Pencarian

Mantra Penjinak Ular 3

Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo Bagian 3


polisi ia sudah belajar untuk blak-blakan.
"Intinya saja, Pak."
"Begini, lho. Para tetangga itu khawatir, kalau-kalau Pak Abu pergi lagi, ular
itu kan jadi tidak terpelihara. Kalau-kalau, ya hanya kalau-kalau, tiba-tiba ular itu keluar dari kandang karena
kelaparan, bagaimana?"
"Jangan khawatir. Ular saya jinak, kok. Ingin bukti?"
Abu menuju kandang dan membuka tutupnya. Lalu dia bersiul-siul, menunjuk ke
dipan. Ular itu menari-nari di sana.
"Jinak, bukan Pak?"
Pak Bayan berdiri. Mulut- nya menganga. Tangannya bergerak-gerak, seperti
menolak. Mundur-mundur ke pintu.
62 "Sudah, sudah." Ia lalu pergi begitu saja.
Abu merasa sesuatu tak beres. Ada firasat buruk. Bahkan Pak Bayan ketakutan
dengan ularnya.* II SAJAK-SAJAK CINTA XII SENI ITU AIR (Abu Kasan Sapari menulis geguritan - puisi bebas bahasa Jawa - dalam tahanan
Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri,
dapat dikatakan mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan sampul
merah jambu dan diberinya nama Geguritan Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba
waktunya. Inilah sebagian terjemahan sajak-sajaknya. Terjemahannya kata demi kata dan
tidak selancar aslinya, tetapi biarlah demikian. Aneh, tidak ada bau sel
tahanan, dendam politik, dan tipu-daya Randu. Puisi-puisi di bawah ini terasa
kekanak-kanakan. Di depan Lastri Abu menjadi kanak-kanak kembali").
Di Rumpun Bambu burung Kecil
Pada suatu kali dalam perjalanan
Di suatu rumpun bambu kutemukan
Sebuah sarang dan di dalamnya
Seekor burung kecil yang manis
Burung kecilku yang manis
Senyum di wajahnya Menyambut pengembara Lagu didendangkan Aku pun berhenti Kemudian beberapa saat Angin pun datang Burung kecilku bernyanyi Aku semakin tenggelam Burung kecilku yang manis
Maukah menyambut cintaku Cinta pengembara yang gairah
Cinta pengembara yang gelisah
Dan ketika sekali lagi angin men desah
Aku pun teringat: pengembara tak boleh berhenti di jalan
Burung kecilku yang manis
Katakan cintamu padaku Cintamu air bening sahara
Cintamu penghapus duka Lalu sesudah itu sambil berjanji
Suatu kali akan kembali, aku pun melangkah
Wahai perjalanan masih jauh
Wahai perjalanan masih jauh
*** Seekor Kambing Hitam dan Tua
Di tengah padang bersama gembala
63 Seekor kambing hitam dan tua
Berdiri di ambang senja Menatap betapa luasnya dunia
Terpaku di atas kaki Tubuhnya menghadap senja Matahari di atas desa Merah warna menyala Angin mengelus bulu-bulu Angin membisik telinga Angin membasah tubuh Angin menampar, menampar Bulat merah matahari Terbayang di bawah alis mata
Warna merah matahari Terpanggang jauh dalam mata
Hamparan rumput padang Terbayang di bawah alis mata
Warna hijau rumput padang
Terbentang jauh di mata Lengkung langit senja Terbayang di bawah alis mata
Lembayung langit senja Terpasang jauh di mata Gembala menjentik ekornya
Kambing hitamku tercinta Hari ini tanggal sembilah Zulhijah
Besok pagi kau di korbankan
Di tengah padang bersama gembala
Seekor kambing hitam dan tua
Melalap rumput padang Untuk terakhir kalinya Angin membelai-belai tubuh
Seekor kambing hitam dan tua
Meloncat-loncat riang Meloncat-loncat riang Tersenyum entah pada siapa
Tersenyum entah karena apa
*** Jangan Bernyanyi di Sini Burung hitam putih di lehernya
Melintas di atap rumah Melengking nyanyi sedih Malam bertambah kelam 64 Nenek tua di atas dipan Mendekap cucunya Tenanglah, tidak apa Aku tetap menjaga Jangan bernyanyi di sini Burung hitam putih di lehernya
Burung hitam celaka dibawanya
Kami masih terjaga Doa-doa sudah diucapkan Kidung malam didendangkan
Bunga-bunga disebarkan Di sudut rumah sesajian Bau kemenyan sedap menyegarkan
Bernyanyilah, tapi jangan di sini
Sebarlah malapetaka, tapi jangan di sini
Puaskan dendam, tapi jangan di desa
Tuangkan azab, tapi jauh di puncak gelap
Burung hitam putih di lehernya
Jangan bernyanyi di sini Sebuah Rumah di Tengah Padang
Kulihat rumah itu dari kejauhan
Berdiri kukuh dalam lindung bayang-bayang
Berdandan hijau daun-daunan
Pohon randu memuntah kapuk-kapuk
Kutilang meloncat dahan-dahan
Rumput ilalang mengepung pelataran
Lumut merambat ke tembok-tembok
Butir embun membasah dinding-dinding
Sinar lembut matahari merata atap
Aku terkenang sebuah tempat
Tidak di dunia ini Tapi mungkin dalam mimpi abadi
Tempat tinggal teduh dalam khayal
Melabuhkan pedih karena lama berjalan
Angin puyuh dari selatan Jangan diganggu bangunan di tengah ladang
Rumah dan pelabuhan para pejalan
Tambatan capai menepis debu
Naungan terik siang membakar
Burung-burung, burung bernya nyi dan dendang
Tinggallah di dahan pohon randu
Lagukan merdu menghibur rumahku
Rumahku dibangun dalam rindu sepi bertalu
Ketika sudah lama menatap
Tak satu pun menerima harap
Di situ dalam lingkar hijau pupus
Kan kuendapkan sedu sedan lama tersimpan
Sampai dasar sungsum ketenteraman
65 Rinduku selama ini dalam pengejaran
Rinduku selama ini dalam pengejaran
*** Angsa Putih Bermain dalam Hujan
Gerimis menetes-netes dahan
Memantul air kolam Hingar percik di permukaan
Seraut sinar masih tergoyang
Tersembunyi di pasir hitam
Angsa putih-putih Mengibas ekor-ekornya Bergumpal bulu-bulunya Terjatuh basah atas gerimis
Angsa putih-putih Memandang ke dasar kolam Ikan kuning-kuning Malu-malu berenang Angsa putih-putih Mencebur air kolam Lingkaran makin membesar Kacau di permukaan Air memercik bulu putih-putih
Sementara gerimis dikibaskan
Ramai air kolam Ramai senja mengelam Damai air kolam Damai pedusunan Sudikah angsa putih-putih
Berenang bersama Dalam gerimis di air kolam
Pestamu dan pestaku disatukan
Dukamu dan dukaku dipadukan
Tenggelam di air kolam Biarlah gerimis menggoda riang
Gerimis menghapus kelam Dari bulu-bulu putihmu Dari baju-baju putihmu Angsa putih-putih Sudikah bersama Bermain dalam hujan Bermain di air kolam *** Sungaiku Membelah Pedusunan
Lewat tengah pedusunan Sungaiku mengalir pelahan
66 Aku terjuntai di tepi Menatap reranting bergoyang
Menatap reranting kedinginan
Daun-daun pohon di tepi Terangguk sepi Ketika dengan lembut air pun berpaut
Di sini di lidung air sungai
Kulihat waktu berlalu Dirundung sedu Kacau bayang-bayang wajah waktu
Dengan muram berlalu, tak sepatah berseru
Sungaiku, manakah di antara zat-zatmu
Adalah percik Amazone dan Mississippi
Adalah riak Wolga dan Donau
Adalah ombak Seine dan Rhine
Adalah alir Bengawan Solo
Adalah zat-zat segala sungai
Yang mengalir di mana-mana di bumi
Sungaiku, dalam percik tepimu
Teringat kembali Menyusun simfoni Tentang angin puput yang meniup pohon birka
Tentang salju menggayut pucuk cemara
Tentang lurus pohon akasia
Tentang desir pohon bambu
Tentang desau daun anggur angin menggeliat di musim gugur
Sungai, bersama beningmu Mengalir warna merah jingga kuning hijau biru nila ungu
Sampai Australia sampai Afrika sampai Amerika sampai Eropa sampai Asia
Selamat jalan Sampai Antartika sampai Laut Utara sampai Laut Cina sampai Mediterania
Selamat jalan sampai di mana-mana
*** Kebangkitan Dua ekor prenjak Hinggap di pucuk cempedak
Siapa datang hari ini Dua ekor prenjak Riang suara gelak Siapa disambut angin sepoi
Dan muadzin tua Di atas tikar sujudnya Mengangkat tangan Puji syukur Ya Rabbi Pucuk rumah desa Menunduk bersama 67 Pucuk pohon desa Merunduk bersama

Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa datang hari ini Dan muadzin tua Berdiri di pintu masjid Telah pulang hari ini Si anak hilang Si anak hilang Bertubuh pualam Bermata bening zam-zam, wahai
Di keningnya terpahat Hamzah di padang Uhud, ketika
Darah menetes dari lambungnya
Bukit-bukit merunduk, ketika
Isa mengucap khotbah Laut membelah, ketika Musa dalam pengejaran Ismail mengucap 'Ya', dalam
Kilau pedang Bapanya Telah datang hari ini Si anak hilang *** Wajah Dunia yang Pertama Dik Lastri sedang mengaji
Aku termangu sendiri di kamar
Wajah dunia yang pertama Putih-putih salju Mengalir dari ayat-ayat Damailah hingar-bingar hari ini
Lumat dalam alun bunyi Maka Adam dan Hawa pun putih kembali
Maka anak-anak Adam dan Hawa
Dentang senapan terlindih sepi
Pekik pertempuran terhenti
Para serdadu bersama terbantai
Tersayat keramat ayat-ayat
Tidak terdengar lagi hingar-bingar hari ini
Ketika senja terbenam Ayat-ayat menghilang Dunia pun jadi hitam Dalam gelap malam Terdengar lagi hiruk-pikuk hari ini
68 Wajah dunia yang pertama Ke mana bersembunyi Dalam deru mesin atau mulut bedil
Kurindukan lagi wajahmu yang pertama
Tidakkah akan kembali bersama ayat-ayat suci
Tidakkah akan bertemu lagi
Salam sampai akhir nanti XIII MENCARI AKAR (Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat dia dibesarkan. Kakek bercerita).
1 Kami juga dengar kau disidangkan, tapi belum sempat menjenguk. Alhamdulillah,
kau sudah pulang, tak kurang suatu apa, malah sepertinya tambah gemuk. Ditahan"
Sudah betul, kau harus jadi pemberani. Kita ini jelek-jelek keturunan orang
berani. Mula-mula desa kita adalah sebuah perdikan, artinya tidak perlu setor
pajak pada raja. Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit
keraton. Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari
perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia mendapat
hadiah sebuah hutan gung liwang-liwung, hutan lebat.
Kalau orang sekarang mendapat hutan itu ibarat dapat rezeki nomplok. Siapa
mendapat HPH tinggal ongkang-ongkang di kota, duit terus mengalir. Ia dapat menyewakan HPH-
nya. Dulu tidak. Dapat hutan artinya dia harus babad, membuka hutan supaya jadi
desa. Konon hutannya angker, pohon-pohon besar, banyak jin priprayangan, dan
binatang buas. Bagaimana tidak angker, dulu hutan itu kerajaan jin. Bukan
sembarang jin, tapi jin yang beringas dan galak-galak. Kalau ada jin bersalah
dengan manusia, ke sinilah membuangnya. Kalau jin berkelahi dengan sesama jin,
ke sinilah dihukum. Dia tidak surut, kehilangan nyali. Dia mengumpulkan orang. Pohon-pohon besar dan
wingit ditebang.Dia sendiri selalu menunggui orang-orangnya. Sebab, waktu itu-
sekarang saja juga demikian-pohon-pohon tua dan besar itu dikira banyak
penghuninya, dikeramatkan. Orang semula takut menebang. Hanya setelah dia
mengucapkan doa-doa pengusir jin, orang berani menebang. Pendek kata pekerjaan
tebang-menebang selesai. Sawah-sawah dicetak, tegalan dibuka, jalan-jalan
dibuat, rumah-rumah dibangun. Dia memagari desa dengan pagar yang tampak dan
pagar tak tampak. Desa aman, damai, tenteram. Dia dan orang-orangnya menjadi
penghuni pertama desa kita. Orang-orang lain berdatangan. Melihat ada sungai,
air yang melimpah, bebas banjir, tidak ada binatang buas, tidak ada jin nakal,
tidak ada pencuri. Eyang jadi lurah pertama. Meski masih muda, ia dicintai rakyat, disegani kawan,
ditakuti lawan. Desa kita menjadi tempat hunian yang makmur. Sawah menguning
seperti permadani. Sungai desa memberi ikan. Pekarangan ditanami sawo, jeruk, dan mangga. Lumbung-
lumbung padi ada di setiap rumah. Padi ditukarkan jadi pakaian, jadi meja-kursi,
jadi gelang emas. Pada hari raya orang mengenakan pakaian bagus-bagus,
perhiasan, dan wewangian. Orang desa kita juga merajai pasar, kerbau-kerbau
membawa beras, sayur, kain ke pasar-pasar sekitar.
Rupanya kemakmuran desa kita itu tidak berkenan di hati penduduk desa sekitar
yang sudah lebih dulu ada, kasarnya membuat orang lain iri hati. Suatu kali
penduduk desa kita sedang memikul beras di pasar, dan kebetulan menyenggol
penduduk dari desa lain. Orang itu minta maaf, dan sudah dimaafkan. Tapi tidak
berhenti di situ saja. Lain hari datang ratusan orang dari desa lain dengan
kelewang, cangkul, arit, dan pedang. Terjadi perang antar desa. Tetapi, dasar
para penghuni desa kita kebanyakan bekas prajurit, alhadulillah desa kita selalu
menang perang. Eyang lalu diangkat jadi demang, lebih tinggi dari lurah tapi
lebih rendah dari camat. 69 Jalan desa kita jadi jalan dagang, sebab terkenal aman. Setiap hari akan
terdengar suara, kluntung-kluntung-kluntung, suara genta dari kerbau pembawa
dagangan. Gangguan dari makhluk kasat mata tidak ada lagi. Suatu hari orang tergopoh-gopoh
datang pada Eyang. Kemudian ada gangguan dari lelembut.
"Celaka, Den Demang. Istri saya mengigau. Katanya penduduk telah menggusur
rumahnya." Satu orang baru selesai bicara, seorang lagi datang.
" Den, anak saya sakit panas. Malam hari datang rerupaan, mengancam akan
mencekik kalau kami tak pindah."
Seorang lagi datang, " Den, ayah mengamuk. Katanya akan membabat habis semua
orang desa." Eyang sadar, ia berhadapan dengan makhluk halus. Ia bilang pada orang-orang, "
Jangan khawatir! Ini mesti ulah Raja Gaple."
Raja Gaple adalah sebutan untuk kepala lelembut yang tinggal di kuburan desa.
Disebut "gaple"
karena konon hobinya ialah judi. Orang yang malam-malam lewat dekat kuburan desa
sering melihat dia sedang berjudi dengan teman-temannya. Eyang menghunus pedang
wasiat, lalu malam-malam pergi ke kuburan. Tentu ia juga punya senjata batin.
" He, Gaple. Keluar kamu! Jangan ganggu saudara-saudara
Gaple tidak keluar, mana ia berani sama Eyang. Malam itu juga orang mendengar
suara-suara di kegelapan, "Ampun-ampun. Kapok aku." Gaple sedang menghajar
bawahannya yang nakal. Pagi hari orang-orang sembuh.
Ceritanya ada kraman-pemberontakan-sudah mendekati keraton. Raja mengumpulkan
para abdi dalem. "Siapa dapat menundukkan pemberontak kalau laki-laki saya ambil menantu, kalau
perempuan saya jadikan anak angkat."
Tidak seorang pun yang hadir berani mengangkat muka, apalagi menyanggupkan diri.
Konon kepala pemberontak itu sakti mandraguna, pengikutnya saja tidak mempan
senjata tajam dan senapan. Baru mendengar nama kepala pemberontak saja semua
priyagung sudah kehabisan nyali, menjadi pucat-pasi macam kertas, menggigil.
Kemudian raja bertanya pada peramal istana.
"Yang dapat mengalahkannya ialah kepala perdikan yang dulu juga menyelamatkan
Raja." Maka diutuslah orang menemui Eyang.
"Ikulah sayembara."
"Kami sudah melupakan perang dan kekerasan, kami pilih jadi petani," kata Eyang.
Macam-macamlah usah orang untuk meyakinkannya mengikuti sayembara. Tidak
digubris. "Kami tidak akan mengikuti sayembara, tetapi kalau raja memerintahkan tidak akan
kami tolak." Utusan kembali. Raja menulis surat kekancing, mengangkatnya jadi senapati, dan
memerintahkannya melawan pemberontak. Maka berangkatlah mereka. Seperti
diramalkan, mereka menang. Eyang mendapat putri raja. Jadi, dari Eyang kita ini
turunan prajurit dan dari Eyang Putri kita ini ada darah raja. Kisah ini saya
ceritakan untuk membesarkan hatimu.
2 Gangguan selanjutnya datang dari binatang. Dulu ada hutan lebat, kemudian hutan
dibabat. Tentu saja ini mengurangi hak binatang untuk mencari makan. Suatu hari orang
melihat seekor harimau dekat sungai. Ternyata harimau semakin banyak. Kerbau,
kambing, sapi jadi sasaran."Kyai, jangan ganggu kami. Kiai, jangan ganggu kami," kata orang desa.
Tetapi, dasar binatang! Binatang ternak jadi tidak aman. Orang datang kepada
Eyang, mengadu. Eyang tahu apa yang harus dikerjakan. Setiap kelompok, baik
manusia, jin, atau binatang itu pasti ada kepalanya. Ia menemui Raja Harimau,
meyakinkan bahwa jamannya sudah berubah. Bahwa Tuhan Maha Adil. Bahwa semua
makhluk-Nya akan diberi makan. Bahwa desa adalah tempat manusia. Dianjurkannya
harimau pindah tempat, di bukit-bukit, yang tidak dihuni manusia.
Tidak ada ceritanya dari mana ia belajar bahasa binatang, yang penting desa lalu
aman dari gangguan harimau.
70 Nama Eyang segera melambung, dari desa ke desa orang banyak membicarakannya,
menambah-nambah sesukanya, ya sepanjang-panjang lorong masih panjang kerongkong.
Pengalaman Eyang sebagai lurah dan demang, membawanya pada pengalaman-pengalaman
baru yang sangat jauh dengan kepandaian semula sebagai prajurit. Coba, Eyang
kemudian dikenal sebagai dukun penolak bala,sebagai orang yang berani menebang
pohon-pohon keramat, dan sebagai orang yang bisa bicara dengan binatang.
Di desa lain, ada pasangan pengantin baru yang sudah lama tak juga akur-akur,
padahal mereka saling mencintai. Setelah ditanya dengan berputar-putar ke sana-
ke mari, akhirnya ditemukan sebabnya. Pasalnya,setiap mau tidur bersama,
pengantin laki-laki tampak berbulu seperti kera.
Tentu saja itu bukan hanya membuat pengantin perempuan kehilangan selera, tapi
juga lari ketakutan. Orangtua pengantin laki-laki datang pada Eyang untuk minta
nasihat, "Tolonglah kami, Lurah Demang." Mau diterima, hal itu di luar
kepandaian Eyang. Tidak diterima, nanti sangat mengecewakan. Akhirnya, kalah
cacak menang cacak, coba-coba, ia menyanggupi juga.
Ia berpikir keras. Pasti suami itu kena santet. Ia datang ke tempat itu, melihat
keadaan suami, dan berdoa untuk menghilangkan sihir. Alhamdulillah, semua
berjalan lancar. Tepat sembilan bulan sepuluh hari kemudian seorang bayi lahir
dari pasangan itu. Ini cerita Eyang jadi pengusir jin, penunggu pohon-pohon. Yang biasa banyak
penunggu-nya memang pohon beringin, tapi ini cerita tentang pohon randu, besar,
tua, tinggi, dan keramat di sebuah pekarangan. Orang dulu biasa menandai desanya
dengan pohon, "Itu lho, desa yang kelihatan pohon anu-nya."
Ada orang datang dan mengeluh pada Eyang, "Lurah, pohon randu di pekaranganku
terlalu tinggi. Kalau tumbang pasti rumahku kerobohan. Tidak seorang pun berani
menebang. Orang-orang takut, kata mereka pohon itu banyak penunggunya. Jadi
orang takut kualat. Tolong ditunggui, supaya orang berani."
Sehari sebelum hari penebangan, Eyang datang. Malam hari dia sengaja tidur dekat
pohon untuk meminta para penghuni pergi. Bekalnya" Al-Qur'an. Eyang jadi semacam
kuasa hukum yang punya pekarangan, ya pantasnya bawa Kitab Undang-Undang.
"Lho! Kami lebih dulu di sini kok malah disuruh pergi. Ketemu berapa perkara?"
"Iya, kampung itu milik manusia. Ini sudah sunnatullah. Ada perintah Tuhan pada
manusia untuk bertebaran di muka bumi. Perintah itu untuk bangsa manusia, bukan
untuk bangsa jin. Ini!"
Eyang lalu membuka Al-Qur'an, menunjukkan ayat itu. "Jin bisa tinggal di mana
saja. Di laut, di gunung, di batu-batu. Ada hujan tidak basah, ada matahari
tidak panas, ada api tidak terbakar." Setelah berunding jin-jin setuju pergi,
lalu boyongan malam itu juga. Malam itu orang-orang desa mendengar tapi tak
melihat langkah ribut-ribut, kesiur angin, dan omongan-omongan, "Ayo, Kang. Ayo,
Yu." Pagi harinya orang-orang pun menebang pohon.
Waktu mereka menebang datang seorang perempuan tua.
"Hentikan pekerjaan itu. Cucuku pasti kesurupan. Katanya rumahnya sedang
dirobohkan." Orang segera melapor pada Eyang yang menunggui penebangan. Eyang pun ke rumah
orang itu. "Ini tidak sesuai dengan kesepakatan. Pergi ya pergi," katanya kepada maklhuk
halus dalam tubuh bocah itu.
Seketika itu juga bocah itu sembuh.
3 Eyang bisa juga jadi dalang. Dulu ia terkenal di sekitar sini, malah sering
mendalang di kota. Maka kalau Pak De dan kau sendiri bisa mendalang itu namanya sudah klop. Nah,
seperti biasa dalam hidup ini, sepandai-pandai kau bergaul, selalu saja ada
orang tidak suka padamu. Demikian juga Eyang. Sedang asyik-asyiknya dia mendalang, ada yang menyeterui.
Wayang yang ditancapkan di batang pisang tidak bisa dicabut. Eyang tahu
seseorang sedang berupaya untuk menjatuhkan kewibawaannya. Waktu itu Arjuna
sedang menghadapi Cakil. Tiba-tiba saja Arjuna melemparkan panah, melemparkan
keris. Keduanya mengenai tiang kayu, menancap.
Arjuna bilang, "Heh, orang jahat. Apa maumu" Jangan sekarang, nanti saya
layani." 71 Sudah itu wayang-wayang dengan mudah dicabut. Kemudian ada orang datang minta
maaf. Tentu saja Eyang memaafkan, dan orang itu lalu jadi seperti saudara. Mengapa,
demikian tanyamu" Orang dulu itu sportif, mau mengakui kekalahan. Selanjutnya
tidak ada orang berani jahil pada Eyang.
Ini masih kelanjutan cerita soal Eyang sebagai dalang.
Eyang sudah bersepakat untuk mendalang di suatu pesta perkawinan. Waktu itu
terang bulan, jadi Eyang memutuskan untuk datang pada waktunya. Datang tinggal
njejak, artinya datang tinggal memulai. Meskipun Eyang juga punya seperangkat
gamelan dan wayang, tapi waktu itu gamelan, wayang, dan niyaga sudah diusahakan
orang yang mengundang. Waranggono alias penyanyi" Waktu itu belum ada, dalang ya
menyanyi ya banyol. Ya mengajarkan kebijaksanaan, pokoknya komplitlah.
Kisahnya Eyang harus melewati sebuah hutan, ya berani saja, masih sore, terang
bulan lagi. Eyang naik kuda, rasanya sudah lama, kok tidak keluar-keluar dari hutan.
"Lho! Ini kan pohon jati di tengah hutan itu, to."
Eyang sadar bahwa dia hanya berputar-putar dalam hutan. Baru sadar, pasti dia
sedang disesatkan dalam hutan. Tiba-tiba hutan jadi gelap. Pohon-pohon merunduk
menghalangi jalannya. Tahulah dia penunggu hutan menjahilinya Kudanya meringkik
keras, menyepak-nyepak dengan kaki depan, tak terkendali. Eyang turun dari kuda,
lalu menghunus pedang, menantang, "Ayo! Jangan coba-coba bersembunyi! Aku tahu,
siapa kau." Hutan jadi terang benderang kembali dan dia meneruskan perjalanan.
Sampai di tempat, orang-orang sedang sibuk membenarkan letak gamelan. Sepertinya
ada bekas orang ngamuk, mengangkati gamelan.
"Apa yang terjadi?"
Orang-orang hanya saling pandang.


Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami tidak tahu, Kiai."
Mereka baru bicara, ketika tiba-tiba ada perempuan dengan rambut terurai datang,
melabrak mereka. Katanya, "Mana makanku" Mana makanku?"
Tahulah orang bahwa perempuan itu kemasukan jin perempuan. Pemilik rumah datang
tergopoh-gopoh. "Jangan marah. Jangan marah. Akan kami sediakan," katanya.
Eyang melarang pemilik rumah menyediakan sesajen kepada danyang desa. Melihat
pemilik rumah berjanji kepada jin, kata Eyang, "Jangan! Akulah yang bertanggung
jawab," kemudian kepada perempuan yang kemasukan, "Pergi! Atau kuusir dengan
paksa." Kemudian perempuan itu bersimpuh, menyembah-nyembah, "Ampun, ampun, Kiai. Aku
kapok." Perempuan itu lalu lemas, orang-orang menggotongnya masuk.
Kata Eyang kepada yang hadir, "Jangan pernah menyerah pada lelembut. Itu syirik.
Ketahuilah, manusia itu makhluk paling mulia!"
Kemudian wayang pun dimulai.
Suatu kali Eyang, gamelan, wayang, dan niyaga semuanya diboyong untuk ditanggap
oleh seorang yang kaya-raya. Wah, suguhannya mengalir seperti air. Tiba-tiba
cuaca berubah, jadi mendung. Dapat dibayangkan pasti petani bersorak, hujan
memang sudah lama dinantikan.
Karuan saja pemilik rumah minta supaya Eyang menolak hujan.
"Tidak bisa, hujan itu sunnatullah. Anugerah untuk petani."
"Tolong, Kiai. Tamu-tamu, penonton, nanti bagaimana?"
Waktu itu sekaya-kaya orang, atap tambahan mesti pakai bertepe dari daun kelapa.
Panas dapat menahan, tapi kalau hujan pasti ada bocornya. Benar, tamu-tamu
kehujanan dan penonton sepi. Biasanya Eyang tidak sekeras itu, hanya pemilik
rumah memang perlu diberi pelajaran. Lha wong menolak hujan itu sebenarnya
bukannya menolak, tapi memindahkan. Jadi sebenarnya hujan malahan dapat dipindah
ke atas sawah, tapi Eyang memang sengaja.
4 72 Ini pengalaman Eyang sebagai juru sunat. Juru sunat pada waktu itu orang
istimewa. Selain penduduk masih sedikit, juga karena sunat itu dipandang sebagai
peristiwa istimewa, waktu seorang pemuda sudah berani menyabung nyawa.
Suatu kali seseorang datang pada Eyang, "Tolong Kiai Lurah Demang, anakku sudah
berumur dua puluh tahun, tapi belum juga mau sunat." Waktu itu anak laki-laki
baru sunat dekat sebelum kawin, tujuh belas, delapan belas, atau sembilan belas.
Sunat lebih dilihat sebagai syarat kawin dari pada laku keagamaan.
"Pasti ada yang tak beres," pikir Eyang.
Eyang minta dipertemukan dengan pemuda itu. Setelah ngomong berputar-putar
ketahuan bahwa seorang peramal mengatakan padanya bahwa dengan sunat berarti
ajalnya akan sampai. Dengan susah payah akhirnya Eyang bisa meyakinkan pemuda itu bahwa lahir, jodoh,
rezeki, nasib, dan mati itu sepenuhnya di tangan Tuhan. Pemuda itu mau sunat,
asal juru sunatnya ialah Eyang. Wah, padahal Eyang bukan ahlinya. Ada Hadits
Nabi yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu harus diserahkan ahlinya. Maka
Eyang minta waktu satu tahun.
Demikianlah mulanya Eyang jadi juru sunat. Eyang kemudian magang kepada juru
sunat paling terkenal saat itu.
"Mosok Lurah mau jadi murid saya."
"Iya. Jangan segan-segan memberi perintah," kata Eyang pada gurunya. "Meski saya
sudah cukup umur, Guru."
Gurunya bangga punya murid seperti Eyang. Lurah, demang, dalang, dukun. Eyang
disukai gurunya karena cekatan, teliti, dan pembersih. Mula-mula hanya sebagai
pembawa kotak pisau. Lalu dipercaya menggodok pisau supaya bebas-kuman, kemudian sebagai tukang peme-
cah telur untuk penahan rasa sakit, akhirnya pembuat ramuan-ramuan supaya cepat
sembuh. Dan yang terakhir sekali Eyang dipercaya menggunakan pisau.
Setelah diwisuda jadi juru sunat, Eyang mulai praktik. Tentu saja pemuda itu
jadi orang pertama yang didandani Eyang. Sejak itu Eyang juga dikenal sebagai
juru sunat. Meskipun hanya amatiran, tapi kerjanya profesional. Waktu itu juru
sunat belum bisa jadi pekerjaan .
Banyak yang minta disunat, hanya karena mengharap berkahnya.
Setelah sungguh-sungguh jadi juru sunat ada-ada saja orang yang tidak suka. Ini
masih cerita tentang pemuda yang dulu itu. Melihat anaknya sudah berani sunat,
orangtuanya sudah mencarikan jodoh. Dua bulan setelah disunat, lukanya tidak
juga sembuh, bengkaknya terasa tambah membesar. Padahal bulan dan hari
pernikahan sudah ditentukan. Adalah aib besar, kalau pada hari perkawinan
sunatnya belum sembuh. Dulu itu ada yang disebut gendhel, bekas sayatan yang
membengkak. Untuk menyembuhkannya orang biasa mencari batu-batu yang
panas dan ditempelkan, dengan harapan bengkak itu segera mengering. Tetapi,
mungkin batu itu justru yang menyebabkan bengkaknya tidak juga sembuh.
Istilahnya sekarang mungkin batu itu tidak steril. Pemuda dan orangtuanya
gelisah, jangan-jangan ramalan itu benar. Mereka datang pada Eyang.
Eyang membuat ramuan yang istimewa, dan melarang pemuda itu menggunakan batu.
Setengah bulan kemudian bengkaknya kempes- pes. Sebagai tanda terima kasih, pada
hari perkawinan Eyang mendapat kiriman makanan satu jodhang, satu kotak besar
berisi makanan. Nah, soal sunat-menyunat itu hanya soal biasa, soal yang tidak
aneh. Tidak ada jimat-jimatan, segalanya masuk akal. Tetapi, ada yang aneh.
Ada yang tidak suka dengan sukses Eyang sebagai juru sunat. Suatu kali Eyang
sedang bekerja. Pisau yang dipakainya rasanya sangat tajam, tapi tak juga mempan untuk mengiris
kulit yang lunak itu. Eyang sudah mencobanya dengan menerbangkan kapas, lalu
kapas yang terbang itu ditebas dengan pisau. Dan kapas itu terbelah. Kulit itu
sepertinya belulang kering yang sangat alot. Tentu saja yang punya blingsatan,
berteriak-teriak kesakitan, keringat mengalir. Semua yang hadir panik. Ada yang
tak beres. Sadarlah Eyang bahwa seseorang sedang menjahilinya.
Maka dengan mengucapkan bismillah dipakainya kukunya untuk bekerja. Dengan mudah
Eyang menyelesaikan pekerjaan . Takut dengan pembalasan Eyang, orang yang
menjahilinya datang dan minta ampun.
Suatu sore Eyang sedang leyeh-leyeh di pendapa. Waktu itu hujan turun rintik-
rintik. Bulan tertutup mendung. Tidak terduga ada kereta kencana yang ditarik
empat ekor kuda putih besar 73
berhenti di halaman. Ada orang turun, pakai kuluk, topi bulat datar puncaknya.
Pakaiannya seragam abdi dalem keraton. Orang itu lalu duduk dan menyembah. Tentu
saja perlakuan yang luar biasa itu mengejutkan Eyang.
"Mohon maaf. Saya diutus Raja untuk menjemput Yang Mulia. Yang Mulia diminta
untuk menjadi juru sunat, karena Putra Mahkota ingin sunat."
Entah kenapa tiba-tiba Eyang merasa kalau memang hari itu sudah ada janji dengan
orang itu untuk jadi juru sunat. Eyang segera mengemasi barang-barangnya. Bahkan
Eyang lupa untuk pamit pada Eyang Putri. Dia naik kereta dan sss dalam sekejap
sudah sampai di depan istana.
Ternyata istana itu terang-benderang, atapnya dari emas, banyak undangan
bersliweran, ada yang berkereta ada yang jalan kaki. Tampak bahwa kedatangan
Eyang sudah ditunggu-tunggu.
Seperti sudah seharusnya demikian, Eyang tidak merasa aneh ada abdi dalem
membukakan pintu kereta, ada abdi dalem membawakan kotak sunatnya, ada abdi
dalem merebus pisau-pisaunya, ada abdi mengantarnya ke tempat upacara. Nama
tempat itu ialah krobongan, tempat duduk orang yang disunat dengan hiasan macam-
macam. Di sanalah Eyang dipertemukan dengan Raja. Eyang tahu kalau dia Raja dari tempat duduk dan para
pembesar yang mengelilinginya. Eyang akan duduk di lantai dan menyembah. Raja
melarangnya: "Sembah dan duduk di lantai hanya berlaku bagi orang dalam, sedangkan kau adalah
tamu yang justru harus kami hormati."
"Terima kasih, Raja," Eyang pun duduk di kursi. Baru sekali itulah ia duduk di
kursi waktu menghadap raja.
"Bagaimana, bisa kita mulai?" tanya Raja pada petugas.
"Sudah, Raja." Kemudian gamelan berbunyi. Putera mahkota diiringkan ke krobongan. Eyang
dipersilakan bekerja. Selesai. Eyang berpamitan pada Raja.
"Kami tidak punya apa-apa. Ambillah yang di meja itu," kata Raja.
Di meja ada beberapa bongkah emas.
"Tidak, Raja. Kehormatan ini cukup sebagai upah."
"Jangan begitu. Kau punya istri dan anak-anak. Ambillah untuk mereka, kalau
tidak untuk kamu." Eyang tidak mengambil. Kemudian Raja berdiri, mengambil sebongkah emas, dan
dijejalkan di saku Eyang. Lalu Eyang diantar pulang dengan kereta yang tadi dan
turun di halaman. Pengantar pamit, masuk dalam kereta, dan menghilang. Eyang baru sadar kalau Raja
Jin mengundangnya untuk jadi juru sunat.
5 Cepatlah kawin. Mumpung Kakek dan Nenek masih bisa menunggui.*
XIX BUMI GONJANG-GANJING LANGIT MEGAP-MEGAP 1 Orang tua itu tiba-tiba sajamuncul di Pasar Tegalpandan. Hari itu Hari Pasar.
Laki-laki itu berambut putih panjang yang dibiarkan terurai, sebuah sisir
melingkar di kepala, cincin akik besar-besar di jari kanan dan kirinya, jubah
putih, mengempit kain putih. Ia berjalan sambil melihat-lihat,nampak bahwa dia
sedang mencari tempat. Beberapa laki-laki dan anak-anak mengikutinya, tertarik
dengan penampilannya. Setelah menemukan sebuah gundukan agak meninggi, dia
menoleh kanan-kiri, dan berhenti. Merasa cocok, ditebarkannya kain putih yang
lebar, lalu duduk di atasnya. Sementara itu dalam waktu sekejap telah terbentuk
lingkaran. Dia berdiri di gundukan dan mulai dengan pidato pengantar:
74 "Saudara-saudara pasti belum kenal saya. Maklum sekarang ini yang penting adalah
Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Bupati. Rakyat seperti saya tidak perlu
diperhitungkan, tidak perlu didengar, tidak perlu digubris, dilupakan. Dala
kampanye Pemilu memang ada obral janji untuk rakyat, membangun ini itu. Tapi
pelaksananya, wo, tahi kucing, jangan tanya. Nol besar.
Diperkenalkan nama saya ialah Kismo Kengser, artinya "tanah tergusur". Sebelum
jadi peramal, jelek-jelek saya ini petani kaya. Lha suatu hari Pak Lurah datang
dan bilang, 'Negara butuh pengorbananmu'. Lurah minta supaya saya rela melepas
tanah, sebab negara mau membangun sebuah terminal bis. Dasar orang kecil yang
bodoh, tanah saya lepaskan dengan harga dua gelas kopi semeternya. Ee, tunggu
punya tunggu di atas tanah saya berdiri rumah-rumah mewah.
Tanah saya telah dijual pada perusahaan perumahan. Sampai sekarang, saya hanya
gedek-gedek dan gigit jari. Ayo siapa duluan" "
Seorang laki-laki dengan sarong maju. Lalu mereka duduk. Laki-laki bersarong itu
berbisik, tapi cukup keras untuk semua orang dalam lingkaran. Ia mengemukakan
bahwa ia peternak ayam ras. Tapi akhir-akhir ini harga makanan ayam melejit.
Ayamnya banyak mati. Di mana letak keberuntung-annya" Berdagang, berternak
kambing, atau kembali jadi petani"
Laki-laki tua itu memejam mata sambil memegang telapak tangan laki-laki
bersarong, kerumunan diam tidak berisik ingin mendengar jawabnya. Laki-laki tua
berbisik di telinga, tapi bisikan itu cukup keras sehingga kerumunan itu
mendengar. Katanya, "Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah
kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi,
tidak oleh bangsa lain tapi oleh bangsa sendiri. Mengenai usahamu, peliharalah
ayam kampung atau bebek. Hindarilah ketergantungan pada pabrik."
Laki-laki bersarong memberi uang pada laki-laki tua, lalu mundur. Laki-laki tua
berdiri. Ia mulai lagi dengan pidatonya:
"Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera ambruk, sebab
ketakadilan sudah ada di mana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong, tapi maling
betulan, maling berdasi, maling berbintang, maling berpendidikan. Persekongkolan
penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Mereka adalah
badut-badut. Mengaku polisi padahal sebenarnya maling. Mengaku satriya padahal
sebenarnya perampok-perampok. Apa yang
dirampok" Hutan kita dibabat habis, perutbumi kita tambangnya dikuras, tanah
dibukit-bukit dikapling, tidak tersisa unutuk anak-cucu, wong cilik digusur
semena-mena. "Orang berbisik-bisik, lalu berkata, lalu berteriak:
"Betul, betul. Betul, betul. Betul, betul!"
Pidato orang tua itu makin berapi-api, mengepalkan tinju:
"Pancasila, Saudara-saudara" Pancasila-pancasilaan,tahi kucing. Ini negara
perampok, bukan negara Pancasila. Karenanya wong cilik seperti kita harus
bersatu. Menggantung para perampok."
"Setuju!" "Gantung!" "Hukum mati!" Tiga orang berseragam polisi masuk ke lingkaran. "Minggir, minggir!" Polisi itu
mendatangi laki-laki tua.
"Bapak kami tahan!"
"Lho! Apa salah saya?"
"Menyebar kebencian."
"Kok polisi, bukan tentara" Mana surat tugas?"
"Jangan banyak omong, ikut saja!"
Laki-laki tua menggulung kain putih, mengikuti polisi, dan segera kabur.
Kerumunan itu bubar, tapi di kepala mereka ada kesimpulan:Polisi sewenang-
wenang. Orang tua itu benar,
pemerintah pasti akan segera turun. Ibarat ikan, dia menggelepar-gelepar waktu
akan mati. 2 Tegalpandan dapat hujan kiriman, artinya hujan pada musim kemarau. Hujan lebat
itu disertai angin ribut. Orang-orang berpikir bahwa hujan salah musim dan angin
ribut pasti pertanda buruk. Orang takut keluar rumah, gardu Siskamling sepi.
Hanya piket polisi di kecamatan yang 75
bertahan. Orang mengkhawatirkan beringin di terminal setiap kali ada angin
besar. Orang sekitar terminal mendengar suara, "Rak-rak-reketeg! Brrruk!" Suara
itu sebenarnya cukup keras, tapi tertutup oleh gemerosak hujan dan angin ribut.
Lhadalah! Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal.
Beringin itu tumbang! Pohon yang selama ini tegak menghadapi hujan dan angin itu
terbujur, akar-akarnya mencuat di atas tanah. Orang-orang sekitar terminal
merubung, orang-orang lain merubung.
"Saya mendengar teriakan-teriakan, 'Rumah kita! Rumah kita!'"
"Saya mendengar tangis perempuan, 'Mana anakku"'"
"Saya mendengar suara gedebak-gedebuk, sepertinya peng-huni beringin itu sibuk."
"Saya mendengar langkah orang banyak sekali, 'Ayo pindah, ayo pindah!'"
Mereka mengurumuni pohon yang tergeletak di tanah. Mereka tertegun. Ada
ketakutan di wajah mereka. Pohon tua, yang entah kapan menanamnya. Pohon yang
sudah menyatu dengan Tegalpandan. Waktu mereka kawin meskipun sedikit harus
mengambil hiasan daun-daunan berasal dari pohon itu. Orang-orang tua masih
membakar kemenyan di bawahnya. Pagi itu ada aturan baru untuk bis. Orang-orang
pasar juga memerlukan menengok beringin itu sebelum memasang dagangan.
Kalurahan Tegalpandan rapat LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa).
"Kita akan mengadakan selamatan," Lurah membuka pertemuan.
Seorang yang dikenal sebagai guru SLTP dan aktivis Muhammadiyah bilang:
"Nanti dulu, Pak Lurah. Beringin itu sudah sewajarnya tumbang. Daunnya terlalu
rimbun, akar serabutnya tak kuat menyangga."
"Lha, iya betul. Rimbunnya sudah dulu-dulu. Akar serabut ya sejak dulu. Hujan-
angin ya sudah dulu-dulu. Kok tumbangnya baru sekarang?"
"Itu kebetulan saja!"
"Ah, tak mungkin tak ada apa-apanya."
"Mungkin betul kata peramal dulu itu, itu tandanya pemerintah yang perkasa akan
runtuh." "Sst, sst. Dibatin saja."
"Kalau begitu, apa peduli kita dengan beringin?"
"Jangan beringinnya yang dipikir. Tapi warga desa."
"Warga yang mana" Saya juga warga."
"Buang-buang uang" Mubazir."
"Ini namanya demokrasi."
"Jangan dipolitisir."
"Danyang ...." "Tidak ada danyang-danyangan. Kalau ada namanya jin."
"Masak manusia kalah sama jin."
"Ini tahun 1997, tidak 1799."


Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rapat desa itu deadlock alias tak menghasilkan keputusan. Tak menghasilkan
keputusan artinya sudah ada keputusan bahwa tak akan ada selamatan.
Pohon tumbang itu jadi tontonan gratis. Orang berdiri mengelilinginya. Ck, ck,
besarnya. Ck, ck, akarnya. Ck, ck, daunnya. Untuk beberapa hari kegiatan desa
ialah membersihkan reruntuhan pohon. Daunnya, cabangnya, dan akar tunggangnya.
Pohon dan pangkalnya laku dijual. Ada tiga orang datang untuk membelinya. Maksud
orang ialah hasil penjualan bisa untuk biaya selamatan.
Tahu bahwa tidak akan ada selamatan, orang-orangtua kum-pul di sekitar pohon.
"Sebenarnya beringin itu telah menyediakan sendiri biaya selamatan."
"Sayang mereka yang ikut rapat itu kebanyakan anak kemarin."
"Banyak orang baru. Banyak pendatang."
"Selamatan itu tak perlu mahal. Cukup dengan seekor ayam, yang perlu doa Pak
Modin." Selama beberapa hari tidak terjadi hal-hal yang istimewa. Tapi pada hari ke-5
sejak beringin itu tumbang orang mendatangi rumah Lurah. Semuanya merujuk ke
pohon beringin. "Lurah, saya setengah bangun setengah tidur didatangi orang tinggi besar. Orang
itu minta rumah." "Lurah, anak saya mengigau minta makan."
"Lurah, anak saya tidak mau makan. Saya ke Puskesmas, katanya anak saya tidak
apa-apa." 76 "Lurah, ayah saya sekarang suka marah-marah. Mengusir semua orang, termasuk
saya." Lurah kebingungan. Untung pada hari ke-6 seorang dukun tua mendatanginya. Dia
mengatakan: "Jangan menuruti LKMD. Kerjakan yang terbaik menurut Lurah."
"Tetapi begitulah hasil musyawarah."
"Ini bukan urusan musyawarah, tapi soal keselamatan. Tegas sedikit, begitu."
Singkatnya Lurah berkeputusan untuk menyelenggarakan selamatan, tanpa LKMD,
tanpa musyawarah. "Satu sen pun tidak diambil dari kas desa," katanya pada setiap
orang. Lurah segera menghubungi Abu Kasan Sapari.
Abu Kasan Sapari berjalan hilir-mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah
memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah
menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara
Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon
tumbang. "Ini benar-benar kemun-duran," pikirnya. Kepada Lurah dikatakannya bahwa dia
minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat
Lastri. "Mudah saja. Jangan sebut itu selamatan," kata Lastri.
"Lalu?" "Ruwat Bumi, atau apa begitu."
"Wah kok cerdas, Yu."
"Itulah pengalaman Kakek saya."
"Kakeknya juga suka mendalang, to?"
"Iya, amatiran saja. Misalnya, kalau tujuhbelasan. Tapi sudah almarhum."
"O, begitu. Lalu?"
"Undang seorang ustadz untuk berceramah sebelum wayang dimulai."
"Lalu?" "Jangan pakai sesaji. Kata orang, itu malah mengundang setan."
"Lalu?" "Kok tanya terus."
"Terima kasih, Yu. Ini benar-benar jalan tengah."
Abu Kasan Sapari menyatakan setuju, dengan sejumlah persyaratan. Mereka semua
puas. Jadilah! 3 Karena dianggap tidak sukses dalam Pemilu, Bupati Karangmojo diganti. Sejumlah
camat juga diganti, termasuk Camat Tegalpandan. Para pegawai yang sudah biasa
dengan urusan ganti-mengganti sesudah Pemilu tidak lagi heran. Bahkan orang bisa
meramal: camat ini akan diganti, bupati itu akan dimutasi. Tidak ada upacara
selain Sertijab (Serah Terima Jabatan).
Kepada para lurah Camat Tegalpandan mengatakan, "Kita ini orang kecil, ya monat-
manut saja. Lain dengan Bapak-bapak." Camat baru Tegalpandan dikabarkan sangat kukuh
semangat Randunya. Sukses atau tidak Pemilu di desanya, di desa-desa Tegalpandan Mesin Politik
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap para lurah. Cara Mesin Politik menghukum
desa hanya dengan mempersulit program listrik masuk desa, menelantarkan desa
dalam pembangunan jalan, menghambat kredit untuk petani, dan tidak mengikutkan
desa dalam program-program pembangunan. Calon yang dijagoi Mesin Politik,
sebaliknya, akan mengobral janji, "Jalan!", "Kredit", atau "Listrik!"
Demikianlah ketika ada lowongan untuk lurah-lurah baru di Tegalpandan, sebelas
calon memperebutkan tiga posisi. Camat baru Tegalpandan sebagai Ketua Pemilihan
Lurah tidak meluluskan beberapa calon non-Mesin Politik. Ia tahu siapa harus
lulus dan siapa harus gagal.
Maka, ketika jago dari Mesin Politik memenangkan dua dari tiga posisi lurah
timbul keributan. Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi
Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka membawa spanduk dengan tulisan
seadanya. "Camat Curang!"
"Camat Licik!" "Rakyat tidak terima!"
"Pengkhianat demokrasi!
77 "Camat kere!" "Ingat aspirasi masyarakat!"
Bagaimanapun, lurah-lura Tegalpandan bersama delapan belas lurah lain di
Karangmojo dilantik Bupati. Demo tak juga berhenti. Camat baru mulai risih, tapi
tidak berani minta tolong polisi atau tentara. Kata komandan polisi dan tentara
setelah Sertijab, "Kami hanya setia pada Pancasila dan negara." Maksudnya,
kesetiaan mereka bukan pada Camat. Dia bergerak minta desa-desa yang dulu
lurahnya disponsori Randu untuk mengirim pendemo. Katanya, "Tidak, saya tidak
akan minta bantuan polisi untuk menyingkirkan mereka. Jumlah dibalas dengan
jumlah," "Biar melek bahwa tidak hanya mereka yang pandai demonstrasi," "Tidak hanya dua
puluh lima, lima puluh, tapi seratus orang." Itu artinya Pak Camat harus
menyediakan uang konsumsi,
"Sampai melarat pun sanggup," "Sampai kapan pun saya ladeni."
Demikianlah orang-orang yang akan naik bis lewat terminal, akan menyaksikan
pendemo dan kontra-demo kumpul-kumpul di depan kecamatan.
"Hidup Camat!" "Dukung Camat!"
"Singkirkan calon-lurah anti-Pancasila!"
"Camat untuk Rakyat!"
Mereka yang melihat hanya geleng-geleng kepala. Salah seorang berkomentar,
"Memang Zaman Edan!"
Akan tetapi, ketika Bu Camat menghentikan subsidi untuk membayar para kontra-
pendemo, Pak Camat mulai pikir-pikir. "Wah, jadi camat tambah melarat,"
pikirnya. Ketika dia mencoba minta bantuan Mesin Politik malah disalahkan. Kata
mereka, "Salah sendiri," "Tidak usah digubris," dan "Anjing menggonggong kafilah
berlalu." Maka, meskipun menyakitkan karena para pendemo ada di depan mata, ia
minta juga kontra-demo dihentikan. Rasanya demo itu seperti klilip di mata. Tapi
makin lama pendemo jumlahnya makin berkurang, dan akhirnya berhenti sendiri.
Camat kembali gagah. Dalam konferensi dengan para lurah diumumkannya
kemenangannya. "Saudara-saudara, demo itu ibarat obor blarak. Sebentar menyala, tapi sebentar
kemudian mati." Lurah-lurah non-Randu merasa tertantang. Esok harinya ada demo.
"Camat bukan Presiden!"
"Rakyat tak digubris!"
" Emoh Camat curang!"
Demo itu juga akhirnya berhenti. Camat tambah arif. Ia tidak mengeluarkan
pernyataan apa-apa. Hanya saja ia terpikir untuk syukuran. Maka ia pun menemui
Abu dan menyatakan niatnya untuk syukuran atas stabilitas kecamatannya. "Saya
moa-mau saja, Pak. Tapi apa itu tidak berarti membangunkan macan tidur. Pikirkan
kembali, Pak." Ketika gagasan untuk wayangan itu disampaikan pada Bu Camat,
sambil berkacak pinggang ditolaknya gagasan itu. "Tidak satu sen pun! Tidak satu
sen pun!" Camat lemas, katanya sambil garuk-garuk kepala, " Waduh, mati aku!"
4 Ganti cerita. Apa yang terjadi pada Lastri" Ayah-Ibu Lastri datang. Setelah
basa-basi, minum, dan istirahat, ayah berkata:
"Jadi orangtua punya anak perempuan itu berat. Tetangga sebelah rumah itu punya
perkutut. Perkututnya sudah mau dibeli 25 juta. Sangat mahal, tidak boleh. Ee, malam-malam
perkututnya dicuri orang."
"Maksudnya saya ada yang melamar, to?"
"Iya, kok tahu."
"Itu juga yang dulu Ayah-Ibu ceritakan."
"Ya, to. Itu lho Nduk, sinder tebu Tasikmadu sudah beberapa kali datang ke rumah
melamarmu," sambung Ibu.
"Begini, Ayah-Ibu. Jangan dipikirkan berat-berat, nanti saya cari sendiri."
"Kalau begitu kan jelas. Tapi jangan sembarangan, lho."
78 Kepada Ayah-Ibu bisa dijelaskan duduk soalnya. Tetapi, suatu hari Lastri
menerima tamu perempuan pemilik sebuah kios di Pasar Tegalpandan. Kata tamu itu,
"Ya berat-beratnya punya sepupu masih jejaka. Begini, Jeng. Jangan sakit hati,
saya ke sini disuruh sepupu saya. Itu lurah baru [ia menyebut nama desa] katanya
adalah aib bagi lurah masih bujangan, masih muda, baru dua tujuh, siapa jadi
penggerak PKK,siapa harus mendampinginya dalam resepsi-resepsi"
Dia sudah mantap kalau Jeng Lastri mau jadi istrinya. Dia sudah lihat, kok.
Akhir-akhir ini dia rajin mengantar saya dengan mobilnya." Lastri mengatakan
kalau dia belum berminat berumah tangga.
Lain hari datang temannya di klub kroncong. "Begini, lho. Saya akan senang kalau
kamu besok-besoknya mau jadi ipar saya. Adik saya itu kok tergila-gila sama
kamu. Mula bukanya itu, dia lihat penampilanmu waktu kita nyanyi di Mojogedang.
Dia nonton dengan teman-teman
sekolahnya dari UNS. Caranya, mudah diatur. Berkenalan dulu saja. Kalau cocok
dilanjutkan, kalau tidak ya tak apa. Mau, ya?" Kepada tamunya hanya dibilang
bahwa dia belum berminat pacaran.
Lain hari lagi datang Pak Lurah Tegalpandan. Ia membawa kaleng-kaleng roti
kering sebagai oleh-oleh.
"Wah, Pak Lurah. Kok tumben?"
"Sudah saya duga, Nak. Engkau pasti terkejut."
"Betul, Pak." "Begini, Nak. Kata Pak Ustadz yang baru-baru ini ceramah di terminal itu. Bahwa
makhluk Tuhan itu berpasangan. Nah, saya ini mendapat amanat dari juragan truk
yang baru-baru ini istrinya meninggal. Saya kira duda seperti dia pasangannya ya
harus janda. Ini namanya baru pas. Itu pandangan orang setua saya. Saya ini
orang kuna. Apa yang dicari dalam hidup ini, kalau bukan ...."
Lastri tersinggung dikatakan 'janda', lalu menyela, "Tapi, Pak. Maaf, saya masih
ingin sendiri." "Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang."
Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke tempat sebelah.
Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia membik-membik mau
menangis. Lastri melempar kaleng-kaleng ke dipan.
"Ini bagian sampeyan!"
" Lho, ada apa ini?"
Belum sempat pertanyaan itu dijawab, Lastri pergi sambil menutupi wajahnya.
"Yu, Yu!" Abu Kasan Sapari terheran-heran. Mengejar Lastri masuk rumahnya. Tapi Lastri
terus ke kamar, menutup pintu . Jeglek! Abu hanya termangu-mangu. Duduk di sofa,
sambil sesekali batuk-batuk kecil sebagai tanda dia masih di sana.
Setelah agak lama, Lastri keluar kamar.
"Bagaimana ceritanya, to Yu?"
"Itu, lho. Pak Lurah datang. Katanya saya mau dijodohkan sama juragan truk."
"Terus bagaimana?"
"Ya tidak mau!"
" Lha mbok mau."
" Sampeyan itu sungguhan, apa guyon?"
"Ya pilih guyon saja, kalau berkenan di hati."
Masih sama ceritanya, tetapi lain harinya. Bangun tidur Lastri merasa kepalanya
pening. Dia segera lari menemui Abu.
"Tolong, nanti mampir kios. Bilang anak-anak hari ini saya tak masuk. Kepala
pening." Dengan senang Abu mampir kios. Ketika siangnya pulang, Abu curiga.
Lastri tidak di rumah. Ia pesan tetangga bahwa periksa ke dokter. Abu segera
menyusul. Dokter memberitahu bahwa Lastri dianjurkan mondok beberapa hari di
Rumah Sakit Karangmojo untuk periksa.
"Serius, dokter?"
"Tidak tahu, maka sebaiknya mondok."
Abu menyusul ke Rumah Sakit Karangmojo. Sampai di rumah sakit Abu segera menemui
Lastri yang sedang periksa darah.
"Sakit sungguhan, to Yu."
79 "Tidak. Cuma peningnya ini, lho. Seperti dipukuli."
Lastri disuruh menunggu sampai besok. Pulang boleh, mondok juga boleh. Keesokan
harinya diantar Abu kembali ke Karangmojo. Abu meninggalkan kantor, izin kalau
keluarganya sakit. Dokter di Karangmojo mengatakan kalau segalanya negatif. Lalu menyarankan untuk
ke rumah sakit di Solo yang punya USG dan CT Scan. Mereka berdua ke Solo.
Hasilnya hari itu juga diketahui. Segalanya negatif, dan disarankan untuk
pulang. Tapi, kalau ada perkembangan baru dapat periksa lagi.
Sore hari Pak Lurah datang. Ia gelisah karena Lastri sakit sepeninggal dia. Ia
datang dengan seorang dukun.
"Sungguh, saya tak apa-apa," katanya.
"Saya tidak menuduh siapa-siapa, kok Pak."
"Kalau itu santet, Bapak ini tahu jenisnya dan membuka kira-kira pekerjaan
siapa. Bagaimana, Pak?"
Orang yang disebut dukun menggeleng.
"Tidak ada, tak apa-apa."
Setelah Lurah pergi Haji Syamsuddin suami istri datang. Ia hanya menyarankan
untuk memperbanyak membaca istighfar dan mengaji. Ketika mampir ke tempat Abu
Kasan Sapari, ia berbisik keras, "Sudah saya bilang, hanya kau yang bisa
menyembuhkan. Itu lho, Ma'ul Hayat
[Air Kehidupan]. Sungguh, kok. Percayalah." Artinya, hanya perkawinan yang bisa
membuat Lastri sembuh.* XV WARISAN 1 Abu Kasan Sapari makin sibuk. Ia diminta untuk mendalang pada banyak acara
syukuran. Temantenan dan sunatan tidak lagi menanggap wayang, tapi keroncong atau kasidah,
lebih murah dan praktis. Ketika seorang lurah non-Randu mengadakan syukuran,
dialah yang diundang. Lurah itu semula adalah sekdes (sekretaris desa), dia
menjadi terkenal karena menolak uang sogokan ketika seorang pedagang minta KUT
(Kredit Usaha Tani). "Bukan petani tak berhak minta KUT," katanya. Kebetulan
lurah itu tinggi besar. Maka lakon yang dipertunjukkannya ialah "Bima Jadi
Raja". Orang-orang non-Randu lalu banyak memintanya mendalang, dan orang-orang
Randu akan minta dalang lain. Karena itu, kemudian ia dikenal sebagai 'dalang
politik'. Sebutan itu menggusarkannya. Dalam kesempatan mendalang selalu
menggunakan episode gara-gara untuk mengatakan bahwa wayang adalah seni, bahwa
wayang adalah pencerahan, bahwa wayang adalah kebijaksanaan. Bahwa wayang tidak
memihak orang tapi kebenaran. Berkali-kali Petruk akan bilang pada Gareng,
"Dalang tidak main politik. Dalang itu ngudhal piwulang, artinya mengajar
kebijaksanaan hidup."
Tetapi, bagaimanapun ia berusaha sebutan sebagai 'dalang politik' sukar lepas
darinya, seperti juga Ki Manut disebut orang 'dalang setan' karena sabetannya


Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(gerakan wayang) sangat mengagumkan, dan Ki Entus disebut 'dalang edan' karena
Kresna dapat naik helikopter dan Gatotkaca pandai main pistol seperti koboi.
Maka tidak salah kalau orang-orang pasar Tegalpandan juga mengenalnya sebagai
'dalang politik'. Untuk orang-orang pasar Tegalpandan, julukan 'dalang politik'
itu mula-mula berubah jadi 'dalang politik non-Randu', dan kemudian jadi 'dalang
politik anti-Randu'. Kenyataan bahwa ia sempat ditahan meyakinkan bahwa dia
memang anti-Randu. Lastri memberitahu perubahan julukan itu:
"Di pasar sampeyan dikenal sebagai dalang politik anti-Randu, lho."
"Itulah, Yu. Yang mengganggu pikiran saya."
"Ah, suara orang pasar kok dipikir. Suara itu pasti macam-macam."
"Tidak dipikir bagaimana, wong saya bekerja untuk mereka."
Ketika keluhan itu disampaikan pada Ki Manut Sumarsono, dalang senior itu
memberi jalan, "Kalau begitu mendalanglah di rumah Pak Camat. Dia akan sunatan, gantikan saya."
Karena kesibukan, Ki Manut terpaksa menolak permintaan Camat. Betul, ia pergi
pada Pak Camat dan 80 menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan,
dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu 'dalang politik anti-Randu'.
"Percayalah, Pak. Saya akan menjaga kehormatan sebagai dalang."
"Saya tahu, saya tahu. Ki Manut tidak akan menjerumuskan saya."
Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari,
julukan sebagai 'dalang politik anti-Randu', julukan 'dalang politik non-Randu',
bahkan julukan 'dalang politik' lenyap. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi
menambahkan kata 'dalang politik'
ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan
Lastri pada Abu Kasan Sapari, "Soal 'dalang politik' sudah beres. Sampeyan bebas
sekarang." 2 Abu Kasan Sapari diminta untuk mendalang pada HUT Pabrik Teh Botol di Palur.
Wayangan akan dihadiri segenap pimpinan pabrik. Ketua Panitia mengatakan bahwa
dalam gara-gara perlu disinggung soal peningkatan kesejahteraan buruh, kenaikan
UMR (Upah Minimum Regional), dan hak cuti bagi wanita hamil. Lakonnya bisa apa
saja, asal sesuai. Abu Kasan Sapari membuat lakon carangan, "Semar Nagih Janji".
Konon Raden Arjuna berjanji pada Semar dan anak-anaknya bahwa ia akan memberikan
sebidang tanah karena kesetiaan mereka mengabdi di Madukara. Tetapi, rupanya ia
lupa pada janjinya karena kesibukan. Berkali-kali Semar mengingatkan hal itu,
namun Raden Arjuna selalu menjawab dengan 'besok'. Tentu saja hal itu
menjengkelkan Semar. Suatu hari Semar dan anak-anaknya menghilang. Madukara jadi
lemah. Tidak bisa menahan serangan Astina. Tidak bisa menahan serangan dari kerajaan
raksasa Sewuraja. Kadipaten Madukara dikapling-kapling. Raden Arjuna terpaksa
lari ke Amarta mengadukan nasibnya. Dalam gara-gara keluar Limbuk (istri Petruk)
dan Cangik (ibu Limbuk). Mereka membicarakan hak-hak wanita. Di akhir cerita, Kresna menganjurkan supaya
Arjuna minta bantuan raja Atas Angin, yang ternyata Semar dan anak-anaknya.
Mereka mau membantu asal Arjuna memenuhi janjinya pada Semar dan anak-anaknya.
Musuh dari Astina dan Sewuraja dikalahkan oleh tentara gabungan dari Amarta dan
Atas Angin. Raja Semar dan anak-anaknya badhar karena Limbuk dan Cangik maju
perang atas saran Kresna.
Seperti dalam dongeng murahan, setelah menonton wayang pimpinan pabrik sadar dan
memberikan hak-hak yang dituntut para buruh. Abu Kasan Sapari jadi pahlawan
pekerja. Penobatannya akan diselenggarakan dalam suatu acara syukuran yang juga diundang
pimpinan perusahaan. Kali ini undangan untuk Abu juga dengan Bapak & Ibu. Untuk
mengajak Lastri Abu takut ditolak. Maka ia hanya duduk lunglai di atas lincak di
beranda. "Ada yang dipikir, ya?" tanya Lastri.
"Lho kok tahu?"
"Masak tidak. Jelas begitu."
"Ya, mau minta bantuan tapi ragu-ragu."
"Apa to?" Abu memberikan undangan itu.
"O, ini to. Mudah saja. Berangkat sendirian."
"Sendirian?" "Iya. Apa susahnya?"
"Susahnya ya sendirian itu."
"Lalu?" "Lalu, mmm, kira-kira saja, tidak juga tak apa. Wah, saya ini selalu merepotkan,
selalu minta tolong, selalu ...."
"Kok selalu-selalu, apa?"
"Maukah Yu Lastri menemani saya?"
"Ya mau saja. Repotnya apa?"
"Mau to?" "Mau." "Ya alhamdulillah kalau begitu."
Mereka ingin dapat keyakinan bahwa Abu benar-benar datang. Pemberian penghargaan
itu sudah diagendakan, sebagai ajang unjuk kekuatan. Itu akan berarti bargaining
power buruh 81 kuat. Dengan memberikan penghargaan, pimpinan perusahaan diharapkan tahu bahwa
aksi-aksi mereka mendapat dukungan masyarakat.
Kedatangan Abu dan Lastri-seperti juga para petinggi pabrik dan Muspika
(Musyawarah Pimpinan Kecamatan)-disambut dengan barisan 'bhinneka tunggal ika'.
(Itu juga politik: buruh itu solid dan rapi tapi tetap ramah). Mereka harus
bersalaman dengan para pembesar, didudukkan dikursi depan. Lastri bisik-bisik
pada Abu: " Lha sungguhan begini, kok tidak bilang-bilang."
"Saya juga tak tahu."
"Kalau tahu, kan dandanannya tidak begini."
"Mau apa lagi" Begitu saja sudah ...."
"Sudah apa?" "Ya sudah, begitu saja."
"Ah, jangan ngece sampeyan itu!"
Selanjutnya upacara-upacara mereka nikmati. Yang membuat Lastri terkejut ialah
ketika MC memintanya untuk menyanyi. MC itu tahu betul bahwa Lastri penyanyi waktu jadi MC
pada cembengan Pabrik Gula Tasikmadu di mana Lastri menyanyi untuk klub
keroncongnya. "Ayo maju, Yu. Jangan membuat malu bangsa," kata Abu. Lastri maju
dan menyanyi. "Lagi! Lagi!"
Lastri menyanyi lagi. Dalam perjalanan pulang Abu bilang:
"Suaramu semakin koong, lho Yu."
"Kok koong, apa saya perkutut?"
"Ya, sudah. Kalau begitu kayak Anik Sunyahni?"
"Kalau hanya "seperti" artinya suara saya tiruan, ya?"
"Tidak begitu maksudnya. Maksud saya sama-sama profesional. Dulu saya sudah
bilang." (Pabrik itu jadi salah satu perusahaan yang nantinya tidak mengenal PHK).
3 Musim Agustusan tiba. Randu sekali ini ingin mengesankan bahwa ia punya
perhatian besar pada sebangsa kebudayaan tradisional. Itulah sebabnya ia
mengerahkan dalang dari luar Karangmojo untuk merayakan Agustusan di tingkat
daerah dan cabang-cabang. Lakonnya berupa paket, yaitu "Semar Ratu".
Konon ada raja yang keliwat sakti berhasil menaklukkan Amarta dan Astina. Para
Pandawa dan semua pejabat Astina-termasuk Raja Suyudana-mengungsi ke Dwarawati,
kerajaan milik Kresna. Mereka berkumpul mencari akal. Atas usul Kresna, mereka
disuruh minta bantuan pada Raja Randuagung. Utusan berangkat. Raja Randuagung
sanggup menolong asal Amarta dan Astina membuang dendam, tidak cakar-cakaran,
dan memperhatikan kehidupan orang kecil.
Setelah disanggupi, Raja Sakti dapat dikalahkan oleh Raja Randuagung. Ternyata,
Raja Sakti adalah Batara Guru dan Raja Randuagung adalah Semar. Astina lupa
daratan, dalam suka cita kemenangan mereka menuntut supaya Pandawa meninggalkan
Amarta, sebab Amarta menurut mereka adalah wilayah Astina.
Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya sebagai dalang senior
membuat dalang dari luar Karangmojo terpaksa kulanuwun minta restu padanya
sebelum mendalang di wilayahnya. Dia memanggil Abu Kasan Sapari. Katanya,
"Intuisi saya mengatakan bahwa sudah tiba waktu-nya Rahwana dipecundangi kera-
kera. "Rama Tambak" adalah lakon yang pas saat ini."
"Rama Tambak" menceritakan bagaimana kera-kera membantu Rama dengan membuat
jalan laut yang menghubungkan daratan dengan Alengka. Raja Rahwana sudah
keterlaluan angkara murkanya. Setelah jalan laut selesai, maka dengan mudah
prajurit-prajurit Rama menyeberang. Mereka pun mengalahkan Alengka.
Maka Agustusan di kecamatan-kecamatan Karangmojo penuh dengan wayangan. Panitia
dari Cabang Randu memainkan lakon "Semar Ratu", dan panitia resmi kecamatan
memainkan lakon "Rama Tambak". Para wartawan mem- blow up peristiwa itu. Interpretasi mereka masuk dalam
berita. Malah dengan judul besar dan provokatif sebuah koran memasangnya sebagai
headline: "Rama 82 Tambak Sebagai Prediksi Sejarah". Belum pernah sebelumnya sebuah lakon wayang
mendapat pemberitaan begitu luas. Gubernur Jawa Tengah yang oleh stafnya
disodori koran-koran marah-marah, "Apa-apaan ini?".
Seperti diketahui Sang Gubernur adalah satu-satunya pejabat yang sejak dulu
sibuk dengan Randuisasi di daerahnya; dengan fanatisme tinggi lagi.
Pak Gubernur minta supaya Bupati Karangmojo dipanggil.
"Ini kok bisa terjadi di daerahmu?" katanya sambil melempar koran ke wajah
Bupati. Gubernur terkenal galak dan kasar.
"Itu terjadi pada perayaan Agustusan, Pak."
"Lha iya kok Pemda diam saja?"
"Melarang orang merayakan Proklamasi?"
"Merayakan ya merayakan. Pakai wayang ya pakai wayang. Tapi lakonnya jangan
miring-miring begitu, jangan nyindir-nyindir begitu."
"Itu hanya ulah para wartawan, wayangnya sendiri murni kesenian."
Kembali ke Karangmojo, Pak Bupati mampir di rumah Ki Manut Sumarsono. Kata Ki
Manut: "Dalang itu seniman, Pak. Seniman itu kalau tidak kurang-ajaran sedikit itu
artinya tidak kreatif."
Tidak ada kelanjutannya "Kasus Rama Tambak" itu. Hanya Pak Gubernur prengat-
prengut dengan Bupati Karangmojo kalau bertemu.
4 Ada telepon untuk Abu Kasan Sapari. Ki Lebdocarito sakit keras. Abu segera
menelepon seseorang untuk memberi tahu kakek-neneknya dan menelepon orangtuanya
di Palar. Ia merasa bahwa Ki Lebdo akan meninggal dunia. Ia adalah "anak"
pertama yang sampai di tempat, anak-anak yang lain menyusul. Ki Lebdo masih
sempat berpesan padanya untuk tinggal di Palur, melestarikan seni pedalangan,
kelompok penabuh gamelan, dan bahwa ia mendapat warisan wayang dan gamelan.
Kepada Ki Lebdo ia berjanji akan memenuhi semampunya. Ki Lebdo meninggal.
Boleh dikatakan pada waktu itu para dalang dari seluruh Surakarta hadir pada
upacara pemakaman Ki Lebdo, sebab ia terhitung sesepuh para dalang. Ki Anom
Suroto mewakili Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) sekaligus
mewakili Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) Jawa Tengah menyampaikan duka
cita yang mendalam, ditutup dengan tembang Macapat Maskumambang untuk menyatakan
bahwa dunia pedalangan seperti anak ayam yang kehilangan induk.
Dalam pertemuan keluarga diputuskan bahwa anak perempuan yang bungsu akan
menemani Nyi Lebdo sampai Abu Kasan Sapari memutuskan untuk tinggal di Palur.
Selain itu, Abu dapat warisan tambahan dari "saudara-saudaranya", yaitu sebuah
mobil yang dulu sering dipakainya mengantar Ki Lebdo. Mobil itu dibiarkannya
tetap di Palur. Sekretaris Ki Lebdo menunjukkan pada Abu daftar kesanggupan untuk mendalang yang
belum sempat dikerjakan. "Ini dibatalkan atau digantikan?"
"Terserah mereka saja."
Nama Abu Kasan Sapari rupanya cukup menjamin bahwa pertunjukan akan sukses, maka
semuanya menyambut baik pergantian itu. Abu tahu bahwa ia harus memainkan wayang
sesuai pakem, sebab Ki Lebdo termasuk dalang yang konservatif. Padahal, selama
ini pedalangannya selalu inovatif dan kontekstual. Tetapi tak apa. Ketika
seorang wartawan menanyainya perihal sikapnya, ia mengatakan, "Dalang itu
seperti pasukan komando, ia harus survive di mana pun berada".
5 83 "Kalau saya tidak salah ingat, sampeyan itu kan Ketua MPU Nogogini, to?" kata
Lastri pada suatu hari, "lha kok terus dingin-dingin saja." Tentu saja ia masih
ingat betul, karena dengan dalih itu Lastri mau menemani Abu ke bonbin di Jurug.
"Ingat ya ingat, tapi sekarang apa masih relevan?"
"Maksudnya, kalau mati ya jelas di mana kuburnya, begitu."
Maka dengan uang yang diperoleh dari menggantikan kedudukan Ki Lebdo, Abu akan
sungguh-sungguh menangani MPU, yang selama ini telah dilupakannya karena asyik
dengan pedalangan. Tapi Abu ragu-ragu seperti dikatakannya pada Lastri apakah organisasi semacam
MPU masih diperlukan. Seperti diketahui Indonesia mulai mengalami Krisis
Moneter. Lagi pula, menurut pengalamannya, mantra, wewaler (pantangan), dan laku
(keharusan-keharusan)-seperti mengubur kembali ular-sudah tidak perlu dikerjakan
kalau orang tinggal di kota. Ia sendiri hanya memerlukan mantra waktu ingin
bermain-main dengan ular klangenannya. Ketika ia mencoba menghubungi pengurus
MPU, rata-rata mereka bahkan sudah lupa kalau jadi pengurus MPU.
"Saya pengurus, to?" kata seorang.
"MPU tidak lagi cocok." kata orang lain.
"Sekarang MPU tidak diperlukan," kata yang lain lagi.
"Yang diperlukan ialah yang bisa membantu ekonomi."
"Lupakan saja MPU."
Abu menemui teman wartawan yang dulu ikut menyebarkan informasi, menanyakan
pendapatnya tentang MPU. "MPU" Jangan menegakkan benang basah."
"Dulu kok banyak peminatnya."
Wartawan itu mencoba memberi keterangan, "Tidak ada yang abadi kecuali
perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang mencoba melupakan bahwa secara
politis kita tertindas. Sekarang orang berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di
masa krisis." Abu berpikir untuk mengubah MPU jadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan).
Sampai di rumah Abu menemui Lastri. Sambil berseloroh dikatakannya:
"Jaman sudah berubah, Yu."
" Sampeyan sudah berubah, to?" Maksudnya apa Abu masih cinta padanya. Tidak
mungkin ia berterus terang. Orang Jawa harus cepat mengerti meski sedikit saja
dikatakan, dengan isyarat pula.
"Ya tidak, to. Masak berubah. Yang berubah itu zamannya, bukan orangnya."
"Syukurlah kalau begitu."
6 Pengalaman menggantikan Ki Lebdo dan pengalamannya sendiri jadi makalah dalam
"Temu Pakar Wayang 1997" di Solo. Ia membawakan makalah tentang "ekonomi
pewayangan". Menurut pengalamannya 85% dari konsumen wayang ialah konsumen
kolektif (kepanitiaan), sedangkan konsumen individual hanya 15%. Makin ke kota
makin besar konsumen kolektifnya, hanya di desa masih ada satu-dua konsumen
individual. Bahwa "sejarah sudah berubah" yang dikemukakan teman wartawan
mengenai MPU, dirasanya mengenai juga dunia pewayangan.
Selesai presentasi, Rektor STSI Surakarta mendekat.
"Kau punya bakat jadi sarjana, lho."
"Tidak, Pak. Saya ingin jadi dalang, jadi seniman."
Teman-temannya juga mengatakan bahwa sepantasnya ia jadi peneliti.
"Tidak, jadi dalang lebih bermanfaat. Sebab, dalang berhubungan langsung dengan
masyarakat. Peneliti tidak. Lagi pula saya tidak punya potongan."
7 84 Ada desas-desus bahwa Abu Kasan Sapari akan keluar dari PNS, dan menekuni
pedalangan. Desas-desus itu sudah beredar di Kantor Kecamatan, di pasar, dan para
tetangga.Itu sebabnya Pak Camat datang ke kamar Abu.
"Kabarnya akan berhenti, ya?"
"Tidak, Pak. Siapa bilang?"
"Nanti dalangnya siapa?"


Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Pak. Siapa bilang?"
"Berhenti ya boleh. Asal masih di Tegalpandan."
"Tidak, Pak. Siapa bilang?"
"Tidak di Tegalpandan ya boleh. Asal masih mau kemari."
"Tidak, Pak. Siapa bilang?"
"Ya, sudah. Kalau tidak."
"Tidak, Pak. Siapa bilang?"
Kemudian kawan-kawannya pegawai datang. Mereka berjejal di pintu.
"Kabarnya akan berhenti, ya?"
"Tidak, siapa bilang?"
"Berhenti ya berhenti. Tapi jangan lupa Tegalpandan."
"Tidak, siapa bilang?"
"Berhenti ya berhenti. Tapi jangan lupa dengan yang di kios."
"Tidak, siapa bilang?"
"Berhenti ya berhenti. Tapi jangan lupa dengan Lastri."
Mendengar kata 'Lastri' baru Abu tersenyum.
"Tidak, siapa bilang?"
"Jangan lupa mengundang kami, lho. Kalau jadi manten."
"Tidak, tidak."
Mendengar nama Lastri disebut-sebut, jantungnya berdegup keras. Keinginannya
untuk bertemu luar biasa. Inikah tanda-tanda cinta itu"
Pulang kantor ia mampir di kios Lastri. Ia bersumpah pada dirinya sendiri,
andaikata ia masih jadi pegawai di kecamatan setiap hari akan mampir di kios itu
untuk sekadar bertemu dengan Lastri. Baru ia akan duduk di kios ketika seorang
perempuan setengah baya datang, "Pak Abu akan keluar dari pegawai, ya?" Kemudian
Lastri menerangkan bahwa orang pasar semuanya mendengar bahwa Abu akan berhenti,
pindah Palur, dan jadi dalang.
"Lho, siapa bilang?"
"Mereka mengatakan bahwa sampeyan akan meneruskan pekerjaan Ki Lebdocarito
almarhum?" "Lho!" Abu terheran-heran. Bagaimana orang bisa lebih tahu tentang dia daripada dirinya
sendiri" Kios itu tiba-tiba penuh dengan orang pasar.
"Kami dengar Pak Abu akan keluar, ya?"
"Ya mungkin, ya tidak."
"Ah, yang benar?"
"Yang benar, ya mungkin ya tidak. Itu tergantung."
"Tergantung siapa?"
"Siapa, ya?" Lastri menyela, "Tergantung Pak Camat, siapa lagi?"
"Kok Pak Camat, to?"
"Lastri, begitu!"
"Tergantung Lastri, ya?"
"Ya mungkin, ya tidak," jawab Abu.
"Kok ya mungkin ya tidak terus. Bagaimana, Jeng?"
"Ya mungkin, ya tidak," kata Lastri.
"Lha kok jawabnya sama."
Kesimpulan pertemuan dengan orang-orang pasar ialah bahwa mereka setuju Abu
Kasan Sapari mempersunting Lastri.
Abu Kasan Sapari sedang menatah wayang ketika Haji Syamsuddin muncul:
"Saya dengar akan keluar dari kantor, ya?"
85 "Kabarnya begitu."
"Lho kok kabarnya. Yang benar itu yang mana?"
"Mungkin ya, mungkin tidak."
"Jangan mungkin, to."
"Itu tergantung, Pak."
"Tergantung siapa?"
"Tergantung calon istri."
"Jadi tergantung dia?" Mulut Haji Syamsuddin menunjuk ke tempat Lastri.
"Kayaknya begitu."
"Kalau begitu saya tanya dia, ya?"
"Jangan, Pak. Jangan."
Haji Syamsuddin melihat wayang-wayang itu, "Kau sedang wuyung dengan Srikandi,
ya?" tanyanya. Wuyung artinya mabuk cinta.
"Kok tahu?" "Ini kok semua Srikandi." Maksudnya Lastri yang cekatan, terampil, dan cantik
seperti Srikandi. "Ya maklum Srikandi sedang laris di pasaran." Maksudnya banyak orang menaksir
Lastri. Haji Syamsuddin lalu ikut berjongkok, dan berbisik:
"Bagaimana dengan usulan saya mengenai Ma'ul Hayat?" Maksudnya mengawini Lastri.
"Ya, itulah yang sedang saya pikirkan."
Tetangga kanan kiri dan depan datang. Jumlahnya sebelas orang. Lastri mendengar
mereka datang, lalu keluar. Seorang tetangga berkata:
"Pak Abu, kami dengar ...."
"Kau akan keluar," sahut Abu cepat.
" Lho, kok tahu yang kami pikirkan?"
"Tahu saja." "Terus apa?" "Kau akan pindah Palur."
"Terus apa?" "Kau akan menikah."
"Dengan siapa?"
"Itu tergantung."
"Tergantung siapa" Jeng Lastri, ya?"
"Tolong, Yu. Jawab mereka," kata Abu kepada Lastri.
"Tergantung ya tergantung," kata Lastri.*
XVI CANGIK BERTANYA PADA LIMBUK
1 Abu berkeras supaya janji kepada diri sendiri terlaksana. Abu bermaksud
menyelesaikan sekolah sebelum menikah. Soal sekolah itulah yang selama ini
mengganjal. Untuk keperluan itu ia menyewa komputer dari rental, melembur malam-
malam di kantor. Listrik di rumahnya tidak cukup besar untuk menyalakan
peralatan canggih itu. Ia minta izin Pak Camat untuk lembur dan untuk penggunaan
listrik. Ia menulis tentang kemungkinan menjadikan wayang sebagai sarana
pendidikan moral. Maka ia mondar-mandir Tegalpandan-Solo untuk konsultasi dengan
pembimbing. Dia berpendapat bahwa kita perlu sebuah wayang yang sederhana, mudah
dikerjakan oleh guru atau murid, tanpa pakem-pakem yang mengikat, dan selesai
dalam waktu dua jam-an. Disebutnya pekerjaannya sebagai "wayang fabel", wayang
kancil yang diperluas. Sebagai lampiran disertakannya sebuah naskah wayang fabel, yaitu "Gajah Jadi
Raja di Negeri Kambing".
Dosen pembimbing mengatakan bahwa yang tertulis itu sudah cukup, tetapi ia
bermaksud untuk mengadakan pementasan wayang fabel itu. STSI menghasilkan
sarjana atau seniman. Sarjana hanya perlu menulis "teori", dan seniman hanya
perlu "praktik". Abu ingin jadi kedua-duanya.
Lastri mengetahui Abu sedang sibuk.
86 "Sibuk, ya" Sedang apa?"
"Ceritanya panjang. Nanti saja."
"Kalau perlu bantuan, bilang saja."
"Perlu sekali. Tapi tidak sekarang, nanti saja saya katakan. Tapi kalau saya
mintai tolong pasti mau, ya?"
"Ya mau saja. Namanya saja sudah dimintai tolong."
"Ini sungguh, lho!"
"Sungguh!" Abu harus menciptakan wayangnya sendiri. Karenanya ia menatah-natah setiap habis
kantor. Bahkan sudah waktunya makan Abu masih bekerja. Lastri jatuh kasihan.
"Kalau tidak sempat masak bilang saja."
"Sudah ada yang masak, kok."
"Siapa?" "Bu Sastro." Maksudnya warung makan Bu Sastro.
"Masak makan di luar. Lha saya ini dianggap apa?"
"Maksud saya, minta tolong ya minta tolong, tapi jangan keterlaluan, begitu."
"Mulai besok pagi makanlah di sini."
"Jangan, Yu, jangan. Itu tidak baik, apa kata tetangga nanti."
"Apa peduli kita?"
"Terima kasih, tapi betul-betul jangan. Tegalpandan bukan Jakarta, Yu."
Selesai dengan pekerjaan membuat wayang, jadwal pementasan Abu ditentukan. Tidak
di kampus, tapi sekaligus uji-coba di sebuah SMU. Abu harus membentuk tim
terdiri dari dalang, niyaga, dan waranggana. Untuk itu ia menemui Lastri.
"Sekarang, betul-betul mau minta tolong Yu Lastri. Sudah sanggup, jangan
ditolak, lho." "Tukang jahit bisanya apa untuk menolong calon sarjana pedalangan?"
"Jangan merendah, begitu. Tapi nanti dulu!" Abu berhenti sebentar, "Bagaimana Yu
Lastri tahu bahwa saya akan ujian?"
"Pertanyaannya seharusnya dibalik. Bagaimana saya tidak tahu bahwa sampeyan akan
ujian?" "Ya, sudahlah. Aku mau minta tolong Yu Lastri jadi waranggana."
"Tetapi, tetapi ...."
"Janjinya akan menolong, lho."
"Saya kira apa begitu, tapi bukan nyanyi."
"Pokoknya sudah janji. Sudah telanjur tertulis di undangan."
"Ya, sudah. Wah kalah saya!"
Latihan untuk menyesuaikan waktu, sinkronisasi lakon, narasi,dalang, niyaga, dan
waranggana diadakan di kampus. Abu Kasan Sapari minta cuti dari kantor dan
Lastri menyerahkan pekerjaan pada pembantu-pembantunya. Abu Kasan Sapari juga
mengambil mobil dari Palur. "Mbok kapan-kapan calonmu dibawa kemari," pesan Nyi
Lebdo yang tanggap pasti mobil itu untuk menjemput pacar. "Lho kok tahu, Mbah
De!" "Wajahmu itu, lho! Tak dapat menipu."
"Gajah Jadi Raja di Negeri Kambing" itu begini. Raja Negeri Kambing kosong.
Parlemen kambing mengadakan kontes untuk mengisinya. Banyak binatang ikut
kontes; dari yang cerdik seperti halnya kancil, yang berbisa seperti halnya
ular, yang cepat larinya seperti halnya kijang, sampai yang besar seperti halnya
gajah. Parlemen memilih gajah. Mula-mula mereka senang, punya raja yang besar,
kuat, dan gagah-perkasa. Akan tetapi, makin lama gajah makin kelihatan
belangnya. Gajah mengundang saudara-saudaranya untuk tinggal di Negeri Kambing.
Akibatnya, seluruh sumber daya hutan dihabiskan mereka: danau, rumput, dan
pohon. Kambing-kambing masih harus membayar upeti berupa rumput yang makin lama makin
langka.Tidak tahan, kambing-kambing pun melakukan exodus. Habis sumber daya
hutan dan tidak ada lagi upeti, gajah-gajah pun juga meninggalkan tempat itu.
Ketika kambing-kambing kembali, mereka tidak lagi suka kepada yang serba gagah-
perkasa tapi membuat sengsara, lalu memilih raja dari bangsa kambing sendiri.
Mereka pun hidup bahagia selama-lamanya.
Untuk jerih payah membuat uraian teoretik dan praktik mendalang Abu Kasan Sapari
dinyatakan lulus. Sebenarnya dia bisa cum laude, tapi tidak bisa karena tahun
kuliah sudah melonjok. Itu semua bisa diduga sebelumnya. Yang tidak diduga oleh
Abu dan Lastri ialah ketika gambar Lastri berwarna dengan komentar "Bintang Baru
dari Timur" terpampang di satu-87
satunya tabloid mingguan yang terbit di Solo. Ada uraian panjang lebar mengenai
sekolah, pekerjaan , dan hobinya. Hal itu diketahui Lastri ketika beberapa anak
usia SLTP mendatangi kiosnya.
"Mbak Lastri, minta tandatangannya, dong."
"Ada apa ini?" Lastri terkejut.
Seorang anak mengeluarkan sebuah tabloid dari tasnya.
"Mbak Lastri kan bintang."
"Masak iya?" "Lihat ini!" Dalam tabloid itu dimuat gambar Lastri sedang tersenyum. Cantik, manis, dan
muda. "Ini pasti sebuah kesalahan. Masak saya secantik itu?" batin Lastri. "Tapi
mudah-mudahan itu benar," batinnya lagi.
"O, itu!" Ia mengeluarkan pulpen dan menggoreskan tandatangannya di buku-buku
yang disodorkan. Lastri diam-diam suruhan seorang pembantunya untuk membeli tabloid dua
eksemplar. Sampai di rumah siang itu ia mengetuk pintu Abu Kasan Sapari, dan
melemparkan sebuah tabloid, "Ini pasti pekerjaan sampeyan!" Dia pergi dan
menutup pintu. Jeglek! . 2 Hari Wisuda datang. Orangtua Abu datang berdua. Setelah upacara selesai, seorang
tukang foto mendekat dan mengambil gambar mereka didepan Sekolah Tinggi.
"Abu kau janji membawa calonmu. Mana?"
"Lupa, Bu." "Masak lupa, peristiwa sepenting ini biasanya dipakai alasan untuk show up."
"Lupa itu artinya tidak ingat."
"Ya sudah. Ini kami bawa mangga. Satu plastik untukmu, satu untuk dia."
Abu tahu bahwa Lastri marah padanya, gara-gara tabloid itu. Tetapi memberikan
mangga itu amanat. Maka diketuknya pintu Lastri. Sebuah plastik hitam di tangan.
"Siapa?" "Saya, Yu. Abu."
Lastri membuka pintu diam. Abu berdiri di depan pintu. Tidak seperti bisanya, ia
tidak dipersilakan masuk.
"Kalau salah, ya minta maaf."
"Kalau, kalau. Kalau sudah telanjur bagaimana?"
"Makanya saya datang pertama-tama untuk minta maaf. Kedua, ini plastik dari
Bapak-Ibu untuk Yu Lastri."
Mendengar kata 'Bapak-Ibu' Lastri merendahkan suaranya. Menerima plastik itu.
"Ketemu Bapak-Ibu di mana?"
"Mereka datang untuk menunggui wisudaku?"
"Jadi sampeyan sudah wisuda, to?"
"Sudah." "Lha kok ...." Maksudnya, 'lha kok saya tidak diberi tahu'.
"Maaf, ya Yu. Tidak memberitahu. Takut kalau masih marah."
"Tidak marah, bagaimana. Anak orang kok dijual seperti barang."
"Maksudnya tidak sejelek itu, Yu."
"Masak seenaknya berbuat tanpa izin yang punya!"
"Sudah sudah, ya Yu. Sekali lagi maaf."
Abu terus pergi, eh, berlari.
3 Beberapa hari Abu menatah wayang. Kali ini Limbuk, istri Petruk, dan Cangik,
biyung alias ibu Limbuk. Setelah jadi, sehabis Isya' ia memegang wayang-wayang
itu di tangannya. 88 Disandarkannya wayang-wayang di dinding tembok kotangan. Cangik adalah suara
Abu, sedangkan Limbuk suara Lastri.
Cangik: (Hati-hati, orangnya ceking, suaranya kecil) Mbuk, aku Cangik ibumu. Bangun,
Nduk, bangun. (Ia mengharap ada jawaban dari rumah/kamar sebelah. Tapi tak ada suara. Ia
mengeraskan suaranya). Mbuk, bangun! (Tetap tak ada jawaban). Ini masih ngambek
atau memang tidur, ya"
Eh, aku tahu kau tidak tidur.
Kalau masih ngambek mbok ya bilang-bilang, jadi aku tahu.
Limbuk: (Dari rumah/kamar sebelah terdengar tawa. Orangnya gemuk, suaranya besar).
Ngambek kok disuruh bilang, Biyung itu aneh. Lagi pula soal ngambek" Sudah lupa,
tu. Cangik: Lupa ya boleh, asal tidak lupa sama Mas Petruk, calon misoa- mu, eh, suamimu.
Limbuk: Biyung ini bagaimana, to. Aku pengin dipersunting Mas Gatotkaca, kok mau
dijodohkan dengan Mas Petruk"
Cangik: Lha kalau yang melamarmu hanya Den Baguse Petruk,apa ya tidak diberikan"


Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Limbuk: Dia ya lumayan, Yung. Bisa untuk memedi sawah [menakut-nakuti burung di sawah].
Cangik: Jangan dilihat rupanya, to Nduk cah ayu, yang penting kerjanya.
Limbuk: Ah, jangan saru, to. Cangik: Saru bagaimana. Lihat misalnya cangkul. Cangkul itu bentuknya ya mesti
melengkung begitu, supaya bisa nyangkul dalam-dalam. Seperti kata nyanyian,
'cangkul-cangkul yang dalam'.
Limbuk: Ayo, Biyung kok mulai miring-miring. Yang ngajari siapa" Apa Pak Dalang
Tegalpandan" Cangik: Lho, kok ngerti kalau miring-miring" Ahlinya, ya"
Limbuk: Ah, bicara yang lain saja. Kan banyak yang perlu dibicarakan. Misalnya, Yung,
tanyakan Mas Petruk sungguh-sungguh, Limbuk kan tidak ting-ting lagi, nanti dia
menyesal. Cangik: Aku sudah bilang sama Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah
sudah pengalaman, bisa ngajari Mas Petruk.
Limbuk: Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk"
Cangik: Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orangtua, tapi orangtua menurut anak.
Limbuk: Aku konservatif kok, Yung.
Cangik: Artinya" Limbuk: Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk ya mau, Mas Gatotkaca ya mangga.
Cangik: Mas Gatotkaca itu sudah tunangan dengan Jeng Pregiwa-Pregiwati, kau Mas Petruk
saja, ya Nduk. Bilang 'ya' gitu, biar hatiku puas.
Limbuk: Bagaimana lagi, kan aku sudah tua.
Cangik: Muda kinyis-kinyis begitu kok bilang tua. Umurmu berapa, Nduk" Kalau tujuh belas
boleh" Limbuk: Ya, tambah, kok. Masak cuma tujuh belas" Ya, ndak boleh, kulaknya saja tidak
segitu. 89 Cangik: Kalau tiga puluh bagaimana"
Limbuk: Ya turun sedikit, to.
Cangik: Pasnya saja berapa"
Limbuk: Pasnya, mm, dua tiga.
Cangik: Itu namanya sudah klop, Nduk. Mas Petruk dua enam.
Limbuk: Umur tak jadi soal, asal tok-cer.
Cangik: Ditanggung tok-cer, Nduk. Dibuktikan apa"
Limbuk: Ih, benci aku. Cangik: Ingat, "gething nyanding" , benci malah dekat, lho.
Eh, Nduk. Omong-omong ingin punya anak berapa"
Limbuk: Maunya ya empat; dua laki-laki, dua perempuan. Kalau Mas Petruk maunya berapa,
Yung. Cangik: Mas Petruk itu maunya kayak slogan BKKBN: dua cukup.
Laki perempuan sama saja.
Limbuk: Jalan tengahnya ya tiga. Cangik: Tiga" Mas Petruk pasti setuju, Nduk.
Limbuk: Tapi, Yung. Mas Petruk itu Enggak lucu. Dinanti-nanti Limbuk kok tidak ada
katanya, tidak melamar atau bagaimana begitu.
Cangik: Kan sudah lewat aku"
Limbuk: Itu saja tidak cukup.
Cangik: Ya, katanya mau bilang langsung takut ditolak.
Limbuk: Ditolak bagaimana, malah dinanti-nanti.
Cangik: Ya, to" Memang Mas Petruk itu kurang tanggap sasmita. Ya maklum saja, itu bawaan
bayi. Limbuk: Sebenarnya sejak dulu, sejak kulihat Mas Petruk aku sudah anu, kok.
Cangik: Anu itu artinya apa"
Limbuk: Anu itu yang bikin dag-dig-dug, tratapan, deg-deg pyur itu, lho.
Cangik: Ehm, ehm. Jangan bilang gitu. Nanti Mas Petruk besar kepala.
Limbuk: Aku jujur saja kok, Yung.
Cangik: Nduk, Nduk. Ini serius, aku mau tanya. Ada tawaran kepada Mas Petruk untuk jadi
kepala Deppen Karangmojo. Tawaran memang dari Randu, tapi tanpa komitmen apa-
apa. Limbuk: Sekarang tanpa komitmen, nanti terpaksa larut. Tak usah sajalah. Itu namanya
jalan pintas. Pegawai rendahan bagian statistik kecamatan kok tiba-tiba saja jadi kepala dinas
kabupaten. Bikin penyakit. Jangan politik-politikan. Itu tidak ngrejekeni.
Yang lumrah saja. Cangik: 90 Kau kok pintar, Nduk. Kau ingin jadi istri dalang, to. Bukan istri kepala dinas"
Limbuk: Istri apa saja boleh. asal caranya betul.
Cangik: Dalang itu inkamnya tidak pasti, lho.
Limbuk: Apa inkam penjahit itu pasti"
Cangik: Apa tidak enak begini" Cah Ayu yang swasta, Mas Petruk yang pegawai. Namanya
tumbu dapat tutupnya. Kalau krismon begini, kan tetap survive.
Limbuk: Sama-sama swasta, malah puas yang mantenan.
Cangik: Menurut kata orang, mantenan itu satu-dua jam cukup.
Limbuk: Lha, Biyung nyrempet-nyrempet lagi, ya.
Cangik: Kesrempet saja kepenak, apa itu, Nduk"
Limbuk: Ah, Mas Petruk, eh Biyung, itu kok mesti begitu,lho! Benci, aku.
Cangik: Gemes, aku! Limbuk: Gemes ya Gemes, tapi jangan sekarang.
Cangik: Besok saja, ya. Besok, mau ya"
Limbuk: Ya, mau saja. Kalau terpaksa. Kalau dipaksa.
Cangik: Maunya dipaksa, ya"
Limbuk: Terpaksa, dipaksa, memaksa, ah mana saja, asal enak.
Cangik: Enak atau kepenak"
Limbuk: Biyung itu jangan mengarah ke sana saja, to. Badanku jadi panas-dingin, lho.
Cangik: Itu artinya kamu sudah kemecer, Nduk.
Limbuk: Dibilang apa saja ya terserah. Wong nyatanya memang demikian. Eh, Biyung. Tolong
bilang sama Mas Petruk. Aku tak mau dimadu.
Cangik: Yang mau beristri dua itu siapa" Mas Petruk itu, katanya, 'Kalau dapat Jeng
Limbuk ibarat makan pasti sepiring saja tidak habis'. Masak dia mau dua piring
Limbuk: Bukan dimadu dengan orang.
Cangik: Dimadu dengan apa, Nduk"
Limbuk: Dengan apa lagi, mm, ular!
Cangik: O, itu, to. (Terhenti. Lirih). Sudah kuduga, Nduk.
Ya nanti kubilang. Limbuk: Jangan lupa, ya Yung. Sungguh kok, aku takut.
Cangik: Iya, iya. Ia ... pasti ... ngerti.
91 Limbuk: Sepertinya ada yang mengganjal, ya"
Cangik: Ti ... dak.Nduk, ini soal lain.
Kalau sudah kawin, pindah mau atau tidak"
Limbuk: Ya, manut Mas Petruk.
Cangik: Mas Petruk ada rencana pindah Palur. Mau, ya Nduk.
Limbuk: Ya mau saja. Cangik: Ee, Nduk, Nduk. Kupikir kau dan Mas Petruk itu pasangan yang cocok. Apalagi
kalau engkau mau .... Limbuk: Jadi penyanyi profesional, to"
Cangik: Kok tahu apa yang dipikir Mas Petruk"
Limbuk: Ya tahu, to. Orang kan bisa membaca gelagat.
Cangik: Lha kau setuju tidak dengan pikiran Mas Petruk itu.
Limbuk: Pikir-pikir dulu, mosok jawabannya sekarang.
4 Abu melihat ke kandang ular. Air matanya meleleh, ia harus berpisah dengan
klangenan itu. Dalam keadaan sedih dia tertidur. Eyangnya-ia tahu betul yang datang itu
Eyangnya, entahlah kenapa-tiba dari Negeri Antah Berantah naik kuda semberani,
tiba-tiba saja ia sudah di depan pintu. Abu membuka pintu dan Eyang menambatkan
tali kuda pada sebatang pohon kecil di pagar. Laki-laki itu kekar, berambut
putih, ikat kepala ungu. "Pohonnya terlalu kecil, Eyang."
"Tak apa. Kuda ini sangat jinak, kok. Saya menambatkan hanya sebagai formalitas
saja." Ia mempersilakan Eyangnya masuk. Eyangnya duduk di dipan, bersila. Ia lalu
memasak air. Ia tahu, sebelum ada es orang Jawa bila merasa gerah obatnya ialah
minum teh manis kental dan panas.
"Jangan repot-repot, Eyang tahu kalau engkau belum beristri."
"Tidak, Eyang. Ini hanya teh, kok. Tidak perlu tangan perempuan."
"Tidak perlu tangan perempuan" Itu betul, untuk membuat teh. Tapi tidak untuk
membangun rumah tangga. Untuk membuat anak-anak."
"Ah, Eyang ini kok lucu. Ibunya calon anak-anak juga belum ada."
"Lha Lastri itu apa, kalau bukan calonmu."
"Ah, Eyang ini kok tahu-tahunya."
"Tahu saja. Itu kan cover girl di tabloid itu, to?"
"Ya, kalau mau. Kalau tidak, bagaimana?"
"Jadi laki-laki yang pede, jangan ingah-ingih begitu."
Setelah teh tersaji, Eyang mulai bicara serius. Ia membenarkan letak kakinya.
"Begini, Abu. Eyang tahu Lastri minta kau tidak lagi memelihara ular."
"Ya, itulah yang membuat saya berat."
"Benar dia. Tidak ada perempuan yang suka dimadu dengan ular."
"Berat, Eyang. Berat."
"Percayalah saya. Mengelus-elus perempuan jauh lebih nikmat daripada mengelus-
elus ular." "Ah, Eyang ini."
"Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan
mantra." Eyangnya turun dari dipan, dan melesat dengan kuda semberani. Tiba-tiba saja
seorang laki-laki tua berjanggut putih yang lain sudah ada di depannya. Abu
ingat-ingat lupa dengan orang 92
itu, namun firasatnya membuatnya berpikir, "Untung, mereka tidak ketemu. Wah,
kalau ketemu pasti terjadi perang mulut."
"Lho, ini kan Kakek ...."
"Betul, kita dulu ketemu di cembeng Tasikmadu."
"Maaf, kalau saya tidak segera mengenal."
"Tidak apa, Cucu."
"Saya buatkan teh, Kakek pasti haus."
"Tidak usah. Ini cepat-cepatan saja."
Ia membawa Kakek masuk, dan mempersilakannya duduk di kursi. Kakek-seperti
Eyang-memilih duduk bersila di atas dipan.
"Begini. Kau terikat dengan perjanjian. Mantra pejinak ular itu harus langgeng,
diturunkan dari generasi ke generasi. Mata rantai ilmu harus berlanjut, terus-
menerus, dan abadi. Jadi, kau tidak bisa membuang begitu saja. Saya dulu juga
mencari orang yang cocok dengan ilmu itu sampai tua. Kau tidak akan mati-mati
sebelum menurunkan ilmu itu. Mengerti?"
"Mengerti, Kek."
"Sudah, saya pamit."
Setelah Kakek pergi, Abu terbangun, tidak tertidur sampai azan Subuh tiba.
Segera dia bangun, pergi ke surau. Ketika bertemu Haji Syamsuddin dikatakannya
bahwa seusai shalat dia ingin bicara. Selesai shalat, kata Haji Syamsuddin:
"Wah, ada apa?"
"Begini, Pak. Saya akan melaksanakan anjuran mengenai Ma'ul Hayat itu. Tapi ada
halangan." "Halangan" Laki-laki harus berani, rawe-rawe rantas, malang-malang putung."
"Bukan itu, Pak. Lastri minta saya menyingkirkan ular."
"Apa susahnya" Bawa saja ular itu ke kebun binatang."
"Ular mudah, Pak. Tapi saya terikat dengan mantranya."
"Mantra?" "Ya, Pak. Saya harus mencari orang yang mau ditulari mantra. Mantra harus
diturunkan, berkelanjutan sampai kiamat tiba. Kalau tidak saya kena bebendu


Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

[malapetaka], tidak akan mati-mati meski tua-renta
"Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenaya malahan kau
wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya
mantra lagi." 5 Pulang dari surau Abu Kasan Sapari mengetuk pintu Lastri. Perempuan itu membuka
pintu: "Yu, maaf ya. Mungkin tadi malam banyak kata-kata saya yang tidak senonoh. Itu
karena ...." "Karena sihir malam, ya?"
"Lho, kok?" "Itu syair nyanyian dangdut."
"Ya, maklum saja. Darah muda."
" Sampeyan tak usah merasa bersalah. Jangan-jangan saya malah senang dengan
sebangsa yang tak senonoh itu. Yang berdosa itu mengerjakan, bukan berkata.
Nyrempet-nyrempet mungkin berdosa, tapi hanya dosa kecil, yang hilang kalau kita
rajin sembahyang." "Wah, Yu Lastri punya bakat jadi da'i eh da'iyah, ulama eh ulamiyah."*
XVII TUHAN, BERI KAMI ILMU YANG BERMANFAAT
TUHAN, HINDARKAN KAMI DARI MALAPETAKA
1 Lewat tengah malam. Seperti pencuri Abu Kasan Sapari mengendap-endap bersembunyi
di semak-semak belakang rumah sewaannya. Ia berhenti di situ, memasang telinga.
Tujuan terakhirnya ialahmenyelinap ke kandang kambing. Ia tahu persis kandang
milik Haji Syamsuddin baru pagi-pagi akan dipakai, sebab besok hari Pasaran,
Pahing, dan kambing-kambing akan 93
dibeli dari petani untuk dijual ke kota. Kandang itu berupa rumah yang terbakar
waktu revolusi, dan dibiarkan tak diperbaiki. Beratap tapi tak berpintu, dan
temboknya hitam karena lumut. Tidak, dia tidak akan lewat depan, ada patok-patok
bambu di sana. Dia akan lewat lubang jendela yang tanpa gawangan itu, dan
tinggal di sana sampai pagi. Malam gelap di bagian depan, karena lampu listrik
yang lima wat kalah oleh gelap malam. Di depan rumahnya sebelas orang laki-laki
berkumpul. Ada yang membawa petromax, sehingga tempat itu terang-benderang.
Sebagian membawa pentung kayu. Sebagian membawa baterai di tangan kanan, membawa
apa saja di tangan kiri: tongkat panjang dari besi, batu, dan golok. Senjata-
senjata yang dipersiapkan untuk ular itu. Wajah mereka tertu-tup sarong ala
ninja. Mereka tampak beringas.
"Bunuh ular itu!"
"Enyahkan ular itu!"
"Usir dukunnya!"
Gawat. Suara-suara itu tak dikenalnya. Para tetangga pastilah rikuh untuk
berbuat itu. Betul kata Lastri bahwa orang akan berkumpul di gardu siskamling
lewat tengah malam, membunuh ularnya, dan mengusirnya. Kerja siapa, ia tidak
tahu. Lastri mendengar dari bakul-bakul bahwa banyak orang tak sabar lagi. Ular
yang dipeliharanya dipersangkakan telah kelua dari kandang.
Seekor ayam telah hilang. Kemudian seekor cempe, anak kambing, juga telah
hilang. Seorang perempuan telah datang pada Lastri dan mengatakan," Tolong
diberitahu Pak Abu bahwa nanti malam akan ada gropyokan".
Sore hari Abu Kasan sapari mengundang orang-orang terhormat di lingkungannya.
"Ular saya tak pernah keluar dari kandang," katanya. "Kalau ular itu makan ayam
atau cempe pasti masih busung perutnya." Haji Syamsuddin, Pak RT, dan imam di
Surau dimintanya menjenguk ularnya.
Mereka melihat kandang kawat besar-besar dan berukuran tiga kali satu setengah
meter."Tidak mungkin keluar," kata mereka. Tetapi terlambat, orang sudah
memutuskan. "Dulu ayam, lalu cempe. Nanti anak-anak," kata orang.
Semua orang tahu belaka kalau dia punya ular. Selain memang di kota kecamatan
itu tak seorang pun bisa menyembu-nyikan apa-apa dari tetangga, juga setiap kali
akan memberi ayam ularnya, ia membeli dari pasar. Ia sudah pergi kepada pemilik
ayam dan anak kambing menerangkan segalanya dan meminta mereka menjenguk
kandangnya. Mereka yakin ular itu tak mungkin keluar. Tetapi para tetangga yang
lain datang padanya memintanya menge- nyahkan saja ular itu. Baru-baru ini malah
Pak Bayan datang membawa surat dari lurah.
Terdengar orang mencoba membuka pintu. Rumah itu bertembok di sekeliling,
meskipun di dalamnya hanya kotangan. Suara-suara itu memecah malam.
"Pak Abu keluar! atau kami masuk?"
"Jangan dumeh sudah jadi orang besar." Maksudnya dielu-elukan orang banyak.
"Jangan mentang-mentang jadi dalang kondang."
"Mentang-mentang dekat koran."
Ucapan-ucapan yang tak akan keluar dari mulut orang-orang yang kenal dia. Kata-
kata diucapkan dengan penuh dendam, seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali.
Terdengar jelas di telinga Abu. Lastri membuka pintu. Abu terkejut dengan
kenyataan ini: bahkan cara Lastri membuka pintu dihapalnya.
"Ee, mau masuk rumah orang kok tidak pakai kulanuwun."
Orang berhenti mencoba membuka pintu rumahnya.
"Kau lihat dia?"
"Tidak. Mungkin tugas luar," kata Lastri.
"Jangan-jangan kau sembu-nyikan di bawah kolong," kata orang.
"Jangan-jangan dia bersembunyi di dalam selimutmu," kata yang lain.
"Hus-hus. Marah ya marah, tapi jangan saru, to," kata yang lain lagi."Ular itu
harus di lenyapkan."
"Ya, tapi bicaralah dengan dia secara baik-baik," kata Lastri.
"Kami tak sabar lagi!"
"Bubarlah. Saya jamin," kata Lastri kemudian.
"Pokoknya, kami tahu besok pagi ular itu sudah tidak ada!" Orang-orang pergi.
94 Abu tahu orang itu kalau hanya satu bisa penyabar, tapi kalau sudah orang banyak
bisa sangat menakutkan. Tidak berani lagi dia tidur di rumah, gila, takut.Orang-
orang sudah bubar. Pulang satu-satu. Setelah tidak seorang pun terdengar, dia
beranjak dari persembunyiannya. Mengetuk pintu belakang rumah Lastri.
"Yu, bukakan pintu."
Terdengar suara sandal di lantai. Agak sedikit diseret, itulah cara Lastri
berjalan. Abu tahu itu. Pintu dibuka. "Ya, Allah, Sampeyan to!" Ia tahu perempuan itu akan menubruknya, tapi terhenti
demi sopan-santun. Malam begini ia berpakaian awut-awutan dari baju panjang
terusan sampai mata kaki.
Abu seperti baru sadar kalau perempuan itu cantik. Mereka berbisik diterangi
listrik lima wat. "Apa rencanamu" Aku yakin mereka datang lagi."
"Aku takut tidur di rumah."
"Kalau begitu di sini sajalah. Ditanggung aman."
"Ya, aman. Tapi tidak baik."
"Apa yang tidak baik?"
"Ya, pokoknya tidak baik."
"Lalu?" "Saya punya rencana ke Haji Syamsuddin."
Orang tahu, kalau Abu dekat dengan haji itu. Teman ronda, teman ngobrol, dan
teman di surau. Tidak ke rumahnya, tapi kandang kambingnya. Abu juga selalu
diundang makan. Haji Syamsuddin tak punya anak, maka akan mengundangnya setiap
kali ia dapat rezeki. Rezeki itu dapat dipastikan datang lima hari sekali,
setelah dia mengirim kambing ke kota dengan truknya sendiri.
"Abu, datanglah ada pecel lele."
"Datanglah, ada tongseng kikil."
"Datanglah, ada gurami."
Sebagai ganti, setiap mendalangnya pe-ye alias payu alias laku, dia akan
mendudukkan Haji Syamsuddin dekat waranggana. Semua orang tahu ia orang alim-
termasuk para waranggana, sehingga mereka justru merasa aman-hanya dia punya
selera yang tinggi dengan perempuan (Jangan bilang-bilang, kabarnya dia tidak
koong, tidak jantan). Dialah salah satu pendukung berat agar Abu mengambil Lastri.
"Ditanggung, di pasti begini," katanya suatu kali sambil mempertontonkan ibu
jarinya. Dia mengaku sudah belajar katurangganing wanita, ciri-ciri perempuan.
Akhir-akhir ini saja Abu akan kecewa bila haji Syamsuddin menunjukkan jempolnya,
sepertinya dia tidak rela Lastri dinilai semata-mata dari segi fisik saja.
Seolah-olah wanita itu hanya objek.
Kata kawan-kawan di sekolahnya dulu yang suka berfilsafat tentang cinta: kalau
kau melihat wanita sebagai objek, itu namanya nafsu; kalau kau menganggap wanita
sebagai subjek semata, itu namanya persahabatan; dan kalau kau menganggap wanita
sebagai objek dan subjek sekaligus, itulah yang disebut cinta.
"Malam begini merepotkan orang," kata Lastri.
Pada waktu itu terdengar pintu rumah Abu didobrak orang lagi. Abu segera kembali
ke tempat persembunyiannya. Lastri ke luar lagi, katanya:
"Saya kan sudah menjamin."
"Kami tidak yakin jaminanmu."
"Kami akan tunggu sampai dini hari. Di sini."
"Kalau dia tidak datang juga, kami akan masuk."
Mereka duduk di lincak atau mondar-mandir dengan pentung di tangan. Sekali-
sekali mereka akan memukul lincak atau tanah dengan apa saja yang di tangan.
Mereka juga mengeluarkan rokok dari saku. Suara-suara mereka mbrengengeng
seperti pasar, tapi terdengar lebih keras di malam hari.
Di persembunyiannya Abu mendengar-dengarkan dan melongok-longok. Setelah jelas
tidak ada orang di belakang rumah, Abu beranjak menuju ke persembunyiannya yang
baru. Dengan mengendap-endap sampai juga dia di jendela. Setelah sekali lagi
dilihatnya kanan kiri, ia melipat sarong, mencopot sandal jepitnya, dan meloncat
ke dalam. Bau pesing menyerangnya. 95 Ia tahu, orang-orang Haji Syamsuddin sudah berusaha membersihkan tempat itu.
Matanya jadi biasa dengan gelap. Ada panjatan di bawah jendela, ia masuk ke
kandang. Tempat itu gelap, meskipun jauh di sana ada bola listrik. Ketika ia
mengenakan kembali sandal dan membuka lipatan sarongnya, ia baru sadar kalau
lantai di bawahnya pakai plester yang mengelupas di sana-sini. Dalam gelap
ditemukannya tumpukan rumput, jadi ia pergi ke situ. Dapat duduk atau berbaring
di atasnya. Ini lebih empuk dari kasurnya. Ah, badan itu kalau lagi mujur!
Ia sedang merenungi nasibnya ketika didengarnya seseorang datang. Ia yakin
tempatnya cukup terlindung.
"Sst. Mas Abu." Itu Lastri, bau wangi bajunya (Abu mendengar untuk pertama kali
dia dipanggil 'mas', sementara itu ia mengganti kata yang mestinya 'tubuhnya' dengan 'bajunya'
dalam pikirannya) mengalahkan bau pesing.
Kerincing di pergelangan tangannya juga terdengar. Pikir Abu, bagaimana dia tahu
kalau ia di kandang kambing. Jangan-jangan dia mulai bisa membaca pikirannya.
Kata orang, itu hanya terjadi pada suami-istri.
"Saya tahu Mas di sini. Ini selimut. Kalau butuh teman besok-besok saja, ya."
Abu berdiri dalam gelap dan menerima selimut itu.
"Saya buatkan kopi, tapi airnya belum masak."
Perempuan itu pergi. Entah kenapa, Abu mencium selimut pemberian Lastri. Bau
soga dan kapur barus masuk hidungnya. Ah, ini bukan selimut, tapi kain batik.
Diciumnya, sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi kain itu, seolah dia-oh
tidak-sedang mencium yang punya. Kain itu terlalu sayang untuk selimut di
kandang kambing. Las, Las. Kain itu hanya dipegangnya, eh, dicium-ciumnya.
Lastri datang lagi dengan termos berisi kopi.
"Kalau mau lek-lekan juga boleh." Kemudian perempuan itu tertawa dengan
berbisik. Sepertinya, tidak ada hal perlu disusahkan. Ada filsafat hidupnya yang disetujui
Abu: Kesusahan itu datang karena kita cenderung mempersulit diri sendiri.
Abu akan mengucapkan terima kasih bahwa Lastri ikut merasakan kesulitannya.
Tapi, tampaknya pikirannya terbaca.
"Tidak, tidak usah terima kasih segala. Antara ...," kemudian Lastri berhenti
mendadak. Mungkin untuk memilih kata yang paling tepat. " Yaaah, antara teman senasib
harus setia kawan." Kemudian perempuan itu pergi.
Bau pesing tidak lagi tercium, mungkin karena Lastri, mungkin karena kain batik,
mungkin karena terbiasa, mungkin karena hidungnya dipaksa untuk tidak mencium.
Malam itu Abu Kasan Sapari tidak bisa memejamkan mata, ingatannya hanya pada
Lastri, atau pada ularnya, atau pada kemarahan orang.
Pada dini hari orang-orang mulai menggebrak-gebrak pintu dengan linggis. Mereka
jadi lebih galak, lebih beringas. Makin lama makin banyak.
"Bunuh ular!" "Usir dukunnya!"
Mereka berdesakan di muka pintu, menanti linggis akan membukanya. Tetapi, tiba-
tiba mereka lari tunggang-langgang.
"Ular! Ular!" Di mata mereka ada ular sebesar pohon kelapa datang entah dari mana.
2 Memang sudah terpikir bagi Abu untuk melepas ular itu. Tinggal lagi menunggu
waktu yang tepat. Sekarangkah waktunya" Sebentar antara tidur dan bangun,
beberapa ekor ular datang padanya sambil meneteskan air mata.
Kata mereka, "Jangan tinggalkan kami, jangan tinggalkan kami!" Dia memeluk ular
itu satu-persatu, dan bilang, "Selamat tinggal, ya! Selamat tinggal."
Terpejamkah Abu" Tidak mungkin. Terpejam itu bukan pekerjaannya. Melek semalam
suntuk itu kebiasaan baginya waktu mendalang, apalagi dengan termos kopi bikinan
Lastri. Ia juga belajar mengenal waktu. Jadi tahu persis bahwa Subuh akan segera
tiba. Pada waktu seperti itulah dia biasa mengakhiri pertunjukan wayang. Ia
sudah mengambil keputusan.
96 Ia mendekati jendela, menyingsingkan sarong, mencopot sandal jepit, menjatuhkan
sandal dan kain ke bawah, memegang termos baik-baik dan meloncati jendela.
Sesampai di bawah, merapikan sarong, mengenakan kembali sandal, mengepit kain,
membawa termos, lalu berjalan ke kantor polisi.
Polisi sama sekali tidak terkejut: biasa pagi-pagi begini datang peronda ke
kantor untuk ngobrol, minum kopi, atau laporan. Tetapi sekali ini yang datang
Abu Kasan Sapari. Mereka sudah saling mengenal.
"Kok tumben," kata polisi.
"Ceritanya panjang, tapi nanti saja. Antar saya pulang."
Polisi itu menurut, tanpa bertanya lagi. Mengikuti Abu. Sampai di rumah, Abu
minta polisi masuk. "Terima kasih. Di sini saja," lalu duduk di kursi bambu.
Abu mengerti, polisi itu mesti takut dengan ular. Kalau polisi saja takut ular,
apalagi orang lain, apalagi Lastri.
"Takut ular, ya?"
"Jujur saja, iya."
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri.
Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukan ular ke dalam kotak kayu.
Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud
memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau
ada sangsinya, dia sanggup menanggung.
" Sampeyan sudah pulang, to?" tanya Lastri dari sebelah.
Abu heran kok ganti lagi dengan 'sampeyan'. Jangan-jangan tadi dia salah dengar.
"Sudah." "Ya, syukur." Lewat pintu belakang ia menemui Lastri, mengembalikan kain dan termos.
Menyerahkan jilidan merah jingga.
"Apa ini?" "Baca saja". "Rencana sampeyan apa?"
"Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin."
Plong! Lastri keheranan. Sebenarnya ia ingin tahu sebab-sebab keputusannya, tapi
diurungkannya. "Pagi-pagi begini?"
"Ya." Di pintu keluar dikatakannya dengan lancar seperti sudah dihapalkannya:
"Dan jangan lupa I love you, lho."
"Ya, ya. Saya mengerti, kok."
" Nyebar godhong kara, ya Yu." Maksudnya, sabarlah sementara.
Pagi itu dia keluar dari rumahnya dengan sebuah kotak kayu. Lastri mengantar
sampai halaman.

Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Abu mengucap terima kasih pada polisi yang mengantarnya sampai terminal. Sebuah
bis akan mengantarnya ke bonbin yang terletak di tepi jalan itu. Setiap kali air
matanya meleleh, setiap kali pula dipegangnya kotak kayu kuat-kuat dan
dibayangkannya Lastri. Ia berketapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi
Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.
Langit memerah di atas Gunung Lawu.* (TAMAT)
97 Bentrok Rimba Persilatan 16 Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Kesatria Berandalan 3
^