Pencarian

Samurai 19

Samurai Karya Takashi Matsuoka Bagian 19


"Kalau aku tanpa sengaja memberimu kesan itu, aku menyesalinya," katanya. Umat Kristiani menganggap berdusta itu dosa karena mereka yakin, padahal itu kekeliruan, bahwa kebenaran selalu yang terbaik. "Tidak begitu perasaanku," lanjut Genji berbohong. "Maaf."
"Kau sudah menjadi penipu ulung selama enam tahun. Tetapi, aku telah melihat hatimu sekarang."
Dia tertawa, berusaha membuatnya sepele. "Bagaimana aku membuka rahasia diriku?" Dia berkata seolah-olah semuanya hanyalah gurauan.
"Kau memercayai pertanda yang kaulihat," jawab Emily, "dan pertanda yang dilihat leluhurmu selama enam abad. Kaupercaya bahwa setiap usaha untuk menghindarinya akan sia-sia, dan mendatangkan bencana lebih besar pula. Kau meyakini semua ini, tetapi kau tetap bertekad membuatku pergi untuk mencegah terwujudnya pertandamu."
"Hanya karena aku bukan seorang Kristen yang baik seperti keinginanmu, bukan berarti aku tidak memiliki kebajikan kristiani. Aku adalah sahabatmu.
Aku tak ingin melihat kau menderita. Terlebih lagi, aku tak ingin menyaksikanmu menemui ajal sebelum saatnya."
"Pembohong," kata Emily, dan tersenyum.
Cara dia mengucapkan kata itu mengingatkannya pada cara Heiko mengatakannya, terakhir kali dia melihatnya. Namun, saat itu Heiko tak tersenyum.
"Kau mengorbankan dirimu, masa depan klanmu, dan keselamatan, bahkan mungkin keberadaan ahli warismu. Untuk apa" Melindungiku."
Dia melepaskan tangan Genji, yang telah digenggamnya selama itu.
"Kau lebih memerhatikan diriku ketimbang dirimu sendiri," lanjut Emily "Bukankah itu cinta menurutmu?"
Genji melihat tangannya. Emily meletakkan liontin itu di sana.
Jika dia menginginkannya pergi, yang perlu dilakukannya hanyalah menyimpan liontin itu, dan mengingkari kata-katanya. Karena itu, Emily akan pergi. Dia akan menikahi Smith, atau BUKU KEDUA
22 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Farrington, atau orang Amerika lainnya, dan meninggalkan Jepang dan dirinya. Bukan karena Emily percaya bahwa dia tak mencintainya; tetapi karena dia tak akan pernah memaksakan kehendak terhadapnya, sekalipun untuk menolongnya. Menurut prinsip keimanan Emily meskipun begitu kusut terbelit gagasan cinta romantiknya, kehendak bebas berperan sangat penting.
Kehendak bebas. Genji tak mengerti apa makna kata-kata itu sebenarnya. Dalam dunianya, itu tak bermakna apa-apa.
Kehendak adalah sarana seseorang untuk mewujudkan takdimya. Bebas" Tidak ada orang yang bebas. Itu adalah khayalan yang ditanamkan oleh setan, dan dipercayai hanya oleh mereka yang tolol dan gila.
Dan yang mana dirinya" Orang tolol" Orang gila" Iblis" Mungkin ketiganya.
Genji memegang rantai kalung itu, yang berpendar cemerlang seperti dalam pertanda yang dia lihat. Dia merangkul Emily Tangannya membelai ringan leher Emily ketika dia mengancingkan kait kalung itu.
Kehendak bebas, atau takdir"
"Genji," kata Emily, dan perlahan dia melunak dalam pelukan Genji.
Emily tak punya banyak waktu untuk mengagumi klimaks yang tak terduga ini. Begitu Genji membuat keputusan, dia merencanakan dan melaksanakan urusan-urusan selanjutnya dengan kecepatan dan ketepatan seorang jenderal samurai yang sedang beroperasi. Kurang dari tiga minggu, kapel di bukit di atas lembah apel, yang telah mereka bicarakan sejak lama, telah berdiri.
Pemimpin pembangunan itu, Tsuda, adalah orang yang pertama kali menemukan Jembatan Musim Gugur dan mengirimkannya kepada Emily. Dia bekerja keras tanpa terlihat tidur, seolah-olah hidupnya sepenuhnya bergantung pada penyelesaian pembangunan itu tepat pada waktunya. Seorang pelayan kastel menjahit sebuah gaun pengantin dengan pola Prancis yang sangat rumit sehingga tampak berasal dari masa sebelum revolusi. Bermeter-meter sutra Cina terhalus, kain linen Irlandia, dan renda Prancis melengkapi keindahannya. Emily tanpa sengaja mendengar seorang pelayan berkata bahwa bordir rumit pada bagian atas gaun saja harganya sama dengan pendapatan tahunan wilayah kecil. Emily sangat malu dengan kemewahan ini. Dia ragu apakah Ratu Victoria juga mengenakan gaun sebaik ini pada hari pernikahannya. Namun, BUKU KEDUA
23 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur dia tak mengatakan apa pun kepada Genji. Dia tahu Genji menyelenggarakannya dengan mewah karena satu alasan yang baik. Seorang bangsawan dari salah satu garis keturunan terkuno di Jepang akan menikahi orang asing tanpa nama, tanpa kaitan politik, tanpa kekayaan. Genji menggempur gosip dan hinaan dengan menampilkan kebanggaan secara besar-besaran.
Barangkali, secara strategi ini sama dengan operasi militer juga.
Emily Gibson tak bisa memercayainya. Dia, seorang gadis petani dari Lembah Sungai Hudson, akan menjadi pengantin perempuan dari panglima perang Jepang, sang pemuja berhala.
Hide berdiri di tepi air dan menatap sebuah kapal yang sedang berlabuh di lepas pantai.
Pemandangan itu membuatnya diliputi kebencian. Diperlukan disiplin yang sudah terlatih lama untuk menjaga napasnya yang sudah terlatih lama untuk pasnya agar tetap tenang dan tak terdengar. Bukankah sebuah pepatah samurai mengatakan bahwa laki-laki yang napasnya terdengar oleh musuh adalah seorang pecundang" Dia tidak akan memberikan contoh yang buruk.
"Kuhitung mereka hanya punya empat meriam,"
kata Iwao. "Kapal junjungan kita, Tanjung Muroto, punya dua puluh. Kita lebih tangguh dibandingkan orang-orang Amerika itu." Dia merasa bahagia ketika ayahnya mengangkat dan menggendongnya. Dia memang berharap begitu, tetapi dia tak meminta. Seorang samurai pantang meminta meskipun dia baru berumur lima tahun.
"Kita tidak lebih tangguh," kata Hide, "belum. Kapal perang junjungan kita dari kayu. Kapal yang itu berlapiskan besi. Bidikan dari kedua puluh meriam Tanjung Muroto tak akan mempan pada lempengan logam itu. Dan lihatlah betapa besarnya empat senjata itu, Iwao. Perhatikan, senjata-senjata itu diletakkan di menara yang berputar sehingga mereka bisa berputar-putar dan menembak ke segala arah, tak peduli ke mana pun arah kapalnya."
Iwao tak suka mendengar betapa besar kekuatan para pendatang itu. Katanya, " Hampton Roads. Benarkah begitu membacanya, Ayah?"
"Ya." "Nama yang aneh. Tanjung Muroto jauh lebih baik."
Hide tersenyum dan menahan tawanya. "Bukan hanya kita yang menghargai sejarah.
Hampton Roads adalah tempat kapal perang berlapis besi bertempur melawan satu sama lain BUKU KEDUA
24 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur untuk pertama kalinya."
"Oh ya" Siapa yang menang?"
"Tak ada yang bisa menggempur yang lain. Tak ada yang menang."
Iwao berkata, "Jika kita tidak bisa menenggelamkannya, kita rebut saja selagi dia berlabuh.
Lihat, Ayah. Para penjaga di buritan itu tak acuh saja. Mereka duduk-duduk, tertawa, dan merokok. Sepertinya mereka mabuk!"
"Bagaimana rencanamu?"
Iwao mengerutkan kening mencoba berkonsentrasi. Katanya, "Pada malam hari, perahu besar akan tetap terlihat meskipun tanpa bulan. Aku akan memimpin pasukan untuk berenang dari timur. Cahaya kota dari arah barat akan membutakan para penjaga."
"Air akan melumpuhkan senjata apimu."
"Kita tak butuh senjata api," ujar Iwao. "Hanya pedang pendek dan pisau. Tembakan senjata api hanya akan memancing perhatian musuh, sedangkan pisau tidak. Kita akan menyerang Hampton Roads saat seluruh awaknya terlelap. Dua puluh orang cukup, asalkan mereka benar-benar yang paling tangguh."
"Maaf, Tuanku." Seorang pelayan berlutut di pasir di sampingnya: "Upacara pernikahan akan segera dimulai."
"Terima kasih," kata Hide. Dia menurunkan Iwao dan keduanya mengikuti pelayan itu berjalan ke Kastel Awan Burung Gereja.
"Aku senang Lady Emily menikah," kata Iwao.
"Oh?" Hide menatap anaknya. "Mengapa?"
"Dia tak akan kesepian lagi," sahut bocah itu.
"Ini bukan pesta pernikahan yang kubayangkan," kata Charles Smith.
"Setuju," sahut Robert Farrington. Selain kedua orang Amerika itu, tamu-tamu yang lain adalah para penguasa setempat dan para pengawalnya.
"Jujur saja, aku terkejut melihat kau di sini," kata Smith.
" Hampton Roads tak punya jadwal patroli," kata Farrington, "lagi pula, aku dan kapten kapal adalah kawan seperjuangan. Tak ada masalah untuk bepergian ke sini."
"Aku lebih mengkhawatirkan kendala sosial ketimbang geografi."
BUKU KEDUA 25 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Menurutku tak ada alasan untuk tak menghadiri pernikahan seorang wanita yang sangat kuhormati," kata Farrington, "meskipun aku tak mendukung pilihannya."
Kedua laki-laki itu terhanyut dalam keheningan. Tak ada yang tahu apa yang ada dalam benak yang lain. Mereka hanya bisa saling menduga.
Farrington meringis, dan berusaha tidak memikirkannya.
Smith, tersenyum, cenderung menikmati khayalannya sendiri.
Tak setiap hari seorang dara Amerika mengorbankan dirinya di altar bushido.
Kamar pengantin itu dilengkapi perabot dan dihiasi sempuma dengan gaya Amerika. Emily dapat dengan mudah membayangkan dirinya sedang berada di Albany, dan bukan di Akaoka.
Yang paling memikat, barangkali hanya karena perasaannya, adalah ranjang besar bertiang empat, dengan selimut perca yang empuk, bantal-bantal, dan seprai putih sutra asli.
Emily berdiri di depan cermin di sisi meja rias. Tanpa merasa bangga diri atau berpura-pura merendah, dia melihat bayangan pada cermin itu hanyalah keanggunan dan kecantikan.
Seandainya yang dilihatnya adalah orang lain, pasti dia sudah mengagumi kesempurnaan bayangan itu sehingga dia harus menyadarkan dirinya bahwa semuanya itu kefanaan saja, bahwa setiap karya dan penciptanya pasti akan tiada. Namun karena yang dilihatnya adalah bayangannya sendiri, dia tidak memerlukan peringatan seperti itu. Di balik ketenangan yang tampak pada wajah di cermin itu, dia menyaksikan kebingungan total.
Upacara pernikahannya sendiri sangat menakjubkan. Tak ada kata-kata yang mampu melukiskannya. Yang tak disangkanya, Smith dan Farrington juga hadir di sana, dan yang lebih mengagetkannya mereka berdua sangat akrab satu sama lain. Ucapan selamat dari mereka tampak sangat tulus. Emosi Farrington tersembunyi seperti biasanya, sedangkan Smith gembira luar biasa, seolah-olah dirinyalah yang menjadi pengantin pria. Upacara perkawinannya sendiri diberkati oleh seorang pendeta Belanda aliran Luther. Pendeta itu dan para pendahulunya telah berhubungan baik dengan para Bangsawan Agung Akaoka untuk beberapa generasi.
Emily menganggap itu adalah pertanda nyata kehendak Tuhan bahwa tak satu pun di antara keluarga Genji yang menjadi pengikut Luther selama kurun waktu itu, dan bahwa Genji sendiri telah dibaptis dalam aliran Cahaya Firman Sejati seminggu sebelum pernikahan. Pembaptisan ini tidak mempengaruhi hubungan Genji dengan kalangannya. Seluruh bangsawan agung di Jepang Barat yang menentang Shogun Tokugawa hadir, demikian juga pejabat tinggi utusan Shogun BUKU KEDUA
26 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur sendiri. Semuanya menghormati dirinya sebagai pengantin wanita, dan bergembira dalam perayaan itu.
Sejujurnya, dia hanya teringat beberapa hal kecil. Upacara dan perayaan telah berlalu secepat kabut. Dia jauh lebih mengkhawatirkan apa yang akan terjadi kemudian.
Dan kini, saatnya tiba. Dalam beberapa menit beberapa menit saja"Genji akan datang kepadanya mengharapkan penyerahan diri seutuhnya. Emily akan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, dia akan melakukan yang terbaik, dia tidak akan membiarkan penderitaan tubuh dan keletihan emosional menolak hak Genji sebagai suami. Namun dia takut, dan dia tak bisa memungkirinya.
Apa yang menjadi hasrat Genji sebenarnya"
Pemeluk ajaran Kristen, sekalipun tidak taat, memahami bahwa perkawinan ada untuk membuahkan keturunan, dan bukan upaya untuk melegalkan hubungan seksual. Karenanya, ada kesadaran sebagai penghalang yang menghindarkan kecenderungan perilaku kebinatangan yang terburuk. Penghalang itulah yang tak dikenal Genji. Pertama-tama, dia adalah orang Jepang, dan tampaknya tidak ada yang terlarang bagi penduduk asli di negeri ini, sejauh itu tidak melanggar kesepakatan. Begitu seorang wanita menjadi pasangan intim laki-laki, sang laki-laki boleh melakukan apa saja, termasuk perbuatan yang dapat digolongkan sebagai penyimpangan seksual, penganiayaan, dan kejahatan, menurut hukum dan moral bangsa Barat.
Dia tidak mencari-cari kebenaran mengerikan ini. Tinggal di negeri ini selama enam tahun, tidak mungkin dia tidak mengetahui hal itu. Pertama kali, dia mendengarnya tak sengaja dari pembicaraan para pelayan dan wanita-wanita di kastel. Komentar-komentar mereka tentang hubungan pria-wanita menunjukkan adanya perilaku tak bermoral sama sekali. Kemudian, ditambah lagi peristiwa di perpustakaan, ketika dia menemukan buku-buku dan perkamen yang semula luput dari perhatiannya. Buku pertama yang sempat dibukanya memuat gambar-gambar mencolok hubungan intim dengan cara yang menjijikkan, diperburuk dengan gambar alat kelamin laki-laki dan wanita dalam ukuran dan pewarnaan yang berlebihan. Dengan ngeri, dia menutup buku itu secepat dia membukanya.
Namun, pengamatan sepintas itu sangat menggores ingatannya. Satu jam berlalu sebelum dia mampu memulihkan keberaniannya dan membuka buku berikut nya. Itu dilakukannya bukan karena keingintahuannya terhadap seks, melainkan untuk semakin memahami masyarakat di sekelilingnya. Mengenali penyakit merupakan langkah awal untuk mengobatinya.
BUKU KEDUA 27 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Buku kedua memuat sketsa tinta polos, sedikit lebih rumit dari goresan pensil, tetapi yang digambarkan lebih buruk lagi. Wanita-wanita ditampilkan terikat telanjang dengan posisi yang aneh, kesakitan, dan cabul. Bahasa Jepang Emily jauh dari baik, tetapi dia bisa membaca cukup baik untuk mengetahui bahwa buku itu adalah petunjuk terperinci tentang penyiksaan seksual.
Dia meletakkan buku-buku itu di tempatnya dan menyibukkan dirinya dengan buku-
bukunya sendiri. Ketika Hanako datang untuk membantunya, Emily mencoba membicarakan topik itu. Namun, bagaimana mungkin seorang wanita alim seperti dia mampu berbicara hal-hal seperti itu meskipun dengan sahabat tepercaya" Beberapa kali Emily mencoba dan lidahnya kelu, dia hanya bisa tersipu-sipu. Akhirnya, dia tak mengucapkan sepatah kata pun tentangnya.
Dan sekarang, Hanako telah pergi, tidak ada seorang pun yang bisa dimintai bantuan. Dia seorang diri.
Dia akan berpasrah diri kepada Tuhan agar menunjukkan jalan kepadanya. Namun, berdiri di sana di depan cermin, begitu memukau dalam gaun pengantinnya, dia tak melihat ada jalan keluar, tak ada jalan keluar sama sekali.
Dia mulai menanggalkan pakaiannya.
Hal terburuk yang harus dihadapinya bukanlah tindakan fisik, melainkan pengakuan. Sejak awal kedatangannya di Jepang, dia telah melakukan penipuan dengan menampilkan kesucian dan keluguan. Dia tidak seperti apa yang pura-pura ditunjukkannya.
Dia bukan perawan. Meskipun peristiwa penodaan itu bukanlah pilihannya, dia tak bisa membenarkan dirinya menyembunyikan kenyataan itu dari Genji. Peristiwa itu terjadi ketika dia masih kanak-kanak, dan dia patuh karena dipaksa dengan brutal. Akan tetapi, itu tak mengubah kenyataan atau meringankan aib. Dia seharusnya memberi tahu Genji sebelum pernikahan. Dia ingin, telah berniat, tetapi entah mengapa, saat yang tepat tak pernah tiba. Sekarang, dia harus mengatakannya, sebelum Genji mengetahuinya sendiri.
Akankah dia menyambut berita itu dengan terdiam kecewa ataukah dengan amarah"
Dia hanya pernah melihat amarah Genji sekali.
Namun kali itu juga, dia memenggal kepala orang yang membuatnya murka.
Genji berjalan menuju kamar pengantinnya, hatinya waswas. Dia tak lagi mengkhawatirkan pertanda yang memberitakan kematian Emily dengan kelahiran anak mereka. Bersama mereka BUKU KEDUA
28 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur telah memutuskan untuk melangkah maju. Mereka akan hidup dan mati dengan segala konsekuensi keputusan mereka. Tak ada keragu-raguan lagi. Kecemasannya bukan disebabkan peristiwa yang berada jauh di depan, melainkan peristiwa di depan mata; yaitu penyempurnaan pernikahan mereka.
Dari pengalaman pertamanya, pada usia dua belas tahun, pasangannya adalah wanita pilihan yang sangat menguasai seni bercinta. Kalaupun wanita-wanita itu masih perawan, seperti dua orang selir yang baru-baru ini diperolehnya; mereka adalah gadis yang dididik dengan baik dan disiapkan untuk bisa menyenangkan dan dibuat senang. Kesucian mereka merupakan prasyarat untuk posisi mereka dalam kehidupan"sebagai calon ibu ahli waris sang bangsawan"dan bukan karena ketiadaan hasrat, kebodohan, atau ketiadaan kesempatan.
Reputasi Genji sebagai pencinta ulung, meskipun bukannya tanpa dasar, diperolehnya karena dia dan pasangannya sama-sama aktif merayu, berpura-pura, mengikuti pola tradisi romantika bangsawan. Keprimaan penampilannya adalah tujuan utama para wanita yang tidur dengannya. Seandainya dia tidak tampil prima, itu adalah kesalahan mereka karena kamar tidur adalah wilayah mereka, dan keahlian bercinta adalah senjata mereka. Tentu saja, Genji memperhatikan hal ini. Dia belajar banyak dari pakar terbaik di negeri ini, dan dia belajar dengan baik. Meskipun tidak pernah ada cara untuk memahami perasaan wanita dengan pasti, dia sangat yakin bahwa dia memiliki keahlian dalam hal ini.
Baru setelah dia meninggalkan pesta untuk mendatangi pengantin wanitanya, keraguan menyerangnya dengan kuat.
Dia sama sekali tak tahu bagaimana bersikap dengan seorang wanita yang tak tahu bagaimana membimbing atau bagaimana mengikuti. Kontras dengan kenyataan yang
menakutkan itu, fakta bahwa dia adalah seorang wanita Amerika dan misionaris
Kristen telah memudar menjadi sesuatu yang sepele.
Emily mendengar ketukan di pintu. Genji adalah satu-satunya yang mungkin mengetuk pintu.
Orang lain akan memberitahukan kehadiran mereka di depan pintu. Genji mengetuk untuk menghormatinya.
Dalam keadaan emosional yang memuncak, kesadaran kecil itu membuat matanya berkaca-kaca. Perlu waktu beberapa saat untuk mengontrol dirinya sebelum dia berkata, "Masuklah."
Genji melihat Emily telah berbaring di tempat tidur, selimut percanya ditarik hingga ke BUKU KEDUA
29 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur lehernya dan terjepit di bawah dagunya. Genji berharap dia tidak telanjang. Charles Smith memberitahunya bahwa perempuan-perempuan Barat lebih suka bercinta tanpa terhalang selembar pakaian pun. Genji tak percaya tentu saja. Smith itu pelawak natural. Dia sering mengatakan sesuatu hanya untuk mengejutkan pendengarnya, ketimbang memberitahukan hal yang sebenarnya. Satu-satunya perempuan yang selalu telanjang saat bersamanya adalah Heiko.
Petualangan yang bertentangan dengan norma seperti itu merupakan bagian dari daya pikatnya.
Perempuan lain bercinta dengan pakaian acak-acakan, terbuka di sana-sini, yang merupakan gaya merayu tradisional. Ada seni dalam cara itu. Dalam ketelanjangan, tidak ada seni sama sekali.
Atau mungkinkah ada" Tidakkah ini merupakan aspek lain kehidupan yang dipahami orang asing dengan cara yang sama sekali berbeda" Tak ada kebugilan dalam kesenian Jepang, dan hanya ada keterbukaan kecil yang indah dalam lukisanlukisan seksual yang eksplisit. Sedangkan di Barat, kebugilan merebak dalam patung-patung dan lukisan-lukisan yang menghiasi bahkan gedung-gedung pemerintah di kota-kota besar. Atau, apakah dia telah mencampuradukkan tradisi Barat kuno dengan yang modern, Yunani dan Roma dengan Inggris dan Amerika"
Genji duduk di sisi ranjang"Emily tampak menempatkan dirinya di sisi lain"dan
membuka kimono luarnya. Untuk pernikahan, dia mengenakan pakaian Jepang yang biasa.
Emily bertanya apakah dia harus memakai gaun pernikahan yang tersimpan di peti Mongol itu, tetapi Genji menjawab tidak. Dia tahu Emily tidak akan merasa nyaman mengenakannya. Selain itu, dia ragu bagaimana Emily akan terlihat dalam kimono. Postur tubuhnya"yang sangat menonjol di dada dan paha, tetapi mengecil secara dramatis di pinggang"terlalu berlebihan untuk menyediakan struktur yang sesuai bagi melekatnya kimono. Dia tampak sempurna dalam gaun nikahnya, sebagaimana yang telah diduga Genji. Beradaptasi boleh saja. Namun, bukan beradaptasi namanya jika berusaha menjadi apa yang bukan dirinya. Hal ini merupakan pelajaran baginya dan kaum lelaki di negaranya untuk masa mendatang.
Dia baru saja akan menyelinap ke dalam selimut perca itu ketika diingatnya hal lain yang dikatakan Smith. Perempuan Barat, menurutnya, suka bercinta dalam gelap.
"Gelap?" kata Genji. "Maksudmu malam hari daripada siang hari?"
Smith berkata, "Maksudku kegelapan. Pada malam hari, tanpa penerangan."
Kata Genji, "Tanpa penerangan selain sinar bulan atau bintang."
"Tidak," kata Smith. "Di ruangan tertutup, dengan tirai-tirai tertutup, sehingga tak bisa BUKU KEDUA
30 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur melihat langit, dan tanpa cahaya buatan apa pun juga."
"Tetapi tak mungkin bisa melihat apa-apa dalam kegelapan seperti itu," kata Genji.
"Memang begitu," kata Smith.
Genji tak memercayainya, tetapi dia telah belajar bahwa yang sulit dipercaya itu tidak selalu mustahil bagi orang asing.
Dia berkata kepada Emily, "Aku akan meniup lilin."
Emily telah berpikir tentang ini saat Genji melepas pakaiannya. Puji Tuhan, dia tak menanggalkan seluruh pakaiannya. Dia merindukan tabir kegelapan, tetapi sekaligus menakutinya. Tanpa panduan penglihatan apa pun, sebagai wanita yang mungkin menjadi sasaran penyerangan dan penganiayaan fisik, dia akan mudah kebingungan dan panik.
"Tolong," katanya, "biarkan saja menyala." Dia akan menatap wajah Genji, dan menemukan ketenangan di sana. Lelaki yang dikaguminya pasti akan menghilang dari pandangan ketika naluri kebinatangannya mengalahkan kebaikan dalam dirinya. Namun sebelum itu, dia akan melihat ke dalam matanya, dan akan ditemukannya kebaikan di sana.
Genji berbaring di ranjang, bersangga pada siku. Emily memandangnya seperti tawanan bersalah menunggu tindakan sang penghukumnya. Sungguh cinta adalah senda gurau Tuhan, ia bisa membuat dua manusia yang saling mencintai ketakutan.
Emily telah mengurai rambutnya, yang lalu tergerai di bantal yang ditidurinya seperti sebaran benang-benang perak yang digunakan untuk bordiran terbaik. Seprai sutra putih
menyempurnakan kulitnya yang pucat dan halus. Keluguannya menggenapi sosok yang dramatis itu; dia tak memakai kosmetik sama sekali. Mata itu, yang terkadang membingungkan Genji dengan keganjilannya, saat ini di sana dia melihat pantulan magis langit yang membentang, dan samudra saat hari cerah. Bagaimana mungkin dia tak berpikir bahwa Emily cantik" Betapa selama ini dia buta.
Genji menarik ujung selimut perca itu dari dagu Emily dengan lembut. Bahu Emily menegang, lalu mengendur saat tangan Genji berhenti, tanpa membukanya lebih jauh. Emily memakai kimono untuk tidur. Warnanya biru sutra pucat, seperti warna matanya. Kimononya naik lalu turun di dadanya saat dia bernapas.
Genji perlahan menarik garis dengan jarinya di sepanjang kulit dari tenggorokan Emily ke pinggangnya pada bagian dalam kimononya, membukanya sedikit. Tubuhnya lembut dan panas.
Darah mewarnai pipi dan kelopak matanya.
BUKU KEDUA 31 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Napas Emily memburu. Dia memalingkan wajahnya.
Genji menyentuh pipinya dan Emily menatapnya sekali lagi.
Kata Genji, "Boleh aku menciummu?"
Bahwa dia meminta, bahwa dia mengatakannya dengan malu-malu, semuanya lebih dari yang bisa ditanggung Emily Air matanya menggenang dan mengalir. "Ya," jawabnya, dan dikatupkannya matanya.
Ciuman Genji begitu ringan dan lembut, sedikit lebih kuat ketimbang napas hangatnya di bibirnya, dan itu membuatnya bergetar.
Emily harus memberitahunya. Dia harus menmberitahukannya sekarang, sebelum kediaman menjadi dusta.
"Aku bukan perawan," bisik Emily
"Begitu juga aku," sahut Genji, dan menciumnya lagi.
1953, Biara Mushindo Kadang kala, saat terjaga pertama kalinya pada lr,rgi hari, Biarawati Kepala Jintoku tua bukan terbangun pada tahun kedua puluh Kekaisaran Showa seperti seharusnya, melainkan pada 15 Meiji, atau 6 Taisho, atau sering, beberapa hari terakhir ini, pada 21 Komei. Lima belas Meiji adalah tahun ketika Makoto Stark datang pertama kali ke biara. Enam Taisho dikenang karena pada saat itu Jepang menjadi berkuasa sebagai salah satu pemenang Perang Dunia.
Menurutnya, dia sering terbangun pada tanggal 21 Komei karena saat itulah pertempuran Mushindo yang kedua terjadi, pertempuran yang mencabut nyawa Lady Hanako, menjadikan Jintoku Biarawati Kepala, dan apa lagi yang lain" Ada satu lagi. Biarawati Kepala Jintoku tua baru saja berpikir tentang hal itu ketika dia terbangun pagi ini, lalu melupakannya segera. Ah biarlah, nanti juga akan teringat. Atau mungkin tidak. Tak masalah.
Dia duduk tenang di bantalannya, sementara biarawati pelayannya dan tiga orang tamu tengah menyibukkan diri di ruang duduk di pondoknya itu. Kesibukan yang terlalu ramai untuk sebuah ruangan kecil. Terutama, karena tamu-tamu itu membawa peralatan-peralatan besar, termasuk satu yang mirip kamera televisi.
"Anda siap, Yang Mulia Biarawati Kepala?" tanya biarawati belia itu.
"Aku selalu siap. Apa ada hal lain yang harus kusiapkan?"
"Bagus," kata seorang pria dengan jas ala Barat yang mengilap. "Buatlah dia mengucapkan BUKU KEDUA
32 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur kalimat itu lagi di depan kamera. Hai, Yas, siapkan kameranya di sini segera."
Rambut orang itu dicukur dengan gaya rambut yang populer pada masa pendudukan
Amerika, agak panjang dan licin ala gangster dan sekaligus feminin. Jintoku tidak mengenalnya, atau menyukainya, bukan karena rambut atau pakaiannya, melainkan pada matanya yang sayu dan caranya mengerjap. Mata pemuda Jepang juga begitu dahulu ketika perang"bukan Perang Dunia, yang berakhir 35 tahun yang lampau, melainkan Perang Dunia Asia Timur, yang sekarang disebut Perang Pasifik Raya, atau Perang Dunia II, menurut perintah Amerika. Mata pemuda-pemuda saat itu begitu karena sebelum mereka pergi untuk mati di pesawat atau kapal-kapal perang, mereka diberi pil kecil putih yang membuat mereka tertidur sehingga makanan tidak dibutuhkan, dan membuat mereka bernafsu untuk menabrak pesawat Amerika dalam serangan bunuh diri.
"Itu sulit," sahut biarawati itu.
"Mengapa?" seorang wanita muda bertanya.
Dia juga berpakaian dengan gaya yang sama seperti laki-laki yang tak disukai Jintoku.
Bajunya bergaya Amerika, terlalu mencolok untuknya, dengan rok menyingkapkan betis yang agak gemuk dan tak berbentuk. Dia memakai riasan menor sehingga mirip pelacur Ginza.
Rambutnya merupakan tumpukan ikal kaku yang rumit yang disebut keriting permanen. Jintoku tak membenci perempuan itu sebagaimana dia membenci si pemuda. Alih-alih dia kasihan terhadapnya. Penampilannya yang aneh itu pasti karena seorang laki-laki, kalau bukan yang ini, pasti yang lain. Perempuan selalu melakukan apa yang diingini laki-laki sekalipun yang diingini itu aneh dan berbahaya. Menyedihkan sekali.
Biarawati itu berkata, "Yang Mulia Biarawati Kepala tak pernah mengulangi ucapannya."
"Kita tinggal mengajukan pertanyaan yang sama," kata laki-laki itu.
"Dia tak pernah menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sama," kata biarawati itu.
"Karakter hebat," sahut lelaki itu, seolah-olah Jintoku tak ada di sana. "Begitu juga baik. Kita akan mendapatkan liputan bagus untuk acara ini."
Jintoku bertanya, "Acara apa?"
Biarawati itu menjawab, "Ingat, Yang Mulia" Hari ini, para reporter dari Televisi NHK akan mewawancarai Anda. Anda akan tampil dalam acara khusus mereka, Warga Jepang Usia Seratus Tahun. Itu bagian dari perayaan tahunan pertama berakhirnya Pendudukan Amerika."
"Ya, Yang Mulia," reporter itu berkata, "Jepang kembali merdeka."
BUKU KEDUA 33 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Jepang sama sekali tidak pernah merdeka," sahut Jintoku. "Para bangsawan agung telah berkuasa dahulu dan mereka masih berkuasa sekarang."
"Sudah kurekam," kata operator kamera.
"Bagus," kata sang reporter, "tetapi, kita tak dapat menyiarkannya. Kedengarannya seperti kepentingan militer."
"Apakah dia tak tahu feodalisme sudah berakhir seabad yang lalu?" wanita yang berdandan ala pelacur menyahut.
"Yang Mulia Biarawati Kepala berbicara secara simbolik," kata biarawati. Dia bukanlah biarawati yang membantunya bulan lalu. Jintoku telah membuatnya kelelahan. Yang ini masih baru, dan muda. Mungkin dia akan bertahan lebih lama dibandingkan yang lain.
"Baiklah, mari berpindah ke topik yang aman," kata sang reporter. Dilihatnya catatannya, disegarkannya ingatannya, dan dia berbicara seperti merapal. "Yang Mulia, Anda adalah salah seorang warga negara Jepang terbaik yang telah hidup lebih dari seratus tahun. Sebagai biarawati pendiri Biara Mushindo, Anda merupakan penghubung penting dengan tradisi berharga kita.
Jepang memiliki jumlah warga berusia lebih dari seratus tahun lebih banyak dari negara lain di dunia. Menurut Anda, apakah ini karena dalamnya penghayatan spiritual yang di miliki oleh warga Jepang?"
"Menurutku ini adalah kutukan," kata Jintoku.
"Kita orang-orang Jepang belajar dengan lambat. Kita selalu melakukan kesalahan yang sama, perang berganti perang, membunuh siapa saja di depan mata. Maka, Tuhan dan Buddha menghukum kita dengan umur panjang agar bisa merenungkan kesa lahan-kesalahan kita dengan lebih lama."
"Terekam," kata operator kamera, "tetapi, kupikir kita tak bisa menyiarkannya juga."
"Mungkin kita bisa," kata reporter. "Pendapat ini antimiliteristik dan merupakan refleksi.
Bisa diteruskan." "Seharusnya tidak ada yang berumur panjang," kata Jintoku. "Semua orang yang kukenal sudah mati setidaknya tiga puluh tahun lalu. Dan terlalu banyak tahun yang seharusnya diletakkan pada masa yang sesuai."
Operator kamera memandang reporter dengan tatapan bertanya. Reporter itu memutar-mutar jemarinya, dan operator kamera membiarkan kameranya tetap menyala.
"Jadi, Anda menganggap bahwa agama itu adalah sumber kedamaian bagi orang lain, seperti BUKU KEDUA
34 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur halnya bagi Anda?" "Aku tidak tahu apa pun tentang agama."
"Anda terlalu merendah, Yang Mulia. Selama hampir seabad, Anda menjadi pemimpin agama yang disegani. Beribu-ribu orang telah menemukan keyakinan mereka dengan bimbingan Anda."
"Jangan menyalahkanku untuk apa yang diyakini orang lain," kata Jintoku. "Aliran Mushindo mengajarkan pembebasan dari khayalan. Tak ada kaitannya dengan keyakinan, hanya ibadah. Kau melakukan atau tidak. Sederhana saja. Sementara itu, kau bisa beriman atau tidak, terserah kehendakmu. Keimanan tak ada hubungannya dengan realitas."
"Wah, itu adalah cara pandang yang benar-benar baru, yang Mulia. Sama sekali berbeda dengan yang akan dikatakan para rahib kuil-kuil besar di Jepang."
"Tidak juga," kata Jintoku. "Salah seorang pemimpin Zen pada masa lalu"atau mungkin seorang guru Kegon?"menyatakannya dengan jelas. Sebuah pepatah yang terkenal pada masa Perang Opium, ketika orang-orang Inggris memaksa orang Cina untuk membeli opium. Dia berkata, Agama adalah candu masyarakat. "'
Reporter itu menggerakkan tangannya di leher dalam isyarat memotong.
Operator kamera itu mendongak. Katanya, "Aku sudah memotongnya saat dia menjuluki orang-orang Inggris pengedar opium."
"Hebat," kata reporter itu, "dia bisa melecehkan Inggris yang menjadi sekutu kita, menghina Zen dan gereja Kegon, mengutip propaganda Komunis yang sesat, semuanya dalam tiga kalimat."
"Tanyai dia tentang buku-bukunya," kata perempuan berambut keriting kaku menutupi kepala dan bibirnya berhias lipstik semerah darah luka. "Semua orang menggemari buku-buku itu."
"Betul,"kata operator kamera. "Dan buku-bukunya menjadi penghubung dengan tradisi keramat bangsa kita."
"Baiklah," kata reporter itu, tampak ragu-ragu.
"Fumi, perlihatkan beberapa bukunya. Mungkin dia memerlukannya untuk memulihkan ingatan."


Samurai Karya Takashi Matsuoka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan dengan dandanan menor itu, yang wajahnya sungguh cantik di balik itu semua, meletakkan buku cerita anak yang sarat warna di tangan Jintoku. Buku itu adalah dongeng BUKU KEDUA
35 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur tentang BocahPersik, seorang anak lelaki montok dengan kekuatan super yang terlahir di dalam buah persik, dan melakukan banyak kebajikan. Gambar-gambarnya cerah dan riang, bahkan setan-setannya pun tampak ramah.
"Aku suka sekali," ucap Jintoku, "terima kasih."
"Bukan, bukan," kata sang reporter. "Anda yang menulis buku ini, dan buku-buku ini juga."
Dia meletakkan setumpuk buku serupa di meja di antara mereka. "Buku-buku ini sangat terkenal pada masa pemerintahan Meiji. Sekarang, setelah masa penjajahan usai, buku-buku ini populer lagi. Saya pikir mereka adalah kenangan indah bagi orang-orang."
"Aku menulis buku-buku ini?" Dia meneliti buku yang lain. Kali ini adalah sebuah kisah tentang Putri Kura-kura. "Aku tak menyangka aku bisa menggambar dengan begitu indah.
Betapa menyedihkan. Aku sudah kehilangan bakat itu sama sekali. Tak ingat sama sekali dahulu aku pernah bisa."
"Anda menulisnya. Tepatnya, Anda menulis kembali cerita-cerita lama. Ini semua dongeng-dongeng kuno. Anda tidak membuat ilustrasinya. Yang membuatnya adalah penjaga kuil ini."
Dia berpaling ke arah operator kamera. "Sayang kita tak bisa berbicara dengannya. Kisahnya pasti akan menarik."
"Tidak kalau dia juga membicarakan hal-hal yang sama dengan Biarawati Kepala," kata operator kamera.
"Goro melukis buku-buku ini?"
Reporter itu berpaling kepada rekan wanitanya.
"Siapa Goro?" Yang ditanya melihat catatannya dan menggeleng. "Tak tahu. Dia tak ada dalam daftar."
"Selidiki." Sang reporter itu berpaling kembali kepada Jintoku. "Anda tidak ingat penjaga kuil ini" Dia orang Amerika, Makoto Stark."
"Makoto" Makoto si penjaga?"
"Ya, Yang Mulia. Dia meninggal dunia beberapa tahun lalu."
"Anak malang." Air mata membasahi pipi Jintoku. Apakah dia tak pernah pulih dari lukanya" Tampaknya dia baik-baik saja saat terakhir kali dia menjenguknya. Sejauh yang diingatnya, itu terjadi pada tahun kelima belas Kekaisaran Mei
ji, 71 tahun yang lalu. Kalau dia yang melukis buku-buku ini, seperti yang dikatakan lelaki mengilap itu, mestinya dia telah pulih dari lukanya dan meninggal kemudian, karena sebab lain. Bagaimanapun, itu membuatnya sedih.
BUKU KEDUA 36 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Dia ingat pemuda itu, jadi di hatinya dialah yang diratapinya.
"Yah, sebaiknya kita berkemas," kata reporter itu.
"Gagal total?" tanya sang operator kamera.
"Tidak juga," kata reporter. "Aku ahli memotong dan menggabungkan film. Kita gabungkan semua adegan yang tersenyum tadi, gambar-gambar yang bagus. Tak ada perkataan langsung darinya. Fumi akan menjadi naratornya. Begitu selesai nanti, dia akan tampak simpatik." Dia membungkuk kepada Jintoku. "Terima kasih banyak, Yang Mulia. Kami berjanji akan memberi tahu Anda kalau acaranya mengudara sehingga Anda dapat melihat diri Anda di televisi."
"Aku melihat diriku langsung setiap hari," kata Jintoku. "Tak perlu televisi untuk melakukannya."
Biarawati pembantunya berkata, "Terima kasih banyak untuk datang dan berbincang dengan Yang Mulia. Bukan maksudnya untuk bersikap kasar. Memang dia berbicara apa adanya, itu saja.
Saya dengar, dia memang begitu sejak masih kecil."
Sambil memandangi kru televisi itu pergi, Jintoku mengingat-ingat apa yang dipikirkannya saat bangun tadi pagi. Di awal musim gugur tahun keempat belas Kekaisaran Komei, ketika dia berumur kira-kira empat belas tahun, dia menemukan sebuah perkamen tersembunyi di bawah batu fondasi kuno. Dia bermaksud memberikannya kepada Lady Hanako, tetapi kemudian beliau terbunuh, jadi dia memutuskan untuk menyimpannya hingga dapat memberikannya langsung kepada Lord Genji. Karena suatu alasan yang tidak diingatnya lagi, dia tetap menyimpannya hingga hari ini. Apakah dia telah membuka dan membacanya" Kalaupun sudah, dia sudah lupa. Namun, dia ingat benar tempat dia menyembunyikannya. Atau, jangan-jangan dia sudah memindahkannya"
Biarawati Kepala Jintoku tua bangkit dengan susah payah dan berjalan pelan menuju kamarnya di belakang paviliun kuil. Dalam perjalanan ke sana, seseorang memanggilnya dari pintu depan.
"Nenek! Nenek! Kami datang!"
Suara tak sabar itu adalah milik seorang bocah lelaki. Dia pasti menyelinap masuk saat kru televisi itu keluar. Namun, siapa dia" Seharusnya, dia kenal suara itu. Mungkin tidak. Ada banyak sekali mereka. Sejak pemerintahan Meiji mengumumkan bahwa seluruh penghuni kuil atau biara Buddha harus menikah atau mengakhiri kehidupan keagamaan mereka, Jintoku menikah.
Sebenarnya itu bukan hasratnya, tetapi kalau dia tidak menikah, dia akan kehilangan kuil ini, BUKU KEDUA
37 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur padahal kuil adalah kehidupannya.
"Nenek! Di mana Nenek?"
Itu adalah suara yang lain lagi, kali ini suara seorang gadis cilik. Dia tak bisa mengingat yang ini juga. Ada banyak sekali mereka. Cucu, cucu buyut, cucu-cucu buyut. Adakah cucu-cucu-cucu buyut" Ah, dia tak ingat. Ingatannya tak lagi sebagus dahulu. Namun, apakah ingatannya pernah bagus dahulu"
"Nenek datang!" serunya.
Biarawati Kepala Jintoku tua, yang dahulunya adalah Kimi, gadis kecil paling pemberani di Desa Yamanaka, memutar tubuhnya, dan dengan langkah yang cukup sigap untuk seseorang dengan usia 100 tahun, dia pergi menyambut cucu-cucunya.
Hal penting apa yang dipikirkannya barusan" Ah, sudahlah.
Tak ada yang begitu penting sehingga tak bisa dilupakan.
1311, Menara Tinggi Kastel Awan Burung Gereja.
Shizuka menanti kedatangan Go.
Dia berpikir tentang dunia, begitu sarat penderitaan, karena lelaki itu bodoh, dan yang paling bodoh di antara mereka adalah samurai, dan samurai selalu akan memerintah tanah Yamato yang tragis ini. Hal-hal yang mereka anggap penting adalah racun yang
disalahsangkakan dengan harta.
Kekuasaan, atas manusia dan burung dan binatang, atas istri dan anak-anak dan kekasih, atas rumah tangga, kastel, wilayah, dan kekaisaran.
Kekayaan, dalam bentuk emas, pelayan, selir, sawah, padang rumput, jalan-jalan di gunung, dan sungai, perdagangan barang langka dengan negara yang jauh dan eksotik, benda-benda dan artefak yang tak bernilai kecuali karena kelangkaan dan eksotismenya.
Ketenaran, di antara orang-orang yang dekat sehingga setiap pertemuan menghasilkan demonstrasi rasa hormat dari orang-orang yang di bawah; di antara orang-orang yang jauh sehingga kisah-kisah kebesaran mereka semakin agung dalam penceritaan, dan mereka bisa membayangkan rasa takut dan kekaguman dari orang-orang yang tak pernah mereka lihat.
Kejayaan di pertempuran. BUKU KEDUA 38 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Keberanian untuk mati. Nama gemilang yang abadi melampaui satu masa hidup.
Nestapa sederhana cahaya bulan dan kelopak bunga gugur.
Irama pedang terhunus, anak panah berdesing, derap tapak kuda-kuda perang yang mengoyak bumi dengan amarah, jeritan di pertempuran, teriakan pilu kesakitan dan sekarat, tangisan istri-istri dan anakanak perempuan musuh yang terbantai, irama darah, selalu irama darah.
Yang terpenting adalah ketakutan.
Ketakutan yang mengobarkan kebencian di dada musuh.
Ketakutan yang menuntut kepatuhan dari pasukan yang tak setia.
Ketakutan yang melahirkan kepatuhan dan kesucian wanita.
Shizuka mendengarkan bunyi pertempuran di tangga. Para dayangnya sangat berani dan setia. Mereka masih terlalu muda untuk mati, tapi mereka akan mati, kecuali satu. Dengan mengorbankan jiwa, mereka akan menunda pembunuhan dirinya hampir cukup lama.
Pintu terbuka, tidak dengan kasar seperti yang disangkanya, tetapi sedikit demi sedikit, nyaris sangat halus. Go berdiri di ambang pintu, berlumur darah. Luka itu hanya luka di kulit. Darah di tubuh Go adalah darah mereka yang membelanya. Go mendongak ke langit-langit ruangan dan tergelak.
"Cerdik sekali. Kau menyuruh pelayanmu untuk membangunnya tinggi-tinggi sehingga kaubisa menggunakan tombak tenungmu dari dalam menara. Aku telah melupakan itu. Tak apa.
Kau sudah kalah. Pedangku akan mencabut nyawamu." Dia terus mendorong pintu agar terbuka lebar dengan ujung pedangnya dan memasuki ruangan.
Shizuka menatap matanya langsung. Dan dengan sudut matanya, Shizuka menangkap
gerakan pedangnya, kakinya, dan bahunya. Shizuka sendiri menggenggam tombak bermata panjang naginatanya rendah-rendah, untuk memancing serangan. Shizuka tahu Go tidak akan terpancing tipuan sederhana itu. Namun barangkali, Go akan berpura-pura melakukannya supaya dia mengira laki-laki itu akan menyerang. Lalu, dia menjadi lengah. Dia tak boleh terlalu cepat mati, atau semuanya akan hilang.
"Apa kata ramalanmu yang terkenal kali ini, peramal gadungan?" kata Go. "Apakah kau melihat kematianmu mendekat?"
"Itu adalah akhir," jawab Shizuka.
BUKU KEDUA 39 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Ya, dan akhir terlahir di permulaan. Tak perlu menjadi peramal untuk mengetahuinya."
"Dan permulaan akan lahir di akhir," kata Shizuka.
"Jangan menghibur dirimu dengan harapan palsu, penyihir." Go mengarahkan ujung pedang pada perut Shizuka yang membuncit. "Anak itu akan mati terlebih dahulu."
Go menyerbu perutnya. Shizuka bergerak untuk menangkis serangan itu. Itulah jebakan Go yang pertama, dan berhasil. Go tahu bahwa dia akan melindungi anak dalam kandungannya.
Ketika Shizuka menggerakkan tombaknya untuk itu, Go menebas ke atas dan mengarah lehernya. Sesaat sebelum mata pedang itu menyentuhnya, Shizuka berhasil memiringkan kepalanya ke samping. Kalau tidak, kerongkongannya pasti sudah koyak, bukan hanya kulitnya.
Go tersenyum. "Aku akan membakar tubuhmu dan menaburkan abunya di lubang sampah. Aku akan memasukkan kepalamu ke dalam peti besi, melumurinya dengan larutan abu dan membuangnya ke rawa sebelah utara Danau Batu Putih. Kau tidak akan kernbali hidup kali ini."
"Begitu dungu, dari dahulu hingga sekarang," kata Shizuka. Diabaikannya darah yang menetes dari lehernya. "Buta dari kebenaran, tak bisa melihat takdir yang jelas terpapar di depanmu."
Go bergeser ke kanan. Shizuka menggerakkan tombaknya seolah-olah menyongsongnya, kemudian ketika Go
bergeser ke kiri, dia menghantam belakang lututnya yang tak terlindung dengan pangkal tombaknya. Go tersungkur. Shizuka menyerang pahanya, dan melukainya, tetapi Go sudah berkelit dan serangan itu hanya menyerempet kulit, seperti serangan Go tadi. Go kernbali tegak di atas kedua kaki pada detik berikutnya.
Dari belakangnya, Shizuka mendengar suara sayup-sayup. Dia berbalik dan melihat salah seorang anak buah Go masuk melalui jendela. Dia telah memanjat menara. Sebelum Shizuka mengalihkan perhatiannya kepada Go lagi, Go telah menyerangnya. Pedangnya menikam dalam bahu kiri Shizuka.
Dia merasakan otot dan uratnya terburai dari tulangnya. Ujung naginatanya jatuh.
Diperlukan seluruh kekuatan tangan kanannya untuk mengangkatnya lagi.
"Bukankah kau tidak meramalkan ini, penyihir?"
Shizuka mundur dari Go dan anak buahnya.
Dia tak bisa mundur lebih jauh lagi karena dinding akan membatasi gerakan tombaknya.
BUKU KEDUA 40 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Namun tanpa dinding itu, dan tanpa bantuan tangan kirinya, dan dengan sirnanya kekuatannya bersama kucuran darahnya, dia menjadi sasaran empuk bagi satu lawan ketika dia melindungi diri dari serangan lawannya yang lain.
Shizuka menatap mata Go sedalam mungkin.
Katanya, "Cucu perempuanmu akan berdoa bagi ketenangan jiwamu."
Pandangannya membekukan Go sesaat. Dalam kebekuan itu, anak buahnya, yang terkejut oleh ucapan Shizuka, memandang Shizuka dan Go bergantian. Shizuka menyerang laki-laki itu di bawah dagu dengan sapuan ke atas mata tombaknya dan membelah wajahnya menjadi dua.
Dengan jeritan pendek penghabisan, dia tersungkur. Namun, pandangan Shizuka tak mampu menahan Go cukup lama. Sebelum Shizuka selesai dengan serangannya, Go telah
menyerangnya. Dia merasakan mata pedang itu menyabet punggungnya, dan iganya terkuak.
Shizuka jatuh berlutut. Dia tidak pernah bisa bangkit lagi. Dia dapat mendengar bunyi tetes hujan dalam ruangan itu, hujan lebat curahan darahnya.
Mata tombak naginatanya terjatuh di lantai. Dia tak kuasa lagi mengangkat sesuatu yang begitu berat. Gagang tombak yang tertahan di dadanya adalah satu-satunya yang menopangnya agar tidak jatuh.
Go maju mendekatinya dengan pedang terangkat siap memenggal kepalanya.
"Jangan!" Pedang Ayame menusuk ketiak kanan Go selagi dia berbalik menyongsong serangannya. Di belakang Ayame berdiri Chiaki, putra Go, pedang berlumur darah di tangannya.
"Ayah! Apa yang Ayah lakukan?"
"Mundur!" seru Go. Dia beralih kembali kepada Shizuka.
"Matilah kau!" Pedangnya bergerak turun dengan tiba-tiba ke arah leher Shizuka.
Dan terhenti dengan tiba-tiba juga.
Pedang Chiaki menusuk punggung Go dan menembus keluar dari tengah dadanya.
Semburan darah membasahi lantai, Shizuka, dan dinding di belakangnya.
Chiaki menarik pedangnya dari mayat ayahnya yang berdiri, dan dengan gerakan setangkas tadi, memenggal kepalanya.
"Pengkhianat!" Chiaki memungut kepala itu dan melemparnya dengan keras ke jendela terdekat.
BUKU KEDUA 41 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Pengkhianat!" teriaknya lagi.
"Nyonya!" Ayame menangkap Shizuka yang rubuh. Darahnya membasahi mereka berdua.
"Nyonya!" Prajurit-prajurit Chiaki menghambur dari pintu.
"Lord Chiaki, para pengkhianat di luar semuanya sudah mati."
Chiaki, menangis, berlutut di samping Shizuka dan Ayame.
"Nyonya," katanya. "Shizuka." Ucapannya terbalut isak tangis, sama sekali tak terdengar.
"Kau harus melakukannya," Shizuka berkata kepada Ayame. "Aku tak kuat lagi."
"Tidak," kata Ayame. "Anda dapat melakukannya, Nyonya. Harus."
"Beranilah Ayame, seperti biasanya. Kalau kau tak membantuku, Sen dan aku akan mati."
Shizuka menarik pisau dari ikat pinggangnya, dan meletakkannya di telapak tangan sahabatnya.
Bahu Ayame berguncang, tatapannya nanar, dan tubuhnya bergoyang, tetapi dia tak rubuh.
Dia berkata kepada Chiaki, "Kau dan yang lain, tinggalkan ruangan ini! Laki-laki tak boleh hadir dalam persalinan."
"Dalam kondisi normal, ya. Tetapi, kau tak bisa melakukannya sendiri."
"Aku bisa." "Kerjakan apa yang dimintanya," kata Shizuka. Paru-parunya semakin berat. Segera, tak lama lagi, dia akan kehilangan tenaga untuk mengisinya, bahkan untuk sekali lagi saja.
Dia mendengar para lelaki berkata, "Ya, Lady Shizuka, kami dengar dan patuh."
Ayame mengeluarkan pisau dari sarungnya.
Shizuka tak merasakan saat kimononya, ataupun pakaian dalamnya dibuka. Dia juga tak merasakan tusukan pisau itu, atau bertambah derasnya kucuran darahnya, atau kehadiran bayinya di dunia ini dari rahimnya. Yang tampak olehnya adalah cahaya redup dan suara sayup, seperti dari kejauhan. Semua rasa lainnya telah sirna.
Shizuka mendengar tangis pertama bayi baru lahir. Meskipun dari jauh, kekuatan bayi itu tampak jelas, sama seperti dirinya. Dia tersenyum.
"Putri Anda, Nyonya." Ayame meletakkan sesuatu di dadanya dan menahannya di sana.
Sesuatu itu hangat, bergerak, menangis, dan sangat berat.
Shizuka merasakan ritme yang bukan miliknya, berulang, samar, dan mengingatkannya pada getaran peringatan awal dari gempa bumi yang akan segera terjadi.
Itu adalah detak cepat sebuah jantung baru.
BUKU KEDUA 42 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Shizuka tak lagi mampu menggerakkan tangannya. Tak ada pelukan, tak ada pertama, tak ada terakhir. Dia menyangka, dia mampu merasakan kehangatan dari tubuh kecil itu, tetapi dia tahu itu hanyalah khayalannya. Tak ada perasaan yang tersisa di dalam tubuhnya sama sekali.
"Sen," kata Shizuka.
Hutan Muroto Mereka adalah pasukan yang terdiri dari 31 orang; 30 orang samurai dan 1 orang mantan dayang, bergerak ke arah barat laut mengitari Tanjung Muroto, menuju celah gunung tersembunyi Pulau Shikoku. Di belakang mereka"Kastel Awan Burung Gereja yang terbakar, pengejar mereka yang berjumlah ribuan, abu mendiang para Lord dan Lady mereka, dan mayat-mayat tanpa kepala para pengkhianat yang telah membunuh mereka.
Ayame duduk di pelana kuda seperti seorang samurai. Dia tak bisa bersikap seperti wanita bangsawan sekaligus melarikan kuda secepat mungkin. Dalam pelukannya, dia menggendong Lady Sen. Dia akan memberitakan ramalan Lady Shizuka kepada Chiaki, bahwa anaknya sendiri nanti adalah seorang putra, bahwa dia diadopsi sebelum dia dilahirkan, sebelum dia dikandung, oleh klan Okumichi. Dia akan menjadi bangsawan agung, kata Shizuka, dan akan menikahi Sen.
Ayame akan mengungkapkan semuanya kepada Chiaki, tetapi nanti. Saat ini, dia melihat kedukaan Chiaki terlalu berat untuk menerima hal-hal lain. Dia berduka untuk ayah yang dicintainya, yang telah berkhianat. Dia berduka untuk junjungannya, pemimpin besar yang mungkin akan menjadi Shogun.
Namun yang terutama, dia berduka untuk Lady Shizuka, seperti halnya Ayame.
Setelah matahari terbit esok hari, mereka akan menuruni jalan setapak di lembah. Ayame menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya.
Dia tak dapat melihat Kastel Awan Burung Gereja. Sudah terlalu jauh. Dia bahkan tak dapat lagi melihat asap dari kobaran apinya.
Tak diperlukan waktu lama bagi pasukan sekecil itu untuk melewatinya.
Segera semuanya akan kembali seperti sebelum mereka muncul.
Pinus-pinus hijau Muroto.
Langit menjulang. Bumi terhampar. "
BUKU KEDUA 43 TAKASHI MATSUOKA Rahasia Istana Terlarang 15 Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja The Devil In Black Jeans 1
^