Pencarian

Pendekar Bego 6

Pendekar Bego Karya Can Id Bagian 6


menjadi tulus dan bersungguh sungguh.
Kalau dilihat dari gerak geriknya, seakan akan dia ingin mengetahui bagaimana
cara pengobatannya, tapi diapun merasa malu untuk mengucapkannya, maka untuk
sesaat lamanya ia menjadi bingung, termangu dan tak tahu apa yang musti
diperbuat. oodoowoo Kedengaran kakek berambut putih itu berkata kembali.
"Jika tidak memperoleh cara pengobatan yang tepat pada saatnya, sekalipun luka
dalam yang kau derita tak akan nampak dari luar, tapi dalam kenyataan luka
tersebut akan menyusup kedalam delapan nadi penting di sekujur tubuhmu, tidak
sampai setahun kemudian disaat latihanmu mencapai saat yang kritis, dia akan
mulai bekerja, nah, waktu itu kau akan tersiksa sekali, mau hidup tak bisa mau
matipun tak dapat, bayangkan sendiri bagaimana rasanya"
Paras muka Say siujin mo berubah makin pucat keabu-abuan, keringat dingin
membasahi jidat serta ujung hidungnya.
Bagaimanapun juga Ong It sin adalah seorang pemuda yang berhati welas, ia tak
tega menyaksikan kejadian tersebut, tak tahan lagi ia lantas berseru:
"Kalau begitu ajarkanlah cara pengobatan tersebut kepadanya, agar ia terhindar
dari siksaan hidup itu."
"Boleh saja cuma dia musti menyanggupi tiga buah permintaan yang kuajukan"
Sejak awal tadi, Say siujin mo memang sudah ingin tahu bagaimana cara
penyembuhan tersebut sebagai seorang yang berlatih ilmu Kiu thian to sou kang,
sudah barang tentu dia mengetahui pula sampai dimanakah kedahsyatan dari
kepandaian itu. Bila digunakan untuk melukai orang, maka mereka yang terluka akan tersiksa hebat
lukanya makin hari akan semakin parah, hingga mencapai hari kesembilan lukanya
akan parah sekali jika tidak dlobati tepat pada saatnya, niscaya orang itu akan
mampus. Kini pukulan Kiu thian to sou kangnya gagal melukai orang dan malah melukai diri
sendiri, tentu saja keadaan lukanya pun kian hari akan kian bertambah berat,
jika hari kesembilan bisa dilewatkan dengan selamat maka jiwanya baru dapat
diselamatkan. Maka dia buru buru meninggaikan tempat itu dengan harapan bisa cepat mencari
tempat untuk mengobati lukanya.
Tapi kemudian dengan ilmu menyampaikan suaranya si kakek berambut putih itu
telah mengundangnya balik.
Kakek berambut putih itu bertanya kepadanya, apakah dia ingin mengetahui cara
untuk menyembuhkan lukanya karena ingin tahu maka buru buru dia balik kembali
kesana. Dan kini Ong It sin telah mewakilinya untuk menanyakan persoalan ini,
memanfaatkan kesempatan baik ini buru buru ia bertanya: "Apa saja tiga buah
permainan itu?" Kakek berambut putih itu berpaling kearahnya kemudian menjawab:
"Dengarkan baik baik, pertama selanjutnya kau harus mengasingkan diri diwilayah
See ih dan tak boleh berkeliaran lagi dimana-mana, keempat orang muridmu juga
musti dijaga baik baik tidak diperkenankan membuat ulah dan keonaran lagi dalam
dunia persilatan dengan mencatut nama Ciong lay su shia"
Mula mula Say siujin mo merasa agak keberatan, tapi setelah dipertimbangkan
sejenak, akhirnya dia manggut juga.
"Baik" katanya.
"Kedua, kau harus mengatakan dimanakah bocah itu kau sembunyikan" kata kakek
berambut putih itu lebih lanjut.
Say siujin mo agak tertegun sejenak. sesudah membungkam sekian lama ia baru
menjawab: "Bocah itu berada ditangan muridku"
"cepat kirim tanda pengenal dan perintahkan kepada muridmu agar menghantar
kembali bocah itu ke benteng Khekpo"
Kembali Say siujin mo tertegun.
"Waah... kalau kuserahkan bocah itu kepada pihak mereka, bukankah hal ini sama
artinya dengan kau merampas pedang antik Hu si ku kiam dari tanganku?"
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh... bukan cuma pedang antik Husi ku kiam saja yang
akan kuambil, sarung pedang cian nian llong siau itupun akan kuambil juga"
Mendengar perkataan itu, serta merta Say siujin mo menyurut tubuhnya mundur
selangkah, teriaknya keras keras.
"Tidak bisa, sarung pedang itu tak bisa kuserahkan kepadamu. Kau tahu, kenapa
aku musti bertarung mati matian ketika berada dalam benteng Khekpo Tal lain
adalah untuk melindungi sarung pedang cian nian llong siau tersebut, masa
sekarang kuserahkan benda tersebut dengan begitu saja kepadamu?"
Kakek berambut putih itu tertawa lebar.
"Haaah haaah haaahh baiklah, jadi kau enggan menyerahkannya kepadaku?" demikian
ia mengejek. Setelah berhenti sejenak. katanya lebih jauh
"Seandainya aku merampasnya dengan kekerasan kira kira sanggupkah kau
mempertahankan benda itu?"
Say siujin mo kaget, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, ia tak mampu
menjawab. Sekalipun belum terluka, ia sudah bukan tandingan kakek berambut putih itu, apa
lagi kini isi perutnya sudah terluka parah" Seandainya kakek berambut putih itu
benar-benar hendak merampas sarung pedang cian nian llong siau, sudah dapat
dipastikan ia tak akan sanggup untuk mempertahankannya. Kakek berambut putih itu
tertawa dingin, kembali ujarnya:
"Padahal akupun tak usah merampas dengan kekerasan, cukup kuikuti saja dirimu
secara diam diam, maka dengan luka yang kau derita akibat membaliknya pukulan
Kiu thian to sou kang, pada hari kelima keadaanmu pasti parah sekail, kau tentu
sudah tergeletak tak mampu bangun lagi, nah pada waktu itulah aku bisa mengambil
sarung pedang tersebut tanpa bersusah payah..."
Say siujin mo berdiri terbelalak dengan mulut melongo, tubuhnya menggigil sangat
keras. Kakek berambut putih itu angkat bahunya sambil tertawa, katanya lebih lanjut:
"Sampai waktunya, sarung pedang cian nian liong siau juga bakal menjadi milikku,
apakah kau masih belum juga mengerti?"
Say siujin mo berteriak keras ia lantas merogoh ke dalam sakunya dan melemparkan
sarung pedang yang bobrok dan kumal itu kedepan.
Setelah menerima sarung pedang itu, si kakek berambut putih berkata lagi.
"Baik, setelah kau bersedia menyerahkan sarung pedang cian nian hong siau
kepadaku, itu berarti jiwamu masih dapat tertolong"
Say siujin mo tidak mengucapkan apa apa lagi ia merogoh ke sakunya dan kali ini
melemparkan sebuah benda keudara.
"Sreet..." cahaya merah segera meluncur ke udara dan meledak keras, bunga bunga
cahaya berwarna indah segera menyebar keempat penjuru, lama sekali warna warni
itu baru membuyar. Tak lama kemudian tampaklah empat sosok bayangan manusia berkelebat menuju
kearah mereka berada salah seorang diantaranya adalah seorang perempuan berambut
panjang yang membopong seorang bocah kecil.
Ketika keempat orang itu sudah dekat dengan mereka, Ong It sin segera
mengenalinya sebagai Ciong lay su shia (empat sesat dari Ciong lay) sedangkan
bocah yang berada dalam dukungan perempuan berambut putih itu tak lain adalah
siaupocu dari benteng Khek po.
Ong It sin amat gelisah setelah menjumpai bocah itu, apa lagi bila teringat akan
pesan dari Be Siau soh, buru buru ia maju menyongsong kedatangan mereka sambil
teriaknya: "Hayo, serahkan bocah itu kepadaku"
Perempuan berambut panjang itu menyingkir ke samping lalu mendongakkan kepalanya
dan memandang Ong It sin dengan penuh kegusaran
Tapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu Say siujin mo sudah keburu berteriak
keras: "Serahkan bocah itu kepadanya"
Perempuan berambut panjang itu tertegun, kejadian tersebut sungguh berada diluar
dugaan mereka. Sekalipun demikian, perintah dari gurunya tak berani dibangkang, tanpa
mengucapkan sepatah katapun ia serahkan bocah itu ketangan Ong It sin-
Dengan gembira Ong It sin menerima bocah itu dan membopongnya dengan penuh kasih
sayang, sedang bocah itu tampaknya dapat kenali kembali si anak muda itu segera
tertawa lebar. Untuk sesaat lamanya Ong It sin berdiri termangu mangu, ia berpikir bahwa tugas
yang harus segera dilaksanakan sekarang adalah menghantarkan bocah itu balik ke
benteng Khek po. Teringat oleh pesan Be Siau soh, apa lagi terbayang segala kebaikan nona itu
kepada nya Ong It sin menjadi enggan untuk mengurusi persoalan lain ia tak ambil
peduli apa yang hendak dilakukan Say siujin mo, kakek berambut putih dan Ciong
lay sushia, sambil membopong bocah itu ia lantas berlalu dari sana dengan
langkah lebar. Dalam waktu singkat ia sudah menempuh perjalanan sejauh beberapa li, saat itulah
dia baru teringat akan si kakek berambut putih dan lain lainnya, tanpa terasa
pikirnya: "Waaah... tidak tahu bagaimana kelanjutan dari pertarungan itu" Bagaimana pula
dengan si kakek berambut putih itu?"
Berpikir sampai disitu dia lantas berhenti dan berpaling, tapi dengan cepat
pemuda itu tertegun. Ternyata si kakek berambut putih itu sedang mengikuti dibelakangnya sambil
cengar cengir sedangkan Say siujin mo dan ciang lay su shia entah sudah pergi ke
mana" "Hei kemana cuma kau seorang?" buru buru Ong It sin menegur.
"Sudah beberapa li kau berjalan sambil membopong bocah itu masa kau suruh
merekapun mengikuti dirimu?"
"Aaah... rupanya aku sudah menempuh perjalanan sejauh beberapa li, lantas...
lantas... mau apa kau menguntil dibelakangku?"
"Tentu saja aku ada urusan denganmu aku menginginkan sebuah benda milikmu"
Ong It sin merasa amat terkejut, buru buru dipeluknya bocah itu semakin erat,
teriaknya cemas: "Apa yang kau inginkan"Jangan mencoba coba untuk merampas bocah ini tahu" Aku
bisa beradu jiwa denganmu"
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh mau adu jiwa juga percuma kalau tidak percaya
coba lihatlah sendiri" kakek itu terbahak bahak dengan kerasnya. Tiba tiba ia
mengulurkan tangannya ke depan.
Ong It sin melongo, dia tak tahu apa maksud si kakek itu dengan mengulur
tangannya kedepan tapi sebelum ingatan kedua melintas dalam benaknya tahu tahu
lengan kanannya terasa kesemutan dan bocah yang berada dalam pelukannya itu tiba
tiba saja terbang kedepan.
Ong It sin sangat kaget, buru buru dia menerkam kedepan untuk merampas kembali
bocah itu, tapi si bocah sudah keburu berada ditangan kakek berambut putih itu.
"Hayo katakan sekarang, dengan cara apa kau hendak beradu jiwa denganku?" ejek
si kakek sambil melompat mundur.
Ong It sin membentak keras, ia memburu kedepan sambil berusaha merampas kembali
bocah itu tapi bagaimanapun cepatnya ia bergerak. selisih jaraknya dengan kakek
itu selalu terpaut saut kaki lebih, padahal ia sudah tancap gas paling top, tapi
selalu saja kakek itu tak mampu disusulnya.
Tak lama kemudian nafas Ong It sin sudah ngos ngosan seperti kerbau, ia terkulai
lemas ditanah dengan bermandi keringat, teriaknya keras keras: "cepat kau
kembalikan bocah itu kepadaku"
"Baik" Diluar dugaan tiba tiba kakek berambut putih itu benar benar melemparkan bocah
itu kepadanya. Cepat cepat Ong It sin melompat bangun dan menubruk bocah itu setelah berhasil
membopongnya kembai ia baru dapat menghembuskan napas lega ditatapnya kakek itu
dengan termenung, ia tak tahu permainan setan apa yang sedang dilakukan lawannya
itu. "Nah, sekarang jawablah sejujurnya, andaikata bocah itu kurampas mungkinkah kau
dapat beradu jiwa denganku?" tanya si kakek berambut putih itu sambil tertawa.
"Tidak bisa.. tidak bisa, lebih baik kau jangan merampasnya lagi" buru buru anak
muda itu menjawab sambil mundur ke belakang, karena ia kuatir bocah itu dirampas
lagi. "Yaa tentu saja aku tak bisa merampasnya sebab aku lihat kau punya hubungan yang
sangat intim dengan ibunya, maka bocah ini kau anggap bagaikan mestika, bukan
begitu" Baiklah bocah itu tak akan kurampas, tapi kau musti menyerahkan sebuah
benda lain kepadaku"
Ong It sin merasakan kepalanya pusing tujuh keliling dan telinganya mendengung
keras ketika mendengar kakek itu menyinggung soal hubungan gelapnya dengan Be
Siau soh, hampir saja ia jatuh semaput.
Sesudah termangu mangu sebentar, ia baru bertanya lagi:
"Apa... apa yang kau inginkan?"
"Apa lagi" Tentu saja pedang antik Hu si kiam yang berada dalam sakumu itu"
Sekalipun ucapan itu tidak terlampau keras tapi bagi pendengaran Ong It sin
bagaikan guntur yang membelah bumi disiang hari belong, kontan saja ia melompat
keudara sambil berteriak.
"Ngaco belo tidak bisa, tak dapat kuserahkan kepadamu sebab aku... aku tak punya
apa yang kau namakan pedang antik Hu si kiam itu"
Karena merasa kaget setelah mendengar kakek itu menghendaki pedang mustika Husi
kiamnya, serta merta pemuda itu menjerit tanpa sadar, tapi ketika teringat bahwa
ilmu silat orang itu lihay maka buru buru ia menyangkalnya ini menyebabkan
perkataannya menjadi saling bertentangan sendiri.
Menanti ucapan itu telah selesai diutarakan ia baru teringat kalau dirinya tidak
terbiasa berbohong, tentu saja perkataannya itu tak akan dipercaya orang. Sambil
tertawa getir, cepat cepat ia mundur beberapa langkah dengan ketakutan-Kakek
berambut putih itu tidak mengejar kedepan, dia hanya berkata:
"Kau jangan berbohong lagi hayo serahkan pedang mestika Husi kiam itu kepadaku,
kalau tidak maka kau dan anakmu tak akan hidup lebih lama lagi didunia ini.!"
Ong It sin panik sekali peluh sudah membasahi tubuhnya, ia menjadi sangsi dan
tak tahu apa yang musti dikatakan-
Matanya serasa berkunang kunang, pandangannya menjadi gelap. pemuda itu seolah
olah menyaksikan kembali bayangan tubuh dari Be Siau soh, iapun seakan akan
mendengar suara dari gadis itu sedang mendengung disisi telinganya, ia seperti
mendengar lagi gadis itu sedang berpesan kepada nya agar melindungi pedang itu
dengan sepenuh tenaga, lalu menyerahkan kepada si bocah setelah dewasa nanti.
Tapi kini, kakek berambut putih itu telah memaksanya untuk menyerahkan pedang
mestika Hu si kiam itu kepadanya...
Andai kata bocah itu tidak berada dalam pelukannya, maka tanpa berpikir panjang
ia pasti akan menampik permintaan orang serta melindungi senjata mestika itu
mati matian, tapi sekarang bocah itu berada dalam bopongannya, mau tak mau dia
mesti memikirkan juga keselamatannya .
Terdengar kakek berambut putih itu berkata lagi sambil tertawa:
"Kuanjurkan kepadamu lebih baik cepat cepat serahkan kepadaku, terus terang saja
kukatakan kepadamu banyak rahasiamu yang telah kuketahui, kalau pedang itu tidak
kau serahkan lagi kepadaku, maka rahasia besarmu itu akan kuutarakan kepada
orang banyak, akan kulihat..."
"Jangan, jangan, jangan kau utarakan kepada siapapun" buru buru pemuda itu
menukas sebelum lawannya menyelesaikan perkataan itu.
"Baik, aku tak akan mengutarakan kepada orang tapi pedang itu musti kau serahkan
kepadaku" "Kau..... kau... kau toh selama ini baik sekali kepadaku, pedang itu... pedang itu
tak akan berguna bagimu, sebaliknya aku telah mendapat pesan dari orang untuk...
untuk menyimpan benda itu baik baik menanti bocah ini sudah dewasa nanti baru
serahkannya kepadanya, aku telah mengabulkan permintaan orang maka perintah itu
kulakukan baik baik kenapa kau mesti menyusahkan diriku?"
Ucapan tersebut membuat kakek berambut putih itu menjadi tertegun, sesaat
kemudian ia baru berkata "Aku tahu kau orangnya baik sekali, setelah kau berterus terang kepadaku, akupun
berterus terang kepadamu, benda itu akan membahayakan jiwamu."
"Tapi toh tak ada orang lain yang tahu, masa bisa berbahaya?"
"Yaa, kalau cuma sehari dua hari sih tidak apa apa, tapi kau toh mesti
menyimpannya banyak tahun, jika selama tahun-tahun ini kau bertindak kurang
berhati-hati hingga rahasia diketahui orang lain, akibatnya jiwamu akan terancam
maka dari itu untuk menghindari segala hal yang tak diinginkan, lebih baik untuk
sementara waktu pedang itu disimpan ditempatku saja"
"Sungguh?" bisik Ong It sin tertegun.
"Kalau aku sedang berbohong, biar Thian mengutuk diriku"
Melihat orang sudah angkat sumpah berat, dan lagi menurut keadaan yang
diceritakan ia merasa bahaya sekali untuk selalu membawa serta pedang mestika
itu, akhirnya setelah sangsi sejenak diambilnya juga pedang itu dari sakunya.
"Pedang ini... pedang ini sampai kapan baru akan kau serahkan kembali kepadaku?"
"Bila bocah itu telah dewasa nanti, pedang ini tentu saja akan kuserahkan


Pendekar Bego Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali kepadamu." Tiba tiba jari tangannya ditudingkan kedepan, "sreet" segulung tenaga pukulan
segera meluncur ke depan dan memukul diatas gagang pedang mestika tersebut:
Ong It sin merasa tak sanggup untuk memegang pedang itu lebih jauh, dengan
berubah menjadi sekilas cahaya tajam senjata itu segera meluncur ke udara,
berada ditengah angkasa pedang itu berputar lagi setengah lingkaran sebelum
terjatuh ketangan kakek berambut putih itu.
Setelah mendapatkan senjata tersebut, kakek berambut putih itu menyarungkannya
ke dalam sarung pedang cian nian liong siau, serta merta sinar berkilauan yang
memancar dari tubuh pedang itupun lenyap tak berbekas...
"Nah, sampai ketemu lagi" seru kakek itu kemudian sambil mengulapkan tangannya.
"Hei, hei, kau mesti ingat dengan janjimu" teriak Ong It sin, "bila bocah itu
telah dewasa..." Belum habis perkataan itu, terpaksa Ong It sin harus berhenti berteriak sebab
ketika itu si kakek berambut putih tadi sudah lenyap dari pandangan mata.
Ong It sin menghela napas, pikir-pikir ia merasa masih untung juga karena bocah
itu bisa ditemukan kembali, bagaimanapun juga nyawa seorang bocahkan lebih
penting daripad nilai sebilah pedang mustika.
Lega juga perasaan hatinya, dengan langkah lebar ia lantas berangkat menuju ke
benteng Khekpo. Sepanjang jalan ia tidak menjumpai peristiwa apapun, kurang lebih dua hari
kemudian anak muda itu baru sampai didepan pintu gerbang benteng Khekpo. Begitu
tiba didepanpintu, seseorang segera menyambut kedatangannya. Dengan suara
lantang Ong It sin berseru:
"Bocah ini adalah siau pocu kalian, hayo cepat bawa aku menghadap pocu kalian"
Sebenarnya beberapa orang penjaga itu bersikap angkuh dan ketus, akan tetapi
setelah mendengar ucapan tersebut buru buru mereka membungkukkan badan dengan
hormat sam menyambut kedatangannya.
Sesampainya diruang tengah, ia menyaksikan beberapa orang tianglo itu ada pula
disana, mereka menatap kearahnya dengan pandangan dingin dan menyeramkan. Tak
lama kemudian Pocu dari benteng Khekpo pun muncul dengan langkah ogah-ogahan.
Ong It sin segera menyongsongnya sambil berseru: "Pocu, aku telah membawa
kembali anakmu," Dalam anggapan pocu dari benteng Khekpo itu pasti akan kegirangan setengah mati.
Siapa tahu pocu itu hanya berkata dengan suara dingin:
"oya...?" Kepada seorang dibelakangnya ia lantas berseru: "Sambut bocah itu"
Dua orang perempuan setengah umur segera tampil ke depan dan menghampiri Ong It
sin- Pemuda itu merasakan gelagat tidak beres dia bermaksud tak akan menyerahkan
bocah itu kepada mereka, tapi terbayang kembali usahanya selama ini hanya
bermaksud untuk mengajak bocah itu kembali ke benteng Khekpo, ia merasa bukan
tindakan yang betul kalau ia menahan bocah itu lebih jauh.
Maka terpaksa ia menyerahkan juga bocah itu ketangan seorang perempuan setengah
baya. Setelah menerima bocah tadi, perempuan itu segera mengundurkan diri dari ruangan
dan lenyap dibalik pintu.
Memandang hingga bocah itu lenyap dari pandangan mata, tiba tiba timbul perasaan
masgul di hati anak muda itu.
Sementara ia masih termenung terdengar Pocu dari benteng Khekpo telah berkata
dengan suara dingin: "Terima kasih banyak atas bantuanmu untuk menghantar pulang anakku, pengawal
ambil lima puluh tahil emas"
Seorang laki laki segera muncul sambil membawa sebuah baki, diatas baki terletak
lima buah kepingan uang emas yang setiap kepingannya mempunyai bobot sepuluh
tahil. "Hei, apa maksudmu dengan perbuatan ini?" seru Ong It sin dengan wajah tertegun.
"Aku tahu untuk melakukan perjalanan jauh kau membutuhkan uang, maka terimalah
uang itu sebagai ongkos jalanmu"
Merah padam selembar wajah Ong It sin karena malu, tiba tiba katanya agak
tergagap: "Apa... apa apaan kamu ini, aku... aku tak menghendaki uang itu, aku... aku
hanya ingin berdiam disini"
"Kenapa kau ingin tinggal disini?" tanya pocu dari benteng Khekpo lagi dengan
suara dalam. "Aku... aku ingin menyaksikan bocah itu meningkat hingga dewasa, aku
mendapat..." Sebetulnya dia hendak menerangkan kalau mendapat "pesan orang" untuk tinggal
disana, tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya ia merasa ucapan
seperti itu tidak seharusnya diutarakan dihadapan pocu, maka buru buru diapun
membungkam. Tampaknya pocu dari benteng Khekpo itu merasa tak senang untuk berbicara
dengannya, dia ulapkan tangannya berulang kali sambil berseru: "cepat pergi,
cepat pergi, aku ogah menyaksikan raut wajah mu itu"
Tiga kali dia ulapkan tangannya, tiga kalipula Ong It sin mundur kebelakang,
dalam waktu singkat ia sudah berada beberapa kaki jauhnya dari tempat semula.
Dia masih ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi dua orang laki laki kekar yang
berada disampingnya segera maju dan menghalangi didepan tubuhnya seorang menekan
bahu kirinya sedang yang lain menekan bahu kanannya, kemudian membentak: "Hayo
jalan-.." Kena didorong oleh dua orang laki laki bertubuh kekar itu dalam waktu singkat
Ong It sin sudah diseret keluar dari pintu gerbang, "Blaang..." pintu segera
ditutup rapat rapat. Ong It sin yang berada diluar pintu segera berteriak teriak.
"Hei, kenapa kalian begitu tak tahu peraturan, masa aku diusir mentah mentah
dari sini?" Hanya suara pantulannya yang kedengaran dari balik pintu, sedang orang orang
benteng Khekpo tak ada yang menggubrisnya sama sekali.
Kembali ia berteriak beberapa kali, mendadak sebilah tombak yang bercahaya tajam
muncul di depan mata dan langsung ditusukkan ke dadanya.
Ong It sin kaget, cepat dia menengadahkan kepalanya, tampak seorang busu dengan
wajah yang kaku sedang mendekatinya selangkah demi selangkah.
Pemuda itu ketakutan, buru buru dia mundur kebelakang, kurang lebih tiga sampai
lima kaki kemudian, busu itu baru menghentikan pengejarannya...
Ong It sin merasa mendongkol bercampur gusar, tapi diapun sadar bahwa tak
mungkin baginya untuk tetap tinggal dalam benteng Khekpo, ia merasa bagaimanapun
juga bocah itu adalah putra pocu sendiri, jadi tak mungkin kalau ia sampai
menyiksa darah daging sendiri
***(hal53-56 hilang Separo, langsung ke hal57)***
"Tentu saja, dia adalah si nenek"
"Aaah... rupanya dia Sekarang dia berada di mana?"
Pemuda itu benar benar merasa gembira sekali, karena si nenek berjanji akan
mengajaknya mengunjungi lembah Ciong Cu kok.
Gara gara persoalan Be Siau soh, ia sudah mendapat halangan hampir tiga bulan
lamanya, dan sekarang ketika ia merasa menemui jalan buntu secara tiba tiba
mendengar kabar lagi tentang si nenek. tentu saja hatinya merasa amat girang.
Dengan gelisah serunya kemudian kepada keempat orang itu:
"Hayo, kenapa tidak kalian jawab" Sekarang si nenek berada di mana?"
"Ikuti saja kami, akan kami tunjukkan untukmu"
Tanpa berpikir panjang lagi berangkatlah Ong It sin mengikuti dibelakang keempat
orang itu. Sepanjang jalan mereka hanya menelusuri jalan setapak yang sempit dan kecil,
hutan semak belukar membentang dimana-mana, lama sekali mereka berjalan tapi
belum juga tiba ditempat tujuan.
Lama kelamaan Ong It sin tak sabar, segera teriaknya: "Sudah hampir tiba?"
Empat orang itu tetap membungkam. Ong It sin coba mengulangi kembali
pertanyaannya tadi, tapi tiada jawaban pula yang didapat, lama kelamaan pemuda
itu merasa seram juga sebab suasananya makin lama semakin misterius...
Tiba tiba timbul sebuah pikiran dalam hatinya sambil menjerit aneh teriaknya:
"Hei, apakah kalian telah membunuh si nenek?"
Serentak empat orang itu berhenti, kemudian berpaling dan mengawasi Ong It sin
lekat lekat. Ong It sin mendengus dingin, kembali ujarnya:
"Siapa kah kalian, kenapa membunuh si nenek" sekarang kau memancingku untuk
mendatangi tempat yang sepi, apakah kau berniat mencelakai diriku...?"
Tiba tiba empat orang itu tertawa terbahak bahak. suaranya amat keras seperti
orang yang mendengar suatu cerita lucu.
Pada saat itulah dari tempat kejauhan kedengaran si nenek berseru dengan suara
yang dingin menyeramkan: "Hei, apa yang sedang kalian tertawakan" orang yang dimaksud sudah ketemu
belum?" "Sudah, sudah ketemu" jawab salah satu diantara keempat orang itu, "ia bilang
kami telah mencelakaimu, bahkan katanya ia dipancing ke tempat sepi untuk
dibunuh, dia... haaahhh... haaahhh... haaahhh... dia masih menganggap dirinya
betul betul seorang jago lihay kelas satu dari dunia persilatan"
Sambil berkata keempat orang itu tertawa terus tiada hentinya. Ong It sin
melotot besar, serunya: "Siapa bilang aku bukan seorang jagoan kelas satu dari dunia persilatan?"
"Hmm,cuma si nenek pernah berpesan kepadaku lantaran ilmuku terlalu tinggi maka
aku tak beleh sembarangan turun tangan, hmm coba tidak. pasti akan kulepaskan
sebuah pukulan agar sepasang mata kalian betul betul terbuka lebar"
Gelak tertawa keempat orang itu semakin keras dan terpingkal-pingkal, agaknya
cerita tersebut sangat mengkilik kilik hati mereka.
Tiba tiba sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, tahu tahu si nenek sudah
berdiri dihadapan mereka sambil membentak: "Hey, apa yang kalian tertawakan?"
Bentakan dari si nenek memang cukup berwibawa, seketika itu juga keempat orang
itu menghentikan gelak tertawanya.
Sinenek mau selangkah kedepan, sambil berdiri dihadapan Ong It sin bentaknya
"Kemana saja kau selama ini" Apakah kau telah sampai dilembah Ciong Cu kok?"
Sewaktu mengajukan pertanyaan itu, mukanya hijau membesi dan sikapnya sangat
tegang. Buru buru Ong It sin menjawab.
"oooh... tidak. dimana letaknya cong cu kok saja tidak kuketahui, mana mungkin
aku bisa pergi sendiri kesitu?""
Lega benar hati si nenek setelah mendengar perkatan itu, katanya kemudian.
"Kalau begitu kotak peninggalan ayahmu juga masih ada?"
"Tentu saja ada" sahut Ong It sin sambil menepuk dada sendiri.
Sekali lagi si nenek menghembuskan napas lega, sekarang ia baru bisa bertanya
dengan suara tenang. "selama beberapa bulan ini kemana saja kau telah pergi"
"Sulit untuk membicarakan persoalan ini dengan sepatah dua patah kata saja"
sahut Ong It sin sambil tertawa getir, "selama beberapa bulan terakhir, aku
selalu bergerak diantara kotaWa koan yau dengan benteng Khekpo"
Si nenek tertegun, sekali lagi pasti mukanya berubah menjadi amat tak sedap
dipandang, serunya tertahan:
"Benteng Khekpo" Apa hubunganmu dengan benteng Khekpo?"
"Aaai... sekarang aku sudah tiada hubungan apa apa lagi dengan mereka" bisik
pemuda itu sedih. Dengan sinar mata curiga si nenek mengawasi wajah Ong It sin tajam tajam,
sebaliknya pemuda itu hanya mengurusi hatinya yang sedih dan gundah, ia tidak
ambil peduli apakah sinar mata si nenek menyeramkan atau tidak... Selang
beberapa saat kemudian, si nenek kembali berpikir:
"Selama banyak tahun, sibecah tolol ini tak mampu melakukan pekerjaaan apa apa,
asal dia belum berkunjung ke lembah cong cu kok. rasanya akupun tak usah terlalu
mencurigai dirinya..."
Berpikir sampai disini, pelan-pelan paras muka si nenek berubah menjadi lembut
kembali katanya kemudian:
"Baik, kalau toh kau belum sampai di lembah cong cu kok, mari kita berangkat
sekarang juga" Sesudah berhenti sebentar, ia menambahkan lagi
"Sudah beberapa bulan lamanya nenekmu mengutus Li Ji untuk mencarijejakmu kalau
sampai sekarang kau belum datang juga, ia pasti akan merasa gelisah sekali"
"Tapi aku tak tahu dimanakah letak lembah cong cu kok itu, akupun tak tahu
bagaimana caranya sampai disitu, bersediakah engkau untuk melakukan perjalanan
bersama-sama aku?" "Kali ini aku akan melakukan perjalanan bersamamu"
Kemudian ia berpaling dan membisikkan sesuatu kepada keempat orang laki-laki
itu, tapi karena suaranya teramat lirih, pada hakekatnya Ong It sin tak sempat
mendengar dengan jelas apa saja yang mereka bicarakan.
Cuma, sehabis mengucapkan kata kata itu, empat orang laki laki tersebut segera
mengiakan dan mengundurkan diri dari situ.
"Mari, sekarang kita boleh berangkat" ajak si nenek kemudian.
Dia putar badan dan berangkat menuju ke arah barat laut, buru buru Ong It sin
mengikuti dibelakangnya. Empat lima ratus li sudah ditempuh tanpa terasa, tiga haripun sudah lewat dengan
begitu saja, tapi mereka belum juga sampai ditempat tujuan.
Dalam tiga hari ini tempat tempat yang mereka lewati kebanyakan adalah tempat
tempat yang sepi dan jauh dari keramaian manusia, jangankan sesosok manusia,
binatangpun tidak kelihatan.
Ong It sin merasa sangat gelisah, setiap harinya ia hampir bertanya sampai
seribu kali lebih tapi si nenek selalu membungkam dalam seribu bahasa.
Ketika senja menjelang tiba pada hari ketiga didepan sana muncullah serentetan
bayangan gunung yang puncaknya diliputi salju dibawah timpaan cahaya senja
tampak suatu pemandangan yang sangat indah. Diam diam Ong It sin berpikir dalam
hatinya: "Yang dimaksudkan sebagai lembah cong cu kok tentu letaknya ada diatas gunung,
kalau dilihat dari deretan pegunungan didepan sana, agaknya tempat itulah tujuan
kami?" Selama beberapa bulan ini ia sudah bertanya sampai pecah bibirnya, ia tahu bahwa
si nenek tidak akan menjawab pertanyaannya, maka persoalan ini pun hanya
dipikirkan dalam hati, dia enggan untuk menanyakannya secara langsung.
Ketika hari sudah mulai gelap si nenek berhenti melakukan perjalanan, Ong It sin
mengira seperti hari-hari biasa, mereka akan mencari tempat untuk beristirahat,
maka sambil menghembuskan napas panjang anak muda itu lantas duduk melepaskan
lelah. ooooOd-wOoooo Jilid 10 SIAPA tahu baru saja ia duduk, si nenek telah membentak keras
"Bangun!" "Kenapa" Masa kita tak akan beristirahat?" tanya Ong It sin dengan wajah
termangu. "Bangun dulu, coba lihat! Di depan sana seperti ada orang, sudah kelihatan?"
Dengan perasaan berat hati Ong It sin bangkit berdiri lalu menengok ke depan,
betul juga, kurang lebih setengah li didepan sana tampak kilatan cahaya api,
rupanya ada orang membuat api unggun didepan sana, dipinggir api unggun tampak
seorang manusia duduk tak berkutik.
"Sudah kelihatan belum?" tanya si nenek kembali, "nah, kau boleh maju kedepan
dan coba tanyalah siapakah dia!"
"Baik!" Ong It sin manggut manggut.
Sambil mengiakan dengan langkah lebar dia maju kedepan, tak lama kemudian
sampailah pemuda itu kurang lebih dua tiga kaki ditepi api unggun itu.
Semula orang yang duduk ditepi api unggun itu duduk terpekur sambil menundukkan
kepala, ketika Ong It sin mendekatiinya serentak ia mendongakkan kepalanya
sambil mengawasi pemuda itu tajam tajam.
Ong It sin segera berteriak kaget, dibawah pancaran sinar api unggun, tampaklah
orang itu bukan lain adalah sahabat karib ayahnya dimasa masih hidup dulu.
Siapa lagi dia kalau bukan Li Ji!
Mencorong sinar tajam dari balik mata Li Ji ditatapnya wajah Ong It sin sekian
lama, lalu mengucak matanya seakan-akakn ia tidak percaya kalau apa yang
terlihat merupakan suatu kenyataan.
Tapi setelah mengucak matanya, bagaikan segulung hembusan angin ia langsung
menubruk kearah Ong It sin.
Si anak muda itu hanya merasakan pandangan matanya menjadi kabur, tahu tahu
dadanya terasa kencang dan ia sudah kena dicengkeram oleh tangan Li Ji yang
kuat. Setelah mencengkeram baju Ong It sin, Li Ji segera tertawa terbahak bahak,
serunya: "Rupanya kau... haaahhh... haaahhh... haaahhh... rupanya kau... haaahhh...
haaahhh... haaahhh..."
Merinding juga tubuh Ong It sin menghadapi tingkah laku orang itu, buru buru
teriaknya:

Pendekar Bego Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman Li Ji siok, lepaskan tanganmu!"
"Kenapa aku musti lepaskan tangan" Kalau aku lepas tanga kau tentu kabur, dan
bagaimana aku nanti.Kini kau sudah kutangkap kembali, aku merasa sangat gembira,
haaahhh... haaahhh... haaahhh... kau betul betul rejeki nomplok bagiku, kalau
orang lagi hok-ki maka rejeki akan datang dengan sendirinya!"
Sambil berseru dia menghembuskan napas panjang, seolah olah keberhasilannya
untuk menemukan kembali diri Ong It sin membuat hatinya merasa amat lega.
Menyaksikan ulah paman Li yang terus menerus tertawa, Ong It sin merasa betul
betul dibikin tertawa tak bisa menangispun sungkan, katanya kemudian:
"Ji-siok, setelah berjumpa denganku, mengapa kau tampak begitu gembira?"
"Tentu saja gembira" jawab Li Ji sambil tertawa, "coba bayangkan sendiri, apakah
kau anggap nenekmu akan berlaku baik kepada orang lain" Ia menitahkan diriku
untuk mencarimu, kalau aku tak berhasil menemukanmu, lantas bagaimana tanggung
jawabku nanti, siapa tahu kau datang dari langit, sekarang aku dapat
menyelesaikan tugasku dengan baik"
Ong It sin ikut tertawa pula.
Aku bukan datang dari langit, aku sampai disini karena mengikuti seorang teman.
Ooo... kau punya teman" Dimana" Biar kuusir dia pergi dari sini !
Boleh saja, biar kupanggil temanku itu, si nenek... si nenek...
Ong It sin langsung saja berteriak keras.
Begitu mendengar siapa yang dipanggil pemuda itu, tiba tiba saja Li Ji mundur
dengan sempoyongan, sekalipun tak sampai roboh terjengkang toh wajahnya telah
berubah menjadi pucat pias seperti mayat.
Ong It sin menjadi keheranan menyaksikan keadaan pamannya, ia membatalkan
teriakannya dan buru buru bertanya:
"Paman Ji siok, kenapa kau?"
Li Ji tak sanggup berbicara lagi, sebaliknya suara dari si nenek telah
berkumandang dari belakang si anak muda itu:
"Tak usah kau pedulikan dia, tempo hari dia pernah berhutang kepadaku, maka
setelah bertemu sekarang ia kuatir aku menagih hutang kepadanya, tak heran kalau
ia ketakutan setengah mati"
"Ooo... kiranya begitu, Li Ji-siok kau tak usah takut, si nenek adalah
sahabatku, jika kau memang hutang kepadanya, sekalipun agak lambat bayarannya
juga tak mengapa, kenapa kau musti ketakutan macam tikus ketemu kucing?"
Li Ji betul betul merasa serba salah terpaksa dengan suara gemetar ia berkata.
"Si nenek... tak nyana kita akan bertemu kembali!"
"Itulah yang dinamakan kalau sudah bermusuhan, jalan didunia terasa sempit masa
kau tidak tahu" "Yaa, yaa, benar, benar jalan kita memang terlalu sempit"
Sambil berkata ia mundur terus kebelakang, kurang lebih tujuh delapan langkah
kemudian mendadak ia putar badan dan kabur terbirit birit dari situ.
Sekalipun gerakan tubuh Li Ji amat cepat, tapi gerakan tubuh si nenek jauh lebih
cepat lagi darinya. Terdengar si nenek memperdengarkan jeritan aneh, sepasang lengannya direntangkan
dan tubuhnya melejit keudara. Bagaikan seekor burung aneh dalam waktu singkat ia
telah menghadang dihadapan Li Ji.
Melihat jalan perginya terhadang Li Ji menjerit keras dan memutar tubuhnya untuk
kabur kearah lain. Tapi baru kabur beberapa langkah, si nenek kembali melayang turun dari angkasa
dan menghadang didepan mata.
Dalam waktu singkat Li Ji sudah menerjang ke kiri menubruk ke kanan, empat arah
delapan penjuru telah diterjang semua, tapi kearah manapun ia pergi bagaimanapun
ia melompat, bergulingan, memukul atau menendang, jalan kepergiannya selalu
terhadang oleh nenek tersebut.
Kurang lebih setengah jam kemudian, cuasa semakin gelap, diantara sinar bintang
yang redup Ong It sin menyaksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang
berkelebat dengan lincahnya ke sana ke mari, sekalipun amat menawan hati, sayang
sulit untuk membedakan mana Li Ji dan mana si nenek.
Akhirnya terdengar sinenek berteriak keras:
Li Ji, kalau kau mencoba untuk kabur terus, jangan salahkan kalua aku tidak akan
berlaku sungkan sungkan lagi kepadamu.
Baru habis perkataan dari si nenek, Li Ji benar benar menghentikan gerakan
tubuhnya. Si nenek segera maju ke depan, tangannya digerakkan kedepan dan menekan bahu Li
Ji Paras muka Li Ji tampak makin lama semakin pucat mengerikan hingga ditengah
kegelapan tampak mengerikan sekali.
Ong It sin segera maju menghampiri mereka katanya:
Ji siok, sudah kukatakan tadi, nenek itu adalah sahabat karibku...
Tapi sebelum dia menyelesaikan kata katanya, sinenek telah membentak keras.
Menyingkirlah kau dari sini, aku ada persoalan hendak dibicarakan dengan
dirinya. Nenek, sekalipun ia berhutang kepadamu, tidak pantas kalau kau bersikap begitu
galak kepadanya, sesungguhnya dia hutang apa"
Dengan gusar sinenek berpaling lalu teriaknya.
Kalau kau banyak urusan lagi, jangan salahkan kalau aku tak akan melakukan
perjalanan bersamamu, ayoh cepat menyingkir dari sini !
Ong It sin gelengkan kepalanya berulang kali.
Aaai... susah juga menjadi orang baik, ya sudahlah, terserah bagaimana caramu
mau menagih kepadanya, cuma Li Ji-siok tidak usah kuatir, orang yang ditakdirkan
berumur panjang tentu akan selamat dari segala bencana
Begitulah, sambil mengoceh terus ia mundur beberapa langkah dari tempat itu.
Sinenek dan Li Ji sama sekali tidak menggubris dirinya, sambil menekan bahu Li
Ji kuat kuat, sinenek membentak lagi:
Cepat katakan bagaimana caranya memasuki lembah Ciong cu kok"
Sebesar kacang kedelai peluh yang mengucur keluar dari tubuh Li Ji, sahutnya
tergagap Aku... aku... aku tak akan bicara!
Sinenek segera menyeringai seram, coba Ong It sin ikut menyaksikan wajahnya yang
mengerikan itu, dia pasti akan ketakutan setengah mati.
Li Ji bersin beberapa kali, keder juga hatinya menghadapi sinenek yang
mengerikan itu. Kedengaran sinenek kembali berkata:
Li Ji, meskipun ilmu silatmu terhitung hebat, tapi kau adalah seorang setan
bernyali kecil yang takut mampus, benar bukan?"
"Benar, benar, aku adalah seorang setan yang bernyali kecil yang takut
mampus...!" Li Ji kedengaran agak gemetar.
"Bagus sekali, nah setan bernyali kecil, sekarang boleh kau katakan bagaimana
caranya memasuki lembah Ciong cu kok?"
"Aku... aku tidak bisa mengatakannya, aku benar benar tak bisa mengatakannya!"
Ong It sin merasa geli dan mangkel juga menyaksikan kejadian itu, Li Ji pernah
berkata bahwa dia adalah jago nomor satu di wilayah perbatasan pemuda itupun
pernah membuktikan sendiri sampai dimanakah kelihayan ilmu silatnya tapi tak
disangka kalau tabiatnya begitu tak becus persis seperti gentong nasi.
Timbul perasaan memandang rendah dihati Ong It sin, karenanya diapun tak ingin
mencampuri urusan si nenek lagi.
Kedengaran si nenek berkata lagi:
"Kau harus memberitahukannya kepadaku, sebab jika tidak kau katakan maka aku
akan segera merenggut nyawamu!"
"Jangan, jangan bunuh aku, biar kujawab, biar kujawab!" Li Ji segera menjerit
jerit ketakutan. Baik, aku tak akan membunuhmu, tapi kau harus memberi keterangan yang jelas!
Untuk memasuki lembah Ciong cu kok, setiap orang harus melewati tiga buah pos
penjagaan yang dijaga oleh jago-jago lihay, disamping itu orangpun harus
mengetahui kode rahasianya, setelah ketiga pos penjagaan itu dapat dilampaui
orang baru bisa tiba dilembah Ciong cu kok.
Setelah berhenti sejenak, dia lantas menuding kearah Ong It sin seraya katanya
lagi: Dan dia... dia... dia punya nenek yang berdiam dalam lembah tersebut.
"Sudah tak usah omong kosong, katakan kepadaku apakah ketiga buah kata sandi
itu!" "Aku... aku tidak... baik aku bicara kata pertama adalah: Hujan salju sedang
turun diluar perbatasan. Kata kedua adalah: Pemandangan alam wilayah Kanglam
indah permai sedang kata ketiga adalah: Salah memilih jodoh hati terasa berduka.
"Hmm...! ketiga patah kata itu tidak karuan artinya, masa dipakai kata sandi?"
seru sinenek sambil mengerutkan dahinya.
Itu... itu kan cuma kata sandi, aku sendiri juga tidak mengerti apa artinya.
Si nenek manggut manggut, sementara Li Ji sudah ketakutan setengah mati sehingga
dua baris giginya saling beradu satu sama lainnya.
Lewat sesaat kemudian, si nenek baru berkata lagi.
"Seandainya kulepaskan tekanan dari atas bahumu, maka apa yang hendak kau
lakukan "Aku segera akan angkat kaki pulang ke pesisir Lam hay dan selama hidup tidak
akan menginjakkan kaki di wilayah perbatasan lagi"
Si nenek segera tertawa dingin.
"Heeehhh... heeehhh... heeehhh... dimulut enak saja kau berkata demikian padahal
dalam hati kau berpikir lain, setelah aku pergi nanti bukankah kau akan potong
jalan untuk pergi kelembah Ciong cu kok guna memberi laporan lebih dulu" Betul
tidak?" Li Ji tertawa getir. "Si nenek, kalau aku punya nyali, tak nanti orang lain akan memanggilku sebagai
si setan bernyali kecil!"
"Hmm... aku tahu kau tak akan berani, sana pergi!"
Ketika tangannya melepaskan tekanan pada bahu Li Ji, sengaja nenek itu
mengerahkan tenaganya untuk didorong kemuka.
Ilmu silat yang dimiliki Li Ji memang tidak lemah, ia sama sekali tidak
terjengkang oleh tenaga dorongan si nenek, malah sebaliknya memanfaatkan tenaga
dorongan itu tubuhnya segera melompat ke depan.
Lompatan itu mencapai dua tiga kaki jauhnya, begitu mencapai permukaan tanah ia
lantas berkelebat ke muka, dalam waktu singkat tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata. Menunggu Li Ji telah berlalu, Ong It sin baru berkata sambil tertawa lebar:
"Orang itu memang sangat aneh, betulnya dia hutang apa denganmu" Kenapa setiap
kali menjumpai dirimu, dia lantas ketakutan setengah mati...?"
Pelan pelan si nenek berpaling, sinar mata yang tajam dan berwarna hitam kebiru-
biruan memancar keluar dari balik matanya, dengan dingin ia berkata:
"Ia telah hutang selembar nyawa manusia denganku"
Ong It sin sangat terperanjat, sambil bodoh segera serunya lirih:
"Nenek, pandai amat kau bergurau!"
Si nenek tidak menanggapi perkataan dari Ong It sin lagi sesudah termenung
sejenak berkata: "Tahukah kau kenapa aku membawamu mengunjungi lembah Ciong cu kok?"
Eeei... aneh benar kamu ini, bukankah kau hendak mengajak aku untuk menjumpai
nenekku" Kenapa kau malah bertanya kembali kepadaku...
Kejujuran Ong It sin sungguh bikin pusing si nenek, untuk sesaat lamanya ia tak
sanggup berbicara lagi. Setelah termangu sekian lama akhirnya ia berkata lagi:
"Kalau kau sudah tahu, itu lebih bagus lagi. lembah Ciong cu kok terletak
didepan sana kita harus berjalan malam besok pagi bisa sampai di tempat tujuan"
"Baiklah bagaimanapun juga aku memang sudah terbiasa berjalan dijalan gunung,
sekalipun melakukan perjalanan ditengah malam buta juga tak menjadi soal"
Ketika ia baru saja menyelesaikan kata katanya lengan kanannya terasa kencang
dan tahu-tahu sudah ditangkap oleh si nenek.
Ia lantas merasakan angin kencang berhembus lewat dari kedua belah sisi
telinganya, sepasang kaki bahkan tak pernah menempel ditanah, ia sudah diseret
oleh si nenek untuk melakukan perjalanan cepat kedepan sana.
Ong It sin merasa sedang berjalan diantara mega tebal dalam hati ia lantas
berpikir: Entah sampai kapan kepandaian silatku baru bisa mencapai ketingkatan seperti
ini" Kalau aku bisa berlari cepat, oooh... tentu menyenangkan sekali.
Tampaknya pemuda itu melupakan sesuatu dia lupa kalau sinenek adalah seorang
jago yang amat dahsyat, bahkan sampai jagoan macam Li Ji yang terhitung luar
biasa pun keok dihadapannya.
Jangankan baru membawanya seorang diri sekalipun harus menuntun seekor kerbau
dungu, kecepatan gerak sinenek tak akan jauh lebih lambat dari gerakan larinya
sekarang. Tanpa terasa fajarpun menyingsing, gerak lari sinenek pelan-pelan makin
mengendor. Pada saat itulah Ong It sin baru berkesempatan untuk menyaksikan keadaan
sekeliling tempat itu, rupanya mereka sudah berada diatas bukit dengan tebing
yang terjal dan pemandangan alam yang sangat indah menawan.
Tak lama kemudian merekapun tiba ditepi sebuah air terjun yang amat besar,
gemuruh air yang deras serasa memekikkan telinga orang
Air terjun itu luasnya dua kaki airnya mengalir kebawah melalui sebuah jeram, di
atas jeram terlintaslah sebuah kayu kecil yang menghubungkan topi sebelah sini
dengan pantai seberang. Si nenek berjalan ketepi jeram itu, lalu berhenti. Dengan suara lantang ia
berteriak: "Aku hendak berkunjung kelembah Ciong cu kok, harap saudara bersedia memberi
petunjuk jalan lewat bagi kami berdua!"
Ong It sin memandang kedepan, tapi tak seorangpun yang kelihatan, sementara dia
masih sangsi tiba tiba dari atas sebuah pohon besar didepan sana melompat turun
sesosok bayangan "Cring!" ketika toyanya menutul diatas batu besar segera
menimbulkan suara yang nyaring.
Kalau didengar dari gemerincingnya suara itu, dapat diketahui bahwa toya itu
terbuat dari baja asli. Orang itu berusia lima puluh tahunan, kaki kanannya sudah kutung dan tubuhnya
teramat kurus kering. Dengan sinar mata tajam ia mengawasi Ong It sin berdua sekejap, kemudian
tanyanya lagi Bagaimanakah suhu udara diluar perbatasan
"Salju sedang turun dengan derasnya diluar perbatasan!" sinenek segera menjawab.
"Aaah...!" orang itu berseru tertahan lalu serunya, "silahkan, silahkan masuk!"
Toyanya lantas dicukil ke atas tumbuhan rotan yang melintang diatas jeram
tersebut, rotan tersebut segera mencelat keatas.
Ong It sin masih belum tahu apa kegunaan rotan itu tahu tahu bahunya sudah
disambar orang dan ia telah dibawa si nenek melompat ketengah udara.
Dengan suatu lompatan yang enteng si nenek melejit ke udara dan melayang turun
persis diatas rotan tersebut.
Karena rotan tersebut sedang dilontarkan si kaki tunggal kearah depan, maka
dengan menutul diatas rotan yang sedang berayun itu, tubuh si nenek segera
melejit kembali keatas udara dan melayang turun ditepi jeram sebelah depan.
Baru tiba dipantai seberang, orang itu telah memberi hormat sambil berseru:
"Silahkan berangkat ke sebelah barat, setelah melewati sebuah selat sempit
kalian akan disambut oleh orang lain"
"Terima kasih atas petunjukmu" sahut si nenek.
Dengan membawa Ong It sin, berangkatlah si nenek itu menuju kedepan.
Tak lama kemudian mereka sudah melewati sebuah selat sempit dan tiba di sebuah
tanah lapang yang luas diatas tanah lapang tadi penuh dengan menancap pisau-
pisau yang tajam, setiap tempat kosong mencuatlah sebuah pisau, dengan demikian
susah bagi orang untuk melaluinya.
Dihadapan tanah lapang tersebut, duduklah seorang perempuan berusia setengah
umur. Ong It sin yang menyaksikan keadaan tersebut, dengan wajah menunjukkan rasa
ngeri segera berseru: "Bagaimana... bagaimana caranya kita melewati tempat ini " ?"
"Lebih baik kita jalan mengitari tanah lapang ini saja ! !"
Sebelum mereka berlalu dari sana, perempuan setengah umur yang berada didepan
situ telah berseru: "Apakah kalian berdua datang dari Kanglam " Bagaimana keadaan diwilayah sana?"
"Pemandangan alam wilayah Kanglam indah dan permai" sinenek segera menyahut.
"Kalian berdua adalah..."
"Engkoh cilik ini adalah orang yang hendak dijumpai oleh Popo!" sahut sinenek
cepat, "kata kata sandi yang kami katakan toh sudah betul, kenapa kau masih saja
merasa curiga" Perempuan setengah umur itu tidak berbicara lagi, dia lantas bangkit berdiri dan
menginjak sebuah batu cadas yang berada disisinya, batu itu segera tenggelam
kedalam tanah dan bersamaan itu pula, lapangan penuh pisau tajam itupun lenyap
tak berbekas. "Hayo cepat berangkat!" bentak sinenek kemudian.


Pendekar Bego Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ong It sin tak berani berayal, buru buru dia lari menyeberangi tanah lapang
tersebut. Setibanya dihadapan perempuan setengah umur itu, ia mengawasi sekejap kedua
orang tamunya kemudian berkata:
"Harap kalian berdua melanjutkan perjalanan menuju kesebelah barat..."
Si nenek mengiakan dan melanjutkan kembali perjalanannya menuju kesebelah barat,
tapi baru beberapa langkah, tiba tiba perempuan setengah umur itu membentak
lagi: "Tunggu sebentar!"
Si nenek berhenti, tapi ia tidak memalingkan kepalanya.
"Aku ingin tahu apakah kau kenal seorang iblis perempuan berhati keji yang amat
termashur didunia persilatan sebagai Cio hu tian hun li bu siang (setan gunung
perempuan penggantung sukma)" sekarang dia berada dimana?" tanya perempuan
setengah umur itu. Baru saja kata kata tersebut selesai diucapkan, tiba tiba terdengar si nenek
mendengus lalu dengan suatu kecepatan yang luar biasa meluncur ke belakang.
Berada ditengah udara, ujung bajunya diayunkan berulang kali, desingan angin
tajam segera menerjang ke arah perempuan setengah umur itu...
Serangan yang dilancarkan si nenek ini boleh dibilang cepatnya luar biasa.
Tapi perempuan setengah umur itu sudah bersiap siaga semenjak mengucapkan kata
kata tersebut tadi, begitu serangan tiba, badannya segera menjatuhkan diri ke
belakang, lalu... "Cring!" sebilah pedang panjang dengan menciptakan sekilas
cahaya yang menyilaukan mata menyambar keluar.
Babatan pedang itu langsung ditujukan ke atas ujung baju dari si nenek yang
sedang menyambar datang itu.
"Sreet...!" diiringin desingan angin tajam, ujung baju sebelah kiri dari si
nenek segera tersayat hingga robek.
Serangan itu tidak berhenti sampai disana saja tiba tiba dengan membawa kilatan
cahaya tajam sekali lagi membacok ujung baju sebelah kanan si nenek.
Tapi pada saat itulah tiba-tiba ujung baju si nenek menggulung ke atas dan
membelenggu pedang yang sedang membacok itu.
Betapa terkejutnya perempuan setengah umur itu menyaksikan senjatanya kena
ditangkap lawan buru-buru ia membetotnya dengan sekuat tenaga sayang usahanya
itu tidak berhasil. Pada saat itulah suatu totokan jari tangan si nenek telah disentil kedepan,
desingan angin tajam langsung menerjang ke depan.
Dalam keadaan demikian seandainya perempuan setengah umur itu melepaskan
pedangnya mungkin ia masih dapat menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut
itu. Sayang semua perhatiannya sedang terkejut untuk menarik kembali pedangnya,
sedikit gerakannya menjadi lambat tahu tahu serangan dahsyat itu sudah menghajar
diatas lengannya. Dengan sempoyongan ia mundur setengah langkah ke belakang baru dia akan
melakukan usaha penyelamatan diri si nenek telah melontarkan kembali telapak
tangannya ke depan pedang yang dibelenggu dengan ujung bajunya itu disertai
desingan angin tajam langsung meluncur ke depan.
Termakan oleh gulungan angin dahsyat ini, perempuan setengah umur itu makin tak
sanggup mempertahankan diri, ia makin sempoyongan.
Sebuah tendangan kilat yang tepat menghajar dipinggangnya membuat perempuan
setengah umur itu mencelat dan jatuh terkapar ditanah dengan wajah meringis.
Si nenek memburu ke depan, pedangnya langsung disambar dan ditusukkan ke dada
lawan. Perempuan setengah umur itu menjerit keras
"Kau..." Hanya sepatah kata yang sempat diucapkan, sebab pada waktu itulah dadanya sudah
tertusuk dan darah segar berhamburan kemana-mana.
Ia mengejang keras sambil mengerang kesakitan, hanya sebentar ia meronta ronta
dan akhirnya ia tak berkutik lagi, tewas dalam keadaan mengerikan...
Semua kejadian ini berlangsung sekejap mata, sejak si nenek melompat kebelakang
sampai menusuk dada musuhnya, boleh dibilang semuanya terjadi dalam beberapa
detik. Ong It sin tak bisa berbuat banyak kecuali berdiri tertegun dengan mata
terbelalak dan mulut melongo, untuk sesaat ia tak tahu apa yang musti dilakukan.
Lewat lama sekali, anak muda itu baru berseru:
"Nenek, mengapa kau bunuh orang ini, apa salahnya perempuan setengah umur ini?""
Dengan suatu getaran tangannya, si nenek mematahkan pedang ditangannya itu
menjadi beberapa bagian lalu membuang kutungan pedang tersebut keatas tanah,
setelah itu sambil memutar badan ia baru berkata dengan nada dingin:
"Orang ini adalah seorang manusia keji, aku telah mewakili nenekmu untuk
membunuhnya!" "Oooh... kalau begitu pastilah dia yang bernama Setan gantung perempuan
penggantung nyawa itu?" tanya Ong It sin.
Paras muka sinenek segera berubah hebat tiba tiba bentaknya dengan keras:
"Tutup mulutmu, kalau lain kali kau berani mengucapkan nama ini lagi, jangan
salahkan kalau kubunuh dirimu!"
Diam-diam Ong It sin merasa keheranan ia merasa sejak pertemuannya untuk kedua
kalinya dengan sinenek, rupanya sikap sinenek jauh lebih galak lagi daripada
keadaan semula. oOo Akan tetapi, sebagai seorang pemuda yang sudah terbiasa dipermainkan orang, ia
tidak merasa terlalu sedih atau tersinggung oleh bentakan tersebut karenanya
ketika si nenek marah marah dia pun sambil menjulurkan lidahnya tidak berkata
apa apa lagi. Dalam pada itu si nenek telah mengebutkan ujung bajunya kedepan, segulung angin
tajam segera menggulung tubuh mayat perempuan setengah umur itu dan
melemparkannya ke balik semak belukar.
Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun si nenek melanjutkan kembali
perjalanannya kedepan, terpaksa Ong It sin mengikuti dibelakangnya.
Lima empat li kemudian fajar telah menyingsing dan matahari memancarkan sinar
keemas emasannya ke empat penjuru mendadak si nenek menghentikan langkah
kakinya. Ternyata mereka telah tiba dibawah sebuah tebing curam yang tingginya mencapai
lima kaki, diatas tebing tersebut terdapat sebuah bangunan rumah, sebagian kecil
rumah tadi berada di luar tebing itu.
Setibanya dibawah tebing, si nenek lantas berteriak dengan suara lantang:
"Kami berdua datang kemari untuk mengunjungi Li popo, harap saudara bersedia
memberi petunjuk jalan!"
Ketika perkataan itu sudah diulangi sebanyak dua kali, dari balik jendela rumah
muncullah batok kepala seseorang.
Orang itu mempunyai wajah berbentuk Yen yan rin, kenapa dikatakan demikian" Oleh
karena separuh wajanya berwarna merah dan separuh lagi berwarna putih oleh
karena mukanya terdiri dari warna merah putih yang amat menyolok inilah maka
tampangnya jadi tak sedap dipandang.
Itu masih mendingan jika bentuk mukanya bagus, sayangnya muka orang itu gemuk
tidak gemuk, bengkak tidak bengkak, sepintas lalu seperti orang yang kena beri
beri cuma penyakit beri-berinya mampir diatas wajah, matanya kecil dengan bibir
tebal seperti congor babi, jeleknya betul betul sukar dilukiskan dengan kata
kata. Senang sekali Ong It sin menyaksikan tampang jelek orang itu, tanpa terasa ia
tertawa cekikikan. Selama ini dia selalu mengira tampangnya terhitung paling jelek didunia tapi
kalau dibandingkan dengan tampang orang itu, maka rasa-rasanya secara mendadak
saja tampangnya berubah jadi ganteng dan menarik hati.
Begitu tawanya meledak, orang yang berada diatas jendela itu segera menghela
napas tanyanya: "Tahukah kalian mengapa aku menghela napas"
Suaranya parau seperti gembrengan rongsokan, membuat orang yang mendengarnya
menjadi tak nyaman dihati.
Baru saja Ong It sin hendak menjawab, si nenek telah mendahuluinya sambil
berseru: "Kalau salah memilih jodoh, hati merasa berduka"
Orang itu segera tertawa terbahak bahak, dengan suaranya seperti katak buduk
lagi berteriak ia berseru:
"Haaah... haaah... haaah... silahkan naik ke atas, oh tunggu, harap tunggu
sebentar" Sambil berkata tangannya dikeluarkan dari jendela dan menekan ke bawah seakan-
akan muncul segulung tenaga yang sangat kuat tiba-tiba menekan ke bawah.
Bersamaan itu pula, dari balik matanya segera memancar keluar sinar tajam yang
dingin dan menggidikkan hati.
Seketika itu juga si orang yang bertampang jelek itu kelihatan lebih keren dan
berwibawa, membuat orang tak berani pandang hina dirinya.
"Siapakah aku" Tahukah kau?" kata orang itu pelan-pelan.
"Maaf jika aku si nenek tak dapat mengenalimu sebelum ini aku belum pernah
berjumpa dengan kau, dari mana aku bisa tahu siapakah kau ini"
"Aah... belum tentu"
Si nenek tertawa paksa, kembali katanya
"Hei kenapa kau berkata demikian" Andaikata aku pernah bertemu denganmu, kenapa
aku tak berani mengenalinya?"
"Kalau kau mengatakan pernah bertemu denganku maka akupun akan bertanya kepadamu
dimana kita pernah saling bertemu, kalau kau telah mengutarakannya, maka dengan
sendirinya asal usulmupun segera akan kuketahui, bukankah begitu?"
"Aku si nenek hanya bisa beberapa jurus ilmu silat kasaran saja adapun
kedatanganku kemari adalah karena mendapat pesan dari seseorang untuk menghantar
engkoh cilik ini untuk menjumpai Li popo, kau harus tahu bahwa engkoh cilik ini
adalah cucu luarnya Li popo"
Orang itu segera berseru tertahan dan menarik kembali telapak tangannya yang
menekan kebawah. Si nenek segera menutulkan ujung kakinya ke tanah dan dengan membawa Ong It sin
melompat naik ke atas tebing.
Sekalipun harus membawa tubuh seseorang, ternyata gerakan tubuh si nenek sewaktu
melompat naik keatas tidak menjadi lambat barang sedikit pun, setelah berada
beberapa kaki tingginya, kembali ujung kakinya menutul diujung batu yang mencuat
keluar dan sekali lagi tubuhnya melayang sejauh tujuh delapan depa ke udara.
Dalam lima enam kali lompatan saja, ia telah berada diatas puncak tebing
tersebut, sedangkan orang itu pun sudah keluar dari balik rumah batunya.
Orang itu mempunyai tubuh yang tinggi besar, tapi separuh bagian tubuh bagian
atasnya panjang dan tubuhnya bagian bawahnya pendek, sepasang kakinya pendek
sekali hingga tampak seperti mahluk yang aneh sekali bentuk tubuhnya.
Selangkah demi selangkah orang itu berjalan ke hadapan si nenek, kemudian
katanya: "Setiap orang yang hendak menuju lembah Ciong cu kok harus mencobakan dulu ilmu
silatnya denganku, sebab kalau tenaga dalamnya cetek sekali, maka kesanapun
hanya mengantar kematian belaka, aku rasa kalian pasti sudah tahu bukan dengan
peraturan ini?" "Ooh, rupanya begitu, tapi tahukah kau siapakah engkoh cilik ini...?"
Sambil memutar biji matanya, manusia berwajah merah putih itu memperhatikan Ong
It sin beberapa kejap. Ong It sin merasakan sepasang mata orang itu memecahkan cahaya yang menggidikkan
hati, baru beberapa kejap saja diperhatikan, ia sudah merasakan hatinya bergidik
dan bulu romanya pada bangun berdiri.
"Aku datang kemari untuk menjumpai popoku kenapa musti mencoba ilmu silat
segala?" teriaknya kemudian.
Manusia Yen yang bin tertawa terbahak bahak sahutnya:
"Kau hendak menjumpai popomu di lembah Ciong cu kok" Haaahhh... haaah...
haaahhh... aku rasa jika kau maju beberapa langkah lagi, segera akan kau temui
nenekmu itu!" Sambil berkata secara tiba tiba ia melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke depan.
Walaupun dalam hati kecilnya Ong It sin selalu menganggap dirinya sebagai
seorang jago nomor satu dalam dunia persilatan, tapi begitu bertarung melawan
orang lain, maka ia selalu yang menderita kerugian besar...
Dasar goblok, ia tidak menyangka kalau kekalahan tersebut disebabkan ilmu
silatnya yang terlampau cetek, dia malah menganggap musuh yang ditemuinya selama
ini adalah jago jago yang berilmu lihay sekali sehingga ia sebagai seorang
jagoan kelas satu dalam dunia persilatanpun harus mengakui kehebatan lawan.
Sebab itulah ketika si Yen yang bin melancarkan serangannya, buru buru ia
memasang kuda kuda untuk menyambut datangnya ancaman tersebut, siapa tahu belum
lagi kuda kudanya dipasang, segulung angin pukulan yang maha dahsyat sudah
keburu menggulung tiba. Seketika itu juga Ong It sin merasakan matanya menjadi gelap, kepalanya pusing
tujuh keliling dan tubuhnya terjengkang ke tanah.
Si nenek yang berada disampingnya, segera berteriak aneh, tiba tiba ia maju ke
depan sambil melepaskan sebuah pukulan dahsyat untuk menyambut datangnya ancaman
lawan. Bersamaan itu pula lengan kirinya berkelebat ke depan mencengkeram bahu Ong It
sin, demikian pemuda itu tak sampai terjengkang keatas tanah.
"Blaaang...!" benturan keras terjadi, akibat dari benturan telapak tangan antara
sinenek melawan si wajah merah putih, dengan sempoyongan tubuh Yen yang bin
tergetar mundur selangkah kebelakang.
Tapi itupun belum dapat menegakkan tubuhnya secara beruntun dia harus mundur
tiga langkah lagi sebelum akhirnya benar benar dapat berdiri tegak.
Sebaliknya si nenek tetap berdiri tegak ditempat semula.
Kenyataan tersebut amat mencengangkan Yen yang bin, cepat-cepat ia menjura
seraya berkata: "Tenaga dalam yang kau miliki sangat hebat, silahkan kau masuk ke lembah Ciong
cu kok tapi bocah muda ini tak boleh ikut"
"Hei, kau yang salah menduga, engkoh cilik ini benar benar adalah cucu luarnya
Li popo, keponakan dari Gin sin Li Liong, putranya Kwang tong tayhiap Orang Tang
thian!" Orang itu hanya berdiri termangu mangu, rupanya ia tak dapat mengambil
keputusan. Mendadak dari balik ruangan batu berkumandang suara tepuk tangan yang amat
nyaring. Buru buru orang itu berseru:
"Harap kalian berdua tunggu sebentar, dari dalam lembah telah datang kabar, coba
kutanyakan dulu bagaimana perintah dari Li popo"
Kemudian tanpa menunggu jawaban dari si nenek dan Ong It sin lagi ia maju ke
dapam ruangan batu dan menutup rapat rapat pintunya.
Begitu masuk ke dalam ruangan, segera terdengarlah seorang perempuan berkata:
"Li popo berpesan..."
Ucapan selanjutnya dari perempuan itu lirih sekali sehingga tidak dapat
terdengar dari luar dengan jelas.
Sekalipun demikian, ketika patah kata dari perempuan tadi segera membuat tubuh
Ong It sin bergetar keras dan hampir saja melompat ke udara saking kagetnya.
Selembar wajahnya yang jelek seketika berubah menjadi merah padam persis seperti
babi panggang. Kepalanya menjadi pusing tujuh keliling dan hampir saja ia roboh terjengkang ke
atas tanah. Suara yang lembut dan halus itu seakan akan mengandung suatu daya tarik yang
besar sekali suara tersebut seakan akan sudah menarik perhatian dari pemuda itu
hampir saja membuat jiwanya terlepas dari raganya, kecuali suara dari Be Siau
soh, siapa lagi yang bisa mendatangkan pengaruh sebesar itu bagi Ong It sin"
Dalam pusingnya, pemuda itu seakan akan seperti melihat Be Siau soh sedang duduk
dihadapannya sambil menggape gape dihadapannya.
Tapi baru saja ia hendak menerjang ke muka badannya tak dapat berdiri tegak dan
segera jatuh terjengkang keatas tanah.
Kebetulan pada waktu itu si nenek sedang memusatkan seluruh perhatiannya untuk
mendengarkan pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan batu itu, betapa
terkejut ia ketika secara tiba-tiba menyaksikan Ong It sin terjengkang keatas
tanah dengan wajah merah padam seperti orang kesurupan.
"Hei, kenapa kau?" segera tegurnya.
Ong It sin sama sekali tidak merasa kesakitan meskipun jatuhnya cukup kasar,
sambil merangkak bangun ia bergumam tiada hentinya:
"Siau soh, ada dimana kau?"
"Hei, apa itu Siau soh" Kau kena senjata rahasia?" bentak si nenek dengan marah.
Tentu saja si nenek tidak menyangka kalau manusia semacam Ong It sin pun pernah
merasakan malam syahdu bersama gadis cantik, dia mengira yang disebut Siau soh
itu adalah sejenis senjata rahasia.
Ong It sin menjadi kebingungan sendiri karena mendengar sebutan senjata rahasia,
ia menjadi tertegun lalu tertawa getir.
Kebetulan si muka merah putih baru keluar dari rumah batu itu, serta merta Ong


Pendekar Bego Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It sin menerjang masuk ke dalam ruangan itu, tapi perbuatannya ini segera
dihalangi oleh si muka Yen yang bin.
Dengan wajah tegang dan napas tersengkal sengkal Ong It sin berseru keras:
"Siapa... siapa yang barusan berbicara denganmu dalam ruangan ini..." si...
siapakah dia?" Yen yang bin tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya mengawasi Ong It sin
dengan mata melotot, lama sekali baru ujarnya:
"Li popo mengundang kalian masuk, bahkan tak usah melewati jeram seratus kaki
dan tebing seribu golok lagi, kalian dipersilahkan masuk lewat lorong rahasia
nah ikutilah aku!" Sehabis berkata ia putar badan dan masuk kembali ke dalam ruangan batu itu.
Buru-buru Ong It sin menerjang masuk ke dalam ruangan batu itu, tapi disana tak
ada seorang manusiapun. "Hei, kemana perginya perempuan yang mengajakmu berbicara dalam ruangan ini
tadi?" kembali Ong It sin berseru.
Yen yang bin tidak berkata apa-apa, sebaliknya si nenek sambil mengerutkan
dahinya berpikir: "Kenapa dengan bocah muda ini" Sudah edan barangkali" Kenapa hanya mendengar
suara perempuan saja ia menanyakan terus menerus?"
Si nenek mana tahu kalau suara perempuan itu bagi Ong It sin adalah suatu urusan
yang luar biasa, mana ia tahu kalau pemuda itu tak dapat melupakan pengalaman
syahdunya pada malam itu.
Yen yang bin telah menggeserkan sebuah meja batu dan menyingkap sebuah ubin
batu, muncullah sebuah gua didalamnya, hanya gua itu gelap sekali sehingga sukar
untuk melihat keadaan didalam sana.
Orang itu mengangkat sesuatu dari balik gua tadi hingga berbunyi gemerincing,
kemudian katanya lagi: Gua ini berhubungan langsung dengan lembah Ciong cu kok, dan hanya dihubungkan
dengan seutar rantai saja, sekalipun tidak gampang untuk menuruninya tapi jauh
lebih gampang daripada melewati jeram seratus kaki dan bukit seribu golok, nah
silahkan kalian berdua untuk menuruninya.
Ong It sin segera berpikir lagi:
"Sudah pasti Be Siau soh masuk lewat lorong rahasia ini...
Ia sudah tak kanti untuk menunggu lebih lama lagi, tidak menunggu orang itu
menyelesaikan kata-katanya ia sudah siap melompat masuk kedalam gua tersebut.
Si Nenek segera memburu kedepan sambil mencengkeram bahunya, lalu bentaknya:
"Hei, hati-hati sedikit, kalau sampai terpeleset, memangnya kau anggap masih
bisa hidup dengan selamat ?"?"
Ong It sin tertegun, lalu berpikir:
"Betul juga, kalau sampai terpeleset pasti habis sudah riwayatnya... tapi
bukankah Siau soh juga turun lewat tempat ini, waah... dia juga pasti berbahaya
sekali keadaannya!" Karena berpikir demikian, buru-buru teriaknya ke dalam gua itu dengan suara
keras: "Hei, kau harus berhati hati!"
Sekali lagi si nenek dibikin bingung oleh tingkah polah Ong It sin macam orang
gila itu, segera bentaknya dengan suara rendah:
"Hei, kau tak usah sinting, biar kau bawa sana hayo jangan bersuara lagi!"
Ong It sin tak berani berkata lagi.
Maka si nenekpun mencepit tangan Ong It sin dengan jari jari tangannya kemudian
melompat masuk ke dalam gua tersebut.
Baru beberapa kaki mereka meluncur masuk ke dalam gua itu, batu karang yang
berada diatas kepala mereka telah ditutup kembali seperti sedia kala.
Walaupun si nenek adalah seorang jago yang berilmu tinggi, tapi dalam keadaan
demikian sedikit banyak menjadi tegang juga hatinya sebab andaikata pihak lawan
hendak menyelakainya jelas ia sudah terjebak sekarang.
Untung dua perminum teh kemudian, pemandangan gelap disekeliling tempat itu
berangsur hilang dan lamat-lamat sinar terang mulai memancar di mana-mana.
Tiba-tiba si nenek menghentikan daya luncurnya ke bawah seraya berbisik.
"Setibanya dilembah nanti, kau tak boleh bicara sembarangan, mengerti" Segala
sesuatunya aku yang menghadapinya"
Apa yang dipikirkan Ong It sin sekarang hanyalah soal Be Siau soh, jangankan
menjawab, bahkan apa yang diucapkan si nenekpun sama sekali tidak diketahui
olehnya. Sementara itu cahaya yang menerangi sekeliling lorong makin lama semakin terang,
akhirnya sepasang kaki si nenek mencapai kembali diatas permukaan tanah.
Dimulut gua berdirilah dua orang bocah perempuan yang sedang menantikan
kedatangan mereka begitu kedua orang itu munculkan diri, bocah perempuan itu
segera berkata. "Harap kalian berdua suka mengikuti aku, Li popo siap menjumpai kalian berdua
dalam hutan bunga..."
Si nenek mengiakan dan bersama Ong It sin berjalan mengikuti dibelakang dua
orang bocah itu. Begitu keluar dari gua, bukan saja Ong It sin segera menjerit kaget, si nenek
pun ikut terperanjat. Ternyata diluar gua adalah sebuah lembah kecil yang luasnya mencapai beberapa
hektar. Pemandangan dalam lembah itu sangat indah dengan rumput hijau bagaikan
permadani, aneka bunga tumbuh disana sini, binatang buas hidup berdampingan
secara damai disana, hakekatnya tak ubahnya seperti sorga laka.
Disudut timur lembah itu, dekat dinding tebing yang terjal berdirilah lima enam
buah bangunan rumah yang indah dan mewah
Ong It sin tarik napas panjang panjang, lalu gumamnya:
"Ooh... suatu tempat yang sangat indah, memang paling enak kalau bisa hidup
ditempat senyaman ini!"
Ketika mendengar gumaman tersebut, dua orang bocah perempuan yang membawa jalan
itu segera berpaling dan sama sama memandang sekejap ke arahnya.
Menyaksikan bocah bocah perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak besar
dan wajah yang menarik hati, Ong It sin segera tertawa kepadanya, tapi dengan
hambar dua orang bocah itu segera melengos ke arah lain.
Tak lama kemudian mereka berempat sudah melewati selat sempit itu dan tiba
disuatu sungai kecil yang melintang dihadapan mereka, beratus-ratus ekor ikan
emas yang berwarna merah berenang dalam sungai itu dengan tenangnya.
Diseberang sungai adalah sebuah lembah, dalam lembah itu penuh tumbuh aneka
bebungaan. Sudah banyak kebun bunga yang dijumpai Ong It sin tapi belum pernah ia jumpai
kebun bunga sebesar ini, apalagi sekarang sedang berbunga semua hingga kelihatan
sangat indah sekali. Setelah menyebrangi sungai kecil itu, dua orang bocah perempuan itu segera
berseru: "Li popo, tamunya telah datang!"
Dari balik hutan bunga sana segera berkumandang suara sahutan seseorang dengan
suara yang serak dan tua.
"Bawa mereka kemari"
Dua orang bocah perempuan itu segera menggape kepada si nenek berdua, lalu
sambil menunjuk ke depan katanya.
"Li popo ada dalam hutan bunga sebelah depan sana, harap kalian masuk sendiri!"
Sesungguhnya Ong It sin memang tidak tahu kalau ia masih mempunyai seorang nenek didunia ini tentu saja terhadap neneknya itupun tidak
mempunyai kesan apa-apa. Sekarang terbukti sudah bahwa neneknya juga tidak menaruh kesan yang mendalam
kepada cucu luarnya, kalau tidak, masa neneknya tidak munculkan diri untuk
menyongsongnya setelah tahu kalau cucunya datang dari tempat yang jauh"
Si nenek sementara itu sudah mengiakan, sambil menyambar tubuh Ong It sin dia
melompati sungai kecil itu.
Tak lama kemudian diatas sebuah batu besar berbentuk aneh diantara dua buah
pohon bunga mereka jumpai seorang perempuan tua yang sedang duduk bersila.
Nenek itu duduk membelakangi mereka sehingga yang tampak hanya bayangan tubuhnya
serta rambutnya yang berwarna putih, ia membawa sebuah tongkat berliuk liuk
berwarna hitam. Meskipun tahu kalau ada orang datang, ternyata ia sama sekali tidak berkutik
barang sedikitpun juga. Ong It sin dan si nenek sudah berada lima enam kaki dibelakang perempuan tua itu
tapi ia masih belum juga menggerakkan tubuhnya.
Lama kelamaan Ong It sin menjadi tertegun sambil berpaling segera tegurnya:
"Nenek, apakah dia adalah nenekku?"
Si nenek tidak menjawab, dia hanya mendehem beberapa kali.
Mendadak perempuan tua itu berkata:
"Kalau kudengar dari suara dehemanmu itu, agaknya kau adalah Sam gan hek yau hu
(perempuan siluman hitam bermata tiga) yang termashur namanya dimasa lalu, benar
bukan?" Mendengar nama itu, paras muka si nenek berubah hebat tapi suaranya masih tetap
tenang. "Kau keliru besar" sahutnya, "aku bernama si nenek dan bukan perempuan siluman
hitam bermata tiga seperti yang kau katakan itu"
Pelan pelan perempuan tua yang duduk bersila itu memutar badannya menghadap
kearah mereka. Buru-buru Ong It sin mengalihkan sinar matanya ke depan, dia ingin tahu macam
apakah neneknya itu. Perempuan tua itu mempunyai paras muka yang lebar dengan telinga yang besar
sekali, muka semacam itu bersifat kelaki lakian, persis seperti wajah pamannya
Li Liong. Tapi yang membuat Ong It sin merasa terperanjat adalah sepasang mata Li popo
yang belalak tapi hanya berwarna putih kelabu, rupanya dia adalah seorang buta.
Terdapat Li popo tertawa dingin lalu katanya:
"Sekalipun mataku buta, hatiku tidak buta, sewaktu muda dulu, apakah kau juga
bernama si nenek?" "Tentu saja tidak!" jawab si nenek, "sewaktu masih muda dulu, orang menyebutku
Hian ih sian cu (dewi berbaju hitam), selamanya bergerak disepanjang wilayah
Kanglam, karena itu Li Popo mungkin belum pernah mendengar namaku, sebaliknya
engkoh cilik ini adalah cucu luarmu, aku membawanya kemari tanpa maksud apa-apa,
harap kau jangan menaruh curiga kepadaku!"
ooOdwOoo Li Popo tidak bersuara lagi, ia mendongakkan kepalanya dan mengawasi sinenek
dengan sepasang matanya yang berwarna kelabu itu, seakan-akan ia merasa gemas
kenapa matanya menjadi buta sehingga tak dapat melihat manusia macam apakah yang
berada di hadapannya sekarang.
Lewat sesaat kamudian, ia baru menghela nafas panjang, katanya kemudian pelan-
pelan: "Ong It sin, kau telah datang?"
Sebenarnya Ong It sin mengira neenknya pasti akan memeluknya dan menangis
tersedu sedu setelah bertemu dengannya.
Siapa tahu, pertemuan ini berlangsung dalam suasana yang serba dingin dan kaku,
hal ini membuatnya amat tersipu-sipu.
"Yaa, aku telah datang!" sahutnya.
"Coba kemarilah, akan kuraba dirimu!"
Ong It sin menjadi panik dan ragu-ragu, ia segera berpaling dan memandang
sekejap ke arah si nenek.
Si nenek segera memberi tanda kepadanya, maka pelan pelan dengan perasaan berat
dan enggan Ong It sin maju ke depan.
Ketika ia sampai dihadapan Li popo, mendadak nenek itu menggerakkan tangan
kanannya dan mencengkeram pergelangan tangannya.
Ong It sin merasakan tangan Li popo dingin sekali bagaikan es, ia lebih-lebih
terperanjat lagi setelah kena dicengkeram olehnya, hampir saja ia melompat
mundur karena ketakutan. Tapi baru saja dia meronta, Li popo telah menancapkan toyanya ke tanah lalu
dengan tangannya yang dingin mulai meraba raba wajahnya.
Ong It sin merasakan kulit wajahnya hampir saja menjadi beku saking dinginnya
terkena rabaan tangannya itu.
Dengan suara gemetar teriaknya berulang kali:
"Cepat lepas tangan... cepat lepas tangan, jangan raba diriku cepatlah lepas
tangan..." Tapi Li popo seakan akan tidak mendengar teriaknya itu, dengan tangannya yang
dingin seperti tangan mayat ia masih meraba terus diwajah Ong It sin, bahkan
merabanya pelan pelan. Dalam keadaan seperti ini, Ong It sin merasakan bulu romanya pada bangun berdiri
ia merasa dirinya seakan akan berada dalam pintu neraka...
Menanti Li popo telah menarik kembali tangannya, Ong It sin baru menghembuskan
napas lega. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Li popo telah memaki lagi dengan
penuh kemarahan "Kenapa tampangmu persis seperti binatang itu?"
Ong It sin tertegun, dia tak tahu kenapa Li popo mendampratnya dengan kata kata
tersebut, mendadak... "Plak" sebuah tempelengan keras sudah bersarang dipipi
kirinya. Mimpipun Ong It sin tidak menyangka kalau neneknya bukan mengucapkan kata kata
yang lembut dan mesrah perjumpaan itu sebaliknya malah menempeleng dirinya,
karena tidak bersiap sedia tubuhnya segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Tidak enteng tempelengan dari Li popo itu, buktinya setelah roboh ke tanah Ong
It sin merasakan telinganya mendengung keras, kepala pusing tujuh keliling dan
matanya berkunang kunang, untuk sesaat lamanya ia tak sanggup merangkak bangun
dari atas tanah. Terdengarlah si nenek segera berteriak dari samping.
"Hei, kalian cucu dan nenek bisa berjumpa, seharusnya pertemuan ini dirayakan
dengan meriah, kenapa kau malah menampar wajahnya?"
"Aaah, kau tahu apa?" teriak Li popo dengan marah.
Setelah berhenti sebentar terusnya:
"Ketika putriku ingin kawin dengan binatang tersebut, aku sudah bilang bahwa dia
mati atau hidup tak perlu datang mencari diriku lagi. Hmm... hmmm... kini mereka
suami istri berdua sudah mampus, yang masih hidup adalah binatang kecil ini, dan
sekarang ia malah datang mencariku, kalau tidak digebuk, memangnya aku musti
sayang bangsat cilik..." Huuh, mendingan kalau tampangnya mirip putriku, siapa
tahu, justru tampanya seratus persen seperti binatang tersebut, kenapa hatiku
tidak jengkel?" Sebodoh bodohnya Ong It sin, sekarang ia tahu sudah bahwa Binatang kecil yang
dimaksud Li popo adalah dia, sedangkan yang dimaksud sebagai binatang adalah
ayahnya. Sebagaimana diketahui sejak kecil Ong It sin sudah kehilangan ibunya, tidak
terlalu dalam kesannya terhadap ibunya itu, tapi berbeda dengan ayahnya, ia
mempunyai kesan yang mendalam sekali kepada ayahnya itu.
Maka begitu mengetahui kalau Li popo mencaci maki ayahnya sebagai binatang
kontan saja amarahnya memuncak, dengan gusar teriaknya:
"Hei, siapa yang bilang aku datang mencarimu" Kau jangan sembarangan berbicara!"
"Hmm, binatang kecil kau masih tidak mengaku?" teriak Li popo tak kalah
gusarnya, "kalau kau bukan datang untuk mencariku, mau apa kau datang kemari?"
Hampir saja Ong It sin akan mencaci maki dengan kata kata kotor, untung dia
masih teringat bahwa jelek helek begitu pihak lawan adalah neneknya, tentu saja
ia tak boleh memakinya secara sembarangan.
Maka sambil menahan rasa gusarnya dia berkata:
"Bukankah kau sendiri yang mengutus Li Ji datang ke wilayah Shu chuan untuk
mencariku" Kau anggap aku sudi datang sendiri kemari untuk mencarimu?"
Sambil berkata ia lantas meronta dari atas tanah dan bangkit berdiri...
Kemarahan Li popo benar-benar memuncak, dengan geram ia berteriak keras.
"Bagus, binatang kecil! Kalau kau masih terus ngotot berbicara begini, jangan
salahkan kalau kubunuh dirimu"
Sambil berteriak ia sambar kembali toya besi dan siap diayunkan keatas batok
kepala anak muda itu. Ong It sin amat terperanjat buru-buru ia menggulingkan tubuhnya kesamping untuk
menghindarkan diri. Untung saja ayunan toya itu berhasil dihindari, dengan napas tersengkal pemuda
itu segera berseru "Si nenek hayo kita pergi dari sini saja, tampaknya orang ini... Orang ini bukan
nenekku, pasti ada kekeliruan"
"Tidak, tak mungkin ada kekeliruan" sahut si nenek "justru karena ibumu
bersikeras hendak kawin dengan ayahmu, maka sampai sekarang nenekmu masih
jengkel, ini tak bisa disalahkan. Hayo cepat memberi hormat kepada dia orang
tua, tanggung tak akan ada urusan lagi"
Ong It sin gelengkan kepalanya berulang kali sambil berseru:
"Tidak, tidak!"
Sambil berkata ia mulai celingukan kesana-kemari ia sangat berharap Be Siau soh
bisa munculkan diri disana dan dia akan mengajak gadis itu untuk bersama-sama


Pendekar Bego Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat itu. Dengan gemas si nenek melotot sekejap ke arah Ong It sin, tiba-tiba dia menuding
kearah saku Ong It sin. Mula-mula si anak muda itu tidak mengerti apa yang sedang dimaksudkan si nenek,
tapi setelah si nenek menunjukkan gerakan tangan yang membuat persegi empat
pemuda itu segera memahami apa yang dimaksudkan.
Buru-buru ia mengeluarkan kotak persegi itu dari sakunya dan berseru dengan
lantang. "Akupun tak akan berbicara banyak lagi, hanya saja sebelum meninggalnya ayahku
menerahkan kotak ini kepada seorang sahabatnya dengan pesan agar setelah dewasa
nanti, kubawa kotak ini datang ke lembah Cong cu kok, nah sekarang kau boleh
ambil kembali kotak ini"
Ong It sin mengulurkan tangannya dan menyodorkan kotak tersebut dari tempat
kejauhan, tapi hanya sekali menggapekan tangannya, segulung angin dingin segera
berhembus lewat dan tahu tahu kotak di tangan Ong It sin sudah terlepas dan
meluncur ketangan Li popo.
Begitu Li popo menerima kotak tadi, si nenek segera menunjukkan tanda tanda
tangan. Dengan suatu gerakan yang tanpa menimbulkan sedikit suarapun si nenek
menggerakkan tubuhnya maju beberapa depa kedepan, begitu cepatnya gerakan
tersebut hakekatnya seperti setan yang bergerak lewat.
Sekalipun tanpa menimbulkan suara, rupanya Li popo seperti merasa ada orang yang
tiba tiba menghampirinya.
Mendadak ia mendongakkan kepalanya keatas untuk memperhatikan dengan lebih
seksama, terpaksa si nenek menghentikan gerakan tubuhnya.
Ong It sin yang bodoh lamat lamat dapat merasakan pula betapa anehnya suasana
disekitar tempat itu, hanya saja ia tak dapat mengatakan keanehan apakah itu.
Sebentar ia memandang ke arah si nenek, sebentar lagi memandang ke arah Li popo,
ia tak tahu kedua orang nenek tua sebenarnya sedang melakukan permainan apa.
Tiba tiba terdengar Li popo berseru:
"Hei, si nenek! Harap kau menyingkir agak jauhan!"
Si nenek tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya saja ujung bajunya dikebutkan
ke depan segulung desingan angin tajam segera menyambar kedepan sana sehingga
sepintas lalu seperti ada orang sedang berkelebat menuju ke arah depan, padahal
sesungguhnya ia masih tetap berdiri tegak ditempat semula.
Li popo rupanya sedang memperhatikan dengan seksama, menanti desingan angin itu
sudah lenyap ia baru bertanya lagi.
"Berapa jauh kau dariku sekarang?"
Sejak bergerak maju secara diam-diam tadi si nenek tak pernah mundur barang
setengah depa pun dari tempatnya semula kini dia berada empat lima depa dari Li
popo. Tapi berhubung Li popo buta sepasang matanya, tentu saja ia tak dapat melihat
hal tersebut Ketika si nenek mendengar pertanyaan tadi, ia lantas membuka mulutnya dan
mengucapkan sepatah kata ke tempat kejauhan sana, sewaktu mulutnya bergerak tak
kedengaran saja sekali suaranya.
Sementara Ong It sin masih keheranan, tiba-tiba terdengarlah suara dari si nenek
yang dipancarkan tadi memantul datang dari jarak kurang lebih tiga kaki jauhnya:
"Aku berada kurang lebih tiga kaki jauhnya!"
Ong It sin terperanjat sekali, ia heran kenapa si nenek yang jelas berada
dihadapannya sekarang suaranya ternyata berkumandang dari belakang tubuhnya, dia
mengira dimana telah kedatangan seseorang lagi, maka dengan perasaan terkejut ia
berpaling ke belakang, tapi nyatanya di belakang sana tak ada seseorangpun.
Tentu saja ia tak tahu kalau suara pantulan dari sinenek itu dipancarkan dengan
ilmu Hoa ing hoat yang menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi.
Sementara ia masih melamun dengan perasaan bingung Li popo telah membuka kotak
tersebut. Paras muka sinenek segera berubah makin tegang sinar mata yang tajam segera
memancar kelaur dari matanya, diawasinya kotak itu dengan seksama.
Li popo mulai meraba kotak tersebut, sebagaimana diketahui kotak itu adalah
sebuah kotak mestika, disekeliling kotak itu terukirlah suatu pemandangan alam
yang mirip sebagai suatu peta bumi.
Li popo meraba kotak itu dengan penuh seksama, lewat lama sekali ia baru
berkata: "Ong It sin, kau..."
Perkataan itu diucapkan dengan suara yang perlahan sekali.
Tapi ketika perkataan itu sampai ditengah jalan, tiba tiba ia melakukan suatu
tindakan dan tindakan tersebut ternyata cepatnya bukan kepalang...
Tiba tiba lengannya didorong ke depan, dengan membawa segulung desingan angin
tajam toya itu segera disapukan ke arah pinggang si nenek yang berada
disampingnya. Sapuan toya itu boleh dibilang dilancarkan sangat mendadak, sebab gerakan Li
popo selama ini sangat lambat, dia sedang meraba kotak mestika itu dengan
gerakan yang lambat sekali.
Dengan demikian, sapuan toyanya yang cepat seperti sambaran kilat ini boleh
dibilang merupakan suatu tindakan yang sama sekali diluar dugaan.
Walaupun sapuan toya dari Li popo ditujukan kepada si nenek yang berada
disampingnya, akan tetapi Ong It sin yang berada dua tiga kaki jauhnya dari
sanapun merasakan betapa dahsyatnya ancaman itu sehingga tak kuasa lagi badannya
roboh terjengkang oleh sapuan tenaga pukulan itu.
Si nenek menjerit aneh, ketika toya itu hampir mengenai tubuhnya, mendadak ia
menjatuhkan diri ke atas tanah, lalu dengan tenang menempel di tanah ia melesat
kedepan sana. Kalau serangan dari Li popo dibilang cukup cepat maka cara si nenek dalam
menghindarkan diri jauh lebih cepat lagi.
Li popo tidak berhenti sampai situ saja, begitu serangannya berhasil dihindari
ia kembali melompat keudara dan melancarkan tubrukan kembali sekali lagi toyanya
diayun ketubuh lawan dengan kekuatan yang luar biasa.
Dalam waktu singkat angin pukulan menderu deru ke empat penjuru, bebungahan
berguguran terkena sambaran tajam itu.
Si nenek tak berani gegabah, ketika serangan kedua dari musuhnya kembali
menyambar datang, cepat ia bergelinding ke samping lalu mencabut sebatang pohon,
keadaan terdesak demikian ia mempergunakan batang pohon tersebut sebagai senjata
untuk menyambut datangnya ancaman.
"Kraaak!" ketika batang pohon itu beradu dengan toya, sekali patah menjadi dua.
Si nenek merasakan sepasang lengannya bergetar keras, tubuhnya sampai terdesak
mundur selangkah dengan sempoyongan.
Tapi Li popo kembali sudah menyerang tiba, seperti angin topan serangan demi
serangan dilancarkan secara bertubi tubi, dalam waktu singkat ia sudah
melancarkan tujuh delapan buah serangan yang semuanya ditujukan pada bagian
mematikan tubuh lawan. Dalam keadaan demikian, si nenek betul-betul terdesak hebat, ia hanya bisa
menghindari ke kiri dan ke kanan, sama sekali tiada kesempatan baginya untuk
melancarkan serangan balasan.
Belasan buah serangan kemudian mereka sudah berada dimulut selat sempit, tiba
tiba si nenek menyambar sebuah batu cadas dan melemparkannya ke depan.
Batu cadas itu paling tidak juga mencapai dua puluh kati lebih, dengan membawa
deruan angin tajam langsung meluncur ke depan dan beradu dengan toya baja lawan.
"Praak...!" batu cadas itu segera hancur menjadi berkeping keping banyaknya.
Tapi dengan kejadian itu pula serangan dari Li popo pun menjadi tertahan untuk
sesaat. Menggunakan kesempatan itu si nenek melompat keatas batu cadas yang berada
kurang lebih satu kaki enam depa diatas dinding tebing, disana ia baru bisa
menghembuskan napas panjang.
Hingga saat itulah Ong It sin baru berkesempatan untuk menarik napas panjang
seraya berseru: "Hei, kalian jangan bertarung lagi, kenapa kamu berdua musti saling pukul
memukul" Kalau ada persoalan marilah kita bicarakan secara baik baik saja!"
Percuma si anak muda itu berteriak dengan suara keras, sebab pada hakekatnya
baik si nenek maupun Li popo tak ada yang menggubris teriakan itu.
"Perempuan siluman hitam sekarang kau masih ingin mungkir lagi?" teriak Li popo
dengan geramnya, "hmm... kau anggap aku buta lantas bisa mengelabuhi diriku"
Hmm... jangan harap ilmu meringankan tubuh Liok yap piau piau (daun rontok
berguguran) dari keluarga Be kalian bisa mengelabuhi diriku!"
Mendengar disebutkannya nama "keluarga Be", Ong It sin kembali merasa tertegun,
lalu serunya: "Keluarga Be - keluarga... keluarga Be..."
Dalam pada itu si nenek telah berkata dengan suara dingin:
"Anggap saja kau memang bermata tajam, nah sekarang katakanlah rahasia tentang
kotak itu kepadaku!"
Li popo kembali mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh... selama berada dalam lembah Cong cu kok ini
lebih baik janganlah bicara sesumbar, ketahuilah, sekalipun kau punya sayap juga
jangan harap bisa lolos dari sini dalam keadaan selamat!"
Sambil berkata, toya besinya kembali disodokkan berulang kali ke udara sambil
melancarkan serangan dahsyat.
Untuk menghindarkan diri dari ancaman tersebut terpaksa si nenek harus melompat
naik lagi keatas tebing curam tersebut.
Akhirnya setelah ia berada pada ketinggian lima kaki lebih, sekalipun ilmu silat
Li popo sangat lihay toh ia tak sanggup melancarkan serangannnya lagi keatas.
Dari atas tebing si nenek segera berseru:
"Mengingat sepasang matamu telah buta, aku enggan melanjutkan pertarungan
denganmu bila kau tahu diri, cepat beri tahukan rahasia tersebut kepadaku"
Sekali lagi Li popo mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haaah... lebih baik kau jangan bermimpi disiang hari
bolong..." Mengikuti gelak tertawa itu, mendadak dari puncak tebing itu berkumandang suara
gemuruh yang memekikkan telinga.
Buru-buru Ong It sin menengadah keatas tampaklah si muka Ye yang sedang
mendorong sebuah batu besar yang siap dijatuhkan kebawah.
Berat batu itu paling tidak juga mencapai ratusan kati, hal ini sangat
mengejutkan Ong It sin segera teriaknya:
"Hei, jangan didorong kebawah, si nenek adalah sahabat karibku, kenapa kau
bersikap demikian kepadanya?"
Percuma saja teriaknya itu, sebab sama sekali tak ada yang menggubrisnya.
Melihat teriaknya tidak digubris, malahan batu yang didorong oleh yen yang bin
sudah dilontarkan ke bawah, dengan ketakutan pemuda itu lari ke depan.
"Hei, jangan kau dorong batu itu ke bawah!" teriaknya dengan suara setengah
menjerit. Baru dua langkah ia maju ke depan, kembali tubuhnya sudah kena tersapu oleh
desingan angin tajam yang dihasilkan oleh sambaran toya dari Li popo tak ampun
tubuhnya segera jatuh terjengkang ke tanah dengan dada tersesak.
Pada saat itulah batu besar itu sudah menggelinding kebawah dengan membawa suara
gemuruh yang memekikkan telinga.
Padahal pada waktu itu si nenek masih berada diatas tebing, tampaknya ia segera
akan tertindih oleh hancuran batu cadas tersebut.
Ong It sin sangat ketakutan, saking ngerinya dia ingin berteriak keras namun tak
sepotong suarapun diutarakan.
Pada saat yang kritis itulah tiba-tiba si nenek melompat ke bawah, lalu sambil
berjumpalitan beberapa kali ia peluk batu besar yang sedang menggelinding ke
bawah itu dan meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.
Waktu itu Li popo sedang mendongakkan kepalanya memandang keatas dengan wajah
keheranan. Sebagaimana diketahui matanya buta, ia dapat melakukan serangan semuanya berkat
pendengarannya yang taham, sekarang ia hanya mendengar suara batu yang meluncur
ke bawah, tapi ia tidak melihat kalau si nenek meluncur ke bawah dengan
membonceng diatas batu cadas tersebut.
Karenanya ia menjadi amat tercengang, dengan jelas ia dapat mendengar suara si
nenek yang melompat turun dari atas tebing, tapi selanjutnya suara itu lenyap
dengan begitu saja. Pada saat itulah laki-laki berwajah merah putih diatas tebing itu berteriak
keras: "Hati-hati popo, nenek bangsat itu bersembunyi diatas batu besar kurang lebih
dua kaki darimu!" Begitu mendapat peringatan, Li popo segera membentak keras, toyanya langsung
diayun ke depan menghantam batu cadas yang berada disampingnya itu.
Si nenek yang licik sudah barang tentu tak mudah dihantam oleh musuhnya dengan
cepat ia mendorong batu besar itu kedepan sementara ia sendiri berjumpalitan ke
arah lain. "Blaang...!" batu cadas dan toya dari Li popo telah saling beradu dengan
kerasnya menyebabkan percikan bunga api, batu cadas itu segera hancur menjadi
berkeping keping. Dalam pada itu si nenek sudah melompat turun beberapa kaki jauhnya dari posisi
semula, "Cring...! Cring!..." ia cabut keluar dua bilah pedang hitam sepanjang
empat depa dan langsung dibacokkan ke punggung Li popo.
Serangan yang dilepaskan dengan tangan kanannya ini dilancarkan dengan membawa
desingan angin tajam. Sementara itu pedangnya di tangah kiri tanpa menimbulkan sedikit suarapun secara
diam diam membabat kepinggang lawan, bukan saja kedua buah serangan itu
menggunakan jurus serangan yang maha dahsyat, tenaga yang dipergunakan pun jauh
berbeda, dari sini dapat diketahui bahwa ilmunya memang lihay sekali.
Sejak menghancurkan batu cadas tadi, Li popo sudah tahu kalau ada ancaman datang
dari belakang, tapi ia tidak memutar tubuhnya, malahan menjatuhkan diri ke
belakang untuk menyusul musuhnya.
Padahal serangan yang dilancarkan si nenek memang tertuju belakang punggungnya,
dengan mundurnya Li popo ini maka sama artinya dengan ia memberikan tubuhnya
untuk ditusuk. Ong It sin yang menyaksikan kejadian ini menjadi kaget dan berseru tertahan.
Dikala kedua bilah pedang tersebut sudah hampir menusuk punggung Li popo
mendadak sambil membentak keras Li popo mencukilkan toyanya ke arah depan.
Ong It sin makin tercengang lagi dalam sangkanya toya itu pasti akan diputar ke
belakang untuk menahan datangnya ancaman.
Ternyata pada saat itulah kembali ada sebuah batu cadas meluncur jatuh ke bawah,
dengan dicukilnya toya itu kedepan, maka serta merta batu berat seratus kati itu
melejut ke belakang dan balik kebalik menindih batok kepala si nenek.
0o-o-d=w-o-o0 Jilid 11 Dengan gerakannya itu, andaikata si nenek meneruskan tusukannya ke punggung Li
popo maka niscaya dia sendiripun akan tertindih oleh batu cadas.
Dengan perasaan apa boleh buat si nenek berteriak aneh, sepasang tangannya
ditarik kembali dan diputar ke atas untuk menahan datangnya tindihan batu cadas
itu. Li popo cepat memutar badannya kemudian dengan toya bajanya kini dia menghantam
pinggang musuh. Ong It sin kaget karena si nenek ketika itu sedang menangkis batu cadas, dan
tubuh bagian bawahnya terbuka, ia mengira kali ini nenek itu pasti akan tewas.
Tapi si nenekpun bukan orang yang gampang dikalahkan dengan mempergunakan batu
cadas tadi kembali dilontarkan ke depan dan persis menyongsong datangnya sapuan
toya musuh. Li popo terpaksa menarik kembali serangan sambil melempar ke belakang untuk
menyelamatkan diri, sedangkan si nenekpun menggunakan kesempatan itu untuk
mundur pula ke belakang. Batu cadas itupun dengan menimbulkan suara keras segera menghantam bumi dan
menimbulkan getaran keras.
Li popo tertawa seram, katanya kemudian:
"Siluman perempuan hitam, jalan kesorga kau tampik jalan ke neraka kau terobosi,
jangan harap kau bisa keluar dari lembah Cong cu kok ini dalam keadaan selamat!"
Suara itu amat keras dan amat memekikkan telinga, membuat Ong It sin mundur
dengan sempoyongan. Si nenek tertawa dingin, ejeknya:
"Apa yang kau andalkan" Dengan sepasang matamu yang buta itu?"
Li popo mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh... banyak jago lihay yang berada dalam lembah
Cong cu kok ini, tapi hanya mengandalkan aku seorangpun sudah cukup untuk
membereskan dirimu!"
Baru saja perkataan itu diucapkan, mendadak dari atas tebing kedengaran jeritan
ngeri yang memilukan hati, suara itu amat nyaring dan keras, tapi siapapun tahu
bahwa suara itu berasal dari mulut Yen yang bin, si manusia bermuka merah putih.
Begitu mendengar jeritan ngeri itu, Li popo segera mendongakkan kepalanya
keatas, tentu saja ia tak dapat melihat apa yang telah terjadi di atas tebing,


Pendekar Bego Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi ditinjau dari mimik wajahnya dapat diketahui bahwa ia ingin cepat cepat
mengetahui apa gerangan yang telah terjadi ditempat itu.
Si nenek dan Ong It sin pun bersama-sama mendongakkan kepalanya ke atas untuk
mengetahui apa yang terjadi.
Dengan cepat mereka dapat menjumpai bahwa si laki-laki bermuka Yen yang itu
sedang jatuh terjungkal dari atas tebing dan meluncur ke bawah.
Akhirnya diiringi suara keras, kepalanya beradu dengan permukaan tanah dan tak
berkutik lagi untuk selamanya.
Li popo segera melintangkan toyanya di depan dada lalu dengan wajah penuh
kegusaran serunya: "Perempuan siluman hitam, sebetulnya permainan setan apa yang sedang kau
lakukan?" Si nenek tertawa terkekeh kekeh:
"Heeehhh... heeehhh... heeehhh... tidak ada permainan apa apa, cuma ada satu
persoalan hendak kuberitahukan padamu, yakni semua anggota lembah Cong cu kok
ini, kecuali kau seorang, yang lain sudah kami kirim ke neraka, haaahh...
haaahh... haaahh... ingin kulihat dengan kekuatan apakah kau hendak memusuhi
kami lagi?" Kejut dan marah Li popo menghadapi keadaan ini, katanya:
"Kau... kau... dengan cara apa kau mencelakai beberapa orang itu...?"
Ong It sin yang mendengar perkataan si nenek pun merasa keheranan, pikirnya:
"Heran, sejak masuk ke lembah Cong cu kok, belum pernah si nenek berpisah
denganku kapankah ia pergi mencelakai orang?"
Kemudian setelah berhenti sejenak kembali pikirnya lebih jauh:
"Ia bilang bahwa kecuali Li popo, dalam lembah Cong cu kok ini sudah tiada orang
lain lagi, lantas bagaimana dengan Be Siau soh... yaa, bagaimana dengan nasib Be
Siau soh?" Begitu teringat akan diri Be Siau soh, keringat dingin segera membasahi seluruh
tubuh Ong It sin segera teriaknya.
"Apa kau bilang si nenek" Semua orang yang berada dalam lembah Cong cu kok telah
mati semua?" Si nenek tidak menjawab, dia hanya melotot sekejap kearahnya dengan gemas.
Dalam pandangan Ong It sin si nenek tidak terlalu jahat kepadanya, dan selama
ini ia selalu menganggap si nenek sebagai seorang sahabatnya.
Tapi sekarang si nenek sudah menjadi musuh bebuyutan Li popo, padahal dia adalah
cucunya Li popo, sudah barang tentu si nenek tak akan menggubrisnya lagi.
Melihat si nenek tidak menjawab pertanyaannya Ong It sin segera berteriak:
"Hei, si nenek, Kenapa kau tidak men..."
Mendadak ia menutup mulutnya dengan begitu saja
Sebab pada saat itulah dari atas dinding tebing ia saksikan ada sesosok bayangan
tubuh yang kecil mungil sedang meluncur datang dengan kecepatan luar biasa.
Bayangan tersebut sudah amat dikenal oleh Ong It sin oleh sebab itu begitu
menjumpai bayangan tubuhnya, ia sudah berdebar dengan kerasnya...
Cepat niat gerakan tubuh bayangan manusia itu, belum sampai ia berdiri tegak, Li
popo telah berteriak. "Siau soh, kau telah datang!"
Begitu mendengar nama "Siau soh" hampir berhenti detak jantung Ong It sin saking
kagetnya, sekarang terbukti sudah bahwa gadis itu memang bukan lain adalah gadis
idamannya selama ini. Dalam waktu singkat orang itu sudah berada di hadapannya, siapa lagi kalau bukan
Be Siau soh" Wajah Be Siau soh masih tampak begitu cantik jelita bak bidadari dari kahyangan,
begitu sampai disana, ditatapnya Ong It sin beberapa kejap bibirnya seperti
hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan.
Ketika sinar mata Ong It sin beradu pandang dengan sepasang matanya yang jeli,
pemuda itu segera merasakan kepalanya menjadi pusing dan semua pemandangan
menjadi berputar, ia tak dapat berdiri tegak lagi dan tak ampun tubuhnya roboh
terjengkang ke atas tanah, untuk sesaat lamanya ia tak sanggup merangkak bangun
lagi. Pemuda itu merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga, suka serasa
melayang meninggalkan raganya.
oodOwoo Ditengah keheningan itulah, Li popo kembali berseru:
"Siau soh, kenapa lotiang itu secara tiba tiba bisa terpeleset jatuh dari atas
tebing?" "Akulah yang mendorongnya secara tiba tiba dari belakang" sahut Be Siau soh
dengan dingin, "karena itu tak dapat berdiri tegak, tentu saja badannya jadi
terpeleset dan jatuh ke bawah!"
Jawaban dari gadis itu sungguh diluar dugaan siapapun, termasuk pula diri Li
popo sendiri. Ketika mendengar perkataan itu, sekujur badan Li popo bergetar keras, wajahnya
yang penuh keriput segera berubah menjadi hijau membesi, setelah tertawa panjang
serunya: "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... bagus sekali semula aku masih mengira kau
benar-benar adalah seorang perempuan lemah yang didesak oleh musuh besarnya
hingga terdesak dan benar-benar tak ada jalan perginya lagi, karena iba kuterima
dirimu untuk tinggal di lembah Cong cu kok ini, tak tahunya kau adalah mata mata
yang sengaja diselundupkan ke tempat ini... bagus, bagus sekali!"
Ong It sin menjadi kaget setelah mendengar perkataan itu, dengan gugup ia
menggoyangkan tangannya berulang kali sambil berseru:
"Popo, harap kau jangan berkata demikian, Siau soh bukan orang jahat, dia adalah
seorang gadis yang sangat baik, dia tak mungkin akan menjadi mata mata orang!"
Tapi Be Siau soh sendiri telah mengakui dengan dingin:
"Hmm...! Hingga sekarang kau baru mengerti, ini tak bisa terhitung lambat, kalau
sudah hampir mampus baru mengetahui duduknya persoalan, itu baru dikatakan mati
dengan membawa rasa sesal yang mendalam...!"
Ong It sin melongo, ia tak menyangka Be Siau soh dapat mengucapkan kata-kata
seperti itu, sebentar ia memandang ke arah Be Siau soh, lalu memandang kearah si
nenek dan akhirnya memandang ke arah Li popo, pikirannya sangat kalut dan tak
habis mengerti. Setelah tertegun sekian lama akhirnya ia baru memukul batok kepala sendiri
seraya berseru. "Aku pasti sedang bermimpi, yaa, aku pasti sedang bermimpi, aku pasti sedang
bermimpi jelek!" Jangankan perkataan itu hanya diucapkan dengan suara bergumam kendatipun pemuda
itu berteriak dengan suara yang amat keraspun belum tentu ada orang yang akan
menggubrisnya. Dalam pada itu Be Siau soh sudah memberi hormat kepada si nenek sambil menyapa.
"Bibi kedua, kenapa sampai sekarang baru sampai disini?"
"Yaa, kenapa lagi" Tentu saja gara-gara bocah tolol itu" sahut si nenek dengan
jengkel. Mendadak Li popo menengadah lalu tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haaah... aku si nenek buta memang betul-betul tak berguna
bagus, bagus rupanya aku telah mengira putrinya si kelabang hitam Be Ji nio
sebagai orang yang patut dikasihani, haaah... haaah... aku betul betul tak
berguna" "Benar. Be Ji nio adalah ibuku" sahut Be Siau soh "bukankah aku pernah
mengatakan kepadamu bahwa aku she Be?"
"Bagus, bagus sekali kalau begitu kalian berdua sekarang" kata Li popo dengan
wajah membenci, "tapi jangan dianggap aku si nenek buta akan menjadi kaput
dibuatnya, hayolah kalian maju bersama"
Sinenek membenturkan sepasang senjatanya hingga menimbulkan suara dentingan
nyaring, kemudian katanya:
"Li popo kau jangan mengikuti jejak putrimu dan menantumu, berkorban hanya
dikarenakan kotak itu, apa pula gunanya" Hayo cepat katakan rahasia kotak itu,
mungkin kamipun bersedia pula untuk membiarkan kau mati tua disini"
"Benarkah itu?" suara Li popo tinggi melengking.
"Betul Be Siau soh membenarkan, kematian dari menantu terlalu penasaran, itulah
dikarenakan ia tak bersedia mengikuti perkataanmu"
Selama pembicaraan berlangsung, Ong It sin hanya memandang ke arah Be Siau soh
dengan termangu mangu, ketika mendengar Be Siau soh serta si nenek menyinggung
tentang "menantu" dan "putri" dari Li popo, kontan saja hatinya terkesiap.
"Yang dimaksudkan sebagai menantu dan anaknya Li popo bukankah berarti ayah
ibuku sendiri?" demikian ia berpikir, "jika didengar dari pembicaraan kedua
orang ini, tampaknya sewaktu ayahku mati, merekapun hadir di tempat kejadian?"
Terkesiap rasanya Ong It sin setelah mendengar perkataan itu, buru buru serunya:
"Hei, sebenarnya apa yang sedang kalian kerjakan?"
Tapi si nenek dan Be Siau soh sama sekali tidak menggubris teriaknya itu.
"Baik!" terdengar Li popo berkata kemudian sambil tertawa aneh, "akan
kuceritakan rahasia tentang kotak ini kepada kalian... Adapun kotak ini
sebenarnya bernama..."
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak tubuhnya melompat kedepan toya bajanya
langsung diayunkan keatas batok kepala mereka.
Rupanya si nenek telah menduga bahwa Li popo tak akan menyerah dengan begitu
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 5 Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 15
^