Pencarian

Mushasi 1

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 1


MUSHASI Eiji Yoshikawa Thanks to: Tiraikasih Hanaoki Otoy Dimhad BBSC And many other people for ebook source....
Special Thanks to: Pengarang buku ini yang telah menghasilkan karya yang hebat
<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>>
eBook ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan dan arsip digital untuk
pendidikan serta membiasakan budaya membaca untuk generasi penerus...
DILARANG MENGKOMERSIALKAN EBOOK INI!!
Belilah buku aslinya di toko terdekat
>>AXRA<< (2012) BUKU I: TANAH *** 1. Giring-Giring Kecil Takezo terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya.
"Dunia sudah gila," pikirnya samar. "Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup
angin musim gugur." Ia sendiri seperti satu di antara tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di
sekitarnya. Ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya dapat mengangkatnya beberapa inci
dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah merasa begitu lemah. "Sudah berapa lama aku di
sini?" ia bertanya-tanya.
Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan
tangan untuk mengangkat tangan pun ia tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir
rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain. "Tentunya sudah beberapa lama tadi aku
pingsan," pikirnya sambil menggerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum begitu
sadar bahwa dirinya sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya.
Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit. Malam sebelumnya, kira-kira antara
tengah malam dan fajar, hujan deras mengguyur daratan Sekigahara. Sekarang ini lewat
tengah hari, tanggal lima belas bulan sembilan tahun 1600. Sekalipun topan telah
berlalu, sekali-kali siraman hujan segar masih menimpa mayat-mayat itu, termasuk wajah
Takezo yang tengadah. Tiap kali hujan menyiram, ia membuka dan menutup mulutnya seperti
ikan, mencoba mereguk titik-titik air itu. "Seperti air yang dipakai mengusap bibir
orang sekarat," kenangnya sambil melahap setiap titik air yang datang. Kepalanya sudah
hilang rasa, sedangkan pikirannya seperti bayang-bayang igauan yang melintas.
Pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu. Kobayakawa Hideaki, yang dikiranya sekutu,
ternyata diam-diam telah bergabung dengan Tentara Timur. Ketika ia menyerang pasukan
Ishida Mitsunari pada senja hari, jalan pertempuran pun berubah. Ia kemudian menyerang
tentara panglima-panglima yang lain"Ukita, Shimazu, dan Konishi. Maka sempurnalah
keruntuhan Tentara Barat. Hanya dalam setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan
siapa yang sejak itu akan memerintah negeri. Dialah Tokugawa Ieyasu, daimyo Edo yang
perkasa. Bayangan kakak perempuannya dan penduduk desa yang sudah tua-tua mengambang di depan
matanya. "Aku akan mati," pikirnya tanpa rona sedih. "Jadi, beginikah rasanya?" Dan ia
pun merasa tertarik ke arah kedamaian maut, seperti anak-anak yang terpesona oleh nyala
api. Tiba-tiba salah satu mayat yang dekat dengannya mengangkat kepala, "Takezo!"
Bayang-bayang dalam kepala Takezo menghilang. Seolah terbangun dari mati, ia pun
menoleh ke arah suara itu. Ia yakin itu suara teman karibnya. Dengan segenap kekuatan,
ia mengangkat tubuhnya sedikit dan ia paksakan keluar suara bisikan yang hampir tidak
terdengar itu, karena kalah oleh titik-titik hujan. "Matahachi, kaukah itu?" Lalu ia
rebah, terbaring diam, mendengarkan.
"Takezo! Betul-betul kau masih hidup?"
"Ya, hidup!" serunya, tiba-tiba keluar pongahnya. "Dan kau" Kau sebaiknya jangan mati
juga. Jangan berani-berani!" Matanya lebar terbuka sekarang, dan senyuman tipis bermain
di bibirnya. "Mana bisa aku mati! O, tidak!" Sambil terengah-engah karena merangkak menyeret badan
dengan susah payah, Matahachi pun mendekati sahabatnya setapak demi setapak.
Ditangkapnya tangan Takezo, tapi yang ia cengkeram dengan kelingkingnya sendiri
hanyalah kelingking temannya itu. Sebagai sahabat, sejak kanak-kanak mereka sering
mematrikan janji dengan cara itu. Ia pun lebih mendekat lagi, dan kemudian menggenggam
tangan sahabatnya itu seluruhnya.
"Sungguh aku tak percaya kau hidup juga! Tentunya hanya kita yang selamat!"
"Jangan begitu terburu-buru! Aku belum mencoba berdiri."
"Mari kubantu. Ayo kita pergi dari sini!"
Tapi tiba-tiba saja Takezo menarik Matahachi ke tanah dan menggeram, "Pura-pura mati!
Celaka lagi!" Bumi pun mulai menderum seperti kawah gunung. Lewat tangan mereka berdua tampak angin
pusaran sedang mendekat. Dan semakin mendekat. Baris-baris penunggang kuda sehitam
jelaga meluncur langsung menuju mereka berdua.
"Bajingan! Mereka kembali!" kata Matahachi sambil terus mengangkat lutut, seolah-olah
bersiap melompat. Takezo langsung menangkap pergelangan kakinya, hingga hampir-hampir
mematahkannya, serta merenggutnya ke bumi.
Dalam sekejap mata, para penunggang kuda sudah terbang melewati mereka. Beratus-ratus
kaki kuda yang berlumpur dan menyimpan maut mencongklang dalam formasi, menyepelekan
para samurai yang sudah tewas. Sambil memperdengarkan pekikan-pekikan perang, dan
dengan zirah serta senjata berdentingan, para penunggang kuda itu melaju terus.
Matahachi berbaring menelungkup dengan mata terpejam, dengan harapan kosong semoga
mereka tidak terinjak-injak, sedangkan Takezo menatap tanpa berkedip ke langit. Kudakuda itu begitu dekat dengan mereka, hingga mereka dapat mencium bau keringatnya.
Kemudian semuanya berlalu.
Secara ajaib mereka tidak terluka dan tidak dikenali, dan untuk beberapa menit lamanya
keduanya tinggal diam tak percaya.
"Selamat lagi!" kata Takezo sambil mengulurkan tangan kepada Matahachi. Masih merangkum
bumi, pelan-pelan Matahachi memutar kepala, memperlihatkan seringai lebar yang sedikit
bergetar. "Ada yang berpihak pada kita, itu pasti," katanya parau.
Kedua sahabat itu saling bantu berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan mereka melintasi
medan pertempuran, menuju tempat aman di bukit-bukit berhutan, terpincang-pincang dan
berangkulan. Di sana mereka rebah, dan sesudah beristirahat sebentar, mulailah mereka
mencari-cari makanan. Dua hari mereka hidup dari buah berangan liar dan daun-daunan
yang dapat dimakan di dalam lubang-lubang basah di Gunung Ibuki. Makanan itulah yang
membuat mereka tidak mati kelaparan, tapi perut Takezo jadi sakit, dan usus Matahachi
tersiksa. Tak ada makanan yang dapat mengenyangkannya, tak ada minuman yang dapat
menghilangkan dahaganya, tapi ia merasa kekuatannya pulih kembali sedikit demi sedikit.
Badai tanggal lima belas itu menandai akhir topan musim gugur. Kini hanya dua malam
sesudahnya, bulan yang putih dingin sudah memandang muram ke bawah, dari langit yang
tak berawan. Mereka berdua mengerti, betapa berbahayanya berada di jalan, dalam cahaya bulan terang.
Bayangan mereka akan tampak seperti bayangan sasaran, yang dapat dengan jelas dilihat
oleh patroli yang sedang mencari orang-orang yang berkeliaran. Keputusan untuk
mengambil resiko itu datang dari Takezo. Melihat keadaan Matahachi yang begitu jelek"
katanya lebih baik tertangkap daripada terus mencoba berjalan"agaknya memang tidak
banyak pilihan lain. Mereka harus berjalan terus, tapi jelas pula bahwa mereka harus
menemukan tempat untuk menyembunyikan diri dan beristirahat. Maka perlahan-lahan mereka
pun berjalan menuju tempat yang menurut mereka adalah arah kecil Tarui.
"Bisa kau bertahan?" Tanya Takezo berulang-ulang. Dilingkarkannya tangan temannya itu
ke bahunya sendiri, untuk membantunya berjalan. "Kau baik-baik saja, kan?" Napas berat
temannya itulah yang mengkhawatirkannya. "Mau beristirahat?"
"Aku baik-baik saja." Matahachi mencoba kedengaran berani, tapi wajahnya lebih pucat
daripada bulan di atas mereka. Bahkan dengan lembing yang digunakannya sebagai tongkat
pun hampir tidak dapat melangkahkan kaki.
Beberapa kali ia meminta maaf merendah-rendah, "Maaf, Takezo. Aku tahu, akulah yang
melambatkan jalan kita. Betul-betul aku minta maaf."
Beberapa kali pula Takezo hanya menjawab dengan kata-kata, "Lupakan itu." Tapi
akhirnya, ketika mereka sudah berhenti untuk beristirahat, ia pun menoleh kepada
temannya dan cetusnya, "Coba dengar, akulah yang mestinya minta maaf. Pertama-tama,
akulah yang menjerumuskanmu ke sini, ingat tidak" Kau ingat, bagaimana aku menyampaikan
rencanaku padamu, bahwa akhirnya aku aku akan melakukan sesuatu yang bakal betul-betul
mengesankan ayahku" Aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bahwa sampai meninggalnya,
Ayah tetap yakin aku tak akan pernah mencapai sesuatu. Aku ingin perlihatkan padanya!
Ha!" Ayah Takezo, Munisai, dulu mengabdi pada yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Begitu Takezo
mendengar bahwa Ishida Mitsunari sedang membentuk tentara, ia pun yakin bahwa
kesempatan yang hanya sekali seumur hidup akhirnya datang baginya. Ayahnya seorang
samurai. Apakah tidak sewajarnya kalau ia pun menjadi samurai" Ingin sekali ia memasuki
kancah keributan, untuk membuktikan keberaniannya, untuk membikin berita tersebar
seperti api kebakaran melintas dusun: ia telah memenggal jenderal musuh. Ia sangat
ingin membuktikan dirinya sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati " bukan
hanya sebagai perisau dusun.
Takezo mengingatkan Matahachi tentang semua itu, dan Matahachi mengangguk. "Aku tahu.
Aku tahu. Tapi aku merasa begitu juga. Bukan hanya kau."
Takezo melanjutkan, "Aku minta kau mengawaniku, karena kita memang selalu bersama-sama
melakukan semuanya. Tapi perbuatan ibumu itu sungguh mengerikan! Dia berteriak-teriak
mengatakan pada semua orang bahwa aku gila dan brengsek! Dan tunanganmu Otsu, saudara
perempuanku, dan semua orang menangis. Katanya pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal
di dusun. Ya, barangkali mereka benar juga. Kita ini anak laki-laki satu-satunya, dan
kalau kita terbunuh, tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Tapi peduli apa" Apa
begitu mestinya hidup?"
Mereka berhasil menyelinap keluar dusun tanpa kelihatan orang, dan merasa yakin tidak
ada lagi penghalang yang memisahkan mereka dengan kehormatan pertempuran. Namun ketika
sampai di perkemahan Shimmen, mereka berhadapan dengan kenyataan perang. Mereka
langsung diberitahu bahwa mereka tidak akan menjadi samurai dalam waktu singkat, bahkan
tidak dalam beberapa minggu, tak peduli siapa ayah mereka. Bagi Ishida dan jenderaljenderal lain, Takezo dan Matahachi hanyalah sepasang orang udik, tidak banyak lebihnya
dari anak-anak yang kebetulan memegang sepasang lembing. Paling banyak yang dapat
mereka peroleh adalah izin untuk tinggal di sana sebagai prajurit biasa. Tanggung jawab
mereka, kalaupun dapat dinamakan demikian, hanyalah mengangkut senjata, periuk nasi,
dan alat-alat rumah tangga lainnya, memotong rumput, mempengaruhi geng-geng jalanan,
dan sesekali bertugas sebagai pandu.
"Samurai, ha!" kata Takezo. "Lelucon macam apa pula. Kepala jenderal! Mendekati samurai
musuh saja tidak, apalagi jenderal. Tapi setidak-tidaknya semua itu sudah lewat.
Sekarang apa yang mau kita lakukan" Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendirian.
Kalau itu kulakukan, bagaimana aku akan menghadapi ibumu dan Otsu?"
"Takezo, aku tidak menyalahkanmu karena kita celaka. Bukan salahmu kita kalah. Kalaupun
ada yang mesti disalahkan, Kobayakawa-lah orangnya. Kobayakawa yang bermuka dua itu.
Betul-betul aku ingin menangkapnya. Akan kubunuh bangsat itu!"
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berdiri di tepi dataran kecil, menyaksikan lautan
miskantus yang serupa buluh, sudah berantakan dan patah-patah terkena badai. Tak ada
rumah. Tak ada cahaya. Di sini pun banyak mayat, bergelimpangan seperti waktu jatuhnya. Kepala salah satu
mayat itu tergeletak dalam rumput tinggi. Ada juga yang menengadah di sungai kecil.
Lainnya lagi tersangkut dengan anehnya pada seekor kuda mati. Hujan telah membasuh
darah, dan dalam sinar bulan daging mati itu tampak seperti sisik ikan. Di sekitar
semua itu, yang terdengar hanyalah litani giring-giring dan jangkrik musim gugur yang
sepi. Aliran air mata membentuk jalur putih menuruni wajah suram Matahachi, dan ia
memperdengarkan keluhan seorang yang sakit parah.
"Takezo, kalau aku mati, maukah kau mengurus Otsu?"
"Apa yang kau omongkan ini?"
"Aku merasa seperti mau mati."
Takezo membentaknya, "Nah, kalau memang itu yang kau rasakan, barang kali kau memang
akan mati." Ia jengkel, karena sesungguhnya ia ingin temannya itu lebih kuat, hingga ia
sendiri dapat menyandarkan diri kepadanya sekali-kali, bukan secara fisik, melainkan
sebagai pendorong. "Ayolah Matahachi! Jangan seperti bayi cengeng begitu."
"Kalau ibuku pasti ada yang mengurus, tapi Otsu, dia sendirian di dunia ini. Selamanya
begitu. Kasihan aku padanya, Takezo. Berjanjilah kau akan mengurusnya, kalau aku tak
ada." "Kau mesti percaya pada diri sendiri! Tak ada orang mati karena mencret. Cepat atau
lambat kita akan menemukan rumah, dan kalau kita sudah menemukan rumah itu, kutidurkan
kau dan akan kudapatkan obat. Sekarang hentikan rengekan tentang mati itu!"
Lebih jauh sedikit, sampailah mereka di tempat bertumpuknya tubuh-tubuh tanpa nyawa,
hingga kelihatan seolah satu divisi penuh telah disapu habis. Waktu itu sudah hilang
perasaan mereka melihat darah kental. Mata mereka berkaca-kaca menangkap pemandangan
itu dengan sikap masa bodoh yang dingin. Mereka berhenti lagi, beristirahat.
Selagi mereka mengatur napas, terdengar ada yang bergerak di antara mayat-mayat itu.
Keduanya undur ketakutan, dan secara naluriah merundukkan badan dengan mata terbuka
lebar dan perasaan diwaspadakan.
Sosok tubuh itu membuat gerakan melejit cepat, seperti gerakan seekor kelinci yang
terkejut. Dan ketika mata mereka sudah terpusat ke arahnya, terlihat oleh mereka orang
yang entah siapa itu sedang berjongkok rendah. Semula mereka menduga ia seorang samurai
yang tersesat, karena itu mereka menabahkan diri untuk menghadapi pertemuan yang
berbahaya. Tapi alangkah kaget mereka, karena ternyata prajurit dahsyat itu hanyalah
seorang gadis muda. Gadis itu agaknya berumur sekitar tiga belas atau empat belas
tahun, mengenakan kimono dengan lengan digulung. Obi sempit yang membelit pinggangnya
sudah bertambal-tambal di beberapa tempat, namun terbuat dari brokat emas. Di tengah
himpunan mayat itu, ia betul-betul merupakan pemandangan yang ganjil. Ia melayangkan
pandang dan menatap mereka dengan penuh kecurigaan, dengan mata kucing yang licik.
Takezo dan Matahachi heran akan hal yang sama: apa yang menyebabkan gadis itu dating di
malam buta itu" Sekejap keduanya hanya balas memandang gadis itu. Kemudian Takezo berkata, "Siapa kau?"
Gadis itu mengerdip beberapa kali, berdiri, lalu enyah dari situ.
"Stop!" seru Takezo. "aku cuma mau mengajukan satu pertanyaan padamu. Jangan pergi
dulu!" Tapi gadis itu sudah pergi, seperti kilasan kilat di tengah malam. Dan bunyi giringgiring kecil pun menghilang ke dalam ngeri kegelapan.
"Apa kemungkinan itu hantu?" renung Takezo keras, sementara ia memandang kosong ke
dalam kabut tipis. Matahachi menggigil sedikit, tapi memaksakan diri tertawa. "Kalau ada hantu di sini,
tentunya hantu serdadu-serdadu itu, kan?"
"Sayang aku telah membikin takut gadis itu," kata Takezo. "Tentunya ada dusun di dekatdekat sini. Dan dia tentunya bisa memberikan petunjuk pada kita."
Mereka berjalan terus, mendaki bukit pertama dari dua bukit yang ada di hadapan mereka.
Di cekungan sebelah sana terdapat paya-paya yang menghampar ke selatan Gunung Fuwa. Dan
tampak cahaya, hanya setengah mil jauhnya.
Ketika mendekati rumah pertanian itu, terasa oleh mereka bahwa rumah itu bukan sekedar
rumah biasa. Kelihatan dari tembok tanah tebal yang mengelilinginya. Juga dari pintu
gerbangnya yang boleh dikatakan megah. Atau setidaknya sisa-sisanya, karena pintu
gerbang itu sudah tua dan sudah sangat memerlukan perbaikan.
Takezo mendekati pintu dan mengetuk-ngetuk pelan. "Permisi!"
Karena tidak ada jawaban, ia mencoba sekali lagi. "Maaf kami mengganggu pada jam
seperti ini, tapi temanku ini sakit. Kami tak ingin menyusahkan " dia perlu istirahat
sedikit." Mereka mendengar orang berbisik-bisik di dalam, dan akhirnya terdengar bunyi orang
berjalan ke pintu. "Kalian yang berkeliaran di Sekigahara, kan?" Suara itu datang dari seorang gadis muda.
"Betul," kata Takezo. "Kami bawahan Lord Shimmen dari Iga."
"Menyingkirlah! Kalau kalian ditemukan orang di sini, kami bisa celaka."
"Betul-betul kami minta maaf telah mengganggu seperti ini, tapi kami telah lama sekali
berjalan. Temanku ini butuh sedikit istirahat, hanya itu, dan ?"
"Pergilah. Menyingkirlah!"
"Baiklah, kalau memang itu yang Anda kehendaki. Tapi apa tak bisa temanku ini diberi
obat" Perutnya sakit sekali sekali, hingga sukar bagi kami berjalan terus."
"Entahlah"."
Beberapa waktu kemudian, mereka mendengar langkah-langkah kaki dan bunyi dering kecil
menjauh ke dalam rumah, makin lama makin lemah.
Baru pada waktu itulah mereka melihat wajah itu. Wajah itu tampak di jendela samping,
wajah seorang wanita, dan wajah itu memperhatikan mereka terus.
"Akemi," serunya, "biar mereka masuk. Mereka prajurit biasa. Patroli Tokugawa tak akan
membuang-buang waktu buat mereka. Mereka tak dikenal."
Akemi membuka pintu, dan wanita yang memperkenalkan diri sebagai Oko itu pun datang
untuk mendengarkan cerita Takezo.
Maka disetujuilah bahwa mereka tidur di lumbung. Untuk mengobati sakit perutnya,
Matahachi mendapat tepung arang magnolia dan bubur beras encer dengan campuran bawang.
Beberapa hari berturut-turut ia tidur terus-menerus, sedangkan Takezo duduk berjagajaga di sampingnya, sambil mengobati luka-luka peluru di pahanya dengan minuman keras
murah. Pada suatu malam, kira-kira seminggu kemudian, Takezo dan Matahachi duduk mengobrol.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka tentunya punya usaha tertentu," kata Takezo.
"Aku tak peduli dengan kerja keras mereka. Aku senang mereka telah menerima kita."
Tetapi rasa ingin tahu Takezo telah bangkit. "Ibunya belum begitu tua," sambungnya.
"Aneh, bahwa mereka berdua hidup sendiri di pegunungan ini."
"Hm. Apa menurut pendapatmu gadis itu agak mirip Otsu?"
"Memang ada sesuatu padanya yang membuat aku ingat Otsu, tapi kukira mereka tidak
betul-betul serupa. Keduanya manis, titik. Menurutpendapatmu, apa yang sedang dia
lakukan waktu pertama kali kita melihatnya itu" Merangkak-rangkak di antara mayat-mayat
itu di tengah malam" Dan kelihatannya pekerjaan itu tidak mengganggunya sama sekali.
Ha! Masih terbayang olehku hal itu. Wajahnya tenang dan tenteram, seperi boneka buatan
Kyoto. Sungguh gambaran yang luar biasa!"
Matahachi memberi isyarat pada Takezo untuk diam.
"Ssst! Kudengar giring-giringnya."
Ketukan ringan Akemi di pintu terdengar seperti ketukan burung pelatuk. "Matahachi,
Takezo," panggilnya lembut.
"Ya?" "Ini aku." Takezo berdiri dan membuka kunci. Gadis itu membawa sebaki obat-obatan dan makanan, dan
bertanya tentang kesehatan mereka.
"Jauh lebih baik. Terima kasih untukmu. Juga untuk ibumu."
"Ibu bilang, biar kalian sudah sehat, kalian jangan bicara terlalu keras atau pergi
keluar." Takezo pun menjawab atas nama mereka berdua. "Kami minta maaf sudah membikin repot
kalian." "Oh, tidak apa-apa. Cuma kuminta kalian berhati-hati. Ishida Mitsunari dan beberapa
jenderal lain belum tertangkap. Mereka mengawasi daerah ini dengan ketat, dan jalanjalan penuh dengan pasukan Tokugawa."
"Betul?" "Makanya, biar kalian cuma prajrit biasa. Ibu bilang, kalau kami tertangkap
menyembunyikan kalian, kami akan ditahan."
"Kami tak akan bikin rebut," janji Takezo. "Malahan muka Matahachi akan kututup kain,
kalau dia mendengkur terlalu keras."
Akemi tersenyum, membalikkan badan untuk pergi, dan katanya, "Selamat malam. Aku akan
datang lagi besok pagi."
"Tunggu!" kata Matahachi. "Apa salahnya kau datang ke sini, bicara dengan kami
sedikit?" "Tidak bisa." "Kenapa?" "Ibu nanti marah."
"Peduli apa dengan ibumu" Berapa tahun umurmu?"
"Enam belas." "Kalau begitu, badanmu terlalu kecil, ya?"
"Terima kasih atas komentar itu."
"Di mana ayahmu?"
"Tidak punya lagi."
"Maaf. Lalu bagaimana kalian hidup?"
"Kami bikin moxa."
"Obat yang dibakar di kulit buat menghilangkan sakit itu?"
"Ya, moxa daerah ini terkenal. Musim semi kami memotong mugwort di Gunung Ibuki. Musim
panas mengeringkannya, lalu musim gugur dan dingin membuatnya jadi moxa. Kami jual di
Tarui. Orang datang dari mana-mana hanya untuk beli moxa itu."
"Kiranya kalian tidak butuh lelaki untuk mengerjakan itu."
"O, kalau itu yang ingin kalian ketahui, lebih baik aku pergi."
"Nanti dulu, sedikit lagi," kata Takezo. "Ada satu pertanyaan lagi."
"Apa itu?" "Malam ketika kami datang kemari itu, kami melihat seorang gadis di medan pertempuran,
dan dia mirip sekali denganmu. Apa itu kau?"
Akemi cepat membalikkan badan dan membuka pintu.
"Apa kerjamu di sana?"
Gadis itu membanting pintu di belakangnya. Dan ketika ia berjalan ke rumah itu, giringgiring kecil pun berdering dengan iramanya yang aneh dan sumbang.
*** 2. Sisir Dengan tinggi sekitar 1,75 meter, Takezo cukup jangkung untuk orang sezamannya.
Tubuhnya seperti tubuh kuda yang indah: kuat dan lentur, dengan kaki panjang berotot.
Bibirnya penuh, berwarna merah tua, dan alisnya yang hitam tebal jadi tampak tidak
lebat karena bentuknya yang indah. Karena jauh melampaui sudut-sudut luar matanya, alis
itu pun menambah kejantanannya. Orang-orang kampung menyebutnya "anak tahun yang
gemuk", suatu ungkapan yang hanya dipakai untuk anak dengan badan lebih besar dari
rata-rata. Sebutan itu jauh dari maksud menghina, tapi bagaimanapun membuatnya ada
jarak dengan anak-anak muda lain, dan itu membuatnya cukup malu pada masa kanakkanaknya.
Ungkapan itu tidak pernah dipergunakan untuk menggambarkan Matahachi, namun dapat pula
dikenakan padanya. Ia agak lebih pendeka dan pejal daripada Takezo, dadanya bidang dan
besar, dan wajahnya bulat, memberikan kesan periang, kalau bukan sifat badut sejati.
Matanya yang besar dan sedikit menonjol itu cenderung bergerak ketika ia berbicara, dan
kebanyakan lulucon yang dibuat orang untuk merendahkannya berpusat pada kemiripannya
dengan katak yang tak henti-hentinya berdengkung pada malam-malam musim panas.
Kedua pemuda itu sedang berada di puncak usia pertumbuhan mereka, dan karenanya cepat
pulih dari sebagian besar penyakit. Ketika luka-luka Takezo sudah sepenuhnya sembuh,
Matahachi pun tidak dapat lagi menahan hambatan yang dirasakannya. Mulailah ia berjalan
mondar-mandir di seputar lumbung, dan tak henti-hentinya mengeluh karena merasa
terkurung. Tidak hanya sekali ia membuat kesalahan, dengan mengatakan bahwa ia merasa
seperti jangkrik di dalam lubang yang gelap dan jangrik memang suka pada suasana hidup
seperti itu. Matahachi tentunya telah mulai mengintip kedalam rumah, karena pada suatu
hari ia mendekatkan mulutnya kepada teman seselnya itu, seolah hendak menyampaikan
berita yang mengguncangkan dunia. "Tiap malam," bisiknya genting, "janda itu membedaki
mukanya dan mempercantik diri!" Muka Takezo pun jadi seperti anak umur dua belas tahun
yang benci anak gadis, melihat pengkhianatan teman karibnya yang makin tertarik kepada
"mereka" itu. Matahachi sudah menjadi pengkhianat kini, dan pandangan mata Takezo pun
tidak salah lagi mengungkapkan kemuakan.
Matahachi mulai kerap pergi ke rumah itu, duduk-duduk di dekat perapian bersama Akemi
dan ibunya yang masih muda. Sesudah tiga atau empat hari mengobrol dan berkelakar
dengan mereka, tamu yang ramah itu pun sudah menjadi anggota keluarga. Ia tidak kembali
ke lumbung, juga pada malam hari, dan kalau kadang-kadang pulang, napasnya berbau sake.
Ia mencoba membujuk Takezo datang ke rumah itu, dengan menyanyikan puji-pujian terhadap
kehidupan yang baik, yang hanya beberapa meter jauhnya dari tempat itu.
"Gila kau!" jawab Takezo gusar. "Kau bisa bikin kita terbunuh, atau setidaknya
tertangkap. Kita ini sudah kalah, jadi gelandangan"apa kau belum juga mengerti" Kita
mesti berhati-hati dan bersembunyi, sampai keadaan mereda."
Tapi dengan segera ia bosan mencoba mengajak temannya yang cinta kenikmatan itu untuk
berpikiran sehat, dan mulailah ia menghentikan omongan temannya dengan jawaban-jawaban
ringkas. "Aku tidak suka sake," atau kadang-kadang, "Aku lebih suka di sini. Santai."
Tapi Takezo sendiri akhirnya mulai sinting juga. Ia merasa bosan bukan kepalang, dan
mulai memperlihatkan tanda-tanda mengalah. "Apa betul-betul aman?" tanyanya. "Maksudku
sekitar sini" Apa tak ada tanda-tanda patroli" Apa kau yakin?"
Maka, sesudah terkubur dua puluh hari lamanya dalam lumbung itu, akhirnya ia keluar
seperti tawanan perang yang setengah kelaparan. Kulitnya tampak jernih pucat, seperti
mayat, lebih-lebih ketika ia berdiri di samping temannya yang sudah terbakar matahari
dan sake itu. Dipandangnya langit biru yang terang, dan sambil merentangkan kedua
tangannya lebar-lebar, ia pun menguap dengan nikmatnya. Ketika mulutnya yang besar itu
akhirnya menutup kembali, terlihatlah bahwa alisnya waktu itu mengait. Wajahnya tampak
resah. "Matahachi," katanya sungguh-sungguh, "kita terlalu memaksakan keinginan pada orangorang ini. Mereka sekarang menghadapi resiko besar gara-gara kita di sini. Kupikir kita
harus berusaha pulang sekarang."
"Kau benar," kata Matahachi. "Tapi tak seorang pun dapat melewati rintangan itu tanpa
pemeriksaan. Jalan ke Ise dan Kyoto tak bisa ditempuh, menurut janda itu. Katanya, kita
mesti bertahan sampai salju turun. Gadis itu juga bilang begitu. Dia yakin mesti tetap
bersembunyi. Dan kau tahu, dia selalu pergi ke mana-mana setiap hari."
"Kau bilang duduk di dekat api sambil minum itu bersembunyi?"
"Tentu. Tahu tidak, apa yang sudah kulakukan" Beberap hari yang lalu orang-orang
Tokugawa datang mengintai; mereka masih mencari Jenderal Ukita. Dan aku bisa melepaskan
diri dari bajingan-bajingan itu hanya dengan keluar dan menyapa mereka." Mata Takezo
membelalak tak percaya mendengar itu, sedangkan Matahachi tertawa terbahak-bahak.
Setelah tawanya reda, ia pun melanjutkan. "Kau lebih selamat di tempat terbuka daripada
meringkuk di lumbung, sambil mendengarkan langkah-langkah kaki orang dan dibikin gila
olehnya. Inilah yang mau kukatakan padamu." Matahachi tertawa terpingkal-pingkal,
sedangkan Takezo mengangkat bahu.
"Barangkali kau benar. Itu bisa jadi cara terbaik untuk mengatasi persoalan."
Takezo masih juga mengajukan persyaratan, tapi sesudah percakapan itu, ia pun ikut
pergi ke rumah tersebut. Oko, yang agaknya senang kalau ada orang lain, terutama lakilaki, berusaha membuat mereka betul-betul kerasan. Namun sekali-kali ia membuat kedua
pemuda itu terlonjak dengan sarannya agar seorang dari mereka mengawini Akemi. Tapi ini
agaknya lebih membikin bingung Matahachi daripada Takezo. Takezo mengabaikan saja saran
itu, atau menandinginya dengan kata-kata lucu.
Waktu itu musim matsutake yang lezat dan harum, yang tumbuh di pangkal-pangkal pohonpohon pinus, dan Takezo cukup terhibur mencari jamur-jamur besar di gunung yang
berhutan, di belakang rumah itu. Sambil memegang keranjang, Akemi mencari jamur itu
dari pohon ke pohon. Setiap kali tercium baunya, suaranya yang tanpa dosa itu pun
menggema di tengah hutan.
"Takezo, sini! Banyak di sini!"
Dan kalau sedang mencari-cari di dekatnya, Takezo pun selalu menjawab, "Di sini juga
banyak!" Sinar matahari musim gugur menerobos tipis dan miring ke arah mereka, lewat rantingranting pinus. Babut daun pinus di tempat teduh yang sejuk di bawah pohon-pohonan itu
bagaikan bunga mawar yang lunak berdebu. Setelah lelah, Akemi pun menantang Takezo
sambil terkikik, "Mari kita lihat, siapa yang paling banyak!"
"Aku!" jawab Takezo pasti. Mendengar itu, Akemi pun mulai memriksa keranjang Takezo.
Hari ini tidak beda dengan hari-hari lain. "Ha, ha! Aku tahu!" teriak Akemi. Dengan
rasa kemenangan penuh kegembiraan yang hanya bisa terjadi pada gadis semuda itu, dan
tanpa kesadaran diri ataupun sikap sopan yang dibuat-buat, ia pun menunduk ke keranjang
Takezo. "Yang banyak kau dapat itu jamur payung!" Lalu ia pun membuangi jamur beracun
itu satu per satu, bukan sambil menghitungnya keras-keras, melainkan diiringi gerakan
yang begitu pelan dan disengaja, hingga Takezo hampir tidak dapat mengabaikannya,
sekalipun dengan mata terpejam, Akemi melontarkan masing-masing jamur itu sejauhjauhnya. Selesai dengan tugas itu, ia pun menengadah dengan wajah membinarkan rasa puas
diri. "Sekarang lihat, aku dapat jauh lebih banyak daripada kau!"
"Sudah siang sekarang," gumam Takezo. "Mari pulang."
"Kau marah karena kalah, kan?"
Akemi pun berlari kencang seperti ayam pegar menuruni sisi bukit, tapi sekonyongkonyong ia berhenti, wajahnya dipenuhi rasa terkejut. Seorang lelaki raksasa datang
lurus mendekat lewat belukar, setengah jalan menuruni lereng bukit; langkah-langkahnya
panjang dan tenang, matanya yang tajam menatap langsung kepada gadis muda yang rapuh di
hadapannya. Orang itu tampak primitif luar biasa. Segala sesuatu pada dirinya bernada
perjuangan untuk tetap hidup, dan ia menampakkan ciri suka berkelahi: alis yang lebat
dan ganas, dan bibir atas yang tebal melingkar; pedang berat, jubah zirah, dan kulit
binatang melengkapi dirinya.
"Akemi!" raungnya seraya mendekati gadis itu. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan
giginya yang kuning melapuk, tapi wajah Akemi tetap saja menyiratkan kengerian belaka.
"Apa ibumu yang hebat itu ada di rumah?" tanyanya dengan ejekan yang dibuat-buat.
"Ya," cicit Akemi.
"Nah, kalau nanti kau pulang, ceritakan sesuatu padanya. Mau tidak?" Ejekan itu
diucapkannya dengan sopan.
"Ya." Dan kini nadanya berubah kasar. "Katakan padanya, jangan mempermainkan aku dengan
menimbun uang tanpa sepengetahuanku. Katakan aku akan datang segera untuk mengambil
bagianku. Mengerti?"
Akemi diam saja. "Dia pikir barangkali aku tidak tahu, tapi orang yang dijuali barang-barang itu datang
langsung padaku. Aku berani bertaruh, kau pergi juga ke Sekigahara, bukan, Nak?"
"Ah, tidak!" protes Akemi lemah.
"Ya, tak apalah. Cuma sampaikan padanya apa yang kukatakan tadi. Kalau dia main tidak
jujur lagi, akan kutendang dia keluar dari daerah ini." Ia menyorot gadis itu sesaat
dengan matanya, kemudian pergi dengan lamban ke arah paya.
Takezo mengalihkan matanya dari orang asing itu kepada Akemi, dengan penuh minat.
"Siapa orang itu?"
Dengan bibir masih menggeletar Akemi menjawab lesu, "Namanya Tsujikaze. Dia dari
kampung Fuwa." Suara Akemi hampir tak lebih dari bisikan.
"Dia bandit, kan?"
"Ya." "Kenapa dia begitu marah?"
Akemi berdiri saja tanpa menjawab.
"Tak akan kuceritakan itu pada orang lain," kata Takezo, mencoba meyakinkan Akemi. "Apa
tak bisa kau menceritakannya padaku?"
Akemi, yang jelas merasa tak senang, agaknya sedang mencari-cari kata. Dan tiba-tiba ia
pun menyandarkan diri ke dada Takezo dan memohon, "Kau janji taka akan bercerita pada
orang lain?" "Siapa yang akan kuceritai" Samurai Tokugawa?"
"Ingat waktu kau pertama kali melihatku malam itu" Di Sekigahara?"
"Tentu saja ingat."
"Nah, apa belum kau bayangkan, apa yang kulakukan waktu itu?"
"Belum, aku belum pernah memikirkannya," kata Takezo dengan wajah sungguh-sungguh.
"Nah, waktu itu aku mencuri!" Lalu ia pun menatap Takezo dekat-dekat, untuk menaksir
reaksi Takezo. "Mencuri?" "Sesudah pertempuran, aku pergi ke medan, mengambili barang-barang serdadu yang tewas:
pedang, hiasan sarung pedang, kantong kemenyan?"apa saja yang dapat kami jual." Ia
meman-dang Takezo lagi untuk menangkap tanda-tanda sikap tidak setuju, tetapi wajah
Takezo tidak memperlihatkannya sama sekali. "Pekerjaan itu mengerikan," keluhnya
kemudian, lalu berubah bersikap pragmatis, "tapi kami butuh uang untuk makan. Kalau aku
bilang tak mau pergu, Ibu marah."
Matahari masih cukup tinggi di langit. Atas saran Akemi, Takezo duduk di rumput. Lewat
pohon-pohon pinus, mereka dapat memandang ke bawah, ke rumah di tengah paya itu.
Takezo mengangguk pada diri sendiri, seolah sedang membayangkan sesuatu. Sejenak
kemudian ia berkata, "Kalau begitu, cerita tentang memotong mugwort dan membuat moxa
itu bohong semuanya?"
"O, tidak. Kami mengerjakan itu juga! Tapi selera Ibu begitu mahal. Tak mungkin kami
dapat hidup dari moxa saja. Ketika ayahku masih hidup, kami tinggal di rumah terbesar
di kampung ini, malahan boleh dibilang di tujuh dusun yang ada di Ibuki. Kami punya
banyak pelayan, dan Ibu selalu punya barang-barang bagus.
"Apa ayahmu pedagang?"
"O, tidak. Dia pemimpin bandit setempat." Mata Akemi bersinar penuh kebanggaan.
Jelaslah, ia tidak lagi takut akan reaksi Takezo, dan kini ia melepaskan perasaan
sebenarnya. Rahangnya mantap, tangannya yang kecil mengepal pada waktu bicara.
"Tsujikaze Temma, orang yang baru kita jumpai tadi, itulah yang membunuhnya. Paling
tidak, begitulah kata semua orang."
"Maksudmu, ayahmu dibunuh?"
Sambil mengangguk diam, Akemi mulai menangis, sekalipun ia berusaha menahannya. Takezo
merasa sesuatu yang berada jauh di dalam dirinya mulai mencair. Semula ia tidak menaruh
simpati pada gadis itu. Sekalipun gadis itu lebih kebanyakan dari gadis yang sudah
berumur enam belas tahun, namun bicaranya seperti wanita dewasa, dan sering kali ia
membuat gerakan cepat yang membuat orang lain berjaga-jaga. Tapi ketika air mata mulai
menitik dari bulu matanya yang panjang, tiba-tiba Takezo pun jadi meleleh oleh rasa
kasihan. Ia ingin mendekap gadis itu untuk melindunginya.
Gadis itu bukanlah gadis yang dibesarkan seperti biasa. Agaknya tak pernah ia
pertanyakan, apakah di dunia ini tidak ada yang lebih mulia daripada pekerjaan ayahnya.
Ibunya telah meyakinkannya bahwa tak ada salahnya melucuti mayat, bukan untuk makan,
melainkan untuk hidup layak. Banyak pencuri sejati enggan melakukan pekerjaan itu.
Selama bertahun-tahun berlangsungnya perselisihan kaum feodal, keadaan telah menjadikan
semua manusia, sampai yang pemalas di pedesaan, terhanyut oleh cara hidup seperti ini.
Orang banyak pun lebih-kurang memang telah minta mereka melakukan hal itu. Ketika
perang pecahn para penguasa militer setempat bahkan memanfaatkan jasa-jasa mereka dan
memberikan imbalan melimpah pada mereka atas jasa membakar perbekalan musuh,
menyebarkan desas-desus bohong, mencuri kuda dari kamp-kamp musuh, dan lain-lain hal
seperti itu. Yang paling sering terjadi adalah jasa-jasa mereka dibeli orang. Tapi,
sekalipun tidak dibeli, perang menawarkan banyak kesempatan. Di samping berkeliaran di
antara mayat-mayat untuk mengumpulkan barang-barang berharga, kadang-kadang mereka
berhasil mendapat hadiah dari menyerahkan kepala samurai yang kebetulan tersandung oleh
mereka dan kemudian mereka pungut. Satu saja pertempuran besar sudah cukup bagi para
pencuri bejat ini hidup senang enam bulan atau setahun.
Pada waktu-waktu bergolak, petani atau pembelah kayu biasa pun sudah tahu mengambil
keuntungan dari kesengsaraan orang dan pertumpahan darah. Perkelahian di luar kampung
sendiri sudah bisa membuat orang-orang sederhana ini meninggalkan pekerjaan, dan dengan
cakapnya mereka menyesuaikan diri dengan situasi, dan menemukan cara untuk memunguti
sisa-sisa hidup manusia lain, seperti burung pemakan bangkai. Sebagian karena gangguan
inilah para penjarah professional menetapkan perlindungan keras atas wilayah masingmasing. Sudah menjadi peraturan keras bahwa para pemburu liar, yaitu perampok-perampok


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melanggar hak-hak yang telah dimiliki para penjahat kejam ini dapat dikenai
pembalasan dendam. Akemi pun menggigil, dan katanya, "Apa akal kita" Orang-orang bayaran Temma sedang
dalam perjalanan kemari sekarang. Aku tahu itu."
"Jangan khawatir," kata Takezo meyakinkannya. "Kalau mereka nanti muncul, aku sendiri
yang akan menyambut mereka."
Ketika mereka turun bukit, senja telah turun di atas paya itu, dan segalanya sunyi.
Jejak asap api pemandian di rumah itu merayap di area puncak jajaran rumput mendong,
seperti ular yang melenggok-lenggok di langit. Oko sedang berdiri santai di pintu
belakang, seusai melakukan riasan malam. Ketika melihat anak perempuannya datang
bersama Takezo, ia pun berseru, "Akemi, apa kerjamu sampai begini larut?"
Terasa benar tajamnya mata dan suaranya. Gadis itu pun segera tersadar, sesudah begitu
lama ia berjalan dengan kepala kosong. Ia memang lebih peka terhadap suasana hati
ibunya daripada apa pun di dunia ini. Ibunya telah menanamkan kepekaan ini dan telah
berhasil memanfaatkannya, mengendalikan anak gadis itu seperti boneka, hanya dengan
pandangan atau gerak-geriknya. Cepat-cepat Akemi menjauh dari sisi Takezo, dan dengan
wajah memerah ia pun mendahului dan masuk rumah.
Hari berikutnya, Akemi menyampaikan pada ibunya tentang Tsujikaze Temma. Oko naik
pitam. "Kenapa tidak cepat-cepat kau ceritakan?" raungnya sambil menyeruduk ke sana kemari
seperti perempuan gila, menarik-narik rambutnya, mengeluar-ngeluarkan barang dari laci
dan lemari dan mengonggokkan semuanya di tengah kamar.
"Matahachi! Takezo! Bantu aku! Semua ini mesti kita sembunyikan."
Matahachi menggeser sebuah papan yang ditunjukkan oleh Oko, lalu ia menempatkan diri di
atas langit-langit. Tak banyak ruangan antara langit-langit dan kasau itu. Orang hampir
tidak dapat merangkak di situ, tapi cukuplah itu untuk memenuhi kebutuhan Oko, dan
terutama agaknya kebutuhan almarhum suaminya. Takezo berdiri di atas bangku, di antara
ibu dan anak, dan mulai mengulurkan barang-barang itu satu persatu kepada Matahachi.
Jika Takezo tidak mendengar cerita Akemi hari sebelumnya, tidak bakal ia tidak merasa
kagum melihat keanekaragaman barang-barang yang sekarang dilihatnya.
Takezo tahu ibu dan anak ini sudah lama melakukan pekerjaan itu, namun demikian sungguh
mengagumkan. Betapa banyaknya barang yang mereka timbun. Ada belati, umbai lembing,
lengan baju zirah, helm tanpa mahkota, kuil mini yang dapat dibawa-bawa, tasbih Budha,
tiang bendera". Bahkan ada sandal berlak berukir indah dan bertatah emas, perak, dan
indung mutiara. Dari lubang di langit-langit, Matahachi mengintip keluar dengan wajah bingung. "Sudah
semua?" "Tidak, ada satu lagi," kata Oko seraya pergi cepat-cepat. Sesaat kemudian ia sudah
kembali membawa sebilah pedang, satu seperempat meter panjangnya, dari kayu ek hitam.
Takezo mulai mengeluarkan barang itu pada Matahachi, tetapi bobot, lengkung dan
sempurnanya keseimbangan senjata itu demikian mengesankannya, sampai tak dapat ia
melepaskannya. Ia pun menoleh kepada Oko dengan pandangan tersipu. "Apa tak bisa Ibu menghadiahkan ini
padaku?" tanyanya dengan mata memancarkan kepasrahan. Ia memandang kakinya sendiri,
seakan-akan hendak mengatakan bahwa ia memang belum melakukan sesuatu yahg pantas
mendapat ganjaran pedang itu.
"Apa kau betul-betul menginginkannya?" jawab nyonya itu dengan lembut, dengan nada
seorang ibu. "Ya"ya" tentu!"
Sekalipun wanita itu tidak benar-benar mengatakan Takezo boleh memilikinya, namun ia
tersenyum, memperlihatkan dekik pipinya, dan tahulah Takezo bahwa pedang itu sudah
menjadi miliknya. Matahachi melompat turun dari langit-langit, meledak oleh rasa iri.
Ia pun meraba-raba pedang itu dengan tamaknya, membuat Oko tertawa.
"Coba lihat, orang kecil ini merajuk karena tidak dapat hadiah!" Ia mencoba
menenteramkan hati Matahachi dengan memberikan pundit-pundi kulit yang manis dan
berbatu akik. Matahachi tidak tampak terlalu senang. Matanya terus tertuju kepada
pedang kayu ek hitam itu. Perasaannya terluka, dan pundit-pindi itu hanya sedikit dapat
menyembuhkan harga dirinya yang terluka.
Keika suaminya masih hidup, Oko rupanya punya kebiasaan mandi uap secara santai tiap
malam, merias diri, dan kemudian minum sedikit sake. Singkatnya, ia menghabiskan waktu
untuk merias diri sebanyak yang dihabiskan geisha yang terbesar bayarannya. Ini
bukanlah jenis kemewahan yang dapat dikembangkan oleh orang biasa, tetapi ia berkeras
melakukannya, bahkan ia telah mengajar Akemi mengikuti kebiasaan yang sama itu,
sekalipun gadis itu menganggapnya menjemukan, dan alasannya tidak dapat ia pahami. Oko
tidak hanya suka senang; ia pun berketetapan untuk tetap muda selama-lamanya.
Malam itu, selagi mereka duduk di sekitar perapian ceruk, Oko menuangkan sake untuk
Matahachi dan mencoba meyakinkan Takezo untuk juga mencobanya. Ketika Takezo menolak,
ia letakkan mangkuk itu ke tangan Takezo, ia tangkap pergelangan tangannya, dan ia
paksa Takezo mengangkat mangkuk itu ke bibirnya.
"Laki-laku sudah sewajarnya minum," umpatnya. "Kalau kau tidak dapat melakukannya
sendiri, akan kubantu."
Berulang kali Matahachi menatap Oko denga perasaan tak enak. Sada akan pandangan
Matahachi itu, Oko bahkan semakin berani terhadap Takezo. Sambil meletakkan tangannya
secara main-main di lutut Takezo, mulailah ia mendendangkan lagu cinta yang sedang
popular. Sampai di sini, Matahachi pun merasa sudah sampai batas kesabarannya. Sambil tiba-tiba
menoleh kepada Takezo, ia berucap, "Kita mesti lekas meneruskan perjalanan!"
Ucapan ini mencapai sasarannya. "Tapi" tapi" ke mana kalian akan pergi?" Tanya Oko
terbata-bata. "Kembali ke Miyamoto. Ibuku dan tunanganku tinggal di sana."
Oko hanya sekejap terkejut; sebentar kemudian ia sudah dapat menguasai dirinya kembali.
Matanya menyempit, senyumnya membeku, dan suaranya menjadi getir. "Nah, harap dimaafkan
karena aku telah menghambat kalian, telah menerima kalian, dan memberikan tempat pada
kalian. Kalau memang ada gadis yang menanti kalian, lebih baik kalian lekas-lekas saja
pulang. Jangan kiranya aku menahan kalian!"
Sesudah menerima pedang ek hitam itu, Takezo tak pernah lagi terpisah darinya.
Memegangnya saja merupakan kenikmatan yang tak terlukiskan baginya. Sering ia meremas
gagang pedang itu erat-erat, atau menggesekkan sisinya yang tumpul pada telapak
tangannya, hanya untuk merasakan betapa sesuai lengkung dengan panjangnya. Bila tidur
ia dekap pedang itu ke tubuhnya. Sentuhan dingin permukaan kayu itu pada pipinya
mengingatkannya pada lantai dojo, di mana ia pernah mempraktekkan teknik-teknik main
pedang pada musim dingin. Alat yang hampir sempurna, dan sekaligus merupakan benda seni
dan maut ini, membangkitkan kembali di dalam dirinya semangat tempur yang telah ia
warisi dari ayahnya. Takezo mencintai ibunya, tetapi ibu itu telah meninggalkan ayahnya dan pergi ketika
Takezo masih kecil, meninggalkannya sendirian dengan Munisai, seorang ayah yang gila
tata tertib, yang tak tahu bagaimana memanjakan anak dalam suasana yang tidak
menguntungkan seperti itu. Apabila ayahnya ada, anak itu selalu merasa kikuk dan
ketakutan, tidak pernah merasa santai. Ketika berumur sembilan tahun, begitu besar
hasratnya akan kata manis ibunya, hingga ia pernah melarikan diri dari rumah dan nekat
pergi ke Propinsi Harima, tempat ibunya tinggal. Takezo tak pernah mengerti mengapa ibu
dan ayahnya bercerai, dan pada umur sekian, penjelasan tentang itu pun tidak akan
banyak menolong. Ibunya telah kawin dengan samurai lain, dan mendapat seorang anak
lagi. Begitu pelarian kecil itu sampai di Harima, ia tidak membuang-buang waktu lagi untuk
menemu-kan ibunya. Ibunya lalu membawanya ke daerah hutan di belakang kuil setempat,
supaya tidak kelihatan orang, dan di sana sambil berurai air mata ia pun memeluk
anaknya itu erat-erat dan menyuruhnya kembali kepada ayahnya. Takezo tak pernah
melupakan adegan itu; setiap detailnya akan tetap hidup dalam kenangannya, sepanjang
umurnya. Sebagai seorang samurai, tentu saja Munisai mengirimkan orang-orangnya untuk memperoleh
kembali anaknya, begitu ia mengetahui anaknya hilang. Sudah jelas ke mana perginya anak
itu. Takezo pun dikembalikan ke Miyamoto seperti seikat kayu bakar, diikat di punggung
kuda yang tidak bersadel. Sebagai pembuka, Munisai menyebutnya anak bandel yang kurang
ajar, dan dengan keberangan yang hampir mencapai histeris, ia sabet anaknya sampai ia
tak kuat menyabet lagi. Takezo ingat lebih gamblang daripada apa pun di dunia ini,
betapa sengit ultimatum ayahnya waktu itu. "Kalau sekali lagi kau pergi ke ibumu, tak
akan kuakui kau sebagai anak."
Tidak lama sesudah kejadian itu. Takezo mendengar kabar bahwa ibunya jatuh sakit dan
meninggal. Kematian itu berakibat berubahnya Takezo dari seorang anak pendiam dan
pemurung menjadi anak kampung yang jail. Munisai pun akhirnya menjadi takut. Ketika ia
mendatangi anak itu dengan pentung, anak itu menantangnya dengan tongkat kayu. Satusatunya orang yang bisa menandinginya adalah Matahachi, yang juga anak seorang samurai;
semua anak lain tunduk pada perintah Takezo. Waktu ia berumur dua belas atau tiga belas
tahun, badannya sudah hampir setinggi orang dewasa.
Pada suatu kali, seorang pemain pedang pengembara bernama Arima Kihei menaikkan panjipanji berhias emas, dan menyatakan siap melawan siapa saja penantang dari kampung itu.
Takezo berhasil membunuh orang itu tanpa kesukaran, dan mendapat pujian dari orangorang kampung atas keberaniannya.
Namun penghargaan itu singkat saja umurnya, karena bersamaan dengan bertambahnya umur,
ia pun jadi semakin tak dapat dikendalikan dan brutal. Banyak orang yang menganggapnya
sadis, dan apabila ia muncul di suatu tempat, orang pun segera menyingkir. Sikap Takezo
terhadap mereka semakin menjelaskan sikap dingin mereka terhadapnya.
Ketika ayahnya yang tetap keras dan kasar akhirnya meninggal, unsur kejam di dalam diri
Takezo lebih membesar lagi. Kalau tidak karena kakak perempuannya, Ogin, Takezo
barangkali sudah lebih tak bisa dikendalikan lagi dan telah diusir dari kampung oleh
penduduk yang marah. Untunglah ia menyayangi kakaknya, dan karena tak tahan melihat air
mata kakaknya, biasanya ia pun melakukan apa saja yang diminta kakaknya.
Pergi perang bersama Matahachi merupakan titik balik bagi Takezo. Hal itu menunjukkan
bahwa bagaimanapun ia mau merebut kedudukan di tengah masyarakat, sejajar dengan orangorang lain. Tetapi kekalahan di Sekigahara sekonyong-konyong telah menghilangkan
harapan-harapan seperti itu, dan ia pun mendapati dirinya sekali lagi tercebur ke dalam
kenyataan gelap yang menurut anggapannya telah ia tinggalkan. Namun ia seorang pemuda
yang diberkati sifat riang yang mulia, yang hanya dapat berkembang di zaman perjuangan.
Selagi tidur, wakjahnya setenang wajah bayi, sama sekali tak terusik oleh pikiranpikiran hari esok. Memang ia mengalami juga mimpi-mimpi, baik di waktu tidur maupun
terjaga, tapi tidak banyak ia mengalami kekecewaan yang sebenar-benarnya. Karena
modalnya hanya sedikit, maka hanya sedikit pula ia kehilangan; sekalipun dalam makna
tetentu ia sudah tercerabut, namu ia terbebaskan juga dari belenggu.
Melihat napasnya yang dalam dan tetap, sementara ia memeluk erat pedang kayunya itu,
barangkali Takezo sedang bermimpi; senyuman halus tersungging pada bibirnya, sedangkan
bayangan kakak perempuannya yang lembut dan kota kelahirannya yang damai berpancaran
turun seperti air terjun dari gunung, di hadapan matanya yang terpejam dan berbulu
lebat itu, Oko menyelinap ke dalam kamarnya sambil membawa lampu. "Sungguh wajah yang
damai," bisik Oko dengan kagum, lalu ia pun mengulurkan tangan dan menyentuh sedikit
bibir Takezo dengan jemarinya.
Kemudian ia mematikan lampu dan berbaring di samping Takezo. Seraya meringkuk seperti
kucing, sedikit demi sedikit ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Takezo, sementara wajahnya
yang putih dan gaun malam warna-warni yang betul-betul terlampau muda untuknya itu
terbenam dalam kegelapan. Yang kedengaran saat itu hanyalah titik-titik embun yang
jatuh di ambang jendela. "Ingin tahu juga, apakah dia masih perjaka," kagumnya sambil mengulurkan tangan untuk
menyingkirkan pedang kayu itu.
Tapi begitu ia menyentuh pedang itu, Takezo langsung berdiri dan berteriak, "Pencuri!
Pencuri!" Oko terlempar ke lampu, hingga bahu dan dadanya luka, dan Takezo memelintir tangannya
tanpa ampun lagi. Oko menjerit kesakitan.
Karena kagetnya, Takezo pun melepaskannya. "O. jadi ini tadi Ibu" Aku pikir pencuri."
"Oooh," rintih Oko. "Sakit!"
"Maaf, aku tidak tahu."
"Kau ini tak kenal kekuatan badan sendiri. Hampir lepas tanganku."
"Aku sudah minta maaf. Mau apa Ibu di sini?"
Oko tak menghiraukan pertanyaan Takezo yang polos itu; ia tidak merasakan lika
tangannya; dicobanya melingkarkan anggota badannya itu ke leher Takezo, dan gumamnya,
"Kau tak perlu minta maaf. Takezo ?" Ia pun menggosokkan punggung tangannya lembutlembut ke pipi Takezo.
"Hai! Apa pula ini" Apa Ibu gila?" teriak Takezo sambil meloloskan diri dari sentuhan
wanita itu. "Jangan ribut begitu, tolol. Kau tahu perasaanku padamu." Oko terus mencoba membelai
Takezo, tapi Takezo menepak-nepaknya, seperti orang diserang gerombolan lebah.
"Ya, dan aku sangat berterima kasih. Kami berdua tak akan melupakan betapa besar
kebaikan Ibu, yang telah menerima kami dan segalanya itu."
"Maksudku bukan itu, Takezo. Aku bicara tentang perasaan wanitaku"tentang perasaan yang
indah dan hangat terhadapmu."
"Tunggu dulu," kata Takezo sambil melompat berdiri. "Akan kunyalakan lampu."
"Oh, bagaimana kau bisa begini kejam," rengek Oko, dan bergerak lagi akan memeluk
Takezo. "Jangan!" teriak Takezo marah. "Hentikan, sungguh! Hentikan!"
Ada sesuatu dalam suara Takezo yang membuat Oko takut dan menghentikan serangannya,
sesuatu yang tegas dan mantap.
Takezo merasa tulang-tulangnya bergoyang dan giginya gemeretuk. Tidak pernah ia
menghadapi lawan yang demikian berat. Bahkan ketika telentang di bawah kuda-kuda yang
mencongklang lewat di Sekigahara, tak pernah jantungnya demikian berdentam. Ia pun
duduk ngeri di sudut kamar
"Kuminta ibu pergi dari sini," mohonnya. "Kembalilah ke kamar ibu sendiri. Kalau tidak,
akan kupanggil Matahachi. Akan kubangunkan seisi rumah!"
Oko tidak beranjak. Ia duduk saja di kegelapan dengan napas berat, dan dengan mata
menciut ia pun menatap Takezo. Ia tak mau ditolak. "Takezo," gumamnya lagi. "Apa kau
tidak memahami perasaanku?"
Takezo tidak menjawab. "Tidak memahami?"
"Ya, tapi apa Ibu memahami perasaanku: diserang selagi tidur, dibikin takut setengah
mati, dan dianiaya seekor macan dalam gelap?"
Kini giliran Oko yang diam. Dari kedalaman kerongkongannya keluar bisikan seperti suara
geraman, dan ia pun mengucapkan setiap suku katanya ini dendam. "Begitu tega kau
mempermalukan aku?" "Aku mempermalukan ibu?"
"Ya ini sungguh membikin malu."
Keduanya begitu tegang waktu itu, hingga tak terdengar oleh mereka ketukan pintu, yang
agaknya sudah berlangsung beberapa lama. Ketukan itu dipertegas lagi oleh teriakanteriakan. "Ada apa di dalam" Apa kau tuli" Buka pintu!"
Berkas cahaya tampak di celah daun jendela. Akemi terbangun. Kemudian langkah kaki
Matahachi terdengar mendekat, dan suaranya berseru, "Ada apa?"
Kemudian dari gang rumah, Akemi berseru resah, "Ibu! Apa Ibu di situ" Jawab, Bu!"
Oko menyerobot cepat kembali ke kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar Takezo.
Ia menjawab dari situ. Orang-orang lelaki di luar rupanya mendobrak daun jendela dan
menyerbu ke dalam. Sampai di kamat perapian, Oko melihat enam atau tujuh pasang bahu
lebar menyerbu dapur yang berdekatan dan berlantai kotor. Letaknya agak di bawah,
karena memang dibuat lebih rendah dari ruangan-ruangan lain.
Seorang di antaranya berteriak, "Tsujikaze Temma di sini. Kasih lampu!"
Orang-orang itu menyerobot masuk ke dalam ruang tamu. Mereka bahkan tidak melepas
sandal, suatu tanda kekasaran yang sudah melekat. Mereka mulai melongok ke sana
kemari?"ke lemari, ke laci-laci, ke bawah tatami jerami tebal tang menutup lantai.
Temma mendudukkan diri dengan megahnya di dekat perapian, sambil mengawasi kaki
tangannya menggeldah ruangan-ruangan itu dengan sistematis. Ia betul-betul menikmati
pekerjaan itu, tapi dengan segera ia bosan karena tidak melakukan apa-apa.
"Terlalu lama!" geramnya sambil menghantamkan tinju ke tatami. "Kau pasti menyimpannya
sebagian di sini. Di mana barang itu?"
"Aku tak merngerti apa yang kau bicarakan," jawab Oko sambil melipat dengan sabar kedua
tangannya di perut. "Jangan bicara begitu, perempuan!" lenguh Temma. "Mana barang itu" Aku tahu barang itu
ada di sini!" "Aku tak punya apa-apa!"
"Tak punya?" "Tak punya." "Kalau begitu, barangkali memang kau tidak memilikinya. Barangkali salah infrmasi yang
kuterima"." Ia pun memandang Oko dengan tajam, sambil menarik-narik dan menggaruk-garuk
jenggotnya. "Cukup, anak-anak!" gunturnya.
Sementara itu, Oko sudah duduk di kamar sebelah. Pintu dorongnya terbuka lebar, seakanakan hendak mengatakan bahwa Temma dapat memeriksa terus tempat yang dicurigainya.
"Oko," panggil Temma kasar.
"Apa maumu?" terdengar jawaban dingin
"Bagaimana kalau minum sedikit?"
"Mau sedikit air?"
"Jangan paksa aku"," ancam Temma memperingatkan.
"Sake ada di sana. Minumlah kalau mau."
"Ai, Oko," kata Temma melunak. Ia hampir-hampir mengagumi Oko karena sikap keras
kepalanya yang dingin. "Jangan begitu. Aku sudah lama tak berkunjung. Apa begini
caranya menyambut teman lama?"
"Berkunjung!" "Sudahlah kau ikut bersalah juga. Sudah banyak yang kudengar tentang apa yang dilakukan
"janda tukang moxa dari berbagai orang, sampai rasanya tak mungkin semua itu bohong.
Kudengar kau menyuruh anakmu yang cantik itu memereteli mayat-mayat. Nah, kenapa dia
mesti melakukan hal seperti itu?"
"Tunjukkan padaku buktinya!" jerit Oko. "Mana buktinya!"
"Kalau ada rencanaku menggalinya, mana mungkin aku mengingatkan Akemi sebelumnya" Kau
tahu sendiri aturan permainannya. Ini wilayahku, dan aku harus memeriksa rumahmu. Kalau
tidak, semua orang akan menyangka mereka bisa lepas begitu saja sesudah melakukan hal


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti itu. Kalau begitu, di mana nanti tempatku" Aku harus melindungi diriku, tahu!"
Oko menatap Temma dalam kediaman baja, kepalanya setengah tertoleh kepadanya, sedangkan dagu dan hidungnya terangkat bangga.
"Baiklah, akan kulepaskan kau kali ini. Tapi ingat, aku bersikap baik sekali kepadamu
sekarang." "Baik kepadaku" Siapa" Kau" Menggelikan!"
"Oko," bujuk Temma, "ke sinilah, dan tuangkan minuman untukku."
Tapi ketika Oko tidak juga memperlihatkan tanda-tanda akan bergerak, ia pun meledak,
"Anjing gila kau! Apa kau tidak tahu, kalau kau bersikap baik padaku, tidak bakal kau
hidup seperti ini?" Temma mereda sedikit, kemudian nasihatnya, "Pikirlah dulu."
"Aku memang tenggelam dalam kebaikan hati Tuan," terdengar jawaban yang berbisa.
"Kau tak suka padaku?"
"Coba jawab pertanyaan ini: Siapa yang membunuh suamimu" Aku yakin kau ingin aku
percaya bahwa kau tidak tahu, kan?"
"Kalau kau mau membalas dendam pada pelakunya , aku akan membantumu dengan senang hati.
Aku bisa membantu dengan jalan apa pun."
"Jangan berlagak bodoh!"
"Apa maksudmu?"
"Kau sudah banyak mendengar dari orang banyak. Apa mereka tidak mengatakan padamu bahwa
kau sendirilah yang membunuhnya" Apa kau belum mendengar bahwa Tsujikaze Temma itulah
pembunuhnya" Semua orang tahu. Boleh saja aku janda seorang bandit, tapi aku belum
jatuh begitu rendah sampai mau main ke sana kemari dengan pembunuh suamiku."
"Kau rupanya memang harus mengatakannya: tak bisa kau membiarkan saja hal itu, ya!"
Sambil tertawa, Temma mengosongkan sakenya dalam sekali teguk, dan menuang lagi. "Kau
tahu, mestinya kau tidak mengatakan hal-hal seperti itu. Itu tak baik untuk kesehatanmu
atau kesehatan anakmu yang manis!"
"Aku akan mendidik Akemi dengan semestinya, dan sesudah dia kawin, aku akan kembali
menghadapimu. Ingat kata-kataku ini!"
Temma tertawa lagi hingga bahu dan seluruh tubuhnya berguncang. Setelah mereguk seluruh
sake yang dapat ditemukannya, ia pun memberi isyarat kepada salah seorang kakitangannya yang ditempatkan di sudut dapur, tombaknya tegak sejajar dengan bahunya. "He,
kau," katanya dengan suara menggelegar, "geser papan langit-langit itu dengan pangkal
tombakmu!" Orang itu tunduk pada perintah Temma. Ia mengitari kamar sambil menyodok-nyodok langitlangit, dan kekayaan Oko pun berjatuhan ke lantai, seperti hujan es.
"Seperti sudah kuduga," kata Temma sambil berdiri dengan kikuknya. "Coba lihat, anakanak. Bukti! Dia telah melanggar peraturan, tak sangsi lagi. Bawa dia keluar dan kasih
hukumannya!" Orang-orang itu pun berduyun-duyun ke kamar perapian, tapi sekonyong-konyong mereka
terhenti. Oko berdiri mematung di pintu, seakan menantang mereka untuk menjamahnya.
Temma, yang telah turun ke dapur, memanggil tak sabar, "Apa yang kalian tunggu" Bawa
dia kemari!" Tak ada yang bergerak. Oko terus menatap orang-orang itu dari atas, dan orang-orang itu
tetap saja seperti lumpuh. Temma pun memutuskan untuk mengambil alih. Sambil
mendecapkan lidahnya ia mendekati Oko, tetapi ia pun tiba-tiba terhenti di depan pintu.
Di belakang Oko, tidak kelihatan dari dapur, berdiri dua pemuda berwajah ganas. Takezo
menggenggam rendah pedang kaunya, siap mematahkan tulang kering pendatang pertama atau
siapa pun yang cukup bodoh untuk mengikutinya. Di pihak lain, Matahachi menggenggam
pedang tinggi-tinggi, siap menebaskannya ke leher pertama yang berusaha menerobos pintu
masuk. Akemi tidak kelihatan.
"O, jadi begitu ya," rintih Temma, yang tiba-tiba ingat adegan di sisi gunung. "Aku
pernah lihat orang itu berjalan bersama Akemi beberapa hari yang lalu"yang memegang
tongkat itu. Siapa yang satunya?"
Matahachi ataupun Takezo tidak menjawab. Ini berarti mereka bermaksud menjawab dengan
senjata. Ketegangan memuncak.
"Mestinya tidak ada lelaki di rumah ini," raung Temma. "Hai, kalian berdua" Kalian
pasti dari Sekigahara! Hati-hatilah kalian"kuperingatkan kalian."
Kedua pemuda itu sama sekali tidak bergerak.
"Tak ada di daerah ini yang tidak kenal nama Tsujikaze Temma! Akan kutunjukkan pada
kalian, apa yang kami lakukan terhadap gelandangan!"
Sunyi. Temma memberi isyarat pada kaki-tangannya untuk menyingkir. Seorang di antaranya
terjatuh ke perapian. Ia menjerit, dan ranting-ranting menyala yang kejatuhan tubuhnya
menjadi bunga api ke langit-langit. Dalam beberapa detik saja, ruangan sudah penuh oleh
asap. "Aarrrghh!" Temma menerjang ke ruangan itu, Matahachi pun menebaskan pedang dengan kedua tangannya,
tapi orang tua itu terlalu cepat baginya, hingga tebasan itu mental mengenai sarung
pedang Temma. Oko telah melarikan diri ke sudut terdekat, sementara Takezo menanti
dengan edang kayu eknya yang terpasang horizontal. Ia mengincar kaki Temma, lalu
mengayunkan pedangnya dengan segenap kekuatan. Pedang itu mendecit di kegelapan, tapi
tidak terdengar suara benturan. Manusia lembu itu telah melenting ke udara pada
waktunya, dan ketika turun ia menerjang Takezo derngan kekuatan batu besar.
Takezo merasa seakan berkelahi dengan seekor beruang. Inilah orang terkuat yang pernah
dihadapinya, temma mencengkeram lehernya dan mendaratkan dua-tiga pukulan yang membuat
tengkorak Takezo seperti pecah. Kemudian Takezo mendapat kesempatan lagi, sehingga
Temma terlempar ke udara. Ia mendarat ke dinding, mengguncangkan rumah dan segala
isinya. Ketika Takezo mengangakt pedang kayunya untuk dihantamkan ke kepala Takezo,
bandit itu berkelit, langsung berdiri dan melarikan diri, dikejar oleh Takezo.
Takezo sudah memutuskan untuk tidak membiarkan Temma lolos. Itu berbahaya. Hatinya
sudah bulat. Kalau berhasil menangkap orang itu, ia takkan setengah-tengah membunuhnya.
Ia akan memastikan benar bahwa tak ada sepenggal nafas pun tertinggal.
Itulah sifat Takezo. Ia makhluk ekstrem. Waktu kecil pun sudah ada sifat primitif dalam
darahnya, sifat yang mengingatkan orang pada prajuritu-prajurit ganas jepang kuno,
sifat yang sekaligus liar dan murni. Sifat itu tak kenal cahaya peradaban ataupun
tempaan pengetahuan. Tidak kenal pula sikap lunak. Itu ciri alamiah, suatu ciri yang
membuat ayahnya tak bisa menyukai anak itu. Munisai telah mencoba dengan cara apa pun
yang khas bagi golongan militer untuk mengatasi kebuasan anaknya dengan menghukumnya
keras-keras dan sering-sering, tetapi akibatnya hanya membuat anak itu lebih liar,
seperti celeng liar yang kebuasan sejatinya muncul pada waktu ketiadaan makanan.
Semakin orang kampung menghinakan pemuda kasar itu, semakin ia bersikap seolah ia
berkuasa atas mereka. Ketika anak alam itu sudah besar, ia pun mulai bosan dengan berlagak sebagai pemilik
dusun itu. Terlampau mudah baginya mengancam orang-orang dusun yang sifatnya takuttakut. Ia mulai memimpikan hal-hal yang lebih besar. Sekigahara telah memberikan
kepadanya pelajaran pertama tentang apa sebenarnya dunia ini. Impian-impian di masa
muda porak-poranda"ameski ia tak punya banyak impian. Baginya tidak ada yang namanya
merenungkan kegagalan dalam usaha "sejati" yang pertama ataupun mempertanyakan suramnya
masa depan. Ia belum tahu arti disiplin pribadi, dan ia menerima seluruh bencana
berdarah itu dengan tenang saja.
Dan kini, kebetulan saja ia tertumbuk pada kakap yang sungguh besar--Tsujikaze Temma,
pemimpin para bandit! Inilah lawan yang ia hasratkan bertanding di Sekigahara.
"Pengecut!" bentaknya. "Jangan lari! Dan ayo lawan aku!"
Takezo berlari seperti kilat, melintasi lapangan yang gelap kelam, sambil meneriakkan
kata-kata ejekan. Sepuluh langkah di depannya Temma melarikan diri seperti terbang.
Rambut Takezo menyapu telinganya. Ia merasa bahagia"lebih bahagia daripada kapan pun
dalam hidupnya. Makin jauh ia berlari, makin dekat ia pada kegairahan binatang sematamata.
Maka ia pun melompat ke punggung Temma. Darah menyembur di ujung pedang kayu itu, dan
jeritan yang membekukan darah mengoyak malam yang tenang. Tubuh bandit yang besdar dan
berat itu jatuh ke bumi dengan suara yang berdebam dan terguling. Tengkoraknya hancur,
matanya lepas dari ceruknya. Dua-tiga pukulan berat dijatuhkan lagi ke tubuh itu, dan
tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat dari kulitnya.
Takezo mengangkat tangan, menghapus banjir keringat yang turun dari keningnya.
"Puas, Kapten?" tanyanya penuh kemenangan.
Dengan sikap acuh tak acuh, kembalilah ia ke rumah. Orang yang tidak tahu kejadian
barusan akan menyangka ia hanya keluar malam untuk jalan-jalan, sama sekali tanpa
urusan di dunia ini. Ia merasa bebas, tidak menyesal karena tahu kalau orang itu yang
menang, ia sendiri akan terbaring di sana, tanpa nyawa dan sendirian.
Dari kegelapan terdengar suara Matahachi, "Takezo, kaukah itu?"
"Ya," jawab Takezo kering. "Ada apa?"
Matahachi berlari mendekat dan katanya sambil terengah-engah, "Aku bunuh satu!
Bagaimana denganmu?"
"Aku bunuh satu juga."
Matahachi mengangkat pedangnya yang berlumuran darah sampai kepangan gagangnya. Sambil
melebarkan bahunya, dengan penuh kebanggaan ia berkata, "Yang lain-lain lari. Bajinganbajingan pencuri ini pengecut! Tak punya nyali! Cuma bias melawan mayat, ha! Ini baru
perkelahian, ha-ha-ha!"
Kedua pemuda itu penuh percikan darah kental, dan mereka puas seperti sepasang anak
kucing yang makan kenyang. Sambil berkeciap senang, mereka pun menuju lampu yang tampak
dari jauh. Takezo dengan pedang berdarah, Matahachi dengan pedang yang juga berdarah.
Seekor kuda gelandangan melongokkan kepalanya ke jendela dan melihat-lihat sekitar
rumah. Dengusnya membangunkan kedua orang yang sedang tidur. Sambil memaki binatang
itu, Takezo menampar telak hidungnya. Matahachi meregangkan badan, menguap, berucap
betapa enak tidurnya. "Matahachi sudah cukup tinggi," kata Takezo.
"Apa kau kira sudah sore?"
"Tidak mungkin!"
Sesudah tidur nyenyak, peristiwa-peristiwa malam sebelumnya sudah terlupakan sama
sekali. Untuk kedua orang ini, yang ada hanya hari ini dan besok.
Takezo berlari ke belakang rumah dan melepas baju sampai pinggang. Sambil merundukkan
badan di sisi sungai gunung yang bersih dan sejuk itu ia memercikkan air ke wajahnya,
membasahi rambutnya, dan membasuh dada dan punggungnya. Seraya menengadah ia menarik
napas dalam-dalam beberapa kali, seakan-akan mencoba mereguk sinar matahari dan seluruh
udara yang ada di langit. Masih mengantuk, Matahachi masuk ke kamar perapian. Ia
mengucapkan selamat pagi kepada Oko dan Akemi dengan riang.
"He, kenapa pula kalian, wanita-wanita yang manis ini, cemberut begitu?"
"Apa betul begitu kelihatannya?"
"Ya, betul sekali. Kelihatannya seperti kalian sedang berkabung. Apa yang mesti
dirisaukan" Kami telah membunuh pembunuh suami ibu dan menghantam kaki-tangannya;
mereka tidak akan lekas lupa."
Kekecewaan Matahachi tidak sukar diterka. Semula ia pikir janda dan anak gadisnya itu
akan senang sekali mendengar berita kematian Temma. Memang malam sebelumnya Akemi
bertepuk tangan gembira ketika pertama kali mendengar tentangnya. Tetapi Oko dari
semula sudah tampak tidak enak, dan hari ini, ketika membungkuk kesal di dekat api, ia
tampak lebih muram lagi. "Ada apa dengan Ibu?" tanya Matahachi. la berpendapat Oko adalah wanita yang paling
sukar disenangkan hatinya di dunia ini. "Inilah balasannya!" katanya pada diri sendiri
sambil mengambil teh pahit yang dituangkan Akemi untuknya dan berjongkok.
Oko tersenyum lesu, iri kepada anak muda yang belum banyak mengecap asam garam
kehidupan di dunia ini. "Matahachi," katanya letih, "kau rupanya belum mengerti. Temma
punya beratus-ratus pengikut."
"Tentu saja. Orang brengsek seperti dia selalu punya banyak pengikut. Kami tidak takut
akan macam orang-orang yang ikut dengan orang seperti itu. Kalau kami dapat membunuh
dial kenapa kami mesti takut kepada anak buahnya" Kalau mereka mencoba menyerang kami,
Takezo dan aku akan..."
"... tak berbuat apa-apa!" sela Oko.
Matahachi membusungkan dadanya dan katanya, "Siapa bilang begitu" Datangkan mereka
sebanyak-banyaknya! Mereka tak lebih dari serombongan cacing. Atau Ibu pikir Takezo dan
aku ini pengecut" Mau merangkak mengundurkan diri" Ibu kira siapa kami ini?"
"Kalian bukan pengecut, tapi kalian kekanak-kanakan! Bahkan terhadap aku! Temma punya
adik lelaki bernama Tsujikaze Kohei, dan kalau dia datang mencari kalian, kalian berdua
jadi satu pun tak akan punya kesempatan menang!"
Ini bukan macam pembicaraan yang suka didengar oleh Matahachi, tapi sementara Oko
meneruskan pembicaraannya ia mulai berpikir barangkali Oko ada benarnya. Tsujikaze
Kohei agaknya memiliki gerombolan besar pengikut di sekitar Yasugawa di Kiso. Dan bukan
hanya itu, ia ahli berkelahi dan luar biasa mahir dalam menangkap orang yang lepas dari
tangkapannya. Sebegitu jauh belum ada orang yang dapat hidup normal sesudah Kohei
secara terbuka menyatakan akan membunuhnya. Jalan pikiran Matahachi hanyalah, kalau
orang menyerang kita di tempat terbuka, itu mudah. Tapi lain sekali halnya kalau orang
itu menyerang selagi kita tidur nyenyak. ,
"Itulah kelemahanku," demikian diakuinya. "Aku tidur seperti orang mati"
Sementara duduk bertopang dagu dan berpikir, Oko pun sampai pada kesimpulan bahwa tidak
ada lagi yang dapat dilakukannya kecuali meninggalkan rumah itu beserta cara hidupnya
dan pergi jauh dari situ. Ia pun bertanya pada Matahachi, apa yang hendak dilakukannya
beserta Takezo. "Aku akan membicarakannya dengan dia" jawab Matahachi. "Ke mana pula dia pergi tadi?"
Ia pun berjalan ke luar dan mencari ke sekitar situ, tapi Takezo tidak tampak di mana
pun. Sejenak kemudian ia memayungi matanya dengan tangan, memandang ke kejauhan, dan
melihat Takezo sedang menaiki kuda.
*** 3. Pesta Bunga PADA abad tujuh belas, jalan raya Mimasaka merupakan jalan utama. Jalan itu membentang
dari Tatsuno di Provinsi Harima, berkelok-kelok melewati dataran yang dalam peribahasa
dilukiskan sebagai "berbukit-bukit". Seperti halnya pancang-pancang yang menandai
perbatasan Mimasaka-Harima, jalan itu menelusuri rangkaian pegunungan yang seakan tanpa
akhir. Para musafir yang muncul dari Celah Nakayama biasa memandang ke lembah Sungai
Aida, dan di situ sering kali mereka terkejut melihat sebuah kampung yang cukup besar.
Sebetulnya Miyamoto lebih tepat dinamakan perserakan dusun daripada sebuah kampung yang
sesungguhnya. Sekelompok rumah berderet di sepanjang sisi-sisi sungai, yang lain
berkerumun jauh di atas perbukitan, dan yang lain lagi mengambil tempat di tengah
dataran terbuka berbatu-batu, sehingga sukar dibajak. Jika dilihat secara keseluruhan,
jumlah rumahrumah itu cukup memadai untuk suatu pemukiman pedesaan pada waktu itu.
Sampai kira-kira setahun sebelum itu, Yang Dipertuan Shimmen dari Iga memiliki sebuah
puri, tak sampai satu mil jauhnya dari sungai-sebuah puri kecil sebagaimana puri-puri
lain, tapi puri yang memikat para tukang dan pedagang untuk selalu datang. Lebih jauh
ke utara terdapat tambang perak Shikozaka yang kini sudah lewat zaman keemasannya, tapi
dahulu pernah memiliki daya tarik bagi para penambang dan mana-mana.
Para musafir yang bepergian dari Tottori ke Himeji atau dari Tajima ke Bizen lewat
pegunungan itu biasanya menggunakan jalan raya tersebut, dan biasanya mereka juga
singgah di Miyamoto. Miyamoto memiliki rona eksotik sebuah kampung yang sering
dikunjungi oleh penduduk yang datang dari beberapa provinsi dan dapat membanggakan
tidak hanya losmennya, melainkan juga toko pakaiannya. Rombongan perempuan malam juga
berlabuh di sana. Leher mereka dipupur putih seperti mode waktu itu. Mereka biasa mondar-mandir di depan
rumah usahanya, seperti kelelawar putih di bawah tepi atap. Itulah kota yang
ditinggalkan oleh Takezo dan Matahachi untuk pergi berperang.
Sambil memandang puncak-puncak atap Miyamoto, Otsu duduk melamun. Ia gadis lembut,
berkulit terang dan berambut hitam mengilat, sosok tubuh dan anggota badannya indah dan
kelihatan rapuh. Sosoknya itu menyiratkan kesan kudus, hampir-hampir seperti peri.
Tidak seperti gadis-gadis petani yang tegap dan merah sehat, yang bekerja di sawah di
bawah sana, gerak-gerik Otsu halus. Jalannya anggun, lehernya jenjang dan kepalanya
tegak. Kini, selagi duduk di ujung emperan kuil Shippoji, ia tampak bagai patung
porselen. Sebagai bayi temuan di kuil gunung ini, ia punya sifat menyendiri yang jarang ditemukan
pada gadis umur enam belas tahun. Keengganannya bergaul dengan gadis-gadis lain
seumurnya dan dari dunia kerja, membuat matanya memancarkan pandangan kontemplatif dan
sungguh-sungguh tajam, yang cenderung menolak lelaki yang terbiasa dengan perempuan
sembarangan. Matahachi, tunangannya, hanya satu tahun lebih tua darinya, dan sejak ia
meninggalkan Miyamoto bersama Takezo pada musim panas sebelumnya, Otsu tidak mendengar
kabar apa-apa tentangnya. Bahkan sampai bulan pertama dan kedua tahun baru ini la
merindukan berita tentang Matahachi, namun kini bulan keempat sudah dekat, dan ia tidak
lagi berani berharap. Dengan malas pandangannya mengawang ke awan-awan, dan pelan-pelan muncullah pikiran di
kepalanya. Sebentar lagi sudah satu tahun penuh.
"Saudara perempuan Takezo pun tidak mendengar berita tentang Takezo. Bodoh aku, kalau
aku menyangka di antara mereka ada yang masih hidup." Sekali-kali ia mengucapkan katakata itu pada seseorang, dengan harapan atau dengan suara dan mata mengimbau, agar
orang lain itu membantahnya dan memintanya untuk tidak berputus asa. Tapi tak seorang
pun memperhatikan keluhannya. Bagi orang kampung yang bersahaja, yang sudah terbiasa
dengan pasukan Tokugawa yang menduduki kuil Shimmen sederhana itu, tidak ada alasan
lagi untuk menyimpulkan bahwa mereka masih hidup. Tak seorang pun anggota keluarga Yang
Dipertuan Shimmen pulang dari Sekigahara, dan itu wajar sekali. Mereka keluarga
samurai; mereka telah kalah. Tak akan mereka berkehendak memperlihatkan wajahnya kepada
orang-orang yang mengenalnya. Tapi bagaimana dengan prajurit biasa" Apakah tidak wajar
kalau mereka pulang" Bukankah mereka sudah akan pulang lama berselang, kalau mereka
memang masih hidup" "Kenapa," demikian tanya Otsu, entah untuk keberapa kalin
ya, "kenapa orang-orang pergi
berperang?" Kini ia sudah bisa menikmati kesenduan duduk sendiri di emperan kuil dan
merenungkan hal yang muskil itu. Ia dapat menyendiri berjam-jam lamanya di tempat itu,
tenggelam dalam angan-angan murung. Tiba-tiba ada suara lelaki menyerbu pulau
kedamaiannya. "Otsu!"
Gelandangan yang telah membangunkan mereka dengan ringkiknya itu, berputar-putar di
kaki gunung, bertelanjang punggung.
"Seperti tak ada masalah di dunia ini baginya," kata Matahachi pada diri sendiri dengan
rasa iri. Dengan tangan mencorong di depan mulut ia berseru, "Hei, Takezo! Pulang! Kita
mesti bicara!"

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat kemudian mereka sama-sama berbaring di rumput sambil mengunyah-ngunyah rumput,
membicarakan apa yang akan mereka lakukan kemudian.
Matahachi berkata, "Jadi, menurut pendapatmu kita mesti pulang?"
"Ya, memang begitu. Kita tak dapat tinggal dengan kedua wanita ini selamanya."
"Ya, memang tidak."
"Aku tak suka perempuan." Setidak-tidaknya itulah keyakinan Takezo. "Baik. Kalau
begitu, ayo kita pergi."
Matahachi berguling dan memandang ke langit. "Sekarang, sesudah bulat pikiran kita,
ingin rasanya aku cepat-cepat pulang. Tiba-tiba aku menyadari sangat kehilangan Otsu.
Sungguh aku ingin melihatnya segera. Lihat di atas itu! Ada awan yang bentuknya seperti
raut muka Otsu. Lihat! Bagian itu seperti rambutnya sesudah dikeramas." Matahachi
menjejak-jejak tanah sambil menunjuk langit.
Mata Takezo mengikuti bayangan kuda menjauh, yang baru saja dilepaskannya. Seperti
kebanyakan pengembara yang diam di padang-padang, kuda gelandangan dianggapnya makhluk
yang baik wataknya. Apabila kita tidak membutuhkannya lagi, ia pun tidak meminta apaapa dari kita; begitu saja ia pergi sendiri ke tempat lain.
Dari rumah, Akemi memanggil mereka makan malam. Mereka pun berdiri.
"Ayo balapan!" teriak Takezo.
"Ayo!" Matahachi menimpali.
Akemi bertepuk tangan gembira ketika kedua pemuda itu sama-sama berlari melintasi
rumput yang tinggi, meninggalkan awan debu di belakang mereka.
Sesudah makan malam, Akemi termenung. la baru saja mendengar bahwa kedua orang itu
telah memutuskan untuk kembali ke rumah mereka. Sungguh menyenangkan bahwa mereka
tinggal di rumah itu, dan ia ingin hal itu berlangsung selamanya.
"Tolol kau!" umpat ibunya. "Kenapa pula kau sedih?" Oko sedang mengatur riasannya, sama
rumitnya seperti biasa. Sementara memaki anak gadisnya, ia pun menatap Takezo di dalam
cermin. Takezo menangkap pandangannya, dan tiba-tiba teringatlah ia akan bau harum
tajam wanita itu ketika menyerbu ke dalam kamarnya.
Matahachi menurunkan guci sake besar dari sebuah rak, lalu mengempaskan diri di samping
Takezo dan mulai mengisi sebuah botol pemanas
kecil, seolah-olah ia adalah tuan rumah. Karena malam itu malam terakhir, mereka
merencanakan untuk minum sepuas-puasnya. Oko pun agaknya mencurahkan perhatian khusus
kepada wajahnya. "Jangan sampai ada setetes pun yang tak terminum!" katanya. "Tak ada gunanya menyisakan
sesuatu untuk tikus-tikus di sini."
"Atau cacing-cacing!" sambut Matahachi.
Dalam waktu singkat mereka telah mengosongkan tiga guci besar. Oko menyandarkan badan
pada Matahachi dan mulai membelainya sedemikian rupa, hingga Takezo memalingkan kepala
karena malu. "Aku... aku... tak bisa berjalan," gumam Oko mabuk.
Matahachi mengawalnya ke kasurnya, sementara kepala Oko tersandar berat ke bahunya.
Sampai di sana, Oko menoleh pada Takezo dan katanya dengki, "Kau, Takezo, tidurlah
sendirian. Kau suka tidur sendiri. Betul, kan?"
Tanpa gumaman apa pun Takezo merebahkan diri asal saja. Ia sudah sangat mabuk, dan hari
sudah larut malam. Ketika ia terbangun, hari telah tinggi. Begitu membuka mata, ia pun merasakannya.
Terasa olehnya rumah itu kosong. Barang-barang yang hari sebelumnya ditumpukkan Oko dan
Akemi untuk perjalanan telah hilang. Tidak ada pakaian, tak ada sandal-dan Matahachi
pun tak kelihatan. la memanggil, tapi tak ada jawaban, dan ia pun tidak mengharapkannya lagi. Rumah yang
kosong memancarkan suasananya sendiri. Tak ada orang di halaman, tak ada orang di
belakang rumah, tak seorang pun di lumbung. Satu-satunya jejak teman-temannya hanyalah
sisir merah terang yang tergeletak di samping mulut pipa air yang terbuka.
"Matahachi babi!" katanya pada diri sendiri.
Mencium bau sisir, kembali ia teringat bagaimana Oko mencoba menggodanya malam hari
belum lama ini. "Inilah yang mengalahkan Matahachi," pikirnya. Memikirkan hal itu saja
darahnya menggelegak. "Hai, tolol!" teriaknya keras. "Bagaimana dengan Otsu" Apa yang akan kauperbuat dengan
dia" Apa tidak sudah terlalu sering dia kautinggalkan, babi?"
Diinjaknya sisir merah itu. la ingin berteriak berang, bukan untuk diri sendiri,
melainkan karena rasa kasihan pada Otsu, yang dapat dibayangkannya dengan jelas sedang
menanti di kampung sana. Selagi ia duduk sedih di dapur, kuda gelandangan itu melongok tenang di pintu. Karena
Takezo tidak menepuk hidungnya, ia pun pergi ke meja cuci dan dengan malasnya menjilati
butir-butir padi yang menempel di sana.
Otsu menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertampang muda datang mendekati dari sumur.
Orang itu hanya mengenakan cawat yang hampir tidak dapat memenuhi fungsinya, dan
kulitnya yang tertempa cuaca berkilau seperti emas redup patung Budha. Ia biarawan Zen
yang tiga-empat tahun lalu datang ke tempat itu dari Provinsi Tajima. Sejak itu ia
tinggal di kuil itu. "Akhirnya datang musim semi," kata biarawan itu, puas pada diri sendiri. "Musim semi
suatu berkah, tapi berkah campuran. Begitu keadaan sedikit panas, kutu-kutu busuk itu
pun melanda negeri. Mereka mencoba mengambil alih negeri, persis seperti Fujiwara no
Michinaga, si bangsat lihai, anak buah seorang regent." Sebentar kemudian ia pun
meneruskan monolog itu. "Aku baru saja mencuci pakaianku, tapi di mana akan kukeringkan jubah tua yang sudah
compang-camping ini" Aku tak dapat menggantungkannya di pohon prem. Dosa besar sekali
dan menghina alam, kalau aku menutup bunga-bunga itu. Cobalah pikir, aku orang yang
punya selera, tapi aku tak dapat menemukan tempat menggantungkan jubah ini! Otsu!
Pinjami aku kayu jemuran."
Wajah Otsu memerah melihat biarawan bercawat cekak itu. Ia pun berseru, "Takuan! Bapak
tak bisa ke mana-mana setengah telanjang begitu, sebelum pakaian Bapak kering!"
"Kalau begitu, aku akan tidur. Bagaimana kalau begitu?"
"Oh, Bapak ini keterlaluan!"
Sambil mengangkat satu tangannya ke langit dan satu lagi menunjuk tanah, Takuan
menirukan gaya patung kecil Budha yang setiap tahun sekali biasa diurapi para pemujanya
dengan teh khusus. "Sebenarnya aku menanti saja sampai besok! Karena hari ini tanggal delapan, hari ulang
tahun sang Budha, aku bisa berdiri saja seperti ini dan membiarkan orang-orang menunduk
hormat padaku. Kalau mereka menuangkan teh manis ke badanku, akan kukejutkan mereka
dengan menjilat bibirku." Dan dengan wajah saleh ia pun melagukan sabda pertama sang
Budha, "Di langit sana dan di bumi ini hanya aku yang suci." "
Otsu pun tertawa geli melihat lagak Takuan yang kurang pantas itu. "Bapak betul-betul
mirip, lho!" "Tentu saja mirip. Aku ini titisan Pangeran Sidharta."
"Kalau begitu, berdiri saja baik-baik di situ. Jangan bergerak! Aku akan ambil teh
untuk pengurapannya."
Pada saat itu seekor tawon menyambar kepala Takuan, dan gaya reinkarnasinya pun
seketika berganti dengan gerak tangan yang kacau. Melihat celah dalam cawatnya yang
longgar itu, sang tawon menukik lagi, dan Otsu pun tertawa terbahak-bahak. Sejak
datangnya Takuan Soho, nama yang diberikan kepadanya sesudah menjadi pendeta, bahkan
bagi Otsu yang pendiam itu pun tak ada hari tanpa hiburan berupa apa yang dilakukannya
atau dikatakannya. Namun sekonyong-konyong Otsu berhenti tertawa. "0, saya tak bisa lagi membuang-buang
waktu sepezti ini. Ada ha1-hal penting yang harus saya kerjakan:'
Sementaca ia memasukkakan kakinya yang putih kecil itu ke dalam sandal, Takuan bertanya
polos, "Kerjaan apa?"
"Kerjaan apa" Apa Bapak
mengingatkan saya. Saya menyuruh saya mengambil segalanya untuk upacara sudah lupa juga" Pertunjukan pantomim Bapak tadi yang
harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok. Pendeta tua
bunga untuk menghias kuil bunga. Kemudian saya harus menyiapkan
pengurapan. Dan malam ini saya harus membuat teh manis."
"Di mana kau mengambil bunga?"
"Dekat sungai, di lapangan bawah."
"Aku akan mengawanimu."
"Tanpa pakaian?"
"Kau tak akan bisa memetik bunga secukupnya, kalau sendirian. Kau perlu bantuan. Lagi
pula, manusia dilahirkan tanpa pakaian. Ketelanjangan itu sifat alamiahnya."
"Mungkin saja, tapi saya tidak menganggap itu alamiah. Sudahlah, lebih balk saya pergi
sendiri." Dengan harapan dapat menghindar, Otsu pun bergegas memutar ke belakang kuil. Sebuah
keranjang ia sandangkan ke punggung. la ambil sebuah sabit, lalu la pun menyelinap ke
luar pintu samping, tapi beberapa saat kemudian ia sudah melihat kembali Takuan
menempel di belakangnya. Sekarang ia mengenakan kain pembalut besar, semacam yang biasa
digunakan orang untuk membawa tilam.
"Apa ini lebih cocok untukmu?" serunya sambil menyeringai.
"Tentu saja tidak. Bapak kelihatan lucu. Orang bisa mengira Bapak gila." "Kenapa?"
"Entahlah. Cuma, jangan jalan di samping saya!"
"Tapi sebelum ini tak pernah rasanya kau keberatan berjalan di samping seorang pria."
"Takuan, Bapak ini betul-betul mengerikan!" la pun berlari jauh ke depan, diikuti
langkah-langkah panjang Takuan, seperti sang Budha turun dari pegunungan Himalaya. Kain
pembalutnya mengepak-ngepak liar ditiup angin.
"Jangan marah, Otsu! Kau tahu, aku hanya menggoda. Dan lagi temanteman lelakimu tak
suka kalau kau terlalu banyak cemberut."
Delapan atau sembilan ratus meter di bawah kuil itu, bunga-bunga musim semi bermekaran
di kedua tepi Sungai Aida. Otsu meletakkan keranjangnya di tanah, dan di tengah lautan
kupu-kupu yang sedang berterbangan mulailah ia mengayunkan sabitnya dengan gerakan
setengah lingkaran, memotong bunga-bunga itu di dekat akarnya.
Sejenak kemudian Takuan pun terpekur. "Sungguh damai di sini," desahnya, yang
kedengaran religius dan kekanak-kanakan sekaligus. "Nah, kalau kita dapat menghabiskan
hidup kita di surga penuh bunga, kenapa kita semua ini lebih suka menangis, menderita,
dan tersesat dalam pusaran derita dan kemarahan, dan menyiksa diri dalam nyala api
neraka" Kuharap setidak-tidaknya kau tak usah mengalami segalanya itu."
Otsu secara berirama mengisi keranjangnya dengan bunga-bunga rumput yang kuning
cemerlang, seruni, aster, apiun, dan violet musim semi. Ia menjawab, "Takuan, daripada
berkhotbah, lebih baik Bapak waspada terhadap tawon-tawon itu."
Takuan menganggukkan kepala sambil mendesah putus asa. "Aku bukannya bicara tentang
tawon, Otsu. Aku cuma mau menyampaikan padamu ajaran sang Budha tentang nasib
perempuan." "Nasib perempuan sama sekali bukan urusan Bapak!"
"O, kau keliru! Sudah tugasku sebagai pendeta untuk mencampuri kehidupan orang banyak.
Aku setuju, ini jenis pekerjaan yang suka mencampuri urusan orang, tapi tidak lebih
sia-sia daripada urusan seorang pedagang, penjual pakaian, tukang kayu, atau samurai.
Pekerjaan ini ada karena dibutuhkan."
Otsu pun melunak. "Rasanya Anda benar."
"Memang demikianlah yang terjadi selama ini. Golongan pendeta tidak bagus hubungannya
dengan kaum perempuan, selama kira-kira tiga ribu tahun. Kau tahu, agama Budha
mengajarkan bahwa perempuan itu jahat. Iblis. Utusan neraka. Bertahun-tahun aku
menggeluti kitab suci, karena itu bukan kebetulan bahwa kau dan aku selamanya
berselisih." "Dan menurut kitab suci Bapak, kenapa perempuan itu jahat?"
"Karena dia menipu lelaki."
"Apa lelaki tidak menipu perempuan juga?"
"Ya, tapi... sang Budha sendiri lelaki."
"Apa menurut Bapak, kalau dia perempuan, keadaannya akan sebaliknya?" "Tentu saja
tidak! Bagaimana mungkin seorang iblis dapat menjadi
Budha?" "Takuan, itu tidak masuk akal."
"Kalau ajaran agama itu hanya pikiran sehat, kita tak akan membutuhkan nabi-nabi untuk
menyampaikannya pada kita."
"Nah, itu, sekali lagi Bapak memutarbalikkan semuanya untuk keuntungan diri sendiri!"
"Komentar khas perempuan. Kenapa mesti menyerangku pribadi?"
Otsu menghentikan ayunan sabitnya lagi, wajahnya memperlihatkan sikap jemu.
"Takuan, kita hentikan saja omongan ini. Saya sedang tak senang bicara hari ini."
"Diam, perempuan!"
"Kan dari tadi Bapak yang terus bicara?"
Takuan memejamkan mata, seolah-olah mengerahkan kesabaran. "Biar kujelaskan sekarang.
Ketika sang Budha masih muda, dia duduk di bawah pohon bodhi. Iblis-iblis perempuan
menggodanya siang-malam. Dengan sendirinya dia lalu tidak menghargai tinggi perempuan.
Sekalipun begitu, karena dia memang maha pengampun, di masa tuanya dia mengambil
beberapa murid perempuan."
"Karena dia sudah bijaksana atau pikun?"
"Jangan menghujat!" Takuan memperingatkan dengan tajam. "Dan jangan lupa Bodisatwa
Nagarjuna yang juga membenci-maksudku takut-pada perempuan, seperti juga sang Budha.
Bahkan dia pun sampai mengagungkan empat jenis perempuan, yaitu saudara perempuan yang
patuh, teman perempuan yang penuh kasih, ibu yang baik, dan pembantu yang tunduk.
Berulang-ulang dia memuji kebajikan mereka itu dan menasihatkan pada orang laki-laki
untuk memperistri perempuan-perempuan jenis itu tadi."
"Saudara perempuan yang patuh, teman perempuan yang penuh kasih, ibu yang baik, dan
pembantu yang tunduk.... Saya lihat Bapak sudah menyusun semua itu untuk keuntungan
lelaki." "Itu cukup wajar, bukan" Di India kuno lelaki lebih dihormati dan perempuan kurang
dihormati dibandingkan dengan di Jepang. Tapi kuminta kaudengarkan nasihat yang
diberikan Nagarjuna pada perempuan."
"Nasihat apa?" "Dia mengatakan, 'Hai, perempuan, jangan kamu mengawini laki-laki..."
"Itu lucu!" "Masih ada kelanjutannya. " Dia mengatakan, 'Hai, perempuan, kawinlah dengan
kebenaran."' Otsu memandangnya dengan hampa.
"Lihat tidak?" kata Takuan sambil mengibaskan tangannya. "Kawinlah dengan kebenaran,
itu berarti kau tak boleh diberahikan semata-mata oleh makhluk hidup, tapi harus
mencari yang abadi."
"Tapi, Bapak," kata Otsu tak sabar, "apa sih 'kebenaran' itu?"
Takuan menjatuhkan kedua tangannya ke samping dan memandang ke tanah. "Yah, kalau
dipikir-pikir," katanya sambil berpikir, "aku sendiri tidak begitu yakin."
Tawa Otsu pun pecah, tapi Takuan tidak mengacuhkannya. "Ada yang aku tahu
diterapkan pada kehidupanmu, kawin dengan kejujuran artinya kan tak boleh
pergi ke kota, melahirkan anak-anak yang lemah dan sentimental. Kau mesti
kampung, yang jadi milikmu, dan di situlah kau mesti menelurkan anak-anak
dan sehat." pasti. Kalau berkeinginan tetap di yang bagus Otsu mengangkat sabitnya tak sabar. "Takuan," bentaknya jengkel, "Bapak datang kemari
ini untuk membantu saya memetik bunga atau tidak?" "Tentu saja. Karena itulah aku di
sini." "Kalau begitu, jangan berkhotbah lagi, dan pegang sabit ini."
"Baiklah, kalau kau memang tidak menginginkan bimbingan spiritual dariku, aku pun tak
akan memaksakannya padamu," katanya berpura-pura tersinggung.
"Sementara Bapak bekerja, saya akan lari ke rumah Ogin, untuk melihat apa dia sudah
menyelesaikan obi yang akan saya pakai besok."
"Ogin" Kakak perempuan Takezo itu" Aku sudah pernah melihatnya, kan" Bukankah dia
pernah datang ke kuil denganmu?" Dan Takuan pun menjatuhkan sabitnya. "Aku ikut."
"Dengan pakaian begitu?"
Takuan berpura-pura tidak mendengar. "Dia barangkali akan menyuguhi kita teh. Aku sudah
haus setengah mati."
Karena sudah capek sekali berdebat dengan biarawan itu, Otsu pun mengangguk lemah, dan
bersama-sama mereka berjalan menyusuri sungai.
Ogin, seorang gadis berumur dua puluh lima; tidak lagi dianggap orang sedang mekarmekarnya, tapi sama sekali tidak jelek tampangnya. Walaupun para calon cenderung mundur
karena reputasi adik lelakinya, tapi tak kurang orang yang melamarnya. Pembawaan dan
pendidikannya yang baik segera tampak oleh semua orang. la menolak semua pinangan,
semata-mata karena ia ingin mengurus adik lelakinya lebih lama lagi.
Rumah yang ditinggalinya dibangun oleh ayah mereka, Munisai, ketika masih memegang
tanggung jawab latihan militer keluarga Shimmen. Sebagai hadiah atas kerjanya yang
sangat baik, ia dianugerahi hak utama menggunakan nama Shimmen. Rumah itu menghadap ke
sungai, dikitari oleh tembok kotor yang tinggi, didirikan di atas pondasi batu, dan
jauh lebih besar dari yang diperlukan oleh seorang samurai biasa di pedesaan. Dahulu
rumah itu megah, tapi kini telah reyot. Bunga-bunga iris liar berkecambah dari atapnya,
dan dinding dojo, di mana Munisai dahulu biasa mengajarkan seni perang, kini terlapisi
seluruhnya oleh kotoran burung layang-layang putih.
Ketika Munisai tak disukai lagi, ia kehilangan status dan mati sebagai orang miskin.
Suatu kejadian yang bukan tidak umum di zaman yang penuh kekalutan. Segera sesudah
kematiannya, para pembantunya pun pergi, tapi karena mereka semua orang asli Miyamoto,
banyak yang masih sering singgah. Apabila singgah, mereka meninggalkan sayur-sayuran
segar, membersihkan kamar-kamar yang tidak dipakai, mengisi guci-guci air, menyapu
jalanan, dan dengan cara-cara lain yang tak terhitung jumlahnya mereka berusaha
memelihara rumah tua itu. Mereka juga senang mengobrol dengan anak perempuan Munisai.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Ogin yang sedang menjahit di kamar dalam mendengar pintu belakang terbuka, ia
menyangka yang datang adalah salah seorang dari bekas-bekas pembantu itu. Karena sedang
tenggelam dalam pekerjaannya, ia pun terlompat ketika mendengar Otsu menyalaminya.
"Oh," katanya. "Kamu rupanya. Bikin kaget aku saja. Aku baru menyelesaikan obi-mu. Mau
kaupakai besok, kan?"
"Betul. Ogin, aku mau mengucapkan terima kasih, karena kau sudah mau bersusah payah.
Sebetulnya aku bisa menjahitnya sendiri, tapi di kuil begitu banyak pekerjaan, sampai
tak ada waktu lagi."
"O, aku senang bisa membantu. Aku punya lebih banyak waktu dari yang kubutuhkan. Kalau
tak ada kesibukan, aku mulai melamun."
Otsu mengangkat kepala, dan terlihat olehnya altar keluarga. Di atasnya menyala lilin,
di atas piring kecil. Dalam cahaya suram itu la melihat dua tulisan gelap yang dilukis
sangat saksama dengan kuas. Keduanya dilekatkan di papan, dengan sesajian air dan bunga
di depannya: Roh Shimmen Takezo yang telah pergi, Umur 17.
Roh Hon'iden Matahachi yang telah pergi, Umur sama.
"Ogin," kata Otsu resah. "Apa kau sudah mendapat kabar bahwa mereka terbunuh?"
"Ah, belum.... Tapi apa lagi yang lain dari itu" Aku sudah pasrah. Aku yakin mereka
tewas di Sekigahara."
Otsu menggelengkan kepala keras-keras. "Jangan katakan itu! Bikin sial! Mereka belum
mati, belum! Kurasa mereka akan muncul hari-hari ini."
Ogin memandang jahitannya. "Apa kau mimpi tentang Matahachi?" tanyanya lembut.
"Ya, selalu. Kenapa?"
"Itu artinya dia sudah mati. Aku sendiri tidak mimpi yang lain kecuali adikku."
"Ogin, jangan bilang begitu!" Otsu pun berlari ke altar dan mencabut tulisan itu dari
papannya. "Kusingkirkan barang-barang ini. Cuma mengundang yang jelek-jelek."
Air mata melelehi wajahnya ketika la mengembus lilin itu. Tak puas dengan itu,
dicengkeramnya bunga dan mangkuk air, lalu ia berlari melintasi kamar sebelah, menuju
beranda. Di sana dilontarkannya bunga itu sejauh-jauhnya dan dituangkannya air di
pinggir sana. Air tumpah tepat di kepala Takuan yang sedang jongkok di bawah.
"Aaii! Dingin!" lengking Takuan sambil melompat, dan dengan kalutnya ia mencoba
mengeringkan rambut dengan salah satu ujung kain pembalutnya. "Apa pula yang kaulakukan
ini" Aku datang kemari mencari secangkir teh, bukan mandi!"
Otsu pun tertawa sampai keluar air mata. "Maaf, Takuan. Betul-betul minta maaf. Saya
tak lihat." Sebagai tanda minta maaf, ia pun membawakan Takuan teh yang sudah dinantikannya. Ketika
ia kembali ke dalam, Ogin yang memandang tajam ke beranda itu bertanya, "Siapa itu?"
"Biarawan musafir yang tinggal di kuil. Yang kotor itu. Kau pernah melihatnya,
denganku, ingat tidak" Waktu dia sedang berjemur telungkup sambil memegang kepala,
memandang ke tanah. Ketika kita bertanya kepadanya apa yang dilakukannya, dia
mengatakan kutu-kutunya sedang mengadakan pertandingan gulat. Dia bilang dia telah
melatih kutu-kutu itu untuk menghiburnya."
"O, dia!" "Ya, dia. Namanya Takuan Soho."
"Aneh ya." "Ya, begitulah paling tidak."
"Apa yang dipakainya itu" Kelihatannya bukan jubah pendeta."
"Memang bukan. Itu kain pembalut."
"Kain pembalut" Eksentrik. Berapa umurnya?"
"Katanya tiga puluh satu tahun, tapi kadang-kadang aku merasa seperti kakaknya; dia
begitu tolol. Salah seorang pendeta mengatakan, biarpun kelihatannya begitu, dia
biarawan hebat." "Mungkin saja. Kita tak dapat selalu menilai orang dari tampangnya."
"Dari mana dia itu?"
"Dia lahir di Provinsi Tajima, dan mulai mempersiapkan diri menjadi pendeta ketika umur
sepuluh tahun. Kemudian dia masuk kuil sekte Zen Rinzai, kira-kira empat tahun
kemudian. Pergi dari sana dia menjadi pengikut pendeta sarjana dari Daitokuji dan
melakukan perjalanan bersamanya ke Kyoto dan Nara. Belakangan dia belajar dengan
pimpinan Gudo dari Myoshinji, Itto dari Sennan, dan satu deretan panjang orang suci
lain yang terkenal. Dia menghabiskan banyak sekali waktu untuk belajar!"
"Barangkali itu sebabnya dia agak lain."
Otsu melanjutkan ceritanya. "Dia diangkat menjadi pendeta tetap di Nansoji dan ditunjuk
sebagai kepala biara Daitokuji dengan maklumat Kaisar. Tak pernah aku tahu alasannya
dari siapa pun. Dia sendiri tak pernah menceritakan masa lalunya. Tapi, karena beberapa
alasan, tiga hari sesudahnya dia melarikan diri."
Ogin menggelengkan kepala.
Otsu melanjutkan. "Orang bilang jenderal-jenderal terkenal seperti Hosokawa dan orangorang bangsawan macam Karasumaru sudah berulang-ulang mencoba meyakinkannya untuk
tinggal menetap. Mereka malahan sudah menawarkan membangun kuil untuknya dan
menyumbangkan uang untuk perawatannya, tapi dia tidak tertarik. Dia bilang lebih suka
mengembara di pedesaan seperti pengemis, hanya berteman kutu-kutunya. Kurasa dia agak
sinting." "Barangkali menurut anggapannya kita ini yang aneh."
"Memang begitu yang dikatakannya." "Berapa lama dia akan tinggal di sini?"
"Mana bisa tahu" Dia biasa muncul suatu hari, dan menghilang hari berikutnya."
Seraya berdiri di dekat beranda, Takuan berseru, "Aku bisa mendengar semua yang kalian
bicarakan!" "Tapi rasanya kami tidak membicarakan yang jelek," jawab Otsu riang.
"Kalaupun kalian membicarakan yang jelek, aku tak peduli, kalau itu menghibur kalian,
tapi setidak-tidaknya kalian dapat memberiku kue manis untuk teman minum teh ini."
"Itu dia," kata Otsu. "Dia memang seperti itu sejak dulu."
"Apa maksudmu, aku seperti itu?" Mata Takuan pun berseri-seri. "Dan kau sendiri" Kau
kelihatannya saja tidak tega melukai seekor lalat, tapi tindakanmu jauh lebih kejam dan
bengis daripadaku." "O, betul begitu" Dan bagaimana saya bisa kejam dan bengis begitu?"
"Kau meninggalkan aku di luar sini tanpa daya, tanpa apa-apa kecuali teh, sedangkan kau
duduk merintihkan kekasihmu yang hilang. Kejam!"
Di kuil Daishoji dan Shippoji lonceng berdentang-dentang. Lonceng mulai berdentang
selewat subuh, dan kadang-kadang masih terdengar dentangnya sampai jauh lepas tengah
hari. Pada pagi hari orang-orang berduyun-duyun ke kuil: gadis-gadis dengan obi merah,
istri-istri pedagang dengan warna kimono yang lebih lembut, dan di sana-sini wanita tua
dengan kimono warna gelap menggandeng tangan cucu-cucu mereka. DI kuil Shippoji, ruang
utama yang kecil penuh dengan umat. Tetapi para pemudanya kelihatannya lebih tertarik
mencuri-curi pandang ke Otsu daripada mengikuti upacara keagamaan ini.
"Dia ada di sini," bisik seorang pemuda.
"Semakin cantik saja," bisik pemuda lain.
Di dalam ruang itu ada sebuah kuil mini. Atapnya dari daun-daun potion jeruk dan tiangtiangnya dililit bunga-bunga liar. Di dalam "kuil bunga" ini ada patting Budha berwarna
hitam, setinggi kira-kira setengah meter. Tangannya yang satu menunjuk ke langit dan
satunya lagi ke tanah. Patting ini berdiri di dalam semacam baskom dari tanah liar.
Orang-orang melewati patung itu sambil mengguyurkan teh manis ke kepalanya dengan
menggunakan sendok besar dari bambu. Takuan berdiri di dekatnya, membawa minyak suci
dan mengisikannya ke dalam tabung-tabung bambu kecil untuk dibawa pulang para
pengunjung sebagai pembawa berkah. Sambil menuangkan minyak ia menghimbau mereka untuk
memberikan sumbangan. "Kuil ini miskin, maka tinggalkan sumbangan sebanyak yang Anda sanggup. Terutama Andaanda yang kaya. Saya tahu siapa Anda, Anda memakai sutra halus dan obi bersulam. Anda
punya banyak uang. Anda pasti punya banyak kesusahan juga. Jika Anda meninggalkan uang
sebanyak lima puluh kilo, kesusahan Anda akan berkurang lima puluh kilo juga."
Di sebelah lain kuil bunga itu, Otsu duduk menghadap meja berplitur hitam. Wajahnya
memancarkan rona merah muda, seperti bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Ia mengenakan
obi baru. Ketika menuliskan kata-kata pesona di atas kertas lima warna, ia memainkan
kuas dengan terampilnya. Sekali-sekali ia mencelupkannya ke dalam kotak tinta berlak
emas di sebelah sana. la menulis:
Dengan cepat dan saksama,
Pada hari yang sebaik-baiknya ini, Yaitu tanggal delapan bulan empat, Jatuhlah hukuman
bagi Para serangga yang menghabiskan panen.
Entah sejak kapan orang di daerah ini menganggap bahwa menggantungkan sajak bernada
praktis itu di dinding akan melindungi mereka dari hama, penyakit, dan juga nasib siaL
Otsu menuliskan sajak itu sudah berpuluh kali-ya, sudah demikian seringnya, hingga
pergelangan tangannya mulai berdenyut dan tulisan tangannya mulai mencerminkan
kelelahan. Setelah berhenti sejenak, ia pun menegur Takuan, "Hentikanlah usaha merampok orangorang ini. Terlalu banyak Bapak mengambil."
"Aku bicara kepada mereka yang sudah terlalu banyak harta. Itu jadi beban mereka.
Itulah inti amal, yaitu meringankan mereka dari beban," jawab Takuan.
"Dengan jalan pikiran itu, pencuri biasa pun bisa jadi orang suci semuanya."
Takuan terlalu sibuk mengumpulkan mata uang emas untuk menjawab. "Sini, sini," katanya
kepada orang banyak yang berdesak-desak. "Jangan berdesakan, pelan-pelan, antrelah.
Anda sekalian akan segera mendapat kesempatan mengosongkan pundi-pundi Anda."
"Hei, Pendeta!" kata seorang pemuda yang mendapat peringatan karena mendesakkan diri ke
tengah. "Maksud Anda saya?" kata Takuan sambil menunjuk hidungnya.
"Ya. Bapak terus menyuruh kami menunggu giliran, tapi Bapak mendahulukan perempuan."
"Saya suka perempuan sama dengan lelaki di belakangnya."
"Bapak ini mestinya salah seorang biarawan bejat yang selalu kami dengar ceritanya
itu." "Cukup, berudu! Kaukira aku tidak tahu kenapa kau di sini! Kau tidak datang untuk
menghormat sang Budha atau membawa pulang kebaikan. Kau datang untuk bisa memandang
Otsu lebih jelas! Nah, akuilah sekarang betul, kan" Tak bakal kau mendapat perempuan,
kalau kau berlaku seperti orang kikir."
Wajah Otsu berubah merah tua. "Takuan, hentikan. Hentikan sekarang juga, kalau tidak,
saya betul-betul marah!"
Untuk mengistirahatkan matanya, Otsu kembali menghentikan pekerjaannya, lalu
melayangkan pandang kepada orang banyak. Tiba-tiba terpandang olehnya sesosok wajah.
*** 4. Murka Janda Bangsawan KELUARGA Matahachi, Hon'iden, anggota kebanggaan kelompok bangsawan desa yang masuk
kelas samurai. Mereka juga mengerjakan tanah. Kepala sesungguhnya dari keluarga itu
adalah ibu Matahachi, seorang perempuan yang sangat keras kepala bernama Osugi.
Sekalipun sudah hampir enam puluh tahun umurnya, tiap hari ia memimpin keluarga dan
petani penyewanya ke ladang dan bekerja sama kerasnya dengan mereka. Di musim tanam ia
mencangkul ladang, dan sesudah panen la menebah butir-butirnya dengan menginjakinjaknya. Kalau senja memaksanya berhenti bekerja, ada saja yang dapat ditemukannya
untuk disandangkan ke punggungnya yang bungkuk dan diangkutnya pulang ke rumah. Sering
kali yang dipanggulnya adalah ikatan daun murbei yang demikian banyak, hingga tubuhnya
yang hampir melipat dua itu nyaris tidak kelihatan. Pada malam hari, biasanya ia dapat
ditemui sedang mengurus ulat sutranya.
Sore pada hari pesta bunga itu, Osugi menghentikan kerjanya di petak kebun murbei
ketika melihat cucu lelakinya yang masih ingusan berlari-lari telanjang kaki melintas
ladang. ' "Dari mana kamu, Heita?" tanyanya tajam. "Dari kuil, ya?"
"He-eh." "Otsu ada di sana?"
"Ya," jawab anak itu girang. Napasnya masih terengah-engah. "Dan dia pakai obi yang
bagus sekali. Dia membantu pesta."
"Kamu bawa pulang teh manis dan mantra pengusir hama, tidak?"
"Tidak." Mata perempuan tua yang biasanya tersembunyi di antara lipatan dan kerut-kerut itu kini
terbelalak karena jengkel. "Kenapa tidak?"
"Otsu bilang, tidak usah repot dengan hama-hama itu. Dia bilang, saya mesti lari pulang
dan mengatakan pada Nenek." "Mengatakan apa?"
"Takezo, dari seberang kali. Otsu bilang melihat dia di pesta."
Suara Osugi turun satu oktaf. "Betul" Betul-betul dia melihatnya, Heita?"
"Ya, Nek." Tubuh kekar itu pun seperti lumpuh seketika, dan matanya menjadi kabur oleh air mata.
Pelan-pelan ia menoleh, seakan-akan berharap melihat anak lelakinya berdiri di
belakangnya. Ketika tak dilihatnya seorang pun, ia pun memutar badannya kembali.
"Heita," katanya sekonyong-konyong, "ambili daun murbei ini."
"Nenek mau ke mana?"
"Pulang. Kalau Takezo kembali, Matahachi pasti pulang juga."
"Saya ikut." "Tak usah. Jangan nakal, Heita."
Wanita tua itu pun enyah, meninggalkan anak kecil itu sendirian, seperti anak yatim.
Rumah pertanian yang dikitari pohon ek tua berbonggolbonggol itu adalah rumah yang
besar. Osugi melewatinya saja dan berlari langsung ke lumbung, di mana anak
perempuannya dan beberapa petani penyewa sedang bekerja. Masih di kejauhan ia sudah
berseru pada mereka dengan agak histeris.
"Apa Matahachi sudah pulang" Apa dia sudah di sini?"
Orang-orang itu terkejut, dan memandangnya seakan-akan la telah kehilangan akal.
Akhirnya seorang dari mereka mengatakan "belum", tapi perempuan tua itu seperti tidak
mendengarnya. Seakan-akan, karena sudah terlalu lelah, la menolak menerima jawaban
"belum". Ketika mereka terus memperlihatkan pandangan kosong, ia pun mulai menyebut
mereka semua dungu, dan ia menjelaskan apa yang telah didengarnya dari Heita. Kalau
Badai Awan Angin 25 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 10
^