Pencarian

Pendekar Lembah Naga 12

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


Kita hanya takut akan sesuatu yang telah kita kenal, baik kita kenal melalui
pengalaman kita sendiri, maupun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar
atau baca dalam buku. Orang yang takut setan tentu pernah mengenal setan itu
melalui cerita orang atau dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam
benaknya dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau dia bertemu setan itu. Maka
terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada
seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut. Orang yang tidak pernah
mendengar tentang setan takkan mungkin takut terhadap setan. Orang yang tidak
pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tidak akan takut terhadap neraka.
Dan selanjutnya lagi. Jadi rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang
dihubungkan dengan kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan
sehingga terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita khawatir kalau-
kalau kita akan diganggu setan, maka timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan
sesuatu di masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita
khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka
timbullah rasa takut. Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-
bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu
pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah
tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan
ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Kalau dia sudah
benar-benar terkena penyakit itu" Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap
penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau
akan mati! Dan demikian selanjutnya.
Dengan membuka mata memandang semua ini, timbullah pengertian bahwa yang
menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang
lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang kita
kira mungkin akan terjadi menimpa diri kita. Oleh karena itu kalau kita terbebas
dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa lalu dan kepercayaan dan
ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah ada lagi rasa takut di
dalam batin kita" Kalau kita tidak mengenangkan soal-soal yang berhubungan
dengan setan umpamanya, maka kiranya andaikata ada setan muncul pada suatu waktu
di depan kita, tanpa kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan
timbullah keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat
seekor kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa
takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu,
tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali"
Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur
pulas dengan kedua lengan bergantung pada kayu salib itu! Memang luar biasa anak
ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan anak itu,
memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib. Anak itu
tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan bibirnya
agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah!
Rasa kagum dan heran membuat hati tua itu makin penasaran karena dia ingat bahwa
anak ini adalah cucu dari musuh besarnya. "Hendak kulihat apakah dia masih dapat
bersikap setabah itu kalau benar-benar menghadapi ancaman bahaya maut yang
mengerikan," katanya penasaran dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi.
Salak dan gonggong anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka
kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik
tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-
nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya,
melainkan srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas! Kedua matanya terbelalak
dan otaknya segera bekerja mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala
itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air
liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah lapar betul dan
ingin menikmati daging manusia muda itu!
"Ha-ha-ha, anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu
akan mencabik-cabik kulit dan dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!" Tiba-tiba
terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya.
Kehadiran kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran di hati Sin Liong,
terganti oleh keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Dia tersenyum.
"Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar kautambah dengan
engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama sekali!"
"Bocah setan!" Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa, dan dari jauh dia
mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian
tabahnya sehingga menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap begitu
tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya.
Sin Liong kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya
sambil menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan diapun
lalu menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan
gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan undur, akan
tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan
mulai mengelilingi lebih dekat.
Aku harus dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua
matanya dan mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong.
Dia sudah menguasal Thi-khi-i-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian
jalan darah di tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa
betapa jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki
tangannya tidak mampu bergerak. Dia memutar otak mengingat-ingat jurus Thai-kek-
sin-kun dan dengan tenaga sin-kang dari pusar, mulailah dia menyalurkan tenaga
itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek-sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala.
Semua pelajaran yang telah diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang
sudah dihafalnya baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin
Liong mulai menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu.
Mula-mula hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok,
hawa murni di tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat
saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat
di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut namun mengandung kekuatan
dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air itu
mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat
totokan itu dan jalan darahnyapun mulai lancar kembali. Perlahan-lahan Sin Liong
berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari kakek itu! Hal
ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan membuat kakek
itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh persilatan di
dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu sesingkat itu,
apalagi hanya seorang anak-anak!
Akan tetapi, pada saat itu, empat ekor anjing srigala tadi sudah mulai
menerjangnya! Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang
menggigit kaki Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan
kakinya berdarah. Dari jauh, Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan siap
untuk turun tangan membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu
menjerit, menangis atau mengeluh. Akan tetapi, anak itu sama sekali tidak
mengeluarkan suara keluhan! Sebaliknya malah, gigitan srigala pada kakinya itu
dibarengi gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni
dari dalam pusar Sin Liong. Dia terbelalak dan dari dadanya, melalui
kerongkongannya, terdengar lengking yang menyeramkan dan pada saat itu, putuslah
semua tali yang mengikat tubuhnya! Itulah tenaga sin-kang yang diwarisinya dari
Kok Beng Lama, tumbuh sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga sedikit gerakan
saja tali-tali itupun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk!
Srigala yang masih menggigit kakinya itu terlempar ke atas ketika Sin Liong
menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang
menggigit dadanya. "Prakk!" Tubuh anjing srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan
rintihan aneh srigala itu menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati!
Anjing yang terlempar tadi terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah
menerjang lagi bersama dua ekor temannya. Sin Liong mengeluarkan suara gerengan
seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala yang terdekat, diangkatnya dan
sekali dia membantingkan tubuh srigala itu, terdengar suara "krakk!" dan kepala
srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu! Dua ekor lagi menubruk dan
menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah menjadi kebal dan
keras sehingga gigitan itu tidak merobek kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin
Liong menggunakan kedua tangannya, yang kiri mencekik leher srigala ke tiga
sedangkan yang kanan kembali memukul kepala srigala ke empat. Pukulannya itupun
membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu menggunakan
mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan kiri.
Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang sia-sia
saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong membuat jari-jari tangannya
menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher srigala, dia mengangkat
tubuh srigala itu dan membantingnya.
"Nguikk!" Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula.
Dari tempat sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, seperti melihat
setan di tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh dan
memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh. Melihat ini,
kakek cebol itu cepat melompat dan mulutnya berkata, "Ah, anak luar biasa...!"
Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ dan dia menyambut
tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting.
"Anak luar biasa... anak baik... anak ajaib...!" Ouwyang Bu Sek berkali-kali
mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa
tubuh itu hanya luka-luka sedikit, dan di dalam tubuh itu mengandung hawa sin-
kang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat sehingga anak itu
sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia lalu mendukung anak
itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Bu Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang
tidak berniat untuk menculik Sin Liong. Hanya ketika menduga bahwa anak itu
adalah cucu musuh besarnya yang telah mati dan melihat betapa di Cin-ling-san
terdapat banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau
dikeroyok, maka dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia
dapat meloloskan diri. Kemudian, diapun tidak mempunyai niat untuk membunuh atau
menyiksa anak itu. Hanya melihat kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia
menjadi penasaran, merasa seperti ditantang dan dia lalu menakut-nakuti anak itu
untuk mematahkan kebandelannya. Namun, melihat betapa Sin Liong bahkan dapat
membebaskan diri dan membunuh empat ekor srigala, dia merasa terkejut, terheran-
heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa suka di dalam hatinya, maka dengan rasa
sayang dia lalu membawa pergi Sin Liong untuk dirawat.
*** Sebelum dia mengambil keputusan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san untuk
mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan sakit hati atas kematian pamannya,
Ouwyang Bu Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai
hampir tiga tahun. Karena ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar
saja dia dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia diakui
sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani orang. Akan
tetapi, kakek ini memang seorang yang amat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan
tidak mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh besar dunia kang-ouw
mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-
pesta dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu
kehormatan. Sepak terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang-kadang mencengangkan orang
di dunia kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan
dan tidak mau memperdulikan segala petaturan dan sopan santun, akan tetapi
ketika terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan
dunia kang-ouw. Ketika itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan
pemilihan bengcu, yaitu seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap
untuk menjadi kepala atau pemimpin, dari apa yang dinamakan golongan hitam di
selatan. Dan yang mempunyai harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah tiga orang tokoh
besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga Datuk Laut Selatan).
Mereka bertiga ini selain terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga
terkenal memiliki kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang amat luas,
terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan adalah anak buah
mereka atau setidaknya mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut.
Akan tetapi, kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur oleh
munculnya Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu dengan
pembongkaran rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan
tidak patut menjadi bengcu karena mereka bertiga itu adalah orang-orang berjiwa
cabul dan suka mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul! Seluruh
hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena
Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula
bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal, hanya dengan
marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu. Betapapun juga, pembongkaran rahasia
oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih
yang menarik kembali suara mereka sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada
orang lain. Tentu saja tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang
Bu Sek. Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena
hal itu akan membuat mereka makin jatuh di dalam mata para tokoh kang-ouw yang
memandang tinggi kepada Ouwyang Bu Sek. Bagi dunia kang-ouw di selatan perbuatan
Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan
dianggap sebagai penyerangan pribadi, melainkan sebagai tindakan bijaksana demi
pemilihan bengcu yang tepat. Dan memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak
memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia seorang yang aneh dan tidak mau memakai
banyak peraturan dan sopan santun maka dia berani membongkar rahasia kecabulan
mereka di depan umum, bukan dengan niat menghina atau mendatangkan aib,
melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang dipilih benar-henar tepat.
Kalau tiga orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek
cebol ini sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa bahwa dia
pernah menghalangi mereka menjadi bengcu. Akan tetapi, mengapa Ouwyang Bu Sek
selalu menyembunyikan diri di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san di
Propinsi Kwan-tung di selatan" Kalau dia tidak merasa bermusuh dengan Lam-hai
Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang mengasingkan diri atau
menyembunyikan diri"
Memang kakek aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa
takut akan sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan
Himalaya adalah sebagai seorang pelarian! Dari sebuah kuil tua sekali di
Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa, di mana hampir semua
pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat suci itu untuk berdoa,
dia melarikan sebuah peti hitam yang terisi pusaka-pusaka yang sudah ratusan
tahun usianya, pusaka-pusaka yang merupakan kitab-kitab kuno yang tak pernah
dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan dalam kitab-kitab itu amat sukar
dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai barang keramat dan tidak boleh
sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan pertapa mempunyai kepercayaan
bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari Sang Buddha, oleh karena itu
dianggap sebagai benda keramat.
Inilah sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan
jarang mencamputi urusan dunia kang-ouw sungguhpun namanya dikenal sebagai
seorang datuk yang disegani. Dan di luar tahunya siapapun, dia menyimpan kitab-
kitab kuno itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk
memecahkan rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu.
Demikianlah sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol luar biasa itu, yang
tanpa direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa
suka dan kagum, dia membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat
tinggalnya, di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia
merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam.
Ketika Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan
dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa heran sekali.
Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan
diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta.
"Eh, eh, kau sudah sadar...?" Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang
dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan
tubuh Sin Liong. Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa
pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh
kakek cebol itu. "Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu
biarpun sudah tidak berbahaya lagi."
Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang
dengan sinar mata penuh perhatian. Teringatlah dia betapa dia dikeroyok srigala-
srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan.
Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah
gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri.
Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya, "Apakah engkau telah menolongku dan
mengobatiku?"

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek itu terkekeh dan mengangguk. "Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan
engkau di sana, apa kaukira masih hidup saat ini?"
Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu
makin kagum sekali. "Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku" Apa
kehendakmu?" Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya
penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat
sekali. Akan tetapi diapun berwatak aneh dan biasanya diapun tidak mau tunduk
kepada siapapun juga. "Aku memang mau begitu."
"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu."
"Akupun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong."
"Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai."
"Huh, apa kaukira engkau disuka oleh mereka" Engkau agaknya berbakti kepada
kong-kongmu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai."
"Buktinya?" "Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka
tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu."
Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya sakit
juga. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tidak
berusaha menolongnya, padahal dia telah membela peti mati kakeknya, ketika
hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas. "Betul juga, mereka
tidak suka kepadaku," katanya.
Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak
ini makin aneh saja dalam pandang matanya. "Siapakah ayahmu" Apakah ayah bundamu
tidak berada di sana dan ikut berkabung?"
Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek
yang wajahnya lucu itu. "Aku tidak punya ayah ibu, tidak punya keluarga, tidak
punya siapa-siapa di dunia ini!"
"Eh" Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?"
Sin Liong menggeleng kepalanya. "Dia pernah menolongku dan kusebut kong-kong...
beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku..."
"Dan beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu" Ah,
kebetulan sekali!" "Apa kebetulan?"
"Kau sebatangkara, aku sebatangkara, aku suka kepadamu dan..."
"Dan aku tidak suka padamu!"
"Kenapa?" "Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kong-kong."
"Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang
karena dia sudah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan
rasa mendongkol di hatiku, apa salahnya?"
"Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh."
"Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel dan membikin hatiku
penasaran." "Lalu kau mau apa sekarang?" tanya Sin Liong.
"Mau apa" Mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal di sana
bersamaku, menjadi muridku, menjadi anakku... heh-heh, kita memiliki sifat-sifat
yang cocok!" "Tidak, aku mau pergi saja!"
"Kembali ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?"
"Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!"
"Kalau tidak karuan yang kautuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan" Aku
akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu."
Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada
suara mengejek, "Engkau" Mengajarku" Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi
orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!"
"Aku" Lari" Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku
sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah
seratus orang lagi, takkan mampu melawanku. Sekarangpun, kalau mereka maju satu
demi satu, apa kaukira aku kalah?"
"Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kong-kong merupakan
seorang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kong-kong,
sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu" Kepandaianmu sampai di
mana aku belum tahu."
Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Lalu dia meloncat ke depan, tangan
kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, tangan kirinya
menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu. Sin Liong hanya
mendengar suara "plak-plak!" akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak
bergoyang! Sin Liong hampir tak kuat menahan ketawanya. Dia memandang dengan senyum
mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya. "Uh, hanya sebegitu saja
kepandaianmu" Lalatpun tidak akan mati kautampar, dan kau bilang mau mengambil
aku sebagai murid?" "Eh, apa engkau buta" Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!" Kakek itu lalu
menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu. Sin Liong terbelalak
memandang dengan kaget karena ternyata batu itu telah hancur lebur dan batang
pohon itu tumbang. Pukulan-pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat
apa-apa tadi ternyata telah meremukkan batu dan mematahkan pohon di bagian
dalamnya, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah. Dia
tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol
ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia
dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula,
biarpun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kong-kongnya, namun yang
dipelajarinya baru teorinya saja, karena kong-kongnya agaknya sudah dapat
menduga bahwa dia akan meninggal dunia tak lama lagi, maka semua ilmunya
diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.
"Bagaimana" Kau masih memandang rendah kepadaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya ketika
melihat anak itu bengong saja.
"Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu
apakah aku mau menjadi muridmu...?"
Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan
diapun berkata, "Akupun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum
pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dulu, seperti orang hendak
membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kitapun saling coba,
kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid."
Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tidak ingin kembali ke Cin-ling-
san setelah kong-kongnya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi" Keluarga Na
Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na
Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih
mempunyai tujuan, yaitu mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, setelah
melihat ayah kandungnya mempunyai isteri lain dan tidak suka kepadanya
sungguhpun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai
tujuan. "Baik, saya mau ikut locianpwe," katanya.
Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu
dibawanya lari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini hendak
memamerkan kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya
itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan
mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-
kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada
kakek yang benar-benar amat sakti ini.
Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka
tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan,
setiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang
menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sin-kangnya
mengobati luka di dalam dada Sin Liong. Beberapa kali kakek ini terheran-heran
dan merasa takjub ketika dia merasakan sin-kang yang benar luar biasa sekali,
yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah
mewarisi sin-kang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang
memiliki bakat yang amat hebat.
Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang sepi, melihat pondok
sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek
itu Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan
kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah
Naga di mana dia terlahir.
Mulailah Sin Liong dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di
tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu
silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping
mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula
melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang
kong-kongnya. Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-
yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang amat
mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang
telah tiga bulan itu. Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang amat indah dan hawa
yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan itu semua,
maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang
pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersamadhi atau merenung.
Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia
mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat
meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara
itu datang. Dia terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan
dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap
tiga orang kakek itu kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah.
"Ha-ha-ha, kiranya Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang datang
berkunjung. Ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar
bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!"
Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.
Sin Liong memperhatikan tiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama
adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar
dengan muka menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh
cambang bauk yang membuatnya nampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong
(Raja Naga Laut) Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu
pedangnya amat disegani oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan. Hai-liong-ong
Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang
di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu (baca
cerita Pedang Kayu Harum). Karena dia tidak pandai bicara, maka dalam segala
macam pertemuan, dia menyerahkan kesempatan kepada adik kandungnya untuk menjadi
wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut Selatan).
Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia
enam puluh tahun akan tetapi sungguh tidak patut dia menjadi adik kandung Hai-
liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang pria yang tinggi besar
dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang
berpenyakitan, kepalanyapun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya
tajam sekali. Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan daripada manusia karena
selain bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia
mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh
atasnya telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah
betis, kemudian kedua kakinya itupun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil
pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal. Akan tetapi, biarpun kakek ini
kelihatan aneh dan ringkih, namun sesungguhnya dia lihai bukan main, tidak kalah
lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sin-kang yang luar
biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal memiliki kepandaian
tentang racun-racun jahat.
Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk
tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan,
dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak
karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi,
kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang
amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga kalau
dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya
Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun.
"Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau mengobrol
denganmu!" kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang
lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.
"Aihhh... habis mau apa" Sayang aku tidak memiliki arak wangi dan hidangan sedap
maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa."
"Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami datang untuk membuat perhitungan
denganmu. Marilah kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu
kepandaian," kata pula Phang Sun.
"Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kukira kalian
hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan
sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan
dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah
bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi
lautan. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian mengotori
pemandangan yang begini indah. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan,
padahal aku tidak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian."
"Ouwyang Bu Sek, tak perlu berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau telah
menjatuhkan fitnah atas diri kami ketika diadakan pemilihan bengcu. Apakah
engkau masih hendak menyangkal hal itu?" bentak Kim-liong-ong marah sedangkan
Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan
tongkatnya ke atas tanah.
Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa
mereka itu marah-marah. "Aih-aihh, jadi kiranya hal itukah yang kalian
maksudkan" Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa
artinya fitnah" Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata,
itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian
bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"
Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin
berkobar. "Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.
"Kau menghina kami di depan orang banyak!" bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.
"Ouwyang Bu Sek, tak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan
yang kaulemparkan ke atas kepala kami. Hayo kaulawan kami, kalau tidak berani,
lekas berlutut minta ampun, barangkali kami masih hendak mempertimbangkan
hukumanmu!" Kim-liong-ong Phang Sun berkata.
"Ha-ha-ha, aku tidak berani" Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang
kalian andalkan untuk dapat menang?"
Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biarpun tadi dia sudah meraba-raba
gagang goloknya, namun dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata.
Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono mempergunakan senjata, karena
kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh. Maka sambil
menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini
memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah untuk
landasan menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang
kuat. "Wuuuttt... bresss...!" Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk,
akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka.
Demikian cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak
kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-
liong-ong Phang Tek yang juga memiliki gin-kang istimewa, maka melihat tubrukan
temannya itu luput dan melihat betapa kakek cebol itu menggunakan gin-kangnya
yang hebat, diapun lalu berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti
kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan
gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan
keluar! "Bagus!" Ouwyang Bu Sek memuji karena memang serangan orang pertama dari Lam-hai
Sam-lo itu hebat bukan main dan dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk
mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri
dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek.
"Dukk! Dukkk!" Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-
liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu
menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga
sin-kang tadi. "Hemmm...!" Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan menyerang. Sekali ini, Ouwyang Bu Sek terkejut karena sambaran angin
dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya dan
terdengar suara mencicit nyaring.
"Bagus!" Dia memuji lagi dan cepat diapun mendorongkan tangannya menyambut.
"Plakk!" Dua telapak tangan kanan bertemu dan melekat, dari dalam dua telapak
tangan itu meluncur tenaga sin-kang yang amat kuat dan kini mereka saling
mendorong. Biarpun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, namun
dia dapat mempertahankan dan Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-
hai Sam-lo ini memiliki sin-kang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan
tiba-tiba dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya
gatal-gatal. "Ih, kau iblis beracun!" bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain
amat kuat sin-kangnya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun,
mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka
terlepas dari lekatan lawan.
Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri,
membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih tertawa-tawa ketika
dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang
kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang
lawannya yang lihai. Namun, biarpun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan
main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan orang
sembarangan melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki
sin-kang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau
mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol
juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan
menang. Andaikata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih
tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek, akan tetapi dengan maju bersama,
mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali
lipat kuatnya, membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali dan kakek cebol ini hanya
mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke
sana-sini dan kadang-kadang mengandalkan sin-kangnya untuk menangkis. Namun dia
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk balas menyerang.
Betapapun juga, setelah mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika
agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek kena dihantam oleh telapak tangan Kim-
liong-ong pada pundaknya.
"Desss...!" Biarpun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga
tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya
terpelanting dan bergulingan di atas tanah.
Pada saat itu terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah
dan nampak berkelebat sesosok tubuh yang dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-
liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan
lain adalah Sin Liong. Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa
lihainya tiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu
terpukul roboh, dia cepat meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu dan
langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari
tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sin-kang luar biasa, maka tentu saja
serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong
terkejut dan cepat mengelak.
Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia sudah meloncat bangun lagi, kini kakek ini
mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil
tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega
karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak terluka parah, maka dia
dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil aneh itu.
Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh
mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biarpun dia tahu bahwa pemuda ini
memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun
gerakan pemuda ini masih mentah. Maka ketika dia melihat Sin Liong mendesak, dan
menghantam, dia sengaja mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis lengan pemuda
itu dan mematahkannya. "Plakk...! Aahhhhh...!" Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena
tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat,
kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sin-kang yang dipergunakan untuk
menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui
tangan, disedot oleh lengan bocah itu! Dia berusaha untuk menarik kembali
tangannya sambil mengerahkan sin-kang, akan tetapi celakanya, makin dia
mengerahkan sin-kang, makin banyak tenaganya membanjir keluar!
Melihat wajah temannya yang terbelalak matanya dan pucat mukanya itu, Hek-liong-
ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin
memiliki ilmu luar biasa, maka diapun menerjang dan menghantamkan kepalan
tangannya ke arah Sin Liong. Pada waktu itu, Sin Liong telah memiliki
kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai
bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi
hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi
bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia menghindarkan pukulan langsung,
kemudian lengannya menangkis.
"Plakkk!" Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itupun menempel pada
lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar
seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun.
Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan
mereka telah memiliki kepandaian yang hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat
menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka
saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata, "Sute, kita kerahkan tenaga
bersama. Satu-dua-tiga...!"
Akan tetapi celaka, makin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik
tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang
terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada
saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak,
"Lepaskan!" Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itupun
sudah disimpannya kembali dan dua orang yang tadi melekat kepadanya terlempar
beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek.
Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu
Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat dua orang temannya sudah terluka dan
dirobohkan dia lalu menjura. "Lain kali kita bertemu kembali," katanya dan dia
lalu menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat
dia sudah menghilang dari tempat itu.
Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak memandang ke arah menghilangnya Lam-hai
Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri, lalu
dia merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil
kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak dan sesenggukan
sehingga Sin Liong menjadi bingung sekali.
"Locianpwe, kenapa kau menangis" Kenapa...?" tanyanya berkali-kali dan dia
membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa
pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata.
Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu
menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main.
Akhirnya dapat juga dia bicara. "Ah, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek
diselamatkan oleh seorang anak-anak..."
Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab.
"Dan mengingat betapa aku menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama
berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak
memperdulikannya dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia
menyelamatkan nyawaku, hati siapa takkan terharu?"
Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek
yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. "Locianpwe, memang nama
saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."
Kakek itu melompat dan berjingkrak. "Tidak, siapa bilang tidak berharga" Engkau
adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"
"Nama saya Sin Liong..."
"Hebat! Naga Sakti" Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"
Sin Liong terkejut. "Saya... saya... bukan she Cia!"
"Habis she apa?"
"Saya... saya tidak tahu, locianpwe."
"Justeru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kong-kongmu..."
"Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kong-kong..."
"Kalau bukan kong-kongmu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi-i-beng"
Yang kaupergunakan tadi adalah Thi-khi-i-beng, bukan" Hayo kaucoba terima ini!"
Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin
Liong. BUKAN MAIN kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang cepat dan kuat ini. Otomatis
dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia
mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia
"minum" tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.
"Plakk!" Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika
tenaga sin-kangnya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat melepaskan sin-
kangnya dan ternyata daya lekat itupun lenyap. Memang demikianlah keistimewaan
Thi-khi-i-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi-i-beng itu tidak
menggunakan tenaga sin-kang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan
tetapi begitu tenaga sin-kang tersedot, sukarlah untuk membebaskan diri, karena
baik menyerang maupun berusaha menarik tangan tentu dilakukan dengan pengerahan
tenaga yang akan makin hebat tersedot saja. Ouwyang Bu Sek yang bertahun-tahun
lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar
akan keistimewaan Ilmu Thi-khi-i-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu,
maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk
menghindarkan diri dari Thi-khi-i-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan
sin-kangnya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat
syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggauta tubuhnya
yang melekat. "Memalukan! Memalukan sekali!" Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang
kepada Sin Liong. "Apa yang memalukan, locianpwe?"
"Kau!" "Saya...?" "Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai
saat ini sebutan itu harus kaubuang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas,
sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau
menghinaku, tahu?" "Eh" Ini... ini... locian..." Sin Liong menghentikan sebutan itu. "Lalu saya
harus menyebut apa?"
"Aku adalah suhengmu, mau sebut apa lagi?"
"Suheng?" Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini
suhengnya" Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi
suhengnya" "Ya, sute, aku adalah suhengmu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-
couw di Himalaya!" "Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"
"Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau telah
menjadi pencuri yang menjemukan kalau menggunakan Thi-khi-i-beng untuk menyedot
dan mencuri tenaga sin-kang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."
"Tapi, lo... eh, ssuu... heng..." Sukar sekali bagi Sin Liong untuk menyebut
suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu
akan memusuhinya kalau dia berani menyebut locianpwe lagi. "Aku tidak bermaksud
mencuri tenaga orang. Memang demikianlah sifat Thi-khi-i-beng, menyedot tenaga
lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia
menyerang..." "Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan
ilmu itu untuk mencuri sin-kang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri
dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sin-kang. Mulai
sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenaga orang. Huh,
seperti perempuan cabul saja!"
Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan
mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak
membantah, dan tidak menjawab.
"Aku adalah suhengmu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau ikut bersamaku
melakukan upacara pengangkatan guru kepada guru kita Bu Beng Hud-couw di
Himalaya!" Sin Liong tidak membantah pula dan dia lalu mengikuti kakek itu, bukan memasuki
pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa
terheran-heran. Benarkah kakek ini mempunyai seorang guru yang tinggal di tempat
terpisah" Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan
berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin
Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!
Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan guha-guha kecil,
kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri
penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain
kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu
sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan
ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah guha kecil yang lebarnya hanya
satu meter, guha kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga
agaknya dalam sekali. Kakek itu merangkak masuk dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa
sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah
meter. Dengan penuh khidmat diletakkannya peti hitam itu di atas batu, kemudian
dia menjatuhkan diri di depan peti itu.
"Sute, cepat kau berlotut memberi hormat," dia berbisik.
Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia
tidak membantah dan cepat diapun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti
hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, lalu
terdengar dia berkata, "Suhu, teecu membawa sute datang menghadap suhu dan
perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."
Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari
sakunya. "Cepat kautiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua
bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."
Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia meniru kakek
itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir dia tertawa
melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang
hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya
sendiripun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa. Kakek itu sekali lagi
memeriksa dan setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak
itu telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya
membuka tutup peti. "Kriyeeettt...!" Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara
mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar
keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang
menyambar keluar, lehernya mengembung dan dari mulutnya keluar uap hitam,
lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!
"Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk
memeriksa kitab, harap kau tenang saja."
Aneh sekali ular yang "berdiri" dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun
kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab
yang sudah kuning saking tuanya.
"Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan
oleh suhu Bu Beng Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlalu tua untuk
mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan
tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua
penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu dan engkaulah yang
akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."
Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang
Bu Sek mengambil kitab paling atas lalu membalik-balik lembarannya. Di dalam
kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang amat sukar dibaca, karena sebagian besar
merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Akan tetapi kitab itu
juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat. "Aku telah mempergunakan
waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan
waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-
ilmu baru" Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku
akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini."
Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke
dalam guha, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat
semula, yaitu menutupi guha rahasia itu.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?" tanyanya.
"Ha-ha, itu akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular
itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan biarpun orang
memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sekali kena digigitnya, bahayalah
nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."
"Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"
"Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!" kata kakek itu dan tiba-tiba
dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar guha di depan batu dan
kakek itu berkata, "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan
mohon suhu sudi membimbing agar sute dapat mempelajari ilmu-ilmu dari suhu
dengan lancar dan berhasil."
Sin Liong hanya meniru saja ketika suhengnya yang aneh itu berlutut dan memberi
hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega
hatinya. "Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."
Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi
kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhunya merasa
senang dan lain-lain"
"Di manakah suhu, suheng" Aku tidak melihatnya."
"Heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute" Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak
kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."
"Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku tentang suhu itu." Sin Liong
merasa tertarik sekali. Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga
duduk di depannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa
penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng
Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.
"Guru kita, yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang sudah
mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi," kakek itu mulai
bercerita dengan suara sungguh-sungguh. "Selama lebih dari tiga ratus tahun
bellau tinggal di salah satu di antara puncak-puneak Pegunungan Himalaya..."
"Tiga ratus tahun" Sampai sekarang?"
Kakek itu mengangguk. "Ya, sampai sekarang."
Sepasang mata Sin Liong terbelalak. "Tidak mati?"
Kakek itu tersenyum. "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan
hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Tapi dia masih hidup, sute, bertempat
tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak
sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah memiliki tingkat seperti
aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Kalau sudah ada kontak, biar di sinipun
aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke
manapun dalam sekejap mata."
"Bagaimana caranya?"
"Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan."
Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah.
Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan
orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu. Memang, betapa
banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-
ngejar, hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain
daripada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita
manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah,
dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta, kita tidak lagi
dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini, sudah terdapat keajaiban-keajaiban
yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih
memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang
terjadi di waktu kita bernapas, di waktu jantung kita berdenyut, di waktu rambut
dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggauta tubuh kita
hidup. Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih
yang terkandung dalam sinar matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-
bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga,
keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita! Kita
sudah buta akan semua itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam
kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru
dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan
untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.
Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan memang
mungkin saja terjadi. Apapun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat
terujud, sungguhpun ujud itu bukan merupakan kenyataan melainkan hanya merupakan
gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan daripada khayal kita sendiri.
Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan
tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah suatu ujud atau rupa yang telah
diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari
dongeng atau penuturan orang lain. Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat
melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang
dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau
setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah
didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk
suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini adalah jelas dan mudah
dimengerti, bukan teori kosong belaka. Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau
seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat "bertemu" dengan seorang tokoh
pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, sungguhpun Sin Liong atau orang
lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat "bercakap-
cakap" dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat pula
"bercakap-cakap" di dalam batin kita, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak
lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan"
Betapapun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena
sesungguhnya kitab-kitab yang dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dalam kuil tua di
Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang amat tinggi, dan mulailah
Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek.
Dan memang Sin Liong memiliki bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia
memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng
Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.
*** Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena
tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-
kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini dipilih oleh para tokoh liok-
lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di
luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh
karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang "bengcu" baru. Seorang
bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para
tokoh kang-ouw, liok-lim, dan para partai yang banyak terdapat di selatan. Para
tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat pada waktu itu adalah golongan
hina atau rendah. Sebaliknya malah, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-
orang gagah berani yang hidup mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini,
hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri!
Betapapun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa
dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka
tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya
seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri dapat
berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu,
maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik yaitu urusan yang
timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan
dan senasib. Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-
ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu.
Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka
perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat,
sungai maupun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik
dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka
bandar-bandar judi dan tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain
perkumpulan ini terkenal dan kuat, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang
lumayan besarnya. Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah
perkumpulan orang-orang yang memiliki sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw
(kepala besi), pendeknya orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan sekali
ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan
membiayainya oleh karena perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya
ini merasa terancam kedudukan mereka oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang
mereka anggap suka menjilat kepada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa,
maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.
Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu
adalah puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi pohon-pohon dan tanahnya
tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di
puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-
papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat. Karena
pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan
pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka perkumpulan itupun
tidak menyediakan meja kursi dan para tokoh kang-ouw yang datang mengambil
tempat duduk di sekitar lapangan itu. Ada yang duduk di atas batu dan akar
pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang
sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam samadhi dengan sikap yang
lebih hendak menjual tampang daripada bersamadhi benar-benar, ada pula yang
nongkrong di atas pohon. Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-
kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Lucunya, seperti hampir
dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah
wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu
terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang
lain! Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti
kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang,
ingin menonjolkan, ingin "lain daripada yang lain" sehingga muncullah sikap
bermacam-macam. Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan
cawat saja, bertubuh kurus kering karena kurang makan atau berpuasa. Sepintas
lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana
yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ
saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana! Kesederhanaan cawat
dan tubuh kurus itu tak lain tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang di
"pasang" agar menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang,
"lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?"
Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang kemelut, pergantian kaisar tua
yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan
itu terasa sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang
diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian amat besar, tidak hanya
oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh
golongan pendekar. Semenjak pagi para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil partai
persilatan, wakil-wakil perkumpulan dan golongan, juga perorangan, memenuhi
tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu membawa
bendera dan tanda perkumpulan masing-masing. Juga terdapat kegembiraan besar
karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan berkumpul, dan di
antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja menjadi gembira
karena dapat saling jumpa.
Di antara para wakil-wakil partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda
berusia delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak kecoklatan,
sikapnya gagah sekali akan tetapi tarikan dagunya membayangkan ketinggian hati
seorang jagoan muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi dan seolah-olah
tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai daripada dia! Ketika dia
memperkenalkan diri, semua orang memandang kepadanya dengan agak segan karena
pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari Cin-ling-pai!
"Ahhh, taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai" Silakan duduk di tempat
kehormatan...!" Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang
berkata dengan hormat dan sebutan "sicu" berubah menjadi "taihiap". Demikian
angkuhya pemuda itu lalu duduk di "tempat kehormatan" yang sebenarnya hanyalah
bangku-bangku kayu biasa, hanya diletakkan di belakang panggung dan di tempat
yang agak tinggi. Sin Liong yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang
amat banyak dan tidak seorangpun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian
sederhana ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah
perkasa itu adalah wakil Cin-ling-pai. Dia cepat menyusup di antara orang banyak
dan duduk tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak
mengenal pemuda ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san. Sin
Liong kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di
tempat tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suhengnya untuk mewakili
suhengnya yang sudah tua dan malas pergi di tempat pertemuan itu. Karena dia
hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik
perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan diapun
menyusup di antara banyak tamu. Dia tentu hanya dianggap seorang pengikut dari
sekian banyaknya rombongan yang datang.
Tentu saja Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama
Kwee Siang Lee. Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal
pula. Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang sudah
memiliki tingkat lumayan, sedangkan ibunya adalah seorang wanita dari Tibet
bernama Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk
mencari Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia
Bun Houw tidak lagi mencintanya lalu mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee
Tiong sehingga mereka berdua lalu menikah di Cin-ling-san (baca cerita Dewi
Maut). Kwee Siang Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu, adalah anak tunggal
suami isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng
oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini
sama sekali bukanlah seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan
itu. Seperti kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan
pendiri Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya tinggal
bekas-bekas anggautanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san
atau bahkan banyak yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh.
Ketika itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia
tiba di daerah itu dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan
pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang berdarah panas dan menganggap
bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa
kepandaiannya telah boleh diandalkan untuk mewakili perkumpulan kebanggaannya
itu, maka dia ingin mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili perkumpulan itu
secara pribadi! Setelah matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang.
Tempat kehormatan yang berada di dekat panggung itupun sudah penuh dengan para
tokoh besar di dunia persilatan bagian selatan. Tak lama kemudian, fihak
penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-
pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru. Mereka berdua
itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua pertama dan
Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau wakil ketua
dari perkumpulan itu. Setelah menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua,
dengan suara lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata, "Seperti cu-wi (anda
sekalian) ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas
dan kini telah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang
bengcu baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya kita kini mengajukan
calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi memilih seorang
yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan berani untuk
diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-
thouw-pang mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua dari
perkumpulan kami sendiri!"
Orang tinggi besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru,
disambut tepuk sorak para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi
tempat itu dan tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka. Sin Liong memandang
penuh perhatian. Wakil ketua dari perkumpulan itu bertubuh tinggi besar, mukanya
penuh bopeng, dan kepalanya yang botak itu mengkilap agak kebiruan. Melihat
julukannya, Tiat-thouw (Kepala Besi) dapat diduga bahwa kepala yang botak itu
tentu ampuh sekali. "Para calon dipersilakan naik untuk memperkenalkan diri," kata pula Sin-ciang Gu
Kok Ban yang memberi isyarat kepada Tong Siok untuk kembali ke tempat duduknya
di fihak tuan rumah. Gu Kok Ban sendiri, seorang kakek berusia empat puluh lima
tahun yang tinggi kurus dan bermuka pucat, masih berdiri di situ menanti
datangnya calon-calon untuk diperkenalkan.
Tidak banyak tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukanlah hal yang remeh dan hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi
sajalah yang patut menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang
Tiat-thouw-pang sudah terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai
calon sudah merupakan hal yang membuat jerih para calon lain karena mereka
merasa tidak akan mampu menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok! Akan tetapi
tentu saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan ingin kalau
tokoh dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu, segera mengajukan tokoh
yang mereka pilih sebagai calon. Pertama-tama yang melayang ke atas panggung
dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan. Dari
pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah seorang pengemis tua yang
memegang sebatang tongkat butut dan mukanya tertawa-tawa penuh kepercayaan
kepada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang tokoh yang amat terkenal di
selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang Tiat-thouw-pang sendiri menjadi
tercengang karena mereka tidak menyangka bahwa kakek tokoh pengemis ini akan
muncul menjadi calon bengcu! Padahal biasanya, kaum pengemis itu seperti "tahu
diri" dan tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguhpun pada
setiap pemilihan mereka hadir dan mereka juga ikut menentukan pilihan. Akan
tetapi baru sekarang mereka mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan
mereka sendiri. Kakek ini adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan)
yang biarpun tidak secara resmi menjadi "raja pengemis" namun telah diakui
sebagai datuk yang ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan.
Hadirnya Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan dan
merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis mulai menaruh perhatian akan kedudukan
dan pengaruh dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang terjadi di kota
raja sebagai akibat dari penggantian kaisar.
Setelah Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua,
banyak tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan
diri. Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-
ong maju, siapakah yang akan berani menandingi mereka" Daripada kalah dan
mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Maka, kini yang berani
muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima orang saja!
Pertama adalah Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang
menjadi tuan rumah. Calon ke dua adalah Lam-thian Kai-ong yang mewakili golongan
pengemis dan gelandangan. Ke tiga adalah seorang tosu tua bermuka putih yang
bermata tajam dan bersikap angkuh. Tosu ini bernama Kim Lok Cin-jin, wakil ketua
Pek-lian-kauw bersama belasan orang tokoh perkumpulan itu. Calon ke empat adalah
seorang guru silat yang terkenal sekali dari kota Amoi, berkepandaian tinggi dan
menerima murid-murid dengan bayaran mahal. Guru silat ini dipilih oleh golongan
tukang pukul, guru silat, dan para piauwsu. Dia bernama Ouw Bian, dikenal dengan
sebutan Ouw-kauwsu, berusia lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya
lebar. Adapun calon ke lima yang dicalonkan oleh para maling tunggal dan dunia
pelacuran, adalah seorang maling tunggal yang amat terkenal di dunia selatan.
Dia seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berwajah tampan, tubuhnya
sedang saja akan tetapi pakaiannya selalu indah seperti pakaian seorang
hartawan. Namanya adalah Bouw Song Khi dan orang ini selain terkenal sebagai
seorang maling tunggal yang lihai dan ditakuti, juga dia terkenal sebagai
seorang hidung belang yang biasa keluyuran di tempat-tempat pelacuran dan selain
itu juga dia dikenal sebagai seorang yang suka mengganggu wanita, seorang jai-
hwat-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang cabul, sungguhpun dia tidak pernah mau
melakukan kejahatan-kejahatan itu di daerahnya sendiri, melainkan memilih daerah
di luar kekuasaannya sehingga namanya disegani dan dihormati. Itulah sebabnya
mengapa dia sampai dapat terpilih menjadi seorang calon bengcu.
Lima calon ini saja sudah terhitung banyak, karena andaikata pada saat itu
muncul orang-orang seperti Lam-hai Sam-lo, kiranya beberapa orang di antara
mereka akan mundur lagi! Para gerombolan yang termasuk golongan bajak sudah
merasa tidak puas dan heran mengapa datuk-datuk mereka itu tidak muncul.
Melihat tidak ada orang lagi yang maju sebagai calon, Sin-ciang Gu Kok Ban
sebagai ketua penyelenggara pemilihan bengcu lalu berseru nyaring kepada semua
yang hadir. "Apakah tidak ada lagi saudara-saudara yang mengajukan calon bengcu
kecuali lima orang ini saja?"
Memang pemilihan kali ini agak sepi. Pilihan bengcu pada beberapa tahun yang
lalu diikuti oleh belasan orang calon! Hal ini adalah karena yang maju adalah
orang-orang yang amat terkenal sehingga para calon yang merasa tidak mungkin
dapat menandingi calon-calon yang terkenal ini sudah lebih dulu mundur untuk
menghindarkan diri mendapat malu, kalah dalam perebutan itu. Lima orang yang
tinggal ini adalah tokoh-tokoh yang biarpun sudah saling mengenal namun belum
pernah menguji kepandaian masing-masing, maka mereka berani untuk maju.
Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara yang nyaring. "Aku maju sebagai
seorang calon!" Yang membuat semua orang terkejut dan memandang heran adalah karena mereka
melihat bahwa yang berseru nyaring itu adalah seorang pemuda remaja yang tadi
mengaku sebagai utusan atau wakil dari Cin-ling-pai! Kini semua mata memandang
kepada Kwee Siang Lee dengan penuh perhatian. Pemuda itu memang gagah dan
tampan, sepasang matanya yang lebar dan bukan seperti kebanyakan orang itu amat
tajam, menentang semua orang dengan penuh keberanian. Memang pemuda ini memiliki
mata seperti mata ibunya, wanita Tibet itu. Memang pemuda ini mengesankan
sekali. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya bersih tampan dengan rambut
hitam lebat disisir rapi dan digelung ke atas dibungkus dengan kain berwarna
merah. Bajunya berwarna biru, diikat dengan sabuk sutera kuning, dan celananya
berwarna putih bersih. Biarpun pakaiannya tidak dapat disebut mewah, bahkan
terbuat dari bahan sederhana, namun karena bersih dan yang memakainya seorang
pemuda remaja yang tampan, maka kelihatan pantas dan rapi. Tubuhnya sedang saja,
namun padat dan membayangkan tenaga muda yang kuat.
Semua orang yang hadir merasa terkejut dan heran karena mereka semua mendengar
bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah partai yang besar dan termasuk partai dari
golongan pendekar, partai bersih yang biasanya menjadi lawan dari golongan sesat
atau golongan hitam. Kalau Cin-ling-pai hanya mengirim utusan sebagai peninjau
saja, seperti partai-partai lain yang juga mengirim utusan seperti partai-partai
Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain itu, maka hal ini tidak mengherankan.
Akan tetapi bagaimana Cin-ling-pai mengirim seorang wakil yang mencalonkan diri
menjadi bengcu" Akan tetapi karena pemuda yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-
pai itu sudah mengajukan diri sebagai calon bengcu, maka ketua Sin-ciang Toat-
thouw-pang menjadi bingung juga. Dia tentu saja tidak berani menolak, apalagi
ketika para wakil golongan bersih yang lain bertepuk tangan dan mengangguk-
angguk tanda setuju. Tentu saja mereka ini merasa suka kalau bengcu terjatuh ke
tangan seorang Cin-ling-pai yang terkenal menjadi pusat para pendekar.
Sejak tadi, Sin Liong memang sudah memperhatikan Kwee Siang Lee yang mengaku
sebagai wakil Cin-ling-pai. Kini, melihat pemuda tampan itu bahkan mengajukan
diri sebagai wakil yang mencalonkan diri sebagai bengcu, tentu saja Sin Liong
makin terheran-heran. Kehadirannya di tempat itu hanyalah karena dorongan
suhengnya Ouwyang Bu Sek menyuruh dia menghadiri pemilihan bengcu hanya untuk
meninjau dan mencari pengalaman saja. Kini, mendengar pemuda tampan itu mewakili
Cin-ling-pai mengajukan diri sebagai calon bengcu, tentu saja dia amat tertarik
karena dia menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai sebagai partai dari kong-kongnya
(kakeknya). Selagi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu meragu dan tidak berani menolak, akan
tetapi juga belum menerima Kwee Siang Lee sebagai calon bengcu yang ke enam,
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Tidak pantas...!" Dan nampak bayangan
orang meloncat ke atas panggung, langsung berdiri menghadapi Sin-ciang Gu Kok
Ban ketua perkumpulan tuan rumah.
Semua orang memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok
Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi sudah diangkat menjadi seorang di
antara calon-calon bengcu. Kim Lok Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin,
ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan sejak dahulu, Pek-lian-kauw memang membenci
Cin-ling-pai yang dianggap menjadi musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin
juga membenci Cin-ling-pai sehingga begitu melihat Cin-ling-pai diwakili seorang
pemuda remaja yang mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa
panas dan dia cepat meloncat ke atas panggung sambil mencela.
Melihat tosu ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura dan bertanya, "Apakah yang
dimaksudkan oleh totiang?"
"Pangcu, kami menolak kalau bocah itu menjadi calon bengcu mewakili Cin-ling-
pai!" bentaknya dengan nada keras dan menghina. "Semua calon bengcu yang berada
di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon karena diangkat oleh
golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi, siapakah yang
mengangkat wakil Cin-ling-pai ini" Huh, siapakah yang tidak mendengar Cin-ling-
pai itu perkumpulan macam apa" Mana mungkin ada kerja sama antara Cin-ling-pai
dengan kita" Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim wakilnya yang hanya
seorang, itupun masih seorang bocah ingusan pula, dan kini bocah itu malah
mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan seperti itu menjadi bengcu"
Ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita! Coba cu-wi (anda sekalian) pikir
baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu berarti memandang rendah dan
menghina jagoan-jagoan selatan" Apa Cin-ling-pai mengira bahwa pemilihan bengcu
di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak belaka yang boleh dimasuki oleh
bocah ingusan itu?" "Tosu sombong...!" terdengar teriakan nyaring dan semua orang melihat pemuda
Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba meloncat tinggi sekali dan tubuhnya lalu
membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali dengan gaya yang indah sekali,
baru dia turun ke atas panggung tanpa menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini
memiliki gin-kang yang sudah lumayan tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat,
banyak orang bertepuk tangan memuji.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya
jungkir balik seperti itu membutuhkan latihan dan juga membutuhkan tenaga gin-
kang yang lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di
hadapan demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan
menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu sungguh-sungguh berwatak angkuh,
sombong dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh
perhatian untuk melihat perkembangannya.
Kwee Siang Lee sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya
dengan mulut bercibir, sedangkan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah turun
dari atas panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga. Dia tahu siapa
adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi
sutenya yang dia calonkan menjadi bengcu. Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw ini
ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki gin-kang yang boleh juga
itu, hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dua orang calon bengcu yang
datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan bermusuhan sebelum
pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya, setidaknya akan
mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah. Maka diapun diam saja bahkan lalu
menyingkir untuk memberi "kesempatan" kepada kedua fihak agar keributan itu
makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ adalah kaum sesat yang paling
suka menyaksikan perkelahian dan pertumpahan darah, maka kini terdengar suara-
suara yang memihak keduanya, seperti para penonton adu ayam yang hendak
bertaruhan! "Tosu bau, siapakah tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi
diperkenalkan sebagai wakil ketuanya" Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang
biasa menipu rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat
perempuan-perempuan untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai"
Jangan kira bahwa aku, biarpun hanya seorang anggauta muda Cin-ling-pai, takut
menghadapimu!" Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara lantang
itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini.
Kim Lok Cinjin tertawa mengejek. "Heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki
kepandaian gin-kang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai
memuakkan perutku! Padahal gin-kang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan
dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang agar
menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya
pandai menyombongkan diri belaka. Kalau engkau ingin menjadi calon bengcu,
siapakah yang mencalonkanmu" Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini
orang Cin-ling-pai" Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku
saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil Cin-ling-pai?"
Tiba-tiba terdengar suara melengking, "Aku yang mencalonkan dia!"
Tentu saja semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat
seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya.
Bahkan wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung
juga menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan
terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja yang
berpakaian sederhana itu.
"Aku mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai menjadi calon bengcu! Cin-ling-
pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan mengutus
anggauta mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai calon, maka
sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang calon bengcu!" kata
Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa sin-kang yang luar biasa
kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak suaranya melengking nyaring
sekali. Mereka yang berfihak kepada Kwee Siang Lee menyambut dengan sorakan gembira.
Akan tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya
terdengar melengking tinggi mengatasi sorakan itu, "Kesaksian itu lebih tidak
pantas lagi! Lihat siapa yang mengangkat bocah ini sebagai calon bengcu" Benar-
benar kita semua dihina orang! Yang diajukan adalah bocah ingusan, akan tetapi
yang mengajukan malah bocah yang masih menetek!" Mereka yang pro kakek ini
tertawa dan bersorak mengejek.
"Pendeknya, bocah ingusan ini harus lebih dulu membuktikan bahwa dia adalah
benar-benar wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah apabila dia memperlihatkan
ilmu-ilmu aseli dari Cin-ling-pai. Mellhat usianya, andaikata benar dia murid
Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih rendah dan mentah, maka biarlah kami
akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita semua dapat
melihat apakah benar-benar dia memiliki ilmu Cin-ling-pai dan mampu mengalahkan
jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!"
Mendengar ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi
merah sekali dan dan sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu. Akan tetapi
pada saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun den sebagai gantinya dari
tempat kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani,
kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit,
sepasang matanya liar. Memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang
anggautanya terdiri dari banyak macam orang, terutama sekali para petani dan
penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) adalah perkumpulan yang
selain menyebarluaskan agama campuran dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik
dan sihir, juga mengandung cita-cita untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya
agama mereka. Untuk maksud itu, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan
mempengaruhi rakyat kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke
empat ini berpakaian sebagai seorang petani.
"Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku," kata kakek
petani itu. Tubuhnya yang kurus sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang
rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena
ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggauta muda, yaitu
pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw.
Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah
tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena
marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia membentak nyaring dan dia sudah
menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras.
Cin-ling-pai bukanlah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan
yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti dapat
kita ketahui dari cerita seri Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong
telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat dan sukar dicari bandingnya
di dunia persilatan. Setelah dia mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar
sakti ini telah menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, diambilnya
dari ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai
digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling-kun-hoat
dan ilmu ini terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan
kosong maupun dengan senjata apa saja. Hanya para anggauta Cap-it Ho-han yang
merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu
hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian dari Thai-kek-sin-kun, akan
tetapi murid-murid lain hanya digembleng dengan Cin-ling-kun-hoat saja yang
sudah merupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh.
Siang Lee juga telah mempelajari Cin-ling-kun-hoat sampai tingkat yang cukup
tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan
pedang maupun dengan tangan kosong. Maka, begitu menyerang, dia sudah
menggunakan jurus Cin-ling-kun-hoat yang ampuh, tangan kanannya dikepal
menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya dengan
jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati. Sebenarnya, serangan
tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan
biarpun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan inti itu. "Dukk...!" Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika
merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.
"Plakkk!" Kembali dia berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang
dan dadanya terasa sesak.
"Hehh...!" Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan
dengan jurus Singa Mengejar Mustika. Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek
itu mempergunakan kedua tangan dan kedua kaki untuk menyerang, setelah meloncat,
kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan
tenaga. Namun, Siang Lee mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke
belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu
yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran. Para
penonton tertarik sekali dan suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan
suara penonton. Tentu saja hanya fihak anak buah Pek-lian-kauw saja yang
menjagoi kakek petani itu, sedangkan selebihnya dari para penonton tidak
berfihak, melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua
orang yang sedang bertanding itu. Dan mulailah mereka itu mengadakan taruhan.
Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap dan cepat, sedangkan sikap
pemuda itupun angkuh dan angker, maka lebih banyak yang menjagoi pemuda ini.
Kalau di bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi
perkelahian yang makin lama makin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali.
Dia adalah seorang tokoh tingkat empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai
tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggauta Pek-
lian-kauw, dan pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu sedangkan
dia sudah enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang segala-galanya, baik
tenaga, ilmu silat, maupun pengalaman. Maka setelah pertandingan berlangsung
hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu mengalahkan pemuda itu, dia merasa
penasaran bukan main. Di lain pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada
kepandaian sendiri juga merasa penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah,
maka perkelahian itu kini bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan
perkelahian mati-matian untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan
dan membunuh lawan! Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan dia sudah
menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu nyawa.
Dia tidak memperdulikan lagi segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan seluruh
kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk menjatuhkan lawan
dan memperoleh kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak benar sama sekali
bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang seharusnya membagi
kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk menyerang dan
membiarkan diri terbuka. Siang Lee terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali
serangan itu dan dia tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras
dan karena dia tahu pula bahwa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal
itu amat berbahaya dan dapat membuat dia terluka, baik menang maupun kalah dalam
adu tenaga itu. Maka dengan kecepatan kilat, menggunakan gin-kangnya yang
diandalkan, dia melempar diri ke samping dan berhasil lolos melalui bawah lengan
kiri lawan, akan tetapi pemuda ini masih sempat sambil mengelak itu mengayun
tangan menyerang ke bawah pangkal lengan kiri itu.
"Dukkk...!" Tubuh kakek itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia
roboh, meringis sambil memegangi lambungnya yang kena pukul.
Pada saat itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa
telah muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya
tinggi besar dan otot-ototnya menonjol di seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya
bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat
dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundak,
memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan
tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang.
Dua ekor ular itu sebetulnya adalah ular-ular aseli, hanya saja ular yang sudah
mati dan diberi obat menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul
gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu
menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini.
"Sute, kau minggirlah!" bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek
petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi. Kakek petani itu meringis,
mengangguk dan kembali ke tempatnya di mana dia lalu diberi sebutir obat oleh
Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya.
"Bocah sombong dari Cin-ling-pai! Engkau telah mengalahkan suteku, marilah
engkau main-main sebentar denganku! Kalau engkau takut, biar aku mengampuni
orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat
kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelinding pergi dari
tempat ini!" Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara, matanya
melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun itu
mengeluarkan suara berkerotokan!
Melihat ini, Sin Liong terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda
murid Cin-ling-pai itu memaksa diri maju dia akan celaka di tangan raksasa itu.
Dia melihat betapa selain raksasa itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi
daripada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini memiliki sifat kejam
dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau dia berani melawan.
Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu tentu malu untuk mundur,
apalagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada, amat bangga karena
kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis.
"Hemm... siapa takut..."
"Haii, nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila
pemilihan bengcu!" Teriakan ini nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara
tertawa di sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu adalah
pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini
pemuda remaja itu sudah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas,
hal ini membuat orang merasa geli. Mereka semua adalah ahli-ahli silat dan untuk
naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih dua meter tingginya itu, tentu
mereka akan menggunakan kepandaian meloncat. Akan tetapi pemuda remaja itu
agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka memanjat seperti seekor monyet.
Akan tetapi karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan
kata-katanya, dan si kakek raksasa juga menoleh, memandang ke arah Sin Liong
yang kini sudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir
panggung, berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan
dengan kakek raksasa. "Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu
mengenal peraturan!" Demikian Sin Liong berteriak sambil memandang keempat
penjuru sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang dikembangkan seperti gaya
seorang ahli pidato di depan rapat umum. "Saudara ini adalah seorang di antara
para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang meragukan dan
ingin mengujinya apakah benar-benar dia tokoh Cin-ling-pai dan cu-wi telah
melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah tokoh
Cin-ling-pai den sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh bertanding dulu.
Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar bugar, dia tentu
menjadi lelah. Kalau ada fihak yang hendak menantang Cin-ling-pai di sini,
jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang mewakili Cin-ling-pai
untuk menghadapi fihak yang menantang Cin-ling-pai!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee, dan
mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat, "Taihiap, harap
taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya
sayembara perebutan kedudukan bengcu. Adapun badut-badut yang hendak mengacau,
biarlah serahkan saja kepadaku."
Jelas bahwa sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali,
maka tentu saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh
dia mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya seperti kaum atasan memandang kepada
bawahannya dan dia masih berkata, "Kau hati-hatilah!" lalu Siang Lee berlenggang
menuju ke tempat duduknya semula. Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli
menyaksikan sikap pemuda yang kosong itu.
Sementara itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja
yang naik ke panggung saja harus memanjat itu kini hendak mewakili pemuda Cin-
ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga bengong
dan sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat Kwee Siang
Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sutenya itu mundur, dia menjadi
marah sekali. "He, bocah ingusan! Apa kau sudah gila" Mau apa engkau naik ke sini dan menyuruh
lawanku mundur" Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta
ampun...!" Sin Liong menggerakkan tangan kanannya mencela. "Eeihhh! Siapa bilang dia tidak
berani" Dia masih terlampau tinggi kedudukannya untuk melawanmu. Bukankah dia
calon bengcu" Masih ada aku di sini, kenapa dia harus turun tangan sendiri?"
Kakek itu terbelalak. "Kau..." Kaumaksudkan bahwa engkau berani melawan aku" Ha-
ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang yang
hadir ikut pula tertawa. "Kakek harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti
harimau, jangan tertawa dulu. Ketahuilah bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah
perkumpulan besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia
Keng Hong adalah seorang pendekar yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah
mencapai langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tidak ada keduanya di dunia ini.
Dan aku mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh
karena itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah
aku mewakili Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!"
Kakek itu tidak marah, bahkan tertawa makin keras karena dia menganggap bocah di
depannya itu seperti badut sedang berlagak saja. "Eh, anak lucu, siapakah
namamu?" Melihat kakek itu bertanya sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar,
kedua tangan bertolak pinggang dan dadanya dibusungkan, Sin Liong lalu meniru
dengan berdiri tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak
pinggang, lalu berkata lantang. "Ah, kakek yang tidak lucu, siapakah namamu?"
Bagi orang yang pernah mengenal Sin Liong semenjak kecil sampai dia berada di
Cin-ling-pai ikut kakeknya, tentu akan terheran-heran mengapa terjadi perubahan
demikian besar pada diri anak ini. Semenjak kecil, sampai dia berada di Cin-
ling-pai, anak ini berwatak pendiam dan serius, wajahnya lebih sering muram
daripada cerah dan dia tidak pandai berkelakar. Akan tetapi, semenjak dia
menjadi murid Ouwyang Bu Sek, terjadi perubahan pada wataknya yang pendiam itu,
Ouwyang Bu Sek adalah seorang kakek yang pandai bicara, jenaka dan lucu, maka
selain ilmu kepandaiannya, juga sifatnya ini agaknya menurun kepada Sin Liong.
Akan tetapi, karena pada dasarnya Sin Liong pendiam, maka sifat itu hanya
sewaktu-waktu saja timbul padanya, terutama apabila menghadapi saat berbahaya,
dan sifat ini timbul sebagian besar sebagai siasat.
Tentu saja sikap ini memancing suara ketawa geli dari para hadiri sampai ada
yang terkekeh-kekeh, terutama sekali mereka yang memang merasa tidak suka kepada
Pek-lian-kauw. Melihat kakek yang menyeramkan itu dipermainkan dan diejek oleh
seorang bocah ingusan yang baru berusia belasan tahun, benar-benar merupakan
penglihatan yang lucu dan tentu saja memuaskan hati mereka yang anti Pek-lian-
kauw. Kakek itu terbelalak. Dia adalah seorang tokoh besar Pek-lian-kauw. Bahkan
orang-orang kang-ouw yang pandaipun tidak berani sembarangan terhadap dia,
banyak pula yang takut. Akan tetapi kenapa anak ini demikian beraninya" Akan
tetapi kakek raksasa itu mempunyai dua dugaan, pertama, tentu saja anak ini sama
sekali buta akan keadaan di dunia kang-ouw, dan karena tidak mengenal siapa maka
berani bersikap seperti itu, dan ke dua, boleh jadi anak ini agak miring otaknya
maka berani busikap demikian gila-gilaan!
"ENGKAU malah berani balas bertanya sebelum menjawab?" bentaknya.
"Tentu saja! Engkau adalah fihak yang mencari perkara, dan aku hanyalah fihak
yang melayanimu, maka boleh dibilang engkau ini tamunya dan aku ini tuan
rumahnya. Tidakkah sepatutnya kalau tuan rumah lebih dulu mengetahui nama si
tamu baru memperkenalkan diri" Betul tidak, cu-wi yang mulia?" Dia menoleh ke
bawah panggung. "Betul...! Betul!" Tentu saja mereka yang menonton pertunjukan lucu itu
Pendekar Mata Keranjang 5 Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan Kisah Pedang Di Sungai Es 1
^