Pencarian

The Harsh Cry Of Heron 6

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 6


yang sama besarnya, dan akhirnya men?dapatkan wilayah baru bagi diri mereka sendiri. Inilah yang
mereka lakukan di seluruh penjuru dunia."
"Dari apa yang mereka katakan, negeri mereka sangat jauh dari sini: berjarak satu tahun atau
lebih dengan berlayar," tutur Kaede. "Bagaimana mereka bisa hidup begitu jauh dari rumah dalam
waktu lama?" "Kata Fumio itu adalah sifat dari semua pedagang dan petualang. Membuat mereka merasa
sangat berkuasa, dan berbahaya."
"Baiklah, tapi aku tidak bisa membayang?kan diriku mengikuti kepercayaan mereka." Kaede
membuang jauh-jauh pikiran itu
dengan sengit. "Bagiku itu seperti omong kosong!"
"Semua kepercayaan bisa kelihatan seperti kegilaan," sahut Shizuka. "Tapi bisa tiba-tiba
menjangkiti manusia, seperti wabah. Aku pernah melihatnya. Waspadalah."
Halaman 594 dari 594 Kata-kata Shizuka membuat Kaede ter?ingat saat dirinya menjadi istri Lord Fujiwara, dan
bagaimana ia melalui hari-hari yang panjang dalam doa dan puisi, me?megang semua janji yang telah
dikatakan padanya sementara dirinya terbaring dalam sihir tidur Kikuta seolah masuk ke peti es.
Bersabarlah: dia akan menjemputmu. Kaede merasa bayinya menendang dalam perutnya. Kini seluruh kesabarannya sudah hampir
habis dengan kehamilannya, salju serta ketidakhadiran Takeo.
"Ah, punggungku sakit," katanya seraya menghcla napas.
"Mari kupijat. Membungkuk." Selagi Shizuka memijat, dia diam saja; dan kesunyian itu
semakin senyap seakan dia tenggelam dalam lamunan.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Kaede. "Hantu-hantu dari masa lalu. Dulu aku suka duduk
bersama Lord Shigeru tepat di ruangan ini. Beberapa kali aku membawa pesan dari Lady Maruyama: kau tahu kalau dia
adalah salah satu pengikut."
"Ajaran kaum Hidden," ujar Kaede. "Kurasa agama orang asing itu, meski tampak sama, tapi
lebih dogmatis dan tidak mengenai kompromi."
"Semakin menguatkan alasan untuk mem?perlakukannya dengan curiga!"
Selama musim dingin, Don Carlo memperkenalkannya lebih banyak kata: neraka, hukuman,
kutukan, dan ia ingat apa yang pernah Takeo katakan tentang Tuhan yang Maha Melihat milik kaum
Hidden dan tatapannya yang tanpa ampun. Kaede menyadari betapa Takeo telah memilih
menghindari tatapan itu, dan itu makin membuat ia makin mengagumi dan men?cintai suaminya.
Karena tentu saja dewa atau tuhan itu baik, dan menginginkan kehidupan berjalan dengan
selaras bagi semua mahkluk, musim berlalu, malam berganti siang dan musim panas berganti dengan
musim dingin, dan seperti ajaran Sang Pencerah, kematian itu tak lebih hanya pemberehentian
sejenak sebelum kelahiran selanjutnya....
Kaede berusaha menjelaskan hal ini pada Don Carlo dengan kosa katanya yang ter?batas. Saat
tidak berhasil dengan kata-kata, diajaknya laki-laki itu melihat pahatan patung Kannon Sang Maha
Pengampun yang sudah selesai di kuil yang telah di?bangun untuknya.
Saat itu cuaca terasa lembut di awal musim semi. Hunga-bunga plum masih ber?gelantungan
bak serpihan salju di ranting tanpa daun di taman Akane; salju di bawah telapak kaki terasa
lembap dan mencair. Kendati tidak suka dengan caranya diantar, Kaede dibawa dalam tandu;
kehamilannya sudah berusia tujuh bulan dan diperlambat dengan berat bayi yang dikandungnya. Don Carlo
juga dibawa dengan tandu terpisah di belakangnya, dan Madaren mengikutinya.
Para tukang kayu, di bawah pengawasan Taro, tengah memberi sentuhan akhir pada kuil,
memanfaatkan cuaca vang lebih hangat. Kaede senang melihat bangunan baru itu bisa
bertahan menghadapi musim dingin, dengan dinaungi atap rangkap dua, keseimbangan sempurna pada
kedua lengkungannya seperti yang Taro janjikan. Bentuk bangunan itu mencuat ke atas dan
dipantulkan dengan dedaunan pinus yang membentuk seperti payung pelindung. Salju masih menempel di atap,
menyilaukan saat icrkena pantulan cahaya matahari; tetesan air yang membeku mulai
mencair dari tepi atap, membiaskan cahaya.
Jendela kecil di atas pintu samping ber?bentuk seperti daun, dan hasil karya seni ukiran yang
amat halus mem-biarkan cahaya matahari masuk. Pintu utama terbuka lebar, dan sinar matahari
musim dingin jatuh menyirami lantai yang baru. Kayunya ber?warna seperti madu dan berbau
semanis madu pula. Kaede memberi salam pada Taro, lalu melepas sandal di beranda.
Halaman 595 dari 595 "Orang asing ini tertarik pada karyamu," katanya pada Taro, dan melihat ke belakang?nya
tempat Don Carlo dan Madaren men?dekati bangunan kuil.
"Selamat datang," sambut Kaede pada si pendeta dengan bahasa orang itu. "Ini tempat
istimewa untukku. Masih baru. Orang ini yang membuatnya."
Taro membungkuk, dan Don Carlo mem?buat gerakan canggung dengan kepala. Orang itu
terlihat lebih gelisah dari biasanya,
dan saat Kaede berkata, "Mari masuk. Kau harus lihat karya paling indah dari orang ini," si
pendeta menggeleng lalu menyahut, "Aku lihat dari sini saja."
"Tapi kau tak bisa melihatnya dari sini," desak Kaede, kemudian Madaren berbisik, "Dia takkan
masuk; ini bertentangan dengan kepercayaannya."
Kaede merasa marah atas sikap kasar laki?laki itu, ia tak bisa memahami alasan di baliknya,
tapi ia tak menyerah begitu saja. Ia sudah mendengarkan Don Carlo sepanjang musim dingin, dan
sudah belajar banyak darinya. Kini giliran orang itu yang harus mendengarkan.
"Ayolah," kata Kaede. "Lakukan seperti yang kuminta."
"Pasti menarik," saran Madaren kepada?nya. "Kau bisa lihat bagaimana konstruksi bangunan ini
dan bagaimana pahatan kayu?nya."
Don Carlo melepas alas kaki dengan sikap enggan yang sengaja diperlihatkan. Taro
membantunya dengan senyum yang mem?beri semangat. Kaede melangkah ke dalam kuil; patung yang sudah
selesai berdiri di depan mereka. Satu tangan, menekan dada,
memegangi bunga teratai; sedangkan tangan yang satu lagi menyibak keliman jubah dengan
dua jari yang ramping. Lipatan jubah itu dipahat sangat halus hingga terlihat seperti bergoyang saat
tertiup angin sepoi?sepoi. Mata sang dewi menatap ke bawah, ekspresinya tegas sekaligus penuh
welas asih, senyum dengan bibir agak mencuat ke atas.
Kaede menangkupkan telapak tangan lalu menunduk berdoa"untuk bayi dalam kandungannya,
untuk suami dan ketiga putrinya, dan untuk arwah Akane yang mungkin pada akhirnya bisa
istirahat dengan tenang. "Dia cantik sekali," kata Don Carlo, dengan semacam rasa ingin tahu, tapi tidak berdoa.
Kaede mengatakan pada Taro betapa si orang asing mengagumi patungnya, melebih?lebihkan
pujiannya untuk menebus sikap kasarnya tadi.
"Keahlianku biasa saja. Tanganku men?dengarkan apa yang ada di dalam kayu, dan
membantunya menemukan jalan keluamya," sahut Taro.
Kaede berusaha menerjemahkan kalimat ini sebisa mungkin. Taro, dengan gerakan
dan sketsa gambar, memperlihatkan pada Don Carlo konstruksi bagian dalam atap, bagaimana
penyangganya saling menopang. Kemudian Don Carlo mengeluarkan buku catatan lalu
menggambar apa yang dilihat?nya, menanyakan tentang nama kayu, dan nama setiap sambungan.
Matanya kerapkali menerawang kembali ke arah sang dewi, kemudian ke arah wajah Kaede.
Sewaktu mereka pergi, Don Carlo ber?gumam, "Kurasa aku tidak bisa menemukan Bunda Maria
dari Timur." Itulah pertama kalinya Kaede mendengar kata itu, dan tak mengerti artinya, namun melihat
ada sesuatu yang telah meningkatkan ketertarikan Don Carlo pada dirinya; hal itu
mengganggunya; merasakan tiba-tiba bayi dalam perutnya menendang keras, dan ingin sekali agar Takeo
kembali.* Halaman 596 dari 596 Sisa luka cakaran membekas di wajahnya sudah hampir memudar ketika Takeo kembali ke
Hagi di akhir bulan ketiga. Salju belum lagi mencair: musim dingin berlang?aing lama dan sulit.
Dengan ditutupnya semua perbatasan antar kota di seluruh Tiga Negara, ia tidak bisa menerima surat,
dan kecemasannya terhadap Kaede makin menjadi-jadi. Takeo senang Ishida tinggal bersama
istrinya selama masa kehamilanya, namun juga menyesali ketidakhadiran si tabib selagi cuaca yang
tak bersahabat mem?buat luka lamanya terasa makin sakit, sedangkan minuman penenang telah
habis. Takeo terpaksa menghabiskan waktu ber?sama Miyoshi Kahei, membahas strategi untuk musim
semi yang akan datang serta kunjungan ke ibukota, dan membaca catatan administrasi Tiga
Negara. Kedua hal itu membangkitkan semangatnya: merasa siap untuk apa saja yang akan terjadi
saat kunjungan nanti. Ia akan pergi dengan
damai, namun takkan meninggalkan negerinya tanpa penjagaan. Dan catatan administrasi
memastikan sekali lagi seberapa kuat negaranya, sampai ke tingkat desa"di mana
pemimpinnya dipilih oleh para petani"dapat dimobilisasi untuk mem?pertahankan diri mereka dan
wilayahnya. Musim semi tiba dan ia langsung me?mutuskan untuk pulang. Saat menunggang kuda melewati
pedesaan, semua itu kian memantapkan hatinya. Tenba melewati musim dingin dengan baik,
hampir tidak berkurang berat badan maupun kondisinya. Bulu musim dinginnya telah disikat bersih
oleh bocah-bocah pengurus kuda, dan tubuh hitamnya berkilauan bak pernis. Gembira karena
berada di jalanan, menuju tempat kelahirannya, membuat kuda itu melompat dan berjingkrak, cuping
hidungnya mengem?bang, surai dan ekornya melambai-lambai.
*** "Apa yang terjadi pada wajahmu?" tanya Kaede ketika mereka hanya berdua, menyelujuri
tanda bekas luka yang mulai menghilang dengan jari-jarinya.
Takeo tiba tadi pagi. Udara masih terasa dingin, angin segar; jalanannya berlumpur, seringkali
tergenang. Ia langsung ke rumah lama, tempat Chiyo dan Haruka menyam?butnya dengan
suka cita, mandi dan makan bersama Kaede, Ishida serta kedua bocah. Saat ini ia dan Kaede duduk di
kamar lantai atas, penutup jendela terbuka, percikan sungai terdengar di telinga mereka, dan di
mana-mana tercium aroma musim semi.
Bagaimana mengatakannya" Takeo me?natap istrinya dengan penuh kekhawatiran. Waktu
melahirkan hampir tiba, tidak lebih dari tiga atau empat minggu lagi. Teringat olehnya apa
yang Shigeko katakan: Ayah harus ceritakan pada Ibu. Ayah seharusnya tidak menyimpan rahasia
dari Ibu. Ceritakan semuanya pada Ibu.
Takeo berkata, "Aku tak sengaja menabrak dahan. Tidak apa-apa."
"Kelihatannya seperti dicakar. Aku tahu, kau kesepian di Yamagata lalu menemukan
perempuan yang menggairahkan!" Kaede menggodanya, senang suaminya sudah berada di rumah lagi.
"Tidak," sahutnya dengan nada lebih serius. "Aku sudah sering mengatakan pada
mu, aku tidak akan tidur dengan siapa pun selain dirimu."
"Seumur hidupmu?"
"Seumur hidupku."
"Bahkan kalau aku mati lebih dulu?" Ditempelkan jarinya dengan lembut ke bibir istrinya.
"Jangan bilang begitu." Ia merengkuh Kaede dan memeluknya erat-erat sesaat tanpa sepatah kata pun.
Halaman 597 dari 597 "Ceritakan semuanya," akhirnya Kaede berkata. "Bagaimana Shigeko" Aku sangat gembira
memikirkan dia sebagai Lady Maruyama saat ini."
"Shigeko baik-baik saja. Andai kau bisa melihatnya saat upacara. Dia mengingatkan?ku pada
Naomi. Tapi saat itu baru kusadari kalau Hiroshi jatuh cinta padanya."
"Hiroshi" Tidak mungkin. Dia selalu memperlakukannya sebagai adik. Apakah dia bilang
begitu?" "Tidak dengan kata-kata. Tapi aku yakin itu sebabnya dia selalu menghindari per?nikahan."
"Dia berharap menikah dengan Shigeko?" "Menurutku Shigeko juga menyayangi?nya."
"Shigeko masih gadis kecil!" ujar Kaede,
kedengaran seolah marah dengan pendapat seperti itu.
"Usianya sama dengan kau saat kita bertemu," Takeo memperingatkan.
Sesaat mereka saling pandang. Lalu Kaede berkata, "Mereka tidak boleh berada di Maruyama
bersama-sama. Jangan terlalu banyak berharap dari mereka berdua!"
"Hiroshi jauh lebih tua ketimbang diriku saat itu! Kuyakin dia lebih bisa mengendali?kan diri.
Dan mereka tak berharap hidup mereka berakhir dalam hitungan jam." Cinta kita pun merupakan
hasrat yang buta, pikirnya. Kita belum terlalu mengenal satu sama lain. Kita dirasuki kegi-laan yang
begitu kuat hingga mengakibatkan terjadinya pem?bunuhan yang tiada henti. Shigeko dan Hiroshi
sudah seperti kakak adik. Bukan dasar yang buruk untuk sebuah pernikahan.
"Kono mengisyaratkan persekutuan politis melalui pernikahan dengan jenderal Kaisar, Saga
Hideki," tuturnya pada Kaede. "Pendapat yang tidak bisa kita abaikan begitu saja," sahut Kaede, menghela napas panjang.
"Aku yakin Hiroshi bisa menjadi suami yang baik, tapi pernikahan semacam itu akan menyiakannyiakan
Shigeko, dan tidak memberi keuntungan yang sebenarnya belum kita miliki."
"Baiklah, Shigeko akan ikut bersamaku ke Miyako; kami akan bertemu dengan Saga dan
memutuskan nanti."

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takeo meneruskan ceritanya tentang kelanjutan masalah dengan Zenko. Mereka memutuskan
untuk mengundang Hana saat musim panas agar bisa bertemu kedua putranya dan menemani Kaede
setelah melahirkan. "Dan kuharap kau sudah fasih bicara dengan bahasa yang baru," ujar Takeo.
"Aku sudah membuat kemajuan," sahut Kaede. "Don Carlo maupun adikmu adalah guru yang
baik." "Adikku baik-baik saja?"
"Secara umum, ya, baik-baik saja. Kami terserang flu, tapi tidak serius. Aku suka padanya:
kelihatannya dia baik dan pandai, meskipun tidak mendapat pendidikan."
"Dia mirip ibuku," ujar Takeo. "Apakah orang-orang asing itu berhubungan dengan Hofu atau
Kumamoto?" "Ya, mereka sering menulis surat. Ishida kadang membantu mereka, dan sudah sewajarnya
kami membacanya." "Kau memahami semua isinya?"
"Sulit sekali. Bahkan bila sudah mengenal setiap kata, aku masih saja kesulitan me?nangkap
maknanya. Aku harus sangat ber?hati-hati agar tidak membuat Don Carlo takut: laki-laki itu
amat tertarik dengan semua yang kukatakan, dan menimbang?nimbang setiap perkataan. Dia
menulis banyak hal tentang diriku, pengaruhku pada dirimu, kekuatan yang tidak biasa sebagai
seorang perempuan." Sesaat Kaede terdiam. "Menurutku dia ingin aku masuk agamanya, dan meraih
dirimu melalui aku. Madaren pasti sudah menceritakan kalau kau lahir di antara kaum Hidden. Don
Carlo Halaman 598 dari 598 nyaris mengira kau adalah pengikut ajaran mereka sehingga akan diberi ijin menyebarkan
agama, sedangkan Don Joao diijinkan ber?dagang di Tiga Negara."
"Perdagangan itu masalah lain: boleh selama kita bisa mengendalikannya dan demi
kepentingan kita. Tapi tak akan kuijinkan dia menyebarkan agama, atau bepergian." "Tahukah kau kalau sudah
ada orang asing di Kumamoto?" tanya Kaede. "Don Joao menerima sepucuk surat dari salah
satunya. Mereka adalah kenalan bisnis, sepertinya,
dari kampung halaman mereka."
"Aku sudah curigai." Takeo menceritakan tentang cermin yang diperlihatkan kepada?nya di
Maruyama. "Aku juga punya cermin yang sama!" Kaede memanggil Haruka, dan pelayan itu membawakan
cermin itu, terbungkus kain sutra tebal.
"Ini pemberian Don Carlo," tutur Kaede, seraya membuka bungkusnya.
Takeo mengambilnya dan bercermin. Ia merasa aneh dan terkejut.
"Hal ini mencemaskanku," kata Takeo. "Apa lagi yang diperdagangkan dari Kuma?moto yang
kita belum tahu?" "Satu lagi alasan yang tepat agar Hana berada di sini," kata Kaede. "Dia tidak tahan untuk
memamerkan barang-barang baru kepunyaannya dan akan mengumbar tentang kehebatan
Kumamoto. Aku yakin bisa me-mancingnya agar bercerita lebih banyak lagi."
"Shizuka tidak ada di sini" Aku ingin bicara dengannya tentang masalah ini, dan mengenai
Zenko." "Dia ke Kagemura begitu salju mencair. Aku mencemaskan Miki dalam cuaca dingin seperti ini,
dan Shizuka punya masalah yang
harus dibicarakan dengan keluarga Muto."
"Miki akan kembali bersamanya?" Takeo terperangkap oleh kerinduan ingin bertemu dengan
putri bungsunya. "Belum diputuskan." Kaede menepuk Kin, anjing yang berbaring meringkuk di sampingnya. "Kin
pasti senang saat Maya pulang"dia merindukan si kembar. Kau bertemu Maya?"
"Ya, aku bertemu." Takeo tak yakin bagai?mana meneruskannya.
"Kau juga mengkhawatirkannya" Dia baik?baik saja?"
"Maya baik-baik saja. Dia sedang belajar pada Taku. Dia tengah belajar mengendali?kan diri
dan juga disiplin. Tapi Taku seperti?nya tergila-gila pada gadis itu."
"Dengan Sada" Apa semua laki-laki sudah gila" Sada! Dia orang terakhir yang kuduga bisa
membuat Taku mabuk kepayang. Kukira gadis itu tidak peduli pada laki-laki" dia berpenampilan seperti
lakilaki." "Seharusnya tidak kuceritakan padamu," sahut Takeo. "Jangan sampai masalah ini membuatmu
tertekan. Kau harus memikir?kan kesehatanmu."
Kaede tertawa. "Aku lebih merasa terkejut
ketimbang tertekan. Selama tidak meng?ganggu tugas mereka, biarkan saja mereka saling
mencinta. Tak ada ruginya, kan" Hasrat seperti itu tidak bisa dihentikan"toh, nanti akan padam dengan
sendirinya." "Hasrat kita tak pernah padam," sahut Takeo.
Kaede meraih tangan suaminya dan menaruhnya di perutnya.
"Putra kita sedang menendang," katanya, dan Takeo merasakan si bayi bergerak kuat dalam
perut istrinya. Halaman 599 dari 599 "Sebenarnya aku tidak ingin membicara kannya," kata Takeo. "Tapi kita harus me?mutuskan
nasib sandera yang kita tahan di Inuyama, keluarga Kikuta yang menyerang?mu tahun lalu. Ayah
mereka sudah mati dibunuh tahun lalu, dan aku ragu kalau Kikuta mau berunding. Keadilan menuntut
kalau mereka dihukum mati atas kejahatan yang mereka lakukan. Kukira sudah wakt?unya menulis
surat pada Sonoda. Harus kelihatan sesuai hukum, bukan sebagai tindakan balas dendam. Mungkin
aku harus ke sana uniuk menyaksikannya"aku mem?pertimbangkan untuk meminta hukuman
dilaksanakan saat aku melewati Inuyama
dalam perjalanan ke ibukota."
Kaede gemetar. "Itu pertanda buruk untuk suatu perjalanan. Katakan pada Sonoda untuk
melakukannya sendiri: dia dan Ai adalah wakil kita di Inuyama. Mereka bisa mewakili kita.
Dan harus laksanakan secepatnya. Jangan ditunda."
"Minoru akan menulis suratnya sore ini." Takeo berterima kasih pada Kaede atas keputusannya
yang tegas. "Oh ya, Sonoda baru saja menulis surat. Kurirmu sudah kembali ke Inuyama. Mereka diterima
Kaisar. Mereka diberi penginapan oleh Lord Kono selama musim dingin, dan dia selalu memujimu dan
Tiga Negara." "Tampaknya sikap Kono berubah," sahut Takeo. "Dia tahu cara memikat serta memuji. Aku
tidak memercayai dia, tapi aku harus tetap pergi ke Miyako sesuai rencana."
"Alternatif lain terlalu menakutkan untuk dipikirkan," gumam Kaede.
"Kau pasti paham benar apa alternatif itu."
"Tentu: menyerang dan mengalahkan
Zenko dengan cepat di Barat dan bersiap
melawan Kaisar di Timur. Pikirkan biaya
yang dibutuhkan. Bahkan jika kita bisa
memenangkan kedua wilayah, kita membawa
dua pertiga negara kita dalam kancah peperangan"dan akan menghancurkan kerabat sendiri
dan merenggut Sunaomi dan Chikara dari orangtuanya. Ibu mereka adalah adikku, dan aku sayang
padanya dan anak-anaknya."
Takeo menarik tubuh Kaede lebih dekat, dan mengecup tengkuk istrinya, bekas luka itu masih
tetap kelihatan. "Takkan kubiarkan hal itu tcrjadi. Aku janji."
"Tapi kekuatan yang tengah digalang dimana dirimu, suamiku sayang, tidak bisa
mengendalikannya." Kaede membenamkan diri dalam pelukan Takeo. Napas mereka makin memburu dan keduanya
larut menjadi satu kesatuan. "Kuharap kita bisa seperti ini selamanya," kata Kaede pelan. "Aku sangat bahagia saat ini; tapi
aku takut apa yang akan terjadi kelak."
*** Semua orang menantikan bayi itu lahir, tapi
sebelum Kaede dipingit, Takeo ingin
bertemu dengan kedua orang asing. Ia ingin
mencapai persetujuan yang memuaskan kedua belah pihak untuk masalah perdagangan dan
memperingatkan mereka siapa penguasa Tiga Negara. Takeo khawatir kalau selama ia tidak
ada di sana, saat Kaede sibuk dengan bayinya, orang-orang asing itu akan berpaling ke Kumamoto
untuk men?dapatkan akses ke distrik lain, dan sumber daya lain.
Halaman 600 dari 600 Cuaca hari itu semakin hangat; daun ginkgo dan maple merekah, cerah dan segar. Seketika
bunga ceri bermekaran di mana?mana, gunung berwarna putih bersih. taman berwarna merah muda.
Burung kembali ke sawah yang berair, dan suara katak memenuhi udara. Bunga aconitus dan
violet bermekaran di hutan dan taman, diikuti dandelion, windflower, aster dan vetch. Jerit jangkrik
mulai terdengar, dan kicau burung warbler mengalun indah.
Don Carlo dan Don Joao datang bersama Madaren ke penemuan yang diadakan di ruang utama
yang menghadap taman. Aliran sungai dan air terjun di taman memercikkan air dan ikan carp
merah keemasan berenang dengan malas di kolam, sesekali melompat untuk menangkap serangga
musim semi. Takeo sebenarnya lebih senang menerima mereka di kastil dengan upacara megah, tapi ia tak
ingin Kaede melakukan perjalanan. Kaede harus hadir untuk membantu men?jelaskan maksud
kedua belah pihak. Itu tugas yang berat. Kedua orang asing itu kini lebih mendesak. Mereka tak sabar untuk
memulai perdagangan yang sesungguhnya, meskipun tidak menyatakannya secara terang-terangan.
Madaren lebih gelisah dengan adanya Takeo. Dia tampak takut menyinggung, tapi juga ingin
membuatnya terkesan. Ia pun gelisah, mencurigai kedua orang asing itu, karena mereka seperti
memandang rendah dirinya, tahu kalau Madaren adalah adiknya"apakah mereka memang tahu itu" Apakah
adiknya telah mengatakannya pada mereka" Kaede mengatakan mereka tahu kalau ia lahir di
kalangan Hidden... penerjemahan semakin memperlambat pembicaraan; sore segera
menjelang. Takeo meminta mereka menyatakan dengan jelas keinginan mereka. Don Joao menjelaskan
bahwa mereka berharap bisa membangun hubungan dagang secara ter?atur. Dia memuji sutra,
kerang mutiara, dan keramik dan porselen yang diimpor dari Shin. Semua ini, katanya, banyak dicari dan bernilai
tinggi di negaranya. Sebagai imbalan, dia menawarkan perak, pecah belah, rempah dan kayu wangi,
dan tentunya senjata api. Takeo menjawab bahwa semua ini bisa diterima: satu-satunya syarat yaitu adalah semua itu
harus dilakukan melalui Hofu dan di bawah pengawasannya, dan senjata api hanya bisa masuk
dengan seijin dirinya atau istrinya.
Kedua orang itu saling bertukar pandang ketika syarat itu diterjemahkan, dan Don Joao
menjawab, "Kami sudah biasa bepergian dan berdagang dengan bebas."
Takeo berkata, "Mungkin kelak hal itu bisa dilakukan. Kami tahu bahwa Anda bisa membayar
dengan mata uang perak, tapi bila terlalu banyak mata uang perak masuk, semua harga akan jatuh.
Kami harus melindungi rakyat, dan menjalankannya secara perlahan. Bila perdagangan ini
ter?nyata mendatangkan keuntungan bagi kami, maka kami akan memperluasnya."
"Dengan persyaratan seperti ini, maka keuntungan tak berada di pihak kami," bantah Don
Joao. "Bila itu keputusannya, maka kami berdua akan pergi."
"Itu keputusan Anda," Takeo sepakat dengan sopan, sadar kalau hal itu sulit diterima.
Lalu Don Carlo mengungkit masalah agama, dan bertanya apakah mereka boleh membangun
kuil di Hofu dan di Hagi, dan apakah penduduk setempat boleh bergabung dengan mereka memuja
Deus. "Rakyat kami boleh beribadah sesuai keinginan mereka," sahut Takeo. "Tidak perlu membuat
bangunan khusus untuk itu. Kami akan memberi akomodasi. Anda boleh memanfaatkan satu
ruangan di sana. Tapi, saranku, jangan secara terang-terangan. Prasangka masih tetap ada, jangan
sampai menganggu keselarasan dalam masyarakat."
"Kami berharap Lord Otori bisa mengakui agama kami sebagai salah satu agama yang benar,"
tutur Don Carlo, dan Takeo mcngira kalau ia menangkap nada lebih bersemangat Madaren sewaktu
menerjemahkan. Halaman 601 dari 601 Takeo tersenyum, seolah gagasan itu terlalu absurd untuk dibicarakan. "Takkan ada hal
semacam itu," sahutnya, dan melihat kalau hal itu membuat mereka kesal.
"Anda berdua harus kembali ke Hofu,"
ujarnya, seraya berpikir akan menulis surat kepada Taku. "Aku akan mengatur kapal dengan
Terada Fumio"dia akan menemani Anda. Aku akan pergi selama musim panas, dan istriku akan sangat
sibuk mengurus anak. Tak ada alasan lagi bagi kalian untuk tinggal di Hagi."
"Aku akan merasa kehilangan Lady Otori," kata Don Carlo. "Lady Otori telah menjadi murid
sekaligus guru, dan hebat dalam keduanya."
Kaede berbicara padanya menggunakan bahasa asing itu; Takeo kagum dengan kefasihan
istrinya dalam bahasa yang aneh bunyinya itu.
"Aku berterima kasih kepadanya dan bilang kalau dia juga pandai sebagai murid, serta
berharap dia mau terus belajar dari kita," tutur Kaede dengan pelan pada Takeo.
"Kukira dia lebih suka menjadi guru ketimbang menjadi murid," bisik Takeo, tak ingin Madaren
mendengar. "Ada banyak hal yang dia merasa sudah tahu," sahut Kaede pelan.
"Tapi Lord Otori akan ke mana begitu lama, begitu cepat setelah kelahiran anak Anda?" tanya
Don Joao. Seturuh kota sudah tahu: tak ada alasan menyembunyikannya dari mereka. "Aku akan
mengunjungi

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaisar." Ketika diterjemahkan, mereka tampak kebingungan. Mereka mengajukan per?tanyaan pada
Madaren dengan hati-hati, seraya melihat sekilas ke arah Takeo dengan tatapan terkejut.
"Apa yang mereka katakan?" Takeo men?condongkan badan ke arah Kaede dan ber?bicara di
telinga istrinya. "Mereka tidak tahu kalau ada Kaisar," gumamnya. "Mereka mengira kalau kaulah yang mereka
sebut raja." "Dari Delapan Pulau?"
"Mereka tidak tahu tentang Delapan Pulau"mereka mengira hanya ada Tiga Negara."
Madaren bicara dengan ragu-ragu, "Maafkan aku, tapi mereka ingin tahu apakah mereka boleh
menemani Lord Otori ke ibukota."
"Apa mereka sudah gila?" imbuhnya cepat, "Jangan terjemahkan itu! Katakan pada mereka
kalau masalah ini telah dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya. Hal itu tidak mungkin."
Don Joao memaksa. "Kami adalah utusan raja kami. Sudah sepantasnya kami diper?bolehkan
memperlihatkan surat kepercayaan raja kami pada penguasa negeri ini, bila memang bukan
Lord Otori orangnya." Don Carlo lebih diplomatis. "Mungkin memang seharusnya kami mengirim surat dan hadiah.
Mungkin Lord Otori bisa menjadi duta bagi kami."
"Kemungkinan itu bisa dilakukan," aku Takeo, dalam hati ia bertekad tidak akan
melakukannya. Setelah menerima makanan kecil dari Haruka, mereka mengucapkan selamat tinggal, berjanji
akan mengirim surat dan hadiah sebelum Takeo pergi.
"Ingatkan pada mereka kalau hadiahnya harus mewah dan indah," kata Takeo pada Madaren,
karena biasanya apa yang dianggap cukup oleh orang asing jauh dari yang biasa mereka lakukan.
Takeo memikirkan dengan gembira kesan yang akan dibuat oleh kirin. Kaede sudah memerintahkan
dipersiapkan?nya kain sutra yang indah, dan dikemas dengan bungkusan kertas halus bersama
contoh keramik terindah, kotak penyimpan teh dari emas dan pernis hitam, serta lukisan
pemandangan karya Sesshu; Shigeko akan
Halaman 602 dari 602 membawa kuda-kuda dari Maruyama dan gulungan kaligrafi terbuat dari daun emas, ketel besi
dan rak lentera. Semua itu untuk menghormati Kaisar dan memperlihatkan kekayaan dan status
kedudukan Klan Otori serta kekayaan negaranya. Takeo sangsi benda apa pun yang bisa
disediakan kedua orang asing itu bisa layak dibawa sampai ke ibukota, bahkan untuk diberikan kepada
menteri sekali pun. Takeo sudah melangkah keluar menuju taman sewaktu kedua orang asing itu mengundurkan
diri, seraya membungkuk dengan sikap mereka yang canggung dan kaku. Ketimbang mengantar
mereka sampai ke gerbang, Madaren justru berlari mengejar. Tindakan adiknya membuat ia gusar
karena tidak ingin didekati, namun ia pun sadar kalau Madaren sudah akrab dengan istrinya selama
musim dingin. Kebalikan dari sikapnya, ia merasa ada semacam kewajiban pada Madaren; menyesali
sikapnya yang dingin. Untungnya, bila ada yang melihat mereka bersama, mereka akan
mengira perempuan itu bicara padanya sebagai penerjemah, bukan kerabatnya.
Madaren memanggil namanya; Takeo
berbalik, dan saat Madaren tidak sanggup bicara, dia berkata dengan ramah, "Apa yang bisa
kubantu" Adakah kebutuhanmu yang belum terpenuhi" Apakah kau perlu uang?"
Madaren menggelengkan kepala.
"Apa sebaiknya kuaturkan pernikahan untukmu" Aku akan mencarikan pedagang yang cocok
denganmu. Kau bisa memulai usahamu sendiri, dan juga keluargamu."
"Aku tidak ingin semua itu," sahutnya. "Don Joao membutuhkan diriku. Aku tidak bisa
meninggalkannya." Takeo mengira kalau adiknya ingin ber?terima kasih, dan terkejut ketika temyata bukan itu
yang dikatakannya. Sebaliknya, dia malah bicara dengan nada agak keras. "Ada satu hal yang
kuinginkan lebih dari segala?nya. Dan itu hanya kau yang bisa berikan."
Takeo menaikkan alis dan menanti kelanjutan kata-kata adiknya.
"Tomasu," katanya dengan berlinang air mata. "Aku tahu kau belum sepenuhnya ber?paling
dari Tuhan. Katakan padaku kalau kau masih menjadi pengikut Hidden."
"Aku tidak lagi pengikut ajaran itu," sahutnya tenang. "Maksudku, seperti yang tadi kukatakan:
tak ada satu agama pun yang b enar." "Saat kau mengeluarkan kata-kata tak pantas itu, Tuhan mengirimkan firasat kepadaku." Air
mata berlinang di wajahnya. Rasa tertekan dan ketulusannya tak dira?gukan lagi. "Aku melihatmu
terbakar di neraka. Api neraka melahap dirimu. Itulah yang menantimu setelah kematian, kecuali kau
kembali kepada Tuhan." Takeo ingat pesan dari tuhan yang mendatangi dirinya setelah demam karena terkena racun
yang membawa dirinya ke ambang alam baka. Ia takkan percaya pada kepercayaan mana pun, agar
rakyatnya bebas memilih. Pendiriannya tidak akan goyah.
"Madaren," ujarnya lembut. "Kau tidak boleh bicara denganku mengenai masalah ini. Aku
melarangmu mendekatiku dengan cara seperti ini lagi."
"Tapi kehidupan kekalmu menjadi taruhannya; jiwamu. Sudah menjadi tugasku untuk
menyelamatkan dirimu. Kau pikir mudah bagiku untuk melakukannya" Lihat betapa gemetarnya tubuhku! Aku
takut mengutarakan kata-kata ini padamu. Tapi aku harus mengatakannya!"
"Hidupku di sini, di dunia ini," sahutnya.
Takeo memberi isyarat agar adiknya melihat ke taman, dalam segala keindahannya di musim
semi. "Tidakkah ini cukup" Dunia tempat kita lahir dan tempat kita mati; tempat kembalinya jiwa
dan raga dalam siklus besar, siklus kehidupan dan kematian" Ini sudah cukup indah dan menakjubkan."
Halaman 603 dari 603 "Tapi Tuhan yang menciptakan dunia ini," katanya.
"Tidak, dunia menciptakan dirinya sendiri; jauh lebih hebat dari yang kau kira."
"Tidak mungkin lebih hebat dibanding Tuhan."
"Tuhan, dewa, semua itu diciptakan oleh manusia," tuturnya, "jauh lebih kecil ketimbang
dunia yang kita diami ini." Ia tidak marah lagi, tapi tidak bisa melihat ada alasan mengapa dia tertahan di
tempat itu oleh adiknya itu, meneruskan perbincangan yang tak ada tujuannya.
"Kedua majikanmu sedang menunggu. Sebaiknya kau kembali pada mereka. Dan kularang kau
mengungkapkan masa laluku pada mereka. Kuharap kau sadar sekarang kalau masa lalu sudah
ditutup rapat. Aku telah memutus tali hubungannya. Keadaanku saat ini membuatku mustahil
untuk kembali. Kau akan selalu menikmati perlindunganku, tapi bukannya tanpa syarat."
Ia merasa kedinginan, padahal cuaca hari itu hangat. Apa maksud perkataannya; apa yang
akan ia lakukan pada adiknya itu" Mengeksekusinya" Diingatnya, seperti yang diingatnya setiap hari,
kematian Jo-An di tangannya, gelandangan yang juga meng?anggap dirinya sebagai utusan
Tuhan Rahasia. Tak peduli seberapa dalam penyesalan atas lindakannya itu, ia sadar kalau ia bisa
melakukannya lagi tanpa ragu. Ia telah membunuh masa lalunya, keyakinan masa kecilnya
dengan Jo-An, dan tak satu pun dari mereka bisa dibangkitkan kembali.
Madaren tunduk pada kata-katanya. "Lord Otori," dia membungkuk hormat sampai ke tanah,
seolah sadar tempatnya yang sebenarnya, bukan sebagai adiknya tapi serendah pelayan"seperti
Haruka yang menunggu setengah bersembunyi di beranda.
"Semuanya baik-baik saja, Lord Takeo?"
"Juru bahasa itu mengajukan beberapa pertanyaan," sahutnya. "Lalu kelihatannya dia kurang
sehat. Pastikan perempuan itu pulih kembali, dan pastikan kalau dia pergi secepatnya. "*
Terada Fumio menghabiskan musim dingin di Hagi bersama istri dan anak-anaknya. Tak lama
setelah pertemuan dengan orang asing selesai, Takeo pergi ke rumah mereka yang berida di sisi lain
teluk. Taman beratap, dihangatkan dengan sumber air panas yang mengelilingi gunung berapi,
kelihatan cerah dengan azalea dan peony beserta tumbuhan eksotis lainnya yang dibawa Fumio untuk
Eriko dari pulau-pulau yang jauh serta kekaisaran-kekaisaran terpencil: anggrek, lili dan mawar.
"Suatu hari nanti kau harus ikut dengan?ku," kata Fumio selagi mereka berjalan melewati
taman dan menceritakan tempat asal tiap tumbuhan. "Kau belum pernah keluar Tiga Negara."
"Tidak perlu, karena kau sudah mem?bawakan dunia kepadaku." sahut Takeo. "Tapi kelak aku
ingin ikut"jika aku mengundurkan diri atau turun takhta."
"Apa kau memang mempertimbangkan
hal itu?" Fumio mengamati, tatapan matanya yang penuh semangat menelusuri wajah Takeo.
"Lihat saja nanti apa yang akan terjadi di Miyako. Aku berharap bisa memecahkan masalah
tanpa berperang. Saga Hideki mengusulkan suatu penandingan"putriku yang akan menggantikan
diriku" dan yang lainnya sudah yakin kalau hasilnya kelak akan berpihak kepadaku."
"Kau mempertaruhkan Tiga Negara hanya dalam satu penandingan" Jauh lebih baik ber?siap
untuk berperang!" "Seperti yang kita putuskan tahun lalu, kita akan siap perang. Setidaknya aku butuh waktu
satu bulan hingga sampai di ibukota. Selama itu Kahei akan mengumpulkan pasukan di perbatasan
wilayah Halaman 604 dari 604 Timur. Aku diwajibkan ikut penandingan itu, menang atau kalah, tapi dengan syarat yang akan
dibicarakan dengan Saga. Kekuatan kita akan berada di sana hanya jika syaratku tidak
dipenuhi, atau jika mereka ingkar janji."
"Kita harus menggerakkan armada dari Hagi ke Hofu," tutur Fumio. "Itu berarti kita
mengendalikan bagian Barat dari laut, dan bisa menyerang di Kumamoto bila
perlu." "Bahaya terbesar yaitu Zenko memanfaat?kan ketidak-hadiranku dan memberontak. Tapi
istrinya akan ke Hagi; kedua putranya sudah berada di sana. Menurutku, dia tak akan benindak bodoh
dengan mempertaruh-kan nyawa mereka. Kaede sepakat denganku, dan dia akan
mengupayakan seluruh pengaruhnya atas Hana. Kau dan ayahmu harus pergi dengan armada perang ke Hofu;
bersiap menerima serangan dari laut. Taku ada di sana dan akan tetap memberitahukan
padamu apa pun yang terjadi. Dan kau bisa mengajak orang-orang asing itu bersamamu."
"Mereka akan kembali ke Hofu?"
"Mereka akan membangun pos dagang di sana. Kau bantu mereka melakukannya sambil
mengawasi. Gadis Muto itu, Mai, juga akan pergi bersama mereka."
Takeo terus menceritakan tentang kekhawatirannya atas orang-orang a,sing karena
kemungkinan sudah ada yang tinggal di Kumamoto.
"Aku akan mencari tahu semampuku," Fumio berjanji. "Aku harus mengenal Don Joao dengan
cukup baik musim dingin ini, dan mulai mengerti bahasa mereka. Untung
nya dia bukan orang yang tertutup, terutama setelah minum sake. Bicara tentang sake,"
imbuhnya. "Mari kita minum beberapa cangkir. Ayahku ingin bertemu denganmu."
*** Ia lupa pada semua kecemasannya saat menikmati sake dan makanan yang disiapkan Eriko,
ikan segar dan sayuran musim semi, ditemani kawannya si perompak tua Fumifusa, serta taman
yang indah. Takeo pulang ke rumah melalui tepi sungai, masih dengan pikiran yang tenang dan ceria. Saat
memasuki taman, semangat?nya bangkit lagi ketika mendengar suara Shizuka.
"Kau tidak ajak Miki?" tanyanya saat ber?gabung dengan Shizuka di ruangan atas; Haruka
menyajikan teh lalu meninggalkan mereka berdua.
"Pikirannya bercabang tentang masalah itu," sahut Shizuka. "Dia ingin bertemu denganmu. Dia
merindukanmu, juga kakak?nya. Tapi dia kini dalam usia ketika dapat menyerap semua
pelajaran dengan cepat. Sepertinya tidak bijaksana kalau tidak
dimanfaatkan. Dan karena kau akan pergi selama musim panas ini, serta Kaede akan sibuk
dengan bayinya...." "Aku sebenarnya berharap bisa bertemu dengannya sebelum pergi," sahut Takeo. "Dia sehatsehat
saja?" Shizuka tersenyum. Tumbuh dengan baik. "Dia mengingatkanku pada Yuki saat seusianya.
Penuh percaya diri. Dia ber?kembang tanpa kehadiran Maya, bahkan ternyata sangat baik baginya
keluar dari bayang-bayang kakaknya."
Mendengar nama Yuki disebut membuat Takeo hanyut dalam lamunan. Menyadari itu, Shizuka
berkata, "Aku dapat kabar dari Taku pada akhir musim dingin. Dia bilang Akio berada di
Kumamoto bersama dengan putramu."
"Benar. Aku tak ingin membicarakannya di sini, tapi kehadirannya di tempat Zenko berdampak
pada banyak hal yang harus kubicarakan denganmu. Apakah para tetua Muto mendukungmu?"
"Ada perbedaan pendapat," sahut Shizuka. "Bukan di Negara Tengah, tapi dari wilayah Timur
dan Barat. Aku terkejut Taku belum kembali ke Inuyama, tempat dia bisa
Halaman 605 dari 605 mengerahkan kendali atas kaum Tribe di wilayah Timur. Aku harus ke sana, tapi aku enggan
meninggalkan Kaede di saat seperti ini, apalagi kau akan segera berangkai."
"Taku sudah terobsesi pada gadis yang kami kirim untuk merawat Maya," ujar Takeo,
merasakan percikan kemarahan yang sama.
"Kudengar desas-desus tentang itu. Aku khawatir bila kedua putraku membuatmu kecewa,
setelah semua yang kau lakukan demi mereka."
Suaranya kedengaran teratur, tapi Takeo melihat kalau Shizuka benar-benar tertekan.
"Aku percaya pada Taku," ujar Takeo. "Tapi gangguan semacam itu hanya akan membuatnya
gegabah. Zenko lain lagi masalahnya, tapi untuk sementara ini dia masih bisa dikendalikan.
Tampaknya dia bertekad untuk menuntut jabatan ketua Muto, dan itu akan menjadi konflik
dengan dirimu, dan Taku serta tentu saja aku.'
Takeo berhenti sejenak, lalu berkata, "Aku sudah berusaha meredamnya; mengancam dan
memberi perintah padanya, tapi dia tetap ingin memancing amarahku."
Shizuka berkata, "Dia semakin mirip
dengan ayahnya. Aku tak bisa lupa kalau Arai memerintahkan kematianku, dan sanggup


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyaksikan kau membunuh putranya sendiri, demi kekuasaan. Saranku, sebagai pemimpin keluarga Muto
sekaligus sahabat keluarga Otori, yaitu secepatnya menyingkir?kan Zenko, sebelum dia
mengumpulkan lebih banyak dukungan lagi. Aku yang akan mengaturnya. Kau hanya perlu
memberi perintah." Mata Shizuka berkilat, tapi tidak ada air mata.
"Hari pertama kita bertemu, Kenji berkata kalau aku harus belajar kekejaman dari dirimu,"
sahut Takeo, kagum karena Shizuka bisa dengan sikap dingin menyarankan untuk membunuh putra
sulungnya sendiri. "Tapi Kenji dan aku tak sanggup menanamkan sifat itu ke dalam dirimu, Takeo. Zenko tahu
itu, itu sebabnya dia tidak takut atau hormat padamu."
Kata-kata Shizuka menyengat dirinya, namun ia menjawab dengan ringan, "Aku sudah berjanji
pada diriku dan pada negara ini untuk mengambil jalan perundingan demi mencapai keadilan serta
kedamaian. Aku tak membiarkan tantangan Zenko
mengingkari janji itu."
"Maka tangkap dan adili dia dengan tuduhan makar. Buatlah sah menurut hukum, tapi
bertindaklah cepat." Shizuka mengamati, dan saat tidak ada jawaban, dia meneruskan, "Tapi kau takkan
mengikuti saranku, Takeo; kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Tentu saja, aku berterima kasih padamu
karena membiarkan putraku tetap hidup, tapi akibat yang harus ditanggung kita semua tak
terbayangkan besarnya."
Ucapan Shizuka membuat sapuan dingin firasat merayap hingga ke tulang punggung?nya.
Matahari telah tenggelam dan taman berganti dengan cahaya biru malam. Kunang-kunang berkelapkelip di
atas aliran sungai, dan dilihatnya Sunaomi dan Chikara datang sambil mencipakkan air di
bawah dinding"mereka pasti habis bermain di tepi sungai. Rasa lapar yang membawa mereka
pulang. Bagaimana Takeo bisa membunuh ayah mereka" Ia justru hanya akan membuat kedua bocah
itu bersikap menentangnya dan keluarganya, lalu memperpanjang pertikaian.
"Aku menawarkan Miki untuk ditunang?kan dengan Sunaomi," komentar Takeo.
"Tindakan yang sangat bagus." Shizuka
tampak berusaha agar suaranya kedengaran lebih ringan, "Walaupun kupikir tak satu pun dari
keduanya akan berterima kasih padamu! Jangan katakan ini pada siapa pun; Sunaomi pasti
Halaman 606 dari 606 membenci usulan ini. Dia sangat kesal dengan kejadian di musim panas kemarin itu. Kelak
saat sudah dewasa baru dia bisa menyadari betapa besar kehormatan yang diterimanya."
"Masih terlalu dini untuk mengumum?kannya"mungkin setelah aku kembali pada akhir musim
panas." Dari ekspresi Shizuka, dia seakan mem?peringatkan kalau ia takkan punya negara lagi yang
bisa dipulanginya, tapi pembicaraan mereka disela oleh teriakan dari belakang rumah, tempat
para perempuan. Takeo mendengar langkah Haruka berlari di beranda, membuat nightingale floor
ber?nyanyi. Di taman kedua bocah berdiri dan menatap Haruka.
"Shizuka, Tabib Ishida," teriak Haruka. "Cepat kemari! Lady Otori sudah mau melahirkan."
Bayi itu, seperti keinginan Kaede selama ini, berjenis kelamin laki-laki. Kabar itu langsung
dirayakan di seluruh kota Hagi, meski dalam batasan tertentu karena cengkeraman si bayi pada tangan
kehidupan masih lemah serta rapuh. Proses kelahiran berlangsung cepat, bayinya kuat dan sehat.
Tampaknya jelas kalau Lady Otori akan memiliki seorang putra sebagai pewaris. Kutukan yang dibisik?kan
rakyat yang karena kelahiran si kembar telah sirna.
Kabar itu diterima dengan kegembiraan yang sama selama beberapa minggu kemudian di
seluruh penjuru Tiga Negara, setidaknya di Maruyama, Inuyama dan Hofu. Kemungkinan kegembiraan
itu kurang dirasakan di Kumamoto, tapi Zenko dan Hana mengirimkan hadiah yang indah: jubah
sutra untuk si bayi, pedang kecil milik keluarga Arai, dan seekor kuda poni. Hana bersiap melakukan
perjalanan ke Hagi di akhir musim panas, bersemangat untuk bertemu dengan kedua putra
kandungnya dan menemani kakaknya sementara Takeo pergi.
Ketika masa pingitan Kaede berakhir, dan
kediaman telah disucikan sesuai adat, Kaede membawa si bayi dan menaruh si bayi di
gendongan sang ayah. "Ini yang kudambakan seumur hidupku," tutur Kaede. "Memberimu seorang putra."
"Kau sudah memberiku lebih dari yang kuharapkan," sahutnya dengan penuh perasaan. Takeo
belum siap untuk menerima makhluk mungil berwajah merah dan berambut hitam ini"dan untuk
kebanggaan dalam dirinya. Menggendong putranya sendiri membuat ia merasa berbeda. Sudut
matanya mulai terasa hangat, namun ia tak bisa berhenti tersenyum.
"Kau bahagia!" seru Kaede. "Aku takut... begitu sering kau mengatakan tidak meng?inginkan
anak laki-laki, bahwa kau bahagia dengan ketiga putri kita, hingga aku hampir saja
memercayaimu." "Aku memang bahagia," sahutnya. "Aku bisa mati saat ini juga."
"Aku merasakan hal yang sama," gumam Kaede. "Tapi jangan bicara tentang kematian. Kita
akan hidup untuk melihat putra kita dewasa."
"Aku berharap tidak meninggalkanmu." Seketika ia terpukau pada pikiran untuk
mengabaikan perjalanan ke Miyako. Biar saja Si Pemburu Anjing menyerang; pasukan Tiga
Negara akan menghabisinya dengan mudah, dan kemudian menghadapi Zenko. Ia tercengang dengan
kekuatan perasaan itu; ia akan bertempur sampai titik darah penghabisan untuk
mempertahankan Tiga Negara agar bayi ini bisa mewarisinya. Dipertimbangkannya masak-masak hal itu, lalu ia
singkirkan dari benaknya. Ia akan mencoba cara damai dulu, seperti yang telah diputuskan;
jika perjalanan itu ditunda, maka ia akan terlihat arogan sekaligus pengecut.
"Aku juga berharap demikian," sahut Kaede. "Tapi kau harus pergi." Diambilnya si bayi lalu
menatap wajah bayi mungil itu, wajah Kaede penuh kasih sayang. "Aku tidak akan sendirian lagi dengan
lakilaki mungil ini di sisiku!"*
Halaman 607 dari 607 Takeo harus pergi sesegera mungkin agar bisa sampai di tujuan sebelum mulai hujan plum.
Shigeko dan Hiroshi tiba dari Maruyama, dan Miyoshi Gemba dari Terayama. Miyoshi Kahei sudah
berangkat ke wilayah Timur tak lama setelah salju mencair. Dia membawa kekuatan utama pasukan
Otori: lima belas ribu pasukan dari Hagi dan Yamagata; sepuluh ribu orang lagi akan dihimpun Sonoda
Mitsuru di Inuyama, Sejak musim panas, beras dan gandum, ikan kering serta miso telah disimpan
sebagai cadangan dan disebar sampai ke perbatasan wilayah Timur untuk persediaan bagi pasukan.
Beruntung panen kali ini berlimpah: baik pasukan maupun mereka yang penduduk takkan
kelaparan. Dalam mengatur perjalanan, yang paling membebani yaitu kirin. Hewan itu kini lebih tinggi,
dan kulitnya menjadi lebih gelap seperti warna madu, tapi ketenangan dan kedamaiannya tak
berubah. Menurut Tabib Ishida, hewan itu sebaiknya tidak ikut berjalan kaki ke sana karena Jajaran Awan Tinggi akan
terlalu berat baginya. Pada akhimya diputuskan kalau Shigeko dan Hiroshi yang akan membawanya dengan kapal
sampai di Akashi. "Kita semua bisa menumpang kapal, Ayah," Shigeko menyarankan.
"Ayah belum pernah keluar perbatasan Tiga Negara," sahut Takeo. "Ayah ingin melihat daratan
dan jalan melewati jajaran itu; bila ada badai di bulan kedelapan dan kesembilan, maka laut
adalah jalan yang akan kita lalui untuk kembali. Fumio akan ke Hofu: dia akan membawamu dan kirin,
begitu pula dengan orang-orang asing itu."
Bunga ceri berguguran dan kelopaknya berganti daun hijau yang baru ketika Takeo dan
rombongannya berkuda dari Hagi, melewati pegunungan dan jalan pantai menuju Matsue.
Takeo pernah melewati jalur bersama Lord Shigeru. Jalur ini mengembalikan kenangan pada orang
yang telah menyelamatkan dan mengangkatnya sebagai anak.
Aku bilang kalau tidak memercayai apa pun, pikirnya, tapi aku sering mendoakan
arwah Shigeru; terutama saat seka rang ini, ketika aku membutuhkan kearifan serta
keberaniannya. Padi mulai tumbuh di sawah yang tergenang, memantulkan kilau me?mesona saat disirami
cahaya matahari. Di tepiannya, di mana ada persimpangan jalan, berdiri sebuah kuil kecil; dilihatnya
kalau kuil itu dipersembahkan bagi Jo-An, yang di beberapa tempat telah dianggap dewa. Alangkah
anehnya kepercayaan orang-o rang itu, pikirnya sambil mengenang percakapan?nya dengan Madaren
beberapa minggu lalu: keyakinan yang memaksa adiknya bicara padanya. Keyakinan yang
sama ditunjukkan oleh Jo-An"dan kini Jo-An telah menjadi orang suci.
Ia melihat sekilas pada Miyoshi Gemba yang berkuda di sampingnya, teman seper?jalanan
yang paling tenang dan paling ceria yang bisa diharapkan. Gemba telah meng?ikuti Ajaran Houou;
ajaran yang penuh pengendalian diri. Saat berkuda, Gemba acapkali tenggelam dalam meditasi, dan
sesekali bersenandung pelan, bak suara halilintar dari kejauhan atau raungan beruang. Ia
membicarakan tentang Sunaomi, yang pernah bertemu Gemba di Terayama,
menceritakan tentang rencananya untuk menjodohkan bocah itu dengan putrinya.
"Dia akan menjadi menantuku. Itu akan memuaskan ayahnya!"
"Kecuali Sunaomi memiliki perasan sebagai putra yang berbakti padamu, maka pertunangan
itu takkan berguna," sahut Gemba.
Takeo terdiam, teringat kejadian di biara, perselisihan antarsepupu, takut kalau Sunaomi
terluka atas kejadian itu. Halaman 608 dari 608 "Dia melihat burung houou," akhirnya ia berkata. "Aku percaya kalau anak itu punya naluri
yang baik." "Ya, aku juga berpikir begitu. Baiklah, kirim anak itu pada kami. Kami akan merawatnya, dan
bila ada kebaikan dalam dirinya, maka akan dipupuk dan dikembang?kan."
"Kurasa usianya sudah cukup dewasa: tahun ini usianya sembilan tahun."
"Ijinkan dia ke tempat kami saat kita kembali."
"Dia tinggal bersamaku sebagai ke?ponakanku, sebagai calon putraku, namun juga sebagai
sandera atas kesetiaan ayahnya. Aku takut kelak terpaksa memerintahkan
untuk membunuhnya," aku Takeo.
"Hal itu tidak akan terjadi," kata Gemba. "Aku akan menyurati istriku nanti malam tentang
usulanmu itu." Minoru mendampinginya seperti biasa, dan malam itu di pemberhentian pertama mereka, ia
mendiktekan surat untuk Kaede, dan untuk Taku di Hofu. Ia merasa perlu bicara dengan Taku;
mendengar kabar terbaru dari wilayah Barat, serta memintanya datang ke Inuyama agar bisa
bertemu di sana. Bagi Taku, perjalanan itu mudah karena melalui laut dari Hofu, kemudian melalui
sungai dengan menumpang kapal tongkang yang melintasi antara kota kastil dengan pesisir.
"Datanglah sendiri," diktenya. "Jinggalkan tanggunganmu dan pendampingnya di Hofu. Bila
tidak dapat melepaskan diri, kabari aku."
"Apakah ini bijaksana?" tanya Minoru. "Surat bisa saja dikacaukan, terutama...."
"Terutama apa?"
"Bila keluarga Muto tidak lagi yakin kepada siapa mereka akan berpihak?"
Karena Takeo mengandalkan Tribe untuk membawa pesan tertulis dengan cepat ke seluruh
Tiga Negara. Itulah yang ia harapkan
dapat dikendalikan Taku. Ia menatap Minoru, keraguan mulai merayapi dirinya. Jurutulisnya tahu lebih banyak rahasia
Tiga Negara dibanding siapa pun.
"Bila keluarga Muto memilih Zenko, mana yang akan Taku pilih?" katanya pelan.
Minoru menaikkan bahu, tapi bibimya terkatup rapat dan tidak langsung menjawab. "Perlu
kutuliskan kalimat terakhir Anda?" dia bertanya.
"Tekankan kalau Taku harus datang sendiri."
Percakapan ini melekat di benak Takeo sewaktu mereka melanjutkan perjalanan ke wilayah
Timur. Aku telah memperdaya Kikuta begitu lama, pikirnya. Dapatkah aku lolos dari Muto juga, bila
mereka berbalik menentangku"
Takeo mulai mencurigai kesetiaan Kuroda bersaudara, Jun dan Shin, yang selalu
men?dampinginya. Ia selalu memercayai mereka sampai saat ini: meski mereka tidak memiliki kemampuan
menghilang, namun mereka bisa merasakannya, dan mereka telah dilatih teknik bertarung cara Tribe oleh
Kenji. Mereka telah berulang kali melindunginya, tapi bila mereka harus memilih antara dirinya
dan Tribe, Takeo bertanya pada dirinya sendiri lagi, jalan mana yang akan mereka ambil"
Takeo tetap bersikap siaga, senantiasa mendengarkan suara terpelan yang bisa jadi pertanda
satu serangan. Kudanya, Tenba, menangkap suasana hari penunggangnya; sudah beberapa bulan ini
Takeo menungganginya, hingga terjalin ikatan kuat antara mereka, hampir sama kuatnya
dengan Shun; Tenba cepat tanggap dan pintar, tapi jauh lebih tegang. Penunggang dan kuda,
keduanya tiba di Inuyama dalam keadaan tegang serta kelelahan, sementara bagian terberat dalam
perjalanan itu masih belum tiba. Halaman 609 dari 609 Inuyama dipenuhi dengan kegembiraan dan sibuk; kedatangan Lord Otori dan penghimpunan
pasukan berarti pedagang dan pembuat senjata sibuk siang dan malam; uang dan sake
mengalir sama derasnya. Takeo disambut adik iparnya, Ai, dan suaminya Sonoda Mitsuru.
Takeo menyayangi Ai, kagum akan sifat lembut dan kebaikan hatinya. Dia tidak secantik kedua
saudaranya, namun penampilannya menarik. Satu hal yang mem
buat Takeo senang yaitu Ai dan Mitsuru menikah atas dasar cinta. Ai kerap men?ceritakan
tentang bagaimana penjaga di Inuyama hampir membunuh dia dan Hana ketika mendengar kabar
kematian Arai dan kehancuran pasukannya. Beruntung Mitsuru telah lebih dulu mengambil alih kastil,
menyembunyikan kedua gadis itu, lalu merundingkan penyerahan wilayah Timur pada Otori.
Karena rasa terima kasih itulah maka Takeo menikahkannya dengan Ai, yang memang saling


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencintai. Takeo memercayai kedua orang ini; mereka terikat oleh hubungan perkawinan, dan Mitsuru
telah menjadi orang yang pragmatis, sensitif tanpa berkurangnya keberaniannya. Seringkali dia
berhasil meng-gunakan keahlian berundingnya untuk mewakili Takeo: bersama istrinya, dia ber?bagi
angan Takeo akan negara yang makmur tanpa penyiksaan maupun suap.
Namun rasa lelah membuat Takeo men?curigai semua orang di sekelilingnya. Sonoda berasal
dari Klan Arai, ia memperingatkan dirinya sendiri. Pamannya, Akita, dulu adalah orang
kepercayaan Arai. Seberapa besar sisa kesetiaan ada dalam dirinya ter-hadap putra
Arai" Takeo semakin gelisah dengan kenyataan tidak adanya tanda-tanda keberadaan Taku, ataupun
kabarnya. Dipanggilnya istri Taku, Tomiko; yang mendapatkan surat dari suaminya saat musim
semi, tapi akhir-akhir ini belum ada kabar. Tomiko tidak terlihat khawatir, lagipula; dia sudah
terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.
"Apabila ada masalah. Lord Otori, maka kita akan segera mendengar kabarnya. Ber?bagai
urusan pasti menahannya di Hofu" mungkin sesuatu yang tak ingin dia tulis dalam surat."
Tomiko melihat sekilas ke arah Takeo lalu berkata, "Aku sudah dengar tentang perempuan itu,
tentunya, tapi aku sudah menduga hal semacam itu. Semua laki-laki punya kebutuhan, dan
suamiku berada jauh dalam waktu lama. Itu bukanlah hal yang serius. Suamiku tidak pernah serius
tentang hal itu." Kekhawatiran Takeo justru kian ber?tambah saat ia mendengar kalau para sandera yang
seharusnya telah dieksekusi ternyata masih hidup.
"Aku sudah kirim suratnya beberapa
minggu lalu, memerintahkan agar dilakukan secepatnya."
"Maaf, Lord Otori: kami tidak me?nerima?" Sonoda mulai angkat bicara, tapi Takeo memotong
perkataannya. "Tidak menerima atau mengabaikan?" Takeo sadar kalau cara bicaranya terlalu blak?blakan.
Sonoda berusaha keras menyem?bunyikan rasa tersinggungnya.
"Kuyakinkan kepada Anda," ujar Sonoda, "Bila kami menerima perintah itu, kami pasti sudah
melaksanakannya. Aku pun bertanya?tanya mengapa masalah ini ditunda begitu lama. Aku
pasti akan melakukannya sendiri, tapi istriku selalu berpihak kepada belas kasihan."
"Mereka kelihatan masih begitu muda," kata Ai. "Dan gadis itu...."
"Tadinya aku berharap mereka tetap hidup," sahut Takeo. "Jika keluarga mereka mau
berunding, mereka tidak harus mati. Tapi mereka tidak bereaksi apa-apa, serta tidak memberi kabar.
Menundanya lebih lama akan dianggap sebagai kelemahan."
"Akan kuatur agar dilakukan besok," Sonoda meyakinkan.
"Ya, harus segera," Ai setuju. "Kau akan
Halaman 610 dari 610 hadir?" "Karena aku sudah di sini, maka aku harus hadir," sahut Takeo, karena ia sendiri yang
membuat aturan bahwa eksekusi untuk pengkhinatan harus disaksikan orang yang jabatannya paling
tinggi, dirinya sendiri atau salah seorang keluarganya atau pengawal senior. Takeo merasa kalau
peraturan itu menekankan perbedaan hukum antara eksekusi dan pembunuhan. Menurutnya,
pemandangan semacam itu memuakkan sehingga ia berharap dengan menyaksikan itu akan mencegah
dirinya dari mengeluarkan perintah dengan sembarangan.
Eksekusi dengan menggunakan pedang di?laksanakan keesokan harinya. Ketika mereka dibawa
menghadap sebelum mata mereka ditutupi, Takeo mengatakan bahwa ayah mereka,
Gosaburo, sudah dieksekusi Kikuta karena ingin merundingkan nyawa mereka. Tak satu pun dari mereka
bereaksi; mungkin mereka tidak percaya. Tampak kilatan air mata dari mata gadis itu; selain
itu, kedua orang itu menghadapi kematian dengan berani, bahkan bersikap menantang. Takeo
kagum dengan keberanian mereka dan menyesali hidup mereka yang singkat, ber
pikir dengan pedih bahwa mereka masih ada kerabatnya, bahwa ia telah mengenal mereka
sejak kecil. Keputusan itu dibuat bersama Kaede, dan atas saran para pengawal seniornya. Keputusan
yang berdasarkan hukum. Namun Takeo tetap berharap bisa melaku?kan yang sebaliknya, dan
kematian tampak seperti pertanda buruk. *
Sepanjang musim dingin, Hana dan Zenko sering bertemu Kuroda Yasu untuk mem?bicarakan
tentang pembukaan perdagangan dengan orang asing, dan mereka senang ketika Yasu
mendengar Don Joao dan Don Carlo ke Hofu pada akhir bulan. Mereka kurang senang dengan berita bahwa
Terada Fumio telah membawa armada perang ke perairan laut dalam dan kini mengawasi jalur
perairan. "Katanya kapal mereka jauh lebih baik dari kapal kita," kata Yasu. "Andai kita bisa minta
bantuan mereka!" "Kalau mereka ingin berpihak kepada kita menentang Otori..." ujar Hana, menyuara?kan
pikirannya. "Mereka ingin berdagang, dan agar rakyat mau berpindah memeluk agama mereka. Tawarkan
pada mereka salah satu"atau keduanya. Mereka akan berikan apa saja sebagai imbalannya."
Komentar ini melekat di benak Hana
selagi bersiap-siap pergi ke Hagi. Sewaktu memikirkan menghadapi kakaknya dengan rahasia
yang akan ia bawa, Hana merasa ber?semangat sekaligus takut, semacam ke?gembiraan yang
menghancurkan. Tapi ia tidak meremehkan Takeo, karena suaminya cenderung bersikap
sebaliknya. Hana mengenal kekuatan dan karakter kakak ipar?nya yang selalu memenangkan cinta dari
rakyatnya serta pendukung setia dari berbagai kalangan. Mungkin juga Takeo akan
me?menangkan hati Kaisar dan kembali dengan restu dari Kaisar. Maka Hana berpikir keras selama musim
dingin tentang strategi lebih lanjut untuk menopang perjuangan suaminya demi balas dendam dan
kekuasaan. Saat mendengar orang-orang asing itu sudah kembali bersama jurubahasanya,
Hana bertekad untuk pergi ke Hagi melalui Hofu.
"Kau seharusnya ikut bersama kami," ujar Hana pada Akio yang sudah menjadi tamu tetap ke
kastil selama musim dingin. Akio selalu melaporkan kabar dari seluruh penjuru negara, serta
perkembangan Halaman 611 dari 611 yang tengah dibuat Hisao dan Koji dalam penempaan. Darah Hana selalu menggelegak dengan
kehadiran laki-laki itu. Menurutnya
kekejaman pragmatis laki-laki itu menarik.
Saat ini Akio melihat Hana dengan tatapan yang penuh perhitungan seperti biasa. "Ya, aku
tidak keberatan. Tentu saja, aku akan ajak Hisao."
Satu kali, mereka hanya berdua saja. Kala itu cuaca masih dingin"di akhir musim semi dengan
cuaca yang tak menentu" namun wangi bunga yang baru mekar tercium dan malam terasa
lebih ringan. Saat itu Akio datang untuk menemui Zenko yang sedang melihat latihan pasukan dan
kuda. Akio semula enggan tinggal lama, tapi Hana memaksa dengan menawarkan sake dan makanan.
Dia melayani sendiri laki-laki itu, membujuk serta menyanjungnya, membuat Akio tak mungkin
menolak. Hana mengira Akio tidak mudah di?pengaruhi sanjungan, tapi bisa dilihatnya kalau
perhatiannya membuat laki-laki itu senang dan boleh dibilang menjadi lembut. Hana ingin tahu bagaimana
rasanya tidur dengan orang itu; walau ia berpikir takkan melakukannya, pikiran itu membuat ia
ber?semangat. Hana mengenakan jubah sutra berwarna gading, dihiasi bunga ceri merah muda dan burung
bangau: motif penuh warna yang digemarinya. Sesungguhnya cuaca terlalu dingin untuk mengenakan pakaian
semacam itu, dan kulitnya terasa dingin membeku, tapi ia sedang gembira: ia masih muda, darahnya
bergejolak dengan dorongan yang sama seperti dorongan akar?akar dari dalam bumi, tunas dari ranting.
Penuh percaya diri dengan kecantikannya, ia memberanikan diri bertanya pada Akio, sebagaimana
yang diinginkannya sepanjang musim dingin ini, tentang Hisao.
"Dia tidak mirip ayahnya," komentar Hana. "Apakah dia mirip dengan ibunya?"
Saat Akio tidak segera menjawab, Hana mendesak, "Seharusnya kau ceritakan semua?nya
padaku. Makin banyak yang bisa ku?ungkapkan tentang dirimu pada kakakku, maka semakin kuat
akibatnya pada dirinya." "Itu sudah bertahun-tahun silam," tutur?nya.
"Jangan berpura-pura kalau kau sudah melupakannya! Aku tahu bagaimana ke?cemburuan
mengukirkan kisahnya dengan belati di hati kita."
"Ibunya adalah perempuan yang luar biasa," Akio mulai bercerita. "Sewaktu di?sarankan agar
dia tidur dengan Takeo, aku takut untuk menyuruhnya melakukan itu. Meminta Yuki melakukan hal semacam itu"hal yang
lazim di kalangan Tribe, dan kebanyakan perempuan melakukan apa yang diperintahkan, tapi Yuki
merasa itu sebagai penghinaan. Ketika dia setuju, kusadari kalau Yuki menginginkan Takeo. Aku
melihat dia menggoda Takeo; bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tidak menyangka kalau hatiku
akan terasa sepedih itu, atau ke-bencian yang begitu dalam pada Takeo. Aku belum pemah
membenci siapa pun; aku membunuh atas perintah, bukan karena perasaan pribadi. Takeo memiliki apa
yang paling kuinginkan, dan dia menyia-nyiakan?nya. Dia meninggalkan Tribe. Bila Takeo
merasakan sedikit saja apa yang pernah kurasakan, maka itu yang disebut keadilan."
Akio mendongak. "Aku tidak pernah tidur dengannya," tuturnya. "Aku menyesali itu lebih dari
segalanya. Andai aku mampu melakukannya, sekali saja... Tapi aku tidak ingin menyentuhnya
saat dia mengandung anak Takeo. Dan aku memaksanya bunuh diri. Aku harus melakukannya:
karena Yuki tidak berhenti mencintai Takeo; dia tidak akan memaksa anak itu membenci Takeo
seperti yang telah kulakukan. Aku tahu dia harus menjadi bagian dari balas dendamku, tapi
seiring tumbuh dewasa, dia tidak menunjukkan bakat apa pun, aku tidak tahu mengapa. Dalam
waktu yang lama kukira memang tidak ada harapan lagi: berulang kali, para pembunuh yang jauh lebih
terampil dari Hisao saja gagal. Kini kutahu kalau Hisao yang akan mcmbalaskan dendamku. Dan aku
akan ada di sana untuk menyaksikannya." Mendadak Akio berhenti bicara.
Halaman 612 dari 612 Kata-kata itu meluncur deras dari mulut?nya. Dia telah menyimpan semua ini rap at- rap at
selama bertahun-tahun, pikir Hana, merasa tersanjung dan gembira karena laki?laki itu percaya
padanya. "Saat Takeo kembali dari Timur, Kaede pasti akan tahu semua ini," ujar Hana. "Masalah ini
akan memisahkan mereka. Kaede takkan memaafkannya. Aku mengenalnya: Takeo akan melarikan
diri dari Kaede dan dari dunia ini, dia akan mencari perlindungan di Terayama. Biara itu hampir
tidak dijaga. Takkan ada yang menduga kau akan ke sana. Kau bisa mengejutkannya di sana."
Mata Akio setengah terpejam. Lalu meng?hembuskan napas panjang. "Itu satu-satunya yang
akan mengakhiri penderitaanku."
Hana tergoda oleh hasrat untuk memeluk Akio, untuk meringankan sakit hati orang itu: yakin
bisa menghibur laki-laki itu atas kematian"ia ragu untuk menyebutnya sebagai pembunuhan"
istrinya. Namun dengan hati-hati menyimpan kenikmatan ini untuk masa yang akan datang. Ada hal
lain lagi yang ingin dibicarakannya dengan Akio.
"Hisao telah berhasil menempa senjata api kecil yang bisa dibawa tersembunyi?" tanya Hana.
"Tak ada pun bisa mendekati Takeo untuk bisa membunuhnya dengan pedang, tapi senjata api bisa
digunakan dari jauh, kan?"
Akio mengangguk dan bicara dengan lebih tenang, seolah lega topik pembicaraan sudah
berganti. "Dia sudah mengujinya di tepi pantai. Jangkauannya lebih jauh dari panah, dan peluru lebih
cepat dibanding anak panah." Sesaat Akio berhenti bicara. "Suami Anda amat tertarik, senjata yang
menyebab?kan kematian ayahnya. Dia ingin Takeo mati dengan cara yang sama
memalukannya." "Memang ada semacam keadilan di dalam
nya," ujar Hana setuju. "Cukup menyenang?kan. Tapi agar benar-benar berhasil, kau pasti
akan melatih Hisao secara khusus" Sebaiknya dilakukan uji coba untuk memastikan semua berjalan
lancar, agar dia tidak kehilangan nyali, agar bidikannya benar-benar tepat."
"Apakah Lady Arai punya orang yang bisa diusulkan?" Akio menatap langsung pada Hana dan
ketika tatapan mereka beradu, hati Hana serasa melompat gembira.
"Sebenarnya aku memang punya," sahut?nya pelan. "Mendekatlah dan aku akan membisikkan
namanya." "Tidak perlu," sahutnya. "Aku bisa menebaknya."
Tapi Akio akhirnya mendekat, begitu dekat hingga Hana bisa mencium napasnya serta
mendengar detak jantungnya. Tak satu pun dari keduanya bicara atau bergerak. Angin menggetarkan
layar kasa, dan dari arah pelabuhan terdengar jerit burung camar.
Setelah beberapa saat, Hana mendengar suara Zenko dari pelataran.
"Suamiku sudah kembali," katanya, sambil berdiri, tak yakin apakah merasa lega atau kecewa.
*** Lord dan Lady Arai sering bepergian antara Kumamoto dan Hofu, maka kedatangan mereka di
kota itu tidak lama setelah kembalinya orang-orang asing, tidaklah mengherankan. Kapal yang
ditumpangi para orang asing segera berangkat lagi menuju Akashi bersama Shigeko, Sugita Hiroshi dan
kirin. Penduduk Hagi melepas kepergian kirin dengan rasa bangga dan sedih; mereka telah merasa
memiliki hewan itu sejak kedatangannya yang mencengangkan di pelabuhan mereka. Tak lama


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian, Terada Fumio bersiap berlayar untuk bergabung dengan ayahnya, Fumifusa, di
teluk, bersama dengan armada Otori.
Orang-orang asing sudah sering ber?kunjung ke tempat Lord Arai sehingga tidak menarik
perhatian. Perbincangan mengalir lebih lancar karena si jurubahasa makin berani dan percaya diri, dan
Don Carlo pun makin fasih. "Anda pasti mengira kami bodoh," katanya, "karena tidak mengetahui ada Kaisar. Kini kami
sadar kalau kami harus mendekati beliau karena kami adalah utusan
Halaman 613 dari 613 raja kami, dan monarki harus berhadapan dengan monarki."
Hana tersenyum. "Lord Kono yang baru?baru ini kembali ke ibukota, dan yang pernah bertemu
Anda berdua, adalah keluarga kekaisaran. Dia meyakinkan kami bahwa Lord Arai mendapat
dukungan Kaisar. Kepemimpinan Lord Otori di Tiga Negara dianggap tidak sah, maka dia hendak
meng?ajukan pembelaan atas tuduhan itu."
Don Joao nampak tertarik saat kalimat ini diterjemahkan. "Mungkinkah Lord Arai bisa
membantu kami mendekati Yang Mulia Kaisar?"
"Akan kulakukan dengan senang hati," sahut Zenko, wajahnya bersemu merah karena gembira
dan juga karena minum sake. Perempuan itu, si jurubahasa, mener?jemahkan kalimat ini, lalu mengatakan beberapa
kalimat lagi. Don Carlo tersenyum agak sedih, Hana pikir, lalu menganggukkan kepala dua atau tiga kali.
"Apa yang kau katakan?" tanya Hana langsung pada Madaren.
"Maaf, Lady Arai. Aku bicara soal masalah keagamaan pada Don Carlo."
"Ceritakan lebih banyak lagi pada kami.
Kami tertarik pada ajaran para orang asing, dan terbuka dengan kepercayaan mereka."
"Tidak seperti Lord Otori," kata Don Carlo. "Tadinya aku mengira dia akan ber?sikap simpatik,
dan aku menaruh harapan besar untuk penyelamatan jiwa dari dosa dan kematian bagi istrinya
yang cantik itu, tapi dia melarang kami menyebarkan agama secara terang-terangan atau
membangun gerej a." "Kami tertarik mendengarkan masalah ini," ujar Hana sopan. "Dan sebagai imbalannya kami
ingin tahu berapa banyak kapal yang dimiliki raja Anda di Kepulauan Kecil Selatan, dan berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dari sini ke sana."
"Kau punya rencana baru," kata Zenko malam itu saat mereka hanya berdua saja.
"Aku tahu sedikit tentang kepercayaan orang-orang asing itu. Alasan mengapa kaum Hidden
selalu dibenci adalah karena mereka lebih mematuhi Tuhan Rahasia ketimbang penguasa mana pun.
Deus milik orang-orang asing itu juga sama, menuntut kesetiaan yang utuh."
"Aku telah bersumpah setia berulang kali pada Takeo," ujar Zenko. "Aku tidak
menyukai gagasan dikenal sebagai pelanggar sumpah, seperti Noguchi: kukatakan yang
se?sungguhnya padamu, hanya itu yang masih menahanku."
"Takeo telah menolak Deus"sudah jelas dari apa yang kita dengar tadi. Bagaimana kalau Deus
memilihmu untuk menghukum?nya?"
Zenko tertawa. "Bila Deus membawa?kanku kapal dan senjata, maka aku siap ber?hadapan
dengannya!" "Bila Kaisar sekaligus Deus memerintah?kan kita untuk menghancurkan Takeo, bagaimana kita
bisa membantah atau tidak mematuhinya?" ujar Hana. "Kita memiliki restu; juga peralatan."
Tatapan mereka ber-temu, lalu mereka berdua tertawa terbahak?bahak.
*** "Aku ada satu rencana lagi," kata Hana kemudian, ketika kota sudah sunyi, dan dia berbaring
di pelukan suaminya, setengah tertidur dan merasa puas.
Zenko sudah hampir tertidur. "Kau memang sarang berharga dari gagasan yang
baik," sahutnya, seraya membelai istrinya dengan malas.
"Terima kasih, tuanku! Tapi apakah kau tidak ingin mendengarnya?"
Halaman 614 dari 614 "Tidak bisakah menunggu sampai besok?" "Ada beberapa hal yang lebih baik di?bicarakan
dalam kegelapan." Zenko menguap dan berpaling ke arah istrinya. "Bisikkan rencanamu itu dan aku akan
mempertimbangkannya dalam mimpi?ku."
Setelah Hana memberi tahukan, Zenko terbaring dalam waktu lama tanpa bicara hingga
seperti sudah tertidur, namun Hana tahu kalau suaminya itu masih terjaga. Akhir?nya Zenko berkata, "Aku
akan berikan dia satu kesempatan lagi. Bagaimana pun, dia adikku."*
Meskipun Sada telah berusaha, ditambah salep dari Ishida, luka di wajah Maya tetap
berbekas, garis kemerahan di tulang pipinya bak bayangan daun perilla. Maya dihukum dengan berbagai cara
atas ketidakpatuhan?nya. Meskipun dia dipaksa melakukan tugas paling rendah di rumah, dilarang
bicara, dilarang tidur dan makan, dia tetap lakukan semua ini tanpa dendam, sadar kalau ia memang
pantas dihukum karena menyerang dan melukai ayahnya. Maya belum bertemu Taku selama
seminggu, dan walau Sada merawat lukanya, tapi dia tidak bicara atau pun memeluk serta membelainya
seperti yang diinginkan Maya. Sendirian sepanjang waktu, dijauhi semua orang, Maya punya banyak waktu
untuk memikirkan apa yang telah terjadi. Begitu teringat kalau ia telah menyerang ayahnya, air
mata berlinang. Biasanya ia tidak pernah menangis: satu?satunya yang diingatnya yaitu saat berada
di sumber air panas, bersama Takeo dan Miki,
ketika menceritakan pada ayahnya bagai?mana cara membuat si kucing tertidur dengan
tatapan maut Kikuta. Hanya ketika ada Ayah aku bisa menangis, pikirnya.
Mungkin air mata adalah bagian dari kemarahan. Ia ingat kemarahannya pada ayahnya karena
tidak mengatakan kalau punya anak laki-laki, karena semua rahasia yang mungkin disembunyikan
ayah dari diri?nya, karena semua muslihat yang terjadi antara orangtua dan anaknya.
Namun Maya juga ingat kalau tatapannya menguasai tatapan ayahnya, kalau ia bisa
mendengar langkah ringan dan merasakan kehadiran ayahnya saat tidak kelihatan. Maya melihat betapa
kekuatan si kucing telah ber?tambah dan memperkuat kekuataan dirinya. Kekuatan itu masih
saja menakutkan bagi?nya, tapi setiap hari, di saat kurang tidur, makan dan bicara, daya tarik
kekuatan itu semakin bertambah, dan mulai bisa melihat bagaimana ia bisa mengendalikannya.
Di akhir minggu, Taku memanggilnya dan mengatakan kalau mereka akan pergi ke Hofu
keesokan harinya. "Kakakmu, Lady Shigeko, membawa
kuda-kuda," katanya. "Dia ingin mengucap?kan selamat tinggal padamu."
Saat Maya hanya membungkuk hormat tanpa menjawab, Taku berkata, "Kau boleh bicara
sekarang: hukumannya sudah selesai."
"Terima kasih, Guru," sahutnya dengan patuh, kemudian berkata, "Aku benar-benar menyesal."
"Kita semua pernah melakukan kesalahan yang berbahaya. Aku yakin kalau aku pernah
menceritakan saat ayahmu menangkapku di Shuho."
Maya tersenyum. Kedua saudara perem?puannya senang sekali mendengarkan cerita itu saat
mereka masih kecil. "Shizuka sering menceritakannya pada kami, untuk memper?ingatkan
agar kami patuh!" "Kami berdua beruntung karena ayahmu yang kami hadapi. Jangan lupa, kebanyakan orang
Tribe dewasa akan membunuh tanpa pikir panjang, anak-anak atau bukan."
*** Halaman 615 dari 615 Shigeko membawa dua kuda betina tua
Maruyama, untuk Maya dan Sada, satu
berwarna coklat kemerahan, dan satunya lagi,
yang membuat Maya kegirangan, berwarna abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam,
sangat mirip kuda tua milik Taku, Ryume, anak Raku.
"Ya, yang abu-abu ini bisa menjadi milik?mu," sahut Shigeko, memerhatikan mata Maya yang
berbinar. "Tapi, kau harus merawatnya baik-baik selama musim dingin." Shigeko melihat wajah
Maya: "Sekarang aku bisa bedakan antara kau dan Miki." Sambil menarik Maya ke samping, Shigeko
berkata pelan, "Ayah menceritakan apa yang terjadi. Aku tahu ini sulit bagimu, melakukan
semua yang diminta Taku dan Sada. Buka mata dan telingamu lebar-lebar saat tiba di Hofu. Aku yakin
kau bisa berguna di sana." Kedua kakak beradik itu berpelukan; setelah mereka berpisah, Maya
merasa diperkuat oleh kepercayaan Shigeko kepadanya. Itulah yang membuatnya mampu bertahan
selama musim dingin yang panjang di Hofu, saat angin dingin terus berhembus dari laut, bukannya
membawa salju sebagai?mana mestinya tapi malah membawa hujan es dan hujan sedingin es. Bulu
kucing itu terasa hangat, dan Maya kerap tergoda untuk memanfaatkannya. Awalnya masih terasa
janggal, lalu dengan rasa percaya diri yang makin besar, Maya belajar memaksa roh kucing itu
tunduk pada kehendaknya. Masih ada banyak unsur ruang antara dua dunia yang menakutkan baginya:
hantu yang kelaparan dengan keinginan yang belum terpuaskan, serta kesadarannya tentang
semacam kepandaian yang mencari dirinya. Rasanya seperti kilatan halilintar di kege?lapan.
Kadang ia menatap dunia itu dan merasakan daya tariknya, tapi seringkali ia menjauhi kilauannya,
tetap berada di balik bayang-bayang. Sesekali ia bisa menangkap penggalan kata, bisikan yang tak
kunjung ia pahami. Satu hal yang menyita pikirannya se?panjang musim dingin adalah masalah yang membuat ia
sangat marah pada ayahnya: bocah misterius yang merupakan kakak tirinya, yang tidak pernah
dibicarakan siapa pun, yang kata Taku akan membunuh ayahnya"ayahnya! Saat ia memikirkan tentang
bocah itu, ia menjadi bingung dan roh si kucing berusaha menguasai dirinya dan melakukan apa yang
diinginkannya. Ia sering terbangun berteriak karena mimpi buruk, sendirian di kamar karena kini
setiap malam Sada bersama Taku. Maya berbaring terjaga sampai pagi, takut meme?jamkan
mata. Sada mengatur agar mereka tinggal di rumah keluarga Muto antara sungai dan kediaman
Zenko. Rumah itu dulunya adalah tempat penyulingan sake, tapi dengan makin bertambahnya
pelanggan karena Hofu kian makmur, keluarga itu pindah ke bangunan yang lebih besar, dan bangunan ini
kini hanya dijadikan gudang. Seperti di Maruyama, keluarga Muto menyediakan penjaga dan pelayan, dan Maya masih
berpakaian anak laki-laki di luar rumah, tapi diperlakukan sebagai anak perempuan ketika di dalam
rumah. Teringat pesan Shigeko, dan ia membuka telinga lebar-lebar, mendengarkan bisik-bisik
per?cakapan di sekelilingnya, berjalan-jaian me?lewati pelabuhan saat cuaca cukup cerah, dan
memberitahu Taku dan Sada apa yang didengarnya. Tapi ia tidak menceritakan semuanya: sebagian dari desasdesus
yang mengejutkan dan membuatnya marah sehingga ia tidak ingin mengulang kata-kata itu.
Ataupun berani bertanya pada Taku tentang pemuda yang merupakan kakaknya itu.
Maya bertemu Shigeko lagi sebentar ketika musim semi, ketika kakaknya berlayar bersama
kirin dan Hiroshi dalam perjalanan ke Miyako. Ia sudah sangat terbiasa dengan segala hasrat Taku
terhadap Sada, lalu mengamati kakaknya dan Hiroshi untuk melihat apakah mereka menunjukkan gejala
yang sama. Terasa sudah begitu lama ketika ia dan Miki menggoda Shigeko tentang Hiroshi: apakah
hanya sekadar rasa tertarik seorang gadis belia, ataukah kakaknya masih tetap mencintai pemuda
yang kini menjadi pengawal seniornya" Dan apakah Hiroshi mencintai kakaknya" Seperti halnya Takeo,
Maya juga memerhatikan reaksi cepat Hiroshi sewaktu Tenba melompat dan mundur tiba-tiba
karena takut selama upacara di Maruyama, dan menarik kesimpulan yang sama. Kini ia kurang yakin: di
satu sisi, Shigeko dan Hiroshi tampak saling menjauh sekaligus bersikap resmi; di sisi lain mereka
seperti Halaman 616 dari 616 saling memahami pikiran masing-masing, dan ada semacam keselarasan yang terjalin di
antara mereka. Shigeko telah mengemban wewenang baru, dan Maya tak berani lagi menggoda
maupun bertanya padanya. Di bulan keempat, setelah Shigeko dan Hiroshi pergi bersama kirin menuju Akashi, Taku
disibukkan dengan permintaan dari orang-orang asing yang telah kembali dari Hagi dan bersemangat
untuk membangun pos perdagangan secepatnya. Kira-kira di saat inilah Maya sadar atas perubahan
yang terjadi dengan perlahan sejak hari pertama musim semi. Semua perubahan itu seperti
memastikan desas-desus yang mulai di-dengarnya saat musim dingin.
Sejak kecil ia sudah hidup dengan kepercayan bahwa kesetiaan keluarga Muto teguh kukuh
terhadap Klan Otori, dan bahwa Muto mengendalikan kesetiaan Tribe"terlepas dari Kikuta yang
membenci dan berusaha membunuh ayahnya. Shizuka, Kenji, dan Taku adalah keluarga Muto dan telah
menjadi penasihat terdekat keluarga Otori dan telah menjadi gurunya. Maka butuh waktu lama
baginya untuk dapat memahami dan menerima gejala-gej ala yang tampak di depan matanya.
Kurir pembawa pesan yang datang ke rumah jumlahnya makin sedikit; informasi yang diantar
amat terlambat hingga akhimya tidak berguna. Para penjaga tertawa sinis di
belakang Taku tentang obsesinya terhadap Sada: laki-laki-perempuan yang lemah dan gila.
Maya menemukan dirinya terbebani dengan lebih banyak pekerjaan karena para pelayan makin


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malas, bahkan kurang ajar. Seiring makin besar kecurigaannya, diikuti?nya para pelayan ke
penginapan dan men?dengar cerita-cerita mereka: kalau Taku dan Sada adalah penyihir, dan kedua orang itu
memanfaatkan arwah kucing dalam mantra- mantra mereka.
Sewaktu di penginapan itulah Maya men?dengar percakapan lain di kalangan keluarga Muto,
Kuroda dan Imai: setelah lima belas tahun dalam damai, ketika pedagang dan petani biasa menikmati
kesejahteraan, Tribe mulai menyesal karena sebelumnya mereka yang menguasai
perdagangan, dan ketika bangsawan memanfaatkan ketrampilan mereka.
Sumpah setia tidak pasti yang digabung Kenji dengan kekerasan karakternya, pengalaman dan
akal bulusnya mulai hancur, dan untuk memperbaikinya saat ini, maka Kikuta Akio muncul dari
pengasingan. Maya mendengar nama laki-laki itu beberapa kali di awal-awal bulan keempat,
dan setiap kali didengarnya, ketertarikan dan keingintahuannya semakin bertambah. Satu
malam, sesaat sebelum bulan purnama, ia pergi diam-diam ke penginapan di tepi sungai, saat itu kota
terasa lebih hidup dari biasanya karena Zenko dan Hana sudah kembali bersama rombongan, dan
penginapan penuh sesak dengan orang.
Maya menyembunyikan diri di bawah beranda, menggunakan kemampuan meng?hilang untuk
menyelinap di bawahnya; malam ini terlalu bising untuk bisa mendengar banyak bahkan
dengan telinga?nya yang tajam, tapi ia menangkap kata ketua Kikuta, dan sadar kalau Akio ada di
penginapan itu. Ia terkejut temyata laki-laki itu berani muncul secara terang-terangan di Hofu, dan bahkan
lebih kagum lagi ternyata begitu banyak orang yang ia kenal dari kalangan Tribe bukan hanya mentolerir
kehadirannya, tapi justru mencarinya, memperkenalkan diri pada Akio. Maya menyadari kalau
orang itu berada dalam perlindungan Zenko, dan ia bahkan mendengar Zenko disebut sebagai ketua
Muto. Ia tahu kalau itu pengkhianatan, meski ia tak tahu sampai sejauh mana
kebenarannya. Selama ini ia dapat meng?hilang diri tanpa diketahui, dan menjadi sombong
karenanya. Ia meraba pisau di baju luamya lalu menggunakan kemampuan menghilang
kemudian berjalan ke pintu penginapan.
Semua pintu terbuka lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi dari arah barat daya masuk.
Lentera menyala berasap, dan udara terasa pekat dengan berbagai aroma, ikan panggang dan sake,
minyak wijen serta jahe. Maya memindai berbagai kelompok; langsung tahu mana yang bernama Akio karena laki-laki
itu melihat dirinya, langsung menembus kemampuan menghilangnya. Saat itu ia menyadari
betapa Halaman 617 dari 617 berbahayanya laki?laki itu, betapa lemah dirinya bila dibanding?kan dengan Akio, betapa lakilaki itu
bisa membunuhnya tanpa ragu. Akio melompat dari lantai dan seperti terbang ke arahnya,
melemparkan senjata selagi bergerak. Maya melihat kilau pisau, mendengar desingnya di
udara, dan tanpa pikir panjang ia men?jatuhkan diri ke lantai. Semua yang ada di sekelilingnya berubah:
ia melihat dengan mata si kucing; dirasakannya tekstur lantai di bawah kakinya; cakarnya di
lantai papan beranda sewaktu ia melompat melarikan diri ke dalam gelapnya malam.
Di belakangnya, Maya menyadari ke?hadiran pemuda itu, Hisao. Dirasakannya tatapan
pemuda itu mencarinya, dan men?dengar penggalan suara yang membentuk kata-kata. Saat memahami
katakata itu, ia ketakutan setengah mati. Datanglah padaku. Sudah lama aku menunggumu.
Dan si kucing hanya ingin kembali pada pemuda itu.
Maya melarikan diri pada satu-satunya perlindungan yang dikenalnya, pada Sada dan Taku,
membangunkan keduanya dari tidur nyenyak. Mereka berusaha menenang?kan saat dia
berjuang sekuat tenaga men?dapatkan kembali wujud manusianya, Sada memanggil-manggil namanya
sementara Taku menatap matanya, melawan tatapan Maya yang amat kuat. Akhirnya tubuh
Maya lemas; sepertinya tertidur selama beberapa saat. Ketika membuka mata, dia bisa berpikir
jelas lagi, dan ingin menceritakan segalanya pada mereka.
Taku mendengarkan tanpa bicara selagi Maya menceritakan apa yang didengarnya. Taku
mengagumi pengendalian diri gadis itu
yang dapat menceritakan tanpa meneteskan air mata.
"Jadi sesuatu menghubungkan Hisao dan kucing itu?" akhimya ia bertanya.
"Dialah yang memanggil kucing itu," ujar Maya pelan. "Dialah penguasa si kucing."
"Penguasa si kucing" Darimana kau dapat kata itu?"
"Itulah yang dikatakan para hantu, jika kubiarkan mereka bicara."
Taku menggelengkan kepala dengan tatapan bertanya-tanya. "Kau tahu siapa Hisao itu?"
"Dia cucu Muto Kenji." Ia berhenti sejenak lalu bicara tanpa perasaan, "Putra ayahku."
"Sudah berapa lama kau tahu?"
"Aku pernah mendengar kau mengatakan pada Sada, di Maruyama pada musim gugur yang
lalu," jawab Maya. "Pertama kali kita melihat kucing itu," bisik Sada.
"Hisao pasti seorang penguasa alam baka," ujar Taku, mendengar Sada menghela napas,
hembusan napasnya terasa di bulu kuduknya. "Kukira hal itu hanya legenda."
"Apa artinya itu?" tanya Maya.
"Artinya dia mampu untuk berjalan di antara dua dunia, mendengar suara orang yang sudah
mati. Para arwah akan patuh padanya. Dia memiliki kekuatan untuk me?nenangkan atau menghasut
mereka. Ini jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan."
Inilah pertama kalinya Taku merasakan ketakutan yang sesungguhnya. Takut pada kekuatan
supranatural, gelisah atas peng?khianatan yang telah diungkap Maya, dan kemarahan pada
rasa puas dalam dirinya serta kurang waspada.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Sada pelan. Sada merengkuh dan memeluk Maya eraterat.
Tatapan Maya yang berkilat ter?paku pada wajah Taku.
"Kita harus membawa Maya pergi," sahutnya. "Tapi aku harus menemui kakakku lebih dulu,
membuat satu tuntutan terakhir padanya, dan mencari tahu seberapa dalam keterlibatannya dengan
Akio, dan berapa banyak yang mereka tahu tentang Hisao. Dugaanku adalah mereka belum mengetahui
bakatnya. Tidak ada lagi orang yang tahu tentang hal semacam ini di kalangan Tribe: semua
laporan kita menunjukkan kalau Hisao tidak memiliki kemampuan Tribe."
Halaman 618 dari 618 Apakah Kenji tahu" Taku memikirkan hal itu, dan menyadari sekali lagi betapa ia sangat
merindukan Gurunya itu, dan betapa besar kegagalannya untuk bisa menggantikan kedudukan gurunya itu.
"Kita akan pergi ke Inuyama," katanya. "Aku akan menemui Zenko besok, tapi kita harus tetap
pergi. Kita harus bawa Maya pergi."
"Kita belum mendapat kabar dari Lord Takeo sejak Terada datang dari Hagi," kata Sada
gelisah. "Sebelumnya aku tidak cemas," sahut Taku, dicekam perasaan kalau segala sesuatunya akan
terurai satu demi satu. *** Saat malam lebih larut, meski sulit untuk mengakui pada dirinya sendiri, terlebih lagi
mengaiakannya pada Sada atau orang lain, keyakinannya makin besar kalau Takeo akan hancur, kalau jaring
mulai makin kencang di sekelilingnya dan tak ada jalan untuk lolos. Saat terjaga, sadar akan tubuh
tinggi Sada di sisinya, mengamati malam yang pucat, Taku berpikir keras apa yang harus dilakukan.
Rasanya masuk akal mematuhi kakaknya yang akan mengambil alih kepemimpinan Tribe"atau
bahkan menyerahkan jabatan itu pada Taku sendiri: keluarga Muto dan Kikuta bisa berdamai;
maka ia tak harus menyerahkan nyawa Sada atau nyawanya sendiri; naluri pragmatis Muto
mendesaknya untuk mengikuti jalan ini. Ia berusaha menimbang apa saja yang dipertaruhkan. Nyawa Takeo,
pastinya. Juga nyawa Kaede, kemungkinan anak-anak juga"mungkin Shigeko tidak, kecuali
bila dia melawan, tapi Zenko pasti menganggap si kembar terlalu berbahaya. Jika Takeo melawan
balik, berarti kematian beberapa ribu prajurit Otori yang tak ada hubungan dengan dirinya.
Hiroshi... Memikirkan Hiroshi telah membuatnya berhenti secara tiba-tiba. Sebagai anak laki?laki, Taku
punya rasa iri yang terpendam pada Hiroshi, terhadap sifat ksatria yang jujur, keberanian fisiknya,
kesadaran ter?goyahkan pada kehormatan dan kesetiaan. Ia selalu berusaha membuat Hiroshi terkesan;
menyayangi sahabatnya itu lebih dari apa pun, sebelum ia bertemu Sada. Ia tahu kalau Hiroshi
lebih memilih mencabut nyawanya ketimbang meninggalkan Takeo, dan ia tak
tahan membayangkan wajah Hiroshi saat sadar kalau ia berpihak pada Zenko.
Alangkah bodohnya kakakku, pikirnya, bukan untuk yang pertama kalinya. Ia menyesalkan
tindakan kakaknya yang menempatkan ia dalam posisi serba salah. Direngkuhnya Sada erat. Tak pernah
ku?bayangkan kalau aku akan jatuh cinta, pikirnya saat membangunkan Sada dengan lembut,
dan meskipun tidak tahu kalau itulah terakhir kalinya dia membangunkan Sada. Tak pernah
kubayangkan kalau aku akan menjadi ksatria yang mulia.
*** Taku mengirim pesan keesokan harinya, dan menerima jawabannya sebelum tengah hari. Ia
diperlakukan dengan santun seperti biasa, dan diundang ke kediaman di Hofu untuk makan
malam bersama Zenko dan Hana. Dia menghabiskan waktu dengan mem?persiapkan diri untuk
bepergian, tidak secara terang-terangan, karena tak ingin menarik perhatian. Taku berkuda pergi
bersama empat orang yang telah menemaninya sejak dari Inuyama, lebih memercayai mereka
ketimbang orang yang disediakan keluarga Muto di Hofu.
Begitu bertemu, Taku melihat ada perubahan dalam diri kakaknya. Kumis dan janggut Zenko
tampak lebih lebat, tapi lebih dari itu, sang kakak menunjukkan kepercaya?an diri yang baru, dengan
langkah yang lebih angkuh. Taku juga memerhatikan, walau tak langsung mengomentari, kalau Zenko
mengenakan kalung dari untaian rosario indah yang terbuat dari ukiran gading, mirip yang
dipakai Don Joao dan Don Carlo yang juga hadir saat makan malam. Sebelum mulai makan, Don Carlo
diminta untuk meng?ucapkan doa. Zenko dan Hana duduk dengan tangan terkatup, kepala
tertunduk, serta tampak hikmad. Taku memerhatikan kehangatan baru antara kedua orang asing itu dengan Zenko. Mendengar
betapa sering Deus diucapkan, dan menyadari dengan campuran antara rasa tercengang dan jijik
kalau kakaknya telah mengikuti kepercayaan orang asing.
Halaman 619 dari 619 Berpindah agama atau hanya berpura-pura" Taku tidak percaya kalau tindakan Zenko tulus
adanya. Ia mengenal kakaknya sebagai laki-laki tanpa agama dan tidak berminat
pada sesuatu yang berbau spiritual"sama seperti dirinya. Rupanya Zenko melihat ada
keuntungan: pasti berhubungan dengan militer, pikirnya, dan kemarahannya muncul selagi memikirkan
kalau yang bisa diberikan orang asing itu adalah senjata api dan kapal.
Zenko menyadari kegelisahan Taku yang makin bertambah, dan ketika makan malam selesai
dia berkata, "Ada yang harus kubicara?kan dengan adikku. Kami permisi sebentar. Taku, ikutlah ke
taman. Malam ini indah: sudah hampir purnama."
Taku mengikuti, membuka semua indera?nya, memasang pendengarannya untuk langkah kaki
yang tak dikenal, hembusan napas yang tak terduga. Apakah sudah ada pembunuh yang
bersembunyi di taman, dan kakaknya membimbing ia ke dalam jangkauan pisau lempar mereka" Atau senjata
mereka" Dan bulu kuduknya merinding memikirkan senjata yang bisa membawa kematian dari
jarak jauh, yang bahkan tidak terdeteksi oleh semua kemampuan Tribe.
Zenko berkata, seolah bisa membaca pikirannya, "Tak ada alasan bagi kita untuk bermusuhan.
Janganlah kita saling mem?bunuh."
"Kurasa kau tengah merencanakan per?sekongkolan menentang Lord Otori," sahut Taku, seraya
menyembunyikan marahnya. "Tak bisa kubayangkan apa alasannya, karena kau telah
bersumpah setia dan berutang nyawa padanya, juga karena tindakan ini akan membahayakan keluargamu
"ibu kita, aku"bahkan kedua putramu. Mengapa Kikuta Akio berada di Hofu dan dalam
perlindunganmu" Perjanjian keji apa yang kau buat dengan orang-orang ini?" Taku memberi isyarat ke arah
tempat percakapan orang asing itu terdengar"seperti pekikan burung, pikirnya kecut.
"Tidak ada kejahatan di dalamnya," sahut Zenko, mengacuhkan pertanyaan tentang Akio. "Aku
melihat kebenaran dalam kepercayaan mereka dan aku memilih untuk mengikuti jalan
mereka. Kebebasan itu diperbolehkan di seluruh Tiga Negara, kurasa."
Taku melihat deretan gigi putih di atas janggut Zenko saat tersenyum. Ia ingin langsung
menyerang, namun menahan diri. "Dan sebagai imbalannya?"
"Aku terkejut kau belum tahu, tapi aku yakin kau bisa menebaknya." Zenko
menatapnya, lalu mendekat dan memegang tangannya. "Taku, kita bersaudara, dan aku
sayang padamu, terlepas dari perbedaan pendapat kita. Mari kita bicara terns terang. Takeo tidak
punya masa depan: mengapa ikut jatuh bersamanya" Bergabunglah denganku: Tribe akan bersatu
kembali: aku pernah bilang kalau aku punya orang dalam di kalangan Kikuta. Bukan rahasia lagi kalau
menurutku alasan Akio sangat masuk akal. Dia akan mengabaikan peranmu dalam kematian
Kotaro: semua orang tahu saat itu kau masih kecil. Akan kupenuhi semua keinginanmu. Takeo yang
menyebabkan kematian ayah kita. Tugas pertama kita adalah balas dendam atas kematian
itu." "Ayah kita memang pantas mati," sahut Taku, seraya menahan kata-katanya. Dan kau juga
pantas mati. "Tidak, Takeo itu penipu, perebut kekuasaan, juga pembunuh. Ayah kita seorang ksatria
sejati." "Kau memandang Takeo seolah kau ber?kaca," sahut Taku. "Kau melihat bayangan dirimu
sendiri. Kaulah si perebut kekuasa?an."
Taku merasa jarinya gatal ingin meraih
pedang, dan tubuhnya terasa perih seakan siap menghilang. Yakin kalau Zenko pasti hendak
membunuhnya saat ini. Taku tergoda untuk menyerang, begitu kuatnya godaan itu hingga ia


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir tak sanggup menahannya, namun ada sesuatu yang mencegahnya: rasa enggan untuk
mencabut nyawa kakaknya, dan teringat kata-kata Takeo: Saudara saling membunuh, sungguh tak
Halaman 620 dari 620 terbayangkan, Kakakmu, seperti layaknya orang lain, termasuk dirimu sendiri, Taku sayang,
harus taat pada hukum. Taku menghirup napas dalam-dalam. "Katakan apa yang kau inginkan dari Lord Otori. Mari kita
rundingkan." "Tak ada yang bisa dirundingkan kecuali dengan kehancuran dan kematiannya," sahut Zenko
marah. "Dalam hal ini, terserah apakah kau memihak atau menentangku."
Taku mundur dengan sikap hati-hati. "Biar kupertimbangkan dulu. Aku akan bicara lagi
denganmu besok. Dan kau juga, pikirkan semua tindakanmu. Apakah keinginan balas dendammu bisa
menjamin tidak akan menyebabkan perang saudara?"
"Baiklah," ujar Zenko. "Oh ya, sebelum kau pergi: aku lupa berikan ini padamu."
Dikeluarkannya wadah bambu dari balik jubah dan menyerahkannya. Taku meng?ambilnya
dengan firasat: dikenalinya benda itu sebagai tempat surat, yang digunakan di Tiga Negara. Bagian
bawahnya direkatkan dengan lilin dan dicap dengan lencana Otori, tapi yang satu ini sudah terbuka.
"Kurasa ini dari Lord Otori," ujar Zenko, lalu tertawa. "Kuharap ini bisa memengaruhi
keputusanmu." Taku berjalan dengan cepat dari taman, berharap setiap waktu mendengar anak panah atau
pisau melesat di udara; ia meninggalkan kediaman tanpa pamitan. Para penjaga menunggu di
gerbang dengan kuda?kuda. Diraihnya tali kekang Ryume lalu bergegas naik.
"Lord Muto," laki-laki di sebelahnya berkata pelan.
"Ada apa?" "Kuda Anda tadi batuk-batuk, seakan sulit bernapas."
"Mungkin karena udara musim semi. Udara terasa sulit dihirup dengan pekatnya serbuk sari."
Disingkirkannya kecemasan laki-laki itu, dikalahkan dengan kecemasan yang lebih besar dalam
dirinya. Di tempat penginapannya, dia meminta agar pelana kuda jangan dibuka, dan menyiapkan dua
kuda betina. Kemudian Taku masuk ke tempat Sada tengah menunggu. Sada masih berpakaian
lengkap. "Kita pergi sekarang," kata Taku padanya.
"Apa yang kau temukan?"
"Zenko bukan hanya membuat
kesepakatan dengan Akio, tapi juga telah bersekutu dengan orang asing. Dia mengaku telah
menerima agama mereka, dan sebagai imbalannya mereka mempersenjatainya."
Diserahkannya wadah surat pada Sada. "Dia mengacaukan surat-surat yang Takeo kirim. Itu sebabnya tidak
ada kabar darinya." Sada mengambil tabung itu lalu mengeluarkan suratnya. Dia membaca dengan cepat tulisan
dalam surat itu. "Takeo memintamu agar segera menemuinya di Inuyama"tapi ini sudah terlambat
selama berminggu-minggu. Tentunya dia sudah berangkat saat ini?"
"Kita harus ke sana malam ini. Bulan purnama cukup terang untuk berkuda. Bila Takeo telah
meninggalkan Inuyama, maka aku harus mengejarnya sampai di perbatasan. Dia harus kembali
dan membawa pasukan kembali dari wilayah Timur. Bangunkan Maya; dia harus ikut. Aku tak ingin dia ditemukan
Akio. Di Inuyama kalian lebih aman."
*** Maya tengah mimpi aneh serba merah di mana kakak laki-lakinya, yang wajahnya kini bisa
dilihat sekilas, muncul dalam berbagai samaran, terkadang ditemani para arwah. Kakaknya itu
tampak kejam, membawa senjata yang menakutkan. Tatapannya mem?buat Maya merasakan
ketakutan yang tak bisa dijelaskan, seolah Hisao tahu semua rahasia dalam dirinya. Kakaknya itu
memiliki Halaman 621 dari 621 semacam jiwa kucing seperti dirinya. Malam ini Hisao membisikkan nama Maya, yang
membuatnya ketakutan; karena tak tahu kalau Hisao mengenalnya; Maya terbangun dan sadar kalau Sada
yang bicara pelan di telinganya.
"Bangunlah, lekas berpakaian. Kita pergi sekarang."
Tanpa bertanya, Maya melakukan seperti yang diminta karena bulan-bulan musim dingin telah
mengajarkannya untuk patuh.
"Kita akan ke Inuyama untuk menemui ayahmu," kata Taku selagi mengayunkan tubuh Maya ke
punggung kuda. "Mengapa kita pergi di malam seperti ini?"
"Aku tidak ingin menunggu sampai pagi."
Selagi kuda-kuda berderap menyusuri jalan menuju jalan besar, Sada bertanya pada Taku,
"Apakah kakakmu membiarkan kau pergi?"
"Itu sebabnya kita pergi sekarang. Dia bisa saja menyerang atau membuntuti. Ber?siagalah
dengan senjata, dan bersiap untuk bertarung. Aku curiga ada jebakan."
Hofu bukanlah kota yang dikelilingi dinding, dan kegiatan perdagangan dan pelabuhan berarti
orang datang dan pergi pada jam berapa saja, mengikuti bulan dan gelombang; di malam seperti
ini, di awal musim semi dengan bulan yang hampir penuh, ada pelancong lain di jalan, dan sekelompok
kecil orang"Taku, Sada, Maya serta empat pengawal"tidak diberhentikan atau ditanyai. Tak lama
setelah matahari terbit, mereka berhenti di sebuah penginapan untuk sarapan dan minum teh.
Segera setelah mereka hanya bertiga di ruang makan kecil, Maya berkata pada Taku,
"Apa yang terjadi?"
"Akan kuceritakan sedikit saja demi keselamatanmu. Pamanmu Arai dan istrinya berkomplot
menentang ayahmu. Kami mengira bisa membendungnya, tapi men?dadak situasinya makin
mengancam. Ayahmu harus segera kembali."
Kelelahan tergambar di wajah Taku, dan suaranya terdengar sangat serius.
"Bagaimana bisa paman dan bibi ber?tindak begitu, saat putra mereka tinggal di rumah kami?"
tanya Maya gusar. "Ibu harus diberitahu. Kedua bocah itu harus mati!"
"Kau kedengaran sangat berbeda dengan ayahmu," kata Sada. "Darimana datangnya
kekejaman itu?" Tapi suaranya terdengar penuh kasih sayang dan kekaguman.
"Ayahmu berharap tak seorang pun harus mati," tutur Taku. "Itu sebabnya kita harus
menyuruhnya kembali. Hanya ayahmu yang memiliki reputasi dan kekuatan untuk mencegah pecahnya
perang." "Lagipula, Hana memang akan ke Hagi hari ini." Sada menarik Maya dan duduk dengan
merangkulnya. "Selama musim panas ini Hana akan bersama ibumu dan adikmu."
"Itu lebih buruk lagi! Ibu harus di
peringatkan. Aku akan ke Hagi dan men?ceritakan pada Ibu tentang niat Hana yang
sebenarnya!" "Tidak, kau harus tetap bersama kami," sahut Taku, merangkul bahu Sada. Mereka duduk diam
selama beberapa saat. Seperti keluarga, pikir Maya. Aku tidak akan melupakan ini: makanan
yang terasa begitu lezat saat aku begitu lapar, harumnya aroma ten, merasakan angin musim semi,
cahaya matahari yang berubah selagi gumpalan besar awan putih berarak. Sada dan Taku bersamaku,
begitu bersemangat, begitu pemberani, merasakan hari-hari yang kami lalui dalam perjalanan, terus
maju. Bahaya... Cuaca hari itu tetap cerah dan segar. Kira?kira tengah hari, angin sepoi-sepoi berhenti
berhembus, awan menghilang ke arah timur laut, langit cerah, biru terang. Peluh membuat kulit kuda
menjadi lebih gelap di bagian leher tubuh mereka selagi meninggal?kan dataran pesisir dan mulai menanjak
ke perbatasan pertama. Hutan kian lebat di sekeliling mereka; sesekali terdengar suara jangkrik
bak Halaman 622 dari 622 petikan alat musik. Maya mulai merasa lelah. Irama berjalan kuda, hangatnya senja
membuatnya mengantuk. Ia mengira tengah bermimpi, dan sekonyong-konyong dilihatnya Hisao; lalu tersadar kaget.
"Ada yang mengikuti kita!"
Taku mengacungkan tangan, dan mereka berhenti. Mereka mendengarnya: derap kaki hewan
dari lereng. "Teruskan perjalanan dengan Maya," ujar Taku pada Sada. "Kami akan menahan mereka.
Jumlah mereka paling banyak dua belas orang. Kami akan segera menyusul."
Taku memberi perintah dengan cepat pada pengawalnya; mereka mengambil busur dari
punggung, membelokkan kuda keluar dari jalan dan menghilang di balik batang-batang pohon bambu.
"Pergilah," perintah Taku pada Sada; dengan enggan melajukan kuda dan Maya mengikuti.
Mereka berkuda dengan cepat selama beberapa saat, tapi seiring dengan kuda-kuda yang mulai lelah,
Sada berhenti lalu menengok ke belakang.
"Maya, apa yang kau dengar?"
Ia seperti mendergar dentingan baja, ringkikan kuda, teriakan dan pekikan pertarungan, dan
satu suara lagi, dingin dan brutal, yang bergenia sampai ke perbatasan, membuat burung-buning
memekik ke takutan lalu terbang. Sada juga men?dengarnya.
"Mereka punya senjata api," serunya. "Tetap di sini"jangan, jalan terus, lalu sembunyi. Aku
harus kembali. Aku tak bisa meninggalkan Taku."
"Aku juga," gumam Maya, membalikkan kuda betina yang ketakutan ke arah mereka datang,
tapi di kejauhan mereka melihat kepulan debu dan mendengar derap kuda, melihat kuda berkulit
abu-abu dan bersurai hitam. "Itu dia datang," teriak Sada lega.
Taku masih memegang pedang, lengannya berlumuran darah"darahnya atau darah orang lain,
mustahil diketahui. Taku meneriakkan sesuatu ketika melihat mereka, tapi Maya tak
memahaminya karena saat mengucapkan kata-kata itu Ryume, kudanya, jatuh; tertahan dengan lututnya,
kemudian terguling. Kejadiannya begitu cepat: Ryume jatuh lalu mati, menghempaskan tubuh Taku ke
jalanan. Secepatnya Sada menderapkan kuda menghampiri. Kuda betina tunggangan Sada mendengus
dan menjadi liar saat melihat kematian Ryume. Taku berusaha bangkit.
Sada menarik tali keitang kudanya agar berhenti di samping Taku. Kemudian dia meraih
tangan Taku yang menggapai lalu mengayunon tubuh Taku di belakangnya.
Dia baik-baik saja, pikir Maya lega. Dia tak bisa melakukan itu bila dia terluka.
Taku tidak terlula parah, meski banyak orang yang mati di jalanan di belakangnya,
pengawalnya dan sebagian besar penyerang?nya. Dia merasakan sayatan yang sangat menyakitkan di wajahnya,
satu sayatan lagi di tangannya yang memegang pedang. Dia menyadari kuatnya punggung Sada saat
memeluknya, kemudian tembakan itu meraung lagi. Dia merasakan tembakan itu mengena
lehernya dan menembusnya; kemudian dia jatuh dan Sada jatuh bersamanya, dan kuda menimpa tubuh
mereka. Dari kejauhan didengarnya Maya berteriak. Pergilah, nak, pergi, Taku ingin
mengucapkannya, tapi tak sempat lagi. Matanya dipenuhi cahaya langit biru yang
menyilaukan: cahaya matahari berputar-putar dan kian redup. Waktunya telah tiba. Dia nyaris tak sempat
berpikir, aku sekarat, aku harus berkonsentrasi pada kematian, sebelum kegelapan membungkam
pikirannya untuk selamanya. Kuda betina milik Sada berusaha bangkit dan berderap kembali ke Maya sambil meringkik
keras. Kedua kuda betina itu mudah gugup, dan sudah berlari kencang, meski kelelahan. Dengan
sifat OtoriHarjono Siswanto Story Collection
Halaman 623 dari 623 nya, Maya memikirkan kedua kuda itu; ia tidak boleh membiarkan keduanya kabur. Ia
membungkuk dan diraihnya tali kekang kuda Sada yang terayun-ayun. Tapi ia tidak tahu apa yang harus
dilakukan selanjutnya. Sekujur tubuhnya gemetar, begitu pula kedua kuda itu; dan tak bisa
memalingkan pandangannya dari tiga mayat yang ter?geletak di jalan. Si kuda, Ryume, agak lebih jauh
darinya, kemudian Sada dan Taku mati dalam keadaan berangkulan.
Maya menggerakkan kudanya meng?hampiri mereka, turun lalu berlutut di sampingnya,
menyentuh dan memanggil?manggil nama mereka.
Bola mata Sada berdenyut: dia masih hidup.
Luapan kepedihan di hatinya membuat Maya hampir tercekik tak bisa bernapas. Ia harus
membuka mulut lalu menjerit, "Sada!" Seolah menjawab jeritannya, tiba-tiba
muncul dua orang tepat di belakang Ryume. Maya tahu kalau ia harus menggunakan
kemampuan menghilang atau bentuk kucing lalu lari ke dalam hutan: ia berasal dari Tribe; seharusnya bisa
mengelabui siapa Saja. Tapi badannya terasa lumpuh karena terguncang dan sedih, ditambah
lagi, ia tak ingin hidip di dunia yang kejam ini, dunia yang mem?biarkan Taku mati di bawah langit
biru dan matahari yang cerah. Maya berdiri di antara kedua kuda betina, memegangi tali kekang keduanya. Kedua laki-laki
itu datang menghampiri. Maya hampir tidak bisa melihat mereka di malam sebelumnya, di bawah
remangnya penerangan di penginapan, tapi ia segera mengenalinya. Kedua orang memegang senjata, Akio
membawa pedang dan pisau, Hisao memegang senjata api. Mereka berasal dari Tribe: mereka
takkan membiarkannya hidup hanya karena ia masih kecil. Setidaknya aku harus bertarung,
pikirnya, tapi bodohnya, ia tak ingin melepaskan kedua kuda betina itu.
Bocah itu menatapnya, mengacungkan senjata api ke arahnya, sementara laki-laki yang satu
lagi membalik kedua mayat. Sada
mergerang pelan. Akio berlutut, mengambil pisau dengan tangan kanan lalu menggorok leher
Sada dengan cepat. Ia meludahi wajah Taku yang damai.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kematian Kotaro hampir terbalas," ujarnya. "Kedua Muto ini sudah membayar?nya. Kini
tinggal Si Anjing." Bocah itu berkata, "Tapi ini siapa. Ayah?" Suaranya terdengar kebingungan, seolah pernah
mengenal gadis itu. "Bocah pengurus kuda?" sahut laki-laki itu. "Sial sekali nasibnya!"
Akio berjalan menghampirinya dan Maya mencoba menatap matanya, tapi laki-laki itu tak
berbalik menatapnya. Ketakutan yang amat sangat mencekam Maya. Ia tak boleh membiarkan laki-laki
itu menangkapnya. Ia hanya ingin mati. Dijatuhkannya tali kekang kedua kuda, dan karena
terkejut, kedua kuda itu bergerak mundur. Maya menarik pisau dari sabuknya lalu menaikkan tangannya
untuk menancapkan pisau itu di lehernya.
Akio bergerak lebih cepat dari gerakan manusia mana pun yang pernah Maya lihat, bahkan
lebih cepat dibanding malam sebelumnya, lalu mencengkeram pergelangan tangan Maya. Pisaunya
terjatuh seolah Akio membelokkannya. "Tapi bocah pengurus kuda macam apa yang berusaha menggorok lehernya sendiri?" tanyanya
dengan sinis. "Seperti seorang ksatria perempuan?"
Memegang Maya dengan tangannya yang sekuat baja, Akio lalu menarik pakaiannya dan
menyelusupkan tangan satunya ke selangkangan Maya. Gadis itu menjerit dan meronta-ronta
sewaktu Akio berusaha membuka telapak tangannya. Akio ter?senyum ketika dilihatnya garis
lurus melintang di telapak tangan gadis itu.
"Jadi!" serunya. "Sekarang kita tahu siapa yang memata-matai kita semalam."
Halaman 624 dari 624 Maya mengira hidupnya sudah berakhir. Tapi laki-laki itu melanjutkan, "Ini putri si Anjing,
salah satu dari si kembar: dia ada tanda Kikuta. Gadis ini akan berguna. Jadi kita biarkan dia hidup
untuk saat ini." Didekatinya Maya. "Kau kenal siapa aku?" Maya tak mau menjawab.
"Aku Kikuta Akio, ketua keluargamu. Ini putraku, Hisao."
Maya sudah mengenalnya, karena wajah?nya sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya.
"Benar aku Otori Maya," sahutnya. "Ada lagi, aku adalah adikmu...."
Maya ingin mengatakan lebih banyak lagi, tapi Akio memindahkan cengkeramannya ke leher,
meraba bagian urat nadi, lalu menekan hingga Maya tak sadarkan diri.*
Shigeko sering berlayar antara Hagi dan Hofu, tapi belum pernah berlayar lebih ke timur, di
sepanjang pantai yang dilindungi Laut Kitaran sampai Akashi. Cuaca cerah, udara terasa sangat segar,
angin laut ber?hembus lembut dari selatan namun cukup kencang untuk memenuhi layar dan
mem?buat kapal meluncur cepat. Dari berbagai arah, pulau-pulau kecil bermunculan dari permukaan
laut, lerenglerengnya kehijauan tua dengan pepohonan cedar, buih gelombang menghiasi pantainya. Dilihatnya
gerbang biara merah tua berkilauan di bawah sinar matahari musim semi, kuil-kuil
ber?atapkan pohon runjung, dinding putih yang mencuat dari kastil ksatria.
Tidak seperti Maya, Shigeko tidak pernah mabuk laut, bahkan dalam perjalanan yang paling
sulit antara Hagi dan Maruyama, ketika angin dari timur laut berpacu me?lintasi laut keabu-abuan.
Berlayar membuat Shigeko gembira, bau air laut, tali temali dan
tiang kapal, bunyi kele-pak layar, kecipak air laut dan keriat-keriut kayu, nyanyian lambung
kapal saat membelah lautan. Muatan kapal dipenuhi berbagai macam hadiah, termasuk pelana dan sanggurdi ber?hias
indah untuk Shigeko dan Hiroshi, serta jubah resmi yang kesemuanya baru dibordir, dicelup dan dilukis
oleh perajin paling andal dari Hagi dan Maruyama. Tapi hadiah yang terpenting berdiri di atas dek;
di bawah naungan jerami: kuda-kuda yang dibiakkan di Maruyama, masing-masing diikat dengan
dua utas tali di kepala dan ikat pinggang di bawah perut; serta kirin, diikat dengan tali dari sutra
merah. Shigeko menghabiskan banyak waktu dalam sehari di samping hewan-hewan itu. Ia bangga
akan kesehatan dan ketampanan mereka karena ia sendiri yang membesarkan hewan-hewan itu:
dua kuda berkulit belang, satu berwarna terang, dan satu lagi berwarna merah bata. Semua hewan itu
kelihatan senang ditemani gadis itu, dan mengikuti dengan pandangan mata saat Shigeko berjalan di
sekitar dek. Tak ada rasa sesal akan berpisah karena mereka akan diperlakukan dengan baik. Mungkin
hewan?hewan itu takkan melupakannya namun juga
takkan merindukan dirinya. Shigeko hanya mencemaskan kirin yang tidak memiliki
pembawaan santai layaknya kuda. "Aku khawatir kirin akan ketakutan ketika berpisah dari kita, dan semua
kawannya," katanya pada Hiroshi saat senja di hari ketiga perjalanan mereka dari Hofu. "Lihat, dia terus
berpaling ke arah rumah. Seperti merindukan seseorang: Tenba, barangkali."
"Sedan tadi kuperhatikan dia berusaha mendekatimu, saat kau di dekatnya," sahut Hiroshi.
Tentunya dia akan merindukanmu. Aku terkejut kau bisa berpisah dengannya."
"Aku hanya menyalahkan diriku! Aku yang menyarankannya. Kirin adalah hadiah yang
sempurna: bahkan sang Kaisar pun pasti kagum dan tersanjung dengan hadiah ini. Tapi aku berharap
hewan itu terbuat dari gading atau logam berharga, tanpa perasaan, dan aku takkan merasa khawatir
memikir?kannya akan kesepian."
Halaman 625 dari 625 Hiroshi menatapnya lekat-lekat. "Lagipula, dia hanya seekor hewan. Mungkin tidak
semenderita seperti yang kau bayangkan. Dia akan dirawat dengan baik, diberi cukup makan."
Pedang Sinar Emas 3 Lupus Rumpi Kala Hujan Mata Air Dibayangan Bukit 6
^