Ciuman Selamat Malam 1
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss Bagian 1
BAGIAN SATU CIUMAN PERTAMA Bab 1 CIUMAN PERTAMA JESSICA berjalan dengan cepat melewati toko-toko kecil dan
restoran-restoran, sandalnya berdetak-detak di atas trotoar yang
terbuat dari papan. Ia berhenti di depan Beach Emporium, toko
pakaian terbesar di Sandy Hollow, dan mengintip ke dalam
etalasenya. Di situ tercantum tulisan berbunvi: BIKINI DISKON 50%.
Jessica berdecak-decak sendiri. Apakah itu maksudnya cuma
melucu" Tidak. Mrs. Hopping, wanita tua pendiam yang keluarganya
telah memiliki Beach Emporium selama ratusan tahun, tidak suka
bercanda. Ia galak dan selalu cemberut, hanya tersenyum saat
menekan tombol-tombol mesin kasnya yang kuno untuk menerima
pembayaran dari pembeli yang memborong.
Sebentar lagi Mrs. Hopping akan banyak senyum, pikir Jessica.
Tepat di luar kota, Beach Haven Drive sudah penuh dengan
mobil orang-orang musim panas yang berdatangan untuk membuka
rumah pantai mereka. Beberapa hari lagi turis-turis berkulit putih akan
bergeletakan di pasir sepanjang hari, berjemur, lalu memadati kota
kecil itu pada malam hari, semuanya berkulit kemerahan dan
berkeringat, dengan antusias berpesta dan belanja, belanja, belanja.
Jessica melihat-lihat pakaian renang di etalase. Sebuah bikini
oranye terang tampak mencolok. Mungkin menyala dalam gelap, pikir
Jessica sambil memutar bola matanya. Norak.
Matahari telah menghilang di balik gedung-gedung rendah yang
beratap sirap dan berdinding papan di sepanjang Main Street. Dari
samudra berembus udara malam yang dingin ke arah timur. Suara
keras dan tawa terdengar dari restoran Pizza Cove di seberang jalan.
Asyik, pikir Jessica. Musim panas baru. Musim liburan baru.
Orang-orang baru. Sambil menyibakkan rambut lebatnya yang berwarna tembaga
ke balik bahu sweter katun hitamnya, ia mendorong pintu toko itu. Bel
di atas pintu itu berdenting ketika Jessica melangkah masuk. Ia
terkejut karena Mrs. Hopping tidak berada di tempat biasanya di balik
meja layan perhiasan. Toko itu beraroma rempah-rempah manis, cengkih, dan kayu
manis, yang berasal dari bagian bunga rampai. Berani taruhan, itu
pasti laris, pikir Jessica, sambil mengambil sekantong dan
mendekatkannya ke hidungnya untuk menciumnya. Orang-orang
musim panas akan melakukan apa saja untuk menyingkirkan bau apek
dari rumah mereka. Ia berjalan melewati bagian pakaian renang dan perlengkapan
pantai menuju ke rak rok, blus, dan gaun musim panas yang beraneka
warna, yang menempel di dinding. Aku butuh yang seksi tapi tak
terlalu terbuka, pikirnya, sambil menarik rok bermotif bunga merah
dan kuning yang berpasangan dengan blus pendek sebatas perut, tapi
buru-buru mengembalikannya.
Sebelum dapat melihat-lihat lagi, ia mendengar bunyi langkah
di lantai kayu, dan suara dari belakangnya menyapanya dengan ceria.
Jessica berbalik, terkejut melihat Lucy Franks, cewek kota yang sudah
dikenalnya bertahun-tahun.
Mereka bersalaman. "Kau bekerja di sini?" tanya Jessica,
sambil kembali melihat ke rak pakaian itu.
"Ya. Cuma malam hari," sahut Lucy ramah. "Kota ini sedang
ramai. Aku senang." "Aku juga," kata Jessica, sambil memegang blus merah tua.
"Warnanya tak cocok buatmu," kata Lucy menolong. Lalu ia
menambahkan, "Rambutmu bagus. Rambutku selalu berantakan.
Susah diatur karena di sini lembap sekali."
"Udara lembap bagus untuk kulitmu," kata Jessica, sambil
mengembalikan blus merah tua itu, lalu tangannya beralih ke rak
bawah. Kulit Jessica putih susu, pucat, dan mulus, merupakan
kelebihannya yang utama. Kulit yang nyaris tembus cahaya itu kontras dengan matanya
yang cokelat tua serta bibirnya yang merah penuh. Rambut merahnya
yang panjang tergerai membingkai tulang pipinya yang tinggi dan
membuat penampilannya sangat dramatis, sangat canggih.
" Senang sekali melihat banyak orang di kota ini," kata Lucy,
sambil merapikan tumpukan T-shirt longgar. "Sandy Hollow
sangat,membosankan di musim dingin."
"Ya. Seperti hidup di Antartika atau di mana," Jessica setuju.
"Apa kegiatanmu musim panas ini?" Lucy bertanya.
"Kupikir cuma jalan-jalan," sahut Jessica. "Menurutmu yang ini
bagus nggak?" Ia memegang rok pendek biru laut dengan blus bertali
leher. "Yah, kau mau cari yang gimana?" Lucy balik bertanya, sambil
menepuk-nepuk tumpukan T-shirt itu untuk terakhir kali dan
menghampiri Jessica. "Yang agak mencolok?"
"Nggak terlalu mencolok," jawab Jessica, sambil merenung
serta memegang rok dan blus itu. "Bcsok malam aku punya kencan
buta." Lucy cekikikan. "Kencan buta" Wow. Itu masih ada, ya?"
Mata Jessica berbina-binar. "Aku diajak semacam kencan
buta"tahu, kan. Temannya temanku bilang cowok ini cakep banget,
dan..." "Siapa namanya?" tanya Lucy. "Apa aku kenal?"
"Gabriel Martins," sahut Jessica. "Orang-orang memanggilnya
Gabri." Ebukulawas.blogspot.com
Lucy menggeleng. "Aku nggak kenal." Ia mengambil gaun yang
dipegang Jessica dan mengamatinya. "Coba saja. Mungkin bagus
buatmu. Kau tinggi sekali dan kakimu bagus. Kau mirip model."
Jessica tertawa. "Lucy, kau memang tahu cara menjual!"
Lucy tersipu-sipu. "Nggak. Aku serius, Jessica. Sungguh." Ia
mengulurkan kembali gaun itu, dan Jessica bergegas ke kamar pas
untuk mencobanya. Dilepaskannya jinsnya dan dipakainya gaun itu.
Pas sekali. "Di luar sini ada cermin kalau kau perlu," Lucy berkata.
"Oke. Ini pas sekali," jawab Jessica.
Tak lama kemudian, setelah membayar gaun itu, ia
melambaikan tangan kepada Lucy dan keluar dari toko itu kembali ke
Main Street. Di seberang jalan, beberapa remaja memasuki Pizza
Cove. Di sebelahnya, Mini Market dipenuhi pembeli yang berbelanja
bahan makanan untuk persediaan di rumah mereka. Mobil-mobil
diklakson sementara pengemudinya mencari-cari tempat parkir di
jalan sempit itu. Musim panas, aku datang! pikir Jessica dengan bahagia, sambil
memegang erat tas belanjanya menyeberangi Main Street, misinya
sudah tercapai, dan ia pulang.
****************** Gabri Martins tinggi dan sangat kurus, mukanya tirus dan pucat,
rambutnya yang hitam lurus disisir ke belakang, matanya hitam dan
penuh semangat, senyumnya yang ramah dan lebar tidak sesuai
dengan wajah seriusnya. Cakep sekali dia, pikir Jessica ketika cowok itu muncul dalam
jins denim hitam dan T-shirt biru pucat, melangkah di bawah kerlapkerlip lampu teras Harbor Palace, satu-satunya gedung bioskop kota
itu. Senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia juga menyukai
penampilan Jessica. Jessica lebih dulu sampai di situ, gugup dan gelisah. Bagaimana
aku tahu dia yang mana" tanyanya dalam hati. Sementara barisan
orang-orang yang tertawa-tawa dan ngobrol memasuki teater itu,
Jessica menunggu di teras, dengan gugup merapikan gaun barunya,
bertanya-tanya sendiri mengapa ia membiarkan dirinya mau diajak
kencan buta. Sejenak kemudian ia sadar dialah satu-satu-nya orang yang
masih menunggu. Film pasti sudah mulai main, katanya pada diri
sendiri, sambil melirik jam dinding besar di luar Mini Market. Gabri
bahkan belum muncul juga.
Tapi lalu cowok itu tampak berjalan di bawah lampu teras,
tersenyum ramah dan lebar, hingga kegugupan Jessica menghilang.
"Sori, aku terlambat," kata cowok itu, sambil menggandengnya
menuju ke dalam teater. Di dalam suasana gelap dan hangat serta berbau kucing dan
apek. Jessica tersandung di gang, pelan-pelan matanya menyesuaikan
diri dengan kegelapan. Gabri menangkapnya sebelum ia jatuh.
Bagus, Jessica, omelnya dalam hati. Cara jitu untuk
menimbulkan kesan. Sekarang dia tahu kau kikuk!
Mereka duduk di deretan belakang. Sebentar-sebentar Jessica
melirik Gabri, terlalu tegang untuk memusatkan perhatian pada film.
Mata Gabri yang gelap bercahaya dalam sorot lampu layar film yang
berkedip-kedip. Ekspresinya tetap serius meskipun film itu lucu.
Sekitar pertengahan film, Gabri mendekat ke Jessica dan
berbisik, "Kau suka film ini?"
"Nggak begitu suka," jawab Jessica jujur.
"Ayo kita keluar," kata Gabri, tiba-tiba berdiri dan tersenyum
meyakinkan. Beberapa saat kemudian mereka kembali berada di luar. Udara
berbau segar dan asin. Gumpalan awan tipis gelap melayang melewati
bulan purnama yang tergantung rendah di langit, oegitu rendah hingga
seakan melayang di atas atap sirap tempat pangkas rambut yang gelap
di seberang jalan. Swanny's, yang menjual es krim dan menyediakan video game
di dekat teater itu, penuh dengan orang muda. Di luar jendela layan
ada antrean, orang-orang berdiri berkelompok-kelompok berdua atau
berempat, mengobrol dan tertawa sambil menunggu es krim dan milk
shake. "Mau beli sesuatu?" Gabri bertanya, menunjuk antrean itu.
Jessica menggeleng. "Nggak, kecuali kau mau."
"Kenapa kita nggak ke pantai saja?" kata Gabri. "Di sana lebih
tenang. Kita bisa ngobrol." Mata hitamnya seolah memerangkap mata
Jessica. Saat balas menatap cowok itu, Jessica merasa terhipnotis.
"Uh... oke," ia akhirnya menjawab, sambil memaksa diri segera
mengubah sikap. Pasti dikiranya aku benar-benar bego, pikirnya suram. Biasanya
aku begitu yakin, begitu percaya diri. Mengapa bersama dia aku jadi
begitu kikuk, begitu tak yakin pada diri sendiri"
Mereka berjalan sepanjang Dune Lane, yang berkelok-kelok
dari kota melintasi bukit pasir berumput turun ke pantai. Perjalanan
yang singkat, sekitar sepuluh menit. Bulan bersinar terang dengan
gumpalan-gumpalan awan yang membayang seakan bergerak
mengikuti, menuntun mereka.
Setelah meluncur menuruni bukit pasir, mereka melepas sepatu
dan mengonggokkannya di samping rumput. Pasir terasa dingin,
lembut, dan basah di bawah kaki Jessica. Ia menyusupkan kakinya ke
dalam pasir, menikmati sensasinya, menikmati udara yang segar dan
asin, menikmati bulan pucat yang mengirimkan seberkas cahaya yang
bergetar melintasi ombak samudra yang menggulung, dan berbagi
semuanya ini dengan cowok yang baru dikenalnya.
Ia menarik napas dalam, lalu memejamkan mata. "Baunya segar
sekali," katanya senang, sambil melingkarkan lengannya di sekeliling
dada seolah memeluk dirinya sendiri.
"Kau kedinginan?" Gabri bertanya, tiba-tiba suaranya penuh
perhatian. Jessica membuka mata dan melihat cowok itu sedang
memandanginya. "Aku suka gaunmu," kata Gabri. "Kupikir kau
kedinginan. Maksudku..."
Jessica menggeleng. "Tahu apa yang kusukai" Aku suka lari."
Sebelum cowok itu dapat menanggapi, ia bangkit berlari
sepanjang pantai, kakinya yang telanjang melontarkan gumpalangumpalan pasir basah, gemuruh ombak terdengar di telinganya, angin
samudra mengembangkan rambutnya.
Sesaat kemudian ia baru menyadari bahwa Gabri berada tepat di
sampingnya, menyamakan langkah demi langkahnya dengan Jessica
tanpa menemui kesulitan. Matanya mencari-cari mata Jessica,
lengannya terentang seolah akan terbang.
Jessica berbalik dan menjauhi air, kakinya tertahan di pasir.
Cowok itu meloncat bersamanya, meringis, kadang di sampingnya,
kadang selangkah di belakangnya, kadang selangkah di depannya.
Tanpa isyarat, mereka berdua menjatuhkan diri ke bukit pasir
yang berumput lembut, berguling-guling bersama dengan gembira,
keduanya tertawa seperti anak kecil, menggelinding di pasir, kulit
mereka bergesekan lembut dengan rumput tinggi.
Akhirnya mereka berdiri, sambil masih tertawa dan tidak
kehabisan napas sedikit pun, lalu menyingkirkan pasir dari pakaian
mereka. Gabri memegang tangan Jessica.
Dan menariknya mendekat. Gabri tampak sangat tampan dalam sinar bulan yang melayang
rendah. Ia tahu cowok itu akan menciumnya.
Ia ingin dicium cowok itu.
Gabri tidak berkata sepatah pun. Memang tidak perlu. Mata
yang gelap dan tajam itu sangat intens, sangat menghipnotis. Mata itu
mengatakan segalanya. Dan sebelum ia sadar, Gabri memeluknya.
Wajah Gabri mendekat. Semakin dekat.
Ia menatap ke dalam mata cowok itu dan sekali lagi tersihir.
Lalu ia melihat mulut Gabri membuka.
Dan taring-taring tajam muncul.
Sangat berkilauan dan tajam, berkilat-kilat dalam cahaya bulan.
Dengan lembut, sangat lembut, Gabri mendongakkan dagunya.
Dan menancapkan taringnya dalam-dalam ke leher Jessica yang
halus dan pucat. Bab 2 HAUS JESSICA mengerang. Ia mengangkat tangannya ke bahu Gabri
dan mendorongnya. "Hei...," teriak Gabri, terkejut oleh kekuatan Jessica. Taringnya
masih berkilauan dalam cahaya bulan yang samar-samar.
"Dasar idiot!" bentak Jessica, sambil mendorong cowok itu lagi.
"Aku kan Makhluk Abadi juga!"
"Hah?" Gabri melangkah mundur, kebingungan.
Mata Jessica melebar, seperti bara api merah yang bersinar
dalam kegelapan. Taringnya turun, melengkung ke dagunya. Ia
tertawa menghina. "Idiot," ulangnya, sambil menggeleng, rambutnya
yang lebat panjang berkibas di punggungnya.
"Bagaimana aku bisa tahu?" tukas Gabri marah, mukanya
mengencang cemberut. Cahaya di mata Jessica memudar. "Aku beli gaun baru dan
macam-macam," gumamnya.
"Nah kenapa kau tak bilang-bilang?" tanya Gabri, sambil
menyilangkan lengan kurusnya di depan tubuhnya.
"Aku harus bilang apa?" seru Jessica sengit. "Halo. Senang
bertemu kau. Aku Makhluk Abadi. Bagaimana denganmu?"
Cowok itu mengerang dan menendang pasir, sambil
menghindari tatapan Jessica.
"Kencan buta," gumam Jessica. "Seharusnya aku tahu yang
lebih baik daripada kencan buta dengan anak kota."
"Kau membuang-buang waktuku malam ini," kata Gabri
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jengkel, lengannya masih tersilang.
"Boo-hoo," sahut Jessica mengejek. "Aku patah hati, kenapa
kau tidak" Tahu tidak, kau benar-benar mengecewakan" Begitu ya
cara yang kautempuh selama ini" Minta orang lain mengatur kencan
buta dengan cewek malang yang tak curiga sama sekali" Kau tak
percaya diri untuk bikin kencan sendiri?"
"Kenapa tak kausembunyikan taringmu?" bentak Gabri, sambil
memandang permukaan laut. "Bukan aku yang mengecewakan.
Kaulah yang setuju dengan kencan buta ini. Aku hampir tak percaya.
Lagakmu begitu manis dan polos."
Jessica tertawa. "Aku memang manis," ia berkeras. Lalu ia
menambahkan dengan pura-pura malu-malu, "Tapi terlambat bagimu
untuk membuktikannya."
Gabri berseru muak. "Tapi aku membutuhkan nektar!" Ia
berbalik menghadap Jessica. "Tanpa nektar aku akan mati."
"Di mana kaudapat aturan itu" Dari film horor kuno?" gurau
Jessica, sambil menggeleng. Ia mengulang ucapan Gabri dengan
menirukan suaranya yang melengking putus asa. "Tanpa nektar aku
akan mati." "Tidak lucu. Kau benar-benar menyebalkan," kata cowok itu
pelan. Awan yang menggumpal melayang meninggalkan bulan, dan
pantai menjadi terang seolah ada yang menyalakan lampu. Dalam
cahaya putih, Gabri berumur seratus tahun. Wajahnya remaja, seperti
wajahku, pikir Jessica, sambil memandangi cowok itu. Tapi kulitnya
sangat pucat dan rapuh, tertarik sangat kencang di atas tulangnya. Dan
dalam cahaya, matanya tua"kuno dan kejam.
"Dengar, Gabri," Jessica agak memperlembut nada suaranya,
"aku juga membutuhkan nektar, tahu. Musim dingin di sini lama."
Ia menyibakkan rambutnya ke balik bahunya ketika
sekelompok remaja lewat, sambil membawa pendingin minuman dan
papan Boogie. Salah satu cowok, yang terpisah dari kelompoknya,
berhenti untuk memandangi Jessica, lalu bergegas mengejar temantemannya.
"Ternyata lumayan juga gaun ini," kata Jessica, sambil
melicinkan gaunnya dengan tangan.Tatapannya mengikuti cowok
yang memandanginya tadi. "Darah segar," katanya dengan lapar.
"Darah segar," ulang Gabri dengan suara rendah yang nyaris
terbawa angin. "Darah segar tersebar di pantai ini"tapi aku malahan
di sini denganmu." "Tolol," kata Jessica.
Gabri kembali cemberut. "Idiot"itu cuma bercanda!" seru Jessica, dengan bergurau
mendorong Gabri ke bukit pasir. "Apa kau tak bisa bercanda?"
"Jangan dorong aku lagi," Gabri memperingatkan, suaranya
berubah menjadi kejam. Ia tampak mengapung dari pasir, ringan
seperti Iayang-layang, dan melayang di atas Jessica. "Aku tak bisa
bercanda, kalau mengenai nektar."
"Pergi kau!" usir Jessica. "Aku tak peduli kau Makhluk Abadi
atau bukan. Kau makhluk yang paling menyebalkan yang pernah
kujumpai." Gabri menatapnya dengan dingin seolah mencoba memutuskan
bagaimana harus bereaksi, apa yang akan dilakukannya pada cewek
itu. Dia mencoba menakut-nakutiku, pikir Jessica.
Baiklah, dia akan mendapat kejutan. Dia boleh saja
memelototiku selama yang diinginkannya. Dikiranya gampang
menakut-nakutiku" Dan jika dia berani coba-coba, akan kupotongpotong dia.
Mereka masuk ke dalam bayang-bayang ketika dua cowok
berjalan melintasi bukit pasir itu. Kedua cowok itu cepat-cepat
bergabung dengan kelompok yang sudah memulai pesta api unggun di
pantai. "Darah segar," bisik Gabri. "Mungkin belum terlambat.
Mungkin belum seluruh waktuku malam ini yang tersia-sia gara-gara
kau." "Apa yang akan kaulakukan?" tanya Jessica, bahkan tanpa
berusaha menyembunyikan nada mengejek dalam suaranya.
"Mencoba kencan buta yang lain?"
Gabri tidak menghiraukannya. "Aku mem-utuhkan nektar,"
bisiknya, tanpa berusaha menutupi keputusasaannya. "Aku
membutuhkannya." Lalu sambil mengangkat lengannya ke atas
kepalanya, ia mulai berputar.
Awan menutupi bulan sehingga bukit pasir itu gelap sama
sekali. Gemuruh samudra makin menggelora. Angin berpusar dalam
lingkaran besar. Dalam kegelapan rumput bukit pasir yang bergoyang, Gabri
berputar hingga tidak kelihatan. Ketika awan melayang menjauhi
bulan dan cahaya bulan yang pucat bersinar menyorot lagi, gelora
ombak lautan mereda, dan angin menjadi tenang, ia muncul sebagai
kelelawar, ungu dan hitam warnanya. Mata gelap binatang itu
memandangi Jessica dengan ketajaman yang sama, mulutnya terbuka,
menampakkan taring runcing yang berlumuran air liur putih.
Kelelawar itu mendesis pada Jessica, menerpa mukanya,
sehingga Jessica terhuyung-huyung ke belakang sambil menutupi
mukanya dengan lengan. Lalu, masih sambil mendesis, si kelelawar
mengepak-ngepakkan sayapnya terbang ke atas hingga lenyap ditelan
langit gelap. Beberapa saat kemudian, Jessica berputar di antara rumputrumput tinggi. Dalam sekejap ia pun berkepak-kepak terbang ke atas
untuk bergabung dengan teman bersayapnya di langit.
Aku sangat haus. Haus sekali.
Aku juga membutuhkan nektar, pikirnya.
Aku membutuhkan nektar. Aku sangat membutuhkannya.
********************* Monica Davis berjalan sambil menenteng sandalnya, kakinya
terbenam ke dalam pasir basah. Ia mengamati cahaya yang pelanpelan menghilang di atas samudra ketika awan melayang melintasi
bulan. Temannya, Elly Porter, membungkuk untuk memungut batu
putih halus, lalu melontarkannya ke air.
"Aku kedinginan," Elly mengeluh, sambil berlari kecil dengan
cepat untuk mengejar Monica, lututnya terangkat tinggi seakan
dengan demikian tubuhnya akan tetap hangat.
"Aduh enaknya," kata Monica, sambil memejamkan mata,
semburan air laut menempel pada rambut pirangnya yang ikal. "Aku
senang bisa menyingkir dari cottage," tambahnya, sambil melangkah,
menikmati bunyi kakinya yang bergemeresik di atas pasir.
"Kapan kau sampai di sini?" tanya Elly, sambil menoleh
melihat ke atas temannya dan berjalan mundur. Angin mengepakngepakkan T-shirt-nya yang gombrong.
"Tadi malam," sahut Monica. "Dan, tentu saja, Dad ngamuk.
Seperti biasa." "Gara-gara apa kali ini?"
"Dua tirai robek. Dan ada semacam sarang serangga di dalam
rumah. Menurutku sih lebah. Maka dia mulai ngomel dan merepet
tentang betapa kami telah membayar mahal buat rumah musim panas
itu, paling tidak si pemilik dapat menjamin tirainya utuh. Kasihan
Dad." Monica menggeleng-geleng. "Dia cuma merasa sangat tertekan.
Dia selalu perlu istirahat sebulan. Dan sesudah itu..."
Tiba-tiba ia berhenti. Elly berhenti juga, dan mengikuti pandangan temannya ke atas
ke langit biru gelap. "Oh!" pekik Elly, sambil meraih lengan Monica.
"Apa itu"kelelawar?"
Monica menjerit lirih saat dua makhluk hitam melayang di
atasnya. Sayap keduanya mengepak-ngepak seperti seprai pada tali
jemuran. "Lari!" seru Elly, sambil menarik lengan Monica.
Monica menghentikan langkahnya. "Pantai ini penuh dengan
kelelawar di malam hari," katanya, sementara matanya tetap menatap
kedua makhluk yang melayang-layang itu. "Mereka tinggal di pulau di
sana itu. Kau lihat?" Ia menunjuk ke pulau berhutan gelap di seberang
samudra di belakang dermaga kecil, batasnya tampak pada cakrawala
yang ungu. "Apakah di sana ada penghuninya?" tanya Elly. "Gelap sekali."
"Kukira di sana dulu ada beberapa rumah pantai," sahut
Monica. "Tapi kau bisa sampai ke sana hanya dengan naik perahu.
Tapi menurutku tak ada orang yang tinggal di sana. Cuma kelelawar."
"Seram sekali," kata Elly, sambil mendekat ke Monica, matanya
terpaku pada kedua kelelawar yang tampaknya terbang bersama.
"Mereka cuma berputar-putar," kata Monica pelan, "tapi tak
berbahaya." Saat ia mengucapkannya, salah satu kelelawar menukik ke arah
Elly. Elly tidak sempat bergerak ataupun berteriak.
Ia melihat mata merah berkilat-kilat.
Mendengar desir angin, siulan melengking, pekikan serangan.
Ia merasa kelelawar itu menarik rambutnya.
Menyambar mukanya. Panas dan basah. Berbulu. Lengket.
Ia dicakar. Pipinya tertampar sayap. "Tolong!" jeritnya. "Oh, Monica"tolong aku!"
Bab 3 MEMILIH KORBAN "TOLONG, Monica!"
Sambil mengibas-ngibaskan lengannya dengan panik, Elly
berusaha menyingkirkan penyerangnya.
Monica ragu-ragu sesaat, takut menghadapi serangan itu, lalu
cepat-cepat maju menolong temannya.
Ketika ia mendekati Elly, kelelawar kedua meluncur ke bawah.
Monica menjerit dan mengangkat tangan untuk melindungi diri.
Ia bisa merasakan sergapan udara dingin saat makhluk itu
melewatinya dengan cepat.
Lalu, yang mengejutkan Monica, ternyata kelelawar kedua
muncul untuk menyerang yang pertama, terbang mengejarnya,
mendorongnya dengan sayap, mendesis padanya, menabraknya hingga
menjauh dari Elly. Sambil memekik marah, kelelawar pertama menahan serangan
itu. Namun kelelawar kedua, dengan mata merah berkilat-kilat,
menampar dan menyambar hingga kelelawar pertama terdorong
menjauh. Masih sambil menutupi muka, kedua cewek itu tercengang
melihat kedua kelelawar terbang tinggi ke dalam kegelapan dan
menghilang di atas bukit pasir itu.
"Kau tak apa-apa?" tanya Monica, buru-buru memeluk
temannya. Seluruh tubuh Elly gemetaran. Kulitnya dingin dan bulu
kuduknya berdiri. "Rasanya begitu," bisiknya tak pasti.
"Ayo kita pergi," kata Monica.
Mereka mulai berlari kembali menuju ke rumah-rumah pantai di
ujung utara pantai. Seluruh serangan itu berlangsung kurang dari sepuluh detik,
pikir Monica. Tapi itu sepuluh detik yang takkan dilupakannya.
Kenapa sih kelelawar-kelelawar itu" tanyanya dalam hati. Ia
berlari sambil mengamati langit hitam kelam.
********************* Di ujung selatan pantai, terpisah dari kerumunan rumah pantai,
jauh dari bukit pasir berumput, sebuah karang tinggi mencuat ke
permukaan samudra, condong ke air seolah mencoba meraih pulau
berhutan yang gelap di seberangnya.
Dalam bayang-bayang karang kokoh ini, terasing, dan sunyi,
kecuali hanya ada empasan ombak ke pantai yang tak kenal kasihan,
dua kelelawar melayang turun ke tempat pertemuan antara pasir dan
karang. Setelah berputar cepat di pasir, mereka berubah bentuk
menjadi seorang cowok dan seorang cewek yang sedang berdiri
berhadapan. "Kau kenapa sih?" tanya Gabri, sambil memelototi Jessica dan
berkacak pinggang. "Aku tak punya pilihan," jawab Jessica marah.
"Tapi aku haus sekali!" kata Gabri. "Satu isapan..."
"Tidak," sela Jessica tegas.
"Bukan urusanmu...," bantah Gabri.
Jessica mengibaskan rambut panjangnya ke belakang dengan
menyentakkan kepalanya. "Apa tak kaulihat betapa ramainya pantai
itu?" tanyanya. "Apa tak kaulihat berapa banyak orang yang sedang
mengawasi?" Ia tidak memberi Gabri kesempatan untuk menjawab. "Apa kau
ingin semua orang ketakutan sebelum musim panas dimulai" Pakai
otakmu, Gabri. Jangan-jangan sudah ikut-ikutan kering!" Lalu ia
tersenyum sambil bergurau, "Kau bisa mencemarkan nama baik
vampir!" Gabri menggeram marah pada Jessica, mirip suara binatang
yang mengerikan. Taringnya mclengkung turun di atas dagunya.
Icssica tidak mundur. "Cukup dengan satu serangan goblok
seperti itu, dan semua darah segar akan lari menjauh. Pihak kota akan
menutup pantai sampai masalah kelelawar terpecahkan."
Gabri berbalik dengan marah, tidak sudi mengakui bahwa
Jessica benar, bahwa ia bersikap bodoh. "Dia sangat lembut dan
ranum," gerutunya. "Kau memang menjengkelkan," kata Jessica. "Sudah kusebut
belum tadi?" Ia tetap memunggungi Jessica dan memandangi karang-karang
yang miring terjal ke jurang. "Aku muak dengan hinaanmu," desisnya
pahit. "Itu bukan hinaan. Itu pujian," gurau Jessica.
Dengan marah Gabri berputar menghadap Jessica lagi, raut
mukanya tegang. "Berapa umurmu?" tanyanya.
"Hah?" Bibir penuhnya membentuk huruf O karena terkejut.
"Cukup tua untuk tabu lebih banyak daripada kau," jawab Jessica,
sambil tertawa senang dan puas.
Gabri terus-menerus menatap marah padanya. Jessica mencoba
melihat ke arah lain, tapi Gabri menahan tatapannya. "Kaupikir dirimu
benar-benar jagoan, ya?"
Jessica mengangguk. "Kaupikir dirimu lebih baik daripada aku."
Jessica mengangguk lagi. Ia kembali mencoba mengalihkan tatapannya. Tapi kekuatan
tatapan cowok itu begitu kuat.
Lama mereka berpandangan dalam sunyi, sama-sama terpaku
oleh kekuatan tidak kasat-mata yang kuno.
"Bagaimana kalau kau kutantang?" tanya Gabri akhirnya.
"Kau menantangku?" Berlawanan dengan kehendaknya sendiri,
Jessica tertarik pada Gabri.
"Kita bertaruh," kata Gabri, pelan-pelan senyum mengembang
di wajahnya yang tampan. "Aku akan menang," ujar Jessica datar, wajahnya tanpa
ekspresi, hanya matanya yang hidup.
Senyum segera menghilang dari wajah Gabri. "Tidak, kau
takkan menang. Kau akan kalah."
"Taruhannya apa?" tanya Jessica pelan, tertarik ke arah Gabri,
terperangkap dalam cengkeramannya, tertawan oleh tatapannya. "Kau
mau bertaruh memegang Red Sox?"
Gabri tidak tertawa. "Aku tak suka gurauanmu," katanya marah.
"Iri," tuduh Jessica. Lalu ia menjerit, "Jangan terus-terusan
memandangiku, Gabri!"
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jessica lega, karena cowok itu menurut mengalihkan
pandangannya. Tapi senyumnya tersungging, menandakan ia senang
punya kekuatan untuk mempengaruhi Jessica. "Kau mau dengar
taruhan itu tidak?" tanyanya tajam.
"Tentu." Jessica berpindah ke samping Gabri dan bersandar ke
batu karang miring. Terasa dingin di punggungnya. Sejuk.
"Kita berdua membutuhkan nektar," kata Gabri, sambil
mengulurkan tangan dan menyusupkan jemarinya ke rambut Jessica
yang panjang. "Kita benar-benar membutuhkannya
"Aku tak mau mengejar mangsa," kata Jessica tajam.
Gabri tidak mengacuhkan kejengkelan Jessica, terus menyisir
rambutnya dengan jemarinya yang kurus panjang. "Kenapa tidak kita
lihat siapa di antara kita yang lebih baik dalam mendapatkan nektar?"
Jemarinya bergerak dengan pelan, berirama di sepanjang rambut
Jessica, sehingga cewek itu merinding. "Kenapa tidak kita lihat siapa
di antara kita yang lebih berhasil dengan manusia muda, siapa di
antara kita yang lebih menarik, lebih memikat?"
Jessica gemetar, lalu memegang lengan Gabri, dengan lembut
menariknya dari rambutnya. "Apa yang kauusulkan, Gabri?"
tanyanya, tanpa melepaskan lengan Gabri.
"Aku akan mendapatkan cewek dengan kekuatanku sebelum
kau bisa mendapatkan cowok yang tunduk padamu," kata Gabri,
wajahnya berseri-seri menantang.
Ekspresi Jessica tampak jijik. "Maksudmu kau akan terbang ke
pantai dan menyerang cewek sebelum aku bisa menyerang cowok
seperti tingkahmu yang kekanakan dan menjijikkan malam ini?"
Gabri meremas tangannya. "Bukan, bukan," katanya pelan.
"Bukan seperti itu. Tiga isapan, Jessica. Tiga isapan kecil yang teratur
pada tiga malam yang berlainan. Itulah yang akan mengubah manusia
menjadi Makhluk Abadi. Kalau terlalu banyak diminum, manusia itu
akan mati. Tiga isapan kecil yang teratur"dan manusia itu hidup
selamanya, seperti kita."
"Jadi apa maksudmu?" tanya Jessica, jadi semakin tertarik.
"Kau akan memilih seorang cewek, cewek hidup, dan mengisap
darahnya tiga kali pada tiga malam yang berlainan, dan mengubahnya
jadi Makhluk Abadi?"
"Ya!" sahut Gabri penuh semangat. "Aku akan melakukannya
sebelum kau bisa melakukan hal yang sama pada seorang cowok. Apa
katamu, Jessica" Kauterima tantangan ini?"
Ia memejamkan mata dan menggeleng. "Tidak."
"Tidak" Kenapa tidak?"
"Terlalu mudah," jawabnya, senyum jahat tersungging di
bibirnya. "Aku akan menang lerlalu cepat. Kau bukan tandinganku.
Pada saat kau bikin kencan buta, aku sudah menguasai korbanku." Ia
melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa.
Gabri menjulurkan lidahnya. "Seperti yang kuduga. Kau cuma
pintar ngomong, Jessica, kau takut bertanding melawanku. Kau tahu
cewek-cewek tak bisa menolakku."
"Aku bisa menolakmu," balasnya, sambil menyilangkan lengan
di dadanya. "Lalu kenapa tak kauterima tantanganku?"
Ia mengulurkan tangan dan meremas dagu cowok itu dengan
main-main. "Jangan mendesak-desak terus, Gabri sayang," godanya.
"Aku malahan ingin menambah taruhan itu. Agar kau punya sedikit
kesempatan untuk menang."
Gabri menjauhkan dagunya dari tangan Jessica dan mendengus
marah. Jessica menjentikkan jari-jarinya. "Aku sudah dapat ide! Ini
akan membuat taruhan kita lebih menarik."
Gabri meliriknya. "Apa?"
"Kau yang memilih cowok yang akan kugarap, oke?" katanya,
merasa senang dengan gagasannya. "Kau yang memilihkan korbanku,
Gabri"dan aku akan memilihkan korbanmu."
"Ya!" seru Gabri. "Hebat!"
Sebelum menyadarinya, mereka telah berputar bersama,
berpusar dengan angin di bawah batu karang yang terjal dan halus,
berpusar bersama-dan lalu menanjak terpisah, menembus ke langit
gelap, menjulang tinggi, lalu menukik ke atas pantai, yang masih
penuh dengan rombongan-rombongan orang muda di sana-sini.
Orang muda yang lunak, pikir Jessica dengan lapar, sambil
melayang-layang rendah. Orang muda yang lunak. Sambil mengepak-ngepakkan sayapnya cukup tinggi agar tidak
membuat mereka takut, ia mengamati wajah-wajah yang gembira itu.
Dan sangat tergiur. Bab 4 MENYERGAP DARI BELAKANG APRIL BLAIR tahu ia terjebak.
Ia mundur tanpa daya ke sudut dan menunggu nasibnya.
"Oh, jangan! Hentikan!" jeritnya, sambil mengangkat tangannya
untuk melindungi diri. Tapi kedua adiknya, Courtney dan Whitney, yang dijulukinya si
Kembar Teror, mengerubutinya. Sambil cekikikan, Courtney
memegangi kedua tangan April, sementara Whitney menyerbu dan
mulai menggelitikinya bertubi-tubi.
"Hentikan! Hentikan!" jerit April sambil tertawa dan berderai
air mata. Kedua monster berumur enam tahun yang berpipi bulat dan
berambut pirang itu tahu April sangat mudah geli, dan mereka
mengerahkan segenap pengetahuan mereka.
"Aku tak bisa napas!" April tersengal-sengal, merosot ke lantai.
"Sungguh, aku tak bisa bernapas!"
Mereka malahan semakin berani.
April mencoba berguling menjauhi mereka, tapi Whitney cepatcepat meloncat ke atasnya, menindihnya di permadani yang menutupi
sebagian lantai ruang tamu. Courtney melanjutkan serangannya,
memusatkan perhatian pada bagian yang paling sensitif"tengkuk
April. April menjerit-jerit tak berdaya ketika Mrs. Blair bergegas
masuk ke ruangan itu, dengan membawa banyak tas belanjaan.
"April"kenapa kau?" tanya Mrs. Blair, sambil menghela napas lega
setelah meletakkan tas-tas berat itu.
Mom memang punya bakat menanyakan hal yang sudah jelas,
pikir April. "Aku digelitiki," jawabnya.
"Kami monster," jelas Whitney, masih sambil menduduki
punggung April, sepatu ketsnya yang kuning menahan di samping
tubuh April. "Mom tahu itu," sindir Mrs. Blair. "Tapi, April, kenapa kau tak
membantu" Masih banyak yang harus diturunkan dari mobil."
"Maaf," kata April cepat-cepat, mencoba melepaskan diri dari
kedua adiknya tapi tidak berhasil. "Mereka tak mau melepaskanku."
"April, kau sepuluh tahun lebih tua dari mereka," kata Mrs.
Blair tak sabar. "Kenapa kaubiarkan mereka menggodamu seperti
itu?" "Mom...," keluh April. "Mereka lebih banyak daripada aku,
kan?" "Ya!" Courtney menyetujui dan kembali menggelitiki leher
April. "Kau bahkan belum membuka jendela satu pun," seru ibunya.
"Di sini pengap sekali, April. Sepanjang musim dingin rumah ini
tertutup. Paling tidak kau kan bisa membuka jendela-jendela hingga
udara segar masuk." "Dia tak bisa bangun," kata Whitney, sambil mendorong kepala
April ke permadani. "Kalian juga sudah cukup besar dan bisa membantu." Mrs. Blair
mengulurkan tas-tas belanjaan.
"Nggak, kami baru enam tahun," bantah Courtney.
"Kau memang pintar ngomong, nona muda," kata sang ibu
jengkel. "Aku juga!" Whitney tak mau kalah. "Aku juga pintar."
Mrs. Blair tertawa. "Ayo bangun dan bantu ayah kalian
menurunkan barang. Jauh-jauh dari Shadyside kita ke sini kan bukan
untuk bergulingan di lantai kotor. Makin cepat berbenah, makin cepat
kita sampai ke pantai."
Whitney mendorong April untuk terakhir kalinya dan meloncat
berdiri. "Ke pantai sekarang yuk," ajaknya.
"Ya!" sahut kembarannya, sambil menghela tangan April
berusaha menariknya berdiri.
April mengerang dan berdiri. "Aku harus berlibur lagi setelah
musim panas bersama dua makhluk ini!" Dikibas-kibaskannya debu
yang menempel pada celana tenis dan blus lanpa lengannya, yang
semula putih tapi sekarang sudah berubah jadi abu-abu dan bebercakbercak.
"Oh, Mom bayangkan kauhabiskan waktumu dengan Matt,"
kata ibunya dari kamar belakang. "Kami takkan melihatmu sepanjang
musim panas ini"seperti biasanya."
"Ke pantai yuk." Courtney menarik tangan April.
"Auw!" April menjauhi kedua adiknya dan bergegas ke kamar
belakang mendatangi ibunya. "Jangan sebut-sebut Matt lagi," katanya
marah. Disibakkannya sejumput rambut pirangnya yang menutupi
dahi. "Mom tak menyebut-nyebut Matt," Mrs. Blair membela diri.
"Cuma..." "Cuma apa?" April mendesak. "Teruskan. Katakan."
"Mom cuma ingin liburan kita kali ini menyenangkan." Mrs.
Blair menghindari tatapan putrinya dan menyibukkan diri dengan
membenahi tempat tidur. "Mungkin di Sandy Hollow ini kau akan
berkenalan dengan teman-teman baru yang menyenangkan. Daripada
cuma kumpul-kumpul dengan anak-anak yang sama di Shadyside."
"Maksud Mom Matt dan Todd," kata April panas.
"Tenang. Sstt." Mrs. Blair mengangkat jari ke bibirnya.
"Rasanya Mom kecewa karena Matt dan keluarganya memutuskan
berlibur musim panas di sini lagi."
"Memangnya apa yang salah dengan Matt?" April tidak dapat
tenang. "Kami pacaran sudah lebih dari setahun, dan..."
"April"kita sudah pernah membicarakannya," ujar ibunya
dengan suara lelah. "Matt oke sekali. Dia sangat baik, sebenarnya.
Terutama kalau dibandingkan dengan anak-anak cowok yang pernah
kauajak ke rumah." "Gee, terima kasih," kata April sinis.
"Cuma saja dia itu"yah, kau tahu, agak kurang dewasa
untukmu, bukankah begitu" Maksud Mom, dia hanya tertarik pada
olahraga, video game, dan film horor. Bukankah sebaiknya kau
melihat-lihat dulu" Mencari seseorang yang punya hobi lebih intelek"
Maksud Mom..." "Mom benar," kata April singkat. "Kita sudah pernah
membicarakannya." Ia berbalik dan cepat-cepat menyingkir dari
kamar itu. "April"kau mau ke mana?" tanya Mrs. Blair, menyadari
dirinya telah terlalu banyak bicara, terlalu jauh.
"Membantu Dad," sahut April dari koridor. Lalu menambahkan
dengan jengkel, "Kan itu yang Mom inginkan!"
********************* April menghabiskan sisa siang itu dengan menolong
orangtuanya. Banyak sekali yang harus dikerjakan di rumah musim
panas itu"menurunkan barang-barang dari mobil, membongkar tastas, membuka jendela ruang-ruang yang pengap, membersihkan
rumah, berbelanja makanan dan persediaan lainnya"serta bertengkar
dengan Courtney dan Whitney.
Ketika matahari turun ke balik bukit pasir, Mr. Blair mulai
membuat barbecue. Hot dog dan hamburger mendesis-desis di
panggangan, asap mengepul ke atas ilalang tinggi yang melengkung
diembus angin. Mr. Blair hidup untuk barbecue. Hanya itulah satu-satunya yang
disukainya di pantai. Ia memiliki kulit terang dan lembut, maka ia
hampir selalu menghindari pantai. Ia lebih suka berbaring di dalam
tenda dan membaca, menunggu hari sore sehingga ia dapat membuat
barbecue. Sesudah makan malam April berpamitan dan bergegas ke lantai
atas untuk bertukar pakaian. Sambil sekilas melihat jam di atas meja
rias antiknya, ia menyadari telah terlambat. Ia janji bertemu dengan
Matt di kota pukul setengah delapan.
Lebih baik dia menungguku, katanya dalam hati, sambil
melepaskan celana pendeknya dan melemparkannya ke lantai. Lalu ia
mencari celana pendek denimnya di lemari.
"Kenapa kaubiarkan adik-adikmu menggodamu?"
Tiba-tiba ucapan ibunya siang itu kembali terngiang di
telinganya. "Karena itu lebih mudah daripada melawan mereka," jawab
April. "Karena selalu lebih mudah menyerah, bukannya melawan.
"Karena aku pengalah."
Semua jawaban ini tampaknya benar bagi April. Dan salah.
Ia menyisir rambut pirangnya yang lurus, mata hijau zamrudnya
menatap dirinya dari cermin meja rias yang coreng-moreng itu.
Benarkah aku begitu pengalah" tanyanya pada diri sendiri,
sambil mengamati wajahnya di cermin yang penuh bercak. Ia
menyukai apa yang dilihatnya"sebagian besar. Kalau saja hidungnya
panjang sedikit. Ia tidak secantik kedua adiknya, tapi lumayan.
Aku takkan jadi pengalah dalam hal Matt, ia memutuskan,
sambil menyisir rambutnya sekali lagi sebelum berdiri.
Takkan kubiarkan Mom menghinanya lagi.
Matt cowok yang baik. Aku senang dia juga pergi ke Sandy
Hollow. Kami akan menikmati liburan musim panas yang
menyenangkan bersama. Ia melambaikan tangan berpamitan pada orangtuanya, yang
masih di teras belakang, bermain semacam kodok lompat dengan si
Kembar Teror. Ia berjalan memutar ke depan rumah, kemudian
setengah berjalan dan setengah berlari di sepanjang Beach Haven
Drive menuju ke kota. Beach Haven Drive. Ia ingin tertawa. Karena nama sebagus itu tak lebih hanya
sekadar jalan setapak yang tidak beraspal dan sempit.
Kira-kira membutuhkan waktu sepuluh menit untuk berjalan
dari deretan cottage musim panas itu, melewati jalan berpasir yang
ditumbuhi ilalang tinggi, lalu lapangan berumput yang kadang-kadang
ditumbuhi pohon ek atau willow, menuju ke kota kecil itu.
Baru sekitar lima menit April meninggalkan rumah menyusuri
jalan itu ketika seseorang meloncat keluar dari bayang-bayang ilalang
tinggi dan merenggutnya dengan kasar dari belakang.
Bab 5 DINGIN SELAMANYA "GOTCHA!" seru Matt.
Didorongnya April, lalu ia berlari ke jalan, sambil cengar-cengir
mengejek, matanya yang hitam menantang April agar membalas.
"April Tolol!" "Matt"kau goblok!" teriak April. Diayunkannya tinjunya tapi
meleset karena Matt mengelak ke samping sambil tertawa. Cowok itu
selalu mengagetkan dan mengata-ngatainya, "April Tolol!" Ia benci
sekali. Ia berbalik pada Todd, yang mengikuti temannya muncul dari
ilalang. Todd menyusupkan tangannya ke saku jins belelnya. "Bilang
dia goblok," April menyuruh cowok itu. Jantungnya masih berdegup
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kencang. "Kau goblok," ulang Todd dengan patuh.
Matt masih tetap cengar-cengir. Meskipun malam itu dingin, dia
memakai celana pendek longgar merah-biru dan kaus kutung biru.
Matt berdiri di depan April, tinggi dan berdada lebar, agak gemuk.
Rambut cokelatnya yang pendek, matanya yang hitam, dan pipinya
yang bulat membuat April teringat pada boneka beruang besar.
Penampilan Todd benar-benar kontras dengan temannya. Ia
pendek dan kurus, rambutnya berwarna wortel dan keriting.
Ekspresinya yang serius diperjelas dengan matanya yang biru tajam.
Ia jarang tersenyum. Ia pendiam dan pemalu, terutama bila
dibandingkan dengan Matt. Meskipun mereka bertiga hampir selalu
bersama-sama ke mana-mana, Todd sering tampak merasa tidak enak,
ragu-ragu mengikuti kedua temannya itu.
Beberapa bulan lalu April telah mencoba mengatur kencan
untuk Todd dengan beberapa temannya. Todd malu dan merasa
tersiksa berada di antara mereka. Ia tidak pernah berani membuat janji
bertemu lagi. April menyerah, dan Todd hanya bepergian dengan Matt
dan dia. "Kapan kau sampai di sini?" tanya Matt, sambil memeluk bahu
April dengan sikap posesif.
"Siang ini," sahut April. "Rumah itu dalam kondisi sangat baik,
tapi orangtuaku akan bersih-bersih selama seminggu!"
Ibuku mendapat kejutan ketika kami datang kemarin," kata
Matt, "karena salah satu jendela rusak, ada binatang yang menyusup
dan meninggalkan kenang-kenangan di karpet."
"Ih," seru April. "Padahal ibumu kan rapi, pasti dia ngamuk."
"Oh, nggak. Dia tenang saja menghadapinya. Dia cuma bilang
ingin pulang ke Shadyside dan tak pernah kembali ke sini," Matt
berdecak. "Hei, ini pasti menghebohkan Fear Street," kata Todd, yang
beberapa langkah di belakang mereka. Todd tinggal di rumah tua
bobrok di seberang makam Fear Street. Tempat mana pun lebih baik
daripada itu, batin April.
"Kau takkan percaya betapa indah tempat ini," kata Matt pada
Todd. "Asyik. Sepanjang siang berselancar, berjemur matahari. Lalu
pesta di pantai sepanjang malam. Lalu tidur sepanjang pagi dan
memulai lagi semuanya!"
Matt tertawa. April mendorongnya dengan bergurau. "Kau
memang sinting." "Apa lagi yang baru?" tanya Todd dengan tenang.
"Hei"kau berada di pihak mana?" tanya Matt, berpura-pura
membela diri. Ia kembali memeluk bahu April dan mereka
melanjutkan menyusuri jalanan berdebu yang berkelok melalui
lapangan berumput, kumpulan rumah papan kecil bercat putih, dan
akhirnya sampai di kota. Udara semakin hangat ketika mereka melangkah ke trotoar
papan di sepanjang Main Street dan berhenti untuk cuci mata. April
mengulurkan tangan dan menurunkan lengan Matt dari bahunya.
Kayaknya lengan itu satu ton beratnya.
"Hei, lihat?" Matt menunjuk. "Ada tempat video game baru di
sebelah Swanny's." Ia berbalik pada Todd. "Kau bawa uang?"
Todd merogoh saku jinsnya tapi hanya mengeluarkan pemantik
gas plastik berwarna biru yang selalu dibawanya. Ia menggeleng.
Matt berbalik pada April. "Nggak," kata April, matanya yang
hijau membelalak. "Kita takkan jalan-jalan di tempat berdesakan itu
malam ini. Kupikir kita akan jalan-jalan keliling kota, memeriksa
siapa yang ada di sini, lalu ke pantai."
"Oh, ya. Betul," kata Matt, sambil sekali lagi memandang ke
tempat video game dengan penuh kerinduan.
Pelan-pelan mereka berjalan-jalan di sepanjang satu sisi Main
Street, sekali-sekali berhenti untuk melihat etalase sebelum
menyeberang ke sisi lain. Meskipun musim liburan baru aja mulai,
kota itu sudah ramai. Main Street dipadati mobil yang melaju pelan,
trotoar penuh dengan pendatang-pendatang baru yang ngobrol, saling
menyapa, mondar-mandir tanpa 111tujuan, berdua-dua dan dalam
kelompok-kelompok kecil. "Hei, lihat film itu," seru Matt dengan antusias, menatap ke atas
gedung bioskop kuno di seberang jalan. "Festival Living Dead!" Ia
ber-high five dengan Todd. "Oke!"
Ia menarik kedua temannya ke seberang jalan untuk mengamati
poster-poster film yang akan diputar. "Kayaknya semuanya film horor
terus!" serunya sambil ber-high five lagi dengan Todd.
April mendengus. Ia tidak suka film horor. Ia tidak bisa
mengerti mengapa Matt menganggapnya hebat.
"Ayo, Matt." Ditariknya Matt menjauh. "Ada apa di sana?"
Gedung bioskop kuno itu merupakan bangunan terujung di jalan
itu. Kota kecil itu berakhir di sana, menuju ke lapangan bujursangkar
beraspal yang digunakan untuk tempat parkir, lalu lapangan luas
berumput yang dipakai untuk tempat rekreasi dan berbagai macam
kegiatan olahraga. Malam itu lapangan ini terang benderang disinari
beberapa lampu sorot, dan bayang-bayang gelap beberapa pikup dan
van terlihat di rumput. April dan kedua temannya cepat-cepat melintasi area parkir,
melihat apa yang terjadi. Rupanya sedang ada persiapan karnaval.
Ketika mendekat, mereka dapat mendengar teriakan para pekerja, deru
gergaji, dan ketukan palu.
Seperti mimpi. Lampu-lampu sorot, yang diarahkan ke langit,
lebih banyak menghasilkan bayang-bayang daripada cahaya. Para
pekerja keluar-masuk bayangan dengan sibuk. Sebuah kincir ria
berdiri di lapangan, mirip raksasa hitam yang membisu. Lampu-lampu
warna-warni tergantung di tiang-tiang. Kios-kios makanan dan
permainan dipasang di tempatnya. Orang-orang berusaha memasang
baut lintasan roller coaster kecil.
April, Matt, dan Todd bergerombol di tepi lapangan,
menyaksikan pemandangan yang seperti mimpi itu. "Apakah mereka
akan memasang Gravitron juga, ya?" kata Todd pelan, memecahkan
kesunyian di antara mereka.
"Apa itu?" tanya April.
"Kau tahu. Itu benda yang berputar lalu lantainya melejit dan
meninggalkanmu terjepit ke dinding."
"Kedengarannya hebat," kata April sinis.
Matt menatap Todd dengan terkejut. "Kau suka wahana itu?"
"Nggak," sahut Todd cepat. "Aku takkan menaikinya. Aku
cuma ingin tahu apakah mereka punya wahana itu."
"Aku suka sekali kincir ria." April mengalihkan matanya ke
arah sosok gelap kincir ria yang menjulang di lapangan itu.
"Biasa saja," kata Matt menghina. "Maksudku, apa yang
membuat ngeri kalau naik kincir ria?"
"Kenapa semuanya harus membuat ngeri?" tanya April.
Matt memegang tangannya. "Ayo kita pergi ke pantai saja. Ini
membosankan." Langit malam terang, cerah, dan tak berawan, sedangkan pantai
yang berpasir berkilauan seperti pita perak lebar di bawah sinar bulan
purnama. Pasangan-pasangan berjalan-jalan tanpa memakai alas kaki di
sepanjang tepi pantai, ombak yang lembut memukul-mukul
pergelangan kaki mereka. Anak-anak berkumpul dalam kelompokkelompok, ngobrol dan tertawa-tawa sambil duduk di atas hamparan
selimut. Musik berdentam-dentam dari radio dan tape portabel,
kadang terdengar kadang tidak di antara deburan air yang memukulmukul pantai.
Di dasar bukit pasir yang rendah, beberapa anak telah membuat
api unggun kecil. April, Matt, dan Todd berjalan menghampiri tempat
itu. Mereka mengenali beberapa anak, anak-anak kota yang mereka
kenal di musim panas sebelumnya.
"Hei"Ben!" Matt memanggil cowok yang wajahnya
dipermainkan bayang-bayang api yang berkedip-kedip cepat.
"Whoa!" Ben Ashen, bertubuh tinggi besar dan berambut hitam
pendek spiked, berpaling mendengar namanya dipanggil dan matanya
menyipit memandang Matt. "Hei"si Mattster! Apa kabar" Kau masih
jelek?" "Kau masih goblok?" Matt menepuk punggung Ben keraskeras.
Ben mengerang. "Ulangi lagi dan kau akan kulemparkan."
"Dasar sok jagoan!" seru Matt, mengangkat tangan akan
kembali menepuk punggung Ben, tapi Ben menghindar.
Beberapa anak yang lainnya menyapa April dan Matt. Mereka
ikut duduk di atas hamparan selimut, merasakan kehangatan api yang
meretih-retih. Semuanya serentak mulai ngobrol, menggerombol
disinari cahaya merah api unggun.
"Hei, Todd, masih ada tempat buatmu," panggil Matt, tiba-tiba
teringat temannya. Todd, yang ditinggalkan, berdiri salah tingkah
dengan kedua tangan terselip di sakunya, lalu ragu-ragu menempatkan
diri duduk berseberangan dengan April. "Hei, semuanya, ini Todd,"
Matt mengumumkan. "Kau lihat tempat video game yang baru itu?" Ben bertanya
pada Matt. "Luar biasa."
"Aku lihat, tapi nggak bawa uang," sahut Matt.
"Aku bawa," kata Ben sambil bangkit berdiri. "Ayo ke sana."
Matt mulai beranjak berdiri, kemudian ingat April. "Uh, bukan
malam ini, man." Ia memeluk bahu April dengan sikap posesif dan
tersenyum pada cewek itu. Mata April yang hijau zamrud berkilauan,
memantulkan cahaya api. Ia membalas senyum Matt dan
menyandarkan kepalanya ke dadanya dengan penuh sayang.
"Yah, aku mau ke sana," kata Ben.
"Sampai nanti," kata Matt, tanpa mendongak.
Ben mulai berlari-lari kecil di bukit pasir itu. "Bawa uang besok
malam," katanya sambil menoleh pada Matt. "Kalau perlu mencuri."
"Dia baik sekali, ya?" kata Matt pelan, mempererat pelukannya
pada April. April cemberut, lalu berpaling ke arah Todd, yang berada di
ujung selimut seorang diri. Dilihatnya cowok itu sedang memutarmutar pemantik plastik biru itu dengan jari-jarinya, menggelindinggelindingkannya di telapak tangannya, hal yang selalu dilakukannya
bila ia sedang gelisah atau merasa tidak enak.
April akan mengatakan sesuatu padanya, tetapi Matt memegang
dagunya, mendongakkan wajahnya, dan mulai menciumnya.
*********************** "Yang itu," kata Jessica, mata merahnya bersinar, menatap
Gabri dalam kegelapan. "Yang mana?" tanya Gabri, melayang di sebelah Jessica, angin
meniup sayapnya yang terkembang.
"Cewek pirang itu," sahut Jessica tak sabar.
Kedua kelelawar itu merendah menuju ke para remaja yang
melingkari api unggun, tapi tetap melayang cukup tinggi di kegelapan
hingga tidak tampak. "Dia sempurna untukmu, Gabri," bisik Jessica lewat taringtaringnya yang runcing kecil.
"Lihat rambutnya yang pirang, pipinya yang mulus dan berse
mu merah, tanda sehat sekali. Dia memang jenis yang kausukai!"
Desis tawa meluncur keluar dari mulutnya yang terbuka sedikit.
"Tidak!" bisik Gabri, sambil mengepak-ngepakkan sayap
hitamnya dengan marah. "Cowok yang besar dan bloon itu
memeluknya. Menciumnya. Dia punya cowok, Jessica. Aku benarbenar harus protes."
"Aku benar-benar harus protes." Jessica menirukan suaranya,
mengejeknya. "Kau benar-benar kedengaran seperti film jelek, Gabri."
"Aku tak peduli. Aku protes. Cewek yang kaupilihkan untukku
punya cowok. Bagaimana aku bisa menarik perhatiannya kalau..."
"Memangnya kaupikir aku akan memilihkan yang gampang
buatmu!" kata Jessica, kembali desis tawanya menyebar di langit
malam. Ia membubung tinggi ketika Gabri berusaha membenturnya,
lalu kembali melayang di samping Gabri. "Tentu saja, jika kau mau
menyerah sekarang...," godanya.
"Tidak!" teriak Gabri, sambil menukik menuju ke bara api yang
meloncat-loncat di bawah, lalu melayang menjauh. Matanya yang
merah kecil mengintai dalam kegelapan, terus-menerus menatap April
seperti radar setan, mengamatinya dengan hati-hati.
"Bagaimana?" tanya Jessica tak sabar.
"Kuterima tantanganmu," sahut Gabri, segumpal air liur
meluncur menuruni bulu dagunya. "Cewek itu sangat menggiurkan"
sangat siap"sangat ranum."
"Simpan puisimu itu untuk saat kau berduaan dengannya,"
bentak Jessica. "Kau memang benar-benar menyebalkan. Apakah kau
juga separah ini ketika masih hidup?"
Mata kelelawar Gabri mengecil ketika menatap tajam pada
Jessica. Meskipun dalam wujud kelelawar, matanya memancarkan
kesedihan yang mendalam. "Aku tak ingat," bisiknya. "Bahkan
kupikir aku tak pernah hidup."
Jessica tidak membiarkan hatinya tersentuh oleh kata-kata itu.
Ia memenuhi angkasa dengan tawanya yang mengejek dan kering.
"Lupakan saja!" teriak Gabri parau, mata merahnya
memancarkan kemarahan. Ia menukik menjauhi Jessica, melayang di
atas cahaya kuning api unggun.
Tergantung di udara malam, dengan sayap terkembang,
dibiarkannya angin dan arus mengombang-ambingkannya ke sana
kemari. Gabri mengamati sosok-sosok yang bergerak-gerak di
sekeliling api unggun di bawah.
"Sudah kautemukan korban untukku?" tanya Jessica, suaranya
tertiup angin dari atas. "Ya," desis Gabri, sambil melingkari tubuhnya yang seperti
hewan pengerat dengan sayapnya, lalu mengibaskan sayapnya dan
terbang melayang kembali menemui Jessica.
"Yang mana?" tanya Jessica dengan menggebu-gebu, bibirnya
basah dengan air liur, bayangan nektar segar membuat jantungnya
berdegup lebih cepat daripada kepak sayapnya.
"Yang itu," sahut Gabri. "Yang kurus kecil dan berambut
merah." Jessica mengintai ke bawah ke api unggun, memusatkan
pandangannya pada Todd. "Yang duduk sendirian, tidak ngobrol
dengan siapa pun?" "Ya," sahut Gabri, kelihatan jelas senang dengan pilihannya.
"Cowok itu bersikap dingin pada semua orang"bahkan juga padamu,
Jessica." "Aku khawatir kau sudah kalah taruhan," Jessica mengejek,
dengan sengaja mendorong Gabri menjauh darinya. "Dengan mudah
cowok itu akan kuhangatkan"lalu kudinginkan untuk selamanya!"
Tawanya yang kering parau menggetarkan angin.
Setelah memilih korban-korban mereka, kedua kelelawar itu
meluncur rendah di langit, lalu melayang tinggi, menembus
kekosongan yang gelap di atas bukit pasir.
Sambil bersandar pada Matt, April memandang ke atas saat
kedua kelelawar melayang mendekat dan berseru kaget. "Matt"kau
lihat mereka" Kedua kelelawar itu," teriaknya.
"Jangan perhatikan mereka," kata Matt, sambil menariknya
mendekat. "Mereka tak berbahaya sama sekali."
Bab 6 TODD DAN JESSICA BARU sejenak kemudian Todd menyadari bahwa titik-titik
kecil yang meloncat-loncat di sepanjang kegelapan yang digenangi air
adalah burung. Ia berdiri di atas batu rata rendah mengamati burungburung itu, mencoba memusatkan perhatiannya pada mereka. Itu
burung laut, putusnya, matanya mengikuti ketika burung-burung itu
melayang di sepanjang tepi pantai, berzigzag saling memutari hingga
kegelapan menelan mereka.
Dengan tangan terselip ke dalam saku celana jins pendeknya,
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Todd berbalik dan membiarkan pandangannya menyusuri garis tepi
karang yang curam dari bawah hingga ke puncaknya yang merata,
membentuk dataran. Lalu kembali memandang ke air, ia nyaris dapat
melihat garis tepi pulau kecil yang hitam rendah, seperti ujung kapal
selam yang muncul dari air, pasti tempat semua kelelawar itu berasal.
Mengapa banyak sekali kelelawar di pantai ini" tanyanya dalam
hati, sambil mencari-cari makhluk-makhluk terbang itu di langit ungu
yang berkabut. Ia melihat satu.
Ia tidak bisa melihat terlalu jauh. Awan merendah menutupi
pantai, menyamarkan cahaya bulan, membuat pantai berbayang-
bayang panjang dan aneh. Gumpalan-gumpalan kabut melayang di
sepanjang tepi pantai. Udara dingin, berat, dan lembap.
Ia telah menemukan ujung pantai yang sepi ini, letaknya di
selatan dermaga perahu dayung, di seberang pulau berhutan yang
misterius itu. Oleh karena itu ia sangat menyukainya. Dengan tenang
ia bersandar pada karang yang rata dan dingin itu serta memandangi
air sepuas hatinya. Sudah berapa lama ia berdiri di sana mengamati awan-awan
yang merendah dan kabut yang melayang-layang itu" Todd tidak tahu
pasti. Ia tahu ia pasti sudah ditunggu April dan Matt di pantai.
Mungkin ia terlambat. Moga-moga kau tak berubah jadi sejenis makhluk ganjil
penyendiri, ia memperingatkan diri sendiri, sambil melangkah
meninggalkan karang itu dan mulai memanjat naik ke pantai.
Musim panas ini seharusnya menyenangkan, pikirnya. Kalau
saja aku bisa memperbaiki diri dan berhenti jadi orang yang
membosankan. Kalau saja aku bisa berhenti merasa sangat kikuk,
terus-terusan merasa sangat tak cocok berada di suatu tempat, dan...
Lamunannya terusik oleh bunyi kepak di atas kepalanya. Ia
mengarahkan pandangannya ke langit yang gelap, tampak beberapa
kelelawar menukik dan meluncur, menghilang menembus ke dalam
awan tebal, lalu tiba-tiba terbang cukup rendah hingga terlihat lagi.
Kelelawar-kelelawar baik, katanya pada diri sendiri. Mereka
makan serangga. Tapi kepak sayap mereka terdengar sangat dekat, bergema di
bukit karang yang terjal, dan suara cericitnya yang nyaring membuat
Todd bergidik. Ia melangkah lebar-lebar, pasir basah menyelusup ke dalam
sandal karetnya. Ia berhenti.
Ia tidak lagi sendirian. Ada seseorang di sana.
Di belakangnya. Di balik karang-karang itu.
Ia belum melihat siapa-siapa. Ia hanya merasakannya.
Ia tahu. Bunyi kepak di atas kepalanya semakin keras, semakin dekat,
lalu lenyap seketika. Angin yang bertiup dari lautan mengibarngibarkan kaus lengan panjangnya.
Todd berbalik. Dan melihat cewek itu memandanginya.
Ia berdiri tidak jauh dari karang itu, bertelanjang kaki. Ketika ia
berjalan menghampiri Todd, pantai tampak menjadi terang, dan Todd
dapat melihat cewek itu dengan jelas seperti siang hari.
Ia cantik. "Hai," cewek itu menyapa pelan, tersipu-sipu memandangi
Todd dengan matanya yang hitam besar. Ia memakai rok lilit bermotif
bunga dan atasan bikini yang sesuai. Sambil melontarkan kepala ia
menyibakkan rambutnya ke belakang bahunya yang terbuka. Bibirnya
yang penuh tersenyum. "Tadi... tadi aku tak melihatmu," Todd tergagap.
Ngomong aja nggak becus, Todd mengomeli dirinya sendiri,
rasanya ia ingin tenggelam ke dalam pasir dan tidak pernah kelihatan
lagi. "Mak... maksudku..."
"Kayaknya aku tersesat," kata cewek itu, berjalan mendekat,
cukup dekat sehingga Todd dapat melihat betapa pucat kulitnya,
cukup dekat sehingga Todd dapat mencium parfumnya, aroma bunga
lilac. "Hah! Tersesat?"
Ia mengangguk, bibirnya yang penuh mencebik.
Dia cewek tercantik yang pernah kutemui, pikir Todd. Ia sadar
dirinya sedang ternganga. Sambil tersipu-sipu ia mengalihkan
tatapannya ke pasir. "Keluargaku menyewa sebuah cottage," kata cewek itu
padanya, sambil melangkah mendekat. "Tepat di dekat laut. Kami
baru saja sampai siang ini, dan kupikir aku mau keliling melihat-lihat
dulu." Ia mengangkat bahu, tanda putus asa, bahunya sehalus dan
sepucat kayu putih di bawah langit malam yang gelap.
"Ya. Yah?" Todd berdeham.
Kenapa suaraku kedengarannya jadi macet dan nyangkut di
tenggorokan" "Kebanyakan rumah-rumah musim panas ada di sebelah sana,"
ucapnya dengan susah payah, dan menunjuk ke ujung utara pantai.
"Lewat situ?" tanya cewek itu ragu-ragu.
"Ya. Akan kutunjukkan," sahut Todd. "Maksudku, aku akan
lewat situ juga. Aku"uh" janjian ketemu dengan beberapa
temanku." "Thanks," kata cewek itu, sambil mengulurkan tangan meraih
lengan Todd hingga Todd kaget. Aroma bunga menguar dari tubuh
cewek itu dan menyerbu hidungnya, seakan mengelilinginya. Tibatiba ia pusing, tapi memaksa diri berjalan, sandalnya terbenam ke
dalam pasir. "Aku belum pernah ke sini sebelumnya," kata si cewek pelan.
"Indah sekali. Aku tahu di sini akan asyik."
"Ya. Memang"indah sekali," kata Todd.
Aku sedang berjalan-jalan menyusuri pantai gelap dengan gadis
tercantik yang pernah kutemui, pikirnya.
Dan aku cuma bisa berkomentar pantai ini indah. Menyebalkan.
"Kabutnya tebal," katanya. "Makanya malam ini pantai ini
sangat kosong dan gelap."
Oh, hebat. Sekarang aku malahan memberikan laporan cuaca
padanya! batinnya. "Kau beruntung punya teman di sini," kata cewek itu, berpaling
untuk tersenyum padanya, sambil masih memegangi lengannya. "Aku
nggak kenal siapa-siapa."
"Kasihan sekali," sahut Todd salah tingkah.
"Mungkin kau bisa jadi temanku," kata cewek itu dan tanpa
sadar terkikik. Wow, pikir Todd. "Kau dari mana?" tanya cewek itu.
Todd menjawab. Ia kembali melanjutkan langkahnya pelan-pelan, menghirup
aroma parfum cewek itu, diam-diam meliriknya, berharap semoga
pantai itu lebih panjang sehingga mereka tidak cepat-cepat sampai ke
tujuan. Ia mencoba berpikir mencari-cari bahan pembicaraan, namun
cewek itu begitu dekat, dan begitu cantik sehingga lidahnya lebih
kaku daripada biasanya. Untungnya, cewek itu terus-menerus berbicara, bertanya
tentang sekolah dan keluarga Todd, bercerita tentang keluarga dan
kehidupannya sendiri di Maine.
Aku ingin tahu apakah dia menyukaiku, kata Todd dalam hati.
Aku ingin tahu apakah dia mau jika kuajak.
Jika dia kuajak. Jika saja...
Apakah ia punya nyali untuk mengajak"
Mereka berdua mendengarnya pada saat yang bersamaan.
Kepak sayap yang sangat rendah dan sangat dekat di atas kepala.
"Oh!" cewek itu menjerit dan menekan lengan Todd.
"Tak apa-apa," katanya, berusaha terdengar meyakinkan.
"Kelelawar itu tak mengganggu orang kok."
Cewek itu tertawa. Tawa yang mengejutkan.
Kenapa ini membuatnya geli"
"Oh ya, namaku Jessica," katanya. Todd baru sadar Jessica
masih memegang lengannya erat-erat.
Ia ganti menyebutkan namanya. Parfum Jessica sangat manis
baunya. Pantai putih itu tampak miring di bawahnya.
"Oh. Rumahku di atas sana," kata cewek itu sambil menunjuk.
"Kau memang benar!"
Todd mengikuti arah yang ditunjuk Jessica. Tiba-tiba malam
sangat berkabut, sangat kelabu dan berkabut, ia nyaris tidak dapat
melihat satu pun rumah jauh di balik bukit pasir itu.
Tidak ada orang lain lagi di pantai. Air tampak jauh sekali. Jauh
dari kabut. Jauh dari awan yang kelihatannya rendah di sekelilingnya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Todd," bisik Jessica.
Todd menyukai cara Jessica mengucapkan namanya.
"Tak apa-apa kok," sahutnya.
Apakah sebaiknya aku mengajaknya keluar"
Apakah sebaiknya aku janjian ketemu lagi dengannya di pantai
besok" Apakah dia akan menjawab ya"
Apakah dia akan menertawakanku"
Sebelum Todd dapat memutuskan, Jessica menciumnya.
Todd hampir jatuh terjengkang karena terkejut.
Sebelum ia dapat memutuskan. Sebelum ia dapat mengucapkan
sesuatu. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, lengan Jessica yang
sangat pucat, sangat ringan, memeluknya.
Jessica menarik Todd mendekat dengan sangat lembut,
mendekatkan wajah Todd pada wajahnya sendiri, menunduk pada
Todd. Bibirnya. Bibirnya gelap, sangat gelap. Menekan bibir Todd
dengan lembut. Mula-mula lembut. Dan lalu semakin kuat.
Oh, wow, pikir Todd. Oh, wow.
Dia menyukaiku. Belum pernah ada cewek lain yang menciumnya seperti ini.
Mencium bibirnya. Pipinya.
Lehernya. Mencium lehernya sementara awan merendah dan kabut
berputar-putar. Mencium lehernya sementara pasir di bawahnya
miring. Jessica memegangi kepalanya dan mencium lehernya dengan
kuat, makin kuat. Aroma parfumnya, gemuruh samudra, bibirnya yang basah dan
lembut, kabut itu, kabut tebal itu"semuanya itu membuat Todd
terbuai, terlena, mabuk kepayang.
Hingga ia tenggelam dalam kegelapan dingin yang
menunggunya. Bab 7 APRIL DAN GABRI DI mana sih Matt" April berjalan melalui lorong-lorong ruwet di antara dentumandentuman, tembakan-tembakan senjata otomatis, perang angkasa luar,
dan balapan mobil yang meraung-raung di ruangan remang-remang
itu. Di mana sih dia" Ia merasa melihat cowok itu di dekat belakang deretan mesin
pinball yang kelap-kelip, sedang mencoba menjejalkan uang satu
dolar ke dalam mesin tukar koin permainan. Keping dolar itu baru
masuk setengah ke celah, lalu menggelinding keluar lagi. Cowok itu
mencoba lagi. "Matt!" panggilnya.
Ketika cowok itu akhirnya berhasil mendapatkan koin
permainan dan berbalik, April menyadari bahwa cowok itu bukan
Matt, meskipun sama-sama berbahu besar, berwajah bundar, dan
berambut cokelat. Ebukulawas.blogspot.com
Matt tidak ada di sini. April kembali ke jalan, dibukanya gulungan lengan sweter hijau
pudarnya dan disibakkannya rambut pirangnya ke belakang, yang
terasa basah dan berat akibat udara lembap.
Kabut melayang dari laut, membentuk bayangan-bayangan
bergerak yang ganjil di bawah lampu-lampu jalan. Sambil mencaricari Matt, April mengalihkan pandangannya ke Main Street, penuh
dengan wisatawan musim panas yang keluar-masuk restoran dan toko.
Mereka muncul dari balik kabut, tiba-tiba tampak jelas, lalu dengan
cepat pula menghilang kembali ke dalam kabut, seolah melangkah
melewati tirai tebal. Di mana sih kau, Matt" April penasaran, melirik jam tangannya
untuk keseribu kalinya. Lenyap dalam kabut"
Ia melongok ke dalam Swanny's, dengan cepat matanya
memeriksa kios es krim yang terang benderang, lalu menepi untuk
memberi jalan pasangan setengah baya yang akan masuk.
Di sana pun Matt tidak ada.
Seharusnya Matt menemuinya dua puluh menit yang lalu.
Rencananya mereka bertemu di depan Swanny's, kemudian pergi ke
pantai dan bergabung kembali dengan Todd.
"Hei"April!"
April berputar dengan penuh harap. "Matt?"
Bukan. Itu beberapa cowok yang tadi dijumpainya di api
unggun di pantai. Ia melambai.
"Kau kelihatan manis!" kata salah satu dari mereka. Lalu
mereka menghilang ke dalam kabut yang merendah.
Aku kelihatan manis, pikir April. Ia dan si kembar itu telah
melewatkan sepanjang siang itu di pantai, dan sekarang kulitnya yang
terjemur sinar matahari terasa hangat. Ia selalu kelihatan pucat selama
musim dingin. Sekarang kulitnya agak berwarna, terasa hangat
walaupun malam itu berkabut dan dingin.
Jadi di mana Matt" Dia benar-benar tak memedulikanku, putusnya.
Setiap kali aku selalu harus menunggunya. Dan lalu ia muncul
tanpa meminta maaf sedikit pun. Biasanya ia hanya berkata, "Sori aku
telat. Ada urusan sedikit." Dan itu tentunya tidak apa-apa.
Secercah rasa hangat yang dirasakannya sekarang bukan karena
terjemur matahari"tapi karena kemarahan. Matt memang cowok
cakep, pikirnya. Tapi barangkali ibunya agak benar tentang Matt.
Mungkin cowok itu memang agak kurang dewasa.
April melangkah ke pojok dan mengintip ke bawah ke Dune
Lane, salah satu dari dua persimpangan jalan di kota itu.
Aku tak mau menunggu Matt sepanjang musim panas ini,
pikirnya. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Sambil memandangi kegelapan di jalan di bawah lampu
perempatan yang diciptakan oleh gumpalan-gumpalan kabut, tiba-tiba
April merasa sedang diawasi.
Ia berbalik dan melihat seorang cowok tinggi kurus dengan
kaus lengan panjang hitam dan jins berpipa lurus berwarna gelap.
Cowok itu sedang berdiri di pojok yang berlawanan di depan toko
kamera. Tirai kabut seakan tersibak di depannya, dan ketika ia
melangkah di bawah cahaya putih lampu jalan, April dapat melihatnya
hampir jelas sekali. Ia tampak sangat tampan, rambutnya hitam lurus, kulitnya
sangat pucat nyaris putih, wajahnya tirus dan serius, matanya hitam. Ia
mengalihkan tatapannya ketika menyadari April balas menatapnya.
Dia kelihatan seperti aktor atau model, pikir April. Dia nyaris
terlalu cakep. April penasaran apakah cowok itu sedang menunggu seseorang.
Kemudian kabut itu tampak dekat di sekelilingnya, dan ia menjadi
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirian, kegelapan yang diam di antara kegelapan-kegelapan yang
bergerak. Matt kuberi waktu lima menit lagi, April memutuskan, dengan
marah mondar-mandir di antara pojok jalan itu dan depan deretan kios
permainan. Sesudah itu aku akan pulang.
Ini awal buruk untuk liburan musim panas ini, pikirnya. Ia
memutuskan harus bersikap tegas terhadap Matt. Ada dua jenis orang
di dunia"yang selalu tepat waktu dan yang tidak pernah tepat waktu.
April selalu tepat waktu. Dan kalau mereka mau menikmati liburan
musim panas yang menyenangkan, putusnya sambil mondar-mandir,
Matt harus tepat waktu juga.
Sambil melirik jam tangannya, ia sudah akan menghentikan
penantiannya ketika sebuah tangan menyentuh bahu sweternya.
Ia terkejut, lalu berbalik, berharap melihat Matt.
Tapi ternyata ia melihat sepasang mata hitam yang menatapnya
dengan tajam di wajah tampan cowok yang tadi dilihatnya ada di
seberang jalan. "Hai," sapa cowok itu malu-malu. "Sori. Aku membuatmu
takut, ya?" "Bukan," April berbohong. "Maksudku"tidak."
"Kau kehilangan sesuatu, ya?" tanya cowok itu. "Kulihat kau di
sini dan kupikir..." Suaranya bergetar menghilang. Tatapannya tertuju
ke mata April. "Tidak. Aku tak kehilangan apa-apa," sahut April dengan
menghela napas. "Aku sedang menunggu seseorang."
"Oh. Sori." Cowok itu mundur selangkah.
Dia mungkin bukan anak kota ini, April menduga. Kulitnya
sangat pucat. Tapi cakep sekali. Ia melontarkan senyum malu-malu pada April. "Aku tak
bermaksud mengganggumu."
"Tak apa-apa," kata April. Ia menyadari ia tidak ingin cowok itu
pergi. "Kau baru pertama kali berlibur di sini, ya?" tanyanya.
Cowok itu menggeleng. "Tidak. Aku sudah pernah ke sini
sebelumnya. Biasanya kota ini tak berkabut."
"Aku tahu," kata April. "Omong-omong," lanjutnya dengan
agak kikuk, "namaku April Blair."
"Gabri Martins," sahut cowok itu sambil mengulurkan tangan
dan menjabat tangan April.
"Gabri" Namamu aneh," komentar April.
Ia mengangguk. "Ya. Aku tahu. Kependekan dari Gabriel."
"Yah, senang berkenalan denganmu, Gabri," ucap April.
Ia sangat kurus, setengah ukuran tubuh Matt.
Ia menatap mata April dan tampak enggan pergi. Aftershave
atau cologne beraroma lemon yang dipakainya tercium hidung April,
manis sekaligus asam. April naksir berat padanya, lebih daripada
sekadar tertarik karena tampang cakepnya.
April harus berkonsentrasi keras untuk mendengarkan
ucapannya. "Mungkin temanmu itu bingung atau apa. Apa dia tahu kalian
seharusnya ketemu di sini?"
April mengangguk. "Semestinya kami ketemu di sini lalu pergi
ke pantai." Mengapa tiba-tiba ia merasa tidak pasti"
"Mungkin dia bingung dan langsung menuju ke pantai," kata
Gabri, sambil maju mendekat ketika sekelompok remaja lewat
berdesakan di trotoar. "Mungkin," sahut April sambil berpikir.
Matt biasanya menepati janji. Tapi mungkin saja dia bingung.
"Malam ini pantai tak seberapa ramai karena kabut tebal," kata
Gabri. "Seharusnya tak lama mencarinya jika dia ada di sana."
"Ya. Kupikir juga begitu," kata April dengan malas. "Tapi
malam ini gelap sekali...."
"Begini saja. Kau akan kutemani," Gabri menawarkan diri.
Baunya sangat mirip lemon, ia sangat baik. Ia membungkuk
mendekat, wajahnya yang tampan bersinar-sinar keluar dari
kegelapan, matanya tertuju pada April.
"Kau baik sekali," kata April. "Tapi?"
"Aku orang baik," kata Gabri, tersenyum supaya April tahu ia
sedang bergurau, tidak benar-benar sedang menyombongkan diri. Dan
lalu dengan tenang menambahkan, "Kau akan membuktikannya."
"Tapi kau tak harus menemaniku ke?" April berusaha
menolak. "Tak apa-apa," Gabri meyakinkannya. "Ayo."
Ia merasa tangan cowok itu berada di punggungnya ketika
mereka berbelok di tikungan dan mulai menyusuri Dune Lane menuju
ke laut. April terkejut, tirai kabut semakin menipis waktu mereka
semakin dekat ke pantai. "Kota Sandy Hollow rendah," Gabri menjelaskan. "Seperti di
dalam selokan. Setelah terbang meninggalkan lautan, kabut melayanglayang di atas kota dan menetap di sana."
"Apakah kau ahli sains?" tanya April menggoda.
"Tanyakan apa saja," sahutnya, tangannya masih memegang
punggung April dengan ringan.
Selapis tebal awan kelabu melayang rendah di atas tepi laut,
namun pantai terang benderang. Tidak ada kabut sama sekali.
Gelombang laut tinggi dan mengempas kuat. April dapat
melihat buih putih di puncak ombak yang menjulang tinggi, bahkan
dalam kegelapan. Beberapa pasangan berjalan di dekat air. Sekelompok remaja
bergerombol mengitari api unggun kecil, bunyi tape mereka bersaing
dengan gemuruh ombak yang mengempas dan berirama.
Tidak ada tanda-tanda Matt. Ataupun Todd.
April dan Gabri berjalan berdekatan, kadang-kadang saling
beradu pundak, menuju ke karang di selatan. Sambil berjalan Gabri
bercerita tentang ikan lumba-lumba yang entah bagaimana kehilangan
arah dan terdampar di pantai di awal musim semi. April tertawa geli
ketika cowok itu menirukan wajah ikan lumba-lumba yang ketakutan.
Dan lalu ia melukiskan aksi kepahlawanan orang-orang kota yang
berusaha menarik ikan lumba-lumba itu kembali ke air dan berhasil.
Dia benar-benar pintar. Dan lucu, pikir April.
Dan menarik. Berani taruhan pasti dia tak menghabiskan waktunya dengan
menonton film-film horor yang konyol.
Ia berhenti dan mengintip ke bawah ke pantai yang kosong.
Benarkah ia sungguh-sungguh tertarik pada Gabri" Ataukah ia
hanya marah pada Matt"
Mungkin kedua-duanya ada benarnya.
"Dia tak ada di sini," katanya pelan, sambil mengamati karang
curam di seberang dermaga perahu dayung, merasa Gabri berdiri
dekat di belakangnya. "Tapi pantai ini benar-benar memesona malam
ini. Ombaknya sangat kuat."
Gabri memeriksa semua arah, memastikan hanya mereka
berdua yang ada di situ. Gelombang samudra bergemuruh, gelap
bertemu dengan langit yang bahkan lebih gelap lagi.
Mereka dikelilingi kegelapan. Dan sendirian.
Dan Gabri tidak dapat menahannya lebih lama lagi.
Ia sangat cantik. Sangat sempurna. Sangat manis.
Ya, nektar rasanya sangat manis.
Ia memerlukannya sekarang. Ia membutuhkan nektar itu.
Bukan karena taruhannya yang konyol dengan Jessica. Tapi
karena ia membutuhkan nektar untuk bertahan tetap abadi. Nektarlah
yang membuatnya tetap abadi selama bertahun-tahun setelah ia mati.
Nektarlah yang membuatnya menjadi Makhluk Abadi.
Dan sekarang ia akan minum.
April berdiri di depannya, membelakanginya, lengannya
tersilang, memandangi ombak yang gelap dan mengempas-empas.
Ia membungkuk ke depan saat taring-taringnya yang basah
meluncur turun ke dagunya.
Dengan lembut, lembut sekali, ia mengangkat tangannya dan
menyibakkan rambut April sehingga tengkuknya terlihat.
Pucat sekali. Kulitnya demikian lembut.
Dengan napas menderu Gabri membuka mulutnya lebar-lebar
dan merunduk untuk menggigit.
Bab 8 "SAMA-SAMA CURANG"
SAMBIL terus mengamati ombak, hampir terbius oleh
kemegahannya yang bergulung dan gelap, oleh bunyi empasan lembut
saat ombak menyentuh pantai, April merasa Gabri sangat dekat di
belakangnya. Matt tak ada di sini, pikirnya. Tak ada seorang pun di sini.
Pantai ini sangat kosong.
Aku harus pulang. Embusan angin lembut seolah menyibakkan rambutnya.
Ia mulai berbalik menghadap Gabri, akan mengucapkan terima
kasih karena telah ditemani ke tempat gelap ini. Tapi sebelum ia dapat
bergerak, kuduknya terasa hangat. Ada embusan yang lebih lembut
daripada angin. Lembut seperti napas.
Lalu ia mendengar bunyi kepak, diikuti lengkingan nyaring
misterius. Lalu bayangan gelap terjatuh dari langit.
Mula-mula bayangan, lalu muncul makhluk yang bercakar dan
mencicit nyaring. April melihat mata merah berkilauan dan langsung tahu itu
kelelawar. Ia menjerit-jerit dan mengangkat tangannya.
Terlambat. Sambil melengking-lengking seram seperti sirene mobil yang
tak bisa dimatikan, kelelawar itu menancapkan cakarnya ke dalam
rambut April. "Oh! Tolong!" Ia dapat merasakan sayap kelelawar itu mengepak-ngepak
menampar kepalanya, tubuh hangat makhluk itu menabraknya,
makhluk itu terjerat rambutnya, meronta-ronta, mencabik, mencakar.
"Tolong"tolong!"
Ia memejamkan mata, berlutut di pasir, mengibas-ngibaskan
tangannya di atas kepalanya dengan putus asa.
Makhluk itu mendesis dan mencakar, meronta-ronta berusaha
membebaskan diri dari belitan rambutnya yang panjang.
Lalu Gabri muncul, dan memukul-mukul dengan tangannya.
Cicitan nyaring itu bergema di antara rambutnya. Sayap
kelelawar itu memukul-mukul keras sekali.
Lalu, dengan diiringi dengking akhir yang kesakitan, kelelawar
itu terbebas"dan pergi, diam-diam membubung tinggi ke dalam
kegelapan. April meloncat berdiri. Walaupun ia tahu kelelawar itu sudah
pergi, benturan tubuh makhluk itu ke kepalanya dan sambaran
sayapnya masih dapat dirasakannya.
Laut bergemuruh keras. Gemuruh itu mengelilinginya, datang
dari segala sisinya. Dibekapnya telinganya, tapi gemuruh itu terdengar
terus, seolah ada di dalam kepalanya!
Sekonyong-konyong ia menyadari suara itu berasal dari dirinya.
Ia sedang menjerit-jerit histeris.
Dan tiba-tiba seluruh pantai mulai bergulung. Pasir di
bawahnya bergerak. Tidak. Pantai itu tak bergerak. Akulah yang bergerak. Ia berlari kencang melintasi pasir, menjauhi tepi laut,
menyingkir dari karang, hingga napasnya tersengal-sengal, dadanya
terasa sakit, dan ia tidak sanggup berteriak lagi sekarang.
Lari, lari terus"ke dalam pelukan Matt.
"Whoa!" seru Matt. "April"ada apa?"
Ia memeluk Matt kuat-kuat, menunggu debur jantungnya
berhenti berpacu, menunggu dadanya berhenti tersengal-sengal,
menunggu menghilangnya perasaan seolah cakar kelelawar itu
malahan semakin menancap di rambutnya.
"Apa yang terjadi" Katakan!" tanya Matt, ambil memeluknya
erat, memberinya perlindungan.
"Aku"aku mencarimu," akhirnya ia berhasil bersuara, sambil
menempelkan keningnya ke kehangatan kaus lengan panjang Matt.
"Di sini. Di pantai."
"Dan?" tanya Matt tidak sabar.
"Dan seekor kelelawar terbang ke kepalaku. Lalu terbelit
rambutku. Dia mencicit-cicit. Ribut sekali. Aku panik. Dia
terperangkap. Aku tak bisa melepaskannya. Tapi lalu Gabri?"
"Siapa?" tanya Matt. "Siapa Gabri itu?"
"Cowok yang di sana," sahut April, sambil menunjuk ke
belakangnya tanpa menengok. "Dia sangat baik. Dia menarik lepas
kelelawar itu. Dia?"
"Siapa?" tanya Matt.
April melepaskan diri dari pelukan Matt dan berbalik untuk
memanggil Gabri. "Hei?" Tidak ada orang di sana. ********************** Jauh di bawah di pantai, pada ketinggian karang hitam, yang
licin karena embun tebal dan lembap, dua kelelawar meluncur
mendarat tanpa suara. Begitu malam semakin gelap, mereka mulai
berputar, sambil melipat sayap mereka, berpusing dalam tarian yang
seram dan tanpa irama. Mereka muncul dari tarian itu dalam wujud manusia.
Gabri, dengan mata berkilat-kilat merah, marah sekali pada
Jessica, dan mendorongnya mundur ke tepi karang tajam. "Kau iri!"
teriaknya. "Kau tahu aku hampir meneguk nektar itu. Kenapa
kauganggu?" Jessica menanggapi dengan tawa mengejek. "Kau mau
mendorongku jatuh?" tanyanya santai, tidak menghiraukan kemarahan
Gabri. "Kau tak bisa membunuhku, Gabri. Sudah bertahun-tahun aku
jadi Makhluk Abadi."
"Jawab pertanyaanku," desak Gabri, tidak mau menyerah, tidak
memberinya ruang untuk bergerak. "Kenapa kau memata-mataiku"
Kenapa kau melakukannya?"
"Tenanglah dan kita bisa bicara," kata Jessica, tidak mau
mundur. Ia merapikan tepi gaun panasnya yang berwarna gelap lalu
mulai mengancingkan sweter cardigan yang dipakainya di atasnya.
"Aku tak mau tenang," tukas Gabri panas. "Jawab aku!"
"Baik, baik," sahutnya, sambil memutar bola matanya. "Kau tak
mematuhi aturan main."
"Hah?" Kemarahan Gabri agak mereda, digantikan dengan
keheranan. "Kau tak bisa begitu saja menyerang cewek itu," jelasnya,
sambil menggeleng-geleng, surai merahnya berkibas-kibas di
punggungnya. "Kau harus merayunya dulu."
"Kau gila, ya?" seru Gabri, roman mukanya yang gelap berubah
karena marah. "Dia menyukaiku."
"Aku melihat apa yang kaulakukan," ia bersikeras. "Dia
malahan tak menatapmu. Tak bisa, Gabri. Bukan begitu taruhan kita."
Gabri mendongak ke langit dan melepaskan jeritan kemarahan
seperti binatang. Setelah berhenti, ia tampak agak lebih tenang.
"Seharusnya kau tak kulepaskan dari belitan rambutnya," gerutunya.
Jessica tertawa, tawa tidak lucu dan kering.
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hentikan menertawaiku," bentaknya. "Pikirmu kau lucu sekali,
ya?" "Ya," sahut Jessica puas. "Memang."
Ia menuding Jessica, matanya menyipit. "Awas, Jessica. Kita
berdua bisa sama-sama curang dalam permainan ini. Tertawalah
sepuasmu, aku bisa securang kau. Lebih baik kau waspada."
Jessica menguap lebar-lebar. "Jangan ancam aku, Gabri."
"Lebih baik kau waspada," ulangnya, lalu mulai berputar
kembali ke wujud kelelawar.
Kedua remaja itulah yang sebaiknya waspada, pikir Jessica,
sambil tersenyum membayangkan Todd, membayangkan nektar,
membayangkan betapa mudah ia memenangkan taruhan ini, dan
betapa ia mulai menikmati kemenangannya.
Beberapa saat kemudian dua kelelawar terbang dari karang itu,
mengitari langit gelap sebentar, menukik rendah di atas gelombang
laut yang mengganas. Lalu saling mendesis marah, mata mereka yang
berkilat-kilat merah bertautan saling menantang. Lalu mereka
membubung tinggi, ditelan awan tebal, mengundurkan diri ke sarang
masing-masing untuk menunggu, menyusun rencana, membayangkan
bagaimana dahaga mereka yang tak tertahankan akan segera
terpuaskan. Bab 9 GIGITAN DI KOTA "BAGAIMANA keadaan laut?" tanya Mr. Daniels, sambil
menuju ke meja dapur dengan mengenakan celana renang longgar
yang selalu dipakainya di rumah. Dengan masih mengantuk ia
menuang secangkir kopi. Matt telah bangun pagi-pagi, sebelum pukul delapan, dan
merasa semangatnya menggebu-gebu. Ia menyelinap keluar rumah
tanpa membangunkan orangtuanya dan lama berjalan-jalan di pantai.
"Ganas," sahutnya, sambil membuka kulkas dan mengambil sekarton
jus jeruk. "Sangat deskriptif," sindir Mr. Daniels. Ia berdiri di samping
meja dapur, meneguk kopinya, memandang ke luar jendela menatap
matahari di langit cerah.
"Bukan. Maksudku, ombaknya ganas. Tinggi sekali.
Berdatangan dari segala penjuru," kata Matt.
"Jangan minum dari karton," ayahnya memarahi. "Ambil
gelasmu sendiri." "Aku cuma ingin sedikit," kata Matt, dikembalikannya karton
itu ke dalam kulkas, disekanya mulutnya dengan punggung tangannya.
"Apakah Todd menelepon?"
Mr. Daniels melihat jam dinding sekilas sebelum menjawab.
Setengah sepuluh. "Tidak."
"Tadi malam kami janjian, tapi tak ketemu."
"Dia tak menelepon," kata Mr. Daniels sambil menguap. "Kau
mau main tenis hari ini?"
"Mungkin nanti," jawab Matt. "Pagi ini aku ingin berselancar.
Pasti asyik dengan ombak yang ganas ini." Ia menghampiri telepon di
dinding dan mengangkat gagangnya.
"Siapa yang kautelepon?" ayahnya bertanya sambil menggarukgaruk dadanya yang tanpa baju.
"Todd. Barangkali saja dia mau pergi ke pantai denganku."
"Hei, lihat"ada hummingbird!" seru Mr. Daniels sambil
menunjuk ke luar jendela.
Matt menaruh kembali gagang telepon dan menghampiri
jendela. "Di mana, Dad?"
"Di bunga itu. Oh. Kau terlambat. Sudah terbang lagi."
"Dad yakin itu bukan cuma lalat besar?" Matt bergurau. "Tadi
malam di kamarku ada lalat sebesar bluejay!"
"Layar-layar itu harus kupasang," Mr. Daniels menggerutu
sambil menggeleng-geleng. Sambil membawa cangkir kopinya, ia
mendorong pintu kaca membuka dan keluar ke teras. "Apa tak terlalu
pagi menelepon orang sekarang?" serunya dari luar.
"Tidak. Todd selalu bangun pagi-pagi," sahut Matt, sambil
mengangkat gagang telepon lagi. Ia menemukan nomor telepon rumah
pantai Todd di buku catatan di meja dapur dan cepat-cepat
menghubunginya. Telepon berdering lima kali sebelum ibu Todd mengangkatnya.
"Hai, ini Matt. Bisa bicara dengan Todd?"
"Hai, Matt," jawab ibu Todd tersengal-sengal. "Sori. Tadi aku
di kebun belakang." Beberapa saat ia menunggu napasnya teratur
kembali. "Kukira Todd belum bangun. Dia pulang malam sekali. Biar
kulihat dulu." "Dasar pemalas," omel Matt, sambil melirik jam dinding. Todd
selalu rajin bangun pagi selama ini. Sejak kapan dia molor terus
sampai jam sepuluh seperempat"
Ia mendengar bunyi gagang telepon diletakkan ibu Todd. Lalu
ia mendengar langkahnya yang menjauh menuju ke kamar Todd untuk
membangunkannya. Setelah menunggu lama, Matt mendengar
langkah mendekat, lalu suara Todd, serak dan masih mengantuk.
"Halo?" "Todd" Kau masih tidur, ya?"
Diam sejenak. "Ya. Kayaknya." Ia menguap.
"Sori, man. Tadi malam kau di mana" April diserang
kelelawar." "Hah?" "Binatang itu terbang ke rambutnya. Tapi dia tak apa-apa. Kau
di mana?" Todd berdeham. "Aku ketemu seorang cewek."
"Oh ya?" Matt tidak dapat menyembunyikan kekagetannya.
Todd selalu sangat pemalu dan salah tingkah menghadapi cewekcewek. "Itukah sebabnya kau kacau sekali pagi ini?"
Todd menguap. "Dia memesona, Matt. Maksudku, dia hot."
"Oh ya" Kau ketemu dia di pantai?"
"Hm, ya. Dia nyasar. Jadi kami jalan bareng di pantai. Aku
membantunya mencari rumahnya. Dan kami ngobrol tentang segala
hal. Dia cantik, Matt. Maksudku, mirip bintang TV atau sejenisnya."
"Hei, lumayan," kata Matt. "Teruskan, man. Yang jelas.
Detailnya." Todd mengerang. "Pagi ini aku tak bisa bangun," suaranya
masih serak. "Aku tak tahu apa masalahku."
"Siapa peduli?" sela Matt. "Siapa nama cewek ini?"
"Jessica. Benar-benar hot dan seru, Matt. Maksudku, ketika
kami di pantai. Kabut sedang tebal. Dan dia mendekatiku. Benar nih."
Ia terbatuk. "Kau mesti lihat bekas ciumannya di leherku."
Matt bersiul menanggapi. "Wow."
"Ya," Todd setuju. "Dia luar biasa."
"Yah, ayo ke pantai," ajak Matt. "Sambil kita main selancar,
kau bisa cerita lebih banyak lagi padaku."
"Nggak, menurutku bukan begitu," sahut Todd dengan
mengantuk. "Maksudku, jangan pagi ini, oke" Aku tak enak badan.
Ngantuk sekali. Tak tahulah. Rasanya lemas atau semacam itu."
Matt tertawa. "Mungkin kau dan Jessica terlalu menggebugebu, man."
Todd tidak tertawa. "Kupikir aku cuma perlu tidur lagi,"
sahutnya serius. "Begini saja. Aku janjian ketemu dengan Jessica di
kota malam ini. Bagaimana kalau kau dan April datang juga?"
"Tentu saja," Matt mengiyakan dengan antusias. "Tapi ayo,
Todd. Ombaknya bagus sekali pagi ini. Ngantukmu pasti langsung
lenyap kalau kena air."
"Nggak, kupikir nggak begitu," Todd tetap menolak sambil
mendesah capek. "Aku mau kembali tidur, oke?"
Ia memutuskan sambungan sebelum Matt dapat menjawab.
Matt meletakkan kembali gagang telepon, mencoba
membayangkan Todd pacaran dengan cewek cantik di pantai. Todd
jarang punya nyali untuk mengajak kencan cewek. Ia memerlukan
waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya merasa cukup nyaman untuk
mengobrol dengan April, Matt ingat, meskipun mereka bertiga pergi
ke mana-mana bersama-sama.
Yah, semoga berhasil, Todd! batinnya. Ia penasaran apakah
Jessica ini sehebat yang digambarkan Todd. Dia pasti memesona,
pikirnya. Todd kedengarannya seperti terbius total!
Sambil bersandar pada meja, tangannya masih berada di atas
gagang telepon, Matt bertanya-tanya siapa yang mungkin bisa
ditelepon untuk diajaknya berselancar. April telah memberitahunya
bahwa ia harus menjaga adik-adiknya.
Mungkin Ben bisa, pikirnya. Tak mungkin dia sudah main
game sepagi ini. Ia mencari nomor telepon Ben di dalam buku daftar nomor
lokal yang tipis dan menghubunginya. Ditunggunya nada panggil
sampai berbunyi delapan kali, lalu ditutupnya telepon dengan kecewa.
"Hei, Dad?" panggilnya ke teras. "Mau main tenis?"
************************ Todd dan Jessica duduk berdampingan di Pizza Cove ketika
Matt dan April datang pukul delapan lewat sedikit.
"Mesra sekali mereka," bisik April, melambai pada Todd di
seberang restoran kecil yang ramai itu dan mendesak melewati barisan
anak-anak yang menunggu meja kosong. Ia melihat Jessica memeluk
leher Todd dengan sangat mesra.
Todd tersipu-sipu ketika April dan Matt duduk di hadapan
mereka. "Hei, guys."
"Hai, aku Jessica," Jessica memperkenalkan diri, menyibakkan
rambutnya ke belakang bahunya yang kurus dan pucat. Ia mengenakan
blus pendek sebatas perut berwarna hijau yang memamerkan kulitnya
yang putih di bagian atas dan bawahnya.
April melihat bekas lipstik berwarna gelap tepat di bawah
telinga Todd. Tentu saja kelihatannya Jessica menyukai Todd,
pikirnya. Dia tampak terlalu canggih buat Todd.
April memarahi dirinya sendiri karena berpikir begitu. Aku
cuma iri karena dia cantik sekali, batinnya.
"Aku sudah pesan piza," kata Todd, sambil nyengir pada Matt
di seberangnya. "Kau dari Shadyside juga?" Jessica bertanya.
April dan Matt menjawab ya bersamaan.
April mengagumi kuku-kuku Jessica, panjang dan sempurna
serta dicat ungu gelap yang dramatis, sepadan dengan lipstiknya.
Sambil merapatkan diri pada Todd, tanpa sadar Jessica mengusapusap lengan cowok itu.
Rajawali Emas 13 Pendekar Naga Mas Karya Yen To Pedang Kayu Harum 8
BAGIAN SATU CIUMAN PERTAMA Bab 1 CIUMAN PERTAMA JESSICA berjalan dengan cepat melewati toko-toko kecil dan
restoran-restoran, sandalnya berdetak-detak di atas trotoar yang
terbuat dari papan. Ia berhenti di depan Beach Emporium, toko
pakaian terbesar di Sandy Hollow, dan mengintip ke dalam
etalasenya. Di situ tercantum tulisan berbunvi: BIKINI DISKON 50%.
Jessica berdecak-decak sendiri. Apakah itu maksudnya cuma
melucu" Tidak. Mrs. Hopping, wanita tua pendiam yang keluarganya
telah memiliki Beach Emporium selama ratusan tahun, tidak suka
bercanda. Ia galak dan selalu cemberut, hanya tersenyum saat
menekan tombol-tombol mesin kasnya yang kuno untuk menerima
pembayaran dari pembeli yang memborong.
Sebentar lagi Mrs. Hopping akan banyak senyum, pikir Jessica.
Tepat di luar kota, Beach Haven Drive sudah penuh dengan
mobil orang-orang musim panas yang berdatangan untuk membuka
rumah pantai mereka. Beberapa hari lagi turis-turis berkulit putih akan
bergeletakan di pasir sepanjang hari, berjemur, lalu memadati kota
kecil itu pada malam hari, semuanya berkulit kemerahan dan
berkeringat, dengan antusias berpesta dan belanja, belanja, belanja.
Jessica melihat-lihat pakaian renang di etalase. Sebuah bikini
oranye terang tampak mencolok. Mungkin menyala dalam gelap, pikir
Jessica sambil memutar bola matanya. Norak.
Matahari telah menghilang di balik gedung-gedung rendah yang
beratap sirap dan berdinding papan di sepanjang Main Street. Dari
samudra berembus udara malam yang dingin ke arah timur. Suara
keras dan tawa terdengar dari restoran Pizza Cove di seberang jalan.
Asyik, pikir Jessica. Musim panas baru. Musim liburan baru.
Orang-orang baru. Sambil menyibakkan rambut lebatnya yang berwarna tembaga
ke balik bahu sweter katun hitamnya, ia mendorong pintu toko itu. Bel
di atas pintu itu berdenting ketika Jessica melangkah masuk. Ia
terkejut karena Mrs. Hopping tidak berada di tempat biasanya di balik
meja layan perhiasan. Toko itu beraroma rempah-rempah manis, cengkih, dan kayu
manis, yang berasal dari bagian bunga rampai. Berani taruhan, itu
pasti laris, pikir Jessica, sambil mengambil sekantong dan
mendekatkannya ke hidungnya untuk menciumnya. Orang-orang
musim panas akan melakukan apa saja untuk menyingkirkan bau apek
dari rumah mereka. Ia berjalan melewati bagian pakaian renang dan perlengkapan
pantai menuju ke rak rok, blus, dan gaun musim panas yang beraneka
warna, yang menempel di dinding. Aku butuh yang seksi tapi tak
terlalu terbuka, pikirnya, sambil menarik rok bermotif bunga merah
dan kuning yang berpasangan dengan blus pendek sebatas perut, tapi
buru-buru mengembalikannya.
Sebelum dapat melihat-lihat lagi, ia mendengar bunyi langkah
di lantai kayu, dan suara dari belakangnya menyapanya dengan ceria.
Jessica berbalik, terkejut melihat Lucy Franks, cewek kota yang sudah
dikenalnya bertahun-tahun.
Mereka bersalaman. "Kau bekerja di sini?" tanya Jessica,
sambil kembali melihat ke rak pakaian itu.
"Ya. Cuma malam hari," sahut Lucy ramah. "Kota ini sedang
ramai. Aku senang." "Aku juga," kata Jessica, sambil memegang blus merah tua.
"Warnanya tak cocok buatmu," kata Lucy menolong. Lalu ia
menambahkan, "Rambutmu bagus. Rambutku selalu berantakan.
Susah diatur karena di sini lembap sekali."
"Udara lembap bagus untuk kulitmu," kata Jessica, sambil
mengembalikan blus merah tua itu, lalu tangannya beralih ke rak
bawah. Kulit Jessica putih susu, pucat, dan mulus, merupakan
kelebihannya yang utama. Kulit yang nyaris tembus cahaya itu kontras dengan matanya
yang cokelat tua serta bibirnya yang merah penuh. Rambut merahnya
yang panjang tergerai membingkai tulang pipinya yang tinggi dan
membuat penampilannya sangat dramatis, sangat canggih.
" Senang sekali melihat banyak orang di kota ini," kata Lucy,
sambil merapikan tumpukan T-shirt longgar. "Sandy Hollow
sangat,membosankan di musim dingin."
"Ya. Seperti hidup di Antartika atau di mana," Jessica setuju.
"Apa kegiatanmu musim panas ini?" Lucy bertanya.
"Kupikir cuma jalan-jalan," sahut Jessica. "Menurutmu yang ini
bagus nggak?" Ia memegang rok pendek biru laut dengan blus bertali
leher. "Yah, kau mau cari yang gimana?" Lucy balik bertanya, sambil
menepuk-nepuk tumpukan T-shirt itu untuk terakhir kali dan
menghampiri Jessica. "Yang agak mencolok?"
"Nggak terlalu mencolok," jawab Jessica, sambil merenung
serta memegang rok dan blus itu. "Bcsok malam aku punya kencan
buta." Lucy cekikikan. "Kencan buta" Wow. Itu masih ada, ya?"
Mata Jessica berbina-binar. "Aku diajak semacam kencan
buta"tahu, kan. Temannya temanku bilang cowok ini cakep banget,
dan..." "Siapa namanya?" tanya Lucy. "Apa aku kenal?"
"Gabriel Martins," sahut Jessica. "Orang-orang memanggilnya
Gabri." Ebukulawas.blogspot.com
Lucy menggeleng. "Aku nggak kenal." Ia mengambil gaun yang
dipegang Jessica dan mengamatinya. "Coba saja. Mungkin bagus
buatmu. Kau tinggi sekali dan kakimu bagus. Kau mirip model."
Jessica tertawa. "Lucy, kau memang tahu cara menjual!"
Lucy tersipu-sipu. "Nggak. Aku serius, Jessica. Sungguh." Ia
mengulurkan kembali gaun itu, dan Jessica bergegas ke kamar pas
untuk mencobanya. Dilepaskannya jinsnya dan dipakainya gaun itu.
Pas sekali. "Di luar sini ada cermin kalau kau perlu," Lucy berkata.
"Oke. Ini pas sekali," jawab Jessica.
Tak lama kemudian, setelah membayar gaun itu, ia
melambaikan tangan kepada Lucy dan keluar dari toko itu kembali ke
Main Street. Di seberang jalan, beberapa remaja memasuki Pizza
Cove. Di sebelahnya, Mini Market dipenuhi pembeli yang berbelanja
bahan makanan untuk persediaan di rumah mereka. Mobil-mobil
diklakson sementara pengemudinya mencari-cari tempat parkir di
jalan sempit itu. Musim panas, aku datang! pikir Jessica dengan bahagia, sambil
memegang erat tas belanjanya menyeberangi Main Street, misinya
sudah tercapai, dan ia pulang.
****************** Gabri Martins tinggi dan sangat kurus, mukanya tirus dan pucat,
rambutnya yang hitam lurus disisir ke belakang, matanya hitam dan
penuh semangat, senyumnya yang ramah dan lebar tidak sesuai
dengan wajah seriusnya. Cakep sekali dia, pikir Jessica ketika cowok itu muncul dalam
jins denim hitam dan T-shirt biru pucat, melangkah di bawah kerlapkerlip lampu teras Harbor Palace, satu-satunya gedung bioskop kota
itu. Senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia juga menyukai
penampilan Jessica. Jessica lebih dulu sampai di situ, gugup dan gelisah. Bagaimana
aku tahu dia yang mana" tanyanya dalam hati. Sementara barisan
orang-orang yang tertawa-tawa dan ngobrol memasuki teater itu,
Jessica menunggu di teras, dengan gugup merapikan gaun barunya,
bertanya-tanya sendiri mengapa ia membiarkan dirinya mau diajak
kencan buta. Sejenak kemudian ia sadar dialah satu-satu-nya orang yang
masih menunggu. Film pasti sudah mulai main, katanya pada diri
sendiri, sambil melirik jam dinding besar di luar Mini Market. Gabri
bahkan belum muncul juga.
Tapi lalu cowok itu tampak berjalan di bawah lampu teras,
tersenyum ramah dan lebar, hingga kegugupan Jessica menghilang.
"Sori, aku terlambat," kata cowok itu, sambil menggandengnya
menuju ke dalam teater. Di dalam suasana gelap dan hangat serta berbau kucing dan
apek. Jessica tersandung di gang, pelan-pelan matanya menyesuaikan
diri dengan kegelapan. Gabri menangkapnya sebelum ia jatuh.
Bagus, Jessica, omelnya dalam hati. Cara jitu untuk
menimbulkan kesan. Sekarang dia tahu kau kikuk!
Mereka duduk di deretan belakang. Sebentar-sebentar Jessica
melirik Gabri, terlalu tegang untuk memusatkan perhatian pada film.
Mata Gabri yang gelap bercahaya dalam sorot lampu layar film yang
berkedip-kedip. Ekspresinya tetap serius meskipun film itu lucu.
Sekitar pertengahan film, Gabri mendekat ke Jessica dan
berbisik, "Kau suka film ini?"
"Nggak begitu suka," jawab Jessica jujur.
"Ayo kita keluar," kata Gabri, tiba-tiba berdiri dan tersenyum
meyakinkan. Beberapa saat kemudian mereka kembali berada di luar. Udara
berbau segar dan asin. Gumpalan awan tipis gelap melayang melewati
bulan purnama yang tergantung rendah di langit, oegitu rendah hingga
seakan melayang di atas atap sirap tempat pangkas rambut yang gelap
di seberang jalan. Swanny's, yang menjual es krim dan menyediakan video game
di dekat teater itu, penuh dengan orang muda. Di luar jendela layan
ada antrean, orang-orang berdiri berkelompok-kelompok berdua atau
berempat, mengobrol dan tertawa sambil menunggu es krim dan milk
shake. "Mau beli sesuatu?" Gabri bertanya, menunjuk antrean itu.
Jessica menggeleng. "Nggak, kecuali kau mau."
"Kenapa kita nggak ke pantai saja?" kata Gabri. "Di sana lebih
tenang. Kita bisa ngobrol." Mata hitamnya seolah memerangkap mata
Jessica. Saat balas menatap cowok itu, Jessica merasa terhipnotis.
"Uh... oke," ia akhirnya menjawab, sambil memaksa diri segera
mengubah sikap. Pasti dikiranya aku benar-benar bego, pikirnya suram. Biasanya
aku begitu yakin, begitu percaya diri. Mengapa bersama dia aku jadi
begitu kikuk, begitu tak yakin pada diri sendiri"
Mereka berjalan sepanjang Dune Lane, yang berkelok-kelok
dari kota melintasi bukit pasir berumput turun ke pantai. Perjalanan
yang singkat, sekitar sepuluh menit. Bulan bersinar terang dengan
gumpalan-gumpalan awan yang membayang seakan bergerak
mengikuti, menuntun mereka.
Setelah meluncur menuruni bukit pasir, mereka melepas sepatu
dan mengonggokkannya di samping rumput. Pasir terasa dingin,
lembut, dan basah di bawah kaki Jessica. Ia menyusupkan kakinya ke
dalam pasir, menikmati sensasinya, menikmati udara yang segar dan
asin, menikmati bulan pucat yang mengirimkan seberkas cahaya yang
bergetar melintasi ombak samudra yang menggulung, dan berbagi
semuanya ini dengan cowok yang baru dikenalnya.
Ia menarik napas dalam, lalu memejamkan mata. "Baunya segar
sekali," katanya senang, sambil melingkarkan lengannya di sekeliling
dada seolah memeluk dirinya sendiri.
"Kau kedinginan?" Gabri bertanya, tiba-tiba suaranya penuh
perhatian. Jessica membuka mata dan melihat cowok itu sedang
memandanginya. "Aku suka gaunmu," kata Gabri. "Kupikir kau
kedinginan. Maksudku..."
Jessica menggeleng. "Tahu apa yang kusukai" Aku suka lari."
Sebelum cowok itu dapat menanggapi, ia bangkit berlari
sepanjang pantai, kakinya yang telanjang melontarkan gumpalangumpalan pasir basah, gemuruh ombak terdengar di telinganya, angin
samudra mengembangkan rambutnya.
Sesaat kemudian ia baru menyadari bahwa Gabri berada tepat di
sampingnya, menyamakan langkah demi langkahnya dengan Jessica
tanpa menemui kesulitan. Matanya mencari-cari mata Jessica,
lengannya terentang seolah akan terbang.
Jessica berbalik dan menjauhi air, kakinya tertahan di pasir.
Cowok itu meloncat bersamanya, meringis, kadang di sampingnya,
kadang selangkah di belakangnya, kadang selangkah di depannya.
Tanpa isyarat, mereka berdua menjatuhkan diri ke bukit pasir
yang berumput lembut, berguling-guling bersama dengan gembira,
keduanya tertawa seperti anak kecil, menggelinding di pasir, kulit
mereka bergesekan lembut dengan rumput tinggi.
Akhirnya mereka berdiri, sambil masih tertawa dan tidak
kehabisan napas sedikit pun, lalu menyingkirkan pasir dari pakaian
mereka. Gabri memegang tangan Jessica.
Dan menariknya mendekat. Gabri tampak sangat tampan dalam sinar bulan yang melayang
rendah. Ia tahu cowok itu akan menciumnya.
Ia ingin dicium cowok itu.
Gabri tidak berkata sepatah pun. Memang tidak perlu. Mata
yang gelap dan tajam itu sangat intens, sangat menghipnotis. Mata itu
mengatakan segalanya. Dan sebelum ia sadar, Gabri memeluknya.
Wajah Gabri mendekat. Semakin dekat.
Ia menatap ke dalam mata cowok itu dan sekali lagi tersihir.
Lalu ia melihat mulut Gabri membuka.
Dan taring-taring tajam muncul.
Sangat berkilauan dan tajam, berkilat-kilat dalam cahaya bulan.
Dengan lembut, sangat lembut, Gabri mendongakkan dagunya.
Dan menancapkan taringnya dalam-dalam ke leher Jessica yang
halus dan pucat. Bab 2 HAUS JESSICA mengerang. Ia mengangkat tangannya ke bahu Gabri
dan mendorongnya. "Hei...," teriak Gabri, terkejut oleh kekuatan Jessica. Taringnya
masih berkilauan dalam cahaya bulan yang samar-samar.
"Dasar idiot!" bentak Jessica, sambil mendorong cowok itu lagi.
"Aku kan Makhluk Abadi juga!"
"Hah?" Gabri melangkah mundur, kebingungan.
Mata Jessica melebar, seperti bara api merah yang bersinar
dalam kegelapan. Taringnya turun, melengkung ke dagunya. Ia
tertawa menghina. "Idiot," ulangnya, sambil menggeleng, rambutnya
yang lebat panjang berkibas di punggungnya.
"Bagaimana aku bisa tahu?" tukas Gabri marah, mukanya
mengencang cemberut. Cahaya di mata Jessica memudar. "Aku beli gaun baru dan
macam-macam," gumamnya.
"Nah kenapa kau tak bilang-bilang?" tanya Gabri, sambil
menyilangkan lengan kurusnya di depan tubuhnya.
"Aku harus bilang apa?" seru Jessica sengit. "Halo. Senang
bertemu kau. Aku Makhluk Abadi. Bagaimana denganmu?"
Cowok itu mengerang dan menendang pasir, sambil
menghindari tatapan Jessica.
"Kencan buta," gumam Jessica. "Seharusnya aku tahu yang
lebih baik daripada kencan buta dengan anak kota."
"Kau membuang-buang waktuku malam ini," kata Gabri
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jengkel, lengannya masih tersilang.
"Boo-hoo," sahut Jessica mengejek. "Aku patah hati, kenapa
kau tidak" Tahu tidak, kau benar-benar mengecewakan" Begitu ya
cara yang kautempuh selama ini" Minta orang lain mengatur kencan
buta dengan cewek malang yang tak curiga sama sekali" Kau tak
percaya diri untuk bikin kencan sendiri?"
"Kenapa tak kausembunyikan taringmu?" bentak Gabri, sambil
memandang permukaan laut. "Bukan aku yang mengecewakan.
Kaulah yang setuju dengan kencan buta ini. Aku hampir tak percaya.
Lagakmu begitu manis dan polos."
Jessica tertawa. "Aku memang manis," ia berkeras. Lalu ia
menambahkan dengan pura-pura malu-malu, "Tapi terlambat bagimu
untuk membuktikannya."
Gabri berseru muak. "Tapi aku membutuhkan nektar!" Ia
berbalik menghadap Jessica. "Tanpa nektar aku akan mati."
"Di mana kaudapat aturan itu" Dari film horor kuno?" gurau
Jessica, sambil menggeleng. Ia mengulang ucapan Gabri dengan
menirukan suaranya yang melengking putus asa. "Tanpa nektar aku
akan mati." "Tidak lucu. Kau benar-benar menyebalkan," kata cowok itu
pelan. Awan yang menggumpal melayang meninggalkan bulan, dan
pantai menjadi terang seolah ada yang menyalakan lampu. Dalam
cahaya putih, Gabri berumur seratus tahun. Wajahnya remaja, seperti
wajahku, pikir Jessica, sambil memandangi cowok itu. Tapi kulitnya
sangat pucat dan rapuh, tertarik sangat kencang di atas tulangnya. Dan
dalam cahaya, matanya tua"kuno dan kejam.
"Dengar, Gabri," Jessica agak memperlembut nada suaranya,
"aku juga membutuhkan nektar, tahu. Musim dingin di sini lama."
Ia menyibakkan rambutnya ke balik bahunya ketika
sekelompok remaja lewat, sambil membawa pendingin minuman dan
papan Boogie. Salah satu cowok, yang terpisah dari kelompoknya,
berhenti untuk memandangi Jessica, lalu bergegas mengejar temantemannya.
"Ternyata lumayan juga gaun ini," kata Jessica, sambil
melicinkan gaunnya dengan tangan.Tatapannya mengikuti cowok
yang memandanginya tadi. "Darah segar," katanya dengan lapar.
"Darah segar," ulang Gabri dengan suara rendah yang nyaris
terbawa angin. "Darah segar tersebar di pantai ini"tapi aku malahan
di sini denganmu." "Tolol," kata Jessica.
Gabri kembali cemberut. "Idiot"itu cuma bercanda!" seru Jessica, dengan bergurau
mendorong Gabri ke bukit pasir. "Apa kau tak bisa bercanda?"
"Jangan dorong aku lagi," Gabri memperingatkan, suaranya
berubah menjadi kejam. Ia tampak mengapung dari pasir, ringan
seperti Iayang-layang, dan melayang di atas Jessica. "Aku tak bisa
bercanda, kalau mengenai nektar."
"Pergi kau!" usir Jessica. "Aku tak peduli kau Makhluk Abadi
atau bukan. Kau makhluk yang paling menyebalkan yang pernah
kujumpai." Gabri menatapnya dengan dingin seolah mencoba memutuskan
bagaimana harus bereaksi, apa yang akan dilakukannya pada cewek
itu. Dia mencoba menakut-nakutiku, pikir Jessica.
Baiklah, dia akan mendapat kejutan. Dia boleh saja
memelototiku selama yang diinginkannya. Dikiranya gampang
menakut-nakutiku" Dan jika dia berani coba-coba, akan kupotongpotong dia.
Mereka masuk ke dalam bayang-bayang ketika dua cowok
berjalan melintasi bukit pasir itu. Kedua cowok itu cepat-cepat
bergabung dengan kelompok yang sudah memulai pesta api unggun di
pantai. "Darah segar," bisik Gabri. "Mungkin belum terlambat.
Mungkin belum seluruh waktuku malam ini yang tersia-sia gara-gara
kau." "Apa yang akan kaulakukan?" tanya Jessica, bahkan tanpa
berusaha menyembunyikan nada mengejek dalam suaranya.
"Mencoba kencan buta yang lain?"
Gabri tidak menghiraukannya. "Aku mem-utuhkan nektar,"
bisiknya, tanpa berusaha menutupi keputusasaannya. "Aku
membutuhkannya." Lalu sambil mengangkat lengannya ke atas
kepalanya, ia mulai berputar.
Awan menutupi bulan sehingga bukit pasir itu gelap sama
sekali. Gemuruh samudra makin menggelora. Angin berpusar dalam
lingkaran besar. Dalam kegelapan rumput bukit pasir yang bergoyang, Gabri
berputar hingga tidak kelihatan. Ketika awan melayang menjauhi
bulan dan cahaya bulan yang pucat bersinar menyorot lagi, gelora
ombak lautan mereda, dan angin menjadi tenang, ia muncul sebagai
kelelawar, ungu dan hitam warnanya. Mata gelap binatang itu
memandangi Jessica dengan ketajaman yang sama, mulutnya terbuka,
menampakkan taring runcing yang berlumuran air liur putih.
Kelelawar itu mendesis pada Jessica, menerpa mukanya,
sehingga Jessica terhuyung-huyung ke belakang sambil menutupi
mukanya dengan lengan. Lalu, masih sambil mendesis, si kelelawar
mengepak-ngepakkan sayapnya terbang ke atas hingga lenyap ditelan
langit gelap. Beberapa saat kemudian, Jessica berputar di antara rumputrumput tinggi. Dalam sekejap ia pun berkepak-kepak terbang ke atas
untuk bergabung dengan teman bersayapnya di langit.
Aku sangat haus. Haus sekali.
Aku juga membutuhkan nektar, pikirnya.
Aku membutuhkan nektar. Aku sangat membutuhkannya.
********************* Monica Davis berjalan sambil menenteng sandalnya, kakinya
terbenam ke dalam pasir basah. Ia mengamati cahaya yang pelanpelan menghilang di atas samudra ketika awan melayang melintasi
bulan. Temannya, Elly Porter, membungkuk untuk memungut batu
putih halus, lalu melontarkannya ke air.
"Aku kedinginan," Elly mengeluh, sambil berlari kecil dengan
cepat untuk mengejar Monica, lututnya terangkat tinggi seakan
dengan demikian tubuhnya akan tetap hangat.
"Aduh enaknya," kata Monica, sambil memejamkan mata,
semburan air laut menempel pada rambut pirangnya yang ikal. "Aku
senang bisa menyingkir dari cottage," tambahnya, sambil melangkah,
menikmati bunyi kakinya yang bergemeresik di atas pasir.
"Kapan kau sampai di sini?" tanya Elly, sambil menoleh
melihat ke atas temannya dan berjalan mundur. Angin mengepakngepakkan T-shirt-nya yang gombrong.
"Tadi malam," sahut Monica. "Dan, tentu saja, Dad ngamuk.
Seperti biasa." "Gara-gara apa kali ini?"
"Dua tirai robek. Dan ada semacam sarang serangga di dalam
rumah. Menurutku sih lebah. Maka dia mulai ngomel dan merepet
tentang betapa kami telah membayar mahal buat rumah musim panas
itu, paling tidak si pemilik dapat menjamin tirainya utuh. Kasihan
Dad." Monica menggeleng-geleng. "Dia cuma merasa sangat tertekan.
Dia selalu perlu istirahat sebulan. Dan sesudah itu..."
Tiba-tiba ia berhenti. Elly berhenti juga, dan mengikuti pandangan temannya ke atas
ke langit biru gelap. "Oh!" pekik Elly, sambil meraih lengan Monica.
"Apa itu"kelelawar?"
Monica menjerit lirih saat dua makhluk hitam melayang di
atasnya. Sayap keduanya mengepak-ngepak seperti seprai pada tali
jemuran. "Lari!" seru Elly, sambil menarik lengan Monica.
Monica menghentikan langkahnya. "Pantai ini penuh dengan
kelelawar di malam hari," katanya, sementara matanya tetap menatap
kedua makhluk yang melayang-layang itu. "Mereka tinggal di pulau di
sana itu. Kau lihat?" Ia menunjuk ke pulau berhutan gelap di seberang
samudra di belakang dermaga kecil, batasnya tampak pada cakrawala
yang ungu. "Apakah di sana ada penghuninya?" tanya Elly. "Gelap sekali."
"Kukira di sana dulu ada beberapa rumah pantai," sahut
Monica. "Tapi kau bisa sampai ke sana hanya dengan naik perahu.
Tapi menurutku tak ada orang yang tinggal di sana. Cuma kelelawar."
"Seram sekali," kata Elly, sambil mendekat ke Monica, matanya
terpaku pada kedua kelelawar yang tampaknya terbang bersama.
"Mereka cuma berputar-putar," kata Monica pelan, "tapi tak
berbahaya." Saat ia mengucapkannya, salah satu kelelawar menukik ke arah
Elly. Elly tidak sempat bergerak ataupun berteriak.
Ia melihat mata merah berkilat-kilat.
Mendengar desir angin, siulan melengking, pekikan serangan.
Ia merasa kelelawar itu menarik rambutnya.
Menyambar mukanya. Panas dan basah. Berbulu. Lengket.
Ia dicakar. Pipinya tertampar sayap. "Tolong!" jeritnya. "Oh, Monica"tolong aku!"
Bab 3 MEMILIH KORBAN "TOLONG, Monica!"
Sambil mengibas-ngibaskan lengannya dengan panik, Elly
berusaha menyingkirkan penyerangnya.
Monica ragu-ragu sesaat, takut menghadapi serangan itu, lalu
cepat-cepat maju menolong temannya.
Ketika ia mendekati Elly, kelelawar kedua meluncur ke bawah.
Monica menjerit dan mengangkat tangan untuk melindungi diri.
Ia bisa merasakan sergapan udara dingin saat makhluk itu
melewatinya dengan cepat.
Lalu, yang mengejutkan Monica, ternyata kelelawar kedua
muncul untuk menyerang yang pertama, terbang mengejarnya,
mendorongnya dengan sayap, mendesis padanya, menabraknya hingga
menjauh dari Elly. Sambil memekik marah, kelelawar pertama menahan serangan
itu. Namun kelelawar kedua, dengan mata merah berkilat-kilat,
menampar dan menyambar hingga kelelawar pertama terdorong
menjauh. Masih sambil menutupi muka, kedua cewek itu tercengang
melihat kedua kelelawar terbang tinggi ke dalam kegelapan dan
menghilang di atas bukit pasir itu.
"Kau tak apa-apa?" tanya Monica, buru-buru memeluk
temannya. Seluruh tubuh Elly gemetaran. Kulitnya dingin dan bulu
kuduknya berdiri. "Rasanya begitu," bisiknya tak pasti.
"Ayo kita pergi," kata Monica.
Mereka mulai berlari kembali menuju ke rumah-rumah pantai di
ujung utara pantai. Seluruh serangan itu berlangsung kurang dari sepuluh detik,
pikir Monica. Tapi itu sepuluh detik yang takkan dilupakannya.
Kenapa sih kelelawar-kelelawar itu" tanyanya dalam hati. Ia
berlari sambil mengamati langit hitam kelam.
********************* Di ujung selatan pantai, terpisah dari kerumunan rumah pantai,
jauh dari bukit pasir berumput, sebuah karang tinggi mencuat ke
permukaan samudra, condong ke air seolah mencoba meraih pulau
berhutan yang gelap di seberangnya.
Dalam bayang-bayang karang kokoh ini, terasing, dan sunyi,
kecuali hanya ada empasan ombak ke pantai yang tak kenal kasihan,
dua kelelawar melayang turun ke tempat pertemuan antara pasir dan
karang. Setelah berputar cepat di pasir, mereka berubah bentuk
menjadi seorang cowok dan seorang cewek yang sedang berdiri
berhadapan. "Kau kenapa sih?" tanya Gabri, sambil memelototi Jessica dan
berkacak pinggang. "Aku tak punya pilihan," jawab Jessica marah.
"Tapi aku haus sekali!" kata Gabri. "Satu isapan..."
"Tidak," sela Jessica tegas.
"Bukan urusanmu...," bantah Gabri.
Jessica mengibaskan rambut panjangnya ke belakang dengan
menyentakkan kepalanya. "Apa tak kaulihat betapa ramainya pantai
itu?" tanyanya. "Apa tak kaulihat berapa banyak orang yang sedang
mengawasi?" Ia tidak memberi Gabri kesempatan untuk menjawab. "Apa kau
ingin semua orang ketakutan sebelum musim panas dimulai" Pakai
otakmu, Gabri. Jangan-jangan sudah ikut-ikutan kering!" Lalu ia
tersenyum sambil bergurau, "Kau bisa mencemarkan nama baik
vampir!" Gabri menggeram marah pada Jessica, mirip suara binatang
yang mengerikan. Taringnya mclengkung turun di atas dagunya.
Icssica tidak mundur. "Cukup dengan satu serangan goblok
seperti itu, dan semua darah segar akan lari menjauh. Pihak kota akan
menutup pantai sampai masalah kelelawar terpecahkan."
Gabri berbalik dengan marah, tidak sudi mengakui bahwa
Jessica benar, bahwa ia bersikap bodoh. "Dia sangat lembut dan
ranum," gerutunya. "Kau memang menjengkelkan," kata Jessica. "Sudah kusebut
belum tadi?" Ia tetap memunggungi Jessica dan memandangi karang-karang
yang miring terjal ke jurang. "Aku muak dengan hinaanmu," desisnya
pahit. "Itu bukan hinaan. Itu pujian," gurau Jessica.
Dengan marah Gabri berputar menghadap Jessica lagi, raut
mukanya tegang. "Berapa umurmu?" tanyanya.
"Hah?" Bibir penuhnya membentuk huruf O karena terkejut.
"Cukup tua untuk tabu lebih banyak daripada kau," jawab Jessica,
sambil tertawa senang dan puas.
Gabri terus-menerus menatap marah padanya. Jessica mencoba
melihat ke arah lain, tapi Gabri menahan tatapannya. "Kaupikir dirimu
benar-benar jagoan, ya?"
Jessica mengangguk. "Kaupikir dirimu lebih baik daripada aku."
Jessica mengangguk lagi. Ia kembali mencoba mengalihkan tatapannya. Tapi kekuatan
tatapan cowok itu begitu kuat.
Lama mereka berpandangan dalam sunyi, sama-sama terpaku
oleh kekuatan tidak kasat-mata yang kuno.
"Bagaimana kalau kau kutantang?" tanya Gabri akhirnya.
"Kau menantangku?" Berlawanan dengan kehendaknya sendiri,
Jessica tertarik pada Gabri.
"Kita bertaruh," kata Gabri, pelan-pelan senyum mengembang
di wajahnya yang tampan. "Aku akan menang," ujar Jessica datar, wajahnya tanpa
ekspresi, hanya matanya yang hidup.
Senyum segera menghilang dari wajah Gabri. "Tidak, kau
takkan menang. Kau akan kalah."
"Taruhannya apa?" tanya Jessica pelan, tertarik ke arah Gabri,
terperangkap dalam cengkeramannya, tertawan oleh tatapannya. "Kau
mau bertaruh memegang Red Sox?"
Gabri tidak tertawa. "Aku tak suka gurauanmu," katanya marah.
"Iri," tuduh Jessica. Lalu ia menjerit, "Jangan terus-terusan
memandangiku, Gabri!"
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jessica lega, karena cowok itu menurut mengalihkan
pandangannya. Tapi senyumnya tersungging, menandakan ia senang
punya kekuatan untuk mempengaruhi Jessica. "Kau mau dengar
taruhan itu tidak?" tanyanya tajam.
"Tentu." Jessica berpindah ke samping Gabri dan bersandar ke
batu karang miring. Terasa dingin di punggungnya. Sejuk.
"Kita berdua membutuhkan nektar," kata Gabri, sambil
mengulurkan tangan dan menyusupkan jemarinya ke rambut Jessica
yang panjang. "Kita benar-benar membutuhkannya
"Aku tak mau mengejar mangsa," kata Jessica tajam.
Gabri tidak mengacuhkan kejengkelan Jessica, terus menyisir
rambutnya dengan jemarinya yang kurus panjang. "Kenapa tidak kita
lihat siapa di antara kita yang lebih baik dalam mendapatkan nektar?"
Jemarinya bergerak dengan pelan, berirama di sepanjang rambut
Jessica, sehingga cewek itu merinding. "Kenapa tidak kita lihat siapa
di antara kita yang lebih berhasil dengan manusia muda, siapa di
antara kita yang lebih menarik, lebih memikat?"
Jessica gemetar, lalu memegang lengan Gabri, dengan lembut
menariknya dari rambutnya. "Apa yang kauusulkan, Gabri?"
tanyanya, tanpa melepaskan lengan Gabri.
"Aku akan mendapatkan cewek dengan kekuatanku sebelum
kau bisa mendapatkan cowok yang tunduk padamu," kata Gabri,
wajahnya berseri-seri menantang.
Ekspresi Jessica tampak jijik. "Maksudmu kau akan terbang ke
pantai dan menyerang cewek sebelum aku bisa menyerang cowok
seperti tingkahmu yang kekanakan dan menjijikkan malam ini?"
Gabri meremas tangannya. "Bukan, bukan," katanya pelan.
"Bukan seperti itu. Tiga isapan, Jessica. Tiga isapan kecil yang teratur
pada tiga malam yang berlainan. Itulah yang akan mengubah manusia
menjadi Makhluk Abadi. Kalau terlalu banyak diminum, manusia itu
akan mati. Tiga isapan kecil yang teratur"dan manusia itu hidup
selamanya, seperti kita."
"Jadi apa maksudmu?" tanya Jessica, jadi semakin tertarik.
"Kau akan memilih seorang cewek, cewek hidup, dan mengisap
darahnya tiga kali pada tiga malam yang berlainan, dan mengubahnya
jadi Makhluk Abadi?"
"Ya!" sahut Gabri penuh semangat. "Aku akan melakukannya
sebelum kau bisa melakukan hal yang sama pada seorang cowok. Apa
katamu, Jessica" Kauterima tantangan ini?"
Ia memejamkan mata dan menggeleng. "Tidak."
"Tidak" Kenapa tidak?"
"Terlalu mudah," jawabnya, senyum jahat tersungging di
bibirnya. "Aku akan menang lerlalu cepat. Kau bukan tandinganku.
Pada saat kau bikin kencan buta, aku sudah menguasai korbanku." Ia
melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa.
Gabri menjulurkan lidahnya. "Seperti yang kuduga. Kau cuma
pintar ngomong, Jessica, kau takut bertanding melawanku. Kau tahu
cewek-cewek tak bisa menolakku."
"Aku bisa menolakmu," balasnya, sambil menyilangkan lengan
di dadanya. "Lalu kenapa tak kauterima tantanganku?"
Ia mengulurkan tangan dan meremas dagu cowok itu dengan
main-main. "Jangan mendesak-desak terus, Gabri sayang," godanya.
"Aku malahan ingin menambah taruhan itu. Agar kau punya sedikit
kesempatan untuk menang."
Gabri menjauhkan dagunya dari tangan Jessica dan mendengus
marah. Jessica menjentikkan jari-jarinya. "Aku sudah dapat ide! Ini
akan membuat taruhan kita lebih menarik."
Gabri meliriknya. "Apa?"
"Kau yang memilih cowok yang akan kugarap, oke?" katanya,
merasa senang dengan gagasannya. "Kau yang memilihkan korbanku,
Gabri"dan aku akan memilihkan korbanmu."
"Ya!" seru Gabri. "Hebat!"
Sebelum menyadarinya, mereka telah berputar bersama,
berpusar dengan angin di bawah batu karang yang terjal dan halus,
berpusar bersama-dan lalu menanjak terpisah, menembus ke langit
gelap, menjulang tinggi, lalu menukik ke atas pantai, yang masih
penuh dengan rombongan-rombongan orang muda di sana-sini.
Orang muda yang lunak, pikir Jessica dengan lapar, sambil
melayang-layang rendah. Orang muda yang lunak. Sambil mengepak-ngepakkan sayapnya cukup tinggi agar tidak
membuat mereka takut, ia mengamati wajah-wajah yang gembira itu.
Dan sangat tergiur. Bab 4 MENYERGAP DARI BELAKANG APRIL BLAIR tahu ia terjebak.
Ia mundur tanpa daya ke sudut dan menunggu nasibnya.
"Oh, jangan! Hentikan!" jeritnya, sambil mengangkat tangannya
untuk melindungi diri. Tapi kedua adiknya, Courtney dan Whitney, yang dijulukinya si
Kembar Teror, mengerubutinya. Sambil cekikikan, Courtney
memegangi kedua tangan April, sementara Whitney menyerbu dan
mulai menggelitikinya bertubi-tubi.
"Hentikan! Hentikan!" jerit April sambil tertawa dan berderai
air mata. Kedua monster berumur enam tahun yang berpipi bulat dan
berambut pirang itu tahu April sangat mudah geli, dan mereka
mengerahkan segenap pengetahuan mereka.
"Aku tak bisa napas!" April tersengal-sengal, merosot ke lantai.
"Sungguh, aku tak bisa bernapas!"
Mereka malahan semakin berani.
April mencoba berguling menjauhi mereka, tapi Whitney cepatcepat meloncat ke atasnya, menindihnya di permadani yang menutupi
sebagian lantai ruang tamu. Courtney melanjutkan serangannya,
memusatkan perhatian pada bagian yang paling sensitif"tengkuk
April. April menjerit-jerit tak berdaya ketika Mrs. Blair bergegas
masuk ke ruangan itu, dengan membawa banyak tas belanjaan.
"April"kenapa kau?" tanya Mrs. Blair, sambil menghela napas lega
setelah meletakkan tas-tas berat itu.
Mom memang punya bakat menanyakan hal yang sudah jelas,
pikir April. "Aku digelitiki," jawabnya.
"Kami monster," jelas Whitney, masih sambil menduduki
punggung April, sepatu ketsnya yang kuning menahan di samping
tubuh April. "Mom tahu itu," sindir Mrs. Blair. "Tapi, April, kenapa kau tak
membantu" Masih banyak yang harus diturunkan dari mobil."
"Maaf," kata April cepat-cepat, mencoba melepaskan diri dari
kedua adiknya tapi tidak berhasil. "Mereka tak mau melepaskanku."
"April, kau sepuluh tahun lebih tua dari mereka," kata Mrs.
Blair tak sabar. "Kenapa kaubiarkan mereka menggodamu seperti
itu?" "Mom...," keluh April. "Mereka lebih banyak daripada aku,
kan?" "Ya!" Courtney menyetujui dan kembali menggelitiki leher
April. "Kau bahkan belum membuka jendela satu pun," seru ibunya.
"Di sini pengap sekali, April. Sepanjang musim dingin rumah ini
tertutup. Paling tidak kau kan bisa membuka jendela-jendela hingga
udara segar masuk." "Dia tak bisa bangun," kata Whitney, sambil mendorong kepala
April ke permadani. "Kalian juga sudah cukup besar dan bisa membantu." Mrs. Blair
mengulurkan tas-tas belanjaan.
"Nggak, kami baru enam tahun," bantah Courtney.
"Kau memang pintar ngomong, nona muda," kata sang ibu
jengkel. "Aku juga!" Whitney tak mau kalah. "Aku juga pintar."
Mrs. Blair tertawa. "Ayo bangun dan bantu ayah kalian
menurunkan barang. Jauh-jauh dari Shadyside kita ke sini kan bukan
untuk bergulingan di lantai kotor. Makin cepat berbenah, makin cepat
kita sampai ke pantai."
Whitney mendorong April untuk terakhir kalinya dan meloncat
berdiri. "Ke pantai sekarang yuk," ajaknya.
"Ya!" sahut kembarannya, sambil menghela tangan April
berusaha menariknya berdiri.
April mengerang dan berdiri. "Aku harus berlibur lagi setelah
musim panas bersama dua makhluk ini!" Dikibas-kibaskannya debu
yang menempel pada celana tenis dan blus lanpa lengannya, yang
semula putih tapi sekarang sudah berubah jadi abu-abu dan bebercakbercak.
"Oh, Mom bayangkan kauhabiskan waktumu dengan Matt,"
kata ibunya dari kamar belakang. "Kami takkan melihatmu sepanjang
musim panas ini"seperti biasanya."
"Ke pantai yuk." Courtney menarik tangan April.
"Auw!" April menjauhi kedua adiknya dan bergegas ke kamar
belakang mendatangi ibunya. "Jangan sebut-sebut Matt lagi," katanya
marah. Disibakkannya sejumput rambut pirangnya yang menutupi
dahi. "Mom tak menyebut-nyebut Matt," Mrs. Blair membela diri.
"Cuma..." "Cuma apa?" April mendesak. "Teruskan. Katakan."
"Mom cuma ingin liburan kita kali ini menyenangkan." Mrs.
Blair menghindari tatapan putrinya dan menyibukkan diri dengan
membenahi tempat tidur. "Mungkin di Sandy Hollow ini kau akan
berkenalan dengan teman-teman baru yang menyenangkan. Daripada
cuma kumpul-kumpul dengan anak-anak yang sama di Shadyside."
"Maksud Mom Matt dan Todd," kata April panas.
"Tenang. Sstt." Mrs. Blair mengangkat jari ke bibirnya.
"Rasanya Mom kecewa karena Matt dan keluarganya memutuskan
berlibur musim panas di sini lagi."
"Memangnya apa yang salah dengan Matt?" April tidak dapat
tenang. "Kami pacaran sudah lebih dari setahun, dan..."
"April"kita sudah pernah membicarakannya," ujar ibunya
dengan suara lelah. "Matt oke sekali. Dia sangat baik, sebenarnya.
Terutama kalau dibandingkan dengan anak-anak cowok yang pernah
kauajak ke rumah." "Gee, terima kasih," kata April sinis.
"Cuma saja dia itu"yah, kau tahu, agak kurang dewasa
untukmu, bukankah begitu" Maksud Mom, dia hanya tertarik pada
olahraga, video game, dan film horor. Bukankah sebaiknya kau
melihat-lihat dulu" Mencari seseorang yang punya hobi lebih intelek"
Maksud Mom..." "Mom benar," kata April singkat. "Kita sudah pernah
membicarakannya." Ia berbalik dan cepat-cepat menyingkir dari
kamar itu. "April"kau mau ke mana?" tanya Mrs. Blair, menyadari
dirinya telah terlalu banyak bicara, terlalu jauh.
"Membantu Dad," sahut April dari koridor. Lalu menambahkan
dengan jengkel, "Kan itu yang Mom inginkan!"
********************* April menghabiskan sisa siang itu dengan menolong
orangtuanya. Banyak sekali yang harus dikerjakan di rumah musim
panas itu"menurunkan barang-barang dari mobil, membongkar tastas, membuka jendela ruang-ruang yang pengap, membersihkan
rumah, berbelanja makanan dan persediaan lainnya"serta bertengkar
dengan Courtney dan Whitney.
Ketika matahari turun ke balik bukit pasir, Mr. Blair mulai
membuat barbecue. Hot dog dan hamburger mendesis-desis di
panggangan, asap mengepul ke atas ilalang tinggi yang melengkung
diembus angin. Mr. Blair hidup untuk barbecue. Hanya itulah satu-satunya yang
disukainya di pantai. Ia memiliki kulit terang dan lembut, maka ia
hampir selalu menghindari pantai. Ia lebih suka berbaring di dalam
tenda dan membaca, menunggu hari sore sehingga ia dapat membuat
barbecue. Sesudah makan malam April berpamitan dan bergegas ke lantai
atas untuk bertukar pakaian. Sambil sekilas melihat jam di atas meja
rias antiknya, ia menyadari telah terlambat. Ia janji bertemu dengan
Matt di kota pukul setengah delapan.
Lebih baik dia menungguku, katanya dalam hati, sambil
melepaskan celana pendeknya dan melemparkannya ke lantai. Lalu ia
mencari celana pendek denimnya di lemari.
"Kenapa kaubiarkan adik-adikmu menggodamu?"
Tiba-tiba ucapan ibunya siang itu kembali terngiang di
telinganya. "Karena itu lebih mudah daripada melawan mereka," jawab
April. "Karena selalu lebih mudah menyerah, bukannya melawan.
"Karena aku pengalah."
Semua jawaban ini tampaknya benar bagi April. Dan salah.
Ia menyisir rambut pirangnya yang lurus, mata hijau zamrudnya
menatap dirinya dari cermin meja rias yang coreng-moreng itu.
Benarkah aku begitu pengalah" tanyanya pada diri sendiri,
sambil mengamati wajahnya di cermin yang penuh bercak. Ia
menyukai apa yang dilihatnya"sebagian besar. Kalau saja hidungnya
panjang sedikit. Ia tidak secantik kedua adiknya, tapi lumayan.
Aku takkan jadi pengalah dalam hal Matt, ia memutuskan,
sambil menyisir rambutnya sekali lagi sebelum berdiri.
Takkan kubiarkan Mom menghinanya lagi.
Matt cowok yang baik. Aku senang dia juga pergi ke Sandy
Hollow. Kami akan menikmati liburan musim panas yang
menyenangkan bersama. Ia melambaikan tangan berpamitan pada orangtuanya, yang
masih di teras belakang, bermain semacam kodok lompat dengan si
Kembar Teror. Ia berjalan memutar ke depan rumah, kemudian
setengah berjalan dan setengah berlari di sepanjang Beach Haven
Drive menuju ke kota. Beach Haven Drive. Ia ingin tertawa. Karena nama sebagus itu tak lebih hanya
sekadar jalan setapak yang tidak beraspal dan sempit.
Kira-kira membutuhkan waktu sepuluh menit untuk berjalan
dari deretan cottage musim panas itu, melewati jalan berpasir yang
ditumbuhi ilalang tinggi, lalu lapangan berumput yang kadang-kadang
ditumbuhi pohon ek atau willow, menuju ke kota kecil itu.
Baru sekitar lima menit April meninggalkan rumah menyusuri
jalan itu ketika seseorang meloncat keluar dari bayang-bayang ilalang
tinggi dan merenggutnya dengan kasar dari belakang.
Bab 5 DINGIN SELAMANYA "GOTCHA!" seru Matt.
Didorongnya April, lalu ia berlari ke jalan, sambil cengar-cengir
mengejek, matanya yang hitam menantang April agar membalas.
"April Tolol!" "Matt"kau goblok!" teriak April. Diayunkannya tinjunya tapi
meleset karena Matt mengelak ke samping sambil tertawa. Cowok itu
selalu mengagetkan dan mengata-ngatainya, "April Tolol!" Ia benci
sekali. Ia berbalik pada Todd, yang mengikuti temannya muncul dari
ilalang. Todd menyusupkan tangannya ke saku jins belelnya. "Bilang
dia goblok," April menyuruh cowok itu. Jantungnya masih berdegup
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kencang. "Kau goblok," ulang Todd dengan patuh.
Matt masih tetap cengar-cengir. Meskipun malam itu dingin, dia
memakai celana pendek longgar merah-biru dan kaus kutung biru.
Matt berdiri di depan April, tinggi dan berdada lebar, agak gemuk.
Rambut cokelatnya yang pendek, matanya yang hitam, dan pipinya
yang bulat membuat April teringat pada boneka beruang besar.
Penampilan Todd benar-benar kontras dengan temannya. Ia
pendek dan kurus, rambutnya berwarna wortel dan keriting.
Ekspresinya yang serius diperjelas dengan matanya yang biru tajam.
Ia jarang tersenyum. Ia pendiam dan pemalu, terutama bila
dibandingkan dengan Matt. Meskipun mereka bertiga hampir selalu
bersama-sama ke mana-mana, Todd sering tampak merasa tidak enak,
ragu-ragu mengikuti kedua temannya itu.
Beberapa bulan lalu April telah mencoba mengatur kencan
untuk Todd dengan beberapa temannya. Todd malu dan merasa
tersiksa berada di antara mereka. Ia tidak pernah berani membuat janji
bertemu lagi. April menyerah, dan Todd hanya bepergian dengan Matt
dan dia. "Kapan kau sampai di sini?" tanya Matt, sambil memeluk bahu
April dengan sikap posesif.
"Siang ini," sahut April. "Rumah itu dalam kondisi sangat baik,
tapi orangtuaku akan bersih-bersih selama seminggu!"
Ibuku mendapat kejutan ketika kami datang kemarin," kata
Matt, "karena salah satu jendela rusak, ada binatang yang menyusup
dan meninggalkan kenang-kenangan di karpet."
"Ih," seru April. "Padahal ibumu kan rapi, pasti dia ngamuk."
"Oh, nggak. Dia tenang saja menghadapinya. Dia cuma bilang
ingin pulang ke Shadyside dan tak pernah kembali ke sini," Matt
berdecak. "Hei, ini pasti menghebohkan Fear Street," kata Todd, yang
beberapa langkah di belakang mereka. Todd tinggal di rumah tua
bobrok di seberang makam Fear Street. Tempat mana pun lebih baik
daripada itu, batin April.
"Kau takkan percaya betapa indah tempat ini," kata Matt pada
Todd. "Asyik. Sepanjang siang berselancar, berjemur matahari. Lalu
pesta di pantai sepanjang malam. Lalu tidur sepanjang pagi dan
memulai lagi semuanya!"
Matt tertawa. April mendorongnya dengan bergurau. "Kau
memang sinting." "Apa lagi yang baru?" tanya Todd dengan tenang.
"Hei"kau berada di pihak mana?" tanya Matt, berpura-pura
membela diri. Ia kembali memeluk bahu April dan mereka
melanjutkan menyusuri jalanan berdebu yang berkelok melalui
lapangan berumput, kumpulan rumah papan kecil bercat putih, dan
akhirnya sampai di kota. Udara semakin hangat ketika mereka melangkah ke trotoar
papan di sepanjang Main Street dan berhenti untuk cuci mata. April
mengulurkan tangan dan menurunkan lengan Matt dari bahunya.
Kayaknya lengan itu satu ton beratnya.
"Hei, lihat?" Matt menunjuk. "Ada tempat video game baru di
sebelah Swanny's." Ia berbalik pada Todd. "Kau bawa uang?"
Todd merogoh saku jinsnya tapi hanya mengeluarkan pemantik
gas plastik berwarna biru yang selalu dibawanya. Ia menggeleng.
Matt berbalik pada April. "Nggak," kata April, matanya yang
hijau membelalak. "Kita takkan jalan-jalan di tempat berdesakan itu
malam ini. Kupikir kita akan jalan-jalan keliling kota, memeriksa
siapa yang ada di sini, lalu ke pantai."
"Oh, ya. Betul," kata Matt, sambil sekali lagi memandang ke
tempat video game dengan penuh kerinduan.
Pelan-pelan mereka berjalan-jalan di sepanjang satu sisi Main
Street, sekali-sekali berhenti untuk melihat etalase sebelum
menyeberang ke sisi lain. Meskipun musim liburan baru aja mulai,
kota itu sudah ramai. Main Street dipadati mobil yang melaju pelan,
trotoar penuh dengan pendatang-pendatang baru yang ngobrol, saling
menyapa, mondar-mandir tanpa 111tujuan, berdua-dua dan dalam
kelompok-kelompok kecil. "Hei, lihat film itu," seru Matt dengan antusias, menatap ke atas
gedung bioskop kuno di seberang jalan. "Festival Living Dead!" Ia
ber-high five dengan Todd. "Oke!"
Ia menarik kedua temannya ke seberang jalan untuk mengamati
poster-poster film yang akan diputar. "Kayaknya semuanya film horor
terus!" serunya sambil ber-high five lagi dengan Todd.
April mendengus. Ia tidak suka film horor. Ia tidak bisa
mengerti mengapa Matt menganggapnya hebat.
"Ayo, Matt." Ditariknya Matt menjauh. "Ada apa di sana?"
Gedung bioskop kuno itu merupakan bangunan terujung di jalan
itu. Kota kecil itu berakhir di sana, menuju ke lapangan bujursangkar
beraspal yang digunakan untuk tempat parkir, lalu lapangan luas
berumput yang dipakai untuk tempat rekreasi dan berbagai macam
kegiatan olahraga. Malam itu lapangan ini terang benderang disinari
beberapa lampu sorot, dan bayang-bayang gelap beberapa pikup dan
van terlihat di rumput. April dan kedua temannya cepat-cepat melintasi area parkir,
melihat apa yang terjadi. Rupanya sedang ada persiapan karnaval.
Ketika mendekat, mereka dapat mendengar teriakan para pekerja, deru
gergaji, dan ketukan palu.
Seperti mimpi. Lampu-lampu sorot, yang diarahkan ke langit,
lebih banyak menghasilkan bayang-bayang daripada cahaya. Para
pekerja keluar-masuk bayangan dengan sibuk. Sebuah kincir ria
berdiri di lapangan, mirip raksasa hitam yang membisu. Lampu-lampu
warna-warni tergantung di tiang-tiang. Kios-kios makanan dan
permainan dipasang di tempatnya. Orang-orang berusaha memasang
baut lintasan roller coaster kecil.
April, Matt, dan Todd bergerombol di tepi lapangan,
menyaksikan pemandangan yang seperti mimpi itu. "Apakah mereka
akan memasang Gravitron juga, ya?" kata Todd pelan, memecahkan
kesunyian di antara mereka.
"Apa itu?" tanya April.
"Kau tahu. Itu benda yang berputar lalu lantainya melejit dan
meninggalkanmu terjepit ke dinding."
"Kedengarannya hebat," kata April sinis.
Matt menatap Todd dengan terkejut. "Kau suka wahana itu?"
"Nggak," sahut Todd cepat. "Aku takkan menaikinya. Aku
cuma ingin tahu apakah mereka punya wahana itu."
"Aku suka sekali kincir ria." April mengalihkan matanya ke
arah sosok gelap kincir ria yang menjulang di lapangan itu.
"Biasa saja," kata Matt menghina. "Maksudku, apa yang
membuat ngeri kalau naik kincir ria?"
"Kenapa semuanya harus membuat ngeri?" tanya April.
Matt memegang tangannya. "Ayo kita pergi ke pantai saja. Ini
membosankan." Langit malam terang, cerah, dan tak berawan, sedangkan pantai
yang berpasir berkilauan seperti pita perak lebar di bawah sinar bulan
purnama. Pasangan-pasangan berjalan-jalan tanpa memakai alas kaki di
sepanjang tepi pantai, ombak yang lembut memukul-mukul
pergelangan kaki mereka. Anak-anak berkumpul dalam kelompokkelompok, ngobrol dan tertawa-tawa sambil duduk di atas hamparan
selimut. Musik berdentam-dentam dari radio dan tape portabel,
kadang terdengar kadang tidak di antara deburan air yang memukulmukul pantai.
Di dasar bukit pasir yang rendah, beberapa anak telah membuat
api unggun kecil. April, Matt, dan Todd berjalan menghampiri tempat
itu. Mereka mengenali beberapa anak, anak-anak kota yang mereka
kenal di musim panas sebelumnya.
"Hei"Ben!" Matt memanggil cowok yang wajahnya
dipermainkan bayang-bayang api yang berkedip-kedip cepat.
"Whoa!" Ben Ashen, bertubuh tinggi besar dan berambut hitam
pendek spiked, berpaling mendengar namanya dipanggil dan matanya
menyipit memandang Matt. "Hei"si Mattster! Apa kabar" Kau masih
jelek?" "Kau masih goblok?" Matt menepuk punggung Ben keraskeras.
Ben mengerang. "Ulangi lagi dan kau akan kulemparkan."
"Dasar sok jagoan!" seru Matt, mengangkat tangan akan
kembali menepuk punggung Ben, tapi Ben menghindar.
Beberapa anak yang lainnya menyapa April dan Matt. Mereka
ikut duduk di atas hamparan selimut, merasakan kehangatan api yang
meretih-retih. Semuanya serentak mulai ngobrol, menggerombol
disinari cahaya merah api unggun.
"Hei, Todd, masih ada tempat buatmu," panggil Matt, tiba-tiba
teringat temannya. Todd, yang ditinggalkan, berdiri salah tingkah
dengan kedua tangan terselip di sakunya, lalu ragu-ragu menempatkan
diri duduk berseberangan dengan April. "Hei, semuanya, ini Todd,"
Matt mengumumkan. "Kau lihat tempat video game yang baru itu?" Ben bertanya
pada Matt. "Luar biasa."
"Aku lihat, tapi nggak bawa uang," sahut Matt.
"Aku bawa," kata Ben sambil bangkit berdiri. "Ayo ke sana."
Matt mulai beranjak berdiri, kemudian ingat April. "Uh, bukan
malam ini, man." Ia memeluk bahu April dengan sikap posesif dan
tersenyum pada cewek itu. Mata April yang hijau zamrud berkilauan,
memantulkan cahaya api. Ia membalas senyum Matt dan
menyandarkan kepalanya ke dadanya dengan penuh sayang.
"Yah, aku mau ke sana," kata Ben.
"Sampai nanti," kata Matt, tanpa mendongak.
Ben mulai berlari-lari kecil di bukit pasir itu. "Bawa uang besok
malam," katanya sambil menoleh pada Matt. "Kalau perlu mencuri."
"Dia baik sekali, ya?" kata Matt pelan, mempererat pelukannya
pada April. April cemberut, lalu berpaling ke arah Todd, yang berada di
ujung selimut seorang diri. Dilihatnya cowok itu sedang memutarmutar pemantik plastik biru itu dengan jari-jarinya, menggelindinggelindingkannya di telapak tangannya, hal yang selalu dilakukannya
bila ia sedang gelisah atau merasa tidak enak.
April akan mengatakan sesuatu padanya, tetapi Matt memegang
dagunya, mendongakkan wajahnya, dan mulai menciumnya.
*********************** "Yang itu," kata Jessica, mata merahnya bersinar, menatap
Gabri dalam kegelapan. "Yang mana?" tanya Gabri, melayang di sebelah Jessica, angin
meniup sayapnya yang terkembang.
"Cewek pirang itu," sahut Jessica tak sabar.
Kedua kelelawar itu merendah menuju ke para remaja yang
melingkari api unggun, tapi tetap melayang cukup tinggi di kegelapan
hingga tidak tampak. "Dia sempurna untukmu, Gabri," bisik Jessica lewat taringtaringnya yang runcing kecil.
"Lihat rambutnya yang pirang, pipinya yang mulus dan berse
mu merah, tanda sehat sekali. Dia memang jenis yang kausukai!"
Desis tawa meluncur keluar dari mulutnya yang terbuka sedikit.
"Tidak!" bisik Gabri, sambil mengepak-ngepakkan sayap
hitamnya dengan marah. "Cowok yang besar dan bloon itu
memeluknya. Menciumnya. Dia punya cowok, Jessica. Aku benarbenar harus protes."
"Aku benar-benar harus protes." Jessica menirukan suaranya,
mengejeknya. "Kau benar-benar kedengaran seperti film jelek, Gabri."
"Aku tak peduli. Aku protes. Cewek yang kaupilihkan untukku
punya cowok. Bagaimana aku bisa menarik perhatiannya kalau..."
"Memangnya kaupikir aku akan memilihkan yang gampang
buatmu!" kata Jessica, kembali desis tawanya menyebar di langit
malam. Ia membubung tinggi ketika Gabri berusaha membenturnya,
lalu kembali melayang di samping Gabri. "Tentu saja, jika kau mau
menyerah sekarang...," godanya.
"Tidak!" teriak Gabri, sambil menukik menuju ke bara api yang
meloncat-loncat di bawah, lalu melayang menjauh. Matanya yang
merah kecil mengintai dalam kegelapan, terus-menerus menatap April
seperti radar setan, mengamatinya dengan hati-hati.
"Bagaimana?" tanya Jessica tak sabar.
"Kuterima tantanganmu," sahut Gabri, segumpal air liur
meluncur menuruni bulu dagunya. "Cewek itu sangat menggiurkan"
sangat siap"sangat ranum."
"Simpan puisimu itu untuk saat kau berduaan dengannya,"
bentak Jessica. "Kau memang benar-benar menyebalkan. Apakah kau
juga separah ini ketika masih hidup?"
Mata kelelawar Gabri mengecil ketika menatap tajam pada
Jessica. Meskipun dalam wujud kelelawar, matanya memancarkan
kesedihan yang mendalam. "Aku tak ingat," bisiknya. "Bahkan
kupikir aku tak pernah hidup."
Jessica tidak membiarkan hatinya tersentuh oleh kata-kata itu.
Ia memenuhi angkasa dengan tawanya yang mengejek dan kering.
"Lupakan saja!" teriak Gabri parau, mata merahnya
memancarkan kemarahan. Ia menukik menjauhi Jessica, melayang di
atas cahaya kuning api unggun.
Tergantung di udara malam, dengan sayap terkembang,
dibiarkannya angin dan arus mengombang-ambingkannya ke sana
kemari. Gabri mengamati sosok-sosok yang bergerak-gerak di
sekeliling api unggun di bawah.
"Sudah kautemukan korban untukku?" tanya Jessica, suaranya
tertiup angin dari atas. "Ya," desis Gabri, sambil melingkari tubuhnya yang seperti
hewan pengerat dengan sayapnya, lalu mengibaskan sayapnya dan
terbang melayang kembali menemui Jessica.
"Yang mana?" tanya Jessica dengan menggebu-gebu, bibirnya
basah dengan air liur, bayangan nektar segar membuat jantungnya
berdegup lebih cepat daripada kepak sayapnya.
"Yang itu," sahut Gabri. "Yang kurus kecil dan berambut
merah." Jessica mengintai ke bawah ke api unggun, memusatkan
pandangannya pada Todd. "Yang duduk sendirian, tidak ngobrol
dengan siapa pun?" "Ya," sahut Gabri, kelihatan jelas senang dengan pilihannya.
"Cowok itu bersikap dingin pada semua orang"bahkan juga padamu,
Jessica." "Aku khawatir kau sudah kalah taruhan," Jessica mengejek,
dengan sengaja mendorong Gabri menjauh darinya. "Dengan mudah
cowok itu akan kuhangatkan"lalu kudinginkan untuk selamanya!"
Tawanya yang kering parau menggetarkan angin.
Setelah memilih korban-korban mereka, kedua kelelawar itu
meluncur rendah di langit, lalu melayang tinggi, menembus
kekosongan yang gelap di atas bukit pasir.
Sambil bersandar pada Matt, April memandang ke atas saat
kedua kelelawar melayang mendekat dan berseru kaget. "Matt"kau
lihat mereka" Kedua kelelawar itu," teriaknya.
"Jangan perhatikan mereka," kata Matt, sambil menariknya
mendekat. "Mereka tak berbahaya sama sekali."
Bab 6 TODD DAN JESSICA BARU sejenak kemudian Todd menyadari bahwa titik-titik
kecil yang meloncat-loncat di sepanjang kegelapan yang digenangi air
adalah burung. Ia berdiri di atas batu rata rendah mengamati burungburung itu, mencoba memusatkan perhatiannya pada mereka. Itu
burung laut, putusnya, matanya mengikuti ketika burung-burung itu
melayang di sepanjang tepi pantai, berzigzag saling memutari hingga
kegelapan menelan mereka.
Dengan tangan terselip ke dalam saku celana jins pendeknya,
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Todd berbalik dan membiarkan pandangannya menyusuri garis tepi
karang yang curam dari bawah hingga ke puncaknya yang merata,
membentuk dataran. Lalu kembali memandang ke air, ia nyaris dapat
melihat garis tepi pulau kecil yang hitam rendah, seperti ujung kapal
selam yang muncul dari air, pasti tempat semua kelelawar itu berasal.
Mengapa banyak sekali kelelawar di pantai ini" tanyanya dalam
hati, sambil mencari-cari makhluk-makhluk terbang itu di langit ungu
yang berkabut. Ia melihat satu.
Ia tidak bisa melihat terlalu jauh. Awan merendah menutupi
pantai, menyamarkan cahaya bulan, membuat pantai berbayang-
bayang panjang dan aneh. Gumpalan-gumpalan kabut melayang di
sepanjang tepi pantai. Udara dingin, berat, dan lembap.
Ia telah menemukan ujung pantai yang sepi ini, letaknya di
selatan dermaga perahu dayung, di seberang pulau berhutan yang
misterius itu. Oleh karena itu ia sangat menyukainya. Dengan tenang
ia bersandar pada karang yang rata dan dingin itu serta memandangi
air sepuas hatinya. Sudah berapa lama ia berdiri di sana mengamati awan-awan
yang merendah dan kabut yang melayang-layang itu" Todd tidak tahu
pasti. Ia tahu ia pasti sudah ditunggu April dan Matt di pantai.
Mungkin ia terlambat. Moga-moga kau tak berubah jadi sejenis makhluk ganjil
penyendiri, ia memperingatkan diri sendiri, sambil melangkah
meninggalkan karang itu dan mulai memanjat naik ke pantai.
Musim panas ini seharusnya menyenangkan, pikirnya. Kalau
saja aku bisa memperbaiki diri dan berhenti jadi orang yang
membosankan. Kalau saja aku bisa berhenti merasa sangat kikuk,
terus-terusan merasa sangat tak cocok berada di suatu tempat, dan...
Lamunannya terusik oleh bunyi kepak di atas kepalanya. Ia
mengarahkan pandangannya ke langit yang gelap, tampak beberapa
kelelawar menukik dan meluncur, menghilang menembus ke dalam
awan tebal, lalu tiba-tiba terbang cukup rendah hingga terlihat lagi.
Kelelawar-kelelawar baik, katanya pada diri sendiri. Mereka
makan serangga. Tapi kepak sayap mereka terdengar sangat dekat, bergema di
bukit karang yang terjal, dan suara cericitnya yang nyaring membuat
Todd bergidik. Ia melangkah lebar-lebar, pasir basah menyelusup ke dalam
sandal karetnya. Ia berhenti.
Ia tidak lagi sendirian. Ada seseorang di sana.
Di belakangnya. Di balik karang-karang itu.
Ia belum melihat siapa-siapa. Ia hanya merasakannya.
Ia tahu. Bunyi kepak di atas kepalanya semakin keras, semakin dekat,
lalu lenyap seketika. Angin yang bertiup dari lautan mengibarngibarkan kaus lengan panjangnya.
Todd berbalik. Dan melihat cewek itu memandanginya.
Ia berdiri tidak jauh dari karang itu, bertelanjang kaki. Ketika ia
berjalan menghampiri Todd, pantai tampak menjadi terang, dan Todd
dapat melihat cewek itu dengan jelas seperti siang hari.
Ia cantik. "Hai," cewek itu menyapa pelan, tersipu-sipu memandangi
Todd dengan matanya yang hitam besar. Ia memakai rok lilit bermotif
bunga dan atasan bikini yang sesuai. Sambil melontarkan kepala ia
menyibakkan rambutnya ke belakang bahunya yang terbuka. Bibirnya
yang penuh tersenyum. "Tadi... tadi aku tak melihatmu," Todd tergagap.
Ngomong aja nggak becus, Todd mengomeli dirinya sendiri,
rasanya ia ingin tenggelam ke dalam pasir dan tidak pernah kelihatan
lagi. "Mak... maksudku..."
"Kayaknya aku tersesat," kata cewek itu, berjalan mendekat,
cukup dekat sehingga Todd dapat melihat betapa pucat kulitnya,
cukup dekat sehingga Todd dapat mencium parfumnya, aroma bunga
lilac. "Hah! Tersesat?"
Ia mengangguk, bibirnya yang penuh mencebik.
Dia cewek tercantik yang pernah kutemui, pikir Todd. Ia sadar
dirinya sedang ternganga. Sambil tersipu-sipu ia mengalihkan
tatapannya ke pasir. "Keluargaku menyewa sebuah cottage," kata cewek itu
padanya, sambil melangkah mendekat. "Tepat di dekat laut. Kami
baru saja sampai siang ini, dan kupikir aku mau keliling melihat-lihat
dulu." Ia mengangkat bahu, tanda putus asa, bahunya sehalus dan
sepucat kayu putih di bawah langit malam yang gelap.
"Ya. Yah?" Todd berdeham.
Kenapa suaraku kedengarannya jadi macet dan nyangkut di
tenggorokan" "Kebanyakan rumah-rumah musim panas ada di sebelah sana,"
ucapnya dengan susah payah, dan menunjuk ke ujung utara pantai.
"Lewat situ?" tanya cewek itu ragu-ragu.
"Ya. Akan kutunjukkan," sahut Todd. "Maksudku, aku akan
lewat situ juga. Aku"uh" janjian ketemu dengan beberapa
temanku." "Thanks," kata cewek itu, sambil mengulurkan tangan meraih
lengan Todd hingga Todd kaget. Aroma bunga menguar dari tubuh
cewek itu dan menyerbu hidungnya, seakan mengelilinginya. Tibatiba ia pusing, tapi memaksa diri berjalan, sandalnya terbenam ke
dalam pasir. "Aku belum pernah ke sini sebelumnya," kata si cewek pelan.
"Indah sekali. Aku tahu di sini akan asyik."
"Ya. Memang"indah sekali," kata Todd.
Aku sedang berjalan-jalan menyusuri pantai gelap dengan gadis
tercantik yang pernah kutemui, pikirnya.
Dan aku cuma bisa berkomentar pantai ini indah. Menyebalkan.
"Kabutnya tebal," katanya. "Makanya malam ini pantai ini
sangat kosong dan gelap."
Oh, hebat. Sekarang aku malahan memberikan laporan cuaca
padanya! batinnya. "Kau beruntung punya teman di sini," kata cewek itu, berpaling
untuk tersenyum padanya, sambil masih memegangi lengannya. "Aku
nggak kenal siapa-siapa."
"Kasihan sekali," sahut Todd salah tingkah.
"Mungkin kau bisa jadi temanku," kata cewek itu dan tanpa
sadar terkikik. Wow, pikir Todd. "Kau dari mana?" tanya cewek itu.
Todd menjawab. Ia kembali melanjutkan langkahnya pelan-pelan, menghirup
aroma parfum cewek itu, diam-diam meliriknya, berharap semoga
pantai itu lebih panjang sehingga mereka tidak cepat-cepat sampai ke
tujuan. Ia mencoba berpikir mencari-cari bahan pembicaraan, namun
cewek itu begitu dekat, dan begitu cantik sehingga lidahnya lebih
kaku daripada biasanya. Untungnya, cewek itu terus-menerus berbicara, bertanya
tentang sekolah dan keluarga Todd, bercerita tentang keluarga dan
kehidupannya sendiri di Maine.
Aku ingin tahu apakah dia menyukaiku, kata Todd dalam hati.
Aku ingin tahu apakah dia mau jika kuajak.
Jika dia kuajak. Jika saja...
Apakah ia punya nyali untuk mengajak"
Mereka berdua mendengarnya pada saat yang bersamaan.
Kepak sayap yang sangat rendah dan sangat dekat di atas kepala.
"Oh!" cewek itu menjerit dan menekan lengan Todd.
"Tak apa-apa," katanya, berusaha terdengar meyakinkan.
"Kelelawar itu tak mengganggu orang kok."
Cewek itu tertawa. Tawa yang mengejutkan.
Kenapa ini membuatnya geli"
"Oh ya, namaku Jessica," katanya. Todd baru sadar Jessica
masih memegang lengannya erat-erat.
Ia ganti menyebutkan namanya. Parfum Jessica sangat manis
baunya. Pantai putih itu tampak miring di bawahnya.
"Oh. Rumahku di atas sana," kata cewek itu sambil menunjuk.
"Kau memang benar!"
Todd mengikuti arah yang ditunjuk Jessica. Tiba-tiba malam
sangat berkabut, sangat kelabu dan berkabut, ia nyaris tidak dapat
melihat satu pun rumah jauh di balik bukit pasir itu.
Tidak ada orang lain lagi di pantai. Air tampak jauh sekali. Jauh
dari kabut. Jauh dari awan yang kelihatannya rendah di sekelilingnya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Todd," bisik Jessica.
Todd menyukai cara Jessica mengucapkan namanya.
"Tak apa-apa kok," sahutnya.
Apakah sebaiknya aku mengajaknya keluar"
Apakah sebaiknya aku janjian ketemu lagi dengannya di pantai
besok" Apakah dia akan menjawab ya"
Apakah dia akan menertawakanku"
Sebelum Todd dapat memutuskan, Jessica menciumnya.
Todd hampir jatuh terjengkang karena terkejut.
Sebelum ia dapat memutuskan. Sebelum ia dapat mengucapkan
sesuatu. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, lengan Jessica yang
sangat pucat, sangat ringan, memeluknya.
Jessica menarik Todd mendekat dengan sangat lembut,
mendekatkan wajah Todd pada wajahnya sendiri, menunduk pada
Todd. Bibirnya. Bibirnya gelap, sangat gelap. Menekan bibir Todd
dengan lembut. Mula-mula lembut. Dan lalu semakin kuat.
Oh, wow, pikir Todd. Oh, wow.
Dia menyukaiku. Belum pernah ada cewek lain yang menciumnya seperti ini.
Mencium bibirnya. Pipinya.
Lehernya. Mencium lehernya sementara awan merendah dan kabut
berputar-putar. Mencium lehernya sementara pasir di bawahnya
miring. Jessica memegangi kepalanya dan mencium lehernya dengan
kuat, makin kuat. Aroma parfumnya, gemuruh samudra, bibirnya yang basah dan
lembut, kabut itu, kabut tebal itu"semuanya itu membuat Todd
terbuai, terlena, mabuk kepayang.
Hingga ia tenggelam dalam kegelapan dingin yang
menunggunya. Bab 7 APRIL DAN GABRI DI mana sih Matt" April berjalan melalui lorong-lorong ruwet di antara dentumandentuman, tembakan-tembakan senjata otomatis, perang angkasa luar,
dan balapan mobil yang meraung-raung di ruangan remang-remang
itu. Di mana sih dia" Ia merasa melihat cowok itu di dekat belakang deretan mesin
pinball yang kelap-kelip, sedang mencoba menjejalkan uang satu
dolar ke dalam mesin tukar koin permainan. Keping dolar itu baru
masuk setengah ke celah, lalu menggelinding keluar lagi. Cowok itu
mencoba lagi. "Matt!" panggilnya.
Ketika cowok itu akhirnya berhasil mendapatkan koin
permainan dan berbalik, April menyadari bahwa cowok itu bukan
Matt, meskipun sama-sama berbahu besar, berwajah bundar, dan
berambut cokelat. Ebukulawas.blogspot.com
Matt tidak ada di sini. April kembali ke jalan, dibukanya gulungan lengan sweter hijau
pudarnya dan disibakkannya rambut pirangnya ke belakang, yang
terasa basah dan berat akibat udara lembap.
Kabut melayang dari laut, membentuk bayangan-bayangan
bergerak yang ganjil di bawah lampu-lampu jalan. Sambil mencaricari Matt, April mengalihkan pandangannya ke Main Street, penuh
dengan wisatawan musim panas yang keluar-masuk restoran dan toko.
Mereka muncul dari balik kabut, tiba-tiba tampak jelas, lalu dengan
cepat pula menghilang kembali ke dalam kabut, seolah melangkah
melewati tirai tebal. Di mana sih kau, Matt" April penasaran, melirik jam tangannya
untuk keseribu kalinya. Lenyap dalam kabut"
Ia melongok ke dalam Swanny's, dengan cepat matanya
memeriksa kios es krim yang terang benderang, lalu menepi untuk
memberi jalan pasangan setengah baya yang akan masuk.
Di sana pun Matt tidak ada.
Seharusnya Matt menemuinya dua puluh menit yang lalu.
Rencananya mereka bertemu di depan Swanny's, kemudian pergi ke
pantai dan bergabung kembali dengan Todd.
"Hei"April!"
April berputar dengan penuh harap. "Matt?"
Bukan. Itu beberapa cowok yang tadi dijumpainya di api
unggun di pantai. Ia melambai.
"Kau kelihatan manis!" kata salah satu dari mereka. Lalu
mereka menghilang ke dalam kabut yang merendah.
Aku kelihatan manis, pikir April. Ia dan si kembar itu telah
melewatkan sepanjang siang itu di pantai, dan sekarang kulitnya yang
terjemur sinar matahari terasa hangat. Ia selalu kelihatan pucat selama
musim dingin. Sekarang kulitnya agak berwarna, terasa hangat
walaupun malam itu berkabut dan dingin.
Jadi di mana Matt" Dia benar-benar tak memedulikanku, putusnya.
Setiap kali aku selalu harus menunggunya. Dan lalu ia muncul
tanpa meminta maaf sedikit pun. Biasanya ia hanya berkata, "Sori aku
telat. Ada urusan sedikit." Dan itu tentunya tidak apa-apa.
Secercah rasa hangat yang dirasakannya sekarang bukan karena
terjemur matahari"tapi karena kemarahan. Matt memang cowok
cakep, pikirnya. Tapi barangkali ibunya agak benar tentang Matt.
Mungkin cowok itu memang agak kurang dewasa.
April melangkah ke pojok dan mengintip ke bawah ke Dune
Lane, salah satu dari dua persimpangan jalan di kota itu.
Aku tak mau menunggu Matt sepanjang musim panas ini,
pikirnya. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Sambil memandangi kegelapan di jalan di bawah lampu
perempatan yang diciptakan oleh gumpalan-gumpalan kabut, tiba-tiba
April merasa sedang diawasi.
Ia berbalik dan melihat seorang cowok tinggi kurus dengan
kaus lengan panjang hitam dan jins berpipa lurus berwarna gelap.
Cowok itu sedang berdiri di pojok yang berlawanan di depan toko
kamera. Tirai kabut seakan tersibak di depannya, dan ketika ia
melangkah di bawah cahaya putih lampu jalan, April dapat melihatnya
hampir jelas sekali. Ia tampak sangat tampan, rambutnya hitam lurus, kulitnya
sangat pucat nyaris putih, wajahnya tirus dan serius, matanya hitam. Ia
mengalihkan tatapannya ketika menyadari April balas menatapnya.
Dia kelihatan seperti aktor atau model, pikir April. Dia nyaris
terlalu cakep. April penasaran apakah cowok itu sedang menunggu seseorang.
Kemudian kabut itu tampak dekat di sekelilingnya, dan ia menjadi
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirian, kegelapan yang diam di antara kegelapan-kegelapan yang
bergerak. Matt kuberi waktu lima menit lagi, April memutuskan, dengan
marah mondar-mandir di antara pojok jalan itu dan depan deretan kios
permainan. Sesudah itu aku akan pulang.
Ini awal buruk untuk liburan musim panas ini, pikirnya. Ia
memutuskan harus bersikap tegas terhadap Matt. Ada dua jenis orang
di dunia"yang selalu tepat waktu dan yang tidak pernah tepat waktu.
April selalu tepat waktu. Dan kalau mereka mau menikmati liburan
musim panas yang menyenangkan, putusnya sambil mondar-mandir,
Matt harus tepat waktu juga.
Sambil melirik jam tangannya, ia sudah akan menghentikan
penantiannya ketika sebuah tangan menyentuh bahu sweternya.
Ia terkejut, lalu berbalik, berharap melihat Matt.
Tapi ternyata ia melihat sepasang mata hitam yang menatapnya
dengan tajam di wajah tampan cowok yang tadi dilihatnya ada di
seberang jalan. "Hai," sapa cowok itu malu-malu. "Sori. Aku membuatmu
takut, ya?" "Bukan," April berbohong. "Maksudku"tidak."
"Kau kehilangan sesuatu, ya?" tanya cowok itu. "Kulihat kau di
sini dan kupikir..." Suaranya bergetar menghilang. Tatapannya tertuju
ke mata April. "Tidak. Aku tak kehilangan apa-apa," sahut April dengan
menghela napas. "Aku sedang menunggu seseorang."
"Oh. Sori." Cowok itu mundur selangkah.
Dia mungkin bukan anak kota ini, April menduga. Kulitnya
sangat pucat. Tapi cakep sekali. Ia melontarkan senyum malu-malu pada April. "Aku tak
bermaksud mengganggumu."
"Tak apa-apa," kata April. Ia menyadari ia tidak ingin cowok itu
pergi. "Kau baru pertama kali berlibur di sini, ya?" tanyanya.
Cowok itu menggeleng. "Tidak. Aku sudah pernah ke sini
sebelumnya. Biasanya kota ini tak berkabut."
"Aku tahu," kata April. "Omong-omong," lanjutnya dengan
agak kikuk, "namaku April Blair."
"Gabri Martins," sahut cowok itu sambil mengulurkan tangan
dan menjabat tangan April.
"Gabri" Namamu aneh," komentar April.
Ia mengangguk. "Ya. Aku tahu. Kependekan dari Gabriel."
"Yah, senang berkenalan denganmu, Gabri," ucap April.
Ia sangat kurus, setengah ukuran tubuh Matt.
Ia menatap mata April dan tampak enggan pergi. Aftershave
atau cologne beraroma lemon yang dipakainya tercium hidung April,
manis sekaligus asam. April naksir berat padanya, lebih daripada
sekadar tertarik karena tampang cakepnya.
April harus berkonsentrasi keras untuk mendengarkan
ucapannya. "Mungkin temanmu itu bingung atau apa. Apa dia tahu kalian
seharusnya ketemu di sini?"
April mengangguk. "Semestinya kami ketemu di sini lalu pergi
ke pantai." Mengapa tiba-tiba ia merasa tidak pasti"
"Mungkin dia bingung dan langsung menuju ke pantai," kata
Gabri, sambil maju mendekat ketika sekelompok remaja lewat
berdesakan di trotoar. "Mungkin," sahut April sambil berpikir.
Matt biasanya menepati janji. Tapi mungkin saja dia bingung.
"Malam ini pantai tak seberapa ramai karena kabut tebal," kata
Gabri. "Seharusnya tak lama mencarinya jika dia ada di sana."
"Ya. Kupikir juga begitu," kata April dengan malas. "Tapi
malam ini gelap sekali...."
"Begini saja. Kau akan kutemani," Gabri menawarkan diri.
Baunya sangat mirip lemon, ia sangat baik. Ia membungkuk
mendekat, wajahnya yang tampan bersinar-sinar keluar dari
kegelapan, matanya tertuju pada April.
"Kau baik sekali," kata April. "Tapi?"
"Aku orang baik," kata Gabri, tersenyum supaya April tahu ia
sedang bergurau, tidak benar-benar sedang menyombongkan diri. Dan
lalu dengan tenang menambahkan, "Kau akan membuktikannya."
"Tapi kau tak harus menemaniku ke?" April berusaha
menolak. "Tak apa-apa," Gabri meyakinkannya. "Ayo."
Ia merasa tangan cowok itu berada di punggungnya ketika
mereka berbelok di tikungan dan mulai menyusuri Dune Lane menuju
ke laut. April terkejut, tirai kabut semakin menipis waktu mereka
semakin dekat ke pantai. "Kota Sandy Hollow rendah," Gabri menjelaskan. "Seperti di
dalam selokan. Setelah terbang meninggalkan lautan, kabut melayanglayang di atas kota dan menetap di sana."
"Apakah kau ahli sains?" tanya April menggoda.
"Tanyakan apa saja," sahutnya, tangannya masih memegang
punggung April dengan ringan.
Selapis tebal awan kelabu melayang rendah di atas tepi laut,
namun pantai terang benderang. Tidak ada kabut sama sekali.
Gelombang laut tinggi dan mengempas kuat. April dapat
melihat buih putih di puncak ombak yang menjulang tinggi, bahkan
dalam kegelapan. Beberapa pasangan berjalan di dekat air. Sekelompok remaja
bergerombol mengitari api unggun kecil, bunyi tape mereka bersaing
dengan gemuruh ombak yang mengempas dan berirama.
Tidak ada tanda-tanda Matt. Ataupun Todd.
April dan Gabri berjalan berdekatan, kadang-kadang saling
beradu pundak, menuju ke karang di selatan. Sambil berjalan Gabri
bercerita tentang ikan lumba-lumba yang entah bagaimana kehilangan
arah dan terdampar di pantai di awal musim semi. April tertawa geli
ketika cowok itu menirukan wajah ikan lumba-lumba yang ketakutan.
Dan lalu ia melukiskan aksi kepahlawanan orang-orang kota yang
berusaha menarik ikan lumba-lumba itu kembali ke air dan berhasil.
Dia benar-benar pintar. Dan lucu, pikir April.
Dan menarik. Berani taruhan pasti dia tak menghabiskan waktunya dengan
menonton film-film horor yang konyol.
Ia berhenti dan mengintip ke bawah ke pantai yang kosong.
Benarkah ia sungguh-sungguh tertarik pada Gabri" Ataukah ia
hanya marah pada Matt"
Mungkin kedua-duanya ada benarnya.
"Dia tak ada di sini," katanya pelan, sambil mengamati karang
curam di seberang dermaga perahu dayung, merasa Gabri berdiri
dekat di belakangnya. "Tapi pantai ini benar-benar memesona malam
ini. Ombaknya sangat kuat."
Gabri memeriksa semua arah, memastikan hanya mereka
berdua yang ada di situ. Gelombang samudra bergemuruh, gelap
bertemu dengan langit yang bahkan lebih gelap lagi.
Mereka dikelilingi kegelapan. Dan sendirian.
Dan Gabri tidak dapat menahannya lebih lama lagi.
Ia sangat cantik. Sangat sempurna. Sangat manis.
Ya, nektar rasanya sangat manis.
Ia memerlukannya sekarang. Ia membutuhkan nektar itu.
Bukan karena taruhannya yang konyol dengan Jessica. Tapi
karena ia membutuhkan nektar untuk bertahan tetap abadi. Nektarlah
yang membuatnya tetap abadi selama bertahun-tahun setelah ia mati.
Nektarlah yang membuatnya menjadi Makhluk Abadi.
Dan sekarang ia akan minum.
April berdiri di depannya, membelakanginya, lengannya
tersilang, memandangi ombak yang gelap dan mengempas-empas.
Ia membungkuk ke depan saat taring-taringnya yang basah
meluncur turun ke dagunya.
Dengan lembut, lembut sekali, ia mengangkat tangannya dan
menyibakkan rambut April sehingga tengkuknya terlihat.
Pucat sekali. Kulitnya demikian lembut.
Dengan napas menderu Gabri membuka mulutnya lebar-lebar
dan merunduk untuk menggigit.
Bab 8 "SAMA-SAMA CURANG"
SAMBIL terus mengamati ombak, hampir terbius oleh
kemegahannya yang bergulung dan gelap, oleh bunyi empasan lembut
saat ombak menyentuh pantai, April merasa Gabri sangat dekat di
belakangnya. Matt tak ada di sini, pikirnya. Tak ada seorang pun di sini.
Pantai ini sangat kosong.
Aku harus pulang. Embusan angin lembut seolah menyibakkan rambutnya.
Ia mulai berbalik menghadap Gabri, akan mengucapkan terima
kasih karena telah ditemani ke tempat gelap ini. Tapi sebelum ia dapat
bergerak, kuduknya terasa hangat. Ada embusan yang lebih lembut
daripada angin. Lembut seperti napas.
Lalu ia mendengar bunyi kepak, diikuti lengkingan nyaring
misterius. Lalu bayangan gelap terjatuh dari langit.
Mula-mula bayangan, lalu muncul makhluk yang bercakar dan
mencicit nyaring. April melihat mata merah berkilauan dan langsung tahu itu
kelelawar. Ia menjerit-jerit dan mengangkat tangannya.
Terlambat. Sambil melengking-lengking seram seperti sirene mobil yang
tak bisa dimatikan, kelelawar itu menancapkan cakarnya ke dalam
rambut April. "Oh! Tolong!" Ia dapat merasakan sayap kelelawar itu mengepak-ngepak
menampar kepalanya, tubuh hangat makhluk itu menabraknya,
makhluk itu terjerat rambutnya, meronta-ronta, mencabik, mencakar.
"Tolong"tolong!"
Ia memejamkan mata, berlutut di pasir, mengibas-ngibaskan
tangannya di atas kepalanya dengan putus asa.
Makhluk itu mendesis dan mencakar, meronta-ronta berusaha
membebaskan diri dari belitan rambutnya yang panjang.
Lalu Gabri muncul, dan memukul-mukul dengan tangannya.
Cicitan nyaring itu bergema di antara rambutnya. Sayap
kelelawar itu memukul-mukul keras sekali.
Lalu, dengan diiringi dengking akhir yang kesakitan, kelelawar
itu terbebas"dan pergi, diam-diam membubung tinggi ke dalam
kegelapan. April meloncat berdiri. Walaupun ia tahu kelelawar itu sudah
pergi, benturan tubuh makhluk itu ke kepalanya dan sambaran
sayapnya masih dapat dirasakannya.
Laut bergemuruh keras. Gemuruh itu mengelilinginya, datang
dari segala sisinya. Dibekapnya telinganya, tapi gemuruh itu terdengar
terus, seolah ada di dalam kepalanya!
Sekonyong-konyong ia menyadari suara itu berasal dari dirinya.
Ia sedang menjerit-jerit histeris.
Dan tiba-tiba seluruh pantai mulai bergulung. Pasir di
bawahnya bergerak. Tidak. Pantai itu tak bergerak. Akulah yang bergerak. Ia berlari kencang melintasi pasir, menjauhi tepi laut,
menyingkir dari karang, hingga napasnya tersengal-sengal, dadanya
terasa sakit, dan ia tidak sanggup berteriak lagi sekarang.
Lari, lari terus"ke dalam pelukan Matt.
"Whoa!" seru Matt. "April"ada apa?"
Ia memeluk Matt kuat-kuat, menunggu debur jantungnya
berhenti berpacu, menunggu dadanya berhenti tersengal-sengal,
menunggu menghilangnya perasaan seolah cakar kelelawar itu
malahan semakin menancap di rambutnya.
"Apa yang terjadi" Katakan!" tanya Matt, ambil memeluknya
erat, memberinya perlindungan.
"Aku"aku mencarimu," akhirnya ia berhasil bersuara, sambil
menempelkan keningnya ke kehangatan kaus lengan panjang Matt.
"Di sini. Di pantai."
"Dan?" tanya Matt tidak sabar.
"Dan seekor kelelawar terbang ke kepalaku. Lalu terbelit
rambutku. Dia mencicit-cicit. Ribut sekali. Aku panik. Dia
terperangkap. Aku tak bisa melepaskannya. Tapi lalu Gabri?"
"Siapa?" tanya Matt. "Siapa Gabri itu?"
"Cowok yang di sana," sahut April, sambil menunjuk ke
belakangnya tanpa menengok. "Dia sangat baik. Dia menarik lepas
kelelawar itu. Dia?"
"Siapa?" tanya Matt.
April melepaskan diri dari pelukan Matt dan berbalik untuk
memanggil Gabri. "Hei?" Tidak ada orang di sana. ********************** Jauh di bawah di pantai, pada ketinggian karang hitam, yang
licin karena embun tebal dan lembap, dua kelelawar meluncur
mendarat tanpa suara. Begitu malam semakin gelap, mereka mulai
berputar, sambil melipat sayap mereka, berpusing dalam tarian yang
seram dan tanpa irama. Mereka muncul dari tarian itu dalam wujud manusia.
Gabri, dengan mata berkilat-kilat merah, marah sekali pada
Jessica, dan mendorongnya mundur ke tepi karang tajam. "Kau iri!"
teriaknya. "Kau tahu aku hampir meneguk nektar itu. Kenapa
kauganggu?" Jessica menanggapi dengan tawa mengejek. "Kau mau
mendorongku jatuh?" tanyanya santai, tidak menghiraukan kemarahan
Gabri. "Kau tak bisa membunuhku, Gabri. Sudah bertahun-tahun aku
jadi Makhluk Abadi."
"Jawab pertanyaanku," desak Gabri, tidak mau menyerah, tidak
memberinya ruang untuk bergerak. "Kenapa kau memata-mataiku"
Kenapa kau melakukannya?"
"Tenanglah dan kita bisa bicara," kata Jessica, tidak mau
mundur. Ia merapikan tepi gaun panasnya yang berwarna gelap lalu
mulai mengancingkan sweter cardigan yang dipakainya di atasnya.
"Aku tak mau tenang," tukas Gabri panas. "Jawab aku!"
"Baik, baik," sahutnya, sambil memutar bola matanya. "Kau tak
mematuhi aturan main."
"Hah?" Kemarahan Gabri agak mereda, digantikan dengan
keheranan. "Kau tak bisa begitu saja menyerang cewek itu," jelasnya,
sambil menggeleng-geleng, surai merahnya berkibas-kibas di
punggungnya. "Kau harus merayunya dulu."
"Kau gila, ya?" seru Gabri, roman mukanya yang gelap berubah
karena marah. "Dia menyukaiku."
"Aku melihat apa yang kaulakukan," ia bersikeras. "Dia
malahan tak menatapmu. Tak bisa, Gabri. Bukan begitu taruhan kita."
Gabri mendongak ke langit dan melepaskan jeritan kemarahan
seperti binatang. Setelah berhenti, ia tampak agak lebih tenang.
"Seharusnya kau tak kulepaskan dari belitan rambutnya," gerutunya.
Jessica tertawa, tawa tidak lucu dan kering.
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hentikan menertawaiku," bentaknya. "Pikirmu kau lucu sekali,
ya?" "Ya," sahut Jessica puas. "Memang."
Ia menuding Jessica, matanya menyipit. "Awas, Jessica. Kita
berdua bisa sama-sama curang dalam permainan ini. Tertawalah
sepuasmu, aku bisa securang kau. Lebih baik kau waspada."
Jessica menguap lebar-lebar. "Jangan ancam aku, Gabri."
"Lebih baik kau waspada," ulangnya, lalu mulai berputar
kembali ke wujud kelelawar.
Kedua remaja itulah yang sebaiknya waspada, pikir Jessica,
sambil tersenyum membayangkan Todd, membayangkan nektar,
membayangkan betapa mudah ia memenangkan taruhan ini, dan
betapa ia mulai menikmati kemenangannya.
Beberapa saat kemudian dua kelelawar terbang dari karang itu,
mengitari langit gelap sebentar, menukik rendah di atas gelombang
laut yang mengganas. Lalu saling mendesis marah, mata mereka yang
berkilat-kilat merah bertautan saling menantang. Lalu mereka
membubung tinggi, ditelan awan tebal, mengundurkan diri ke sarang
masing-masing untuk menunggu, menyusun rencana, membayangkan
bagaimana dahaga mereka yang tak tertahankan akan segera
terpuaskan. Bab 9 GIGITAN DI KOTA "BAGAIMANA keadaan laut?" tanya Mr. Daniels, sambil
menuju ke meja dapur dengan mengenakan celana renang longgar
yang selalu dipakainya di rumah. Dengan masih mengantuk ia
menuang secangkir kopi. Matt telah bangun pagi-pagi, sebelum pukul delapan, dan
merasa semangatnya menggebu-gebu. Ia menyelinap keluar rumah
tanpa membangunkan orangtuanya dan lama berjalan-jalan di pantai.
"Ganas," sahutnya, sambil membuka kulkas dan mengambil sekarton
jus jeruk. "Sangat deskriptif," sindir Mr. Daniels. Ia berdiri di samping
meja dapur, meneguk kopinya, memandang ke luar jendela menatap
matahari di langit cerah.
"Bukan. Maksudku, ombaknya ganas. Tinggi sekali.
Berdatangan dari segala penjuru," kata Matt.
"Jangan minum dari karton," ayahnya memarahi. "Ambil
gelasmu sendiri." "Aku cuma ingin sedikit," kata Matt, dikembalikannya karton
itu ke dalam kulkas, disekanya mulutnya dengan punggung tangannya.
"Apakah Todd menelepon?"
Mr. Daniels melihat jam dinding sekilas sebelum menjawab.
Setengah sepuluh. "Tidak."
"Tadi malam kami janjian, tapi tak ketemu."
"Dia tak menelepon," kata Mr. Daniels sambil menguap. "Kau
mau main tenis hari ini?"
"Mungkin nanti," jawab Matt. "Pagi ini aku ingin berselancar.
Pasti asyik dengan ombak yang ganas ini." Ia menghampiri telepon di
dinding dan mengangkat gagangnya.
"Siapa yang kautelepon?" ayahnya bertanya sambil menggarukgaruk dadanya yang tanpa baju.
"Todd. Barangkali saja dia mau pergi ke pantai denganku."
"Hei, lihat"ada hummingbird!" seru Mr. Daniels sambil
menunjuk ke luar jendela.
Matt menaruh kembali gagang telepon dan menghampiri
jendela. "Di mana, Dad?"
"Di bunga itu. Oh. Kau terlambat. Sudah terbang lagi."
"Dad yakin itu bukan cuma lalat besar?" Matt bergurau. "Tadi
malam di kamarku ada lalat sebesar bluejay!"
"Layar-layar itu harus kupasang," Mr. Daniels menggerutu
sambil menggeleng-geleng. Sambil membawa cangkir kopinya, ia
mendorong pintu kaca membuka dan keluar ke teras. "Apa tak terlalu
pagi menelepon orang sekarang?" serunya dari luar.
"Tidak. Todd selalu bangun pagi-pagi," sahut Matt, sambil
mengangkat gagang telepon lagi. Ia menemukan nomor telepon rumah
pantai Todd di buku catatan di meja dapur dan cepat-cepat
menghubunginya. Telepon berdering lima kali sebelum ibu Todd mengangkatnya.
"Hai, ini Matt. Bisa bicara dengan Todd?"
"Hai, Matt," jawab ibu Todd tersengal-sengal. "Sori. Tadi aku
di kebun belakang." Beberapa saat ia menunggu napasnya teratur
kembali. "Kukira Todd belum bangun. Dia pulang malam sekali. Biar
kulihat dulu." "Dasar pemalas," omel Matt, sambil melirik jam dinding. Todd
selalu rajin bangun pagi selama ini. Sejak kapan dia molor terus
sampai jam sepuluh seperempat"
Ia mendengar bunyi gagang telepon diletakkan ibu Todd. Lalu
ia mendengar langkahnya yang menjauh menuju ke kamar Todd untuk
membangunkannya. Setelah menunggu lama, Matt mendengar
langkah mendekat, lalu suara Todd, serak dan masih mengantuk.
"Halo?" "Todd" Kau masih tidur, ya?"
Diam sejenak. "Ya. Kayaknya." Ia menguap.
"Sori, man. Tadi malam kau di mana" April diserang
kelelawar." "Hah?" "Binatang itu terbang ke rambutnya. Tapi dia tak apa-apa. Kau
di mana?" Todd berdeham. "Aku ketemu seorang cewek."
"Oh ya?" Matt tidak dapat menyembunyikan kekagetannya.
Todd selalu sangat pemalu dan salah tingkah menghadapi cewekcewek. "Itukah sebabnya kau kacau sekali pagi ini?"
Todd menguap. "Dia memesona, Matt. Maksudku, dia hot."
"Oh ya" Kau ketemu dia di pantai?"
"Hm, ya. Dia nyasar. Jadi kami jalan bareng di pantai. Aku
membantunya mencari rumahnya. Dan kami ngobrol tentang segala
hal. Dia cantik, Matt. Maksudku, mirip bintang TV atau sejenisnya."
"Hei, lumayan," kata Matt. "Teruskan, man. Yang jelas.
Detailnya." Todd mengerang. "Pagi ini aku tak bisa bangun," suaranya
masih serak. "Aku tak tahu apa masalahku."
"Siapa peduli?" sela Matt. "Siapa nama cewek ini?"
"Jessica. Benar-benar hot dan seru, Matt. Maksudku, ketika
kami di pantai. Kabut sedang tebal. Dan dia mendekatiku. Benar nih."
Ia terbatuk. "Kau mesti lihat bekas ciumannya di leherku."
Matt bersiul menanggapi. "Wow."
"Ya," Todd setuju. "Dia luar biasa."
"Yah, ayo ke pantai," ajak Matt. "Sambil kita main selancar,
kau bisa cerita lebih banyak lagi padaku."
"Nggak, menurutku bukan begitu," sahut Todd dengan
mengantuk. "Maksudku, jangan pagi ini, oke" Aku tak enak badan.
Ngantuk sekali. Tak tahulah. Rasanya lemas atau semacam itu."
Matt tertawa. "Mungkin kau dan Jessica terlalu menggebugebu, man."
Todd tidak tertawa. "Kupikir aku cuma perlu tidur lagi,"
sahutnya serius. "Begini saja. Aku janjian ketemu dengan Jessica di
kota malam ini. Bagaimana kalau kau dan April datang juga?"
"Tentu saja," Matt mengiyakan dengan antusias. "Tapi ayo,
Todd. Ombaknya bagus sekali pagi ini. Ngantukmu pasti langsung
lenyap kalau kena air."
"Nggak, kupikir nggak begitu," Todd tetap menolak sambil
mendesah capek. "Aku mau kembali tidur, oke?"
Ia memutuskan sambungan sebelum Matt dapat menjawab.
Matt meletakkan kembali gagang telepon, mencoba
membayangkan Todd pacaran dengan cewek cantik di pantai. Todd
jarang punya nyali untuk mengajak kencan cewek. Ia memerlukan
waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya merasa cukup nyaman untuk
mengobrol dengan April, Matt ingat, meskipun mereka bertiga pergi
ke mana-mana bersama-sama.
Yah, semoga berhasil, Todd! batinnya. Ia penasaran apakah
Jessica ini sehebat yang digambarkan Todd. Dia pasti memesona,
pikirnya. Todd kedengarannya seperti terbius total!
Sambil bersandar pada meja, tangannya masih berada di atas
gagang telepon, Matt bertanya-tanya siapa yang mungkin bisa
ditelepon untuk diajaknya berselancar. April telah memberitahunya
bahwa ia harus menjaga adik-adiknya.
Mungkin Ben bisa, pikirnya. Tak mungkin dia sudah main
game sepagi ini. Ia mencari nomor telepon Ben di dalam buku daftar nomor
lokal yang tipis dan menghubunginya. Ditunggunya nada panggil
sampai berbunyi delapan kali, lalu ditutupnya telepon dengan kecewa.
"Hei, Dad?" panggilnya ke teras. "Mau main tenis?"
************************ Todd dan Jessica duduk berdampingan di Pizza Cove ketika
Matt dan April datang pukul delapan lewat sedikit.
"Mesra sekali mereka," bisik April, melambai pada Todd di
seberang restoran kecil yang ramai itu dan mendesak melewati barisan
anak-anak yang menunggu meja kosong. Ia melihat Jessica memeluk
leher Todd dengan sangat mesra.
Todd tersipu-sipu ketika April dan Matt duduk di hadapan
mereka. "Hei, guys."
"Hai, aku Jessica," Jessica memperkenalkan diri, menyibakkan
rambutnya ke belakang bahunya yang kurus dan pucat. Ia mengenakan
blus pendek sebatas perut berwarna hijau yang memamerkan kulitnya
yang putih di bagian atas dan bawahnya.
April melihat bekas lipstik berwarna gelap tepat di bawah
telinga Todd. Tentu saja kelihatannya Jessica menyukai Todd,
pikirnya. Dia tampak terlalu canggih buat Todd.
April memarahi dirinya sendiri karena berpikir begitu. Aku
cuma iri karena dia cantik sekali, batinnya.
"Aku sudah pesan piza," kata Todd, sambil nyengir pada Matt
di seberangnya. "Kau dari Shadyside juga?" Jessica bertanya.
April dan Matt menjawab ya bersamaan.
April mengagumi kuku-kuku Jessica, panjang dan sempurna
serta dicat ungu gelap yang dramatis, sepadan dengan lipstiknya.
Sambil merapatkan diri pada Todd, tanpa sadar Jessica mengusapusap lengan cowok itu.
Rajawali Emas 13 Pendekar Naga Mas Karya Yen To Pedang Kayu Harum 8