Pencarian

Musibah Pertama 1

Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil Bagian 1


BAGIAN SATU Kegembiraan Bab 1 Kakak yang Jahat "KAU memang jahat," Corky berbisik dengan suara tertahan.
"Betul-betul jahat."
Kata-kata itu membuat Bobbi menyeringai lebar. Matanya yang
hijau tampak bersinar-sinar karena senang. Ia semakin mempererat
genggaman badan tikus di tangannya.
"Mau ditaruh di mana sih?" tanya Corky sambil menggosok
mata untuk mengusir kantuk. Lantai terasa dingin di bawah kakinya
yang telanjang. "Persis di depan pintu kamar Sean?"
Bobbi mengangguk. Sambil mengendap-endap ia menyusuri
selasar ke kamar adik laki-laki mereka. Rambut pirangnya masih
kusut setelah menindih bantal. Kedua gadis itu mengenakan baju tidur
katun yang panjang. "Sean paling takut sama tikus," Corky kembali berbisik. Ia
memandang pintu kamar Sean seakan-akan takut bahwa adiknya itu
akan keluar dan merusak kejutan Bobbi.
"Aku tahu," balas Bobbi sambil tertawa nakal. Ia meletakkan
tikus itu hati-hati di tengah-tengah ambang pintu. Sean pasti akan
melihatnya sewaktu ia keluar kamar untuk sarapan.
"Kelihatannya seperti sungguhan," bisik Corky. "Dia tak akan
tahu ini cuma tikus karet." Lantai kayunya berderak dan Corky
berhenti. Ia menempelkan sebelah tangan pada wallpaper yang sudah
mulai mengelupas, dan menyandarkan badan.
"Itu karena bulunya," jawab Bobbi. Setelah menaruh tikus
mainan yang tampak hidup itu, ia dan adik perempuannya mulai
mundur sambil memandang pintu kamar Sean yang tertutup. "Bulunya
memang seperti bulu tikus."
"Anak-anak, sedang apa kalian?" Suara ibu mereka terdengar
dari bawah, dan mengejutkan kedua gadis itu. "Kalian sudah
berpakaian" Cepat, nanti terlambat. Ayo, turun dan sarapan. Dan
bangunkan Sean sekalian."
"Tenang saja," bisik Bobbi sambil menyeringai kepada adiknya.
"Sebentar lagi Sean bakal terjaga dari mimpi indah!"
Keduanya tertawa cekikikan, lalu menuruni tangga dan
bergabung dengan orangtua mereka di dapur. Mr. Corcoran, ayah
mereka yang tampan dan awet muda, sudah duduk di meja makan. Ia
sedang menghapus sisa telur dari dagunya.
"Idih. Lagi-lagi telur mata sapi," keluh Bobbi.
Mrs. Corcoran menoleh. Ia tampak pucat dibandingkan kedua
anak gadisnya yang pirang dan berseri-seri. Sambil mengerutkan
kening ia mengamati baju tidur mereka. "Ini yang akan kalian pakai ke
sekolah?" "Yeah," Bobbi segera menyahut. "Semua anak cewek pakai
baju tidur. Lagi nge-trend sekarang."
"Kenapa sih kita harus makan telur mata sapi?" tanya Corky
sambil menuangkan segelas jus jeruk.
"Kalian butuh banyak energi," ibu mereka menjelaskan, lalu
memindahkan dua telur mata sapi setengah matang ke dua potong roti
bakar. Mr. Corcoran menguap lebar. "Aku tak pernah bisa tidur
nyenyak di rumah ini."
"Memang tidak ada yang bisa tidur enak di sini," Corky
bergumam sambil duduk. Kedua telur di piringnya menatapnya seperti
sepasang mata besar yang berair. "Rumah ini ada hantunya."
"Yeah," Bobbi sependapat. "Rumah ini ada hantunya."
"Hantu" Omong kosong." Mrs. Corcoran menaruh piring di
hadapan Bobbi, yang langsung meringis jijik.
"Temanku di sekolah, Lisa Blume, bilang semua rumah di Fear
Street ada hantunya."
"Ini memang rumah tua dan lantainya sering berderak-derak,
tapi itu tidak berarti ada hantunya," balas Mr. Corcoran.
"Kalau tidak salah, di kamarku pernah ada orang mati
terbunuh," ujar Bobbi sambil menatap adik perempuannya di seberang
meja. Bobbi memang memiliki daya khayal yang hebat. "Malammalam aku seperti mendengar orang berbisik ke telingaku, berbisik
dan mengerang-erang."
"Paling-paling suara angin," ujar ayah mereka sambil
meluruskan dasi dengan sebelah tangan dan meraih cangkir kopi
dengan tangan yang satu lagi.
"Yeah, angin," sahut Bobbi sinis.
Sepintas lalu Corky dan Bobbi tampak seperti kembar, padahal
Bobbi setahun lebih tua. Keduanya berambut pirang, sangat halus dan
lembut, yang dibiarkan terurai atau kadang-kadang dikepang atau
dikuncir. Keduanya memiliki mata hijau, kulit pucat, dan tulang pipi
yang tinggi seperti foto model.
Bobbi berusia 17 tahun, tapi ia hampir lima senti lebih pendek
dari adik perempuannya, dan ini sering membuatnya kesal. Di pihak
lain, Corky iri terhadap bentuk tubuh kakaknya.
Corky memang jangkung, tapi potongannya seperti anak lakilaki. Ia mendambakan bentuk tubuh yang lebih feminin.
"Hmm, kelihatannya adik kalian bisa tidur nyenyak di rumah
ini," ujar Mrs. Corcoran sambil menuju tangga. "Kalian tidak
membangunkannya?" Tiba-tiba terdengar teriakan yang memekakkan telinga dari
lantai atas, teriakan penuh kengerian. Rupanya Sean telah menemukan
tikus itu. "Sepertinya dia sudah bangun," Bobbi menanggapinya dengan
santai. Kemudian ia dan adiknya terbahak-bahak.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Mrs. Corcoran ketus. Cepat
ia bergegas ke atas. "Bukan kami! Hantunya!" seru Bobbi.
Mr. Corcoran hanya menggelengkan kepala. Ia sudah terbiasa
melihat kedua anak gadisnya mengganggu Sean. Mereka sering
menyalahgunakan kepolosan adik mereka.
Mr. Corcoran mendesah, lalu kembali menghirup kopinya.
Dalam hati ia bertanya-tanya apa lagi yang dilakukan Bobbi dan
Corky sehingga Sean menjerit seperti itu.
Bobbi dan Corky masih cekikikan ketika Sean muncul di dapur.
Ia mengenakan celana jins dan kaus Gap merah, dan membawa tikus
tadi dengan memegang ekornya. "Aku tidak tertipu," katanya kepada
kedua kakaknya. "Kau selalu berteriak seperti itu kalau baru bangun, ya?" Bobbi
menggodanya. "Aku cuma berteriak agar kalian tidak kecewa," ujar Sean
sambil mengalihkan pandangan.
Mrs. Corcoran menyusulnya ke dapur dan meletakkan
tangannya pada pundak Sean. "Rumah ini sudah cukup seram," ia
menegur Bobbi dan Corky. "Apa memang perlu ditambah tikus?"
Sean meledakkan tikus itu di meja. Mrs. Corcoran cepat-cepat
menyingkirkannya. "Jangan ditaruh di meja. Ayo dong!"
"Lebih baik aku melihat tikus daripada telur ini," sahut Bobbi.
Sean mengamati piring-piring di meja. "Kelihatannya seperti
muntah tikus." "Sean!" seru ibunya.
"Sarapan indah ala keluarga Corcoran," ayah mereka berkata. Ia
mendorong kursinya ke belakang dan berdiri.
"Ayo, makan," Mrs. Corcoran mendesak kedua putrinya sambil
melirik ke arah jam. "Nanti sore kalian ikut latihan cheerleaders,
bukan?" "Kalau kami boleh ikut," jawab Corky dengan muram. Sorot
matanya langsung meredup. "Regunya sudah lengkap. Mereka bilang
pemilihan anggota sudah dilakukan musim semi lalu. Sebelum kita
pindah ke sini." "Tapi kalianlah yang terbaik," ibu mereka menegaskan sambil
memindahkan dua telur ke piring Sean. "Kalian masuk regu all-state
di Missouri dulu. Dan kalian yang membawa regu kalian ke kejuaraan
nasional." "Kalian berdua brengsek," tukas Sean sengit.
"Tak ada yang minta pendapatmu," Mr. Corcoran berkata
kepada Sean. "Oke, aku berangkat dulu." Ia mencium pipi istrinya dan
keluar lewat pintu belakang. "Semoga berhasil nanti sore!" mereka
mendengarnya berseru dari luar.
"Yeah, semoga," gumam Corky.
"Kalau kalian lompat, semua orang bisa melihat celana dalam
kalian," ejek Sean. "Sean, habiskan telurmu," Mrs. Corcoran menegurnya. Ia
mendorong piring Sean ke hadapan anak itu, lalu menoleh ke arah
kedua putrinya. Wajahnya tampak berkerut karena prihatin. "Paling
tidak kalian harus diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan
kalian. Kalau mereka melihat betapa hebatnya kalian..."
"Miss Green bilang, itu tergantung anak-anak yang lain," ujar
Corky. "Siapa Miss Green" Pelatihnya?" ibu mereka bertanya sambil
menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.
"Yeah. Kami sudah bertemu dengannya dan ketua regu
cheerleaders, Jennifer... ehm, aku tak ingat nama belakangnya," kata
Bobbi. "Dia cukup ramah."
"Jadi kalian diberi kesempatan?" Mrs. Corcoran bertanya
sambil memberi Sean isyarat agar makan lebih cepat.
"Mungkin," jawab Corky ragu-ragu.
"Kita lihat saja pulang sekolah nanti," kata Bobbi. Ia melahap
satu gigitan lagi, lalu mendorong kursinya ke belakang dan bergegas
ke atas untuk berganti pakaian.
"Kalian bisa membuat Shadyside High terkenal," seru Mrs.
Corcoran. Corky tertawa. "Kalau urusan ini tergantung Mom, tak akan ada
masalah." "Tapi kalian tetap brengsek," ujar Sean tenang. Kemudian ia
membuka mulutnya lebar-lebar sehingga telur di dalamnya tampak
jelas. "Dasar jorok," ujar Corky sambil mengerutkan kening.
"Dasar brengsek," balas Sean. Sepertinya kata itu menjadi kata
favoritnya pagi ini. "Sudahlah," omel ibu mereka. "Cepat ganti pakaian. Kalian
semua bakal terlambat."
Corky menghabiskan jus jeruknya, lalu menaiki tangga sambil
berusaha memutuskan baju apa yang akan dikenakannya. Anak-anak
di Shadyside lebih memperhatikan penampilan dibandingkan temantemannya di Missouri dulu. Rasanya ia perlu baju baru, beberapa rok
pendek, celana ketat, dan sebagainya.
"Oh!" Ia berhenti di puncak tangga dan membelalakkan mata. Sesaat
kemudian baru disadarinya bahwa ia menatap kakaknya.
"Bobbi!" serunya.
Bobbi terkulai pada pagar kayu, tak bergerak, dengan lengan
menggantung lemas. Matanya terbuka lebar tanpa melihat, dan
mulutnya menganga seakan-akan hendak berteriak ketakutan.
"Bobbi!" seru Corky dengan suara lengking aneh. "Bobbi!"
Tapi kakaknya tidak bergerak. Matanya pun tak berkedip.
Ia tidak bernapas. Bab 2 Saat-saat Gelisah "BOBBI!" Dengan berdebar-debar, Corky bergegas menghampiri
kakaknya. Bobbi mengangkat kepala, mengedip-ngedipkan mata, lalu
tersenyum geli. "Nah, kena kau," katanya pelan sambil menegakkan
badan. "Bobbi... kau keterlaluan!" seru Corky. Jantungnya masih
berdetak kencang. "Seharusnya bukan kau yang menemukan aku," balas Bobbi. Ia
tersenyum puas karena leluconnya ternyata berhasil. "Mestinya Sean
yang lebih dulu naik tangga."
"Pokoknya jangan ulangi lagi!" seru Corky sambil memukul
bahu kakaknya. "Kamu kan tahu kalau rumah ini membuatku gugup.
Belum lagi soal latihan cheerleaders nanti sore."
"Gugup?" balas Bobbi. Ia menyusul Corky ke kamar mereka.
"Santai saja, Cork. Kenapa harus gugup?"
*********************** Teman-teman di Shadyside High selalu mengatakan pada
Jennifer Daly bahwa ia mirip Julia Roberts. Dan itu ada benarnya.
Dengan matanya yang besar dan bibirnya yang sensual, ia memang
mirip bintang film itu. Ia juga jangkung, langsing, dan mempunyai
keanggunan alami. Dengan wataknya yang ramah, suaranya yang lembut, dan
tawanya yang renyah, ia merupakan pilihan ideal untuk kapten regu
cheerleaders. Ia dan Kimmy Bass, wakilnya, telah bersahabat sejak
Sekolah Dasar. Tapi Jennifer juga disukai oleh para anggota lain. Ia
mudah diajak berteman dan tak pernah bersikap sok penting atau
angkuh. Kimmy selalu berada di sekitar Jennifer. Dengan wajahnya
yang bulat, rambutnya yang ikal dan hitam, pipinya yang tembem dan
selalu tampak kemerah-merahan, serta bentuk tubuhnya yang agak
bulat, ia kelihatan kontras dengan sahabatnya.
Watak mereka pun berbeda. Jennifer lembut, tenang, dan
anggun, sedangkan Kimmy cerewet, selalu menggebu-gebu, dan
sepertinya tak bisa diam.
Jennifer berdiri di bawah ring basket. Ia merapikan kaus oblong
dan celana training kelabunya, lalu menunggu para anggota regu
cheerleaders memasuki gedung olahraga. Sepintas lalu ia melirik ke
jam besar di samping papan pencatat skor. Pukul 15.20. Sekolah baru
saja bubar. Sebentar lagi latihan cheerleaders akan dimulai.
Orang kedua yang muncul adalah Kimmy. Ia melintasi
lapangan basket sambil melambai kepada Jennifer. Wajah Kimmy
tampak kehijauan akibat cahaya lampu di langit-langit. Dan ketika
Kimmy semakin dekat, Jennifer melihat butiran keringat di bawah
hidung sahabatnya, tanda bahwa Kimmy sedang jengkel karena
sesuatu. Jennifer langsung tahu apa yang membuat Kimmy kesal.
Masalahnya pasti Corcoran bersaudara, yang kini sudah berada di aula
dan duduk di seberang lapangan, di dekat bagian tribun kayu yang
diturunkan untuk pelajaran olahraga terakhir.
"Ini tidak benar!" Kimmy berseru sambil melemparkan
ranselnya ke lantai. Pipinya semakin merah. "Regu kita sudah
lengkap, Jennifer. Kita sudah berlatih sepanjang musim panas. Mereka
tak bisa bergabung begitu saja. Dan aku tidak peduli siapa mereka."
Sejenak Jennifer memejamkan mata. Rupanya Kimmy tidak
sadar bahwa suaranya terdengar jelas sampai ke sudut-sudut gedung
olahraga. Atau mungkin juga ia tak ambil pusing. Tapi yang pasti,
Corcoran bersaudara itu bisa mendengar setiap kata yang
diucapkannya. "Ssst!" Jennifer mendesis pelan sambil melirik ke arah tribun.
Kimmy pun langsung menoleh, mengikuti arah pandangan
Jennifer. "Masa bodoh," katanya keras-keras. Kemudian ia
menggelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir peringatan
Jennifer dari benaknya. "Mereka tak bisa bergabung sekarang, Jen. Itu
tidak adil." Para anggota cheerleaders yang lain mulai berdatangan. Mereka


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menaruh buku dan tas masing-masing, saling menyapa, dan
melakukan peregangan ringan. Teman Kimmy, Debra Kern, muncul
dan melambaikan tangan kepadanya. Ia diikuti oleh Heather Diehl dan
Megan Carman, yang merupakan sahabat karib dan selalu pergi
berdua. Yang masuk terakhir adalah Veronica (Ronnie) Mitchell, satusatunya anak kelas satu yang berhasil masuk regu cheerleaders.
"Kimmy, mereka bisa mendengar omonganmu," ulang Jennifer
dengan kikuk. Ia berpaling ke arah tribun, tempat Bobbi dan Corky
Corcoran duduk berpangku tangan dengan tegang. "Katanya sih,
mereka hebat sekali sebagai cheerleaders."
"Kata siapa?" balas Kimmy ketus.
"Mereka masuk regu all-state di tempat tinggal mereka dulu,"
Jennifer memberitahunya. "Dan kau tahu kompetisi cheerleaders yang disiarkan ESPN
setiap tahun?" "Yeah. Masa sih kau lupa, kita kan nonton sama-sama," gerutu
Kimmy. "Nah, tahun lalu regu cheerleaders mereka keluar sebagai
pemenang. Jadi bisa kaubayangkan betapa hebat Corcoran bersaudara
itu." "Tapi apa pengaruhnya, Jen?" seru Kimmy kesal. "Kita sudah
punya regu yang hebat, ya, kan" Kita semua sudah kompak. Dan kita
sudah berlatih begitu lama dan..."
"Tapi siapa tahu regu kita bisa lebih hebat lagi kalau mereka
ikutan," Jennifer memotong tanpa meninggikan suaranya. "Yang kita
cari adalah anak-anak paling hebat, bukan" Coba pikir, barangkali
tahun ini kita bisa ikut regu all-state. Atau diliput oleh ESPN atau
sebangsanya." "Aku sependapat dengan Kimmy," Debra angkat bicara sambil
menghampiri temannya itu. Ia cantik, tapi penampilannya tidak
bersahabat. Rambutnya yang lurus dan pirang dipotong pendek sekali,
dan matanya yang biru bersinar dingin. Debra rasanya kurang cocok
sebagai cheerleader. Ia pendek dan kurus"bahkan bisa dibilang
terlalu kurus"dan jarang tersenyum. Ia hanya kelihatan bersemangat
kalau sedang tampil sebagai cheerleader.
"Coba lihat mereka," ujar Jennifer sambil menoleh ke arah
Corky dan Bobbi. "Mereka sudah datang. Paling tidak, mereka harus
diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka. Tak ada
salahnya kalau kita melihat mereka beraksi."
"Tapi penerimaan anggota baru sudah ditutup musim semi
lalu," Kimmy berkeras.
"Yeah," Debra menimpali. "Masa setiap minggu ada
penerimaan anggota baru?" Ia menatap Jennifer tajam.
"Ini regu cheerleaders atau kelompok debat?" Terdengar suara
ketus di belakang mereka.
Semua cheerleaders menoleh dan melihat Miss Green, pelatih
mereka, keluar dari ruang kerja kecil di pojok dan menghampiri
mereka dengan langkah panjang. Hari ini Miss Green mengenakan
celana tenis putih, kaus oblong kelabu, serta sepatu basket hitam. Ia
berbadan gempal dan berambut cokelat. Wajahnya selalu berkesan
marah, dan suaranya selalu serak, seakan-akan ia menderita radang
tenggorokan yang tak sembuh-sembuh.
Miss Green memegang pelajaran olahraga, dan ia terkenal tegas
dan keras. "Ada tiga gerakan baru yang harus kalian hafalkan sampai
Jumat malam," katanya lantang, dan suaranya memantul-mantul pada
dinding gedung olahraga yang besar. "Jadi apa lagi yang kalian
tunggu" Atau kalian sudah menguasai gerakan-gerakan itu?"
"Kami sedang berunding tentang mereka," kata Kimmy. Ia
melirik ke arah Jennifer, lalu menunjuk Corcoran bersaudara, yang
sudah berdiri. "Itu terserah Jennifer," ujar Miss Green sambil menatap gadis
tersebut. "Keputusannya di tangan kapten."
Kimmy meringis kesal. "Saya ingin melihat seberapa hebatnya mereka," kata Jennifer.
Ia membalas tatapan Kimmy. "Saya pikir mereka harus diberi
kesempatan." "Oke. Acara debat selesai," Miss Green berkata dengan tegas. Ia
melambaikan tangan kepada Corky dan Bobbi. "Oke, kalian berdua!"
serunya. "Coba tunjukkan kemampuan kalian!"
"Sial!" Kimmy berbisik pada Debra ketika mereka bergabung
dengan anggota lain. Mereka berdiri di samping Ronnie, dan
ketiganya mulai berbisik-bisik waktu Corky dan Bobbi melintasi
lapangan basket. "Kau gugup?" Corky berbisik di telinga Bobbi. Pandangannya
tertuju kepada para anggota regu cheerleaders yang bersandar pada
dinding. "Siapa" Aku?" balas Bobbi sambil tertawa gugup. "Hei, yang
benar saja. Kita tak perlu gugup, Cork. Kita tahu bahwa kita hebat."
"Yeah, tapi lututku tetap saja gemetaran," ujar Corky.
Sepatu karet mereka berdecit-decit ketika mereka berjalan di
lantai kayu yang mengilap. Suasana mendadak hening. Udara terasa
panas dan pengap. "Kalian bebas memperagakan gerakan apa saja yang kalian
suka," kata Jennifer, lalu tersenyum untuk membesarkan hati mereka.
Corky dan Bobbi menarik napas panjang. Mereka saling melirik
untuk memberi semangat, kemudian melangkah ke tengah lapangan
dan berunding sejenak. "Gerakan apa yang kita perlihatkan pertama-tama?" tanya
Corky kepada kakaknya. "Bagaimana kalau kita mulai dengan synchronized walkovers,"
usul Bobbi. "Setelah itu kita peragakan double cartwheel."
"Kenapa semuanya melotot seperti itu?" tanya Corky sambil
melirik ke arah para cheerleaders yang membisu. "Sepertinya mereka
membenci kita." "Ayo, kita buat mereka semakin melotot," balas Bobbi sambil
menyeringai. "Semoga berhasil," ujar Corky.
Bab 3 Jeritan Pertama "OHHH!" Seruan dari salah satu anggota regu cheerleader meyakinkan
Bobbi bahwa gerakan spread eagle-nya memang sehebat yang
dikehendakinya. Tubuhnya melayang tinggi dan semakin tinggi, sampai ia
merasa seperti terbang. Dan kemudian ia merentangkan kedua kaki
sampai lurus. Dan setelah itu, Bobbi membiarkan kakinya terentang
lebar ketika ia turun dengan anggun, dengan kedua tangan diangkat
tinggi-tinggi, dan langsung melakukan gerakan split yang sempurna.
Lalu, saat mereka masih terpukau, ia dan Corky sudah bersorak
lantang. "First and ten, Do it again! First and ten, Do it again! Go Tigers!" Semuanya berjalan lancar, pikir Bobbi. Paling tidak, mereka
tidak melotot lagi. Ia melirik adiknya dan mengangguk singkat"isyarat mereka
untuk melakukan gerakan penutup yang mengesankan. Bobby
kemudian melompat ke punggung Corky, dengan posisi seperti naik
kuda. Lompatan itu disusul satu gerakan cepat. Naik. Angkat tangan.
Dan naik lagi. Ke posisi berdiri di atas pundak. Gerakan itu telah
mereka latih hari demi hari, sampai bahu dan punggung mereka merah
dan lecet. Bagus, pikir Bobbi ketika ia berdiri tegak di pundak adiknya. Ia
merasakan tangan Corky yang panas menggenggam mata kakinya,
dan ia tersenyum penuh percaya diri sambil bertolak pinggang. Lalu
sambil terus tersenyum, ia tiba-tiba melompat dari pundak Corky.
Para cheerleader menahan napas ketika Bobbi terjun bebas. Ia
melakukan gerakan flip dengan sempurna, lalu mendarat di atas kedua
kaki. Dan setelah itu mereka memulai gerakan double cartwheel.
Corky menggenggam mata kaki Bobbi dan Bobbi menggenggam mata
kaki Corky, dan mereka menggelinding melintasi lapangan. Lalu
mereka berdiri diiringi seruan terakhir, "Go Tigers!"
Sambil bertepuk tangan, keduanya berlari ke pinggir lapangan.
Bobbi tersenyum kepada Corky ketika mereka bersandar di dinding
sambil berusaha mengatur napas.
"Wow! Mereka luar biasa!" terdengar salah satu cheerleader
berseru. "Bagaimana mereka melakukannya?" yang lain bertanya pada
temannya. "Kau tambah berat," gerutu Corky sambil menggosok-gosok
pundaknya. "Wow, hebat sekali!" ujar Jennifer tersenyum hangat. Matanya
yang gelap tampak berseri-seri karena gembira.
"Trims," Corky dan Bobbi menjawab bersamaan, sambil
membalas senyumnya. Mereka sedang berdiri di ruang kerja Miss Green, sebuah
ruangan berdinding kaca di sudut gedung olahraga. Sambil duduk di
balik meja tulisnya, Miss Green mencari formulir di laci teratas.
Belum pernah mereka memperagakan gerakan semulus tadi,
Bobbi berkata dalam hati. Kadang-kadang ia dan Corky memang bisa
kompak sekali. Semua cheerleader tampak kagum dan terkesan. Kecuali yang
bernama Kimmy, dan temannya yang pendek dan berambut pirang.
Mereka tetap memasang tampang dingin, bahkan ketika anak-anak
yang lain bertepuk tangan meriah.
Kalian benar-benar hebat!" Miss Green sempat memuji dengan
suara paraunya. "Lompatan dari pundak tadi sungguh mengesankan,
tapi saya juga senang melihat betapa tingginya kau melayang waktu
melakukan gerakan spread eagle." Ia berpaling kepada para anggota
regu cheerleaders yang berdiri di sepanjang dinding. "Sekarang saya
minta semuanya melatih gerakan-gerakan baru itu. Mudah-mudahan
penampilan Bobbi dan Corky bisa memacu semangat kalian. Ayo!"
"Oke, mulai!" Kimmy lalu berseru sambil bertepuk tangan dan
bergegas melewati Bobbi dan Corky. Ia sengaja tak mau menoleh
ketika mengajak cheerleaders ke tengah lapangan.
Pada waktu mereka mulai berlatih salah satu gerakan baru,
Bobbi dan Corky telah mengikuti Jennifer dan Miss Green ke ruang
kerja di pojok. Jennifer mempersilakan mereka duduk di kursi lipat. Corky
menatap Bobbi dengan pandangan bertanya-tanya.
"Apakah ini berarti kami diterima?" Bobbi bertanya pada
Jennifer. "Ah, ini dia," ujar Miss Green sebelum Jennifer sempat
menjawab. "Kalian harus mengisi formulir-formulir ini. Yang pertama
formulir kesehatan," ia menjelaskan sambil menarik selembar kertas
hijau. "Dan ini surat izin. Orangtua kalian harus menandatanganinya."
"Jadi kami diterima, nih?" Bobbi kembali bertanya pada
Jennifer. "Yeah. Kalian luar biasa!" puji Jennifer. "Semula aku yang jadi
bintang di sini. Tapi setelah kalian muncul, takkan ada lagi yang
memperhatikanku." Bobbi tak bisa memastikan apakah Jennifer hanya bergurau atau
memang bersungguh-sungguh. Mereka tertawa kikuk. "Nanti
kutunjukkan caranya melompat dari pundak," Bobbi menawarkan.
"Saya pikir kami semua bisa belajar sesuatu dari kalian berdua,"
Miss Green menambahkan sambil merapikan tumpukan formulir.
Sepintas lalu mata Jennifer tampak menyala-nyala, dan Bobbi
tiba-tiba merasa tidak enak. Jennifer memperlihatkan dengan jelas
bahwa ia iri pada Bobbi dan adiknya.
"Dari mana kalian dapat ide untuk double cartwheel setelah
melompat?" tanya Jennifer sambil bersandar pada dinding yang
dilapisi keramik kuning. "Kami karang sendiri," Corky memberitahunya.
"Regu lain melakukan gerakan serupa di final kejuaraan negara
bagian Missouri tahun lalu," Bobbi menambahkan, "dan kami
membuat variasinya."
"Semoga kita juga bisa masuk final," ujar Jennifer penuh harap.
"Dengan tambahan dua anggota baru ini, kita tak perlu
khawatir," sahut Miss Green. Ia tersenyum ketika menyerahkan
formulir-formulir kepada Bobbi dan Corky. Tapi kemudian ia
mengerutkan kening. "Seragam. Seragam," gumamnya. "Ini bisa
menjadi masalah. Cepat." Ia mengeluarkan secarik kertas dari laci
meja. "Coba tuliskan ukuran kalian. Kita harus segera memesan
seragam." Tak lama kemudian Bobbi dan Corky mengucapkan terima
kasih kepada Jennifer dan Miss Green; diiringi suara cheerleaders
yang lain, mereka bergegas keluar dari gedung olahraga.
Jennifer dan Miss Green melanjutkan pembicaraan di ruang
kerja. Keduanya tampak serius dan prihatin. Miss Green berbicara
dengan nada agak tinggi. Sesekali pandangannya beralih untuk
memperhatikan latihan di tengah lapangan.
"Jumlah anggota regu kita sudah ditentukan enam orang,"
katanya kepada Jennifer. "Rasanya kita bisa menambahkan satu orang
lagi. Tapi dua orang tidak mungkin. Dana kita tidak cukup untuk
delapan cheerleader."
Jennifer dan Miss Green merendahkan suara dan terus
membahas masalah itu. "Hei, ada apa, sih?"
Baik kapten maupun pelatih regu cheerleaders itu tersentak
kaget. Mereka segera berbalik dan melihat Kimmy berdiri di ambang
pintu. Ia bertolak pinggang, pipinya merah, dan napasnya terengahengah.
"Tolong panggil Ronnie ke sini, ya?" Jennifer berkata kepada
Kimmy. "Kita cuma punya tempat untuk satu anggota lagi, jadi
Ronnie terpaksa..." "Hah" Jadi kau menerima mereka sebagai anggota baru?"
Kimmy bertanya dengan suara yang semakin tinggi.
"Tentu," balas Jennifer. "Kau lihat sendiri betapa hebatnya
mereka. Luar biasa!"
"Tapi kupikir..." Kimmy terdiam berpikir.
"Kita beruntung mereka pindah ke Shadyside," tambah Miss
Green penuh semangat. "Dan itu berarti... Ronnie terpaksa dikeluarkan?" tanya Kimmy
sengit. "Dia dikeluarkan dari regu kita" Begitu saja?"
"Kimmy...," Jennifer angkat bicara.
Tapi Miss Green mendahuluinya. Ia berdiri seakan-akan hendak
bertempur. "Ronnie baru kelas satu," katanya tegas. "Dia jadi
cadangan. Dia tetap berlatih bersama-sama yang lain. Dan dia bisa
tampil kalau salah satu dari kalian jatuh sakit atau berhalangan."
"Oh, dia pasti senang," ujar Kimmy getir. "Menurut saya ini
tidak adil. Saya..."
"Kimmy, kaulihat sendiri betapa hebatnya Bobbi dan Corky!"
seru Jennifer. "Kita butuh mereka."
Kimmy hendak menjawab, tapi lalu berubah pikiran dan
menggeram dengan kesal. Sambil melotot ke arah Jennifer, ia menuju
ke pintu untuk memanggil Ronnie.
"Anda memanggil saya?" Ronnie berhenti di ambang pintu.
Dengan gugup ia mengusap rambutnya yang merah dan ikal. Ia


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki mata cokelat yang kecil, hidung yang mungil, dan wajah
penuh bintik-bintik. Ia hampir ambruk ketika Miss Green menyampaikan berita
buruk itu. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dengan geram ia
menghapus air matanya dengan punggung tangan.
"Kita tak punya pilihan," kata Jennifer lembut.
"Siapa bilang?" balas Ronnie ketus.
"Kita harus memilih yang terbaik untuk seluruh regu," ujar Miss
Green, sambil memutar-mutar pensil dengan gelisah. "Kau masih
banyak kesempatan untuk..."
"Yeah. Tentu," potong Ronnie, kemudian berlari ke ruang ganti.
"Dia pasti kecewa," kata Jennifer. Melalui dinding kaca ia
melihat anak-anak lain berhenti berlatih dan menoleh ke arah Ronnie.
"Lama-lama dia pasti mengerti," ujar Miss Green.
*************************
"Aku takkan pernah memaafkan mereka!" seru Ronnie.
"Takkan pernah!"
Kimmy dan Debra berdiri di samping anak kelas satu itu,
sambil berusaha mengabaikan udara pengap di ruang ganti. Anakanak lain sudah mandi dan pulang. Kini tinggal mereka bertiga.
Dengan geram mereka mencoba menentukan apa yang harus mereka
lakukan, kalau memang ada yang bisa mereka lakukan.
"Mereka tidak berhak masuk regu kita," ujar Kimmy sengit. Ia
meletakkan sebelah tangan di bahu Ronnie untuk menenangkannya.
"Bukan mereka yang salah," Ronnie membantah. "Jennifer dan
Miss Green yang bertanggung jawab. Mereka yang mengeluarkanku."
"Bagaimana kalau kita buat rapat," Debra mengusulkan. "Lalu
kita tanda tangani petisi atau sebangsanya. Aku yakin Megan dan
Heather akan mendukung kita." Ia duduk di bangku panjang dan
melepaskan sepatu karetnya.
Kimmy mengeluarkan handuk putih dari lemari pakaian dan
menyeka keringat yang membasahi keningnya. "Wow, aku mandi dulu
deh. Tapi kamu benar, Deb. Kalau seluruh regu protes, kalau kita
semua kompak, kita pasti bisa memaksa mereka berubah pikiran."
Ronnie mendesah dan memutar-mutar bola mata. "Jangan
mimpi deh," gumamnya. "Corcoran bersaudara itu pernah masuk regu
all-state. Kamu lihat tidak wajah Miss Green waktu mereka
memamerkan kebolehan di tengah lapangan?"
"Yeah, matanya hampir copot," ujar Debra sambil
menggelengkan kepala. "Sepertinya dia sudah melihat piala kejuaraan
di raknya." "Tapi aku tidak mengerti kenapa Jennifer jadi begitu," kata
Kimmy sambil membuka sweternya.
"Dia temanmu," ujar Ronnie getir.
"Aku juga tak habis pikir," Debra menambahkan. "Barangkali
dia jadi besar kepala gara-gara ditunjuk sebagai kapten. Dia pikir dia
lebih hebat dari yang lain."
"Orangtuaku pasti kecewa sekali," Ronnie kembali bersedih.
"Mereka lebih gembira dariku karena aku bisa masuk regu
cheerleaders. Dan sekarang..."
Kimmy dan Debra terus berusaha menghibur Ronnie sambil
menanggalkan baju dan melemparkan semuanya ke bangku. Sambil
membawa handuk masing-masing, mereka lalu menuju pancuran.
"Aku tak mau menjadi cadangan," Ronnie mengeluh, suaranya
bergetar karena emosi. "Untuk apa menjadi cadangan. Lebih baik
aku..." "Kalau saja Corcoran bersaudara itu kembali ke tempat asal
mereka," ujar Debra. Ia memasukkan jari ke mulut dan berlagak
muntah. "Ini bukan salah mereka," gumam Ronnie. "Aku justru kesal
pada Jennifer. Dia tak berhak untuk..."
Kimmy melangkah ke bawah pancuran. Ia memutar knop di
dinding dengan kedua tangan.
Air langsung memancur. Sejenak Kimmy terdiam dengan mulut ternganga lebar.
Kemudian ia mulai menjerit.
Bab 4 Kecelakaan Tragis KIMMY terhuyung-huyung ke belakang sampai menabrak
dinding yang berlapis keramik.
Sambil terengah-engah ia menunjuk air yang keluar dari
pancuran. "Kimmy, kau tidak apa-apa?" seru Debra waswas. "Ada apa?"
"Airnya... airnya mendidih!" Kimmy memberitahunya.
Ketiga gadis itu mematikan air dan bergegas keluar sambil
menggenggam handuk masing-masing.
"Oh, panasnya!" desah Kimmy ketika napasnya mulai normal
kembali. "Apa kita perlu memanggil perawat" Kau tidak apa-apa?" tanya
Debra. Ia menatap dada dan tengkuk Kimmy yang mulai tampak
merah padam. "Rasanya, sih, aku tidak apa-apa," jawab Kimmy lega, lalu
membungkus tubuhnya dengan handuk. "Aku cuma kaget sekali."
"Ini harus dilaporkan kepada Simmons," kata Debra. Dan
kemudian dengan sinis ia menambahkan, "Siapa tahu dia sempat
memperbaikinya dalam satu atau dua tahun mendatang."
Simmons adalah salah satu pengurus gedung Shadyside High.
Ia juga merangkap sebagai sopir bus sekolah. Orangnya masih muda
dan selalu santai. Rambut pirangnya dikuncir, dan headphone
Walkman seakan-akan tak pernah lepas dari telinganya. Ia kurang
dapat diandalkan untuk kedua tugas yang dipegangnya.
"Eh... ini punyamu, ya?" tanya Ronnie. Ia membungkuk dan
memungut sebuah benda mengilap dari lantai.
"Oh. Trims." Kimmy meraih benda yang disodorkan oleh
Ronnie, seuntai kalung perak dengan mata berbentuk megafon.
Orangtuanya memberikan kalung itu sebagai hadiah ulang tahun ke16. Kimmy berusaha memasangnya kembali pada lehernya yang
masih tampak merah. "Kalung ini memang gampang lepas," katanya
sambil mengerutkan kening. "Sepertinya harus diperbaiki. Aku tak
mau kalau sampai hilang."
Sambil membisu, ketiga sahabat itu cepat-cepat berpakaian.
Ronnie menyandang ranselnya, lalu mendesah dan menuju
pintu. Langkahnya terdengar jelas pada lantai semen.
"Kau sudah merasa lebih enak sekarang?" seru Kimmy.
"Belum," jawab Ronnie geram.
****************************
"Ini benar-benar asyik!" seru Bobbi.
Dua minggu telah berlalu sejak mereka diterima sebagai
anggota regu cheerleaders, dan pada Jumat malam itu semuanya
menaiki bus sekolah yang akan membawa mereka ke pertandingan
pertama di kandang lawan untuk tim Tigers.
Corky menyusul kakaknya ke atas bus. Ia menyapa Simmons
yang duduk di balik kemudi sambil menarik-narik kuncirnya. Pemuda
itu menyahut dengan gumaman tak jelas.
Butiran hujan membasahi kaca depan. Langit tampak gelap dan
suram, tapi tidak cukup suram untuk meredam kegembiraan Bobbi
dan Corky. Mereka telah bekerja keras untuk kesempatan itu, melatih
semua gerakan baru seusai sekolah dan di rumah, mempelajari pantunpantun pemacu semangat, menciptakan sejumlah variasi untuk mereka
sendiri. "Ayo, Tigers!" seru Bobbi sambil menjatuhkan diri ke salah
satu kursi di belakang. "Ayo siapa?" balas Megan.
Bus sekolah itu segera terisi oleh suara-suara riang dan senda
gurau. Simmons membungkuk ke depan dan menarik tuas untuk
menutup pintu. "Hei, mana Miss Green?" seru Debra.
Jennifer membalik di kursi paling depan. "Malam ini dia
membawa mobil sendiri. Dia mengajak beberapa temannya."
Kimmy duduk di pinggir jendela di sebelah Debra. Dengan
sebelah tangan ia menggosok-gosok kaca untuk menghapus embun,
agar dapat melihat keluar.
"Hei, Simmons, mana AC-nya?" salah satu temannya berseru.
"Kita-kita sudah hampir meleleh di belakang sini!"
Simmons rupanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Seperti
biasa, ia tak menggubris permintaan itu. Ia menghidupkan mesin dan
menyalakan lampu depan. Corky, yang duduk di samping kakaknya di pinggir gang,
menoleh dan memandang ke luar jendela ketika bus itu mulai
menggelinding dan menuju pelataran parkir murid. Butiran air
mengalir di kaca, sehingga mengganggu pandangannya.
Hujan bertambah deras. Gara-gara tiupan angin, air masuk
lewat jendela yang terbuka sekitar satu-dua senti. Bobbi berdiri, dan
dengan susah payah menaikkan jendela sampai rapat.
"Sekarang kita bakal mati lemas," keluh Corky.
"Kau boleh pilih, mati lemas atau tenggelam," balas Bobbi.
"Itu sih bukan pilihan," sahut Corky.
"Go, Tigers!" seseorang berseru.
Kemudian ada yang mulai bersorak-sorai dan yang lain
langsung bergabung. "Tigers are yellow, Tigers are black. Push 'em back, push 'em back,
Push 'em waaaaay back!"
Bobbi menatap adiknya sambil tersenyum, lalu menyandarkan
punggung. Ia sangat gembira.
Dua minggu terakhir tak bisa dibilang mudah. Anak-anak lain
terus menjaga jarak. Tapi Bobbi yakin ia dan Corky sudah berhasil
menarik hati sebagian besar dari mereka. Kimmy dan Debra tetap
bersikap dingin dan menganggap Corcoran bersaudara sebagai
pengacau yang tidak dikehendaki. Tapi Bobbi percaya, cepat atau
lambat kedua gadis itu pun akan melunak.
Hujan semakin lebat ketika bus sekolah menyusuri Park Drive
meninggalkan Shadyside High. Pohon-pohon dan semak-semak
tampak terang benderang karena kilat yang menyambar. Gemuruhnya
seakan-akan tepat di atas mereka.
Heather dan Megan mulai bersenandung, "Hujan, hujan,
enyahlah!" Jennifer membalik di kursinya untuk menghadapi para
cheerleaders. "Tenang saja," katanya. "Ini cuma badai petir. Orang di
radio bilang badainya akan segera berlalu."
Dua gadis memekik karena dikejutkan oleh gemuruh yang
menggelegar. Yang lain tertawa. Wiper bergerak dengan irama tetap pada kaca depan yang
berembun. Simmons rupanya tidak peduli"atau tidak menyadari"
bahwa pandangannya terganggu.
Jennifer berdiri sambil berpegangan pada sandaran kursi. "Ada
beberapa pengumuman yang perlu kalian dengar," serunya dengan
suara keras untuk mengalahkan bunyi hujan.
Kimmy dan Debra tertawa cekikikan mengenai sesuatu.
Jennifer menunggu sampai mereka tenang kembali. "Oke, kecuali
kalau masih hujan, kita tetap akan memperagakan gerakan tongkat
berapi waktu turun minum, sesuai rencana," ujar Jennifer, sambil
menempelkan kedua tangan seperti corong di depan mulut.
Tiba-tiba Simmons membelok tajam ke Canyon Road, dan
Jennifer terduduk di bangkunya. Dengan kesal ia berdiri lagi, lalu
mendelik ke arah Simmons, yang tentu saja tidak menyadarinya.
"Kalau badainya belum selesai...," lanjut Jennifer.
"Ya ampun!" seru Corky. "Tongkat berapinya!"
Semua mata memandang ke bagian belakang bus.
Cahaya petir seakan-akan menyorot Corky dan kakaknya.
"Kita harus kembali!" Corky menegaskan keras-keras.
"Apa?" balas Jennifer. Ia tampak bingung.
"Kita harus mampir di rumahku," Corky menjelaskan. "Soal
tongkat berapi. Bobbi dan aku membawa tongkat-tongkat itu pulang
ke rumah untuk berlatih. Lalu kami lupa membawanya. Apa kita bisa
kembali sebentar?" Beberapa gadis mengeluh. Suara Kimmy yang paling keras.
"Rumah kami tak jauh dari sini," Bobbi angkat bicara untuk
membela adiknya. "Baiklah," ujar Jennifer, namun roman mukanya menunjukkan
bahwa ia tidak senang. Ia menghampiri Simmons dan menepuk
pundaknya. Tak ada reaksi. Jadi ia menarik kuncir pemuda itu. "Kita harus mampir di Fear
Street," Jennifer memberitahunya.
"Hah?" "Fear Street," ulang Jennifer tak sabar. "Belok saja di depan
sana." Simmons memutar kemudi dan bus itu membelok di aspal yang
basah. Sambil berpegangan pada sandaran kursi, Jennifer berpaling
pada Corky dan Bobbi. "Beritahu yang mana rumah kalian kalau kita
sudah sampai di Fear Street, oke?"
Kedua bersaudara itu mengangguk, lalu sekali lagi minta maaf
karena telah menghambat perjalanan.
"Oooh, Fear Street," ujar seseorang sambil melolong
menyeramkan. Beberapa anak lain tertawa.
Kimmy mengatakan sesuatu kepada Debra, dan keduanya
tertawa cekikikan. Hujan masih turun dengan deras, dipacu oleh angin kencang
yang berubah-ubah. Entah kenapa, Simmons malah menambah
kecepatan. Di hadapannya, kedua wiper besar tetap menyapu kaca
depan yang berembun. Jennifer kembali berdiri di gang, di samping Simmons. "Ada
beberapa pengumuman lagi," serunya.
Bobbi memandang ke luar jendela. Rumah-rumah dan pohonpohon yang mereka lewati bertambah gelap, seakan-akan diselubungi
bayangan hitam yang menutupi seluruh dunia. Pohon-pohon tampak
membungkuk karena tiupan angin. Kemudian angin berubah arah dan
butiran hujan mengenai jendela, mengejutkan Bobbi dan menghalangi
pandangannya. Di depan, Jennifer masih sibuk memberi pengumuman. Bobbi
tidak bisa mendengar apa-apa karena bunyi hujan bercampur gemuruh
dan suara angin. Tiba-tiba Simmons mengulurkan tangan dan menarik tuas untuk
membuka pintu. Bunyi hujan semakin keras. Seketika udara yang
dingin dan lembap menerjang ke dalam bus.
"Kenapa dia membuka pintu?" Corky bertanya pada kakaknya.
"Mungkin supaya bisa melihat lebih jelas," jawab Bobbi. "Kaca
depannya betul-betul berembun."
"Kita sudah di dekat rumah?"
Bus sekolah itu menambah kecepatan. Simmons menoleh ke
arah pintu yang terbuka. Ia memperhatikan sebuah jalan melintang,
yang sepersekian detik kemudian sudah berlalu.
Bobbi berusaha memandang ke luar jendela untuk membaca
papan nama jalan. Tiba-tiba ia menyadari bahwa ada yang tidak beres.
Bus mereka... bus mereka mulai menggelincir.
Tak ada waktu untuk berteriak atau menyerukan peringatan.
Detik ini mereka masih melaju menembus hujan. Detik berikut
mereka sudah menggelincir tak terkendali ke arah trotoar.
"Hei!" Simmons memekik, diiringi bunyi berdecit ban bus.


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Remnya...!" Bunyi berdecit itu terngiang-ngiang di telinga Bobbi. Ia segera
menutup telinganya. Ia ingin berteriak, tapi tak ada suara keluar dari
mulutnya. Benturannya amat keras. Apa yang mereka tabrak" Sebatang pohon" Bongkahan batu"
Trotoar" Bus itu seakan-akan terpental keluar dari jalan.
Dengan ngeri Bobbi melihat Jennifer membelalakkan mata. Dan
kemudian, ketika bus mereka terguncang dengan hebat, ia melihat
Jennifer terlempar ke luar lewat pintu terbuka.
Teriakan Jennifer hilang tertelan bunyi ban yang berdecit-decit.
Bunyi logam yang berderak-derak.
Bunyi kaca yang pecah berantakan.
Bab 5 Kematian Seorang Cheerleader
KEJADIAN itu makan waktu satu detik. Mungkin kurang.
Bobbi berkedip, dan semuanya telah berakhir.
Terdengar jeritan dari berbagai arah.
Ia tak tahu pasti apakah ia mendengar bunyi ban yang berdecitdecit atau pekikan para cheerleader.
Dan kemudian seluruh dunia terbalik.
Bobbi menahan napas ketika menabrak Corky. Lalu dengan
tangan bergerak tak berdaya, keduanya jatuh menyamping ke arah
jendela. Yang kini merupakan lantai.
Tak ada waktu untuk berteriak.
Semua terjadi begitu cepat.
Kaca jendela di bawah mereka langsung retak.
Dan bus mereka masih terguncang-guncang dan menggelincir.
Bunyi logam bergesekan pada aspal memekakkan telinga.
Bobbi merasakan benturan keras. Rasa nyeri menjalar ke
seluruh tubuhnya. Dan kemudian segalanya mendadak hening.
Aku tidak apa-apa, Bobbi menyadari. Baru sekarang ia bisa
berpikir dengan jernih. Ia tergeletak di atas adiknya, lengan dan kaki mereka
bertumpang tindih. Corky juga tidak apa-apa.
Corky terenyak menatapnya. Mata hijaunya terbelalak ngeri.
Semuanya jungkir-balik. Ia mendengar erangan-erangan tertahan.
Suara rintihan, seperti anak anjing ketakutan.
"Oh, sial." Umpatan itu terdengar dari bagian depan bus.
Simmons. Dengan susah payah Bobbi mendorong tubuhnya sampai tegak.
Simmons juga berusaha bangkit. Tapi semuanya miring. Semuanya
berantakan. "Kau tidak apa-apa?" tanya Corky pelan.
"Yeah, rasanya aku tidak apa-apa," balas Bobbi bimbang.
"Kalau begitu, jangan injak aku!" seru Corky.
Nadanya begitu geram, sehingga Bobbi malah tertawa.
Tawa histeris, ia sadar, lalu memaksakan diri untuk berhenti.
Jangan lepas kendali. Jangan panik.
Bobbi mendongak dan melihat deretan jendela di atas
kepalanya. "Oh!" serunya. Baru sekarang ia sadar apa yang telah terjadi.
Bus mereka terguling ke samping.
Bus itu menabrak pohon, terpental, terguling, dan menggelincir
sampai akhirnya berhenti.
"Bagaimana caranya keluar dari sini?" Ia mendengar suara
Kimmy, meskipun tak bisa melihatnya.
Dalam kegelapan, tangan dan kaki bertumpang tindih.
Ia mendengar seseorang menangis. Ia mendengar erangan dan
bisikan. "Pintu darurat. Di belakang!" seseorang berseru.
Bobbi meraih pintu darurat dan berusaha membukanya. Tapi
pintu itu macet. "Lewat jendela saja!" Yang lain mengusulkan. "Lewat jendela
lebih cepat." Kimmy bangkit. Ia mengangkat kedua tangan dan mencoba
menggeser salah satu jendela sampai terbuka. Bobbi melakukan hal
yang sama sambil berusaha menjaga keseimbangan.
"Hei, jangan injak aku terus dong!" Corky menggerutu.
"Sabar sedikit kenapa sih?" balas Bobbi. Ia hampir tidak
mengenali suaranya yang tinggi melengking.
Jendelanya berhasil dibuka.
Tetesan hujan mengenai wajah Bobbi yang mendongak. Dingin.
Segar. Begitu bersih. "Ada yang luka?" seru Simmons. Sosoknya yang jangkung
hanya tampak samar-samar dalam kegelapan. "Ada yang luka" Siapa
yang menangis?" Bobbi berdiri sambil berpegangan pada bingkai jendela.
Hujan mereda. Gemuruh petir sayup-sayup terdengar di
kejauhan. Bobbi menarik badannya keluar dari jendela.
Seluruh dunia tampak mengilap, berkilauan, basah. Segar dan
bersih. Roda bus masih berputar. Di mana kita" tanya Bobbi dalam hati. Semuanya tampak begitu
akrab, sekaligus asing. Wajah lain muncul. Debra keluar lewat jendela di bagian depan.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil memicingkan mata seakanakan Bobbi berada jauh sekali.
"Rasanya sih aku tidak apa-apa," balas Bobbi. "Kau?"
"Aku juga. Cuma pergelangan tanganku... sepertinya terkilir.
Tapi cuma itu." Mereka memanjat keluar, lalu tersenyum. Keduanya menghirup
udara segar, menikmati kelembapan yang sejuk, dan bersyukur bahwa
mereka masih hidup. Kemudian sambil berlutut di sisi bus yang kini
merupakan atap, mereka mengulurkan tangan untuk membantu anakanak lain keluar.
Waktu seolah-olah berhenti.
Corky menyusul kakaknya, lalu turun ke tanah, meregangkan
tubuh dan menguap lebar seakan-akan baru terjaga dari tidur panjang.
Cahaya kedua lampu depan membelah kegelapan malam,
menerangi batu-batu nisan yang tampak di tengah-tengah ilalang.
Batu nisan" Ilalang"
Bobbi pun melompat turun. Sepatunya menginjak rumput
basah. Sambil meraih tangan Corky yang dingin seperti es, ia
membalik dan menghadap ke jalanan.
Di belakang mereka ada tanda nama jalan yang miring: FEAR
ST. "Oh." Ia melepaskan tangan Corky. "Lihat itu."
Bus mereka telah keluar jalan lalu menggelincir di rumput
pemakaman Fear Street. Kabut kekuningan mengambang di antara
batu-batu nisan tua, yang tampak seperti tangan dan kaki di tengah
ilalang. "Kita... kita di kuburan," Corky berbisik. Wajahnya tampak
bingung. "Bagaimana kita bisa sampai di sini?"
"Kita cuma satu blok dari rumah," ujar Bobbi.
"Semuanya sudah keluar?" seru Simmons. Ia menghampiri
mereka dengan langkah panjang. Celana jins-nya berlumuran lumpur
di lutut, dan luka berdarah di lengannya diikat kencang dengan
bandana. "Kalian tidak apa-apa?" tanyanya pada Bobbi dan Corky.
"Yeah," balas Bobbi.
"Semuanya sudah keluar," kata Simmons. "Tidak ada yang luka
parah." Lalu Bobbi dan Corky berseru berbarengan, "Jennifer!"
Di mana Jennifer" Dalam suasana kalang-kabut yang menyusul kecelakaan itu,
mereka sama sekali melupakan Jennifer.
Jennifer. Adegan tadi kembali terbayang dalam benak Bobbi. Ia
melihat Jennifer mengangkat kedua tangan ketika terpental dari pintu
bus yang terbuka, seakan-akan ditarik ke luar.
"Jennifer?" Corky mulai memanggil. "Jennifer" Ada yang
melihat Jennifer?" "Jennifer! Jennifer!"
Kata itu bergema dalam kegelapan, mencekam gadis-gadis yang
bingung dan ketakutan itu.
Mereka berusaha berpikir dengan jernih.
Berusaha memahami apa yang telah terjadi.
Berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja.
"Jennifer! Jennifer!"
Dan kemudian Corky melihatnya.
Dari belakang. Ia melihat tubuh gadis itu tertelungkup. Kepalanya tergeletak di
tanah di hadapan batu nisan tua. Kedua tangannya menjulur ke depan,
seakan-akan memeluk batu nisan itu.
"Jennifer!" seru Bobbi.
Embusan angin meniup rok Jennifer. Tapi Jennifer tidak
menoleh atau mengangkat kepala.
Corky dan Bobbi lebih dulu tiba di sampingnya. Bobbi
menggenggam bahu Jennifer untuk membalikkan tubuhnya.
"Jangan digerakkan!" seseorang berseru.
"Jangan sentuh dia! Itu terlalu berbahaya!"
Bobbi menoleh dan melihat Simmons berdiri di sampingnya.
Pemuda itu menatap Jennifer yang terbujur di atas makam tua.
"Balikkan perlahan-perlahan supaya wajahnya tidak kena
lumpur," ujar Simmons.
Mereka menarik bahunya dengan lembut.
Ketika mereka membalikkan tubuh Jennifer, Bobbi melihat
tulisan pada batu nisan tua itu: SARAH FEAR. Tanggal di bawah
namanya nyaris terkikis habis: 1875-1899.
Mereka membaringkan Jennifer dalam posisi telentang.
"Panggil ambulans!" teriak Heather. "Cepat... panggil dokter!"
Bobbi membungkuk di atas tubuh Jennifer yang tak bergerak.
"Terlambat," katanya parau. "Dia sudah meninggal."
Bab 6 "Semuanya Salah Kalian!"
"TIDAK!" Teriakan Corky membelah keheningan malam. Ia menjatuhkan
diri ke tanah basah di samping Jennifer, dan menggenggam tangannya
yang pucat dan terkulai lemas.
"Tidak!" Mula-mula Bobbi menyangka bahwa raungan yang didengarnya
berasal dari adiknya. Tapi ketika bunyi itu bertambah keras,
mengalahkan suara angin yang menyapu pepohonan tua di
pemakaman, ia sadar bahwa itu raungan sirene ambulans.
Rupanya penghuni salah satu rumah di seberang jalan sempat
melihat kecelakaan itu dan menelepon rumah sakit.
Beberapa detik kemudian, tiga ambulans dan satu mobil patroli
polisi berhenti di rumput yang basah. Cahaya lampu-lampu yang
berkedip-kedip mengenai semua orang sehingga semuanya tampak
terlalu cerah, terlalu menakutkan, terlalu nyata untuk dipercaya.
Baju putih para petugas paramedis yang menerobos ilalang
tampak merah-kelabu, merah-kelabu. Cahayanya menerangi wajah
mereka seperti dalam foto yang diambil dengan blitz, dan Bobbi
takkan pernah melupakan pemandangan itu. Ia tahu bahwa ia akan
terus mengingat wajah-wajah geram tersebut. Ia tahu bahwa ia akan
mengingat setiap detik mimpi buruk yang gelap dan basah itu.
Ronnie berdiri di balik batu nisan yang miring. Ia menangis
tersedu-sedu. Mulutnya terbuka lebar, matanya terbelalak. Kimmy dan
Debra berada di kiri-kanan gadis itu, dan berusaha menenangkannya.
Wajah mereka pun tampak aneh dalam cahaya merah yang berkedipkedip.
Hujan telah berhenti, dan udara terasa lembap dan dingin.
Di depan batu nisan, beberapa petugas paramedis menangani
Jennifer. Mereka berbicara pelan, namun dengan nada mendesak.
Tangan-tangan lembut menarik Bobbi dan adiknya. Dua
petugas polisi sedang meminta keterangan dari Simmons, yang
mengangkat bahu dan menunjuk bus sekolah yang terguling. Ia
tampak ketakutan dan sangat gelisah.
Sesekali terdengar radio di mobil-mobil ambulans dan mobil
patroli polisi berderak. Seorang petugas paramedis yang membungkuk di atas Jennifer
berbicara melalui telepon genggam. Angin meniupkan tetesan air yang
sangat dingin dari pepohonan.
Bobbi maju selangkah. Masih hidupkah Jennifer" Apakah mereka masih bisa
menyelamatkannya" Bobbi harus melihatnya sendiri.
Para petugas paramedis berjongkok di sekeliling Jennifer.
Bobbi berusaha menangkap pembicaraan mereka. Ia menghampiri
kerumunan itu. Salah satu petugas paramedis kembali berdiri. Ia memejamkan
mata dan Bobbi melihatnya mengertakkan gigi. "Dia sudah mati,"
petugas itu berkata. Seorang rekannya ikut bangkit sambil menggelengkan kepala.
"Sudah terlambat."
Tangis Ronnie menjadi-jadi.
"Tidak!" Bobbi menjerit.
Tanpa menyadarinya, bahkan tanpa sadar bahwa ia bergerak,
Bobbi menerobos di antara petugas-petugas paramedis. Ia berlutut di
samping Jennifer, dan menatap wajahnya yang cantik tanpa ekspresi.
Dan Jennifer membuka mata.
"Hei!" Bobbi berseru. "Hei!"
Jennifer mengedip-ngedipkan mata. Dan menatap Bobbi.
"Hei..." Bobbi memanggil. "Hei..."
Sekali lagi Jennifer mengedipkan mata. Bibirnya bergetar.
Matanya yang gelap bergerak dari kiri ke kanan.
"Hei... dia masih hidup!" seru Bobbi. "Hei...."
Corky memegang bahu Bobbi sambil membungkuk dan
menatap Jennifer. Jennifer membalas tatapannya sambil tersenyum.
"Hei...." Orang-orang bersorak-sorai. Para petugas paramedis langsung
sibuk. Salah satu dari mereka berbicara melalui telepon genggam.
Suara mereka dikalahkan angin yang tiba-tiba menerjang. Hujan
kembali turun. Bobbi memandang lampu-lampu yang berkedip-kedip. Ia
memperhatikan cahaya senter yang kekuningan, serta cahaya putih
yang menyorot dari lampu-lampu mobil. Cahaya itu seakan-akan
menyatu dan semakin terang, sampai Bobbi terpaksa memejamkan
mata karena silau. Jennifer masih hidup. Ia akan sembuh. Ia akan sembuh.
Masih sambil memejamkan mata, Bobbi mengucapkan doa
dalam hati. Ketika membuka mata, ia melihat tandu Jennifer sedang
didorong ke dalam ambulans. Dua mobil patroli telah tiba. Beberapa
petugas memeriksa bus yang terguling sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Untung saja tidak ada yang tewas."


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata-kata itu mengambang di udara dan terngiang-ngiang di
telinga Bobbi. Hujan bertambah deras, dipacu oleh angin kencang.
Sirene ambulans mulai meraung-raung. Kemudian kendaraan
itu menjauh. "Bagaimana caranya kita pulang?" tanya Ronnie, yang masih
diapit oleh Kimmy dan Debra.
"Bagaimana dengan pertandingannya?" tanya Heather.
"Kita harus pulang!" Ronnie berkeras.
"Apakah Jennifer akan sembuh?"
"Orangtua kita sudah ditelepon?"
"Kita harus menghubungi Miss Green."
"Dia pasti sudah sampai di tempat pertandingan."
"Mereka takkan main kalau hujan begini."
Ayo, hujanlah, pikir Bobbi sambil mendongak. Biar semuanya
hanyut terbawa hujan. Semuanya.
Ia membalik, dan terkejut melihat Kimmy berdiri di
sampingnya. Kimmy memasang tampang dingin dan mendelik kepada
Bobbi. "Kimmy...?" ujar Bobbi.
"Ini semua gara-gara kalian," tukas Kimmy sambil
mengertakkan gigi dan mengepalkan tangan. Rambutnya yang basah
menempel di keningnya. "Hah?" "Semuanya salah kalian," ulang Kimmy, sambil terus melotot.
"Kalau kalian tidak memaksa kita membelok ke Fear Street..."
"Hei, tunggu dulu!" seru Bobbi. "Itu tidak adil!"
Ia menyadari bahwa para cheerleader lain pun menatapnya
dengan geram. "Kimmy, itu tidak adil," kata Corky sambil maju untuk
mendukung kakaknya. Kimmy cepat-cepat membalik dan menghampiri Ronnie dan
Debra. "Itu tidak adil!" tegas Corky kembali.
Hujan semakin lebat menghalangi pandangan. Ambulans yang
membawa Jennifer sudah menghilang di kejauhan. Hanya raungan
sirenenya yang masih terdengar.
BAGIAN DUA Kejatuhan Bab 7 Kapten Baru SORAK-SORAI membahana dari tribun ketika para cheerleader
berlari ke lapangan. Ketika ketujuh gadis itu mulai melompat-lompat,
sambutan para penonton pun semakin meriah, sampai atap gedung
olahraga serasa mau runtuh.
Kimmy tampil sebagai pemimpin, dan mereka segera mulai
dengan apa yang mereka sebut clap-clap routine. Mereka bertepuk
tangan dengan irama tertentu, dan semua penonton di tribun
mengulanginya sekeras mungkin.
Sambil bertepuk tangan, Kimmy memandang para penonton
dengan baju warna-warni yang duduk berdesakan di tribun, berdiri di
sepanjang dinding-dinding, dan bahkan nyaris masuk ke lapangan.
Tampaknya seluruh sekolah hadir.
Tepuk tangan digantikan oleh entakan kaki yang membuat
seluruh tribun bergetar hebat. Iramanya semakin cepat. Semakin
keras. Ini baru seru! pikir Kimmy tersenyum lebar. Ia sangat senang
karena bisa tampil di depan seluruh sekolah! Betapa ramai
suasananya! Rasanya seperti ada gempa bumi, atau serbuan seribu
gajah! Ia tahu bahwa ia tampak hebat dengan seragam barunya.
Mereka semuanya tampak hebat. Seragam lama mereka rusak karena
hujan malam itu. Tapi kini, dua minggu kemudian, segala sesuatu begitu
cemerlang! Dan semua orang bersorak-sorai. Bersorak-sorai sampai
serak. Hmm... hampir semuanya. "Give me a T!" "T'!" "Give me an I!"
"I!" "Give me a G!" Wah, ramainya! pikir Kimmy. Senyumnya bertambah lebar lagi
ketika rambutnya yang hitam melambai-lambai setiap kali ia
melompat. Mereka mengakhiri nomor pembuka dengan gerakan
menyerupai gelombang. Satu per satu mereka melakukan gerakan
split. Kimmy mengamati barisan para cheerleader. Semuanya tampak
begitu gembira, segar dan ceria, seakan-akan malam celaka itu tak
pernah terjadi. Ronnie berada di ujung barisan. Ia tampak berseri-seri dan
berseru sekuat tenaga. Rambutnya yang merah memantulkan cahaya
terang lampu-lampu di langit-langit, sehingga tampak menyala.
Betapa bahagianya ia karena kembali masuk ke dalam regu.
Debra pun, yang biasanya begitu dingin dan tertutup, tak mau
kalah keras ketika bersorak.
Hanya para cheerleader yang tahu bagaimana rasanya tampil
seperti ini, pikir Kimmy. Banyak orang yang meremehkan kita.
Mereka pikir kita cuma buang-buang waktu. Atau kita ketinggalan
zaman atau sebangsanya. Tapi itu cuma karena mereka tidak tahu
bagaimana rasanya kalau kita berhasil membuat kerumunan penonton
lupa diri. Nomor pembuka mereka disambut dengan tepuk tangan
membahana. Kimmy kembali melirik dan melihat Corky dan Bobbi
melakukan double cartwheel.
Uhhh, pikirnya getir. Dasar tukang pamer. Aku betul-betul
muak sama mereka. Mentang-mentang punya rambut pirang indah dan
wajah innocent. Mereka selalu mencoba mencuri perhatian. Idih,
rasanya aku mau muntah. Suara drum dari marching band membuyarkan lamunan
Kimmy. Tidak, katanya memutuskan. Aku takkan membiarkan mereka
merusak hari ini. Biar saja mereka bertingkah sesuka hati. Aku takkan
ambil pusing. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan ketika marching band
memainkan mars Shadyside High.
Aku cuma ingin menyimpan kenangan indah acara ini, pikir
Kimmy sambil bertepuk tangan sekeras mungkin. Bagaimanapun
juga, acara ini untuk menghormati kita, untuk menghormati ketabahan
kita, untuk menghormati bagaimana kita selamat dari malam
mengerikan itu. Penampilan marching band pun mendapat sambutan meriah.
Corky dan Bobbi kembali melakukan gerakan double cartwheel, dan
Kimmy memaksakan diri untuk tidak bereaksi.
Semua cheerleader menoleh ke arahnya untuk memulai nomor
berikut. "Let's go, let"s go, let's go, let"s go..."
Kimmy sempat melihat Miss Green bersandar pada dinding
ruang kerjanya sambil ikut bertepuk tangan. Wajahnya yang biasanya
masam kali ini dihiasi senyum lebar.
Beberapa menit lagi Miss Green akan mengangkatku sebagai
kapten yang baru, pikir Kimmy. Ia sudah tak sabar menanti saat itu.
Sudah lama aku mendambakannya. Dan aku bekerja begitu
keras untuk meraihnya, begitu keras.
Aku tidak secantik anak-anak lain. Aku tidak jangkung, dan
potongan tubuhku juga biasa-biasa saja. Aku tidak punya rambut
pirang dan lurus seperti Corcoran bersaudara itu, dan aku juga tidak
mirip bintang film seperti... Jennifer.
Tapi aku akan menjadi kapten. Akhirnya aku akan jadi kapten.
Dalam hati ia menyayangkan ketidakhadiran orangtuanya. Ia
ingin mereka hadir untuk melihat acara ini, untuk melihat putri
mereka menjadi pusat perhatian. Ia sempat memohon-mohon agar
mereka datang. Tapi seperti biasa mereka berdalih bahwa mereka
tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
Alasan saja, pikir Kimmy getir.
Kemudian ia mengusir pikiran-pikiran suram itu. Ia takkan
membiarkan apa pun merusak kebahagiaannya.
Wow! Gerakan mereka berakhir. Seketika marching band mulai
bermain lagi. Kimmy menuju ujung gedung olahraga, dan yang lain
mengikutinya. Setelah band selesai main, para penonton bersorak-sorai dengan
keras untuk menyambut Jennifer yang memajukan kursi rodanya ke
tengah lapangan. Kimmy melihat bahwa Jennifer pun mengenakan
seragam baru. Jennifer menggenggam kalung berwarna merah-putih.
Namanya terukir pada mata kalung yang dihadiahkan oleh para
anggota regu cheerleader sewaktu ia masih dirawat di rumah sakit.
Penuh semangat ia melambaikan tangan. Tepuk tangan para
penonton semakin keras, sampai-sampai Kimmy hampir menutup
telinga. Jennifer begitu tabah, kata Kimmy dalam hati, memperhatikan
temannya itu ikut berbaris bersama para cheerleader yang lain.
Begitu tabah dan riang, meskipun ia mungkin takkan bisa
berjalan lagi. Meskipun seluruh hidupnya hancur.
Kimmy bertanya-tanya apakah ia sendiri sanggup bersikap
begitu tabah, begitu ceria, begitu... pasrah.
Ya, Jennifer nyaris meninggal malam itu, Kimmy teringat.
Semua orang sempat menyangka ia sudah meninggal. Jadi ia bisa
dibilang beruntung, beruntung karena masih hidup.
Tapi pantaskah orang yang cacat"mungkin untuk seumur
hidup"dibilang beruntung"
Kimmy menyadari bahwa gedung olahraga menjadi hening.
Jennifer telah berada di depan mikrofon dan mulai memberi pidato
singkat. "Aku tidak pandai berpidato," ia berkata dengan suara bergetar.
"Aku lebih suka berjingkrak-jingkrak di lapangan sambil bersoraksorai daripada berpidato!"
Para penonton tertawa dengan kikuk. Salah satu anggota
marching band memukul drum-nya.
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
orang di Shadyside High," Jennifer melanjutkan. "Kalian semua
begitu baik terhadapku... semua temanku... semuanya... terima kasih
untuk kartu-kartu ucapan dan hadiah-hadiah dan semuanya..." Ia
melambai-lambaikan kalungnya. "Dan aku ingin kalian semua tahu,
aku benar-benar senang. Go Tigers!"
Ia mundur dari mikrofon sambil mengacung-acungkan kalung,
dan seluruh sekolah bertepuk tangan meriah. Marching band kembali
memainkan lagu mars. Pita-pita kertas merah-putih melayang dari
tribun. Kimmy menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ia sadar
bahwa ia mulai kehilangan kendali atas dirinya. Tenggorokannya
seperti tersekat, dan ia hampir terisak-isak.
Tapi ia memejamkan mata dan memaksakan diri untuk tetap
tenang. Hari ini bukan hari untuk bersedih. Hari ini mereka harus
bergembira ria. Semua orang tersenyum lebar.
Ini kesempatan bersukacita. Untuk merayakan bahwa mereka
semua masih hidup. Tapi kenapa senyum Jennifer malah menimbulkan awan kelabu
dalam hati Kimmy" Ia berpaling dari Jennifer. Itu satu-satunya cara agar ia tidak
larut dalam emosi. Aku cuma tegang, ia berkata dalam hati. Mungkin terlalu
tegang. Ia menarik napas panjang.
Miss Green menghampiri mereka. Wanita itu melintasi
lapangan basket dengan langkah lebar. Wajahnya tampak serius. Ia
mengenakan sweter Shadyside merah-putih dan celana training
kelabu. Ia tersipu-sipu ketika menghampiri mikrofon, dan mengunci
tangannya di balik punggung.
Miss Green tidak suka berbicara di depan umum. Ia jarang
berpidato, dan setiap kali terpaksa tampil di depan orang banyak, ia
selalu gelisah. Ia tersenyum kepada Jennifer, berhenti, lalu membungkuk
sedikit ke arah gadis itu. Kemudian, dengan wajah nyaris merah
padam, ia melangkah ke depan mikrofon.
"Ada sesuatu yang ingin saya umumkan!" ia berseru, dan
suaranya bergema. Para hadirin bersiul-siul dan bersorak-sorai.
Dengan kikuk Miss Green menunggu sampai suasana kembali tenang.
Kimmy melihat otot-otot rahangnya mengencang karena gugup.
Kasihan Miss Green, ia berkata dalam hati.
Kimmy sendiri pun semakin gelisah. Ia menyadari bahwa
bibirnya gemetaran ketika ia tersenyum. Semoga tak ada yang
melihatnya. "Hari ini adalah hari besar untuk kita semua," Miss Green berkata.
"Kita berkumpul di sini untuk merayakan semangat para cheerleader
Shadyside. Terutama semangat yang diperlihatkan oleh Jennifer
Daly." EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Suasana menjadi hening. Begitu hening, sehingga Kimmy bisa
mendengar suara klakson mobil dari pelataran parkir di luar.
"Kita semua bergembira karena Jennifer bisa kembali
berkumpul bersama kita," Miss Green melanjutkan. "Ketabahannya,
kekuatannya, semangatnya yang pantang menyerah, patut dicontoh
oleh kita semua." Para penonton bertepuk tangan.
"Dan sekarang tiba saatnya untuk mengumumkan kapten yang
baru," ujar Miss Green sambil melirik ke arah Jennifer, yang
memberikan senyum dukungan.
Kimmy menarik napas panjang. Jantungnya berdegup begitu
kencang, sehingga khawatir ia mungkin jatuh pingsan.
Ia tersenyum lebar kepada Jennifer, tapi Jennifer sudah menoleh
ke arah tribun. "Saya sempat merenung selama berjam-jam mengenai
pemilihan ini," Miss Green meneruskan. "Dan saya tahu bahwa wanita
muda pilihan saya akan memimpin para cheerleader tim Tigers
dengan semangat dan dedikasi yang sama seperti yang ditunjukkan
Jennifer Daly selama ini."
Ya! Ya! Terima kasih! pikir Kimmy, yang sudah tak sabar
menanti. Ia kembali menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya
perlahan-lahan. Miss Green berdeham, kemudian, dengan lantang dan penuh
semangat, ia mengumumkan nama sang kapten regu cheerleader yang
baru. "Tidak!" pekik Kimmy keras-keras. "Tidak!"
Bab 8 Kimmy Mengundurkan Diri SERUAN protes Kimmy tenggelam dalam tepuk tangan yang


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membahana. Para penonton di tribun bersorak-sorai dan bersuit-suit.
Beberapa anggota regu cheerleader, termasuk Ronnie dan Debra,
menoleh ke arah Kimmy yang terenyak sambil membelalakkan mata.
Bobbi Corcoran" Bagaimana mungkin Bobbi Corcoran diangkat sebagai kapten
regu cheerleader" Ini tidak adil! pikir Kimmy, dan rasa kagetnya berubah menjadi
kemarahan. Tidak masuk akal!
Bagaimanapun juga, musim semi lalu Kimmy ditunjuk sebagai
wakil Jennifer. Sudah dua tahun ia bergabung dengan regu
cheerleader. Ia bekerja begitu keras. Begitu keras.
Bagaimana mungkin ia dilangkahi oleh pendatang baru yang
sok pamer" Bobbi baru beberapa minggu menjadi anggota regu cheerleader.
Ia belum mengenal Shadyside High. Ia belum tahu apa-apa mengenai
gerakan para cheerleader.
Jadi bagaimana mungkin Miss Green dan Jennifer malah
memilih Bobbi" Kimmy berdiri dengan lesu. Kekecewaan dan kemarahannya
tercermin di wajahnya. Ia sedih dan kesal, dan tidak peduli kalau
semua orang mengetahuinya.
Ketika tepuk tangan berhenti dan Miss Green kembali angkat
bicara, Kimmy melirik ke ujung barisan cheerleader. Ia melihat Corky
memeluk kakaknya dengan gembira. Heather dan Megan
menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat kepada Bobbi. Dan
Bobbi tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca karena bahagia.
Norak, pikir Kimmy getir.
Aku tahu kenapa ia diangkat menjadi kapten. Karena ia cantik,
dan aku tidak. Ia begitu pirang dan langsing dan sok all-American.
Oke, aku memang tidak langsing dan tidak punya rambut pirang
yang panjang, dan penampilanku tidak seperti foto model majalah
Seventeen. Tapi Miss Green dan Jennifer kok tega berbuat begini"
Sampai kiamat pun aku lebih hebat sebagai cheerleader daripada
Bobbi Corcoran! Aku pantas jadi kapten. Semua orang tahu aku pantas jadi
kapten. Lalu Kimmy menyadari bahwa sekujur tubuhnya gemetaran. Ia
memandang ke arah tribun dan mulai salah tingkah.
Semua orang menatapku. Seluruh sekolah. Semuanya
menatapku. Mereka tahu aku pantas jadi kapten. Mereka tahu aku
dicurangi. Ia menoleh dan melihat Debra dan Ronnie, yang sedang
mengamatinya. Wajah mereka memancarkan simpati. Mereka
mengamati wajah Kimmy, sambil menduga-duga bagaimana reaksi
gadis itu terhadap berita buruk tersebut.
Semua orang memperhatikanku, pikir Kimmy. Ia berjuang
keras agar tidak terisak-isak. Semua orang kasihan padaku.
Belum pernah aku semalu sekarang.
Ini hari terburuk dalam hidupku.
Aku takkan pernah memaafkan Bobbi. Takkan pernah.
Dan aku juga takkan pernah memaafkan Miss Green.
Rasanya aku ingin ditelan bumi. Rasanya aku mau mati saja.
Dan sementara benak Kimmy dipenuhi berbagai pikiran suram,
Miss Green menyelesaikan pidatonya, lalu mundur dari mikrofon
sambil mendesah lega. Semua hadirin bertepuk tangan dengan meriah.
Kimmy melihat Jennifer tersenyum, selalu tersenyum tabah.
Gadis itu menggerakkan kursi rodanya ke pinggir lapangan.
Dan kemudian Bobbi... Bobbi... mengajak para anggota regu
cheerleader membentuk lingkaran untuk memulai gerakan terakhir.
Tidak! Kimmy memutuskan. Tidak. Aku tidak sanggup. Aku terlalu malu. Terlalu terhina. Aku tidak
mau. Tidak mau! Aku berhenti saja, ia memutuskan.
Aku mengundurkan diri dari regu cheerleader.
Ia turut membentuk lingkaran, mengikuti yang lain seperti
domba. Tapi kini, ketika mereka mengangkat tangan tinggi-tinggi
untuk memperagakan gerakan penutup, Kimmy berseru kesal, lalu
langsung berlari, melintasi lantai kayu yang mengilap. Ia berlari
sekuat tenaga. Matanya nyaris terpejam. Jantungnya berdegup seirama
dengan langkahnya. Benarkah orang-orang di tribun terpana" Benarkah ia
mendengar pertanyaan-pertanyaan heran" Suara-suara kebingungan"
Kimmy tidak peduli. Ia melarikan diri. Ia hendak melarikan diri
dan tidak kembali lagi. Ia berlari begitu kencang sehingga nyaris menabrak pintu yang
menuju koridor. Sejenak ia menoleh ke belakang. Para cheerleader
lain sudah memulai gerakan penutup; Corky Corcoran telah bergeser
untuk mengisi tempat yang ditinggalkan Kimmy.
Awas saja, nanti kubalas semuanya, tekad Kimmy dalam hati.
Jennifer. Bobbi. Corky. Semuanya.
Ketika ia telah melewati pintu dan berlari menyusuri koridor
yang kosong, ia tak sanggup menahan diri lebih lama lagi. Ia pun
menangis tersedu-sedu. Bab 9 Bobbi dan Chip "SELAMAT, ya!" Bobbi membuka pintu lockernya dan menoleh untuk membalas
sapaan seorang gadis yang tak dikenalnya. "Trims," katanya sambil
tersenyum. "Aku Cari Taylor," kata gadis itu sambil menggeser buku-buku
yang dibawanya. Ia cantik. Rambutnya pirang dan bahkan lebih halus
dan lembut dibandingkan rambut Bobbi. Senyumnya hangat dan
ramah. "Aku juga ikut pelajaran lab IPA pada jam keenam. Aku
pernah melihatmu di situ."
"Yeah," balas Bobbi. "Aku juga pernah melihatmu."
"Aku cuma mau berkenalan dan kasih selamat," ujar Cari
Rahasia Darah Kutukan 1 Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting Bulu Merak 1
^