Golok Kelembutan 10
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 10
Paras muka Ong Siau-sik mulai berubah jadi tak sedap.
Sekalipun perkataan Lui Tun bukan ditujukan kepadanya, namun ia bisa
membayangkan bagaimana gusarnya Pek Jau-hui karena dipermalukan di depan umum.
Di luar dugaan ternyata reaksi Pek Jau-hui tidak seperti apa yang ia sangka.
Pemuda itu menarik napas panjang kemudian menghem-buskannya dengan perlahan,
setelah itu dengan langkah perlahan ia berjalan mendekati Lui Tun.
Tindakannya ini seketika memancing perhatian khusus keempat orang jago tangguh
yang hadir di situ, mereka ikut merasa kuatir.
Seandainya Pek Jau-hui turun tangan terhadap Lui Tun, jelas mereka tak bisa
berpeluk tangan, namun dengan demikian bisa jadi pertarungan akan memancing
keterlibatan So Bong-seng.
Tampaknya persoalan ini yang paling merisaukan hati Lui Sun.
Andaikata Pek Jau-hui turun tangan terhadap nona Lui, tak ada alasan bagi
dirinya untuk tidak berusaha mencegah atau menghalangi, tapi begitu dia mencoba
menghalangi, besar kemungkinan akan terjadi pertikaian dengan Pek Jau-hui,
padahal pemuda itu sombong dan jumawa, amat bersikukuh dengan pandangan serta
pendapat sendiri, sekali terjadi bentrokan, mungkin tak gampang untuk mengurai
dan menyelesaikannya secara damai.
Sekali lagi Lui Tun berpikir sambil menganalisa.
Andaikata Pek Jau-hui turun tangan keji terhadap nona Lui, kemungkinan besar
Lui-congtongcu akan dipaksa turun tangan, karenanya ia harus bertindak
mendahului Congtongcunya dengan mencegah ulah Pek Jau-hui, tapi tindakannya ini
besar kemungkinan bisa memancing pertarungan habis-habisan antara perkumpulan
Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau.
Ti Hui-keng sendiri pun berpendapat demikian.
Pek Jau-hui tak boleh turun tangan! Apalagi turun tangan terhadap seorang gadis
lemah, perbuatan semacam ini sangat memalukan! Apa pun yang bakal terjadi, ia
berniat akan menghalangi ulahnya, dia tahu sekali Pek Jau-hui sudah memutuskan
sesuatu, tak akan ada orang yang bisa menghalanginya, kuatir-nya ........
Ong Siau-sik merasa jauh lebih panik dari siapa pun.
Sementara itu Thio Than sudah berdiri menghadang di depan Lui Tun, ia sudah
menyaksikan keampuhan kungfu yang dimiliki Pek Jau-hui, dia pun sadar bahwa
kepandaian silat yang dimilikinya masih bukan tandingan lawan.
Tapi dia tak akan membiarkan siapa pun melukai Lui Tun, selama dia masih hidup,
ia tak akan membiarkan siapa pun mengganggu Lui Tun biar seujung rambut pun.
pias wajahnya. Akan tetapi di saat Kwan Jit siap melayang melalui kepala Ti Hui-keng, Ti Hui-
keng yang sastrawan, yang selalu menundukkan kepalanya, yang duduk terus dengan
wajah pucat pasi, tiba-tiba mendongakkan kepala!
Sambaran petir menggelegar membelah angkasa.
Sorot mata Kwan Jit yang tajam, secara kebetulan saling bertatapan muka
dengannya. Tiba-tiba arah yang diambil Kwan Jit untuk melarikan diri kembali berubah.
Sekarang dia tidak lagi menerjang langsung ke arah Ti Hui-keng.
Seluruh badannya berubah bagai selapis hawa pedang, kali ini dia menerjang masuk
ke arah dinding batu di sudut jalan.
Dinding batu itu hancur berantakan dan roboh berserakan begitu diterjang hawa
pedang yang kuat bagai gempuran baja itu, tampaknya sebentar lagi ia sudah akan
lolos dari sudut jalanan itu.
Tiba-tiba tampak bayangan abu-abu berkelebat, suasana kelam di senja itu terasa
bertambah kelam, hujan diikuti suara guntur lamat-lamat berkumandang di tempat
itu. Bayangan abu-abu langsung mencegat kepergian Kwan Jit di tengah udara, dengan
hawa pedang 'Kwan Jit yang tanpa wujud bahkan tiada tandingan itu, ternyata ia tak mampu
menjebol pertahanan si kakek berbaju abu-abu yang sebentar bergerak cepat
sebentar bergerak lambat itu.
Ong Siau-sik sangat tercengang, cepat dia melongok ke arah sana, ternyata kakek
berbaju abu-abu yang sedang mengha?dang jalan pergi Kwan Jit itu tak lain adalah
Congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun!
Baru saja dia hendak mengawasi cara Lui Sun turun ta?ngan, tiba-tiba dilihatnya
Pek Jau-hui sedang mundur sempo?yongan, lekas dia membimbing badannya.
Terdengar Pek Jau-hui menghembuskan napas panjang sambil berbisik, "Ilmu Kiu-ci-
eng-koat (rahasia sembilan huruf) yang sangat lihai! Padahal aku hanya melihat
sebentar, tapi kepalaku sudah langsung terasa amat pening ..."
"Kiu-ci-koat" Rahasia sembilan huruf?" seru Ong Siau-sik, "apakah rahasia
sembilan huruf Mi-tiong-kuai-man-kiu-ci-koat (rahasia sembilan huruf cepat
lambat dari sekte rahasia) yang kau maksudkan?"
Cepat dia menengok lagi ke tengah arena, terlihat gerakan tangan Lui Sun
sebentar cepat sebentar lambat, tapi dia seakan sedang merajut air hujan menjadi
selembar jaring langit jala bumi yang luar biasa kuatnya, mengurung seluruh
tubuh Kwan Jit berikut hawa pedangnya yang tajam dan kuat.
Setiap kali melepaskan sebuah pukulan, Lui Sun selalu menyertakan sekali
bentakan nyaring. Siapa pun tak ada yang bisa membayangkan, seorang kakek kurus ceking semacam dia
ternyata sanggup mengeluarkan suara bentakan yang begitu keras dan nyaring.
Setiap kali dia membentak, suara hujan yang membasahi seluruh langit seakan ikut
terhenti sejenak ... sebab bersamaan dengan suara bentakannya itu, nyaris tak
terdengar suara lain. Ong Siau-sik hanya mengikuti jalannya pertarungan sejenak saja, ia saksikan jari
Lui Sun saling menyilang ketika melakukan pergantian jurus, bibirnya komat-kamit
seperti membaca mantera, terkadang cepat terkadang lambat, tapi selalu ditutup
dengan suara bentakan yang amat nyaring.
Tidak lama ia memandang, kepalanya mulai terasa pening, matanya mulai berkunang-
kunang. Ternyata dalam menggunakan ilmu Mi-tiong-kuai-man-Pek Jau-hui sudah berjalan
mendekat, memandang Thio Than sekejap dengan pandangan sangat dingin, walau
hanya sekejap namun telah mencakup seluruh inti perkataan yang tak pernah dia
ucapkan. Ia tak memandang sebelah mata pun terhadap orang ini.
Kemudian dia mengalihkan pandangan matanya ke tanah, mengawasi mayat yang
terkapar di situ. Mayat si dayang bunga anggrek!
"Dia mati sia-sia," kata Pek Jau-hui dingin, "seandainya majikanmu punya
kepandaian, sudah sepantasnya bila ia membalaskan dendam sakit hatimu, paling
tidak tak usah bersilat lidah terus di tempat ini."
Tentu saja perkataan Pek Jau-hui ini penuh mengandung sindiran, namun dengan
demikian beberapa orang tokoh yang hadir di situ pun diam-diam merasa lega,
sebab dari nada perkataan itu mereka dapat menyimpulkan bahwa anak muda ini tak
akan berbuat nekat. Tapi bagi Ong Siau-sik, dalam hatinya justru muncul satu persoalan lain, sebuah
pertanyaan yang sangat aneh. Dan pertanyaan itu melintas cepat dalam benaknya.
Seandainya Pek Jau-hui turun tangan terhadap Lui Tun, dapat dipastikan semua
jago tangguh Kim-hong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong bahkan
termasuk dia sendiri pun akan berusaha melindungi dengan sepenuh tenaga, dengan
begitu bukankah hal ini memperlihatkan betapa strate?gisnya posisi Lui Tun saat
ini, bahkan jauh lebih strategis dari hal apa pun"
Hanya saja ingatan itu cuma melintas cepat untuk kemudian lenyap kembali.
Memang begitulah manusia, seringkah banyak pikiran dan ingatan yang dibiarkan
berlalu begitu saja. Bila kau tidak berupaya untuk menangkapnya atau segera mencatatnya, mungkin dia
tak pernah akan berada di dunia ini, juga tak bakal meninggalkan kesan dalam
benakmu. Padahal banyak kejadian besar, banyak pengaruh besar yang terjadi di dunia ini
sebetulnya berasal dari ingatan sesaat yang melintas dalam benakmu.
"Kita berjumpa lagi di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong lusa tengah hari."
"Satu kata sebagai kesepakatan." "Sampai berjumpa lagi."
Biasanya ucapan "Satu kata sebagai kesepakatan" dan "Sampai berjumpa lagi"
selalu diucapkan oleh mereka yang hendak berpisah tapi berharap segera dapat
bertemu kembali. Namun apa yang diucapkan Lui Sun maupun So Bong-seng saat ini justru tidak
mengandung makna itu. Ketika mengucapkan perkataan itu, paras muka mereka amat berat dan serius,
begitu juga ketika mendengar perkataan itu, mereka berdua sama-sama merasakan
beban pikirannya. Sebab mereka tahu, yang mereka sebut sebenarnya merupakan nama dari dua orang
manusia. Yang satu adalah junjungan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong sementara yang
lain adalah Tianglo atau sesepuh dari Kim-hong-si-yu-lau.
Sesungguhnya So Bong-seng sendiri pun termasuk seorang jago yang tinggi hati dan
besar gengsinya, orang yang diangkat menjadi sesepuh, jelas merupakan seorang
tokoh yang luar biasa. Semua anggota Kim-hong-si-yu-lau tahu, seandainya mereka bersikap kurang hormat
terhadap So Bong-seng, hal ini belum tentu mengundang hukuman berat, tapi bila
bersikap kurang sopan terhadap "Satu kata sebagai kesepakatan", setiap saat
orang itu bisa mengalami bencana kematian.
Apa yang dikatakan "Satu kata sebagai kesepakatan" ibarat sebuah vonis
pengadilan terhadap terpidana mati.
"Sampai berjumpa lagi" justru merupakan kebalikannya. Ketika ia mengucapkan
perkataan itu terhadap seseorang, maka cepat atau lambat orang itu pasti akan
menjadi seorang terpidana dan mengucapkan "Sampai berjumpa lagi" dengan dirinya
dalam penjara. Jika seseorang bisa dipuja dan disanjung selama hampir dua puluh tahun dalam
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dapat dipastikan kepandaian yang dimiliki orang
itu sangat luar biasa. "Sampai berjumpa lagi" seratus persen merupakan orang yang berkemampuan tinggi,
berilmu silat hebat. Orang yang benar-benar berkemampuan tinggi, tak mungkin akan melakukan sendiri
semua pekerjaannya, seperti seseorang yang perkataannya berbobot, tak mungkin
dia mau me?ngatakan sendiri semua persoalannya.
Dan kini dari tanya jawab yang dilakukan So Bong-seng dan Lui Sun, segala
sesuatunya sudah tertera jelas.
Dalam pertemuan di markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong tengah hari lusa,
bukan saja "Satu kata sebagai kesepakatan" akan muncul, "Sampai berjumpa lagi" pun pasti
akan menampilkan diri. Kalau bukan untuk menghadapi pertarungan mati hidup, kenapa kedua belah pihak
sama-sama mendatangkan sesepuh mereka berdua"
"Satu kata sebagai kesepakatan". "Sampai berjumpa lagi".
Dua nama ini dapat dipastikan bisa mengendalikan suasana dalam arena.
Begitu selesai berkata, So Bong-seng dan Lui Sun segera berpisah dan mengambil
jalan masing-masing. Dengan kepergian mereka, anak buah kedua belah pihak pun segera ikut membubarkan
diri. Begitu So Bong-seng beranjak, seluruh jago yang bernaung di bawah bendera Kim-
hong-si-yu-lau ikut bergeser dari posisi masing-masing, semua orang bergerak
tertib dan penuh disiplin, melihat itu satu ingatan sempat melintas dalam benak
Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui.
So Bong-seng adalah So Bong-seng dari Kim-hong-si-yu-lau, ketika sekelompok
manusia mendukung dan menyanjungnya, dia adalah So-kongcu yang tersohor namanya
di kolong langit dan seorang pemimpin yang menguasai jagad, jauh ber?beda dengan
sikapnya ketika kemarin bersama mereka berdua datang mengunjungi loteng Sam-hap-
lau. Beginikah pamor Ang-siu-bong-seng-te-it-to (golok nomor satu berbaju merah dalam
impian)" Ataukah di antara mereka bertiga sesungguhnya sudah terdapat jarak, terdapat
jurang pemisah yang cukup dalam"
Ong Siau-sik tidak tahu apa jawaban yang tepat
.Tapi dia dapat merasakan, sewaktu So Bong-seng membalikkan tubuh sambil
beranjak pergi tadi, dia seakan sedang bertukar kerdipan mata dengan Pek Jau-
hui, kerdipan itu seakan sedang bertukar satu rahasia besar.
Tampaknya Pek Jau-hui pun sudah memperoleh jawabannya sendiri.
Meskipun Ong Siau-sik tidak mengerti, namun dia merasa yakin akan satu hal.
Orang semakin banyak, jagoan semakin tangguh, perselisihan tentu semakin sengit,
So Bong-seng yang selama ini nampak sakit-sakitan, kini justru semakin kuat
memancarkan kewibawaan dan kekosenannya.
Mungkin hanya terjadi satu kali, hanya berlaku pada satu orang, dimana pernah
menutupi kewibawaan, kekosenan dan kehebatannya, meski berlangsung hanya sesaat
namun paling tidak ia pernah mengalaminya satu kali.
Peristiwa itu terjadi tadi, pada diri Kwan Jit.
Bukan saja Kwan Jit telah menutupi kewibawaan, keko?senan dan kehebatan So Bong-
seng, memukul mundur Lui Sun bahkan berhasil juga menahan Ong Siau-sik serta Pek
Jau-hui. Dan waktu itu dia hanya berhasil ditaklukkan oleh semacam benda ... sebuah peti
mati! Sebenarnya dimanakah letak kehebatan peti mati itu" Mengapa begitu menakutkan"
Mengapa Kwan Jit yang tak takut langit tak takut bumi, justru takut dengan
sebuah peti mati" Dalam pada itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah beranjak pergi mengikuti
rombongan So Bong-seng, Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau dengan membawa anak buahnya
juga mengikut dari belakang, sementara Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin mengikuti
rombongan Lui Sun berlalu dari sana.
Tinggal Tan Cian-kui beserta belasan orang anggota setia perkumpulan Mi-thian-
jit-seng yang menyingkir ke jalan lain dalam suasana duka.
Sebenarnya Lui Tun juga akan berlalu, tapi ketika melihat Un Ji, Tong Po-gou
serta Thio Than yang masih berdiri termangu, dia pun segera menegur, "Kalian
tidak pergi?" "Pergi?" Thio Than tertawa getir, "mau pergi kemana?"
"Tentu saja balik ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" jawab Lui Tun lirih,
kendatipun gadis itu memaksakan diri untuk tertawa, namun siapa pun dapat
melihat kalau hatinya teramat gundah, "dengan susah payah aku berharap Go-ko mau
datang ke ibukota, kau baru datang setengah bulan, masakah segera akan pergi
lagi." "Nona Lui," tiba-tiba Thio Than bersikap sungkan, "ketika kita mengangkat
saudara dulu, aku sama sekali tidak tahu kalau kau adalah putri kesayangan
Congtongcu perkumpulan Lak-hunpoan-tong, bukankah begitu?"
"Benar." "Walaupun sekarang aku sudah tahu, namun aku tetap sangat berterima kasih karena
kau telah menolongku."
"Kalau bicara soal terima kasih, sepanjang jalan Go-ko sudah merawat dan
melindungi aku secara baik, sampai kapan kita harus saling berterima kasih?"
"Sayang kau adalah putri kesayangan Lui-congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-
poan-tong." "Tapi hal ini sama sekali tak ada hubungannya dengan persahabatan kita!"
"Ada, ada sangkut-pautnya" ujar Thio Than serius, "dulu aku tidak tahu maka aku
berani mengangkat saudara denganmu."
"Sekarang hubungan persaudaraan antara aku dan engkoh Thio sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan orang lain, sepanjang perjalanan sampai di sini, kita pun
tak pernah menimbulkan kesalah-pahaman orang, kenapa setelah urusan jadi beres,
kau malah mempersoalkan segala urusan tetek-bengek" Go-ko, aku tidak mengerti."
"Kau adalah putri tunggal Lui-congtongcu ... aku ... ai, pokoknya aku merasa tak
pantas untuk mengangkat saudara denganmu," kata Thio Than sambil menghela napas
panjang, "terus terang saja aku berkata, dalam sebulan ini demi kau, aku telah
bergabung dengan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, tapi aku ... aku selalu merasa
bahwa perkumpulan itu sama sekali ... sama sekali tak cocok dengan karakterku!"
"Engkoh Thio adalah seorang lelaki berjiwa terbuka, ksatria dan menjunjung
kebenaran, betul, perbuatan serta sepak terjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong
memang tak bakal cocok denganmu, seandainya bukan lantaran Siau-moay, mungkin
Go-ko sudah pergi meninggalkan aku sejak dulu," kata Lui Tun sedih, "tapi, Go-ko
toh bisa tak usah bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kau bisa saja
mendampingi Siau-moay tanpa melibatkan diri dengan urusan partai" Tiap orang
punya sudut pandang yang berbeda, Siau-moay pun tak berani menggunakan
perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk menahan Go-ko, cuma Bicara sampai di sini
gadis itu kembali menghela napas panjang, terusnya, "Atau mungkin ... engkoh
Thio sudah muak berkumpul dengan Siau-moay sehingga berniat pergi meninggalkan
aku" Tak heran kalau kau selalu menyebutku nona Lui... kalau memang itu
alasannya, tentu saja Siau-moay tak akan menahan lebih jauh."
"Jangan bilang begitu," seru Thio Than gelisah, "aku tidak bermaksud begitu,
sejak mengangkat saudara di gardu Ciu-gi-teng tempo hari pun aku tak pernah
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berani menyebutmu adik, meski dalam hati kecil aku selalu memandangmu sebagai
adik, tapi aku tetap berpendapat bahwa diriku tidak pantas ..."
"Perkataan apa itu" Soal ini tidak menyangkut pantas atau tidak" tukas Lui Tun
cepat, "sejak meninggalkan kota Tiang-an hingga tiba di Han-swe, seandainya
sepanjang jalan tak ada Go-ko yang melindungi aku, mungkin nyawaku sudah lenyap
sejak lama." "Ah, itu terhitung apa" Kecuali kungfu kucing kaki tiga, apa pun tidak kupahami,
malah dengan kepintaran Jit-moaycu, kau pernah menyelamatkan aku satu kali,
kejadian ini benar-benar membuatku malu," kata Thio Than sedih, "tapi sejak tiba
di ibukota, aku lihat para jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong maupun Kim-hong-
si-yu-lau ternyata jauh lebih tangguh dari kemampuanku, apalagi setelah ayahmu
mendemonstrasikan kemampuannya tadi, aku merasa biarpun belajar selama hidup
juga belum tentu kepandaianku bisa mencapai taraf sehebat itu. Ti-toatongcu
meski belum turun tangan, tapi aku pun tahu kalau dia sangat lihai, apalagi jika
Jit-moaycu sudah menikah dengan So Bong-seng dari Kim-hong-si-yu-lau, dengan
kemampuan si batu kecil berdua, mereka sudah lebih dari cukup untuk melindungi
keselamatanmu. Kedatanganku ke ibukota kali ini tidak punya maksud lain, aku hanya ingin
menjaga agar orang tidak mengganggu Jit-moaycu, tapi sekarang, coba kau lihat,
apa yang bisa kuperbuat" Aku hanya membikin malu orang saja ...."
Setelah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia melanjutkan, "Mumpung belum
kehilangan muka, aku pikir lebih baik berpamitan saja dengan Jit-moaycu, bila di
kemudian hari Jit-moaycu masih teringat dengan aku si Gentong nasi, aku pasti
akan berterima kasih sekali."
Lui Tun menjadi girang ketika mendengar Thio Than memanggil Jit-moaycu
kepadanya, namun perasaan sedih kembali menyelimuti wajahnya begitu ia mulai
menyinggung masalah perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau.
Setelah termenung beberapa saat, ujarnya, "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong
memiliki jago yang hebat, atau Kim-hong-si-yu-lau memiliki jago yang tersebar
sampai dimana-mana, apa urusannya dengan aku" Kini aku tak lebih hanya seorang
manusia yang terkekang, ayah menginginkan aku menikah dengan So-kongcu,
menjadikan aku sebagai salah satu pemilik Kim-hong-si-yu-lau, kemudian
menggunakan aku sebagai umpan guna memancing Kwan Jit masuk perangkap, mereka
menganggap diriku sebagai apa?"
"Perbuatan Lui-congtongcu memang sedikit kelewatan, So Bong-seng pun tidak tahu
diri!" Un Ji selama ini hanya membungkam karena tidak tahu persoalan apa yang sedang
dibicarakan, tapi begitu mendengar ucapan yang terakhir, kontan saja dia melotot
besar sambil membentak gusar, "Kau berani memaki Sukoku?"
"Betul, betul" mendadak Tong Po-gou ikut menimbrung, "perkataanmu memang betul
sekali!" Un Ji tidak menyangka kalau dalam keadaan begini Tong Po-gou justru menginjak
kaki belakangnya, saking jengkel dan mendongkolnya untuk sesaat dia tak mampu
berkata-kata. Kepada Thio Than ujar Tong Po-gou lagi, "Tahukah kau, kenapa aku mengatakan
betul secara berulang kali?"
Saat ini Thio Than tidak berminat untuk menanggapi perkataan orang, dia sama
sekali tidak menggubris. Melihat itu Tong Po-gou segera berkata lagi, "Ketika mengucapkan betul untuk
kedua kalinya tadi, karena aku mengang?gap umpatanmu memang sangat tepat, tapi
tahukah kau kenapa aku mengatakan betul untuk pertama kali tadi?"
Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjawab, Tong Po-gou kembali
berkata, "Aku mengatakan betul karena sangat setuju dengan umpatanmu kepada dirimu
sendiri, kungfumu memang cuma kungfu kucing kaki tiga, itu tidak keliru!"
Lui Tun tak ingin Thio Than geger lagi dengan Tong Po-gou, lekas dia mengalihkan
pembicaraan, katanya, "Masih ingat tidak, ketika pertama kali berkenalan
denganmu, aku sempat memanggil Siau-thio kepadamu bahkan sampai sekarang pun aku
tak sanggup mengubah kebiasaan itu, padahal kau adalah kakak kelima! Coba lihat,
Siau-moay benar-benar tak tahu aturan."
"Aku tak pernah mempersoalkan segala nama sebutan, buat apa mempersoalkan
tingkatan nama panggilan, tak ada gunanya," lekas Thio Than berkata.
"Lantas kenapa Go-ko masih mempersoalkan perkumpulan di belakang Siau-moay" Yang
penting Go-ko datang ke ibukota untuk mengantar Siau-moay, bukankah begitu?"
"Tadi nona Lui pernah berkata bahwa jadi manusia harus tahu diri, aku kuatir
perbuatanku ini kelewat tak tahu diri, kelewat tidak menilai bobot sendiri."
"Perkataan tadi sengaja kuucapkan untuk mengunci Pek Jau-hui yang sombong dan
jumawa, kenapa malah kau masukkan ke dalam hati?" seru Lui Tun, "sudah,
sudahlah, biar Siau-moay minta maaf kepadamu, tapi kau jangan memanggil aku nona
Lui lagi, bagaimana kalau sebut aku Jit-moaycu atau Siau-moaycu saja?"
"Tidak baik, sekalipun kita sudah angkat saudara, namun sepanjang jalan lebih
baik aku tetap memanggilmu sebagai nona Lui saja, karena kecuali mempunyai Toaci
yang sama, antara kau dan kami sebetulnya beda sekali."
"Terserahlah apa maumu, yang pasti aku tetap akan menganggapmu sebagai Go-ko,
aku tak ingin kau pergi."
"Siapa bilang aku akan pergi" Paling tidak aku pun harus menunggu penyelesaian
dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau, setelah yakin tak ada
yang akan menganiaya dirimu, aku baru akan pergi dari sini," setelah tertawa
lirih kembali ujar Thio Than,
"padahal dengan kepandaian yang kumiliki, jika benar-benar terjadi pertarungan,
mungkin aku tak bisa melindungi siapa pun."
Belum lagi Lui Tun mengucapkan sesuatu, dengan suara menggeledek Tong Po-gou
telah berteriak keras, "He, Gentong nasi, siapa bilang kau tak mampu" Buktinya
kau masih mampu bertarung dengan aku si manusia tanpa tandingan di kolong
langit, bahkan nyaris bertarung seimbang."
Kata "nyaris" sengaja ditekankan, seakan dia ingin semua orang mendengar dengan
jelas ucapannya itu. Kendatipun dia sedang 'memberi semangat' kepada Thio Than, namun dia pun ingin
menunjukkan kalau kepandaian silatnya sama sekali tak kalah dengan orang itu.
ooOOoo 48. Aku mau Thio Than hanya tertawa getir, sama sekali tidak berusaha membantah.
Akibatnya Tong Po-gou merasa amat kesal. Biasanya, ketika berkumpul dengan Pui
Heng-sau sekalian, kalau ada waktu senggang mereka sering cari keributan sendiri
untuk mengusir waktu, tapi setelah bertemu Un Ji di ibukota, meski di mulut ia
sering mencari keributan, sesungguhnya secara diam-diam ia selalu berusaha
melindungi gadis ini. Dia tahu, kendatipun Un Ji adalah adik seperguruan So Bong-seng, ada banyak jago
Kim-hong-si-yu-lau yang melindungi dirinya, tapi gadis ini masih cetek
pengalaman, banyak masalah yang belum ia ketahui, bila orang semacam ini
tergencet dalam kemelut antara Kim-hong-si-yu-lau, perkumpulan Lak-hun-poan-tong
dan perkumpulan Mi-thian-jit-seng, jelas dia akan banyak menderita kerugian.
Karena pertimbangan inilah, ia lebih suka dimaki-maki Un Ji ketimbang
meninggalkan gadis itu seorang diri.
Kali ini gara-gara datang ke rumah makan Sam-hap-lau, ia telah berjumpa dengan
Thio Than, yang dalam anggapannya orang ini mirip dengan rekannya Pui Heng-sau,
kalau iseng lantas suka cari gara-gara dan keributan, hal ini membuat
perasaannya yang sudah masgul jadi cerah kembali, karena waktu bisa dilalui
dalam gurauan dan keributan.
Siapa tahu gara-gara urusan Lui Tun, Thio Than jadi kehilangan semangat,
gurauannya yang tidak ditanggapi oto?matis mempengaruhi juga kemasgulan di
hatinya. "Padahal tak ada yang perlu dikenang di kotaraja ini," kata Lui Tun kemudian
dengan nada murung, "begitu urusan di sini selesai, aku pun ingin berkumpul
bersama saudaraku yang lain di perkampungan Tho-hoa-ceng, betapa nikmatnya
setiap hari hanya berpesiar ke sana kemari
"Kalau bisa begitu memang bagus sekalisambung Thio Than.
"Memangnya tak mungkin?" tanya Lui Tun seraya berpaling.
"Ah, tidak, tidak "Aku rasa perkataanmu tadi belum selesai."
"Aku hanya merasa kau bukan manusia macam begitu," kata Thio Than seraya
menggeleng, "kau sangat berbeda dengan para Toaci di perkampungan Tho-hoa-ceng,
bagi mereka, mau mengasingkan diri, mau jauh dari keramaian, semuanya bisa
dilakukan secara gampang, sebaliknya kau ... kau sangat memasyarakat, kau pun
sangat mampu." "Aku sangat mampu?" Lui Tun tertawa geli, sewaktu tertawa, matanya tinggal satu
garis, "padahal bisa hidup sampai sekarang pun-sudah termasuk satu
kemukjizatan." Un Ji yang mendengar dan menyaksikan semua itu segera mengambil kesimpulan, tak
heran Lui Tun begitu lembut dan cantik, tubuhnya begitu tipis seakan gampang
retak, mungkinkah semua gadis cantik selalu bernasib jelek" Apakah gadis cantik
bernasib jelek selalu akan menjadi bibit bencana.
Gadis cantik yang tidak bernasib jelek apakah akan menjadi sumber bencana juga"
Pikir punya pikir, dia seakan lupa bahwa dia sendiri pun termasuk gadis cantik.
Sementara itu Thio Than telah berkata dengan suara keras, "Nona Lui, kau jangan
berkata begitu, bisa kungfu atau tidak sebenarnya bukan hal yang penting, aku
masih ingat, waktu itu adalah bulan enam tanggal satu, aku hendak pulang ke
telaga Ing-tham untuk menjenguk keluarga Lui Tun tertawa, matanya berkilauan
bagai bintang timur, senyum riang kembali menghiasi wajahnya, selanya, "Jadi
waktu itu Go-ko benar-benar pulang kampung ... pulang untuk melamar gadis
pujaanmu?" Thio Than ikut tertawa, paras mukanya merah padam karena jengah, dasar mukanya
hitam hingga membuat semu merah yang menghiasi wajahnya nampak lebih gelap.
Tapi hanya sebentar saja rasa jengah itu segera lenyap dan berganti jadi rasa
gusar yang meluap. "Ketika aku tiba di dusunku, ternyata segala sesuatunya telah berubah.
Berbicara sampai di sini ia tak bicara lagi, mungkin dia memang tak sanggup
untuk melanjutkan perkataannya.
"Tapi semua itu sudah berlalu, sudah menjadi kenangan saja," lekas Lui Tun
menimpali. "Aku tahu, itulah sebabnya dalam satu tahun terakhir aku selalu berusaha untuk
tidak memikirkannya lagi," kata Thio Than dengan suara berat dan dalam, "aku
hanya ingin bercerita dan memberitahu kepadamu, kalau bukan kau telah
menyelamatkan aku, padahal kau tak pandai bersilat, mungkin aku sudah mati di
tangan Piat Jin-thian "Justru karena kejadian itu, aku baru berjodoh hingga berkenalan dengan Go-ko."
"He, siapa sih yang kau maksud" Apakah orang itu adalah si manusia buas Thian-
locu?" sela Tong Po-gou tiba-tiba.
Thio Than sama sekali tidak menggubris.
"Kejadian yang sudah lewat buat apa disinggung lagi," kata Lui Tun kemudian.
"Jit-moaycu" kata Thio Than dengan serius, "walaupun kau tidak mengerti ilmu
silat, namun kebaikan hatimu, kecuali Toaci, rasanya tak ada lagi yang bisa
menangkan dirimu." Lui Tun tertawa ringan. "Aku tahu apa maksudmu itu," katanya lembut, "oleh karena itu aku pun tak berani
kelewat memandang diriku sendiri, itulah sebabnya ... bukankah aku hidup terus
sampai hari ini?" "He, sebetulnya apa yang sedang kalian bicarakan?" seru Tong Po-gou nyaris
meraung keras, "kalau bicara jangan sok rahasia, terhitung lelaki macam apa dirimu itu!"
Un Ji sendiri pun tak mampu menahan diri, setengah merengek serunya,
"Katakanlah, katakanlah apa yang sedang kalian bicarakan..."
Melihat Thio Than sama sekali tidak menggubris, ia segera berseru lagi, "Kalau
kau tak mau bicara, berarti kalian tidak menganggap kami sebagai teman lagi?"
Melihat Thio Than tetap tidak menggubris, akhirnya dengan sedikit gusar
teriaknya, "Baik, kalau kau tak mau bicara ya sudah, sekarang biar kau paksa aku
untuk mendengar pun, nonamu tak bakal sudi mendengar!"
Thio Than tetap tidak menjawab.
Baru saja Un Ji mau unjuk kegusarannya, lekas Lui Tun mencegah, katanya, "Adik
Ji, kau tak usah marah, kalau ada waktu main saja ke perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, Cici pasti akan bercerita panjang lebar denganmu."
Sesudah mendengar janji ini, Un Ji baru menampilkan senyumannya kembali.
Dalam pada itu Tong Po-gou masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut
melongo, terdengar ia sedang bergumam seorang diri, "Aneh, sungguh kejadian aneh
..." Kini giliran Thio Than yang keheranan, tanyanya, "Kejadian aneh apa?"
Sebenarnya orang inipun termasuk golongan manusia yang suka mencampuri urusan
orang lain, tadi ia belum pulih dari kesedihannya karena terkenang kembali
kejadian masa lampau, maka sikapnya seolah berubah jadi orang lain, tapi setelah
perasaannya tenang kembali, wujud aslinya pun segera muncul kembali.
"Luar biasa, benar-benar luar biasa," kembali Tong Po-gou berseru.
"Apanya yang luar biasa?" lagi-lagi Thio Than bertanya.
"Perempuan, ai, perempuan Tong Po-gou menghela napas panjang, "ternyata
perempuan banyak tingkahnya, jauh melebihi senjata rahasia dari keluarga Tong
kami." "Jadi kau benar-benar anggota perguruan keluarga Tong dari Siok-tiong?"
Tiba-tiba Tong Po-gou membalikkan tubuhnya, sambil melotot dengan matanya yang
besar,* serunya, "Apakah aku dari keluarga Tong?"
"Benar!" "Apakah orang yang bermarga Tong pasti berasal dari keluarga Tong yang ada di
wilayah Suchuan" Memangnya tak ada keluarga lain selain keluarga itu" Apakah
senjata rahasia yang digunakan orang bermarga Tong harus merupakan senjata
rahasia dari benteng keluarga Tong di Suchuan" Tak mungkin ada keluarga yang
lain?" Thio Than yang dicerca dengan serentetan pertanyaan jadi gelagapan sendiri,
serunya tergagap, "Ada sih ada ... cuma ... cuma..."
"Cuma kenapa" Cepat katakan, kalau ingin ken ... cepat dilepaskan," teriak Tong
Po-gou keras, sebetulnya dia ingin mengatakan kentut, tapi teringat di situ
hadir dua gadis muda, maka ucapan itu segera dibatalkan.
"Kecuali keluarga Tong dari Suchuan, rasanya tiada keluarga Tong lain yang punya
nama," jawab Thio Than kemudian.
"Kau salah besar, masih ada satu keluarga lagi yang nama besarnya menggetarkan
sungai telaga," ujar Tong Po-gou serius, "keluarga Tong dari Po-hwi jauh lebih ternama daripada
keluarga Tong dari Suchuan."
"Ooh, jadi kau yang mendirikan perguruan itu?"
"Sama sekali bukan, ada sejarah sebagai bukti. Kau sangka aku adalah manusia
latah yang berani sok gagah-gagahan?"
Kali ini giliran Un Ji dan Thio Than yang dibuat kebingungan, bagaimanapun
mereka mencoba untuk berpikir, tidak berhasil juga menemukan sebuah nama
keluarga Tong yang begitu tersohor, akhirnya tak tahan mereka bertanya, "Siapa
sih orang yang kau maksud?"
"Tong Sam-cong!" jawab Tong Po-gou sambil tertawa tergelak, "senjata rahasianya
adalah gelang emas yang telah beliau gunakan untuk mengendalikan Sun Go-kong,
benda itu pemberian Buddha Ji-lay-hud!"
Hampir mencak-mencak gusar Thio Than setelah mendengar jawaban itu, umpatnya,
"Sialan kau! Kenapa tidak kau sebut juga kaisar Tong Beng-huang" Sehingga bisa membunuh orang
dalam mimpinya?" Lekas Lui Tun mencegah, katanya, "Un Ji merupakan gadis paling manja yang pernah
kujumpai,dia pun terhitung adikku yang paling baik, semestinya Go-ko juga tahu,
Tong Ki-hiap itu suka bergurau, apa salahnya kalau dia mengajak kalian bergurau
untuk meramaikan suasana?"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Gurauan hanya bisa dilakukan terhadap
mereka yang punya bobot dan pengetahuan, Tong Ki-hiap bermata jeli, kali ini dia
bisa memilih sasaran yang tepat."
Dengan sepatah kata saja dia telah memunahkan semua kebekuan yang terjadi di
situ. Mau tak mau terpaksa Un Ji harus jadi seorang nona alim.
Thio Than pun terpaksa harus menerima gurauan itu dengan berbesar hati.
"Kita tak perlu mempersoalkan apakah Tong Sam-cong benar-benar bermarga Tong,
tapi kita harus mengakui bahwa Tong Ki-hiap memang seorang yang sangat kreatip,
buktinya dia bisa menghubungkan siluman kera Sun Go-kong sebagai salah satu
pendekar dalam dunia persilatan, ide ceritanya memang luar biasa," kata Lui Tun
sambil tertawa, "mungkin saja dia benar, cerita dongeng di masa lalu mungkin
merupakan cikal-bakal dari cerita silat jaman sekarang, hanya cerita kuno selalu
diberi bumbu yang hebat. Siapa tahu pahlawan itu dulunya memang pernah ada,
hanya kemampuannya saja yang berbeda."
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cici Lui, masa kau anggap aku adalah gadis alim?" tegur Unji.
"Eh kenapa" Memangnya bukan anak alim?" Lui Tun balik bertanya dengan wajah
tercengang. Un Ji menghela napas panjang, katanya, "Anak gadis sekarang jarang yang alim,
mereka suka belajar rusak, semakin rusak semakin bisa diterima orang banyak,
semakin belajar rusak semakin banyak temannya, bahkan seringkah justru disanjung
banyak orang." "Ah, benarkah begitu" Apa benar situasi dalam dunia persilatan sudah separah
itu?" "Benar, malah aku sendiri pun merasa bahwa diriku ini tidak alim, orang rumahku
selalu kubuat jadi ketakutan bila melihat kehadiranku, Suhu pun selalu bilang,
di antara sesama saudara seperguruan, aku terhitung paling nakal, suka mengacau
"Orang yang pintar baru nakal, mungkin Suhumu sengaja mengajakmu bergurau
"Tidak, di hari-hari biasa Suhu memang ramah kepadaku, tapi begitu dia mulai
memberi nasehat, bisa bikin pecah nyali yang mendengarnya."
"Gurumu Ang-siu Sinni adalah salah satu tokoh persilatan yang sangat dihormati
orang, sudah lama dia hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia, mungkin saja
nasehatnya mempunyai tujuan tertentu dan bukan teguran, jika dia tak
menyayangimu, masakah beliau mengijinkan kau menempuh perjalanan ribuan li hanya
bertujuan untuk membujuk Toa-suhengmu agar mau berubah pikiran
"Itulah dia," seru Un Ji dengan mata mulai memerah, "alangkah baiknya jika
mereka ijinkan aku pergi."
Begitu perkataan itu diucapkan, Lui Tun maupun Thio Than jadi terperanjat.
"Maksudmu ..." Lui Tun bertanya keheranan.
"Jadi kau kemari tanpa sepengetahuan guru dan ayahmu sambung Thio Than.
"Jadi mereka tidak tahu?"
"Ya, dan kau tetap nekat datang kemari?"
Menyaksikan paras muka semua orang berubah hebat, kembali mata Un Ji berkaca-
kaca, hampir saja air mata jatuh bercucuran.
Cepat Lui Tun menepuk bahunya sambil menghibur, "Kau pernah berkata,
kedatanganmu kali ini lantaran gurumu Ang-siu Sinni mengutus kau untuk mencari
So-suko, bahkan ayahmu Siong-yang-cap-kau-kiu (sembilan belas tangan sakti dari
Siong-yang) Un Wan, Un-tayjin juga setuju akan kepergianmu ini, ternyata ...
ternyata kau mengeluyur pergi tanpa pamit..."
"Itulah dia," seru Un Ji cemberut, "coba kalau tidak mengeluyur pergi secara
diam-diam, mungkin sepanjang hidup mereka tak akan mengijinkan aku keluar rumah,
katanya aku harus belajar kungfu sampai tamat lebih dulu baru boleh turun gunung
... padahal berlatih kungfu itu membosankan, tidak menyenangkan, kalau mesti
menunggu tamat belajar, mungkin aku sudah telanjur tua, aku sudah keriput, kalau
sudah tua baru turun gunung, apa senangnya ...?"
Diam-diam Thio Than seria Lui Tun bermandikan peluh, mereka bisa membayangkan
betapa panik dan cemasnya Angsiu Sinni serta Un Wan Tayjin setelah mengetahui
kepergian gadis ini. Terdengar Un II kembali berkata, "Seandainya aku benar-benar sedang menjalankan
tugas gar;, untuk memanggil pulang So-suko, mana mungkin aku masih berari berada
di ibukota untuk membuat onar dengan ayahmu."
Kini baik Lui Tun maupun Thio Than bam mengetahui dengan pasti bahwa kedatangan
Un Ji kali ini ke ibukota memang tanpa persetujuan dari gurunya, Ang-siu sinni
serta ayahnya Un Wan Tayjin.
Sebaliknya Tong Po-gou malah kegirangan setengah mati, serunya sambil bertepuk
tangan, "Bagus sekali, kalau begitu kau tak perlu tergesa-gesa pulang, ayo, kita main
dulu di kotaraja sampai puas, sekalian kita cari Sim-toako dan diajak main
bersama!" Yang dia sebut sebagai Sim-toako adalah Sim Hau-sian yang paling dihormatinya.
(Sim Hau-sian, Pui Heng-sau dan Tong Po-gou belakangan disebut orang persilatan
sebagai 'Jit-tay-ko', tujuh penyamun besar, walaupun disebut penyamun namun
banyak orang persilatan yang pernah menerima bantuan dari mereka, khususnya kaum
fakir miskin. Nama besar mereka sangat dihormati bahkan kiu-ci-koat itu, Lui Sun
telah menyatukan daya cipta yang kuat, hawa mumi yang dahsyat serta kelincahan
jurus yang hebat, tiga hal menjudi satu kekuatan, tak heran jika daya pengaruh
yang terpancar keluar dari serangan jarinya itu luar biasa hebatnya.
Kesembilan huruf ilmu Mi-tiong-kuai-man-kiu-ci-koat itu adalah ' I .eng-peng-to-
ci-cia-tin-liat-cay-kian' (membawa pasukan tempur bubar duluan sebelum terbentuk
barisan), dan semua huruf yang terkandung di situ merupakan jurus serangan maut
yang bisa menghasilkan kekuatan mengerikan.
Huruf pertama dari ilmu itu adalah 'Leng', jari ditekuk menghadap ke arah
telapak tangan, ruas kedua jari saling bersinggungan dengan ujung jari telunjuk
saling menempel, inilah jurus Tok-ku-eng (ilmu jari kering kerontang) dari Mi-
tiong-tay-jiu-eng. Huruf kedua adalah Teng', posisi jari persis seperti posisi huruf pertama, hanya
di dalam gerakan ini kedua ujung ibu jari yang saling menempel, jari tengah
melingkar pada ibu jari. Inilah jurus Tay-kim-kong-lun-eng (ilmu jari kim-kong
berputar). Huruf ketiga To', sepasang telapak saling singgung dengan jari saling menempel,
jari tengah bersilangan dengan jari telunjuk dan menekan sejajar rata, sementara
ibu jari, jari manis dan kelingking tetap dalam posisi berdiri, inilah jurus
Gwa-say-cu-eng (ilmu jari singa sakti luar).
Huruf keempat 'Ci', jari tengah saling bersilang dengan jari manis menjepit, ibu
jari, jari telunjuk dan kelingking menyertai dnri kiri kanan, jurus ini disebut
Lwe-say-cu-eng (Ilmu jari singa .sakti dalam).
Huruf kelima 'Cia', sepuluh jari kiri dan kanan saling bertautan, ujung jari
ditonjolkan menghadap keluar dengan jari kanan berada lebih ke depan, jurus ini
adalah Gwa-hok-eng (Ilmu jari membelenggu keluar).
Huruf keenam Tin', telapak tangan sedikit ditekuk dengan sepuluh jari saling
menyilang, ibu jari kanan diletakkan di atas ibu jari kiri dan diarahkan ke
atas, jurus ini disebut Lwe-hok-eng (Ilmu jari membelenggu ke dalam).
Huruf ketujuh 'Liat', kecuali ibu jari kiri menghadap ke atas dan tertuju
keluar, jari lain menekuk ke arah telapak tangan, ibu jari berada di lingkaran
luar sementara ibu jari kanan membentuk huruf 7, jari yang lain mencekal di atas
ibu jari kiri, jurus ini disebut Ci-kun-eng (ilmu jari kepalan cerdas).
Huruf kedelapan 'Cay', kesepuluh jari direntangkan membentuk kipas dengan ujung
jari saling berhadapan, telapak menghadap keluar, bagian tengah membentuk
lingkaran, jurus ini disebut Jit-lun-eng (ilmu jari bola matahari).
Huruf kesembilan 'Kian', tangan kiri mengepal seperti tinju dengan ibu jari
kanan menempel di ruas jari telunjuk tangan kiri, jurus ini disebut Yin-seng-eng
(Ilmu jari wujud). Tangan kiri Lui Sun sebenarnya hanya tersisa jari tengah dan ibu jari, tapi
sekarang ia telah mengenakan tiga buah 'jari' palsu. Jari yang terbuat dari
kayu. Tentu saja karena terbuat dari kayu maka gerak-geriknya tidak secepat dan
selincah jari yang terbuat dari darah daging.
Ong Siau-sik yang memiliki kungfu hebat dan tenaga dalam sempurna pun lama
kelamaan dibuat berkunang-kunang setelah menyaksikan jurus serangan itu, apalagi
Kwan Jit yang sudah menderita luka parah dan sekarang harus bertarung dalam
jarak dekat. Begitu Lui Sun mengembangkan ilmu sembilan hurufnya, cahaya Buddha serasa
memancar dari balik wajahnya, siapa pun tidak menyangka kalau Lui Sun yang
tangannya penuh berle-potan darah dan sudah banyak membunuh itu ternyata
memiliki ilmu silat yang penuh dengan jiwa serta hawa Buddha, hampir sejajar
dengan nama besar 4 opas. Cerita tentang Sim Hau-sian dan kawan-kawan akan
diterbitkan tersendiri dalam serial Tujuh penyamun).
"Bagus sekali!" seru Un Ji kegirangan, ia segera menarik tangan Lui Tun sambil
mengajak, "Ciri, kau juga ikut!" Lui Tun tersenyum.
"Sebelum meninggalkan ibukota, lebih baik adik jadi tamuku dulu, banyak
persoalan yang ingin Ciri bicarakan secara pribadi denganmu."
Mendengar ajakan itu, Thio Than segera menyela, "Un-lihiap adalah anggota Kim-
hong-si-yu-lau, dia pun masih terhitung adik seperguruan So-kongcu, apakah
leluasa mengajaknya datang ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
"Ah, kau banyak curiga," seru Un Ji mendongkol, "memangnya perkumpulan Lak-hun-
poan-tong bisa berbuat apa ter?hadap nonamu" Dia bisa membunuhku?"
Setelah menyaksikan pertarungan seru antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan
Kim-hong-si-yu-lau melawan Kwan Jit, tapi masih bisa tampil percaya diri,
mungkin di dunia ini hanya ada Un Ji seorang.
Tentu saja masih ada seorang lagi, orang itu tak lain adalah Tong Po-gou.
Terdengar manusia raksasa itu berseru kegirangan, "Bagus, aku juga mau ikut ke
sana." "Mau apa kau ikut ke sana?" tegur Lui Tun sambil mendongakkan kepala.
Tong Po-gou agak tertegun, dengan gelagapan sahutnya, "Aku ... aku hendak
melindungimu "Siapa butuh perlindunganmu"' seru Un Ji mendongkol.
"Aku Tong Po-gou semakin gelagapan dibuatnya, "aku ... terpaksa aku..."
"Mau apa kau?" "Aku dan Cici ingin bicara secara pribadi, masa kau juga mau ikut?" sambung Un
Ji pula sambil tertawa. "Kalau begitu ... kalau begitu aku akan mencari satu tempat untuk menunggumu."
"Kau tak usah menunggu aku lagi."
Sementara itu Lui Tun telah berpaling ke arah Thio Than sambil bertanya, "Go-ko,
apakah kau juga sekalian mau mampir ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
"Aku rasa, mungkin belakangan saja," jawab Thio Than setelah berpikir sejenak.
"Go-ko "Ooh, aku sih tak akan pergi, semisal mau pergi pun tentu akan mengabarkan dulu
kepadamu, tak usah kuatir, aku tak bakal pergi tanpa pamit," kata Thio Than
perlahan, "aku hanya ingin berpikir seorang diri dengan tenang ... cuma aku
tetap masih kuatir, Un-lihiap, dia "Kau pun tak usah kuatir, ayah tahu kalau Un-
lihiap sebenarnya tidak mempunyai hubungan yang mendalam dengan Kim-hong-si-yu-
lau, yang ingin dia hadapi adalah So-kongcu, jika sampai menyalahi adik Un,
artinya dia hendak membuat permusuhan dengan Ang-siu Sinni serta Un Wan Tayjin,
tindakan semacam ini sangat tidak menguntungkan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, selain itu juga tak berpengaruh apa-apa terhadap So-kongcu. Apalagi
sekarang perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah ambruk, aku rasa di dalam kota tak
bakal ada orang yang mampu mengusik kami berdua."
Setelah mendengar uraian Lui Tun ini, Un Ji sendiri pun segera mendapat tahu
bahwa gadis itu telah memberi keterangan secara samar bahkan kehadiran Un Ji di
situ sebetulnya tak ada nilai strategisnya, karena itu biar ditangkap pun tak
akan menghasilkan keuntungan apa-apa.
Sementara itu Lui Tun telah berkata lagi, "Siau-thio, bila kau ... ah, lagi-lagi
aku lupa memanggil Go-ko, rupanya kau kuatir ada pihak lain yang akan mengganggu
kami bukan" Jangan kuatir, dengan kemampuan perkumpulan Lak-hun-poan-tong
ditambah Kim-hong-si-yu-lau, aku rasa tak nanti ada yang berani mengusik kami
berdua." Thio Than sadar, apa yang dikatakan Lui Tun sesungguhnya memang merupakan
kenyataan. Lui Sun telah meninggalkan nenek kedelai dan Lim Ko-ko, dua orang Tongcunya
untuk menunggu di kejauhan sana, jelas kedua orang itu mendapat tugas mengawal
Lui Tun pulang ke markas.
Tampaknya setelah tiba di ibukota, Lui Tun memang sudah tak membutuhkan
pengawalannya lagi. Dalam pada itu Un Ji juga sedang sibuk menyuruh Su Bu-kui yang tampaknya sengaja
ditinggalkan So Bong-seng untuk mengantarnya pulang ke markas Kim-hong-si-yu-lau
agar pu?lang terlebih dulu.
Tong Po-gou segera menghampiri Thio Than, sambil menepuk bahunya kuat-kuat
serunya, "Mari, kita tak usah mencampuri urusan mereka lagi, kita berdua harus
lebih bersemangat, ayo, pergi minum arak!"
"Lebih bersemangat?" Thio Than mengernyitkan keningnya, "aku justru kuatir kau
kelewat bersemangat!"
ooOOoo 49. Membakar dupa "Apa yang kau kuatirkan?"
Begitu naik ke dalam kereta, Lui Sun berkata kepada Ti Hui-keng, "Mengharapkan
sahabat karib hingga hari tua, di kolong langit hanya ada Ti Hui-keng."
Satu-satunya sahabat karib Lui Sun, kecuali Kwan Siau-ti di masa lalu, mungkin
hanya ada Ti Hui-keng seorang.
Apakah satu-satunya sahabat karib Ti Hui-keng juga hanya Lui Sun"
Selisih jarak antara Lui Sun dan Ti Hui-keng waktu itu hanya sembilan senti.
Kereta kuda itu memang besar, sangat lebar.
Sekalipun berada di kotaraja, kecuali keluarga Kaisar atau pembesar tinggi,
jarang sekali ada orang memiliki kereta kuda semegah dan semewah itu.
Saat ini mereka berdua duduk bersandar dinding kereta.
Di bagian tengah terdapat sebuah benda yang besar.
Tentu saja benda itu tak lain adalah peti mati itu.
Peti mati itu dipindahkan orang atas perintah Lui Sun secara hati-hati.
Orang yang boleh memindahkan peti mati itupun bukan saja harus mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dia pun harus jagoan
yang memiliki ilmu silat amat tangguh.
Sekalipun mempunyai kedudukan tinggi, memiliki kungfu hebat pun bukan berarti
secara otomatis dapat menggotong peti mati itu, mereka harus dipercaya dulu oleh
Lui Sun kemudian baru melalui seleksi yang teliti dan amat ketat.
Yang dipilih Lui Sun adalah orang yang amat bersih. Orang yang istimewa
bersihnya! Biasanya orang yang hebat ilmu silatnya, jarang sekali mempunyai kebersihan yang
luar biasa, hal ini mungkin dikarenakan mereka tak punya banyak waktu untuk
merawat diri, merias diri dan membersihkan diri.
Tapi bukan berarti sama sekali tak ada.
Manusia seperti inilah yang dipilih Lui Sun dalam tugas itu.
Orang itu harus luar biasa bersihnya dan berilmu silat sangat hebat.
Bahkan dia harus memiliki sepasang tangan yang luar biasa bersihnya, tak boleh
ada kuku, tak boleh memegang barang kotor, seandainya waktu menggotong peti mati
itu ketahuan oleh Lui Sun kalau tangannya agak kotor ... seperti misalnya, baru
saja membersihkan lubang hidung, baru saja memegang bagian 'bawah' seorang
wanita, membersihkan sisa makanan di sela gigi... dia tak segan akan memotong
tangan orang itu. Ia bisa berkata, bisa pula melakukannya, karena dia adalah Lui Sun.
Apa yang ingin dilakukan Lui Sun, selamanya harus bisa terlaksana.
Selama beberapa tahun terakhir, mungkin satu-satunya harapan yang tak terpenuhi
hanyalah masalah menghadapi So Bong-seng, membasmi Kim-hong-si-yu-lau dari muka
bumi. Di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, penggotong peti mati merupakan satu
kedudukan yang sangat mulia dan patut dibanggakan, tapi termasuk juga satu
pekerjaan yang bere-siko tinggi, jauh lebih berbahaya daripada mereka yang
mendapat tugas melakukan pertempuran.
Oleh karena itu kebanyakan terdiri dari anak muda.
Lui Sun memang sangat menyukai anak muda.
Selalu bergaul dan berkumpul dengan anak muda membuat perasaan dan pikirannya
tak pernah jadi tua. Sebelum menggotong peti mati itu, paling tidak kawanan anak muda itu harus
mencuci tangannya sebanyak tiga kali, oleh sebab itu ada banyak petugas yang
membawa baskom air mengikut di belakang rombongan mereka, petugas pembawa baskom
air pun rata-rata merupakan orang pilihan yang bersih.
Oleh sebab itu dalam dunia persilatan tersiar berita yang mengatakan, melakukan
kesalahan kepada So Bong-seng, mungkin tak sampai dijatuhi hukuman mati, tapi
kalau berani menyalahi Tianglo dari Kim-hong-si-yu-lau, "Satu kata menjadi
kesepa?katan", tak nanti So Bong-seng akan melepaskan dirinya.
Begitu juga apabila kau tidak menghormati Ti Hui-keng, mungkin tak akan terjadi
sesuatu apa pun, sebab jalan pikiran Ti Hui-keng susah untuk diraba, termasuk
kapan dia marah, kapan dia gembira, terhadap siapa dia akan bersikap baik,
terhadap siapa dia akan bersikap jahat, jika membuat marah Lui Sun, mungkin saja
kau masih punya sedikit harapan untuk hidup, sebab di saat Lui Sun marah besar,
bisa saja dia membantai seluruh keluarga orang itu, tapi bisa juga dia malah
mengangkatmu menduduki posisi yang tak kau duga sebelumnya, karena Lui Sun
memang orang yang sukar diraba jalan pikirannya. Tapi jangan sekali-kali kau
mencoba menyentuh atau mengusik peti matinya itu.
Jika kau berani menyentuh peti mati milik Lui Sun itu, maka kau pasti akan
merasa menyesal kenapa mesti dilahirkan di dunia ini.
Inilah pantangan dari Lui Sun!
Pantangan nomor wahid! Ketika peti mati itu sudah diletakkan persis di tengah ruang kereta, Lui Sun
baru 'berani' naik ke atas kereta diikuti Ti Hui-keng di belakangnya.
Dia memang selalu tahu bagaimana melakukan pekerjaan sebaik mungkin, bukan siapa
cepat siapa belakangan tapi bagai?mana mengiringi pemimpinnya.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam hal ini dia memar.g selalu paham dan tahu diri.
Itulah sebabnya dia bernama Ti Hui-keng.
Ti Hui-keng yang selalu menempati kursi nomor dua dalam perkumpulan Lak-hun-
poan-tong. Dia sendiri pun sangat mengerti, andai kata dia tak selalu berpikir begitu
bahkan berbuat secara begini dan melakukannya dengan baik, mungkin sejak dulu
bangku nomor duanya sudah ambruk, hancur dan tak berwujud lagi, bukan saja
lenyap dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mungkin tak berwujud lagi dalam dunia
persilatan. Bukan hanya posisinya, mungkin termasuk dirinya.
Lui Sun amat menyukai Ti Hui-keng, dia pun menaruh hormat terhadap orang ini.
Sebab dia tahu Ti Hui-keng mengerti mana yang boleh dilakukan dan mana yang tak
boleh dilakukan. Bicara soal tahu diri, Ti Hui-keng tak disangkal adalah manusia jenis ini.
Punya ambisi, semangat dan kemampuan, tapi dia bersedia menempati bangku kedua,
mau menerima kenyataan dan bersedia mengiringi pemimpinnya, manusia macam begini
memang terhitung sangat langka.
Tak disangkal Ti Hui-keng memang manusia seperti ini.
Tapi sekarang, mengapa ia nampak murung dan masgul"
Apa yang dia kuatirkan"
Apakah pertarungan lusa tengah hari"
Atau dia masih mempunyai masalah lain"
Lui Sun tahu, inilah saat baginya untuk beristirahat, juga merupakan saat Ti
Hui-keng mulai bicara. Selama ini mereka dapat bekerja sama secara baik, masing-masing tahu peranan
masing-masing dan melakukan perannya secara baik, semua pihak sama-sama bertahan
pada garisnya, tidak saling mencampuri urusan orang lain, bahkan justru saling
menunjang dan menutupi kekurangan, hal ini membuat kekuatan perkumpulan Lak-hun-
poan-tong makin lama semakin bertambah hebat... seandainya tidak bertemu Kim-
hong-si-yu-lau. Di depan peti mati terdapat sebongkok hio, cong-hio, dupa wangi!
Dupa wangi memang sangat harum.
Bau harum dupa yang menyelimuti seluruh ruang kereta membuat suasana di situ
terasa nyaman. Tapi mengapa harus membakar dupa" Apakah ada orang mati yang berbaring dalam
peti mati itu" Kalau benar, siapa yang mati" Mengapa Lui Sun menaruh perhatian khusus
kepadanya" Kenapa tidak dikubur saja jenazahnya" Kenapa peti mati itu harus
digotong ke arena pertempuran sewaktu bertarung dengan Kim-hong-si-yu-lau di
rumah makan Sam-hap-lau"
Kalau bukan, kenapa harus membakar dupa"
Semua pertanyaan selamanya tetap akan menjadi pertanyaan.
Ketika kita mencoba untuk mengurai satu persoalan, jika kau menelusurinya lebih
lanjut secara serius maka akan muncul banyak sekali persoalan yang
membingungkan. Dan kini, yang diajukan Ti Hui-keng adalah salah satu di antaranya.
"Coba kau lihat hio itu!" katanya.
Lui Sun segera berpaling, hio itu masih menyala.
Sudah setengah batang hio yang terbakar, abu hio sedang runtuh ke bawah, rontok
di sisi cawan kecil yang digunakan untuk menampung abu.
Lui Sun tidak menyaksikan apa-apa.
"Kereta ini keras sekali bergoncang," kembali Ti Hui-keng berkata.
Semua perkataannya seolah hanya kata-kata sampah, sama sekali tak ada artinya.
Tentu saja kereta itu bergoncang keras karena sedang dilarikan dengan kencang,
bahkan sedang bergerak menuju ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Jika mengikuti kecepatan lari kereta kuda itu, mungkin tak sampai satu jam
kemudian mereka sudah akan tiba di markas besar.
Tapi Lui Sun tahu, bukan hal itu yang dimaksud Ti Hui-keng, maka dengan sabar ia
menanti perkataan selanjurnya.
"Hembusan angin di sini sangat kuat," Ti Hui-keng berkata lebih lanjut, "ketika
angin berhembus kencang, hembusan itu akan mempengaruhi hio yang sedang menyala,
di saat angin berhembus kencang, maka hio akan terbakar habis dalam waktu yang
lebih singkat." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Oleh sebab itu kurang tepat jika
kita menghitung waktu dengan hitungan sepertanakan nasi, sebab ada orang yang
cepat makannya ada pula yang sangat lambat, jika kita mengambil patokan cara
bersantap Thio Than, sahabat nona Lui Tun, belum lagi orang menyuap satu dua
sendok nasi, dia sudah menghabiskan dua tiga mangkuk nasi."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Begitu juga bila kita gunakan perhitungan
waktu dengan seperminuman teh, sebatang hio; sekejap mata, semuanya tidak
meyakinkan, tidak pas, bila masalah waktu tak penting, mungkin keadaan masih tak
seberapa, tapi kalau waktu sudah menentukan mati hidup seseorang, maka kita
harus memperhitungkannya dengan lebih seksama."
Kembali ia menundukkan kepalanya, namun berkilat sepasang matanya, katanya lagi,
"Tak ada waktu berarti tak ada cahaya matahari, kita pun tak bisa lemah, tak
bisa tua, tak bisa mati, mana mungkin dalam urusan yang penting kita tak
mempunyai perhitungan waktu yang tepat."
Kembali ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Aku rasa, di kemudian hari
pasti akan diciptakan semacam alat yang bisa menghitung perjalanan waktu secara
tepat, bahkan mungkin bisa menghentikan jalannya waktu."
"Semoga saja begitu," Lui Sun menanggapi pelan, "tapi bila sekarang kita tak
ingin lemah, tak ingin dikalahkan, tak ingin mati, maka persoalan pertama yang
harus diselesaikan terlebih dulu adalah masalah yang menyangkut So Bong-seng."
"Aku tahu, persoalan kita sekarang adalah persoalan So Bong-seng."
Lui Sun mulai tenang kembali, mulai putar otak dan berpikir.
"Semula kita menduga, So Bong-seng ingin lekas menyelesaikan pertarungan ini
lantaran dia sudah tak punya waktu lagi untuk menunggu," kata Ti Hui-keng,
"karena dia sakit!"
"Betul, masalah waktu rasanya merupakan masalah serius baginya," Lui Sun
mengangguk. "Waktu pun bagi kita sangat penting," ucap Ti Hui-keng lagi, "dia bahkan
menginginkan penyelesaian pertarungan dilakukan esok hari, untuk mencegah kita
mengulur waktu lagi, dia tak segan melepaskan kesempatannya untuk meraih
keuntungan melalui tempat, waktu dan lingkungan dengan menyanggupi permintaanku
untuk mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong."
Sekulum senyuman seakan tersungging di ujung bibir Lui Sun, ujarnya, "Tadi aku
memang sengaja bersabar serta menahan diri, aku ingin memelihara suasana hingga
rasa sombong dan jumawa So Bong-seng mulai tumbuh, sehebat dan setangguh apa pun
seorang manusia, apabila dia mulai sombong dan jumawa, saat itu gampang baginya
untuk melakukan kesalahan.
Dia masukkan sepasang tangannya ke balik saku, seolah sedang memeluk diri
sendiri, kemudian baru katanya lebih jauh, "Aku telah menggunakan kesempatan
tadi untuk menganalisa keampuhan serta kelemahannya, tadi aku selalu mengalah
sementara kau mewakiliku berhadapan dengannya, kerja sama kita pada saat itu
benar-benar luar biasa dan tak ada celahnya."
"Ada, ada celahnya" tiba-tiba Ti Hui-keng berkata, "kalau yang kita bentuk hanya
jaring langit, maka jaring langit kita pasti ada celahnya."
Lui Sun tersenyum. "Siong-yang-tay-kiu-jiu (sembilan belas tangan sakti dari Siong-yang) Un Wan
mempunyai seorang pembantu ampuh yang disebut orang Thian-i-yu-hong (jaring
langit ada celah), orang itu termashur namanya dalam dunia persilatan dan
ham?pir sejajar dengan 'Sampai berjumpa lagi'
dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan 'Satu kata sebagai kesepakatan' dari Kim-
hong-si-yu-lau, apakah orang ini yang kau maksudkan?" katanya.
"Bukan, bukan dia yang kumaksudkan. Aku hanya merasa heran, tidak seharusnya So
Bong-seng memperlihatkan kegeli?sahan, kecemasan serta kecerobohannya di hadapan
kita, agar kita mengetahui semua kelemahannya itu."
"Berarti dia sengaja memperlihatkannya kepada kita?"
"Rasanya begitu."
"Dia sengaja menampilkan sikap itu agar kita mengira dia sudah tak sabar
menanti?" "Kalau memang begitu, berarti dia masih bisa menunggu, paling tidak jauh lebih
bisa menunggu ketimbang kita, karena itu dia baru secara sengaja memperlihatkan
sikapnya yang seolah sudah tak sabar menunggu."
"Itu berarti kita harus merombak kembali semua analisa serta kesimpulan yang
pernah kita ambil tentang dia. Kalau dia bisa secara sengaja memperlihatkan
perasaan kuatir dan tak sabarnya, berarti dia memang sengaja hendak membuat kita
salah menilai dan menganalisa tentang dirinya.
Padahal kesalahan sekecil apa pun dalam sebuah pertempuran bisa berakibat
kekalahan fatal." "Betul. Ini berarti penyakit yang dideritanya tidak terlalu parah."
"Bahkan sama sekali tidak parah."
"Kakinya yang terhajar senjata rahasia juga tidak menunjukkan gejala yang
jelek." "Kelihatannya sih begitu," Ti Hui-keng menghela napas panjang, "meskipun kedelai
hijau dari Hoa Bu-ciok tak bisa dipunahkan dengan obat apa pun, meski racun yang
bersarang di lukanya segera dibersihkan pun bukan berarti bisa mencegah
menjalarnya racun itu ke bagian tubuh yang lain."
"Oleh sebab itu 'Satu kata sebagai kesepakatan' pasti masih hidup?"
"Bukannya sama sekali tak mungkin."
"Dia sengaja hendak menyerang markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
"Kemungkinan memang begitu." "Dia punya keyakinan untuk berhasil menang?"
"Paling tidak saat ini dia belum kalah." "Kita pun belum kalah."
"Karena kita belum melangsungkan pertarungan habis-habisan."
"Ya, kita baru bekerja sama untuk menumbangkan kekuatan perkumpulan Mi-thian-
jit-seng." "Tapi hingga kini Kwan Jit belum mampus."
"Saat ini Kwan Jit ibarat orang cacad, dia sudah kehilangan sebuah lengannya,
menderita luka yang amat parah, disambar petir lagi, meski masih bisa hidup juga
rasanya tak perlu ditakuti lagi."
"Tapi hingga kini kekuatan di balik Kwan Jit masih merupakan teka-teki yang
belum terjawab," kata Ti Hui-keng dengan wajah berat dan serius, "sebelah lengan Kwan Jit sudah
kutung, berarti senjata ampuhnya juga sudah lumpuh sebagian, tapi Kwan Jit kabur
dengan membawa lari kutungan lengannya."
"Maksudmu..." "Meskipun tadinya dia memiliki dua buah tangan, namun karena diborgol jadi satu
maka keampuhannya hanya setengah bagian yang bisa digunakan, tapi sekarang
tangannya tinggal sebelah, kemampuannya justru malah pulih seratus persen,"
berkilat sepasang mata Ti Hui-keng,
"sekalipun kini di ibukota sudah tak ada lagi Kwan Jit kedua, tapi selama masih
ada setengah Kwan Jit saja yang tersisa di sini, kita perlu selalu waspada."
"Ya, apalagi sekarang ditambah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik."
"Andaikata So Bong-seng tidak memiliki Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, tak nanti
dia begitu percaya diri, begitu yakin dengan kemampuan sendiri," ucap Ti Hui-
keng, "kejadian ini merupakan keberuntungan baginya, karena dalam keadaan dan
kondisi seperti ini dia telah kedatangan dua orang pembantu tangguh."
"Belum tentu dia beruntung."
"Kenapa?" kali ini giliran Ti Hui-keng yang bertanya.
"Baik Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui, mereka adalah sahabat Tun-ji," ujar Lui
Sun, "hubungan antara laki dan wanita seringkah bisa mengubah status sahabat
menjadi status lain."
Ti Hui-keng termenung sampai lama sekali, kemudian baru katanya, "Aku dapat
melihat hal ini." "Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui bisa menjadi sahabat So Bong-seng, kenapa tak bisa
jadi sahabatku juga?"
"Tapi mereka sudah mengangkat saudara."
"Teman, saudara, kekasih, hubungan keluarga. Terkadang sifat hubungan semacam
ini bisa berubah secara gampang," terbesit cahaya tajam dari balik mata Lui Sun,
"itu semua tergantung tekanan macam apa yang mereka terima dan rayuan macam apa
yang mereka hadapi."
Ti Hui-keng mulai tenang kembali.
"Menurut pendapatmu?" tiba-tiba Lui Sun bertanya, maksud ucapan itu sangat
jelas, dia minta Ti Hui-keng yang berbicara.
"Bila rencana ini bisa dilaksanakan, jelas hal ini akan sangat memukul posisi So
Bong-seng, langsung menghujam ke jantung Kim-hong-si-yu-lau, rencana ini jelas
merupakan sebuah rencana besar yang amat serius, langkah yang amat strategis,
oleh sebab itu untuk melaksanakan rencana ini kita harus ekstra hati-hati."
"Maksudmu "Tatkala kita menemukan titik kelemahan pada diri lawan, besar kemungkinan pihak
lawan memang sengaja hendak memperlihatkannya kepada kita, tatkala kita melihat
keunggulan dari lawan, kemungkinan di situlah letak titik kelemahan yang
sebenarnya," sepatah demi sepatah Ti Hui-keng berkata, "untuk menghadapi musuh
macam So Bong-seng, kita tak boleh melakukan kesalahan walau sekecil apa pun."
"Maksudmu semua ini hanya merupakan siasat musuh?"
"Kemungkinan begitu."
"Seperti kita menduga waktu terbakarnya sebatang hio, gampang melakukan
kesalahan tafsir." "Benar." "Sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan bisa mempengaruhi keseluruhan rencana,
akibatnya semua pekerjaan yang kita lakukan bisa hancur berantakan."
"Di samping itu bisa mempengaruhi juga keselamatan jiwa kita semua," kata Ti
Hui-keng, "ada satu hal mungkin masih belum kau ketahui."
"Katakan!" "So Bong-seng pernah datang mencari aku." "Dia sendiri?"
"Tidak, ditemani Yo Bu-shia!"
"Lalu apa lagi yang meski kita tunggu" Lebih baik lakukan penyerbuan lebih
awal," seru Lui Sun setelah memandang peti mati itu sekejap, "lebih baik kita
meniru rencana So-kongcu menghadapi dirinya!"
ooOOoo 50. Impian Loteng merah Rombongan So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah kembali ke loteng
merah di bukit Thian-swan-san, sepanjang perjalanan So Bong-seng batuk terus,
batuknya makin lama semakin bertambah keras, jauh lebih hebat daripada sewaktu
bertarung melawan Kwan Jit atau sewaktu berhadapan dengan Lui Sun.
Kini dalam ruang loteng tersisa So Bong-seng, Pek Jau-hui, Ong Siau-sik, Yo Bu-
shia, Su Bu-kui dan Mo Pak-sin beberapa orang.
Mengawasi bahunya yang mengejang keras ketika batuk, dari balik mata Pek Jau-hui
dan Ong Siau-sik segera terpancar keluar perasaan kuatir.
Dari dalam sebuah botol porselen kecil Yo Bu-shia mengeluarkan beberapa butir
pil. Tanpa mengambil air So Bong-seng segera menelan pil itu, kemudian baru
memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak.
"Kelihatannya Toako perlu beristirahat sejenak," bisik Ong Siau-sik kemudian.
"Benar, kita datang lagi nanti malam," Pek Jau-hui mengangguk.
Mendadak So Bong-seng membuka matanya kembali, pancaran hawa dingin mencorong
keluar dari balik matanya, tiba-tiba ia berseru, "Pantangan! Itu pantangan!"
Untuk sesaat semua orang tidak paham apa yang dimaksud So Bong-seng, tanpa
terasa semua orang memandang ke arahnya dengan wajah kebingungan.
Yo Bu-shia bangkit berdiri dan segera masuk ke ruang dalam.
"Aku rasa belum tentu begitu," terdengar Pek Jau-hui menanggapi.
"Kenapa?" Tanpa menjawab Pek Jau-hui balik bertanya, "Bukankah hari ini dengan sukses kita
berhasil menggempur perkumpulan Mi-thian-jit-seng?"
"Paling tidak telah membuat Kwan Jit terluka parah."
"Kenapa Kwan Jit bisa muncul di situ?"
"Karena dia mengira aku sedang adu kekuatan dengan perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, mimpi pun dia tak mengira kalau kita justru sedang bekerja sama untuk
membasminya." "Oleh sebab itu kelemahan yang diperlihatkan musuh kepada kita belum tentu
merupakan kelemahan yang sesungguhnya," kata Pek Jau-hui, "kelemahan yang tidak
kita temukan justru merupakan titik kelemahan musuh yang sesungguhnya."
"Maksudmu "Sama seperti apa yang kukatakan tadi, pantangan yang diperlihatkan musuh kepada
kita, belum tentu merupakan pantangan yang sesungguhnya. Sekilas pandang Lui Sun
seolah menganggap peti mati itu sebagai Sin-beng, besar kemungkinan dia memang
sengaja berbuat demikian untuk diperlihatkan kepada kita semua."
"Mungkin benar, mungkin juga tak benar," So Bong-seng manggut-manggut.
"Seandainya benar, kita harus mulai memikirkan dengan serius, apa isi peti mati
itu?" timbrung Mo Pak-sin.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin tujuan Lui Sun justru ingin membuat kita pusing tujuh keliling, memeras
otak untuk hal yang percuma, mengganggu konsentrasi kita," kata Pek Jau-hui
cepat. Kontan Mo Pak-sin tertegun dan tak sanggup menjawab.
Sementara itu Yo Bu-shia sudah muncul kembali sambil membawa sejilid kitab,
katanya, "Menurut catatan yang ada, sejak delapan tahun lalu, setiap kali
perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang menghadapi masalah besar, gawat dan serius,
Lui Sun selalu menggotong keluar peti matinya, tak ada orang tahu apakah peti
mati itu pernah dibuka, karena dari sekian banyak yang hadir, hanya Ti Hui-keng
seorang yang berhasil lolos dalam keadaan hidup."
So Bong-seng termenung tanpa bicara, Pek Jau-hui mengerutkan dahinya.
"Selain itu seluruh anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong menaruh perasaan takut
bercampur hormat terhadap peti mati itu, jika ada yang berani bersikap
kurangajar terhadap peti mati itu, dapat dipastikan orang itu akan dihukum mati.
Pernah ada seorang Tongcu yang secara tidak sengaja meraba peti mati itu
sebentar, akibatnya Lui Sun memerintahkan orang untuk memotong kedua jarinya,
sejak itu tak ada yang berani meraba peti mati itu lagi, bahkan kebanyakan sudah
menghentikan langkahnya pada radius sepuluh li."
Setelah berhenti sejenak, kembali Yo Bu-shia melanjutkan, "Aku dengar setiap
malam bulan purnama, Lui Sun selalu meluangkan waktu untuk duduk semalaman
berhadapan dengan peti mati itu, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang
dia lakukan." "Lui Sun meletakkan peti mati itu dimana?" tiba-tiba So Bong-seng bertanya.
"Di depan air terjun Put-tong-hui-bu!"
"Apakah air terjun Put-tong-hui-bu adalah tempat penting perkumpulan Lak-hun-
poan-tong?" tanya Ong Siau-sik. "Benar!" "Tempat itulah yang akan kita datangi besok lusa" sambung So Bong-seng.
"Tongcu mana yang jarinya dipotong?" tanya Pek Jau-hui pula.
"Dia sudah diangkat menjadi Tongcu ketiga belas, Tok-ka-thiat-hok (bangau baja
berkaki tunggal) Ciu Kak."
"Bukankah dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong hanya ada dua belas orang Tongcu?"
tanya Pek Jau-hui dengan kening berkerut.
"Ciu Kak hanya dikatrol naik posisinya sehingga dia hanya punya separuh nama
sebagai seorang Tongcu, namun dibandingkan para Hiocu lainnya seperti Ting siu-
hok, Li Tan, Lim Si-ci, Lim Ci-sim dan lain lain, posisinya jauh lebih tinggi."
"Oooh Berkilat sepasang mata So Bong-seng, tiba-tiba katanya, "Maksud Jite adalah
"Itu berarti kecuali Ti Hui-keng, hanya Ciu Kak seorang yang pernah menyentuh
dan mendekati peti mati itu."
"Tentu saja sulit buat kita untuk mencari keterangan dari mulut Ti Hui-keng
"Tapi bukan hal yang sulit untuk membawa Ciu Kak datang kemari dan menanyainya
hingga jelas." "Benar, pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti tak akan menduga kalau kita
bakal mengincar seorang Tongcunya yang tak genap posisinya."
"Apalagi jari Ciu Kak pernah dipotong hingga cacad, sedikit banyak dia pasti
menyimpan dendam sakit hati itu, biarpun tak sampai mengkhianati perkumpulan
Lak-hun-poan-tong, paling tidak dia pasti menaruh perasaan benci dan muak
terhadap peti mati itu."
Sekulum senyuman kembali menghiasi ujung bibir So Bong-seng, katanya, "Oleh
sebab itu kita harus waspada, terkadang seseorang yang nampaknya tidak berguna,
seringkah justru mempunyai kegunaan yang amat besar."
"Sama juga sebuah keteledoran yang tidak terlalu mencolok, terkadang justru
merupakan luka yang sangat mematikan."
"Tapi yang pasti, luka yang sangat mematikan itu milik perkumpulan Lak-hun-poan-
tong." "Semua yang namanya luka tentu akan menimbulkan sakit, luka di tubuh musuh
justru merupakan sasaran utama yang harus kita gempur," kata Pek Jau-hui, "hanya
saja kalau luka seperti Ti Hui-keng, aku rasa justru akan menjadi luka yang bisa
mematikan sang penyerang."
"Jadi kau telah memperhatikan soal itu?" tanya So Bong-seng sambil mengangguk.
"Benar, sudah kuperhatikan."
"Berarti di saat orang lain menganggap kau kelewat sombong, kelewat jumawa, kau
justru sudah memperhatikan semuanya."
"Itulah sebabnya aku bisa selalu tampil sombong dan jumawa."
Untuk sesaat So Bong-seng tidak berbicara lagi.
"Kalian maksudkan Ti Hui-keng pernah mendongakkan kepala?" tanya Ong Siau-sik
tiba-tiba. "Ya, hanya dalam waktu sekejap mata."
"Itu dilakukan ketika ia sedang menghadang Kwan Jit yang sedang melarikan diri,"
sambung Pek Jau-hui. "Hal ini membuktikan kalau tulang tengkuknya sama sekali tidak patah, otomatis
kemungkinan besar dia mengerti ilmu silat, malah bisa jadi kungfunya sangat
hebat. Tapi ... mengapa dia harus berlagak begitu" Kenapa harus merahasiakan hal
itu?" "Dia berharap musuh memandang enteng kemampuannya, agar perhatian lawan
dikonsentrasikan secara penuh kepada Lui Sun, dengan demikian di saat yang
paling kritis, ia dapat membantu Lui Sun meraih kemenangan."
"Belum tentu begitu," tiba-tiba So Bong-seng menyela, "kemungkinan juga dia akan
membantu kita untuk meraih keme?nangan!"
"Oya?" Pek Jau-hui segera berpaling dan menatap tajam wajah So Bong-seng.
"Belum tentu Lui Sun tahu kalau tulang tengkuk Ti Hui-keng sebenarnya tidak
patah, atau mungkin saja tulang tengkuk Ti Hui-keng memang pernah patah, tapi
sekarang telah pulih kembali."
"Persoalannya sekarang adalah kita belum berhasil menemukan apa alasan Lui Sun
bisa bekerja sama dengan Ti Hui-keng sehingga mereka dapat duduk bersanding
tanpa saling menaruh curiga,"
kata Yo Bu-shia. "Mungkin mereka dapat bekerja sama karena yang satu mengidap sakit hati sedang
yang satu lagi mengidap penyakit nyali," sela Ong Siau-sik sambil tertawa.
"Tapi kalau kita berhasil menemukan sumber penyakitnya, maka tak sulit
menentukan obat apa yang paling manjur untuk memberantas sakitnya itu," kata Mo
Pak-sin serius. "Di dunia ini tak ada teori yang seratus persen benar, tak ada hubungan yang
selalu akrab dan tak ada perasaan yang tak pernah berubah," ujar So Bong-seng.
"Oleh sebab itu tak ada teman yang abadi dan tak ada musuh yang abadi," sambung
Pek Jau-hui. "Keliru besar!" mendadak Ong Siau-sik berteriak keras.
"Biar keliru pun hal ini merupakan kenyataan," seru Pek Jau-hui sambil melotot
besar. "Kalau kehidupan manusia ternyata cuma begitu, apa menariknya tetap hidup?"
"Hidup adalah sesuatu yang sakral, tak ada bagian hidup yang bisa dianggap main-
main," ujar So Bong-seng hambar, "kenyataan hidup memang bukan sesuatu yang
menarik, kalau ingin mencari hal yang menarik, cari saja dalam alam impian."
"Kalau kau mengatakan kehidupan itu tidak sakral, aku pun tak bisa banyak
bicara, sebab bagimu kecuali mati berarti hidup, tak punya pilihan lain," kata
Pek Jau-hui, "oleh karena itu aku harus hidup secara baik, hidup yang cerah,
hidup dalam kemenangan dan kemegahan, dengan begitu hidup kita baru terasa
mantap, hidup dengan gembira!"
"Karena kita sedang melamun maka kita semua sedang hidup dalam impian, impian
memang selalu menggembirakan," ternyata So Bong-seng ikut tertawa, tapi begitu
tertawa dia pun mulai terbatuk-batuk, keningnya mulai berkerut-kerut seakan ada
bagian tubuhnya yang terasa sakit, tapi kemudian dia melanjutkan, "Karena kita
sedang berada di loteng merah, maka kita semua seakan sedang hidup dalam alam
impian loteng merah."
"Ya, kita bisa berkumpul bersama, berunding bersama, rasanya memang seperti
dalam impian," gumam Ong Siau-sik. "Kita hanya bisa menikmati impian hingga besok, karena lusa, kita semua sudah
harus terbangun dari alam impian," ujar So Bong-seng lebih jauh, "kalau bukan
impian mengejutkan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, berarti mendusin dari
impian bagi Kim-hong-si-yu-lau."
"Oleh karena itu tadi kau menunjukkan penampilan yang amat angkuh, amat
sombong?" "Aku memang berharap mereka menganggap diriku ini sombong, angkuh."
"Orang yang sombong biasanya gampang melakukan kesalahan besar."
"Aku memang berharap mereka menyangka aku sedang teledor dan melakukan kesalahan
besar." "Tapi Lui Sun pun berharap kau menganggap dia sebagai orang lemah yang penakut."
"Maka dari itu aku dan dia memang pantas disebut sepasang manusia antik,"
kembali So Bong-seng tertawa tergelak, "sekalipun dia berusaha tampil pengecut,
seakan takut urusan, bernyali kecil sementara aku tampil angkuh dan jumavva,
namun kekuatan yang sebenarnya tak seorang pun tahu, masing-masing pihak
berusaha melacak keadaan yang sebenarnya, sementara kami sedang berusaha bermain
sandiwara sesempurna mungkin."
"Kehidupan manusia memang tak lebih bagai panggung sandiwara," kata Pek Jau-hui
sambil tertawa. "Tapi aku lebih rela hidup dalam impian," gumam Ong Siau-sik.
So Bong-seng berpaling memandang ke arah Pek Jau-hui, kemudian ujarnya,
"Permainan sandiwara kita pun amat sempurna, kau dan aku sama-sama dapat
menghayati peran masing-masing secara baik."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Bahkan aku merasa seakan sedang menghadapi
kejadian sungguhan."
"Ooh ... jadi ... jadi kalian Ong Siau-sik seakan baru tersadar.
Kembali So Bong-seng tersenyum.
"Aku memang meminta Loji untuk berlagak seakan selalu bermusuhan denganku,
selalu beda pendapat denganku, agar mereka mengira kita tidak sepaham, tidak
seia sekata." "Semoga saja pihak musuh tidak menemukan titik kele?mahan dan tahu kalau hal ini
merupakan sebuah perangkap," kata Ong Siau-sik sambil tertawa getir.
Satu ingatan kembali melintas dalam benaknya, semula dia mengira Pek Jau-hui dan
So Bong-seng benar-benar tidak sepaham, dia kuatir di atas satu gunung tak bisa
menampung dua ekor harimau, tapi setelah mengetahui mereka hanya bermain
sandiwara, dan dirinya pun ikut tertipu, satu perasaan tak sedap kontan
menyelimuti perasaannya. Tapi dengan cepat dia membuang jauh-jauh semua ganjalan itu.
Dia menganggap sandiwara Toako dan Jikonya bertujuan untuk membohongi musuh,
bukan untuk menipu dirinya, kalau dia pun sampai percaya penuh, berarti tak ada
alasan bagi lawan untuk tidak percaya, seharusnya keberhasilan ini disambut
dengan perasaan gembira. Sementara dia masih berpikir, terdengar Pek Jau-hui telah berkata lebih jauh,
"Tapi aku tetap merasa tidak setuju dengan melepaskan Kwan Jit pulang ke gunung
dan mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong lusa tengah hari."
"Kau tidak mengerti?"
"Kalau begitu jelaskan kepadaku."
"Cara kerja Locu memang selalu sulit diraba, belum tentu dia harus menjelaskan
dulu semua alasannya," sela Yo Bu-shia tiba-tiba.
"Kalau dibahas dulu sebelum dilaksanakan, andai kata ada kekeliruan di kemudian
hari tak usah menyesal."
"Ah, kau ini manusia macam apa! Masa apa yang hendak Kongcu lakukan mesti
dijelaskan dulu alasannya padamu?" seru Su Bu-kui tiba-tiba.
"Aku adalah Hu-locu, macam begitukah sikapmu waktu berbicara denganku?" tegur
Pek Jau-hui tak suka hati. "Bu-kui!" hardik So Bong-seng cepat.
Su Bu-kui segera menundukkan kepala, mundur ke belakang dan tidak bicara lagi.
Terdengar Pek Jau-hui berkata lagi, "Kwan Jit sudah pergi, berarti kita bisa
melakukan pengejaran terhadap target baru, tidak ada keharusan bagi kita memberi
kesempatan kepada musuh untuk membuat persiapan."
"Aku punya perhitungan sendiri!" tukas So Bong-seng dengan wajah berubah.
Pek Jau-hui sama sekali tak mau mengalah, desaknya lebih jauh, "Sekarang kita
berdiri pada garis yang sama, sudah seharusnya aku mendapat tahu latar belakang
rencanamu." Kuatir terjadi keributan, lekas Ong Siau-sik menyela, katanya, "Kita bergabung
belum lama, banyak urusan memang belum tahu secara jelas, rasanya hal yang
menyangkut rahasia besar tidak baik diketahui terlalu banyak orang."
"Masa aku pun tak boleh tahu?" seru Pek Jau-hui.
"Jika kau adalah mata-mata yang dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan aku
katakan semua rahasia yang kuketahui, bukankah pihak kita yang justru masuk
perangkap?" kata So Bong-seng sambil tertawa dingin.
"Bagus, bagus sekali," saking gusarnya Pek Jau-hui tertawa keras, "aku datang
membantumu, kau malah menganggap aku sebagai mata-mata!"
"Urusan yang ada di loteng ini menyangkut mati hidup ribuan orang anak buahku,
tentu saja aku harus bertindak sangat hati-hati," kata So Bong-seng dengan wajah
sedingin salju, "apalagi kau datang membantuku, aku pun sama saja telah
membantumu, jika Kim-hong-si-yu-lau tidak menggunakan tenagamu, mana mungkin kau
bisa melampiaskan ambisimu dan membuat usaha besar?"
"Jadi kau anggap aku baru bisa membuat usaha besar bila bergabung dengan Kim-
hong-si-yu-lau?" teriak Pek Jau-hui semakin gusar.
"Bukan begitu, justru aku melihat kalian berdua bukan sembarangan manusia, di
kemudian hari bisa membangun usaha besar, maka dengan hati tulus kuundang kalian
untuk bergabung dengan loteng kami."
Melihat percekcokan antara Pek Jau-hui dan So Bong-seng berkembang makin panas
dan sengit, lekas Ong Siau-sik melerai, "Semua ini memang berkat kejelian mata
Toako serta kesediaan Toako untuk membimbing kami, kalau tidak, mungkin aku
masih jadi tabib jalanan sementara Jiko masih jual lukisan di pekan."
Setelah suasana berubah jadi tenang kembali, Pek Jau-hui baru bertanya lagi,
"Kau mencurigai kami?"
"Kalau curiga, kenapa sampai sekarang kalian masih berada di sini?" jawab So
Bong-seng sambil tertawa.
Pek Jau-hui adalah seorang pemuda keras kepala, kembali tanyanya, "Kalau kau
tidak mencurigai kami berdua, kenapa setelah urusan jadi begini gawat dan
menyangkut urusan mati hidup, kau masih berusaha mengelabui kami?"
"Setiap orang tentu mempunyai rahasia pribadi yang tak ingin diketahui orang
lain," kata So Bong-seng dengan nada tenang, "sekalipun Bu-shia atau Bu-kui,
meski mereka sudah lama berada di sampingku, namun ada sementara persoalan yang
sama sekali tidak mereka ketahui."
"Walau begitu, kami tak pernah ingin tahu" kata Yo Bu-shia.
"Kami tak pernah tanya karena kami percaya penuh pada Kongcu," Su Bu-kui
menambahkan. "Kalau toh kau tidak mempercayai aku, mengapa aku haj rus mempercayaimu?" Pek
Jau-hui ngotot lagi, "kalau kau masih menaruh curiga kepada kami, kenapa pula
harus menggunakan kami."
"Kau keliru!" hanya perkataan itu yang diucapkan So Bong-seng.
Kesabarannya sudah mencapai ambang batas, justru karena ia menghargai
kemampuannya, maka selama ini dia tidak mengumbar hawa amarah.
"Sekalipun aku menaruh curiga kepadamu, aku bisa menjajalmu, kalau tidak
kujajal, darimana aku bisa mempercayaimu" Ketika sudah berada di ambang hujan
badai, bila kita masih belum bisa berdiri di satu sampan yang sama, bila kau
belum bisa bekerja sama dengan perasaan lega, maka kita harus menghadapi
hancurnya sampan itu diterjang badai," kata So Bong-seng lebih jauh,
"siapa pun tak akan percaya kepada orang lain sejak permulaan, apalagi saat
kemunculan kalian tepat pada saat menjelang pertarungan penentuan antara Kim-
hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, apakah kemunculan semacam
ini tidak terlalu kebetulan?"
Kali ini giliran Ong Siau-sik yang tidak senang hati, kontan tegurnya, "Jadi kau
anggap kami sengaja menyusup ke dalam Kim-hong-si-yu-lau sebagai mata-mata?"
"Tidak." "Lantas kenapa?"
"Sebab siapa pun tidak menyangka kalau aku bisa sangat menghargai kemampuan
kalian berdua, padahal sekalipun kemampuan kalian sangat hebat pun bukan berarti
aku harus memakai kalian berdua, bahkan bisa jadi aku malah akan mengutus orang
untuk membunuh kalian berdua. Tapi siapa pun tak bisa menduga reaksiku, maka
mustahil kalian datang sebagai penyusup."
Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Apalagi ketika berada di puing
bangunan di tengah hujan deras tempo hari, pada saat aku terhajar senjata
rahasia kedelai hijau, seharusnya kalian punya kesempatan untuk membunuhku, jadi
tak perlu repot-repot menjadi penyusup."
"Kedelai hijau" Sangat beracun?" Ong Siau-sik mengalihkan pandangan matanya ke
atas kaki So Bong-seng. "Keganasan racunnya di luar dugaan," jawab So Bong-seng.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hoa Bu-ciok memang sudah berniat berkhianat, untuk mencabut nyawa Kongcu, tak
nanti ia gunakan senjata rahasia yang ringan kadar racunnya," sambung Yo Bu-
shia. "Apakah ... apakah sangat mengganggu?"
Sebelum So Bong-seng menjawab, Pek Jau-hui sudah menyahut duluan, "Dia tak akan
menjawab, sekalipun dijawab, belum tentu ucapannya jujur."
"Kau pintar sekali," senyuman kembali terbesit di balik pandangan matanya.
"Aku senang berteman dengan orang yang pintar, lebih baik lagi jika selain
pintar, liangsimnya juga baik," tiba-tiba So Bong-seng mengalihkan pokok
pembicaraan, "seperti juga mencari bini, aku suka orang yang cantik, hatinya
baik, pintar lagi cekatan dalam bekerja. Orang yang pintar, kebanyakan mampu
bekerja, cantik pun perlu, sebab harus kuhadapi sepanjang hidup, kalau kurang
cerdik, biar cantik pun hanya sebuah kerangka yang kosong, bikin orang kheki
saja. Maka aku lebih suka orang itu tidak terlalu cantik tapi tak boleh tak
cerdik. Kecantikan bisa luntur dimakan usia, tapi kepintaran adalah langgeng.
Sayang tidak banyak gadis cantik yang pintar dan cekatan di dunia ini."
"Nona Lui cantik, dia pun cerdas, hatinya sangat baik," kata Ong Siau-sik
tertawa. "Apakah hatinya baik atau tidak, aku kurang tahu, tapi soal ilmu silat, dia nol
besar," So Bong-seng ikut tertawa, "tapi harus kuakui, dia selain cantik juga
cerdik, maka aku ingin menitipkan satu tugas kepadamu."
"Tugas apa?" hampir bersamaan waktu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berseru.
"Sebelum kita menyinggung persoalan ini secara pribadi, kita harus menghadapi
dulu pertemuan tengah hari lusa di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka
aku rasa saat ini ada satu hal yang harus kita lakukan dulu, yaitu beristirahat
secukupnya, kemudian..."
"Kemudian berkumpul lagi di sini untuk bersama-sama merundingkan rencana besar
guna menggulingkan kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong!"
51. Tujuh gulung angin berpusing
"Rencana besarku adalah menjadi kaya!" ketika menghabiskan arak mangkuk yang
ketiga, sorot mata Tong Po-gou sudah mulai kabur, lidahnya mulai bebal
membengkak, "setelah kaya raya, aku pun dapat melakukan apa saja yang ingin
kulakukan." "Sebenarnya apa sih yang ingin kau kerjakan?" Thio Than sudah meneguk enam belas
mangkuk arak, bukan saja wajahnya belum memerah, napas pun tidak ngos-ngosan,
baginya minum arak sama seperti minum air teh meski agak lebih lambat bila
dibandingkan makan nasi. "Aku butuh seorang bini yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, agak
malu-malu seperti rumput putri malu," pandangan mata Tong Po-gou dipenuhi dengan
berbagai khayalan, "aku ingin ternama, punya nama termashur, agar siapa pun yang
mendengar nama Tong Po-gou akan ketakutan setengah mati dan kabur terbirit-birit
"Jika itu yang menjadi keinginanmu, tak usah menunggu sampai kaya raya."
"Oya?" "Kau cukup pergi membeli sebilah golok." "Beli golok buat apa?"
"Asal kau lagi tak senang hati, jika ada yang berani mengolokmu, tak usah gubris
orang itu kenal atau tidak, sekali tebas gorok lehernya, jika kau sedang
bergembira, bila ada yang berani menjumpaimu dengan wajah cemberut, sekali tebas
peng?gal saja kepalanya, bila ada waktu senggang, kau pun bisa menenteng golok
untuk menculik seorang gadis cantik yang rupawan, dengan begitu, asal dalam
setengah tahun kau masih bisa hidup bugar, kujamin nama besarmu akan
menggetarkan seluruh sungai telaga."
"Cuuh! Aku ingin bertindak sebagai ksatria, perbuatan biadab macam begitu tak
sesuai dengan seleraku!"
"Lalu kau masih ingin melakukan apa lagi?"
"Tadi kan sudah kukatakan, aku ingin ternama, aku ingin mengawini bini yang
cantik rupawan, aku ingin hidup makmur, hidup dengan riang gembira tanpa
kekurangan, aku pun ingin memiliki kungfu yang hebat, jauh lebih hebat ketimbang
kungfu yang dimiliki Sim-lotoa, So-locu, Ong-losik dan Pek A-hui, aku pun ingin
semua orang mengagumiku, nama pendekarku termashur di seluruh kolong langit,
agar Pui Heng-sau menyesal kenapa tidak kenal denganku sejak dulu ..."
"Aku tidak mengerti."
"Apa yang tidak kau pahami?"
"Keinginanmu itu kalau dibilang susah ya susah, kalau dibilang gampang pun
sangat gampang, tapi tak ada hubungannya dengan menjadi kaya; jika kau merasa
punya kemampuan untuk melakukannya, lakukan saja mulai sekarang," kata Thio
Than, "kaya hanya bisa membuat orang hidup lebih nyaman dan makmur, mungkin
dapat pula mendapatkan beberapa orang bini yang cantik wajahnya tapi busuk
hatinya, selain itu juga bisa memperoleh pelayanan dari kaum kurcaci, kaum
Siaujin yang pandai menjilat, tapi jika ingin mengalahkan tokoh silat sebangsa
So Bong-seng dan lainnya, serta mendapatkan rasa kagum dari jagoan macam Sim
Hau-sian dan rekannya, kaya sama sekali tak ada manfaatnya. Padahal asal
perasaan seseorang selalu gembira, besar jiwa dan pikiran terbuka, kemana pun
kau pergi, hidupmu selalu tetap.nyaman dan gembira."
Tong Po-gou berpikir sejenak kemudian setelah tertawa tergelak katanya, "Baik,
kalau toh dengan uang aku tak bisa membeli semua itu, buat apa aku membutuhkan
uang sebanyak itu" Padahal asal tahu batas dalam mencari kesenangan, itu sudah
cukup membuat orang berbahagia."
Kemudian setelah menepuk batok kepala sendiri, terusnya, "Sekarang aku baru
tahu, ternyata apa yang ingin kulakukan belum tentu bisa dilakukan setelah
menjadi makmur nanti, bahkan ada sementara perbuatan yang harus kulakukan dulu
baru bisa menjadi makmur, sayang teori semacam ini hingga kini pun masih jarang
ada orang yang bisa memahaminya."
Dengan cepat dia memesan seguci arak Ko-liang lagi, kemudian menghormati Thio
Than dengan semangkuk arak, menanti rekannya selesai meneguk habis isi mangkuk
itu, Tong Po-gou baru menenggak sedikit arak sendiri.
Pada mulanya Thio Than masih tidak menaruh perhatian, tapi lama kelamaan dia
mengetahui juga akan hal ini.
"He, ada apa kau" Kenapa minummu macam semut lagi menjilat air?" tegurnya.
"Apa yang kau maksud dengan semut menjilat air?"
"Teramat sedikit!"
"Karena aku tak pandai minum arak."
Seketika itu juga Thio Than tertawa tergelak, tertawa keras macam orang kalap.
"Apa yang kau tertawakan?" Tong Po-gou merasa sangat tidak puas, dia tahu Thio
Than sedang menertawakan dirinya.
"Kalau dilihat perawakan tubuhmu yang tinggi besar macam kerbau, kungfumu juga
hebat, kusangka takaran minummu hebat, hahaha, tak tahunya kau sama sekali tak
pandai minum arak, menggelikan, sungguh menggelikan!"
"Apanya yang menggelikan" Seseorang yang berperawakan tinggi besar bukan berarti
dia pasti pandai minum, seseorang yang bertubuh pendek kecil juga tidak menjamin
takaran minumnya kecil," Tong Po-gou mendelik, "seperti juga orang yang tinggi
besar mungkin hatinya mulia dan bijak, sebaliknya orang yang kecil pendek bisa
saja hatinya justru keji dan buas, kalau ingin menilai baik buruknya seseorang
hanya menilai dari tampilan wajah dan perawakan badan, jelas itu hanya perbuatan
orang idiot." "Oleh karena itu orang yang pandai minum arak belum tentu berjiwa besar, orang
yang tak pandai minum belum tentu dia seorang pengecut."
"Sama teorinya, belum tentu orang yang pandai minum adalah seorang Hohan, orang
yang tak pandai minum bukan seorang Enghiong!"
"Maksudmu, masalah minum arak adalah urusan minum arak, masalah Hohan adalah
urusan Hohan?" "Arak adalah arak, manusia adalah manusia, kalau ada orang membandingkan arak
dengan watak manusia, maka hal ini sama seperti menggunakan tulisan membicarakan
soal ma?nusia, pada hakikatnya seperti kentut anjing saja."
"Kalau toh kau tak pandai minum, kenapa mesti memesan arak?"
"Aku tak pandai, tapi kau toh seorang jagoan minum." "Jadi kau yang membeli
arak, aku yang menikmati?" "Tepat! Aku ingin memberitahukan sebuah rahasia."
"Katakan!" "Selama hidup aku paling tak suka mengundang orang minum arak, karena pengaruh
arak bisa membuat watak orang berubah, ketika mereka menyangka takaran minumnya
hebat dan belum mabuk, semua perkataannya masih bisa diterima dengan akal sehat,
tapi begitu mabuk, semua omongannya bagaikan kentut busuk, maka aku tak pernah
mengundang orang minum arak...
tentu saja kecuali kau."
"Aku pun ingin memberitahukan satu rahasia kepadamu."
"Katakan, akan kudengarkan."
"Malam ini pun baru pertama kalinya aku minum arak sebanyak ini." "Oya?"
"Karena aku tak pernah mau minum arak yang dibelikan seseorang yang tak
kupandang sebelah mata, tentu saja orang yang memandang rendah diriku tak akan
membelikan arak untukku, kalau aku harus membeli arak sendiri, lebih baik
kuhamburkan uangku untuk membeli nasi, sementara sahabat karibku, mereka tak ada
yang suka minum." "Berarti malam ini kau telah memberi muka untukku?"
"Rasanya memang begitu."
"Tak nyana tubuhmu yang kecil pendek ternyata memiliki takaran minum yang
hebat." "Dulunya aku sendiri pun tidak tahu, tapi sekarang rasanya hal ini memang
menjadi kenyataan." "Maka dari itu aku yang bertanggung jawab membeli arak dan kau yang bertanggung
jawab minum arak." "Eh, bila kau memang serius ingin aku minum lebih banyak, kenapa tidak sekalian
memesan beberapa macam hidangan sebagai teman minum arak?"
"Baik, kau ingin pesan apa sebagai teman minum arak?"
"Nasi, tentu saja nasi putih yang masih mengepul panas."
"Baik, tak jadi masalah, aku memesan nasi untuk teman minum arakmu, tapi kau
mesti memberi muka untukku."
"Kau suruh aku menghabiskan seguci arak?"
"Bukan, bukan, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang satu hal."
"Nah, apa kubilang," Thio Than segera tertawa tergelak, "penyakit rasa ingin
tahumu memang kelewat parah, tampaknya kau belum akan puas sebelum mencari tahu
sebuah urusan hingga sejelas-jelasnya."
"Itu namanya perasaan tak akan mati sebelum melihat sungai Huang-ho," seru Tong
Po-gou sambil menggaruk telinganya, "bagaimana sih ceritanya hingga kau bisa
berkenalan de?ngan Lui Tun?"
"Ooh, soal itu?" Thio Than meneguk dulu secawan arak,. "kau pernah mendengar
tentang Jit-tosian-hong (tujuh gulung angin berpusing) yang berada di
perkampungan bunga Tho, Tho-hoa-ceng?"
"Maksudmu tujuh gulung angin berpusing yang didirikan Lay Siau-oh, Cu Toa-koay,
Thio Han, To-he-liu-tau (di ujung golok meninggalkan kepala) berenam yang
bermukim di kota Tiang-an?"
"Betul, rupanya pengetahuanmu hebat juga."
"Kehebatanku lebih dari ini, lain waktu akan kuperlihatkan semua di hadapanmu."
"Dari ketujuh gulung angin berpusing itu, aku adalah satu di antaranya, aku
bersama Lay Toa-ci dan lain-lain merupakan saudara angkat yang bersumpah akan
sehidup semati..." "Ah, berarti sama seperti hubunganku dengan Sim Hau-sian Toako serta Pui Heng-
sau." "Suatu saat, waktunya persis hari Cap-go-meh, Lay-toaci berhasil membongkar
rencana pembunuhan yang akan dilakukan si pembunuh ulung Tay-sat-jiu dalam
sebuah pesta lampu lampion, kau pernah dengar tentang kejadian ini?"
"Pernah, peristiwa itu sangat menghebohkan kolong langit, masa aku tak tahu?"
berkilat sepasang mata Tong Po-gou.
"Gara-gara kejadian itulah, si pembunuh ulung Tay-sat-jiu jadi sangat mendendam
kepada Lay-toaci." "Dia ingin membunuh Lay Siau-oh?" tanya Tong Po-gou kaget.
"Selama ada kami, tak nanti dia sanggup membunuh Lay-toaci" ujar Thio Than
sambil menghela napas, "maka dalam jengkelnya dia telah mencuri sejilid kitab
pusaka Seng-siu-tin-kian-pit-kip dan melarikan diri ke gunung Lu-san."
"Hah, jadi ia berhasil mencuri benda pusaka milik Toaci kalian" Bagaimana sih
kemampuan kalian semua?" seru Tong Po-gou dengan kening berkerut.
"Itulah sebabnya aku pun melakukan pengejaran hingga mencapai gunung Lu-san."
"Hanya kau seorang" Kemana perginya saudara angkatmu yang lain?"
"Mereka tak dapat bergeser dari posisi karena secara tiba-tiba di dalam kota
telah kedatangan seorang tokoh misterius yang jauh lebih lihai."
"Siapa" Siapa yang memiliki kepandaian silat lebih hebat dari Tay-sat-jiu?"
"Kami pun tidak tahu siapakah orang itu, bahkan hingga kini pun masih belum tahu
apakah dia seorang teman atau musuh," kata Thio Than, "kami hanya tahu dia
tinggi kurus, wajahnya putih menyeramkan, punggungnya menggembol sebuah pauhok
kuno penuh berlubang, siapa pun yang mencoba menguntitnya tak pernah berhasil
melacak jejak beritanya, yang berani bertarung melawannya, sebuah lubang darah
akan muncul di dada mereka, selama ini belum pernah ada setengah manusia pun
yang bisa hidup terus. "Lihai amat!" teriak Tong Po-gou tak tahan, "siapa sih orang itu?"
"Bukankah sudah kusinggung sejak awal" Kami sendiri pun kurang tahu, maka dari
itu terpaksa Thio Han, To-he-liu-tau, Cu Toa-koay-ji, Ki Siang-ho tetap tinggal
di kota Tiang-an menemani Lay-toaci, sedang aku seorang diri berangkat me?ngejar
Tay-sat-jiu." "Kau seorang diri sanggup menghadapinya?" tanya Tong Po-gou sambil menatapnya
tajam, "kalau aku jadi saudaramu, tak nanti aku biarkan kau berangkat
sendirian." "Terus terang, aku ingin mencari sedikit ketenaran, maka secara diam-diam
mengeluyur pergi, Lay-toaci sekalian malah tidak tahu akan rencanaku ini."
"Bagus sekali," seru Tong Po-gou sambil bertepuk tangan, "aku sendiri pun
seringkah melakukan perbuatan semacam ini, Sim-toako sekalian kerap kubuat
jengkel sampai telinga pun ikut bengkok."
"Tapi gara-gara ulahku itu, hampir saja aku kehilangan nyawa!"
"Nyawa boleh saja hilang tapi sebagai manusia kita harus melakukan hal yang
menarik menurut pandangan kita, untuk persamaan watak kita berdua, ayo, kita
bersulang tiga cawan."
Sekali teguk Thio Than menghabiskan isi cawannya, kemudian baru berkata lagi,
"Aku menguntit jejak Tay-sat-jiu hingga tiba di bukit Lu-san, ketika jejaknya
semakin dekat, tiba-tiba aku kehilangan bayangan tubuhnya, aku tahu dia pasti
sudah mengetahui kehadiranku dan sedang bersiap membunuhku ..."
"Maka kau pun bersiap mengadu jiwa melawannya?"
"Tidak, aku melarikan diri."
"Apa?" teriak Tong Po-gou sambil melompat bangun.
"Melihat aku kabur, dia mengira aku merasa ketakutan hingga segera melakukan
pengejaran untuk membunuhku, begitu dia menampakkan diri, maka aku pun bisa
memaksanya untuk berduel habis-habisan."
"Konon Tay-sat-jiu memiliki tiga puluh enam jenis senjata, setiap jenis
digunakan untuk menghadapi musuh yang berbeda, kau ... kau sanggup
menghadapinya?" "Tidak, aku tidak mampu menandinginya, maka begitu turun tangan aku pun langsung
mencuri ketiga puluh enam jenis senjata andalannya itu."
"Bagus, kalau suruh bertarung, mungkin kau tak sanggup, tapi disuruh mencuri,
kau memang jagonya, kalau tidak, mana mungkin kau bisa mencuri saputanganku,"
seru Tong Po-gou dengan mata melotot.
Thio Than mengerling sekejap ke arahnya, kemudian melanjutkan kembali kata-
katanya, "Siapa tahu, biar tidak bersenjata pun aku masih bukan tandingan Tay-
sat-jiu, ketika nyawaku berada di ujung tanduk dan terlihatnya segera akan tewas
di tangan orang itulah tiba-tiba terdengar ada seorang wanita berseru dari balik
batu, "Lo-ngo, apa aku bilang, dengan mengandalkan kemampuanmu seorang, mana
mungkin bisa menghadapi Tay-sat-jiu" Kau memang tak pernah mau percaya dengan
perkataan Toacimu, nah sekarang rugi sendiri bukan?"
"Oooh, jadi di saat yang kritis Lay-toaci pun telah menyusul ke sana?"
"Waktu itu aku sempat tertegun dibuatnya, Tay-sat-jiu sendiri pun ikut
terperanjat, dia menjadi was-was. Pada saat itulah terdengar ada suara lelaki
berkata, 'Toaci, bagaimana kalau kita bekuk saja begundal itu"', suara perempuan
yang pertama segera menjawab sambil tertawa, 'Dia berangasan, bertindak ngawur,
biar rasakan dulu sedikit siksaan, akan kulihat dengan cara apa dia akan
membunuh orang itu"'. Kau tahu, Tay-sat-jiu pernah menderita kerugian besar di
tangan Lay-toaci, begitu mendengar Toaci beserta saudara-saudaranya berdatangan,
ia menjadi gugup dan tak berani tinggal lebih lama lagi di situ, tanpa banyak
bicara dia langsung melarikan diri..."
"Kau biarkan dia kabur?"
"Seketika itu juga kuhajar dia dengan ilmu Huan-huan-sin-kang, aku percaya luka
yang dideritanya waktu itu sangat parah."
"Tapi ia berhasil melarikan diri bukan?"
"Benar, dia berhasil melarikan diri, waktu itu aku sendiri pun sudah terluka
parah hingga tak sanggup melakukan pengejaran."
"Bagaimana ceritanya dengan Lay-toacimu?"
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang muncul waktu itu bukan Lay-toaci," kata Thio Than sambil menggeleng dan
tertawa, "suara tertawa perempuan itu memang amat merdu dan menarik hati, tapi
dibandingkan Lay-toaci masih kalah setingkat, sekali dengar pun aku sudah tahu
kalau dia bukan Toaci yang sesungguhnya, maka begitu tahu perempuan itu hanya
ingin mengacaukan perhatian Tay-sat-jiu dengan ucapannya, aku segera melancarkan
sebuah pukulan balasan untuk melukainya, dan dia pun kabur terbirit-birit karena
ketakutan..." "Kalau bukan Lay Siau-oh yang datang ..." tiba-tiba satu ingatan melintas dalam
benak Tong Pogou, sambil bertepuk tangan serunya kemudian, "Ah, pasti Cicimu
yang datang!" "Sialan! Aku tak punya Cici."
"Kalau begitu ... jangan-jangan Piau-moaymu?"
"Piau-moayku gendutnya macam gajah raksasa yang disengat lebah, seluruh tubuhnya
membengkak besar, orang menyebutnya si Kucing gendut, kalau suruh perempuan
macam begini naik ke gunung Lu-san, mungkin dibutuhkan sepuluh ekor kuda untuk
menyeretnya naik." "Lantas ... ah! Jadi semuanya itu adalah ulah Lui Tun?" teriak Tong Po-gou.
"Pintar!" "Tapi ... bukankah dia adalah putri tunggal Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-
tong Lui Sun" Apalagi waktu itu saat perkawinannya sudah dekat, mau apa dia datang ke gu?nung
Lu-san?" "Dia sedang melarikan diri."
"Melarikan diri?" nyaris sepasang biji mata Tong Po-gou meloncat keluar saking
kagetnya. "Dia adalah seorang gadis yang punya cita-cita besar, dulu pernah menjadi tangan
kanan Lui Sun dalam mengelola perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi kemudian Lui
Sun lebih percaya dengan Ti Hui-keng serta Lui Moay, perselisihannya dengan Kim-
hong-si-yu-lau pun makin membara, ini membuat dia merasa seakan hidup dalam
himpitan dua bukit raksasa, dia ingin berontak tapi apa daya, dia tak
berkemampuan dan tak tahu silat. Ketika Lui Sun berencana mengawinkan dia dengan
So Bong-seng, dia pun tahu kalau niat ayahnya hanya ingin mengendalikan loteng
angin, rasa kecewa dan kesal membuat nona Lui mengambil keputusan untuk kabur
secara diam-diam dari ibukota. Dengan kecerdasan dan kehebatannya berpikir, ia
berhasil melepaskan diri dari pengejaran anak buah ayahnya ..."
Bercerita sampai di sini, Thio Than menghela napas panjang, setelah berhenti
sejenak, terusnya, "Hari itu kebetulan dia sedang berpesiar di seputar bukit Lu-san, begitu
menyaksikan pertarunganku melawan Tay-sat-jiu, dia segera mengetahui asal-usul
kami, terlebih ketika dia menghubungkan kejadian itu dengan peristiwa di malam
cap-go-meh dimana Lay-toaci telah menggagalkan usaha pembunuhan yang dilakukan
Tay-sat-jiu, maka dia pun meniru suara Lay-toaci dan saudara-saudaraku yang lain
untuk menakut-nakuti Tay-sat-jiu
"Masa Lui Tun mampu menirukan berbagai logat suara, termasuk suara lelaki?"
"Gadis itu nampak lembut di luar, padahal keras di dalam, dia termasuk seorang
gadis yang memiliki kemampuan hebat, hanya sayang kondisi tubuhnya yang kelewat
lemah." Sesudah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Ternyata Tay-sat-jiu amat licik,
dia tidak pergi terlalu jauh dan segera balik kembali."
"Wah, bisa celaka kali ini."
"Untung begitu menampakkan diri, dengan cepat nona Lui segera menyampaikan
beberapa pesan kepadaku, pesan itu adalah menerangkan beberapa bagian titik
kelemahan yang ada pada ilmu silat Tay-sat-jiu, maka sewaktu dia muncul kembali,
aku pun menggunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangkaian serangan
berantai yang diarahkan ke titik kelemahannya, dalam keadaan tak menyangka dan
gelagapan, akhirnya aku berhasil melukai kembali dirinya, waktu itu kerugian
yang diderita Tay-sat-jiu amat besar, tapi ia tak mau menyerah begitu saja,
sepanjang jalan masih berusaha menyerang kami secara bergerilya."
Terbang Harum Pedang Hujan 19 Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Kisah Membunuh Naga 33
Paras muka Ong Siau-sik mulai berubah jadi tak sedap.
Sekalipun perkataan Lui Tun bukan ditujukan kepadanya, namun ia bisa
membayangkan bagaimana gusarnya Pek Jau-hui karena dipermalukan di depan umum.
Di luar dugaan ternyata reaksi Pek Jau-hui tidak seperti apa yang ia sangka.
Pemuda itu menarik napas panjang kemudian menghem-buskannya dengan perlahan,
setelah itu dengan langkah perlahan ia berjalan mendekati Lui Tun.
Tindakannya ini seketika memancing perhatian khusus keempat orang jago tangguh
yang hadir di situ, mereka ikut merasa kuatir.
Seandainya Pek Jau-hui turun tangan terhadap Lui Tun, jelas mereka tak bisa
berpeluk tangan, namun dengan demikian bisa jadi pertarungan akan memancing
keterlibatan So Bong-seng.
Tampaknya persoalan ini yang paling merisaukan hati Lui Sun.
Andaikata Pek Jau-hui turun tangan terhadap nona Lui, tak ada alasan bagi
dirinya untuk tidak berusaha mencegah atau menghalangi, tapi begitu dia mencoba
menghalangi, besar kemungkinan akan terjadi pertikaian dengan Pek Jau-hui,
padahal pemuda itu sombong dan jumawa, amat bersikukuh dengan pandangan serta
pendapat sendiri, sekali terjadi bentrokan, mungkin tak gampang untuk mengurai
dan menyelesaikannya secara damai.
Sekali lagi Lui Tun berpikir sambil menganalisa.
Andaikata Pek Jau-hui turun tangan keji terhadap nona Lui, kemungkinan besar
Lui-congtongcu akan dipaksa turun tangan, karenanya ia harus bertindak
mendahului Congtongcunya dengan mencegah ulah Pek Jau-hui, tapi tindakannya ini
besar kemungkinan bisa memancing pertarungan habis-habisan antara perkumpulan
Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau.
Ti Hui-keng sendiri pun berpendapat demikian.
Pek Jau-hui tak boleh turun tangan! Apalagi turun tangan terhadap seorang gadis
lemah, perbuatan semacam ini sangat memalukan! Apa pun yang bakal terjadi, ia
berniat akan menghalangi ulahnya, dia tahu sekali Pek Jau-hui sudah memutuskan
sesuatu, tak akan ada orang yang bisa menghalanginya, kuatir-nya ........
Ong Siau-sik merasa jauh lebih panik dari siapa pun.
Sementara itu Thio Than sudah berdiri menghadang di depan Lui Tun, ia sudah
menyaksikan keampuhan kungfu yang dimiliki Pek Jau-hui, dia pun sadar bahwa
kepandaian silat yang dimilikinya masih bukan tandingan lawan.
Tapi dia tak akan membiarkan siapa pun melukai Lui Tun, selama dia masih hidup,
ia tak akan membiarkan siapa pun mengganggu Lui Tun biar seujung rambut pun.
pias wajahnya. Akan tetapi di saat Kwan Jit siap melayang melalui kepala Ti Hui-keng, Ti Hui-
keng yang sastrawan, yang selalu menundukkan kepalanya, yang duduk terus dengan
wajah pucat pasi, tiba-tiba mendongakkan kepala!
Sambaran petir menggelegar membelah angkasa.
Sorot mata Kwan Jit yang tajam, secara kebetulan saling bertatapan muka
dengannya. Tiba-tiba arah yang diambil Kwan Jit untuk melarikan diri kembali berubah.
Sekarang dia tidak lagi menerjang langsung ke arah Ti Hui-keng.
Seluruh badannya berubah bagai selapis hawa pedang, kali ini dia menerjang masuk
ke arah dinding batu di sudut jalan.
Dinding batu itu hancur berantakan dan roboh berserakan begitu diterjang hawa
pedang yang kuat bagai gempuran baja itu, tampaknya sebentar lagi ia sudah akan
lolos dari sudut jalanan itu.
Tiba-tiba tampak bayangan abu-abu berkelebat, suasana kelam di senja itu terasa
bertambah kelam, hujan diikuti suara guntur lamat-lamat berkumandang di tempat
itu. Bayangan abu-abu langsung mencegat kepergian Kwan Jit di tengah udara, dengan
hawa pedang 'Kwan Jit yang tanpa wujud bahkan tiada tandingan itu, ternyata ia tak mampu
menjebol pertahanan si kakek berbaju abu-abu yang sebentar bergerak cepat
sebentar bergerak lambat itu.
Ong Siau-sik sangat tercengang, cepat dia melongok ke arah sana, ternyata kakek
berbaju abu-abu yang sedang mengha?dang jalan pergi Kwan Jit itu tak lain adalah
Congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun!
Baru saja dia hendak mengawasi cara Lui Sun turun ta?ngan, tiba-tiba dilihatnya
Pek Jau-hui sedang mundur sempo?yongan, lekas dia membimbing badannya.
Terdengar Pek Jau-hui menghembuskan napas panjang sambil berbisik, "Ilmu Kiu-ci-
eng-koat (rahasia sembilan huruf) yang sangat lihai! Padahal aku hanya melihat
sebentar, tapi kepalaku sudah langsung terasa amat pening ..."
"Kiu-ci-koat" Rahasia sembilan huruf?" seru Ong Siau-sik, "apakah rahasia
sembilan huruf Mi-tiong-kuai-man-kiu-ci-koat (rahasia sembilan huruf cepat
lambat dari sekte rahasia) yang kau maksudkan?"
Cepat dia menengok lagi ke tengah arena, terlihat gerakan tangan Lui Sun
sebentar cepat sebentar lambat, tapi dia seakan sedang merajut air hujan menjadi
selembar jaring langit jala bumi yang luar biasa kuatnya, mengurung seluruh
tubuh Kwan Jit berikut hawa pedangnya yang tajam dan kuat.
Setiap kali melepaskan sebuah pukulan, Lui Sun selalu menyertakan sekali
bentakan nyaring. Siapa pun tak ada yang bisa membayangkan, seorang kakek kurus ceking semacam dia
ternyata sanggup mengeluarkan suara bentakan yang begitu keras dan nyaring.
Setiap kali dia membentak, suara hujan yang membasahi seluruh langit seakan ikut
terhenti sejenak ... sebab bersamaan dengan suara bentakannya itu, nyaris tak
terdengar suara lain. Ong Siau-sik hanya mengikuti jalannya pertarungan sejenak saja, ia saksikan jari
Lui Sun saling menyilang ketika melakukan pergantian jurus, bibirnya komat-kamit
seperti membaca mantera, terkadang cepat terkadang lambat, tapi selalu ditutup
dengan suara bentakan yang amat nyaring.
Tidak lama ia memandang, kepalanya mulai terasa pening, matanya mulai berkunang-
kunang. Ternyata dalam menggunakan ilmu Mi-tiong-kuai-man-Pek Jau-hui sudah berjalan
mendekat, memandang Thio Than sekejap dengan pandangan sangat dingin, walau
hanya sekejap namun telah mencakup seluruh inti perkataan yang tak pernah dia
ucapkan. Ia tak memandang sebelah mata pun terhadap orang ini.
Kemudian dia mengalihkan pandangan matanya ke tanah, mengawasi mayat yang
terkapar di situ. Mayat si dayang bunga anggrek!
"Dia mati sia-sia," kata Pek Jau-hui dingin, "seandainya majikanmu punya
kepandaian, sudah sepantasnya bila ia membalaskan dendam sakit hatimu, paling
tidak tak usah bersilat lidah terus di tempat ini."
Tentu saja perkataan Pek Jau-hui ini penuh mengandung sindiran, namun dengan
demikian beberapa orang tokoh yang hadir di situ pun diam-diam merasa lega,
sebab dari nada perkataan itu mereka dapat menyimpulkan bahwa anak muda ini tak
akan berbuat nekat. Tapi bagi Ong Siau-sik, dalam hatinya justru muncul satu persoalan lain, sebuah
pertanyaan yang sangat aneh. Dan pertanyaan itu melintas cepat dalam benaknya.
Seandainya Pek Jau-hui turun tangan terhadap Lui Tun, dapat dipastikan semua
jago tangguh Kim-hong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong bahkan
termasuk dia sendiri pun akan berusaha melindungi dengan sepenuh tenaga, dengan
begitu bukankah hal ini memperlihatkan betapa strate?gisnya posisi Lui Tun saat
ini, bahkan jauh lebih strategis dari hal apa pun"
Hanya saja ingatan itu cuma melintas cepat untuk kemudian lenyap kembali.
Memang begitulah manusia, seringkah banyak pikiran dan ingatan yang dibiarkan
berlalu begitu saja. Bila kau tidak berupaya untuk menangkapnya atau segera mencatatnya, mungkin dia
tak pernah akan berada di dunia ini, juga tak bakal meninggalkan kesan dalam
benakmu. Padahal banyak kejadian besar, banyak pengaruh besar yang terjadi di dunia ini
sebetulnya berasal dari ingatan sesaat yang melintas dalam benakmu.
"Kita berjumpa lagi di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong lusa tengah hari."
"Satu kata sebagai kesepakatan." "Sampai berjumpa lagi."
Biasanya ucapan "Satu kata sebagai kesepakatan" dan "Sampai berjumpa lagi"
selalu diucapkan oleh mereka yang hendak berpisah tapi berharap segera dapat
bertemu kembali. Namun apa yang diucapkan Lui Sun maupun So Bong-seng saat ini justru tidak
mengandung makna itu. Ketika mengucapkan perkataan itu, paras muka mereka amat berat dan serius,
begitu juga ketika mendengar perkataan itu, mereka berdua sama-sama merasakan
beban pikirannya. Sebab mereka tahu, yang mereka sebut sebenarnya merupakan nama dari dua orang
manusia. Yang satu adalah junjungan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong sementara yang
lain adalah Tianglo atau sesepuh dari Kim-hong-si-yu-lau.
Sesungguhnya So Bong-seng sendiri pun termasuk seorang jago yang tinggi hati dan
besar gengsinya, orang yang diangkat menjadi sesepuh, jelas merupakan seorang
tokoh yang luar biasa. Semua anggota Kim-hong-si-yu-lau tahu, seandainya mereka bersikap kurang hormat
terhadap So Bong-seng, hal ini belum tentu mengundang hukuman berat, tapi bila
bersikap kurang sopan terhadap "Satu kata sebagai kesepakatan", setiap saat
orang itu bisa mengalami bencana kematian.
Apa yang dikatakan "Satu kata sebagai kesepakatan" ibarat sebuah vonis
pengadilan terhadap terpidana mati.
"Sampai berjumpa lagi" justru merupakan kebalikannya. Ketika ia mengucapkan
perkataan itu terhadap seseorang, maka cepat atau lambat orang itu pasti akan
menjadi seorang terpidana dan mengucapkan "Sampai berjumpa lagi" dengan dirinya
dalam penjara. Jika seseorang bisa dipuja dan disanjung selama hampir dua puluh tahun dalam
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dapat dipastikan kepandaian yang dimiliki orang
itu sangat luar biasa. "Sampai berjumpa lagi" seratus persen merupakan orang yang berkemampuan tinggi,
berilmu silat hebat. Orang yang benar-benar berkemampuan tinggi, tak mungkin akan melakukan sendiri
semua pekerjaannya, seperti seseorang yang perkataannya berbobot, tak mungkin
dia mau me?ngatakan sendiri semua persoalannya.
Dan kini dari tanya jawab yang dilakukan So Bong-seng dan Lui Sun, segala
sesuatunya sudah tertera jelas.
Dalam pertemuan di markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong tengah hari lusa,
bukan saja "Satu kata sebagai kesepakatan" akan muncul, "Sampai berjumpa lagi" pun pasti
akan menampilkan diri. Kalau bukan untuk menghadapi pertarungan mati hidup, kenapa kedua belah pihak
sama-sama mendatangkan sesepuh mereka berdua"
"Satu kata sebagai kesepakatan". "Sampai berjumpa lagi".
Dua nama ini dapat dipastikan bisa mengendalikan suasana dalam arena.
Begitu selesai berkata, So Bong-seng dan Lui Sun segera berpisah dan mengambil
jalan masing-masing. Dengan kepergian mereka, anak buah kedua belah pihak pun segera ikut membubarkan
diri. Begitu So Bong-seng beranjak, seluruh jago yang bernaung di bawah bendera Kim-
hong-si-yu-lau ikut bergeser dari posisi masing-masing, semua orang bergerak
tertib dan penuh disiplin, melihat itu satu ingatan sempat melintas dalam benak
Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui.
So Bong-seng adalah So Bong-seng dari Kim-hong-si-yu-lau, ketika sekelompok
manusia mendukung dan menyanjungnya, dia adalah So-kongcu yang tersohor namanya
di kolong langit dan seorang pemimpin yang menguasai jagad, jauh ber?beda dengan
sikapnya ketika kemarin bersama mereka berdua datang mengunjungi loteng Sam-hap-
lau. Beginikah pamor Ang-siu-bong-seng-te-it-to (golok nomor satu berbaju merah dalam
impian)" Ataukah di antara mereka bertiga sesungguhnya sudah terdapat jarak, terdapat
jurang pemisah yang cukup dalam"
Ong Siau-sik tidak tahu apa jawaban yang tepat
.Tapi dia dapat merasakan, sewaktu So Bong-seng membalikkan tubuh sambil
beranjak pergi tadi, dia seakan sedang bertukar kerdipan mata dengan Pek Jau-
hui, kerdipan itu seakan sedang bertukar satu rahasia besar.
Tampaknya Pek Jau-hui pun sudah memperoleh jawabannya sendiri.
Meskipun Ong Siau-sik tidak mengerti, namun dia merasa yakin akan satu hal.
Orang semakin banyak, jagoan semakin tangguh, perselisihan tentu semakin sengit,
So Bong-seng yang selama ini nampak sakit-sakitan, kini justru semakin kuat
memancarkan kewibawaan dan kekosenannya.
Mungkin hanya terjadi satu kali, hanya berlaku pada satu orang, dimana pernah
menutupi kewibawaan, kekosenan dan kehebatannya, meski berlangsung hanya sesaat
namun paling tidak ia pernah mengalaminya satu kali.
Peristiwa itu terjadi tadi, pada diri Kwan Jit.
Bukan saja Kwan Jit telah menutupi kewibawaan, keko?senan dan kehebatan So Bong-
seng, memukul mundur Lui Sun bahkan berhasil juga menahan Ong Siau-sik serta Pek
Jau-hui. Dan waktu itu dia hanya berhasil ditaklukkan oleh semacam benda ... sebuah peti
mati! Sebenarnya dimanakah letak kehebatan peti mati itu" Mengapa begitu menakutkan"
Mengapa Kwan Jit yang tak takut langit tak takut bumi, justru takut dengan
sebuah peti mati" Dalam pada itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah beranjak pergi mengikuti
rombongan So Bong-seng, Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau dengan membawa anak buahnya
juga mengikut dari belakang, sementara Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin mengikuti
rombongan Lui Sun berlalu dari sana.
Tinggal Tan Cian-kui beserta belasan orang anggota setia perkumpulan Mi-thian-
jit-seng yang menyingkir ke jalan lain dalam suasana duka.
Sebenarnya Lui Tun juga akan berlalu, tapi ketika melihat Un Ji, Tong Po-gou
serta Thio Than yang masih berdiri termangu, dia pun segera menegur, "Kalian
tidak pergi?" "Pergi?" Thio Than tertawa getir, "mau pergi kemana?"
"Tentu saja balik ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" jawab Lui Tun lirih,
kendatipun gadis itu memaksakan diri untuk tertawa, namun siapa pun dapat
melihat kalau hatinya teramat gundah, "dengan susah payah aku berharap Go-ko mau
datang ke ibukota, kau baru datang setengah bulan, masakah segera akan pergi
lagi." "Nona Lui," tiba-tiba Thio Than bersikap sungkan, "ketika kita mengangkat
saudara dulu, aku sama sekali tidak tahu kalau kau adalah putri kesayangan
Congtongcu perkumpulan Lak-hunpoan-tong, bukankah begitu?"
"Benar." "Walaupun sekarang aku sudah tahu, namun aku tetap sangat berterima kasih karena
kau telah menolongku."
"Kalau bicara soal terima kasih, sepanjang jalan Go-ko sudah merawat dan
melindungi aku secara baik, sampai kapan kita harus saling berterima kasih?"
"Sayang kau adalah putri kesayangan Lui-congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-
poan-tong." "Tapi hal ini sama sekali tak ada hubungannya dengan persahabatan kita!"
"Ada, ada sangkut-pautnya" ujar Thio Than serius, "dulu aku tidak tahu maka aku
berani mengangkat saudara denganmu."
"Sekarang hubungan persaudaraan antara aku dan engkoh Thio sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan orang lain, sepanjang perjalanan sampai di sini, kita pun
tak pernah menimbulkan kesalah-pahaman orang, kenapa setelah urusan jadi beres,
kau malah mempersoalkan segala urusan tetek-bengek" Go-ko, aku tidak mengerti."
"Kau adalah putri tunggal Lui-congtongcu ... aku ... ai, pokoknya aku merasa tak
pantas untuk mengangkat saudara denganmu," kata Thio Than sambil menghela napas
panjang, "terus terang saja aku berkata, dalam sebulan ini demi kau, aku telah
bergabung dengan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, tapi aku ... aku selalu merasa
bahwa perkumpulan itu sama sekali ... sama sekali tak cocok dengan karakterku!"
"Engkoh Thio adalah seorang lelaki berjiwa terbuka, ksatria dan menjunjung
kebenaran, betul, perbuatan serta sepak terjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong
memang tak bakal cocok denganmu, seandainya bukan lantaran Siau-moay, mungkin
Go-ko sudah pergi meninggalkan aku sejak dulu," kata Lui Tun sedih, "tapi, Go-ko
toh bisa tak usah bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kau bisa saja
mendampingi Siau-moay tanpa melibatkan diri dengan urusan partai" Tiap orang
punya sudut pandang yang berbeda, Siau-moay pun tak berani menggunakan
perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk menahan Go-ko, cuma Bicara sampai di sini
gadis itu kembali menghela napas panjang, terusnya, "Atau mungkin ... engkoh
Thio sudah muak berkumpul dengan Siau-moay sehingga berniat pergi meninggalkan
aku" Tak heran kalau kau selalu menyebutku nona Lui... kalau memang itu
alasannya, tentu saja Siau-moay tak akan menahan lebih jauh."
"Jangan bilang begitu," seru Thio Than gelisah, "aku tidak bermaksud begitu,
sejak mengangkat saudara di gardu Ciu-gi-teng tempo hari pun aku tak pernah
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berani menyebutmu adik, meski dalam hati kecil aku selalu memandangmu sebagai
adik, tapi aku tetap berpendapat bahwa diriku tidak pantas ..."
"Perkataan apa itu" Soal ini tidak menyangkut pantas atau tidak" tukas Lui Tun
cepat, "sejak meninggalkan kota Tiang-an hingga tiba di Han-swe, seandainya
sepanjang jalan tak ada Go-ko yang melindungi aku, mungkin nyawaku sudah lenyap
sejak lama." "Ah, itu terhitung apa" Kecuali kungfu kucing kaki tiga, apa pun tidak kupahami,
malah dengan kepintaran Jit-moaycu, kau pernah menyelamatkan aku satu kali,
kejadian ini benar-benar membuatku malu," kata Thio Than sedih, "tapi sejak tiba
di ibukota, aku lihat para jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong maupun Kim-hong-
si-yu-lau ternyata jauh lebih tangguh dari kemampuanku, apalagi setelah ayahmu
mendemonstrasikan kemampuannya tadi, aku merasa biarpun belajar selama hidup
juga belum tentu kepandaianku bisa mencapai taraf sehebat itu. Ti-toatongcu
meski belum turun tangan, tapi aku pun tahu kalau dia sangat lihai, apalagi jika
Jit-moaycu sudah menikah dengan So Bong-seng dari Kim-hong-si-yu-lau, dengan
kemampuan si batu kecil berdua, mereka sudah lebih dari cukup untuk melindungi
keselamatanmu. Kedatanganku ke ibukota kali ini tidak punya maksud lain, aku hanya ingin
menjaga agar orang tidak mengganggu Jit-moaycu, tapi sekarang, coba kau lihat,
apa yang bisa kuperbuat" Aku hanya membikin malu orang saja ...."
Setelah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia melanjutkan, "Mumpung belum
kehilangan muka, aku pikir lebih baik berpamitan saja dengan Jit-moaycu, bila di
kemudian hari Jit-moaycu masih teringat dengan aku si Gentong nasi, aku pasti
akan berterima kasih sekali."
Lui Tun menjadi girang ketika mendengar Thio Than memanggil Jit-moaycu
kepadanya, namun perasaan sedih kembali menyelimuti wajahnya begitu ia mulai
menyinggung masalah perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau.
Setelah termenung beberapa saat, ujarnya, "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong
memiliki jago yang hebat, atau Kim-hong-si-yu-lau memiliki jago yang tersebar
sampai dimana-mana, apa urusannya dengan aku" Kini aku tak lebih hanya seorang
manusia yang terkekang, ayah menginginkan aku menikah dengan So-kongcu,
menjadikan aku sebagai salah satu pemilik Kim-hong-si-yu-lau, kemudian
menggunakan aku sebagai umpan guna memancing Kwan Jit masuk perangkap, mereka
menganggap diriku sebagai apa?"
"Perbuatan Lui-congtongcu memang sedikit kelewatan, So Bong-seng pun tidak tahu
diri!" Un Ji selama ini hanya membungkam karena tidak tahu persoalan apa yang sedang
dibicarakan, tapi begitu mendengar ucapan yang terakhir, kontan saja dia melotot
besar sambil membentak gusar, "Kau berani memaki Sukoku?"
"Betul, betul" mendadak Tong Po-gou ikut menimbrung, "perkataanmu memang betul
sekali!" Un Ji tidak menyangka kalau dalam keadaan begini Tong Po-gou justru menginjak
kaki belakangnya, saking jengkel dan mendongkolnya untuk sesaat dia tak mampu
berkata-kata. Kepada Thio Than ujar Tong Po-gou lagi, "Tahukah kau, kenapa aku mengatakan
betul secara berulang kali?"
Saat ini Thio Than tidak berminat untuk menanggapi perkataan orang, dia sama
sekali tidak menggubris. Melihat itu Tong Po-gou segera berkata lagi, "Ketika mengucapkan betul untuk
kedua kalinya tadi, karena aku mengang?gap umpatanmu memang sangat tepat, tapi
tahukah kau kenapa aku mengatakan betul untuk pertama kali tadi?"
Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjawab, Tong Po-gou kembali
berkata, "Aku mengatakan betul karena sangat setuju dengan umpatanmu kepada dirimu
sendiri, kungfumu memang cuma kungfu kucing kaki tiga, itu tidak keliru!"
Lui Tun tak ingin Thio Than geger lagi dengan Tong Po-gou, lekas dia mengalihkan
pembicaraan, katanya, "Masih ingat tidak, ketika pertama kali berkenalan
denganmu, aku sempat memanggil Siau-thio kepadamu bahkan sampai sekarang pun aku
tak sanggup mengubah kebiasaan itu, padahal kau adalah kakak kelima! Coba lihat,
Siau-moay benar-benar tak tahu aturan."
"Aku tak pernah mempersoalkan segala nama sebutan, buat apa mempersoalkan
tingkatan nama panggilan, tak ada gunanya," lekas Thio Than berkata.
"Lantas kenapa Go-ko masih mempersoalkan perkumpulan di belakang Siau-moay" Yang
penting Go-ko datang ke ibukota untuk mengantar Siau-moay, bukankah begitu?"
"Tadi nona Lui pernah berkata bahwa jadi manusia harus tahu diri, aku kuatir
perbuatanku ini kelewat tak tahu diri, kelewat tidak menilai bobot sendiri."
"Perkataan tadi sengaja kuucapkan untuk mengunci Pek Jau-hui yang sombong dan
jumawa, kenapa malah kau masukkan ke dalam hati?" seru Lui Tun, "sudah,
sudahlah, biar Siau-moay minta maaf kepadamu, tapi kau jangan memanggil aku nona
Lui lagi, bagaimana kalau sebut aku Jit-moaycu atau Siau-moaycu saja?"
"Tidak baik, sekalipun kita sudah angkat saudara, namun sepanjang jalan lebih
baik aku tetap memanggilmu sebagai nona Lui saja, karena kecuali mempunyai Toaci
yang sama, antara kau dan kami sebetulnya beda sekali."
"Terserahlah apa maumu, yang pasti aku tetap akan menganggapmu sebagai Go-ko,
aku tak ingin kau pergi."
"Siapa bilang aku akan pergi" Paling tidak aku pun harus menunggu penyelesaian
dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau, setelah yakin tak ada
yang akan menganiaya dirimu, aku baru akan pergi dari sini," setelah tertawa
lirih kembali ujar Thio Than,
"padahal dengan kepandaian yang kumiliki, jika benar-benar terjadi pertarungan,
mungkin aku tak bisa melindungi siapa pun."
Belum lagi Lui Tun mengucapkan sesuatu, dengan suara menggeledek Tong Po-gou
telah berteriak keras, "He, Gentong nasi, siapa bilang kau tak mampu" Buktinya
kau masih mampu bertarung dengan aku si manusia tanpa tandingan di kolong
langit, bahkan nyaris bertarung seimbang."
Kata "nyaris" sengaja ditekankan, seakan dia ingin semua orang mendengar dengan
jelas ucapannya itu. Kendatipun dia sedang 'memberi semangat' kepada Thio Than, namun dia pun ingin
menunjukkan kalau kepandaian silatnya sama sekali tak kalah dengan orang itu.
ooOOoo 48. Aku mau Thio Than hanya tertawa getir, sama sekali tidak berusaha membantah.
Akibatnya Tong Po-gou merasa amat kesal. Biasanya, ketika berkumpul dengan Pui
Heng-sau sekalian, kalau ada waktu senggang mereka sering cari keributan sendiri
untuk mengusir waktu, tapi setelah bertemu Un Ji di ibukota, meski di mulut ia
sering mencari keributan, sesungguhnya secara diam-diam ia selalu berusaha
melindungi gadis ini. Dia tahu, kendatipun Un Ji adalah adik seperguruan So Bong-seng, ada banyak jago
Kim-hong-si-yu-lau yang melindungi dirinya, tapi gadis ini masih cetek
pengalaman, banyak masalah yang belum ia ketahui, bila orang semacam ini
tergencet dalam kemelut antara Kim-hong-si-yu-lau, perkumpulan Lak-hun-poan-tong
dan perkumpulan Mi-thian-jit-seng, jelas dia akan banyak menderita kerugian.
Karena pertimbangan inilah, ia lebih suka dimaki-maki Un Ji ketimbang
meninggalkan gadis itu seorang diri.
Kali ini gara-gara datang ke rumah makan Sam-hap-lau, ia telah berjumpa dengan
Thio Than, yang dalam anggapannya orang ini mirip dengan rekannya Pui Heng-sau,
kalau iseng lantas suka cari gara-gara dan keributan, hal ini membuat
perasaannya yang sudah masgul jadi cerah kembali, karena waktu bisa dilalui
dalam gurauan dan keributan.
Siapa tahu gara-gara urusan Lui Tun, Thio Than jadi kehilangan semangat,
gurauannya yang tidak ditanggapi oto?matis mempengaruhi juga kemasgulan di
hatinya. "Padahal tak ada yang perlu dikenang di kotaraja ini," kata Lui Tun kemudian
dengan nada murung, "begitu urusan di sini selesai, aku pun ingin berkumpul
bersama saudaraku yang lain di perkampungan Tho-hoa-ceng, betapa nikmatnya
setiap hari hanya berpesiar ke sana kemari
"Kalau bisa begitu memang bagus sekalisambung Thio Than.
"Memangnya tak mungkin?" tanya Lui Tun seraya berpaling.
"Ah, tidak, tidak "Aku rasa perkataanmu tadi belum selesai."
"Aku hanya merasa kau bukan manusia macam begitu," kata Thio Than seraya
menggeleng, "kau sangat berbeda dengan para Toaci di perkampungan Tho-hoa-ceng,
bagi mereka, mau mengasingkan diri, mau jauh dari keramaian, semuanya bisa
dilakukan secara gampang, sebaliknya kau ... kau sangat memasyarakat, kau pun
sangat mampu." "Aku sangat mampu?" Lui Tun tertawa geli, sewaktu tertawa, matanya tinggal satu
garis, "padahal bisa hidup sampai sekarang pun-sudah termasuk satu
kemukjizatan." Un Ji yang mendengar dan menyaksikan semua itu segera mengambil kesimpulan, tak
heran Lui Tun begitu lembut dan cantik, tubuhnya begitu tipis seakan gampang
retak, mungkinkah semua gadis cantik selalu bernasib jelek" Apakah gadis cantik
bernasib jelek selalu akan menjadi bibit bencana.
Gadis cantik yang tidak bernasib jelek apakah akan menjadi sumber bencana juga"
Pikir punya pikir, dia seakan lupa bahwa dia sendiri pun termasuk gadis cantik.
Sementara itu Thio Than telah berkata dengan suara keras, "Nona Lui, kau jangan
berkata begitu, bisa kungfu atau tidak sebenarnya bukan hal yang penting, aku
masih ingat, waktu itu adalah bulan enam tanggal satu, aku hendak pulang ke
telaga Ing-tham untuk menjenguk keluarga Lui Tun tertawa, matanya berkilauan
bagai bintang timur, senyum riang kembali menghiasi wajahnya, selanya, "Jadi
waktu itu Go-ko benar-benar pulang kampung ... pulang untuk melamar gadis
pujaanmu?" Thio Than ikut tertawa, paras mukanya merah padam karena jengah, dasar mukanya
hitam hingga membuat semu merah yang menghiasi wajahnya nampak lebih gelap.
Tapi hanya sebentar saja rasa jengah itu segera lenyap dan berganti jadi rasa
gusar yang meluap. "Ketika aku tiba di dusunku, ternyata segala sesuatunya telah berubah.
Berbicara sampai di sini ia tak bicara lagi, mungkin dia memang tak sanggup
untuk melanjutkan perkataannya.
"Tapi semua itu sudah berlalu, sudah menjadi kenangan saja," lekas Lui Tun
menimpali. "Aku tahu, itulah sebabnya dalam satu tahun terakhir aku selalu berusaha untuk
tidak memikirkannya lagi," kata Thio Than dengan suara berat dan dalam, "aku
hanya ingin bercerita dan memberitahu kepadamu, kalau bukan kau telah
menyelamatkan aku, padahal kau tak pandai bersilat, mungkin aku sudah mati di
tangan Piat Jin-thian "Justru karena kejadian itu, aku baru berjodoh hingga berkenalan dengan Go-ko."
"He, siapa sih yang kau maksud" Apakah orang itu adalah si manusia buas Thian-
locu?" sela Tong Po-gou tiba-tiba.
Thio Than sama sekali tidak menggubris.
"Kejadian yang sudah lewat buat apa disinggung lagi," kata Lui Tun kemudian.
"Jit-moaycu" kata Thio Than dengan serius, "walaupun kau tidak mengerti ilmu
silat, namun kebaikan hatimu, kecuali Toaci, rasanya tak ada lagi yang bisa
menangkan dirimu." Lui Tun tertawa ringan. "Aku tahu apa maksudmu itu," katanya lembut, "oleh karena itu aku pun tak berani
kelewat memandang diriku sendiri, itulah sebabnya ... bukankah aku hidup terus
sampai hari ini?" "He, sebetulnya apa yang sedang kalian bicarakan?" seru Tong Po-gou nyaris
meraung keras, "kalau bicara jangan sok rahasia, terhitung lelaki macam apa dirimu itu!"
Un Ji sendiri pun tak mampu menahan diri, setengah merengek serunya,
"Katakanlah, katakanlah apa yang sedang kalian bicarakan..."
Melihat Thio Than sama sekali tidak menggubris, ia segera berseru lagi, "Kalau
kau tak mau bicara, berarti kalian tidak menganggap kami sebagai teman lagi?"
Melihat Thio Than tetap tidak menggubris, akhirnya dengan sedikit gusar
teriaknya, "Baik, kalau kau tak mau bicara ya sudah, sekarang biar kau paksa aku
untuk mendengar pun, nonamu tak bakal sudi mendengar!"
Thio Than tetap tidak menjawab.
Baru saja Un Ji mau unjuk kegusarannya, lekas Lui Tun mencegah, katanya, "Adik
Ji, kau tak usah marah, kalau ada waktu main saja ke perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, Cici pasti akan bercerita panjang lebar denganmu."
Sesudah mendengar janji ini, Un Ji baru menampilkan senyumannya kembali.
Dalam pada itu Tong Po-gou masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut
melongo, terdengar ia sedang bergumam seorang diri, "Aneh, sungguh kejadian aneh
..." Kini giliran Thio Than yang keheranan, tanyanya, "Kejadian aneh apa?"
Sebenarnya orang inipun termasuk golongan manusia yang suka mencampuri urusan
orang lain, tadi ia belum pulih dari kesedihannya karena terkenang kembali
kejadian masa lampau, maka sikapnya seolah berubah jadi orang lain, tapi setelah
perasaannya tenang kembali, wujud aslinya pun segera muncul kembali.
"Luar biasa, benar-benar luar biasa," kembali Tong Po-gou berseru.
"Apanya yang luar biasa?" lagi-lagi Thio Than bertanya.
"Perempuan, ai, perempuan Tong Po-gou menghela napas panjang, "ternyata
perempuan banyak tingkahnya, jauh melebihi senjata rahasia dari keluarga Tong
kami." "Jadi kau benar-benar anggota perguruan keluarga Tong dari Siok-tiong?"
Tiba-tiba Tong Po-gou membalikkan tubuhnya, sambil melotot dengan matanya yang
besar,* serunya, "Apakah aku dari keluarga Tong?"
"Benar!" "Apakah orang yang bermarga Tong pasti berasal dari keluarga Tong yang ada di
wilayah Suchuan" Memangnya tak ada keluarga lain selain keluarga itu" Apakah
senjata rahasia yang digunakan orang bermarga Tong harus merupakan senjata
rahasia dari benteng keluarga Tong di Suchuan" Tak mungkin ada keluarga yang
lain?" Thio Than yang dicerca dengan serentetan pertanyaan jadi gelagapan sendiri,
serunya tergagap, "Ada sih ada ... cuma ... cuma..."
"Cuma kenapa" Cepat katakan, kalau ingin ken ... cepat dilepaskan," teriak Tong
Po-gou keras, sebetulnya dia ingin mengatakan kentut, tapi teringat di situ
hadir dua gadis muda, maka ucapan itu segera dibatalkan.
"Kecuali keluarga Tong dari Suchuan, rasanya tiada keluarga Tong lain yang punya
nama," jawab Thio Than kemudian.
"Kau salah besar, masih ada satu keluarga lagi yang nama besarnya menggetarkan
sungai telaga," ujar Tong Po-gou serius, "keluarga Tong dari Po-hwi jauh lebih ternama daripada
keluarga Tong dari Suchuan."
"Ooh, jadi kau yang mendirikan perguruan itu?"
"Sama sekali bukan, ada sejarah sebagai bukti. Kau sangka aku adalah manusia
latah yang berani sok gagah-gagahan?"
Kali ini giliran Un Ji dan Thio Than yang dibuat kebingungan, bagaimanapun
mereka mencoba untuk berpikir, tidak berhasil juga menemukan sebuah nama
keluarga Tong yang begitu tersohor, akhirnya tak tahan mereka bertanya, "Siapa
sih orang yang kau maksud?"
"Tong Sam-cong!" jawab Tong Po-gou sambil tertawa tergelak, "senjata rahasianya
adalah gelang emas yang telah beliau gunakan untuk mengendalikan Sun Go-kong,
benda itu pemberian Buddha Ji-lay-hud!"
Hampir mencak-mencak gusar Thio Than setelah mendengar jawaban itu, umpatnya,
"Sialan kau! Kenapa tidak kau sebut juga kaisar Tong Beng-huang" Sehingga bisa membunuh orang
dalam mimpinya?" Lekas Lui Tun mencegah, katanya, "Un Ji merupakan gadis paling manja yang pernah
kujumpai,dia pun terhitung adikku yang paling baik, semestinya Go-ko juga tahu,
Tong Ki-hiap itu suka bergurau, apa salahnya kalau dia mengajak kalian bergurau
untuk meramaikan suasana?"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Gurauan hanya bisa dilakukan terhadap
mereka yang punya bobot dan pengetahuan, Tong Ki-hiap bermata jeli, kali ini dia
bisa memilih sasaran yang tepat."
Dengan sepatah kata saja dia telah memunahkan semua kebekuan yang terjadi di
situ. Mau tak mau terpaksa Un Ji harus jadi seorang nona alim.
Thio Than pun terpaksa harus menerima gurauan itu dengan berbesar hati.
"Kita tak perlu mempersoalkan apakah Tong Sam-cong benar-benar bermarga Tong,
tapi kita harus mengakui bahwa Tong Ki-hiap memang seorang yang sangat kreatip,
buktinya dia bisa menghubungkan siluman kera Sun Go-kong sebagai salah satu
pendekar dalam dunia persilatan, ide ceritanya memang luar biasa," kata Lui Tun
sambil tertawa, "mungkin saja dia benar, cerita dongeng di masa lalu mungkin
merupakan cikal-bakal dari cerita silat jaman sekarang, hanya cerita kuno selalu
diberi bumbu yang hebat. Siapa tahu pahlawan itu dulunya memang pernah ada,
hanya kemampuannya saja yang berbeda."
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cici Lui, masa kau anggap aku adalah gadis alim?" tegur Unji.
"Eh kenapa" Memangnya bukan anak alim?" Lui Tun balik bertanya dengan wajah
tercengang. Un Ji menghela napas panjang, katanya, "Anak gadis sekarang jarang yang alim,
mereka suka belajar rusak, semakin rusak semakin bisa diterima orang banyak,
semakin belajar rusak semakin banyak temannya, bahkan seringkah justru disanjung
banyak orang." "Ah, benarkah begitu" Apa benar situasi dalam dunia persilatan sudah separah
itu?" "Benar, malah aku sendiri pun merasa bahwa diriku ini tidak alim, orang rumahku
selalu kubuat jadi ketakutan bila melihat kehadiranku, Suhu pun selalu bilang,
di antara sesama saudara seperguruan, aku terhitung paling nakal, suka mengacau
"Orang yang pintar baru nakal, mungkin Suhumu sengaja mengajakmu bergurau
"Tidak, di hari-hari biasa Suhu memang ramah kepadaku, tapi begitu dia mulai
memberi nasehat, bisa bikin pecah nyali yang mendengarnya."
"Gurumu Ang-siu Sinni adalah salah satu tokoh persilatan yang sangat dihormati
orang, sudah lama dia hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia, mungkin saja
nasehatnya mempunyai tujuan tertentu dan bukan teguran, jika dia tak
menyayangimu, masakah beliau mengijinkan kau menempuh perjalanan ribuan li hanya
bertujuan untuk membujuk Toa-suhengmu agar mau berubah pikiran
"Itulah dia," seru Un Ji dengan mata mulai memerah, "alangkah baiknya jika
mereka ijinkan aku pergi."
Begitu perkataan itu diucapkan, Lui Tun maupun Thio Than jadi terperanjat.
"Maksudmu ..." Lui Tun bertanya keheranan.
"Jadi kau kemari tanpa sepengetahuan guru dan ayahmu sambung Thio Than.
"Jadi mereka tidak tahu?"
"Ya, dan kau tetap nekat datang kemari?"
Menyaksikan paras muka semua orang berubah hebat, kembali mata Un Ji berkaca-
kaca, hampir saja air mata jatuh bercucuran.
Cepat Lui Tun menepuk bahunya sambil menghibur, "Kau pernah berkata,
kedatanganmu kali ini lantaran gurumu Ang-siu Sinni mengutus kau untuk mencari
So-suko, bahkan ayahmu Siong-yang-cap-kau-kiu (sembilan belas tangan sakti dari
Siong-yang) Un Wan, Un-tayjin juga setuju akan kepergianmu ini, ternyata ...
ternyata kau mengeluyur pergi tanpa pamit..."
"Itulah dia," seru Un Ji cemberut, "coba kalau tidak mengeluyur pergi secara
diam-diam, mungkin sepanjang hidup mereka tak akan mengijinkan aku keluar rumah,
katanya aku harus belajar kungfu sampai tamat lebih dulu baru boleh turun gunung
... padahal berlatih kungfu itu membosankan, tidak menyenangkan, kalau mesti
menunggu tamat belajar, mungkin aku sudah telanjur tua, aku sudah keriput, kalau
sudah tua baru turun gunung, apa senangnya ...?"
Diam-diam Thio Than seria Lui Tun bermandikan peluh, mereka bisa membayangkan
betapa panik dan cemasnya Angsiu Sinni serta Un Wan Tayjin setelah mengetahui
kepergian gadis ini. Terdengar Un II kembali berkata, "Seandainya aku benar-benar sedang menjalankan
tugas gar;, untuk memanggil pulang So-suko, mana mungkin aku masih berari berada
di ibukota untuk membuat onar dengan ayahmu."
Kini baik Lui Tun maupun Thio Than bam mengetahui dengan pasti bahwa kedatangan
Un Ji kali ini ke ibukota memang tanpa persetujuan dari gurunya, Ang-siu sinni
serta ayahnya Un Wan Tayjin.
Sebaliknya Tong Po-gou malah kegirangan setengah mati, serunya sambil bertepuk
tangan, "Bagus sekali, kalau begitu kau tak perlu tergesa-gesa pulang, ayo, kita main
dulu di kotaraja sampai puas, sekalian kita cari Sim-toako dan diajak main
bersama!" Yang dia sebut sebagai Sim-toako adalah Sim Hau-sian yang paling dihormatinya.
(Sim Hau-sian, Pui Heng-sau dan Tong Po-gou belakangan disebut orang persilatan
sebagai 'Jit-tay-ko', tujuh penyamun besar, walaupun disebut penyamun namun
banyak orang persilatan yang pernah menerima bantuan dari mereka, khususnya kaum
fakir miskin. Nama besar mereka sangat dihormati bahkan kiu-ci-koat itu, Lui Sun
telah menyatukan daya cipta yang kuat, hawa mumi yang dahsyat serta kelincahan
jurus yang hebat, tiga hal menjudi satu kekuatan, tak heran jika daya pengaruh
yang terpancar keluar dari serangan jarinya itu luar biasa hebatnya.
Kesembilan huruf ilmu Mi-tiong-kuai-man-kiu-ci-koat itu adalah ' I .eng-peng-to-
ci-cia-tin-liat-cay-kian' (membawa pasukan tempur bubar duluan sebelum terbentuk
barisan), dan semua huruf yang terkandung di situ merupakan jurus serangan maut
yang bisa menghasilkan kekuatan mengerikan.
Huruf pertama dari ilmu itu adalah 'Leng', jari ditekuk menghadap ke arah
telapak tangan, ruas kedua jari saling bersinggungan dengan ujung jari telunjuk
saling menempel, inilah jurus Tok-ku-eng (ilmu jari kering kerontang) dari Mi-
tiong-tay-jiu-eng. Huruf kedua adalah Teng', posisi jari persis seperti posisi huruf pertama, hanya
di dalam gerakan ini kedua ujung ibu jari yang saling menempel, jari tengah
melingkar pada ibu jari. Inilah jurus Tay-kim-kong-lun-eng (ilmu jari kim-kong
berputar). Huruf ketiga To', sepasang telapak saling singgung dengan jari saling menempel,
jari tengah bersilangan dengan jari telunjuk dan menekan sejajar rata, sementara
ibu jari, jari manis dan kelingking tetap dalam posisi berdiri, inilah jurus
Gwa-say-cu-eng (ilmu jari singa sakti luar).
Huruf keempat 'Ci', jari tengah saling bersilang dengan jari manis menjepit, ibu
jari, jari telunjuk dan kelingking menyertai dnri kiri kanan, jurus ini disebut
Lwe-say-cu-eng (Ilmu jari singa .sakti dalam).
Huruf kelima 'Cia', sepuluh jari kiri dan kanan saling bertautan, ujung jari
ditonjolkan menghadap keluar dengan jari kanan berada lebih ke depan, jurus ini
adalah Gwa-hok-eng (Ilmu jari membelenggu keluar).
Huruf keenam Tin', telapak tangan sedikit ditekuk dengan sepuluh jari saling
menyilang, ibu jari kanan diletakkan di atas ibu jari kiri dan diarahkan ke
atas, jurus ini disebut Lwe-hok-eng (Ilmu jari membelenggu ke dalam).
Huruf ketujuh 'Liat', kecuali ibu jari kiri menghadap ke atas dan tertuju
keluar, jari lain menekuk ke arah telapak tangan, ibu jari berada di lingkaran
luar sementara ibu jari kanan membentuk huruf 7, jari yang lain mencekal di atas
ibu jari kiri, jurus ini disebut Ci-kun-eng (ilmu jari kepalan cerdas).
Huruf kedelapan 'Cay', kesepuluh jari direntangkan membentuk kipas dengan ujung
jari saling berhadapan, telapak menghadap keluar, bagian tengah membentuk
lingkaran, jurus ini disebut Jit-lun-eng (ilmu jari bola matahari).
Huruf kesembilan 'Kian', tangan kiri mengepal seperti tinju dengan ibu jari
kanan menempel di ruas jari telunjuk tangan kiri, jurus ini disebut Yin-seng-eng
(Ilmu jari wujud). Tangan kiri Lui Sun sebenarnya hanya tersisa jari tengah dan ibu jari, tapi
sekarang ia telah mengenakan tiga buah 'jari' palsu. Jari yang terbuat dari
kayu. Tentu saja karena terbuat dari kayu maka gerak-geriknya tidak secepat dan
selincah jari yang terbuat dari darah daging.
Ong Siau-sik yang memiliki kungfu hebat dan tenaga dalam sempurna pun lama
kelamaan dibuat berkunang-kunang setelah menyaksikan jurus serangan itu, apalagi
Kwan Jit yang sudah menderita luka parah dan sekarang harus bertarung dalam
jarak dekat. Begitu Lui Sun mengembangkan ilmu sembilan hurufnya, cahaya Buddha serasa
memancar dari balik wajahnya, siapa pun tidak menyangka kalau Lui Sun yang
tangannya penuh berle-potan darah dan sudah banyak membunuh itu ternyata
memiliki ilmu silat yang penuh dengan jiwa serta hawa Buddha, hampir sejajar
dengan nama besar 4 opas. Cerita tentang Sim Hau-sian dan kawan-kawan akan
diterbitkan tersendiri dalam serial Tujuh penyamun).
"Bagus sekali!" seru Un Ji kegirangan, ia segera menarik tangan Lui Tun sambil
mengajak, "Ciri, kau juga ikut!" Lui Tun tersenyum.
"Sebelum meninggalkan ibukota, lebih baik adik jadi tamuku dulu, banyak
persoalan yang ingin Ciri bicarakan secara pribadi denganmu."
Mendengar ajakan itu, Thio Than segera menyela, "Un-lihiap adalah anggota Kim-
hong-si-yu-lau, dia pun masih terhitung adik seperguruan So-kongcu, apakah
leluasa mengajaknya datang ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
"Ah, kau banyak curiga," seru Un Ji mendongkol, "memangnya perkumpulan Lak-hun-
poan-tong bisa berbuat apa ter?hadap nonamu" Dia bisa membunuhku?"
Setelah menyaksikan pertarungan seru antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan
Kim-hong-si-yu-lau melawan Kwan Jit, tapi masih bisa tampil percaya diri,
mungkin di dunia ini hanya ada Un Ji seorang.
Tentu saja masih ada seorang lagi, orang itu tak lain adalah Tong Po-gou.
Terdengar manusia raksasa itu berseru kegirangan, "Bagus, aku juga mau ikut ke
sana." "Mau apa kau ikut ke sana?" tegur Lui Tun sambil mendongakkan kepala.
Tong Po-gou agak tertegun, dengan gelagapan sahutnya, "Aku ... aku hendak
melindungimu "Siapa butuh perlindunganmu"' seru Un Ji mendongkol.
"Aku Tong Po-gou semakin gelagapan dibuatnya, "aku ... terpaksa aku..."
"Mau apa kau?" "Aku dan Cici ingin bicara secara pribadi, masa kau juga mau ikut?" sambung Un
Ji pula sambil tertawa. "Kalau begitu ... kalau begitu aku akan mencari satu tempat untuk menunggumu."
"Kau tak usah menunggu aku lagi."
Sementara itu Lui Tun telah berpaling ke arah Thio Than sambil bertanya, "Go-ko,
apakah kau juga sekalian mau mampir ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
"Aku rasa, mungkin belakangan saja," jawab Thio Than setelah berpikir sejenak.
"Go-ko "Ooh, aku sih tak akan pergi, semisal mau pergi pun tentu akan mengabarkan dulu
kepadamu, tak usah kuatir, aku tak bakal pergi tanpa pamit," kata Thio Than
perlahan, "aku hanya ingin berpikir seorang diri dengan tenang ... cuma aku
tetap masih kuatir, Un-lihiap, dia "Kau pun tak usah kuatir, ayah tahu kalau Un-
lihiap sebenarnya tidak mempunyai hubungan yang mendalam dengan Kim-hong-si-yu-
lau, yang ingin dia hadapi adalah So-kongcu, jika sampai menyalahi adik Un,
artinya dia hendak membuat permusuhan dengan Ang-siu Sinni serta Un Wan Tayjin,
tindakan semacam ini sangat tidak menguntungkan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, selain itu juga tak berpengaruh apa-apa terhadap So-kongcu. Apalagi
sekarang perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah ambruk, aku rasa di dalam kota tak
bakal ada orang yang mampu mengusik kami berdua."
Setelah mendengar uraian Lui Tun ini, Un Ji sendiri pun segera mendapat tahu
bahwa gadis itu telah memberi keterangan secara samar bahkan kehadiran Un Ji di
situ sebetulnya tak ada nilai strategisnya, karena itu biar ditangkap pun tak
akan menghasilkan keuntungan apa-apa.
Sementara itu Lui Tun telah berkata lagi, "Siau-thio, bila kau ... ah, lagi-lagi
aku lupa memanggil Go-ko, rupanya kau kuatir ada pihak lain yang akan mengganggu
kami bukan" Jangan kuatir, dengan kemampuan perkumpulan Lak-hun-poan-tong
ditambah Kim-hong-si-yu-lau, aku rasa tak nanti ada yang berani mengusik kami
berdua." Thio Than sadar, apa yang dikatakan Lui Tun sesungguhnya memang merupakan
kenyataan. Lui Sun telah meninggalkan nenek kedelai dan Lim Ko-ko, dua orang Tongcunya
untuk menunggu di kejauhan sana, jelas kedua orang itu mendapat tugas mengawal
Lui Tun pulang ke markas.
Tampaknya setelah tiba di ibukota, Lui Tun memang sudah tak membutuhkan
pengawalannya lagi. Dalam pada itu Un Ji juga sedang sibuk menyuruh Su Bu-kui yang tampaknya sengaja
ditinggalkan So Bong-seng untuk mengantarnya pulang ke markas Kim-hong-si-yu-lau
agar pu?lang terlebih dulu.
Tong Po-gou segera menghampiri Thio Than, sambil menepuk bahunya kuat-kuat
serunya, "Mari, kita tak usah mencampuri urusan mereka lagi, kita berdua harus
lebih bersemangat, ayo, pergi minum arak!"
"Lebih bersemangat?" Thio Than mengernyitkan keningnya, "aku justru kuatir kau
kelewat bersemangat!"
ooOOoo 49. Membakar dupa "Apa yang kau kuatirkan?"
Begitu naik ke dalam kereta, Lui Sun berkata kepada Ti Hui-keng, "Mengharapkan
sahabat karib hingga hari tua, di kolong langit hanya ada Ti Hui-keng."
Satu-satunya sahabat karib Lui Sun, kecuali Kwan Siau-ti di masa lalu, mungkin
hanya ada Ti Hui-keng seorang.
Apakah satu-satunya sahabat karib Ti Hui-keng juga hanya Lui Sun"
Selisih jarak antara Lui Sun dan Ti Hui-keng waktu itu hanya sembilan senti.
Kereta kuda itu memang besar, sangat lebar.
Sekalipun berada di kotaraja, kecuali keluarga Kaisar atau pembesar tinggi,
jarang sekali ada orang memiliki kereta kuda semegah dan semewah itu.
Saat ini mereka berdua duduk bersandar dinding kereta.
Di bagian tengah terdapat sebuah benda yang besar.
Tentu saja benda itu tak lain adalah peti mati itu.
Peti mati itu dipindahkan orang atas perintah Lui Sun secara hati-hati.
Orang yang boleh memindahkan peti mati itupun bukan saja harus mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dia pun harus jagoan
yang memiliki ilmu silat amat tangguh.
Sekalipun mempunyai kedudukan tinggi, memiliki kungfu hebat pun bukan berarti
secara otomatis dapat menggotong peti mati itu, mereka harus dipercaya dulu oleh
Lui Sun kemudian baru melalui seleksi yang teliti dan amat ketat.
Yang dipilih Lui Sun adalah orang yang amat bersih. Orang yang istimewa
bersihnya! Biasanya orang yang hebat ilmu silatnya, jarang sekali mempunyai kebersihan yang
luar biasa, hal ini mungkin dikarenakan mereka tak punya banyak waktu untuk
merawat diri, merias diri dan membersihkan diri.
Tapi bukan berarti sama sekali tak ada.
Manusia seperti inilah yang dipilih Lui Sun dalam tugas itu.
Orang itu harus luar biasa bersihnya dan berilmu silat sangat hebat.
Bahkan dia harus memiliki sepasang tangan yang luar biasa bersihnya, tak boleh
ada kuku, tak boleh memegang barang kotor, seandainya waktu menggotong peti mati
itu ketahuan oleh Lui Sun kalau tangannya agak kotor ... seperti misalnya, baru
saja membersihkan lubang hidung, baru saja memegang bagian 'bawah' seorang
wanita, membersihkan sisa makanan di sela gigi... dia tak segan akan memotong
tangan orang itu. Ia bisa berkata, bisa pula melakukannya, karena dia adalah Lui Sun.
Apa yang ingin dilakukan Lui Sun, selamanya harus bisa terlaksana.
Selama beberapa tahun terakhir, mungkin satu-satunya harapan yang tak terpenuhi
hanyalah masalah menghadapi So Bong-seng, membasmi Kim-hong-si-yu-lau dari muka
bumi. Di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, penggotong peti mati merupakan satu
kedudukan yang sangat mulia dan patut dibanggakan, tapi termasuk juga satu
pekerjaan yang bere-siko tinggi, jauh lebih berbahaya daripada mereka yang
mendapat tugas melakukan pertempuran.
Oleh karena itu kebanyakan terdiri dari anak muda.
Lui Sun memang sangat menyukai anak muda.
Selalu bergaul dan berkumpul dengan anak muda membuat perasaan dan pikirannya
tak pernah jadi tua. Sebelum menggotong peti mati itu, paling tidak kawanan anak muda itu harus
mencuci tangannya sebanyak tiga kali, oleh sebab itu ada banyak petugas yang
membawa baskom air mengikut di belakang rombongan mereka, petugas pembawa baskom
air pun rata-rata merupakan orang pilihan yang bersih.
Oleh sebab itu dalam dunia persilatan tersiar berita yang mengatakan, melakukan
kesalahan kepada So Bong-seng, mungkin tak sampai dijatuhi hukuman mati, tapi
kalau berani menyalahi Tianglo dari Kim-hong-si-yu-lau, "Satu kata menjadi
kesepa?katan", tak nanti So Bong-seng akan melepaskan dirinya.
Begitu juga apabila kau tidak menghormati Ti Hui-keng, mungkin tak akan terjadi
sesuatu apa pun, sebab jalan pikiran Ti Hui-keng susah untuk diraba, termasuk
kapan dia marah, kapan dia gembira, terhadap siapa dia akan bersikap baik,
terhadap siapa dia akan bersikap jahat, jika membuat marah Lui Sun, mungkin saja
kau masih punya sedikit harapan untuk hidup, sebab di saat Lui Sun marah besar,
bisa saja dia membantai seluruh keluarga orang itu, tapi bisa juga dia malah
mengangkatmu menduduki posisi yang tak kau duga sebelumnya, karena Lui Sun
memang orang yang sukar diraba jalan pikirannya. Tapi jangan sekali-kali kau
mencoba menyentuh atau mengusik peti matinya itu.
Jika kau berani menyentuh peti mati milik Lui Sun itu, maka kau pasti akan
merasa menyesal kenapa mesti dilahirkan di dunia ini.
Inilah pantangan dari Lui Sun!
Pantangan nomor wahid! Ketika peti mati itu sudah diletakkan persis di tengah ruang kereta, Lui Sun
baru 'berani' naik ke atas kereta diikuti Ti Hui-keng di belakangnya.
Dia memang selalu tahu bagaimana melakukan pekerjaan sebaik mungkin, bukan siapa
cepat siapa belakangan tapi bagai?mana mengiringi pemimpinnya.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam hal ini dia memar.g selalu paham dan tahu diri.
Itulah sebabnya dia bernama Ti Hui-keng.
Ti Hui-keng yang selalu menempati kursi nomor dua dalam perkumpulan Lak-hun-
poan-tong. Dia sendiri pun sangat mengerti, andai kata dia tak selalu berpikir begitu
bahkan berbuat secara begini dan melakukannya dengan baik, mungkin sejak dulu
bangku nomor duanya sudah ambruk, hancur dan tak berwujud lagi, bukan saja
lenyap dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mungkin tak berwujud lagi dalam dunia
persilatan. Bukan hanya posisinya, mungkin termasuk dirinya.
Lui Sun amat menyukai Ti Hui-keng, dia pun menaruh hormat terhadap orang ini.
Sebab dia tahu Ti Hui-keng mengerti mana yang boleh dilakukan dan mana yang tak
boleh dilakukan. Bicara soal tahu diri, Ti Hui-keng tak disangkal adalah manusia jenis ini.
Punya ambisi, semangat dan kemampuan, tapi dia bersedia menempati bangku kedua,
mau menerima kenyataan dan bersedia mengiringi pemimpinnya, manusia macam begini
memang terhitung sangat langka.
Tak disangkal Ti Hui-keng memang manusia seperti ini.
Tapi sekarang, mengapa ia nampak murung dan masgul"
Apa yang dia kuatirkan"
Apakah pertarungan lusa tengah hari"
Atau dia masih mempunyai masalah lain"
Lui Sun tahu, inilah saat baginya untuk beristirahat, juga merupakan saat Ti
Hui-keng mulai bicara. Selama ini mereka dapat bekerja sama secara baik, masing-masing tahu peranan
masing-masing dan melakukan perannya secara baik, semua pihak sama-sama bertahan
pada garisnya, tidak saling mencampuri urusan orang lain, bahkan justru saling
menunjang dan menutupi kekurangan, hal ini membuat kekuatan perkumpulan Lak-hun-
poan-tong makin lama semakin bertambah hebat... seandainya tidak bertemu Kim-
hong-si-yu-lau. Di depan peti mati terdapat sebongkok hio, cong-hio, dupa wangi!
Dupa wangi memang sangat harum.
Bau harum dupa yang menyelimuti seluruh ruang kereta membuat suasana di situ
terasa nyaman. Tapi mengapa harus membakar dupa" Apakah ada orang mati yang berbaring dalam
peti mati itu" Kalau benar, siapa yang mati" Mengapa Lui Sun menaruh perhatian khusus
kepadanya" Kenapa tidak dikubur saja jenazahnya" Kenapa peti mati itu harus
digotong ke arena pertempuran sewaktu bertarung dengan Kim-hong-si-yu-lau di
rumah makan Sam-hap-lau"
Kalau bukan, kenapa harus membakar dupa"
Semua pertanyaan selamanya tetap akan menjadi pertanyaan.
Ketika kita mencoba untuk mengurai satu persoalan, jika kau menelusurinya lebih
lanjut secara serius maka akan muncul banyak sekali persoalan yang
membingungkan. Dan kini, yang diajukan Ti Hui-keng adalah salah satu di antaranya.
"Coba kau lihat hio itu!" katanya.
Lui Sun segera berpaling, hio itu masih menyala.
Sudah setengah batang hio yang terbakar, abu hio sedang runtuh ke bawah, rontok
di sisi cawan kecil yang digunakan untuk menampung abu.
Lui Sun tidak menyaksikan apa-apa.
"Kereta ini keras sekali bergoncang," kembali Ti Hui-keng berkata.
Semua perkataannya seolah hanya kata-kata sampah, sama sekali tak ada artinya.
Tentu saja kereta itu bergoncang keras karena sedang dilarikan dengan kencang,
bahkan sedang bergerak menuju ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Jika mengikuti kecepatan lari kereta kuda itu, mungkin tak sampai satu jam
kemudian mereka sudah akan tiba di markas besar.
Tapi Lui Sun tahu, bukan hal itu yang dimaksud Ti Hui-keng, maka dengan sabar ia
menanti perkataan selanjurnya.
"Hembusan angin di sini sangat kuat," Ti Hui-keng berkata lebih lanjut, "ketika
angin berhembus kencang, hembusan itu akan mempengaruhi hio yang sedang menyala,
di saat angin berhembus kencang, maka hio akan terbakar habis dalam waktu yang
lebih singkat." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Oleh sebab itu kurang tepat jika
kita menghitung waktu dengan hitungan sepertanakan nasi, sebab ada orang yang
cepat makannya ada pula yang sangat lambat, jika kita mengambil patokan cara
bersantap Thio Than, sahabat nona Lui Tun, belum lagi orang menyuap satu dua
sendok nasi, dia sudah menghabiskan dua tiga mangkuk nasi."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Begitu juga bila kita gunakan perhitungan
waktu dengan seperminuman teh, sebatang hio; sekejap mata, semuanya tidak
meyakinkan, tidak pas, bila masalah waktu tak penting, mungkin keadaan masih tak
seberapa, tapi kalau waktu sudah menentukan mati hidup seseorang, maka kita
harus memperhitungkannya dengan lebih seksama."
Kembali ia menundukkan kepalanya, namun berkilat sepasang matanya, katanya lagi,
"Tak ada waktu berarti tak ada cahaya matahari, kita pun tak bisa lemah, tak
bisa tua, tak bisa mati, mana mungkin dalam urusan yang penting kita tak
mempunyai perhitungan waktu yang tepat."
Kembali ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Aku rasa, di kemudian hari
pasti akan diciptakan semacam alat yang bisa menghitung perjalanan waktu secara
tepat, bahkan mungkin bisa menghentikan jalannya waktu."
"Semoga saja begitu," Lui Sun menanggapi pelan, "tapi bila sekarang kita tak
ingin lemah, tak ingin dikalahkan, tak ingin mati, maka persoalan pertama yang
harus diselesaikan terlebih dulu adalah masalah yang menyangkut So Bong-seng."
"Aku tahu, persoalan kita sekarang adalah persoalan So Bong-seng."
Lui Sun mulai tenang kembali, mulai putar otak dan berpikir.
"Semula kita menduga, So Bong-seng ingin lekas menyelesaikan pertarungan ini
lantaran dia sudah tak punya waktu lagi untuk menunggu," kata Ti Hui-keng,
"karena dia sakit!"
"Betul, masalah waktu rasanya merupakan masalah serius baginya," Lui Sun
mengangguk. "Waktu pun bagi kita sangat penting," ucap Ti Hui-keng lagi, "dia bahkan
menginginkan penyelesaian pertarungan dilakukan esok hari, untuk mencegah kita
mengulur waktu lagi, dia tak segan melepaskan kesempatannya untuk meraih
keuntungan melalui tempat, waktu dan lingkungan dengan menyanggupi permintaanku
untuk mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong."
Sekulum senyuman seakan tersungging di ujung bibir Lui Sun, ujarnya, "Tadi aku
memang sengaja bersabar serta menahan diri, aku ingin memelihara suasana hingga
rasa sombong dan jumawa So Bong-seng mulai tumbuh, sehebat dan setangguh apa pun
seorang manusia, apabila dia mulai sombong dan jumawa, saat itu gampang baginya
untuk melakukan kesalahan.
Dia masukkan sepasang tangannya ke balik saku, seolah sedang memeluk diri
sendiri, kemudian baru katanya lebih jauh, "Aku telah menggunakan kesempatan
tadi untuk menganalisa keampuhan serta kelemahannya, tadi aku selalu mengalah
sementara kau mewakiliku berhadapan dengannya, kerja sama kita pada saat itu
benar-benar luar biasa dan tak ada celahnya."
"Ada, ada celahnya" tiba-tiba Ti Hui-keng berkata, "kalau yang kita bentuk hanya
jaring langit, maka jaring langit kita pasti ada celahnya."
Lui Sun tersenyum. "Siong-yang-tay-kiu-jiu (sembilan belas tangan sakti dari Siong-yang) Un Wan
mempunyai seorang pembantu ampuh yang disebut orang Thian-i-yu-hong (jaring
langit ada celah), orang itu termashur namanya dalam dunia persilatan dan
ham?pir sejajar dengan 'Sampai berjumpa lagi'
dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan 'Satu kata sebagai kesepakatan' dari Kim-
hong-si-yu-lau, apakah orang ini yang kau maksudkan?" katanya.
"Bukan, bukan dia yang kumaksudkan. Aku hanya merasa heran, tidak seharusnya So
Bong-seng memperlihatkan kegeli?sahan, kecemasan serta kecerobohannya di hadapan
kita, agar kita mengetahui semua kelemahannya itu."
"Berarti dia sengaja memperlihatkannya kepada kita?"
"Rasanya begitu."
"Dia sengaja menampilkan sikap itu agar kita mengira dia sudah tak sabar
menanti?" "Kalau memang begitu, berarti dia masih bisa menunggu, paling tidak jauh lebih
bisa menunggu ketimbang kita, karena itu dia baru secara sengaja memperlihatkan
sikapnya yang seolah sudah tak sabar menunggu."
"Itu berarti kita harus merombak kembali semua analisa serta kesimpulan yang
pernah kita ambil tentang dia. Kalau dia bisa secara sengaja memperlihatkan
perasaan kuatir dan tak sabarnya, berarti dia memang sengaja hendak membuat kita
salah menilai dan menganalisa tentang dirinya.
Padahal kesalahan sekecil apa pun dalam sebuah pertempuran bisa berakibat
kekalahan fatal." "Betul. Ini berarti penyakit yang dideritanya tidak terlalu parah."
"Bahkan sama sekali tidak parah."
"Kakinya yang terhajar senjata rahasia juga tidak menunjukkan gejala yang
jelek." "Kelihatannya sih begitu," Ti Hui-keng menghela napas panjang, "meskipun kedelai
hijau dari Hoa Bu-ciok tak bisa dipunahkan dengan obat apa pun, meski racun yang
bersarang di lukanya segera dibersihkan pun bukan berarti bisa mencegah
menjalarnya racun itu ke bagian tubuh yang lain."
"Oleh sebab itu 'Satu kata sebagai kesepakatan' pasti masih hidup?"
"Bukannya sama sekali tak mungkin."
"Dia sengaja hendak menyerang markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
"Kemungkinan memang begitu." "Dia punya keyakinan untuk berhasil menang?"
"Paling tidak saat ini dia belum kalah." "Kita pun belum kalah."
"Karena kita belum melangsungkan pertarungan habis-habisan."
"Ya, kita baru bekerja sama untuk menumbangkan kekuatan perkumpulan Mi-thian-
jit-seng." "Tapi hingga kini Kwan Jit belum mampus."
"Saat ini Kwan Jit ibarat orang cacad, dia sudah kehilangan sebuah lengannya,
menderita luka yang amat parah, disambar petir lagi, meski masih bisa hidup juga
rasanya tak perlu ditakuti lagi."
"Tapi hingga kini kekuatan di balik Kwan Jit masih merupakan teka-teki yang
belum terjawab," kata Ti Hui-keng dengan wajah berat dan serius, "sebelah lengan Kwan Jit sudah
kutung, berarti senjata ampuhnya juga sudah lumpuh sebagian, tapi Kwan Jit kabur
dengan membawa lari kutungan lengannya."
"Maksudmu..." "Meskipun tadinya dia memiliki dua buah tangan, namun karena diborgol jadi satu
maka keampuhannya hanya setengah bagian yang bisa digunakan, tapi sekarang
tangannya tinggal sebelah, kemampuannya justru malah pulih seratus persen,"
berkilat sepasang mata Ti Hui-keng,
"sekalipun kini di ibukota sudah tak ada lagi Kwan Jit kedua, tapi selama masih
ada setengah Kwan Jit saja yang tersisa di sini, kita perlu selalu waspada."
"Ya, apalagi sekarang ditambah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik."
"Andaikata So Bong-seng tidak memiliki Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, tak nanti
dia begitu percaya diri, begitu yakin dengan kemampuan sendiri," ucap Ti Hui-
keng, "kejadian ini merupakan keberuntungan baginya, karena dalam keadaan dan
kondisi seperti ini dia telah kedatangan dua orang pembantu tangguh."
"Belum tentu dia beruntung."
"Kenapa?" kali ini giliran Ti Hui-keng yang bertanya.
"Baik Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui, mereka adalah sahabat Tun-ji," ujar Lui
Sun, "hubungan antara laki dan wanita seringkah bisa mengubah status sahabat
menjadi status lain."
Ti Hui-keng termenung sampai lama sekali, kemudian baru katanya, "Aku dapat
melihat hal ini." "Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui bisa menjadi sahabat So Bong-seng, kenapa tak bisa
jadi sahabatku juga?"
"Tapi mereka sudah mengangkat saudara."
"Teman, saudara, kekasih, hubungan keluarga. Terkadang sifat hubungan semacam
ini bisa berubah secara gampang," terbesit cahaya tajam dari balik mata Lui Sun,
"itu semua tergantung tekanan macam apa yang mereka terima dan rayuan macam apa
yang mereka hadapi."
Ti Hui-keng mulai tenang kembali.
"Menurut pendapatmu?" tiba-tiba Lui Sun bertanya, maksud ucapan itu sangat
jelas, dia minta Ti Hui-keng yang berbicara.
"Bila rencana ini bisa dilaksanakan, jelas hal ini akan sangat memukul posisi So
Bong-seng, langsung menghujam ke jantung Kim-hong-si-yu-lau, rencana ini jelas
merupakan sebuah rencana besar yang amat serius, langkah yang amat strategis,
oleh sebab itu untuk melaksanakan rencana ini kita harus ekstra hati-hati."
"Maksudmu "Tatkala kita menemukan titik kelemahan pada diri lawan, besar kemungkinan pihak
lawan memang sengaja hendak memperlihatkannya kepada kita, tatkala kita melihat
keunggulan dari lawan, kemungkinan di situlah letak titik kelemahan yang
sebenarnya," sepatah demi sepatah Ti Hui-keng berkata, "untuk menghadapi musuh
macam So Bong-seng, kita tak boleh melakukan kesalahan walau sekecil apa pun."
"Maksudmu semua ini hanya merupakan siasat musuh?"
"Kemungkinan begitu."
"Seperti kita menduga waktu terbakarnya sebatang hio, gampang melakukan
kesalahan tafsir." "Benar." "Sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan bisa mempengaruhi keseluruhan rencana,
akibatnya semua pekerjaan yang kita lakukan bisa hancur berantakan."
"Di samping itu bisa mempengaruhi juga keselamatan jiwa kita semua," kata Ti
Hui-keng, "ada satu hal mungkin masih belum kau ketahui."
"Katakan!" "So Bong-seng pernah datang mencari aku." "Dia sendiri?"
"Tidak, ditemani Yo Bu-shia!"
"Lalu apa lagi yang meski kita tunggu" Lebih baik lakukan penyerbuan lebih
awal," seru Lui Sun setelah memandang peti mati itu sekejap, "lebih baik kita
meniru rencana So-kongcu menghadapi dirinya!"
ooOOoo 50. Impian Loteng merah Rombongan So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah kembali ke loteng
merah di bukit Thian-swan-san, sepanjang perjalanan So Bong-seng batuk terus,
batuknya makin lama semakin bertambah keras, jauh lebih hebat daripada sewaktu
bertarung melawan Kwan Jit atau sewaktu berhadapan dengan Lui Sun.
Kini dalam ruang loteng tersisa So Bong-seng, Pek Jau-hui, Ong Siau-sik, Yo Bu-
shia, Su Bu-kui dan Mo Pak-sin beberapa orang.
Mengawasi bahunya yang mengejang keras ketika batuk, dari balik mata Pek Jau-hui
dan Ong Siau-sik segera terpancar keluar perasaan kuatir.
Dari dalam sebuah botol porselen kecil Yo Bu-shia mengeluarkan beberapa butir
pil. Tanpa mengambil air So Bong-seng segera menelan pil itu, kemudian baru
memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak.
"Kelihatannya Toako perlu beristirahat sejenak," bisik Ong Siau-sik kemudian.
"Benar, kita datang lagi nanti malam," Pek Jau-hui mengangguk.
Mendadak So Bong-seng membuka matanya kembali, pancaran hawa dingin mencorong
keluar dari balik matanya, tiba-tiba ia berseru, "Pantangan! Itu pantangan!"
Untuk sesaat semua orang tidak paham apa yang dimaksud So Bong-seng, tanpa
terasa semua orang memandang ke arahnya dengan wajah kebingungan.
Yo Bu-shia bangkit berdiri dan segera masuk ke ruang dalam.
"Aku rasa belum tentu begitu," terdengar Pek Jau-hui menanggapi.
"Kenapa?" Tanpa menjawab Pek Jau-hui balik bertanya, "Bukankah hari ini dengan sukses kita
berhasil menggempur perkumpulan Mi-thian-jit-seng?"
"Paling tidak telah membuat Kwan Jit terluka parah."
"Kenapa Kwan Jit bisa muncul di situ?"
"Karena dia mengira aku sedang adu kekuatan dengan perkumpulan Lak-hun-poan-
tong, mimpi pun dia tak mengira kalau kita justru sedang bekerja sama untuk
membasminya." "Oleh sebab itu kelemahan yang diperlihatkan musuh kepada kita belum tentu
merupakan kelemahan yang sesungguhnya," kata Pek Jau-hui, "kelemahan yang tidak
kita temukan justru merupakan titik kelemahan musuh yang sesungguhnya."
"Maksudmu "Sama seperti apa yang kukatakan tadi, pantangan yang diperlihatkan musuh kepada
kita, belum tentu merupakan pantangan yang sesungguhnya. Sekilas pandang Lui Sun
seolah menganggap peti mati itu sebagai Sin-beng, besar kemungkinan dia memang
sengaja berbuat demikian untuk diperlihatkan kepada kita semua."
"Mungkin benar, mungkin juga tak benar," So Bong-seng manggut-manggut.
"Seandainya benar, kita harus mulai memikirkan dengan serius, apa isi peti mati
itu?" timbrung Mo Pak-sin.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin tujuan Lui Sun justru ingin membuat kita pusing tujuh keliling, memeras
otak untuk hal yang percuma, mengganggu konsentrasi kita," kata Pek Jau-hui
cepat. Kontan Mo Pak-sin tertegun dan tak sanggup menjawab.
Sementara itu Yo Bu-shia sudah muncul kembali sambil membawa sejilid kitab,
katanya, "Menurut catatan yang ada, sejak delapan tahun lalu, setiap kali
perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang menghadapi masalah besar, gawat dan serius,
Lui Sun selalu menggotong keluar peti matinya, tak ada orang tahu apakah peti
mati itu pernah dibuka, karena dari sekian banyak yang hadir, hanya Ti Hui-keng
seorang yang berhasil lolos dalam keadaan hidup."
So Bong-seng termenung tanpa bicara, Pek Jau-hui mengerutkan dahinya.
"Selain itu seluruh anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong menaruh perasaan takut
bercampur hormat terhadap peti mati itu, jika ada yang berani bersikap
kurangajar terhadap peti mati itu, dapat dipastikan orang itu akan dihukum mati.
Pernah ada seorang Tongcu yang secara tidak sengaja meraba peti mati itu
sebentar, akibatnya Lui Sun memerintahkan orang untuk memotong kedua jarinya,
sejak itu tak ada yang berani meraba peti mati itu lagi, bahkan kebanyakan sudah
menghentikan langkahnya pada radius sepuluh li."
Setelah berhenti sejenak, kembali Yo Bu-shia melanjutkan, "Aku dengar setiap
malam bulan purnama, Lui Sun selalu meluangkan waktu untuk duduk semalaman
berhadapan dengan peti mati itu, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang
dia lakukan." "Lui Sun meletakkan peti mati itu dimana?" tiba-tiba So Bong-seng bertanya.
"Di depan air terjun Put-tong-hui-bu!"
"Apakah air terjun Put-tong-hui-bu adalah tempat penting perkumpulan Lak-hun-
poan-tong?" tanya Ong Siau-sik. "Benar!" "Tempat itulah yang akan kita datangi besok lusa" sambung So Bong-seng.
"Tongcu mana yang jarinya dipotong?" tanya Pek Jau-hui pula.
"Dia sudah diangkat menjadi Tongcu ketiga belas, Tok-ka-thiat-hok (bangau baja
berkaki tunggal) Ciu Kak."
"Bukankah dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong hanya ada dua belas orang Tongcu?"
tanya Pek Jau-hui dengan kening berkerut.
"Ciu Kak hanya dikatrol naik posisinya sehingga dia hanya punya separuh nama
sebagai seorang Tongcu, namun dibandingkan para Hiocu lainnya seperti Ting siu-
hok, Li Tan, Lim Si-ci, Lim Ci-sim dan lain lain, posisinya jauh lebih tinggi."
"Oooh Berkilat sepasang mata So Bong-seng, tiba-tiba katanya, "Maksud Jite adalah
"Itu berarti kecuali Ti Hui-keng, hanya Ciu Kak seorang yang pernah menyentuh
dan mendekati peti mati itu."
"Tentu saja sulit buat kita untuk mencari keterangan dari mulut Ti Hui-keng
"Tapi bukan hal yang sulit untuk membawa Ciu Kak datang kemari dan menanyainya
hingga jelas." "Benar, pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti tak akan menduga kalau kita
bakal mengincar seorang Tongcunya yang tak genap posisinya."
"Apalagi jari Ciu Kak pernah dipotong hingga cacad, sedikit banyak dia pasti
menyimpan dendam sakit hati itu, biarpun tak sampai mengkhianati perkumpulan
Lak-hun-poan-tong, paling tidak dia pasti menaruh perasaan benci dan muak
terhadap peti mati itu."
Sekulum senyuman kembali menghiasi ujung bibir So Bong-seng, katanya, "Oleh
sebab itu kita harus waspada, terkadang seseorang yang nampaknya tidak berguna,
seringkah justru mempunyai kegunaan yang amat besar."
"Sama juga sebuah keteledoran yang tidak terlalu mencolok, terkadang justru
merupakan luka yang sangat mematikan."
"Tapi yang pasti, luka yang sangat mematikan itu milik perkumpulan Lak-hun-poan-
tong." "Semua yang namanya luka tentu akan menimbulkan sakit, luka di tubuh musuh
justru merupakan sasaran utama yang harus kita gempur," kata Pek Jau-hui, "hanya
saja kalau luka seperti Ti Hui-keng, aku rasa justru akan menjadi luka yang bisa
mematikan sang penyerang."
"Jadi kau telah memperhatikan soal itu?" tanya So Bong-seng sambil mengangguk.
"Benar, sudah kuperhatikan."
"Berarti di saat orang lain menganggap kau kelewat sombong, kelewat jumawa, kau
justru sudah memperhatikan semuanya."
"Itulah sebabnya aku bisa selalu tampil sombong dan jumawa."
Untuk sesaat So Bong-seng tidak berbicara lagi.
"Kalian maksudkan Ti Hui-keng pernah mendongakkan kepala?" tanya Ong Siau-sik
tiba-tiba. "Ya, hanya dalam waktu sekejap mata."
"Itu dilakukan ketika ia sedang menghadang Kwan Jit yang sedang melarikan diri,"
sambung Pek Jau-hui. "Hal ini membuktikan kalau tulang tengkuknya sama sekali tidak patah, otomatis
kemungkinan besar dia mengerti ilmu silat, malah bisa jadi kungfunya sangat
hebat. Tapi ... mengapa dia harus berlagak begitu" Kenapa harus merahasiakan hal
itu?" "Dia berharap musuh memandang enteng kemampuannya, agar perhatian lawan
dikonsentrasikan secara penuh kepada Lui Sun, dengan demikian di saat yang
paling kritis, ia dapat membantu Lui Sun meraih kemenangan."
"Belum tentu begitu," tiba-tiba So Bong-seng menyela, "kemungkinan juga dia akan
membantu kita untuk meraih keme?nangan!"
"Oya?" Pek Jau-hui segera berpaling dan menatap tajam wajah So Bong-seng.
"Belum tentu Lui Sun tahu kalau tulang tengkuk Ti Hui-keng sebenarnya tidak
patah, atau mungkin saja tulang tengkuk Ti Hui-keng memang pernah patah, tapi
sekarang telah pulih kembali."
"Persoalannya sekarang adalah kita belum berhasil menemukan apa alasan Lui Sun
bisa bekerja sama dengan Ti Hui-keng sehingga mereka dapat duduk bersanding
tanpa saling menaruh curiga,"
kata Yo Bu-shia. "Mungkin mereka dapat bekerja sama karena yang satu mengidap sakit hati sedang
yang satu lagi mengidap penyakit nyali," sela Ong Siau-sik sambil tertawa.
"Tapi kalau kita berhasil menemukan sumber penyakitnya, maka tak sulit
menentukan obat apa yang paling manjur untuk memberantas sakitnya itu," kata Mo
Pak-sin serius. "Di dunia ini tak ada teori yang seratus persen benar, tak ada hubungan yang
selalu akrab dan tak ada perasaan yang tak pernah berubah," ujar So Bong-seng.
"Oleh sebab itu tak ada teman yang abadi dan tak ada musuh yang abadi," sambung
Pek Jau-hui. "Keliru besar!" mendadak Ong Siau-sik berteriak keras.
"Biar keliru pun hal ini merupakan kenyataan," seru Pek Jau-hui sambil melotot
besar. "Kalau kehidupan manusia ternyata cuma begitu, apa menariknya tetap hidup?"
"Hidup adalah sesuatu yang sakral, tak ada bagian hidup yang bisa dianggap main-
main," ujar So Bong-seng hambar, "kenyataan hidup memang bukan sesuatu yang
menarik, kalau ingin mencari hal yang menarik, cari saja dalam alam impian."
"Kalau kau mengatakan kehidupan itu tidak sakral, aku pun tak bisa banyak
bicara, sebab bagimu kecuali mati berarti hidup, tak punya pilihan lain," kata
Pek Jau-hui, "oleh karena itu aku harus hidup secara baik, hidup yang cerah,
hidup dalam kemenangan dan kemegahan, dengan begitu hidup kita baru terasa
mantap, hidup dengan gembira!"
"Karena kita sedang melamun maka kita semua sedang hidup dalam impian, impian
memang selalu menggembirakan," ternyata So Bong-seng ikut tertawa, tapi begitu
tertawa dia pun mulai terbatuk-batuk, keningnya mulai berkerut-kerut seakan ada
bagian tubuhnya yang terasa sakit, tapi kemudian dia melanjutkan, "Karena kita
sedang berada di loteng merah, maka kita semua seakan sedang hidup dalam alam
impian loteng merah."
"Ya, kita bisa berkumpul bersama, berunding bersama, rasanya memang seperti
dalam impian," gumam Ong Siau-sik. "Kita hanya bisa menikmati impian hingga besok, karena lusa, kita semua sudah
harus terbangun dari alam impian," ujar So Bong-seng lebih jauh, "kalau bukan
impian mengejutkan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, berarti mendusin dari
impian bagi Kim-hong-si-yu-lau."
"Oleh karena itu tadi kau menunjukkan penampilan yang amat angkuh, amat
sombong?" "Aku memang berharap mereka menganggap diriku ini sombong, angkuh."
"Orang yang sombong biasanya gampang melakukan kesalahan besar."
"Aku memang berharap mereka menyangka aku sedang teledor dan melakukan kesalahan
besar." "Tapi Lui Sun pun berharap kau menganggap dia sebagai orang lemah yang penakut."
"Maka dari itu aku dan dia memang pantas disebut sepasang manusia antik,"
kembali So Bong-seng tertawa tergelak, "sekalipun dia berusaha tampil pengecut,
seakan takut urusan, bernyali kecil sementara aku tampil angkuh dan jumavva,
namun kekuatan yang sebenarnya tak seorang pun tahu, masing-masing pihak
berusaha melacak keadaan yang sebenarnya, sementara kami sedang berusaha bermain
sandiwara sesempurna mungkin."
"Kehidupan manusia memang tak lebih bagai panggung sandiwara," kata Pek Jau-hui
sambil tertawa. "Tapi aku lebih rela hidup dalam impian," gumam Ong Siau-sik.
So Bong-seng berpaling memandang ke arah Pek Jau-hui, kemudian ujarnya,
"Permainan sandiwara kita pun amat sempurna, kau dan aku sama-sama dapat
menghayati peran masing-masing secara baik."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Bahkan aku merasa seakan sedang menghadapi
kejadian sungguhan."
"Ooh ... jadi ... jadi kalian Ong Siau-sik seakan baru tersadar.
Kembali So Bong-seng tersenyum.
"Aku memang meminta Loji untuk berlagak seakan selalu bermusuhan denganku,
selalu beda pendapat denganku, agar mereka mengira kita tidak sepaham, tidak
seia sekata." "Semoga saja pihak musuh tidak menemukan titik kele?mahan dan tahu kalau hal ini
merupakan sebuah perangkap," kata Ong Siau-sik sambil tertawa getir.
Satu ingatan kembali melintas dalam benaknya, semula dia mengira Pek Jau-hui dan
So Bong-seng benar-benar tidak sepaham, dia kuatir di atas satu gunung tak bisa
menampung dua ekor harimau, tapi setelah mengetahui mereka hanya bermain
sandiwara, dan dirinya pun ikut tertipu, satu perasaan tak sedap kontan
menyelimuti perasaannya. Tapi dengan cepat dia membuang jauh-jauh semua ganjalan itu.
Dia menganggap sandiwara Toako dan Jikonya bertujuan untuk membohongi musuh,
bukan untuk menipu dirinya, kalau dia pun sampai percaya penuh, berarti tak ada
alasan bagi lawan untuk tidak percaya, seharusnya keberhasilan ini disambut
dengan perasaan gembira. Sementara dia masih berpikir, terdengar Pek Jau-hui telah berkata lebih jauh,
"Tapi aku tetap merasa tidak setuju dengan melepaskan Kwan Jit pulang ke gunung
dan mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong lusa tengah hari."
"Kau tidak mengerti?"
"Kalau begitu jelaskan kepadaku."
"Cara kerja Locu memang selalu sulit diraba, belum tentu dia harus menjelaskan
dulu semua alasannya," sela Yo Bu-shia tiba-tiba.
"Kalau dibahas dulu sebelum dilaksanakan, andai kata ada kekeliruan di kemudian
hari tak usah menyesal."
"Ah, kau ini manusia macam apa! Masa apa yang hendak Kongcu lakukan mesti
dijelaskan dulu alasannya padamu?" seru Su Bu-kui tiba-tiba.
"Aku adalah Hu-locu, macam begitukah sikapmu waktu berbicara denganku?" tegur
Pek Jau-hui tak suka hati. "Bu-kui!" hardik So Bong-seng cepat.
Su Bu-kui segera menundukkan kepala, mundur ke belakang dan tidak bicara lagi.
Terdengar Pek Jau-hui berkata lagi, "Kwan Jit sudah pergi, berarti kita bisa
melakukan pengejaran terhadap target baru, tidak ada keharusan bagi kita memberi
kesempatan kepada musuh untuk membuat persiapan."
"Aku punya perhitungan sendiri!" tukas So Bong-seng dengan wajah berubah.
Pek Jau-hui sama sekali tak mau mengalah, desaknya lebih jauh, "Sekarang kita
berdiri pada garis yang sama, sudah seharusnya aku mendapat tahu latar belakang
rencanamu." Kuatir terjadi keributan, lekas Ong Siau-sik menyela, katanya, "Kita bergabung
belum lama, banyak urusan memang belum tahu secara jelas, rasanya hal yang
menyangkut rahasia besar tidak baik diketahui terlalu banyak orang."
"Masa aku pun tak boleh tahu?" seru Pek Jau-hui.
"Jika kau adalah mata-mata yang dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan aku
katakan semua rahasia yang kuketahui, bukankah pihak kita yang justru masuk
perangkap?" kata So Bong-seng sambil tertawa dingin.
"Bagus, bagus sekali," saking gusarnya Pek Jau-hui tertawa keras, "aku datang
membantumu, kau malah menganggap aku sebagai mata-mata!"
"Urusan yang ada di loteng ini menyangkut mati hidup ribuan orang anak buahku,
tentu saja aku harus bertindak sangat hati-hati," kata So Bong-seng dengan wajah
sedingin salju, "apalagi kau datang membantuku, aku pun sama saja telah
membantumu, jika Kim-hong-si-yu-lau tidak menggunakan tenagamu, mana mungkin kau
bisa melampiaskan ambisimu dan membuat usaha besar?"
"Jadi kau anggap aku baru bisa membuat usaha besar bila bergabung dengan Kim-
hong-si-yu-lau?" teriak Pek Jau-hui semakin gusar.
"Bukan begitu, justru aku melihat kalian berdua bukan sembarangan manusia, di
kemudian hari bisa membangun usaha besar, maka dengan hati tulus kuundang kalian
untuk bergabung dengan loteng kami."
Melihat percekcokan antara Pek Jau-hui dan So Bong-seng berkembang makin panas
dan sengit, lekas Ong Siau-sik melerai, "Semua ini memang berkat kejelian mata
Toako serta kesediaan Toako untuk membimbing kami, kalau tidak, mungkin aku
masih jadi tabib jalanan sementara Jiko masih jual lukisan di pekan."
Setelah suasana berubah jadi tenang kembali, Pek Jau-hui baru bertanya lagi,
"Kau mencurigai kami?"
"Kalau curiga, kenapa sampai sekarang kalian masih berada di sini?" jawab So
Bong-seng sambil tertawa.
Pek Jau-hui adalah seorang pemuda keras kepala, kembali tanyanya, "Kalau kau
tidak mencurigai kami berdua, kenapa setelah urusan jadi begini gawat dan
menyangkut urusan mati hidup, kau masih berusaha mengelabui kami?"
"Setiap orang tentu mempunyai rahasia pribadi yang tak ingin diketahui orang
lain," kata So Bong-seng dengan nada tenang, "sekalipun Bu-shia atau Bu-kui,
meski mereka sudah lama berada di sampingku, namun ada sementara persoalan yang
sama sekali tidak mereka ketahui."
"Walau begitu, kami tak pernah ingin tahu" kata Yo Bu-shia.
"Kami tak pernah tanya karena kami percaya penuh pada Kongcu," Su Bu-kui
menambahkan. "Kalau toh kau tidak mempercayai aku, mengapa aku haj rus mempercayaimu?" Pek
Jau-hui ngotot lagi, "kalau kau masih menaruh curiga kepada kami, kenapa pula
harus menggunakan kami."
"Kau keliru!" hanya perkataan itu yang diucapkan So Bong-seng.
Kesabarannya sudah mencapai ambang batas, justru karena ia menghargai
kemampuannya, maka selama ini dia tidak mengumbar hawa amarah.
"Sekalipun aku menaruh curiga kepadamu, aku bisa menjajalmu, kalau tidak
kujajal, darimana aku bisa mempercayaimu" Ketika sudah berada di ambang hujan
badai, bila kita masih belum bisa berdiri di satu sampan yang sama, bila kau
belum bisa bekerja sama dengan perasaan lega, maka kita harus menghadapi
hancurnya sampan itu diterjang badai," kata So Bong-seng lebih jauh,
"siapa pun tak akan percaya kepada orang lain sejak permulaan, apalagi saat
kemunculan kalian tepat pada saat menjelang pertarungan penentuan antara Kim-
hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, apakah kemunculan semacam
ini tidak terlalu kebetulan?"
Kali ini giliran Ong Siau-sik yang tidak senang hati, kontan tegurnya, "Jadi kau
anggap kami sengaja menyusup ke dalam Kim-hong-si-yu-lau sebagai mata-mata?"
"Tidak." "Lantas kenapa?"
"Sebab siapa pun tidak menyangka kalau aku bisa sangat menghargai kemampuan
kalian berdua, padahal sekalipun kemampuan kalian sangat hebat pun bukan berarti
aku harus memakai kalian berdua, bahkan bisa jadi aku malah akan mengutus orang
untuk membunuh kalian berdua. Tapi siapa pun tak bisa menduga reaksiku, maka
mustahil kalian datang sebagai penyusup."
Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Apalagi ketika berada di puing
bangunan di tengah hujan deras tempo hari, pada saat aku terhajar senjata
rahasia kedelai hijau, seharusnya kalian punya kesempatan untuk membunuhku, jadi
tak perlu repot-repot menjadi penyusup."
"Kedelai hijau" Sangat beracun?" Ong Siau-sik mengalihkan pandangan matanya ke
atas kaki So Bong-seng. "Keganasan racunnya di luar dugaan," jawab So Bong-seng.
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hoa Bu-ciok memang sudah berniat berkhianat, untuk mencabut nyawa Kongcu, tak
nanti ia gunakan senjata rahasia yang ringan kadar racunnya," sambung Yo Bu-
shia. "Apakah ... apakah sangat mengganggu?"
Sebelum So Bong-seng menjawab, Pek Jau-hui sudah menyahut duluan, "Dia tak akan
menjawab, sekalipun dijawab, belum tentu ucapannya jujur."
"Kau pintar sekali," senyuman kembali terbesit di balik pandangan matanya.
"Aku senang berteman dengan orang yang pintar, lebih baik lagi jika selain
pintar, liangsimnya juga baik," tiba-tiba So Bong-seng mengalihkan pokok
pembicaraan, "seperti juga mencari bini, aku suka orang yang cantik, hatinya
baik, pintar lagi cekatan dalam bekerja. Orang yang pintar, kebanyakan mampu
bekerja, cantik pun perlu, sebab harus kuhadapi sepanjang hidup, kalau kurang
cerdik, biar cantik pun hanya sebuah kerangka yang kosong, bikin orang kheki
saja. Maka aku lebih suka orang itu tidak terlalu cantik tapi tak boleh tak
cerdik. Kecantikan bisa luntur dimakan usia, tapi kepintaran adalah langgeng.
Sayang tidak banyak gadis cantik yang pintar dan cekatan di dunia ini."
"Nona Lui cantik, dia pun cerdas, hatinya sangat baik," kata Ong Siau-sik
tertawa. "Apakah hatinya baik atau tidak, aku kurang tahu, tapi soal ilmu silat, dia nol
besar," So Bong-seng ikut tertawa, "tapi harus kuakui, dia selain cantik juga
cerdik, maka aku ingin menitipkan satu tugas kepadamu."
"Tugas apa?" hampir bersamaan waktu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berseru.
"Sebelum kita menyinggung persoalan ini secara pribadi, kita harus menghadapi
dulu pertemuan tengah hari lusa di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka
aku rasa saat ini ada satu hal yang harus kita lakukan dulu, yaitu beristirahat
secukupnya, kemudian..."
"Kemudian berkumpul lagi di sini untuk bersama-sama merundingkan rencana besar
guna menggulingkan kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong!"
51. Tujuh gulung angin berpusing
"Rencana besarku adalah menjadi kaya!" ketika menghabiskan arak mangkuk yang
ketiga, sorot mata Tong Po-gou sudah mulai kabur, lidahnya mulai bebal
membengkak, "setelah kaya raya, aku pun dapat melakukan apa saja yang ingin
kulakukan." "Sebenarnya apa sih yang ingin kau kerjakan?" Thio Than sudah meneguk enam belas
mangkuk arak, bukan saja wajahnya belum memerah, napas pun tidak ngos-ngosan,
baginya minum arak sama seperti minum air teh meski agak lebih lambat bila
dibandingkan makan nasi. "Aku butuh seorang bini yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, agak
malu-malu seperti rumput putri malu," pandangan mata Tong Po-gou dipenuhi dengan
berbagai khayalan, "aku ingin ternama, punya nama termashur, agar siapa pun yang
mendengar nama Tong Po-gou akan ketakutan setengah mati dan kabur terbirit-birit
"Jika itu yang menjadi keinginanmu, tak usah menunggu sampai kaya raya."
"Oya?" "Kau cukup pergi membeli sebilah golok." "Beli golok buat apa?"
"Asal kau lagi tak senang hati, jika ada yang berani mengolokmu, tak usah gubris
orang itu kenal atau tidak, sekali tebas gorok lehernya, jika kau sedang
bergembira, bila ada yang berani menjumpaimu dengan wajah cemberut, sekali tebas
peng?gal saja kepalanya, bila ada waktu senggang, kau pun bisa menenteng golok
untuk menculik seorang gadis cantik yang rupawan, dengan begitu, asal dalam
setengah tahun kau masih bisa hidup bugar, kujamin nama besarmu akan
menggetarkan seluruh sungai telaga."
"Cuuh! Aku ingin bertindak sebagai ksatria, perbuatan biadab macam begitu tak
sesuai dengan seleraku!"
"Lalu kau masih ingin melakukan apa lagi?"
"Tadi kan sudah kukatakan, aku ingin ternama, aku ingin mengawini bini yang
cantik rupawan, aku ingin hidup makmur, hidup dengan riang gembira tanpa
kekurangan, aku pun ingin memiliki kungfu yang hebat, jauh lebih hebat ketimbang
kungfu yang dimiliki Sim-lotoa, So-locu, Ong-losik dan Pek A-hui, aku pun ingin
semua orang mengagumiku, nama pendekarku termashur di seluruh kolong langit,
agar Pui Heng-sau menyesal kenapa tidak kenal denganku sejak dulu ..."
"Aku tidak mengerti."
"Apa yang tidak kau pahami?"
"Keinginanmu itu kalau dibilang susah ya susah, kalau dibilang gampang pun
sangat gampang, tapi tak ada hubungannya dengan menjadi kaya; jika kau merasa
punya kemampuan untuk melakukannya, lakukan saja mulai sekarang," kata Thio
Than, "kaya hanya bisa membuat orang hidup lebih nyaman dan makmur, mungkin
dapat pula mendapatkan beberapa orang bini yang cantik wajahnya tapi busuk
hatinya, selain itu juga bisa memperoleh pelayanan dari kaum kurcaci, kaum
Siaujin yang pandai menjilat, tapi jika ingin mengalahkan tokoh silat sebangsa
So Bong-seng dan lainnya, serta mendapatkan rasa kagum dari jagoan macam Sim
Hau-sian dan rekannya, kaya sama sekali tak ada manfaatnya. Padahal asal
perasaan seseorang selalu gembira, besar jiwa dan pikiran terbuka, kemana pun
kau pergi, hidupmu selalu tetap.nyaman dan gembira."
Tong Po-gou berpikir sejenak kemudian setelah tertawa tergelak katanya, "Baik,
kalau toh dengan uang aku tak bisa membeli semua itu, buat apa aku membutuhkan
uang sebanyak itu" Padahal asal tahu batas dalam mencari kesenangan, itu sudah
cukup membuat orang berbahagia."
Kemudian setelah menepuk batok kepala sendiri, terusnya, "Sekarang aku baru
tahu, ternyata apa yang ingin kulakukan belum tentu bisa dilakukan setelah
menjadi makmur nanti, bahkan ada sementara perbuatan yang harus kulakukan dulu
baru bisa menjadi makmur, sayang teori semacam ini hingga kini pun masih jarang
ada orang yang bisa memahaminya."
Dengan cepat dia memesan seguci arak Ko-liang lagi, kemudian menghormati Thio
Than dengan semangkuk arak, menanti rekannya selesai meneguk habis isi mangkuk
itu, Tong Po-gou baru menenggak sedikit arak sendiri.
Pada mulanya Thio Than masih tidak menaruh perhatian, tapi lama kelamaan dia
mengetahui juga akan hal ini.
"He, ada apa kau" Kenapa minummu macam semut lagi menjilat air?" tegurnya.
"Apa yang kau maksud dengan semut menjilat air?"
"Teramat sedikit!"
"Karena aku tak pandai minum arak."
Seketika itu juga Thio Than tertawa tergelak, tertawa keras macam orang kalap.
"Apa yang kau tertawakan?" Tong Po-gou merasa sangat tidak puas, dia tahu Thio
Than sedang menertawakan dirinya.
"Kalau dilihat perawakan tubuhmu yang tinggi besar macam kerbau, kungfumu juga
hebat, kusangka takaran minummu hebat, hahaha, tak tahunya kau sama sekali tak
pandai minum arak, menggelikan, sungguh menggelikan!"
"Apanya yang menggelikan" Seseorang yang berperawakan tinggi besar bukan berarti
dia pasti pandai minum, seseorang yang bertubuh pendek kecil juga tidak menjamin
takaran minumnya kecil," Tong Po-gou mendelik, "seperti juga orang yang tinggi
besar mungkin hatinya mulia dan bijak, sebaliknya orang yang kecil pendek bisa
saja hatinya justru keji dan buas, kalau ingin menilai baik buruknya seseorang
hanya menilai dari tampilan wajah dan perawakan badan, jelas itu hanya perbuatan
orang idiot." "Oleh karena itu orang yang pandai minum arak belum tentu berjiwa besar, orang
yang tak pandai minum belum tentu dia seorang pengecut."
"Sama teorinya, belum tentu orang yang pandai minum adalah seorang Hohan, orang
yang tak pandai minum bukan seorang Enghiong!"
"Maksudmu, masalah minum arak adalah urusan minum arak, masalah Hohan adalah
urusan Hohan?" "Arak adalah arak, manusia adalah manusia, kalau ada orang membandingkan arak
dengan watak manusia, maka hal ini sama seperti menggunakan tulisan membicarakan
soal ma?nusia, pada hakikatnya seperti kentut anjing saja."
"Kalau toh kau tak pandai minum, kenapa mesti memesan arak?"
"Aku tak pandai, tapi kau toh seorang jagoan minum." "Jadi kau yang membeli
arak, aku yang menikmati?" "Tepat! Aku ingin memberitahukan sebuah rahasia."
"Katakan!" "Selama hidup aku paling tak suka mengundang orang minum arak, karena pengaruh
arak bisa membuat watak orang berubah, ketika mereka menyangka takaran minumnya
hebat dan belum mabuk, semua perkataannya masih bisa diterima dengan akal sehat,
tapi begitu mabuk, semua omongannya bagaikan kentut busuk, maka aku tak pernah
mengundang orang minum arak...
tentu saja kecuali kau."
"Aku pun ingin memberitahukan satu rahasia kepadamu."
"Katakan, akan kudengarkan."
"Malam ini pun baru pertama kalinya aku minum arak sebanyak ini." "Oya?"
"Karena aku tak pernah mau minum arak yang dibelikan seseorang yang tak
kupandang sebelah mata, tentu saja orang yang memandang rendah diriku tak akan
membelikan arak untukku, kalau aku harus membeli arak sendiri, lebih baik
kuhamburkan uangku untuk membeli nasi, sementara sahabat karibku, mereka tak ada
yang suka minum." "Berarti malam ini kau telah memberi muka untukku?"
"Rasanya memang begitu."
"Tak nyana tubuhmu yang kecil pendek ternyata memiliki takaran minum yang
hebat." "Dulunya aku sendiri pun tidak tahu, tapi sekarang rasanya hal ini memang
menjadi kenyataan." "Maka dari itu aku yang bertanggung jawab membeli arak dan kau yang bertanggung
jawab minum arak." "Eh, bila kau memang serius ingin aku minum lebih banyak, kenapa tidak sekalian
memesan beberapa macam hidangan sebagai teman minum arak?"
"Baik, kau ingin pesan apa sebagai teman minum arak?"
"Nasi, tentu saja nasi putih yang masih mengepul panas."
"Baik, tak jadi masalah, aku memesan nasi untuk teman minum arakmu, tapi kau
mesti memberi muka untukku."
"Kau suruh aku menghabiskan seguci arak?"
"Bukan, bukan, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang satu hal."
"Nah, apa kubilang," Thio Than segera tertawa tergelak, "penyakit rasa ingin
tahumu memang kelewat parah, tampaknya kau belum akan puas sebelum mencari tahu
sebuah urusan hingga sejelas-jelasnya."
"Itu namanya perasaan tak akan mati sebelum melihat sungai Huang-ho," seru Tong
Po-gou sambil menggaruk telinganya, "bagaimana sih ceritanya hingga kau bisa
berkenalan de?ngan Lui Tun?"
"Ooh, soal itu?" Thio Than meneguk dulu secawan arak,. "kau pernah mendengar
tentang Jit-tosian-hong (tujuh gulung angin berpusing) yang berada di
perkampungan bunga Tho, Tho-hoa-ceng?"
"Maksudmu tujuh gulung angin berpusing yang didirikan Lay Siau-oh, Cu Toa-koay,
Thio Han, To-he-liu-tau (di ujung golok meninggalkan kepala) berenam yang
bermukim di kota Tiang-an?"
"Betul, rupanya pengetahuanmu hebat juga."
"Kehebatanku lebih dari ini, lain waktu akan kuperlihatkan semua di hadapanmu."
"Dari ketujuh gulung angin berpusing itu, aku adalah satu di antaranya, aku
bersama Lay Toa-ci dan lain-lain merupakan saudara angkat yang bersumpah akan
sehidup semati..." "Ah, berarti sama seperti hubunganku dengan Sim Hau-sian Toako serta Pui Heng-
sau." "Suatu saat, waktunya persis hari Cap-go-meh, Lay-toaci berhasil membongkar
rencana pembunuhan yang akan dilakukan si pembunuh ulung Tay-sat-jiu dalam
sebuah pesta lampu lampion, kau pernah dengar tentang kejadian ini?"
"Pernah, peristiwa itu sangat menghebohkan kolong langit, masa aku tak tahu?"
berkilat sepasang mata Tong Po-gou.
"Gara-gara kejadian itulah, si pembunuh ulung Tay-sat-jiu jadi sangat mendendam
kepada Lay-toaci." "Dia ingin membunuh Lay Siau-oh?" tanya Tong Po-gou kaget.
"Selama ada kami, tak nanti dia sanggup membunuh Lay-toaci" ujar Thio Than
sambil menghela napas, "maka dalam jengkelnya dia telah mencuri sejilid kitab
pusaka Seng-siu-tin-kian-pit-kip dan melarikan diri ke gunung Lu-san."
"Hah, jadi ia berhasil mencuri benda pusaka milik Toaci kalian" Bagaimana sih
kemampuan kalian semua?" seru Tong Po-gou dengan kening berkerut.
"Itulah sebabnya aku pun melakukan pengejaran hingga mencapai gunung Lu-san."
"Hanya kau seorang" Kemana perginya saudara angkatmu yang lain?"
"Mereka tak dapat bergeser dari posisi karena secara tiba-tiba di dalam kota
telah kedatangan seorang tokoh misterius yang jauh lebih lihai."
"Siapa" Siapa yang memiliki kepandaian silat lebih hebat dari Tay-sat-jiu?"
"Kami pun tidak tahu siapakah orang itu, bahkan hingga kini pun masih belum tahu
apakah dia seorang teman atau musuh," kata Thio Than, "kami hanya tahu dia
tinggi kurus, wajahnya putih menyeramkan, punggungnya menggembol sebuah pauhok
kuno penuh berlubang, siapa pun yang mencoba menguntitnya tak pernah berhasil
melacak jejak beritanya, yang berani bertarung melawannya, sebuah lubang darah
akan muncul di dada mereka, selama ini belum pernah ada setengah manusia pun
yang bisa hidup terus. "Lihai amat!" teriak Tong Po-gou tak tahan, "siapa sih orang itu?"
"Bukankah sudah kusinggung sejak awal" Kami sendiri pun kurang tahu, maka dari
itu terpaksa Thio Han, To-he-liu-tau, Cu Toa-koay-ji, Ki Siang-ho tetap tinggal
di kota Tiang-an menemani Lay-toaci, sedang aku seorang diri berangkat me?ngejar
Tay-sat-jiu." "Kau seorang diri sanggup menghadapinya?" tanya Tong Po-gou sambil menatapnya
tajam, "kalau aku jadi saudaramu, tak nanti aku biarkan kau berangkat
sendirian." "Terus terang, aku ingin mencari sedikit ketenaran, maka secara diam-diam
mengeluyur pergi, Lay-toaci sekalian malah tidak tahu akan rencanaku ini."
"Bagus sekali," seru Tong Po-gou sambil bertepuk tangan, "aku sendiri pun
seringkah melakukan perbuatan semacam ini, Sim-toako sekalian kerap kubuat
jengkel sampai telinga pun ikut bengkok."
"Tapi gara-gara ulahku itu, hampir saja aku kehilangan nyawa!"
"Nyawa boleh saja hilang tapi sebagai manusia kita harus melakukan hal yang
menarik menurut pandangan kita, untuk persamaan watak kita berdua, ayo, kita
bersulang tiga cawan."
Sekali teguk Thio Than menghabiskan isi cawannya, kemudian baru berkata lagi,
"Aku menguntit jejak Tay-sat-jiu hingga tiba di bukit Lu-san, ketika jejaknya
semakin dekat, tiba-tiba aku kehilangan bayangan tubuhnya, aku tahu dia pasti
sudah mengetahui kehadiranku dan sedang bersiap membunuhku ..."
"Maka kau pun bersiap mengadu jiwa melawannya?"
"Tidak, aku melarikan diri."
"Apa?" teriak Tong Po-gou sambil melompat bangun.
"Melihat aku kabur, dia mengira aku merasa ketakutan hingga segera melakukan
pengejaran untuk membunuhku, begitu dia menampakkan diri, maka aku pun bisa
memaksanya untuk berduel habis-habisan."
"Konon Tay-sat-jiu memiliki tiga puluh enam jenis senjata, setiap jenis
digunakan untuk menghadapi musuh yang berbeda, kau ... kau sanggup
menghadapinya?" "Tidak, aku tidak mampu menandinginya, maka begitu turun tangan aku pun langsung
mencuri ketiga puluh enam jenis senjata andalannya itu."
"Bagus, kalau suruh bertarung, mungkin kau tak sanggup, tapi disuruh mencuri,
kau memang jagonya, kalau tidak, mana mungkin kau bisa mencuri saputanganku,"
seru Tong Po-gou dengan mata melotot.
Thio Than mengerling sekejap ke arahnya, kemudian melanjutkan kembali kata-
katanya, "Siapa tahu, biar tidak bersenjata pun aku masih bukan tandingan Tay-
sat-jiu, ketika nyawaku berada di ujung tanduk dan terlihatnya segera akan tewas
di tangan orang itulah tiba-tiba terdengar ada seorang wanita berseru dari balik
batu, "Lo-ngo, apa aku bilang, dengan mengandalkan kemampuanmu seorang, mana
mungkin bisa menghadapi Tay-sat-jiu" Kau memang tak pernah mau percaya dengan
perkataan Toacimu, nah sekarang rugi sendiri bukan?"
"Oooh, jadi di saat yang kritis Lay-toaci pun telah menyusul ke sana?"
"Waktu itu aku sempat tertegun dibuatnya, Tay-sat-jiu sendiri pun ikut
terperanjat, dia menjadi was-was. Pada saat itulah terdengar ada suara lelaki
berkata, 'Toaci, bagaimana kalau kita bekuk saja begundal itu"', suara perempuan
yang pertama segera menjawab sambil tertawa, 'Dia berangasan, bertindak ngawur,
biar rasakan dulu sedikit siksaan, akan kulihat dengan cara apa dia akan
membunuh orang itu"'. Kau tahu, Tay-sat-jiu pernah menderita kerugian besar di
tangan Lay-toaci, begitu mendengar Toaci beserta saudara-saudaranya berdatangan,
ia menjadi gugup dan tak berani tinggal lebih lama lagi di situ, tanpa banyak
bicara dia langsung melarikan diri..."
"Kau biarkan dia kabur?"
"Seketika itu juga kuhajar dia dengan ilmu Huan-huan-sin-kang, aku percaya luka
yang dideritanya waktu itu sangat parah."
"Tapi ia berhasil melarikan diri bukan?"
"Benar, dia berhasil melarikan diri, waktu itu aku sendiri pun sudah terluka
parah hingga tak sanggup melakukan pengejaran."
"Bagaimana ceritanya dengan Lay-toacimu?"
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang muncul waktu itu bukan Lay-toaci," kata Thio Than sambil menggeleng dan
tertawa, "suara tertawa perempuan itu memang amat merdu dan menarik hati, tapi
dibandingkan Lay-toaci masih kalah setingkat, sekali dengar pun aku sudah tahu
kalau dia bukan Toaci yang sesungguhnya, maka begitu tahu perempuan itu hanya
ingin mengacaukan perhatian Tay-sat-jiu dengan ucapannya, aku segera melancarkan
sebuah pukulan balasan untuk melukainya, dan dia pun kabur terbirit-birit karena
ketakutan..." "Kalau bukan Lay Siau-oh yang datang ..." tiba-tiba satu ingatan melintas dalam
benak Tong Pogou, sambil bertepuk tangan serunya kemudian, "Ah, pasti Cicimu
yang datang!" "Sialan! Aku tak punya Cici."
"Kalau begitu ... jangan-jangan Piau-moaymu?"
"Piau-moayku gendutnya macam gajah raksasa yang disengat lebah, seluruh tubuhnya
membengkak besar, orang menyebutnya si Kucing gendut, kalau suruh perempuan
macam begini naik ke gunung Lu-san, mungkin dibutuhkan sepuluh ekor kuda untuk
menyeretnya naik." "Lantas ... ah! Jadi semuanya itu adalah ulah Lui Tun?" teriak Tong Po-gou.
"Pintar!" "Tapi ... bukankah dia adalah putri tunggal Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-
tong Lui Sun" Apalagi waktu itu saat perkawinannya sudah dekat, mau apa dia datang ke gu?nung
Lu-san?" "Dia sedang melarikan diri."
"Melarikan diri?" nyaris sepasang biji mata Tong Po-gou meloncat keluar saking
kagetnya. "Dia adalah seorang gadis yang punya cita-cita besar, dulu pernah menjadi tangan
kanan Lui Sun dalam mengelola perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi kemudian Lui
Sun lebih percaya dengan Ti Hui-keng serta Lui Moay, perselisihannya dengan Kim-
hong-si-yu-lau pun makin membara, ini membuat dia merasa seakan hidup dalam
himpitan dua bukit raksasa, dia ingin berontak tapi apa daya, dia tak
berkemampuan dan tak tahu silat. Ketika Lui Sun berencana mengawinkan dia dengan
So Bong-seng, dia pun tahu kalau niat ayahnya hanya ingin mengendalikan loteng
angin, rasa kecewa dan kesal membuat nona Lui mengambil keputusan untuk kabur
secara diam-diam dari ibukota. Dengan kecerdasan dan kehebatannya berpikir, ia
berhasil melepaskan diri dari pengejaran anak buah ayahnya ..."
Bercerita sampai di sini, Thio Than menghela napas panjang, setelah berhenti
sejenak, terusnya, "Hari itu kebetulan dia sedang berpesiar di seputar bukit Lu-san, begitu
menyaksikan pertarunganku melawan Tay-sat-jiu, dia segera mengetahui asal-usul
kami, terlebih ketika dia menghubungkan kejadian itu dengan peristiwa di malam
cap-go-meh dimana Lay-toaci telah menggagalkan usaha pembunuhan yang dilakukan
Tay-sat-jiu, maka dia pun meniru suara Lay-toaci dan saudara-saudaraku yang lain
untuk menakut-nakuti Tay-sat-jiu
"Masa Lui Tun mampu menirukan berbagai logat suara, termasuk suara lelaki?"
"Gadis itu nampak lembut di luar, padahal keras di dalam, dia termasuk seorang
gadis yang memiliki kemampuan hebat, hanya sayang kondisi tubuhnya yang kelewat
lemah." Sesudah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Ternyata Tay-sat-jiu amat licik,
dia tidak pergi terlalu jauh dan segera balik kembali."
"Wah, bisa celaka kali ini."
"Untung begitu menampakkan diri, dengan cepat nona Lui segera menyampaikan
beberapa pesan kepadaku, pesan itu adalah menerangkan beberapa bagian titik
kelemahan yang ada pada ilmu silat Tay-sat-jiu, maka sewaktu dia muncul kembali,
aku pun menggunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangkaian serangan
berantai yang diarahkan ke titik kelemahannya, dalam keadaan tak menyangka dan
gelagapan, akhirnya aku berhasil melukai kembali dirinya, waktu itu kerugian
yang diderita Tay-sat-jiu amat besar, tapi ia tak mau menyerah begitu saja,
sepanjang jalan masih berusaha menyerang kami secara bergerilya."
Terbang Harum Pedang Hujan 19 Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Kisah Membunuh Naga 33