Pembunuhan Di Lorong 4
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie Bagian 4
dan seperti saya, dia tidak menyetujui rencana pemikahan itu."
"Maksud Anda M. Burrows?"
"Burrows" Sama sekali bukan. Ruth tak mungkin jatuh cinta pada laki-laki banyak
gaya seperti itu. "Lalu siapa yang dicintainya?"
Susan Cardwell diam. Ia mengambil sebatang rokok,
menyalakannya, lalu berkata,
"Sebaiknya Anda tanyakan sendiri padanya. Soalnya itu bukan urusan saya."
Mayor Riddle bertanya, "Kapan Anda terakhir kali melihat Sir Gervase".
"Pada waktu minum teh."
"Apakah menurut penglihatan Anda sikapnya aneh?"
Gadis itu angkat bahu. "Seperti biasa saja."
"Apa yang Anda lakukan setelah minum teh?"
"Main biliar dengan Hugo."
"Tidakkah Anda melihat Sir Gervase lagi?"
"Tidak." "Bagaimana dengan suara tembakan itu?"
"Itu agak aneh. Saya kira itu suara gong. yang pertama, jadi saya bergegas naik
ke lantai atas untuk berpakaian, bergegas pula keluar dari kamar. Mendengar apa
yang saya kira adalah suara gong yang kedua, hingga saya cepat-cepat berlari
menuruni tangga. Pada malam pertama berada di sini, saya terlambat satu menit
pada waktu makan malam, dan Hugo mengatakan bahwa hal itu hampir saja merusak
kesempatan kami dengan pak tua itu. Oleh karenanya saya berlari cepat. Hugo tak
jauh di depan saya. Lalu terdengar suara letupan yang aneh, dan Hugo berkata
bahwa itu suara letupan gabus sampanye. Tapi Snell mengatakan bukan, dan menurut
saya suara itu memang tidak berasal dari ruang makan. Menurut Miss Lingard,
suara itu berasal dari lantai atas, tapi pokoknya kami sepakat bahwa itu suara
knalpot mobil, dan kami pun masuk ke ruang tamu utama bersama-sama, dan
melupakan peristiwa itu."
"Apakah sesaat pun tak terpikir oleh Anda bahwa Sir Gervase mungkin telah
menembak dirinya sendiri?" tanya Poirot.
"Coba katakan, apakah seharusnya saya berpikiran begitu" Pria tua itu
kelihatannya sedang senang-senang membayangkan dirinya orang penting. Tak pernah
terbayang oleh saya dia akan melakukan hal semacam itu. Tak terpikirkan pula
oleh saya mengapa dia berbuat demikian. Saya rasa karena dia tak waras."
"Suatu kejadian yang tak menguntungkan."
"Sangat tak menguntungkan-bagi saya dan Hugo. Saya dengar dia sama sekali tidak
mewariskan apa-apa pada Hugo, atau boleh dikatakan tak ada."
"Siapa yang berkata begitu pada Anda?"
"Hugo mendengarnya dari Forbes."
"Nah, Miss Cardwell..." Mayor Riddle berhenti sebentar. "Saya rasa sekian saja.
Apakah menurut Anda Miss Chevenix-Gore cukup sehat untuk turun dan berbicara
dengan kami?" "Saya rasa begitu. Akan saya sampaikan padanya."
Poirot menyela. "Sebentar, Mademoiselle. Pernahkah Anda melihat ini?"
Diperlihatkannya pensil berbentuk peluru itu.
"Oh ya, kami melihatnya waktu kami main bridge petang tadi.
Saya rasa itu milik Kolonel Bury."
"Apakah pensil ini dibawanya pergi setelah permainan usai?"
"Saya sama sekali tidak tahu."
"Terima kasih, Mademoiselle. Sekian saja."
"Baik, akan saya beritahu Ruth."
Ruth Chevenix-Gore memasuki ruangan itu bagaikan seorang ratu.
Wajahnya merah, kepalanya tegak. Tapi, sebagaimana mata Susan Cardwell, matanya
pun tampak waspada. Ia mengenakan gaun yang sama dengan saat Poirot tiba.
Warnanya warna buah aprikot muda.
Pada bahunya tersemat setangkai bunga mawar merah muda.
Tadinya bunga itu pasti segar dan mekar, tapi sekarang sudah layu.
"Bagaimana?" tanya Ruth.
"Saya minta maaf sebesar-besarnya harus mengganggu Anda,"
Mayor Riddle memulai. Gadis itu memotong kata-kata Riddle.
"Anda memang harus mengganggu saya. Anda harus
mengganggu semua orang. Saya bisa menyediakan waktu untuk Anda. Saya sama sekali
tidak tahu mengapa ayah saya bunuh diri.
Yang bisa saya katakan hanyalah bahwa itu sama sekali tak sesuai dengan
dirinya." "Adakah Anda melihat sesuatu yang janggal pada sikapnya hari ini" Apakah dia
tampak tertekan, atau kacau luar biasa" Adakah sesuatu yang tak normal?"
"Saya rasa tidak. Saya tak melihatnya..."
"Kapan Anda terakhir kali melihatnya?"
"Pada waktu minum teh."
Poirot angkat bicara, "Anda tidak pergi ke ruang kerja sesudah itu?"
"Tidak. Terakhir saya melihatnya adalah di dalam ruangan ini.
Duduk di situ." Ia menunjuk ke sebuah kursi.
"Oh, begitu. Apakah Anda mengenali pensil ini, Mademoiselle?"
"Itu milik Kolonel Bury."
"Adakah Anda melihatnya akhir-akhir ini?"
"Saya tidak begitu ingat."
"Apakah Anda mengetahui sesuatu tentang ketidaksepakatan antara, Sir Gervase dan
Kolonel Bury?" "Maksud Anda, mengenai Paragon Rubber Contpany?"
"Benar. "Saya rasa tahu. Ayah saya marah sekali!"
"Mungkin karena dia menganggap dirinya ditipu?"
Ruth mengangkat bahunya. "Dia tak mengerti apa-apa tentang keuangan."
Kata Poirot, "Bolehkah saya menanyakan sesuatu, Mademoiselle" Suatu
pertanyaan yang agak lancang?"
"Tentu." "Begini... apakah Anda sedih karena... ayah Anda meninggal?"
Gadis itu memandanginya. "Tentu saya sedih. Saya tak mau berpura-pura menangis. Tapi saya akan kehilangan
dia... saya sayang sekali pada pak tua itu.
Begitulah kami selalu menyebutnya, saya dan Hugo. Anda tahu kan, itu cara orang
di zaman primitif, bahkan dari masa prasejarah menyebutnya. Kedengarannya tak
sopan, tapi sebenarnya ada banyak rasa kasih sayang di baliknya. Dia memang
keledai tua yang paling tak waras yang pernah hidup!"
"Anda menarik perhatian saya, Mademoiselle."
"Pak tua itu otaknya seperti otak kutu! Maaf saya harus mengatakannya, tapi itu
memang benar. Dia memang tak punya kemampuan untuk pekerjaan yang memerlukan
otak. Tapi ingat, dia punya kepribadian! Beraninya luar biasa! Dia sampai bisa
pergi ke kutub untuk berkarya, juga mampu berduel. Saya pikir dia selalu berani
begitu karena dia tahu benar bahwa dia tak punya otak. Siapa pun bisa
menipunya." Poirot mengeluarkan surat dari sakunya.
"Silakan baca ini, Mademoiselle."
Gadis itu membacanya sampai selesai, lalu mengembalikannya.
"Jadi, itulah sebabnya Anda kemari!"
"Apakah surat itu memberikan suatu bayangan pada Anda?"
Gadis itu menggeleng. "Tidak. Tapi mungkin itu benar. 'Siapa pun bisa merampok ayah saya tersayang
yang malang itu', kata John, agen yang digantikannya telah banyak sekali menipu
Ayah. Soalnya Pak Tua itu begitu agung dan besar, hingga dia tak pernah
memperhatikan soal-soal kecil! Dia merupakan umpan empuk bagi para penjahat."
"Anda melukiskan gambaran yang berbeda tentang dirinya, Mademoiselle, lain
daripada yang dipercayai umum."
"Oh, soalnya dia pandai sekali menggunakan samaran. Vanda, ibu saya,
mendukungnya dalam segala hal. Ayah dengan senang dan angkuh bersikap seolah-
olah dia adalah Tuhan yang Mahakuasa.
Sebab itu, saya senang dia meninggal. Itulah yang terbaik baginya."
"Saya kurang mengerti, Mademoiselle."
Dengan murung Ruth berkata,
"Hal itu mulai menggerogoti dirinya. Tak lama lagi dia akan terpaksa harus
dikurung. Soalnya orang banyak sudah mulai membicarakan hal itu."
"Tahukah Anda, Mademoiselle, bahwa dia punya niat untuk membuat surat wasiat
baru, di mana dinyatakan bahwa Anda baru akan mewarisi kekayaannya bila Anda
menikah dengan Mr. Trent?"
Gadis itu berseru, "Sungguh tak masuk akal! Tapi saya yakin itu bisa dibatalkan oleh undang-undang.
Saya yakin bahwa orang tak bisa mendiktekan pada orang lain dengan siapa dia
harus menikah." "Seandainya dia benar-benar telah menandatangani surat wasiat itu, maukah Anda
tunduk pada persyaratan itu, Mademoiselle?"
Ia terbelalak. "Saya... saya..."
Kata-katanya terhenti. Selama beberapa menit ia duduk diam sambil memandangi
sandalnya yang tergantung di telapak kakinya.
Sepotong kecil tanah terlepas dari sol sandal itu dan jatuh ke atas alas lantai.
Tiba-tiba Ruth Chevenix-Gore berkata
"Tunggu!" Ia bangkit dan berlari keluar dari ruangan itu dan, langsung kembali dengan
Kapten Lake di sampingnya.
"Saya harus mengatakan ini," katanya dengan agak terengah.
"Sebaiknya Anda tahu sekarang. Saya dan John sudah menikah tiga minggu yang lalu
di London." BAB 10 Di antara mereka berdua, Kapten Lake-lah yang kelihatan lebih malu.
"Ini suatu kejutan besar, Miss Chevenix-Gore... eh, saya harus mengatakan Mrs.
Lake," kata Mayor Riddle. "Apakah tak ada orang yang tahu tentang pernikahan
Anda berdua ini?" "Tidak, kami sangat merahasiakannya. John tak ingin orang-orang mengetahuinya."
Dengan agak tergagap, Lake berkata,
"Sa... saya tahu bahwa cara ini kelihatan agak busuk. Seharusnya saya langsung
menghadap Sir Gervase..."
Ruth menyela, "Dan mengatakan padanya bahwa kau ingin mengawini putrinya, sehingga kau
kemudian ditendang keluar, dan mungkin dia lalu menghapuskan semua warisan
untukku, lalu mengamuk di seluruh rumah" Padahal kita menganggap diri kita telah
berkelakuan begitu baik! Percayalah, carakulah yang terbaik! Bila kita sudah
melakukan sesuatu, ya sudah. Pasti masih akan ada pertengkaran, tapi dia akan
bisa mengatasinya." Lake masih kelihatan murung. Poirot bertanya,
"Kapan Anda berdua berniat menyampaikan berita itu pada Sir Gervase?"
Ruth menjawab, "Saya sedang menyiapkan segala-galanya. Ayah memang sudah agak curiga terhadap
saya dan John, jadi saya pura-pura
mengalihkan perhatian saya pada Godfrey. Ayah tentu akan marah sekali tentang
perhatian saya itu. Saya pikir, dengan demikian berita bahwa saya sudah menikah
dengan John, boleh dikatakan akan melegakannya sedikit!"
"Adakah seorang pun yang tahu tentang pernikahan ini?"
"Ya, saya sudah menceritakannya pada Vanda. Saya ingin dia berada di pihak
saya." "Dan apakah Anda berhasil?"
"Ya. Soalnya Vanda kurang setuju saya menikah dengan Hugo; saya rasa karena dia
sepupu saya. Agaknya dia menyadari bahwa keluarga ini sudah cukup tak waras,
sehingga dengan pernikahan kami, mungkin kami akan punya anak-anak yang lebih
gila lagi. Mungkin itu tak masuk akal, karena saya kan hanya anak yang diadopsi. Kalau tak
salah, saya ini anak seorang sepupu jauh sekali."
"Yakinkah Anda bahwa Sir Gervase sama sekali tidak curiga?"
"Oh, tidak." Poirot berkata, "Benarkah itu, Kapten Lake" Dalam pembicaraan Anda dengan Sir Gervase petang
tadi, yakin benarkah Anda bahwa soal itu tidak disinggung?"
"Tidak, Sir. Tidak disinggung."
"Karena, Kapten Lake, ada bukti bahwa setelah berbicara dengan Anda, keadaan Sir
Gervase sangat kacau, dan lebih dari sekali dia berbicara tentang kehancuran
kehormatan keluarga."
"Soal itu tidak disinggung," kata Lake lagi.
Wajahnya jadi pucat sekali.
"Itukah terakhir kali Anda melihat Sir Gervase?"
"Ya, seperti yang sudah saya katakan."
"Di manakah Anda pada jam delapan lewat delapan menit malam ini?"
"Di mana saya" Di rumah saya tentu. Di ujung desa, kira-kita tujuh ratus lima
puluh meter dari sini."
"Tidakkah Anda datang ke Hamborough Close kira-kira waktu itu?"
"Tidak." Poirot berpaling pada gadis itu.
"Berada di manakah Anda, Mademoiselle, waktu ayah Anda
menembak dirinya?" "Di kebun." "Di kebun" Jadi, Anda mendengar suara tembakan itu?"
"Ya, saya mendengarnya. Tapi saya tidak terlalu memikirkannya.
Saya kira itu seseorang yang menembak kelinci, meskipun, sekarang saya ingat,
saya memang berpikir suaranya dekat sekali."
"Lewat mana Anda masuk ke rumah?"
"Lewat pintu." Dengan kepalanya, Ruth menunjukkan pintu yang ada di
belakangnya. "Adakah seseorang di dalam ini?"
"Tak ada. Tapi Hugo, Susan, dan Miss Lingard boleh dikatakan langsung masuk dari
ruang depan. Mereka berbicara tentang penembakan, pembunuhan, dan sebagainya.".
"Saya mengerti," kata Poirot. "Ya, saya rasa saya mengerti sekarang."
Dengan agak ragu Mayor Riddle berkata,
"Yah... eh... terima kasih. Saya rasa cukup sekian saja untuk sekarang."
Ruth dan suaminya berbalik, lalu meninggalkan ruangan itu.
"Sialan sekali," kata Mayor Riddle, lalu menambahkan dengan agak kesal, "Makin
lama makin sulit saja menyelesaikan urusan ini."
Poirot mengangguk. Ia telah memungut sepotong tanah yang jatuh dari sandal Ruth
dan memegangnya sambil merenung.
"Seperti cermin yang pecah di dinding," katanya
"Cermin almarhum. Setiap fakta yang kita temui memperlihatkan suatu sisi yang
sulit dari almarhum. Orang menggambarkan dirinya dari banyak sisi. Kita akan
segera mendapatkan gambaran yang lengkap.
Ia bangkit dan membuang gumpalan kecil tanah itu ke keranjang sampah.
"Satu hal akan saya katakan pada Anda, sahabatku. Petunjuk dari seluruh misteri
ini adalah cermin itu. Masuklah ke ruang kerja dan lihat sendiri kalau Anda tak
percaya." Dengan tegas Mayor Riddle berkata,
"Bila ini suatu pembunuhan, Andalah yang harus
membuktikannya. Kalau saya sih, saya yakin bahwa ini perbuatan bunuh diri. Anda
kan mendengar apa yang dikatakan gadis itu tentang agen yang digantikan oleh
Lake, yang telah menipu Sir Gervase" Saya yakin Lake mengatakan hal itu demi
kepentingannya sendiri. Mungkin dia juga suka korupsi sedikit. Sir Gervase
mencurigainya lalu meminta Anda datang karena dia tidak tahu seberapa jauh
hubungan antara Lake dan Ruth. Lalu petang tadi Lake mengatakan padanya bahwa
mereka sudah menikah. Itulah yang menghancurkan Gervase. Kini sudah 'terlambat'
untuk berbuat sesuatu. Maka dia memutuskan untuk meninggalkan segala-galanya.
Otaknya, yang dalam keadaan terbaik pun memang tak pernah seimbang, mengalami
kegagalan. Menurut saya, itulah yang terjadi.
Bisakah Anda membantahnya?"
Poirot berdiri diam di tengah-tengah ruangan.
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang harus saya katakan" Ini: Saya tidak membantah teori Anda, tapi itu
masih belum lengkap. Ada beberapa hal yang tidak diperhitungkan."
"Seperti?" "Perbedaan-perbedaan suasana hati Sir Gervase hari ini, ditemukannya pensil
Kolonel Bury, bukti yang dikemukakan oleh Miss Cardwell yang sangat penting,
bukti yang dikemukakan Miss Lingard mengenai urut-urutan orang-orang itu turun
ke ruang makan, posisi kursi Sir Gervase waktu dia ditemukan, kantong kertas
yang berisi jeruk, dan akhirnya, petunjuk yang paling penting, yaitu cermin yang
pecah." Mayor Riddle terbelalak. "Apakah Anda ingin mengemukakan bahwa kisah yang tak
berujung pangkal itu masuk akal?" tanyanya.
Dengan suara halus Hercule Poirot menjawab,
"Sebelum besok, saya harap saya sudah bisa menyelesaikannya."
BAB 11 Esok paginya, begitu fajar merekah, Hercule Poirot sudah terbangun. Ia diberi
kamar tidur di bagian timur rumah.
Ia bangkit dari tempat-tidur, lalu membuka kerai jendela dan merasa puas melihat
matahari sudah terbit, apalagi pagi itu ternyata cerah.
Ia mulai berpakaian dengan sangat teliti, seperti biasanya. Setelah siap
berpakaian, dibungkusnya dirinya dalam mantel tebal dan diikatkannya selendang
penghangat ke lehernya. Lalu dengan berjinjit ia keluar dari kamarnya, berjalan di sepanjang rumah yang
masih sepi, masuk ke ruang tamu utama.
Dibukanya jendela-jendela yang panjang perlahan-lahan, lalu ia keluar
melewatinya, ke kebun. Kini matahari sudah terbit sepenuhnya. Udara berkabut. Hercule Poirot menelusuri
teras yang mengelilingi sisi rumah, sampai ia tiba di jendela ruang kerja Sir
Gervase. Ia berhenti dan mengamat-amati keadaan di situ.
Tepat di luar jendela ada jalur rumput yang sejajar dengan rumah.
Di depannya ada sebuah bedeng lebar yang ditumbuhi beraneka macam tanaman.
Bunga-bunga michaelmas daisy masih
memperlihatkan keindahannya. Di depan bedeng terdapat jalan yang bercabang, dan
di situlah Poirat berdiri. Ada sebidang tanah berumput yang memanjang di
belakang bedeng, ke arah teras. Poirot mengamatinya dengan teliti, lalu
menggeleng. Dialihkannya perhatiannya pada bedeng di kiri-kanannya.
Ia mengangguk perlahan-lahan. Di bedeng sebelah kanan tampak jelas bekas jejak
kaki di tanah yang lembek.
Sedang ia memandanginya sambil mengerutkan alis, telinganya menangkap suatu
bunyi dan ia mendongak dengan mendadak.
Di atas, sebuah jendela terbuka. Tampak olehnya kepala yang berambut merah.
Dilihatnya wajah cerdas Susan Cardwell yang dikelilingi rambut lebat berwarna
merah keemasan. "Apa yang Anda lakukan pada jam begini, M. Poirot" Sedang memata-matai, ya?"
Poirot membungkuk dengan sikap sopan sekali.
"Selamat pagi, Mademoiselle. Ya, benar apa yang Anda katakan itu. Anda sedang
melihat seorang detektif - boleh saya katakan detektif besar sedang melakukan
kegiatan mata-mata!"
Kata-katanya agak membesarkan diri. Susan memiringkan
kepalanya. "Itu harus saya catat dalam buku harian saya," katanya. "Bolehkah saya turun dan
membantu?" "Saya akan merasa tersanjung."
"Mula-mula saya kira Anda pencuri. Lewat mana Anda keluar?"
"Lewat jendela panjang ruang tamu utama."
"Tunggu sebentar, saya turun."
Gadis itu menepati kata-katanya. Poirot tampak masih berada di tempat yang sama
benar dengan waktu Susan mula-mula
melihatnya. "Pagi sekali Anda bangun, Mademoiselle?"
"Saya tak bisa tidur nyenyak. Saya mengalami perasaan tidak enak seperti kalau
kita terbangun mendadak pada jam lima subuh."'.
"Tidak seawal itu!"
"Rasanya begitu! Sekarang, detektif besar, apa yang akan kita cari?"
"Coba Anda lihat, Mademoiselle, ini jejak kaki orang."
"Memang.' "Ada empat," lanjut Poirot. "Mari, akan saya perlihatkan pada Anda. Dua ke arah
jendela, dan dua berasal dari situ."
"Jejak kaki siapa, ya" Apakah jejak kaki tukang kebun?"
"Mademoiselle, Mademoiselle! Jejak kaki itu adalah bekas sepatu kecil bertumit
tinggi seorang wanita. Lihatlah dan yakinkan diri Anda.
Coba Anda menginjak tanah di sebelahnya sini."
Susan bimbang sejenak, lalu diinjakkannya kakinya dengan hati-hati ke tanah yang
ditunjuk PoiroL Ia memakai sepatu sandal kecil bertumit tinggi dari kulit
berwarna cokelat tua. ",Lihatlah, jejak kaki Anda hampir sama besarnya. Hampir, tapi tak sama. Yang
lain ini adalah bekas kaki yang agak lebih panjang daripada kaki Anda. Mungkin
kaki Miss Chevenix-Gore, atau kaki Miss Lingard, atau bahkan kaki Lady Chevenix-
Gore." "Bukan kaki Lady Chevenix-Gore - kakinya kecil. Orang-orang zaman itu memang
berusaha supaya kakinya kecil. Sedangkan Miss Lingard memakai sepatu bertumit
datar yang lucu." "Kalau begitu, itu bekas sepatu Miss Chevenix-Gore. Oh ya, saya ingat dia
berkata dia keluar ke kebun semalam."
Poirot berjalan mendahului, kembali ke rumah.
"Apakah kita masih akan memata-matai?" tanya Susan.
"Tentu, Sekarang kita akan pergi ke ruang kerja Sir Gervase."
Ia berjalan mendahului. Susan Cardwell mengikutinya.
Pintu kamar itu masih tergantung dalam keadaan menyedihkan.
Situasi di dalam kamarnya masih seperti semalam. Poirot membuka gorden-gorden
dan membiarkan sinar pagi masuk.
Ia berdiri memandang ke luar di tepi, lalu berkata,
"Saya rasa, Mademoiselle, Anda tidak banyak pengalaman tentang pencuri?"
Susan Cardwell menggelengkan kepalanya yang berambut merah dengan rasa menyesaL
"Memang tidak, M. Poirot."
"Kepala Polisi juga tidak beruntung karena tak banyak
berhubungan dengan mereka. Hubungannya dengan dunia kriminal benar-benar
bersifat resmi. Saya tidak demikian. Pada suatu kali, saya sempat mengobrol
dengan senang dengan seorang pencuri. Dia menceritakan sesuatu yang menarik ,
tentang pintu-pintu - suatu akal yang kadang-kadang bisa dimanfaatkan bila
pengunciannya tidak cukup kuat."
Sambil berbicara diputarnya gagang pintu di sebelah kiri, penggalangnya yang di
tengah keluar dari lubangnya yang ada di tanah, dan Poirot pun bisa menarik
kedua daun pintu itu ke arah dirinya. Setelah membukanya lebar-lebar, ditutupnya
lagi tanpa memutar gagangnya, supaya penggalangnya tak sampai masuk ke
lubangnya. Dilepaskannya gagang itu, lalu ia menunggu sebentar,
kemudian dengan cepat ditinjunya daun pintu itu di bagian tengah penggalangnya.
Karena pukulan itu, penggalangnya masuk ke lubangnya di tanah; gagangnya
berputar sendiri. "Mengertikah Anda, Mademoiselle?"
"Saya rasa saya mengerti."
Wajah Susan jadi agak pucat.
"Sekarang pintunya tertutup. Tak mungkin bisa masuk ke sebuah kamar bila
pintunya tertutup, tapi orang bisa keluar dari kamar itu, menutup pintu itu dari
luar, lalu memukulnya seperti yang saya lakukan tadi, dan karena gagangnya
berputar penyangganya pun masuk ke tanah. Setiap orang yang melihatnya akan
mengatakan bahwa pintu itu tertutup dari dalam."
"Begitukah" suara Susan agak bergetar, "begitukah kejadiannya semalam?"
"Ya, saya rasa begitu, Mademoiselle."
Dengan kasar Susan berkata,
"Sepatah kata pun saya tak percaya."
Poirot tak menyahut. Ia berjalan ke arah rak perapian, lalu berbalik dengan
tajam. "Mademoiselle, saya membutuhkan Anda sebagai saksi. Saya sudah punya satu saksi.
Mr. Trent. Dia melihat saya menemukan pecahan kaca kecil dari cermin ini;
semalam saya katakan hal itu padanya. Pada polisi saya berkata apa adanya. Saya
bahkan berkata pada Kepala Polisi bahwa petunjuk yang paling berharga adalah
cermin yang pecah itu. Tapi dia tidak menerima pandangan saya.
Sekarang Anda menjadi saksi bahwa saya memasukkan pecahan cermin itu. Ingat,
saya juga sudah meminta perhatian Mr. Trent mengenai benda itu, ke dalam amplop
kecil - begini." Ia berbuat seperti yang dikatakannya. "Dan saya menulis pada
amplop itu - begini- lalu saya lem. Anda saksinya, ya, Mademoiselle?"
"Ya, tapi saya tak tahu apa artinya."
Poirot berjalan ke sisi lain ruangan itu. Ia berdiri di depan meja tulis, lalu
menatap cermin yang sudah hancur pada dinding di hadapannya.
"Akan saya katakan apa artinya, Mademoiselle. Seandainya Anda berdiri di sini
semalam, dan melihat ke cermin itu, Anda pasti bisa melihat di dalamnya bahwa
suatu pembunuhan telah dilakukan..."
BAB 12 Baru sekali itulah selama hidupnya, Ruth ChevenixGore-yang sekarang bemama Ruth
Lake - turun pada waktunya untuk makan pagi. Hercule Poirot berada di ruang
depan dan memintanya berhenti sebentar sebelum ia masuk ke ruang makan.
"Ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan Madame."
"Apa?" "Anda berada di kebun semalam. Apakah waktu itu Anda
menginjak bedeng bunga di luar pintu kamar kerja Sir Gervase?"
Ruth memandanginya. "Ya, dua kali."
"Oh! Dua kali. Dua kali bagaimana?"
"Pertama kali saya memetik bunga michaelmas daisy. Waktu itu jam tujuh."
"Bukankah itu waktu yang aneh untuk memetik bunga?"
"Ya, sebenarnya aneh. Kemarin pagi saya sudah merangkai bunga, tapi setelah
minum teh Vanda berkata bahwa bunga di meja makan sudah tidak bagus. Saya kira
bunga-bunga itu tak apa-apa, jadi saya tidak merangkainya dalam keadaan segar."
"Tapi, ibu Anda meminta Anda merangkai bunga Benarkah itu?"
"Ya. Jadi, saya keluar pada jam tujuh kurang sedikit. Saya mengambilnya dari
bedeng bagian itu karena boleh dikatakan tak ada orang yang pergi ke bagian itu,
jadi tak sampai merusak kebunnya."
"Ya, ya, tapi yang kedua kali" Kata Anda, Anda pergi ke situ untuk kedua
kalinya?" "Itu tak lama sebelum makan malam. Baju saya ketetesan minyak rambut - di dekat
bahu. Saya tak ingin ganti, sedangkan bunga-bunga tiruan saya tak ada yang cocok
dengan warna kuning baju saya itu. Saya ingat, waktu sedang memetik bunga
michaelmas daisy, saya melihat sekuntum mawar yang terlambat mekar, maka saya
cepat-cepat keluar untuk dan menyematkannya di bahu baju saya itu."
Poirot mengangguk perlahan-lahan.
"Ya, saya ingat bahwa Anda memakai sekuntum mawar semalam.
Jam berapa Anda memetik bunga mawar itu, Madame?"
"Saya tak tahu pasti."
"Tapi itu penting, Madame. Ingat-ingatlah; pikir."
Ruth mengerutkan alisnya. Cepat-cepat ia melihat pada Poirot, lalu membuang muka
lagi. "Saya tak bisa mengatakannya dengan pasti," katanya akhirnya.
"Waktu itu - oh ya, tentu-waktu itu pasti kira-kira jam delapan lewat lima
menit. Soalnya dalam perjalanan kembali ke rumah, saya dengar gong berbunyi,
kemudian suara letusan yang aneh itu. Saya bergegas karena saya kira itu adalah
gong yang kedua, bukan gong yang pertama."
"Oh, Anda mengira begitu" Lalu apakah Anda tidak mencoba membuka pintu ruang
kerja saat Anda berdiri di bedeng bunga itu?"
"Terus terang saya mencobanya. Saya pikir bisa terbuka, dan lewat situ saya bisa
masuk lebih cepat. Tapi pintu itu terkunci."
"Jadi, semuanya bisa dijelaskan. Saya ucapkan selamat pada Anda, Madame."
Ruth memandanginya. "Apa maksud Anda?"
"Bahwa Anda bisa menjelaskan semuanya, tentang bekas tanah di sepatu Anda,
tentang bekas jejak kaki Anda di bedeng bunga, tentang sidik jari Anda yang
terdapat di bagian luar pintu. Mudah sekali."
Sebelum Ruth menjawab, Miss Lingard bergegas menuruni
tangga. Wajahnya merah padam, dan ia tampak agak terkejut waktu melihat Poirot
dan Ruth berdiri di situ.
"Maafkan saya," katanya. "Apakah ada sesuatu?"
Dengan marah Ruth berkata,
"Saya rasa M. Poirot sudah jadi gila!"
Ia cepat-cepat melewati mereka dan masuk ke ruang makan.
Dengan wajah terkejut Miss Lingard berpaling pada Poirot.
Poirot menggeleng. "Sesudah sarapan, akan saya jelaskan," katanya.
"Saya ingin semua orang berkumpul di ruang kerja Sir Gervase pada jam sepuluh. "
Waktu memasuki ruang makan, diulanginya permintaan itu.
Susan Cardwell menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangannya pada Ruth. Waktu
Hugo berkata, "Ha" Ada apa rupanya?" Susan menyikut sisi tubuhnya kuat-kuat, dan
Hugo langsung menutup mulutnya dengan patuh.
Setelah selesai sarapan, Poirot bangkit dan berjalan ke arah pintu.
Ia berbalik, lalu mengeluarkan sebuah arloji kuno yang besar.
"Sekarang jam sepuluh kurang lima menit. Lima menit lagi, di ruang kerja."
Poirot melihat ke sekelilingnya. Wajah-wajah yang penuh perhatian membalas
pandangannya. Semua orang sudah berada di
situ, kecuali satu orang, tapi kemudian yang satu itu pun masuk.
Lady Chevenix-Gore melangkah halus, seolah-olah meluncur. Ia tampak kurus dan
sakit. Poirot menarik sebuah kursi besar untuknya, dan ia pun duduk.
Wanita itu mengangkat matanya, melihat pada cermin yang pecah. Ia tampak
bergidik, lalu agak memutar kursinya.
"Gervase masih ada di sini," katanya dengan nada yakin. "Kasihan Gervase. Dia
akan segera bebas." Poirot menelan ludahnya, lalu berkata pada semua orang,
"Saya sudah meminta Anda sekalian untuk berkumpul di sini, supaya Anda bisa
mendengar fakta-fakta dari perbuatan bunuh diri, Sir Gervase."
"Itu sudah nasib," kata Lady Chevenix-Gore. "Gervase memang kuat, tapi nasibnya
lebih kuat." Kolonel Bury bergerak ke depan sedikit.
"Vanda, sayangku."
Wanita itu mendongak padanya, tersenyum, lalu mengangkat tangannya. Kolonel
menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya.
Dengan halus wanita itu berkata, "Kaulah hiburanku, Ned."
Dengan tajam Ruth berkata,
"Apakah kami harus berkesimpulan, M. Poirot, bahwa Anda sudah memastikan sebab
dari perbuatan bunuh diri ayah saya itu?"
Poirot menggeleng. "Tidak, Madame."
"Lalu apa maksud cerita yang tak berujung pangkal ini?"
Dengan tenang Poirot berkata,
"Saya tak tahu apa yang menyebabkan Sir Gervase bunuh diri, karena Sir Gervase
Chevenix-Gore tidak bunuh diri. Dia tidak membunuh dirinya sendiri. Dia
dibunuh." "Dibunuh?" Beberapa suara mengulangi perkataan itu. Wajah-wajah yang terkejut
menoleh ke arah Poirot. Lady Chevenix-Gore mendongak dan berkata, "Dibunuh" Ah,
tidak!" lalu menggeleng perlahan-lahan.
"Dibunuh, kata Anda?" Kini Hugo, yang berbicara. "Tak mungkin.
Tak ada seorang pun di dalam ruangan itu waktu kita masuk dengan paksa. Pintu
dan jendela-jendela terkunci. Pintu bahkan terkunci dari dalam, dan kuncinya ada
dalam saku paman saya. Bagaimana mungkin dia dibunuh?"
Meskipun demikian, dia dibunuh."
"Dan pembunuhnya saya rasa lolos lewat lubang kunci pintu, ya?"
kata Kolonel Bury dengan nada tak percaya. "Atau terbang lewat cerobong asap?"
"Pembunuhnya", kata Poirot, "keluar lewat jendela panjang. Mari saya perlihatkan
caranya." Poirot pun mengulangi apa yang telah dilakukannya dengan jendela panjang itu.
"Mengertikah Anda?" katanya. "Begitulah cara melakukannya!
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejak semula saya sudah menganggap tak mungkin Sir Gervase bunuh diri. Dia
memiliki ego yang besar sekali, dan orang macam itu tak mungkin bunuh diri!
"Lalu ada lagi hal-hal lain! Yang kita lihat, sebentar sebelum kematiannya, Sir
Gervase duduk di meja tulisnya, menggoreskan kata MAAF pada sehelai kertas, lalu
menembak dirinya sendiri. Tapi sebelum tindakannya yang terakhir itu, entah
mengapa dia mengubah letak kursinya, memutarnya sedemikian rupa hingga terletak
menyamping dari meja kerja. Mengapa" Pasti ada alasannya.
Saya mulai mendapat titik terang ketika saya menemukan sebuah pecahan cermin
yang melekat pada dasar sebuah patung perunggu yang berat.
"Saya bertanya sendiri, bagaimana pecahan cermin itu bisa sampai di situ" Dan
jawabannya saya temukan sendiri. Cermin itu pecah bukan oleh peluru, melainkan
karena dihantam dengan patung
perunggu yang berat itu. Jadi, cermin itu dipecahkan dengan sengaja.
"Tapi mengapa" Saya kembali ke meja kerja dan melihat ke kursi.
Nah, sekarang saya melihatnya. Segala-galanya salah. Tak ada orang yang akan
bunuh diri memutar kursinya dulu, membungkuk di tepinya, lalu menembak dirinya
sendiri. Semuanya itu sudah diatur.
Perbuatan bunuh diri itu suatu tipuan belaka!
"Sekarang saya tiba pada sesuatu yang sangat penting. Kesaksian Miss Cardwell.
Miss Cardwell mengatakan dia bergegas turun ke lantai bawah semalam karena dia
mengira gong yang kedua sudah berbunyi. Maksudnya, dia mengira sudah mendengar
gong yang pertama berbunyi sebelumnya.
"Sekarang bayangkan, seandainya Sir Gervase duduk di meja kerjanya dengan cara
yang biasa waktu dia ditembak, ke mana larinya pelurunya. Sesudah melalui garis
lurus, peluru itu akan melewati pintu bila pintu terbuka, dan akhirnya mengenai
gong! "Mengertikah Anda sekarang, betapa pentingnya pernyataan Miss Cardwell" Tak ada
orang lain yang mendengar suara gong yang pertama itu, tapi kamar Miss Cardwell
terletak langsung di atas kamar ini, dan dia berada dalam posisi terbaik untuk
mendengarnya. Bukankah bunyi gong itu hanya terdiri atas satu nada"
"Tak mungkin Sir Gervase menembak dirinya sendiri. Seseorang yang sudah
meninggal tak mungkin bangkit, menutup pintu, menguncinya, lalu mengatur
duduknya dalam posisi yang enak! Ada orang lain yang terlibat, dan oleh
karenanya itu bukan bunuh diri, melainkan pembunuhan. Seseorang yang
kehadirannya dengan mudah diterima oleh Sir Gervase, yang berdiri di sampingnya
dan bercakap-cakap dengannya. Mungkin Sir Gervase sedang sibuk menulis. Si
pembunuh mengangkat pistolnya ke pelipis kanannya dan menembak. Selesailah
perbuatan itu! Lalu dia harus bertindak cepat!
Si pembunuh memasang sarung tangan. Pintu dikuncinya, kuncinya diselipkan ke
saku Sir Gervase. Tapi bagaimana kalau satu nada gong yang nyaring tadi
terdengar" Orang akan berpikir bahwa pintu terbuka, tidak tertutup, waktu pistol
itu ditembakkan. Maka dia
memutar kursi Sir Gervase, tubuhnya diatur kembali, jemari si mati ditekankan
pada pistol, dan cerminnya dipecahkan dengan sengaja.
Si pembunuh keluar lewat jendela panjang, menutupnya kembali, lalu keluar, bukan
dengan menginjak rumput, melainkan menginjak bedeng- bunga, tempat bekas jejak
kaki bisa dihapus dengan mudah sesudahnya; lalu dia kembali ke rumah lewat
samping dan masuk ke ruang tamu utama."
Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi,
"Hanya ada satu orang yang berada di kebun di luar waktu tembakan itu
dilepaskan. Orang itu meninggalkan bekas jejak kakinya di bedeng bunga dan sidik
jarinya di bagian luar jendela panjang."
Ia mendatangi Ruth. "Dan perbuatan itu ada motifnya, bukan" Ayah Anda sudah mendengar tentang
pernikahan Anda yang diam-diam. Dia bersiap-siap akan menghapuskan nama Anda
dari surat wasiat." "Itu bohong!" Suara Ruth terdengar mengejek dan jelas. "Sama sekali tak ada
kebenaran dalam kisah Anda itu. Itu bohong, dari awal sampai akhir!"
"Kesaksian yang melemahkan Anda kuat sekali, Madame. Dewan juri mungkin
mempercayai Anda. Mungkin juga tidak!"
"Dia tak perlu menghadapi juri."
Semua orang berpaling - terkejut. Miss Lingard bangkit. Wajahnya berubah.
Seluruh tubuhnya, bergetar.
"Sayalah yang menembaknya. Saya akui itu. Saya punya alasan tersendiri. Saya..
sudah beberapa lama saya menunggu. M. Poirot -
benar. Saya mengikutinya kemari. Sebelumnya saya telah mengambil pistolnya dari
laci. Saya berdiri di sampingnya, membicarakan soal buku, lalu saya menembaknya.
Waktu itu jam delapan lewat sedikit.
Pelurunya mengenai gong. Tak terpikir oleh saya bahwa peluru itu akan menembus
kepalanya seperti itu: Tak ada waktu lagi untuk mencarinya. Maka saya kunci
pintu dan saya masukkan kuncinya ke dalam sakunya. Lalu saya putar letak
kursinya, saya pecahkan cerminnya, lalu, setelah menggoreskan kata MAAF pada secarik kertas, saya keluar
lewat jendela panjang dan menutupnya kembali seperti yang dipelihatkan oleh M.
Poirot. Saya menginjak bedeng bunga, tapi saya hapus kembali dengan sebuah garu
yang sudah saya siapkan di situ. Lalu saya kembali ke rumah dan ke ruang tamu
utama. Jendela panjangnya saya biarkan terbuka. Saya tidak tahu bahwa Ruth
keluar lewat situ. Pasti dia datang dari bagian depan, sedangkan saya kembali
lewat belakang. Soalnya saya harus mengembalikan garu itu ke gudang. Saya
menunggu di ruang tamu utama sampai saya dengar seseorang menuruni tangga dan
Snell pergi menuju gong, lalu..."
Ia melihat ke arah Poirot.
"Anda tidak tahu apa yang saya lakukan kemudian?"
"Oh ya, saya tahu. Saya menemukan kantong kertas itu di keranjang sampah.
Sungguh bagus akal Anda. Anda lakukan apa yang suka dilakukan oleh anak-anak.
Anda tiup kantong itu, lalu Anda pukul keras-keras. Maka terdengarlah suara
letupan yang cukup keras. Anda buang kantong itu ke keranjang sampah, lalu Anda
bergegas keluar ke ruang depan. Dengan demikian, Anda
memastikan jam dilakukannya bunuh diri itu, juga alibi bagi Anda sendiri. Tapi
masih ada satu hal yang Anda risaukan. Anda tak sempat memungut pelurunya. Benda
itu pasti terletak di depan gong.
Padahal peluru itu harus ditemukan di dalam ruang kerja, di suatu tempat di
dekat cermin. Saya tidak tahu kapan Anda mendapatkan pikiran untuk mengambil
pensil Kolonel Bury..."
"Pada saat itu juga," kata Miss Lingard. "Waktu kita semua masuk dari ruang
depan. Saya terkejut melihat Ruth sudah berada di ruang itu. Saya sadari bahwa
dia pasti masuk dari kebun, lewat jendela panjang. Lalu saya lihat pensil
Kolonel Bury di meja bridge. Saya selipkan ke dalam tas saya. Bila kelak
seseorang melihat saya memungut peluru itu, saya bisa berpura-pura bahwa yang
saya pungut adalah pensil itu. Ternyata tak seorang pun melihat saya memungut
peluru itu. Saya jatuhkan di dekat cermin waktu Anda sedang memperhatikan mayat.
Ketika Anda menanyakan benda apa
yang saya pungut, saya senang sekali karena telah membuat rencana dengan pensil
itu." "Ya, itu cerdik sekali. Saya benar-benar bingung."
"Saya takut ada orang yang mendengar suara tembakan yang sebenarnya, tapi saya
tahu semua orang sedang berpakaian untuk makan malam, dan pasti terkurung dalam
kamar masing-masing. Para pelayan ada di tempat mereka. Hanya Miss Cardwell yang mungkin
mendengarnya, tapi dia mungkin mengira itu suara knalpot mobil. Yang jelas
didengarnya sebenarnya suara gong. Saya kira...
saya kira semuanya berjalan dengan baik, tanpa hambatan."
Lambat-lambat Mr. Forbes berkata dengan nada pasti,
"Ini kisah yang luar biasa. Kelihatannya tak ada motifnya."
Dengan lantang Miss Lingard berkata, "Motifnya ada."
Dengan tegas ditambahkannya,
"Ayolah, teleponlah polisi! Apa yang kalian tunggu?"
Dengan halus Poirot berkata,
"Tolong Anda sekalian meninggalkan ruangan ini. Mr. Forbes, tolong telepon Mayor
Riddle. Saya akan tinggal di sini sampai dia tiba."
Perlahan-lahan, satu demi satu keluarga itu berurutan keluar dari ruangan itu.
Dengan pandangan heran, tak mengerti, dan terpukul, mereka melihat pada sosok
kecil yang berdiri tegak itu, dengan rambut ubannya yang terbelah rapi di
tengah. Ruth yang terakhir pergi. Ia berdiri dengan bimbang di ambang pintu.
"Saya tak mengerti." Ia bicara dengan nada marah dan
menantang, dengan sikap menyalahkan Poirot. "Tadi Anda mengira saya yang
melakukannya." "Tidak, tidak." Poirot menggeleng. "Tidak, saya tak pernah mengira begitu."
Ruth keluar lambat-lambat.
Tinggallah Poirot bersama wanita setengah umur yang apik dan bertubuh kecil itu,
yang baru saja mengakui suatu pembunuhan yang direncanakan dengan pandai dan
dilakukan dengan darah dingin.
"Tidak," kata Miss Lingard. "Anda memang tidak menduga bahwa dia yang telah
melakukannya. Anda menuduh dia supaya saya buka mulut. Betul begitu, kan?"
Poirot menundukkan kepalanya.
"Sementara kita menunggu," kata Miss Lingard dengan ramah,
"harap Anda katakan pada saya, apa yang membuat Anda mencurigai saya."
"Ada beberapa hal. Pertama-tama, gambaran Anda mengenai Sir Gervase. Seorang
pria sombong seperti Sir Gervase tidak akan pernah mau menceritakan keburukan
keponakannya kepada orang luar, terutama pada seseorang yang berkedudukan
seperti Anda. Anda ingin memperkuat teori tentang bunuh diri. Anda juga terpeleset dengan
mengatakan bahwa penyebab bunuh diri itu adalah suatu kesulitan memalukan yang
berhubungan dengan Hugo Trent. Padahal hal seperti itu tidak akan pernah diakui
Sir Gervase pada seorang asing. Lalu ada pula barang yang Anda pungut di ruang
depan, juga fakta yang jelas sekali ketika Anda tidak menyebutkan bahwa Ruth
masuk ke ruang tamu utama dari kebun. Kemudian saya menemukan kantong kertas -
suatu benda yang sangat tak mungkin ditemukan di ruang tamu utama sebuah rumah
seperti Hamborough Close! Andalah satu-satunya orang yang berada di ruang tamu
utama waktu suara 'tembakan' itu terdengar. Akal-akalan dengan kantong kertas
itu menunjuk ke arah seorang wanita - sebuah alat yang sangat biasa di dalam
rumah. Jadi, semuanya cocok. Usaha untuk melemparkan tuduhan pada diri Hugo dan
menjauhkannya dari Ruth. Mekanisme kejahatannya dan motifnya...
Wanita kecil itu bergerak.
"Tahukah Anda motifnya?"
"Saya rasa saya tahu. Kebahagiaan Ruth - itulah motifnya! Saya rasa Anda telah
melihatnya bersama John Lake. Anda tahu bagaimana hubungan mereka. Kemudian,
karena Anda bisa dengan mudah membongkar surat-surat Sir Gervase, Anda menemukan
konsep surat wasiatnya yang baru, yang berbunyi bahwa Ruth akan dihapuskan
sebagai ahli waris kecuali kalau dia menikah dengan Hugo Trent. Itulah yang
membuat Anda mengambil keputusan untuk main hakim sendiri, dengan menggunakan
fakta bahwa Sir Gervase sebelumnya telah menulis surat pada saya. Mungkin Anda
telah membaca salinan suratnya itu. Entah rasa curiga dan rasa takut apa yang
mula-mula membingungkannya, hingga dia menulis surat itu, saya tak tahu. Dia
pasti telah mencurigai Burrows atau Lake menipunya terusmenerus.
Ketidakyakinannya mengenai perasaan Ruth mendorongnya untuk mencari seorang
detektif swasta. Anda memanfaatkan kenyataan itu, lalu Anda merencanakan dugaan
bunuh diri itu, dan Anda dukung dengan pernyataan Anda bahwa dia sangat tertekan
oleh sesuatu yang berhubungan dengan Hugo Trent.
Anda mengirim telegram pada saya dan mengatakan bahwa menurut Sir Gervase saya
akan tiba 'terlambat'."
Dengan keras Miss Lingard berkata,
"Gervase Chevenix-Gore itu sangat tirani, sombong, dan pembual!
Saya tak ingin dia menghancurkan kebahagiaan Ruth."
Dengan halus Poirot berkata,
"Apakah Ruth itu putri Anda?"
"Ya, dia anak saya. Saya sering memikirkannya. Waktu saya dengar Sir Gervase
Chevenix-Gore membutuhkan seseorang yang bisa membantunya menulis sejarah
keluarganya, saya mengambil kesempatan itu. Saya ingin sekali melihat... anak
saya. Saya tahu bahwa Lady Chevenix-Gore tidak akan mengenali saya. Kami bertemu
bertahun-tahun yang lalu - waktu itu saya masih muda dan cantik, dan saya
mengubah nama saya setelah itu. Apalagi Lady ChevenixGore itu demikian tak
warasnya, hingga dia tidak akan mengenali sesuatu dengan pasti. Saya
menyukainya, tapi saya benci pada keluarga Chevenix-Gore. Mereka memperlakukan
saya dengan buruk sekali. Lalu sekarang Gervase ingin menghancurkan hidup Ruth, gara-gara
kesombongan dan keangkuhannya. Tapi saya bertekad agar dia berbahagia. Dan dia
akan berbahagia, asalkan dia tidak pernah tahu tentang diri saya!"
Itu merupakan suatu permintaan - bukan pertanyaan.
Poirot menundukkan kepalanya dengan halus.
"Tidak akan ada orang yang mendengarnya dari saya."
Dengan tenang Miss Lingard berkata,
"Terima kasih."
Kemudian, setelah polisi datang dan pergi lagi, Poirot menemukan Ruth Lake dan
suaminya di kebun. Dengan menantang Ruth berkata,
"Apakah Anda benar-benar mengira bahwa saya yang
melakukannya M. Poirot?"
"Saya tahu, Madame, bahwa Anda tak mungkin melakukannya.
Gara-gara bunga michaelmas daisy itu!"
"Bunga michaelmas daisy" Saya tak mengerti."
"Begini, Madame, hanya ada empat bekas jejak kaki di bedeng bunga itu, tak
lebih. Padahal bila Anda memetik bunga, tentu ada jauh lebih banyak. Itu berarti
antara kedatangan Anda yang pertama dan yang kedua, ada orang yang menghapuskan
kembali semua jejak kaki itu. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang
bersalah, dan karena bekas jejak kaki Anda sendiri tidak dihapuskan, maka tak
mungkin Anda yang bersalah. Dengan demikian, bebaslah Anda."
Wajah Ruth menjadi cerah.
"Oh, saya mengerti. Soalnya, saya merasa itu mengerikan, tapi saya juga kasihan
pada wanita malang itu. Soalnya, dia mengakui kesalahannya dan tidak membiarkan
saya ditahan - atau setidaknya.
begitulah dugaannya. Itu... tindakan yang mulia. Saya sedih
membayangkan dia harus menghadapi pengadilan atas tuduhan pembunuhan."
Dengan halus Poirot berkata,
"Jangan sedih, tidak akan sampai sejauh itu. Dokter berkata pada saya bahwa dia
menderita sakit jantung yang berat. Dia tidak akan hidup lama lagi, paling-
paling beberapa minggu."
"Saya senang mendengarnya." Ruth memetik setangkai bunga krokus musim gugur,
lalu menempelkannya dengan lembut ke pipinya.
"Kasihan wanita itu. Saya jadi ingin tahu, mengapa dia
melakukannya..." SEGITIGA DI RHODES BAB 1 HERCULE POIROT duduk di pasir yang putih dan memandangi air biru yang berkilau
di kejauhan. Penampilannya rapi dan modis. Ia mengenakan pakaian serba putih
dari bahan flanel, dan sebuah topi anyaman lebar melindungi kepalanya. Ia
termasuk generasi yang kolot, yang percaya bahwa orang harus melindungi dirinya
dengan baik dari matahari. Miss Pamela Lyall, yang duduk di sampingnya dan tak
henti-hentinya berbicara, mewakili angkatan modern. Ia mengenakan pakaian yang
minim sekali pada tubuhnya yang sudah cokelat terbakar matahari.
Sekali-sekali arus bicaranya berhenti, sementara ia meminyaki ulang tubuhnya
dengan cairan berminyak yang dikeluarkannya dari botol di sebelahnya. Lebih jauh
dari Miss Pamela Lyall, sahabat karibnya, Miss Sarah Blake, berbaring
menelungkup pada sehelai handuk bergaris-garis lebar. Warna cokelat di tubuh
Miss Blake sempurna sekali, dan temannya lebih dari sekali melemparkan pandangan tak senang
ke arahnya. "Kulit saya masih belang sekali," gumamnya kesal. "M. Poirot, maukah Anda
menolong saya" Tolong, di bawah tulang belikat kanan. Tangan saya tak sampai ke
situ untuk meminyakinya dengan baik."
M. Poirot menuruti keinginan itu, dan sesudahnya ia menyeka tangannya yang
berminyak dengan hati-hati pada saputangannya.
Miss Lyall, yang selalu senang mengamati orang-orang di sekelilingnya dan
berceloteh ini-itu, berbicara lagi.
"Saya benar tentang wanita itu, yang memakai baju Chanel. Dia memang Valentine
Dacres - maksud saya Chantry. Sudah saya duga.
Saya langsung mengenalinya. Dia luar biasa sekali, ya" Maksud saya, saya
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti mengapa orang-orang jadi tergila-gila padanya. Itu memang
diharapkannya! Orang-orang yang baru tiba semalam bernama Gold. Yang laki-laki
tampan sekali." "Orang-orang yang sedang berbulan madu, ya?" gumam Sarah dengan suara tertahan.
Miss Lyall menggeleng dengan gaya berpengalaman.
"Ah, bukan. Pakaiannya tidak cukup baru. Kita selalu bisa membedakan pengantin
baru dari orang lain! Tidakkah menurut Anda, memperhatikan orang-orang itu suatu
hal yang paling menyenangkan di dunia, M. Poirot" Kita bisa menemukan hal-hal
tentang mereka, hanya dengar memandangi mereka."
"Bukan sekadar melihat, Sayang," kata Sarah dengan manis. "Kau juga mengajukan
banyak sekali pertanyaan."
"Kamu bahkan belum berbicara dengan keluarga Gold itu," kata Miss Lyall dengan
berwibawa. "Tapi mengapa kita tak boleh menaruh perhatian pada sesama makhluk
hidup" Sifat manusiawi benar-benar menawan. Bukan begitu, M. Poirot?"'
Kali ini ia berhenti cukup lama untuk menunggu jawaban dari temannya.
Tanpa melepaskan pandangannya dari air yang biru, M., Poirot menjawab,
"Itu tergantung."
Pamela terkejut sekali. "Ah, M. Poirot! Saya rasa tak ada yang begitu menarik perhatian dan begitu tak
bisa ditebak seperti manusia."
"Tak bisa ditebak" Tidak juga."
"Tapi itu betul. Begitu kita merasa telah bisa memergoki seseorang dengan baik,
dia melakukan sesuatu yang sama sekali tak terduga."
Hercule Poirot menggeleng.
"Tidak, itu tidak benar. Jarang sekali seseorang melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan wataknya. Hingga akhirnya jadi membosankan."
"Saya sama sekali tidak sependapat dengan Anda!" kata Miss Lyall.
Selama kira-kira satu setengah menit ia diam. Lalu kembali menyerang.
"Begitu melihat orang-orang, saya mulai berpikir tentang mereka, bagaimana
mereka itu, bagaimana hubungan mereka, apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Aduh, benar-benar mendebarkan."
"Itu kurang tepat," kata Hercule Poirot. "Sifat seseorang sering terulang lebih
daripada yang bisa kita bayangkan. Laut," katanya lagi sambil merenung, "lebih
beragam sifatnya." Sarah memalingkan kepalanya ke samping dan bertanya,
"Menurut Anda, manusia cenderung memperlihatkan kembali pola-pola tertentu"
Pola-pola dalam bentuk klise?"
"Tepat sekali," kata Poirot, lalu menggoreskan suatu bentuk di pasir dengan
jarinya. "Apa yang Anda gambarkan itu?" tanya Pamela ingin tahu.
"Sebuah segitiga," kata Poirot.
Tapi perhatian Pamela sudah beralih ke tempat lain.
"Ini dia suami-istri Chantry," katanya.
Seorang wanita sedang berjalan menuju pantai; ia bertubuh semampai dan sangat
menyadari kecantikannya serta bentuk tubuhnya. Ia mengangguk sedikit dan
tersenyum, lalu duduk agak jauh di pantai. Penutup tubuhnya yang dari sutra
merah tua keemasan jatuh tergelincir dari pundaknya. Ia mengenakan pakaian
renang putih. Pamela mendesah. "Alangkah indah bentuk tubuhnya!"
Tapi Poirot memandangi wajahnya - wajah seorang wanita
berumur tiga puluh sembilan, yang sudah terkenal sejak ia berumur enam belas
karena kecantikannya. Sebagaimana semua orang tahu, ia pun tahu segalanya tentang Valentine Chantry.
Wanita itu terkenal dalam banyak hal - karena sifatnya yang tidak punya
pendirian, kekayaannya, matanya yang besar sekali dan berwarna biru batu safir,
juga karena pengalaman-pengalaman perkawinannya dan petualangan-petualangannya.
Suaminya lima orang dan pacarnya tak terhitung. Ia pernah menjadi istri seorang
count dari Italia, istri seorang pengusaha baja yang kaya raya, seorang pemain
tenis profesional, dan seorang pembalap mobil.
Mantan suaminya yang orang Amerika meninggal, sedangkan yang lain
ditinggalkannya lewat pengadilan perceraian. Enam bulan yang lalu, ia menikah
untuk kelima kalinya, dengan seorang komandan angkatan laut.
Pria itulah yang berjalan mengikutinya di pantai itu. Orangnya pendiam, berambut
gelap, dagunya menantang, dan air mukanya cemberut. Ia memberikan kesan seperti
orang utan zaman purba. Wanita itu berkata, "Tony sayang, kotak rokokku..."
Yang pria langsung menyiapkannya, menyalakan rokok itu, membantu memperbaiki
letak tali bahu pakaian renangnya. Yang wanita berbaring di matahari dengan
lengan terentang. Yang laki-laki duduk di dekatnya seperti binatang buas yang
menjaga mangsanya. Dengan suara agak direndahkan Pamela berkata,
"Dengar, aku menaruh perhatian besar pada mereka. Yang lakilaki kejam sekali!
Begitu diam dan cemberut. Kurasa perempuan seperti dia menyukai yang begitu.
Mungkin rasanya seperti menjinakkan seekor harimau! Aku ingin tahu, berapa lama
itu akan bertahan. Kurasa dia cepat merasa bosan pada laki-laki, lebih-lebih
zaman sekarang. Tapi, kalau perempuan itu mencoba
menyingkirkannya, kurasa laki-laki itu akan jadi berbahaya."
Suatu pasangan lain datang ke pantai dengan agak malu-malu.
Mereka adalah pendatang baru yang baru tiba semalam. Mr. dan Mrs, Douglas Gold.
Hal itu diketahui Miss Lyall berkat penyelidikannya pada buku tamu hotel. Ia
juga tahu nama kecil dan umur mereka, karena itu merupakan peraturan di Itali,
dan dicantumkan berdasarkan buku paspor mereka.
Mr. Douglas Cameron Gold berumur tiga puluh satu tahun, sedangkan Mrs. Marjorie
Emma Gold tiga puluh lima tahun.
Seperti telah dikatakan, hobi Miss Lyall adalah mempelaJari manusia. Tidak
sebagaimana biasanya orang Inggris, ia bisa berbicara dengan orang-orang asing
pada pertemuan pertama, bukannya menunggu selama empat hari atau seminggu
sebelum dengan berhati-hati memperkenalkan diri, sebagaimana kebiasaan di
Inggris. Oleh karenanya, waktu melihat Mrs. Gold ragu dan malu-malu mendekat, ia
berseru, "Selamat pagi; indah sekali hari ini, ya?"
Mrs. Gold kecil sekali; mirip seekor tikus. Ia tidak jelek, raut wajah dan
kulitnya bagus, tapi ia memberi kesan tidak percaya diri dan kumal, hingga ia
tidak menarik perhatian orang. Sebaliknya, suaminya tampan sekali, seperti
orang-orang teater. Rambutnya
pirang sekali, juga keriting, matanya biru, dadanya bidang, sedangkan pinggulnya
kecil. Ia lebih seperti seorang tokoh cerita di panggung daripada seorang muda dalam
kehidupan nyata, tapi begitu ia membuka mulutnya, kesan itu lenyap. Sikapnya
wajar sekali dan tidak dibuat-buat, bahkan mungkin agak bodoh.
Mrs. Gold menatap Pamela dengan pandangan berterima kasih, lalu duduk di
dekarnya. "Bukan main bagusnya wama cokelat kulit Anda. Saya merasa pucat sekali!"
"Kita harus berusaha keras untuk mendapatkan warna cokelat ini secara merata,"
desah Miss Lyall. Ia diam sebentar, lalu berkata lagi,
"Anda baru datang, kan?"
"Ya. Semalam. Kami datang naik kapal Vapo d'ltalia."
"Sudah pernahkah Anda datang ke Rhodes ini?"
"Belum. Cantik sekali, ya?"
Suaminya berkata, "Sayang jauh sekali perjalanan kemari."
"Ya, alangkah baiknya kalau lebih dekat dengan Inggris."
Dengan suara tertahan Sarah berkata,
"Ya, tapi lalu tak enak jadinya. Melihat tubuh orang yang berjajar seperti ikan
di tempat pengeringan. Di mana-mana tubuh manusia."
"Itu benar juga," kata Douglas Gold. "Tapi menyusahkan sekali karena mata uang
Itali sedang jatuh sekali sekarang."
"Itu ada juga pengaruhnya, ya?"
Percakapan berjalan melalui jalur yang wajar sekali. Bahkan tak bisa disebut
suatu percakapan yang cerdas.
Agak jauh di pantai, Valentine Chantry bergerak, lalu duduk.
Dengan sebelah tangannya ia menahan letak pakaian renangnya di dadanya.
Ia menguap, lebar namun halus, seperti kucing. Ia melihat dengan tak acuh ke
pantai.. Matanya menyipit, melewati Marjorie Gold, lalu bertahan merenungi
kepala Douglas Gold yang berambut keemasan.
Digerakkannya pundaknya dengan menggeliat. Ia berbicara dengan suara dinaikkan,
lebih tinggi daripada yang diperlukan.
"Tony sayang, bukan main indahnya matahari ini, ya" Pasti aku dulu seorang
pemuja matahari, benar tidak?"
Suaminya menjawab dengan menggeram, hingga tak terdengar oleh yang lain-lain.
Valentine Chantry berkata lagi dengan suara tingginya yang manja,
'Tolong ratakan sedikit lagi handuk itu, Sayang."
Ia berusaha keras memperbaiki posisi duduk tubuhnya yang indah itu. Kini Douglas
Gold melihat. Matanya terang-terangan memperlihatkan minat.
Mrs. Gold berkicau dengan senang dan suara rendah pada Miss Lyall,
"Alangkah cantiknya wanita itu!"
Dengan suara lebih rendah, Pamela yang suka sekali memberikan maupun menerima
informasi, berkata, "Itu Valentine Chantry. Waktu gadis dia bernama Valentine Dacres. Dia memang
menawan sekali. ya" Suaminya tentu tergila-gila padanya. Dia tak mau melepaskan
istrinya dari pandangannya."
Mrs. Gold sekali lagi melihat ke pantai. Lalu ia berkata,
"Laut memang indah sekali - sangat biru. Kurasa sebaiknya kita berenang, ya,
Douglas?" Suaminya masih memandangi Valentine Chantry dan beberapa menit kemudian baru
menyahut. Katanya dengan agak linglung,
"Berenang" Oh ya, baiklah, sebentar lagi."
Marjorie Gold bangkit, lalu berjalan ke tepi air.
Valentine Chantry berguling sedikit, hingga tubuhnya miring.
Matanya tetap tertuju pada Douglas Gold. Bibirnya yang merah tua mengulum senyum
samar. Leher Mr. Douglas Gold jadi agak merah.
Valentine Chantry berkata,
"Tony sayang, tolong ya" Aku memerlukan botol krim wajahku.
Ada di kamar di meja rias. Aku sudah berniat membawanya turun tadi. Tolong
ambilkan, ya, malaikatku."
Pak Komandan bangkit dengan patuh, lalu berjalan menuju hotel.
Marjorie Gold mencebur ke laut, lalu berseru.
"Enak sekali, Douglas, hangat sekali. Mari ikut."
Pamela Lyall berkata pada laki-laki itu,
"Mengapa Anda tak ikut?"
Ia menjawab dengan linglung,
"Oh! Saya lebih suka berpanas-panas dulu."
Valentine Chantry bergerak. Kepalanya terangkat sesaat, seolah-olah akan
memanggil kembali suaminya, tapi suaminya baru saja menghilang lewat tembok
kebun hotel. "Saya lebih suka berenang pada saat terakhir," jelas Mr. Gold.
Mrs. Chantry duduk kembali. Diambilnya botol minyak untuk berjemur. Ia mengalami
kesulitan membukanya; tutupnya agaknya terlalu keras untuk dibuka.
Dengan nyaring dan kesal ia berkata,
"Astaga, aku tak bisa membuka benda ini."
Ia melihat ke arah kelompok yang lain.
"Bagaimana ya?"
Poirot yang selalu siap membantu, bangkit, tapi Douglas Gold yang lebih muda dan
lebih lincah, sebentar saja sudah berada di sisi wanita itu.
"Bolehkah saya membukakannya?"
"Oh, terima kasih." Lagi-lagi suaranya manja dan manis.
"Anda baik sekali. Saya memang bodoh kalau harus membuka apa-apa; selalu saya
memutarnya terbalik. Tuh! Anda sudah berhasil!
Terima kasih banyak."
Hercule Poirot tersenyum sendiri.
Ia bangkit, lalu berjalan-jalan di pantai, ke arah yang berlawanan.
Ia tidak pergi jauh, dan ia berjalan dengan santai. Ketika ia sedang dalam
perjalanan kembali, Mrs. Gold keluar dari laut dan menyertainya. Ia baru saja
berenang. Wajahnya yang dilindungi topi renang yang buruk sekali, tampak
berseri. "Saya suka sekali laut," katanya terengah. "Apa lagi di sini hangat dan indah
sekali." Poirot menyimpulkan bahwa wanita itu suka sekali berenang.
Katanya lagi, "Saya dan Douglas suka sekali berenang. Dia bisa bertahan berjam-
jam dalam air." Mendengar kata-kata itu, mata Hercule Poirot beralih ke belakang pundak si
wanita, ke tempai si penggemar air, Mr. Douglas Gold, sedang duduk bercakap-
cakap dengan Valentine Chantry.
Istrinya berkata, "Saya tak mengerti mengapa dia tak ikut..."
Suaranya mengandung rasa heran yang kekanak-kanakan.
Poirot tetap memandangi Valentine Chantry sambil merenung.
Pasti ada wanita-wanita lain yang juga mengucapkan kata-kata itu di waktu yang
lalu, pikirnya. Di sebelahnya, didengarnya Mrs. Gold menahan napasnya dengan mendadak.
Katanya dengan nada dingin,
"Saya rasa dia memang menarik sekali. Tapi, Douglas tak suka wanita tipe
begitu." Hercule Poirot tidak menjawab.
Mrs. Gold pun masuk ke laut lagi.
Ia berenang menjauh dari tepi dengan gerak tangan lambat tapi mantap. Kita bisa
melihat bahwa ia suka sekali pada air.
Poirot kembali ke kelompok yang duduk di pantai itu.
Jumlah kelompok itu telah bertambah dengan kehadiran Jenderal Barnes, seorang
perwira veteran yang suka bergabung dengan kaum muda. Kini ia duduk di antara
Pamela dan Sarah, dan bersama Pamela ia sedang asyik membahas beberapa skandal
dengan banyak bumbu. Komandan Chantry sudah kembali dari tugasnya. Ia dan Douglas Gold duduk mengapit
Valentine. Valentine duduk tegak sekali di antara kedua pria itu, sambil bercakap-cakap. Ia
berbicara dengan santai, suaranya manja dan manis, sambil menoleh pada kedua
pria itu bergantian. Ia baru saja selesai menceritakan sebuah anekdot.
"Lalu kata laki-laki dungu itu, 'Mungkin memang hanya semenit tapi saya akan
mengingat Anda di mana pun, Mum!' Begitu, kan Tony" Dan tahukah kalian saya
menganggap laki-laki itu manis sekali.
Saya memang menganggap dunia ini ramah-maksud saya, semua orang selalu baik pada
saya - entah mengapa - tapi begitulah keadaannya. Tapi saya katakan pada Tony -
ingatkah kau, Sayang" -
'Tony, kalaupun kau ingin merasa cemburu sedikit, cemburulah terhadap komisaris
itu.' Karena dia benar-benar menawan..."
Keadaan sepi sebentar, lalu Douglas berkata,
"Komisaris-komisaris itu, ada beberapa di antaranya yang baik."
"Oh ya, tapi dia sangat bersusah payah, sungguh-sungguh bersusah payah, dan
kelihatannya senang sekali bisa membantu saya."
Kata Douglas Gold, 'Itu tidak aneh. Saya yakin semua orang suka membantu Anda."
Wanita itu berseru gembira,
"Anda baik sekali! Tony, kaudengarkah itu?"
Komandan Chantry menggeram.
Istrinya mendesah, "Tony tak pernah berbicara dengan manis, begitukan, sayangku?"
Tangannya yang putih dengan kuku panjang dan merah mengacak rambut suaminya yang
hitam. Suaminya mendadak melihat padanya dari samping. Wanita itu bergumam,
"Entah bagaimana dia bisa sabar menghadapi saya. Dia orang yang pintar luar
biasa, sedangkan saya terus saja mengoceh omong kosong sepanjang waktu, tapi
kelihatannya dia tidak keberatan. Tak ada orang yang keberatan terhadap apa yang
saya lakukan atau katakan. Semua orang memanjakan saya. Saya yakin itu sama
sekali tak baik bagi saya."
Sambil melihat melewati istrinya, Komandan Chantry berkata pada Douglas Gold,
"Itu istri Anda yang di laut itu?"
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Saya rasa sudah waktunya saya menyertainya."
Valentine bergumam, "Tapi berjemur di sini lebih menyenangkan. Tak usah masuk ke air. Tony sayang,
kurasa hari ini aku tidak akan berenang. Aku tak mau berenang padahari pertama.
Bisa-bisa aku masuk angin. Tapi mengapa kau tidak pergi saja berenang, Tony
sayang' Mr. Gold akan tinggal di sini menemaniku, sementara kau berenang."
Dengan tegas Chantry berkata,
"Tidak. Aku belum ingin masuk. Kelihatannya istri Anda melambai pada Anda,
Gold." Valentine berkata, "Pandai sekali istri Anda berenang. Saya yakin dia seorang wanita yang sangat
efisien dan bisa melakukan segala-galanya dengan baik sekali. Orang-orang
semacam itu sangat menakutkan saya, karena saya merasa mereka membenci saya.
Saya ini tak bisa apa-apa; saya orang yang sangat tergantung, bukan,
"Tony sayang?" Tapi lagi-lagi Komandan Chantry hanya menggeram.
Istrinya bergumam dengan merayu,
"Kau terlalu manis untuk mengakuinya. Laki-laki memang setia sekali; itulah yang
saya sukai dari mereka. Saya yakin laki-laki lebih setia daripada wanita, dan
mereka tak pernah mengucapkan kata-kata jahat. Saya selalu beranggapan bahwa
wanita agak picik." Sarah Blake berbalik ke arah Poirot.
Dengan geram ia bergumam,
"Contoh-contoh tentang kepicikan adalah bahwa Mrs. Chantry yang cantik itu sama
sekali tak sempurna! Dungu sekali perempuan itu. Saya benar-benar beranggapan
bahwa Valentine Chantry adalah perempuan paling dungu yang pernah saya jumpai.
Ia tak bisa berkata lain selain, 'Tony sayang,' dan memutar-mutar matanya.
Saya rasa kepalanya berisi wol, bukan otak."
Poirot mengangkat alisnya yang ekspresif.
"Keras sekali kata-kata itu!"
"Oh, ya. Dia seperti kucing. Licik. Tak bisakah dia membiarkan laki-laki mana
pun" Suaminva kelihatan marah sekali."
Sambil melihat ke laut, Poirot berkata,
"Mrs. Gold pandai berenang."
"Ya, dia tidak seperti kami yang tak suka menjadi basah. Saya ingin tahu apakah
Mrs. Chantry akan mau masuk ke laut selama dia di sini."
"Pasti tidak," kata Jenderal Barnes dengan serak," Dia tak mau menanggung risiko
rias wajahnya luntur. Dia memang cantik, meskipun sudah agak tua.
"Dia melihat ke arah Anda, Jenderal," kata Sarah dengan nakal.
"Namun Anda keliru mengenai rias wajah itu. Zaman sekarang, wanita memakai rias
wajah tahan air dan tahan ciuman."
"Mrs. Gold keluar dari air," kata Pamela.
"Awas, awas," senandung Sarah. "Si istri datang untuk membawa pergi suaminya -
membawanya pergi - membawanya pergi..."
Mrs. Gold langsung menuju pantai. Bentuk tubuhnya bagus, tapi topinya yang
sangat sederhana- sama sekali tidak menarik, meskipun sangat berguna.
"Kau tak mau ikut, Douglas?" tanyanya tak sabaran. "Laut begitu indah dan
hangat." "Memang." Douglas Gold cepat-cepat bangkit. Ia berhenti sebentar, dan pada saat itu
Valentine Chantry mendongak padanya sambil tersenyum manis'.
"Selamat berpisah," katanya.
Gold dan istrinya berjalan menuju laut.
Segera setelah mereka tak bisa mendengar lagi, Pamela mengritik,
"Saya rasa kurang baik merenggutkan suami dari perempuan lain.
Cara itu merugikan. Kita jadi kelihatan sok menguasai. Padahal para suami benci
sikap itu." "Kelihatannya Anda tahu banyak tentang suami-suami, Miss Pamela," kata Jenderal
Barnes. "Suami orang, bukan suami saya sendiri!"
"Nah! Di situlah bedanya."
"Ya, tapi, Jenderal, saya jadi tahu apa-apa yang tak boleh saya lakukan."
"Yah, Sayang," kata Sarah, "yang jelas, aku tidak akan mau memakai topi seperti
itu." "Menurut saya, dia kelihatannya berakal sehat," kata Jenderal.
"Kelihatannya dia seorang wanita kecil yang baik dan berakal sehat."
"Tebakan Anda tepat, Jenderal," kata Sarah. "Tapi itu ada batasnya. Saya rasa
dia tidak akan berakal sehat sehubungan dengan Valentine Chantry."
Sarah memalingkan kepalanya, lalu berseru dengan berbisik kacau,
"Lihat dia. Seperti akan meledak saja. Laki-laki itu kelihatannya marah sekali."
Komandan Chantry memang tampak cemberut dan geram sekali setelah suami-istri itu
berlalu. Sarah mendongak pada Poirot.
"Nah," katanya. "Apa kesimpulan Anda?"
Hercule Poirot tidak menjawab dengan kata-kata, tapi sekali lagi telunjuknya
mencoretkan suatu bentuk di pasir. Bentuknya sama -
sebuah segitiga. "Segi tiga abadi," kata Sarah. "Mungkin Anda benar. Kalau begitu, kita akan
mendapatkan pengalaman menarik dalam beberapa minggu ini."
BAB 2 M. Hercule Poirot merasa kecewa. Ia datang ke Rhodes untuk beristirahat dan
berlibur. Terutama libur dari kejahatan. Kata orang, di akhir bulan Oktober,
Rhodes boleh dikatakan kosong. Menjadi suatu tempat yang sepi dan tenang.
Itu memang benar. Tamu-tamu di hotel itu hanya suami-istri Chantry, suami-istri
Gold, Pamela dan Sarah, Jenderal, dan dirinya sendiri, serta dua pasang orang
Itali. Tapi dalam lingkup yang terbatas itu, otak M. Poirot yang tajam melihat
awal dari peristiwa-peristiwa yang akan terjadi,
"Soalnya aku ini selalu memikirkan kejahatan," katanya menegur dirinya sendiri.
"Aku jadi kurang pandai mencerna! Aku suka mengkhayal."
Namun ia tetap saja cemas.
Pada suatu pagi, ia turun ke lantai bawah, menemukan Mrs. Gold sedang duduk
menjahit di teras. Waktu mendekatinya, Poirot mendapat kesan bahwa wanita itu cepat-cepat
menyembunyikan sehelai saputangan kecil dari bahan biasa.
Mata Mrs. Gold tampak kering, tapi mencurigakan karena tampak bercahaya.
Sikapnya juga agak terlalu ceria. Keceriaannya agak dilebih-lebihkan.
Ia berkata, "Selamat pagi, M. Poirot," dengan demikian bersemangat, hingga menimbulkan
keraguan Poirot. Poirot merasa Mrs. Gold tak mungkin sesenang itu bertemu dengannya seperti yang
ditampilkannya, karena wanita itu belum terlalu kenal padanya. Dan meskipun
Hercule Poirot adalah pria kecil yang suka membanggakan profesinya, ia amat
rendah hati dalam menilai daya tarik dirinya.
"Selamat pagi, Madame," balasnya. "Lagi-lagi cerah hari ini."
"Ya, menguntungkan sekali, ya" Tapi saya dan Douglas memang selalu beruntung
mengenai cuaca." "Benarkah?" "Ya. Kami benar-benar selalu beruntung. Soalnya, M. Poirot, kalau kita melihat
begitu banyak kesulitan dan kesedihan, dan begitu banyak pasangan yang bercerai
dan semacamnya, yah, kita merasa bersyukur sekali atas kebahagiaan kita
sendiri." "Saya senang mendengar Anda berkata begitu, Madame."
"Ya. Saya dan Douglas berbahagia sekali. Sudah lima tahun kami menikah, padahal
zaman sekarang ini, lima tahun itu sudah lama sekali."
"Saya yakin bahwa dalam beberapa hal bahkan rasanya seperti abadi, Madame," kata
Poirot datar. "Tapi saya benar-benar yakin bahwa sekarang ini kami lebih
berbahagia daripada waktu kami mula-mula menikah. Soalnya kami sudah benar-benar
saling cocok." "Itu tentu sangat besar artinya."
"Itulah sebabnya saya merasa kasilian pada orang-orang yang tidak bahagia."
"Maksud Anda..."
"Oh, saya hanya berbicara secara umum, M. Poirot."
"Saya mengerti. Saya mengerti."
Mrs. Gold mengambil seutas benang sutra, mengangkatnya ke arah cahaya,
membenarkan pilihannya, lalu berkata lagi,
"Mrs. Chantry, umpamanya."
"Ya, Mrs. Chantry?"
"Saya rasa dia sama sekali bukan perempuan yang baik."
"Bukan. Mungkin memang bukan."
"Saya bahkan yakin bahwa dia bukan perempuan yang baik. Tapi entah mengapa kita
merasa kasihan padanya. Karena, meskipun dia kaya dan cantik," jemari Mrs. Gold
gemetar dan ia tak bisa memasukkan benang ke jarumnya - "dia adalah jenis
perempuan yang akan cepat ditinggalkan laki-laki. Saya rasa laki-laki mudah
merasa bosan pada perempuan seperti dia. Betul begitu, kan?"
"Saya sendiri dalam waktu tidak terlalu lama pasti merasa bosan pada bahan
percakapannya," kata Poirot dengan hati-hati.
"Ya, begitulah maksud saya. Dia memang punya daya pesona..."
Mrs. Gold bimbang, bibirnya gemetar, ia menusuk-nusuk jahitannya dengan tak
menentu. Seorang pemerhati yang tak secermat Hercule Poirot sekalipun pasti bisa
melihat kegundahannya. Wanita itu pun berkata lagi,
"Laki-laki memang seperti anak-anak! Mereka gampang percaya apa saja."
Ia menunduk pada pekerjaannya. Saputangan kecil tadi keluar tanpa kentara, '
Hercule Poirot menganggap sebaiknya ia mengubah bahan
pembicaraan. Katanya, "Anda tidak berenang pagi ini" Dan suami Anda, apakah dia ada di pantai?"
Mrs. Gold mengangkat wajah, mengedip-ngedipkan matanya, lalu dengan sengaja
menjemihkan air mukanya sebelum menjawab,
"Tidak, pagi ini tidak. Kami sudah berencana untuk mengelilingi tembok-tembok
kota tua. Tapi entah bagaimana, kami saling kehilangan jejak. Mereka berangkat
tanpa saya." Ucapan itu menyingkapkan sesuatu, tapi sebelum Poirot sempat mengatakan apa-apa,
Jenderal Barnes naik dari pantai di bawah dan duduk di dekat mereka.
"Selamat pagi, Mrs. Gold. Selamat pagi, Poirot. Kalian berdua melarikan diri
pagi ini" Banyak yang tidak hadir. Kalian berdua, dan suami Anda, Mrs. Gold dan
Mrs. Chantry." "Dan Komandan Chantry?" tanya Poirot santai.
"Oh, tidak, dia ada di bawah sana. Dia sedang mengobrol dengan Miss Pamela."
Jenderal tertawa kecil. "Miss Pamela mengalami kesulitan dengannya! Soalnya dia
adalah laki-laki yang kuat, tapi sangat pendiam, seperti yang sering kita baca
di buku-buku." Dengan agak bergidik, Marjorie Gold berkata,
"Laki-laki itu agak menakutkan bagi saya. Kadang-kadang dia... dia kelihatan
begitu mengancam. Seolah-olah dia akan melakukan... apa saja!"
Ia bergidik. "Saya rasa itu hanya khayalan Anda saja," kata Jenderal dengan ceria. "Salah
cerna bisa menyebabkan banyak kesedihan dalam percintaan, atau amarah yang tak
terkendali." Marjorie Gold tersenyum sopan.
"Lalu di mana suami Anda yang baik itu?" tanya Jenderal.
Jawabannya diberikan tanpa ragu, dengan suara yang wajar dan ceria.
"Douglas" Oh, dia pergi ke kota bersama Mrs. Chantry. Saya rasa mereka akan
melihat temboktembok kota tua."
"Oh, ya, menarik sekali. Zaman ketika masih ada ksatria-ksatria dan sebagainya.
Seharusnya Anda ikut juga."
Mrs. Gold berkata, "Sayangnya saya terlambat turun."
Tiba-tiba ia bangkit sambil menggumankan permintaan maaf, lalu masuk ke hotel.
Jenderal Barnes memandanginya dari belakang dengan air muka prihatin, sambil
menggeleng perlahan-lahan.
"Dia wanita kecil yang baik. Jauh lebih baik daripada wanita jalang pesolek yang
namanya sebaiknya tak usah kita sebutkan itu!
Sayangnya suaminya dungu! Tidak menyadari nasib baik yang dimilikinya."
Ia menggeleng lagi, lalu bangkit dan masuk.
Sarah Blake baru saja naik dari pantai, dan sempat mendengar kata-kata terakhir
sang jenderal. Sambil melengos ke arah punggung bekas pejuang yang sudah menjauh itu, ia
mengempaskan tubuhnya ke sebuah kursi, sambil berkata,
"Wanita kecil yang baik - wanita kecil yang baik! Laki-laki selalu suka pada
kaum wanita yang lusuh, padahal kenyataannya
perempuan jalang pesolek itulah yang menang! Menyedihkan, tapi itulah
kenyataan." "Mademoiselle," kata Poirot, suaranya tegas. "Saya tak suka semua ini!"
"Tidak, ya" Saya juga tidak. Nah, coba kita berterus terang.
Sebenarnya saya menyukainya. Pada diri manusia memang ada satu sisi jelek yang
merasa senang kalau ada kecelakaan, kekacauan, serta hal-hal tak menyenangkan
yang menimpa diri teman-temannya."
Poirot bertanya "Mana Komandan Chantry?"
"Di pantai, sedang ditanggap oleh Pamela yang merasa senang.
Tapi laki-laki itu tetap masih marah. Air mukanya seperti awan tebal waktu saya
naik. Percayalah, akan ada suatu kejadian."
Poirot bergumam, "Ada sesuatu yang tidak saya pahami."
"Itu memang tak mudah dimengerti," kata Sarah. "Tapi apa yang akan terjadi,
itulah persoalannya."
Poirot menggeleng dan bergumam,
"Seperti Anda katakan, Mademoiselle, masa depanlah yang patut dipikirkan."
"Bagus sekali cara Anda mengatakannya," kata Sarah, lalu ia masuk ke hotel.
Di ambang pintu, ia hampir bertabrakan dengan Douglas Gold.
Laki-laki muda itu keluar dengan gembira, tapi sekaligus tampak agak merasa
bersalah. Katanya, "Halo, M. Poirot," lalu ia menambahkan dengan agak salah tingkah, "saya baru
saja memperlihatkan tembok-tembok Perang Salib pada Mrs. Chantry. Marjorie tak
ingin ikut." Alis Poirot agak naik, tapi, meskipun ingin berkomentar, ia tak punya waktu,
karena Valentine Chantry keluar sambil berseru nyaring,
"Douglas, aku ingin pink gin. Aku benar-benar ingin pink gin."
Douglas Gold pergi untuk memesan minuman itu. Valentine pun duduk di dekat
Poirot. Pagi itu ia tampak bersed-seri.
Dilihatnya suaminya dan Pamela berjalan naik ke arah mereka, lalu ia melambaikan
tangannya dan berseru, "Senangkah kau berenang, Tony sayang" Luar biasa sekali pagi ini, ya?"
Komandan Chantry tidak menyahut. Ia melangkahi anak-anak tangga, lalu melewati
istrinya tanpa menoleh dan menghilang di bar.
Kedua tangannya terkepal, di sisi tubuhnya dan kemiripannya dengan seekor gorila
jadi makin nyata. Mulut Valentine Chantry yang sempurna tapi tampak bodoh, ternganga.
Ia berkata, "Oh," dengan terang-terangan.
Di wajah Pamela Lyall tampak rasa senang melihat keadaan itu.
Disembunyikannya perasaan itu sebaik mungkin dengan sifatnya yang pandai
berpura-pura, lalu ia duduk di dekat Valentine Chantry dan bertanya,
"Senangkah Anda pagi ini?"
Baru saja Valentine berkata, "Senang sekali. Kami..." Poirot bangkit dan menjaub
ke arah bar. Didapatinya Gold sedang menunggu gin dengan wajah merah. Ia
kelihatan kesal dan marah.
Katanya pada Poirot, "Dasar binatang laki-laki itu!" Dan ia menganggukkan
kepalanya ke arah sosok Komandan Chantry yang baru saja menghilang.
"Mungkin saja," kata Poirot. "Ya, itu mungkin sekali. Tapi kaum wanita menyukai
binatang, ingat itu."
Douglas bergumam, "Saya tak heran kalau perlakuannya terhadap Valentine jahat!"
"Mungkin wanita itu menyukainya."
Douglas Gold memandanginya dengan tak mengerti. Diambilnya minuman pesanannya,
lalu dibawanya keluar. Hercule Poirot duduk di bangku tinggi, lalu memesan sirup merah-Ketika ia sedang
menyeruput minumannya sambil mendesah panjang menikmatinya, Chantry masuk dan
minum beberapa gelas gin dengan cepat.
Tiba-tiba ia berkata dengan keras pada seluruh dunia, bukan pada Poirot,
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau Valentine mengira dia bisa menyingkirkan diriku seperti dia menyingkirkan
pria-pria bodoh itu, dia keliru! Dia milikku dan aku akan mempertahankannya. Tak
seorang laki-laki pun bisa
mendapatkannya tanpa melangkahi mayatku."
Ia melemparkan uang, berbalik, lalu keluar.
BAB 3 Tiga hari kemudian, Hercule Poirot pergi ke Bukit Rasul. Perjalanan bermobil ke
sana sejuk dan menyenangkan, melalui pohon-pohon cemara yang hijau keemasan.
Jalanannya menanjak dan berliku-liku, jauh di atas manusia-manusia yang tampak
kecil, yang berbondong-bondong ramai. Mobil berhenti di restoran. Poirot turun,
lalu berjalan-jalan di hutan. Akhirnya ia tiba di suatu tempat yang tampak
benar-benar merupakan puncak dunia. Jauh di bawah, tampak laut yang biru
berkilau. Di situ akhirnya ia merasa aman, jauh dari segala macam pikiran-di atas dunia.
Dengan hati-hati ia meletakkan mantelnya yang terlipat rapi pada batang sebuah
pohon mati, lalu Hercule Poirot duduk.
"Tuhan yang mahabaik pasti tahu apa yang harus dilakukanNya.
Tapi anehnya, mengapa Dia mau membuat bermacam-macam
manusia" Ah, sudahlah, di sini setidaknya aku jauh dari masalah-masalah yang
mengesalkan itu," pikirnya.
Mendadak ia mendongak. Seorang wanita kecil bermantel
bergegas mendekatinya. Ia adalah Majorie Gold, dan kali ini ia meninggalkan
semua kepura-puraannya. Wajahnya basah oleh air mata.
Poirot tak bisa menghindar. Wanita itu sudah berada di dekatnya.
"M. Poirot, Anda harus menolong saya. Saya risau sekali. Saya tak tahu harus
berbuat apa! Apa, apa yang harus saya lakukan" Apa yang harus saya lakukan?"
Ia mendongak pada Poirot dengan wajah sedih. Jemarinya
mencengkeram lengan jas Poirot. Kemudian, setelah melihat air muka Poirot yang
agak menakutkan, ia mundur.
"Apa" Ada apa?" tanyanya gugup.
"Anda ingin nasihat saya, Madame" Itu kan yang Anda minta?"
Wanita itu tergagap, "Ya... ya..."
"Nah, ini nasihat saya." Poirot berbicara dengan tegas dan tajam.
"Tinggalkan tempat ini segera, sebelum terlambat."
"Apa?" Ia memandangi Poirot.
"Anda sudah mendengar kata-kata saya. Tinggalkan pulau ini."
"Tinggalkan pulau ini?"
Dipandanginya lagi Poirot dengan membisu.
"Itulah yang saya katakan."
"Tapi mengapa" Mengapa?"
"Itulah nasihat saya untuk Anda, kalau Anda menghargai hidup Anda."
Marjorie Gold tercekat. "Aduh! Apa maksud Anda" Anda menakut-nakuti saya. Anda
menakut-nakuti saya saja."
"Ya," kata Poirot dengan serius, "itulah niat saya."
Marjorie terduduk, menutupi wajahnya.
"Saya tak bisa! Dia tidak akan mau! Maksud saya, Douglas tidak akan mau.
Perempuan itu tidak akan mau melepasnya. Dia telah menguasai Douglas, lahir dan
batin. Douglas jadi tak mau mendengarkan apa-apa yang negatif tentang perempuan
itu. Douglas sudah tergila-gila padanya. Dia percaya semua yang dikatakan
perempuan itu, bahwa suaminya memperlakukannya dengan buruk, bahwa dia orang tak
bersalah yang terluka, bahwa tak ada orang yang mau memahaminya. Douglas bahkan
tak ingat saya lagi. Saya sudah tak berarti, saya sudah bukan siapa-siapa
baginya. Dia ingin saya memberinya kebebasan - menceraikannya. Dia percaya bahwa
perempuan itu akan menceraikan suaminya dan menikah dengan Douglas. Tapi saya
takut... Chantry tidak akan mau melepasnya. Dia bukan laki-laki macam itu.
Semalam perempuan itu memperlihatkan lebam-lebam di lengannya pada Douglas.
Katanya suaminya yang melakukannya. Douglas jadi marah sekali. Dia ingin jadi
pahlawan. Aduh! Saya takut sekali! Apa yang akan terjadi setelah ini semua"
Katakan pada saya, apa yang harus saya perbuat!"
Hercule Poirot melihat lurus ke seberang lautan, ke garis biru bukit-bukit di
daratan Asia. Katanya, "Sudah saya katakan. Tinggalkan pulau ini sebelum terlambat."
Mrs. Gold menggeleng. "Tak bisa. Saya tak bisa, kecuali kalau Douglas..."
Poirot mendesah. Ia mengangkat bahunya. BAB 4 Hercule Poirot duduk di pantai bersama Pamela Lyall.
Dengan bersemangat Pamela berkata, "Cinta. segitiga makin menghebat! Semalam
mereka duduk mengapit perempuan itu, sambil saling memandang dengan marah!
Chantry sudah terlalu banyak minum. Dia terang-terangan menghina Douglas Gold.
Gold berkelakuan baik sekali. Dia menahan amarahnya. Si perempuan Valentine itu tentu
senang melihatnya. Dia mendengkur halus, seperti seekor macan betina pemangsa
manusia. Menurut Anda, apa yang akan terjadi?"
Poirot menggeleng. "Saya takut. Saya takut sekali., "
"Oh, kami semua juga takut," kata Miss Lyall dengan munafik.
Katanya lagi, "Urusan ini adalah bidang Anda. Atau mungkin akan menjadi
demikian. Tak bisakah Anda berbuat sesuatu?"
"Saya sudah melakukan apa yang saya bisa."
Miss Lyall. membungkuk dengan penuh hasrat.
"Apa yang telah Anda lakukan?" tanyanya dengan bersemangat dan senang.
"Saya nasihati Mrs. Gold supaya meninggalkan pulau ini sebelum terlambat."
"Oh! Jadi, Anda pikir..." Ia berhenti.
"Apa, Mademoiselle?"
"Jadi, menurut Anda itu yang akan terjadi!" kata Pamela lambat-lambat. "Tapi dia
tidak akan bisa... dia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Dia
sebenarnya baik sekali. Gara-gara si perempuan Chantry itu. Dia tidak akan...
dia tidak... akan melakukannya."
Ia berhenti, lalu berkata dengan suara halus,
"Pembunuhan" ltukah... itukah yang sebenarnya ada dalam pikiran Anda?"
"Itu ada dalam pikiran seseorang, Mademoiselle. Itulah yang saya katakan."
Pamela tiba-tiba bergidik.
"Saya tak percaya," katanya.
BAB 5 Urut-urutan kejadian pada malam tanggal dua puluh sembilan Oktober itu jelas
sekali. Pertama-tama terjadi pertengkaran antara kedua laki-laki itu-Gold dan Chantry.
Suara Chantry makin lama makin nyaring, dan kata-katanya yang terakhir terdengar
oleh empat orang kasir di meja layan, manajer, Jenderal Barnes, dan Pamela
Lyall. "Kau babi terkutuk! Kalau kau dan istriku mengira kalian bisa memperlakukan aku
begitu, kalian keliru! Selagi aku masih hidup, Valentine akan tetap istriku."
Lalu ia keluar dari hotel dengan sangat marah. Itu terjadi sebelum.
makan malam. Setelah makan malam, tak seorang pun tahu
bagaimana sampai bisa begitu, mereka telah rujuk kembali. Valentine mengajak
Marjorie Gold berjalan-jalan naik mobil, menikmati terang bulan. Pamela dan
Sarah juga ikut. Gold dan Chantry main biliar berdua. Setelah itu mereka
menggabungkan diri dengan Hercule Poirot dan Jenderal Bames di ruang duduk.
Baru pada saat itulah Chantry tampak tersenyum dan manis.
"Senang kalian main tadi?" tanya Jenderal.
Sang komandan menjawab, "Anak muda ini terlalu pandai untuk dilawan. Dia sampai menang empat puluh
enam." Douglas Gold membantah dengan rendah hati.
"Hanya keberuntungan saja. Sungguh. Mau minum apa kau" Aku akan mencari
pelayan." "Gin, terima kasih."
"Baik. Anda, Jenderal?"
"Terima kasih. Saya minta wiski soda."
"Saya juga. Bagaimana Anda, M, Poirot?"
"Anda baik sekali. Saya minta sirup merah."
"Eh, maaf.. minum sirup?"
"Sirup merah. Sirup dari buah kismis hitam."
"Oh, yang beralkohol! Saya mengerti. Saya rasa mereka
menyediakannya juga di sini. Saya tak pernah mendengarnya."
"Ya, mereka menyediakannya. Tapi itu tidak beralkohol."
Sambil tertawa Douglas Gold berkata,
"Kedengarannya lucu juga selera Anda, tapi setiap orang punya racunnya sendiri!
Saya akan memesan semua."
Komandan Chantry duduk. Meskipun tak suka banyak bicara dan tak pandai bergaul,
ia tampak berusaha untuk beramah tamah.
"Aneh juga rasanya bahwa kita bisa hidup tanpa membaca berita,"
katanya. Sang jenderal menggeram. "Harian Continental Daily Mail terbitan empat hari yang Ialu tidak memuaskan
saya. Saya memang selalu dikirimi The Times dan majalah Punch setiap minggu,
tapi lama sekali baru sampai."
"Apakah akan diadakan pemilihan umum mengenai urusan
Palestina itu, ya?" "Semuanya itu salah urus," kata sang jenderal, bersamaan dengan munculnya
kembali Douglas Gold yang diikuti oleh seorang pelayan yang membawa minuman.
Sang jenderal baru saja mulai menceritakan sebuah anekdot mengenai kariernya di
ketentaraan di India pada tahun 1905., Kedua orang Inggris itu mendengarkan
dengan sopan, meskipun tanpa perhatian. Hercule Poirot menyeruput sirup
merahnya. . Ketika sang jenderal tiba pada puncak ceritanya, semuanya tertawa
dengan terpaksa. Lalu rombongan wanita muncul di ambang pintu ruang duduk.
Mereka berempat gembira sekali, bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
"Wah, menyenangkan sekali, Tony sayang," seru Valentine sambil duduk di sebelah,
suaminya. "Ini semua gagasan Mrs. Gold yang hebat. Sebenarnya kalian semua harus
ikut." Suaminya berkata, "Mau minum?" Ia melihat pada wanita-wanita yang lain pula.
"Aku mau gin, Sayang," kata Valentine.
"Saya gin dan bir jahe," kata Pamela.
"Anggur sidecar," kata Sarah.
"Baik." Chantry bangkit. Gelas ginnya sendiri, yang belum disentuhnya,
disodorkannya pada istrinya. "Kau minum yang ini. Aku akan memesan untukku
sendiri. Anda mau minum apa, Mrs. Gold?"
Mrs. Gold sedang dibantu suaminya menanggalkan mantelnya. Ia berpaling sambil
tersenyum. "Bisa saya minta air jeruk?"
"Baik, air jeruk."
Komandan berjalan ke arah pintu. Mrs. Gold tersenyum sambil mendongak pada
suaminya. "Menyenangkan sekali, Douglas. Pasti menyenangkan sekali kalau kau ikut tadi."
"Ya, sayang sekali aku tidak ikut. Kita pergi lagi nanti, ya?" Mereka
berpandangan sambil tersenyum.
Valentine Chantry mengangkat gelas gin-nya, lalu
menghabiskannya sekaligus.
"Oh! Aku haus sekali," desahnya.
Douglas Gold mengambil mantel Marjorie, lalu meletakkannya di sebuah bangku.
Ketika berjalan kembali ke arah yang lain-lain, ia berkata dengan tajam,
"Hei, ada apa?"
Valentine Chantry sedang bersandar di kursinya.
Bibirnya biru dan tangannya mencekam jantungnya.
"Aku merasa... agak aneh."
Ia menarik napas dengan sulit.
Chantry kembali membawa minuman. Ia mempercepat
langkahnya. "Hei, Val,- ada apa?"
"En... entahlah. Minuman itu... rasanya aneh."
"Gin itu?" Chantry berbalik mendadak dengan wajah keras.
Dicengkeramnya pundak Gold.
'Itu minuman untukku, Gold. Kaububuhi apa minuman itu?"
Douglas memandangi wajah wanita yang sedang mengejang itu, Wajahnya sendiri jadi
pucat pasi. "A... aku... tidak..."
Tubuh Valentine terkulai di kursinya.
Jenderal Barnes berseru, "Panggil dokter! Cepat!"
Lima menit kemudian, Valentine Chantry meninggal.
BAB 6 Tak ada yang berenang keesokan paginya.
Pamela Lyall, yang mengenakan gaun sederhana berwarna gelap, meraih lengan
Hercule Poirot di ruang depan, lalu menariknya ke ruang tulis yang kecil.
"Mengerikan sekali," katanya. "Mengerikan! Sudah Anda katakan!
Anda sudah meramalkannya! Pembunuhan!"
Poirot menunduk dengan wajah serius.
"Oh!" serunya. Pamela mengentakkan kakinya ke lantai.
"Seharusnya Anda cegah itu! Entah dengan cara bagaimana! Itu sebenarnya bisa
dicegah!" "Dicegah bagaimana?" tanya Hercule Poirot.
Mendengar itu, Pamela tersentak sebentar.
"Tak bisakah Anda mendatangi seseorang polisi umpamanya?"
"Lalu apa yang harus saya katakan" Apa yang bisa dikatakan sebelum semuanya
terjadi" Bahwa ada seseorang yang punya niat membunuh" Dengar, anakku, bila
seseorang bertekad untuk membunuh orang lain..."
"Anda bisa memberi peringatan pada korbannya," kata Pamela bertahan.
"Kadang-kadang," kata Hercule Poirot, "peringatan itu tak berguna."
Lambat-lambat Pamela berkata, 'Anda bisa memberi peringatan pada si pembunuh.
Katakan padanya bahwa Anda tahu niatnya."
Poirot mengangguk. "Ya, itu suatu rencana yang lebih baik. Tapi dalam hal itu pun kita harus
memperhitungkan kebusukan utama seorang penjahat."
"Apa itu?" "Keangkuhan. Seorang penjahat tak pernah merasa bahwa
kejahatannya bisa gagal."
"Tapi itu tak masuk akal. Bodoh!" seru Pamela.
"Seluruh kejahatan ini terasa kekanak-kanakan! Coba saja, polisi langsung saja
menahan Douglas Gold semalam."
"Ya." Lalu kata Poirot lagi, "Douglas Gold itu anak muda yang bodoh sekali."
"Luar biasa bodohnya! Saya dengar mereka menemukan sisa racun itu, atau entah
apalah?" "Semacam stropanthin. Racun jantung."
"Apakah benar sisanya mereka temukan di dalam saku jasnya?"
"Benar sekali."
"Bodoh sekali!" kata Pamela lagi. "Mungkin dia akan
membuangnya, dan karena begitu terkejut
"Melihat bahwa yang kena racun itu adalah orang yang salah, dia jadi terguncang.
ltu pasti akan merupakan adegan yang bagus sekali di pentas. Sang pacar
membubuhkan stropanthin ke dalam gelas suaminya, lalu begitu perhatiannya
tertuju ke tempat lain, malah istrinya yang meminumnya. Bayangkan saat yang
menegangkan, waktu Douglas Gold berbalik dan menyadari bahwa dia telah membunuh
perempuan yang dicintainya."
Pamela bergidik. "Segitiga Anda itu. Cinta Segitiga Abadi! Siapa mengira bahwa itu akan berakhir
begini?" "Saya sudah mencemaskannya," gumam Poirot.
Pamela berbalik padanya. "Anda telah memberinya peringatan. Mrs. Gold maksud saya. Lalu mengapa Anda
tidak memberi peringatan pada suaminya pula?"
"Maksud Anda, mengapa saya tidak memberi peringatan pada Douglas Gold?"
"Bukan. Maksud saya Komandan Chantry. Anda bisa mengatakan padanya bahwa dia
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terancam bahaya. Soalnya, bukankah sebenarnya dia yang menjadi sasaran" Saya
yakin Douglas Gold sudah memperhitungkan akan memaksa istrinya menceraikannya.
Istrinya itu seorang wanita kecil berjiwa lemah yang cinta sekali pada suaminya.
Sedangkan Chantry itu setan yang kepala batu. Dia sudah bertekad untuk tidak
menceraikan Valentine."
Poirot angkat bahu. "Pasti tak ada gunanya saya berbicara pada Chantry," katanya.
"Mungkin tidak," sahut Pamela. "Mungkin dia akan berkata bahwa dia bisa menjaga
dirinya sendiri dan menyuruh Anda pergi. Namun saya tetap merasa bahwa
sebenarnya ada yang bisa kita lakukan."
"Memang terpikir oleh saya," kata Poirot lambat-lambat, "untuk mencoba
menganjurkan Valentine Chantry meninggalkan pulau ini, tapi dia pasti tak
percaya apa yang saya katakan. Dia wanita yang
sangat bodoh, hingga dia pasti tak bisa menyadarinya. Kasihan perempuan itu,
kebodohannya telah membunuhnya."
"Saya rasa tidak akan ada gunanya bila Valentine meninggalkan pulau ini," kata
Pamela. "Laki-laki itu pasti akan menyusulnya."
"Laki-laki mana?"
"Douglas Gold."
"Anda pikir Douglas Gold akan menyusulnya"
"Oh, tidak, Mademoiselle, Anda keliru. Anda salah besar. Anda salah menilai
kebenaran dari persoalan ini. Bila Valentine Chantry meninggalkan pulau ini,
suaminya pasti ikut dengannya."
Pamela memandangnya tak mengerti.
"Tentu saja." "Maka kejahatan itu pasti akan dilakukan di tempat lain."
"Saya tak mengerti."
"Saya katakan kejahatan yang sama pasti di lakukan di tempat lain, yaitu
kekahatan pembunuhan atas diri Valentine Chantry yang dilakukan oleh suaminya."
Pamela terbelalak. "Apakah Anda akan mengatakan bahwa Komandan Chantry - Tony Chantry - yang
membunuh Valentine?"
"Ya. Anda melihat dia melakukannya! Douglas Gold membawakan minuman pada
Komandan Chantry. Dia duduk menghadapi minuman itu. Waktu rombongan wanita
masuk, kami semua melihat ke seberang ruangan. Dia sudah menyiapkan stropanthin
itu, dibubuhkannya ke gelas gin, lalu dengan cerdik disodorkannya pada istrinya
dan perempuan itu meminumnya."
"Tapi bungkusan stropanthin itu didapati dalam saku Douglas Gold!"
"Mudah sekali untuk menyelipkannya di situ, saat kita sibuk mengerubungi wanita
yang sedang sekarat itu."
Dua menit kemudian, Pamela baru menarik napas.
"Tapi saya sama sekali tak mengerti! Segi tiga itu... Anda sendiri berkata..."
Hercule Poirot mengangguk dengan tegas.
"Saya katakan ada segitiga - benar. Tapi Anda, Anda
membayangkan yang salah. Anda tertipu oleh suatu permainan sandiwara yang
pandai!'Anda kira, dan Anda memang diinginkan untuk mengira begitu, bahwa Tony
Chantry dan Douglas Gold sama-sama mencititai Valentine Chantry. Anda mengira
Douglas Gold, yang mencintai Valentine Chantry ,yang suaminya tak mau
menceraikannya, mengambil langkah nekat, yaitu membubuhkan racun jantung yang
kuat ke dalam minuman Chantry, dan bahwa karena kekeliruan fatal, Valentine
Chantry-lah yang meminumnya. Itu semua hanya dugaan. Chantry memang sudah
beberapa lama ingin menyingkirkan istrinya. Dia bosan setengah mati pada
perempuan itu. Sejak semula saya sudah melihatnya. Dia menikahi perempuan itu
karena mengharapkan uangnya. Kini dia ingin mengawini seorang wanita lain. Maka
disusunlah rencana untuk menyingkirkan Valentine dan tetap menguasai uangnya.
Itu berakhir dengan pembunuhan."
"Seorang wanita lain?"
Lambat-lambat Poirot berkata,
"Ya, ya. Si kecil Marjorie Gold. Itu benar-benar merupakan cinta segitiga yang
abadi! Tapi Anda melihatnya dari sisi yang salah. Kedua laki-laki itu sama
sekali tak menginginkan Valentine Chantry. Hanya kegenitannya dan kepandaian
bersandiwara dari Marjorie Gold yang membuat kalian mengira mereka
memperebutkannya! Sungguh wanita yang cerdik, Mrs. Gold itu. Apalagi dia begitu
menarik dengan sikapnya yang pendiam, seperti wanita yang disia-siakan! Saya
mengenal empat wanita penjahat yang bertipe begitu. Ada yang bernama Mrs. Adams,
yang dibebaskan dari tuduhan membunuh suaminya, padahal semua orang tahu dialah
pelakunya. Mary Parker menghabisi bibinya, seorang kekasih, dan dua saudara laki-lakinya.
Tapi kemudian dia jadi teledor dan tertangkap. Lalu ada pula Mrs.
Rowden. dia memang dihukum gantung. Mrs. Lecray lolos lewat lubang jarum. Mrs.
Gold ini sama benar tipenya. Saya langsung mengenalinya begitu melihatnya! Orang
semacam itu menghadapi kejahatan seperti itik menghadapi air! Dan perbuatan itu
direncanakan dengan baik sekali. Coba katakan, kesaksian apa yang bisa Anda
berikan bahwa Douglas Gold memang mencintai Valentine Chantry" Kalau Anda
pikirkan lebih baik, Anda akan menyadari bahwa itu hanya berdasarkan pengaduan-
pengaduan Mrs. Gold dan Chantry yang berpura-pura cemburu. Ya" Anda mengerti?"
"Mengerikan," seru Pamela.
"Mereka itu pasangan yang cerdik," kata Poirot dengan keyakinan seorang
profesional. "Dia merencanakan untuk 'bertemu' di sini dan memainkan sandiwara
kejahatan mereka. Marjorie Gold itu, setan berdarah dingin! Dia akan membiarkan
suaminya yang bodoh dan tak bersalah itu diseret ke tiang gantungan, tanpa rasa
sesal sedikit pun." Pamela berseru, "Tapi dia sudah ditahan dan dibawa pergi semalam."
"Memang," kata Hercule Poirot, "tapi setelah itu, saya berbicara sedikit dengan
pihak polisi. Saya memang tidak melihat Chantry memasukkan stropanthin ke dalam
gelas. Seperti semua orang, saya pun menoleh waktu para wanita masuk. Tapi, pada
saat saya menyadari bahwa Valentine Chantry diracuni, saya amati suaminya dan
tidak melepaskan pandangan darinya. Jadi, saya melihatnya menyelipkan bungkus
stropanthin itu ke saku jas Douglas Gold."
Dengan wajah serius ditambahkannya,
"Saya seorang saksi yang kuat. Nama saya sudah terkenal. Begitu polisi mendengar
kesaksian saya, mereka menyadari bahwa kesaksian itu telah mengubah sama sekali
sudut pandang mereka terhadap perkara itu."
"Lalu?"' tanya Pamela terpesona.
"Yah, mereka mengajukan beberapa pertanyaan pada Komandan Chantry. Dia ingin
mengelak, tapi dia tidak begitu pandai, dan dia segera mengakuinya.
"Jadi, Douglas Gold sudah dibebaskan?"
"Sudah." "Lalu... Marjorie Gold?"
Wajah Poirot jadi keras. "Saya sudah memberikan peringatan padanya," katanya.
"Sungguh. Di puncak Bukit Rasul. Itulah satu-satunya kesempatan untuk mencegah
kejahatan itu. Saya sudah mengatakan dengan terus terang bahwa saya
mencurigainya. Dia pun mengerti. Tapi dia mengira bahwa dia terlalu cerdik. Saya
katakan supaya dia meninggalkan pulau ini bila dia menghargai hidupnya. Dia
memilih tinggal." COVER BELAKANG Bagaimana mungkin seorang wanita dengan pistol di tangan kanan bisa menembak
sendiri pelipis kirinya" Adakah kaitan antara hantu dan hilangya sebuah dokumen
penting berisi rencana rahasia Pemerintah" Bagaimana sebutir peluru yang
menewaskan seseorang laki-laki bisa memecahkan ermin di bagian lain ruangan" Dan
siapakah yang membuyarkan cinta segitiga yang melibatkan seorang wanita cantik
yang dikenal suka kawin-cerai"
Hercule Poirot dihadapkan pada empat kasus yang
membingungkan - dan masing-masing kasus dipecahkan secara tak terduga dan
memuaskan. Kisah Sepasang Rajawali 23 Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah Memanah Burung Rajawali 13
dan seperti saya, dia tidak menyetujui rencana pemikahan itu."
"Maksud Anda M. Burrows?"
"Burrows" Sama sekali bukan. Ruth tak mungkin jatuh cinta pada laki-laki banyak
gaya seperti itu. "Lalu siapa yang dicintainya?"
Susan Cardwell diam. Ia mengambil sebatang rokok,
menyalakannya, lalu berkata,
"Sebaiknya Anda tanyakan sendiri padanya. Soalnya itu bukan urusan saya."
Mayor Riddle bertanya, "Kapan Anda terakhir kali melihat Sir Gervase".
"Pada waktu minum teh."
"Apakah menurut penglihatan Anda sikapnya aneh?"
Gadis itu angkat bahu. "Seperti biasa saja."
"Apa yang Anda lakukan setelah minum teh?"
"Main biliar dengan Hugo."
"Tidakkah Anda melihat Sir Gervase lagi?"
"Tidak." "Bagaimana dengan suara tembakan itu?"
"Itu agak aneh. Saya kira itu suara gong. yang pertama, jadi saya bergegas naik
ke lantai atas untuk berpakaian, bergegas pula keluar dari kamar. Mendengar apa
yang saya kira adalah suara gong yang kedua, hingga saya cepat-cepat berlari
menuruni tangga. Pada malam pertama berada di sini, saya terlambat satu menit
pada waktu makan malam, dan Hugo mengatakan bahwa hal itu hampir saja merusak
kesempatan kami dengan pak tua itu. Oleh karenanya saya berlari cepat. Hugo tak
jauh di depan saya. Lalu terdengar suara letupan yang aneh, dan Hugo berkata
bahwa itu suara letupan gabus sampanye. Tapi Snell mengatakan bukan, dan menurut
saya suara itu memang tidak berasal dari ruang makan. Menurut Miss Lingard,
suara itu berasal dari lantai atas, tapi pokoknya kami sepakat bahwa itu suara
knalpot mobil, dan kami pun masuk ke ruang tamu utama bersama-sama, dan
melupakan peristiwa itu."
"Apakah sesaat pun tak terpikir oleh Anda bahwa Sir Gervase mungkin telah
menembak dirinya sendiri?" tanya Poirot.
"Coba katakan, apakah seharusnya saya berpikiran begitu" Pria tua itu
kelihatannya sedang senang-senang membayangkan dirinya orang penting. Tak pernah
terbayang oleh saya dia akan melakukan hal semacam itu. Tak terpikirkan pula
oleh saya mengapa dia berbuat demikian. Saya rasa karena dia tak waras."
"Suatu kejadian yang tak menguntungkan."
"Sangat tak menguntungkan-bagi saya dan Hugo. Saya dengar dia sama sekali tidak
mewariskan apa-apa pada Hugo, atau boleh dikatakan tak ada."
"Siapa yang berkata begitu pada Anda?"
"Hugo mendengarnya dari Forbes."
"Nah, Miss Cardwell..." Mayor Riddle berhenti sebentar. "Saya rasa sekian saja.
Apakah menurut Anda Miss Chevenix-Gore cukup sehat untuk turun dan berbicara
dengan kami?" "Saya rasa begitu. Akan saya sampaikan padanya."
Poirot menyela. "Sebentar, Mademoiselle. Pernahkah Anda melihat ini?"
Diperlihatkannya pensil berbentuk peluru itu.
"Oh ya, kami melihatnya waktu kami main bridge petang tadi.
Saya rasa itu milik Kolonel Bury."
"Apakah pensil ini dibawanya pergi setelah permainan usai?"
"Saya sama sekali tidak tahu."
"Terima kasih, Mademoiselle. Sekian saja."
"Baik, akan saya beritahu Ruth."
Ruth Chevenix-Gore memasuki ruangan itu bagaikan seorang ratu.
Wajahnya merah, kepalanya tegak. Tapi, sebagaimana mata Susan Cardwell, matanya
pun tampak waspada. Ia mengenakan gaun yang sama dengan saat Poirot tiba.
Warnanya warna buah aprikot muda.
Pada bahunya tersemat setangkai bunga mawar merah muda.
Tadinya bunga itu pasti segar dan mekar, tapi sekarang sudah layu.
"Bagaimana?" tanya Ruth.
"Saya minta maaf sebesar-besarnya harus mengganggu Anda,"
Mayor Riddle memulai. Gadis itu memotong kata-kata Riddle.
"Anda memang harus mengganggu saya. Anda harus
mengganggu semua orang. Saya bisa menyediakan waktu untuk Anda. Saya sama sekali
tidak tahu mengapa ayah saya bunuh diri.
Yang bisa saya katakan hanyalah bahwa itu sama sekali tak sesuai dengan
dirinya." "Adakah Anda melihat sesuatu yang janggal pada sikapnya hari ini" Apakah dia
tampak tertekan, atau kacau luar biasa" Adakah sesuatu yang tak normal?"
"Saya rasa tidak. Saya tak melihatnya..."
"Kapan Anda terakhir kali melihatnya?"
"Pada waktu minum teh."
Poirot angkat bicara, "Anda tidak pergi ke ruang kerja sesudah itu?"
"Tidak. Terakhir saya melihatnya adalah di dalam ruangan ini.
Duduk di situ." Ia menunjuk ke sebuah kursi.
"Oh, begitu. Apakah Anda mengenali pensil ini, Mademoiselle?"
"Itu milik Kolonel Bury."
"Adakah Anda melihatnya akhir-akhir ini?"
"Saya tidak begitu ingat."
"Apakah Anda mengetahui sesuatu tentang ketidaksepakatan antara, Sir Gervase dan
Kolonel Bury?" "Maksud Anda, mengenai Paragon Rubber Contpany?"
"Benar. "Saya rasa tahu. Ayah saya marah sekali!"
"Mungkin karena dia menganggap dirinya ditipu?"
Ruth mengangkat bahunya. "Dia tak mengerti apa-apa tentang keuangan."
Kata Poirot, "Bolehkah saya menanyakan sesuatu, Mademoiselle" Suatu
pertanyaan yang agak lancang?"
"Tentu." "Begini... apakah Anda sedih karena... ayah Anda meninggal?"
Gadis itu memandanginya. "Tentu saya sedih. Saya tak mau berpura-pura menangis. Tapi saya akan kehilangan
dia... saya sayang sekali pada pak tua itu.
Begitulah kami selalu menyebutnya, saya dan Hugo. Anda tahu kan, itu cara orang
di zaman primitif, bahkan dari masa prasejarah menyebutnya. Kedengarannya tak
sopan, tapi sebenarnya ada banyak rasa kasih sayang di baliknya. Dia memang
keledai tua yang paling tak waras yang pernah hidup!"
"Anda menarik perhatian saya, Mademoiselle."
"Pak tua itu otaknya seperti otak kutu! Maaf saya harus mengatakannya, tapi itu
memang benar. Dia memang tak punya kemampuan untuk pekerjaan yang memerlukan
otak. Tapi ingat, dia punya kepribadian! Beraninya luar biasa! Dia sampai bisa
pergi ke kutub untuk berkarya, juga mampu berduel. Saya pikir dia selalu berani
begitu karena dia tahu benar bahwa dia tak punya otak. Siapa pun bisa
menipunya." Poirot mengeluarkan surat dari sakunya.
"Silakan baca ini, Mademoiselle."
Gadis itu membacanya sampai selesai, lalu mengembalikannya.
"Jadi, itulah sebabnya Anda kemari!"
"Apakah surat itu memberikan suatu bayangan pada Anda?"
Gadis itu menggeleng. "Tidak. Tapi mungkin itu benar. 'Siapa pun bisa merampok ayah saya tersayang
yang malang itu', kata John, agen yang digantikannya telah banyak sekali menipu
Ayah. Soalnya Pak Tua itu begitu agung dan besar, hingga dia tak pernah
memperhatikan soal-soal kecil! Dia merupakan umpan empuk bagi para penjahat."
"Anda melukiskan gambaran yang berbeda tentang dirinya, Mademoiselle, lain
daripada yang dipercayai umum."
"Oh, soalnya dia pandai sekali menggunakan samaran. Vanda, ibu saya,
mendukungnya dalam segala hal. Ayah dengan senang dan angkuh bersikap seolah-
olah dia adalah Tuhan yang Mahakuasa.
Sebab itu, saya senang dia meninggal. Itulah yang terbaik baginya."
"Saya kurang mengerti, Mademoiselle."
Dengan murung Ruth berkata,
"Hal itu mulai menggerogoti dirinya. Tak lama lagi dia akan terpaksa harus
dikurung. Soalnya orang banyak sudah mulai membicarakan hal itu."
"Tahukah Anda, Mademoiselle, bahwa dia punya niat untuk membuat surat wasiat
baru, di mana dinyatakan bahwa Anda baru akan mewarisi kekayaannya bila Anda
menikah dengan Mr. Trent?"
Gadis itu berseru, "Sungguh tak masuk akal! Tapi saya yakin itu bisa dibatalkan oleh undang-undang.
Saya yakin bahwa orang tak bisa mendiktekan pada orang lain dengan siapa dia
harus menikah." "Seandainya dia benar-benar telah menandatangani surat wasiat itu, maukah Anda
tunduk pada persyaratan itu, Mademoiselle?"
Ia terbelalak. "Saya... saya..."
Kata-katanya terhenti. Selama beberapa menit ia duduk diam sambil memandangi
sandalnya yang tergantung di telapak kakinya.
Sepotong kecil tanah terlepas dari sol sandal itu dan jatuh ke atas alas lantai.
Tiba-tiba Ruth Chevenix-Gore berkata
"Tunggu!" Ia bangkit dan berlari keluar dari ruangan itu dan, langsung kembali dengan
Kapten Lake di sampingnya.
"Saya harus mengatakan ini," katanya dengan agak terengah.
"Sebaiknya Anda tahu sekarang. Saya dan John sudah menikah tiga minggu yang lalu
di London." BAB 10 Di antara mereka berdua, Kapten Lake-lah yang kelihatan lebih malu.
"Ini suatu kejutan besar, Miss Chevenix-Gore... eh, saya harus mengatakan Mrs.
Lake," kata Mayor Riddle. "Apakah tak ada orang yang tahu tentang pernikahan
Anda berdua ini?" "Tidak, kami sangat merahasiakannya. John tak ingin orang-orang mengetahuinya."
Dengan agak tergagap, Lake berkata,
"Sa... saya tahu bahwa cara ini kelihatan agak busuk. Seharusnya saya langsung
menghadap Sir Gervase..."
Ruth menyela, "Dan mengatakan padanya bahwa kau ingin mengawini putrinya, sehingga kau
kemudian ditendang keluar, dan mungkin dia lalu menghapuskan semua warisan
untukku, lalu mengamuk di seluruh rumah" Padahal kita menganggap diri kita telah
berkelakuan begitu baik! Percayalah, carakulah yang terbaik! Bila kita sudah
melakukan sesuatu, ya sudah. Pasti masih akan ada pertengkaran, tapi dia akan
bisa mengatasinya." Lake masih kelihatan murung. Poirot bertanya,
"Kapan Anda berdua berniat menyampaikan berita itu pada Sir Gervase?"
Ruth menjawab, "Saya sedang menyiapkan segala-galanya. Ayah memang sudah agak curiga terhadap
saya dan John, jadi saya pura-pura
mengalihkan perhatian saya pada Godfrey. Ayah tentu akan marah sekali tentang
perhatian saya itu. Saya pikir, dengan demikian berita bahwa saya sudah menikah
dengan John, boleh dikatakan akan melegakannya sedikit!"
"Adakah seorang pun yang tahu tentang pernikahan ini?"
"Ya, saya sudah menceritakannya pada Vanda. Saya ingin dia berada di pihak
saya." "Dan apakah Anda berhasil?"
"Ya. Soalnya Vanda kurang setuju saya menikah dengan Hugo; saya rasa karena dia
sepupu saya. Agaknya dia menyadari bahwa keluarga ini sudah cukup tak waras,
sehingga dengan pernikahan kami, mungkin kami akan punya anak-anak yang lebih
gila lagi. Mungkin itu tak masuk akal, karena saya kan hanya anak yang diadopsi. Kalau tak
salah, saya ini anak seorang sepupu jauh sekali."
"Yakinkah Anda bahwa Sir Gervase sama sekali tidak curiga?"
"Oh, tidak." Poirot berkata, "Benarkah itu, Kapten Lake" Dalam pembicaraan Anda dengan Sir Gervase petang
tadi, yakin benarkah Anda bahwa soal itu tidak disinggung?"
"Tidak, Sir. Tidak disinggung."
"Karena, Kapten Lake, ada bukti bahwa setelah berbicara dengan Anda, keadaan Sir
Gervase sangat kacau, dan lebih dari sekali dia berbicara tentang kehancuran
kehormatan keluarga."
"Soal itu tidak disinggung," kata Lake lagi.
Wajahnya jadi pucat sekali.
"Itukah terakhir kali Anda melihat Sir Gervase?"
"Ya, seperti yang sudah saya katakan."
"Di manakah Anda pada jam delapan lewat delapan menit malam ini?"
"Di mana saya" Di rumah saya tentu. Di ujung desa, kira-kita tujuh ratus lima
puluh meter dari sini."
"Tidakkah Anda datang ke Hamborough Close kira-kira waktu itu?"
"Tidak." Poirot berpaling pada gadis itu.
"Berada di manakah Anda, Mademoiselle, waktu ayah Anda
menembak dirinya?" "Di kebun." "Di kebun" Jadi, Anda mendengar suara tembakan itu?"
"Ya, saya mendengarnya. Tapi saya tidak terlalu memikirkannya.
Saya kira itu seseorang yang menembak kelinci, meskipun, sekarang saya ingat,
saya memang berpikir suaranya dekat sekali."
"Lewat mana Anda masuk ke rumah?"
"Lewat pintu." Dengan kepalanya, Ruth menunjukkan pintu yang ada di
belakangnya. "Adakah seseorang di dalam ini?"
"Tak ada. Tapi Hugo, Susan, dan Miss Lingard boleh dikatakan langsung masuk dari
ruang depan. Mereka berbicara tentang penembakan, pembunuhan, dan sebagainya.".
"Saya mengerti," kata Poirot. "Ya, saya rasa saya mengerti sekarang."
Dengan agak ragu Mayor Riddle berkata,
"Yah... eh... terima kasih. Saya rasa cukup sekian saja untuk sekarang."
Ruth dan suaminya berbalik, lalu meninggalkan ruangan itu.
"Sialan sekali," kata Mayor Riddle, lalu menambahkan dengan agak kesal, "Makin
lama makin sulit saja menyelesaikan urusan ini."
Poirot mengangguk. Ia telah memungut sepotong tanah yang jatuh dari sandal Ruth
dan memegangnya sambil merenung.
"Seperti cermin yang pecah di dinding," katanya
"Cermin almarhum. Setiap fakta yang kita temui memperlihatkan suatu sisi yang
sulit dari almarhum. Orang menggambarkan dirinya dari banyak sisi. Kita akan
segera mendapatkan gambaran yang lengkap.
Ia bangkit dan membuang gumpalan kecil tanah itu ke keranjang sampah.
"Satu hal akan saya katakan pada Anda, sahabatku. Petunjuk dari seluruh misteri
ini adalah cermin itu. Masuklah ke ruang kerja dan lihat sendiri kalau Anda tak
percaya." Dengan tegas Mayor Riddle berkata,
"Bila ini suatu pembunuhan, Andalah yang harus
membuktikannya. Kalau saya sih, saya yakin bahwa ini perbuatan bunuh diri. Anda
kan mendengar apa yang dikatakan gadis itu tentang agen yang digantikan oleh
Lake, yang telah menipu Sir Gervase" Saya yakin Lake mengatakan hal itu demi
kepentingannya sendiri. Mungkin dia juga suka korupsi sedikit. Sir Gervase
mencurigainya lalu meminta Anda datang karena dia tidak tahu seberapa jauh
hubungan antara Lake dan Ruth. Lalu petang tadi Lake mengatakan padanya bahwa
mereka sudah menikah. Itulah yang menghancurkan Gervase. Kini sudah 'terlambat'
untuk berbuat sesuatu. Maka dia memutuskan untuk meninggalkan segala-galanya.
Otaknya, yang dalam keadaan terbaik pun memang tak pernah seimbang, mengalami
kegagalan. Menurut saya, itulah yang terjadi.
Bisakah Anda membantahnya?"
Poirot berdiri diam di tengah-tengah ruangan.
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang harus saya katakan" Ini: Saya tidak membantah teori Anda, tapi itu
masih belum lengkap. Ada beberapa hal yang tidak diperhitungkan."
"Seperti?" "Perbedaan-perbedaan suasana hati Sir Gervase hari ini, ditemukannya pensil
Kolonel Bury, bukti yang dikemukakan oleh Miss Cardwell yang sangat penting,
bukti yang dikemukakan Miss Lingard mengenai urut-urutan orang-orang itu turun
ke ruang makan, posisi kursi Sir Gervase waktu dia ditemukan, kantong kertas
yang berisi jeruk, dan akhirnya, petunjuk yang paling penting, yaitu cermin yang
pecah." Mayor Riddle terbelalak. "Apakah Anda ingin mengemukakan bahwa kisah yang tak
berujung pangkal itu masuk akal?" tanyanya.
Dengan suara halus Hercule Poirot menjawab,
"Sebelum besok, saya harap saya sudah bisa menyelesaikannya."
BAB 11 Esok paginya, begitu fajar merekah, Hercule Poirot sudah terbangun. Ia diberi
kamar tidur di bagian timur rumah.
Ia bangkit dari tempat-tidur, lalu membuka kerai jendela dan merasa puas melihat
matahari sudah terbit, apalagi pagi itu ternyata cerah.
Ia mulai berpakaian dengan sangat teliti, seperti biasanya. Setelah siap
berpakaian, dibungkusnya dirinya dalam mantel tebal dan diikatkannya selendang
penghangat ke lehernya. Lalu dengan berjinjit ia keluar dari kamarnya, berjalan di sepanjang rumah yang
masih sepi, masuk ke ruang tamu utama.
Dibukanya jendela-jendela yang panjang perlahan-lahan, lalu ia keluar
melewatinya, ke kebun. Kini matahari sudah terbit sepenuhnya. Udara berkabut. Hercule Poirot menelusuri
teras yang mengelilingi sisi rumah, sampai ia tiba di jendela ruang kerja Sir
Gervase. Ia berhenti dan mengamat-amati keadaan di situ.
Tepat di luar jendela ada jalur rumput yang sejajar dengan rumah.
Di depannya ada sebuah bedeng lebar yang ditumbuhi beraneka macam tanaman.
Bunga-bunga michaelmas daisy masih
memperlihatkan keindahannya. Di depan bedeng terdapat jalan yang bercabang, dan
di situlah Poirat berdiri. Ada sebidang tanah berumput yang memanjang di
belakang bedeng, ke arah teras. Poirot mengamatinya dengan teliti, lalu
menggeleng. Dialihkannya perhatiannya pada bedeng di kiri-kanannya.
Ia mengangguk perlahan-lahan. Di bedeng sebelah kanan tampak jelas bekas jejak
kaki di tanah yang lembek.
Sedang ia memandanginya sambil mengerutkan alis, telinganya menangkap suatu
bunyi dan ia mendongak dengan mendadak.
Di atas, sebuah jendela terbuka. Tampak olehnya kepala yang berambut merah.
Dilihatnya wajah cerdas Susan Cardwell yang dikelilingi rambut lebat berwarna
merah keemasan. "Apa yang Anda lakukan pada jam begini, M. Poirot" Sedang memata-matai, ya?"
Poirot membungkuk dengan sikap sopan sekali.
"Selamat pagi, Mademoiselle. Ya, benar apa yang Anda katakan itu. Anda sedang
melihat seorang detektif - boleh saya katakan detektif besar sedang melakukan
kegiatan mata-mata!"
Kata-katanya agak membesarkan diri. Susan memiringkan
kepalanya. "Itu harus saya catat dalam buku harian saya," katanya. "Bolehkah saya turun dan
membantu?" "Saya akan merasa tersanjung."
"Mula-mula saya kira Anda pencuri. Lewat mana Anda keluar?"
"Lewat jendela panjang ruang tamu utama."
"Tunggu sebentar, saya turun."
Gadis itu menepati kata-katanya. Poirot tampak masih berada di tempat yang sama
benar dengan waktu Susan mula-mula
melihatnya. "Pagi sekali Anda bangun, Mademoiselle?"
"Saya tak bisa tidur nyenyak. Saya mengalami perasaan tidak enak seperti kalau
kita terbangun mendadak pada jam lima subuh."'.
"Tidak seawal itu!"
"Rasanya begitu! Sekarang, detektif besar, apa yang akan kita cari?"
"Coba Anda lihat, Mademoiselle, ini jejak kaki orang."
"Memang.' "Ada empat," lanjut Poirot. "Mari, akan saya perlihatkan pada Anda. Dua ke arah
jendela, dan dua berasal dari situ."
"Jejak kaki siapa, ya" Apakah jejak kaki tukang kebun?"
"Mademoiselle, Mademoiselle! Jejak kaki itu adalah bekas sepatu kecil bertumit
tinggi seorang wanita. Lihatlah dan yakinkan diri Anda.
Coba Anda menginjak tanah di sebelahnya sini."
Susan bimbang sejenak, lalu diinjakkannya kakinya dengan hati-hati ke tanah yang
ditunjuk PoiroL Ia memakai sepatu sandal kecil bertumit tinggi dari kulit
berwarna cokelat tua. ",Lihatlah, jejak kaki Anda hampir sama besarnya. Hampir, tapi tak sama. Yang
lain ini adalah bekas kaki yang agak lebih panjang daripada kaki Anda. Mungkin
kaki Miss Chevenix-Gore, atau kaki Miss Lingard, atau bahkan kaki Lady Chevenix-
Gore." "Bukan kaki Lady Chevenix-Gore - kakinya kecil. Orang-orang zaman itu memang
berusaha supaya kakinya kecil. Sedangkan Miss Lingard memakai sepatu bertumit
datar yang lucu." "Kalau begitu, itu bekas sepatu Miss Chevenix-Gore. Oh ya, saya ingat dia
berkata dia keluar ke kebun semalam."
Poirot berjalan mendahului, kembali ke rumah.
"Apakah kita masih akan memata-matai?" tanya Susan.
"Tentu, Sekarang kita akan pergi ke ruang kerja Sir Gervase."
Ia berjalan mendahului. Susan Cardwell mengikutinya.
Pintu kamar itu masih tergantung dalam keadaan menyedihkan.
Situasi di dalam kamarnya masih seperti semalam. Poirot membuka gorden-gorden
dan membiarkan sinar pagi masuk.
Ia berdiri memandang ke luar di tepi, lalu berkata,
"Saya rasa, Mademoiselle, Anda tidak banyak pengalaman tentang pencuri?"
Susan Cardwell menggelengkan kepalanya yang berambut merah dengan rasa menyesaL
"Memang tidak, M. Poirot."
"Kepala Polisi juga tidak beruntung karena tak banyak
berhubungan dengan mereka. Hubungannya dengan dunia kriminal benar-benar
bersifat resmi. Saya tidak demikian. Pada suatu kali, saya sempat mengobrol
dengan senang dengan seorang pencuri. Dia menceritakan sesuatu yang menarik ,
tentang pintu-pintu - suatu akal yang kadang-kadang bisa dimanfaatkan bila
pengunciannya tidak cukup kuat."
Sambil berbicara diputarnya gagang pintu di sebelah kiri, penggalangnya yang di
tengah keluar dari lubangnya yang ada di tanah, dan Poirot pun bisa menarik
kedua daun pintu itu ke arah dirinya. Setelah membukanya lebar-lebar, ditutupnya
lagi tanpa memutar gagangnya, supaya penggalangnya tak sampai masuk ke
lubangnya. Dilepaskannya gagang itu, lalu ia menunggu sebentar,
kemudian dengan cepat ditinjunya daun pintu itu di bagian tengah penggalangnya.
Karena pukulan itu, penggalangnya masuk ke lubangnya di tanah; gagangnya
berputar sendiri. "Mengertikah Anda, Mademoiselle?"
"Saya rasa saya mengerti."
Wajah Susan jadi agak pucat.
"Sekarang pintunya tertutup. Tak mungkin bisa masuk ke sebuah kamar bila
pintunya tertutup, tapi orang bisa keluar dari kamar itu, menutup pintu itu dari
luar, lalu memukulnya seperti yang saya lakukan tadi, dan karena gagangnya
berputar penyangganya pun masuk ke tanah. Setiap orang yang melihatnya akan
mengatakan bahwa pintu itu tertutup dari dalam."
"Begitukah" suara Susan agak bergetar, "begitukah kejadiannya semalam?"
"Ya, saya rasa begitu, Mademoiselle."
Dengan kasar Susan berkata,
"Sepatah kata pun saya tak percaya."
Poirot tak menyahut. Ia berjalan ke arah rak perapian, lalu berbalik dengan
tajam. "Mademoiselle, saya membutuhkan Anda sebagai saksi. Saya sudah punya satu saksi.
Mr. Trent. Dia melihat saya menemukan pecahan kaca kecil dari cermin ini;
semalam saya katakan hal itu padanya. Pada polisi saya berkata apa adanya. Saya
bahkan berkata pada Kepala Polisi bahwa petunjuk yang paling berharga adalah
cermin yang pecah itu. Tapi dia tidak menerima pandangan saya.
Sekarang Anda menjadi saksi bahwa saya memasukkan pecahan cermin itu. Ingat,
saya juga sudah meminta perhatian Mr. Trent mengenai benda itu, ke dalam amplop
kecil - begini." Ia berbuat seperti yang dikatakannya. "Dan saya menulis pada
amplop itu - begini- lalu saya lem. Anda saksinya, ya, Mademoiselle?"
"Ya, tapi saya tak tahu apa artinya."
Poirot berjalan ke sisi lain ruangan itu. Ia berdiri di depan meja tulis, lalu
menatap cermin yang sudah hancur pada dinding di hadapannya.
"Akan saya katakan apa artinya, Mademoiselle. Seandainya Anda berdiri di sini
semalam, dan melihat ke cermin itu, Anda pasti bisa melihat di dalamnya bahwa
suatu pembunuhan telah dilakukan..."
BAB 12 Baru sekali itulah selama hidupnya, Ruth ChevenixGore-yang sekarang bemama Ruth
Lake - turun pada waktunya untuk makan pagi. Hercule Poirot berada di ruang
depan dan memintanya berhenti sebentar sebelum ia masuk ke ruang makan.
"Ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan Madame."
"Apa?" "Anda berada di kebun semalam. Apakah waktu itu Anda
menginjak bedeng bunga di luar pintu kamar kerja Sir Gervase?"
Ruth memandanginya. "Ya, dua kali."
"Oh! Dua kali. Dua kali bagaimana?"
"Pertama kali saya memetik bunga michaelmas daisy. Waktu itu jam tujuh."
"Bukankah itu waktu yang aneh untuk memetik bunga?"
"Ya, sebenarnya aneh. Kemarin pagi saya sudah merangkai bunga, tapi setelah
minum teh Vanda berkata bahwa bunga di meja makan sudah tidak bagus. Saya kira
bunga-bunga itu tak apa-apa, jadi saya tidak merangkainya dalam keadaan segar."
"Tapi, ibu Anda meminta Anda merangkai bunga Benarkah itu?"
"Ya. Jadi, saya keluar pada jam tujuh kurang sedikit. Saya mengambilnya dari
bedeng bagian itu karena boleh dikatakan tak ada orang yang pergi ke bagian itu,
jadi tak sampai merusak kebunnya."
"Ya, ya, tapi yang kedua kali" Kata Anda, Anda pergi ke situ untuk kedua
kalinya?" "Itu tak lama sebelum makan malam. Baju saya ketetesan minyak rambut - di dekat
bahu. Saya tak ingin ganti, sedangkan bunga-bunga tiruan saya tak ada yang cocok
dengan warna kuning baju saya itu. Saya ingat, waktu sedang memetik bunga
michaelmas daisy, saya melihat sekuntum mawar yang terlambat mekar, maka saya
cepat-cepat keluar untuk dan menyematkannya di bahu baju saya itu."
Poirot mengangguk perlahan-lahan.
"Ya, saya ingat bahwa Anda memakai sekuntum mawar semalam.
Jam berapa Anda memetik bunga mawar itu, Madame?"
"Saya tak tahu pasti."
"Tapi itu penting, Madame. Ingat-ingatlah; pikir."
Ruth mengerutkan alisnya. Cepat-cepat ia melihat pada Poirot, lalu membuang muka
lagi. "Saya tak bisa mengatakannya dengan pasti," katanya akhirnya.
"Waktu itu - oh ya, tentu-waktu itu pasti kira-kira jam delapan lewat lima
menit. Soalnya dalam perjalanan kembali ke rumah, saya dengar gong berbunyi,
kemudian suara letusan yang aneh itu. Saya bergegas karena saya kira itu adalah
gong yang kedua, bukan gong yang pertama."
"Oh, Anda mengira begitu" Lalu apakah Anda tidak mencoba membuka pintu ruang
kerja saat Anda berdiri di bedeng bunga itu?"
"Terus terang saya mencobanya. Saya pikir bisa terbuka, dan lewat situ saya bisa
masuk lebih cepat. Tapi pintu itu terkunci."
"Jadi, semuanya bisa dijelaskan. Saya ucapkan selamat pada Anda, Madame."
Ruth memandanginya. "Apa maksud Anda?"
"Bahwa Anda bisa menjelaskan semuanya, tentang bekas tanah di sepatu Anda,
tentang bekas jejak kaki Anda di bedeng bunga, tentang sidik jari Anda yang
terdapat di bagian luar pintu. Mudah sekali."
Sebelum Ruth menjawab, Miss Lingard bergegas menuruni
tangga. Wajahnya merah padam, dan ia tampak agak terkejut waktu melihat Poirot
dan Ruth berdiri di situ.
"Maafkan saya," katanya. "Apakah ada sesuatu?"
Dengan marah Ruth berkata,
"Saya rasa M. Poirot sudah jadi gila!"
Ia cepat-cepat melewati mereka dan masuk ke ruang makan.
Dengan wajah terkejut Miss Lingard berpaling pada Poirot.
Poirot menggeleng. "Sesudah sarapan, akan saya jelaskan," katanya.
"Saya ingin semua orang berkumpul di ruang kerja Sir Gervase pada jam sepuluh. "
Waktu memasuki ruang makan, diulanginya permintaan itu.
Susan Cardwell menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangannya pada Ruth. Waktu
Hugo berkata, "Ha" Ada apa rupanya?" Susan menyikut sisi tubuhnya kuat-kuat, dan
Hugo langsung menutup mulutnya dengan patuh.
Setelah selesai sarapan, Poirot bangkit dan berjalan ke arah pintu.
Ia berbalik, lalu mengeluarkan sebuah arloji kuno yang besar.
"Sekarang jam sepuluh kurang lima menit. Lima menit lagi, di ruang kerja."
Poirot melihat ke sekelilingnya. Wajah-wajah yang penuh perhatian membalas
pandangannya. Semua orang sudah berada di
situ, kecuali satu orang, tapi kemudian yang satu itu pun masuk.
Lady Chevenix-Gore melangkah halus, seolah-olah meluncur. Ia tampak kurus dan
sakit. Poirot menarik sebuah kursi besar untuknya, dan ia pun duduk.
Wanita itu mengangkat matanya, melihat pada cermin yang pecah. Ia tampak
bergidik, lalu agak memutar kursinya.
"Gervase masih ada di sini," katanya dengan nada yakin. "Kasihan Gervase. Dia
akan segera bebas." Poirot menelan ludahnya, lalu berkata pada semua orang,
"Saya sudah meminta Anda sekalian untuk berkumpul di sini, supaya Anda bisa
mendengar fakta-fakta dari perbuatan bunuh diri, Sir Gervase."
"Itu sudah nasib," kata Lady Chevenix-Gore. "Gervase memang kuat, tapi nasibnya
lebih kuat." Kolonel Bury bergerak ke depan sedikit.
"Vanda, sayangku."
Wanita itu mendongak padanya, tersenyum, lalu mengangkat tangannya. Kolonel
menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya.
Dengan halus wanita itu berkata, "Kaulah hiburanku, Ned."
Dengan tajam Ruth berkata,
"Apakah kami harus berkesimpulan, M. Poirot, bahwa Anda sudah memastikan sebab
dari perbuatan bunuh diri ayah saya itu?"
Poirot menggeleng. "Tidak, Madame."
"Lalu apa maksud cerita yang tak berujung pangkal ini?"
Dengan tenang Poirot berkata,
"Saya tak tahu apa yang menyebabkan Sir Gervase bunuh diri, karena Sir Gervase
Chevenix-Gore tidak bunuh diri. Dia tidak membunuh dirinya sendiri. Dia
dibunuh." "Dibunuh?" Beberapa suara mengulangi perkataan itu. Wajah-wajah yang terkejut
menoleh ke arah Poirot. Lady Chevenix-Gore mendongak dan berkata, "Dibunuh" Ah,
tidak!" lalu menggeleng perlahan-lahan.
"Dibunuh, kata Anda?" Kini Hugo, yang berbicara. "Tak mungkin.
Tak ada seorang pun di dalam ruangan itu waktu kita masuk dengan paksa. Pintu
dan jendela-jendela terkunci. Pintu bahkan terkunci dari dalam, dan kuncinya ada
dalam saku paman saya. Bagaimana mungkin dia dibunuh?"
Meskipun demikian, dia dibunuh."
"Dan pembunuhnya saya rasa lolos lewat lubang kunci pintu, ya?"
kata Kolonel Bury dengan nada tak percaya. "Atau terbang lewat cerobong asap?"
"Pembunuhnya", kata Poirot, "keluar lewat jendela panjang. Mari saya perlihatkan
caranya." Poirot pun mengulangi apa yang telah dilakukannya dengan jendela panjang itu.
"Mengertikah Anda?" katanya. "Begitulah cara melakukannya!
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejak semula saya sudah menganggap tak mungkin Sir Gervase bunuh diri. Dia
memiliki ego yang besar sekali, dan orang macam itu tak mungkin bunuh diri!
"Lalu ada lagi hal-hal lain! Yang kita lihat, sebentar sebelum kematiannya, Sir
Gervase duduk di meja tulisnya, menggoreskan kata MAAF pada sehelai kertas, lalu
menembak dirinya sendiri. Tapi sebelum tindakannya yang terakhir itu, entah
mengapa dia mengubah letak kursinya, memutarnya sedemikian rupa hingga terletak
menyamping dari meja kerja. Mengapa" Pasti ada alasannya.
Saya mulai mendapat titik terang ketika saya menemukan sebuah pecahan cermin
yang melekat pada dasar sebuah patung perunggu yang berat.
"Saya bertanya sendiri, bagaimana pecahan cermin itu bisa sampai di situ" Dan
jawabannya saya temukan sendiri. Cermin itu pecah bukan oleh peluru, melainkan
karena dihantam dengan patung
perunggu yang berat itu. Jadi, cermin itu dipecahkan dengan sengaja.
"Tapi mengapa" Saya kembali ke meja kerja dan melihat ke kursi.
Nah, sekarang saya melihatnya. Segala-galanya salah. Tak ada orang yang akan
bunuh diri memutar kursinya dulu, membungkuk di tepinya, lalu menembak dirinya
sendiri. Semuanya itu sudah diatur.
Perbuatan bunuh diri itu suatu tipuan belaka!
"Sekarang saya tiba pada sesuatu yang sangat penting. Kesaksian Miss Cardwell.
Miss Cardwell mengatakan dia bergegas turun ke lantai bawah semalam karena dia
mengira gong yang kedua sudah berbunyi. Maksudnya, dia mengira sudah mendengar
gong yang pertama berbunyi sebelumnya.
"Sekarang bayangkan, seandainya Sir Gervase duduk di meja kerjanya dengan cara
yang biasa waktu dia ditembak, ke mana larinya pelurunya. Sesudah melalui garis
lurus, peluru itu akan melewati pintu bila pintu terbuka, dan akhirnya mengenai
gong! "Mengertikah Anda sekarang, betapa pentingnya pernyataan Miss Cardwell" Tak ada
orang lain yang mendengar suara gong yang pertama itu, tapi kamar Miss Cardwell
terletak langsung di atas kamar ini, dan dia berada dalam posisi terbaik untuk
mendengarnya. Bukankah bunyi gong itu hanya terdiri atas satu nada"
"Tak mungkin Sir Gervase menembak dirinya sendiri. Seseorang yang sudah
meninggal tak mungkin bangkit, menutup pintu, menguncinya, lalu mengatur
duduknya dalam posisi yang enak! Ada orang lain yang terlibat, dan oleh
karenanya itu bukan bunuh diri, melainkan pembunuhan. Seseorang yang
kehadirannya dengan mudah diterima oleh Sir Gervase, yang berdiri di sampingnya
dan bercakap-cakap dengannya. Mungkin Sir Gervase sedang sibuk menulis. Si
pembunuh mengangkat pistolnya ke pelipis kanannya dan menembak. Selesailah
perbuatan itu! Lalu dia harus bertindak cepat!
Si pembunuh memasang sarung tangan. Pintu dikuncinya, kuncinya diselipkan ke
saku Sir Gervase. Tapi bagaimana kalau satu nada gong yang nyaring tadi
terdengar" Orang akan berpikir bahwa pintu terbuka, tidak tertutup, waktu pistol
itu ditembakkan. Maka dia
memutar kursi Sir Gervase, tubuhnya diatur kembali, jemari si mati ditekankan
pada pistol, dan cerminnya dipecahkan dengan sengaja.
Si pembunuh keluar lewat jendela panjang, menutupnya kembali, lalu keluar, bukan
dengan menginjak rumput, melainkan menginjak bedeng- bunga, tempat bekas jejak
kaki bisa dihapus dengan mudah sesudahnya; lalu dia kembali ke rumah lewat
samping dan masuk ke ruang tamu utama."
Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi,
"Hanya ada satu orang yang berada di kebun di luar waktu tembakan itu
dilepaskan. Orang itu meninggalkan bekas jejak kakinya di bedeng bunga dan sidik
jarinya di bagian luar jendela panjang."
Ia mendatangi Ruth. "Dan perbuatan itu ada motifnya, bukan" Ayah Anda sudah mendengar tentang
pernikahan Anda yang diam-diam. Dia bersiap-siap akan menghapuskan nama Anda
dari surat wasiat." "Itu bohong!" Suara Ruth terdengar mengejek dan jelas. "Sama sekali tak ada
kebenaran dalam kisah Anda itu. Itu bohong, dari awal sampai akhir!"
"Kesaksian yang melemahkan Anda kuat sekali, Madame. Dewan juri mungkin
mempercayai Anda. Mungkin juga tidak!"
"Dia tak perlu menghadapi juri."
Semua orang berpaling - terkejut. Miss Lingard bangkit. Wajahnya berubah.
Seluruh tubuhnya, bergetar.
"Sayalah yang menembaknya. Saya akui itu. Saya punya alasan tersendiri. Saya..
sudah beberapa lama saya menunggu. M. Poirot -
benar. Saya mengikutinya kemari. Sebelumnya saya telah mengambil pistolnya dari
laci. Saya berdiri di sampingnya, membicarakan soal buku, lalu saya menembaknya.
Waktu itu jam delapan lewat sedikit.
Pelurunya mengenai gong. Tak terpikir oleh saya bahwa peluru itu akan menembus
kepalanya seperti itu: Tak ada waktu lagi untuk mencarinya. Maka saya kunci
pintu dan saya masukkan kuncinya ke dalam sakunya. Lalu saya putar letak
kursinya, saya pecahkan cerminnya, lalu, setelah menggoreskan kata MAAF pada secarik kertas, saya keluar
lewat jendela panjang dan menutupnya kembali seperti yang dipelihatkan oleh M.
Poirot. Saya menginjak bedeng bunga, tapi saya hapus kembali dengan sebuah garu
yang sudah saya siapkan di situ. Lalu saya kembali ke rumah dan ke ruang tamu
utama. Jendela panjangnya saya biarkan terbuka. Saya tidak tahu bahwa Ruth
keluar lewat situ. Pasti dia datang dari bagian depan, sedangkan saya kembali
lewat belakang. Soalnya saya harus mengembalikan garu itu ke gudang. Saya
menunggu di ruang tamu utama sampai saya dengar seseorang menuruni tangga dan
Snell pergi menuju gong, lalu..."
Ia melihat ke arah Poirot.
"Anda tidak tahu apa yang saya lakukan kemudian?"
"Oh ya, saya tahu. Saya menemukan kantong kertas itu di keranjang sampah.
Sungguh bagus akal Anda. Anda lakukan apa yang suka dilakukan oleh anak-anak.
Anda tiup kantong itu, lalu Anda pukul keras-keras. Maka terdengarlah suara
letupan yang cukup keras. Anda buang kantong itu ke keranjang sampah, lalu Anda
bergegas keluar ke ruang depan. Dengan demikian, Anda
memastikan jam dilakukannya bunuh diri itu, juga alibi bagi Anda sendiri. Tapi
masih ada satu hal yang Anda risaukan. Anda tak sempat memungut pelurunya. Benda
itu pasti terletak di depan gong.
Padahal peluru itu harus ditemukan di dalam ruang kerja, di suatu tempat di
dekat cermin. Saya tidak tahu kapan Anda mendapatkan pikiran untuk mengambil
pensil Kolonel Bury..."
"Pada saat itu juga," kata Miss Lingard. "Waktu kita semua masuk dari ruang
depan. Saya terkejut melihat Ruth sudah berada di ruang itu. Saya sadari bahwa
dia pasti masuk dari kebun, lewat jendela panjang. Lalu saya lihat pensil
Kolonel Bury di meja bridge. Saya selipkan ke dalam tas saya. Bila kelak
seseorang melihat saya memungut peluru itu, saya bisa berpura-pura bahwa yang
saya pungut adalah pensil itu. Ternyata tak seorang pun melihat saya memungut
peluru itu. Saya jatuhkan di dekat cermin waktu Anda sedang memperhatikan mayat.
Ketika Anda menanyakan benda apa
yang saya pungut, saya senang sekali karena telah membuat rencana dengan pensil
itu." "Ya, itu cerdik sekali. Saya benar-benar bingung."
"Saya takut ada orang yang mendengar suara tembakan yang sebenarnya, tapi saya
tahu semua orang sedang berpakaian untuk makan malam, dan pasti terkurung dalam
kamar masing-masing. Para pelayan ada di tempat mereka. Hanya Miss Cardwell yang mungkin
mendengarnya, tapi dia mungkin mengira itu suara knalpot mobil. Yang jelas
didengarnya sebenarnya suara gong. Saya kira...
saya kira semuanya berjalan dengan baik, tanpa hambatan."
Lambat-lambat Mr. Forbes berkata dengan nada pasti,
"Ini kisah yang luar biasa. Kelihatannya tak ada motifnya."
Dengan lantang Miss Lingard berkata, "Motifnya ada."
Dengan tegas ditambahkannya,
"Ayolah, teleponlah polisi! Apa yang kalian tunggu?"
Dengan halus Poirot berkata,
"Tolong Anda sekalian meninggalkan ruangan ini. Mr. Forbes, tolong telepon Mayor
Riddle. Saya akan tinggal di sini sampai dia tiba."
Perlahan-lahan, satu demi satu keluarga itu berurutan keluar dari ruangan itu.
Dengan pandangan heran, tak mengerti, dan terpukul, mereka melihat pada sosok
kecil yang berdiri tegak itu, dengan rambut ubannya yang terbelah rapi di
tengah. Ruth yang terakhir pergi. Ia berdiri dengan bimbang di ambang pintu.
"Saya tak mengerti." Ia bicara dengan nada marah dan
menantang, dengan sikap menyalahkan Poirot. "Tadi Anda mengira saya yang
melakukannya." "Tidak, tidak." Poirot menggeleng. "Tidak, saya tak pernah mengira begitu."
Ruth keluar lambat-lambat.
Tinggallah Poirot bersama wanita setengah umur yang apik dan bertubuh kecil itu,
yang baru saja mengakui suatu pembunuhan yang direncanakan dengan pandai dan
dilakukan dengan darah dingin.
"Tidak," kata Miss Lingard. "Anda memang tidak menduga bahwa dia yang telah
melakukannya. Anda menuduh dia supaya saya buka mulut. Betul begitu, kan?"
Poirot menundukkan kepalanya.
"Sementara kita menunggu," kata Miss Lingard dengan ramah,
"harap Anda katakan pada saya, apa yang membuat Anda mencurigai saya."
"Ada beberapa hal. Pertama-tama, gambaran Anda mengenai Sir Gervase. Seorang
pria sombong seperti Sir Gervase tidak akan pernah mau menceritakan keburukan
keponakannya kepada orang luar, terutama pada seseorang yang berkedudukan
seperti Anda. Anda ingin memperkuat teori tentang bunuh diri. Anda juga terpeleset dengan
mengatakan bahwa penyebab bunuh diri itu adalah suatu kesulitan memalukan yang
berhubungan dengan Hugo Trent. Padahal hal seperti itu tidak akan pernah diakui
Sir Gervase pada seorang asing. Lalu ada pula barang yang Anda pungut di ruang
depan, juga fakta yang jelas sekali ketika Anda tidak menyebutkan bahwa Ruth
masuk ke ruang tamu utama dari kebun. Kemudian saya menemukan kantong kertas -
suatu benda yang sangat tak mungkin ditemukan di ruang tamu utama sebuah rumah
seperti Hamborough Close! Andalah satu-satunya orang yang berada di ruang tamu
utama waktu suara 'tembakan' itu terdengar. Akal-akalan dengan kantong kertas
itu menunjuk ke arah seorang wanita - sebuah alat yang sangat biasa di dalam
rumah. Jadi, semuanya cocok. Usaha untuk melemparkan tuduhan pada diri Hugo dan
menjauhkannya dari Ruth. Mekanisme kejahatannya dan motifnya...
Wanita kecil itu bergerak.
"Tahukah Anda motifnya?"
"Saya rasa saya tahu. Kebahagiaan Ruth - itulah motifnya! Saya rasa Anda telah
melihatnya bersama John Lake. Anda tahu bagaimana hubungan mereka. Kemudian,
karena Anda bisa dengan mudah membongkar surat-surat Sir Gervase, Anda menemukan
konsep surat wasiatnya yang baru, yang berbunyi bahwa Ruth akan dihapuskan
sebagai ahli waris kecuali kalau dia menikah dengan Hugo Trent. Itulah yang
membuat Anda mengambil keputusan untuk main hakim sendiri, dengan menggunakan
fakta bahwa Sir Gervase sebelumnya telah menulis surat pada saya. Mungkin Anda
telah membaca salinan suratnya itu. Entah rasa curiga dan rasa takut apa yang
mula-mula membingungkannya, hingga dia menulis surat itu, saya tak tahu. Dia
pasti telah mencurigai Burrows atau Lake menipunya terusmenerus.
Ketidakyakinannya mengenai perasaan Ruth mendorongnya untuk mencari seorang
detektif swasta. Anda memanfaatkan kenyataan itu, lalu Anda merencanakan dugaan
bunuh diri itu, dan Anda dukung dengan pernyataan Anda bahwa dia sangat tertekan
oleh sesuatu yang berhubungan dengan Hugo Trent.
Anda mengirim telegram pada saya dan mengatakan bahwa menurut Sir Gervase saya
akan tiba 'terlambat'."
Dengan keras Miss Lingard berkata,
"Gervase Chevenix-Gore itu sangat tirani, sombong, dan pembual!
Saya tak ingin dia menghancurkan kebahagiaan Ruth."
Dengan halus Poirot berkata,
"Apakah Ruth itu putri Anda?"
"Ya, dia anak saya. Saya sering memikirkannya. Waktu saya dengar Sir Gervase
Chevenix-Gore membutuhkan seseorang yang bisa membantunya menulis sejarah
keluarganya, saya mengambil kesempatan itu. Saya ingin sekali melihat... anak
saya. Saya tahu bahwa Lady Chevenix-Gore tidak akan mengenali saya. Kami bertemu
bertahun-tahun yang lalu - waktu itu saya masih muda dan cantik, dan saya
mengubah nama saya setelah itu. Apalagi Lady ChevenixGore itu demikian tak
warasnya, hingga dia tidak akan mengenali sesuatu dengan pasti. Saya
menyukainya, tapi saya benci pada keluarga Chevenix-Gore. Mereka memperlakukan
saya dengan buruk sekali. Lalu sekarang Gervase ingin menghancurkan hidup Ruth, gara-gara
kesombongan dan keangkuhannya. Tapi saya bertekad agar dia berbahagia. Dan dia
akan berbahagia, asalkan dia tidak pernah tahu tentang diri saya!"
Itu merupakan suatu permintaan - bukan pertanyaan.
Poirot menundukkan kepalanya dengan halus.
"Tidak akan ada orang yang mendengarnya dari saya."
Dengan tenang Miss Lingard berkata,
"Terima kasih."
Kemudian, setelah polisi datang dan pergi lagi, Poirot menemukan Ruth Lake dan
suaminya di kebun. Dengan menantang Ruth berkata,
"Apakah Anda benar-benar mengira bahwa saya yang
melakukannya M. Poirot?"
"Saya tahu, Madame, bahwa Anda tak mungkin melakukannya.
Gara-gara bunga michaelmas daisy itu!"
"Bunga michaelmas daisy" Saya tak mengerti."
"Begini, Madame, hanya ada empat bekas jejak kaki di bedeng bunga itu, tak
lebih. Padahal bila Anda memetik bunga, tentu ada jauh lebih banyak. Itu berarti
antara kedatangan Anda yang pertama dan yang kedua, ada orang yang menghapuskan
kembali semua jejak kaki itu. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang
bersalah, dan karena bekas jejak kaki Anda sendiri tidak dihapuskan, maka tak
mungkin Anda yang bersalah. Dengan demikian, bebaslah Anda."
Wajah Ruth menjadi cerah.
"Oh, saya mengerti. Soalnya, saya merasa itu mengerikan, tapi saya juga kasihan
pada wanita malang itu. Soalnya, dia mengakui kesalahannya dan tidak membiarkan
saya ditahan - atau setidaknya.
begitulah dugaannya. Itu... tindakan yang mulia. Saya sedih
membayangkan dia harus menghadapi pengadilan atas tuduhan pembunuhan."
Dengan halus Poirot berkata,
"Jangan sedih, tidak akan sampai sejauh itu. Dokter berkata pada saya bahwa dia
menderita sakit jantung yang berat. Dia tidak akan hidup lama lagi, paling-
paling beberapa minggu."
"Saya senang mendengarnya." Ruth memetik setangkai bunga krokus musim gugur,
lalu menempelkannya dengan lembut ke pipinya.
"Kasihan wanita itu. Saya jadi ingin tahu, mengapa dia
melakukannya..." SEGITIGA DI RHODES BAB 1 HERCULE POIROT duduk di pasir yang putih dan memandangi air biru yang berkilau
di kejauhan. Penampilannya rapi dan modis. Ia mengenakan pakaian serba putih
dari bahan flanel, dan sebuah topi anyaman lebar melindungi kepalanya. Ia
termasuk generasi yang kolot, yang percaya bahwa orang harus melindungi dirinya
dengan baik dari matahari. Miss Pamela Lyall, yang duduk di sampingnya dan tak
henti-hentinya berbicara, mewakili angkatan modern. Ia mengenakan pakaian yang
minim sekali pada tubuhnya yang sudah cokelat terbakar matahari.
Sekali-sekali arus bicaranya berhenti, sementara ia meminyaki ulang tubuhnya
dengan cairan berminyak yang dikeluarkannya dari botol di sebelahnya. Lebih jauh
dari Miss Pamela Lyall, sahabat karibnya, Miss Sarah Blake, berbaring
menelungkup pada sehelai handuk bergaris-garis lebar. Warna cokelat di tubuh
Miss Blake sempurna sekali, dan temannya lebih dari sekali melemparkan pandangan tak senang
ke arahnya. "Kulit saya masih belang sekali," gumamnya kesal. "M. Poirot, maukah Anda
menolong saya" Tolong, di bawah tulang belikat kanan. Tangan saya tak sampai ke
situ untuk meminyakinya dengan baik."
M. Poirot menuruti keinginan itu, dan sesudahnya ia menyeka tangannya yang
berminyak dengan hati-hati pada saputangannya.
Miss Lyall, yang selalu senang mengamati orang-orang di sekelilingnya dan
berceloteh ini-itu, berbicara lagi.
"Saya benar tentang wanita itu, yang memakai baju Chanel. Dia memang Valentine
Dacres - maksud saya Chantry. Sudah saya duga.
Saya langsung mengenalinya. Dia luar biasa sekali, ya" Maksud saya, saya
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti mengapa orang-orang jadi tergila-gila padanya. Itu memang
diharapkannya! Orang-orang yang baru tiba semalam bernama Gold. Yang laki-laki
tampan sekali." "Orang-orang yang sedang berbulan madu, ya?" gumam Sarah dengan suara tertahan.
Miss Lyall menggeleng dengan gaya berpengalaman.
"Ah, bukan. Pakaiannya tidak cukup baru. Kita selalu bisa membedakan pengantin
baru dari orang lain! Tidakkah menurut Anda, memperhatikan orang-orang itu suatu
hal yang paling menyenangkan di dunia, M. Poirot" Kita bisa menemukan hal-hal
tentang mereka, hanya dengar memandangi mereka."
"Bukan sekadar melihat, Sayang," kata Sarah dengan manis. "Kau juga mengajukan
banyak sekali pertanyaan."
"Kamu bahkan belum berbicara dengan keluarga Gold itu," kata Miss Lyall dengan
berwibawa. "Tapi mengapa kita tak boleh menaruh perhatian pada sesama makhluk
hidup" Sifat manusiawi benar-benar menawan. Bukan begitu, M. Poirot?"'
Kali ini ia berhenti cukup lama untuk menunggu jawaban dari temannya.
Tanpa melepaskan pandangannya dari air yang biru, M., Poirot menjawab,
"Itu tergantung."
Pamela terkejut sekali. "Ah, M. Poirot! Saya rasa tak ada yang begitu menarik perhatian dan begitu tak
bisa ditebak seperti manusia."
"Tak bisa ditebak" Tidak juga."
"Tapi itu betul. Begitu kita merasa telah bisa memergoki seseorang dengan baik,
dia melakukan sesuatu yang sama sekali tak terduga."
Hercule Poirot menggeleng.
"Tidak, itu tidak benar. Jarang sekali seseorang melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan wataknya. Hingga akhirnya jadi membosankan."
"Saya sama sekali tidak sependapat dengan Anda!" kata Miss Lyall.
Selama kira-kira satu setengah menit ia diam. Lalu kembali menyerang.
"Begitu melihat orang-orang, saya mulai berpikir tentang mereka, bagaimana
mereka itu, bagaimana hubungan mereka, apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Aduh, benar-benar mendebarkan."
"Itu kurang tepat," kata Hercule Poirot. "Sifat seseorang sering terulang lebih
daripada yang bisa kita bayangkan. Laut," katanya lagi sambil merenung, "lebih
beragam sifatnya." Sarah memalingkan kepalanya ke samping dan bertanya,
"Menurut Anda, manusia cenderung memperlihatkan kembali pola-pola tertentu"
Pola-pola dalam bentuk klise?"
"Tepat sekali," kata Poirot, lalu menggoreskan suatu bentuk di pasir dengan
jarinya. "Apa yang Anda gambarkan itu?" tanya Pamela ingin tahu.
"Sebuah segitiga," kata Poirot.
Tapi perhatian Pamela sudah beralih ke tempat lain.
"Ini dia suami-istri Chantry," katanya.
Seorang wanita sedang berjalan menuju pantai; ia bertubuh semampai dan sangat
menyadari kecantikannya serta bentuk tubuhnya. Ia mengangguk sedikit dan
tersenyum, lalu duduk agak jauh di pantai. Penutup tubuhnya yang dari sutra
merah tua keemasan jatuh tergelincir dari pundaknya. Ia mengenakan pakaian
renang putih. Pamela mendesah. "Alangkah indah bentuk tubuhnya!"
Tapi Poirot memandangi wajahnya - wajah seorang wanita
berumur tiga puluh sembilan, yang sudah terkenal sejak ia berumur enam belas
karena kecantikannya. Sebagaimana semua orang tahu, ia pun tahu segalanya tentang Valentine Chantry.
Wanita itu terkenal dalam banyak hal - karena sifatnya yang tidak punya
pendirian, kekayaannya, matanya yang besar sekali dan berwarna biru batu safir,
juga karena pengalaman-pengalaman perkawinannya dan petualangan-petualangannya.
Suaminya lima orang dan pacarnya tak terhitung. Ia pernah menjadi istri seorang
count dari Italia, istri seorang pengusaha baja yang kaya raya, seorang pemain
tenis profesional, dan seorang pembalap mobil.
Mantan suaminya yang orang Amerika meninggal, sedangkan yang lain
ditinggalkannya lewat pengadilan perceraian. Enam bulan yang lalu, ia menikah
untuk kelima kalinya, dengan seorang komandan angkatan laut.
Pria itulah yang berjalan mengikutinya di pantai itu. Orangnya pendiam, berambut
gelap, dagunya menantang, dan air mukanya cemberut. Ia memberikan kesan seperti
orang utan zaman purba. Wanita itu berkata, "Tony sayang, kotak rokokku..."
Yang pria langsung menyiapkannya, menyalakan rokok itu, membantu memperbaiki
letak tali bahu pakaian renangnya. Yang wanita berbaring di matahari dengan
lengan terentang. Yang laki-laki duduk di dekatnya seperti binatang buas yang
menjaga mangsanya. Dengan suara agak direndahkan Pamela berkata,
"Dengar, aku menaruh perhatian besar pada mereka. Yang lakilaki kejam sekali!
Begitu diam dan cemberut. Kurasa perempuan seperti dia menyukai yang begitu.
Mungkin rasanya seperti menjinakkan seekor harimau! Aku ingin tahu, berapa lama
itu akan bertahan. Kurasa dia cepat merasa bosan pada laki-laki, lebih-lebih
zaman sekarang. Tapi, kalau perempuan itu mencoba
menyingkirkannya, kurasa laki-laki itu akan jadi berbahaya."
Suatu pasangan lain datang ke pantai dengan agak malu-malu.
Mereka adalah pendatang baru yang baru tiba semalam. Mr. dan Mrs, Douglas Gold.
Hal itu diketahui Miss Lyall berkat penyelidikannya pada buku tamu hotel. Ia
juga tahu nama kecil dan umur mereka, karena itu merupakan peraturan di Itali,
dan dicantumkan berdasarkan buku paspor mereka.
Mr. Douglas Cameron Gold berumur tiga puluh satu tahun, sedangkan Mrs. Marjorie
Emma Gold tiga puluh lima tahun.
Seperti telah dikatakan, hobi Miss Lyall adalah mempelaJari manusia. Tidak
sebagaimana biasanya orang Inggris, ia bisa berbicara dengan orang-orang asing
pada pertemuan pertama, bukannya menunggu selama empat hari atau seminggu
sebelum dengan berhati-hati memperkenalkan diri, sebagaimana kebiasaan di
Inggris. Oleh karenanya, waktu melihat Mrs. Gold ragu dan malu-malu mendekat, ia
berseru, "Selamat pagi; indah sekali hari ini, ya?"
Mrs. Gold kecil sekali; mirip seekor tikus. Ia tidak jelek, raut wajah dan
kulitnya bagus, tapi ia memberi kesan tidak percaya diri dan kumal, hingga ia
tidak menarik perhatian orang. Sebaliknya, suaminya tampan sekali, seperti
orang-orang teater. Rambutnya
pirang sekali, juga keriting, matanya biru, dadanya bidang, sedangkan pinggulnya
kecil. Ia lebih seperti seorang tokoh cerita di panggung daripada seorang muda dalam
kehidupan nyata, tapi begitu ia membuka mulutnya, kesan itu lenyap. Sikapnya
wajar sekali dan tidak dibuat-buat, bahkan mungkin agak bodoh.
Mrs. Gold menatap Pamela dengan pandangan berterima kasih, lalu duduk di
dekarnya. "Bukan main bagusnya wama cokelat kulit Anda. Saya merasa pucat sekali!"
"Kita harus berusaha keras untuk mendapatkan warna cokelat ini secara merata,"
desah Miss Lyall. Ia diam sebentar, lalu berkata lagi,
"Anda baru datang, kan?"
"Ya. Semalam. Kami datang naik kapal Vapo d'ltalia."
"Sudah pernahkah Anda datang ke Rhodes ini?"
"Belum. Cantik sekali, ya?"
Suaminya berkata, "Sayang jauh sekali perjalanan kemari."
"Ya, alangkah baiknya kalau lebih dekat dengan Inggris."
Dengan suara tertahan Sarah berkata,
"Ya, tapi lalu tak enak jadinya. Melihat tubuh orang yang berjajar seperti ikan
di tempat pengeringan. Di mana-mana tubuh manusia."
"Itu benar juga," kata Douglas Gold. "Tapi menyusahkan sekali karena mata uang
Itali sedang jatuh sekali sekarang."
"Itu ada juga pengaruhnya, ya?"
Percakapan berjalan melalui jalur yang wajar sekali. Bahkan tak bisa disebut
suatu percakapan yang cerdas.
Agak jauh di pantai, Valentine Chantry bergerak, lalu duduk.
Dengan sebelah tangannya ia menahan letak pakaian renangnya di dadanya.
Ia menguap, lebar namun halus, seperti kucing. Ia melihat dengan tak acuh ke
pantai.. Matanya menyipit, melewati Marjorie Gold, lalu bertahan merenungi
kepala Douglas Gold yang berambut keemasan.
Digerakkannya pundaknya dengan menggeliat. Ia berbicara dengan suara dinaikkan,
lebih tinggi daripada yang diperlukan.
"Tony sayang, bukan main indahnya matahari ini, ya" Pasti aku dulu seorang
pemuja matahari, benar tidak?"
Suaminya menjawab dengan menggeram, hingga tak terdengar oleh yang lain-lain.
Valentine Chantry berkata lagi dengan suara tingginya yang manja,
'Tolong ratakan sedikit lagi handuk itu, Sayang."
Ia berusaha keras memperbaiki posisi duduk tubuhnya yang indah itu. Kini Douglas
Gold melihat. Matanya terang-terangan memperlihatkan minat.
Mrs. Gold berkicau dengan senang dan suara rendah pada Miss Lyall,
"Alangkah cantiknya wanita itu!"
Dengan suara lebih rendah, Pamela yang suka sekali memberikan maupun menerima
informasi, berkata, "Itu Valentine Chantry. Waktu gadis dia bernama Valentine Dacres. Dia memang
menawan sekali. ya" Suaminya tentu tergila-gila padanya. Dia tak mau melepaskan
istrinya dari pandangannya."
Mrs. Gold sekali lagi melihat ke pantai. Lalu ia berkata,
"Laut memang indah sekali - sangat biru. Kurasa sebaiknya kita berenang, ya,
Douglas?" Suaminya masih memandangi Valentine Chantry dan beberapa menit kemudian baru
menyahut. Katanya dengan agak linglung,
"Berenang" Oh ya, baiklah, sebentar lagi."
Marjorie Gold bangkit, lalu berjalan ke tepi air.
Valentine Chantry berguling sedikit, hingga tubuhnya miring.
Matanya tetap tertuju pada Douglas Gold. Bibirnya yang merah tua mengulum senyum
samar. Leher Mr. Douglas Gold jadi agak merah.
Valentine Chantry berkata,
"Tony sayang, tolong ya" Aku memerlukan botol krim wajahku.
Ada di kamar di meja rias. Aku sudah berniat membawanya turun tadi. Tolong
ambilkan, ya, malaikatku."
Pak Komandan bangkit dengan patuh, lalu berjalan menuju hotel.
Marjorie Gold mencebur ke laut, lalu berseru.
"Enak sekali, Douglas, hangat sekali. Mari ikut."
Pamela Lyall berkata pada laki-laki itu,
"Mengapa Anda tak ikut?"
Ia menjawab dengan linglung,
"Oh! Saya lebih suka berpanas-panas dulu."
Valentine Chantry bergerak. Kepalanya terangkat sesaat, seolah-olah akan
memanggil kembali suaminya, tapi suaminya baru saja menghilang lewat tembok
kebun hotel. "Saya lebih suka berenang pada saat terakhir," jelas Mr. Gold.
Mrs. Chantry duduk kembali. Diambilnya botol minyak untuk berjemur. Ia mengalami
kesulitan membukanya; tutupnya agaknya terlalu keras untuk dibuka.
Dengan nyaring dan kesal ia berkata,
"Astaga, aku tak bisa membuka benda ini."
Ia melihat ke arah kelompok yang lain.
"Bagaimana ya?"
Poirot yang selalu siap membantu, bangkit, tapi Douglas Gold yang lebih muda dan
lebih lincah, sebentar saja sudah berada di sisi wanita itu.
"Bolehkah saya membukakannya?"
"Oh, terima kasih." Lagi-lagi suaranya manja dan manis.
"Anda baik sekali. Saya memang bodoh kalau harus membuka apa-apa; selalu saya
memutarnya terbalik. Tuh! Anda sudah berhasil!
Terima kasih banyak."
Hercule Poirot tersenyum sendiri.
Ia bangkit, lalu berjalan-jalan di pantai, ke arah yang berlawanan.
Ia tidak pergi jauh, dan ia berjalan dengan santai. Ketika ia sedang dalam
perjalanan kembali, Mrs. Gold keluar dari laut dan menyertainya. Ia baru saja
berenang. Wajahnya yang dilindungi topi renang yang buruk sekali, tampak
berseri. "Saya suka sekali laut," katanya terengah. "Apa lagi di sini hangat dan indah
sekali." Poirot menyimpulkan bahwa wanita itu suka sekali berenang.
Katanya lagi, "Saya dan Douglas suka sekali berenang. Dia bisa bertahan berjam-
jam dalam air." Mendengar kata-kata itu, mata Hercule Poirot beralih ke belakang pundak si
wanita, ke tempai si penggemar air, Mr. Douglas Gold, sedang duduk bercakap-
cakap dengan Valentine Chantry.
Istrinya berkata, "Saya tak mengerti mengapa dia tak ikut..."
Suaranya mengandung rasa heran yang kekanak-kanakan.
Poirot tetap memandangi Valentine Chantry sambil merenung.
Pasti ada wanita-wanita lain yang juga mengucapkan kata-kata itu di waktu yang
lalu, pikirnya. Di sebelahnya, didengarnya Mrs. Gold menahan napasnya dengan mendadak.
Katanya dengan nada dingin,
"Saya rasa dia memang menarik sekali. Tapi, Douglas tak suka wanita tipe
begitu." Hercule Poirot tidak menjawab.
Mrs. Gold pun masuk ke laut lagi.
Ia berenang menjauh dari tepi dengan gerak tangan lambat tapi mantap. Kita bisa
melihat bahwa ia suka sekali pada air.
Poirot kembali ke kelompok yang duduk di pantai itu.
Jumlah kelompok itu telah bertambah dengan kehadiran Jenderal Barnes, seorang
perwira veteran yang suka bergabung dengan kaum muda. Kini ia duduk di antara
Pamela dan Sarah, dan bersama Pamela ia sedang asyik membahas beberapa skandal
dengan banyak bumbu. Komandan Chantry sudah kembali dari tugasnya. Ia dan Douglas Gold duduk mengapit
Valentine. Valentine duduk tegak sekali di antara kedua pria itu, sambil bercakap-cakap. Ia
berbicara dengan santai, suaranya manja dan manis, sambil menoleh pada kedua
pria itu bergantian. Ia baru saja selesai menceritakan sebuah anekdot.
"Lalu kata laki-laki dungu itu, 'Mungkin memang hanya semenit tapi saya akan
mengingat Anda di mana pun, Mum!' Begitu, kan Tony" Dan tahukah kalian saya
menganggap laki-laki itu manis sekali.
Saya memang menganggap dunia ini ramah-maksud saya, semua orang selalu baik pada
saya - entah mengapa - tapi begitulah keadaannya. Tapi saya katakan pada Tony -
ingatkah kau, Sayang" -
'Tony, kalaupun kau ingin merasa cemburu sedikit, cemburulah terhadap komisaris
itu.' Karena dia benar-benar menawan..."
Keadaan sepi sebentar, lalu Douglas berkata,
"Komisaris-komisaris itu, ada beberapa di antaranya yang baik."
"Oh ya, tapi dia sangat bersusah payah, sungguh-sungguh bersusah payah, dan
kelihatannya senang sekali bisa membantu saya."
Kata Douglas Gold, 'Itu tidak aneh. Saya yakin semua orang suka membantu Anda."
Wanita itu berseru gembira,
"Anda baik sekali! Tony, kaudengarkah itu?"
Komandan Chantry menggeram.
Istrinya mendesah, "Tony tak pernah berbicara dengan manis, begitukan, sayangku?"
Tangannya yang putih dengan kuku panjang dan merah mengacak rambut suaminya yang
hitam. Suaminya mendadak melihat padanya dari samping. Wanita itu bergumam,
"Entah bagaimana dia bisa sabar menghadapi saya. Dia orang yang pintar luar
biasa, sedangkan saya terus saja mengoceh omong kosong sepanjang waktu, tapi
kelihatannya dia tidak keberatan. Tak ada orang yang keberatan terhadap apa yang
saya lakukan atau katakan. Semua orang memanjakan saya. Saya yakin itu sama
sekali tak baik bagi saya."
Sambil melihat melewati istrinya, Komandan Chantry berkata pada Douglas Gold,
"Itu istri Anda yang di laut itu?"
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Saya rasa sudah waktunya saya menyertainya."
Valentine bergumam, "Tapi berjemur di sini lebih menyenangkan. Tak usah masuk ke air. Tony sayang,
kurasa hari ini aku tidak akan berenang. Aku tak mau berenang padahari pertama.
Bisa-bisa aku masuk angin. Tapi mengapa kau tidak pergi saja berenang, Tony
sayang' Mr. Gold akan tinggal di sini menemaniku, sementara kau berenang."
Dengan tegas Chantry berkata,
"Tidak. Aku belum ingin masuk. Kelihatannya istri Anda melambai pada Anda,
Gold." Valentine berkata, "Pandai sekali istri Anda berenang. Saya yakin dia seorang wanita yang sangat
efisien dan bisa melakukan segala-galanya dengan baik sekali. Orang-orang
semacam itu sangat menakutkan saya, karena saya merasa mereka membenci saya.
Saya ini tak bisa apa-apa; saya orang yang sangat tergantung, bukan,
"Tony sayang?" Tapi lagi-lagi Komandan Chantry hanya menggeram.
Istrinya bergumam dengan merayu,
"Kau terlalu manis untuk mengakuinya. Laki-laki memang setia sekali; itulah yang
saya sukai dari mereka. Saya yakin laki-laki lebih setia daripada wanita, dan
mereka tak pernah mengucapkan kata-kata jahat. Saya selalu beranggapan bahwa
wanita agak picik." Sarah Blake berbalik ke arah Poirot.
Dengan geram ia bergumam,
"Contoh-contoh tentang kepicikan adalah bahwa Mrs. Chantry yang cantik itu sama
sekali tak sempurna! Dungu sekali perempuan itu. Saya benar-benar beranggapan
bahwa Valentine Chantry adalah perempuan paling dungu yang pernah saya jumpai.
Ia tak bisa berkata lain selain, 'Tony sayang,' dan memutar-mutar matanya.
Saya rasa kepalanya berisi wol, bukan otak."
Poirot mengangkat alisnya yang ekspresif.
"Keras sekali kata-kata itu!"
"Oh, ya. Dia seperti kucing. Licik. Tak bisakah dia membiarkan laki-laki mana
pun" Suaminva kelihatan marah sekali."
Sambil melihat ke laut, Poirot berkata,
"Mrs. Gold pandai berenang."
"Ya, dia tidak seperti kami yang tak suka menjadi basah. Saya ingin tahu apakah
Mrs. Chantry akan mau masuk ke laut selama dia di sini."
"Pasti tidak," kata Jenderal Barnes dengan serak," Dia tak mau menanggung risiko
rias wajahnya luntur. Dia memang cantik, meskipun sudah agak tua.
"Dia melihat ke arah Anda, Jenderal," kata Sarah dengan nakal.
"Namun Anda keliru mengenai rias wajah itu. Zaman sekarang, wanita memakai rias
wajah tahan air dan tahan ciuman."
"Mrs. Gold keluar dari air," kata Pamela.
"Awas, awas," senandung Sarah. "Si istri datang untuk membawa pergi suaminya -
membawanya pergi - membawanya pergi..."
Mrs. Gold langsung menuju pantai. Bentuk tubuhnya bagus, tapi topinya yang
sangat sederhana- sama sekali tidak menarik, meskipun sangat berguna.
"Kau tak mau ikut, Douglas?" tanyanya tak sabaran. "Laut begitu indah dan
hangat." "Memang." Douglas Gold cepat-cepat bangkit. Ia berhenti sebentar, dan pada saat itu
Valentine Chantry mendongak padanya sambil tersenyum manis'.
"Selamat berpisah," katanya.
Gold dan istrinya berjalan menuju laut.
Segera setelah mereka tak bisa mendengar lagi, Pamela mengritik,
"Saya rasa kurang baik merenggutkan suami dari perempuan lain.
Cara itu merugikan. Kita jadi kelihatan sok menguasai. Padahal para suami benci
sikap itu." "Kelihatannya Anda tahu banyak tentang suami-suami, Miss Pamela," kata Jenderal
Barnes. "Suami orang, bukan suami saya sendiri!"
"Nah! Di situlah bedanya."
"Ya, tapi, Jenderal, saya jadi tahu apa-apa yang tak boleh saya lakukan."
"Yah, Sayang," kata Sarah, "yang jelas, aku tidak akan mau memakai topi seperti
itu." "Menurut saya, dia kelihatannya berakal sehat," kata Jenderal.
"Kelihatannya dia seorang wanita kecil yang baik dan berakal sehat."
"Tebakan Anda tepat, Jenderal," kata Sarah. "Tapi itu ada batasnya. Saya rasa
dia tidak akan berakal sehat sehubungan dengan Valentine Chantry."
Sarah memalingkan kepalanya, lalu berseru dengan berbisik kacau,
"Lihat dia. Seperti akan meledak saja. Laki-laki itu kelihatannya marah sekali."
Komandan Chantry memang tampak cemberut dan geram sekali setelah suami-istri itu
berlalu. Sarah mendongak pada Poirot.
"Nah," katanya. "Apa kesimpulan Anda?"
Hercule Poirot tidak menjawab dengan kata-kata, tapi sekali lagi telunjuknya
mencoretkan suatu bentuk di pasir. Bentuknya sama -
sebuah segitiga. "Segi tiga abadi," kata Sarah. "Mungkin Anda benar. Kalau begitu, kita akan
mendapatkan pengalaman menarik dalam beberapa minggu ini."
BAB 2 M. Hercule Poirot merasa kecewa. Ia datang ke Rhodes untuk beristirahat dan
berlibur. Terutama libur dari kejahatan. Kata orang, di akhir bulan Oktober,
Rhodes boleh dikatakan kosong. Menjadi suatu tempat yang sepi dan tenang.
Itu memang benar. Tamu-tamu di hotel itu hanya suami-istri Chantry, suami-istri
Gold, Pamela dan Sarah, Jenderal, dan dirinya sendiri, serta dua pasang orang
Itali. Tapi dalam lingkup yang terbatas itu, otak M. Poirot yang tajam melihat
awal dari peristiwa-peristiwa yang akan terjadi,
"Soalnya aku ini selalu memikirkan kejahatan," katanya menegur dirinya sendiri.
"Aku jadi kurang pandai mencerna! Aku suka mengkhayal."
Namun ia tetap saja cemas.
Pada suatu pagi, ia turun ke lantai bawah, menemukan Mrs. Gold sedang duduk
menjahit di teras. Waktu mendekatinya, Poirot mendapat kesan bahwa wanita itu cepat-cepat
menyembunyikan sehelai saputangan kecil dari bahan biasa.
Mata Mrs. Gold tampak kering, tapi mencurigakan karena tampak bercahaya.
Sikapnya juga agak terlalu ceria. Keceriaannya agak dilebih-lebihkan.
Ia berkata, "Selamat pagi, M. Poirot," dengan demikian bersemangat, hingga menimbulkan
keraguan Poirot. Poirot merasa Mrs. Gold tak mungkin sesenang itu bertemu dengannya seperti yang
ditampilkannya, karena wanita itu belum terlalu kenal padanya. Dan meskipun
Hercule Poirot adalah pria kecil yang suka membanggakan profesinya, ia amat
rendah hati dalam menilai daya tarik dirinya.
"Selamat pagi, Madame," balasnya. "Lagi-lagi cerah hari ini."
"Ya, menguntungkan sekali, ya" Tapi saya dan Douglas memang selalu beruntung
mengenai cuaca." "Benarkah?" "Ya. Kami benar-benar selalu beruntung. Soalnya, M. Poirot, kalau kita melihat
begitu banyak kesulitan dan kesedihan, dan begitu banyak pasangan yang bercerai
dan semacamnya, yah, kita merasa bersyukur sekali atas kebahagiaan kita
sendiri." "Saya senang mendengar Anda berkata begitu, Madame."
"Ya. Saya dan Douglas berbahagia sekali. Sudah lima tahun kami menikah, padahal
zaman sekarang ini, lima tahun itu sudah lama sekali."
"Saya yakin bahwa dalam beberapa hal bahkan rasanya seperti abadi, Madame," kata
Poirot datar. "Tapi saya benar-benar yakin bahwa sekarang ini kami lebih
berbahagia daripada waktu kami mula-mula menikah. Soalnya kami sudah benar-benar
saling cocok." "Itu tentu sangat besar artinya."
"Itulah sebabnya saya merasa kasilian pada orang-orang yang tidak bahagia."
"Maksud Anda..."
"Oh, saya hanya berbicara secara umum, M. Poirot."
"Saya mengerti. Saya mengerti."
Mrs. Gold mengambil seutas benang sutra, mengangkatnya ke arah cahaya,
membenarkan pilihannya, lalu berkata lagi,
"Mrs. Chantry, umpamanya."
"Ya, Mrs. Chantry?"
"Saya rasa dia sama sekali bukan perempuan yang baik."
"Bukan. Mungkin memang bukan."
"Saya bahkan yakin bahwa dia bukan perempuan yang baik. Tapi entah mengapa kita
merasa kasihan padanya. Karena, meskipun dia kaya dan cantik," jemari Mrs. Gold
gemetar dan ia tak bisa memasukkan benang ke jarumnya - "dia adalah jenis
perempuan yang akan cepat ditinggalkan laki-laki. Saya rasa laki-laki mudah
merasa bosan pada perempuan seperti dia. Betul begitu, kan?"
"Saya sendiri dalam waktu tidak terlalu lama pasti merasa bosan pada bahan
percakapannya," kata Poirot dengan hati-hati.
"Ya, begitulah maksud saya. Dia memang punya daya pesona..."
Mrs. Gold bimbang, bibirnya gemetar, ia menusuk-nusuk jahitannya dengan tak
menentu. Seorang pemerhati yang tak secermat Hercule Poirot sekalipun pasti bisa
melihat kegundahannya. Wanita itu pun berkata lagi,
"Laki-laki memang seperti anak-anak! Mereka gampang percaya apa saja."
Ia menunduk pada pekerjaannya. Saputangan kecil tadi keluar tanpa kentara, '
Hercule Poirot menganggap sebaiknya ia mengubah bahan
pembicaraan. Katanya, "Anda tidak berenang pagi ini" Dan suami Anda, apakah dia ada di pantai?"
Mrs. Gold mengangkat wajah, mengedip-ngedipkan matanya, lalu dengan sengaja
menjemihkan air mukanya sebelum menjawab,
"Tidak, pagi ini tidak. Kami sudah berencana untuk mengelilingi tembok-tembok
kota tua. Tapi entah bagaimana, kami saling kehilangan jejak. Mereka berangkat
tanpa saya." Ucapan itu menyingkapkan sesuatu, tapi sebelum Poirot sempat mengatakan apa-apa,
Jenderal Barnes naik dari pantai di bawah dan duduk di dekat mereka.
"Selamat pagi, Mrs. Gold. Selamat pagi, Poirot. Kalian berdua melarikan diri
pagi ini" Banyak yang tidak hadir. Kalian berdua, dan suami Anda, Mrs. Gold dan
Mrs. Chantry." "Dan Komandan Chantry?" tanya Poirot santai.
"Oh, tidak, dia ada di bawah sana. Dia sedang mengobrol dengan Miss Pamela."
Jenderal tertawa kecil. "Miss Pamela mengalami kesulitan dengannya! Soalnya dia
adalah laki-laki yang kuat, tapi sangat pendiam, seperti yang sering kita baca
di buku-buku." Dengan agak bergidik, Marjorie Gold berkata,
"Laki-laki itu agak menakutkan bagi saya. Kadang-kadang dia... dia kelihatan
begitu mengancam. Seolah-olah dia akan melakukan... apa saja!"
Ia bergidik. "Saya rasa itu hanya khayalan Anda saja," kata Jenderal dengan ceria. "Salah
cerna bisa menyebabkan banyak kesedihan dalam percintaan, atau amarah yang tak
terkendali." Marjorie Gold tersenyum sopan.
"Lalu di mana suami Anda yang baik itu?" tanya Jenderal.
Jawabannya diberikan tanpa ragu, dengan suara yang wajar dan ceria.
"Douglas" Oh, dia pergi ke kota bersama Mrs. Chantry. Saya rasa mereka akan
melihat temboktembok kota tua."
"Oh, ya, menarik sekali. Zaman ketika masih ada ksatria-ksatria dan sebagainya.
Seharusnya Anda ikut juga."
Mrs. Gold berkata, "Sayangnya saya terlambat turun."
Tiba-tiba ia bangkit sambil menggumankan permintaan maaf, lalu masuk ke hotel.
Jenderal Barnes memandanginya dari belakang dengan air muka prihatin, sambil
menggeleng perlahan-lahan.
"Dia wanita kecil yang baik. Jauh lebih baik daripada wanita jalang pesolek yang
namanya sebaiknya tak usah kita sebutkan itu!
Sayangnya suaminya dungu! Tidak menyadari nasib baik yang dimilikinya."
Ia menggeleng lagi, lalu bangkit dan masuk.
Sarah Blake baru saja naik dari pantai, dan sempat mendengar kata-kata terakhir
sang jenderal. Sambil melengos ke arah punggung bekas pejuang yang sudah menjauh itu, ia
mengempaskan tubuhnya ke sebuah kursi, sambil berkata,
"Wanita kecil yang baik - wanita kecil yang baik! Laki-laki selalu suka pada
kaum wanita yang lusuh, padahal kenyataannya
perempuan jalang pesolek itulah yang menang! Menyedihkan, tapi itulah
kenyataan." "Mademoiselle," kata Poirot, suaranya tegas. "Saya tak suka semua ini!"
"Tidak, ya" Saya juga tidak. Nah, coba kita berterus terang.
Sebenarnya saya menyukainya. Pada diri manusia memang ada satu sisi jelek yang
merasa senang kalau ada kecelakaan, kekacauan, serta hal-hal tak menyenangkan
yang menimpa diri teman-temannya."
Poirot bertanya "Mana Komandan Chantry?"
"Di pantai, sedang ditanggap oleh Pamela yang merasa senang.
Tapi laki-laki itu tetap masih marah. Air mukanya seperti awan tebal waktu saya
naik. Percayalah, akan ada suatu kejadian."
Poirot bergumam, "Ada sesuatu yang tidak saya pahami."
"Itu memang tak mudah dimengerti," kata Sarah. "Tapi apa yang akan terjadi,
itulah persoalannya."
Poirot menggeleng dan bergumam,
"Seperti Anda katakan, Mademoiselle, masa depanlah yang patut dipikirkan."
"Bagus sekali cara Anda mengatakannya," kata Sarah, lalu ia masuk ke hotel.
Di ambang pintu, ia hampir bertabrakan dengan Douglas Gold.
Laki-laki muda itu keluar dengan gembira, tapi sekaligus tampak agak merasa
bersalah. Katanya, "Halo, M. Poirot," lalu ia menambahkan dengan agak salah tingkah, "saya baru
saja memperlihatkan tembok-tembok Perang Salib pada Mrs. Chantry. Marjorie tak
ingin ikut." Alis Poirot agak naik, tapi, meskipun ingin berkomentar, ia tak punya waktu,
karena Valentine Chantry keluar sambil berseru nyaring,
"Douglas, aku ingin pink gin. Aku benar-benar ingin pink gin."
Douglas Gold pergi untuk memesan minuman itu. Valentine pun duduk di dekat
Poirot. Pagi itu ia tampak bersed-seri.
Dilihatnya suaminya dan Pamela berjalan naik ke arah mereka, lalu ia melambaikan
tangannya dan berseru, "Senangkah kau berenang, Tony sayang" Luar biasa sekali pagi ini, ya?"
Komandan Chantry tidak menyahut. Ia melangkahi anak-anak tangga, lalu melewati
istrinya tanpa menoleh dan menghilang di bar.
Kedua tangannya terkepal, di sisi tubuhnya dan kemiripannya dengan seekor gorila
jadi makin nyata. Mulut Valentine Chantry yang sempurna tapi tampak bodoh, ternganga.
Ia berkata, "Oh," dengan terang-terangan.
Di wajah Pamela Lyall tampak rasa senang melihat keadaan itu.
Disembunyikannya perasaan itu sebaik mungkin dengan sifatnya yang pandai
berpura-pura, lalu ia duduk di dekat Valentine Chantry dan bertanya,
"Senangkah Anda pagi ini?"
Baru saja Valentine berkata, "Senang sekali. Kami..." Poirot bangkit dan menjaub
ke arah bar. Didapatinya Gold sedang menunggu gin dengan wajah merah. Ia
kelihatan kesal dan marah.
Katanya pada Poirot, "Dasar binatang laki-laki itu!" Dan ia menganggukkan
kepalanya ke arah sosok Komandan Chantry yang baru saja menghilang.
"Mungkin saja," kata Poirot. "Ya, itu mungkin sekali. Tapi kaum wanita menyukai
binatang, ingat itu."
Douglas bergumam, "Saya tak heran kalau perlakuannya terhadap Valentine jahat!"
"Mungkin wanita itu menyukainya."
Douglas Gold memandanginya dengan tak mengerti. Diambilnya minuman pesanannya,
lalu dibawanya keluar. Hercule Poirot duduk di bangku tinggi, lalu memesan sirup merah-Ketika ia sedang
menyeruput minumannya sambil mendesah panjang menikmatinya, Chantry masuk dan
minum beberapa gelas gin dengan cepat.
Tiba-tiba ia berkata dengan keras pada seluruh dunia, bukan pada Poirot,
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau Valentine mengira dia bisa menyingkirkan diriku seperti dia menyingkirkan
pria-pria bodoh itu, dia keliru! Dia milikku dan aku akan mempertahankannya. Tak
seorang laki-laki pun bisa
mendapatkannya tanpa melangkahi mayatku."
Ia melemparkan uang, berbalik, lalu keluar.
BAB 3 Tiga hari kemudian, Hercule Poirot pergi ke Bukit Rasul. Perjalanan bermobil ke
sana sejuk dan menyenangkan, melalui pohon-pohon cemara yang hijau keemasan.
Jalanannya menanjak dan berliku-liku, jauh di atas manusia-manusia yang tampak
kecil, yang berbondong-bondong ramai. Mobil berhenti di restoran. Poirot turun,
lalu berjalan-jalan di hutan. Akhirnya ia tiba di suatu tempat yang tampak
benar-benar merupakan puncak dunia. Jauh di bawah, tampak laut yang biru
berkilau. Di situ akhirnya ia merasa aman, jauh dari segala macam pikiran-di atas dunia.
Dengan hati-hati ia meletakkan mantelnya yang terlipat rapi pada batang sebuah
pohon mati, lalu Hercule Poirot duduk.
"Tuhan yang mahabaik pasti tahu apa yang harus dilakukanNya.
Tapi anehnya, mengapa Dia mau membuat bermacam-macam
manusia" Ah, sudahlah, di sini setidaknya aku jauh dari masalah-masalah yang
mengesalkan itu," pikirnya.
Mendadak ia mendongak. Seorang wanita kecil bermantel
bergegas mendekatinya. Ia adalah Majorie Gold, dan kali ini ia meninggalkan
semua kepura-puraannya. Wajahnya basah oleh air mata.
Poirot tak bisa menghindar. Wanita itu sudah berada di dekatnya.
"M. Poirot, Anda harus menolong saya. Saya risau sekali. Saya tak tahu harus
berbuat apa! Apa, apa yang harus saya lakukan" Apa yang harus saya lakukan?"
Ia mendongak pada Poirot dengan wajah sedih. Jemarinya
mencengkeram lengan jas Poirot. Kemudian, setelah melihat air muka Poirot yang
agak menakutkan, ia mundur.
"Apa" Ada apa?" tanyanya gugup.
"Anda ingin nasihat saya, Madame" Itu kan yang Anda minta?"
Wanita itu tergagap, "Ya... ya..."
"Nah, ini nasihat saya." Poirot berbicara dengan tegas dan tajam.
"Tinggalkan tempat ini segera, sebelum terlambat."
"Apa?" Ia memandangi Poirot.
"Anda sudah mendengar kata-kata saya. Tinggalkan pulau ini."
"Tinggalkan pulau ini?"
Dipandanginya lagi Poirot dengan membisu.
"Itulah yang saya katakan."
"Tapi mengapa" Mengapa?"
"Itulah nasihat saya untuk Anda, kalau Anda menghargai hidup Anda."
Marjorie Gold tercekat. "Aduh! Apa maksud Anda" Anda menakut-nakuti saya. Anda
menakut-nakuti saya saja."
"Ya," kata Poirot dengan serius, "itulah niat saya."
Marjorie terduduk, menutupi wajahnya.
"Saya tak bisa! Dia tidak akan mau! Maksud saya, Douglas tidak akan mau.
Perempuan itu tidak akan mau melepasnya. Dia telah menguasai Douglas, lahir dan
batin. Douglas jadi tak mau mendengarkan apa-apa yang negatif tentang perempuan
itu. Douglas sudah tergila-gila padanya. Dia percaya semua yang dikatakan
perempuan itu, bahwa suaminya memperlakukannya dengan buruk, bahwa dia orang tak
bersalah yang terluka, bahwa tak ada orang yang mau memahaminya. Douglas bahkan
tak ingat saya lagi. Saya sudah tak berarti, saya sudah bukan siapa-siapa
baginya. Dia ingin saya memberinya kebebasan - menceraikannya. Dia percaya bahwa
perempuan itu akan menceraikan suaminya dan menikah dengan Douglas. Tapi saya
takut... Chantry tidak akan mau melepasnya. Dia bukan laki-laki macam itu.
Semalam perempuan itu memperlihatkan lebam-lebam di lengannya pada Douglas.
Katanya suaminya yang melakukannya. Douglas jadi marah sekali. Dia ingin jadi
pahlawan. Aduh! Saya takut sekali! Apa yang akan terjadi setelah ini semua"
Katakan pada saya, apa yang harus saya perbuat!"
Hercule Poirot melihat lurus ke seberang lautan, ke garis biru bukit-bukit di
daratan Asia. Katanya, "Sudah saya katakan. Tinggalkan pulau ini sebelum terlambat."
Mrs. Gold menggeleng. "Tak bisa. Saya tak bisa, kecuali kalau Douglas..."
Poirot mendesah. Ia mengangkat bahunya. BAB 4 Hercule Poirot duduk di pantai bersama Pamela Lyall.
Dengan bersemangat Pamela berkata, "Cinta. segitiga makin menghebat! Semalam
mereka duduk mengapit perempuan itu, sambil saling memandang dengan marah!
Chantry sudah terlalu banyak minum. Dia terang-terangan menghina Douglas Gold.
Gold berkelakuan baik sekali. Dia menahan amarahnya. Si perempuan Valentine itu tentu
senang melihatnya. Dia mendengkur halus, seperti seekor macan betina pemangsa
manusia. Menurut Anda, apa yang akan terjadi?"
Poirot menggeleng. "Saya takut. Saya takut sekali., "
"Oh, kami semua juga takut," kata Miss Lyall dengan munafik.
Katanya lagi, "Urusan ini adalah bidang Anda. Atau mungkin akan menjadi
demikian. Tak bisakah Anda berbuat sesuatu?"
"Saya sudah melakukan apa yang saya bisa."
Miss Lyall. membungkuk dengan penuh hasrat.
"Apa yang telah Anda lakukan?" tanyanya dengan bersemangat dan senang.
"Saya nasihati Mrs. Gold supaya meninggalkan pulau ini sebelum terlambat."
"Oh! Jadi, Anda pikir..." Ia berhenti.
"Apa, Mademoiselle?"
"Jadi, menurut Anda itu yang akan terjadi!" kata Pamela lambat-lambat. "Tapi dia
tidak akan bisa... dia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Dia
sebenarnya baik sekali. Gara-gara si perempuan Chantry itu. Dia tidak akan...
dia tidak... akan melakukannya."
Ia berhenti, lalu berkata dengan suara halus,
"Pembunuhan" ltukah... itukah yang sebenarnya ada dalam pikiran Anda?"
"Itu ada dalam pikiran seseorang, Mademoiselle. Itulah yang saya katakan."
Pamela tiba-tiba bergidik.
"Saya tak percaya," katanya.
BAB 5 Urut-urutan kejadian pada malam tanggal dua puluh sembilan Oktober itu jelas
sekali. Pertama-tama terjadi pertengkaran antara kedua laki-laki itu-Gold dan Chantry.
Suara Chantry makin lama makin nyaring, dan kata-katanya yang terakhir terdengar
oleh empat orang kasir di meja layan, manajer, Jenderal Barnes, dan Pamela
Lyall. "Kau babi terkutuk! Kalau kau dan istriku mengira kalian bisa memperlakukan aku
begitu, kalian keliru! Selagi aku masih hidup, Valentine akan tetap istriku."
Lalu ia keluar dari hotel dengan sangat marah. Itu terjadi sebelum.
makan malam. Setelah makan malam, tak seorang pun tahu
bagaimana sampai bisa begitu, mereka telah rujuk kembali. Valentine mengajak
Marjorie Gold berjalan-jalan naik mobil, menikmati terang bulan. Pamela dan
Sarah juga ikut. Gold dan Chantry main biliar berdua. Setelah itu mereka
menggabungkan diri dengan Hercule Poirot dan Jenderal Bames di ruang duduk.
Baru pada saat itulah Chantry tampak tersenyum dan manis.
"Senang kalian main tadi?" tanya Jenderal.
Sang komandan menjawab, "Anak muda ini terlalu pandai untuk dilawan. Dia sampai menang empat puluh
enam." Douglas Gold membantah dengan rendah hati.
"Hanya keberuntungan saja. Sungguh. Mau minum apa kau" Aku akan mencari
pelayan." "Gin, terima kasih."
"Baik. Anda, Jenderal?"
"Terima kasih. Saya minta wiski soda."
"Saya juga. Bagaimana Anda, M, Poirot?"
"Anda baik sekali. Saya minta sirup merah."
"Eh, maaf.. minum sirup?"
"Sirup merah. Sirup dari buah kismis hitam."
"Oh, yang beralkohol! Saya mengerti. Saya rasa mereka
menyediakannya juga di sini. Saya tak pernah mendengarnya."
"Ya, mereka menyediakannya. Tapi itu tidak beralkohol."
Sambil tertawa Douglas Gold berkata,
"Kedengarannya lucu juga selera Anda, tapi setiap orang punya racunnya sendiri!
Saya akan memesan semua."
Komandan Chantry duduk. Meskipun tak suka banyak bicara dan tak pandai bergaul,
ia tampak berusaha untuk beramah tamah.
"Aneh juga rasanya bahwa kita bisa hidup tanpa membaca berita,"
katanya. Sang jenderal menggeram. "Harian Continental Daily Mail terbitan empat hari yang Ialu tidak memuaskan
saya. Saya memang selalu dikirimi The Times dan majalah Punch setiap minggu,
tapi lama sekali baru sampai."
"Apakah akan diadakan pemilihan umum mengenai urusan
Palestina itu, ya?" "Semuanya itu salah urus," kata sang jenderal, bersamaan dengan munculnya
kembali Douglas Gold yang diikuti oleh seorang pelayan yang membawa minuman.
Sang jenderal baru saja mulai menceritakan sebuah anekdot mengenai kariernya di
ketentaraan di India pada tahun 1905., Kedua orang Inggris itu mendengarkan
dengan sopan, meskipun tanpa perhatian. Hercule Poirot menyeruput sirup
merahnya. . Ketika sang jenderal tiba pada puncak ceritanya, semuanya tertawa
dengan terpaksa. Lalu rombongan wanita muncul di ambang pintu ruang duduk.
Mereka berempat gembira sekali, bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
"Wah, menyenangkan sekali, Tony sayang," seru Valentine sambil duduk di sebelah,
suaminya. "Ini semua gagasan Mrs. Gold yang hebat. Sebenarnya kalian semua harus
ikut." Suaminya berkata, "Mau minum?" Ia melihat pada wanita-wanita yang lain pula.
"Aku mau gin, Sayang," kata Valentine.
"Saya gin dan bir jahe," kata Pamela.
"Anggur sidecar," kata Sarah.
"Baik." Chantry bangkit. Gelas ginnya sendiri, yang belum disentuhnya,
disodorkannya pada istrinya. "Kau minum yang ini. Aku akan memesan untukku
sendiri. Anda mau minum apa, Mrs. Gold?"
Mrs. Gold sedang dibantu suaminya menanggalkan mantelnya. Ia berpaling sambil
tersenyum. "Bisa saya minta air jeruk?"
"Baik, air jeruk."
Komandan berjalan ke arah pintu. Mrs. Gold tersenyum sambil mendongak pada
suaminya. "Menyenangkan sekali, Douglas. Pasti menyenangkan sekali kalau kau ikut tadi."
"Ya, sayang sekali aku tidak ikut. Kita pergi lagi nanti, ya?" Mereka
berpandangan sambil tersenyum.
Valentine Chantry mengangkat gelas gin-nya, lalu
menghabiskannya sekaligus.
"Oh! Aku haus sekali," desahnya.
Douglas Gold mengambil mantel Marjorie, lalu meletakkannya di sebuah bangku.
Ketika berjalan kembali ke arah yang lain-lain, ia berkata dengan tajam,
"Hei, ada apa?"
Valentine Chantry sedang bersandar di kursinya.
Bibirnya biru dan tangannya mencekam jantungnya.
"Aku merasa... agak aneh."
Ia menarik napas dengan sulit.
Chantry kembali membawa minuman. Ia mempercepat
langkahnya. "Hei, Val,- ada apa?"
"En... entahlah. Minuman itu... rasanya aneh."
"Gin itu?" Chantry berbalik mendadak dengan wajah keras.
Dicengkeramnya pundak Gold.
'Itu minuman untukku, Gold. Kaububuhi apa minuman itu?"
Douglas memandangi wajah wanita yang sedang mengejang itu, Wajahnya sendiri jadi
pucat pasi. "A... aku... tidak..."
Tubuh Valentine terkulai di kursinya.
Jenderal Barnes berseru, "Panggil dokter! Cepat!"
Lima menit kemudian, Valentine Chantry meninggal.
BAB 6 Tak ada yang berenang keesokan paginya.
Pamela Lyall, yang mengenakan gaun sederhana berwarna gelap, meraih lengan
Hercule Poirot di ruang depan, lalu menariknya ke ruang tulis yang kecil.
"Mengerikan sekali," katanya. "Mengerikan! Sudah Anda katakan!
Anda sudah meramalkannya! Pembunuhan!"
Poirot menunduk dengan wajah serius.
"Oh!" serunya. Pamela mengentakkan kakinya ke lantai.
"Seharusnya Anda cegah itu! Entah dengan cara bagaimana! Itu sebenarnya bisa
dicegah!" "Dicegah bagaimana?" tanya Hercule Poirot.
Mendengar itu, Pamela tersentak sebentar.
"Tak bisakah Anda mendatangi seseorang polisi umpamanya?"
"Lalu apa yang harus saya katakan" Apa yang bisa dikatakan sebelum semuanya
terjadi" Bahwa ada seseorang yang punya niat membunuh" Dengar, anakku, bila
seseorang bertekad untuk membunuh orang lain..."
"Anda bisa memberi peringatan pada korbannya," kata Pamela bertahan.
"Kadang-kadang," kata Hercule Poirot, "peringatan itu tak berguna."
Lambat-lambat Pamela berkata, 'Anda bisa memberi peringatan pada si pembunuh.
Katakan padanya bahwa Anda tahu niatnya."
Poirot mengangguk. "Ya, itu suatu rencana yang lebih baik. Tapi dalam hal itu pun kita harus
memperhitungkan kebusukan utama seorang penjahat."
"Apa itu?" "Keangkuhan. Seorang penjahat tak pernah merasa bahwa
kejahatannya bisa gagal."
"Tapi itu tak masuk akal. Bodoh!" seru Pamela.
"Seluruh kejahatan ini terasa kekanak-kanakan! Coba saja, polisi langsung saja
menahan Douglas Gold semalam."
"Ya." Lalu kata Poirot lagi, "Douglas Gold itu anak muda yang bodoh sekali."
"Luar biasa bodohnya! Saya dengar mereka menemukan sisa racun itu, atau entah
apalah?" "Semacam stropanthin. Racun jantung."
"Apakah benar sisanya mereka temukan di dalam saku jasnya?"
"Benar sekali."
"Bodoh sekali!" kata Pamela lagi. "Mungkin dia akan
membuangnya, dan karena begitu terkejut
"Melihat bahwa yang kena racun itu adalah orang yang salah, dia jadi terguncang.
ltu pasti akan merupakan adegan yang bagus sekali di pentas. Sang pacar
membubuhkan stropanthin ke dalam gelas suaminya, lalu begitu perhatiannya
tertuju ke tempat lain, malah istrinya yang meminumnya. Bayangkan saat yang
menegangkan, waktu Douglas Gold berbalik dan menyadari bahwa dia telah membunuh
perempuan yang dicintainya."
Pamela bergidik. "Segitiga Anda itu. Cinta Segitiga Abadi! Siapa mengira bahwa itu akan berakhir
begini?" "Saya sudah mencemaskannya," gumam Poirot.
Pamela berbalik padanya. "Anda telah memberinya peringatan. Mrs. Gold maksud saya. Lalu mengapa Anda
tidak memberi peringatan pada suaminya pula?"
"Maksud Anda, mengapa saya tidak memberi peringatan pada Douglas Gold?"
"Bukan. Maksud saya Komandan Chantry. Anda bisa mengatakan padanya bahwa dia
Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terancam bahaya. Soalnya, bukankah sebenarnya dia yang menjadi sasaran" Saya
yakin Douglas Gold sudah memperhitungkan akan memaksa istrinya menceraikannya.
Istrinya itu seorang wanita kecil berjiwa lemah yang cinta sekali pada suaminya.
Sedangkan Chantry itu setan yang kepala batu. Dia sudah bertekad untuk tidak
menceraikan Valentine."
Poirot angkat bahu. "Pasti tak ada gunanya saya berbicara pada Chantry," katanya.
"Mungkin tidak," sahut Pamela. "Mungkin dia akan berkata bahwa dia bisa menjaga
dirinya sendiri dan menyuruh Anda pergi. Namun saya tetap merasa bahwa
sebenarnya ada yang bisa kita lakukan."
"Memang terpikir oleh saya," kata Poirot lambat-lambat, "untuk mencoba
menganjurkan Valentine Chantry meninggalkan pulau ini, tapi dia pasti tak
percaya apa yang saya katakan. Dia wanita yang
sangat bodoh, hingga dia pasti tak bisa menyadarinya. Kasihan perempuan itu,
kebodohannya telah membunuhnya."
"Saya rasa tidak akan ada gunanya bila Valentine meninggalkan pulau ini," kata
Pamela. "Laki-laki itu pasti akan menyusulnya."
"Laki-laki mana?"
"Douglas Gold."
"Anda pikir Douglas Gold akan menyusulnya"
"Oh, tidak, Mademoiselle, Anda keliru. Anda salah besar. Anda salah menilai
kebenaran dari persoalan ini. Bila Valentine Chantry meninggalkan pulau ini,
suaminya pasti ikut dengannya."
Pamela memandangnya tak mengerti.
"Tentu saja." "Maka kejahatan itu pasti akan dilakukan di tempat lain."
"Saya tak mengerti."
"Saya katakan kejahatan yang sama pasti di lakukan di tempat lain, yaitu
kekahatan pembunuhan atas diri Valentine Chantry yang dilakukan oleh suaminya."
Pamela terbelalak. "Apakah Anda akan mengatakan bahwa Komandan Chantry - Tony Chantry - yang
membunuh Valentine?"
"Ya. Anda melihat dia melakukannya! Douglas Gold membawakan minuman pada
Komandan Chantry. Dia duduk menghadapi minuman itu. Waktu rombongan wanita
masuk, kami semua melihat ke seberang ruangan. Dia sudah menyiapkan stropanthin
itu, dibubuhkannya ke gelas gin, lalu dengan cerdik disodorkannya pada istrinya
dan perempuan itu meminumnya."
"Tapi bungkusan stropanthin itu didapati dalam saku Douglas Gold!"
"Mudah sekali untuk menyelipkannya di situ, saat kita sibuk mengerubungi wanita
yang sedang sekarat itu."
Dua menit kemudian, Pamela baru menarik napas.
"Tapi saya sama sekali tak mengerti! Segi tiga itu... Anda sendiri berkata..."
Hercule Poirot mengangguk dengan tegas.
"Saya katakan ada segitiga - benar. Tapi Anda, Anda
membayangkan yang salah. Anda tertipu oleh suatu permainan sandiwara yang
pandai!'Anda kira, dan Anda memang diinginkan untuk mengira begitu, bahwa Tony
Chantry dan Douglas Gold sama-sama mencititai Valentine Chantry. Anda mengira
Douglas Gold, yang mencintai Valentine Chantry ,yang suaminya tak mau
menceraikannya, mengambil langkah nekat, yaitu membubuhkan racun jantung yang
kuat ke dalam minuman Chantry, dan bahwa karena kekeliruan fatal, Valentine
Chantry-lah yang meminumnya. Itu semua hanya dugaan. Chantry memang sudah
beberapa lama ingin menyingkirkan istrinya. Dia bosan setengah mati pada
perempuan itu. Sejak semula saya sudah melihatnya. Dia menikahi perempuan itu
karena mengharapkan uangnya. Kini dia ingin mengawini seorang wanita lain. Maka
disusunlah rencana untuk menyingkirkan Valentine dan tetap menguasai uangnya.
Itu berakhir dengan pembunuhan."
"Seorang wanita lain?"
Lambat-lambat Poirot berkata,
"Ya, ya. Si kecil Marjorie Gold. Itu benar-benar merupakan cinta segitiga yang
abadi! Tapi Anda melihatnya dari sisi yang salah. Kedua laki-laki itu sama
sekali tak menginginkan Valentine Chantry. Hanya kegenitannya dan kepandaian
bersandiwara dari Marjorie Gold yang membuat kalian mengira mereka
memperebutkannya! Sungguh wanita yang cerdik, Mrs. Gold itu. Apalagi dia begitu
menarik dengan sikapnya yang pendiam, seperti wanita yang disia-siakan! Saya
mengenal empat wanita penjahat yang bertipe begitu. Ada yang bernama Mrs. Adams,
yang dibebaskan dari tuduhan membunuh suaminya, padahal semua orang tahu dialah
pelakunya. Mary Parker menghabisi bibinya, seorang kekasih, dan dua saudara laki-lakinya.
Tapi kemudian dia jadi teledor dan tertangkap. Lalu ada pula Mrs.
Rowden. dia memang dihukum gantung. Mrs. Lecray lolos lewat lubang jarum. Mrs.
Gold ini sama benar tipenya. Saya langsung mengenalinya begitu melihatnya! Orang
semacam itu menghadapi kejahatan seperti itik menghadapi air! Dan perbuatan itu
direncanakan dengan baik sekali. Coba katakan, kesaksian apa yang bisa Anda
berikan bahwa Douglas Gold memang mencintai Valentine Chantry" Kalau Anda
pikirkan lebih baik, Anda akan menyadari bahwa itu hanya berdasarkan pengaduan-
pengaduan Mrs. Gold dan Chantry yang berpura-pura cemburu. Ya" Anda mengerti?"
"Mengerikan," seru Pamela.
"Mereka itu pasangan yang cerdik," kata Poirot dengan keyakinan seorang
profesional. "Dia merencanakan untuk 'bertemu' di sini dan memainkan sandiwara
kejahatan mereka. Marjorie Gold itu, setan berdarah dingin! Dia akan membiarkan
suaminya yang bodoh dan tak bersalah itu diseret ke tiang gantungan, tanpa rasa
sesal sedikit pun." Pamela berseru, "Tapi dia sudah ditahan dan dibawa pergi semalam."
"Memang," kata Hercule Poirot, "tapi setelah itu, saya berbicara sedikit dengan
pihak polisi. Saya memang tidak melihat Chantry memasukkan stropanthin ke dalam
gelas. Seperti semua orang, saya pun menoleh waktu para wanita masuk. Tapi, pada
saat saya menyadari bahwa Valentine Chantry diracuni, saya amati suaminya dan
tidak melepaskan pandangan darinya. Jadi, saya melihatnya menyelipkan bungkus
stropanthin itu ke saku jas Douglas Gold."
Dengan wajah serius ditambahkannya,
"Saya seorang saksi yang kuat. Nama saya sudah terkenal. Begitu polisi mendengar
kesaksian saya, mereka menyadari bahwa kesaksian itu telah mengubah sama sekali
sudut pandang mereka terhadap perkara itu."
"Lalu?"' tanya Pamela terpesona.
"Yah, mereka mengajukan beberapa pertanyaan pada Komandan Chantry. Dia ingin
mengelak, tapi dia tidak begitu pandai, dan dia segera mengakuinya.
"Jadi, Douglas Gold sudah dibebaskan?"
"Sudah." "Lalu... Marjorie Gold?"
Wajah Poirot jadi keras. "Saya sudah memberikan peringatan padanya," katanya.
"Sungguh. Di puncak Bukit Rasul. Itulah satu-satunya kesempatan untuk mencegah
kejahatan itu. Saya sudah mengatakan dengan terus terang bahwa saya
mencurigainya. Dia pun mengerti. Tapi dia mengira bahwa dia terlalu cerdik. Saya
katakan supaya dia meninggalkan pulau ini bila dia menghargai hidupnya. Dia
memilih tinggal." COVER BELAKANG Bagaimana mungkin seorang wanita dengan pistol di tangan kanan bisa menembak
sendiri pelipis kirinya" Adakah kaitan antara hantu dan hilangya sebuah dokumen
penting berisi rencana rahasia Pemerintah" Bagaimana sebutir peluru yang
menewaskan seseorang laki-laki bisa memecahkan ermin di bagian lain ruangan" Dan
siapakah yang membuyarkan cinta segitiga yang melibatkan seorang wanita cantik
yang dikenal suka kawin-cerai"
Hercule Poirot dihadapkan pada empat kasus yang
membingungkan - dan masing-masing kasus dipecahkan secara tak terduga dan
memuaskan. Kisah Sepasang Rajawali 23 Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah Memanah Burung Rajawali 13