Pencarian

Ching Ching 4

Ching Ching Karya ??? Bagian 4


menjejakkan kaki di tanah Tiong-goan. Ia berterima kasih pada saudagar pemilik
kapal itu, sekalian berpamit. Setelah itu, ia pergi untuk mencari A-thianya.
Ching-ching berjalan sendirian. Ia memperhatikan orang-orang yang lewat dan yang
berjualan. Tapi, sebenarnya justru dialah yang diperhatikan. Setiap orang yang
berpapasan karena dandanannya yang tidak lazim. Tentu saja, saat itu Ching-ching
masih mengenakan pakaian negeri Sha Ie. Apalagi ia berjalan sendirian tanpa
seorang pun menemani. Ching-ching bukannya tak menyadari. Ia pun risih menjadi tontonan orang.
Karenanya, ketika ia lewat di sebuah desa, ia memasang mata mencari gadis kecil
yang perawakannya sama. Ia tak usah jauh-jauh mencari. Malah anak-anak itu yang menghampirinya,
memandangi dengan mata menunjukkan rasa ingin tahu. Ada yang besar, ada yang
Ching Ching 101 kecil, laki-perempuan. Kebetulan, tak sedikit anak perempuan yang sebaya
dengannya. "Hai," katanya mulai berbicara dalam bahasa Han yang fasih. "Aku butuh ...."
Ching-ching tak bisa bicara lagi. Anak-anak itu sudah berseru-seru menyatakan
keheranan pada anak asing yang pandai bercakap-cakap dalam bahasa ibu mereka
ini. Mereka bahkan juga memegang-megang bajunya. Ching-ching diam saja menunggu
mereka puas dan bosa sendiri. Belum lagi hal itu terjadi, terdengar suara keplak
kuda dan tahu-tahu anak-anak itu sudah pada kabur semua!
Ching-ching cepat mengejar seorang anak perempuan yang seperawakan dengannya,
yang buru-buru lari dan bersembunyi di balik sebuah rumah dengan begitu
ketakutan. Ching-ching ikut mundur, mepet ke dinding, dan berdiri diam-diam di
sana. Didengarnya suara orang berlari danb erteriak. Terdengar juga suara orang
mengaduh kesakitan. Tahu-tahu Ching-ching mencium bau yang menyengat hidung. Ia
menoleh ke si anak perempuan di sebelah.t ernyata anak itu telah
terkencing-kencing saking takutnya!
Ching-ching diam saja. Ia hendak menggerakkan badannya untuk melongok, ketika
tangannya ditarik. Anak di sebelahnya menempelkan telunjuk di bibir sambil
menggeleng-geleng. Terpaksa Ching-ching diam lagi.
Rasanya lama sekali sebelum terdengar suara derap kuda yang pergi menjauh. Dan
Ching-ching mendengar anak di sebelahnya jatuh terduduk dan menangis
tersedu-sedu. Ching-ching tak tahu apa yang harus dilakukan. Jadi, ia berjongkok
dan mengelus-elus pundak gadis cilik itu untuk menenangkan. Ketika tangisnya
mereda, barulah Ching-ching bertanya, "Kenapa kau lari barusan"
Gadis itu mengangkat kepala dengan heran. "Kau sendiri kenapa lari?"
"Tidak tahu. Kulihat kalian lari, jadi aku ikut lari saja."
"Aku lupa, kau bukan orang desa kami. Kau pasti anak saudagar asing yang kaya
raya," kata gadis itu sambil memandang iri ke baju Ching-ching. "Tadi itu orang-
orang perkumpulan besar di daerah barat. Namanya perkumpulan Hek-san-coa (Ular
gunung hitam), kalau tidak salah. Mereka sering lewat desa ini. Dan setiap kali
lewat sekalian merampok dan menculik orang."
Ching-ching terperanjat. Nama itu mengingatkannya pada Hek-coa-kui-bo (Nenek
iblis ular hitam), pembunuh ibu angkatnya. Barangkali ada hubungan! Barangkali
ia dapat mencari A-thianya!
"Bajumu bagus," kata anak perempuannya sambil berdiri. "Harganya pasti mahal."
Kata-katanya mengingatkan Ching-ching akan tujuannya semula. Langsung ia
berkata, "Kalau kau suka, kau boleh ambil."
Anak itu cekikikan. "Lalu kau pakai apa?"
"Tukar saja dengan bajumu itu."
Bocah itu memandang ke baju Ching-ching. Lalu ke bajunya sendiri. Tiba-tiba
wajahnya merah, melihat celana yang basah. "Bajumu bagus," katanya berdalih.
"Bajuku jelek, bertambalan, dan ... kotor." Wajah anak itu semu lagi.
"Kalau begitu, aku tak memaksa," kata Ching-ching. Ia juga tak mau pakai celana
basah ke mana-mana. "Tunggu! Aku masih punya baju bersih di rumah," kata anak itu, yang kelihatannya
betul-betul menginginkan baju yang dipakai Ching-ching. "Ayo ke rumahku. Kau
bisa sekalian pakai di sana."
Ching-ching mengangguk setuju.
Anak itu langsung memakai baju Ching-ching begitu dilepaskan. Dandanannya jadi
aneh. Sebatas kepala ke leher, ia tampak sebagai gadis desa biasa. Apalagi Ching
Ching 102 dengan rambutnya yang digelung kiri-kanan. Sebatas leher ke pergelangan kaki
seperti anak saudagar asing. Selebihnya kembali seperti anak desa dengan sepatu
yang sederhana, walaupun belum terlalu butut. Dan Ching-ching justru sebaliknya.
"Bagaimana kalau tukar sepatu sekalian?" tanya Ching-ching, dan langsung
diiyakan. Ching-ching juga mengganti tatanan rambutnya. Ia mencopot semua jepitan rambut
dan tusuk kondenya yang terbuat dari emas dan berlian. Dibungkusnya dalam
saputangan bersama-sama dengan pek-giok dari ibu angkatnya, yang dimasukkan ke
dalam saku. Ia meniru model rambut anak desa. Nah, sekarang tak dapat ia
dibedakan dari anak desa biasa, kecuali bahwa ia lebih bersih daripada yang
lain. Ching-ching meraih suling bambu wanginya. Sekarang ia siap pergi.
Tahu-tahu ia ingat sesuatu.
"Kau punya makanan?" tanyanya.
"Tidak. Biasanya ibuku membawa makanan tiap sore dari ..."
Ching-ching tidak dengar lagi. Ia sudah membalikkan badan. Ada satu arah yang
dituju. Hek-san! Beberapa hari Ching-ching berjalan, ia mulai bingung.s etiap orang yang ditanyai
tentang tempat yang dituju cuma bisa menggeleng saja. Sepertinya belum pernah
mendengar tempat yang namanya Hek-san (Gunung Hitam). Bahkan perkumpulan
Hek-san-coa pun rupanya tak ada yang tahu. Ching-ching jadi ragu. Apakah waktu
itu dia yang salah dengar, atau orang yang salah bicara"
Tapi Ching-ching masih berharap. Selama ini ia hanya melewati dusun-dusun kecil
saja. Kini ia akan mencari jalan lewat kota-kota besar. Barangkali mereka di
sana ada yang tahu. Ini adalah kota pertama yang ia masuki di daratan Tiong-goan. Tidak tahu
seberapa besarnya, tapi cukup ramai. Mudah-mudahan saja orang-orang Hek-san-coa
sering mampir ke kota ini. Sambil berjalan, Ching-ching memasang mata dan
telinga. Syukur kalau mendengar sesuatu. Sayangnya, sampai tengah hari, ia tak
mendapat sesuatu berita. Ching-ching sampai di depan sebuah rumah besar. Di sana ramai sekali. Banyak
orang datang membawa kado. Kelihatannya mereka semua orang terpandang.
Ching-ching melihat papan nama yang besar di sana.
Peng-an-piauw-kiok (Perusahaan Ekspedisi Selamat)
Heh, barangkali ada yang kawinan. Ching-ching tak peduli. Kemudian ia berpikir
lagi. Orang-orang ekspedisi biasanya sering pergi ke mana-mana. Barangkali ia
dapat menanyakan tempat yang ia tuju. Tapi, bagaimana" Ia tak mungkin
menyelonong masuk dan bertanya begitu saja.
Ching-ching mengitari rumah itu. Ia sampai ke belakang rumah. Di sana terdapat
pintu untuk keluar-masuk pelayan. Di pintu itu berdiri seorang perempuan
setengah baya yang tampak agak bingung. Ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian,
sudah keluar lagi, memandang ke ujung jalan. Lalu masuk lagi.
Ching-ching memandangi dengan heran, tapi kemudian ia tak peduli dan duduk
bersila di tanah. Ia berpikir-pikir jalan mencari A-thia-nya.
Fung Ma, pelayan keluarga piaw-kiok Kwan memandangi bocah kecil yang duduk
termenung-menung itu. Ia mengira-ngira, dapatkah bocah ini dipercaya. Ah,
barangkali baiknya ia tunggu dulu A-ho barang sebentar. Sian-thong satu itu
memang dungu bukan main. Disuruh beli garam saja lama betul. Barangkali tersesat
di jalan. Entah kenapa, Kwan Piaw-su masih suka mempekerjakan dia. Tapi, si
Dungu itu memang bertenaga besar. Mungkin itu sebabnya.
Ching Ching 103 Beberapa saat menunggu, Fung Ma, tukang masak yang berbadan subur itu, menjadi
kesal. Ingin rasanya ia pergi membeli sendiri garam itu kalau saja kakinya tidak
sakit. Kakinya itu memang segan diajak jalan. Selalu terasa ngilu kalau jalan
jauh-jauh. Pelayan lain sudah punya tugas sendiri yang tak bisa ditinggalkan.
Tapi garam itu sangat perlu untuk membuat sayur. Apa kata tamu-tamu tuannya
nanti kalau makanan hambar tanpa rasa"
Fung Ma memandang anak perempuan yang sedang duduk itu. Kelihatannya bisa
dipercaya. Coba saja. "Siaw-hai-jie (anak kecil)," panggilnya, membuat Ching-ching yang sedang melamun
jadi mendusin. "Mau kau tolongi A-ie sedikit?"
Ching-ching berpikir, Apa salahnya menolong orang sedikit. Siapa tahu nanti bisa
bertanya soal Hek-san. Atau sekalian perkumpulan apa yang ada di sana. Berpikir
begitu, Ching-ching menjawab, "Tolongi apa, A-ie?"
Fung Ma memberikan sekeping uang. "Ini uang. Beli garam di toko di depan sana.
Lekasan, ya." Ching-ching langsung berlari. Toko yang ditunjuk tidak susah dicari. Makanya ia
cepat balik, memberikan garam yang dipesan.
Fung Ma merasa senang. Tadi ia sempat berpikir, bagaimana kalau uang itu dibawa
gadis gembel dekil yang ia suruh. Ternyata bocah itu jujur juga. Fung Ma jadi
tertarik hatinya. Ia melarang ketika Ching-ching hendak duduk lagi di tanah.
"Eh, jangan duduk di situ. Kotor," katanya. Lalu ia memandangi lagi gadis itu.
"Kau sudah makan" Belum" Kalau begitu, ayo ikut. Di dalam banyak makanan
enak-enak. Huh, kau bau. Biar kuganti sekalian bajumu."
Di dalam, setelah Fung Ma pergi ke dapur dan menggarami masakannya, ia mengajak
Ching-ching ke sumur untuk membasuh diri. Setelah mukanya dicuci, Fung Ma dapat
melihat kulit Ching-ching yang putih halus, tidak seperti anak desa yang biasa
terbakar matahari. Tangannya pun halus, tak kasar macamnya anak kampung. Tapi
Fung Ma tidak bertanya. Anak macam begini biasanya berbohong kalau ditanya asal-
usulnya. Ia dulu pun begitu. Hanya saja, ia beruntung diangkat anak oleh tukang
masak keluarga Kwan yang terdahulu, sehingga sekarang hidupnya terjamin.
"Nah, kalau bersih, kau tampak cantik," kata Fung Ma memuji. "Coba kau tinggal
lebih lama. Akan kuurus kau. Mau kau tinggal di sini" Nanti kuajari masak."
Ching-ching menimbang-nimbang. Belum ia memutuskan, seorang kacung berlari
menghampiri. "Fung Ma, mana masakan berikut" Dan sesudah ini, jangan lupa sop ikannya."
"Aduh, aku lupa pada sop ikan itu. Celaka. Gara-gara si A-ho dungu itu!" Fung Ma
menyumpah-nyumpah, lupa pada Ching-ching. Ia bergegas ke dapur. Di belokan, ia
hampir bertabrakan dengan soerang berbadan besar. Karena menghindari tabrakan
itu, Fung Ma terpeleset dan jatuh terduduk. "A-ho sialan!" umpatnya pada orang
yang tadi hendak menabrak. "Kalau jalan, pakai matamu!" Fung Ma bangkit berdiri,
tapi kemudian menjerit dan terjatuh lagi. "Aduh, aduh kakiku!" katanya sambil
mengurut-urut kakinya. "Sakit, sakit. Aku tak dapat berdiri!"
"Celaka!" ujar kacung yang baru datang. "Lalu, bagaimana dengan makanannya?"
"Semuanya sudah siap. Tinggal mengangkatnya dari atas tungku."
Kacung itu lari ke dapur.
"Semuanya gara-gara kau!" kata Fung Ma menuding A-ho. "Kau memang selalu bawa
sial buatku. Lihat, kakiku sakit! Sop ikan belum kubikin, menunggu kau
membawakan garam! Dan nanti, bisa jadi aku dipecat lantaran ...."
Tahu-tahu, orang yang dipanggil A-ho itu menangis! Ching-ching memandangnya
dengan heran. Sudah sebesar itu, diomeli saja menangis"
Ching Ching 104 "Dasar dungu!" Fung Ma mengomel pelan, tapi tak membentak lagi. Ia tak tega
melihat A-ho sesenggukan.
"A-ie, aku bisa masak sedikit-sedikit. Apa aku bisa bantu?" Ching-ching
menawarkan diri. "Kau bisa masak sop ikan" Tidak" Ah, gampang. Begini caranya." Fung Ma
memberitahukan dengan cepat. "Tapi, hati-hati ya. Masaknya jangan kelamaan.
Ikannya nanti hancur." Fung Ma tampak lebih tenang. Ia percaya Ching-ching
pandai memasak. Anak desa biasanya begitu, namun mereka sering merendahkan diri
dengan pura-pura tak sanggup. "Nah, kau masaklah. Masak sop ikan, asal matang
dan bumbunya tepat, akan enak jadinya. A-ho, kau papah aku ke kamar!"
A-ho yang badannya besar itu menurut. Ia malah membopong Fung Ma sekalian. Ia
melihat ke arah Ching-ching beberapa kali. Ketika Ching-ching tersenyum, ia
buru-buru memalingkan muka, menunduk, dan jalan bergegas.
Sesampainya di dapur, Ching-ching mengambil ikan-ikan yang sudah dibersihkan.
Dipotong-potong, lalu direbus dalam panci besar. Uf, banyak sekali ikan-ikan
ini. Apa bisa habis dimakan nanti" Ah, itu bukan urusannya. Sekarang ia harus
memasukkan bumbu-bumbu ke dalam ....
Ching-ching tertegun. Baru disadarinya, ia tak tahu nama-nama bumbu yang ada di
situ. Ia hafal di luar kepala resep dari Fung Ma, tapi bumbu ini yang mana,
sayur itu yang bagaimana, ia tak tahu. Selama ini, ia belajar masak di Negeri
Sha Ie. Semua dalam Bahasa Mongol. Ia tak tahu bagaimana menyebut dalam Bahasa
Han. Belum lagi cara masaknya lain.
"Cepat, cepat," seorang kacung datang. Rupanya yang barusan menemui Fung Ma. Ia
kaget melihat Ching-ching. "Mana Fung Ma" Kok kau yang ada di sini" Oooh, kau
disuruh menggantikan, ya" Apa bisa" Masa bodohlah! Asal kau cepat saja. Sebentar
sop ikan sudah harus keluar." Habis bicara begitu, kacung berumur 17-an itu
pergi. Tinggal Ching-ching bengong sendiri.
Ia tak punya banyak waktu. Dan di sana tak ada orang yang bisa ditanyai. Aneh,
pada ke mana pelayan semua" Barangkali di depan, meladeni tamu. Akhirnya
Ching-ching mengambil keputusan nekad. Ia akan memasak, tapi dengan cara dan
resep Sha Ie. Kalau terpaksa, masukkan saja semua bumbu. Hasilnya bagaimana
nanti. Begitulah ia bekerja. Semua tempat bumbu diambil dan dibaui. Ia dapat mengenali
beberapa bumbu, tapi yang lain .... Biarlah. Paling tidak, ia sudah berusaha.
Dua orang pelayan masuk ke dapur membawa belasan mangkuk. Mereka sama-sama
terkejut ketika melihat Ching-ching.
"Sopnya sudah siap!" kata Ching-ching, yang lantas saja menuangkan sop ke
mangkuk-mangkuk yang dibawa. Dua orang pelayan itu tak bertanya. Mereka sudah
cukup sibuk menjalankan tugas masing-masing. Akhirnya, puluhan mangkuk terisi
semua. Tinggal sisa sop sedikit di dasar panci. Tugas Ching-ching selesai.
Dengan lemas gadis itu duduk di lantai. Rasanya capek sekali, tapi ia senang.
Entah kenapa. Mungkin memasak membuatnya teringat akan Sha Ie, kongkong-nya,
subo-nya, para suci-nya, Chin Yee, dayang-dayang, dan Fei Yung, yang membuatnya
punya alasan meninggalkan negeri itu.
Tak tahu sudah berapa lama Ching-ching melamunkan masa-masa ia di Sha Ie. Ia
dikejutkan seorang pemuda tanggun. Usianya sekitar lima belas tahun. Bajunya
bagus, wajahnya tampan, namun tampak agak dungu ketika ia bengong menatap Ching-
ching. "Kau siapa" Pelayan baru ya" Fung Ma di mana" Aku mau minta tambah sop ikan."
"Sopnya ada di panci. Sini, kuambilkan." Ching-ching menuangkan sisa sop di
Ching Ching 105 panci ke mangkuk yang dibawa anak itu.
"Fung Ma memang jago masak," kata anak itu. "Tapi, baru kali ini ia masak sop
ikan yang begitu lezat. Omong-omong, di mana dia?"
"Dia ada di ..." Ching-ching menangkap suara orang menyelinap di luar. Suara
langkah yang ringan, langkah seorang gadis. Benar saja, gadis itu sekarang
berdiri di pintu. "Chin Wei-ko, lama benar kau pergi. Lekasanlah. Nay-nay (Nyonya) mencarimu."
"Tunggulah, aku mau menghabiskan dulu sop ini."
"Huh, kerjamu tak lain makan melulu."
"Biar, mumpung masih bisa makan," jawab Kwan Chin Wei. Ia makan agak
terburu-buru. Setelah habis, mangkuknya diberikan kepada Ching-ching. Ia
mengelap mulutnya dengan punggung tangan.
"Ih, Chin Wei Ko, kau jorok. Nih, pakai sapu tanganku."
Chin Wei mengambil sapu tangan si gadis sambil melangkah pergi. Gadis itu buru-
buru mengikuti. Ching-ching ikut pergi dari dapur. Ia menuju ke kamar Fung Ma. Ia hendak pamit,
meneruskan perjalanan. Ia menemukan Fung Ma masih mengomel di tempat tidurnya.
A-ho berdiri di sampingnya dengan kepala tertunduk.
"Ha, kau. Bagaimana kerjaanmu" Beres?"
"Sudah beres semua, A-ie. Sekarang aku - "
"Uh, aku lupa. Kau belum ganti baju," Fung Ma tak memberi kesempatan bicara.
"Ayo, tukar, tukar. Ada beberapa baju bekas pelayan-pelayan lain di peti besar
itu. Ambillah satu yang cocok untukmu."
"A-ie, aku ..."
"Sudah, majikanku tak akan tahu. Lagipula, baju-baju itu sudah tak terpakai
lagi. Ayolah, hitung-hitung balas budiku padamu."
Ching-ching tak dapat membantah lagi. Dari peti besar yang ditunjuk Fung Ma, ia


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil satu setel pakaian yang kira-kira cocok untuknya.
"Ayo pakai, pakai," desak Fung Ma. Malu-malu Ching-ching melirik A-ho. Fung Ma
mengerti. Ia lantas membentak kacung yang agak dungu itu. "Mau apa kau di sini
terus" Mau lihat gadis berdandan?"
A-ho menggeleng-geleng. Dengan wajah merah ia keluar dari kamar dengan tak lupa
menutup pintu. Ching-ching menukar pakaiannya yang butut. Sekarang bajunya kelihatan lebih
baik, dan ini berpengaruh pada wajahnya, yang jadi lebih berseri.
"Nah, kalau sudah bersih dan rapi, kau jadi lebih cantik," puji Fung Ma.
"Walaupun modelnya sederhana dan sudah lama disimpan, setidak-tidaknya masih
lebih baik daripada bajumu sendiri. Pada dasarnya, kau memang cantik. Coba kalau
didandani dan diberi pakaian yang baik, orang akan mengira kau anak seorang wan-
gwee (hartawan)." Wajah Ching-ching memerah. Ia risih dipuji terus-terusan. Tahu-tahu ia ingat
tujuannya menemui Fung Ma. "A-ie, aku sudah tak ada urusan lagi di sini. Baiknya
aku pergi saja." "Begitu cepat" Sayang sekali. Padahal, aku mengharapmu menjadi anak angkatku.
Hhh, nasibku jelek. Suamiku mati muda. Dia tak meninggalkan anak untuk
mengurusku di hari tua."
"A-ie, bukannya aku tak suka, tapi ..."
"Ya, ya, aku tahu. Aku bisa memintakan izin pada majikanku kalau ... aduh-aduh!"
Tahu-tahu Fung Ma menjerit, memegangi pinggangnya.
"A-ie, kau kenapa?"
Ching Ching 106 "Aduh, pinggangku. Dasar sudah tua, semua penyakit datang menyerang.
Aduh-duh-duh!" "A-ie, apakah sering begini?"
"Ya, apalagi kalau kecapekan. Sedari pagi, aku kerja tak berhenti. Pesta-pesta
memang selalu bikin repot. Untung cuma dua kali setahun. Pesta ulang tahun Loo
Hujin dan anaknya, Kwan Looya."
"Barangkali encok. Aku pernah belajar sedikit ilmu tabib. Kalau A-ie percaya,
aku bisa menolong." "Ya, ya, daripada aku kesakitan begini."
Ching-ching menggulung lengan bajunya. Ia mengingat-ingat waktu belajar pada
Tabib Yuk dulu. Ia memijit beberapa tempat di punggung Fung Ma sembari
mengalirkan hawa hangat lewat jempolnya itu.
Fung Ma merasakan hawa hangat yang nyaman mengalir lewat punggungnya, terus
menjalar sampai ke pinggangnya yang terasa ngilu. Pelan-pelan rasa ngilu itu
semakin berkurang, berkurang, dan kemudian lenyap. "Wah, hebat. Penyakitku
lenyap," kata Fung Ma gembira. "Tapi sekarang kakiku yang sakit."
Ching-ching menoleh ke kaki Fung Ma yang mulai membengkak, lalu ia mulai
memijiti, mengurut, meluruskan urat yang keseleo.
Saat itu masuklah seorang wanita berusia empat puluhan. Ia melihat ke arah
Ching-ching dan tersenyum. Ching-ching langsung menyukai wanita yang ramah ini.
"Fung Ma," tegur wanita itu, "kucari ke mana-mana, tahunya kau kecapekan dan
sedang istirahat." "Oh, Hujin, sampai repot-repot datang kemari." Fung Ma bangun dibantu
Ching-ching, menghampiri nyonyanya dengan terpincang-pincang.
"Kenapa kakimu?"
"Itu, keseleo tadi gara-gara si dungu A-ho."
"Kalau begitu, baiknya istirahat saja. Aku cuma mau memberikan persenan. Kerjamu
hari ini baik sekali. Semua tamu memuji hidangan kita. Apalagi sop ikan yang
terakhir. Rasanya lezat betul, lebih dari yang biasa kaubuat."
Fung Ma melirik Ching-ching. Ching-ching tersenyum dan diam menunduk.
"Ini siapa?" Kwan Hujin menunjuk.
"Ini kemenakan saya, famili jauh. Ia datang ke kota mencari kerja. Saya masih
butuh pembantu di dapur. Kalau nyonya tidak keberatan ...."
"Ya, ya dia boleh bekerja di sini, asal mau bekerja rajin. Siapa namanya?"
"Eyh, namanya ... namanya A-ying," Fung Ma gelagapan menyebut nama pelayan yang
sudah mati beberapa bulan lalu. "A-ying, ayo haturkan terima kasih kepada
Hujin!" "Terima kasih, Hujin," Ching-ching masih menunduk.
Begitu Kwan Hujin keluar, Fung Ma langsung berujar, "Aduh aku lupa tanya namamu.
Jadinya asal sebut saja. Jangan marah ya."
"Tak apa, aku tak keberatan dipanggil A-ying."
"Baiklah. Kalau begitu, kupanggil kau A-ying saja. Eh, omong-omong, kau pintar
masak ya." "Ah, tidak. Tadi itu kan aku cuma menuruti kata A-ie saja, tidak tahu kalau ada
bumbu yang salah masuk."
"Ah, kau terlalu merendah. Sudah, kau tidur di sini saja sekarang. Besok baru
kukenalkan kepada teman-teman yang lain. Enak tidur ya. Banyak pekerjaan untukmu
besok." Jadilah Ching-ching bekerja di rmah Kwan Piaw-su. Esok paginya ia dikenalkan
pada semua pelayan sebagai famili jauh Fung Ma yang bernama A-ying. Pagi itu
Ching Ching 107 juga ia mulai bekerja. Tugas pertamanya adalah mencuci pakaian di sungai. Untung
saja, waktu di Sha Ie dulu ia sering mendapat tugas begini, jadi
setidak-tidaknya ia sudah tahu harus bagaimana.
Ching-ching bekerja dengan cepat. Kalau kerjanya cepat beres, ia akan sempat
main dulu sebelum pulang ke rumah. Baru saja akan merampungkan cucian terakhir,
telinganya yang terlatih mendengar suara orang berlari mendekat. Barangkali
masih jarak satu li dari tempatnya sekarang. Dari suara langkahnya, orang itu
pasti punya kepandaian bu (silat) walau cuma tingkat rendah. Kalau dari
beratnya, paling-paling yang datang pemudia umur belasan.
Ching-ching menunggu. Benar saja. Tak lama kemudian, kelihatan seorang pemuda
tanggung yang tak lain adalah Kwan Kongcu, anak majikannya. Tapi, Ching-ching
masih mendengar suara langkah yang lain. Langkah kaki-kaki kecil yang menyusul.
Kwan Chin Wei berlari sambil melihat ke belakang. Sepertinya ia ketakutan
dikejar seseorang. Melihat begitu, muncul lagi sifat Ching-ching yang asli.
Sambil berjongkok mencuci, sebelah kakinya dijulurkan ke belakang. Keruan saja
Kwan Chin Wei, yang tidak lihat jalanan, jatuh tersandung. Ia tidak marau waktu
berdiri mengebaskan debu di bajunya. Malah dia sendiri yang minta maaf.
"Maaf, maaf, aku tidak lihat. He, kau pelayan baru yang kemarin kan" Psst ...
nanti kalau Sun Siocia datang bertanya, katakan kau tidak lihat aku ..."
"Wei-ko, kau di mana?" sayup-sayup terdengar suara seorang gadis
memanggil-manggil. "Celaka. Itu dia. Aku mesti sembunyi!" Kwan Chin Wei menghilang di balik
gerombol semak, tepat dengan datangnya Sun Pau, Anak Sun SS, tangan kanan
ayahnya. Gadis itu sebaya Ching-ching kira-kira. Wajahnya cukup manis, bulat dengan pipi
kemerahan. Bibirnya mungil. Sayangnya, dari bibir itu sering keluar makian bagi
para pelayan. Seperti juga saat ini. Begitu melihat Ching-ching yang dikenalinya
sebagai pelayar rumah keluarga Kwan, langsung saja ia membentak. "He, kau! Kau
lihat Kwan Kongcu tidak"!"
Ching-ching tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Ia diam saja, pura-pura
tidak mendengar. "He, pelayan bau! Aku tanya, kau berani tidak menjawab?" Sun Pao mendorong
Ching-ching, tapi ank itu tidak bergimung. Kakinya seolah terpancang ke tanah.
Malah Sun Pao sendiri yang terpeleset dan jatuh. Gadis itu berdiri
menghentak-hentakkan kaki dan berdiri sambil menangis. "Hu ... hu ... kau pelayan
kurang ajar. Hu ... hu ... nanti kubilang Wei-ko, kau membuatku jatuh. Hu ... hu ... hu
... kau akan dipukulnya. Kubilang pada Thia-thia ... hu ... kau bakalan dipecat ... hik
... hik ... rasakan nanti." Sambil menangis, Sun Pao berjalan pergi.
Sesudah gadis itu tak kelihatan lagi, barulan Kwan Chin Wei keluar dari
persembunyiannya. Ia duduk di batu, di samping Ching-ching yang baru saja
selesai mencuci. "Huuh, si Pao-pao itu ke mana-mana menempeeel terus. Maunya
ditemani. Semua kehendak mesti diturut. Kalau tidak, ngambek!" Chin Wei
mengoceh. Ching-ching tidak peduli. Ia memasukkan pakaian terakhir ke dalam ember kayu dan
terus pergi. Chin Wei terbengong-bengong. Palayan lain, kalau dia dekati, langsung bermanis
muka. Pelayan yang satu ini kok tidak. Bw jadi tertarik. Ia mengikuti dari
belakang. "He, kau kenapa sih" Marah gara-gara yang tadi" Aku kan sudah minta
maaf." Ching-ching masih diam. Ching Ching 108 Chin Wei melambai-lambaikan tangan di depan muka gadis itu. "Kau kenapa sih"
Mendadak budek?" Ia menghalangi jalan di depan Ching-ching. "Ngambek" Takut?"
"Takut apa?" tanya Ching-ching heran.
"Takut dipecat. Pao-pao pasti sudah lapor pada ayahnya."
"Dia juga bilang akan menyuruhmu memukulku."
Chin Wei tertawa. "Mana aku mau. Kalau tadi aku tidak lihat, bisa jadi begitu.
Tapi tadi aku menyaksikan Pao-pao jatuh sendiri, nangis sendiri, ngambek sendiri
..." "Lari sendiri," sambung Ching-ching.
Chin Wei nyengir. "Ternyata kau pintar juga," katanya. "Tahu tidak. Kau lebih
cantik kalau tertawa, daripada cemberut kayak tadi."
Saat itu Ching-ching memang tersenyum. "Sekarang Siaoya harap minggir sedikit.
Aku mau lewat." Chin Wei menyingkir, membiarkan Ching-ching berjalan sendiri. Dipandanginya
gadis itu dari belakang. Ha, sepertinya ia bakal punya kawan baur. Memang
pelayan itu baru. Ia bahkan belum tahu namanya. Umurnya juga satu-dua tahun
lebih muda. Tapi, Chin Wei yakin, akan lebih menyenangkan bermain dengan pelayan
baru ini daripada dengan Sun Pao yang cengeng dan manja itu.
Untung bagi Ching-ching, Sun Pao melaporkan kejaidan itu pada ayahnya ketika
lelaki itu sedang sibuk, shingga tidak terlalu menanggapi anaknya. Ia berjanji
akan menghukum si pelayan kurang ajar, tapi begitu anaknya keluar, ia tenggelam
lagi dalam pekerjaannya. Sun Pao menunggu sampai beberapa hari, namun si pelayan
baru itu belum juga dihukum. Ia memutuskan untuk bertindak sendiri, tapi saat
ini belum menemukan cara membalas dendam. Yah, nanti sajalah ia minta bantuan
Chin Wei. Anak laki-laki itu paling jago kalau disuruh menjahili orang.
Betapa kecewanya Sun Pao ketika Chin Wei menolak membantu. Anak laki-laki itu
cuma menggeleng dan meninggalkannya sendirian. Sun Pao tidak tahu kalau beberapa
hari ini Kwan Chin Wei selalu mencari Ching-ching di sungai. Setelah Ching-ching
selesai mencuci, keduanya lantas bermain, menangkap ikan, mengejar kupu-kupu,
dan macam-macam lagi. Kwan Chin Wei tidak punya waktu buat Sun Pao.
Sun Pao bukan anak bodoh. Selama beberapa ari Chin Wei menghindarinya, pasti ada
sebab. Ia akan mengikuti ke mana Chin Wei pergi besok pagi.
Seperti biasanya, Chin Wei datang menemui Ching-ching di tepian kali. Jauh-jauh
ia sudah memanggil. "A-ying!" teriaknya melambaikan tangan.
Ching-ching menoleh sambil memasukkan baju yang terakhir dicucinya ke dalam
ember. Chin Wei mendekati. "Sudah selesai kerjaanmu" Kita cari bunga yuk!"
Ching-ching meringis. "Aku tak suka bunga."
Chin Wei bengong, tapi lantas tertawa. "Kau aneh. Biasanya anak perempuan suka
bunga. Sun Pao juga begitu."
"Aku kan bukan Sun Siocia." Ching-ching cemberut. Ia tak suka
dibanding-bandingkan dengan nona itu.
"Ya sudah. Jadi sekarang ngapain?" Chin Wei minta saran.
Ching-ching berpikir-pikir. "Siaoya, kau bisa meniup suling, tidak?"
"Apa susahnya meniup suling" Tinggal tiup pfff begitu saja."
"Oh ya?" Ching-ching mengeluarkan suling bambu harumnya. "Coba kaumainkan lagu
untukku." Chin Wei mengambil suling itu. Ia sering melihat suling, tapi ia belum pernah
dan tidak tertarik mempelajari cara menggunakannya. Tapi, di depan pelayan ini,
tentunya dia harus bisa. Chin Wei, seperti juga bocah laki-laki lainnya, selalu
Ching Ching 109 ingin tampak jago di depan gadis-gadis kecil. Jadi, diambilnya saja suling itu.
Tapi, dia jadi bengong melihat banyaknya lubang pada bambu langsing itu, tak
tahu yang mana yang mestinya ditiup.
Ching-ching tersenyum-senyum melihat Chin Wei kebingungan. Tapi, ia juga tahu
dari pengalamannya selama ini dengan A-yuk, A-fuk, dan Fei Yung, anak laki-laki
pantang dibuat malu. "Coba dengarkan dulu aku main," kata Ching-ching merebut suling itud ari Chin
Wei. Ia duduk di batu dan mulai memainkan sebuah lagu.
Suara merdu mengalun, mengalahkan suara air yang gemercik. Burung-burung
berhenti bersiul, seolah terpesona alunan lagu itu. Seiring irama tiupan,
menghamburlah bau wangi dari suling itu.
Chin Wei terpesona. Ia masih melotot dengan mulut ternganga kektika Ching-ching
selesai membawakan lagunya. Barulah ketika Ching-ching memercikkan air ke
mukanya ia tersadar. "Wah! Hebat!" Chin Wei memuji. "Kau harus mengajari aku
lagu seperti itu." "Boleh, asal kaumainkan dulu satu lagu buatku."
Setelah melihat Ching-ching main tadi, sepertinya mudah saja. Dengan mantap Chin
Wei meniup, tapi yang keluar cuma suara sumbang yang tidak berirama.
"Lagu apa tuh!"
"Laguku sendiri. Judulnya 'Dua Anak di Tepi Kali'. Bagus tidak?"
"Bagus. Suaranya kok seperti kodok ya?"
"Kau berani meledekku, ya!" Chin Wei mencipratkan air. Ching-ching membalas.
Keduanya main air sambil tertawa-tawa.
Di balik sebuah pohon, sepasang mata memandang iri. Sun Pao sudah ada di situ
sejak tadi. Hatinya terbakar melihat semua itu. Matanya mulai memerah. Dua titik
air mata bergulir ke pipinya.
Sun Pao berlari pulang. Ia harus lapor pada Kwan Pehbo. Mana pantas seorang
terpandanga macam Chin Wei Koko bergaul dengan pelayan bau yang kurang ajar
macamnya A-ying itu. Kwan Pehbo pasti akan melarang. Kalau perlu, ia akan
memanas-manasi supaya A-ying diusir saja.
Sun Pao harus melewati kamar baca untuk menemui Kwan Hujin. Ia mendengar
pehpehnya sedang bercakap-cakap dengan seorang lain. Sun Pao tak akan tertarik
kalau saja tidak kebetulan mendengar namanya dan nama Chin Wei disebut-sebut.
"Selama ini cuma ibunya yang sanggup mengajari." Itu suara Kwan Pehpeh.
"Guru-guru yang lain tak dapat bertahan dengan segala keisengannya."
"Anda tak usah kuatir. Asal tidak keberatan kalau saya mengajar dengan keras,
saya kira saya dapat mengendalikan sebagaimanapun nakalnya."
"Pokoknya, semua saya serahkan saja," kata Kwan Pehpeh menyudahi pembicaraan.
"Mereka akan memulai pelajarannya besok pagi."
Sun Pao buru-buru sembunyi. Ia ingin melihat, seperti apa rupa guru mereka yang
baru. Ternyata, orangnya tinggi-besar dan gagah. Umurnya sekitar tiga puluhan.
Penampilannya lebih mirip tukang pukul daripada seorang siucai (sastrawan). Sun
Pao bergidik. Guru yang ini tidak mirip seperti guru-guru yang dahulu, yang
biasa dipermainkan Chin Wei. Tiba-tiba Sun Pao tersenyum. Ia tak akan memberi
tahu Chin Wei tentang hal ini, biar pemuda itu terkejut dan tak akan sempat
memberi tahu A-ying. Biar saja besok gadis itu menunggu-nunggu di kali seperti
biasa. Masih dengan tersenyum-senyum, Sun Pao berjalan ke kamarnya dan melupakan
tujuannya semula. Keesokan harinya, seperti biasa, Ching-ching menunggu di tepi kali seselesai
membereskan pekerjaannya. Tapi, sampai matahari meninggi, Chin Wei belum juga
Ching Ching 110 datang. Ching-ching terpaksa pulang dengan bertanya-tanya dalam hati.
Hari itu semua pekerjaannya tak ada yang betul. Di dapur dua buah mangkok pecah
olehnya. Fung Ma sempat mengomel. Disuruhnya Ching-ching memunguti pecahan
mangkok itu. "Sudah, kau menyapu saja di kebun samping daripada bikin rusak
barang." Ching-ching tidak membantah. Di depan orang-orang ia harus tampak sebagai gadis
desa yang penurut dan tidak banyakt ingkah. Selagi menyapu, ia mendengar suara
orang membaca sajak. Ching-ching yang pernah mempelajari sastra Tiong-kok jadi
tertarik. Ia diam mendengarkan, ingin tahu siapa yang membaca itu. Tapi, ia
tidak mengenali suara orang. Jadi, diam-diam ia mengendap dan mengintip ke dalam
kamar belajar. Dilihatnya seorang yang gagah sedang membaca sajak itu dengan
kepala berputar. Rambutnya jadi terkebas-kebas. Lucu! Ia juga melihat Sun Pao
yang serius mendengarkan sementara Kwan Chin Wei tampak terkantuk-kantuk.
Pantas Chin Wei tak menjumpaiku, pikir Ching-ching. Rupanya ada guru baru.
Ching-ching meneruskan pekerjaannya. Ia sudah hampir selesai ketika terdengar
suara Kwan Chin Wei berkata, "Sianseng, aku permisi dulu. Sakit perut nih.
Aduuuuh!"

Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ya, pergilah," terdengar suara guru itu. "Jangan terlampau lama."
"Terserah perutnya," kata Chin Wei sambil melesat keluar. Anak laki-laki itu
tertegun melihat Ching-ching di sana lewat membawa sapu. Tapi seketika ia
menjadi girang. "Psst, A-ying, ayo ikut!" Ia menarik lengan gadis itu.
"Ke mana?" "Ke mana saja. Aku bosan di dalam sana."
"Kusangka kau sakit perut."
"Itu kan alasan supaya bisa kabur. Cepat!"
"Eh, sapunya ..."
Chin Wei merebut sapu itu dan meletakkannya di sebuah sudut. Ching-ching
dibawanya berlari ke sungai. "Huuh, bebas sudah." Chin Wei menjatuhkan diri di
batu. "Siaoya, nanti kau dimaraih. Kita kembali saja."
"Apa" Balik lagi" Hah, bisa budek aku mendengar sajak-sajak itu. Sudahlah,
sekarang kau temani aku car jangkrik. Kemarin aku janji pada tokoh mengadu
jangkrik hari ini." "Baiklah. Tapi setelah itu, aku mesti pulang."
"Terserah." Ching-ching menemani Chin Wei mencari di antara semak. Pemuda itu berhasil
mendapatkan beberapa ekor yang disimpannya di dalam tabung-tabung bambu.
"Jangkrik begitu, mana bisa menang kalau diadu?" kata gadis itu. "Biar kucarikan
yang jago sekalian." Ching-ching mendului mencari di tempat yang semak-semaknya
rimbun di bawah pohon-pohon besar. Ia membawa sebatang ranting sebagai senjata.
Jangan heran, karena yang dicarinya tak lain sarang ular!
Chin Wei amat terkejut ketika menemukan seekor ular yang tidur dengan bagian
perut menggelembung. Ular itu tidak terlalu besar, paling-paling selengan Ching-
ching. Warnanya bagus, hitam kebiruan. Tapi, walaupun tampak cantik, tetap saja
namanya ular, yang bikin orang jijik dan takut kalau melihat. "Eh, A-ying, itu
ada ular. Ayo pergi, sebelum ia bangun."
"Justru ini yang kita carai. Ssst!" Ching-ching menyuruh pemuda itu diam. Ia
menyodok ular yang tertidur itu dengan ranting kayunya. Ular itu terbangun dan
mendesis marah. Chin Wei ketakutan dan mundur selangkah.
Ching-ching tidak bergeming. Ia sudah terbiasa dengan ular walaupun, kalau Ching
Ching 111 disuruh memegang, masih merasa jijik. Ia terus menyodok-nyodok. Ular itu menjadi
sangat marah dan menyerang ranting di tangan Ching-ching dan melibat naik.
Ching-ching melempar ranting itu dengan ular yang melilitnya jauh-jauh. Ia mulai
mengorek-ngorek tanah. "Dapat!" serunya. "Siaoya, cepat! Mana tempat untuk jangkrik ini?" Jangkrik itu
dimasukkan ke dalam tabung. Chin Wei sempat melihatnya sebelum tabung itu
ditutup. Rupanya biasa saja, besarnya sama dengan jangkrik yang lain, cuma yang
ini warnanya agak biru seperti ular yang diusir Ching-ching tadi.
"A-ying, kok tahu-tahunya kau ada sarang jangkrik di situ?" Chin Wei bertanya
girang sekaligus heran. "Dulu, tiap kali menangkap ular dengan su ... eh, kakakku, aku selalu menemukan
jangkrik yang kalau diadu jarang kalah. Jadi, aku tahu," jawab Ching-ching.
Nyaris saja ia kelepasan bicara tentang sucinya. "Ah, sudah siang. Aku mesti
balik ke rumah." Tanpa menengok lagi, ia berlari meninggalkan Chin Wei.
Di depan ruang belajar ia bertemu dengan Sun Pao, yang langsung melotot ke
arahnya. Ching-ching berlagak tak tahu apa-apa, mengambil sapunya dan ngeloyor
pergi. "He, kau lihat Kwan Saoya tidak?" tanya Sun Pao setengah membentak. Ching-ching
pura-pura tidak dengar sampai Sun Pao menarik lengan bajunya. "He, aku bertanya
padamu!" "Kupikir bertanya pada He. Aku tidak menyajut jadinya."
"Tolol kau! Lihat Kwan Saoya, tidak?"
"Tidak," jawab Ching-ching singkat. Sun Pau melepas dia pergi dengan pandang
curiga. Keesokan paginya Ching-ching mendengar Chin Wei dihukum gara-gara kabur sehari
sebelumnya. Guru anak itu, Kung Sianseng (Bapak Guru Kung) menghukumnya menulis
sajak yang kemarin dibacakan dan Kwan Piawsu, yang tahu kelakuan anaknya,
melarang Chin Wei keluar dari ruang belajar sebelum hukumannya dikerjakan.
Chin Wei, yang memang tak mendengarkan ajaran gugurnya, kelabakan sendiri. Sun
Pao yang menemaninya pun cuma bisa membantu sedikit. Chin Wei uring-uringan. Sun
Pao merasa bosan menemani anak itu dan main keluar bersama pelayannya.
Tengah hari Kwan Hujin menyuruh pelayan mengantar makanan buat anaknya. Namun,
pelayan itu keluar lagi dengan baju dan buka belepotan. Chin Wei mengamuk dan
mogok makan! Untung, pelayan itu tidak mengadu pada nyonyanya. Kalau tidak,
barangkali hukuman Chin Wei digandakan beberapa kali oleh Kwan Piawsu. Tapi,
akibatnya anak itu kelaparan dan tak bisa keluar karena ayahnya menyuruh pintu
ruang belajar dikunci. Bw memutar otak mencari jalan keluar. Ia tak bisa kabur lewat jendela. Jendela
itu dipasangi teralis sejak ia coba-coba kabur lewat sana dua tahun lalu.
Sekarang kamar belajar itu menjadi penjara yang tepat buatnya. Chin Wei
menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak.
"He, buka! Aku tak mau dikunci di sini seharian!" Tapi, percuma saja. Penjaga di
luar kamar itu cuma patuh pada Kwan Piawsu, yang melarangnya membuka pintu
sampai diizinkan. Chin Wei mencari jalan lain. Tahu-tahu ia tersenyum sendiri. Ia bergulingan di
lantai sambil mengaduh-aduh. "Aduh, tolong! Perutku sakit. Aaaw, melilit-lilit!
Aduh!" Penjaga itu cepat mendekati pintu. "Kwan Saoya, kau kenapa?" tanyanya kuatir.
"Tidak tahu. Barangkali keracunan. Tolong aku!"
"Tapi ... tapi ...," penjaga itu ragu-ragu.
Ching Ching 112 "Cepat! Kau mau biarkan aku mati" A-thia tak akan mengampunimu nanti!"
Penjaga itu membuka kunci dan menerobos masuk. Ia langsung terjerembab,
tersandung kaki Chin Wei yang memang sudah menunggu. Selagi orang itu belum
pulih kagetnya, Chin Wei sudah melesat keluar, ganti mengurungnya di kamar. "Kau
baik-baik saja di situ. Tunggu sampai aku pulang!" katanya sebelum pergi.
Chin Wei mencari Ching-ching ke sungai. Sayang, anak itu tidak ditemukan di
sana. Yang sedang mencuci malah seorang gadis umur sembilan belasan. "He, A-ying
mana?" tanyanya pada gadis itu.
"Di rumah," jawab yang ditanya.
"Kenapa bukan dia yang mencuci?"
"A-ying sekarang kebagian membantu di dapur dan menyapu halaman samping. Saya
yang disuruh mencuci."
Chin Wei membanting kaki kecewa. Sial, sungguh sial. Susah payah ia keluar
hendak menemui gadis itu, eh, yang dicari malah tinggal di rumahnya.
Chin Wei tak tahu mau pergi ke mana sekarang. Berjalan-jalan tanpa teman sungguh
tidak menyenangkan. Tapi ... ah, dia pergi menemui temannya yang lain saja.
Biasanya mereka ada di bandar judi tengah hari begini. Ya, ke sana saja dia
pergi. Seperginya Chin Wei, penjaga yang terkurung menggedor-gedor pintu dengan ribut.
Keribut ini menarik perhatian Kwan Piawsu yang sedang bicara dengan Kung
Sianseng. Keduanya buru-buru mendatangi. Kwan Piawsu marah sekali mengetahui apa
yang terjadi. ?"Anak itu perlu diajar adat!" geram Kwan Piawsu. "Cari dia! Seret kemari!
Kurung di kamar belajar sampai besok pagi. Kuncinya biar aku yang pegang!"
perintahnya kepada para pegawai.
Anak buahnya segera menyebar. Kwan Piawsu sendiri turun-tangan ikut mencari. Ia
bertekad menghajar anaknya kalau ketemu nanti.
Chin Wei sedang asyik menghamburkan di bandar judi bersama teman-temannya yang juga anak-anak
orang kaya, ketika seorang anak lain sebayanya masuk dengan tergesa-gesa
diiringi pelayannya. "Chin Wei, tamat kau sekarang!" seru anak itu.
"Tamat apanya" Lihat, aku menang terus. Ini memang hari keberuntunganku."
"Apa masih kauanggap untung, kalau tahu anak buah ayahmu mencari kau di seluruh
kota?" Bar saja anak itu selesai berkata, empat orang bertubuh kekar masuk ke tempat
judi itu. Chin Wei mengenali mereka sebagai pegawai ayahnya. "Aduh, gawat!"
keluhnya. "Chin Wei, di belakang ada jalan keluar," kata temannya yang lain. "Cepat kabur
lewat sana." Chin Wei segera angkat kaki. Sayangnya, empat pegawai itu melihatnya berlari.
Mereka segera mengejar. Kawan-kawan Chin Wei yang lain sengaja merintangi.
Mereka anak-anak orang terpandang di kota ini. Tentu saja, pegawai-pegawai Kwan
Piawsu tak berani bertindak gegabah kepada mereka.
Chin Wei yang kabur lewat belakang tak tahu ada yang menunggu di sana. Dan orang
itu adalah ayahnya sendiri! Keruan saja anak itu panas-dingin ketika mengetahui
hal itu. Kwan Paiwsu menggiring anaknya yang terpaksa pulang dengan wajah pucat-
pasi. Hukuman Chin Wei bertambah. Ia harus menuliskan hukuman yang lama ditambah
membaca satu buku tebal yang isinya sajak semua. Dari buku itu ia harus
menghafalkan dua buah sajak. Besok, di depan ayahnya, ia harus membacakan tiga
Ching Ching 113 sajak ditambah hukumannya hari ini. Ia tak boleh keluar kamar baca sampai
melunasi hukuman itu. Tadinya Kwan Piawsu hendak melarang anaknya diberi makan, tapi setelah Kwan
Hujin membujuk-bujuk, akhirnya diperbolehkan juga. "Chin Wei kan anak kita satu-
satunya," kata wanita itu. "Ia yang akan menerusakan keturunan nanti. Masa kau
tega?" "Baiklah, baiklah. Suruh orang mengantar makanan untuknya," potong Kwan Piawsu.
"Tapi, semalaman ini kau maupun Sun Pao tak boleh menemuinya."
Kwan Hujin tidak keberatan. Ia buru-buru menyuruh orang menyiapkan makanan.
Ching-ching yang sekarang membantu di dapur kebagian mengantar.
Chin Wei girang melihat Ching-ching diizinkan masuk. Tapi, melihat apa yang
dibawa gadis itu, timbul lagi kemarahannya. "Aku tak mau makan!" katanya keras
kepala. "Saoya, nanti kau sakit."
"Biar, biar mampus sekalian!" Chin Wei hendak menampar nampan di tangan
Ching-ching, tapi gadis itu keburu menghindar, sehingga makanan yang dibawanya
tidak tertumpah. "Saoya, jangan marah-marah. Nanti cepat keriput."
"Apa pedulimu."
"Nanti tak ada yang menggangguku kalau sedang bekerja," kata Ching-ching. "Nah,
makanlah dulu. Nanti kuberi sesuatu."
"Apa?" tanya Chin Wei penasaran.
"Nanti saja." Sambil menunggu Chin Wei makan, Ching-ching membereskan barangyang dibikin
berantakan. Chin Wei makan dengan cepat karena perut lapar dan karena penasaran
akan pemberian Ching-ching. Selesai makan, Chin Wei langsung menagih. "Coba, apa
yang mau kauberikan kepadaku?"
Ching-ching merogoh ke balik baju dan mengeluarkan sebatang suling dari bambu.
Dahi Chin Wei berkerut. Ia agak kecewa. Dikiranya Ching-ching membawa mainan.
"Ingat tidak, kau minta diajari main?"
"Ingat sih ingat. Tapi, bagusan kau bawa jangkrik buat diadu di sini. Jangkrikmu
yang kemarin itu menang terus. Semua jangkrik kawan-kawanku dihabisinya."
"Mana bisa kubawa kemari" Kau lagi dihukum kan?"
Teringat lagi hukumannya, Chin Wei jadi murung. "Ya, aku tak bisa main gara-gara
hukuman sialan itu." Anak laki-laki itu duduk menekuri pekerjaannya. Ching-ching
melihat pekerjaan itu. Dibacanya sebagian yang sudah ditulis Chin Wei. Tahu-tahu
ia nyerocos berkepanjangan sampai Chin Wei sendiri jadi bengong.
"Eh, tunggu, tunggu," katanya memotong. "Kalau tak salah, itu lanjutan sajak
yang kutulis ini kan" Wah, hebat. Bagaimana kau bisa hafal?"
"Kebetlan waktu sedang menyapu kemarin dulu, aku mendengar Kuan Sianseng
membacakan." "Coba, coba kauulangi supaya aku dapat mencatatnya," kata Chin Wei bersemangat.
Ching-ching nyaris tertawa melihat anak itu memegang pit (kuas untuk menulis).
Dibenarkannya dulu, bahkan kemudian Chin Wei dibimbingnya menulis!
Tahu-tahu pintu digedor orang. "A-ying, ngapain kau lama-lama di dalam! Cepat!
Kau dicari Fung Ma!"
Ching-ching buru-buru membereskan bekas makan Chin Wei dan hendak berlalu.
"A-ying, kau bantu aku dulu menyelesaikan hukuman ini!" rengek Chin Wei.
"A-ying, cepat!" kata pelayan yang menyusulnya.
Ching-ching jadi bingung. Ia ingin membantu Chin Wei, tapi ada kerjaan yang
Ching Ching 114 mesti dilakukan. Cepat diambilnya keputusan. "Saoya, baiknya sekarang kau tidur
dulu. Malam nanti aku datang lagi membantumu."
"Eh, bagaimana caranya kau masuk nanti?" tanya Chin Wei, tapi Ching-ching keburu
menutup pintu kamarnya. Malam itu, seperti yang dijanjikan, Ching-ching mengendap menuju kamar belajar.
Ia tak bisa mendobrak pintu yang terkunci kalau tak mau ketahuan. Tapi, ada
jalan lain. Genteng! Dengan entengnya, gadis itu melompat ke atas genteng rumah. Tepat di atas kamar
belajar. Diambilnya genteng beberapa biji untuk membuat lubayang yang cukup
besar. Lantas ia melompat turun tanpa menimbulkan bunyi.
Seperti yang diduga, Chin Wei sedang tertdiru. Ching-ching mengguncang badannya
supaya pemuda itu terbangun. "Saoya, bangun!" desisnya. Chin Wei menggumam tak
jelas, tapi matanya masih terpejam. Ching-ching jadi tak sebar. Ditotoknya jalan
darah di belakang leher pemuda itu, yang membuatnya kontan terbangun.
"Eh, siapa ... apa ..." Chin Wei tergagap.
Ching-ching menyalakan pelita. "Saoya, ini aku!" kata Ching-ching. "A-ying!"
"A-ying" Ah, iya. Kau mau bantu. Ayo, kita cepat-cepat," Chin Wei mengajak. Ia
sebenarnya agak heran, lewat mana pelayannya ini masuk tadi. Dan kenapa sekarang
ia sama sekali tidak mengantuk. Tapi ... sudahlah, itu urusan belakang. Sekarang
ini, yang penting pekerjaannya beres dulu.
Sesudahnya, Chin Wei harus menghafalkan tiga buah sajak. Ching-ching sengaja
memilihkan sajak-sajak pendek baginya. Tapi, tetap saja pemuda itu mengomel.
Menghafal satu saja sudah susah, apalagi tiga. Untung, sekali ini Ching-ching
punya cukup kesabaran untuk mengajari.
Kwan Piawsu terbangun dari tidurnya. Entah apa yang membuatnya mendusin.
Dicobanya untuk tidur kembali, tapi tak bisa. Ia memutuskan untuk jalan-jalan
sebentar. Barangkali angin malam yang dingin dapat membuatnya mengantuk.
Ia turun dari pembaringan dan pergi keluar. Ia bertindak sangat hati-hati supaya
tidak membangunkan istrinya. Sesampai di luar, ia menuju ke kebun samping.
Lamat-lamat didenarnya suara orang membaca sajak. Ia memandang berkeliling.
Pelita di ruang belajar masih menyala. Kwan Piawsu tersenyum sendiri. Anaknya
sedang elajar! Pelan-pelan Kwan Piawsu mengintip dari jendela. Ia menggunakan ginkang supaya
langkahnya tidak terdengar. Sebenarnya itu tidak perlu. Suara Chin Wei sudah
cukup keras untuk menutup suara dari luar. Kwan Piawsu melihat anaknya sedang
menekuni buku. Dan di sampingnya seorang gadis cilik menemani. Gadis itu
membelakangi jendela. Kwan Piawsu tak bisa melihat mukanya, tapi perawakan gadis
itu seperti Sun Pao. Tapi, dari mana anak itu bisa masuk" Barangkali ia meminta
pada ayahnya, Sun Chai. Kwan Piawsu tersenyum lagi. Biarlah. Kalau begini kan,
rencananya menjodohkan Sun Pao dan Chin Wei akan lancar. Sekarang, biar saja ia
tinggalkan kedua anak itu.
"A-ying, ini huruf apa?" Chin Wei menunjuk ke bukunya.
"Yen (walet)," kata Ching-ching.
"Kalau ini apa?"
"Lam (selatan)."
Begitulah sepanjang malam. Ternyata Chin Wei belum pandai membaca. Untung, daya
ingatnya lumayan. Menjelang pagi, ia sudah menghafal dua buah sajak.
Kwan Piawsu mengitari rumahnya yangluas. Ia lewat di bagian mana Sun Chai dan
anaknya tinggal. Kamar keduanya tertutup rapat. Kwan Piawsu tersenyum mengingat
Sun Pao yang sedang bersama Chin Wei. Tapi, pada saat itu juga ia mendengar
Ching Ching 115 suara orang bernapas di kamar Sun Pao. Ia segera waspada. Jangan-jangan ada
maling mengobrak-abrik kamar kemenakannya ini. Ia masuk pelan-pelan dan
memandang berkeliling. Matanya terpaku pada sosok tubuh yang sedang tidur.
Diperhatikannya baik-baik. Tak lain Sun Pao sendiri.
Kwan Piawsu kebingungan. Ia melihat sendiri Sun Pao ada di kamar belajar.
Bagaimana mungkin ... Ia membalikkan tubuh dan bergegas kembali. Ia mengintip lagi. Benar, ada seorang


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis yang mendampingi Chin Wei. Tapi, siapa"
Karena seriusnya Ching-ching mendengar sajak yang dihafalkan Kwan Chin Wei,
gadis itu tidak mendengar suara langkah Kwan Piawsu di luar kamar.
"A-ying, aku sudah hafal hajak terakhir. Coba kau dengarkan," kata Chin Wei.
"Musim berganti. Bunga-bunga telah mati. Burung ... eh ... burung ...."
"Burung walet," Ching-ching membantu.
"Oh iya. Burung walet terbang ke ... ke ..."
"Selatan." "Burung walet terbang ke selatan," Chin Wei mengulang. "Mau apa sih burung walet
ke selatan" Bikin repot aku yang menghafalkan."
"Lanjutnya, bagaimana?"
"Mentari redup sinarnya. Tapi semangat sang pahlawan tak akan luntur, sekalipun
salju tiba. Nah, aku sudah hafal, bukan?"
"Ya, sudah bagus. Saoya, menghafalnya berhenti dulu. Kau istirahatlah."
"Ya, aku juga sudah capek sekali." Chin Wei merebahkan kepalanya di meja.
Ching-ching menunggui ketika pemuda itu hampir lelap, ditotoknya urat di leher
Chin Wei supaya lebih lelap tidur. Dipadamkannya pelita, kemudian ia keluar
lewat atap. Kwan Piawsu tercengang melihat siapa yang bersama anaknya. A-ying, pelayan yang
baru, rupanya bukan gadis sembarangan. Caranya melompat lewat atap tadi
menunjukkan bahwa gadis itu tahu ilmu silat. Siapa dia sebenarnya" Mau apa
menyusup keluarga Kwan sebagai pelayan" Kwan Piawsu menggelengkan kepala.
Entahlah! Tapi soal ini akan segera diselidikinya!
Chin Wei terbangun ketika seorang pelayan masuk membawa baskom cuci muka buatnya
dan seperangkat pakaian. Setelah merapikan diri, Chin Wei menanti ayah dan
gurunya. Kwan Piawsu datang menemui anaknya di kamar belajar itu. Ia langsung memeriksa
pekerjaan anaknya dan mengangguk puas. Begitu juga Kung Sianseng. Hafalan Chin
Wei dianggap cukup bagus, hingga pada hafalan terakhir. Anak itu lupa sama
sekali! "Saoya, bagaimana hafalan terakhir?" tanya Kung Sianseng.
"Euh, tunggu, aku butuh istirahat dulu," Chin Wei berdalih. Sambil duduk
beristirahat, dia mengingat-ingat. Tapi, makin dipikir ia makin lupa. Celaka!
Coba A-ying ada di sini. Paling tidak ia bisa membantu sedikit.
"A-wei, istirahatmu sudah cukup. Coba kauucapkan hafalanmu," kata Kwan Piawsu,
yang tahu betul anakya sudah belajar semalaman.
"Sebentar lagi, Thia-thia," kata Chin Wei. Tiba-tiba ia mendengar suara orang
menyapu di halaman samping. Cepat ia berdiri menghadap ke jendela. Ia girang
melihat A-ying sedang menyapu di sana.
"Pssst," bisiknya menarik perhatian Ching-ching.
"Kau kenapa?" tanya ayahnya.
"Tidak, tidak apa-apa," kata Chin Wei. Ia melihat Ching-ching menoleh padanya
dan memberi isyarat bahwa ia lupa sajak terakhir.
Ching Ching 116 Ching-ching dapat membaca gerak bibir Chin Wei. Ia buru-buru memberi tahu tanpa
suara. Sayang, Chin Wei cuma bisa mengerti separo.
"A-wei?" ayahnya menegur. "Kami tak punya waktu lama-lama."
"Ya, Thia-thia. Bolehkah aku menghafal sambil memandang keluar" Langit yang biru
membantuku mengingat hafalanku."
Kwan Piawsu bukannya tak tahu maksud Chin Wei, tapi ia membolehkan juga.
Chin Wei membacakan sajaknya. "Musim berganti ... eh, musim berganti ..." Pemuda itu
memperhatikan isyarat Ching-ching. Ia menggeleng tak mengerti.
Ching-ching memandang sekeliling dan memetik sekuntum bunga. "Haaatsyiii!" Ia
bersin mencium bau bunga itu. Huh! Bunga selalu membuatnya begitu. Itu sebabnya
sejak kecil ia tak suka bunga.
"Bunga telah bersin!" kata Chin Wei mantap. Ayahnya melotot mendengar ini.
Penjaga di pintu cepat menutupi mulut, takut tawanya tersembur-sembur. Kemudian
Chin Wei melihat isyarat Ching-ching. Buru-buru ia memperbaiki ucapannya dengan
wajah memerah. "Maksudku, bunga-bunga telah mati," katanya malu.
"Teruskan!" "Eh, terus," Chin Wei memperhatikan Ching-ching yang mengepakkan tangan. "Burung
... burung ..." Ching-ching menaruh tangannya di belakang, mengikuti ekor burung
walet yang bercagak. "Burung garpu" Oh, iya, burung walet terbang ke selatang.
Mentari berkelap-kelip, eh maksudku, redup sinarnya. Tapi semangat sang pahlawan
tak akan luntur, meskipun salju tiba."
"Coba ulangi dari depan!"
Chin Wei mengulang, kali ini dengan lancar. Ayahnya mengangguk puas. "Baiklah,
kau sudah berusaha. Kau boleh main sesudah ini. Tapi, tengah hari nanti kau
harus belajar." "Baik, Thia." Chin Wei bersorak girang, langsung lari keluar. Kwan Piawsu dapat
melihatnya lewat jendela. Ia melihatnya menemui Ching-ching, menunggui gadis itu
menyelesaikan pekerjaan, lalu pergi bersama.
"Kung Sianseng, aku ada urusan. Anda kutinggal dulu." Kwan Piawsu yang kuatir
anaknya dijahati orang, cepat-cepat membuntuti dari belakang.
Chin Wei mengajak Ching-ching ke sebuah kolam yang penuh teratai. "A-ying, waktu
Popo she-jit kemarin, aku tak sempat memberi kado. Sekarang saja ya, daripada
tidak. Aku ingin memberi beliau bunga teratai. Popo senang sekali teratai.
Sayang, teratai di kolam di rumah tidak sebagus teratai di sini. Eh, A-ying,
coba ambil bambu panjang."
"Buat apa?" "Aku ingin mengambil teratai yang di tengah itu. Yang paling besar dari semua."
"Repot amat pakai bambu segala. Aku punya jalan yang lebih gampang." Ching-ching
melangkah ke atas daun-daun teratai yang lebar, menapak di atasnya sampai ke
tengah kolam. "Wah, A-ying, bagaimana kau bisa jalan di situ?"
"Ini" Anak-anak juga bisa."
"Betul" Aku juga mau ah!" Chin Wei ikutan melangkah. Tentu saja, daun yang
dipijaknya langsung tenggelam dan pemuda itu kecebur juga. Chin Wei naik ke tepi
sambil menyembur-nyembur.
"A-ying, katamu, anak-anak juga bisa, kok aku tidak?" tanya Chin Wei kesal,
merasa dikibuli. Ching-ching tertawa. Tentu saja ia bisa berjalan di atas daun yang mengambang.
Ginkangnya kan sudah tinggi. Tapi ia berdalih, "Saoya, tentu saja kau tak bisa.
Badanmu jauh lebih berat daripada aku."
Ching Ching 117 "Pantas, pantas," Chin Wei mengangguk-angguk.
Saat itu sesosok tubuh muncul di jalan ke kolam tersebut. "Wei-ko!" panggil Sun
Pao yang baru datang. "Hei, Pao-pao, kebetulan kau datang. Coba kau susul A-ying yang di tengah. Bisa
tidak" Ayolah, badanmu lebih enteng dariku dan kira-kira sama dengan A-ying.
Masa kau tidak sanggup?"
Ditantang sedemikian, Sun Pao tidak terima. Ia berniat menyusul Ching-ching.
"Siocia, jangan!" teriak Ching-ching mencegah dan buru-buru berlari ke tepi.
Tapi terlambat! Hal yang terjadi pada Chin Wei terulang pada Sun Pao.
Ching-ching dan Chin Wei membantu Sun Pao keluar dari kolam. Sun Pao mengomel.
"Wei-ko, bajuku basah gara-garamu."
Chin Wei nyengir dan malah berkata, "Pao-pao, aku tak menyangka, kau lebih gemuk
daripada A-ying." Sun Pao melotot dengan wajah merah. Ia menangis dan lantas berlari pulang.
"Biarkan saja," kata Chin Wei pada Ching-ching. "Mana teratainya" Aduh, rusak
diduduki si Pao-pao. A-ying, coba kauambil lainnya sebagai ganti, lalu kita
pulang dan berikan kepada Popo."
Ching-ching menurut. Ketika keduanya sudah beriringan pulang, Kwan Piawsu keluar ari tempatnya
sembunyi dengan dahi berkerut. A-ying mestinya murid seorang lihay luar biasa.
Tapi, siapa dan tujuan apa dia kemari" Kwan Piawsu sungguh tak bisa menduga.
Sejak itu, Kwan Piawsu selalu mengikuti Chin Wei dan A-ying dengan hati-hati. Ia
tahu, pelayan ini bukan orang sembarangan. Kalau tidak hati-hati, pasti bakal
ketahuan. Chin Wei sekarang susah lepas dari Ching-ching. Sering ia memilih duduk dan
meminta petunjuk mengenai pelajaran kepada Ching-ching, daripada pergi main
tanpa gadis itu. Kadang-kadang kalau Ching-ching menyapu dan Chin Wei tidak ada
pelajaran, pemuda itu meminjam seruling dan belajar meniup alat musik itu.
Semua ini tak lepas dari pengamatan Kwan Piawsu. Susahnya, Chin Wei sering main
ke tempat pelayan dan Kwan Piawsu susah mengawasi kalau Ching-ching dan anaknya
kabur lewat pintu belakang. Oleh karena itu, suatu ketika Kwan Piawsu memanggil
anaknya ke ruang belajar.
"Ada apa memanggilku, Thia-thia?" tanya Chin Wei.
"A-wei, belakangan ini Kung Sianseng melapor bahwa pelajaranmu maju pesat,
melebih yang sudah diajari. Apakah ada orang lain yang mengajarimu?"
Chin Wei, biarpun badung, pada dasarnya adalah anak yang polos. Ia mengaku
terus-terang bahwa pelayan mereka, A-ying, sering membantunya menjelaskan
pelajaran yang sulit dimengerti.
"Kau tak heran, kenapa ia begitu pintar?" tanya ayahnya.
"Heran juga. Tapi, kata A-ying, ia dan ibunya pernah melayani seorang siucay
(pelajar sastrawan). Jadi, sedikit-sedikit ia tahu juga soal bun (sastra)."
Kwan Piawsu puta-pura percaya dan mengalihkan arah bicara. "W-wei, senangkah kau
seandainya A-ying disuruh menemani dan melayanimu selama belajar?"
"Maksud Thia-thia, jadi su-tong (pembantu khusus yang melayani anak majikan
belajar dan main), begitu" Tentu saja aku akan suka sekali." Chin Wei menyambut
girang. "Baiklah. Mulai besok, ia boleh melayani kau belajar."
Chin Wei bersorak. Ia berlari keluar dan mengabarkan kepada A-ying. Kwan Piawsu
juga senang. Sekarang ia tak usah repot kalau mau mengawasi kedua anak itu.
Chin Wei bergegas mencari Ching-ching. Ia tak dapat menemui gadis itu di dapur.
Ching Ching 118 Ternyata pelayannya itu sedang menyapu di gendung depan. "A-ying, aku ada kabar
bagus buatmu!" "Kabar apakah, Saoya?"
"Mulai besok kau boleh menemani aku sepanjang hari." Chin Wei merebut sapu yang
dipegang Ching-ching dan melemparnya jauh-jauh. "Kau tak usah menyapu lagi.
Tugasmu cuma menemani aku main dan belajar." Chin Wei memegang tangan
Ching-ching dan mengajaknya melompat berputar-putar. Di serambi, Sun Pao
memperhatikan dengan iri.
Semakin akrab Ching-ching dan Chin Wei, semakin Sun Pao merasa tersisih. Chin
Wei juga jarang bermain lagi dengannya. Pemuda itu merasa bermain dengan
Ching-ching yang senang main apa saja. Dari main judi, layangan, menangkap ikan,
adu jangkrik, sampai lempar-lemparan tanah. Tidak seperti Sun Pao, yang ini tak
suka itu tak mau. Hari itu, setelah Chin Wei belajar, ia dan Ching-ching langsung main ke tanah
lapang, membawa layang-layang. Lagi-lagi Sun Pao ditinggal. "Main layangan
bertiga tidak enak," kata Chin Wei. Sun Pao sakit hati bukan main. Diam-diam ia
merencanakan pembalasan pada Ching-ching.
Senang, Chin Wei dan Ching-ching main layangan bersama. Beberapa saat mereka
cuma berdua di tempat itu, sampai kemudian datang dua orang pemuda sebaya Chin
Wei juga main layangan di tempat itu dan tanpa permisi lagi langsung mengadu
layangan mereka. "He, apa-apaan!" Chin Wei berseru kaget.
"Apa-apaan" Mengadu layangan. Apakah Kwan Kongcu begitu goblok, sampai tak tahu
orang mengadu layangan?"
"Menantang?" Chin Wei menegaskan.
"Begitulah." "Baik!" Kedua layangan di angkasa saling menukik, menyambar hendak menjatuhkan lawan.
Tangkas Chin Wei mengulur dan menarik benang, diimbangi Ching-ching yang melepas
dan menggulung. Tapi, lawan mereka rupanya lebih jago lagi. Layangan mereka
membelit dengan sangat cepat dan memutus layangan Chin Wei.
"Ha, Kwan Kongcu, layangamu telah kalah. Hoi, Sun Siocia, tumben kau tidak
menangis menjerit-jerit."
"Kau keliru," kata Ching-ching. "Aku bukan Sun Siocia."
Pemuda sombong yang mengalahkan mereka memperhatikan Ching-ching dari ujung
kepala sampai kaki. "Ha, rupanya Kwan Kongcu main sama pelayan bau, saking tak
punya teman." Ingin Ching-ching menyahuti, Dan matamu buta, tak dapat membedakan pelayan
dengan majikan, tapi ia tak mau membikin susah Chin Wei, jadi didiamkannya saja
pemuda itu mengoceh. "Kwan Chin Wei, layanganmu putus, mau apa kau?"
"Sudah putus ya putus, kalah," kata Chin Wei. "A-ying, mari kita pergi."
"Tidak bisa. Kalian tidak boleh pergi sebelum mengalahkan aku," kata pemuda itu
lagi. "Bagaimana mau mengalahkan kau" Layangan kami sudah putus."
"Beli lag! Kenapa" Apakah ayahmu sudah bangkrut dan tak sanggup membelikan
anaknya layangan baru?"
Wajah Chin Wei memerah sampai ke kuping mendengar ayahnya dihina. Ia
mengeluarkan kantung uangnya. "Baik, kalau begitu. Kau tunggulah!" Chin Wei
hendak pergi, tapi langkahnya terhenti ketika penantangnya berkata,
Ching Ching 119 "Buat apa repot" Suruh saja pelayan baumu."
Chin Wei membalik, matanya mendelik marah. Sebetulnya Ching-ching juga sama-sama
dongkol, tapi ia punya cara lain untuk mengajar pemuda sombong itu. "Saoya, biar
aku yang beli," katanya.
Chin Wei tak dapat berkata-kata karena marah. Ia diam saja. Beberapa saat
kemudian baru berkata, "Tak perlu. Aku tak sudi main dengan orang busuk macam
itu. A-ying, kita pulang!" Chin Wei bergegas pulang, diikuti Ching-ching di
belakang. Mereka mendenar lagu mengejek.
"Kwan Chin Wei takut kalah, lari pulang ke rumah, dengan pelayan setia,
terbirit-birit minggat."
Muka Chin Wei merah membara. Langkahnya semakin lebar dan cepat. Ching-ching
mesti setengah berlari mengikutinya.
Sampai di tempat yang tak mungkin terlihat musuhnya, Chin Wei berhenti dan
meninju seatang pohon yang besar. Ditinjunya batang pohon itu berkali-kali
sampai tangannya berdarah. Ching-ching membiarkan saja. Kemarahan perlu
disalurkan. Ia tahu itu. Hanya saja, yang membuatnya heran, kenapa Chin Wei tak
langsung memukul orangnya tadi.
Akhirnya, Chin Wei kecapekan sendiri. Ia membanting diri ke tanah, duduk
menyandar ke pohon yang barusan dipukuli. Ching-ching menunggunya mengatur
napas. "Saoya, tanganmu luka. Biar kubalut." Ching-ching membalut luka di tangan Chin
Wei. "Saoya, dua orang tadi siapa?"
"Yang sombong tadi adalah Tan Hai Bun, putra Tan Piawsu, saingan ayahku. Yang
seorang lagi paling juga anak salah satu pegawai ayahnya itu. Huh! Kalau saja
aku tak berjanji pada Thia-thia untuk menahan marah, sudah kubikin rata muka si
Hai Bun. Heran, dia itu senang sekali memancingku berkelahi. Sudah empat kali
kuhajar, tidak kapok-kapoknya dia."
"Kenapa ia selalu mengganggumu?"
"Tak tahu. Barangkali penasaran karena tak pernah menang berkelahi denganku.
Sudahlah, jangan dipikir lagi. Kita pulang saja."
Ching-ching hampir melupakan kejadian itu sampai suatu hari Chin Wei mengajak ia
bermain bersama kawan-kawannya yang lain. Mereka sedang mengadu jangkrik.
Jangkrik milik Chin Wei menang terus. Bukan main girang pemuda itu melihatnya.
"Wah, Chin Wei, jangkrikmu hebat betul. Dapat dari mana?" tanya seorang anak.
"A-ying yang mencarikan untukku," jawab Chin Wei bangga.
"Boleh juga kaucarikan buatku sekali, A-ying," kata Ong Fu yang badannya gempal.
"Wah, wah, tak disangka kalian anak-anak orang terpandang sudi bermain dengan
pelayan bau." Seorang pemuda yang tak lain adalah Tan Hai Bun mendatangi. "Hei,
kau, bau," tudinya pada Ching-ching. "Pergilah dari sini sebelum kutendang
pergi. Kami tak mau ketularan baumu."
"Jangan pergi!" kata Chin Wei. "Tidak ada orang yang boleh sembarangan
menyuruhmu selain aku."
Ching-ching berdiri di tempatnya, tidak beranjak seperti disuruh.
"Tan Kongcu, kami sedang main. Kau jangan mengacau," kata Chin Wei
disabar-sabarkan. "Aku juga ma ikut main, tapi tidak selama si bau itu ada di sini."
"Aku tidak cium bau apa-apa," kata Ong Fu. "Tidak dari pelayan ini."
"Ong Kongcu, kau anak hartawan terpandang. Kenapa sudi main dengan orang
rendahan?"

Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih bagus main dengan orang rendahan, daripada main dengan orang kaya yang
Ching Ching 120 ngoceh melulu. Hayo kalau mau ikut main. Mana jangkrikmu?" tantang Ong Fu.
Sementara yang lain sudah menyingkir begitu Tan Hai Bun dan kawan-kawannya
datang. Ong Fu tidak takut pada Hai Bun. Pangkat ayahnya lebih tinggi daripada
Tan Piawsu. "Hehe, nih jangkrikku."
Kedua jangkrik saling mengadu. Yang menonton saling menjagoi. Ching-ching dan
Chin Wei tentu membela Ong Fu sementara Tan Hai Bun dibantu dua kawannya. Tak
berapa lama sudah terlihat siapa bakal menang. Jangkrik milik Ong Fu terkapar
sementara Hai Bun berjingkrakan.
"Jangkrikmu mati. Hayo, siapa berani melawan jangkrikku?"
"Huh, jangan girang dulu. Kau belum lihat kehebatan jagoanku," kata Chin Wei
sambil mengeluarkan jangkrik dari bumbungnya.
Kedua jangkrik bertempur lagi. Sebentar saja, jangkrik Chin Wei sudah menang.
Kini giliran Ong Fu, Chin Wei, dan Ching-ching yang bersorak-sorak.
Tan Hai Bun berdiri. Dengan gemas ia menginjak jangkrik Chin Wei yang belum
sempat dimasukkan kembali ke bumbungnya. Sorakan terhenti. Ching-ching dan Ong
Fu berseru kaget. "Tan Hai Bun. Kau ... kau keterlaluan!" pekik Chin Wei marah dan langsung
menerjang Hai Bun. Keduanya segera terlibat perkelahian seru.
Teman-teman Hai Bun ingin membantu kawannya dengan mengeroyok Chin Wei, tapi
tentu saja dihalangi oleh Ong Fu dan Ching-ching.
Meskipun Ching-ching tidak menggunakan ilmu silat, teman Hai Bun yang
menyerangnya bisa dirobohkan dengan gampang. Gadis itu memakai pentungan bambu
untuk menghadapi lawannya. Terang saja penyerangnya langsung semaput begitu
terpuku. Ong Fu, biarpun gadannya gemuk, bisa bergerak dengan gesit. Tak percuma ayahnya
menggaji seorang guru silat. Tak berapa lama, kawan Hai Bun yang seorang lagi
juga berhasil dibuat babak-belur.
Tan Hai Bun sendiri dihajar habis-habisan oleh Chin Wei, yang sudah marah betul.
Biarpun anak sombong itu sempat memukul telak sekali dua, Chin Wei seolah tak
merasa dan tetap menghajarnya. Perkelahian baru berhenti waktu Chin Wei berhasil
menduduki punggung Hai Bun yang teriak-teriak minta ampun. "Ampun, ampun. Kwan
Chin Wei, jangan pukul aku lagi. Kalau tidak, aku laporkan pada Thia-thia."
"Masih berani mengancam?" Chin Wei mengetok kepala Hai Bun yang sudah
benjol-benjol. "Tidak, tidak! Aduh, ampun!"
Chin Wei berdiri, mengebaskan debu di bajunya. "A-fu, A-ying, kita tinggalkan
saja manusia tak berguna ini. Mari pulang."
"Ya, aku juga mesti belajar," kata Ong Fu. Mereka meninggalkan Tan Hai Bun yang
terkapar merintih-rintih.
"Aduh!" teriak Chin Wei waktu Ching-ching mengobati lukanya.
"Sakitkan, Saoya?" tanya gadis itu.
"Sedikit," jawab Chin Wei gagah. Padahal kesakitan betul dia.
Ching-ching mengobati Chin Wei di ruang belajar. Ternyata itu adalah kesalahan
besar karena kemudian Sun Pao datang hendak membaca buku. "Astaga, Wei-ko,
kenapa denganmu?" tanyanya terkejut.
"Tidak apa-apa," kata Chin Wei ketus. "Kau tak usah ribut."
"Wei-ko, kau pasti berkelahi. Aku bilang pada Pehpeh. Pehpeh!" Sun Pao keluar
sambil memanggil Kwan Piawsu.
"Eh, Pao-pao!" Chin Wei hendak mencegah, tapi Sun Pao keburu pergi. "Celaka aku!
Ching Ching 121 Kabur saja yuk," ajak Chin Wei.
"Percuma," kata Ching-ching. "Kalau nanti ketangkap, sama juga diomeli. Daripada
capek-capek lari, mendingan hadapi saja sekarang."
"Ya. Kalau lari, nanti malah aku dikurung lagi."
"Kwan Chin Wei!" seseorang yang tak lain adalah Kwan Piawsu membentak.
Ching-ching buru-buru memberi hormat pada majikannya. "Looya."
"Kau boleh pergi," kata Kwan Piawsu.
Ching-ching tak berani membantah, langsung ngacir keluar.
"Apa-apaan kau?" bentak Kwan Piawsu begitu tinggal berdua dengan anaknya. "Sudah
merasa hebat ya, sampai berkelahi segala" Dengar, Thia-thia mengajari kamu silat
itu untuk melindungi diri, bukan buat berkelahi."
"Tapi, Thia...."
"Tidak ada alasan. Dua hari ini kau tak boleh keluar rumah. Kalau melawan,
hukumanmu ditambah."
Chin Wei diam menunduk sambil cemberut. Percuma bicara kalau thia-thianya sedang
begini. Salang ngomong, bisa berlipat hukumannya. Lagipula A-ying pasti punya
cara supaya ia tak bosan tinggal di rumah.
Ketika keluar dari kamar belajar, Chin Wei bertemu Sun Pao. Pemuda yang sedang
kesal itu malah membuang muka dan lewat begitu saja.
"Wei-ko," panggil Sun Pao.
Chin Wei berlagak tidak mendengar. Sun Pao berlari mengejar dan menarik
lengannya. "Wei-ko!" "Lepaskan!" kata Chin Wei galak. "Kalau kau tidak mengadu pada Thia-thia, aku
tak bakal dihukum dua hari tak boleh keluar rumah."
Sun Pao mengkeret melihat Chin Wei melotot. Pada saat bersamaan Ching-ching
lewat, hendak menengok tuan mudanya.
"A-ying," Chin Wei menyambut gembira. "Main, yuk." Keduanya pergi.
Sun Pao ditinggal sendirian. Gadis itu memberengut. Sejak ada A-ying, Chin Wei
tak pernah main bersamanya lagi. Huh! Dia harus balas perlakuan A-ying. Apa
kira-kira yang bisa membuat gadis itu sengsara" Sambil berpikir-pikir, Sun Pao
masuk ke kamar belajar. Sesudah main beberapa lama, Chin Wei kecapekan, mengajak Ching-ching
beristirahat. Saat itu matahari panas terik. Tak heran kalau Chin Wei agak
malas. "Panas-panas begini, enaknya ngapain ya" Oh ya, A-ying, kau pernah
mendengar Pao-pao menyanyi" Suaranya cukup merdu. Ayo, kita minta dia menyanyi."
Ching-ching tak senang mendengar Sun Pao dipuji-puji. "Tapi, Saoya, kupikir kau
sedang marahan dengan Siocia. Bukankah dia yang mengadukanmu?"
"Ah, tidak enak marah lama-lama. Kupikir-pikir, rasanya aku tadi terlalu kasar
padanya. Kasihan Pao-pao. Aku juga sih. Padahal, aku seharusnya tak boleh kasar
pada adik sendiri." "Adik sendiri?"
"Ya. Pao-pao dan aku dibesarkan berdua. Ia sudah kuanggap adik."
"Begitu." "He, A-ying, bagaimana kalau Pao-pao menyanyi dan kau mengiringi dengan suling"
Tiupan sulingmu sangat bagus. Aku ingin tahu, mana yang lebih merdu," kata Chin
Wei. "Baiklah," kata Ching-ching. Ia ingin membuktikan bahwa suara sulingnya lebih
baik daripada suara Sun Pao. "Tapi kuambil dulu sulingku."
"Ayo, kita balapan ke kamarmu," sambut Chin Wei.
Ching Ching 122 Sun Pao tak betah lama-lama sendirian. Ia keluar dari kamar belajar. Lebih baik
ia minta A-hung, pelayannya, menemani bermain. Biar ia cari pelayannya itu. Sun
Pao pergi ke tempat para pelayan tingga. Ia memanggil-manggil.
"A-hung sedang ke pasar, Siocia," seorang pelayan lain memberi tahu."
Sun Pao kecewa. Tanpa berkata-kata, ia balik lagi ke gedung utama. Selagi lewat,
Sun Pao melihat jendela sebuah kamar terbuka. Ia mengintip ke dalam. Hmm, kamar
yang rapi. Kecil dan sederhana, tapi bersih. Di sana cuma ada sebuah tempat
tidur dan sebuah meja serta kursi. He, di atas meja itu ada sebuah suling!
Suling miliki A-ying! Sun Pao ingin mencoba suling itu. Kemarin dulu A-ying bisa
melagukan dengan baik. Masa ia yang lebih terpelajar tak sanggup menandingi"
Sun Pao masuk ke kamar itu dan mengambil suling bambu wangi yang tergeletak di
meja. Ditiupnya suling itu. Yang keluar cuma suara sumbang tidak berlagu.
Mencoba berkali-kali, tapi gagal terus. Sun Pao jadi kesal. Ditiupnya suling itu
kuat-kuat, masih juga tak bisa. Gemas, dilemparnya suling bambu itu ke dinding
kuat-kuat. Prak! Suling bambu wangi itu tak tahan membentur benda keras. Sun Pao bengong.
Buru-buru diambilnya suling itu. Ia merasa takut. Matanya memandang berkeliling,
mencari tempat aman untuk menyembunyikan benda itu. Belum juga ketemu, pintu
kamar terbuka. Chin Wei masuk bersama Ching-ching. Keduanya kaget melihat Sun
Pao di sana, apalagi melihat potongan suling di tangan gadis itu.
"Sulingku!" jerit Ching-ching, merebut suling di tangan Sun Pao.
Chin Wei memandang marah kepada Sun Pao yang sudah menangis lagi, seperti
biasanya. "Lihat apa yang sudah kaulakukan!" Chin Wei membentak marah.
"Wei-ko, aku ... aku sungguh tak sengaja," Sun Pao tergagap. "Tadi aku cuma ... cuma
..." Gadis itu tak bisa berkata-kata lagi. Ia berlari keluar sambil menangis.
Tinggal Chin Wei kerepotan menghibur Ching-ching.
Ching-ching sungguh menyesali sulingnya yang rusak. Itu adalah satu-satunya
benda yang diberikan Siu Li, sucinya yang paling galak, yang paling sering
bertengkar dengannya, tapi juga yang sayang padanya. Sebenarnya, Ching-ching
tidak biasa dan sungkan menangis. Gurunya mengajar dia menjadi gadis yang tegar.
Tapi, karena Chin Wei mau menghibur, ia malah sengaja menangis sesenggukan.
Rasanya senang ada yang memperhatikan dan membujuknya berhenti menangis.
Padahal, kalau Chin Wei tidak repot menghibur, Ching-ching juga tak mau
buang-buang air mata. Tapi, karena ada yang peduli ... kesempatan!
Hari berikutnya, Chin Wei tak mau bertemu Sun Pao. Apalagi mengajaknya bicara.
Ia main berdua saja dengan Ching-ching. Setiap kali Sun Pao mendekati, ia ajak
Ching-ching menjauh. Kasihan Sun Pao. Ia benar-benar menyesal atas kejadian hari
itu. Ching-ching sendiri masih penasaran, belum membalas dendam. Ia mencari
kesempatan yang baik. Kesempatan itu datang waktu Sun Pao datang dan Chin Wei
tidak melihat. Ching-ching menendang sebuah kerikil ke kaki Sun Pao, yang
langsung merasa kakinya kesemutan dan lemas sekali. Gadis itu jatuh terbanting
ke tanah. Kepalanya membentur batu dan berdarah.
Chin Wei menoleh ketika Sun Pao menjerit. Pemuda itu langsung memburu. "Pao-pao,
kau tak apa-apa?" "Aduh, Wei-ko, sakit. Sakit sekali." Gadis itu menangis.
Melihat darah yang mengucur dari kepala Sun Pao, Chin Wei panik, tak tahu apa
yang mesti dilakukan. "A-ying," katanya bingung. "Ini bagaimana?"
"Baiknya dibawa ke dalam untuk diobati," jawab Ching-ching.
Mereka memapah Sun Pao ke dalam. Ching-ching mencari obat untuknya ia juga yang
Ching Ching 123 mengobati. "Aduh, aduh," Sun Pao berteriak kesakitan.
"Tahan sedikit, Pao-pao, kemarin juga aku begitu," hibur Chin Wei.
"Sudah, Siocia," kata Ching-ching.
"A-ying, kau baik sekali," kata Sun Pao berterima kasih. "Aku ... aku belum minta
maaf atas kejadian kemarin.
"Sudahlah, lupakan," Ching-ching berbasa-basi.
"Tapi, sulingmu ..."
"Sudah patah, tak bisa disambung. Baiknya dilupakan saja, supaya tidak sedih."
"Aku menyesal," kata Sun Pao.
"Ih, aku tak suka acara sedih-sedihan," Chin Wei memotong percakapan. "Sun Pao,
kemarin aku mau minta kau menyanyi, tapi lupa gara-gara itu. Bagaimana kalau
sekarang saja" Cuma tak ada yang mengiringi."
"Saoya, bukankah di ruang musik ada sebuah khim" Aku bisa mengiringi dengannya."
"Ah ya, betul. Ayo kita ambil."
Sesudah hari itu, sisa hukuman Chin Wei mereka lewatkan bertiga. Ternyata main
bersama-sama itu menyenangkan. Sun Pao tidak iri lagi pada Ching-ching.
Ching-ching juga sudah membalaskan dendam, tak lagi mengungkit kejadian tempo
hari. Hukuman bagi Chin Wei tidak terasa membosankan lagi.
Sayang, hari-hari mereka dirusak dengan kedatangan Tan Piawsu ke rumah keluarga
Kwan, tepat pada hari Chin Wei bebas dari hukuman. Chin Wei yang sedang main
dengan Sun Pao dan Ching-ching mendadak dipanggil ke ruang tamu. Di sana sudah
menunggu Kwan Piawsu, Tan Piawsu, dan Tan Hai Bun.
"Nah, ini anaknya yang memukul anakku," kata Tan Piawsu beringas. "Kwan Piawsu,
bagaiman tanggung jawabmu pada hal ini?"
"A-wek, ayo minta maaf pada Tan Piawsu dan Tan Kongcu," perintah Kwan Piawsu,
menjawab pertanyaan saingannya.
Chin Wei langsung menuruti perintah ayahnya tanpa banyak tanya.
"Nah, urusan ini sudah selesai," kata Kwan Piawsu.
"Cuma begitu saja?" Tan Piawsu mencak-mencak. "Aku tidak terima. Aku harus ..."
"Tan Piawsu, sudah biasa anak-anak berkelahi," potong Kwan Piawsu. "Mereka sudah
berbaikan lupa. Kita sebagai orangtua tak perlu banyak campur tangan urusan
anak-anak, bukan?" "Tapi ... tapi ... Huh! A-bun, kita pulang!"
"A-wei, antarkan tamu!" perintah Kwan Piawsu.
Sambil senyum-senyum, Chin Wei mengantarkan Tan Piawsu dan putranya keluar. Di
depan Hai Bun menoleh kepadanya dan berkata, "Kwan Chin Wei, aku belum
membalaskan sakit hatiku."
Justru itu, pikir Ching-ching. Kalau satu lawan satu, sudah pasti Hai Bun babak
belur. Sekarang ia berani menantang, pasti ada apa-apanya.
Chin Wei menghadapi hari pertarungannya dengan bersemangat. Ia bahkan rela
mengorbankan waktu bermainnya untuk berlatih silat. Kwan Piawsu sampai heran
akan kelakuan anaknya. Ia baru mengetahui sebabnya kemudian, semalam sebelum
pertandingan Chin Wei dan Hai Bun.
Malam itu, Kwan Piawsu baru pulang mengantar barang. Ia tergesa-gesa pulang
mendului pegawainya yang lain. Begitu sampai di rumah, ia mencari anaknya. Chin
Wei ditemuinya sedang bersama Ching-ching dan Sun Pao. Chin Wei sedang berlatih,
ditonton kedua gadis itu.
"A-wei, apa betul kau akan bertanding dengan Tan Hai Bun?" ayahnya langsung
bertanya. Ching Ching 124 "Tapi ... tapi Thia tahu dari mana?" Chin Wei menatap Ching-ching dan Sun Pao
curiga. "Betul tidak?" "Be-betul." "Kapan?" "Besok. Thia ...."
"Pantas! Besok kau tak boleh keluar seharian!"
"Tapi, Thia ...."
"Tidak ada alasan! Untuk memastikan kau tidak kabur, mulai malam ini kau akan
kukurung di kamar belajar." Kwan Piawsu menyeret anaknya ke kamar belajar yang
layaknya penjara kecil bagi Chin Wei. Kwan Piawsu sendiri yang mengunci pintu
dan mengantongi anak kuncinya. Tak ada jalan bagi Chin Wei untuk kabur.
"Thia, sebelum Thia pergi, beri tahukan dulu kepadaku, siapa yang mengabarkan
pertandinganku dengan Hai Bun."
"Aku bertemu dengan Tan Piawsu di jalan." Jawaban singkat Kwan Piawsu sudah
cukup memuaskan Chin Wei. Berarti teman-temannya tak ada yang mengkhianati dia.
Begitu Kwan Piawsu pergi, Ching-ching dan Sun Pao buru-buru mendekat.
"Payah! Kalian bantu aku cari jalan!"
Ching-ching sebenarnya sudah punya banyak jalan. Dulu di Sha Ie, soal kabur dia
nomor satu. Tapi, karena memikirkan keselamatan Chin Wei, ia berlagak bodoh.
"Tidak ada," katanya.
Chin Wei kecewa. Malam ini ia terpaksa tidak enak tidur. Dan besok pagi ... tak
ada apa pun yang bisa dilakukan untuk kabur. Setidaknya untuk malam ini.
Esoknya Chin Wei bangun pagi-pagi sekali. Pintu masih terkunci. Ia masih mencari
jalan keluar lain. Bagaimana kalau lewat atap" Tapi bagaimana caranya" Chin Wei
gelisah. Ia harus bisa keluar. Harus! Kalau tidak, ia akan diejek Hai Bun habis-
habisan. Sayangnya, sampai siang hari, kesempatan untuk kabur tidak ada.
Kwan Hujin kasihan melihat anaknya dikurung. Ia memohon pada suaminya supaya
diizinkan membawa makanan untuk Chin Wei.
"Baiklah," kata suaminya.
"Akan kusuruh A-ying mengantarkan."
"Tidak. Jangan A-ying. Jangan pula Sun Pao. Yang lain saja."
Dari jauh Chin Wei sudah melihat pelayan yang membawakan makanan untuknya
dikawal salah seorang pegawai ayahnya. Pemuda itu langsung tahu apa yang mesti
dilakukan. Ia berbaring di lantai. Pura-pura pingsan. Pelayan yang membawa
makanan itu kaget melihat Chin Wei terkapar. Ia memanggil yang mengawalnya untuk
menolong. Pintu dibiarkan tidak terkunci. Begitu kedua pegawai ini membungkuk
untuk memeriksa keadaan majikannya, Chin Wei melompat berdiri dan menotok jalan
dari kedua orang itu sehingga tak dapat bergerak.


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan aku," Chin Wei menjura. Aku cuma terpaksa. Jangan bilang sama
Thia-thia, ya." Sudah itu, Chin Wei langsung minggat.
Chin Wei berlari ke Hek-cio-leng (Bukit Batu Hitam) yang letaknya lumayan jauh
dari rumah. Di sana sudah menunggu Tan Hai Bun dengan empat orang pegawa
penandunya dan seorang pendeta yang aneh dandanannya.
"Kwan Chin Wei, kau datang juga akhirnya. Kupikir nyalimu sudah terbang entah ke
mana." "Tan Hai Bun, pembohong, kau bilang akan datang sendiri-sendiri."
"Aku tidak bilang begitu. Kataku, kau datanglah sendiri kalau berani. Aku tak
tahu apakah nyalimu begitu besar atau kau terlalu tolol sehingga berani
menghadapi aku sendirian." Hai Bun tertawa. "Serang!"
Ching Ching 125 Empat orang maju bebareng, siap meneroyok Chin Wei yang sendirian!
Sun Pao bosan diam di kamar. Semua buku sudah dibaca. Sulamannya sudah selesai.
Apa lagi yang bisa dikerjakan" Ah, baiknya ia bercakap-cakap dengan Chin Wei.
Siapa tahu bisa menghibur pemuda itu. Ia berjalan ke ruang belajar dan mengetuk
pintu. "Wei-ko, kau tidak tidur, kan" Wei-ko, aku mau berbincang-bincang
denganmu." Tapi, tak ada jawaban dari dalam. Setelah beberapa lama memanggil belum juga
disahuti, Sun Pao jadi kuatir. Ia mengintip dari jendela. Yang ia lihat bukannya
Chin Wei, tapi dua orang yang membungkuk tanpa bergerak.
"Siocia" Ngintip apa?" tanya Ching-ching, yang juga datang ke tempat itu untuk
melihat apa yang terjadi pada pelayan yang bertugas membawakan makanan.
"A-ying, celaka! Wei-ko kabur!"
"Wah, gawat. Dai bisa babak-belur. Biar kususul! Siocia, kau tunggulah di sini."
Sun Pao yang ditinggalkan Ching-ching meremas-remas tangannya karena bingung dan
cemas. Ia berjalan bolak-balik, tak tahu apa yang mesti dilakukan. "Ah, ya,
betul. Aku lapor Thia-thia dan Peh-peh. Mereka pasti bisa mencegah Wei-ko
berkelahi." Ia belrari mencari ayah dan pamanya. Ia harus melaporkan semua.
Barangkali Chin Wei akan ketolongan. Paling tidak, tak akan sampai babak-belur
dihajar orang. Sampai di Hek-cio-leng, Ching-ching melihat Chin Wei sudah keteteran dihajar
keempat pengeroyoknya. Darah mengucur dari mulut dan hidung, bahkan juga dari
kuping.! Rupa Chin Wei sudah tak bisa dikenali lagi, bengkak semua. Biarpun
sudah kepayahan, para pengeroyoknya tidak juga mau mengampuni.
Melihat itu semua, darah Ching-ching mendidih. Ia marah. Marah sekali. Disertai
khikang, ia bereriak gusar. "Hentikan!"
Mendengar suara menggelegar yang mengandung amarah, seketika pertempuran
terhenti. Semua berpaling ke asal suara, tercengang melihat siapa yang datang,
tak terkecuali Chin Wei. "Sungguh tak tahu malu! Mengeroyok orang! Kalau berani, majulah satu-satu!"
"Pelayan bau, jaga mulutmu!" bentak Hai Bun. "Kaupikir kau ini siapa, berani
menasihati aku?" "Tan Hai Bun, kau sungguh busuk. Aku paling benci binatang macammu yang
bersembunyi di belakang orang upahan untuk menghadapi lawan."
"Eh, berani kau menyembut namaku dengan tidak hormat" Kau mesti dikasih
pelajaran!" Hai Bun melompat menerjang, hendak menggampar mulut Ching-ching yang
dianggapnya ceriwis. Tapi, kepandaian bocah itu terlalu rendah. Gampang saja
dilecehkan. Ching-ching tidak menghindari serangan Hai Bun. Ia menggunakan
tenaga dalam untuk melindungi diri. Tan Hai Bun tak tahu hal ini. Ketika
tangannya belum sampai seinci di hadapan Ching-ching, tahu-tahu tangannya balik
menggampar muka sendiri. "Ha, rupanya kau sudah tahu salah dan menghukum diri sendiri." Ching-ching
tertawa. Hai Bun makin marah, menyerang lagi. Kali ini tidak dibiarkan oleh Ching-ching.
Jauh-jauh ia sudah menangkis dengan satu bagian tenaga dalamnya. Tapi ini pun
sudah cukup membuat Hai Bun terpental dua tombak jauhnya dan terbanting di kaki
pendeta yang aneh dandanannya.
"Suhu," teriak Hai Bun. "Muridmu dihinakan berarti engkau juga dihina."
"Aku tak akan membiarkan muridku dihajar orang," kata pendeta itu dengan logat
aneh. "Ini gurumu" Pantas kau tak becus berkelahi," kata Ching-ching melecehkan.
Ching Ching 126 "Berani kau menghina See-cong-shak-wa?" pendeta itu membentak.
Ching-ching tertawa. "Tuh kan, namanya saja sudah See-cong-sa-kwa (Si Goblok
dari Tibet)." "See-cong-shak-wa," pendeta itu meralat. "Dalam bahasa Tibet, shakwa artinya
ayam hutan." "Pedulia pa" Dalam bahasa Han, sa-kwa artinya tak punya otak alias goblok."
"Bocah kecil, berani kau hinakan aku" Kau harus dikasih pelajaran." Pendeta itu
menyerang. "Bocah besar, kau yang emsti diajar karena tak becus mendidik murid," sahut
Ching-ching sambil menangkis.
Di antara keduanya terjadi pertempuran seru. Yang melihat keheranan. Apalagi
Chin Wei. Ia tak tahu kalau A-ying bisa sehebat itu.
Ching-ching sendiri, saking marah, lupa akan perannya sebagai A-ying, gadis
dusun yang lugu. Ia terlalu bersemangat memberi pelajaran pada Hai Bun dan
gurunya. Setelah bertempur belasan jurus, pendeta Tibet yang mengaku bernama
See-cong-shakwa itu sadar kalau kepandaiannya tidak selihay Ching-ching. Ia
mencari jalan untuk kabur. Matanya jelalatan ke sana kemari.
"Mau lari, eh?" Ching-ching mengetahui maksud orang itu. "Jangan harpa aku
lepaskan kau begitu gampang. Paling tidak, tinggalkan dulu sebelah kaki atau
tanganmu untuk kenang-kenangan."
See-cong Shakwa tahu, ancaman Ching-ching tidak main-main. Ia mencari siasat
lain. Pelan-pelan ia mundur mendekati Chin Wei yang berdiri sempoyongan, nyaris
pingsan. Ketika sudah dekat, secepat kilat dirangkulnya pemuda itu dan
diancamnya dengan sebatang jarum halus warna putih. "Jangan mendekat," ancamnya,
"atau kutusuk anak ini dengan jarumku."
"Apa takutnya sama jarum," kata Ching-ching, tapi ia menghentikan juga
tindakannya. "Gadis tolol, ini bukan jarum biasa. Ini jarum beracun yang paling ditakuti di
Tibet, Sie-tok-ciam (Jarum racun salju). Kalau kena racun ini sedikit saja, maka
akan kedinginan sehingga darah membeku dan lumpuh. Maka, mati tidak, hidup juga
susah. Kau mau dia mati merana?"
"See-cong Sha ... Sha-anu, kau mau apa?" tanya Ching-ching yang tak berani salah
sebut, takut kalau pendeta Tibet ini marah dan mencelakai Chin Wei.
"Mau pergi. Kau jangan coba mengikuti, atau anak ini celaka!"
"Baik, kau pergilah. Tapi jangan celakai majikanku."
See-cong Shakwa mundur-mundur menuruni bukit. Pada saat bersamaan, datang Kwan
Piawsu dan Sun Chai, ayah Sun Pao. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Yang
terlihat cuma seorang pendeta aneh menculik Chin Wei.
"Hoat-ceng (paderi asing), kauapakan anakku?" Kwan Piawsu melompat, menghadang
See-cong Shakwa. "Looya, jangan!" cegah Ching-ching.
Terlambat. Karena kaget, See-cong Shakwa tak sengaja menggores Chin Wei dengan
jarumnya. Chin Wei menjerit keras, merasakan pedih di pundaknya dan semaput
seketika itu juga! See-cong Shakwa melepaskan pemuda itu dan lari menyelamatkan
diri. Ching-ching yang sudah waspada tidak tinggal diam. Ia melompat tinggi
melewati kepala Kwan Piawsu dan Sun Chai untuk mengejar penjahat.
"Padri botak, mau lari ke mana kau?" serunya, mencegat si pendeta Tibet.
See-cong Shakwa tak mau menyerahkan diri begitu saja. Ia mencoba melawan. Tapi,
pada dasarnya, ia memang sudah kalah tingkat. Ditambah kemarahan Ching-ching
Ching Ching 127 yang sudah sampai pada puncaknya, belum sampai sepuluh jurus, ia sudah kena
ditotok dan diseret kembali ke tempat Chin Wei terkapar.
"Mana obat pemudahnya?" tanya gadis itu.
"Aku ... aku ... aku tidak ... tidak punya," See-cong Shakwa menjawab tergagap-gagap.
Ching-ching tak sabar dan mengeluarkan belatinya. "Mana, cepat keluarkan! Kau
mau jiwamu terbang?"
"Tapi ... tapi aku sungguh ... sungguh tak punya."
"Oh ya?" Ching-ching menggeledah pendeta itu. Memang tak ada penawar racun di
sana. "Huh, tak berguna. Mestinya kubunuh saja kau. Tapi aku masih membutuhkanmu untuk
menyembuhkan Saoya." "A-ying, eh, maksudku, Kouwnio, tidakkah lebih baik kita
bawa dulu keduanya ini ke rumah?" Kwan Piawsu buka suara, tak berani sembarangan
menyebut nama bekas pelayannya ini.
Ching-ching mengangguk. Beriiringan mereka pulang. Di jalan, gadis itu
menceritakan semua yang ia tahu, tapi selalu mengelak kalau ditanya mengenai
dirinya. "Looya, namaku yang sebenarnya tidaklah penting. Sekarang, yang mesti dipikirkan
adalah keselamatan Saoya."
"Mana boleh begitu" Aku ..." Kwan Piawsu membantah.
"Sudahlah, jangan ributkan soal segala macam basa-basi. Looya, setelah kejadian
ini, masih bolehkah aku tinggal di rumah, setidaknya sampai Saoya sembuh?"
"Tentu saja. Bahkan ..."
"Itu sudah cukup," potong Ching-ching. Ia tak mau berkata-kata lagi.
Mulai hari itu, perlakuan keluarga Kwan pada Ching-ching berubah sama sekali. Ia
dianggap sebagai tamu terhormat, dilayani dan diberi pakaian bagus. Ching-ching
sendiri tak ambil pusing. Ia sudah sibuk dengan See-cong Shakwa yang bandel
bukan main. Diancam bagaimana pun, tetapi ngotot tak punya obat dan tak mau
memberi tahu cara pengobatan.
Racun Sie-tok-ciam mulai berpengaruh pada Chin Wei. Pemuda itu mulai kedinginan
terus, berapa pun banyaknya selimut membungkusnya. Ching-ching yang sudah pernah
pengalaman tinggal di puncak gunung yang dingin malah sudah menyuruh orang
membuat tempat tidur batu dengan tungku di kolongnya. Tapi, itu pun tidak banyak
menolong. Hari kedua sudah lewat. Malamnya Ching-ching mendatangi lagi See-cong Shakwa
yang digantung terbalik di gudang.
"Sudah puas belum jadi kelelawar?" tanya Ching-ching begitu datang.
Yang ditanya tak menjawab, cuma mengerang saja. Dua hari digantung terbalik
bukan penderitaan enteng. See-cong Shakwa sudah merasa darahnya naik ke otak
semua. "Kau sudah tobat belum" Kalau sudah, akan kuturunkan kau. Tapi janji bantu
sembuhkan Saoya." "Aku janji, aku janji," kata See-cong Shakwa buru-buru.
Ching-ching mengambil belati dan memutuskan tapi penggantung. "Nah, kau bilang
tak punya obat. Tahu cara menyembuhkannya tidak" Saoya kedinginan terus. Aku
kasihan melihatnya."
"Soal dingin sih gampang. Pakai saja tenaga dalam."
"Ah ya, aku kok bisa lupa. Aku beri tahu Looya."
Sesudah diberi tahu, Kwan Piawsu cepat menyalurkan tenaga dalam ke badan
anaknya. Hal ini memang berhasil sementara. Waktu Kwan Piawsu berhenti untuk
istirahat, Chin Wei menggigil lagi.
Ching Ching 128 "Celaka. Tenagaku tak kuat menolongnya terus-terusan."
"Gantian saja," kata Ching-ching. Ia langsung duduk bersila dan menggantikan
Kwan Piawsu. Tapi, kali ini bukannya ketolongan, Chin Wei malah makin gemetaran.
"Gawat, kenapa jadi begini?" Ching-ching menghentikan tenaganya. "Ah, pasti
Setan Tibet itu salah memberi petunjuk." Ching-ching langsung menemui See-cong
Shakwa. "Hey, Ayam Tibet, aku menggunakan tenaga dalamku, kenapa Saoya malah
tambah kedinginan?" "Itu karena kau perempuan."
"Apa bedanya perempuan dan laki-laki?"
"Racun salju itu berhawa dingin. Tenaga perempuan adalah tenaga im yang juga
dingin. Tentu saja - "
"Sudah tahu, kenapa tak ngomong dari dulu?" Ching-ching menggetok kepala pendeta
Tibet itu dengan gagang belatinya. "Cara lain bagaimana?"
"Direbus!" Ching-ching melapor pada Kwan Piawsu, yang cepat mencari periuk besar untuk
merebus anaknya. Tapi, yang terjadi Chin Wei bukannya mendingan, malah badannya
melepuh semua. Ching-ching ngamuk, mendatangi lagi See-cong Shakwa. "Kau mau membunuh
majikanku?" bentaknya. "Badannya matang semua. Kau sengan menipu aku ya" Baik,
kuberi kau sedikit pelajaran."
Dengan belatinya, Ching-ching mengukir tulisan See-cong Shakwa di kepala si
pendeta yang gundul. Sudah itu, diberinya obat yang cepat menyembuhkan luka,
tapi meninggalkan bekas yang tak bisa hilang. Si Botak yang memang tertotok itu
tak dapat melawan. "Nah, dengan hiasan dariku, gundulmu itu tampak lebih bagus."
Ching-ching melepaskan totokan, tanpa takut si pendeta kabur. Tali yang mengikat
badan pendeta itu sudah cukup membuatnya tidak berkutik. "Hayo, kau bilang
padaku cara menyembuhkan penyakit Saoya!"
"Tak sudi!" sahut See-cong Shakwa. "Biar saja saoyamu tersayang itu mati
sengsara." "Berani kau bilang begitu" Kepingin kutambah 'kumis abadi' di bawah hidungmu?"
Ching-ching menggerakkan belatinya ke atas bibir See-cong Shakwa. Sebenarnya ia
tak ingin melukai benar-benar, cuma sekadar menggertak. Mana tahu si pendeta
malah bergerak menghindar. Ssrrtt! Darah muncrat dari muka See-cong Shakwa yang
menjerit. "Ih!" Ching-ching melompat mundur dengan ngeri. Hidung See-cong Shakwa sudah
terbabat putus! Gerakannya menghindar malah membuat pisau Ching-ching yang tajam
bukan main membeset hidungnya sehingga tak bersisa lagi! Sakitnya bukan alang
kepalang. See-cong Shakwa pingsan seketika.
"Nah lho, hidungnya copot!" kata Ching-ching bingung. Tapi, sejenak kemudian,
kemarahannya timbul kembali. "Berani melawan aku" Coba begini, masih tidak mau
memberi tahu caranya?" Ching-ching menusukkan jarum Sie-tok-ciam ke badan See-
cong Shakwa. "Coba saja kita lihat. Bagaimana caramu menyembuhkan diri, begitu
juga aku menyembuhan Saoya." Sesudah itu, ia menyuruh beberapa orang pegawai
Kwan Piawsu untuk mengikat See-cong Shakwa ke pilar.
Tapi, betapa terkejut Ching-ching ketika esok harinya tidak mendapati See-cong
Shakwa di gudang. Yang ditemukan cuma secarik kain bertuliskan tinta darah.
Bocah kejam, aku tak kenal namamu, tapi aku punya dendam padamu. Suatu saat aku
akan kembali menagih utang dendam. Ada baiknya juga kau tahu, kalau saoyamu
tidak ditolong dalam tiga puluh hari sesudah terkena racun, ia akan mati. Aku
rasa, tak ada yang dapat menolongnya. Lebih baik kau siapkan peti mati dan Ching
Ching 129 lubang kubur untuk saoyamu itu.
Kwan Piawsu cuma bisa bengong saja membaca surat itu, tak tahu lagi apa yang
bisa dilakukan. "Anakku. Putraku satu-satunya akan mati sia-sia," ratap Kwan Hujin.
"Belum tentu," kata Ching-ching tiba-tiba. "Aku ada kenalan seorang tabib.
Barangkali ia bisa menoong.
"Tak ada gunanya. Sudah puluhan tabib kita coba, tak satu pun sanggup
menyembuhkan A-wei." Kwan Piawsu tampak putus asa.
"Tak ada salahnya mencoba sekali lagi. Jangan patah semangat dulu. Looya,
tahukah kau, seberapa jauhnya desa Chu-khe-cung dari sini?"
"Kira-kira sembilan hari perjalanan. Tunggu, tunggu. Chu-khe-cung" Bukankah di
sana tempat tinggal Yok Ong-phoa (Raja obat)?"
"Betul sekali. Aku akan minta Kongkong kemari."
Kwan Piawsu mulai bersemangat lagi. "Tapi, apakah keburu" Sakitnya A-wei sudah
dua belas hari. Berarti waktunya tinggal delapan belas hari lagi. Padahal, dari
sini ke Chu-khe-cung bolak-balik sudah butuh delapan hari."
"Benar," kata Ching-ching. "Kalau begitu, baiknya aku berangkat hari ini juga."
"Aku berangkat bersamamu," kata Kwan Piawsu.
"Toa-heng, anakmu membutuhkan engkau. Lebih baik aku saja yang pergi." Sun Chai
mengajukan diri. Setelah berbantahan sebentar, Kwan Piawsu setuju juga.
Ching-ching cepat mengemas barang-barang yang akan dibawanya. Saat sedang
beberes, Sun Pao masuk ke kamarmu.
"A-ying, Wei-ko ingin bertemu denganmu sebelum kau pergi. Barangmu biar aku saja
yang bereskan." Ching-ching langsung lari ke kamar Chin Wei. Pemuda itu sudah terbungkus
selimut-selimut tebal, tapi masih juga kedinginan. Bibirnya berwarna kebiruan
dan bergetar waktu berbicara. "A-ying, kata Pau-pau, kau mau pergi?"
"Ya, Saoya, aku akan mencari tabib untukmu."
"Buat apa?" kata Chin Wei lemah. "Aku sudah tahu, aku tak akan sembuh lagi.


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih baik kita senang-senang sebelum ajalku tiba. Tak perlu kau merepotkan
diri." "Saoya, mana boleh kau ngomong begitu. Aku tak akan membiarkan kau mati. Janji,
kau tak akan bicara begitu di depanku!"
"Baik, baik, aku janji, aku tak akan mati kalau katu tidak di sampingku."
Chin Wei masih ingin bicara banyak, tapi rasa dingin yang menyerangnya
menghalanginya. Ching-ching cepat tangap. Ia langsung mengalirkan sinkang
berhawa Yang ke tubuh tuan mudanya. Lalu ia menotok dua jalan darah di tengkuk
pemuda itu supaya bisa tidur nyenyak dan tidak merasakan dingin untuk sementara.
Sesudah membereskan semua, barulah Ching-ching berangkat bersama Sun Chai.
Sebenarnya, dengan menggunakan ginkang dan ilmu lari cepat Thian-li-hiap-beng
(Bidadari mengejar angin(, Ching-ching akan sampai ke Chu-khe-cung paling lama
?" hari. Tapi ginkang Sun Chai tidak sebaik Ching-ching. Gadis itu tak berani
mendului karena ia tak tahu jalan. Kalau kessasar, bisa berabe. Tapi mereka
sampai juga setelah delapan hari perjalanan. Waktu itu hari sudah malam. Mereka
tak keburu mendaki bukit untuk mencari rumah Tabib Yuk yang agak memencil.
Terpaksa mereka tidur di kaki bukit, di udara terbuka. Pagi harinya barulah
mereka mulai bergerak. Bersemangat ingin bertemu Gie-ko dan kong-kongnya, Ching-ching melesat mendului
Sun Chai. Laki-laki itu cukup mengerti. Ia memandangi saja bayangan yang
bergerak lincah. Hmm, bukan ginkang sembarangan. Gadis A-ying ini mestinya murid
Ching Ching 130 serorang sakti. Heran, kenapa bisa nyasar jadi pelayan di rumah keluarga Kwan"
Sun Chai menemukan Ching-ching berdiri bengong memandangi sesuati. Ia cepat
mendekat, ingin tahu ada apa dengan gadis itu. Ketika sampai di tempat
Ching-ching, Sun Chai segera mengerti.
Ia melihat sebuah rumah yang kini tinggalpuing. Semuanya habis seperti bekas
terbakar. Hanya tanah persegi yang mendandakan bahwa di sana pernah ada rumah
tinggal. "Kong-kong tidak ada," kata Ching-ching dengan suara bergetar. Sun Chai
menepuk-nepuk pundaknya. Lelaki itu mengerti apa yang dirasakan Ching-ching. Ia
pun kecewa. Apakah Chin Wei, kemenakannya, tak akan ketolongan lagi jiwanya"
"Barangkali Kongkong sekarang tinggal di rumah Jieko," kata Ching-ching. Ia
langas menarik Sun Chai menuruni bukit lewat sisi yang lain. Apa yang ditemuinya
di desa Chu-khe-cung malah membuat hati gadis itu tambah kuatir. Desa itu sudah
mati. Rumah-rumah sudah bobrok semua. Mereka tak bertemu siapa-siapa di sana,
bahkan tidak seekor binatang pun. Semuanya sepi. Mati.
Agak jauh, Ching-ching melihat kuburan berderet-deret. Ia cepat mendekat.
Berbagai perasaan campur aduk di dadanya. Bagaimana kalau Gie-heng dan
kong-kongnya mati" Apa yang akan terjadi pada Chin Wei" Ia mengharap tidak ada
nama mereka di antara kuburan itu. Tapi, kalaupun demikian, ke mana ia harus
mencari kerabatnya tersebut"
"Sun Looya, maukah kau menolong aku mencarikan nama she Yuk dan she Chow?"
Sun Chai mengangguk. Berdua mereka mencari dua nama keluarga itu.
"A-ying, di sini!" seru Sun Chai yang menemukan duluan.
Buru-buru Ching-ching mendekat. Melihat nama-nama yang tertera di sana, ia
langsung merasa lemas sehingga jatuh berlutut. "Yuk Pehpeh, Pehbo, Chow Pehpeh,
Pehbo, dan Chow Fei," gumamnya. "Tapi mana nama Toako, Jieko, dan Kongkong?"
"Mungkin mereka selamat."
"Sun Looya, Kongkong tidak ada di sini. Apa yang mesti kita lakukan?"
"Barangkali sudah taktir kita tak boleh menemuinya. Sekarang, tak lain yang bisa
kita lakukan cumapulang."
Dengan lesu Ching-ching berdiri, mengikuti langkah Sun Chai pulang.
Mereka melewati kampung tetangga. Kebetulan matahari terik dan perut mereka
sudah minta diisi pula. Keduanya singgah dis ebuah kedai kecil. Ketika pelayan
datang mengantar pesanan mereka. Sun Chai menanyakan keadaan kampung
Chu-khe-cung yang baru mereka tinggalka.
"Oooh, kampung itu. Semua penduduknya sudah pergi meninggalkan desa. Pindah,
berpencar entah ke mana." Cuma begitu yang diketahui si pelayan. Ia tak dapat
memberi keterangan lain. Ching-ching menunduk sedih. Sekarang ia tak tahu
bagaimana mencari kedua gie-heng dan kong-kongnya.
Semenjak perginya Ching-ching, keadaan Chin Wei semakin gawat saja.
Kedinginannya tidak berkurang. Ia sampai tak bisa tidur karenanya. Ayahnya, yang
mencoba membantu dengan mengalirkan sinkang, malah terluka sendiri karena telah
memaksa diri. Ia mencoba mengajari anaknya mengatur hawa di dalam tubuh, tapi
Chin Wei tak dapat berkonsentrasi, sehingga hal itut ak mungkin dilaksanakan.
Enam hari sudah lewat sejak Ching-ching pergi. Ada dua kejadian di rumah
keluarga Kwan. Hari itu Kwan Hujin membawakan bubur panas untuk anaknya. Ia akan
menyuapi putra tunggalnya. Tanpa disengaja, bubur yang amat panas itu tumpah
mengenai tangan Chin Wei. Tapi, pemuda itu seperti tidak merasa. Ia malah heran
waktu ibunya menanyakan apakah tangannya sakit.
Kwan Hujin lari mendapati suaminya dan melaporkan apa yang terjadi. Kwan Piawsu
Ching Ching 131 cepat mendapati anaknya. "A-wei, sungguhkah kau tidak merasakan panas di tanganmu?"
"Tidak, Thia." Kwan Piawsu tidak yakin. Ia menyuruh orang mengambil air panas dan dingin.
Dengan saputangan, diusapkannya dua macam air itu ke tangan Chin Wei bergantian.
Tapi Chin Wei tak merasa apa-apa. Kwan Piawsu masih tidak puas. Ia mengambil
belati dan menggoreskan ke tangan Chin Wei. Keluar darah, agak kusam warnanya,
tapi Chin Wei tidak merasakan sakit sama sekali!
Kemudian datang laporan pada Kwan Piawsu. Salah seorang anak buahnya melihat
See-cong Shakwa ada di rumah Tan Piawsu. Demi anaknya, Kwan Piawsu lekas datang
ke rumah saingannya supaya anaknya ditolong.
"Sebenarnya aku tak mau repot dalam urusan ini," jawab Tan Piawsu. "Ini adalah
urusan anak-anak. Urusan anak kecil, baiknya orang tua tidak ikut campur. Begitu
bukan, Kwan Piawsu?" katanya mengejek. "Tapi kau beruntung, kawan. Guru silat
anakku memberikan pemunah ini untuk anakmu." Tan Piawsu mengambil sebuah botol
dari sakunya. "Dengan sayarat."
"Apa syaratnya?"
"Pelayanmu. Yang galak itu. Kau mesti usir dia!"
"Tidak bisa. Ia sudah mati-matian mencoba menolong anakku. Mana boleh aku tak
tahu budi orang?" "Yah, aku tak memaksa. Begini saja. Kuberikan obat ini kepadamu tanpa
sepengetahuan See-cong Shakwa. Tapi kau harus berjanji, tak akan rewel lagi soal
urusan ini." "Baiklah. Asal anakku sembuh, janji itu akan kutepati." Setelah berterima kasih,
Kwan Piawsu pulang ke rumahnya sendiri. Memang ada perubahan pada Kwan Chin Wei.
Ia tak lagi kedinginan, tapi ia malah kesakitan terus. Dua malam seisi rumah
pedih hatinya mendengar rintihan remaja tanggung itu. Hari berikutnya Chin Wei
tak bersuara sama sekali. Ibunya sudah ketakutan anak itu mati. Ternyata tidak.
Chin Wei masih hidup. Dadanya masih naik-turun, tanda napasnya belum putus. Tapi
anak itu tak sadar berhari-hari lamanya.
Ketika Ching-ching dan Sun Chai datang, tak heran mereka mendapati rumah yang
sepi diselimuti duka. Keduanya tahu. Penyakit Chin Wei membuat suasana dirundung
mendung, tapi tak menyangka seberapa parah Chin Wei.
Ching-ching marah sewaktu tahu pemuda itu diberi obat yang didapat dari Tan
Piawsu. "Si Gendut itu pasti sengaja memberikan obat yang salah. Kwan Piawsu,
kita mesti menatangi dia dan meminta dia bertanggung jawab."
Kwan Piawsu menghela napas. "Tak mungkin. Aku sudah berjanji tak akan
mengganggunya lagi dalam soal ini."
"Kau berjanji. Aku tidak! Akan kudatangi ...." Bicaranya Ching-ching terputus oleh
seruan Sun Pao. "Lihat, Wei-ko membuka mata!"
Benar, Chin Wei membuka matanya. Ketika melihat Ching-ching, pelan sekali kedua
sudut bibir pemuda itu tertarik ke atas. Ia tersenyum. Kemudian ia memejamkan
lagi matanya. Menghembuskan napas panjang. Dan cuma sampai di situlah mur pemuda
Kwan Chin Wei. Sun Pao menjerit memanggil nama Chin Wei. Kwan Hujin tak tahan melihat itu
semua. Ia jatuh pingsan. Untung keburu dipegangi Sun Chai dan segera dipapah
keluar. Kwan Piawsu cuma berdiri tegak dengan mata berkaca-kaca.
Ching-ching menggigit bibir, sebisa mungkin menahan air mata yang hendak
meluncur ke pipinya. Chin Wei tak suka gadis cengeng. Ia tak boleh berlaku Ching
Ching 132 cengeng di depan pemuda itu. Ching-ching mengepalkan jemari tangannya. Tapi,
kemudian ia tak kuat lagi dan berlari keluar. Ia berlari terus, dan terus,
sampai di pinggiran kali tempat ia dan Chin Wei biasa bertemu.
Gadis itu menatap air bening. Ada bayangan wajahnya di air. Kemudian bayangan
itu berganti muka Chin Wei yang tersenyum. Lantas berubah lagi menjadi
bayang-bayang Tan Hai Bun dan ayahnya berganti-ganti.
Dengan gemas, Ching-ching memukul bayangan di air itu, tapi seolah bayangan
ayah-beranak she Tan menempel di pelupuk mata, tak bisa hilang. Gadis itu makin
marah. Dipukulnya air dengan lweekang. Air tersibak. Terlihat dasar yang lembap
berbatu. Tapi Ching-ching belum puas. Ia mengamuk ke segala penjuru, di mana
terdapat bayangan orang she Tan ayah-beranak.
Batu-batu berpecahan, pohon-pohon tumbang, angin berkesiuran. Air sungai bahkan
bergolak akibat tenaga yang dikerahkan Ching-ching. Sebentar saja tempat itu
hancur berantakan. Setelah capek, barulah Ching-ching duduk di tanah dan
melampiaskan sedih hatinya dengan menangis.
Malam itu tak seorang pun terlelap di rumah keluarga Kwan. Mereka semua sedang
menyembahyangi Kwan Chin Wei. Ching-ching yang dianggap orang luar tidak ikut
dalam upacara itu. Tak jadi masalah. Gadis itu sudah punya rencana lain. Ia akan
menyambangi rumah keluarga Tan malam ini!
Sebelum pergi, Ching-ching meninggalkan surat untuk Kwan Piawsu, berisikan
terima kasih atas tumpangannya dan menjelaskan rencananya, agar kelak kalau
keluarga Kwan dituduh membalas dendam kepada keluarga Dan, surat itu dapat
ditunjukkan untuk membersihkan nama. Ching-ching sudah bertekad tak akan kembali
lagi. Rumah Tan Piawsu tampak sunyi. Rupanya semua sudah bermimpi. Agak kerepotan
Ching-ching mencari kamar Tan Piawsu di antara sekian banyak kamar di sana. Yang
ditemukan malah kamar Tan Hai Bun. Mau balas pada ayahnya, tak ketemu, anaknya
pun jadi, pikir Ching-ching.
Dihampirinya Tan Hai Bun. Ditotoknya urat di leher sebelah kiri pemuda itu.
Pemuda itu terbangun, merasakan totokan di lehernya. Melihat orang di kamarnya,
ia membuka mulut untuk menjerit minta tolong, tapi yang keluar cuma suara
bebisik saja. Ching-ching mengangkat tangannya, hendak memukul. Hai Bun melotot ketakutan,
sampai pingsan saking takutnya. Ching-ching mendengus. Tak ada perlawanan sama
sekali. Sekali tangannya bergerak, kepala Hai Bun akan pecah dan tamat
riwayatnya. Tan Piawsu akan merasakan hal yang sama seperti keluarga Kwan.
Tapi, tunggu dulu! Tan Hai Bun tak boleh mati bersamaan dengan Kwan Chin Wei.
Kedua pemuda itu selalu bertengkar. Kalau mereka ketemu lagi, pasti berkelahi
lagi. Itu tak boleh dibiarkan.
"Tan Hai Bun, kau belum layak untuk mati. Tapi, dendam tetap mesti dibalas. Aku
akan pakai cara lain!" Ching-ching menempelkan telapak tangannya pada dahi Hai
Bun, lantas menyalurkan lweekang untuk merusak otak pemuda itu. "Rasakan!" desis
gadis itu puas. "Sekarang kau mati tidak, hidup juga tidak. Salahmu sendiri,
mencelakakan tuan mudaku lewat tangan gurumu."
Setelah dendamnya punah, Ching-ching keluar dari kota itu. Ia tak punya urusan
lagi di sana. Waktunya sudah tiba untuk berkelana lagi mencari A-thianya.
Esok harinya sisi rumah Tan Piawsu gempar. Tan Hai Bun tidak mengenali orang. Ia
tak mengenal ayahnya, ibunya, kakaknya, bahkan dirinya sendiri. Sepanjang hari
kerjanya cuma ketawa-ketawa sendiri di kamar sambil teriak-teriak. "Chin Wei
mati! Aku tak punya saingan lagi! Semua harus tunduk padaku! Tunggu dulu ... siapa
Ching Ching 133 aku" Aku siapa" Tentunya aku jagoan nomor satu di kolong langit. Semuanya!
Hahaha." Tan Piawsu bingung melihat anak kesayangannya menjadi sedemikian rupa. Istrinya
menangis terus-terusan. Dan anaknya yang sulung cuma bisa memandangi adiknya
dari jendela karena Hai Bun tak memperbolehkan seorang pun masuk.
"A-thia, kenapa Bun-tee jadi begitu?" tanya Hai Cong.
Malaikat Jubah Keramat 2 Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa Pemberontakan Subandria 2
^