Pencarian

San Pek Eng Tay 4

San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt Bagian 4


"Masa aku tidak ingat," sahut gadis itu. "Ini tempat dulu kita bertemu dan
menjalin persahabatan."
"Tetapi telah bertambah dengan tanaman ini," kata si pemuda.
"Inilah pohon yang ku tanam dengan tanganku sendiri.
Tunggu, akan ku petik dua kuntum."
Habis berkata demikian, Eng Tay lantas menghampiri
pohon mawar itu, yang tumbuhnya di luar tempat
perhentian, di bawah undak-undakan. Namun apa lacur, ia berjalan cepat, tanpa
terasa ia salah menaruh kaki.
Tidak ampun lagi, ia terjatuh!
San Pek kaget bukan-kepalang, dia menjerit keras. Ia maju, ia lari menghampiri,
maksudnya untuk menolong.
Disambarnya tangan si gadis, terus ditariknya dengan sekuat tenaga.
Bersamaan dengan itu, telinga si anak muda
mendengar, suara keras di sisinya: "San Pek! San Pek!
Jangan kau tarik-tarik tanganmu sendiri!"
Itulah suara Kho-si, sang ibu.
San Pek membuka matanya, ia tercengang. Ternyata ia telah bermimpi bertemu
dengan Eng Tay, sang kekasih. Ia memegang dengan keras dan menarik tangan
kirinya sendiri. Sang ibu sedang duduk di sisi ranjang. Ia mengawasi putranya.
"Kau kenapa, Nak?" tanyanya.
"Tak apa-apa, Ma," jawab putranya. "Aku hanya
bermimpi...." "Kau bermimpi apa?"
"Anak mimpikan Eng Tay," jawab putranya, terus-
terang. "Mimpi itu karena hati, karena kenangan, sebaiknya
jangan terlalu kau pikirkan," kata ibunya yang sangat menyayangi putranya itu.
Tepat di saat itu, Su Kiu muncul. Ia mengabarkan
perihal datangnya utusan keluarga Ciok.
"Ma, ada orang suruhan keluarga Ciok datang!" kata
San Pek. "Siapakah dia" Lekas tengok!" Ia pun segera menyingkap selimutnya, lalu
duduk. Kho-si tahu bagaimana kerasnya keinginan putranya, ia lantas pergi ke luar. Di
ruang dalam, Su Kiu terlihat bersama seseorang yang sedang membawa barang, yang
telah diletakkannya. Saat itu juga, Ciu Po muncul sesudah diberitahu. Lantas
saja sang abdi memperkenalkan: "Tuan Besar.... Ini kakak Ong Sun!"
Pesuruh dari keluarga Ciok itu, memang Ong Sun. Ia
memberi hormat seraya berkata: "Nona kami tahu bahwa Tuan Muda Nio sakit. Ia
mengirim saya, Ong Sun, untuk menjenguk. Nona telah bicara dengan ibunya, terus
saya diperintahkan membawa barang ini kesini. Harap Bapak sudi menerimanya."
"Oh, Nyonyamu baik sekali" kata Ciu Po. "Mana berani aku menolaknya."
Sewaktu Kho-si pun muncul, Su Kiu memperkenalkan
Ong Sun kepadanya. Ong Sung sebaliknya segera memberi hormat pada sang nyonya
rumah. Kho-si lantas melihat barang kiriman Ciok Eng Tay,
yang terdiri dari buah eng-toh, buah pipa, buah pir, daging asin, ayam panggang
asap serta tujuh atau delapan
bungkusan yang lain. Ia kagum hingga berseru: "Oh,
semua ini makanan untuk orang sakit! Terima kasih!"
"Semua ini tidak berarti, Nyonya," kata Ong Sun. "Di mana Tuan Muda Nio
sekarang" Nona saya berpesan agar saya menjenguknya."
"Oh, ia masih menghendaki kamu menjenguknya?" kata
Kho-si. "Mari ikut aku!"
Dan sang nyonya mengajak Ong Sun masuk ke kamar
San Pek. Si anak muda sedang duduk di atas pembaringannya.
"Oh, kau, Ong Sun!" dia mendahului menyapa.
"Ya, Tuan Muda," jawab Ong Sun sambil memberi
hormat. Di dalam hati ia sangat terharu. Si anak muda sangat kurus, wajahnya
pucat, bibirnya kering. "Nona berpesan agar Tuan Muda merawat diri baik-baik.
Nona pun menyampaikan beberapa jenis buah-buahan dan
makanan untuk Tuan Muda."
Su Kiu pun lantas muncul bersama barang-barang
kiriman Eng Tay, untuk diperlihatkan pada majikannya.
"Sampaikan terima kasihku pada Nonamu," kata San
Pek. "Barangkali ada pesan lainnya?"
"Semua barang ini dikirim sepengetahuan Nyonya Besar kami," kata Ong Sun. "Nona
minta agar Tuan Muda merawat diri baik-baik. Tetapi ketika saya hendak
berangkat, Gin Sim menitipkan sepotong sapu-tangan
merah, katanya dari Nona, buat Tuan Muda. Katanya juga, kalau Tuan Muda menerima
ini, Tuan Muda akan mengerti sendiri."
Sambil berkata begitu, Ong Sun merogoh sakunya
untuk mengeluarkan barang tersebut yang segera
diangsur-kannya pada si anak muda.
San Pek menyambut sapu-tangan itu yang jelas adalah barang lama tetapi masih
baru. "Aku maklum," katanya perlahan. "Sampaikan pada
Nona, penyakitku ini mungkin tak akan sembuh. Aku ingin menulis surat balasan,
namun hari ini aku tak dapat menulis, tubuhku lemas sekali, maka itu
sampaikanlah pada Nona bahwa aku sudah mengerti. Ya, kami tahu
sama tahu...." Ong Sun meng-iya-kan. Ia mengerti keadaan si anak
muda, terus ia mohon diri. Setelah memberi hormat, ia mengundurkan diri. Barang
antaran tadi dibawa ke luar lagi oleh Su Kiu.
Di dalam kamarnya, San Pek bermain-main dengan
sapu-tangan Eng Tay. Selama itu ia tidak berkata apa-apa.
Tidak lama kemudian.... Ong Sun muncul lagi. Tadi, di luar, ia disuguhi
hidangan tengah hari, setelah itu ia datang lagi untuk pamit. San Pek mengangguk
padanya. Ia mengerti, sulit bagi si anak muda berkata-kata, maka segera ia
memberi hormat, terus mundur untuk segera pulang.
Malam itu, sehabis makan bubur, San Pek tampak agak segar. Saat itu ia ditemani
ayah dan ibunya. Ia berkata pada kedua orangtuanya: "Pa, Ma, penyakitku ini
sudah parah sekali. Aku mohon maaf, inilah tanda tidak
berbaktinya aku. Sudah tidak ada jalan untuk sembuh, maka itu, harap Papa dan
Mama memaafkan putramu ini.
Pa, setelah aku menutup mata, ku minta dikuburkan di Ow-kio-tin dan kuburannya
menghadap ke sungai Yong. Di samping itu, anak minta dibuatkan dua batu nisan,
yang satu berbunyi 'Makam Nio San Pek', yang lainnya, 'Makam Ciok Eng Tay'.
Percayalah, tidak lama lagi, kata-kataku ini akan ada buktinya. Mengenai barang-
barangku, hanya ada satu yang harus ku bawa. Itulah sepasang kupu-kupu
kemala hadiah dari Ciok Eng Tay. Sekarang kupu-kupu kemala itu ada di
tubuhku...." "Anakku, sungguh kau tidak beruntung," kata Ciu Po, ayahnya. "Bagaimana jadinya,
orang berambut putih mengantarkan orang berambut hitam" Inilah nasib yang harus disesalkan dalam
kehidupan manusia.... Baiklah, Nak, pesanmu akan Papa wujudkan, tetapi mengenai
kedua batu nisan, rasanya sukar dilaksanakan. Ciok Eng Tay adalah anak gadis
keluarga Ciok, ia juga masih berada di antara kita, maka kalau kita membuatkan
nisannya, apa kata orang banyak nanti" Bukankah itu janggal" Lagi pula, pihak
Ciok barangkali tidak senang...."
"Hal itu tidak ada halangannya, Pa," kata San Pek.
"Papa buatkan saja. Nanti, di saat batu nisan itu dipasang di kuburanku, batu
nisan atas nama Ciok Eng Tay, Papa pendam saja di samping kuburanku...."
"Kalau nisan dikubur, apa artinya itu" Apa gunanya?"
"Tentang itu, tak usah Papa pusingkan...."
"Baiklah, Nak" kata ayahnya dengan tegas. "Akan Papa jalankan pesanmu!"
Selagi ayah dan anak itu berbicara, Kho-si diam saja, ia hanya mendengarkan,
akan tetapi kedua matanya
berkaca-kaca, airmatanya berlinang. Ia tidak dapat
menangis ataupun berkata-kata.
"Ma, jangan menangis," kata San Pek. "Ma, anak belum lagi pergi...."
Sang ibu mengusap air-matanya.
"Ya," katanya perlahan. "Tetapi kau harus tahu, Mama hanya mengharap, agar kau
hidup terus. Nak, dengan kata-katamu ini, apakah masih ada harapan bagi yang sudah tua ini...?"
Pilu rasa hati San Pek mendengar keluhan ibunya itu, airmatanya lantas saja
mengalir hingga membasahi
bantalnya. Ia menutupi wajahnya dengan bantal itu.
Ciu Po menyelimuti tubuh putranya. Dengan
saputangan diusapnya airmata putranya itu.
"Nah, Nak, sekarang tidurlah," kata ayahnya kemudian sambil menepuk-nepuk
pembaringan dengan perlahan. Itu sama saja dengan menepuk-nepuk tubuh anaknya.
"Semoga kau dapat tidur nyenyak agar besok keadaanmu lebih baik. Biarlah Su Kiu
menemanimu." San Pek meng-iya-kan sambil mengangguk.
Kho-si turut bicara, tetapi dia hanya bertanya: "Ketika Su Kiu menemani tidur,
aku pernah dua atau tiga kali menengok ke mari, Su Kiu tahu atau tidak?"
Su Kiu yang berada di luar kamar, terdengar menjawab:
"Pernah juga saya tidak tahu, Nyonya Besar." Abdi ini jujur, ia mengaku terus-
terang. "Kalau begitu, mulai malam ini kau harus berjaga,"
pesan Ciu Po si majikan. "Baik, Tuan Besar," jawab sang abdi.
Ayah dan ibu itu pun lantas ke luar dari kamar.
Hari-hari lewat tanpa ada perubahan pada diri Nio San Pek, ia tetap tidak
mengalami kemajuan. Tidak demikian halnya di hari keempat, di saat jauh tengah
hari, di kala sinar sang surya telah condong ke tembok sebelah timur rumah
keluarga Nio. Di saat itu San Pek sedang tidur melayap. Ia melihat seberkas cahaya pelangi
berwarna lima, yang serta-merta berubah menjadi apa yang dinamakan "Thay Ow Cio"
- Batu Telaga Thay- dan yang segera berubah lagi. Di bagian tengah batu itu,
yang sangat tinggi dan besar, mendadak terbuka sebuah pintu bagaikan mulut gua.
Mula-mula tampak segumpal awan, yang perlahan-lahan mengapung naik. Sekonyong-konyong,
dari pintu itu muncul wanita-wanita berdandanan dayang keraton. Mereka itu
menggapai-gapai seraya memanggil: "Mari, mari! Mari lekas naik ke langit!"
San Pek, di sana, melihat seorang wanita mirip Ciok Eng Tay. Ia menatapnya
dengan tajam. Kemudian hendak ia panggil gadis itu, tetapi tiba-tiba ia
mendusin. Yang ada di depannya sekarang hanyalah ayah-ibunya, bertiga
bersama Su Kiu. Ia merasa heran sekali.
"Pukul berapa sekarang?" tanyanya.
Ciu Po menengok ke luar. "Sudah lohor," sahutnya.
San Pek memperhatikan ayahnya itu.
"Papa," katanya, "dapatkah aku memperoleh keikhlasan Papa dan Mama berdua, bila
aku menutup mata, agar dikubur di Ow-kio-tin?"
Nio Ciu Po tertegun. Airmatanya mendadak berlinang.
"Dapat, Nak," sahutnya cepat. "Dapat Papa lakukan
itu...." "Terima kasih, Pa!" kata San Pek. "Maafkan aku, aku tidak dapat turun dari
ranjang untuk menjalankan
penghormatan, aku mengangguk saja dari atas ranjang ini...."
Selesai berkata demikian, benar saja ia miringkan
kepalanya. Kho-si tidak dapat berkata-kata, hanya airmatanya
bercucuran. Ia mendekati pembaringan, mengawasi
putranya dengan airmata berlinang-linang. Ia menangis tersedu-sedu....
"Su Kiu, ke mari...." ujar San Pek memanggil abdinya.
"Ada apa, Tuan Muda?" tanyanya.
"Aku menyesal, selama tujuh-delapan tahun kamu
mengikutiku, aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu,"
kata sang majikan. "Tetapi aku percaya Papa dan Mamaku tidak akan menyia-
nyiakanmu, maka, kau jangan
khawatir...." "Ya, Tuan Muda...." jawab abdi itu. Tangisannya
membuat ia tak dapat berkata lebih jauh.
"Sekarang aku hendak berpesan satu kali lagi," kata San Pek lagi. "Kalau aku
telah tiada maka kau tak usah membantu mengurus hal lain di sini, tetapi kau
harus segera pergi ke dusun Ciok untuk menyampaikan berita.
Kau katakan pada gadis itu, jenazahku tidak akan segera dirawat, akan menunggu
kedatangannya untuk pertemuan sekali lagi, pertemuan yang terakhir. Kalau Nona
Ciok mendengar berita ini, dia pasti akan datang...."
Su Kiu tidak dapat menjawab, ia hanya tersedu-sedan, tetapi ia mengangguk.
San Pek berkata pula dengan lemah. "Papa... Mama...
Pa, tadi Papa mengatakan bahwa sekarang sudah lohor, maka sekarang aku hendak
pergi...." Sang ibu kaget sekali. Ia menubruk.
"Tidak! Tidak...!" teriaknya. "Kau tidak boleh pergi...."
San Pek mengulurkan kedua tangannya, memegangi
tangan ayah dan ibunya, ia memegangnya erat-erat.
Beberapa detik, ia tak dapat membuka mulutnya. Tetapi kemudian, dengan lemah,
dapat juga ia, berkata: "Aku menyesal tidak dapat berbuat apa-apa untuk Papa dan
Mama, aku sangat menyesal. Mengenai pernikahanku,
harap Papa dan Mama ikhlaskan, itu bukan hanya urusan Papa dan Mama saja, itu
adalah masalah anak laki-laki dan anak perempuan. Ku harap Papa dan Mama
memaklumi. Papa dan Mama dapat mengerti, tidak
demikian dengan kedua orangtua keluarga Ciok. Pa, Ma, mereka itu kalah dengan
kekuasaan, mereka mencintai kemasyhuran yang kosong. Pa, Ma, sekian saja kata-
kata putramu...." Suara terakhir San Pek hampir tak terdengar, tenaga di sekujur tubuhnya
berangsur-angsur lenyap, napasnya pun perlahan-lahan menghilang.
Ciu Po dan Kho-si memegangi tangan putranya itu
sampai mereka merasakan denyut nadinya berhenti....
17 Pertemuan Terakhir NIO San Pek telah berpulang, keluarga Nio tenggelam dalam duka yang amat sangat.
Tetapi Ciu Po teringat pesan putranya, segera ia berkata pada Su Kiu: "Kau
jangan pikirkan urusan di sini, segera kamu naik kuda dan pergi ke dusun Ciok
untuk menyampaikan pesan Tuan Mudamu. Katakan padanya, ini soal pertemuan
terakhir, karenanya jenazah San Pek tidak segera ku urus...."
Su Kiu, dalam kedukaannya, menerima perintah itu.
"Bila kamu naik kuda, mungkin kamu tiba di sana
tengah malam," kata sang majikan pula. "Kalau demikian, jangan segera mengetuk
pintu, tetapi tunggu sampai
terang tanah. Lihat saja, kapan kau dapat pulang kembali."
"Baik, Tuan Besar, besok malam pasti abdimu sudah
dapat pulang," kata Su Kiu, yang terus saja
mengundurkan diri untuk segera memulai pejalanannya.
Abdi ini menjalankan tugasnya dengan sungguh-
sungguh dan cerdik. Ia tiba di dusun Ciok mendekati fajar.
Ia beristirahat dulu di perhentian. Setelah terang, barulah ia menghampiri pintu
rumah keluarga Ciok. Ia dikenal baik oleh pengawal pintu maka segera saja ia
diajak masuk, sedang kudanya diurus oleh orang lain. Ia pun diantar sampai ke
bawah loteng Hwe Sim Law, persis di saat Gin Sim muncul dengan membawa setangkai
bunga. Gin Sim tertegun. "Eh, Kakak Su Kiu!" tegurnya. "Kau datang pagi sekali!
"Ya, sejak tadi, menjelang fajar," jawab Su Kiu. "Bagaimana dengan Tuan Muda
Nio?" tanya Gin Sim segera. "Apakah dia baik-baik saja?"
Su Kiu memperhatikan paras sangat berduka.
"Ia telah tiada," sahutnya perlahan. "Inilah sebabnya aku datang ke mari...."
Gin Sim terperanjat hingga bunga di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai.
"Oh...," serunya. "Tuan Muda Nio meninggal...."


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Su Kiu menjalankan tugasnya, segera ia minta Gin Sim menyampaikan pesan kepada
majikannya. Tetapi Gin Sim masih berkata: "Hari ketika Tuan Muda Nio muntah darah, aku telah
mendapat firasat buruk sedangkan tadi malam sesudah pukul tiga pagi, Nonaku tiba-tiba mendusin dalam
keadaan kaget, hingga aku turut terbangun. Aku berharap hari ini akan datang
berita bahwa Tuan Muda Nio sudah sembuh. Oh, tak disangka, ia justru
meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya...."
"Ah, sudahlah, lebih baik lekas kabarkan Nonamu, kata Su Kiu.
"Sabar," sahut si kawan, "sebentar setelah aku
mengajak Nona naik ke loteng, baru kau bicara dengannya.
Kau bicara dengan tenang. Jika tidak, Nona bisa kaget, roboh serta menangis.
Kalau Tuan Besar dan Nyonya Besar tahu, itu tidak baik...."
Su Kiu mengerti, ia menurut dan menunggu.
Gin Sim mengusap air-matanya, terus ia berlalu. Setiba ia di kamar si majikan,
Eng Tay persis akan ke luar. Gadis ini heran melihat abdinya tidak membawa apa-
apa. "Mana bunganya?" tanyanya, kemudian.
Gin Sim menggelengkan kepala.
"Mari kita naik ke loteng, Non," katanya. "Ada kabar penting."
Bahkan abdi ini segera berjalan mendahului.
Eng Tay heran, ia menerka-nerka. Tak biasanya abdinya berlaku seperti ini, namun
ia mengikuti. Setibanya di loteng, Gin Sim memandang si majikan,
yang sikapnya masih biasa-biasa saja.
"Ada berita mengenai Tuan Muda Nio," kata abdi ini
kemudian. "Apakah dia sudah sembuh?" tanya gadis itu.
"Sekarang Su Kiu ada di bawah loteng, kalau Nona
tanyakan dia, Nona akan mengerti," kata abdi itu, yang tidak mau sembarang
bicara. "Kalau begitu, suruh dia naik ke mari," perintah Eng Tay, sepasang alisnya
berkerut. Gin Sim pergi ke mulut tangga.
"Su Kiu!" panggilnya.
Su Kiu muncul dengan cepat. Di depan Eng Tay, ia
berlutut memberi hormat. "Apakah Tuan Muda Nio sudah sembuh?" tanya nona
rumah tak sabar. "Tenang, Tuan Muda," jawab Su Kiu. "Sebenarnya, Tuan Muda Nio kami telah
berpulang tadi malam...."
Eng Tay kaget bukan main, hingga ia harus memegang
meja erat-erat. Wajah pun lantas berubah menjadi pucat-pasi.
"Ia meninggal?" tanyanya, menegaskan.
"Benar Tuan Muda, tadi malam," jawab Su Kiu.
Eng Tay jatuh terduduk di kursi, airmatanya segera
mengucur deras. Ia menangis tersedu-sedu. Beberapa
lama, ia diam saja. Su Kiu bangkit dan berdiri terpaku, ia pun menangis.
Gin Sim, dengan air-mata berlinang-linang, menghampiri majikannya.
"Sudahlah Nona, tenanglah," katanya. "Masih ada yang ingin disampaikan Su
Kiu...." Eng Tay mengusap airmatanya, ia mencoba
menenangkan diri. "Katakanlah, apa pesan Tuan Muda Nio sebelum tiada?"
"Di saat Tuan Muda menghembuskan napas terakhir,
aku ada bersamanya," kata Su Kiu, "tetapi setelah ia tiada, aku segera berangkat
ke mari untuk menyampaikan kabar.
Tuan Muda hanya berpesan, sebelum jenazahnya diurus, dia menantikan kedatangan
Nona untuk pertemuan yang terakhir."
Mendadak saja, Eng Tay bangkit berdiri. "Ya, aku pergi!
Aku pergi!" katanya. "Lekas siapkan kereta...!"
"Tetapi, Non," kata Gin Sim, "kalau kita pergi, Tuan Besar dan Nyonya Besar
perlu diberi tahu lebih dulu...."
"Tetapi," kata Eng Tay, "bagaimana kalau Papa dan
Mama melarangku...?"
"Namun, Non," kata Gin Sim, "tanpa memberitahu Tuan Besar dan Nyonya Besar,
siapa berani menyiapkan kereta ataupun joli?"
"Baiklah, aku mengerti," kata Eng Tay. "Sekarang juga aku akan menemui Papa dan
Mama. Kalau Papa dan Mama mengizinkan, aku pergi, jika tidak, aku rela mati demi Kakak Nio!"
"Tenanglah, Non " kata Gin Sim. "Kita lihat dulu...."
"Kalau begitu, baiklah, mari kita pergi bersama," kata Eng Tay, yang masih dapat
menenangkan diri. "Su Kiu, kau tunggu di bawah loteng."
Su Kiu meng-iya-kan, ia menuruni loteng.
Eng Tay yang didampingi Gin Sim segera pergi ke kamar kedua orangtuanya.
Kong Wan dan Teng-si baru selesai berdandan. Teng-si heran melihat kedatangan
putrinya, bahkan gadis itu tampak habis menangis.
"Ada apa, Nak, pagi-pagi kau kelihatannya tidak
senang?" tegur ibunya
"Baru saja datang utusan keluarga Nio yang
mengabarkan bahwa Nio San Pek telah meninggal dunia,"
sahut Eng Tay langsung. Teng-si terperanjat. Juga Kong Wan.
"Ah, dia meninggal dunia?" tanya ayah dan ibunya itu.
"Bersama San Pek aku tinggal selama tiga tahun, kami sudah seperti saudara,"
kata putrinya, "maka dari itu sekarang, setelah ia meninggal dunia, aku hendak
pergi menjenguknya. Kini aku datang memberitahu."
Kong Wan dan Teng-si, yang duduk bersebelahan,
tampak heran. "Apa" Kau hendak menjenguknya?" tanya ayahnya.
"Benar, Pa!" jawab putrinya, singkat.
"Nak, janganlah berpikir yang tidak-tidak," kata
ayahnya lagi. "Kau harus ingat, kau adalah anakku, kau adalah seorang gadis
terhormat, bahkan, kau adalah calon menantu keluarga Ma Thay-siu! Juga, tidak
seharusnya kau sembarang keluar rumah! Di samping itu, putra
keluarga Nio itu mati muda, itulah pertanda keluarga yang tidak beruntung.
Tidak, Nak, kau tidak boleh pergi!"
"Tetapi, Pa, Aku ini senasib," kata Eng Tay. "Dia tidak beruntung, aku lebih
malang lagi! Pa, terpaksa aku harus pergi!"
Suara gadis itu keras dan mantap.
"Nak, apakah kau tidak takut jika keluarga Ma nanti menyalahkan kita?" kata
ayahnya lagi. Eng Tay mengawasi ayahnya. Ia melihat di jendela
tergantung sebuah gunting yang tajam, disambarnya
gunting itu dengan tangan kanannya, dan digunakannya untuk mengancam. Ia
berkata. "Sebaiknya Papa izinkan aku pergi! Kalau tidak, gunting yang ada di
tanganku ini akan ku tikamkan ke tubuhku, di hadapan Papa!" Teng-si kaget bukan
kepalang. "Jangan Nak!" jeritnya. "Letakkan gunting itu! Kalau kau mau juga pergi,
pergilah! Jangan kau gunakan gunting itu...."
"Tetapi Papa belum memberi izin," kata gadis itu seraya berpaling pada papanya
bagaikan orang yang menantikan keputusan hakim.
"Baiklah!" kata Kong Wan. "Kau boleh pergi tetapi ada tiga syarat!"
"Apa tiga syarat itu, Pa?"
"Pertama-tama ku larang kau berpakaian berkabung,"
kata ayah yang kolot itu. "Kedua, kau harus membawa beberapa pengikut. Dan
ketiga, kau harus lekas pergi dan lekas pulang!
"Baik Pa, ketiga syarat Papa ku terima semua!" kata putrinya, yang hatinya lega.
"Tetapi aku hendak mengajak Gin Sim. Yang lainnya, boleh Papa kirim siapa saja."
"Bagus, Nak!" kata Teng-si, si ibu yang juga lega
hatinya. "Sekarang pergilah tukar pakaian! Kau, Gin Sim, kau ikut Nonamu. Di
sepanjang jalan, kau harus melayani dan menjaganya baik-baik!"
"Baik, Nyonya Besar," janji si abdi.
Eng Tay melepaskan guntingnya, terus ia kembali ke
kamarnya. Su Kiu, yang menanti di bawah loteng, segera juga
memperoleh berita. Sambil menunggu, ia pergi bersantap.
Eng Tay bertukar pakaian, lalu ia siapkan pakaian
lainnya. Ia tidak memakai kembang dan pita merah di rambutnya, juga tidak
memakai bedak. Segera saja ia telah ke luar dan terus naik kereta yang sudah
tersedia. Gin Sim turut serta dengan membawa sebuah buntalan. Ada dua orang lain
yang ikut, yaitu kusir kereta, dan Ong Sun yang menunggang kuda. Su Kiu, dengan
kudanya, berjalan di depan.
Perjalanan dilakukan terus-menerus tanpa istirahat, malah diusahakan secepat
mungkin. Maka, tidak lama
kemudian sampailah mereka di depan pintu rumah
keluarga Nio. Eng Tay, sebelum turun dari kereta, mengenakan lebih dulu pakaian putih dan juga
membungkus rambutnya dengan sapu-tangan putih. Gin Sim turun lebih dulu
untuk membantu nona majikannya turun dari kereta.
Su Kiu sudah berlari mendahului untuk memberi kabar tentang datangnya tamu.
Maka, pintu depan pun lantas dibentangkan dan beberapa bujang sudah menantikan
untuk menyambut. Mereka kagum melihat sang tamu,
seorang gadis ayu sekalipun berdandan serba putih,
pakaian berkabung. Nio Ciu Po dan Kho-si menyambut tamunya di depan
pintu. Su Kiu mendekati Eng Tay sambil berkata: "Kedua orang tua ini adalah Tuan
Besar dan Nyonya Besar."
Eng Tay melihat tuan rumah yang berbaju biru dan
berjanggut putih serta parasnya mirip paras San Pek. Kho-si mengenakan baju abu-
abu, dia tidak menangis tetapi pada wajahnya tampak bekas airmata.
Suami-istri tua itu menyambut tamunya dengan ramah.
Di pihak lain, mereka kagum menyaksikan kecantikan si gadis.
"Nona, kau sediakan diri untuk datang dari tempat yang jauh, banyak terima
kasih!" kata Ciu Po. Demikian juga kata-kata nyonya rumah.
Eng Tay segera memberi hormat, bahkan ia memegang
erat-erat tangan Kho-si sambil berkata perlahan:
"Kedatanganku tidak ada gunanya, Paman dan Bibi.
Terima kasih, Paman dan Bibi telah menyambut aku."
"Ini sudah seharusnya, Nona," kata Ciu Po.
"Bahkan kau kenakan pakaian berkabung, Nona," kata
Kho-si juga. "Kalau San Pek di dunia sana mengetahui hal ini, betapa
bersyukurnya dia. Mari, mari kita masuk ke dalam!"
Nyonya rumah ini melangkah masuk sambil memegangi
tangan tamunya. Eng Tay mengikuti. Ciu Po dan Gin Sim mengiringi mereka.
Tiba di dalam, Eng Tay melepaskan tangannya dari
pegangan nyonya rumah. "Maafkan Eng Tay yang telah lancang masuk ke mari,"
katanya. "Silakan Paman dan Bibi duduk, aku hendak
memberi hormat!" Ciu Po dan Kho-si hendak menolak, tetapi tidak dapat.
Bahkan Su Kiu sudah lantas membawakan guderi kecil
untuk orang berlutut guna menjalankan penghormatan.
Suami-istri itu pun duduk dan Eng Tay lantas
menyembah, menjalankan penghormatannya.
Beberapa bujang yang menyaksikan upacara itu
berkata: "Pantas, pantas, tamu datang dari tempat sejauh seratus
li, dia demikian tulus, selayaknya dia
memperlihatkan hormatnya!"
Eng Tay menyembah empat kali, setelah berdiri, ia
menyuruh Gin Sim melakukan hal yang sama.
Ciu Po dan Kho-si sangat terharu dan bersyukur
sekaligus kagum. Nona tamu itu sangat tahu tata cara.
Mereka sangat menyukainya.
Setelah itu Eng Tay bicara.
"Kakak Nio San Pek tiada sejak kemarin, ia belum
dirawat, bukan?" demikian tanyanya.
"Memang belum, Nona," jawab Ciu Po. "Segala
sesuatunya sudah siap, kami hanya menantikan
kedatangan Nona. San Pek ingin sekali melihat Nona sekali lagi...."
"Bapak, panggil saja aku tit-li" kata Eng Tay, yang lebih suka dipanggil tit-li,
atau 'keponakan perempuan', daripada dipanggil 'nona'. "Jangan panggil aku nona.
Sekarang aku ingin melihat Kakak San Pek, siapa yang akan
mengantarkan aku?" "Baik, tit-li" kata Ciu Po. "Mari ikut aku."
Eng Tay mengangguk, ia lantas mengikuti.
Setibanya di ruang dalam, di luar dan di dalam kamar serta di lantai, banyak
lilin putih menyala sebagai pengganti pelita penerang jalan. Di lantai, tubuh
San Pek rebah kaku, ia mengenakan baju biru. Di sekitarnya
terhampar daun pisang, bahkan seprei dan bantal
kepalanya juga memakai lapisan daun serupa. Hanya
kopiahnya, tetap kopiah kaum pelajar. Wajahnya tampak seperti orang hidup dan
matanya masih terbuka. Jari-jari kedua tangannya yang dilonjorkan, menggenggam
sepasang kupu-kupu kemala.
Segera juga Eng Tay lari menghampiri tubuh yang
sudah tak dapat bergerak itu. Ia malah menjerit.
"Kakak San Pek, aku datang menemuimu! Kau tahu apa
tidak...?" suaranya parau. Setelah itu airmatanya
bercucuran. Ia berlutut di samping tubuh sang 'kakak', ia mengangguk-angguk
empat kali. Gin Sim, tanpa disuruh lagi, turut membungkuk empat kali juga.
Ketika itu Kho-si datang menyusul. Airmatanya
berlinang-linang. Dengan suara parau ia berkata: "San Pek, Anakku, bagaimana kau
bisa mendapatkan adik angkat seperti Ciok Hian-tnoy ini" Nak, ia datang menjengukmu...!"
Kata-kata nyonya rumah ini membuat semua orang
yang berada di situ menangis tersedu-sedu. Tak dapat lagi mereka menahan rasa
haru hati, mereka. Mereka juga
sangat mengagumi sang tamu itu....
"Kakak San Pek, mengapa matamu masih menatap
saja?" tanya Eng Tay. "Inilah yang membuat kami bingung dan berduka," kata Ciu
Po, sang ayah. "Aku rasa, tit-li, ia tentu sedang menantikan kedatanganmu. Ia
ingin bertemu satu kali lagi...."
"Kakak Nio, Kakak Nio!" kata Eng Tay memanggil-
manggil, seraya berlutut di sisi tubuh si pemuda. Ia pun lantas menangis. "Kakak
Nio, pertemuan kita di tempat perhentian dan bersekolahnya kita bersama-sama
selama tiga tahun, ku anggap sebagai saat-saat yang paling bahagia selama hidup
kita, maka siapa sangka bahwa
dalam Buku Pernikahan tak ada nama kita berdua. Aku pernah membayangkan bahwa
pada suatu hari di depan kita, ada barisan musik berkumandang, di belakang kita ada iring-iringan kereta
terhias kembang, mengantarkan kita dengan segala kebahagiaan ke rumahmu. Siapa
duga sekarang, aku datang dengan pakaian berkabung; dalam satu malam seratus li
aku jalani hanyalah untuk menyembahyangimu. Oh, Kakak mengapa kedua matamu
masih belum dirapatkan juga" Mungkinkah kau masih
berat berpisah dari ayah dan ibumu, kau belum ikhlas meninggalkan mereka?"
Sambil berkata begitu, dengan gerakan tangan yang
lemah-lembut, Eng Tay meraba dan mengusap mata sang kekasih. Ia pun menangis
dengan sangat berduka. "Kalau benar demikian, Kak, baiklah kau tak usah
khawatirkan," kata si gadis pula. "Bukankah Kakak masih punya sanak-keluarga,
keponakan umpamanya" Pasti
mereka dapat merawat kedua orangtuamu itu...."
Masih saja gadis itu menangis dan tetap saja kedua
mata San Pek terbuka. Kembali Eng Tay mengusap-usap mata kekasihnya itu.
"Oh, Kakak," kata gadis itu lagi, "mungkinkah kau tak dapat meninggalkan guru


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita serta teman-teman sekolah di Ni San" Atau, apakah kau menyesal tidak akan
ada orang yang berkabung untukmu" Atau, apakah mungkin
karena kepandaianmu yang kau bawa pergi secara sia-sia belaka...?"
Tidak ada jawaban apa pun juga untuk keluh-kesah itu.
Ya, San Pek telah berpulang. Mana ia dengar, mana ia tahu"
Betapa pilu hati Eng Tay. Ia tersedu-sedan.
"Kak... Oh, Kakak," ratapnya lagi, kemudian, "Kak,
apakah kau tidak rela meninggalkan Ciok Eng Tay, Adikmu ini" Oh, Kakak..."
Persis gadis itu berkata demikian, tangannya
merasakan gerakan lembut kelopak mata San Pek, dan
terus saja mata itu menutup.
Eng Tay kaget, ia menjerit, ia menangis kencang-
kencang. "Oh, Kakak!" teriaknya. "Kak, kau tak ikhlas
meninggalkan Adikmu ini! Aku juga, si adik, mana rela ditinggal-kanmu" Pantas
bila untuk kuburanmu di Ow-kio-tin kau siapkan dua buah batu nisan. Itulah jalan
untuk umum, di tepi sungai yang mengalir. Kak, suatu hari Adikmu ini akan
menemui kau di sana.... Di dalam Buku Pernikahan tidak tercantum nama kita
berdua, akan tetapi nama kita akan kekal abadi beribu-ribu tahun; sampai mati
pun, akan ku perjuangkan! Ya, pasti nama kita akan tercatat juga dalam buku itu!
Kak, hendak ku beritahukan, aku pasti bukan orang keluarga Ma, juga tak sudi aku
tinggal di rumah keluarga Ma itu! Kak, rohmu masih belum pergi jauh, kau tahu,
para malaikat menjadi saksi dan Kakak mendengarnya sendiri...."
Begitu gadis itu mengakhiri kata-katanya, kedua mata San Pek pun terpejam rapat.
Jelas rohnya mendengar dan mengetahui, maka rela juga ia pergi....
Eng Tay menangis, meratap, namun ia masih dapat
menguasai diri. Akhirnya ia menoleh pada nyonya rumah, dan berkata: "Nah, Bibi,
Kakak San Pek telah memejamkan matanya. Adakah yang masih Bibi inginkan lagi?"
Kho-si menahan kesedihannya.
"Kau baik sekali, tit-li," katanya."Dari jauh kau sengaja datang ke mari. Kau
pasti letih sekali, mari kita istirahat sebentar...."
"Tidak, Bibi, tidak, tit-li tidak letih" jawab Eng Tay.
"Hanya hatiku gelisah melihat kupu-kupu kemala
pemberianku masih tergenggam di tangan Kakak San
Pek.... Mana bisa aku istirahat?"
Kembali gadis itu menangis.
"Biar bagaimana, tit-li" kata Ciu Po, "kau harus beristirahat dulu barang
sejenak, kau telah melakukan perjalanan jauh dan menahan kantuk. Sekarang kami
akan menukar pakaian San Pek agar ia bisa lekas
dimasukkan ke peti jenazah. Sebentar, setelah selesai upacara, tit-li sekalian
boleh terus pulang...."
Melihat sikap tuan dan nyonya rumah yang demikian
prihatin, akhirnya Eng Tay menurut. Ia melihat Gin Sim, dan juga Su Kiu, yang
berdiri di luar pintu, maka ia berkata pada abdi San Pek itu: "Su Kiu, pergilah
kau ajak Gin Sim melihat-lihat rumahmu ini!"
"Baiklah, Non," kata Su Kiu. "Gin Sim, ke mari!"
Gin Sim menurut. Ia telah mendengar perkataan nona
majikannya. "Sayang Tuan Muda Nio telah tiada. Kalau tidak, aku senang tinggal di sini,"
kata Gin Sim setelah ia diajak berjalan-jalan mengelilingi rumah. "Eh, ya, di
mana itu Ow-kio-tin?"
Su Kiu menjawab pertanyaan itu, ia menerangkannya.
"Baiklah," kata Gin Sim kemudian. "Nanti kita bicara lagi, sekarang aku hendak
melayani nonaku." Su Kiu meng-iya-kan. Ia mengantarkan sang sahabat ke dalam, kemudian ia sendiri
pergi beristirahat. Di dalam, Gin Sim melihat nona majikannya sedang
duduk terpaku disisi jendela. Kho-si menemaninya sambil berbaring di ranjang.
Airmata keduanya masih belum juga kering.
"Ke mana saja Su Kiu mengajakmu?" tanya Eng Tay
kepada abdinya. "Ke sekitar rumah ini," sahut si abdi. "Bagaimana
pendapatmu?" "Sempurna segala pengaturan Tuan Besar."
Eng Tay menarik napas. "Non, sebaiknya Nona istirahat," kata Gin Sim. "Segera akan fajar...."
"Ya, aku tahu. Bibi pun telah menasihati. Tetapi,
bagaimana aku bisa istirahat?"
"Gin Sim, pergilah bersantap dulu," kata Kho-si.
"Setelah itu, kau pun boleh istirahat."
"Bibi benar," kata Eng Tay. "Memang kita perlu
istirahat." Waktu itu, si Li-so muncul. Maka Kho-si menyuruhnya mengantarkan Eng Tay
beristirahat. Gadis itu mengikuti setelah ia bicara dengan Kho-si perihal Su Kiu
dan Gin Sim. Sang kala berjalan terus, segera tiba saatnya jip-bok, upacara pemasukan jenazah
San Pek ke dalam keranda.
Kho-si dan Eng Tay muncul dengan mata yang basah.
Saat itu, mereka tampak benar seperti mertua dan
menantu. Semua anggota rumah telah berkumpul. Tubuh San Pek masih berada di
lantai. Eng Tay, dengan pakaian berkabungnya, berlutut di sisi San Pek.
"Kak, hari ini hari pertemuan kita yang terakhir," kata gadis itu sambil
menangis, "kalau sebentar Kakak masuk dalam peti, kita tak akan dapat bertemu
pula. Maaf, Kak, aku tak dapat berbuat apa-apa untukmu. Sedih aku
melihat Kakak tak rela meninggalkan ayah dan ibumu.
Dan kepandaianmu, kau tinggalkan setengah jalan...."
Berkata demikian, EngTay mendekam seraya
menggenggam erat-erat tangan San Pek yang
didekatkannya ke bibirnya untuk diciumi, seraya berkata pula dengan sedih: "Kak,
mengapa kau membungkam saja, sepatah kata pun tak ke luar dari mulutmu?"
Tepat di waktu itu pemimpin upacara berkata: "Nona
Ciok, silakan mengundurkan diri, sudah tiba saatnya jenazah masuk peti!"
Segera juga tiga orang tamu wanita menghampiri Eng
Tay untuk membantu membangunkannya dan
mengundurkan diri. Mereka berkata: "Sudahlah, Nona
janganlah kau terlalu bersedih...."
Empat orang pun maju akan mengangkat tubuh San
Pek dan memasukkannya ke dalam peti jenazah. Maka di saat itu riuhlah tangisan
para hadirin, khususnya Ciu Po dan Kho-si, terlebih-lebih lagi Eng Tay.
Selang beberapa saat, barulah ruang itu menjadi sepi dan sunyi.
Masih satu kali lagi, Eng Tay menjerit: "Kakak San
Pek...!" 18 Habis Sabar BUKAN kepalang kaget dan repotnya ketiga tamu wanita yang mendampingi Nona Ciok.
Tak kuat hati Eng Tay, ia jatuh pingsan. Beberapa waktu barulah ia sadarkan
diri. Masih saja ia memanggil-manggil: "Kakak San Pek, Kakak San Pek...."
Kho-si menghampiri gadis itu untuk menghiburnya.
"Tit-li sudahlah," katanya, "jangan kau terlalu bersedih.
Ingat, kau pun masih harus melakukan perjalanan pulang sejauh seratus li..."
"Apakah Kakak San Pek sudah masuk keranda?" tanya
gadis itu. Dia telah lupa karena pingsannya itu.
"Sudah, Nak," jawab Kho-si. "San Pek tidak beruntung, jangan kau pikirkan
dia...." "Sekarang tit-li hendak menghormatinya untuk yang terakhir kali," kata Eng Tay
kemudian. "Setelah itu, saya hendak pulang. Gin Sim siapkan bungkusan kita."
"Telah saya serahkan pada Ong Sun, Non," jawab si
abdi. "Dalam bungkusan kita itu ada dua gulung kertas
putih," kata Eng Tay. "Itulah syair yang ku buat selama di Hang-ciu untuk Kakak
San Pek, bawalah ke mari. Mulai hari ini, aku tak akan menggubah syair lagi!"
Gin Sim menurut, ia menghampiri Ong Sun untuk
mengambil syair itu. Eng Tay kemudian menanyakan Kho-si, apakah segala
persiapan untuk sembahyang sudah selesai.
"Sudah," jawab Kho-si.
Ciu Po pun membenarkan kata istrinya itu. Orang tua ini sangat cemas ketika tadi
menyaksikan gadis itu, tamunya, pingsan.
Segera juga semua orang berkerumun di ruang depan,
ruang tempat jenazah San Pek disemayamkan. Meja
sembahyang pun sudah siap. Maka Eng Tay segera
memasang hio, ia bersembahyang sambil berlutut.
"Kak," kata gadis itu kemudian, "selesai sembahyang, Adikmu akan segera
berangkat pulang. Tak dapat aku
berdiam lama-lama di sini. Akan tetapi di Hwe Sim Law sana, aku harap rohmu suka
sering berkunjung. Di saat hujan dan angin, maupun langit cerah dan terang-
benderang, aku akan selalu berdoa untukmu...."
Setelah gadis itu berdiri, Gin Sim menyerahkan syair yang diambilnya. Eng Tay
menerimanya, lantas dibawanya ke api lilin untuk disulut, sambil berkata lagi:
"Kakak San Pek, Adikmu membakar syair ini untukmu. Di dalam syair ini, masih ada
kata sambutanmu. Kak, mulai hari ini, Adikmu tidak akan mengarang syair lagi!"
Demikianlah, dua gulung syair itu segera berubah
menjadi abu. Kemudian Eng Tay menoleh pada abdinya seraya
bertanya: "Gin Sim, apakah kereta sudah-siap?" "Sudah, Non," sahut Gin Sim-.
Eng Tay mengangguk. Segera ia menghampiri Ciu Po
dan Kho-si. Dipegangnya erat-erat tangan Nyonya Nio dan berkata: "Bibi, saya
bendak pulang. Harap Bibi jangan terlalu bersedih dan rawatlah diri baik-
baik...." Kho-si mengangguk, ia tak dapat berkata-kata saking terharunya.
Eng Tay menghadapi meja sembahyang, jenazah San
Pek, untuk kembali memberi hormat sambil menjura lagi.
Katanya, perlahan, suaranya serak: "Kakak San Pek, aku pulang...." Kembali ia
menangis. "Tit-li sudahlah, jangan menangis lagi," ujar Ciu Po menghibur. "Kereta sudah
menanti di luar." Eng Tay mengusap airmatanya dengan sapu-tangan,
terus ia menghadapi semua orang, memberi hormat, untuk berpamitan. Setelah itu,
ia melangkah ke luar. Ciu Po dan Kho-si mengantarkan.
"Tit-li, maaf, kami tidak menyuruh Su Kiu
mengantarmu," kata Ciu Po.
"Memang tidak perlu, Paman," kata Eng Tay. "Tit-li pun didampingi dua orang
saya. Bila ada kesempatan, Su Kiu boleh sewaktu-waktu datang berkunjung. Nah,
Paman dan Bibi, harap baik-baik merawat diri!"
Kedua orangtua itu, tuan dan nyonya rumah,
mengangguk sambil menyahut: "Ya." Mereka mengawasi, terharunya bukan kepalang.
Mereka merasa kasihan, mereka menyesalkan karena sang dara tak beruntung
menjadi menantunya.... Eng Tay dan Gin Sim menghampiri kereta mereka, lalu mereka menaikinya. Sebentar
kemudian, mereka sudah menghilang dari pandangan.
Sewaktu kereta mulai berangkat, Gin Sim melihat Su
Kiu masih berdiri terpaku di bawah pohon, mengawasi keberangkatannya...
Ong Sun, di atas kuda, mengikuti kereta.
Di tengah perjalanan, kereta berhenti sejenak. Eng Tay turun dari kereta untuk
menukar pakaian berkabungnya.
Setelah itu, perjalanan pulang dilanjutkan.
Perjalanan pulang ini berlangsung lebih lambat
daripada perjalanan pergi. Maka, ketika tiba di rumah, tiba saatnya kentongan
yang kedua. Ong Sun masuk lebih
dulu, dengan demikian Ciok Kong Wan dapat menyambut kedatangan putrinya. Ia
melihat bagaimana wajah sang putri tampak bekas airmata tetapi ia tak menanyakan
apa-apa. Eng Tay langsung masuk ke kamarnya. Keesokan
paginya, setelah bangun tidur, ia membersihkan diri dan berdandan seperti biasa.
Tetapi akhirnya, ia duduk
termenung saja. Selanjutnya, selama tiga hari ia terus berdiam diri.
Kong Wan dan istrinya tidak dapat berbuat apa-apa,
mereka membiarkan putri mereka menanggulangi sendiri pikirannya yang berat itu.
Suatu kali, Gin Sim berkata pada nona majikan:
"Berdiam secara begini tidak ada gunanya, lebih baik Nona pergi ke loteng,
membaca buku di sana. Atau, Nona
membuka jendela, memandangi taman atau kolam....
Sekarang musim panas, di waktu tengah hari hawa udara kering sekali."
Eng Tay setuju, maka ia naik ke loteng. Benar saja, dengan membentangkan
jendela, hatinya menjadi agak
lapang. Di kejauhan, ia melihat pemandangan yang luas.
Pada suatu lohor, Eng Tay membuka jendelanya dan
melihat ke luar. Nun jauh disana, tampak dua orang
sedang berjalan: satu laki-laki, satu perempuan. Mereka menapaki jalan kecil.
Usia mereka mungkin baru tiga puluh tahun. Mereka memikul kayu bakar.
Selagi berjalan mendatangi, terdengar, suara si lelaki:
"Hari mulai panas, kita harus cepat tiba di pasar. Setelah menjual kayu kita
membeli kacang hijau, untuk dimasak dengan nasi. Kau setuju?"
Si wanita menjawab: "Baik! Kita harus membeli juga
dua potong kue buat kedua mustika kita di rumah!"
Eng Tay terkesan sekali mendengar ucapan kedua orang itu, yang jelas adalah
suami-istri, bahkan mempunyai dua anak yang mereka sebut "mustika." Betapa rukun
dan beruntungnya pasangan itu, sekalipun mereka berasal dari keluarga miskin.
Gadis itu berpikir keras, dan akhirnya ia merebahkan diri di ranjangnya. Masih
saja ia merenung. Ia terkenang pertemuannya dengan San Pek di lotengnya, 'Hwe
Sim Law' yang berarti 'Hati Bertemu'. Bukankah itu bermakna, pertemuan hatinya dengan
hati si pemuda" Tiba-tiba.... San Pek, berjubah biru, tampak mendaki loteng. Cepat-cepat Eng Tay bangkit dan
menyambutnya, ia tertawa dan berkata: "Kakak Nio, aku justru sedang mengenangmu!
Kau dari mana saja?"
San Pek menghampiri, ia menggenggam tangan gadis itu dan berkata. "Adikku telah
meminta agar rohku sering berada di sini. Ketika Adikku sedang mengenangku aku
sedang berjalan-jalan di luar Hwe Sim Law...."
Sekonyong-konyong Eng Tay teringat bahwa San Pek
sudah meninggal dunia. Ia lantas berkata: "Walaupun Kakak telah meninggal dunia,
akan tetapi Kakak tetap seperti masih hidup...!"
San Pek bertepuk tangan. Ia berkata: "Mana aku mati"
Aku mati hanya untuk mengelabuhi kamu, Dik. Aku
sedang membangun sebuah rumah loteng yang indah di
luar dusun Ciok...."
Eng Tay tercengang mengawasi si pemuda.
"Oh, kau sedang membangun loteng yang indah?"
tanyanya. "Benar!" Eng Tay berkata: "Aku hanya khawatir banyak orang
yang mengetahui sehingga mereka bisa menghalangimu.
Antara lain... keluarga Ma!"
San Pek tertawa. Ia berkata: "Ada banyak orang pun
tidak mengapa! Mari, ikutlah aku!"
Eng Tay membiarkan sebelah tangannya dipegangi dan
ditarik si pemuda. Tetapi justru ketika ia mau melangkah, tiba-tiba ia
mendengar: "Non, airnya sudah dingin!" Ia terkejut, ia menoleh, dan ia mendusin.
Ternyata ia telah bermimpi, ia masih berbaring di ranjang. Di sisinya, Gin Sim
sedang berdiri dengan secawan air teh di tangannya.
"Aku bermimpi," kata sang nona majikan. "Tuan Muda
Nio dengan setangkai bunga sedang menantikan aku...."
Berkata begitu, nona majikan ini menerima cawan teh dan lantas meneguk isinya.


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menghirup dua kali. Setelah mengembalikan cawan itu pada abdinya, ia duduk
berdiam diri. Akan tetapi, otaknya bekerja.
"Mimpi ini aneh," katanya lagi, kemudian. "Mungkin
besok Su Kiu datang."
"Tidak aneh, Non, mimpi itu biasa saja," kata si abdi. Ia tahu bahwa nona
majikan itu terlalu banyak berpikir karena bersusah hati.
Eng Tay membungkam, namun ia berpikir.
Lohor hari berikutnya, benar-benar Su Kiu muncul. Gin Sim menyambutnya dengan
berkata: "Kakak Su Kiu, Nona berkata bahwa esok lusa kau akan datang, eh, hari
ini kau benar-benar muncul!"
Su Kiu membuka tudungnya, ia berkata: "Ini mungkin
adalah kedatanganku yang terakhir. Tolong sampaikan pada Nona, aku datang untuk
menyampaikan kabar." Ia kemudian merogoh sakunya.
Gin Sim mengangguk, lantas ia ajak tamunya masuk,
terus naik ke loteng. Ketika itu. Eng Tay sedang duduk berdiam diri. Ia
tergerak melihat Su Kiu. "Oh, Su Kiu, kau datang!" tegurnya.
"Ya, sengaja untuk menjenguk Tuan Muda," jawab abdi itu.
"Apakah penguburan Tuan Mudamu sudah selesai?"
"Sudah." "Di mana dikuburnya?"
"Tentu saja di Ow-kio-tin."
"Apakah mudah membeli tanah di Ow-kio-tin?"
"Kami punya sanak di sana sehingga pembelian tanah
mudah saja." "Di sebelah manakah letak makamnya?"
"Di ujung timur laut," sahut Su Kiu. "Di situ ada satu tempat yang disebut Kiu-
liong-hi Ceng-to-guan" 29
"Bukankah Kiu-liong-hi itu berdekatan dengan Sungai Yong?"
"Benar. Letak kuburan di sebelah barat laut. Kalau kita berbicara di makam,
orang di atas perahu dapat
mendengarnya." "Ya, aku tahu. Ada berita apa lagi?"
"Seusai penguburan, setelah pulang, Tuan Besar
memerintahkan hambamu ini segera berangkat ke mari
guna memberi kabar pada Tuan Muda. Lainnya tidak."
Eng Tay diam sejenak. "Baiklah, aku sudah tahu semua. Sekarang kau ikut
29 Menurut kitab Kang Hie Kin Koan, sebelum meninggal dunia, San Pek berpesan
agar dikuburkan di Kiu-liong-hi, Sekarang di tempat tersebut, Kiu-liong-hi, ada
kuburan serta juga kuil San Pek dan Eng Tay.
Gin Sim, seusai bersantap, kau boleh pulang."
Su Kiu meng-iya-kan, ia mengucapkan terima kasih,
kemudian memberi hormat dan terus mengundurkan diri.
Eng Tay melangkah ke samping lotengnya. Ia membuka
jendela lebar-lebar dan memandang ke sebelah timur.
Awan putih tampak mengapung di segala penjuru, pohon-pohon semua berdaun hijau.
"Ya, kuburan Kakak San Pek berada di sebelah sana,"
katanya dalam hati. "Ia tentu sedang menantikan orang membukakan pintunya."
Ya, Eng Tay termenung, termenung terus....
Han-hari musim panas terasa lebih panjang.
Pada suatu hari. Teng-si teringat akan anak gadisnya. Ia menduga-duga, apa saja
yang sedang dilakukan putrinya.
Eng Tay terbiasa mengurung diri di loteng. Apakah dia selalu membaca bukunya"
Apakah dia masih suka membentang jendela menatap langit" Musim gugur akan segera tiba, maka keluarga
Ma akan segera datang menyambut gadis menantunya....
"Baiklah, akan ku lihat dia," pikir sang ibu. Lantas ia mengajak Kiok Ji naik ke
Hwe Sim Law untuk menemui
putrinya. Ternyata putrinya itu tidak sedang menyulam atau menjahit, tidak juga
membaca buku atau menulis.
Sebaliknya gadis itu sedang berdiri di depan jendela, matanya menatap hampa ke
depan.... "Nak, kau sedang mengawasi apa?" tegur Teng-si.
Eng Tay menoleh. Mendengar suara ibunya, barulah ia tahu bahwa ibunya datang
menengoknya. "Oh, Mama datang," katanya. "Tidak, Ma, tidak ada apa-apa yang dapat dipandang.
Hari ini hawa udara menyengat sekali, pikiranku tidak tenang, maka ku buka
jendela, berharap akan mendapat angin segar."
Sang ibu mendekati, ia duduk di sisi jendela, turut memandang jauh ke luar.
Matahari sedang memancarkan cahayanya yang putih.
"Hawa begini panas, Nak," kata ibunya kemudian,
"kalau kau tidak membaca buku, kenapa kau tidak
menjahit atau menyulam?"
"Menjahit atau menyulam, Ma?" tanya gadis itu. "Hari demikian panas, mana bisa?"
Tiba-tiba ia tertawa dan berkata lagi: "Sulamanku sudah cukup banyak...."
Ibu itu terkejut. "Aku mengerti pikiranmu, Nak," kata ibu ini kemudian.
"Pastilah kau selalu terkenang akan Nio San Pek, teman sekolahmu selama tiga
tahun. Akan tetapi, sudah
berselang dua bulan Nio San Pek meninggal dunia. Kau hendak menemui dia, kau
telah diizinkan pergi. Tetapi sekarang, kau tidak boleh lagi mengingat dia...."
Eng Tay masih saja berdiri, bersandar pada jendela.
"Tidak, Ma, tidak bisa," jawabnya. "Benar ia sudah
meninggal dunia, akan tetapi teman sekolahku ini masih hidup, belum mati...
Gunung boleh tinggi, air boleh panjang, namun gunung dan air akan hidup bersama
selama-lamanya...." Melihat putrinya masih tetap berdiri, Teng-si berkata pada Kiok Ji: "Ambilkan
kursi buat duduk Nonamu. Kami hendak bicara lebih jauh...."
Pelayan itu menurut, ia membawa kursi yang
ditaruhnya di belakang gadis itu.
"Non, silakan duduk," katanya perlahan.
Eng Tay berpaling, mengawasi abdi itu. Ia mengangguk tetapi tidak mau duduk.
Kiok Ji tidak berani berkata apa-apa, ia berdiri saja di samping jendela.
Teng-si memperhatikan putrinya itu lalu berkata: "Di luar jendela itu, apa ada
yang bagus dipandang" Kau masih berdiri saja, Nak."
Mendengar kata-kata majikannya itu, Kiok Ji
tersenyum. "Mari kita bicara, Nak," kata Teng-si lagi kemudian.
"Tidak lama lagi hawa udara akan berubah menjadi sejuk.
Setelah perubahan hawa itu, keluarga Ma akan datang menyambut gadis menantunya.
Maka, jika nanti, keadaannya akan tetap begini Anakku, rasanya ada
kekurangannya.... "Aku tidak kenal keluarga Ma, Mama!" Sang ibu
menatap putrinya. "Nah, inilah yang kurang tepat dari kau, Nak," katanya.
"Kalau tiba hari yang ditentukan nanti, keluarga Ma mengirim kereta pengantin,
apakah kau masih tetap tidak mau pergi?"
Di luar dari kebiasaannya yang lemah-lembut, Eng Tay memperdengarkan suara di
hidung. "Hm, apa masih ada yang ingin ditanyakan lagi"
katanya. "Aku tidak kenal keluarga Ma, sekiranya mereka mengirim kereta berhias
untuk menyambut pengantin,
peduli apa" Karena tidak ada hubungan antara aku dan mereka, maka pasti aku
tidak akan mempedulikannya!
Kalau mereka tidak berhasil menyambut orang, biar
mereka cari majikannya sendiri!"
Panas hati sang ibu mendengar perkataan putrinya itu, kedua matanya terbelalak.
Ditatapnya gadis itu tetapi akhirnya ia bisa juga menguasai dirinya. Malahan ia
tertawa. "Benar, memang mereka dapat mencari majikannya
sendiri," katanya. "Tetapi majikannya itu adalah kepala sebuah keluarga, dan si
kepala keluarga itu dapat
memperlihatkan pengaruhnya. Mulutnya itu dapat
mengeluarkan perintah-perintah untuk memaksamu
pergi!" Eng Tay mengebut debu di papan jendela dengan ujung bajunya. Bersamaan dengan
suara kebutannya itu, dari mulutnya pun keluar kata-kata ini: "Aku tidak mau
pergi! Kalau si majikan mau menggunakan aturan rumah-
tangganya, menghendaki aku mati, aku boleh segera mati karenanya! Tetapi untuk
memaksaku pergi ke rumah keluarga Ma, sekalipun raja mengeluarkan firmannya, aku masih tetap tidak mau
pergi!" Teng-si bangkit berdiri. "Inikah kata-katamu?"
"Ya, kata-kataku!" jawab Eng Tay.
Ketika itu Gin Sim berada di bawah loteng. Mendengar pembicaraan antara ibu dan
anak itu, ia merasa gelisah.
Segera ia naik tangga loteng. Dari jauh ia sudah mengedip-ngedipkan mata pada
Kiok Ji, maka mereka berdua
menghampiri ibu yang sedang naik pitam itu. Mereka
menghadang di depan si nyonya.
"Nyonya Besar, jangan marah," kata Gin Sim. "Nona
masih muda, ia tidak bisa bicara!"
Teng-si berdiam, tetapi dengan sorot matanya yang
tajam ia menatap putrinya itu.
"Mama tidak mau bicara lagi denganmu!" kata ibunya.
"Dua hari lagi, akan menemui kau untuk bicara dengamu!
Mama mau pergi!" Benar saja, dengan mengajak Kiok Ji, sang ibu berlalu, menuruni loteng.
Gin Sim segera mengamati nona majikan itu.
Eng Tay bersikap wajar saja, ia masih memandang ke
luar jendela, memandangi langit. Bahkan kemudian, ia tersenyum.
Tong-si berlalu dengan hati masih panas. Ingin ia segera bicara dengan suaminya
untuk menceritakan tentang
kekerasan hati putrinya, tetapi kemudian ia berubah sikap. Ia khawatir, kalau ia
bicara dengan suaminya, urusannya nanti menjadi kacau-balau. Maka, pikirnya,
lebih baik ia menunggu saja mendekatnya hari
pernikahan, barulah masalah itu dimunculkan lagi. Ia ingin menyaksikan, apakah
putrinya masih terus membangkang atau tidak.Pada saat itu, suaminya tentu akan turun tangan juga.
Demikianlah, ia segera berpesan pada semua orang agar mengawasi Eng Tay.
19 Naik Perahu LAMBAT-laun, Eng Tay mengetahui sikap ibunya yang
selalu mengawasi gerak-geriknya. Ia tidak peduli. Malahan sekarang, ia telah
berpikir untuk kalau tiba saatnya, ia akan menghabisi nyawanya sendiri....
Demikianlah, hari-hari telah berlalu dengan tenang
sampai pada awal bulan ke-sembilan. Udara kini berubah menjadi sejuk. Justru
itu, keluarga Ciok tampak sibuk.
Pakaian untuk gadis pengantin sedang disiapkan. Untuk pesta, segala barang yang
diperlukan pun sedang dibeli.
Semua orang tampak repot, akan tetapi Eng Tay bersikap masa bodoh.
Pada suatu hari, Ciok Kong Wan menemui istrinya di
kamarnya. Teng-si sedang mengukur kain untuk membuat baju pengantin putrinya.
"Beberapa hari ini aku tidak melihat Eng Tay," kata suaminya. "Mungkinkah karena
hari pernikahannya semakin mendekat, dia tidak mau ke luar?"
"Ya, mungkin itu sebabnya," jawab Teng-si, si istri. Ia memang sedang kurang
memperhatikan putrinya itu
karena sekian lama tidak ada laporan apa pun dari para abdi yang diperintahkan
untuk mengamat-amati putrinya.
"Bagaimana dengan pakaian pilihan kita?" tanya Kong Wan. "Apakah Eng Tay
setuju?" Sang istri melepaskan jarumnya, ia menghadapi
suaminya. "Belakangan ini, adat Eng Tay semakin keras," katanya.
"Semua bahan pakaian pilihan kita adalah istimewa, tetapi anak itu, melihat pun
tidak sudi!" "Eh, kenapa begitu?"
"Dia sangat tidak puas berkenaan pernikahannya
dengan putra keluarga Ma. Mengenai ini, aku pernah
bicara padanya, memberinya nasihat, tetapi dia, dia tak sudi memperhatikan!"
"Habis, apa maunya?"
"Mana aku tahu" Dia bahkan bicara semakin kasar!
Katanya, meskipun ada perintah raja, dia tak sudi
menikah!" Kong Wan menghentakkan kaki.
"Gila!" serunya. "Kapan ia ucapkan itu?"
"Kira-kira dua bulan yang lalu...."
"Begitukah" Bukankah itu tak pantas!"
"Ya, begitulah...."
Ayah ini menjadi sangat kecewa.
"Coba panggil dia, akan ku tegur dia!"
"Sikapmu ini tidak akan menyelesaikan persoalan," kata Teng-si. "Bila kau
panggil dia, kau harus bicara dengan sabar. Anak itu tabiatnya keras, tetapi dia
tak akan tidak acuh."
Kong Wan melipat kedua belah tangannya, ia berjalan mondar-mandir, otaknya
bekerja keras. Kemudian dia
mengangguk dan berkata: "Baiklah, akan ku turuti
pikiranmu. Kiok Ji, pergilah kau undang nonamu datang ke mari!"
Teng-si tertawa. "Sungkan, ya?" katanya. "Keluar juga kata
mengundang...." Kiok Ji berada di luar jendela, di saat ia hendak berlalu, nyonya majikannya
berkata padanya: "Jangan pergi dulu, sini, kau dengar perkataanku."
Abdi itu menurut, ia menghampiri majikannya.
"Bila nanti bertemu dengan Nonamu," pesan Teng-si,
"jangan kau katakan hal lainnya, cukup bahwa tadi ketika kau berada di luar,
Tuan Besar menyuruhmu memanggilnya. Ini penting sekali, kau jangan sembarang bicara!"
"Tak perlu dipesan lagi, Nyonya Besar, hambamu sudah tahu," kata Kiok Ji yang
segera saja berjalan cepat menuju Hwe Sim Law, bahkan ia langsung mendaki tangga
loteng. Begitu bertemu dengan Eng Tay, ia berkata: "Tuan Besar sedang berada di kamar
Nyonya Besar, Nona diminta lekas datang menemuinya."
Gadis itu mengawasi abdi itu.
"Ketika Tuan Besar menyuruhmu, dia tampak gusar
atau tidak?" tanya Eng Tay.
"Abdimu berada di luar tatkala Tuan Besar memanggil,"
kata Kiok Ji. "Sewaktu aku masuk, Tuan Besar lagi marah atau tidak, aku...."
"Benar-benar kau tidak tahu?" tanya si nona
menegaskan. Gin Sim juga berada di loteng, ia tertawa.
Eng Tay segera berkata: "Saat begini Tuan Besar
memanggilku, pasti ia sedang marah!"
"Tidak, Non," kata Kiok Ji, "kalau Tuan Besar bicara, ia pasti bicara dengan
haik-baik...." "Benar itu?" "Aku berada di luar jendela saat mendengar panggilan, Non."
"Bukankah kau sedang berada di luar maka barulah
kemudian kau masuk?" tanya gadis itu lagi.
Kiok Ji tertawa. Ia menganggap nona majikannya itu
lucu.... Gin Sim pun turut tertawa.
"Baiklah, Non, aku akan berterus-terang," kemudian
kata Kiok Ji lagi. "Sekiranya Tuan Besar tahu, paling juga aku dirangket...."


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan pelayan ini menceritakan apa yang ia lihat dan dengar perihal gerak-gerik
Ciok Kong Wan, sang majikan.
"Nah, bagaimana ya?" kata Eng Tay. "Memang aku telah menduganya! Sekarang, ayo
jalan, aku tak akan memberitahukan Tuan Besar!"
Kiok Ji mengangguk, lantas ia pergi, nona majikannya mengikuti.
Kong Wan sedang berjalan mondar-mandir ketika ia
melihat kedatangan anak gadisnya.
Segera ia tertawa dan berkata: "Selamat, Anakku,
selamat!" Eng Tay tidak segera menanggapi.
"Ada apa, Pa?" tanyanya. "Aku biasa diam di dalam
kamar, apa yang harus diberi selamat?"
"Ada kabar baik, Nak!" jawab ayahnya. "Sekarang hawa udara sedang nyaman.
Keluarga Ma telah memberi kabar bahwa pada akhir bulan ini akan dilakukan
penyambutan guna menjalankan upacara pernikahan! Ini soal hidup seratus tahun,
masalah andalan bagimu seumur hidup!
Bukankah itu kebahagiaan yang harus diberi selamat?"
Tetapi Eng Tay menggoyangkan tangannya.
"Tentang lamaran keluarga Ma, aku belum pernah
menyetujuinya!" katanya. "Katanya dia memberi kabar hendak melakukan penyambutan
mempelai, mempelai siapakah yang hendak disambut?"
Mendadak Kong Wan berdiri tegak, dengan tajam ia
mengawasi putrinya. Masih dapat dia menguasai diri lalu diusapnya janggutnya.
Dia pun terus berkata dengan
sabar: "Ketika Nio San Pek masih hidup, kau hendak
menikah dengannya, ini menolak. Papa justru
menghendaki kau menikah dengan Ma Bun Cay, waktu itu kau menolak sekeras-
kerasnya. Itu masih masuk di akal, ada alasannya, tetapi sekarang setelah Nio
San Pek meninggal Papa mau menikahkan kau dengan keluarga
Ma, maka kau, Nak, tidak beralasan lagi untuk menolak..!"
"Apakah beralasan dan tidak beralasan itu?" putrinya balik bertanya. "Meskipun
San Pek sudah tiada tetapi aku, aku telah bersumpah bahwa seumur hidupku tidak
akan menikah! Inilah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa!"
"Itu alasanmu yang tidak masuk akal! Memangnya
siapa yang mengizinkan kau dijodohkan dengan keluarga Nio?"
Eng Tay mengangguk. "Siapa yang mengizinkan, yang menerima baik lamaran keluarga Nio?" ia balik
bertanya. "Itulah aku! Mustahilkah kalau aku menyerahkan diri sendiri, itu tidak
boleh" Kalau demikian, dengan kekuasaan Papa sebagai orangtua,
apakah aku bisa dijual-belikan" Bolehkah itu?"
Ciok Kong Wan mengusap janggutnya.
"Papa bilang kau ngawur, malah lebih lagi!" kata
ayahnya. " menjodohkan kau dengan keluarga Ma, itu
berarti kemuliaan bagimu! Hal itu tidak ada jeleknya! Ada berapa banyak gadis,
yang memimpikannya pun tidak
bisa! Kalau demikian, apakah dapat dikatakan si ayah-bunda menjual putrinya?"
"Kenapa tidak?" kata Eng Tay menyahut. "Memang,
keluarga Ma itu sangat penting dan berpengaruh, tetapi hanya Papa yang dapat
meminjam pengaruhnya itu."
Tiba-tiba saja, Kong Wan tak dapat lagi menguasai
amarahnya, ia sampai menggebrak meja.
"Anak kurang ajar!" teriaknya. "Bagaimana kamu berani melawan Mama-?"
Teng-si kaget, ia menarik baju putrinya.
"Nak, kau tidak selayaknya berkata bahwa meminjam
pengaruh keluarga Ma," kata si ibu. "Kau tahu, Papa dan Mama ini cukup kaya,
mana mungkin kami menjual anak"
Sudah, sekarang semua harus tenang saja. Kita bicara sampai di sini saja, besok
kita sambung lagi...."
Eng Tay mengawasi ayahnya, ia maklum sikap keras
ayahnya, maka ia lantas berkata. "Baiklah, aku pergi dulu.
Tapi, biar bagaimana juga, kapan pun, aku tidak mau menikah!"
Setelah berkata demikian, gadis yang tiba-tiba menjadi keras kepala ini, lantas
meninggalkan ayah-bundanya itu begitu saja.
Gin Sim segera mengikuti nona majikannya itu kembali ke kamarnya. Ia merasa lega
melihat ggdis itu bersikap tenang-tenang saja. Maka ia berkata: "Non, hari ini
Tuan Besar bersikap tidak seperti biasa....
Gadis itu lantas duduk di kursinya, bahkan dia tertawa.
"Kejadian ini telah ku duga," katanya. "Dan aku telah memikirkan pemecahannya,
tak usah kau khawatir."
Gin Sim bingung, namun ia tidak mau bertanya lagi.
Sikap nona majikannya kali ini luar biasa, pikirnya.
Biasanya, majikannya itu tak pernah merahasiakan apa pun padanya, tetapi kali
ini lain. Malahan gadis itu bisa tersenyum selagi suasana sangat tegang. Namun
toh, ia bertanya juga: "Non, besok pasti Nyonya Besar datang ke mari,
bagaimanakah sikap Nona?"
"Kapan tiba saatnya yang paling sukar, aku mempunyai dayaku," jawab majikannya.
"Tapi apa dayaku itu,
sekarang kau tak usah tanyakan."
Terpaksa Gin Sim menutup mulutnya, hanya ia
menerka-nerka di dalam hati.
Tengah hari keesokan harinya, sehabis bersantap, Teng-si masuk ke kamar putrinya
sesudah ia mencari tahu dulu apakah putrinya itu berada di loteng. Ia heran
sewaktu melihat bahwa tidak terjadi perubahan apa-apa pada anak gadisnya itu.
Eng Tay tampak tenang-tenang saja
membaca buku. Sang ibu batuk-batuk untuk memberi tanda
kedatangannya. Mendengar suara ibunya, Eng Tay meletakkan bukunya
dan menoleh. "Ma!" panggilnya.
Teng-si lantas saja duduk di depan putrinya itu. Ia melihat ke sekitarnya. Ia
tidak mendapatkan Gin Sim di situ, lantas ia mulai bicara: "Saat ini bagus
sekali, enak buat kita bercakap-cakap...."
Eng Tay tidak menanggapi. Ia mengangkat bukunya
tetapi segera diletakkannya pula. Kelihatannya ia hendak membaca, namun batal.
"Mama ingin bicara denganmu, Nak," kata Teng-si lagi.
"Letakkan bukumu dulu supaya kita enak bicara. Bisa, bukan?"
"Tetapi, Ma, aku tak tahu maksud kedatangan Mama
ini," kata putrinya. "Bukankah Mama hendak mengulangi pembicaraan kita kemarin"
Urusan itu sudah cukup dibicarakan, apakah sekarang hendak diulangi lagi?"
"Mama belum bicara, Nak, kau sudah menghalangi,"
kata ibunya. "Sebenarnya juga, Mama ingin bicara."
Gadis itu mengangguk. "Nah, bicaralah!" ia menganjurkan.
"Keluarga Ma itu...."
"Ah, sudahlah, Ma!" gadis itu memotong. "Jangan Mama sebut-sebut itu pula,
jangan! Mendengarnya saja, aku sudah muak..!"
"Oh...!" si ibu gugup. "Katamu tidak mau menikah, Nak, lalu, di rumah saja, kau
hendak melakukan apa?"
"Merawat Papa dan Mama...."
"Ah....!" kata ibunya, yang menepuk pahanya.
"Bagaimana kalau Papa dan Mama sudah meninggal...?"
"Di saat itu aku juga sudah tua, maka selanjutnya aku akan menutup pintu,
membaca buku saja, untuk menenteramkan hati."
"Itu pikiran yang bukan-bukan. Kami orangtua tidak
punya anak lelaki, maka menantu lelaki menjadi separuh anak juga. Kalau kau
menikah dengan Ma Bun Cay, jika nanti kau memperoleh anak lelaki, anak itu bisa
diambil menjadi turunan keluarga Ciok. Bukankah itu baik
sekali?" "Sudahlah, Ma, tak usah Mama bicarakan lagi. Kalau
Mama bicara juga, aku tidak mau mendengarnya!"
Berkata begitu, gadis ini mengambil bukunya, terus ia membaca. Ketika ibunya
berkata-kata lagi, ia seperti tidak mendengarnya.
Teng-si kewalahan. Tatkala ia masih mencoba bicara
lagi, ia tetap tidak mendapat tanggapan. Maka akhirnya ia benar-benar kewalahan.
Segera ia bangkit berdiri dan akhirnya berkata: "Baiklah! Kau bicara saja nanti
dengan...." Ibu ini berjalan ke luar, ia menarik napas panjang-
pendek. Sewaktu Kong Wan, suaminya, menanyakan, ia
membungkam. Ayah itu penasaran, ia suruh beberapa pelayan
perempuannya mendatangi putrinya untuk dibujuk, tetapi sia-sia belaka, mereka
itu kembali tanpa hasil. Jawaban gadis itu singkat saja: "Disuruh menikah, tidak
mau! Disuruh mati, ya, rela mati!"
Kong Wan bingung sekali. Tentu saja ia tidak
menghendaki kematian putrinya itu. Dua hari telah berlalu tanpa penyelesaian apa
pun. Tetapi mendadak ia memperoleh suatu pikiran, maka ia lantas bicara dengan istrinya.
"Anak kita tidak mau menikah, bukankah itu
disebabkan oleh San Pek?" katanya pada istrinya.
"Sekarang coba kau tanyakan dia, apa yang hendak
dilakukannya untuk San Pek, supaya ia dapat melupakan kekasihnya itu. Asal
jawabannya masuk akal, akan ku turuti dia. Setelah maksudnya kesampaian, dia
tentu mau menikah...."
Teng-si ragu-ragu, akan tetapi karena demikianlah
kemauan suaminya, ia mau mencoba juga. Begitulah, ia kembali ke dalam, menemui
putrinya. Namun, sesaat kemudian, ia kembali dengan tangan hampa...."
"Apa jawaban Eng Tay?" tanya sang suami mendahului
bertanya. Sang istri menggelengkan kepala, ketika menyahut, ia tampak lesu sekali. Ia
berkata. "Kata Eng Tay, San Pek sudah mati, dia sudah tidak punya kehendak apa-
apa lagi, kalau Papa dan Mama masih punya perasaan sayang
padanya, dia minta dibiarkan saja hidup menyendiri untuk menjaga kesuciannya,
dan dapat merawat orangtua
saja...." "Gila!" seru Kong Wan. "Aku tidak percaya! Mustahil seorang perempuan seperti
dia sanggup melayani orangtuanya" Sudah, kau jangan campur-tangan, saat tiba harinya, akan ku ringkus
dia dan ku paksa naik kereta pengantin!"
Teng-si bungkam. Suaminya sudah marah sekali.
Kong Wan juga selanjutnya tidak berkata apa-apa lagi.
Akan tetapi keesokannya, dua orang perantara jodoh
muncul secara mendadak tanpa memberi kabar terlebih dulu. Mereka adalah Li Yu
Seng dan Tian Leng Bow! Tuan rumah segera menyambut tamunya itu. Setelah
bicara sebentar, dia masuk ke dalam menemui istrinya, dan berkata pada si istri:
"Dua wakil keluarga Ma telah tiba, mereka sudah menetapkan hari nikah yaitu
tanggal delapan belas. Karena itu, bagaimanapun juga, kita harus beritahu
tanggal ini pada Eng Tay. Juga masih ada satu hal, yaitu masalah perjalanan.
Kita memilih jalan darat atau jalan air" Kalau jalan darat, harus menginap dua
malam. Mempelai laki-laki akan menyongsongnya di
tengah jalan. Kereta pengantin berjalan di jalan umum, tampaknya kurang serasi.
Sebaliknya kalau kita memilih jalan air, kita harus mengambil waktu tiga hari.
Pengantin laki-laki pun akan menyambutnya dengan perahu. Di
dalam perahu pengantin perempuan, segala sesuatunya akan disiapkan selengkap-
lengkapnya, seperti persiapan di rumah. Melalui jalan air, mempelai laki-laki,
tak usah datang ke rumah kita. Dijalan air, sejauh dua li, ada pelabuhan tempat
mempelai laki-laki akan datang
menyambut. Demikianlah, soal perjalanan ini, pihak kita diminta memilih dan
mengambil keputusan. Karenanya, kita harus tanyakan pendapat anak kita sebab dia
gadis yang luar biasa. Demikianlah pertanyaan keluarga Ma.
Maka, istriku, kau harus menemui anak kita untuk
menanyakan pendapatnya."
Ini masalah agak ruwet, tetapi Teng-si toh masuk ke dalam, untuk menemui
putrinya. Tetapi lebih dulu ia menanyakan suaminya, bagaimana kalau Eng Tay
tetap menolak. "Kalau sampai begitu, aku mempunyai dayaku!" kata
Kong Wan. Teng-si sampai di Hwe Sim Law. Seperti biasa, ia
melihat putrinya sedang membaca buku. Gadis itu diam saja, dia seperti tidak
mempedulikan ibunya. "Ah, Nak, Mama datang lagi mengganggumu," kata
ibunya, memulai pembicaraannya. "Akan tetapi Mama
datang dengan kabar baik! Kau tahu, keluarga Ma sudah memilih dan menetapkan
tanggal pernikahan. Tanggal
delapan belas tahun ini kau akan disambut mereka."
Eng Tay menoleh, mengawasi ibunya, tetapi ia tidak
menanggapi. Sang ibu berdiri di sisi meja. Katanya lagi: "Sekarang tinggal soal perjalanan,
yaitu, jalan darat atau jalan air.
Mengenai hal ini, kita yang diminta memilihnya."
Di luar dugaan, mendengar tentang jalan darat atau
jalan air itu, hati gadis itu tergerak. Segera juga ia bertanya: "Bagaimana
kalau jalan air, dengan naik perahu"
Apakah perahunya akan melewati Ow-kio-tin?"
"Ah, itu Mama tidak tahu," sahut ibunya.
"Kalau demikian, tolong Mama minta Papa tegaskan,
pihak sana, jalan air akan melewati Ow-kio-tin atau tidak,"
pinta Eng Tay. "Sebentar tolong beritahu aku."
Kembali Teng-si heran. Putrinya tidak marah, malah
tertarik. Tapi ia toh bertanya. "Kalau melewati Ow-kio-tin, kau berarti suka
naik perahu?" "Benar, Ma!" sahut putrinya. "Barangkali tidak ada
halangannya kalau aku memberikan keterangan. Makam
Nio San Pek ada di sebelah timur laut Ow-kio-tin, di makam Kiu-liong-hi di Ceng-
to-goan." Teng-si diam sejenak. Ia berpikir cepat.
"Jadi kau ingin menemui kuburan keluarga Nio?"
tanyanya kemudian. "Ya, Ma!" sahut putrinya. "Itu sudah semestinya!"
Teng-si diam, ia bimbang. Namun akhirnya ia berkata:
"Baiklah, nanti Mama tanyakan...." Dan terus saja ia pergi ke luar. Sekarang
ini, wajah si nyonya tidak lagi
memperlihatkan kebingungan seperti tadi.
"Bagaimana jawabannya?" Kong Wan mendahului
menanyakan istrinya. "Dia setuju?"
"Aneh!" jawab si istri. "Dia tidak menolak, juga dia tidak menerima, hanya dia
bertanya, kalau jalan air, perahunya melewati Ow-kio-tin atau tidak. Ketika ku
tanya, apa perlunya dengan Ow-kio-tin yang tiada sangkut-pautnya dengan keluarga
Ciok, dia berkata kuburan San Pek-ada di sana...."
Kong Wan membelai-belai janggutnya.
"Oh, begitu?" katanya. Dia pun heran. "Tapi, melewati Ow-kio-tin atau bukan,
mana ada aturan untuk memberitahu dia atau tidak....!"
"Kau tolol!" kata Teng-si. "Bukankah cukup asal kau dapat menipu dia hingga dia
suka menaiki perahu" Peduli apa dengan kuburan keluarga Nio atau bukan?"
Kong Wan merunduk, ia berpikir.
"Kalau begitu, beritahu dia, perahunya melewati Ow-
kio-tin!" katanya akhirnya.
Teng-si menggoyangkan tangan.
"Kita tak boleh mendustai dia!" katanya. "Kau tahu adat Eng Tay!"
"Baiklah, nanti ku tanya dulu," kata Kong Wan. Terus saja ia kembali ke ruang
tamu, menemui dua perantara itu. Tidak lama kemudian, ia sudah kembali pada


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istrinya. Ia berkata: "Benar, perahunya akan lewat Ow-kio-tin. Aku ditanya, pertanyaan ini
datang dari Eng Tay atau ada hal lainnya, aku menjawab dengan berdusta. Ku
katakan bahwa putri kita mempunyai sahabat di Ow-kio-tin dan putri kita itu hendak
mengunjunginya. Kedua tamu itu mengatakan tak soal bila perahu singgah di Ow-
kio-tin. Nah, sekarang kau pergi kabarkan padanya. Aku mau
tahu, apa lagi tanggapannya."
Teng-si terpaksa menurut, ia masuk lagi ke dalam.
Melihat ibunya, tanpa menanti si ibu berkata, gadis itu sudah mendahului:
"Apakah akan melewati Ow-kio-tin?"
"Benar, Nak," jawab ibunya. "Nah, apa lagi
pertanyaanmu?" "Sekarang aku hanya mau minta bertemu dengan Papa,
untuk mendengar dari Papa sendiri apakah Papa
menerima baik atau tidak permintaanku. Asal Papa terima, segala hal mengenai
diriku seumur hidup, kupasrahkan pada Papa. Kalau malah sebaliknya, sampai mati
pun aku tidak akan ke luar dari rumah keluarga Ciok ini!" Teng-si melengak
sejenak. "Jadi kau mau bicara sendiri dengannya?" tanyanya.
"Baiklah! Mari kita menemuinya!"
Si ibu segera berjalan, dan putri itu mengikuti. Di dalam kamar, Kong Wan tampak
sedang membenahi kain untuk
keperluan pernikahan. Ia tampak tidak gembira.
Begitu masuk, melangkahi pintu, Eng Tay segera
memanggil: "Pa...!"
Kong Wan melepaskan kain di tangannya, dia menoleh.
Dia pun mengangguk, "Oh, kau, Nak!" sahutnya. "Kau hendak bicara apa?"
Gadis itu mengangguk pada ayahnya.
"Ayo, duduklah!" kata Teng-si menyelak. "Kau baru tiba, kau ini mirip tamu
saja...." "Tak usah, Ma!" kata Eng Tay. "Aku ingin tanya Papa, kalau kita naik perahu,
apakah kita akan melewati Ow-kio-tin atau tidak?"
"Benar, Nak. Kita akan melewati Ow-kio-tin," jawab
ayahnya. "Di Ow-kio-tin itu, di timur lautnya ada makam Kiu-
liong-hi," kata Eng Tay. "Di sana ada kuburan Nio San Pek.
Ku harap, setibanya di sana, aku dapat mendarat sebentar saja. Ya, aku hendak
berziarah ke makam Nio San Pek untuk menyampaikan kerinduanku, kerinduan yang
terakhir kali...." "Ini..." kata Kong Wan tertahan.
"Papa jangan ragu-ragu," kata Eng Tay memotong. "Jika Papa izinkan aku mendarat,
aku akan memberi hormatku yang terakhir pada Kakak San Pek, seandainya tidak
boleh, ya sudah, aku pun tidak akan naik perahu!"
Kong Wan tercengang. Pertanyaan yang sangat
menyulitkan, jelas putrinya memaksakan permintaannya.
Menerima salah, menolak juga salah, bagai buah
simalakama. Teng-si yang berada di sisi mereka tahu kebimbangan suaminya. Dalam keadaan
seperti itu, ia memberanikan diri berkata.
"Sudah, izinkan saja!" demikian katanya. "Menghormati pihak Nio pun ada
baiknya." Kong Wan masih berpikir, barulah kemudian ia
mengibaskan tangannya. "Baiklah, Papa izinkan kau memberikan
penghormatanmu!" katanya akhirnya. "Tetapi masih ada satu permintaan, Papa! Kau
tak boleh mengenakan pakaian berkabung!" "Baik, Pa, ku turuti perintah Papa!" kata gadis itu cepat.
"Namun, sekali seorang terhormat mengeluarkan kata-
katanya, dia tak dapat menyesali dan menariknya
kembali!" Tanpa tedeng aling-aling gadis ini mendesak ayahnya yang dianggapnya orang
terhormat. "Kalau Papa menolak, Papa tetap menolak," kata
ayahnya. "Setelah Papa izinkan bagaimana Papa bisa
menariknya kembali" Tetapi Papa ingin bertanya, dengan kepergianmu ini, kau akan
pergi ke rumah keluarga Ma atau tidak?"
Orang tua ini pun masih ragu-ragu, khawatir diperdayai putrinya yang cerdik ini.
Gadis itu menjawab dengan cepat.
"Perahu itu milik keluarga Ma, lalu aku hendak kabur ke mana?" demikian
jawabannya, yang mirip pertanyaan pula.
Sampai di situ, Teng-si menyelak lagi. "Putri kita sudah bicara, perkataannya
sepatah ya sepatah!" demikianlah sang istri ini mencoba menengahi.
"Putri kita ini sudah memberikan jawaban, pasti dia tidak akan mengingkarinya!"
"Baiklah!" kata suaminya akhirnya. "Aku mau pergi ke depan!"
Eng Tay tidak mempedulikan apa-apa lagi, langsung ia kembali ke lotengnya. Gin
Sim mengikuti nona majikannya itu."Apakah Nona bersedia menikah dengan keluarga
Ma?" tanya abdi itu, heran. "Kalau aku menolak, bagaimana?" gadis itu balik
bertanya. "Seandainya Nona tetap menolak, mustahil Tuan Besar memaksa dengan mengikat
Nona." "Ternyata kau berani, Gin Sim. Tetapi hal ini lebih baik tidak kau campuri.
Tetap sudah keputusanku untuk naik perahu! Namun, bagaimana pendapatmu?"
Si abdi membungkam, ia tak dapat menjawab, maka ia
mengawasi majikannya itu.
Eng Tay menatap pelayannya ini.
"Hayo bicara!" desaknya. "Ini adalah saat kritis
terakhir!" "Non, aku hanya mengikutimu saja. Ke mana Nona
pergi, ke sana aku turut juga!
"Itu aku sudah tahu. Aku tanya tentang perasaan
hatimu sendiri!" "Saya sudah mengambil keputusan seperti Nona. Saya
tak mau menikah!" "Itu baru separuh bunyi hatimu," kata nona majikannya itu. "Baiklah, yang
sebagian lagi aku yang katakan
padamu. Aku ingin menyerahkan kau pada Su Kiu supaya kalian dapat hidup bersama
seratus tahun...." Gin Sim tertegun, tetapi ia tersenyum-simpul.
Eng Tay mengangguk. "Pasti itu dapat terlaksana," kata si majikan. "Tiba saatnya nanti tentu ada
orang yang menggenapinya. Aku akan naik perahu, kau tetap ikuti aku. Kau akan
mengerti bila nanti tiba saatnya...!"
Gin Sim menerima baik perkataan majikannya itu,
meski ia masih belum jelas. Ia mencoba untuk tidak
memikirkannya. Sejak hari itu, semua orang di rumah keluarga Ciok
mengetahui bahwa nona mereka telah menerima lamaran pernikahan dengan keluarga
Ma. Semua pun lantas bekerja, mengerjakan ini dan itu dengan hati gembira.
Sebaliknya dengan Eng Tay sendiri, dia tidak
mempedulikan apa pun juga.
Demikianlah, pada tanggal 24, perahu yang dikirim
keluarga Ma untuk menyambut pengantin telah tiba, terus berlabuh di tempat
sejauh satu li dari rumah keluarga Ciok. Telah datang dua buah perahu dengan dua
puluh anak buahnya. Ciok Kong Wan lantas memeriksa perahu, terus ia
mengatur barang-barang yang hendak dibawa-serta oleh beberapa orang pengikutnya.
Ia sendiri bersama istrinya akan mengantarkan putrinya, sebab tak tenteram
hatinya membiarkan Eng Tay pergi tanpa pengantar sebagai
wakilnya. Mengenai Gin Sim, abdi ini tetap ikut dan bertempat di perahu nona
majikannya. Pada tanggal 25, semua orang sudah berada di atas
perahu. Eng Tay tidak mengenakan pakaian baru, hanya baju
hijau. Ia pun tidak berhias atau memakai bedak. Melihat demikian, Teng-si, si
ibu tidak puas, akan tetapi mengingat masih ada waktu dua hari untuk berhias, ia
melegakan hatinya, ia membiarkan saja.
Perahu yang ditumpangi Eng Tay berada di sebelah
belakang, perahu ayah-bundanya di depan. Jendela
perahu gadis itu dirintangi dengan sejenis jala yang tertutup dedaunan hingga
tangan pun sukar dijulurkan.
Melihat itu, Eng Tay tersenyum dalam hati. Kamarnya diperlengkapi dengan
ranjang, meja dan kursi batu. Di atas meja terdapat beberapa jilid buku. Jelas
lengkaplah persediaan yang dibutuhkan.
"Perahu ini bagus sekali," kata Eng Tay. "Kalau Papa tidak memanggilku, aku
tidak mau pergi ke perahu Papa."
Kedua orangtuanya meng-iya-kan.
Selama dua hari pelayaran tidak terjadi hal yang tidak menyenangkan. Di hari
ketiga, perahu itu pun mulai
memasuki sungai Yong. Tetapi hari itu, mendadak saja angin berhembus kencang
hingga air sungai bergelombang, tidak seperti biasanya.
Anak buah perahu dengan cepat menurunkan layar.
Air sungai naik setinggi tiga kaki, suaranya berdebur keras.
Tentu saja, tubuh perahu pun oleng, naik-turun.
Ombak putih datang dan pergi bergantian. Kalau ombak muncrat di tepi kiri dan
kanan sungai, orang tak dapat melihat dengan jelas wujud rumah yang teraling
pepohonan. Daun-daun tua berwarna kuning, terbang berhamburan
tertiup sang bayu. Sudah pasti, di atas perahu pun, orang tak dapat berdiri tenang.
"Tempat ini, apa namanya?" tanya Eng Tay pada anak
buah perahu. "Inilah Ow-kio-tin," gadis itu mendapat jawaban. "Di sana itu adalah tempat yang
disebut Kiu-liong-hi."
"Oh!" seru gadis itu. "Ayo cepat kau berlabuh!"
"Tak usah Anda perintahkan, Non," kata si tukang
perahu. "Kita memang mesti singgah di sini. Gelombang terlalu besar dan
berbahaya bagi kita."
Eng Tay melongok ke luar jendela, ke sebelah kanan.
"Aku ingin kalian berlabuh di dekat Kiu-liong-hi,
bisakah?" tanya lagi.
"Bisa, Non!" demikian jawab si tukang perahu.
Perahu pun mulai menuju Kiu-liong-hi.
20 Sepasang Kupu-kupu MENURUT keterangan anak buah perahu, tempat yang
disinggahi itu benar adalah Kiu-liong-hi, di dalam daerah Ow-kio-tin.
Ciok Kong Wan merasa gelisah, setibanya di Ow-kio-tin ini, mendadak saja datang
angin besar hingga air bergelombang. Akhirnya, ia menanyakan seorang tukang perahu: "Angin dan
gelombang ini akan bertahan sampai berapa lama?"
"Mungkin tak lama," jawab orang yang ditanya.
Kong Wan menjadi tenang, ia mengusap-usap
janggutnya lalu berdiam diri.
Anak buah perahu pun menurunkan jangkar, maka
berlabuhlah kedua perahu itu.
Lantas Eng Tay menghadap ke perahu ayahnya, dan
berkata pada ayahnya: "Pa, kita sudah sampai di Ow-kio-tin, sekarang aku mau
mendarat untuk berziarah ke
kuburan Nio San Pek. Berapa orang kiranya boleh ku
ajak?" Kong Wan tidak segera menjawab, jelas ia berpikir dulu.
"Cukup kau ajak Gin Sim seorang saja," demikian
jawabannya. Namun ia menambahkan: "Tetapi di sini
semua orangnya keluarga Ma, kalau mereka mau turut, aku tidak dapat
melarangnya...." "Terima kasih, Pa." Kalau mereka mau turut, biarkan saja!"
Teng-si tidak berkata apa-apa, akan tetapi dengan
kedua matanya, ia mengawasi kepergian putrinya itu.
Eng Tay bergelung Tui in-ki - Awan Bersusun. Ia bersalin pakaian serba merah, ia
pun mengenakan dengan lengkap perhiasan rambutnya. Bajunya bersulamkan seekor
kupu-kupu berwarna-warni serta bunga bow-tan atau peony.
Sepatunya bersulamkan kepala burung Hong, phoenix. Ia pun berbedak secara serasi
hingga tampak sangat ayu.
Sang ibu heran melihat dandanan putrinya itu, hingga ia berkata: "Nak,
dandananmu kurang tepat. Kau toh
hendak pergi ke makam, mengapa kau berpakaian begitu bagus?"
"Tetapi, Ma," jawab putrinya, "Papa telah melarangku mengenakan pakaian
berkabung, maka dari itu sekarang aku berpakaian seperti ini!"
Teng-si membungkam, ia melengak. Tetapi, tidak
demikian dengan suaminya.
Kong Wan menuding putrinya: "Papa melarangmu
mengenakan pakaian berkabung, tetapi bukan
mengizinkan pakaian macam ini!"
"Ah, sudahlah!" ujar Teng-si akhirnya menengahi.
"Pakaian apa juga, sama saja. Kita tak perlu menarik perhatian orang banyak...."
Eng Tay berjalan perlahan-lahan.
"Pa, Ma, aku berangkat," katanya tenang.
"Baiklah, Nak," kata ibunya. "Tapi kau harus lekas pergi lekas pulang."
Eng Tay mengangguk. Tadinya ia mau berhenti sebentar untuk mengatakan sesuatu,
namun ia batalkan. Ia khawatir nanti ayahnya bicara lagi. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan di
papan jembatan sampai tiba di darat, di tepian.
Di tepian itu tampak orang-orang keluarga Ma
bertebaran. Eng Tay mengetahui hal itu, ia diam saja.
Gin Sim mengiringi nona majikannya, ia pun melihat
orang-orang keluarga Ma, ia juga tidak mengatakan
sesuatu. Ia bungkam seperti nona majikannya itu.
Keduanya berjalan dengan tenang.
Jalanan di depan terpecah dua, barat dan utara. Jalan yang di tengah, di depan,
tampak banyak pepohonan, lebat, hingga tak tampak orang berlalu-lalang. Berjalan lebih jauh, di antara
dua baris pepohonan, tampak
segundukan tanah - tumpukan tanah yang baru diuruk. Di sisi gundukan itu,
terdapat sebuah batu nisan dengan sebaris huruf berbunyi: Kuburan Nio San Pek.
Tak ragu lagi, itulah tempat Nio San Pek beristitahat untuk selama-lamanya!
Eng Tay mempercepat langkahnya hingga ia tepat
berada di depan kuburan yang lantainya terbuat dari batu hijau itu. Segera ia
menjatuhkan diri, berlutut, dari mulutnya pun serta-merta ke luar suaranya yang
parau: "Kakak San Pek, inilah Adikmu, Eng Tay... Aku ingat janji kita dulu, kau akan
menantikanku di jalan ke dunia yang lain. Nah, sekarang aku lewat di sini, maka
inilah saatnya kita berkumpul bersama...!". Tangisan sedih menyusuli ratapan
gadis itu. Tepat pada saat itu, sekonyong-konyong saja, bertiuplah angin kencang, melintas,
terdengar di antara pepohonan. Sebaliknya dipucuk pohon, di atas, tampak sinar kuning bagaikan kilau
emas! Gin Sim terkejut, ia menghampiri nona majikannya
yang sedang berlutut di depan kuburan. Di saat mendekat, ia mendengar suara
majikannya: "Kakak San Pek, aku ingat janji kita dulu. Di kuburan ini akan dipasang dua batu
nisan, satu atas nama Nio San Pek, yang lain atas nama Ciok Eng Tay, tetapi


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang, mengapa cuma satu batu dengan nama Nio San Pek
saja..." Sehabis berkata demikian, Eng Tay bangkit, untuk
memeluk nisan sang kekasih. Tangisannya yang keras pun menyusul.
Tiba-tiba saja, awan hitam bergulung-gulung di
angkasa, disusul dengan kilat yang menyambar-nyambar, bergerak-gerak bagaikan
seekor naga kuning, berkelap-kelip, bersuara nyaring, kemudian diikuti dengan
suara guntur yang menggelegar!
Gin Sim terkejut, ia takut hingga tubuhnya menciut, dan kedua tangannya dipakai
untuk menutupi matanya. Hujan pun segera turun, butirnya besar-besar. Hingga dalam sekejap saja, basah-
kuyuplah tubuh semua orang!
Itu belum lengkap! Di saat menegangkan semacam itu, tiba-tiba tanah kuburan San
Pek terbuka, merekah, sambil memperdengarkan suara nyaring, dan mencuatlah
sebuah batu nisan bercacahkan lima kata besar: Ciok Eng Tay Ci Bok, artinya,
Kuburan Ciok Eng Tay. Aneh luar biasa, selagi hujan turun demikian derasnya, tubuh Eng Tay tidak
basah. Ia berdiri di samping batu nisan itu!
Menyaksikan hal itu, dari kaget dan gugup, Eng Tay
menjadi girang tiada-kepalang. Ia segera berteriak: "Kakak San Pek, lekas buka
pintu, Adikmu sudah datang!"
Hebat teriakan gadis itu. Suaranya bagaikan
menggetarkan bumi. Dan, luar biasa, segera terjadilah keajaiban: Tanah kuburan
itu merekah, dengan memperdengarkan suara nyaring; terbuka lebar-lebar, seperti dua daun pintu yang
dibentang. Dari liang lahat terlihat cahaya terang api lilin. Tanah bongkaran
itu bertumpuk di kedua sisi.
Menyaksikan hal itu, Eng Tay menjerit lagi: "Kakak San Pek, Adikmu, datang...!"
Menyusul ucapannya itu, tubuh gadis itu bergerak,
melompat, masuk ke dalam liang kubur....
Gin Sim kaget bukan-kepalang, cepat ia menyambar
tubuh nona majikannya itu, akan tetapi sudah terlambat.
Ia cuma dapat menggenggam ujung bajunya yang robek, tinggal secuil di tangannya.
Tubuh gadis itu telah masuk ke dalam liang lahat, dan kuburan itu pun segera
tertutup dengan sendirinya, tanpa bekas-bekas terbuka!
Semua kejadian itu susul-menyusul dengan cepat
sekali, secepat kilauan sang kilat. Begitu berkelebat, begitu lenyap.
Gin Sim tertegun, ia terperanjat dan juga takut. Ia sangat heran. Bukan main
menyesalnya ia. Kini ia hanya memegangi sobekan baju nona majikannya. Gadis itu
sendiri lenyap entah ke mana....
Sekian lama Gin Sim berdiri tercengang, ia seakan-akan lumpuh.
Setelah itu hujan pun berhenti, langit terang kembali seperti sediakala.
Segalanya sunyi. Tiada jalan lain, Gin Sim berpikir untuk kembali ke perahu. Tetapi saat itu
juga, satu kejadian lain menyusul.
Sobekan baju di tangannya itu, bukan lagi cuilan baju, dan tijba-tiba berubah
menjadi seekor kupu-kupu berwarna-warni, indah sekali. Kupu-kupu itu terbang di
antara rerumputan! Bersamaan dengan rasa herannya, Gin Sim berniat
menangkap binatang itu, namun ia gagal. Sang kupu-kupu terbang, tak dapat
ditangkap. Ia penasaran, ia mengejar, namun sia-sia saja. Kupu-kupu itu terlalu
gesit dan lincah. Setelah terbang di atas kepala abdi yang setia itu, terus dia terbang tinggi,
menghilang.... Gin Sim membelalak, mengawasi, sampai ia tersadar.
Selang sesaat, selagi abdi ini berniat kembali ke perahu, tiba-tiba ia mendengar
suara bertanya: "Gin Sim, baru saja hujan lebat! Mana Nonamu?"
Ternyata orang yang menegur itu, yang baru tiba adalah Teng-si. Di samping si
nyonya, juga ada Ciok Kong Wan, sang majikan. Mereka itu datang karena telah
terlalu lama menantikan kembalinya putri mereka.
Sejenak Gin Sim bingung. Ia bicara atau tidak"
Bagaimana kalau ia membungkam" Mana tanggung
jawabnya" Kalau ia bicara sebenarnya, apakah ia akan dipercaya" Tetapi jelas,
nona majikannya telah lenyap....
Akhirnya, mau tidak mau, hamba ini menjawab yang
sebenarnya. Kong Wan dan Teng-si kaget bukan main, mereka
tercengang. Hal itu teramat aneh! Sulit untuk
mempercayainya! "Gila kau!" damprat Kong Wan. "Bagaimana mungkin
manusia hidup bisa lompat masuk ke dalam liang kubur?"
"Tetapi itu benar, Tuan Besar," kata si abdi. "Di sana, ada orang-orang keluarga
Ma yang turut menyaksikan."
Saat itu enam orang keluarga Ma, dengan tubuh basah kuyup datang mendekat.
Mereka mendengar pembicaraan antara majikan dan hambanya itu, maka tanpa diminta
lagi, mereka menegaskan: "Benar, Tuan Besar, benar apa yang dikatakan nona ini.
Kami menyaksikannya sendiri!
Kami berada sedikit jauh, kami tak dapat menolong.
Kuburan itu merekah dan tertutup dengan sangat cepat, terjunnya gadis itu lebih
cepat lagi!" Teng-si mengawasi mereka itu.
"Benar demikian?" tanyanya. "Sungguh aneh!"
Kong Wan dan istrinya masih ragu-ragu, bersama-sama mereka melangkah cepat
menuju kuburan. Mereka memeriksa kuburan yang tanahnya masih baru itu.
Urukannya baru. Mereka pun menyaksikan kedua batu
nisan yang berukiran nama-nama San Pek dan Eng Tay, bukan main herannya mereka.
Sejenak, mereka berdiri terpaku, mata mereka tertuju pada kuburan.
Segera juga Teng-si menjerit menangis.
"Ketika masih berada di perahu, hujan besar
membuatku sangat cemas," katanya sambil menangis.
"Aku memikirkan Eng Tay, aku mengkhawatirkan
keselamatannya maka aku sungguh tidak duga, dia justru lenyap secara begini
aneh...! Oh Nak, di mana kau....?"
Kong Wan yang berhati keras juga mengucurkan air-
mata. Biar bagaimanapun, ia menyayangi putrinya.
Gin Sim menangis dengan sangat pilu. Ia pun takut
disalahkan majikannya. Ia mohon maaf, tetapi ia
menambahkan bahwa dirinya tidak bersalah.
"Kau memang tidak bersalah, kami tidak
menyalahkanmu," ujar Teng-si menenangkannya.
Tiba-tiba tangan Gin Sim menunjuk dan dari mulutnya terdengar suara yang
menyatakan keheranannya: "Lihat, kupu-kupu itu muncul lagi...!"
Semua orang heran, dengan sendirinya semua menoleh
ke arah yang ditunjuk si abdi itu.
Seekor kupu-kupu muncul, terbang perlahan-lahan.
Binatang itu cantik sekali. Sayapnya berwarna lima
macam, bergemerlapan dan terang, bercahaya gemilang.
Dia lantas turun ke atas kuburan dan hinggap di rumput.
Namun itu belum lengkap. Mendadak juga, dari
belakang kuburan, muncul pula seekor kupu-kupu yang lain. Dia ini melayang,
terus hinggap di sisi kupu-kupu yang pertama. Sayapnya juga indah. Setelah itu,
keduanya terbang lagi. Akan tetapi kali ini, keduanya mengapung turun dan naik,
bersamaan dan bergantian.
Selang sesaat, keduanya terbang tinggi, melayang
sampai di atas kepala Ciok Kong Wan dan Teng-si yang saking herannya berdiri
terpaku mengawasi kedua binatang itu sejak tadi. Di atas kedua suami-istri itu, kedua kupu-kupu itu
terbang berputar-putar....
"Sungguh kupu-kupu nan besar dan indah!" puji
beberapa orang keluarga Ma.
Kedua kupu-kupu itu terbang lagi ke atas kuburan, ke antara beberapa orang itu,
agaknya keduanya mengerti bahwa mereka dipuji, rupanya mereka hendak
mengucapkan terima kasih....
Tetapi kali ini, sesudah mengapung berputar-putar,
keduanya semakin lama semakin tinggi, tanpa terasa
mereka telah terbang jauh dan lantas lenyap dari
pandangan mata! Kong Wan memandang kosong mengawasi kuburan San
Pek, akhirnya ia berkata pada istrinya: "Sudahlah, mari kita pulang! Kita perlu
mengetahui sikap keluarga Ma. Ku pikir, kejadian ini tak perlu membuat kita
mengalami kesukaran. Kejadiannya pun disaksikan oleh orang-orang keluarga itu,
sedangkan kita, kita tidak tahu apa-apa.
Saksi kita hanya Gin Sim seorang, mungkin kesaksiannya tidak cukup kuat, tetapi
bersama kesaksian pihak sana sendiri...."
Teng-si mengusap airmatanya. Beberapa lama ia
berdiam saja. Sesaat kemudian, barulah ia berkata.
"Ayo kita pulang...." suaranya berat. "Harap saja kalau nanti orang-orang
keluarga Ma ini pulang, mereka bisa memberikan kesaksian dan hal itu diterima
baik oleh keluarga Ma...."
Kong Wan lantas menggapai Gin Sim.
"Gin Sim, mari kita pulang! Masih ada beberapa
pertanyaan kami untukmu."
Sang abdi membungkam, tetapi ia ikut pulang. Ia masih memikirkan nona majikan,
orang yang ia andalkan. Sesaat itu, ia bingung memikirkan dirinya, tentang masa
depannya.... Orang-orang keluarga Ma pun turut pulang, mereka
tidak berkata apa-apa. Masing-masing balik ke perahu mereka.
Kong Wan tidak memperoleh keterangan lebih jauh,
sebab peristiwa itu pun tidak diketahui oleh orang lain.
Tiba dirumah, benar juga, Kong Wan menanyakan Gin
Sim, akan tetapi hamba ini tidak dapat memberikan
keterangan lebih banyak. Walaupun aneh, sederhana
sekali terjadinya peristiwa itu.
Di lain hari, sewaktu malam gelap dan sunyi, diam-diam Gin Sim membuka pintu,
pergi ke luar tanpa sepengetahuan siapa pun. Ternyata ia tak dapat tinggal lebih lama pula di dusun
Ciok, maka ia menjauhkan diri.
Sang Kala berlalu, tibalah pertengahan bulan kedua.
Waktu itu, di Kang-lam selatan sungai Yang Tze, ratusan bunga bermekaran. Dan
pada suatu hari, di kuburan Nio San Pek, tampak Su Kiu bersama Gin Sim!
Pepohonan dan rerumputan di sekitar kuburan, semua
tampak hijau dan segar. Su Kiu bersama Gin Sim menjalankan penghormatan
dengan berlutut dan membungkuk di depan kuburan San Pek. Di hati mereka, itu
juga kuburan Eng Tay. Kemudian mereka berdiri diam, mata mereka menatap kuburan.
Sewaktu mereka mengawasi, mendadak dari antara
pepohonan yang lebat muncul dua ekor kupu-kupu yang indah sayapnya, beterbangan
berpasangan di depan kuburan. "Itulah kedua Tuan Muda kita, Nio San Pek dan Ciok
Eng Tay!" seru muda-mudi itu, girang dan kagum serta heran....
Gin Sim gembira karena ia merasa yakin, itulah
reinkarnasi nona majikannya serta sang Tuan Muda. Ia mengagumi kedua pasangan
itu. Su Kiu terpesona akan agung dan indahnya kedua kupu-kupu itu, yang
'riwayat'nya telah ia dengar dari kawannya itu, yang kini telah menjadi
istrinya. Kedua abdi ini terus mengawasi sepasang kupu-kupu
yang indah itu, yang sedang terbang berdampingan,
mengapung turun-naik, berputar-putar di atas rerumputan kuburan yang baru itu,
lalu perlahan-lahan, terbang naik, sampai ke pucuk pohon-pohon cemara yang besar
dan tinggi, dan akhirnya, lenyap... tak tampak lagi....
TENTANG PENULIS OKT, alias Oey Kim Tiang, lahir di Tangerang pada tahun 1903, seorang peranakan
Cina generasi ke-2, dan berbahasa "Melayu pasar" dalam keluarganya. Ia mendapat pendidikan formal bahasa
Cina di sekolah dasar. Di bawah bimbingan gurunya, yaitu Ong Kim Tiat (1893-
1964), yang juga menggunakan initial O.K.T., OKT-muda bergelut
dalam penerjemahan berbagai karya dari bahasa Cina.
Sejak tahun 1920-an ia telah dikenal sebagai penyadur cerita-cerita silat dan
kerajaan dari Cina dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar dan majalah
maupun dalam format buku. Sadurannya sangat banyak dan amat digemari, dan sering
dibajak sampai sekarang (untuk daftar sebagian karya terjemahan atau sadurannya,
lihat Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A
Provisional Annotated Bibliography, pada judul
"Oey Kim Tiang" dan "Ong Kim Tiat"). Ketika muda, selain menyadur, ia juga
terjun dalam pers sebagai korektor atau editor, suatu kegiatan yang hingga kini
masih dilakukan bila membaca surat kabar, majalah, buku atau menonton televisi.
Walau telah lanjut usia, OKT masih bersemangat tinggi untuk menyumbangkan apa
saja yang dapat dilakukannya. Saduran San Pek Eng Tay ini merupakan sumbangsihnya kepada
masyarakat Indonesia dalam usia yang ke-85.
ASA (Achmad Setiawan Abad) lahir di Bangka pada tahun 1951. Mantan dosen
Universitas Indonesia (UI) (1976-1988) dan Universitas Nasional, mantan peneliti
pada Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, mantan anggota Badan Komunikasi
Penghayatan Kesatuan Bangsa Pusat, mantan pengurus
Himpunan Perserikatan Bangsa-Bangsa - Indonenesia, ia mendapat pendidikan
formalnya antara lain dari Fakultas Farmasi Gajah Mada (UGM), Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia, Fakultas Sosial dan Politik UGM, Fakultas Ilmu-
ilmu Sosial Universitas Indonesia (UI), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Fakultas Ekonomi UI, Fakultas Komunikasi serta Fakultas Politik Universitas
Hawaii. Pendidikan non-formal diperolehnya antara lain dari East West Center
Communication Institute. Telah menerjemahkan buku-buku antara lain, non-fiksi:
Menjangkau Dunia: Menguak Kekuasaan Perusahaan
Multinasional, Geografi Keterbelakangan, Pengantar Analisis Politik, Islam di
Asia Tenggara, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan; fiksi antara lain: Novel Batas
Air (Shui Hu Chuan) dan Sang Ayatollah.
Sengketa Pewaris Tunggal 2 Mustika Lidah Naga 6 Memburu Iblis 3
^