Pencarian

Darah Pendekar 21

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


angkatnya, Bu Kek Siang yang membunuh putera kesayangan kakek ini. Akibat-nya, murid - murid kakek
ini datang membalas dendam. Kalau menurut cerita ini, pihak kakek-nyalah yang menjadi biang
keladi permusuhan. Akan tetapi benarkah cerita yang baru didengar-nya dari kakek jubah
hitam itu " Agaknya Ouwyang Kwan Ek dapat menduga keraguan hati Bwee H ong.
"Kalau engkau tidak percaya akan kebenaran ceritaku, engkau boleh bertanya
kepada tokoh - tokoh tua dunia persilatan yang kini masih hidup dan yang mengetahui peristiwa
keributan dalam perguruan kita itu. Di antara mereka adalah Yap-lojin ketua Thian - kiam - pang
dan Siang Houw Nio-nio pengawal kaisar."
"Kata - katanya itu benar belaka
" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari balik batu be-sar. Semua orang menengok dan
nampak seorang kakek dan seorang nenek keluar dari balik batu. Mereka adalah Yap -
lojin ketua Thian - kiam - pang bersama isterinya, yaitu Siang Houw Nio - nio! Melihat Siang Houw
Nio - nio, Bwee Hong cepat memberi hormat.
"Dia tidak membohong dan memang semua itu telah terjadi pada keturunan Bu-eng
Sin-yok- ong, sungguh patut disesalkan sekali," kata pula nenek Siang Houw Nio - nio
kepada Bwee Hong. "Akupun menjadi saksi akan kebenaran cerita susiok - couwmu itu, nona Chu.
Karena itu, semua permusuhan antara keluarga perguruan sendiri yang tiada gunanya itu
seyogianya dihadapi de-ngan kesadaran dan kebesaran hati sehingga dapat berakhir." Yap - lojin juga
berkata. "Kalau memang demikian riwayatnya, sayapun tidak akan melanjutkan dendam yang
tiada guna-nya ini, locianpwe," kata Bwee Hong menunduk.
Yap-lojin dan isterinya lalu memberi hormat sambil bermuka sedih kepada pangeran
mahkota. Siang Houw Nio - nio menjatuhkan dirinya berlu-
tut dan berkata, "Pangeran, hal - hal yang hebat
terjadi tanpa saya mampu menolong, dosa saya
besar sekali " Pangeran mahkota cepat-cepat mengangkat bangun wanita itu yang masih terhitung
nenek sendiri karena mendiang ayahnya adalah keponak-an nenek ini. "Harap jangan
bersikap demikian, Nio-nio. Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah kita semua. Segala hal yang
terjadi adalah kehendak Thian." Ketika Ouwyang Kwan Ek yang merasa amat takjub kepada A-hai mencari pemuda itu
untuk diajak bicara dan berkenalan lebih dekat, ternyata pemuda itu kini telah
bersikap biasa, bahkan nam-pak bodoh. A-hai telah duduk mendekati Cui Hiang yang buntung lengan kirinya
itu. Cui Hiang menangis, bukan menangis karena nyeri melain-kan karena kematian
keluarganya. Memang luka di pundaknya yang kehilangan lengan kiri itu tera-sa nyeri, akan tetapi
berkat pengobatan Bwee Hong, tidaklah begitu hebat dibandingkan dengan rasa nyeri di hatinya. A -
hai merangkulnya dan menghiburnya dengan terharu.
"Adik kecil, kita sama - sama yatim piatu, seorang diri saja di dunia ini, tiada
sanak saudara la-gi. Maukah engkau bersama - sama dengan aku ?"
Dengan terharu Cui Hiang mengangguk. Air matanya bercucuran, sebentar menoleh ke
arah jenazah keluarganya, kemudian menoleh ke arah lengan yang menggeletak di atas
tanah, Ia merasa seolah - olah lengannya yang buntung itu, yang ki-ni merupakan sepotong
lengan yang menggeletak tak bergerak dan pucat di atas tanah, seperti sebu-ah mayat pula.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia menghampiri potongan lengannya sendiri itu, diambilnya
dengan tangan kanan, lalu dibungkus-nya ke dalam baju luarnya, semua ini dilakukan dengan agak
sukar karena hanya menggunakan satu tangan saja, lalu bungkusan lengan kiri itu di-peluknya
dengan lengan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kanan. Semua orang me-mandang dengan terharu dan merasa bergidik, akan tetapi
tidak ada yang bertanya karena merasa kasihan dan tidak mau menyinggung hati anak pe-
rempuan itu. Bagaimanakah pangeran mahkota muncul di tempat itu dan bersama dengan Ouwyang
Kwan Ek, ketua Liong - i - pang " Seperti pernah dice-ritakan di bagian depan,
pangeran mahkota telah disingkirkan oleh komplotan Perdana Menteri Li Sn dan kepala thaikam Chao
Kao, dikirim ke garis depan untuk membantu Jenderal Beng Tian me-mimpin pasukan menghadapi para
pemberontak. Pada mulanya, pasukan pemerintah ini bertugas di sepanjang Tembok
Besar melawan bangsa nomad Hun (Siung Nu), akan tetapi kemudian pindah ke barat untuk
menghadapi pemberontakan yang di-pimpin oleh Chu Siang Yu. Karena pasukan itu
tidak mendapat bantuan lagi dari pusat, seolah
olah dibiarkan saja, maka pasukan pemerintah ini terus terdesak mundur oleh kaum
pemberontak. Pangeran mahkota yang bukan seorang ahli perang dan hanya maju
memimpin pasukan atas desak-an istana, menjadi putus asa dan dia menyerahkan sisa
pasukannya kepada Jenderal Beng Tian. Dia sendiri lalu melakukan perjalanan pulang ke sela-tan.
Akan tetapi, di tengah perjalanan dia mende-ngar tentang kematian kaisar dan tentang penggantian
yang dilakukan pada waktu dia tidak ada dan yang diangkat menjadi kaisar adalah
adiknya, putera kaisar yang ke dua. Tahulah pangeran mahkota bahwa terjadi pengkhianatan dan
kecu-rangan, akan tetapi setelah lama berada di luar is-tana, ikut bertempur bersama Jenderal
Beng Tian, pangeran ini telah terbuka matanya. Dia melihat kebobrokan pemerintahan ayahnya,
melihat betapa rusaknya pemerintah akibat kelaliman para pejabat tinggi yang
mempengaruhi ayahnya. Setelah mata-nya terbuka, dia merasa malu dan jijik, bahkan tidak mempunyai
minat untuk menjadi kaisar, se-perti orang yang jijik melihat sesuatu yang penuh kekotoran
diserahkan kepadanya untuk diurus. Ngeri dia kalau harus bekerja dibantu oleh orang-orang
yang demikian jahat, licin dan curangnya. Maka, mendengar bahwa adiknya yang naik tahta,
diapun tidak menjadi penasaran. Akan tetapi, para pendekar yang tahu bahwa sang pangeran hendak kembali ke kota
raja, memperingatkannya bahwa kaisar baru, dikuasai oleh pejabat-pejabat lalim,
telah mengirim jago-an - jagoan untuk mencari putera mahkota ini, sete-lah kaisar baru mengirim
utusan ke garis depan untuk menangkapnya mendengar bahwa pangeran itu telah pergi meninggalkan
pasukan. Kini pange-ran dicari oleh jagoan-jagoan istana, maka sang pangeran lalu
menyembunyikan diri. Untung dia bertemu dengan kakek Ouwyang Kwan Ek yang kemudian melindunginya.
Sementara itu, Siang Houw Nio - nio meru-pakan tokoh yang paling tidak setuju
akan adanya penggantian kaisar oleh pangeran ke dua itu. Ia-pun dapat menduga bahwa
surat wasiat kaisar lama telah dipalsukan. Akan tetapi apa dayanya seorang wanita yang
pangkatnya hanya pengawal pribadi kaisar yang sudah mati, walaupun ia masih terhitung bibi dari
kaisar itu sendiri "
Karena me-rasa tidak suka akan tetapi juga tidak berdaya, ia hanya memprotes
yang akhirnya hanya membuat ia ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara. Se-perti diceritakan
di bagian depan, Pek In dan Ang In, dua orang murid Siang Houw Nio-nio, berhasil lolos dan
melaporkan hal itu kepada Yap - lojin. Kakek ini segera terbang ke kota raja dan hanya dengan
susah payah dan mengandalkan kepandai-annya dan bantuan para pendekar di kota raja sa-jalah
akhirnya Yap - lojin berhasil membebaskan isterinya. Akan tetapi mereka menjadi buruan pe
merintah, dan mereka harus cepat-cepat pergi karena kini istana memiliki jagoan
- jagoan dari kaum sesat yang dipimpin oleh Panglima Kelela-war Hitam !
Setelah mendengar para pendekar itu saling menceritakan pengalamannya, putera
mahkota menarik napas panjang. "Aih, betapa bobroknya keadaan di istana, baru sekarang
aku menyadari. Kiranya sejak lahir aku sudah berada di dalam du-nia yang mewah dan mulia namun
penuh dengan kebobrokan!" Dia makin tidak bernafsu lagi untuk kembali ke istana, apa
lagi untuk memperebutkan kedudukan kaisar. Dia akan membantu gerakan para pejuang dan semua
itu dilakukan bukan un-tuk memperebutkan kedudukan, melainkan untuk membantu
melenyapkan kekuasaan sewenang-wenang dan jahat yang menguasai negara dan rakyat.
Tiba giliran Bwee Hong untuk menceritakan pengalamannya di depan Ouwyang Kwan
Ek. Yap-tajin, Siang Houw Nio - nio, dan sang pangeran itu. Ia menceritakan tentang
tugas dari kaisar KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang dipikul kakaknya, tugas mencari Menteri Ho yang ternyata gagal karena
Menteri Ho yang setia itu keburu dibunuh oleh para penjahat kaki tangan menteri lalim. Kemudian,
kakaknya hendak ke kota raja untuk melaporkan hasil tugasnya itu. A-kan tetapi dia malah
ditawan oleh kaki tangan kaisar baru yang dipimpin oleh Kelelawar Hitam atau Raja Kelelawar.
"Padahal, Kun koko yang sudah melihat sen-diri keadaan pasukan para pendekar
yang dipim-pin oleh Liu - bengcu, ingin pula melaporkan ke kota raja tentang
kesalahpahaman antara, pemerin-tah dan pasukan itu. Liu - bengcu bermaksud membersihkan negara dari
para pengkhianat dan penjual bangsa, akan tetapi oleh pemerintah malah dimusuhi dan
dicap sebagai pemberontak," kata-nya.
"Tentu saja !" kata Siang Houw Nio - nio. "Pemerintah sudah dikuasai oleh para
pengkhianat itu sendiri, tentu saja Liu - bengcu dimusuhi!"
Yap-lojin menarik napas panjang. "Kaisar bo-neka diangkat, kekuasaan berada di
tangan pem-besar - pembesar lalim dan korup, malah kaum se-sat yang dipimpin raja iblis
seperti Raja Kelelawar diangkat sebagai panglima dan perwira - perwira. Aih, adakah yang
lebih gila dari pada ini ?" "Menteri - menteri dan pejabat - pejabat yang jujur dipenjarakan atau
dibunuh," Siang Houw
Nio - nio berkata lagi. "Setan - setan dan iblis - iblis berkeliaran di istana,
menguasai negara, jenderal Beng Tian seorang diri dibiarkan mati - matian me-nahan majunya para
pemberontak yang melanda negara seperti air bah, sedangkan mereka yang di istana hanya
bersenang-senang belaka. Padahal, pasukan Liu-bengcu sudah mendesak dari selatan dan timur,
sedangkan pasukan Chu Siang Yu men-desak dari barat."
"Kami berdua tidak berdaya. Kami sendiri men-jadi buronan, terpaksa meninggalkan
kota raja," sambung Yap - lojin. "Di tengah jalan kami sudah berpapasan dengan
sebagian pasukan Jenderal Beng Tian yang kalah berperang. Mereka mundur untuk mempertahankan
benteng terakhir, yaitu ko-ta raja sendiri. Kota raja sudah terhimpit dari em-pat
jurusan, tak tertolong lagi
!" "Ah, apa akan jadinya dengan negara kita " Apakah akan terjatuh ke tangan
pemberontak dan terobek - robek dipakai berebutan ?" Sang pange-ran ikut bicara, suaranya
sedih. Semua orang terdi-am, tenggelam dalam pikiran masing - masing. Tak seorangpun nampak
gembira, walaupun kesedihan yang membayang di wajah A - hai dan Cui Hiang berbeda dengan
kesedihan orang - orang lain itu. Bagaimanapun juga, orang - orang yang masih setia kepada
negara ini masih mempunyai sisa ke-inginan untuk dapat menyelamatkan negara dari pada
bencana, kalau mungkin. Akan tetapi sampai lama mereka tidak dapat melihat jalan yang baik. Kekuatan
pasukan yang dapat diharapkan hanyalah tinggal satu - satunya pasukan Jenderal Beng Tian
yang sudah menga-lami pukulan berkali - kali dan semakin menipis, baik jumlah maupun
semangatnya itu. Pasukan-pasukan para kepala daerah sudah jatuh ke tangan para pemberontak dan
banyak pula pasukan - pa-sukan kecil yang bertugas di luar kota raja, kalau tidak
dihancurkan oleh para pemberontak, juga me-nyeberang dan bergabung dengan para pemberon-tak. Menteri -
menteri dan para pejabat yang jujur sudah dihalau dari kedudukan mereka. Apa lagi yang
dapat dilakukan " Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Pangeran, agaknya tidak terdapat jalan


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang baik untuk menolong negara pada waktu seperti seka-rang ini. Andaikata kita
mampu menghalau para pemberontak, tetap saja kita harus menghadapi para pengkhianat yang sudah
bercokol dan men-cengkeram istana. Dan melawan kekuasaan mere-ka, selain membutuhkan kekuatan
besar, juga ber-arti menentang kekuasaan yang ada, sama dengan memberontak pula.
Sebaiknya kita bergabung saja dengan sisa pasukan Jenderal Beng Tian. Kita ba-wa sisa pasukan
menghindar dan menyusun keku-atan baru. Biarlah para pengkhianat itu mengha-dapi pasukan
pemberontak dan biarlah para pem-berontak yang menggulingkan mereka. Kelak apa bila kekuatan
kita sudah cukup, kita gempur kem-bali pasukan pemberontak itu. Kiranya hanya ini-lah satu
- satunya jalan." Sang pangeran dan semua orang mengangguk membenarkan. Kemudian mereka bubaran.
Tiga orang locianpwe itu akan mengawal sang pangeran bergabung kepada pasukan
Jenderal KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Beng Tian yang sudah mundur ke benteng kota raja. Sedang-kan Bwee Hong, Siok
Eng, dan A - hai yang mengajak Cui Hiang yang masih perlu perawatan Bwee Hong dan yang sejak
saat itu tidak mau berpisah dari A-hai, hendak melanjutkan perjalanan mere-ka ke kota
raja untuk mencari Seng Kur. Sebelum berpisah, mereka beramai - ramai mengubur semua jenazah dan
Cui Hiang diberi kesempatan untuk menyembahyangi makam keluarganya. Anak kecil ini meratap
dan menangis, membuat terharu semua orang karena selain kehilangan ayah bunda dan
adiknya, juga anak perempuan ini kehilangan le-ngan kirinya.
Sebelum meninggalkan orang orang muda itu, nenek Siang Houw Nio - nio berkata
kepada Bwee Hong, "Nona Chu, kalau engkau mencari kakak-mu, janganlah mencari di kota
raja, akan tetapi carilah di benteng kuno di luar pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Semua tawanan pemerintah dikumpulkan di sana."
Bwee Hong mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Keterangan ini amat penting
karena mencari seorang tawanan di kota raja memang ti-dak mudah, apa lagi kota
raja kini dikuasai oleh kekuatan kaum sesat yang lihai.
* * Malam itu mereka bermalam di bekas rerun-tuhan rumah keluarga Cui Hiang yang
telah diba-kar para penjahat. Cui Hiang duduk termenung mengawasi bekas rumah dan
tempat di mana ia biasa bermain - main dengan adiknya. Wajahnya pucat akan tetapi ia tidak
menangis lagi. Anak ini maklum bahwa ia telah ditolong oleh orang - orang gagah dan ia merasa malu
kalau selalu memperli-hatkan tangisnya. Keluarganya sendiri hanyalah keluarga sederhana yang
hanya memiliki ilmu si-lat biasa saja, akan tetapi dari ayahnya ia sudah banyak
mendengar tentang kegagahan para pen-dekar di dunia kang - ouw. Ia tidak ingin menge-cewakan hati
orang - orang gagah, para pendekar yang telah menolongnya itu.
Melihat anak perempuan itu tidak tidur melain-kan duduk termenung dengan sedih.
A-hai yang merasa kasihan dan suka sekali kepada Cui Hiang, mendekati dan mereka duduk
di atas batu di luar bekas rumah itu. "Cui Hiang, kenapa engkau tidak mengaso dan tidur" Kita besok akan melanjutkan
perjalanan yang amat jauh dan melelahkan," kata A - hai de-ngan suara lembut.
Anak itu menggeleng kepala. Aku belum me-ngantuk dan biarlah malam ini
kulewatkan untuk melihat - lihat tempat di mana aku dipelihara sam-pai besar dan yang akan
kutinggalkan untuk sela-manya." "Anak yang baik, mari kutemani kau. Kita bi-cara. Siapakah nama marga keluargamu
" Aku hanya tahu namamu Cui Hiang, akan tetapi tidak tahu siapa she - mu."
"Keluarga yang terbasmi penjahat itu she Gan, akan tetapi aku sendiri she Pouw."
"Eh " Kenapa begitu " Bukankah engkau anak mereka ?"
Gadis cilik itu menggeleng kepalanya dan wa-jahnya menjadi muram. "Aku hanya
anak angkat mereka, akan tetapi mereka begitu baik kepadaku sehingga kuanggap mereka
sebagai ayah dan ibu kandung sendiri. Aku mereka pelihara sejak bayi."
A - hai mengangkat alisnya dan merasa tertarik sekali. "Ah, sungguh tak
kusangka. Maukah eng-kau menceritakan riwayatmu kepadaku, Cui Hiang?"
Anak itu menoleh dan memandang wajah A-hai
yang hanya nampak remang-remang di bawah
sinar bintang - bintang di langit dan iapun meme-
gang tangan orang muda itu. "Tentu saja, in-kong
(tuan penolong), aku suka menceritakan riwayat-
ku kepadamu. Sekarang aku hanya mempunyai
engkau seorang yang mau menolongku di dunia
ini " Suaranya terhenti karena haru.
A - hai memecahkan keharuan itu dengan se-nyum dan merangkul pundaknya. "Ihh.
kenapa menyebut in - kong " Tidak enak sekali sebutan itu."'
"Habis aku harus menyebut apa " Kongcu " A-tau taihiap ?"
"Wah, wah bisa ditertawakan semut ka-
lau engkau menyebutku kongcu. Masa ada kongcu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
(tuan muda) macam aku ini. Dan taihiap (pende-kar besar) " Wah, kepalaku bisa
mengembung dan hidungku bisa mekar nanti. Sebut saja
eh, bagaimana kalau aku menjadi kakakmu ?"
"Baik, aku menyebutmu twako. Aku mendengar namamu disebut A-hai, biarlah kusebut
kau Hai-twako !" Melihat gadis cilik itu sudah pulih lagi kegem-biraannya dan percakapan itu
mengusir kedukaan-nya, A - hai lalu berkata, "Nah, sekarang ceritakan-lah riwayatmu,
adikku yang manis." "Ketika itu aku masih kecil, baru berusia tiga atau empat tahun," Cui Hiang
mulai mencerita- kan riwayatnya. "Kalau ayah angkatku tidak men-ceritakan riwayat itu kepadaku,
tentu aku akan lupa dan tidak mengetahui keadaanku yang sebe-narnya. Menurut cerita ayah
angkatku, aku datang dibawa oleh ayahku yang terluka parah kepada mereka, keluarga Gan suami
isteri yang belum mempunyai anak. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Oleh ayahku, aku
diserahkan kepada suami isteri Gan yang sudah belasan tahun meni-kah tapi belum mempunyai
anak. Karena lukanya yang parah akhirnya ayahku itu meninggal dunia, dan sebelum mati dia
menyerahkan aku kepada suami isteri itu dengan pesan agar suami isteri itu membawaku bersembunyi
karena ayahku dan juga aku sebagai anaknya sedang dicari - cari musuh besar yang telah
melukainya." 28 23 A - hai mendengarkan dengan tertarik. Tak di-sangkanya bahwa anak ini membawa
rahasia yang demikian menarik. "Lalu bagaimana ?" tanyanya ketika anak itu kelihatan
mengingat-ingat. "Ayah dan ibu Gan amat suka kepadaku, maka
aku lalu diambil anak. Dua tahun kemudian me-
rekapun dikurniai seorang anak yang menjadi adik-
ku. Dan mentaati pesan ayahku, keluarga kami.
hidup di dekat rawa sebagai penangkap ikan, ka-
rena memang keluarga Gan adalah keluarga seder-
hana yang miskin. Kehidupan kami sederhana na-
mun cukup berbahagia dan ayah angkatku melatih
ilmu silat sedikit - sedikit kepadaku. Akan tetapi,
siapa kira akan datang malapetaka yang menewas-
kan mereka sekeluarga, kecuali aku " Gadis
cilik itu menahan kesedihannya dan memandang ke arah pundak kirinya yang tak
berlengan lagi itu. A - hai merangkulnya. "Sudahlah, sebagai gan-tinya kan ada aku yang menjadi
kakakmu ! Biarlah aku menggantikan mereka, menggantikan ayahmu, ibumu, saudaramu !"
Cui Hiang memandang wajah yang tampan itu, "Hai - twako, mungkin engkau bisa
menggantikan ayah angkatku, akan tetapi mana mungkin engkau menggantikan tempat
ibu angkatku dan adikku laki - laki yang masih kecil ?" katanya sambil ter-senyum.
"Siapa bilang tidak bisa ?" A - hai lalu bangkit berdiri dan bergaya sebagai
seorang wanita, berlenggak - lenggok dan mukanya dimanis - maniskan
lalu bicara dengan suara dikecilkan, "Cui Hiang,
anakku yang baik, apakah engkau sudah ma-
kan ?" Melihat gaya itu, Cui Hiang tertawa geli dan lupa akan kedukaannya.
A - hai menghentikan gayanya dan tertawa pu-la. "Nah, apakah tidak pantas aku
menjadi ibu-mu " Sekarang menjadi adikmu." Dan diapun ber-gaya lagi, dengan sikap
kekanak - kanakan sehing-ga nampak lucu seperti monyet menari. Suaranya dibikin pelo seperti suara
anak kecil, "Enci Hiang sekalang aku minta endong , minta en-
dong hu - huh " Dan dia pura - pura mau
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menangis seperti anak kecil yang manja.
Melihat ini, tawa Cui Hiang makin geli. Gi-ranglah hati A-hai dan diapun
bernyanyi, seperti nyanyian anak - anak akan tetapi kata - katanya sungguh bukan kata - kata yang
pantas dinyanyi- kan anak kecil. "Apa yang terjadipun terjadilah dewa dan iblis tak dapat mencegahnya tawa dan
tangis tak dapat merobohnya! Akan tetapi sama - sama menggerakkan mulut mengapa menangis dan tidak tertawa
saja " Tangis mengeruhkan hati dan pikiran tawa menjernihkannya!
Tangis mengundang kesedihan tawa mendatangkan kegembiraan! Tangis memperburuk
muka tawa mempercantiknya! Hentikan tangis, hayo tertawa!!"
Dan keduanya lalu tertawa-tawa dengan be-bas, merasa betapa rongga dada menjadi
longgar dan langit penuh bintang nampak indah berseri. Akan tetapi, tawa juga
mendatangkan lelah. "Aku lapar ! Cui Hiang berkata.
"Sama !" kata pula A-hai dan merekapun
tertawa lagi. "Di kebun belakang ada tanaman ubi, biar ku-ambilkan dan kita bakar," kata pula
Cui Hiang dan anak inipun berlari menuju ke ladang di bela-kang reruntuhan rumah. Ia
melupakan kesedihan-nya, bahkan melupakan hilangnya lengan kiri ke-tika dengan tangan
kanannya ia mencari dan men-dapatkan beberapa batang ubi yang segera diba-wanya kepada A -
hai sambil berlari-lari. Mereka lalu membuat api unggun dan membakar ubi itu lalu sama -
sama makan ubi. Lezat rasanya makan ubi bakar sewaktu perut lapar dan hati masih di-liputi
kegembiraan yang timbul karena percakapan tadi. Kalau pada saat itu Bwee Hong melihat kea-daan A
- hai, tentu ia akan merasa terheran - heran. Belum pernah A - hai memperlihatkan sikap seper-ti
itu, pandai bermain - main dengan anak kecil, pandai menghibur dan pandai pula melucu !
"Eh, Cui Hiang, siapakah ayah kandungmu itu " Engkau belum memberitahukan
namanya kepada-ku," tiba - tiba A - hai teringat dan bertanya. Mereka duduk menghadapi
api unggun, merasa ha-ngat dan nyaman sehabis makan ubi dan minum air.
"Menurut ayah angkatku, namanya adalah Pouw Hong!"
"Pouw Pouw Hong " Pouw Hong , hemm, aku seperti pernah mengenal nama
itu." A - hai mengerutkan alisnya dan mengerah-kan ingatannya.
Wajah Cui Hiang berseri. "Twako, engkau me-ngenal mendiang ayah kandungku itu ?"
"Entahlah, akan tetapi aku benar - benar
merasa seperti pernah mendengar nama itu, tidak
asing bagiku " Pada saat itu, Bwee Hong keluar dari dalam rumah yang sebagian besar sudah
terbakar. Meli-hat A - hai dan Cui Hiang duduk bercakap - cakap dekat api unggun, Bwee
Hong menghampiri. "A - hai, malam ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** kalau kita sudah berkumpul kembali dengan Kun-koko."
A-hai tidak membantah lagi dan merekapun memasuki bekas rumah keluarga Gan yang
sudah porak-poranda itu. A-hai rebah di atas lantai yang sudah dibersihkan. Di
bawah penerangan api yang dijaga oleh Siok Eng dan Cui Hiang. Bwee Hong mulai dengan pengobatan
itu, dengan penusukan jarum-jarum di beberapa tempat, di pelipis, tengkuk dan pundak.
Mendapatkan peng- obatan itu, A - hai merasa tubuhnya enak dan nya-man, maka diapun segera
tertidur dengan nye- nyaknya.

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada keesokan harinya, pagi - pagi sekali begitu bangun tidur, A - hai sudah
cepat - cepat mencari Cui Hiang. Bwee Hong dan Siok Eng sedang mandi di pancuran, dan Cui
Hiang sedang duduk melamun seorang diri di tepi rawa, memandang ke tengah rawa yang menjadi
sumber nafkah keluar-ga Gan selama ini.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hei, baru apa engkau " Melamun di sini!" tegurnya dan begitu melihat A - hai,
wajah gadis cilik itupun berseri dan wajah yang tadinya mu-ram menjadi terang seperti
segumpal awan tipis tertiup angin. A - hai lalu duduk di atas rumput di sebelah Cui Hiang. "Malam tadi aku bermimpi
dan aku bertemu dengan ayah kandungmu 1"
Cui Hiang tersenyum dan menyangka bah-wa A - hai menggodanya. "Ah, mana mungkin
ber-temu dengan orang yang belum kaukenal dalam mimpi, Hai - twako ?"
"Benar! Aku teringat sekarang. Dia selalu ber-sama denganku. Tidak salah lagi,
agaknya kami pernah bersahabat karib, bahkan . dia juga
tinggal di rumahku. Rumah pesanggrahan kecil
mungil di dekat sungai, di mana terdapat air
terjun yang indah itu "
Cui Hiang tetap kurang percaya dan tersenyum seperti mentertawakan orang yang
menggoda dan membohonginya ini. Melihat ini, A - hai berkata, "Engkau masih
tidak percaya kepadaku " Nah, bu-kankah ayahmu itu tubuhnya pendek bulat dan
kepalanya kecil " Dan kakinya agak timpang
dan bengkok " Maaf "
Cui Hiang terbelalak memandang wajah A - hai.
"Eh be benar " katanya. "Aku
masih ingat bahwa ayahku itu memang bertubuh pendek bulat ....... akan tetapi
aku tidak ingat lagi wajahnya. Ketika itu aku baru berusia tiga empat tahun . . . . . ."
"Ha - ha, itulah !" kata A - hai dengan gembira, "Jelas bahwa aku bersahabat
karib dengan ayah kandungmu itu. Nah, kalau begitu engkau sebut saja paman kepadaku, anggap
saja aku adik ayah kandungmu !" Cui Hiang juga menjadi gembira dan me-angguk taat. "Baiklah, paman."
"Nah, mari kita mandi."
"Di pancuran belakang rumah "
"Aku sudah tahu. Dua orang nona itupun tadi mandi di sana."
Mereka lalu berlari-lari kecil menuju ke pan-curan. Bwee Hong dan Siok Eng sudah
selesai mandi. Seperti biasa, sebelum mandi pagi, Cui Hiang berlatih silat. "Ayah
angkatku selalu meng- haruskan aku berlatih silat sebelum mandi pagi," katanya. "Dan aku ingin mencoba
apakah dengan satu tangan saja aku masih bisa berlatih silat."
Akan tetapi saat itu di dalam suara Cui Hiang tidak terkandung kesedihan dan
iapun segera ber-silat dengan sebelah tangan. Tentu saja kaku gerakannya, karena di bagian
gerakan tangan kiri, ia harus berhenti sebentar dan hanya membayangkan saja tangannya itu
bergerak, memukul, menangkis atau mencengkeram. A - hai diam - diam menga-mati gerakan anak itu dan
hatinya terharu. Tanpa disadarinya, kini dia dapat meneliti ilmu silat de-ngan baiknya
seolah - olah dia seorang ahli silat yang pandai! Di luar kesadarannya bahwa telah terjadi
perobahan lagi pada ingatannya, A - hai ber diri dan mendekati Cui Hiang yang sedang ber-latih itu.
"Cui Hiang, langkahmu itu lemah dan gerakan tangan kananmu itupun salah. Wah,
ilmu silatmu itu hanya baik untuk pamer saja, hanya kelihatan-nya saja bagus akan
tetapi tidak ada gunanya untuk menghadapi lawan. Mari sini, kuajari engkau il-mu silat yang lebih
berguna bagimu." Karena menduga bahwa penolongnya ini seorang ahli, seorang pendekar yang berilmu
tinggi seperti juga dua orang gadis pendekar tu, Cui Hiang menjadi girang sekali.
Memang tadi ia ber- latih silat dengan suatu niat di hatinya, yaitu untuk memancing perhatian A-hai
karena ia sudah ber-niat minta diajari ilmu silat. Ia harus pandai ilmu silat agar kelak ia
dapat membalas kepada orang yang membuntungi lengan kirinya. Ia sudah tahu dari Siok Eng siapa orang
itu. San - hek - houw Si Harimau Gunung ! "Terima kasih, paman. Aku suka sekali belajar ilmu silat darimu !"
"Nah, ikuti gerakanku. Mula - mula kedua kaki dibentangkan selebar ini, tenaga
tubuh berada di tengah - tengah, seimbang, perhatian ke depan dan sikapmu kokoh
seperti benteng, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
seimbang seperti orang menunggang kuda. Nah, begitu, lalu kaki di-geser ke
depan, mula - mula yang kanan, jatuhkan perlahan saja, disusul yang kiri dan tanganmu itu begini !"
Dengan patuh Cui Hiang mengikuti gerakan A-hai. Hebatnya, A-hai dapat saja
mengajarkan ilmu silat yang cocok untuk seorang yang hanya berlengan tunggal! juga dia
memberi petunjuk tentang gerak napas sewaktu bersilat.
Akan tetapi, baru beberapa gerakan saja, gadis cilik itu sudah menjadi pening
sekali dan terhu-yung, hampir pingsan. A-hai cepat menangkap dan merangkulnya, melihat
wajah yang pucat itu. Biasanya, menghadapi peristiwa begini, A - hai yang ketolol - tololan itu
tentu akan menjadi bi- ngung. Akan tetapi sekali ini ternyata tidak. Dia bersikap tenang saja.
"Ah, aku lupa. Tenaga dalammu belum kuat untuk mempelajari ilmu silat ini. Mari
duduklah, akan kuajarkan ilmu menghimpun tenaga dalam dan akan kubantu engkau dengan
penyaluran te- naga dalam tubuhku."
A - hai lalu tanpa ragu - ragu lagi seolah - olah memang sudah pekerjaannya
sehari - hari melatih silat, duduk bersila dan diapun menyuruh Cui Hiang duduk bersila di atas
pangkuannya! De-ngan meletakkan kedua telapak tangannya, yang kiri di punggung anak itu, yang
kanan di tengkuk-nya, dia lalu berbisik - bisik memberi petunjuk agar anak itu dapat
menerima penyaluran sinkang dari tubuhnya lewat kedua telapak tangannya, dan menyalurkan seperti
yang dibisikkannya. Cui Hiang yang menaruh kepercayaan sepenuh-nya itu mentaati semua petunjuk orang
yang men-jadi gurunya. Hawa yang panas memancar dan memasuki tubuhnya. Tiba-tiba
darah mengucur keluar dari luka di pundaknya yang dibalut oleh Bwee Hong, Melihat ini,
A - hai sama sekali tidak rnenjadi gugup. Tangannya yang tadi menempel di tengkuk kini
bergerak, sebuah jari telunjuknya menekan pundak dan darah itupun berhenti me-ngucur! Secara tiba-tiba
saja A - hai menjadi se orang ahli yang bukan main lihainya.
Mereka berdua tenggelam clalam latihan itu sehingga mereka tidak tahu bahwa Bwee
Hong dan Siok Eng muncul dan memandang ke arah mereka dengan mata terbelalak penuh
rasa heran dan ka gum. "Apakah kesadarannya telah pulih kembali ?" tanya Siok Eng, berbisik penuh
harap. "Entahlah, aku belum yakin benar. Agaknya eh, lihatlah
!" ' Kedua orang dara pendekar yang lihai itu ter-kejut ketika nampak uap mengepul
dari kepala A-hai dan Cui Hiang. Uap itu makin tebal dan ber-warna putih dan merah. Kemudian
muka dan tu- buh A - hai dan Cui Hiang juga perlahan - lahan berobah, separuh merah dan
separuh putih, per- sis keadaan A-hai ketika kumat tempo hari.
"Hebat !" Bwee Hong berbisik. "Cui Hiang telah diberi pelajaran ilmu sinkang
yang amat hebat!" "Lebih hebat lagi, kenapa sekecil itu Cui Hiang sudah mampu menerimanya ?" bisik
Siok Eng yang juga merasa kagum. Mereka tetap menonton tanpa mengeluarkan suara berisik.
Lambat - laun uap di atas kepala mereka itu makin menipis, lalu lenyap. Dan A - hai
menyudahi latihannya, menyuruh Cui Hiang turun dari atas pangkuan. Keduanya lalu bangkit berdiri. A -
hai menoleh kepada dua orang dara itu dan mereka berdua segera melihat pero-bahan itu. Sikap
ketololan seperti biasa lenyap da-ri wajah tampan itu. Sikap A - hai kini tenang dan
pandang matanya penuh wibawa dan kekuatan dahsyat. Seketika timbul rasa hormat dan segan di hati kedua
orang dara itu ! "Nona berdua sudah selesai berkemas " Aku sedang berlatih dengan Cui Hiang,"
katanya so- pan dan lembut. "Saudara A - hai keh'hatannya sudah ingat kem-bali akan masa lalumu ?" tanya
Siok Eng sedang-kan Bwee Hong hanya memandang seperti orang kesima.
Mendengar pertanyaan itu, A - hai mengang-guk - angguk. "Agaknya begitulah. Akan
tetapi masih belum semua dapat kuingat. Berkat pengo-batan nona Bwee Hong yang
bijaksana, aku dapat mengingat lebih banyak tentang masa laluku. Sa-yang, aku masih belum dapat
teringat siapa kelu-argaku dan dari mana aku berasal. Aku hanya bi-sa mengingat lebih
banyak tentang ilmu silat. Ya, sekarang aku ingat bahwa memang dahulu aku dapat bermain silat."
"Saudara Thian Hai , apakah engkau sudah teringat akan nama margamu ?"
Bwee Hong bertanya dan tiba - tiba saja dara ini menyebut saudara Thian Hai,
bukan lagi A - hai KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
seperti bia-sanya. Dan agaknya pemuda itupun tidak menjadi kikuk dengan sebutan
itu. Dia memandang Wajah Bwee Hong dengan pandang yang masih sama, penuh dengan rasa
kagum, hormat dan sayang, akan tetapi sikapnya sungguh jauh berbeda dengan A - hai yang
biasa. A - hai yang biasa itu agak ke-tololan, bahkan kemanjaan. Yang sekarang ini be-nar -
benar seorang laki - laki jantan yang dewasa dan matang!
"Sayang, nona. Aku masih belum mampu mengingat nama margaku. Aku hanya lebih
banyak teringat akan ilmu silat yang pernah kupel ajari. Aku memang bisa silat "
"Bisa silat ?" Bwee Hong tersenyum. "Bukan hanya bisa, engkau malah seorang
datuk ilmu silat, seorang ahli yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dalam ilmu
silat." "Ah, nona berolok - olok."
"Tidak, aku bersungguh - sungguh. Lihat saja adik kecil ini. Kalau kelak engkau
melatihnya se-tahun saja, kami berdua ini sudah bukan tanding-annya lagi!" kata pula Bwee
Hong dengan suara serius. "Engkau sudah begini hebat, entah bagaimana pula kelihaian orang yang menjadi
gurumu, saudara Thian Hai," kata Siok Eng yang juga ikut-ikut mengganti nama A-hai
menjadi Thian Hai. Mendengar kedua orang dara itu menyebutnya Thian Hai, pemuda itu tersenyum.
"Hendaknya nona berdua jangan bersikap sungkan. Aku masih tetap A - hai bagi
kalian yang menjadi sahabat - sa-habat baikku. Aku tidak mempunyai guru, yang mengajarkan
silat kepadaku adalah ayahku sen-diri."
"Ayahmu " Siapakah ayahmu dan di manakah beliau sekarang?" Bwee Hong yang
tertarik itu cepat bertanya. "Ayahku , ayah ibuku ah, entahlah, aku sudah lupa lagi," A-hai menutupi muka de-ngan kedua telapak tangannya.
Melihat ini, Bwee Hong merasa kasihan dan ia memberi isyarat ke-pada temannya agar jangan
bertanya lagi. Semen-tara itu, melihat A - hai menutupi mukanya, Cui Hiang menghampiri dan
menyentuh lengannya. "Paman Hai, engkau kenapakah " Jangan berduka, paman "
Mendengar ini, A - hai menurunkan kedua ta-ngannya. Dia lalu memandang Cui Hiang
dan ter-senyum. "Mengapa menangis dan tidak tertawa saja ?" tiba - tiba Cui Hiang berkata,
mengutip sebaris sajak yang pernah dinyanyikan A - hai. A - hai tertawa dan memondong tubuh anak
perempuan itu ke atas dan dia melempar - lemparkan tubuh itu seperti sebuah bal ke atas,
lalu menerimanya lagi dan melemparkannya lagi. Melihat ini, Bwee Hong dan Siok Eng ikut gembira
dan setelah menerima kembali tubuh Cui Hiang, A - hai berkata, "Lihat, aku sudah tertawta,
bukan ?" Mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke arah kota raja atau ibu
kota Sian - yang di Propinsi Shen - si. Di sepanjang perjalanan, A-hai selalu mengajak Cui


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiang bergurau dan menghiburnya, juga setiap kali ada kesempatan, ia melanjutkan melatih sinkang
kepada gadis cilik itu. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di se-buah dusun kecil di lereng
bukit. Kota raja tidak begitu jauh lagi. Mereka berempat melepaskan le-lah di tepi hutan kecil.
Bwee Hong dan Siok Eng mengeluarkan buntalan yang terisi perbekalan yang mereka beli di perjalanan,
yaitu roti dan da-ging kering, sedikit bumbu dan juga arak ringan. Akan tetapi, Cui Hiang tidak
mau makan. Ia ma-lah bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju ke puncak bukit. Bwee Hong
hendak memanggil dan menegurnya, akan tetapi A - hai memberi isya-rat kepada dara itu,
kemudian diapun bangkit dan mengikuti Cui Hiang yang berjalan seperti orang kehilangan
akal menuju ke puncak bukit. Akhir-nya Cui Hiang berhenti di tepi jurang dan berdiri termenung,
memandang jauh ke bawah. "Cui Hiang, kenapa engkau tidak mau makan roti" Apakah engkau tidak suka roti"
Kalau eng-kau tidak suka, biar kucarikan binatang buruan."
Mendengar kata - kata yang begitu halus penuh kasih sayang, Cui Hiang menoleh
dan memandang wajah A - hai dengan air mata berlinang - linang, kemudian ia
menunduk. Begitu ia melihat lengan kirinya yang buntung, tangisnya meledak. Ia menubruk A-hai dan
menangis mengguguk, "Paman !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
A-hai membiarkan anak itu menangis. Dia tahu bahwa selama ini Cui Hiang menahan
- nahan tangisnya, mencoba menghibur kedukaannya. Dan kini, agaknya bendungan itu
bobol dan sebaiknya kalau gadis cilik ini menangis sepuasnya agar semua ganjalan di hati
itu dapat ikut terseret oleh arus air mata. Dia sendiri tersentuh oleh tangis Cui Hiang, Hatinya seperti diremas -
remas dan matanya sendiripun menjadi basah. Tiba - tiba saja kepalanya berdenyut
- denyut. Mata yang ta-dinya berkaca - kaca itu kini tiba - tiba bersinar dan mencorong
mengerikan. Darahnya yang mengalir keras itu seperti berkumpul di kepalanya sehingga
wajahnya berobah menjadi kemerahan. Dia me-ngepal tinju kanan sampai terdengar suara berke-
rotokan. "Jahanam yang membuntungi lenganmu itu ten-tu akan kubunuh apa bila bertemu
denganku!" katanya penuh geram, suaranya juga berobah men-jadi menggetar penuh
kemarahan. Tentu saja Cui Hiang menjadi terkejut bukan main dan ketakutan melihat perobahan
pada wa-jah dan sikap A - hai.
"Paman Hai ...... engkau kenapakah, paman" Jangan memandangku seperti itu aku
takut " A - hai terharu dan merangkulnya. Setelah di-rangkul, Cui Hiang kembali merasa
tenang. "Paman, aku ingin membunuh orang itu dengan ta-nganku sendiri. Akan tetapi
bagaimana aku dapat melawan dia dengan tanganku yang hanya sebelah ini ?"
"Jangan takut! Masih ada aku di sini !" kata A - hai geram. "Aku mempunyai ilmu
silat yang amat hebat dan yang akan kuajarkan kepadamu. Ilmu itu disebut Thai - kek Sin -
ciang. Aku perca-ya engkau akan mampu melawan dan mengalah-kannya. Akan tetapi engkau harus
lebih dahulu mematangkan tenaga sinkang yang kita latih itu. Hayo kita latihan lagi!"
Didorong semangat untuk segera dapat menga-lahkan musuh yang telah membuntungi
lengannya, kini dengan penuh semangat dan ketekunan, Cui Hiang mulai berlatih
lagi. Mereka latihan sedemi-kian tekunnya sehingga ketika Bwee Hong dan Siok Eng tiba di
situ, keduanya tidak tahu dan te-tap tenggelam dalam latihan.
Melihat betapa A - hai melatih Cui Hiang de-ngan tekunnya, dua orang gadis itu
menjadi terha-ru dan juga bersyukur bahwa anak kecil yang ber-nasib malang itu, yang
kehilangan keluarganya dan juga lengannya, telah memperoleh seorang guru yang luar biasa.
"Enci Bwee Hong, agaknya saudara Thian Hai itu sudah hampir sembuh. Perawatanmu
nampak-nya berhasil."
"Mudah - mudahan begitulah. Mudah - mudah-an dengan beberapa kali perawatan
dengan tusuk jarum dia akan sembuh sama sekali, tapi
" Bwee Hong berhenti bicara, lehernya terasa seperti tercekik. Hatinya dipenuhi
keraguan dan kekhawatiran. Ia merasa khawatir kalau yang sudah didengarnya tentang A-hai itu
ternyata benar. Bagaimana kalau ternyata kemudian seperti yang didengarnya dari tukang warung
yang terbunuh oleh para penjahat itu bahwa A - hai adalah seorang kongcu yang sudah beristeri,
bahkan mempunyai seorang anak perempuan" Kalau A-hai sudah berkeluarga, tentu ia ia
tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. Akan tetapi kalau benar dia sudah beristeri,
kenapa sampai sekarang isterinya itu tidak mencarinya "
Keraguan ini membuatnya termenung dan meli-hat perobahan pada air muka
sahabatnya itu, Siok Eng memandang dengan heran. Sahabatnya itu hampir berhasil mengobati
dan menyembuhkan A-hai, mengapa tidak nampak gembira malah se-perti orang gelisah "
"Enci Bwee Hong, engkau kenapakah ?" Bwee Hong tergagap mendengar pertanyaan
yang mengandung teguran itu. "Ah, tidak apa-apa, adik Eng
aku aku merasa kasihan kepada
anak perempuan itu !"
Siok Eng mengangguk dan memandang kepada Cui Hiang yang sedang berlatih sinkang
secara aneh bersama A - hai itu dan iapun menarik napas panjang. "Kalau dilihat,
sukar mengatakan apakah harus merasa kasihan ataukah bersyukur. Enci, banyak kejadian
di dunia ini membuktikan bahwa peristiwa yang nampaknya buruk sering kali malah mendatangkan
berkah. Coba saja lihat Cui Hiang itu. Andaikata ia tidak kematian keluarganya ke-mudian
buntung lengan kirinya, kukira belum tentu A-hai akan tergerak hatinya sehingga dia menu-runkan
ilmunya yang hebat kepada anak itu."
Bwee Hong mengangguk. "Kalau direnungkan, memang ada kenyataannya dalam kata -
katamu itu, adik Eng."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Setelah selesai berlatih, A - hai yang melihat dua orang gadis itu segera
menghampiri dan wa-jahnya berseri. "Nona Hong, agaknya kesehatanku sudah semakin baik. Aku makin
banyak dapat mengingat ilmu silatku."
Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba - tiba setelah mereka keluar dari hutan
kecil itu, nampak debu mengepul di kejauhan dan terdengar bunyi terompet. Empat orang itu
lalu bersembunyi, tidak ingin bertemu dengan pasukan yang lewat itu.
Tak lama kemudian, pasukan itupun lewat. Jumlah mereka antara dua sampai
tigaratus orang dan mereka nampak kelelahan. Dari pakaian mereka, tahulah Bwee Hong bahwa
mereka adalah pasukan pemerintah yang agaknya mengundurkan diri karena terdesak oleh
pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Wajah mereka muram, pakaian mereka kotor berdebu dan
di antara mereka terdapat orang-orang yang luka, ada yang dibalut lengan-nya, ada yang
dibalut kepalanya, ada yang pucat wajahnya dan ada yang jalannya terpincang - pin-cang. Pasukan itu
lewat dan memasuki dusun kecil yang pernah dilewati Bwee Hong dan kawan-ka-wannya, agaknya
pasukan itu hendak beristirahat di sana.
"Hemm, mereka itu pasukan pemerintah yang agaknya kalah perang. Entah apa yang
telah ter-jadi di depan," kata Bwee Hong yang nampaknya ingui sekali mengetahui. "Aku
akan menyelidiki-nya sebentar."
"Jangan, nona Hong. Biar aku saja yang melakukan penyelidikan. Mereka itu
pasukan yang kalah perang, dapat melakukan apa saja untuk melampiaskan kekesalan hati mereka
dan nona adalah seorang gadis eh, cantik
" Bwee Hong senang mendengar ini akan tetapi tentu saja. tidak dinyatakannya pada
wajahnya. Bagaimanapun juga, karena pujian atau pernyataan bahwa ia cantik itu
membuat jantungnya berdebar dan mukanya agak merah, ia cepat menutupinya dengan berkata,
"Aku dapat menyamar sebagai seorang gadis dusun.".
"Sebaiknya tidak, nona. Perajurit - perajurit itu lelah dan kesal hatinya, dalam
keadaan seperti itu mereka bisa saja mengganggu setiap orang wanita. Biar aku saja yang
pergi menyelidikinya. Akupun ingin tahu apa yang telah terjadi."
Diam - diam Bwee Hong kagum. A - hai yang sekarang ini benar - benar amat
berbeda dengan A - hai tempo hari. Kini A - hai bersikap jantan dan juga tenang dan
cerdas, seperti sikap seorang, pen-dekar tulen. Dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang sukar
untuk dibantah. Maka iapun mengangguk. "Baiklah kalau begitu."
Cui Hiang. minta kepada A - hai untuk diper-bolehkan ikut. A-hai tidak merasa
keberatan ka- rena ikutnya anak itu malah mempermudah penya-marannya sebagai seorang perantau
dan keponak-annya. Bwee Hong dan Siok Eng berjanji akan menanti di dalam hutan itu
sampai mereka kembali dari penyelidikan ke dusun.
A - hai bersama Cui Hiang lalu berangkat me-masuki dusun. Nampak pasukan yang
kepayahan itu tersebar di rumah - rumah penduduk dusun, di pelataran- pelataran,
Mereka menggeletak di ma-na-mana melepaskan lelah. Mereka minta makanan dan minuman
dari penduduk dusun itu. Pen-duduk dusun yang ketakutan itu tidak berani mem-bantah
dan sibuklah mereka hilir - mudik di jalan melayani para perajurit itu dengan makanan dan
minuman seadanya. Munculnya A - hal dan seorang anak perempu-an kecil yang buntung lengannya tidak
mencuri-gakan. Selain pasukan mengira bahwa mereka itu-pun anggauta penduduk
dusun, juga melihat seorang anak perempuan buntung lengannya adalah pemandangan biasa'di
waktu perang seperti itu. Di mana - mana terlihat orang - orang terluka dan pengungsi -
pengungsi kelaparan. A - hai yang menggandeng tangan kanan Cui Hiang, memasuki dusun itu dan tiba -
tiba saja si-kapnya berobah. Dia kelihatan seperti orang ter-mangu - mangu, memandang ke
sekitarnya, bukan kepada para perajurit, melainkan kepada rumah-rumah dan pohon-pohon di
dusun itu. Kadang-kadang dia berhenti dan termenung. Melihat ini, tentu saja Cui Hiang
merasa heran dan setelah mereka melewati sekelompok perajurit, di tempat yang sunyi, Cui Hiahg
bertanya, "Paman Hai, eng-kau kenapakah ?"
A - hai yang sedang melamun itu terkejut.
"Ehh " Aku " Tidak apa - apa, hanya aku merasa heran sekali mengapa aku seperti
pernah mengenal tempat ini. Padahal ketika kita mele-watinya aku sama sekali
tidak memperhatikannya. Kenapa sekarang aku seperti merasa bahwa tempat ini sama
sekali tidak KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
asing bagiku " Kaulihat pohon siong besar di sana itu " Aku pernah memanjat di
sana! Cuma pohon itu tidak sebesar sekarang ini.
Dan aku pernah tinggal di tempat seseorang yang letaknya di dekat pohon itu. Akan
tetapi, entah siapa aku tidak ingat lagi
" kata A - hai dengan suara lirih dan matanya
termenung meman-dang ke arah pohon itu.
Dari depan muncul beberapa orang perajurit dan seorang perwira. Agaknya mereka
itu mela- kukan tugas meronda dan meneliti keadaan. Ke-tika perwira itu melihat A - hai,
alisnya berkerut dan diapun menegur, "Hei, kenapa engkau enak-enakan saja di sini dan tidak
membantu saudara- saudara lain untuk sekedar meringankan penderi-taan pasukan kami " Apakah engkau
pemberon- tak " Atau orang yang pro kepada pemberontak ?" Perwira itu sudah meraba gagang
goloknya. Jelas-lah bahwa sekali saja A - hai mengeluarkan kata-kata atau memperlihatkan
sikap menentang, golok itu akan dicabut dan dibacokkan !
"Harap tai-ciangkun tidak salah duga," A - hai berkata, suaranya tenang saja dan
sikapnya sung-guh berbeda dari biasanya. Kalau dia masih seper-ti A - hai biasanya, tentu
dia akan marah dan me-maki - maki, A - hai tempo hari hanya menurutkan perasaannya saja.
Kinipun A - hai mendongkol, akan tetapi dia dapat mempergunakan kecerdikan-nya dan menjawab
dengan tenang. "Aku bukan pemberontak, malah aku menjadi korban perang, terpaksa
merantau kehilangan keluarga. Bahkan keponakanku ini kematian semua keluarganya dan
lengannya juga

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka oleh penjahat."
Perwira itu memandang tajam penuh selidik, akan tetapi mengangguk - angguk
percaya. "Kalau begitu, bantulah kami. Kami mencari sumber air yang berada di dusun ini,
kami perlu air untuk mandi menyegarkan badan."
Seketika A - hai teringat di mana adanya sum-ber air itu. "Mari kutunjukkan di
mana adanya sumber air itu, ciangkun."
Perwira itu lalu memanggil anak buahnya, disu-ruh mengambil bak-bak air dan
merekapun meng-ikuti A - hai dan Cui Hiang mendaki bukit. De-ngan cekatan A - hai menjadi
penunjuk jalan dan dia sama sekali tidak mencari-cari, seolah-olah. dia sudah biasa pergi ke
sumber air itu. Melihat ini, pasukan itu makin percaya bahwa A - hai ten-tulah seorang penduduk
dusun itu pula. Jalan ke sumber air itu licin dan agak sulit. Dan perwira itu girang melihat
betapa A - hai dengan cekatan dapat membantu para perajurit mengusung bak-bak air ke atas dan ternyata
bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar sekali.
"Nah, itulah sumber air yang mengalir ke du-sun. Di bawah pohon itu, ciangkun."
kata A - hai. Benar saja, di situ terdapat mata air yang deras airnya dan para perajurit
dengan gembira lalu mandi, didahului oleh sang perwira. A - hai sendiri lalu berdiri menjauh,
termangu - mangu. "Paman, apakah engkau lelah sekali " Mengapa engkau termenung lagi ?" Cui Hiang
yang memperhatikan sekali setiap gerak - gerik A - hai, men-dekat, menyentuh
tangannya dan bertanya dengan suara penuh sayang.
A-hai menarik napas panjang dan duduk di atas batu gunung, diikuti oleh Cui
Hiang yang duduk di sampingnya. Para perajurit tentu akan mengira pemuda ini mengaso karena
lelah. "Tidak, Cui Hiang, aku. tidak lelah. Aku sedang berusaha mengumpulkan ingatanku.
Aku sungguh telah mengenal daerah ini dengan baik. Rasanya aku pernah menolong seorang kawan
wanita yang di-larikan orang ke tempat ini. Orang itu adalah adik seperguruanku sendiri
yang murtad. Eh benar begitu, aku ingat sekarang. Benar! Aku mem-punyai seorang saudara
seperguruan yang kelaku-annya jelek, suka menghina wanita. Tapi ilmu si-latnya amat lihai.
Untung ayahku siang - siang su-dah melihat keburukan wataknya itu sehingga ilmu silat simpanan
keluarga tidak diajarkan kepadanya. Agaknya suteku itu pun merasakan hal ini. Dia minggat
meninggalkan ayah, tapi ayah diam saja. Bagaimanapun juga, ketika mendengar bahwa suteku itu melakukan kejahatan -
kejahatan di luar, ayah menjadi marah. Akan tetapi ayahku telah bersumpah tidak akan
keluar dari daerah pertapaannya, maka dia lalu lalu wah, aku lupa lagi ."
Cui Hiang yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, kini tersenyum. "Paman,
tidak sukar melanjutkan ceritamu itu. Aku dapat menebaknya. Ayahmu tentu mengutus
paman untuk pergi mencari adik seperguruan paman itu. Di jalan
agaknya paman berkenalan dengan
seorang wanita yang kemudian menjadi kawan. Lalu pada suatu hari kawanmu diculik
oleh sutemu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu. Bukankah begitu " Lalu paman mengejarnya dan
paman lalu menghajarnya habis-
habisan di sini, di tem-pat ini! Benarkah begitu ?"
Wajah A - hai berseri gembira dan dia menepuk pahanya sendiri. "Benar sekali!
Engkau benar. Kami berkelahi dengan sengit, di
di lereng sana itu !" A - hai menudingkan
telunjuknya ke arah lereng di sebelah. "Adikku itu sungguh bertambah lihai bukan
main setelah berkelana di dunia luar. Dan hebatnya, dia dapat pula memain-kan beberapa ilmu
silat simpanan keluarga kami. Agaknya dia telah mencuri lihat ketika aku berla-tih. Mari, kita
melihat tempat kami bertempur dahulu. Kalau tidak salah, di sana terdapat ba-nyak bekas - bekas
perkelahian kami." Mereka berlari - lari ke arah lereng itu. Ternya-ta tempat itu adalah sebuah
lereng datar di mana terdapat banyak batu - batu besar. Seperti orang yang sudah hafal akan
tempat itu dan keadaannya, A - hai menghampiri sebuah batu besar dan ber-kata, "Lihat batu ini!
Aku terjatuh ke sini ketika terkena pukulan pada pahaku. Ketika aku terlen-tang di batu ini,
suteku melancarkan pukulan-pu-kulan maut yang dapat kuelakkan dan pukulannya itu mengenai batu ini.
Lihat!" Cui Hiang memandang dan mulutnya ternga-nga keheranan melihat bekas - bekas di
atas permu-kaan batu itu. Bekas - bekas itu tidak menyerupai bentuk jari tangan,
melainkan seperti tapak kaki anjing atau kucing, dan dalamnya ada lima senti! "Paman, kenapa
pukulan tangan macamnya seperti ini ?" Cui Hiang bertanya heran.
A-hai tersenyum. "Itu adalah bekas jari-jari tangan yang disatukan membentuk
paruh burung. Itulah pukulan sakti pemutus urat dari ilmu kelu-argaku, disebut Thai -
kek Sin - ciang. Apa lagi kalau dilontarkan dengan tenaga sinkang Merah Putih seperti yang
kaupelajari, akibat pukulan itu hebat bukan main. Untung bagiku bahwa suteku itu tidak mempelajari
sinkang itu." "Bukan main hebatnya
" Cui Hiang membelalakkan matanya dan memandang ngeri.
"Ini masih belum seberapa. Ada ilmu andalan keluargaku yang disebut Thai - lek
Pek-kong- ciang, lebih hebat lagi!"
"Wah, Thai - kek Sin - ciang itu masih ada yang lebih hebat lagi ?"
"Ya, Thai - lek Pek - kong - ciang adalah ilmu yang dilakukan dengan Khong - sin
- kang, yaitu Tenaga Sakti Kosong!"
"Eh " Tenaga kosong " Bagaimana itu, pa-man ?"
"Hanya keturunan langsung saja yang bertulang baik diwarisi ilmu mujijat ini.
Tenaga Sakti Ko-song adalah tenaga sakti yang benar - benar kosong sehingga tidak dapat
dirasakan oleh panca indera. Tanpa mengandung hembusan angin sedikitpun se-hingga apa bila
dipukulkan kepada segumpal ka-pas yang ringan sekalipun, kapas itu tidak akan bergoyang.
Padahal tenaga ini mempunyai daya yang amat hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia ini.
Yang nampak kosong itu sesungguhnya penuh, dan yang kosong itu lebih kuat dari pada yang
isi. Ruangan di jagad raya inipun kosong dan yang isi hanya merupakan bagian saja dari pada
kekosongan luas itu. Seperti juga suara hanya me-rupakan sebagian kecil dari pada keheningan
yang maha luas." "Wah, aku bingung, paman. Apa sih artinya semua itu ?"
A-hai tersenyum dan bergurau. "Jangankan engkau, aku sendiripun bingung kalau
sudah bicara tentang filsafat kekosongan. Mungkin hanya omong kosong belaka ! Kembali
kepada ilmu itu, sesungguhnya amat hebat. Tergantung dari besar kecilnya tenaga lawan. Kalau
lawan bertenaga besar, maka tenaga itu otomatis menjadi lebih be-sar lagi. Kalau lawan
bertenaga kecil, tenaga Khong - sin - kang itupun menjadi kecil, hanya le-bih besar sedikit
sekedar untuk melebihi lawan. Kalau tidak menemui lawan, tenaga itupun tidak nampak sama sekali, tidak
ada pengaruhnya sama sekali seperti udara hampa. Itulah sebabnya dina-makan Tenaga
Sakti Kosong. Tenaga ini tidak dapat dipergunakan untuk melukai atau menyerang orang,
melainkan menerima dan membalikkan se-rangan orang lain saja."
Cui Hiang terbelalak heran dan bingung. "Apakah apakah paman sudah menguasai
ilmu aneh ini ?" "Tentu saja. Aku adalah keturunan tunggal yang terakhir dari keluargaku. Ayahku
bilang bah-wa aku memiliki bakat yang lebih baik dari ayah atau bahkan dari kakek -
kakekku, jadi aku berhak mempelajarinya."
"Kalau begitu maukah paman memperlihatkan ilmu itu kepadaku " Aku ingin sekali
menyaksikannya." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Baiklah, agar engkau mengenal ilmu simpanan keluargaku. Nah, bersiaplah, aku
memukulmu de-ngan Tenaga Sakti Kosong !" kata A - hai. Dia berdiri lurus dengan
kedua kaki dirapatkan. Tidak terjadi keanehan apa - apa, tidak ada pembahan wajahnya, tidak
ada suara, bahkan tidak ada sedi-kitpun angin menyambar ketika dia menekuk se-dikit
lututnya dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah Cui Hiang. Perlahan sekali, gerakan itu,
seolah-olah dia hanya mengulurkan tangan kepada Cui Hiang. Tidak terasa apapun oleh Cui Hiang,
bahkan rambut anak itupun tidak sampai bergerak. Tentu saja Cui Hiang menjadi terheran-heran.
Tadinya ia bersiap menyambut serangan orang yang tanpa upacara telah menjadi gurunya itu
akan tetapi karena ternyata pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, iapun termangu - ma-
ngu dengan heran. Disangkanya bahwa A - hai ra-gu - ragu untuk menyerangnya, takut kalau ia
ter-luka. "Mari, paman, cepat menyerang. Aku sudah siap menyambut. Kenapa paman tidak
melanjut- kan ?""Anak bodoh, aku. sudah memukulmu sejak tadi. Inilah maka ilmu ini
dinamakan Tenaga Sak-ti Kosong. Engkau memang tidak merasakan apa-apa, karena engkau tidak
mengerahkan tenagamu. Coba engkau menangkis, tentu engkau akan meli-hat buktinya."
Tentu saja Cui Hiang menjadi penasaran. Ten-tu A-hai telah mempermainkannya.
Mana mung-kin serangan itu sudah dilakukan kalau ia tidak merasakan apa - apa "
Kenapa yang begini dina-makan ilmu yang hebat " Dengan alis berkerut karena mengira dipermainkan ia
menepiskan ta-ngannya ke arah A - hai dan bermaksud untuk menjauhkan diri. Akan tetapi, apa
yang terjadi " Ketika ia menepiskan tangannya, tiba-tiba saja dirinya didorong oleh tenaga luar
biasa yang mem- buatnya terjungkal ke belakang !
Cui Hiang bangkit dan matanya terbelalak ke-takutan. Tubuhnya terasa lemas
seperti baru saja dilanda angin yang amat kuat.
"Paman , apa yang kaulakukan ?" A-hai tersenyum dan mengulurkan tangan, membantu gadis kecil itu bangun. "Nah,
engkau sudah merasakan sekarang " Kalau tangkisanmu tadi lebih kuat, engkaupun akan
lebih keras ter- banting. Ilmu ini hebat karena tak dapat dirasakan, di situlah letak
keampuhannya. Dengan ilmu
ini-lah maka di jaman dahulu terdapat dongeng - do-ngeng yang aneh, di mana
seorang sakti sendirian saja mampu menghancurkan sebuah kerajaan yang mempunyai pasukan
laksaan orang. Dan ini pula sebabnya mengapa di jaman dahulu terdapat do-ngeng akan kesaktian
manusia yang seperti dewa." "Hebat !" Cui Hiang kagum sekali. "Oya ...... setelah paman berkelahi melawan
sute paman itu lalu bagaimana ?"
"Adikku benar - benar hebat kepandaiannya. Aku hampir terbunuh olehnya. Ilmu
silatnya seperti iblis, kecepatannya seperti setan. Akan teta-pi setelah aku
mempergunakan ilmu simpanan
ke-luargaku, barulah dia kewalahan. Dia jatuh ba-ngun melawan Khong-sin-kang
yang kupergunakan untuk Ilmu Thai - lek Pek - kong - ciang. Tubuh-nya yang kebal itu
akhirnya terluka dan dia dapat kuringkus dan kubawa menghadap ayahku."
"Wah, hebat sekali cerita itu, paman. Lalu ba-gaimana jadinya dengan wanita
sahabatmu itu, paman ?" tanya Cui Hiang tertarik.
"Tentu saja ia menjadi isteri Souw - kongcu. Masa hal itu perlu ditanyakan
lagi"' tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang la-ki - laki tua yang tergopoh -
gopoh menghampiri mereka. Laki - laki tua yang kurus ini dengan wa-jah berseri - seri memandang
kepada A - hai. "Souw - kongcu ! Telah sepuluh tahun kita ti-dak saling bertemu. Apakah kongcu
baik-bauk saja " Kenapa lama benar tidak berkunjung ke si-ni " Dan bagaimana dengan
puterimu yang mu- ngil itu " Tentu sudah besar sekarang," Berkata demikian, kakek itu melirik ke
arah gadis kecil berlengan buntung sebelah dengan ragu - ragu.
A - hai bengong memandang kepada kakek itu. Lagi - lagi ada orang yang
menyebutnya kongcu, seorang tuan muda she Souw ! Benarkah dia seorang she Souw " Akan tetapi
kenapa dia tidak me-ngenal kakek ini sama sekali " Secara tak terduga-duga, proses


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyembuhannya berjalan dengan cepat, akan tetapi ternyata masih banyak hal-hal lalu yang sama
sekali tidak diingatnya, agaknya termasuk orang tua ini. Siapakah kakek ini " Nam-paknya
orang ini selain sangat mengenalnya, juga sangat menghormatnya. Telah dua orang bersama tukang
warung itu yang mengenalnya sebagai se-orang kongcu yang telah mempunyai isteri dan anak.
Kalau benar KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
demikian, di manakah adanya isterinya dan anaknya itu " Dan di mana pula
rumahnya " Hatinya terguncang keras dan biarpun dia belum yakin benar bahwa dia memang Souw-kongcu,
melihat ada orang yang mengenalnya, dia lalu menangkap tangan kakek itu.
"Lopek, katakanlah. Apakah wajahku benar-benar wajah Souw - kongcu seperti yang
kaukenal itu " Benarkah " Lalu
lalu di manakah tinggalnya Souw - kongcu ?"
Kakek itu terbelalak kebingungan. "Eh, bagai-mana ini " Souw - kongcu, apakah
yang telah ter-jadi denganmu sehingga sikapmu seaneh ini ?"
"Lopek, maafkanlah aku. Aku sendiri tidak tahu betul siapa sebenarnya aku ini,
apakah Souw-kongcu ataukah orang lain. Ketahuilah, aku telah terserang penyakit
sehingga aku lupa segala - galanya tentang masa laluku. Justeru sekarang ini aku sedang melakukan
penyelidikan untuk dapat mengingat kembali masa laluku, Tempat ini kukenal baik akan tetapi
maaf, aku lupa sama sekali kepadamu, tidak mengenal wajahmu."
Kakek itu mengangguk - angguk dan memandang dengan sinar mata menaruh kasihan.
"Ah... kiranya begitu " Souw - kongcu, aku adalah kepala kampung di dusun ini.
Tentu saja aku sangat mengenalmu karena engkau telah menikah dengan puteri angkatku sendiri.
Aku adalah mertua angkatmu sendiri, kongcu. Marilah ikut aku ke rumahku dan aku akan
menceritakan segalanya dan kongcu akan dapat melihat gambar - gambar lama. Mudah - mudahan
kongcu akan dapat teringat lagi akan semua masa lalumu. Marilah
" Pada saat itu nampak beberapa orang perajurit menghampiri tempat itu. "Nah. itu
dia di sana! Hei, monyet. Kenapa kau pergi tanpa pamit " Mau lari, ya"' Hayo, bantu
kami mengangkut bak air itu turun. Komandan kami perlu air untuk mandi'"
"'Wah, ini kepala kampung di sini pula!", tegur seorang lain di antara mereka.
"Kenapa engkau di sini " Kenapa engkau meninggalkan komandan kami di rumahmu sendirian
saja" Apakah engkau tidak suka kepada kami para perajurit kerajaan ya " Mau berontak,
ya " Mau jadi kaki tangan pemberontak asing ?"
Kakek kepala kampung; itu menjawab halus, "Saya tidak berniat buruk. Saya hanya
ingin mem-buktikan laporan orang bahwa ada beberapa orang perajurit menawan rakyatku.
Maka saya mengikuti kalian sampai ke sini. Dan ternyata orang - orang-ku ini hanya kalian
mintai bantuan mencari sum-ber air."
"Wah, kaukira perajurit - perajurit kerajaan adalah perajurit brengsek yang suka
mengganggu rakyat, ya " Gila kau. Hayo pulang ke rumahmu lagi. Komandan kami
ingin sekali mandi secepat-nya dan kita bisa didamprat kalau terlambat."
Kepala kampung memberi isyarat agar A - hai menurut saja. Mereka lalu turun dari
tempat itu dan A - hai membantu mereka memikul bak air ke rumah si kepala kampung di
mana sang komandan sudah menunggu, dengan baju atas terbuka. Nam-paklah dadanya yang
bidang berbulu dan menye-ramkan. "Kenapa lama benar kalian " Ingin dihukum cambuk, ya ?" bentaknya marah. Tentu
saja para anak buahnya menjadi ketakutan dan mereka ce-pat mempersiapkan segalanya
untuk sang koman-dan yang kegerahan dan ingin mandi itu. Sebelum menuju ke tempat mandi,
komandan itu berteriak ke arah kepala kampung, "Siapkan makanan enak untukku. Carikan ayam
gemuk dan masak yang enak !" Si kepala kampung hanya mengangguk lalu me-merintahkan orang - orangnya untuk
mempersiap-kan permintaan sang komandan. "Inilah akibatnya perang," katanya
lirih kepada A - hai. "Kalah atau menang, tetap saja rakyat yang menderita akibat-nya. Penindasan
selalu terjadi dengan sewenang-wenang, Tentu saja, kadarnya yang berbeda. Di bawah telapak kaki
musuh, tentu lebih hebat dan lebih celaka."
A - hai mengangguk. Teringat dia akan keadaan para penduduk dusun yang kelaparan
dan terpak-sa lari mengungsi. Dan kini penduduk dusun itu dipaksa melayani para
perajurit dan mengeluarkan seluruh miliknya untuk menyenangkan para pera-jurit agar mereka
tidak mengamuk dan menghu-kum para penduduk yang dapat dituduh sebagai berpihak kepada musuh
atau pemberontak. Sete-lah selesai membantu para perajurit, A - hai dan Cui Hiang
lalu diajak masuk oleh kepala kampung. Mereka memasuki rumah melalui pintu samping dan memasuki
bangunan samping di mana tuan rumah biasa minum teh dan membaca kitab.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
(Bersambung jilid ke XXVIII.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXVIII KETIKA mereka memasuki ruangan di ma?a tergantung sebuah lukisan besar seorang
wanita yang berpakaian puteri istana, A - hai ber-lari menghampiri dan berdiri
memandang gambar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Cui Hiang juga berdiri mendekat dan gadis
cilik ini terkejut sekali melihat betapa gambar wanita itu wajahnya persis wajah Bwee
Hong. Gambar wani-ta ini nampak lebih agung dan anggun, mungkin karena pakaiannya seperti
puteri istana. Akan te-tapi wajahnya sungguh mirip sekali wajah Bwee Hong.
A - hai berdiri memandang dengan peluh bercucuran. Jelas dia nampak amat
terpengaruh oleh gambar itu, dan keharuan membayang di wajahnya. "Lopek siapa ......
siapakah wanita dalam gambar ini " Aku seperti sudah sangat mengenalnya
aku merasa sangat dekat dengan wanita ini, akan tetapi ...... aku lupa lagi siapakah ia
" "Wanita ini adalah puteri angkatku sendiri, isteri dari
Souw - kongcu." "Hahhh ......" Isteri ...... Souw - kongcu" Dan
kalau aku Souw-kongcu ia isteriku ?" "Benar, itulah gambar puteri angkatku."
"Akan tetapi kalau ia puteri kakek, kenapa ia mengenakan pakaian seorang puteri
istana ?" tiba-tiba Cui Hiang bertanya. Gadis cilik ini sudah "pernah" melihat gambar
puteri istana, maka ia me-nyatakan keheranannya.
Kakek itu tertegun sebentar dan mukanya men-jadi kemerahan. Mendengar pertanyaan
yang dia-jukan Cui Hiang, A-hai juga memandang kakek itu. "Memang aneh sekali kalau
engkau mempu-nyai anak berpakaian seperti itu, lopek, dan aku .... mana mungkin aku
mempunyai isteri puteri ista-na ?" A - hai juga bertanya, mendesak. Siapa tahu penjelasan kakek
ini akan merupakan kunci pem-buka rahasia masa lalunya yang dilupakannya.
Kakek itu menarik napas panjang, setelah ter-menung sejenak lalu berkata,
"Mendiang isteriku adalah bekas selir kaisar. Belum lama menjadi is-teriku, ketika pada
suatu hari kaisar dalam peran-tauannya lewat di dusun kami, beliau tertarik ke-pada isteriku dan
direbutnya kekasihku dari ta-nganku, dan dibawa ke istana. Aku tidak bisa ber-buat apa -
apa. Setelah kekasihku itu mempunyai anak, ia dan anaknya dikembalikan kepadaku dan anak itu
dibesarkan di istana. Jadi sebenarnya, puteri angkatku itu adalah anak isteriku dan kaisar."
"Ahh maafkan aku, kek " Cui Hiang berkata menyesal telah mengajukan pertanyaan
tadi. "Tidak apa. Peristiwa itu sudah lama berlalu, isteriku telah meninggal
dunia. Mari kuperlihatkan sebuah gambar lagi."
Cui Hiang menahan teriakan heran ketika me-lihat gambar besar itu. Jelas bahwa
pria gagah yang berpakaian sasterawan dan memegang ken-dali kuda putih mulus itu adalah A -
hai! Dan di atas pelana kuda duduk seorang anak perempuan yang tersenyum manis sambil
memeluk sebuah bo-neka indah berupa seorang puteri istana, terbuat dari pada batu giok.
A - hai sendiri memandang lukisan itu seperti berobah menjadi patung, kemudian
dia melangkah maju mendekati gambar, tangannya terjulur ke depan, gemetar. "Bukankah
bukankah ini gambarku ?" teriaknya. "Dan ini
boneka ini. . . . . . " Suaranya gemetar dan
tangannya merogoh ke dalam buntalannya. Dikeluarkannya sebuah boneka batu giok
yang ternyata persis dengan bo-neka yang dibawa anak perempuan dalam lukisan itu.
Kini kakek itu yang memandang kaget. "Ah, boneka itu
boneka itu adalah hadiah dari
Souw-kongcu untuk cucuku itu, pada hari ulang tahunnya. Kenapa sekarang
kaubawa " Di mana- kah cucuku itu ?" "Lopek, sudah kukatakan bahwa aku lupa akan masa laluku. Boneka ini kutemukan di
rumah Gu-lojin, sebuah rumah tua di luar dusun yang sunyi. Di sana pula untuk pertama
kalinya aku mende-ngar tentang Souw - kongcu itu. Ketika pertama kali melihat patung ini,
aku terkesan dan dan nama yang terukir pada boneka ini "
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Lian Cu " Itulah nama cucuku
dan Gu-lojin yang kongcu sebut itu, bukankah dia
seorang pelukis yang hidup menyendiri ?"
"Benar " "Dia adalah kakakku sendiri, kongcu." Kakek itu nampak terharu sekali. "Kakakku
bernama Gu-Toan dan aku sendiri bernama Gu Tek. Anak angkatku itu, yang sebenarnya
puteri kaisar dan isteriku, bernama Gu Yan Kim
dan cucuku bernama Lian Cu, Souw Lian Cu."
A - hai mendengarkan semua ini seperti dalam mimpi. Kemudian dia menarik napas
panjang. "Agaknya aku memang benar-benar Souw-kongcu seperti dugaan paman itu. Aku
juga mahir ilmu silat tinggi, biarpun entah karena apa aku telah lupa sebagian
dari ilmu itu, dan lupa akan masa laluku sama sekali, lupa akan keluargaku "
Tiba - tiba kepala kampung itu memandang de-ngan wajah berseri. "Aku ingat akan
adanya suatu tanda untuk meyakinkan apakah kongcu benar-be-nar Souw - kongcu atau
bukan." "Benarkah itu " Bagaimanakah maksudnya ?" teriak A-hai sambil mencengkeram
tangan kakek itu sehingga kakek itu meringis kesakitan. A - hai cepat melepaskan
cengkeramannya dan kakek itu tersenyum. "Karena aku beruntung mempunyai mantu seorang keturunan keluarga Souw, maka aku
tahu akan rahasia keluarga itu. Sejak turun - temurun, keluarga Souw adalah
keluarga pendekar yang memiliki ilmu silat maha hebat! Dan sebagai tan-da pengenal, semua anak
keturunan mereka diberi tanda merupakan bekas luka jahitan yang meman-jang dari ubun - ubun
sampai ke belakang kepala dekat tengkuk. Selain luka jahitan memanjang ini, juga luka
akibat totokan dari ciri perguruan keluar-ga sakti itu pada sebelah tulang punggung di ka-nan kiri,
tepat di bawah pinggang. Setiap bay'i keturunan mereka, setelah berusia satu tahun, ten-tu
mendapat tanda itu. Aku sebagai kakek Lian Cu diberi tahu dan ternyata tanda itu bukanlah sekedar
tanda belaka, melainkan ada hubungannya dengan ilmu mereka. Semua itu dimaksudkan un-tuk
membuka jalan darah penting di tubuh anak itu agar setelah besar nanti sudah siap untuk mene-
rima pelajaran ilmu keturunan mereka yang hebat. Tanpa dilakukan pembedahan pada kepala dan
totokan di pinggang itu sewaktu masih bayi, tidak mungkin mereka dapat melatih ilmu mujijat
ketu-runan keluarga itu. Bagaimana jelasnya tentang ilmu itu, tentu saja aku tidak
mengerti." A-hai mendengarkan dengan terheran - heran.
"Luka bekas jahitan dan
bekas totokan " Apakah itu ?"
"Aku pernah melihatnya sendiri ketika cucuku Lian Cu menjalani upacara keluarga
itu setelah berusia setahun. Mula - mula di pinggangnya, se-belah kanan dan kiri
tulang punggung, ditotok dan daging di bagian itu menjadi hangus melepuh se-perti dibakar.


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah sembuh, bekas totokan itu meninggalkan bekas dengan nyata. Kemudian, ku-lit kepala bayi itu
diiris dengan ujung pedang, membujur dari ubun - ubun sampai ke tengkuk. Entah apa yang mereka
lakukan setelah kulit kepa-. la dibuka karena aku sendiri tidak tega untuk me-nonton terus.
Kemudian kulit itu dijahit kembali dan setelah sembuh meninggalkan bekas luka me-manjang. Nah,
demikianlah. Maka untuk menen-tukan apakah kongcu keturunan keluarga Souw atau bukan, amatlah
mudah. Selain tanda - tanda di badan yang tidak nampak dari luar itu, juga semua
keturunan keluarga Souw memakai sebuah cincin batu giok yang ada huruf Souw diukir di situ."
A-hai mendengarkan dengan bengong. Oto-matis, matanya mengerling ke arah jari -
jari ta- ngannya dan dia merasa kecewa tidak melihat sebuah cincinpun di jari tangannya.
Apa lagi cincin batu giok yang diukir huruf Souw, bahkan cincin kuninganpun tak pernah dia
memakainya. Kemu- dian, lengannya bergerak dan tangannya merayap menuju ke pinggangnya di
belakang, meraba - raba dan mencari - cari tanda di kanan kiri tulang pung-gung seperti yang
diceritakan oleh kakek itu. Akan tetapi, alisnya berkerut dan kembali dia merasa kecewa karena
tangannya tidak merasakan adanya bekas luka-luka akibat totokan yang membakar itu. Dengan
penasaran dia lalu meraba-raba ke-palanya, jari - jari tangannya menyusup ke bawah rambutnya yang
tebal, mencari - cari luka bekas jahitan yang menjadi ciri khas keturunan keluarga Souw.
Kakek Gu Tek menanti dengan wajah tegang, sedangkan Cui Hiang juga ikut-ikutan
meraba- raba kepalanya sendiri di bawah rambut karena ia merasa amat tertarik oleh
cerita aneh kakek kepala kampung itu. Selagi A - hai sibuk mencari - cari di bawah rambutnya, Cui
Hiang berteriak membuat keduanya terkejut.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Haiii ! Kepalaku ! Di kepalaku juga ada bekas luka memanjang dari depan ke be-
lakang ! Lihatlah ini, kek !" Gadis cilik itu berseru gembira sambil menyodorkan
kepalanya yang ke-cil itu ke arah kakek kepala kampung. Tentu saja kakek yang tadinya bersikap
tegang itu kini tersenyum geli. Ada - ada saja ulah gadis cilik yang buntung lengan kirinya ini,
pikirnya. "Aih, nona, jangan main - main. Nona menge-jutkan saja. Sungguh lucu kau ini,
dan ada - ada saja. Mana bisa nona mempunyai ciri tanda itu " Apa hubunganmu dengan
keluarga Souw " Ha-ha, kalau toh ada bekas luka di kepalamu, kiranya itu tentu hanya akibat
pukulan dengan sendok nasi atau sumpit oleh ibumu karena kenakalanmu." Kakek itu tertawa geli
sampai terguncang perut-nya, bukan untuk menghina atau mentertawakan, melainkan karena
benar - benar merasa lucu sete-lah dicekam ketegangan tadi.
Akan tetapi Cui Hiang tidak ikut ketawa, malah matanya melotot. "Kek
, tapi di kepalaku benar - benar ada bekas luka yang memanjang ! Coba saja kauraba sendiri, panjang
bersambung dari muka ke belakang !" Suaranya mengandung rasa penasaran sehingga menarik
perhatian kakek itu. Kakek Gu Tek masih menahan ketawa dan ter-senyum lebar ketika terpaksa
meluluskan permin-taan Cui Hiang. Jari - jari tangannya meraba se-kenanya saja ke arah
kepala anak itu, hanya untuk memberi kepuasan saja. Akan tetapi, tiba - tiba se-nyumnya sedikit
demi sedikit menghilang dari pa-ras mukanya, dan kini wajahnya dibayangi kehe-ranan yang
besar, matanya terbelalak. Jari-jari tangannya kini meraba - raba dan jelas terasa oleh ujung
jari-jarinya adanya bekas luka memanjang dari ubun-ubun sampai ke tengkuk. Cepat dia menyibakkan
rambut yang hitam itu dan alang-kah kagetnya ketika di situ dia benar - benar meli-hat tanda
luka bekas jahitan ! "Kau kau ...... siapa ?" Akhirnya kakek itu bertanya dengan suara gemetar, dan
ta-ngannya yang agak menggigil itu kini meraba ping-gang. Cui Hiang
mendiamkannya saja ketika
ba-junya disibakkan agar kakek itu dapat memeriksa punggungnya. Dan kakek Gu Tek
semakin terbe-lalak ketika melihat betapa di kanan kiri pinggang gadis cilik itu benar-
benar nampak adanya bekas totokan yang mirip jejak kaki kucing itu.
"Kau ....... engkau benar-benar keturunan keluarga Souw " teriaknya dengan muka
berubah agak pucat. "Hemm " Tiba - tiba A - hai berseru lirih.
"Lopek, di kepalaku juga seperti ada bekas jahitan, akan tetapi hanya pendek
saja, tidak sampai ke ubun-ubun dan tengkuk."
"Ah, mana mungkin, kongcu " Maaf, biarkan aku memeriksanya!" Dengan hati
penasaran ka- kek itu lalu memeriksa kepala dan pinggang A-hai. Semakin penasaran hatinya
ketika menemukan bahwa memang benar di kepala A - hai ada tanda jahitan itu, akan tetapi tidak
begitu panjang seperti tanda pada kepala Cui Hiang, bahkan tanda pada pinggangnya juga tidak
sedalam dan sejelas seperti yang terdapat pada pinggang anak perempuan itu.
Biarpun demikian, jelas bahwa tanda - tanda itu ada pada A - hai, maka kakek itu
menjadi girang sekali. Dirangkulnya pemuda itu dengan hati terharu. "Engkau benar Souw-
kongcu ah, Souw - kongcu betapa girang hatiku
" A - hai bersikap tenang. Bagaimanapun juga, semua ini belum meyakinkan hatinya
karena ingat-annya belum pulih. "Lopek, harap maafkan aku. Sekarang aku baru dapat
teringat sebagian - sebagian, dan aku sedang dalam pengobatan. Mudah-mudahan tak lama lagi aku akan
dapat teringat semuanya. Aku sendiri juga mulai agak yakin bah-wa aku sebenarnya
adalah orang she Souw, mantu-mu. Akan tetapi harap jangan bertanya apa - apa tentang masa laluku.
Aku belum ingat semua itu bahkan aku belum ingat tentang keluargaku. Tidak ada sedikitpun
yang kuingat tentang isteri atau anakku. Bahkan setelah berhadapan dengan lo-pek sendiri yang
agaknya tidak salah lagi tentulah ayah mertuaku, akan tetapi aku sama sekali tidak ingat dan
tidak mengenal wajah lopek. Maafkan-lah dan harap lopek bersabar sampai aku memper-oleh kembali
ingatanku." Dengan wajah sedih kakek Gu Tek hanya mengangguk - angguk. Kini A - hai menoleh
kepa- da Cui Hiang. Sama sekali tidak pernah disangka-nya ada hal yang begini
kebetulan. Dia merasa kasihan kepada Cui Hiang dan mengajaknya hidup bersama, bahkan telah menurunkan
ilmu silatnya yang dia tidak tahu betul adalah ilmu simpanan keluarganya dan siapa
kira, ternyata gadis ini mem-punyai ciri - ciri keturunan keluarga Souw seperti yang dituturkan oleh
kakek itu ! KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Cui Hiang, jika dilihat dari adanya tanda-tanda di tubuhmu, ternyata di antara
kita masih ada hu-bungan keluarga. Entah hubungan yang bagaima na aku belum dapat
memastikannya. Mungkin antara paman dan keponakan atau antara saudari sepupu, atau bahkan
antara kakak dan adik."Cui Hiang mengangguk - angguk, menunduk dan beberapa butir air mata
menitik turun ke atas sepasang pipinya yang agak pucat. Tentu saja da-ra kecil ini merasa gembira
dan terharu sekali Pendekar yang amat dikaguminya dan disayang-nya ini masih ada hubungan
keluarga dengannya! A-hai kini menjura kepada kakek Gu Tek ke-pala kampung itu. "Lopek, tolong beri
tahu kepa-daku, di manakah tempat tinggal keluarga Souw itu " Aku harus pergi ke sana
karena aku yakin bahwa kalau aku pergi ke tempat keluarga itu, aku akan lebih mudah
mengingat masa laluku." Kakek itu mengembangkan kedua lengannya dan menggerakkan pundaknya, menarik
napas pan-jang penuh sesal. "Wah, inilah celakanya. Aku sendiri belum tahu tempat
tinggal keluarga pen-dekar itu. Keluarga Souw benar - benar merahasia-kan tempat mereka, bahkan
aku sendiri sebagai mertuanya tidak boleh tahu. Mereka tidak mau dikenal orang, tidak ingin
diganggu dengan urusan kaum persilatan. Itulah sebabnya ketika tiba-tiba mantuku dan puteriku
pergi selama sepuluh tahun dan tidak pernah datang berkunjung, aku sama se-kali tidak tahu ke
mana harus mencari mereka. Sampai - sampai isteriku, bekas selir kaisar itu, meninggal
dunia karena duka. Hanya secara sa-mar - samar aku pernah mendengar dari puteriku, bahwa tempat
tinggal mereka itu terdapat di se-buah pulau penuh bunga yang indah. Rumah mereka didirikan di
tepi sungai kecil yang airnya jernih, yang mengalir di tengah pulau kecil itu dan di
belakang rumah mereka...... terdapat sebuah air terjun yang sangat indah !" A - hai melanjutkan, seperti
dalam mimpi rasanya. "Benar !" seru kakek itu gembira. "Ah, engkau benar - benar mantuku ! Ya Tuhan,
di manakah adanya isterimu dan cucuku yang mungil itu "' Kakek itu tidak dapat
menahan runtuhnya bebera-pa butir air matanya.
A - hai tertegun dan seluruh tubuhnya terasa lemas, wajahnya membayangkan
kesedihan mendalam. "Entahlah entahlah , aku tidak ingat lagi !" katanya kecewa sekali.
Pada saat itu terdengar teriakan beberapa orang perajurit di halaman samping
rumah, "Hai, kepala kampung! Di mana engkau " Mana masakan ayam itu " Apakah sudah siap ?"
Tergopoh - gopoh kakek Gu Tek menemui ko-mandan pasukan dan menjura dengan sikap
hor-mat. "Maaf, tai - ciangkun, saya harus mencarikan ayam dulu karena kami
sendiri tidak mempunyai-nya, harap ciangkun bersabar."
Komandan itu menjadi marah dan membentak, "Hemm, jangan mempermainkan aku.
Siapkan se-cepatnya, juga untuk sore nanti karena ada seorang panglima kerajaan
yang akan datang berkunjung.'' "Baik, ciangkun." Dan kakek Gu Tek lalu mengatur orang - orangnya untuk
mempersiapkan makanan yang dipesan oleh komandan itu.
Malam itu komandan pasukan menjamu seorang panglima yang datang bersama dua
orang kakek berjubah coklat. Panglima ini adalah Lai - goan-swe dan dua orang kakek
berjubah coklat itu ada-lah dua orang tokoh Liong - i - pang, dikawal pula oleh belasan orang
perajurit pengawal. Setelah makan hidangan yang disuguhkan, panglima itu bertanya dengan suara
lantang kepada sang ko-mandan. "Ma - ciangkun, sekarang ceritakan kepadaku tentang keadaan di garis depan dan
terangkan mengapa engkau membawa sisa pasukanmu me-ninggalkan Jenderal Beng dari
daerah pertempur-an ?" Komandan pasukan itu menarik napas panjang. "Lai - goanswe, keadaan semua
pasukan kerajaan di garis depan sudah amat payah. Pasukan-pasukan pemberontak Chu Siang
Yu yang dibantu pasukan-pasukan bangsa liar sungguh terlalu amat kuat. Jumlah mereka
bertambah terus sedangkan jum-lah pasukan kita semakin berkurang tanpa adanya bala bantuan dari
kota raja. Saya membawa pasu-kan mundur sampai ke sini karena perintah lang-sung Beng -
goanswe sendiri. Beliau kini bertahan di sepanjang Sungai Ular, sedangkan kami diutus
untuk mempersiapkan jalan mundur pasukan induk. Juga kami diutus untuk mencari
tambahan ransum KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
karena persediaannya sudah menipis dan tidak per-nah ada kiriman bantuan ransum
dari kota raja Kekuatan musuh hampir tiga kali lipat jumlahnya. Jenderal Beng Tian bermaksud
untuk mengumpul-kan sisa pasukan yang ada, bertahan di benteng terakhir sampai titik
darah terakhir." "Apakah Jenderal Beng sudah mendengar bah-wa di daerah selatan dan timur juga
muncul baris-an pemberontak Liu Pang yang tidak kalah kuat-nya ?"
"Sudah, Beng - goanswe sudah mendengar be-rita itu. Hal itu pulalah yang membuat
Beng- goanswe menjadi patah semangat. Beliau berpen-dapat bahwa kalau sampai pasukan
yang paduka pimpin itu sampai kalah, itu berarti bahwa barisan pemberontak Liu Pang


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tentu kuat sekali. Mungkin lebih kuat dari pada pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Kalau
sudah muncul dua pasukan pem-berontak yang masing - masing memiliki kekuatan melebihi kekuatan
pemerintah, apa yang mesti di-perbuat lagi " Paling - paling kita bertahan sam-pai kita
gugur sebagai bunga bangsa !" kata ko-mandan pasukan she Ma itu dengan sikap gagah.
Jenderal Lai menarik napas panjang. "Betapa menyedihkan melihat banyaknya orang
yang men-jadi perajurit setia seperti engkau ini telah tewas dengan sia-sia. Ma-
ciangkun, maksudmu untuk gugur sebagai bunga bangsa memang menjadi wa-tak seorang perajurit sejati.
Akan tetapi ada suatu hal yang lebih penting lagi untuk dipikirkan. Ka-lau tekad itu
dilakukan demi membela tanah air dan bangsa, memang tepat dan sudah menjadi ke-wajiban setiap orang
wuiga negara. Akan tetapi lebih bijaksanalah kalau kita melihat dulu untuk siapa kita
berjuang. Benarkah untuk negara dan bangsa, ataukah hanya untuk segelintir manusia di istana yang
merupakan manusia - manusia lalim dan tidak patut kita bela ?"
"Apa apa maksud paduka ?" Ma-ciangkun memandang heran. Dia adalah seorang
perajurit tulen yang setia dan dia mengenal benar Jenderal Lai ini yang selama
puluhan tahun pernah menjadi atasannya. Seorang jenderal yang setia ! Akan tetapi mengapa kini
mengeluarkan kata - kata yang membingungkan hatinya itu "
"Ma - ciangkun. Aku haru saja dari kota raja. Kaisar baru dan para pembantunya
sungguh mem-buat kita prihatin. Mereka itu sama sekali tidak memperdulikan keadaan
pasukan yang didesak mu-suh. Mereka bersenang - senang, berpesta - pora dan melakukan segala
macam kemaksiatan yang menjijikkan. Pembesar - pembesar penjilat dan ko-rup dinaikkan
pangkat, kaum sesat yang amat ke-jam dijadikan pengawal - pengawal dan panglima, sedangkan
pejabat - pejabat yang setia dan jujur malah dipecat, dipenjarakan atau dibunuh. Istana
seperti menjadi sarang penjahat yang paling keji. Ketika aku menghadap kaisar yang masih muda
itu, sama sekali tidak ada penghargaan melihat betapa aku dan pasukanku telah membela kerajaan
mati-matian, bahkan hampir saja aku dibunuh oleh be-gundal - begundal kaisar yang terdiri
dari datuk -datuk sesat yang lihai itu. Apakah sekarang eng-kau masih mau gugur sebagai bunga
bangsa demi sekumpulan manusia lalim dan sesat seperti mere-ka itu ?"
Wajah perwira Ma menjadi pucat. "Be
benarkah itu ?" Dia bertanya gagap.
Jenderal Lai menatap tajam. "Ma - ciangkun, engkau mengenal aku, bukan " Puluhan
tahun aku menjadi atasanmu, pernahkah aku bicara semba-rangan kepada bawahanku " Atau
engkau ingin membuktikan sendiri kata - kataku dan pergi ke ko ta raja ?"
"Maaf, goanswe. Mana saya berani" Akan tetapi, kalau begitu keadaannya
lalu ....... lalu apa yang harus saya kerjakan ?"
"Begini. Engkau tidak perlu membawa pasu-kanmu ke kota raja. Kau tetap saja di
dusun ini. Aku akan pergi menghadap Jenderal Beng Tian untuk merundingkan langkah-langkah
selanjutnya. Engkau menanti perintah saja di sini."
"Baiklah, goanswe !" kata Ma-ciangkun dengan lega karena tugas itu ternyata
ringan saja. Malam itu juga Jenderal Lai pergi bersama para penga-walnya dan pasukan itupun
mengaso. Setelah pertemuan penting itu bubaran, A - hai yang juga mendengar percakapan
itu dari lain ru-angan, lalu bertanya kepada kakek Gu Tek, "Lo-pek, aku mendengar tentang
adanya sebuah ben-teng tua yang kini dipergunakan sebagai tempat tawanan. Di manakah
letak benteng itu dan ba-gaimana keadaannya " Apakah terjaga kuat dan sukar dimasuki ?"
"Ah, benteng itu " Sekarang menjadi tempat pembuangan para pejabat istana.
Tempatnya ku-rang lebih sepuluh li dari sini, terletak di atas pun-cak sebuah bukit gundul
yang terjal. Tempat KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu sukar didekati, tak dapat dicapai lewat samping atau belakang. Jalan satu -
satunya hanyalah dari depan, jalannya lebar dan baik. Akan tetapi kena-pa kongcu menanyakan
tempat itu ?" "Hemm, aku hendak ke sana, lopek."
"Ah, apakah ada seorang kerabat yang dibuang di sana ?"
A - hai hanya mengangguk dan tahulah Gu Tek bahwa dia tidak boleh banyak
bertanya. Maka diapun lalu memberi keterangan tentang jalan yang menuju ke benteng itu. A
- hai merasa girang se-kali. "Lopek, karena tempat itu cukup berbahaya, maka aku ingin menitipkan Cui Hiang
agar berdi-am di sini lebih dulu. Aku akan menjemput dua orang wanita yang menjadi
sahabatku dan yang kutinggalkan di hutan. Kalau sudah selesai urusan kami, aku akan datang ke
sini untuk menjemput Cui Hiang."
Kakek itu girang sekali. Bagaimanapun juga, gadis berlengan buntung sebelah ini
adalah ketu-runan keluarga Souw pula, maka termasuk sanak-nya juga melalui puteri
angkatnya. "Baik, jangan khawatir, kongcu. Kami akan menjaganya baik-baik."
"Kakek Gu. jangan kaget kalau kelak engkau melihat seorang di antara dua nona
itu. Wajahnya mirip sekali dengan gambar puterimu itu," kata Cui Hiang dan kakek itu
mengangguk- angguk, dalam hatinya terheran - heran mengapa begini banyak hal-hal yang
"kebetulan". A - hai
lalu berangkat keluar dari dusun, meninggalkan Cui Hiang di rumah si kepala
kampung karena dia merasa kurang leluasa kalau harus rttengajak anak itu, padahal dia dan teman -
temannya akan menyerbu benteng menyelamatkan Seng Kun dan yang lain-nya.
** * Ketika A - hai berjalan keluar dari dusun, bebe-rapa orang perajurit peronda
menegurnya. "Hei, berhenti! Siapa itu ?"
A - hai berhenti dan dua orang peronda itu menghampiri. "Ah, kiranya engkau !"
kata mereka yang sudah mengenal A - hai yang pernah mem-bantu mereka mencari air,
pemuda yang berada di rumah kepala kampung dan menjadi keluarga kepala kampung itu. "Hendak
ke mana engkau ?" "Aku disuruh oleh Gu - lopek untuk mencari ayam."
"Bagus! Cari yang banyak, kalau ada telurnya juga, ya " Sudah lama aku tidak
makan telur ayam !" A - hai melanjutkan perjalanan dengan cepat, menuju ke hutan di mana dia
meninggalkan Bwee Hong dan Siok Eng. Ketika dia sudah jauh me-ninggalkan
perajurit: perajurit itu, dia berpikir bahwa dia harus mempergunakan ilmu berlari ce-pat agar kedua
orang gadis itu tidak menunggu terlalu lama. Akan tetapi ketika dia hendak me-ngerahkan
tenaganya tiba - tiba saja dia lupa sama sekali bagaimana harus mengerahkan tenaga sak-tinya. Lupa
sama sekali cara atau jalannya. Dia berdiri tegak dan menggerak - gerakkan perut dan dadanya,
namun hasilnya sia - sia karena memang belum ditemukan kembali jalannya. Dia menjadi uring -
uringan dan menyumpahi diri sendiri. "O-tak udang!" Tanpa disadarinya, sikapnya kembali
seperti A - hai yang ketolol - tololan. Hal ini ada-lah karena dia masih sedang dalam proses pengo-
batan. Kalau terlambat jalan darahnya diperlancar dengan bantuan jarum yang tepat, maka
darahnya tidak lancar lagi dan ingatannyapun semakin bun-tu lagi. Dia belum sembuh, dan masih
tergantung kepada bantuan Bwee Hong yang sewaktu - waktu harus mempergunakan jarum -
jarumnya agar jalan darahnya lancar kembali. Selagi dia berkutetan dan memarahi dirinya
sendiri itu sehingga dia kelihatan lucu dan aneh, tiba - tiba terdengar suara orang tertawa, suara ketawa
yang ditahan - tahan akan tetapi tetap memberobot keluar sehingga ter-dengar agak cekikikan.
Tentu saja A-hai menjadi terkejut dan juga marah. Dia memaki - maki dan memarahi
diri sen-diri, akan tetapi sekarang malah ada orang menter-tawakannya ! Itu
penghinaan namanya. Akan te-tapi ketika dia membalikkan tubuh dan meman-dang, dia terbelalak dan
bujlu tengkuknya mere-mang. Di depannya berdiri dua orang kakek dan nenek yang pakaiannya serba
putih dan wajahnya juga putih seperti mayat! Bau harum semerbak tercium olehnya dan diapun
bergidik. Sinar bin-tang-bintang di langit menyinari dua wajah yang. pucat seperti mayat
itu. Karena keduanya mena-han tawa dan bergerak, mereka kelihatan seperti sepasang mayat
hidup. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, kakek itu lalu berkata, suaranya halus, "Saudara yang gagah
perkasa. Tak dapat kami menahan tawa melihat tingkah lakumu yang aneh dan konyol itu. Agaknya
engkau baru saja memperoleh pelajaran lweekang dari gurumu, akan tetapi kini engkau
sudah lupa lagi sehingga gagal ketika mencobanya. Benarkah ?"
Mendengar pertanyaan ini, tentu saja seketika wajah A - hai menjadi merah
sekali, merah karena malu rahasianya dapat diterka sedemikian tepatnya dan marah karena orang
ini sungguh telah mence-moohkannya dengan sikapnya yang dianggapnya sombong sekali. Karena
malu dan marah, juga ka-rena merasa tidak berdaya setelah sama sekali ti-dak mampu
mengingat ilmunya, dia mendengus dan membalikkan tubuhmu, melangkah lebar me-ninggalkan dua orang
aneh itu. Akan tetapi tiba - tiba kakek aneh itu menahan-nya, "Saudara yang baik, jangan
engkau pergi dulu !" "Huh!" A - hai tidak perduli dan mempercepat langkahnya, bahkan mulai
menggerakkan kakinya untuk lari. Akan tetapi mendadak dia merasa ada angin bertiup di dekat
tubuhnya dan terpaksa dia berhenti karena tahu-tahu kakek itu sudah bera-da di depannya
sambil menyeringai! Dengan men-dongkol A - hai hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi ternyata
nenek itupun sudah berada di belakangnya dengan tatapan mata yang dingin menyeramkan. A - hai
menjadi marah sekali dan tiba-tiba saja dia teringat akan semua ilmu silat-nya. Agaknya,
kemarahannya membuat jalan da-rah ke otak yang mulai menciut itu menjadi lancar kembali. Dia
lalu mengerahkan tenaga saktinya dan seketika kedua orang suami isteri aneh itu ter-
kejut sekali. Uap merah putih mengepul dari ke-pala pemuda yang mereka anggap lucu tadi.
"Awas, itu adalah Tenaga Sakti Merah Putih!"
teriak kakek itu kepada isterinya. "Eh, orang muda, siapakah engkau
?" Akan tetapi A - hai tidak memperdulikan keka-getan mereka. Telapak tangannya
sudah bergerak menyerang ke arah kakek itu, bukan maksudnya untuk menyerang
sebenarnya, melainkan mendo-rong de ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** n dan bau dupa harum semakin menusuk hidung. Teringatlah dia kepada Siok Eng
yang juga memiliki ilmu seperti itu. Ah, pikirnya, jangan - jangan kedua orang ini masih
keluarga nona Siok Eng. Maka diapun lalu melangkah mundur lagi sambil berseru, "Berhenti !"
Kakek itupun sudah dapat menekan hatinya yang terguncang. Dia memandang tajam
penuh selidik, dan tidak menyembunyikan keheranannya. "Orang muda, engkau sungguh
hebat! Siapakah engkau ?" A - hai tidak menjawab pertanyaan ini, melain-kan mengamati kedua orang itu
bergantian, lalu bertanya, "Apakah ji - wi locianpwe ini dari Tai-bong - pai ?"
"Orang muda, aneh kalau seorang dengan ting-kat kepandaian sepertimu masih belum
mengenal kami. Aku adalah ketua Tai - bong - pai dan ia ini adalah isteriku."
"Ah, kiranya ji - wi locianpwe adalah ayah dan ibu nona Kwa Siok Eng ?" seru A -
hai dengan gi-rang. "Hemm, engkau mengenalnya " Di manakah anak kami itu sekarang ?" Nenek itu
bertanya, si-kapnya masih dingin. "Kami bersahabat baik sekali! Ia kini sedang menantikanku di dalam hutan. Apakah
ji-wi hen-dak mencarinya " Mari, ikut bersamaku."
Karena memang dua orang itu sudah amat mengkhawatirkan anak gadis mereka dan
sudah lama mencarinya, tentu saja mereka girang sekali mendengar keterangan A - hai.


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi kegi-rangan hati mereka itu tidak nampak pada wajah mereka yang pucat dingin,
dan kakek Kwa Eng Ki, ketua Tai - bong - pai itu berkata, "Mari antar ka-mi bertemu
dengannya !" Kakek Kwa Eng Ki dengan isterinya, sebagai ketua Tai - bong - pai, tidak pernah
mencampuri urusan dunia. Mereka telah mewarisi ilmu - ilmu mujijat dari Tai -
bong - pai dan mereka tidak ingin melihat Tai - bong - pai terseret ke dalam suatu kelompok
atau golongan. Karena watak mereka yang aneh dan kadang-kadang dalam melakukan hukuman dan
balas dendam mereka amatlah keras dan kejam, maka golongan pendekar menganggap mereka
sebagai kaum sesat. Sebaliknya, golongan sesatpun tidak bersahabat dengan mereka karena
Tai - bong - pai tidak pernah mau bergaul dengan mereka, Jadi Tai - bong - pai merupakan
perkum-pulan yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
berdiri di tengah - tengah, tidak ber-sahabat dengan kedua golongan, juga tidak
bermu-suhan secara terbuka. Pendeknya, Tai - bong - pai ingin berdiri sendiri dan tidak mau
tunduk, tidak mau dijajah. Mereka terkenal sebagai orang - orang yang keras hati dan bersikap
dingin seperti ma-yat, tidak perdulian. Kalau mereka tidak diganggu, merekapun tidak akan memperdulikan
apapun yang terjadi asal bukan urusan mereka. Karena, itu. kini mereka menjadi pusing
sekali karena kedua orang anak mereka, yaitu Kwa Sun Tek dan Kwa Siok Eng, lebih sering
berkelana dan mencampuri urusan luar sehingga terbuka bahaya terlibatnya Tai - bong - pai. Hal
ini memusingkan mereka dan setelah gagal mengutus murid-muridnya untuk memanggil
pulang kedua orang anak itu, kini mereka berdua berangkat sendiri untuk mencari dan
memaksa kedua orang anak mereka pulang!
A - hai lari ke dalam hutan, diikuti oleh suami isteri itu. Setelah tiba di
tempat dia meninggalkan Bwee Hong dan Siok Eng, A - hai berseru, "Nona Hong dan nona Eng,
aku sudah datang ! Keluar-lah dan temuilah dua orang tamu kita ini!"
Tentu saja Siok Eng sudah tahu akan kedatang-an, ayah bundanya. Ia terkejut dan
mendongkol kepada A-hai. Mengapa si tolol itu pulang meng-ajak ayah bundanya "
Ia sudah selalu berusaha menghindarkan diri agar jangan bertemu ayah bundanya. Eh, kini tahu -
tahu mereka malah dia-jak oleh A-hai ke tempat itu. Akan tetapi, iapun maklum bahwa kalau ia
tidak mau menjumpai mereka, tentu A-hai yang akan dipersalahkan, maka dengan cemberut
iapun keluar menyambut bersa-ma Bwee Hong.
Melihat puterinya bersama Bwee Hong, nenek itu lalu menjura ke arah Bwee Hong.
"Ah, kiranya nona penolong juga berada di sini bersama Siok Eng. Suamiku, inilah nona
Bwee Hong dari kelu-arga Bu yang telah menyelamatkan puteri kita de-ngan berkorban nyawa
itu !" Kwa Eng Ki sudah banyak mendengar penu-turan isterinya tentang keluarga Bu Kek
Siang yang telah menyelamatkan puterinya dengan mengor-bankan nyawa kakek Bu dan
isterinya, bahkan membuat putera mereka yang bernama Bu Seng Kun terluka parah, maka diapun
mengangguk ke arah Bwee Hong. "Nona, aku girang sekali dapat bertemu dengan
penyelamat nyawa puteri kami." Disebut nona penolong dan penyelamat nyawa, Bwee Hong merasa kikuk sekali. Ia
cepat mem-balas dengan penghormatan kepada kakek dan ne-nek itu sambil berkata, "Harap
ji - wi locianpwe tidak bersikap sungkan. Adik Eng adalah seorang sahabat baikku, di
antara kita tidak ada lagi tolong-menolong, melainkan hanya merupakan kewajiban hidup yang lumrah
saja." Kini Kwa Eng Ki memandang kepada puteri-nya dan menghardik, "Eng-ji, kenapa
engkau ti- ada hentinya membikin pusing orang tua, selalu pergi tanpa pamit" Apakah engkau
tidak betah tinggal di rumah sendiri " Ke mana lagi engkau hendak pergi " Hayo ikut kami
pulang !" Kwa Siok Eng menggeleng kepalanya dan mu-lutnya cemberut, alisnya berkerut
"Ayah, aku be-lum ingin pulang !"
"Siok Eng, jangan kauhantah ayahmu yang su-dah pusing karena kepergianmu.
Sudah lama kami mencarimu, setelah bertemu, tak mungkin engkau menolak ajakan
kami untuk pulang." "Tidak, ibu, aku belum mau pulang. Aku harus membalas budi orang. Aku tidak mau
hidup seba-gai orang yang tidak mengenal budi. Aku sudah diselamatkan nyawaku, bahkan
dengan pengorban-an dua orang tua yang berbudi mulia seperti men-diang kakek Bu Kek
Siang dan isterinya. Apakah sekarang aku harus berdiam diri saja melihat pu-tera angkat
mereka, juga cucu keponakan atau mu-rid mereka, terancam bahaya ?"
Ayah dan ibu yang biasanya tidak mau memperdulikan urusan orang lain itu, saling
pandang dan kemudian menoleh lagi kepada puteri mereka. "Apa yang kaumaksudkan " Siapa
yang terancam dan hendak kautolong itu ?"
"In - kong (tuan penolong) Chu Seng Kun, ka-kak kandung cnci Bwee Hong ini yang
harus kuse-lamatkan. Baru aku mau pulang."
Ibunya yang sudah mengenal Seng Kun dengan baik terkejut. "Apa " Tuan penolong
kita terancam bahaya " Apa yang terjadi dengan dia ?"
Kini Bwee Hong yang memberi penjelasan, menceritakan bahwa kakaknya telah
tertawan oleh Raja Kelelawar dan anak buahnya dan sekarang kemungkinan besar kakaknya itu
ditawan di dalam benteng kuno yang kini menjadi semacam penjara.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kami bertiga malam ini juga akan pergi ke benteng itu untuk berusaha menolong
saudara Chu Seng Kun keluar dari sana. Aku sudah menyeli-diki dan tahu di mana adanya
tempat itu," kata A-hai yang menceritakan kepada dua orang gadis itu bahwa dia menitipkan Cui
Hiang kepada kepala kampung di dusun. Akan tetapi dia tidak mence-ritakan tentang keadaan
dirinya dan pertemuan-nya dengan kakek Gu Tek yang membuka rahasia hubungannya dengan
keluarga Souw."Kalau begitu, aku harus ikut dengan kalian dan membantu usaha membebaskan
in - kong!" kata ibu Siok Eng penuh semangat. Suaminya mengangguk.
"Memang dia harus diselamatkan," kata ketua Tai - bong - pai. "Akan tetapi, Eng-
ji apakah eng-kau tahu di mana adanya kakakmu." Kami pun mencarinya sampai hampir putus
asa tanpa hasil."Tiba-tiba Siok Eng cemberut dan kelihatan tak senang. "Ayah, perlu apa
mencarinya " Orang macam dia tidak perlu dicari lagi!"
"Eh, Siok Eng, kau bicara apa itu ?" Ibunya membentak marah.
"Ibu, puteramu itu telah melakukan penyele-wengan besar dan hanya membikin malu
keluarga kita saja. Dia telah menyeret nama Tai - bong - pai ke dalam lumpur !"
"Hemm, jelaskan ucapanmu itu !" Ayahnya juga membentak.
"Ayah, kakak Sun Tek telah bersekongkol de-ngan pasukan asing dan membantu
pemberontak. Dia merendahkan diri menjadi kaki tangan penju-al negara !" Dara
itu lalu menceritakan tentang kakaknya seperti yang diketahuinya. Mendengar ini, ayah
ibunya menjadi marah sekali. "Hemrn, anak itu perlu dihajar ! Aku akan mencarinya sendiri. Akan tetapi
sekarang mari kita berangkat untuk membebaskan dan menyelamat-kan tuan penolongmu itu."
Berangkatlah mereka berlima menuju ke ben-teng tua dengan A - hai sebagai
penunjuk jalan. Dia sudah memperoleh keterangan secara jelas se-kali dari kepala kampung,
maka tanpa ragu - ragu diapun memimpin teman - temannya memasuki hutan cemara. Setelah
mereka keluar dari hutan itu, nampaklah benteng tua itu. Malam gelap gu-lita, hanya diterangi
bintang - bintang di langit. Benteng itu memang besar dan kokoh kuat, juga dijaga dengan ketat.
Tidak ada jalan lain mema-suki benteng, kecuali dari pintu gerbang di depan yang terjaga kuat
itu. Sisi benteng yang lain me-rupakan dinding - dinding karang, jurang yang amat terjal dan tak
mungkin dilalui manusia. Dan satu - satunya jalan menuju ke pintu gerbang me-rupakan sebuah
lorong anak tangga yang kadang-kadang terputus dan disambung jembatan - jem-batan gantung
besar. Sehingga dengan adanya lo-rong ini, maka setiap orang luar yang naik ke bukit
menuju ke benteng yang berada di puncak, baru tiba di kaki bukit saja tentu sudah
diketahui oleh para penjaga. Melihat sulitnya jalan naik dan mereka tentu akan ketahuan dan diserang sebelum
sempat me-masuki benteng sehingga usaha mereka akan sia-sia, ketua Tai-bong-pai lalu
mengajak mereka berunding di kaki bukit, duduk bersembunyi di balik semak - semak di
bawah pohon - pohon cema-ra. Di sini terdapat tanah kuburan tua dan di tem-pat inilah mereka
berlima duduk untuk mengada-kan perundingan. Anehnya, kalau Bwee Hong dan A - hai merasa seram
dan ngeri berada di tanah, kuburan di waktu malam gelap seperti ;tu, adalah ayah ibu dan
anak dari Tai - bong - pai itu merasa betah dan enak! Tidaklah mengherankan karena memang mereka
berasal dari perkumpulan Makam Kuburan !
"Tempat itu sungguh terjaga ketat dan sukar dimasuki," kata Kwa Eng Ki.
"Andaikata kita nekat mendaki dinding karang yang terjal itu dan berhasil mencapai tembok, tentu
setibanya di atas tembok kita akan diketahui oleh para penjaga di sana. Ki-ta belum tahu di
mana para tawanan itu berada, maka kalau sampai kita ketahuan sebelum berha-sil
membebaskan tawanan, tentu mereka akan bersiap - siap dan penjagaan diperkuat sehingga makin sulit
bagi kita untuk membebaskan tawan-an!"
Selagi lima orang itu berunding dan belum me-nemukan jalan baik, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara hiruk - pikuk dan sorak - sorai di antara bunyi terompet.
Jelas bahwa itu adalah suara pertempuran ! Dan suara itu makin jelas terdengar, mendekati ke
arah hutan cemara itu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kwa Eng Ki, ketua Tai - bong - pai itu berkata, "Sebaiknya kita berlindung dan
bersembunyi ke atas pohon !" Berkata demikian, kakek ini lalu me-loncat ke atas, diikuti
oleh isterinya dan puterinya. Bagaikan burung saja mereka bertiga melayang ke atas dan hinggap di
dahan pohon cemara. Bwee Hong juga meloncat dengan ringannya, dan gerak-annya amat indah.
Akan tetapi baru saja ia tiba di atas dahan pohon dan melihat ke bawah, dara ini sudah
berjungkir balik dan meloncat turun lagi. Dari atas ia melihat A - hai berdiri bengong dan ragu -
ragu, maka iapun turun lagi dan meng-hampiri pemuda itu.
"Kau kau kenapakah ?" tanyanya.
A - hai menghela napas panjang. "Ah, sungguh celaka, nona
aku aku telah mulai lupa lagi, tidak ingat lagi bagaimana harus mengerah-kan tenaga agar dapat
meloncat ke atas." Bwee Hong teringat bahwa sudah tiba waktu-nya pemuda itu harus menerima bantuan
pengo-batan. Maka iapun cepat mengeluarkan jarum-ja-rumnya dan dengan meraba -
raba, ia menusukkan jarum - jarum itu pada pelipis, tengkuk dan pundak A - hai. Dan
seperti biasa setelah menga-lami pengobatan ini, A-hai tertidur pulas di ba-wah pohon ! Bwee
Hong duduk tersimpuh menja-ganya. "Ssttt, enci Hong, cepat naik " terdengar
suara Siok Eng, Akan tetapi Bwee Hong tidak menjawab. Bagaimana ia dapat
meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur seperti itu "
Akhirnya Siok Eng dan ayah bundanya turun kembali. "Ada apakah dia itu ?" tanya
ketua Tai-bong - pai dengan terheran - heran melihat pemuda yang pernah dirasakan
kehebatannya itu kini enak-enak tidur pulas.
"Locianpwe, saudara A - hai selalu tertidur se-tiap kali habis diobati. Untuk
membantu ingatan-nya yang selalu lupa, aku dan kakakku melakukan penusukan jarum, dan
baru saja aku melakukan penusukan lagi dan akibatnya dia tertidur."
"Sampai berapa lama dia akan tidur ?" tanya Kwa Eng Ki sambil mengerutkan
alisnya. Suara pertempuran itu makin mendekat, agaknya ada pi-hak yang dikejar - kejar dan lari
masuk ke dalam hutan sambil melakukan perlawanan.


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biasanya agak lama, sedikitnya satu jam."
"Wah, kalau begitu biar kita bawa dia bersem-bunyi di atas pohon saja.
Pertempuran itu sudah dekat dan tentu akan memasuki hutan ini!" kata ketua Tai - bong - pai dan
dia lalu memanggul tu-buh A-hai lalu didudukkan di atas dahan dan cabang, bersandar
batang pohon. Bwee Hong me-megang pundak dan menjaganya.
Karena pohon cemara itu bukan pohon yang terlalu kuat untuk ditempati terlalu
banyak orang, maka ketua Tai - bong - pai, isterinya dan puteri-nya bersembunyi di
pohon lain dan membiarkan Bwee Hong berdiam di pohon itu bersama A - hai yang dijaga agar tidak
sampai terguling ke bawah. Agaknya karena posisi yang tidak menyenang-kan itulah yang membuat A-hai
terbangun atau sadar lebih cepat dari pada biasanya. Ketika per-tempuran itu mulai
memasuki hutan, diapun ter-jaga. Dari atas pohon dapat dilihat pertempuran yang tidak seimbang dari dua
pasukan yang sama-sama berpakaian seragam. Pasukan yang jumlah-nya hanya duaratus lebih itu
diserbu dan didesak oleh pasukan lain yang juga berpakaian seragam perajurit pemerintah
daerah yang jumlahnya seribu orang lebih ! Dan kini jumlah pasukan yang dike-jar - kejar itu
Sesajen Atap Langit 2 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Pahlawan Harapan 10
^