bu-liong pasti ada sangkut-pautnya dengan Koh-kua Hwesio, maklum, untuk
makan enak bersama Koh-kua tentu akan dibarengi juga dengan minum beberapa cawan
arak. Tadi keempat kakek itu bertanya tentang keadaan Koh-kua Hwesio, tentunya mereka
berharap Koh-kua masih hidup dengan baik, dengan begitu barulah mereka dapat
menuntut balas padanya. Sekali serang tadi Bu-pa lantas mematahkan tulang tangan lawan dan membunuhnya,
hal ini membuktikan dendam kesumatnya sudah lama terpendam dan belum
terlampiaskan. Yang paling dibenci mereka bukan Koh-kua Hwesio melainkan Siau-lim-si, serupa
halnya Ciok Ho dendam kepada Bu-tong dan Ko Tiu benci kepada Hong-bwe-pang.
Adapun alasan mereka hendak menumpas Koh-tojin dari Pah-san adalah karena Pah-
san kaya dengan tambang emas, dengan sendirinya Koh Hui-hun ingin merampas
kekayaan keluarga Koh itu sebagai milik sendiri.
Sedangkan Hay Ki-koat sudah sukar menancap kaki di lautan bebas, dengan
sendirinya dia ingin merampas kekuasaan Cui-siang-hui yang merajai lembah sungai
Yangce atau Tiangkang itu.
Sedangkan Toh Thi-sim bermusuhan besar dengan Kay-pang. Dan si kakek berjenggot
panjang itu sangat bisa jadi adalah Pek-seng-to-ong Kwan Thian-bu, si raja golok
selalu menang, yang dahulu pernah berebut warisan perguruan Gan-tang dengan Ko
Hing-kong. Jadi gerakan Lau-to-pacu ini sekaligus hendak menjaring segenap musuh mereka,
dengan sendirinya mereka mendukung dengan sepenuh tenaga.
Cuma sasaran mereka itu semuanya adalah pimpinan atau gembong sesuatu perguruan
besar, biasanya sangat sukar bertemu, apalagi berkumpul, jarak tempat tinggal
masing-masing juga sangat jauh, mengapa Lau-to-pacu mampu menjaring mereka
sekaligus dalam suatu operasi total"
Untuk ini Lau-to-pacu sudah mulai memberi penjelasan. "Pada tanggal 13 bulan
empat nanti adalah ulang tahun wafatnya men diang Bwe-cinjin, ketua Bu-tong-pay
yang dulu, juga ulang tahun kesepuluh Ciok Gan menjabat ketua. Konon pada hari
itu dia akan mengangkat ahli-waris Bu-tong-pay yang akan datang."
Dia mendengus, lalu menyambung lagi, "Pada hari itu, di Bu-tong-san tentu akan
berkumpul tamu undangan yang tak terhitung banyaknya, Thi-koh, Ong Cap-te dan
lain-lain pasti juga akan hadir sebagai tamu undangan."
"Apakah pada hari itu kita akan bertindak?" pertanyaan ini mestinya akan
diajukan Liok Siau-hong, tapi telah didahului oleh Toh Thi-sim.
Lau-to-pacu mengangguk, "Maka kita harus berada di Bu-tong-san sehari sebelum
aksi operasi kita." Akan tetapi bilamana rombongan mereka berangkat bersama, tak sampai meninggalkan
wilayah pegunungan ini pasti akan menggemparkan dunia persilatan.
Maka gerakan mereka harus dilakukan secara rahasia, tidak boleh diketahui oleh
siapa pun. Keberangkatan mereka selain dilakukan dengan berkelompok juga setiap orang harus
berganti rupa atau menyamar.
Semua itu sebelumnya sudah dirancang dengan cermat oleh Lau-to-pacu.
"Tentang gerakan kita secara terperinci akan kuatur dengan baik bagi para
peserta, maka kalian tidak perlu pusing kepala," kata Koan-keh-po.
"Aku dapat menjamin, orang yang bertanggung jawab bagi penyamaran kalian mutlak
adalah seorang ahli yang tidak ada bandingannya di dunia ini, bilamana kalian
sudah berganti rupa, ditanggung orang lain tidak kenal lagi kepada wajah asli
kalian." Persoalan satu-satunya sekarang ini adalah: Cara bagaimana membawa senjata ke
atas gunung Bu-tong"
Biasanya tidak ada seorang pun diperbolehkan membawa senjata ke Bu-tong-san,
segala macam senjata harus ditinggalkan di kaki gunung, di suatu tempat yang di
sebut 'Kay-kiam-ti' atau kolam menanggalkan pedang.
"Tapi aku pun dapat menjamin, pada malam operasi harus di laksanakan itu, setiap
orang pasti akan mendapatkan senjata masing-masing yang biasa kalian gunakan,"
kata Lau-to-pacu pula. "Dimana akan didapatkan senjata?" tanya nenek Lo yang sedang melahap sepotong
ayam goreng itu. "Di kakus sana," jawab Lau-to-pacu.
Selagi nenek itu hendak bertanya pula, Koan-keh-po sudah menyodorkan lagi
gepotong babi panggang untuk menutup mulutnya.
Dan bagaimana harus menutup mulut orang-orang seperti Ih Hoan" Bukankah rahasia
yang diketahui mereka sudah terlalu ba-nyak"
Wajah mereka kelihatan pucat, sebab mereka pun menyadari untuk menyelesaikan
persoalan ini hanya ada satu jalan. Hanya orang mati saja takkan membocorkan
rahasia apapun. Dan bila ingin mencari hidup di tengah kematian itu, biasanya juga cuma ada satu
jalan, yaitu, 'Sebelum terbunuh, harus membunuh lebih dulu!'
Karena itulah mendadak Ih Hoan melompat maju, serupa ikan terbang yang meletik
dari dalam air. Hui-hi-ji (semacam cundrik penusuk ikan) yang digunakannya seluruhnya ada lima
pasang, Yap Ling hanya berhasil mencuri empat pasang senjatanya, sisa sepasang
masih tersimpan di dalam bajunya. Sekarang cundrik itu telah berubah menjadi dua
jalur kilat dan menyambar Lau-to-pacu.
Namun Lau-to-pacu tidak bergerak, sebaliknya Ciok Ho yang berdiri di belakangnya
segera bertindak. Jit-sing-kiam atau pedang bintang tujuh mendadak menyambar
bagai sejalur pelangi. Pelangi ketemu sinar kilat, "tring-tring" dua kali, sinar kilat lenyap mendadak,
dua potong ujung cundrik jatuh dari udara, pelangi juga hilang, ujung pedang
sudah bersarang di dalam dada Ih Hoan.
Ia memandang kutungan cundrik yang masih dipegangnya, lalu memandang pula pedang
yang menembus dadanya, kemudian baru menengadah dan memandang orang yang tidak
punya muka di depannya ini, seperti tidak percaya kepada apa yang terjadi ini.
Si manusia tidak bermuka alias Ciok Ho itu juga menatapnya dengan dingin,
tanyanya tiba-tiba, "Bagaimana seranganku ini dibandingkan dengan jurus Thian-gwa-hui-sian andalan
Yap Koh-seng itu?" Ih Hoan mengertak gigi, satu kata pun tak terucapkan, ujung mulutnya yang
berkerut menampilkan senyum ejekan, seakan-akan hendak bilang: "Yap Koh-seng
sudah mati, memangnya mau apa jika kau lebih hebat daripada dia"
Agaknya Ciok Ho tahu maksudnya, tangan yang memegang pedang itu mendadak
berputar, dengan sendirinya mata pedang juga ikut berputar.
Muka Ih Hoan seketika mengejang, mendadak ia meraung dan menubruk maju, darah
lantas muncrat dan tubuh tersunduk lebih dalam di tengah pedang.
Siau-hong tidak tega menyaksikan adegan ngeri itu, ia berbangkit, masih ada
beberapa orang yang berdiri itu belum terbunuh, ia tidak ingin menyaksikan
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka mati satu per satu.
Kabut masih tebal, hawa dingin dan lembab, ia menarik napas dalam-dalam, pikiran
terasa segar, ia perlu ketenangan.
"Kau tidak suka membunuh orang?" terdengar suara Lau-to-pacu, dia ikut keluar
untuk mencari hawa segar juga.
"Aku gemar minum arak, adalah hal lain jika melihat orang lain juga minum arak,"
ujar Siau-hong dengan hambar.
Dia tidak berpaling untuk memandang Lau-to-pacu, tapi dari suaranya diketahuinya
orang merasa puas terhadap jawabannya.
"Aku pun tidak suka melihat, urusan apapun juga akan jauh lebih menyenangkan
jika kulakukan sendiri," kata Lau-to-pacu.
Siau-hong termenung sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Tapi ada
sementara urusan agaknya tidak suka kau kerjakan sendiri."
"Oo, apa?" tanya Lau-to-pacu.
"Kau tahu Yap Ling telah mencuri baju renang dan senjata Ih Hoan, kau pun tahu
apa yang hendak dilakukannya, tapi tidak kau cegah."
"Ya, tidak," Lau-to-pacu mengaku.
"Kau larang kupergi menolong Yap Soat, kau sendiri juga tidak pergi, mengapa kau
biarkan Yap Ling pergi ke sana?"
"Sebab kutahu Yap Leng-hong pasti takkan mencelakai dia." "Kau yakin?"
Lau-to-pacu mengangguk, tiba-tiba suaranya berubah parau, "Ya, sebab dia adalah
putri kandung Yap Leng-hong."
Kembali Siau-hong menarik napas dalam-dalam seperti tidak memperhatikan rasa
pedih dan dendam yang terkandung dalam ucapan orang, katanya pula, "Ada lagi
satu urusan, tampaknya kau pun tidak mau turun tangan sendiri."
Lau-to-pacu menunggu lanjutan ucapannya.
"Apakah kau ingin menggunakan Ciok Ho untuk menghadapi Ciok Gan dari Bu-tong dan
menggunakan keempat saudara binatang buas itu untuk menghadapi Thi-ko Hwesio
dari Siau-lim?" "Itu menyangkut permusuhan mereka, memang mereka perlu menyelesaikannya sendiri
secara tuntas." "Dan mampukah Toh Thi-sim menghadapi Ong Cap-te?"
"Selama belasan tahun ini kungfunya sudah maju pesat, apalagi si nenek Lo akan
membantunya." "Kurasa Koh-tojin bukan tandingan Piauko (Koh Hui-hun), dan antara Cui-siang-hui
dan Hay Ki-koat, kau pegang siapa?"
"Tiangkang adalah pangkalan yang menguntungkan, tentu saja Cui-siang-hui
(terbang di atas air) banyak mengeduk keuntungan dari situ sehingga dia sudah
terlalu gemuk dan tidak sanggup terbang lagi, maka baik di darat maupun di dalam
air, biarpun tiga berbanding satu juga kupegang Hay Ki-koat."
"Akan tetapi Kwan Thian-bu sudah pernah dikalahkan tiga kali oleh Ko Hing-kong,"
kata Siauhong. "Ketiga kali itu disebabkan diam-diam ada orang membantu Ko-Hing-kong."
"Siapa?" tanya Siau-hong.
Lau-to-pacu mendengus, "Tentu dapat kau pikirkan, Ko Hing-kong malang melintang
di Tiangkang, apa sangkut-pautnya kenduri orang mati di Bu-tong-san dengan dia"
Mengapa dia juga perlu hadir?"
Siau-hong manggut-manggut, kiranya orang Bu-tong-pay yang diam-diam membantu Ko
Hing-kong. Tapi urusan dalam perguruan Gan-tang-san, mengapa anak murid Bu-tong-pay perlu
ikut campur" Siau-hong tidak ingin bertanya terlalu banyak, katanya pula, "Sekarang mengenai
Lau-jit si mata elang, seumpama Koan-keh-po tidak mampu mengatasi dia, kalau
ditambah lagi dengan Hoa Gui tentu jauh daripada cukup."
"Hoa Gui ada tugas lain, Ko Tiu juga tidak memerlukan pembantu," kata Lau-to-
pacu. "Wah, tampaknya ketujuh sasaran pokok itu sudah ada orang siap menghadapinya,
urusan pasti akan berhasil dengan baik."
"Ya, pasti akan sukses."
"Lantas apa yang kau minta kukerjakan?" tanya Siau-hong dengan tertawa. "Untuk
manghadapi kawanan Tojin tukang sapu dan tukang cuci piring?"
"Apa yang kuminta kau kerjakan justru merupakan kunci berhasil atau gagalnya
operasi kita ini." "Pekerjaan apa?" tanya Siau-hong.
Lau-to-pacu tertawa, "Apa yang kau ketahui sekarang sudah cukup banyak, urusan
lain biarlah kuberitahukan padamu nanti bilamana malam tanggal 12 bulan empat
sudah tiba." Ia tepuk bahu Siau-hong dan berkata pula, "Maka malam ini boleh kau rileks
sesukamu, boleh kau minum sampai mabuk, sebab besok boleh kau tidur sehari
suntuk." "Harus kutunggu sampai lusa baru boleh turun gunung?" tanya Siau-hong.
"Ya, kau termasuk kelompok terakhir."
"Siapa lagi di antara kelompok terakhir?"
"Koan-keh-po, nenek Lo, Piauko, Kaucu dan Liu Jing-jing," Lau-to-pacu tertawa,
lalu menyambung, "Tontonan menarik biasanya berada pada babak terakhir, dengan
sendirinya kalian harus diatur pada barisan terakhir."
"Apalagi kalau mereka ikut bersamaku, sedikitnya aku takkan mati disergap orang
di tengah jalan." ... Tambah riang tertawa Lau-to-pacu, "Jangan kuatir, sekalipun di tengah perjalanan
kau kepergok S.ebun Jui-soat, kutanggung dia pasti tidak mengenalmu lagi."
"Ya, sebab orang yang akan merias wajahku itu adalah ahli yang tidak ada
bandingannya di dunia ini."
Lau-to-pacu tertawa, "Jika seorang dapat menyamar dirinya sendiri sebagai
anjing, masa perlu lagi kau ragukan kemampuannya?"
Kiranya si ahli rias yang dimaksud ialah Kian-long-kun, si jaka anjing.
Tugas Kian long-kun adalah mengubah wajah setiap orang. agar tidak dikenali
orang lain. Dan bagaimana setelah tugasnya itu selesai"
"Kuminta kau bawa pergi diriku!" inilah permintaan Kian-long-kun, akhirnya Siau-
hong paham artiriya, dengan sendirinya si jaka anjing juga sudah menyadari
bahaya yang mengancam dirinya.
Lau-to-pacu menengadah dan menghembuskan napas panjang, masa tanam sudah
berlalu, yang ditunggu sekarang adalah musim panen, dia seperti sedang
membayangkan buah yang mulai tumbuh itu.
Buah sebiji demi sebiji itu adalah buah kepala.
Mendadak Siau-hong berpaling dan menatapnya, "Dan kau sendiri" Setiap orang
sudah ada tugas yang akan dilaksanakan, kau sendiri akan melakukan apa?"
"Aku kan pemilik modal, aku cuma menunggu hutang yang hendak kalian tagih
bagiku." "Bu-tong-pay hutang pada Ciok Ho, Siau-lim-si hutang kepada kawanan binatang
liar itu, lantas siapa yang hutang padamu?"
"Setiap orang sama hutang padaku," kata Lau-to-pacu, lalu ia tepuk-tepuk pula
bahu Liok Siauhong, sambungnya dengan tersenyum. "Bukankah kau pun hutang
sedikit padaku?" Siau-hong menarik napas panjang, terasa hawa segar masih penuh dalam rongga
dadanya. Ia tahu barang siapa berhutang kepada Lau-to-pacu, cepat atau lambat harus
membayar, tidak saja berikul rentenya, tapi bila berli pat ganda. Ia kuatir
dirinya takkan mampu membayar.
Kian-long-kun berbaring di tempat tidurnya dan memandang langit-langit dengan
terkesima. Sungguh dia ingin tidur, sudah dicobanya memejamkan mata beberapa kali, tapi
tetap sukar pulas. Ia gelisah, ia merasa nasib sendiri ibarat telur di ujung tanduk, mana dia bisa
pulas. Malam sunyi, mendadak terdengar "krek", jendela terbuka dan seorang melayang
masuk, Liok Siau-hong adanya.'
Sebelum Kian-long-kun bersuara, Liok Siau-hong telah mendekap mulutnya sambil
mendesis, "Hanya kau sendiri di dalam rumah ini?"
Memang cuma dia seorang, siapa pun tidak betah tinggal di dalam rumah yang penuh
bergantungan kulit anjing dan kulit manusia, siapa pun tidak tahan oleh bau
busuk kulit yang dimasak di dalam kuali yang selalu mengepul itu.
Menyaru dan berganti rupa bukan pekerjaan yang ringan dan santai sebagaimana
disangka orang, untuk membuat sehelai kedok kulit manusia yang baik tanpa cacat
selain diperlukan ketrampilan tangan yang cekatan, juga diperlukan kesabaran
yang luar biasa. Siau-hong tidak tahan oleh bau busuk yang mengepul di kuali itu, ia bertanya,
"Apa yang kau masak?"
"Masak lem urat kerbau, kedok kulit manusia harus dilem dengan cairan urat
kerbau supaya tidak terlepas."
"Kedok kulit manusia" Benar-benar kau gunakan kulit manusia sebagar kedok?"
"Kedok muka harus dibuat dari kulit manusia tulen barulah seluruh bentuk wajah
dapat berubah sama sekali, bahkan setiap kedok harus dibuat klise sesuai dengan
bentuk wajah orang yang bersangkutan."
Mendadak ia berkata kepada Siau-hong dengan tertawa, "Aku pun sudah membuat
sebuah kedok sesuai bentuk wajahmu."
"Juga terbuat dari kulit manusia?" tanya Siau-hong dengan menyengir.
"Ya, asli, tanggung tulen."
"Berapa banyak seluruhnya kau bikin?"
"Ada 31 helai." kata Kian-long-kun. "Kecuali Lau-to-pacu, setiap orang mendapat
sehelai." Mengapa Lau-to-pacu tidak perlu menyamar" Memangnya dia akan tetap memakai
caping itu ke Bu-tong-san"
"Sesudah berganti rupa, apakah wajah setiap orang itu akan diberi sesuatu tanda
pengenal yang khas?"
"Tidak, setitik pun tidak ada."
"Jika masing-masing tidak saling mengenal lagi, apakah tidak mungkin akan salah
membunuh kawan sendiri?" "Pasti tidak akan terjadi." "Sebab apa?"
"Sebab tugas setiap kelompok tidak sama, ada yang khusus menghadapi kawanan Tosu
Bu-tong dan ada yang khusus menghadapi Hwesio Siau-lim, asalkan kelompok yang
bersangkutan dapat mengingat bentuk masing-masing sesudah menyamar, tentu takkan
terjadi membunuh kawan sendiri."
Siau-hong termenung sejenak, mendadak ia bertanya dengan suara tertahan,
"Dapatkah kau tinggalkan setitik tanda pengenal pada wajah setiap kelompok"
Misalnya ditambah setitik tahi lalat dan sebagainya."
Kian-long-kun memandangnya dengan lerheran-heran, sampai lama barulah ia
bertanya dengan suara lirih, "Kau yakin dapat membawa pergi "diriku?"
"Pasti," jawab Siau-hong.
"Asalkan kau sanggupi permintaanku, tentu kulakukan permintaanmu."
"Cara bagaimana akan kau beri tanda?"
Kian-long-kun terkedip-kedip, katanya kemudian, "Sekarang belum dapat kukatakan,
nanti kalau kita mau berangkat baru akan kuberitahu."
Orang ini hampir serupa Lau-to-pacu saja, kecuali kepada dirinya sendiri ia
tidak percaya kepada siapa pun. Terkadang malahan juga tidak percaya kepada
dirinya sendiri. Tiba-tiba Kian-long-kun bertanya pula, "Apakah Hoa-kuahu berangkat satu kelompok denganmu?"
"Mungkin betul," jawab Siau-hong.
"Kau ingin dia berubah bagaimana bentuknya" Supaya tambah tua dan tambah buruk,
atau lebih muda dan agak cakap?"
"Makin tua makin baik, semakin buruk semakin baik," jawab Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Kian-long-kun.
"Sebab tidak ada orang mau percaya Liok Siau-hong bisa berada bersama seorang
perempuan tua lagi buruk rupa, maka pasti juga tak ada yang mau percaya diriku
inilah Liok Siau-hong."
"Jadi semakin tua dan semakin buruk rupanya, makin aman pula bagimu, bukan saja
orang lain tidak dapat mengenalimu, kau sendiri pun tidak akan tergiur padanya."
Kian-long-kun berkedip, lalu berkata pula dengan tertawa, "Selama beberapa hari
ini memang perlu kau jaga kondisi badanmu, jika tinggal bersama seorang janda
muda, tentu tidak gampang lagi bagimu untuk menyimpan tenaga."
Siau-hong memandangnya, lalu mendengus, "Kau tahu apa penyakitmu?"
Kian-long-kun menggeleng.
"Penyakitmu yang paling parah adalah terlalu banyak bicara."
"Asalkan kau bawa pergi diriku, kujamin sepanjang jalan takkan bicara satu kata
pun," kata Kian-long-kun dengan tertawa.
"Sekalipun kau mau bicara juga ada caraku akan membikin kau tidak mampu bicara."
"Apa caramu?" tanya Kian-long-kun.
"Aku ini kan seorang pesiunan pembesar yang pulang kampung halaman, selain
membawa beberapa pengiring, aku pun membawa seekor anjing," Siau-hong tersenyum,
lalu menyambung, "Dan kau adalah anjing itu. Dengan sendirinya anjing takkan bicara seperti
manusia." Sampai lama Kian-long-kun atau si jaka anjing memandang nya, akhirnya ia
menyengir dan berucap, "Betul, aku adalah anjing itu, cuma kumohon janganlah
engkau lupa bahwa anjing ini hanya suka makan daging dan tidak mau menggerogoti
tulang." "Tapi kau pun jangan lupa, anjing yang tidak menurut pe-rintah, selain cuma
diberi tulang saja, terkadang juga akan makan tahi."
Sambil bergelak tertawa Siau-hong melangkah keluar, tiba-tiba ia berpaling dan
bertanya pula, "Eh, Yap Ling dan Yap Soat termasuk dalam kelompok keberapa?"
"Entah, aku pun tidak tahu," jawab Kian-long-kun. "Dari daftar nama yang
kuterima dari Lau-to-pacu juga tidak terdapat nama mereka."
Malam bertambah larut, Siau-hong berduduk di tempat sepi itu, di tengah kabut
yang dingin, terjadi pula pertentangan batinnya, "Sekarang harus kupergi ke rawa
sana untuk mencari mereka kakak beradik atau minum sampai mabuk saja?"
Akhirnya ia memilih mabuk saja.
Umpama dia tidak pergi mencari mereka juga tidak perlu harus mabuk. Akan tetapi
dia toh mabuk, lupa daratan. Mengapa dia harus mabuk"
Apakah karena dia menanggung sesuatu penderitaan batin yang sukar dikatakan
kepada orang lain" Pada tanggal tiga bulan empat, petang hari, cuaca terang, banyak kabut.
Waktu Siau-hong mendusin, dirasakannya kepala sakit seperti mau pecah, mulut
kering dan pahit, semangat lesu, serupa orang habis sakit berat.
Sekian lama dia mendusin baru membuka mata, dan begitu membuka mata hampir saja
ia melonjak kaget. Aneh, mengapa si nenek Lo bisa berduduk di ujung tempat tidurnya" Bahkan sedang
menatapnya. Ia kucek-kucek matanya yang masih sepat, baru diketahuinya sekarang nenek yang
duduk di ujung tempat tidurnya bukanlah nenek Lo yang lagi makan kacang itu,
namun usianya jelas tidak lebih muda daripada nenek Lo.
"Siapa kau?" tanyanya. Tapi jawaban si nenek membuatnya terkejut pula.
"Aku binimu," ucap nenek itu sambil menjengek, "Sudah 50 tahun bulat kujadi
isterimu, betapapun tak dapat kau sangkal aku ini binimu."
Siau-hong memandangnya dengan tercengang, mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal
dan berguling di tempat tidur.
Nenek ini ternyata Liu Jing-jing adanya, ia dapat mengenali suaranya.
"Mengapa engkau berubah semacam ini?"
"Semua ini gara-gara si anjing buduk itu, aku ingin muda sedikit saja tidak
diluluskan," sambil bicara Liu Jing-jing sibuk makan kacang pula, ditambahkannya
dengan gemas, "Sekarang aku berubah jadi begini, kau sangat senang bukan?"
Siau-hong sengaja berkedip-kedip, lalu menjawab, "Mengapa aku senang?"
"Sebab engkau memang menghendaki aku makin tua makin baik, makin buruk makin
baik, sebab kau memang selalu menghindari diriku, seperti takut akan kutelan
dirimu bulat-bulat."
"Mengapa harus kuhindari dirimu?" Siau-hong tetap berlagak pilon.
"Jika bukan menghindari diriku, mengapa setiap hari kau tenggak arak hingga
mabuk seperti babi mampus?" jengak Jing-jing, lalu sambungnya, "Padahal aku pun
tahu engkau tidak berani menyentuh diriku, namun aku juga rada heran, bilamana
setiap malam kau diharuskan tidur bersama seorang nenek macam diriku ini, mana
bisa kau tahan?" Siau-hong berduduk dan bertanya, "Mengapa setiap malam perlu kutidur bersamamu?"
"Sebab engkau ini pesiunan pembesar kotaraja yang hendak pulang kampung halaman,
aku adalah istrimu, seorang istri yang terkenal sebagai gentong cuka (maksudnya
suka cemburu)." Seketika Siau-hong melongo dan tidak sanggup bicara lagi.
"Ada kabar baik ingin kuberitahukan padamu, yaitu anak kita juga akan selalu
mendampingi perjalanan kita."
Kembali Siau-hong terkejut, "Siapa itu anak kita?"
"Piauko," tutur Jing-jing.
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak Siau-hong rebah kaku di tempat tidur dan tidak bergerak lagi.
Liu Jing-jing tertawa geli, mendadak ia menubruk di atas tubuh Liok Siau-hong,
ucapnya dengan terkikik, "Meski aku sudah tua orangnya, tapi hatiku belum tua,
setiap hari aku masih perlu, tiada gunanya biarpun kau pura-pura mati."
"Tidak nanti aku berlagak mati," sahut Siau-hong dengan tertawa getir, "jika
setiap hari aku diharuskan berbuat begituan dengan seorang nenek, sungguh aku
bisa mati benar-benar."
"Kan dapat kau pejamkan mata dan membayangkan wajahku masa lampau?" ujar Liu
Jing-jing dengan tertawa geli. "Bukankah kaum lelaki kalian suka bilang, asalkan
memejamkan mata, maka setiap perempuan di dunia ini kan sama saja."
Sekarang Liok Siau-hong baru merasakan akibat tingkah-polahnya sendiri. Dia
sendiri yang menggali lubang ini dan dia sendiri yang terjeblos ke dalam lubang
ini. Waktu Kian-long-kun datang, napas Liu Jing-jing tampak masih terengah-engah.
Jika ada yang melihat seorang nenek ompong berlagak serupa gadis remaja dan
berbaring di samping seorang lelaki cakap dengan napas terengah-engah dan mampu
bertahan tanpa tertawa geli, maka kepandaian orang ini pasti tidak kecil.
Kepandaian Kian-long-kun memang tidak kecil. Dia tidak tertawa geli, malahan dia
dapat berlagak tidak tahu, tapi ketika Liok Siau-bong berdiri, tiba-tiba ia
memicingkan mata kepadanya seperti lagi bertanya, "Bagaimana?"
Tidak kepalang dongkol Siau-hong, sungguh dia ingin mengorek biji mata orang
untuk diberi makan kepada Liu Jing-jing sebagai kacang.
Syukur dia tidak sampai bertindak demikian, dari luar lantas melongok seorang
nenek yang lebih tua daripada gabungan usia Liu Jing-jing dan nenek Lo, dengan
suaranya yang lucu lagi berkata,
"Loya dan Thay-thay (tuan dan nyonya) hendaknya bersiap-sfap, begitu fajar tiba
segera kita akan berangkat."
Nenek reyot ini adalah Koan-keh-po, siapa pun tak menyangka seorang tokoh
berpengaruh Hong-bwe-pang dan pernah malang melintang di dunia Kangouw sekarang
bisa berubah menjadi begini.
Liok Siau-hong merasa senang, tiba-tiba ia berseru, "Dimana putraku sayang"
Lekas panggil kemari untuk memberi selamat kepada bapaknya."
Piauko yang tampaknya sudah tambah muda 20 tahun terpaksa masuk dengan muka
muram durja. Segera Siau-hong menarik muka, ucapnya, "Keluarga pembe-sar harus mempunyai
peraturan rumah tangga yang tertib, biarpun di tengah perjalanan juga tidak
boleh menyampingkan peraturan. Maka selanjutnya setiap hari kau harus menghadap
dan memberi selamat pagi dan malam kepadaku, tahu tidak?"
Terpaksa Piauko mengangguk.
"Jika tahu, mengapa tidak lekas berlutut dan menyembah," kata Siau-hong.
Melihat Piauko menurut kepada segala perintahnya dan benar-benar menyembah
padanya, hati Siau-hong tambah riang, apapun juga menjadi bapak memang lebih
baik daripada menjadi anak.
Dengan sendirinya sepanjang perjalanan dia juga takkan kese-pian, kecuali bini,
dia juga punya anak, ada seorang Koan-keh atau pengurus rumah tangga dan juga
seorang Koan-keh-po, nenek pengurus rumah tangga, malahan juga membawa seekor
anjing. "Anjing ini tidak dapat dibawa serta," kata Hay Ki-koat.
Kaitan pada tangannya yang buntung telah ditanggalkan se-hingga bila tidak
tertutup oleh lengan baju, pergelangan tangannya yang terputus itu kelihatan
halus licin, kelihatan lucu.
Namun sikap Hay Ki-koat, si Koan-keh, sangat kereng dan tegas, "Betapapun tidak
boleh kita membawanya."
"Apakah ini juga perintah Lau-to-pacu?" tanya Siau-heng. "Dengan sendirinya,"
sahut Hay Ki-koat. "Jadi kalian akan membunuh dia?" "Begitulah."
Agaknya tugas Kian-long-kun sekarang sudah selesai, mereka tidak memerlukan
tenaganya lagi. "Siapa yang akan turun tangan membunuhnya?" tanya Siau-hong.
"Aku," jawab Hay Ki-koat.
"Tanpa kaitan juga dapat kau bunuh orang?"
"Setiap saat dapat kulakukan."
"Baik, jika begitu sekarang juga boleh kau bunuh diriku," kata Siau-hong.
Air muka Hay Ki-koat berubah, "Apa ... apa maksudmu ini?"
"Maksudku cukup sederhana," ucap Siau-hong dengan ketus. "Dia pergi, aku juga
pergi. Dia mati, aku juga mati."
Dengan sendirinya Liok Siau-hong tidak boleh mati.
Maka Hay Ki-koat menjadi ragu, ia pandang Piauko, Piauko memandang Koan-keh-po
dan Koan-keh-po memandang Liu Jing-jing.
Liu Jing-jing juga memandang Kian-long-kun, tiba-tiba ia bertanya, "Kau ini
anjing jantan atau betina?" "Jantan," jawab Kian-long-kun.
"Ada anjing yang biasanya suka tidur di pinggir ranjang majikannya, bagaimana
dengan kau?" tanya Jing-jing pula. "Aku suka tidur di depan pintu, bahkan tidurku biasanya seperti anjing mampus,
apapun tidak terdengar."
"Asalkan bukan anjing betina, biarkan saja dia mau bawa be-rapa ekor juga boleh,
aku tidak anti." "Dan adakah orang lain tidak setuju?" seru Siau-hong.
Hay Ki-koat menghela napas dan menjawab, "Tidak."
"Ya, setengah orang saja tidak ada," sambung Koan-keh-po.
"Dan kau?" tanya Siau-hong terhadap Piauko.
"Aku ini anak yang berbakti, aku jauh lebih penurut daripada anjing," ucap
Piauko dengan tertawa. Maka ketika fajar tiba, Liok-toaloya atau tuan besar Liok kita lantas berangkat
bersama empat orang dan seekor anjing, beramai mareka meninggalkan Yu-leng-san-
ceng, perkampungan hantu.
Inilah untuk kedua kalinya ia meninggalkan tempat ini, ia tahu sekali ini
dirinya pasti takkan kembali lagi ke sini.
Tanggal lima bulan empat, cuaca cerah.
Liok Siau-hong lagi tersanyum menghadapi sebuah cermin perunggu yang tergosok
sangat licin dan bening. Memandangi bayangan dalam cermin yang bukan lagi dirinya itu, meski agak janggal
rasanya, tapi juga sangat menarik.
Kakek dalam cermin ini dengan sendirinya tidak segagah dan tampan seperti
asalnya, tapi kelihatan angker dan berwibawa, sekali-kali bukan kakek konyol
yang terlalu banyak minum dan kelewat takaran piara bini muda, bukan kakek yang
sebelah kakinya sudah melangkah ke liang kubur.
Untuk hal ini jelas hatinya sangat senang, satu-satunya hal yang disesalkannya
adalah dia tidak dapat mencuci muka.
Sebab itulah dia hanya dapat menggunakan handuk kering dan mengusapnya secara
perlahan saja, lalu berkumur dan sikat gigi, kemudian berpaling dan memandang
nenek yang masih berbaring di tempat tidur itu sambil menggeleng.
Pada saat itulah anjing yang patuh itu telah masuk dengan menggoyang ekor, putra
berbakat juga datang menyampaikan ucap-an salamat pagi.
Siau-hong tambah gembira, katanya dengan tertawa, "Kalian telah bekerja dengan
baik, biarlah kuajak kalian makan di restoran '369' yang terkenal itu."
Restoran '369' sangat terkenal di kota ini, terutama bakpau buatannya, kecil
mungil, masih mengepul panas dari tempat kukusannya, sekaligus orang
menghabiskan 20 biji bakpau ini juga tidak terhitung banyak.
Malahan anjing piaraan Liok-toaloya saja bisa menghabiskan belasan biji bakpau,
sebaliknya pengurus rumah tangganya, baik yang lelaki maupun yang perempuan
terpaksa hanya berdiri di belakang majikan dan melayaninya.
Pembesar negeri, apalagi pejabat di kotaraja, disiplin biasanya jauh lebih keras
daripada orang lain. Pelayan restoran yang menyaksikan semua itu hanya menggeleng kepala saja, dengan
munduk-munduk ia berusaha menyanjung tetamunya yang terhormat, "Tampaknya
menjadi anjing di rumah Toaloya jauh lebih baik daripada jadi manusia."
Liok Siau-hong sedang sibuk tusuk gigi habis makan, tiba-tiba ia berkata, "Jika
kau suka padanya (anjing), kenapa tidak kau bawa dia berjalan-jalan, biarkan dia
kencing dan berak di luar, nanti kuberi persen."
Pelayan tampak ragu, ucapnya kemudian sambil memandang Koan-keh alias Hay Ki-
koat, "Apakah Koan-keh sendiri tidak membawanya pergi."
"Dia tidak suka kepada anjing ini, makanya anjing ini suka menggigit dia," kata
Siau-hong. Pelayan menjadi takut, "Wah, jangan-jangan hamba pun akan digigitnya."
"Hm, kau kira dia mau sembarangan menggigit orang, jika dia tidak mau biarpun
orang minta digigit, anjing ini juga tidak sudi pentang mulut," jengek Siau-
hong. Dengan tersenyum akhirnya pelayan menarik tali pengikat anjing dan membawanya
keluar. Koan-keh dan Koan-keh-po saling pandang, lalu saling pandang pula dengan Piauko.
Nyonya besar alias Liu Jing-jing berkata dengan tersenyum, "Jangan kau kuatir,
anjing bapakmu ini sangat penurut, pasti takkan kabur, seumpama mau kabur juga
tidak mudah." "Sebab apa?" tanya Piauko.
"Sebab kau pun akan ikut pergi, pada waktu dia berak harus kau tunggu di
sampingnya," kata nyonya besar.
Piauko ternyata sangat penurut, ia berbangkit terus keluar.
Siau-hong tartawa, "Tampaknya putra kesayangaii kita ini memang anak yang
berbakti." Liok Siau-hong mempunyai ciri, yaitu setiap hari sehabis makan pagi, tentu pergi
ke belakang, ke kakus. Dalam keadaan begini, betapa besar curiga dan cemburu nyonya besar juga tidak
mungkin mengintilnya pada waktu sang tuan besar membuang hajat.
Akan tetapi anjing tentu tidak pantang menunggui orang dalam keadaan apapun,
waktu berak juga anjing dapat menungguimu. Sebab itulah setiap kali Siau-hong
masuk ke kakus, selalu Kian-long-kun menggoyang ekor dan ikut masuk ke situ.
Hari ini juga tidak terkecuali. Begitu Siau-hong berjongkok, dengan suara
tertahan Kian-long-kun lantas mendesis, "Pelayan itu bukanlah pelayan yang
sesungguhnya." Namun Siau-hong diam saja, sama sekali tidak menghiraukannya.
"Ginkangnya pasti sangat linggi, dapat kuketahui dari suara langkahnya," kata
Kian-long-kun pula. Siau-hong tetap tidak memberi reaksi.
Serupa kebanyakan orang, pada waktu menguras perut, perhatiannya selalu
tercurahkan pada hal yang satu ini.
"Bahkan dapat kulihat dia pasti juga seorang ahli rias dan menyamar, malah
terlebih mahir daripadaku," kata Kian-long-kun pula.
Tiba-tiba Siau-hong berkata, "Apakah kau tahu barang apakah dirimu ini" Kau
siluman, tahu?" "Siluman?" Kian-long-kun melengak.
"Jika seekor anjing dapat bicara secara manusia, apalagi jika bukan siluman?"
"Akan tetapi aku "Dan apakah kau tahu cara bagaimana orang akan memperlakukan siluman?" potong
Siau-hong sebelum lanjut ucapan si jaka anjing.
Kian-long-kun menggeleng.
"Jika tak dibakar hidup-hidup, tentu dipentung sampai mati."
Kian-long-kun tidak berani berucap lagi, cepat ia mengeluyur pergi dengan
mencawat ekor. Siau-hong merasa lega, baginya, bilamana dapat duduk sendiri dengan tenang,
biarpun duduk di atas tong jamban, dirasakannya se-bagai semacam kenikmatan,
kenikmatan yang sukar dicari, sebab mendadak sekarang dia mempunyai seorang bini
tukang intai. Pada waktu dia keluar, dilihatnya Liu Jing-jing sudah menunggu di luar,
tampaknya sudah cukup lama menunggu, hal ini terbukti dari kulit kacang yang
menumpuk sekian banyak di lantai. "Kau suka melihat orang lelaki buang hajat"
Atau gemar mengendus bau kakus?" tanya Siau-hong.
"Aku cuma rada curiga saja," jawab Jing-jing.
"Curiga apa?" "Kucuriga engkau tidak benar-benar membuang hajat melainkan cuma alasan saja
untuk menghindari diriku dan mengadakan pertemuan mesra dengan sahabat anjingmu
itu." "O, makanya kau tunggu di luar, untung dia seekor anjing jantan, kalau betina,
tentu bisa susah," ujar Siau-hong dengan gegetun.
"Jika anjing betina, saat ini pasti sudah menjadi anjing mampus," kata Jing-jing
dengan hambar. Esoknya, cuaca terang, banyak awan.
Pada buku harian Koan-keh-po tercatat, "Makan pagi dilakukan di restoran Kui-
goan-koan di kota timur, antara waktu makan, menyuruh orang melepas anjing lagi,
pergi pulang sekitar setengah jam.
Pelayan yang melepas anjing she Ong, penduduk setempat, sudah 14 tahun menjadi
pelayan, beristeri, punya anak satu lelaki dan satu perempuan."
Catatan ini tentunya akan digunakan sebagai laporan kepada Lau-to-pacu, tapi Hay
Ki-koat tidak setuju, katanya, "Tidak, tidak boleh ditulis demikian."
"Mengapa tidak boleh?" tanya Koan-keh-po.
"Pada hakikatnya kita tidak boleh membawa serta anjing ini, apalagi menyuruh
orang lain melepas anjing, bila laporan ini dibaca Lau-to-pacu pasti akan
dianggap urusan ini tidak sederhana."
"Habis apa yang akan kau lakukan?" tanya Koan-keh-po.
"Jika anjing ini mampus, kan beras segala persoalan?" jengek Hay Ki-koat.
"Kau tidak takut kepada Liok Siau-hong?"
"Bila anjing hidup sudah berubah menjadi anjing mati, serupa beras sudah dimasak
menjadi nasi, lalu apa yang dapat dilakukannya terhadapku?"
"Tapi anjing hidup ini perlu menunggu sampai kapan baru akan menjadi anjing
mati?" "Hampir, selekasnya akan terjadi."
"Besok juga kau mau berjalan-jalan dengan anjing?"
"Apa boleh buat, mungkin selama hidupku baru pertama kali kuiakukan hal ini,"
ucap Hay Ki-koat sambil mengangkat pundak.
"Apakah juga penghabisan kalinya?"
"Ya, pasti." Esoknya hari juga cerah, Hay Ki-koat membawa anjing keluar, sudah berjalan cukup
jauh dan belum nampak bermaksud putar balik.
Piauko mengikut di belakangnya, ia tak tahan dan bertanya, "Mulai kapan kau
gemar berjalan-jalan seperti ini?" "Baru tadi," jawab Hay Ki-koat. "Sekarang kau
hendak pergi kemana?" "Keluar kota?"
"Untuk apa keluar kota?"
"Meski kejadian jamak seekor anjing mati di tengah jalan, tapi kalau dari dalam
kulit anjing keluar satu orang, jelas ini bukan kejadian biasa."
"Ya, dengan sendirinya urusan ini tidak boleh dilihat orang," kata Piauko.
"Makanya kita perlu keluar kota."
Hay Ki-koat memegang erat tali leher anjing, tangan Piauko juga siap memegang
tangkai pedang di balik bajunya.
Anjing ini diketahui paham ucapan manusia, bahkan jago Amgi, bila anjing tidak
jadi mati di tangan manusia, sebaliknya manusia yang mati di tangan anjing,
inilah lelucon yang maha besar.
Siapa tahu anjing ini sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu reaksi.
"Apakah kau tahu isi hati anjing ini, apa yang sedang dipikirnya?" tanya Piauko.
"Aku hanya tahu di sekitar sini seperti tidak ada orang lalu."
"Ya, bayangan setan saja tidak nampak."
Mendadak Hay Ki-koat berhenti, dipandangnya anjing itu, lalu berkata dengan
menyesal, "O, saudaraku anjing, jelek-jelek kita pernah berkawan, makan bersama
dan minum arak berbareng, jika engkau perlu meninggalkan pesan apa-apa, silakan
bicara saja, asal mampu pasti akan kami laksanakan bagimu."
Anjing itu menggoyang-goyangkan ekornya dan menyalak "hung-hung."
"Sampai terlepas kau goyang akormu juga tidak ada gunanya, kami tetap akan
membunuhmu," kata Hay Ki-koat dengan menyesal, berbareng kapalannya lantas
bakerja, "prak", dengan tepat kepala anjing digenjotnya.
Segera terdengar suara tulang kepala retak. Anjing itu mengaing satu kali, dia
masih sempat berdiri tegak, tapi pedang Piauko segera bersarang di lehernya.
Darah muncrat, cepat Hay Ki-koat melompat ke atas, waktu dia turun kembali,
anjing hidup itu sudah menggeletak menjadi anjing mati.
Hay Ki-koat menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, "Tampaknya membunuh
anjing terlebih ringan daripada membunuh manusia."
Tapi Piauko tampak menarik muka dan mendengus, "Mungkin yang kita bunuh adalah
anjing sungguhan." Hay Ki-koat terkejut, cepat ia berjongkok dan memeriksanya. Memang betul, di
dalam kulit anjing memang anjing tulen, anjing ini bukanlah samaran Kian-long-
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kun. "Jelas-jelas kulihat sendiri," ucap Hay Ki-koat dengan melenggong.
"Melihat apa?" tanya Piauko.
"Melihat Kian-long-kun menyusup ke dalam kulit anjing ini dan berubahlah dia
menjadi anjing," tutur Hay Ki-koat. "Anjing kan banyak jenisnya, anjing yang sama jenisnya hampir serupa," jengek
Piauko. "Jika begitu kemana perginya Kian long-kun" Darimana pula datangnya anjing ini?"
"Mengapa tidak kau tanyai Liok Siau-hong?"
Di luar kakus ternyata ada orang menunggu lagi, baru membuka pintu, belum lagi
Siau-hong sempat mengikat celana kolor, sudah terlihatlah Hay Ki-koat.
Tampaknya Hay Ki-koat sudah tidak tahan, seperti orang kebelet dan sudah berak
di celana. Siau-hong menghela napas, gumamnya, "Sungguh aneh, setiap kali aku berak di sini
selalu ada orang antri, jangan-jangan semua orang telah salah makan obat dan
sama mencret?" Dengan gemas Hay Ki-koat menjawab, "Aku tidak salah makan obat segala, cuma
salah membunuh." Siau-hong seperti terkejut, tanyanya, "Siapa yang kau bunuh?"
"Seekor anjing," jawab Ki-koat.
"Sesungguhnya yang kau bunuh manusia atau anjing?"
"Anjing yang kubunuh itu seharusnya manusia, siapa tahu dia benar-benar seekor
anjing, di dalam kulit anjing juga tidak ada manusia."
"Anjing tetap anjing, di dalam kulit anjing dengan sendirinya terdiri dari
daging dan tulang anjing, dangan sendirinya tidak terdapat manusia," kata Siau-
hong. Ia tepuk bahu Hay Ki-koat, lalu menyambung, "Tampaknya engkau sangat
lelah, kukira perlu istirahat, kalau tidak, bukan mustahil engkau bisa gila."
Melihat beringasnya, Hay Ki-koat seperti benar-benar akan gila saking gusarnya,
mendadak ia berteriak, "Dimana Kian-long-kun"!"
Siau-hong menjawab dengan tak acuh, "Dia bukan Koan-keh dan juga bukan putraku,
darimana kutahu dia berada dimana?"
"Tapi yang berkeras ingin membawanya serta dalam perjalan an ini ialah kau
sendiri." "Aku cuma bilang mau membawa serta seekor anjing dan tidak pernah mengatakan
akan membawa serta Kian-long-kun," Siau-hong menepuk bahu Hay Ki-koat pula dan
menambahkan dengan tersenyum, "Sekarang anjingku telah kau bunuh, tapi takkan
kuminta ganti rugi padamu. Apapun juga seorang Koan-keh kan lebih berguna
daripada seekor anjing, apalagi aku pun tidak ingin Koan-keh-po menjadi janda."
Saking gemasnya sampai Hay Ki-koat tidak mampu bersuara lagi.
Akhirnya Siau-hong telah mengikat baik celananya dan melangkah keluar dengan
santai, beberapa langkah berjalan, ia menoleh dan berkata pula dengan tersenyum,
"Kejadian ini harus kau laporkan kepada Lau-to-pacu, dia pasti juga akan sangat
tertarik oleh cerita ini, bisa jadi akan memberi hadiah besar padamu."
Dengan tertawa yang rada-rada bersifat mengejek ia menyambung pula, "Kau pikir
hadiah apa yang akan diberikannya padamu?"
Sudah tentu telah dipikirkan Hay Ki-koat, hadiah apapun pasti sesuatu yang
sangat berat, entah sekali pukulan berat atau sekali bacokan berat.
Mendadak Ki-koat bergelak tertawa, "Haha, sekarang dapatlah kupahami."
"Paham apa?" tanya Siau-hong.
"Jika yang kubunuh adalah anjing, yang mati dengan sendirinya juga anjing,
peduli anjing jenis apa yang jelas kan seekor anjing mati," ia memicingkan mata
dan tersenyum. "Jika manusia mati saja serupa, apalagi anjing."
Siau-hong tertawa, "Hah, tampaknya orang ini memang benar sudah bisa memahami
persoalannya." Pada hari tanggal delapan bulan empat, cuaca mendung, terkadang hujan. Dalam
buku harian Koan-keh-po tercatat singkat: "Menempuh perjalanan sejauh empat
ratus li, anjing mati mendadak."
Esoknya hari tetap mendung, cuaca kelam, jalan pegunungan sunyi senyap, kecuali
batu padas dan belukar, apapun tak tertampak.
"Mengapa kita menuju ke tempat begini?" "Sebab kusir kuatir malam ini tidak
dapat mencapai tempat bermalam, maka memotong jalan yang lebih dekat." "Jalan
ini lebih dekat?" "Seharusnya demikian, akan tetapi sekarang Koan-keh-po menghela napas, lalu
menyambung dengan menyengir, "Sekarang rasanya seperti tersesat."
Mestinya sudah waktunya makan, seharusnya mereka sudah membersihkan badan dan
siap menghadapi meja makan, tapi sekarang mereka justru tersesat di suatu tempat
yang sama sekali asing bagi mereka.
"Aku lapar, tidak kepalang laparku," keluh Liu Jing-jing, nyata dia bukan
perempuan yang tahan uji. "Aku perlu makan sesuatu, lambungku kurang baik."
"Jika benar kau perlu makan sesuatu, boleh kau tiru kambing makan rumput saja di
sini." Jing-jing berkerut kening, "Masa tiada sesuatu makanan di dalam kereta?"
"Tidak ada, bahkan air minum pun tidak ada."
"Lantas bagaimana baiknya?"
"Hanya ada satu jalan."
"Bagaimana?" "Tahan lapar." Mendadak Jing-jing membuka pintu dan melompat turun dari kereta, "Aku tidak
percaya tak ada jalan lain, biar kupergi mencari."
"Cari apa?" "Tempat apa dan dimana pun pasti ada penduduknya, di sekitar sini pasti juga ada
orang," cara bicara Liu Jing-jing seperti penuh keyakinan, padahal dalam hati
sama sekali tidak berdaya.
Tapi dia mau berusaha, sebab dia tidak tahan menderita, tidak tahan lapar.
Apapun yang hendak kau cari, hanya orang yang mau berusaha mencari baru dapat
menemukannya. Di dunia ini banyak kejadian demikian. Orang pertama yang menemukan kereta tentu
seorang yang malas berjalan, justru lan taran manusia tidak mau menderita, maka
hidup manusia banyak mendapat kemajuan.
Karena Jing-jing mau berusaha, mau mencari, maka dia berhasil.
Di balik lereng sana ternyata ada satu keluarga, suatu keluarga besar. Padahal
dimana pun sangat sulit menemukan keluarga besar seperti ini.
Dipandang dalam kegelapan, atap rumah itu serupa gumpalan awan mendung saja,
pintu gerbang yang lebar sedikitnya dapat dimasuki enam ekor kuda berjajar.
Akan tetapi cat pada daun pintu sudah mulai luntur dan terkelupas, pintu juga
tertutup rapat, yang paling aneh adalah rumah sebesar ini hampir tidak terlihat
setitik cahaya lampu apapun.
Konon, di tengah hutan belukar yang tiada manusia sering muncul rumah hantu,
apakah tempat ini adalah rumah hantu"
"Umpama betul rumah hantu juga akan kumasuki dan kulihat," Jing-jing hanya takut
kelaparan dan tidak takut hantu atau setan.
Dia mulai menggedor pintu, gelang tembaga pada daun pintu yang besar itu
dipukulkannya dengan keras, namun di dalam tetap tidak ada suara apapun.
Selagi dia hendak tinggal pergi, mendadak pintu terbuka, hanya terbuka sadikit
dan terpancar cahaya lampu, seorang berdiri di belakang cahaya lampu dan sedang
memandangnya dengan dingin.
Hanya sekilas pandang saja Jing-jing tidak memandang lagi muka orang itu. Orang
ini sungguh tidak mirip manusia, jika dia* dibilang manusia, maka dia pasti
manusia tanah, bila dikatakan dia setan paling-paling juga cuma setan yang
terbuat dari tanah Hat. Sekujur badan orang ini tanah belaka, mukanya, hidungnya, alisnya, sampai
mulutnya, seolah-olah juga tertutup oleh tanah.
Untung dia masih dapat tertawa.
Melihat sikap kaget Jing-jing, tertawalah dia, tertawa geli sehingga tanah yang
menempel di tubuhnya sama rontok.
Baik dia manusia atau setan, asal bisa tertawa, tampaknya menjadi tidak lagi
menakutkan. Jing-jing menabahkan hati dan berucap dengan tertawa, "Kami tersesat..."
Hanya dua kata ia bersuara orang itu lantas memotong, "Kutahu kalian tersesat,
kalau tidak tersesat mustahil akan datang ke tempat setan ini."
Tertawanya bertambah riang, sambungnya pula, "Tapi nyonya juga tidak perlu
takut, meski tempat ini tempat setan, aku bukanlah setan, aku manusia bahkan
manusia yang baik." "Manusia baik kenapa tubuh penuh tanah begini?" tanya Jing-jing.
"Siapa pun kalau menggali cacing selama beberapa hari, pada tubuhnya tentu akan
bertambah tanah sebanyak ini."
Jing-jing tercengang, "Kau lagi menggali cacing."
Orang itu mengangguk, "Ya, sudah 783 ekor cacing kugali."
"Untuk apa menggali cacing sebanyak itu?" tanya Jing-jing semakin terheran-
heran. "Sudah sebanyak ini toh masih belum cukup, aku masih harus menggali 717 ekor
lagi baru cukup jumlahnya."
"Sebab apa?" tanya Jing-jing
"Sebab aku bertaruh dengan orang, barang siapa kalah dia harus menggali 1500
ekor cacing, kurang satu ekor saja tak boleh." "Dan kau kalah?"
Orang itu menghela napas, "Saat ini belum kalah, namun kutahu sendiri pasti akan
kalah." Jing-jing memandangnya dengan terbelalak, "Sungguh istimewa caramu bertaruh ini,
kuyakin orang yang bertaruh denganmu itu pasti juga seorang aneh."
"Bukan saja seorang aneh, malahan seorang busuk," kata orang itu.
Sejak tadi Liok Siau-hong berdiri di kejauhan sana, mendadak ia menimbrung,
"Bukan saja orang busuk, bahkan maha busuk."
"Betul," si penggali cacing ini mengangguk.
"Jika dia orang busuk, lalu kau sendiri bagaimana?"
"Aku pun sama busuknya," kembali penggali cacing menghela napas.
Selagi Siau-hong hendak bicara apa-apa lagi, mendadak Jing-jing menyela, "Kau
bukan orang biisuk, engkau orang baik, kutahu engkau pasti memperbolehkan kami
menumpang mondok semalam di sini."
"Kau ingin bermalam di sini" Sungguh?" tanya orang itu. "Tcntu saja sungguh,"
sahut Jing-jing," Orang itu memandangnya dengan tercengang, jauh lebih tercengang daripada melihat
orang menggali cacing di tengah lumpur.
Jing-jing tidak tahan, katanya pula, "Kami tersesat, di sekitar sini tidak ada
penduduk lain, terpaksa kami mohon menumpang di sini, masa hal ini sangat
mengherankan?" Orang ini mengangguk, lalu menggeleng, gumamnya, "Tidak mengherankan, sedikit
pun tidak mengherankan."
Mulutnya bilang tidak heran, tapi wajahnya kelihatan terheran-heran.
"Memangnya di tempat ini ada setannya?" tanya Jing-jing. "Tidak ada, satu pun
tidak ada." "Jika begitu, bolehkah kami menumpang satu malam di sini?"
Orang itu tertawa pula, "Asalkan kalian suka, tidak menjadi soal berapa lama
kalian akan menumpang tinggal di sini."
Dia membalik dan menuju ke halaman yang gelap dan seram sana sambil bergumam,
seperti lagi bilang, "Mungkin setengah jam saja kalian takkan betah tinggal di
sini, sebab selamanya tidak pernah ada orang yang betah berdiam di sini?"
Bangunan yang berderet di depan sana ada tujuh buah rumah, setiap rumah terdapat
beberapa pelita, semua pelita minyak.
Orang tadi menyalakan semua lampu pada setiap rumah itu, habis itu baru menghela
napas lega, usapnya, "Tempat setan apapun, asalkan ada cahaya lampu, suasana
tentu akan berubah lebih baik."
Padahal tempat ini tidak tarlalu buruk, meski dimana-mana penuh sawang dan debu,
namun pajangan dan perabotnya yang mewah belum lagi rusak, hanya tidak terawat,
lamat-lamat dapat dibayangkan betapa megahnya kehidupan di tempat ini.
Jing-jing coba bertanya pula, "Tapi engkau seperti bilang tidak pernah ada orang
betah tinggal di sini?"
Orang itu mengangguk. "Sebab apa?" tanya Jing-jing.
"Sebab ada sesuatu di sini yang selama ini tidak dapat ditahan oleh siapa pun."
"Sesuatu barang apa" Dimana?"
"Di sini," sahut orang itu sambil menuding.
Yang dituding adalah sebuah kotak kristal yang terletak di atas meja sembahyang
di ruangan tengah, kotak kristal yang sangat tipis dan tembus pandang, di
dalamnya seperti berisi sebuah kelopak bunga yang sudah layu.
"Bunga apakah itu?" tanya Jing-jing.
"Ini bukan bunga, juga bukan sesuatu yang dapat kau bayangkan."
"Memangnya barang apa?" "Biji mata seorang."
Jing-jing terbelalak, tanpa terasa ia menyurut mundur dua langkah.
"Biji mata siapa?"
"Mata seorang perempuan, seorang perempuan yang sangat terkenal, ciri khas yang
paling terkenal pada perempuan ini adalah matanya."
"Mengapa terkenal?"
"Sebab matanya sangat tajam, disebut mata sakti, konon dia sanggup menyulam
dalam kegelapan, bahkan dapat menusuk mati seekor nyamuk dari jarak beberapa
langkah dengan jarum sulamnya."
"Apakah Sin-gan (si mata sakti) Sim Sam-nio yang kau maksudkan?" tanya Jing-
jing. "Siapa lagi selain dia?"
"Siapa pula yang menaruh matanya di sini?"
"Siapa pula kecuali suaminya?"
"Suaminya kan Yap Leng-hong dan berjuluk sebagai Giok-si-kiam-kek itu?"
"Betul, di dunia Kangouw hanya ada seorang Yap Leng hong, untung hanya ada
satu." Tangan Jing-jing tergenggam dan berkeringat.
Apakah dia juga tahu suka-duka dan permusuhan antara Yap Leng-hong dengan Lau-
to-pacu" Mereka dibawa ke sini, hanya secara kebetulan atau diam-diam ada orang sengaja
mengaturnya" Muka penggali cacing itu tertutup semua oleh tanah sehingga sukar diketahui
bagaimana mimik wajahnya. Akan tetapi suaranya terdengar agak parau, ia bertutur
pula. "Di sini seluruhnya ada 93
buah rumah, setiap rumah terdapat sebuah kotak kristal begini."
Segera Jing-jing menerjang masuk ke rumah kedua, benar juga dilihatnya kotak
kristal yang sama, cuma isinya bukanlah biji mata melainkan daun kuping yang
sudah kering. Si penggali cacing mengikut di belakangnya serupa badan halus, ia memberi
penjelasan, "Sesudah Sim Sam-nio mati, Yap Leng-hong telah memotong mayatnya
menjadi 93 bagian "Mengapa dia bertindak demikian?" teriak Jing-jing tak tahan.
Penggali cacing itu menghela napas, "Sebab ia terlalu mencintai isterinya, ingin
melihatnya setiap saat, kemana pun dia pergi ingin melihatnya, baik cuma sebuah
daun telinganya maupun cuma sebiji matanya."
Jing-jing mengertak gigi, hampir saja ia tumpah.
"Konon kakaL-misan Sim Sam-nio adalah Bok-tojin, tokoh Bu-tong-pay yang
terkemuka," tanya Siau-bong tiba-tiba.
Si penggali cacing mengangguk.
"Konon yang menjodohkan mereka justru ialah Bok-tojin sendiri," kata Siau-hong
pula. "Betul," jawab si penggali cacing.
"Perbuatan Yap Leng-hong itu apakah tidak kuatir akan ditindak oleh Bok-tojin?"
"Waktu Bok-tojin hendak bertindak padanya sudah terlalu terlambat," kata si
penggali cacing. "Sebelum tiga bulan Sim Sam-nio mati, Yap Leng-hong juga lantas gila dan
menumbukkan kepalanya pada batu gunung-gunungan di belakang sana, kepalanya
hancur luluh." Seorang kalau mati dengan kapala hancur, dengan sendirinya orang tidak dapat
lagi mengenali wajah aslinya sehingga tidak ada yang dapat membuktikan
sesungguhnya siapa yang mati itu.
"Dan sesudah dia mati, mengapa orang lain tidak memindahkan kotak-kotak kristal
ini?" tanya Jing-jing pula.
"Sebab orang yang ingin memindahkan kotak-kotak ini sekarang juga sudah
berbaring di dalam kotak" jawab si penggali cacing.
"Kotak macam apa?" tanya Jing-jing.
"Kotak panjang, terbuat dari kayu, kotak yang khusus untuk orang mati.
Kebanyakan orang mati akan dimasukkan ke dalam kotak semacam ini."
"Jika begitu, sedikitnya jauh lebih baik daripada terisi di dalam kotak kristal
semacam ini," ujar Jing-jing dengan tertawa.
"Cuma sayang, rasanya tidak jauh lebih baik."
"Sebab apa?" "Sebab kalau dicekik mati oleh tangan setan, tentu rasanya tidak enak."
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tadi kau bilang di sini tidak ada satu setan pun." "Tempat ini memang tidak ada
satu setan, tapi sedikitnya ada . 49 setan, semuanya setan penasaran."
"Semula di tempat ini ada berapa orang?" "49 orang."
"Sekarang sudah mati seluruhnya?"
"Bila setiap hari sebuah mata di dalam kotak kristal selalu mendelik padamu,
apakah kau tahan." "Aku tidak tahan, aku bisa gila."
"Jika kau tidak tahan, orang lain juga tidak tahan, sebab itulah setiap orang
sama ingin memindahkan kotak-kotak kristal ini, akan tetapi siapa pun bila
menyentuh kotak ini, seketika lidahnya akan terjulur, dalam sekejap lantas putus
napas seperti ini ia lantas menjulurkan lidah sendiri sedemikian panjang, serupa
setan gantung yang mengerikan.
Cepat Jing-jing melengos, ia tidak berani memandangnya lagi, tapi masih juga
bertanya, "Dan kau sendiri bagaimana" Tidak pernah kau sentuh kotak-kotak ini?"
Si penggali cacing mengangguk, lalu menggeleng pula, karena lidahnya masih
terjulur sehingga tidak sanggup bersuara.
"Penghuni di sini bukankah sudah mati semua, mengapa engkau masih hidup" Apakah
engkau bukan manusia?" tanya Jing-jing.
Mendadak si panggali cacing merogoh saku, lalu dilemparkannya segenggam benda
hitam lunak ke arah Liu Jing-jing, barang hitam ini makhluk hidup, lunak licin
dan agak basah Iagi, ternyata gumpalan cacing.
Jing-jing menjerit kaget dan hampir saja jatuh kelengar.
Dia bukan perempuan yang mudah kaget dan jatuh kelengar, akan tetapi siapa tahan
cacing yang licin, lunak dan agak basah lagi.
Setelah dia mengelakkan lemparan cacing itu, tahu-tahu si penggali cacing sudah
menghilang, cahaya lampu berkedip dua-tiga kali, lampu di dalam rumah mendadak
padam. Waktu ia berpaling, Liok Siau-hong dan lain-lain juga tidak berada lagi di dalam
rumah ini. Untung rumah di sebelah masih ada cahaya lampu, cepat ia memburu ke sana, tapi
mendadak lampu di rumah inipun padam.
Ia berlari pula ke rumah di depan yang kelihatan ada cahaya lampu, tapi ketika
dia menerjang ke dalam, lampu itu pun padam mendadak.
Cahaya lampu pada ketujuh rumah itu dalam sekejap padam seluruhnya, suasana
menjadi gelap gulita. Sekonyong-konyong Jing-jing tidak dapat melihat apa-apa lagi, sampai tangan
sendiri juga tidak kelihatan.
Apakah biji mata kering di dalam kotak kristal itu masih mendelik padanya"
Apakah ke 49 setan penasaran dengan lidah terjulur itu juga sedang mengintai di
dalam kegelapan" Jing-jing tak dapat melihat mereka, ia bukan si mata sakti.
Lantas kemanakah Liok Siau-hong yang brengsek itu"
"He, tua bangka, kemanakah kau" Orang she Liok, lekas kemari!"
Meski dia berteriak dan gembar-gembor sekian lama, tetap tidak ada jawaban,
tiada suara seorang pun, sampai Koan-keh-po, Kaucu dan Piauko juga entah
mengeluyur kemana perginya"
Apakah mereka juga tercekik mati oleh kawanan setan yang tidak kelihatan"
Jangan-jangan tempat ini adalah sebuah perangkap"
Ia ingin menerjang keluar, tapi sudah dua-tiga kali ia menerjang selalu menumbuk
dinding, sekujur badan sudah basah kuyup oleh keringat dingin.
Terakhir ia jatuh terkulai, kakinya sudah lemas, merangkak bangun saja hampir
tidak sanggup. Dalam kegelapan ada sebuah tangan terjulur tiba dan menariknya bangun.
Apakah Liok Siau-hong"
Ternyata bukan, tangan ini terasa kurus kering dan dingin, panjang kukunya
paling sedikit ada satu inci. "Siapa kau?" Jing-jing tak tahan.
"Tidak dapat kau lihat diriku, tapi dapat kulihat jelas dirimu," dalam kegelapan
ada orang bicara dengan mengikik tawa. "Aku ini bermata sakti."
Itulah suara orang perempuan, memangnya tangan ini terjulur dari kotak kristal"
Suara tertawa itu belum berhenti, sekuatnya Jing-jing menubruk, tapi menubruk
tempat kosong. Tangan yang kurus kering dan dingin itu kembali terjulur dari belakang dan
meraba kerongkongannya dengan perlahan.
Jing-jing bukan perempuan yang mudah kaget dan jatuh kelengar tapi sekarang dia
jatuh semaput. 4 Tanggal sepuluh bulan empat, cuaca cerah.
Waktu Jing-jing mendusin, sang surya telah memancarkan cahaya yang gemilang di
luar jendela. Daun jendela tampak lagi bergerak, pepohonan di luar juga bergerak, bergerak
mundur ke belakang secepat terbang.
Ia kucek-kucek matanya, tiba-tiba diketahui dirinya sudah berada di dalam kereta
lagi. Siau-hong tampak berduduk di depan dan sedang memandangnya dengan tertawa.
Jing-jing coba menggigit bibir, terasa sakit, jelas ini bukan mimpi.
Ia melompat bangun dan melototi Siau-hong. "Selamat pagi," ucap Siau-hong dengan
tersenyum. "Pagi" Sekarang pagi?" tanya Jing-jing.
"Sebenarnya juga tidak pagi lagi, tidurmu semalam sungguh seperti orang mampus,"
sahut Siauhong dengan tertawa. "Dan kau?" tanya Jing-jing dengan gregetan. "Aku
juga tidur sebentar."
Mendadak Jing-jing menubruk ke atas tubuh Siau-hong dan mencekik lehernya,
serunya dengan gemas, "Katakan. lekas katakan, sesungguhnya apa yang terjadi?"
"Kejadian apa?" tanya Siau-hong.
"Kejadian semalam," kata Jing-jing.
Siau-hong menghela napas, ucapnya. "Aku justru ingin tanya padamu sesungguhnya
apa yang terjadi" Mengapa tanpa sebab kepalamu kau tumbukkan ke dinding sehingga
jatuh kelengar?" "Aku tidak gila, mengapa kutumbukkan kepala sendiri?" teriak Jing-jing.
"Jika kau sendiri tidak tahu, darimana aku dapat tahu?" ujar Siau-hong sambil
Menuntut Balas 29 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Petualang Asmara 12