Pencarian

Memanah Burung Rajawali 37

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 37


"Kiu Cian Jin," Ang Cit Kong berkata pula, "Pangcu Siangkoan Kiam Lam dari Tiat
Ciang Pang ada seorang gagah perkasa, seumurnya dia bersetia kepada negara,
belum pernah dia berubah pikiran, tetapi kau, yang sama-sama jadi pangcu, kau
sudah bersekongkol dengan bangsa Kim, kau berkhianat, kau menjual negara! Kalau
nanti kau mati, apakah kau mempunyai muka untuk bertemu dengan Siangkoan Pangcu"
Hari ini kau mendaki gunung Hoa San ini, kau memikir yang gila-gila mengharapkan
kehormatan sebagai orang kosen nomor satu di kolong langit ini! Jangan kata ilmu
silatmu tidak mampu menandingi yang lain-lain orang gagah, umpama kata kau benar
tiada tandingan, tetapi di kolong langit ini, orang gagah yang mana yang sudi
takluk kepada pengkhianat penjual negara"!"
Kiu Cian Jin berdiri menjublak. Hebat kata-kata itu. Maka teringatlah dia akan
kejadian-kejadian beberapa puluh tahun yang lampau, ketika pertama kali ia
menerima kedudukan sebagai pangcu, ketua Tiat Ciang Pang. Ketika itu Siangkoan
Kiam Lam, pangcu yang lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah
meninggalkan pesannya, dia dijelaskan aturan suci dari Tiat Ciang Pang, dia
diwanta-wanti bagaimana harus mencintai negara dan menyayangi rakyat negeri. Ia
ingat, semakin usianya menanjak, semakin lihay kepandaiannya, tetapi semakin
lama, sepak terjangnya semakin jauh bertentangan dengan cita-cita partainya. Di
antara anggota-anggotanya, yang jujur dan setia menjauhkan diri, yang buruk
tetap berkumpul bersamanya, hingga kemudian, Tiat Ciang Pang yang suci murni itu
telah berubah menjadi kotor, berubah menjadi sarang penjahat. Ia mengangkat
kepalanya, ia melihat rembulan terang. Justru itu tampak sepasang mata yang
bersinar tajam dari Ang Cit Kong, yang mengawasi padanya. Mendadak ia sadar, ia
menginsyafi samua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian. Tanpa merasa,
peluh membasahkan seluruh tubuhnya.
"Ang Pangcu, kau benar!" akhirnya ia kata. Ia terus memutar tubuhnya, untuk
berlompat ke jurang. Cit Kong kaget. Ia memegang tongkatnya untuk berjaga diri. Ia khawatir, karena
gusarnya, Kiu Cian Jin nanti menerjang padanya. Ia tahu ketua Tiat Ciang Pang
itu lihay. Maka ia tidak menyangka, orang menjadi nekat, orang hendak membunuh
diri. Ia tercengang. Selagi ia tidak berdaya, lain orang telah mencelat maju ke
tepi jurang. Itulah It Teng Taysu, yang semenjak tadi duduk bersila saja. Tapi
pendeta ini bukan berlompat dengan kakinya menindak, hanya ia berlompat dengan
tubuhnya terapung. Sebab dia masih duduk bersila saja. Hanya tangan kirinya
diulur, untuk dipakai menyambar kaki Kiu Cian Jin, untuk ditarik dengan keras.
Sambil berbuat begitu, ia memuji: "Siancay! Siancay! Laut kesengsaraan tidak ada
batas pinggirannya, siapa yang menoleh, melihat tepian! Kau telah insyaf, kau
telah menyesal, maka untukmu masih belum kasep guna kembali menjadi manusia
benar! Pergilah kau merawat dirimu baik-baik!"
Kiu Cian Jin lantas menangis menggerung-gerung, ia berlutut di depan si pendeta,
pikirannya pepat, tidak dapat ia mengatakan sesuatu.
Eng Kouw melihat orang berlutut membaliki belakang terhadapnya, ia meihat
ketikanya, maka ia menghunus pisau belatinya, ia menikam punggung musuhnya itu!"
"Tahan!" berseru Pek Thong seraya menahan tangan si nona.
"Kau bikin apa"!" bentak Eng Kouw, gusar.
Loo Boan Tong memang tidak mau berurusan dengan si nyonya, dibentak begitu, ia
menjerit, lantas ia memutar tubuhnya untuk lari kabur.
"Ke mana, kau hendka pergi"!" bentak Eng Kouw, yang terus mengejar.
"Perutku sakit, hendak aku membuang kotoran!" sahut Pek Thong sambil berlari
terus. Sejenak Eng Kouw tergugu, lantas ia mengejar pula. Ia tidak memperdulikan kata-
kata orang itu. Pek Thong berteriak-teriak pula: "Celaka, celaka! Celanaku semua penuh kotoran,
bau sekali, kau jangan datang padaku!"
Eng Kouw tidak memperdulikan, terus ia mengejar. Sudah duapuluh tahun ia
mencari, kalau sekarang ia membikin orang lolos pula, lain kali sukar untuk ia
mencarinya hingga ketemu lagi. Ia lari dengan keras.
Loo Boan Tong mendengar tindakan kaki orang, ia kaget. Sekarang ia kaget benar-
benar. Kalau tadi ia mengatakan hendak membuang air besar untuk menggertak Eng
Kouw, sekarang benar-benar itu kejadian..........
Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum melihat lagaknya Pek Thong itu, yang bersama
Eng Kouw lenyap dengan cepat. Kemudian mereka menoleh, memandang It Teng Taysu.
Pendeta itu bicara berbisik sama Kiu Cian Jin, dan ketua Tiat Ciang Pang itu
mengangguk-angguk. Kemudian Toan Hongya yang "sudah mati" itu berbangkit.
"Mari kita berangkat!" katanya.
Sampai di situ, Kwee Ceng dan si nona menghampirkan untuk memberi hormatnya.
Mereka pun memberi hormat kepada si tukang pancing berempat.
It Teng mengusap-usap kepala sepasang muda-mudi itu, ia bersenyum, kelihatan
nyata romannya yang mengasihi. Ia menoleh kepada Ang Cit Kong, ia berkata:
"Saudara Cit, kau sehat-sehat saja, kau lebih gagah daripada dulu! Kau pun telah
menerima dua murid yang baik sekali, aku beri selamat padamu!"
Ang Cit Kong menjura. "Hongya toh juga baik!" katanya.
It Teng Taysu tertawa. "Sekarang ini aku bukannya hongya lagi!" katanya. Ia menolak kata-kata hongya
atau raja. "Saudara Cit, gunung itu tinggi, air itu panjang, maka itu, sampai
bertemu pula!" Ia merangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat, lantas ia
membalik tubuhnya, akan berangkat pergi.
"Eh, eh," kata Cit Kong pula, "Besok harian rapat, kenapa Toan Hongya pergi
sekarang?" Karena telah jadi kebiasaan, tidak dapat ia mengubah panggilan "Tian
Hongya" itu. It Teng berbalik, ia tertawa.
"Akulah orang dari luar kalangan, tidak berani aku berebutan dengan orang-orang
gagah di kolong langit ini," katanya. "Kedatanganku hari ini hanya untuk
menyelesaikan keruwetan dari duapuluh tahun yang lampau, maka aku bersyukur akan
maksduku telah tercapai. Saudara Cit, sekarang ini siapa lagi si orang gagah
kalau bukannya kau, maka janganlah kau merendahkan diri."
Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas ia pergi dengan menuntun Kiu Cian
Jin. Si tukang pancing berempat memberi hormat pada Ang Cit Kong, terus mereka
mengikuti guru mereka. Si pelajar lewat di dekat Oey Yong, ia melihat muka bercahaya dari si nona, ia
tertawa dan menggoda dengan bersenandung: "Di tanah rendah ada pohon yang-toh,
cabangnya halus dan lemas."
Oey Yong membalas sindiran itu: "Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah
jadi malam...." Si pelajar tertawa lebar, ia menjura dan melanjutkan perjalanannya.
Kwee Ceng heran, ia tidak mengerti. Ia menduga orang main teka-teki.
"Yong-jie, adakah itu kata-kata Sansekerta?" ia tanya.
Si nona tertawa. "Bukan. Itulah syair dari Kitab Syair."
Kedua syairnya si pelajar dan Oey Yong itu masih ada sambungannya masing-masing
tetapi mereka sengaja menyebut permulaannya saja. Si pelajar mengatakan si nona
belum menikah tapi sudah kegirangan, sedang Oey Yong mengumpamakan si pelajar
sebagai binatang. Sementara itu Kwee Ceng, yang telah mendengar teguranny Ang Cit Kong kepada Kiu
Cian Jin, turut tersadar, maka ia menginsyafi keruwetannya selama ini. Gurunya
telah membunuh banyak orang tapi semua orang jahat, guru itu tidak dapat
dikatakan tidak pantas, guru itu bukannya jahat, bahkan sebaliknya, guru itu
seorang yang baik, sebab ia menindas kejahatan. Karena itu, ia pun tidak
mestinya melupakan atau membuang ilmu silatnya.
Lantas muda-mudi ini menghampirkan guru mereka, untuk memberi hormat mereka,
untuk kemudian mereka memasang omong tentang segala hal semenjak perpisahanan
mereka yang paling belakang.
Ang Cit Kong ikut Oey Yok Su ke Tho Hoa To, di sana ia dapat menyembuhkan diri
dengan memahamkan Kiu Im Cin-keng, dengan melatih diri dalam ilmu tenaga dalam,
untuk menyalurkan pernapasannya dan jalan darahnya. Dalam tempo setengah tahun
ia sembuh, lalu dalam tempo setengah tahun lagi, ia berhasil memulihkan
kepandaian silatnya. Ia sudah sembuh, tetapi ia meninggalkan Tho Hoa To lebih
belakang daripada Oey Yok Su, yang berangkat lebih dulu untuk mencari anak
daranya yang dia buat pikiran dan kangen. Oey Yok Su berangkat ke utara, Cit
Kong bertemu sama Lou Yoe Kiak, dari itu ia mendapat tahu juga tentang kedua
muridnya itu, kecuali hal-hal setelah rombongan Yoe Kiak meninggalkan Mongolia.
"Suhu, sekarang silahkan suhu beristirahat," kata Kwee Ceng kemudian. "Sang
fajar bakal lekas tiba, kalau sebentar tiba waktunya mengadu kepandaian, suhu
mesti menggunai banyak tenaga."
Cit Kong tertawa, ia berkata: "Usiaku telah lanjut, tetapi kegemaranku akan
menang pun bertambah, tetapi mengingat yang aku bakal menghadapi Tong Shia dan
See Tok, hatiku kurang tentram. Selama ini, Yong-jie, kepandaian ayahmu maju
pesat sekali. Coba kau tebak, siapa yang lebih kuat atau lebih lemah di antara
ayahmu dan gurumu?" "Sebenarnya kepandaian suhu dan kepandaian ayahku berimbang," menyahut Oey Yong.
"Tetapi sekarang suhu telah mewariskan It Yang Cie dari It Teng Taysu dan suhu
sendiri telah menyakinkan Kiu Im Cin-keng, maka itu tentulah ayahku bukan
tandingan suhu lagi. Maka sebentar aku omong sama ayahku, supaya ayah tidak usah
melawan suhu lagi hanya lekas-lekas pulang ke Tho Hoa To."
Ang Cit Kong memikirkan perkataan si murid, yang lagu suaranya berbeda, ia
lantas menduga hati orang, lalu ia tertawa lebar dan berkata: "Tidak usah kau
bicara berputar-putar. It Yang Cie kepunyaan Toan Hongya dan Kiu Im Cin-keng
kepunyaan kamu berdua, dari itu tidak usah kau menyebutkannya, aku si pengemis
tua tidak nanti menebalkan muka menggunakan itu. Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan
kepandaian asalku." Begitu memang maksud Oey Yong, maka ia pun tertawa.
"Suhu," katanya, "Jikalau kau kalah dari ayahku, akan aku masakkan kau seratus
masakan untuk kau berpest pora. Akurkah kau?"
Cit Kong lantas mengilar.
"Eh, bocah cilik, hatimu tidak bagus!" ia kata. "Sudah kau membakar hatiku, kau
menyogok juga! Kau sangat licuk, kau mengharap-harap supaya ayahmulah yang
menang. Oey Yong tertawa. Belum lagi ia menyahut, atau Cit Kong mendadak bangun berdiri
dan sambil menunjuk ke belakangnya, dia berkata: "Bisa bangkotan kau datang
begini pagi!" Dua-dua Oey Yong dan Kwee Ceng berlompat bangun, lantas mereka menoleh, berdiri
di samping guru mereka. Mereka segera melihat Auwyang Hong yang lagi berdiri
dengan tubuhnya yang tinggi besar. Secara diam-diam See Tok tiba hingga dua
muda-mudi itu tidak mendapat tahu. Mereka heran dan terkejut.
"Datang lebih pagi, pibu lebih pagi!" menyahut Auwyang Hong. "Datang siang, pibu
siang. Eh, pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur, kau sebutlah, kita bakal
bertempur untuk mencari kemenangan yang memutuskan atau mengadu jiwa?"
"Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang, itu pun artinya hidup dan mati,"
jawab Ang Cit Kong. "Maka itu, kalau kau menurunkan tangan, tidak usah kau main
kasih-kasiha lagi!" "Baik!" berkata Auwyang Hong. Ia lantas menggerakkan tangannya yang kiri, yang
tadi ia taruh di belakangnya. Nyata ia telah menyiapkan tongkatnya, ia menotok
batu seraya berkata pula: "Di sini saja atau di lain tempat yang terlebih
lebar?" Cit Kong belum menyahut, atau dia sudah didului oleh Oey Yong.
"Tidak bagus gunung Hoa San ini dipakai sebagai tempat pibu!" kata si nona.
"Lebih baik kita pergi ke perahu!"
Mendengar itu, Pak Kay melengak.
"Apa kau bilang?" ia menegaskan muridnya itu.
"Dengan bertempur di perahu, kita dapat mengasih ketika lagi untuk Auwyang
Sianseng membalas kebaikan dengan kejahatan!" si nona menjelaskan. "Biarlah ia
mendapat ketika untuk membokong pula!"
Ang Cit Kong tertawa terbahak.
"Dulu kita terpedaya satu kali, maka satu kali juga kita belajar pintar,"
katanya. "Jangan kau mengharap yang si pengemis bangkotan nanti mengasih ampun
pula!" See Tok disindir si nona, air mukanya tidak berubah sama sekali, hanya tanpa
membilang apa-apa, lantas ia menekuk kedua dengkulnya, untuk menongkrong, sedang
tongkatnya dipindahkan ke tangan kiri, tangan kirinya itu lantas dipakai
mengerahkan ilmu silatnya yang istimewa, ialah Kap Moa Kang atau ilmu Kodok.
Menampak demikian, Oey Yong segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada
gurunya. "Suhu," ia berkata, "Kau lawan ini bangsat licik dengan Tah-kauw-pang ditambah
It Yang Cie! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala aturan atau kemurahan
hati!" Ang Cit Kong lantas berpikir: "Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku
dapat mengalahkan dia, sedang sebentar aku mesti melayani Oey Lao Shia, kalau
aku sudah letih, mana bisa aku melayani Tong Shia?"
Karena ini ia menyambuti tongkat keramat partainya itu, terus ia bergerak dalam
sikapnya "Mengeprak rumput mimbikin ular kaget" dan Membiak rumput mencari
ular", tongkatnya bergerak ke kiri dan kanan.
Beberapa kali sudah Auwyang Hong pernah menempur Pak Kay, si Pengemis dari Utara
ini, belum pernah dia melihat orang menggunakan tongkatnya, yang dia pernah
saksikan adalah ilmu silat tongkatnya Oey Yong, yang dia kurang perdatakan,
sekaranglah untuk yang pertama kalinya dia melihatnya, ia menjadi kagum. Dengan
gerakannya itu pulang pergi, Cit Kong telah menghembuskan angin keras. Karena
ini tanpa ayal lagi, dia maju menyerang, menyerang ke tiong-kiong atau tengah.
Ketika dulu hari itu Cit Kong dibokong Auwyang Hong, hampir jiwanya melayang,
untuk itu dia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun, baru kesehatannya
kembali dan kepandaiannya pulih, karenanya hari ini dia tidak mau berkelahi
secara sembarangan. Kekalahan dulu itu adalah kekalahan besar yang dia belum
pernah mengalaminya seumur hidupnya, itulah pula bahaya yang dia belum pernah
menghadapinya. Maka sekarang, berhubung saat penentuan kehormatan dan kehinaan,
atau hidup atau mati, ia tidak main sungkan lagi.
Bab 80. Pibu di gunung Hoa San
Bab terakhir, ke-80, dari cersil Memanah Burung Rajawali.
Auwyang Hong bertubuh tinggi dan besar, meskipun ia telah menekuk sedikit kedua
kakinya untuk mengimbangi ilmu silatnya, ilmu silat Kodok, dia masih terlebih
tinggi daripada Ang Cit Kong. Ia sekarang menggunakan tongkat yang ketiga, yang
ia baru bikin, sebab dua tongkat ularnya yang pertama telah lenyap. Tongkatnya
ini, di bagian ujungnya, yang berukiran kepala manusia, tetap aneh macamnya,
tetap mengerikan di pandangnya. Di situ ada dililitkan dua ekor ular berbisa,
hanya kedua ekor ular ini ular-ular baru, kurang kelincahannya seperti dua
ularnya yang dulu. Di samping itu, ia sekarang bertempur Pak Kay untuk keempat
kalinya, maka beda cara berkelahinya ini. Pertama kali melawan Ang Cit Kong, itu
terjadi di gunung Hoa San ini, dan itu terjadi guna memperebutkan kehormatan dan
Kiu Im Cin-keng. Yang kedua kali di Tho Hoa To, itulah untuk membela Auwyang
Kongcu yang berebutan jodoh dengan Kwee Ceng. Yang ketiga kali ialah pertempuran
di laut. Usia kedua pihak makin lanjut tetapi berbareng degan itu ilmu silat mereka juga
makin maju, maka itu hebat pertarungan mereka. Inilah pibu untuk nama baik,
tentang hidup atau mati. Maka siapa yang alpa, atau kurang gesit, dia harus
menerima nasibnya. Lekas sekali, seratus jurus lebih telah dilewatkan.
Dengan mendadak, sang Putri Malam selam. Dengan lantas, cuaca menjadi gelap.
Itulah perubahan waktu seketika untuk pergantian sang waktu, untuk lewatnya sang
malam guna diganti sang fajar. Selang sesaat, cuaca bakal menjadi terang.
Sekarang kedua pihak sukar dapat melihat satu kepada ynag lain dengan jelas.
Sekarang tertampak tegas, mereka saling menyerang dengan lebih banyak menutup
diri. Kwee Ceng dan Oey Yong menonton dengan menumpahkan perhatian mereka sepenuhnya.
Biar bagaimana, mereka berkhawatir untuk guru mereka. Mereka maju beberapa
tindak, supaya kalau perlu, mereka bisa menolong guru mereka.
Mata Kwee Ceng mengawasi tajam tetapi hatinya berpikir: "Mereka inilah jago-jago
nomor satu di jaman ini, hanya bedanya yang satu orang gagah dengan hati mulia,
yang lain berhati buruk, mengganas karena mengandalkan kekosenannya. Jadinya,
ilmu silat tidak mengenal baik dan jahat, itu hanya terbawa oleh si orang
tersangkut sendiri. Siapa baik, ilmu silatnya menambah kebaikan, siapa jahat,
ilmu silatnya menambah kejahatannya." Ia cemas hati ketika ia mendengar See Tok
dan gurunya bergantian berseru, tanda dari hebatnya pertarungan mereka.
"Suhu sudah terluka parah, itu artinya dia telah menyia-nyiakan waktu hampir dua
tahun," anak muda ini berpikir pula, hatinya berdebaran. "Memangnya ilmu silat
mereka berimbang satu dengan lain, dengan suhu terhalang itu, mungkin See Tok
mempunyai kepandaian berlebihan. Pertarungan ini berarti hanya denagn satu
tindak maju dan satu tindak mundur. Kalau suhu kalah" Ah, sayang aku telah
memberi ampun hingga tiga kali kepada jago dari Barat ini..."
Kwee Ceng ingat pula ajaran Khu Cie Kee bahwa haruslah dibedakan kepercayaan dan
kebajikan besar dari kepercayaan dan kebajikan kecil, bahwa kalau karena


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepercayaan dan kebajikan kecil orang roboh, itu bukan lagi kepercayaan dan
kebajikan. Singkatnya, itulah bukannya kehormatan.
"See Tok mengatakan untuk berkelahi satu sama satu, dengan cara terhormat," anak
muda ini berpikir lebih jauh, "Habis bagaimana kalau dia tetap berlaku curang"
Bagaimana kalau dia lantas mengganas dengan terlebih hebat pula" Berapa banyak
korban jatuh karenanya" Dulu-dulu aku tidak dapat membedakan artinya kepercayaan
dan kebajikan ini, aku jadi telah melakukan banyak ketololan...."
Oleh karena berpikir begini, Kwee Ceng lantas berpikir tetap untuk membantu
gurunya itu. Tapi ia belum lagi maju atau ia mendengar suara Oey Yong.
"Auwyang Hong kau dengar!" demikian si nona berkata. "Engko Ceng telah berjanji
padamu, dia hendak memberi ampun tiga kali kepada jiwamu, siapa tahu
kenyataannya mengandalkan kekosenanmu, kau tetap menghina aku, maka itu untuk
menjadi satu orang kecil tak ternama dari Rimba Persilatan, kau sudah tidak
surup, bagaimana lagi kau hendak memperebutkan nama jago nomor satu di kolong
langit ini?" See Tok telah banyak melakukan kejahatan yang tak terhitung banyaknya, meski
begitu ialah orang yang biasa mengatakan satu itulah satu atau dua ialah dua,
belum pernah ia menyangkal kata-kata atau janjinya. Ia juga sangat jumawa. Bahwa
ia sudah memaksa Oey Yong itulah karena sangat terpaksa, sebab ia ingin sekali
si nona menjelaskan artinya kitab kepadanya. Sekarang sekali hebatnya ia
menempur Ang Cit Kong, ia diungkat-ungkat oleh nona itu, tanpa merasa, kupingnya
menjadi panas, karena itu, gerakan tangannya menjadi lambat, hampir ia kena
tersodok tonglatnya si pengemis.
"Kau dinamakan See Tok, si Bisa dari Barat," berkata pula Oey Yong, "Maka itu
tidaklah bisa dikatakan apa-apa mengenai segala perbuatanmu yang busuk, akan
tetapi kau sampai diberi ampun tiga kali oleh seorang muda, sungguh telah hilang
mukamu! Bagaimana dapat kau menelan kata-katamu sendiri terhadap satu anak muda"
Sungguh kau menyebabkan orang-orang gagah kaum kangouw tertawa hingga mulutnya
mengok! Auwyang Hong, Auwyang Hong! Ada satu hal yang orang di kolong langit ini
tidak dapat mengalahkan kau, ialah bahwa kaulah tidak tahu malu nomor satu di
dalam dunia ini!" See Tok gusar bukan kepalang, tetapi ia tahu maksudnya nona itu, yang hendak
membangkitkan amarahnya, supaya perhatiannya menjadi terpecah, supaya tidak
dapat ia mengutamakan pertempurannya dengan Ang Cit Kong - tegasnya, supaya ia
kena dikalahkan. Karena ini, sebagai seorang licik, ia tidak mau dirinya
dibakar. Ia tidak menghiraukan ocehan itu. Tapi Oey Yong sangat cerdik, ia tidak
mau berhenti, dia mengoceh terus, bahkan ia menyebutkan kebusukan yang
sebenarnya Auwyang Hong belum pernah melakukannya. Dia sengaja membusuki supaya
See Tok menjadi manusia terjahat di dunia ini. Mulanya See Tok terus dapat
bersabar, kemudian dia terbakar juga, ia lantas membela diri, dia melawan bicara
terhadap si nona itu. Itulah yang diharap si nona, dia lantas mengoceh terlebih
jauh. Maka terjadilah See Tok berkelahi di dua kalangan; melawan Pak Kay ia
bersilat dengan kaki dan tangan, melayani Oey Yong, ia menggoyang lidah. Sedang
mengenai menggunakan lidah, Oey Yong lebih pandai daripada Ang Cit Kong!
Lewat sekian lama, Auwyang Hong merasakan ia terdesak. Justru itu ia ingat:
"Pengemis tua ini tentunya tidak mengerti Kiu Im Cin-keng, maka itu, untuk
merebut kemenangan, aku mesti menggunakan ilmu itu." Karena ini, ia lantas
menggunakan ilmunya itu. Tidak perduli ia mendapat ajaran yang sesat, tapi sebab
ia lihay dan bakatnya baik sekali, ia toh memperoleh kemajuan juga. Dengan
begitu maka berubahlah gerakan tongkatnya.
Ang Cit Kong terkejut, ia mesti melayani dengan memasang mata tajam luar biasa,
dengan kegesitan yang bertambah.
Oey Yong mendapat tahu perubahan di kedua pihak itu, ia lantas kata nyaring:
"Goansu-engjie, pasie-palok-pou, soatliok-bunpeng!"
Auwyang Hong mendengar itu, dia terperanjat. "Apakah artinya kata-kata
Sansekerta itu?" pikirnya. Dia tidak tahu si nona cuma mengoceh, bahwa kata-
katanya itu tidak ada artinya. Oey Yong pun tidak berhenti dengan kata-katanya
itu, ia mengulang itu beberapa kali, dengan kata-kata yang lain lagi. Ia juga
menghela napas dan berseru-seru bergantian, beberapa kali ia seperti menanya.
"Apa kau kata?" akhirnya See Tok tanya.
Oey Yong menyahut dengan kata-kata Sansekerta tidak karuan, hingga ia menambah
bingungnya jago dari See Hek itu. Ia mengoceh terus, sampai mendadak Ang Cit
Kong berseru: "Kena!"
Pak Kay tahu See Tok kena dibikin kacau perhatiannya, ia menggunakan ketikanya
untuk melakukan serangannya itu, tongkatnya menghajar ke batok kepala lawannya
yang tangguh itu. Auwyang Hong kaget melihat datangnya serangan itu, ia menjerit, sambil menjerit
ia berkelit, terus dengan menyeret tongkatnya, ia berlari pergi.
"Ke mana kau hendak pergi"!" membentak Kwee Ceng sambil meloncat untuk mengejar,
tetapi ia tidak dapat menyandak. Auwyang Hong lari untuk berlompat berjumpalitan
tiga kali, lalu dia menggulingkan tubuhnya lenyap di belakang jurang.
Ang Cit Kong ebrdiri bengong, juga Oey Yong, hanya sebentar, lantas keduanya
saling memandang dan tertawa. Kwee Ceng juga turut tertawa juga.
"Yong-jie," kata si pengemis sesaat kemudian, "Kali ini aku berhasil mengalahkan
si bisa bangkotan, semua itu karena jasa kau..." Ia menghela napas.
Oey Yong bersenyum. "Tetapi suhu," berkata si nona. "Bukankah itu kepandaian ajaranmu sendiri?"
"Sebenarnya itu berkatmu!" Cit Kong tertawa. "Dengan adanya tua bangka yang
licin sebagai ayahmu maka muncullah anak perempuan yang licun sebagai kau
sendiri!" "Bagus, ya!" tiba-tiba terdengar satu seruan di belakang mereka. "Di belakang
orang kau omong jelek tentang orang lain! Pengemis bangkotan kau malu atau
tidak?" "Ayah!" Oey Yong berteriak begitu ia mendengar suara itu seraya melompat maju,
untuk berlari-lari ke arah darimana suara itu datang.
Sekarang ini sang matahari sudah menyingsing, maka itu terlihat di sana
munculnya seorang dengan jubah hijau, yang berjalan dengan tindakan tenang.
Dialah bukan lain dari tocu atau pemilik Tho Hoa To, Oey Yok Su.
Oey Yong menubruk ayahnya itu, yang ia rangkul, sebagaimana si ayah membalas
merangkulnya. Ayah itu mengawasi putrinya. Ia melihat anaknya sebagai seorang nona, ynag telah
berkurang sifat kekanak-kanakannya, hingga sekarang putri itu beroman mirip
dengan istrinya. Ia menjadi girang berbareng berduka.
"Oey Lao Shia," berkata Ang Cit Kong. "Kau ingat tidak apa yang aku bilang
padamu di Tho Hoa To bahwa anakmu sangat cerdik dan banyak akalnya, lain orang
dapat ia kelabui, ia sendiri tidak bakal terpedayakan, bahwa kau tidak usah
mengkhawatirkannya" Nah, sekarang kau bilanglah, benar atau tidak perkataannya
si pengemis tua?" Oey Yok Su bersenyum, sembari menarik tangan anaknya, ia mendekati Pak Kay.
"Aku memberi selamat padamu yang telah membikin si tua bangka berbisa kabur!" ia
berkata. "Dengan kekalahannya itu, maka legalah hatimu dan hatiku."
Ang Cit Kong tersenyum. "Jago di kolong nlangit ini ilaha kau dan si pengemis tua," katanya. "Tapi kalau
aku melihat anakmu ini, cacing di dalam perutku sudah lantas mengamuk tidak
karuan, ilarku pun meleleh turun, maka marilah kita lekas bertempur! Untukku,
kau yang menjadi jago bagus, aku yang menjadi jago, bagus juga, aku hanya
menanti untuk menghajar barang hidangan yang lezat-lezat!"
"Ingat!" berseru Oey Yong. "Kalau kau kalah, baru aku akan masak untukmu!"
"Fui, tidak tahu malu!" Ang Cit Kong membentak. "Jadi kau hendak menggencet aku
- benarkah?" Oey Yok Su beradat tinggi. Ia kata; "Pengemis tua, setelah kau terluka, kau
menyia-nyiakan waktumu dua tahun, dari itu sekarang ini, aku khawatir, kau
bukannya tandinganku! Maka itu, Yong-jie, tidak peduli siapa yang menang siapa
yang kalah, kau mesti masak barang makanan untuk mengundang gurumu bersantap!"
"Benar begitu!" memuji Ang Cit Kong. "Begini baru kata-katanya seorang guru
besar! Tocu dari Tho Hoa To mana boleh berpandangan cupat seperti gadisnya"
Sekarang mari kita mulai, tak usah kita menanti sampai datang waktunya tengah
hari tepat atau bukan?"
Habis berkata, Ang Cit Kong mengangkat tongkatnya, untuk maju menyerang.
Oey Yok Su menggeleng kepala.
"Baru saja kau bertempur lama dengan See Tok," ia berkata, "Meski benar kau
tidak letih tetapi kau toh telah mengeluarkan banyak tenaga. Aku, Oey Yok Su,
mana dapat aku mau menang tempo" Baiklah kita tunggu sampai tengah hari tepat,
supaya kau sekalian bisa memelihara tenagamu!"
Cit Kong tahu itu benar dan pantas sekali, tetapi ia tidak dapat menahan sabar,
maka ia mendesak untuk mulai bertempur pula.
Oey Yok Su sebaliknya, dia berduduk di batu, dia tidak memperdulikannya.
Melihat orang berkutat itu, Oey Yong datang sama tengah.
"Ayah, suhu, aku mempunyai satu daya," ia berkata. "Dengan dayaku ini, kamu bisa
bertempur dengan ayah tidak usah menang tempo."
"Bagus!" berkata Cit Kong dan Tong Shia berbareng. "Apakah itu?"
"Ayah dan suhu adalah sahabat-sahabat kekal, siapa menang dan siapa kalah,
akhirnya toh persahabatan kedua pihak akan terganggu juga," berkata itu anak.
"Pibu hari ini ada pibu ynag menghendaki menang dan kalah, bukan?"
Sama-sama Cit Kong dan Yok Su telah berpikir demikian rupa, maka itu, mereka
setuju. Lantas keduanya tanya, bagaimana dayanya si anak atau di murid itu"
"Dayaku begini," berkata Oey Yong. "Mula-mula ayah bertempur dengan engko Ceng.
Lihatlah, di dalam berapa jurus ayah dapat mengalahkan dia. Setelah itu suhu
yang bertempur sama engko Ceng. Umpama kata ayh menggunakan sembilanpuluh
sembilan jurus baru engko Ceng terkalahkan sedang suhu mesti menggunakan seratus
jurus, maka ayahlah yang menang. Dan sebaliknya kalau suhu menang dalam
sembilanpuluh delapan jurus, maka ayahlah yang kalah."
"Bagus,bagus!" Cit Kong memuji.
"Engko Ceng bertempur lebih dulu sama ayah," Oey Yong berkata pula, "Dua-dua
pihak masih segar dan bertenaga cukup. Kalau sebentar engko Ceng melawan suhu
dia pun bekas bertempur, jadi dia seimbang sama suhu yang baru habis bertempur
juga. Tidakkah itu adil?"
Oey Yok Su mengangguk. "Jalan ini baik," katanya. "Anak Ceng, mari maju. Kau menggunai senjata atau
tidak?" "Terserah," Kwee Ceng menjawab. Ia setuju dengan cara sama tengah itu. Ia lantas
mau bertindak maju. "Perlahan dulu," Oey Yong mencegah. "Masih ada yang harus dijelaskan. Bagaimana
umpama kata di dalam tigaratus jurus ayah dan suhu masih belum sanggup
mengalahkan engko Ceng?"
Mendengar itu Ang Cit Kong tertawa bergelak.
"Oey Lao Shia," katanya. "Mulanya aku sangat mengagumi putrimu yang pandai
sekali membela ayahnya, ha, siapa tahu dia toh tetap wanita, dia kahirnya
membela pihak luar juga! Tapi inilah wajar! Sebenarnya dia ingin sekali supaya
si tolol yang memperoleh gelaran orang gagah nomor satu di kolong langit ini."
Tong Shia bertabiat sangat aneh tetapi sekarang mendengar suara anaknya itu dan
si Pengemis dari Utara, ia mengambil keputusannya: "Biarlah aku membikin
tercapai keinginan anakku ini." Ia lantas kata: "Apa yang Yong-jie kata benar
adany. Kita berdua tua bangka, kalau kita tidak dapat mengalahkan anak Ceng di
dalam tigaratus jurus, mana kita mempunyai muka untuk terhitung sebagai orang-
orang nomor satu?" Hanya, setelah berkata begitu, ia berbalik berpikir lagi:
"Aku boleh mengalah, aku membiarkannya dia dapat melayani aku sampai tigaratus
jurus, akan tetapi si pengemis tua, jikalau dia tidak sudi mengalah, dia tentu
bakal dapat mengalahkan anak Ceng dalam tempo tigaratus jurus! Dengan begitu,
aku jadi bukan mengalah terhadap anak Ceng hanya kepada si pengemis tua..." Karena
ini, ia menjadi ragu-ragu.
Ang Cit Kong sudah lantas menolak tubuh muridnya.
"Lekas mulai!" katanya. "Mau tunggu apa lagi?"
Kwee Ceng terhuyung ke depan Oey Yok Su, siapa terpaksa mesti mengambil
keputusannya. Dia kata di dalam hatinya: "Baiklah, sekarang aku mencoba dulu
tenaga dalamnya, sebentar aku pikir pula." Lantas dia menggeraki tangan kirinya
ke arah pundak si anak muda. "Jurus pertama!" ia menyerukan.
Kalau Oey Yok Su berpendirian tidak tetap, demikian juga Kwee Ceng. Anak muda
ini berpikir: "Pasti sekali tidak dapat aku menjadi si orang kosen nomor satu di
dalam dunia ini, hanya, apakah aku membiarkan tocu ini menanga atau guruku?"
Adalah tengah ia bersangsi itu, tangan Oey Yok Su menyambar kepadanya. Ia
mengangkat tangan kanannya, ia menangkis. Karena ia belum sempat memperbaiki
diri, dengan bentroknya tangan mereka, ia terpental hingga hampir ia jatuh.
Lantas ia mendapat pikiran baru; "Aku gila! Kenapa aku mesti pikirkan soal
mengalah atau tidak" Biarpun aku keluarkan semua kepandaianku, mana bisa aku
melawan sampai tigaratus jurus?" Tapi ketika serangan Oey Yok Su yang kedua
bakal tiba, ia berpikir untuk melawan, ia mau membiarkan mereka itu menggunai
kepandaian mereka untuk mengalahkan dia, tinggal terserah siapa yang lebih dulu
dan siapa yang ketinggalan, ia sendiri tidak mau berat sebelah.
Setelah jurusnya yang kedua itu, yang dapat dihindarkan, Oey Yok Su mengulangi
serangannya lebih jauh. Baru beberapa jurus, ia menjadi heran sekali hingga ia
kata di dalam hatinya: "Baru saja beberapa tahun, kenapa anak tolol ini maju
begini rupa" Kalau aku mengalah, kecuali itu tigaratus jurus yang disebutkan,
mungkin aku terkalahkan dia..."
Di dalam beberapa jurus itu, lantaran dia bersikap mengalah dan tenaganya
dipakai cuma tujuh bagian, Oey Yok Su berada di bawah angin. Ini yang
menyebabkan ia heran. Karena ini, selanjutnya ia bersilat dengan ilmu silatnya
Lok Eng Ciang. Kwee Ceng benar-benar bukan Kwee Ceng dulu hari. Belasan jurus Oey Yok Su telah
mencobanya, masih belum bisa dia lantas unggul. Dia telah menukar belasan macam
jurus, dia masih tidak berhasil. Demikian puluhan jurus telah dikasih lewat.
Setelah seratus jurus lebih, Kwee Ceng yang jujur berlaku alpa, hampir dia kena
tertendang kaki kiri lawannya, syukur dia keburu lompat mundur, tapi karena ini,
imbangan ini menjadi sama.
Oey Yok Su menarik napas lega. "Hebat," pikirnya. Baru setelah menggunai tipu,
ia bisa mengubah keadaan, hanya untuk menang di atas angin, ia mesti bekerja
lebih keras pula. Setelah pengalamannya yang pertama itu. Kwee Ceng memasang
kedudukan kokoh teguh, biar ia diserang bagaimana juga, tetap ia membela diri.
Ia telah mengambil sikar biar tidak menang asal jangan kalah.
"Duaratus tiga!" Oey Yong menghitung. "Duaratus empat!"
Oey Yok Su menjadi bingung juga.
"Tangan si pengemis tua lihay, bagaimana kalau dia dapat merobohkan muridnya
dalam tempo seratus jurus?" pikirnya. "Ke mana aku mesti menaruh mukaku?"
Kembali ia bekerja keras, untuk menyerang hebat.
Baru sekarang Kwee Ceng terdesak, malah dia hampir sukar bernapas, ai merasa
seperti tertindih gunung, matanya pun mulai kabur.
Oey Yok Su menyerang hebat sekali, cepat penyerangannya itu, tetapi di sana sang
wasit, sang putri juga cepat sekali hitungannya. Di saat Kwee Ceng merasa bibir
dan lidahnya kering, kaki dan tangannya lemas, hingga ia mau menyerukan menyerah
kalah, mendadak terdengar suara nyaring dari si nona: "Tigaratus!"
Segera muka Oey Yok Su menjadi pucat, terus ia lompat mundur.
Kwee Ceng menderita hebat sekali. Matanya kabur, kepalanya pusing, kaki dan
tangannya kehilangan tenaga. Pertempuran telah berhenti, tapi ia belum berhenti
bergerak, ia berputar-putar dan terhuyung, hampir ia roboh ketika ia sadar
bahaya yang mengancam dirinya. Mendadak ia menancap kaki kirinya, dengan tipu
"Cian kin twie", atau "Berat seribu kati". Baru sekarang ia dapat berdiri tegak.
Untuk memulihkan kesegarannya, ia bergerak dengan tangan kanan, dengan ilmu
silat Hang Liong Sip-pat Ciang, ia menyerang sepuluh kali. Secara begini,
otaknya lantas menjadi jernih. ia berdiam sejenak, terus ia kata: "Oey Tocu,
lagi beberapa jurus, maka tak dapat tidak mestilah aku roboh...!"
Tong Shia malu dan berduka, ia sedikit mendongkol, akan tetapi kapan ia
menyaksikan ketangguhan si anak muda itu, ia berbalik menjadi girang. Luar biasa
yang anak muda ini dapat bertahan dari serangannya dengan tipu silat "Kie-bun
Ngo coan" yang ia telah memahamkannya selama belasan tahun. Dengan ilmu itu ia
biasa membikin letih lawannya.
"Pengemis tua," ia kata kepada Ang Cit Kong, "Aku tidak punya guna, kaulah yang
mendapatkan gelaran orang gagah nomor satu di kolong langit ini!" ia terus
memberi hormat, ia memutar tubuhnya, untuk berlalu.
"Tunggu dulu, tunggu dulu!" Cit Kong berkata. "Segala di dunia bagaikan catur,
perubahannya tak dapat diterka-terka....." Ia lantas menghampirkan Kwee Ceng, ia
pun melemparkan tongkatnya, sebaliknya dari pinggangnya, ia menghunus sebatang
pedang, yang ia serahkan pada si anak muda. Ia berkata pula: "Kau menggunakan
senjata, akan aku lawan kau dengan tangan kosong!"
Kwee Ceng melengak. "Suhu..." katanya. "Mana...."
"Ilmu silatmu tangan kosong adalah aku yang mengajarkannya, dengan kau
menggunakan kepalanmu, apa itu namanya pibu?" berkata si orang tua. "Kau
majulah!" Kata-kata ini disusul sambaran tangan kiri, untuk merampas pedang orang.
Kwee Ceng tidak dapat menerka maksud gurunya itu, ia melepaskan pedangnya, ia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak melawan. "Anak tolol!" Cit Kong mendamprat. "Kita lagi pibu, tahu!"
Ia menyerahkan pula pedangnya dengan tangan kiri, untuk dengan tangannya
merampas lagi! Kali ini Kwee Ceng mengelit pedangnya itu, yang jadi tak kena dirampas.
"Satu!" Oey Yong lantas menghitung.
Ang Cit Kong sudah lantas menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang. Tentu sekali, ia
hebat luar biasa. Sambaran-sambaran anginnya demikina rupa hingga meski ia
bersenjatakan pedang, Kwee Ceng tidak dapat datang dekat lawannya ini.
Sebenarnya tidak biasa si anak muda menggunakan senjata, hanya setelah didesak
Auwyang Hong di rumah batu, pandai ia menggunakannya. Tapi beda dari lain-lain
orang, pelajarannya menggunakan senjata, delapan bagian untuk pembelaan diri,
dua bagian guna penyerangan. Dari Kanglam Cit Koay, ia memperoleh apa yang
dinamakan "kepandaian kasar", setelah mendapatkan Kiu Im Cin-keng baru ia
memperoleh kemajuan yang berarti, sekarang itu ditambah dengan kepandaiannya
menggunakan senjata itu, menghadapi Auwyang Hong, ia membela diri dari tombak
kayu, sekarang dari serangan-serangan tangan kosong.
Ang Cit Kong girang mendapatkan muridnya dapat bertahan demikian bagus.
"Anak ini dapat maju, tidak kecewa aku mendidik dia," pikirnya. "Hanya kalau aku
merobohkan dia dalam duaratus jurus, itulah jelek untuk Oey Lao Shia. Baik aku
menanti sampai duaratus jurus lebih, baru aku menggunakan tangan berat..."
Terus Pak Kay menggunakan ilmu silatnya Hang Liong Sip-pat Ciang, Delapanbelas
Jurus Menaklukaan Naga. Dengan itu ia mengurung muridnya, angin serangannya
mendesir-desir. Di dalam sikapnya ini, Ang Cit Kong telah membuat kekeliruan. Kalau dia terus
mendesak, mungkin Kwee Ceng kewalahan dan patah perlawanannya. Tapi ia mengulur
tempo, ia mau menanti selewatnya duaratus jurus. Ia melupakan yang Kwee Ceng
adalah seorang muda, yang tenaganya sedang penuhnya, yang setelah menyakinkan
Kiu Im Toan-kut Pian, telah maju jauh sekali. Sebaliknya, ia sendiri adalah
seorang tua, jadi tidak dapat ia main ulat-ulatan. Demikian, ketika ia sudah
menyerang hingga sembilan putaran, atau artinya seratus enampuluh dua jurus,
serangannya tidak dahsyat lagi sebagai mulanya, bahkan sesudah sampai ke jurus
yang duaratus, di samping tangan kanannya itu, yang memegang pedang, tangan kiri
Kwee Ceng jadi semakin hebat.
"Inilah hebat," pikir si Pengemis dari Utara, yang menjadi merasa tidak tenang
hatinya. Tapi ialah seorang yang berpengalaman, ia lantas mendapat tahu, tidak
bisa ia mengadu tenaga, mesti ia menggunakan akalnya itu dengan mementang
terbuka kedua tangannya. Kwee Ceng dapat melihat perubahannya itu, ia heran.
"Inilah jurus yang suhu belum pernah mengajarkan padaku..." pikirnya. Kalau ia
menghadapi orang lain, ia tentu telah merangsak ke tiong-kiong, ke tengah untuk
menyerang dada, sekarang ia menghadapi gurunya, tidak bisa ia berlaku telangas.
Karena ini ia mesti berpikir dulu untuk menyerang.
"Tolol!" tegur si guru. "Kau terpedayakan!"
Mendadak kaki kiri guru ini melayang naik, menendang pedang muridnya sehingga
terlepas, sedang tangan kanannya menyambar ke pundak. Ia hanya menggunakan
delapan bagian tenaganya, karena ia tidak berniat melukakan muridnya itu. Ia
yakin bahwa muridnya akan roboh dan ia akan menang. Tapi ia keliru.
Muda ia, tetapi Kwee Ceng telah banyak pengalamannya, tubuhnya sering menderita,
hal mana bagaikan semacam latihan untuknya, maka itu, hajaran itu hanya membikin
ia terhuyung beberapa tindak dan membuat pundaknya terasa sakit, tidak sampai
membikin ia roboh. Maka akhirnya kagetlah si guru yang lantas berseru: "Lekas
kau melepaskan napasmu tiga kali, lalu menyedotnya, nanti kamu terluka di
dalam!" Kwee Ceng menurut. Benar saja, dengan lantas ia merasa lega.
"Teecu menyerah," katanya lemas.
"Tidak!" berkata guru itu. "Kalau kau menyerah, Oey Lao Shia mana puas.
Sambutlah!" lantas tangannya menyambar.
Sekarang Kwee Ceng tidak mempunyai senjata, ia mesti melawan dengan tangan
kosong. Ia menghindarkan diri dengan satu jurus dari Khong Beng Kun ajarannya
Ciu Pek Thong, semacam ilmu silat lunak yang paling lunak, yang Loo Boan Tong
menciptakannya setelah dia membaca kitab Too Tek keng bagian; "Serdadu kuat, dia
musnah, kayu kuat, bisa patah, yang keras kuat jatuh di bawah, yang lunak lemas
jatuh di atas." Benda terlunak di kolong langit ini tidak ada yang melebihkan
air, tetapi kuat serangannya tidak ada yang dapat menahan. Hang Liong Sip-pat
Ciang adalah ilmu silat yang terkeras, maka mesti dilawan dengan ilmu yang
terlunak. Tetapi Kwee Ceng tidak melawan hanya dengan yang lunak, juga dengan
yang keras, sebab di samping pandai Khong Beng Kun atau pukulan memisah diri, ia
pun paham Hang Liong Sip-pat Ciang dari gurunya ini. Jadi kedua tangannya
bergerak masing-masing, satu keras dan satunya lemas. Dengan itu, ia membuat
gurunya kewalahan. Oey Yong menonton sambil menghitung, ia melihat Kwee ceng tidak ada tanda-
tandanya bakal kalah, hatinya girang. Ia menghitung terus sampai duaratus
sembilan puluh sembilan! Ang Cit Kong mendengar hitungan itu. Mendadak muncul tabiatnya yang suka menang
sendiri. Maka mendadak saja ia menyerang dengan jurusnya "Kang Liong Yu Hui"
yang hebat sekali, umpama kata gunung roboh laut terbalik. Setelah itu mendadak
juga ia menyesal, karena ia khawatir Kwee Ceng tidak dapat mempertahankan diri
dan nanti terluka parah. Ia berteriak: "Hati-hati!"
Kwee Ceng mendengar peringatan itu di saat tangan gurunya sudah berada di depan
mukanya. Ia kenal baik serangan itu, sebab di waktu mempelajari Hang Liong Sip-
pat Ciang, itulah jurus yang pertama. Ia mengerti, bahwa tidak ada jurus dari
Khong Beng Kun, yang dapat menghindarkan serangan itu, maka ia menggunakan jalan
keras lawan keras, ia menyambut dengan Kang Liong Yu Hui juga!"
Tidak ampun lagi kedua tangan beradu dengan keras hingga terdengar bunyinya yang
nyaring. Sebagai kaibatnya, tubuh kedua orang itu sama-sama tergetar!
Oey Yok Su dan putrinya terkejut, hingga mereka berseru, keduanya bertindak
menghampirkan. Kedua guru dan murid itu telah seperti berpegangan tangan, tangan mereka
bagaikan nempel satu pada lain. Kwee Ceng mempertahankan diri karena ia tahu,
bahwa ia mengalah, ia akan akan terluka parah. Ia tahu baik bahwa gurunya lihay.
Maka ia hendak menanti sampai tangan gurunya sudah tidak begitu membahayakan,
baru ia mau menyerah kalah.
Ang Cit Kong kaget dan girang dengan berbareng mendapatkan muridnya bisa
bertahan, segera timbullah rasa sayangnya, hingga berkuranglah tabiatnya suka
menang sendiri. Ia lantas memikirkan daya untuk mengalah supaya murid itu
mendapat nama. Karena ini, dengan perlahan-lahan, ia memperlunak tenaganya.
Tepat selagi guru dan murid itu tidak memang dan tidak kalah, di belakang jurang
terdengar tiga kali seruan nyaring, dibarengi munculnya seorang yang berjungkir
balik hingga tiga kali. Dialah See Tok Auwyang Hong, yang muncul pula secara
tiba-tiba. Kwee Ceng dan Ang Cit Kong mengendorkan tenaga mereka dengan berbareng juga
mereka lompat mundur, dengan begitu mereka pun bisa mengawasi kepada si Bisa
dari Barat, baju siapa robek rubat-rabit dan mukanya berlepotan darah. Kembali
ia berteriak: "Raja Langit telah tiba! Giok Hong Taytee turun ke bumi!" Lantas
dengan tongkat ularnya, ia merabu kepada keempat orang yang berada di situ!
Ang Cit Kong menjemput tongkatnya, dengan itu dia menangkis, hingga mereka jadi
bertempur. Setelah beberapa jurus, ia menjadi heran. Juga Oey Yok Su, Kwee Ceng
dan Oey Yong, tidak kurang herannya. Aneh sekali kelakuannya See tok ini. Dia
berkelahi tetapi ada kalanya dia mencakar muka sendiri, ada kalanya dia
menyentil, mendupak kempolannya sendiri, atau tengah menyerang, mendadak ia
menariknya pulang, untuk diubah dengan jurus yang lain.
Menyaksikan demikian, Ang Cit Kong lantas mengambil sikap membela diri.
Lewat beberapa jurus, kembali Auwyang Hong mengasih lihat keanehannya. Beruntun
tiga kali, dia menggaplok mukanya sendiri, hingga terdengar suaranya yang
nyaring diikuti dengan jeritannya yang keras. Setelah itu mendadak dia
melonjorkan kedua tangannya untuk merayap di depan Ang Cit Kong.
Menampak itu, Pak Kay girang. Dia berpikir: "Menyerang anjing adalah
keistimewaan tongkatku ini, sekarang kau membawa sikapmu seperti anjing,
bukankah itu seperti kau mengantarkan diri masuk ke dalam jurang?" Ia lantas
menusuk pinggang lawannya itu.
Dengan sekonyong-konyong saja Auwyang Hong membalik tubuhnya, dengan begitu ia
kena menidih ujung tongkat, terus ia menggelendingkan tubuhnya itu mendaki
tongkat. Cit Kong terkejut hingga tongkatnya terlepas. Menyusul itu, tubuh See
Tok mencelat tinggi, kedua kakinya berbareng menendang ke arah kedua mata
lawannya! Cit Kong terkejut, ia lompat mundur.
Oey Yok Su lantas maju seraya mencabut pedangnya, dengan apa ia menusuk si Bisa
dari Barat. "Toan Hongya, aku tidak takut It Yang Cie kau!" berkata Auwyang Hong, yang
menangkis tetapi terus merangsak, untuk menubruk.
Melihat kelakuan orang itu, Oey Yok Su mengerti jago dari See Hek ini lagi was-
was, hanya heran, serangannya justru lebih lihay daripada waktu dia sadar. Ia
tentu tidak tahu, karena Auwyang Hong belajar Kiu Im Cin-keng yang palsu yang
sangat meminta pikiran san tenaganya, ia menjadi tersesat, tetapi sebab bakatnya
baik dan ilmu silatnya sudah mahir, sesat atau tidak, dia telah memperoleh
kemajuan yang luar biasa itu, hingga dua orang kosen ini menjadi kewalahan.
Selang beberapa jurus, Oey Yok Su keteter, hingga ia mesti mundur, tempatnya
segera diambil Kwee Ceng, yang maju dengan menggunai pedangnya.
Tiba-tiba See Tok menangis dan berkata: "Oh, anakku, kau mati secara sangat
mengenaskan..." Dengan tiba-tiba ia melemparkan tongkat ularnya, untuk berlompat
merangkul anak muda di depannya itu.
Kwee Ceng tahu ia tentunya disangka Auwyang Kongcu. Karena mendengar jeritan dan
keluhan orang itu, ia menjadi tidak tega untuk menurunkan tangan jahat. Dilain
pihak, ia juga takut. Maka ia mengeluarkan tangannya, untuk menolak.
Auwyang Hong lihay sekali. Walaupun ia berkelakuan aneh, gerakannya sangat
gesit, tangan kirinya lantas memegang lengan orang dan tangan kanannya memeluk.
Si anak muda meronta, akan tetapi ia kalah tenaga, dia tidak berhasil meloloskan
dirinya. Ang Cit Kong dan Oey Yok Su terkejut, keduanya berlompat maju untuk menolong.
Dengan It Yang Cie, Cit Kong menotok jalan darah hongbwee-hiat di punggung See
Tok agar Kwee Ceng dilepaskan.
Jalan darah Auwyang Hong telah menjadi bertentangan salurannya, dia tidak dapat
ditotok, totokan itu tidak terasa olehnya, dia tidak menghiraukannya.
Oey Yong memungut batu, dengan itu ia menyerang kepalanya Auwyang Hong, tetapi
See Tok menggunakan tangan kanannya, meninju batu itu, yang menjadi terpental
masuk ke jurang. Karena ini, Kwee Ceng dapat berontak sambil terus berlompat
mundur. Ketika itu Oey Yok Su sudah menempur pula si edan itu. Tidak lagi Auwyang Hong
memakai ilmu silat yang biasa, tetapi itu hebatnya bukan main, sering dia
memiringkan tubuhnya atau berdiri tegak, atau menjatuhkan diri terungkup dengan
sebelah tangannya menekan tanah, hingga tangannya yang lain dapat digunakan
untuk berkelahi terus. Tentu sekali, cara berkelahi itu sulit dilayani.
Oey Yong berkhawatir ayahnya nanti salah tangan, maka ia berteriak: "Suhu,
menghadapi orang edan ini jangan kita pakai aturan lagi, mari kita keroyok dia!"
"Diwaktu biasa, dapat kita berbuat begitu untuk membekuk dia," berkata Ang Cit
Kong, "Akan tetapi sekarang ada harian pibu di Hoa San ini, dunia ketahui kita
mesti menempur satu lawan satu, kalau sekarang kita mengepung dia, kita bakal
ditertawakan orang kangouw."
Selagi Pak Kay bicara, serangan yang aneh dari Auwyang Hong menjadi bertambah-
tambah dahsyat, bahkan ia memakai ludah dengan apa ia meludahi Oey Yok Su,
hingga majikan dari Tho Hoa To menjadi gelagapan, hingga ia mesti main mundur.
Habis itu, Auwyang Hong menyerang sambil membungkuk. Itu artinya ia tidak
melihat ke atas. Oey Yok Su melihat itu, ia girang, hatinya berkata: "Dasar dia
edan, dia was-was!" Dengan lantas ia menotok ke jalan darah geng-hiat-hiat.
Baru totokan itu mengenai kulit muka atau mendadak Auwyang Hong menyambar dengan
mulutnya, menggigit jari telunjuk penyerangnya itu. Dalam kagetnya, Oey Yok Su
segera menyerang dengan tangan kirinya ke jalan darah tayyang-hiat. Tapi juga
Auwyang Hong sebat sekali, dia menangkis dengan tangan kanannya, sedang
gigitannya diperkeras. Kwee Ceng maju berbareng bersama Oey Yong, masing-masing dengan pedang kayu dan
tongkat bambu. Baru sekarang Auwyang Hong melepaskan gigitannya, tapi sebagai
gantinya, ia mencakar ke muka si nona, untuk mana ia memakai kedua tangannya
atau sepuluh jarinya. Selagi berbuat begitu, ia memperlihatkan romannya yang
bengis sekali, sedang mukanya berlepotan darah.
Oey Yong kaget hingga ia menjerit, ia melompat ke samping. Tapi dia disusul.
Kwee Ceng menggempur punggung jago dari See Hek itu, dia menangkis. Dengan
begitu barulah Oey Yong lolos dari ancaman bahaya.
Baru belasan jurus si anak muda melayani orang edan itu, pundak dan pahanya
beberapa kali kena dihajar, syukur tidak berbahaya.
"Anak Ceng, mundur!" berkata Cit Kong. "Kasih aku yang mencoba melayani dia!"
Pak Kay berlompat maju, hingga ia jadi bertarung pula sama See Tok. Kali ini
mereka bertempur lebih hebat daripada tadi. Setelah menyaksikan orang melawan
Oey Yok Su dan Kwee Ceng, Cit Kong melihat masih ada jalan di dalam ilmu silat
kacau dari Auwyang Hong itu, maka sekarang ia melawan dengan penuh perhatian.
Kap Mo Kang digunai si Bisa dari Barat secara bertentangan, yaitu yang mestinya
ke kanan menjadi ke kiri, yang mestinya ke atas menjadi ke bawah, demikian
sebaliknya. Umumnya, tujuh di dalam sepuluh, gerakan itu tidak meleset. Karena
ini, meski ia keteter, Cit Kong bisa juga membalas menyerang, satu kali melawan
tiga kali. Juga Oey Yok Su memperhatikan jalannya ilmu silat See Tok itu, selagi anaknya
mengurus lukanya, ia memperhatikan terlebih jauh. Di dalam hal penelitian, ia
lebih cerdas daripada Ang Cit Kong, maka itu, ia pun lantas melihat jalan. Ia
lantas mengajari Ang Cit Kong, berulang-ulang: "Cit Kong tendang dia! Hajar dia
pada jalan darah kie-koat! Serang jalan darah thian-cu!" Semua petunjuk ini
diberikan selagi setiap jalan darah itu terbuka. Sebagai penonton, OeyYok Su
dapat melihat tegas sekali.
Ang Cit Kong menuruti petunjuk itu, maka tidak lama kemudian, mereka jadi
berimbang kekuatannya. Meski begitu, Cit Kong dan Oey Yok Su jengah sendirinya,
sebab mereka mesti mengepung See Tok.
Tiba-tiba muncul saatnya yang Cit Kong bisa memberi hajaran tepat kepada See Tok
atau kembali Auwyang Hong meludah secara tiba-tiba, hingga ia batal menyerang
dan mesti berkelit, justru itu ia dirabu, disusuli dengan ludah lagi hingga ia
gelagapan. Biarpun ludah, kalau kena mata, bisa tusak, maka tidak sudi si
pengemis mandah saja. Tidak ada jalan lain, ia menanggapi ludah itu dengan
tangannya, lantas ia meneruskan menyerang.
Baru beberapa jurus, kembali Auwyang Hong meludah, rupanya inilah siasatnya
untuk mengacau lawan. Cit Kong mendongkol sekali. Ia merasa dirinya seperti dihina. Ia juga merasa
jijik karena ludahnya Auwyang Hong tetap melekat di tangan kanannya yang tadi
dipakai menanggapi, sedang untuk memeperkan itu dibajunya, kesempatan tidak ada.
Ia sedang sangat repot. "Kena!" mendadak ia berseru setelah lewat lagi beberapa jurus. Dengan tangan
kanannya ia menepuk mukanya Auwyang Hong. Nampaknya ia hendak memulas muka orang
dengan ludah orang itu, tidak tahunya diam-diam dia hendak menotok dengan It
Yang Cie, ialah totokan istimewa untuk menaklukan Kap Mo Kang, ilmu silat Kodok.
Meski ia seperti gila, Auwyang Hong sebenarnya sangat gesit dan dapat memikir.
Ia menanti tibanya tepukan tangan lawannya, ketika jeriji tangan Cit Kong
dikeluarkan, untuk menotok padanya, hendak ia menyambut itu dengan gigitannya,
seperti tadi ia menggigit tangannya Oey Yok Su.
Oey Yok Su, Kwee Ceng dan Oey Yong, yang memasang mata, menjadi terkejut. Mereka
melihat berkelebatnya gigi putih dari See Tok. Mereka lantas menjerit, "Awas!"
Tidaklah heran kalau tiga orang ini menjerit, mereka lupa yang Auwyang Hong itu
dijulukkan Kiu Cie Sin Kay si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan, sebab jeriji
telunjuknya yang kanan telah dikutungi sendiri olehnya untuk ia membatalkan diri
atas keserakahannya gegares. Maka ketika Auwyang Hong mengigit sasaran kosong,
dua baris gigi atas dan bawahnya bercatruk keras sendirinya.
Inilah ketika yang paling baik, Ang Cit Kong tidak mau menyia-nyiakannya. Selagi
mulut orang tertutup rapat, ia mengeluarkan jari tengahnya, dengan itu ia
menotok jalan darah tee-chong-hiat di pinggir mulut See Tok.
Ong Tiong Yang dan Toan Hongya biasa menggunai telunjuknya, tetapi Cit Kong
tidak mempunyai itu, maka ia menggunakan jari tengah sebagai gantinya. Inilah
Auwyang Hong tidak menyangka, maka itu, ia menggigit seperi biasa, untuk
menyambuti totokan, tidak tahunya ia kehilangan sasarannya.
Melihat Cit Kong berhasil, Oey Yok Su bertiga mau bersreu girang, akan tetapi
belum lagi seruan mereka keluar, mereka sudah dibikin kaget sekali. Dengan
mendadak mereka melihat Pak Kay berjumpalitan roboh ke tanah, sedang See Tok
terhuyung mundur beberapa tindak, gerakannya mirip orang mabok, setelah dia
dapat berdiri tetap, dia tertawa terbahak sambil melengak.
Sudah diketahui jalan darah Auwyang Hong telah menjadi bertentangan semuanya,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka itu, totokannya Ang Cit Kong bukan mengenai tee-chong-hiat hanya justru
jalan darah besar ciok-yang-beng wie-keng. Cuma di waktu kena totok, tubuh See
Tok mati sedetik, habis itu, dia pulih seperti biasa. Maka itu, sebat luar
biasa, dia membalas menghajar pundak lawannya.
Cit Kong melihat serangan itu, ia tidak sempat menangkis, dia lantas berkelit,
benar ia pun kena terhajar, tetapi sembari berkelit, ia bisa membuang diri
dengan jumpalitan. Tentu sekali, ia tidak menyerah dengan begitu saja, sambil
berkelit tadi, ia membarengi menyerang dengan jurus "Kian liong cay tian", hanya
karena kenanya tidak telak, See Tok cuma terhuyung.
Cit Kong tidak terluka parah, untuk sejenak itu, ia merasakan tubuhnya kaku,
tidak dapat ia lantas bergerak pula dengan leluasa, tidak dapat ia segera maju
lagi. Karena ialah seorang kenamaan, ia malu untuk menyangkal kekalahannya itu,
dari itu setelah bangun pula, ia memberi hormat kepada See Tok seraya berkata:
"Saudara Auwyang, aku si pengemis tua takluk kepadamu, kaulah si orang kosen
nomor satu di kolong langit ini!"
Auwyang Hong berdongak, ia tertawa lama. Kemudian ia mengulap-ulapkan kedua
tangannya ke arah udara. "Toan Hongya," ia berkata kepada Oey Yok Su, "Kau takluk atau tidak kepadaku?"
Tong Shia mendongkol sekali, di dalam hatinya ia kata: "Bagaimana bisa menjadi
gelaran orang gagah nomor satu di kolong langit ini dirampas seorang edan" Habis
bagaimana kita dapat menemui orang banyak?" Meski begitu, ia menginsyafi
kenyataan. Ia tidak bisa melawan jago dari Barat ini. Maka akhirnya ia
mengangguk. Ia pun tidak menghiraukan yang ia dipanggil Toan Hongya oleh si edan
itu. Auwyang Hong lantas berpaling kepada Kwee Ceng.
"Anak," ia berkata., "Ilmu silat ayahmu sangat lihay, di kolong langit ini tidak
ada tandingannya lagi, kau girang atau tidak?"
Orang merasa aneh See Tok menyebut anak kepada keponakannya. Inilah tidak heran
karena tidak ada yang mengetahui rahasianya. Sebenarnya Auwyang Kongcu itu
dilahirkan oleh enso atau kakak iparnya, yaitu istri kakaknya, yang telah
berlaku serong dengannya, maka juga namanya mereka ada paman dan keponakan,
sebenarnya mereka ayah dan anak. Ia belum sadar, ia masih menganggap Kwee Ceng
sebagai anaknya, seperti Oey Yok Su dikira Toan Hongya. Setelah puluhan tahun,
ia seperti membuka rahasia hati sendiri dengan menyebutkan anaknya itu.
Kwee Ceng jujur, tanpa menghiraukan panggilan orang itu, ia kata: "Kita semua
tidak dapat melawan kau."
Auwyang Hong tertawa geli sekali.
"Nona mantuku yang baik, kau girang atau tidak?" ia menanya Oey Yong sambil
memandang nona itu. Oey Yong tengah masgul, karena ia telah mesti menyaksikan ayahnya, Ang Cit Kong
dan Kwee Ceng telah dipecundangi See Tok, hingga ia telah memikirkan daya untuk
menghadapi orang kosen yang edan ini. Sekarang ia ditegur si edan itu, ia lantas
berkata: "Siapa bilang kaulah orang kosen nomor satu di kolong langit ini" Ada
satu orang yang kau tidak sanggup lawan!"
Mendengar perkataan itu, Auwyang Hong gusar hingga ia menepuk dadanya.
"Siapa" Siapa dia"!" ia menanya keras. "Suruh dia datang melawan aku!"
Oey Yong menatap mata orang. Ia memusatkan semangatnya kepada "Liap Sim Tay-
hoat", ilmu mempengaruhi hati dari Kiu Im Cin-keng. Itulah semacam ilmu sihir.
Selama rapat di gunung Kun San, di telaga Tong Teng ia telah pergunakan itu
terhadap Pheng Tianglo hingga pengemis itu tertawa tidak mau berhenti. Digunakan
terhadap orang yang tenaga dalamnya cetek, ilmu itu gampang mempan, tidak
demikian terhadap orang lihay, maka juga di dalam kitab ada dipesan ilmu itu
tidak dapat sembarangan dipakai sebab bisa mencelakai diri sendiri. Tapi Oey
Yong menggunakannya juga karena ia tidak melihat jalan lain sedang Auwyang Hong
nampaknya kacau pikirannya.
Di dalam keadaan biasa memang Auwyang Hong tidak dapat dipengaruhi Oey Yong,
yang tenaga dalamnya kalah jauh, kalau dibalik ia bisa celaka, tetapi sekarang
dia was-was, dia tidak dapat melawan. Sambil mengawasi, dia masih bertanya:
"Siapa" Siapa dia" Suruh dia datang melawan aku!"
"Dia lihay luar biasa, kau pasti tidak dapat melawannya!" kata Oey Yong, yang
matanya tetap mengawasi tajam.
"Siapa" Siapa dia" Suruh dia datang melawan aku!"
"Dia bernama Auwyang Hong!"
"Auwyang Hong?"
See Tok menggaruk-garuk kepalanya.
"Benar, Auwyang Hong! Kau boleh lihay tetapi kau tidak bakal dapat melawan
Auwyang Hong!" Kacau pikirannya See Tok. Ia merasa kenal baik nama Auwyang Hong itu tetapi
tidak dapat ia mengingatnya. Ia cuma merasa, Auwyang Hong itu sangat berdekatan
dengannnya, hanya entah siapa....
"Sebenarnya, siapa aku ini?" kemudian ia tanya.
"Kau ialah kau!" menjawab Oey Yong tertawa dingin, matanya terus menatap. "Kau
sendiri tidak tahu, mengapa kau menanya aku?"
Auwyang Hong bingung. Ia seperti berpikir keras untuk mengetahui siapa dirinya
sendiri. Begitulah ia berpikir: "Aku ini siapa" Sebelum aku dilahirkan, aku ini
apa" Setelah aku mati, apa aku ini?" Lalu ia menanya pula: "Sebenarnya siapa aku
ini" Aku ini berada di mana" Aku kenapa?"
"Auwyang Hong mau mencari kau untuk mangadu kepandaian!" kata si nona. "Dia
hendak merampas kitabmu, kitab Kiu Im Cin-keng!"
"Mana dia sekarang" Dia ada di mana?"
"Itu dia, di belakangmu!" jawan Oey Yong, yang menunjuk ke belakang orang.
Auwyang Hong memutar tubuhnya, cepat luar biasa, ia lantas melihat bayangannya
sendiri, yang berdiri di belakangnya itu. Ia melengak.
"Lihat, dia hendak menghajar kamu!" kata Oey Yong cepat.
Auwyang Hong mendak, segera ia menyerang. Karena ia bergerak, bayangannya turut
bergerak. Ia terkejut. Segera ia menyerang pula, dengan tangan kiri dan kanan
saling susul. Ia bergerak sangat cepat, bayangannya itu bergerak sama cepatnya.
Satu kali ia lompat berkelit, tubuhnya diputar, hingga ia menghadapi matahari.
Sudah tentu ia kehilangan bayangannya itu.
"Hai, kau lari ke mana"!" dia berteriak. Dia meleset ke kiri.
Di arah kiri itu ada gunung lamping, di situ ada terlihat bayangannya. Tidak
ayal lagi, Auwyang Hong meninju. Tentu sekali, ia kena hajar batu gunung. Ia
merasakan sakit bukan main hingga ia berseru: "Kau sangat lihay!" Ia lantas
menendang. Tentu sekali, ia berjengit sendirinya, sebab ia menendang gunung dan
kakinya itu dirasakan sangat sakit seperti kepalannya barusan. Sekarang ia
menjadi jeri sendirinya. Mendadak ia memutar tubuhnya dan lari.
Karena ia lari menghadapi matahari, ia tidak melihat bayangannya. Setelah lari
beberapa tombak, ia menoleh. Untuk kagetnya, ia melihat bayangannya berada di
belakangnya. Dia berteriak: "Biarlah kau yang menjadi orang kosen nomor satu di
kolong langit ini! Aku menyerah kalah!"
Oleh karena ia berhenti lari dan tidak bergerak, bayangannya pun berdiam. Ia
tidak berkata-kata apa algi, ia memutar tubuh pula, guna berlalu. Tapi masih ia
menoleh, maka ia melihat bayangannya pun mengikuti padanya. Ia menjadi kaget dan
takut, lantas ia lari sekeras-kerasnya, sembari lari, ia berteriak-etriak. ia
lari turun gunung. Sampai sekian lama masih terdengar jeritannya: "Jangan kejar
aku! Jangan kejar aku!"
Oey Yok Su dan Ang Cit Kong saling mengawasi, mereka sama-sama menghela napas.
Mereka tidak menyangka, demikian rupa ada nasibnya seorang jago yang lihay
sekali. Oey Yong duduk bersila. Habis menggunai tenaga dan pikirannya demikian keras, ia
menjadi letih sendirinya. Masih sekian lama ia bersemadhi, baru ia berbangkit.
Suaranya Auwyang Hong masih kadang-kadang terdengar, tetapi terpisahnya dia dari
mereka sudah beberapa lie. Itulah kumandangnya yang terdengar.
"Dia tidak bakal hidup lebih lama pula," kata Cit Kong.
"Aku...aku siapa ya?" mendadak Kwee Ceng berkata seorang diri.
Oey Yong terkejut. Ia menduga pemuda tolol ini tentunya telah kena dibikin
bingung oleh See Tok. "Kau Kwee Ceng! Kau engko Ceng!" berkata Oey Yong lekas. "Jangan kau pikirkan
dirimu, kau pikirkan orang lain!"
Anak muda itu melengak, lalu dia sadar.
"Benar!" katanya. "Suhu, tocu, mari kita turun gunung!"
"Anak tolol!" Cit Kong membentak. "Kau masih memanggil tocu! Aku nanti gaplok
padamu!" Kwee Ceng melengak, ia mengawasi Oey Yong yang tersenyum.
"Gakhu!" ia lantas memanggil, jengah.
Oey Yok Su tertawa. Rupanya senang ia dipanggil gakhu alias mertua. Ia tarik
tangan gadisnya, ia sambar tangan menantu itu, ia lantas kata kepada Pak Kay:
"Saudara Cit, hari ini barulah kita berdua mengerti, ilmu silat itu tidak ada
batas habisnya, jadi di kolong langit ini jug atidak ada si orang kosen nomor
satu!" "Adalah ilmu masaknya anak Yong yang paling pandai, inilah aku berani bilang!"
kata si Pengemis dari Utara, menjawab yang tidak ditanya.
Oey Yong tersenyum. "Jangan kau puji-puji aku!" katanya. "Mari lekas kita turun gunung! Akan aku
masaki kau beberapa rupa sayur!"
Penutup Akhir-akhirnya Oey Yong berempat tiba di kaki gunung, di sana mereka terus mencari pondokan, di
mana si nona benar-benar menepati janjinya, ia membuat beberapa rupa masakan
yang lezat untuk gurunya terutama. Malamnya mereka beristirahat di dalam dua
kamar, Oey Yok Su bersama putrinya, dan Ang Cit Kong bersama Kwee Ceng. Hanyalah
besok paginya, ketika Kwee Ceng mendusin, ia tidak melihat gurunya, melainkan di
atas meja ia melihat tiga huruf yang terukir dalam: "Aku telah pergi." Teranglah
itu ukiran dengan jeriji tangan. Ia menjadi heran, lekas-lekas ia pergi ke kamar
mertuanya untuk memberitahukan kepergian gurunya itu.
Oey Yok Su menghela napas.
"Biarlah!" katanya. "Memang demikian sepak terjangnya saudara Cit, seperti naga
sakti yang nampak kepalanya tidak ekornya....!" Kemudian ia melirik si anak muda
dan gadisnya, untuk meneruskan berkata: "Anak Ceng, ibumu telah menutup mata,
maka sekarang ini orang yang paling dekat dengan kamu tinggallah gurumu, Kwa Tin
Ok, oleh karena itu mari kau turut aku pulang ke Tho Hoa To, di sana kau mohon
gurumu itu menjadi cu-hun, agar dia merampungkan pernikahanmu dengan Yong-jie"
Kwee Ceng berduka berbareng girang, ia sampai tidak bisa membilang suatu apa, ia
melainkan mengangguk berulang-ulang.
Oey Yong hendak mengatakan kekasihnya itu tolol, tetapi karena di situ ada
ayahnya, ia batal, setelah melirik ayahnya, dia berdiam terus.
Tiga orang ini sudah lantas memulai perjalanan mereka pulang ke Tho Hoa To, di
sepanjang jalan mereka menggunai ketika untuk menikmati keindahan alam. Mereka
menuju ke tenggara. Pada suatu ahri tibalah mereka di selatan jalanan perbatasan
timur dan barat propinsi Ciatkang. Itu berarti, Tho Hoa To sudah tidak jauh
lagi. Begitu mereka sampai di situ, begitu mereka mendengar suaranya burung
rajawali berbunyi di udara, lantas terlihatlah burungnya, satu pasang, terbang
mendatang dari arah utara.
Kwee Ceng girang sekali, ia lantas mengasih dengar suaranya, atas mana kedua
burung itu terbang menghampirkan, untuk menclok di pundaknya.
Ketika anak muda ini berangkat dari Mongolia, ia tidak sempat membawa burungnya,
maka itu bisalah dimengerti kegirangannya. Ia mengusap-usap burung itu. Tiba-
tiba ia melihat ada sesuatu di kakinya burung yang jantan. Nyata itu sehelai
kulit yang digulung kecil sekali. Ia lantas membuka ikatannya, terus ia
membebernya, ia mellihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
"Angkatan perang kami berangkat ke Selatan dan akan menyerang kota Siangyang.
Berhubung dengan itu, karena aku tahu kau sangat setia akan negera, dengan
menempuh bahaya aku menyampaikan kabar ini kepadamu. Aku telah menyebabkan
kematian yang sangat menyedihkan dari ibumu, aku malu untuk bertemu pula dengan
kau, dari itu sekarang aku berangkat ke Barat, di daerah yang terasing, untuk
tinggal bersama kakak sulungku. Untuk seumurku, tidak nanti aku kembali ke
negariku. Aku harap kau merawat diri baik-baik, semoga kau panjang umur!"
Surat itu tanpa alamat dan tanda tangan tetapi Kwee Ceng tahu itulah suratnya
putri Gochin Baki. Ia lantas menyalin surat itu, untuk diberitahukan Oey Yok Su
dan Oey Yong, setelah mana ia tanya mertuanya, bagaimana mereka harus mengambil
tindakan. "Kita sekarang berada dekat dengan kota Lim-an," berkata Oey Yok Su, "Tetapi
jikalau kita menyampaikan warta kepada pemerintah, itu artinya kita terlambat.
Pemerintah pasti bertindak sangat perlahan dan kota Siangyang terancam bahaya.
Kuda merah kau keras larinya, pergi lantas berangkat ke Siangyang, untuk menemui
kepala perang di sana. Umpama kata dia suka mendengar nasehat, kau bantu dia,
untuk bersama membelai kota itu. Sebaliknya kalau dia menentang, kau hajar
mampus padanya lantas kau bertindak menggantikan dia. Kau bekerja sama dengan
semua pasukan dan rakyat kota itu, kau membelainya melawan angkatan perang
Mongolia itu. Aku akan pulang bersama Yong-jie, di Tho Hoa To aku menantikanmu."
Kwee Ceng menerima baik perkataan mertuanya itu.
Oey Yong berdiam tetapi ia nampak tidak senang.
Oey Yok Su melihat roman gadisnya itu, ia tertawa.
"Baiklah, Yong-jie, kau boleh pergi bersama!" ia berkata. "Setelah urusan beres,
kamu mesti lekas pulang. Jangan pedulikan umpama kata pemerintah memberi
ganjaran padamu." Anak itu girang sekali. "Itulah pasti!" sahutnya.
Lantas sepasang muda-mudi itu berangkat ke Barat, mereka mengaburkan kuda mereka
di atas mana mereka bercokol bersama. Kwee Ceng tidak mau main ayal-ayalan, ia
khawatir musuh nanti keburu sampai. Jikalau kota Siangyang pecah, celakalah
penduduk kotanya. Ia menginsyafi kekejaman tentara Mongolia itu.
Pada suatu malam mereka singgah di tempat dekat perbatasan selatan Liang-ciat
dan barat Kanglam. Si anak muda duduk berdiam, pikirannya kusut. Ia ingat
bunyinya surat putri Gochin, karena mana ia ingat juga saatnya masih sama-sama
kecil dengan putri itu, hidup rukun hingga besar. Si pemudi membiarkan orang
berpikir, ia menjahiti bajunya.
"Yong-jie," tiba-tiba si anak muda tanya, "Dia menulis bahwa ibuku mati
mengenaskan dan dia tidak punya muka menemui aku lagi, kau tahu, apakah artinya
itu?" "Ayahnya memaksakan kematian ibumu, sudah tentu ia merasa tidak tega dan berduka
karenanya," menyahut si nona. "Tentu ia menjadi sangat menyesal."
Kwee Ceng berdiam, ia membayangi kematian ibunya itu. Mendadak ia berlompat
bangun, tangannya menepuk meja keras sekali.
"Aku tahu sekarang!" serunya. "Kiranya demikian!"
Oey Yong terkejut hingga jarumnya menusuk jari tanganny, hingga darahnya
menetes. "Eh, kau kenapakah?" ia menanya tertawa.
"Sekarang aku mengerti duduk kejadian," menyahut si anak muda. "Ketika aku dan
ibuku membuka surat wasiat dari Jenghiz Khan, hingga kita mengambil keputusan
buat pulang ke Selatan, di sana tidak ada orang lain, tetapi Jenghiz Khan lantas
dapat ketahui perbuatan kita itu dan mempergrokinya, kita ibu dan anak lantas
ditawan. Karena sudah putus asa, ibu membunuh diri. Kenapa rahasia kita bocor"
Sekian lama aku memikirkan itu, baru sekarang aku ketahui. Jadi dialah yang
membocorkan rahasia kepada ayahnya."
Oey Yong menggeleng kepala.
"Putri Gochin sangat mencintaimu, tidak nanti dia membocorkan rahasia, hingga
dia jadi mencelakai padamu," katanya.
"Tetapi dia bukan hendak membikin celaka, dia hendak mencegah keberangkatanku.
Dia berada di luar kemah, dia mendengar pembicaraan kita berdua, terus dia
melaporkannya kepada ayahnya. Dia percaya ayahnya akan tidak mengijinkan kita
berangkat, siapa tahu, akibatnya ialah bencana hebat..."
Ia menghela napas. "Karena dia berbuat tanpa sengaja, kau harus pergi ke Barat mencari dia!" kata
Oey Yong. Kwee Ceng menggeleng kepala.
"Aku dengannya seperti kakak adik saja," ia bilang. "Sekarang dia sudah tinggal
di Wilayah Barat itu bersama kakaknya, hidupnya mulia, perlu apa aku pergi
mencari dia?" Oey Yong tertawa, hatinya girang.
Besoknya perjalanan mereka dilanjuti terus sampai pada suatu hari mereka tiba di
kecamatan Bu-leng di kawedanan Liong-hin. Mereka melintasi Ok-lim dan Tiang Nia,
di mana mereka menampak pemandangan alam seperti semasa mereka bertemu sama Cin
Lam Khim di tempat mereka menangkap burung hiat-niauw.
"Engko Ceng," kata Oey Yong tertawa. "Di mana kau sampai, kau main asmara, dan
sekarang kau kembali akan bertemu sama sahabat lamamu..."
"Jangan ngaco, apa itu sahabat lama bukan sahabat lama!" kata si anak muda
polos. Oey Yong tetap tertawa. "Kalau umpama kata kembali turun hujan besar, dia pasti akan mengambil pula


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

payung, untuk memayungi kau, bukannya aku!" ia menggoda.
Baru si nona menutup mulutnya, atau mereka mendengar dua burung mereka yang
mengikuti mereka sembari terbang, terdengar suara kegusarannya, terus keduanya
terbang menyelundup ke bawah, lenyap di dalam rimba.
"Mari kita lihat!" mengajak Kwee Ceng. Ia menduga pada sesuatu.
Si nona juga menduga demikian.
Mereka melarikan kuda dengan jalan memutari rimba. Lantas mereka menampak burung
mereka, sambil terus beterbangan, lagi bertempur sama satu orang. Apa yang aneh,
hiat-niauw, si burung api, pun ada di situ dan dia turut membantui kedua burung
rajawali itu berkelahi. "Bagus!" seru Oey Yong. Ia girang bertemu sama burung yang ia sangat sayangi
itu. Sekarang mereka melihat tegas, orang itu ialah Pheng Tiangloo dari Kay Pang. Dia
membela diri dengan memutar goloknya, karena mana ketiga burung tidak dapat
datang dekat kepadanya. Hanya kemudian, rajawali betina dapat menyambar ikat
kepala orang dan mematuk kepala pengemis itu. Pheng Tianglo membacok, ia
berhasil membuat bulu binatang itu terbabat berhamburan.
Dengan kepalanya tanpa ikat kepala, Oey Yong dapat melihat satu bagian di mana
ada kulit tanpa rambut, melihat mana, segera ia ingat: "Dulu hari burung ini
terpanah dadanya dengan panah pendek, kiranya ini pengemis busuk yang memanah
padanya. Ketika sepasang burung ini bertempur di Chee-liong-thoa, dia dapat
menyambar kulit kepala orang, jadi itulah kulit kepala pengemis ini!"
Lantas Oey Yong memungut beberapa butir batu, niatnya untuk membantui burung-
burungnya itu, tetapi belum sampai ia turun tangan ia sudah melihat burung api
menyambar dan dengan bacotnya yang panjang mematuk biji matanya si tianglo. Dia
lagi membelai kepalanya, dia tidak tahu burung kecil ini menyambar dari bawah.
Dia kesakitan bukan main, hingga dia menjerit, dia melemparkan goloknya, terus
dia lari masuk ke dalam gombolan berduri. Untuk menolong jiwanya, dia tidak
perdulikan duri menusuk di sana-sini.
Ketiga burung itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hiat-niauw melihat si nona,
dia terbang menghampirkan. Kedua rajawali masih terbang berputaran di atas
gombolan duri itu. "Dia telah buta sebelah matanya, kasihlah dia ampun!" berkata Kwee Ceng kepada
kedua burungnya. Habis ia berkata, Kwee Ceng mendengar suara anak kecil, beberapa kali. Ia
menjadi heran, sampai dia berseru tertahan. Suara itu datangnya dari samping ia
di mana ada rumput tinggi dan tebal. Dengan lantas ia berlompat turun, akan lari
ke gombolan itu, ketika ia membiaknya, di situ ia mendapatkan seorang anak kecil
lagi duduk sendirian, kedua tangannya lagi memegangi seekor ular berbisa, yang
meronta-ronta tetapi tidak dapat meloloskan diri. Ia kaget dan heran. Tapi
herannya itu tidak lantas lenyap. Di samping anak itu ada terlihat sepasang kaki
wanita, maka ia membiak terus rumput tebal itu, hingga ia mendapatkan seorang
wanita, yang berbaju hijau,lagi rebah pingsan. Bahkan ia segera mengenali nona
Lam Khim. Khawatir ular itu mencelakai si anak, Kwee Ceng mengulur tangannya, untuk
menarik, hanya belum dapat ia berbuat begitu, anak itu sudah melemparkan ular
berbisa itu, yang terus bergerak-gerak beberapa kali, lantas diam. Sebab
ternyata dia telah kena dipencet anak itu.
Pemuda ini menjadi terlebih heran lagi. Ia menduga, anak itu belum berumur dua
tahun. Tapi untuk menolongi si nona, ia lantas membungkuk, memeriksa nona itu,
yang benar-benar pingsan. Dengan lantas ia menekan hidung orang.
Selang tidak lama, Lam Khim mendusin, Ketika ia membuka matanya, ia melihat Kwee
Ceng, hingga ia menjadi melengak, Ia merasa bahwa ia tengah bermimpi.
"Kau...kau toh engko Kwee..." katanya, suaranya bergetar.
"Ya, aku Kwee Ceng!" si anak muda mendahului. "Nona Cin, apakah kau terluka?"
Nona itu bergerak untuk bangun, atau dia roboh pula. Nyata dia terikat tangan
dan kakinya. Maka Oey Yong yang segera menghampirkan, menolongi memotong putus
belenggunya itu. "Terima kasih," kata Lam Khim yang terus mengempo anaknya, ia lantas duduk diam.
"Sebenarnya nona, apa yang telah terjadi atas dirimu?" tanya Kwee Ceng.
Lama nona itu berdiam, akhirnya dengan likat ia menuturkan juga hal ikhwal
dirinya. Di atas puncak Tiat Ciang Hong ia telah dicemarkan kehormatannya oleh
Yo Kang, lantas ia hamil, ketika ia pulang ke kampungnya, ia melahirkan anaknya
itu. Oleh karena tidak punya sesuatu, ia tetap hidup sebagai penangkap ular. Ia
terhibur oleh anaknya, yang cerdik sekali, yang seperti mengetahui kesengsaraan
ibunya. Itu hari Lam Khim membawa anaknya untuk mencari kayu bakar, kebetulan ia bertemu
dengan Pheng Tianglo, yang lagi lewat disitu. Timbul nafsu binatang pengemis
itu, yang tertarik kecantikan orang, ia mendekati untuk main gila. Lam Khim
telah pelajari ilmu yang diajari Kwee Ceng, tubuhnya menjadi sehat dan kuat,
sayang ia bertemu dengan Pheng Tianglo, satu diantara keempat pemimpin Kay Pang,
ia kena dikalahkan dan diringkus.
Bersama Lam Khim ada hiat-niauw, si burung api. Semenjak berpisah dari Kwee Ceng
dan Oey Yong di Chee-liong-tho, dia pulang ke kampung halamannya, tinggal
bersama nona Cin. Burung ini mendapat tahu si nona dapat susah, ia menyetang
Pheng Tianglo, hingga keduanya jadi berkelahi. Tidak lama dia dibantu kedua
rajawali. Lantaran ini, pengemis itu tidak sempat melakukan perbuatan
binatangnya. Lam Khim sendiri jatuh pingsan, itulah disebabkan ia melihat
beberapa ular berbisa datang ke situ, ia mengkhawatirkan keselamatan anaknya, ia
tidak sangka ketika mendusin, di situ ada si muda-mudi dan anaknya tidak kurang
suatu apa pun. Oleh karena pertemuan ini, malam itu Kwee Ceng dan Oey Yong singgah di rumah
nona Cin. Si pemuda senang melihat roman anak kecil itu, yang membikin ia ingat Yo Kang
yang tersesat itu. Ia menghela napas.
"Kwee Toako," kata Lam Kim kemudian, "Coba kau tolong memberikan nama pada anak
ini." "Dengan ayahnya aku bersaudara angkat," berkata Kwee Ceng. "Sayang ayahnya itu
tersesat hingga pergaulan kita berdua menjadi buruk. Sebenarnya aku menyesal
tidak bisa melakukan kewajibanku sebagai saudara. Sekarang mengenai anak ini,
kau harap setelah dewasa dia bisa berbeda dari sifat ayahnya. Aku pikir dia baik
diberi nama Ko alias Kay Cie. Apakah kau setuju?"
"Ko" itu berarti "Salah" atau "Kesalahan" dan "Kay Cie" berarti "Merubah itu" -
ialah "Merubah kesalahan". Diharap setelah besar anak ini merubah kesalahan
ayahnya dan menjadi orang bijaksana.
"Terserah kepada kau, toako," kata Lam Khim sambil mengeluarkan air mata. "Harap
saja dia menjadi orang baik-baik."
Pengharapan mereka ini di belakang hari telah terkabul (sebagaimana ceritanya
dapat dibaca dalam Sin Tiau Hiap Lu sambungan dari cerita kita ini)
Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa berdiam lama di rumah Lam Khim. Hanya ketika
mereka mau berangkat, Kwee Ceng memberikan uang emas seratus tail, sedangkan Oey
Yong menghadiahkan serenceng mutiara. Oey Yong pun tidak jadi dapat mengajak
hiat-niauw, meski ia sangat menyukai burung itu, yang lebih penting untuk
menjadi kawanan nona Cin itu.
Lam Khim merasa berat untuk berpisahan tetapi ia tidak dapat menahan muda-mudi
itu. Ia cuma terharu dan menyesal dan lalu mendoakan mereka berhasil.
Kwee Ceng berdua menuju ke barat, lalu tiba di selatan Lian Ouw (kedua propunsi
Ouwlam dan Ouwpak), dari situ mereka belok ke utara, maka pada suatu hari
tibalah mereka di tempat tujuan mereka, kota Siangyang. Lega hati mereka akan
mendapatkan musuh belum sampai. Penduduk tenang, kota ramai, sama sekali tidak
ada terlihat tanda-tanda bahaya perang.
Kota Siangyang ada kota penting di Utara, di jaman Lam Song atau Song Selatan
itu, di situ di tempatkan satu pembesar tinggi An-bu-su atau komisaris keamanan,
dengan pasukan tentaranya yang kuat, untuk membelai keselamatan kota, atau lebih
benar, tapal batas. Karena pentingnya urusan, tanpa menanti mencari rumah penginapan lagi, Kwee Ceng
mengajak Oey Yong segera pergi ke kantor An-bu-su, guna menemui pembesar militer
itu. Tentu saja, tidak gampang-gampang untuk mengadakan pertemuan itu. An-bu-su
itu panglima tinggi. Meski benar di Mongolia ia menjadi panglima perang, di sini
Kwee Ceng ada rakyat jelata, yang tidak dikenal juga. Tapi Oey Yong tidak kurang
akal. Ia menyerahkan uang emas satu tail kepada pengawal pintu, yang lantas
bersikap manis budi. Hanya, untuk segera melaporkan, dia itu keberatan. Katanya,
menurut kebiasaan, untuk bertemu sama pembesar itu, orang mesti menanti paling
cepat setengah bulan, sedang yang biasa diterima menghadap adalah bangsa
pembesar atau orang bukan sebangsa si anak muda.
Akhirnya Kwee Ceng menjadi mendongkol.
"Inilah urusan tentara sangat penting, mana bisa aku menanti lama-lama?" katanya
bengis. Oey Yong sebalikya memikir lain. Ia mengedipi mata kepada kekasihnya itu, ia
menarik tangan orang, untuk diajak minggir. Di sini ia berbisik: "Sebentar malam
kita menyeludup masuk, menemui dia dengan paksa."
Kwee Ceng akur, dari itu, mereka mengundurkan diri, untuk mencari tempat mondok
dulu. Adalah kapan sang malam tiba, pada jam dua, mereka lantas menyantroni
gedung komisaris itu. An-bu-su itu ada orang she Liu, ketika Kwee Ceng berdua Oey Yong masuk ke dalam
gedungnya, ia lagi bersenang-senang makan minum sambil memeluki gundiknya.
"Hamba hendak melaporkan urusan militer penting!" kata Kwee Ceng sambil menjura.
Lu An-bu-su kaget sekali.
"Ada pembunuh!" ia menjerit sambil menolak gundiknya, ia sendiri nelusup masuk
ke kolong meja. Kwee Ceng bertindak mencekal tubuh orang, untuk diangkat.
"An-bu jangan takut!" ia berkata. "Hamba tiak niat membikin celaka."
Ia mendorong tubuh si pembesar hingga dia duduk pula di tempatnya.
Pembesar itu masih ketakutan, mukanya pucat, tubuhnya bergemetaran.
Segera muncul beberapa puluh serdadu pengiring yang hendak menolongi
pembesarnya, tetapi Oey Yong, dengan mengancam dada si pembesar dengan pisau
belatinya, menahan majunya mereka itu, hingga mereka hanya bisa berteriak-
teriak. "Perintah mereka jangan membuat berisik!" Oey Yong titahkan si An-bu-su. "Mari
kita bicara!" Dengan bingungnya An-bu-su itu memerintahkan orang-orangnya diam. Dengan begitu
sunyilah ruangan itu. Kwee Ceng mengeluh di dalam hatinya menyaksikan pembesar yang berpangkat tinggi
dan bertanggung jawab besar ini adalah satu kantung nasi, tetapi ia tidak bisa
mengubah orang, maka ia lantas menyampaikan laporannya hal angkatan perang
Mongolia bakal datang menyerang kota Siangyang, yang hendak diserbu secara
menddadak. Ia minta pembesar ini segera mengambil tindakan memperkuat penjagaan,
guna menyambut musuh. Lu An-bu-su tidak mempercayai laporan itu tetapi ia menyahuti: "Ya, ya!"
"Kau dengar tidak?" Oey Yong yang melihat orang bergemetaran saja.
"Dengar, dengar..."
"Kau dengar apa?"
"Aku dengar bangsa Kim bakal menyerbu dan kita mesti bersiap sedia......"
"Bangsa Mongolia, bukan bangsa Kim!" Oey Yong menjelaskan.
Pembesar itu heran. "Bangsa Mongolia" Tidak bisa jadi!" katanya. "Bangsa Mongolia itu telah
berserikat sama perdana menteri kita untuk bersama menyerang bangsa Kim! Tidak
nanti dia mengandung lain maksud..."
Oey Yong sebal, matanya mendelik.
"Aku bilang bangsa Mongolia!" ia membentak. "Bangsa Mongolia!"
Pembesar itu ketakutan. "Ya, bangsa Mongolia, bangsa Mongolia..." katanya seraya mengangguk-angguk.
Kwee Ceng lantas kata, sabar tetapi bersungguh-sungguh. "Kota ini dan
penduduknya berada di dalam perlindungan tayjin, kota Siangyang ini juga tirai
dari kerajaan Selatan kita, maka itu au minta tayjin perhatikan baik-baik."
"Benar, saudara benar apa yang kau bilang," kata pembesar itu. "Sekarang
persilahkan!" Kwee Ceng dan Oey Yong menghela napas, tanpa banyak omong lagi, mereka
menyingkir dari gedung itu. Tapi mereka mendengar teriakan-teriakan di belakang
mereka. "Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Suara itu berisik dan kacau.
Pulang ke tempat mondok mereka, muda-mudi ini menantikan sepak terjang si An-bu-
su, tetapi dua hari lamanya mereka menanti dengan sia-sia. Kota tetap tenang,
pihak pembesar itu tidak ada tindakan apa juga.
"Pembesar itu busuk!" berkata Kwee Ceng. "Baik kita bertindak seperti yang
diajari ayahmu! Kita binasakan dia, lantas kita bertindak!"
"Pembesar anjing itu dibinasakan, dia tidak harus disayangi," kata Oey Yong.
"Hanya musuk sudah bakal sampai dalam beberapa hari ini, tentara dan rakyat
tentulah kacau karena mereka tidak ada yang pimpin. Bagaimana musuh bisa
dilawan?" Kwee Ceng mengerutkan alisnya.
"Benar sulit..." katanya. "Bagaimana sekarang?"
Oey Yong berpikir, kemudian ia berkata: "Di dalam kita Co Toan ada sebuah
dongeng, mungkin kita dapat menirunya. Itulah dongeng Hian Kho memberi hadiah
kepada tentaranya. Kwee Ceng girang pula. "Yong-jie, membaca kitab itu ada kefaedahannya tak ada habisnya," ia berkata.
"Dongeng itu dongen bagaimana" Coba kau ceritakan padaku. Mungkin kita dapat
mencontoh. "Mencontoh tentu bisa, cuma itu tergantung kepadamu...."
Si anak muda heran. "Apa?" ia menegaskan.
Si nona tidak lantas menjawab, dia hanya tertawa.
Kwee Ceng mengawasi, menanti cerita.
Oey Yong berhenti tertawa, habis mana baru dia mulai: "Baiklah, nanti aku
menuturkan. Di jaman Cun Ciu di negeri The ada seorang saudagar bernama Hian Kho. Dia berdagang dengan merantau. Satu kali, di tengah jalan dia bertemu
dengan angkatan perang negeri Cin. Itulah angkatan perang yang menyerbu negeri
The, negerinya sendiri. Negeri The tidak bersiap sedia, kalau musuh tiba secara
mendadak, pasti negari The bakal kena dimusnahkan. Hian Kho itu saudagar tetapi
dia mencintai negeri. Dia hendak menolong negerinya itu. Apa akal" Dia lantas
membawa duabelas ekor kerbau kepada pasukan negeri Cin itu, dia menemui kepala
perangnya. Dia kata bahwa dia menerima perintahnya raja The untuk menghadiahkan
pasukan perang Cin itu. Dilain pihak, diam-diam dia mengirim kabar kilat kepada
raja The, memberitahukan tentang datangnya musuh. Panglima negeri Cin mengira
bahwa negeri The sudah bersiap sedia, dia tidak berani melanjuti gerakannya
menyerbu negeri The, bahkan dia menarik pulang pasukan perangnya itu.
"Tipu itu bagus sekali," berkata Kwee Ceng girang. "Tapi bagaimana kau kata tipu
itu tergantung kepadaku?"
"Ya, aku hendak pinjam tubuhmu."
"Bagaimana itu?"
"Bukankah ada disebut halnya duabelas ekor kerbau?" kata si nona tertawa.
"Bukankah kau shio Goe?"
Kwee Ceng berjingkrak. "Bagus, dengan jalan memutar kau mencaci aku!" katanya.
Pemuda ini shio Coe, kelahiran tahun Goe, dan "Goe" itu artinya "kerbau". Maka
ia mengulurkan tangannya, guna mengitik si nona, yang lantas berkelit sambil
tertawa. Ia pun turut tertawa.
"Sekarang begini aku niat bekerja," kata si nona, setelah mereka berhenti
bergurau. "Malam ini kita menyeludup masuk ke dalam kantor An-bu-su, kita
mencuri uang emas dan batu permata, lantas besok aku akan menyamar sebagai
seorang pria, aku dandan sebagai pegawai negeri, dengan membawa uang itu, aku
pergi memapakai angkatan perang Mongolia, guna menghadiahkan mereka. Kau sendiri
mesti bekerja di dalam kota, mencoba bekerja sama tentara dan rakyat, untuk
mengatur pekerjaan."
Kwee Ceng akur, ia girang hingga ia bertepuk tangan. Malam itu juga mereka
bekerja. Lu An-bu-su banyak simpanan uang dan barang permatanya. Sampai terang tanah,
pencurian mereka tidak ada yang ketahui. Paginya Oey Yong lantas bekerja. Surup
ia menyamar sebagai pria, sebagai pegawai negeri. Dengan naik kuda merah, ia
pergi ke luar kota utara, guna menyambut angkatan perang Mongolia. Ia membawa
satu kantung yang besar. Di hari kedua, tengah hari, Kwee Ceng pergi kota Utara, untuk memandang jauh
keluar. Ia menantikan kekasihnya. Dengan lekas ia melihat kuda merahnya lari
mendatangi, ia lantas menyambut, Oey Yong menahan kudanya, ia mengasih lihat
roman bergelisah, ketika ia membuka suara, suaranya sedikit bergemetar. Ia kata;
"Tentara Mongolia itu mungkin berjumlah belasan laksa. Mana dapat kita melawan
mereka?" Kwee Ceng pun kaget. "Begitu banyak?" ia menegasi.
"Kelihatannya Jenghiz Khan ingin dengan sekali bekerja dapat memusnahkan
kerajaan Song," berkata si nona. "Ketika aku tiba pada mereka, aku bertemu sama


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggawa terdepannya, aku menyerahkan hadiah itu. Dia tidak mendapat tahu bahwa
kita sudah mendapat ketahui maksud kedatangannya ini, ia mengatakan dia membawa
angkata perang buat menyerang negari Kim, bukannya negeri Song. Waktu kebeber
rahasianya, dia kaget, lantas dia menahan pasukan perangnya itu. Mungkin dia mau
melaporkan dulu kepada kepala perangnya."
"Kalau mereka terus pulang, itulah bagus," kata Kwee Ceng. "Kalau mereka maju
terus, aku khawatir...."
Oey Yong pun mengerutkan alis.
"Aku telah memikir satu hari satu malam, aku tidak juga mendapat akal," ia
berkata. "Engko Ceng, kalau kita bertempur satu lawan satu, cuma ada dua tiga
orang yang dapat melayani kita, tapi kita mesti menghadapi orang ribuan dan
laksaan, itulah hebat. Bagaimana sekarang?"
Kwee Ceng menghela napas.
"Sebenarnya rakyat Song jauh terlebih besar dari rakyat Mongolia," katanya
kemudian, "Di antara tentara dan rakyat pun banyak yang setia kepada negara,
kalau mereka itu dapat bersatu, tak usah kita takuti tentara Mongolia itu.
Sayang banyak pembesar negeri bangsa tolol dan bernyali kecil, bisanya cuma
memeras dan menyiksa rakyat, mereka mencelakai negeri tanpa merasa...."
"Kalau terpaksa, biarlah kita mencoba melabrak tentara Mongolia itu," kata Oey
Yong. "Kita boleh mengandalkan kuda merah kita......"
"Yong-jie, sikapmu keliru," kata Kwee Ceng sungguh-sungguh. "Kita telah
mempelajari kitab perangnya Gak Bu Bok, kenapa kita tidak mau meniru juga
kegagahannya yaitu membela negeri dengan menghabiskan kesetiaan kita" Kalau kita
berkorban untuk negera, tidak kecewa kita telah dirawat orang tua dan di didik
guru kita!" Si nona menghela napas. "Aku memang telah menduga pasti datang hari seperti ini," katanya. "Baiklah,
mati atau hidup, kita bersama!"
Setelah memikir demikian, hati mereka menjadi sedikit lega. Lantas mereka pulang
ke pondokan mereka. Kali ini mereka menjadi semakin erat satu dengan lain.
Demikian mereka minum arak sampai jam dua. Di saat mereka mau masuk tidur,
mereka dibikin kaget dengan suara riuh di luar kota.
"Mereka tiba!" kata si nona.
"Ya!" sahut si pemuda.
Keduanya lari keluar, untuk terus ke tembok kota. Mereka menyaksikan rakyat
negeri, tua dan muda, pria dan wanita, berkumpul di luar kota, di belakang
mereka berduyun-duyun yang lainnya. Mereka mau masuk ke dalam kota tetapi mereka
dihalangi. Pintu kota dikunci rapat. Kemudian datang pasukan serdadu yang
dikirim An-bu-su, yang siap dengan panahnya. Mereka itu memerintahkan rakyat itu
mengundurkan diri. "Tentara Mongolia datang menyerang! Lekas buka pintu, kasih rakyat masuk!"
rakyat itu berteriak-teriak.
Pintu kota tetap tidak dibuka.
Saking takutnya, rakyat itu berteriak-teriak lebih hebat dari semula tdai, pula
banyak yang menangis. Kwee Ceng berdua memandang ke tempat jauh, maka mereka tampak cahaya api
bergulat-legot bagaikan naga api yang mendatangi. Itulah pasukan depan dari
angkatan perang Mongolia. Terang mereka itu tidak kembali ke negerinya hanya
maju terus. Jadi daya upaya menghadiahkan mereka uang dan permata itu tidak
memberi hasil. Kwee Ceng berduka, hatinya giris. Ia tahu sifatnya Jenghiz Khan. Untuk menyerang
kota, selalu tentara Mongolia memaksa rakyat maju di muka. Itu artinya rakyat
dan tentara kota bakal bertempur........
Dalam keadaan seperti itu, dengan mendadak anak muda ini mengambil keputusannya.
Dengan tiba-tiba ia berseru-seru: "Kalau kota Siangyang pecah, tidak ada satu
juga yang bakal hidup! Maka itu siapa laki-laki sejati, mari turut aku menerjang
musuh!" Punggawa si pintu kota itu orang kepercayaan Lu An-bu-su, dia gusar sekali
melihat perbuatan Kwee Ceng. Dia berteriak dengan titahnya: "Tangkap orang itu!
Dia mengacau rakyat!"
Tapi Kwee Ceng sudah bertindak. Ia lomat turun, punggawa itu disambar dadanya,
diangkat tubuhnya, maka dilain saat, ialah yang menggantikannya duduk di atas
punggung kudanya punggawa itu.
Di antara tentara itu ada banyak yang gagah dan mencinta negara, mereka tidak
tega menyaksikan rakyat di luar kota berteriak-teriak dan menangis minta
dibukakan pintu kota, mereka menyambut sepak terjang Kwee Ceng itu. Mereka tidak
mengambil mumat titah punggawanya itu.
Kwee Ceng melihat sikapnya pasukan itu, senang hatinya.
"Lekas perintahkan membuka pintu kota!" ia memberikan perintahnya.
Si punggawa menyayangi jiwanya, ia menurut dengan terpaksa.
Begitu pintu kota dibuka, bagaikan banjir, rakyat berlomba masuk ke dalam kota.
Kwee Ceng menyuruh Oey Yong menjagai si punggawa. Ia kata, ia sendiri, dengan
menunggang kuda dan membawa tombak, mau pergi ke luar kota.
"Baik," kata si nona, yang terus menitahkan si punggawa melepaskan baju
perangnya, untuk Kwee Ceng yang pakai, setelah mana, ia membisiki kekasihnya
itu: "Dengan memakai firman palsu, pergi kau membawa tentara ke luar kota."
Kwee Ceng girang. Akal itu baik sekali. Maka ia maju untuk segera berseru: "Atas
firman Sri Baginda Raja, maka An-bu-su dari kota Siangyang, yang tolol dan
memandang enteng kepada musuh, dipecat dari jabatannya! Semua tentara mari turut
aku menangkis musuh!"
Dengan bantuan tenaga dalamnya, Kwee Ceng membuat suaranya keras dan terdengar
jauh, biarnya di luar kota sangat berisik, semua serdadu mendengarnya dengan
nyata. Banyak serdadu yang bersangsi atas titah yang datang mendadak ini tetapi
juga banyak yang tahu, An-bu-su mereka memang tolol dan mereka mengerti
pentingnya melawan musuh itu, dari itu segera terdengar seruan sambutan yang
meriah. Sebentar saja Kwee Ceng sudah pergi keluar kota bersama kira-kira tiga ribu
serdadu. Ia menyesal akan melihat tentara itu tidak tertib. Mana bisa mereka
dipakai berperang melawan musuh yang berjumlah besar" Ia lantas ingat akan
siasat perangnya Gak Hui, yang membilang, disaat terjepit baiklah menggunakan
akal muslihat. Maka ia lantas menitahkan seribu serdadu pergi ke belakang gunung
sebelah timur, untuk bersembunyi. Mereka dipesan, kalau mereka mendengar
pertandaan letusan meriam, mereka mesti bersorak-sorai sambil menggoyang-
goyangkan bendera tetapi jangan keluar berperang. Seribu serdadu lebih pun
diperintah sembunyi di belakang gunung barat dengan tugas serupa.
Rakyat yang dikasih masuk ke dalam kota, sampai fajar barulah semua dapat masuk
dengan selamat. Sebagai ganti mereka segera terlihat datangnya musuh. Berisik
bunyinya tetabuhan perang mereka itu serta tindakan kaki kudanya. Debu pun
mengepul tinggi. Selagi musuh mendatangi, Oey Yong menotok punggawa yang diserahkan padanya itu.
Ia melemparkannya ke belakang pintu, ia lantas minta kuda dan tombak dari satu
serdadu, untuk ia menyusul Kwee Ceng.
"Pentang keempat pintu kota," Kwee Ceng memberikan titahnya pula. "Semua rakyat
mesti sembunyi di dalam rumah! Siapa yang lancang ke luar, dia akan dihukum
potong kepala!" Perintah itu ditaai terutama oleh rakyat, tanpa titah juga tidak nanti mereka
berani muncul di luar rumah.
Di dalam gedung An-bu-su, pembesar itu bersembunyi di bawah kasur dengan tubuh
bergemetaran. Pasukan Mongolia telah sampai dengan cepat. Mereka lantas menampak dipentangnya
pintu kota dan kotanya sepi sedang di muka jembatan gantung ada berdiri sepasang
pria dan wanita, yang menunggang kuda dan bersenjatakan tombak. Punggawa yang
memimpin pasukan depan itu, seorang cianhu-thio, menjadi heran, maka ia lantas
memberi laporan kepada atasannya, seorang banhu-thio. Dia ini tidak kurang
herannya. Dengan lantas ia maju ke depan untuk meyaksikan sendiri.
Banhu-thio ini terkejut ketika mengenali Kwee Ceng. Selama berperang ke Barat,
Kim Too Huma itulah yang paling berakal dan gagah, sebagaimana kota Samarkand
dirampas oleh tentara berpayungnya.... Ia juga bercuriga melihat pintu kota
dipentang dan kotanya kosong. Dengan cepat ia menghampirkan, untuk turun dari
kudanya, guna memberi hormat. Ia memanggil: "Kim Too Huma yang mulia!"
Kwee Ceng membalas hormat, tanpa membilang apa-apa.
Segera banhu-thio itu mengundurkan diri, sembari mengundurkan pasukannya, ia
mengirim kabar cepat kepada kepala perangnya.
Satu jam kemudian, di situ muncul satu pasukan dengan benderanya yang besar.
Pasukan itu dipimpin oleh seorang panglima muda, yang diiringi banyak
punggawanya. Dialah pangeran keempat, Tuli, maka ia mengaburkan kudanya keluar
dari barisannya, maju ke depan.
"Anda Kwee Ceng!" ia berseru. "Kau baik?"
Kwee Ceng mengaburkan kudanya, untuk memapaki.
"Anda Tuli!" ia berseru. "Kiranya kau!"
Biasanya, kalau mereka berdua bertemu, mereka saling rangkul, akan tetapi
sekarang, mereka tidak datang terlalu dekat, sama-sama menahan kuda mereka.
"Anda," menanya Kwee Ceng. "Kau mengepalai pasukan perang untuk menyerang negeri
Song, bukankah?" "Aku menerima titah ayahku, aku tidak merdeka," menyahut Tuli. "Aku minta kau
suka memberi maaf kepadaku."
Kwee Ceng memandang ke pasukan musuh, yang entah berapa laksa jumlahnya.
"Kalau pasukan berkuda ini menyerbu, hari ini habislah jiwaku..." pikirnya. Lantas
ia menghadapi pula pangeran Mongolia itu, untuk berkata: "Baiklah! Nah, kau
ambillah jiwaku!" Tuli terperanjat. Ia pun segera berpikir; "Dia sangat pandai mengatur
tentaranya, aku bukan tandingannya. Lagi pula, kita ada bagaikan saudara
kandung, mana dapat aku merusak persaudaraan kita...?"
Oleh karena ini, ia menjadi ragu-ragu.
Oey Yong menyaksikan semua itu, ia lantas berpaling ke arah kota, tangan
kanannya diulapkan. Tentara di dalam kota melihat isyarat itu, dengan lantas mereka menyulut meriam.
Maka bergemalah suara ledakannya, suara mana disusul sama sambutan tentara yang
bersembunyi di belakang gunung timur, mereka itu bersorak-sorak dan bendera
mereka digoyangkan pergi datang.
Tuli kaget hingga air mukanya berubah.
Ledakan meriam yang pertama disusul sama yang kedua dan ini disusul pula
sambutan tentara yang bersembunyi di gunung sebelah barat.
"Celaka, aku terjebak!" pikir pangeran ini kaget. Tidak tempo lagi, ia
menitahkan pasukan perangnya mundur sampai tigapuluh lie. Untuk ini, tentaranya
itu cuma perlu membalik tubuh, lantas pasukan belakang menjadi pasukan depan dan
pasukan depan sendirinya menjadi pasukan belakang.
Tuli tidak tahu berapa besarnya pasuka musuh, tetapi karena dia sudah jeri
terlebih dulu terhadap Kwee Ceng, mundur adalah jalan yang paling aman untuknya.
Melihat mundurnya musuh, Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong dan terawa, dan si
nona menyambutnya sambil tertawa juga.
"Engko Ceng, aku memberi selamat padamu untuk Khong Shia Kee ini!" si nona
memuji. "Khong Shia Kee" itu ialah akal muslihat mengosongkan kota guna menggertak
musuh. Akal itu juga dapat dipakai untuk menjebak musuh masuk ke dalam kota,
untuk sesampainya di dalam kota nanti dikepung.
Habis tertawa, Kwee Ceng mengasih lihat roman berduka.
"Tuli itu gagah dan ulet," ia berkata. "Sekarang ia mundur tetapi besoknya ia
pasti bakal datang pula. Bagaimana kita melawannya.
Oey Yong menginsyafi itu, ia lantas berpikir.
"Aku mempunyai satu daya, hanya aku khawatir, lantaran kau ingat persaudaraanmu,
kau tidak sudi turun tangan melakukannya," katanya kemudian.
"Kau menghendaki aku pergi membunuh dia secara diam-diam?" tanyanya.
"Dialah putra terkasih dari Jenghiz Khan," berkata si nona. "Dia juga beda
daripada panglima-panglima perang lainnya, satu kali dia mati, mesti musuh
mundur sendirinya!" Kwee Ceng bertunduk, ia berdiam. Mereka pulang kedalam kota.
Semua tentara ditarik pulang, semua pintu kota ditutup rapat dan dijaga, meski
begitu, untuk sesaat, kota nampaknya kacau.
Kapan An-bus-u mendapat laporan bagaimana dengan omong sedikit saja Kwee Ceng
berdua dapat mengundurkan musuh, sendirinya dia pergi menemui muda-mudi itu
untuk menghanturkan terima kasih. Kwee Ceng menggunai ketika itu untuk
membicarakan soal pembelaan kota.
An-bu-su itu menjadi kecil hatinya dan lemas tubuhnya, apabila ia mendapat
keterangan musuh bakal datang pula besok, dia sampai tidak dapat membuka
suaranya, kemudian berulang-ulang dia memberi titahnya: "Siapkan joli, pulang!"
Ia telah mengambil keputusan untuk kabur meninggalkan kota.
Kwee Ceng berduka, meski Oey Yong telah matangi sayur yang lezat, ia tidak
bernafsu berdahar, apa pula kapan sang malam datang, selagi sang jagat gelap
gulita, dari sana sini di dalam kota terdengar tangisan rakyat-rakyat yang
ketakutan. Ia membayangi, besok siang tentulah tidak bakal ada tentara atau
rakyat, semua bakal dibasmi tentara Mongolia yang ganas itu. Di depan matanya
berkelebat peristiwa dahsyat, kejam dan menyedihkan di kota Samarkand.
"Yong-jie," katanya mendadak seraya tangan kirinya menggeprak meja. "Di jaman
dahulu untuk negara orang dapat membunuh orangnya atau sanak sendiri, maka itu
sekarang mana dapat pula aku memikirkan saudara angkat!"
Oey Yong menarik napas panjang.
"Memang urusan kita ini sulit sekali," katanya.
Kwee Ceng telah mengambil keputusan, maka ia lantas menyalin pakaian, setelah
itu bersama Oey Yong ia menunggang kuda merahnya ke utara. Setelah mendekati
kubu tentara Mongolia, mereka menunda kuda mereka di kaki gunung, lalu dengan
berjalan kaki mereka menghampirkan musuh, guna mencari tendanya Tuli. Tidak
sulit untuk mereka mencarinya.
Lebih dulu Kwee Ceng membekuk dua serdadu ronda, ia totok mereka, sesudah orang
tidak berdaya, ia merampas seragamnya, untuk ia dan Oey Yong mengenakannya.
Dengan begini, mereka dapat berjalan dengan merdeka. Ia mengerti bahasa
Mongolia, ia juga mengerti segala aturan ketentaraan, dari itu, dengan cepat
mereka tiba di kemah Tuli. Karena langit gelap, mereka dapat pergi ke belakang,
di mana mereka menyembunyikan diri sambil mengintai.
Tuli masih belum beristirahat, dia bahkan berjalan mondar-mandir, romannya
bergelisah. Lalu terdengar mulutnya mengucapkan: "Kwee Ceng, anda! Anda Kwee
Ceng!" Kwee Ceng terkejut, ia menyangka Tuli sudah mengetahu kedatangannya itu hingga
ia mau menyahuti. Oey Yong melihat gerakan kawannya, ia menutup mulut orang.
"Ah....!" pikir si anak muda, yang tersadar. Ia berduka. Kemudian di dalam hatinya
ia mengatai ketololannya itu.
Oey Yong menghunus pisau belatinya sambil ia berbisik di kuping kekasihnya,
"Lekas turun tangan! Seorang laki-laki mesti berkeputusan tetap, tidak boleh
bersangsi!" Berbareng dengan itu, di kejauhan terdengar suara laratnya kuda, lantas
tertampak datangnya satu penunggang kuda ke kemah besar itu. Kwee Ceng tahu, itu
urusan penting. "Tunggu dulu," ia bisiki si nona. "Kita dengar dulu, kabar penting apa ini."
Penunggang kuda itu seorang pesuruh dengan seragam kuning. Dia lompat turun dari
kudanya, untuk terus lari masuk ke dalam tenda, setelah memberi hormat kepada
Tuli, dia berkata: "Tuan pangeran, ada titah dari Khan yang agung!"
"Apakah kata Khan yang agung?" Tuli tanya.
Bangsa Mongolia itu belum lama mempunyai bahasa tulisny, sudah begitu Jenghiz
Khan tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis, maka itu, kalau dia
mengeluarkan titah, dia memberikannya secara lisan, supaya si pesuruh tidak
lupa, ia menyuruh menghapalkannya dulu hingga orang ingat dan tidak melupakannya
lagi. Pula titah itu disuarakan hingga mirip dengan nyanyian. Demikian utusan
ini, sambil berlutut dan mendekam, dia membacakannya di luar kepala titah
khannya yang agung itu. Baru orang menyebut tiga baris kata-kata, Kwee Ceng sudah menjadi kaget sekali,
sedang Tuli lantas mengeluarkan air mata.
Jenghiz Khan sudah berusia lanjut, selama yang belakangan ini,ia terganggu
kesehatannya, setelah mendapat firasat yang dia tidak bakal dapat hidup lebih
lama pula, ia mengeluarkan titah memanggil Tuli segera pulang untuk bertemu
dengannya. Di penutup firman lisan itu, khan itu juga memberitahukan bahwa dia
kangen dengan Kwee Ceng, dari itu dia memesan, kalau di Selatan itu putranya
bertemu sama pemuda she Kwee itu, supaya si anak muda diajak bersama ke Utara
guna mereka, khan dan yang agung dan si anak muda, mengambil selamat berpisah....
Mendengar samapi di situ, dengan pisau belatinya Kwee Ceng menggurat memecahkan
tenda, ia berlompat masuk.
"Anda Tuli, aku akan pergi bersama kau!" katanya berseru.
Tuli kaget bukan main, akan tetapi setelah mengenali si anak muda, ai girang
bukan buatan. Kedua lantas saling merangkul.
Si utusan mengenali Kwee Ceng, dia memberi hormat sambil terus berlutut dan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangguk, terus dia berkata: "Kim Too Huma, Khan yang agung menitahkan supaya
Huma yang mulia pergi ke Kemah Emas untuk menemuinya!"
Hati Kwee Ceng tercekat mendengar ia tetap dipanggil Kim Too Huma. Tentu sekali
ia khawatir Oey Yong bercuriga. Maka ia lari molos di tenda, akan melihat
kawannya itu, tangan siapa ia terus tarik seraya berkata: "Yong-jie, mari kita
pergi bersama untuk nanti pulang bersama!"
Nona itu berdiam. "Yong-jie, kau percaya aku atau tidak?" Kwee Ceng tanya.
Tiba-tiba nona itu tertawa dan kata: "Jikalau kau memikir untuk menjadi huma
atau hu-hoe, akan aku potong kepalamu!"
"Hu-ma" atau menantu raja, huruf "ma"-nya berarti "kuda", karena itu Oey Yong
menambahkan dan menyebut "hu-goe" untuk menggoda. Huruf "goe", itu berarti
"kerbau" Kwee Ceng mempertemukan si nona dengan Tuli, sedang Tuli sudah lantas memberi
perintah untuk tentara bersiap sedia, untuk besok pagi mereka pulang ke Utara.
Kwee Ceng bersama Oey Yong pulang dulu, untuk mencari kuda dan burung mereka,
tetapi besoknya pagi mereka kembali ke pasukan perang Mongolia itu, untuk turut
berangkat bersama. Tuli khawatir tidak keburu bertemu bersama ayahnya, ia memberi kekuasaan kepada
wakilnya, untuk memegang pimpinan. Ia sendiri, bersama-sama Kwee Ceng dan Oey
Yong berangkat lebih dulu dengan mengaburkan kuda mereka. Maka itu, belum sampai
satu bulan, mereka telah tiba di Kemah Emasnya Jenghiz Khan.
Dari jauh-jauh Tuli telah melihat bendera di kemah ayahnya masih terpencar
seperti biasa, hatinya menjadi sedikit nlega, meski begitu, hati itu toh
berdebaran. Ia telah mengasih kudanya lari sekerasnya untuk sampai di kemah itu.
Kwee Ceng menahan kudanya, pikirannya bekerja keras. Ia ingat budinya khan yang
agung itu, yang sudah menolong dan memelihara ia dan ibunya, sebaliknya juga, ia
lantas ingat kematian yang menyedihkan dari ibunya itu. Jadinya khan itu
berbareng menjadi tuan penolong dan musuh besar! Ia jadi menyayangi dan
membenci! Bagaimana sekarang" Selama di Siangyang dan tengah jalan, ia ingin
sekali menemui tuan penolong itu, tetapi sedetik ini..... Maka ia berdiam sambil
tunduk. Tidak lama terdengarlah suara terompet, lalu di muka markas terlihatlah
munculnya dua baris serdadu pengiring. Setelah itu nampak Jenghiz Khan keluar
Pengejaran Ke Cina 3 Wiro Sableng 187 Si Pengumpul Mayat Si Tangan Sakti 2
^