Pencarian

Candi Murca 5

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 5


heran. "Apakah kaubisa membantuku menunjukkan arah kemana agar aku bisa sampai di
perguruan Kembang Ayun?" tanya Swasti Prabawati.
Untuk beberapa saat Parameswara memandangi wajah gadis itu, tidak diketahui dari
mana asalnya ada rasa suka yang tumbuh dan mekar di dalam hatinya. Oleh alasan
yang sama sekali tidak dimengerti Parameswara merasa seolah gadis di depannya itu
masih berhubungan darah dengannya. Rasa akrab yang muncul bagai karena bagai
bersaudara. "Apa keperluanmu menghadap Ki Ajar?" tanya Parameswara.
Swasti Prabawati balas memandang dengan tatapan mata penuh minat.
"Kau mengenal Ki Ajar Kembang Ayun?" Swasti Prabawati mengurai heran.
Parameswara mengangguk. "Ki Ajar Kembang Ayun adalah ayah dan sekaligus
guruku." Swasti Prabawati terkejut.
"O ya?" tatapan matanya berbinar senang.
Parameswara tetap balas memandang dengan tatapan mata amat tajam.
"Ceritakan, apa keperluanmu mencari ayahku?" kejar pemuda itu.
Manakala Swasti Prabawati terdiam untuk beberapa jenak adalah dalam rangka
menimbang jawaban apa yang sebaiknya ia berikan.
"Aku sedang mencari ayahku. Aku perlu mendapatkan petunjuk dari Ki Ajar untuk
mengetahui di mana beliau berada."
133 Parameswara tentu layak untuk merasa heran mengapa untuk mencari ayahnya ia
harus meminta keterangan dari Ki Ajar Kembang Ayun. Parameswara tergoda untuk
bertanya namun segera ditelannya kembali. Tak pantas Parameswara mengorek urusan
orang lain yang bukan urusannya.
Namun justru gadis itu yang membuka cerita.
"Nama ayahku, Biku Sambu," gadis itu menjawab.
Parameswara mengerutkan kening merasa tidak mengenal nama itu.
"Tak ada orang bernama Biku Sambu di perguruan. Dan selama ini juga tidak ada
orang bernama Biku Sambu yang berhubungan dengan ayahku Ki Ajar Pesanggaran. Kau
berasal dari mana?" Gadis itu menyempatkan tersenyum sebelum menjawab. Kuda Sapu Angin yang
mendekat dielusnya. Kuda itu meringkik.
"Aku berasal dari perguruan Pasir Wutah," jawab Swasti Prabawati.
Parameswara juga merasa belum pernah mendengar nama perguruan itu. Pemuda
dari Pesanggaran itu merasa cukup banyak mengenal nama-nama padepokan perguruan
olah kanuragan namun nama Pasir Wutah baru kali itu didengarnya.
"Di mana letak perguruan Pasir Wutah?" kembali Parameswara bertanya.
Tarikan napas Swasti Prabawati terdengar amat berat.
"Perguruan Pasir Wutah jauh dari tempat ini. Membutuhkan waktu berhari-hari
untuk bisa sampai di perguruan Pasir Wutah di kaki Gunung Penanggungan."
Mendengar Gunung Penanggungan disebut Parameswara pun manggut-manggut.
Dari Ki Ajar Pratonggopati pamannya Parameswara banyak mendapat pengetahuan
tentang berbagai perguruan yang tersebar di tanah Jawa ini. Namun perguruan
Pasir Wutah yang berarti pasir tumpah baru kali itu didengarnya, sebaliknya soal
kebesaran nama Gunung Penanggungan sudah pernah ia dengar bahkan cukup lama.
"Sayang sekali, aku tidak bisa kembali ke Kembang Ayun untuk mengantarmu.
Aku sendiri sedang mengawali sebuah perjalanan jauh, aku akan pergi menuju
Kediri. Namun demikian jangan khawatir, aku akan meminjamkan kudaku ini kepadamu. Sapu
Angin akan mengantarmu ke perguruan Kembang Ayun."
Kuda itu meringkik seolah mengerti pembicaraan yang terjadi. Swasti Prabawati
benar-benar kagum melihat kecerdasan binatang itu. Agaknya telah terjalin
hubungan yang amat akrab antara kuda dan majikannya. Boleh jadi sampai pada keadaan
tertentu kuda itu bahkan mengerti bahasa manusia.
"Kau akan meminjamkan kudamu" Maksudmu, ia akan mengantarku karena tahu
alamat yang aku tuju?" tanya Swasti lengkap dengan rasa herannya.
Parameswara mengangguk. Swasti Prabawati masih tidak percaya.
"Maksudmu, kuda ini akan membawaku ke perguruan Kembang Ayun?"
Parameswara mengangguk. Kuda Sapu Angin meringkik saat Swasti Prabawati
mengelusnya. "Lalu bagaimana dengan perjalananmu" Kediri bukanlah jarak yang dekat karena
Gunung Penanggungan pun akan kaulewati. Aku akan merasa bersalah kalau kau akan
pergi dengan berjalan kaki."
Parameswara tersenyum. "Sapu Angin, antarkan dia ke Kembang Ayun, setelah itu kaususul aku," kata
Parameswara pada kuda kesayangannya.
134 Swasti Prabawati semakin kagum saat melihat kuda yang luar biasa itu meringkik
pertanda memahami ucapan Parameswara padanya. Parameswara kembali menoleh pada
gadis di depannya. "Bawa kudaku. Atau, kalau urusanmu di perguruan Kembang Ayun telah selesai,
kauboleh menggunakan kuda ini menyusulku."
Namun Swasti Prabawati tetap merasa penasaran.
"Bagaimana caranya kuda ini bisa mengikuti jejakmu?"
Parameswara hanya tertawa dan tidak menjawab. Dipersilahkannya gadis yang baru
saja ia kenal itu naik ke atas kuda. Sejenak kemudian kuda itu pun berderap
kembali ke arah timur. Parameswara melambaikan tangan membalas lambaian tangan
gadis itu. Matahari memanjat langit lebih tinggi.
Parameswara kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki terus ke arah
barat. Nun jauh di depan, lereng Gunung Raung yang menjulur ke selatan berupa
lebat hutan Kumitir akan menghadangnya sebaliknya jauh di belakang bayangan Rahastri
gadis yang dicintainya selalu melekat di kelopak matanya. Parameswara merasa
perpisahan yang terjadi kali ini seperti perpisahan untuk selamanya dan tidak mungkin
bertemu lagi. Parameswara merasa bersalah manakala kenangannya tertuju kepada ayahnya, Ki Ajar
Kembang Ayun. 18. (Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Senja membayang dan menyapa dengan amat ramah ke semua sudut wilayah yang
berudara sejuk itu. Manakala arah pandang ditujukan ke barat, langit terbakar
membara membias ke mana-mana. Meski Parra Hiswara sedang mengarahkan
perhatiannya pada langit yang sedang terbakar itu akan tetapi sejatinya pikirannya tidak sedang ke
arah sana. Seharian Parra Hiswara terpenjara di kamar hotelnya tanpa bisa berbuat apa-apa.
Parra Hiswara sedang menjadi pusat perhatian karena peristiwa yang terjadi
sehari sebelumnya mustahil keluar kamar karena bahkan dari jendela yang terbuka
tertangkap pembicaraan di antara pegawai hotel yang riuh memperbincangkan kematiannya.
Rupanya mereka riuh membicarakan kejadian itu di samping karena terjadi di
wilayah mereka akan tetapi juga karena mendapat liputan dari pers baik koran maupun
televisi. Maka sulit membayangkan jika Parra Hiswara yang terkubur hidup-hidup itu tiba-
tiba muncul dan menemui mereka, dengan demikian tak ada pilihan lain yang bisa
dilakukan kecuali dengan menyesuaikan diri dengan bersermbunyi. Tidak seorang pun bisa
menerima penjelasannya dan semua orang pasti menganggapnya sebagai hantu.
Parra Hiswara sendirian karena sejak tiga jam sebelumnya Yogi Sutisna pergi
untuk pendalaman mencari dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya terkait apa
yang dialami Mahdasari dan Hirkam. Meski mengalami keletihan luar biasa setelah
semalaman memegang stir menempuh perjalanan lumayan jauh dari Prambanan di Jawa bagian
tengah hingga Singasari di arah lembah kota Malang namun dengan sepenuh hati
Yogi Sutisna melaksanakan permintaan sahabat karibnya itu. Lebih dari itu, Yogi
Sutisna menganggap persoalan yang dihadapi karibnya adalah persoalannya juga.
135 Mondar-mandir Parra Hiswara dan sesekali matanya terpejam. Dengan cermat ia
berusaha menelusuri rangkaian kejadian yang menimpanya dan berusaha menemukan
bagian-bagian yang luput dari perhatiannya. Meski kejadian itu sudah lewat
kemarin akan tetapi tak secuil pun rangkaian peristiwa aneh itu luput dari
ingatannya. "Ayunan cangkulku menyebabkan tanah tempat kakiku berpijak ambrol," kenang
Parra Hiswara, "lalu dengan deras tubuhku terhisap gaya gravitasi. Untung
cangkul yang kupegang mati-matian saat itu nyangkut ke tali."
Parra Hiswara memejam mata untuk mendapatkan kenangan yang lebih tegas. Parra
Hiswara berusaha menelusuri saat-saat dengan sekuat tenaga ia berusaha naik
memasuki lorong yang kemudian membawanya ke ruang yang menjadi tempat pertemuannya
dengan seseorang bernama Parameswara. Parra Hiswara merogoh kantongnya dan
memerhatikan dengan cermat sekepal berlian yang mampu membiaskan cahaya warna-
warni. Benda itu merupakan bukti nyata betapa pertemuan itu nyata, betapa
kejadian sejak terjatuh di goa bawah tanah dan terlempar jauh menembus ruang dan waktu
benar- benar nyata. "Aku curiga semua serba berhubungan dan bukan sebuah kebetulan," Parameswara
meyakinkan diri sendiri. "Di goa bawah tanah itu aku bertemu secara langsung
dengan para musuhku meski entah dengan alasan apa sampai-sampai aku harus berhadapan
dengan mereka. Boleh jadi penculikan istriku ada kaitannya dengan mereka. Ada
bentuk hubungan apa kalau bukan karena mereka berurusan denganku?"
Parra Hiswara berjalan mondar-mandir dan memusatkan perhatiannya pada sosok
perempuan di tengah ruang itu, perempuan yang memiliki kecantikan luar biasa
yang ketelanjangannya nyaris mengguncang imannya. Perempuan, yang oleh Parameswara
disebut sebagai musuh utamanya itu bahkan hadir melalui mimpi aneh yang ia
alami, yang terjadi itu kemarin ketika melaju di atas kendaraan. Perempuan yang ujut
aslinya pasti mengerikan dan amat jauh dari kata cantik karena bentuk asli macam
apa yang dimiliki seseorang dengan usia lebih dari tujuh ratus tahun" Batas kecantikan
dan atau keindahan tubuh seorang perempuan hanya akan mampu bertahan pada usia
empat puluh tahun, semakin ke atas kemulusan tubuhnya akan semakin sulit dijaga. Ketika
seorang perempuan berusia lima puluh tahun sudah disebut nenek, apalagi bila anak
keturunannya telah memberinya seorang cucu.
"Ia punya mata mengerikan," gumam Parra Hiswara, "mata ketiga yang terletak di
kening. Mata itu tidak kelihatan ketika terpejam tetapi keberadaannya bisa
ditandai oleh semacam luka yang ternyata bukan luka dan hanya mirip saja. Ketika
luka itu membeliak muncul mata ke tiga yang mengerikan itu. Batu sebesar sapi
berantakan dihajar oleh kekuatan yang muncrat dari tatapannya. Meskipun mimpi aku yakin itu peristiwa
yang pernah terjadi." Parra Hiswara masih memejamkan mata dan berjalan mondar-mandir, otaknya yang
cerdas berpikir deras. Saat langkah kakinya yang mondar-mandir berhenti adalah
karena tiba-tiba perhatiannya terpusat pada sesuatu. Pertanyaan atas kapan
peristiwa itu terjadi mencuri perhatiannya.
"Rupanya," kata Parameswara, "dalam mimpi itu, meski aku merasa diriku sebagai
Parra Hiswara namun perempuan bermata di kening itu menyebutku Parameswara. Apa
yang terjadi dalam mimpiku adalah peristiwa yang benar-benar dialami oleh laki-
laki yang aku temui di ruang bawah tanah itu, bukan peristiwaku. Rupanya apa yang
muncul 136 dalam mimpi itu adalah peristiwa di masa silam yang pernah dialaminya. Itu
penjelasan paling masuk akal dan bisa diterima untuk sementara ini."
Parra Hiswara kembali mengayun kaki mondar-mandir sambil terus mengelus-elus
telapak tangan kanannya yang gatal. Parra Hiswara menyempatkan memerhatikan
telapak tangannya dan mencoba menemukan sumber rasa gatal yang dialami namun tidak ada
yang aneh pada telapak tangan itu. Mata suami Mahdasari itu kembali terpejam
ketika mencoba mengenang lagi kali ini ujut candi yang hilang, bentuk candi yang
menjejali semua sudut ruang otaknya.
"Ketika aku tersadar telah berada di tempat itu," Parra Hiswara mengenang, "aku
berdiri mengarah ke puncak Gunung Merbabu namun tidak menempatkan Merapi tepat
berada di belakangku sementara terhadap posisi candi aku berada di tangga turun.
Lalu terdapat puluhan cungkup seperti memayungi sasuatu. Bila di puncak
Borobudur terdapat sebuah stupa, puncak candi ini justru sebuah menara yang
bentuknya tidak bisa kulihat dengan jelas karena dikemuli kabut tebal. Ketika
aku turun di pelataran aku berada di depan semacam pintu masuk yang di kiri
kanan terdapat dua arca berdiri. Aku tak cukup waktu memerhatikan bagaimana ujut
arca berdiri itu. Dari tempat itulah aku melihat dua menara yang lain pada jarak
yang sama di kanan dan di kiri yang jarak masing-masing
bisa jadi lebih dari seratus meter. Ukuran candi itu luas sekali, jauh lebih
luas dan besar dari Borobudur."
Parra Hiswara masih mengayun kaki berjalan mondar-mandir sambil memerhatikan
berlian dalam genggamannya. Parra Hiswara berbalik ketika mendengar ketukan
pintu, berlian dimasukkan kembali ke dalam saku celananya.
"Ini aku, buka pintunya," terdengar suara yang ia kenali.
Yogi Sutisna pulang dengan membawa bungkusan berisi makanan dan minuman
akan tetapi Parra Hiswara sedang merasa tidak lapar dan haus. Semua bawaan itu
hanya dilirik sekilas namun minuman kaleng merk tertentu dibukanya.
"Kaudapat sesuatu?" tanya Parra Hiswara sambil menenggak minuman itu.
Yogi Sutisna menyeret kursi dan menghempaskan diri.
"Tidak ada keterangan baru apa pun yang aku peroleh, keadaan masih tetap sama,
istrimu diculik orang, Hirkam menghilang dari rumah sakit. Namun aku menduga,
boleh jadi kau telah meninggalkan sebuah jejak yang menyebabkan hotel ini sedang
menjadi pusat perhatian. Menurutku orang itulah yang mungkin bisa menjadi petunjuk arah
apa yang harus kaulakukan."
Parra Hiswara memandang sahabatnya dengan tatapan mata tegang.
"Apa yang kaumaksud?"
Yogi Sutisna tersenyum mencairkan keadaan.
"Seseorang mengamatimu," jawab Yogi Sutisna. "Ia sempat masuk ke lobby hotel
tanpa alasan dan keperluan yang jelas. Rupanya ia tertarik pada jejak pusaran
angin itu, saat para penasaran yang lain bubar, ia pilih memutuskan untuk
tinggal karena merasa yakin angin lesus aneh itu akan muncul lagi. Kendaraannya bahkan diparkir di
halaman samping." Parra Hiswara termangu. Amat pelahan ketika kemudian mengangguk.


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, itu kendaraannya," kata Yogi Sutisna yang melongok melalui jendela.
Parra Hiswara ikut mengintip ke halaman samping di mana di sana beberapa jenis
kendaraan sedang diparkir. Parra Hiswara mengerutkan kening dalam menimbang
sesuatu. 137 "Hubungi orang itu, aku ingin bertemu dengannya," jawab Parra Hiswara.
Yogi Sutisna diam, tidak segera menjawab. Yogi Sutisna membuka jendela dan
mengintip untuk melihat apakah kendaraan yang dimaksud masih tetap berada di
tempat. "Ia laki-laki apa perempuan?" tanya Parra Hiswara.
Yogi Sutisna berbalik. "Laki-laki," jawabnya, "umur sebaya denganmu."
Parra Hiswara meremas-remas jari tangan sebagai gambaran kegelisahan hatinya.
Ketika ia amat membutuhkan keterangan yang barangkali bisa mengarah ke jejak
istrinya yang hilang maka kemunculan sesuatu yang mencurigakan bisa jadi
merupakan sebuah petunjuk yang penting. "Kauyakin, kauperlu bertemu dengan orang itu?"
Parra Hiswara mengangguk dan bergegas menuju depan kaca. Ada beberapa model
wig yang bisa digunakan menyamarkan diri agar tak mudah dikenali yang itu pun
masih harus ditutupi dengan topi. Dari tempat duduknya Parra Hiswara melihat gelap
mulai turun dengan deras, yang demikian bisa terjadi manakala di langit mendung sedang
amat tebal. Dari pepohonan yang bergoyang kasar menjadi pertanda angin turun
menyapa kota Singasari. "Yang harus kaulakukan adalah," kata Parra Hiswara, "temui orang itu dan ajak ia
berbicara apa pun, lalu manakala pembicaraan mulai mengarah, kausimpulkan ia
punya urusan denganku apa tidak. Kalau kauyakin ya, ajak ia ke sini."
Yogi Sutisna mengangguk. "Okey," ucapnya sambil melenggang keluar kamar.
Yogi Sutisna menempatkan diri duduk di sudut lobby sedikit terhalang oleh bunga
hias penyekat ruang, tempat yang cocok untuk mengobrolkan masalah yang bermuatan
privacy. Dengan tidak menarik perhatian Yogi memerhatikan beberapa lelaki dan
wanita yang masing-masing saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Sepasang
lelaki dan wanita menarik perhatiannya. Yang lelaki terlalu tua sebaliknya yang
wanita lebih pantas disebut anak atau cucunya. Meski demikian lelaki tua itu
tidak canggung untuk bersikap mesra layaknya anak muda yang mabuk asmara
seimbang dengan sikap yang diberikan
lawan jenisnya yang pasti berlatar belakang uang. Tak mungkin seorang gadis muda
dan cantik mau dengan lelaki tua yang layak disebut ayah dan bahkan kakeknya jika
bukan karena uangnya. "Ahh, bukan urusanku," Yogi Sutisna mengingatkan diri sendiri dan mengalihkan
pandang matanya. Setelah beberapa saat waktu berlalu Yogi berhasil menemukan orang yang dicari.
Seorang lelaki bertubuh kurus dan berkacama mata gelap meski haris gelap, sebuah
cara agar wajahnya tidak dikenali.
"Orang itu memutuskan menginap di hotel ini pula," kata Yogi Sutisna pada diri
sendiri, "aku bisa lihat itu dari kunci kamar yang dipegangnya. Adakah ia
lakukan itu karena melihat pusaran angin aneh tadi siang?"
Siapa pun lelaki itu rupanya juga sedang mencari-cari, sebuah gerak tubuh bahasa
wajah yang dengan mudah bisa ditandai. Berdesir tajam Yogi Sutisna melihat orang
itu tiba-tiba berdiri dan berjalan mengarah kepadanya. Yogi Sutisna segera mengatur
sikap. Ia tahu orang itu dengan sengaja menempatkan diri akan berurusan dengannya.
Namun rupanya orang itu bersikap ramah. Seolah sudah mengenal, ia mengulurkan
tangan menawarkan jabat tangan. Yogi menerima jabat tangan itu.
138 "Yogi Sutisna," Yogi menyebut namanya.
"Aku sebenarnya lupa dengan namaku sendiri," jawab orang itu, "akan tetapi ada
banyak orang yang memberitahu aku, namaku Budayasa."
Sontak Yogi Sutisna merasa jawaban itu terasa aneh. Namun Yogi Sutisna telah
banyak belajar dalam beberapa hari terakhir ini. Terlalu banyak keanehan dan
kejadian yang sulit dimengerti yang ditemui. Dengan lebih cermat Yogi Sutisna
memerhatikan orang itu, berusaha menemukan alasan macam apa yang menjadi latar belakang orang
itu mengenakan kaca mata gelap.
"Menginap di hotel ini?" tanya Yogi Sutisna.
Budayasa mengangguk. "Ya," jawabnya, "meski semula tidak. Aku tidak punya rencana menginap sampai
tadi siang ada sesuatu yang menarik perhatianku, sebuah kejadian yang bagi orang
lain biasa, namun bagiku merupakan jejak yang harus aku ikuti."
Yogi Sutisna tak bisa mencegah punggungnya yang berdesir. Namun Yogi Sutisna
memutuskan untuk bersandiwara.
"Kejadian apa?" tanya Yogi.
Orang yang mengaku bernama Budayasa itu memandang tajam akan tetapi hanya
sejenak kemudian ia tersenyum. Yogi Sutisna cemas orang itu mampu menebak isi
hatinya. Namun rupanya orang bernama Budayasa itu melayaninya dengan baik.
"Pusaran angin," ucapnya, "adalah udara yang berputar karena terjadi perbedaan
suhu antara panas dan dingin. Jika keadaan memungkinkan, misalnya pada saat
sedang hujan deras dan badai, pusaran angin yang demikian bisa menjadi sumber bencana,
di luar negeri banyak sekali kita menyaksikan tornado menghantam sebuah kota dan
meluluh-lantakkan isinya. Sementara di sini, karena peristiwa yang demikian itu
jarang terjadi, maka pusaran angin setinggi manusia sudah menarik perhatian,
apalagi ketika tadi siang pusaran angin yang terjadi di waktu yang sangat tidak
layak itu berukuran cukup besar, maka lalu-lalang kendaraan pun sampai macet
dibuatnya." Yogi Sutisna masih bergeming dalam sikapnya, solah tidak paham persoalan apa
yang dikupas orang itu. "Aku bukan satu-satunya orang yang tahu kejadian ada yang mengendalikan,"
lanjut Budayasa. Yogi Sutisna menimbang dan tidak segera menemukan balasan apa yang sebaiknya
dilepas menanggapi orang aneh itu.
"Aku tahu, meski ia diyakini telah mati namun sebenarnya masih hidup, dan aku
juga juga punya jejak penting, di tangan siapa istrinya yang diculik itu
berada," kata orang itu lagi.
Yogi Sutisna tidak punya pilihan lain kecuali memang harus menyesuaikan diri,
apalagi Budayasa terbukti menjanjikan keterangan yang sedang dibutuhkan. Akan
tetapi Yogi Sutisna masih memiliki pertanyaan.
"Bagaimana cara pandangmu terhadap orang yang akan kupertemukan padamu?"
tanya Yogi Sutisna. Orang itu tersenyum sambil membetulkan letak kaca-matanya.
"Tergantung," jawabnya.
139 Jawaban itu menyebabkan Yogi Sutisna terhenyak dan terdiam. Sejalan waktu
sekejab berlalu Yogi Sutisna berusaha mencerna mengapa orang itu punya jawaban
macam itu. "Ia yang menentukan, bukan aku," lanjutnya.
Yogi Sutisna tidak segera paham, jawaban itu malah membingungkannya. Yogi
Sutisna segera mengerutkan kening melihat orang itu membuka telapak tangannya.
Yogi Sutisna memerhatikan dengan penuh perhatian, sebelah alisnya segera mencuat.
"Aku memiliki ini," ucapnya, "aku harus mendengar apa pendapatnya. Mungkin
aku akan menempatkan diri menjadi kelompoknya atau mungkin sebaliknya. Aku harus
mendapat petunjuk itu darinya. Sekarang tolong sampaikan pada orang yang
mengusai kemampuan membangunkan pusaran angin itu, apakah ia berminat bertemu denganku
atau tidak, katakan kalau aku memiliki jejak istrinya yang diculik. Kalau ia
tidak berminat maka aku akan meninggalkan tempat ini."
Orang itu menunggu memberi kesempatan pada Yogi Sutisna untuk menimbang.
Namun Yogi Sutisna tidak perlu berpikir lama.
"Temanku tidak mungkin keluar dari kamarnya," ucap Yogi Sutisna, "bagaimana
cara mempertemukan dengammu?"
Budayasa berdiri. "Di Dwarapala52 tengah malam," jawab orang itu.
Yogi Sutisna mengangguk. "Baik, aku pastikan ia akan menemuimu. Tolong sebut ulang siapa namamu!"
Budayasa tersenyum. "Anak Agung Budayasa!"
Yogi Sutisna dengan segera menandai orang itu pasti beretnis Bali atau keturunan
kasta tinggi agama Hindu di Bali. Orang yang aneh, karena ia mengaku lupa pada
nama sendiri, namun terbukti mampu menyebut namanya dengan lengkap.
Yogi Sutisna memerhatikan orang itu menuju sudut lobby tak jauh dari pintu masuk
dan mengarahkan minat perhatiannya pada acara televisi yang menayangkan siaran
langsung pertandingan sepak bola dalam negeri. Yogi Sutisna mengarahkan
perhatian pada kaca jendela di belakangnya dan dengan demikian bisa melihat program acara
apa yang sedang ditonton. Yogi Sutisna bangkit dan mengayunkan langkah melintas
lorong. Parra Hiswara bergegas membuka pintu begitu terdengar sebuah ketukan. Raut
wajahnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya.
"Bagaimana?" tanya Parra Hiswara tidak sabar.
Yogi Sutisna melangkah dan duduk di sudut meja.
"Dugaanku ternyata benar," ucap Yogi, "tepat sebagaimana aku duga ketertarikan
orang itu pada jejak pusaran angin yang kaulepas bukan tidak ada artinya. Orang
itu bernama Anak Agung Budayasa, semula hanya menyebut nama Budayasa. Orang itu
mengaku lupa pada namanya sendiri dan orang-orang di sekitarnya yang
mengingatkan ia memiliki nama itu." Parra Hiswara menyimak dengan amat serius.
52 Dwarapala, sebutan untuk sepasang gupala raksasa yang diperkirakan merupakan
pintu gerbang Istana Singasari, terbuat dari batu andesit dengan tinggi 3,7 m.
Di Surakarta pintu gerbang ke kompleks Istana Kasunanan juga dihiasai dua patung
sejenis yang orang setempat menyebutnya reca (arca) gladak. Tak jauh dari
Dwarapala terletak candi Singasari yang dibangun Prabu Tribuanatunggadewi
Jayawisnuwardani untuk menghormati Kertanegara yang terbunuh karena kelicikan
Jayakatwang Raja Gelang Gelang yang menyerang Singasari ketika negara sedang
kosong akibat bala tentara sedang dikirim ke Melayu.
140 "Terus?" tanyanya.
"Ia memiliki sesuatu di telapak tangan kanannya."
Parra Hiswara tertegun dan bagai menegaskan rasa gatal di telapak tangan
kanannya mencuri perhatian. Akan tetapi Parra Hiswara tidak memiliki kesempatan
memerhatikan telapak tangannya lebih lanjut. Apa yang disampaikan Yogi Sutisna berikutnya
lebih menyita perhatiannya. "Ia juga punya keterangan di mana istrimu berada," lanjut Yogi.
Parra Hiswara membeku dengan degup jantung lebih terpacu.
"Apa yang ia katakan tentang istriku?" tanya Parra Hiswara.
"Belum!" jawab Yogi Sutisna. "Akan tetapi keterangan panjang lebar akan
kauperoleh setelah nanti tengah malam pertemuan yang ia inginkan kaupenuhi. Ia
ingin berjumpa di Dwarapala."
Setelah tertegun, Parra Hiswara mengangguk. Dengan jelas dan gamblang Yogi
Sutisna menceritakan ulang bagaimana pembicaraannya dengan sosok bernama Anak
Agung Budayasa itu. Segera setelah itu Parra Hiswara segera mengukur, apa peran
orang itu dalam persoalan yang sedang dihadapinya.
"Kita menunggu sampai tengah malam?"
Yogi Sutisna mengangguk. 19. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Dalam pada itu, gadis dari lereng Gunung Penanggungan yang menaiki kuda Sapu
Angin yang dipinjamkan Parameswara itu merasa heran. Kuda yang kekar itu sungguh
seekor kuda ajaib dan luar biasa. Swasti Prabawati sekadar duduk saja di
punggung kuda itu tanpa harus mengendalikannya. Kuda itu sendiri yang memilih
jalan. Hari terus bergerak memanjat siang. Teriknya menyengat kulit dan terasa panas.
Para murid perguruan Kembang Ayun yang sebagian bergotong-royong memperbaiki
pagar padepokan dan sebagian lain berlatih keras marasa kaget melihat seorang
gadis yang datang berkuda, yang mengagetkan mereka adalah justru kuda yang ditunggangi
gadis itu. Swasti Prabawati segera meloncat turun dan memberikan salam penghormatan yang
dijawab dengan serentak dan dengan ramah oleh segenap siswa perguruan. Swasti
Prabawati segera menyampaikan keperluannya. Seorang cantrik pun mengantarnya
menghadap Ki Ajar Kembang Ayun. Dyah Narasari yang kebetulan sedang berada di
halaman samping tak bisa menutupi rasa kagumnya pada kecantikan gadis yang
datang bertamu itu. "Siapa dia?" tanya Narasari kepada salah seorang siswa.
"Orang dari kaki Gunung Penanggungan ada keperluan dengan Ki Ajar," jawab
siswa itu. Dyah Narasari mengintip. "Bagaimana kuda kakang Parameswara dibawanya?"
141 Siswa itu tak menjawab karena memang tidak tahu jawabnya. Namun setelah
berpikir Narasari mengambil simpulan kakaknya tentu bertemu dengan gadis itu
lalu meminjamkannya. Kuda itu nantinya akan menyusul Parameswara sebagaimana
kebiasaannya selama ini. Di ruang tengah, Ki Ajar Kembang Ayun yang baru saja siram jamas 53 dengan
rambut yang panjang di gelung keling54 menerima kedatangan gadis itu. Swasti
Prabawati begitu terkesan pada kesejukan pandangan kakek tua yang berada di
depannya. Swasti Prabawati segera memberikan penghormatan dengan takjimnya.
"Benarkah seperti yang aku dengar dari cantrik, kaudatang dari tempat yang
sangat jauh di kaki Gunung Penanggungan untuk bertemu denganku?" tanya Ki Ajar
Kembang Ayun itu dengan nada yang sejuk dan sareh55.
Swasti Prabawati tersenyum dan bersikap santun.
"Benar Ki Ajar," jawabnya.
Ki Ajar Kembang Ayun memerhatikan tamunya dengan lebih cermat sambil kedua
alisnya dikerutkan. Ki Ajar Kembang Ayun dengan segera menebak gadis yang datang
dari jauh itu sedang menyimpan duka.
"Kautentu membawa sebuah keperluan yang amat penting?" tanya Ki Ajar lebih
lanjut. Pertanyaan yang kelihatannya amat sederhana itu ternyata amat menyentuh hatinya.
Swasti Prabawati tidak kuasa menahan sesak dadanya. Meskipun gadis itu telah
menahan diri namun matanya tetap membasah. Melihat sikap serta keadaan gadis itu Ki Ajar
Kembang Ayun diam untuk memberi kesempatan pada tamunya mendamaikan diri. Ki
Ajar tersenyum sejuk serasa menjanjikan persoalan apa pun yang dibawa padanya
pasti akan bisa diatasi.

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada persoalan apakah hingga kaudatang dengan membawa tangismu" Namamu
siapa Nini 56?" tanya Ki Ajar.
Sekuat tenaga Swasti Prabawati berusaha menguasai diri.
"Namaku Swasti Prabawati Ki Ajar. Biku Sambu di Penanggungan adalah ayahku,"
jawabnya. Ki Ajar Kembang Ayun agak kaget mendengar nama itu disebut. Dengan demikian
Swasti Prabawati bisa menarik simpulan tuan rumah yang didatanginya kenal dengan
ayahnya. Perhatian Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun diberikan sepenuhnya pada tamu
dari jauh itu. "Jadi kau anak Biku Sambu?" tanya Ki Ajar Kembang Ayun.
Swasti Prabawati menunduk. Basah di matanya makin menjadi bergulir membasahi
pipi. Pelahan gadis yang mengaku dari kaki Gunung Penanggungan itu mengangguk.
Ki Ajar Kembang Ayun mengelus-elus rambut gadis itu ketika Swasti Prabawati
beringsut mendekat dan memberikan sungkem dengan menekuk tubuh hingga menyentuh lantai.
"Persoalan apa yang membuatmu berduka, Nini?" lanjut Ki Ajar.
Jawaban Swasti Prabawati terdengar amat serak.
"Sudah sebulan ini ayahku pergi tidak diketahui di mana beliau berada. Sedang
aku masih terlampau muda untuk menerima tugas memimpin perguruan. Itulah sebabnya
aku 53 Siram Jamas, jawa, mandi keramas
54 Digelung keling, jawa, disanggul di atas kepala sedikit agak ke belakang
55 Sareh, jawa, sabar 56 Nini, jawa, panggilan/sebutan untuk perempuan muda, identik dengan nduk
142 datang ke sini Ki Ajar. Pesan dalam rontal yang ditinggalkan ayahku jika sampai
terjadi sesuatu pada ayahku, aku diminta menghadap Ki Ajar untuk mendapatkan
petunjuk." Ki Ajar Kembang Ayun menatap wajah gadis itu dengan tatapan mata sejuk sambil
berpikir seperti sedang berusaha menemukan sesuatu yang telah menjadi bagian
dari masa lampau. Barangkali Ki Ajar Kembang Ayun berhasil menemukan jawabnya
terlihat itu dari sejenak kemudian ia mengangguk pelahan.
"Terjadilah apa yang harus terjadi. Rupanya Biku Sambu masih terikat pada urusan
duniawi," kata Ki Ajar seperti pada diri sendiri.
Ucapan itu tentu membuat Swasti Prabawati merasa penasaran. Mengapa Ki Ajar
Kembang Ayun menyebut ayahnya terikat urusan duniawi padahal sepengetahuan
Swasti Prabawati ayahnya justru selalu menjauhkan diri dari urusan duniawi. Dalam sikap
tindak tanduk, ayahnya selalu menekankan pentingnya hidup setelah mati yang ia
tunjukkan itu dengan selalu berbuat baik dan mengedepankan kepentingan orang
banyak. Sebagian besar waktunya justru digunakan untuk kepentingan agama yang dianutnya.
Bagaimana mungkin Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun menuduh ayahnya masih terikat urusan
duniawi" "Apa maksud Ki Ajar" Urusan duniawi apakah yang menyebabkan ayahku terpaksa
pergi untuk waktu yang demikian lama?" tanya Swasti Prabawati yang dibelit
penasaran. Ki Ajar tidak segera menjawab. Ia lakukan itu mungkin dalam rangka menimbang
jawaban apa yang harus diberikan pada tamunya. Dalam mengenang Ki Ajar Kembang
Ayun bagai melesat kembali ke masa lalu untuk menandai seperti apa wajah Biku
Sambu, wajah seorang sahabat yang telah lama sekali tidak bertemu.
"Apakah benar kau tak tahu, untuk urusan apakah ayahmu itu pergi meninggalkan
perguruan?" Prabawati menggeleng. "Aku benar-benar tidak tahu Ki Ajar," jawabnya lunglai.
Ki Ajar Kembang Ayun mengejar, "apakah ayahmu pergi dengan diam-diam?"
Mendengar pertanyaan itu Swasti Prabawati mengangguk.
Ki Ajar Kembang Ayun termangu seperti sedang menata berbagai persoalan yang
dihadapi Biku Sambu. Namun seperti apa yang diucapkannya yang namanya takdir tak
mungkin dihindari. "Pergilah kau ke Ywangga," kata Ki Ajar Kembang Ayun. "Mungkin kau akan
mendapatkan jawaban rasa penasaranmu di sana."
Swasti Prabawati bagai tergugah.
"Ywangga?" Swasti Prabawati berdesis menyebut nama itu, "apakah ayahku berada
di sana, Ki Ajar?" Ki Ajar Kembang Ayun menggeleng.
"Temuilah seorang lelaki yang lebih tahu dariku. Orang itu akan menunjukkan
dengan tepat di mana ayahmu berada."
Swasti Prabawati makin penasaran. Gadis itu menjadi tidak sabar.
"Siapa nama orang itu Ki Ajar?" tanya Swasti Prabawati lengkap dengan segala
resahnya. Ki Ajar Kembang Ayun tidak segera menjawab. Dari bahasa wajahnya terlihat ia
sedang mengenang nama seseorang dan menimbang adakah orang itu benar-benar bisa
memberi arah atau petunjuk yang dibutuhkan oleh gadis di depannya. Amat pelahan
Ki Ajar Kembang Ayun dalam mengangguk.
143 "Orang itu bernama Biku Paraban," kata Tiyang Ageng Kembang Ayun, "seorang
pemancing yang sering berkeliaran di sepanjang pantai Ywangga Parabalingga.
Orang itu juga disebut Hantu Laut dengan pekerjaan tak ubahnya hantu, mengganggu
orang-orang yang berani meledeknya."
Swasti Prabawati menyimpan nama itu dengan baik di dalam lipatan benak. Dalam
perjalanan jauh yang ditempuhnya dari kaki Gunung Penanggungan hingga ke lereng
Gunung Raung bagian selatan itu Swasti Prabawati sebenarnya telah menyisir
sepanjang pantai Ywangga. Siapa mengira ia harus kembali ke sana. Swasti Prabawati tidak
sabar. Gadis itu yakin Ki Ajar Kembang Ayun memiliki semua jawaban yang ia butuhkan,
bahkan tanpa harus bertemu dengan Hantu Laut sekalipun.
Setelah termangu sejenak Swasti Prabawati berkata, "Mohon maafkan aku Ki Ajar,
persoalan apakah yang tengah dihadapi ayahku Biku Sambu, sehingga Ki Ajar harus
mengatakan ayahku masih terlibat dengan urusan duniawi?"
Namun Ki Ajar Kembang Ayun tidak perlu mempertimbangkan lagi keputusannya.
Ki Ajar merasa tak berhak membeberkan rahasia yang terjadi di masa lampau itu.
Ki Ajar melihat ada orang lain yang lebih berhak menceritakan dan orang itu
adakah Hantu Laut Sang biku Paraban.
"Maafkan aku yang sudah tua ini Nini Swasti," berkata Tiyang Ageng. "Aku tidak
merasa berhak bercerita kepadamu. Akan tetapi aku yakin orang yang akan kautemui
di pesisir Ywangga Parabalingga itu akan menceritakan segalanya kepadamu."
Swasti Prabawati akhirnya menarik simpulan bahwa tidak mungkin ia mendesak.
Sebelum berpamitan, gadis dari Kaki Penanggungan itu masih sempat menceritakan
pertemuannya dengan Parameswara yang telah menolongnya dari orang bernama Taji
Gading dan Ranggasura. Ki Ajar Kembang Ayun mendengarkan penuturan itu namun
tidak memberikan pendapat apa pun.
Ketika Swasti Prabawati berpamitan Dyah Narasari menghadangnya di depan regol.
Sikap Dyah Narasari yang bersahabat itu menyenangkan hatinya.
"Ijinkan aku memperkenalkan diriku Kangmbok57 namaku Dyah Narasari. kakang
Parameswara yang meminjamkan kudanya untuk mengantarmu kemari adalah kakakku."
Dengan senang hati Swasti Prabawati menerima uluran tangan itu.
"Aku Swasti Prabawati," jawabnya.
"Apakah kau akan kembali dan menempuh perjalanan dengan kakakku?"
Swasti Prabawati mengangguk.
"Ia menungguku sambil terus melanjutkan perjalanannya. Namun katanya, kuda
yang luar biasa ini akan bisa menemukannya di mana pun ia berada. Sungguh Kuda
yang luar biasa," jawab Swasti Prabawati.
Sapu Angin meringkik. Persahabatan yang erat antara Dyah Narasari dan kuda itu
terlihat sekali. Dyah Narasari tak sekadar mengelus bulu-bulu halus di leher
binatang itu tetapi juga menciumnya. Sapu Angin menjawab dengan ringkikan dan
menggerakkan kaki kanan depannya. "Kalau begitu, aku titip ini. Untuk bekal di perjalanan," lanjut Narasari.
Swasti Prabawati menerima buntalan bungkusan yang pasti berisi makanan yang
terlihat itu dari baunya, jenis makanan yang tak akan segera membusuk dan bisa
dimakan meski telah beberapa hari.
57 Kangmbok, jawa, mbak atau mbakyu. Kosa kata ini sudah tidak dipakai kecuali
di pentas wayang atau ketoprak.
144 Matahari telah melintasi puncak langit dan sedikit doyong ke barat ketika kuda
Sapu Angin yang ditunggangi gadis dari kaki Gunung Penanggungan itu berderap
laju meninggalkan halaman padepokan perguruan Kembang Ayun. Segenap siswa perguruan
melambaikan tangan memberikan penghormatan saat melepas gadis itu. Debu mengepul
di belakang kuda yang semakin menjauh dan kemudian hilang di tikungan jalan.
Semilir angin membuat Swasti Prabawati merasa gembira. Lebih dari itu ia merasa
lega karena telah mendapatkan arah yang jelas untuk menemukan jejak ayahnya.
Swasti Prabawati semakin terkagum-kagum pada kuda yang ditungganginya. Kuda itu
berderap seperti tanpa perlu dikendalikan. Dengan yakin kuda itu berbelok jika memang
harus berbelok atau lurus bila memang harus lurus. Kuda Sapu Angin itu benar-benar
kuda yang memiliki kecerdasan yang tinggi serta penciuman yang tajam. Di samping itu
kuda itu benar-benar kekar. Gadis dari kaki Gunung Penanggungan itu merasa nyaman
berada di punggungnya. Sang waktu terus bergerak, matahari semakin doyong ke arah barat.
Adalah dalam pada itu sejalan dengan Swasti Prabawati yang makin lama semakin
dekat, Parameswara sedang memerhatikan sesuatu yang berada di depannya dengan
mata tidak berkedip. Angin lesus yang sangat besar tengah meliuk-liuk menerjang
berbagai pepohonan. Sebatang pohon yang amat besar tumbang tercerabut dengan akarnya saat
pusaran cleret tahun itu melintasinya. Pusaran angin lesus itu terus berputar
cepat dan sangat dahsyat. Parameswara telah menghitung, biang angin ribut itu
akan segera sampai di tempatnya. Itulah sebabnya Parameswara segera meloncat
mempersiapkan diri. Agaknya apa yang pernah terjadi di tepi laut itu akan terulang lagi. Parameswara
yang basah kuyup karena hujan yang sedang turun deras segera mempersiapkan diri
dengan baik. Oleh sebuah alasan barangkali angin itu menganggap Parameswara
sebagai musuh yang harus dibunuh, apalagi dalam perjumpaan sebelumnya Parameswara
berhasil menyelamatkan diri, maka dengan ganas angin lesus itu menghajarnya, menjerat dan
melilit tubuhnya, membanting-bantingnya di atas bebatuan.
Parameswara tersentak kaget dan terbangun dari tidurnya.
"Sial, aku bermimpi," desisnya.
Namun meski hanya sekadar mimpi, angin lesus itu benar-benar terasa nyata.
Parameswara ngeri saat mengenang betapa sehari sebelumnya ia benar dihajar oleh
angin lesus. Untung ia masih hidup. Akan tetapi setidak-tidaknya Parameswara
memiliki kebanggaan pernah bertarung berhadapan dengan angin lesus bahkan disengat petir.
Parameswara segera bangkit dan membersihkan rerumputan yang menempel di
pakaiannya. Akan tetapi tiba-tiba Parameswara mendongak, ketajaman indera
telinganya berhasil mendengar sesuatu. Setelah mencermati Parameswara justru tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian dari jalan setapak arah timur muncul orang yang sedang ia
tunggu. Swasti Prabawati dan Kuda Sapu Angin.
Gadis itu meloncat turun. Kuda Sapu Angin meringkik keras dan tiba-tiba berderap
meninggalkan tempat itu. Kuda itu melonjak-lonjak dan tiba-tiba saja melesat
cepat ke arah barat untuk kemudian lenyap entah ke mana. Meski demikian
Parameswara yang hafal benar dengan perilaku kuda itu sama sekali tidak cemas.
Swasti Prabawati amat heran.
"Kenapa dengannya?"
Parameswara hanya tertawa.
"Biarkan saja apa pun ulahnya," jawabnya.
145 Swasti Prabawati menyerahkan buntalan berisi makanan bekal titipan dari adiknya.
Parameswara menerima dengan raut muka berseri. Bagai tidak sabar Parameswara
membuka isi bungkusan yang diterimanya.
"Ini untukmu dari adikmu," kata Swasti Prabawati.
Parameswara mengangguk. "Bagaimana dengan petunjuk Ki Ajar" Apakah benar Ki Ajar Kembang Ayun
mengenal ayahmu?" Swasti Prabawati menjawab dengan anggukan kepala.
"Aku tidak salah alamat datang ke tempat itu. Ki Ajar ayahmu ternyata memang
bisa memberikan arah yang jelas, ke mana aku harus pergi untuk mencari ayahku.
Aku harus menemui seorang pemancing di pantai Ywangga bernama Biku Paraban. Orang
itulah yang menurut Ki Ajar Kembang Ayun,akan bisa menunjukkan arah yang pasti,
di mana ayahku berada."
Parameswara mengalihkan pandangannya ke arah barat. Di sana matahari bersinar
merah saga. Perjalanan tidak mungkin dilanjutkan karena hari akan segera malam.
Di samping itu di depan akan dihadang oleh lebatnya alas Kumitir. Sebenarnya
Parameswara merasa heran pada gadis di sebelahnya. Dengan cara bagaimanakah ia
melintasi lebatnya hutan Kumitir"
"Kau merenungkan apa?"
Rupanya gadis itu tahu ada sesuatu di dalam hati Parameswara.
"Bagaimana caramu melintasi lebatnya hutan di depan?"
Swasti Prabawati ikut memandang ke arah barat. Hutan di sana memang benar-
benar lebat dan menyesatkan. Swasti Prabawati merasa beruntung karena berhasil
melintasinya. "Sebenarnya aku menempuh perjalanan dengan berkuda. Tetapi karena aku tidak
mungkin melintasi hutan itu dengan membawa kuda maka aku titipkan kuda itu pada
seorang penduduk yang baik hati yang bertempat tinggal di seberang sana.
Bagaimana dengan kudamu" Apakah kauyakin akan bisa membawanya melintasi hutan itu?"
Parameswara membalas pertanyaan itu dengan hanya tersenyum. Menyeberangi
hutan itu dengan membawa kuda bukan lagi pekerjaan sulit bagi Parameswara karena
ia telah menemukan jalur khusus yang bisa dilewati, berupa jalan setapak yang tidak
begitu merepotkan. Namun dalam melewati jalur itu kuda tidak bisa dinaiki Sapu
Angin harus dituntun dan bahkan harus dilindungi. Hutan lebat itu banyak dihuni oleh
berbagai hewan buas, ada harimau belang yang ukurannya nyaris menyamai sapi, ada
juga ular raksasa dengan panjang puluhan depa. Menghadapi binatang buas macam itu diperlukan ilmu
kanuragan. "Hutan yang menghadang perjalanan kita di depan memang hutan yang sangat lebat
dan nyaris mustahil untuk ditembus akan tetapi aku telah beberapa kali menyusup
dan menyeberanginya hingga ke padukuhan Garakan, bahkan jauh melintas ke Lumajang,"
jawab Parameswara. Swasti Prabawati takjub dan penasaran.
"Dengan membawa kuda?" desak Swasti Prabawati.
Parameswara hanya tertawa.


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak percaya?" balas Parameswara.
Swasti Prabawati mengangguk percaya. Kuda yang diberi nama Sapu Angin itu
pada kenyataannya memang seekor kuda yang luar biasa. Baru kali ini Swasti
Prabawati 146 melihat seekor kuda yang memiliki beberapa kelebihan macam itu. Hutan Kumitir
yang menghadang di depan memang luar biasa lebat. Hanya karena ia menguasai ilmu olah
kanuragan yang tinggi ia mampu melintasi hutan itu yang dihuni oleh berbagai
binatang buas, harimau, ular dan segala macam binatang yang berloncatan di
dahan-dahan. Swasti Prabawati semula mengira mustahil membawa kuda melintas
namun yang ia anggap mustahil itu rupanya keliru.
Parameswara memandang lawan bicaranya dengan tajam.
"Sebenarnya ada apa dengan ayahmu" Kenapa kau begitu mencemaskannya hingga
harus kaucari di tempat ini?" tanya anak angkat Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun.
Diingatkan pada persoalan ayahnya yang telah pergi cukup lama membuat gadis itu
sedih. Perubahan di wajahnya dengan gampang bisa dibaca oleh Parameswara. Gadis
itu menghela tarikan napas dalam-dalam menyiratkan kegelisahannya. Petunjuk samar-
samar yang ia terima dari Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun justru menambah rasa
cemasnya. Kenyataan bahwa sebelum pergi tanpa pamit ayahnya bagai orang kesetanan dalam
menggembleng diri dan isyarat samar yang ia terima dari Ki Ajar Kembang Ayun
bahwa ayahnya masih juga terjerat urusan duniawi, menggiring Swasti Prabawati pada
sebuah simpulan yang ia yakini benar, ayahnya pasti punya musuh. Kepergiannya yang
tanpa pamit adalah untuk membuat perhitungan dengan musuh itu.
"Aku mencemaskan ayahku," jawab gadis itu pendek. "Firasatku mengatakan
ayahku pergi untuk sesuatu yang bisa membahayakan jiwanya."
Swasti Prabawati kemudian menunduk.
"Membahayakan jiwanya kenapa?" desak Parameswara.
Swasti Prabawati menerawang.
"Aku tidak tahu apakah sesuatu yang membahayakan ayahku itu namun yang jelas
setahun terakhir ini ayahku menggembleng diri seperti orang yang lupa waktu."
Parameswara pun termangu.
Jika seseorang yang menekuni olah kanuragan mendadak menggembleng diri
seperti orang kesetanan boleh jadi memang untuk mempersiapkan diri menghadapi
sebuah pertarungan. Mungkin pula pertarungan antara hidup dan mati sebagai
taruhan, maka latihan itu dilakukan untuk menjamin jangan sampai kalah.
"Apakah ayahmu mempunyai musuh?" tanya Parameswara.
Swasti Prabawati termangu diam.
Sebagai orang yang menjadi bagian dari dunia olah kanuragan tentu ayahnya tak
bisa lepas dan berurusan dengan orang lain bisa jadi dugaan itu benar. Namun
dalam kenangan yang rapi tersimpan di dalam benak Prabawati ayahnya tidak mempunyai
musuh. Akan tetapi Swasti Prabawati sadar ada wilayah di daerah persoalan
pribadi ayahnya yang tidak diketahuinya. Barangkali sosok musuh itu disimpan sangat
rapat dan tak seorang pun yang tahu.
"Menurutku ayahku tidak punya musuh. Ayahku begitu dicintai banyak orang
karena sering menolong orang. Kalau kemudian ayahku memiliki persoalan yang
demikian gawat sehingga harus terjadi pertarungan aku benar-benar tidak tahu.
Pertarungan itu di mana, musuhnya siapa, dan bagaimana pula nasibnya, aku benar-
benar tidak tahu." Parameswara melihat gadis itu memang dirundung duka. Setiap pertanyaan yang ia
ajukan rupanya malah menambah kesedihannya. Itu sebabnya Parameswara kemudian
tak bertanya apa pun lagi. 147 Ketika senja membayang serta siap memeluk malam, kuda Sapu Angin terdengar
berderap kencang dari arah barat. Kuda itu kemudian berlari berputar
mengelilingi Parameswara dan Swasti Prabawati sambil meringkik-ringkik gembira. Swasti
Prabawati sedikit terhibur oleh tontonan yang menyenangkan hatinya itu. Manakala gelap
malam kemudian turun Parameswara segera membuat perapian. Parameswara dan Swasti
Prabawati tidak banyak berbicara ketika menikmati makanan yang disusulkan oleh
Dyah Narasari. Dengan tatapan mata tidak berkedip Parameswara memandang ujung lidah
api yang bergerak tidak tenang, lidah api yang mengingatkan Parameswara pada
sesuatu. Swasti Prabawati mampu membaca perubahan di wajah pemuda tampan itu.
"Apakah ada ada yang aneh pada api itu?" tanya Prabawati.
Parameswara yang melamun itu kaget dan tersenyum.
"Aku teringat sesuatu," jawabnya.
"Apa?" tanya Prabawati.
Parameswara melemparkan sebatang kayu kering.
"Angin lesus," kata Parameswara. "Kau pernah melihat angin lesus atau yang juga
sering disebut cleret tahun?"
Swasti Prabawati mengangguk.
"Sering aku melihat Celeret Tahun, yang menjadi tontonan mengasyikkan setiap
Gunung Penanggungan dikemuli mendung dan angin ribut yang berhembus menderu-
deru. Di kejauhan di arah lembah, angin lesus itu sering muncul. Kenapa
kautanyakan itu?" Parameswara tersenyum tipis. "Aku bahkan punya pengalaman ditelan angin
lesus." Sebuah jawaban yang membuat Swasti Prabawati kaget. Ditelan angin lesus tentu
bukan pengalaman sembarangan. Swasti Prabawati masih menyimpan kenangan yang tak
mungkin dilupakan bagaimana sebuah perkampungan yang terletak tidak jauh dari
kaki gunung Penanggungan porak-poranda dihajar puting beliung.
"Aku sedang berada di pantai ketika angin lesus itu muncul. Aku begitu terpana
menyaksikan keperkasaan gejala alam itu. Apa pun yang diterjangnya porak
poranda. Sebuah pohon gurdo tumbang tercabut ke akar-akarnya. Aku sungguh tidak bisa
mengukur diri. Aku coba menghadapi angin lesus itu dengan ajian yang kumiliki."
Parameswara masih menyelipkan tertawa di sela ceritanya dan merasa geli teringat
pada ulah yang dilakukannya.
Parameswara melanjutkan, "aku dihisap angin lesus itu, diputar-putar di dalamnya
hingga aku tidak sadarkan diri. Menurut Rahastri adikku yang melihat peristiwa
itu aku bahkan disengat petir segala yang meledak di dalam cleret tahun. Semua
murid beserta keluarga perguruan mengira aku sudah mati. Sehari semalam mereka
mencari mayatku namun tidak berhasil menemukan di mana aku berada. Saat aku sadar dari pingsan
aku tergeletak di bibir pantai. Peristiwa itu begitu membekas hingga tadi saat aku
tidur aku bermimpi cleret tahun."
Swasti Prabawati ikut-ikutan memandangi lidah api. Sifat lidah api yang tak
pernah tenang itu memang mirip lidah cleret tahun yang bergerak liar tak terkendali, ia
bergerak meliuk ke sana kemari tergantung angin yang mempermainkannya. Angin
tiba-tiba bergerak sedikit lebih keras, asap yang mengarah pada gadis dari Penanggungan
itu menyebabkan ia harus pindah tempat sambil menutupi mata dan mengurai batuknya.
"Apa kenangan itu sering mengganggu dan membuatmu ketakutan?" pancing gadis
itu. 148 Parameswara yang memandangi api menoleh. Parameswara merasa mempunyai
pendapat yang layak untuk diutarakan, pendapat yang rupanya berasal dari mimpi
atau angan-angan. "Bagiku cleret tahun adalah sesuatu yang menarik. Aku tengah berkhayal, betapa
dahsyatnya kalau bisa menciptakan ajian semacam itu."
Swasti Prabawati mencuatkan alis.
"Aji cleret tahun, " Parameswara menambah.
Prabawati mencuatkan alis.
"Apakah ajian macam itu ada?" desak Swasti Prabawati.
Parameswara menggeleng. "Aku yakin ajian itu belum ada," jawab Parameswara. "Kalau saja ajian itu ada,
maka itu sungguh luar biasa. Dengan ajian macam itu aku bisa menghadapi pasukan
segelar sepapan58. Bahkan aku tak perlu merasa takut menghadapi puluhan orang
yang menggunakan aji panglimunan, jenis ilmu kanuragan seperti yang tadi siang
kauhadapi. Menurutku orang menguasai aji panglimunan justru memiliki kelemahan kodrati,
dengan mudah ia bisa dilacak melalui indera pendengaran."
Swasti Prabawati tertawa. Gadis itu merasa geli. Ia merasa angan-angan kenalan
barunya itu terlalu muluk, sangat mustahil.
"Kalau kauberhasil menciptakan ajian cleret tahun itu sama halnya menciptakan
bencana. Kaulihat apa yang terjadi jika cleret tahun itu melibas rumah-rumah
penduduk itu?" Pertanyaan amat sederhana itu memaksa Parameswara termangu
merenungkan. Atas sebuah pertimbangan bisa disalah-gunakan orang yang mempelajarinya, Ki Ajar
Kembang Ayun melarang siapa pun mempelajari Aji Panglimunan. Jika Ajian cleret
tahun itu ada bukankah bisa menjadi bencana mengerikan" Apalagi jika orang yang
menguasai ajian itu punya pikiran yang tidak waras.
Parameswara masih merenung. Swasti Prabawati terusik.
"Apakah menurutmu ajian cleret tahun itu bisa diciptakan?"
Parameswara memandang Swasti Prabawati. Dahinya berkerut-merut.
"Ini hanya sekadar khayalan, tetapi entah, apakah khayalan ini kelak bisa
diujutkan atau tidak. Sebagaimana aji Panglimunan, dasar utama yang dipergunakan
menciptakan ajian itu adalah mengacak udara yang digunakan melindungi tubuh hingga kemudian
tubuh itu lenyap. Lalu Apakah menurutmu mengacak udara dengan cara yang sama
tidak bisa digunakan untuk mencipta gerakan beliung" Puting beliung yang dirangsang
itu akan membesar dengan sendirinya. Apakah itu tak mungkin?"
Swasti Prabawati tertawa karena baginya angan-angan itu terlalu melambung
tinggi. Namun wajah Parameswara benar-benar beku dan yakin peluang untuk mencipta ajian
cleret tahun itu sebenarnya ada, untuk merangsangnya amat mungkin.
"Kalau kauberhasil menciptakan ajian itu, dan kemudian kaubiarkan angin lesus
itu mencari bentuknya sendiri, apalagi jika saat kaulakukan itu sedang terjadi
badai. Lalu bagaimana tanggung-jawabmu terhadap ulah angin lesus ciptaanmu itu.
Apakah kau masih mempunyai kendali atas angin lesus itu?" tanya Prabawati.
Parameswara tiba-tiba tertawa. Rupanya Parameswara menjadi geli pula.
Malam menukik tajam. Angin yang berhembus dari arah puncak gunung terasa
sangat menggigit. Parameswara menambahi kayu-kayu kering pada api yang mulai
58 Segelar sepapan, jawa, jumlah prajurit berkekuatan penuh
149 padam hingga membesar kembali. Dari arah lebatnya hutan terdengar lengkingan
berbagai jenis binatang malam yang beraneka ragam. Namun yang paling riuh adalah
suara cenggeret yang saling sapa antara satu dan lainnya, entah apa yang
diperbincangkan makhluk bersayap hijau sehijau daun itu.
"Sapu Angin," kata Parameswara kepada kudanya. "Berjagalah dan bangunkan aku
kalau kau melihat sesuatu yang mencurigakan."
Kuda itu meringkik. Swasti Prabawati yang melek sejenak menyaksikan pembicaraan antara manusia
dan binatang itu tidur kembali. Parameswara masih sempat memerhatikan bintang-
bintang yang bertebaran di langit sebelum meringkuk berbantal bungkusan
pakaiannya. Waktu terus merambat malam pun bergeser ke arah pagi. Sapu Angin benar-benar
melaksanakan tugasnya dengan baik. Tiba-tiba kuda itu mendekat ke arah
Parameswara yang sedang berbaring lelap dan menyentuh tubuhnya menggunakan ujung hidungnya.
Parameswara segera bangun.
"Ada apa Sapu Angin?" tanya Parameswara.
Kuda itu hanya meringkik kecil. Swasti Prabawati juga terbangun.
"Apa kudamu telah memberitahu ada sesuatu yang tidak sewajarnya?" tanyanya.
Parameswara memerhatikan keadaan di sekelilingnya. Ketajaman pendengarannya
segera dilipat gandakan dalam aji sapta pangrungu. Parameswara kemudian
tersenyum. "Dua ekor harimau itukah?" Swasti Prabawati bertanya.
Parameswara mengangguk. Swasti Prabawati tertawa dan kemudian membaringkan diri lagi. Kemunculan dua
ekor harimau yang mengintai dari kegelapan itu ternyata tak membuatnya gelisah.
Justru kuda Sapu Angin itulah yang gelisah.
"Tenang Sapu Angin, aku tak akan membiarkan dua ekor harimau itu menjamahmu,
percayalah," kata Parameswara pada kudanya.
Mungkin harimau yang berada di kejauhan itu mendengar percakapan yang terjadi,
atau mungkin binatang itu menganggap manusia dan kuda tidak layak untuk dimakan
karena dagingnya tidak enak, kedua ekor binatang itu kemudian ngeloyor pergi
begitu saja apalagi karena rupanya ada sesuatu yang lebih menarik perhatian harimau
itu. Dua ekor babi hutan sedang riuh melepaskan beban birahi. Begitulah babi,
ketika kawin gegap gempita yang ditimbulkannya menjadikan suasana mendadak
senyap, suara cenggeret yang semula menguasai malam hilang entah ke mana. Suara gaduh itu juga menjadi
petunjuk bagi ular-ular besar untuk menemukan arah yang harus diambil.
Ketika pagi kemudian datang, Swasti Prabawati yang terbangun kaget melihat
Parameswara telah mandi dan siap untuk berangkat.
"Di mana kaumandi?" tanya gadis itu.
"Di sana ada sungai," jawab Parameswara, "airnya jernih dan sejuk."
"Sapu Angin, jagalah majikanmu itu, jangan kaubiarkan dia mengintipku sedang
mandi." Parameswara hanya tertawa. Kuda Sapu Angin itu juga meringkik keras, mungkin
maksudnya juga tertawa terkekeh. Kuda aneh yang luar biasa itu melonjak tinggi
dan kemudian berlari berputar mengitari Parameswara dan Swasti Prabawati. Ketika
kuda itu berhenti di dekat Swasti Prabawati, kuda itu bagai mendapat kesempatan
untuk bermanja manakala gadis itu mengelus-elus punggung serta mencium lembut
bulu-bulunya. 150 Ketika matahari akhirnya benar-benar muncul di bayangan bukit, Parameswara dan
gadis seperjalanannya itu pun berangkat. Hutan Kumitir yang lebat menghadang di
depan. Namun sebagaimana yang dikatakan Parameswara terdapat celah khusus yang
bisa dilintasi kuda. Tak membutuhkan waktu sepertiga hari, mereka telah
menyeberang di sebelah barat. Kali ini hutan pinus berada di sebelah utara
menghampar luas entah di mana tepinya. 20. (Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Tengah malam di Dwarapala sangat sepi meski bekas pintu gerbang sebuah istana
negara besar di masa lalu itu berada di kepadatan penduduk. Hal yang demikian
terjadi sebagai akibat udara yang dingin berkabut. Meskipun demikian kurang
lebih lima ratus meter ke arah timur jalan raya yang menghubungkan kota Malang
dan Surabaya tetap saja riuh oleh lalu-lalang berbagai kendaraan besar maupun kecil. Untuk bisa
menembus kabut yang amat tebal celakalah kendaraan yang tidak menggunakan lampu


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna kuning karena cahaya putih dari lampu halogen justru menyebabkan kabut tampak
kian padat. Kabut tebal turun membungkus wilayah Malang dan sekitarnya bukanlah hal
yang luar biasa dan sering terjadi karena tidak jauh dari tempat itu ada banyak
gunung yang melunasi janji dengan selalu menggulirkan udara dingin berbunga
kabut. Sebagaimana kabut tebal malam itu bagi penduduk Candirenggo yang membawahi wilayah di mana
Dwarapala itu berada bukanlah hal yang luar biasa. Tengah malam hingga pagi hari
adalah waktu yang menjadi langganan kehadirannya.
Parra Hiswara yang menepati janji tak sepenuhnya berdiri namun berdiri bersandar
Dwarapala yang memiliki tubuh sangat gendut. Patung yang berfungsi sebagai
penjaga pintu gerbang itu memiliki tinggi 3,70 m berbentuk raksasa bertaring dan
berambut gimbal dengan tangan kiri memegang sebuah gada dan seekor ular melintang di
dadanya. Untuk memindahkan patung batu sebesar itu atau yang hanya sekadar menggesernya
saja dibutuhkan alat berat, gabungan kekuatan seratus orang berhadapan dengan patung
itu hanya akan menunjukkan kenyataan betapa bergemingnya dia. Ujut dan ukuran patung
itu sekaligus menjadi petunjuk kerja keras macam apa yang dilakukan pembuatnya
pada delapan ratusan tahun yang lalu.
Udara dingin menusuk menempatkan Yogi Sutisna pada penyesalan karena tidak
mengenakan jaket akan tetapi Yogi Sutisna yang terbiasa tinggal di udara panas
tak jauh dari kompleks candi Prambanan masih mampu bertahan. Hanya saja kabut
yang demikian tebal memang mampu memancing berbagai halusinasi dan imajinasi, macam-macam saja
bayangan yang muncul seperti ketika terjebak dalam kegelapan yang total.
"Jam berapa kira-kira ini?" tanya Yogi Sutisna.
Pertanyaan itu mendorong Parra Hiswara mendekatkan jam tangannya. Dalam
keadaan biasa melihat jarum jam masih dimungkinkan karena di ujung jarum detik
yang bergerak melekat phospor padat yang mengeluarkan cahaya. Akan tetapi kali ini
kabut benar-benar sedang padat dan mampat, cahaya phospor di jarum jam itu tidak
tampak, 151 bahkan ketika ada kendaraan lewat pelahan dan menyiramkan cahaya berlimpah Parra
Hiswara tidak berhasil memanfaatkan kesempatan itu untuk memastikan waktu.
"Apa yang kau ketahui dari tempat ini?" tanya Yogi Sutisna.
Parra Hiswara bergeser lebih mendekat ke posisi sahabatnya.
"Apanya?" balas Parra Hiswara.
Yogi Sutisna menelengkan kepala untuk menandai suara menjerit berasal dari arah
langit, di atas sana masih ada burung walet yang masih terbang karena lupa arah
pulang kandang. "Benda yang kita sandari," jawab Yogi Sutisna.
Parra Hiswara meraba bagian kaki patung Dwarapala tempatnya bersandar.
"Aku sama sekali tidak memiliki keterangan apa pun, aku tidak punya minat pada
benda-benda yang berbau purbakala. Banyak orang menyebut sepasang patung ini
dibuat pada zaman Singasari. Singasari itu apa, siapa rajanya, bagaimana perjalanan
sejarahnya aku sama sekali tidak memiliki keterangannya macam apa pun."
Jawaban itu menyebabkan Yogi Sutisna tertawa. Meski Yogi Sutisna tidak tinggal
di tempat itu namun karena minat dan perhatiannya yang cukup besar terhadap
benda- benda purbakala dan sejarahnya, ia memiliki perbendaharaan pengetahuan lebih
banyak. Yogi Sutisna tahu siapa raja pertama Singasari, bagaimana cerita perebutan
kekuasaan yang terjadi dan bagaimana pula akhir kebesaran Singasari.
Kembali suara menjerit menyayat itu terdengar melengking dari arah langit namun
dengan warna suara yang berbeda.
"Kau dengar itu?" bisik Yogi Sutisna.
Parra Hiswara memerhatikan apa yang dimaksud sahabatnya.
"Menurutmu itu suara apa?" tanya Parra Hiswara.
Pertanyaan itu menyebabkan Yogi Sutisna gelisah karena kenangannya tertuju pada
malam sebelumnya. "Bukan!" jawab Parra Hiswara meyakinkan.
Yogi Sutisna tidak dengan serta merta percaya.
"Bukan kelelawar besar itu?"
Suara menyayat itu terdengar lagi.
"Bukan!" tegas Parra Hiswara, "di kampung halamanku burung yang memiliki
suara melengking macam itu disebut bence."
Yogi Sutisna mengikuti ke mana arah gerak burung yang berteriak-teriak bagai
tanpa sebab. Namun Yogi Sutisna menyimpan alasan untuk merasa cemas. Bidikan
yang ia lakukan malam sebelumnya serasa melekat di benaknya. Peluru yang melesat
lepas dari bedilnya diyakini mengenai kelelawar raksasa berwarna putih itu yang lalu
melesat cepat menyambarnya. Untung Yogi Sutisna bisa menghindar dan melihat
bagaimana kelelawar itu terbang melesat ke angkasa menuju lurus ke bulan dan kemudian
lenyap jejaknya. "Apakah ia hadir juga di atas, barangkali di dahan-dahan randu atau terbang diam
di udara sambil menunggu celah kesempatan menyambar?" tanya Yogi Sutisna.
Parra Hiswara tidak menjawab.
Parra Hiswara dan Yogi Sutisna menoleh ke arah barat ketika seberkas cahaya
datang dari sebuah mobil yang melaju pelahan, semakin pelahan dan kemudian
berhenti. Lampu tanda bahaya mobil itu menyala berkedip-kedip. Meski tidak bisa melihat
namun 152 Yogi Sutisna bisa memastikan pengendara mobil itu turun dari kendaraannya yang
bisa dibaca itu dari suara pintu yang ditutup.
"Selamat malam," terdengar sebuah sapa dari seseorang yang mendekat.
Yogi Sutisna tidak dengan segera mendengar Parra Hiswara menjawab sapaan itu.
mendengar warna suara itu, Yogi Sutisna segera mengerutkan kening.
"Selamat malam," Parra Hiswara membalas sapaan itu.
Agaknya Parra Hiswara amat tidak sabar ingin segera mengetahui nasib istrinya.
"Langsung saja," kata Parra Hiswara, "keterangan apa yang kau butuhkan dariku
dan keterangan apa yang akan kauberikan terkait istriku yang hilang diculik."
Hening sejenak mengalir karena orang yang datang itu tak dengan segera memberi
jawaban. Yogi Sutisna merasa gelisah karena mengenali suara itu bukan milik
orang yang menemuinya. Budayasa memiliki suara lebih besar sementara suara orang
itu cenderung serak. "Kau bukan Budayasa!" letup Yogi Sutisna.
Pertanyaan itu menyebabkan Parra Hiswara terkejut. Dengan ketajaman telinganya
Parra Hiswara mencoba mencermati siapa orang yang berada di depannya.
"Siapa kau?" tanya Parra Hiswara dengan suara mengancam.
Orang itu rupanya merasa perlu membiarkan waktu berlalu.
"Mereka memintaku menjemput," jawab orang itu, "tugasku hanya itu, tak lebih."
Dengan bergegas Parra Hiswara mengerutkan kening bertabur curiga. Pun Yogi
Sutisna tidak terlalu bodoh untuk menangkap adanya sesuatu yang layak dicurigai.
Kata 'mereka' itu berarti lebih dari satu. Orang yang berkepentingan bertemu dengan
Parra Hiswara itu tak sekadar Anak Agung Budayasa.
"Mengapa orang bernama Budayasa itu tidak datang sebagaimana permintaannya?"
tanya Parra Hiswara. Orang itu punya jawabnya, "aku hanya disuruh dengan imbalan uang. Mereka ada
di Kebun Raya." Jawaban itu menyebabkan Yogi Sutisna merasa gelisah. Siapa pun orang-orang itu
yang ternyata tidak hanya seorang bisa jadi menjanjikan sesuatu yang
mencemaskan. "Berapa jumlah mereka?" tanya Parra Hiswara.
"Tujuh orang," jawab orang itu.
Parra Hiswara tak bisa meredam desir tajam yang merambati permukaan kulitnya.
Tujuh orang, jumlah itu mengingatkan pada jumlah orang-orang tidur di ruang
bawah tanah yang ditemuinya pada kejadian hari sebelumnya. Jika orang bernama
Parameswara itu ikut tidur maka jumlahnya ada delapan termasuk perempuan tidur telanjang
itu. Parra Hiswara segera menimbang keadaan itu dengan cermat.
"Kau sendiri siapa?" tanya Parra Hiswara.
Orang yang baru datang itu menyempatkan batuk-batuk lebih dulu. Udara dingin
rupanya menjadi masalah baginya.
"Namaku Bara Ywanjara," jawabnya. "Aku sama sekali tak terlibat dengan urusan
orang-orang itu. Pekerjaanku hanya seorang sopir angkutan antar kota. Seperti
yang aku katakan mereka mengupah aku untuk pekerjaan ini."
Parra Hiswara mencermati keadaan lebih dalam, hal yang sama dilakukan Yogi
Sutisna. Yogi Sutisna melangkah lebih mendekat, namun harapannya untuk bisa
melihat wajah orang itu dengan lebih jelas tidak bisa menjadi kenyataan karena kabut
makin gila, juga ketika meski ia menyalakan korek api.
153 "Apakah dalam pembicaraan mereka ada menyebut penculikan atas perempuan
yang sedang hamil?" tanya Yogi Sutisna.
Orang mengaku bernama Bara Ywanjara itu tampak berpikir. Jawaban yang
diberikan itu dilepas beberapa detik setelah tarikan napasnya.
"Sepertinya, ya!" jawabnya.
Parra Hiswara menarik napas amat panjang, serasa udara yang ada tak cukup untuk
mengisi segenap lorong di paru-parunya. Sejalan dengan waktu yang terus bergerak
Parra Hiswara tidak bisa menutupi kecemasannya namun meski demikian suami
Mahdasari itu tidak kehilangan perhitungannya.
"Kami membawa mobil sendiri," kata Parra Hiswara, "kau berangkat duluan kami
akan menyusul kurang lebih setengah jam lagi. Sampaikan pada mereka aku datang."
Orang itu mengangguk namun segera ia segera tersadar bahwa anggukan kepalanya
tidak cukup karena tidak terlihat oleh lawan bicaranya.
"Ya," jawabnya.
Parra Hiswara dan Yogi Sutisna mengikuti bayangan orang yang sangat samar dan
kemudian menghilang ditelan dunia lain, seperti masuk ke dunia antah berantah.
Sejenak kemudian terdengar pintu mobil yang dibuka dan ditutup kembali disusul
suara mesin dinyalakan dan mobil orang itu pun melaju.
"Bagaimana?" pertanyaan yang terlontar dari kegelisahan itu dilepas oleh Yogi
Sutisna. Parra Hiswara tidak serta merta menjawab. Api menyala dari tangannya.
"Punya rokok?" tanya Parra Hiswara amat membelok.
Yogi Sutisna tahu persis sahabatnya karibnya yang kesandung masalah sangat berat
itu dulunya bukanlah seorang perokok. Dalam keadaan yang demikian tar dan
nikotin sangat dibutuhkan untuk menenangkan hati.
"Tujuh orang itu mungkin mereka," gumam Parra Hiswara sambil menghisap
batang rokok sigaret yang telah menyala di jarinya dalam-dalam.
Yogi Sutisna mengerutkan dahi. Soal orang-orang tidur di sebuah ruangan bawah
tanah ia tahu detailnya dengan jelas karena entah telah berapa kali Parra
Hiswara mengulang dan mengulang lagi menceritakan kejadian di ruang aneh bawah tanah
itu. "Apakah itu berarti mereka semua telah bangun dari tidurnya?" tanya Yogi
Sutisna. Parra Hiswara tidak tahu jawabnya. Tarikan napas amat panjang sekali lagi
dilepas untuk menghembuskan asap tebal yang dihisapnya. Namun entah mengapa Parra
Hiswara tiba-tiba membanting rokok itu dan menginjak-injaknya.
"Siapa pun mereka akan aku hadapi," kata Parra Hiswara. "Sehubungan dengan
kemungkinan adanya bahaya, lebih baik kau tidak ikut. Kuturunkan kau ke hotel
dan kubawa mobilmu." Yogi Sutisna beranjak mendekati mobil sambil menimbang. Cukup bulat pilihan
yang diambilnya. "Tidak," jawabnya, "apa pun yang akan terjadi aku ikut."
Parra Hiswara kehilangan mulutnya.
"Aku ikut," Yogi Sutisna menegas.
"Kauyakin?" tanya Parra Hiswara.
"Sangat," jawabnya.
"Baiklah," jawab Parra Hiswara.
154 Pelahan mobil yang kali ini dikendarai Parra Hiswara itu melaju meninggalkan
ruas jalan di mana letak Candi Sungasari dan sepasang patung Dwarapala itu berada.
Namun begitu masuk ke ruas jalan utama menuju Surabaya Parra Hiswara melaju
dengan cukup kencang, bahkan amat kencang berhadapan dengan kabut yang demikian tebal.
Sejalan dengan waktu yang terus bergerak bukannya Parra Hiswara bisa tenang,
hati suami Mahdasari itu benar-benar gelisah memikirkan nasib istrinya apalagi
ketika mengingat istri yang amat dicintai itu sedang hamil tua. Parra Hiswara
membayangkan betapa panik Mahdasari karena kehilangan suami akan tetapi ternyata masih harus
dihadapkan pada penculikan yang menimpa dirinya, penculikan yang bagai tanpa
ujung pangkal. 21. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Dalam pada itu di perguruan Badran Arus.
Ken Rahastri termangu memandangi pekarangan belakang dan kegelisahannya
makin mengental. Dengan kepergian Parameswara meninggalkannya gadis itu merasa
ada sesuatu yang hilang dari dasar hatinya. Sepi yang terasa menggigit, juga
rasa tidak bahagia dan sedih menyayat kalbu dengan kasar. Nyai Ken Widati
bukannya tidak membaca kesedihan anaknya. Nyai Ken Widati bisa mengerti serta memaklumi
kesedihan anak gadisnya yang ditinggalkan pergi kekasih yang boleh dikata tidak
ubahnya pergi untuk selamanya.
"Ibu," Ken Rahastri membuka percakapan ketika mendengar Ibunya mendekat dan
telah berada di belakangnya.
Nyai Ken Widati menempatkan diri duduk di sebelah anak gadisnya.
"Siapa nama calon suamiku itu?" tanya Ken Rahastri.
Pertanyaan yang dilontarkan mendadak itu mengagetkan Ibunya. Lebih dari itu apa
yang ditanyakan anak gadisnya tidak diduga sebelumnya menyebabkan Nyai Ken
Widati justru terdiam, sulit membuka mulut.
Ken Rahastri menunggu jawaban ibunya dan tak perlu mengulang pertanyaan yang
sama. "Kenapa kautanyakan itu?" tanya Ibunya.
Ken Rahastri memandang wajah Ibunya dengan tatapan mata kecewa. Tatapan mata
yang seperti menggugat. "Aku tak menolak ketika pada sebuah hari ayah memberitahu siapa jodohku, calon
suami yang disodorkan kepadaku seperti menyodorkan baju yang harus kupakai.
Apakah ibu masih tidak mau memberitahuku siapa nama calon suamiku itu, bagaimana
orangnya dan di mana tempat tinggalnya. Kalau sekarang aku bertanya siapa namanya, di
mana

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggalnya apakah ayah dan ibu masih merasa belum waktunya memberitahuku. Atau
apakah karena aku berjodoh dengan makhluk sejenis hantu?"
Nyai Ken Widati bisa merasakan bahwa di balik kata-kata anak gadisnya itu
tersirat kekecewaan yang sangat kental dan menggumpal-gumpal. Persoalan perjodohan Ken
Rahastri adalah keputusan yang diambil oleh suaminya di mana Nyai Ken Widati
155 sebenarnya sangat tidak sependapat. Bahkan jauh di hati kecil, Nyai Ken Widati
itu justru ingin mengambil Parameswara sebagai menantunya.
"Siapa namanya?" desak Ken Rahastri.
Oleh Nyai Ken Widati pertanyaan itu terasa menyudutkan.
"Ibu belum tahu, Rastri," jawab Ibunya.
Ken Rahastri menjadi sangat kecewa. Bahkan nama calon menantunya saja Nyai
Ken Widati belum tahu. Lalu bagaimana dengan sifat dan perilakunya" Bagaimana
pula ujutnya" Apalagi bila dipikir lebih jauh lagi, mengapa ayah Ibunya
menjodohkannya dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Ya kalau baik, kalau jelek bagaimana"
"Bagaimana ibu bisa menjodohkanaku dengan orang yang belum diketahui siapa
namanya?" desak Ken Rahastri dengan suaranya yang serak dan parau.
Nyai Ken Widati seperti menelan kepahitan. Apa yang dikatakan anak gadisnya itu
sungguh benar adanya. Sangat naif karena siapa nama calon menantunya, Nyai Ken
Widati memang belum tahu. Segala sesuatunya suaminyalah yang mengatur.
"Kalau kauingin tahu siapa nama calon suamimu cobalah nanti kau bertanya pada
ayahmu," jawab Nyai Ken Widati.
Mendengar jawaban itu Ken Rahastri tersenyum, tidak tercegah, senyumnya adalah
senyum agak sinis seiring sebuah tekad yang tiba-tiba saja muncul dari dalam
hatinya. Tekad yang tak perlu ia ceritakan pada siapa pun.
"Apa salahnya jika aku merantau, pergi berkelana seperti yang dilakukan paman
Parameswara. Aku akan menyamar sebagai laki-laki dan mendatangi calon suamiku
itu. Dengan demikian aku akan bisa melihat seperti apa ujutnya, tanpa dia mengetahui
siapa diriku," kata Ken Rahastri untuk diri sendiri.
Sepenginang59 waktu, Branjang yang baru pulang dari perguruan Kembang Ayun
mendapat laporan isterinya. Dengan hati-hati Ken Widati menyambung pertanyaan
anak gadisnya yang disimak dengan penuh perhatian oleh suaminya.
"Anakmu baru saja mempersoalkan calon suaminya. Ia ingin diberitahu siapa nama
calon suaminya dan di mana pula ia tinggal."
Ditanya demikian Mahisa Branjang heran, sebelah alisnya mencuat.
"Ada apa dengan Rahastri?" tanyanya.
"Kau seharusnya memaklumi, anakmu itu sedang resah. Ia tengah bersedih karena
kehilangan orang yang dicintainya. Kalau Rahastri minta segera diberitahu siapa
calon suaminya mungkin maksudnya supaya hatinya tenteram."
Mahisa Branjang merenung termangu. Ada sebuah pertanyaan mengganjal hatinya
yaitu apakah benar seperti yang dikatakan isterinya Rahastri akan merasa
tenteram jika sudah mengetahui siapa calon suaminya atau jika sudah dipertemukan
dengannya. Sikap yang demikian jelas berbeda dengan sikap Rahastri yang kurang begitu suka dengan
perjodohannya. "Baiklah," kata Branjang.
"Baiklah bagaimana?" tanya Isterinya.
"Nama calon menantumu adalah Raden Panji Garit."
Nyai Mahisa Branjang tertegun, ada rasa kaget.
"Raden" Calon menantumu seerang bangsawan?" desak Nyai Ken Widati.
Mahisa Branjang mengangguk.
59 Sepenginang, jawa, sebuah idiom yang terkenal di masyarakat Jawa. Sepenginang
adalah waktu yang dibutuhkan untuk nginang (makan sirih) yang amat sebentar.
Sepenginang berarti sebentar.
156 "Pemuda itu mempunyai darah bangsawan. Namun ia tidak tinggal di lingkungan
Istana Kediri karena ayahnya sudah memutuskan tidak hidup dalam lingkungan
istana dan menjadi bagian dari rakyat biasa," Mahisa Branjang menjelaskan.
Nyai Ken Widati dibelit rasa ingin tahu.
"Bagaimana wajahnya" Apa pemuda itu cukup tampan, bagaimana pula dengan
watak dan perilakunya apakah ia sesuai untuk anakmu, lalu di mana pula ia
tinggal?" desak Nyai Ken Widati seperti mewakili kegelisahan anak gadisnya.
Mahisa Branjang hanya tersenyum.
"Aku mencintai anakmu Nyai, sebagaimana kau menginginkan anakmu kelak akan
hidup bahagia bersama seorang suami yang baik. Aku tentu tidak akan
menjerumuskan anakmu. Percayalah Nyai. Pilihanku ini pilihan terbaik untuknya."
Nyai Mahisa Branjang melangkah lebih dekat sambil membetulkan ikat kepala
suaminya yang terlihat kurang serasi. Nyai Mahisa Branjang juga mengancingkan
benik yang terbuka. "Akan tetapi seyogyanya, kauberitahu Rahastri siapa namanya, di mana ia tinggal.
Anakmu mempunyai hak untuk mengetahui"
"Baiklah, aku akan beritahu," jawab Mahisa Branjang.
Tanpa prasangka apa pun Mahisa Branjang memberitahu Ken Rahastri siapa nama
calon suaminya. Ken Rahastri mampu menutupi semua isi hatinya dengan rapat.
Semua pertanyaan yang diajukannya seolah pertanyaan yang wajar saja. Mahisa Branjang
sama sekali tidak pernah menduga apa yang akan dilakukan Rahastri setelah ia
mengetahui semuanya. Ken Rahastri segera menata rencana dan berkemas. Tanpa setahu siapa
pun gadis itu telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, tengah malam nanti
ketika semua orang sedang terlena Ken Rahastri akan melaksanakan rencananya, minggat.
Mahisa Branjang sama sekali tidak sempat memerhatikan pergolakan yang terjadi
dalam jiwa anak gadisnya. Mahisa Branjang lebih tersita perhatiannya pada persoalan
yang dihadapi Ki Ajar Kembang Ayun.
"Ki Ajar akan pergi?" tanya Nyai Mahisa Branjang.
Branjang mengangguk. "Malam nanti Ki Ajar akan memulai perjalanan jauh pergi
ke sebuah tempat yang disebut Air Terjun Seribu Angsa."
Nyai Mahisa Branjang merasa baru pertama kali mendengar nama itu.
"Di mana tempat itu?" tanya Nyai Mahisa Branjang di antara rasa herannya.
Mahisa Branjang menggeleng agak lunglai.
"Aku belum pernah ke sana. Dan aku semula mengira tempat semacam itu hanya
ada di dalam dongeng-dongeng saja tetapi ayah menyebut tempat itu di kaki
Kampud. " Nyai Ken Widati sulit menerima penjelasan itu. Di mata Ken Widati, Ki Ajar
Kembang Ayun adalah seorang mertua yang penuh rasa welas dan asih, banyak
dicintai orang banyak dan sudah amat tua. Mengapa Ki Ajar yang sakit-sakitan itu akan
pergi jauh di masa tua" Bukankah sebaiknya saat seseorang bertubuh renta seyogyanya
tidak pergi ke mana-mana cukuplah berada di rumah saja"
"Untuk keperluan apakah Ki Ajar harus pergi ke Air Terjun Seribu Angsa?" tanya
Nyai Mahisa Branjang. "Apa Ki Ajar harus pergi ke sana sendiri" Mengapa urusan
Ki Ajar tidak diwakilkan saja karena bukankah ada paman Ageng Pratonggopati bahkan
juga ada kakang Branjang sendiri?"
Hal itu pula yang pernah diusulkan oleh Mahisa Branjang kepada Ki Ajar Kembang
Ayun. Akan tetapi Ki Ajar telah berketetapan pada keputusannya untuk berangkat
tanpa 157 mengajak siapa pun. Persoalan yang harus dihadapinya di tempat keramat bernama
Air Terjun Seribu Angsa itu harus diselesaikan sendiri, lebih dari itu memang tak
mungkin ada orang lain yang mampu menunaikan kewajiban membacakan mantra-mantra
pembuka pintu gerbang air terjun seribu angsa.
"Aku sudah mengatakan seperti apa yang kaukatakan itu Nyai, namun persoalan
yang dihadapi Ki Ajar Kembang Ayun tidak mungkin diwakilkan. Beberapa purnama
lagi di tempat itu berkumpul para orang sakti dari berbagai perguruan untuk
sebuah keperluan. Entah keperluan apa ayah tidak menjelaskan."
Nyai Mahisa Branjang menatap wajah suaminya dengan tatapan lekat dan sulit
menerima. "Apakah kau tidak mencemaskan Ki Ajar, kakang?"
Pertanyaan itu memang sulit dijawab. Jika saja Ki Ajar mau ditemani tentu Mahisa
Branjang dengan senang hati akan pergi mengawal Ki Ajar Kembang Ayun sekalian
mencari tahu ada apa di tempat yang kedengarannya sangar dan menakutkan itu.
"Menurutmu, aku harus bagaimana?" tanya Mahisa Branjang meminta pendapat
isterinya. Nyai Mahisa Branjang menatap suaminya dengan bersungguh-sungguh.
"Kau tak bisa membiarkan Ki Ajar itu pergi sendiri. Entah bagaimana caranya
harus ada orang yang menyertainya. Bahkan mungkin kakang sendiri."
"Ki Ajar bersikeras tidak mau ditemani," jawab Mahisa Branjang.
Nyai Ken Widati tetap tidak berkedip.
"Kakang harus memaksanya. kakang bisa memaksakan berbagai alasan untuk bisa
mengawal Ki Ajar. kakang akan berdosa besar kalau sampai terjadi sesuatu menimpa
Ki Ajar, apalagi Ki Ajar sudah tua. Meski Ki Ajar menguasai ilmu kanuragan yang
amat tinggi namun tetap tidak bisa melawan kodratnya sebagai manusia. Apabila
sakit Ki Ajar batuk-batuk pula, bahkan beberapa hari yang lalu napasnya
terganggu. Bertanyalah pada dirimu kakang Branjang, apakah kautega membiarkan Ki
Ajar dengan keadaan seperti itu
menempuh perjalanan sendiri?"
Sulit untuk membantah kebenaran ucapan isterinya. Mahisa Branjang yang duduk
di bibir pembaringan itu segera bangkit. Tiba-tiba saja telah diperolehnya
keputusan yang tidak perlu diragukan lagi.
"Kaubenar Nyai. Apa pun alasan ayah Ki Ajar Kembang Ayun untuk tidak mau
ditemani aku tak perlu mempedulikannya. Aku akan menemani. Kalau begitu siapkan
perbekalan dan apa pun yang akan kubawa."
Nyai Mahisa Branjang tersenyum membenarkan keputusan suaminya. Menjelang
sore pimpinan perguruan Badran Arus itu telah siap untuk berangkat akan tetapi
Mahisa Branjang kaget ketika akan berpamitan kepada anak gadisnya Ken Rahastri
sudah tidak ada. Seluruh siswa perguruan diperintahkan untuk mencari, namun yang dicari
tidak ada. Mahisa Branjang menjadi gelisah membayangkan ulah apa lagi yang dilakukan
Rahastri itu. Keterangan baru diperoleh dari salah seorang siswa.
"Maafkan Aku Kyai. Aku sudah berusaha mencegah namun Aku tidak berhasil,"
siswa perguruan itu memberikan keterangan dengan wajah ditekuk karena takut.
"Jadi kautahu, ke mana Rahastri pergi?"
Siswa itu mengangguk. "Ke mana?" desak Nyai Mahisa Branjang yang cemas.
158 "Katanya, akan pergi mencari calon suaminya," jawabnya dengan suara yang lirih.
Branjang dan isterinya kaget. Keduanya saling pandang. Kegelisahan serentak
menguasai isi rongga dada suami isteri itu.
Meki berusaha menenangkan diri namun Nyai Ken Widati tetap saja tidak bisa
menguasai kegelisahannya. Kecemasannya sebagai seorang ibu tetap saja bergolak.
Sebab bagaimanapun melepas perjalanan seorang gadis yang belum punya pengalaman
sangat berbahaya. Apalagi seandainya Ken Rahastri nantinya bertemu dengan orang-
orang yang bisa berbuat jahat kepadanya. Kecantikan gadis itu justru bisa
menjadi sumber bencana, bisa mengundang lelaki-lelaki hidung belang untuk mengganggunya.
Dengan tatapan mata sangat kecewa Mahisa Branjang memandangi wajah murid
perguruannya itu. Mahisa Branjang sangat menyesalkan mengapa kepergian anaknya
tidak segera dilaporkan kepadanya.
"Bagaimana?" Nyai Mahisa Branjang bertanya dengan segenap kecemasannya.
"Aku akan menyusulnya. Semoga saja aku berhasil."
Branjang kebingungan memikirkan harus mengejar anaknya di satu pihak serta
mencemaskan perjalanan ayahnya di pihak lain. Mahisa Branjang benar-benar sangat
menyesalkan sikap muridnya itu yang tak mau memberitahu kepergian anak gadisnya
sejak dari awal. Mahisa Branjang yang gelisah itu mondar-mandir. Wajahnya benar-
benar ditekuk. Beberapa orang siswa perguruan segera disebar untuk menyusul Ken
Rahastri. Namun Branjang telah membayangkan para siswanya itu tidak akan bisa menyusul
anak gadisnya karena Rahastri membawa kuda yang paling baik yang dimiliki oleh
perguruan Badran Arus itu. Di samping itu, waktu yang dipergunakan Rahastri untuk
berangkat sudah cukup lama, sore pun akan segera digantikan datangnya malam. Keadaan yang
demikian akan tambah menyulitkan pengejaran.
Mahisa Branjang mondar-mandir.
"Berbuatlah sesuatu kakang, jangan hanya mondar-mandir saja seperti itu."
"Apa boleh buat," jawab Branjang.
Nyai Mahisa Branjang tentu saja sulit menerima.
"Apa boleh buat bagaimana?" Nyai Mahisa Branjang menodongkan kecemasannya.
"Jika para siswa perguruan yang mengejarnya tidak berhasil membawa anakmu
pulang kembali kita hanya bisa berharap semoga Rahastri bisa melindungi diri
sendiri. Olah kanuragan yang dipelajarinya cukup untuk dipergunakan menghadapi orang yang
bermaksud jahat kepadanya. Apalagi Rahastri menggunakan penyamaran. Tidak akan
ada yang mengira kalau dia wanita."
Nyai Mahisa Branjang cemas.
"Jadi, akan kaubiarkan anakmu?"
"Aku berada di persimpangan jalan yang membingungkan Nyai. Ibarat makan buah
simalakama. Aku juga harus memikirkan Ki Ajar Kembang Ayun. Itu sebabnya aku
berharap sambil menyelam minum air. Aku akan mengawal Ki Ajar sambil melacak
jejaknya. Di samping itu aku tahu ke mana arahnya."
Akhirnya cemas macam apa pun Nyai Mahisa Branjang bisa mengerti. Nyai Mahisa
Branjang menjadi agak tenang bila ingat anak gadisnya itu bukanlah gadis
sembarangan. Dalam olah kanuragan Ken Rahastri juga sering digembleng oleh Eyangnya sehingga
tingkat ilmu kanuragan yang dimilikinya tidak bisa diremehkan. Bahkan dalam
berlatih bersama sering terlihat Ken Rahastri meladeni Parameswara dengan baik.
Nyai Mahisa 159 Branjang akhirnya hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Hyang Widdi atas
keselamatan anak gadis semata wayang itu.
22. Sang waktu merambat sore. Di perguruan Kembang Ayun terjadi kesibukan luar
biasa. Beberapa orang siswa perguruan telah mempersiapkan diri melepas
keberangkatan Ki Ajar Kembang Ayun yang akan menempuh perjalanan menuju ke Air Terjun Seribu
Angsa. Segenap siswa merasa cemas melihat kesehatan Ki Ajar yang tidak begitu
baik akhir-akhir ini namun tetap saja bersikukuh untuk pergi memenuhi janji ke Air
Terjun Seribu Angsa. Semula Ki Ajar tidak ingin ditemani siapa pun, termasuk Mahisa
Branjang tidak diijinkan mengawalnya akan tetapi karena persoalan cucunya
menyebabkan Ki Ajar tak bisa menolak. Para siswa merasa lega melihat Mahisa Branjang akhirnya


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengawal ayahnya. "Pratonggopati," kata Ki Ajar Kembang Ayun.
Ajar Pratonggopati bergegas mendekat.
"Bagaimana kakang?" balas Ki Ajar Pratonggopati.
"Jagalah perguruan ini seperti kau menjaga dirimu sendiri."
Ki Ajar Pratonggopati mengangguk.
"Tetapi itu hanya untuk sementara Ki Ajar. Aku berharap kelak akan menyerahkan
kembali kendali pimpinan perguruan ini kepada Ki Ajar."
Ki Ajar Kembang Ayun mengangguk pendek. Di dalam hati Ki Ajar Kembang
Ayun sendiri sebenarnya muncul sebuah pertanyaan apa masih ada kesempatan
baginya untuk kembali ke Kembang Ayun. Sayang tidak seorang pun yang tahu warna hati
seperti apa yang bersembunyi rapat di dalam hati Ki Ajar itu.
Obor dinyalakan berbaris dari pendapa ke halaman. Suasana benar-benar menjadi
hening ketika Ki Ajar Kembang Ayun berangkat bersama Mahisa Branjang. Di sebuah
sudut dari pendapa itu Dyah Narasari terlihat bergolak jiwanya dan tengah
berusaha sekuat tenaga untuk menenteramkan diri. Dyah Narasari amat gelisah. Banyak hal
yang dicemaskannya. Sepeninggal Ki Ajar Kembang Ayun perguruan tentu saja menjadi
sepi apalagi Parameswara juga telah pergi. Ken Rahastri yang minggat juga membuatnya
gelisah. Jadi apa yang sebaiknya dilakukan" Ketika semua obor kemudian
dipadamkan, Dyah Narasari menyelinap masuk ke dalam bilik pribadinya. Entah apa yang
dikerjakan gadis itu di dalam biliknya hanya ia yang tahu.
Perjalanan Ki Ajar tidak sebagaimana perjalanan yang dilakukan Parameswara atau
Ken Rahastri. Ki Ajar Kembang Ayun memilih berjalan kaki. Menjadi sebuah
perjalanan yang tentu sangat lamban. Mahisa Branjang yang biasa berkuda merasa perjalanan
itu sungguh menjemukan. Namun Mahisa Branjang tentu tidak bisa memaksa Ki Ajar untuk
berkuda. Bulan yang sudah tidak sempurna lagi bulatnya mulai bergayut di langit timur,
memuncratkan cahayanya di sela-sela pepohonan seolah ikut mengiringi ke mana pun
Ki Ajar pergi. Kelelawar beradu jerit dengan kalong suara burung hantu menyayat di
pusat malam belum lagi lolong anjing liar yang terdengar menyalak mewartakan
hantu mulai 160 bermunculan. Ki Ajar Kembang Ayun terus berjalan tanpa berbicara. Mahisa
Branjang menempatkan diri dengan setia mengikuti langkahnya.
23. (Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Sungguh sangat berbeda dengan di Dwarapala, maka keadaan di Kebun Raya yang
terletak di arah timur ruas jalan yang menghubungkan Surabaya Malang itu langit
sangat jernih. Bulan sehari menjelang purnama amat terang melesat menyusup di
antara mega-mega memberi jarak pandang yang amat lapang. Dari ruang jalan itu
ujut gunung Arjuna terlihat sangat jelas, pun demikian juga dengan gemerlap riuh lampu di lembah
kota Surabaya, gemerlap cahaya yang juga disumbangkan oleh kapal-kapal besar kecil
yang berlabuh Tanjung Perak. Riuh gemerlapnya lampu-lampu juga datang dari arah
Gresik dan dari Pulau Madura termasuk dari yang berjarak dekat sekitar Tretes yang
memang gemerlapan seperti namanya. Di balik gemerlap cahayanya, Tretes memang memiliki
geliat yang luar biasa dan menempatkan diri sebagai kota yang tak perlu mati
meski hari menjamah tengah malam.
Pelahan Parra Hiswara membawa mobilnya berbelok memasuki pintu gerbang yang
terbuka. Parra Hiswara yang sering datang ke kompleks taman botani itu dengan
segera merasa heran melihat pintu dalam keadaan terbuka, apalagi pos penjagaan taman
botani itu tampak sepi. Gardu penjagaan tetap menyala terang dan terdengar suara yang
berasal dari sebuah siaran televisi.
Terdapat ratusan jenis pohon yang ditanam di Kebun Raya dan rata-rata memiliki
usia yang sangat panjang, bahkan pepohonan yang besar memiliki umur di atas
seratus tahun dengan batang yang bahkan tak cukup untuk dirangkul tiga atau empat orang
yang saling menyambungkan tangan. Ketika Kebun Raya adalah tempat yang menyenangkan
bagi mereka yang ingin menghibur diri, daun-daunnya yang rimbun dan udaranya
yang sejuk menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai, sebaliknya memberikan rasa
seram di malam hari. Yogi Sutisna tak bisa mencegah bayangan yang muncul, seolah dahan
dan batang-batang kayu itu merupakan otot-otot lengan yang melingkar, seolah
berbagai makhluk mengerikan bersembunyi dan tiba-tiba muncul dari rimbunan dan lebih-
lebih apabila yang muncul itu adalah codot60 berkulit albino karena tidak memiliki
pigmen, codot yang sayapnya mungkin bolong terlobangi bedilnya.
Rimbun pepohonan lebat itu di malam hari menjadi tempat beristirahat bagi
burung- burung yang banyak menghabiskan kegiatan pada siang hari. Burung kuntul tak
terhitung jumlahnya. Apabila siang burung kuntul menjelajah ke segala penjuru
dengan menempuh jarak berkilo-kilo meter maka pada malam harinya mereka pasti kembali. Bagi
burung- burung itu Kebun Raya Purwodadi di arah utara kota Malang itu merupakan tempat
yang paling aman dari segala macam gangguan.
Jelalatan Yogi Sutisna memerhatikan berbagai pepohonan. Ia layak untuk merasa
cemas andaikata kelelawar besar berkulit putih hadir juga di tempat itu.
"Itu mereka," letup Parra Hiswara yang memegang stir.
60 Codot, jawa, kelelawar
161 Di ujung paling timur tampak lampu kendaraan dinyalakan berkedip-kedip sebagai
petunjuk arah bagi Parra Hiswara. Dengan penuh keyakinan ia mengarahkan mobilnya
dan mengurangi kecepatan ketika sudah sangat dekat. Sebelah alis Parra Hiswara
segera mencuat mendapati kenyataan yang tidak seperti dibayangkan, jumlah mereka
yang menunggu kehadirannya tidak seperti yang disampaikan Bara Ywanjara.
Parra Hiswara turun dari mobilnya sementara Yogi Sutisna pilih tetap berada di
dalam mobil dan bahkan beralih tempat duduk di belakang kemudi. Sebagaimana
Parra Hiswara, Yogi Sutisna merasa heran melihat yang menunggu kedatangannya ternyata
hanya dua orang tak sebagaimana diduga ada tujuh orang, apalagi dua orang itu
terdiri dari seorang gadis dan seorang lelaki yang belum dikenalnya, lelaki itu
jelas bukan Anak Agung Budayasa yang langsung bisa ditandai dari perawakan
tubuhnya. Parra Hiswara melangkah mendekati kedua orang itu dan memerhatikan raut wajah
masing-masing. Yogi Sutisna yang disergap rasa takut akhirnya kalah oleh rasa
ingin tahu yang lebih besar. Yogi Sutisna menempatkan diri di belakang sahabatnya
sambil tangan kanannya menenteng bedil berburu yang dianggap bisa menjamin rasa aman
berhadapan dengan bahaya yang bisa menyergap dari arah mana saja. Dengan tidak
berkedip Parra Hiswara memerhatikan wajah gadis di depannya.
Gadis itu memiliki wajah sangat cantik dengan rambut yang sangat panjang nyaris
menyapa lutut. Wajahnya yang bulat berseri-seri diterpa sinar bulan dengan mata
yang indah gemerlap, senyum yang mekar di sudut bibirnya menyebabkan Parra Hiswara
merasa ada sesuatu yang aneh. Senyum itu kelewat ramah, atau berbau nafsu.
"Aku pernah bertemu dengan gadis ini tetapi aku lupa di mana," kata Parra
Hiswara dalam hati. Parra memusatkan perhatian untuk mengenang siapa pemilik rambut panjang dan
memiliki wajah cantik itu akan tetapi otaknya buntu. Namun tidak hanya Parra
Hiswara yang penasaran merasa pernah bertemu demikian juga dengan Yogi Sutisna yang
merasa pernah menandai wajah itu diberitakan di media. Namun Yogi Sutisna menempatkan
diri untuk mengikuti pembicaraan yang akan terjadi. Suara melengking dari atas pohon
memaksa Yogi Sutisna menyempatkan menoleh.
Parra Hiswara memberikan perhatiannya pada laki-laki yang berdiri bersebelahan
dengan gadis cantik pemilik rambut panjang itu.
"Apakah kau Budayasa?" tanya Parra Hiswara.
Orang yang ditanya tersenyum.
"Aku bisa memakai nama siapa saja," jawab orang itu.
Sebuah jawaban yang langsung dirasakan sebagai jawaban yang aneh. Akan tetapi
baik Parra Hiswara dan Yogi Sutisna memiliki ingatan yang baik atas warna suara
yang agak serak parau itu. "Mmm, kau yang tadi menjemput kami di Dwarapala?" ucap Parra Hiswara dengan
suara datar. "Tadi kau menggunakan nama Bara Ywanjara!"
Yogi Sutisna melangkah mendekat dan menempatkan diri di sebelah kiri temannya.
Dengan lebih jelas Yogi Sutisna memerhatikan wajah gadis di depannya dan merasa
amat yakin pernah melihat wajah itu di tayangan sebuah acara televisi.
"Langsung saja," lanjut Parra Hiswara, "apa benar kalian punya keterangan yang
aku butuhkan" Kalian tahu di mana istriku" Apakah kalian bagian dari orang-orang
yang melakukan penculikan itu?"
162 Gadis cantik berambut panjang itu semakin mengumbar senyum bahkan berkesan
sangat menggoda. Yogi Sutisna segera mengerutkan kening melihat gadis itu
membasahi bibir dengan menggerakkan lidahnya melintas disusul tatapan mata yang ditajamkan
yang masih disusul kerling genit sangat menggoda. Kalau itu godaan untuk
mengkili-kili birahi sungguh terasa sangat kasar yang hanya layak dilakukan
perempuan penggoda. Parra
Hiswara penasaran mengapa gadis cantik itu harus melakukan itu"
"Tidak ingin tahu namaku?" tanya gadis itu.
Parra Hiswara tak segera menjawab pertanyaan itu dan pilih menunggu.
"Panggil aku Kenya," lanjut gadis itu. "Itu kependekan dari nama lengkapku Ken
Katri Kenyatri." Parra Hiswara mengangguk.
"Apa pun namamu," jawab Parra Hiswara, "sebagaimana temanmu yang mengaku
bernama Bara Ywanjara yang rupanya nama palsu itu, kau bisa menggunakan nama apa
pun." Jawaban Parra Hiswara itu menyebabkan Ken Katri Kenyatri tertawa geli. Di
sebelah Parra Hiswara Yogi Sutisna berusaha sekeras tenaga mengingat siapa
pemilik rambut panjang terurai sampai betis itu.
"Yang penting buatku," lanjut Parra Hiswara, "aku sedang sangat membutuhkan
keterangan keberadaan istriku. Kalau kalian tahu cepat katakan, sebaliknya kalau
kalian tidak tahu, aku merasa aneh mengapa pertemuan ini harus diadakan melalui
cara yang yang sulit diterima ini."
Hening mengalir karena Ken Katri Kenyatri tak segera menjawab. Yang ia lakukan
justru mempermainkan rambut panjangnya. Rambut diikat ekor kuda itu dipindahkan ke
depan dan dielus-elus. Melihat sikap itu Yogi Sutisna kian penasaran. Akan
tetapi Yogi Sutisna bergegas terlonjak ketika akhirnya berhasil mengingat secara
lengkap siapa sosok di depannya itu dan oleh alasan apa ia muncul di acara
televisi dan dimuat beritanya di koran. "Dulu rambutku panjang sekali, sekarang
aku potong dan inilah sisanya," ucapnya mengutarakan persoalan yang membelok.
Namun ucapan gadis itu menyebabkan Parra Hiswara tertegun sebagaimana Yogi
Sutisna ingat secara utuh siapa gadis itu.
"Mm, kau rupanya," ucap Parra Hiswara pendek. "Sungguh aneh kalau kau adalah
bagian dari orang-orang yang melakukan penculikan anakku itu."
Utuh dan penuh ingatan Parra Hiswara terhadap gadis itu yang dinobatkan sebagai
pemilik rambut terpanjang dan indah oleh sebuah lembaga pencatatan record serba
'ter' itu. Karena kegiatan itulah beberapa bulan sebelumnya gadis itu gencar
memperoleh liputan. Sekarang Parra Hiswara mencatat perubahan yang mencolok pada sikap
gadis itu yang berkesan murahan.
"Benarkah dugaanku itu?" tanya Parra Hiswara.
Pertanyaan itu dijawab dengan senyum dan kerling mata. Parra Hiswara melangkah
mundur karena gadis itu mendekat pada jarak amat dekat dan bahkan berniat
menyentuh dadanya. "Aku memang memiliki keterangan terkait istrimu," ucap Ken Katri Kenyatri,
"akan tetapi aku perlu imbalan sebagai penukar keterangan yang kau butuhkan."
Jawaban itu menyebabkan mulut Parra Hiswara terbungkam. Jika yang imbalan
yang dimaksud gadis yang akhirnya ia yakini merupakan bagian dari para penculik
itu 163 adalah sejumlah uang, ia sama sekali tidak memilikinya. Penculikan itu sungguh
salah alamat bila bermotif uang, seharusnya yang menjadi korbannya adalah orang yang
kaya raya, milyarder yang bergelimang uang, atau para koruptor, bukan dirinya yang
tidak punya apa-apa. "Bukan uang," lanjut gadis itu serasa bisa menebak apa yang ada di benaknya.
Yogi Sutisna menyimak pembicaraan itu dengan penuh minat.
"Imbalan apa yang harus kuberikan padamu?" tanya Parra Hiswara.
Gadis itu melangkah lebih mendekat lagi sambil menengadah memerhatikan bulan
yang menyemburatkan cahayanya di antara riuhnya dedaunan. Entah apa alasan gadis
pemilik rambut panjang itu tiba-tiba tersenyum.
"Hari ini adalah sehari menjelang purnama," kata gadis itu, "ketika purnama
bulat sempurna itu besok datang, maka cahayanya akan menjadi sumber keindahan yang
tiada tara. Besok kau akan mengetahuinya."
Parra Hiswara segera mengerutkan kening, ia sama sekali tidak memahami apa
maksud gadis itu. "Apa yang besok akan aku ketahui?" tanya Parra Hiswara.
Pertanyaan itu malah menyebabkan Ken Katri Kenyatri tertawa, tak hanya gadis itu
yang tertawa, lelaki di sebelahnya juga tertawa seolah ada sesuatu yang lucu dan
menggelikan yang layak ditertawakan.
"Untuk keindahan macam apa yang akan kau lihat besok dan di tiap bulan purnama
selanjutnya, bersabarlah sejenak, ketika saatnya tiba besok kau akan
mengetahuinya." Parra Hiswara mengerutkan kening sebagai tanda penasarannya. Akan tetapi suami
Mahdasari itu tidak mau membicarakan sesuatu yang tidak ada ujung pangkalnya.
"Imbalan apa yang kau inginkan untuk keterangan yang aku butuhkan itu?" tanya
Parra Hiswara mengembalikan arah pembicaraan ke seharusnya.
Ken Katri Kenyatri tersenyum.
"Beri aku anak!" jawabnya.
Parra Hiswara terhenyak. Jawaban itu juga menyebabkan Yogi Sutisna bingung dan
nyaris merasa salah dengar. Akan tetapi apa yang disampaikan gadis bernama Ken


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katri Kenyatri itu sangat jelas dan tak perlu diulang.
Hening yang mengalir adalah dalam rangka memberi kesempatan kepada Parra
Hiswara untuk mengunyah permintaan yang dirasakan amat aneh itu.
"Untuk apa anak?" tanya Parra Hiswara dengan perasaan tidak nyaman. "Aku tidak
mungkin menculik anak orang."
Jawaban itu memancing Ken Katri Kenyatri tertawa.
"Bukan itu maksudku," jawabnya, "aku ingin benih darimu. Hamili aku."
Parra Hiswara terlonjak dan baru saja merasa tangannya menyentuh kabel yang
terkelupas padahal ada aliran listriknya. Yogi Sutisna terhenyak bingung. Oleh
alasan yang tidak bisa ia pahami Yogi Sutisna merasa kulit punggungnya bagai
dirayapi oleh ribuan ekor semut. "Betapa beruntungnya Parra Hiswara," ucap Yogi Sutisna dalam hati.
Sungguh itulah sebuah permintaan yang paling tidak masuk akal dan sulit untuk
dimengerti meski para lelaki sejagad ini akan dengan mudah memenuhinya. Sikap
Parra Hiswara terlihat janggal ketika gadis bernama Ken Katri Kenyatri itu mendekat
dan mengelus dadanya. "Pejamkan matamu," bisik gadis itu.
164 Parra Hiswara bingung. "Kenapa" Untuk apa?"
Parra Hiswara melangkah mundur, namun gadis cantik berambut panjang itu tetap
berusaha menyentuhnya. "Ikuti saja petunjukku, pejamkan matamu," katanya.
Parra Hiswara bagai seekor kerbau yang telah dicocok hidungnya tidak berkutik
dan tidak bisa menolak permintaan gadis cantik itu. Parra Hiswara memejamkan mata.
Ia mengira Ken Katri Kenyatri akan menunjukkan sesuatu ketika ia membuka mata. Akan
tetapi Parra Hiswara layak untuk terperanjat karena ketika dengan memejam mata
itu ia melihat sesuatu. Bergegas Parra Hiswara membuka mata dan sontak napasnya
tersengal. Mata suami Mahdasari terbelalak dan nyaris lepas dari kelopaknya.
Di depannya Ken Katri Kenyatri tersenyum.
"Apa yang terjadi pada istriku?" tanya Parra Hiswara dengan suara amat bergetar.
Ken Katri kenyatri tertawa.
"Seperti apa yang kau lihat," jawab Ken Katri.
Parra Hiswara mengalami kesulitan menenangkan diri. Yogi Sutisna yang menjauh
bingung. Ia tidak tahu mengapa Parra Hiswara mengalami kepanikan setelah memejam
mata. Melihat sesuatu apakah Parra Hiswara dalam memejam mata itu"
"Aku akan membantu menunjukkan dan mencarikan cara menolong istrimu akan
tetapi dengan imbalan yang harus kau penuhi, hamili aku!"
Gadis berambut panjang itu mungkin gadis yang sudah gila dan tidak punya urat
malu akibat tercecer di jalanan. Ia tidak peduli meski ada pihak ke tiga dan ke
empat yang ikut hadir di tempat itu. Dengan senyum yang sangat menggoda ia
menggerakkan tangan dengan gemulai seperti layaknya orang menari, padahal yang hendak ia
lakukan adalah melepas kancing baju yang dikenakannya.
"Tunggu," ucap Parra Hiswara panik.
Ken Katri Kenyatri tersenyum.
"Kalau tidak kau penuhi keinginanku, istrimu tidak akan tertolong," tegas gadis
itu. Parra Hiswara mendorong gadis di depannya untuk menjauh. Ken Katri Kenyatri
tidak tersinggung dan kembali memberikan senyum yang amat memancing. Adakah
senyum itu berbau mantra-mantra terlihat dari betapa pontang-panting Parra
Hiswara berusaha untuk bertahan dan tidak goyah.
"Tunggu," cegah Parra Hiswara.
Panik Parra Hiswara melihat Ken Katri Kenyatri tidak menghentikan apa yang akan
dilakukannya. "Aku memiliki keterangan di mana istrimu berada dan bagaimana cara yang bisa
dilakukan untuk menyelamatkannya, imbalannya, nodai aku. Aku masih gadis, yang
aku rawat kegadisanku untuk menunggu saat ini tiba."
Parra Hiswara bingung, panik dan benar-benar bingung.
"Mengapa?" tanya Parra Hiswara.
Ken Katri Kenyatri benar-benar telah gila dengan gagasannya. Ia tidak peduli
meski di tempat itu hadir Yogi Sutisna. Ken Katri Kenyatri menoleh dan mengerling.
Yogi Sutisna yang terhantam liring netra61.
"Kau ingin menyaksikan apa yang akan kami lakukan?" tanya Ken Katri Kenyatri.
"Boleh saja tetapi aku tak akan berbagi apa pun dengammu."
61 Liring netra, jawa, lirikan mata
165 Lirikan yang diberikan gadis itu menyebabkan Yogi Sutisna bingung. Tentu tidak
pantas menonton seorang lelaki dan perempuan melakukan hubungan yang amat
pribadi. Pertanyaan itu rupanya memiliki pengaruh yang amat kuat yang mendorong Yogi
Sutisna berniat meninggalkan tempat itu.
"Yogi, jangan pergi," cegah Parra Hiswara, "kau tetap di sini."
Ken Katri Kenyatri tertawa terkekeh. Dengan tanpa keraguan ia berniat
melanjutkan apa yang diinginkan. "Hentikan perbuatanmu," kata Parra Hiswara.
Namun Ken Katri Kenyatri tidak menghentikan niatnya.
"Hanya inilah cara yang bisa kau tempuh untuk bisa bertemu dengan anak istrimu,"
kata Ken Katri Kenyatri dengan tegas, "jika tidak kau penuhi, gambaran seperti
yang tadi kau lihat benar-benar akan terjadi. Kau tidak perlu menimbang
berulang-ulang." Mungkin tahu diri untuk sebaiknya tidak menyaksikan perbuatan yang tidak layak
untuk ditonton lelaki yang menemani Ken Katri Kenyatri melangkah menjauh
meninggalkan tempat itu. Naluri dan akal waras Yogi Sutisna menggiringnya
melakukan hal yang sama namun Parra Hiswara memegang lengannya.
"Jangan pergi," kata Parra Hiswara.
Namun Yogi Sutisna memiliki kekuatan yang cukup untuk mengibaskan tangan
sahabatnya. Yogi Sutisna berlari ke mobil yang diparkir dan menyalakan mesinnya.
Amat gugup Yogi Sutisna ketika membawa kendaraannya meninggalkan tempat itu.
Yogi Sutisna merasa telah mengambil langkah yang benar. Sungguh tidak pantas ia
menjadi saksi perbuatan aneh yang bakal terjadi.
Maka Parra Hiswara hanya tinggal berdua.
"Aku mencintaimu," bisik Ken Katri Kenyatri.
Parra Hiswara bergeming. "Aku tetap tidak mengerti," ucapnya dengan gelisah.
Gadis cantik itu melakukan sesuatu yang menyebabkan Parra Hiswara mengalami
kesulitan melawan. Parra Hiswara panik ketika perempuan itu menuntun tangannya
mengenali lekuk tubuhnya.
"Takdir," jawab gadis di depannya.
Di langit bulan menerangi jagad raya dan memberi terang untuk semua yang berada
di balik bayang-bayang. Angin yang berembus lembut menggoyang dedaunan semakin
lama semakin deras menyebabkan dedaunan yang lunglai menguning berguguran jatuh
dari tangkainya. Sepasang burung hantu di atas dahan bertengger berhimpitan
nampak amat prihatin. "Tak ada yang bisa mencegah," kata burung hantu jantan.
Burung hanti betina bergeser lebih mendekat ke pasangannya.
"Ya," jawabnya, "amat disayangkan perbuatan mereka."
Burung hantu itu tak hanya memerhatikan ulah Parra Hiswara dalam melayani
gelegak nafsu gadis gila yang mengkili-kili sisi kejantanannya. Burung hantu
yang memiliki mata tajam itu juga melihat apa yang dilakukan lelaki yang semula
menemani gadis itu. Lelaki itu, yang ketika di Dwarapala memperkenalkan diri dengan nama
Bara Ywanjara tiba-tiba menggeliat berputar membubung ke udara.
Berubah ujut orang itu, selanjutnya berpenampilan codot raksasa.
166 24. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Pada saat yang sama namun telah jauh meninggalkan Gunung Raung, Parameswara
Sepasang Iblis Betina 2 Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Kematian Kedua 3
^