Senopati Pamungkas Satu 21
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 21
meninggalkan bekas-bekas.
Medan pertarungan bisa segera dikembalikan ke suasana semula.
Korban yang meninggal dikuburkan, yang sakit dirawat, yang menyerah diurus untuk
tata peradilan yang berlaku.
Belum sepenanak nasi, suasana kembali seperti semula. Bagian pinggir dinding
Keraton bersih seakan tak pernah terjadi sesuatu yang mengerikan.
Seakan tak pernah ada pertumpahan darah sesama saudara.
Akan tetapi, pertarungan dalam hati Mahapatih tak segampang itu dibersihkan.
Hati yang jauh lebih kecil, yang tak lebih lebar dari telapak tangan, seperti
tak bisa dibungkam sepenuhnya.
Telinga seperti mendengar rintihan.
Rintihan sendiri. Yang makin jelas ketika Mahapatih kembali ke dalem kepatihan.
Sebelum akhirnya melapor kepada Baginda.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Simpang Kebimbangan BAHWA dirinya akan menangkap dan mengadili Senopati Sora yang membangkang, itu
sedikit pun tak membuatnya ragu.
Semua sudah terbayangkan secara rinci dalam benak Mahapatih.
Yang tetap membuatnya terenyak adalah kenyataan bahwa tubuh Senopati Sora
menelentang di tanah dengan perut hancur, tetapi dengan sunggingan senyuman
luhur. Adegan itu membuat Mahapatih bimbang.
Tanpa suara, tanpa menoleh kiri-kanan, Mahapatih segera masuk ke dalam senthong.
Ke dalam bagian rumah yang selalu dibiarkan kosong.
Kamar yang biasanya selalu dipakai buat bersemadi, berdoa, memasrahkan diri
kepada Yang Maha mutlak ini merupakan tempat yang teduh.
Semua senopati atau prajurit, selalu mempunyai senthong dalam rumahnya.
Ruangan yang selalu dibiarkan kosong melompong. Dengan jendela yang selalu
tertutup. Hanya ketika Mahapatih membuka pintu, terdengar suara perlahan.
"Kenapa tak kamu basuh kakimu sebelum masuk kemari, anakku"
Kenapa tak kamu biarkan keringat menjadi kering lebih dulu?"
Mahapatih Nambi berlutut.
Bersila dan menghaturkan sembah.
Suara yang lembut, pelan menyentuh telinganya, adalah suara yang diakrabi sejak
masih kecil. Suara Ayahanda. Lelaki perkasa yang seluruh rambutnya putih dengan badan yang kurus itu duduk di
lantai dingin. Tanpa alas apa-apa.
Mahapatih menyembah lagi.
Jauh dalam hatinya, Mahapatih Nambi sangat menghormati ayahnya.
Tokoh pujaan semasa kecil, sampai ketika ia masuk sebagai prajurit, dan
pangkatnya terus naik, hingga ke puncak kekuasaan sebagai mahapatih.
Selama itu pula, Mahapatih Nambi merasa bahwa apa yang bisa dicapai adalah
karena restu dari ayahnya. Yang memilih hidup di Lumajang, hidup dari sawah dan
sungai. Yang tetap memilih cara hidup seperti ketika Mahapatih Nambi masih
kecil. Tak ada yang berubah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak ada yang bertambah. Beberapa kali Mahapatih Nambi mengirim utusan atau datang sendiri ke Lumajang,
baik untuk mengirimkan sesuatu atau memohon ayahandanya pindah ke Keraton.
Akan tetapi ayahandanya selalu menolak.
Tak pernah bergerak lebih jauh dari tapal batas desa Gandhing.
Bahkan ketika Nambi dinobatkan sebagai mahapatih, ayahandanya tetap tak mau
diundang. Sekarang ini, justru datang.
"Biarkan keringatmu kering, anakku.
"Ruangan ini tak bisa mengeringkan keringat seorang lelaki."
Mahapatih menunduk. "Sungguh bahagia, Bapak berkenan menengok anaknya yang berada di jalan
persimpangan ini. "Rasanya saya merasa bukan anak lola, yang tak mempunyai siapa-siapa dan apa-apa
lagi." "Tata bicaramu bagus sekali, anakku.
"Kenapa harus bimbang" Bukankah semua jalan adalah persimpangan" Bukankah semua
jalan menuju ke arah yang kita mau"
"Anakku, sebagai prajurit kamu tahu di mana jalanmu.
"Sebagai orang dusun, aku tahu di mana jalanku.
"Kenapa merisaukan persimpangan, yang bukan jalan kita?"
"Mohon petunjuk lebih jauh."
"Anakku, siapa yang berani memberi petunjuk Mahapatih?"
Suara itu justru menyayat Mahapatih yang makin menunduk.
"Tapi kamu anakku. "Kamu Nambi yang setia menunggu batang padi tumbuh. Setia menunggu air di sawah.
"Yang mendengarkan dongengan prajurit utama.
"Nambi, anakku."
Mahapatih terkejut. Hatinya sedikit kecut. Suara Ayahanda seperti mengisyaratkan
sesuatu. "Pandanglah bapakmu ini."
Mahapatih mendongak perlahan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Wajah yang dulu sangat dikenalnya.
Wajah yang sekarang selalu dibayangkan.
"Aku masih bapakmu, Nambi.
"Kamu masih anakku. "Tapi jalan yang kita tempuh jauh berbeda. Sewaktu aku datang, prajurit-prajurit
mengelukan, menyambut dengan upacara besar-besaran. Pranajaya Mpu Sina, bapak
agung Mahapatih, berkunjung.
"Ah, siapa yang menjadi empu?"
"Maaf..." "Tak ada yang perlu dimaafkan, Nambi.
"Tak apa. "Semua harus begitu.
"Kalau ada jalan simpang, itulah jalan simpang yang ada. Akan tetapi jangan
membuatmu bimbang. "Teruskan langkahmu.
"Aku bangga padamu. "Kamulah anak lelakiku, kamulah prajurit, mahapatih tempat rakyat mencari
perlindungan." Mahapatih menunduk. "Aku tak punya kata-kata. Tata kramaku sangat buruk, Nambi.
"Bahkan untuk menyembah seorang mahapatih pun tak mampu. Aku hanya ingin menengokmu. Menengok anakku, prajuritku.
"Sekaligus aku minta pamit.
"Kalau nanti aku berada di Gandhing, aku akan merasa bahagia karena telah
melihatmu. "Anakku, prajuritku.
"Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah."
Mpu Sina mengangguk. Perlahan berdiri. Mahapatih masih menunduk.
Tak bergerak. Mpu Sina berjalan perlahan. Sampai di pintu senthong berhenti sebentar.
Tangannya yang lembut menyentuh pundak Mahapatih.
"Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau kamu membelok ke Lumajang, itulah persimpangan yang salah.
"Selamat, anakku. "Dewa Yang Mahaagung akan selalu menyertaimu."
Mpu Sina meneruskan langkahnya. Keluar dari senthong, melalui ruang utama,
menuju pendapa, dan melalui halaman kepatihan, menuju pintu gerbang.
Dan lenyap. Kembali ke desa Gandhing.
Mahapatih masih menunduk di depan pintu senthong. Tak berani bergerak.
Inilah pengalaman yang sangat luar biasa.
Untuk pertama kalinya, ayahandanya bersedia datang ke Keraton.
Untuk terakhir kalinya pula.
Betapa jauh perjalanan dari Lumajang, untuk seorang setua ayahandanya. Apalagi
ditempuh dengan jalan kaki, sebisanya, sekuatnya.
Tak ada gunanya mengirimkan kuda, joli, atau pengawalan.
Seperti juga ketika kembali.
Satu langkah demi satu langkah.
Dengan bantuan tongkat dan istirahat.
Itulah ayahandanya. Yang tetap merasa sungkan disebut empu. Yang merasa tak
pantas dikawal. Itulah lelaki yang menempa batinnya sehingga ia seperti sekarang ini.
Mahapatih bisa membayangkan bahwa jauh sebelumnya, ayahandanya sudah berangkat.
Dan dengan perhitungan batin yang tak diketahui bagaimana caranya, datang pada
saat yang tepat. Saat Mahapatih gundah. Dan datang dengan petuah.
Bahwa apa yang dilakukan sekarang ini adalah jalan yang tepat bagi seorang
prajurit. Dirinya adalah prajurit.
Tak ada kelegaan yang bisa membuat Mahapatih bersyukur selain kalimat tersebut.
Tapi juga kekuatiran yang dalam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kenapa disebut-sebut jalan simpang itu justru kalau ia mengingat Lumajang" Kalau
ia ke desa Gandhing" Kalau ia menempuh jalan yang diartikan sebagai "bukan jalan
prajurit?" Mahapatih merasa bahwa kata-kata ayahandanya mempunyai arti yang dalam. Hanya ia
tak bisa mengerti ke mana arahnya.
Dalam hal tata susastra, Mahapatih Nambi merasa dirinya sangat tumpul. Apa yang
dilatih dan diketahui dengan baik adalah apa-apa yang bisa dilihat. Yang serba
jelas. Rangkaian indah di balik kidungan, tak bisa tertangkap dengan baik.
Itu salah satu yang membuatnya dulu bimbang mendapat pangkat paling terhormat
sebagai mahapatih. Masih lama Mahapatih Nambi terus berlutut di depan pintu senthong yang menganga,
seakan mengundang segera masuk.
Prawita Parwa PERMAISURI INDRESWARI yang pertama kali mendengar secara lengkap. Wajahnya tetap
dingin. "Apa istimewanya, Halayudha"
"Bukankah itu seharusnya" Seorang pemberontak mati, hukuman yang terbaik.
"Apa istimewanya kamu laporkan kematian Sora?"
Halayudha menyembah dengan hormat.
"Maaf atas kelancangan hamba, Permaisuri Agung.
"Hamba selalu bersikap lancang dan kurang seronok dalam mengutarakan pendapat.
Akan tetapi hamba berpendapat, akan lebih baik kalau Permaisuri memberi
perhatian kepada Mahapatih."
Alis Permaisuri Indreswari bergerak.
"Halayudha, benarkah kamu ini senopati yang paling dekat dengan Baginda"
"Benarkah Baginda memilihmu karena kamu begitu dungu"
"Perhatian apa yang perlu aku berikan kepada Nambi" Hadiah?"
"Begitulah, Permaisuri Agung."
"Aku ingin menanggalkan derajat dan pangkatnya sekarang juga, kalau mungkin!
"Apa istimewanya"
"Dalam pandanganku, Nambi gagal menjalankan tugasnya. Kalau tidak, Pendeta
Syangka, Kiai Sidateka, tak perlu menderita seperti sekarang ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sudah jelas semua mengetahui bahwa Pendeta Syangka pendamping Putra Mahkota,
masih juga bisa terluka."
"Begitulah, Permaisuri Agung."
"Begitulah?" "Maaf, Permaisuri Agung.
"Dengan memberikan hadiah, Mahapatih Nambi tak merasa dimusuhi.
Sebaliknya akan merasa dekat dengan Permaisuri Agung. Pada saat seperti itu,
rasanya lebih mudah mengawasi gerak-geriknya.
"Kalau Permaisuri Agung menunjukkan permusuhan, Mahapatih Nambi akan merasa
perlu berhati-hati."
Kali ini alis Permaisuri Indreswari tergerak lagi.
"Rasanya ada gunanya mendengarkan pendapatmu."
"Maaf, hamba hanya mengutarakan yang biasa-biasa.
"Karena Mahapatih Nambi sedang mabuk kemenangan saat ini."
"Halayudha... "Kudengar ilmu silatmu juga cukup sakti. Apakah kamu tidak bisa mengusahakan
penyembuhan Pendeta Syangka?"
Darah dalam nadi Halayudha bergolak.
Kemarahannya mencapai puncak. Kehadiran Pendeta Syangka justru sangat
menyulitkan posisinya. Karena begitu Putra Mahkota naik takhta, pasti Pendeta
Syangka yang akan menguasai segalanya.
Berarti tak ada tempat baginya.
Sudah bagus sekarang ini keadaannya setengah mati.
Akan tetapi Halayudha memendam semua perasaannya.
"Hamba hanya bisa mencoba.
"Kemurahan Dewa akan menyertai pendeta yang bijak dan mulia.
Hanya karena dasar ilmu silat dari Syangka berbeda, hamba memerlukan waktu untuk
mempelajari..." Dengan pendekatan begini, Halayudha bisa menguasai secara resmi.
Paling tidak ini memberi kesempatan buat mengulur waktu, kalau tak bisa segera
disembuhkan. Dan Halayudha bisa mempelajari ilmu Pendeta Sidateka. Selama ini, bagi Halayudha
masih menimbulkan teka-teki. Karena luka di dalam tubuh Pendeta Syangka tidak
mengalirkan darah segar, melainkan dalam bentuk gumpalan-gumpalan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Semacam kekuatan dingin yang dikuasai dengan baik, hingga ke susunan darahnya.
Kalau benar begitu, Halayudha yakin bisa mempelajari dan kemudian menguasai
lebih baik daripada pemilik ilmu.
Sejak munculnya para tokoh sakti mandraguna sejagat, mata Halayudha terbuka
makin lebar. Ia memerlukan waktu untuk mengenal berbagai kemungkinan.
Naga Nareswara saja sudah begitu hebat.
Juga Kama Kangkam dari Jepun.
Beruntunglah ia berhasil mengecap sebagian ilmunya. Namun di saat merasa makin
bertambah, muncul lagi Ratu Ayu Bawah Langit yang menggetarkan.
Yang mempunyai dasar yang berbeda.
Apa salahnya kini berusaha mengenal ilmu dari Syangka"
Dengan cara itulah Halayudha mendekati Pendeta Sidateka, dan merawat. Berpura-
pura menyalurkan tenaga dalam, mempelajari cara pernapasan.
Namun setiap kali akan berhasil, ia melepaskan kembali sambil menggelengkan
kepalanya. "Sulit... sulit sekali."
Yang lebih menggembirakan bagi Halayudha ialah ia mendapat keleluasaan untuk
menggeledah suasana dan kamar Pendeta Sidateka.
Sehingga akhirnya bisa menemukan tulisan pada selembar kain sutra.
Pandangan Halayudha yang tajam dan menyelidik segera mengetahui bahwa tulisan
itu pasti bukan sembarangan. Maka secara diam-diam ia menyalin dalam ingatannya,
dan kemudian menuliskan untuk dipelajari secara perlahan-lahan.
Setiap kali mengobati, setiap kali pula mencuri pandang dan mengingat serta
kemudian mencatat. Adalah di luar dugaan Halayudha ketika rangkaian yang disalinnya memberi
rangsangan untuk mempelajari lebih mendalam.
Karena susunan kidungan yang ada sangat mirip sekali dengan Kitab Bumi.
Prawita Parwa, adalah kitab permulaan
pada mulanya yang ada hanya air
air yang mengalir KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
ke tempat rendah air di bumi
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air di langit air di tubuh di mana ada ruang di situ ada air pada awalnya air pada akhirnya kembali ke air
karena air mengalir.... Yang membuat Halayudha setengah gemetaran ialah kenyataan bahwa kidungan itu
justru sangat mirip dengan apa yang diciptakan gurunya!
Sifat-sifat air itu pula yang mendasari lahirnya jurus Sindhung Aliwawar yang
mencapai puncaknya dengan jurus Banjir Bandang Segara Asat.
Ini betul-betul luar biasa.
Halayudha tidak mengerti bagaimana mungkin Kitab Permulaan ini berada di tangan
Pendeta Sidateka. Sungai juga air setelah menyeberangi sungai, jangan terlalu dekat sebelum menyeberangi sungai,
lihatlah riak sungai menciptakan laut laut tak menciptakan sungai
sungai mengumpulkan mata air
yang menetes, yang merembes
tapi tidak menampung... Halayudha makin yakin bahwa Prawita Parwa, atau bisa juga disebut Kitab
Permulaan, kitab untuk berguru, kitab sebab-musabab, mempunyai kaitan langsung
dengan Kitab Bumi yang didewa-dewakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketajaman pandang Halayudha dalam soal seperti ini tak perlu diragukan lagi.
Yang sedikit menjadi tanda tanya dalam hatinya ialah kenapa sejak mula ia tak
pernah mendengar adanya Prawita Parwa ini"
Padahal kalau diperhatikan, petunjuk yang ada dalam Prawita Parwa jelas
menunjukkan cara-cara memainkan ilmu silat dan mengatur pernapasan. Dengan
kidungan yang lebih jelas, tidak dengan balutan kalimat yang susah ditafsirkan.
Latihan pertama air selalu rata tenaga merata melalui lubang kulit panas tubuh keluar melalui lubang tubuh dingin tubuh memancar kerahkan tenaga seperti menunggang kuda ambil udara dari dada, kanan dan kiri...
Matirta Parwa HALAYUDHA mengerahkan seluruh kemampuannya.
Sekali lagi ia menyelinap ke kamar Pendeta Sidateka. Kali ini dengan sepenuh
hati ia menjajal mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa dingin yang
masih tertahan pada beberapa bagian.
Pengerahan tenaga yang dilakukan tidak dengan mendorong ke luar, melainkan
dengan latihan pernapasan yang dipelajari. Yaitu dengan menyelimutkan tenaga
dalamnya ke bagian-bagian yang terganjal alirannya.
Hasilnya di luar dugaan Halayudha.
Pendeta Sidateka mulai mengerang.
Bahkan bibirnya bisa berkomat-kamit.
"Terima kasih, Senopati Halayudha."
"Di antara sesama saudara, rasanya ucapan itu berlebihan, Kisanak."
"Tenaga dalam Kisanak sungguh luar biasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dari mana Kisanak mempelajari?"
Halayudha terlalu mudah menebak arah pertanyaan Pendeta Sidateka yang mulai
mencurigainya. "Sejak pertama kali saya hanya mempelajari ilmu semacam ini. Apa yang diketahui
banyak orang yang lain."
"Cara mengatur pernapasan dari Kitab Bumi?"
"Kisanak lebih paham dari saya."
Pendeta Sidateka menggelengkan kepalanya.
Walaupun suaranya lirih dan pengucapannya perlahan, Halayudha bisa mendengarkan
dengan jelas. "Rasanya aneh sekali. Saya mempelajari, akan tetapi tetap tak bisa memahami.
Begitu luar biasa luas dan dalamnya."
"Ah, saya belum bisa menerima pujian seperti ini."
"Rasanya saya mengenali cara mengatur napas Kisanak. Kalau benar begitu, saya
bisa mempelajari juga."
Halayudha menjajal lagi. Kali ini justru melakukan yang sebaliknya.
Tenaga dalamnya tidak untuk melindungi, melainkan mendorong seperti pada
awalnya. Sehingga wajah Pendeta Sidateka menjadi merah dan napasnya tersengal-sengal.
Halayudha terus memaksa, sehingga Pendeta Sidateka mengeluarkan jeritan
tertahan. Tak sadarkan diri. Saat itu dengan cepat Halayudha membuka lembaran kain sutra dan membaca serta
menyimpan dalam ingatannya dengan cepat. Setelah mengembalikan ke tempat semula,
Halayudha segera meninggalkan kamar.
Kembali ke dalam kamarnya.
Sambil bersemadi, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menuliskan
dengan cepat apa yang diingatnya.
Kidungan pemula ini juga berarti
kidungan tentang air, air suci
maka kitab ini juga bisa disebut
Matirta Parwa, artinya kitab tentang
mandi dengan air suci Tirta itu air, Matirta mandi
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mandi itu membersihkan mandi menyucikan hanya air yang bisa mencuci
hanya air yang bisa dicuci
Kidungan pertama, di mana air
di bumi tanpa air, bumi bukan bumi
di langit tanpa air, langit bukan langit
di badan tanpa air, badan bukan badan
di jiwa, tanpa air, jiwa bukan jiwa
Air adalah tenaga tenaga ada di mana saja tarik napas, itulah tenaga
biarkan di dada, gerakkan tangan kiri atau kanan sama saja selama tak dibendung air terus menggulung Bumi lebih mudah dikenali
karena bumi diinjak setiap kali
air terlupakan karena menyatu di badan Bumi ada pusatnya, di pusar
air tanpa pusat tanpa pusar
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bumi ada bentuknya, pukulan
air membentuk rangkulan Inilah kidungan pertama sebagai puji syukur kepada Dewa
yang dicipta dari air! Bagi Halayudha kini segalanya menjadi lebih jelas. Bahwa kidungan utama Matirta
Parwa ini mempunyai sangkut-paut secara langsung dengan Bantala Parwa. Karena
secara gamblang pula dijelaskan perbedaannya dengan Kitab Bumi.
Bahkan kelihatannya seperti menerangkan ada sesuatu yang masih kosong dalam
Kitab Bumi. Hal ini tak usah diragukan lagi. Kitab Bumi mengajarkan ajaran
pernapasan yang berpusat pada satu tempat. Di pusar.
Semua udara yang diisap kuat disalurkan lewat hidung, ke atas melalui rongga
kepala, ke bawah lewat tulang punggung, dan akhirnya terkumpul di perut, dan
naik ke dada. Baru kemudian disalurkan lewat tenaga dorongan di tangan.
Sedangkan Matirta Parwa justru sebaliknya. Pengerahan tenaga itu bisa dari mana
saja. Selama tenaga tak terbendung, bisa dialirkan. Bisa dikerahkan secara
seketika, tanpa harus menghimpunnya lebih dulu.
Pada tingkat tertentu, kecepatan pengerahan dan perubahan tenaga menjadi kunci
keunggulan dibandingkan dengan apa yang dituliskan dalam Kitab Bumi.
Itu pula sebabnya dengan sangat mudah sekali tenaga dalamnya bisa dikerahkan
untuk menahan dan mengepung hawa dingin dalam tubuh Pendeta Sidateka. Serta
membiarkan saja, dan menyebabkan hawa dingin mencair. Leleh, dan menjadi tenaga
biasa. Tidak mengganjal, tidak menghambat.
Mempergunakan sifat air. Bagai kerasukan Halayudha menjajal, melatih, dan mempelajari ulang. Setiap kali
mencoba menyalin, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga
berkeringat dan sesudahnya menjadi keletihan.
Kenyataan ini justru membuat Putra Mahkota Kala Gemet sangat menghargai. Karena
disangkanya Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyembuhkan
Pendeta Sidateka yang sangat dihormati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebentar Paman Sidateka akan sembuh kembali," kata Putra Mahkota dengan wajah
berseri. "Rasanya begitu, duh sang Calon Raja.
"Hamba ingin segera sembuh, akan tetapi tujuh hari mulai hari ini, biarlah hamba
sendiri yang menjajal. Hamba tak ingin merepotkan Senopati Halayudha."
"Tak apa, Paman Sidateka."
"Maaf, tetapi hamba tak bisa menerima kebaikan ini. Hamba mohon sudilah, duh
Sang Calon Raja." "Kalau itu permintaan Paman, itu yang menjadi keputusan."
Halayudha menerima perintah dengan menyembah hormat.
Apa yang menjadi perasaan hatinya sama sekali tak tergambar dalam wajahnya, dan
sikapnya. Kegalauan Halayudha terutama sekali karena munculnya perhitungan bahwa
Pendeta Sidateka mulai mengendus ada sesuatu yang mencurigakan.
Dengan kata lain, Pendeta Sidateka mulai tahu bahwa sebagian ilmu yang
disimpannya tercuri. Halayudha tidak kuatir mengenai hal ini.
Akan tetapi ia tak mau berhenti di tengah jalan. Apalagi ketika mulai bisa
melatih, Halayudha menemukan perubahan dalam dirinya. Ada semacam keleluasaan
dalam mengendalikan jurus-jurus yang dimainkan.
Bahkan ketika melatih jari-jarinya, Halayudha merasa bahwa keempat jari kanannya
yang kutung seperti ada kembali!
Bisa menyalurkan tenaga. Bisa tergetar.
Bisa digetarkan! Bagi Halayudha itu hanya sedikit memutar akal untuk menemukan jalan, bagaimana
merampas atau mengetahui isi Matirta Parwa.
Jalan yang paling sederhana adalah meminjam tangan Baginda.
Jamu Asmara HANYA masalahnya sekarang ini, Keraton masih dilanda kemelut.
Suasana kurang menyenangkan.
Ternyata kematian Senopati Sora dan seluruh pengikutnya sangat memukul perhatian
Baginda. Sehingga resmi Baginda tidak mau ditemui siapa pun.
Baik oleh semua permaisuri, maupun Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi Halayudha ini sedikit aneh, karena selama ini tak pernah masuk dalam
akalnya bahwa dirinya akan dijauhi. Selama ini Halayudha merasa bisa berada di
dekat Baginda dalam keadaan apa pun.
"Semua kesalahan saya, Mahapatih," kata Halayudha merendah ketika Mahapatih
Nambi menghubungi. "Kesalahan saya yang utama, karena saya berlaku begitu kejam
pada Senopati Sora."
"Bukan Paman Halayudha yang berbuat itu, tetapi saya."
"Mahapatih, tangan kanan Baginda...
"Bukan kesalahan Mahapatih. Inilah salah hamba, yang tak bisa menangkap maksud
Baginda yang sesungguhnya. Baginda kurang berkenan pelenyapan Senopati Sora
terjadi di samping Keraton."
"Saya yang menyergapnya."
"Betul, akan tetapi hambalah yang..."
"Paman Halayudha, kalau ini kesalahan, biarlah saya yang menanggung. Bukan
Paman. "Silakan Baginda menjatuhkan hukuman, saya akan menerima dengan sikap prajurit
sejati." "Duh, Mahapatih... "Kalau sekiranya Baginda bersabda apa yang menjadi salah kita, hamba tak akan
serepot sekarang ini."
"Cobalah ketahui apa kehendak Baginda. Lewat Permaisuri Indreswari..."
"Maaf, barangkali hamba lancang.
"Akan tetapi sesungguhnya Permaisuri Indreswari kurang berkenan dengan
Mahapatih." Sejenak keduanya terdiam.
Halayudha menunduk lesu. Merasa salah. Malu. Menyesal.
"Saya sudah merasa, Paman."
"Permaisuri Indreswari sengaja memberi hadiah kepada Mahapatih, agar Mahapatih
merasa tak menduga isi hati Permaisuri Indreswari yang sesungguhnya.
"Hamba hanya abdi Baginda. Keset kaki Baginda.
"Tak mempunyai hak untuk mendengar apalagi menceritakan."
"Katakan saja, Paman.
"Adalah menjadi sikap prajurit untuk ditegur dan dipuji."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mahapatih sungguh bijaksana.
"Luas pengetahuannya. Hanya sekali ini Mahapatih berhadapan dengan Permaisuri
Indreswari yang berasal dari tanah seberang, yang kurang mengenal tata krama
Keraton. "Permaisuri Indreswari merasa bahwa Mahapatih di belakang hari bisa menjadi
penghalang bagi takhta Putra Mahkota Kala Gemet."
Mahapatih terdiam lama. "Hanya karena Putra Mahkota mencalonkan Pendeta Syangka sebagai mahapatih di
kelak kemudian hari. "Duh, Mahapatih Nambi... sejelek dan seburuk apa pun, hamba bisa menjunjung
tinggi jasa-jasa Mahapatih dalam mengabdi Keraton. Dan dalam hal ini Pendeta
Sidateka bukan tandingan apa-apa.
"Akan tetapi dengan ilmu tenungnya, Putra Mahkota bisa dikuasai dan diarahkan.
"Maaf kalau hamba berbicara agak panjang-lebar, Mahapatih...
"Bagi hamba tak menjadi masalah kalau itu pikiran Putra Mahkota atau bahkan
Permaisuri Indreswari. Akan tetapi kalau sampai terdengar Baginda, akan lain
soalnya." Mahapatih Nambi mengangguk perlahan.
"Kadang hamba berpikir buruk untuk tak mau menyembuhkan Pendeta Sidateka... agar
tak menimbulkan persoalan di belakang hari..."
"Jangan lakukan itu, Paman!
"Itu bukan jiwa ksatria."
Dalam hati Halayudha menertawakan Mahapatih Nambi setengah mati. Ia merasa bisa
memasukkan hasutan yang di kelak kemudian hari akan membara, dan membakar semua
hubungan baik yang ada. Kalau ini sesuai dengan rencana, berarti jalan yang dirintis berhasil.
Dirinyalah yang akan keluar sebagai pemenang.
Bukan Nambi atau Sidateka.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melainkan Mahapatih Halayudha!
Itu berarti tinggal satu langkah saja untuk menggeser takhta Kala Gemet ke atas
kepalanya sendiri. Tanpa pendukung yang kuat, Kala Gemet bukan apa-apa baginya.
Terlalu gampang untuk melenyapkan.
Hari kedua Pendeta Sidateka mengurung diri, Halayudha sengaja berdandan sebagus
mungkin. Sisiran dan gelungan rambutnya dibuat sedemikian rupa sehingga aneh,
dan wajahnya selalu berseri-seri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah yang dilakukan selama menunggu di depan kamar Baginda.
Dan seperti jebakannya, umpan ini tercium Baginda yang segera memanggilnya ke
dalam kamar. Halayudha bersujud, seakan menenggelamkan wajahnya ke lantai.
"Tubuhmu bau kesturi... pakaianmu bau melati. Ada apa sebenarnya kamu ini?"
Halayudha menunduk malu-malu.
"Segala dosa, biarlah hamba tanggung sendiri, Baginda.
"Karena tidak becus menjalankan perintah dan menjaga keluhuran Baginda, sehingga
membuat Baginda berduka, hamba yang tak berguna ini..."
"Halayudha!" "Hamba tak bisa bersembunyi dari bayangan Baginda.
"Selama ini hamba menjalin hubungan asmara dengan salah seorang dayang hamba
sendiri." Bibir Baginda tertarik sedikit.
"Hmmm." "Hamba memang sudah tua. Sudah loyo. Akan tetapi sejak hamba minum ramuan jamu
asmara... rasanya menjadi muda kembali."
Dugaan Halayudha tepat. Umpan yang tercium itu mulai diendus.
"Jamu asmara?" "Sembah bagi Baginda...
"Selama ini hamba minum jamu asmara, akan tetapi hasilnya biasa-biasa saja. Akan
tetapi sejak minum ramuan jamu asmara Mpu Suwanda... rasanya agak berbeda."
"Mpu Suwanda?" "Hamba bagian tumbuh-tumbuhan, tetuwuhan..."
Umpan yang terendus ini mulai disentuh dengan bibir. Dengan gigi.
Meskipun sambil lalu, Baginda menanyakan siapa Mpu Suwanda.
Dan dengan rendah hati, Halayudha menjelaskan abdi dalem bagian tetuwuhan ini
tak pernah diperhitungkan sebelumnya. Malah dijauhi oleh para tabit Keraton.
Para tabit atau tabib Keraton menganggap selama ini Mpu Suwanda hanya
mempelajari pengobatan yang kasar dan rendah. Sesuai dengan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
namanya suwanda yang artinya badan atau tubuh. Yang bersifat badani.
Tapi justru berhasil menemukan ramuan jamu asmara yang khasiatnya membuat
Halayudha merasa kembali muda.
Secara tidak langsung Baginda mengatakan keheranannya.
Bagi Halayudha ini sudah berarti Baginda telah memakan umpan.
Secara bulat-bulat. "Barangkali Baginda ingin melihat hasil yang dibuat oleh Mpu Suwanda. Sebagai
abdi dalem, akan merasa sangat terhormat sekali kalau Baginda berkenan melihat
apa yang diperbuat. "Hamba seharusnya melaporkan semua yang terjadi... tetapi hal ini terlalu sepele
di hadapan Baginda..."
Secara tidak langsung pula Halayudha meninggalkan contoh akar-akar yang bila
diseduh memberikan kekuatan asmara.
Perhitungan Halayudha, Baginda sedikit-banyak akan sungkan kalau diketahui
menggunakan jamu asmara. Karena sudah ada tabit Keraton yang diam-diam
menyediakan. Maka dengan meninggalkan contoh, pasti Baginda dengan diam-diam akan mencoba.
Perhitungan Halayudha sangat sederhana.
Bahwa Baginda juga seorang lelaki. Lebih dari dirinya, Baginda mempunyai pilihan
dan kesibukan yang lebih beragam.
Nyatanya begitu. "Tapi dari mana Tabit Suwanda menemukan ramuan yang begitu khusus?"
"Menurut pengakuannya, diperoleh dari Pendeta Sidateka, dari kitab yang disebut
Prawita Parwa, yang disimpan secara diam-diam. Hanya saja belum seluruhnya
terpelajari, karena Pendeta Sidateka sengaja merahasiakan.
"Malah, kalau hamba tidak salah, sekarang tak mau dijenguk siapa pun."
Baginda mengeluarkan suara dingin.
"Panggil Kala Gemet kemari. Biar ia yang membawa kitab itu kemari.
Sekarang juga." Tirta Haruna RASANYA, sebelum kata-kata Baginda selesai, kitab yang dimaksudkan sudah bisa
diambil. Tak ayal lagi segera Halayudha
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengambil salah seorang untuk dipaksa mengaku sebagai Tabit Suwanda, yang
kemudian membuat jamu asmara.
Halayudha sendiri lebih memikirkan Matirta Parwa. Beberapa yang sudah dihafal
dan dicatat dicocokkan kembali. Tak ada satu patah kata pun yang meleset.
Namun ini tidak membuat Halayudha bergembira.
Justru sebaliknya. Hatinya menjadi was was. Karena merasa bahwa Pendeta Sidateka sengaja memasang
jebakan untuknya. Dengan sengaja kitab itu diberikan, akan tetapi sebenarnya
telah diubah! Telah dibuatkan catatan yang baru, yang justru akan mencelakakan Halayudha!
Pasti. Tak bisa lain. Pendeta Sidateka bukan orang yang bodoh, bukan tokoh yang begitu saja
menyerahkan kitab pusaka. Apalagi kepada seseorang yang sama sekali tak bisa
dipercayai. Jalan pikiran Halayudha menggambarkan siapa dirinya.
Kalau dirinya adalah Pendeta Sidateka, hal yang sama inilah yang dilakukan.
Karena tak mungkin menolak perintah Raja, kitab diserahkan setelah diubah
sedemikian rupa. Agar si penerima tidak curiga, bagian yang telah disalin tetap
dibuat sedemikian rupa sama persis.
Yang lainnya diubah susunannya.
Sehingga kalau berlatih dengan urutan yang berbeda, hasilnya akan berbalik.
Itu sebabnya Pendeta Sidateka meminta waktu satu pekan agar tidak diganggu sama
sekali. Apa lagi yang diperbuatnya kalau tidak berusaha mengelabui" Apa lagi selain
waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan perubahan" Hal yang sangat mudah
dilakukan karena lembaran kain sutra itu memang tidak memakai urutan.
"Ia bisa mengelabui Raja, tetapi tidak seorang Halayudha," kata Halayudha pada
dirinya sendiri. Jalan terbaik yang akan ditempuh ialah mencoba mengurutkan sendiri, sesuai
dengan kemampuannya. Dengan cara ini, ia akan berpura-pura teracuni, dan pada saat itu justru akan
bangkit menyikat lawan-lawan atau penghalangnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena tidak mempunyai lawan bicara yang bisa mendengarkan dengan baik,
Halayudha lebih suka berkata pada dirinya sendiri, dan menjawab sendiri.
Kidungan kedua, bisa disebut Tirta Haruna
Tirta itu air, Haruna itu kijang
Air Kijang, ialah kijang yang menjadi air
hanyut tapi tak bisa larut
hanyut kala tak melawan berarti harus bisa surut berarti berani berkorban kijang akan melompat tetapi Air Kijang mengikuti arus
tenaga melompat menjadi tenaga arus
tenaga berlari empat kaki
tenaga lurus walau ada rumput bukan makanan walau ada air tak merasa haus Air Kijang terus terus-menerus tanpa putus....
Benar sekali. Halayudha bisa mengalirkan semua tenaganya mengikuti gerakan air.
Ilmu silat yang dimiliki selama ini bisa diubah sedemikian rupa sehingga
menyerupai tenaga air. Mengalir, tenang tanpa beriak.
Bahwa masih ada gangguan dalam penyaluran, ia percaya itu pada mulanya. Kalau ia
bisa mengubah sikap "kijang" dalam dirinya, pasti akan menemukan sesuatu.
Kijang yang bisa hanyut adalah kijang larut.
Seumpama kijang yang mati.
Agak mengherankan, tetapi terbukti hasilnya. Halayudha makin penasaran dan makin
larut dalam latihan. Bahkan kemudian terbersit
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dalam pikirannya bahwa gerakan-gerakan seperti yang dilatih ini rasa-rasanya
pernah dijumpai. Ada yang pernah dikenali.
Dalam waktu yang belum terlalu lama.
Siapa yang mempraktekkan selama ini" Jelas bukan Pendeta Sidateka yang cara-cara
menggali dan melatih pernapasannya sangat berbeda.
Juga bukan Upasara Wulung atau dari Perguruan Awan. Juga bukan dari ilmu
dasarnya sendiri. Mengalami berbagai pertarungan, Halayudha memeras otaknya untuk menemukan yang
paling tepat. Selama ini telah disaksikannya sekian banyak jurus ilmu silat dari berbagai
penjuru jagat. Yang agak aneh dan berbeda dan tidak segera bisa diketahui
sumbernya ialah jurus-jurus Galih Kaliki.
Jurus-jurus itu bahkan tidak mempunyai nama yang bisa dikenali.
Baru kemudian sekali, diketahui bahwa sumber utamanya tak berbeda jauh dengan
jurus-jurus dari Jepun. Yang sama anehnya dan selama ini boleh dikatakan tidak dikenal namanya adalah
jurus-jurus yang dimainkan oleh... Gendhuk Tri!
Bocah kecil itu memang mempelajari banyak ilmu dari berbagai sumber. Akan tetapi
gerakan dasar yang pertama diterima dengan memainkan selendang warna-warni,
sampai sekarang masih merupakan teka-teki.
Hanya menurut kabar, Gendhuk Tri murid seorang penari Keraton Singasari yang
bernama Jagaddhita. Dan penari itu menjadi murid tidak langsung Mpu Raganata.
Apakah ini berarti Kitab Air ini berasal dari Mpu Raganata" Harusnya iya.
Akan tetapi nyatanya tidak sesederhana itu.
Mpu Raganata justru dikenal karena ilmu Weruh Sadurunging Winarah yang sudah
kondang. Mana mungkin seorang seperti Mpu Raganata menciptakan ilmu yang sama
sekali berbeda dasarnya"
"Tak bisa lain, jurus-jurus dari kitab ini ada hubungannya dengan air.
Ada hubungannya dengan wanita.
"Kalau Kitab Bumi bisa diumpamakan lelaki, Kitab Air justru bisa disejajarkan
dengan wanita. "Lalu siapa penciptanya?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pertanyaan Halayudha tak menemukan jawaban. Dibaca dari awal sampai akhir, tak
ada nama atau singgungan nama seseorang. Baik tersamar maupun terang-terangan.
"Satu-satunya jalan ialah dengan menyelidiki dari Gendhuk Tri."
Pertanyaan dan sekaligus jawaban ini, membuat Halayudha bertekad menemukan
Gendhuk Tri. Ia langsung memerintahkan anak buahnya untuk menyebar dan mencari
tahu di mana Gendhuk Tri.
Yang pasti hanya ada di sekitar Keraton.
Perhitungan Halayudha didasarkan pada sifat bocah yang masih serba ingin tahu,
dan sedang berlangsung kejadian di Keraton.
Ini sama sekali tidak meleset.
Gendhuk Tri memang masih berada di sekitar Keraton.
Sejak ia kena ilmu membisu dari Ratu Ayu Bawah Langit, Gendhuk Tri hanya bisa
bengong melompong. Juga ketika matanya melihat sendiri bagaimana Upasara Wulung
menggandeng Nyai Demang meloncati dinding Keraton.
Hatinya gondok luar biasa.
Tapi tak bisa berbuat suatu apa.
Karena masih terkena ilmu semacam totokan jalan darah yang membuat Gendhuk Tri
mematung. Dendamnya segunung. Baik kepada Ratu Ayu Bawah Langit, kepada Nyai
Demang, maupun kepada Upasara Wulung.
Baginya ini tindakan Upasara yang paling tak bisa diterima. Upasara Wulung
adalah kakaknya, gambaran terbaiknya akan seorang lelaki.
Maka sungguh tak masuk akal sama sekali seorang Upasara menggandeng Mbakyu
Demang-nya! Lewat tengah malam, barulah tubuh Gendhuk Tri yang kaku bisa digerakkan kembali.
Agaknya pengaruh aji sirep Ratu Turkana memang tidak dimaksudkan untuk
membunuhnya. Hanya sekadar membungkam geraknya untuk sementara waktu.
Tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Gendhuk Tri untuk menerjang dan menuntut
balas. Hanya saja ketika ia berindap menuju ke tempat peristirahatan rombongan dari
Turkana, yang ditemui itu berlalu tanpa ketahuan ke mana perginya. Tanpa
diketahui kepada siapa ia akan bertanya.
Juga tak bisa melampiaskan kesalnya kepada orang lain.
Jadinya Gendhuk Tri merasa serbasalah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam keadaan seperti itu, segala apa bisa dilakukan. Segala tindakan kecil yang
membuatnya tidak suka, bisa membuat tangannya melayang dengan kasar. Selendang
yang warna-warni bisa mengedut untuk mencabut nyawa.
Pertemuan Jinalaya SEBENARNYA sewaktu Senopati Sora dan pengikutnya dikepung Mahapatih Nambi,
Gendhuk Tri mengetahui. Andai saja ia masuk ke dalam pertarungan, ia bisa
mengetahui kehadiran Upasara.
Hanya saja belum tentu juga menjadi lilih atau berkurang gusarnya.
Karena pada dasarnya, Gendhuk Tri sangat memuja Upasara Wulung.
Lebih dari siapa pun di jagat ini. Baik sebagai kakak, sebagai ayah, sebagai
guru, atau bahkan sesembahan dalam arti yang luas.
Dalam alam pikiran Gendhuk Tri, Upasara adalah ksatria sejati. Satu-satunya
tokoh yang putih bersih dan baik hati. Bahwa kemudian hati kecilnya sangat
kecewa karena Upasara menerima tawaran lamaran Ratu Ayu Bawah Langit, itu tak
mengubah pemujaan kepada Upasara.
Kejadian semacam ini masih bisa masuk dalam akalnya.
Akan tetapi tidak kalau menggandeng Nyai Demang.
Itu semacam pengkhianat tanpa ampun. Dunia akhirat akan mencatat kedurhakaan
semacam ini. Kalaupun ini semua karena jalan pikiran Gendhuk Tri yang masih serba kekanak-
kanakan, belum tentu bisa berubah pada perjalanan hidupnya nanti.
Saat sekarang ini, yang ada dalam hati Gendhuk Tri hanyalah kekesalan yang luar
biasa sengitnya. Segala apa yang dipercayai menjadi goyah.
Maka ketika ia mendengar ada pertemuan Jinalaya, ia langsung berangkat, tanpa
perlu banyak bertanya. "Siapa tahu wanita tak tahu diri itu ada di sana," pikir Gendhuk Tri sambil
menuju ke bekas tempat bersemadi Baginda Raja Sri Kertanegara.
Gendhuk Tri tahu bahwa Jinalaya adalah istilah yang dulu digunakan untuk
menyebut bahwa Baginda Raja wafat. Jina bisa berarti gelas Sang Budha, atau
cawan Sang Budha. Sedangkan laya bisa berarti tempat tinggal, rusak, mati, atau
musnah. Kata sandi Jinalaya digunakan bagi para pengikut setia yang menggambarkan bahwa
Baginda Raja kini kembali ke tempat tinggal asal mulanya, yaitu ke dalam gelas
Sang Budha. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Walau Baginda Raja telah lama wafat, ini semua tak mengurangi pemujaan yang
selalu dilakukan oleh pengikutnya yang setia.
Raja yang sekarang memerintah Keraton Majapahit tidak secara terang-terangan
melarang, walau juga tidak secara terang-terangan merestui pemujaan pada saat-
saat tertentu. Hanya saja, sejak Putra Mahkota Kala Gemet memaklumkan gelaran yang tidak lagi
menunjukkan keturunan langsung dari Baginda Raja, kegiatan pertemuan Jinalaya
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dianggap menentang Keraton.
Sehingga pengikut-pengikut setia Baginda Raja Sri Kertanegara menjadi ketakutan.
Karena bisa menemukan kesulitan suatu ketika. '
Namun, walaupun banyak larangan dan hambatan, nyatanya pertemuan Jinalaya,
memperingati hari-hari terakhir Baginda Raja, masih tetap berlangsung.
Ke sanalah Gendhuk Tri datang, dan langsung bergabung.
Berada dalam kerumunan di antara orang-orang yang tak dikenalnya, yang
mengadakan upacara doa bagi Baginda Raja. Sambil satu per satu memuji kebesaran
Baginda Raja. Ada semacam panggung di mana setiap orang berhak maju dan memuji.
Kurang dari setengah penanak nasi, Gendhuk Tri sudah merasa sebal. Telinganya
menjadi gatal. Demikian juga bibirnya.
"Jagat ini tadinya gelap gulita," tutur seorang pembicara yang memegang tombak
panjang. "Matahari belum ada. Dunia dalam kegelapan, sampai lahirlah Baginda
Raja yang perkasa. "Sejak saat itu matahari bisa bersinar.
"Bulan mau muncul. "Padi bisa ditanam. "Manusia tak lagi bergayutan di pohon seperti kera.
"Sungguh besar jasa Baginda Raja."
Lalu yang hadir menggumamkan nama Baginda Raja sambil menyembah. Gendhuk Tri
terbatuk karena tak bisa menguasai perasaannya. Apalagi ketika pembicara kedua,
yang membawa dua golok panjang, mulai maju ke tengah.
"Ketika Baginda Raja memerintah, Keraton menjadi aman dan makmur, seadil-
adilnya. Sedemikian tenteram dan bahagianya, sehingga mampu mengalahkan
ketenteraman Jonggring Saloka, tempat bersemayam para Dewa.
"Sehingga karena iri, para Dewa turun ke bumi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Menggoda Baginda Raja agar Baginda Raja berkenan memerintah Dewa. Tapi Baginda
Raja menganggap bahwa para Dewa lebih susah diatur daripada rakyat Singasari.
"Dengan kata lain, Dewa pun kalah pamornya.
"Apa yang saya ceritakan ini, berdasarkan penuturan para Dewa sendiri."
Kembali terdengar gumam pujian.
Giliran pembicara ketiga maju, Gendhuk Tri berteriak,
"Para tikus busuk, tanpa membuka mulut pun kalian sudah bau tengik. Jangan
memperburuk keadaan. "Mendengar omongan kalian, Baginda Raja bisa sakit perut."
Suara Gendhuk Tri luar biasa nyaringnya. Semua yang mendengarnya menoleh ke
arahnya dengan wajah gusar.
Apa yang diucapkan Gendhuk Tri memang menyentak pada sasaran.
Ia mengatakan ini pertemuan tikus busuk, sesuatu perasaan. Karena Gendhuk Tri
mengucapkan kata jina seolah terdengar sebagai jinada.
Jina adalah gelas Sang Budha, sedangkan jinada artinya tikus. Jelas sangat
kurang ajar. Lebih dari itu, dengan kalimat enteng Gendhuk Tri menyebutkan Baginda Raja bisa
sakit perut. Dalam anggapan para pemujanya, Baginda Raja lebih hebat dari Dewa. Mana mungkin
disamakan begitu saja dengan orang biasa yang bisa sakit perut"
"Kisanak semua, harap tenang...
"Kalau ada setan yang menyusup kemari, itu sudah biasa. Tikus yang kegerahan
akan keluar dari sarangnya untuk mencari seseorang yang mau membunuhnya.
"Ajaran Baginda Raja adalah kasih sayang..."
Pembicara pertama yang memegang tombak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Tombaknya menjadi garang.
"Tikus tersesat yang tidak melihat cahaya suci Baginda Raja Sri Kertanegara, apa
maksudmu mengatakan dengan mulut kotor?"
"Kalian semua tikus tersesat yang kotor, bau, tengik.
"Kalian pikir apa gunanya memakai sebutan pertemuan Jinalaya kalau isinya cuma
ocehan mabuk begini?"
Semua yang hadir menggerung serentak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Kedua kakinya menyepak kiri-kanan secara
serentak. Lima orang mengerang serentak. Termasuk yang memegang tombak.
Kalau tadinya Gendhuk Tri menduga pertemuan ini hanya dihadiri anggota-anggota
yang ilmu silatnya masih pasaran, kini merasa bahwa dugaannya terlalu tinggi.
Kumpulan manusia ini ternyata hanya bisa mengumbar kata-kata, gagah dalam
penampilan dan senjata hebat. Tapi ternyata ilmu silat mereka masih jauh dari
persyaratan. Sehingga dengan sekali gebrak saja seluruh kepungan jebol.
Gendhuk Tri mengedut selendangnya sekali lagi.
Kali ini dengan gerakan kedua tangan dan kedua kaki sekaligus berjumpalitan di
udara. Setiap gerakan membuat dua pengepung merintih kesakitan. Ada yang lepas
genggaman senjatanya, ada yang memegangi tulang keringnya yang serasa retak.
Gendhuk Tri meludah ke tanah.
"Tengik dan kecing. "Yang begini kalian namakan memuja Baginda Raja" Hari ini akan saya sembelih
kalian semua." Di luar dugaan Gendhuk Tri, ternyata yang mengepungnya tidak lari ketakutan.
Malah berdiri berjajar. Dan bersuara secara bersama. Bagai koor.
"Mari kita mati bersama, Saudara.
"Demi Baginda Raja "Lebih dari Dewa Syiwa
"Lebih dari Budha "Mari, Saudara..."
Mereka malah bergerak mendekati Gendhuk Tri. Yang kalau mau dengan sekali
mengebutkan selendangnya, pasti jatuh dua korban sekaligus.
"Tengik! "Kalian ini apa maunya?"
Si pemegang golok berat mendongak.
"Kalau kami mau disembelih karena Baginda Raja, kami akan bahagia. Lakukan,
setan kecil." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri menggerakkan selendangnya. Menggulung golok berat dan menyentakkan.
Golok itu berubah arah, menuju leher pemiliknya!
Yang bergeming. Cebol Kepalang GENDHUK TRI merinding sendiri.
Dan arah golok berat itu dialihkan ke ruang kosong. Berkelontangan ketika saling
beradu. Menunjukkan bahan yang dipakai untuk membuat bukan besi utama.
"Aduh!" Justru jeritan itu terdengar dari pemilik golok yang segera menjatuhkan diri
seolah mati. "Kalian ini benar-benar tengik.
"Biar aku bunuh semua. Agar tak mengganggu pemandangan dan merusakkan
pendengaran dengan omongan yang kacau."
Gendhuk Tri bersiap. "Akhirnya ada juga yang mau berbuat baik dan berbudi luhur."
Gerakan tangan Gendhuk Tri justru terhenti karenanya.
Pandangannya bisa menemukan arah suara. Yang tadi tak diduga karena berasal dari
seorang yang berkulit sangat hitam, dan terus duduk sejak tadi.
"Ya, kamu yang mati lebih dulu."
Gendhuk Tri menyampok dengan selendangnya.
Ujung selendang memancarkan tenaga pukulan. Tubuh membungkuk hitam itu terlempar
ke atas. Kali ini Gendhuk Tri yang bengong.
Rasanya tak percaya apa yang dilihat.
Bukan karena ilmunya menjadi mentah. Bukan karena lawan memiliki daya tangkis.
Justru sebaliknya. Tubuh hitam kecil itu benar-benar terpental.
Yang tak diduga Gendhuk Tri, tubuh itu benar-benar kecil, pendek, bagai segumpal
arang. Kembali Gendhuk Tri mengubah kedutannya. Kali ini memakai tenaga menarik,
sehingga tubuh kecil itu terbanting tepat di depan kakinya.
Dan memang kecil, pendek, hitam.
Terduduk tak bergerak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Cebol kepalang, apa maumu?"
Cebol kepalang adalah istilah untuk menyebut seorang yang kerdil, akan tetapi
nampak biasa kala duduk, dan kelihatan lebih pendek kala berdiri.
"Mauku, maulah berbuat baik padaku."
Tenang sekali suaranya. "Membunuhmu?" "Itulah budi baik."
"Tunggu dulu. Siapa namamu?"
"Kamu sudah menyebut Cebol. Apa pun namaku, apa bedanya?"
"Cebol kan sebutan, bukan nama."
"Itulah namaku. Cebol. Bisa ditambahi hitam. Bisa diperhalus, tapi tetap Cebol."
Di balik ucapan yang seolah penuh pemikiran itu, ternyata tak ada apa-apanya.
Dari sentakan tadi, Gendhuk Tri yakin bahwa Cebol ini memang tak memiliki ilmu
silat apa-apa. Juga yang lainnya.
"Tengik. "Sungguh tak bisa kumengerti. Kedengarannya saja gagah. Pertemuan Jinalaya, tak
tahunya hanya comberan seperti lumpur busuk yang berkumpul."
"Kami memang comberan, memang lumpur, memang busuk.
"Kenapa tidak dihilangkan saja agar tak mengganggu?"
"Kalian bisa cari mati sendiri."
"Itu mendurhaka ajaran Baginda Raja."
"Siapa bilang?"
Jawabannya ternyata koor bersamaan.
"Tunggu dulu. Tunggu dulu.
"Aku berjanji akan menyembelih kalian satu per satu, atau bersamaan. Tetapi
jelaskan dulu, apa mau kalian dan apa gunanya kalian berkumpul di sini?"
"Meneruskan ajaran Baginda Raja," jawab Cebol.
"Jadi kalian menganggap diri kalian ini ksatria, pendekar, atau bahkan pendeta?"
"Tidak semuanya."
"Lalu?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kami adalah kami."
"Kenapa memakai nama pertemuan Jinalaya segala?"
"Gadis berbudi luhur.
"Siapa yang mengatakan bahwa Baginda Raja yang bijak bestari hanya milik para
ksatria, para senopati, para prajurit, para pendeta"
Kami juga rakyat Baginda Raja yang dikasihi.
"Zaman Baginda Raja bertakhta, kami dihargai.
"Tidak peduli pendek atau panjang.
"Tidak pandang cebol atau jangkung.
"Tidak peduli ksatria atau pendeta."
Lalu terdengar suara bersama.
"Begitulah Baginda Raja...
"Sumber segala cahaya...
"Di jagat..." Lirik berikutnya tak bisa terdengar sempurna. Gendhuk Tri menggelengkan
kepalanya. "Cebol Jinalaya... Baiklah kamu kupanggil begitu saja. Karena kelihatannya kamu
paling waras... Apa tujuan kalian sebenarnya?"
"Menunggu perkenan Baginda Raja memanggil kami.
"Di alam sana lebih baik, lebih damai, lebih adil, sebab di sana ada Baginda
Raja." "Itulah yang tidak waras."
"Gadis baik budi, kamu sudah berjanji mau menyembelih kami. Kami menagih janji."
Belum pernah Gendhuk Tri menjadi pusing hingga memegangi kepalanya yang pening.
Ini aneh! Di suatu tempat bisa berkumpul begitu banyak orang. Semua memuja kebesaran
Baginda Raja Sri Kertanegara. Berbeda dengan pemujaan para ksatria, para
senopati yang kembali dari mancanegara, mereka ini asal berucap saja. Dan sangat
berlebihan. Tapi bukan salah sama sekali.
Siapa yang mengharuskan bahwa Baginda Raja hanya boleh menjadi pujaan bagi para
ksatria" Siapa berhak melarang bahwa Cebol kepalang atau yang lainnya ini memuja"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukankah mereka ini yang dulu merasakan tenang dan tenteram serta tidak
dipermalukan hanya karena tubuhnya cebol dan kulitnya hitam"
"Saya tidak meminta, tetapi saya mau disembelih lebih dulu," kata pemegang
tombak. "Setelah itu saya," kata yang memegang golok.
"Atau kita bertiga bersama-sama," kata Cebol Jinalaya.
"Itu mudah sekali. "Kalau bukan aku, pasti ada yang lainnya. Prajurit Keraton akan senang sekali
menangkap dan membunuh kalian."
"Sekarang tak ada lagi.
"Bahkan beberapa prajurit Keraton bergabung bersama kami."
Dagu Gendhuk Tri tertarik.
Memang terlihat ada beberapa wajah dan badan yang penuh dengan otot terlatih.
Setidaknya lebih berisi dari yang lainnya.
"Cebol, berapa umurmu"
"Apa aku harus memanggil Paman atau Kakek Cebol?"
"Panggil Eyang Cebol juga boleh, asal segera disembelih."
Gendhuk Tri menemukan dirinya berada di tengah kerumunan. Alih-alih ia sendiri
yang menjadi repot karenanya. Karena kalau mereka semua mendesak ingin
disembelih bisa memuakkan.
Kalau tadi karena murka, sekarang justru iba.
"Aku sudah janji. "Tak nanti aku menarik apa yang kukatakan. Hanya saja sebelum aku membunuh
kalian semua, aku akan menanyakan sesuatu kepada Cebol Jinalaya.
"Nah, sekarang dengar baik-baik."
Semua terdiam. Gendhuk Tri berniat meloncat dan segera melarikan diri. Seluruh
bulu tubuhnya berdiri. Kini, seluruh perasaannya justru dibalut perasaan takut
dan ngeri. Gendhuk Tri pernah berada dalam Gua Pintu Seribu yang ditimbuni dan ditutup.
Dikubur hidup-hidup. Akan tetapi saat itu, meskipun menyaksikan mayat membusuk,
Gendhuk Tri tak merasa ngeri seperti sekarang ini.
Maka cara yang terbaik adalah segera melarikan diri.
"Yang masuk tak bisa keluar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang keluar bisa masuk."
Gendhuk Tri membelalak. Dari keremangan di ujung, muncul sosok tubuh Nyai Demang! Ya, Nyai Demang yang
sangat dibenci. Lebih memuakkan lagi Nyai Demang tengah menggendong seorang
lelaki tua yang merangkul kencang.
"Nyai!" Nyai Demang menoleh ke arah Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri lebih merasa ngeri karena pandangan Nyai Demang seolah kosong.
"Hei, kamu Nyai Demang... Mbakyu Demang, kan?"
"Rasanya nama itu pernah kudengar.
"Siapa kamu?" Ini maha aneh! Masa Nyai Demang menanyakan siapa Gendhuk Tri"
"Di mana Kakang?"
Manusia Delahan BARU kemudian Gendhuk Tri menyadari omongannya sendiri melantur tak keruan.
Karena pada pertemuan pertama sudah langsung menanyakan di mana Upasara!
"Kakang... Kakang siapa?"
"Kakangku. Yang menggandeng Nyai di luar pagar Keraton."
Nyai Demang tertawa. "Ini kakangmu. "Sudah jadi manusia delahan, masih juga merangkulku."
Tubuh Gendhuk Tri lemas. Matanya berkunang-kunang.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakinya kesemutan, hingga tanpa terasa berlutut.
Kalau tadi merasa sangat ngeri, sekarang lebih lagi. Sedemikian keras hantaman
menonjok kesadarannya, sehingga kedua kakinya tak mampu menyangga tubuhnya.
Kalau bisa memilih mati, Gendhuk Tri merasa lebih lega.
Nyai Demang menjadi seorang yang sangat menakutkan. Belum lama disaksikan ketika
Nyai Demang masih digandeng mesra oleh Upasara Wulung.
Kini sudah seperti orang linglung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kehilangan pikiran. Rambutnya terurai, matanya kosong tanpa makna.
Puncak dari kengerian yang paling melipat habis keberanian Gendhuk Tri ialah
kenyataan Nyai Demang menggendong seorang lelaki tua yang merangkulnya, yang
disebut manusia delahan. Manusia delahan, bisa berarti manusia akhirat, manusia yang telah berakhir,
alias mayat. Berarti Nyai Demang selalu menggendong mayat yang tak bisa dilepaskan!
Apalagi yang lebih mengerikan dari ini semua"
"Manusia delahan ini namanya Kakek Berune. Katanya ahli Pukulan Pu-Ni. Tapi
sejak kugendong tak bergerak tak bernapas. Tapi terus merangkul.
"Bagus, ya?" Air mata Gendhuk Tri mengembeng.
Beku. Setelah sedikit bisa menata perasaannya, Gendhuk Tri berbisik kepada Cebol
Jinalaya. "Sejak kapan Mbakyu Demang berada di sini?" "Tak ada gunanya dihitung.
"Ini tempat terbuka. Siapa saja bisa masuk menjadi anggota dan tak keluar lagi."
"Peraturan siapa?"
"Peraturan begitu. "Siapa keluar dari kerumunan akan didekati, agar membunuh kami lebih dulu."
Napas Gendhuk Tri tertahan.
"Kamulah gadis berbudi yang mau menyembelih kami tanpa diminta."
Gendhuk Tri mengangguk perlahan.
Tubuhnya masih gemetar. Kaki dan tangannya masih gemetar seperti kesemutan.
Akan tetapi tekadnya mulai tumbuh.
"Cebol, kamu akan kubunuh lebih dulu. Akan tetapi bagaimana mungkin aku bisa
membunuh yang ada di sini semua" Bagaimana kalau kita jalan bersama menuju
Keraton Majapahit?" "Di sini Baginda Raja mangkat, dari tempat ini pula kami mengikuti..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Baik, baik, Cebol...
"Rasanya hanya perlu waktu sedikit..."
Gendhuk Tri menoleh ke arah Nyai Demang yang tetap berjalan kian-kemari sambil
menggendong Kakek Berune.
"Nyai..." "Aku?" "Ya... Mbakyu. "Mbakyu ingat kidungan Kitab Bumi?"
"Kitab Bumi" Ingat."
"Coba kidungkan."
Gendhuk Tri menatap sambil berdebar.
Mulutnya berkomat-kamit. "Kidungan awal, kidungan pembuka..."
Nyai Demang mengangguk-angguk.
Yang masuk tak bisa keluar Yang keluar tidak ada Baginda Raja lebih dari Dewa
karena Dewa berguru padanya...
Gendhuk Tri benar-benar putus asa. Kondisi Nyai Demang sangat gawat. Ingatannya
sudah tak bisa dikontrol lagi. Dengan mengingatkan Kitab Bumi, tadinya Gendhuk
Tri yakin bisa membimbing pikiran Nyai Demang. Karena justru Nyai Demang-lah
yang dulu berhasil menumbuhkan semangat hidup Upasara.
"Bukan itu, Nyai."
"Memang Kitab Bumi dimulai dengan bukan, dengan tidak, tiada..."
"Nyai..." "Aku?" "Nyai ingat Kakang Upasara Wulung?"
"Upasara?" "Ya, Adimas Upasara Wulung."
"Adimas... Adimas... Ya, ya... ada Kiai Sambartaka, Pendeta Sidateka, Kakek
Berune, tubuhnya berkelojotan, aku yang menggendong, lalu aku menggendong,
lalu..." Gendhuk Tri berusaha mendekati Nyai Demang.
Akan tetapi seluruh yang hadir juga bergerak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Begini saja," kata Gendhuk Tri mendadak karena mendapat bersitan pikiran.
"Kalian meneruskan pujian kebesaran Baginda Raja... Ayo kita mulai lagi..."
Gendhuk Tri membujuk Cebol Jinalaya.
"Paman Demeng... coba Paman mulai..."
Gendhuk Tri memohon dengan menyebut Paman Demeng, atau Paman Hitam, tanpa
menyebut Cebol. Begitu Cebol Jinalaya menuju ke bagian tengah, semua perhatian tertuju padanya.
Napas Gendhuk Tri berangsur tenang. Perlahan ia mulai menyurutkan diri menuju ke
bagian tepi. Agar bisa meloloskan diri.
Setidaknya ini yang paling selamat.
Satu-satunya yang mengganjal hatinya ialah bahwa ia tak bisa mengajak Nyai
Demang. Namun dalam hatinya, Gendhuk Tri berjanji akan segera kembali untuk
membawanya. Biar bagaimanapun benci dan dendamnya, Gendhuk Tri tetap merasa tak tega.
Ternyata pertemuan Jinalaya ini seperti adonan lumpur yang bisa dibentuk
semaunya. Karena kini semua memandang dan mendengarkan omongan pujian Cebol
Jinalaya. Yang segera disusul yang lainnya.
Tanpa memedulikan betul di mana dan bagaimana janji Gendhuk Tri.
Sampai di bagian pinggir, Gendhuk Tri bersiap meloncat pergi. Akan tetapi Cebol
Jinalaya sudah berdiri di sampingnya. Tak mencapai pinggang Gendhuk Tri, akan
tetapi suaranya begitu jelas di telinga Gendhuk Tri.
"Kamu mau tinggalkan kami, gadis berbudi luhur?"
"Membunuh orang lain tanpa sebab, bukan ajaran Baginda Raja."
"Ke mana kamu mau pergi?"
"Paman Demeng boleh ikut kalau mau."
Tanpa menunggu persetujuan, Gendhuk Tri mencekal tangan Cebol Jinalaya. Begitu
menjejakkan kaki, tubuhnya melayang dengan cepat.
Bebas sudah. Bahkan tak ada yang menduga.
Hanya saja begitu kakinya hinggap di tanah, terdengar suara yang bernada
gembira. "Bagus sekali. "Itulah gerakan air mengikuti angin."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri melepaskan cekalan Cebol Jinalaya. Langsung membuat gerakan
bersiaga. Empat helai selendangnya bergerak naik terjepit jari-jarinya.
"Tidak. Tidak terlalu tepat.
"Gerakan menjepit tidak selalu telunjuk dan ibu jari. Semua jari bisa digunakan.
Jari tengah dan kelingking pun bisa. Sayang saya tidak memiliki lagi."
Halayudha memperlihatkan tangan kanannya.
Yang keempat jarinya kutung.
"Aku sudah mencarimu, Gendhuk Tri. Dugaanku tak keliru. Kamu pasti datang ke
pertemuan manusia cacat dan sakit ini."
"Ayolah kita jalan sama-sama."
Halayudha membusungkan dadanya.
"Kini saatnya kita kuasai jagat. Ayolah..."
Tangan Halayudha terulur maju. Cepat, tetapi seolah tanpa gerakan.
Gendhuk Tri tak menduga bahwa Halayudha berusaha menariknya.
Cepat Gendhuk Tri membuang tubuhnya, akan tetapi tangan kiri Halayudha menangkap
pundaknya. Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya.
Salah satu jurus andalan yang selalu bisa menyesatkan lawan. Tapi justru
Halayudha membungkuk, dan menangkap kaki Gendhuk Tri.
"Air selalu ke bawah, mencari tempat yang kosong.
"Tepat sekali. Begitu tersentuh pundak, kamu menjatuhkan diri.
Hebat. Dugaanku hebat. Kamulah pewaris ilmu Tirta Parwa.
Air Mengalir dari Sumbernya
GENDHUK TRI mengetahui bahwa Halayudha termasuk tokoh yang luar biasa. Bukan
hanya karena kelicikan dan keculasannya yang mampu mengubah total penampilannya,
melainkan juga karena ilmu silat yang dikuasai beraneka ragam.
Meskipun demikian, Gendhuk Tri juga bisa menilai dirinya bukan contoh yang bisa
ditekuk habis dalam sekali gebrak.
Kalaupun tingkat ilmu mereka berbeda, masih diperlukan waktu untuk mengalahkan.
Akan tetapi kenyataannya justru dalam satu gerakan saja kedua kaki Gendhuk Tri
dapat ditangkap. Tanpa bisa berkutik. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena tepat di pergelangan kaki dan menekan urat nadi. Sehingga dengan sekali
tekan, akan putus semuanya. Setidaknya Gendhuk Tri akan menderita cacat seumur
hidupnya. Dalam keadaan terdesak, Gendhuk Tri bisa menjadi nekat. Akan tetapi, sekarang
ini akal sehatnya bisa bekerja. Apa pun yang dilakukan, sia-sia. Tak mengubah
perlawanan. Anehnya, justru pada saat kemenangan di tangan, Halayudha melepaskan begitu
saja. Dan berdiri tegak sambil tersenyum.
Sebat luar biasa Gendhuk Tri menyapu dengan kedua kakinya. Kedua kakinya
terjulur di antara kaki Halayudha, dan dengan satu sentakan kuat memotong dari
dalam. Halayudha berjingkrakan. "Luar biasa! "Aku yang luar biasa. Itulah tenaga air. Mengalir dari sela-sela. Begitu
kekuatan air yang sesungguhnya. Menerobos dari sisi kecil, mengalir, masuk dan
menenggelamkan yang bisa dimasuki, atau menghancurkan jalan masuknya sehingga
semakin melebar." Gendhuk Tri tidak memedulikan ocehan Halayudha. Sebat gerakannya, seakan
menyentuh lutut bagian dalam Halayudha. Hanya saja beberapa kejap sebelum
menyentuh, Halayudha sudah meloncat ke atas, dengan masih berjingkrakan.
Gendhuk Tri mempergunakan kesempatan untuk meloncat ke atas, dengan kedua tangan
terulur ke depan, sementara selendang warna-warni menyabet ke arah tenggorokan
dan kedua kakinya pun mencegat arah mundur.
Dicecar dengan serangan gencar, Halayudha makin liar gerakannya berjingkrakan.
"Bagus, bagus. "Aku yang bagus. "Ayo teruskan. Kamu mau menyerang bagian yang mana"
Kelihatannya sekilas mataku akan kau cungkil dengan tangan, leherku akan kau
libat dengan selendang. Tetapi sebenarnya yang paling berbahaya adalah gerakan
kaki. "Serangan yang berasal dari bawah itulah sifat air.
"Bagus. "Bagus, aku bisa mengerti.
"Lihat, aku akan bisa menghindarimu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri merasa makin jengkel karena dipermainkan. Ia mengerahkan seluruh
kemampuannya, akan tetapi dengan cara berjingkrakan, enteng sekali Halayudha
bergerak. Setiap kali Gendhuk Tri mengejar, Halayudha bisa menghindar dengan
cara leluasa. Sambil tertawa-tawa dan berkomentar.
Makin cepat Gendhuk Tri mengejar, makin cepat pula Halayudha berloncatan
menghindar. "Kalau air datang, kamu tak bisa melawan. Sebab tenaga air makin lama makin
kuat. Jangan ikut arus, kalau tak ingin hanyut. Jalan satu-satunya adalah dengan
meloncat. Tenaga air tak akan menghantam telak.
"Bukan begitu?"
Gendhuk Tri terkesima. Semua ilmunya ternyata bisa terbaca secara sempurna.
Seumpama seorang yang tengah membaca buku.
"Ayo, serang lagi."
Gendhuk Tri menggeleng. "Sejak kapan air suci perguruan kami kamu kotori?" Terang Gendhuk Tri hanya main
gertak saja. Ia sendiri tak mengetahui asal-usul ilmu silatnya. Juga tak
mengenal perguruannya secara resmi. Karena hanya belajar dari Jagaddhita, yang
mendapatkan ilmunya dari Mpu Raganata.
"Ha... ha, bukankah kamu yang mencuri Tirta Parwa yang kuwarisi?"
Halayudha bisa dengan cepat membalikkan persoalan. Dan bukan hanya omongan
kosong. Kalau dilihat dari penguasaan, jelas Halayudha jauh lebih menguasai
dibandingkan dengan Gendhuk Tri.
Sementara itu kerumunan yang menonton pertarungan masih memperhatikan, seolah
menunggu kesempatan untuk dilenyapkan.
Gendhuk Tri termangu. Sesungguhnya ia tak begitu mengerti apa nama ilmu silatnya dan apakah mempunyai
kitab pusaka yang disebut Tirta Parwa, atau Kitab Air. Rasa ingin tahunya jadi
melambung tinggi. "Air selalu mengalir dari sumbernya. Mana mungkin manusia busuk macam kamu
menjadi pewaris Tirta Parwa" Orang seperti kamu lebih pantas menjadi Tumbal
Tirta Parwa." Gendhuk Tri menjawab angin-anginan saja. Karena kalau disebut Kitab Air,
ingatannya adalah Kitab Bumi. Kitab itu mempunyai bagian yang disebut Kitab
Penolak Bumi. Jadi kalau ada Kitab Air, tentunya ada pula bagian Kitab Penolak
Air. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan-jangan ini bagian dari Kitab Penolak Air. Air... Kalau benar begitu,
berarti Pendeta Sidateka memang sengaja memutar balik! Mana mungkin isi Tumbal
ditulis lebih dulu..."
"Apa yang kaukatakan?"
"Kamu benar, anak kecil.
"Aku tak bisa diakali. Marilah kita kembali ke Keraton. Aku akan memeliharamu.
Untuk melihat ilmu silatmu sejauh mana."
Berada dalam tawanan Halayudha, Gendhuk Tri tak akan bisa bernapas dengan bebas.
Ia mengetahui bahwa jago di antara para jago seperti Naga Nareswara atau Kama
Kangkam pun bisa diisap habis-habisan ilmunya.
"Untuk apa aku ikut kamu"
"Aku lebih suka mati."
"Tak akan kubiarkan..."
Halayudha mendengus perlahan. Kedua tangannya bergerak seolah menepuk air, dan
tubuhnya berputar mengelilingi Gendhuk Tri, yang tiba-tiba merasa terkepung,
terseret, mengikuti ke arah mana tubuh Halayudha berputar.
"Air lebih mudah membawa air yang lain. Pusaran arus lebih mudah menggandeng air
tenang." Masih dengan berhaha-hehe, Halayudha mampu menjinakkan Gendhuk Tri yang benar-
benar tak bisa melawan. Sehingga dalam satu putaran berikutnya, kedua tangannya
sudah terikat dengan selendangnya sendiri!
Gendhuk Tri tak mampu mengadakan perlawanan.
Benar-benar seperti terseret dalam arus, dan terjerumus ke dalam pusaran.
Hebatnya lagi, Halayudha dapat melepaskan ikatan itu dan sebelum Gendhuk Tri
bisa meloloskan diri, ikatan itu sudah erat lagi.
Seperti main-main. "Beginilah cara memainkan tenaga air. Jadilah pusaran, bukan gelombang. Tariklah
sesuai dengan tenaga putarmu, jangan sebaliknya.
"Kalau kamu mau membaca baik-baik, kamu tak akan seceroboh ini."
Pikiran Gendhuk Tri bermuara pada kesimpulan, bahwa Kitab Air itu benar-benar
ada, dan Halayudha telah atau tengah mempelajari.
"Satu guru satu ilmu sebaiknya tidak saling mengganggu.
"Anak kecil nakal, kamu masih tak mau mengakuiku?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sepanjang hidupku, tak pernah ada nama lain yang mempelajari Kitab Air yang tak
kukenal. Makanya kamu jangan ngaco dan sembarangan buka mulut."
"Jagaddhita ngerti apa?"
"Eyang guruku tak akan sembarangan mengangkat murid."
"Kamu kira Mpu Raganata yang loyo itu bisa menciptakan ilmu silat yang begini
dahsyat" Kamu mimpi apa selama ini?"
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu siapa yang mengajarimu?"
Inilah pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Halayudha. Sebab memang itu yang
ingin diketahui. Jelas bahwa Gendhuk Tri murid Jagaddhita, dan Jagaddhita murid
Mpu Raganata. Akan tetapi dasar-dasar ilmu yang dipelajari sangat berbeda.
"Katakan kalau kamu tidak mencuri."
Halayudha tersenyum. "Apa perlunya menyebut nama" Kalau aku sudah menguasai, apa bedanya ini ajaran
cacing atau kucing?"
Hanya Halayudha yang menganggap rendah seorang guru!
Kalimat yang sangat kurang ajar dan tidak mengenal sopan santun sedikit pun ini
membuat Nyai Demang berteriak.
"Mana ada manusia yang berhati iblis dan berdarah setan seperti kunyuk satu ini"
"Sudah jelas penciptanya tokoh yang paling suci, wanita yang paling bijak di
seluruh jagat, masih juga disamakan cacing atau kucing"
"Sungguh ucapanmu kelewat batas."
Kali ini Halayudha yang tersentak kaget. Nyai Demang yang sudah mirip orang
kehilangan akal sehatnya, justru bisa bicara dengan urut.
Aneh. "Dari mana kamu tahu?"
Bumi Itu Tanah dan Tanah Itu Air
NYAI DEMANG tertawa ngakak.
Badannya bergoyang-goyang sehingga Kakek Berune yang berada dalam gendongannya
seperti mau jatuh. "Dari mana aku tahu"
"Bagaimana aku tidak tahu, kalau itu diciptakan untukku?"
Di telinga Gendhuk Tri, ucapan Nyai Demang terdengar ngawur. Akan tetapi
Halayudha melihat dari sisi yang lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sejak tadi Nyai Demang tak ikut bicara sepatah kata pun yang agak urut. Lalu
ketika disinggung mengenai Tirta Parwa menjadi "waras".
Berarti ada sesuatu yang bisa menunjukkan arah yang sama. Berarti ada hubungan
antara Tirta Parwa dan bawah sadar atau suara batin Nyai Demang.
"Ya, ya, aku lupa Kitab Air diciptakan untuk kamu.
"Jadi siapa kamu sebenarnya?"
"Astaga. Kamu pura-pura tak mengenai diriku" Apakah Bejujag itu sudah demikian
jahat mencuci otakmu?"
"Kalau begitu siapa aku?"
"Batok tengkorakmu pun kukenali, apalagi tubuhmu. Meskipun suaramu sangat jelek
sekarang ini." Meskipun tidak tahu persis hubungannya, Gendhuk Tri juga bisa meraba-raba. Bahwa
yang bicara sekarang ini bukan jalan pikiran Nyai Demang. Melainkan suara atau
jalan pikiran orang yang digendong, yang sudah menjadi mayat, yang disebut
sebagai Eyang Berune! Sangat masuk akal. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Nyai Demang hanyalah tubuhnya saja.
Sedangkan detak jantung dan naluri yang dimiliki adalah orang yang digendongnya.
Hal seperti ini bukan sesuatu yang luar biasa.
Gendhuk Tri juga pernah mengalami dalam hidupnya. Ia pernah kemasukan racun yang
luar biasa ganasnya. Sehingga tak ada manusia atau binatang yang mau didekati.
Sejak itu Gendhuk Tri merasa menderita lahir dan batin.
Baru kemudian hawa racun yang mengalir dalam darahnya tersapu bersih sewaktu
Upasara Wulung meminjamkan tenaganya. Menguras tenaga dalamnya untuk disalurkan
ke dalam tubuh Gendhuk Tri.
Apa yang dialami Nyai Demang kurang-lebihnya sama.
Hanya lebih seram. Kakek Berune yang berada dalam gendongan Nyai Demang termasuk tokoh sakti,
karena nyatanya masih bisa lengket terus. Barangkali saja saat-saat terakhir,
Kakek Berune mencoba memindahkan dirinya ke dalam tubuh Nyai Demang! '
Juga bukan sesuatu yang mustahil.
Gendhuk Tri pernah mendengar ilmu memindahkan nyawa. Yang termasuk dalam ilmu
hitam, yang pantang dipelajari sebagai ilmu. Ilmu pemindahan nyawa ini biasanya
terjadi dari orang yang hidup ke dalam tubuh orang yang sudah mati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sehingga orang yang sudah mati bisa dipaksa berbicara atau bergerak, sesuai
dengan kehendak yang memindahkan nyawa. Pada penganut ilmu hitam, biasanya
dipakai sebagai senjata tidak langsung.
Karena mayat-mayat ini bisa menerobos masuk ke daerah lawan dengan meloncat-
loncat, dan kalaupun terkena senjata lawan tak akan mengaduh.
Dan yang jelas, yang menggerakkan mayat tak terluka.
Bedanya, Nyai Demang bukan memindahkan tenaga dan kekuatannya ke dalam mayat
Kakek Berune, melainkan sebaliknya.
"Jadi kamu mengenaliku?"
"Tentu saja. Aku sudah membaca dan mempelajari Tirta Parwa yang tak kalah
hebatnya dengan Pukulan Pu-Ni yang kumiliki. Jauh di atas Tepukan Satu Tangan.
"Akan tetapi kenapa justru Kitab Penolak Bumi yang dipakai"
"Kenapa?" Halayudha tak tahu ke mana arah pertanyaan itu sehingga ia terdiam.
"Karena kamu masih lebih mencintai Bejujag itu"
"Ayo jawab saja!"
Wajah Nyai Demang menyeringai.
Mengerikan. Dalam hati Halayudha menggigil.
Hebat juga pengaruh yang menguasai Nyai Demang ini, pikirnya. Apa pun alasan
atau latar belakang kejadiannya, agaknya tenaga lain Nyai Demang mengenali Kitab
Air. Kalau aku bisa memanfaatkan, pasti jadi luar biasa.
Berpikir begitu, Halayudha menghadapi Nyai Demang dengan pemusatan pikiran
penuh. "Terserah apa yang kamu katakan."
"Kitab Air lebih dari Kitab Bumi. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan" Ayo
ulangi, biar kamu ingat."
Gendhuk Tri menjadi panas-dingin.
Kalau benar Nyai Demang menceritakan semuanya, alamat Halayudha bakal makin gila
dan menguasai. Akan tetapi ia sendiri tak bisa mencegah atau berbuat sesuatu.
Halayudha menghela napas.
Lalu menutup kedua matanya. Bibirnya berkomat-kamit, perlahan.
Terdengar kidungan yang halus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bumi itu tanah dan tanah itu air
air lebih dari bumi, lebih dari tanah
sebab air ada di semua bumi ada di suatu tempat hanya kalau air minggir, bumi terlihat
jadi air lebih hidup dan menggeliat
bumi itu tanah dan tanah itu air
air sama dengan bumi tanpa tanah, air hanya air
tanpa air, tanah bukan tanah
bumi milik tanah tanah milik air tanah dan air milik yang terakhir...
Air mata Nyai Demang menetes.
Duka menggores. "Jadi kamu masih ingin selalu bersatu dengan Bejujag?"
Tak ada jawaban, Tadi Halayudha hanya menghafal kidungan yang kira-kira bunyi dan isinya seperti
yang diminta Nyai Demang. Tanpa menyadari bahwa ternyata jawabannya tepat
sekali. "Tunjukkan yang lainnya, agar aku yakin."
"Akhirnya kamu mau mengakui aku.
"Dengar baik-baik. Dalam kidungan yang kau kirimkan padaku tentang Gita Tirta
atau Nyanyian Air, dengan jelas kaukatakan..."
Mendadak suara Gendhuk Tri melengking tinggi.
"Jangan mengatakan sembarangan. Harusnya kepadaku, karena aku murid yang resmi."
Nyai Demang melengak. Juga Halayudha yang bisa membaca kemauan Gendhuk Tri agar Nyai Demang tidak
menunjukkan bagian-bagian yang penting.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Darah Halayudha menggelegak.
Dengan sekali tekuk, Gendhuk Tri bisa dibekuk.
Akan tetapi Halayudha masih ragu. Apakah ini membuat Nyai Demang yang kerasukan
orang lain menjadi murka atau tidak. Kalau murka, dirinya bisa kehilangan
kesempatan emas. Kehilangan Gendhuk Tri maupun sukma yang memaksa berada dalam tubuh Nyai Demang.
Dua-duanya merupakan kunci pembuka Kitab Air.
Hanya saja telinganya sempat mendengar mengenai Nyanyian Air. Ah, di bagian mana
yang kidungannya berbunyi Gita Tirta"
Rasanya semua isi Kitab Air sudah dipelajari. Sudah dibaca ulang dan ia hafal
dengan baik. Akan tetapi, tak ada yang merujuk ke arah Gita Tirta.
Ini bisa berarti bahwa Pendeta Sidateka tetap merahasiakan satu bagian yang
penting. Yaitu kidungan Gita Tirta. Kalau tidak, pasti ia sudah mengetahui.
"Sejak tadi aku yang memainkan beberapa jurus ajaran Kitab Air.
Masa kamu tidak merasakan. Makanya hanya kepadakulah kamu bercerita."
"Kamu siapa?" "Aku Gendhuk Tri, hubungan kita sama dekatnya dengan Kakang Upasara. Yang belum
lama ini menggandeng Mbakyu. Masa tidak ingat nama Upasara Wulung?"
Nyai Demang bergoyang-goyang tubuhnya.
Lututnya tertekuk. Gendhuk Tri menyadari kesalahan terbesar. Secara tidak sadar ia menjawab seolah
berbicara dengan Nyai Demang. Padahal yang menguasai Nyai Demang adalah Kakek
Berune! Tidak sepenuhnya, karena Nyai Demang masih bisa tersentuh oleh ingatan,
ketika nama Upasara Wulung disebutkan.
Tapi justru dua jalan pikiran dari dua orang yang berbeda membuat tubuh Nyai
Demang tak kuat. Ini bahaya! Kidung Penolak Air HALAYUDHA mengetahui bahwa Gendhuk Tri sangat cerdas.
Bisa dengan cepat memotong omongan Nyai Demang. Sehingga penjelasan mengenai
Kitab Air jadi terhenti. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Gendhuk kecil, omonganmu yang mengacau bisa membahayakan Nyai Demang. Kenapa
kamu ingin melenyapkan dengan cara licik seperti itu?"
"Siapa yang licik" Kamu atau aku?"
Halayudha meringis. "Semua orang tahu aku licik, licin, culas, jelek, nista, bukan ksatria.
Kuakui. Akan tetapi aku tak pernah berpura-pura baik dan berjiwa ksatria seperti
kamu." "Kamu yang ngaco. Mana mungkin aku berniat jahat kepada Nyai Demang. Apa
alasanku?" "Apa alasanku...?" Halayudha menirukan nada bicara Gendhuk Tri dengan nada lebih
tinggi. "Hanya karena ingin merangkul Upasara sendirian, kamu menyingkirkan Nyai
Demang. Sungguh keji hati wanita.
Sekecil kamu sudah busuk dan hina."
Bibir Gendhuk Tri gemetar.
Menahan gusar yang kelewat takar.
Darahnya mendidih, terbakar.
Kalimat Halayudha berbisa luar biasa. Dengan caranya sendiri, Halayudha bisa
menangkap perasaan Gendhuk Tri terhadap Upasara.
Dari ucapan-ucapan seketika. Dengan cara itu, Halayudha ganti memojokkan Gendhuk
Tri. Memutar balik kenyataan adalah keunggulan Halayudha. Dalam hal begini, Gendhuk
Tri yang bisa bicara menyakitkan pun masih tetap di bawah tekukan lidah
Halayudha. "Kamu benar-benar biadab!"
"Semua yang ada di sini menjadi saksi."
Halayudha berjongkok menghaturkan sembah ke arah Nyai Demang.
"Saya yang rendah menghaturkan sembah kepada Kakek Sakti.
Mohon kiranya diperkenankan mengetahui nama besar Kakek Sakti yang tidak saya
ketahui." "Apa hubunganmu dengan Dodot Bintulu?"
Mendadak Nyai Demang bangkit lagi. Berdiri dengan perkasa.
Pandangannya keras. Jelas bahwa kini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang
bukan dirinya lagi. "Jelek-jelek begini, saya pernah berguru pada Paman Sepuh Dodot Bintulu. Namun
saya terlalu bodoh..."
"Aku mendengar Paman Sepuh punya dua murid jahat. Kamu yang pertama atau kedua?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seketika Halayudha seperti terkena serangan telak.
Seketika saja. Bukan Halayudha kalau tak bisa mempertahankan diri dengan cemerlang.
"Maaf, Kakek Sakti, saya hanya murid kesekian yang tak diperhitungkan. Saya
hanya sebentar diajari, dan Paman Sepuh, guru kami yang mulia, takut dijahati
muridnya sehingga saya tak diakui secara resmi.
"Hanya karena tadi disebut-sebut dan ditanyakan, saya terpaksa mengaku-aku.
"Maafkan hamba...."
"Hmmm... Ilmumu tak begitu jelek.
"Aku teman main Dodot Bintulu, yang nasibnya sama-sama buruknya. Pernah dengar
Pukulan Pu-Ni?" Biarpun tak pernah mendengar, Halayudha menyembah hormat.
"Paman Sepuh, guru yang mulia, pernah menyebut-nyebut kesaktian pukulan yang
mementahkan segala pukulan. Sungguh nasib baik dan sukma guru yang mulia yang
mempertemukan." Nyai Demang mengangguk-angguk.
"Kenapa sebagai murid Dodot Bintulu kamu mempelajari ilmu Air?"
Ilmu Air" Pertanyaan itu tergema kembali dalam dinding hati Halayudha.
"Hamba mendapat pesan terakhir, bahwa Tirta Parwa banyak disalahgunakan oleh
orang-orang culas yang tak berhak. Kalau bisa hamba disuruh membersihkan."
"Itu baik. "Itu mulia. "Kalau begitu kamu sudah mempelajari?"
"Serba sedikit, Kakek Sakti Pu-Ni...."
"Kalau serba sedikit, kenapa kamu tak pernah mendengar Gita Tirta"
Ini sungguh aneh... Kidungan itu sampai kepadaku, tentunya Dodot Bintulu,
Raganata, Bejujag, sudah membaca dengan baik."
"Mohon Kakek Sakti Pu-Ni memberi penjelasan. Demi nama baik pencipta Kitab
Air...." Halayudha setengah main tebak saja. Namun dengan alasan yang kuat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia sadar bahwa "Kakek Sakti Pu-Ni" mempunyai hubungan yang erat dengan pencipta
Tirta Parwa, yang seangkatan dengan Mpu Raganata, Paman Sepuh, dan Eyang Sepuh.
Betul-betul tingkat pepunden, tokoh pujaan yang luar biasa.
Dengan mengatas namakan pencipta Kitab Air, Halayudha ingin mendekatkan diri.
Dan berhasil. Karena Nyai Demang mengangguk-angguk.
"Ah, bisa jadi gurumu juga tak memahami Gita Tirta. Juga yang lain.
Nyatanya bocah kecil yang mengaku didikan Raganata juga tak becus.
"Ketahuilah, orang-orang bodoh, akulah Kebo Berune, yang sekarang kalian panggil
dengan sebutan Eyang Berune, pencipta Pukulan Pu-Ni yang tiada tandingannya di
kolong langit ini. "Aku mengerti semua ciptaan, semua ilmu kanuragan yang dianggap paling mustahil
di tanah Jawa ini. "Kalian harus tahu bahwa ilmu yang terbaik, ilmu yang paling sakti, bukanlah
yang dituliskan dalam Tumbal Bantala Parwa. Kitab itu karya curian dari Gita
Tirta. "Sesungguhnya di situ kidungan pertama kali muncul. Itulah ilmu pamungkas, ilmu
yang terakhir. "Bejujag hanya mengambil alih saja.
"Dengarkan kidungan lengkapnya, sehingga semua bisa membandingkan mana yang asli
mana yang palsu. Dari semua air, dari semua sumber
selalu ada akhir, selalu ada penghabisan
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air melenyap, tinggal senyap
air menguap, tinggal senyap
bumi yang sangar, bumi yang ganas
ada tumbalnya bisa dicipta negara yang panas, negara yang ganas
ada tumbalnya bisa ditata air yang mengalir KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
lenyap dari akhir berarti nyanyian Nyanyian Air, Gita Tirta Gita Tirta, tanpa jurus tanpa tarikan napas tanpa kehendak air bisa dihapus, tanpa bekas
itulah Nyanyian Air yang terus terdengar selama masih bisa mendengar
terasa selama masih bisa merasa...
"Cukup!" Gendhuk Tri berteriak dengan lengkingan tinggi. Tubuhnya melayang ke
udara. Coba menyetop Nyai Demang. Halayudha bergerak sama cepatnya!
Mengerti arah gerakan Gendhuk Tri, Halayudha menaikkan tangan kiri dengan
tekukan. Udara yang digeletarkan menahan laju tubuh Gendhuk Tri. Yang mendadak
berbalik dan menendang Halayudha yang masih duduk bersila.
Tenang sekali Halayudha menggeser kepalanya, membiarkan sapuan kaki Gendhuk Tri
berdesis beberapa jari di depan hidungnya.
Ketika Gendhuk Tri mengulang lagi, Halayudha cepat menarik selendang Gendhuk Tri dan tubuhnya sendiri
melayang ke atas, ke arah Nyai Demang!
"Jangan ganggu Guru Sakti Eyang Berune!"
Dengan cara begitu, seolah Halayudha ingin menunjukkan bahwa ia melindungi diri
Kakek Berune. Sesuatu yang biasa dilakukan. Padahal niatan Halayudha hanya satu.
Mendapatkan Kakek Berune!
Yang pikirannya berada dalam tubuh Nyai Demang.
Sebab di sinilah kunci Tirta Parwa yang sesungguhnya. Bukan pada diri Gendhuk
Tri! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam gerakan itu Halayudha melindungi Nyai Demang. Tangan kiri berjaga atas
serangan Gendhuk Tri, tangan kanan mendorong hormat tubuh Nyai Demang.
Itu bahaya! Tenaga dalam Nyai Demang mengarus ke tubuh Halayudha.
"Aduh!" pekiknya nyaring.
Pembunuhan Habis-habisan HALAYUDHA tidak menyangka sama sekali bahwa dalam tubuh Nyai Demang tersimpan
tenaga dari Kakek Berune yang masih bergolak.
Begitu tersentuh tubuh lain, secara otomatis tenaga itu tersalur!
Dengan sifat menghancurkan!
Sesungguhnya itulah yang dirasakan oleh Nyai Demang sehingga ia tak bisa
menguasai diri. Merasa tangan kanannya kesemutan, Halayudha membuang tenaga yang menyerang
tubuhnya ke sembarang tempat.
Sudah barang tentu yang menjadi sasaran orang-orang yang ada di sekitarnya. Para
pengikut Jinalaya tak sempat mengeluarkan teriakan mengaduh.
Sekali berkelojotan, langsung mati!
Dalam sekejap, selusin orang meninggal seketika. Termasuk si pemegang golok,
tombak, gada, yang begitu tersentuh langsung kejang.
Cebol Jinalaya yang ingin maju, segera ditarik oleh Gendhuk Tri.
Rasanya Gendhuk Tri tetap tak rela kalau cebol kepalang ini meninggal karena
ulah Halayudha, walaupun sebenarnya tujuan mereka memang ingin mati. Ingin
menyusul dan tetap mengabdi Baginda Raja Sri Kertanegara!
Halayudha masih terus berputar-putar.
Setiap kali tangan kanannya disentuhkan, ada semacam tenaga yang menerobos ke
luar. Meskipun ini menyebabkan kematian pada orang lain, akan tetapi tenaga yang
membuat tangannya kesemutan makin lama makin berkurang.
Sehingga ketika semua yang hadir, kecuali Gendhuk Tri dan Cebol Jinalaya serta
pengikutnya, terkena sentuhannya, rasa nyeri itu berkurang banyak.
Betul-betul pukulan yang luar biasa.
Sisa tenaga yang mengeram di tangan kanannya bisa untuk membunuh sekian banyak
orang! Apalagi kalau dipukul langsung. Bisa-bisa manusia menjadi bubuk batu!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hancur lebur! Betul-betul pukulan sakti!
Ini ilmu yang betul-betul sakti mandraguna, hebat kelewat-lewat.
Halayudha sendiri masih ternganga karena tak percaya. Begitu banyak ilmu yang
dipelajari, ditekuni, juga berasal dari tokoh-tokoh kelas utama dalam jagat ini,
akan tetapi Pukulan Pu-Ni tetap diakui sebagai pukulan paling ganas dan
telengas. Bahwa pukulan itu ciptaan Kakek Sakti Berune, tak disangsikan lagi.
Akan tetapi bahwa hasilnya luar biasa, didukung oleh beberapa unsur yang lain.
Tenaga dalam Halayudha sendiri cukup kuat. Sehingga pergolakan di tangan kanan
setiap kali keluar, juga didorong oleh tenaga dalamnya sendiri. Bukan semata-
mata tenaga mengeram dari Pukulan Pu-Ni.
Lagi pula yang menjadi sasaran boleh dikatakan bukan jago silat yang sebenarnya.
Namun itu semua tak mengurangi ketakjuban dan kecemasan Gendhuk Tri.
Ketakjuban karena Gendhuk Tri tahu bahwa itu bukan tenaga Nyai Demang. Kekuatan
Nyai Demang sangat diketahui batas-batasnya.
Kecemasan karena kini Nyai Demang berada dalam pengaruh tenaga Eyang Berune.
Entah tokoh mana lagi, akan tetapi yang jelas sejajar dengan nama-nama kampiun
yang tadi disebutkan. Makin cemas lagi kalau mengingat bahwa sekarang ini Halayudha bisa menemukan,
dan bukan tidak mungkin merangkul, Nyai Demang untuk mengisap habis ilmunya.
Kalau itu terjadi, bumi tak tersisa lagi.
Akan diinjak sampai rata.
Yang lebih mencemaskan lagi, Gendhuk Tri sadar tak bisa berbuat suatu apa.
Ilmunya, seperti telah terbaca jelas dari gerakan maupun tarikan napas. Yang
dengan mudah bisa ditekuk habis oleh Halayudha.
"Halayudha busuk! "Bagaimana kamu mengaku murid Paman Sepuh tapi begitu jahat"
Bagaimana kamu mau menjaga Tirta Parwa kalau sifat jahat dan hinamu begitu
kelewatan" "Kenapa sedikit kesakitan saja tanganmu, semua orang kamu bunuh?"
Halayudha berdiri kaku. Ragu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apakah ia harus menggempur Gendhuk Tri, yang bisa dengan mudah dilakukan, atau
membiarkan saja. Kalau ia menghajar Gendhuk Tri, bisa saja Nyai Demang muncul kembali
kesadarannya. Dan ini merepotkan.
Kalau dibiarkan saja, ia bisa menganggap sepi, dan kemudian meninggalkan begitu
saja. Asal sudah berhasil mendapatkan Nyai Demang. Setidaknya kidungan lengkap Gita
Tirta yang disembunyikan Pendeta Sidateka terkutuk itu!
Yang akan segera disikat kalau sudah kembali nanti!
Dengan meminjam tangan Baginda. Dengan melaporkan bahwa secara sengaja Pendeta
Sidateka menyembunyikan sebagian isi kitab yang dituliskan di kain sutra.
Padahal itu atas permintaan Baginda!
Dalam keadaan termangu pun, Halayudha masih bisa memikirkan setidaknya tiga
langkah di muka. "Kamu benar-benar busuk, Halayudha.
"Tak pantas mendengar Gita Tirta."
"Jangan bawa-bawa nama itu. Kamu murid pencuri busuk," jawab Halayudha dengan
lantang. "Kamu mengaku murid Jagaddhita. Jagaddhita mengaku murid Mpu Raganata. Ternyata
itu ilmu curian belaka. "Cacian maling busuk tak terlalu didengar."
Nyai Demang yang masih menggendong Kebo Berune jadi memiringkan kepalanya ke
arah Halayudha dan Gendhuk Tri berganti-ganti.
Seolah mau mencari kepastian siapa yang harus lebih didengar.
Keadaan itu juga disadari oleh Gendhuk Tri.
Maupun Halayudha. Saat ini jalan yang terbaik adalah mempengaruhi Nyai Demang. Siapa yang
menguasai, dengan sendirinya bisa menjatuhkan lawan. Dan untuk bisa menguasai
Nyai Demang, haruslah dengan kalimat-kalimat yang bisa dipahami oleh Kakek
Berune. Ini juga susah. Karena baik Halayudha maupun Gendhuk Tri tak mengerti siapa sesungguhnya Kakek
Berune. Selain yang tadi dibicarakan.
Takut salah bicara, Gendhuk Tri berdiam diri.
Juga Halayudha. Keadaan sunyi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Di suatu tempat mayat-mayat bergeletakan, yang masih hidup berdiri dan berdiam
diri. Nyai Demang menghela napas.
"Kacau... Kalian semua kacau.
"Kalian semua pencuri busuk. Aku harus melenyapkan kalian berdua.
Atau siapa saja." Halayudha menyembah. "Kalau Kakek Sakti Berune mau mencabut nyawa hamba, itu adalah kehormatan bagi
hamba. Tak nanti hamba yang bersalah ini berani menggeser kaki."
"Bagus. Bersiaplah!"
Halayudha menyembah lagi.
Duduk sambil menutup mata.
Menunggu. Seolah menunggu. Karena saat itu justru sedang mengerahkan semua kemampuannya untuk menangkap
bunyi atau getar yang paling lemah sekalipun.
Kelihatannya saja menyerah, akan tetapi merencanakan untuk melakukan serangan
penghabisan. Tak nanti ia rela dibunuh begitu saja, justru di saat hampir
menguasai ilmu yang tak pernah dikenal selama ini.
Cara yang ingin dilakukan ialah menjambret tubuh Gendhuk Tri, untuk dikorbankan.
Itu akan dilakukan saat terakhir sekali.
Gendhuk Tri pun bisa terkelabui.
"Halayudha busuk, apa benar kamu yang berhak atas Tirta Parwa yang kamu sebut-
sebut itu?" Suara Halayudha terdengar mengandung penyesalan.
"Sudahlah, buat apa disebut-sebut"
"Selama hidup, aku juga tak bisa menjaga kebesaran nama Tirta Parwa. Bahkan
walaupun aku bisa menghafal kidungan yang lain, bagian yang terpenting, yaitu
Gita Tirta, tak mampu kuingat."
Nyai Demang terkekeh. "Tidak, tidak. "Barangkali Pulangsih memang hanya memberitahu aku. Tak mau memberitahukan
kepada Dodot Bintulu atau Raganata.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bukankah itu berarti Pulangsih masih melihat wajahku dibandingkan yang lain"
"Pulangsih, Pulangsih... Tak sangka kamu masih lebih mementingkan aku
dibandingkan yang lain. "Sampai kapan pun, aku tak akan melupakan perhatianmu ini...
Kalau saja Bejujag, Bintulu, Raganata, mendengar ini, di dalam kubur mereka akan
iri, cemburu habis-habisan.
"Aha, ternyata aku masih lelaki yang paling bahagia."
Nyanyian Air di Keraton HALAYUDHA menyembah hingga dahinya menyentuh tanah.
"Eyang Sakti, kalau Eyang Berune tidak berkeberatan, silakan mampir di gubuk
hamba di Keraton." "Ada urusan apa?"
"Barangkali Eyang Sakti masih bisa mengenali tulisan tangan Yang Mulia Eyang
Putri Pulangsih." Gendhuk Tri mengakui bahwa Halayudha bukan hanya sangat licik, tetapi juga
sangat cerdas dan cepat sekali mengambil keputusan.
Dari kata-kata Nyai Demang, bisa diketahui bahwa Kakek Berune menaruh hati
kepada Pulangsih. Atau yang disebut Pulangsih. Itu pula yang digunakan untuk
menjebak. Nyai Demang meludah ke tanah.
"Bagaimana mungkin kamu menyebut Eyang Putri" Pulangsih masih cantik jelita dan
muda. Kenapa kamu panggil Eyang Putri?"
Telanjur berdusta, Halayudha tak mau kepalang basah.
"Beliau selalu lebih suka dipanggil begitu."
"Kamu masih bertemu?"
"Dalam pertemuan di Trowulan, Eyang Putri masih hadir. Entah kapan lagi beliau
akan hadir." Gendhuk Tri yang berada di Trowulan saat pertarungan habis-habisan pun tak mampu
mengarang cerita seperti Halayudha.
"Hmmm, berarti masih sempat bertemu yang lainnya.
"Baik, baik... Ayo berangkat sekarang!"
Halayudha menyembah. Berdiri. Satu tangan bergerak ke arah Gendhuk Tri.
"Tak usah. Kita berangkat."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha mengangkat alisnya. Lalu berlalu. Bersama rombongannya dan Nyai Demang
yang menggendong Kakek Berune.
Tinggal Gendhuk Tri sendirian.
Dan Cebol Jinalaya. Tak ada suara. Agak lama. "Kamu sedih?" Gendhuk Tri tersenyum tawar.
"Kamu gadis yang baik, yang berjanji akan mengantarkan aku kepada Sri Baginda
Raja. Semua temanku sudah sampai, dan aku masih menunggu kebaikanmu."
Berat beban di hati Gendhuk Tri.
Segala yang dikuatirkan terjadi. Upasara Wulung hilang tak ketahuan rimbanya.
Nyai Demang yang dicemburui dikuasai Kakek Berune dan kini dikuasai Halayudha.
Pada saat yang bersamaan, ia dituntut untuk membunuh.
"Kalau saya bunuh kamu, siapa yang akan membunuhku"
"Kamu kira aku mau berdiam sendiri di jagat ini, Cebol?"
Cebol Jinalaya ikut termenung.
"Kalau begitu, marilah kita berdoa bersama. Semoga ada ksatria lewat dan berbaik
hati mau membunuh kita."
Gendhuk Tri mendongak. Memandang angkasa. Guratan kekecewaan menoreh wajahnya.
Dengan tenang ia bisa meninggalkan Cebol Jinalaya. Sewaktu-waktu ia bisa pergi
dengan gampang. Dan tidak memedulikan. Melupakan.
Namun sekarang, jalan pikiran Gendhuk Tri jadi lain.
Kalau ia pergi, mau pergi ke mana"
Bukankah keadaannya sekarang ini sama seperti si cebol hitam ini"
Sendiri, tak punya siapa-siapa, tak mempunyai keinginan apa-apa yang bisa
menjadi semangat hidupnya"
Habis terpenggal rata. Apakah, apakah perasaan kosong yang sama ini yang dirasakan oleh Upasara Wulung
ketika akhirnya Gayatri meninggalkannya" Sehingga Upasara memilih menghabiskan
ilmunya, dan membiarkan dirinya mati diterkam binatang buas"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Inikah kehancuran dari dalam itu"
Apakah, apakah ini yang juga dirasakan oleh Dewa Maut ketika ditinggalkan oleh
kekasihnya, lalu ditinggalkan kekasihnya Padmamuka"
Apakah, apakah ini yang menyebabkan Dewa Maut memanggilnya Tole, dan justru ia
mempermainkannya"
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah, apakah kekosongan ini yang juga dirasakan Nyai Demang ketika suami dan
anak-anaknya dihabisi, walau tidak bersalah"
Gendhuk Tri tenggelam dalam lamunannya. Sampai bulan muncul, dan lenyap lagi.
Bersambung dengan sinar panas matahari, disambung dengan kegelapan dan hujan
turun rintik-rintik. Gendhuk Tri masih terdiam di tempatnya.
Cebol Jinalaya masih berdoa agar ada ksatria yang baik hati mengantarkan ke alam
di mana ia bisa mengabdi kepada raja yang disembah setulus hati.
Pikiran Gendhuk Tri masih bolak-balik tak ada batasnya. Hanya helaan napas yang
menandai keyakinan Cebol Jinalaya bahwa dirinya tidak sendirian.
"Akhirnya doa kita terkabul," bisik Cebol perlahan. "Ada ksatria datang kemari."
Baru kemudian, Gendhuk Tri sadar. Dengan sisa-sisa kegesitannya, Gendhuk Tri
menutup mulut Cebol dan menariknya bersembunyi.
Gendhuk Tri agak kecewa karena yang muncul adalah prajurit Keraton yang lewat
berombongan. "Kenapa kita perlu membawa ke Dahanapura, kalau Putra Mahkota justru berada di
Keraton?" "Kita sebagai prajurit," jawab suara yang lain, "hanya menjalankan perintah.
Lebih baik kita tidak membicarakannya, Adimas. Karena rumput dan ranting bisa
mempunyai telinga dan menyampaikan kepada orang lain."
"Di tengah hutan begini, di tengah malam begini?" terdengar suara prajurit
pertama. "Siapa tahu?"
"Ah, jangan penakut.
"Saya pun menjalankan perintah, Kakangmas. Hanya yang membuat saya heran, kenapa
Putri Ayu Tunggadewi dan Putri Ayu Rajadewi harus dibawa ke Dahanapura" Dari
tadi itu saja yang mempengaruhi pikiranku."
"Apa anehnya?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu pasti juga mendengar kabar bahwa Permaisuri Rajapatni masih bertapa di
depan pintu Baginda."
"Sssttt... "Ayolah kita berjalan terus."
Belasan langkah kemudian mereka mengeluarkan suara tertahan, ketakutan karena
menemukan puluhan mayat yang bergeletakan tak keruan letaknya. Gendhuk Tri
sebenarnya tak peduli. Akan tetapi karena nama kedua putri Permaisuri Rajapatni disebut-sebut, hatinya
tergerak juga. Karena Permaisuri Rajapatni adalah Gayatri. Gayatri-nya Upasara
Wulung. Berpikir dalam keadaan bagaimanapun, Upasara masih tetap melindungi. Siapa tahu
justru dengan menguntit mereka, Gendhuk Tri bisa bertemu dengan Upasara Wulung.
Berpikir begitu, Gendhuk Tri segera mengikuti para prajurit.
Digandengnya erat-erat pergelangan tangan Cebol Jinalaya untuk dibawanya
terbang. Dalam sekejap Gendhuk Tri melupakan semua kerisauan yang tadi melanda. Kekalutan
yang begitu mengimpit seolah sirna begitu saja.
Dengan riang Gendhuk Tri menyatroni para prajurit untuk mencuri bekalnya.
Dihabiskannya bersama Cebol Jinalaya yang tersenyum-senyum.
1026 Bagi para prajurit pengawal, beberapa kejadian aneh membuat mereka makin dicekam
ketakutan. Setelah bertemu mayat-mayat, bekal makanan tiba-tiba habis.
Sehingga tak ayal lagi mempercepat perjalanan.
Menjelang fajar, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa ada joli kecil yang dijaga
dengan saksama. Tak bisa tidak, itulah kedua putri Gayatri.
"Ayo kita nakali mereka. Cebol jelek hitam, kamu masuk ke joli itu.
Kita tak usah main sembunyi. Bisa enak-enak di dalam joli. Bagaimana"
"Kalau itu mempercepat jalan sowan kepada Sri Baginda Raja, aku selalu
bersedia." "Tunggu sampai malam.
"Begitu muncul tengah malam, mereka akan kocar-kacir. Itu saat terbaik untuk
menyusup masuk." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah aku menakutkan?"
Gendhuk Tri mendadak merasa iba.
"Tidak. Tentu saja tidak.
"Merekalah prajurit yang penakut. Bukan karena kamu."
Cebol menggelengkan kepalanya.
"Bukankah dua putri itu juga akan takut" Bukankah rencana kita akan gagal?"
"Pikiranmu tak sependek tubuhmu.
"Jangan kuatir, aku ada akal."
"Akalmu banyak sekali.
"Makin banyak akal, makin tak cepat kita sampai ke pengabdian di alam sana."
Gendhuk Tri menghela napas berat.
"Ini putri turunan Sri Baginda Raja. Melindunginya sama juga mengabdi Sri
Baginda secara pribadi. Kenapa kamu begitu bodoh?"
Perangkap Kiai Sambartaka
SUARA Gendhuk Tri nyaring karena kesalnya.
Itu yang membuat para prajurit pembawa tandu berhenti, menoleh ke belakang, dan
bersiap. "Jangan main bokong seperti pengecut. Keluarlah!"
Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Meloncat dari balik pepohonan.
"Kalian para prajurit yang tak bisa berbaris dengan baik, berani buka mulut
sembarangan. "Cecunguk macam kalian hanya mengotori lantai Keraton."
Gendhuk Tri tak mau membuang waktu. Cekatan ia meloncat, langsung menuju joli
yang terjaga. Tiga tombak yang menghalang dilibat dengan selendang dan
disentakkan. Kedua kakinya menyambar, dan dengan dua gerakan, prajurit yang
menjaga terjungkal. Gendhuk Tri berkerut keningnya.
Walau sejak pertama tahu bahwa prajurit pengiring bukan prajurit yang tangguh,
akan tetapi tidak seharusnya mereka jatuh-bangun dalam gebrakan pertama.
Tangan Gendhuk Tri bergerak kembali.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Siku, telapak, kaki, bersamaan menyambar.
Setiap gerakan membuahkan hasil.
Lawan terpencar, jungkir-balik.
"Prajurit gadungan begini masih mau buka mulut bau?"
Gendhuk Tri menggerakkan tangan membuka tirai joli. Wajahnya menjadi berubah
ketika satu sosok tubuh mengedip ke arahnya.
"Adik manis, mari masuk..."
Itu Maha Singanada, yang penampilannya mirip Upasara Wulung.
Ksatria gagah yang bicaranya lantang.
"Kenapa kamu sembunyi seperti anak ayam di situ?"
Pertanyaan yang wajar diucapkan Gendhuk Tri mengingat Singanada bukanlah ksatria
yang suka menyembunyikan sesuatu. Pertanyaan yang walaupun selintas terdengar
kasar akan tetapi menunjukkan rasa hormat.
Karena bagi Gendhuk Tri, Singanada adalah satu-satunya lelaki yang dihormatinya,
yang menganggapnya sebagai seorang gadis. Gadis yang manis, yang baik. Tidak
menilai sebagai anak kecil. Bagi gadis seusia Gendhuk Tri, pertemuan pertama
dulu sangat membekas dalam hati.
Tak mungkin bisa dilupakan.
"Enak di sini. Tinggal duduk. Menunggu Upasara, dan melihatnya bertempur dengan
Kiai Sambartaka yang kesohor."
"Tipu muslihat apa lagi ini?"
"Sewaktu aku keluyuran, aku melihat Kiai Sambartaka membayar penjahat-penjahat
kecil untuk menyamar sebagai prajurit Keraton.
Sambil membawa joli yang dikatakan membawa dua putri Permaisuri Rajapatni. '
"Dengan harapan agar Upasara muncul dan menolong.
"Dan Kiai Sambartaka akan menantangnya."
Cukup jelas kata-kata Singanada. Ringkas dan langsung, apa adanya.
"Kenapa kamu ikut-ikutan?"
"Aku mau menyaksikan siapa sesungguhnya lelananging jagat ini.
Bukankah itu pertarungan yang menarik?"
"Di mana kiai Hindia yang busuk itu?"
"Untuk apa kita pedulikan"
"Pasti di sekitar daerah ini. Ayo masuk saja! Kita tunggu sampai terjadi
pertarungan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi barangkali kurang seru, karena Upasara terkena pukulan Pendeta Sidateka."
Dada Gendhuk Tri tergetar.
"Mana mungkin Kakang Upasara bisa dilukai?"
"Itulah kabar yang terdengar. Entah siapa yang menyebarkan.
Upasara terluka parah oleh pukulan Pendeta Sidateka."
"Kalau benar begitu, sungguh gawat.
"Syukur kamu mau menolong."
Maha Singanada menggelengkan kepalanya.
"Aku tak ada urusan menolong atau ditolong. Aku hanya ingin menyaksikan
pertarungan sejati. Jauh-jauh aku mengembara ke negeri seberang ingin melihat
ilmu sejati. "Setelah semua jago tersingkir, tinggal Kiai Sambartaka dan Upasara Wulung.
Entah mana yang lebih jago."
Gendhuk Tri berbalik. Singanada meloncat keluar dari joli.
"Kamu tidak tertarik, gadis suci?"
"Aku lagi tidak ingin ketemu Kakang Upasara."
Singanada menghampiri Gendhuk Tri. Berjalan di sampingnya, tanpa memedulikan
para prajurit gadungan yang membenahi joli.
"Kenapa bisa begitu?"
"Bukan urusanmu."
"Memang bukan. Kalaupun kamu jelaskan, belum tentu aku mengerti.
Soal wanita dan lelaki memang serba menggelikan, cabul, dan tak masuk pikiran.
"Raja Muda Kala Gemet begitu bernafsu mempersunting Ratu Ayu.
Aku juga. Tapi ia memilih Upasara Wulung. Yang justru lebih suka pergi
mengembara. Bukankah ini aneh"
"Sama anehnya, kamu, gadis suci yang mencintai kakangnya tapi tak mau bertemu
dengannya." "Siapa menyuruhmu ngomong sembarangan?"
"Upasara juga aneh," kata Singanada tanpa memedulikan pertanyaan Gendhuk Tri.
"Ia punya kamu, punya Nyai Demang, punya Ratu Ayu, tapi katanya menyayangi
Permaisuri Rajapatni. Aku tak mengerti, dan tak akan pernah mau mengerti.
"Tugasku telah selesai."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Maha Singanada berhenti. Dadanya membusung. "Apa urusanmu?"
"Aku ditugaskan ke tlatah Campa membawa Dyah Ayu Tapasi. Tugas mulia dari Sri
Baginda Raja telah kami selesaikan. Apa lagi"
"Kini aku bebas mau apa saja, ke mana saja.
"Aku anak turunan prajurit Singasari yang telah selesai menjalankan bakti."
"Kenapa tidak kembali ke tanah Campa saja?"
"Ada juga rencana itu.
"Gadis suci, kamu mau ikut?"
Tanpa terasa wajah Gendhuk Tri menjadi merah. Jengah. Menunduk.
"Begitukah cara lelaki mengajak perempuan?"
"Sudah lama aku tak mengenal tata krama Keraton Jawa. Aku lahir dalam
perjalanan, besar di negeri seberang. Aku juga tak peduli ucapan ini cukup sopan
atau kurang ajar. "Maafkan kalau lancang.
"Tapi aku ingin mengajakmu.
"Kepalaku puyeng melihat kejadian-kejadian yang memalukan seperti ini. Dulu,
dalam bayanganku, Keraton adalah puncak kesempurnaan.
Begitu semua orang tua menceritakan kebesaran Keraton Singasari yang perkasa.
Sehingga dalam angan-anganku tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan
selain Keraton Singasari.
"Akan tetapi nyatanya ketika aku kembali, yang ada seorang raja yang bernama
Sanggrama Wijaya. Yang ada anaknya, Putra Mahkota Kala Gemet, yang berebutan.
Yang ada pembunuhan para senopati utama.
Seperti Senopati Sora. "Dan kini Mahapatih Nambi sedang dijebak."
"Dijebak bagaimana?"
"Aku tak peduli karena bukan urusanku."
"Oleh Halayudha?"
"Mungkin. Apa bedanya"
"Di tanah Jawa tak ada lagi jiwa ksatria. Tak ada lagi prajurit sejati.
Yang ada cacing-cacing hina yang berebut bangkai nista."
Suaranya mengandung kegeraman yang luar biasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri bisa mengerti. Senopati Maha Singanada adalah senopati dan sekaligus
juga prajurit sejati yang lahir dalam tugas. Tugas mulia ketika Baginda Raja Sri
Kertanegara meluaskan pengaruhnya.
Menjalankan hubungan kerja sama sampai negeri Campa.
Singanada dibesarkan dalam dongengan kebesaran Singasari. Akan tetapi ketika
kembali justru menjumpai hal-hal yang membuatnya malu.
Gendhuk Tri tak bisa menjelaskan dengan singkat bahwa ada perbedaan antara
Keraton Singasari dan apa yang ditemui sekarang ini.
Apalagi Singanada kini ditarik mengabdi kepada Kala Gemet!
"Aku sudah muak dengan bisul-bisul masalah Keraton. Masalah pangkat dan derajat
yang palsu. Sebagai ksatria, aku hanya ingin melihat di mana masih kutemukan
jiwa ksatria. Kalau di sini tak ada lagi, untuk apa aku berdiam di sini lagi"
"Di tanah Campa, atau di mana saja, aku masih bisa berdiri dengan gagah
mendongak ke langit. Kalau hanya ingin pangkat, aku bisa menjadi senopati agung
di sana. Tapi sejak lama aku menolak. Aku ingin menjadi ksatria."
Gendhuk Tri tersenyum. Tiba-tiba wajahnya seperti seorang kakak yang mengerti kerisauan adiknya,
seorang ibu yang memahami kerisauan anaknya.
"Setidaknya kamu masih menganggap Kakang Upasara seorang ksatria, bukan?"
"Tidak lagi." Jawaban Singanada membuat mata Gendhuk Tri membelalak.
Kembalinya Pukulan Beku "UPASARA WULUNG bukan lagi ksatria.
"Ia bermulut kecil, berjiwa kerdil seperti cacing atau yang lainnya.
Kesaktian yang dimiliki tidak membuat jiwanya tegar sebagaimana layaknya seorang
ksatria. "Ia begitu pengecut, lari ke sana kemari tidak jelas. Hanya karena takut
menghadapi kain wanita yang terbuka.
"Lelaki macam apa pula itu?"
Gendhuk Tri menjadi panas.
Kalaupun ia tengah membenci Upasara Wulung setinggi langit setebal bumi, tak
nanti orang lain dibiarkan mencaci begitu saja. Akan tetapi Gendhuk Tri
menyadari bahwa Singanada mengatakan isi hatinya secara jujur. Sifat dan
pembawaannya selalu begitu. Hal lain, bukan tidak mungkin apa yang dikatakan
Singanada ada benarnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau Kakang Upasara bukan lelaki, kenapa kamu masih ingin menemui?"
"Karena aku ingin mengatakan itu padanya.
"Mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi prajurit Singasari. Atau prajurit mana
pun. "Upasara bukan didikan Ksatria Pingitan.
"Aku, Maha Singanada, lebih berhak dari Upasara untuk mengatakan diriku sebagai
prajurit Singasari, abdi Sri Baginda Raja!"
Kali ini Gendhuk Tri menjadi panas.
"Kamu sama berhati cacing. Dengki."
"Tak ada sifat itu padaku."
"Kalau Kakang Upasara bukan ksatria, bukan lelaki, apakah kamu menganggap Kiai
Sambartaka yang bersembunyi dan mendengarkan omongan kita sebagai lelananging
jagat?" "Aku tidak peduli siapa yang memegang gelar itu.
"Aku sekadar ingin tahu saja. Seperti apa yang menyandang gelar ksatria di
antara ksatria, pendekarnya pendekar, jagonya seluruh jago.
"Kiai Sambartaka busuk atau bau kentut, aku tidak peduli, karena ia bukan
prajurit Singasari."
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata-kata itu mengenai jantung hati Gendhuk Tri.
Sungguh bisa dimengerti apa yang dimaksud oleh Singanada.
Tapi Gendhuk Tri tak mau menyerah.
"Kenapa kamu ajak aku?"
"Kamu gadis kecil yang suci. Yang tak seharusnya terseret intrik harta, wanita,
atau kepangkatan. Kamu sisa-sisa prajurit Singasari yang masih bisa
diselamatkan." Senyum Gendhuk Tri urung, ketika terdengar suara dingin.
"Tak usah jauh-jauh menyelamatkan diri. Di sini aku ingin menamatkan kalian yang
telah merusak rencanaku."
Gendhuk Tri menelan ludahnya dengan susah.
Maha Singanada tetap berdiri gagah.
Di depannya nampak seorang lelaki tinggi jangkung yang merangkap kedua
tangannya. Bibirnya tak bergerak ketika berbicara.
Kiai Sambartaka! Keringat dingin melembapi Gendhuk Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bersiaplah, aku tak punya waktu banyak."
Bret, bret. Dua tangan Kiai Sambartaka bergerak perlahan. Hawa dingin bergumpal
mengepung dari sisi tangan Kiai Sambartaka berada.
Inilah Pukulan Beku yang ampuh, Pukulan Mandeg Mangu, yang serta-merta membuat
udara sekitar menjadi beku. Hingga lawan susah bernapas.
"Kanyasukla, awas!"
Kanyasukla adalah panggilan Maha Singanada yang membuat Gendhuk Tri tergetar
hati kegadisannya yang sedang tumbuh. Maka membuatnya bercekat juga karena
gembira. Akan tetapi pikiran begitu dengan cepat tersapu.
Kiai Sambartaka adalah salah satu tokoh yang datang ke Trowulan untuk perebutan
gelar lelananging jagat, yang bukan hanya sakti, tetapi juga licik.
Kalau Eyang Sepuh saja bisa diakali, apalagi yang lain!
Kalau Eyang Sepuh bisa dibuat terluka, apalagi yang lain! Apalagi dirinya atau
Maha Singanada! Gendhuk Tri menarik kakinya satu tindak ke belakang, sementara Maha Singanada
menggerung keras. Auman Sembilan Singa! Gebrakan disertai pengaturan napas
Nawawidha. Cara mengatur napas yang melipatkan tenaga dalam sembilan kali.
Bahwa ini langsung dikeluarkan, menandakan bahwa Singanada merasa lawan yang
dihadapi setingkat atau dua tingkat lebih tinggi.
Gerakan Singanada juga langsung dengan ilmu andalannya, Siasat Sembilan Bintang.
Bergerak ke arah delapan penjuru, dan kantar, tombak pendeknya, sudah seketika
mencongkel lawan. Tubuh Kiai Sambartaka seperti bergoyang sedikit, kedua tangannya naik-turun.
Tanpa mengubah kuda-kuda.
Memang luar biasa. Singanada yang berloncatan menutup jalan mundur atau jalan maju atau gerakan ke
samping, seperti sia-sia. Karena Kiai Sambartaka tak berniat mundur atau maju
atau menyamping. Tetap berdiri di tempatnya semula.
Kepalan telapak tangannya tiap kali terlontar, setiap kali pula seperti
meninggalkan gumpalan dingin yang mematikan. Yang tak bisa dipakai oleh
Singanada. Yang terpaksa menghindar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena hidungnya seperti menemui tempat kosong, dingin, beku. Tak ada udara yang
bisa ditarik. Tak bisa diisap.
Kalau kehabisan napas, seorang tokoh sakti seperti dewa pun akan mudah
dikalahkan! Perlahan Singanada mulai tertindih.
Gerakannya menjadi keteter. Aumannya yang keras membahana seperti berubah
menjadi jeritan singa terluka.
Tubuhnya makin terhuyung-huyung.
Gendhuk Tri menggenggam tangannya erat-erat. Untuk ikut maju ke medan
pertarungan, ia merasa tak bakal menolong lebih banyak. Akan tetapi untuk
berdiri saja, jelas juga tidak mungkin.
Sret. Gendhuk Tri meloloskan selendangnya. Sehelai. Dan dengan nekat ia meloncat maju,
menutupkan selendang ke wajah Kiai Sambartaka.
Di Sini Ada Iblis 1 Lembah Patah Hati Lembah Beracun Karya Khu Lung Pendekar Kelana 8
meninggalkan bekas-bekas.
Medan pertarungan bisa segera dikembalikan ke suasana semula.
Korban yang meninggal dikuburkan, yang sakit dirawat, yang menyerah diurus untuk
tata peradilan yang berlaku.
Belum sepenanak nasi, suasana kembali seperti semula. Bagian pinggir dinding
Keraton bersih seakan tak pernah terjadi sesuatu yang mengerikan.
Seakan tak pernah ada pertumpahan darah sesama saudara.
Akan tetapi, pertarungan dalam hati Mahapatih tak segampang itu dibersihkan.
Hati yang jauh lebih kecil, yang tak lebih lebar dari telapak tangan, seperti
tak bisa dibungkam sepenuhnya.
Telinga seperti mendengar rintihan.
Rintihan sendiri. Yang makin jelas ketika Mahapatih kembali ke dalem kepatihan.
Sebelum akhirnya melapor kepada Baginda.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Simpang Kebimbangan BAHWA dirinya akan menangkap dan mengadili Senopati Sora yang membangkang, itu
sedikit pun tak membuatnya ragu.
Semua sudah terbayangkan secara rinci dalam benak Mahapatih.
Yang tetap membuatnya terenyak adalah kenyataan bahwa tubuh Senopati Sora
menelentang di tanah dengan perut hancur, tetapi dengan sunggingan senyuman
luhur. Adegan itu membuat Mahapatih bimbang.
Tanpa suara, tanpa menoleh kiri-kanan, Mahapatih segera masuk ke dalam senthong.
Ke dalam bagian rumah yang selalu dibiarkan kosong.
Kamar yang biasanya selalu dipakai buat bersemadi, berdoa, memasrahkan diri
kepada Yang Maha mutlak ini merupakan tempat yang teduh.
Semua senopati atau prajurit, selalu mempunyai senthong dalam rumahnya.
Ruangan yang selalu dibiarkan kosong melompong. Dengan jendela yang selalu
tertutup. Hanya ketika Mahapatih membuka pintu, terdengar suara perlahan.
"Kenapa tak kamu basuh kakimu sebelum masuk kemari, anakku"
Kenapa tak kamu biarkan keringat menjadi kering lebih dulu?"
Mahapatih Nambi berlutut.
Bersila dan menghaturkan sembah.
Suara yang lembut, pelan menyentuh telinganya, adalah suara yang diakrabi sejak
masih kecil. Suara Ayahanda. Lelaki perkasa yang seluruh rambutnya putih dengan badan yang kurus itu duduk di
lantai dingin. Tanpa alas apa-apa.
Mahapatih menyembah lagi.
Jauh dalam hatinya, Mahapatih Nambi sangat menghormati ayahnya.
Tokoh pujaan semasa kecil, sampai ketika ia masuk sebagai prajurit, dan
pangkatnya terus naik, hingga ke puncak kekuasaan sebagai mahapatih.
Selama itu pula, Mahapatih Nambi merasa bahwa apa yang bisa dicapai adalah
karena restu dari ayahnya. Yang memilih hidup di Lumajang, hidup dari sawah dan
sungai. Yang tetap memilih cara hidup seperti ketika Mahapatih Nambi masih
kecil. Tak ada yang berubah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak ada yang bertambah. Beberapa kali Mahapatih Nambi mengirim utusan atau datang sendiri ke Lumajang,
baik untuk mengirimkan sesuatu atau memohon ayahandanya pindah ke Keraton.
Akan tetapi ayahandanya selalu menolak.
Tak pernah bergerak lebih jauh dari tapal batas desa Gandhing.
Bahkan ketika Nambi dinobatkan sebagai mahapatih, ayahandanya tetap tak mau
diundang. Sekarang ini, justru datang.
"Biarkan keringatmu kering, anakku.
"Ruangan ini tak bisa mengeringkan keringat seorang lelaki."
Mahapatih menunduk. "Sungguh bahagia, Bapak berkenan menengok anaknya yang berada di jalan
persimpangan ini. "Rasanya saya merasa bukan anak lola, yang tak mempunyai siapa-siapa dan apa-apa
lagi." "Tata bicaramu bagus sekali, anakku.
"Kenapa harus bimbang" Bukankah semua jalan adalah persimpangan" Bukankah semua
jalan menuju ke arah yang kita mau"
"Anakku, sebagai prajurit kamu tahu di mana jalanmu.
"Sebagai orang dusun, aku tahu di mana jalanku.
"Kenapa merisaukan persimpangan, yang bukan jalan kita?"
"Mohon petunjuk lebih jauh."
"Anakku, siapa yang berani memberi petunjuk Mahapatih?"
Suara itu justru menyayat Mahapatih yang makin menunduk.
"Tapi kamu anakku. "Kamu Nambi yang setia menunggu batang padi tumbuh. Setia menunggu air di sawah.
"Yang mendengarkan dongengan prajurit utama.
"Nambi, anakku."
Mahapatih terkejut. Hatinya sedikit kecut. Suara Ayahanda seperti mengisyaratkan
sesuatu. "Pandanglah bapakmu ini."
Mahapatih mendongak perlahan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Wajah yang dulu sangat dikenalnya.
Wajah yang sekarang selalu dibayangkan.
"Aku masih bapakmu, Nambi.
"Kamu masih anakku. "Tapi jalan yang kita tempuh jauh berbeda. Sewaktu aku datang, prajurit-prajurit
mengelukan, menyambut dengan upacara besar-besaran. Pranajaya Mpu Sina, bapak
agung Mahapatih, berkunjung.
"Ah, siapa yang menjadi empu?"
"Maaf..." "Tak ada yang perlu dimaafkan, Nambi.
"Tak apa. "Semua harus begitu.
"Kalau ada jalan simpang, itulah jalan simpang yang ada. Akan tetapi jangan
membuatmu bimbang. "Teruskan langkahmu.
"Aku bangga padamu. "Kamulah anak lelakiku, kamulah prajurit, mahapatih tempat rakyat mencari
perlindungan." Mahapatih menunduk. "Aku tak punya kata-kata. Tata kramaku sangat buruk, Nambi.
"Bahkan untuk menyembah seorang mahapatih pun tak mampu. Aku hanya ingin menengokmu. Menengok anakku, prajuritku.
"Sekaligus aku minta pamit.
"Kalau nanti aku berada di Gandhing, aku akan merasa bahagia karena telah
melihatmu. "Anakku, prajuritku.
"Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah."
Mpu Sina mengangguk. Perlahan berdiri. Mahapatih masih menunduk.
Tak bergerak. Mpu Sina berjalan perlahan. Sampai di pintu senthong berhenti sebentar.
Tangannya yang lembut menyentuh pundak Mahapatih.
"Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau kamu membelok ke Lumajang, itulah persimpangan yang salah.
"Selamat, anakku. "Dewa Yang Mahaagung akan selalu menyertaimu."
Mpu Sina meneruskan langkahnya. Keluar dari senthong, melalui ruang utama,
menuju pendapa, dan melalui halaman kepatihan, menuju pintu gerbang.
Dan lenyap. Kembali ke desa Gandhing.
Mahapatih masih menunduk di depan pintu senthong. Tak berani bergerak.
Inilah pengalaman yang sangat luar biasa.
Untuk pertama kalinya, ayahandanya bersedia datang ke Keraton.
Untuk terakhir kalinya pula.
Betapa jauh perjalanan dari Lumajang, untuk seorang setua ayahandanya. Apalagi
ditempuh dengan jalan kaki, sebisanya, sekuatnya.
Tak ada gunanya mengirimkan kuda, joli, atau pengawalan.
Seperti juga ketika kembali.
Satu langkah demi satu langkah.
Dengan bantuan tongkat dan istirahat.
Itulah ayahandanya. Yang tetap merasa sungkan disebut empu. Yang merasa tak
pantas dikawal. Itulah lelaki yang menempa batinnya sehingga ia seperti sekarang ini.
Mahapatih bisa membayangkan bahwa jauh sebelumnya, ayahandanya sudah berangkat.
Dan dengan perhitungan batin yang tak diketahui bagaimana caranya, datang pada
saat yang tepat. Saat Mahapatih gundah. Dan datang dengan petuah.
Bahwa apa yang dilakukan sekarang ini adalah jalan yang tepat bagi seorang
prajurit. Dirinya adalah prajurit.
Tak ada kelegaan yang bisa membuat Mahapatih bersyukur selain kalimat tersebut.
Tapi juga kekuatiran yang dalam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kenapa disebut-sebut jalan simpang itu justru kalau ia mengingat Lumajang" Kalau
ia ke desa Gandhing" Kalau ia menempuh jalan yang diartikan sebagai "bukan jalan
prajurit?" Mahapatih merasa bahwa kata-kata ayahandanya mempunyai arti yang dalam. Hanya ia
tak bisa mengerti ke mana arahnya.
Dalam hal tata susastra, Mahapatih Nambi merasa dirinya sangat tumpul. Apa yang
dilatih dan diketahui dengan baik adalah apa-apa yang bisa dilihat. Yang serba
jelas. Rangkaian indah di balik kidungan, tak bisa tertangkap dengan baik.
Itu salah satu yang membuatnya dulu bimbang mendapat pangkat paling terhormat
sebagai mahapatih. Masih lama Mahapatih Nambi terus berlutut di depan pintu senthong yang menganga,
seakan mengundang segera masuk.
Prawita Parwa PERMAISURI INDRESWARI yang pertama kali mendengar secara lengkap. Wajahnya tetap
dingin. "Apa istimewanya, Halayudha"
"Bukankah itu seharusnya" Seorang pemberontak mati, hukuman yang terbaik.
"Apa istimewanya kamu laporkan kematian Sora?"
Halayudha menyembah dengan hormat.
"Maaf atas kelancangan hamba, Permaisuri Agung.
"Hamba selalu bersikap lancang dan kurang seronok dalam mengutarakan pendapat.
Akan tetapi hamba berpendapat, akan lebih baik kalau Permaisuri memberi
perhatian kepada Mahapatih."
Alis Permaisuri Indreswari bergerak.
"Halayudha, benarkah kamu ini senopati yang paling dekat dengan Baginda"
"Benarkah Baginda memilihmu karena kamu begitu dungu"
"Perhatian apa yang perlu aku berikan kepada Nambi" Hadiah?"
"Begitulah, Permaisuri Agung."
"Aku ingin menanggalkan derajat dan pangkatnya sekarang juga, kalau mungkin!
"Apa istimewanya"
"Dalam pandanganku, Nambi gagal menjalankan tugasnya. Kalau tidak, Pendeta
Syangka, Kiai Sidateka, tak perlu menderita seperti sekarang ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sudah jelas semua mengetahui bahwa Pendeta Syangka pendamping Putra Mahkota,
masih juga bisa terluka."
"Begitulah, Permaisuri Agung."
"Begitulah?" "Maaf, Permaisuri Agung.
"Dengan memberikan hadiah, Mahapatih Nambi tak merasa dimusuhi.
Sebaliknya akan merasa dekat dengan Permaisuri Agung. Pada saat seperti itu,
rasanya lebih mudah mengawasi gerak-geriknya.
"Kalau Permaisuri Agung menunjukkan permusuhan, Mahapatih Nambi akan merasa
perlu berhati-hati."
Kali ini alis Permaisuri Indreswari tergerak lagi.
"Rasanya ada gunanya mendengarkan pendapatmu."
"Maaf, hamba hanya mengutarakan yang biasa-biasa.
"Karena Mahapatih Nambi sedang mabuk kemenangan saat ini."
"Halayudha... "Kudengar ilmu silatmu juga cukup sakti. Apakah kamu tidak bisa mengusahakan
penyembuhan Pendeta Syangka?"
Darah dalam nadi Halayudha bergolak.
Kemarahannya mencapai puncak. Kehadiran Pendeta Syangka justru sangat
menyulitkan posisinya. Karena begitu Putra Mahkota naik takhta, pasti Pendeta
Syangka yang akan menguasai segalanya.
Berarti tak ada tempat baginya.
Sudah bagus sekarang ini keadaannya setengah mati.
Akan tetapi Halayudha memendam semua perasaannya.
"Hamba hanya bisa mencoba.
"Kemurahan Dewa akan menyertai pendeta yang bijak dan mulia.
Hanya karena dasar ilmu silat dari Syangka berbeda, hamba memerlukan waktu untuk
mempelajari..." Dengan pendekatan begini, Halayudha bisa menguasai secara resmi.
Paling tidak ini memberi kesempatan buat mengulur waktu, kalau tak bisa segera
disembuhkan. Dan Halayudha bisa mempelajari ilmu Pendeta Sidateka. Selama ini, bagi Halayudha
masih menimbulkan teka-teki. Karena luka di dalam tubuh Pendeta Syangka tidak
mengalirkan darah segar, melainkan dalam bentuk gumpalan-gumpalan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Semacam kekuatan dingin yang dikuasai dengan baik, hingga ke susunan darahnya.
Kalau benar begitu, Halayudha yakin bisa mempelajari dan kemudian menguasai
lebih baik daripada pemilik ilmu.
Sejak munculnya para tokoh sakti mandraguna sejagat, mata Halayudha terbuka
makin lebar. Ia memerlukan waktu untuk mengenal berbagai kemungkinan.
Naga Nareswara saja sudah begitu hebat.
Juga Kama Kangkam dari Jepun.
Beruntunglah ia berhasil mengecap sebagian ilmunya. Namun di saat merasa makin
bertambah, muncul lagi Ratu Ayu Bawah Langit yang menggetarkan.
Yang mempunyai dasar yang berbeda.
Apa salahnya kini berusaha mengenal ilmu dari Syangka"
Dengan cara itulah Halayudha mendekati Pendeta Sidateka, dan merawat. Berpura-
pura menyalurkan tenaga dalam, mempelajari cara pernapasan.
Namun setiap kali akan berhasil, ia melepaskan kembali sambil menggelengkan
kepalanya. "Sulit... sulit sekali."
Yang lebih menggembirakan bagi Halayudha ialah ia mendapat keleluasaan untuk
menggeledah suasana dan kamar Pendeta Sidateka.
Sehingga akhirnya bisa menemukan tulisan pada selembar kain sutra.
Pandangan Halayudha yang tajam dan menyelidik segera mengetahui bahwa tulisan
itu pasti bukan sembarangan. Maka secara diam-diam ia menyalin dalam ingatannya,
dan kemudian menuliskan untuk dipelajari secara perlahan-lahan.
Setiap kali mengobati, setiap kali pula mencuri pandang dan mengingat serta
kemudian mencatat. Adalah di luar dugaan Halayudha ketika rangkaian yang disalinnya memberi
rangsangan untuk mempelajari lebih mendalam.
Karena susunan kidungan yang ada sangat mirip sekali dengan Kitab Bumi.
Prawita Parwa, adalah kitab permulaan
pada mulanya yang ada hanya air
air yang mengalir KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
ke tempat rendah air di bumi
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air di langit air di tubuh di mana ada ruang di situ ada air pada awalnya air pada akhirnya kembali ke air
karena air mengalir.... Yang membuat Halayudha setengah gemetaran ialah kenyataan bahwa kidungan itu
justru sangat mirip dengan apa yang diciptakan gurunya!
Sifat-sifat air itu pula yang mendasari lahirnya jurus Sindhung Aliwawar yang
mencapai puncaknya dengan jurus Banjir Bandang Segara Asat.
Ini betul-betul luar biasa.
Halayudha tidak mengerti bagaimana mungkin Kitab Permulaan ini berada di tangan
Pendeta Sidateka. Sungai juga air setelah menyeberangi sungai, jangan terlalu dekat sebelum menyeberangi sungai,
lihatlah riak sungai menciptakan laut laut tak menciptakan sungai
sungai mengumpulkan mata air
yang menetes, yang merembes
tapi tidak menampung... Halayudha makin yakin bahwa Prawita Parwa, atau bisa juga disebut Kitab
Permulaan, kitab untuk berguru, kitab sebab-musabab, mempunyai kaitan langsung
dengan Kitab Bumi yang didewa-dewakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketajaman pandang Halayudha dalam soal seperti ini tak perlu diragukan lagi.
Yang sedikit menjadi tanda tanya dalam hatinya ialah kenapa sejak mula ia tak
pernah mendengar adanya Prawita Parwa ini"
Padahal kalau diperhatikan, petunjuk yang ada dalam Prawita Parwa jelas
menunjukkan cara-cara memainkan ilmu silat dan mengatur pernapasan. Dengan
kidungan yang lebih jelas, tidak dengan balutan kalimat yang susah ditafsirkan.
Latihan pertama air selalu rata tenaga merata melalui lubang kulit panas tubuh keluar melalui lubang tubuh dingin tubuh memancar kerahkan tenaga seperti menunggang kuda ambil udara dari dada, kanan dan kiri...
Matirta Parwa HALAYUDHA mengerahkan seluruh kemampuannya.
Sekali lagi ia menyelinap ke kamar Pendeta Sidateka. Kali ini dengan sepenuh
hati ia menjajal mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa dingin yang
masih tertahan pada beberapa bagian.
Pengerahan tenaga yang dilakukan tidak dengan mendorong ke luar, melainkan
dengan latihan pernapasan yang dipelajari. Yaitu dengan menyelimutkan tenaga
dalamnya ke bagian-bagian yang terganjal alirannya.
Hasilnya di luar dugaan Halayudha.
Pendeta Sidateka mulai mengerang.
Bahkan bibirnya bisa berkomat-kamit.
"Terima kasih, Senopati Halayudha."
"Di antara sesama saudara, rasanya ucapan itu berlebihan, Kisanak."
"Tenaga dalam Kisanak sungguh luar biasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dari mana Kisanak mempelajari?"
Halayudha terlalu mudah menebak arah pertanyaan Pendeta Sidateka yang mulai
mencurigainya. "Sejak pertama kali saya hanya mempelajari ilmu semacam ini. Apa yang diketahui
banyak orang yang lain."
"Cara mengatur pernapasan dari Kitab Bumi?"
"Kisanak lebih paham dari saya."
Pendeta Sidateka menggelengkan kepalanya.
Walaupun suaranya lirih dan pengucapannya perlahan, Halayudha bisa mendengarkan
dengan jelas. "Rasanya aneh sekali. Saya mempelajari, akan tetapi tetap tak bisa memahami.
Begitu luar biasa luas dan dalamnya."
"Ah, saya belum bisa menerima pujian seperti ini."
"Rasanya saya mengenali cara mengatur napas Kisanak. Kalau benar begitu, saya
bisa mempelajari juga."
Halayudha menjajal lagi. Kali ini justru melakukan yang sebaliknya.
Tenaga dalamnya tidak untuk melindungi, melainkan mendorong seperti pada
awalnya. Sehingga wajah Pendeta Sidateka menjadi merah dan napasnya tersengal-sengal.
Halayudha terus memaksa, sehingga Pendeta Sidateka mengeluarkan jeritan
tertahan. Tak sadarkan diri. Saat itu dengan cepat Halayudha membuka lembaran kain sutra dan membaca serta
menyimpan dalam ingatannya dengan cepat. Setelah mengembalikan ke tempat semula,
Halayudha segera meninggalkan kamar.
Kembali ke dalam kamarnya.
Sambil bersemadi, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menuliskan
dengan cepat apa yang diingatnya.
Kidungan pemula ini juga berarti
kidungan tentang air, air suci
maka kitab ini juga bisa disebut
Matirta Parwa, artinya kitab tentang
mandi dengan air suci Tirta itu air, Matirta mandi
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mandi itu membersihkan mandi menyucikan hanya air yang bisa mencuci
hanya air yang bisa dicuci
Kidungan pertama, di mana air
di bumi tanpa air, bumi bukan bumi
di langit tanpa air, langit bukan langit
di badan tanpa air, badan bukan badan
di jiwa, tanpa air, jiwa bukan jiwa
Air adalah tenaga tenaga ada di mana saja tarik napas, itulah tenaga
biarkan di dada, gerakkan tangan kiri atau kanan sama saja selama tak dibendung air terus menggulung Bumi lebih mudah dikenali
karena bumi diinjak setiap kali
air terlupakan karena menyatu di badan Bumi ada pusatnya, di pusar
air tanpa pusat tanpa pusar
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bumi ada bentuknya, pukulan
air membentuk rangkulan Inilah kidungan pertama sebagai puji syukur kepada Dewa
yang dicipta dari air! Bagi Halayudha kini segalanya menjadi lebih jelas. Bahwa kidungan utama Matirta
Parwa ini mempunyai sangkut-paut secara langsung dengan Bantala Parwa. Karena
secara gamblang pula dijelaskan perbedaannya dengan Kitab Bumi.
Bahkan kelihatannya seperti menerangkan ada sesuatu yang masih kosong dalam
Kitab Bumi. Hal ini tak usah diragukan lagi. Kitab Bumi mengajarkan ajaran
pernapasan yang berpusat pada satu tempat. Di pusar.
Semua udara yang diisap kuat disalurkan lewat hidung, ke atas melalui rongga
kepala, ke bawah lewat tulang punggung, dan akhirnya terkumpul di perut, dan
naik ke dada. Baru kemudian disalurkan lewat tenaga dorongan di tangan.
Sedangkan Matirta Parwa justru sebaliknya. Pengerahan tenaga itu bisa dari mana
saja. Selama tenaga tak terbendung, bisa dialirkan. Bisa dikerahkan secara
seketika, tanpa harus menghimpunnya lebih dulu.
Pada tingkat tertentu, kecepatan pengerahan dan perubahan tenaga menjadi kunci
keunggulan dibandingkan dengan apa yang dituliskan dalam Kitab Bumi.
Itu pula sebabnya dengan sangat mudah sekali tenaga dalamnya bisa dikerahkan
untuk menahan dan mengepung hawa dingin dalam tubuh Pendeta Sidateka. Serta
membiarkan saja, dan menyebabkan hawa dingin mencair. Leleh, dan menjadi tenaga
biasa. Tidak mengganjal, tidak menghambat.
Mempergunakan sifat air. Bagai kerasukan Halayudha menjajal, melatih, dan mempelajari ulang. Setiap kali
mencoba menyalin, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga
berkeringat dan sesudahnya menjadi keletihan.
Kenyataan ini justru membuat Putra Mahkota Kala Gemet sangat menghargai. Karena
disangkanya Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyembuhkan
Pendeta Sidateka yang sangat dihormati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebentar Paman Sidateka akan sembuh kembali," kata Putra Mahkota dengan wajah
berseri. "Rasanya begitu, duh sang Calon Raja.
"Hamba ingin segera sembuh, akan tetapi tujuh hari mulai hari ini, biarlah hamba
sendiri yang menjajal. Hamba tak ingin merepotkan Senopati Halayudha."
"Tak apa, Paman Sidateka."
"Maaf, tetapi hamba tak bisa menerima kebaikan ini. Hamba mohon sudilah, duh
Sang Calon Raja." "Kalau itu permintaan Paman, itu yang menjadi keputusan."
Halayudha menerima perintah dengan menyembah hormat.
Apa yang menjadi perasaan hatinya sama sekali tak tergambar dalam wajahnya, dan
sikapnya. Kegalauan Halayudha terutama sekali karena munculnya perhitungan bahwa
Pendeta Sidateka mulai mengendus ada sesuatu yang mencurigakan.
Dengan kata lain, Pendeta Sidateka mulai tahu bahwa sebagian ilmu yang
disimpannya tercuri. Halayudha tidak kuatir mengenai hal ini.
Akan tetapi ia tak mau berhenti di tengah jalan. Apalagi ketika mulai bisa
melatih, Halayudha menemukan perubahan dalam dirinya. Ada semacam keleluasaan
dalam mengendalikan jurus-jurus yang dimainkan.
Bahkan ketika melatih jari-jarinya, Halayudha merasa bahwa keempat jari kanannya
yang kutung seperti ada kembali!
Bisa menyalurkan tenaga. Bisa tergetar.
Bisa digetarkan! Bagi Halayudha itu hanya sedikit memutar akal untuk menemukan jalan, bagaimana
merampas atau mengetahui isi Matirta Parwa.
Jalan yang paling sederhana adalah meminjam tangan Baginda.
Jamu Asmara HANYA masalahnya sekarang ini, Keraton masih dilanda kemelut.
Suasana kurang menyenangkan.
Ternyata kematian Senopati Sora dan seluruh pengikutnya sangat memukul perhatian
Baginda. Sehingga resmi Baginda tidak mau ditemui siapa pun.
Baik oleh semua permaisuri, maupun Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi Halayudha ini sedikit aneh, karena selama ini tak pernah masuk dalam
akalnya bahwa dirinya akan dijauhi. Selama ini Halayudha merasa bisa berada di
dekat Baginda dalam keadaan apa pun.
"Semua kesalahan saya, Mahapatih," kata Halayudha merendah ketika Mahapatih
Nambi menghubungi. "Kesalahan saya yang utama, karena saya berlaku begitu kejam
pada Senopati Sora."
"Bukan Paman Halayudha yang berbuat itu, tetapi saya."
"Mahapatih, tangan kanan Baginda...
"Bukan kesalahan Mahapatih. Inilah salah hamba, yang tak bisa menangkap maksud
Baginda yang sesungguhnya. Baginda kurang berkenan pelenyapan Senopati Sora
terjadi di samping Keraton."
"Saya yang menyergapnya."
"Betul, akan tetapi hambalah yang..."
"Paman Halayudha, kalau ini kesalahan, biarlah saya yang menanggung. Bukan
Paman. "Silakan Baginda menjatuhkan hukuman, saya akan menerima dengan sikap prajurit
sejati." "Duh, Mahapatih... "Kalau sekiranya Baginda bersabda apa yang menjadi salah kita, hamba tak akan
serepot sekarang ini."
"Cobalah ketahui apa kehendak Baginda. Lewat Permaisuri Indreswari..."
"Maaf, barangkali hamba lancang.
"Akan tetapi sesungguhnya Permaisuri Indreswari kurang berkenan dengan
Mahapatih." Sejenak keduanya terdiam.
Halayudha menunduk lesu. Merasa salah. Malu. Menyesal.
"Saya sudah merasa, Paman."
"Permaisuri Indreswari sengaja memberi hadiah kepada Mahapatih, agar Mahapatih
merasa tak menduga isi hati Permaisuri Indreswari yang sesungguhnya.
"Hamba hanya abdi Baginda. Keset kaki Baginda.
"Tak mempunyai hak untuk mendengar apalagi menceritakan."
"Katakan saja, Paman.
"Adalah menjadi sikap prajurit untuk ditegur dan dipuji."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mahapatih sungguh bijaksana.
"Luas pengetahuannya. Hanya sekali ini Mahapatih berhadapan dengan Permaisuri
Indreswari yang berasal dari tanah seberang, yang kurang mengenal tata krama
Keraton. "Permaisuri Indreswari merasa bahwa Mahapatih di belakang hari bisa menjadi
penghalang bagi takhta Putra Mahkota Kala Gemet."
Mahapatih terdiam lama. "Hanya karena Putra Mahkota mencalonkan Pendeta Syangka sebagai mahapatih di
kelak kemudian hari. "Duh, Mahapatih Nambi... sejelek dan seburuk apa pun, hamba bisa menjunjung
tinggi jasa-jasa Mahapatih dalam mengabdi Keraton. Dan dalam hal ini Pendeta
Sidateka bukan tandingan apa-apa.
"Akan tetapi dengan ilmu tenungnya, Putra Mahkota bisa dikuasai dan diarahkan.
"Maaf kalau hamba berbicara agak panjang-lebar, Mahapatih...
"Bagi hamba tak menjadi masalah kalau itu pikiran Putra Mahkota atau bahkan
Permaisuri Indreswari. Akan tetapi kalau sampai terdengar Baginda, akan lain
soalnya." Mahapatih Nambi mengangguk perlahan.
"Kadang hamba berpikir buruk untuk tak mau menyembuhkan Pendeta Sidateka... agar
tak menimbulkan persoalan di belakang hari..."
"Jangan lakukan itu, Paman!
"Itu bukan jiwa ksatria."
Dalam hati Halayudha menertawakan Mahapatih Nambi setengah mati. Ia merasa bisa
memasukkan hasutan yang di kelak kemudian hari akan membara, dan membakar semua
hubungan baik yang ada. Kalau ini sesuai dengan rencana, berarti jalan yang dirintis berhasil.
Dirinyalah yang akan keluar sebagai pemenang.
Bukan Nambi atau Sidateka.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melainkan Mahapatih Halayudha!
Itu berarti tinggal satu langkah saja untuk menggeser takhta Kala Gemet ke atas
kepalanya sendiri. Tanpa pendukung yang kuat, Kala Gemet bukan apa-apa baginya.
Terlalu gampang untuk melenyapkan.
Hari kedua Pendeta Sidateka mengurung diri, Halayudha sengaja berdandan sebagus
mungkin. Sisiran dan gelungan rambutnya dibuat sedemikian rupa sehingga aneh,
dan wajahnya selalu berseri-seri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah yang dilakukan selama menunggu di depan kamar Baginda.
Dan seperti jebakannya, umpan ini tercium Baginda yang segera memanggilnya ke
dalam kamar. Halayudha bersujud, seakan menenggelamkan wajahnya ke lantai.
"Tubuhmu bau kesturi... pakaianmu bau melati. Ada apa sebenarnya kamu ini?"
Halayudha menunduk malu-malu.
"Segala dosa, biarlah hamba tanggung sendiri, Baginda.
"Karena tidak becus menjalankan perintah dan menjaga keluhuran Baginda, sehingga
membuat Baginda berduka, hamba yang tak berguna ini..."
"Halayudha!" "Hamba tak bisa bersembunyi dari bayangan Baginda.
"Selama ini hamba menjalin hubungan asmara dengan salah seorang dayang hamba
sendiri." Bibir Baginda tertarik sedikit.
"Hmmm." "Hamba memang sudah tua. Sudah loyo. Akan tetapi sejak hamba minum ramuan jamu
asmara... rasanya menjadi muda kembali."
Dugaan Halayudha tepat. Umpan yang tercium itu mulai diendus.
"Jamu asmara?" "Sembah bagi Baginda...
"Selama ini hamba minum jamu asmara, akan tetapi hasilnya biasa-biasa saja. Akan
tetapi sejak minum ramuan jamu asmara Mpu Suwanda... rasanya agak berbeda."
"Mpu Suwanda?" "Hamba bagian tumbuh-tumbuhan, tetuwuhan..."
Umpan yang terendus ini mulai disentuh dengan bibir. Dengan gigi.
Meskipun sambil lalu, Baginda menanyakan siapa Mpu Suwanda.
Dan dengan rendah hati, Halayudha menjelaskan abdi dalem bagian tetuwuhan ini
tak pernah diperhitungkan sebelumnya. Malah dijauhi oleh para tabit Keraton.
Para tabit atau tabib Keraton menganggap selama ini Mpu Suwanda hanya
mempelajari pengobatan yang kasar dan rendah. Sesuai dengan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
namanya suwanda yang artinya badan atau tubuh. Yang bersifat badani.
Tapi justru berhasil menemukan ramuan jamu asmara yang khasiatnya membuat
Halayudha merasa kembali muda.
Secara tidak langsung Baginda mengatakan keheranannya.
Bagi Halayudha ini sudah berarti Baginda telah memakan umpan.
Secara bulat-bulat. "Barangkali Baginda ingin melihat hasil yang dibuat oleh Mpu Suwanda. Sebagai
abdi dalem, akan merasa sangat terhormat sekali kalau Baginda berkenan melihat
apa yang diperbuat. "Hamba seharusnya melaporkan semua yang terjadi... tetapi hal ini terlalu sepele
di hadapan Baginda..."
Secara tidak langsung pula Halayudha meninggalkan contoh akar-akar yang bila
diseduh memberikan kekuatan asmara.
Perhitungan Halayudha, Baginda sedikit-banyak akan sungkan kalau diketahui
menggunakan jamu asmara. Karena sudah ada tabit Keraton yang diam-diam
menyediakan. Maka dengan meninggalkan contoh, pasti Baginda dengan diam-diam akan mencoba.
Perhitungan Halayudha sangat sederhana.
Bahwa Baginda juga seorang lelaki. Lebih dari dirinya, Baginda mempunyai pilihan
dan kesibukan yang lebih beragam.
Nyatanya begitu. "Tapi dari mana Tabit Suwanda menemukan ramuan yang begitu khusus?"
"Menurut pengakuannya, diperoleh dari Pendeta Sidateka, dari kitab yang disebut
Prawita Parwa, yang disimpan secara diam-diam. Hanya saja belum seluruhnya
terpelajari, karena Pendeta Sidateka sengaja merahasiakan.
"Malah, kalau hamba tidak salah, sekarang tak mau dijenguk siapa pun."
Baginda mengeluarkan suara dingin.
"Panggil Kala Gemet kemari. Biar ia yang membawa kitab itu kemari.
Sekarang juga." Tirta Haruna RASANYA, sebelum kata-kata Baginda selesai, kitab yang dimaksudkan sudah bisa
diambil. Tak ayal lagi segera Halayudha
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengambil salah seorang untuk dipaksa mengaku sebagai Tabit Suwanda, yang
kemudian membuat jamu asmara.
Halayudha sendiri lebih memikirkan Matirta Parwa. Beberapa yang sudah dihafal
dan dicatat dicocokkan kembali. Tak ada satu patah kata pun yang meleset.
Namun ini tidak membuat Halayudha bergembira.
Justru sebaliknya. Hatinya menjadi was was. Karena merasa bahwa Pendeta Sidateka sengaja memasang
jebakan untuknya. Dengan sengaja kitab itu diberikan, akan tetapi sebenarnya
telah diubah! Telah dibuatkan catatan yang baru, yang justru akan mencelakakan Halayudha!
Pasti. Tak bisa lain. Pendeta Sidateka bukan orang yang bodoh, bukan tokoh yang begitu saja
menyerahkan kitab pusaka. Apalagi kepada seseorang yang sama sekali tak bisa
dipercayai. Jalan pikiran Halayudha menggambarkan siapa dirinya.
Kalau dirinya adalah Pendeta Sidateka, hal yang sama inilah yang dilakukan.
Karena tak mungkin menolak perintah Raja, kitab diserahkan setelah diubah
sedemikian rupa. Agar si penerima tidak curiga, bagian yang telah disalin tetap
dibuat sedemikian rupa sama persis.
Yang lainnya diubah susunannya.
Sehingga kalau berlatih dengan urutan yang berbeda, hasilnya akan berbalik.
Itu sebabnya Pendeta Sidateka meminta waktu satu pekan agar tidak diganggu sama
sekali. Apa lagi yang diperbuatnya kalau tidak berusaha mengelabui" Apa lagi selain
waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan perubahan" Hal yang sangat mudah
dilakukan karena lembaran kain sutra itu memang tidak memakai urutan.
"Ia bisa mengelabui Raja, tetapi tidak seorang Halayudha," kata Halayudha pada
dirinya sendiri. Jalan terbaik yang akan ditempuh ialah mencoba mengurutkan sendiri, sesuai
dengan kemampuannya. Dengan cara ini, ia akan berpura-pura teracuni, dan pada saat itu justru akan
bangkit menyikat lawan-lawan atau penghalangnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena tidak mempunyai lawan bicara yang bisa mendengarkan dengan baik,
Halayudha lebih suka berkata pada dirinya sendiri, dan menjawab sendiri.
Kidungan kedua, bisa disebut Tirta Haruna
Tirta itu air, Haruna itu kijang
Air Kijang, ialah kijang yang menjadi air
hanyut tapi tak bisa larut
hanyut kala tak melawan berarti harus bisa surut berarti berani berkorban kijang akan melompat tetapi Air Kijang mengikuti arus
tenaga melompat menjadi tenaga arus
tenaga berlari empat kaki
tenaga lurus walau ada rumput bukan makanan walau ada air tak merasa haus Air Kijang terus terus-menerus tanpa putus....
Benar sekali. Halayudha bisa mengalirkan semua tenaganya mengikuti gerakan air.
Ilmu silat yang dimiliki selama ini bisa diubah sedemikian rupa sehingga
menyerupai tenaga air. Mengalir, tenang tanpa beriak.
Bahwa masih ada gangguan dalam penyaluran, ia percaya itu pada mulanya. Kalau ia
bisa mengubah sikap "kijang" dalam dirinya, pasti akan menemukan sesuatu.
Kijang yang bisa hanyut adalah kijang larut.
Seumpama kijang yang mati.
Agak mengherankan, tetapi terbukti hasilnya. Halayudha makin penasaran dan makin
larut dalam latihan. Bahkan kemudian terbersit
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dalam pikirannya bahwa gerakan-gerakan seperti yang dilatih ini rasa-rasanya
pernah dijumpai. Ada yang pernah dikenali.
Dalam waktu yang belum terlalu lama.
Siapa yang mempraktekkan selama ini" Jelas bukan Pendeta Sidateka yang cara-cara
menggali dan melatih pernapasannya sangat berbeda.
Juga bukan Upasara Wulung atau dari Perguruan Awan. Juga bukan dari ilmu
dasarnya sendiri. Mengalami berbagai pertarungan, Halayudha memeras otaknya untuk menemukan yang
paling tepat. Selama ini telah disaksikannya sekian banyak jurus ilmu silat dari berbagai
penjuru jagat. Yang agak aneh dan berbeda dan tidak segera bisa diketahui
sumbernya ialah jurus-jurus Galih Kaliki.
Jurus-jurus itu bahkan tidak mempunyai nama yang bisa dikenali.
Baru kemudian sekali, diketahui bahwa sumber utamanya tak berbeda jauh dengan
jurus-jurus dari Jepun. Yang sama anehnya dan selama ini boleh dikatakan tidak dikenal namanya adalah
jurus-jurus yang dimainkan oleh... Gendhuk Tri!
Bocah kecil itu memang mempelajari banyak ilmu dari berbagai sumber. Akan tetapi
gerakan dasar yang pertama diterima dengan memainkan selendang warna-warni,
sampai sekarang masih merupakan teka-teki.
Hanya menurut kabar, Gendhuk Tri murid seorang penari Keraton Singasari yang
bernama Jagaddhita. Dan penari itu menjadi murid tidak langsung Mpu Raganata.
Apakah ini berarti Kitab Air ini berasal dari Mpu Raganata" Harusnya iya.
Akan tetapi nyatanya tidak sesederhana itu.
Mpu Raganata justru dikenal karena ilmu Weruh Sadurunging Winarah yang sudah
kondang. Mana mungkin seorang seperti Mpu Raganata menciptakan ilmu yang sama
sekali berbeda dasarnya"
"Tak bisa lain, jurus-jurus dari kitab ini ada hubungannya dengan air.
Ada hubungannya dengan wanita.
"Kalau Kitab Bumi bisa diumpamakan lelaki, Kitab Air justru bisa disejajarkan
dengan wanita. "Lalu siapa penciptanya?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pertanyaan Halayudha tak menemukan jawaban. Dibaca dari awal sampai akhir, tak
ada nama atau singgungan nama seseorang. Baik tersamar maupun terang-terangan.
"Satu-satunya jalan ialah dengan menyelidiki dari Gendhuk Tri."
Pertanyaan dan sekaligus jawaban ini, membuat Halayudha bertekad menemukan
Gendhuk Tri. Ia langsung memerintahkan anak buahnya untuk menyebar dan mencari
tahu di mana Gendhuk Tri.
Yang pasti hanya ada di sekitar Keraton.
Perhitungan Halayudha didasarkan pada sifat bocah yang masih serba ingin tahu,
dan sedang berlangsung kejadian di Keraton.
Ini sama sekali tidak meleset.
Gendhuk Tri memang masih berada di sekitar Keraton.
Sejak ia kena ilmu membisu dari Ratu Ayu Bawah Langit, Gendhuk Tri hanya bisa
bengong melompong. Juga ketika matanya melihat sendiri bagaimana Upasara Wulung
menggandeng Nyai Demang meloncati dinding Keraton.
Hatinya gondok luar biasa.
Tapi tak bisa berbuat suatu apa.
Karena masih terkena ilmu semacam totokan jalan darah yang membuat Gendhuk Tri
mematung. Dendamnya segunung. Baik kepada Ratu Ayu Bawah Langit, kepada Nyai
Demang, maupun kepada Upasara Wulung.
Baginya ini tindakan Upasara yang paling tak bisa diterima. Upasara Wulung
adalah kakaknya, gambaran terbaiknya akan seorang lelaki.
Maka sungguh tak masuk akal sama sekali seorang Upasara menggandeng Mbakyu
Demang-nya! Lewat tengah malam, barulah tubuh Gendhuk Tri yang kaku bisa digerakkan kembali.
Agaknya pengaruh aji sirep Ratu Turkana memang tidak dimaksudkan untuk
membunuhnya. Hanya sekadar membungkam geraknya untuk sementara waktu.
Tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Gendhuk Tri untuk menerjang dan menuntut
balas. Hanya saja ketika ia berindap menuju ke tempat peristirahatan rombongan dari
Turkana, yang ditemui itu berlalu tanpa ketahuan ke mana perginya. Tanpa
diketahui kepada siapa ia akan bertanya.
Juga tak bisa melampiaskan kesalnya kepada orang lain.
Jadinya Gendhuk Tri merasa serbasalah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam keadaan seperti itu, segala apa bisa dilakukan. Segala tindakan kecil yang
membuatnya tidak suka, bisa membuat tangannya melayang dengan kasar. Selendang
yang warna-warni bisa mengedut untuk mencabut nyawa.
Pertemuan Jinalaya SEBENARNYA sewaktu Senopati Sora dan pengikutnya dikepung Mahapatih Nambi,
Gendhuk Tri mengetahui. Andai saja ia masuk ke dalam pertarungan, ia bisa
mengetahui kehadiran Upasara.
Hanya saja belum tentu juga menjadi lilih atau berkurang gusarnya.
Karena pada dasarnya, Gendhuk Tri sangat memuja Upasara Wulung.
Lebih dari siapa pun di jagat ini. Baik sebagai kakak, sebagai ayah, sebagai
guru, atau bahkan sesembahan dalam arti yang luas.
Dalam alam pikiran Gendhuk Tri, Upasara adalah ksatria sejati. Satu-satunya
tokoh yang putih bersih dan baik hati. Bahwa kemudian hati kecilnya sangat
kecewa karena Upasara menerima tawaran lamaran Ratu Ayu Bawah Langit, itu tak
mengubah pemujaan kepada Upasara.
Kejadian semacam ini masih bisa masuk dalam akalnya.
Akan tetapi tidak kalau menggandeng Nyai Demang.
Itu semacam pengkhianat tanpa ampun. Dunia akhirat akan mencatat kedurhakaan
semacam ini. Kalaupun ini semua karena jalan pikiran Gendhuk Tri yang masih serba kekanak-
kanakan, belum tentu bisa berubah pada perjalanan hidupnya nanti.
Saat sekarang ini, yang ada dalam hati Gendhuk Tri hanyalah kekesalan yang luar
biasa sengitnya. Segala apa yang dipercayai menjadi goyah.
Maka ketika ia mendengar ada pertemuan Jinalaya, ia langsung berangkat, tanpa
perlu banyak bertanya. "Siapa tahu wanita tak tahu diri itu ada di sana," pikir Gendhuk Tri sambil
menuju ke bekas tempat bersemadi Baginda Raja Sri Kertanegara.
Gendhuk Tri tahu bahwa Jinalaya adalah istilah yang dulu digunakan untuk
menyebut bahwa Baginda Raja wafat. Jina bisa berarti gelas Sang Budha, atau
cawan Sang Budha. Sedangkan laya bisa berarti tempat tinggal, rusak, mati, atau
musnah. Kata sandi Jinalaya digunakan bagi para pengikut setia yang menggambarkan bahwa
Baginda Raja kini kembali ke tempat tinggal asal mulanya, yaitu ke dalam gelas
Sang Budha. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Walau Baginda Raja telah lama wafat, ini semua tak mengurangi pemujaan yang
selalu dilakukan oleh pengikutnya yang setia.
Raja yang sekarang memerintah Keraton Majapahit tidak secara terang-terangan
melarang, walau juga tidak secara terang-terangan merestui pemujaan pada saat-
saat tertentu. Hanya saja, sejak Putra Mahkota Kala Gemet memaklumkan gelaran yang tidak lagi
menunjukkan keturunan langsung dari Baginda Raja, kegiatan pertemuan Jinalaya
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dianggap menentang Keraton.
Sehingga pengikut-pengikut setia Baginda Raja Sri Kertanegara menjadi ketakutan.
Karena bisa menemukan kesulitan suatu ketika. '
Namun, walaupun banyak larangan dan hambatan, nyatanya pertemuan Jinalaya,
memperingati hari-hari terakhir Baginda Raja, masih tetap berlangsung.
Ke sanalah Gendhuk Tri datang, dan langsung bergabung.
Berada dalam kerumunan di antara orang-orang yang tak dikenalnya, yang
mengadakan upacara doa bagi Baginda Raja. Sambil satu per satu memuji kebesaran
Baginda Raja. Ada semacam panggung di mana setiap orang berhak maju dan memuji.
Kurang dari setengah penanak nasi, Gendhuk Tri sudah merasa sebal. Telinganya
menjadi gatal. Demikian juga bibirnya.
"Jagat ini tadinya gelap gulita," tutur seorang pembicara yang memegang tombak
panjang. "Matahari belum ada. Dunia dalam kegelapan, sampai lahirlah Baginda
Raja yang perkasa. "Sejak saat itu matahari bisa bersinar.
"Bulan mau muncul. "Padi bisa ditanam. "Manusia tak lagi bergayutan di pohon seperti kera.
"Sungguh besar jasa Baginda Raja."
Lalu yang hadir menggumamkan nama Baginda Raja sambil menyembah. Gendhuk Tri
terbatuk karena tak bisa menguasai perasaannya. Apalagi ketika pembicara kedua,
yang membawa dua golok panjang, mulai maju ke tengah.
"Ketika Baginda Raja memerintah, Keraton menjadi aman dan makmur, seadil-
adilnya. Sedemikian tenteram dan bahagianya, sehingga mampu mengalahkan
ketenteraman Jonggring Saloka, tempat bersemayam para Dewa.
"Sehingga karena iri, para Dewa turun ke bumi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Menggoda Baginda Raja agar Baginda Raja berkenan memerintah Dewa. Tapi Baginda
Raja menganggap bahwa para Dewa lebih susah diatur daripada rakyat Singasari.
"Dengan kata lain, Dewa pun kalah pamornya.
"Apa yang saya ceritakan ini, berdasarkan penuturan para Dewa sendiri."
Kembali terdengar gumam pujian.
Giliran pembicara ketiga maju, Gendhuk Tri berteriak,
"Para tikus busuk, tanpa membuka mulut pun kalian sudah bau tengik. Jangan
memperburuk keadaan. "Mendengar omongan kalian, Baginda Raja bisa sakit perut."
Suara Gendhuk Tri luar biasa nyaringnya. Semua yang mendengarnya menoleh ke
arahnya dengan wajah gusar.
Apa yang diucapkan Gendhuk Tri memang menyentak pada sasaran.
Ia mengatakan ini pertemuan tikus busuk, sesuatu perasaan. Karena Gendhuk Tri
mengucapkan kata jina seolah terdengar sebagai jinada.
Jina adalah gelas Sang Budha, sedangkan jinada artinya tikus. Jelas sangat
kurang ajar. Lebih dari itu, dengan kalimat enteng Gendhuk Tri menyebutkan Baginda Raja bisa
sakit perut. Dalam anggapan para pemujanya, Baginda Raja lebih hebat dari Dewa. Mana mungkin
disamakan begitu saja dengan orang biasa yang bisa sakit perut"
"Kisanak semua, harap tenang...
"Kalau ada setan yang menyusup kemari, itu sudah biasa. Tikus yang kegerahan
akan keluar dari sarangnya untuk mencari seseorang yang mau membunuhnya.
"Ajaran Baginda Raja adalah kasih sayang..."
Pembicara pertama yang memegang tombak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Tombaknya menjadi garang.
"Tikus tersesat yang tidak melihat cahaya suci Baginda Raja Sri Kertanegara, apa
maksudmu mengatakan dengan mulut kotor?"
"Kalian semua tikus tersesat yang kotor, bau, tengik.
"Kalian pikir apa gunanya memakai sebutan pertemuan Jinalaya kalau isinya cuma
ocehan mabuk begini?"
Semua yang hadir menggerung serentak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Kedua kakinya menyepak kiri-kanan secara
serentak. Lima orang mengerang serentak. Termasuk yang memegang tombak.
Kalau tadinya Gendhuk Tri menduga pertemuan ini hanya dihadiri anggota-anggota
yang ilmu silatnya masih pasaran, kini merasa bahwa dugaannya terlalu tinggi.
Kumpulan manusia ini ternyata hanya bisa mengumbar kata-kata, gagah dalam
penampilan dan senjata hebat. Tapi ternyata ilmu silat mereka masih jauh dari
persyaratan. Sehingga dengan sekali gebrak saja seluruh kepungan jebol.
Gendhuk Tri mengedut selendangnya sekali lagi.
Kali ini dengan gerakan kedua tangan dan kedua kaki sekaligus berjumpalitan di
udara. Setiap gerakan membuat dua pengepung merintih kesakitan. Ada yang lepas
genggaman senjatanya, ada yang memegangi tulang keringnya yang serasa retak.
Gendhuk Tri meludah ke tanah.
"Tengik dan kecing. "Yang begini kalian namakan memuja Baginda Raja" Hari ini akan saya sembelih
kalian semua." Di luar dugaan Gendhuk Tri, ternyata yang mengepungnya tidak lari ketakutan.
Malah berdiri berjajar. Dan bersuara secara bersama. Bagai koor.
"Mari kita mati bersama, Saudara.
"Demi Baginda Raja "Lebih dari Dewa Syiwa
"Lebih dari Budha "Mari, Saudara..."
Mereka malah bergerak mendekati Gendhuk Tri. Yang kalau mau dengan sekali
mengebutkan selendangnya, pasti jatuh dua korban sekaligus.
"Tengik! "Kalian ini apa maunya?"
Si pemegang golok berat mendongak.
"Kalau kami mau disembelih karena Baginda Raja, kami akan bahagia. Lakukan,
setan kecil." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri menggerakkan selendangnya. Menggulung golok berat dan menyentakkan.
Golok itu berubah arah, menuju leher pemiliknya!
Yang bergeming. Cebol Kepalang GENDHUK TRI merinding sendiri.
Dan arah golok berat itu dialihkan ke ruang kosong. Berkelontangan ketika saling
beradu. Menunjukkan bahan yang dipakai untuk membuat bukan besi utama.
"Aduh!" Justru jeritan itu terdengar dari pemilik golok yang segera menjatuhkan diri
seolah mati. "Kalian ini benar-benar tengik.
"Biar aku bunuh semua. Agar tak mengganggu pemandangan dan merusakkan
pendengaran dengan omongan yang kacau."
Gendhuk Tri bersiap. "Akhirnya ada juga yang mau berbuat baik dan berbudi luhur."
Gerakan tangan Gendhuk Tri justru terhenti karenanya.
Pandangannya bisa menemukan arah suara. Yang tadi tak diduga karena berasal dari
seorang yang berkulit sangat hitam, dan terus duduk sejak tadi.
"Ya, kamu yang mati lebih dulu."
Gendhuk Tri menyampok dengan selendangnya.
Ujung selendang memancarkan tenaga pukulan. Tubuh membungkuk hitam itu terlempar
ke atas. Kali ini Gendhuk Tri yang bengong.
Rasanya tak percaya apa yang dilihat.
Bukan karena ilmunya menjadi mentah. Bukan karena lawan memiliki daya tangkis.
Justru sebaliknya. Tubuh hitam kecil itu benar-benar terpental.
Yang tak diduga Gendhuk Tri, tubuh itu benar-benar kecil, pendek, bagai segumpal
arang. Kembali Gendhuk Tri mengubah kedutannya. Kali ini memakai tenaga menarik,
sehingga tubuh kecil itu terbanting tepat di depan kakinya.
Dan memang kecil, pendek, hitam.
Terduduk tak bergerak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Cebol kepalang, apa maumu?"
Cebol kepalang adalah istilah untuk menyebut seorang yang kerdil, akan tetapi
nampak biasa kala duduk, dan kelihatan lebih pendek kala berdiri.
"Mauku, maulah berbuat baik padaku."
Tenang sekali suaranya. "Membunuhmu?" "Itulah budi baik."
"Tunggu dulu. Siapa namamu?"
"Kamu sudah menyebut Cebol. Apa pun namaku, apa bedanya?"
"Cebol kan sebutan, bukan nama."
"Itulah namaku. Cebol. Bisa ditambahi hitam. Bisa diperhalus, tapi tetap Cebol."
Di balik ucapan yang seolah penuh pemikiran itu, ternyata tak ada apa-apanya.
Dari sentakan tadi, Gendhuk Tri yakin bahwa Cebol ini memang tak memiliki ilmu
silat apa-apa. Juga yang lainnya.
"Tengik. "Sungguh tak bisa kumengerti. Kedengarannya saja gagah. Pertemuan Jinalaya, tak
tahunya hanya comberan seperti lumpur busuk yang berkumpul."
"Kami memang comberan, memang lumpur, memang busuk.
"Kenapa tidak dihilangkan saja agar tak mengganggu?"
"Kalian bisa cari mati sendiri."
"Itu mendurhaka ajaran Baginda Raja."
"Siapa bilang?"
Jawabannya ternyata koor bersamaan.
"Tunggu dulu. Tunggu dulu.
"Aku berjanji akan menyembelih kalian satu per satu, atau bersamaan. Tetapi
jelaskan dulu, apa mau kalian dan apa gunanya kalian berkumpul di sini?"
"Meneruskan ajaran Baginda Raja," jawab Cebol.
"Jadi kalian menganggap diri kalian ini ksatria, pendekar, atau bahkan pendeta?"
"Tidak semuanya."
"Lalu?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kami adalah kami."
"Kenapa memakai nama pertemuan Jinalaya segala?"
"Gadis berbudi luhur.
"Siapa yang mengatakan bahwa Baginda Raja yang bijak bestari hanya milik para
ksatria, para senopati, para prajurit, para pendeta"
Kami juga rakyat Baginda Raja yang dikasihi.
"Zaman Baginda Raja bertakhta, kami dihargai.
"Tidak peduli pendek atau panjang.
"Tidak pandang cebol atau jangkung.
"Tidak peduli ksatria atau pendeta."
Lalu terdengar suara bersama.
"Begitulah Baginda Raja...
"Sumber segala cahaya...
"Di jagat..." Lirik berikutnya tak bisa terdengar sempurna. Gendhuk Tri menggelengkan
kepalanya. "Cebol Jinalaya... Baiklah kamu kupanggil begitu saja. Karena kelihatannya kamu
paling waras... Apa tujuan kalian sebenarnya?"
"Menunggu perkenan Baginda Raja memanggil kami.
"Di alam sana lebih baik, lebih damai, lebih adil, sebab di sana ada Baginda
Raja." "Itulah yang tidak waras."
"Gadis baik budi, kamu sudah berjanji mau menyembelih kami. Kami menagih janji."
Belum pernah Gendhuk Tri menjadi pusing hingga memegangi kepalanya yang pening.
Ini aneh! Di suatu tempat bisa berkumpul begitu banyak orang. Semua memuja kebesaran
Baginda Raja Sri Kertanegara. Berbeda dengan pemujaan para ksatria, para
senopati yang kembali dari mancanegara, mereka ini asal berucap saja. Dan sangat
berlebihan. Tapi bukan salah sama sekali.
Siapa yang mengharuskan bahwa Baginda Raja hanya boleh menjadi pujaan bagi para
ksatria" Siapa berhak melarang bahwa Cebol kepalang atau yang lainnya ini memuja"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukankah mereka ini yang dulu merasakan tenang dan tenteram serta tidak
dipermalukan hanya karena tubuhnya cebol dan kulitnya hitam"
"Saya tidak meminta, tetapi saya mau disembelih lebih dulu," kata pemegang
tombak. "Setelah itu saya," kata yang memegang golok.
"Atau kita bertiga bersama-sama," kata Cebol Jinalaya.
"Itu mudah sekali. "Kalau bukan aku, pasti ada yang lainnya. Prajurit Keraton akan senang sekali
menangkap dan membunuh kalian."
"Sekarang tak ada lagi.
"Bahkan beberapa prajurit Keraton bergabung bersama kami."
Dagu Gendhuk Tri tertarik.
Memang terlihat ada beberapa wajah dan badan yang penuh dengan otot terlatih.
Setidaknya lebih berisi dari yang lainnya.
"Cebol, berapa umurmu"
"Apa aku harus memanggil Paman atau Kakek Cebol?"
"Panggil Eyang Cebol juga boleh, asal segera disembelih."
Gendhuk Tri menemukan dirinya berada di tengah kerumunan. Alih-alih ia sendiri
yang menjadi repot karenanya. Karena kalau mereka semua mendesak ingin
disembelih bisa memuakkan.
Kalau tadi karena murka, sekarang justru iba.
"Aku sudah janji. "Tak nanti aku menarik apa yang kukatakan. Hanya saja sebelum aku membunuh
kalian semua, aku akan menanyakan sesuatu kepada Cebol Jinalaya.
"Nah, sekarang dengar baik-baik."
Semua terdiam. Gendhuk Tri berniat meloncat dan segera melarikan diri. Seluruh
bulu tubuhnya berdiri. Kini, seluruh perasaannya justru dibalut perasaan takut
dan ngeri. Gendhuk Tri pernah berada dalam Gua Pintu Seribu yang ditimbuni dan ditutup.
Dikubur hidup-hidup. Akan tetapi saat itu, meskipun menyaksikan mayat membusuk,
Gendhuk Tri tak merasa ngeri seperti sekarang ini.
Maka cara yang terbaik adalah segera melarikan diri.
"Yang masuk tak bisa keluar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang keluar bisa masuk."
Gendhuk Tri membelalak. Dari keremangan di ujung, muncul sosok tubuh Nyai Demang! Ya, Nyai Demang yang
sangat dibenci. Lebih memuakkan lagi Nyai Demang tengah menggendong seorang
lelaki tua yang merangkul kencang.
"Nyai!" Nyai Demang menoleh ke arah Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri lebih merasa ngeri karena pandangan Nyai Demang seolah kosong.
"Hei, kamu Nyai Demang... Mbakyu Demang, kan?"
"Rasanya nama itu pernah kudengar.
"Siapa kamu?" Ini maha aneh! Masa Nyai Demang menanyakan siapa Gendhuk Tri"
"Di mana Kakang?"
Manusia Delahan BARU kemudian Gendhuk Tri menyadari omongannya sendiri melantur tak keruan.
Karena pada pertemuan pertama sudah langsung menanyakan di mana Upasara!
"Kakang... Kakang siapa?"
"Kakangku. Yang menggandeng Nyai di luar pagar Keraton."
Nyai Demang tertawa. "Ini kakangmu. "Sudah jadi manusia delahan, masih juga merangkulku."
Tubuh Gendhuk Tri lemas. Matanya berkunang-kunang.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakinya kesemutan, hingga tanpa terasa berlutut.
Kalau tadi merasa sangat ngeri, sekarang lebih lagi. Sedemikian keras hantaman
menonjok kesadarannya, sehingga kedua kakinya tak mampu menyangga tubuhnya.
Kalau bisa memilih mati, Gendhuk Tri merasa lebih lega.
Nyai Demang menjadi seorang yang sangat menakutkan. Belum lama disaksikan ketika
Nyai Demang masih digandeng mesra oleh Upasara Wulung.
Kini sudah seperti orang linglung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kehilangan pikiran. Rambutnya terurai, matanya kosong tanpa makna.
Puncak dari kengerian yang paling melipat habis keberanian Gendhuk Tri ialah
kenyataan Nyai Demang menggendong seorang lelaki tua yang merangkulnya, yang
disebut manusia delahan. Manusia delahan, bisa berarti manusia akhirat, manusia yang telah berakhir,
alias mayat. Berarti Nyai Demang selalu menggendong mayat yang tak bisa dilepaskan!
Apalagi yang lebih mengerikan dari ini semua"
"Manusia delahan ini namanya Kakek Berune. Katanya ahli Pukulan Pu-Ni. Tapi
sejak kugendong tak bergerak tak bernapas. Tapi terus merangkul.
"Bagus, ya?" Air mata Gendhuk Tri mengembeng.
Beku. Setelah sedikit bisa menata perasaannya, Gendhuk Tri berbisik kepada Cebol
Jinalaya. "Sejak kapan Mbakyu Demang berada di sini?" "Tak ada gunanya dihitung.
"Ini tempat terbuka. Siapa saja bisa masuk menjadi anggota dan tak keluar lagi."
"Peraturan siapa?"
"Peraturan begitu. "Siapa keluar dari kerumunan akan didekati, agar membunuh kami lebih dulu."
Napas Gendhuk Tri tertahan.
"Kamulah gadis berbudi yang mau menyembelih kami tanpa diminta."
Gendhuk Tri mengangguk perlahan.
Tubuhnya masih gemetar. Kaki dan tangannya masih gemetar seperti kesemutan.
Akan tetapi tekadnya mulai tumbuh.
"Cebol, kamu akan kubunuh lebih dulu. Akan tetapi bagaimana mungkin aku bisa
membunuh yang ada di sini semua" Bagaimana kalau kita jalan bersama menuju
Keraton Majapahit?" "Di sini Baginda Raja mangkat, dari tempat ini pula kami mengikuti..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Baik, baik, Cebol...
"Rasanya hanya perlu waktu sedikit..."
Gendhuk Tri menoleh ke arah Nyai Demang yang tetap berjalan kian-kemari sambil
menggendong Kakek Berune.
"Nyai..." "Aku?" "Ya... Mbakyu. "Mbakyu ingat kidungan Kitab Bumi?"
"Kitab Bumi" Ingat."
"Coba kidungkan."
Gendhuk Tri menatap sambil berdebar.
Mulutnya berkomat-kamit. "Kidungan awal, kidungan pembuka..."
Nyai Demang mengangguk-angguk.
Yang masuk tak bisa keluar Yang keluar tidak ada Baginda Raja lebih dari Dewa
karena Dewa berguru padanya...
Gendhuk Tri benar-benar putus asa. Kondisi Nyai Demang sangat gawat. Ingatannya
sudah tak bisa dikontrol lagi. Dengan mengingatkan Kitab Bumi, tadinya Gendhuk
Tri yakin bisa membimbing pikiran Nyai Demang. Karena justru Nyai Demang-lah
yang dulu berhasil menumbuhkan semangat hidup Upasara.
"Bukan itu, Nyai."
"Memang Kitab Bumi dimulai dengan bukan, dengan tidak, tiada..."
"Nyai..." "Aku?" "Nyai ingat Kakang Upasara Wulung?"
"Upasara?" "Ya, Adimas Upasara Wulung."
"Adimas... Adimas... Ya, ya... ada Kiai Sambartaka, Pendeta Sidateka, Kakek
Berune, tubuhnya berkelojotan, aku yang menggendong, lalu aku menggendong,
lalu..." Gendhuk Tri berusaha mendekati Nyai Demang.
Akan tetapi seluruh yang hadir juga bergerak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Begini saja," kata Gendhuk Tri mendadak karena mendapat bersitan pikiran.
"Kalian meneruskan pujian kebesaran Baginda Raja... Ayo kita mulai lagi..."
Gendhuk Tri membujuk Cebol Jinalaya.
"Paman Demeng... coba Paman mulai..."
Gendhuk Tri memohon dengan menyebut Paman Demeng, atau Paman Hitam, tanpa
menyebut Cebol. Begitu Cebol Jinalaya menuju ke bagian tengah, semua perhatian tertuju padanya.
Napas Gendhuk Tri berangsur tenang. Perlahan ia mulai menyurutkan diri menuju ke
bagian tepi. Agar bisa meloloskan diri.
Setidaknya ini yang paling selamat.
Satu-satunya yang mengganjal hatinya ialah bahwa ia tak bisa mengajak Nyai
Demang. Namun dalam hatinya, Gendhuk Tri berjanji akan segera kembali untuk
membawanya. Biar bagaimanapun benci dan dendamnya, Gendhuk Tri tetap merasa tak tega.
Ternyata pertemuan Jinalaya ini seperti adonan lumpur yang bisa dibentuk
semaunya. Karena kini semua memandang dan mendengarkan omongan pujian Cebol
Jinalaya. Yang segera disusul yang lainnya.
Tanpa memedulikan betul di mana dan bagaimana janji Gendhuk Tri.
Sampai di bagian pinggir, Gendhuk Tri bersiap meloncat pergi. Akan tetapi Cebol
Jinalaya sudah berdiri di sampingnya. Tak mencapai pinggang Gendhuk Tri, akan
tetapi suaranya begitu jelas di telinga Gendhuk Tri.
"Kamu mau tinggalkan kami, gadis berbudi luhur?"
"Membunuh orang lain tanpa sebab, bukan ajaran Baginda Raja."
"Ke mana kamu mau pergi?"
"Paman Demeng boleh ikut kalau mau."
Tanpa menunggu persetujuan, Gendhuk Tri mencekal tangan Cebol Jinalaya. Begitu
menjejakkan kaki, tubuhnya melayang dengan cepat.
Bebas sudah. Bahkan tak ada yang menduga.
Hanya saja begitu kakinya hinggap di tanah, terdengar suara yang bernada
gembira. "Bagus sekali. "Itulah gerakan air mengikuti angin."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri melepaskan cekalan Cebol Jinalaya. Langsung membuat gerakan
bersiaga. Empat helai selendangnya bergerak naik terjepit jari-jarinya.
"Tidak. Tidak terlalu tepat.
"Gerakan menjepit tidak selalu telunjuk dan ibu jari. Semua jari bisa digunakan.
Jari tengah dan kelingking pun bisa. Sayang saya tidak memiliki lagi."
Halayudha memperlihatkan tangan kanannya.
Yang keempat jarinya kutung.
"Aku sudah mencarimu, Gendhuk Tri. Dugaanku tak keliru. Kamu pasti datang ke
pertemuan manusia cacat dan sakit ini."
"Ayolah kita jalan sama-sama."
Halayudha membusungkan dadanya.
"Kini saatnya kita kuasai jagat. Ayolah..."
Tangan Halayudha terulur maju. Cepat, tetapi seolah tanpa gerakan.
Gendhuk Tri tak menduga bahwa Halayudha berusaha menariknya.
Cepat Gendhuk Tri membuang tubuhnya, akan tetapi tangan kiri Halayudha menangkap
pundaknya. Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya.
Salah satu jurus andalan yang selalu bisa menyesatkan lawan. Tapi justru
Halayudha membungkuk, dan menangkap kaki Gendhuk Tri.
"Air selalu ke bawah, mencari tempat yang kosong.
"Tepat sekali. Begitu tersentuh pundak, kamu menjatuhkan diri.
Hebat. Dugaanku hebat. Kamulah pewaris ilmu Tirta Parwa.
Air Mengalir dari Sumbernya
GENDHUK TRI mengetahui bahwa Halayudha termasuk tokoh yang luar biasa. Bukan
hanya karena kelicikan dan keculasannya yang mampu mengubah total penampilannya,
melainkan juga karena ilmu silat yang dikuasai beraneka ragam.
Meskipun demikian, Gendhuk Tri juga bisa menilai dirinya bukan contoh yang bisa
ditekuk habis dalam sekali gebrak.
Kalaupun tingkat ilmu mereka berbeda, masih diperlukan waktu untuk mengalahkan.
Akan tetapi kenyataannya justru dalam satu gerakan saja kedua kaki Gendhuk Tri
dapat ditangkap. Tanpa bisa berkutik. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena tepat di pergelangan kaki dan menekan urat nadi. Sehingga dengan sekali
tekan, akan putus semuanya. Setidaknya Gendhuk Tri akan menderita cacat seumur
hidupnya. Dalam keadaan terdesak, Gendhuk Tri bisa menjadi nekat. Akan tetapi, sekarang
ini akal sehatnya bisa bekerja. Apa pun yang dilakukan, sia-sia. Tak mengubah
perlawanan. Anehnya, justru pada saat kemenangan di tangan, Halayudha melepaskan begitu
saja. Dan berdiri tegak sambil tersenyum.
Sebat luar biasa Gendhuk Tri menyapu dengan kedua kakinya. Kedua kakinya
terjulur di antara kaki Halayudha, dan dengan satu sentakan kuat memotong dari
dalam. Halayudha berjingkrakan. "Luar biasa! "Aku yang luar biasa. Itulah tenaga air. Mengalir dari sela-sela. Begitu
kekuatan air yang sesungguhnya. Menerobos dari sisi kecil, mengalir, masuk dan
menenggelamkan yang bisa dimasuki, atau menghancurkan jalan masuknya sehingga
semakin melebar." Gendhuk Tri tidak memedulikan ocehan Halayudha. Sebat gerakannya, seakan
menyentuh lutut bagian dalam Halayudha. Hanya saja beberapa kejap sebelum
menyentuh, Halayudha sudah meloncat ke atas, dengan masih berjingkrakan.
Gendhuk Tri mempergunakan kesempatan untuk meloncat ke atas, dengan kedua tangan
terulur ke depan, sementara selendang warna-warni menyabet ke arah tenggorokan
dan kedua kakinya pun mencegat arah mundur.
Dicecar dengan serangan gencar, Halayudha makin liar gerakannya berjingkrakan.
"Bagus, bagus. "Aku yang bagus. "Ayo teruskan. Kamu mau menyerang bagian yang mana"
Kelihatannya sekilas mataku akan kau cungkil dengan tangan, leherku akan kau
libat dengan selendang. Tetapi sebenarnya yang paling berbahaya adalah gerakan
kaki. "Serangan yang berasal dari bawah itulah sifat air.
"Bagus. "Bagus, aku bisa mengerti.
"Lihat, aku akan bisa menghindarimu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri merasa makin jengkel karena dipermainkan. Ia mengerahkan seluruh
kemampuannya, akan tetapi dengan cara berjingkrakan, enteng sekali Halayudha
bergerak. Setiap kali Gendhuk Tri mengejar, Halayudha bisa menghindar dengan
cara leluasa. Sambil tertawa-tawa dan berkomentar.
Makin cepat Gendhuk Tri mengejar, makin cepat pula Halayudha berloncatan
menghindar. "Kalau air datang, kamu tak bisa melawan. Sebab tenaga air makin lama makin
kuat. Jangan ikut arus, kalau tak ingin hanyut. Jalan satu-satunya adalah dengan
meloncat. Tenaga air tak akan menghantam telak.
"Bukan begitu?"
Gendhuk Tri terkesima. Semua ilmunya ternyata bisa terbaca secara sempurna.
Seumpama seorang yang tengah membaca buku.
"Ayo, serang lagi."
Gendhuk Tri menggeleng. "Sejak kapan air suci perguruan kami kamu kotori?" Terang Gendhuk Tri hanya main
gertak saja. Ia sendiri tak mengetahui asal-usul ilmu silatnya. Juga tak
mengenal perguruannya secara resmi. Karena hanya belajar dari Jagaddhita, yang
mendapatkan ilmunya dari Mpu Raganata.
"Ha... ha, bukankah kamu yang mencuri Tirta Parwa yang kuwarisi?"
Halayudha bisa dengan cepat membalikkan persoalan. Dan bukan hanya omongan
kosong. Kalau dilihat dari penguasaan, jelas Halayudha jauh lebih menguasai
dibandingkan dengan Gendhuk Tri.
Sementara itu kerumunan yang menonton pertarungan masih memperhatikan, seolah
menunggu kesempatan untuk dilenyapkan.
Gendhuk Tri termangu. Sesungguhnya ia tak begitu mengerti apa nama ilmu silatnya dan apakah mempunyai
kitab pusaka yang disebut Tirta Parwa, atau Kitab Air. Rasa ingin tahunya jadi
melambung tinggi. "Air selalu mengalir dari sumbernya. Mana mungkin manusia busuk macam kamu
menjadi pewaris Tirta Parwa" Orang seperti kamu lebih pantas menjadi Tumbal
Tirta Parwa." Gendhuk Tri menjawab angin-anginan saja. Karena kalau disebut Kitab Air,
ingatannya adalah Kitab Bumi. Kitab itu mempunyai bagian yang disebut Kitab
Penolak Bumi. Jadi kalau ada Kitab Air, tentunya ada pula bagian Kitab Penolak
Air. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan-jangan ini bagian dari Kitab Penolak Air. Air... Kalau benar begitu,
berarti Pendeta Sidateka memang sengaja memutar balik! Mana mungkin isi Tumbal
ditulis lebih dulu..."
"Apa yang kaukatakan?"
"Kamu benar, anak kecil.
"Aku tak bisa diakali. Marilah kita kembali ke Keraton. Aku akan memeliharamu.
Untuk melihat ilmu silatmu sejauh mana."
Berada dalam tawanan Halayudha, Gendhuk Tri tak akan bisa bernapas dengan bebas.
Ia mengetahui bahwa jago di antara para jago seperti Naga Nareswara atau Kama
Kangkam pun bisa diisap habis-habisan ilmunya.
"Untuk apa aku ikut kamu"
"Aku lebih suka mati."
"Tak akan kubiarkan..."
Halayudha mendengus perlahan. Kedua tangannya bergerak seolah menepuk air, dan
tubuhnya berputar mengelilingi Gendhuk Tri, yang tiba-tiba merasa terkepung,
terseret, mengikuti ke arah mana tubuh Halayudha berputar.
"Air lebih mudah membawa air yang lain. Pusaran arus lebih mudah menggandeng air
tenang." Masih dengan berhaha-hehe, Halayudha mampu menjinakkan Gendhuk Tri yang benar-
benar tak bisa melawan. Sehingga dalam satu putaran berikutnya, kedua tangannya
sudah terikat dengan selendangnya sendiri!
Gendhuk Tri tak mampu mengadakan perlawanan.
Benar-benar seperti terseret dalam arus, dan terjerumus ke dalam pusaran.
Hebatnya lagi, Halayudha dapat melepaskan ikatan itu dan sebelum Gendhuk Tri
bisa meloloskan diri, ikatan itu sudah erat lagi.
Seperti main-main. "Beginilah cara memainkan tenaga air. Jadilah pusaran, bukan gelombang. Tariklah
sesuai dengan tenaga putarmu, jangan sebaliknya.
"Kalau kamu mau membaca baik-baik, kamu tak akan seceroboh ini."
Pikiran Gendhuk Tri bermuara pada kesimpulan, bahwa Kitab Air itu benar-benar
ada, dan Halayudha telah atau tengah mempelajari.
"Satu guru satu ilmu sebaiknya tidak saling mengganggu.
"Anak kecil nakal, kamu masih tak mau mengakuiku?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sepanjang hidupku, tak pernah ada nama lain yang mempelajari Kitab Air yang tak
kukenal. Makanya kamu jangan ngaco dan sembarangan buka mulut."
"Jagaddhita ngerti apa?"
"Eyang guruku tak akan sembarangan mengangkat murid."
"Kamu kira Mpu Raganata yang loyo itu bisa menciptakan ilmu silat yang begini
dahsyat" Kamu mimpi apa selama ini?"
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu siapa yang mengajarimu?"
Inilah pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Halayudha. Sebab memang itu yang
ingin diketahui. Jelas bahwa Gendhuk Tri murid Jagaddhita, dan Jagaddhita murid
Mpu Raganata. Akan tetapi dasar-dasar ilmu yang dipelajari sangat berbeda.
"Katakan kalau kamu tidak mencuri."
Halayudha tersenyum. "Apa perlunya menyebut nama" Kalau aku sudah menguasai, apa bedanya ini ajaran
cacing atau kucing?"
Hanya Halayudha yang menganggap rendah seorang guru!
Kalimat yang sangat kurang ajar dan tidak mengenal sopan santun sedikit pun ini
membuat Nyai Demang berteriak.
"Mana ada manusia yang berhati iblis dan berdarah setan seperti kunyuk satu ini"
"Sudah jelas penciptanya tokoh yang paling suci, wanita yang paling bijak di
seluruh jagat, masih juga disamakan cacing atau kucing"
"Sungguh ucapanmu kelewat batas."
Kali ini Halayudha yang tersentak kaget. Nyai Demang yang sudah mirip orang
kehilangan akal sehatnya, justru bisa bicara dengan urut.
Aneh. "Dari mana kamu tahu?"
Bumi Itu Tanah dan Tanah Itu Air
NYAI DEMANG tertawa ngakak.
Badannya bergoyang-goyang sehingga Kakek Berune yang berada dalam gendongannya
seperti mau jatuh. "Dari mana aku tahu"
"Bagaimana aku tidak tahu, kalau itu diciptakan untukku?"
Di telinga Gendhuk Tri, ucapan Nyai Demang terdengar ngawur. Akan tetapi
Halayudha melihat dari sisi yang lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sejak tadi Nyai Demang tak ikut bicara sepatah kata pun yang agak urut. Lalu
ketika disinggung mengenai Tirta Parwa menjadi "waras".
Berarti ada sesuatu yang bisa menunjukkan arah yang sama. Berarti ada hubungan
antara Tirta Parwa dan bawah sadar atau suara batin Nyai Demang.
"Ya, ya, aku lupa Kitab Air diciptakan untuk kamu.
"Jadi siapa kamu sebenarnya?"
"Astaga. Kamu pura-pura tak mengenai diriku" Apakah Bejujag itu sudah demikian
jahat mencuci otakmu?"
"Kalau begitu siapa aku?"
"Batok tengkorakmu pun kukenali, apalagi tubuhmu. Meskipun suaramu sangat jelek
sekarang ini." Meskipun tidak tahu persis hubungannya, Gendhuk Tri juga bisa meraba-raba. Bahwa
yang bicara sekarang ini bukan jalan pikiran Nyai Demang. Melainkan suara atau
jalan pikiran orang yang digendong, yang sudah menjadi mayat, yang disebut
sebagai Eyang Berune! Sangat masuk akal. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Nyai Demang hanyalah tubuhnya saja.
Sedangkan detak jantung dan naluri yang dimiliki adalah orang yang digendongnya.
Hal seperti ini bukan sesuatu yang luar biasa.
Gendhuk Tri juga pernah mengalami dalam hidupnya. Ia pernah kemasukan racun yang
luar biasa ganasnya. Sehingga tak ada manusia atau binatang yang mau didekati.
Sejak itu Gendhuk Tri merasa menderita lahir dan batin.
Baru kemudian hawa racun yang mengalir dalam darahnya tersapu bersih sewaktu
Upasara Wulung meminjamkan tenaganya. Menguras tenaga dalamnya untuk disalurkan
ke dalam tubuh Gendhuk Tri.
Apa yang dialami Nyai Demang kurang-lebihnya sama.
Hanya lebih seram. Kakek Berune yang berada dalam gendongan Nyai Demang termasuk tokoh sakti,
karena nyatanya masih bisa lengket terus. Barangkali saja saat-saat terakhir,
Kakek Berune mencoba memindahkan dirinya ke dalam tubuh Nyai Demang! '
Juga bukan sesuatu yang mustahil.
Gendhuk Tri pernah mendengar ilmu memindahkan nyawa. Yang termasuk dalam ilmu
hitam, yang pantang dipelajari sebagai ilmu. Ilmu pemindahan nyawa ini biasanya
terjadi dari orang yang hidup ke dalam tubuh orang yang sudah mati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sehingga orang yang sudah mati bisa dipaksa berbicara atau bergerak, sesuai
dengan kehendak yang memindahkan nyawa. Pada penganut ilmu hitam, biasanya
dipakai sebagai senjata tidak langsung.
Karena mayat-mayat ini bisa menerobos masuk ke daerah lawan dengan meloncat-
loncat, dan kalaupun terkena senjata lawan tak akan mengaduh.
Dan yang jelas, yang menggerakkan mayat tak terluka.
Bedanya, Nyai Demang bukan memindahkan tenaga dan kekuatannya ke dalam mayat
Kakek Berune, melainkan sebaliknya.
"Jadi kamu mengenaliku?"
"Tentu saja. Aku sudah membaca dan mempelajari Tirta Parwa yang tak kalah
hebatnya dengan Pukulan Pu-Ni yang kumiliki. Jauh di atas Tepukan Satu Tangan.
"Akan tetapi kenapa justru Kitab Penolak Bumi yang dipakai"
"Kenapa?" Halayudha tak tahu ke mana arah pertanyaan itu sehingga ia terdiam.
"Karena kamu masih lebih mencintai Bejujag itu"
"Ayo jawab saja!"
Wajah Nyai Demang menyeringai.
Mengerikan. Dalam hati Halayudha menggigil.
Hebat juga pengaruh yang menguasai Nyai Demang ini, pikirnya. Apa pun alasan
atau latar belakang kejadiannya, agaknya tenaga lain Nyai Demang mengenali Kitab
Air. Kalau aku bisa memanfaatkan, pasti jadi luar biasa.
Berpikir begitu, Halayudha menghadapi Nyai Demang dengan pemusatan pikiran
penuh. "Terserah apa yang kamu katakan."
"Kitab Air lebih dari Kitab Bumi. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan" Ayo
ulangi, biar kamu ingat."
Gendhuk Tri menjadi panas-dingin.
Kalau benar Nyai Demang menceritakan semuanya, alamat Halayudha bakal makin gila
dan menguasai. Akan tetapi ia sendiri tak bisa mencegah atau berbuat sesuatu.
Halayudha menghela napas.
Lalu menutup kedua matanya. Bibirnya berkomat-kamit, perlahan.
Terdengar kidungan yang halus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bumi itu tanah dan tanah itu air
air lebih dari bumi, lebih dari tanah
sebab air ada di semua bumi ada di suatu tempat hanya kalau air minggir, bumi terlihat
jadi air lebih hidup dan menggeliat
bumi itu tanah dan tanah itu air
air sama dengan bumi tanpa tanah, air hanya air
tanpa air, tanah bukan tanah
bumi milik tanah tanah milik air tanah dan air milik yang terakhir...
Air mata Nyai Demang menetes.
Duka menggores. "Jadi kamu masih ingin selalu bersatu dengan Bejujag?"
Tak ada jawaban, Tadi Halayudha hanya menghafal kidungan yang kira-kira bunyi dan isinya seperti
yang diminta Nyai Demang. Tanpa menyadari bahwa ternyata jawabannya tepat
sekali. "Tunjukkan yang lainnya, agar aku yakin."
"Akhirnya kamu mau mengakui aku.
"Dengar baik-baik. Dalam kidungan yang kau kirimkan padaku tentang Gita Tirta
atau Nyanyian Air, dengan jelas kaukatakan..."
Mendadak suara Gendhuk Tri melengking tinggi.
"Jangan mengatakan sembarangan. Harusnya kepadaku, karena aku murid yang resmi."
Nyai Demang melengak. Juga Halayudha yang bisa membaca kemauan Gendhuk Tri agar Nyai Demang tidak
menunjukkan bagian-bagian yang penting.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Darah Halayudha menggelegak.
Dengan sekali tekuk, Gendhuk Tri bisa dibekuk.
Akan tetapi Halayudha masih ragu. Apakah ini membuat Nyai Demang yang kerasukan
orang lain menjadi murka atau tidak. Kalau murka, dirinya bisa kehilangan
kesempatan emas. Kehilangan Gendhuk Tri maupun sukma yang memaksa berada dalam tubuh Nyai Demang.
Dua-duanya merupakan kunci pembuka Kitab Air.
Hanya saja telinganya sempat mendengar mengenai Nyanyian Air. Ah, di bagian mana
yang kidungannya berbunyi Gita Tirta"
Rasanya semua isi Kitab Air sudah dipelajari. Sudah dibaca ulang dan ia hafal
dengan baik. Akan tetapi, tak ada yang merujuk ke arah Gita Tirta.
Ini bisa berarti bahwa Pendeta Sidateka tetap merahasiakan satu bagian yang
penting. Yaitu kidungan Gita Tirta. Kalau tidak, pasti ia sudah mengetahui.
"Sejak tadi aku yang memainkan beberapa jurus ajaran Kitab Air.
Masa kamu tidak merasakan. Makanya hanya kepadakulah kamu bercerita."
"Kamu siapa?" "Aku Gendhuk Tri, hubungan kita sama dekatnya dengan Kakang Upasara. Yang belum
lama ini menggandeng Mbakyu. Masa tidak ingat nama Upasara Wulung?"
Nyai Demang bergoyang-goyang tubuhnya.
Lututnya tertekuk. Gendhuk Tri menyadari kesalahan terbesar. Secara tidak sadar ia menjawab seolah
berbicara dengan Nyai Demang. Padahal yang menguasai Nyai Demang adalah Kakek
Berune! Tidak sepenuhnya, karena Nyai Demang masih bisa tersentuh oleh ingatan,
ketika nama Upasara Wulung disebutkan.
Tapi justru dua jalan pikiran dari dua orang yang berbeda membuat tubuh Nyai
Demang tak kuat. Ini bahaya! Kidung Penolak Air HALAYUDHA mengetahui bahwa Gendhuk Tri sangat cerdas.
Bisa dengan cepat memotong omongan Nyai Demang. Sehingga penjelasan mengenai
Kitab Air jadi terhenti. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Gendhuk kecil, omonganmu yang mengacau bisa membahayakan Nyai Demang. Kenapa
kamu ingin melenyapkan dengan cara licik seperti itu?"
"Siapa yang licik" Kamu atau aku?"
Halayudha meringis. "Semua orang tahu aku licik, licin, culas, jelek, nista, bukan ksatria.
Kuakui. Akan tetapi aku tak pernah berpura-pura baik dan berjiwa ksatria seperti
kamu." "Kamu yang ngaco. Mana mungkin aku berniat jahat kepada Nyai Demang. Apa
alasanku?" "Apa alasanku...?" Halayudha menirukan nada bicara Gendhuk Tri dengan nada lebih
tinggi. "Hanya karena ingin merangkul Upasara sendirian, kamu menyingkirkan Nyai
Demang. Sungguh keji hati wanita.
Sekecil kamu sudah busuk dan hina."
Bibir Gendhuk Tri gemetar.
Menahan gusar yang kelewat takar.
Darahnya mendidih, terbakar.
Kalimat Halayudha berbisa luar biasa. Dengan caranya sendiri, Halayudha bisa
menangkap perasaan Gendhuk Tri terhadap Upasara.
Dari ucapan-ucapan seketika. Dengan cara itu, Halayudha ganti memojokkan Gendhuk
Tri. Memutar balik kenyataan adalah keunggulan Halayudha. Dalam hal begini, Gendhuk
Tri yang bisa bicara menyakitkan pun masih tetap di bawah tekukan lidah
Halayudha. "Kamu benar-benar biadab!"
"Semua yang ada di sini menjadi saksi."
Halayudha berjongkok menghaturkan sembah ke arah Nyai Demang.
"Saya yang rendah menghaturkan sembah kepada Kakek Sakti.
Mohon kiranya diperkenankan mengetahui nama besar Kakek Sakti yang tidak saya
ketahui." "Apa hubunganmu dengan Dodot Bintulu?"
Mendadak Nyai Demang bangkit lagi. Berdiri dengan perkasa.
Pandangannya keras. Jelas bahwa kini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang
bukan dirinya lagi. "Jelek-jelek begini, saya pernah berguru pada Paman Sepuh Dodot Bintulu. Namun
saya terlalu bodoh..."
"Aku mendengar Paman Sepuh punya dua murid jahat. Kamu yang pertama atau kedua?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seketika Halayudha seperti terkena serangan telak.
Seketika saja. Bukan Halayudha kalau tak bisa mempertahankan diri dengan cemerlang.
"Maaf, Kakek Sakti, saya hanya murid kesekian yang tak diperhitungkan. Saya
hanya sebentar diajari, dan Paman Sepuh, guru kami yang mulia, takut dijahati
muridnya sehingga saya tak diakui secara resmi.
"Hanya karena tadi disebut-sebut dan ditanyakan, saya terpaksa mengaku-aku.
"Maafkan hamba...."
"Hmmm... Ilmumu tak begitu jelek.
"Aku teman main Dodot Bintulu, yang nasibnya sama-sama buruknya. Pernah dengar
Pukulan Pu-Ni?" Biarpun tak pernah mendengar, Halayudha menyembah hormat.
"Paman Sepuh, guru yang mulia, pernah menyebut-nyebut kesaktian pukulan yang
mementahkan segala pukulan. Sungguh nasib baik dan sukma guru yang mulia yang
mempertemukan." Nyai Demang mengangguk-angguk.
"Kenapa sebagai murid Dodot Bintulu kamu mempelajari ilmu Air?"
Ilmu Air" Pertanyaan itu tergema kembali dalam dinding hati Halayudha.
"Hamba mendapat pesan terakhir, bahwa Tirta Parwa banyak disalahgunakan oleh
orang-orang culas yang tak berhak. Kalau bisa hamba disuruh membersihkan."
"Itu baik. "Itu mulia. "Kalau begitu kamu sudah mempelajari?"
"Serba sedikit, Kakek Sakti Pu-Ni...."
"Kalau serba sedikit, kenapa kamu tak pernah mendengar Gita Tirta"
Ini sungguh aneh... Kidungan itu sampai kepadaku, tentunya Dodot Bintulu,
Raganata, Bejujag, sudah membaca dengan baik."
"Mohon Kakek Sakti Pu-Ni memberi penjelasan. Demi nama baik pencipta Kitab
Air...." Halayudha setengah main tebak saja. Namun dengan alasan yang kuat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia sadar bahwa "Kakek Sakti Pu-Ni" mempunyai hubungan yang erat dengan pencipta
Tirta Parwa, yang seangkatan dengan Mpu Raganata, Paman Sepuh, dan Eyang Sepuh.
Betul-betul tingkat pepunden, tokoh pujaan yang luar biasa.
Dengan mengatas namakan pencipta Kitab Air, Halayudha ingin mendekatkan diri.
Dan berhasil. Karena Nyai Demang mengangguk-angguk.
"Ah, bisa jadi gurumu juga tak memahami Gita Tirta. Juga yang lain.
Nyatanya bocah kecil yang mengaku didikan Raganata juga tak becus.
"Ketahuilah, orang-orang bodoh, akulah Kebo Berune, yang sekarang kalian panggil
dengan sebutan Eyang Berune, pencipta Pukulan Pu-Ni yang tiada tandingannya di
kolong langit ini. "Aku mengerti semua ciptaan, semua ilmu kanuragan yang dianggap paling mustahil
di tanah Jawa ini. "Kalian harus tahu bahwa ilmu yang terbaik, ilmu yang paling sakti, bukanlah
yang dituliskan dalam Tumbal Bantala Parwa. Kitab itu karya curian dari Gita
Tirta. "Sesungguhnya di situ kidungan pertama kali muncul. Itulah ilmu pamungkas, ilmu
yang terakhir. "Bejujag hanya mengambil alih saja.
"Dengarkan kidungan lengkapnya, sehingga semua bisa membandingkan mana yang asli
mana yang palsu. Dari semua air, dari semua sumber
selalu ada akhir, selalu ada penghabisan
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air melenyap, tinggal senyap
air menguap, tinggal senyap
bumi yang sangar, bumi yang ganas
ada tumbalnya bisa dicipta negara yang panas, negara yang ganas
ada tumbalnya bisa ditata air yang mengalir KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
lenyap dari akhir berarti nyanyian Nyanyian Air, Gita Tirta Gita Tirta, tanpa jurus tanpa tarikan napas tanpa kehendak air bisa dihapus, tanpa bekas
itulah Nyanyian Air yang terus terdengar selama masih bisa mendengar
terasa selama masih bisa merasa...
"Cukup!" Gendhuk Tri berteriak dengan lengkingan tinggi. Tubuhnya melayang ke
udara. Coba menyetop Nyai Demang. Halayudha bergerak sama cepatnya!
Mengerti arah gerakan Gendhuk Tri, Halayudha menaikkan tangan kiri dengan
tekukan. Udara yang digeletarkan menahan laju tubuh Gendhuk Tri. Yang mendadak
berbalik dan menendang Halayudha yang masih duduk bersila.
Tenang sekali Halayudha menggeser kepalanya, membiarkan sapuan kaki Gendhuk Tri
berdesis beberapa jari di depan hidungnya.
Ketika Gendhuk Tri mengulang lagi, Halayudha cepat menarik selendang Gendhuk Tri dan tubuhnya sendiri
melayang ke atas, ke arah Nyai Demang!
"Jangan ganggu Guru Sakti Eyang Berune!"
Dengan cara begitu, seolah Halayudha ingin menunjukkan bahwa ia melindungi diri
Kakek Berune. Sesuatu yang biasa dilakukan. Padahal niatan Halayudha hanya satu.
Mendapatkan Kakek Berune!
Yang pikirannya berada dalam tubuh Nyai Demang.
Sebab di sinilah kunci Tirta Parwa yang sesungguhnya. Bukan pada diri Gendhuk
Tri! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam gerakan itu Halayudha melindungi Nyai Demang. Tangan kiri berjaga atas
serangan Gendhuk Tri, tangan kanan mendorong hormat tubuh Nyai Demang.
Itu bahaya! Tenaga dalam Nyai Demang mengarus ke tubuh Halayudha.
"Aduh!" pekiknya nyaring.
Pembunuhan Habis-habisan HALAYUDHA tidak menyangka sama sekali bahwa dalam tubuh Nyai Demang tersimpan
tenaga dari Kakek Berune yang masih bergolak.
Begitu tersentuh tubuh lain, secara otomatis tenaga itu tersalur!
Dengan sifat menghancurkan!
Sesungguhnya itulah yang dirasakan oleh Nyai Demang sehingga ia tak bisa
menguasai diri. Merasa tangan kanannya kesemutan, Halayudha membuang tenaga yang menyerang
tubuhnya ke sembarang tempat.
Sudah barang tentu yang menjadi sasaran orang-orang yang ada di sekitarnya. Para
pengikut Jinalaya tak sempat mengeluarkan teriakan mengaduh.
Sekali berkelojotan, langsung mati!
Dalam sekejap, selusin orang meninggal seketika. Termasuk si pemegang golok,
tombak, gada, yang begitu tersentuh langsung kejang.
Cebol Jinalaya yang ingin maju, segera ditarik oleh Gendhuk Tri.
Rasanya Gendhuk Tri tetap tak rela kalau cebol kepalang ini meninggal karena
ulah Halayudha, walaupun sebenarnya tujuan mereka memang ingin mati. Ingin
menyusul dan tetap mengabdi Baginda Raja Sri Kertanegara!
Halayudha masih terus berputar-putar.
Setiap kali tangan kanannya disentuhkan, ada semacam tenaga yang menerobos ke
luar. Meskipun ini menyebabkan kematian pada orang lain, akan tetapi tenaga yang
membuat tangannya kesemutan makin lama makin berkurang.
Sehingga ketika semua yang hadir, kecuali Gendhuk Tri dan Cebol Jinalaya serta
pengikutnya, terkena sentuhannya, rasa nyeri itu berkurang banyak.
Betul-betul pukulan yang luar biasa.
Sisa tenaga yang mengeram di tangan kanannya bisa untuk membunuh sekian banyak
orang! Apalagi kalau dipukul langsung. Bisa-bisa manusia menjadi bubuk batu!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hancur lebur! Betul-betul pukulan sakti!
Ini ilmu yang betul-betul sakti mandraguna, hebat kelewat-lewat.
Halayudha sendiri masih ternganga karena tak percaya. Begitu banyak ilmu yang
dipelajari, ditekuni, juga berasal dari tokoh-tokoh kelas utama dalam jagat ini,
akan tetapi Pukulan Pu-Ni tetap diakui sebagai pukulan paling ganas dan
telengas. Bahwa pukulan itu ciptaan Kakek Sakti Berune, tak disangsikan lagi.
Akan tetapi bahwa hasilnya luar biasa, didukung oleh beberapa unsur yang lain.
Tenaga dalam Halayudha sendiri cukup kuat. Sehingga pergolakan di tangan kanan
setiap kali keluar, juga didorong oleh tenaga dalamnya sendiri. Bukan semata-
mata tenaga mengeram dari Pukulan Pu-Ni.
Lagi pula yang menjadi sasaran boleh dikatakan bukan jago silat yang sebenarnya.
Namun itu semua tak mengurangi ketakjuban dan kecemasan Gendhuk Tri.
Ketakjuban karena Gendhuk Tri tahu bahwa itu bukan tenaga Nyai Demang. Kekuatan
Nyai Demang sangat diketahui batas-batasnya.
Kecemasan karena kini Nyai Demang berada dalam pengaruh tenaga Eyang Berune.
Entah tokoh mana lagi, akan tetapi yang jelas sejajar dengan nama-nama kampiun
yang tadi disebutkan. Makin cemas lagi kalau mengingat bahwa sekarang ini Halayudha bisa menemukan,
dan bukan tidak mungkin merangkul, Nyai Demang untuk mengisap habis ilmunya.
Kalau itu terjadi, bumi tak tersisa lagi.
Akan diinjak sampai rata.
Yang lebih mencemaskan lagi, Gendhuk Tri sadar tak bisa berbuat suatu apa.
Ilmunya, seperti telah terbaca jelas dari gerakan maupun tarikan napas. Yang
dengan mudah bisa ditekuk habis oleh Halayudha.
"Halayudha busuk! "Bagaimana kamu mengaku murid Paman Sepuh tapi begitu jahat"
Bagaimana kamu mau menjaga Tirta Parwa kalau sifat jahat dan hinamu begitu
kelewatan" "Kenapa sedikit kesakitan saja tanganmu, semua orang kamu bunuh?"
Halayudha berdiri kaku. Ragu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apakah ia harus menggempur Gendhuk Tri, yang bisa dengan mudah dilakukan, atau
membiarkan saja. Kalau ia menghajar Gendhuk Tri, bisa saja Nyai Demang muncul kembali
kesadarannya. Dan ini merepotkan.
Kalau dibiarkan saja, ia bisa menganggap sepi, dan kemudian meninggalkan begitu
saja. Asal sudah berhasil mendapatkan Nyai Demang. Setidaknya kidungan lengkap Gita
Tirta yang disembunyikan Pendeta Sidateka terkutuk itu!
Yang akan segera disikat kalau sudah kembali nanti!
Dengan meminjam tangan Baginda. Dengan melaporkan bahwa secara sengaja Pendeta
Sidateka menyembunyikan sebagian isi kitab yang dituliskan di kain sutra.
Padahal itu atas permintaan Baginda!
Dalam keadaan termangu pun, Halayudha masih bisa memikirkan setidaknya tiga
langkah di muka. "Kamu benar-benar busuk, Halayudha.
"Tak pantas mendengar Gita Tirta."
"Jangan bawa-bawa nama itu. Kamu murid pencuri busuk," jawab Halayudha dengan
lantang. "Kamu mengaku murid Jagaddhita. Jagaddhita mengaku murid Mpu Raganata. Ternyata
itu ilmu curian belaka. "Cacian maling busuk tak terlalu didengar."
Nyai Demang yang masih menggendong Kebo Berune jadi memiringkan kepalanya ke
arah Halayudha dan Gendhuk Tri berganti-ganti.
Seolah mau mencari kepastian siapa yang harus lebih didengar.
Keadaan itu juga disadari oleh Gendhuk Tri.
Maupun Halayudha. Saat ini jalan yang terbaik adalah mempengaruhi Nyai Demang. Siapa yang
menguasai, dengan sendirinya bisa menjatuhkan lawan. Dan untuk bisa menguasai
Nyai Demang, haruslah dengan kalimat-kalimat yang bisa dipahami oleh Kakek
Berune. Ini juga susah. Karena baik Halayudha maupun Gendhuk Tri tak mengerti siapa sesungguhnya Kakek
Berune. Selain yang tadi dibicarakan.
Takut salah bicara, Gendhuk Tri berdiam diri.
Juga Halayudha. Keadaan sunyi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Di suatu tempat mayat-mayat bergeletakan, yang masih hidup berdiri dan berdiam
diri. Nyai Demang menghela napas.
"Kacau... Kalian semua kacau.
"Kalian semua pencuri busuk. Aku harus melenyapkan kalian berdua.
Atau siapa saja." Halayudha menyembah. "Kalau Kakek Sakti Berune mau mencabut nyawa hamba, itu adalah kehormatan bagi
hamba. Tak nanti hamba yang bersalah ini berani menggeser kaki."
"Bagus. Bersiaplah!"
Halayudha menyembah lagi.
Duduk sambil menutup mata.
Menunggu. Seolah menunggu. Karena saat itu justru sedang mengerahkan semua kemampuannya untuk menangkap
bunyi atau getar yang paling lemah sekalipun.
Kelihatannya saja menyerah, akan tetapi merencanakan untuk melakukan serangan
penghabisan. Tak nanti ia rela dibunuh begitu saja, justru di saat hampir
menguasai ilmu yang tak pernah dikenal selama ini.
Cara yang ingin dilakukan ialah menjambret tubuh Gendhuk Tri, untuk dikorbankan.
Itu akan dilakukan saat terakhir sekali.
Gendhuk Tri pun bisa terkelabui.
"Halayudha busuk, apa benar kamu yang berhak atas Tirta Parwa yang kamu sebut-
sebut itu?" Suara Halayudha terdengar mengandung penyesalan.
"Sudahlah, buat apa disebut-sebut"
"Selama hidup, aku juga tak bisa menjaga kebesaran nama Tirta Parwa. Bahkan
walaupun aku bisa menghafal kidungan yang lain, bagian yang terpenting, yaitu
Gita Tirta, tak mampu kuingat."
Nyai Demang terkekeh. "Tidak, tidak. "Barangkali Pulangsih memang hanya memberitahu aku. Tak mau memberitahukan
kepada Dodot Bintulu atau Raganata.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bukankah itu berarti Pulangsih masih melihat wajahku dibandingkan yang lain"
"Pulangsih, Pulangsih... Tak sangka kamu masih lebih mementingkan aku
dibandingkan yang lain. "Sampai kapan pun, aku tak akan melupakan perhatianmu ini...
Kalau saja Bejujag, Bintulu, Raganata, mendengar ini, di dalam kubur mereka akan
iri, cemburu habis-habisan.
"Aha, ternyata aku masih lelaki yang paling bahagia."
Nyanyian Air di Keraton HALAYUDHA menyembah hingga dahinya menyentuh tanah.
"Eyang Sakti, kalau Eyang Berune tidak berkeberatan, silakan mampir di gubuk
hamba di Keraton." "Ada urusan apa?"
"Barangkali Eyang Sakti masih bisa mengenali tulisan tangan Yang Mulia Eyang
Putri Pulangsih." Gendhuk Tri mengakui bahwa Halayudha bukan hanya sangat licik, tetapi juga
sangat cerdas dan cepat sekali mengambil keputusan.
Dari kata-kata Nyai Demang, bisa diketahui bahwa Kakek Berune menaruh hati
kepada Pulangsih. Atau yang disebut Pulangsih. Itu pula yang digunakan untuk
menjebak. Nyai Demang meludah ke tanah.
"Bagaimana mungkin kamu menyebut Eyang Putri" Pulangsih masih cantik jelita dan
muda. Kenapa kamu panggil Eyang Putri?"
Telanjur berdusta, Halayudha tak mau kepalang basah.
"Beliau selalu lebih suka dipanggil begitu."
"Kamu masih bertemu?"
"Dalam pertemuan di Trowulan, Eyang Putri masih hadir. Entah kapan lagi beliau
akan hadir." Gendhuk Tri yang berada di Trowulan saat pertarungan habis-habisan pun tak mampu
mengarang cerita seperti Halayudha.
"Hmmm, berarti masih sempat bertemu yang lainnya.
"Baik, baik... Ayo berangkat sekarang!"
Halayudha menyembah. Berdiri. Satu tangan bergerak ke arah Gendhuk Tri.
"Tak usah. Kita berangkat."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha mengangkat alisnya. Lalu berlalu. Bersama rombongannya dan Nyai Demang
yang menggendong Kakek Berune.
Tinggal Gendhuk Tri sendirian.
Dan Cebol Jinalaya. Tak ada suara. Agak lama. "Kamu sedih?" Gendhuk Tri tersenyum tawar.
"Kamu gadis yang baik, yang berjanji akan mengantarkan aku kepada Sri Baginda
Raja. Semua temanku sudah sampai, dan aku masih menunggu kebaikanmu."
Berat beban di hati Gendhuk Tri.
Segala yang dikuatirkan terjadi. Upasara Wulung hilang tak ketahuan rimbanya.
Nyai Demang yang dicemburui dikuasai Kakek Berune dan kini dikuasai Halayudha.
Pada saat yang bersamaan, ia dituntut untuk membunuh.
"Kalau saya bunuh kamu, siapa yang akan membunuhku"
"Kamu kira aku mau berdiam sendiri di jagat ini, Cebol?"
Cebol Jinalaya ikut termenung.
"Kalau begitu, marilah kita berdoa bersama. Semoga ada ksatria lewat dan berbaik
hati mau membunuh kita."
Gendhuk Tri mendongak. Memandang angkasa. Guratan kekecewaan menoreh wajahnya.
Dengan tenang ia bisa meninggalkan Cebol Jinalaya. Sewaktu-waktu ia bisa pergi
dengan gampang. Dan tidak memedulikan. Melupakan.
Namun sekarang, jalan pikiran Gendhuk Tri jadi lain.
Kalau ia pergi, mau pergi ke mana"
Bukankah keadaannya sekarang ini sama seperti si cebol hitam ini"
Sendiri, tak punya siapa-siapa, tak mempunyai keinginan apa-apa yang bisa
menjadi semangat hidupnya"
Habis terpenggal rata. Apakah, apakah perasaan kosong yang sama ini yang dirasakan oleh Upasara Wulung
ketika akhirnya Gayatri meninggalkannya" Sehingga Upasara memilih menghabiskan
ilmunya, dan membiarkan dirinya mati diterkam binatang buas"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Inikah kehancuran dari dalam itu"
Apakah, apakah ini yang juga dirasakan oleh Dewa Maut ketika ditinggalkan oleh
kekasihnya, lalu ditinggalkan kekasihnya Padmamuka"
Apakah, apakah ini yang menyebabkan Dewa Maut memanggilnya Tole, dan justru ia
mempermainkannya"
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah, apakah kekosongan ini yang juga dirasakan Nyai Demang ketika suami dan
anak-anaknya dihabisi, walau tidak bersalah"
Gendhuk Tri tenggelam dalam lamunannya. Sampai bulan muncul, dan lenyap lagi.
Bersambung dengan sinar panas matahari, disambung dengan kegelapan dan hujan
turun rintik-rintik. Gendhuk Tri masih terdiam di tempatnya.
Cebol Jinalaya masih berdoa agar ada ksatria yang baik hati mengantarkan ke alam
di mana ia bisa mengabdi kepada raja yang disembah setulus hati.
Pikiran Gendhuk Tri masih bolak-balik tak ada batasnya. Hanya helaan napas yang
menandai keyakinan Cebol Jinalaya bahwa dirinya tidak sendirian.
"Akhirnya doa kita terkabul," bisik Cebol perlahan. "Ada ksatria datang kemari."
Baru kemudian, Gendhuk Tri sadar. Dengan sisa-sisa kegesitannya, Gendhuk Tri
menutup mulut Cebol dan menariknya bersembunyi.
Gendhuk Tri agak kecewa karena yang muncul adalah prajurit Keraton yang lewat
berombongan. "Kenapa kita perlu membawa ke Dahanapura, kalau Putra Mahkota justru berada di
Keraton?" "Kita sebagai prajurit," jawab suara yang lain, "hanya menjalankan perintah.
Lebih baik kita tidak membicarakannya, Adimas. Karena rumput dan ranting bisa
mempunyai telinga dan menyampaikan kepada orang lain."
"Di tengah hutan begini, di tengah malam begini?" terdengar suara prajurit
pertama. "Siapa tahu?"
"Ah, jangan penakut.
"Saya pun menjalankan perintah, Kakangmas. Hanya yang membuat saya heran, kenapa
Putri Ayu Tunggadewi dan Putri Ayu Rajadewi harus dibawa ke Dahanapura" Dari
tadi itu saja yang mempengaruhi pikiranku."
"Apa anehnya?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu pasti juga mendengar kabar bahwa Permaisuri Rajapatni masih bertapa di
depan pintu Baginda."
"Sssttt... "Ayolah kita berjalan terus."
Belasan langkah kemudian mereka mengeluarkan suara tertahan, ketakutan karena
menemukan puluhan mayat yang bergeletakan tak keruan letaknya. Gendhuk Tri
sebenarnya tak peduli. Akan tetapi karena nama kedua putri Permaisuri Rajapatni disebut-sebut, hatinya
tergerak juga. Karena Permaisuri Rajapatni adalah Gayatri. Gayatri-nya Upasara
Wulung. Berpikir dalam keadaan bagaimanapun, Upasara masih tetap melindungi. Siapa tahu
justru dengan menguntit mereka, Gendhuk Tri bisa bertemu dengan Upasara Wulung.
Berpikir begitu, Gendhuk Tri segera mengikuti para prajurit.
Digandengnya erat-erat pergelangan tangan Cebol Jinalaya untuk dibawanya
terbang. Dalam sekejap Gendhuk Tri melupakan semua kerisauan yang tadi melanda. Kekalutan
yang begitu mengimpit seolah sirna begitu saja.
Dengan riang Gendhuk Tri menyatroni para prajurit untuk mencuri bekalnya.
Dihabiskannya bersama Cebol Jinalaya yang tersenyum-senyum.
1026 Bagi para prajurit pengawal, beberapa kejadian aneh membuat mereka makin dicekam
ketakutan. Setelah bertemu mayat-mayat, bekal makanan tiba-tiba habis.
Sehingga tak ayal lagi mempercepat perjalanan.
Menjelang fajar, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa ada joli kecil yang dijaga
dengan saksama. Tak bisa tidak, itulah kedua putri Gayatri.
"Ayo kita nakali mereka. Cebol jelek hitam, kamu masuk ke joli itu.
Kita tak usah main sembunyi. Bisa enak-enak di dalam joli. Bagaimana"
"Kalau itu mempercepat jalan sowan kepada Sri Baginda Raja, aku selalu
bersedia." "Tunggu sampai malam.
"Begitu muncul tengah malam, mereka akan kocar-kacir. Itu saat terbaik untuk
menyusup masuk." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah aku menakutkan?"
Gendhuk Tri mendadak merasa iba.
"Tidak. Tentu saja tidak.
"Merekalah prajurit yang penakut. Bukan karena kamu."
Cebol menggelengkan kepalanya.
"Bukankah dua putri itu juga akan takut" Bukankah rencana kita akan gagal?"
"Pikiranmu tak sependek tubuhmu.
"Jangan kuatir, aku ada akal."
"Akalmu banyak sekali.
"Makin banyak akal, makin tak cepat kita sampai ke pengabdian di alam sana."
Gendhuk Tri menghela napas berat.
"Ini putri turunan Sri Baginda Raja. Melindunginya sama juga mengabdi Sri
Baginda secara pribadi. Kenapa kamu begitu bodoh?"
Perangkap Kiai Sambartaka
SUARA Gendhuk Tri nyaring karena kesalnya.
Itu yang membuat para prajurit pembawa tandu berhenti, menoleh ke belakang, dan
bersiap. "Jangan main bokong seperti pengecut. Keluarlah!"
Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Meloncat dari balik pepohonan.
"Kalian para prajurit yang tak bisa berbaris dengan baik, berani buka mulut
sembarangan. "Cecunguk macam kalian hanya mengotori lantai Keraton."
Gendhuk Tri tak mau membuang waktu. Cekatan ia meloncat, langsung menuju joli
yang terjaga. Tiga tombak yang menghalang dilibat dengan selendang dan
disentakkan. Kedua kakinya menyambar, dan dengan dua gerakan, prajurit yang
menjaga terjungkal. Gendhuk Tri berkerut keningnya.
Walau sejak pertama tahu bahwa prajurit pengiring bukan prajurit yang tangguh,
akan tetapi tidak seharusnya mereka jatuh-bangun dalam gebrakan pertama.
Tangan Gendhuk Tri bergerak kembali.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Siku, telapak, kaki, bersamaan menyambar.
Setiap gerakan membuahkan hasil.
Lawan terpencar, jungkir-balik.
"Prajurit gadungan begini masih mau buka mulut bau?"
Gendhuk Tri menggerakkan tangan membuka tirai joli. Wajahnya menjadi berubah
ketika satu sosok tubuh mengedip ke arahnya.
"Adik manis, mari masuk..."
Itu Maha Singanada, yang penampilannya mirip Upasara Wulung.
Ksatria gagah yang bicaranya lantang.
"Kenapa kamu sembunyi seperti anak ayam di situ?"
Pertanyaan yang wajar diucapkan Gendhuk Tri mengingat Singanada bukanlah ksatria
yang suka menyembunyikan sesuatu. Pertanyaan yang walaupun selintas terdengar
kasar akan tetapi menunjukkan rasa hormat.
Karena bagi Gendhuk Tri, Singanada adalah satu-satunya lelaki yang dihormatinya,
yang menganggapnya sebagai seorang gadis. Gadis yang manis, yang baik. Tidak
menilai sebagai anak kecil. Bagi gadis seusia Gendhuk Tri, pertemuan pertama
dulu sangat membekas dalam hati.
Tak mungkin bisa dilupakan.
"Enak di sini. Tinggal duduk. Menunggu Upasara, dan melihatnya bertempur dengan
Kiai Sambartaka yang kesohor."
"Tipu muslihat apa lagi ini?"
"Sewaktu aku keluyuran, aku melihat Kiai Sambartaka membayar penjahat-penjahat
kecil untuk menyamar sebagai prajurit Keraton.
Sambil membawa joli yang dikatakan membawa dua putri Permaisuri Rajapatni. '
"Dengan harapan agar Upasara muncul dan menolong.
"Dan Kiai Sambartaka akan menantangnya."
Cukup jelas kata-kata Singanada. Ringkas dan langsung, apa adanya.
"Kenapa kamu ikut-ikutan?"
"Aku mau menyaksikan siapa sesungguhnya lelananging jagat ini.
Bukankah itu pertarungan yang menarik?"
"Di mana kiai Hindia yang busuk itu?"
"Untuk apa kita pedulikan"
"Pasti di sekitar daerah ini. Ayo masuk saja! Kita tunggu sampai terjadi
pertarungan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi barangkali kurang seru, karena Upasara terkena pukulan Pendeta Sidateka."
Dada Gendhuk Tri tergetar.
"Mana mungkin Kakang Upasara bisa dilukai?"
"Itulah kabar yang terdengar. Entah siapa yang menyebarkan.
Upasara terluka parah oleh pukulan Pendeta Sidateka."
"Kalau benar begitu, sungguh gawat.
"Syukur kamu mau menolong."
Maha Singanada menggelengkan kepalanya.
"Aku tak ada urusan menolong atau ditolong. Aku hanya ingin menyaksikan
pertarungan sejati. Jauh-jauh aku mengembara ke negeri seberang ingin melihat
ilmu sejati. "Setelah semua jago tersingkir, tinggal Kiai Sambartaka dan Upasara Wulung.
Entah mana yang lebih jago."
Gendhuk Tri berbalik. Singanada meloncat keluar dari joli.
"Kamu tidak tertarik, gadis suci?"
"Aku lagi tidak ingin ketemu Kakang Upasara."
Singanada menghampiri Gendhuk Tri. Berjalan di sampingnya, tanpa memedulikan
para prajurit gadungan yang membenahi joli.
"Kenapa bisa begitu?"
"Bukan urusanmu."
"Memang bukan. Kalaupun kamu jelaskan, belum tentu aku mengerti.
Soal wanita dan lelaki memang serba menggelikan, cabul, dan tak masuk pikiran.
"Raja Muda Kala Gemet begitu bernafsu mempersunting Ratu Ayu.
Aku juga. Tapi ia memilih Upasara Wulung. Yang justru lebih suka pergi
mengembara. Bukankah ini aneh"
"Sama anehnya, kamu, gadis suci yang mencintai kakangnya tapi tak mau bertemu
dengannya." "Siapa menyuruhmu ngomong sembarangan?"
"Upasara juga aneh," kata Singanada tanpa memedulikan pertanyaan Gendhuk Tri.
"Ia punya kamu, punya Nyai Demang, punya Ratu Ayu, tapi katanya menyayangi
Permaisuri Rajapatni. Aku tak mengerti, dan tak akan pernah mau mengerti.
"Tugasku telah selesai."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Maha Singanada berhenti. Dadanya membusung. "Apa urusanmu?"
"Aku ditugaskan ke tlatah Campa membawa Dyah Ayu Tapasi. Tugas mulia dari Sri
Baginda Raja telah kami selesaikan. Apa lagi"
"Kini aku bebas mau apa saja, ke mana saja.
"Aku anak turunan prajurit Singasari yang telah selesai menjalankan bakti."
"Kenapa tidak kembali ke tanah Campa saja?"
"Ada juga rencana itu.
"Gadis suci, kamu mau ikut?"
Tanpa terasa wajah Gendhuk Tri menjadi merah. Jengah. Menunduk.
"Begitukah cara lelaki mengajak perempuan?"
"Sudah lama aku tak mengenal tata krama Keraton Jawa. Aku lahir dalam
perjalanan, besar di negeri seberang. Aku juga tak peduli ucapan ini cukup sopan
atau kurang ajar. "Maafkan kalau lancang.
"Tapi aku ingin mengajakmu.
"Kepalaku puyeng melihat kejadian-kejadian yang memalukan seperti ini. Dulu,
dalam bayanganku, Keraton adalah puncak kesempurnaan.
Begitu semua orang tua menceritakan kebesaran Keraton Singasari yang perkasa.
Sehingga dalam angan-anganku tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan
selain Keraton Singasari.
"Akan tetapi nyatanya ketika aku kembali, yang ada seorang raja yang bernama
Sanggrama Wijaya. Yang ada anaknya, Putra Mahkota Kala Gemet, yang berebutan.
Yang ada pembunuhan para senopati utama.
Seperti Senopati Sora. "Dan kini Mahapatih Nambi sedang dijebak."
"Dijebak bagaimana?"
"Aku tak peduli karena bukan urusanku."
"Oleh Halayudha?"
"Mungkin. Apa bedanya"
"Di tanah Jawa tak ada lagi jiwa ksatria. Tak ada lagi prajurit sejati.
Yang ada cacing-cacing hina yang berebut bangkai nista."
Suaranya mengandung kegeraman yang luar biasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri bisa mengerti. Senopati Maha Singanada adalah senopati dan sekaligus
juga prajurit sejati yang lahir dalam tugas. Tugas mulia ketika Baginda Raja Sri
Kertanegara meluaskan pengaruhnya.
Menjalankan hubungan kerja sama sampai negeri Campa.
Singanada dibesarkan dalam dongengan kebesaran Singasari. Akan tetapi ketika
kembali justru menjumpai hal-hal yang membuatnya malu.
Gendhuk Tri tak bisa menjelaskan dengan singkat bahwa ada perbedaan antara
Keraton Singasari dan apa yang ditemui sekarang ini.
Apalagi Singanada kini ditarik mengabdi kepada Kala Gemet!
"Aku sudah muak dengan bisul-bisul masalah Keraton. Masalah pangkat dan derajat
yang palsu. Sebagai ksatria, aku hanya ingin melihat di mana masih kutemukan
jiwa ksatria. Kalau di sini tak ada lagi, untuk apa aku berdiam di sini lagi"
"Di tanah Campa, atau di mana saja, aku masih bisa berdiri dengan gagah
mendongak ke langit. Kalau hanya ingin pangkat, aku bisa menjadi senopati agung
di sana. Tapi sejak lama aku menolak. Aku ingin menjadi ksatria."
Gendhuk Tri tersenyum. Tiba-tiba wajahnya seperti seorang kakak yang mengerti kerisauan adiknya,
seorang ibu yang memahami kerisauan anaknya.
"Setidaknya kamu masih menganggap Kakang Upasara seorang ksatria, bukan?"
"Tidak lagi." Jawaban Singanada membuat mata Gendhuk Tri membelalak.
Kembalinya Pukulan Beku "UPASARA WULUNG bukan lagi ksatria.
"Ia bermulut kecil, berjiwa kerdil seperti cacing atau yang lainnya.
Kesaktian yang dimiliki tidak membuat jiwanya tegar sebagaimana layaknya seorang
ksatria. "Ia begitu pengecut, lari ke sana kemari tidak jelas. Hanya karena takut
menghadapi kain wanita yang terbuka.
"Lelaki macam apa pula itu?"
Gendhuk Tri menjadi panas.
Kalaupun ia tengah membenci Upasara Wulung setinggi langit setebal bumi, tak
nanti orang lain dibiarkan mencaci begitu saja. Akan tetapi Gendhuk Tri
menyadari bahwa Singanada mengatakan isi hatinya secara jujur. Sifat dan
pembawaannya selalu begitu. Hal lain, bukan tidak mungkin apa yang dikatakan
Singanada ada benarnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau Kakang Upasara bukan lelaki, kenapa kamu masih ingin menemui?"
"Karena aku ingin mengatakan itu padanya.
"Mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi prajurit Singasari. Atau prajurit mana
pun. "Upasara bukan didikan Ksatria Pingitan.
"Aku, Maha Singanada, lebih berhak dari Upasara untuk mengatakan diriku sebagai
prajurit Singasari, abdi Sri Baginda Raja!"
Kali ini Gendhuk Tri menjadi panas.
"Kamu sama berhati cacing. Dengki."
"Tak ada sifat itu padaku."
"Kalau Kakang Upasara bukan ksatria, bukan lelaki, apakah kamu menganggap Kiai
Sambartaka yang bersembunyi dan mendengarkan omongan kita sebagai lelananging
jagat?" "Aku tidak peduli siapa yang memegang gelar itu.
"Aku sekadar ingin tahu saja. Seperti apa yang menyandang gelar ksatria di
antara ksatria, pendekarnya pendekar, jagonya seluruh jago.
"Kiai Sambartaka busuk atau bau kentut, aku tidak peduli, karena ia bukan
prajurit Singasari."
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata-kata itu mengenai jantung hati Gendhuk Tri.
Sungguh bisa dimengerti apa yang dimaksud oleh Singanada.
Tapi Gendhuk Tri tak mau menyerah.
"Kenapa kamu ajak aku?"
"Kamu gadis kecil yang suci. Yang tak seharusnya terseret intrik harta, wanita,
atau kepangkatan. Kamu sisa-sisa prajurit Singasari yang masih bisa
diselamatkan." Senyum Gendhuk Tri urung, ketika terdengar suara dingin.
"Tak usah jauh-jauh menyelamatkan diri. Di sini aku ingin menamatkan kalian yang
telah merusak rencanaku."
Gendhuk Tri menelan ludahnya dengan susah.
Maha Singanada tetap berdiri gagah.
Di depannya nampak seorang lelaki tinggi jangkung yang merangkap kedua
tangannya. Bibirnya tak bergerak ketika berbicara.
Kiai Sambartaka! Keringat dingin melembapi Gendhuk Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bersiaplah, aku tak punya waktu banyak."
Bret, bret. Dua tangan Kiai Sambartaka bergerak perlahan. Hawa dingin bergumpal
mengepung dari sisi tangan Kiai Sambartaka berada.
Inilah Pukulan Beku yang ampuh, Pukulan Mandeg Mangu, yang serta-merta membuat
udara sekitar menjadi beku. Hingga lawan susah bernapas.
"Kanyasukla, awas!"
Kanyasukla adalah panggilan Maha Singanada yang membuat Gendhuk Tri tergetar
hati kegadisannya yang sedang tumbuh. Maka membuatnya bercekat juga karena
gembira. Akan tetapi pikiran begitu dengan cepat tersapu.
Kiai Sambartaka adalah salah satu tokoh yang datang ke Trowulan untuk perebutan
gelar lelananging jagat, yang bukan hanya sakti, tetapi juga licik.
Kalau Eyang Sepuh saja bisa diakali, apalagi yang lain!
Kalau Eyang Sepuh bisa dibuat terluka, apalagi yang lain! Apalagi dirinya atau
Maha Singanada! Gendhuk Tri menarik kakinya satu tindak ke belakang, sementara Maha Singanada
menggerung keras. Auman Sembilan Singa! Gebrakan disertai pengaturan napas
Nawawidha. Cara mengatur napas yang melipatkan tenaga dalam sembilan kali.
Bahwa ini langsung dikeluarkan, menandakan bahwa Singanada merasa lawan yang
dihadapi setingkat atau dua tingkat lebih tinggi.
Gerakan Singanada juga langsung dengan ilmu andalannya, Siasat Sembilan Bintang.
Bergerak ke arah delapan penjuru, dan kantar, tombak pendeknya, sudah seketika
mencongkel lawan. Tubuh Kiai Sambartaka seperti bergoyang sedikit, kedua tangannya naik-turun.
Tanpa mengubah kuda-kuda.
Memang luar biasa. Singanada yang berloncatan menutup jalan mundur atau jalan maju atau gerakan ke
samping, seperti sia-sia. Karena Kiai Sambartaka tak berniat mundur atau maju
atau menyamping. Tetap berdiri di tempatnya semula.
Kepalan telapak tangannya tiap kali terlontar, setiap kali pula seperti
meninggalkan gumpalan dingin yang mematikan. Yang tak bisa dipakai oleh
Singanada. Yang terpaksa menghindar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena hidungnya seperti menemui tempat kosong, dingin, beku. Tak ada udara yang
bisa ditarik. Tak bisa diisap.
Kalau kehabisan napas, seorang tokoh sakti seperti dewa pun akan mudah
dikalahkan! Perlahan Singanada mulai tertindih.
Gerakannya menjadi keteter. Aumannya yang keras membahana seperti berubah
menjadi jeritan singa terluka.
Tubuhnya makin terhuyung-huyung.
Gendhuk Tri menggenggam tangannya erat-erat. Untuk ikut maju ke medan
pertarungan, ia merasa tak bakal menolong lebih banyak. Akan tetapi untuk
berdiri saja, jelas juga tidak mungkin.
Sret. Gendhuk Tri meloloskan selendangnya. Sehelai. Dan dengan nekat ia meloncat maju,
menutupkan selendang ke wajah Kiai Sambartaka.
Di Sini Ada Iblis 1 Lembah Patah Hati Lembah Beracun Karya Khu Lung Pendekar Kelana 8