Badik Buntung 13
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 13
paman." "Nak," sahut Kiang Tiong-bing, "tak perlu kau sungkan-sungkan, terpaksa aku
harus bertindak keras, tujuannya juga bukan melulu demi kepentingan kau, aku pun mengambil
keuntungannya!' "Betapa pun kau telah menolong aku!' ujar Ma Gwat-sian tertawa getir.
Begitu pahit dan getir tawa Ma Gwat-sian. hal ini terasakan oleh Kiang Tiong-
bing, dia pun tersenyum kecut, katanya, "Nak, harus tahu, ada kalanya hidup manusia itu bukan
melulu demi kehidupannya sendiri!"
Ma Gwat-sian terlongong sekian lamanya, tak tertahan lagi ia menubruk ke dalam
pelukan Kiang Tiong-bing dan menangis gerung-gerung. Begitulah mereka bertangis2an.
"Nak." ujar Kiang Tiong-hing sesaat kemudian. "Sudah jangan nangis lagi!"
"Paman! Benar-benarkah kau sudi angkat aku sebagai putrimu?"
"Oh, nak sungguh aku girang memperoleh anak seperti kau!" kata Kiang Tiong-bing
mengembeng air mata. "Yah! kaupun tidak perlu menangis lagi!"
Pandangan Kiong Tiong-bing melayang ke arah air terjun diluar sana, terpikir
olehnya bila Ham Gwat juga berada disitu betapa senang dan bahagia hatinya. tanpa merasa ia
menghela napas kesal, katanya, "Nak, ada sesuatu yang perlu kukatakan kepada kau."
Ma Gwat-sian duduk bersimpuh di bawah lutut Kiang Tiong-bing. Setelah menghela
napas dan memandang keluar Kiang Tiong-bing mulai bicara, "Empat puluh tahun lebih, Bu-
bing Loni masih begini kejam!" demikian gumamnya, lalu ia melanjutkan kepada Ma Gwat-sian, "Nak,
urusan ini selamanya belum pernah kututurkan kepada siapapun, inginkah kau mengetahui
persoalanku dengan Bu-bing Loni?"
Ma Gwat-sian manggut-manggut. ia duduk diam dan tenang.
"Dulu," dutur Kiang Tiong-bing tersenyum, Kangouw Ngo-hong adalah kaum remaja
yang menjadi incaran dan kejaran pemuda2 persilatan pada masa itu, Ngo-hong sama
punya kepandaian silat yang tinggi, sama cantiknya pula!"' merendek sebentar lalu
melanjutkan, "Tatkala
itu aku baru saja berkecimpung dikalangan Kangouw. Ngo-hong Locu adalah sahabat
kental dari keluargaku, sudah tentu dalam pengembaraanku itu aku harus mampir kesana
menyampaikan sembah sujud dan hormatku kepada beliau."
Mendengar sampai disini lantas Ma Gwat-sian dapat menebak kejadian apa
selanjutnya yang telah dialaminya. Kiang Tiong-bing tersenyum geli, sambungnya. "Adalah jamak kalau akupun bertemu
dengan kelima putrinya yang remaja itu. Nama asli Bu-bing Loni adalah Ong Ging-hong.
dialah yang terbesar diantara lima bersaudara. Sedang ibu Ham Gwat justru yang paling
kecil." Sampai disini ia berhenti dan tertawa-tawa, agaknya geli tapi juga seperti
menyesali nasibnya sendiri, kelihatannya ia sangat prihatin dan menderita, "sudah tentu!" demikian
ia melanjutkan, "Akhirnya aku menikah dengan ibunda Ham Gwat. Ngo-hong Locu -sang Mertua juga
paling sayang pada ibunya Ham Gwat, waktu itu ia jatuh sakit dan keadaan sudah payah,
maka ia wariskan kekuasaan dari Ngohong Locu kepada ibunya Ham Gwat." sampai disini ia
terbatuk lirih dan menghela napas. "Maklum sebagai anak yang tertua tidak mendapat warisan keluarga, cintanya pun
tidak terbalas lagi, maka akhirnya Bu-bing Loni menghilang dari kalangan Kangouw.
Tahun kedua mendadak muncul pula di Bulim, wajahnya kelihatan sudah sepuluh tahun lebih tua,
tapi justru ia telah memperoleh pelajaran ilmu silat mujijat. Selama kelana di Kangouw, barang
siapa sampai mengganggu atau menyakiti hatinya tentu dibunuh tanpa belas kasihan. Betapa
kejam dan Telengas perbuatannya itu sungguh menggiriskan hati." sampai disini ia geleng-
geleng dan mengkirik membayangkan kekejaman2 yang diperbuat Bu-bong Loni dahulu.
Sambungnya:"Sudah tentu kau dapat membayangkan, cara bagaimana selanjutnya dia
menghadapi kami berdua, meski adik kandung sendiri pun tidak terlepas dari
perbuatan keji dan kekejamannya." Mencelos hati Ma Gwat-sian, terasakan olehnya, kasihan riwayat hidup Ham Gwat,
adalah lumrah kalau dia mengalah, setindak demi kebahagiaan Ham Gwat....
Kiang Tiong-bing tertawa getir, tuturnya "waktu dirumah ia sesumbar bila anak
pertamaku lahir itulah saatnya bencana bakal menimpa keluarga kami. Setelah itu tinggal pergi,
semula kami takut melahirkan anak! Tapi betapa pun kita harus keturunan! Akhirnya Ham Gwat lahir,
kami lantas lari ke tempat yang jauh tersembunyi, tapi kemana pun kami lari tidak terlepas dari
kejaran burung dewata bermata jeli dan tajam itu. Aih!"
Mendadak tawa digin yang menggiriskan terkiang dipinggir kuping mereka, dengan
kaget mereka tersentak bangun. tampak Bu-bing Loni berdiri diluar kamar batu, mulutnya
mengulum seringai sadis setindak demi setindak ia melangkah masuk, giginya gemeratak
desisnya, "Semua mengkhianati aku, kalian semua adalah berhati busuk dan pembual."
Kiang Tiong-bing tertegun sebentar. katanya dengan nada berat, "Segala akibat
hari ini adalah maha karya kekejamanmu. tidakkan kau lihat kepada kedua tanganmu sudah
berlepotan darah?" Bu-bing menyeringai semakin beringas desisnya, "Aku bersikap sangat baik
terhadap kalian, tapi kalian berkhianat terhadapku!" sekonyong-konyong ia terkial-kial tawa
seperti kicauan kokok beluk dimalam sunyi. Kiang Tiong-bing diam saja, ia tahu bahwa orang tentu telah tinggal minggat dan
tidak hiraukan lagi pesan dan perintahnya.
Pelan-pelan Bu-bing Loni menghunus pedang. katanya, "Selama hidupku ini aku
bersikap paling baik terhadap kau. Tapi adalah kau pula yang bersikap paling buruk terhadapku."
- rona wajahnya semakin kaku dan diselubungi bahwa memutih, jelas napasnya membunuh
semakin berkobar. Kiang Tiong-bing tertawa tawar, ujarnya, "Jadi Ham Gwat telah meninggalkan kau?"
"Sudah lama ia meninggalkan aku!" gerung Bu-bing Loni menyeringai iblis.
Bukankah itu baik malah?" seru Kiang Tiong tertawa girang. "Dia akan lebih aman
dan terjamin keselamatannya bila meninggalkan kau, bila berada di sampingmu. kalau kau sedang
marah2 mungkin jiwanya bisa terancam!"
Tangan Bu-bing yang memegang pedang menjadi lemas semampai. mendadak ia angkat
kepala, katanya beringas, "Kau tahu. sesaat aku menemukan dia saat itu pula
tibalah ajalnya!" Mencekat hati Kiang Tiong-bing. Bu-bing bisa melaksanakan segala ancamannya.
Sinar matanya yang dingin menatap ke arah Ma Gwat-sian, katanya, "Dan kau pun
tidak usah ingin lebih lama lagi. Giok-lan pun berani mengkhianati aku, tiada gunanya kau
tetap hidup...." Tadi kau sendiri berkata membebaskan dia dari renggutan pedangmu," demikian
bentak Kiang Tiong-bing. Kenapa sekarang kau jilat ludahmu sendiri"
Baru tadi aku tahu. kau bersikap begitu kasar terhadapku karena aku bersikap
terlalu baik terhadap kau. Aku tidak bunuh Ging-sia dan mengasuh Ham Gwat sampai dewasa
memberi pelajaran ilmu silat. semua itu hanya untuk Kau seorang, dan sekarang akan
kusuruh kau melihat dengan mata kepalamu sendiri, akan kubunuh semua orang yang kau kenal
dihadapanmu." Kiang Tiong-bing bergidik seram, kekejaman Bu-bing Loni tidak perlu disangsikan
lagi akan ancamannya yang serius ini. Ia mandah tertawa getir, katanya, "Mungkin kau mampu
melakukan segala ancamanmu, tapi mungkin pula kau tidak mampu melaksanakan hasratmu. Aku
tidak akan sudi menonton atau menjadi penonton, seumpama aku harus mati aku tidak akan mau
menonton." "Aku kuatir hal ini tidak segampang menurut kemauanmu saja. Kau harus tunduk
akan perintah dan kemauanku!" Kiang Tiong-bing pandang Ma Gwat-sian dengan rasa iba, pelan-pelan ia bangkit
lalu keluar menuju ke air terjun. Sekali melejit Bu-bing Loni mencengkeram Kiang Tiong-bing,
kontan tutuk jalan darah pelemas tubuhnya terus membaringkannya di atas dipan, seringainya,
"Kau harus menjadi penonton!" Kiang Tiong-bing pejamkan matanya. Bu-bing Loni tertawa dingin. ujarnya, "Meski
tidak melihat, kau pun bisa mendengar, akan kubuat kau mendengar mereka satu persatu
meregang jiwa...." Selama itu dengan tenang Ma Gwat-sian duduk ditempatnya, dengan wajar ia awasi
Bu-bing Loni, ia saksikan kelakuan orang yang hampir setengah gila ini, setelah
membaringkan Kiang Tiong-bing sekarang dia menghampiri ke arah dirinya.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, dia sudah siap siaga, bila Bu-bing Loni
benar-benar mendesak dirinya, ia sudah berkeputusan untuk bunuh diri dengan kekuatan getaran
senai harpanya, untuk sesaat hatinya menjadi pilu dan bersedih, sebentuk bayangan yang
sangat dikenalnya terbayang dikelopak matanya. Hun Thian-hi bersikap gagah dan ganteng.
tapi dia kelihatan berdiri berendeng disana bersama Ham Gwat. Biji matanya basah oleh air
mata, engkohnya dan para famili nan jauh dinegeri kelahiran sana terbayang dalam
bintik2 air matanya dan menjadi buram dan akhirnya menghilang menetes di tanah.
Bu-bing Loni mendesak lebih dekat, tiba-tiba terbayang bentuk tubuh gurunya Poci
diambang kelopak matanya yang terkaca2. Akhirnya ia tertunduk, tangannya kanan terangkat
siap memetik senar harpa. "Jangan begerak!" Poci membentak keras.
Ma Gwat-sian tersentak kaget, cepat ia angkat kepala, bayangan yang dilihat tadi
ternyata bukan ciptaan alam pikirannya belaka, tampak Poci berdiri angker sambil memeluk
sebuah harpa yang lain pula, sikapnya dingin dan gusar memandang Bu-bing Loni.
Bu-bing Loni menyeringai dingin, sebetulnya hatinya rada gentar, dengan penuh
selidik ia awasi Poci, begitulah mereka jadi berdiri berhadapan saling pandang, tiada yang berani
bergerak lebih dulu.... Akhirnya Poci membuka suara lebih dulu, "Bu-bing! Kau seorang tokoh nomor satu
di seluruh Bulim, tidakkah kau malu menggerakan pedang terhadap seorang bocah kecil?"
"Siapa kau?" "Persetan dengan siapa aku," jengek Poci, "Cukup kau tahu saja akulah gurunya!"
karena yang dihadapi Bu-bing Loni. tokoh kosen yang lihay, hingga sedikitpun ia tidak berani
melirik ke arah Ma Gwat-sian, sedikit lalai besar akibatnya.
"Kudengar kau sebagai ahli waiis Tay-seng-ci-lou. Kau berani meluruk ke
Tionggoan sebagai lazimnya. satu gunung pantang hidup dua harimau yang menjagai, cepat atau lambat
memang kita harus berhadapan, kini tibalah saatnya kita tentukan siapa unggul siapa
asor" habis katakatanya
pedangnya terangkat terus membabat miring.
Tampak tangan kiri Poci bergerak, irama kekal abadi kontan berkembang seiring
dengan gerak gerik jarinya yang lincah di atas senar harpanya. Seketika Bu-bing Loni berdegup
jantungnya, keruan kejutnya bukan main, selanjutnya ia harus bertindak sangat hati-hati,
namun setiap gerak pandangnya selalu kandas ditengah jalan, akhirnya ia duduk bersimpuh mengerahkan
Lwekang untuk melawan. Puci sendiri sedikitpun tidak berani takabur menghadapi ahli waris Hui-sim-kiam-
hoat pertemuan kali ini merupakan pertempuran yang menentukan mati hidup, bila
dirinya kalah bukan saja dirinya bakal konyol. Ma Gwat-sian pun takkan tertolong jiwanya.
Akhirnya iapun duduk bersila, lagu kekal abadi terus dikembangkan mencapai
puncaknya. Ma Gwat-sian dan Kiang Tiong-bing menonton dengan mata terbelalak, sungguh
takjub mereka menyaksikan pertempuran lucu dari kedua tokoh terbesar jaman kini. pertempuran
macam ini jarang terjadi selama ratusan tahun terakhir ini.
Begitulah Bu-bing duduk mematung seperti semadi, jari-jari Poci sementara itu
terus bergerak dengan lincah, kedua belah pihak tetap bertahan sampai setengah jam. Mendadak
Bu-bing Loni membuka mata, sorot tajam berkilat dari biji matanya menatap ke arah Poci
laksana ujung pisau tajamnya, sekonyong-konyong tubuhnya bergerak mencelat bangun, pelan-pelan
pedang dilolos keluar pula. Sembari menggerung rendah kaki kanannya terangkat pelan-pelan maju
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selangkah. Demikian juga tiba-tiba Pici membelalakkan biji matanya, kedua tangannya
berhenti bergerak, seketika irama musiknya terputus berhenti. Lekas-lekas Bu-bing Loni menarik
balik kaki kanan yang sudah melangkah ke depan itu.
Hawa dalam kamar batu rasanya menjadi bergolak tegang, suasana sangat hening
lelap sehingga bernapaspun ditahan.
Ma Gwat-sian tahu bahwa Poci gurunya sedang mempersiapkan diri untuk melancarkan
gelombang suara musiknya yang lihay yaitu Toan-liong-loh-yun, bila perlu biar
gugur bersama musuh. Kedua belah pihak harus hati-hati sebelum bertindak, karena sedikit salah
langkah akibanya bakal hancur lebur. Dengan cermat Poci awasi setiap tingkah laku Bu-bing Loni,
setelah berdiam diri sekian lamanya, lagi-lagi ia angkat kakinya hendak melangkah maju.
Sekali lagi tangan kiri Poci menjentik senar, lengking irama harpa yang meninggi
terbang keluar langsung menerjang ke arah Bu-bing Loni.
Lakas2 pedang ditangan Bu-bing Loni disampokkan ke depan, batang pedangnya
memancarkan cahaya kemilau. sekuat tenaga ia berusaha menangkal balik gelombang suara harpa.
Tapi kelihatan usahanya sangat memakan tenaga, apa boleh buat kaki kanannya harus
ditarik mundur pula. Rona wajah Poci kaku serius, selama ia mempelajari Yay-seng-ci-lou baru hari ini
pertama kali menggunakan ilmu saktinya untuk menghadapi musuh tangguh, justru lawannya adalah
jago nomor satu dari Tionggoan, yaitu Bu-bing Loni.
Lagi-lagi jari-jari tangan kirinya bergerak, serangkaian suara musik
bergelombang mengalun pula menyerang ke arah Bu-bing Loni. Kedua biji mata Bu-bing Loni menatap lurus
ke depan, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu persoalan yang maha penting, pedang
ditangan kanannya bergerak pula maju mundur lalu menusuk ke depan menghalau seluruh
rangsakan irama harpa, tapi tak urung ia terdesak mundur sampai dua tindak ke belakang.
Poci tercekat, sekarang kelima jari tangan kiri-kanannya menjentik bergantian,
dengan seluruh yang paling dahsyat. Dia sudah berkeputusan hari ini kekuatan latihannya, ia
lancarkan jurus serangan harus merobohkan Bu-bing Loni atau dirinyalah yang bakal terjungkal
kalah. Sementara itu Bu-bing Loni sedang menerawang cara bagaimana memecahkan gempuran
musuh yang dahsyat, tapi irama lagu lawan sambung menyambung melandai bagai
gelombang samudra membuat segala daya pkirannya kena dikacau balaukan, terpaksa ia
pusatkan perhatiannya untuk melawan serangan musuh.
Tampak tangan kanan Poci bergerak pula, Bu-bing Loni angkat kepala, air mukanya
kelihatan. rada pucat, namun sorot matanya malah mengunjuk rasa girang yang terpendam.
lekas pedangnya dilayangkan ke depan, dengan hawa pedangnya yang membentuk seperti
kabut putih mengembang lebar menerpa ke depan ia tangkis gelombang suara lawan.
Bahwa seluruh usaha penyerangannya selaliu gagal membuat Poci semakin gugup dan
kaget, jari telunjuknya segera membelesot di atas senar, suaranya persis seperti
gambreng digesek menusuk telinga melesat ke depan. Bu-bing Loni mandah tertawa dingin, pedangnya
melintang maju terus diputar ke atas lalu disendal ke samping, gelombang suara musuh kena
didesak bujar oleh kekuatan hawa pedangnya. Sekarang Bu-bing Loni mendesak maju sambil
melintang pedangnya, selangkah demi selangkah ia menghampiri Poci. Jidat Poci sudah basah
oleh keringat dimana telunjuk jari tangan kirinya menggantol. sebuah lengking suara senar
harpanya menerjang pula ke arah Bu-bing Loni.
Pelan-pelan Bu-bing masih melangkah ke depan, dengan ketajaman pedang dan
kekuatan hawa pedangnya ia menyampok pula serangan musuh kesamping, ujung mulutnya
mengulum senyum sinis yang dingin, seolah-olah Poci sudah bakal dicengkeram dalam
genggamannya. Beruntun Poci kirimkan tiga gelombang suaranya yang berlainan bentuk dahsyat dan
hebat serangan tiga rangkaian gelombang musiknya ini sehingga Bu-bing terdesak dan
tidak sempat lagi menangkis dengan pedang, ia terdesak mundur setindak, tapi dilain saat kaKinya
mendesak maju pula pelan-pelan. Mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan, baru sekarang
ia sadari bahwa Tay-seng-ci-lou tidak boleh dihadapi secara hadap berhadapan.
Poci diam tak bergerak, biji matanya menatap Bu-bing Loni lekat-lekat. Sudah
lama ia mendengar ketenaran nama Bu-bing Loni, kenyataan sekarang ia sudah merasakan
kelihayan orang. Bila Bu-bing Loni berani maju setindak lagi apa boleh buat dia harus
lancarkan gelombang putus dari senar harpanya untuk gugur bersama Bu-bing Loni.
Melihat Poci tidak bergerak Bu-bing Loni juga tidak berani sembarangan maju. Dia
tahu akan kehebatan Tay-seng-ci-lou adalah pantang untuk memandang ringan pada musuh,
soalnya kepandaian silat sejati Poci terpaut terlalu jauh dibanding dirinya, kalau tidak
mungkin sejak tadi Bu-bing Loni sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
Bu-bing Loni melangkah pula, Poci masih tak mau bergerak, kedua biji matanya
tajam laksana ujung pisau menatap muka Bu-bing, sedikitpun tidak kelihatan rasa takutnya.
Adalah Bu-bing sendiri yang menjadi merinding dan berdiri bulu romanya dipandang begitu rupa,
serta merta ia menghentikan langkahnya, sesaat ia menjadi bingung maju atau mundur. ia tahu
bahwa Poci pasti masih menyimpan jurus-jurus terlihay yang belum dilancarkan, soalnya menanti
kesempatan terakhir untuk merobohkan dirinya. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu, ia
berpikir cara bagaimana ia harus meruntuhkan rangsakan musuh yang teramat hebat itu.
Suasana gelanggang menjadi sunyi senyap. Ma Gwat-sian terlongong mematung, biji
matanya saja yang bergerak. ganti berganti ia melirik ke arah Poci dan Bu-bing Loni. Ia
insaf bahwa Poci sudah terdesak di bawah angin, kelihatannya ia sudah bertekad untuk gugur
berrama Bu-bjng Loni. Pelan-pelan Bu-bing menudingkan pedangnya ke depan. diapun sudah berkeputusan
menggunakan tiga jurus terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat untuk menempuh
kemenangan, jalan inilah yang dianggapnya paling aman untuk menyelamatkan jiwa sendiri.
Poci juga percaya akan kekuatan Hui-sim-kiam-hoat yang tenar itu, pelan-pelan ia
angkat jarijarinya siap untuk bergerak bila pedang Bu-bing Loni menyerang, dengan irama musiknyai a
harus bertahan dan mengadu kekuatan terakhir.
Tapi Bu-bing menjadi bimbang lagi, sedetik sebelum mengambil keputusan.
terasakan olehnya kacuali ia menghentikan pertempuran hari ini sampai disini, kalau tidak bila
keadaan sama bertahan begini terus berlangsung dan tiada kesudahannya.
Pedangnya sudah teracung sampai titik ketinggian diharapkan, kebetulan lurus dan
selaras dengan alisnya. Inilah letak posisi yang paling serba guna untuk menyerang musuh
dan untuk menjaga diri. Sekian lama ia tatap muka Poci, pedang sudah siap dilancarkan
dengan serangan yang paling ganas sekonyong-konyong biji matanya memancarkan rasa takut dan
gusar yang berlimpah2. Ujung pedangnya yang lempang ke depan itu tampak sedikit gemetar.
Ah, besar tekadnya untuk segera mulai menyerang tapi entah mengapa hatinya seperti
mengkeret dan tak berani lagi turun tangan.
Pandangan Poci mengunjuk rasa hambar dan kosong, tak tahu dia siapakah yang
telah muncul karena dia tidak berani menoleh. Pedang Bu-bing masih teracung ke arah dirinya.
mungkin orang segera lancarkan serangan fatal yang menentukan.
Ooo)*(ooO Melihat Coh Jian-jo tiba-tiba murka Hun Thia-hi tertawa tawar, katanya,
"Cianpwe! Meski kedatanganku untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolonganmu, tapi kau harus
tahu, betapa banyak orang telah menjadi korban di bawah keganasan Pek-tok-hek-liong-ting,
mereka akan menuntut jiwa mereka kepada kau!"
Biar mereka kemari!" bentak Coh Jian-jo dengan suara serak. "Aku toh tidak kenal
mereka, tapi justru sanak kadangku harus menjadi korban kelicikan Tok-sim-sin-mo. Itulah yang
paling kuperhatikan!" Hun Thian-hi bergelak tawa, serunya, "Kau tidak kenal mereka, memangnya aku
kenal mereka!" lalu berpaling pada Su Giok-lan, katanya, "Sungguh kami menyesal telah
datang kemari, marilah kita pulang!"
Coh Jian-jo terlongong memandangi punggung mereka. mendadak ia berseru, "Apakah
kalian mampu keluar" Pintu besi diluar sudah tertutup semua!"
Thian-hi berdua tidak hiraukan seruannya, bersama Su Giok-lan beranjak terus ke
depan. Su Giok-lan tidak tahu apa maksud kelakuan Hun Thian-hi ini ia duga mungkin
punya tujuan tertentu maka ia menurut saja diseret oleh Thian-hi.
Coh Jian-jo menjublek tak bersuara, matanya berkilat-kilat, agaknya sedang
memutuskan suatu perkara besar. namun ia masih ragu-ragu dan bimbang untuk memberikan jawabannya.
Akhirnya Hun Thian-hi berdua tiba diambang pintu besi, kata Su Giok-lan, "Hun-
toako, bisakah kita keluar?" Hun Thian-hi tertawa getir, sahutnya, "Tidak, bisa keluar!"
Su Giok-lan jadi melongo, kedengarannya nada ucapan Thian-hi begitu wajar,
begitu acuh tak acuh, seakan-akan soal pintu besi yang menghalang jalan ini tidak menjadikan
persoalan baginya. Hatinya menjadi heran, tak kuasa ia bertanya lagi, "Lalu untuk apa kita berada
disini?" "Selama hidup aku tidak sudi bergaul dengan dua macam manusia," demikian sahut
Thian-hi dengan suara lantang. "Seseorang yang sangat pelit dan ogoistis, dan seorang
lain yang berhati ganas dan telengas tidak punya rasa prikemanusian. Umpama tok-sim-sin-mo dan Bu-
bing Loni merupakan manusia terganas dan keji, sedang Coh Jian-jo ini justru lebih jahat
dan lebih menjemukan, sungguh aku menjadi muak melihat tampangnya pula!"
Su Giok-lan melengak, pikirnya, "Sejelek2 Coh Jian-jo juga tidak seburuk yang
dikatakan ini. Soalnya sanak kadangnya sendiri kena ditawan dan dijadikan sandera oleh Tok-sim-
sin-mo sehingga kena diperalat untuk menciptakan berbagai alat senjata rahasia demi
kepentingan Toksim-sin-mo!" Coh Jian-jo dan Nyo Ceng menyusul keluar. dengan muka beringas Coh Jian-jo
berkata, "Coba kau jelaskan, bagaimana aku jauh lebih buruk dari Tok-sim-sin-mo?"
Thian-hi tertawa tawar, katanya kepada Su Giok-lan, "Mari kita istirahat
sebentar, kalau Toksim- sin-mo kembali suatu kesempatan bagi kita untuk menjebol alat2 rahasia itu untuk
lari keluar!" - dalam bicara sedikitpun ia tidak hiraukan kehadiran Coh Jian-jo dan Nyo Ceng,
setelah mendapatkan tempat yang rada bersih ia duduk bersimpuh dan tak peduli orang
lain. Sekilas Su Giok-lan pandang muka Coh Jian-jo, sekarang ia rada paham kemana
juntrungan maksud Hun Thian-hi terhadap Coh Jian-jo ini, iapun mencari tempat untuk duduk
istirahat, Ganti berganti Coh Jian-jo pandang mereka berdua, air mukanya ganti berganti
putih hitam dan merah pula, sesaat mulutnya menggerung lalu katanya, "Kalian hendak memancing
kegusaranku bukan" Sayang aku tidak bakal tertipu oleh kalian, selama hidup ini kalian
jangan harap bisa keluar. Bila Tok-sim pulang. dia tidak akan begitu gampang mau melepaS kalian
dari sini." Thian-hi pejamkan mata, anggap tidak dengar akan ocehan Coh Jian-jo, ujung
mulutnya malah menyungging senyum hina dan pandang rendah.
Coh Jian-jo menggeram sambil membanting kaki, badannya sudah berputar hendak
tinggal pergi. tapi matanya masih pandang Hun Thian-hi, melihat orang tidak mengunjuk
reaksi apa" ia hentikan pula kakinya. serunya, "Bila kau tidak katakan alasanmu, aku bisa
membuat jiwamu melayang ke alam baka, jangan kau sangka dengan sembarangan obral mulut lantas
kau dapat memancing aku." Sesaat kedua belah pihak sama menjublek tak bicara, akhirnya Hun Thian-hi
membuka mata. ujarnya, "Bukan saja aku beranggapan demikian, mungkin seluruh manusia di kolong
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit inipun punya keyakinan yang sama. Meski kau mampu bunuh aku, apakah kau mampu bunuh
seluruh manusia di kolong langit ini" Percaya hati nuranimu tidak akan tentram, kau akan
menyesal dan dirundung kekesalan selama hidup!"
Agaknya hati Coh Jian-jo menjadi lemas. katanya, "Kalau kau punya alasan dan itu
benarbenar. coba terangkan, ingin aku mendengar lebih lanjut."
"Masa kau sendiri belum tahu?" ejek Thian-hi, "Bila kau suruh s(eseorang
membunuh orang. dosamu yang lebih besar apa dosa orang itu yang lebih besar?"
Coh Jian-jo berpikir sebentar, sahutnya, "Cucuku perampuan dijadikah sandera,
dia menekan aku untuk membuatkan alat2 itu, apakah ini terhitung aku yang suruh dia membunuh
orang." Hun Thian-hi tertawa, katanya, "Tahu betapa besar akibat dari perbuatanmu, tapi
tetap kau laksanakan inilah merupakan dosa terbesar dosa yang tak berampun lagi."
Coh Jian-jo terlongong diam. Thian-hi lanjutkan, "Kau tidak kenal mereka,
demikian pula aku tidak kenal mereka, tapi ingat bahwa mereka juga punya sanak kandang, apakah
kita pantang berbuat sedikit kebaikan demi keselamatan atau kehidupan orang lain?"
Coh Jian-jo tertunduk ia menghela napas panjang lalu berbalik berjalan masuk ke
dalam kamar. Dari belakang Hun Thian-hi berseru pula, "Mungkin aku sendiri juga rada egois,
supaya kau mau membantu sengaja aku menjatuhkan dosa2mu lebih berat, sebenar-benarnya dosa2
itu tidak seberat seperti yang kuucapkan tadi. Bila kau mau, kau rela, aku harap dapat
membantu kau!" Coh Jian Jo geleng-geleng kepala, ujarnya, "Biar kubantu kau membuka pintu besi
ini, boleh silakan kau pergi. Ynag terang kau tidak akan dapat bantu apa-apa padaku, dan
bagimu tiada daya untuk membantu apa-apa kepadamu!"
"Tujuan kedatanganku kemari bukan hanya itu belaka, bila ntuk meloloskan diri
saja aku pikir tidak perlu datang Hwesio Jenaka membujuk aku supaya kemari menyatakan terima
kasihku kepada kau orang tua. Tapi aku maklum tujuan yang sebenar-benarnya adalah agar
aku bisa menolong kau dan cucumu keluar dari tempat kotor ini. Dan sekarang aku sudah
datang sudah tentu pantang pulang dengan tangan kosong."
Coh Jian Jo mengacungkan tangan, selanya, "Kau memang pandai bicara, tapi pandai
bicara belum tentu dapat menangkan suatu perkara."
Bab 25 "Bila kau sudi membantu kami, itu berarti sudah menambal kekurangan itu!"
Coh Jian-jo tertawa ewa, katanya, "Apa gunanya kau tolong aku keluar" Setelah
berada diluar, dalam tiga hari pasti aku bakal mampus, apa pula gunanya?"
Thian-hi terlengak, pikirnya, "Kiranya begitu, Tok-sim-sin-mo pasti mencekoki
semacam obat beracun padanya, obat pemunah Sutouw Ci-ko belum lagi dapat dicari, kecuali aku
mendapatkan obat pemunah itu, tiada jalan lain untuk dapat melemaskan hatinya. Dalam waktu
dekat ini terang tiada daya untuk menolong Coh Jian-jo keluar."
Coh Jian-jo masuk ke dalam kamar, tak lama kemudian keluar pula dengan membawa
sebuah gergaji, panjang gergaji ini cuma satu kaki tapi mengkilap hitam agaknya terbuat
dari Kiu-thianham- giok, tanpa banyak kata segera ia berkerja menggergaji sela-sela antara pintu
besi dan batu karang itu, lalu tertawa berkata kepada Hun Thian-hi, "Sekarang kalian boleh
tinggal pergi!" Lalu
ia membalik tubuh masuk ke dalam pula....
Sekonyong-konyong teringat suatu hal oleh Thian-hi, cepat ia berseru keras,
"Coh-cianpwe. harap tunggu sebentar!"
Coh Jian-jo merendek dan berpaling ke arah Hun Thian-hi, katanya, "Aku sendiri
punya perhitunganku, kau tidak usah kuatir akan diriku, tak lama lagi kau akan tahu
sendiri!" "Bukan itu maksud saya," ujar Hun Thian-hi.
"Ada sebuah benda yang ingin kuperlihatkan kepada kau!"
Coh Jian-jo melenggong. tak tahu ia benda apa yang akan diperlihatkan kepadanya.
Tampak Hun Thian-hi pelan-pelan merogoh keluar sarung Badik buntung dari dalam bajunya
terus diangsurkan kepada Coh Jian-jo.
Mengawasi, sarung Badik buntung itu terpancar sorot aneh dan berkilat dari biji
mata Coh Jianjo, begitu kesima ia mengawasinya tanpa berkedip, akhirnya dia tertawa ujarnya,
"Jadi sarung Badik buntung berada ditangan Hun-siauhiap?"
Thian-hi manggut-manggut, sahutnya. "Wanpwe ada dengar kabarnya rahasia dari Ni-
hay-ki-tin hanya Cianpwe seorang saja yang tahu, maka dengan lancang berani kukeluarkan
sarung Badik buntung ini mohon petunjuk. Ingin aku tahu mengapa kaum persiliatan sama ingin
memperoleh Ni-hay-ki-tin itu?" Coh Jian-jo tertawa tawar, katanya, "Mengenai soal itu. hakikatnya aku tidak
tahu menahu mungkin Hun-siauhiap salah dengar dari obrolan orang yang suka membual!"
Tahu bahwa Coh Jian-jo segan membocorkan rahasia ini. Hun Thian-hi pun tertawa
saja, katanya, "Sarung Badik buntung ini tiada gunanya selalu ku-bawa2, harap Cianpwe
suka menerimanya, mungkin jauh lebih selamat bila Selalu ku-bawa2." - Lalu ia berikan
sarung Badik buntung itu kepada Coh Jian-jo lalu menyeret tangan Su Giok-lan menerjang-
keluar. Sambil memegangi sarung Badik buntung Coh Jian-jo terlogong ditempatnya, sesaat
ia menjadi bingung apa yang harus dilakukan. Sungguh mimpi juga ia tidak mengira bahwa Hun
Thian-hi sudi menyerahkan sarung Badik buntung itu kepada dirinya.
Melihat Hun Thian-hi berdua hendak pergi. cepat Nyo Ceng berseru, "Hun tayhiap,
diluar ada Biau-biau-cu berjaga, jangan Hun-siauhiap memandangnya terlalu enteng!"
"Blang" tanpa banyak pikir Hun Thian-hi tendang pintu besi itu hingga terpental
ambruk. Ia insaf sepanjang jalan lorong2 ini pasti terpasang berbagai alat rahasia, yang
berbahaya, bersama mengembangkan Ginkang Ling-khong-pu-si (berjalan di tengah udara) mereka berdua
melesat keluar laksana anak panah.
Peringatan Nyo Ceng akan Biau-biau-cu yang berjaga diluar menimbulkan
kewaspadaan Hun Thian-hi, karena Bu-ing-sin-sa atau pasir beracun tiada bayangan Biau-biau-cu
merupakan kepandaian tunggal yang paling disegani juga di Bulim.
Begitu menerjang keluar dari kamar batu mereka melesat terus ke depan, beberapa
jauh kemudian tiba-tiba di depan mereka tampak berdiri seorang Tosu tua, sekilas
pandang lantas Thian-hi tahu, pasti dia itulah Biau-biau-cu, cepat ia melolos keluar
Serulingnya, bersama Su Gioklan
mereka menerjang terus ke depan.
"Berhenti!" Biau-biau-cu membentak dengan suara berat.
Hun Thian-hi. tertawa besar. serunya, "Tergantung dari kepandaianmu sejati!"
-dia pernah dengar bahwa sambitan Bu-ing-sin-sa tiada mengeluarkan suara dan tiada
bayangannya, maka sedikitpun ia tidak berani lalai, seruling ditangannya segera ditaburkan dengan
putaran cepat seperti kitiran untuk melindungi badan sendiri dan Su Giok-lan.
Keruan Biau-biau-cu naik pitam bahwa seruannya tidak digubris, sambil menggerung
gusar kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan menyongsong ke arah Thian-hi.
Sementara itu Su Giok-lan juga sudah mengeluarkan pedangnya panjang, bersama ia
putar senjatanya menyerbu kepada musuh.
Melihat betapa hebat dan dahsyat gabungan rangsakan kedua musuh mudanya ini,
bukan kepalang kejut Biau-biau-cu, insaf bahwa dirinya terang bukan tanjngan, dasar
berotak cerjk, lekas-lekas ia melejit mundur dan mundur terus.
Hun Thian-hi menarik Su Giok-lan berlari terus ke depan, sepanjang jalan ini
mereka menjadi leluasa terus menerobos melalui serambi panjang dan lorong sempit akhirnya
tibalah mereka dijalan rahasia yang menembus keluar itu.
Setelah berada diluar gua mereka sama berpandangan. sejenak Hun Thian-hi
berpikir lalu katanya kepada Su Giok-lan, "Giok-lan, kau berangkat dulu ke Jian-hong-kok
bagaimana" Setelah urusan disini selesai segera aku menyusul kesana!"
Su Giok-lan beragu, katanya tertawa, "Kenapa harus begitu" Biar kutunggu kau
menyelesaikan urusan disini lalu berangkat bersama. Kau ingin menolong, Coh Jian-jo dan pula
harus mendapatkan obat pemunahnya itu bukan?"
Thian-hi manggut-manggut, ujarnya. Urusan ini sangat mendesak, menurut
perhitunganku. mungkin Tok-sim-sin-mo segera bakal tiba paling lambat besok pagi. Maka?aku
harus bekerja secepatnya sebelum dia kembali! Kalau tidak mereka berjumlah begitu banyak.
seorang diri mana aku kuasa melawan mereka."
Su Giok-lan manggut-manggut katanya, "Tapi Coh Jian-jo toh tidak mau keluar!"
"Dia akan mau keluar. Betapapun aku tidak akan meninggalkan dia seorang diri
bukan saja Tok-sim akan menyiksanya dengan berbagai cara keji, apalagi kepandaian tehniknya
yang hebat tadi sudah kita saksikan' sendiri. Betapa tinggi kepandaiannya itu cukup hanya
beberapa gerakan tangan yang tidak berarti saja dia mampu membuka pintu besi. Bila dia sampai
kena diperalat oleh Tok-sim, dapatlah kau bayangkan akibatnya!"
Lalu ia merenung sebentar, katanya, "Dan bukan itu saja persoalannya. Menurut
apa yang kudengar dari penuluran Kiu-yu-mo-lo, hanya dialah satu-satunya orang yang jelas
tahu akan rahasia disarung Badik buntung itu. Maka dia pulalah orang yang sedang
diperebutkan antara Ilwe-
tok-kun dan Tok~sim-sin-mo. Maka aku harus dapat menolongnya keluar dari mara
bahaya ini, malah harus kulindungi keselamatan jiwanya!"
Su Giok-lan tunduk diam, hatinya berpikir. "Entah orang macam apakah sebenar-
benarnya Mobin Suseng itu, kenapa selama ini belum pernah muncul, tapi dengan langkah-
langkahnya yang tersembunyi itu cukup dapat membuat geger seluruh dunia persilatan, sebetulnya
apakah tujuan sebenar-benarnya" Apakah benar-benar dia adalah duplikat I-lwe-tok-kun" Hal
inilah yang cukup mencurigakan, bila benar-benar dia adalah i-lwe-tok-kun. sudah pasti banyak
orang yang mengenalnya, lalu kenapa pula dia harus merahasiakan muka aslinya, bertindak
serba misterius?" "Sudah lama gurumu tidak melihat kau, adalah baik bisa sekarang kau menjenguk
mereka kesana." demikian ujar Thian-hi, "Kalau Tok-sim-sin-mO belum kembali, urusan
disini cukup dapat kuatasi sendiri. Jika dia sudah pulang. meski kau bantu juga bukan menjadi
tandingan mereka!"' Su Giok-lan masih tunduk menepekur tak bersuara. Thian-hi lantas melanjutkan,
"Tolonglah setiba disana kau sampaikan salam hormatku kepada guruku, katakan tak lama lagi
aku akan segera menyusul datang menghadap pada beliau. Sudah begitu saja, berangkatlah!"
Melihat Thian-hi bersitegas menyuruh dirinya pergi Su Giok-lan menjadi geli.
katanya, "Terpaksa aku mengalah saja!" - mereka memutar kegunung depan memanggiil burung
dewata, dilain saat Su Giok-lan sudah terbang tinggi dipunggung burung dewata.
Setelah bayangan Su Giok-lan dan burung dewata tidak kelihatan Hun Thian-hi
dapat menghela napas lega, sesaat ia menepekur memikirkan cara bagaimana untuk mendapatkan obat
pemunah itu untuk menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan.
Mendadak didengarnya langkah kaki yang sangat perlahan di belakang tubuhnya,
sudah tentu kagetnya bukan main, di tempat dan disaat seperti itu, ada orang muncul disini,
tidak perlu diragukan lagi pasti dia komplotan dari Hek-liong-pang. Sigap sekali ia memutar
tubuh, tampak seorang Hwesio tua sedang tersenyum manis menghadapi dirinya.
Hun Thian-hi berjingkrak kegirangan seperti putus lotre, Hwesio tua ini bukan
lain adalah padri tua yang memberikan buah ajaib dulu kepadanya. Terlihat olehnya si Hwesio tua
ini masih segar bugar, wajahnya masih kelihatan begitu welas asih penuh kerendahan hati, namun
kedua biji matanya tetap terpejam. Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi hormat, sapanya, "Losuhu, apakah kau baik!"
Hwesio itu tertawa. sahutnya, "Nak! Apakah kau baik selama berpisah?"
Thian-hi membungkuk tubuh, sahutnya, "Terima kasih atas perhatian dan bimbingan
Losuhu tempo hari!" Dengan lekat Thian-hi amati muka orang, tampak orang masih mengunjuk senyum
dikulum, timbul rasa hormat dalam hati, tanyanya, "Apakah nama julukan Losuhu adalah Go-
cu?"
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padri tua itu tertawa-tawa, sahutnya menggeleng, "Salah! Ada seorang lain yang
bernama Gocu Tay-su. Aku bukan Go-cu Taysu!"
Hun Thian-hi melengak keheranan, banyak orang mengatakan bahwa padri tua yang
ditemui itu adalah Go-cu Taysu, tapi secara langsung sekarang disangkal oleh sipadri tua
ini, lalu siapakah sebenar-benarnya padri tua ini" Mungkin seorang Cianpwe lain yang menyembunyikan
nama dan asal usulnya. tapi entah apakah nama julukannya"
Kata padri tua jambil tersenyum, "Hun-sicu tak perlu banyak pikiran, soal ini
kelak Hun-sicu bakal tahu sendiri, tapi sekarang ada sebuah urusan yang perlu kuberitahukan
kepada Hun-sicu!" "Ada urusan apa pula harap Cianpwe suka memberi petunjuk!"
"Apakah Hun-sicu tahu bahwa Mo-bin Suseng sekarang sudah tiba di Tionggoan. Dan
sekarang kira-kira sudah berada disekitar Jian-hud-tong ini. Dia ingin menculik Coh Jian-
jo dari sarang musuhnya." Thian-hi tercengang, sejenak ia celingukan keempat penjuru, ingin dia menemukan
dimana jejak Mo-bin Suseng. Padri tua tertawa dan katanya, "Hun-sica sekarang tidak akan dapat melihatnya,
tapi akan kuberitahu kepada kau, hal ini sudah lama ingin kau ketahui, walaupun sebetulnya
sudah kau ketahui, cuma apa yang kau ketahui itu belum lagi pasti dan tepat!"
Merandek sebentar lantas ia melanjutkan, "Ketahuilah Mo-bin Suseng bukan I-lwe-
tok-kun!" "Bukan?" desis Hun Thian-hi sesaat kemudian.
Padri tua manggut-manggut, ujarnya, "Tapi Mo-bin Suseng adalah murid I-lwe-tok-
kun, selamanya tiada seorang pun yang pernah melihat wajah aslinya, tapi bila kau
sendiri yang melihat dia, pasti kau kenal padanya!"
Hun Thian-hi garuk2 kepalanya yang tidak gatal, ia tidak paham kemana juntrangan
kata-kata sipadri tua ini! Terdengar ia melanjutkan, "Mo-bin Suseng adalah saudara kembar Hwesio jenaka!
Bentuk tubuh dan wajah mereka satu sama lain sangat mirip sekali!"
Lagi-lagi Thian-hi melengak dibuatnya, teringat olehnya waktu ia mendapatkan
buah ajaib dulu, adalah Hwesio jenaka yang membantunya sehingga ia berhasil mendapatkan buah
ajaib itu. Pernah juga Hwesio jenaka mengajukan syarat yang ditampiknya saat itu,
kiranya....Thian-hi menjadi serba sulit, betapa besar budi bantuan Hwesio jenaka terhadapnya, laksana gunung
tingginya sedalam lautan pula, bila Hwesio jenaka minta dia menghapus dendam kesumat ini,
bagaimanakah dia harus menjawab"
Sekian lama mereka berdiam diri, akhirnya si padri tua berkata pula, "Perlu kau
ketahui bahwa mereka tiga bersaudara kembar. Orang yang pertama kau temui itu bukan Hwesio
jenaka, yang membantu kau dulu adalah muridku, seorang iblis kenamaan di Bulim dulu yang
bernama julukan Siau-bin-mo-in (orok iblis bermuka tawa), sekarang nama gelarnya adalah Ngo-
sing!" Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, tak tahu dia bagaimana perasaannya
setelah mengetahui rahasia ini. Kiranya mereka tiga bersaudara kembar, teringat olehnya
waktu Pek Sikiat pertama kali ketemu dengan Hwesio jenaka sikap dan lagak mereka kelihatannya
seperti sudah kenal lama, tapi siapa tahu bahwa Hwesio tambun itu kiranya adalah Siau-
bin-mo-in. Terdengar sipadri tua menghela napas. lalu sambungnya, "Diantara mereka tiga
bersaudara, Mo-bin Suseng adalah yang tertua, Hwesio jenaka paling kecil. Tapi Hwesio jenaka
alalah murid Siau-bin-kim-hud Hoat-pun yang kenamaan itu. Hubungan mereka bertiga justru
sangat akrab dan kental sekali, sayang menyajangi. Mo-bin Suseng berbuat begitu lantaran dia
harus menolong gurunya, dia ingin membantu gurunya untuk memulihkan ilmunya yang dicapainya
dulu, diluar kesadarannya bahwa perbuatannya itu justru telah menimbulkan gelombang
pertikaian yang berkepanjangan di Bulim!"
Thian-hi menunduk prihatin, akhirnya ia bertanya, "Dapatkah Wanpwe tahu nama
gelaran Losuhu yang mulia?" Padri tua tertawa ewa, katanya, "Ka-yap sudah meninggal, dalam dunia ini mungkin
tiada lagi seorang yang mengenal siapa aku. Tidak tahu lebih baik, aku harus segera pergi,
kau harus jaga dirimu baik-baik!" Melihat sipadri tua tidak mau memperkenalkan diri, Thian-hi menjadi bungkam.
Padri tua sudah memutar tubuh ke arah hutan, tiba-tiba ia memutar ke arah Thian-
ni serta serunya, "Tiada seorangpun dikolong langit ini yang dapat mengatasi tipu daya
kelicikan Mo-bin Suseng, kau harus lebih hati-hati." habis berkata tubuhnya melayang pergi.
Thian-hi terlongong ke depan, entahlah bagaimana perasaan hatinya sekarang.
Hanya terasa olehnya bahwa segala sesuatu yang diketahuinya sekarang adalah diluar dugaan dan
perhitungannya. Hwesio jenaka ternyata ada tiga orang, sedang padri tua ini
bukan Go-cu pula, entah siapakah dia, pastilah tingkat kedudukannya sangat tinggi tidak di bawah
tingkatan Ka-yap Cuncia. Pikir punya pikir akhirnya ia menghela napas panjang, pelan-pelan kakinya
melangkah ke belakang gunung dalam hati ia membatin, "Sementara kukesampingkan dulu soal ini,
yang penting sekarang aku harus menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan!"
Begitu ia tiba di belakang gunung, mendadak ia berdiri melongo, seseorang yang
bentuk dan raut mukanya persis Hwesio jenaka tengah bertengger di puncak sebuah batu besar
diketinggian sana, orang itu tersenyum lebar memandang dirinya.
Sudah tentu Hun Thian-hi terperanjat, tadi si-hwesio tua yang buta itu
memberitahu, padanya bahwa Mo-bin Suseng dan Hwesio jenaka adalah saudara kembar yang sangat mirip
rupa satu sama lain. Terpikir olehnya bahwa Siau-bin-mo-in tentu masih berada dibarat
laut, sedang Hwesio jenaka jauh berada di Siongsan, jadi Hwesio cebol gemuk dihadapannya ini terang
adalah Mo-bin Suseng adanya, mengawasi musuh besar dihadapannya ini seketika menggelora darah
dalam ronggo dadanya. Sebaliknya Hwesio cebol gemuk itu masih berseri-seri tawa menghampiri ke arah
Hun Thian-hi, ujar-nya, "Hun-sicu, kau tidak menyangka aku bisa selekas ini muncul pula disini
bukan!" Dengan cermat kedua pasang mata Hun Thian-hi menatap Hwesio cebol di depannya
ini, orang ini memang sangat mirip sekali dengan Hwesio jenaka, mendadak teringat olehnya,
walaupun Siau-bin-mo-in berada dibarat laut, tapi dia masih ada kemungkinan bisa muncul
juga di tempat ini. Bukankah dirinya sendiri baru saja berpisah dengan Hwesio jenaka di Siong-
san toh kenyataan sekarang aku sudan berada disini. Maka bukan mustahil bahwa Hwesio jenaka bisa
juga muncul disini" Dalam pada itu Hwesio cebol itu setindak demi setindak menghampiri ke arah
Thian-hi. Sesaat itu Thian-hi menjadi bingung tak dapat ia membedakan siapakah sebenar-benarnya
orang tambun yang berada di depannya ini, hatinya lebih condong bahwa pastilah orang ini
adalah samaran. dari Mo-bin Suseng, karena katanya ia berada di sekitar Jian-hud-tong.
Orang tambun itu mendekat lagi dua langkah, hati Thian-hi masih dirundung
kegoncangan yang belum menentu. Jika benar-benar adalah Mo-bin Suseng, betapa pun tidak
boleh membiarkan orang mendekati diriku, sebaliknya bila benar-benar adalah Hwesio
jenaka atau Siaubin- mo-in yang bergelar Ngo-sing lalu bagaimana" Pikir punya pikir tanpa merasa
jidatnya basah oleh keringat. Sulit ia menarik suatu kesimpulan.
Akhitnya ia kertak gigi, pikirnya, "Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti,
bila dia, berani mendekati lebih jauh, akan kupancing siapakah sebenar-benarnya kau adanya!"
Begitu diam-diam Thian-hi sudah bertekad dalam hati, sementara dengan tajam ia
awasi orang tanpa bergerak. Mendadak orang tambun itu menghentikan langkahnya agaknya ia heran akan sikap
kaku Hun Thian-hi yang ganji ini, tanyanya, "Hun-sicu kenapakah kau" Apakah nona Su telah
menghilang?" Hun Thian-hi melengak, pikirnya; apakah benar-benar Hwesio jenaka adanya" Kalau
bukan kenapa ia bisa tahu bahwa Su Giok-lan ada bersama diriku" Karena rekaannya ini
mulutnya sudah bergerak hendak bicara, tapi ia menarik kesimpulan lain pula, bukan mustahil Mo
bin Suseng tadi sudah melihat pula bahwa aku berada bersama Su Giok-lan, maka tidak perlu
diherankan jika dia mengajukan pertanyaannya ini.
Tergerak hatinya, jangan harap kau dapat mengelabui aku, baik biarlah kucoba isi
hatinya. segera ia bertanya, "Siau-suhu! Begitu cepat kau dapat menyusul kemari dari
Thay-san yang begitu jauh!" Setelah mengajukan pertanyaan ini hatinya berpikir; 'coba kulihat
cara bagaimana ia menjawab pertanyaanku ini, dari jawabannya akan kuketahui siapa kau sebenar-
benarnya!' Orang itu agaknya melengak, sahutnya, "Hun-sicu, apa yang kau tanyakan?"
Hun Thian-hi menyedot napas. pikirnya, "Sebenar-benarnya Hwesio jenaka atau Mo-
bin Susengkah orang ini?" - Terpaksa ia bertanya pula, "Kenapa Siau-suhu menyusul
kemari pula dari Thay-san?" dengan lekat ia awasi perubahan air muka orang.... pikirnya; betapapun
licik kau akan kukenali siapa kau sebenar-benarnya.
Ingin Hun Thian-hi coba mencari tahu siapakah orang dihadapannya ini, Hwesio
jenaka asli atau Mo-bin Suseng" Maka ia ajukan pertanyaannya pula, "Siau-suhu, bukankah kau
berada di Thay-san" Kenapa menyusul kemari pula?"
Sejenak orang itu tertegun. sahutnya, "Apa katamu?"
Berkilat sorot mata Hun Thian-hi, ia ulangi pertanyaannya.
Orang itu tertawa, sahutnya, "Kudengar katanya Mo-bin Suseng hendak kemari, maka
cepatcepat aku susul kemari!" Mendengar jawaban orang Thian-hi membatin pula, "Pintar kau main pura-pura,
meski Hwesio jenaka! menanam budi sedalam lautan padaku, terpaksa kebaikannya itu kubalas
kelak kemudian hari. Kalau kau ingin lolos dari tanganku, mungkin kau sedang mimpi" Ujung
mulutnya mengulum senyum dingin, pelan-pelan ia maju menghampiri ke depan Mo-bin Suseng, mulutnya
pun berkata, "Sungguh cepat langkah Siausiuhu!"
Agaknya Mo-bin Suseng dirundung persoalan lain, ia berpaling terlongong ke arah
hutan lebat di belakang sana, mulutnya pun bersuara, "Urusan ini cukup serius, sudah tentu
harus kususul secepatnya?" SetetLah berada di depan Mo-bin Suseng, tangan kanan Hun Thian-hi meraba
seruling dipinggangnya, katanya dingin, "Siau-suhu! Apakah kau langsung menyusul kemari
dari Thaysan?" Mo-bin Suseng tertawa, katanya, "Hun sicu! Ada sebuah hal perlu kuberitabukan
kepada kau!" Menghadapi Mo-bin Suseng dendam kesumat bertahun2 yang mengeram dalam rongga
dada Hun Thian-hi seketika bergolak seperti api membara. tapi bagaimana juga ia masih
rada gentar menghadapi Mo-bin Suseng musuh besar yang belum pernah dilihatnya ini. Betapa
licik dan jahat tipu daya Mo-bin Suseng ia tahu dengan jelas, sekarang ia tidak boleh memberi
kesempatan pula pada orang untuk melaksanakan muslihatnya.
Dia sudah tidak kuat menahan sabar lagi, kalau ia tahu apa akibatnya bagi diri
sendiri bila ia terlambat turun tangan. Dia belum tahu bagaimana kepandaian silat Mo-bin Suseng,
bila sekali sergap tidak berhasil pasti sulitlah dibayangkan bagaimana nanti kesudahannya.
Pikiran ini secepat kilat berkelebat dalam benaknya, serta merta ia menjengek
dingin dan tertawa terkial-kial. serunya, "Mo-bin Suseng, kembalikanlah jiwa orang-orang
yang menjadi korban keganasanmu dulu!" - seiring dengan bentakannya seruling ditangannya
sudah teracung tinggi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyerang Mo-bin Suseng.
Sekilas tampak sorot mata Mo-bin Suseng mengunjuk rasa takut dan heran yang
aneh, mulutnya sudah bergerak hendak bicara, tapi rangsakan jurus Wi-thian-cit-ciat-
sek yang hebat itu sudah melandai tiba, sekuat tenaga ia jejakkan kakinya melompat mundur
jumpalitan, berbareng kedua telapak tangannya berputar menepuk ke atas menyongsong ke arah gelombang
tekanan
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan Hun Thian-hi. Namun betapa hebat dan dahsyat kekuatan serangan Wi-thian-cit-ciat-sek ini,
menghadapi musuh besar pula sudah tentu Hun Thian-hi menyerang dengan sekuat tenaga.
Bagaimana cepat dan gesit Mo-bin Suseng berusaha berkelit atau menghindar diri, tak urung ia
terpental juga oleh terjangan tenaga dahsyat bagai gugur gunung yang menerpa datang, terdengar
mulutnya. menguak seperti babi disembelih kontan badannya terguling2 menyemburkan darah,
empat jalan darah mematikan di tubuhnya kena tertutuk buntu, seumpama dewa juga tidak akan
mampu hidup kembali. Hun Thian-hi menarik kembali serangan selanjutnya yang sudah disiapkan, dengan
berdiri terlongo ia pandang tubuh Mo-bin Suseng yang menggeletak tidak bergerak.
Sekarang dendam sudah terlampias, ia sudah menuntut balas sakit hati keluarganya. Tapi benar-
benarkah ia sudah menuntut balas" Hati kecilnya tidak merasakan kepuasan sesuai dengan tuntutan
nuraninya. Sekarang terbayang olehnya sorot mata dan air muka Mo-bin Suseng sesaat sebelum
serangannya mengenai badan orang, terketuk dalam relung hatinya suatu firasat jelek yang
menghantui sanubarinya. Mendadak tampak olehnya badan Bo-bin Suseng bergerak-gerak, rasa ketakutan
menggedor hati Hun Thian-hi, serta merta kakinya menyurut mundur. Dengan pandangan tidak
mengerti ia pandang badan Mo-bin Suseng yang berkelejetan itu. Ternyata Mo-bin Suseng belum
lagi mati, sungguh ia tidaK berani membayangkan, setelah kena tertutuk empat jalan darah
kematian di tubuhnya orang ternyata masih mampu bertahan hidup sekian saat.
Dengan kencang Thian-hi genggam serulingnya, meski ia tahu seumpama Mo-bin
Suseng tidak segera mampus, terang jiwanya juga tidak mungkin diselamatkan lagi. Bagi manusla
yang tertutuk buntu jalan darah kematiannya adalah tidak mungkin berkepanjangan umurnya,
apalagi kena diterjang begitu hebat oleh kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek yang begitu ampuh,
terang urat nadi dan sendi tulangnya sudah putus dan hancur, harapan hidup sudah tiada lagi.
Mo-bin Suseng menggeliat tubuh dan terbalik celentang, dengan susah payah ia
berusaha merangkak bangun. Menyaksikan keadaan yang menyedihkan ini telapak tangan Hun
Thian-hi berkeringat dingin, ia tak tahu kekuatan darimana yang dapat melandasi kekerasan
hati Mo-bin Suseng sehingga ia mampu bertahan hidup, suatu hal yang mustahil dan tak mungkin
terjadi, tapi kenyataan disaksikan di depan matanya.
Mo-bin Suseng meronta bangkit dua kali, dua2nya gagal dan akhirnya ia rebah
kelemasan, dengan putus asa ia menghela napas panjang, terdengar suaranya lirih dan kalem,
"Hun-sicu! Aku bukan Mo-bin Suseng. Kemarilah kau, ada beberapa patah yang perlu kusampaikan
kepadamu!" Seakan-akan kepala Thian-hi dipukul godam mendengar ucapan orang, terasa olehnya
ketulusan ucapan seseorang yang menjelang ajal adalah jujur, seketika pucat pasi
selebar mukanya, keringat segede kacang mengalir dari jidatnya, dengan tertegun mulutnya
bicara, "Apa" Kau bukan Mo-bin Suseng" Benar-benarkah itu" Lalu Siapa kau sebenar-benarnya?"
Orang itu menghela napas tak bersuara, sesaat setelah menghimpun tenaga baru
bersuara lagi, "Kemarilah kau!"
Tiba-tiba Hun Thian-hi seperti tersadar siapa sebetulnya orang di hadapannya,
serunya terlongong, "Jadi kau adalah Ngo-sing Suhu?"
Orang itu berdiam diri! Hati Hun Thian-hi seperti menciut, rasa ketakutan menjalar seluruh sanubarinya
bergegas ia memburu maju serta berjongkok disamping orang terus memampah badannya.
Pelan-pelan orang itu membuka mata, katanya dengan suara tak bertenaga, "Hun-
sicu, aku tidak akan tertolong lagi, tapi sebelum ajal ada sebuah permohonanku terhadap
kau, kau harus memberi persetujuanmu...."
Hwesio cebol yang tambun ini ternyata benar-benar adalah Ngo-sing adanya,
sungguh pedih dan seperti ditusuk sembilu perasaan hati Hun Thian-hi, air mata meleleh deras
membasahi pipinya, sungguh ia menyesal akan perbuatannya yang gegabah dan ceroboh,
sedikitpun tidak terpikir olehnya bahwa bukan mustahil orang yang dihadapi ini adalah Ngo-sing
Suhu alias Siaubin- mo-in. Ngo-sing tertawa halus, katanya lirih, "Hun-sicu tidak perlu bersedih, dosa2ku
dulu terlalu keliwat takaran, memang aku sudah ditakdirkan begini, Hun-sicu tidak perlu
menyalahkan diri dan menyiksa dirimu karena nasib yang menimpa diriku ini, ini sudah suratan takdir!"
"Ngo-sing Suhu!" ujar Hun Thian-hi mengembeng air mata, "sungguh aku sangat
menyesal akan perbuatanku yang bodoh ini!"
Ngo-sing pejamkan mata sesaat lamanya, baru kuasa bicara lagi, "Hun-sicu! Selama
hidupku ini ada sebuah cita-citaku yang belum terlaksana kukerjakan, aku ingin mohon supaya
Hun-sicu suka mewakili aku mengabulkan cita-citaku ini."
"Ngo-sing Suhu silakan katakan saja, selama jiwa masih dikandung badan Hun
Thian-hi pasti akan melaksanakan pesanmu sekuat tenaga!"
Ngo-sing menghela napas lega, katanya tertawa, "Semula aku tidak paham kenapa
kau bisa panggil aku Mo-bin Suseng, sampai detik terakhir ini baru aku sadar, tentu kau
tadi sudah ketemu dengan guruku bukan?"
Hun Thian-hi manggut sambil sesenggukkan, sahutnya, "Benar-benar, baru saja aku
jumpa dengan beliau. Menurut katanya Mo-bin Suseng ada memperlihatkan jejaknya di
sekitar Jian-hudtong, dan kenyataan kaulah yang muncul, maka kusangka kaulah Mo-bin Suseng adanya!"
"Itulah yang dinamakan takdir," demikian kata Ngo-sing perlahan, "Kudengar Mo-
bin suseng akan tiba disini, dia adalah engkohku tertua maka hendak kutolong jiwanya.
sekali2 dia tidak boleh bertemu muka dengan kau, siapa nyana justru kau telah tahu beluk-beluk persoalan
ini." - sampai disini napasnya memburu dan berhenti bicara, sesaat kemudian baru
melanjutkan lagi, "Hwesio jenaka ada beritahu padaku dia berada di Siong-san, sebaliknya
pertanyaanmu bilang aku menyusul datang dari Thay-san Kusangka entah karena urusan apa Hwesio jenaka
telah pergi ke Thay-san pula." Sungguh Thian-hi menyesal dan gegetun lagi akan perbuatan bodohnya yang tidak
punya perhitungan ini, ingin untung menjadi buntung, orang baik-baik macam Ngo-sing
yang beberapa kali pernah membantu dirinya disangkanya Mo-bin Suseng dan melukai berat begini
rupa, terang tiada harapan hidup lagi,
Ngo-sing tersenyum halus. katanya: .Hun-sicu tidak usah menyesal dan salahkan
diri sendiri, nasiibku ini memang sudah suratan takdir aku tidak salahkan kau. Mungkin hanya
guruku seorang yang mengetahui rahasia persaudaraanku ini di seluruh dunia."
Meski Ngo-sing berkata tanpa pamrih, tapi betapa pedih dan pilu perasaan Hun
Thian-hi sungguh susah dilukiskan. Dia kuasa menerima segala cercah dan nista yang
ditimpakan dirinya oleh seluruh golongan persilatan di Bulim, tapi dia tidak akan kuasa menerima
kesalahan yang diperbuatnya hari ini. Tempo hari dirinya telah dibebani dosa tak berampun oleh
seluruh kaum persilatan. tapi dia tolak mentah-mentah. Justru hari ini Ngo-sing mewakili
dirinya menolak pula dosa2 ini pula, meski perbuatan ini merupakan suatu kesalah pahaman yang tidak
dimengerti, tapi ia tahu, bahwa segala akibat dari perbuatan kelalaian ini harus menjadi beban
dan tanggung jawabnya. Sekian lama Ngo-sing pejamkan mata, tiba-tiba ia membuka suara pula, "Guruku itu
adalah Suheng Ka-yap Cuncia, beliau bernama gelar Ah-lam Cuncia. Ka-yap Cuncia juga
sudah anggap beliau sudah wafat. Beliau paling pantang seseorang mengetahui nama dan asal
usulnya." Terbayang oleh Thian-hi akan Hwesio tua yang picak itu, sungguh tidak nyana
bahwa Hwesio tua itu ternyata adalah Suheng Ka-yap Cuncia
Ngo-sing berkata pula, "Selama hidupku inj tidak sedikit aku menerima budi besar
dari beliau orang tua. tapi kedua matanya yang picak sehingga seluruh kepandaian silatnya
pun musnah menjadi cacat badan juga lantaran diriku!"
Hun Thian-hi berdiam diri. terasa hatinya hambar dan kosong, dia berdiri
menjublek tak tahu apa yang sedang terpikir dalam benaknya.
"Ai, beliau terkena racun Ban-lian-ceng. meski kepandaian silatnya setinggi
langit, tapi sekarang sudah punah dan tak berguna lagi. Untuk menyembuhkan sepasang mata dan
memulihkan Lwekangnya kembali. cuma dapat memohon pada seseorang saja!" demikian Ngo-sing
melanjutkan ceritanya. Mendadak tersedar Thian-hi dari lamunannya, tanyanya, "Maksud Ngo-sing Suhu
supaya aku pergi mencari orang itu bukan" '
Ngo-sing harus mengempos semangat dan mengatur napas sebentar baru bisa
melanjutkan bicara, "Orang ini adalah Suheng Thaysi Lojin yang kenamaan di Bulim dulu bemama
Jing-sankhek. Dulu aku pernah ketemu beliau, tapi selama hidup ini dia membisu diri tak mau
bicara sekecap pun Orang ini merupakan seorang cerdik pandai, tiada persoalan yang
tidak dapat dibereskan oleh beliau. Akhirnya dapat kuselidiki alasan kenapa dia membisu
diri, ternyata karena dia kehilangan semacam barang, dan barang itu adalah milik istrinya yang
tercinta. Bila kau dapat menemukan barang itu dan menghadap pada beliau, pasti hasilnya diluar dugaan." -
Sampai disini napasnya menburu lagi dan terbatuk2 hebat, akhirnya jatuh kelemasan.
Cepat-cepat Thian-hi memajangnya bangun, tanyanya cepat, "Barang apakah itu?"
Dengan lemah Ngo-sing membuka mata, suaranya tergagap. "Kata mereka....itulah
....seekor....seekor kuda....kuda hijau....sampai disini melayanglah jiwanya.
Dengan mengembeng air mata pelan-pelan Thian-hi letakkan badan orang terus
berdiri, otaknya seperti butek dan tidak punya pegangan lagi, mulutnya menggumam, "Kuda
hijau" Kuda yang berwarna hijau?" -Mana mungkin ada kuda warna hijau di dunia ini" Dan lagi
Ngo-sing sudah meninggal, dia meninggal begitu saja. Betapa aku takkan malu berhadapan dengan
para sahabat Kangouw" Tengah ia terlongong, tiba-tiba dilihatnya Hwesio tua picak yang bernama Ah-lam
Cuncia seperti penuturan Ngo-sing berjalan keluar dari hutan.
Dengan mendelong Hun Thian-hi pandang Ah-lam Cuncia, hatinya menjadi was-was dan
takut, hampir saja ia melarikan diri, Ah-lam Cuncia pernah menanam budi pada dirinya,
demikian juga Ngo-sing tidak kecil pula bantuannya terhadap dirinya, Tapi kenyataan Ngo-sing
sekarang sudah menjadi korban kelalaiannya.
Dengan, perasaan hampa segera ia melangkah kehadapan Ah-lam Cuncia, terus
bertekuk lutut dan menangis gerung-gerung dihadapan kaki orang.
Ah-lam Cuncia mengelus-elus kepalanya, rada lama kemudian baru ia bersuara,
"Dalam hati Siau-sicu sekarang sedang berpikir apa, apakah Siau-sicu sendiri tahu?"
Hun Thian-hi geleng-geleng kepala sahutnya sambil sesenggukan, "Wanpwe tidak
tahu, harap Taysu suka memberi petunjuk!"
Ah-lam Cucia berkata pelan-pelan, "Kalau Siau-sicu sendiri tidak tahu, lalu
siapa bakal tahu?" Tergetar dada Thian-hi walau Ah-lam Cuncia mengucapkan kata-katanya ini sangat
lirih dan enteng, namun setiap katanya seperti meresap dan memasuki sanubarinya.
Sekonyong-konyong sadarlah ia dari pulasnya, bayangan masa lampau dari segala
sepak terjangnya yang penuh noda2 berdarah laksana air bah yang menerjang ke dalam
relung hatinya, sadarlah ia bahwa dosa2nya membunuh terlalu berat, akhirnya ia berkata perlahan,
"Untuk selanjutnya Tecu pasti tidak akan membunuh sembarangan orang!"
Lalu perlahan-lahan ia mendongak melihat wajah Ah-lam Cuncia, seketika ia
melenggong kaget, tampak kedua biji mata Ah-lam Cuncia terbuka melek, dengan senyum welas asih ia
pandang dirinya, biji matanya memancarkan sorot tajam yang menembus kerelung hati orang.
Hun Thian-hi masih berlutut dengan mendelong ia pandang muka Ah-lam Cuncia.
Ah-lam cuncia tampak tersenyum, ujarnya, "Hawa membunuh Siau-sicu sudah kabur,
namun nafsu asmara masih bersemi dalam hati, selanjutnya kau masih perlu berhati-hati
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam segala tindak tanduk. Loceng segera minta diri bila kelak masih jodoh, pasti akan jumpa
pula!" habis berkata dimana lengan jubahnya mengebut jenazah Ngo-sing tahu-tahu sudah berada
dikempitannya, sekali berkelebat dilain saat beliau sudah melesat menghilang tanpa bekas.
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, hampir ia tidak percaya pada penglihatan
matanya sendiri, Ah-lam Cuncia sudah sembuh kembali, kedua matanya sudah melek dan dapat
melihat, betapa tinggi Kepandaiannya, sungguh sukar diukur dan sangat menakjubkan. Apa
yang sekarang disaksikan sungguh berbeda terlampau jauh dari penuturan Ngo-sing tadi.
Entah berapa lama Hun Thian-hi terlongong tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba
ia tersentak sadar akan tugas apa yang harus segera dilaksanaKan sekarang, cepat ia
berlari menuju kejalan rahasia yang menembus kegua seribu Buddha.
Baru saja ia berada di dalam kegelapan lorong gua, mendadak terasa dua gelombang
angin deras menerjang tiba dari kanan kiri, betapa kuat terpaan jalur kedua angin
pukulan ini, benarbenar merupakan rangsakan dari tokoh kelas wahid dalam kalangan persilatan umumnya.
Sedikit terkejut lantas Hun Thian-hi siaga dengan seluruh kemampuannya, ia insaf
bahwa jalan rahasia ini sudah konangan orang lain, malah musuh kedatangan bala bantuan lagi,
atau mungkin Tok-sim-sin-mo sendiri sudah kembali pulang dan berada si Jian-hud-tong pula
sekarang. Tanpa ada tempo untuk banyak pikir, sebat sekali ia berkelit mundur seraya
mengembangkan kedua tangannya kekanan kiri untuk menyampok serangan musuh, berbareng kakinya
menjejak tanah, kontan tubuhnya menerjang maju ke depan, lolos dari gencetan dua arus
pukulan dahsyat. Begitu menerobos lewat dari gencetan dua arus pukulan angin musuh, gesit sekali
ia berdiri membalik dan memasang kuda-kuda siap waspada, dilihatnya dari tempat gelap dari
dua samping muncul Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tahu dia sekarang bahwa Tok-sim-sin-
mo pasti benar-benar sudah kembali, tanpa merasa berdegup keras jantungnya.
Melihat Hun Thian-hi mampu meloloskan diri dari serangan gabungan yang begitu
dahsyat dilancarkan secara membokong lagi, sungguh Biau biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho
menjadi kesengsem, tanpa banyak bicara mereka bergerak pula dari jurusan masing-masing
dengan serangan telak ke arah Hun Thian-hi Tiba-tiba tergerak hati Hun Thian-hi, ia
menduga bahwa kedua musuhnya ini pasti belum sempat memberitahu akan jalan rahasia yang
ditemukan ini pada kawan2nya yang lain, maka ia berpikir harus bertindak secepatnya, sebaliknya
kedua lawannyapun ingin dapat membekuk Hun Thian-hi secara diam-diam pula tanpa mendapat bantuan
orang lain yang berarti menurunkan derajat dan mengurangi jasa2 mereka pada pemimpinnya.
Begitulah kedua belah pihak sama bertekad untuk merobohkan lawannya. maka masing-masing
melancarkan ilmu pukulan dan tipu-tipu yang paling diandalkan.
Tiga gelombang pukulan dahsyat seketika berkutet dan saling bentur dengan
kekerasan yang dahsyat sehingga menimbulkan suara ledakan yang gemuruh. Badan Hun Thian-hi
tergetar sempoyongan tersurut mundur ke belakang. Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho
serempak menghardik Keras, mereka mengejar datang pula serta menambahi pula dengan
tamparan dan sodokan yang mematikan, sementara kelima jari Bing-tiong-mo-tho terjulur panjang
mencakar kemuka Hun Thian-hi. Demikian juga Biau-biau-cu merubah sodokan sikutnya dengan
sebuah tutukan jari yang mengarah jalan darah Yu-kin-hiat. Besar hasrat mereka dalam
serangan serempak yang dahsyat ini dapat membinasakan Hun Thlan hi seketika itu juga.
Tiba-tiba Hun Thian-hi menjengkangkan atas tubuhnya ke belakang, berbareng kedua
kakinya terangkat ke atas bergantian menendang ketenggorokan kedua musuhnya yang
menyerang maju dengan nafsu yang berkobar itu.
Keruan kedua musuhnya kaget bukan kepalang, sungguh mereka tidak nyana bahwa Hun
Thian-hi dapat bergerak begitu lincah dan pintar, dalam keadaan terdesak
berbalik balas menyerang dengan serangan telak yang sekaligus telah membebaskan diri dari
renggutan maut serangan musuh. Lebih diluar dugaan pula bagi kedua musuhnya bahwa gerak serangan Hun Thian-hi
ini melulu hanyalah serangan pancingan belaka, begitu kedua kakinya terangkat dan
menendang, mendadak tubuhnya melejit mumbul ke atas berbareng berputar satu lingkaran, dimana kedua
tangannya menyamber kontan kedua lawannya kena terpukul mundur sempoyongan.
Keruan ciut nyali Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho bahwa dengan dua lawan satu
ternyata Hun Thian-hi masih mampu mendesak kedua lawannya dan berada di atas angin, bila
pihak sendiri tidak mengundang bala bantuan pasti sulit dapat mengatasi keadaan yang terdesak
ini. Mendapat angin Hun Thian-hi pun melancarkan serangan yang lebih dahsyat, begitu
lincah gerak geriknya terus mendesak maju, sekonyong-konyong kedua telapak tangannya
terkembang terus menepuk ke atas batok kepala kedua musuhnya.
Melihat Hun Thian-hi melancarkan serangan denganb kekerasan tanpa menjaga lobang
kelemahan tubuhnya Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho mendengus gusar, serempak
mereka memiringkan tubuh mkenyongsongkan telapak tangan masing-masing menyambut pukulan
Hun Thian-hi, cara tangkisan mereka ini cukup licik bukan saja dapat memunahkan
sebagian tenaga pukulan Hun Thian-hi berbareng mereka susulkan pula pukulan telapak tangan yang
lain dengan tenaga yang lebih dahsyat.
Tapi Hun Thian-hi punya perhitungannya sendiri, mana begitu gampang ia bisa
dikelabuhi oleh kedua musuhnya. Ia insyaf bila bertempur secara kekerasan jelas dirinya bukan
tandingan Biaubiau- cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tapi bila kedua musuhnya ini tidak dapat bekerja sama
dan dirinya dapat bertindak menggempur kelemahan mereka masing-masing, meski satu lawan dua
ia percaya masih mampu mengatasi, malah ia percaya dapat menang' mengandal kecerdikan
otaknya. Begitulah seiring dengan jalan pikirannya ini, tampak kedua musuhnya sudah
melancarkan pula serangan yang bertujuan sama hendak menggempur dadanya, seketika otaknya yang
cerdik dapat meraba cara bagaimana ia harus bertindak, sebat sekali kedua telapak tangannya
terkembang berputar di tengah jalan ia robah pukulan telapak tangan menjadi tutukan jari
yang mengarah jalan darah Sim-hu-hiat di depan dada kedua lawannya.
Sim-hu-hiat adalah salah satu jalan darah mematikan yang berjumlah tiga puluh
enam di seluruh tubuh manusia, begitu kena tertutuk jiwa segera melayang. Angin tutukan
jari Hun Thianhi laksana ujung pedang tajamnya, menembus lewat dari arus pukulan mereka sendiri
terus menerjang kejalan darah Sim-hu-hiat.
Serasa arwah terbang keluar dari badan kasar Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho,
mereka insyaf bila dengan gabungan mereka berdua main adu kekerasan sama Hun Thian-hi
belum tentu dapat menamatkan jiwa Hun Thian-hi, malah bukan mustahil pihak sendiri yang terkapar binasa di
tanah, sedetik sebelum benturan yang menentukan terjadi sebat sekali mereka
menarik diri terus menyurut mundur, sekali mundur terus mundur berulang-ulang.
Siang-siang Hun Thian-hi sudah bersiap dan sudah memperhitungannya bahwa kedua
musuhnya pasti akan mundur. maka segala persiapannya segera diberondong keluar dengan tubrukan
maju serta gempuran yang dahsyat dilandasi Pan-yok-hian-kang. gelombang angin pukulan
laksana angin topan dan prahara menerpa mereka berdua.
Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak mundur terus tanpa mampu balas
menyerang, tubuh mereka sungsang sumbel gentayangan, sementara Hun Thian-hi terus mendesak
maju dengan gempuran yang susul menyusul, sehingga mereka berdua kena terdesak mundur
keluar lorong sempit jalan rahasia itu.
Tanpa memberi kesempatan pada kedua musuhnya untuk bertindak sesuatu yang
memungkinkan, cepat-cepat Thian-hi angkat sebuah batu besar terus disumbatkan
kemulut gua, dilain saat ia sudah berlari keluar dan menghilang dari belokan jalan rahasia
yang lain. Begitu Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak keluar gua setelah dapat menenangkan
diri baru tahu bahwa mulut gua sudah tersumbat oleh batu besar, sesaat mereka berdiri
berpandangan, serempak mereka lancarkan dua pukulan telapak tangan, "Blang" batu besar itu
kena dibobol hancur berantakan. Tapi keadaan dalam gua sunyi senyap tak kelihatan bayangan orang. Mereka tidak
tahu apakah Hun Thian-hi masih berada di dalam sana untuk menyergap mereka bila menerjang
masuk ke dalam gua. Untuk sesaat lamanya mereka berdiri tertegun tak berani bergerak, sekian lama
mereka menjadi serba susah dan kebingunan.
Sesaat lamanya mereka berpandangan, dasar licik masing-masing tidak mau
mendahului menerjang masuk supaya tidak menjadi korban lebih dahulu, tapi apakah selamanya
mereka harus berdiri terlongong di tempat itu" Bila Hun Thian-hi masih berada disana itulah
mending, bila dia sudah merat dan menerjang ke dalam gua sebelah dalam dan menimbulkan huru hara,
bukankah celaka dan merupakan dosa bagi mereka yang kurang cermat menjalankan tugas"
Karena terpikir akan akibat dari hukuman yang berat, akhirnya mereka nekad, perlahan-lahan
mereka menggeremet maju bersama memasuki gua rahasia disebelah depan.
Begitu sampai di dalam bayangan Hun Thian-hi sudah tidak kelihatan lagi, keruan
mereka berseru kaget, bergegas mereka lari mengejar kesebelah dalam.
Sementara itu, setelah Thian-hi keluar dari lorong rahasia, dia tidak berani
lari menuju langsung ke tempat tahanan Coh Jian-jo, bila dirinya sampai terkurung lagi disana,
mungkin sangat fatal bagi dirinya untuk membebaskan diri.
Apalagi Tok-sim-sin-mo sudah kembali, bukan mustahil saat ini dia berada disana
pula, lalu apa gunanya aku meluruk langsung kesana. Adalah lebih baik disaat Tok-sim-sin-mo
tidak berada ditempatnya bila aku dapat mencari obat pemunah itu, dan tindakan selanjutnya
baiklah bekerja melihat gelagat. Begitulah sambil menerawang tindakan selanjutnya kakinya berlari-lari kecil ke
depan. Jalanjalan lorong dalam Jian-hud-tong itu seperti jaringan laba-laba yang rumit sekali,
sesaat Hun Thian-hi menjadi bingung dan mengerutkan alis, entah kemana ia harus mencari
jurusan yang benar-benar!. Setelah menempuh perjalanan belak belok yang cukup jauh, mendadak dilihatnya
Tok-sim-sinmo sedang berjalan mendatangi dari arah sebelah sana. Berdetak jantung Hun Thian-
hi, pikirannya, "mungkin Tok-sim-sin-mo hendak menuju ke tempat kurungan Ling-lam-
kiam-ciang Coh Jian-jo." Dalam pada itu tampak kaki Tok-sim-sin-mo melangkah enteng lewat di bawah Hun
Thian-hi terus beranjak ke depan. Secara kebetulan baru saja ia lewat di bawah Hun Thian-hi, mendadak ia
menghentikan langkahnya, sejenak ia berdiri terlongong seperti sedang memikirkan sesuatu lalu
bergegas melanjutkan kelorong sebelah samping.
Diam-diam Hun Thian-hi merasa heran. entah mengapa setelah beberapa tindak ke
depan Toksim- sin-mo memutar kesamping sana, apakah dia sudah mengetahui akan jejakku" Atau
melupakan sesuatu" Demikian ia mereka-reka dalam hati.
Karena ingin tahu secara diam-diam ia menguntit di belakang Tok-sim-sin-mo,
ingin ia tahu kemana tujuan orang. Tampak Tok-sim-sin-mo terus maju ke arah depan tanpa
menoleh lagi, tidak lama kemudian ia membelok kesebuah pengkolan, mendadak keadaan disini
tampak menjadi terang benderang, kesanalah Tok-sim-sin-mo terus beranjak masuk.
Hun Thian-hi menguntit terus, baru saja ia tiba di tempat terang itu, tampak
Tok-sim-sin-mo membelok pula ke arah sebuah tikungan di sebelah sana, baru saja ia hendak
menyusul kesana, sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh dibelakangnya. Sungguh kejut Thian-hi
bukan main,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata jalan mundur dibelakangnya kini telah tertutup rapat oleh pintu besi,
tahu dia bahwa ia masuk perangkap, cepat ia berlari ke depan mejusul ke arah dimana Tok-sim-sin-mo
tadi menghilang. Keruan Thian-hi melengak keheranan. sungguh ia tidak habis mengerti cara
bagaimana Toksim- sin-mo dapat mengetahui bahwa dirinya sedang menguntit dibelakangnya. Apa boleh
buat dengan langkah lemas lunglai pelan-pelan ia melanjutkan ke depan. Bahwa Tok-sim-
sin-mo sengaja memancing dan mengurung dirinya di tempat ini pasti dia mempunyai tujuan
tertentu. Waktu Thian-hi angkat kepala mendongak ke atas dinding, dengan seksama ia
memeriksa keadaan sekitarnya. Bahwa Tok-sim-sin-mo dapat menghilangkan jejaknya dalam
waktu yang begitu singkat, pastilah tempat itu ada sebuah jalan rahasianya yang tersembunyi
tapi dimana letaknya. Mendadak dilihatnya mutiara besar yang terporotkan di atas dinding itu terbayang
bentuk badannya sendiri, baru sekarang ia sadar, meski tadi dirinya sembunyi di atas
dinding yang tersembunyi tapi dari bayangan yang terkaca di atas mutiara itu pastilah Tok-
sim-sin-mo sudah mengetahui jejaknya, bukan mustahil bahwa dia sudah mengetahui akan kehadiran
dirinya. di dalam sarangnya ini. Teringat olehnya waktu Tok-sim-sin-mo mendadak menghentikan langkahnya tadi.
persoalannya pasti tidak begitu gampang, tentu dia sedang menerawang cara
bagaimana mencari akal untuk menghadapi atau menjebak dirinya. Bila Ling-lam-kiam-ciang terkurung
disekitar sjni, bukan mustahil bahwa dalam lorong2 gua yang sempit itu tersembunyi berbagai alat
rahasia. Adalah jamak bila Tok-sim-sin-mo tidak sudi mengeluarkan banyak tenaga dan
pikiran, cukup dengan alat2 rahasia sudah berkelebihan untuk menghadapi dirinya.
Keadaan gua dimana sekarang ia berada jauh lebih benderang dari keadaan gua yang
lain. Sesaat Hun Thian-hi menjadi was-was dan curiga. Dari suara gemuruh turunnya
pintu besi yang tebal itu dapatlah ia mengukur bahwa mengandal tenaganya tidaklah mungkin ia
kuat mencebolnya keluar. Tok-sim-sin-mo sekarang sudah menghilang, kecuali dapat menemukan alat rahasia
dan jalan keluarnya, kalau tidak dirinya harus terima nasib mati kelaparan atau bunuh diri
saja. Dengan cermat Thian-hi meraba-raba dinding sekitarnya, diperiksanya setiap
jengkal dinding batu yang dicurigai apakah disana letak alat rahasia yang bakal menolong dirinya
keluar. Tapi kecuali mutiara yang cerlang cemerlang terporot di atas dinding itu.... ia tidak
menemukan sesuatu yang dapat menolong dirinya.
Mendadak ia seperti menemukan sesuatu yang menimbulkan perhatiannya, di bawah
mutiara itu, lapat-lapat seperti ada sebuah goresan anak panah yang menunjuk kesuatu
arah tertentu, goresan itu begitu ringan sekali sehingga sukar dapat dipandang dengan mata
biasa, tapi bagi sepasang biji mata Thian-hi yang jeli dengan bekal Lwekangnya yang tinggi. ia
dapat melihat dengan jelas sekali, memang bila tidak diperhatikan orang tidak akan tahu adanya
tanda rahasia ini. Berdetak jantung Thian-hi. dengan adanya petunjuk ini apa pula yang perlu
kutakuti, mengiringi petunjukan tanda rahasia yang tergores di bawah mutiara2 itu setindak
demi setindak ia maju ke depan. Beberapa lama kemudian mendadak ia mendapat firasat yang kurang baik, penerangan
dalam gua tetap sama, tapi lambat laun tanah sekitarnya semakin lembab dan basah,
empat dinding sekitarnya kelihatan basah dan meneteskan air.
Wilajah Tun-hong terkenal dengan gurun pasir yang teramat luas. tanah disini
tandus dan kering, letak Jian-hud-tong berada di dalam pegunungan tandus yang geesang pula,
tapi kenapa dirinya seperti berada di dalam bawah tanah yang sangat rendah, pikir punya
pikir lambat laun timbul rasa ketakutan yang semakin menghantui sanubarinya, pikirnya; 'Entah
apakah yang berada disebelah dalam sana"'
Thian-hi merasakan keganjilan rasa dalam relung hatinya, timbul was-was dan
kewaspadaannya, pelan-pelan ia beranjak maju terus ke depan.
Tapi mendadak ia melihat sesuatu yang luar biasa ganjilnya muncul di depan sana,
sudah tentu kejutnya bukan kepalang, tanpa terasa ia tersentak mundur selangkah.
Dalam lobang gua sebelah dalam sana, ada seseorang sedang berjalan mondar-
mandir, orang itu berpotongan sebagai Tojin dan sekilas pandang saja cukup jelas bahwa Tosu
ini bukan lain adalah Giok-yap Cinjin itu Cianbunjin Bu-tong-pay yang pernah dikenalnya dan
akhirnya terbunuh secara gelap. Jantung Thian-hi melonjak-lonjak sangat keras, apa yang dilihatnya sekarang
sungguh sangat mengejutkan hati dan perasaannya, bahwa Giok-yap ternyata belum mati dan muncul
di tempat ini, adalah Tok-sim-sin-mo pula yang sengaja memancing dirinya kemari. entahlah
kemana maksud tujuannya! Thian-hi menahan gejolak hatinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya,
tiba-tiba terpikir olehnya, tadi aku hanya melihat dari bayangan samping orang itu, mungkin memang
bentuk tubuh dan raut muka orang itu rada mirip dengan Giok-yap Cinjin, yang benar-benar dia
adalah seorang yang lain. Tujuan Tok-sim-sin-mo memancingku kemari adalah supaya orang ini
membunuh aku. Karena pikirannya ini ia melongokkan kepalanya pula ke dalam, pandangan sekali
ini, hampir saja membuat semangat dan arwahnya seperti copot dari badan kasarnya.
Ternyata Tosu itu sekarang tahu-tahu sudah berdiri dihadapannya tanpa
mengeluarkan sedikitpun suara. Begitu ia melongok ke dalam hampir saja ia beradu muka dengan
orang, sekarang lebih jelas dan boleh dipastikan, siapa lagi kalau Tosu ini bukan Giok-
yap Cinjin adanya" Meski Hun Thian-hi membekal kepandaian silat setinggi langit, walaupun nyalinya
sebesar gajah, menghadapi keadaan yang seram ini tanpa merasa ia tersurut mundur
berulang-ulang, seluruh tubuhnya gemetar merinding, dengan pandangan penuh ketakutan ia pandang
ke dalam lorong sana. Ooo)*(ooO Munculnya Ham Gwat secara mendadak sungguh merupakan suatu pukulan batin bagi
Bu-bing Loni, sedikit terkejut konsentrasinya menjadi bujar, pedang yang sudah bergerak
hendak menyerang menjadi batal di tengah jalan.
Sesuai dengan tatapan matanya yang dingin Ham Gwat menyapu pandang para hadirin
dalam gua itu, rona wajahnya masih kelihatan begitu beku dan kaku
Sekonyong-konyong terketuk rasa ketakutan yang menyelubungi sanubari Bu-bing
Loni, agaknya ia merasa terketuk dan gentar menghadapi sinar mata Ham Gwat yang kaku
dingin dan cemerlang itu, apalagi secara langsung dihadapan Kiang Tiong-bing.
Mendadak ia merasa terketuk pula bahwa wibawa dan keangkeran dirinya sudah
diinjak2, Ham Gwat adalah asuhannya sejak kecil, sekarang berada di hadapannya berani begitu
kurang ajar tidak tahu sopan santun dan tata krama, maka dengan rasa gusar yang berapi-api
ia deliki Ham Gwat, mulutnya pun menggeram desisnya, "Ham Gwat! Di hadapanku berani kau
berlaku kurang hormat ya!" Sekilas agaknya Ham Gwat terpengaruh akan wibawa dan kekerasan gurunya, pelan-
pelan pandangannya tertunduk kebawah, namun dalam kejap lain ia sudah angkat kepala
lagi memandang Bu-bing Loni dengan tidak bersuara dan tidak berkedip.
Kedua biji mata Bu-bing pun menatap Ham Gwat lekat-lekat, kalau menurut adat
kebiasaannya, sejak tadi ia sudah pukul mampus Ham Gwat, tapi betapa pun Ham Gwat adalah buah
asuhannya sejak masih baji, seluruh harapan hidupnya ia tumplekkan kepada bimbingannya
kepada Ham Gwat pula, sungguh ia tidak rela begitu saja melenyapkan Ham Gwat dari kehidupan
ini, apalagi masih ada Poci pula, bila dirinya menyerang Ham Gwat bukan mustahil dia akan
bantu mengeroyok dirinya. Bagaimana kepandaian silat Ham Gwat ia paling jelas, tingkat kepandaian silat
Ham Gwat tidak terlalu jauh bedanya dengan kemampuannya terutama Ginkangnya malah sudah
sebanding dengan dirinya. Bu-bing mendengus, jengeknya gusar, "Dua puluh tahun jerih payah mengasuh dan
membesarkan kau sampai sekarang, dan apa yang kudapat sekarang adalah sikap
kurang ajaranmu kepadaku ini?"
Ham Gwat tidak gubris ucapannya, pelan-pelan sepasang biji matanya beralih
memandang ke arah Kiang Tiong-bing, agaknya ia merasakan sesuatu yang aneh, terketuk perasaan
sanubarinya bahwa orang tua laki-laki di hadapannya ini seolah-olah adalah familinya yang
terdekat, terpancar dalam sorot matanya harapan akan buaian cinta kasih yang belum pernah dirasakan
dan diresapi selama hidup ini. Dari samping Poci membuka suara, "Orang tua itu adalah ayah kandungmu!"
Tergetar hati Ham Gwat, terasakan olehnya berita yang datang secara mendadak
merupakan suatu pukulan yang sulit untuk diterima dengan nalarnya yang masih kebingungan,
hampir ia tidak percaya akan pendengaran telinganya, sesaat ia terlongong dan menjublek di
tempatnya. Jang paling terkejut justru adalah Bu-bing Loni, ia tahu bahwa rahasia ini
sekali2 pantang diketahui oleh Ham Gwat, karena bila Ham Gwat mengetahui seluk beluk persoalan
ini, bagaimana akibatnya siang-siang ia sudah dapat membayangkan. Demikian juga Poci telah
mengetahui rahasia ini, bertambah pula rasa kejutnya, tapi ini memang akibat yang pasti
terjadi, kalau toh Ham Gwat mendadak bisa muncul disini, mana mampu dirinya menutupi atau
merahasiakan terus persoalan ini. Sekonyong-konyong berkobar nafsunya, biji matanya berubah buas dan beringas
kenyataan mendesak dia harus cepat-cepat turun tangan sebelum Ham Gwat dapat memulihkan
kesadaran pikirannya. Bila terlambat lagi sesaat lamanya, mungkin kesempatan yang ada dan
baik ini sulit dicapai lagi. Pedang di tangan kanannya terayun melengkung, sinar pedangnya berkelebat laksana
biang lala menusuk dan membabat ketubuh Ham Gwat dalam dua sasaran atas dan tengah.
Melihat Ham Gwat mendadak terlongong mematung di tempatnya, tiba-tiba terasa
oleh Poci keadaan yang membahayakan jiwanya ini, Poci menjadi sadar bahwa ucapannya tadi
sudah terlalu pagi di katakan sehingga terjadi akibat yang diluar dugaan ini.
Begitu pedang Bu-bing Loni menyamber ke arah Ham Gwat segera ia berteriak
memperingatkan; "Awas!" - baru mulutnya berseru, sebuah pikiran berkelebat pula dalam benaknya,
secara reflek tangan kanannyapun segera bekerja menarik kelima senar harpanya keras-
keras, begitu kelima senar harpanya putus dan mengeluarkan gelombang suara yang nyaring
melengking menembus langit menerjang ke depan, Sungguh dahsyat dan hebat benar-benar suara
kelima senar harpa yang terputus itu.
Bu-bing Loni tidak men-duga-duga. tubuhnya bergetat hebat. sedang pedang panjang
ditangannya pun terlepas jatuh di atas tanah, sekilas pandangan matanya mendelik
berapi-api penuh dendam kebencian ke arah Poci, sebat sekali tiba-tiba tubuhnya berkelebat
melayang keluar gua dan menghilang Poci masih duduk bersimpuh di tanah, begitu bayangan Bu-bing lenyap kontan
mulutnya terpentang menyemburkan darah segar, badannya pun terus roboh lemas.
Lekas-lekas Ma Gwat-sian dan Ham Gwat memburu maju. dengan raut muka dibasahi
air mata Ma Gwat-sian berteriak-teriak, "Suhu! Suhu! Bagaimana keadaanmu"
Perlahan-lahan Poci membuka mata, ia tersenyum manis ke arah Ma Gwat-sian,
ujarnya, "Nak, aku tidak apa-apa, kau tak usah kuatir!"
Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat serta sambungnya, "Lekas kau tengok keadaan
ayahmu!" Sungguh Ham Gwat merasa sesal dan terima kasih pula, tahu dia bahwa Bu-bing Loni
pasti
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terluka dalam yang cukup parah karena serangan getaran suara kelima senar harpa
yang putus tadi, kalau tidak masa ia melarikan diri. Tapi luka dalam yang diderita Poci
rasanya jauh lebih berat pula, demi akulah sehingga orang terluka berat, tapi sikapnya masih begitu
baik pula terhadap aku, demikian batin Ham Gwat dengan haru.
Maka dengan penuh keharuan Ham Gwat berkata, "Terima kasih Cianpwe. kelak Wanpwe
pasti akan membalas budi kebaikan ini!" - Lalu tersipu-sipu ia berlari ke arah Kiang
Tiong-bing dan membuka jalan darah yang tertutuk ditubuhnya.
Mengawasi Ham Gwat tak tertahan lagi mengalir deras air mata Kiang Tiong-bing,
tiba-tiba ia peluk Ham Gwat erat-erat, katanya sesunggukan, "Nak! Beberapa tahun ini sungguh
kau banyak menderita." Mendadak Ham Gwat seperti merasai hatinya menjadi kosong. terasa bahwa kekesalan
lubuk hatinya selama ini mendadak meledak dan semua membanjir keluar, baru pertama
kali ini ia mengalirkan air mata, malah begitu deras dan tak terbendung lagi air mata
kesedihan dan kegirangan, serta merta mulutnya berteriak seperti orang histeri, "Ayah! ayah...."
Ma Gwat-sian terketuk sanubarinya, perlahan-lahan ia menundukkan kepala, tanpa
tertahan air matanya pun mengalir juga.
Baru sekarang ia mendadak memahami, lambat laun dirinya semakin terpaut menjauh
dari rasa kebahagiaan yang didambakan selama ini, berlawanan dengan keadaannya Ham Gwat ia
sedang melangkah menuju ke arah bahagia yang sudah tiba diambang sanubarinya, ia sadar
bahwa ia harus lekas-lekas kembali ke Thian-bi-kok.
Bab 26 Dalam pada itu, Kiang Tiong-bing dan Ham Gwat masih berpelukan dan bertangisan
entah berapa lama kemudian. Kiang Tiong-bing tertawa serta berkata, "Nak. sudah jangan
bertangisan lagi. Coba kulihat kau!"
Lalu ia cekal kedua pundak Ham Gwat dan dipanpangnya dihadapan mukanya dengan
cermat ia amati wajah Ham Gwat yang aju rupawan itu, berselang lama baru terdengar pula
suaranya tertawa girang, "Dua puluh tahun lamanya, kau sudah tumbuh sedemikian besar,
sungguh mirip benar-benar dengan ibumu semasa muda. malah kecantikan ibumu rasanya masih kalah
tiga bagian dibanding kau sekarang!"
Pertama Kali mendapat pujian dan yang memuji justru ayahnya sendiri Ham Gwat
menjadi kegirangan dan malu-malu kucing, lekas ia menunduk dan memukul lengan ayahnya
dengan aleman. Kiang Tiong-bing terlongong memandangi muka Ham Gwat, akhirnya ia menghela
napas, ujarnya, "Tapi. entah dimana sekarang dia berada!" - Ucapannya penuh nada derita
dan pilu. "Benar-benar ayah, dimanakah ibu sekarang berada?" tanya Ham Gwat.
Pelan-pelan Kiang Tiong-bing menggeleng kepala. sahutnya tertawa getir, "Ma
Gwat-sian adalah seorang anak yang baik, aku sudah menerima dia sebagai putri angkatku.
Gurunya tadi pun sudah menolong jiwamu kelak jangan kau membuatnya kecewa!"
Ham Gwat mengiakan, dipandangnya Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian maju menghampiri katanya tersenyum, "Ham Gwat Cici, selamat akan
pertemuan kalian ayah dan anak!"
"Teriina kasih padamu Gwat-sian!" sahut Ham Gwat terharu.
Sekarang terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa sebenar-benarnyalah Ham Gwat jauh lebih
sjmpatik dan gampang bergaul dari dugaannya semula. Memang lahirnya bersikap kaku dan
berwibawa tidak boleh sembarangan diganggu usik, dia punya keagungan yang suci dan dapat
melumpuhkan semangat orang, tapi bila sudah dapat berdekatan dengan akrab akan terasakan
bahwasanya iapun mempunyai perasaan luhur yang wajar Tidak congkak atau sombong oleh
perasaan sementara orang yang segan kepadanya.
Kata Ma Gwat-sian, "Tadi ayahpun telah melindungi aku, kalau tidak mungkin sejak
tadi aku sudah mampus oleh keganasan Bu-bing Loni!"
Ham Gwat pandang muka Gwat-sian lalu menunduk berpikir, teringat olehnya akan
penuturan Poci itu. sadar ia cara bagaimana ia harus bersikap dalam persoalan ini. Meski
pun Ma Gwat-sian sangat pintar, tapi dalam hal buah pikiran dia masih belum cukup matang.
Sesaat kemudian baru Ham Gwat membuka suara, katanya, "Hun Thian-hi sekarang
sedang mencari kau, hati kecilnya sangatlah merindukan kau. soalnya karena kau terlalu
baik terhadapnya. Kau harus tahu, bila seorang laki-laki merasa sangat berterima
kasih dan jatuh cinta, ada kalanya ia tidak berani menyampaikan rasa cintanya itu secara berhadapan
terhadap kekasihnya!" Ma Gwat-sian tertunduk dalam, ucapan Ham Gwat terlalu mendadak bagi relung
hatinya untuk menerima dengan nalar dan pikirannya. malah iapun merasa rada kurang senang
karena anggap Ham Gwat hanya membujuk dan ngapusi dirinya sebagai anak2 yang mendambakan kasih
sayang dan cinta kasih. Namun setelah ia mendongak melihat sorot mata Ham Gwat tulus ikhlas, hatinya
menjadi menyesal pula, menyesal akan perasaan curiganya terhadap kebaikan Ham Gwat.
Terdengar Ham Gwat telah berkata pula, "Kau sudah lama bergaul bersama dia,
seharusnya kau tahu, bahwa ia terlalu banyak menerima budi kebaikan orang lain, maka dia
tidak mau lagi menerima budi pertolongan orang lain, inilah yang dinamakan harga diri dan
gengsi. Adalah aku murid dari musuh besarnya!"
Ma Gwat-sian tertawa, ujarnya, "Ham Gwat Cici, kumohon kau tak perlu
membicarakan persoalan ini!" Ham Gwat manggut-manggut, segera ia menghampiri Poci, katanya, "Cianpwe terluka
parah, aku bisa bantu kau berobat diri, marilah lancarkan jalan darah dulu!" ~tanpa
menanti jawaban Poci kedua telapak tangannya segera menempel dipunggungnya, segera ia kerahkan
tenaga dalamnya disalurkan melalui telapak tangannya menembus berbagai jalan darah
ditubuh Poci yang buntu. Sebenar-benarnya Poci hendak menolak, tapi belum sempat membuka mulut orang
sudah bekerja dengan cekatan, ia tahu bahwa tindakan Ham Gwat ini memang dapat
membantu penyembuhan dirinya lebih cepat, tapi akan banyak menguras tenaga Ham Gwat,
apalagi bila Bubing Loni datang kembali pada saat yang genting ini, mungkin tiada seorang pun yang
bisa menyelamatkan diri dari keganasannya.
Kira-kira gelombang hawa panas mengalir tiga putaran, seluruh jalan darah dan
hawa murni Poci sudah lancar dan bekerja secara normal kembali. Tapi tak urung mereka
berdua pun lemas tak bertenaga. Saat itu pula terdengar lambaian baju melayang masuk ke dalam
kamar batu itu, tahu-tahu Bu-bing Loni telah muncul pula diambang pintu.
Keruan semua yang hadir dalam kamar batu sama terkejut, sekilas Bu-bing melirik
ke arah Poci dan Ham Gwat lalu jengeknya dingin, "Kalian heran kenapa aku balik kembali
bukan?" - ia tertawa terkekeh-kekeh lalu sambungnya, "Selamanya aku tidak pernah menyerah
kalah, dan memang tidak pernah kalah, hari ini seumpama aku yang kalah, aku tidak akan
begitu saja lantas mengundurkan diri", sampai disini mulutnya menggeram dan hidung mendengus,
ejeknya pula, "APalagi aku belum lagi kalah, luka-luka yang kau derita jauh lebih berat
dibanding luka-lukaku!"
Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat, katanya pula, "Sejak kau lahir lantas kuasuh
dan kurawat sehingga kau dewasa, kau anggap aku tidak menyelami watak dan perangaimu" Kau
pasti akan memberi pertolongan dengan cara pengobatan khusus, sudah kuperhitungkan
waktunya, meski aku datang terlambat setindak, tapi masih keburu waktu." Seringainya semakin
beringas, mukanya masam dan biji matanya sudah berubah buas seperti binatang kelaparan.
Ham Gwat pelan-pelan bangkit berdiri, katanya, "Tahukah kau siapa yang menolong
Hun Thianhi dari tanganmu" Itulah aku adanya!"
Bu-bing Loni rada melengak heran, mulutnya menggeram gusar.
Terdengar Ham Gwat melanjutkan kata-katanya, "Kau heran bukan" Kau kira kau
hanya takut terhadap Ka-yap Cuncia atau Ah-lam Cuncia, jangan kau melupakan seorang yang
lain, orang inilah yang merupakan tandinganmu setimpal, seharusnya kau sadar siapakah orang
yang kumaksudkan ini. Dan yang lebih penting kau harus menyadari kenapa aku harus
meninggalkan kau, kenyataan bahwa kau tidak mampu menemukan jejakku."
Bu-bing Loni tertawa sinis, katanya, "Ham Gwat! Sejak kecil kau kubesarkan,
sekarang kau mengkhianati aku, malah sekongkol dengan orang luar melawan aku. Bagaimana sepak
terjangmu dahulu aku tidak peduli, yang jelas sekarang kau harus mampus ditanganku!"
Dengan tenang dan bersikap tetap dingin Ham Gwat balas menjengek tanpa gentar.
"Kau masih ingat Thay-si Lojin tidak?"
Berubah air muka Bu-bing Loni, ia tahu bahwa Thay-si Lojin tidak gampang
dilayani. Masih segar dalam ingatannya pada dua puluh tahun yang lalu Thay-si Lojin telah
menolong seseorang dari cengkeraman tangannya, ia tidak akan melupakan peristiwa itu, itulah
tragedi rahasia pribadinya yang disembunyikan kejadiannya, kalau toh Ham Gwat menyinggung soal
itu, pasti ia sudah tahu seluk beluk peristiwa itu, sejak waktu itu selama dua puluhan tahun
terakhir ini ia sedapat mungkin mengekang diri, tidak lagi mengumbar nafsu dan sifat jahatnya,
hari ini betapapun harus menghindari bentrokan dengan orang tua itu.
Dahulu Mo-bin Suseng bekerja sama dengan dirinya, hasil dari intrik mereka ia
dapat mencapai keinginannya, dan semua itu adalah hasil tipu daya yang diatur oleh Mo-bin
Suseng, sekejap saja dua puluh tahun telah berselang, segala akibat yang dihadapi sekarang adalah
karena kesalahan pikiran belaka, adalah karena Mo-bin Suseng yang mensetir segala kejadian itu
dari belakang. Berkilat-kilat sinar mata Bu-bing Loni, katanya, "Apa gunanya kau katakan itu
semua, kau sangka aku takut" Bagaimanapun nanti kesudahannya kau harus mati lebih dulu dari
aku! Camkanlah, dengan kedua tanganku inilah aku bimbing kau sampai besar, tapi
dengan sepasang tanganku ini pula akan kurenggut jiwamu, memangnya kau anggap aku hendak melepas
kau pergi begini saja?" Sikap Ham Gwat juga tidak kalah dinginnya, ujarnya, "Hun Thian-hi juga berada
disekitar tempat ini, demikian juga Giok-lan, Hun Thian-hi sudah mengenal burung
rajawaliku, bilamana mereka menyusul tiba janganlah saat itu kau menyesal. Wi-thian-cit-ciat-sek
latihan Hun Thian-hi sudah jauh lebih maju lagi setelah mendapat petunjuk dari orang tua itu. Kau kan
tahu bila Withian- cit-ciat-sek sudah sempurna jauh lebih hebat dan unggul dari tiga rangkaian
pedang kepandaianmu itu!" Bu-bing Loni menjemput pedangnya yang menggeletak di tanah tadi, pelan-pelan ia
maju menghampiri ke arah Ham Gwat.
Diam-diam Ham Gwat menarik napas panjang, tenaga dalamnya belum lagi pulih, ia
tahu bahwa Bu-bing Loni tidak akan mau menyerah kalah begitu saja, pedang panjang
ditangannya sementara itu sudah terbang menyamber tiba. yang diarah adalah tenggorokan Ham
Gwat. Begitu Bu-bing Loni menggerakkan pedangnya lantas Ham Gwat dapat meraba jurus
tipu apa yang dilancarkannya. Tapi tidak mudah untuk menangkis atau melawan, bila ia
lancarkan serangan balasan atau menangkis tentu Bu-bing Loni sudah tahu juga jurus apa
pula yang dilancarkan dirinya. Antara guru dan murid sama membekal kepandaian yang serupa,
betapapun sang murid bukan menjadi tandingan sang guru.
Beruntun ia menangkis dua kali, Bu-bing Loni mandah menjengek dingin, mulutnya,
haha....hehe.... mengejek, tapi sebetulnya iapun heran dan takjup akan kemajuan ilmu
silat Ham Gwat yang diluar ukurannya, tapi kenyataan sekarang Ham Gwat membekal Lwekang
yang tinggi diluar tahunya. Sementara itu Bu-bing Loni sudah melancarkan lima gelombang jurus pedangnya,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus demi jurus semakin gencar dan ganas, baru saja Ham Gwat angkat pedangnya untuk
menangkis tahutahu pedang Bu-bing sudah menyelonong tiba menutup jalannya mundur, begitulah
berulang kali terjadi, sedang Ham Gwat sendiri tidak berani menggunakan kekerasan, terpaksa ia
mandah terdesak mundur, begitu lima jurus kemudian Ham Gwat sudah terdesak mundur dan
mundur terus mepet dinding. Poci menjadi kaget, cepat ia rebut harpa yang dipegang Ma Gwat-sian terus jari-
jarinya dimainkan, dengan gelombang suara harpa ia berusaha menyerang Bu-bing Loni.
Bu-bing menyeringai dingin, tiba-tiba pedangnya berputar balik terus disambitkan
ke arah Poci, dimana selarik sinar pedang menyamber tiba kontan harpa dipangkuan Poci tertusuk
pecah menjadi dua. Setelah menyambitkan pedangnya Bu-bing Loni menyeringai bengis, Poci sampai
merinding melihat tampangnya yang sadis itu. Bahwa Bu-bing berani putar balik pastilah dia
sudah bertekad bulat, meski dirinya pun sudah terluka parah betapapun ia tidak rela melepas
beberapa orang yang merupakan makanan empuk ini, betapa hebat Lwekang yang dibekalnya itu
sungguh sangat mengagumkan memang sulit dicari tandingan.
Begitu Bu-bing Loni menyambitkan pedangnya, Ham Gwat menjadi berkesempatan balik
menyerang, beruntun ia lancarkan serangan pedang yang hebat. Tapi Bu-bing Loni
berani menyambitkan pedangnya pasti dia mempunyai perhitungan yang matang, setiap jurus
setiap tipu permainan Ham Gwat adalah hasil ajarannya, dimana badannya berkelebat dan
melejit sana melompat sini ia hindari setiap rangsakan Ham Gwat yang hebat, soalnya iapun
sudah apal benarbenar jurus apa yang akan dilancarkan Ham Gwat selanjutnya. Meskipun ia sudah tumplek
seluruh kepandaiannya kepada Ham Gwat, tapi sedikit banyak masih ada lobang kelengahan
yang belum sempurna terlatih oleh Ham Gwat, dan kelemahan2 itu sampai saat itupun belum
lagi disempurnakan, justru adanya kelemahan itu pula menjadi kebetulan pula bagi Bu-
bing sekarang. Apalagi Ham Gwat sekarang mengkhianati dirinya, meski gencar rangsakan Ham Gwat
seenaknya saja seperti berlenggang Bu-bing Loni dapat menghindarkan diri.
Sekejap mata puluhan jurus sudah berlangsung. tiba-tiba Ham Gwat lancarkan pula
sejurus ilmu pedang, mendadak badan Bu-bing mencelat mumbul ke atas, berbareng kaki
kanannya mendadak menendang ke arah jidat Ham Gwat. Terpaksa Ham Gwat harus menolak badan
atas ke belakang berbareng ujung pedangnya menusuk ke atas pula tak duga kaki kiri Bu-
bing ternyata pun sudah menyusul dengan tendangan yang telak pula, 'Tring'. Ham Gwat tak kuasa
menyekal pedangnya lagi, kontan terbang ke tengah udara dan menancap di atas dinding
batu. Bu-bing terloroh-loroh panjang, tubuhnya jumpalitan hinggap di tanah, dengan
nanar ia pandang Ham Gwat. Tanpa gentar Ham Gwat juga mendelik pandang, ia insaf
kekalahan hari ini menjadikan harapan untuk hidup semakin mengecil, bagaimana cara Bu-bing Loni
menghadapi musuhnya ia tahu jelas. Apalagi kalau dirinya tertawan hidup2, untuk mencari kematian sendiripun tidak
mungkin lagi, bagi dirinya sih tidak menjadi goal, bagaimana dengan keadaan ayahnya, Poci dan
Ma Gwat-sian" Akhirnya ia berkeputusan dengan suatu akibat yang cukup mending.
Terdengar Bu-bing menjengek dingin, "Tidak berguna, kau kan tahu bagaimana
kesukaanku. Dulu waktu aku menempur Soat-san-su-gou bukankah kau juga hadir, dengan Gin-ho-
sam-sek mereka berempat mengepung diriku, akhirnya kuberi kelonggaran bagi mereka untuk
bunuh diri, kau kira persoalan itu begitu gampang dan begitu sederhana" Sebenar-benarnyalah
bahwa aku sebelumnya sudah ada perjanjian dengan Mo-bing Suseng, dia minta supaya aku
memberi cara kematian yang cukup nyaman bagi mereka, meskipun mereka berempat tidak tahu
siapakah Mobin Suseng itu sebenar-benarnya, tapi adalah sebaliknya dia tahu siapa mereka
berempat. Karena mereka berempat adalah sahabat kentalnya."
Ham Gwat masih bungkam. Bu-bing melanjutkan, "Bagaimana juga diantara kau dan
aku masih ada hubungan guru dan murid, akupun tidak akan berlaku keterlaluan terhadap kau,
cukup dengan minyak mendidih akan aku goreng daging dan tulang-ulangmu sampai mati."
Lagi-lagi ia terloroh-loroh panjang seperti sudah kesetanan, tapi tiba-tiba
sebuah suara tawa dingin yang menggiriskan terdengar pula bergelombang dalam ruang batu itu,
keruan Bu-bing Loni tersentak kaget bukan main, sebat sekali ia memutar tubuh dilihatnya di ambang
pintu sana berdiri seorang nenek peot yang tua renta.
Begitu melihat orang ini timbul setitik harapan dalam benak Ham Gwat, karena
nenek tua ini bukan lain adalah Kiu-yu-mo-lo, segera ia menghela napas lega. Tapi ia masih
bingung kenapa orang tua itu bersikap begitu baik terhadap dirinya, dalam hal ini pasti ada
latar belakang yang cukup rumit. Bu-bing Loni membalik ke arah Kiu-yu-mo-lo, dengusnya dingin, "Siapa kau?"
Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh katanya, "Jangan kau pura-pura alim, sebenar-
benarnyaJah hatimu lebih jahat dari ular, jauh lebih jahat dari aku dulu, terhadap murid sendiri
pun kau begitu jahat"
Menjengkit alis Bu-bing Loni, ada orang berani bicara begitu takabur padanya,
tapi kalau ia begitu besar nyalinya berani bicara besar tentu dia punya pegangan untuk datang
kemari, maka selagi ia mendesak, "Siapa kau" Untuk apa kau kemari?"
"Akulah Kiu-yu-mo-lo dari salah satu Si-gwa-sam-mo," sahut Kiu-yu-mo-lo, "Konon
kabarnya belakangan ini kalangan Kangouw muncul pula seorang tokoh macam tampangmu ini.
tapi mengandal kau masih berani kau mengagulkan she dan nama busukmu ya!"
Bu-bing tertawa dingin, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas mencabut pedang Ham
Gwat yang menancap dilangit2, disaat tubuhnya meluncur turun pedang ditangannya diobat-
abitkan langsung menerjang ke arah Kiu-yu-mo-lo, sinar pedangnya laksana bianglala. menungkrup ke
atas kepala Kiu-yu-mo-lo. Bukan dia takut menghadapi Kiu-yu-mo-lo, tapi nama Kiu-yu-mo-lo sebagai salah
setorang Sigwa- sam-mo bukanlah diperoleh secara kebetulan belaka, maka dia harus bertindak
lebih dulu dan lebih ijepat. Apalagi Ham Gwat masih ada kemampuan untuk berkelahi, kalau ia
tidak bertindak secara kilat mengakhiri pertempuran disini, mungkin dia sendirilah yang bakal
dikeroyok dan akibatnya pasti konyol bagi dirinya.
Sebenar-benarnyalah hatinya masih dirundung keheranan, kenapa Kiu-yu-mo-lo bisa
ikut campur dan menolong keadaan Ham Gwat yang terdesak ini, hakikatnya Ham Gwat
tidak pernah saling berkenalan dengan Kiu-yu-mo-lo dan tidak punya sangkut paut apa-apa.
Demikian juga dirinya tiada punya dendam permusuhan dengan Si-gwa-sam-mo, kenapa dia meluruk
kemari mencari permusuhan. Demikian Bu-bing berpikir2 dalam hati.
Setelah memasuki Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin pikiran sesat Kiu-yu-mo-lo
akhirnya dapat digugah dan sadar dari penyelewengannya dan karena kembali kejalan lurus dengan
pikiran yang sudah jernih itulah maka ia dapat keluar dari sana, setelah mendapat petunjuk
serta petuah dari si orang tua itu lantas ia menyusul kemari.
Dengan pedang berada ditangan Bu-bing Loni seperti harimau tumbuh sayap, adakah
ilmu Huisim- kiam-hoat terkenal hebat sekali. maka ribuan sinar pedang Bu-bing bukan kepalang
lihaynya dalam gebrak permulaan Kiu-yu-mo-lo rada memandang rendah musuh sehingga ia
terdesak mundur terus. Terdengar Bu-bing Loni mendengus hina, hatinya membatin; Si-gwa-sam-imo kiranya
juga cuma sebegini saja kemampuannya.
Begitulah sinar pedangnya berputar, kontan ia lancarkan Lian-hoan-Ban-kiam,
jurus ilmu pedang terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat yang terdahsyat dan terlihay, besar
hasratnya dalam gebrak terakhir ini ia bikin mampus jiwa Kiu-yu-mo-lo, adalah gampang nanti
untuk membereskan yang lain. Begitu sinar pedang Bu-bing menimbulkan gelombang sinar berlapis2 lekas-lekas
Ham Gwat menjemput pedang Bu-bing Loni yang ditimpukan tadi. langsung ia merabu dari
belakang ke arah Bu-bing. Disebelah depan sana Kiu-yu-mo-lo juga menarikan sepasang telapak
tangannya untuk menjaga diri dan balas menyerang.
Bu-bing menjengek dingin, tanpa berpaling ia sudah tahu jurus dan tipu serangan
apa yang akan dilancarkan Ham Gwat, adalah mudah sekali ia dapat memunahkan serangan
bokongan ini. Tapi baru sekarang pula ia mendapatkan bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo ternyata tidak
serendah seperti yang dikiranya tadi bila dalam waktu singkat ia tidak mampu mengalahkan
kedua musuhnya ini, akibatnya pasti sangat fatal bagi dirinya karena dikepung dari
muka dan belakang. Biji matanya berjelilatan, bagaimana juga ia tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan yang sangat pendek ini untuk mengambil kemenangan, menurut perhitungannya meski Ham
Gwat ikut menerjunkan diri dalam pertempuran. tapi mereka belum dapat bergabung dan
bekerja sama dengan rapat, diantara lobang kelemahan yang sulit didapat ini bila aku tidak
memanfaatkan dengan tepat, aku sendirilah yang bakal cidera.
Sebagai seorang tokoh nomor satu dalam kalangan persilatan pandangan Bu-bing
sudah tentu cukup luas, seiring dengan keputusan tekadnya, gerak badannya mendadak berhenti,
tahu-tahu membalik tubuh tangkas sekali tumit kakinya melayang ke atas menendang batang
pedang Ham Gwat. Tujuan Bu-bing adalah sementara mengendorkan dulu tekanan serangan Ham
Gwat dari belakang dengan kesempatan ini ia tumplek seluruh kekuatan dirinya untuk
merangsak dan merohohkan Kiu-yu-mo-lo. Tapi begitu kakinya melayang. Ham Gwat juga sudah tahu kemana tujuan serangan
Bu-bing ini, maka sengaja ia buang pedangnya, tahu-tahu telapak tangannya yang menyelonong ke
depan menepuk keleher Bu-bing Loni.
Begitu tendangannya. luput lantas Bu-bing bercekat hatinya. seketika ia rasakan
dua arus gelomhang pukulan dahsyat melandai tiba dari belakang dan depan. Terdengar
'mulutnya berpekik panjang dan nyaring, pedang panjangnya berputar disekitar tubuhnya, dengan
seluruh sisa tenaganya iapun berondong keluar kekuatannya untuk menangkis.
"Blang" pukulan dan pedang saling beradu ditengah jalan. Ham Gwat dan Kiu-yu-mo-
lo tersurut mundur dan berputar-putar, sebaliknya air muka Bu-bing kelihatan tambah pucat
pias, ia terhujung dua langkah baru bisa berdiri tegak lagi, pedang panjang ditangan
kanannya tergetar mengeluarkan su-ra mendenging.
Setelah berdiri tegak dan memasang kuda-kuda Kiu-yu-mo-lo dan Ham Gwat saling
pandang sebentar, serempak mereka berjongkok dua telapak tangan masing-masing didorong
ke depan memukul ke arah Bu-bing dari dua jurusan yang berlawanan.
Tiba-tiba badan Bu-bing Loni melejit mumbul ditengah udara badannya berputar
satu lingkaran, gerak geriknya cukup sigap sehingga ia dapat terhindar dari benturan tenaga yang
dahsyat dan begitu kaki hinggap pula tubuhnya sudah berdiri diambang pintu air mukanya masih
pucat dan kaku tanpa menunjukkan perasaan hatinya.
Ham Gwat dan KAu-yu-mo-lo merasa diluar dugaan, sungguh mereka tidak nyana dalam
Pedang Pembunuh Naga 8 Wiro Sableng 013 Kutukan Empu Bharata Pendekar Aneh Naga Langit 39
paman." "Nak," sahut Kiang Tiong-bing, "tak perlu kau sungkan-sungkan, terpaksa aku
harus bertindak keras, tujuannya juga bukan melulu demi kepentingan kau, aku pun mengambil
keuntungannya!' "Betapa pun kau telah menolong aku!' ujar Ma Gwat-sian tertawa getir.
Begitu pahit dan getir tawa Ma Gwat-sian. hal ini terasakan oleh Kiang Tiong-
bing, dia pun tersenyum kecut, katanya, "Nak, harus tahu, ada kalanya hidup manusia itu bukan
melulu demi kehidupannya sendiri!"
Ma Gwat-sian terlongong sekian lamanya, tak tertahan lagi ia menubruk ke dalam
pelukan Kiang Tiong-bing dan menangis gerung-gerung. Begitulah mereka bertangis2an.
"Nak." ujar Kiang Tiong-hing sesaat kemudian. "Sudah jangan nangis lagi!"
"Paman! Benar-benarkah kau sudi angkat aku sebagai putrimu?"
"Oh, nak sungguh aku girang memperoleh anak seperti kau!" kata Kiang Tiong-bing
mengembeng air mata. "Yah! kaupun tidak perlu menangis lagi!"
Pandangan Kiong Tiong-bing melayang ke arah air terjun diluar sana, terpikir
olehnya bila Ham Gwat juga berada disitu betapa senang dan bahagia hatinya. tanpa merasa ia
menghela napas kesal, katanya, "Nak, ada sesuatu yang perlu kukatakan kepada kau."
Ma Gwat-sian duduk bersimpuh di bawah lutut Kiang Tiong-bing. Setelah menghela
napas dan memandang keluar Kiang Tiong-bing mulai bicara, "Empat puluh tahun lebih, Bu-
bing Loni masih begini kejam!" demikian gumamnya, lalu ia melanjutkan kepada Ma Gwat-sian, "Nak,
urusan ini selamanya belum pernah kututurkan kepada siapapun, inginkah kau mengetahui
persoalanku dengan Bu-bing Loni?"
Ma Gwat-sian manggut-manggut. ia duduk diam dan tenang.
"Dulu," dutur Kiang Tiong-bing tersenyum, Kangouw Ngo-hong adalah kaum remaja
yang menjadi incaran dan kejaran pemuda2 persilatan pada masa itu, Ngo-hong sama
punya kepandaian silat yang tinggi, sama cantiknya pula!"' merendek sebentar lalu
melanjutkan, "Tatkala
itu aku baru saja berkecimpung dikalangan Kangouw. Ngo-hong Locu adalah sahabat
kental dari keluargaku, sudah tentu dalam pengembaraanku itu aku harus mampir kesana
menyampaikan sembah sujud dan hormatku kepada beliau."
Mendengar sampai disini lantas Ma Gwat-sian dapat menebak kejadian apa
selanjutnya yang telah dialaminya. Kiang Tiong-bing tersenyum geli, sambungnya. "Adalah jamak kalau akupun bertemu
dengan kelima putrinya yang remaja itu. Nama asli Bu-bing Loni adalah Ong Ging-hong.
dialah yang terbesar diantara lima bersaudara. Sedang ibu Ham Gwat justru yang paling
kecil." Sampai disini ia berhenti dan tertawa-tawa, agaknya geli tapi juga seperti
menyesali nasibnya sendiri, kelihatannya ia sangat prihatin dan menderita, "sudah tentu!" demikian
ia melanjutkan, "Akhirnya aku menikah dengan ibunda Ham Gwat. Ngo-hong Locu -sang Mertua juga
paling sayang pada ibunya Ham Gwat, waktu itu ia jatuh sakit dan keadaan sudah payah,
maka ia wariskan kekuasaan dari Ngohong Locu kepada ibunya Ham Gwat." sampai disini ia
terbatuk lirih dan menghela napas. "Maklum sebagai anak yang tertua tidak mendapat warisan keluarga, cintanya pun
tidak terbalas lagi, maka akhirnya Bu-bing Loni menghilang dari kalangan Kangouw.
Tahun kedua mendadak muncul pula di Bulim, wajahnya kelihatan sudah sepuluh tahun lebih tua,
tapi justru ia telah memperoleh pelajaran ilmu silat mujijat. Selama kelana di Kangouw, barang
siapa sampai mengganggu atau menyakiti hatinya tentu dibunuh tanpa belas kasihan. Betapa
kejam dan Telengas perbuatannya itu sungguh menggiriskan hati." sampai disini ia geleng-
geleng dan mengkirik membayangkan kekejaman2 yang diperbuat Bu-bong Loni dahulu.
Sambungnya:"Sudah tentu kau dapat membayangkan, cara bagaimana selanjutnya dia
menghadapi kami berdua, meski adik kandung sendiri pun tidak terlepas dari
perbuatan keji dan kekejamannya." Mencelos hati Ma Gwat-sian, terasakan olehnya, kasihan riwayat hidup Ham Gwat,
adalah lumrah kalau dia mengalah, setindak demi kebahagiaan Ham Gwat....
Kiang Tiong-bing tertawa getir, tuturnya "waktu dirumah ia sesumbar bila anak
pertamaku lahir itulah saatnya bencana bakal menimpa keluarga kami. Setelah itu tinggal pergi,
semula kami takut melahirkan anak! Tapi betapa pun kita harus keturunan! Akhirnya Ham Gwat lahir,
kami lantas lari ke tempat yang jauh tersembunyi, tapi kemana pun kami lari tidak terlepas dari
kejaran burung dewata bermata jeli dan tajam itu. Aih!"
Mendadak tawa digin yang menggiriskan terkiang dipinggir kuping mereka, dengan
kaget mereka tersentak bangun. tampak Bu-bing Loni berdiri diluar kamar batu, mulutnya
mengulum seringai sadis setindak demi setindak ia melangkah masuk, giginya gemeratak
desisnya, "Semua mengkhianati aku, kalian semua adalah berhati busuk dan pembual."
Kiang Tiong-bing tertegun sebentar. katanya dengan nada berat, "Segala akibat
hari ini adalah maha karya kekejamanmu. tidakkan kau lihat kepada kedua tanganmu sudah
berlepotan darah?" Bu-bing menyeringai semakin beringas desisnya, "Aku bersikap sangat baik
terhadap kalian, tapi kalian berkhianat terhadapku!" sekonyong-konyong ia terkial-kial tawa
seperti kicauan kokok beluk dimalam sunyi. Kiang Tiong-bing diam saja, ia tahu bahwa orang tentu telah tinggal minggat dan
tidak hiraukan lagi pesan dan perintahnya.
Pelan-pelan Bu-bing Loni menghunus pedang. katanya, "Selama hidupku ini aku
bersikap paling baik terhadap kau. Tapi adalah kau pula yang bersikap paling buruk terhadapku."
- rona wajahnya semakin kaku dan diselubungi bahwa memutih, jelas napasnya membunuh
semakin berkobar. Kiang Tiong-bing tertawa tawar, ujarnya, "Jadi Ham Gwat telah meninggalkan kau?"
"Sudah lama ia meninggalkan aku!" gerung Bu-bing Loni menyeringai iblis.
Bukankah itu baik malah?" seru Kiang Tiong tertawa girang. "Dia akan lebih aman
dan terjamin keselamatannya bila meninggalkan kau, bila berada di sampingmu. kalau kau sedang
marah2 mungkin jiwanya bisa terancam!"
Tangan Bu-bing yang memegang pedang menjadi lemas semampai. mendadak ia angkat
kepala, katanya beringas, "Kau tahu. sesaat aku menemukan dia saat itu pula
tibalah ajalnya!" Mencekat hati Kiang Tiong-bing. Bu-bing bisa melaksanakan segala ancamannya.
Sinar matanya yang dingin menatap ke arah Ma Gwat-sian, katanya, "Dan kau pun
tidak usah ingin lebih lama lagi. Giok-lan pun berani mengkhianati aku, tiada gunanya kau
tetap hidup...." Tadi kau sendiri berkata membebaskan dia dari renggutan pedangmu," demikian
bentak Kiang Tiong-bing. Kenapa sekarang kau jilat ludahmu sendiri"
Baru tadi aku tahu. kau bersikap begitu kasar terhadapku karena aku bersikap
terlalu baik terhadap kau. Aku tidak bunuh Ging-sia dan mengasuh Ham Gwat sampai dewasa
memberi pelajaran ilmu silat. semua itu hanya untuk Kau seorang, dan sekarang akan
kusuruh kau melihat dengan mata kepalamu sendiri, akan kubunuh semua orang yang kau kenal
dihadapanmu." Kiang Tiong-bing bergidik seram, kekejaman Bu-bing Loni tidak perlu disangsikan
lagi akan ancamannya yang serius ini. Ia mandah tertawa getir, katanya, "Mungkin kau mampu
melakukan segala ancamanmu, tapi mungkin pula kau tidak mampu melaksanakan hasratmu. Aku
tidak akan sudi menonton atau menjadi penonton, seumpama aku harus mati aku tidak akan mau
menonton." "Aku kuatir hal ini tidak segampang menurut kemauanmu saja. Kau harus tunduk
akan perintah dan kemauanku!" Kiang Tiong-bing pandang Ma Gwat-sian dengan rasa iba, pelan-pelan ia bangkit
lalu keluar menuju ke air terjun. Sekali melejit Bu-bing Loni mencengkeram Kiang Tiong-bing,
kontan tutuk jalan darah pelemas tubuhnya terus membaringkannya di atas dipan, seringainya,
"Kau harus menjadi penonton!" Kiang Tiong-bing pejamkan matanya. Bu-bing Loni tertawa dingin. ujarnya, "Meski
tidak melihat, kau pun bisa mendengar, akan kubuat kau mendengar mereka satu persatu
meregang jiwa...." Selama itu dengan tenang Ma Gwat-sian duduk ditempatnya, dengan wajar ia awasi
Bu-bing Loni, ia saksikan kelakuan orang yang hampir setengah gila ini, setelah
membaringkan Kiang Tiong-bing sekarang dia menghampiri ke arah dirinya.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, dia sudah siap siaga, bila Bu-bing Loni
benar-benar mendesak dirinya, ia sudah berkeputusan untuk bunuh diri dengan kekuatan getaran
senai harpanya, untuk sesaat hatinya menjadi pilu dan bersedih, sebentuk bayangan yang
sangat dikenalnya terbayang dikelopak matanya. Hun Thian-hi bersikap gagah dan ganteng.
tapi dia kelihatan berdiri berendeng disana bersama Ham Gwat. Biji matanya basah oleh air
mata, engkohnya dan para famili nan jauh dinegeri kelahiran sana terbayang dalam
bintik2 air matanya dan menjadi buram dan akhirnya menghilang menetes di tanah.
Bu-bing Loni mendesak lebih dekat, tiba-tiba terbayang bentuk tubuh gurunya Poci
diambang kelopak matanya yang terkaca2. Akhirnya ia tertunduk, tangannya kanan terangkat
siap memetik senar harpa. "Jangan begerak!" Poci membentak keras.
Ma Gwat-sian tersentak kaget, cepat ia angkat kepala, bayangan yang dilihat tadi
ternyata bukan ciptaan alam pikirannya belaka, tampak Poci berdiri angker sambil memeluk
sebuah harpa yang lain pula, sikapnya dingin dan gusar memandang Bu-bing Loni.
Bu-bing Loni menyeringai dingin, sebetulnya hatinya rada gentar, dengan penuh
selidik ia awasi Poci, begitulah mereka jadi berdiri berhadapan saling pandang, tiada yang berani
bergerak lebih dulu.... Akhirnya Poci membuka suara lebih dulu, "Bu-bing! Kau seorang tokoh nomor satu
di seluruh Bulim, tidakkah kau malu menggerakan pedang terhadap seorang bocah kecil?"
"Siapa kau?" "Persetan dengan siapa aku," jengek Poci, "Cukup kau tahu saja akulah gurunya!"
karena yang dihadapi Bu-bing Loni. tokoh kosen yang lihay, hingga sedikitpun ia tidak berani
melirik ke arah Ma Gwat-sian, sedikit lalai besar akibatnya.
"Kudengar kau sebagai ahli waiis Tay-seng-ci-lou. Kau berani meluruk ke
Tionggoan sebagai lazimnya. satu gunung pantang hidup dua harimau yang menjagai, cepat atau lambat
memang kita harus berhadapan, kini tibalah saatnya kita tentukan siapa unggul siapa
asor" habis katakatanya
pedangnya terangkat terus membabat miring.
Tampak tangan kiri Poci bergerak, irama kekal abadi kontan berkembang seiring
dengan gerak gerik jarinya yang lincah di atas senar harpanya. Seketika Bu-bing Loni berdegup
jantungnya, keruan kejutnya bukan main, selanjutnya ia harus bertindak sangat hati-hati,
namun setiap gerak pandangnya selalu kandas ditengah jalan, akhirnya ia duduk bersimpuh mengerahkan
Lwekang untuk melawan. Puci sendiri sedikitpun tidak berani takabur menghadapi ahli waris Hui-sim-kiam-
hoat pertemuan kali ini merupakan pertempuran yang menentukan mati hidup, bila
dirinya kalah bukan saja dirinya bakal konyol. Ma Gwat-sian pun takkan tertolong jiwanya.
Akhirnya iapun duduk bersila, lagu kekal abadi terus dikembangkan mencapai
puncaknya. Ma Gwat-sian dan Kiang Tiong-bing menonton dengan mata terbelalak, sungguh
takjub mereka menyaksikan pertempuran lucu dari kedua tokoh terbesar jaman kini. pertempuran
macam ini jarang terjadi selama ratusan tahun terakhir ini.
Begitulah Bu-bing duduk mematung seperti semadi, jari-jari Poci sementara itu
terus bergerak dengan lincah, kedua belah pihak tetap bertahan sampai setengah jam. Mendadak
Bu-bing Loni membuka mata, sorot tajam berkilat dari biji matanya menatap ke arah Poci
laksana ujung pisau tajamnya, sekonyong-konyong tubuhnya bergerak mencelat bangun, pelan-pelan
pedang dilolos keluar pula. Sembari menggerung rendah kaki kanannya terangkat pelan-pelan maju
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selangkah. Demikian juga tiba-tiba Pici membelalakkan biji matanya, kedua tangannya
berhenti bergerak, seketika irama musiknya terputus berhenti. Lekas-lekas Bu-bing Loni menarik
balik kaki kanan yang sudah melangkah ke depan itu.
Hawa dalam kamar batu rasanya menjadi bergolak tegang, suasana sangat hening
lelap sehingga bernapaspun ditahan.
Ma Gwat-sian tahu bahwa Poci gurunya sedang mempersiapkan diri untuk melancarkan
gelombang suara musiknya yang lihay yaitu Toan-liong-loh-yun, bila perlu biar
gugur bersama musuh. Kedua belah pihak harus hati-hati sebelum bertindak, karena sedikit salah
langkah akibanya bakal hancur lebur. Dengan cermat Poci awasi setiap tingkah laku Bu-bing Loni,
setelah berdiam diri sekian lamanya, lagi-lagi ia angkat kakinya hendak melangkah maju.
Sekali lagi tangan kiri Poci menjentik senar, lengking irama harpa yang meninggi
terbang keluar langsung menerjang ke arah Bu-bing Loni.
Lakas2 pedang ditangan Bu-bing Loni disampokkan ke depan, batang pedangnya
memancarkan cahaya kemilau. sekuat tenaga ia berusaha menangkal balik gelombang suara harpa.
Tapi kelihatan usahanya sangat memakan tenaga, apa boleh buat kaki kanannya harus
ditarik mundur pula. Rona wajah Poci kaku serius, selama ia mempelajari Yay-seng-ci-lou baru hari ini
pertama kali menggunakan ilmu saktinya untuk menghadapi musuh tangguh, justru lawannya adalah
jago nomor satu dari Tionggoan, yaitu Bu-bing Loni.
Lagi-lagi jari-jari tangan kirinya bergerak, serangkaian suara musik
bergelombang mengalun pula menyerang ke arah Bu-bing Loni. Kedua biji mata Bu-bing Loni menatap lurus
ke depan, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu persoalan yang maha penting, pedang
ditangan kanannya bergerak pula maju mundur lalu menusuk ke depan menghalau seluruh
rangsakan irama harpa, tapi tak urung ia terdesak mundur sampai dua tindak ke belakang.
Poci tercekat, sekarang kelima jari tangan kiri-kanannya menjentik bergantian,
dengan seluruh yang paling dahsyat. Dia sudah berkeputusan hari ini kekuatan latihannya, ia
lancarkan jurus serangan harus merobohkan Bu-bing Loni atau dirinyalah yang bakal terjungkal
kalah. Sementara itu Bu-bing Loni sedang menerawang cara bagaimana memecahkan gempuran
musuh yang dahsyat, tapi irama lagu lawan sambung menyambung melandai bagai
gelombang samudra membuat segala daya pkirannya kena dikacau balaukan, terpaksa ia
pusatkan perhatiannya untuk melawan serangan musuh.
Tampak tangan kanan Poci bergerak pula, Bu-bing Loni angkat kepala, air mukanya
kelihatan. rada pucat, namun sorot matanya malah mengunjuk rasa girang yang terpendam.
lekas pedangnya dilayangkan ke depan, dengan hawa pedangnya yang membentuk seperti
kabut putih mengembang lebar menerpa ke depan ia tangkis gelombang suara lawan.
Bahwa seluruh usaha penyerangannya selaliu gagal membuat Poci semakin gugup dan
kaget, jari telunjuknya segera membelesot di atas senar, suaranya persis seperti
gambreng digesek menusuk telinga melesat ke depan. Bu-bing Loni mandah tertawa dingin, pedangnya
melintang maju terus diputar ke atas lalu disendal ke samping, gelombang suara musuh kena
didesak bujar oleh kekuatan hawa pedangnya. Sekarang Bu-bing Loni mendesak maju sambil
melintang pedangnya, selangkah demi selangkah ia menghampiri Poci. Jidat Poci sudah basah
oleh keringat dimana telunjuk jari tangan kirinya menggantol. sebuah lengking suara senar
harpanya menerjang pula ke arah Bu-bing Loni.
Pelan-pelan Bu-bing masih melangkah ke depan, dengan ketajaman pedang dan
kekuatan hawa pedangnya ia menyampok pula serangan musuh kesamping, ujung mulutnya
mengulum senyum sinis yang dingin, seolah-olah Poci sudah bakal dicengkeram dalam
genggamannya. Beruntun Poci kirimkan tiga gelombang suaranya yang berlainan bentuk dahsyat dan
hebat serangan tiga rangkaian gelombang musiknya ini sehingga Bu-bing terdesak dan
tidak sempat lagi menangkis dengan pedang, ia terdesak mundur setindak, tapi dilain saat kaKinya
mendesak maju pula pelan-pelan. Mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan, baru sekarang
ia sadari bahwa Tay-seng-ci-lou tidak boleh dihadapi secara hadap berhadapan.
Poci diam tak bergerak, biji matanya menatap Bu-bing Loni lekat-lekat. Sudah
lama ia mendengar ketenaran nama Bu-bing Loni, kenyataan sekarang ia sudah merasakan
kelihayan orang. Bila Bu-bing Loni berani maju setindak lagi apa boleh buat dia harus
lancarkan gelombang putus dari senar harpanya untuk gugur bersama Bu-bing Loni.
Melihat Poci tidak bergerak Bu-bing Loni juga tidak berani sembarangan maju. Dia
tahu akan kehebatan Tay-seng-ci-lou adalah pantang untuk memandang ringan pada musuh,
soalnya kepandaian silat sejati Poci terpaut terlalu jauh dibanding dirinya, kalau tidak
mungkin sejak tadi Bu-bing Loni sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
Bu-bing Loni melangkah pula, Poci masih tak mau bergerak, kedua biji matanya
tajam laksana ujung pisau menatap muka Bu-bing, sedikitpun tidak kelihatan rasa takutnya.
Adalah Bu-bing sendiri yang menjadi merinding dan berdiri bulu romanya dipandang begitu rupa,
serta merta ia menghentikan langkahnya, sesaat ia menjadi bingung maju atau mundur. ia tahu
bahwa Poci pasti masih menyimpan jurus-jurus terlihay yang belum dilancarkan, soalnya menanti
kesempatan terakhir untuk merobohkan dirinya. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu, ia
berpikir cara bagaimana ia harus meruntuhkan rangsakan musuh yang teramat hebat itu.
Suasana gelanggang menjadi sunyi senyap. Ma Gwat-sian terlongong mematung, biji
matanya saja yang bergerak. ganti berganti ia melirik ke arah Poci dan Bu-bing Loni. Ia
insaf bahwa Poci sudah terdesak di bawah angin, kelihatannya ia sudah bertekad untuk gugur
berrama Bu-bjng Loni. Pelan-pelan Bu-bing menudingkan pedangnya ke depan. diapun sudah berkeputusan
menggunakan tiga jurus terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat untuk menempuh
kemenangan, jalan inilah yang dianggapnya paling aman untuk menyelamatkan jiwa sendiri.
Poci juga percaya akan kekuatan Hui-sim-kiam-hoat yang tenar itu, pelan-pelan ia
angkat jarijarinya siap untuk bergerak bila pedang Bu-bing Loni menyerang, dengan irama musiknyai a
harus bertahan dan mengadu kekuatan terakhir.
Tapi Bu-bing menjadi bimbang lagi, sedetik sebelum mengambil keputusan.
terasakan olehnya kacuali ia menghentikan pertempuran hari ini sampai disini, kalau tidak bila
keadaan sama bertahan begini terus berlangsung dan tiada kesudahannya.
Pedangnya sudah teracung sampai titik ketinggian diharapkan, kebetulan lurus dan
selaras dengan alisnya. Inilah letak posisi yang paling serba guna untuk menyerang musuh
dan untuk menjaga diri. Sekian lama ia tatap muka Poci, pedang sudah siap dilancarkan
dengan serangan yang paling ganas sekonyong-konyong biji matanya memancarkan rasa takut dan
gusar yang berlimpah2. Ujung pedangnya yang lempang ke depan itu tampak sedikit gemetar.
Ah, besar tekadnya untuk segera mulai menyerang tapi entah mengapa hatinya seperti
mengkeret dan tak berani lagi turun tangan.
Pandangan Poci mengunjuk rasa hambar dan kosong, tak tahu dia siapakah yang
telah muncul karena dia tidak berani menoleh. Pedang Bu-bing masih teracung ke arah dirinya.
mungkin orang segera lancarkan serangan fatal yang menentukan.
Ooo)*(ooO Melihat Coh Jian-jo tiba-tiba murka Hun Thia-hi tertawa tawar, katanya,
"Cianpwe! Meski kedatanganku untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolonganmu, tapi kau harus
tahu, betapa banyak orang telah menjadi korban di bawah keganasan Pek-tok-hek-liong-ting,
mereka akan menuntut jiwa mereka kepada kau!"
Biar mereka kemari!" bentak Coh Jian-jo dengan suara serak. "Aku toh tidak kenal
mereka, tapi justru sanak kadangku harus menjadi korban kelicikan Tok-sim-sin-mo. Itulah yang
paling kuperhatikan!" Hun Thian-hi bergelak tawa, serunya, "Kau tidak kenal mereka, memangnya aku
kenal mereka!" lalu berpaling pada Su Giok-lan, katanya, "Sungguh kami menyesal telah
datang kemari, marilah kita pulang!"
Coh Jian-jo terlongong memandangi punggung mereka. mendadak ia berseru, "Apakah
kalian mampu keluar" Pintu besi diluar sudah tertutup semua!"
Thian-hi berdua tidak hiraukan seruannya, bersama Su Giok-lan beranjak terus ke
depan. Su Giok-lan tidak tahu apa maksud kelakuan Hun Thian-hi ini ia duga mungkin
punya tujuan tertentu maka ia menurut saja diseret oleh Thian-hi.
Coh Jian-jo menjublek tak bersuara, matanya berkilat-kilat, agaknya sedang
memutuskan suatu perkara besar. namun ia masih ragu-ragu dan bimbang untuk memberikan jawabannya.
Akhirnya Hun Thian-hi berdua tiba diambang pintu besi, kata Su Giok-lan, "Hun-
toako, bisakah kita keluar?" Hun Thian-hi tertawa getir, sahutnya, "Tidak, bisa keluar!"
Su Giok-lan jadi melongo, kedengarannya nada ucapan Thian-hi begitu wajar,
begitu acuh tak acuh, seakan-akan soal pintu besi yang menghalang jalan ini tidak menjadikan
persoalan baginya. Hatinya menjadi heran, tak kuasa ia bertanya lagi, "Lalu untuk apa kita berada
disini?" "Selama hidup aku tidak sudi bergaul dengan dua macam manusia," demikian sahut
Thian-hi dengan suara lantang. "Seseorang yang sangat pelit dan ogoistis, dan seorang
lain yang berhati ganas dan telengas tidak punya rasa prikemanusian. Umpama tok-sim-sin-mo dan Bu-
bing Loni merupakan manusia terganas dan keji, sedang Coh Jian-jo ini justru lebih jahat
dan lebih menjemukan, sungguh aku menjadi muak melihat tampangnya pula!"
Su Giok-lan melengak, pikirnya, "Sejelek2 Coh Jian-jo juga tidak seburuk yang
dikatakan ini. Soalnya sanak kadangnya sendiri kena ditawan dan dijadikan sandera oleh Tok-sim-
sin-mo sehingga kena diperalat untuk menciptakan berbagai alat senjata rahasia demi
kepentingan Toksim-sin-mo!" Coh Jian-jo dan Nyo Ceng menyusul keluar. dengan muka beringas Coh Jian-jo
berkata, "Coba kau jelaskan, bagaimana aku jauh lebih buruk dari Tok-sim-sin-mo?"
Thian-hi tertawa tawar, katanya kepada Su Giok-lan, "Mari kita istirahat
sebentar, kalau Toksim- sin-mo kembali suatu kesempatan bagi kita untuk menjebol alat2 rahasia itu untuk
lari keluar!" - dalam bicara sedikitpun ia tidak hiraukan kehadiran Coh Jian-jo dan Nyo Ceng,
setelah mendapatkan tempat yang rada bersih ia duduk bersimpuh dan tak peduli orang
lain. Sekilas Su Giok-lan pandang muka Coh Jian-jo, sekarang ia rada paham kemana
juntrungan maksud Hun Thian-hi terhadap Coh Jian-jo ini, iapun mencari tempat untuk duduk
istirahat, Ganti berganti Coh Jian-jo pandang mereka berdua, air mukanya ganti berganti
putih hitam dan merah pula, sesaat mulutnya menggerung lalu katanya, "Kalian hendak memancing
kegusaranku bukan" Sayang aku tidak bakal tertipu oleh kalian, selama hidup ini kalian
jangan harap bisa keluar. Bila Tok-sim pulang. dia tidak akan begitu gampang mau melepaS kalian
dari sini." Thian-hi pejamkan mata, anggap tidak dengar akan ocehan Coh Jian-jo, ujung
mulutnya malah menyungging senyum hina dan pandang rendah.
Coh Jian-jo menggeram sambil membanting kaki, badannya sudah berputar hendak
tinggal pergi. tapi matanya masih pandang Hun Thian-hi, melihat orang tidak mengunjuk
reaksi apa" ia hentikan pula kakinya. serunya, "Bila kau tidak katakan alasanmu, aku bisa
membuat jiwamu melayang ke alam baka, jangan kau sangka dengan sembarangan obral mulut lantas
kau dapat memancing aku." Sesaat kedua belah pihak sama menjublek tak bicara, akhirnya Hun Thian-hi
membuka mata. ujarnya, "Bukan saja aku beranggapan demikian, mungkin seluruh manusia di kolong
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit inipun punya keyakinan yang sama. Meski kau mampu bunuh aku, apakah kau mampu bunuh
seluruh manusia di kolong langit ini" Percaya hati nuranimu tidak akan tentram, kau akan
menyesal dan dirundung kekesalan selama hidup!"
Agaknya hati Coh Jian-jo menjadi lemas. katanya, "Kalau kau punya alasan dan itu
benarbenar. coba terangkan, ingin aku mendengar lebih lanjut."
"Masa kau sendiri belum tahu?" ejek Thian-hi, "Bila kau suruh s(eseorang
membunuh orang. dosamu yang lebih besar apa dosa orang itu yang lebih besar?"
Coh Jian-jo berpikir sebentar, sahutnya, "Cucuku perampuan dijadikah sandera,
dia menekan aku untuk membuatkan alat2 itu, apakah ini terhitung aku yang suruh dia membunuh
orang." Hun Thian-hi tertawa, katanya, "Tahu betapa besar akibat dari perbuatanmu, tapi
tetap kau laksanakan inilah merupakan dosa terbesar dosa yang tak berampun lagi."
Coh Jian-jo terlongong diam. Thian-hi lanjutkan, "Kau tidak kenal mereka,
demikian pula aku tidak kenal mereka, tapi ingat bahwa mereka juga punya sanak kandang, apakah
kita pantang berbuat sedikit kebaikan demi keselamatan atau kehidupan orang lain?"
Coh Jian-jo tertunduk ia menghela napas panjang lalu berbalik berjalan masuk ke
dalam kamar. Dari belakang Hun Thian-hi berseru pula, "Mungkin aku sendiri juga rada egois,
supaya kau mau membantu sengaja aku menjatuhkan dosa2mu lebih berat, sebenar-benarnya dosa2
itu tidak seberat seperti yang kuucapkan tadi. Bila kau mau, kau rela, aku harap dapat
membantu kau!" Coh Jian Jo geleng-geleng kepala, ujarnya, "Biar kubantu kau membuka pintu besi
ini, boleh silakan kau pergi. Ynag terang kau tidak akan dapat bantu apa-apa padaku, dan
bagimu tiada daya untuk membantu apa-apa kepadamu!"
"Tujuan kedatanganku kemari bukan hanya itu belaka, bila ntuk meloloskan diri
saja aku pikir tidak perlu datang Hwesio Jenaka membujuk aku supaya kemari menyatakan terima
kasihku kepada kau orang tua. Tapi aku maklum tujuan yang sebenar-benarnya adalah agar
aku bisa menolong kau dan cucumu keluar dari tempat kotor ini. Dan sekarang aku sudah
datang sudah tentu pantang pulang dengan tangan kosong."
Coh Jian Jo mengacungkan tangan, selanya, "Kau memang pandai bicara, tapi pandai
bicara belum tentu dapat menangkan suatu perkara."
Bab 25 "Bila kau sudi membantu kami, itu berarti sudah menambal kekurangan itu!"
Coh Jian-jo tertawa ewa, katanya, "Apa gunanya kau tolong aku keluar" Setelah
berada diluar, dalam tiga hari pasti aku bakal mampus, apa pula gunanya?"
Thian-hi terlengak, pikirnya, "Kiranya begitu, Tok-sim-sin-mo pasti mencekoki
semacam obat beracun padanya, obat pemunah Sutouw Ci-ko belum lagi dapat dicari, kecuali aku
mendapatkan obat pemunah itu, tiada jalan lain untuk dapat melemaskan hatinya. Dalam waktu
dekat ini terang tiada daya untuk menolong Coh Jian-jo keluar."
Coh Jian-jo masuk ke dalam kamar, tak lama kemudian keluar pula dengan membawa
sebuah gergaji, panjang gergaji ini cuma satu kaki tapi mengkilap hitam agaknya terbuat
dari Kiu-thianham- giok, tanpa banyak kata segera ia berkerja menggergaji sela-sela antara pintu
besi dan batu karang itu, lalu tertawa berkata kepada Hun Thian-hi, "Sekarang kalian boleh
tinggal pergi!" Lalu
ia membalik tubuh masuk ke dalam pula....
Sekonyong-konyong teringat suatu hal oleh Thian-hi, cepat ia berseru keras,
"Coh-cianpwe. harap tunggu sebentar!"
Coh Jian-jo merendek dan berpaling ke arah Hun Thian-hi, katanya, "Aku sendiri
punya perhitunganku, kau tidak usah kuatir akan diriku, tak lama lagi kau akan tahu
sendiri!" "Bukan itu maksud saya," ujar Hun Thian-hi.
"Ada sebuah benda yang ingin kuperlihatkan kepada kau!"
Coh Jian-jo melenggong. tak tahu ia benda apa yang akan diperlihatkan kepadanya.
Tampak Hun Thian-hi pelan-pelan merogoh keluar sarung Badik buntung dari dalam bajunya
terus diangsurkan kepada Coh Jian-jo.
Mengawasi, sarung Badik buntung itu terpancar sorot aneh dan berkilat dari biji
mata Coh Jianjo, begitu kesima ia mengawasinya tanpa berkedip, akhirnya dia tertawa ujarnya,
"Jadi sarung Badik buntung berada ditangan Hun-siauhiap?"
Thian-hi manggut-manggut, sahutnya. "Wanpwe ada dengar kabarnya rahasia dari Ni-
hay-ki-tin hanya Cianpwe seorang saja yang tahu, maka dengan lancang berani kukeluarkan
sarung Badik buntung ini mohon petunjuk. Ingin aku tahu mengapa kaum persiliatan sama ingin
memperoleh Ni-hay-ki-tin itu?" Coh Jian-jo tertawa tawar, katanya, "Mengenai soal itu. hakikatnya aku tidak
tahu menahu mungkin Hun-siauhiap salah dengar dari obrolan orang yang suka membual!"
Tahu bahwa Coh Jian-jo segan membocorkan rahasia ini. Hun Thian-hi pun tertawa
saja, katanya, "Sarung Badik buntung ini tiada gunanya selalu ku-bawa2, harap Cianpwe
suka menerimanya, mungkin jauh lebih selamat bila Selalu ku-bawa2." - Lalu ia berikan
sarung Badik buntung itu kepada Coh Jian-jo lalu menyeret tangan Su Giok-lan menerjang-
keluar. Sambil memegangi sarung Badik buntung Coh Jian-jo terlogong ditempatnya, sesaat
ia menjadi bingung apa yang harus dilakukan. Sungguh mimpi juga ia tidak mengira bahwa Hun
Thian-hi sudi menyerahkan sarung Badik buntung itu kepada dirinya.
Melihat Hun Thian-hi berdua hendak pergi. cepat Nyo Ceng berseru, "Hun tayhiap,
diluar ada Biau-biau-cu berjaga, jangan Hun-siauhiap memandangnya terlalu enteng!"
"Blang" tanpa banyak pikir Hun Thian-hi tendang pintu besi itu hingga terpental
ambruk. Ia insaf sepanjang jalan lorong2 ini pasti terpasang berbagai alat rahasia, yang
berbahaya, bersama mengembangkan Ginkang Ling-khong-pu-si (berjalan di tengah udara) mereka berdua
melesat keluar laksana anak panah.
Peringatan Nyo Ceng akan Biau-biau-cu yang berjaga diluar menimbulkan
kewaspadaan Hun Thian-hi, karena Bu-ing-sin-sa atau pasir beracun tiada bayangan Biau-biau-cu
merupakan kepandaian tunggal yang paling disegani juga di Bulim.
Begitu menerjang keluar dari kamar batu mereka melesat terus ke depan, beberapa
jauh kemudian tiba-tiba di depan mereka tampak berdiri seorang Tosu tua, sekilas
pandang lantas Thian-hi tahu, pasti dia itulah Biau-biau-cu, cepat ia melolos keluar
Serulingnya, bersama Su Gioklan
mereka menerjang terus ke depan.
"Berhenti!" Biau-biau-cu membentak dengan suara berat.
Hun Thian-hi. tertawa besar. serunya, "Tergantung dari kepandaianmu sejati!"
-dia pernah dengar bahwa sambitan Bu-ing-sin-sa tiada mengeluarkan suara dan tiada
bayangannya, maka sedikitpun ia tidak berani lalai, seruling ditangannya segera ditaburkan dengan
putaran cepat seperti kitiran untuk melindungi badan sendiri dan Su Giok-lan.
Keruan Biau-biau-cu naik pitam bahwa seruannya tidak digubris, sambil menggerung
gusar kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan menyongsong ke arah Thian-hi.
Sementara itu Su Giok-lan juga sudah mengeluarkan pedangnya panjang, bersama ia
putar senjatanya menyerbu kepada musuh.
Melihat betapa hebat dan dahsyat gabungan rangsakan kedua musuh mudanya ini,
bukan kepalang kejut Biau-biau-cu, insaf bahwa dirinya terang bukan tanjngan, dasar
berotak cerjk, lekas-lekas ia melejit mundur dan mundur terus.
Hun Thian-hi menarik Su Giok-lan berlari terus ke depan, sepanjang jalan ini
mereka menjadi leluasa terus menerobos melalui serambi panjang dan lorong sempit akhirnya
tibalah mereka dijalan rahasia yang menembus keluar itu.
Setelah berada diluar gua mereka sama berpandangan. sejenak Hun Thian-hi
berpikir lalu katanya kepada Su Giok-lan, "Giok-lan, kau berangkat dulu ke Jian-hong-kok
bagaimana" Setelah urusan disini selesai segera aku menyusul kesana!"
Su Giok-lan beragu, katanya tertawa, "Kenapa harus begitu" Biar kutunggu kau
menyelesaikan urusan disini lalu berangkat bersama. Kau ingin menolong, Coh Jian-jo dan pula
harus mendapatkan obat pemunahnya itu bukan?"
Thian-hi manggut-manggut, ujarnya. Urusan ini sangat mendesak, menurut
perhitunganku. mungkin Tok-sim-sin-mo segera bakal tiba paling lambat besok pagi. Maka?aku
harus bekerja secepatnya sebelum dia kembali! Kalau tidak mereka berjumlah begitu banyak.
seorang diri mana aku kuasa melawan mereka."
Su Giok-lan manggut-manggut katanya, "Tapi Coh Jian-jo toh tidak mau keluar!"
"Dia akan mau keluar. Betapapun aku tidak akan meninggalkan dia seorang diri
bukan saja Tok-sim akan menyiksanya dengan berbagai cara keji, apalagi kepandaian tehniknya
yang hebat tadi sudah kita saksikan' sendiri. Betapa tinggi kepandaiannya itu cukup hanya
beberapa gerakan tangan yang tidak berarti saja dia mampu membuka pintu besi. Bila dia sampai
kena diperalat oleh Tok-sim, dapatlah kau bayangkan akibatnya!"
Lalu ia merenung sebentar, katanya, "Dan bukan itu saja persoalannya. Menurut
apa yang kudengar dari penuluran Kiu-yu-mo-lo, hanya dialah satu-satunya orang yang jelas
tahu akan rahasia disarung Badik buntung itu. Maka dia pulalah orang yang sedang
diperebutkan antara Ilwe-
tok-kun dan Tok~sim-sin-mo. Maka aku harus dapat menolongnya keluar dari mara
bahaya ini, malah harus kulindungi keselamatan jiwanya!"
Su Giok-lan tunduk diam, hatinya berpikir. "Entah orang macam apakah sebenar-
benarnya Mobin Suseng itu, kenapa selama ini belum pernah muncul, tapi dengan langkah-
langkahnya yang tersembunyi itu cukup dapat membuat geger seluruh dunia persilatan, sebetulnya
apakah tujuan sebenar-benarnya" Apakah benar-benar dia adalah duplikat I-lwe-tok-kun" Hal
inilah yang cukup mencurigakan, bila benar-benar dia adalah i-lwe-tok-kun. sudah pasti banyak
orang yang mengenalnya, lalu kenapa pula dia harus merahasiakan muka aslinya, bertindak
serba misterius?" "Sudah lama gurumu tidak melihat kau, adalah baik bisa sekarang kau menjenguk
mereka kesana." demikian ujar Thian-hi, "Kalau Tok-sim-sin-mO belum kembali, urusan
disini cukup dapat kuatasi sendiri. Jika dia sudah pulang. meski kau bantu juga bukan menjadi
tandingan mereka!"' Su Giok-lan masih tunduk menepekur tak bersuara. Thian-hi lantas melanjutkan,
"Tolonglah setiba disana kau sampaikan salam hormatku kepada guruku, katakan tak lama lagi
aku akan segera menyusul datang menghadap pada beliau. Sudah begitu saja, berangkatlah!"
Melihat Thian-hi bersitegas menyuruh dirinya pergi Su Giok-lan menjadi geli.
katanya, "Terpaksa aku mengalah saja!" - mereka memutar kegunung depan memanggiil burung
dewata, dilain saat Su Giok-lan sudah terbang tinggi dipunggung burung dewata.
Setelah bayangan Su Giok-lan dan burung dewata tidak kelihatan Hun Thian-hi
dapat menghela napas lega, sesaat ia menepekur memikirkan cara bagaimana untuk mendapatkan obat
pemunah itu untuk menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan.
Mendadak didengarnya langkah kaki yang sangat perlahan di belakang tubuhnya,
sudah tentu kagetnya bukan main, di tempat dan disaat seperti itu, ada orang muncul disini,
tidak perlu diragukan lagi pasti dia komplotan dari Hek-liong-pang. Sigap sekali ia memutar
tubuh, tampak seorang Hwesio tua sedang tersenyum manis menghadapi dirinya.
Hun Thian-hi berjingkrak kegirangan seperti putus lotre, Hwesio tua ini bukan
lain adalah padri tua yang memberikan buah ajaib dulu kepadanya. Terlihat olehnya si Hwesio tua
ini masih segar bugar, wajahnya masih kelihatan begitu welas asih penuh kerendahan hati, namun
kedua biji matanya tetap terpejam. Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi hormat, sapanya, "Losuhu, apakah kau baik!"
Hwesio itu tertawa. sahutnya, "Nak! Apakah kau baik selama berpisah?"
Thian-hi membungkuk tubuh, sahutnya, "Terima kasih atas perhatian dan bimbingan
Losuhu tempo hari!" Dengan lekat Thian-hi amati muka orang, tampak orang masih mengunjuk senyum
dikulum, timbul rasa hormat dalam hati, tanyanya, "Apakah nama julukan Losuhu adalah Go-
cu?"
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padri tua itu tertawa-tawa, sahutnya menggeleng, "Salah! Ada seorang lain yang
bernama Gocu Tay-su. Aku bukan Go-cu Taysu!"
Hun Thian-hi melengak keheranan, banyak orang mengatakan bahwa padri tua yang
ditemui itu adalah Go-cu Taysu, tapi secara langsung sekarang disangkal oleh sipadri tua
ini, lalu siapakah sebenar-benarnya padri tua ini" Mungkin seorang Cianpwe lain yang menyembunyikan
nama dan asal usulnya. tapi entah apakah nama julukannya"
Kata padri tua jambil tersenyum, "Hun-sicu tak perlu banyak pikiran, soal ini
kelak Hun-sicu bakal tahu sendiri, tapi sekarang ada sebuah urusan yang perlu kuberitahukan
kepada Hun-sicu!" "Ada urusan apa pula harap Cianpwe suka memberi petunjuk!"
"Apakah Hun-sicu tahu bahwa Mo-bin Suseng sekarang sudah tiba di Tionggoan. Dan
sekarang kira-kira sudah berada disekitar Jian-hud-tong ini. Dia ingin menculik Coh Jian-
jo dari sarang musuhnya." Thian-hi tercengang, sejenak ia celingukan keempat penjuru, ingin dia menemukan
dimana jejak Mo-bin Suseng. Padri tua tertawa dan katanya, "Hun-sica sekarang tidak akan dapat melihatnya,
tapi akan kuberitahu kepada kau, hal ini sudah lama ingin kau ketahui, walaupun sebetulnya
sudah kau ketahui, cuma apa yang kau ketahui itu belum lagi pasti dan tepat!"
Merandek sebentar lantas ia melanjutkan, "Ketahuilah Mo-bin Suseng bukan I-lwe-
tok-kun!" "Bukan?" desis Hun Thian-hi sesaat kemudian.
Padri tua manggut-manggut, ujarnya, "Tapi Mo-bin Suseng adalah murid I-lwe-tok-
kun, selamanya tiada seorang pun yang pernah melihat wajah aslinya, tapi bila kau
sendiri yang melihat dia, pasti kau kenal padanya!"
Hun Thian-hi garuk2 kepalanya yang tidak gatal, ia tidak paham kemana juntrangan
kata-kata sipadri tua ini! Terdengar ia melanjutkan, "Mo-bin Suseng adalah saudara kembar Hwesio jenaka!
Bentuk tubuh dan wajah mereka satu sama lain sangat mirip sekali!"
Lagi-lagi Thian-hi melengak dibuatnya, teringat olehnya waktu ia mendapatkan
buah ajaib dulu, adalah Hwesio jenaka yang membantunya sehingga ia berhasil mendapatkan buah
ajaib itu. Pernah juga Hwesio jenaka mengajukan syarat yang ditampiknya saat itu,
kiranya....Thian-hi menjadi serba sulit, betapa besar budi bantuan Hwesio jenaka terhadapnya, laksana gunung
tingginya sedalam lautan pula, bila Hwesio jenaka minta dia menghapus dendam kesumat ini,
bagaimanakah dia harus menjawab"
Sekian lama mereka berdiam diri, akhirnya si padri tua berkata pula, "Perlu kau
ketahui bahwa mereka tiga bersaudara kembar. Orang yang pertama kau temui itu bukan Hwesio
jenaka, yang membantu kau dulu adalah muridku, seorang iblis kenamaan di Bulim dulu yang
bernama julukan Siau-bin-mo-in (orok iblis bermuka tawa), sekarang nama gelarnya adalah Ngo-
sing!" Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, tak tahu dia bagaimana perasaannya
setelah mengetahui rahasia ini. Kiranya mereka tiga bersaudara kembar, teringat olehnya
waktu Pek Sikiat pertama kali ketemu dengan Hwesio jenaka sikap dan lagak mereka kelihatannya
seperti sudah kenal lama, tapi siapa tahu bahwa Hwesio tambun itu kiranya adalah Siau-
bin-mo-in. Terdengar sipadri tua menghela napas. lalu sambungnya, "Diantara mereka tiga
bersaudara, Mo-bin Suseng adalah yang tertua, Hwesio jenaka paling kecil. Tapi Hwesio jenaka
alalah murid Siau-bin-kim-hud Hoat-pun yang kenamaan itu. Hubungan mereka bertiga justru
sangat akrab dan kental sekali, sayang menyajangi. Mo-bin Suseng berbuat begitu lantaran dia
harus menolong gurunya, dia ingin membantu gurunya untuk memulihkan ilmunya yang dicapainya
dulu, diluar kesadarannya bahwa perbuatannya itu justru telah menimbulkan gelombang
pertikaian yang berkepanjangan di Bulim!"
Thian-hi menunduk prihatin, akhirnya ia bertanya, "Dapatkah Wanpwe tahu nama
gelaran Losuhu yang mulia?" Padri tua tertawa ewa, katanya, "Ka-yap sudah meninggal, dalam dunia ini mungkin
tiada lagi seorang yang mengenal siapa aku. Tidak tahu lebih baik, aku harus segera pergi,
kau harus jaga dirimu baik-baik!" Melihat sipadri tua tidak mau memperkenalkan diri, Thian-hi menjadi bungkam.
Padri tua sudah memutar tubuh ke arah hutan, tiba-tiba ia memutar ke arah Thian-
ni serta serunya, "Tiada seorangpun dikolong langit ini yang dapat mengatasi tipu daya
kelicikan Mo-bin Suseng, kau harus lebih hati-hati." habis berkata tubuhnya melayang pergi.
Thian-hi terlongong ke depan, entahlah bagaimana perasaan hatinya sekarang.
Hanya terasa olehnya bahwa segala sesuatu yang diketahuinya sekarang adalah diluar dugaan dan
perhitungannya. Hwesio jenaka ternyata ada tiga orang, sedang padri tua ini
bukan Go-cu pula, entah siapakah dia, pastilah tingkat kedudukannya sangat tinggi tidak di bawah
tingkatan Ka-yap Cuncia. Pikir punya pikir akhirnya ia menghela napas panjang, pelan-pelan kakinya
melangkah ke belakang gunung dalam hati ia membatin, "Sementara kukesampingkan dulu soal ini,
yang penting sekarang aku harus menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan!"
Begitu ia tiba di belakang gunung, mendadak ia berdiri melongo, seseorang yang
bentuk dan raut mukanya persis Hwesio jenaka tengah bertengger di puncak sebuah batu besar
diketinggian sana, orang itu tersenyum lebar memandang dirinya.
Sudah tentu Hun Thian-hi terperanjat, tadi si-hwesio tua yang buta itu
memberitahu, padanya bahwa Mo-bin Suseng dan Hwesio jenaka adalah saudara kembar yang sangat mirip
rupa satu sama lain. Terpikir olehnya bahwa Siau-bin-mo-in tentu masih berada dibarat
laut, sedang Hwesio jenaka jauh berada di Siongsan, jadi Hwesio cebol gemuk dihadapannya ini terang
adalah Mo-bin Suseng adanya, mengawasi musuh besar dihadapannya ini seketika menggelora darah
dalam ronggo dadanya. Sebaliknya Hwesio cebol gemuk itu masih berseri-seri tawa menghampiri ke arah
Hun Thian-hi, ujar-nya, "Hun-sicu, kau tidak menyangka aku bisa selekas ini muncul pula disini
bukan!" Dengan cermat kedua pasang mata Hun Thian-hi menatap Hwesio cebol di depannya
ini, orang ini memang sangat mirip sekali dengan Hwesio jenaka, mendadak teringat olehnya,
walaupun Siau-bin-mo-in berada dibarat laut, tapi dia masih ada kemungkinan bisa muncul
juga di tempat ini. Bukankah dirinya sendiri baru saja berpisah dengan Hwesio jenaka di Siong-
san toh kenyataan sekarang aku sudan berada disini. Maka bukan mustahil bahwa Hwesio jenaka bisa
juga muncul disini" Dalam pada itu Hwesio cebol itu setindak demi setindak menghampiri ke arah
Thian-hi. Sesaat itu Thian-hi menjadi bingung tak dapat ia membedakan siapakah sebenar-benarnya
orang tambun yang berada di depannya ini, hatinya lebih condong bahwa pastilah orang ini
adalah samaran. dari Mo-bin Suseng, karena katanya ia berada di sekitar Jian-hud-tong.
Orang tambun itu mendekat lagi dua langkah, hati Thian-hi masih dirundung
kegoncangan yang belum menentu. Jika benar-benar adalah Mo-bin Suseng, betapa pun tidak
boleh membiarkan orang mendekati diriku, sebaliknya bila benar-benar adalah Hwesio
jenaka atau Siaubin- mo-in yang bergelar Ngo-sing lalu bagaimana" Pikir punya pikir tanpa merasa
jidatnya basah oleh keringat. Sulit ia menarik suatu kesimpulan.
Akhitnya ia kertak gigi, pikirnya, "Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti,
bila dia, berani mendekati lebih jauh, akan kupancing siapakah sebenar-benarnya kau adanya!"
Begitu diam-diam Thian-hi sudah bertekad dalam hati, sementara dengan tajam ia
awasi orang tanpa bergerak. Mendadak orang tambun itu menghentikan langkahnya agaknya ia heran akan sikap
kaku Hun Thian-hi yang ganji ini, tanyanya, "Hun-sicu kenapakah kau" Apakah nona Su telah
menghilang?" Hun Thian-hi melengak, pikirnya; apakah benar-benar Hwesio jenaka adanya" Kalau
bukan kenapa ia bisa tahu bahwa Su Giok-lan ada bersama diriku" Karena rekaannya ini
mulutnya sudah bergerak hendak bicara, tapi ia menarik kesimpulan lain pula, bukan mustahil Mo
bin Suseng tadi sudah melihat pula bahwa aku berada bersama Su Giok-lan, maka tidak perlu
diherankan jika dia mengajukan pertanyaannya ini.
Tergerak hatinya, jangan harap kau dapat mengelabui aku, baik biarlah kucoba isi
hatinya. segera ia bertanya, "Siau-suhu! Begitu cepat kau dapat menyusul kemari dari
Thay-san yang begitu jauh!" Setelah mengajukan pertanyaan ini hatinya berpikir; 'coba kulihat
cara bagaimana ia menjawab pertanyaanku ini, dari jawabannya akan kuketahui siapa kau sebenar-
benarnya!' Orang itu agaknya melengak, sahutnya, "Hun-sicu, apa yang kau tanyakan?"
Hun Thian-hi menyedot napas. pikirnya, "Sebenar-benarnya Hwesio jenaka atau Mo-
bin Susengkah orang ini?" - Terpaksa ia bertanya pula, "Kenapa Siau-suhu menyusul
kemari pula dari Thay-san?" dengan lekat ia awasi perubahan air muka orang.... pikirnya; betapapun
licik kau akan kukenali siapa kau sebenar-benarnya.
Ingin Hun Thian-hi coba mencari tahu siapakah orang dihadapannya ini, Hwesio
jenaka asli atau Mo-bin Suseng" Maka ia ajukan pertanyaannya pula, "Siau-suhu, bukankah kau
berada di Thay-san" Kenapa menyusul kemari pula?"
Sejenak orang itu tertegun. sahutnya, "Apa katamu?"
Berkilat sorot mata Hun Thian-hi, ia ulangi pertanyaannya.
Orang itu tertawa, sahutnya, "Kudengar katanya Mo-bin Suseng hendak kemari, maka
cepatcepat aku susul kemari!" Mendengar jawaban orang Thian-hi membatin pula, "Pintar kau main pura-pura,
meski Hwesio jenaka! menanam budi sedalam lautan padaku, terpaksa kebaikannya itu kubalas
kelak kemudian hari. Kalau kau ingin lolos dari tanganku, mungkin kau sedang mimpi" Ujung
mulutnya mengulum senyum dingin, pelan-pelan ia maju menghampiri ke depan Mo-bin Suseng, mulutnya
pun berkata, "Sungguh cepat langkah Siausiuhu!"
Agaknya Mo-bin Suseng dirundung persoalan lain, ia berpaling terlongong ke arah
hutan lebat di belakang sana, mulutnya pun bersuara, "Urusan ini cukup serius, sudah tentu
harus kususul secepatnya?" SetetLah berada di depan Mo-bin Suseng, tangan kanan Hun Thian-hi meraba
seruling dipinggangnya, katanya dingin, "Siau-suhu! Apakah kau langsung menyusul kemari
dari Thaysan?" Mo-bin Suseng tertawa, katanya, "Hun sicu! Ada sebuah hal perlu kuberitabukan
kepada kau!" Menghadapi Mo-bin Suseng dendam kesumat bertahun2 yang mengeram dalam rongga
dada Hun Thian-hi seketika bergolak seperti api membara. tapi bagaimana juga ia masih
rada gentar menghadapi Mo-bin Suseng musuh besar yang belum pernah dilihatnya ini. Betapa
licik dan jahat tipu daya Mo-bin Suseng ia tahu dengan jelas, sekarang ia tidak boleh memberi
kesempatan pula pada orang untuk melaksanakan muslihatnya.
Dia sudah tidak kuat menahan sabar lagi, kalau ia tahu apa akibatnya bagi diri
sendiri bila ia terlambat turun tangan. Dia belum tahu bagaimana kepandaian silat Mo-bin Suseng,
bila sekali sergap tidak berhasil pasti sulitlah dibayangkan bagaimana nanti kesudahannya.
Pikiran ini secepat kilat berkelebat dalam benaknya, serta merta ia menjengek
dingin dan tertawa terkial-kial. serunya, "Mo-bin Suseng, kembalikanlah jiwa orang-orang
yang menjadi korban keganasanmu dulu!" - seiring dengan bentakannya seruling ditangannya
sudah teracung tinggi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyerang Mo-bin Suseng.
Sekilas tampak sorot mata Mo-bin Suseng mengunjuk rasa takut dan heran yang
aneh, mulutnya sudah bergerak hendak bicara, tapi rangsakan jurus Wi-thian-cit-ciat-
sek yang hebat itu sudah melandai tiba, sekuat tenaga ia jejakkan kakinya melompat mundur
jumpalitan, berbareng kedua telapak tangannya berputar menepuk ke atas menyongsong ke arah gelombang
tekanan
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan Hun Thian-hi. Namun betapa hebat dan dahsyat kekuatan serangan Wi-thian-cit-ciat-sek ini,
menghadapi musuh besar pula sudah tentu Hun Thian-hi menyerang dengan sekuat tenaga.
Bagaimana cepat dan gesit Mo-bin Suseng berusaha berkelit atau menghindar diri, tak urung ia
terpental juga oleh terjangan tenaga dahsyat bagai gugur gunung yang menerpa datang, terdengar
mulutnya. menguak seperti babi disembelih kontan badannya terguling2 menyemburkan darah,
empat jalan darah mematikan di tubuhnya kena tertutuk buntu, seumpama dewa juga tidak akan
mampu hidup kembali. Hun Thian-hi menarik kembali serangan selanjutnya yang sudah disiapkan, dengan
berdiri terlongo ia pandang tubuh Mo-bin Suseng yang menggeletak tidak bergerak.
Sekarang dendam sudah terlampias, ia sudah menuntut balas sakit hati keluarganya. Tapi benar-
benarkah ia sudah menuntut balas" Hati kecilnya tidak merasakan kepuasan sesuai dengan tuntutan
nuraninya. Sekarang terbayang olehnya sorot mata dan air muka Mo-bin Suseng sesaat sebelum
serangannya mengenai badan orang, terketuk dalam relung hatinya suatu firasat jelek yang
menghantui sanubarinya. Mendadak tampak olehnya badan Bo-bin Suseng bergerak-gerak, rasa ketakutan
menggedor hati Hun Thian-hi, serta merta kakinya menyurut mundur. Dengan pandangan tidak
mengerti ia pandang badan Mo-bin Suseng yang berkelejetan itu. Ternyata Mo-bin Suseng belum
lagi mati, sungguh ia tidaK berani membayangkan, setelah kena tertutuk empat jalan darah
kematian di tubuhnya orang ternyata masih mampu bertahan hidup sekian saat.
Dengan kencang Thian-hi genggam serulingnya, meski ia tahu seumpama Mo-bin
Suseng tidak segera mampus, terang jiwanya juga tidak mungkin diselamatkan lagi. Bagi manusla
yang tertutuk buntu jalan darah kematiannya adalah tidak mungkin berkepanjangan umurnya,
apalagi kena diterjang begitu hebat oleh kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek yang begitu ampuh,
terang urat nadi dan sendi tulangnya sudah putus dan hancur, harapan hidup sudah tiada lagi.
Mo-bin Suseng menggeliat tubuh dan terbalik celentang, dengan susah payah ia
berusaha merangkak bangun. Menyaksikan keadaan yang menyedihkan ini telapak tangan Hun
Thian-hi berkeringat dingin, ia tak tahu kekuatan darimana yang dapat melandasi kekerasan
hati Mo-bin Suseng sehingga ia mampu bertahan hidup, suatu hal yang mustahil dan tak mungkin
terjadi, tapi kenyataan disaksikan di depan matanya.
Mo-bin Suseng meronta bangkit dua kali, dua2nya gagal dan akhirnya ia rebah
kelemasan, dengan putus asa ia menghela napas panjang, terdengar suaranya lirih dan kalem,
"Hun-sicu! Aku bukan Mo-bin Suseng. Kemarilah kau, ada beberapa patah yang perlu kusampaikan
kepadamu!" Seakan-akan kepala Thian-hi dipukul godam mendengar ucapan orang, terasa olehnya
ketulusan ucapan seseorang yang menjelang ajal adalah jujur, seketika pucat pasi
selebar mukanya, keringat segede kacang mengalir dari jidatnya, dengan tertegun mulutnya
bicara, "Apa" Kau bukan Mo-bin Suseng" Benar-benarkah itu" Lalu Siapa kau sebenar-benarnya?"
Orang itu menghela napas tak bersuara, sesaat setelah menghimpun tenaga baru
bersuara lagi, "Kemarilah kau!"
Tiba-tiba Hun Thian-hi seperti tersadar siapa sebetulnya orang di hadapannya,
serunya terlongong, "Jadi kau adalah Ngo-sing Suhu?"
Orang itu berdiam diri! Hati Hun Thian-hi seperti menciut, rasa ketakutan menjalar seluruh sanubarinya
bergegas ia memburu maju serta berjongkok disamping orang terus memampah badannya.
Pelan-pelan orang itu membuka mata, katanya dengan suara tak bertenaga, "Hun-
sicu, aku tidak akan tertolong lagi, tapi sebelum ajal ada sebuah permohonanku terhadap
kau, kau harus memberi persetujuanmu...."
Hwesio cebol yang tambun ini ternyata benar-benar adalah Ngo-sing adanya,
sungguh pedih dan seperti ditusuk sembilu perasaan hati Hun Thian-hi, air mata meleleh deras
membasahi pipinya, sungguh ia menyesal akan perbuatannya yang gegabah dan ceroboh,
sedikitpun tidak terpikir olehnya bahwa bukan mustahil orang yang dihadapi ini adalah Ngo-sing
Suhu alias Siaubin- mo-in. Ngo-sing tertawa halus, katanya lirih, "Hun-sicu tidak perlu bersedih, dosa2ku
dulu terlalu keliwat takaran, memang aku sudah ditakdirkan begini, Hun-sicu tidak perlu
menyalahkan diri dan menyiksa dirimu karena nasib yang menimpa diriku ini, ini sudah suratan takdir!"
"Ngo-sing Suhu!" ujar Hun Thian-hi mengembeng air mata, "sungguh aku sangat
menyesal akan perbuatanku yang bodoh ini!"
Ngo-sing pejamkan mata sesaat lamanya, baru kuasa bicara lagi, "Hun-sicu! Selama
hidupku ini ada sebuah cita-citaku yang belum terlaksana kukerjakan, aku ingin mohon supaya
Hun-sicu suka mewakili aku mengabulkan cita-citaku ini."
"Ngo-sing Suhu silakan katakan saja, selama jiwa masih dikandung badan Hun
Thian-hi pasti akan melaksanakan pesanmu sekuat tenaga!"
Ngo-sing menghela napas lega, katanya tertawa, "Semula aku tidak paham kenapa
kau bisa panggil aku Mo-bin Suseng, sampai detik terakhir ini baru aku sadar, tentu kau
tadi sudah ketemu dengan guruku bukan?"
Hun Thian-hi manggut sambil sesenggukkan, sahutnya, "Benar-benar, baru saja aku
jumpa dengan beliau. Menurut katanya Mo-bin Suseng ada memperlihatkan jejaknya di
sekitar Jian-hudtong, dan kenyataan kaulah yang muncul, maka kusangka kaulah Mo-bin Suseng adanya!"
"Itulah yang dinamakan takdir," demikian kata Ngo-sing perlahan, "Kudengar Mo-
bin suseng akan tiba disini, dia adalah engkohku tertua maka hendak kutolong jiwanya.
sekali2 dia tidak boleh bertemu muka dengan kau, siapa nyana justru kau telah tahu beluk-beluk persoalan
ini." - sampai disini napasnya memburu dan berhenti bicara, sesaat kemudian baru
melanjutkan lagi, "Hwesio jenaka ada beritahu padaku dia berada di Siong-san, sebaliknya
pertanyaanmu bilang aku menyusul datang dari Thay-san Kusangka entah karena urusan apa Hwesio jenaka
telah pergi ke Thay-san pula." Sungguh Thian-hi menyesal dan gegetun lagi akan perbuatan bodohnya yang tidak
punya perhitungan ini, ingin untung menjadi buntung, orang baik-baik macam Ngo-sing
yang beberapa kali pernah membantu dirinya disangkanya Mo-bin Suseng dan melukai berat begini
rupa, terang tiada harapan hidup lagi,
Ngo-sing tersenyum halus. katanya: .Hun-sicu tidak usah menyesal dan salahkan
diri sendiri, nasiibku ini memang sudah suratan takdir aku tidak salahkan kau. Mungkin hanya
guruku seorang yang mengetahui rahasia persaudaraanku ini di seluruh dunia."
Meski Ngo-sing berkata tanpa pamrih, tapi betapa pedih dan pilu perasaan Hun
Thian-hi sungguh susah dilukiskan. Dia kuasa menerima segala cercah dan nista yang
ditimpakan dirinya oleh seluruh golongan persilatan di Bulim, tapi dia tidak akan kuasa menerima
kesalahan yang diperbuatnya hari ini. Tempo hari dirinya telah dibebani dosa tak berampun oleh
seluruh kaum persilatan. tapi dia tolak mentah-mentah. Justru hari ini Ngo-sing mewakili
dirinya menolak pula dosa2 ini pula, meski perbuatan ini merupakan suatu kesalah pahaman yang tidak
dimengerti, tapi ia tahu, bahwa segala akibat dari perbuatan kelalaian ini harus menjadi beban
dan tanggung jawabnya. Sekian lama Ngo-sing pejamkan mata, tiba-tiba ia membuka suara pula, "Guruku itu
adalah Suheng Ka-yap Cuncia, beliau bernama gelar Ah-lam Cuncia. Ka-yap Cuncia juga
sudah anggap beliau sudah wafat. Beliau paling pantang seseorang mengetahui nama dan asal
usulnya." Terbayang oleh Thian-hi akan Hwesio tua yang picak itu, sungguh tidak nyana
bahwa Hwesio tua itu ternyata adalah Suheng Ka-yap Cuncia
Ngo-sing berkata pula, "Selama hidupku inj tidak sedikit aku menerima budi besar
dari beliau orang tua. tapi kedua matanya yang picak sehingga seluruh kepandaian silatnya
pun musnah menjadi cacat badan juga lantaran diriku!"
Hun Thian-hi berdiam diri. terasa hatinya hambar dan kosong, dia berdiri
menjublek tak tahu apa yang sedang terpikir dalam benaknya.
"Ai, beliau terkena racun Ban-lian-ceng. meski kepandaian silatnya setinggi
langit, tapi sekarang sudah punah dan tak berguna lagi. Untuk menyembuhkan sepasang mata dan
memulihkan Lwekangnya kembali. cuma dapat memohon pada seseorang saja!" demikian Ngo-sing
melanjutkan ceritanya. Mendadak tersedar Thian-hi dari lamunannya, tanyanya, "Maksud Ngo-sing Suhu
supaya aku pergi mencari orang itu bukan" '
Ngo-sing harus mengempos semangat dan mengatur napas sebentar baru bisa
melanjutkan bicara, "Orang ini adalah Suheng Thaysi Lojin yang kenamaan di Bulim dulu bemama
Jing-sankhek. Dulu aku pernah ketemu beliau, tapi selama hidup ini dia membisu diri tak mau
bicara sekecap pun Orang ini merupakan seorang cerdik pandai, tiada persoalan yang
tidak dapat dibereskan oleh beliau. Akhirnya dapat kuselidiki alasan kenapa dia membisu
diri, ternyata karena dia kehilangan semacam barang, dan barang itu adalah milik istrinya yang
tercinta. Bila kau dapat menemukan barang itu dan menghadap pada beliau, pasti hasilnya diluar dugaan." -
Sampai disini napasnya menburu lagi dan terbatuk2 hebat, akhirnya jatuh kelemasan.
Cepat-cepat Thian-hi memajangnya bangun, tanyanya cepat, "Barang apakah itu?"
Dengan lemah Ngo-sing membuka mata, suaranya tergagap. "Kata mereka....itulah
....seekor....seekor kuda....kuda hijau....sampai disini melayanglah jiwanya.
Dengan mengembeng air mata pelan-pelan Thian-hi letakkan badan orang terus
berdiri, otaknya seperti butek dan tidak punya pegangan lagi, mulutnya menggumam, "Kuda
hijau" Kuda yang berwarna hijau?" -Mana mungkin ada kuda warna hijau di dunia ini" Dan lagi
Ngo-sing sudah meninggal, dia meninggal begitu saja. Betapa aku takkan malu berhadapan dengan
para sahabat Kangouw" Tengah ia terlongong, tiba-tiba dilihatnya Hwesio tua picak yang bernama Ah-lam
Cuncia seperti penuturan Ngo-sing berjalan keluar dari hutan.
Dengan mendelong Hun Thian-hi pandang Ah-lam Cuncia, hatinya menjadi was-was dan
takut, hampir saja ia melarikan diri, Ah-lam Cuncia pernah menanam budi pada dirinya,
demikian juga Ngo-sing tidak kecil pula bantuannya terhadap dirinya, Tapi kenyataan Ngo-sing
sekarang sudah menjadi korban kelalaiannya.
Dengan, perasaan hampa segera ia melangkah kehadapan Ah-lam Cuncia, terus
bertekuk lutut dan menangis gerung-gerung dihadapan kaki orang.
Ah-lam Cuncia mengelus-elus kepalanya, rada lama kemudian baru ia bersuara,
"Dalam hati Siau-sicu sekarang sedang berpikir apa, apakah Siau-sicu sendiri tahu?"
Hun Thian-hi geleng-geleng kepala sahutnya sambil sesenggukan, "Wanpwe tidak
tahu, harap Taysu suka memberi petunjuk!"
Ah-lam Cucia berkata pelan-pelan, "Kalau Siau-sicu sendiri tidak tahu, lalu
siapa bakal tahu?" Tergetar dada Thian-hi walau Ah-lam Cuncia mengucapkan kata-katanya ini sangat
lirih dan enteng, namun setiap katanya seperti meresap dan memasuki sanubarinya.
Sekonyong-konyong sadarlah ia dari pulasnya, bayangan masa lampau dari segala
sepak terjangnya yang penuh noda2 berdarah laksana air bah yang menerjang ke dalam
relung hatinya, sadarlah ia bahwa dosa2nya membunuh terlalu berat, akhirnya ia berkata perlahan,
"Untuk selanjutnya Tecu pasti tidak akan membunuh sembarangan orang!"
Lalu perlahan-lahan ia mendongak melihat wajah Ah-lam Cuncia, seketika ia
melenggong kaget, tampak kedua biji mata Ah-lam Cuncia terbuka melek, dengan senyum welas asih ia
pandang dirinya, biji matanya memancarkan sorot tajam yang menembus kerelung hati orang.
Hun Thian-hi masih berlutut dengan mendelong ia pandang muka Ah-lam Cuncia.
Ah-lam cuncia tampak tersenyum, ujarnya, "Hawa membunuh Siau-sicu sudah kabur,
namun nafsu asmara masih bersemi dalam hati, selanjutnya kau masih perlu berhati-hati
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam segala tindak tanduk. Loceng segera minta diri bila kelak masih jodoh, pasti akan jumpa
pula!" habis berkata dimana lengan jubahnya mengebut jenazah Ngo-sing tahu-tahu sudah berada
dikempitannya, sekali berkelebat dilain saat beliau sudah melesat menghilang tanpa bekas.
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, hampir ia tidak percaya pada penglihatan
matanya sendiri, Ah-lam Cuncia sudah sembuh kembali, kedua matanya sudah melek dan dapat
melihat, betapa tinggi Kepandaiannya, sungguh sukar diukur dan sangat menakjubkan. Apa
yang sekarang disaksikan sungguh berbeda terlampau jauh dari penuturan Ngo-sing tadi.
Entah berapa lama Hun Thian-hi terlongong tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba
ia tersentak sadar akan tugas apa yang harus segera dilaksanaKan sekarang, cepat ia
berlari menuju kejalan rahasia yang menembus kegua seribu Buddha.
Baru saja ia berada di dalam kegelapan lorong gua, mendadak terasa dua gelombang
angin deras menerjang tiba dari kanan kiri, betapa kuat terpaan jalur kedua angin
pukulan ini, benarbenar merupakan rangsakan dari tokoh kelas wahid dalam kalangan persilatan umumnya.
Sedikit terkejut lantas Hun Thian-hi siaga dengan seluruh kemampuannya, ia insaf
bahwa jalan rahasia ini sudah konangan orang lain, malah musuh kedatangan bala bantuan lagi,
atau mungkin Tok-sim-sin-mo sendiri sudah kembali pulang dan berada si Jian-hud-tong pula
sekarang. Tanpa ada tempo untuk banyak pikir, sebat sekali ia berkelit mundur seraya
mengembangkan kedua tangannya kekanan kiri untuk menyampok serangan musuh, berbareng kakinya
menjejak tanah, kontan tubuhnya menerjang maju ke depan, lolos dari gencetan dua arus
pukulan dahsyat. Begitu menerobos lewat dari gencetan dua arus pukulan angin musuh, gesit sekali
ia berdiri membalik dan memasang kuda-kuda siap waspada, dilihatnya dari tempat gelap dari
dua samping muncul Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tahu dia sekarang bahwa Tok-sim-sin-
mo pasti benar-benar sudah kembali, tanpa merasa berdegup keras jantungnya.
Melihat Hun Thian-hi mampu meloloskan diri dari serangan gabungan yang begitu
dahsyat dilancarkan secara membokong lagi, sungguh Biau biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho
menjadi kesengsem, tanpa banyak bicara mereka bergerak pula dari jurusan masing-masing
dengan serangan telak ke arah Hun Thian-hi Tiba-tiba tergerak hati Hun Thian-hi, ia
menduga bahwa kedua musuhnya ini pasti belum sempat memberitahu akan jalan rahasia yang
ditemukan ini pada kawan2nya yang lain, maka ia berpikir harus bertindak secepatnya, sebaliknya
kedua lawannyapun ingin dapat membekuk Hun Thian-hi secara diam-diam pula tanpa mendapat bantuan
orang lain yang berarti menurunkan derajat dan mengurangi jasa2 mereka pada pemimpinnya.
Begitulah kedua belah pihak sama bertekad untuk merobohkan lawannya. maka masing-masing
melancarkan ilmu pukulan dan tipu-tipu yang paling diandalkan.
Tiga gelombang pukulan dahsyat seketika berkutet dan saling bentur dengan
kekerasan yang dahsyat sehingga menimbulkan suara ledakan yang gemuruh. Badan Hun Thian-hi
tergetar sempoyongan tersurut mundur ke belakang. Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho
serempak menghardik Keras, mereka mengejar datang pula serta menambahi pula dengan
tamparan dan sodokan yang mematikan, sementara kelima jari Bing-tiong-mo-tho terjulur panjang
mencakar kemuka Hun Thian-hi. Demikian juga Biau-biau-cu merubah sodokan sikutnya dengan
sebuah tutukan jari yang mengarah jalan darah Yu-kin-hiat. Besar hasrat mereka dalam
serangan serempak yang dahsyat ini dapat membinasakan Hun Thlan hi seketika itu juga.
Tiba-tiba Hun Thian-hi menjengkangkan atas tubuhnya ke belakang, berbareng kedua
kakinya terangkat ke atas bergantian menendang ketenggorokan kedua musuhnya yang
menyerang maju dengan nafsu yang berkobar itu.
Keruan kedua musuhnya kaget bukan kepalang, sungguh mereka tidak nyana bahwa Hun
Thian-hi dapat bergerak begitu lincah dan pintar, dalam keadaan terdesak
berbalik balas menyerang dengan serangan telak yang sekaligus telah membebaskan diri dari
renggutan maut serangan musuh. Lebih diluar dugaan pula bagi kedua musuhnya bahwa gerak serangan Hun Thian-hi
ini melulu hanyalah serangan pancingan belaka, begitu kedua kakinya terangkat dan
menendang, mendadak tubuhnya melejit mumbul ke atas berbareng berputar satu lingkaran, dimana kedua
tangannya menyamber kontan kedua lawannya kena terpukul mundur sempoyongan.
Keruan ciut nyali Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho bahwa dengan dua lawan satu
ternyata Hun Thian-hi masih mampu mendesak kedua lawannya dan berada di atas angin, bila
pihak sendiri tidak mengundang bala bantuan pasti sulit dapat mengatasi keadaan yang terdesak
ini. Mendapat angin Hun Thian-hi pun melancarkan serangan yang lebih dahsyat, begitu
lincah gerak geriknya terus mendesak maju, sekonyong-konyong kedua telapak tangannya
terkembang terus menepuk ke atas batok kepala kedua musuhnya.
Melihat Hun Thian-hi melancarkan serangan denganb kekerasan tanpa menjaga lobang
kelemahan tubuhnya Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho mendengus gusar, serempak
mereka memiringkan tubuh mkenyongsongkan telapak tangan masing-masing menyambut pukulan
Hun Thian-hi, cara tangkisan mereka ini cukup licik bukan saja dapat memunahkan
sebagian tenaga pukulan Hun Thian-hi berbareng mereka susulkan pula pukulan telapak tangan yang
lain dengan tenaga yang lebih dahsyat.
Tapi Hun Thian-hi punya perhitungannya sendiri, mana begitu gampang ia bisa
dikelabuhi oleh kedua musuhnya. Ia insyaf bila bertempur secara kekerasan jelas dirinya bukan
tandingan Biaubiau- cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tapi bila kedua musuhnya ini tidak dapat bekerja sama
dan dirinya dapat bertindak menggempur kelemahan mereka masing-masing, meski satu lawan dua
ia percaya masih mampu mengatasi, malah ia percaya dapat menang' mengandal kecerdikan
otaknya. Begitulah seiring dengan jalan pikirannya ini, tampak kedua musuhnya sudah
melancarkan pula serangan yang bertujuan sama hendak menggempur dadanya, seketika otaknya yang
cerdik dapat meraba cara bagaimana ia harus bertindak, sebat sekali kedua telapak tangannya
terkembang berputar di tengah jalan ia robah pukulan telapak tangan menjadi tutukan jari
yang mengarah jalan darah Sim-hu-hiat di depan dada kedua lawannya.
Sim-hu-hiat adalah salah satu jalan darah mematikan yang berjumlah tiga puluh
enam di seluruh tubuh manusia, begitu kena tertutuk jiwa segera melayang. Angin tutukan
jari Hun Thianhi laksana ujung pedang tajamnya, menembus lewat dari arus pukulan mereka sendiri
terus menerjang kejalan darah Sim-hu-hiat.
Serasa arwah terbang keluar dari badan kasar Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho,
mereka insyaf bila dengan gabungan mereka berdua main adu kekerasan sama Hun Thian-hi
belum tentu dapat menamatkan jiwa Hun Thian-hi, malah bukan mustahil pihak sendiri yang terkapar binasa di
tanah, sedetik sebelum benturan yang menentukan terjadi sebat sekali mereka
menarik diri terus menyurut mundur, sekali mundur terus mundur berulang-ulang.
Siang-siang Hun Thian-hi sudah bersiap dan sudah memperhitungannya bahwa kedua
musuhnya pasti akan mundur. maka segala persiapannya segera diberondong keluar dengan tubrukan
maju serta gempuran yang dahsyat dilandasi Pan-yok-hian-kang. gelombang angin pukulan
laksana angin topan dan prahara menerpa mereka berdua.
Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak mundur terus tanpa mampu balas
menyerang, tubuh mereka sungsang sumbel gentayangan, sementara Hun Thian-hi terus mendesak
maju dengan gempuran yang susul menyusul, sehingga mereka berdua kena terdesak mundur
keluar lorong sempit jalan rahasia itu.
Tanpa memberi kesempatan pada kedua musuhnya untuk bertindak sesuatu yang
memungkinkan, cepat-cepat Thian-hi angkat sebuah batu besar terus disumbatkan
kemulut gua, dilain saat ia sudah berlari keluar dan menghilang dari belokan jalan rahasia
yang lain. Begitu Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak keluar gua setelah dapat menenangkan
diri baru tahu bahwa mulut gua sudah tersumbat oleh batu besar, sesaat mereka berdiri
berpandangan, serempak mereka lancarkan dua pukulan telapak tangan, "Blang" batu besar itu
kena dibobol hancur berantakan. Tapi keadaan dalam gua sunyi senyap tak kelihatan bayangan orang. Mereka tidak
tahu apakah Hun Thian-hi masih berada di dalam sana untuk menyergap mereka bila menerjang
masuk ke dalam gua. Untuk sesaat lamanya mereka berdiri tertegun tak berani bergerak, sekian lama
mereka menjadi serba susah dan kebingunan.
Sesaat lamanya mereka berpandangan, dasar licik masing-masing tidak mau
mendahului menerjang masuk supaya tidak menjadi korban lebih dahulu, tapi apakah selamanya
mereka harus berdiri terlongong di tempat itu" Bila Hun Thian-hi masih berada disana itulah
mending, bila dia sudah merat dan menerjang ke dalam gua sebelah dalam dan menimbulkan huru hara,
bukankah celaka dan merupakan dosa bagi mereka yang kurang cermat menjalankan tugas"
Karena terpikir akan akibat dari hukuman yang berat, akhirnya mereka nekad, perlahan-lahan
mereka menggeremet maju bersama memasuki gua rahasia disebelah depan.
Begitu sampai di dalam bayangan Hun Thian-hi sudah tidak kelihatan lagi, keruan
mereka berseru kaget, bergegas mereka lari mengejar kesebelah dalam.
Sementara itu, setelah Thian-hi keluar dari lorong rahasia, dia tidak berani
lari menuju langsung ke tempat tahanan Coh Jian-jo, bila dirinya sampai terkurung lagi disana,
mungkin sangat fatal bagi dirinya untuk membebaskan diri.
Apalagi Tok-sim-sin-mo sudah kembali, bukan mustahil saat ini dia berada disana
pula, lalu apa gunanya aku meluruk langsung kesana. Adalah lebih baik disaat Tok-sim-sin-mo
tidak berada ditempatnya bila aku dapat mencari obat pemunah itu, dan tindakan selanjutnya
baiklah bekerja melihat gelagat. Begitulah sambil menerawang tindakan selanjutnya kakinya berlari-lari kecil ke
depan. Jalanjalan lorong dalam Jian-hud-tong itu seperti jaringan laba-laba yang rumit sekali,
sesaat Hun Thian-hi menjadi bingung dan mengerutkan alis, entah kemana ia harus mencari
jurusan yang benar-benar!. Setelah menempuh perjalanan belak belok yang cukup jauh, mendadak dilihatnya
Tok-sim-sinmo sedang berjalan mendatangi dari arah sebelah sana. Berdetak jantung Hun Thian-
hi, pikirannya, "mungkin Tok-sim-sin-mo hendak menuju ke tempat kurungan Ling-lam-
kiam-ciang Coh Jian-jo." Dalam pada itu tampak kaki Tok-sim-sin-mo melangkah enteng lewat di bawah Hun
Thian-hi terus beranjak ke depan. Secara kebetulan baru saja ia lewat di bawah Hun Thian-hi, mendadak ia
menghentikan langkahnya, sejenak ia berdiri terlongong seperti sedang memikirkan sesuatu lalu
bergegas melanjutkan kelorong sebelah samping.
Diam-diam Hun Thian-hi merasa heran. entah mengapa setelah beberapa tindak ke
depan Toksim- sin-mo memutar kesamping sana, apakah dia sudah mengetahui akan jejakku" Atau
melupakan sesuatu" Demikian ia mereka-reka dalam hati.
Karena ingin tahu secara diam-diam ia menguntit di belakang Tok-sim-sin-mo,
ingin ia tahu kemana tujuan orang. Tampak Tok-sim-sin-mo terus maju ke arah depan tanpa
menoleh lagi, tidak lama kemudian ia membelok kesebuah pengkolan, mendadak keadaan disini
tampak menjadi terang benderang, kesanalah Tok-sim-sin-mo terus beranjak masuk.
Hun Thian-hi menguntit terus, baru saja ia tiba di tempat terang itu, tampak
Tok-sim-sin-mo membelok pula ke arah sebuah tikungan di sebelah sana, baru saja ia hendak
menyusul kesana, sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh dibelakangnya. Sungguh kejut Thian-hi
bukan main,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata jalan mundur dibelakangnya kini telah tertutup rapat oleh pintu besi,
tahu dia bahwa ia masuk perangkap, cepat ia berlari ke depan mejusul ke arah dimana Tok-sim-sin-mo
tadi menghilang. Keruan Thian-hi melengak keheranan. sungguh ia tidak habis mengerti cara
bagaimana Toksim- sin-mo dapat mengetahui bahwa dirinya sedang menguntit dibelakangnya. Apa boleh
buat dengan langkah lemas lunglai pelan-pelan ia melanjutkan ke depan. Bahwa Tok-sim-
sin-mo sengaja memancing dan mengurung dirinya di tempat ini pasti dia mempunyai tujuan
tertentu. Waktu Thian-hi angkat kepala mendongak ke atas dinding, dengan seksama ia
memeriksa keadaan sekitarnya. Bahwa Tok-sim-sin-mo dapat menghilangkan jejaknya dalam
waktu yang begitu singkat, pastilah tempat itu ada sebuah jalan rahasianya yang tersembunyi
tapi dimana letaknya. Mendadak dilihatnya mutiara besar yang terporotkan di atas dinding itu terbayang
bentuk badannya sendiri, baru sekarang ia sadar, meski tadi dirinya sembunyi di atas
dinding yang tersembunyi tapi dari bayangan yang terkaca di atas mutiara itu pastilah Tok-
sim-sin-mo sudah mengetahui jejaknya, bukan mustahil bahwa dia sudah mengetahui akan kehadiran
dirinya. di dalam sarangnya ini. Teringat olehnya waktu Tok-sim-sin-mo mendadak menghentikan langkahnya tadi.
persoalannya pasti tidak begitu gampang, tentu dia sedang menerawang cara
bagaimana mencari akal untuk menghadapi atau menjebak dirinya. Bila Ling-lam-kiam-ciang terkurung
disekitar sjni, bukan mustahil bahwa dalam lorong2 gua yang sempit itu tersembunyi berbagai alat
rahasia. Adalah jamak bila Tok-sim-sin-mo tidak sudi mengeluarkan banyak tenaga dan
pikiran, cukup dengan alat2 rahasia sudah berkelebihan untuk menghadapi dirinya.
Keadaan gua dimana sekarang ia berada jauh lebih benderang dari keadaan gua yang
lain. Sesaat Hun Thian-hi menjadi was-was dan curiga. Dari suara gemuruh turunnya
pintu besi yang tebal itu dapatlah ia mengukur bahwa mengandal tenaganya tidaklah mungkin ia
kuat mencebolnya keluar. Tok-sim-sin-mo sekarang sudah menghilang, kecuali dapat menemukan alat rahasia
dan jalan keluarnya, kalau tidak dirinya harus terima nasib mati kelaparan atau bunuh diri
saja. Dengan cermat Thian-hi meraba-raba dinding sekitarnya, diperiksanya setiap
jengkal dinding batu yang dicurigai apakah disana letak alat rahasia yang bakal menolong dirinya
keluar. Tapi kecuali mutiara yang cerlang cemerlang terporot di atas dinding itu.... ia tidak
menemukan sesuatu yang dapat menolong dirinya.
Mendadak ia seperti menemukan sesuatu yang menimbulkan perhatiannya, di bawah
mutiara itu, lapat-lapat seperti ada sebuah goresan anak panah yang menunjuk kesuatu
arah tertentu, goresan itu begitu ringan sekali sehingga sukar dapat dipandang dengan mata
biasa, tapi bagi sepasang biji mata Thian-hi yang jeli dengan bekal Lwekangnya yang tinggi. ia
dapat melihat dengan jelas sekali, memang bila tidak diperhatikan orang tidak akan tahu adanya
tanda rahasia ini. Berdetak jantung Thian-hi. dengan adanya petunjuk ini apa pula yang perlu
kutakuti, mengiringi petunjukan tanda rahasia yang tergores di bawah mutiara2 itu setindak
demi setindak ia maju ke depan. Beberapa lama kemudian mendadak ia mendapat firasat yang kurang baik, penerangan
dalam gua tetap sama, tapi lambat laun tanah sekitarnya semakin lembab dan basah,
empat dinding sekitarnya kelihatan basah dan meneteskan air.
Wilajah Tun-hong terkenal dengan gurun pasir yang teramat luas. tanah disini
tandus dan kering, letak Jian-hud-tong berada di dalam pegunungan tandus yang geesang pula,
tapi kenapa dirinya seperti berada di dalam bawah tanah yang sangat rendah, pikir punya
pikir lambat laun timbul rasa ketakutan yang semakin menghantui sanubarinya, pikirnya; 'Entah
apakah yang berada disebelah dalam sana"'
Thian-hi merasakan keganjilan rasa dalam relung hatinya, timbul was-was dan
kewaspadaannya, pelan-pelan ia beranjak maju terus ke depan.
Tapi mendadak ia melihat sesuatu yang luar biasa ganjilnya muncul di depan sana,
sudah tentu kejutnya bukan kepalang, tanpa terasa ia tersentak mundur selangkah.
Dalam lobang gua sebelah dalam sana, ada seseorang sedang berjalan mondar-
mandir, orang itu berpotongan sebagai Tojin dan sekilas pandang saja cukup jelas bahwa Tosu
ini bukan lain adalah Giok-yap Cinjin itu Cianbunjin Bu-tong-pay yang pernah dikenalnya dan
akhirnya terbunuh secara gelap. Jantung Thian-hi melonjak-lonjak sangat keras, apa yang dilihatnya sekarang
sungguh sangat mengejutkan hati dan perasaannya, bahwa Giok-yap ternyata belum mati dan muncul
di tempat ini, adalah Tok-sim-sin-mo pula yang sengaja memancing dirinya kemari. entahlah
kemana maksud tujuannya! Thian-hi menahan gejolak hatinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya,
tiba-tiba terpikir olehnya, tadi aku hanya melihat dari bayangan samping orang itu, mungkin memang
bentuk tubuh dan raut muka orang itu rada mirip dengan Giok-yap Cinjin, yang benar-benar dia
adalah seorang yang lain. Tujuan Tok-sim-sin-mo memancingku kemari adalah supaya orang ini
membunuh aku. Karena pikirannya ini ia melongokkan kepalanya pula ke dalam, pandangan sekali
ini, hampir saja membuat semangat dan arwahnya seperti copot dari badan kasarnya.
Ternyata Tosu itu sekarang tahu-tahu sudah berdiri dihadapannya tanpa
mengeluarkan sedikitpun suara. Begitu ia melongok ke dalam hampir saja ia beradu muka dengan
orang, sekarang lebih jelas dan boleh dipastikan, siapa lagi kalau Tosu ini bukan Giok-
yap Cinjin adanya" Meski Hun Thian-hi membekal kepandaian silat setinggi langit, walaupun nyalinya
sebesar gajah, menghadapi keadaan yang seram ini tanpa merasa ia tersurut mundur
berulang-ulang, seluruh tubuhnya gemetar merinding, dengan pandangan penuh ketakutan ia pandang
ke dalam lorong sana. Ooo)*(ooO Munculnya Ham Gwat secara mendadak sungguh merupakan suatu pukulan batin bagi
Bu-bing Loni, sedikit terkejut konsentrasinya menjadi bujar, pedang yang sudah bergerak
hendak menyerang menjadi batal di tengah jalan.
Sesuai dengan tatapan matanya yang dingin Ham Gwat menyapu pandang para hadirin
dalam gua itu, rona wajahnya masih kelihatan begitu beku dan kaku
Sekonyong-konyong terketuk rasa ketakutan yang menyelubungi sanubari Bu-bing
Loni, agaknya ia merasa terketuk dan gentar menghadapi sinar mata Ham Gwat yang kaku
dingin dan cemerlang itu, apalagi secara langsung dihadapan Kiang Tiong-bing.
Mendadak ia merasa terketuk pula bahwa wibawa dan keangkeran dirinya sudah
diinjak2, Ham Gwat adalah asuhannya sejak kecil, sekarang berada di hadapannya berani begitu
kurang ajar tidak tahu sopan santun dan tata krama, maka dengan rasa gusar yang berapi-api
ia deliki Ham Gwat, mulutnya pun menggeram desisnya, "Ham Gwat! Di hadapanku berani kau
berlaku kurang hormat ya!" Sekilas agaknya Ham Gwat terpengaruh akan wibawa dan kekerasan gurunya, pelan-
pelan pandangannya tertunduk kebawah, namun dalam kejap lain ia sudah angkat kepala
lagi memandang Bu-bing Loni dengan tidak bersuara dan tidak berkedip.
Kedua biji mata Bu-bing pun menatap Ham Gwat lekat-lekat, kalau menurut adat
kebiasaannya, sejak tadi ia sudah pukul mampus Ham Gwat, tapi betapa pun Ham Gwat adalah buah
asuhannya sejak masih baji, seluruh harapan hidupnya ia tumplekkan kepada bimbingannya
kepada Ham Gwat pula, sungguh ia tidak rela begitu saja melenyapkan Ham Gwat dari kehidupan
ini, apalagi masih ada Poci pula, bila dirinya menyerang Ham Gwat bukan mustahil dia akan
bantu mengeroyok dirinya. Bagaimana kepandaian silat Ham Gwat ia paling jelas, tingkat kepandaian silat
Ham Gwat tidak terlalu jauh bedanya dengan kemampuannya terutama Ginkangnya malah sudah
sebanding dengan dirinya. Bu-bing mendengus, jengeknya gusar, "Dua puluh tahun jerih payah mengasuh dan
membesarkan kau sampai sekarang, dan apa yang kudapat sekarang adalah sikap
kurang ajaranmu kepadaku ini?"
Ham Gwat tidak gubris ucapannya, pelan-pelan sepasang biji matanya beralih
memandang ke arah Kiang Tiong-bing, agaknya ia merasakan sesuatu yang aneh, terketuk perasaan
sanubarinya bahwa orang tua laki-laki di hadapannya ini seolah-olah adalah familinya yang
terdekat, terpancar dalam sorot matanya harapan akan buaian cinta kasih yang belum pernah dirasakan
dan diresapi selama hidup ini. Dari samping Poci membuka suara, "Orang tua itu adalah ayah kandungmu!"
Tergetar hati Ham Gwat, terasakan olehnya berita yang datang secara mendadak
merupakan suatu pukulan yang sulit untuk diterima dengan nalarnya yang masih kebingungan,
hampir ia tidak percaya akan pendengaran telinganya, sesaat ia terlongong dan menjublek di
tempatnya. Jang paling terkejut justru adalah Bu-bing Loni, ia tahu bahwa rahasia ini
sekali2 pantang diketahui oleh Ham Gwat, karena bila Ham Gwat mengetahui seluk beluk persoalan
ini, bagaimana akibatnya siang-siang ia sudah dapat membayangkan. Demikian juga Poci telah
mengetahui rahasia ini, bertambah pula rasa kejutnya, tapi ini memang akibat yang pasti
terjadi, kalau toh Ham Gwat mendadak bisa muncul disini, mana mampu dirinya menutupi atau
merahasiakan terus persoalan ini. Sekonyong-konyong berkobar nafsunya, biji matanya berubah buas dan beringas
kenyataan mendesak dia harus cepat-cepat turun tangan sebelum Ham Gwat dapat memulihkan
kesadaran pikirannya. Bila terlambat lagi sesaat lamanya, mungkin kesempatan yang ada dan
baik ini sulit dicapai lagi. Pedang di tangan kanannya terayun melengkung, sinar pedangnya berkelebat laksana
biang lala menusuk dan membabat ketubuh Ham Gwat dalam dua sasaran atas dan tengah.
Melihat Ham Gwat mendadak terlongong mematung di tempatnya, tiba-tiba terasa
oleh Poci keadaan yang membahayakan jiwanya ini, Poci menjadi sadar bahwa ucapannya tadi
sudah terlalu pagi di katakan sehingga terjadi akibat yang diluar dugaan ini.
Begitu pedang Bu-bing Loni menyamber ke arah Ham Gwat segera ia berteriak
memperingatkan; "Awas!" - baru mulutnya berseru, sebuah pikiran berkelebat pula dalam benaknya,
secara reflek tangan kanannyapun segera bekerja menarik kelima senar harpanya keras-
keras, begitu kelima senar harpanya putus dan mengeluarkan gelombang suara yang nyaring
melengking menembus langit menerjang ke depan, Sungguh dahsyat dan hebat benar-benar suara
kelima senar harpa yang terputus itu.
Bu-bing Loni tidak men-duga-duga. tubuhnya bergetat hebat. sedang pedang panjang
ditangannya pun terlepas jatuh di atas tanah, sekilas pandangan matanya mendelik
berapi-api penuh dendam kebencian ke arah Poci, sebat sekali tiba-tiba tubuhnya berkelebat
melayang keluar gua dan menghilang Poci masih duduk bersimpuh di tanah, begitu bayangan Bu-bing lenyap kontan
mulutnya terpentang menyemburkan darah segar, badannya pun terus roboh lemas.
Lekas-lekas Ma Gwat-sian dan Ham Gwat memburu maju. dengan raut muka dibasahi
air mata Ma Gwat-sian berteriak-teriak, "Suhu! Suhu! Bagaimana keadaanmu"
Perlahan-lahan Poci membuka mata, ia tersenyum manis ke arah Ma Gwat-sian,
ujarnya, "Nak, aku tidak apa-apa, kau tak usah kuatir!"
Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat serta sambungnya, "Lekas kau tengok keadaan
ayahmu!" Sungguh Ham Gwat merasa sesal dan terima kasih pula, tahu dia bahwa Bu-bing Loni
pasti
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terluka dalam yang cukup parah karena serangan getaran suara kelima senar harpa
yang putus tadi, kalau tidak masa ia melarikan diri. Tapi luka dalam yang diderita Poci
rasanya jauh lebih berat pula, demi akulah sehingga orang terluka berat, tapi sikapnya masih begitu
baik pula terhadap aku, demikian batin Ham Gwat dengan haru.
Maka dengan penuh keharuan Ham Gwat berkata, "Terima kasih Cianpwe. kelak Wanpwe
pasti akan membalas budi kebaikan ini!" - Lalu tersipu-sipu ia berlari ke arah Kiang
Tiong-bing dan membuka jalan darah yang tertutuk ditubuhnya.
Mengawasi Ham Gwat tak tertahan lagi mengalir deras air mata Kiang Tiong-bing,
tiba-tiba ia peluk Ham Gwat erat-erat, katanya sesunggukan, "Nak! Beberapa tahun ini sungguh
kau banyak menderita." Mendadak Ham Gwat seperti merasai hatinya menjadi kosong. terasa bahwa kekesalan
lubuk hatinya selama ini mendadak meledak dan semua membanjir keluar, baru pertama
kali ini ia mengalirkan air mata, malah begitu deras dan tak terbendung lagi air mata
kesedihan dan kegirangan, serta merta mulutnya berteriak seperti orang histeri, "Ayah! ayah...."
Ma Gwat-sian terketuk sanubarinya, perlahan-lahan ia menundukkan kepala, tanpa
tertahan air matanya pun mengalir juga.
Baru sekarang ia mendadak memahami, lambat laun dirinya semakin terpaut menjauh
dari rasa kebahagiaan yang didambakan selama ini, berlawanan dengan keadaannya Ham Gwat ia
sedang melangkah menuju ke arah bahagia yang sudah tiba diambang sanubarinya, ia sadar
bahwa ia harus lekas-lekas kembali ke Thian-bi-kok.
Bab 26 Dalam pada itu, Kiang Tiong-bing dan Ham Gwat masih berpelukan dan bertangisan
entah berapa lama kemudian. Kiang Tiong-bing tertawa serta berkata, "Nak. sudah jangan
bertangisan lagi. Coba kulihat kau!"
Lalu ia cekal kedua pundak Ham Gwat dan dipanpangnya dihadapan mukanya dengan
cermat ia amati wajah Ham Gwat yang aju rupawan itu, berselang lama baru terdengar pula
suaranya tertawa girang, "Dua puluh tahun lamanya, kau sudah tumbuh sedemikian besar,
sungguh mirip benar-benar dengan ibumu semasa muda. malah kecantikan ibumu rasanya masih kalah
tiga bagian dibanding kau sekarang!"
Pertama Kali mendapat pujian dan yang memuji justru ayahnya sendiri Ham Gwat
menjadi kegirangan dan malu-malu kucing, lekas ia menunduk dan memukul lengan ayahnya
dengan aleman. Kiang Tiong-bing terlongong memandangi muka Ham Gwat, akhirnya ia menghela
napas, ujarnya, "Tapi. entah dimana sekarang dia berada!" - Ucapannya penuh nada derita
dan pilu. "Benar-benar ayah, dimanakah ibu sekarang berada?" tanya Ham Gwat.
Pelan-pelan Kiang Tiong-bing menggeleng kepala. sahutnya tertawa getir, "Ma
Gwat-sian adalah seorang anak yang baik, aku sudah menerima dia sebagai putri angkatku.
Gurunya tadi pun sudah menolong jiwamu kelak jangan kau membuatnya kecewa!"
Ham Gwat mengiakan, dipandangnya Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian maju menghampiri katanya tersenyum, "Ham Gwat Cici, selamat akan
pertemuan kalian ayah dan anak!"
"Teriina kasih padamu Gwat-sian!" sahut Ham Gwat terharu.
Sekarang terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa sebenar-benarnyalah Ham Gwat jauh lebih
sjmpatik dan gampang bergaul dari dugaannya semula. Memang lahirnya bersikap kaku dan
berwibawa tidak boleh sembarangan diganggu usik, dia punya keagungan yang suci dan dapat
melumpuhkan semangat orang, tapi bila sudah dapat berdekatan dengan akrab akan terasakan
bahwasanya iapun mempunyai perasaan luhur yang wajar Tidak congkak atau sombong oleh
perasaan sementara orang yang segan kepadanya.
Kata Ma Gwat-sian, "Tadi ayahpun telah melindungi aku, kalau tidak mungkin sejak
tadi aku sudah mampus oleh keganasan Bu-bing Loni!"
Ham Gwat pandang muka Gwat-sian lalu menunduk berpikir, teringat olehnya akan
penuturan Poci itu. sadar ia cara bagaimana ia harus bersikap dalam persoalan ini. Meski
pun Ma Gwat-sian sangat pintar, tapi dalam hal buah pikiran dia masih belum cukup matang.
Sesaat kemudian baru Ham Gwat membuka suara, katanya, "Hun Thian-hi sekarang
sedang mencari kau, hati kecilnya sangatlah merindukan kau. soalnya karena kau terlalu
baik terhadapnya. Kau harus tahu, bila seorang laki-laki merasa sangat berterima
kasih dan jatuh cinta, ada kalanya ia tidak berani menyampaikan rasa cintanya itu secara berhadapan
terhadap kekasihnya!" Ma Gwat-sian tertunduk dalam, ucapan Ham Gwat terlalu mendadak bagi relung
hatinya untuk menerima dengan nalar dan pikirannya. malah iapun merasa rada kurang senang
karena anggap Ham Gwat hanya membujuk dan ngapusi dirinya sebagai anak2 yang mendambakan kasih
sayang dan cinta kasih. Namun setelah ia mendongak melihat sorot mata Ham Gwat tulus ikhlas, hatinya
menjadi menyesal pula, menyesal akan perasaan curiganya terhadap kebaikan Ham Gwat.
Terdengar Ham Gwat telah berkata pula, "Kau sudah lama bergaul bersama dia,
seharusnya kau tahu, bahwa ia terlalu banyak menerima budi kebaikan orang lain, maka dia
tidak mau lagi menerima budi pertolongan orang lain, inilah yang dinamakan harga diri dan
gengsi. Adalah aku murid dari musuh besarnya!"
Ma Gwat-sian tertawa, ujarnya, "Ham Gwat Cici, kumohon kau tak perlu
membicarakan persoalan ini!" Ham Gwat manggut-manggut, segera ia menghampiri Poci, katanya, "Cianpwe terluka
parah, aku bisa bantu kau berobat diri, marilah lancarkan jalan darah dulu!" ~tanpa
menanti jawaban Poci kedua telapak tangannya segera menempel dipunggungnya, segera ia kerahkan
tenaga dalamnya disalurkan melalui telapak tangannya menembus berbagai jalan darah
ditubuh Poci yang buntu. Sebenar-benarnya Poci hendak menolak, tapi belum sempat membuka mulut orang
sudah bekerja dengan cekatan, ia tahu bahwa tindakan Ham Gwat ini memang dapat
membantu penyembuhan dirinya lebih cepat, tapi akan banyak menguras tenaga Ham Gwat,
apalagi bila Bubing Loni datang kembali pada saat yang genting ini, mungkin tiada seorang pun yang
bisa menyelamatkan diri dari keganasannya.
Kira-kira gelombang hawa panas mengalir tiga putaran, seluruh jalan darah dan
hawa murni Poci sudah lancar dan bekerja secara normal kembali. Tapi tak urung mereka
berdua pun lemas tak bertenaga. Saat itu pula terdengar lambaian baju melayang masuk ke dalam
kamar batu itu, tahu-tahu Bu-bing Loni telah muncul pula diambang pintu.
Keruan semua yang hadir dalam kamar batu sama terkejut, sekilas Bu-bing melirik
ke arah Poci dan Ham Gwat lalu jengeknya dingin, "Kalian heran kenapa aku balik kembali
bukan?" - ia tertawa terkekeh-kekeh lalu sambungnya, "Selamanya aku tidak pernah menyerah
kalah, dan memang tidak pernah kalah, hari ini seumpama aku yang kalah, aku tidak akan
begitu saja lantas mengundurkan diri", sampai disini mulutnya menggeram dan hidung mendengus,
ejeknya pula, "APalagi aku belum lagi kalah, luka-luka yang kau derita jauh lebih berat
dibanding luka-lukaku!"
Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat, katanya pula, "Sejak kau lahir lantas kuasuh
dan kurawat sehingga kau dewasa, kau anggap aku tidak menyelami watak dan perangaimu" Kau
pasti akan memberi pertolongan dengan cara pengobatan khusus, sudah kuperhitungkan
waktunya, meski aku datang terlambat setindak, tapi masih keburu waktu." Seringainya semakin
beringas, mukanya masam dan biji matanya sudah berubah buas seperti binatang kelaparan.
Ham Gwat pelan-pelan bangkit berdiri, katanya, "Tahukah kau siapa yang menolong
Hun Thianhi dari tanganmu" Itulah aku adanya!"
Bu-bing Loni rada melengak heran, mulutnya menggeram gusar.
Terdengar Ham Gwat melanjutkan kata-katanya, "Kau heran bukan" Kau kira kau
hanya takut terhadap Ka-yap Cuncia atau Ah-lam Cuncia, jangan kau melupakan seorang yang
lain, orang inilah yang merupakan tandinganmu setimpal, seharusnya kau sadar siapakah orang
yang kumaksudkan ini. Dan yang lebih penting kau harus menyadari kenapa aku harus
meninggalkan kau, kenyataan bahwa kau tidak mampu menemukan jejakku."
Bu-bing Loni tertawa sinis, katanya, "Ham Gwat! Sejak kecil kau kubesarkan,
sekarang kau mengkhianati aku, malah sekongkol dengan orang luar melawan aku. Bagaimana sepak
terjangmu dahulu aku tidak peduli, yang jelas sekarang kau harus mampus ditanganku!"
Dengan tenang dan bersikap tetap dingin Ham Gwat balas menjengek tanpa gentar.
"Kau masih ingat Thay-si Lojin tidak?"
Berubah air muka Bu-bing Loni, ia tahu bahwa Thay-si Lojin tidak gampang
dilayani. Masih segar dalam ingatannya pada dua puluh tahun yang lalu Thay-si Lojin telah
menolong seseorang dari cengkeraman tangannya, ia tidak akan melupakan peristiwa itu, itulah
tragedi rahasia pribadinya yang disembunyikan kejadiannya, kalau toh Ham Gwat menyinggung soal
itu, pasti ia sudah tahu seluk beluk peristiwa itu, sejak waktu itu selama dua puluhan tahun
terakhir ini ia sedapat mungkin mengekang diri, tidak lagi mengumbar nafsu dan sifat jahatnya,
hari ini betapapun harus menghindari bentrokan dengan orang tua itu.
Dahulu Mo-bin Suseng bekerja sama dengan dirinya, hasil dari intrik mereka ia
dapat mencapai keinginannya, dan semua itu adalah hasil tipu daya yang diatur oleh Mo-bin
Suseng, sekejap saja dua puluh tahun telah berselang, segala akibat yang dihadapi sekarang adalah
karena kesalahan pikiran belaka, adalah karena Mo-bin Suseng yang mensetir segala kejadian itu
dari belakang. Berkilat-kilat sinar mata Bu-bing Loni, katanya, "Apa gunanya kau katakan itu
semua, kau sangka aku takut" Bagaimanapun nanti kesudahannya kau harus mati lebih dulu dari
aku! Camkanlah, dengan kedua tanganku inilah aku bimbing kau sampai besar, tapi
dengan sepasang tanganku ini pula akan kurenggut jiwamu, memangnya kau anggap aku hendak melepas
kau pergi begini saja?" Sikap Ham Gwat juga tidak kalah dinginnya, ujarnya, "Hun Thian-hi juga berada
disekitar tempat ini, demikian juga Giok-lan, Hun Thian-hi sudah mengenal burung
rajawaliku, bilamana mereka menyusul tiba janganlah saat itu kau menyesal. Wi-thian-cit-ciat-sek
latihan Hun Thian-hi sudah jauh lebih maju lagi setelah mendapat petunjuk dari orang tua itu. Kau kan
tahu bila Withian- cit-ciat-sek sudah sempurna jauh lebih hebat dan unggul dari tiga rangkaian
pedang kepandaianmu itu!" Bu-bing Loni menjemput pedangnya yang menggeletak di tanah tadi, pelan-pelan ia
maju menghampiri ke arah Ham Gwat.
Diam-diam Ham Gwat menarik napas panjang, tenaga dalamnya belum lagi pulih, ia
tahu bahwa Bu-bing Loni tidak akan mau menyerah kalah begitu saja, pedang panjang
ditangannya sementara itu sudah terbang menyamber tiba. yang diarah adalah tenggorokan Ham
Gwat. Begitu Bu-bing Loni menggerakkan pedangnya lantas Ham Gwat dapat meraba jurus
tipu apa yang dilancarkannya. Tapi tidak mudah untuk menangkis atau melawan, bila ia
lancarkan serangan balasan atau menangkis tentu Bu-bing Loni sudah tahu juga jurus apa
pula yang dilancarkan dirinya. Antara guru dan murid sama membekal kepandaian yang serupa,
betapapun sang murid bukan menjadi tandingan sang guru.
Beruntun ia menangkis dua kali, Bu-bing Loni mandah menjengek dingin, mulutnya,
haha....hehe.... mengejek, tapi sebetulnya iapun heran dan takjup akan kemajuan ilmu
silat Ham Gwat yang diluar ukurannya, tapi kenyataan sekarang Ham Gwat membekal Lwekang
yang tinggi diluar tahunya. Sementara itu Bu-bing Loni sudah melancarkan lima gelombang jurus pedangnya,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus demi jurus semakin gencar dan ganas, baru saja Ham Gwat angkat pedangnya untuk
menangkis tahutahu pedang Bu-bing sudah menyelonong tiba menutup jalannya mundur, begitulah
berulang kali terjadi, sedang Ham Gwat sendiri tidak berani menggunakan kekerasan, terpaksa ia
mandah terdesak mundur, begitu lima jurus kemudian Ham Gwat sudah terdesak mundur dan
mundur terus mepet dinding. Poci menjadi kaget, cepat ia rebut harpa yang dipegang Ma Gwat-sian terus jari-
jarinya dimainkan, dengan gelombang suara harpa ia berusaha menyerang Bu-bing Loni.
Bu-bing menyeringai dingin, tiba-tiba pedangnya berputar balik terus disambitkan
ke arah Poci, dimana selarik sinar pedang menyamber tiba kontan harpa dipangkuan Poci tertusuk
pecah menjadi dua. Setelah menyambitkan pedangnya Bu-bing Loni menyeringai bengis, Poci sampai
merinding melihat tampangnya yang sadis itu. Bahwa Bu-bing berani putar balik pastilah dia
sudah bertekad bulat, meski dirinya pun sudah terluka parah betapapun ia tidak rela melepas
beberapa orang yang merupakan makanan empuk ini, betapa hebat Lwekang yang dibekalnya itu
sungguh sangat mengagumkan memang sulit dicari tandingan.
Begitu Bu-bing Loni menyambitkan pedangnya, Ham Gwat menjadi berkesempatan balik
menyerang, beruntun ia lancarkan serangan pedang yang hebat. Tapi Bu-bing Loni
berani menyambitkan pedangnya pasti dia mempunyai perhitungan yang matang, setiap jurus
setiap tipu permainan Ham Gwat adalah hasil ajarannya, dimana badannya berkelebat dan
melejit sana melompat sini ia hindari setiap rangsakan Ham Gwat yang hebat, soalnya iapun
sudah apal benarbenar jurus apa yang akan dilancarkan Ham Gwat selanjutnya. Meskipun ia sudah tumplek
seluruh kepandaiannya kepada Ham Gwat, tapi sedikit banyak masih ada lobang kelengahan
yang belum sempurna terlatih oleh Ham Gwat, dan kelemahan2 itu sampai saat itupun belum
lagi disempurnakan, justru adanya kelemahan itu pula menjadi kebetulan pula bagi Bu-
bing sekarang. Apalagi Ham Gwat sekarang mengkhianati dirinya, meski gencar rangsakan Ham Gwat
seenaknya saja seperti berlenggang Bu-bing Loni dapat menghindarkan diri.
Sekejap mata puluhan jurus sudah berlangsung. tiba-tiba Ham Gwat lancarkan pula
sejurus ilmu pedang, mendadak badan Bu-bing mencelat mumbul ke atas, berbareng kaki
kanannya mendadak menendang ke arah jidat Ham Gwat. Terpaksa Ham Gwat harus menolak badan
atas ke belakang berbareng ujung pedangnya menusuk ke atas pula tak duga kaki kiri Bu-
bing ternyata pun sudah menyusul dengan tendangan yang telak pula, 'Tring'. Ham Gwat tak kuasa
menyekal pedangnya lagi, kontan terbang ke tengah udara dan menancap di atas dinding
batu. Bu-bing terloroh-loroh panjang, tubuhnya jumpalitan hinggap di tanah, dengan
nanar ia pandang Ham Gwat. Tanpa gentar Ham Gwat juga mendelik pandang, ia insaf
kekalahan hari ini menjadikan harapan untuk hidup semakin mengecil, bagaimana cara Bu-bing Loni
menghadapi musuhnya ia tahu jelas. Apalagi kalau dirinya tertawan hidup2, untuk mencari kematian sendiripun tidak
mungkin lagi, bagi dirinya sih tidak menjadi goal, bagaimana dengan keadaan ayahnya, Poci dan
Ma Gwat-sian" Akhirnya ia berkeputusan dengan suatu akibat yang cukup mending.
Terdengar Bu-bing menjengek dingin, "Tidak berguna, kau kan tahu bagaimana
kesukaanku. Dulu waktu aku menempur Soat-san-su-gou bukankah kau juga hadir, dengan Gin-ho-
sam-sek mereka berempat mengepung diriku, akhirnya kuberi kelonggaran bagi mereka untuk
bunuh diri, kau kira persoalan itu begitu gampang dan begitu sederhana" Sebenar-benarnyalah
bahwa aku sebelumnya sudah ada perjanjian dengan Mo-bing Suseng, dia minta supaya aku
memberi cara kematian yang cukup nyaman bagi mereka, meskipun mereka berempat tidak tahu
siapakah Mobin Suseng itu sebenar-benarnya, tapi adalah sebaliknya dia tahu siapa mereka
berempat. Karena mereka berempat adalah sahabat kentalnya."
Ham Gwat masih bungkam. Bu-bing melanjutkan, "Bagaimana juga diantara kau dan
aku masih ada hubungan guru dan murid, akupun tidak akan berlaku keterlaluan terhadap kau,
cukup dengan minyak mendidih akan aku goreng daging dan tulang-ulangmu sampai mati."
Lagi-lagi ia terloroh-loroh panjang seperti sudah kesetanan, tapi tiba-tiba
sebuah suara tawa dingin yang menggiriskan terdengar pula bergelombang dalam ruang batu itu,
keruan Bu-bing Loni tersentak kaget bukan main, sebat sekali ia memutar tubuh dilihatnya di ambang
pintu sana berdiri seorang nenek peot yang tua renta.
Begitu melihat orang ini timbul setitik harapan dalam benak Ham Gwat, karena
nenek tua ini bukan lain adalah Kiu-yu-mo-lo, segera ia menghela napas lega. Tapi ia masih
bingung kenapa orang tua itu bersikap begitu baik terhadap dirinya, dalam hal ini pasti ada
latar belakang yang cukup rumit. Bu-bing Loni membalik ke arah Kiu-yu-mo-lo, dengusnya dingin, "Siapa kau?"
Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh katanya, "Jangan kau pura-pura alim, sebenar-
benarnyaJah hatimu lebih jahat dari ular, jauh lebih jahat dari aku dulu, terhadap murid sendiri
pun kau begitu jahat"
Menjengkit alis Bu-bing Loni, ada orang berani bicara begitu takabur padanya,
tapi kalau ia begitu besar nyalinya berani bicara besar tentu dia punya pegangan untuk datang
kemari, maka selagi ia mendesak, "Siapa kau" Untuk apa kau kemari?"
"Akulah Kiu-yu-mo-lo dari salah satu Si-gwa-sam-mo," sahut Kiu-yu-mo-lo, "Konon
kabarnya belakangan ini kalangan Kangouw muncul pula seorang tokoh macam tampangmu ini.
tapi mengandal kau masih berani kau mengagulkan she dan nama busukmu ya!"
Bu-bing tertawa dingin, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas mencabut pedang Ham
Gwat yang menancap dilangit2, disaat tubuhnya meluncur turun pedang ditangannya diobat-
abitkan langsung menerjang ke arah Kiu-yu-mo-lo, sinar pedangnya laksana bianglala. menungkrup ke
atas kepala Kiu-yu-mo-lo. Bukan dia takut menghadapi Kiu-yu-mo-lo, tapi nama Kiu-yu-mo-lo sebagai salah
setorang Sigwa- sam-mo bukanlah diperoleh secara kebetulan belaka, maka dia harus bertindak
lebih dulu dan lebih ijepat. Apalagi Ham Gwat masih ada kemampuan untuk berkelahi, kalau ia
tidak bertindak secara kilat mengakhiri pertempuran disini, mungkin dia sendirilah yang bakal
dikeroyok dan akibatnya pasti konyol bagi dirinya.
Sebenar-benarnyalah hatinya masih dirundung keheranan, kenapa Kiu-yu-mo-lo bisa
ikut campur dan menolong keadaan Ham Gwat yang terdesak ini, hakikatnya Ham Gwat
tidak pernah saling berkenalan dengan Kiu-yu-mo-lo dan tidak punya sangkut paut apa-apa.
Demikian juga dirinya tiada punya dendam permusuhan dengan Si-gwa-sam-mo, kenapa dia meluruk
kemari mencari permusuhan. Demikian Bu-bing berpikir2 dalam hati.
Setelah memasuki Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin pikiran sesat Kiu-yu-mo-lo
akhirnya dapat digugah dan sadar dari penyelewengannya dan karena kembali kejalan lurus dengan
pikiran yang sudah jernih itulah maka ia dapat keluar dari sana, setelah mendapat petunjuk
serta petuah dari si orang tua itu lantas ia menyusul kemari.
Dengan pedang berada ditangan Bu-bing Loni seperti harimau tumbuh sayap, adakah
ilmu Huisim- kiam-hoat terkenal hebat sekali. maka ribuan sinar pedang Bu-bing bukan kepalang
lihaynya dalam gebrak permulaan Kiu-yu-mo-lo rada memandang rendah musuh sehingga ia
terdesak mundur terus. Terdengar Bu-bing Loni mendengus hina, hatinya membatin; Si-gwa-sam-imo kiranya
juga cuma sebegini saja kemampuannya.
Begitulah sinar pedangnya berputar, kontan ia lancarkan Lian-hoan-Ban-kiam,
jurus ilmu pedang terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat yang terdahsyat dan terlihay, besar
hasratnya dalam gebrak terakhir ini ia bikin mampus jiwa Kiu-yu-mo-lo, adalah gampang nanti
untuk membereskan yang lain. Begitu sinar pedang Bu-bing menimbulkan gelombang sinar berlapis2 lekas-lekas
Ham Gwat menjemput pedang Bu-bing Loni yang ditimpukan tadi. langsung ia merabu dari
belakang ke arah Bu-bing. Disebelah depan sana Kiu-yu-mo-lo juga menarikan sepasang telapak
tangannya untuk menjaga diri dan balas menyerang.
Bu-bing menjengek dingin, tanpa berpaling ia sudah tahu jurus dan tipu serangan
apa yang akan dilancarkan Ham Gwat, adalah mudah sekali ia dapat memunahkan serangan
bokongan ini. Tapi baru sekarang pula ia mendapatkan bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo ternyata tidak
serendah seperti yang dikiranya tadi bila dalam waktu singkat ia tidak mampu mengalahkan
kedua musuhnya ini, akibatnya pasti sangat fatal bagi dirinya karena dikepung dari
muka dan belakang. Biji matanya berjelilatan, bagaimana juga ia tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan yang sangat pendek ini untuk mengambil kemenangan, menurut perhitungannya meski Ham
Gwat ikut menerjunkan diri dalam pertempuran. tapi mereka belum dapat bergabung dan
bekerja sama dengan rapat, diantara lobang kelemahan yang sulit didapat ini bila aku tidak
memanfaatkan dengan tepat, aku sendirilah yang bakal cidera.
Sebagai seorang tokoh nomor satu dalam kalangan persilatan pandangan Bu-bing
sudah tentu cukup luas, seiring dengan keputusan tekadnya, gerak badannya mendadak berhenti,
tahu-tahu membalik tubuh tangkas sekali tumit kakinya melayang ke atas menendang batang
pedang Ham Gwat. Tujuan Bu-bing adalah sementara mengendorkan dulu tekanan serangan Ham
Gwat dari belakang dengan kesempatan ini ia tumplek seluruh kekuatan dirinya untuk
merangsak dan merohohkan Kiu-yu-mo-lo. Tapi begitu kakinya melayang. Ham Gwat juga sudah tahu kemana tujuan serangan
Bu-bing ini, maka sengaja ia buang pedangnya, tahu-tahu telapak tangannya yang menyelonong ke
depan menepuk keleher Bu-bing Loni.
Begitu tendangannya. luput lantas Bu-bing bercekat hatinya. seketika ia rasakan
dua arus gelomhang pukulan dahsyat melandai tiba dari belakang dan depan. Terdengar
'mulutnya berpekik panjang dan nyaring, pedang panjangnya berputar disekitar tubuhnya, dengan
seluruh sisa tenaganya iapun berondong keluar kekuatannya untuk menangkis.
"Blang" pukulan dan pedang saling beradu ditengah jalan. Ham Gwat dan Kiu-yu-mo-
lo tersurut mundur dan berputar-putar, sebaliknya air muka Bu-bing kelihatan tambah pucat
pias, ia terhujung dua langkah baru bisa berdiri tegak lagi, pedang panjang ditangan
kanannya tergetar mengeluarkan su-ra mendenging.
Setelah berdiri tegak dan memasang kuda-kuda Kiu-yu-mo-lo dan Ham Gwat saling
pandang sebentar, serempak mereka berjongkok dua telapak tangan masing-masing didorong
ke depan memukul ke arah Bu-bing dari dua jurusan yang berlawanan.
Tiba-tiba badan Bu-bing Loni melejit mumbul ditengah udara badannya berputar
satu lingkaran, gerak geriknya cukup sigap sehingga ia dapat terhindar dari benturan tenaga yang
dahsyat dan begitu kaki hinggap pula tubuhnya sudah berdiri diambang pintu air mukanya masih
pucat dan kaku tanpa menunjukkan perasaan hatinya.
Ham Gwat dan KAu-yu-mo-lo merasa diluar dugaan, sungguh mereka tidak nyana dalam
Pedang Pembunuh Naga 8 Wiro Sableng 013 Kutukan Empu Bharata Pendekar Aneh Naga Langit 39