Pencarian

Musibah Ketiga 2

Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil Bagian 2


salah satu dari kalian. Mula-mula urusan air mandi. Dan sekarang ini!"
"Bukan kami yang melakukannya," seru Corky. "Kau harus
percaya, Hannah." Ia hendak meraih pundak Hannah untuk
menenangkannya, tapi Hannah segera mengelak. Wajahnya tampak
berkerut-kerut karena marah.
"Untuk apa kami berbuat begitu?" tanya Kimmy. "Untuk apa?"
"Soalnya kalian iri padaku," Hannah membentak. Ia masih
memegang kepangannya, yang kelihatan seperti binatang mati di
tangannya. "Hannah?" "Kalian iri padaku," ujar Hannah sambil merendahkan
suaranya. Ia menyeka air mata yang membasahi pipinya. "Kalian tahu
bahwa aku cheerleader terbaik di Shadyside. Kalian tahu bahwa kalian
tidak bisa menyaingiku."
"Hei, jangan sembarangan!" balas Kimmy dengan sengit. "Kita
semua hebat." Corky sadar bahwa Kimmy mulai naik pi-tam. Otot-otot
Kimmy mengencang, dan ia mengepalkan kedua tangannya.
"Kau belum lama bergabung dengan regu kita, Hannah," ujar
Kimmy. Pipinya tampak merah-padam dan napasnya terengah-engah.
"Kau belum mengenal kami. Dan maaf saja kalau aku terpaksa bilang
begini, tapi kau tidak tahu sebanyak yang kaukira."
Sorot mata Hannah kelihatan berapi-api. "Ada satu hal yang
kutahu pasti," katanya sambil menggertakkan gigi. Kalian mau
menyingkirkan aku"kalian ingin agar aku keluar dari tim. Jadi kalian
pikir kalian bisa menakut-nakuti..."
"Itu tidak benar!" Corky langsung berseru.
"Hah, pokoknya aku tidak akan mengundurkan diri," Hannah
menegaskan tanpa menggubris Corky maupun Kimmy. "Tidak akan.
Kalian tidak bisa memaksa aku keluar."
Ia bergegas menghampiri lemari pakaian dan meletakkan
kepangannya. "Aku tetap akan bergabung dalam tim, biarpun aku
harus tampil dengan kepala botak!" Dengan gusar ia membuka laci
paling atas dan mulai menggeledahnya.
"Hannah"tunggu," Kimmy memohon. "Maaf kalau aku emosi.
Apa yang akan kaulakukan sekarang?"
Hannah melemparkan celana pendek jins ke tempat tidur, lalu
kembali menggeledah laci. "Aku mau ganti baju," katanya ketus. Ia
menatap jam tangannya, yang tergeletak di samping kepangannya di
atas lemari pakaian. "Sudah hampir waktunya sarapan. Aku mau ganti
baju. Lalu aku akan memberitahu Miss Green apa yang kalian lakukan
padaku." "Tapi Hannah?" Corky angkat bicara.
"Diam!" Hannah membentak. "Jangan banyak omong lagi!"
Sambil terisak sekali lagi, ia membuka T-shirt gombrong yang
dipakainya tidur. Corky hendak mengatakan sesuatu, tapi lirikan tajam dari
Kimmy membuatnya segera terdiam. Perlahan-lahan Corky mundur
ke tempat tidur, lalu merebahkan diri sambil mendesah keras.
Pandangannya mengikuti Kimmy, yang melintasi ruangan dan
membuka tirai jendela. Pipinya masih merah-padam. Gadis itu
menempelkan keningnya ke kaca yang dingin dan memejamkan mata.
Corky menggigil. Ia menarik selimut untuk membungkus
kakinya. Pandangannya masih melekat pada Kimmy, dan berbagai
pikiran tak menyenangkan berkecamuk dalam benaknya. Pikiranpikiran yang menakutkan.
Corky yakin bahwa Kimmy-lah biang keladinya.
Pasti Kimmy yang memotong kepangan Hannah. Selain Kimmy
tidak ada siapa-siapa di kamar mereka.
Berarti Kimmy pula yang mengotak-atik keran air panas untuk
mencelakakan Hannah. Kimmy sempat mengaku pada Corky bahwa ia ingin
membunuh Hannah. Dan kini la sedang mewujudkan niatnya dengan
menyiksa Hannah. Roh jahat itu ada di sini, pikir Corky dengan prihatin. Roh jahat
itu ada di kamar ini. Di dalam diri Kimmy. Kimmy yang malang"ia
tidak menyadarinya. Semuanya terlalu mengerikan, terlalu mengerikan untuk
dituangkan ke dalam kata-kata. Tapi justru serangkaian katalah yang
muncul dalam benak Corky:
Kimmy tidak tahu apa yang dilakukannya. Ia di bawah kendali
roh jahat itu. Suara pintu dibanting tiba-tiba, membuyarkan lamunan Corky.
Rupanya Hannah baru saja pergi.
Pandangan Corky beralih ke lemari pakaian. Ternyata Hannah
juga membawa kepangannya.
Kimmy berpaling dari jendela. Ia tampak letih, tak
bersemangat. "Sebaiknya aku juga ganti baju," gumamnya.
"Kimmy"kita harus bagaimana sekarang?" tanya Corky.
Kimmy angkat bahu dan menggelengkan kepala dengan sedih.
"Eh, Corky?" Suaranya terdengar parau. Ia menatap mata Corky
dengan tajam. "Aku pasti ingat, kan, kalau aku memotong kepangan
Hannah?" Ucapannya bukan sekadar pertanyaan biasa. Ucapannya terlalu
sarat dengan ketakutan untuk dianggap sebagai pertanyaan biasa.
Ia ingin agar Corky menenangkannya, agar Corky mengatakan
bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia normal. Tapi Corky tidak sampai
hati membohongi temannya yang sedang bingung.
"Aku pasti ingat kalau aku berbuat begitu, ya, kan?" ulang
Kimmy, kali ini dengan nada yang lebih memelas lagi.
"Aku tidak tahu," jawab Corky pelan-pelan, sambil
menundukkan kepala. Tidak lama setelah itu Kimmy sudah siap untuk latihan pagi. Ia
keluar kamar dengan mengenakan celana pendek Lycra dan kaos
merah. Ketika sampai di pintu, ia berhenti sejenak dan berpaling
kepada Corky, "Kau masih lama?"
"Sebentar lagi aku juga turun," jawab Corky.
Setelah Kimmy pergi, Corky berdiri dan meregangkan badan.
Kemudian ia menghampiri lemari pakaiannya. Dalam hati ia
membayangkan Miss Green mendengarkan peng aduan Hannah. Ia
membayangkan ekspresi kaget pada wajah pelatih mereka.
Lalu apa" Apakah Kimmy dan aku akan dikeluarkan dari tim"
Dengan kening berkerut, Corky membuka laci lemari
pakaiannya, mengambil T-shirt, lalu mendadak terdiam.
Ia ternganga menatap gunting yang tergeletak di atas tumpukan
bajunya. Gunting" Ia meraihnya dengan tangan gemetaran. Kemudian ia
mengamatinya dengan saksama.
Potongan-potongan rambut lurus berwarna hitam menempel
pada gunting itu. Potongan-potongan rambut Hannah.
Bab 8 Sebuah Pengakuan CORKY duduk seorang diri di ujung meja. Dengan lesu ia
menatap mangkuk berisi cornflakes yang sudah mulai melempem.
Ruang makan yang terang benderang diramaikan oleh suara canda
tawa, tapi Corky tidak mendengarnya.
Di ujung meja yang satu lagi, Kimmy, Debra, Ronnie, dan
Heather makan dengan cepat. Mereka melahap setumpuk panekuk dan
roti panggang, dan menghabiskan sereal sambil asyik mengobrol.
Mereka juga melirik-lirik ke arah Corky, tapi Corky terus
menundukkan kepala dan menghindari tatapan mereka.
Ketika menoleh ke arah antrean di meja layan, Corky melihat
Hannah menghampiri Miss Green yang baru saja masuk ke ruang
makan. Miss Green berdiri sambil melipat tangan di depan dada, dan
wajahnya tampak geram. Berulang kali ia menggelengkan kepala.
Hannah berbicara dengan cepat sambil mengacung-acungkan
kepangannya. Corky mendadak sadar bahwa Miss Green memandang ke
arahnya sambil mengerutkan kening.
Bagaimana sekarang" Corky bertanya dalam hati. Perutnya
serasa berisi batu. Apa yang akan dilakukan Miss Green terhadap
Kimmy dan aku" Apa yang harus kulakukan" Apakah aku harus melapor bahwa
Kimmy yang memotong rambut Hannah" Apakah aku harus melapor
bahwa Kimmy menyimpan guntingnya di laciku, supaya kelihatannya
aku yang bersalah" Apakah aku harus memberitahu Miss Green
bahwa Kimmy dikuasai roh jahat"
Aku harus menceritakan semuanya kepada seseorang, pikir
Corky dengan galau, ketika mendengar ledakan tawa dari gadis-gadis
di meja sebelah. Aku tidak bisa membiarkan Kimmy melangkah lebih
jauh lagi. Hannah masih sibuk menjelaskan kejadian yang menimpanya
kepada Miss Green. Ia menggoyang-goyangkan kepangannya sambil
berjalan hilir-mudik di depan pelatihnya itu.
Sekonyong-konyong terdengar sorak-sorai dari meja tim
Bulldog. Corky menoleh dan melihat Blair O'Connell memimpin
rekan-rekannya sambil tersenyum lebar.
Apa harus sih terus-terusan begitu" pikir Corky dengan getir.
Para cheerleader memang dituntut memperlihatkan semangat
berkobar-kobar sepanjang hari, mulai saat mereka bangun. Tapi, yang
benar saja! Corky berkata dalam hati sambil menggelengkan kepala. la
mencelupkan sendok ke dalam cornflakes-nya yang telah melempem.
Sorak-sorai di meja tim Bulldog berhenti, dan disambut oleh
sorak-sorai yang bahkan lebih keras lagi di meja sebelah. Corky
melihat bahwa Hannah telah kembali ke meja Shadyside, dan
mengambil tempat di samping Debra. Wajahnya merah-padam, dan
sepertinya ia habis menangis. la dan Debra segera berbisik-bisik.
Kimmy duduk di ujung meja sambil mengunyah sepotong roti
panggang beroles mentega. Tampangnya murung. Heather
membungkuk sedikit untuk menanyakan sesuatu kepada Kimmy, tapi
rupanya Kimmy tidak mendengarnya.
Roh jahat itu ada di meja ini, pikir Corky sambil menatap tajam
ke arah Kimmy. Corky merinding. Sorak-sorai terdengar bersamaan
dari dua meja lain. Suara-suara itu memantul dari langit-langit dan
dinding-dinding bertegel kuning.
Tiba-tiba Corky merasa takut sekali. Takut dan kesepian.
Siapa yang bisa kuajak bicara" !a bertanya dalam hati. Siapa
yang bisa kupercaya" Debra pasti bisa mengerti, ia lalu
menyimpulkan. Debra tahu segala sesuatu tentang rob jahat itu. Debra
juga merasakan pengaruhnya.
Corky mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. Tanpa
menggubris wajah-wajah riang di meja-meja lain, ia menyusuri gang
dan berhenti di belakang Debra.
"Debra"aku perlu bicara denganmu," ia berkata sambil
membungkuk, agar Debra bisa mendengarnya di tengah hiruk-piruk.
Debra menoleh sedikit. "Hai, Corky. Bisa tunggu sebentar?" ia
bertanya sambil mengeraskan suaranya untuk mengalahkan
kebisingan di sekitar mereka. "Aku sedang bicara dengan Hannah."
Jawaban Debra terasa menusuk, dan Corky langsung mundur.
Tanpa memperhatikan Corky, Debra kembali berbisik-bisik
dengan Hannah. Huh, seharusnya Debra sadar bahwa aku lagi ada masalah,
bahwa aku menyendiri, pikir Corky dengan gusar. Teman macam apa
dia" Dan sejak kapan Hannah jadi begitu penting untuk Debra,
sampai-sampai ia tidak bisa memotong obrolannya untuk bicara
denganku waktu aku membutuhkannya"
Dengan mata berkaca-kaca Corky menuju ke pintu keluar. Aku
tidak tahan lagi, katanya dalam hati. Aku harus keluar dari sini!
Ia sudah hampir sampai di pintu ketika mendengar Miss Green
memanggilnya. Corky berhenti namun tidak membalik. Aku tidak sanggup
menghadapi ini, pikirnya. Ini bakal kacau-balau.
Ia menarik napas dan menahannya sejenak. Kemudian, setelah
mengembuskannya pelan-pelan untuk menenangkan diri, ia membalik.
Kimmy telah berdiri dan sedang menjauhi meja. Rupanya ia juga
dipanggil oleh Miss Green.
Sambil pasang tampang kencang, Miss Green menyuruh mereka
mengikutinya ke ujung ruangan. Corky berjalan pelan-pelan, tapi
otaknya bekerja keras. Apa yang mesti kukatakan" Bagaimana aku
bisa menjelaskannya"
Ia melirik ke arah meja, dan melihat keempat cheerleader
Shadyside lainnya memandang ke arah Kimmy dan dirinya. Mereka
telah berhenti mengobrol, dan sepertinya sedang menunggu apa yang
akan terjadi. Segala sorak-sorai seakan-akan meredup di kejauhan ketika
Corky menghampiri Miss Green. Jantungnya berdebar-debar. Ia
melirik ke arah Kimmy, yang memandang lurus ke depan, sibuk
dengan pikirannya sendiri.
"Hannah telah melaporkan masalah serius yang menyangkut
kalian berdua," ujar Miss Green tanpa basa-basi lebih dulu. Ia menatap
Corky, lalu Kimmy. Matanya yang gelap seakan-akan mencari
jawaban. "Rasanya saya"saya tidak bisa percaya bahwa ini bisa
terjadi. Maksud saya, apa yang diceritakan Hannah kepada saya. Ini
benar-benar"keji."
Corky dan Kimmy diam saja. Corky merasa dagunya
gemetaran. Ia berusaha menghentikannya, namun tidak berhasil.
"Saya kenal baik dengan kalian," Miss Green akhirnya
melanjutkan. "Saya menyukai kalian. Dan saya benar-benar bingung.
Saya tidak bisa percaya bahwa salah satu dari kalian..." Ia tidak
menyelesaikan kalimatnya.
Waktu seolah-olah berhenti. Corky tidak bisa bernapas. Paruparunya serasa mau pecah.
"Memotong rambut orang lain bisa digolongkan sebagai
penyerangan," kata Miss Green tegas. Ia menatap kedua gadis di
hadapannya sambil memicingkan mata. "Penyerangan yang sangat
keji." Corky menundukkan kepala. Kedua tangannya sedingin es. Ia
mengepalkan keduanya dengan begitu keras, sehingga telapaknya
nyeri terkena kukunya sendiri.
"Saya harus tahu," ujar Miss Green. "Saya tidak punya pilihan
lain. Saya harus tahu siapa yang melakukan ini terhadap Hannah."
Pandangannya beralih kepada Kimmy. "Kimmy"apakah kau
yang memotong rambut Hannah?"
Kimmy berdeham. Kemudian ia menjawab. "Ya."
Bab 9 Darah Mengalir MISS GREEN langsung terbengong-bengong.
Ia tidak menduga bahwa Kimmy akan mengaku, pikir Corky.
Apalagi secepat itu. Corky menatap Kimmy, yang membalas tatapannya dengan
lirikan penuh arti. Kimmy memberitahunya: jangan bantah. Ikuti
saja"aku akan melindungimu.
Kimmy pikir dia melindungi aku! pikir Corky. Ya ampun. Aku
tidak boleh membiarkannya.
Kimmy yang melakukannya, ujar Corky dalam hati. Tapi dia
tidak bersalah; bukan dia yang menguasai tubuhnya. Aku tidak bisa
membiarkan Kimmy menanggung semuanya seorang diri.
"Bukan, Miss Green," kata Corky. "Saya yang melakukannya.


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya yang bersalah." Tampang Miss Green semakin kencang dan
dingin. "Kalian ikut saya," katanya sambil memberi isyarat agar
mereka mengikutinya. Ia mengajak mereka keluar ke lorong. Suasananya lebih tenang,
dan lebih sejuk. Miss Green mendadak berhenti dan lang-sung membalik. Ia
tampak marah. "Saya ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya," ia
menghardik. "Saya tidak mau kalian saling melindungi. Saya ingin
tahu yang sebenarnya. Siapa yang bertanggung jawab?"
"Saya yang melakukannya," ujar Kimmy pelan-pelan. Ia segera
memberi isyarat dengan matanya agar Corky diam saja.
"Bukan," bantah Corky tanpa menggubris temannya. "Itu tidak
benar." "Kalau begitu kau yang melakukannya?" tanya Miss Green
sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Corky. Ia begitu dekat
sehingga Corky bisa mencium napasnya yang berbau kopi.
"Bukan," Corky menggelengkan kepala dan menarik napas
panjang. Ia harus bercerita tentang roh jahat itu, pikirnya memutuskan.
Tak ada pilihan lain. "Sebenarnya?"
"Ya, ada apa sebenarnya?" desak Miss Green dengan nada tidak
sabar. "Sebenarnya bukan kami yang melakukannya," Corky berkata
cepat-cepat. "Masalahnya begini?"
"Stop!" tukas Miss Green sambil mengangkat kedua tangannya.
Kemudian dengan kesal ia mendengus. "Kita akan melanjutkan
pembicaraan ini setelah kembali ke Shadyside."
"Miss Green?" Corky mulai berkata. Tapi pelatihnya kembali
mengangkat tangan untuk menyuruhnya diam.
"Kita akan menyelidiki urusan ini sampai tuntas setelah kita
kembali," tegas Miss Green sambil merendahkan suaranya, karena dua
anggota tim penilai berjalan melewati mereka. "Setelah pulang ke
Shadyside, kalian berdua akan menjalani hukuman." Ia menggelenggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Miss Green, kami sangat menyesal," bisik Kimmy.
"Saya tidak mau mendengar permintaan maaf," balas Miss
Green ketus. "Yang penting acara ini bisa diselesaikan dengan baik,
oke" Tanpa kejadian lain" Saya"saya benar-benar bingung. Saya
tidak bisa membayangkan apa yang merasuki pikiran kalian."
Aku bisa, pikir Corky. Ia dan Kimmy memperhatikan Miss Green pergi dengan
langkah panjang dan kembali ke ruang makan. Kemudian Corky
berpaling kepada Kimmy, dan dagunya mulai gemetaran lagi. "Aku"
ehm..." Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Ini benar-benar membangkitkan semangat untuk berusaha
dengan sekuat tenaga," gumam Kimmy dengan sinis.
"Yeah, aku tahu," Corky sependapat.
"Apa gunanya?" seru Kimmy sambil mengangkat kedua
tangannya. "Untuk apa kita repot-repot melatih segala macam
gerakan" Kita sama-sama akan dikeluarkan dari tim begitu kita
kembali ke sekolah."
Corky hendak membenarkannya, tapi tenggorokannya seperti
tersekat. "Padahal tadinya aku begitu senang menghadapi perkemahan
ini," kata Kimmy dengan sedih sambil menyibakkan rambutnya yang
hitam. "Tapi sekarang..." Kalimat itu dibiarkannya mengambang.
Tiba-tiba terdengar ledakan tawa dan suara-suara keras di
lorong. Acara sarapan telah berakhir dan semua orang menuju ke
gedung olahraga untuk latihan pagi.
Corky dan Kimmy berjalan sambil membisu, mengikuti yang
lain ke taman yang berbentuk bujur sangkar. Cuacanya cerah dan
matahari sudah tinggi di langit tak berawan.
Sebuah frisbee melayang melewati kepala Corky. Seorang
cheerleader dengan seragam warna emas berkilau-kilau melompat
untuk menangkapnya. Hari yang indah itu pun tak sanggup mengusir awan kelabu
yang menyelubungi perasaan Corky. Ia tahu bahwa tidak bisa diatasi
dengan sinar matahari saja.
Secara bersamaan ia dan Kimmy melihat Blair O'Connell, dan
kedua-duanya berhenti untuk memperhatikannya.
Blair sedang melakukan serangkaian gerakan cartwheel dengan
sempurna di rumput, sekadar untuk bersenang-senang.
"Dia betul-betul memuakkan," ujar Kimmy pelan-pelan,
sehingga hanya Corky yang mendengarnya. Corky sempat terenyak
mendengar komentar Kimmy yang begitu pedas.
"Dia betul-betul memuakkan," ulang Kimmy sambil meringis.
"Seharusnya ada orang yang memberi pelajaran padanya."
*********************** "Kita tidak boleh mengecewakan anak-anak yang lain," kata
Corky kepada Kimmy sambil merapikan sweternya dan menepis
seutas benang merah yang menempel pada huruf S di dadanya. "Kita
tetap harus tampil sebaik mungkin."
"Yeah, benar juga, sih," ujar Kimmy setengah hati.
Mereka telah bekerja keras sepanjang sore untuk melatih nomor
rap baru yang rumit. Tapi kedua-duanya tak sanggup mengerahkan
semangat seperti biasa. Kini telah pukul 19.30, waktunya untuk kompetisi malam.
Gedung olahraga besar itu penuh suara hiruk-pikuk. Corky bisa
merasakan ketegangan yang menyelubungi semua peserta karena
harus tampil di depan tim penilai.
Hannah dan Debra sedang berlatih bertepuk tangan dan
mengentakkan kaki secara serempak. Hannah sempat pergi ke kota
dan kembali dengan gaya rambut baru yang pendek"dan ia tampak
sudah seriang semula. Ronnie sedang berlutut di lantai dan berusaha
membetulkan tali sepatunya yang putus. Heather berdiri beberapa
meter di sampingnya. Ia sedang meregangkan otot-otot kaki.
"Pertunjukan harus jalan terus," ujar Corky sambil memaksakan
senyum. "Kenapa?" tanya Kimmy.
Corky angkat bahu. "Aku juga tidak tahu." Untuk pertama kali
hari itu mereka tertawa. Peluit-peluit berbunyi. Suasana berangsur-angsur sepi. Salah
satu anggota tim penilai, seorang wanita muda berambut pirang,
memanggil para kapten tim ke tengah lapangan. Mereka lalu
mengundi urut-urutan untuk kompetisi.
"Yaaay, Bulldogs!" seru Blair O'Connell sambil memegang
jerami berwarna merah. "Coba tebak siapa yang dapat giliran pertama?" Kimmy
berbisik dengan sinis. Corky memutar-mutar bola mata. "Blair benar-benar ajaib!" ia
bergumam. Tapi dalam hati Corky mengakui bahwa ia merasa iri. Blair
begitu bahagia... ia benar-benar menikmati acara itu... ia benar-benar
gemar bersaing. Penampilan Blair patut diberi acungan jempol, dan ia
pun menyadarinya. Begitulah perasaanku dulu, pikir Corky. Begitulah perasaan
Bobbi dan aku setiap kali kami tampil sebagai cheerleader. Kami
selalu begitu percaya diri, begitu yakin, kalau kami mengenakan
seragam cheerleader. Tapi sekarang... Sekarang Corky hanya bisa memerhatikan Blair dan para
cheerleader lain sambil memendam rasa iri.
"Kosongkan lapangan!" sebuah suara berkumandang lewat
pengeras suara. Para cheerleader segera bergegas ke tribun. Hanya
kedelapan anggota tim Bulldog yang tetap berada di lapangan.
Corky mendapat tempat di ujung salah satu bangku, kira-kira
delapan baris dari lapangan. Debra duduk di sebelahnya. Ia
mengangguk sambil tersenyum, tapi tidak berkata apa-apa.
Corky memalingkan wajah. Ia masih sakit hati karena sikap
Debra tadi pagi. Ia memandang ke lapangan dan melihat Blair
O'Connell menyemangati rekan-rekannya. Blair menghampiri mereka
satu per satu dan mengatakan sesuatu kepada semuanya.
Sebuah lampu sorot di langit-langit mulai menyala, dan
cahayanya membentuk lingkaran putih di tengah lapangan yang
mengkilap. Para penonton di tribun segera terdiam.
"Penampilan pertama malam ini adalah tim Redwood
Bulldogs," suara tadi mengumumkan melalui pengeras suara.
"Silakan..." Para anggota tim penilai menggenggam papan pencatat masingmasing.
Setelah hening beberapa saat, tim Bulldog muncul dari samping
tribun sambil bertepuk tangan. Mereka membentuk barisan yang
dipimpin oleh Blair O'Connell.
Begitu masuk ke dalam lingkaran cahaya, Blair langsung
melakukan gerakan handspring. Ia melompat dengan tangan terjulur
ke depan, lalu bertumpu di lantai. Badannya berputar di udara, dan
mendarat dengan sempuma. Masih sambil berlari, ia segera
mengulangi gerakan itu. Tapi kali ini kakinya seperti tersandung sesuatu.
Blair tampak kaget, dan membelalakkan mata.
Ia kehilangan keseimbangan dan terjerembap.
Sia-sia tangannya mendayung-dayung ketika ia jatuh"dengan
kepala lebih dulu. Corky mendengar bunyi krek yang membuat bulu roma berdiri
ketika wajah Blair menghantam lantai kayu.
Tangan Blair terus bergerak dengan liar, namun ia tidak
berusaha bangkit. Lampu sorot di langit-langit membanjirinya dengan
cahaya putih yang menyilaukan.
Ketika Blair akhirnya bangun, sorot matanya nanar karena
bingung dan ngeri. Darah segar mengucur dari mulutnya bagaikan air
mancur. Dari tempat duduk Corky pun, luka di bibir Blair tampak jelas.
Corky juga melihat ada dua gigi depan Blair yang patah.
Kepala Blair terkulai dengan lemas, sementara darah terus
mengalir dari mulutnya dan membasahi baju seragamnya.
Rekan-rekannya segera berlari menghampirinya, dan ia
langsung dipapah oleh dua orang.
Beberapa orang berteriak dengan suara melengking. "Mana
dokternya?" "Dia harus ditolong!"
"Giginya! Giginya patah!"
"Hentikan perdarahannya!" "Bibirnya"bibirnya pecah!"
Dan kemudian pekikan Blair mengalahkan semua suara lain.
"Kakiku dijegal!" Mula-mula Corky menduga ia salah dengar.
Tapi Blair mengulangi tuduhannya. "Kakiku dijegal!"
Para cheerleader di tribun langsung berdiri. Suasana menjadi
riuh. Dengan susah payah Blair dipapah keluar dari gedung olahraga,
meninggalkan jejak berdarah di belakangnya. Para anggota tim penilai
dan rekan-rekan Blair langsung membawanya ke ruang P3K di ujung
lorong. Ketika mereka melewati Corky, Corky mendengar Blair
mengulangi tuduhannya. "Kakiku dijegal! Kakiku dijegal!"
Dan kemudian Blair menghilang dari pandangan. Yang tersisa
hanyalah jejak berdarah di tengah lingkaran cahaya putih dari lampu
sorot. Corky menatap lingkaran itu sampai pandangannya berkunangkunang. Kemudian ia memaksakan diri untuk memalingkan wajah,
dan ia menoleh ke arah Kimmy di ujung barisan.
Ternyata Kimmy pun sedang menatapnya dengan pandangan
aneh. Bab 10 Lagi-lagi Gunting "AYO kita bikin piramida diamond-head," Kimmy
mengusulkan. "Itu pasti akan membuat orang-orang terkagumkagum."
Corky terenyak, dan ia langsung menatap Kimmy. Tapi anakanak yang lain menyambut usul itu dengan sorak-sorai.
Esok sorenya, sebuah hari kelabu dengan awan melayang
rendah. Tapi suasana di dalam gedung olahraga tetap semarak dan
penuh semangat. Latihan sore sedang berlangsung"lusinan
cheerleader dengan celana pendek dan t-shirt sedang mempersiapkan
gerakan-gerakan yang akan ditampilkan dalam kompetisi malam
nanti. "Kimmy, kau yakin?" Corky mulai berkata, tapi ucapannya
tenggelam dalam sorak-sorai dari tim yang berlatih di sebelah mereka.
Corky mendadak dicekam rasa takut. Ia teringat terakhir kali
mereka membentuk piramida diamond-head. Ia dan Bobbinya kepada
yang lain. Gerakan itu rumit dan berbahaya, dengan tiga gadis berdiri
di lantai, dua gadis berdiri di pundak mereka, dan satu gadis berdiri di
puncak. Setelah semuanya berada dalam posisi, mereka melakukan
gerakan liberty, yaitu mengangkat sebelah kaki melewati kepala.
Kemudian gadis di puncak piramida harus terjun dan ditangkap oleh
rekannya di ujung kanan. Kami tak pernah membuat piramida sejak malam itu, pikir
Corky sambil bergidik. Malam waktu aku berdiri di puncak. Waktu
aku melompat, Kimmy sengaja membiarkan aku terhempas ke lantai.
Ia ingin membunuhku. Ia dikuasai roh jahat itu dan ia ingin membunuhku.
Kenapa ia mengusulkan untuk membentuk piramida malam ini"
"Kimmy"kau yakin ini ide yang baik?" tanya Corky. Ia
menatap tajam ke arah temannya itu.
"Ya!" "Kita coba saja!"
"Ya, kita coba saja!"
Yang lain tampak bersemangat sekali.
"Biar aku saja yang ambil posisi puncak!" seru Hannah.
Permohonannya ditujukan kepada Kimmy. "Biar aku saja!"
"Oke," jawab Kimmy cepat-cepat.
Terlalu cepat, pikir Corky.
Jangan-jangan Kimmy berniat membiarkan Hannah jatuh!
Jangan-jangan itu rencananya! Ia sudah menyiksa Hannah. Apakah ia
sekarang ingin membunuhnya"
Corky memutuskan bahwa ia harus bertindak. Ia maju melewati
Ronnie, yang sedang repot mengurus tali sepatu, lalu berjalan ke
depan Kimmy. "Ada apa ini?" tanya Corky. "Dari dulu selalu aku yang dapat
posisi puncak." "Hannah juga perlu diberi kesempatan," ujar Kimmy dengan
lembut, seakan-akan tak bersalah.
"Yeah"Kimmy benar, Corky, beri kesempatan kepada Hannah
dong," Debra menimpali.
Wah, pikir Corky, kelihatannya Debra mendadak akrab sekali
dengan Hannah. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Debra. Sambil
memegang-megang kalung kristal di lehernya, Debra menatap Corky
seolah-olah menantangnya.
"Rasanya lebih baik kalau aku yang berdiri di puncak," Corky
berkeras sambil kembali berpaling kepada Kimmy. "Waktu latihan
tinggal sore ini. Kita takkan sempat melatih orang baru."
Tapi Kimmy berkeras, "Hannah berhak dapat kesempatan." Dan
anak-anak yang lain segera mendukungnya.
Corky akhirnya mundur ketika Hannah menatapnya sambil
mengembangkan senyum kemenangan.
Senyum yang dingin dan kejam itu serasa mengiris-iris hati
Corky. Senyum itu berkata: Sekarang aku yang jadi bintang... Aku


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bintangnya"dan kau bukan apa-apa. Tak ada yang memedulikan
pendapatmu. Corky berdiri dengan lesu. Ketika menatap Hannah, ia sadar
bahwa perutnya serasa berisi batu. la sadar bahwa tangannya
mendadak sedingin es. Hannah bakal celaka! Kata-kata itu berkecamuk dalam benak
Corky. Aku tidak bisa menghentikan Kimmy. Hannah pasti celaka!
"Kau tidak dengar yang kukatakan?" Seruan Kimmy
membuyarkan lamunan Corky.
"M"maaf," Corky tergagap-gagap. "Aku lagi memikirkan
sesuatu...." "Kita coba bikin piramida sekarang," ujar Kimmy. "Kita mulai
dengan latihan berdiri di pundak"kalau-kalau ada yang lupa." Ia
berpaling kepada Hannah. "Perhatikan baik-baik. Corky dan Debra
berdiri di tengah. Kami akan membantumu naik ke puncak."
"Ini benar-benar seru!" pekik Hannah. "Lebih seru dari yang
kaubayangkan," gumam Corky.
"Corky"ada sesuatu yang hendak kaukatakan?" tanya Kimmy
dengan nada menuduh. Corky menggelengkan kepala dan maju untuk memperagakan
cara berdiri di pundak. Lima menit kemudian kelima gadis itu sudah berada di posisi
masing-masing, dan Hannah mulai memanjat.
Sambil menjaga keseimbangan di pundak Ronnie dan Heather,
Corky merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia harus memaksakan diri
agar tetap tenang. Mungkinkah Kimmy bermaksud mencelakakan Hannah
sekarang" Dalam latihan"
Ataukah ia akan menunggu sampai kompetisi malam nanti"
Corky ingin memperingatkan Hannah dan menceritakan yang
sebenarnya mengenai Kimmy. Tapi apa gunanya" Ia tahu bahwa
Hannah takkan percaya. Hannah meraih ke atas dengan kedua tangan. Corky
menggenggam keduanya dan menariknya naik. Tangan Hannah terasa
panas dan lembap. Bunyi napasnya terdengar jelas ketika ia menghela
dirinya ke puncak piramida.
"Bagus sekali!" seru Miss Green sambil bergegas melintasi
lapangan. Ia datang terlambat, tapi sepertinya sama sekali tidak
terkejut melihat anak buahnya berlatih membentuk piramida. "Tahan.
Jangan bergerak!" ia berseru kepada mereka sambil tersenyum.
"Hannah, jangan bergerak. Usahakan agar kamu tetap seimbang."
"Saya tidak apa-apa kok," sahut Hannah. "Ini mudah sekali!
Sungguh!" "Oke. Sekarang angkat kaki!" Kimmy memerintahkan.
"Pelan-pelan. Pelan-pelan saja. Jaga keseimbangan," Miss
Green berseru. Perlahan-lahan Corky, Debra, Ronnie, dan Kimmy mengangkat
sebelah kaki. "Tahan, Ronnie," Miss Green memperingatkan. "Kunci lututmu
yang satu lagi. Oke, sekarang turunkan kaki."
Corky merasakan Hannah berayun-ayun di pundaknya.
Kemudian disadarinya bahwa ia sedang menahan napas.
Apakah Kimmy akan membiarkan Hannah jatuh" Mungkinkah ia akan
melakukannya" Waktu serasa berjalan semakin lambat, lalu berhenti sama
sekali. Corky akhirnya mengembuskan napas. Kemudian ia menarik
napas panjang lagi dan menahannya.
"Kau harus membungkuk sedikit ke depan sebelum melompat
turun," Miss Green sedang memberitahu Hannah.
"Oke," balas Hannah.
"Debra harus bergeser sedikit dan menopang badannya dengan
sebelah kaki," Miss Green menjelaskan. "Kemudian Kimmy bisa maju
dan bersiap-siap untuk menangkapmu." "Oke," ujar Hannah. "Saya
sudah siap." "Saya hitung sampai tiga," kata Miss Green dengan wajah
tegang. Ia menatap Hannah sambil memicingkan mata. "Satu... dua..."
Kimmy maju untuk menangkap Hannah. Corky memejamkan mata.
"Tiga." Corky merasakan tekanan pada pundaknya ketika Hannah
melompat. Ia melihat Kimmy melangkah maju.
Dengan mudah Kimmy berhasil menangkap Hannah.
Hannah melompat ke lantai sambil bertepuk tangan dan
tersenyum gembira. Piramida mereka bubar. Corky melompat ke bawah. Kepalanya
serasa berputar-putar. Semuanya bersorak-sorai dan menyalami
Hannah. Miss Green, yang biasanya bertampang tegas, ikut tersenyum.
"Istirahat lima menit!" serunya.
Corky menuju ke pancuran air minum di lorong.
"Kau tidak apa-apa?"
Ia menoleh dan melihat Kimmy, yang sedang menatapnya
dengan pandangan prihatin. "Kau tidak apa-apa?" Kimmy
mengulangi. "Yeah, aku baik-baik saja," balas Corky dengan waswas. Aku
tidak sanggup menghadapi Kimmy sekarang, ia menyadari.
Kimmy terus menatapnya dengan dingin. "Bagus," ujarnya.
"Syukurlah. Rasanya beberapa orang bakal mendapat kejutan nanti
malam." ********************* "Rok ini kusut sekali," ujar Kimmy sambil mengamati rok
seragamnya yang berwarna putih-merah. "Apa ada yang bawa
setrika?" Corky, yang sedang menyisir rambut di depan cermin,
mengalihkan pandangan untuk menatap Kimmy lewat kaca. "Tidak
terlalu kelihatan kok."
Hannah sedang mandi. Corky mendengarnya bersenandung di
bawah pancuran air. Sambil menggelengkan kepala, Kimmy mengenakan roknya.
"Kita telat," ia berkata sambil merapikan sweternya. "Kita semua
telat." "Aku sudah hampir selesai," ujar Corky sambil meletakkan
sisirnya. "Menurutmu, apa ya yang bakal dihidangkan untuk makan
malam" Moga-moga tidak pedas. Sehabis makan malam kemarin,
badanku terasa seberat satu ton. Aku nyaris tak sanggup melompat."
"Yeah," balas Corky sambil meraih lip glossnya.
"Aku turun duluan deh," ujar Kimmy. Sekali lagi ia menatap ke
cermin dan membetulkan letak roknya. "Kita ketemu di ruang makan
saja, oke." "Oke," jawab Corky. "Sebentar lagi aku akan menyusul."
Kimmy bergegas ke luar. Begitu ia menutup pintu, kamar
mandi membuka, dan Hannah melangkah ke luar, dikelilingi uap yang
mengepul-ngepul. Tubuhnya terbungkus handuk besar berwarna
merah. Rambutnya, yang baru dipotong pendek, masih basah.
"Malam ini kita bakal menang," ia berkata penuh semangat.
"Aku yakin sekali. Tanpa Blair, tim Bulldog tak bisa berkutik." Ia
duduk di tempat tidur dan mulai menggosok-gosok rambut dengan
handuk. "Blair tidak ikut tampil nanti?" tanya Corky sambil berusaha
memasang jam tangannya. "Tidak. Kau belum dengar beritanya?" tanya Hannah dari
bawah handuknya. "Dia pulang. Bibirnya dijahit, dan giginya harus
dioperasi." "Kasihan," komentar Corky singkat. Ia berdiri dan
meregangkan badan. Hannah melepaskan handuknya, mengenakan pakaian dalam,
lalu kembali, duduk di tempat tidur untuk memakai kaus kaki
seragamnya yang berwarna merah. Ia membelakangi Corky.
"Tanpa Blair, kita harus menang!" Hannah menegaskan.
Corky cepat-cepat membuka laci paling atas di lemari
pakaiannya. Tangannya mengaduk-aduk tumpukan T-shirt sampai
menemukan gunting. Sambil menggenggamnya dengan erat, ia mengeluarkan gunting
itu dari laci. Hannah masih asyik membicarakan kompetisi sambil
membelakangi Corky. Corky mengangkat guntingnya bagaikan pisau dan
menghampiri Hannah. Ini kesempatanku untuk menghabisi dia, kata Corky dalam hati.
Tanpa bersuara ia melintasi kamar dan berhenti di belakang
rekannya yang sama sekali tidak curiga.
Aku tidak mau main-main lagi, pikir Corky. Ini saatnya.
Selamat jalan, Hannah. Ketika Hannah membungkuk untuk memungut kaus kaki yang
satu lagi dari lantai, Corky menghunjamkan gunting sambil membidik
titik di antara kedua tulang belikat Hannah.
Bab 11 Kejutan Bagi Corky MAMPUS kau, Hannah. Mampus!
Pintu kamar membuka. "Aduh, percaya atau tidak, tapi pompom-ku ketinggalan lagi,"
kata Kimmy sambil bergegas masuk.
Corky membiarkan guntingnya jatuh ke lantai dan segera
menendangnya ke bawah tempat tidur Hannah.
Hannah membalik. Ia sempat terkejut karena Corky berdiri
begitu dekat di belakangnya.
Wajah Corky mendadak terasa panas, dan ia mundur ke tempat
tidurnya sendiri. Ia terserang rasa mual, dan ia menahan napas untuk
melawannya. Kepalanya berputar-putar. Ia melihat cahaya berwarna merah
terang. Seluruh ruangan berkedip-kedip, merah lalu hitam, merah lalu
hitam. Masih sambil berusaha melawan rasa mual, ia berpaling ke arah
Kimmy, yang sedang membongkar lemari pakaiannya. "Kalau tidak
salah kotaknya kausimpan di sebelah sana, di samping tempat tidur
kita," kata Corky sambil menunjuk.
"Trims." Kimmy bergegas ke sana dan memungut kotak itu dari
lantai. "Hei"kalian kok belum siap" Kenapa kalian berlama-lama di
sini?" "Dua detik lagi," balas Hannah sambil mengenakan roknya.
"Aku"aku kurang enak badan," ujar Corky dengan lesu.
"Hah?" Kimmy sampai melongo mendengarnya.
"Betul," Corky menegaskan. "Perutku. Rasanya ada yang tidak
beres." Ia duduk di tepi tempat tidurnya.
Sekelilingnya tampak mera h lalu hitam, merah lalu hitam.
Telinganya terganggu suara gemuruh yang menyerupai bunyi
air terjun. Tengkuknya terasa panas dan perih.
"Jadi kau tidak ikut makan malam?" tanya Kimmy dengan nada
melengking. "Aku akan menyusul begitu sudah merasa lebih enak," jawab
Corky. "Tolong beritahu Miss Green, oke?"
Serangan mual berikutnya memaksanya lari ke kamar mandi. Ia
membanting pintu dan meraih wastafel dengan kedua tangannya.
Wastafel keramik itu terasa dingin di bawah tangannya yang
panas dan lembap. Seluruh tubuhnya terguncang dengan hebat. Merah lalu hitam.
Merah lalu hitam. Ia memejamkan mata, namun warna-warna yang berkedipkedip itu berlanjut di balik kelopak matanya.
Suara gemuruh di telinganya bertambah keras.
Sepertinya is mendengar suara tawa di kejauhan, tawa yang
jahat. Tiba-tiba wastafel menjadi panas sekali. Sambil berteriak, lebih
karena kaget daripada karena nyeri, Corky menarik kedua tangannya.
Uap yang tebal dan berbau busuk mengepul-ngepul dari
wastafel yang kering. Kemudian wastafel itu meleleh di depan mata
Corky. Sebuah bunyi mengerikan keluar dari lubang pembuangan air,
semakin lama semakin keras.
Corky membalik dan kabur. Ia menghambur keluar dari kamar
mandi dan menjatuhkan diri di tempat tidur Hannah.
Kamar mereka telah kosong. Hannah dan Kimmy sudah pergi.
Aku nyaris membunuh Hannah, Corky menyadari. Aku nyaris
membunuhnya. Dan kemudian serangkaian kata mengerikan timbul di dalam
benaknya: Akulah yang jahat sekarang.
BAGIAN DUA DICEKAM KETAKUTAN Bab 12 Roh Jahat Berulah SETELAH kembali ke Shadyside, Corky nyaris tak ingat apaapa mengenai lima hari terakhir di perkemahan. Segala sesuatu berupa
bayangan kabur setelah keadaan sebenarnya terungkap. Sabtu sore ini,
Corky seorang diri di kamarnya.
"Corky, sedang apa kau?" Suara ibunya terdengar cemas dari
balik pintu. "Lagi istirahat," balas Corky sambil mengangkat kepala dari
bantal. Masih mengenakan jins belel dan T-shirt kuning tanpa lengan,
ia merebahkan diri di tempat tidur sehabis makan siang. Berbagai
pikiran berkecamuk di dalam benaknya, bagaikan gelombang
samudra"pikiran-pikiran janggal, yang tidak sepenuhnya pikirannya
sendiri. "Kau sakit?" tanya ibunya. "Tidak biasanya Sabtu sore kau
beristirahat." "Aku cuma capek," sahut Corky kesal. "Gara-gara perkemahan
cheerleader." Ia mendengarkan ibunya menuruni tangga. Kemudian ia
membenamkan kepalanya ke bantal dan berusaha menghalau bunyi
gemuruh yang membuat telinganya berdengung-dengung.
Perkemahan cheerleader. Pengalaman yang benar-benar
mengerikan. Ia terus tinggal di dalam kamar asrama setelah menyadari apa
yang telah terjadi. Semua orang lain diberitahunya bahwa ia sedang
sakit. Ia tak punya pilihan lain.
Ia tidak bisa menghadiri ceramah maupun latihan; ia tidak bisa
ikut tampil dalam kompetisi malam hari. Ia terlalu ngeri bahwa ia
akan mencelakakan seseorang.
Ia tetap berbaring di tempat tidur selama Kimmy atau Hannah
berada di kamar. Ia berusaha bicara sesedikit mungkin dengan
mereka. Miss Green sampai memanggil dokter untuk memeriksa Corky.
Tapi dokter itu tentu saja tidak menemukan apa-apa.
Tak ada masalah, katanya. Hah, menggelikan! ujar Corky dalam
hati. Kadang-kadang kekuatan jahat itu agak mereda. Kadangkadang Corky dibiarkan berpikir dengan jernih. Kadang-kadang
Corky diberi waktu sedikit agar ia merasa takut, benar-benar takut.
Dan kemudian suara gemuruh tanpa akhir itu kembali lagi, dan
segala kenangannya seperti terhapus. Dan Corky tenggelam dalam
dunia merah tua dan hitam pekat, dan tidak ingat apa-apa.
Tidak ingat apa-apa sama sekali.


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecuali rasa takut. Kini, sambil tergeletak di tempat tidur dan membolak-balik
badan di bawah beban roh jahat itu, ia mengingat semuanya dengan
jelas. Jelas sekali. Terlalu jelas.
Ia ingat bagaimana ia duduk di kedai kopi bersama temantemannya dan membuat sup ercis tumpah ke meja.
Kenapa" Karena mereka mengejeknya. Dan karena ia sanggup
melakukannya. Ia ingat bagaimana ia meraih ke lapangan di gedung olahraga
agar Blair O'Connell terjatuh. Ya, betapa menyenangkan kejadian itu.
Betapa menyenangkan mendengar bunyi krak ketika Blair terempas ke
lantai dan giginya patah.
Betapa menyenangkan melihat darah segar mengucur dari
mulutnya yang terluka. Lalu masih ada lagi. Masih ada lagi!
Ia ingat bagaimana ia bangun pagi-pagi sekali, ketika langit
masih dikuasai kegelapan malam. Ia ingat bagaimana ia mengendapendap ke lemari pakaian dan mengambil gunting. Ia ingat bagaimana
ia memotong kepangan Hannah dengan hati-hati. Ia ingat suara snip
snip yang terdengar perlahan ketika guntingnya memangsa rambut
Hannah. Dan ia ingat bagaimana ia meletakkan kepangan yang telah
terputus di atas selimut Hannah, agar Hannah segera melihatnya saat
terbangun. Betapa menyenangkan itu semua.
Tapi kemudian ada yang merusak kesenangannya.
Kimmy tiba-tiba masuk ke kamar dan merusak kesempatan
Corky untuk membunuh Hannah.
Kejadian itu membuatnya begitu marah, sehingga gemuruh di
telinganya mengalahkan segala pikiran lain, dan ia menghilang di
dalam dirinya sendiri. Dan sekarang... sekarang...
Corky duduk tegak sambil mengerang tertahan.
Sekonyong-konyong ia memahami mimpi-mimpinya, mimpimimpinya mengenai Bobbi.
Ia mendadak mengerti apa yang hendak dikatakan Bobbi
melalui mimpi-mimpi yang mengerikan itu.
Ketika Bobbi membuka tengkoraknya dan memperlihatkan
isinya yang mendirikan bulu roma, ia sesungguhnya hendak
memberitahu Bobbi: Lihat ke dalam kepalamu sendiri. Lihat ke dalam
dirimu. Kengerian itu ada di dalam diriMU!
"Sekarang aku mengerti, Bobbi," ujar Corky.
Dan begitu ia mengucapkan kata-kata tersebut, tempat tidurnya
terangkat dari lantai. Ia menggenggam selimutnya ketika ranjangnya
mulai terguncang-guncang seperti bus di jalan yang berlubang-lubang.
Jangan. Oh jangan. Aku mohon"jangaaan.
Kaki tempat tidurnya memberontak seakan-akan hendak
mencampakkan Corky ke lantai. Kemudian selimutnya mulai
bergulung-gulung, sementara tempat tidurnya bergetar keras.
Jangan. Oh, jangan. Berhentilah!
Ia berpegangan pada seprai dan menggenggamnya dengan erat.
Kepala tempat tidurnya membentur-bentur dinding. Selimutnya
berkibar-kibar seolah-olah diterpa angin badai. Kasurnya merontaronta.
Tolong! Hentikan ini! HENTIKAN!
Corky terlempar ke lantai, dan seketika karpetnya mulai
mengamuk dan berkepak-kepak.
Tirai-tirai di kedua sisi jendela seakan-akan hendak meraihnya.
Jendelanya membuka dan menutup sendiri.
Berhenti! BERHENTI! Botol-botol parfum dan kosmetika di meja rias melesat ke atas
dan melayang di bawah langit-langit.
Jendelanya terus membuka dan menutup, sementara tirainya
berkibar-kibar tak terkendali. Corky bangkit dengan susah payah,
namun ia dibuat terombang-ambing oleh karpet yang bergulunggulung tanpa henti.
Ia berusaha menjangkau lemari pakaiannya, tapi karpetnya yang
terus bergerak menariknya ke belakang. Cermin di atas meja rias
mendadak terbakar, lalu seolah-olah meleleh. Corky membelalakkan
mata dengan ngeri ketika lahar keperakan mengalir ke meja rias dan
tumpah ke lantai yang berdenyut-denyut.
Dan kemudian ia melihat genangan darah di karpet, persis di
depannya. "Tolong! Hentikan ini!"
Sementara ia berusaha memfokuskan matanya, genangan darah
itu mulai bergelembung, lalu bertambah lebar. Noda itu semakin
besar, sampai mencapai kakinya, sampai menutupi seluruh karpet,
sampai Corky berenang di dalamnya.
Tenggelam di dalamnya. Tenggelam di dalam darah kental
berwarna gelap. Dengan kalang-kabut ia mengayun-ayunkan tangan
dan kaki... menendang-nendang... berusaha agar tetap terapung... tapi
cairan gelap itu terus menariknya ke bawah.
"Jangaaan!" Corky berjuang sekuat tenaga agar tetap terapung, sementara
darah di sekelilingnya seperti mendidih. Gelombang-gelombang
merah menerpanya, membasahi kepalanya, menariknya ke bawah.
"Kenapa kau melakukan ini padaku" Kenapa kau menyiksaku
seperti ini" JANGAN GANGGU AKU!"
Betulkah ia meneriakkan kata-kata itu" Ataukah semuanya
hanya diucapkan di dalam hati"
Pintu kamarnya membuka. Seseorang berdiri di ambang pintu.
Corky menoleh sambil terengah-engah. "Sean!"
Adiknya itu menatapnya dengan heran. "Ada apa sih" Sedang
apa kau di lantai?" Baru sekarang Corky sadar bahwa ia sedang berlutut di lantai
sambil mencengkeram karpet dengan erat.
"Wah, kamu ada-ada saja!" seru Sean sambil tertawa.
"Aku... ehm... sepertinya aku mimpi buruk," Corky berdalih. Ia
menegakkan badannya. Merah lalu hitam. Merah lalu hitam.
Gemuruh di telinganya belum juga mereda. Pandangannya
menyapu seluruh ruangan. Normal. Segala sesuatu kelihatan normal
lagi. Tentu saja. "Ayo, ikut ke kamarku," kata Sean setengah memaksa. Ia
meraih tangan Corky dan menariknya.
"Kenapa?" tanya Corky. Bunyi gemuruh itu bertambah keras.
Bertambah dekat. "Ada yang mau kuperlihatkan padamu." Sean kembali menarik
tangan kakaknya. "Sesuatu yang kukerjakan dengan komputer."
Corky mencoba berdiri, tapi terpaksa duduk lagi karena pusing.
Kepalanya terasa berat sekali. Pikirannya tenggelam dalam
gemuruh itu. Merah lalu hitam. Merah lalu hitam.
Dunia seakan-akan hanya memiliki dua warna.
"Ayo dong!" Sean mendesak.
Dan tiba-tiba, tanpa menyadari, Corky telah merangkul adiknya
dan memeluknya dengan erat. Semakin erat.
"Hei"apa-apaan ini?" seru Sean sambil berusaha melepaskan
diri. Gemuruh di telinga Corky membuat semuanya bergetar. Setiap
tarikan napas bergema dengan keras dalam benaknya.
Merah lalu hitam. Lalu merah. Lalu hitam. Corky tetap
memegang Sean dan mengajaknya bergulat di karpet.
Sean meronta-ronta sambil tertawa. la meraih ke atas dan
menjepit kepala Corky dengan lengannya yang kurus.
Sean suka bermain gulat. Corky mengelak dan menggenggam lengan Sean. Aku bisa
mematahkan tangannya, pikir Corky. Ya, aku bisa mematahkan kedua
tangannya. Pasti mudah sekali. YAAAAA, gemuruh di dalam kepalanya berkata.
Mudah sekali. Krak krak. YAAAAA. Corky merasakan kekuatannya yang luar biasa ketika ia meraih
lengan Sean dan mulai memuntirnya ke belakang.
Bab 13 "Kita Harus Membunuh yang Lain"
LENGAN Sean yang kurus terus dipuntirnya ke belakang.
"Aduh!" seru Sean sambil memberontak untuk membebaskan
diri. "Sakit dong!"
Tapi ia kurang kuat untuk melawan kakaknya. Tanpa
memedulikan seruan Sean, Corky menarik lengannya ke atas untuk
mematahkannya. "Aduh! Sudah, sudah!" Sean memekik.
Corky belum puas. Tapi kemudian, tiba-tiba, ia melepaskan
lengan adiknya, dan Sean langsung melompat maju.
"Keluar!" Corky membentak adiknya yang terbengongbengong. "Keluar! Cepat, keluar!"
Sean berlari ke pintu. Matanya yang biru terbelalak lebar.
Setelah sampai di pintu, ia membalik dan memelototi Corky. "Dasar
brengsek! Kau kenapa sih?"
"Keluar, Sean! Keluar!"
Dengan kesal Sean menyibakkan rambutnya yang pirang. "Tadi
aku diajak main gulat. Sekarang aku diusir. Dasar brengsek!"
"Pokoknya keluar!" ujar Corky. Ia merasakan seluruh tubuhnya
mulai gemetaran. Sean langsung keluar dan berlari menuruni tangga.
Hampir saja aku mencelakakan dia, pikir Corky ngeri. Hampir
saja aku mematahkan tangan adikku sendiri.
Tapi entah kenapa, roh jahat itu mundur persis sebelum...
sebelum... Ia mendengar suara tawa, dingin dan kering. Hampir seperti
suara orang batuk. Corky memandang berkeliling. Tapi sesungguhnya ia langsung
tahu bahwa suara itu bersumber dari dalam kepalanya.
Tawa itu semakin keras. Tawa keji yang mengejek. Ia menutup
telinga dengan kedua tangannya. Ia menekan keras-keras, untuk
menghalau bunyi mengerikan itu. Namun sia-sia.
"Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!" jeritnya dengan
suara yang tak dikenalinya sebagai suaranya sendiri.
Ia menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menutup kepalanya
dengan bantal. Tapi suara tawa di dalam kepalanya itu terus bertambah keras.
**************************
Corky bermimpi bahwa ia berada di sebuah kapal yang
berayun-ayun dengan pelan. Ia merasakan lantai kayu di bawah
kakinya bergerak turun-naik!
Cuacanya cerah dan hangat. Tak ada satu awan pun di langit
yang biru. Pantulan sinar matahari membuat air di sekeliling perahu
tampak berkilau keemasan.
Corky melihat dirinya berdiri di geladak sambil bersandar pada
pagar yang dipoles mengilap. Ia berpakaian serba putih. Gaunnya
panjang dan berpotongan kuno. Ujung-ujung lengannya dihiasi renda-
renda, begitu pula kerahnya yang tinggi. Roknya mengembang karena
tiupan angin. Kepalanya tertutup topi jerami yang dikelilingi pita
merah. Aneh sekali, pikir Corky. Aku berada dalam mimpi tapi
sekaligus bisa melihat mimpiku.
Warna-warnanya yang dilihatnya indah sekali. Air biru yang
berkilau keemasan, kapal pesiar yang putih, langit yang biru.
Ia ditemani anak laki-laki dan anak perempuan yang sama-sama
berambut pirang. Keduanya juga mengenakan baju dari zaman
Victoria. Rapi sekali, pikir Corky. Bukan baju untuk pergi berlayar.
Kapalnya meluncur di air yang tenang.
Anak-anak itu memanggilnya dengan nama Sarah.
Sinar matahari terasa hangat di wajahnya.
Aku bukan diriku, Corky menyadari. Aku seseorang bernama
Sarah. "Sarah, lihat aku!" anak laki-laki itu berseru. Ia naik ke pagar
kapal dan berpose seperti jagoan.
"Ayo, turun!" Sarah memarahinya dengan lembut, meski tidak
dapat menahan tawa. "Ayo, turun. Cepat."
Dengan patuh anak itu melompat ke geladak.
Corky memperhatikannya mengejar-ngejar anak perempuan
yang tampak seperti adiknya.
Sarah mendongak ke arah matahari.
Tiba-tiba kapal itu miring ke kanan. Sarah cepat-cepat
berpegangan pada pagar untuk menjaga keseimbangan supaya tidak
terjatuh. Ada apa ini" Corky bertanya-tanya. Ia bisa merasakan
kecemasan Sarah. Kenapa kapalnya miring"
Kapal itu kembali tegak, lalu miring ke arah berlawanan. Sarah
menggenggam pagar erat-erat.
Ia bisa merasakan kengerian yang merayap ke tengkuknya.
Kapal itu mulai berputar-putar dengan kencang, seolah-olah
terperangkap dalam pusaran air.
Ada apa ini" Mana matahari" Kenapa kita berputar-putar
begini" Langit mendadak hitam pekat, sehitam air berbuih yang
menjilat-jilat lambung kapal.
Corky merasakan kengerian Sarah. Perasaan itu membanjirinya
bagaikan air bah dan membuatnya terpaku di tempat.
"Sarah! Sarah!" ia mendengar anak-anak tadi memanggilmanggil ketakutan.
Kini ia berpegangan dengan kedua tangan pada pagar kapal.
Tapi pagar itu telah berubah. Pagar itu telah berubah menjadi
ular putih yang besar. Ular itu mengangkat kepala, membuka mulutnya yang berbisa,
dan mulai mendesis-desis ke arah Sarah...
Kemudian Corky terbangun.
Tubuhnya bermandi keringat dingin. Ia duduk tegak di tempat
tidur sambil terengah-engah untuk menarik napas. Ia berkedip-kedip
dan menggosok-gosok mata untuk mengusir bayangan ular yang
mendesis-desis itu. Aku sudah kembali, ia menyadari. Kembali ke kamarku.
Mimpi itu begitu nyata. Rasanya bukan seperti mimpi. Lebih
seperti kenangan mengenai sesuatu yang pernah dialaminya.
Ia menoleh dan menatap weker di samping tempat tidurnya.
Pukul 19.30. Langit di luar sudah gelap.
Aku ketiduran, pikirnya. Aku ketiduran dan tidak ikut makan
malam. Mimpinya mengerikan sekali.
Tapi kenapa semuanya terasa begitu nyata, seakan-akan ia
pernah mengalaminya sendiri"
Dan kenapa anak-anak itu memanggilnya dengan nama Sarah"
Corky belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh mimpi
buruknya ketika ia turun dari tempat tidur.
Ia membuka mulut dan menguap lebar.
Dan seketika ia mendengar bunyi mendesis "ular tadi?"
bagaikan angin kencang tanpa akhir yang keluar dari dalam dirinya.
Ia berusaha menutup mulut, tapi tak dapat mengendalikannya.
Suara mendesis itu bertambah keras, dan Corky merasakan
sesuatu keluar dari mulutnya.
Bau busuk yang memuakkan menusuk-nusuk hidung Corky


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika gas berwarna hijau menyembur dari mulutnya yang menganga
lebar. Dari mulutku! Ia menyadari dengan ngeri. Dan aku tidak
sanggup menghentikannya. Ia duduk tak berdaya sementara gas hijau itu terus menyembur,
dan mengisi kamarnya dengan bau busuk.
Tolong! Oh, tolong! Aku tidak sanggup menghentikannya. Aku tidak sanggup
menutup mulut. Baunya busuk sekali! Aku bakal muntah untuk selama-lamanya. Selama-lamanya!
pikir Corky. Tubuhnya gemetaran dengan hebat.
Gas hijau itu terus menyembur. Semakin banyak. Semakin
banyak. Setelah seluruh gas itu keluar, bunyi mendesis yang mengiringi
semburannya pun berhenti. Corky kehabisan tenaga. Kepalanya
terkulai lemas dan terantuk pada ujung tempat tidur.
Kabut yang panas dan lembap dan berbau busuk mengisi
seluruh kamarnya. "Jangan santai dulu. Ada tugas yang harus kita kerjakan," ujar
sebuah suara yang berderak-derak bagaikan daun-daun kering yang
diterpa angin kencang. "Hah" Tugas" Tu"tugas apa?" Corky tergagap-gagap sambil
terengah-engah. Tubuhnya masih terguncang-guncang, dan ia tak
berdaya mengatasinya. "Kita harus membunuh yang lain, mereka yang
mengkhianatimu," bisik suara di tengah kabut hijau yang menjijikkan
itu. "Kita mulai dengan Debra saja."
Bab 14 Membunuh Debra "TIDAK!" Corky menjerit dengan suara melengking tinggi
yang belum pernah ia dengar.
Ia merapatkan punggungnya ke kepala tempat tidur, dan
berusaha menghindari kabut hijau berbau busuk yang melayang di
kamarnya. Sambil gemetaran dan merinding, ia menyadari bahwa
kamarnya telah menjadi sedingin es.
"Aku takkan membunuh Debra," Corky berkeras sambil
menyilangkan tangan di depan dada. Dengan tajam ia menatap
bayangan hijau yang melayang-layang di depan matanya.
"Tapi Debra mengkhianatimu. Dia lebih suka berteman dengan
Hannah daripada denganmu," Corky mendengar bisikan parau.
"Sekarang Debra harus menebus kesalahannya."
"Tidak! Aku takkan membiarkanmu!" Corky memekik.
Ucapannya disambut tawa yang terdengar seperti bunyi dahandahan kering yang patah. "Kau takkan membiarkanku?" Kabut tebal
itu bergerak mendekati langit-langit. "Tapi kau adalah aku!"
"Tidak!" protes Corky.
"Kau adalah aku"dan aku adalah kau!"
"Tidak! Tidak!"
Corky kembali mendengar suara tawa. Kabut hijau itu tampak
mengembang dan mengerut di dalam kamarnya yang dingin dan
gelap. Dan kemudian tiba-tiba melayang ke langit- langit.
Seluruh tubuh Corky terguncang hebat. Ia dicekam panik, dan
napasnya seakan-akan tersangkut di tenggorokan. Dengan mata
terbelalak ia menatap gas hijau yang menyebar di langit-langit,
menyelubungi lampu sehingga keadaan bertambah gelap lagi.
Corky meraih selimut dan menariknya sampai ke dagu.
Sebenarnya ia hendak bersembunyi di bawahnya, namun
disadarinya bahwa selimut itu takkan bisa melindunginya dari roh
jahat yang begitu kuat. Awan gas di atasnya seolah-olah mendidih. Lalu, sekonyongkonyong, Corky mulai dihujani embun hijau yang lembap dan berbau
busuk. Corky memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan kedua
tangan. Embun itu semakin rendah, membungkus Corky dengan
baunya. Semakin berat. Semakin berat. Menindihnya bagaikan selimut
tebal. Aku tidak bisa bernapas, Corky menyadari. Aku mau dicekik.
Semakin berat. Semakin berat.
Ia mulai mengantuk. Kehilangan kontak dengan dunia luar.
Kamarnya seakan-akan lenyap di kejauhan. Dan Corky ikut di
dalamnya. Di bawah siraman cairan hijau yang menjijikkan, Corky
melayang menjauhi dirinya sendiri.
Melayang, melayang ke dunia yang serba kelabu.
Ia terus melayang sementara gas hijau itu mengisi dirinya,
mengisi pikirannya, mengambil alih tubuhnya.
Dalam sekejap saja Corky telah menghilang.
Roh jahat itu kini berkuasa penuh.
Ia berdiri, merapikan T-shirtnya, lalu menghampiri pesawat
telepon dengan langkah panjang.
Ia mengangkat gagang dan menekan nomor Debra. Beberapa
detik kemudian Debra sudah terdengar menyahut.
"Apakah kita bisa ketemu nanti?" tanya Corky dengan tenang.
"Ada hal penting yang harus kuceritakan padamu."
Debra menyanggupi permintaannya.
Corky menyisir rambutnya, lalu bergegas ke bawah. Ia
mengambil kunci mobil dan berseru kepada orangtuanya bahwa ia
akan pulang dalam beberapa jam.
Kemudian ia berangkat untuk membunuh Debra.
Bab 15 Begitu Mudah Dibunuh SAMBIL memegang setir dengan kedua tangan, Corky
mengemudikan Accord biru itu menyusuri Old Mill Road ke arah mall
di Division Street. Aku datang, Debra, katanya dalam hati.
Aku akan menghabisimu. Sebuah senyum mengembang di wajahnya ketika ia mengedipngedipkan mata akibat sorotan lampu mobil dari arah berlawanan.
Debra dan Hannah. Mereka kompak sekali selama di
perkemahan. Nyaris tak terpisahkan.
Hah, sekarang aku akan memisahkan kalian, pikir Corky. Liang
kubur mestinya bisa memisahkanmu dari sahabatmu Hannah!
Bayangan itu membuat mata Corky berbinar-binar. Ia masih
ingat bagaimana Debra tidak bersedia memutuskan percakapan
dengan Hannah untuk berbicara dengannya. Bagaimana Debra selalu
bersama-sama Hannah, tanpa mengingat dirinya. Bagaimana Debra
membela Hannah. Bagaimana Debra mendukung Hannah untuk
berdiri di puncak piramida.
Debra, Debra, Debra. Kau benar-benar salah langkah, Corky
berkata dalam hati. Ia menambah kecepatan untuk menyusul sebuah station wagon
yang penuh anak kecil. Wajahnya tampak berseri-seri setiap kali ia
melintas di bawah lampu jalanan.
Setelah berhenti di sebuah lampu merah, ia membelok kiri ke
Division Street, yang ternyata dipenuhi mobil yang merayap pelan.
Debra telah memberitahu Corky melalui telepon bahwa ia
disuruh ibunya membeli beberapa barang di mall. "Kadang-kadang
aku merasa bahwa ibuku melahirkan anak-anaknya untuk
dimanfaatkan sebagai budak," Debra sempat mengeluh. "Sejak aku
dapat SIM, dia selalu menyuruhku ke mall karena ada barang yang
harus dibeli." Corky mendengarkan keluhannya sambil berdecak-decak penuh
simpati. Tapi dalam hati ia membayangkan betapa nikmatnya
menyaksikan Debra menemui ajal. Debra dan mata birunya yang
dingin. Debra dan rambut pendeknya yang trendy. Debra dan kristal
konyolnya yang selalu dipegang-pegang seakan-akan mengandung
kekuatan gaib. Kekuatan gaib" Hah! Sebentar lagi dia bakal tahu bagaimana
kekuatan gaib sesungguhnya! pikir Corky sambil mendengus.
Ia dan Debra telah sepakat untuk bertemu di ujung lapangan
parkir di belakang pusat pertokoan Dalby's. Corky tahu bahwa takkan
ada yang parkir di sana, kecuali jika semua tempat lain sudah penuh.
Apalagi malam-malam begini.
Corky membelokkan Accord-nya ke mall dan menuju ke bagian
belakang. Ia melihat dua cowok dari Shadyside High sedang antre di
loket bioskop cineplex. Ia berhenti sejenak agar seorang wanita yang membawa kereta
barang bisa lewat. Kemudian ia mengarahkan mobilnya ke tempat ia
akan menemui Debra. Lapangan parkir yang luas itu hampir kosong. Di sana-sini ada
mobil yang kemungkinan besar milik pegawai toko.
Pandangan Corky menyapu lapangan parkir yang remangremang.
Ah! Itu Debra. Gadis itu berdiri seorang diri di ujung lapangan,
sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana jins-nya.
Ini mudah sekali, pikir Corky. Betul-betul sangat mudah!
Setelah meluruskan kemudi ke arah Debra, ia menginjak pedal
gas dengan keras. Sampai menempel di lantai!
Mobilnya melesat maju dengan mesin meraung-raung.
Debra sedang memandang ke arah lain, sehingga mula-mula
tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi kemudian mulutnya membuka lebar, dan ia menjerit tanpa
suara. Matanya membelalak ketika menyadari Accord biru itu sedang
meluncur ke arahnya. Mudah sekali, pikir Corky dengan riang. Begitu mudah!
Bab 16 Coba Lagi KETIKA mobilnya melaju menuju sasarannya, Corky
mencondongkan badan ke depan. Matanya bersinar-sinar, dan
bibirnya mengembangkan senyum kemenangan.
Dalam sorot cahaya lampu mobil, wajah Debra merupakan
perwujudan rasa ngeri yang sempurna.
Ia tahu bahwa dia bakal mati, pikir Corky dengan riang.
Ia sudah bisa merasakannya. Ia sudah bisa merasakan dirinya
remuk dihajar mobil. Ia sudah bisa merasakan rasa nyeri yang
menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia sudah bisa membayangkan
bagaimana rasanya megap-megap tanpa sanggup menarik napas.
Mampus kau, Debra! Mampus kau!
Sesaat menjelang benturan yang seolah-olah tak terelakkan,
Debra melompat ke samping. Keluar dari sorot lampu. Ke atas tembok
pemisah yang terbuat dari beton.
Mobil Corky menabrak tembok pemisah itu. Suara benturannya
memekakkan telinga. Kemudian mobilnya terpental dan menghajar
tiang lampu. "Aduh!" Corky terhempas keras ke depan sehingga dadanya
menghantam kemudi, lalu ke belakang, membentur sandaran kepala
dengan keras sekali. Ia menatap lurus ke depan, menunggu sampai rasa nyeri yang
merambat melalui tubuhnya mereda.
Hening. Mesin mobilnya rupanya mati sendiri.
Mana Debra" Corky bertanya-tanya sambil membuka sabuk
pengaman. Apakah dia lolos" Ia sudah tidak merasakan apa-apa. Roh jahat itu segera
mengusir segala rasa nyeri.
Barangkali Debra tergeletak di bawah mobil, Corky berharapharap.
Bunyi ketukan pada jendela di samping kepalanya mengejutkan
Corky. Ia menoleh dan melihat Debra, dalam keadaan sehat walafiat,
mengetuk-ngetuk jendela. Gadis itu tampak cemas. "Corky"kau tidak
apa-apa" Kau cedera?"
Corky mendesah kecewa, lalu membuka pintu. "Aku tidak apaapa." Ia turun dari mobil.
"Apa yang terjadi?" tanya Debra. "Aku" aku takut sekali tadi.
Aku pikir kau akan menabrakku!"
"Pedal gasnya tersangkut," Corky memberitahu. "Aku tidak bisa
mengurangi kecepatan. Aku"aku sama sekali kehilangan kendali."
"Oh, seram benar!" seru Debra. Ia langsung memeluk Corky.
"Kau betul-betul tidak apa-apa" Benturan tadi cukup keras lho!"
Corky mundur selangkah dan memeriksa mobilnya. Bemper
sebelah kiri ternyata ringsek. "Wah, Dad pasti marah besar!" ia
berkata sambil menggelengkan kepala.
"Tapi kau tidak apa-apa" Kepalamu" Lehermu?" Wajah Debra
memancarkan rasa prihatin yang mendalam.
"Aku tidak apa-apa. Sungguh," Corky menandaskan. "Kau
sendiri bagaimana?" "Aku masih deg-degan, tapi selain itu aku baik-baik saja,"
jawab Debra. "Ayo, masuklah," ujar Corky sambil menunjuk ke pintu di sisi
penumpang. "Aku perlu bicara denganmu. Ada urusan penting."
"Mungkin lebih baik kalau kita panggil mobil derek atau
menelepon ayahmu," kata Debra.
"Tidak perlu. Aku yakin mobilnya masih bisa jalan," Corky
menolak sambil mengamati bemper yang rusak berat. "Kita coba saja.
Ayo, masuklah. Ini benar-benar penting."
"Kenapa kita tidak naik mobilku saja?" Debra mengusulkan. Ia
menunjuk Geo berwarna merah di seberang dinding pemisah.
"Aku mau mencoba mobilku," kata Corky ketus. "Nanti kalau
sudah selesai, kau kuantar ke sini lagi"oke?"
Debra menatapnya dengan tajam. "Wow, Corky"aku belum
pernah melihatmu seperti ini."
"Soalnya aku kuatir sekali tentang Kimmy, dan aku perlu bicara
denganmu," balas Corky. Ia duduk di kursi pengemudi dan menutup
pintu. Sambil mengetuk-ngetuk kemudi, ia menunggu sampai Debra
berjalan mengelilingi mobil dan duduk di sampingnya. Wajah Debra
yang cantik tampak berkerut- kerut.
"Kimmy" Ada apa dengan Kimmy?" tanya Debra. "Aku sempat
bicara dengan dia tadi sore. Sepertinya dia baik-baik saja."
Corky tidak menanggapinya. Ia memutar kunci kontak, dan
mesin mobilnya langsung menyala. Corky menoleh ke belakang, lalu
mundur menjauhi tembok pemisah.
"Mobilmu sudah tidak apa-apa sekarang?" tanya Debra. "Pedal
gasnya?" "Sudah lancar lagi," Corky memberitahu. Ia memindahkan tuas
persneling otomatiknya ke posisi Drive dan menuju ke pintu keluar.
"Aneh, ya?" "Yeah," ujar Debra sambil mengamati Corky. "Syukurlah. Kita
berdua hampir celaka tadi." Ia tertawa gelisah.
"Aku juga takut sekali," kata Corky sambil mengarahkan
mobilnya ke arah ia datang tadi.
"Mau ke mana kita?" Debra kembali bertanya. Ia berpaling ke
depan dan memasang sabuk pengaman.
"Bagaimana kalau kita ke penggilingan tua?" Corky
mengusulkan. "Di sana sepi sekali. Tempat yang bagus untuk bicara."
Debra tampak ragu-ragu. "Penggilingan itu sudah mau
ambruk." "Tapi sepi," Corky mengulangi.
Tempat yang bagus untuk membunuhmu, Debra.
"Kau sudah lebih enak sekarang?" tanya Debra sambil menatap
pohon-pohon gelap di tepi jalan yang mereka lewati. "Maksudku,
sejak perkemahan cheerleader, kami semua cemas sekali."


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kejadiannya memang aneh, ya?" balas Corky. "Mungkin aku
sempat terkena virus atau sebangsanya."
"Tapi sekarang kau sudah sembuh benar?"
Corky angkat bahu. "Ya, lumayan. Aku masih agak lemas. Tadi
aku tidur siang lama sekali. Seperti anak dua tahun. Ada-ada saja."
Debra berdecak-decak. Selama beberapa waktu mereka samasama membisu. "Hannah sukses menggantikanmu selama kau sakit di
perkemahan," Debra lalu angkat bicara. "Coba kalau kau sempat
melihatnya. Dia benar-benar luar biasa."
Corky mengangguk tapi tidak menjawab.
"Ada apa dengan Kimmy?" tanya Debra beberapa saat
kemudian. Ia berputar di kursinya untuk menatap Corky.
"Kita harus melakukan sesuatu," sahut Corky sambil
merendahkan suaranya. "Aku takut sekali."
Ia membelok dari Old Mill Road dan memasuki jalan batu yang
menerobos hutan dan menuju ke penggilingan tua.
"Maksudmu?"" Debra terbengong-bengong.
"Kau masih menyimpan buku-buku tentang ilmu gaib?" tanya
Corky. Penggilingan tua, sebuah bangunan kayu bertingkat dua dengan
kincir air di satu sisi, muncul di hadapan mereka. Corky mematikan
mesin dan lampu, lalu membuka pintu mobil.
"Yeah, semuanya masih kusimpan." Tanpa sadar Debra meraih
kalung kristal yang melingkar di lehernya. "Aku masih tertarik pada
hal-hal seperti itu. Tapi?"
Setiap langkah Corky diiringi bunyi keresek ketika ia berjalan
melewati batu-batu dan alur sungai yang hampir kering di sisi
penggilingan. Ia lega karena tak ada mobil lain"para siswa Shadyside
sering memanfaatkan penggilingan tua itu sebagai tempat berpacaran.
Dedaunan berdesir-desir di belakang mereka. Udaranya wangi
dan lembut. Penggilingan tua itu menjulang di hadapan mereka,
sebuah bayangan hitam di depan langit yang berwarna ungu tua.
Bulan sabit tampak terbelah dua oleh awan gelap.
"Maksudmu"kaupikir Kimmy dikuasai roh jahat itu lagi?"
tanya Debra sambil bergegas untuk menyusul Corky.
"Ya, kupikir begitu," sahut Corky muram. Ia memperpanjang
langkahnya, melewati pintu gerbang yang rusak, melangkahi daun
pintu yang tergeletak di tanah, dan masuk ke halaman penggilingan
tua itu. "Ya Tuhan!" seru Debra. "Hei, Corky"tunggu!"
Corky tidak menggubris seruan Debra. Ia malah berjalan
semakin cepat. Sambil melangkahi papan-papan kayu dan barangbarang bekas lainnya, ia menuju ke kincir air yang besar.
"Corky"mau ke mana kau?" tanya Debra. Ia terpaksa berlari
kecil supaya tidak ketinggalan. "Katanya ada yang mau
kaubicarakan." "Semuanya begitu menakutkan," ujar Corky sambil memandang
ke puncak roda kayu itu. Ia mengangkat kedua tangannya dan meraih
batang kayu yang berada tepat di atas kepalanya. "Aku perlu
menyalurkan energi supaya lebih tenang."
"Hei, Corky, tunggu," kata Debra terengah-engah. "Aku lagi
tidak berminat untuk panjat-memanjat malam ini."
Tapi Corky sudah naik dan mulai memanjat ke puncak kincir air
yang sudah dikunci oleh para pemilik penggilingan, agar tidak bisa
bergerak. Memanjat kincir air itu merupakan olahraga populer di
kalangan remaja Shadyside. Kadang-kadang mereka mengadakan
lomba untuk melihat siapa yang bisa memanjat paling cepat. Ada pula
yang berakrobat dengan berjalan di puncak kincir sambil
merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan. Atau mereka
membuat kompetisi untuk melihat berapa banyak orang bisa berdesakdesakan di atas.
"Hei, Corky"ini berbahaya," protes Debra.
Corky yang sudah hampir sampai di puncak, tersenyum ketika
melihat temannya menyusul. Ia mulai memanjat lebih cepat lagi.
"Corky"jangan! Kincir ini masih licin... karena hujan kemarin.
Corky! Kenapa kita harus naik ke sini?" seru Debra.
Corky menarik badannya ke puncak kincir, lalu berdiri dan
memandang berkeliling. Pemandangannya bagus juga, katanya dalam
hati. Ia bisa melihat alur sungai yang telah mengering dan seluruh
Mahluk Seberang Zaman 1 Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa Pendekar Gelandangan 3
^