Cowok Misterius 1
Fear Street - Cowok Misterius The Knife Bagian 1
PROLOG Dalam kepanikan Laurie menahan napas dan melewati tanda
peringatan kuning-hitam bertulisan BAHAYA! DILARANG
MASUK! Didorongnya pintu itu hingga terbuka.
Seharusnya ia tidak masuk ke sini. Ia sendiri tak mau ada di
sini. Tapi di mana lagi ia bisa bersembunyi"
Sinar lampu di situ tidak terlalu terang, bayang-bayang gelap
dan menakutkan memenuhi paviliun baru rumah sakit yang kosong.
Semua pekerja bangunan sudah pulang, dan Laurie sendirian, berjalan
tersandung-sandung di antara puing-puing bangunan.
Mungkin ia tidak melihatku.
Mungkin ia tidak mengikutiku.
Mungkin aku sudah aman sekarang!
Rambut panjangnya yang berwarna pirang kecokelatan, dan
biasanya selalu rapi, kini menjuntai dari jepitannya dan tergerai kusut
di bahunya. Wajahnya yang cantik, biasanya selalu tenang, kini
diliputi ketakutan. Dengan susah payah ia bergerak masuk ke bangunan baru itu.
Kabel-kabel meliuk-liuk di sepanjang lantai dan menjuntai dari langitlangit. Belitan kabel menonjol keluar dari lubang-lubang di dinding,
menjulur seakan ingin meraihnya.
Tiba-tiba tampak seberkas cahaya ketika pintu terbuka.
Ya ampun, aku terjebak! Laurie berusaha tidak bersuara sedikit pun. Ia merapatkan
tubuhnya pada dinding di ujung ruangan besar itu. Seutas kabel
tersangkut di lengan bajunya. Ia memekik pelan sambil berputar untuk
membebaskan diri. Lalu terdengar suara yang sudah dikenalnya, "Laurie" Aku tahu
kau di sini. Kau tak bisa sembunyi dariku."
Perasaan takut kembali mencekam dirinya. Air mata mulai
membasahi matanya. "Keluarlah, Laurie," suara itu membujuk. "Aku cuma ingin
bicara denganmu. Izinkan aku memberi penjelasan."
Sambil berjalan selangkah demi selangkah, Laurie merasakan
aliran darahnya semakin cepat, mengganjal kerongkongannya. Ia tak
bisa melihat laki-laki itu, namun dapat merasakan kehadirannya yang
menakutkan. "Aku takkan melukaimu," suara itu berkata pelan.
Apakah ia juga bilang begitu pada perawat itu, sesaat sebelum
menikamnya" Sekujur tubuh Laurie gemetar.
Mendadak, dalam satu gerakan cepat, laki-laki itu telah berdiri
di depannya. Kedua tangannya mencengkeram bahu Laurie, lalu
dengan kasar menariknya. Laurie mencoba menjerit, tapi laki-laki itu membekap
mulutnya. Laurie merasakan napasnya yang panas menerpa pipinya.
Satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah, Di mana pisau
itu" BAB 1 SEMINGGU SEBELUMNYA "HEI , Laurie! Tunggu!"
Laurie Masters, yang baru setengah jalan menyusuri koridor itu,
berpaling dan melihat segerumbul besar balon berwarna perak
melayang ke arahnya. Di bawah gerumbulan itu muncul seorang gadis
bertubuh kecil mungil dan berambut gelap, memegang tali balonbalon itu erat-erat, seakan gas di dalamnya dapat mengangkatnya
hingga ke langit-langit. Skye Keely, sahabat akrab Laurie, berjalan
cepat, napasnya terengah-engah.
"Pestanya di mana?" tanya Laurie.
"Ini untuk anak di Kamar 901," jawab Skye. "Dia sudah punya
begitu banyak mainan dan bunga, sehingga tak ada lagi tempat tersisa
untuknya. Mau apa kau di Bagian Anak?"
"Aku baru saja ditugaskan di sini tadi pagi," ujar Laurie.
"Hitung-hitung ganti suasana dari Bagian Ortopedi. Mengherankan
sekali di sana, ada-ada saja yang dialami orang-orang itu sehingga
mengalami patah tulang!"
Skye memutar bola matanya. "Aku percaya," ia menanggapi
dengan nada tak acuh. "Ayolah," kata Laurie. "Aku harus menyerahkan foto sinar-X
ini ke Kantor Perawat."
Mereka menuruni tangga di koridor yang tidak terlalu terang itu
dan Laurie menyerahkan foto sinar-X-nya. Keduanya mengenakan
tunik dari kain belacu cokelat, pakaian untuk semua pelajar yang
menjadi sukarelawan di Shadyside Hospital. Tetapi pada tubuh Laurie
yang ramping, tunik itu tidak tampak jelek.
"Kita ketemu di kafeteria untuk makan siang?" tanya Skye.
"Tentu. Mungkin hari ini kau akan bertemu mahasiswa
kedokteran ganteng yang mati-matian ingin kautemui. Setelah itu kau
bisa pensiun selama sisa musim panas dan konsentrasi pada kehidupan
sosialmu." "Yang benar saja! Dengan pakaian begini?" Skye berhenti
berjalan dan menarik tuniknya dengan sebelah tangan. Wajahnya
tampak muak. "Aku tak habis pikir bagaimana kau bisa tampak begitu
serasi memakainya. Ini tidak adil!" Skye menggoyangkan rambut
hitamnya yang ikal dengan perasaan iri dan putus asa. "Tapi pokoknya
aku takkan berhenti sekarang. Ini bukan pekerjaan musim panas
paling buruk yang pernah kudapat. Aku sudah tidak kesal lagi
padamu, kok, karena membujukku untuk mencobanya."
Seorang perawat dengan seragam dan topi putih berkanji
bergegas berjalan di koridor, membawa nampan berisi obat-obatan. Ia
menatap tajam pada Laurie dan Skye ketika berpapasan dengan
mereka. "Ayo, ayo, lanjutkan tugas kalian. Jangan cuma berdiri di
sini, mengobrol sepanjang hari." Lalu ia pergi, diiringi roknya yang
berdesir dan sepatu bersol karetnya yang berdecit.
"Uh-oh!" kata Skye. "Itu Suster Wilton, Edith Wilton. Jangan
dekat-dekat dengannya. Kata orang, sebetulnya dia pernah tersenyum,
tapi itu mungkin sebelum kau dan aku lahir. Nah, ini Kamar 901.
Sampai jumpa saat makan siang."
Skye mendorong pintu kamar pasien hingga terbuka dan
"menggembalakan" gerumbulan balonnya ke dalam kamar.
Laurie terus menyusuri koridor.
Suara pembangunan gedung terdengar semakin keras sementara
ia mendekati bangunan paviliun yang akan segera menjadi bagian
gedung rumah sakit. Di luar pintu tebal, yang menutup bangunan baru
itu serta meredam hiruk-pikuk pembangunan, Laurie melihat tanda
peringatan berwarna cerah: BAHAYA! JANGAN MENDEKAT!
Di balik pintu itu, Paviliun Franklin Fear sedang dibangun
dengan biaya sepuluh juta dolar yang baru-baru ini disumbangkan
Franklin untuk Shadyside Hospital. Sebagai salah satu keturunan
keluarga Fear, Franklin memiliki kecenderungan yang sama seperti
leluhurnya Simon Fear"ia senang namanya diabadikan pada berbagai
hal. Paviliun Fear. Bukan nama yang bagus untuk bangunan sayap
sebuah rumah sakit, pikir Laurie dengan merinding.
Ia berhenti sejenak, mendengarkan suara para pekerja bangunan
memartil, memaku, dan menggergaji di dalam. Ketika keriuhan itu
reda sejenak, ia mendengar suara yang sangat berbeda: sedu sedan
seorang anak. Ia melihat berkeliling. Isak pelan itu datang dari Kamar 903,
tepat di seberang koridor. Laurie mendekati pintu dan mendengarkan
tangis pelan mengibakan yang kedengaran letih itu, seolah anak itu
telah lama menangis. Pelan-pelan ia mengetuk pintu Kamar 903 dan berjingkat
masuk. Seorang anak laki-laki berbaring di tempat tidur tinggi berwarna
putih. Kepalanya membelakangi pintu.
"Halo," sapa Laurie.
Anak itu tidak menoleh. Ia terus menangis. Tangisannya lebih
pelan sekarang, suaranya serak.
Laurie menatap ke sekeliling kamar. Tidak tampak bungabunga, mainan, atau kartu. Tak ada apa pun yang bisa
menggembirakan seorang anak kecil yang sedang sakit dan ketakutan.
"Aku datang mengunjungimu," kata Laurie.
Tangisan anak itu berhenti. Ia terisak pelan, tapi tetap tidak
menoleh. Ia memandang ke jendela di seberang pintu, tidak
memedulikan Laurie. Laurie melangkah menuju ujung tempat tidur untuk membaca
papan data yang tergantung di sana: "Toby Deane... tiga tahun...
pneumonia." Suhu tubuhnya sudah normal beberapa hari ini, jadi ia
akan segera pulang. Kenapa ia begitu sedih"
Laurie menghampiri anak itu.
"Hai, Toby. Namaku Laurie. Aku bekerja di sini." Wajah anak
itu mungil dan pucat. Rambutnya yang pirang-pasir tampak kusut di
atas bantal, dan hidungnya berbintik-bintik. "Aku sukarelawan," lanjut
Laurie dengan suara pelan. "Aku biasa disuruh-suruh, misalnya,
mengantarkan sesuatu, dan kadang-kadang aku mengunjungi pasien
yang sedih dan kesepian karena jauh dari rumah. Itukah yang
kaurasakan?" Toby tersedak satu kali dan tersedu-sedu. Laurie menarik tisu
dari kotak di meja samping tempat tidur, lalu mengusap pipi Toby
yang basah. Ia tersedu lagi dan berpaling. Laurie meraih tangannya
yang mungil. "Aku mengerti. Aku juga menangis bila harus tinggal di sini.
Tapi kau hampir sembuh. Aku yakin kau akan segera pulang."
Anak itu terisak pelan, dan memejamkan matanya rapat-rapat.
"Kau tak mau bicara" Baiklah. Aku akan menemanimu
sebentar." Diusapnya tangan anak itu, berusaha menenangkannya.
"Kau mau kubacakan cerita" Aku bisa pergi mengambil buku dan
membacakan kisah yang bagus untukmu. Kau mau?"
Pintu tiba-tiba terbuka, dan Suster Wilton menghambur masuk.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya.
"Saya... saya cuma bicara pada Toby, untuk membuatnya
gembira," jawab Laurie.
"Jangan buang waktu," kata Suster Wilton kasar. "Dia takkan
bicara padamu. Dia takkan bicara pada siapa pun. Kau cuma
mengganggu saja. Pergilah."
Laurie kaget mendengar nada kasar perawat itu. Tapi ia
mengingatkan dirinya sendiri bahwa kebanyakan perawat bekerja
melampaui batas dan bisa gampang naik darah. Salah satu kawannya
di Shadyside High, Mayra Barnes, pernah mengatakan bahwa ibunya
yang perawat selalu kecapekan dan cepat tersinggung.
Sementara melangkah meninggalkan kamar, Laurie melirik
sekali lagi pada Toby. Anak itu mengamatinya sekarang, matanya
yang berlinang menatapnya dari balik punggung lebar Suster Wilton.
Laurie tersentak. Ia yakin bahwa, diam-diam, anak itu
memohon padanya. BAB 2 "DAGING apa nih" Kok warnanya biru begini?" tanya Skye
sambil meletakkan nampannya di seberang Laurie.
"Daging rebus hari ini," jawab Laurie. "Kenapa tidak ambil
salad saja?" "Huh, terlalu sehat. Lagi pula tadi tidak kelihatan biru, sebelum
aku membawanya ke tempat terang. Idih!" Skye duduk dan menatap
piringnya. Di sekitar mereka, hiruk-pikuk kafeteria itu memekakkan
telinga. Para dokter dan teknisi berjas lab putih berimpitan dan
berdesakan duduk di meja-meja panjang. Tim ahli bedah memakai
topi kain hijau, sepatu lunak, dan penutup baju bergerombol mencari
tempat. Para keluarga pasien yang letih, duduk diam memisahkan diri
sementara para pekerja rumah sakit ramai berseliweran membawa
nampan di sekitar mereka.
"Apa aku bisa pinjam dua balon yang kaubawa tadi pagi?"
Laurie terpaksa setengah berteriak sementara ia mencondongkan
tubuh ke seberang meja, dan menceritakan tentang Toby Deane pada
Skye. "Siapa tahu balon-balon itu bisa bikin dia ceria, itu pun kalau
anak di Kamar 901 tidak keberatan lho."
"Dia bahkan takkan peduli," sahut Skye. "Buka saja pintunya,
semua mainannya langsung jatuh ke luar saking banyaknya. Akan
kuambilkan balon-balon itu siang ini."
Seorang perawat mencondongkan tubuh di atas bahu Skye
untuk meraih bungkusan gula di tengah meja, stetoskopnya berjuntai
di atas piring Skye. Skye menyingkirkan dagingnya dan mencomot
keripik kentang dari piring salad Laurie. "Sudah berapa kupon undian
yang kaubeli?" tanyanya sambil mengunyah dan mencomot keripik
lagi. "Cuma satu," jawab Laurie. Disingkirkannya piringnya. "Aku
masih jual kupon undian lho, kalau kau masih mau lagi."
"Ah, aku sudah punya kupon yang akan menang. Aku yakin.
Begitu menang, aku akan membeli gaun merah baru, supaya cocok
dengan mobilnya." Ratusan penduduk Shadyside bersaing untuk memenangkan
mobil sport Mercedez-Benz merah yang dipajang di lobi rumah sakit.
Itu hadiah undian yang diadakan untuk mengumpulkan dana bagi
pembangunan Paviliun Franklin Fear. Laurie sudah menjual empat
buku kupon undian kepada tetangga-tetangganya dan penduduk kota
yang kena rayuan mautnya, meskipun mereka sudah membeli
sekantong penuh. "Jangan buang dulu Toyota tuamu. Tunggu sampai mereka
memberimu kunci," Laurie memperingatkan. "Apa acaramu malam
Minggu ini" Kau punya kencan?"
"Tentu dong! Bahkan ada dua. Jim Farrow dan Eric Porter."
"Ya ampun, lagi-lagi dua!" seru Laurie. "Keterlaluan." Ia tidak
setuju kebiasaan Skye membuat janji kencan dengan dua cowok pada
malam yang sama, setelah itu baru memutuskan kencan mana yang
dibatalkan. "Aku tahu." Skye angkat bahu. "Aku bersedia menukar mereka
berdua dengan Andy Price, kapan saja kau sudah bosan dengannya."
Laurie mendesah. "Kalau sekarang, bagaimana" Aku akan
bertemu dengannya malam Minggu. Seandainya aku tahu cara
memutuskan hubungan dengannya."
Skye menyesap Coke-nya dan mengangguk. "Yeah, jelas aku
tahu kenapa kau ingin putus darinya. Dia terlalu ganteng, dan terlalu
menyenangkan, dan ayahnya cuma Dr. Raymond Price, tokoh paling
beken di Shadyside."
"Dr. Price ayah tirinya," Laurie mengingatkan.
"Oh, sudahlah! Dia juga direktur rumah sakit, jadi sebaiknya
kau tidak main-main dengan Andy selama kau bekerja di sini.
Memangnya apa sih kejelekan Andy?"
"Dia tidak punya cita-cita, kayak orang tolol saja," sahut Laurie
sambil menusukkan garpu ke saladnya.
"Tidak semua orang ingin jadi dokter seperti kau." Skye sangat
mengagumi Laurie, tapi kadang-kadang menurutnya Laurie perlu
santai sedikit. "Menurutku Andy tidak serius pada apa pun," ujar Laurie. Ia
mengunyah sambil merenung.
"Dia serius padamu, lho."
"Itulah sebagian masalahnya. Dia terlalu lengket. Aku tidak
senang dia berusaha membuntuti ke mana pun aku pergi. Aku kan
punya banyak minat, dan kadang-kadang aku ingin kumpul-kumpul
dengan cowok-cowok lain."
Perawat yang duduk di sebelah Skye mengumpulkan piringpiring kotornya, lalu bangkit meninggalkan meja. Skye sedang
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencomot lagi keripik kentang Laurie ketika tiba-tiba ia terpaku
dengan tangan menggantung di udara. Ia duduk tegak di kursinya.
"Oh, wow! Ngomong-ngomong soal cowok lain, coba lihat
siapa yang baru saja masuk."
"Siapa?" Laurie tidak mau menoleh.
"Astaga, itu Tom Cruise!" bisik Skye dengan kegembiraan
meluap. "Eh, bukan deh! Tidak mungkin ah!"
Laurie terpaksa menoleh. "Kau benar. Memang bukan dan tidak
mungkin Tom Cruise. Tom Cruise sudah lebih tua, dan rambutnya
juga tidak merah." "Itu bukan merah."
"Ya sudah, kemerah-merahan deh. Skye, jangan terus-terusan
menatapnya dong!" seru Laurie. "Mungkin dia memang tidak setua
Tom Cruise, tapi yang pasti dia terlalu tua buatmu. Taruhan, dia pasti
sudah kuliah. Dia takkan berminat pada kita."
"Oh oh, dia menuju kemari!" ujar Skye dengan napas tertahan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanya sebuah suara yang dalam dan
menyenangkan. Skye tersenyum. Dari dekat, cowok ini memang betul-betul
seganteng Tom Cruise. Tubuhnya tinggi, matanya biru gelap, dan
tubuhnya yang berbalut T-shirt ketat memperlihatkan ia mungkin
seorang atlet atau cowok yang gemar fitness. T-shirt-nya lucu,
berwarna putih dengan huruf hitam besar bertulisan "Salah jalan. Ayo
balik lagi." Di bahunya ia menyandang tunik cokelat yang
menandakan dirinya sesama sukarelawan.
"Boleh saja," sahut Skye sambil menggeser duduknya, memberi
tempat. "Kami memang menyediakannya untuk sukarelawan mana
pun yang mau ikut dengan kami dalam aksi mengambil alih rumah
sakit." "Aku ikut," ujar cowok itu sambil tertawa. Ia meletakkan
hamburger dan kopinya di meja. Ia bicara pada Skye, tapi matanya
menatap Laurie. Cowok kece itu duduk dan mencondongkan tubuh supaya lebih
dekat dengannya. "Aku Rick Spencer, veteran tiga hari di Bagian
Bedah." "Aku Laurie Masters, bertugas di Bagian Anak minggu ini."
Laurie mengejapkan mata birunya dan menyadari dirinya tiba-tiba saja
merasa hangat. Sumber kehangatan itu tentu saja Rick Spencer dan
senyumnya yang menawan. "Aku juga," Skye menimpali. "Lantai sembilan"Anak-anak
dan Konstruksi. Aku Skye Keely. Hei, aku suka banget T-shirt-mu!"
Rick berpaling pada Skye. "Benar nih" Aku punya koleksi Tshirt paling banyak di dunia. Cuma inilah yang bisa membuatku
terkenal." Ia menggigit burgernya dan kembali berpaling pada Laurie.
"Kau suka kerja di sini?"
"Asyik sekali!" sahut Laurie, menanggapi perhatian Rick.
"Bekerja di rumah sakit, memang inilah yang kuinginkan selama
hidupku. Bibiku memperingatkan, aku mungkin akan merasa bosan,
tapi nyatanya aku menikmati setiap menit di sini!"
"Laurie akan menjadi dokter," komentar Skye. "Kalau kami
berhasil lulus dari Shadyside High."
"Betulkah?" Tatapannya terpaku pada Laurie sementara ia
menyesap kopinya. "Aku akan masuk tahun kedua di Southbank
College, dan aku sedang pikir-pikir untuk masuk ke sekolah
kedokteran." "Dan aku akan bergabung dengan rombongan sirkus, beraksi di
atas kawat," gumam Skye pada dirinya sendiri. Ia sadar dirinya tidak
diacuhkan, dan ia tidak senang.
"Kupikir lebih baik aku punya pengalaman kerja dulu di rumah
sakit sebelum aku membuat rencana apa pun," Rick menjelaskan pada
Laurie. "Kenapa bibimu mengira kau akan bosan" Apa dia dokter di
sini?" "Bukan," jawab Laurie. "Bibiku konsultan keuangan. Dia
membesarkan aku setelah orangtuaku meninggal, dan dia selalu
mengkhawatirkan diriku."
Mengatasi suara bising kafeteria yang penuh sesak, tiba-tiba
pengumuman penting meraung melalui interkom di dinding, "Code
Blue, Kamar 903. Regu darurat harap ke Kamar 903." Beberapa
dokter melompat dan berlari ke luar.
"Oh-oh," kata Skye. "Code Blue. Ada keadaan darurat."
"Apa?" tanya Rick.
Laurie menjelaskan. "Code Blue berarti ada pasien yang
mengalami gangguan fungsi jantung, misalnya jantungnya berhenti
berdenyut, atau keadaan gawat lainnya. Ada tim medis khusus yang
bertanggung jawab. Mereka bisa menyelamatkan hidup si pasien bila
mereka tiba secepatnya. Kaulihat tadi, beberapa dokter langsung lari
ke luar." "Agaknya banyak hal yang harus kupelajari. Aku tidak
mendengar atau melihat apa pun." Ekspresi wajahnya menyiratkan
Rick tidak mendengar atau melihat apa pun. Cuma Laurie yang ada
dalam benaknya saat itu. Pengumuman itu diulang lagi, "Code Blue, Kamar 903!"
"Kau akan terbiasa...," kata Laurie pada Rick. Mulutnya
ternganga karena kaget. Kamar 903 adalah kamar si kecil Toby
Deane. Tim medis darurat dipanggil ke kamar anak itu.
Laurie mendorong kursinya ke belakang dan berlari
meninggalkan kafeteria. BAB 3 "DI mana apinya?" Suster Jenny Girard berpaling dari kertaskertas yang sedang diperiksanya ketika Laurie melesat melewati
Kantor Perawat di lantai sembilan. Laurie tidak berhenti untuk
menjawab pertanyaannya. Ia berlari sepanjang koridor, dalam hati
bertanya-tanya mengapa segalanya begitu tenang dalam suasana
darurat ini. Pintu Kamar 903 tertutup, tapi Laurie bisa mendengar tangis
ketakutan Toby di dalam. Ia mendorong pintu hingga terbuka dan
terpaku kaget. Suster Wilton membungkuk di atas tempat tidur Toby.
Anak itu memukul dan menjerit-jerit, berupaya menyingkirkan
perawat itu. Suster Wilton berpaling pada Laurie. "Lagi-lagi kau?" Ia
menegakkan tubuh, dan Laurie dapat melihat jarum suntik di
tangannya. "Siapa namamu?" ia bertanya.
Laurie menjawab pertanyaannya. Bicaranya agak tersendat.
"Aku sudah menyuruhmu pergi!" Suster Wilton menyambar
lengan Toby ketika anak itu mencoba lari.
"Saya... saya mendengar panggilan darurat dari Kamar 903,"
Laurie menjelaskan. "Itu dari Kamar 503"bukan di Bagian Anak," bentak Suster
Wilton. "Aku sedang berusaha mengambil darah anak ini, dan kau
malah membuatnya jadi lebih sulit."
Toby menatap Laurie dengan terengah-engah di antara
tangisnya. "Mungkin saya bisa membantu. Seandainya saya bicara
padanya, memegang tangannya, dia mungkin mau disuntik," Laurie
memohon. "Pokoknya keluar... sekarang juga," geram Suster Wilton.
"Kalian, para sukarelawan, lebih banyak menyusahkan daripada
membantu!" Sadar dirinya kalah, Laurie melemparkan senyum
menyemangati pada Toby, lalu berpaling dan pergi. Ketika ia
menyusuri koridor, pikirannya begitu bingung, sehingga ia hampir
menabrak kereta dorong berisi peralatan makan siang di sudut.
Ia melangkah menuju Kantor Perawat. Mungkin Suster Jenny
Girard bisa memberinya petunjuk tentang bagaimana ia bisa menolong
Toby tanpa melibatkan Suster Wilton.
Di ruangan itu, Suster Girard sedang memberi penjelasan pada
seorang wanita yang gelisah. "Maafkan saya, Mrs. Deane. Saya
mengerti Anda ingin sekali membawa pulang anak Anda, tapi para
dokter tak dapat melepaskannya sebelum mereka yakin dia sudah
sehat betul." Wanita bertubuh besar dan mengenakan gaun longgar itu adalah
ibu Toby. Tangannya mencengkeram dompetnya begitu erat, sehingga
Laurie dapat melihat ruas-ruas jarinya memutih. "Anda tak usah
kecewa," pinta Suster Girard. "Tidak akan lama. Dia baik-baik saja.
Malah mungkin dia bisa pulang besok."
Laurie ingin bicara dengan Mrs. Deane, tapi ia khawatir akan
membuatnya lebih sedih. Ia mengamati wanita itu masuk ke dalam
lift, kemudian ia kembali ke Kantor Perawat. Suster Wilton tampak
sedang menyusuri koridor, ke arah berlawanan.
Inilah kesempatan baginya! Dengan langkah cepat ia menyusup
ke dalam kamar Toby Deane.
Anak itu sudah tenang sekarang, matanya menatap ke luar
jendela. "Halo, Toby. Ini aku, Laurie. Aku tahu kau sedih, tapi aku baru
saja mendengar berita baik."
Toby tidak bergerak. "Betul, lho! Suster bilang, kau bisa segera pulang. Asyik, kan?"
Toby berpaling. Noda air mata memenuhi wajahnya.
"Mungkin malah kau sudah bisa pulang besok."
Sejentik harapan menyala pada wajah mungil di atas bantal itu.
"Ibumu akan datang menjemput."
Toby membuang muka tanpa berkata sepatah pun dan
memejamkan mata. Laurie menghampiri tempat tidur, lalu memegang
tangannya yang halus. Napasnya mulai teratur. Sesaat sebelum ia
terlelap, Laurie merasa tangan Toby yang mungil meremas jemarinya.
Laurie berjingkat keluar.
Di seberang koridor, tanda-tanda peringatan di depan Paviliun
Fear"paviliun baru"terasa menyakitkan matanya: BAHAYA!
DILARANG MASUK! Ia merinding. Laurie tak mengerti, mengapa
tanda-tanda itu membuatnya begitu ketakutan"
Lalu dilihatnya pintu paviliun baru itu tertutup, pelan-pelan.
Mengapa ada orang di dalamnya pada saat seperti ini" Semua pekerja
bangunan sedang pergi makan siang. Perasaan Laurie mengatakan ada
orang yang bersembunyi di sana, mungkin tengah mengamati kamar
Toby"atau mengamati dirinya.
Ia menyusuri koridor, bulu kuduknya meremang. Tanpa dapat
menahan diri, ia melirik lagi pintu paviliun itu. Matanya menangkap
sesosok tubuh laki-laki, yang segera menyelinap kembali ke balik
pintu begitu melihatnya. Memang cuma sekilas, tapi Laurie sempat melihat tunik cokelat
yang melapisi T-shirt berwarna hitam-putih.
Laki-laki itu Rick Spencer, sukarelawan baru yang ditemui
Laurie dan Skye di kafeteria.
BAB 4 JALANAN di luar gelap. Sambil meringkuk di sofa, Laurie
membalik halaman buku yang tengah dibacanya. Ia memeriksa
arlojinya lagi. Sudah lewat pukul sepuluh malam. Bibinya, Hillary,
belum pulang juga. Ia pasti kerja lembur.
Laurie meringkuk semakin dalam di sofa yang ada di ruang
perpustakaan yang besar dan nyaman itu. Ia berharap Bibi Hillary
akan segera pulang. Rumah tua mereka yang besar di North Hills itu
kadang-kadang terasa sepi.
Meskipun demikian, ia amat bangga pada bibinya. Hillary
Benedict adalah salah satu auditor keuangan paling sukses di kota ini.
Pekerjaannya sebagai konsultan berbagai bank dan lembaga besar
lainnya sering kali membuatnya harus bekerja sampai malam atau
pergi ke luar kota selama beberapa hari.
Laurie menatap kegelapan malam di luar jendela dan
membiarkan pikirannya mengembara. Ia tak ingat ia pernah tinggal di
tempat lain. Seingatnya seumur hidup ia tinggal di sini, bersama
bibinya. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan sewaktu berlayar,
ketika Laurie masih sangat kecil. Sejak saat itu, Hillary"adik
ibunya"menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki. Penampilan
mereka berdua mirip satu sama lain, sehingga banyak orang mengira
mereka sebagai ibu dan anak.
Dalam banyak hal, menurut Laurie ia beruntung. Kawankawannya selalu mengeluh tentang bagaimana orangtua mereka
berusaha mengawasi tingkah laku mereka. Hillary memberi Laurie
kebebasan, kecuali kalau sesuatu membuatnya khawatir. Tapi
sekarang giliran Laurie yang khawatir.
Laurie melihat arlojinya lagi. Pukul setengah sebelas. Ke mana
dia" Telepon berdering. Laurie segera mengangkatnya, mengharap
Hillary yang menelepon. "Halo?" Tak ada jawaban. "Halo" Halo?" Laurie mengulangi.
Tak ada jawaban. Ia dapat mendengar suara tarikan napas, seolah seseorang di
ujung sana sedang mendengarkan. Mungkin beberapa anak brengsek
dari sekolah sedang mempermainkannya. Apa mereka tidak tahu,
permainan seperti ini sudah kuno"
Laurie sudah hendak membanting telepon ketika samar-samar
ia mendengar bunyi sirene ambulans, makin lama makin jelas. Itu
suara yang didengar olehnya setiap hari di rumah sakit.
Hubungan telepon putus. Laurie menatap pesawat telepon itu,
perasaannya gelisah. Beberapa menit kemudian telepon berdering lagi. Laurie
melompat. Dengan enggan ia mengangkatnya dan berkata, "Halo?"
"Apakah ini Laurie Masters?"
"Ini siapa?" "Rick Spencer. Kita bertemu di kafeteria hari ini. Kau pergi
begitu tiba-tiba, sehingga aku berpikir apakah ada yang tidak beres."
"Dari mana kau tahu nomor teleponku?" tanya Laurie.
"Oh... temanmu yang memberitahu."
"Skye?" Kenapa Skye tidak bilang apa-apa padanya"
"Betul," jawab Rick. "Kenapa kau pergi begitu cepat" Apakah
ada masalah?" Laurie mulai santai. "Oh, tidak ada apa-apa, kok. Cuma
kekeliruan. Ada seorang anak di lantai sembilan, di Kamar 903, yang
membuatku khawatir. Anaknya manis. Usianya tiga tahun, dengan
wajah berbintik-bintik, tapi dia menangis terus. Kusangka panggilan
darurat itu dari kamarnya, tapi ternyata dari Kamar 303." Kemudian ia
ingat sesuatu. "Eh, Rick, apa kau ada di lantai sembilan tadi siang" Di
Paviliun Fear?" "Tidak. Memangnya kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa, kok," jawab Laurie. "Apa kau meneleponku
beberapa saat yang lalu?"
"Ya, tapi salurannya lagi sibuk. Aku mau tanya, apa kau tidak
ada acara malam Minggu ini" Mungkin kita bisa pergi bersama. Jalanjalan, dan sebagainya."
"Wah, sori. Menyesal sekali, aku sudah ada janji." Sesaat
Laurie betul-betul merasa menyesal. Kemudian muncul dalam
benaknya bayangan seseorang yang menyelinap ke dalam paviliun
rumah sakit. Apakah ia salah duga"
"Mungkin lain kali?" tanya Rick.
"Tentu saja," kata Laurie setuju. "Kita bisa bertemu di rumah
sakit. Sudah dulu, ya" Bibiku belum pulang nih, dan dia mungkin
sedang berusaha meneleponku. Kalau kita ngobrol terus, teleponnya
tidak bisa masuk." "Oke. Aku akan menemuimu besok," ujar Rick.
Hanya sedetik sebelum Laurie menutup telepon, sekali lagi ia
mendengar raungan sirene ambulans, terdengar semakin keras di
telinganya, sampai akhirnya hubungan terputus. Tampaknya Rick
masih berada di rumah sakit sampai larut malam. Padahal para
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sukarelawan lainnya sudah lama pulang.
Laurie duduk, perasaannya bingung. Lalu ia menekan nomor
telepon Skye, meski ia tahu sahabatnya itu biasa pergi tidur sore-sore.
"Aku tahu sudah malam," kata Laurie, "tapi ada yang perlu
kutanyakan padamu. Apakah kau memberitahukan nomor teleponku
pada Rick?" "Siapa?" gumam Skye. Kedengarannya ia setengah tidur.
"Rick, Rick Spencer. Cowok yang kita temui di... itu lho, si
Tom Cruise." "Oh, ya. Maksudku, tidak. Aku tidak memberinya nomor
teleponmu. Apa maumu begitu?"
"Sudahlah," ujar Laurie. "Kita ketemu besok."
Setelah menutup telepon, Laurie mencoba menjernihkan
pikirannya. Ada yang tidak beres, tapi ia tidak tahu apa. Apakah Rick
meneleponnya dua kali malam ini" Diakah yang menelepon pertama
kali, si penelepon bisu itu" Apa yang dilakukannya di rumah sakit
pada malam selarut ini" Dan apakah benar Rick yang dilihatnya di
pintu Paviliun Fear"
Laurie masih bingung, tapi ia yakin akan satu hal"Rick
Spencer seorang pembohong.
BAB 5 LAURIE pergi tidur sebelum Bibi Hillary pulang. Dan
meskipun ia bangun pagi-pagi keesokan harinya, bibinya sudah pergi
lagi. Ia pasti sedang mengerjakan proyek yang sangat penting, pikir
Laurie. Ia mengambil sesendok keju halus untuk sarapan, sambil
membaca pesan yang ditinggalkan bibinya.
Hai, Manis. Sibuk, sibuk, sibuk. Sori, kita tidak ketemu
semalam. Tak usah menungguku untuk makan malam. Aku kerja
lembur lagi. Salam sayang.
H. Laurie punya misi khusus pagi ini dan ia tak sabar ingin segera
berangkat ke rumah sakit. Dimasukkannya tunik cokelatnya ke dalam
tas, disambarnya kunci mobil, dan ia agak kesal ketika telepon
berdering sesaat sebelum ia keluar rumah.
"Ini Dr. Price," kata seseorang.
"Hah" Siapa?" seru Laurie kaget.
"Aku punya tugas khusus untukmu hari ini. Kuminta kau tak
usah bekerja, melainkan main tenis saja dengan putraku."
"Andy!" Laurie tertawa. "Kau ditangkap karena melakukan
praktek tanpa izin. Tenis" Tak usah ya!"
"Gimana kalau berenang sebentar?" desak Andy. Suaranya
kembali normal. "Pokoknya tidak. Aku serius," jawab Laurie tegas. "Hari ini hari
kerja, dan aku lagi buru-buru."
"Aku hampir tidak bertemu denganmu musim panas ini," Andy
mengeluh. "Kau selalu sibuk."
"Salahmu sendiri. Kau kan bisa bergabung denganku dan Skye
di rumah sakit. Ayahmu pasti senang. Tahu nggak, banyak cowok
yang jadi sukarelawan."
"Oh, ya" Contohnya siapa?"
Laurie menghela napas. Cepat atau lambat ia harus menghadapi
kecemburuan Andy. "Aku harus pergi. Kita ketemu hari Sabtu."
"Tunggu! Gimana kalau kita makan piza seusai jam kerja" Aku
akan ke Patsy's Pizzeria bersama Jim Farrow... mungkin Skye juga
ikut." Kenapa tidak" Kedengarannya lebih asyik daripada menyiapkan
makan malam untuk diri sendiri. Kayaknya apa saja lebih asyik, deh,
dibanding makan malam sendirian.
"Oke. Kita ketemu di sana. Bye."
Sewaktu mengemudikan mobilnya ke Shadyside Hospital,
Laurie teringat pada Toby Deane. Ia akan melakukan apa saja agar
anak itu bisa tersenyum. Itulah misi khususnya pagi ini.
Di rumah sakit ia menghindari kerumunan orang di lantai utama
dan bergegas ke toko cenderamata. Tumpukan buku, surat kabar, alat
kecantikan, bunga, permen, keranjang buah, kartu, dan T-shirt
berjejalan di ruangan sempit itu. Juga ada rak yang dipenuhi mainan
dan boneka, untuk menggembirakan anak-anak yang sakit.
Laurie mengamati rak-rak itu untuk beberapa saat, lalu memilih
boneka beruang kecil berbulu halus. Ia ingin segera memberikan
boneka itu pada Toby. Dengan tak sabar ia antre untuk membayar.
Sesudahnya ia naik lift yang penuh orang, menuju Bagian Anak.
Koridornya kosong, bahkan tak ada yang berjaga di Kantor
Perawat. Pagi-pagi seperti ini, para perawat sibuk di kamar-kamar
pasien. Sementara menyusuri koridor lantai sembilan, Laurie
tersenyum, membayangkan kegembiraan Toby saat menerima
hadiahnya. "Coba lihat, siapa yang datang menjengukmu!" ia berseru
seraya mengulurkan boneka beruang itu, sesampainya di Kamar 903.
Tapi ia berhenti"terpaku.
Kamar itu kosong. Tempat tidur sudah dirapikan. Semua benda
yang memenuhi meja dan lemari sudah lenyap. Tak ada tanda-tanda
Toby pernah berada di kamar ini.
"Oh, tidak!" jerit Laurie. "Dia mati!"
BAB 6 "DIA mati!" jerit Laurie, bibirnya bergetar.
Dengan boneka beruang masih di tangannya, ia menjatuhkan tas
dan tuniknya di tempat tidur yang kosong, lalu lari. Ia harus menemui
seseorang, siapa saja. Pokoknya seseorang.
Laurie tahu tak mungkin Toby sudah pulang. Pasien tidak
dibiarkan pulang sampai para staf dokter memeriksa mereka pada
tugas keliling pukul sebelas siang. Apa yang terjadi pada anak itu
hingga menimbulkan kejadian tragis seperti itu"
Di Kantor Perawat ia hampir tergelincir.
Ah, itu dia. Toby mengenakan overall merek Oshkosh dan
kemeja kuning, tangannya dipegang erat oleh ibunya. Laurie merasa
hampir lemas karena lega. Toby Deane masih hidup! Ia tampak manis
sekali dengan rambutnya yang pirang-pasir tersisir rapi dan ujungujung sepatu ketsnya yang kecil saling menghadap ke dalam. Laurie
hampir tak bisa menahan diri untuk menyerbu dan memeluknya.
Kenapa ya, mereka membiarkan anak itu pulang sepagi ini"
Lalu Laurie melihat bahwa Mrs. Deane sedang bicara serius
dengan Rick Spencer. Apa yang dilakukan cowok itu di Bagian Anak"
Bukankah kemarin Rick bilang ia bertugas di Bagian Bedah" Apa sih
yang ia bicarakan dengan ibu Toby"
Rick mencondongkan tubuhnya ke arah Mrs. Deane ketika
berbicara, tuniknya tersampir di bahu. T-shirt-nya hari itu berwarna
hitam, dengan gambar kobaran api merah manyala dan sebuah logo
Harley Davidson berukuran besar. Seleranya benar-benar norak, pikir
Laurie. Ia memperhatikan mereka terus, sampai akhirnya Toby
menyadari kehadirannya di ujung koridor itu. Laurie tersenyum seraya
menyodorkan boneka beruang di tangannya. Mata Toby yang sedih
bersinar-sinar, dan anak itu menunjuk dirinya sendiri, seolah bertanya
tanpa suara, "Untukku?"
Laurie mengangguk. Toby melirik Kantor Perawat yang kosong, lalu ke arah ibunya
dan Rick. Mereka terlalu larut dalam percakapan, sehingga tidak
memperhatikannya. Toby membebaskan tangannya dari ibunya, lalu
berjalan malu-malu ke arah Laurie.
"Teddy pasti sedih kalau kau pergi tanpa mengajaknya," kata
Laurie. Diletakkannya boneka yang lembut itu ke tangan Toby.
Toby memeluk boneka itu erat-erat dan membenamkan
wajahnya dalam bulunya yang halus.
"Kalian akan jadi teman baik, ya, kan?" kata Laurie.
Toby mengangguk tanpa bicara.
"Aku benar-benar senang kau pulang, tapi aku akan
merindukanmu. Janji ya, setiap kali kaupeluk Teddy, kau akan ingat
padaku, sebab aku juga akan ingat padamu."
Toby meraih dan menggenggam tangan Laurie. Tampaknya
enggan meninggalkan gadis itu.
"Kau akan merasa lebih baik begitu sampai di rumah. Nah, kau
mau bilang selamat tinggal padaku, kan" Katakan sesuatu, dong,"
bujuk Laurie. Toby menggeleng-gelengkan kepala.
Laurie berlutut dan memeluk anak itu. "Oke, Toby. Jadilah anak
manis dan jaga Teddy, ya?" Diciumnya pipi Toby, lalu dibalikkannya
tubuh anak itu. "Pergilah. Ibumu sudah menunggu."
Toby membalikkan tubuhnya lagi.
"Dia bukan ibuku," bisiknya. Lalu air mata membasahi
matanya. BAB 7 LAURIE mendekatkan tubuhnya ke Toby. "Apa maksudmu,
Toby" Tentu saja dia ibumu."
Toby menggeleng. "Tidak, dia bukan ibuku!"
"Toby! Kemari kau!" hardik Mrs. Deane. Tapi Rick tampaknya
mengatakan sesuatu pada wanita itu, hingga perhatiannya teralih.
"Jadi, siapa dia?" Mungkinkah Toby masih belum sehat, hingga
membayangkan yang tidak-tidak"
"Aku tak dapat mengatakannya. Dia pasti marah kalau aku
memberitahumu." "Siapa yang bakal marah" Siapa sebenarnya wanita itu, Toby?"
Toby menundukkan kepala. "Aku mau pulang!" dengusnya.
"Toby, kemari, kataku!" bentak Mrs. Deane. Ia dan Rick
menatap mereka berdua. Toby menyeret kakinya ke arah Kantor Perawat. Tampaknya
Mrs. Deane menanyakan soal boneka pemberian Laurie, yang dipeluk
semakin erat oleh Toby. Rick dan wanita itu menoleh ke arah Laurie.
Lalu Mrs. Deane meraih tangan Toby dan menyeretnya ke lift.
Toby menatap Laurie dengan penuh permohonan sekali lagi,
sebelum akhirnya menghilang di dalam lift.
Laurie melangkah cepat ke Kantor Perawat. Rick telah
mengenakan tuniknya dan sedang merapikan rambut ketika Laurie
berhenti di dekatnya. "Apa yang kaulakukan di lantai ini?" tanya Laurie.
"Salah satu dokter menyuruhku untuk suatu keperluan.
Ngomong-ngomong, kau baik sekali membelikan anak itu boneka!
Toby Deane" diakah yang membuatmu khawatir kemarin?"
"Hmm," gumam Laurie. "Wanita temanmu bicara tadi, dia ibu
Toby, kan?" "Benar," jawab Rick. "Mereka orang baru di Shadyside. Baru
pindah ke sebuah rumah tua di Fear Street. Begitulah kata Mrs. Deane.
Tadi aku memberitahunya letak apotek terdekat, supaya dia bisa
menebus resep untuk Toby. Aku senang bertemu denganmu."
"Aku juga," sahut Laurie. Suaranya harus terdengar biasa. "Aku
tak habis pikir, kenapa kau berada di rumah sakit sampai begitu larut
semalam. Apa mereka mulai mengadakan shift malam untuk para
sukarelawan?" Rick tampak kaget. "Apa yang membuatmu berpikir aku
meneleponmu dari sini?"
"Apakah aku keliru?"
"Ya." Rick ragu. "Aku berharap akan bertemu kau di sini.
Soalnya aku ingin bertanya, apa kau ada acara sepulang kerja nanti.
Kupikir mungkin kau mau memanduku jalan-jalan keliling kota?"
Matanya yang biru gelap menatap Laurie. Rick tertawa, dan
Laurie harus mengingatkan dirinya bahwa cowok itu benar-benar tak
dapat dipercaya. Rick menelepon dari rumah sakit semalam, Laurie yakin itu.
Dan mana mungkin ia dapat menunjukkan apotek terdekat kepada
Mrs. Deane" Katanya ia sendiri orang baru di Shadyside"
Cowok itu jelas mengandalkan pesonanya. Dan ia benar-benar
yakin pada dirinya sendiri. "Mau, kan?" tanyanya seraya menyentuh
lengan baju Laurie. "Aku tak bisa. Aku ada janji dengan seseorang...."
Telepon di Kantor Perawat berdering, hingga Laurie tak perlu
menjelaskan lebih lanjut. Tak tampak perawat seorang pun. Laurie
mengulurkan tangan dan meraih gagang telepon di meja di balik
sekat"namun secepat kilat menarik tangannya.
Di dekat pesawat telepon ada sebuah kotak empat persegi
panjang. Kotak itu terbuka, memperlihatkan isinya yang
menyeramkan: tiga bilah pisau bedah panjang, mata pisaunya berkilat
oleh cahaya lampu yang jatuh di atasnya.
Laurie menatap benda itu, bagai terhipnotis.
Telepon terus berdering. "Biar kuangkat," ujar Rick seraya mengulurkan tangan.
Laurie menarik tubuhnya dan membiarkan Rick mengangkat
gagang telepon. Ia tak mengerti mengapa dirinya ketakutan seperti itu.
Pisau-pisau itu kan alat untuk menyembuhkan, dibuat khusus untuk
menolong orang sakit, bukannya untuk menciptakan rasa sakit atau
luka. Lalu kenapa benda-benda itu membuatnya ngeri"
Aku terlalu cepat gugup, pikir Laurie. Ia melangkah ke kamar
Toby untuk mengambil tas dan tuniknya. Perkataan anak kecil itu
terngiang terus di telinganya. Kenapa Toby mengatakan Mrs. Deane
bukan ibunya" Adakah yang tidak beres dengan anak itu"
Laurie kembali ke koridor. Diawasinya Rick menuliskan pesan
dan kemudian meletakkan gagang telepon.
Lalu dilihatnya cowok itu mengangkat kotak berisi pisau bedah,
menutupnya, kemudian menyelipkannya diam-diam ke dalam kantong
tuniknya seraya melangkah menuju lift.
BAB 8 RICK mengambil pisau-pisau bedah itu!
Laurie tak percaya. Ditatapnya pintu lift yang bergerak
menutup. Apa yang harus kulakukan" Ia harus memberitahu
seseorang, tapi siapa" Dan benarkah ia ingin mengadukan Rick"
Tapi cowok itu pencuri, dan sekaligus pembohong, sebuah
suara kecil di dalam kepala Laurie mengingatkannya.
Laurie beranjak ke Kantor Perawat dan berdiri di sana.
Kebingungan. Bunyi berisik yang datang dari lift karyawan yang terletak di
sudut mengejutkannya. Sejumlah pekerja bangunan keluar dari lift dan
menuju Paviliun Fear dengan suara ribut. Perhatian Laurie jadi teralih,
hingga tak dilihatnya Suster Jenny Girard telah kembali ke Kantor
Perawat. Ketika telepon berdering dan Laurie berbalik hendak
menjawab, ia terkejut melihat perawat itu.
Suster Girard! pikiran itu berkelebat di benaknya. Mungkin
sebaiknya kukatakan saja perihal pisau-pisau bedah itu padanya.
Perawat bertubuh jangkung dan berambut hitam itu sedang
tertawa di telepon. "Apa" Lagi" Aku tak percaya!... Oke, nanti
kusuruh orang mengambilnya. Kebetulan ada pelajar sukarelawan di
sini sekarang." Suster Girard menggeleng-geleng geli.
Laurie harus memberitahunya soal pisau-pisau bedah itu. "Uh,
apakah... Anda melihat...?" tapi perawat itu keburu memotong
kalimatnya. "Laurie, kau mau membantuku, kan" Ada bingkisan lagi di
resepsionis untuk Kamar 901. Bayangkan, bingkisan lagi! Pasti
mereka harus menyewa truk untuk membawa anak itu dan mainanmainannya pulang nanti. Kau mau kan, ke sana mengambilnya?"
Lalu masih ada lusinan perintah lainnya yang harus dikerjakan
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laurie seharian itu. Namun tetap saja pikirannya tak lepas dari
perkataan Toby, sedangkan Rick benar-benar lenyap dari benaknya.
Wajah Toby yang kecil, sedih, dan ketakutan bermain di depan mata
Laurie, sementara ia sibuk mengantarkan bingkisan dan foto sinar-X,
membacakan buku untuk para pasien, atau membantu para perawat.
Anak itu benar-benar menghantuinya.
Sore itu Laurie mengambil keputusan. Toby Deane sedang
berada dalam kesulitan. Anak itu memerlukan bantuannya. Ia harus
melakukan sesuatu. File pasien disimpan di sebuah ruangan kecil yang letaknya di
belakang Kantor Perawat. Tak seorang pun boleh memasuki ruangan
itu, kecuali para dokter dan perawat. Laurie pasti akan mendapat
kesulitan, tapi ia sudah bertekad untuk menemui Toby lagi. Jadi, ia
harus mencari data tentang anak itu, untuk mengetahui di mana ia
tinggal. Sepulang kerja, ketika para perawat yang dinas pagi sedang
digantikan oleh yang dinas malam, dan para pekerja bangunan di
Paviliun Fear sudah pulang, Laurie menyelinap masuk ke ruang
penyimpanan data pasien. Ruangan itu berdebu dan penuh sesak oleh kertas-kertas tua.
Laurie merasa tidak nyaman berada di dalam ruangan kecil seperti itu.
Jemarinya gemetar. Secepat kilat ia mencari file Toby hingga ketemu.
Benar, anak itu tinggal di Fear Street, seperti kata Rick. Padahal
sedapat mungkin ia tak ingin pergi ke Fear Street. Nama itu
membuatnya ngeri. Namun kalau ia tidak pergi ke rumah Toby, ia
takkan pernah melihat anak itu lagi.
Sambil menuliskan alamat Toby, Laurie menyadari bahwa ia
harus punya alasan untuk mengunjungi anak itu. Ia tak bisa datang
begitu saja, kan" Apalagi tampang Mrs. Deane sama sekali tidak
ramah. Harus ada alasan yang masuk akal. Tapi apa" Ia memeras otak.
Oh, ya! Kupon undian! Laurie memang sedang menjual kupon
undian berhadiah untuk mencari dana bagi rumah sakit. Hadiahnya
mobil sport Mercedes-Benz. Mrs. Deane pasti telah sering melihat
mobil hadiah itu setiap kali ia ke rumah sakit. Laurie bisa memakai
kupon undian itu sebagai alasan untuk datang ke rumah Toby. Ya! Ia
akan menawari Mrs. Deane kupon-kupon itu. Gampang! Kecuali...
Kecuali, benarkah Laurie sungguh-sungguh ingin pergi ke Fear
Street sendirian" Diliriknya jam tangannya. Tiba-tiba ia teringat janjinya bertemu
Andy, Skye, dan Jim Farrow di Patsy's Pizzeria. Kenapa tidak sekalian
saja ajak mereka ke Fear Street" Setidaknya takkan sulit untuk
meyakinkan salah satu dari mereka agar mau menemaninya.
Setelah merasa puas karena telah memecahkan beberapa
masalah sekaligus, Laurie mengembalikan file Toby ke lemari. Lalu
dibukanya pintu. Sebuah suara terdengar dari Kantor Perawat.
"Oh, Edith, kau ke mana saja?" Cora Marshall, kepala perawat
di Bagian Anak, sedang berdiri membelakangi pintu ruang data, bicara
pada seseorang yang tidak tampak dari tempat Laurie berdiri. "Ini ada
perintah baru untuk pasien Kamar 908. Coba kemari."
Suster Edith Wilton menghampiri Suster Cora Marshall.
Langsung saja Laurie menarik pintu ruang penyimpanan data
hingga nyaris tertutup. Ia berdiri gemetaran dalam gelap. Gawat kalau
Suster Wilton sampai memergokinya!
Laurie mengintip. Diperhatikannya kedua perawat itu berbicara.
Ingin mati rasanya, menunggu kesempatan kabur dari situ. Rasanya ia
telah menunggu seabad ketika akhirnya Suster Marshall pergi.
Sekarang Suster Wilton juga akan pergi, pikir Laurie. Tapi ternyata
Suster Wilton malah duduk dan mulai memeriksa beberapa grafik.
Laurie benar-benar gelisah dan putus asa. Ruang data yang kecil
itu jadi semakin kecil rasanya. Dan semakin panas. Ia mengepalkan
tinjunya untuk menenangkan diri. Nyaris meledak ia rasanya.
Suster Wilton membalikkan halaman grafik. Secarik kertas
melayang jatuh di lantai. Ia membungkuk memungutnya. Kepalanya
kini berada di bawah meja.
Tanpa pikir panjang Laurie meninggalkan ruang penyimpanan
data, melewati meja tempat Suster Wilton duduk, lalu menuju koridor.
Tapi ia tak cukup cepat. Ia kepergok!
"Sebentar, Non!" Suster Wilton berteriak. "Apa yang
kaulakukan di dalam sana?"
Laurie tak menghentikan langkahnya.
"Aku melihatmu, Laurie!" perawat itu berteriak lagi. "Ayo
kembali!" Laurie menghindari seorang pasien yang berjalan di koridor itu.
Ia meluncur di belokan pertama. Namun suara decit sepatu perawat itu
masih terdengar. Suster Wilton mengejarnya!
Ya Tuhan! Jalan buntu! Laurie berhenti di depan pintu lift khusus. Lift itu hanya untuk
mengangkut alat-alat berat dan pasien-pasien di atas brankar. Yang
lain tak boleh menggunakan lift itu. Tapi Laurie tak punya pilihan,
kalau tak ingin tertangkap Suster Wilton. Jadi, ditekannya tombol lift
seraya berbisik, "Cepat! Ayo. Kumohon!"
Pintu lift membuka. Ia melangkah masuk saat Suster Wilton
berbelok ke arah lift. "Tunggu!" perawat yang murka itu memanggil.
Pintu lift menutup, lalu lift itu turun perlahan. Laurie menarik
napas lega. Ia mundur selangkah"dan menabrak sebuah brankar. Ia
berbalik dan membelalak ngeri.
Di brankar itu terbaring seorang wanita berwajah lilin. Matanya
tertutup. Mesin-mesin monitor berdesing dan berbunyi bergantian di
kakinya. Botol-botol cairan infus bergantungan di atas brankar. Slangslang infusnya hilang di balik selimut. Dan botol-botol infus itu mulai
beradu ribut ketika Laurie menabrak brankar.
"Hei! Hati-hati!" bentak petugas yang membawa pasien itu.
"Kau seharusnya tak boleh berada di sini." Diremasnya bahu Laurie
hingga jantung gadis itu nyaris copot rasanya. Petugas itu menekan
sebuah tombol dan berkata padanya, "Keluar! Kau harus keluar di
lantai berikutnya." Dengan senang hati, pikir Laurie. Ditatapnya pasien yang
berbaring di brankar itu. Wanita itu pasti sudah mati! Tapi tiba-tiba
mata wanita itu terbuka. Ditatapnya Laurie dengan tajam, lalu
mengerang pelan. Laurie berdiri menempel ke dinding lift. Saat lift berhenti,
langsung saja ia melesat keluar. Ia tak tahu di mana ia berada, tapi ia
tak peduli. Kemudian dilihatnya tulisan di depan pintu lift:
LANTAI KHUSUS HANYA UNTUK PEJABAT BERWENANG
Pintu lift menutup. Laurie tinggal sendirian. Ia menatap
sekelilingnya. Koridor itu remang-remang. Seluruh lantai itu amat sepi
dan seperti terasing. Ia belum pernah ke lantai ini. Ini pasti tempat khusus. Tidak
seperti lantai-lantai lainnya. Di mana ia sebenarnya" Dan bagaimana
ia dapat keluar dari sini"
Ia benar-benar bingung. Ia takut meninggalkan lift itu. Bisa saja
ia tersesat di koridor yang masih asing baginya.
Gemuruh suara mesin lift mengejutkannya. Ia menengadah
menatap indikator lantai yang terletak di atas lift. Rupanya lift itu
berhenti di lantai 9. Pasti lift itu telah mengantar penumpangnya dan
kembali ke Bagian Anak. Suster Wilton! pikir Laurie. Perawat itu telah memperhatikan
indikator lantai ini, dan tahu di mana Laurie sekarang berada.
Perawat itu akan datang mengejarnya!
Laurie tak punya pilihan. Ia harus kabur. Jadi, ditelusurinya
koridor gelap itu dan dengan putus asa dicobanya membuka setiap
pintu yang dilewatinya. Tapi semua terkunci. Ia tak tahu apakah ia
berjalan menuju atau malah menjauhi lift umum. Dan ia bisa saja tiba
di jalan buntu; lalu terperangkap!
Sekonyong-konyong di belokan dilihatnya sesuatu di ujung
koridor. Sesuatu yang kecil. Dan tidak bergerak. Ia menatap ke kegelapan. Dan nyaris tertawa terbahak-bahak.
Ternyata cuma ember dan tangkai pel yang teronggok di depan
pintu terakhir. Kalau ada seorang petugas di balik pintu itu, orang itu bisa
memberitahukan bagaimana ia dapat keluar dari sana. Mungkin orang
itu akan membentaknya karena ia berada di daerah terlarang, tapi
Laurie tak peduli. Asalkan orang itu membantunya lepas dari Suster
Wilton! Bergegas dihampirinya ember itu, berharap melihat cahaya di
sekitar pintu. Namun ia kecewa. Tempat itu gelap. Si petugas pasti
sedang pergi beristirahat. Ia pasti akan kembali, hibur Laurie dalam
hati. Tapi ia tak mungkin berdiri begitu saja di koridor, menunggu
Suster Wilton menangkapnya.
Ia mencoba memutar kenop pintu.
Pintu terbuka. Laurie melongok ke dalam. Lalu berhenti untuk menarik napas.
Ruangan itu dingin sekali, dan ia mulai menggigil. Bau yang
aneh menyengat hidungnya. Bau zat kimia yang tajam mengisi udara,
dan kegelapan itu nyaris sama mencekiknya dengan bau menusuk itu
sendiri. Pelan-pelan matanya menangkap pinggiran beberapa meja
logam yang tinggi. Ia mulai meraba jalannya di ruangan itu.
Disentuhnya logam dingin meja-meja yang dilewatinya.
Tiba-tiba ia terpeleset oleh genangan air di lantai. Secara refleks
ia menjangkau untuk berpegangan. Tangannya menyentuh sesuatu di
atas meja... sesuatu yang...
Bulat. Sedingin es. Rasanya dikenalnya. Hah!!! Ternyata tangannya mencengkeram bahu sesosok mayat
yang dingin dan lembap! BAB 9 TANGAN Laurie serasa melayang saat ia melompat dengan
panik. Sesosok mayat di meja! Dan ia telah menyentuhnya!
Ia mundur dan mulai mual. Segera saja ia tahu di mana ia
berada. Bau kimia yang tajam itu pasti formaldehida, yang dipakai
untuk mengawetkan dan mendesinfeksi mayat! Lantai ini gelap dan
kosong, karena tempat ini adalah bagian dari sekolah kedokteran, dan
kuliah hari itu sudah selesai. Ini pasti laboratorium anatomi tempat
para mahasiswa membedah dan mempelajari tubuh manusia.
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Tubuh manusia yang sudah mati.
Setelah matanya terbiasa dalam gelap, Laurie mulai melihat
mayat-mayat dan bagian-bagian tubuh manusia yang sudah dibedah
dan dipotong-potong di atas meja. Mengerikan! Ia berbalik dan mulai
berjalan ke arah pintu, terengah-engah ketakutan.
Saat itulah didengarnya langkah kaki di luar, diikuti suara
gemerincing anak-anak kunci. Lalu anak kunci dipasang dan diputar
di lubangnya. Setelah itu terdengar bunyi seakan seseorang membawa
pergi ember yang tadi ada di depan pintu.
Ia terkunci! Teriakan seperti erangan binatang keluar dari mulut Laurie. Ia
menyerbu ke arah pintu yang terkunci, lalu menabrak sesuatu yang
putih berkilat dan mengeluarkan suara berisik ketika tersentuh
olehnya. Sebuah kerangka manusia bagai menari di depannya, salah satu
tangan kerangka itu memeluk lehernya!
Laurie bergerak mundur sambil mengulurkan tangan, mencari
tempat berpegang. Tiba-tiba ia tersadar bahwa tangannya telah
mencengkeram sebuah lengan yang dingin"lengan itu cuma sampai
pergelangan! Ia berbalik dan berhadap-hadapan dengan sebuah kepala yang
diletakkan di atas rak. Matanya terpejam, mulutnya menganga, dan
kulit kepalanya sebagian terkoyak.
Laurie berusaha menjerit, tapi rasa takut seperti menyumbat
lehernya. Ia berlari ke pintu, mengentak-entakkan kenopnya, lalu
menggedor-gedor. Ia tak peduli Suster Wilton menemukannya!
Pokoknya ia harus keluar dari ruangan mengerikan ini, jauh dari
mayat-mayat itu, potongan-potongan tubuh manusia itu....
Digedornya pintu itu dengan penuh ketakutan, tapi tak seorang
pun mendengarnya. Disandarkannya keningnya ke daun pintu sejenak.
Lalu ia merasakan perasaan aneh yang membuatnya mual.
Sesuatu di belakangnya bergerak!
BAB 10 LAURIE berbalik untuk melihat benda yang bergerak ke
arahnya. Ditatapnya kegelapan itu, air mata membanjiri matanya.
Jantungnya berdentum-dentum memenuhi telinganya.
Di mana benda itu" Benda apa sebenarnya itu"
Hening. Tak ada yang bergerak. Bayangan-bayangan meja,
masing-masing dengan benda mengerikan di atasnya, mengintai diamdiam, sama sekali tidak bergerak.
Laurie sadar bahwa ia terlalu histeris. Ia telah membayangkan
yang tidak-tidak. Tak satu pun dalam ruangan itu yang hidup atau
bergerak, kecuali dirinya sendiri.
Setelah merasa tenang, sesuatu menyentak kesadarannya. Pintu
ruangan ini memang telah dikunci dari luar, tapi kan mestinya ia tetap
bisa memutar kenopnya dari dalam, dan membuka pintunya.
Ia berbalik lagi ke arah pintu. Tangannya bergetar hebat.
Dirabanya kenop pintu dan diputarnya.
Tidak terjadi apa-apa. Pintunya tetap terkunci.
Dirabanya sekitar kenop pintu, mencari-cari apakah pintu itu
punya kunci ganda. Nah, itu dia, sebuah logam yang menonjol keluar
di atas kenop! Diputarnya logam itu ke kiri.
Tak ada yang terjadi. Ia memutarnya ke kanan. Ah! Ada bunyi klik, dan pintu pun terbuka.
Nyaris ia tersandung oleh kakinya sendiri, karena terburu-buru
ingin kabur dari situ. Ia bahkan tak peduli untuk menutup pintu di
belakangnya. Pokoknya ia langsung saja berlari ke koridor, meneguk
dalam-dalam setiap udara segar yang mampu dihirupnya.
Tiba-tiba ia berhenti. Suster Wilton sedang berdiri membelakangi koridor di depan
lift khusus. Rupanya perawat itu tidak sendirian.
Ada seorang pria jangkung di sebelahnya. Pria itu berambut
kelabu dari mengenakan jas lab berwarna putih. Ia bukan petugas
keamanan, karena petugas keamanan memakai seragam biru.
Dari belakang pria itu tampak tidak asing. Aneh sekali, pikir
Laurie. Apakah Suster Wilton telah memanggil seorang dokter untuk
membantunya mengejarku" pikir Laurie.
Laurie mundur hingga tubuhnya menempel ke dinding, lalu
berjalan pelan ke arah belokan, berdoa dalam hati agar mereka tak
melihatnya. Suara mereka terbawa sampai koridor, tapi ia tak dapat
menangkap apa yang sedang mereka percakapkan, kecuali nada suara
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suster Wilton yang terdengar amat kecewa.
Ketika pintu lift membuka, rasanya Laurie tahu siapa pria itu.
Orang itu mirip sekali dengan ayah Andy, Dr. Raymond Price!
Tak mungkin. Masa Suster Wilton sampai memanggil bos
Shadyside Hospital hanya karena seorang sukarelawan membuat ulah"
Ya, kecuali perawat itu sinting! Laurie yakin ia pasti keliru.
Sekarang ada hal lain yang harus dipikirkannya. Misalnya,
bagaimana ia dapat keluar dari sini. Jadi, begitu lift tersebut membawa
Suster Wilton dan pria itu pergi, ia langsung mencari lift umum.
Laurie keluar dari rumah sakit dan duduk di belakang kemudi
mobilnya. Lama kemudian baru ia berhasil menghentikan gemetar
tangannya hingga ia bisa mengemudikan mobilnya ke Patsy's Pizzeria.
*********************** "Kau terkunci di mana?" tanya Skye seraya mengambil
sepotong pepperoni dari pizanya dan memasukkannya ke mulut.
Ditatapnya Laurie dengan takjub, lalu Andy, yang duduk di
hadapannya. Seperti biasa, Patsy's Pizzeria penuh sekali. Karena kebetulan
letaknya di dekat Shadyside Hospital, sebagian besar pengunjungnya
adalah para karyawan rumah sakit yang saling mengenal, hingga
rasanya seperti kafeteria rumah sakit saja.
"Hei! Tahu tidak?" ujar Skye kepada Jim Farrow yang tengah
meletakkan piring pizanya di meja dan duduk di sebelahnya. "Laurie
terkunci di laboratorium anatomi!"
"Benar-benar mimpi buruk!" kata Laurie menggigil. "Potonganpotongan tubuh manusia, kepala-kepala, dan kerangka..."
"Menjijikkan, aku yakin!" tukas Andy. Diambilnya sepotong
piza dan dibiarkannya bagian merah dan kuningnya menetes di atas
piringnya. "Kayak ini."
"Ayolah, aku sedang makan, nih," keluh Jim. Ia menggelengkan
kepalanya yang pirang, lalu menggigit pizanya.
"Aku sih lebih baik menyentuh mayat daripada menelan ikan
anchovy itu," kata Skye. Ditatapnya Laurie. "Lalu bagaimana kau bisa
keluar dari sana" Dan apa sebenarnya yang kaulakukan di
laboratorium anatomi?"
Tiba-tiba Laurie merasa enggan bercerita pada mereka.
"Uh, aku naik lift dan turun di lantai yang salah." Buru-buru ia
mengganti topik pembicaraan. "Dengar, kalian punya waktu, tidak,
setelah ini" Aku punya tugas, dan aku akan senang kalau ada yang
bisa menemaniku." Sambil makan Laurie menceritakan tentang Toby Deane, tapi
tidak semua, hanya bahwa anak itu tampak sedih dan kesepian, dan ia
ingin sekali mengunjunginya.
Dikeluarkannya buku kupon undian berhadiah dari tasnya,
seraya menjelaskan bahwa ia akan menggunakannya sebagai
alasannya mampir di rumah Toby. "Aku mau langsung ke sana... hm,
ada yang mau ikut?" "Kedengarannya benar-benar menggoda!" sindir Andy
sarkastis. "Mungkin terlalu menarik untukku."
Laurie mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Yah,
rumahnya terletak di Fear Street. Dan aku..."
Jim tertawa. "Dan kau ingin seseorang menemanimu?"
"Jangan menertawakannya, Jim!" bentak Skye galak. "Kau
sendiri bercerita pada setiap orang bagaimana kau dikejar sesuatu
sebesar beruang di hutan Fear Street!"
"Tapi biar begitu aku kan tidak takut melakukannya lagi,"
protes Jim. "Oke, jadi kita semua pergi," putus Skye.
"Hebat," sindir Andy lagi. Ia melap tangannya dengan hati-hati,
lalu menyisir rambutnya yang hitam tebal dengan jemarinya.
Tampangnya suram. "Bisakah kita mencari hal lain untuk dikerjakan?"
"Kalau kau tidak mau ikut...," hardik Laurie.
"Iya deh. Iya. Aku ikut," kata Andy murung.
Bayangan Fear Street di kegelapan malam terasa mencekam
ketika mereka meninggalkan restoran dengan Volvo Andy tak lama
kemudian. Begitu banyak kisah menyeramkan tentang jalanan yang
melewati makam dan hutan Fear Street yang lebat ini. Kisah-kisah
yang nyaris selalu menjadi kenyataan....
Ketika mereka berempat berbelok ke Fear Street, tak seorang
pun yang bicara lagi. "Kau punya alamatnya?" tanya Jim dari sandaran kursi
belakang mobil. Saat itu Laurie sedang menatap ke luar jendela. Dalam temaram
senja, Fear Street tidak tampak mengerikan. Namun ada kesunyian
yang rasanya tidak biasa. Kesunyian yang menyelimuti selagi mobil
mereka melaju pelan di jalanan itu.
Laurie begitu tercekam oleh keadaan sekitarnya, hingga ia
melompat kaget ketika Jim menyentuh bahunya.
"Kau tahu alamatnya, tidak?" ulang Jim.
"Oh, tahu." Laurie mengambil kertas bertulisan alamat itu dari
tasnya, lalu dibacakannya keras-keras nomor rumah yang mereka tuju.
"Masih agak jauh," kata Andy. "Kurasa letaknya di dekat
makam." Ia memelankan laju mobilnya begitu mereka semakin dekat
ke nomor rumah yang dimaksud.
"Nah. Sudah sampai," ujar Skye. "Pasti ini rumahnya."
Mereka berhenti di depan rumah besar bergaya Victoria,
lengkap dengan ornamen-ornamen mewah yang mengelilingi
pinggiran atapnya dan halaman amat luas yang mengelilingi
bangunannya. Mereka keluar dari mobil, namun setelah mencari-cari,
mereka tak juga berhasil menemukan papan nama atau papan nomor
yang dapat menunjukkan siapa pemilik rumah itu.
"Akan kuperiksa rumah sebelah," Jim mengajukan diri. Ia
berjalan ke rumah sebelah, lalu beberapa saat kemudian kembali dan
melaporkan bahwa rumah sebelah juga tidak punya papan nama atau
papan nomor. "Pasti rumahnya di sekitar sini, aku yakin," ujar Skye.
"Yuk, kita bagi saja kupon berhadiahnya," usul Andy.
"Ide bagus," sambar Skye. "Aku dan Laurie akan mencoba
rumah yang ini, kau dan Jim di rumah sebelah."
Mereka berpencar. Andy memasukkan kupon berhadiah
bagiannya ke dalam kantong celana pendeknya, lalu bersama Jim
beranjak ke rumah sebelah.
Laurie merapikan pakaiannya sebelum ia dan Skye berjalan
menuju rumah di depan mereka. Ditegakkannya kerah kemejanya
yang bergaris-garis biru-kuning. Tangannya mempermainkan tali
pinggang rantai di pinggangnya. Ia menelan air liurnya kuat-kuat.
"Kenapa sih kau gugup begitu?" tanya Skye, suaranya lebih
pelan daripada biasa. Ditatapnya bangunan rumah tua yang berdiri di
depan mereka. Setelah menaiki undakan di serambi depan, Laurie memencet
bel. Mereka menunggu dengan gelisah, namun tak seorang pun
membukakan pintu. "Tak ada orang di rumah," bisik Skye. "Yuk, kita pergi."
"Kenapa sih kau berbisik-bisik begitu?" tanya Laurie.
"Siapa yang berbisik-bisik!" hardik Skye, masih dengan suara
pelan. "Oh! Sudahlah! Aku mau pergi."
Laurie memiringkan kepalanya. "Tunggu sebentar. Kaudengar
itu?" Ia mundur selangkah, lalu menengadah melihat lantai atas. "Tuh.
Suara itu lagi... seperti suara kucing atau apa. Datangnya dari dalam."
"Aku tidak mendengar apa pun," kata Skye. Keheningan Fear
Street yang mencekam mau tak mau mempengaruhinya juga.
Ditariknya tangan Laurie. "Ayo pergi dari sini!"
Tiba-tiba pintu terbuka. Laurie mengenali wanita yang berdiri
di balik daun pintu yang terbuka sedikit itu. Mrs. Deane, wanita yang
menjemput Toby di rumah sakit. Rupanya mereka telah menemukan
rumah yang benar. Ibu Toby menatap mereka dengan ekspresi tidak senang. Ia
mengenakan sweter longgar yang melapisi sepotong baju longgar
yang bagian depannya kotor. Beberapa helai rambutnya yang pirangputih dan keriting terurai di sekitar telinganya, dan matanya yang
pucat menatap kedua gadis itu dengan penuh curiga. Tampaknya ia
tidak mengenali Laurie. "Ada apa?" tanyanya dingin.
"Hai," Skye memulai, suaranya bergetar.
"Aku sangat sibuk. Apa yang kalian inginkan?" tanya Mrs.
Deane. Laurie melangkah maju. "Kami sukarelawan di Shadyside
Hospital," katanya seraya menunjukkan kupon berhadiah di
tangannya. "Kami menawarkan kupon berhadiah untuk
mengumpulkan dana bagi pembangunan rumah sakit. Anda tahu kan,
hadiahnya Mercedes merah yang dipajang di rumah sakit itu. Satu
Kasih Diantara Remaja 5 Dewi Ular 41 Terjebak Bencana Gaib Pendekar Bloon 15
PROLOG Dalam kepanikan Laurie menahan napas dan melewati tanda
peringatan kuning-hitam bertulisan BAHAYA! DILARANG
MASUK! Didorongnya pintu itu hingga terbuka.
Seharusnya ia tidak masuk ke sini. Ia sendiri tak mau ada di
sini. Tapi di mana lagi ia bisa bersembunyi"
Sinar lampu di situ tidak terlalu terang, bayang-bayang gelap
dan menakutkan memenuhi paviliun baru rumah sakit yang kosong.
Semua pekerja bangunan sudah pulang, dan Laurie sendirian, berjalan
tersandung-sandung di antara puing-puing bangunan.
Mungkin ia tidak melihatku.
Mungkin ia tidak mengikutiku.
Mungkin aku sudah aman sekarang!
Rambut panjangnya yang berwarna pirang kecokelatan, dan
biasanya selalu rapi, kini menjuntai dari jepitannya dan tergerai kusut
di bahunya. Wajahnya yang cantik, biasanya selalu tenang, kini
diliputi ketakutan. Dengan susah payah ia bergerak masuk ke bangunan baru itu.
Kabel-kabel meliuk-liuk di sepanjang lantai dan menjuntai dari langitlangit. Belitan kabel menonjol keluar dari lubang-lubang di dinding,
menjulur seakan ingin meraihnya.
Tiba-tiba tampak seberkas cahaya ketika pintu terbuka.
Ya ampun, aku terjebak! Laurie berusaha tidak bersuara sedikit pun. Ia merapatkan
tubuhnya pada dinding di ujung ruangan besar itu. Seutas kabel
tersangkut di lengan bajunya. Ia memekik pelan sambil berputar untuk
membebaskan diri. Lalu terdengar suara yang sudah dikenalnya, "Laurie" Aku tahu
kau di sini. Kau tak bisa sembunyi dariku."
Perasaan takut kembali mencekam dirinya. Air mata mulai
membasahi matanya. "Keluarlah, Laurie," suara itu membujuk. "Aku cuma ingin
bicara denganmu. Izinkan aku memberi penjelasan."
Sambil berjalan selangkah demi selangkah, Laurie merasakan
aliran darahnya semakin cepat, mengganjal kerongkongannya. Ia tak
bisa melihat laki-laki itu, namun dapat merasakan kehadirannya yang
menakutkan. "Aku takkan melukaimu," suara itu berkata pelan.
Apakah ia juga bilang begitu pada perawat itu, sesaat sebelum
menikamnya" Sekujur tubuh Laurie gemetar.
Mendadak, dalam satu gerakan cepat, laki-laki itu telah berdiri
di depannya. Kedua tangannya mencengkeram bahu Laurie, lalu
dengan kasar menariknya. Laurie mencoba menjerit, tapi laki-laki itu membekap
mulutnya. Laurie merasakan napasnya yang panas menerpa pipinya.
Satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah, Di mana pisau
itu" BAB 1 SEMINGGU SEBELUMNYA "HEI , Laurie! Tunggu!"
Laurie Masters, yang baru setengah jalan menyusuri koridor itu,
berpaling dan melihat segerumbul besar balon berwarna perak
melayang ke arahnya. Di bawah gerumbulan itu muncul seorang gadis
bertubuh kecil mungil dan berambut gelap, memegang tali balonbalon itu erat-erat, seakan gas di dalamnya dapat mengangkatnya
hingga ke langit-langit. Skye Keely, sahabat akrab Laurie, berjalan
cepat, napasnya terengah-engah.
"Pestanya di mana?" tanya Laurie.
"Ini untuk anak di Kamar 901," jawab Skye. "Dia sudah punya
begitu banyak mainan dan bunga, sehingga tak ada lagi tempat tersisa
untuknya. Mau apa kau di Bagian Anak?"
"Aku baru saja ditugaskan di sini tadi pagi," ujar Laurie.
"Hitung-hitung ganti suasana dari Bagian Ortopedi. Mengherankan
sekali di sana, ada-ada saja yang dialami orang-orang itu sehingga
mengalami patah tulang!"
Skye memutar bola matanya. "Aku percaya," ia menanggapi
dengan nada tak acuh. "Ayolah," kata Laurie. "Aku harus menyerahkan foto sinar-X
ini ke Kantor Perawat."
Mereka menuruni tangga di koridor yang tidak terlalu terang itu
dan Laurie menyerahkan foto sinar-X-nya. Keduanya mengenakan
tunik dari kain belacu cokelat, pakaian untuk semua pelajar yang
menjadi sukarelawan di Shadyside Hospital. Tetapi pada tubuh Laurie
yang ramping, tunik itu tidak tampak jelek.
"Kita ketemu di kafeteria untuk makan siang?" tanya Skye.
"Tentu. Mungkin hari ini kau akan bertemu mahasiswa
kedokteran ganteng yang mati-matian ingin kautemui. Setelah itu kau
bisa pensiun selama sisa musim panas dan konsentrasi pada kehidupan
sosialmu." "Yang benar saja! Dengan pakaian begini?" Skye berhenti
berjalan dan menarik tuniknya dengan sebelah tangan. Wajahnya
tampak muak. "Aku tak habis pikir bagaimana kau bisa tampak begitu
serasi memakainya. Ini tidak adil!" Skye menggoyangkan rambut
hitamnya yang ikal dengan perasaan iri dan putus asa. "Tapi pokoknya
aku takkan berhenti sekarang. Ini bukan pekerjaan musim panas
paling buruk yang pernah kudapat. Aku sudah tidak kesal lagi
padamu, kok, karena membujukku untuk mencobanya."
Seorang perawat dengan seragam dan topi putih berkanji
bergegas berjalan di koridor, membawa nampan berisi obat-obatan. Ia
menatap tajam pada Laurie dan Skye ketika berpapasan dengan
mereka. "Ayo, ayo, lanjutkan tugas kalian. Jangan cuma berdiri di
sini, mengobrol sepanjang hari." Lalu ia pergi, diiringi roknya yang
berdesir dan sepatu bersol karetnya yang berdecit.
"Uh-oh!" kata Skye. "Itu Suster Wilton, Edith Wilton. Jangan
dekat-dekat dengannya. Kata orang, sebetulnya dia pernah tersenyum,
tapi itu mungkin sebelum kau dan aku lahir. Nah, ini Kamar 901.
Sampai jumpa saat makan siang."
Skye mendorong pintu kamar pasien hingga terbuka dan
"menggembalakan" gerumbulan balonnya ke dalam kamar.
Laurie terus menyusuri koridor.
Suara pembangunan gedung terdengar semakin keras sementara
ia mendekati bangunan paviliun yang akan segera menjadi bagian
gedung rumah sakit. Di luar pintu tebal, yang menutup bangunan baru
itu serta meredam hiruk-pikuk pembangunan, Laurie melihat tanda
peringatan berwarna cerah: BAHAYA! JANGAN MENDEKAT!
Di balik pintu itu, Paviliun Franklin Fear sedang dibangun
dengan biaya sepuluh juta dolar yang baru-baru ini disumbangkan
Franklin untuk Shadyside Hospital. Sebagai salah satu keturunan
keluarga Fear, Franklin memiliki kecenderungan yang sama seperti
leluhurnya Simon Fear"ia senang namanya diabadikan pada berbagai
hal. Paviliun Fear. Bukan nama yang bagus untuk bangunan sayap
sebuah rumah sakit, pikir Laurie dengan merinding.
Ia berhenti sejenak, mendengarkan suara para pekerja bangunan
memartil, memaku, dan menggergaji di dalam. Ketika keriuhan itu
reda sejenak, ia mendengar suara yang sangat berbeda: sedu sedan
seorang anak. Ia melihat berkeliling. Isak pelan itu datang dari Kamar 903,
tepat di seberang koridor. Laurie mendekati pintu dan mendengarkan
tangis pelan mengibakan yang kedengaran letih itu, seolah anak itu
telah lama menangis. Pelan-pelan ia mengetuk pintu Kamar 903 dan berjingkat
masuk. Seorang anak laki-laki berbaring di tempat tidur tinggi berwarna
putih. Kepalanya membelakangi pintu.
"Halo," sapa Laurie.
Anak itu tidak menoleh. Ia terus menangis. Tangisannya lebih
pelan sekarang, suaranya serak.
Laurie menatap ke sekeliling kamar. Tidak tampak bungabunga, mainan, atau kartu. Tak ada apa pun yang bisa
menggembirakan seorang anak kecil yang sedang sakit dan ketakutan.
"Aku datang mengunjungimu," kata Laurie.
Tangisan anak itu berhenti. Ia terisak pelan, tapi tetap tidak
menoleh. Ia memandang ke jendela di seberang pintu, tidak
memedulikan Laurie. Laurie melangkah menuju ujung tempat tidur untuk membaca
papan data yang tergantung di sana: "Toby Deane... tiga tahun...
pneumonia." Suhu tubuhnya sudah normal beberapa hari ini, jadi ia
akan segera pulang. Kenapa ia begitu sedih"
Laurie menghampiri anak itu.
"Hai, Toby. Namaku Laurie. Aku bekerja di sini." Wajah anak
itu mungil dan pucat. Rambutnya yang pirang-pasir tampak kusut di
atas bantal, dan hidungnya berbintik-bintik. "Aku sukarelawan," lanjut
Laurie dengan suara pelan. "Aku biasa disuruh-suruh, misalnya,
mengantarkan sesuatu, dan kadang-kadang aku mengunjungi pasien
yang sedih dan kesepian karena jauh dari rumah. Itukah yang
kaurasakan?" Toby tersedak satu kali dan tersedu-sedu. Laurie menarik tisu
dari kotak di meja samping tempat tidur, lalu mengusap pipi Toby
yang basah. Ia tersedu lagi dan berpaling. Laurie meraih tangannya
yang mungil. "Aku mengerti. Aku juga menangis bila harus tinggal di sini.
Tapi kau hampir sembuh. Aku yakin kau akan segera pulang."
Anak itu terisak pelan, dan memejamkan matanya rapat-rapat.
"Kau tak mau bicara" Baiklah. Aku akan menemanimu
sebentar." Diusapnya tangan anak itu, berusaha menenangkannya.
"Kau mau kubacakan cerita" Aku bisa pergi mengambil buku dan
membacakan kisah yang bagus untukmu. Kau mau?"
Pintu tiba-tiba terbuka, dan Suster Wilton menghambur masuk.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya.
"Saya... saya cuma bicara pada Toby, untuk membuatnya
gembira," jawab Laurie.
"Jangan buang waktu," kata Suster Wilton kasar. "Dia takkan
bicara padamu. Dia takkan bicara pada siapa pun. Kau cuma
mengganggu saja. Pergilah."
Laurie kaget mendengar nada kasar perawat itu. Tapi ia
mengingatkan dirinya sendiri bahwa kebanyakan perawat bekerja
melampaui batas dan bisa gampang naik darah. Salah satu kawannya
di Shadyside High, Mayra Barnes, pernah mengatakan bahwa ibunya
yang perawat selalu kecapekan dan cepat tersinggung.
Sementara melangkah meninggalkan kamar, Laurie melirik
sekali lagi pada Toby. Anak itu mengamatinya sekarang, matanya
yang berlinang menatapnya dari balik punggung lebar Suster Wilton.
Laurie tersentak. Ia yakin bahwa, diam-diam, anak itu
memohon padanya. BAB 2 "DAGING apa nih" Kok warnanya biru begini?" tanya Skye
sambil meletakkan nampannya di seberang Laurie.
"Daging rebus hari ini," jawab Laurie. "Kenapa tidak ambil
salad saja?" "Huh, terlalu sehat. Lagi pula tadi tidak kelihatan biru, sebelum
aku membawanya ke tempat terang. Idih!" Skye duduk dan menatap
piringnya. Di sekitar mereka, hiruk-pikuk kafeteria itu memekakkan
telinga. Para dokter dan teknisi berjas lab putih berimpitan dan
berdesakan duduk di meja-meja panjang. Tim ahli bedah memakai
topi kain hijau, sepatu lunak, dan penutup baju bergerombol mencari
tempat. Para keluarga pasien yang letih, duduk diam memisahkan diri
sementara para pekerja rumah sakit ramai berseliweran membawa
nampan di sekitar mereka.
"Apa aku bisa pinjam dua balon yang kaubawa tadi pagi?"
Laurie terpaksa setengah berteriak sementara ia mencondongkan
tubuh ke seberang meja, dan menceritakan tentang Toby Deane pada
Skye. "Siapa tahu balon-balon itu bisa bikin dia ceria, itu pun kalau
anak di Kamar 901 tidak keberatan lho."
"Dia bahkan takkan peduli," sahut Skye. "Buka saja pintunya,
semua mainannya langsung jatuh ke luar saking banyaknya. Akan
kuambilkan balon-balon itu siang ini."
Seorang perawat mencondongkan tubuh di atas bahu Skye
untuk meraih bungkusan gula di tengah meja, stetoskopnya berjuntai
di atas piring Skye. Skye menyingkirkan dagingnya dan mencomot
keripik kentang dari piring salad Laurie. "Sudah berapa kupon undian
yang kaubeli?" tanyanya sambil mengunyah dan mencomot keripik
lagi. "Cuma satu," jawab Laurie. Disingkirkannya piringnya. "Aku
masih jual kupon undian lho, kalau kau masih mau lagi."
"Ah, aku sudah punya kupon yang akan menang. Aku yakin.
Begitu menang, aku akan membeli gaun merah baru, supaya cocok
dengan mobilnya." Ratusan penduduk Shadyside bersaing untuk memenangkan
mobil sport Mercedez-Benz merah yang dipajang di lobi rumah sakit.
Itu hadiah undian yang diadakan untuk mengumpulkan dana bagi
pembangunan Paviliun Franklin Fear. Laurie sudah menjual empat
buku kupon undian kepada tetangga-tetangganya dan penduduk kota
yang kena rayuan mautnya, meskipun mereka sudah membeli
sekantong penuh. "Jangan buang dulu Toyota tuamu. Tunggu sampai mereka
memberimu kunci," Laurie memperingatkan. "Apa acaramu malam
Minggu ini" Kau punya kencan?"
"Tentu dong! Bahkan ada dua. Jim Farrow dan Eric Porter."
"Ya ampun, lagi-lagi dua!" seru Laurie. "Keterlaluan." Ia tidak
setuju kebiasaan Skye membuat janji kencan dengan dua cowok pada
malam yang sama, setelah itu baru memutuskan kencan mana yang
dibatalkan. "Aku tahu." Skye angkat bahu. "Aku bersedia menukar mereka
berdua dengan Andy Price, kapan saja kau sudah bosan dengannya."
Laurie mendesah. "Kalau sekarang, bagaimana" Aku akan
bertemu dengannya malam Minggu. Seandainya aku tahu cara
memutuskan hubungan dengannya."
Skye menyesap Coke-nya dan mengangguk. "Yeah, jelas aku
tahu kenapa kau ingin putus darinya. Dia terlalu ganteng, dan terlalu
menyenangkan, dan ayahnya cuma Dr. Raymond Price, tokoh paling
beken di Shadyside."
"Dr. Price ayah tirinya," Laurie mengingatkan.
"Oh, sudahlah! Dia juga direktur rumah sakit, jadi sebaiknya
kau tidak main-main dengan Andy selama kau bekerja di sini.
Memangnya apa sih kejelekan Andy?"
"Dia tidak punya cita-cita, kayak orang tolol saja," sahut Laurie
sambil menusukkan garpu ke saladnya.
"Tidak semua orang ingin jadi dokter seperti kau." Skye sangat
mengagumi Laurie, tapi kadang-kadang menurutnya Laurie perlu
santai sedikit. "Menurutku Andy tidak serius pada apa pun," ujar Laurie. Ia
mengunyah sambil merenung.
"Dia serius padamu, lho."
"Itulah sebagian masalahnya. Dia terlalu lengket. Aku tidak
senang dia berusaha membuntuti ke mana pun aku pergi. Aku kan
punya banyak minat, dan kadang-kadang aku ingin kumpul-kumpul
dengan cowok-cowok lain."
Perawat yang duduk di sebelah Skye mengumpulkan piringpiring kotornya, lalu bangkit meninggalkan meja. Skye sedang
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencomot lagi keripik kentang Laurie ketika tiba-tiba ia terpaku
dengan tangan menggantung di udara. Ia duduk tegak di kursinya.
"Oh, wow! Ngomong-ngomong soal cowok lain, coba lihat
siapa yang baru saja masuk."
"Siapa?" Laurie tidak mau menoleh.
"Astaga, itu Tom Cruise!" bisik Skye dengan kegembiraan
meluap. "Eh, bukan deh! Tidak mungkin ah!"
Laurie terpaksa menoleh. "Kau benar. Memang bukan dan tidak
mungkin Tom Cruise. Tom Cruise sudah lebih tua, dan rambutnya
juga tidak merah." "Itu bukan merah."
"Ya sudah, kemerah-merahan deh. Skye, jangan terus-terusan
menatapnya dong!" seru Laurie. "Mungkin dia memang tidak setua
Tom Cruise, tapi yang pasti dia terlalu tua buatmu. Taruhan, dia pasti
sudah kuliah. Dia takkan berminat pada kita."
"Oh oh, dia menuju kemari!" ujar Skye dengan napas tertahan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanya sebuah suara yang dalam dan
menyenangkan. Skye tersenyum. Dari dekat, cowok ini memang betul-betul
seganteng Tom Cruise. Tubuhnya tinggi, matanya biru gelap, dan
tubuhnya yang berbalut T-shirt ketat memperlihatkan ia mungkin
seorang atlet atau cowok yang gemar fitness. T-shirt-nya lucu,
berwarna putih dengan huruf hitam besar bertulisan "Salah jalan. Ayo
balik lagi." Di bahunya ia menyandang tunik cokelat yang
menandakan dirinya sesama sukarelawan.
"Boleh saja," sahut Skye sambil menggeser duduknya, memberi
tempat. "Kami memang menyediakannya untuk sukarelawan mana
pun yang mau ikut dengan kami dalam aksi mengambil alih rumah
sakit." "Aku ikut," ujar cowok itu sambil tertawa. Ia meletakkan
hamburger dan kopinya di meja. Ia bicara pada Skye, tapi matanya
menatap Laurie. Cowok kece itu duduk dan mencondongkan tubuh supaya lebih
dekat dengannya. "Aku Rick Spencer, veteran tiga hari di Bagian
Bedah." "Aku Laurie Masters, bertugas di Bagian Anak minggu ini."
Laurie mengejapkan mata birunya dan menyadari dirinya tiba-tiba saja
merasa hangat. Sumber kehangatan itu tentu saja Rick Spencer dan
senyumnya yang menawan. "Aku juga," Skye menimpali. "Lantai sembilan"Anak-anak
dan Konstruksi. Aku Skye Keely. Hei, aku suka banget T-shirt-mu!"
Rick berpaling pada Skye. "Benar nih" Aku punya koleksi Tshirt paling banyak di dunia. Cuma inilah yang bisa membuatku
terkenal." Ia menggigit burgernya dan kembali berpaling pada Laurie.
"Kau suka kerja di sini?"
"Asyik sekali!" sahut Laurie, menanggapi perhatian Rick.
"Bekerja di rumah sakit, memang inilah yang kuinginkan selama
hidupku. Bibiku memperingatkan, aku mungkin akan merasa bosan,
tapi nyatanya aku menikmati setiap menit di sini!"
"Laurie akan menjadi dokter," komentar Skye. "Kalau kami
berhasil lulus dari Shadyside High."
"Betulkah?" Tatapannya terpaku pada Laurie sementara ia
menyesap kopinya. "Aku akan masuk tahun kedua di Southbank
College, dan aku sedang pikir-pikir untuk masuk ke sekolah
kedokteran." "Dan aku akan bergabung dengan rombongan sirkus, beraksi di
atas kawat," gumam Skye pada dirinya sendiri. Ia sadar dirinya tidak
diacuhkan, dan ia tidak senang.
"Kupikir lebih baik aku punya pengalaman kerja dulu di rumah
sakit sebelum aku membuat rencana apa pun," Rick menjelaskan pada
Laurie. "Kenapa bibimu mengira kau akan bosan" Apa dia dokter di
sini?" "Bukan," jawab Laurie. "Bibiku konsultan keuangan. Dia
membesarkan aku setelah orangtuaku meninggal, dan dia selalu
mengkhawatirkan diriku."
Mengatasi suara bising kafeteria yang penuh sesak, tiba-tiba
pengumuman penting meraung melalui interkom di dinding, "Code
Blue, Kamar 903. Regu darurat harap ke Kamar 903." Beberapa
dokter melompat dan berlari ke luar.
"Oh-oh," kata Skye. "Code Blue. Ada keadaan darurat."
"Apa?" tanya Rick.
Laurie menjelaskan. "Code Blue berarti ada pasien yang
mengalami gangguan fungsi jantung, misalnya jantungnya berhenti
berdenyut, atau keadaan gawat lainnya. Ada tim medis khusus yang
bertanggung jawab. Mereka bisa menyelamatkan hidup si pasien bila
mereka tiba secepatnya. Kaulihat tadi, beberapa dokter langsung lari
ke luar." "Agaknya banyak hal yang harus kupelajari. Aku tidak
mendengar atau melihat apa pun." Ekspresi wajahnya menyiratkan
Rick tidak mendengar atau melihat apa pun. Cuma Laurie yang ada
dalam benaknya saat itu. Pengumuman itu diulang lagi, "Code Blue, Kamar 903!"
"Kau akan terbiasa...," kata Laurie pada Rick. Mulutnya
ternganga karena kaget. Kamar 903 adalah kamar si kecil Toby
Deane. Tim medis darurat dipanggil ke kamar anak itu.
Laurie mendorong kursinya ke belakang dan berlari
meninggalkan kafeteria. BAB 3 "DI mana apinya?" Suster Jenny Girard berpaling dari kertaskertas yang sedang diperiksanya ketika Laurie melesat melewati
Kantor Perawat di lantai sembilan. Laurie tidak berhenti untuk
menjawab pertanyaannya. Ia berlari sepanjang koridor, dalam hati
bertanya-tanya mengapa segalanya begitu tenang dalam suasana
darurat ini. Pintu Kamar 903 tertutup, tapi Laurie bisa mendengar tangis
ketakutan Toby di dalam. Ia mendorong pintu hingga terbuka dan
terpaku kaget. Suster Wilton membungkuk di atas tempat tidur Toby.
Anak itu memukul dan menjerit-jerit, berupaya menyingkirkan
perawat itu. Suster Wilton berpaling pada Laurie. "Lagi-lagi kau?" Ia
menegakkan tubuh, dan Laurie dapat melihat jarum suntik di
tangannya. "Siapa namamu?" ia bertanya.
Laurie menjawab pertanyaannya. Bicaranya agak tersendat.
"Aku sudah menyuruhmu pergi!" Suster Wilton menyambar
lengan Toby ketika anak itu mencoba lari.
"Saya... saya mendengar panggilan darurat dari Kamar 903,"
Laurie menjelaskan. "Itu dari Kamar 503"bukan di Bagian Anak," bentak Suster
Wilton. "Aku sedang berusaha mengambil darah anak ini, dan kau
malah membuatnya jadi lebih sulit."
Toby menatap Laurie dengan terengah-engah di antara
tangisnya. "Mungkin saya bisa membantu. Seandainya saya bicara
padanya, memegang tangannya, dia mungkin mau disuntik," Laurie
memohon. "Pokoknya keluar... sekarang juga," geram Suster Wilton.
"Kalian, para sukarelawan, lebih banyak menyusahkan daripada
membantu!" Sadar dirinya kalah, Laurie melemparkan senyum
menyemangati pada Toby, lalu berpaling dan pergi. Ketika ia
menyusuri koridor, pikirannya begitu bingung, sehingga ia hampir
menabrak kereta dorong berisi peralatan makan siang di sudut.
Ia melangkah menuju Kantor Perawat. Mungkin Suster Jenny
Girard bisa memberinya petunjuk tentang bagaimana ia bisa menolong
Toby tanpa melibatkan Suster Wilton.
Di ruangan itu, Suster Girard sedang memberi penjelasan pada
seorang wanita yang gelisah. "Maafkan saya, Mrs. Deane. Saya
mengerti Anda ingin sekali membawa pulang anak Anda, tapi para
dokter tak dapat melepaskannya sebelum mereka yakin dia sudah
sehat betul." Wanita bertubuh besar dan mengenakan gaun longgar itu adalah
ibu Toby. Tangannya mencengkeram dompetnya begitu erat, sehingga
Laurie dapat melihat ruas-ruas jarinya memutih. "Anda tak usah
kecewa," pinta Suster Girard. "Tidak akan lama. Dia baik-baik saja.
Malah mungkin dia bisa pulang besok."
Laurie ingin bicara dengan Mrs. Deane, tapi ia khawatir akan
membuatnya lebih sedih. Ia mengamati wanita itu masuk ke dalam
lift, kemudian ia kembali ke Kantor Perawat. Suster Wilton tampak
sedang menyusuri koridor, ke arah berlawanan.
Inilah kesempatan baginya! Dengan langkah cepat ia menyusup
ke dalam kamar Toby Deane.
Anak itu sudah tenang sekarang, matanya menatap ke luar
jendela. "Halo, Toby. Ini aku, Laurie. Aku tahu kau sedih, tapi aku baru
saja mendengar berita baik."
Toby tidak bergerak. "Betul, lho! Suster bilang, kau bisa segera pulang. Asyik, kan?"
Toby berpaling. Noda air mata memenuhi wajahnya.
"Mungkin malah kau sudah bisa pulang besok."
Sejentik harapan menyala pada wajah mungil di atas bantal itu.
"Ibumu akan datang menjemput."
Toby membuang muka tanpa berkata sepatah pun dan
memejamkan mata. Laurie menghampiri tempat tidur, lalu memegang
tangannya yang halus. Napasnya mulai teratur. Sesaat sebelum ia
terlelap, Laurie merasa tangan Toby yang mungil meremas jemarinya.
Laurie berjingkat keluar.
Di seberang koridor, tanda-tanda peringatan di depan Paviliun
Fear"paviliun baru"terasa menyakitkan matanya: BAHAYA!
DILARANG MASUK! Ia merinding. Laurie tak mengerti, mengapa
tanda-tanda itu membuatnya begitu ketakutan"
Lalu dilihatnya pintu paviliun baru itu tertutup, pelan-pelan.
Mengapa ada orang di dalamnya pada saat seperti ini" Semua pekerja
bangunan sedang pergi makan siang. Perasaan Laurie mengatakan ada
orang yang bersembunyi di sana, mungkin tengah mengamati kamar
Toby"atau mengamati dirinya.
Ia menyusuri koridor, bulu kuduknya meremang. Tanpa dapat
menahan diri, ia melirik lagi pintu paviliun itu. Matanya menangkap
sesosok tubuh laki-laki, yang segera menyelinap kembali ke balik
pintu begitu melihatnya. Memang cuma sekilas, tapi Laurie sempat melihat tunik cokelat
yang melapisi T-shirt berwarna hitam-putih.
Laki-laki itu Rick Spencer, sukarelawan baru yang ditemui
Laurie dan Skye di kafeteria.
BAB 4 JALANAN di luar gelap. Sambil meringkuk di sofa, Laurie
membalik halaman buku yang tengah dibacanya. Ia memeriksa
arlojinya lagi. Sudah lewat pukul sepuluh malam. Bibinya, Hillary,
belum pulang juga. Ia pasti kerja lembur.
Laurie meringkuk semakin dalam di sofa yang ada di ruang
perpustakaan yang besar dan nyaman itu. Ia berharap Bibi Hillary
akan segera pulang. Rumah tua mereka yang besar di North Hills itu
kadang-kadang terasa sepi.
Meskipun demikian, ia amat bangga pada bibinya. Hillary
Benedict adalah salah satu auditor keuangan paling sukses di kota ini.
Pekerjaannya sebagai konsultan berbagai bank dan lembaga besar
lainnya sering kali membuatnya harus bekerja sampai malam atau
pergi ke luar kota selama beberapa hari.
Laurie menatap kegelapan malam di luar jendela dan
membiarkan pikirannya mengembara. Ia tak ingat ia pernah tinggal di
tempat lain. Seingatnya seumur hidup ia tinggal di sini, bersama
bibinya. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan sewaktu berlayar,
ketika Laurie masih sangat kecil. Sejak saat itu, Hillary"adik
ibunya"menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki. Penampilan
mereka berdua mirip satu sama lain, sehingga banyak orang mengira
mereka sebagai ibu dan anak.
Dalam banyak hal, menurut Laurie ia beruntung. Kawankawannya selalu mengeluh tentang bagaimana orangtua mereka
berusaha mengawasi tingkah laku mereka. Hillary memberi Laurie
kebebasan, kecuali kalau sesuatu membuatnya khawatir. Tapi
sekarang giliran Laurie yang khawatir.
Laurie melihat arlojinya lagi. Pukul setengah sebelas. Ke mana
dia" Telepon berdering. Laurie segera mengangkatnya, mengharap
Hillary yang menelepon. "Halo?" Tak ada jawaban. "Halo" Halo?" Laurie mengulangi.
Tak ada jawaban. Ia dapat mendengar suara tarikan napas, seolah seseorang di
ujung sana sedang mendengarkan. Mungkin beberapa anak brengsek
dari sekolah sedang mempermainkannya. Apa mereka tidak tahu,
permainan seperti ini sudah kuno"
Laurie sudah hendak membanting telepon ketika samar-samar
ia mendengar bunyi sirene ambulans, makin lama makin jelas. Itu
suara yang didengar olehnya setiap hari di rumah sakit.
Hubungan telepon putus. Laurie menatap pesawat telepon itu,
perasaannya gelisah. Beberapa menit kemudian telepon berdering lagi. Laurie
melompat. Dengan enggan ia mengangkatnya dan berkata, "Halo?"
"Apakah ini Laurie Masters?"
"Ini siapa?" "Rick Spencer. Kita bertemu di kafeteria hari ini. Kau pergi
begitu tiba-tiba, sehingga aku berpikir apakah ada yang tidak beres."
"Dari mana kau tahu nomor teleponku?" tanya Laurie.
"Oh... temanmu yang memberitahu."
"Skye?" Kenapa Skye tidak bilang apa-apa padanya"
"Betul," jawab Rick. "Kenapa kau pergi begitu cepat" Apakah
ada masalah?" Laurie mulai santai. "Oh, tidak ada apa-apa, kok. Cuma
kekeliruan. Ada seorang anak di lantai sembilan, di Kamar 903, yang
membuatku khawatir. Anaknya manis. Usianya tiga tahun, dengan
wajah berbintik-bintik, tapi dia menangis terus. Kusangka panggilan
darurat itu dari kamarnya, tapi ternyata dari Kamar 303." Kemudian ia
ingat sesuatu. "Eh, Rick, apa kau ada di lantai sembilan tadi siang" Di
Paviliun Fear?" "Tidak. Memangnya kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa, kok," jawab Laurie. "Apa kau meneleponku
beberapa saat yang lalu?"
"Ya, tapi salurannya lagi sibuk. Aku mau tanya, apa kau tidak
ada acara malam Minggu ini" Mungkin kita bisa pergi bersama. Jalanjalan, dan sebagainya."
"Wah, sori. Menyesal sekali, aku sudah ada janji." Sesaat
Laurie betul-betul merasa menyesal. Kemudian muncul dalam
benaknya bayangan seseorang yang menyelinap ke dalam paviliun
rumah sakit. Apakah ia salah duga"
"Mungkin lain kali?" tanya Rick.
"Tentu saja," kata Laurie setuju. "Kita bisa bertemu di rumah
sakit. Sudah dulu, ya" Bibiku belum pulang nih, dan dia mungkin
sedang berusaha meneleponku. Kalau kita ngobrol terus, teleponnya
tidak bisa masuk." "Oke. Aku akan menemuimu besok," ujar Rick.
Hanya sedetik sebelum Laurie menutup telepon, sekali lagi ia
mendengar raungan sirene ambulans, terdengar semakin keras di
telinganya, sampai akhirnya hubungan terputus. Tampaknya Rick
masih berada di rumah sakit sampai larut malam. Padahal para
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sukarelawan lainnya sudah lama pulang.
Laurie duduk, perasaannya bingung. Lalu ia menekan nomor
telepon Skye, meski ia tahu sahabatnya itu biasa pergi tidur sore-sore.
"Aku tahu sudah malam," kata Laurie, "tapi ada yang perlu
kutanyakan padamu. Apakah kau memberitahukan nomor teleponku
pada Rick?" "Siapa?" gumam Skye. Kedengarannya ia setengah tidur.
"Rick, Rick Spencer. Cowok yang kita temui di... itu lho, si
Tom Cruise." "Oh, ya. Maksudku, tidak. Aku tidak memberinya nomor
teleponmu. Apa maumu begitu?"
"Sudahlah," ujar Laurie. "Kita ketemu besok."
Setelah menutup telepon, Laurie mencoba menjernihkan
pikirannya. Ada yang tidak beres, tapi ia tidak tahu apa. Apakah Rick
meneleponnya dua kali malam ini" Diakah yang menelepon pertama
kali, si penelepon bisu itu" Apa yang dilakukannya di rumah sakit
pada malam selarut ini" Dan apakah benar Rick yang dilihatnya di
pintu Paviliun Fear"
Laurie masih bingung, tapi ia yakin akan satu hal"Rick
Spencer seorang pembohong.
BAB 5 LAURIE pergi tidur sebelum Bibi Hillary pulang. Dan
meskipun ia bangun pagi-pagi keesokan harinya, bibinya sudah pergi
lagi. Ia pasti sedang mengerjakan proyek yang sangat penting, pikir
Laurie. Ia mengambil sesendok keju halus untuk sarapan, sambil
membaca pesan yang ditinggalkan bibinya.
Hai, Manis. Sibuk, sibuk, sibuk. Sori, kita tidak ketemu
semalam. Tak usah menungguku untuk makan malam. Aku kerja
lembur lagi. Salam sayang.
H. Laurie punya misi khusus pagi ini dan ia tak sabar ingin segera
berangkat ke rumah sakit. Dimasukkannya tunik cokelatnya ke dalam
tas, disambarnya kunci mobil, dan ia agak kesal ketika telepon
berdering sesaat sebelum ia keluar rumah.
"Ini Dr. Price," kata seseorang.
"Hah" Siapa?" seru Laurie kaget.
"Aku punya tugas khusus untukmu hari ini. Kuminta kau tak
usah bekerja, melainkan main tenis saja dengan putraku."
"Andy!" Laurie tertawa. "Kau ditangkap karena melakukan
praktek tanpa izin. Tenis" Tak usah ya!"
"Gimana kalau berenang sebentar?" desak Andy. Suaranya
kembali normal. "Pokoknya tidak. Aku serius," jawab Laurie tegas. "Hari ini hari
kerja, dan aku lagi buru-buru."
"Aku hampir tidak bertemu denganmu musim panas ini," Andy
mengeluh. "Kau selalu sibuk."
"Salahmu sendiri. Kau kan bisa bergabung denganku dan Skye
di rumah sakit. Ayahmu pasti senang. Tahu nggak, banyak cowok
yang jadi sukarelawan."
"Oh, ya" Contohnya siapa?"
Laurie menghela napas. Cepat atau lambat ia harus menghadapi
kecemburuan Andy. "Aku harus pergi. Kita ketemu hari Sabtu."
"Tunggu! Gimana kalau kita makan piza seusai jam kerja" Aku
akan ke Patsy's Pizzeria bersama Jim Farrow... mungkin Skye juga
ikut." Kenapa tidak" Kedengarannya lebih asyik daripada menyiapkan
makan malam untuk diri sendiri. Kayaknya apa saja lebih asyik, deh,
dibanding makan malam sendirian.
"Oke. Kita ketemu di sana. Bye."
Sewaktu mengemudikan mobilnya ke Shadyside Hospital,
Laurie teringat pada Toby Deane. Ia akan melakukan apa saja agar
anak itu bisa tersenyum. Itulah misi khususnya pagi ini.
Di rumah sakit ia menghindari kerumunan orang di lantai utama
dan bergegas ke toko cenderamata. Tumpukan buku, surat kabar, alat
kecantikan, bunga, permen, keranjang buah, kartu, dan T-shirt
berjejalan di ruangan sempit itu. Juga ada rak yang dipenuhi mainan
dan boneka, untuk menggembirakan anak-anak yang sakit.
Laurie mengamati rak-rak itu untuk beberapa saat, lalu memilih
boneka beruang kecil berbulu halus. Ia ingin segera memberikan
boneka itu pada Toby. Dengan tak sabar ia antre untuk membayar.
Sesudahnya ia naik lift yang penuh orang, menuju Bagian Anak.
Koridornya kosong, bahkan tak ada yang berjaga di Kantor
Perawat. Pagi-pagi seperti ini, para perawat sibuk di kamar-kamar
pasien. Sementara menyusuri koridor lantai sembilan, Laurie
tersenyum, membayangkan kegembiraan Toby saat menerima
hadiahnya. "Coba lihat, siapa yang datang menjengukmu!" ia berseru
seraya mengulurkan boneka beruang itu, sesampainya di Kamar 903.
Tapi ia berhenti"terpaku.
Kamar itu kosong. Tempat tidur sudah dirapikan. Semua benda
yang memenuhi meja dan lemari sudah lenyap. Tak ada tanda-tanda
Toby pernah berada di kamar ini.
"Oh, tidak!" jerit Laurie. "Dia mati!"
BAB 6 "DIA mati!" jerit Laurie, bibirnya bergetar.
Dengan boneka beruang masih di tangannya, ia menjatuhkan tas
dan tuniknya di tempat tidur yang kosong, lalu lari. Ia harus menemui
seseorang, siapa saja. Pokoknya seseorang.
Laurie tahu tak mungkin Toby sudah pulang. Pasien tidak
dibiarkan pulang sampai para staf dokter memeriksa mereka pada
tugas keliling pukul sebelas siang. Apa yang terjadi pada anak itu
hingga menimbulkan kejadian tragis seperti itu"
Di Kantor Perawat ia hampir tergelincir.
Ah, itu dia. Toby mengenakan overall merek Oshkosh dan
kemeja kuning, tangannya dipegang erat oleh ibunya. Laurie merasa
hampir lemas karena lega. Toby Deane masih hidup! Ia tampak manis
sekali dengan rambutnya yang pirang-pasir tersisir rapi dan ujungujung sepatu ketsnya yang kecil saling menghadap ke dalam. Laurie
hampir tak bisa menahan diri untuk menyerbu dan memeluknya.
Kenapa ya, mereka membiarkan anak itu pulang sepagi ini"
Lalu Laurie melihat bahwa Mrs. Deane sedang bicara serius
dengan Rick Spencer. Apa yang dilakukan cowok itu di Bagian Anak"
Bukankah kemarin Rick bilang ia bertugas di Bagian Bedah" Apa sih
yang ia bicarakan dengan ibu Toby"
Rick mencondongkan tubuhnya ke arah Mrs. Deane ketika
berbicara, tuniknya tersampir di bahu. T-shirt-nya hari itu berwarna
hitam, dengan gambar kobaran api merah manyala dan sebuah logo
Harley Davidson berukuran besar. Seleranya benar-benar norak, pikir
Laurie. Ia memperhatikan mereka terus, sampai akhirnya Toby
menyadari kehadirannya di ujung koridor itu. Laurie tersenyum seraya
menyodorkan boneka beruang di tangannya. Mata Toby yang sedih
bersinar-sinar, dan anak itu menunjuk dirinya sendiri, seolah bertanya
tanpa suara, "Untukku?"
Laurie mengangguk. Toby melirik Kantor Perawat yang kosong, lalu ke arah ibunya
dan Rick. Mereka terlalu larut dalam percakapan, sehingga tidak
memperhatikannya. Toby membebaskan tangannya dari ibunya, lalu
berjalan malu-malu ke arah Laurie.
"Teddy pasti sedih kalau kau pergi tanpa mengajaknya," kata
Laurie. Diletakkannya boneka yang lembut itu ke tangan Toby.
Toby memeluk boneka itu erat-erat dan membenamkan
wajahnya dalam bulunya yang halus.
"Kalian akan jadi teman baik, ya, kan?" kata Laurie.
Toby mengangguk tanpa bicara.
"Aku benar-benar senang kau pulang, tapi aku akan
merindukanmu. Janji ya, setiap kali kaupeluk Teddy, kau akan ingat
padaku, sebab aku juga akan ingat padamu."
Toby meraih dan menggenggam tangan Laurie. Tampaknya
enggan meninggalkan gadis itu.
"Kau akan merasa lebih baik begitu sampai di rumah. Nah, kau
mau bilang selamat tinggal padaku, kan" Katakan sesuatu, dong,"
bujuk Laurie. Toby menggeleng-gelengkan kepala.
Laurie berlutut dan memeluk anak itu. "Oke, Toby. Jadilah anak
manis dan jaga Teddy, ya?" Diciumnya pipi Toby, lalu dibalikkannya
tubuh anak itu. "Pergilah. Ibumu sudah menunggu."
Toby membalikkan tubuhnya lagi.
"Dia bukan ibuku," bisiknya. Lalu air mata membasahi
matanya. BAB 7 LAURIE mendekatkan tubuhnya ke Toby. "Apa maksudmu,
Toby" Tentu saja dia ibumu."
Toby menggeleng. "Tidak, dia bukan ibuku!"
"Toby! Kemari kau!" hardik Mrs. Deane. Tapi Rick tampaknya
mengatakan sesuatu pada wanita itu, hingga perhatiannya teralih.
"Jadi, siapa dia?" Mungkinkah Toby masih belum sehat, hingga
membayangkan yang tidak-tidak"
"Aku tak dapat mengatakannya. Dia pasti marah kalau aku
memberitahumu." "Siapa yang bakal marah" Siapa sebenarnya wanita itu, Toby?"
Toby menundukkan kepala. "Aku mau pulang!" dengusnya.
"Toby, kemari, kataku!" bentak Mrs. Deane. Ia dan Rick
menatap mereka berdua. Toby menyeret kakinya ke arah Kantor Perawat. Tampaknya
Mrs. Deane menanyakan soal boneka pemberian Laurie, yang dipeluk
semakin erat oleh Toby. Rick dan wanita itu menoleh ke arah Laurie.
Lalu Mrs. Deane meraih tangan Toby dan menyeretnya ke lift.
Toby menatap Laurie dengan penuh permohonan sekali lagi,
sebelum akhirnya menghilang di dalam lift.
Laurie melangkah cepat ke Kantor Perawat. Rick telah
mengenakan tuniknya dan sedang merapikan rambut ketika Laurie
berhenti di dekatnya. "Apa yang kaulakukan di lantai ini?" tanya Laurie.
"Salah satu dokter menyuruhku untuk suatu keperluan.
Ngomong-ngomong, kau baik sekali membelikan anak itu boneka!
Toby Deane" diakah yang membuatmu khawatir kemarin?"
"Hmm," gumam Laurie. "Wanita temanmu bicara tadi, dia ibu
Toby, kan?" "Benar," jawab Rick. "Mereka orang baru di Shadyside. Baru
pindah ke sebuah rumah tua di Fear Street. Begitulah kata Mrs. Deane.
Tadi aku memberitahunya letak apotek terdekat, supaya dia bisa
menebus resep untuk Toby. Aku senang bertemu denganmu."
"Aku juga," sahut Laurie. Suaranya harus terdengar biasa. "Aku
tak habis pikir, kenapa kau berada di rumah sakit sampai begitu larut
semalam. Apa mereka mulai mengadakan shift malam untuk para
sukarelawan?" Rick tampak kaget. "Apa yang membuatmu berpikir aku
meneleponmu dari sini?"
"Apakah aku keliru?"
"Ya." Rick ragu. "Aku berharap akan bertemu kau di sini.
Soalnya aku ingin bertanya, apa kau ada acara sepulang kerja nanti.
Kupikir mungkin kau mau memanduku jalan-jalan keliling kota?"
Matanya yang biru gelap menatap Laurie. Rick tertawa, dan
Laurie harus mengingatkan dirinya bahwa cowok itu benar-benar tak
dapat dipercaya. Rick menelepon dari rumah sakit semalam, Laurie yakin itu.
Dan mana mungkin ia dapat menunjukkan apotek terdekat kepada
Mrs. Deane" Katanya ia sendiri orang baru di Shadyside"
Cowok itu jelas mengandalkan pesonanya. Dan ia benar-benar
yakin pada dirinya sendiri. "Mau, kan?" tanyanya seraya menyentuh
lengan baju Laurie. "Aku tak bisa. Aku ada janji dengan seseorang...."
Telepon di Kantor Perawat berdering, hingga Laurie tak perlu
menjelaskan lebih lanjut. Tak tampak perawat seorang pun. Laurie
mengulurkan tangan dan meraih gagang telepon di meja di balik
sekat"namun secepat kilat menarik tangannya.
Di dekat pesawat telepon ada sebuah kotak empat persegi
panjang. Kotak itu terbuka, memperlihatkan isinya yang
menyeramkan: tiga bilah pisau bedah panjang, mata pisaunya berkilat
oleh cahaya lampu yang jatuh di atasnya.
Laurie menatap benda itu, bagai terhipnotis.
Telepon terus berdering. "Biar kuangkat," ujar Rick seraya mengulurkan tangan.
Laurie menarik tubuhnya dan membiarkan Rick mengangkat
gagang telepon. Ia tak mengerti mengapa dirinya ketakutan seperti itu.
Pisau-pisau itu kan alat untuk menyembuhkan, dibuat khusus untuk
menolong orang sakit, bukannya untuk menciptakan rasa sakit atau
luka. Lalu kenapa benda-benda itu membuatnya ngeri"
Aku terlalu cepat gugup, pikir Laurie. Ia melangkah ke kamar
Toby untuk mengambil tas dan tuniknya. Perkataan anak kecil itu
terngiang terus di telinganya. Kenapa Toby mengatakan Mrs. Deane
bukan ibunya" Adakah yang tidak beres dengan anak itu"
Laurie kembali ke koridor. Diawasinya Rick menuliskan pesan
dan kemudian meletakkan gagang telepon.
Lalu dilihatnya cowok itu mengangkat kotak berisi pisau bedah,
menutupnya, kemudian menyelipkannya diam-diam ke dalam kantong
tuniknya seraya melangkah menuju lift.
BAB 8 RICK mengambil pisau-pisau bedah itu!
Laurie tak percaya. Ditatapnya pintu lift yang bergerak
menutup. Apa yang harus kulakukan" Ia harus memberitahu
seseorang, tapi siapa" Dan benarkah ia ingin mengadukan Rick"
Tapi cowok itu pencuri, dan sekaligus pembohong, sebuah
suara kecil di dalam kepala Laurie mengingatkannya.
Laurie beranjak ke Kantor Perawat dan berdiri di sana.
Kebingungan. Bunyi berisik yang datang dari lift karyawan yang terletak di
sudut mengejutkannya. Sejumlah pekerja bangunan keluar dari lift dan
menuju Paviliun Fear dengan suara ribut. Perhatian Laurie jadi teralih,
hingga tak dilihatnya Suster Jenny Girard telah kembali ke Kantor
Perawat. Ketika telepon berdering dan Laurie berbalik hendak
menjawab, ia terkejut melihat perawat itu.
Suster Girard! pikiran itu berkelebat di benaknya. Mungkin
sebaiknya kukatakan saja perihal pisau-pisau bedah itu padanya.
Perawat bertubuh jangkung dan berambut hitam itu sedang
tertawa di telepon. "Apa" Lagi" Aku tak percaya!... Oke, nanti
kusuruh orang mengambilnya. Kebetulan ada pelajar sukarelawan di
sini sekarang." Suster Girard menggeleng-geleng geli.
Laurie harus memberitahunya soal pisau-pisau bedah itu. "Uh,
apakah... Anda melihat...?" tapi perawat itu keburu memotong
kalimatnya. "Laurie, kau mau membantuku, kan" Ada bingkisan lagi di
resepsionis untuk Kamar 901. Bayangkan, bingkisan lagi! Pasti
mereka harus menyewa truk untuk membawa anak itu dan mainanmainannya pulang nanti. Kau mau kan, ke sana mengambilnya?"
Lalu masih ada lusinan perintah lainnya yang harus dikerjakan
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laurie seharian itu. Namun tetap saja pikirannya tak lepas dari
perkataan Toby, sedangkan Rick benar-benar lenyap dari benaknya.
Wajah Toby yang kecil, sedih, dan ketakutan bermain di depan mata
Laurie, sementara ia sibuk mengantarkan bingkisan dan foto sinar-X,
membacakan buku untuk para pasien, atau membantu para perawat.
Anak itu benar-benar menghantuinya.
Sore itu Laurie mengambil keputusan. Toby Deane sedang
berada dalam kesulitan. Anak itu memerlukan bantuannya. Ia harus
melakukan sesuatu. File pasien disimpan di sebuah ruangan kecil yang letaknya di
belakang Kantor Perawat. Tak seorang pun boleh memasuki ruangan
itu, kecuali para dokter dan perawat. Laurie pasti akan mendapat
kesulitan, tapi ia sudah bertekad untuk menemui Toby lagi. Jadi, ia
harus mencari data tentang anak itu, untuk mengetahui di mana ia
tinggal. Sepulang kerja, ketika para perawat yang dinas pagi sedang
digantikan oleh yang dinas malam, dan para pekerja bangunan di
Paviliun Fear sudah pulang, Laurie menyelinap masuk ke ruang
penyimpanan data pasien. Ruangan itu berdebu dan penuh sesak oleh kertas-kertas tua.
Laurie merasa tidak nyaman berada di dalam ruangan kecil seperti itu.
Jemarinya gemetar. Secepat kilat ia mencari file Toby hingga ketemu.
Benar, anak itu tinggal di Fear Street, seperti kata Rick. Padahal
sedapat mungkin ia tak ingin pergi ke Fear Street. Nama itu
membuatnya ngeri. Namun kalau ia tidak pergi ke rumah Toby, ia
takkan pernah melihat anak itu lagi.
Sambil menuliskan alamat Toby, Laurie menyadari bahwa ia
harus punya alasan untuk mengunjungi anak itu. Ia tak bisa datang
begitu saja, kan" Apalagi tampang Mrs. Deane sama sekali tidak
ramah. Harus ada alasan yang masuk akal. Tapi apa" Ia memeras otak.
Oh, ya! Kupon undian! Laurie memang sedang menjual kupon
undian berhadiah untuk mencari dana bagi rumah sakit. Hadiahnya
mobil sport Mercedes-Benz. Mrs. Deane pasti telah sering melihat
mobil hadiah itu setiap kali ia ke rumah sakit. Laurie bisa memakai
kupon undian itu sebagai alasan untuk datang ke rumah Toby. Ya! Ia
akan menawari Mrs. Deane kupon-kupon itu. Gampang! Kecuali...
Kecuali, benarkah Laurie sungguh-sungguh ingin pergi ke Fear
Street sendirian" Diliriknya jam tangannya. Tiba-tiba ia teringat janjinya bertemu
Andy, Skye, dan Jim Farrow di Patsy's Pizzeria. Kenapa tidak sekalian
saja ajak mereka ke Fear Street" Setidaknya takkan sulit untuk
meyakinkan salah satu dari mereka agar mau menemaninya.
Setelah merasa puas karena telah memecahkan beberapa
masalah sekaligus, Laurie mengembalikan file Toby ke lemari. Lalu
dibukanya pintu. Sebuah suara terdengar dari Kantor Perawat.
"Oh, Edith, kau ke mana saja?" Cora Marshall, kepala perawat
di Bagian Anak, sedang berdiri membelakangi pintu ruang data, bicara
pada seseorang yang tidak tampak dari tempat Laurie berdiri. "Ini ada
perintah baru untuk pasien Kamar 908. Coba kemari."
Suster Edith Wilton menghampiri Suster Cora Marshall.
Langsung saja Laurie menarik pintu ruang penyimpanan data
hingga nyaris tertutup. Ia berdiri gemetaran dalam gelap. Gawat kalau
Suster Wilton sampai memergokinya!
Laurie mengintip. Diperhatikannya kedua perawat itu berbicara.
Ingin mati rasanya, menunggu kesempatan kabur dari situ. Rasanya ia
telah menunggu seabad ketika akhirnya Suster Marshall pergi.
Sekarang Suster Wilton juga akan pergi, pikir Laurie. Tapi ternyata
Suster Wilton malah duduk dan mulai memeriksa beberapa grafik.
Laurie benar-benar gelisah dan putus asa. Ruang data yang kecil
itu jadi semakin kecil rasanya. Dan semakin panas. Ia mengepalkan
tinjunya untuk menenangkan diri. Nyaris meledak ia rasanya.
Suster Wilton membalikkan halaman grafik. Secarik kertas
melayang jatuh di lantai. Ia membungkuk memungutnya. Kepalanya
kini berada di bawah meja.
Tanpa pikir panjang Laurie meninggalkan ruang penyimpanan
data, melewati meja tempat Suster Wilton duduk, lalu menuju koridor.
Tapi ia tak cukup cepat. Ia kepergok!
"Sebentar, Non!" Suster Wilton berteriak. "Apa yang
kaulakukan di dalam sana?"
Laurie tak menghentikan langkahnya.
"Aku melihatmu, Laurie!" perawat itu berteriak lagi. "Ayo
kembali!" Laurie menghindari seorang pasien yang berjalan di koridor itu.
Ia meluncur di belokan pertama. Namun suara decit sepatu perawat itu
masih terdengar. Suster Wilton mengejarnya!
Ya Tuhan! Jalan buntu! Laurie berhenti di depan pintu lift khusus. Lift itu hanya untuk
mengangkut alat-alat berat dan pasien-pasien di atas brankar. Yang
lain tak boleh menggunakan lift itu. Tapi Laurie tak punya pilihan,
kalau tak ingin tertangkap Suster Wilton. Jadi, ditekannya tombol lift
seraya berbisik, "Cepat! Ayo. Kumohon!"
Pintu lift membuka. Ia melangkah masuk saat Suster Wilton
berbelok ke arah lift. "Tunggu!" perawat yang murka itu memanggil.
Pintu lift menutup, lalu lift itu turun perlahan. Laurie menarik
napas lega. Ia mundur selangkah"dan menabrak sebuah brankar. Ia
berbalik dan membelalak ngeri.
Di brankar itu terbaring seorang wanita berwajah lilin. Matanya
tertutup. Mesin-mesin monitor berdesing dan berbunyi bergantian di
kakinya. Botol-botol cairan infus bergantungan di atas brankar. Slangslang infusnya hilang di balik selimut. Dan botol-botol infus itu mulai
beradu ribut ketika Laurie menabrak brankar.
"Hei! Hati-hati!" bentak petugas yang membawa pasien itu.
"Kau seharusnya tak boleh berada di sini." Diremasnya bahu Laurie
hingga jantung gadis itu nyaris copot rasanya. Petugas itu menekan
sebuah tombol dan berkata padanya, "Keluar! Kau harus keluar di
lantai berikutnya." Dengan senang hati, pikir Laurie. Ditatapnya pasien yang
berbaring di brankar itu. Wanita itu pasti sudah mati! Tapi tiba-tiba
mata wanita itu terbuka. Ditatapnya Laurie dengan tajam, lalu
mengerang pelan. Laurie berdiri menempel ke dinding lift. Saat lift berhenti,
langsung saja ia melesat keluar. Ia tak tahu di mana ia berada, tapi ia
tak peduli. Kemudian dilihatnya tulisan di depan pintu lift:
LANTAI KHUSUS HANYA UNTUK PEJABAT BERWENANG
Pintu lift menutup. Laurie tinggal sendirian. Ia menatap
sekelilingnya. Koridor itu remang-remang. Seluruh lantai itu amat sepi
dan seperti terasing. Ia belum pernah ke lantai ini. Ini pasti tempat khusus. Tidak
seperti lantai-lantai lainnya. Di mana ia sebenarnya" Dan bagaimana
ia dapat keluar dari sini"
Ia benar-benar bingung. Ia takut meninggalkan lift itu. Bisa saja
ia tersesat di koridor yang masih asing baginya.
Gemuruh suara mesin lift mengejutkannya. Ia menengadah
menatap indikator lantai yang terletak di atas lift. Rupanya lift itu
berhenti di lantai 9. Pasti lift itu telah mengantar penumpangnya dan
kembali ke Bagian Anak. Suster Wilton! pikir Laurie. Perawat itu telah memperhatikan
indikator lantai ini, dan tahu di mana Laurie sekarang berada.
Perawat itu akan datang mengejarnya!
Laurie tak punya pilihan. Ia harus kabur. Jadi, ditelusurinya
koridor gelap itu dan dengan putus asa dicobanya membuka setiap
pintu yang dilewatinya. Tapi semua terkunci. Ia tak tahu apakah ia
berjalan menuju atau malah menjauhi lift umum. Dan ia bisa saja tiba
di jalan buntu; lalu terperangkap!
Sekonyong-konyong di belokan dilihatnya sesuatu di ujung
koridor. Sesuatu yang kecil. Dan tidak bergerak. Ia menatap ke kegelapan. Dan nyaris tertawa terbahak-bahak.
Ternyata cuma ember dan tangkai pel yang teronggok di depan
pintu terakhir. Kalau ada seorang petugas di balik pintu itu, orang itu bisa
memberitahukan bagaimana ia dapat keluar dari sana. Mungkin orang
itu akan membentaknya karena ia berada di daerah terlarang, tapi
Laurie tak peduli. Asalkan orang itu membantunya lepas dari Suster
Wilton! Bergegas dihampirinya ember itu, berharap melihat cahaya di
sekitar pintu. Namun ia kecewa. Tempat itu gelap. Si petugas pasti
sedang pergi beristirahat. Ia pasti akan kembali, hibur Laurie dalam
hati. Tapi ia tak mungkin berdiri begitu saja di koridor, menunggu
Suster Wilton menangkapnya.
Ia mencoba memutar kenop pintu.
Pintu terbuka. Laurie melongok ke dalam. Lalu berhenti untuk menarik napas.
Ruangan itu dingin sekali, dan ia mulai menggigil. Bau yang
aneh menyengat hidungnya. Bau zat kimia yang tajam mengisi udara,
dan kegelapan itu nyaris sama mencekiknya dengan bau menusuk itu
sendiri. Pelan-pelan matanya menangkap pinggiran beberapa meja
logam yang tinggi. Ia mulai meraba jalannya di ruangan itu.
Disentuhnya logam dingin meja-meja yang dilewatinya.
Tiba-tiba ia terpeleset oleh genangan air di lantai. Secara refleks
ia menjangkau untuk berpegangan. Tangannya menyentuh sesuatu di
atas meja... sesuatu yang...
Bulat. Sedingin es. Rasanya dikenalnya. Hah!!! Ternyata tangannya mencengkeram bahu sesosok mayat
yang dingin dan lembap! BAB 9 TANGAN Laurie serasa melayang saat ia melompat dengan
panik. Sesosok mayat di meja! Dan ia telah menyentuhnya!
Ia mundur dan mulai mual. Segera saja ia tahu di mana ia
berada. Bau kimia yang tajam itu pasti formaldehida, yang dipakai
untuk mengawetkan dan mendesinfeksi mayat! Lantai ini gelap dan
kosong, karena tempat ini adalah bagian dari sekolah kedokteran, dan
kuliah hari itu sudah selesai. Ini pasti laboratorium anatomi tempat
para mahasiswa membedah dan mempelajari tubuh manusia.
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Tubuh manusia yang sudah mati.
Setelah matanya terbiasa dalam gelap, Laurie mulai melihat
mayat-mayat dan bagian-bagian tubuh manusia yang sudah dibedah
dan dipotong-potong di atas meja. Mengerikan! Ia berbalik dan mulai
berjalan ke arah pintu, terengah-engah ketakutan.
Saat itulah didengarnya langkah kaki di luar, diikuti suara
gemerincing anak-anak kunci. Lalu anak kunci dipasang dan diputar
di lubangnya. Setelah itu terdengar bunyi seakan seseorang membawa
pergi ember yang tadi ada di depan pintu.
Ia terkunci! Teriakan seperti erangan binatang keluar dari mulut Laurie. Ia
menyerbu ke arah pintu yang terkunci, lalu menabrak sesuatu yang
putih berkilat dan mengeluarkan suara berisik ketika tersentuh
olehnya. Sebuah kerangka manusia bagai menari di depannya, salah satu
tangan kerangka itu memeluk lehernya!
Laurie bergerak mundur sambil mengulurkan tangan, mencari
tempat berpegang. Tiba-tiba ia tersadar bahwa tangannya telah
mencengkeram sebuah lengan yang dingin"lengan itu cuma sampai
pergelangan! Ia berbalik dan berhadap-hadapan dengan sebuah kepala yang
diletakkan di atas rak. Matanya terpejam, mulutnya menganga, dan
kulit kepalanya sebagian terkoyak.
Laurie berusaha menjerit, tapi rasa takut seperti menyumbat
lehernya. Ia berlari ke pintu, mengentak-entakkan kenopnya, lalu
menggedor-gedor. Ia tak peduli Suster Wilton menemukannya!
Pokoknya ia harus keluar dari ruangan mengerikan ini, jauh dari
mayat-mayat itu, potongan-potongan tubuh manusia itu....
Digedornya pintu itu dengan penuh ketakutan, tapi tak seorang
pun mendengarnya. Disandarkannya keningnya ke daun pintu sejenak.
Lalu ia merasakan perasaan aneh yang membuatnya mual.
Sesuatu di belakangnya bergerak!
BAB 10 LAURIE berbalik untuk melihat benda yang bergerak ke
arahnya. Ditatapnya kegelapan itu, air mata membanjiri matanya.
Jantungnya berdentum-dentum memenuhi telinganya.
Di mana benda itu" Benda apa sebenarnya itu"
Hening. Tak ada yang bergerak. Bayangan-bayangan meja,
masing-masing dengan benda mengerikan di atasnya, mengintai diamdiam, sama sekali tidak bergerak.
Laurie sadar bahwa ia terlalu histeris. Ia telah membayangkan
yang tidak-tidak. Tak satu pun dalam ruangan itu yang hidup atau
bergerak, kecuali dirinya sendiri.
Setelah merasa tenang, sesuatu menyentak kesadarannya. Pintu
ruangan ini memang telah dikunci dari luar, tapi kan mestinya ia tetap
bisa memutar kenopnya dari dalam, dan membuka pintunya.
Ia berbalik lagi ke arah pintu. Tangannya bergetar hebat.
Dirabanya kenop pintu dan diputarnya.
Tidak terjadi apa-apa. Pintunya tetap terkunci.
Dirabanya sekitar kenop pintu, mencari-cari apakah pintu itu
punya kunci ganda. Nah, itu dia, sebuah logam yang menonjol keluar
di atas kenop! Diputarnya logam itu ke kiri.
Tak ada yang terjadi. Ia memutarnya ke kanan. Ah! Ada bunyi klik, dan pintu pun terbuka.
Nyaris ia tersandung oleh kakinya sendiri, karena terburu-buru
ingin kabur dari situ. Ia bahkan tak peduli untuk menutup pintu di
belakangnya. Pokoknya ia langsung saja berlari ke koridor, meneguk
dalam-dalam setiap udara segar yang mampu dihirupnya.
Tiba-tiba ia berhenti. Suster Wilton sedang berdiri membelakangi koridor di depan
lift khusus. Rupanya perawat itu tidak sendirian.
Ada seorang pria jangkung di sebelahnya. Pria itu berambut
kelabu dari mengenakan jas lab berwarna putih. Ia bukan petugas
keamanan, karena petugas keamanan memakai seragam biru.
Dari belakang pria itu tampak tidak asing. Aneh sekali, pikir
Laurie. Apakah Suster Wilton telah memanggil seorang dokter untuk
membantunya mengejarku" pikir Laurie.
Laurie mundur hingga tubuhnya menempel ke dinding, lalu
berjalan pelan ke arah belokan, berdoa dalam hati agar mereka tak
melihatnya. Suara mereka terbawa sampai koridor, tapi ia tak dapat
menangkap apa yang sedang mereka percakapkan, kecuali nada suara
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suster Wilton yang terdengar amat kecewa.
Ketika pintu lift membuka, rasanya Laurie tahu siapa pria itu.
Orang itu mirip sekali dengan ayah Andy, Dr. Raymond Price!
Tak mungkin. Masa Suster Wilton sampai memanggil bos
Shadyside Hospital hanya karena seorang sukarelawan membuat ulah"
Ya, kecuali perawat itu sinting! Laurie yakin ia pasti keliru.
Sekarang ada hal lain yang harus dipikirkannya. Misalnya,
bagaimana ia dapat keluar dari sini. Jadi, begitu lift tersebut membawa
Suster Wilton dan pria itu pergi, ia langsung mencari lift umum.
Laurie keluar dari rumah sakit dan duduk di belakang kemudi
mobilnya. Lama kemudian baru ia berhasil menghentikan gemetar
tangannya hingga ia bisa mengemudikan mobilnya ke Patsy's Pizzeria.
*********************** "Kau terkunci di mana?" tanya Skye seraya mengambil
sepotong pepperoni dari pizanya dan memasukkannya ke mulut.
Ditatapnya Laurie dengan takjub, lalu Andy, yang duduk di
hadapannya. Seperti biasa, Patsy's Pizzeria penuh sekali. Karena kebetulan
letaknya di dekat Shadyside Hospital, sebagian besar pengunjungnya
adalah para karyawan rumah sakit yang saling mengenal, hingga
rasanya seperti kafeteria rumah sakit saja.
"Hei! Tahu tidak?" ujar Skye kepada Jim Farrow yang tengah
meletakkan piring pizanya di meja dan duduk di sebelahnya. "Laurie
terkunci di laboratorium anatomi!"
"Benar-benar mimpi buruk!" kata Laurie menggigil. "Potonganpotongan tubuh manusia, kepala-kepala, dan kerangka..."
"Menjijikkan, aku yakin!" tukas Andy. Diambilnya sepotong
piza dan dibiarkannya bagian merah dan kuningnya menetes di atas
piringnya. "Kayak ini."
"Ayolah, aku sedang makan, nih," keluh Jim. Ia menggelengkan
kepalanya yang pirang, lalu menggigit pizanya.
"Aku sih lebih baik menyentuh mayat daripada menelan ikan
anchovy itu," kata Skye. Ditatapnya Laurie. "Lalu bagaimana kau bisa
keluar dari sana" Dan apa sebenarnya yang kaulakukan di
laboratorium anatomi?"
Tiba-tiba Laurie merasa enggan bercerita pada mereka.
"Uh, aku naik lift dan turun di lantai yang salah." Buru-buru ia
mengganti topik pembicaraan. "Dengar, kalian punya waktu, tidak,
setelah ini" Aku punya tugas, dan aku akan senang kalau ada yang
bisa menemaniku." Sambil makan Laurie menceritakan tentang Toby Deane, tapi
tidak semua, hanya bahwa anak itu tampak sedih dan kesepian, dan ia
ingin sekali mengunjunginya.
Dikeluarkannya buku kupon undian berhadiah dari tasnya,
seraya menjelaskan bahwa ia akan menggunakannya sebagai
alasannya mampir di rumah Toby. "Aku mau langsung ke sana... hm,
ada yang mau ikut?" "Kedengarannya benar-benar menggoda!" sindir Andy
sarkastis. "Mungkin terlalu menarik untukku."
Laurie mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Yah,
rumahnya terletak di Fear Street. Dan aku..."
Jim tertawa. "Dan kau ingin seseorang menemanimu?"
"Jangan menertawakannya, Jim!" bentak Skye galak. "Kau
sendiri bercerita pada setiap orang bagaimana kau dikejar sesuatu
sebesar beruang di hutan Fear Street!"
"Tapi biar begitu aku kan tidak takut melakukannya lagi,"
protes Jim. "Oke, jadi kita semua pergi," putus Skye.
"Hebat," sindir Andy lagi. Ia melap tangannya dengan hati-hati,
lalu menyisir rambutnya yang hitam tebal dengan jemarinya.
Tampangnya suram. "Bisakah kita mencari hal lain untuk dikerjakan?"
"Kalau kau tidak mau ikut...," hardik Laurie.
"Iya deh. Iya. Aku ikut," kata Andy murung.
Bayangan Fear Street di kegelapan malam terasa mencekam
ketika mereka meninggalkan restoran dengan Volvo Andy tak lama
kemudian. Begitu banyak kisah menyeramkan tentang jalanan yang
melewati makam dan hutan Fear Street yang lebat ini. Kisah-kisah
yang nyaris selalu menjadi kenyataan....
Ketika mereka berempat berbelok ke Fear Street, tak seorang
pun yang bicara lagi. "Kau punya alamatnya?" tanya Jim dari sandaran kursi
belakang mobil. Saat itu Laurie sedang menatap ke luar jendela. Dalam temaram
senja, Fear Street tidak tampak mengerikan. Namun ada kesunyian
yang rasanya tidak biasa. Kesunyian yang menyelimuti selagi mobil
mereka melaju pelan di jalanan itu.
Laurie begitu tercekam oleh keadaan sekitarnya, hingga ia
melompat kaget ketika Jim menyentuh bahunya.
"Kau tahu alamatnya, tidak?" ulang Jim.
"Oh, tahu." Laurie mengambil kertas bertulisan alamat itu dari
tasnya, lalu dibacakannya keras-keras nomor rumah yang mereka tuju.
"Masih agak jauh," kata Andy. "Kurasa letaknya di dekat
makam." Ia memelankan laju mobilnya begitu mereka semakin dekat
ke nomor rumah yang dimaksud.
"Nah. Sudah sampai," ujar Skye. "Pasti ini rumahnya."
Mereka berhenti di depan rumah besar bergaya Victoria,
lengkap dengan ornamen-ornamen mewah yang mengelilingi
pinggiran atapnya dan halaman amat luas yang mengelilingi
bangunannya. Mereka keluar dari mobil, namun setelah mencari-cari,
mereka tak juga berhasil menemukan papan nama atau papan nomor
yang dapat menunjukkan siapa pemilik rumah itu.
"Akan kuperiksa rumah sebelah," Jim mengajukan diri. Ia
berjalan ke rumah sebelah, lalu beberapa saat kemudian kembali dan
melaporkan bahwa rumah sebelah juga tidak punya papan nama atau
papan nomor. "Pasti rumahnya di sekitar sini, aku yakin," ujar Skye.
"Yuk, kita bagi saja kupon berhadiahnya," usul Andy.
"Ide bagus," sambar Skye. "Aku dan Laurie akan mencoba
rumah yang ini, kau dan Jim di rumah sebelah."
Mereka berpencar. Andy memasukkan kupon berhadiah
bagiannya ke dalam kantong celana pendeknya, lalu bersama Jim
beranjak ke rumah sebelah.
Laurie merapikan pakaiannya sebelum ia dan Skye berjalan
menuju rumah di depan mereka. Ditegakkannya kerah kemejanya
yang bergaris-garis biru-kuning. Tangannya mempermainkan tali
pinggang rantai di pinggangnya. Ia menelan air liurnya kuat-kuat.
"Kenapa sih kau gugup begitu?" tanya Skye, suaranya lebih
pelan daripada biasa. Ditatapnya bangunan rumah tua yang berdiri di
depan mereka. Setelah menaiki undakan di serambi depan, Laurie memencet
bel. Mereka menunggu dengan gelisah, namun tak seorang pun
membukakan pintu. "Tak ada orang di rumah," bisik Skye. "Yuk, kita pergi."
"Kenapa sih kau berbisik-bisik begitu?" tanya Laurie.
"Siapa yang berbisik-bisik!" hardik Skye, masih dengan suara
pelan. "Oh! Sudahlah! Aku mau pergi."
Laurie memiringkan kepalanya. "Tunggu sebentar. Kaudengar
itu?" Ia mundur selangkah, lalu menengadah melihat lantai atas. "Tuh.
Suara itu lagi... seperti suara kucing atau apa. Datangnya dari dalam."
"Aku tidak mendengar apa pun," kata Skye. Keheningan Fear
Street yang mencekam mau tak mau mempengaruhinya juga.
Ditariknya tangan Laurie. "Ayo pergi dari sini!"
Tiba-tiba pintu terbuka. Laurie mengenali wanita yang berdiri
di balik daun pintu yang terbuka sedikit itu. Mrs. Deane, wanita yang
menjemput Toby di rumah sakit. Rupanya mereka telah menemukan
rumah yang benar. Ibu Toby menatap mereka dengan ekspresi tidak senang. Ia
mengenakan sweter longgar yang melapisi sepotong baju longgar
yang bagian depannya kotor. Beberapa helai rambutnya yang pirangputih dan keriting terurai di sekitar telinganya, dan matanya yang
pucat menatap kedua gadis itu dengan penuh curiga. Tampaknya ia
tidak mengenali Laurie. "Ada apa?" tanyanya dingin.
"Hai," Skye memulai, suaranya bergetar.
"Aku sangat sibuk. Apa yang kalian inginkan?" tanya Mrs.
Deane. Laurie melangkah maju. "Kami sukarelawan di Shadyside
Hospital," katanya seraya menunjukkan kupon berhadiah di
tangannya. "Kami menawarkan kupon berhadiah untuk
mengumpulkan dana bagi pembangunan rumah sakit. Anda tahu kan,
hadiahnya Mercedes merah yang dipajang di rumah sakit itu. Satu
Kasih Diantara Remaja 5 Dewi Ular 41 Terjebak Bencana Gaib Pendekar Bloon 15