Pencarian

Tanah Warisan 4

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Bagian 4


"Ah, apa urusanku dengan mereka-mereka," akhirnya Temunggul menggeram, "Aku sama
sekali tidak berkepentingan, kecuali kalau Bramanti akan mengganggu Ratri, atau
membuat kisruh di Kademangan ini karena dendamnya atas kematian ayahnya."
Dan Temunggul pun kemudian berusaha untuk melupakannya. Ia berjalan semakin
cepat, menembus gelapnya malam lewat lorong-lorong di padukuhannya.
"Aku harus ketemu dengan Ratri sendiri pada suatu ketika," ia berdesis. "Agaknya
aku tidak akan mengalami kesulitan dengan orang tuanya, asal Ratri sendiri tidak
berkeberatan." Dengan demikian maka Temunggul pun kemudian mencoba mereka-reka, apakah yang
sepantasnya dikatakan kepada Ratri apabila ia mendapat kesempatan. Kesempatan yang ditunggu-
tunggunya, ketika Kademangan ini mengadakan keramaian telah dirusakkan oleh
Wanda Geni dengan orang-orangnya.
Malam itu Temunggul hampir tidak dapat tidur sekejappun. Ia selalu dibayangi
oleh harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan. Ia belum dapat meyakinkan sikap
Ratri kepadanya. Apalagi setelah ia gagal mempertahankannya, dan hadirnya
seorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.
Tetapi, betapa dadanya bergelora, maka ketika di ujung Timur membayang warna-
warna merah, Temunggul itu pun justru terlena dipembaringannya.
Pada saat yang bersamaan, Bramanti yang terbaring di atas jerami kering,
membukakan matanya. 89 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Perlahan-lahan ia bangkit sambil menggeliat. Ia pun hanya dapat tidur sekejap,
karena pikirannya pun menjadi kalut oleh berbagai macam persoalan.
Kemudian ia bangkit dan melangkah keluar. Ia mengerutkan keningnya ketika ia
melihat api di dapur sudah menyala. Agaknya ibunya bangun lebih pagi
daripadanya. Bramanti itu pun segera pergi ke sumur untuk mengambil air. Kemudian
membersihkan diri dan melakukan kewajibannya mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Seperti biasanya, maka Bramanti pun kemudian mengambil sapu lidi untuk
membersihkan halaman rumahnya. Halaman yang cukup luas itu, sehingga setiap pagi ia memerlukan waktu
yang cukup lama untuk melakukannya. Sejak matahari belum terbit, sampai terasa
ujung panasnya menyentuh kulit.
Namun hari itu Bramanti tampak agak lain dari kebiasaannya sehari-hari. Wajahnya
nampak murung, dan kerjanya pun agak lebih lambat. Setiap kali ia berhenti dan
merenung, memandang kekejauhan.
Apalagi kemudian disadarinya bahwa ia sedang menggenggam tangkai sapu lidi, maka
segera ia melakukan tugasnya pula. Ternyata Bramanti masih merasa terganggu oleh ceritera ayah Ratri tentang
ayahnya, tentang ibunya dan tentang Demang Candi Sari yang lama, ayah
Panggiring. Pengertiannya yang pendek tentang
keluarganya itu telah membuatnya mereka-reka. Apakah yang sebenarnya telah
terjadi. Tetapi sudah tentu ia tidak akan sampai hati bertanya kepada ibunya.
Sebab dengan demikian ia pasti akan melukai hatinya.
Karena itu maka disimpan sajalah pertanyaan-pertanyaan itu di dalam dadanya,
sampai pada suatu saat ia mendengar dari siapapun juga, karena keadaannya kini
masih belum memungkinkan untuk mencari kelanjutan dan permulaan dari ceritera
ayah Ratri tentang keluarganya itu.
Demikian besar pengaruh ceritera itu dihatinya, sehingga ia kehilangan segala
macam gairah. Ia sama sekali tidak mempunyai selera untuk makan. Meskipun
demikian ia tidak mau membuat ibunya menjadi bertanya-tanya. Dipaksanya juga
untuk menyuapi mulutnya pada waktu makan.
NAMUN sebagai seorang ibu, ternyata perempuan tua itu merasakan sesuatu yang
tidak wajar di dalam hati anaknya. Mula-mula ia menyangka, bahwa Bramanti
terlampau banyak bangun di malam hari,
sehingga tubuhnya menjadi lemah. Tetapi ternyata ia keliru. Wajah yang muram dan
sikap yang murung, bukanlah sekadar akibat dari kurang tidur saja.
Karena itu, maka ibunya pun mencoba bertanya kepada anak muda itu sehabis makan,
"Apakah kau sakit Bramanti?"
Bramanti menggelengkan kepalanya sambil menyahut, "Sama sekali tidak ibu.
Kenapa" Apakah wajahku pucat seperti orang sakit?"
"Kau tampak murung dan muram seharian ini."
Bramanti tersenyum. Jawabnya, "Aku kurang tidur semalam ibu. Aku menganyam
keranjang. Tanpa aku sadari ternyata hari hampir pagi."
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak mempercayainya
sepenuhnya, namun orang tua itu tidak bertanya lagi kepada anaknya.
Sejenak kemudian Bramantilah yang berbicara, "Karena itu, aku akan beristirahat.
Kalau mungkin aku akan tidur di kandang, supaya aku dapat menjadi segar lagi."
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tidurlah."
Bramanti pun kemudian pergi ke kandang di halaman rumahnya. Segera ia
membaringkan dirinya di atas setumpuk jerami. Namun ternyata ia sama sekali
tidak tidur. Sambil mengejap-ngejapkan matanya ia merenungi dirinya sendiri dan
seluruh keluarganya. Tetapi ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun.
Namun kadang-kadang terbersit pula pertanyaan di dalam dirinya, "Dimanakah
sekarang kakang Panggiring itu?" Bramanti sendiri tidak mengerti, kenapa ia mengharap bahwa kakak seibunya itu
untuk seterusnya tidak akan pulang kembali ke Kademangan. Sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya ia bergumam, "Aku
kurang mengenalnya dari dekat, sebab sejak aku mulai menyadari keadaanku, kakang
Panggiring telah 90 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
pergi." Untuk selanjutnya, Bramanti berusaha meletakkan persoalan itu dari pikirannya.
Ia ingin melupakan semuanya, "Sekarang," katanya di dalam hati. "Bagaimana aku
mengatasi persoalan sendiri."
Bramanti terkejut ketika ia melihat sebuah kepala tersembul dari bilik dinding
kandangnya yang kosong. Sambil bangkit Bramanti itu bergumam, "Huh, kau membuat aku terkejut Panjang."
Panjang tersenyum, jawabnya, "Benar juga kata Temunggul. Kau benar-benar anak
cengeng yang mudah terkejut dan mudah merengek."
Bramanti tersenyum. Katanya, "Masuklah."
"Gatal," sahut Panjang.
"Tidak. Kandang ini sudah lama sekali tidak dipergunakan. Apalagi sejak aku
perbaiki. Aku timbun jerami yang bersih di dalamnya, dan aku selalu tidur di
kandang ini. Siang dan malam. Hanya dalam keadaan khusus saja aku tidur di dalam
rumah." Panjang pun kemudian melangkah masuk dan duduk di samping Bramanti.
"Kau semalam tidak pergi ke Kademangan Bramanti?"
"Ada apa di Kademangan?" ia bertanya.
"Banyak orang yang datang ke Kademangan semalam, termasuk aku dan kawan-kawan
anggota pengawal. "Temunggul?" "Temunggul juga pergi ke Kademangan."
"Kapan ia pulang?"
"Hampir tengah malam."
"Sendiri?" Panjang menggelengkan kepalanya, "Tidak. Ia mengantar ayah Ratri lebih dahulu,
karena ayah Ratri juga berada di Kademangan."
"Kenapa kalian berkumpul" Apa akan ada penerimaan anggota baru lagi?"
"Apakah kau berhasrat untuk menjadi anggota pengawal?"
Bramanti menggelengkan kepalanya, "Bagaimana aku dapat melampaui pendadaran yang
begitu berat. Apalagi untuk berkelahi melawan harimau."
Panjang tidak segera menjawab. Dipandangnya saja wajah Bramanti, hingga sesaat
lamanya. Setiap ia teringat kepada sepasang harimau itu, maka ia selalu disentuh
oleh perasaan aneh terhadap Bramanti.
Namun ia tidak dapat memaksanya untuk menyebut dirinya sebagai seorang
penyelamat dan penolong. Panjang itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Bramanti bertanya, "Kenapa
kalian berkumpul di Kademangan semalam?"
"Ada seseorang yang kami temui."
"Siapa?" "Seorang yang termasuk tetua Kademangan ini. Sudah beberapa tahun ia merantau.
Kini ia kembali. Karena itulah, maka kami telah menerimanya di Pendapa Kademangan. Kami ingin
mendengar ceritera atau setidak-tidaknya yang sudah ditempuhnya."
Ceritera itu pasti menarik. Tetapi siapakah orang itu" Mungkin aku telah
mengenalnya atau setidak-tidaknya mengenal namanya.
"Tentu, kau tentu sudah mengenalnya. Namanya Tambi. Ki Tambi."
"OH" Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sudah mengenalnya. Ia
termasuk orang dekat dengan keluarga kamu."
"Ya. Ia pun mengatakannya."
"Kemana Ki Tambi selama ini merantau?"
"Ia telah menjelajahi pulau ini dari ujung sampai ke ujung. Ia telah sampai ke
ujung Timur, Banyuwangi. Dan ia pun telah sampai ke ujung sebelah Barat, Banten."
"Bukan main," Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah yang menarik
menurut 91 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
ceriteranya." "Biasa. Perjalanan, lapar, haus, perkelahian dan segala macam peristiwa.
"Panjang terdiam sejenak, lalu."
"Apa?" "Ki Tambi ternyata telah bertemu dengan Panggiring."
"He," berita itu benar-benar telah mengejutkan Bramanti. Sehingga kemudian
dengan serta merta ia bertanya, "Dimana Ki Tambi bertemu dengan Panggiring?"
Panjang menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Ki Tambi tidak mau mengatakannya
semalam. Ia ingin bertemu dengan ibumu lebih dahulu. Baru kemudian ia tidak akan
merahasiakan lagi pertemuannya dengan Panggiring apabila tidak akan terjadi
sesuatu atas keluargamu."
Dada Bramanti menjadi kian berdebar-debar. Karena ceritera tentang Panggiring
itulah agaknya, maka semalam ayah Ratri telah menyinggung-nyinggungnya pula.
"Tetapi apakah Ki Tambi sama sekali tidak mengatakan apapun tentang kakang
Panggiring?" "Sama sekali tidak. Bahkan atas pertanyaan Ki Demang pun Ki Tambi menggeleng. Ia
harus bertemu dengan ibumu lebih dahulu."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang
tiba-tiba saja telah bergolak.
Selama ini ia berusaha untuk menyingkirkan masalah Panggiring dari lingkungan
keluarganya untuk diketemukan kembali.
Bramanti menggelengkan kepalanya tanpa sesadarnya. Tiba-tiba ia berdesah di
dalam hatinya. "O, ternyata aku pun adalah seorang yang tamak. Kenapa aku tidak
menyukai kakang Panggiring" Ia adalah saudara seibu, meskipun berbeda ayah.
Agaknya aku sudah dipengaruhi oleh kebencian ayahku
kepadanya. Sudah tentu, bahwa kebencian ayah kepada kakang Panggiring sedikit
banyak dipengaruhi oleh hubungan keluarga di antara mereka. Kakang Panggiring
adalah anak tirinya."
"Hari ini Ki Tambi pasti akan menemui ibumu. Dan kau akan mendengar berita
tentang kakakmu. Mudah-mudahan berita itu menggembirakan keluargamu yang kini tinggal tiga orang
itu. Bukankah begitu?" tiba-tiba Panjang berbicara memutus angan-angannya.
"Mudah-mudahan," jawab Bramanti. Namun nada suaranya ternyata terlampau dalam.
"He, kenapa kau?" tiba-tiba Panjang bertanya. "Apakah kau menjadi bersedih"
Seharusnya kau menjadi gembira dan apalagi ibumu. Ibumu telah kehilangan kedua
anak laki-lakinya. Kau ternyata kembali lebih dahulu dan agaknya Panggiring pun
akan menyusul." "Ya, aku akan gembira sekali."
"Tetapi nada suaramu tidak mengatakan demikian."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. "Sudah tentu kami, maksudku aku dan ibuku
akan bergembira menerima kedatangannya. Tetapi secara jujur aku harus
mengatakan, bahwa hubungan yang mengikat antara kami berdua, aku dan kakang
Panggiring, sama sekali tidak terasa."
"Ya, Panggiring pergi terlampau lama. Jauh lebih dahulu dari kau bukan?"
"Itulah agaknya yang menyebabkan, bahwa aku merasa seolah-olah itu tidak
mempunyai seorang saudara." Panjang mengerutkan keningnya. Dari beberapa orang dan dari sekadar ingatan ia
mengerti, bahwa ayah Panggiring telah meninggal. Kemudian ibunya kawin lagi
dengan ayah Bramanti. Ia mendengar rerasan beberapa orang tua-tua semalam, bahwa
ayah Bramanti itu seolah-olah telah mengusir anak tirinya. Tetapi apakah
sebabnya, tidak ada seorang pun yang dapat mengatakannya dengan tepat. Ada yang
mengatakan bahwa Panggiring memang anak bengal, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa ayah Bramanti terlampau keras terhadap anak tirinya.
"Yang paling mengetahui adalah keluarganya sendiri," berkata Panjang di dalam
hatinya. "Terutama ibunya."
"Tetapi," berkata Panjang kemudian kepada Bramanti. "Kau akan segera mendengar
kabar itu," Panjang terdiam sejenak, lalu "Ah, agaknya aku akan terlampau lama
singgah di kandangmu. Aku harus pergi ke Kademangan. Aku tadi hanya singgah
sebentar untuk memberitahukan kedatangan Ki Tambi kepadamu.
92 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Mungkin ibumu perlu kau beritahu sebelumnya, supaya ia dapat bersiap-siap
menerima berita tentang anak sulungnya itu."
BRAMANTI mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terima kasih Panjang. Aku akan
menyampaikannya kepada ibu, bahwa Ki Tambi akan menemuinya dan berbicara tentang Panggiring."
"Baiklah, sekarang aku minta diri. Aku akan pergi ke Kademangan. Para anggota
pengawal harus berkumpul. Mungkin akan mendapat beberapa penjelasan dari Ki
Demang. Atau mungkin ada keperluan lain."
"Terima kasih atas pemberitahuan itu Panjang."
"Ah, jangan terlampau banyak berterima kasih. Sudah beberapa kali kau
mengucapkannya." Mau tidak mau Bramanti pun tersenyum sambil berdiri. Di antarkannya tamunya
sampai ke regol halaman. Tetapi ketika ia ingin mengatakan sesuatu. Panjang mendahuluinya,
"Jangan berterima kasih lagi."
Sekali lagi Bramanti tersenyum, "Tidak. Aku akan berpesan agar kau hati-hati di
jalan." Kini Panjanglah yang tersenyum sambil melangkah pergi.
Sepeninggalan Panjang, Bramanti kembali merenung. Ia masih berdiri dipintu
regol. Berbagai masalah hilir mudik di dalam kepalanya. Dan setiap kali ia
mencoba untuk mengerti tentang dirinya sendiri.
"Kenapa aku tidak menyukainya?" pertanyaan itu selalu datang mengetuk
jantungnya. "Aku telah membuat kesalahan. Aku tidak boleh membenci siapapun. Apalagi kakang
Panggiring. Ia adalah saudaraku seibu."
Bramanti itu terkejut ketika ia tiba-tiba saja mendengar seseorang menyapanya,
"Siapakah yang kau tunggu Bramanti?"
Bramanti tergagap. Ketika ia mengangkat wajahnya hatinya menjadi berdebar-debar.
Yang berdiri dihadapannya adalah Ratri. Begitu asyik ia tenggelam di dalam
angan-angannya tentang Panggiring sehingga ia tidak mengerti bahwa yang berhenti
di depan regol itu adalah Ratri. Disangkanya orang-orang lewat seperti yang


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain. Tanpa memperhatikannya, dan bahkan tanpa menegurnya. Apabila ia mendahului
menegur, orang-orang itu akan menjawab sekenanya. Tetapi kali ini yang lewat
justru berhenti didepan regol itu adalah Ratri.
Bramanti mencoba mengendalikan perasaannya. Semula ia tidak merasakan getaran
yang aneh itu, apabila ia bertemu dengan gadis itu. Tetapi semakin lama, justru
wajah itu semakin terukir di dinding hatinya.
Dengan terbata-bata Bramanti bertanya, "Darimana kau Ratri?"
"Pertanyaanku belum kau jawab," sahut Ratri. "Siapakah yang kau tunggu?"
Bramanti menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menunggu seseorang. Tidak ada
seorang pun yang mengharapkanku menunggunya."
"Ah," Ratri berdesah. "Kau terlampau perasa Bramanti. Mungkin karena kau sudah
terlampau lama meninggalkan Kademangan ini sehingga kau masih perlu menyesuaikan
diri." "Mungkin, mungkin," Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, "Tetapi
kemana kau akan pergi sekarang?"
"Aku hanya berjalan-jalan saja."
"Apakah kau tidak takut berjalan-jalan sendiri?"
"Apa yang aku takutkan?"
"Bukankah kau hampir saja dibawa oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat?"
"Ah," sekali lagi ia berdesah. "Menurut ayah," katanya selanjutnya. "Hal itu
tidak akan terulang lagi.
Salah seorang dari mereka telah memberikan jaminan. Dan Panembahan Sekar Jagat
sendiri pasti tidak akan membenarkan sikap orang-orang itu."
"Apakah kau yakin?"
"Tentu tidak, tetapi aku merasa cukup aman disiang hari. Sebab, kalau mereka
akan datang dimanapun saja aku berada tidak seorang pun yang akan dapat
menghalangi maksud mereka selain membunuh
93 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
diri." "Ah, itu tidak perlu Ratri. Bukankah seorang telah menolongmu."
"Ya, Putut Sabuk Tampar, darimana kau tahu?"
"Setiap orang menceriterakan," namun kemudian dengan tergesa-gesa Bramanti
memindahkan persoalan, "Tetapi apakah kau mempunyai suatu keperluan."
"Tidak. Sebenarnya aku ingin pergi ke bendengan. Sudah lama aku tidak pergi ke
sana. Tetapi seperti katamu, aku masih takut keluar dari pedukuhan ini meskipun
disiang hari. Akhirnya aku berjalan saja menyusuri jalan ini."
Bramanti menarik nafas. "Tetapi," tiba-tiba Ratri melangkah maju. "Aku dengar dari ayah apakah
Panggiring juga akan kembali?"
Dada Bramanti berdesir. Sejenak ia tidak segera dapat menyahut, sehingga Ratri
mengulangi pertanyaannya. Bramanti menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu Ratri. Yang aku ketahui, Ki
Tambilah yang baru pulang. Itu pun aku hanya sekadar mendengar dari Panjang. Aku
belum bertemu dengan Ki Tambi itu sendiri."
"Ayah sudah bertemu semalam di Kademangan. Tetapi Ki Tambi tidak mau mengatakan
apapun tentang Panggiring sebelum ia bertemu dengan ibumu. Apakah ia sudah
datang kemari?" "Belum. Aku juga mengharapkannya."
Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Ah, aku
akan pulang." "Begitu tergesa-gesa. Apakah kau tidak singgah dahulu?"
Ratri menggelengkan kepalanya.
"Tetapi," berkata Bramanti kemudian, "Kenapa kau menaruh begitu besar perhatian
kepada kakang Panggiring?"
Ratri mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil
menjawab. "Ah, aku sama sekali tidak menaruh perhatian. Tetapi aku melihat kau
berdiri di regol ini, aku teringat ceritera ayah semalam, bahwa seseorang telah
berceritera tentang Panggiring. Karena itu aku bertanya kepadamu sekarang."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Sayang. Aku belum
mengetahui ceritera tentang kakang Panggiring. Aku mendengar dari Panjang yang baru saja
datang kemari." "Apakah Panjang lewat di jalan ini?" bertanya Ratri.
"Baru saja. Apakah kau tidak melihat seseorang keluar dari halaman ini" Kalau
yang baru saja keluar itu Temunggul, maka aku pasti menyangka bahwa kalian
memang telah berjanji untuk datang kemari,
karena begitu berurutan."
"Ah," Ratri mengerutkan keningnya. "Jangan kau sebut-sebut lagi hal itu
Bramanti." Bramanti tersenyum. Katanya, "Kenapa" Bukankah semuanya sudah beres?"
"Apa?" potong Ratri. "Sekali lagi aku minta, jangan kau sebut-sebut lagi hal
itu. Bertanyalah tentang hal-hal yang lain. Tetapi jangan tentang hal itu. Kau
membuat aku menjadi berdebar-debar demikian?"
"Maafkan Ratri. Bukan maksudku. Aku hanya ingin bergurau saja."
"Aku tahu. Tetapi aku minta, jangan kau ulang lagi."
"Baiklah. Aku akan berusaha untuk tidak menyebutkannya lagi."
"Terima kasih," sahut Ratri, yang kemudian katanya, "Aku akan meneruskan
langkahku. Aku ingin mengunjungi kawan-kawan."
"Apakah kau tidak singgah dahulu?"
Ratri termenung sejenak. Namun kemudian, "Terima kasih Bramanti. Lain kali."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia mempersilakan Ratri singgah selain adat
kebiasaan. Tetapi ia mengharap Ratri itu menolaknya, karena apabila Temunggul
melihatnya, atau siapapun yang akan menyampaikannya kepada Temunggul, maka ia
akan menemui kesulitan. 94 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
RATRI pun kemudian melangkah meninggalkannya. Ia berjalan searah dengan Panjang.
Tetapi kemudian Ratri berbelok ke jalan sempit menuju ke rumah kawannya.
Bramanti pun kemudian masuk ke halaman rumahnya. Perlahan-lahan ia melangkahkan
kakinya menunju ke kandang. Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia duduk
bersandar dinding. Sekilas terbayang seseorang yang telah begitu lama tidak dijumpainya. Kakaknya
seibu tetapi tidak seayah. Dicobanya untuk mengingat-ingat kembali wajah itu.
Wajah yang keras seperti batu-batu padas di pegunungan. Meskipun saat itu
Panggiring masih kanak-kanak, tetapi sudah nampak pada sifat dan kebiasaannya,
bahwa ia adalah seorang yang keras hati.
"Kakang Panggiring terlampau keras kepala," desis Bramanti. "Dan itulah agaknya
yang membuat ayah tidak begitu senang kepadanya. Sama sekali bukan karena kakang
Panggiring itu anak tirinya. Ayah bukan orang yang sejahat itu, mengusirnya dan
memukulinya. Tidak. Semua itu karena kesalahan kakang Panggiring sendiri. Ayah
tidak pernah mengusirnya, tetapi kakang Panggiring sendirilah yang bergi
meninggalkan keluarga kami.
Tetapi ingatan itu terlampau kabur di kepala Bramanti, bagaimanapun juga,
Bramanti tidak akan berpihak kepada Panggiring. Sebagai seorang anak laki-laki
betapapun ia mengetahui kekurangan ayahnya, namun dalam persoalan ini ia tidak
dapat memandanginya tanpa menyangkutkan diri sendiri.
"Apakah yang akan diberitakan oleh Ki Tambi itu tentang kakang Panggiring?"
pertanyaan itu selalu mengganggunya, sehingga karena itu, tiba-tiba ia bangkit
dan melangkah keluar lagi dari dalam kandang. "Aku harus memberitahukannya
kepada ibu, supaya ibu tidak terkejut."
Maka Bramanti itupun kemudian mencari ibunya. Dan dikatakannya apa yang
didengarnya tentang Ki Tambi itu.
Wajah ibunya yang sudah berkerut-kerut karena umurnya itupun menjadi semakin
berkerut-kerut. Di mata orang tua itu, tiba-tiba mengambang setitik air.
"Apakah yang akan dikatakannya tentang kakakmu?"
Bramanti menggelengkan kepalanya, "Aku tidak mengerti ibu."
"Apakah ia akan pulang juga?"
"Entahlah bu," jawab Bramanti.
Ibunya pun kemudian terdiam. Tetapi tatapan matanya kemudian menembus daun pintu
yang tidak tertutup rapat, menyentuh bayangan matahari di kejauhan, seolah-olah perempuan
tua itu sedang mencari sesuatu di alam kembara angan-angannya.
Tetapi perempuan tua itu tahu jauh lebih banyak dari Bramanti, apa yang
sebenarnya telah terjadi. Dan kini yang dapat dilakukannya hanyalah menarik
nafas dalam-dalam. "Apakah Ki Tambi akan singgah ke rumah kami?" bertanya perempuan tua itu.
"Begitulah yang aku dengar."
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mudah-mudahan aku akan mendengar kabar
yang baik, yang membuat umurku tidak segera berakhir."
Bramanti mengerutkan keningnya mendengar gumam ibunya. Tetapi ia tidak berkata
sepatah kata pun. Dengan demikian maka sejenak mereka saling berdiam diri. Mereka masing-masing
membiarkan angan-angannya membumbung segala waktu. Yang sudah lampau dan yang
masih akan mereka jalani.
Namun sejenak kemudian Bramanti berdiri sambil berkata, "Bu, aku akan turun ke
halaman." "Tetapi bukankah kau tidak akan pergi keluar" Kita tunggu Ki Tambi, supaya kita
cepat mendengar ceriteranya bersama-sama."
"Aku hanya akan keluar dan turun ke halaman ibu. Udara terlampau panas. Mungkin
aku berada di kandang, tetapi mungkin juga aku menganyam wuwu di bawah pohon
sawo." "Baiklah," jawab ibunya. "Kalau Ki Tambi datang, aku akan memanggilmu."
Bramanti pun kemudian meninggalkan ibunya dan pergi ke halaman. Sejenak ia
berdiri termangu- 95 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
mangu. Dilihatnya beberapa potong bambu bersandar pada batang sawo yang rimbun.
Timbul niatnya membuat wuwu untuk menangkap ikan di sungai. Tetapi tiba-tiba
saja ia merasa malas. Karena itu, maka ia pun melangkah kembali ke kandang dan
kini bahkan ia berbaring di atas jerami kering.
Bramanti sekali lagi tenggelam di dunia angan-angannya. Sekali-kali ia mendengar
lenguh lembu di kejauhan. Burung perenjak berkicau di dahan batang melanding
disamping kandang seakan-akan
mengabarkan, bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu berkunjung kerumah
itu. Bramanti terkejut ketika ia mendengar suara ibunya memanggil. Dengan tergesa-
gesa ia bangkit dan melangkah keluar kandang, dan kemudian dengan dada berdebar-
debar ia pergi ke pendapa.
Jantungnya serasa berguncang ketika ia melihat, seseorang berdiri di tangga
pendapa bersama ibunya. Dan segera ia mengenal orang itu. Meskipun tampak orang itu menjadi semakin tua,
namun ia masih dapat mengenalnya dengan pasti, bahwa orang itulah yang bernama
Ki Tambi. Orang itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ketika ia melihat Bramanti
mendatanginya. Dengan ramahnya ia berkata, "Kalau aku tidak mendengar dari ibumu, bahwa kaulah
Bramanti itu, aku sudah tidak dapat mengenalmu lagi."
Bramanti pun menganggukkan kepalanya. Dengan hormatnya ia menyahut, "Terima
kasih. Tetapi aku masih dapat mengenal dengan jelas dan bahkan hampir tidak
berubah, bahwa aku berhadapan dengan Ki Tambi. Kira-kira sepuluh tahun yang
lampau, Ki tambi juga sudah seperti ini, dan sekarang Ki Tambi masih juga
seperti ini." Orang yang bernama Ki Tambi itu tertawa. Katanya, "Aku setiap hari minum jamu
Bramanti sehingga aku menjadi awet muda."
Bramantipun tertawa. Ibunya yang jarang sekali mendapat kesempatan untuk tertawa
itu pun tertawa pula. "Marilah, masuklah Ki Tambi," ibu Bramanti itu pun mempersilahkan.
Meskipun kemudian bersama-sama masuk ke pringgitan, sejenak kemudian mereka
telah terlibat dalam pembicaraan yang lancar. Mereka saling menanyakan
keselamatan masing-masing dan sejenak
kemudian mulailah mereka berceritera tentang diri mereka.
"Jadi Ki Tambi telah merantau lebih dari lima tahun," bertanya ibu Bramanti.
"Tujuh tahun," sahut Ki Tambi.
"Sudah cukup lama Ki Tambi meninggalkan Kademangan ini," berkata ibu Bramanti.
"Mungkin sekarang Ki Tambi merasa bahwa Kademangan ini sudah jauh berubah dari
Kademangan yang dahulu kau
tinggalkan." "Tidak. Aku masih cukup mengenalnya. Hampir tak ada perubahan sama sekali."
"Kecuali isi dan wataknya," potong Bramanti.
Ki Tambi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Ya, bentuk lahiriahnya hampir tidak berubah. Tetapi betul katamu
Bramanti. Isi dan watak dari Kademangan ini agaknya memang telah berubah. Baru
dua hari aku berada di Kademangan ini namun aku sudah melihat dan mendengar
banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menurut dugaanku, tidak akan dapat
terjadi beberapa tahun yang lampau."
"Kademangan ini seolah-olah diliputi oleh keputusasaan," sahut Bramanti.
Ki Tambi tidak segera menjawab. Namun yang terdengar adalah suara ibunya, "Kita
sudah tidak berhak lagi untuk mencampurinya Bramanti. Kita lebih baik berbuat
untuk diri kita sendiri."
Ki Tambi yang mendengar kata-kata ibu Bramanti itu mengerutkan keningnya.
Sekilas ditatapnya wajah perempuan tua itu, kemudian wajah Bramanti. Tetapi
Bramanti sedang menundukkan kepalanya.
"Aku sudah mendengar semuanya. Aku sudah mendengar tentang orang yang menyebut
dirinya Panembahan Sekar Jagat. Aku sudah mendengar tentang kau Bramanti bahwa kau pun
ternyata belum lama kembali ke Kademangan ini sejak kepergianmu lebih dari
sepuluh tahun yang lampau, kira-kira tiga tahun sebelum aku meninggalkan
Kademangan ini bahkan aku sudah mendengar pula ceritera terakhir, tentang Ratri
yang hampir saja menjadi korban salah seorang pengikut Panembahan Sekar Jagat
itu. 96 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Untunglah saat itu datang seorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.
Bukankah begitu?" "Begitulah menurut pendengaranku Ki Tambi," jawab Bramanti.
"Bahkan aku mendengar pula seseorang yang tidak dikenal telah menolong dua orang
calon anggota pengawal yang sedang menjalani pendadaran. Benar begitu?"
"Mungkin Ki Tambi. Akupun hanya mendengar kata orang."
Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia ingin mengucapkan sesuatu,
tetapi tiba-tiba maksudnya itu di urungkannya. Bahkan kemudian ia hanya menarik
nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia bergumam, "Memang dalam waktu tujuh tahun, banyak
persoalan yang dapat terjadi. Seperti persoalanku sendiri. Hampir tidak seorang pun yang
memperhatikan kepergianku saat itu. Bahkan mungkin ada satu dua orang yang sama
sekali tidak mengerti, bahwa aku pernah meninggalkan Kademangan ini selama
sekian tahun. Waktu itu, aku tidak lebih dari seorang tukang blandong yang tidak
berarti apa-apa. "Ki Tambi berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkannya, "Tetapi
dalam waktu tujuh tahun terakhir, ternyata aku telah berubah sama sekali
meskipun bentuk lahiriah, aku masih juga Tambi yang dahulu."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pengalamanku sangat berarti bagiku. Dan aku sekarang akan dapat berusaha dengan
cara yang lebih baik daripada seorang blandong yang setiap hari selalu memeras
tenaga. Aku sudah dapat menabung sedikit modal apabila suatu ketika aku tertarik
untuk berdagang." Bramanti masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebenarnya ia ingin segera
mendengar berita tentang Panggiring.
Agaknya ibu Bramanti pun demikian pula. Bahkan perempuan tua itu sudah tidak
menahan perasaannya lagi. Sehingga sesaat kemudian terloncat pertanyaannya,


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi Ki Tambi, apakah kau benar-benar bertemu dengan Panggiring?"
Ki Tambi mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Bramanti, dan sejenak
kemudian ibunya. "Benarkah?" desak ibu Bramanti itu.
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Terdengar jawabannya perlahan-lahan. "Ya.
Aku memang bertemu dengan Panggiring.
"Bagaimana dengan anak itu Ki Tambi?"
Ki Tambi tidak segera menjawab. Meskipun kepalanya terangguk-angguk dan bibirnya
bergerak-gerak, namun tidak sepatah katapun yang dapat didengar berdesis dari
mulutnya. "Bagaimana Ki Tambi," perempuan tua itu semakin mendesak.
Tetapi Ki Tambi masih belum menjawab. Bahkan kemudian ia bertanya kepada
Bramanti, "Bramanti, bukankah kau sudah tidak berhasrat untuk meninggalkan rumah
ini lagi?" Bramanti menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi dihadapan ibunya ia tidak menjawab
lain kecuali mengiakannya. Meskipun demikian ia berkata lebih lanjut, "Tetapi, entah salahku
entah kawan-kawanku bermain di masa kanak-kanak, masih kurang dapat saling
menyesuaikan diri. Aku masih merasa
terasing, dan bahkan di asingkan."
Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Lambat laun Bramanti, aku
yakin bahwa kau akan tetap menjadi keluarga Kademangan ini. Karena itu,
usahakanlah. Dan jangan pernah berfikir lagi untuk meninggalkan ibumu yang sudah
tua. Kampung halaman dan tanah warisanmu ini. Kau harus
menjadi anak yang baik, yang akan menjadi kebanggaan seluruh keluargamu, dan
bahkan lingkunganmu." Bramanti menjadi bingung. Dengan demikian ia justru terdiam. Kemudian sekali
lagi Bramanti menarik nafas dalam-dalam.
"Tetapi," ibunya menjadi semakin tidak sabar. "Bagaimana dengan Panggiring"
Apakah ia masih hidup atau sudah mati?"
"Sampai aku meninggalkan tempatnya, ia masih tetap hidup. Entahlah apabila
terjadi sesuatu dengan anak itu di perjalanannya. Karena Panggiring pun merantau
seperti aku pula. Tetapi ia lebih telaten 97
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
tinggal di suatu tempat dari padaku."
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia berdesis. "Hanya
itukah berita tentang Panggiring yang kau bawa Ki Tambi?"
Ki Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi masih belum menjawab pertanyaan itu.
Bahkan sekali lagi bertanya kepada Bramanti, "Bramanti, aku mengharap, bahwa kau
akan menjadi pegangan hidup ibumu di hari tuanya ini. Aku dengar bahwa kau
bersikap baik. Maksudku, kau sama sekali tidak ingin melepaskan dendam atas
kematian ayahmu. Bahkan kau bermaksud untuk membersihkan nama ayahmu
dengan perbuatan. Betulkah kau pernah berkata begitu kepada kawan-kawanmu?"
"Ya Ki Tambi. Aku memang pernah berkata demikian. Ketika itu aku dituduh, bahwa
kedatanganku semata-mata didorong oleh perasaan dendam.
"Bagus. Aku berdoa Bramanti, supaya kau menjadi penebus nama keluargamu. Nama
yang buram akan menjadi cerah, karena kau telah berbuat banyak kebaikan,
meskipun sampai saat ini kau masih tetap dicurigai."
Bramanti mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Ki Tambi.
Kedatangannya diharapkan untuk dapat mengatakan beberapa masalah mengenai Panggiring. Tetapi
sedemikian jauh yang dipercakapkannya adalah dirinya.
"Tetapi," sekali lagi ibunya memotong. "Bukankah kau ingin mengatakan tentang
Panggiring, Ki Tambi?"
Selain berita bahwa kau pernah berjumpa, dan berita tentang ketidaktahuanmu akan
keadaannya sepeninggalanmu, apakah kau tidak pernah mengetahui, atau mendengar, apakah
kerjanya kini?" Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah perempuan tua itu. Kemudian
katanya dalam nada berat, "Nyi Pruwita. Kau harus merasa berbahagia bahwa
Bramanti telah kembali. Ia akan menjadi sandaran hidup Nyai di hari mendatang.
Nyai tidak usah memikirkan apa-apa lagi harus di pegang erat-erat."
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah perempuan tua itu. Kemudian
katanya dalam nada berat, "Nyi Pruwita. Kau harus merasa berbahagia bahwa
Bramanti telah kembali. Ia akan menjadi sandaran hidup Nyai di hari mendatang.
Nyai tidak usah memikirkan apa-apa lagi harus di pegang erat-erat."
Ibu Bramanti menjadi kian berdebar-debar. Ia merasa bahwa sesuatu yang tidak
menyenangkan telah terjadi atas Panggiring. Tetapi Panggiring belum mati
sepengetahuan Ki Tambi. Justru dengan demikian, maka perempuan tua itu menjadi
semakin terdorong untuk mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Bagaimanapun juga, Panggiring adalah anaknya seperti Bramanti. Sebagai seorang
ibu, maka sudah tentu ia tidak akan dapat melepaskan ikatan yang terjalin antara
dirinya dan anak yang telah dilahirkannya.
Karena itu, maka dengan gelisah ia menuggu Ki Tambi mengatakannya selanjutnya
tentang anaknya yang sulung, yang lahir dari ayah yang lain dari ayah Bramanti.
"Nyai," berkata Ki Tambi kemudian. "Aku berkeras untuk tidak mengatakan apa-apa
tentang Panggiring semalam di Kademangan sebelum aku bertemu dengan Nyai.
Beberapa orang telah bertanya tentang anak itu."
"Kenapa tiba-tiba saja mereka bertanya tentang Panggiring."
"Aku terdorong mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan anak itu di Kudus."
"Ya, tetapi kenapa dengan anak itu?" desak ibunya yang menjadi semakin tidak
sabar lagi. "Nayi, berita tentang Panggiring memang kurang baik. Tetapi jangan terlampau
disesalkan. Nyai harus berterima kasih banyak kini Bramanti ada di rumah ini,
memelihara tanah ini sebagai tanah warisan dengan baik-baik. Memperbaiki rumah
yang menurut pendengaranku sudah hampir tidak dapat
ditempati lagi karena lubang-lubang pada atapnya menjadi kian hari kian luas.
Dan sekarang rumah dan halaman ini sudah kelihatan bersih dan rapi meskipun
tidak dapat diperbandingkan dengan saat-saat Ki Pruwita masih kayaraya."
98 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Debar di dada perempuan tua menjadi kian tajam menggores jantungnya.
"Katakan Ki Tambi, katakan."
"Endapkanlah perasaanmu Nyai," Ki Tambi berhenti sejenak.
"Apakah anak itu telah mati?"
Ki Tambi tidak segera menjawab. Ia berpaling memandangi wajah Bramanti yang
tegang untuk sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, "Tidak. Panggiring tidak mati. Tetapi
hidupnya kini sama sekali sudah tidak berarti lagi."
"Maksudmu?" desak ibunya.
Sekali lagi Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. "Nyai, anak itu terperosok ke
dalam dunia yang paling kelam."
Nyai Pruwita terhenyak ditempatnya. Mulutnya serasa terbungkam, dan dadanya
menghentak-hentak seperti akan retak. Sementara Bramanti mendengarkannya dengan
tegang. "Apakah maksud Ki Tambi sebenarnya dengan dunia yang hitam itu?" bertanya
Bramanti. Ki Tambi menggelengkan kepalanya. Desisnya, "Hampir tidak dapat dikatakan.
Setiap orang tidak berani lagi menyebut namanya. Karena Panggiring seolah-olah
telah menjadi hantu yang paling menakutkan.
Setiap orang yang berhati kecil, akan menjadi pingsan apabila mereka mendengar
nama itu Panggiring."
"Apakah yang telah dilakukan," ibunya memotong dengan suara yang gemetar, "Apa"
Apakah anakku...." suara perempuan itu terputus. Dari matanya meleleh air yang bening
membasahi pipinya yang kisut.
"Entahlah, bagaimana asal mulanya Nyai. Panggiring di daerah pesisir Utara
benar-benar menjadi hantu yang menakutkan. Namanya dikenal oleh setiap orang.
Namun sayang, bahwa nama Panggiring di
pesisir Utara adalah nama seorang perampok dan perampok besar, hampir tiada
bandingnya. Di darat dan di laut."
"Oh," terdengar sebuah desah yang dalam. Dan tiba-tiba ibu Bramanti itu menjadi
lemas. Hampir saja ia jatuh terjerembab dari amben apabila anaknya tidka dengan
sigapnya menahannya. "Ibu," panggil Bramanti.
Nafas perempuan tua itu menjadi terengah-enGah. Lamat-lamat terdengar suaranya
dalam dan parau, "Panggiring, Panggiring."
Ki Tambi pun kemudian menjadi cemas dan gelisah. Ia sudah berusaha untuk
mengatakannya dengan hati-hati. Tetapi bagaimana pun juga, kejutan perasaan itu
benar-benar telah mengguncang seisi dadanya.
Kemudian Bramanti membaringkan ibunya itu di pembaringannya. Perempuan tua itu
kemudian sama sekali tidak berhasil menahan tangisnya. Panggiring adalah
anaknya. Betapapun juga. Ki Tambi pun kemudian duduk di sampingnya. Dengan hati-hati ia mencoba
menghiburnya. Mengucapkan beberapa kata pemupus, agar perempuan tua itu ikhlas menerima
keadaan yang tidak mungkin lagi dapat dihindari.
"Ki Tambi," berkata perempuan tua itu di sela-sela isaknya. "Aku sudah terlampau
biasa menahan hati dalam kesulitan perasaan yang paling parah. Hampir sepuluh
tahun aku hidup dalam keadaan yang asing. Hampir tidak seorang pun yang mau
menerima aku di dalam pergaulan hidup di Kademangan ini.
Meskipun masih juga ada satu dua orang menganggapku sebagai manusia yang
berperasaan, tetapi aku benar-benar telah terasing. Dan aku dapat menahankannya.
Sepuluh tahun sejak suamiku itu meninggal dunia. Tetapi selama itu aku masih
berpengharapan." "Apakah yang Nyai harapkan?"
"Anak-anakku." Bramanti mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja di luar sadarnya ia berkata,
"Apakah kepulanganku tidak berarti bagi ibu?"
"Tentu. Tentu Bramanti. Kau begitu sama artinya dengan kakakmu Panggiring. Kau
adalah anak yang aku lahirkan seperti aku melahirkan kakakmu meskipun kalian
tidak seayah. Tetapi ayah-ayah kalian itu 99
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
semuanya sudah tidak ada lagi. Dan yang tinggal padaku adalah kalian berdua. Kau
dan Panggiring. Harapanku aku letakkan kepadamu dan kakakmu. Kehadiranmu sangat berarti bagiku.
Apalagi apabila kakakmu Panggiring itu tidak akan kembali lagi. Maka satu-
satunya sandaran hidupku adalah kau."
Bramanti menundukkan kepalanya. Ia menyesal sekali, bahwa ia telah membuat
ibunya menjadi semakin pedih. Tetapi ia tidak dapat mengingkari perasaannya sendiri. Aneh,
bahwa ia sama sekali tidak mengharapkan kakaknya itu pulang. Seperti ayahnya,
Panggiring kurang mendapat tempat dihatinya.
Apalagi kini, setelah ia mendengar, bahwa Panggiring telah menjadi seorang
perampok dan perampok yang menakutkan. Tetapi sebagai seorang yang matang,
Bramanti sebenarnya tidak pernah disentuh oleh perasaan takut itu. Terhadap
siapapun. Sejenak Bramanti dicengkam oleh perasaannya. Kadang-kadang ia memang sempat
mencela dirinya sendiri. Apapun yang dilakukan Panggiring, dan betapa ia akan sanggup
mengingkarinya, namun kenyataan bahwa Panggiring itu dilahirkan oleh ibunya itu tidak akan dapat
dihapuskan. Bagaimana pun juga Panggiring adalah kakaknya.
Ki Tambi memandangi ibu Bramanti dengan tatapan belas kasihan. Perempuan itu
telah terdorong-dorong kejalan yang terlampau terjal dan curam. Sebagai seorang
yang dekat dengan keluarga Pruwita, Ki Tambi mengetahui banyak, tentang apa yang
pernah terjadi atas perempuan tua itu.
"Nyai," berkata Ki Tambi. "Setelah aku berada di Kademangan ini kembali, maka
kau tidak akan terasing lagi. Setidak-tidaknya aku akan selalu berkunjung ke
rumah ini seperti yang selalu aku lakukan dahulu.
Perlakuan yang tidak wajar atas kalian tidak akan pernah terjadi lagi. Aku akan
minta kepada para tetangga."
Tetapi perempuan itu menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu Ki Tambi. Aku tidak
pernah mengharapkan belas kasihan yang demikian. Kalau mereka berbaik kepada kami hanya
karena memenuhi permintaanmu, maka sebenarnya mereka tidak berbaik kepada kami, tetapi
semata-mata kepadamu." Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sikap itu masih saja melekat pada Nyai
Pruwita, yang pernah disebut Nyai Demang Candi Sari. Tetapi Ki Tambi tidak
menyahut lagi. Ia tidak mau membuat perempuan itu semakin sakit.
Dengan demikian maka sejenak mereka saling berdiam diri. Sehingga dengan
demikian ruangan itu menjadi sepi.
Angin yang silir berhembus menyusup di antara daun pintu yang masih menganga.
Satu-satu terdengar ciap burung emprit di pepohonan dan kicau burung podang
dipelapah pisang. Sejenak kemudian Ki Tambi berdesak. Perlahan-lahan pula ia berkata, "Nyai. Sudah
tentu pada suatu ketika berita ini akan terpencar. Mungkin sehari dua hari aku
masih dapat mengelakkan segalam macam pertanyaan, tetapi sudah tentu pada suatu
ketika aku akan lengah dan mengatakan apa yang
sebenarnya telah terjadi. Karena itu sebelumnya aku minta maaf kepadamu."
Perempuan tua itu menganggukkan kepalanya. Betapa beratnya ia menjawab "Bukan
salahmu Ki Tambi. Katakanlah apa yang sebenarnya terjadi. Biarlah arang yang tercoreng di wajah
kami menjadi semakin hitam. Namun sekali lagi aku masih berpengharapan. Kalau
saja Bramanti berhasil, maka ia akan membersihkan segala cacad dan cela itu."
"Mudah-mudahan," desis Ki Tambi. Kemudian, "Namun Nyai, bagaimana pun juga, aku
harus mengucapkan terima kasih kepada Panggiring itu. Meskipun ia menjadi seorang yang
paling ditakuti, tetapi ia tidak melupakan orang-orang yang pernah dikenalnya di
masa kanak-kanaknya"
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Bramanti.
"Dalam perjalananku, suatu ketika aku bertemu dengan segerombolan penyamun.
Betapapun aku mencoba melawan, namun aku sama sekali tidak berdaya. Akhirnya aku
tertangkap. Tidak ada di dalam ingatan mereka untuk membiarkan orang-orang yang
ditangkapnya untuk tetap hidup. Karena itu, maka 100
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
akupun sudah disiapkannya untuk menjadi tontonan pada saat matiku," Ki Tambi
berhenti sejenak, kemudian "Tetapi ternyata Tuhan masih ingin memelihara aku
sebagai hamba-Nya dimuka bumi ini.
Ternyata pemimpin tertinggi dari penyamun itu sedang menerima tamu yang
dihormatinya. Tamu itu adalah Panggiring. Raja dari segala raja perampok dan
perampok." Bramanti mendengarkannya dengan sepenuh minat. Sedang ibunya pun mencoba untuk
mengerti persoalan itu. "Ternyata Panggiring masih mengenal aku," sambung Ki Tambi. "Karena itu, maka ia
minta aku dibebaskan. Mula-mula para penyamun itu berkeberatan. Mereka takut
kalau aku berceritera tentang mereka dan kedudukan mereka. Tetapi mereka sama
sekali tidak dapat melawan kehendak Panggiring.
Sehingga akhirnya aku dilepas kannya. Sebelum aku meninggalkan neraka itu,
Panggiring mendatangi aku sambil berkata, "Ki Tambi, kau masih mengenal aku."
"Ya," jawabku. "Nah, seterusnya berhati-hatilah. Jangan sampai terperosok kesarang manusia-
manusia serigala macam ini. Untunglah bahwa aku sempat melihat. Kalau tidak,
maka kau pasti sudah dibantai seperti seekor kelinci. Nah, untuk keselamatanmu,
bawalah tanda ini. "Dan Panggiring tidak memberi aku sebuah lencana."
Bramanti mengerutkan keningnya, "Apakah lencana itu masih ada pada Ki Tambi?"
"Tentu," jawab Ki Tambi. "Aku masih menyimpannya."
Kemudian Ki Tambi mengambil sesuatu dari dalam kantung ikat pinggang kulitnya.
Sebuah kepingan perak yang terukir. Dan ukiran itu telah membuat dada Bramanti


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ibunya menjadi berdebar-debar.
Ukiran itu berupa sebuah candi kecil. Candi Sari.
"Oh," desis ibunya. "Ia masih selalu ingat tanah kelahirannya."
"Tetapi ia telah menodainya pula," sahut Bramanti dengan serta merta.
Wajah ibunya yang suram itu menegang sesaat, namun kemudian titik air di matanya
menjadi semakin deras. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
"Maaf ibu," bisik Bramanti. "Aku tidak ingin menyakitkan hati ibu."
"Tidak Bramanti. Kau tidak bersalah. Kau benar. Kakakmu tidak saja menodai
Kademangan ini, tetapi ia telah semakin menodai nama keluarga kami yang memang
sudah tidak dikehendaki oleh siapapun juga ini."
"Tetapi lencana itu telah menyelamatkan aku beberapa kali. Agaknya setiap
gerombolan yang berkeliaran di pesisir Utara telah mengenal bentuk candi semacam
itu. Dan merekapun agaknya telah mengerti arti daripadanya. Setiap orang yang
mempergunakan tanda itu berada di dalam perlindungan seseorang yang mereka
segani, Panggiring. Demikian juga aku. Setiap kali aku jatuh ke tangan seseorang
yang bermaksud jahat terhadapku, maka setiap kali mereka minta maaf apabila
mereka melihat lencana perak dengan ukiran sebuah candi kecil itu."
Titik air mata perempuan tua itu menjadi semakin deras, sedang dada Bramanti pun
menjadi semakin keras berdentang. Ceritera tentang kakaknya itu telah benar-
benar membuatnya gelisah oleh perasaan yang tidak menentu.
"Sudahlah," berkata Ki Tambi kemudian, "Jangan terlampau dipikirkan. Aku sengaja
memberitahukan kepada Nyai Pruwita, supaya Nyai mendengarnya lebih dahulu,
langsung dari mulutku. Apabila kelak Nyai mendengar dari orang lain, yang
mungkin sudah ditambah atau dikurangi, maka luka dihati Nyai akan menjadi lebih
parah lagi." "Terima kasih Ki Tambi," gumam Nyai Pruwita. "Aku sudah mendengar berita tentang
anakku. Apapun yang telah terjadi atasnya, namun aku telah mengetahuinya."
"Tetaplah tenang Nyai. Aku percaya bahwa Bramanti akan berhasil mencuci nama
keluarga ini. Beberapa orang seumurku akan dapat menjadi saksi, bahwa keluarga
ini pada mulanya adalah keluarga yang baik.
Tidak bedanya dengan keluarga-keluarga yang lain. Adalah wajar, apabila satu di
antara yang baik itu 101 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
mempunyai cacad atau celanya."
Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi air di matanya masih belum
kering. "Berdoalah," desis Ki Tambi. Dan sekali lagi perempuan tua itu mengangguk-
anggukkan kepalanya. "Nah, sudahlah. Aku minta diri. Dadaku telah menjadi lapang, bahwa aku telah
menyampaikannya kepada keluarga ini tentang salah seorang anggotanya yang
hilang." "Apakah mungkin yang hilang itu akan kembali Ki Tambi?" tiba-tiba perempuan tua
itu bertanya. Ki Tambi termenung sejenak. Namun kemudian ia mengangkat pundaknya berkata,
"Hanya Tuhanlah yang tahu." Perempuan tua itu mengangkat kepalanya. Namun terasa kepalanya sangat pening.
"Sudahlah. Berbaringlah," berkata Ki Tambi.
"Terima kasih Ki Tambi," sahut perempuan itu, "Seringlah datang kemari, supaya
kami tidak merasa seolah-olah kami adalah orang-orang yang diasingkan di tanah
kelahiran sendiri." "Tentu, tentu. Aku akan datang kemari setiap kali."
Ki Tambi pun kemudian meninggalkan rumah itu, di antar oleh Bramanti sampai ke
regol. Kemudian sepeninggalan orang tua itu, Bramanti berjalan dengan kepala
tunduk naik ke rumahnya kembali.
Ditemuinya ibunya masih berbaring dipembaringannya.
"Bramanti," berkata ibunya perlahan-lahan, "Kau sudah mendengar semuanya."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia duduk disamping ibunya
sambil menundukkan kepalanya. "Harapanku satu-satunya adalah kau. Aku harap kau menyadarinya. Tak ada sandaran
apapun lagi dalam sisa hidupku ini."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku mengerti ibu. Dan aku
akan berusaha. Berusaha sedapat-dapat aku lakukan."
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Sekarang aku ingin
tidur Bramanti. Kepalaku terlampau pening."
"Ibu jangan terlampau terpukau oleh peristiwa yang diceriterakan oleh Ki Tambi.
Ibu harus menenangkan diri dan mencoba melupakannya."
Perempuan itu mengangguk.
"Memang sebaiknya ibu mencoba untuk tidur."
Sekali lagi perempuan itu menganggukkan kepalanya.
Bramanti pun kemudian pergi ke luar rumah. Tanpa sesadarnya kakinya telah
membawanya masuk ke dalam kandang yang kosong. Perlahan-lahan ia duduk di atas
jerami yang kering bersandar dinding.
Ceritera Ki Tambi tentang kakaknya telah membuatnya menjadi semakin jauh
daripadanya. Bahkan ia merasa, bahwa kakaknya itu telah mempersulit usahanya
untuk memperbaiki nama keluarganya.
Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, maka setiap orang akan memalingkan wajahnya,
apalagi mereka berlalu di depan rumah itu, terlebih-lebih lagi dari saat-saat
sebelumnya. "Aku tidak boleh menunggu terlampau lama," desisnya. "Semuanya harus segera
berakhir. Permainan yang menjemukan itu pun harus segera berakhir," namun
kemudian ia bergumam. "Tetapi aku tidak dapat tergesa-gesa. Aku harus
mematangkan suasana lebih dahulu, apabila aku tidak ingin gagal."
Dalam kekalutan pikiran itulah, ia kemudian membaringkan dirinya. Meskipun ia
tidak tertidur, tetapi ia menjadi terkejut ketika disadarinya, bahwa matahari
telah menjadi terlampau rendah.
Dengan tergesa-gesa Bramanti keluar dari dalam kandangnya yang kosong itu.
Diambilnya sapu lidinya dan mulailah ia membersihkan halaman. Kali ini sekadar
didepan dan di sekeliling pendapa saja, karena sebentar kemudian matahari
menjadi semakin merah di punggung bukit.
Ketika hari mulai menjadi gelap, maka mulailah ia menyalakan lampu-lampu di
dalam rumahnya dan yang terakhir dinyalakanlah lampu di regol halaman. Sejenak
ia berdiri saja di depan regol, kalau-kalau Panjang lewat dari Kademangan
seperti kebiasaannya. Tetapi setelah beberapa lama anak muda itu tidak lewat,
maka Bramanti pun kemudian masuk ke dalam halaman, dan langsung naik ke
rumahnya. Ia masih sempat menyiapkan air dan kayu bakar, sebelum ia minta diri kepada
ibunya untuk tidur di 102
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kandang seperti kebiasaannya.
Tetapi seperti siang tadi, maka matanya hampir-hampir tidak bisa dipejamkannya.
Angan-angannya selalu saja diliputi oleh ceritera Ki Tambi dan usahanya untuk
memperbaiki nama seluruh keluarganya.
"Secepat datang kesempatan, aku harus menyatakan diri. Semata-mata untuk mencuci
nama yang justru menjadi semakin kotor oleh pokal kakang Panggiring."
Dan malam itu juga Bramanti telah membulatkan tekadnya, bahwa ia harus segera
berbuat sesuatu. Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya yang kekuning-kuningan di pagi hari,
Bramanti sudah sibuk membersihkan halaman rumahnya. Sekali-kali ia melihat
seseorang lewat di muka regol
halamannya. Namun seolah-olah mereka sama sekali segan untuk berpaling. Bahkan
rasa-rasanya mereka berjalan dengan tergesa-gesa sambil berjingkat, apabila mereka lewat
didepan regolnya. "Aku terlampau terpengaruh oleh perasaanku sendiri," ia berkata di dalam
hatinya. "Aku kira memang demikian yang mereka lakukan sehari-hari. Mereka belum
tentu telah mendengar ceritera tentang kakang Panggiring. Sehingga sikap mereka
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sikap kakang Panggiring itu."
Namun hal itu telah memperkuat keyakinan Bramanti, bahwa ia harus segera berbuat
sesuatu. Supaya nama keluarganya tidak menjadi semakin lama semakin cemar
dijauhi. Seperti biasanya, setelah membersihkan halaman, Bramanti segera mengambil air di
perigi. Diisinya jambangan di pakiwan dengan gentong di dapur. Barulah kemudian
ia membersihkan dirinya sendiri.
Ketika ia berdiri di depan regol, seperti biasanya ia melihat Pajang lewat di
muka regol rumahnya. Matanya tampak sayu dengan langkah malas ia mendekatinya.
"Hampir semalam aku tidak tidur," desisnya ketika ia sampai di muka Bramanti.
"Kenapa?" bertanya Bramanti.
"Aku berada di Kademangan."
"Kenapa di Kademangan?"
"Berbicara saja tanpa ujung pangkal," Pajang terdiam sejenak, kemudian katanya
bersungguh-sungguh, "Bramanti, aku telah mendengar cerita tentang Panggiring. Semalam Ki Tambi kami
paksa untuk mengatakannya. Tetapi ia hanya berbicara beberapa patah kata. Menurut orang tua
itu, Panggiring sekarang ternyata telah sesat jalan."
Bramanti mengerutkan keningnya, "Demikianlah menurut Ki Tambi."
"Terserahlah kepada Panggiring sendiri Bramanti. Kalau memang jalan itu yang
dianggap baik," Panjang berhenti sejenak, kemudian "Tetapi yang penting bagiku adalah sikap Ki
Tambi itu sendiri. Ia menyinggung kesulitan yang kini dialami oleh penduduk
Kademangan ini. Terutama karena sikap orang yang menyebut dirinya Panembahan
Sekar Jagat." Bramanti mengerutkan keningnya, "Bagaimana sikapnya?"
Ia merasa terhina oleh keharusan menyerahkan apa saja yang diminta oleh
Panembahan Sekar Jagat itu.
Bramanti menggangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ki Tambi masih juga Ki Tambi
yang dahulu." "Bagaimana sikap Ki Demang dan Ki Jagabaya?" bertanya Bramanti.
"Sudah tentu Ki Jagabaya sependapat dengan Ki Tambi. Tetapi seperti biasanya, Ki
Demang ternyata terlampau berhati-hati."
"Ki Demang ingin membiarkan kita selalu berada dalam ketakutan dan
kegelisahan.?" "Justru sebaliknya. Menurut Ki Demang, apabila kita melakukan perlawanan, maka
kita pasti akan dihancurkan."
"Ah, berapa jumlah orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Dan berapa jumlah laki-
laki di Kademangan ini."
"Tetapi hampir setiap orang menjadi ngeri melihat orang yang bernama Wanda Geni
mengacu-acukan senjatanya."
"Kenapa kita menjadi ngeri" Kalau Wanda Geni seorang atau katakan berempat
dengan kawan-103 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kawannya mengacu-acukan senjata mereka, kita berempat puluh orang bersama-sama
mengacu-acukan pula."
Panjang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, "Apakah kawan
Wanda Geni itu hanya empat orang?"
Tetapi Bramanti menyahut, "Dan apakah laki-laki di Kademangan ini hanya empat
puluh orang?" "Kau benar Bramanti, seperti yang dikatakan Ki Tambi dan Ki Jagabaya."
"Lalu apalagi yang kita tunggu?"
"Ki Demang." Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, "Bagaimana
dengan Temunggul?" Panjang mengerutkan keningnya. Meskipun nampaknya ragu-ragu tetapi ia berkata,
"Ia mempunyai pertimbangan lain. Sebaiknya kita tidak membuat mereka marah. Jika
mereka marah, maka mereka akan dapat berbuat apa saja. Bahkan mungkin mereka
akan menculik gadis-gadis. Tawanan yang
pernah kami lepaskan itu ternyata menepati janjinya. Sampai sekarang Wanda Geni
tidak pernah berusaha mengganggu gadis-gadis kita. Nah, kalau kita mulai dengan
tindakan-tindakan yang menyakitkan hati mereka, maka mungkin sekali hal itu akan terulang kembali."
"Ah," Bramanti berdesah. "Ia selalu dibayangi oleh gadis-gadis. Ia tidak pernah
berpikir tentang Kademangan ini dalam keseluruhan.
Panjang tidak menyahut, tetapi justru ia bertanya, "Bramanti. Seandainya kita
benar-benar melakukan perlawanan atas orang-orang yang menjadi utusan Panembahan
Sekar Jagat itu, apakah yang kira-kira akan kau lakukan?"
Bramanti tergagap sesaat.Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan menerima
pertanyaan demikian itu. Namun sejenak kemudian dijawabnya sekenanya, "Aku akan
berbuat apa saja menurut kemampuanku." "Apakah kau berani berkelahi melawan mereka juga?"
Sekali lagi Bramanti menjadi tergagap. Dan sekali lagi sekenanya ia menjawab,
"Aku berani berkelahi melawan orang-orang itu. Kalah atau menang bukan soal
bagiku." Panjang tersenyum. Ditepuknya pundak Bramanti sambil bergumam, "Kau memang
seorang yang luar biasa. Sudahlah, aku akan pergi ke Kademangan."
Tetapi sebelum Panjang melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia terkejut. Ia melihat
beberapa orang berlari-lari. Sambil terengah-engah salah seorang dari mereka
berkata, "Utusan Panembahan Sekar Jagat telah datang lagi."
Panjang menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Bramanti,
dilihatnya anak muda itu mengatupkan giginya rapat-rapat.
"Setelah itu telah datang lagi, " gumam Bramanti. Kemudian ditariknya Panjang
masuk ke dalam regol rumahnya. Sambil menutup regol ia berkata, "Mereka tidak
akan singgah ke rumahku ini."
Panjang tidak membantah. Ia berdiri melekat dinding regol di sebelah dalam.
"Apakah yang akan mereka lakukan" Apakah mereka akan mengambil harta benda lagi,
atau sekadar mengambil Ratri," desis Panjang.
Bramanti tidak menjawab. Namun wajahnya menegang.
Mereka berdua masih mendengar beberapa orang berlari-lari. Sejenak kemudian
jalan itu telah menjadi sepi.
"Sebentar lagi mereka akan lewat," desis Panjang.
Bramanti menganggukkkan kepalanya sambil berdesis, "Ya. Aku telah mendengar
derap kaki kuda." Panjang mengerutkan keningnya. Baru ketika ia masang telinganya tajam-tajam dan
kuda-kuda itu menjadi semakin dekat, ia pun mendengar derap kaki-kaki kuda itu
pula. Panjang kemudian menahan nafasnya ketika kuda-kuda itu lewat di depan regol
rumah Bramanti. Tetapi seperti kata-kata Bramanti, mereka tidak akan singgah ke
rumah yang meskipun besar itu, tetapi yang sejak beberapa tahun terakhir telah
menjadi kosong. Kosong sama sekali. Karena itu, maka mereka 104
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
sama sekali tidak pernah menaruh minat atas rumah itu, karena mereka tahu bahwa
mereka tidak akan menemukan apapun juga di dalamnya, selain labah-labah yang
berwarna hitam. Ketika kuda-kuda itu kemudian menjauh, maka Panjang dan Bramanti pun menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak mereka masih berdiri saja ditempatnya. Namun sejenak kemudian Bramanti
berkata, "Panjang apakah kita akan tetap berada di halaman ini saja?"
"Apa salahnya," berkata Panjang. "Bukankah mereka tidak akan singgah di rumah
ini?" "Ya. Menurut perhitunganku pasti tidak. Tetapi entahlah apabila ternyata ada
persoalan lain." "Persoalan apakah yang kau maksud?"
"Apakah kira-kira mereka telah mendengar ceritera tentang kakang Panggiring?"
Panjang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya,
"Entahlah. Aku kira mereka masih belum mendengar."
"Tetapi siapa tahu, bahwa ada di antara kita yang memang menjadi alat Panembahan
Sekar Jagat." Lalu apakah dengan demikian, seandainya mereka mengetahui persoalan Panggiring,
akan dapat

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimbulkan masalah baru bagi keluargamu?"
"Hal itu akan mungkin sekali. Kakang Panggiring adalah seorang perampok seperti
Panembahan Sekar Jagat. Sedang kakang Panggiring adalah anak Kademangan ini
sejak bayinya." "Lalu apakah hubungannya dengan kedatangannya kemari?"
"Mungkin Panembahan Sekar Jagat ingin membuktikan kebenaran berita itu, dan
ingin bertanya kepada ibu. Mungkin juga karena Panembahan Sekar Jagat
mencemaskan, kalau-kalau kakang
Panggiring akan pulang, dan akan menjadi saingan mereka untuk selanjutnya selain
seseorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar."
Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kemungkinan itu memang ada meskipun
kecil sekali." "Tetapi, tetapi aku menjadi sangat gelisah, Panjang."
"Kenapa?" "Bagaimana kalau mereka nanti akan datang kemari?"
"Kenapa. Jawab saja pertanyaannya."
"Tetapi mereka terlampau buas. Kadang-kadang mereka memukul seseorang tanpa
sebab." Panjang mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berkata, "Bukankah kau akan
berbuat apa saja menurut kemampuanmu?"
"Tetapi bukan seorang diri. Kalau kita bersama-sama telah mulai, apaboleh buat.
Tetapi bukan aku sendiri."
Panjang menjadi heran melihat sikap itu. Ia merasakan ketidakwajaran pada
Bramanti. Tidak mungkin bahwa tiba-tiba menjadi menggigil ketakutan, sedang
ketika derap kuda itu mendekat, ia tampak begitu tenang dan bahkan seolah-olah
begitu yakin akan dirinya.
Tetapi Panjang pun yakin, bahwa apabila ia bertanya tentang hal itu, Bramanti
pasti tidak akan menjawabnya. Karena itu, maka bahkan ia bertanya, "Lalu
seandainya demikian, apa yang kau sangka itu benar-benar terjadi, apakah yang
akan kau lakukan?" Bramanti berdiam sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Aku akan bersembunyi saja
Panjang." "Dimana kau akan bersembunyi?"
"Aku akan ke bendungan."
"Bodoh kau," hampir saja Panjang berteriak, "Kalau kau pergi ke tempat terbuka,
maka kau akan segera dilihatnya. Ada banyak kemungkinan yang dapat terjadi
atasmu." "Tetapi, apakah mereka akan sampai ke bendungan itu juga?"
"Mungkin sekali. Meskipun mereka tidak sengaja pergi ke bendungan, namun mereka
mungkin sekali lewat menyusur jalan sempit di dekat bendungan, yang kemudian
menyilang parit induk dari air yang naik ke bendungan itu."
"Kau agaknya sedang bermimpi. Mereka adalah orang-orang yang aneh. Mereka sama
sekali tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan sama sekali."
105 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Tetapi, bagaimanapun juga aku takut Panjang."
"Kalau begitu, marilah, aku antar kau bersembunyi."
"Kemana?" "Terserah kepadamu. Tetapi sebaiknya tidak ke tempat yang terbuka."
"Jangan Panjang. Aku tidak mau membuatmu bersusah payah. Kita sudah sama-sama
dewasa. Marilah kita berusaha menyelamatkan diri kita sendiri."
"Aku tidak akan sampai hati melepaskan kau seorang diri dalam keadaan serupa ini
Bramanti. Kau akan mati ketakutan apabila suatu saat kau bertemu dengan orang-
orang Panembahan Sekar Jagat itu."
"Tapi sebaiknya kau tetap berada di sini Panjang. Tolong, kawanilah ibuku."
"Kalau mereka benar-benar datang kemari, apakah kataku kemudian?"
"Sejak semula aku sudah menyangka, bahwa ia sama sekali bukan seorang yang
lemah, tidak berkemampuan dan apalagi cengeng, seperti yang dituduhkan oleh Temunggul,"
gumamnya kepada diri sendiri. "Agaknya Temunggu tidak mengenal Bramanti dari
dekat. Pada suatu ketika ia akan menyesali semua sikap-sikapnya. Juga Suwela
yang telah melecut Bramanti di arena. Untunglah, saat itu bukan akulah yang
harus berhadapan dengan Bramanti. Namun seandainya demikian aku akan minta maaf
kepadanya." Panjang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa bahwa ia akan segera
menemukan kesimpulan dari semua dugaannya itu.
Namunsudah sekian lama ia menunggu, Bramanti masih juga belum keluar dari dalam
rumahnya sehingga Panjang mulai menjadi gelisah. Sambil berdesah ia berjalan hilir mudik
di regol halaman itu. Setiap kali ia harus berhenti, dan memperhatikan setiap gemerisik di luar regol.
Ia pun semakin lama menjadi semakin dirambat oleh kecemasan, kalau-kalau orang-
orang Sekar Jagat itu akan lewat lagi di jalan di depan regol itu.
"Ah, apa saja yang dilakukan Bramanti?" desisnya.
Akhirnya Panjang tidak sabar lagi. Ia pun kemudian berlari melintas halaman dan
masuk lewat pintu pringgitan.
"Bramanti, Bramanti," ia memanggil. Tetapi tidak ada terdengar jawaban.
"Bramanti, Bramanti," ia memanggil lebih keras.
Panjang terkejut ketika ia mendengar suara perempuan menyapanya, "Siapa itu?"
"O, aku bibi, jawabnya ketika ia melihat ibu Bramanti mendatanginya.
"Kau Panjang?" "Ya bibi. Aku mencari Bramanti."
"Bramanti" Bukankah ia berada di halaman" Mungkin ia sedang bersembunyi,
bukankah orang-orang Panembahan Sekar Jagat datang ke Kademangan ini."
"Tetapi Bramanti baru saja masuk."
"Ya, ia baru saja masuk. Dan ia minta diri untuk bersembunyi di halam atau
dimana saja. Aku kira ia pergi atau bersembunyi bersamamu."
"Demikianlah seharusnya. Kami akan bersembunyi di bendungan selagi mereka belum
pergi. Dan Bramanti mengatakan, bahwa ia akan minta ijin lebih dahulu kepada bibi. Tetapi
aku menunggunya terlampau lama di regol halaman, sedang Bramanti tidak juga
muncul-muncul." Wajah perempuan tua itu menjadi berkerut-kerut, "Aneh," katanya. "Apakah ia
masih berada di dalam rumah ini. Tetapi tidak mungkin. Ia pasti akan mendengar
kehadiranmu." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini baru ia sadari, bahwa sebenarnyalah
Bramanti telah pergi seorang diri. Bramanti benar-benar tidak mau perig
bersamanya. Sehingga dengan demikian, maka Panjang pun telah hampir dapat
mengambil suatu kesimpulan, bahwa Bramanti bukanlah sekadar
seorang anak muda seperti yang dilihatnya sehari-hari. Namun dengan demikian ia
menyadarinya juga, bahwa Bramanti telah dengan sengaja memulas dirinya sendiri.
Panjang tidak mengerti, apakah maksud Bramanti sebenarnya. Kadang-kadang ia
dihinggapi pula oleh 106 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
berbagai macam pertanyaan. Namun pertanyaan-pertanyaannya itu menjadi semakin
kabur untuk dapat dicari jawabannya.
Perempuan tua yang masih berdiri termanggu-manggu dihadapannya itu kemudian
bertanya, "Mungkin kalian berselisih jalan. Bramanti pergi keluar lewat pintu
samping, kau masuk lewat pintu depan Panjang?"
"Ya, mungkin bibi. Memang mungkin."
"Lalu bagaimana dengan kau?"
Panjang menjadi termenung sejenak. Kalau ia pergi menyusul, apakah Bramanti
benar-benar pergi ke Bendungan" Tetapi yang sebenarnya paling baik justru berada
di rumah Nyai Pruwita itu. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat pasti tidak akan
singgah ke dalamnya. "Kalau Bramanti memang telah pergi, biarlah aku tinggal disini saja bibi. Aku
kira orang-orang itu tidak akan masuk kemari."
"Ya, ya Panjang. Sebenarnya Bramanti pun tahu, bahwa orang-orang itu tidak akan
masuk kemari. Tetapi hatinya terlampau kecil, sehingga ia minta diri untuk pergi. Memang
mungkin ia bergi ke bendungan."
"Baiklah bibi. Aku minta ijin untuk berada di dalam rumah ini sampai orang-orang
itu pergi meninggalkan Kademangan."
"Silakan ngger. Silakan. Aku senang sekali menerima mu. Karena aku mendapat
seorang teman," perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Duduklah seenaknya. Kau adalah
satu-satunya teman Bramanti yang terdekat. Tunggulah ia dipringgitan ini. Kalau ia nanti
datang kembali dan melihat kau disini, ia akan menjadi malu."
"Terima kasih bibi."
"Aku akan melanjutkan kerjaku di dapur. Merebus air."
"Silakan bibi."
Perempuan tua itu pun kemudian meninggalkan Panjang seorang diri. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia memandangi setiap sudut rumah Bramanti. Masih
tampak bekas-bekas kemegahan dari rumah itu. Ompak batu dari tiang-tiang yang
besar berukir dibagian bawah dan atasnya. Adon-adon yang bagus akan mapan.
Beberapa saat yang lalu rumah ini telah mirip seperti rumah hantu. Tetapi kini
telah terjadi bersih kembali, meskipun masih tetap suram.
"Hem," Panjang menarik nafas dalam-dalam. "Rumah ini pernah menjadi pusat
pemerintahan Kademangan Candi Sari. Tetapi kini rumah ini telah dijauhi oleh hampir setiap
penghuni Kademangan ini karena kesalahan paman Pruwita. Kekayaannya telah habis
dilingkaran judi. Bahkan kemudian namanya dan nyawanya telah dipertaruhkannya
pula. Yang tinggal kini adalah sisa-sisa yang buram.
Namun tiba-tiba terbersit suatu pertanyaan yang aneh didada Panjang, "Apakah
maksud Bramanti sebenarnya dengan segala macam tingkah laku dan segala macam
rahasia yang diselubungikan pada dirinya itu" Sikapnya yang pura-pura dan tidak
dapat diikutinya itu?"
Dan tiba-tiba Panjang menjadi terperanjat sendiri ketika ia mendengar suara
hatinya. "Apakah semuanya ini hanya merupakan suatu persiapan saja baginya"
Persiapan dari tindakan balasan yang dahsyat atas kematian ayahnya" Bagaimana
pun juga ia pasti tidak dapat melupakan peristiwa itu meskipun ia baru seumur
kanak-kanak. Dapatkah ia begitu saja melewatkan peristiwa yang telah
menghancurkan seluruh kehidupan keluarganya itu" Apabila ternyata Bramanti
mempunyai kemampuan seperti yang aku duga, yaitu menyelematkanku di saat-saat
aku hampir diterkam maut, maka pada saatnya ia pasti akan dapat banyak berbuat
untuk melepaskan sakit hatinya."
Dan ternyata Panjang telah digelisahkan oleh suara-suara di dalam dirinya itu,
sehingga peluh dingin telah membasahi badannya.
107 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Tetapi," ia mencoba mencari keseimbangan pikiran, "Apabila demikian, apakah
untungnya ia menolong aku dan Suwela yang sudah jelas menghinakannya dimuka
banyak orang pada saat pendadaran?"
Namun Panjang sama sekali tidak dapat mengambil kesimpulan apapun selain
menganggap Bramanti sebagai seorang yang menyembunyikan dirinya dibalik rahasia
yang tebal. Tetapi Panjang itu pun menyadarinya, bahwa hanya dirinya sendirilah yang selama
ini selalu diganggu oleh berbagai macam pertanyaan tentang Bramanti. Kawan-
kawannya yang lain, bahkan Temunggul, Suwela dan para pemimpin Kademangan, sama
sekali tidak pernah dirisaukan oleh sikap Bramanti itu, justru mereka sama
sekali tidak tahu menahu tentang rahasia yang selama ini ia meliputinya.
Panjang terkejut ketika ia mendengar langkah memasuki ruangan itu. Ketika ia
berpaling dilihatnya ibu Bramanti menjinjing semangkuk air panas.
"Ah," desis Panjang. "Aku agaknya membuat bibi menjadi sibuk."
"Tidak, tidak Panjang. Adalah kebetulan sekali aku sedang merebus air. Minumlah,
sambil menunggu Bramanti."
"Terima kasih bibi," jawab Panjang.
"Memang bagi Bramanti, bendungan adalah tempat yang paling aman. Orang-orang
Panembahan Sekar Jagat, pasti tidak akan pergi atau lewat dekat bendungan itu."
"Ya bibi. Aku pun sebenarnya ingin pergi ke bendungan itu pula bersama Bramanti.
Tetapi agaknya Bramanti tidak sempat menunggu aku."
"Tinggallah disini. Aku yakin, bahwa mereka tidak akan memasuki halaman ini."
"Terima kasih bibi."
"Minumlah. Aku masih akan menyelesaikan pekerjaan di dapur."
Kembali Panjang duduk seorang diri. Dan kembali angan-angannya ke dunia yang
tidak dapat dirabanya dengan pasti.
Sementara itu, Wanda Geni dan ketiga kawannya sedang sibuk mengumpulkan barang-
barang berharga yang masih tersisa di Kademangan itu. Seperti biasanya, ia
selalu membentak dan berteriak. Bahkan kadang-kadang ia terpaksa memukul dan
mengancam. Namun akhirnya Wanda Geni itu pun menjadi puas. Setelah cukup banyak menurut
perkiraannya, dan tidak akan mengecewakan Panembahan Sekar Jagat, maka Wanda
Geni pun kemudian bersiap-siap
untuk meninggalkan Kademangan itu.
Tetapi sambil termangu-mangu ia berdesis, "Aku masih mempunyai satu simpanan
lagi di Kademangan ini."
"Apa?" bertanya salah seorang kawannya.
"Seorang gadis."
"Ah," desah kawannya yang lain, "Sebaiknya untuk sementara gadis itu kau
lupakan. Kalau tidak terjadi sesuatu atas kita, maka Panembahan Sekar Jagat
tidak akan mempersoalkannya. Tetapi apabila dengan demikian timbul kesulitan,
maka Panembahan pasti akan marah kepadaku."
Wanda Geni mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menggeram, "Tetapi aku adalah
manusia biasa. Manusia yang memiliki nafsu kemanusiaan yang lengkap. Mungkin Panembahan Sekar
Jagat adalah seorang yang memiliki kekurangan, sehingga ia sama sekali tidak memerlukannya
lagi?" "Ah," Wanda Genilah yang kemudian berdesah. "Baiklah. Aku menuruti nasihat
kalian kali ini. Tetapi aku ingin melihat, apakah ia masih ada di rumahnya."
"Itu sama sekali tidak perlu," sahut kawannya yang seorang. "Dengan demikian
Ratri akan menjadi semakin ketakutan. Sehingga apabila pada suatu ketika kau
mendapat kesempatan, Ratri telah jauh mengungsi ke tempat yang tidak kau
ketahui." Wanda Geni mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Baiklah. Baiklah. Aku akan kembali tanpa menemui gadis itu. Tetapi aku akan
lewat saja di depan rumahnya. Mungkin aku akan dapat melihat sekilas."
Tidak seorang pun ang akan menunggu kita lewat di regol halamannya. Semua orang
menutup 108 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
pintunya, dan semua orang berusaha untuk menghindar. Apalagi seorang gadis.
Apakah kau kira Ratri akan menunggu kita lewat didepan rumahnya, kemudian
melambaikan tangannya sambil tersenyum?"
"Baiklah, baiklah," Wanda Geni berteriak. "Aku akan kembali. Aku tidak akan
memikirkan gadis itu lagi,"
ia berhenti sejenak, namun kemudian dilanjutkannya, "Meskipun hanya untuk
sementara." Ketiga kawannya saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun tersenyum.
"He, kenapa kalian tersenyum," bentak Wanda Geni.
"Tidak apa-apa," sahut salah seorang dari mereka.
Wanda Geni mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian dilecutkan kudanya.
Kuda yang terkejut itu pun segera meloncat dan berlari seperti dikejar hantu.
Sedang kawan-kawannya pun kemudian segera menyusulnya pula.
Sejenak kemudian, maka kuda-kuda itu pun berderap di atas jalan-jalan Kademangan
Candi Sari. Setiap orang yang mendengar derap itupun menghindari, bahwa hari ini
kekayaan Kademangan Candi Sari telah berkurang lagi. Tetapi seperti biasanya,
mereka pun hanya sekadar mengelus dada tanpa berbuat sesuatu. Bahkan para
pengawal pun sama sekali tidak berbuat apapun.
Betapa Ki Jagabaya menahan deru perasaannya, tetapi suatu kenyataan, ia pun
tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat melanggar perintah Demangnya. Untuk
kepentingan ketentraman hidup


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rakyatnya, maka Kademangan Candi Sari jangan mencoba menghalang-halangi tindakan
Panembahan Sekar Jagat itu. Tetapi di antara sekian banyak orang-orang Candi Sari, ada seorang yang
berpendirian lain. Orang itu adalah Tambi. Meskipun baru beberapa hari ia berada
di Kademangan itu, setelah merantau sekian lamanya, namun ia menjadi sangat
berprihatin melihat keadaan yang sama sekali tidak dikehendaki.
Namun ia hanya seorang diri. Sudah tentu ia tidak akan dapat melawan orang-orang
Panembahan Sekar Jagat itu. Apalagi Sekar Jagat sendiri. Tetapi apabila seluruh
Kademangan ini bangkit bersama-sama, maka menurut perhitungan Tambi, semuanya
akan dapat diatasi, setidak-tidaknya dibatasi.
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba teringat kepada sebuah lencana yang diterimanya
dari Panggiring. Sebuah ukiran Candi kecil dari perak yang berwarna kehitam-hitaman.
"Apakah Panembahan Sekar Jagat mengenal lencana ini pula seperti gerombolan-
gerombolan lain di pesisir Utara?" pertanyaan itu tumbuh dihatinya.
Tetapi Tambi tetap ragu-ragu.
Namun tiba-tiba ia mengambil suatu keputusan, "Aku harus mengetahui ke mana
orang-orang itu pergi. Mungkin aku akan menghadap langsung orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar
Jagat untuk menunjukkan lencana ini. Mungkin mempunyai pengaruh, setidak-
tidaknya mendapat perhatiannya.
Tetapi apabila keduanya merupakan saingan dan musuh bebuyutan, taruhannya adalah
leher dan kepalaku. Tetapi setiap usaha pasti mempunyai beberapa kemungkinan. Yang pahit
dan yang manis." Dan tiba-tiba saja Tambi itu pun berlari ke kandang kudanya. Kuda yang
dipeliharanya baik-baik sejak ia masih di dalam perjalanan perantauannya.
Panjang yang masih berada di rumah Bramanti menahan nafas ketika ia mendengar
derap kaki-kaki kuda semakin lama semakin mendekat. Jantungnya pun serasa
berhenti berdenyut ketika kuda-kuda itu berlari dengan kencangnya lewat di jalan
sebelah rumah Bramanti itu, seperti ketika mereka baru datang.
Namun sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Kuda itu semakin lama
menjadi semakin jauh. Dan sejenak kemudian derap itu seolah-olah lenyap ditelan gemerisiknya
dedaunan yang ditiup angin.
"Mereka telah pergi" terdengar ia bergumam.
Dan Panjang pun terperanjat pula ketika ia mendengar seseorang menyahut, "Ya,
mereka telah pergi. Sebentar lagi Bramanti akan datang kembali."
"Tetapi darimana ia tahu kalau orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu telah
pergi?" Perempuan tua, ibu Bramanti itu mengerutkan keningnya. "Ya. Ia tidak akan segera
tahu. Tetapi ia akan 109 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
melihat, jalan-jalan tidak lagi menjadi terlampau sepi. Apabila satu dua orang
telah tampak di jalan-jalan atau di pematang sawah, maka Bramanti akan dapat
menduga, bahwa orang-orang itu telah
meninggalkan Kademangan ini."
Panjang mengerutkan keningnya. Setelah merenung sejenak, maka ia pun berkata,
"Aku akan menyusulnya dan mengajaknya pulang. Itu barangkali lebih baik baginya daripada
ia menunggu." Ibu Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tentu itu lebih baik
apabila kau tidak berkeberatan ngger."
Panjang pun kemudian berdiri sambil berkata, "Aku minta diri bibi. Aku akan
pergi ke bendungan."
"Silakan ngger."
Panjang pun kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Banyak persoalan yang
mendorongnya untuk pergi. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia menuruni
tangga pendapa dan langsung menuju ke regol halaman. Sejenak ia berdiri
termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia pun segera
melangkahkan kakinya menyusur jalan ke bendungan.
Tetapi dadanya bergetar ketika ia mendengar pula derap kuda yang semakin lama
menjadi semakin dekat. Tanpa sesadarnya, Panjang segera berbelok masuk ke regol halaman yang terdekat.
Sambil melekatkan tubuhnya ke pintu regol ia mencoba mengintip, siapakah yang
tertinggal di antara orang-orang Panembahan Sekar Jagat.
Namun hatinya berdesir ketika ia melihat Ki Tambi sedang memacu kudanya. Sesuatu
yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sehingga ia tidak sempat berbuat apa-
apa selain memandanginya dengan mulut ternganga.
Panjang menarik nafas dalam-dalam ketika kuda yang membawa Ki Tambi itu hilang
ditikungan. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke luar regol. Namun ia sudah tidak
melihat apapun lagi. "Aneh," desisnya, "Apakah Ki Tambi seorang diri akan mengejar orang-orang
Panembahan Sekar Jagat itu?"
Panjang menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia berdesis. "Semakin lama
semakin banyak masalah yang tidak aku ketahui. Kepalaku menjadi pening memikirkannya."
Panjang pun kemudian meneruskan langkahnya sambil bergumam. "Lebih baik aku
pergi ke bendungan saja menemui Bramanti. Mungkin ia dapat menjawab
pertanyaanku, kemana kira-kira Ki Tambi akan pergi."
Namun, meskipun demikian di sepanjang jalan Panjang masih saja berteka-teki,
meskipun ia yakin bahwa ia tidak akan dapat menemukan jawabnya.
Beberapa ratus langkah lagi ia sudah akan sampai ke bendungan. Kini ia meniti
jalan sempit yang agak licin karena sebuah parit yang meluap. Kemudian ia
menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.
Sebentar kemudian ia sudah berada di atas bendungan.
Dada Panjang menjadi berdebar-debar. Ternyata di bendungan itu terdapat beberapa
orang kawan-kawannya. Bahkan Temunggul dan Suwela pun berada di tempat itu juga.
"He, apa kerja kalian disitu?" bertanya Panjang.
Temunggul mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, "Apakah kau tidak
tahu, bahwa Wanda Geni baru saja mendatangi pedukuhan kami" Dimana kau selama ini
bersembunyi?" "Kenapa harus bersembunyi?" bertanya Panjang.
"Jangan sombong," sahut Suwela, "Kalau kau bertemu dengan Wanda Geni, setidak-
tidaknya punggungmu akan babak belur. Ia sangat benci kepada anggota-anggota pengawal.
Apalagi sejak Temunggul mulai melakukan perlawanan.
"Tetapi perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada benda-benda berharga yang
mereka cari. Mereka tidak memperhatikan kita, apabila kita tidak berbuat apa-
apa." "Ya, begitulah. Tetapi dimana kau selama ini?"
"Aku berada di ujung desa," sahut Panjang seolah-olah bersungguh-sungguh. "Aku
melihat Wanda Geni 110 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
berbelok masuk ke halaman rumah Ratri."
"He," tiba-tiba wajah Temunggul menjadi tegang.
"Ya, Wanda Geni masuk ke dalam rumah Ratri,"
"Apa yang dilakukannya?"
"Aku tidak tahu."
Wajah Temunggul menjadi seakan-akan membara. Tetapi ia masih diliputi oleh
keragu-raguan untuk berbuat sesuatu. Namun ia menjadi heran ketika ia melihat
Panjang tertawa. Katanya, "Jangan menjadi bingung, Wanda Geni tidak singgah ke
rumah Ratri." Tetapi wajah Temunggul yang tegang masih juga tegang. Sejenak kemudian terdengar
ia menggeram, "Manakah yang benar, Panjang?"
"Aku hanya bergurau. Wanda Geni telah pergi tanpa singgah ke rumah itu."
Tetapi Panjang menjadi heran karena wajah Temunggul masih saja tegang.
"Kau jangan bermain-main Panjang," suara Temunggul bergetar, "Kalau kau
bermaksud bergurau, maka kau telah berbuat kesalahan. Kau sudah terlampau jauh
bergurau tanpa memikirkan akibatnya.
Panjang mengerutkan keningnya.Ia tidak menyangka bahwa dengan demikian Temunggul
akan menjadi marah. Karena itu, untuk menghindari kesalah-pahaman selanjutnya ia
berkata, "Baiklah, aku minta maaf Temunggul. Aku sebenarnya hanya ingin
bergurau. Kalau sendau gurauku itu ternyata terlampau jauh menurut penilaianmu,
baiklah aku tarik kembali kata-kataku."
"Begitu mudahnya kau minta maaf," geram Temunggul. "Hal ini adalah suatu hal
yang besar bagi Kademangan kami. Kami adalah pengawal-pengawal yang harus
melindungi ketentraman hati setiap orang di wilayah Kademangan ini. Sedang hal
itu masih saja kau anggap permainan yang tidak berarti.
Panjang tidak menjawab lagi. Ia menyadari keadaannya. Kalau ia masih mengucapkan
sepatah kata saja, maka Temunggul akan menjadi semakin marah.
"Jadi bagaimana dengan orang-orang itu sebenarnya?" bertanya Temunggul kemudian
dalam nada yang datar. "Mereka telah pergi," jawab Panjang hati-hati.
"Apa saja yang mereka bawa?"
"Aku tidak tahu."
Temunggul pun kemudian termenung sejanak. Lalu, "Marilah kita lihat. Apakah yang
telah mereka rampas dari penduduk. Kita tidak akan dapat membiarkan hal serupa
ini terjadi untuk seterusnya. Pada suatu ketika kita harus bertindak."
Tidak seorang pun yang menyahut.
"Marilah," desis Temunggul kemudian sambil melangkah naik tebing.
Kawan-kawannyapun kemudian mengikutinya. Ketika Suwela berjalan beberapa langkah
di depan Panjang, maka Panjang pun mendekatinya sambil berbisik. "Apakah Bramanti pergi
ke bendungan ini juga?"
Suwela mengerutkan keningnya, "Kenapa kau tanyakan Bramanti?"
"Tidak apa-apa. Tetapi apakah ia kemari juga?"
Suwela menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak melihatnya. Apakah ada
perkembangan keadaan yang aneh padanya" Dan apakah kau mencurigainya, bahwa ia telah
berhubungan dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat."
"O, tidak. Tentu tidak."
"Lalu apakah kepentinganmu?"
"Aku bertemu dengan anak itu. Ketika aku bertanya kepadanya ia menjawab, bahwa
ia ingin bersembunyi saja di bendungan sambil mencuci kain panjangnya."
Suwela menggelengkan kepalanya, "Tidak. Seandainya pergi juga ke bendungan, maka
ia tidak akan berani turun dan berkumpul bersama kami. Anak itu pasti menjadi
bahan yang segar untuk melupakan lelah."
111 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Panjang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah tidak bertanya apa-apa lagi.
Ia mengikuti saja mereka yang berjalan berurutan seorang demi seorang.
"Bramanti pasti tidak akan berada bersama-sama dengan mereka," gumam Panjang di
dalam hatinya. Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat diajaknya untuk berbincang-bincang.
Bahkan kawan-kawannya itu pun pasti akan mentertawakannya apabila ia menyatakan
sesuatu tentang teka-teki yang mengamuk di dalam kepalanya.
"Tetapi kemanakah anak itu?" bertanya Panjang kepada diri sendiri.
Sekali lagi sepercik kecurigaan melanda dadanya. Namun ia masih juga selalu
berusaha untuk membuat keseimbangan. Ia tidak boleh berprasangka, tetapi ia pun
tidak dapat mempercayainya sebulat-bulatnya.
Temunggul pun berjalan semakin lama semakin cepat. Dengan bersungguh-sungguh ia
berkata, "Kita akan melihat, siapa saja yang kali ini menjadi korban. Sudah
tentu kita tidak akan berpeluk tangan untuk selanjutnya. Sebab dengan demikian,
maka Kademangan ini pada suatu ketika, tidak akan lebih dari sebuah tanah
pekuburan yang besar, dimana orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-
orang yang mati didalam hidupnya. Orang-orang yang selalu diselubungi oleh
ketakutan untuk berbuat, berbicara dan menyatakan sesuatu."
Kawan-kawan Temunggul pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari
mereka berkata, "Marilah kita langsung ke Kademangan. Mungkin anggota pengawal dari golongan
orang tua pun telah berbuat demikian."
"Kita akan langsung bertindak," jawab Temunggul sambil melangkah terus.
Ia tertegun ketika salah seorang dari mereka berkata, "He, Temunggul. Kenapa
kita akan berbelok ke jalan itu" Memang sebaiknya kita pergi ke Kademangan. Kita
akan menunggu perintah dari Ki Jagabaya, supaya kita tidak keliru."
Tetapi Temunggul tidak menjawab. Bahkan ia menggeram, "Ikuti aku. Siapa yang
menganggap harus segera sampai ke Kademangan aku persilakan memilih jalan lain."
Temunggul pun berjalan semakin lama semakin cepat. Dengan bersungguh-sungguh ia
berkata, "Kita akan melihat, siapa saja yang kali ini menjadi korban. Sudah
tentu kita tidak akan berpeluk tangan untuk selanjutnya. Sebab dengan demikian,
maka Kademangan ini pada suatu ketika, tidak akan lebih dari sebuah tanah
pekuburan yang besar, dimana orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-
orang yang mati didalam hidupnya. Orang-orang yang selalu diselubungi oleh
ketakutan untuk berbuat, berbicara dan menyatakan sesuatu."
Kawan-kawan Temunggul pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari
mereka berkata, "Marilah kita langsung ke Kademangan. Mungkin anggota pengawal dari golongan
orang tua pun telah berbuat demikian."
"Kita akan langsung bertindak," jawab Temunggul sambil melangkah terus.
Ia tertegun ketika salah seorang dari mereka berkata, "He, Temunggul. Kenapa
kita akan berbelok ke jalan itu" memang sebaiknya kita pergi ke Kademangan. Kita
akan menunggu perintah dari Ki Jagabaya, supaya kita tidak keliru."
Tetapi Temunggul tidak menjawab. Bahkan ia menggeram, "Ikuti aku. Siapa yang
menganggap harus segera sampai ke Kademangan aku persilakan memilih jalan lain."
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi ketika Temunggul berbelok ke kiri maka
kawannya pun saling berpandangan. Mereka segera mengetahui maksud Temunggul. Ia akan berjalan
melalui jalan di depan rumah Ratri.
"Hem," gumam Panjang, "Ternyata gadis itulah yang sebenarnya mendapat
perhatiannya yang terbesar.
Baru kemudian orang-orang yang kehilangan harta miliknya. Meskipun wajar, bahwa
yang pertama-tama harus mendapat perhatian adalah setiap orang di Kademangan
ini, bukan barang-barangnya. Tetapi cara yang dipakai oleh Temunggul agaknya
terlampau kasar dan kaku."
Namun demikian, justru karena kawan-kawan Temunggul itu mengetahui maksudnya,
tidak seorang pun 112 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
lagi yang mempersoalkan jalan yang mereka lalui. Bagaimanapun juga Temunggul
pasti tidak akan mau memilih jalan yang lain.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan rumah Ratri, maka kawan-kawan
Temunggul itu pun saling berpandangan sesaat. Tetapi tidak seorang pun yang mengucapkan kata-kata.
Meskipun demikian, mereka telah menduga-duga di dalam hati mereka, bahwa yang pertama-
tama akan didatangi oleh Temunggul adalah rumah Ratri.
Hampir setiap orang menarik nafas dalam-dalam ketika Temunggul berhenti di muka
regol halaman rumah itu. Sejenak mereka berdiri diam menunggu, apa yang akan
dilakukan oleh Temunggul.
Temunggul pun agaknya menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah kawan-
kawannya satu persatu. Seolah-olah ia ingin mengetahui, tanggapan apakah yang ada di dalam
setiap dada. Namun yang dilihat oleh Temunggul adalah wajah-wajah yang kosong.
Dan bahkan ada di antaranya yang menjadi acuh tak acuh. Panjang. Panjang
menganggap Temunggul terlampau banyak dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya.
Dan menurut pendengaran, hal itu pernah diucapkan oleh seseorang yang menyebut
dirinya Putut Sabuk Tampar dan yang pernah diucapkan oleh Bramanti.
"Kalau Bramanti itu seorang anak yang cengeng seperti yang tampak dalam
kehidupannya sehari-hari, ia tidak akan dapat mengatakan hal itu. Apalagi


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku, sedang ia tahu bahwa aku adalah salah seorang anggota pengawal
Kademangan dibawah pimpinan Temunggul," katanya dalam hati.
Panjang masih tetap tegak di tempatnya seperti kawan-kawannya yang lain ketika
Temunggul kemudian melangkah mendekati pintu regol. Sekali lagi ia berhenti dan
berkata kepada kawan-kawannya,
"Tunggulah. Aku akan melihat, apakah Wanda Geni singgah ke rumah ini."
Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka hanya memandang saja Temunggul membuka
pintu regol itu perlahan-lahan, kemudian melangkah masuk ke halaman yang masih sepi. Agaknya
orang-orang di dalam rumah itu masih belum mengetahui, bahwa Wanda Geni telah
meninggalkan padukuhannya.
Ketika Temunggul telah hilang dibalik pintu regol beberapa orang dari kawan-
kawannya itu berdesah sambil saling memandang. Sedang Panjang berdesis, "Aku
tidak menyangka Temunggul sekarang
mudah sekali tersinggung dan menjadi marah."
"Tidak," jawab Suwela, "Kalau kau tidak bergurau tentang Ratri."
Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan lesunya ia melangkah
menepi. Lalu duduk di atas sebuah batu, bersandar dinding batu. Tetapi ketika punggung
dirayapi oleh puluhan semut hitam, ia pun segera berdiri sambil mengumpat-umpat.
Namun tiba-tiba saja Panjang teringat kepada ibu Bramanti. Ia pasti menunggunya
dan bersama anak muda itu. Tetapi ternyata ia tidak menemukannya. Sambil
mengerutkan keningnya ia bertanya di dalam hatinya. "Kemanakah anak muda itu
pergi. Apakah tiba-tiba saja ia bertemu tanpa dikehendaki oleh Wanda Geni,
kemudian mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya, karena ia dikira hendak
melawan atau melarikan dirinya?"
Namun sekilas kemudian terbayang Ki Tambi yang berpacu beberapa saat setelah
Wanda Geni meninggalkan Kademangan ini.
"O," katanya di dalam hati "Aku menjadi semakin pening. Justru kami para
pengawal hanya sekadar berdiri dan duduk-duduk di pinggir jalan tanpa berbuat
sesuatu. Tanpa sesadarnya, perlahan-lahan Panjang membuat perbandingan-perbandingan
antara Temunggul dan Bramanti. Meskipun dalam bentuk dan sikap sehari-hari keduanya sama sekali
tidak dapat diperbandingkan, namun Panjang tidak mengerti, kenapa semakin lama ia semakin
merasa dekat dengan Bramanti. Meskipun kadang-kadang ia masih juga dihinggapi oleh kecurigaan
dan prasangka, namun di sudut hatinya Panjang mengharap, bahwa dugaannya selama
ini akan ternyata benar. Bramanti bukanlah sekadar seorang anak muda yang cengeng. Tetapi sudah tentu ia
sama sekali tidak mengharap, bahwa rahasia itu sekadar menjadi pelindung dari
maksud yang sesungguhnya. Dendam.
"Tetapi aku sama sekali tidak melihat bayangan dendam itu di matanya," setiap
kali Panjang berusaha menentramkan dirinya sendiri.
113 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Beberapa orang yang lain, berjalan mondar-mandir tidak menentu.
Suwela berdiri bersandar dinding regol. Sedang seorang kawannya yang lain mulai
menghitung-hitung buah jambu pada sebatang pohonnya diseberang jalan.
Sejenak kemudian mereka serentak berpaling. Ternyata Temunggul telah muncul dari
balik pintu regol. Yang pertama-tama ditatapnya adalah wajah Panjang.
Sekali lagi ia berkata, "Panjang. Lain kali aku minta kau agak berhati-hati. Aku
adalah seorang yang tidak berkeberatan untuk dibawa bergurau. Tetapi kau harus
dapat menempatkan diri. Dalam keadaan yang bagaimana dan tentang apa."
Panjang yang tidak ingin menjadikan soal itu berkepanjangan, sekali lagi ia
berkata, "Baiklah. Dan sekarang aku minta maaf untuk yang kedua kalinya."
"Yang penting bukanlah apakah aku akan memberi maaf itu atau tidak," berkata
Temunggul kemudian, "Tetapi apakah kau tidak akan mengulanginya lagi."
Panjang tidak menjawab. Tetapi ia menjadi tidak senang apabila Temunggul masih
akan mempersoalkannya terus. Ia sudah minta maaf dan mengakui kesalahannya.
"Ternyata halaman rumah ini disentuhpun tidak," geram Temunggul kemudian.
Panjang masih tetap berdiam diri.
"Sekarang marilah kita ke Kademangan. Kita lebih baik melakukan hubungan dahulu
dengan Ki Jagabaya sebelum kita berbuat sesuatu."
Tidak seorang pun yang menyahut. Ternyata mereka pun harus pergi ke Kademangan.
Dengan demikian menjadi semakin jelas bagi kawan-kawannya, bahwa Temunggul hanya
sekadar ingin melihat rumah Ratri.
"Tetapi itu adalah hal yang lumrah," salah seorang kawannya berbisik kepada
Panjang. Panjang pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Temunggul baru tergila-gila kepada gadis itu. Kakakku pun dahulu seperti itu
juga ketika ia tergila-gila kepada isterinya itu sebelum kawin. Apapun
dilakukannya hanya untuk sekadar melihat istrinya itu, pada waktu itu, sedang
menyapu halaman." Panjang tersenyum. Kawannya itu pun tersenyum pula.
Temunggul bersama-sama dengan beberapa orang kawannya pun kemudian pergi ke
Kademangan. Disepanjang jalan itu Panjang masih juga berdebar-debar. Ibu Bramanti pasti
menunggunya dengan cemas. Karena itu, maka ia bermaksud singgah meskipun hanya
sebentar ke rumah Bramanti. Sehingga kemudian, Panjang itu berkata kepada
Temunggul yang berjalan di paling depan, "Temunggul, aku akan mengambil jalan
simpang ini. Aku ingin singgah ke rumah kawanku sebentar. Kemudian aku akan
menyusul ke Kademangan."
Temunggul berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Panjang. Sejenak kemudian ia
bertanya, "Kau akan singgah ke rumah siapa?"
Panjang menjadi ragu-ragu untuk mengucapkan nama Bramanti. Temunggul dan
sebagian kawan- kawannya sama sekali tidak senang mendengar nama itu. Karena itu, maka sekenanya
ia berkata, "Aku akan pergi ke rumah paman Tambi. Aku mendapat pesan dari ayah
untuk menemuinya sejenak.
"Apakah perlu sekali kau sampaikan pesan itu sekarang?"
"Bukankah aku hanya sekadar singgah sebentar" Kemudian aku akan segera
menyusulmu." "Apakah kau menjadi sakit hati, Panjang?" tiba-tiba Temunggul bertanya.
Dada Panjang berdesir. Namun ia menjawab, "Kenapa aku menjadi sakit hati?"
"Mungkin kau tidak senang mendengar peringatan-peringatan yang aku berikan itu."
Panjang menggelengkan kepalanya, "Tidak. Sama sekali tidak."
"Kalau kau tidak mau tersinggung Panjang, kau jangan memulai menyinggung
perasaan orang lain."
"Sudah aku katakan, aku tidak menjadi sakit hati."
114 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Aku akan melihat, apakah kau berkata sebenarnya."
Panjang tidak menyahut. Tetapi terasa dadanya sudah mulai bergetar. Bahkan ia
bergumam di dalam hatinya, "Aku laki-laki juga seperti kau Temunggul. Adalah
kebetulan sekali kau sekarang menjadi pimpinan anggota pengawal. Tetapi aku
belum pernah melihat sejak aku kanak-kanak, kau memasuki gelanggang pendadaran.
Apalagi harus berkelahi memasuki gelanggang pendadaran. Apalagi harus berkelahi
dengan harimau seperti aku dan Suwela, atau menjinakkan kuda liar, sehingga
salah seorang dari mereka cacad untuk seumur hidupnya."
Karena Panjang tetap berdiam diri, maka Temunggul pun kemudian melanjutkan
perjalanannya diikuti oleh beberapa kawannya. Suwela yang terakhir meninggalkan
Panjang berbisik, "Peringatan bagimu Panjang, agar seterusnya kau berhati-hati
bergurau dengan anak itu."
Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak ia
masih berdiri memandangi punggung-punggung yang semakin lama semakin jauh. Seperti Temunggul
yang menjadi semakin jauh pula dari hatinya.
Ketika kawan-kawannya telah berbelok dikelok jalan, maka Panjang pun
melangkahkan kakinya pula, berbelok masuk ke dalam sebuah jalan simpang.
Langkahnya pun menjadi semakin lama semakin cepat.
Ia ingin segera memberitahukan kepada ibu Bramanti, bahwa ternyata Bramanti
tidak ada di bendungan. Sebenarnya Panjang sendiri memang sudah menduga, bahwa Bramanti tidak akan pergi
ke bendungan. Kalau ia hanya akan sekadar bersembunyi, ia pasti tidak akan meninggalkannya.
Tentu Bramanti telah berbuat sesuatu. Tetapi sesuatu yang tidak dimengertinya.
Ibu Bramanti terkejut mendengar keterangan Panjang, bahwa anaknya tidak ada di
bendungan. Karena itu dengan cemas ia bertanya, "Apakah kau tahu, dimanakah
kiranya Bramanti itu bersembunyi?"
Panjang menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian ia menjawab, "Tetapi ibu
tidak usah mencemaskannya. Mungkin Bramanti telah mengambil tempat yang lain, karena di
bendungan itu telah lebih dahulu bersembunyi Temunggul dan beberapa orang
kawannya. Agaknya Bramanti telah
menghindari mereka, dan mencari tempat yang tersendiri.
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi kenapa sampai saat ini ia masih belum kembali," perempuan tua itu
bertanya. "Mungkin Bramanti belum mengetahui, bahwa Wanda Geni itu telah pergi
meninggalkan Kademangan ini."
Sekali lagi ibu Bramanti itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku akan mencoba mencarinya bibi, mudah-mudahan aku segera menemukannya."
"Terima kasih ngger."
Panjang pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman itu. Tetapi ia
tidak mencari Bramanti. Ia tahu bahwa ia tidak akan dapat menemukannya. Karena itu, maka ia
langsung pergi ke Kademangan menyusul kawan-kawannya yang telah berjalan lebih
dahulu bersama Temunggul.
Sementara itu Wanda Geni dengan ketiga kawannya sedang berpacu di atas punggung
kudanya. Sedikit kekecewaan singgah di hati Wanda Geni, karena ia tidak dapat
singgah ke rumah Ratri. Namun ia cukup berbangga karena ia berhasil mendapat
benda-benda berharga yang akan membuat Panembahan Sekar Jagat berterima kasih
kepadanya dan menjadi semakin percaya pula bahwa kemampuannya memang
dapat dibanggakan. Tetapi ketika mereka melintasi sebuah bulak panjang yang membatasi Kademangan
Candi Sari, Wanda Geni itu mengerutkan keningnya. Dikejauhan ia melihat
seseorang berdiri tegak di atas tanggul parit yang membujur disisi jalan yang
dilaluinya. "He, apakah kalian melihat orang yang berdiri itu?" bertanya Wanda Geni.
"Diujung pategalan, di atas tanggul?" bertanya salah seorang kawannya.
"Ya." "Kenapa?" 115 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Apakah ia tidak lari dan bersembunyi atau menghindar jauh-jauh dari jalan ini?"
"Orang itu agaknya sedang menunggu air yang mengaliri sawah disebelah pategalan
itu. Kalau ia tahu, bahwa kita yang lewat ini adalah hamba-hamba terpercaya dari
Panembahan Sekar Jagat, maka orang itu pasti akan lari terbirit-birit."
Wanda Geni mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian ia tertawa. "Aku akan
mengatakan kepadanya bahwa aku adalah Wanda Geni, utusan Panembahan Sekar Jagat. Nah, mari
kita bertaruh, apa yang akan dilakukan?"
"Ia akan menjadi pucat, menggigil dan ketakutan. Nah, kau akan bertaruh berapa?"
"Kau harus menebak lain," sahut Wanda Geni. "Aku sudah berpikir demikian. Bahkan
ia akan menjadi pingsan."
"Ah, jangan mau menang sendiri. Aku mengucapkannya lebih dahulu."
Wanda Geni tidak menyahut. Tetapi ia tertawa. Katanya, "Baiklah. Aku akan
menebak lain. Orang itu akan menyumpah-nyumpah dan menantang kita berkelahi."
"Apa taruhannya."
"Kepala" "Kepala siapa?" kawannya terkejut.
"Kepala orang itu. Habis, kepala siapa" Kalau aku kalah, akulah yang
memenggalnya dan memberikan kepadamu. Tetapi kalau kau yang salah tebak, kau
yang akan memenggal dan memberikannya
kepadaku." Kawannya menarik nafas dalam-dalam. "Baik," katanya sambil memilin kumis. Tetapi
agaknya kawan-kawannya yang lain hampir tidak menaruh perhatian kepada taruhan
yang gila itu. "Kau tidak ikut bertaruh?" bertanya Wanda Geni.
"Selain kepalanya, tidak ada lagi yang berharga pada orang itu," jawab salah
seorang daripadanya. Sekali lagi Wanda Geni tertawa. Sambi melecut kudanya ia berdesis,
"Aku ingin segera tahu, siapakah orang yang gila itu."
Semakin dekat mereka dengan orang yang berdiri di atas tanggul itu, semakin
jelas pada mereka, bahwa orang itu sedang memperhatikan aliran air pada parit
disisi jalan. Sehingga orang itu sama sekali tidak memperhatikan kedatangan
Wanda Geni dengan kawan-kawannya.
Orang itu berpaling ketika Wanda Geni dengan kawan-kawannya itu berhenti di
belakangnya. "He Ki Sanak," bertanya Wanda Geni. "Apakah yang kau perhatikan?"
"Air," jawab orang itu singkat.
"Kenapa dengan air?" bertanya kawan Wanda Geni.
"Air ini tidak mengalir seperti biasanya. Aku menungguinya. Apabila air cukup
deras, aku akan mengambil sebagian untuk mengaliri sawahku yang sudah mulai
memberi harapan. Tanamanku sudah akan menunjukkan hasilnya. Batang-batang padi
itu sudah mulai bunting. Kalau pada suatu saat, tanahnya menjadi kering, maka
padi itu kelak akan menjadi gabug. Kosong tidak berisi."
Wanda Geni mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, "He,
lihatlah aku. Apakah kau belum mengenal aku" Berpalinglah."
Orang itu berpaling. Ditatapnya wajah Wanda Geni dengan heran. Bahkan sambil
bertanya, "Kenapa dengan kau?"
Wanda Geni mengerutkan keningnya. "Apakah kau belum mengenal aku?" sekali lagi
ia bertanya. Orang itu tidak menyahut. Ditatapnya saja wajah itu tajam-tajam.
"Dengar," teriak Wanda Geni. Namun kemudian suaranya merendah. Ia berpaling
kepada kawannya. Katanya, "Aku akan mengatakan tentang diri kita. Perhatikan siapa yang menang
dalam bertaruh kali ini."
Kawannya yang bertaruh kepala dengan Wanda Geni itu menganggukkan kepalanya.
"Baik. Katakanlah." "He, dengar Ki Sanak," berkata Wanda Geni kemudian. Meskipun ia tersenyum,
tetapi wajahnya justru 116
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
semakin menakutkan. "Kalau kau belum mengenal namaku, pandangilah baik-baik
wajahku ini. Kemudian dengarlah baik-baik pula. Namaku Wanda Geni. Utusan yang paling
dipercaya oleh Panembahan Sekar Jagat. Orang yang mendengar pengakuan Wanda Geni itu mengerutkan keningnya. Namun sama
sekali tidak terduga-duga, bahwa orang itu justru tersenyum. Katanya kemudian,
"Senang sekali bertemu dengan kalian."
Wanda Geni hampir tidak percaya atas matanya sendiri. Seakan-akan ia tiba-tiba
saja terlempar ke dalam suatu mimpi. Orang itu sama sekali tidak terkejut,
bahkan tersenyum dengan tenangnya.
"He, apakah kau tahu arti dari mana Wanda Geni dan Panembahan Sekar Jagat?"
bentak Wanda Geni.

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, aku tahu sepenuhnya. Kau adalah utusan Panembahan Sekar Jagat yang setiap
kali datang ke desa-desa untuk merampok harta miliknya. Benar?"
," Wanda Geni menggeram. Dan tiba-tiba saja tanpa sesadarnya ia bertanya,
"Siapakah kau, he" Siapa?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Dan sekali lagi Wanda Geni dikejutkan oleh
jawaban orang itu. "Akulah yang bertanya kepadamu sekarang, apakah kau belum
mengenal aku?" Dada Wanda Geni bergetar dahsyat sekali. Tangannya menjadi gemetar oleh
kemarahan yang meluap sampai ke ubun-ubunnya.
"Sebut namamu atau gelarmu atau ciri-ciri pengenalmu yang lain supaya segera aku
tahu dengan siapa aku berhadapan."
"Bahkan kita pernah bertemu" Itulah sebabnya aku tidak menjawab pertanyaanmu,
apakah aku mengenalmu" Semula aku memang agak ragu-ragu, karena kita bertemu di malam hari.
Tetapi kau sendiri sudah mengaku, bahwa kau bernama Wanda Geni utusan Panembahan Sekar
Jagat." "Cukup," potong Wanda Geni sambil berteriak. "Sebut namamu. Aku tidak mau
mendengar kau sesorah." "Baiklah. Namaku Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar dari Pliridan. Kau
ingat?" Tiba-tiba wajah Wanda Geni menjadi merah padam. Ketiga kawan-kawannya pun
terkejut bukan kepalang, sehingga darah mereka serasa akan berhenti. Dengan demikian, maka
sejenak justru mereka membeku ditempatnya, di atas punggung kudanya.
"He, kenapa kalian mematung," bertanya Sabuk Tampar sambil tersenyum. "Sudah aku
katakan, kita bertemu di malam hari. Mungkin saat itu kau tidak dapat mengenal
aku dengan baik. Demikian pula aku.
Sekarang, marilah kita saling mencamkan wajah kita masing-masing."
"Persetan," Wanda Geni ternyata sudah tidak dapat menahan diri lagi. Ia tahu
benar bahwa Putut Sabuk Tampar bukanlah sejajar dengan para pengawal Kademangan
Candi Sari. Itulah sebabnya, maka ia tidak dapat mengabaikannya.
Dan tiba-tiba saja Wanda Geni itu berteriak. "Ternyata aku kalah bertaruh kali
ini. Akulah yang akan membayar taruhan itu. Sepotong kepala orang yang menyebut
dirinya Putut Sabuk Tampar."
Wanda Geni tidak menunggu kata-katanya lenyap dari udara. Secepat kilat ia
menghentikan kendali kudanya, menerjang Putut Sabuk Tampar yang masih berdiri
dengan tenangnya di atas tanggul.
Tetapi ternyata Putut itu benar-benar lincah. Ketika Wanda Geni menyambarnya,
bahkan dengan ujung senjatanya yang telah tergenggam di tangan, orang yang
menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu dengan lincahnya meloncat menghindar.
Namun seakan-akan tidak diketahui, bagaimana hal itu dapat terjadi, Putut Sabuk
Tampar telah menyerang salah seorang kawan Wanda Geni yang masih duduk
terheran-heran. Serangan yang tidak terduga-duga itu tidak dapat dielakkannya. Kudanya pun sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya. Namun tiba-tiba saja ia menyadari dirinya
yang telah terpelanting jatuh. Demikian kerasnya ia terbanting, sehingga terasa
sakit yang amat sangat telah menyengat punggungnya.
117 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Ternyata tulang belakangnya telah menjadi cidera karenanya. Sehingga dengan
demikian, ia sama sekali tidak dapat bangun lagi kecuali berguling sekali dua
kali menepi, sambil menyeringai menahan sakit.
Namun yang lebih sakit lagi adalah hatinya ketika ia melihat orang yang menyebut
dirinya Putut Sabuk Tampar itu telah berada di punggung kudanya sambil
menggenggam senjatanya. Sejenak kemudian, maka orang yang terbaring sambil menyeringai ditepi jalan itu
melihat, orang yang menyebut dirinya bernama Putut Sabuk Tampar itu telah siap
untuk berkelahi. Bahkan tanpa menunggu lagi, ia telah mulai menyerang dengan
garangnya di atas punggung kuda.
Wanda Geni menggeram sejanak kemudian terdengar ia berteriak nyaring sambil
mengacung-acungkan senjatanya. Serangannyapun segera datang seperti badai.
Dengan demikian, maka segara timbul pertempuran yang dahsyat di antara mereka.
Putut Sabuk Tampar harus mengulangi lagi, bertempur melawan tiga orang termasuk Wanda Geni.
Namun kini mereka berada di atas punggung kuda, sehingga pertempuran di antara mereka itu
berlangsung lebih cepat dan mendebarkan jantung.
Ternyata Putut Sabuk Tampar benar-benar memiliki ilmu yang tangguh. Meskipun ia
harus bertempur melawan tiga orang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, namun ia
sama sekali tidak terdesak.
Bahkan setiap kali ia berhasil mengejutkan lawan-lawannya dengan gerakan-gerakan
yang tidak terduga-duga. Dengan tangkasnya ia menguasai kudanya sekaligus menguasai senjata
di tangan kanannya. Setiap kali senjata itu menyambar-nyambar hampir tidak dapat
terhindarkan lagi. Setelah mereeka bertempur hilir mudik di sepanjang jalan, sawah dan pategalan
itu, maka tiba-tiba terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata senjata Sabuk
Tampar telah menyambar lengan salah seorang kawan Wanda Geni. Hampir saja ia
terpelanting dari kudanya. Namun dengan susah payah ia berhasil memperbaiki
Ular Betina Selat Madura 1 Pendekar Rajawali Sakti 151 Pendekar Pedang Bayangan Dendam Empu Bharada 41
^