Pencarian

Menuju Negeri Antah Berantah 3

Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie Bagian 3


Hilary. Sayang, kini mau tak mau Hilary harus sadar, harapan itu telah punah. Seandainya
pun "Nona Hetherington" benar agen yang dimaksud Jessop, dia telah ditaklukkan.
Dia berhasil ditinggalkan di Marrakesh dan mau tak mau harus mengaku kalah.
Tapi apa pula sebenarnya yang bisa dilakukan Nona Hetherington"
Rombongan musafir itu telah tiba di tempat, tak ada lagi jalan pulang. Hilary
berjudi dengan maut dan kalah.
Sekarang tahulah dia bahwa Jessop ternyata benar. Ternyata sekarang dia tak lagi
ingin mati. Dia ingin hidup. Semangat hidupnya begitu berkobar-kobar.
Memang dia masih ingat Nigel, ingat makam Brenda, tapi dengan rasa kasihan dan
sedih, tak lagi dengan rasa putus asa yang telah mendorongnya melarikan diri dan
ingin bunuh diri. Pikirnya, kini aku sudah hidup lagi, waras, utuh... tapi seperti tikus di dalam
perangkap. Kalau saja ada jalan keluar...
Bukannya dia belum pernah memikirkan masalah itu. Sudah. Tapi dengan agak
segan dia harus mengakui, begitu bertemu dengan Betterton, tak mungkin ada jalan
keluar lagi baginya... Pasti Betterton akan bilang, "Lho, dia bukan istri saya-"
Nah, tamatlah sampai di situ!
Semua orang akan memelototi dia... lalu mereka sadar... ada mata-mata di tengah-
tengah mereka.... Masih adakah pemecahan lain"
Bagaimana kalau misalnya dia mendahului mengambil prakarsa"
Misalkan saja sebelum Tom Betterton sempat bicara, dia menjerit terlebih dulu,
"Siapa Anda" Anda bukan suami saya!"
Kalau dia bisa pura-pura marah, kaget, takut, dengan cukup meyakinkan-mungkin
mereka akan ragu-ragu"
Ragu-ragu apakah benar Betterton ini memang betterton-atau ilmuwan lain yang
menyamar sebagai Betterton. Dengan kata lain, mata-mata.
Tapi kalau mereka percaya itu, kasihan Betterton!
Tapi, begitu pikirannya terus berputar-putar sampai kelelahan, kalau Betterton
itu pengkhianat, orang yang bersedia menjual rahasia negara, apa masih pantas
dikasihani" Ah, alangkah sukarnya menilai kesetiaan orang-atau bahkan menilai manusia atau
hal-hal lain.... Tapi bagaimanapun mungkin perlu dicoba juga menimbulkan keraguan di antara
mereka. Dengan perasaan kacau-balau dia mendarat kembali di dunia sekelilingnya.
Meskipun pikirannya baru saja jungkir-balik tak keruan seperti tikus terjebak,
dari luar dia tetap tampak tenang.
Rombongan kecil dari dunia luar itu disambut seorang pria ganteng tinggi besar.
Rupanya ahli bahasa dia-setiap orang disapanya dengan satu dua kata dalam
bahasa orang yang bersangkutan.
"Senang berkenalan dengan Anda, Dokter," dia menggumam kepada Dr. Barron, lalu
beralih kepadanya, "Ah, Nyonya Betterton, kami senang sekali Anda sudah datang.
Perjalanan panjang yang membingungkan, ya" Suami Anda baik-baik saja
dan, dengan sendirinya, tak sabar menunggu Anda."
Dia tersenyum sopan; senyum yang menurut Hilary tidak sampai menghangatkan
sorot matanya yang dingin.
"Anda pasti sudah rindu sekali ingin bertemu dia," katanya menambahkan.
Hilary semakin merasa kacau-balau-rasanya orang-orang di sekitarnya mendekat
menjauh seperti ombak di laut.
Di sebelahnya, Andy Peters memeganginya.
"Mungkin Anda belum dengar," kata Peters kepada tuan rumah. "Nyonya Betterton
baru saja mengalami kecelakaan di Casablanca-gegar otak. Perjalanan selama ini
cukup berat untuk kondisi kesehatannya. Apalagi dia begitu berharap akan bertemu
dengan suaminya. Saya rasa sekarang dia perlu berbaring di kamar yang teduh."
Hilary bisa merasakan kebaikan dalam suara itu dan pada lengan yang
menopangnya. Dia sempoyongan lagi. Gampang sekali, amat gampang, Kalau dia
menjatuhkan diri... pingsan-paling tidak mendekati pingsan. Lalu dia akan
dibaring-kan di kamar yang teduh- dan dia bisa menunda saat terbongkarnya
penyamarannya sedikit lebih lama....
Tapi Betterton pasti akan mendatanginya -suami mana pun akan demikian. Dia
akan datang, dan dalam keremangan membungkukkan badan di atas tempat
tidurnya, tapi begitu mendengar suaranya, melihat bentuk wajahnya ketika
matanya sudah terbiasa dalam gelap, Betterton akan segera tahu perempuan ini
bukan Olive Betterton. Hilary kembali tabah. Tubuhnya tegak lagi. Pipinya bersemu merah. Kepalanya
mendongak. Kalau ini akan menjadi akhir hayatnya, biarlah akhir yang perkasa!
Akan dihadapinya Betterton dan bila orang itu menolaknya, untuk terakhir kalinya
Hilary akan coba-coba berbohong, dengan mantap tanpa rasa takut.
"Memang saya bukan istri Anda. Istri Anda -sudah tewas. Saya ada di rumah sakit
ketika dia meninggal. Saya berjanji kepadanya akan menghubungi Anda dan
menyampaikan pesan-pesan terakhirnya. Saya sendiri tak keberatan. Soalnya saya
bersimpati dengan apa yang Anda lakukan -dengan apa yang dilakukan kalian
semua. Saya setuju garis politik Anda. Saya ingin menolong...."
Tipis, tipis kemungkinannya....
Lagi pula canggung benar harus menerang-nerangkan hal-hal sepele seperti
bagaimana paspornya bisa palsu, bagaimana Surat Pengantar-nya juga palsu. Tapi
kadang-kadang orang bisa selamat juga dengan nekat berbohong. Jika dia bisa
berbohong dengan mantap, jika dia dapat meyakinkan orang...
Paling tidak toh dia harus berjuang.
Dia menegakkan diri, pelan-pelan melepaskan diri dari topangan Peters.
"Oh, tidak. Saya harus bertemu Tom," katanya. "Saya harus ke Tom sekarang-
segera." Pria tinggi besar itu ramah. Simpatik. (Meski pun mata yang dingin itu masih
tetap pucat dan waspada.)
"Tentu saja. Tentu saja, Nyonya Betterton. Saya mengerti sekali perasaan Anda.
Ah, ini Nona Jennson."
Seorang gadis kurus berkaca mata bergabung dengan mereka.
"Nona Jennson, perkenalkan, ini Nyonya Betterton, Fraulein Needheim, Dr.
Barron, Mr. Peters, Dr. Ericsson. Tolong antar mereka ke Registry. Suguhi
minuman, ya. Saya akan menyusul beberapa menit lagi. Cuma akan mengantar
Nyonya Betterton ke suaminya, kok. Sebentar saya akan bersama Anda lagi."
Dia berpaling ke Hilary lagi, berkata, "Mari ikut, Nyonya Betterton."
Dia melangkah pergi, Hilary mengikutinya. Ketika akan berbelok, Hilary
menengok ke belakang untuk terakhir kalinya. Andy Peters masih tetap
memperhatikannya. Wajahnya tampak bingung, sedih-sesaat Hilary merasa seolah-olah Peters akan
menyusulnya. Tentunya dia sudah menyadari, pikir Hilary, ada yang tidak beres. Dia sadar
melihat tingkah lakuku, tapi dia belum tahu apa yang tak beres.
Sedikit bergidik Hilary berpikir, mungkin ini terakhir kalinya aku melihat
dia... Jadi sambil membelok di tikungan, dia melambaikan tangan selamat berpisah. Si
pria tinggi besar berbicara dengan gembira.
"Ke sini, Nyonya Betterton. Saya khawatir gedung kami ini mula-mula akan terasa
sedikit membingungkan. Begitu banyak koridor, dan semuanya serba mirip."
Seperti dalam mimpi, pikir Hilary, mimpi koridor-koridor putih serba bersih yang
tak berujung, terus, terus saja tak ada jalan keluar....
Hilary mengatakan, "Saya tak menyangka kalau ternyata sebuah rumah sakit."
"Tidak, tentu saja Anda tak dapat menduga apa-apa." Terasa sedikit sadis
suaranya yang terdengar senang itu.
"Anda kan harus 'terbang dengan mata tertutup' O, ya, nama saya Van Heidem.
Paul Van Heidem." "Semua ini begitu aneh-dan agak menakut kan," kata Hilary. "Penderita lepra
itu..." "Ya, ya, tentu saja. Mencolok dan biasanya begitu tak terduga-duga. Membuat
pendatang-pendatang baru ngeri. Tapi Anda akan terbiasa dengan mereka -ah, pada
waktunya nanti Anda akan terbiasa dengan mereka."
Dia ketawa kecil. "Lelucon yang bagus sekali, menurut saya."
Mendadak pria itu terdiam.
"Kita naik tangga-nah, tak usah terburu-buru, Tenang saja. Hampir sampai."
Hampir sampai-hampir sampai... tangga yang begitu panjang menuju maut....
Naik-naik-anak tangganya tinggi-tinggi, lebih tinggi dari biasanya di Eropa.
Kini mereka melewati koridor putih lagi lalu Van Heidem berhenti di depan
sebuah pintu. Dia mengetuk, menunggu, lalu membuka pintu.
"Ah, Betterton-akhirnya. Istri Anda!"
Dia minggir dengan bergaya sedikit.
Hilary masuk. Tanpa ragu. Tanpa takut. Dagu ke depan. Maju menyongsong maut.
Seorang pria sedang berdiri dengan tubuh separuh menghadap ke jendela.
Tampannya luar biasa. Dipandanginya pria tampan itu, dia hampir-hampir terkejut.
Orang ini tidak seperti Betterton yang dibayangkannya. Jangan-jangan foto yang
sudah ditunjukkan kepadanya itu...
Justru karena bingung dan terkejut itu dia malah bisa mengambil keputusan.
Hilary beranjak maju, tapi tak jadi. Suaranya terdengar kaget, takut...
"Tapi itu bukan Tom. Itu bukan suami saya..."
Cukup bagus aktingku, pikir Hilary dalam hati.
Dramatis tapi tak keterlaluan. Dia menatap Van Heidem bertanya-tanya. Lalu Tom
Betterton ketawa. Ketawanya begitu senang, senang dan puas.
"Hebat sekali ya, Van Heidem?" katanya. "Istriku sendiri saja sampai tak
mengenaliku!" Dengan empat langkah cepat dia menghampiri Hilary dan merangkulnya dalam
pelukan erat. "Olive sayang, tentu saja kau kenal aku. Aku ini memang Tom
meskipun wajahku lain."
Wajahnya menempel pada wajah Hilary, bibirnya di dekat telinganya.
Hilary samar-samar menangkap bisikan. "Teruskan sandiwaramu. Demi Tuhan.
Bahaya." Sejenak dia melepaskan Hilary, lalu memeluknya lagi.
"Sayang! Rasanya bertahun-tahun-bertahun-tahun. Akhirnya kau sampai juga!"
Hilary merasa jari-jari Betterton menekan punggungnya. Betterton sedang
memberi peringatan, mengirim pesan penting lewat jari-jarinya.
Sejenak kemudian Betterton melepaskannya, mendorongnya sedikit, dan menatap
wajahnya. "Sungguh masih belum percaya aku," katanya dengan ketawa sedikit. "Nah, sekarang
sudah mengenaliku, kan?"
Sorot matanya berbinar-binar memancarkan peringatan kepada Hilary.
Hilary tak mengerti-tak bisa mengerti. Ini sungguh mukjizat Tuhan dan dia
kerahkan segala kemampuannya untuk bersandiwara.
"Tom!" katanya. Menurut pendengarannya sendiri nada suaranya cukup pas. "Oh,
Tom-tapi apa-" "Operasi plastik! Hertz dari Wina ada di sini. Dan dia benar-benar hebat. Jangan
bilang kau rindu pada hidung bengkokku itu."
Dia mencium Hilary lagi, kali ini sepintas saja lalu berpaling kepada Van Heidem
dengan ketawa minta maaf.
"Maaf, telah merepotkan kalian mengangkut istriku kemari, Van Heidem,"
katanya. "Oh, tak apa, tak apa-" Orang Belanda itu tersenyum dengan ramah.
"Ah, lamanya," kata Hilary. "Sudah begitu lama-"
Dia sedikit sempoyongan. "Boleh aku duduk?"
Cepat-cepat Tom Betterton menuntunnya ke sebuah kursi.
"Tentu, Sayang. Kau baru mengalami segala-galanya. Perjalanan yang mengerikan,
kecelakaan pesawat pula. Aduh, nyarisnya!"
(O, jadi komunikasi di antara mereka begitu Lancar. Mereka sudah tahu tentang
kecelakaan pesawat.) "Gara-gara itu otakku jadi bebal sekali," kata Hilary sambil ketawa kecil.
"Banyak yang aku lupa,-aku kebingungan dan suka sakit kepala. Lalu sekarang
melihat kau sudah berubah total begini! sungguh aku dalam kondisi tak keruan, Sayang.
Kuharap aku tak akan merepotkanmu!"
"Kau merepotkan" Mana mungkin. Kau kan cuma membutuhkan sedikit
ketenangan. Dan di sini kita punya waktu-sepanjang masa."
Pelan-pelan Van Heidem beranjak ke pintu.
"Sekarang saya pergi dulu," katanya. "Sebentar Lagi Anda bawa istri Anda ke
Registry, Betterton. tentunya untuk sementara kalian ingin sendirian."
Dia pergi, pintu ditutup di belakangnya.
Segera Betterton jatuh berlutut di dekat Hilary lalu membenamkan kepala di bahu
"istri"nya. "Sayang, Sayang," katanya.
Lagi-lagi Hilary merasakan tekanan jari-jari itu memberi peringatan. Bisikannya
hampir-hampir tak kedengaran, tapi terasa amat penting dan mendesak.
"Terus bersandiwara. Mungkin ada mikropon kita tak tahu."
Memang. Kita tak bisa tahu.... Ketakutan- ke tidaktenangan-perasaan tak menentu-
waswas -bahaya selalu mengancam-semuanya itu bisa dirasakan Hilary di sana.
Tom Betterton duduk bersandar.
"Senangnya bertemu kau lagi," katanya lembut "Tapi rasanya seperti mimpi-seperti
tak betul betul terjadi. Kau juga merasakannya tidak?"
"Ya, memang begitulah. Seperti mimpi-di sini bersamamu akhirnya. Rasanya tak
sungguh-sungguh terjadi, Tom."
Hilary meletakkan kedua tangannya pada bahu Betterton. Dia memandang ke
dalam mata "suami"nya sambil tersenyum sedikit.
(Siapa tahu selain mikropon ada pula lubang pengintip.)
Dengan dingin dan tenang diamatinya apa yang dia lihat. Seorang pria tampan
berusia tiga puluh lebih yang gugup ketakutan-orang yang sudah sampai di puncak
penderitaan-orang yang dulu datang kemari dengan penuh harapan, tapi yang kini
jadi begini. Setelah berhasil melewati batu ujian pertama Hilary senang dan semakin
bersemangat memain kan peranannya. Dia harus menjadi Olive Better ton. Berlaku
seperti Olive, berperasaan seperti Olive.
Hidup begitu terasa bagai mimpi, sehingga yang pura-pura seolah-olah sungguh
wajah Orang yang namanya Hilary Craven telah tewas - dalam kecelakaan
pesawat. Dari sekarang bahkan ingat kepada Hilary pun tak akan dilakukannya.
Sekarang dia kerahkan segala yang pernah dihafalnya setengah mati.
"Rasanya sudah berabad-abad sejak Firbank, ya?" katanya. "Whiskers. Kau ingat
Whiskers" Kucing itu punya anak begitu kau pergi. Begitu banyak hal, hal-hal
kecil sehari-hari yang kau tak tahu. Itulah yang terasa aneh."
"Aku tahu. Aku memang memutuskan hubungan dengan kehidupanku yang lama
dan memulai hidup yang baru."
"Dan-kau senang di sini" Kau bahagia?" Pertanyaan yang memang perlu,
pertanyaan yang pasti akan ditanyakan oleh seorang istri.
"Bahagia sekali." Tom Betterton melapangkan dadanya, mendongakkan kepala.
Dari wajah tersenyum yang penuh percaya diri menyorot mata yang tak bahagia
dan ketakutan. "Setiap fasilitas ada. Kita tak perlu lagi mengeluarkan uang.
kondisi yang sempurna untuk bekerja. Dan organisasinya! Sukar dipercaya."
"Oh, aku percaya. Perjalananku - dulu kau kemari dengan jalan yang sama?"
"Kita di sini tak biasa membicarakan hal itu. Aku bukan melecehkan
pertanyaanmu, Sayang. Tapi-yah, pokoknya kau harus banyak belajar tentang
segalanya." "Tapi orang-orang lepra itu" Apa ini benar-benar Koloni Lepra?"
"Oh, ya. Itu bukan main-main. Ada tim kesehatan yang mengerjakan riset yang
bagus sekali dalam bidang itu. Tapi lembaga itu berdiri-sendiri kok. Tak usah
khawatir. Koloni Lepra cuma selubung yang lihai."
"Oh, begitu." Hilary melihat ke sekeliling. " ini bagian kita?"
"Ya. Ini ruang duduk, kamar mandi di sana kamar tidur di sebelah kamar mandi,
mari kutunjukkan." Hilary bangkit dan mengikuti Betterton. Lewat kamar mandi yang nyaman mereka
masuk ke kamar tidur yang cukup besar dengan dua ranjang untuk satu orang,
lemari-lemari besar yang tertanam di tembok, meja rias dan rak buku di sebelah
ranjang. Hilary menjenguk ke dalam lemari dengan senang.
"Tak tahu aku apa yang akan kusimpan di sini," katanya. "Aku cuma punya yang
kupakai ini." "O, itu. Kau bisa pakai apa saja yang kauingin Di sini ada Bagian Mode dan
Pakaian berikut segala asesorinya, kosmetik, semuanya. Dan se mua kelas satu.
Unit sungguh-sungguh swadaya -segala yang kauinginkan tersedia. Tak perlu pergi
keluar lagi." Dia mengucapkannya dengan santai, padahal telinga Hilary yang peka menangkap


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keputusan asaan di balik kata-kata itu.
Tak perlu keluar lagi. Tak bisa keluar lagi. Buanglah harapan, hai kalian yang
masuk kemari.... Kandang yang lengkap dengan segala kebutuhan! Untuk inikah,
begitu pikir Hilary, semua orang mencampakkan negara masing-masing, kesetiaan
dan hidup sehari-hari mereka"
Dr. Barron, Andy Peters, Ericsson muda yang wajahnya penuh mimpi, Helga
Needheim yang sok itu"
Apakah mereka akan puas"
Inikah yang mereka inginkan"
Pikirnya, lebih baik aku tak banyak bertanya... siapa tahu ada yang
mendengarkan. Apakah memang ada yang mendengarkan" Apakah mereka dimata-matai"
Jelas Tom Betterton berpikir begitu. Tapi apa dia benar"
Ataukah itu cuma rasa senewennya saja"
Tom Betterton, pikirnya, sudah dekat sekali pada kehancuran.
"Ya," pikirnya, "dan enam bulan lagi mungkin kau sendiri juga..."
Bagaimana akibatnya hidup seperti ini pada manusia"
Tom Betterton berkata kepadanya, "Kau ingin berbaring-istirahat?"
"Tidak-" dia ragu-ragu. "Tidak, kukira tidak."
"Kalau begitu lebih baik ikut aku ke Registry."
"Apa itu Registry?"
"Siapa saja yang masuk kemari harus melewati Registry. Mereka mencatat apa saja
tentang kita. Kesehatan, gigi, tekanan darah, golongan darah, reaksi psikologis,
selera, apa yang tak disukai, alergi terhadap apa saja, kecakapan, makanan
kesukaan." "Kedengarannya seperti militer betul-atau semata-mata soal medis?"
"Keduanya," kata Tom Betterton. "Keduanya. Organisasi ini-sungguh-sungguh
tangguh." "Begitulah yang selalu kita dengar," kata Hilary. "Maksudku bahwa apa saja di
balik Tirai Besi selalu terencana baik."
Dia berusaha memperdengarkan antusiasme dalam suaranya. Bukankah Olive
Betterton seorang simpatisan komunis, meskipun mungkin karena perintah, dia tak
dikenal sebagai anggota partai.
Tapi jawaban Betterton menghindar, "Banyak yang harus kaupelajari." Cepat-cepat
dia menambahkan, "Lebih baik jangan coba melahap semuanya sekaligus."
Betterton menciumnya lagi. Lembut, bahkan bergairah, tapi ciuman itu sebenarnya
sedingin es. Di telinga Hilary dia berbisik, "Teruskan," lalu berkata keras, "sekarang kita
turun ke Registry. Bab 12 Registry dipimpin seorang wanita yang tampangnya seperti pengasuh anak yang
disiplin. Sanggulnya jelek dan dia mengenakan kaca mata tak bergagang yang
memberi kesan efisien sekali.
Ketika suami-istri Betterton masuk ke ruangan serba resmi seperti kantor itu,
dia mengangguk senang. "Ah," katanya. "Anda bawa Nyonya Betterton. Itu betul."
Bahasa Inggrisnya sama sekali tidak kaku, tapi ucapannya begitu hati-hati
sehingga Hilary menduga pasti dia bukan orang Inggris.
Ternyata dia orang Swiss. Dia mempersilakan Hilary duduk di sebuah kursi,
membuka laci di sampingnya dan mengeluarkan setumpuk formulir yang dengan
cepat segera diisinya. Dengan agak canggung Tom Betterton berkata, "Baik, Olive, kutinggal ya?"
"Ya, silakan, Dr. Betterton. Lebih baik segera kami bereskan segala formalitas
ini." Betterton keluar, menutup pintu di belakangnya. Robot itu, begitu Hilary
memandangnya, terus menulis.
"Nah, sekarang," katanya dengan suara resmi. "Nama lengkap. Usia. Tempat lahir.
Nama ayah-ibu. Penyakit serius jika pernah. Selera. Hobi. Pekerjaan apa saja
yang pernah dipegang. Gelar kesarjanaan. Makanan dan minuman kesukaan."
Katalog itu serasa tak ada akhirnya. Hilary menjawab seolah tanpa sadar, hampir-
hampir otomatis. Kini dia merasa bersyukur Jessop telah menjejalinya dengan
seksama. Semua pengetahuan itu telah demikian dikuasainya sehingga dia dapat
menulis jawaban atas segala pertanyaan secara otomatis, tanpa harus berpikir
dulu. Ketika kolom yang terakhir telah terisi, si Robot berkata, "Nah, cukup sekian
dari bagian ini. Sekarang kami serahkan Anda kepada Dokter Schwartz untuk
pemeriksaan kesehatan."
"O, begitu!" kata Hilary. "Apa perlu semua ini" Lucu tampaknya."
"Oh, kami suka bekerja dengan teliti, Nyonya Betterton. Kami ingin mencatat
semuanya. Anda akan senang bertemu Dokter Schwartz. Dari dia Anda ke Dokter
Rubec." Dr. Schwartz berambut pirang dan berkulit pucat. Dia wanita yang ramah.
Diperiksanya Hilary dengan teliti, kemudian berkata, "Nah! Sudah selesai.
Silakan Anda ke Dokter Rubec."
"Siapa Dokter Rubec?" Hilary bertanya. "Dokter lain lagi?"
"Dokter Rubec itu psikolog."
"Saya tak mau ke psikolog. Saya tak suka psikolog."
"Nah, tolong jangan kesal dulu, Nyonya Betterton. Anda tidak akan diapa-apakan.
Tes ini hanya akan mentes kecerdasan dan menentukan kelompok kepribadian
Anda." Dr. Rubec, orang Swiss, bertubuh tinggi, agak muram, dan berusia sekitar empat
puluh tahun. Dia menyalami Hilary, melirik kartu yang tadi diberikan oleh Dr.
Schwartz dan mengangguk senang.
"Kesehatan Anda baik, saya senang melihatnya," katanya. "Saya dengar Anda baru
mengalami kecelakaan pesawat?"
"Ya," kata Hilary. "Empat atau lima hari saya sempat menginap di rumah sakit
Casablanca." "Empat-lima hari itu belum cukup," ujar Dr. Rubec agak mencela. "Mestinya Anda
dirawat di sana lebih lama."
"Saya tak ingin berada di sana lebih lama. Saya ingin segera meneruskan
perjalanan." "Ya, itu memang bisa dimengerti, tapi kalau Anda gegar otak, Anda butuh sekali
istirahat yang lama. Bisa saja tampaknya Anda sudah sehat dan normal kembali,
tapi setelah itu mungkin ada akibat yang serius. Memang saya lihat refleks
syaraf Anda tidak begitu normal seperti seharusnya. Sebagian karena baru dari
perjalanan jauh dan sebagian lagi pasti karena gegar otak itu. Anda suka sakit
kepala?" "Ya. Saya suka pusing sekali. Dan kadang-kadang saya linglung tak bisa ingat
hal-hal tertentu." Hilary merasa perlu mengulang-ulang hal ini. Dr. Rubec mengangguk menghibur.
"Ya, ya, ya. Tapi tak usah cemas betul. Semua itu akan sembuh. Sekarang kita
akan tes asosiasi untuk menentukan tipe mentalitas Anda."
Meskipun Hilary merasa agak gugup, semua tampaknya berjalan beres. Tes itu
kelihatannya tes rutin saja. Dr. Rubec mengisi sebuah daftar yang panjang.
"Sungguh menyenangkan," akhirnya Dr. Rubec berkata, "berurusan dengan orang-
harap maklum dan jangan salah paham mendengar apa yang akan saya katakan-
berurusan dengan orang yang bukan jenius!"
Hilary ketawa. "Oh, jelas, saya yang bukan jenius," katanya.
"Anda beruntung," kata Dr. Rubec. "Anda malah bisa hidup lebih tenang." Ia
menghela napas. "Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, di sini umumnya
yang saya hadapi adalah orang-orang yang kecerdasannya hebat, tapi yang begitu
peka, sehingga keseimbangan mentalnya mudah guncang bila mengalami stress
emosional yang berat. Orang-orang sains itu, Madame, bukan orang-orang yang
dingin, kalem seperti dalam cerita. Pada kenyataannya," kata Dr. Rubec serius,
"kalau dilihat dari sudut ketidakstabilan emosi, sebenarnya sedikit sekali
perbedaan antara petenis nomor wahid, primadona opera, dan ahli fisika nuklir."
"Mungkin Anda benar," kata Hilary. Dia ingat, dia sedang memegang peranan
sebagai orang yang sudah beberapa bulan berhubungan dekat dengan seorang
ilmuwan. "Ya, mereka kadang-kadang memang terlalu emosional."
Dr. Rubec mengacungkan kedua tangannya.
"Anda takkan percaya," katanya, "menyaksikan suasana di sini yang begitu penuh
emosi! Ada yang bertengkar, ada yang saling cemburu, wah, seperti listrik
tegangan tinggi! Kami harus mengatur langkah untuk menghadapi semua itu. Tapi
Anda, Madame," ia tersenyum, "Anda termasuk kelas minoritas di sini. Kelas yang
beruntung, kalau menurut pendapat saya."
"Saya tak begitu mengerti. Minoritas macam apa?"
"Kaum istri," kata Dr. Rubec. "Di sini para istri cuma sedikit. Sedikit sekali
yang diperbolehkan kemari. Pada umumnya para istri ini tak mempan serangan cuci
otak dari suami atau rekan-rekan suaminya."
"Di sini para istri mengerjakan apa?" tanya Hilary. Ia menambahkan dengan suara
minta dimaafkan, "Soalnya saya kan orang baru di sini. Saya belum tahu apa-apa."
"Tentu saja. Tentu saja. Memang sudah demikian seharusnya. Di sini ada kegiatan
hobi, rekreasi, hiburan, kursus-kursus. Macam-macam. Saya harap Anda akan suka
tinggal di sini." "Seperti Anda?"
Pertanyaan itu agak terlalu berani dan Hilary sendiri beberapa saat berpikir
apakah bijaksana ia bertanya begitu. Tapi Dr. Rubec malah kelihatan senang.
"Anda benar sekali, Madame," katanya. "Saya merasa hidup di sini amat tenteram
sekaligus menarik." "Anda tak pernah menyesal meninggalkan Swiss?"
"Saya tidak kangen pulang. Tidak. Itu sebagian karena keadaan rumah tangga saya
tidak menyenangkan. Saya punya istri dan anak-anak. Padahal saya ini bukan tipe
pria berkeluarga, Madame. Di sini jelas kondisinya lebih menyenangkan. Saya
punya kesempatan lebih dari cukup untuk mempelajari aspek-aspek tertentu dari
jiwa manusia yang memang menarik bagi saya dan yang sedang menjadi sasaran
buku yang sedang saya tulis. Saya tak perlu mengurusi soal rumah tangga, tak ada
hal-hal yang mengalihkan perhatian saya dan tak ada yang mengganggu saya
bekerja. Semuanya begitu cocok di hati."
"Nah, sekarang saya mesti ke mana?" tanya Hilary, sementara Dr. Rubec bangkit
dan dengan resmi menjabat tangan Hilary.
"Mademoiselle La Roche akan mengantarkan Anda ke Bagian Gaun. Hasilnya
nanti, saya yakin-" ia membungkuk-"akan mengagumkan."
Setelah tadi bertemu dengan wanita-wanita besi bagai robot, Hilary sungguh
terheran-heran dan senang berkenalan dengan Mademoiselle La Roche. Ia bekas
pramulayan di salah satu rumah adibusana di Paris. Tidak-tanduknya amat feminin.
"Saya senang sekali, berkenalan dengan Anda, Madame. Saya harap saya dapat
membantu Anda. Karena Anda baru saja tiba dan karena pasti Anda lelah
sekarang, saya usulkan Anda memilih beberapa pakaian yang penting-penting saja.
Besok atau minggu depan Anda dapat melihat-lihat persediaan kami kalau sedang
senggang. Saya kira memilih cepat-cepat itu membosankan. Merusak kenikmatan
berdandan. Jadi kalau Anda setuju, saya usulkan, pilih saja satu stel pakaian
dalam, satu gaun untuk makan malam, dan satu stelan jas-gaun."
"Menyenangkan sekali mendengar semua itu," kata Hilary. "selama ini aneh rasanya
hanya punya sikat gigi dan busa untuk mandi."
Mademoiselle La Roche ketawa senang. Ia mengukur tubuh Hilary dengan sigap,
lalu mengajaknya ke ruangan besar yang lemari-lemarinya tertanam di tembok. Di
sini ada segala macam pakaian dengan bahan yang bagus, potongan bagus, dan
ukuran yang bermacam-macam.
Waktu Hilary selesai memilih pakaian-pakaian yang terpenting saja, mereka
melanjutkan ke Bagian Kosmetik. Di sana dia memilih bedak, krim dan, berbagai
perlengkapan berdandan. Semuanya diserahkan kepada salah seorang pembantu, gadis pribumi yang
wajahnya hitam berkilat bergaun putih polos. Dia disuruh mengurus agar semua
barang itu diantarkan ke apartemen Hilary.
Semua prosedur ini semakin membuat Hilary bagai dalam mimpi.
"Saya harap tak lama lagi kita akan berjumpa," kata Mademoiselle La Roche dengan
anggun. "Saya akan senang sekali membantu Anda memilih dengan
menonton peragaan kami. Tapi di antara kita saja ya, pekerjaan saya ini kadang-
kadang bikin hati kecewa juga. Wanita-wanita ilmuwan di sini sering kali tak
peduli pada soal dandanan. Belum setengah jam yang lalu saya melayani teman
perjalanan Anda." "Helga Needheim?"
"Ya, itu namanya. Tentu saja dia orang Jerman dan orang Jerman memang kurang
simpatik terhadap kami orang Prancis. Sebetulnya dia tidak jelek kalau mau
memperhatikan penampilannya, kalau dia pilih model yang agak meriah, pasti
akan tampak menarik. Tapi dia tak berminat sama sekali pada pakaian. Saya
dengar dia dokter. Spesialis entah apa. Kita harap saja perhatiannya kepada
pasien lebih banyak daripada perhatiannya pada dandanan-ah, kalau dia, bagaimana
mungkin ada pria yang akan menoleh dua kali?"
Nona Jennson yang kurus, berkulit coklat, dan berkaca mata yang tadi menyambut
kedatangan rombongan Hilary, masuk.
"Sudah selesai di sini, Nyonya Betterton?" tanyanya.
"Sudah, terima kasih," kata Hilary.
"Kalau begitu mungkin Anda bisa ikut saya menemui Wakil Direktur."
Hilary mengucapkan au revoir kepada Mademoiselle La Roche dan mengikuti
Nona Jennson yang selalu serius.
"Siapa sih wakil direkturnya?" tanyanya.
"Doktor Nielson."
Hilary berkomentar dalam hati, rupanya semua orang di sini pasti doktor di
bidang tertentu. "Siapa sih sebenarnya Doktor Nielson?" tanyanya. "Medis, sains, atau apa?"
"Oh, bukan medis, Nyonya Betterton. Dia penanggung jawab administrasi. Kepada
dialah semua keluhan mesti disampaikan. Dia kepala tata usahanya. Setiap orang
yang baru datang selalu dia wawancarai. Setelah itu saya rasa Anda tidak akan
pernah berjumpa lagi dengan dia, kecuali kalau ada urusan yang amat penting."
"O, begitu," sahut Hilary patuh. Dia merasa seperti baru saja diperingatkan
dengan tegas akan posisinya.
Sebelum sampai di ruang Dr. Nielson, mereka melewati dua ruang kantor kecil
untuk juru tulis steno. Akhirnya mereka masuk ke ruang utamanya.
Di belakang meja tulis eksekutif yang besar, Dr. Nielson bangkit menyambut.
Tubuhnya besar, kulitnya kemerah-merahan dan gayanya gaya orang kota. Pasti
keturunan Amerika, meskipun logat Amerikanya hampir tak kedengaran.
"Ah!" katanya. Ia menghampiri Hilary dan menjabat tangannya. "Ini kan-siapa ya-o
ya, nyonya Betterton. Selamat datang, nyonya Betterton. Kami harap Anda akan
sangat senang bersama kami. saya turut menvesal mendengar Anda sempat
mengalami kecelakaan dalam perjalanan, tapi saya senang akibatnya tidak lebih
buruk. Ya, Anda sungguh beruntung waktu itu. Sungguh beruntung. Nah, suami
Anda sudah tak sabar menunggu-nunggu. Sekarang Anda sudah sampai di sini,
saya harap Anda akan betah dan senang tinggal di tengah kami."
"Terima kasih, Doktor Nielson."
Hilary duduk di kursi yang ditarikkan oleh Dr. Nielson.
"Ada yang ingin ditanyakan?" Dr. Nielson mencondongkan tubuhnya ke depan dengan
sikap bersahabat. Hilary ketawa sedikit. "Pertanyaan yang paling sulit dijawab," katanya. "Tentu
saja begitu banyak yang ingin saya tanyakan, sampai tak tahu harus mulai dari
mana." "Begitu. Begitu. Saya bisa mengerti. Kalau Anda mau terima nasihat saya-ini
hanya nasihat lho, tak lebih-sebaiknya tak usah tanya-tanya. Sesuaikan diri saja
dan lihat apa hasilnya. Itu jalan yang terbaik. Percayalah."
"Saya merasa begitu tak tahu apa-apa," kata Hilary. "Semuanya begitu-tak
terduga." "Ya. Kebanyakan berpikir begitu. Umumnya orang menyangka dia akan tiba di
Moskow." Dia ketawa senang. "Rumah kami di padang gurun ini sungguh kejutan buat
kebanyakan orang." "Memang kejutan buat saya."
"Yah, sebelumnya kami tak mau terlalu banyak buka mulut. Bisa-bisa mereka tak
dapat menjaga mulut. Tapi Anda pasti akan betah di sini. Lihat saja. Kalau ada
yang tidak Anda sukai-atau khususnya yang Anda inginkan... Anda tinggal minta,
kami yang mengurus! Kalau Anda butuh benda seni apa saja, misalnya lukisan,
patung, musik, di sini ada bagian khusus untuk itu."
"Saya rasa saya tak berbakat ke situ."
"Yah, banyak juga kegiatan kumpul-kumpul. Permainan. Tenis, squash. Sering-
sering baru setelah satu-dua minggu orang bisa mapan di sini, terutama para
istri. Suami Anda punya pekerjaan dan dia sibuk, sedangkan nyonya-nyonya tak bisa
langsung menemukan rekan yang-yah-cocok, begitu. Hal demikianlah. Anda
paham tentunya." "Tapi apa kita-tinggal di sini?"


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tinggal di sini" Saya tak begitu mengerti yang Anda tanyakan, nyonya
Betterton." "Maksud saya apakah kami menetap di sini, atau pergi lagi ke tempat lain?"
Jawaban Dr. Nielson mengambang. "Ah," katanya. "Itu tergantung suami Anda.
Ya, ya, tergantung suami Anda. Ada berbagai kemungkinan. Macam-macam
kemungkinan. Tapi lebih baik tak usah memikirkan itu sekarang. Saya usulkan-
datanglah dan temui saya tiga minggu lagi. Nanti Anda dapat menceritakan sampai
di mana Anda telah menyesuaikan diri di sini. Ya begitulah."
"Kami boleh keluar?"
"Keluar, Nyonya Betterton?"
"Maksud saya keluar pagar. Keluar dari pintu gerbang."
"Pertanyaan yang wajar sekali," kata Dr. Nielson. Sikapnya kini terlalu baik
malah. "Ya, amat wajar. Umumnya orang memang menanyakan itu. Tapi kelebihan Unit
ini justru bahwa dia sudah merupakan dunia tersendiri. Tak ada yang mesti kita
cari di luar. Di luar cuma ada gurun pasir. Nah, saya tidak menyalahkan Anda,
Nyo nya Betterton. Umumnya orang merasakan yang demikian jika baru saja datang.
Perasaan agak seperti terkurung. Itu istilah Dokter Rubec. Tapi itu akan sembuh
sendiri. Bawaan dari dunia yang baru Anda tinggalkan, kalau boleh saya
mengatakan. Pernah Anda memperhatikan sarang semut, Nyonya Betterton"
Menarik sekali. Sangat menarik dan patut ditiru. Ratusan serangga hitam kecil-
kecil sibuk ke sana kemari, begitu serius, begitu bersemangat, begitu pasti. Toh
yang dihasilkan cuma keruwetan. Itulah dunia lama yang telah Anda tinggalkan. Di
sini Anda bisa santai, punya tujuan dan waktu tak terbatas. Boleh dibilang,"
katanya dengan senyum, "inilah firdaus dunia."
Bab 13 "Seperti di sekolah saja," ujar Hilary.
Dia sudah kembali ke apartemennya sendiri. Pakaian dan asesori yang dipilihnya
tadi sudah menunggu di kamar tidur. Pakaian digantungnya di lemari. Barang-
barang lain diaturnya menurut selera.
"Memang," sahut Betterton. "Aku juga mula-mula merasa begitu."
Percakapan mereka hati-hati dan agak kaku. Mereka masih merasa terancam
kemungkinan adanya mikropon. Betterton berkata tak langsung, "Kurasa sekarang
sudah tak apa-apa. Kukira cuma angan-anganku saja. Begitupun...
Dia tak meneruskan. Hilary tahu bahwa yang belum terucapkan itu adalah,
"Begitupun, lebih baik kita hati-hati."
Hilary berpikir semuanya ini seperti mimpi buruk fantastis saja.
Bayangkan, dia satu kamar dengan seorang lelaki asing. Tapi rasa waswas dan tak
menentu begitu menguasai mereka, sehingga tak ada yang merasa risi. Seperti
orang yang sedang mendaki gunung di Swiss, lalu mau tak mau harus tidur di satu
gubuk berdesakan dengan pemandu dan pendaki-pendaki lain. Satu-dua menit
kemudian Betterton berkata, "Biasakan diri dulu. Kita biasa-biasa saja. Kurang-
lebih seperti kalau kita di rumah."
Hilary tahu maksudnya. Perasaan seperti dalam mimpi tetap ada dan akan terus
ada. Alasan mengapa Betterton meninggalkan Inggris, apa yang di harapkannya
waktu itu dan apa yang membangun kannya dari mimpi, untuk sementara belum
dapat disinggung-singgung.
Soalnya mereka dua orang yang sedang bermain sandiwara di bawah ancaman
sesuatu, entah apa. Hilary berkata, "Aku baru saja melewati banyak prosedur resmi. Ada tes medis,
ada tes psikologi, dan lain-lain."
"Ya. Memang selalu begitu. Wajar, kukira." "Dulu kau juga begitu?"
"Kurang-lebih."
"Lalu aku pergi menghadap-Wakil Direktur, begitu kan mereka menyebutnya?"
"Betul. Dia yang mengelola tempat ini. Sangat cekatan dan administrator yang
sungguh-sungguh baik."
"Tapi dia bukan kepala di sini?"
"Oh, bukan. Ada direkturnya."
"Apa biasanya kita-apa aku akan bertemu direktur itu?"
"Kalau tidak sekarang tentu nanti, kukira. Tapi tak sering dia muncul. Dia cuma
memberikan alamat kepada kami-orangnya menarik sekali."
Samar-samar ada kerut di antara alis Betterton sehingga Hilary menyimpulkan
sebaiknya pokok pembicaraan itu tidak usah diteruskan.
Sambil melihat ke arloji, Betterton berkata, "Makan malam jam delapan. Tepatnya
jam delapan sampai setengah sembilan. Kukira sebaiknya kita turun, kalau kau
sudah siap." Lagak bicaranya seolah-olah mereka sedang menginap di hotel.
Hilary waktu itu sudah mengenakan gaun yang tadi dipilihnya. Warnanya abu-abu
kehijauan lembut. Cocok dengan rambutnya yang merah. Dikenakannya kalung
asesori yang agak meriah, lalu mengatakan siap. Mereka turun tangga, menyusuri
koridor-koridor sampai akhirnya tiba di ruangan makan yang luas.
Nona Jennson datang menghampiri "Saya sediakan Anda meja yang sedikit lebih
besar, Tom," katanya kepada Betterton. "Kalian duduk bersama dua orang kawan
seperjalanan istri Anda-dan dengan suami-istri Murchison, tentunya."
Mereka berjalan ke meja yang dimaksud. Meja-meja di ruangan itu umumnya meja
kecil untuk empat, delapan, atau sepuluh orang. Andy Peters dan Ericsson sudah
duduk di meja. Ketika Hilary dan Tom datang, mereka berdiri. Hilary
memperkenalkan "suami"nya kepada kedua orang itu. Mereka duduk dan tak lama
datang lagi sepasang suami-istri. Mereka diperkenalkan oleh Betterton sebagai
Doktor dan nyonya Murchison.
"Simon bekerja di lab yang sama denganku," katanya menjelaskan.
Simon Murchison baru berusia kira-kira dua puluh enam tahun. Wajahnya pucat
seperti kurang darah. Istrinya kekar dan berambut hitam. Logat bicaranya tidak seperti orang Inggris.
Dugaan Hilary, dia pasti dari Italia. Nama kecilnya Bianca.
Dengan sopan dia menyalami Hilary, tapi Hilary merasa, sikapnya agak berhati-
hati. "Besok," katanya, "akan saya bawa Anda melihat-lihat. Anda bukan ilmuwan toh?"
"Saya tidak pernah belajar di bidang ilmiah," sahut Hilary. "Sebelum menikah
saya bekerja sebagai sekretaris."
"Bianca di bidang hukum," kata suaminya. "Sekolahnya dulu jurusan ilmu ekonomi
dan hukum dagang. Di sini kadang-kadang dia memberi kuliah, tapi sulit
juga mengisi waktu luang di sini."
Bianca mengangkat bahu. "Akan bisa kuatasi," katanya. "Apalagi, Simon, aku kan kemari untuk bergabung
denganmu. Dan kupikir banyak juga di sini yang masih perlu dibenahi. Sekarang
aku sedang mempelajari keadaan di sini. Mungkin Nyonya Betterton akan dapat
menolongku, karena dia tak punya tugas di bidang ilmu."
Hilary serta-merta setuju dengan rencana itu. Semua orang ketawa waktu Andy
Peters menggerutu, "Rasanya saya seperti anak sekolah yang baru saja masuk
asrama. Rindu rumah. Saya akan senang sekali kalau bisa segera bekerja."
"Enak sekali bekerja di sini," kata Simon Murchison bersemangat. "Tak ada yang
mengganggu dan semua peralatan lengkap."
"Anda di bidang apa?"
Tak lama kemudian ketiga pria tersebut sudah tenggelam dalam istilah-istilah
teknis yang sulit dimengerti Hilary. Dia menoleh kepada Ericsson yang ketika itu
sedang bersandar di kursinya dengan mata menerawang.
"Dan Anda?" tanyanya. "Merasa seperti anak sekolah yang rindu rumah juga?"
Ericsson menoleh kepada Hilary, seolah-olah dia datang dari jarak yang jauh
sekali, "Saya tidak butuh rumah," katanya. "Rumah, ikatan cinta, orang tua,
anak-anak; semua itu amat menghambat. Untuk bisa bekerja kita harus bebas
sebebas- bebasnya." "Dan menurut Anda di sini akan bebas?"
"Belum bisa dibilang. Itu yang kita harap."
Bianca berkata kepada Hilary.
"Setelah makan malam," katanya, "banyak acara yang bisa kita pilih. Bisa main
bridge di uang kartu, bisa nonton bioskop; tiga malam seminggu ada sandiwara dan
kadang-kadang ada pesta dansa."
"Semua itu tak perlu," kata Ericsson. "Cuma membuang-buang energi saja."
"Untuk wanita tidak," sahut Bianca. "Untuk kami kaum wanita, hal-hal demikian
perlu." Ericsson menatap Bianca dengan sorot mata hampir-hampir dingin dan tak senang.
Pikir Hilary, untuk dia wanita pasti juga tak perlu.
"Saya akan pergi tidur sore-sore," kata Hilary. Sengaja dia menguap. "Rasanya
malam ini saya belum ingin nonton film ataupun main bridge."
"Betul, Sayang," kata Betterton buru-buru. "Lebih baik kau tidur sore-sore dan
istirahat yang cukup malam ini. Ingat, kau sangat lelah, baru datang dari
perjalanan jauh." Sementara mereka bangkit, Betterton berkata, "Kalau malam udara di taman atap
segar sekali. Biasanya kami berjalan-jalan sebentar di sana setelah makan malam,
sebelum berekreasi atau belajar. Kita akan ke sana sebentar, lalu lebih baik kau
pergi tidur." Dengan lift yang dilayani orang pribumi berjubah putih yang gagah, mereka ke
atas. Para petugas di sana berkulit lebih hitam dan lebih tegap-tegap
dibandingkan orang-orang Berber yang langsing dan lebih putih.
Yang ini tipe orang gurun, pikir Hilary.
Dia terkejut melihat indahnya taman di atap gedung itu. Dibayangkannya betapa
besar biaya untuk membangun taman semacam itu. Seperti di cerita Seribu Satu
Malam saja. Ada bunyi gemericik air, ada pohon palem yang tinggi-tinggi, tampak
juga daun-daun tropis pohon pisang dan tanaman lain. Jalan-jalan setapaknya
dialasi ubin bermotif bunga-bunga model Persia.
"Mengagumkan," kata Hilary. "Di tengah gurun pasir begini." Kemudian terlontar
juga apa yang tadi dirasakannya, "Seperti dalam dongeng Seribu Satu Malam saja."
"Anda betul, Nyonya Betterton," kata Murchison. "Seolah-olah membuatnya hanya
dengan memanggil jin! Ah, begitulah-kalau kita punya air dan uang banyak sekali,
saya rasa di gurun pasir pun tak ada yang tak dapat kita buat."
"Air ini dari mana asalnya?"
"Mata air di pegunungan. Mata air itu jantung Unit ini."
Cukup banyak orang berkelompok-kelompok di sana, tapi berangsur-angsur
mereka pergi. Suami-istri Murchison minta diri. Mereka akan menonton balet.
Sekarang orang-orang di sana tinggal sedikit. Betterton mengajak Hilary ke
tempat yang lengang di dekat pagar rendah dari tembok beton. Bintang-bintang
bertaburan di langit. Udara terasa dingin, kering, dan menyegarkan.
Di sini mereka bisa sendirian. Hilary duduk di atas tembok beton, Betterton
berdiri di hadapannya. "Nah, sekarang," katanya pelan dan gugup, "demi Tuhan, siapa kau?"
Hilary sejenak menengadah kepada Betterton tanpa mengatakan apa-apa. Sebelum
menjawab, ada sesuatu yang ingin diketahuinya dulu.
"Kenapa kauakui aku sebagai istrimu?" tanyanya.
Mereka hanya berpandang-pandangan. Tak seorang pun ingin menjawab lebih
dulu. Mereka beradu kekerasan hati, tapi Hilary tahu, tak peduli macam apa Betterton
ketika baru berangkat dari Inggris, sekarang kekerasan hatinya pasti kalah
melawan Hilary. Soalnya Hilary baru saja tiba -masih penuh percaya diri dan masih bisa mengatur
hidupnya sendiri-sedangkan hidup Tom Betterton sudah beberapa lama diatur
orang lain. Hilary-lah yang lebih kuat.
Akhirnya Betterton membuang muka dan menggumam jengkel, "Cuma dorongan
hati saja. Mungkin aku memang sungguh tolol. Waktu itu kubayangkan jangan-
jangan kau dikirim - untuk membebaskanku."
"Jadi kau ingin keluar dari sini?"
"Astaga, masih tanya juga?"
"Bagaimana kau bisa kemari dari Paris?"
Tom Betterton ketawa pahit.
"Aku tidak diculik atau yang semacamnya, kalau itu yang kaumaksud. Aku datang
atas kemauanku sendiri. Aku datang dengan penuh hasrat dan semangat."
"Kau tahu kalau akan kemari?"
"Aku sama sekali tak membayangkan akan ke Afrika, kalau itu yang kaumaksud.
Aku terpancing oleh umpan yang biasa. Damai di bumi, bebas berbagi rahasia
ilmiah di antara sesama ilmuwan di dunia; mengganyang kapitalis dan semua biang
keladi peperangan-semuanya yang biasa! Si Peters yang datang bersamamu itu
sama saja, dia termakan umpan yang sama."
"Dan waktu kau sampai di sini, ternyata tidak demikian?"
Lagi-lagi dia ketawa pahit.
"Kau akan melihat sendiri. Yah, mungkin ada betulnya juga! Tapi tidak seperti
yang kusangka semula. Pokoknya-bukan kebebasan."
Dia duduk di sebelah Hilary dengan dahi berkerut.
"Padahal justru itu yang bikin kesal aku di rumah. Aku selalu merasa diawasi dan
dimata-matai. Semuanya memang demi keamanan. Setiap tindakan harus
diperhitungkan, kawan pun harus memilih-milih... Semuanya memang perlu, tapi
akhirnya bikin orang frustasi... Jadi waktu ada orang datang menawari-aku
tertarik... habis, kedengarannya begitu bagus...." Dia ketawa lagi. "Dan
akhirnya sampailah aku di sini!"
Hilary berkata pelan, "Maksudmu di sini kau berjumpa dengan kondisi yang persis
sama dengan yang ingin kautinggalkan" Kau sama saja diawasi dan dimata-matai,
bahkan lebih gawat lagi?"
Dengan gugup Betterton mengusap rambut dari dahinya.
"Tak tahulah," katanya. "Sungguh. Aku tak tahu. Aku tak bisa yakin. Mungkin
semua cuma angan-anganku saja. Aku tak tahu apakah aku betul-betul diawasi
setiap saat. Memangnya kenapa pula aku harus diawasi" Kenapa mereka perlu
pusing-pusing" Aku kan sudah dalam cengkeraman mereka di penjara ini."
"Jadi sama sekali tidak seperti yang kaubayangkan?"
"Itu anehnya. Sebetulnya, ada juga persamaannya dengan yang kubayangkan.
Kondisi kerja di sini sempurna. Semua fasilitas tersedia, setiap peralatan ada.
Kita bisa bekerja lama atau sebentar, semau kita. Bagi kita telah tersedia
kenikmatan sekaligus segala kebutuhan kita yang lain. Makanan, pakaian, ruang khusus untuk
kita, toh sepanjang waktu kita sadar bahwa kita terpenjara."
"Aku tahu. Waktu gerbang tadi tertutup di belakangku, rasanya ngeri." Hilary
bergidik. "Yah-" Betterton kelihatannya telah menguasai diri kembali, "sudah kujawab
pertanyaanmu. Sekarang jawab pertanyaanku. Apa yang kaukerjakan di sini
dengan menyamar sebagai Olive?"
"Olive-" Hilary berhenti di situ, mencari-cari kata-kata yang tepat.
"Ya" Olive kenapa" Apa yang terjadi dengan dia" Kau akan bilang apa?"
Hilary kasihan memandangi wajah gugup yang tampak letih itu.
"Aku tak senang harus menyampaikannya kepadamu."
"Maksudmu-sudah terjadi apa-apa dengan dia?"
"Ya. Aku menyesal, menyesal sekali.... Istrimu sudah meninggal. Sebetulnya dia
sedang dalam perjalanan kemari, tapi pesawatnya jatuh. Dia diangkut ke rumah
sakit, dua hari kemudian meninggal."
Betterton melongo saja. Pandangannya kosong, seolah-olah bertekad tidak akan
menunjukkan emosi apa-apa. Perlahan dia berkata, "Jadi Olive meninggal" O,
begitu...." Lama mereka terdiam. Lalu Betterton menoleh kepadanya.
"Baik. Aku bisa mulai dari situ. Kau menggantikan dia dan datang kemari. Untuk
apa?" Hilary sudah siap dengan jawaban. Tom Betterton sendiri tadi berkata menurut
perkiraannya Hilary dikirim orang untuk "membebaskan" dia. Padahal tidak
demikian. Hilary adalah mata-mata. Dia dikirim untuk mencari informasi, bukan
untuk merencanakan pembebasan orang yang dengan kemauan sendiri telah
menempatkan diri pada keadaannya sekarang. Apalagi, dia tak punya sarana apa-
apa. Dia sendiri terpenjara, seperti Betterton.
Hilary merasa waswas untu sepenuhnya berterus terang kepada Betterton. Orang
ini sudah hampir rontok pertahanan mentalnya. Kapan saja dia bisa hancur-luluh
berantakan. Sungguh gila mempercayakan rahasia kepadanya.
Kata Hilary, "Ketika istrimu meninggal, aku sedang bersama dia di rumah sakit.
Kutawarkan diri menggantikan dia menemuimu. Dia ingin sekali aku
menyampaikan sebuah pesan untukmu."
Alis Betterton berkerut. "Tapi-"
Hilary buru-buru melanjutkan-sebelum Betterton sempat menyadari kelemahan
ceritanya. "Tidak terlalu aneh seperti kedengarannya. Soalnya aku sangat bersimpati pada
gagasan yang baru saja kauceritakan tadi. Rahasia ilmiah dibagi bersama di
antara semua bangsa-dunia yang baru. Aku senang sekali dengan gagasan itu. Lalu
rambutku-kalau yang mereka tunggu adalah wanita berambut merah dengan usia
kira-kira cocok, kukira aku akan berhasil. Pokoknya layak sekali untuk dicoba."


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," kata Betterton. Matanya menyapu rambut Hilary. "Rambutmu persis seperti
rambut Olive." "Lalu-istrimu begitu ingin menyampaikan pesan kepadamu."
"Oh, ya, pesan itu. Pesan apa?"
"Supaya aku memperingatkan kau agar hati-hati -sangat hati-hati- bahwa kau
dalam bahaya -terhadap orang yang namanya Boris."
"Boris" Boris Glydr, maksudmu?"
"Ya. Kau kenal dia?"
"Belum pernah bertemu. Tapi aku kenal namanya. Dia saudara istriku yang
pertama. Aku tahu tentang dia."
"Kenapa dia berbahaya?"
"Apa?" Betterton ternyata bercakap-cakap sambil melamun.
Hilary mengulang pertanyaannya.
"Oh, itu." Seolah-olah dia baru kembali dari jauh. "Aku tak tahu kenapa dia
mesti berbahaya bagiku, tapi memang benar dia termasuk jenis orang yang
berbahaya." "Dalam hal apa?"
"Yah, dia tergolong idealis setengah waras yang membunuh separuh umat manusia
pun akan tega, kalau dipikirnya itu baik."
"Aku tahu yang kaumaksud."
Hilary sungguh merasa tahu apa yang dimaksudkan Betterton- dengan jelas. (Tapi
kenapa") "Apa Olive bertemu dia" Dia mengatakan apa kepada Olive?"
"Aku tak tahu. Cuma itu yang dikatakannya. Tentang bahaya-oh, ya, katanya dia
sungguh tak bisa percaya."
"Percaya apa?" "Tak tahulah." Sejenak Hilary ragu, lalu katanya, "Soalnya-waktu itu kan saat-
saat terakhir Olive...."
Wajah Betterton tampak getir.
"Aku tahu... aku tahu... lama-lama aku juga akan terbiasa berpikir bahwa Olive
sudah mati. Sekarang ini aku belum bisa. Tapi tentang Boris aku bingung.
Bagaimana mungkin dia berbahaya bagiku di sini" Kalau dia sudah ketemu dengan
Olive, tentunya dia ada di London."
"Dia memang di London waktu itu."
"Jadi aku sungguh tak mengerti.... Ah, apa pula perlunya itu dipikirkan. Kita
sekarang berada di dalam Unit ini, yang penuh dengan robot tidak manusiawi..."
"Begitulah kesanku terhadap mereka."
"Dan kita tak dapat keluar." Dia meninju beton. "Kita tak bisa keluar."
"Oh, bisa, kita bisa keluar," kata Hilary.
Betterton menatapnya kaget. "Apa maksudmu?"
"Kita akan mencari jalan keluar," kata Hilary.
"Kawanku," Betterton tertawa mencela, "kau sama sekali tak mengerti apa yang
kauhadapi di tempat ini."
"Waktu perang orang bisa melarikan diri dari tempat-tempat yang rasanya tak
mungkin," kata Hilary keras kepala. Dia tak mau menyerah, tak mau putus
harapan. "Mereka bikin terowongan, atau apa."
"Bagaimana bisa bikin terowongan di batu karang" Dan ke mana" Di sekeliling
kita gurun melulu." "Kalau begitu kita pakai cara lain."
Betterton menatap saja. Hilary tersenyum penuh percaya diri, yang sesungguhnya lebih mencerminkan
keras kepala. "Kau sungguh wanita luar biasa! Begitu percaya diri."
"Jalan selalu ada. Tapi kurasa untuk menemukan jalan itu kita harus membuat
perencanaan dan butuh waktu lama."
Wajah Betterton kembali muram.
"Waktu," katanya. "Waktu.... Justru itu yang aku tak punya."
"Kenapa?" "Aku sendiri kurang tahu apakah kau akan bisa mengerti.... Begini. Aku tak bisa
bekerja di sini." Alis Hilary berkerut. "Maksudmu?"
"Bagaimana ya, mengatakannya" Aku tak bisa kerja. Aku tak bisa berpikir. Di
bidangku orang butuh konsentrasi tinggi sekali. Dan aku juga harus kreatif.
Sejak datang kemari aku kehilangan gairah. Aku cuma bisa menghasilkan karya
pasaran, yang ilmuwan picisan mana pun juga bisa. Padahal bukan untuk itu mereka bawa
aku kemari. Mereka ingin aku menghasilkan karya yang orisinil, dan aku tidak
bisa. Padahal semakin aku gugup dan takut, semakin aku tak dapat menghasilkan
karya yang berharga. Lama-lama aku bisa jadi gila, kau mengerti?"
Ya, Hilary sekarang bisa mengerti. Dia ingat kata-kata Dr. Rubec tentang
primadona dan ilmuwan. "Kalau aku tak bisa menghasilkan karya yang bagus, apa yang bakal mereka
lakukan" Aku pasti akan mereka singkirkan."
"Oh, masa!" "Oh, ya, mereka pasti akan melakukannya. Mereka kan bukan orang-orang
sentimentil. Sampai sekarang bedah plastik ini yang telah menyelamatkan aku.
Soalnya pembedahan dilakukan sedikit demi sedikit. Orang yang terus-menerus
menjalani operasi kecil dengan sendirinya tak dapat diharapkan bisa
berkonsentrasi. Sedangkan bedah plastik ini sekarang sudah selesai."
"Tapi kenapa kau mesti dibedali plastik" Untuk apa?"
"Oh, itu! Untuk amannya saja. Aman untukku. Kita perlu menjalani bedah plastik-
kalau kita buronan."
"Kalau begitu apa kau buronan?"
"Ya, apa kau tak tahu" Oh ya, tentunya mereka tak bakal mengiklankannya di
koran. Jangan-jangan Olive pun tak tahu. Aku memang buronan."
"Maksudmu, karena kau-berkhianat" Maksudmu kau telah menjual rahasia tentang
atom kepada mereka?"
Betterton menghindar dari tatapan Hilary
"Aku tidak menjual apa-apa. Kuberikan apa yang aku tahu tentang proses-proses
itu kepada mereka-gratis. Moga-moga kau bisa percaya, tapi aku memang ingin
memberikannya kepada mereka. Ini kan sebagian dari rencana keseluruhan-
rencana memusatkan semua pengetahuan ilmiah. Oh, apa kau tak bisa mengerti?"
Hilary bisa mengerti. Dia bisa mengerti Andy Peters melakukan hal yang sama.
Dia juga bisa membayangkan Ericsson yang matanya selalu menerawang jauh
penuh fanatisme, mengkhianati negaranya dengan antusias.
Tapi sulit baginya membayangkan Tom Betterton melakukan itu-dia kaget
menyadari betapa berbedanya Tom Betterton beberapa bulan yang lalu, yang
datang dengan penuh antusias, dengan Betterton sekarang: gugup, takluk, dan
berpandangan serba praktis-seorang lelaki biasa yang benar-benar dalam
ketakutan. Bahkan meskipun Hilary telah menganggap semua itu masuk akal pun, Betterton
tetap celingukan gugup dan berkata, "Semua orang sudah turun sekarang. Lebih
baik kita-" Hilary bangkit. "Ya. Tapi tak apa-apa. Mereka akan menganggap wajar kita berlama-lama di sini-
kan kita suami-istri yang telah lama berpisah."
Betterton melanjutkan dengan canggung,
"Kita mesti teruskan lakon ini. Maksudku -kau mesti terus jadi-istriku."
"Tentu saja." "Dan kita akan terus sekamar dan segalanya, tapi jangan-khawatir. Maksudku, kau
tak usah takut kalau-"
Betterton menelan ludah kemalu-maluan.
Tampannya dia, pikir Hilary sambil memandangi profilnya, tapi kok sama sekali
tak membuat hatiku tertarik....
"Kukira kita tak usah pusing memikirkan itu," katanya ringan. "Yang penting
berhasil keluar dari sini hidup-hidup."
Bab 14 Di sebuah kamar di Hotel Mamounia, Marrakesh, orang yang bernama Jessop
sedang bercakap-cakap dengan Nona Hetherington.
Nona Hetherington yang ini lain dari Nona Hetherington yang dikenal Hilary di
Fez. Penampilannya memang sama, tetap mengenakan setelan sweater dan mantel
yang sama, dengan potongan rambut yang sama jeleknya, tapi sikapnya lain. Yang
tampak kini adalah wanita yang cekatan, kompeten, dan kelihatan jauh lebih muda
dari penampilannya. Orang ketiga di kamar itu seorang pria kekar berkulit coklat yang matanya
kelihatan cerdas. Jarinya pelan mengetuk-ngetuk meja sambil menyenandungkan
sebuah lagu Prancis. "...dan sejauh yang kauketahui," Jessop sedang berkata, "cuma dengan mereka dia
bercakap-cakap di Fez?"
Janet Hetherington mengangguk.
"Ada Nyonya Calvin Baker, aku sudah bertemu dengannya di Casablanca. Terus
terang aku belum bisa menentukan sikap terhadap orang ini. Dia capek-capek
berkawan dengan Olive Betterton dan denganku. Tapi orang Amerika kan memang
ramah, mereka memang biasa mengobrol sana-sini dengan orang-orang di hotel
dan mereka memang suka mengajak kenalan baru turut berjalan-jalan dengan
mereka." "Ya," kata Jessop, "semuanya terlalu terbuka untuk yang sedang kita cari ini."
"Di samping itu," Janet Hetherington melanjutkan, "dia juga naik pesawat itu."
"Kau beranggapan," kata Jessop, "kecelakaan pesawat itu memang direncanakan."
Dia menoleh ke pria kekar yang berkulit coklat tadi. "Bagaimana pikirmu,
Leblanc?" Leblanc berhenti bersenandung, dan sejenak berhenti mengetuk-ngetukkan jari di
meja. "Ca se peut" katanya. "Mungkin juga mesinnya disabot sehingga pesawat itu jatuh.
Kita tak mungkin tahu. Pesawat itu jatuh, terbakar, dan semua penumpangnya
tewas." "Apa yang kautahu tentang pilotnya?"
"Alcadi" Masih muda dan cukup kompeten. Tak lebih. Gajinya menyedihkan."
Yang terakhir itu ditambahkannya setelah diam beberapa saat.
Kata Jessop, "Sehingga terbuka kemungkinan dia punya pekerjaan lain. Dia bukan
orang yang punya keinginan bunuh diri?"
"Ada tujuh mayat," kata Leblanc. "Hangus hebat, tak bisa dikenali lagi, tapi
semuanya tujuh. Itu tak boleh kita lupakan."
Jessop menoleh ke Janet Hetherington lagi.
"Kau bilang apa?" katanya.
"Di Fez Nyonya Betterton omong-omong sedikit dengan satu keluarga Prancis.
Ada juga hartawan dari Swedia bersama wanita cantik gemerlapan. Juga jutawan
minyak, Tuan Aristi-des."
"Ah," kata Leblanc, "beliau sendiri rupanya. Saya sendiri sering membayangkan,
bagaimana ya rasanya punya uang sedunia" Kalau saya," tambahnya terang-terangan,
"saya akan mengumpulkan kuda balap dan wanita, dan semua saja yang ada di dunia.
Tapi si Aristides ini malah mengunci diri di istananya di Spanyol-sungguh-
sungguh istana di Spanyol lho, mon cber, dan mengumpulkan keramik
Cina dari zaman Sung. Tapi memang mesti diingat," dia melanjutkan, "dia paling
tidak sudah tujuh puluh. Ada,, kemungkinan pada umur itu orang cuma tertarik
kepada keramik Cina."
"Menurut orang Cina sendiri," kata Jessop, "justru pada umur antara enam puluh
dan tujuh puluh manusia itu sedang kaya-kayanya. Mereka paling bisa menghayati
indahnya dan semaraknya kehidupan."
"Pas moi! Yang pasti saya tidak!" kata Leblanc.
"Di Fez juga ada beberapa orang Jerman," Janet Hetherington melanjutkan, "tapi
sejauh yang kulihat mereka sama sekali tidak bercakap-cakap dengan Olive
Betterton." "Bagaimana dengan pelayan restoran atau pelayan kamar?" kata Jessop.
"Mungkin juga."
"Dan kaubilang dia pergi sendirian ke Kota Lama?"
"Dia pergi bersama salah satu pemandu wisata yang biasa bertugas di sana.
Mungkin ada yang mengontaknya ketika sedang berjalan-jalan itu."
"Pokoknya mendadak saja dia memutuskan pergi ke Marrakesh."
"Tidak mendadak," Hetherington membetulkan. "Kan dia memang sudah memesan tempat
sebelumnya." "Ah, aku salah," kata Jessop. "Maksudku Nyonya Calvin Baker dengan agak mendadak
memutuskan untuk menemaninya."
Pria itu bangkit lalu mondar-mandir. "Dia terbang ke Marrakesh," katanya, "dan
pesawatnya jatuh terbakar. Kelihatannya untuk orang yang namanya Olive
Betterton ini, bepergian dengan pesawat terbang memang sial, ya tidak" Mula-
mula kecelakaan pesawat di dekat Casablanca, sekarang yang ini. Apa betul ini
kecelakaan ataukah memang direncanakan" Kalau ada orang yang ingin
melenyapkan Olive Betterton, kurasa ada cara lain yang lebih mudah daripada
menghancurkan sebuah pesawat."
"Kita tak pernah akan bisa tahu," kata Leblanc. "Dengarkan saya, mon cber.
Begitu orang berpendapat bahwa nyawa manusia itu tak berharga, dia akan menanah
bahan peledak di bawah kursi pesawat, kalau itu memang lebih mudah daripada
malam-malam mesti ngumpet menunggu kesempatan menikam mangsa. Bahwa
enam orang lain akan turut tewas, itu bukan soal."
"Tentu saja," kata Jessop. "Saya tahu tak banyak yang berpendapat begini, tapi
pendapat saya, masih ada kemungkinan pemecahan yang ketiga-kecelakaan
pesawat itu palsu." Leblanc menatapnya dengan berminat. "Itu bisa juga. Pesawatnya didaratkan dulu
baru diledakkan. Tapi Anda tak bisa lari dari kenyataan, mon cher Jessop, bahwa
di dalam pesawat itu ada orang-orangnya. Mayat-mayat yang hangus itu sungguh-
sungguh ada di sana."
"Saya tahu," kata Jessop, "justru itulah yang masih mengganjal. Oh, saya tahu
gagasan saya ini fantastis, tapi kebakaran pesawat ini akhir yang terlalu rapi.
Terlalu rapi. Itulah yang saya rasakan. Seolah-olah mereka mengatakan, 'Stop
sampai di sini,' kepada kita. Kita cuma tinggal menulis RIP di laporan kita dan
selesailah. Tak ada lagi jejak yang bisa ditelusuri."
Kembali dia menoleh kepada Leblanc. "Anda sudah menyuruh orang
menyelidiki?" "Sudah dua hari," kata Leblanc. "Orang-orang yang cakap pula. Tempat jatuhnya
pesawat me mang di kawasan yang terpencil sekali. Pesawat itu jelas nyeleweng
dari jalur." "Ini menarik," Jessop menyela. "Desa-desa, pemukiman, jejak mobil yang terdekat
dengan lokasi jatuhnya pesawat sedang diselidiki dengan cermat. Di negeri ini,
seperti juga di negeri Anda, kami sepenuhnya sadar akan pentingnya penyelidikan.
Kami di Prancis juga sudah kehilangan beberapa ilmuwan muda yang paling baik.
Menurut pendapat saya, mon cher, lebih mudah mengendalikan penyanyi opera
yang sifatnya meledak-ledak daripada ilmuwan. Orang-orang muda ini cerdas,
angin-anginan, suka memberontak, dan bahayanya, mereka terlalu naif.
Memangnya mereka pikir apa yang akan terjadi" Bahwa manusia bakal melulu
mendambakan kebenaran dalam masyarakat yang adil makmur" Kasihan anak-
anak itu, mereka akan kecewa sekali."
"Mari kita teliti daftar nama penumpangnya lagi," kata Jessop.
Si orang Prancis meraih keranjang kawat, mengambil daftar nama dan
meletakkannya di depan rekannya. Kedua orang itu bersama-sama
mempelajarinya. "Nyonya Calvin Baker. Orang Amerika. Nyonya Betterton, Inggris. Torquil
Ericsson, Norwegia-ngomong-ngomong, tahu apa Anda tentang orang ini?"
"Seingat saya tak ada," sahut Leblanc. "Dia masih muda, tak lebih dari dua tujuh
atau dua delapan." "Saya pernah dengar namanya," kata Jessop mengerutkan dahi. "Saya kira-saya
hampir yakin-dia pernah menyajikan sebuah kertas kerja di depan Royal Society."
"Lalu ada biarawati," kata Leblanc, kembali ke daftar itu. "Suster Marie anu.
Andrew Peters, juga orang Amerika. Dr. Barron. Wah, ini nama yang terkenal, le
docteur Barron. Orang yang amat brilyan. Ahli penyakit-penyakit yang disebabkan
virus." "Bidang biologi," kata Jessop. "Cocok. Semua cocok."
"Orang yang gajinya rendah dan tidak puas." kata Leblanc.
"Berapa orang yang ke St. Ives?" Jessop menggumam.
Ketika si Prancis langsung memandangnya, dia tersenyum mohon maklum
"Ah, cuma pantun kanak-kanak kuno kok," katanya. "St. Ives itu artinya misteri.
Perjalanan ke tempat tak dikenal."
Telepon di meja berdering, Leblanc mengangkat gagangnya.
"Allo?" katanya. "Siapa" Ah ya, suruh mereka kemari."
Dia menoleh kepada Jessop. Wajahnya tiba-tiba saja hidup dan bergairah. "Salah
seorang anak buah saya datang melapor," katanya. "Mereka telah menemukan
sesuatu. Mon cher collegue, mungkin-saya tak bisa mengatakan lebih dari itu-
mungkin optimisme Anda memang beralasan."
Beberapa saat kemudian dua lelaki masuk. Yang pertama sekilas mirip Leblanc,


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tipenya sama, kekar, coklat, cerdas. Sikapnya hormat tapi gembira dan penuh
semangat. Dia mengenakan pakaian Eropa yang amat kotor, berbercak-bercak dan
penuh debu. Jelas dia baru saja sampai dari perjalanan jauh.
Yang menemaninya seorang pribumi berjubah putih, pakaian tradisional setempat.
Pembawaannya tenang berwibawa, seperti biasanya orang-orang yang tinggal di
tempat terpencil. Sikapnya sopan tapi tidak merendah.
Sementara kawannya nerocos memberikan penjelasan dalam bahasa Prancis,
matanya menjelajahi seluruh ruangan dengan sedikit kagum.
"Pengumuman tentang hadiah itu sudah disebar," kata orang itu. "Orang ini
bersama keluarga dan banyak kawannya melakukan penyelidikan dengan tekun.
Saya bawa saja dia melapor langsung kepada Anda, karena mungkin akan ada yang
ingin Anda tanyakan."
Leblanc berpaling kepada si Berber.
"Kerja Anda baik sekali," katanya dalam bahasa orang itu. "Mata Anda setajam
mata elang. Tunjukkan kepada kami apa yang sudah Anda temukan."
Dari saku jubah putihnya orang itu mengeluarkan sebuah benda kecil. Dia beranjak
maju lalu meletakkannya di meja di hadapan si orang Prancis. Benda itu ternyata
mutiara tiruan yang besar, berwarna abu-abu semu merah jambu.
"Barang ini seperti yang pernah ditunjukkan kepada saya dan yang lain-lain,"
katanya. "Barang ini berharga. Saya menemukannya."
Jessop memungut butiran mutiara palsu itu. Dari saku dia mengeluarkan butiran
mutiara yang persis sama, lalu dia mengamati keduanya. Kemudian dia bangkit,
mendekati jendela dan mengamati kedua mutiara itu dengan kaca pembesar.
"Ya," katanya, "ada tandanya."
Suaranya kedengaran sangat gembira dan dia pun kembali duduk.
"Gadis yang hebat," katanya. "Hebat, hebat! Dia berhasil!"
Waktu itu Leblanc sedang nerocos menanyai orang Maroko dalam bahasa Arab.
Akhirnya dia menoleh kepada Jessop.
"Maafkan saya, mon cher collegue," katanya "Mutiara ini ditemukan setengah mil
jauhnya dari lokasi pesawat yang terbakar itu."
"Yang artinya," kata Jessop, "Olive Betterton selamat. Meskipun ada tujuh orang
berangkat dari Fez dengan pesawat itu dan ada tujuh mayat yang ditemukan, salah
satu mayat itu jelas bukan Oliver Betterton."
"Sekarang daerah penyelidikan kami perluas," kata Leblanc. Dia berbicara lagi
kepada si Berber dan orang itu tersenyum gembira.
Bersama pengantarnya dia keluar.
"Dia akan diberi hadiah besar, sesuai dengan janji kami," kata Leblanc "dan
sekarang akan diadakan perburuan mutiara di seluruh kawasan pedesaan itu.
Mereka punya mata tajam sekali dan kabar bahwa mutiara ini mendatangkan
hadiah akan tersiar cepat. Saya kira-saya kira, mon cher collegue, kita akan
mendapat hasilnya! Kalau Nyonya Betterton tidak sampai ketahuan."
Jessop menggeleng. "Kalung asesori wanita yang mendadak putus itu wajar," kata Jessop. "Lalu wajar
juga kalau si empunya berusaha mengumpulkan mutiara yang berjatuhan sebisa-
bisanya, lalu memasukkannya ke saku. Tapi kalau ternyata sakunya berlubang,
juga tidak mengherankan. Lagi pula, kenapa mereka harus curiga" Dia kan Olive
Betterton yang amat ingin berkumpul lagi dengan suaminya."
"Kita harus melihat kasus ini dari sudut pandang yang lain," kata Leblanc.
"Olive Betterton. Dr. Barron," katanya menandai kedua nama itu. "Paling tidak
ada dua yang sedang pergi ke suatu tempat-entah ke mana. Wanita Amerika, Nyonya
Calvin Baker. Tentang dia kita biarkan saja dulu. Torquil Ericsson kata Anda
pernah menyajikan kertas kerja di hadapan Royal Society. Orang Amerika ini,
Peters, menurut paspornya seorang ahli kimia riset. Biarawati ini-nah, ini bisa
jadi penyamaran yang baik sekali. Jadi hari itu ada sekelompok orang dari
berbagai tempat yang digiring naik pesawat yang sama. Lalu pesawat itu ditemukan terbakar
dan di dalamnya ada mayat dalam jumlah yang sama dengan jumlah orang-orang
itu. Bagaimana mereka melakukannya, ya" Enfin, hebatnya!"
"Ya," kata Jessop. "Itu sentuhan terakhir yang meyakinkan. Tapi sekarang kita
tahu ada enam atau tujuh orang yang melanjutkan perjalanan dan tempat
keberangkatannya kita tahu. Apa yang akan kita kerjakan sekarang-mendatangi
tempat itu?" "Jelas," kata Leblanc. "Kita sekarang mengincar sebuah markas besar yang modern.
Kalau tidak salah, jejak yang kita lacak ini sudah betul. Bukti-bukti lain akan
menyusul." "Kalau kalkulasi kita tepat," kata Jessop "harus ada hasilnya."
Kalkulasinya banyak dan berputar-putar. Perkiraan kecepatan mobil, pada jarak
berapa diper kirakan dia akan mengisi bensin, di desa mana saja para penumpang
mungkin menginap. Jalur yang mungkin dilewati begitu banyak dan
membingungkan, berulang-ulang mereka menemui ke kecewaan, tapi sesekali ada
hasilnya juga pe nyelidikan itu.
"Voila, mon capitainel Kami sudah selidiki WC-WC seperti yang Anda
perintahkan, di suatu sudut gelap WC rumah Abdul Mohammed ditemukan sebuah
mutiara terbungkus permen karet. Dia dan anak laki-lakinya sedang diinterogasi.
Mula-mula mereka menyangkal, tapi akhirnya mengaku juga. Mobil
berpenumpang enam orang yang katanya ekpedisi arkeologi Jerman menginap
semalam di rumahnya. Mereka membayar banyak sekali dan melarang buka mulut
kepada siapa pun. Alasannya, penggalian yang akan mereka kerjakan itu
melanggar hukum Anak-anak di dusun El Kaif juga datang mengantarkan dua butir
mutiara. Sekarang kita sudah tahu arah perjalanannya. Masih ada lagi, Monsier le
Capitaine. Ada yang melihat tangan Fatma seperti ramalan Anda. Tipe ini di sini
akan menceritakannya kepada Anda."
Yang dimaksud "tipe ini" ternyata seorang Berber yang penampilannya liar.
"Saya sedang bersama ternak saya," katanya, "waktu itu malam dan saya dengar
deru mobil. Waktu mobil lewat saya melihat tanda itu. Di satu sisinya ada gambar
tangan Fatma. Gambar itu bersinar-sinar dalam gelap!"
"Sarung tangan yang dilapisi fosfor ternyata bisa berguna juga,"
Leblanc menggumam. "Selamat, mon cher, untuk gagasan itu."
"Memang efektif," kata Jessop, "tapi berbahaya. Terlalu mudah terlihat oleh para
penumpang itu sendiri."
Leblanc mengangkat bahu. "Siang hari kan tidak kelihatan."
"Tidak, tapi kalau malam-malam mereka berhenti dan turun dari mobil-"
"Kalau begitu pun-orang akan menganggapnya takhyul orang Arab belaka. Tangan
Fatma sering digambar pada kereta atau gerobak. Paling-paling mereka akan
mengira pemilik mobil itu muslim yang saleh sekali, sampai-sampai menggambar
tangan itu dengan cat spot light."
"Betul juga. Tapi kita harus waspada. Kalau musuh tahu, kemungkinan besar
mereka malah akan memanfaatkannya untuk membuat jejak palsu."
"Ah, kalau itu saya setuju dengan Anda. Kita memang harus waspada. Selalu,
selalu waspada." Pagi berikutnya Leblanc menunjukkan lagi tiga mutiara palsu yang disusun
berbentuk segitiga, menempel pada permen karet.
"Ini artinya," kata Jessop, "tahap berikutnya mereka akan naik pesawat terbang."
Dia memandang bertanya kepada Leblanc.
"Anda betul," kata Leblanc. "Ini ditemukan bekas lapangan terbang militer, di
tempat yang jauh dan terpencil sekali. Ada tanda-tanda pesawat mendarat dan
tinggal landas dari situ belum lama ini."
Dia mengangkat bahu. "Pesawat tak dikenal," katanya, "sekali lagi mereka tinggal
landas ke tujuan entah ke mana. Sekali lagi kita macet dan tak tahu sambungan
jejaknya di mana-" Bab 15 Sungguh mengerikan, pikir Hilary, mengerikan bahwa aku sudah tinggal di sini
selama sepuluh hari! Bagi Hilary, yang menakutkan dalam hidup ialah, justru betapa mudah kita
menyesuaikan diri. Dia ingat di Prancis pernah melihat alat penyiksa Abad
Pertengahan yang aneh: kandang besi. Pesakitan di dalamnya tidak bisa berdiri,
berbaring, ataupun duduk. Pemandu wisata bercerita bahwa orang terakhir yang
dikurung dalam sangkar itu tahan hidup di dalamnya selama delapan belas tahun
dan setelah dibebaskan masih hidup selama dua puluh tahun lagi sebelum
meninggal di masa tuanya.
Kemampuan menyesuaikan diri itulah yang membedakan manusia dari hewan,
pikir Hilary. Manusia dapat hidup dalam iklim apa saja, dengan makanan apa saja,
dan dalam kondisi yang bagaimanapun juga.
Dia tetap bisa bertahan, sebagai budak, maupun manusia bebas.
Ketika baru datang di Unit, mula-mula dia merasa terpenjara dan frustrasi.
Justru karena pemenjaraan itu tersamar dalam kemewahan, dia malah ngeri.
Namun sekarang, bahkan ketika baru seminggu dia di sana, dia sudah mulai
menganggap kondisi hidupnya di sana wajar. Dia merasa seperti bermimpi, aneh.
Rasanya tak ada yang sungguh-sungguh nyata, tapi dirasakannya mimpi itu seolah-
olah sudah lama sekali berlang sung dan akan terus berlangsung lebih lama lagi.
Mungkin, sampai selamanya.... Dia akan terus tinggal di Unit ini; hidup adalah
di sini, di luar tak ada apa-apa.
Sikap menerima yang berbahaya ini, menurut Hilary, sebagian gara-gara dia
wanita. Wanita memang gampang menyesuaikan diri. Sifat itu kelebihan sekaligus
kekurangannya. Wanita mengamati lingkungan, menerimanya, dan seperti kaum
realis, memapankan diri dan berusaha memperoleh yang terbaik dari yang ada.
Tapi dia paling tertarik mengamati reaksi orang-orang yang tiba di sana bersama-
sama dia. Hilary jarang berjumpa dengan Helga Needheim, kecuali kadang-kadang pada
waktu makan. Kalaupun bertemu, wanita Jerman itu paling-paling cuma meng
angguk singkat, tidak lebih.
Sejauh penilaiannya, Helga Needheim kelihatan puas dan bahagia. Agaknya jelas,
Unit sesuai dengan bayangannya Dia memang tergolong orang yang tenggelam
dalam pekerjaan; belum lagi sifat angkuhnya yang memang sudah alamiah. Prinsip
utama Helga adalah bahwa dia dan ilmuwan-ilmuwan lain adalah makhluk-
makhluk super. Tak pernah dia memikirkan rasa persaudaraan antara sesama manusia, zaman yang
penuh kedamaian, kebebasan mental maupun spiritual. Masa depan di mata Helga
itu sempit, melulu cuma proses menaklukkan. Ada ras super, dia termasuk di situ,
dan sisanya manusia-manusia budak yang kalau sikapnya baik, akan mereka
perlakukan dengan penuh belas kasihan. Kalau rekan-rekan kerjanya punya
pandangan yang berbeda-beda, kalau jalan pikiran mereka lebih komunis daripada
fasis, Helga tidak peduli.
Pokoknya jika kerja mereka baik, mereka dibutuhkan. Soal pandangan, gampang.
Bisa diubah. Dr. Barron lebih bijak dari Helga Needheim. Kadang-kadang Hilary bercakap-
cakap sejenak dengannya. Memang dia begitu asyik dalam pekerjaan, begitu puas
dengan segala fasilitas yang ada, toh otak intelek Prancisnya yang kritis tetap
menduga-duga dan merenungkan tempatnya tinggal sekarang.
"Terus terang tidak seperti yang saya harapkan," katanya suatu hari. "Ini di
antara kita saja, Nyonya Betterton, kondisi seperti di penjara bukan masalah
bagi saya. Dan kondisi seperti di penjara itu memang ada, walaupun kurungannya mungkin
disepuh bagus sekali."
"Di sini Anda tak mendapatkan kebebasan yang Anda cari?" kata Hilary.
Dr. Barron cuma tersenyum, senyum sekilas dan menyesali.
"Bukan itu," katanya, "Anda keliru. Saya tidak mencari kebebasan. Saya ini
manusia berbudaya. Manusia berbudaya tahu kebebasan itu tak ada. Cuma bangsa
yang masih baru dan primitif saja memakai "kebebasan" sebagai slogan utamanya.
Tindakan-tindakan menjaga keamanan memang selalu perlu direncanakan. Intisari
kebudayaan adalah bahwa hidup itu sedang-sedang saja. Jalan tengah saja. Orang
selalu akhirnya kembali ke jalan tengah. Terus terang saja, saya kemari karena
uang." Sekarang Hilary yang tersenyum. Alisnya terangkat.
"Dan untuk apa di sini Anda punya uang?"
"Untuk membeli peralatan laboratorium yang amat mahal," kata Dr. Barron. "Saya
tak usah merogoh kocek saya sendiri, sehingga saya bisa berkonsentrasi pada
sains dan memuaskan hasrat ingin tahu saya. Saya orang yang cinta pada
pekerjaan, itu betul, tapi saya tidak mencintainya karena alasan kemanusiaan.
Biasanya saya lihat orang-orang yang seperti itu boleh dikata agak bebal, dan
sering-sering juga bukan ahli yang kompeten. Yang sungguh-sungguh saya sukai
adalah kenikmatan meneliti. Alasan lainnya, saya mendapat uang dalam jumlah
besar sekali sebelum meninggalkan Prancis. Sekarang uang itu tersimpan aman di
bank dengan nama lain. Pada saat semua ini berakhir, saya akan bebas
menggunakan uang itu."
"Kapan semua ini akan berakhir?" Hilary mengulang. "Kenapa pula mesti berakhir?"
"Kita mesti berpikiran sehat," kata Dr. Barron, "tak ada yang abadi. Saya sudah
tiba pada kesimpulan bahwa tempat ini dikelola orang gila. Orang gila itu bisa
amat logis. Kalau Anda sangat kaya, logis, dan juga gila, Anda akan bisa
berlama- lama mewujudkan impian Anda. Namun akhirnya-" dia mengangkat bahu-
"akhirnya, toh akan berakhir. Karena, yang terjadi di sini tidak masuk akal! Apa
saja yang tidak masuk akal, akhirnya harus membayar mahal. Untuk sementara-"
lagi-lagi dia mengangkat bahu-"keadaan begini cocok sekali bagi saya."
Torquil Ericsson, yang dikira Hilary penuh dengan lamunan tak masuk akal,
ternyata tampak puas sekali dengan suasana Unit. Dia kurang praktis dibandingkan
orang Prancis tadi, dan hidupnya melulu mengikuti pemikirannya sendiri.
Dunianya begitu asing bagi Hilary sehingga memahaminya pun Hilary tak
sanggup. Hidup yang bentuk kebahagiaannya keras, melulu tenggelam dalam
angka-angka dan dihadapkan pada berbagai kemungkinan yang tak ada habisnya.
Karakternya yang keji, tak manusiawi, dan aneh, membuat Hilary ngeri. Menurut
pendapat Hilary, dia termasuk orang yang akan tega membasmi tiga perempat isi
dunia agar seperempat dunia dapat menikmati sebuah impian tak praktis. Impian
yang cuma ada di benak Ericsson.
Dengan si Amerika, Andy Peters, Hilary jauh lebih cocok. Mungkin, pikirnya, itu
karena Peters hanya orang yang amat berbakat saja, bukan jenius. Dari orang-
orang lain Hilary mendengar bahwa Andy Peters top dalam bidangnya. Ia ahli kimia
yang cermat dan cakap, tapi bukan pionir. Peters, seperti dirinya, serta-merta benci
pada suasana di Unit. "Sesungguhnya aku tidak tahu ke mana waktu itu aku akan pergi," katanya.
"Kukira aku tahu, tapi ternyata keliru. Tempat ini sama sekali tak ada
hubungannya dengan partai. Kita tidak punya hubungan dengan Moskow. Unit ini
hasil kerja satu tangan saja-mungkin orang fasis."
"Apa kau tak merasa," kata Hilary, "terlalu sering melabeli orang?"
Dia mempertimbangkannya. "Mungkin kau benar," katanya. "Kalau dipikir-pikir, semua kata-kata itu tak ada
artinya. Yang kutahu pasti, aku ingin keluar dari sini dan aku sungguh-sungguh
bertekad keluar." "Tak gampang," kata Hilary pelan.
Ketika itu mereka sedang berjalan-jalan di dekat air mancur di taman atap.
Melihat sekeliling yang begitu gelap dan langit yang ditabur bintang-bintang,
seolah-olah mereka ada di taman istana seorang sultan. Bangunan-bangunan beton
fungsional dari dalam ditutupi sehingga tidak kentara.
"Memang," kata Peters, "tak akan gampang, tapi tak ada sesuatu yang tak
mungkin." "Aku senang mendengar kau berkata begitu," kata Hilary. "Oh, senangnya mendengar
kau mengatakan itu!"
Peters memandang penuh simpati.
"Kau juga kesal?" tanyanya.
"Kesal sekali. Tapi bukan itu yang betul-betul kutakuti."
"Bukan" Lalu apa?"
"Aku takut lama-lama malah terbiasa dengan keadaan ini," kata Hilary.
"Ya," Peters berkata sambil merenung. "Ya. aku mengerti maksudmu. Di sini ada
semacam sugesti massal. Kurasa kau mungkin benar."
"Bagiku akan lebih wajar kalau orang-orang memberontak," kata Hilary.
"Ya. Ya, aku juga sudah memikirkan itu. Kalikan beberapa kali aku berpikir-pikir
jangan-jangan di sini ada permainan mantera."
"Mantera" Maksudmu?"
"Yah, jelasnya, obat bius."
"Maksudmu semacam obat?"
"Ya. Ada kemungkinan. Mungkin di dalam makanan atau minuman, obat yang
membuat orang menurut saja?"
"Tapi apa ada obat semacam itu?"
"Ya, di negeriku orang tidak biasa menggunakan barang begitu. Tapi memang ada
obat-obatan yang membuat orang tenang sebelum dioperasi. Tapi apa memang ada
obat yang bisa diberikan terus-menerus dalam jangka panjang, tanpa mengurangi
efisiensi kerja, itu aku tak tahu. Sekarang aku lebih condong berpendapat usaha


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat orang patuh itu dikerjakan secara mental. Kukira beberapa dari pengurus
dan pengelola di sini sangat ahli di bidang hipnotisme dan psikologi. tanpa kita
sadari, kita terus-menerus diingatkan betapa baik keadaan kita di sini, betapa
kita bisa mencapai tujuan akhir kita (entah apa pun bentuknya), dan bahwa semua
ini memberikan hasil yang pasti. Bisa dilaksanakan dengan berbagai cara kalau yang
mengerjakannya benar-benar ahli."
"Tapi kita tak boleh takluk," jerit Hilary panas hati. "Sedetik pun kita tidak
boleh merasa bahwa hidup di sini baik."
"Bagaimana menurut suamimu?"
"Tom" Aku-oh, tak tahu. Aku-" Hilary tenggelam dalam kebisuan.
Tentu saja tak mungkin dia membicarakan pengalaman hidupnya selama ini
kepada orang yang sedang mendengarkannya. Sekarang sudah sepuluh hari dia
hidup bersama seorang laki-laki asing.
Mereka tidur sekamar dan malam-malam jika dia terjaga, dia bisa mendengar
hembusan napas di ranjang satunya: Keduanya menerima keadaan itu, karena tak
bisa tidak. Hilary masih dalam penyamaran, dia mata-mata, dia siap memerankan apa saja dan
menjadi pribadi yang bagaimanapun. Baginya Betterton adalah contoh apa yang
bisa terjadi pada orang muda brilyan yang telah berbulan-bulan tinggal di Unit,
dalam kondisi yang menggerogoti mental.
Begitupun Betterton tidak menerima demikian saja tanpa pergolakan. Bukannya
menikmati pekerjaan, dia malah semakin gelisah memikirkan ketidakmapuannya
berkonsentrasi dalam pekerjaan. Satu dua kali dia mengatakan lagi apa yang telah
dikatakannya pada malam pertama.
"Aku tak dapat berpikir. Rasanya seakan-akan semua yang ada padaku sudah
kering menguap." Ya, pikir Hilary, Tom Betterton, sebagai seorang jenius sejati membutuhkan
kebebasan lebih dari segalanya. Sugesti apa pun tak mempan mengganti hilangnya
kebebasan. Hanya dalam kebebasan sempurna dia bisa menghasilkan karya kreatif.
Hilary menilai, Betterton sudah sakit jiwa. Terhadap Hilary, sungguh aneh, dia
sama sekali tak peduli. Baginya dia bukan wanita, kawan pun bukan. Bahkan dia
ragu apakah Betterton sadar istrinya telah meninggal. Hal yang terus-menerus
memenuhi benaknya hanyalah bahwa dia terkungkung. Berulang-ulang dia
mengatakan, "Aku harus keluar dari sini. Harus. Harus." kadang-kadang, "Waktu
itu aku tak tahu. Aku tak punya bayangan akan seperti apa tempat ini. Bagaimana
aku bisa pergi dari sini" Bagaimana" aku harus. Pokoknya harus."
Sebetulnya inti ucapannya sama dengan yang dikatakan Peters. Tapi cara
menyatakannya sungguh berbeda. Peters mengatakannya sebagai orang muda yang
penuh semangat. Dia marah dan merasa tertipu, tapi dia juga percaya pada diri
sendiri dan bertekad melawan kepintaran dengan kepintaran pula. Lain dengan
Tom Betterton. kata-katanya yang penuh pemberontakan kedengaran seperti jeritan
orang yang sudah tak tahan lagi, jeritan orang yang hampir gila karena begitu
ingin melarikan diri. Tapi mungkin, mendadak Hilary berpikir, enam bulan lagi
dia dan Peters akan seperti itu juga. Mungkin apa yang semula merupakan pemberontakan
yang sehat dan masih dipenuhi rasa percaya pada kemampuan diri akhirnya akan
berubah menjadi keputusasaan yang panik, seperti tikus terperangkap.
Betapa ingin Hilary mengatakan semua ini kepada pria di sisinya.
Kalau saja dia dapat berkata, "Tom Betterton bukan suamiku. Aku tak tahu apa-apa
tentang dia. Aku tak tahu bagaimana dia sebelum kemari sehingga aku bingung.
Aku tak bisa menolongnya, karena aku tak tahu apa yang mesti kulakukan atau
kukatakan." Tapi pada kenyataannya dia mesti memilih kata dengan hati-hati. Katanya, "Tom
sekarang seperti orang asing. Dia tidak suka bercerita apa-apa lagi. Kadang-
kadang kupikir terkurung disini, perasaan terkungkung di sini, membuat dia
gila." "Mungkin," sahut Peters hambar, "bisa juga berakibat seperti itu."
"Tapi coba katakan-kaubilang dengan begitu mantap akan lari. Bagaimana kita
dapat lari-apa saja kemungkinannya?"
"Maksudku bukan berarti kita akan bisa segera keluar, Olive. Harus dipikirkan
dan direncanakan. Manusia telah terbukti dapat melarikan diri dari kondisi yang
paling buruk. Banyak orang bangsa kami, juga bangsamu, membaca buku buku tentang
orang yang melarikan diri dan kamp-kamp konsentrasi di Jerman."
"Itu kan agak lain."
"Tapi pada dasarnya tidak. Di mana ada jalan masuk, pasti ada jalan keluar.
Tentu saja di sini tak mungkin kita membuat terowongan, sehingga banyak metode
mesti kita coret. Tapi seperti yang kubilang, di mana ada jalan masuk, selalu ada
jalan keluar. Dengan kecerdikan, kamuflase, sandiwara, tipuan, suap, dan
korupsi, kita seharusnya bisa. tapi ini harus dipelajari dan dipikirkan. Aku bilang, aku akan
bisa keluar dari sini. Percaya-lah."
"Aku percaya kau akan bisa," kata Hilary, lalu menambahkan, "tapi bagaimana
dengan aku?" "Yah, kalau kau lain."
Suaranya kedengaran tersipu-sipu. Sejenak Hilary berpikir-pikir kenapa. Lalu dia
sadar bahwa orang mungkin menganggap dia telah mencapai tujuannya. Dia
datang kemari untuk bergabung dengan pria yang dicintainya, sehingga karena itu
hasrat pribadinya untuk melarikan diri tentunya tidak terlalu besar. Hampir saja
Hilary mengatakan yang sebenarnya kepada Peters-tapi naluri untuk berhati-hati
menahannya. Dia mengucapkan selamat malam dan pergi meninggalkan taman itu.
Bab 16 I "Selamat malam, Nyonya Betterton."
"Selamat malam, Nona Jennson."
Gadis kurus berkaca mata itu tampak penuh gairah. Matanya bersinar-sinar di
balik kaca mata tebalnya.
"Nanti akan ada reuni," katanya. "Direktur sendiri yang akan memberikan kata
sambutan!" Suaranya hampir-hampir berbisik.
"Bagus," Andy Peters nyeletuk. Dia kebetulan sedang berdiri di dekat mereka.
"Saya sudah menunggu-nunggu kesempatan melihat sekilas sang Direktur ini."
Nona Jennson menatap tak senang.
"Direktur itu orang yang hebat sekali," katanya tegas.
Ketika Nona Jennson berlalu ke salah satu koridor putih, Andy Peters bersiul
pelan. "Nah, bukankah yang kudengar tadi cerminan sikap ala Heil Hitler?"
"Memang kedengarannya begitu."
"Susahnya dalam hidup ini, kita tak pernah tahu betul ke mana kita akan pergi.
Dulu kutinggalkan Amerika. Aku berangkat dengan semangat persaudaraan
antarsesama. Kalau saja waktu itu aku tahu akan terperangkap dalam terkaman
diktator lain lagi yang bagaikan dewa-"
Dia merentangkan tangannya.
"Kau kan belum kenal dia," Hilary mengingatkan.
"Aku sudah bisa mencium baunya di udara," kata Peters.
"Oh," Hilary berteriak. "Untung ada kau di sini!"
Dan dia tersipu-sipu melihat Peters memandang bertanya-tanya.
"Kau begitu baik dan biasa," kata Hilary sebisa-bisanya.
Peters tampak senang. "Di negaraku," katanya, "istilah biasa tidak bermakna seperti yang kaumaksudkan.
Artinya bisa sederhana sekali."
"Kau tahu, bukan itu yang kumaksud. Maksudku kau seperti orang biasa. Oh, oh,
itu Kedengarannya juga kasar."
"Manusia biasa, begitu yang kaumaksud" Kau sudah cukup kenyang bersama para
jenius?" "Ya, dan kau juga sudah berubah sejak sampai di sini. Kau tidak begitu penuh-
kebencian." Tapi segera saja wajah pria itu berubah geram.
"Jangan dulu berpikir begitu," katanya. "Kebencian itu masih ada-di dalam. Aku
tetap masih bisa membenci. Ada hal-hal yang memang harus dibenci."
II Reuni itu, demikian istilah yang dipakai Nona Jennson, diadakan setelah makan
malam. Semua anggota Unit berkumpul di ruang kuliah yang besar.
Yang hadir tidak termasuk apa yang dimaksud staf teknik, seperti: asisten
laboratorium, rombongan penari balet, personil bagian pelayanan yang bermacam-
macam, dan beberapa pelacur cantik yang juga melayani kebutuhan pria-pria yang
tidak didampingi istri dan tidak mempunyai jalinan hubungan apa pun dengan
karyawan wanita. Hilary duduk di sebelah Betterton, dengan rasa ingin tahu menunggu munculnya di
panggung tokoh yang hampir-hampir didewa-dewakan sang Direktur. Dari Tom
Betterton dia hanya memperoleh gambaran tak jelas mengenai kepribadian orang
yang berkuasa di Unit itu.
"Tampangnya biasa-biasa saja," katanya. "Tapi wibawanya besar. Baru dua kali aku
melihatnya Dia tak sering muncul di sini. Tentu saja dia hebat, kita bisa
merasakannya, tapi sungguh aku tak tahu kenapa."
Sikap Nona Jennson yang begitu hormat dan kagum, serta komentar wanita-wanita
lain yang senada, membuat Hilary samar-samar mempunyai bayangan bahwa
orang ini tentu tinggi berjenggot keemasan dan mengenakan jubah putih-semacam
dewa. Jadi ketika hadirin bangkit berdiri, dia hampir terkejut melihat seorang
pria setengah baya, agak gemuk, berkulit coklat, tenang-tenang naik panggung.
Penampilannya sama sekali tak menonjol, seperti usahawan dari Inggris Tengah
saja. Kebangsaannya tak jelas. Dia berbicara dalam tiga bahasa, berganti-ganti,
tanpa mengulang persis apa yang sudah dikatakan sebelumnya. Bahasa Prancis,
Jerman, dan Inggrisnya lancar.
"Pertama-tama," katanya, "saya ingin mengucapkan selamat datang kepada rekan-
rekan yang baru bergabung bersama kita di sini."
Kemudian dia menyapa pendatang baru satu per satu. Setelah itu dia berbicara
tentang tujuan dan keyakinan yang dianut Unit.
Setelah semua itu berlalu, Hilary tak dapat ingat dengan tepat apa saja yang
dikatakannya. Mungkin karena setelah diingat-ingat, ternyata kata-kata yang
diucapkan sang Direktur itu begitu klise dan biasa. Tapi lain halnya kalau
mendengarkan langsung. Hilary ingat pernah ada kawan yang menceritakan pengalamannya di Jerman pada
hari-hari menjelang perang. Ketika itu iseng-iseng dia menghadiri rapat, ingin
mendengarkan "Hitler yang aneh" itu.
Ternyata dia bisa terseret emosi, menangis histeris. Kata-kata Hitler waktu itu
terasa begitu bijak dan memberi inspirasi. Tapi setelah itu, nyatalah bahwa
kata- kata yang digunakan Hitler sebenarnya biasa-biasa saja.
Kini yang terjadi mirip dengan itu. Tanpa sadar Hilary tergerak dan semangatnya
bangkit. Direktur berbicara dengan sederhana saja. Topik utamanya adalah kaum
muda. Pada kaum mudalah terletak masa depan umat manusia.
"Di masa lalu kekuasaan adalah kekayaan, prestise, keluarga yang berpengaruh.
Namun kini, kekuasaan ada di tangan kaum muda. Kekuasaan yang datang dari
otak. Otak para ahli kimia, ahli fisika, otak dokter-dokter.... Dari
laboratoriumlah berasal kekuasaan maha besar untuk menghancurkan. Dengan
kekuasaan itu Anda bisa bilang 'Menyerah-atau mati!' Kekuasaan itu tak boleh diberikan kepada
bangsa ini atau bangsa itu. Kekuasaan harus berada dalam genggaman penciptanya.
Unit ini tempat berkumpulnya kekuasaan dari seluruh dunia. Anda datang dari segala
penjuru dunia dengan membawa pengeta huan sains yang kreatif. Dan Anda adalah
kaum muda! Di sini tak seorang pun lebih dari empat puluh lima tahun. Jika
saatnya tiba, kita akan mendirikan Serikat. Serikat Para Cendikiawan. Dan kita
akan mengurus dunia. Kita akan memerintah kaum kapitalis, raja, tentara, dan
kalangan industri. Akan kita beri dunia Pax Scientifi ca."
Dan masih banyak lagi, yang semuanya penuh gairah dan membuat orang terbius.
Bukan kata-katanya yang membius, tapi ketrampilan pembawanya dalam
berpidato. Hadirin bisa dibuatnya terbuai, hadirin yang jika tidak terbawa emosi
mungkin akan mendengarkan dengan sikap dingin dan kritis.
Lalu Direktur menutup pidato dengan mendadak, "Berani dan Menang! Selamat
Malam!" Hilary meninggalkan bangsal, terseok-seok dalam mimpi kemenangan. Dilihatnya
ekspresi yang sama di wajah-wajah sekitarnya. Dilihatnya Ericsson, matanya pucat
bercahaya, kepalanya mendongak penuh mimpi kejayaan.
Kemudian dia merasa Andy Peters menggamit lengannya dan berbisik, "Mari ke
atap. Kita butuh udara segar."
Mereka naik ke atap dengan lift tanpa berkata-kata, lalu berjalan-jalan di
antara pohon-pohon palem, di bawah bintang-bintang.
Peters menarik napas dalam-dalam. "Ya," katanya. "Ini yang kita butuhkan. Udara
untuk meniup bersih awan kemenangan."
Hilary mendesah panjang. Dia masih merasa mengawang.
Peters mengguncang lengannya. "Sudahlah, Olive."
"Awan kejayaan," kata Hilary. "Tapi tadi memang terasa begitu!"
"Sudahlah, aku bilang. Kembali jadi wanita! Lihat kenyataan! Jika efek gas
beracun yang disebut kejayaan itu habis, kau akan sadar yang tadi kaudengarkan
itu barang lama." "Tapi yang dikatakannya itu baik-maksudku, cita-cita yang baik."
"Persetan dengan cita-cita. Lihat kenyataan. Kaum muda dan cerdik-cendekia-puji
Tuhan! Dan siapa pula yang disebut kaum muda dan cerdik-cendekia itu" Helga
Needheim, si egois yang keji. Torquil Ericsson, pemimpi yang tak praktis. Dokter
Barron, kalau perlu rela meloak neneknya sendiri untuk membeli peralatan
kerjanya. Aku sendiri, orang biasa, seperti yang kaukatakan, ahli menggunakan
tabung percobaan dan mikroskop tapi sama sekali tak berbakat mengelola
administrasi yang efisien di kantor, jangan lagi mengurus dunia! Suamimu sendiri
- ya, aku tetap akan mengatakannya - pria yang nyalinya sudah buyar berantakan
dan yang tak memikirkan hal lain kecuali takut pada ganjaran yang setimpal. Aku
beberkan orang-orang yang paling kita kenal-mereka semuanya di sini sama-paling
tidak, mereka yang kukenal. ada yang jenius, pintar sekali dalam bidang
tertentu, tapi sebagai pengurus dunia" Aduh, jangan bikin aku ketawa! Omong
kosong yang amat berbahaya, itulah yang barusan kita dengarkan."
Hilary duduk di pagar beton. Dia mengusap dahi.
"Kau tahu," katanya. "Aku yakin kau benar.... Tapi awan kejayaan itu tetap
mengambang. Bagaimana dia melakukan ini" Apa dia yakin akan kata-katanya
sendiri" Mestinya begitu."
Dengan muram Peters menyahut, "Kukira buntutnya selalu sama. Ada orang gila
yang merasa dirinya Tuhan."
Hilary berkata pelan, "Kukira demikian. Begitu pun-keterangan semacam itu masih
kurang memuaskan." "Tapi memang itu terjadi, Sayangku. Berulang-ulang terjadi dalam sejarah. Dan
orang demikian memerangkap orang lain. Malam ini aku hampir saja kena. Kau
sudah kena. Kalau aku tidak cepat-cepat menggiringmu kemari-" Sikapnya tiba-
tiba berubah. "Kurasa seharusnya aku tidak boleh begitu, ya" Apa kata Betterton
nanti" Dia akan menganggap aneh."
"Kurasa tidak. Mungkin dia malah tak menyadari."
Peters memandang bertanya. "Aku menyesal, Olive. Pasti berat yang kau-
tanggung, melihat suami dalam proses kehancuran."
Kata Hilary emosional, "Kita harus keluar dari sini. Kita harus. Harus."
"Kita pasti bisa."
"Kau sudah pernah berkata begitu-tapi kita belum mendapat kemajuan apa-apa."
"Oh, sudah. Aku kan tidak duduk diam-diam saja."
Hilary memandang heran. "Memang belum ada rencana yang persis, tapi aku sudah memulai kegiatan
subversif. Banyak orang tidak puas di sini, jauh lebih banyak dari yang
diketahui Tuan Direktur. Maksudku, di antara anggota-anggota Unit yang rendahan.
Makanan, uang, kemewahan, dan wanita itu belum semuanya, kau tahu. Akan
kubawa kau keluar dari sini, Olive."
"Tom juga?" Wajah Peters jadi suram. "Dengar, Olive, dan percaya saja. Tom paling baik tetap tinggal di sini. Dia-"
sejenak dia ragu, "lebih aman di sini daripada di dunia luar."
"Lebih aman" Anehnya istilah itu."
"Lebih aman," kata Peters. "Aku memang sengaja menggunakan istilah itu."
Hilary mengerutkan dahi. "Aku tak begitu mengerti maksudmu. Tom bukan-kau kan tidak berpendapat dia
sudah gila?" "Sama sekali tidak. Dia memang gelisah, tapi kukira Tom Betterton sama warasnya


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kau atau aku."
"Lalu kenapa kau mengatakan dia lebih aman di sini?"
Peters berkata pelan, "Kandang kan tempat yang aman sekali."
"Oh, tidak," teriak Hilary. "Jangan bilang kau juga sudah meyakini hal itu.
Jangan bilang hipnotisme massal, sugesti, atau apa pun namanya sudah mempan
padamu. Aman, jinak, puas! Kita masih tetap harus berontak! Kita harus ingin bebas!"
Peters berkata pelan, "Ya, aku tahu. Tapi-"
"Tom betul-betul ingin pergi dari sini."
"Tom mungkin saja tak tahu apa yang baik buat dirinya."
Mendadak Hilary ingat apa yang pernah diisyaratkan Tom kepadanya. Kalau dia
sudah membocorkan informasi rahasia, tentunya dia pantas diseret ke meja hijau
berdasarkan Hukum Rahasia Negara-pastilah itu yang dimaksudkan Peters dengan
agak segan-segan-tapi Hilary punya pendapat sendiri. Lebih baik dipenjara
daripada tetap tinggal di sini. Dengan keras kepala dia menyahut, "Tom harus
ikut." Dan dia jadi kaget mendengar Peters mendadak menyahut sengit, "Sesukamulah.
Pokoknya aku sudah memperingatkan. Kalau saja aku tahu apa yang membuat kau
begitu cinta kepada orang itu-"
Hilary memandang-jengkel kepadanya. Hampir saja dia terlanjur menyahut, tapi
dia menahan diri. Dia sadar, yang ingin dikatakannya adalah, "Aku tidak cinta
kepadanya. Dia bukan apa-apa-ku. Dia suami wanita lain dan aku berutang janji
kepada wanita itu." Dia ingin berkata, "Tolol, kalaupun ada orang yang aku
cintai, kaulah orangnya...."
III "Baru bersenang-senang dengan Amerikamu itu?"
Itu kata-kata Tom Betterton ketika Hilary masuk ke kamar. Betterton sedang
berbaring di tempat tidur sambil merokok.
Hilary agak tersipu-sipu.
"Soalnya kami kan ke sini bersama-sama," katanya, "dan rasanya dalam hal-hal
tertentu kami cocok."
Betterton ketawa. "Oh! Aku tak menyalahkanmu!" Untuk pertama kalinya dia mengamati Hilary dengan
cara yang belum pernah dia lakukan. "Kau wanita yang cantik, Olive,"
katanya. Sejak semula Hilary memintanya untuk selalu memanggilnya dengan nama
istrinya. "Ya," dia melanjutkan, matanya turun-naik memandangi Hilary. "Kau wanita yang
sungguh sungguh cantik. Aku mestinya sudah langsung melihat hal itu. Dalam
keadaanku sekarang, hal hal semacam itu rasanya tidak terekam dalam benakku
lagi." "Mungkin begitu malah lebih baik," sahut Hilary hambar.
"Aku pria yang seratus persen normal, Sayang, atau setidak-tidaknya dulu begitu.
Cuma Tuhan yang tahu sekarang aku ini apa."
Hilary duduk di sebelahnya.
"Kenapa kau Tom?" katanya.
"Aku tak bisa berkonsentrasi. Sebagai ilmuwan aku sudah hancur. Tempat ini-"
Perempuan Penghisap Darah 1 Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 14
^