Pencarian

Kebakaran The Burning 2

Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning Bagian 2


samping Mr. Claybourne. Aku yakin dia dan pria tua yang menawan
itu akan menemukan banyak topik untuk diobrolkan, itu kalau Ayah
mempertimbangkan perasaan Julia."
Simon meletakkan berkas-berkas di tangannya lalu bangkit
berdiri. Punggungnya pegal ketika dia berdiri. Dia sadar dia sudah
mulai tua. Dia membuka kancing kerahnya yang kaku, lalu melepasnya.
"Tidak, maaf. Aku ingin kau duduk di samping Claybourne si tukang
bual itu," katanya kepada Hannah. "Aku ingin kau memesonanya,
Hannah, sebisamu. Aku membutuhkan dukungan Claybourne untuk
perpustakaan yang akan kudirikan."
Karena matanya beralih memandang Hannah, Simon tidak
melihat ekspresi terluka di wajah Julia.
"Aku yakin Julia pasti bisa memesona Mr. Claybourne, sebaik
aku melakukannya," Hannah berkeras. Dia berjalan ke balik meja tulis
ayahnya untuk memeluknya.
Tidak, Julia takkan bisa, pikir Simon. Dia tahu Hannah gadis
yang menarik. Pada usia enam belas tubuhnya tinggi dan langsing,
gayanya anggun, rambutnya ikal keemasan, dan matanya cokelat
indah berbinar-binar. Sikapnya ramah dan terbuka, penuh semangat
hidup"bertolak belakang dengan Julia yang tertutup dan sangat
pemalu. Simon membutuhkan putri keduanya pada acara-acara jamuan
makan malam yang diadakannya. Dia bergantung pada Hannah untuk
memesona dan menyenangkan tamu-tamunya serta menghidupkan
percakapan. "Siapa duduk di mana sudah ditentukan," kata Simon kepada
kedua putrinya. Dia mengalihkan lengan Hannah dari pinggangnya
lalu merapikan kertas-kertas di meja tulisnya. "Jangan berdebat lagi.
mengenai hal ini." "Oh, Ayah!" Hannah mengeluh sambil cemberut.
"Aku tak mengerti mengapa kita sering sekali mengadakan
jamuan makan malam yang membosankan," kata Julia dengan pahit.
"Tak bisakah Ayah membangun semua perpustakaan, museum, dan
taman itu tanpa mengadakan jamuan makan malam?"
"Kita sudah pernah membicarakannya," sahut Simon tak sabar.
"Aku membutuhkan dukungan para warga terhormat di Shadyside.
Mengapa aku mesti mengulang-ulangnya lagi, Julia?"
Julia menarik napas panjang sambil berusaha menahan air
matanya. "Baik... kalau Ayah tak percaya aku punya kemampuan
untuk menyemarakkan jamuan makan malam yang Ayah adakan,
kalau Ayah benar-benar yakin satu-satunya tempat untukku adalah
pojok yang tak mencolok di samping seorang lelaki tuli, kalau
begitu... malam ini aku akan duduk di kamarku saja!" teriaknya.
Simon membuka mulut untuk menjawab, tetapi suara di
ambang pintu menyelanya. Dia dan kedua putrinya berpaling dan
melihat Mrs. MacKenzie, si pengurus rumah tangga, masuk bersama
seorang gadis pelayan berambut merah.
"Saya mohon maaf terpaksa menyela Anda, Tuan," kata Mrs.
MacKenzie sambil meremas-remas celemek putihnya. "Saya sedang
melatih Lucy untuk membersihkan debu pada perabotan. Lucy ini
pelayan baru. Dia baru mulai kerja minggu ini. Dia sedang membantu
kami berbenah mempersiapkan jamuan makan malam nanti."
Wajah Lucy memerah, dia memandang ke bawah. Gadis itu
mungil, kata Simon dalam hati. Umurnya pasti tak lebih dari delapan
belas. Rambutnya jingga kemerah-merahan, diikat dan disanggul di
tengkuknya. Matanya hijau pucat, hidungnya mungil dan mancung
seperti huruf V. "Lanjutkan berbenah, Mrs. MacKenzie," kata Simon, lega
perdebatannya dengan Julia telah disela. "Aku akan ke atas
membicarakan acara malam nanti dengan istriku."
"Nah, Lucy, kau harus hati-hati mengelap gerabah-gerabah
indah buatan Miss Julia ini," Simon mendengar pengurus rumah
tangga itu memberi perintah ketika dia berpamitan kepada kedua
putrinya sambil melangkah ke arah tangga depan.
"Ayah, aku belum selesai bicara!" lengking Julia.
Simon tidak memedulikannya dan terus saja berjalan menyusuri
selasar panjang berlantai pualam. Ketika sampai di bawah tangga, dia
melihat ketiga putranya, Robert, Brandon, dan Joseph, menuruni
tangga dengan berisik. Mereka mengenakan pakaian berkuda.
"Kalian akan ke mana?" tanya Simon.
"Aku akan mengajak anak-anak ini berkeliling sebentar," jawab
Robert sambil merapikan topi si kecil Joseph.
"Kuda poniku sudah menungguku," kata Joseph kepada
ayahnya. "Hati-hati di hutan," Simon memperingatkan Joseph. "Kudaku
menginjak ular kemarin sore. Nyaris aku terlempar. Kubunuh ular itu,
tapi mungkin masih banyak ular yang lain di sana."
"Aku tak takut ular!" kata Brandon. "Akan kuinjak!"
Pelan-pelan Robert mendorong adik-adiknya ke pintu. "Jangan
kuatir, Ayah. Aku akan menjaga mereka."
Mereka pergi ke luar, dan Simon menaiki tangga. Pikirannya
terpusat pada jamuan makan malam yang hanya tinggal beberapa jam
lagi. Di puncak tangga seorang pelayan sedang memoles birai tangga
yang terbuat dari kayu mahoni. Simon berjalan melewatinya dan
bergegas ke kamar istrinya.
"Angelica!" serunya dari selasar. "Angelica, ada beberapa hal
yang harus kubicarakan denganmu, Sayang."
Dia berhenti di ambang kamar istrinya, tangannya memegang
bingkai pintu"dan berseru tertahan.
"Angelica!" Simon terbelalak memandang istrinya. Angelica tergeletak di
lantai, rambutnya terburai di sekeliling kepalanya, matanya menatap
kosong ke langit-langit, mulutnya ternganga.
Angelica. Tak bernapas. Tak bernyawa.
"Angelica!" jerit Simon. "Oh, Angelica!"
Bab 11 TERIAKAN ngeri Simon menyadarkan Angelica, dia bergerakgerak, lalu duduk. Dia mengedipkan matanya, sekali, dua kali, lalu
tersenyum kepada suaminya. Matanya berkilau-kilau.
"Simon... di mana aku" Apa yang terjadi?" tanyanya gugup.
"Kau... kau kutemukan tergeletak di lantai, Angelica!" jawab
Simon sambil mengembuskan napas penuh kelegaan. "Kukira kau..."
"Roh-roh itu," bisik Angelica sambil menegakkan duduknya.
"Roh-roh itu memanggilku, Simon. Aku pasti pingsan dan kerasukan
tadi." "Aku takut sekali tadi," kata Simon sambil meraih tangan
Angelica yang putih dan ramping. Ditariknya istrinya hingga berdiri.
Angelica meremas tangan suaminya dengan mesra. "Aku sering
kerasukan, sadar sebentar... lalu kerasukan lagi. Aku tak bisa lagi
mengendalikan mereka seperti dulu."
Dia duduk di pinggir tempat tidur dan merapikan rambutnya
yang hitam dengan kedua tangannya. Dia kelihatan letih. Dalam
cahaya matahari yang masuk lewat jendela, Simon melihat wajah
halus Angelica kini mulai berkerut, kulitnya kaku dan kering. Hanya
matanya yang tetap kelihatan muda dan bercahaya.
"Angelica, mungkin sudah tiba saatnya membuang kekuatan
sihir itu, berhenti menggunakan sihirmu," katanya lembut sambil
berdiri di depan istrinya.
Dengan kaget Angelica mengangkat wajahnya dan
memandangnya. "Simon, kekuatan sihirku telah melayani kita dengan
baik," katanya. Dia menunjuk sekeliling kamar tidurnya yang mewah.
"Kita semakin kaya, kita jadi keluarga terkaya di Shadyside. Kita
punya lima anak yang sehat-sehat. Kita berhasil karena kekuatan kita,
kekuatanmu dan kekuatanku. Aku tak boleh berhenti sekarang."
"Tapi... kalau masuk kamar dan menemukanmu tergeletak tak
sadarkan diri di lantai..."
Angelica mengangkat tangannya menyuruhnya diam. "Kalau
roh-roh itu memanggil, aku harus menuruti mereka." Dia
menggumamkan mantra. "Angelica..." "Simon, ssst. Roh-roh itu akan mendengarmu. Aku akan
terpaksa mengucapkan mantra pembersih untuk mengusir kata-kata
negatifmu dari rumah ini."
Simon mendesah lalu mondar-mandir di depan istrinya. "Mari
kita bicara hal lain," akhirnya dia berkata. "Mari kita bicarakan acara
jamuan makan nanti malam. Aku sudah bicara dengan Hannah dan
Julia dan..." "Aku tak bisa hadir di pesta itu. Maaf, Simon," tukas Angelica
cepat sambil berdiri. Simon berpaling, kaget. Wajahnya memerah. "Apa?"
"Aku membaca kartu-kartu ramalan tadi pagi," kata Angelica
tak peduli. "Mereka menyarankan agar tak diadakan pesta dalam
bentuk apa pun." "Angelica, ayolah," kata Simon sengit. "Aku membutuhkanmu
malam ini. Kau tahu sendiri, jamuan makan malam ini sangat
penting." "Maaf," kata Angelica sambil meraih tangan suaminya. "Aku
tak bisa menentang apa yang kubaca di kartu-kartu ramalan itu. Aku
tak bisa mengambil risikonya. Aku tak bisa menantang dan
mengundang pembalasan dari roh-roh itu. Aku harus selalu patuh.
Suruh salah satu putri kita jadi nyonya rumah, Simon. Malam ini aku
akan tinggal di kamarku. Kartu-kartu ramalan itu memerintahkan
begitu." Simon mendesah. Dia tahu, tak ada gunanya berdebat dengan
istrinya. Dia memandang istrinya dengan prihatin. Kekuatan sihir
jahatnya telah menguasai hidupnya. Mantra-mantranya, kutukannya,
kartu-kartu ramalannya"membuat Angelica mengurung diri di
kamarnya berhari-hari. Anak-anak mencemaskan dan merindukan ibu mereka.
Sekarang Simon baru sadar dia juga cemas.
"Baca ulang kartu-kartumu, Angelica," desaknya sambil
menyerahkan satu set kartu aneh berwarna-warni. "Mungkin kali ini
nasihat mereka lain."
"Baiklah," jawab Angelica lembut, "tapi aku tahu apa yang akan
mereka katakan." Sambil tersenyum, dia mendorong Simon ke pintu.
"Sekarang pergilah, Sayang. Pergi dan suruh Hannah bertindak
sebagai nyonya rumah. Dia pasti akan memikat para tamu... bahkan
lebih baik dariku." Dengan enggan Simon keluar dari kamar istrinya. Simon bisa
mendengar istrinya menggumam di atas kartu-kartu itu ketika dia
menyusuri selasar panjang ke tangga depan.
Simon masih di pertengahan tangga ketika terdengar bunyi
benda jatuh dengan keras dari ruang duduk.
Bab 12 "MANGKUK favoritku!" jerit Julia ketika Simon bergegas
masuk ke ruang duduk. "Itu mangkuk terbaik yang pernah kubuat!"
"Maaf sekali, Nona," kata Lucy, pelayan baru itu, sambil
memandang pecahan mangkuk yang tersebar di lantai. "Mangkuk itu
terlepas dari tangan saya." Dia menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. "Apa apa ini?" tanya Simon.
Julia membungkuk dan mengambil pecahan terbesar
mangkuknya. "Hancur," katanya sedih sambil menggeleng-geleng.
"Sudah kubilang, jangan pegang dengan satu tangan seperti
tadi!" Mrs. MacKenzie memarahi Lucy.
"Lucy menjatuhkan mangkuk kesayangan Julia," kata Hannah
kepada Simon. Dia mendekati Lucy dan Mrs. MacKenzie. "Aku yakin
kau tak sengaja, Lucy. Ambil sapu dan bersihkan ini."
"Saya sudah bilang agar jangan memegangnya seperti itu,"
ulang Mrs. MacKenzie kesal. Dengan kasar didorongnya pelayan yang
gemetar itu. "Ayo, cepat ambil sapu. Kita bersihkan ini. Jangan ada yang
pecah lagi ya"! Banyak yang harus kita kerjakan sebelum tamu-tamu
mulai datang." Simon menggeleng-geleng dan memandang Julia dengan kesal.
"Aku yakin kau pasti bisa membuat mangkuk lain yang persis seperti
itu," katanya tak sabar. "Kita benar-benar tak punya waktu untuk
mencemaskan barang-barang gerabahmu hari ini."
Julia sakit hati. Dia membuka mulut hendak bicara, tetapi
Simon sudah berpaling kepada Hannah. "Aku memerlukanmu sebagai
nyonya rumah malam ini, Hannah. Ibumu... sedang tak enak badan."
Kedua gadis itu berpandangan.
Hannah memegang tangan ayahnya. "Aku akan senang
menggantikan Ibu malam ini," katanya. "Tapi seharusnya Julia yang
lebih pantas jadi nyonya rumah. Dia yang tertua, kan?"
Simon menarik tangannya dengan kesal. "Dengar!" katanya
tajam, "Aku tak mau dengar perdebatan lagi hari ini! Aku
menyuruhmu jadi nyonya rumah, Hannah. Tak perlu ada perdebatan
atau diskusi lagi!" Sebelum salah satu putrinya sempat menjawab, Simon sudah
bergegas keluar ruangan. Hannah berpaling kepada Julia yang masih memegangi pecahan
mangkuknya. "Kurasa Ayah tak mempercayaiku," kata Julia sedih. Dia
membiarkan pecahan mangkuk itu jatuh ke lantai.
"Julia, perasaanku sangat tak enak," kata Hannah tulus. "Tapi
kau tahu Ayah seperti apa" keras kepala dan tak mau dibantah."
Julia memaksa diri tersenyum. "Jamuan makan malam selalu
membuatku gugup. Tapi mungkin malam ini aku akan berhasil.
Mungkin aku bisa memaksa Ayah mengubah pandangannya tentang
aku." ***************** Di dapur, Mrs. MacKenzie masih memarahi Lucy. "Hati-hati,
Nak," dia memperingatkan. "Kau tak punya banyak kesempatan di
rumah ini." "Saya akan hati-hati. Saya berjanji," jawab Lucy takut-takut.
Mrs. MacKenzie mengulurkan sehelai kertas panjang berisi
daftar nama. "Ini, Lucy. Kau harus menandatangani daftar pelayan."
Lucy ragu-ragu. "Tapi saya tak bisa menulis, Ma'am," katanya
dengan wajah memerah. Mrs. MacKenzie mengambil kertas itu darinya. "Baiklah kalau
begitu. Katakan nama lengkapmu, Nak. Aku akan menuliskannya
untukmu." "Nama saya Lucy Goode," jawab pelayan itu lirih.
Mrs. MacKenzie mulai menulis, kemudian berhenti. Matanya
menyipit memandangi gadis itu. "Goode, katamu?"
Lucy mengangguk. "Hmm, aku takkan menyebut-nyebut nama itu di sini kalau jadi
kau," pengurus rumah tangga yang tua itu menasihati. "Mr. Fear selalu
membicarakan keluarga Goode yang pernah mencelakakan
keluarganya. Simpan namamu untukmu sendiri, Nak. Kalau kau ingin
tetap kerja di sini."
"Jangan kuatir," jawab Lucy, matanya tiba-tiba bersinar dingin
dan keras. "Saya takkan bicara pada siapa pun."
***************** Ketika tamu-tamu berdatangan malam itu, Hannah berdiri di


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping ayahnya, matanya yang cokelat indah menyiratkan
perasaannya yang meluap-luap. Gaunnya terbuat dari satin hijau
berlapis renda putih halus. Penyangga di baliknya membuat bentuk
gaun itu tetap terjaga. Gaun itu bersusun tiga dan ujung setiap
susunnya dilapisi renda putih.
Hannah mengenakan kaus tangan pendek dari renda putih.
Lengan gaunnya pendek dan berkerut. Rambutnya yang pirang
kecokelatan ditata menjadi sanggul manis di satu sisi, dihiasi korsase
bunga-bunga putih dan kuning.
Gaun Julia lebih sederhana, dari beledu merah jambu yang
dihiasi renda putih. Garis lehernya rendah, menampilkan bahunya.
Rambutnya yang hitam mengilat dibelah tengah dan membingkai
wajahnya dengan anggun. "Kau tampak menakjubkan malam ini," bisik Hannah kepada
kakaknya. Dia tahu, Julia telah berdandan ekstra demi penampilannya.
"Ayah pasti akan memperhatikanmu," bisik Hannah memberi
semangat. Julia takkan pernah menjadi gadis cantik, pikir Hannah sedih.
Tapi kalau mau berdandan, dia akan cukup menarik. Kalau saja dia
mau tersenyum lebih banyak dan tak menangkupkan kedua tangannya
rapat-rapat di depannya. Anggur dihidangkan di ruang perpustakaan Simon. Ruangan
luas bersegi empat, dengan perabotan dari kayu hitam. Keempat
dindingnya dipenuhi rak buku. Ruangan itu tepat sebagai tempat
mendiskusikan rencana pembangunan perpustakaan Shadyside
Village. Hannah berusaha keras menjadi nyonya rumah yang baik.
Dengan ramah dia menyapa para tamu satu per satu, matanya
berbinar-binar, senyumnya hangat dan tulus. Dia berbincang dan
bercanda dengan Harlan Claybourne. Dia bahkan berhasil
memperoleh sekilas senyum dari Mayor Bradford yang selalu
bertampang masam. Beberapa menit kemudian Simon mempersilakan para tamunya
melihat koleksinya yang terbaru: senjata dan seragam dari masa
Perang Antar Negara Bagian. Simon mengoleksi pedang dan senapan
dari pasukan Utara maupun pasukan Selatan. Setelah mengagumi
koleksi Simon, mereka dipersilakan masuk ke ruang makan resmi
untuk menikmati jamuan makan malam. Simon memimpin di depan
dengan Hannah dalam gandengannya.
Ruangan megah itu hanya disinari cahaya lilin. Sejumlah
tempat lilin perak berkilau, dengan lilin-lilin tinggi ramping,
diletakkan berderet-deret di tengah meja beralas kain linen Irlandia
yang putih halus. Piring-piring makan dariperak dan gelas-gelas
anggur yang anggun kemilau dalam cahaya lembut.
"Kau pandai mengatur meja, Simon," kata Harlan Claybourne
dengan gaya anggun sambil duduk di samping Hannah.
"Tamu-tamuku sangat terhormat," Simon membalas dengan
penuh terima kasih. Malam ini hati Ayah sedang senang, Hannah bersyukur dalam
hati. Dia sering melihat ayahnya bersikap ketus dan tidak mau bicara
di pesta-pesta yang tidak berjalan sesuai rencana.
Andai saja Ibu ada di sini, pikir Hannah. Akhir-akhir ini Ibu
sering sakit. Dia terlalu banyak menghabiskan waktu di kamarnya di
lantai atas. Aku sangat merindukan Ibu.
Hannah melihat kakaknya menolong wali kota yang tua itu
duduk di kursinya di ujung meja. Kemudian Julia duduk di
sampingnya. Wali kota itu langsung mengulurkan tangan dan meraih
roti. Hannah memperhatikan dia mengambil sekerat untuk dirinya
sendiri, tanpa lebih dulu menawari Julia.
Kasihan Julia, pikir Hannah. Kadang-kadang Ayah memang tak
adil. Dia mengalihkan perhatiannya kepada Mr. Claybourne lalu
mengobrol dengannya tentang kuda-kudanya.
Beberapa menit kemudian Lucy masuk dengan seragam hitam
dan celemek putih berhias renda. Dia membawa mangkuk sup besar
dari porselen. Mulai dari kepala meja, pertama-tama dia melayani
Simon Fear. Dicelupkannya sendok perak bertangkai panjang ke
mangkuk besar itu, lalu diisinya mangkuk Simon dengan sup.
"Bagus sekali, Lucy," Simon mengangguk dan memujinya.
"Mangkuk itu besar sekali. Kau tak perlu dibantu?"
"Tidak, Tuan," jawab Lucy takut-takut. "Kata Mrs. MacKenzie,
saya bisa melakukannya sendiri."
Dia melanjutkan ke tamu-tamu yang lain, mengisi mangkukmangkuk para tamu dengan sup jingga kemerah-merahan.
"Sup apa ini" Lezat sekali. Dari tomat?" Mrs. Graham, istri
pendeta, bertanya ketika Lucy sudah melayaninya.
"Ini lobster bisque," jawab Hannah, "dengan kuah tomat."
"Lezat sekali," kata Pendeta Graham.
Hannah hendak menjelaskan resep masakan itu tetapi disela
jeritan nyaring dari ujung meja.
Beberapa saat kemudian baru Hannah sadar Julia-lah yang
menjerit ketakutan. Bab 13 "BAHUKU! Ohhhh, bahuku!" pekik Julia.
Beberapa tamu berseru kaget ketika Julia melompat berdiri,
hingga kursinya terguling dengan gaduh.
"Maaf sekali, Nona!" kata Lucy sambil berusaha memegangi
mangkuk sup besar itu. "Aduhhh! Bahuku! Lihat gaunku!" teriak Julia.
"Tangan saya tersenggol. Saya tak bermaksud
menumpahkannya!" Lucy mundur ke bufet dengan takut-takut.
Julia mengambil serbet linennya yang putih lalu dengan gugup
mengelap bahunya dan garis leher gaunnya. "Aduhh, panas sekali!"
Cairan oranye tua mengalir dan renda penghias bahu gaunnya ke
bagian dada yang terbuat dari beledu merah jambu.
"Julia, Sayang, kau bisa berganti pakaian," kata Simon dari
ujung meja. Ayah berusaha bersikap penuh pengertian, pikir Julia, tetapi
suaranya seakan menuduhku.
Lagi-lagi aku kikuk, pikir Julia pahit. Hannah takkan bertingkah
seburuk itu. Hannah takkan menjerit atau menggulingkan kursinya, kata
Julia dalam hati. Hannah takkan menimbulkan keributan seperti itu.
Tapi apa yang bisa dilakukannya" Sup panas itu benar-benar
membakar kulitnya! "Sakit, Kak" Kau perlu bantuan?" tanya Hannah dari ujung
meja yang lain. "Tidak, aku tak butuh bantuan," jawab Julia dengan gigi
dikertakkan, benci dan kesal pada dirinya sendiri. Dia melemparkan
serbetnya ke meja, menggumamkan, "Maafkan saya," lalu berjalan ke
pintu. Wajahnya terasa panas. Dia tahu wajahnya pasti merah padam.
Sekilas dia menoleh ke ambang pintu dan langkahnya langsung
terhenti ketika dia melihat ekspresi Lucy.
Apakah itu senyum" Senyum puas"
*************** Larut malam, setelah para tamu pulang naik kereta masingmasing, dan para pelayan selesai berbenah, Hannah dan Julia bertemu
di kamar rahasia yang hanya diketahui mereka berdua.
Kamar itu panjang dan sempit, tanpa jendela, dan tersembunyi
di balik dapur bersih yang kedua. Panas dari tungku di dapur di balik
dindingnya membuat kamar kecil itu nyaman dan hangat. Sebuah
lampu gas kecil memancarkan cahaya redup.
Hannah dan Julia menemukan kamar itu ketika mereka masih
kecil. Sejak itu mereka menggunakannya sebagai tempat pertemuan
rahasia. Diam-diam mereka memasukkan selimut dan bantal-bantal
berisi bulu angsa ke situ. Mereka suka berpura-pura sebagai anak-anak
yang bersembunyi di gua rahasia.
Malam itu Julia tidak berminat bicara tentang petualangan
"gadis kecil". Punggungnya bersandar pada bantal yang disandarkan
di dinding yang hangat. Tangannya tertangkup rapat di pangkuannya,
di atas baju tidurnya yang terbuat dari wol. Julia mendesah sedih.
Di sampingnya, Hannah menguap dan menarik-narik sejumput
rambut pirang yang indah.
"Kau tak melihat ekspresi Lucy?" tanya Julia berbisik. Mereka
selalu berbisik-bisik di kamar rahasia itu, meskipun tak mungkin ada
orang yang mendengar suara mereka. "Kau tak melihat senyum di
wajah pelayan itu?" Hannah menggeleng sambil mengingat-ingat. "Mataku terpusat
padamu, Kak. Baru beberapa saat kemudian aku mengerti apa
penyebab keributan tadi."
"Tapi sesudahnya," Julia berkeras dengan tak sabar. "Setelah
aku melompat berdiri dan kursiku terguling, kau tak melihat Lucy
tersenyum seakan puas karena apa yang dilakukannya padaku?"
"Tidak," sahut Hannah pelan. "Aku hanya mendengar Lucy
minta maaf." "Aku melihatnya tersenyum!" Julia berseru, suaranya meninggi
karena marah. "Dia sengaja menumpahkan sup itu ke bahuku!"
"Mengapa?" tanya Hannah sambil mengisyaratkan agar
kakaknya merendahkan suara. "Aku tak mengerti, Julia. Mengapa
Lucy sengaja melakukannya" Dia tak punya alasan untuk
mencelakaimu." Julia tidak memedulikan pertanyaan adiknya. "Mula-mula dia
memecahkan mangkukku yang terbaik. Dia juga minta maaf untuk itu,
aku ingat," kata Julia pahit. "Kemudian dia mempermalukanku di
depan Ayah, padahal aku sedang berusaha keras... bersikap seperti
yang diinginkan Ayah. Apakah Ayah mengatakan sesuatu padamu"
Tentang aku" Tentang apa yang terjadi?"
"Dia kelihatan tak senang karena jamuan itu terganggu," jawab
Hannah sambil menguap lagi. "Tapi... menurutku Ayah sangat puas
dengan jamuan makan tadi."
"Puas karena kau," gumam Julia.
"Berat menjadi nyonya rumah," kata Hannah. "Aku merasa
senyumku seakan membeku di wajahku."
Tenggelam dalam pikirannya sendiri, Julia tidak mendengar
kata-kata adiknya. "Aku capek sekali," desah Hannah. "Sebaiknya kita kembali ke
kamar kita." "Ya," Julia sependapat.
Kedua gadis itu berdiri, membiarkan bantal-bantal itu tetap
tersandar di dinding. Tanpa suara mereka berjalan ke pintu.
Di dalam dapur bersih yang gelap dan kosong, Julia berhenti
dan mencengkeram lengan adiknya. "Kau harus memperhatikan
peringatanku, Dik. Awasi pelayan baru itu. Ada yang tak beres dengan
anak itu." Terlalu letih untuk berdebat, Hannah menggumam menyatakan
sependapat. Kemudian kakak-beradik itu menaiki tangga yang
remang-remang ke kamar mereka.
Selasar panjang itu hanya diterangi sebuah lampu gas. Ketika
Hannah berjalan ke kamarnya, dia melihat Lucy diam-diam keluar
dari kamarnya lalu menghilang di antara bayang-bayang.
Aneh sekali, pikir Hannah. Perasaannya tidak enak dan bulu
kuduknya meremang. Semua pelayan sudah beristirahat. Mengapa Lucy ada di
kamarku malam-malam begini"
Penasaran, dia masuk ke kamarnya. Kayu-kayu berkeretak lirih
di perapian. Gaun pesta Hannah sudah dipindah dari kursi. Tadi dia
melemparkan gaunnya begitu saja ke kursi itu. Penutup tempat tidur
sudah dibuka dan digulung rapi.
Baik benar Lucy, pikir Hannah sambil menyusup ke balik
selimut linen. Sesaat dia merasa bersalah karena membicarakan
pelayan baru itu dengan Julia.
Aku tak boleh mendengarkan tuduhan Julia yang tanpa dasar,
dia memarahi dirinya sendiri.
Hannah menarik selimut berisi bulu angsa itu hingga menutupi
bahunya, lalu meletakkan kepalanya di bantal. Sambil tersenyum
sendiri, dia mendengarkan keretak kayu api yang menenangkannya.
"Oh...!" serunya lirih ketika merasa sesuatu bergerak-gerak di
kakinya yang telanjang. Pasti seprai yang tergulung.
Dia memejamkan mata lagi. Dia sangat mengantuk. Dia ingin
segera tidur. "Oh...!" Hannah merasa tubuhnya membeku.
Apa itu" Apa itu yang bergerak-gerak" Apakah ada sesuatu di tempat
tidurku" Dia mencoba berteriak, tetapi suaranya tersangkut di
tenggorokan ketika dia merasa sesuatu menjalar di kakinya.
Bab 14 HANNAH terlalu takut untuk menjerit. Makhluk hangat itu
menjalari kakinya. Dia memaksa diri untuk tidak bergerak dan
menahan napas. Makhluk itu bergelung di kakinya. Kemudian mengurai dan
menjalar lagi. "Ohhh," dia memekik pelan, mengerang penuh kengerian, dan
melompat turun dari tempat tidur.
Dia mendengar desis, kemudian melihat kilatan sepasang mata
kelam. "Ular!" jerit Hannah, suaranya kecil dan penuh kengerian.
Sambil menegakkan badannya di selimut yang tergulung, ular
itu mengangkat kepalanya, mulutnya menganga memperlihatkan
taringnya yang lancip... siap mematuk.
Hannah berdiri terpaku karena ngeri. "Bagaimana mungkin ular
bisa naik ke tempat tidurku?" tanyanya keras-keras. "Bagaimana
caranya?" Kemudian, sambil berteriak Hannah melompat, melemparkan
selimut hingga menutupi makhluk yang mendesis-desis itu, lalu
berteriak-teriak minta tolong.
******************** Adik-adiknya yang dipersalahkan akibat kejadian itu. Sore itu
mereka berkuda di hutan. Pasti mereka yang menangkap ular itu dan
menyembunyikannya di tempat tidur Hannah.
Mereka semua menyangkal, tetapi Simon tidak peduli dan
menghukum mereka. Dia tak sabar menghadapi lelucon anakanaknya. "Lelucon takkan membuat orang jadi sukses," dia
memperingatkan dengan tegas.
Malam berikutnya Hannah berada di kamarnya, sedang
berdandan sebelum turun untuk makan malam. Dia mengenakan gaun
linen putih bermodel sederhana, kerahnya tinggi berlapis pita beledu
merah. Dia menyikat rambut pirangnya yang panjang dan
mengikatnya dengan sehelai pita merah yang serasi.
Hannah mendengar bunyi menggaruk di pintu. Dia berpaling
dan melihat Fluff, anjing terriernya yang kecil dan berbulu putih,
melompat-lompat masuk ke kamar. Mulutnya menggigit bola merah.
"Jangan sekarang. Tak ada waktu untuk main bola," kata
Hannah. "Aku akan terlambat turun makan, Fluff." Pelan-pelan
didorongnya anjing yang kecewa itu ke pintu.
Kemudian dia membuka lemari pakaian untuk mencari sepatu
putihnya. "Mana ya?" Ia berjongkok dan mencari-cari di dasar lemari.
Sore tadi Lucy membersihkan kamar Hannah. Dia pasti
memindahkan sepatuku, pikir Hannah.
Akhirnya dia menemukan sepatu itu di lantai, di kaki tempat


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidur. Sambil beipegangan pada tiang tempat tidur, Hannah berdiri
dengan kaki kirinya dan memasukkan kaki kanannya ke sepatu
bertumit rendah itu. "Ohhh!" pekiknya, rasa sakit yang tajam menjalari kakinya.
Hannah menunduk dan kaget ketika melihat darah merah segar
menetes-netes membasahi tumit sepatunya.
Rasa sakit merambat naik dari kakinya. Hannah jatuh berlutut di
lantai lalu melepas sepatunya. Darah sudah menodai bagian dalam
sepatu itu. Dia memeriksa kakinya. Diusapnya darah yang menetes-netes
itu dengan jarinya. Sekarang dia melihat di tumitnya ada luka goresan
yang dalam, hampir satu inci panjangnya.
Pada luka itu tertancap potongan kaca bening.
"Oh!" Sambil meringis menahan sakit, Hannah mencabut
pecahan kaca itu dari lukanya. Jari-jarinya gemetar.
Darah mengucur lebih deras dari luka yang kini terbuka. Sambil
berdiri dengan satu kaki, Hannah menjerit minta tolong.
Mrs. Mackenzie datang beberapa detik kemudian. Dia
membimbing Hannah ke tempat tidur. Hannah melompat-lompat
dengan satu kaki, meninggalkan jejak berdarah. Kemudian pengurus
rumah tangga itu keluar mengambil perban.
"Hannah, apa yang terjadi?" Julia masuk ke kamar dengan
napas terengah-engah. Wajahnya tampak ketakutan. Melihat jejak
berdarah di lantai, Julia berseru tertahan.
"Aku tak apa-apa, sungguh," kata Hannah sambil memandang
darah yang mengucur dari tumitnya. "Kakiku ter... tergores."
"Kenapa?" desak Julia. Dia melangkahi sepatu yang bernoda
darah itu lalu berdiri di dekat Hannah.
Hannah mengacungkan pecahan kaca itu. "Ini ada di sepatuku."
Ia meringis menahan sakit yang menjalari kakinya.
"Mengerikan!" Julia memandang darah yang terus mengucur.
"Hari ini Lucy membersihkan kamarku," kata Hannah curiga.
"Mungkin pendapatmu tentang dia benar, Julia. Dia..." Hannah
berhenti bicara ketika Mrs. MacKenzie kembali dengan membawa
perban. Julia memperhatikan pengurus rumah tangga yang
berpengalaman itu membersihkan dan membalut luka kaki Hannah.
"Perdarahannya akan segera berhenti," Mrs. MacKenzie meyakinkan
Hannah sambil menepuk-nepuk bahunya seakan gadis itu masih kecil.
"Kau akan bisa turun untuk makan malam beberapa menit lagi. Tapi
kusarankan jangan banyak berjalan selama beberapa hari, Miss
Hannah." Hannah mengucapkan terima kasih kepada Mrs. MacKenzie.
Begitu pengurus rumah tangga itu keluar kamar, Hannah berpaling
kepada Julia. "Lucy membersihkan kamarku dan memindahkan
sepatuku. Aku yakin pendapatmu tentang dia benar. Dia sengaja..."
Julia mengangkat tangan untuk menghentikan tuduhan adiknya.
"Kau benar-benar yakin Lucy meletakkan pecahan kaca di dalam
sepatumu?" "Siapa lagi kalau bukan dia?" tanya Hannah tak sabar. Dia
memandang kakinya yang terbalut dengan kesal. "Kita harus segera
melaporkannya pada Ayah. Gadis itu harus kita usir. Dia harus dipecat
hari ini juga. Dia sangat berbahaya! Aduh!" Dia meringis ketika rasa
sakit menusuknya lagi. Julia duduk di tempat tidur di samping adiknya lalu memeluk
dan menghibur Hannah. "Coba tenangkan dirimu, Dik," bisiknya.
"Kita tak boleh menuduh Lucy kalau dia tak bersalah."
"Tak bersalah?" lengking Hannah.
"Kita tak punya bukti." Julia mengusap-usap rambut Hannah.
Dikepangnya rambut itu, lalu diurainya lagi, seperti yang sering
dilakukannya ketika mereka masih anak-anak dulu. "Kita tak tahu
apakah Lucy yang meletakkan pecahan kaca di dalam sepatumu."
"Tak ada orang lain di kamarku!" seru Hannah.
"Bisa saja pecahan kaca itu terjatuh dari serok debu yang
dibawanya," kata Julia. "Mungkin itu kecelakaan. Dia tak sengaja...
hanya kurang hati-hati."
"Tapi, Julia..."
"Kau kan tahu, aku pun mencurigai Lucy," Julia melanjutkan
tanpa memedulikan protes adiknya. "Tapi... sebaiknya kita tak
menuduhnya di depan Ayah sebelum kita punya bukti."
Hannah memandang kakaknya dengan tajam. Ayah benar
tentang Julia, pikirnya agak sedih. Julia terlalu penakut dan tak bisa
bersikap tegas. Dia bahkan tak berani membela diri di depan seorang
pelayan. Tetapi Hannah memutuskan mengikuti saran kakaknya.
"Baiklah," katanya lirih. "Aku akan memberinya satu kesempatan
lagi." "Kau bisa turun makan malam" Kau perlu bantuan?" tanya Julia
bangkit berdiri. "Aku bisa jalan," jawab Hannah lirih. "Kau duluan. Kau kan
tahu Ayah tak suka menunggu."
"Malam ini Ibu keluar dari kamarnya dan akan makan bersama
kita," kata Julia. "Wah, asyik!" seru Hannah. "Aku akan segera turun. Aku perlu
waktu beberapa menit untuk menyikat rambutku dan merapikan
gaunku." Begitu Julia keluar kamar, Hannah berdiri limbung. Dicobanya
berjalan dan dia menyimpulkan: agar tidak kesakitan dia harus
berjalan dengan ujung jarinya waktu melangkahkan kakinya yang
luka. Dengan menumpukan beban tubuhnya pada kakinya yang tidak
luka, dia menyeberangi kamar ke meja riasnya lalu menyikat
rambutnya. Ketika selesai menyisir dan meletakkan sikat rambutnya, dia
merasa ada orang lain di kamarnya"seseorang di arah sampingnya"
sedang memandanginya. Hannah memutar badannya dengan cepat dan menjerit kaget.
Lucy berdiri di kamarnya, pipinya merah padam, ekspresi
wajahnya liar dan mengerikan.
Ketika Hannah duduk kembali di kursi, dengan cepat Lucy
maju menyerangnya. Bab 15 LUCY berhenti beberapa kaki di depan Hannah. Pipinya merah
matanya nanar, dan napasnya memburu.
Apa yang akan dilakukannya padaku" Hannah menduga-duga
sambil merapat ke meja rias, tangannya terangkat seakan hendak
melindungi diri dari serangan pelayan itu.
"K"ka"kata Mrs. MacKenzie?" Lucy tergagap-gagap,
tangannya menunjuk ke bawah. "Maksud saya"kaki Anda."
"Ya?" suara Hannah seperti orang tercekik karena takut.
"Saya datang untuk menanyakan apakah ada yang bisa saya
lakukan. Maksud saya... untuk membantu."
"Kurasa sudah cukup banyak yang kaulakukan," sahut Hannah
dingin. Lucy tampak kaget dan terluka mendengar kata-kata Hannah.
Hannah langsung menyesal.
Wajah Lucy merah dan napasnya memburu karena dia cepatcepat menaiki tangga untuk menolongku, pikir Hannah. Aku terlalu
takut dan curiga padanya, hingga aku benar-benar yakin dia datang
untuk menyerangku! ebukulawas.blogspot.com
"Saya sedih Anda sakit, Nona." Lucy menunduk memandang
lantai. "Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk Anda..."
"Terima kasih, Lucy," Hannah melembutkan suaranya.
"Bersihkan lantai ini. Banyak darahnya. Setelah itu berikan sepatu itu
pada Mrs. Mackenzie. Tanyakan apakah masih bisa dibersihkan."
"Baik, Nona." Lucy tetap menghindari tatapan Hannah
Dengan terpincang-pincang Hannah melewati Lucy lalu
menuruni tangga untuk makan malam.
***************** Hannah mengusulkan berpiknik. Tiga hari penuh dia terpaksa
berkurung di rumah untuk memulihkan kakinya yang luka. Sekarang
kakinya hampir sembuh dan sudah bisa berjalan normal.
"Usul yang bagus sekali," kata Julia riang. "Aku akan minta
disiapkan sekeranjang bekal makan siang. Kita akan pergi ke hutan
dan menikmati hari indah ini."
Joseph, Brandon, dan Robert ingin ikut. "Aku janji... kami
takkan merepotkan," Robert memohon. "Aku akan mengawasi dan
menjaga Brandon dan Joseph."
Fluff juga kelihatan senang dengan rencana berpiknik. Anjing
kecil itu melompat-lompat girang di depan pintu dapur, tak sabar ingin
segera berlari-lari di bawah cahaya matahari.
"Cepat ganti pakaian," kata Julia kepada adiknya. "Aku akan
menyuruh Lucy menyiapkan keranjang bekal makan siang kita."
Ketika nama Lucy disebut-sebut, Hannah merinding. Selama
tiga hari ini dia selalu menghindari pelayan itu. Hannah sadar
mungkin sikapnya tidak adil. Tidak mungkin Lucy sengaja
mencelakakan kakak-beradik Fear. Apa alasannya"
Tapi sama saja, Hannah memutuskan menghindari Lucy dan
sedapat mungkin tidak berurusan dengannya.
Dia mengenyahkan Lucy dari pikirannya lalu cepat-cepat naik
ke kamarnya untuk berganti pakaian.
"Mengapa orang menyebutnya musim panas Indian?" tanya
Brandon. "Aku tak tahu," kata Hannah. "Tapi hari ini hari musim panas
Indian yang paling indah."
Matahari tinggi di langit, seakan melayang di atas gumpalangumpalan awan putih. Daun-daun berkilauan di dahan pohon-pohon
tinggi di batas kebun belakang. Daun-daun itu masih hijau meskipun
musim gugur sudah tiba. Walaupun matahari bersinar cerah, udara terasa dingin. Hannah
memakai syal biru mudanya. Dia memperhatikan Fluff melompatlompat di rerumputan tinggi.
"Joseph, jangan kejar-kejar Fluff!" seru Julia. "Anjing itu jadi
kegirangan!" "Kurasa Fluff memang sudah kegirangan," kata Hannah sambil
tertawa melihat anjingnya telentang di tanah dan keempat kakinya
menendang-nendang udara. Joseph berguling di tanah lalu menirukan
anjing itu. "Robert, pegangi keranjang piknik itu baik-baik. Kau hampir
menumpahkan isinya!" seru Julia.
"Tapi ini berat sekali!" keluh Robert. "Apa yang dimasukkan
Lucy ke sini... gajah, ya?"
"Bunga-bunga itu indah sekali," kata Hannah yang senang bisa
keluar rumah. "Lihat, Julia, mawar-mawar masih bermekaran."
Julia tidak menjawab. Dia sedang memperhatikan Fluff dan
Joseph. "Joseph!" teriaknya. "Awas! Jangan sampai Fluff jatuh ke
lubang itu!" Di batas hutan mereka berhenti melihat Fluff mendekati sebuah
lubang kubur. Dengan dibuntuti Joseph, anjing itu berlari ke tepi lubang kubur
yang baru digali. Dia mengendus-endus tanah yang lembap dan hitam
di sekeliling lubang, kemudian berlari kembali ke Robert, Brandon,
Hannah, dan Julia. "Mengapa di sini ada lubang kubur baru?" tanya Robert sambil
memindahkan keranjang piknik yang berat itu ke tangannya yang lain,
matanya memandang lubang yang dalam itu.
"Kau belum dengar tentang Jenkins, si tukang kebun?" tanya
Julia. "Dia meninggal ketika sedang tidur, dua hari lalu. Dia akan
dikuburkan sore ini."
"Dia orang baik," kata Hannah lembut. "Lihatlah hasil kerjanya
di sekeliling kita." Dia menunjuk petak bunga yang mengelilingi
belakang rumah, di salah satu sisinya dibatasi jajaran kisi-kisi tinggi
untuk mawar rambat. Hannah melangkah mendekati lubang kubur itu, melongok ke
dalamnya, dan mengamati dasarnya yang gelap. Aneh rasanya
membayangkan dua hari lalu Jenkins masih mondar-mandir di kebun,
pikirnya sedih. Sebentar lagi dia akan beristirahat di dalam lubang
ini"untuk selamanya.
"Buang kerut-merut di wajahmu, Dik," kata Julia sambil
melangkah di samping Hannah. "Jangan biarkan piknik kita jadi tak
menyenangkan karena itu."
Hannah memaksa diri tersenyum lalu berbalik meninggalkan
lubang itu. "Ya, kau benar. Ayo masuk ke hutan, semuanya!" dia
berseru riang lalu berlari ke arah pepohonan. Syal birunya melambailambai di belakang rok wolnya yang bermotif kotak-kotak.
Hutan di belakang mansion keluarga Fear seakan membentang
tanpa batas. Kakak-beradik yang sedang berpiknik itu berlari di antara
bayangan pohon-pohon tinggi. Sepatu mereka yang berat menginjak
ranting-ranting yang tersebar di tanah, hingga patah berkeretakan.
"Di bawah pohon-pohon ini udara dingin!" seru Hannah.
"Sampai sejauh mana kita harus berjalan" Keranjang ini berat!"
keluh Robert. "Kita bisa meletakkannya kalau kita sudah sampai di tanah
terbuka," sahut Julia.
"Lihat si Fluff!" seru Joseph sambil menunjuk-nunjuk.
Anjing itu sedang mengejar tupai yang menghindar dengan
memanjat pohon. Dia mencoba ikut memanjat.
"Apa dia tak tahu anjing tak bisa memanjat?" tanya Julia.
Hannah tertawa. "Fluff tak tahu dia anjing," jawabnya.
Mereka terus berjalan menembus hutan, menikmati udara sejuk
dan wangi cemara. Mereka mengamati tupai dan bajing tanah. Joseph
mengejar-ngejar Fluff, berlari sambil melompat-lompat dan
menyalak-nyalak, pura-pura jadi anjing. Robert memindah-mindahkan
keranjang itu dari satu tangan ke tangan lain sambil mengeluh karena
keranjang itu berat. Brandon mengambil segenggam kerikil dan
melempar-lemparkannya ke jalan setapak yang mereka lewati.
"Apakah Ayah tahu kita pergi berpiknik ke hutan?" tanyanya
kepada Julia. "Tadinya aku ingin memberitahunya," sahut Julia sambil
menepiskan duri putih yang menempel pada rok panjangnya yang
terbuat dari wol bermotif kotak-kotak. "Tapi Ayah sedang di kamar
Ibu. Aku kuatir Ibu sedang kena tulah mantranya lagi."
"Ibu dan mantra-mantranya." Hannah memutar-mutar bola
matanya. "Nah, ini ada tempat terbuka yang bagus," kata Robert lega.
Selingkaran tanah berumput muncul bagaikan oasis di tengah
pepohonan. "Kita makan siang di sini saja, ya?"
"Baik," Julia sependapat. "Di sini bagus sekali."
"Bebas!" teriak Robert sambil meletakkan keranjang itu dan
meregangkan lengannya. Julia dan Hannah membentangkan alas piknik dari wol merah di
rumput. Fluff langsung melompat ke atasnya, hingga alas itu kotor
karena tanah dan daun-daun yang menempel di kakinya. Hannah
mengusir anjing kecil itu. Julia membuka tutup keranjang,
mengeluarkan isinya, dan meletakkannya di alas piknik.
"Lihat! Itu rusa, ya?" seru Robert.
"Mana?" Joseph berbalik dengan penuh semangat, mencari-cari
ke semua arah. "Ikuti aku," Robert memberi perintah kepada adik-adiknya.
"Tapi tak boleh ribut. Ayo, kita ikuti dia!"
Ketiga anak laki-laki itu berlari ke arah pepohonan. "Jangan
jauh-jauh!" seru Julia. "Sudah hampir waktunya makan siang!"


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mmmm. Pie-pie kecil ini kelihatannya lezat," kata Hannah
sambil berlutut di atas alas piknik. "Tiba-tiba aku kelaparan."
"Udara segar membuatku lapar juga," sahut Julia. "Lihat ini...
Lucy menyiapkan pie kecil isi daging... satu untuk kita masingmasing. Ada pula kue kismis dan satu karaf air jeruk segar." Dia
mengulurkan sebuah pie daging kepada adiknya. "Kita makan, yuk.
Kita tak harus menunggu mereka."
Hannah mengangkat pie kecil itu ke mulutnya dan sedang akan
menggigitnya ketika Fluff melompat ke pangkuannya. "Oh!" teriaknya
kaget. Anjing itu berdiri pada kaki belakangnya lalu dengan ribut
mengendus-endus pie di tangan Hannah.
"Dasar pengemis!" Hannah tertawa. "Turun, turun! Turun, nanti
kuberi kau sedikit!"
Tanpa memedulikan gadis itu, Fluff melompat tinggi-tinggi,
mencoba menggigit pie daging itu.
"Ini. Ini sepotong untukmu." Tangan Hannah yang satunya
mendorong anjing itu. Dia mencuil pie itu, lalu mengulurkannya
kepada Fluff. Anjing itu menyalak senang, memakan cuilan pie itu dengan
rakus, lalu menjilat-jilat tangan Hannah sampai bersih. "Stop! Stop!
Kau menggelitikku!" Hannah tertawa-tawa. "Lidahmu kasar benar!"
"Kau memang memanjakan anjing itu," Julia mengomel tanpa
marah. Hannah memberikan secuil pie lagi kepada Huff.
"Mana anak-anak itu?" tanya Julia. Dia bangkit berdiri,
menudungi matanya dengan satu tangan, dan mencari-cari adikadiknya.
"Kuharap mereka tak pergi jauh-jauh." Hannah mengikuti arah
pandangan kakaknya. "Robert suka tak tahu arah. Di rumah saja dia
bisa tersesat!" Mendengar suara aneh, Hannah berpaling lagi kepada Fluff.
Alangkah kagetnya dia ketika anjing itu mendengking-dengking
dengan kepala merendah dan ekor terselip di antara kedua kakinya.
Hannah ternganga ngeri. Sekujur tubuh Fluff mengejang, lalu
anjing itu terbatuk-batuk dan perutnya menggelembung. Anjing itu
muntah-muntah, kakinya gemetar, dan tubuhnya bergetar hebat.
Tiba-tiba Fluff terpuruk di alas piknik, terguling miring, lalu
diam tak bergerak. "Fluff!" jerit Hannah. "Fluff! Fluff! Oh, Julia... apa yang
terjadi?" Bab 16 DENGAN hati-hati Hannah mengangkat anjing itu dari
genangan muntahannya dan memeluknya erat-erat di dadanya. "Dia
sudah mati," gumamnya.
"Tidak!" teriak Julia ngeri. "Hannah, tak mungkin!" Air mata
menggenang di sudut mata Julia.
"Fluff yang malang. Fluff yang malang. Fluff yang malang,"
ulang Hannah lirih sambil terus memeluk anjingnya yang sudah mati
itu. "Tidak! Aku tak percaya!" Julia menggeleng-geleng. "Anjing
itu sehat sekali sampai... sampai..."
Kedua gadis itu menarik kesimpulan yang sama pada saat
bersamaan. "Pie daging itu!" teriak Hannah. Matanya terbelalak penuh
kengerian, mulutnya ternganga, matanya nanar memandang kakaknya.
"Julia, apakah kau...?"
Julia melihat ke bawah, memandang pie yang tergeletak di
sampingnya. "Tidak. Aku belum makan punyaku. Kau?"
Hannah menggeleng. "Hanya Fluff. Hanya dia yang sudah
makan. Dan sekarang anjing malang itu mati."
"Diracuni," gumam Julia.
Hannah tersentak. "Apa katamu, Kak?"
"Diracuni," ulang Julia sambil menghapus air matanya. "Lucy.
Dia meracuni pie itu. Pasti dia."
"Tidak!" seru Hannah sambil meletakkan anjing itu ke alas
piknik. Wajahnya kaku, penuh kengerian. "Kaupikir..."
"Lucy," ulang kakaknya sambil menggeleng-geleng. "Dia nyaris
membunuh kita semua."
Hannah menelan ludah dengan susah payah, jantungnya
berdegup kencang di dalam dadanya. Cepat-cepat dia bangkit berdiri,
wajahnya ketakutan. "Mana anak-anak itu?" tanyanya sambil
memandang ke arah hutan. "Julia, panggil mereka dan bawa mereka
pulang. Aku harus cepat-cepat memberitahu Ayah. Ayah harus tahu
apa yang sudah dilakukan Lucy... sekarang juga!"
******************** Hannah berlari-lari menembus hutan, ke arah rumah, sambil
menangis. Air mata membasahi pipinya.
Kasihan Fluff, pikirnya. Anjing malang yang tak bersalah. Fluff
tadi tampak sangat bingung dan ketakutan.
Diracuni. Diracuni pelayan yang jahat itu.
Kalau saja Hannah telah melaporkan kecurigaannya terhadap
Lucy kepada ayahnya... setelah menemukan pecahan kaca di
sepatunya... Fluff takkan mati.
Akan kukatakan semuanya pada Ayah sekarang, kata Hannah
dalam hati. Dan pelayan itu harus pergi sebelum... sebelum bisa
membunuh lagi. Bagian belakang mansion Fear yang tak terawat kini terlihat.
Hannah melambatkan larinya ketika melewah liang kubur. Sebuah
peti mati dari kayu cemara, dalam keadaan tertutup, diletakkan di
samping liang kubur yang masih baru itu.
Jenkins pasti ada di dalam situ, pikir Hannah. Upacara
pemakaman akan diadakan beberapa saat lagi.
Membayangkan Fluff, Hannah terisak keras. Dia mengalihkan
pandangannya dari peti mati itu, lalu lari lagi sampai ke rumah.
Dia menerjang masuk lewat dapur belakang. "Ayah! Ayah!
Ayah ada di bawah?" panggilnya dengan napas terengah-engah.
Tak ada jawaban. Cahaya matahari yang cerah menerangi lantai dapur, masuk
lewat jendela belakang. "Ayah" Ayah?"
Tak ada siapa-siapa. Dengan gugup dan bingung, Hannah berjalan ke lorong rumah.
Tetapi sesosok manusia yang mengenakan seragam hitam
cepat-cepat menghalangi jalannya.
"Lucy!" Bab 17 CAHAYA matahari menyoroti Lucy ketika ia berjalan
mendekati Hannah. Rambut oranyenya diikat erat menjadi sanggul
kecil. Ia menatap mata Hannah dengan tajam.
"Lucy... mengapa kauracuni kami?" sembur Hannah terengahengah. "Mengapa?"
"Apa?" Lucy ternganga.
"Jangan pura-pura tak bersalah!" teriak Hannah marah.
"Mengapa kauracuni bekal makan siang kami?"
"Saya tak tahu apa yang Anda katakan, Nona," jawab Lucy
sambil mendongakkan hidungnya yang mancung.
"Kaubunuh anjingku!" jerit Hannah.
"Ada apa ribut-ribut di sini?" Mrs. MacKenzie datang dari arah
lorong. "Hannah, ada apa?" tanya pengurus rumah tangga itu
menengahi. "Lucy mencoba meracuni kami!" Hannah menuding Lucy, yang
langsung mundur selangkah. "Pie daging itu diracuninya!"
"Apa?" Mrs. MacKenzie menyipitkan mata kepada Hannah.
"Apa katamu tentang pie daging" Pie daging bekal piknik kalian?"
"Ya," seru Hannah. "Pie-pie itu diracuni! Lucy selalu mencoba
mencelakakan kami sejak dia datang. Dan hari ini..."
"Tidak!" jerit Lucy menyela. "Tidak! Anda bohong, Nona!"
Tanpa memedulikan protes pelayan itu, Hannah berpaling
kepada Mrs. Mackenzie. "Aku harus lapor pada Ayah. Ayah harus
tahu sekarang juga. Lucy meracuni pie-pie itu!"
"Tidak, tak mungkin," kata Mrs. Mackenzie tegas sambil
memegangi pinggiran celemeknya.
"Apa?" Hannah sudah melangkah ke pintu, tapi tiba-tiba
berhenti. "Aku saksinya. Lucy tak meracuni pie-pie itu," ulang Mrs.
Mackenzie, dahinya berkerut dan pipinya merah jambu mengilat.
"Lucy tak mengutak-atik bekal makan siang kalian, Miss Hannah,
kakakmu Julia yang menyiapkannya."
Hannah terpaku. Bingung. Tak percaya. Tiba-tiba lantai dapur
di bawah kakinya serasa miring. Cahaya terang matahari menyinari
lantai itu. Di matanya, semua tampak menjadi putih. "Julia?"
"Miss Julia yang membuat pie itu," Mrs. Mackenzie
menegaskan. "Lucy bertanya kalau-kalau Miss Julia membutuhkan
bantuan. Tapi Miss Julia menyuruh Lucy keluar dari dapur."
"Julia?" Hannah tergagap, suaranya lirih dan lemah. "Tidak. Oh,
tidak. Bukan Julia. Bukan Julia."
"Miss Hannah, kau baik-baik saja?" tanya Mrs. MacKenzie
sambil menarik-narik pinggiran celemeknya. "Mungkin sebaiknya
kupanggil ayahmu." Tetapi Hannah sudah berlari keluar.
Jantungnya berdegup kencang, kepalanya serasa berputar-putar
karena apa yang baru didengarnya. Dia berlari melewati kebun bunga,
lalu menyeberangi halaman berumput. Yang dilihatnya pertama-tama
adalah adik-adiknya. Mereka keluar dari hutan. Wajah mereka
murung. Julia pasti sudah bercerita tentang Fluff. Ketiga anak laki-laki
itu mengangguk sedih kepada Hannah dan tanpa bicara mereka
berjalan ke rumah. Kemudian Julia muncul. Dia keluar dari hutan dan berhenti
beberapa meter dari peti mati Jenkins.
Julia membawa keranjang piknik, tetapi langsung
meletakkannya begitu melihat Hannah mendekatinya dengan cepat.
"Hannah, apa kau sudah ketemu Ayah" Apa kau sudah melaporkan
Lucy pada Ayah"' Dengan napas memburu dan sambil berusaha menenangkan
diri, Hannah memandang kakaknya lekat-lekat. Dia mengamati wajah
Julia, mencari-cari kejujuran di mata Julia yang kecil dan abu-abu.
"Julia... ternyata kau!" akhirnya Hannah berhasil melontarkan
kata-kata itu. Ketika membalas tatapan Hannah, mata Julia berubah menjadi
dingin. Dia mengangguk. "Kau mencoba meracuniku," tuduh Hannah, nyaris tak
terdengar. Julia tidak mengingkarinya. Dia membalas tatapan Hannah
tanpa emosi, ekspresi wajahnya kosong.
"Mengapa, Julia?" desak Hanah. "Mengapa?"
"Aku benci kau, Hannah," jawab Julia, lirih dan tenang. "Aku
ingin kau mati." "Tapi mengapa" Mengapa" Mengapa?" jerit Hannah. Dia sadar
dia lebih takut menghadapi sikap Julia yang dingin dibandingkan
kalau kakaknya itu melakukan sesuatu.
"Mengapa kau yang jadi nyonya rumah?" tuntut Julia, rambut
hitam ikalnya terjurai di dahi, tapi tidak disibakkannya. "Mengapa
bukan aku yang jadi gadis cantik dan menarik" Mengapa bukan aku
yang jadi anak kesayangan Ayah" Mengapa bukan aku yang
menggantikan peran Ibu" Aku yang tertua... dan terpintar. Dan...
dan..." Wajahnya yang biasanya pucat sekarang merah padam.
Matanya menyala-nyala, menatap mata Hannah. Bahunya bergetar.
Tangan Julia terkepal erat, terjuntai di sisinya. Sikapnya penuh
amarah. Hannah mundur, tiba-tiba ketakutan. "Julia, kau... kau yang
meletakkan ular itu di tempat tidurku! Kau yang meletakkan pecahan
kaca itu di sepatuku. Kau..." Suara Hannah yang penuh kengerian
tercekat di tenggorokannya.
Julia tidak membantahnya. "Aku ingin kau ketakutan. Aku
ingin kau terluka berdarah-darah. Aku ingin kau mati!"
Dengan teriakan penuh amarah Julia menyerang Hannah. Dia
melompat menerjang dan mencekik adiknya.
Kaget karena sama sekali tidak mengira akan diserang, Hannah
terhuyung-huyung lalu jatuh terjengkang bertumpu pada sikunya. Dia
menjerit kesakitan. Julia melompat dan menindihnya, tangannya masih mencekik
leher adiknya. Sambil menjerit dan mengerang, kedua gadis itu bergumul di
tanah"sampai Hannah bisa membebaskan diri, berdiri, lalu lari
menjauh. Tapi Julia lebih cepat. Dari belakang dia menerjang adiknya
dengan keras. Hannah tersungkur, perutnya membentur tutup peti mati dari
kayu cemara itu. Dia mengerang dan mencoba berdiri.
Tetapi Julia sudah menindihnya lagi, menekan badannya ke peti
mati yang keras itu. Sekali lagi Julia mencekiknya.
"Mati! Mati! Mati!" jerit Julia keras-keras sementara tangannya
semakin erat mencengkeram leher adiknya.
Hannah berusaha membebaskan diri. Dia berguling dan
menjatuhkan diri dari atas peti mati.
Tapi tangan Julia mencengkeram erat sekali, hingga Hannah tak
bisa bernapas. Bab 18 HANNAH megap-megap, tangannya bergerak-gerak ke sana
kemari, mencoba mencengkeram Julia, mencoba mendorong
kakaknya. Tetapi Julia terlalu kuat. Sangat kuat.
Hannah merasa dirinya melemas, otot-ototnya mengendur,
tubuhnya menyerah. Semua berubah menjadi merah terang. Merah darah. Kemudian
menjadi putih cerah. Hannah merasa dirinya tenggelam, tenggelam ke
dalam warna putih yang maya.
Kemudian"ajaib"tangan Julia terlepas dari leher Hannah.
Hannah mengangkat wajahnya ke langit yang sangat putih.
Pelan-pelan warna-warna bermunculan.
Dia mengambil napas pendek. Kemudian sekali lagi. Udara
mendesis memasuki paru-parunya
Julia mengira aku sudah mati, pikir Hannah. Dia mengira telah
membunuhku. Itu sebabnya dia melepaskan leherku.
Hannah menghirup udara lagi.
Sebuah suara di hutan di belakang mereka membuat Julia
berpaling. Apakah ada orang di sana" Apakah seseorang melihat
mereka" Tak ada. Hanya seekor rusa yang lari menembus belukar. Julia
membungkuk, tangannya tertumpang pada lututnya, napasnya
terengah-engah. Dia mengira telah membunuhku.
Kata-kata itu terngiang-ngiang di benak Hannah, mengubah
rasa takutnya menjadi amarah. Dengan sentakan kuat dia
menggulingkan badannya dari atas peti mati lalu melompat berdiri.
Hannah berdiri terhuyung-huyung, tanah serasa berayun-ayun
di bawah kakinya.

Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau... kau masih hidup?" teriak Julia sambil menahan napas.
Dia memutar badannya, matanya terbelalak. Cepat dia pulih dari
kagetnya dan langsung melompat menerjang Hannah.
Hannah meraih benda yang pertama dilihatnya"sekop besi
berat yang tadinya untuk menggali lubang kubur Jenkins.
Ketika Julia melompat ke arahnya, Hannah memekik dan
mengayunkan sekop itu. CLANG! begitu bunyinya ketika benda itu membentur kepala
Julia. Mata Julia terbelalak lebar sekali. Kemudian bola matanya
berputar-putar liar. Julia jatuh berlutut. Darah mengucur dari
hidungnya, mengalir ke dagunya. Akhirnya dia terjungkal, wajahnya
mencium rumput. Hannah terbelalak, ngeri sekali. Tubuhnya bergetar hebat.
Sekop berat itu masih dipeganginya erat-erat dengan dua tangan. Dia
mengamati darah merah itu. Darah Julia, menggenang di rumput.
Aku membunuhnya, pikirnya. Aku membunuh Julia.
Sekop itu terlepas, jatuh dekat kaki Hannah. Dia memeluk
tubuhnya sendiri, mencoba menghentikan gemetarnya.
Sekarang bagaimana" Dia tak bisa berpikir jernih. Semua berubah-ubah, menjadi
merah, menjadi putih. Berpendar-pendar liar di depannya. Awan yang
tadi menggantung di langit sekarang tampak berarak dan berpacu.
Matahari menghilang, kemudian muncul lagi.
Gila. Semua ini gila. Julia mati. Sekarang bagaimana" Sebelum sadar akan apa yang dilakukannya, Hannah telah
membuka tutup peti mati si tukang kebun. Bau busuk mayatnya
menguar menyambutnya. Bibir lelaki itu terkatup rapat, membentuk
seringai seram. Sambil terisak-isak keras, berusaha menahan rasa mualnya,
dengan gugup Hannah menyelipkan tangannya ke bawah lengan Julia
dan menyeretnya ke peti mati itu. Dia mengangkat mayat kakaknya,
yang sangat berat setelah tidak bernyawa.
Didorongnya mayat itu ke dalam peti. Ditumpangkannya di atas
mayat si tukang kebun yang sudah membusuk.
Mendorong. Menangis. Gemetar. Mendorong. Mendorong
mayat Julia ke dalam peti.
Sebelah lengan Julia terjuntai ke luar peti. Hannah meraih
lengan itu dan memasukkannya ke peti, setengah menekuknya.
Kemudian dibantingnya tutup peti hingga menutup. Dan
dikuncinya. Kemudian dia berlari masuk hutan untuk muntah-muntah.
Untuk memuntahkan semua kengeriannya. Kengerian karena telah
membunuh satu-satunya kakak perempuannya.
Satu-satunya kakak perempuannya, yang sangat membencinya,
yang tega mencoba membunuhnya.
Sambil terisak-isak dan dengan leher serasa tercekik, Hannah
berpegangan pada batang pohon yang kukuh dan sejuk. Dia menunggu
sampai pikirannya cukup jernih, menunggu sampai tanah berhenti
bergoyang-goyang, menunggu sampai cahaya berhenti berkilatan di
dalam kepalanya. Hannah masih berdiri di tepi hutan, masih berpegangan pada
batang pohon yang kukuh, ketika beberapa pelayat berdatangan dan
berkerumun di sekeliling liang kubur baru itu untuk menguburkan
Jenkins. Hannah menempelkan pipinya ke batang pohon yang halus. Dia
melihat pendeta, yang mengenakan jubah hitam dan memegang
Alkitab, berdoa dan berkhotbah di depan peti mati. Para pelayat,
beberapa pelayan dari rumahnya dan sejumlah orang dari desa,
menunduk ketika pendeta sedang bicara.
Kemudian Hannah melihat beberapa pria yang terkuat maju
untuk mengangkat dan memasukkan peti mati itu ke liang kubur.
Mereka berkutat beberapa lama, tidak mengira petinya akan seberat
itu. Kemudian, tanpa bicara, mereka menurunkan peti itu ke dalam
lubang dan menimbuninya dengan tanah. Mereka menggunakan sekop
yang tadi digunakan Hannah untuk membunuh Julia.
Julia sudah terkubur sekarang, pikir Hannah sambil mengawasi
para pelayat itu berjalan pelan ke arah rumah. Julia terkubur bersama
Jenkins. Hannah tetap bersembunyi di hutan. Ketika matahari mulai
turun ke balik pepohonan dan udara senja mulai terasa dingin, dia
menghapus bekas air mata dari wajahnya, merapikan roknya yang
kusut, lalu pelan-pelan berjalan pulang.
***************** "Mana Julia?" tanya Simon.
Hannah pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Dia duduk
merosot di kursi di sudut ruang duduk, memandangi Brandon dan
Joseph bermain lempar bola di depan perapian.
"Ada yang melihat Julia?" Simon mengulangi pertanyaannya
dengan tak sabar. Dia berdiri di ambang pintu, matanya mengawasi
Hannah. "Aku tak melihatnya, Ayah, sejak kami pulang dari piknik di
hutan belakang rumah," jawab Brandon, dengan hati-hati
melemparkan bola ke adiknya.
"Mungkin dia masih di luar," kata Joseph. Bola itu luput lalu
menggelinding di lantai. "Apakah kalian tak bisa menemukan kegiatan di dalam rumah
yang lebih baik?" omel Simon dengan tajam. Dia menghilang sebelum
kedua anak laki-laki itu bisa menjawab.
Hannah gemetar, padahal udara di dalam ruangan hangat karena
panas yang dipancarkan api di perapian. Dia memandangi kedua
adiknya, tetapi tidak benar-benar melihat mereka. Dia malah melihat
peti kayu cemara itu. Dia melihat lengan Julia terjuntai keluar dari sisi
peti. Kemudian dia melihat peti yang berat itu diturunkan ke dalam
lubang kubur. "Julia! Julia, kau ada di atas?" Hannah mendengar ayahnya
memanggil-manggil ke atas tangga.
Tidak. Julia tak ada di atas, kata Hannah dalam hati. Pikirannya
buntu. Julia tak ada di rumah, Ayah. Julia ada di lubang kubur.
"Julia" Mana Julia?" Dia mendengar ayahnya memanggilmanggil. "Siapa yang melihat Julia?"
Bab 19 SAMBIL menggumam tak jelas, Simon Fear mengenakan
mantelnya lalu keluar menembus kegelapan malam. Setelah
memeriksa seisi rumah, dia memutuskan mencari putrinya di kebun.
Kadang-kadang Julia tak ingat waktu. Simon sering
menemukannya duduk di bangku kebun, sedang membaca buku puisi
romantis sambil melamun. Sepotong bulan sabit menggantung di atas pepohonan, di batas
antara hutan dan kebun belakang rumahnya. Malam belum terlalu
gelap. Angin dingin berembus dan menerpa Simon ketika dia
melintasi halaman. "Julia" Kau di luar sini?" Angin memantulkan suaranya kembali
ke arahnya. Dia merapatkan mantelnya.
Mawar-mawar di kisi-kisi yang tinggi bergoyang-goyang
diembus angin. Angin mendesau-desau di antara pepohonan.
Apakah itu memang desau angin"
Simon berhenti dan berdiri tegak sambil memegangi mantelnya.
Kepalanya meneleng, telinganya menyimak baik-baik.
Suara apa itu yang melolong mengerikan" jeritan kesakitan"
Simon maju beberapa langkah ke arah suara seram itu. Dia
berdiri dekat tanah makam keluarga, matanya menyipit, telinganya
menyimak. Suara itu lagi. Jeritan mengerikan. Seperti binatang yang terperangkap.
Jeritan lagi, tinggi melengking. Lalu mengerang.
Simon berpaling ke arah deretan gudang perkakas berkebun di
dekat pagar. Apakah seekor binatang liar terperangkap di dalam salah
satu gudang itu" pikirnya.
Terdengar lagi erang kesakitan.
Tidak. Suara itu terlalu dekat.
Terlalu dekat. Simon memegangi mantelnya ketika terdengar lagi jeritan
nyaring bersama embusan angin dingin yang kuat.
Dia memandang ke tanah. Sepertinya suara itu berasal dari
bawah kakinya. "Tapi itu tak mungkin!" teriaknya.
Kemudian dia sadar dia sedang berdiri di samping kuburan
yang masih baru. Tanah yang menimbunnya belum padat.
Kuburan Mr. Jenkins. Terdengar lagi jerit memilukan, seperti lengking binatang yang
putus asa. Dari dalam tanah. Dari dalam kuburan ini.
Seseorang menjerit dari dalam kuburan yang masih baru itu.
Suara seorang gadis. Julia! "Tidak!" teriak Simon, kengerian mencekiknya.
Sebelum menyadari apa yang dilakukannya, dia sudah
mengambil sekop dan mulai menggali tanah.
Jantungnya berdebam-debam. Simon menggali serampangan.
Dengan mudah sekop itu menyingkirkan tanah yang belum padat.
Buru-buru dia melemparkan tanah ke belakang punggungnya,
menggali, dan menggali... semakin dalam, semakin dalam... sampai
akhirnya, ketika dadanya serasa nyaris pecah, sekop itu membentur
sesuatu yang padat. Tutup peti mati.
"Ya!" seru Simon lalu menggali-gali lagi cepat- cepat. Digaruk
dan disekopnya tanah dari dalam liang kubur.
Hampir! Hampir! "Ini aku!" teriaknya panik hingga ia tak mengenali suaranya
sendiri. "Ini aku! Ini aku!"
Dia tidak berusaha mengangkat peti itu. Dilemparkannya sekop
lalu ia melompat ke dalam lubang kubur.
Dengan tangan gemetar Simon membuka kuncinya. Kemudian,
dengan napas memburu dan jantung berdegup kencang, dia menarik
tutup peti itu hingga membuka.
Bab 20 "J ULIA" Simon menjerit ketika melihat putrinya tertelentang di atas
mayat si tukang kebun. Rambut Julia terjurai menutupi wajahnya. Dengan lembut
Simon menyibakkannya, tangannya gemetar. Dia terisak-isak keras.
Mati. Julia sudah mati. Wajah Julia pucat pasi. Wajah itu berkerut menahan sakit,
matanya terbelalak tanpa cahaya kehidupan. Darah kering menempel
di hidung dan dagunya. "Tidaaaaak!" Lolongan itu terlontar dari mulut Simon.
Menggema dipantulkan dinding gelap liang kubur yang tadi digalinya.
Simon ternganga ngeri memandang putrinya. Kuku jari Julia
patah-patah dan berdarah-darah. Simon melihat bekas garukan
panjang pada sisi dalam tutup peti mati itu.
Dikuburkan hidup-hidup, dia menyimpulkan. Julia dikuburkan
hidup-hidup. Angin mendesau di atasnya. Dia mendongak memandang bulan
pucat keperakan. Dia tak sanggup memandang putrinya lagi.
"Siapa?" teriaknya sambil berusaha keluar dari dalam lubang.
Tangannya liar menggapai-gapai dinding lubang kubur yang gembur.
"Siapa yang melakukan ini" Siapa?"
Setelah sampai di atas, di tanah keras, dia berjalan terhuyunghuyung pulang ke rumah. "Siapa yang melakukan ini" Siapa yang
membunuh putriku?" Dia melemparkan mantelnya ke tanah lalu lari cepat-cepat.
Rumahnya tegak di depannya, gelap dan terlihat samar-samar.
Dunia berubah menjadi bayang-bayang samar.
Beberapa saat kemudian dia sampai di dapur, napasnya
terengah-engah, jantungnya berdegup kencang, dan dadanya serasa
akan pecah. "Mrs. MacKenzie! Mrs. MacKenzie!" teriaknya panik. Di mana
dia" Di mana orang-orang"
Dia mencengkeram tepi bufet agar tidak jatuh.
Sesuatu di dekat tangannya menarik perhatiannya.
Sehelai kerta panjang dengan tulisan berderet ke bawah pada
satu sisi. Daftar nama. Daftar nama pelayan. Nama terakhir yang belum lama ditulis terletak paling bawah,
tintanya masih hitam dan kelihatan baru.
LUCY GOODE "Tidaaaak!" Lengkingan binatang liar terlontar dari lubuk
batinnya yang terdalam. "Tidak! Seorang Goode"! Seorang Goode di dalam rumahku"!"
Simon tadinya sangat yakin keluarga Goode sudah lenyap dari
bumi. Dia yakin telah membunuh keturunan mereka yang terakhir"
Frank Goode"dulu... di Wickham ketika dia masih remaja.
Dia yakin kutukan itu sudah lama berakhir. Dia yakin tak ada
lagi anggota keluarga Goode yang akan bisa mengancam keluarga
Fear. Tapi... sekarang ada seorang Goode bersembunyi di rumahnya,
membawa-bawa dendam kesumat keluarga Goode kepada keluarga
Fear" dan membunuh Julia, putrinya!
"Tidaaaak!" Simon menggenggam bandul peraknya erat-erat.
Dia merasakan kehangatannya, merasakan kekuatannya.
Amarahnya membawanya ke ruang duduk depan.
Dia mengambil sebilah pedang dari koleksi terbarunya, koleksi
benda-benda peninggalan masa perang. Diayun-ayunkannya pedang
itu tinggi-hnggi. Bilahnya berkilau memantulkan cahaya lampu gas.
Dia mengikuti kilau bilah pedangnya.
Sambil berlari dengan arah tak menentu dan menggeram marah,
Simon mengikuti kilau bilah pedangnya berkeliling rumah.
Aku akan menemukannya. Aku akan menemukan Lucy Goode!
Aku akan melenyapkan dendam kesumat yang dibawanya ke
dalam rumahku, dendam pada keluargaku!
"Simon! Apa yang kaulakukan"! Simon!"
Apakah Angelica memanggilnya dari arah tangga"
Dia tidak melambatkan larinya. Dia terus mengikuti kilau bilah
pedangnya. Kilau itu sekarang menyorot bagaikan cahaya senter.
Berkilat-kilat karena panasnya amarahnya.
"Simon! Hentikan!" Suara Angelica terdengar jauh sekali.
Aku akan menemukannya. Aku akan menemukan pelayan itu...
Itu dia... berdiri di sana!
Tampak sosok kabur berjalan ke arahnya, di balik kilau bilah
pedang yang menyilaukan. Ya! Simon sudah menemukannya!
Ya! Pelayan itu. Si Goode. Si Goode yang berjalan di lorong
rumahnya. "Simon! Hentikan!" teriak Angelica.
Tetapi Simon tak bisa berhenti.
Dia merendahkan pedang yang berkilauan itu.
Gadis itu menjerit dan mengangkat tangannya penuh kengerian.
Simon telah menemukannya. Sekarang dia akan membunuhnya.


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang itu berkilau terang sekali, begitu terangnya hingga yang
dilihatnya hanya cahayanya.
"Simon... hentikan! Hentikan!" jerit Angelica.
Tetapi Simon menghunjamkan pedang itu ke dada si pelayan.
Menghunjamkannya dalam-dalam.
Bab 21 CAHAYA berpendar-pendar di sekeliling Simon, cahaya putih
terang yang membutakan. Ketika pedang itu dihunjamkannya ke tubuh Lucy Goode dan
gadis itu mengaduh kesakitan, cahaya di sekelilingnya terlihat makin
terang. Sebuah bulatan gelap terbentuk di pusat cahaya itu. Bulatan itu
membesar, melebar, dan tampak gelap.
Baru beberapa saat kemudian Simon sadar, bulatan itu darah,
yang menodai bagian depan pakaian gadis itu.
Semakin gelap, semakin gelap. Bulatan itu terus meluas dan
melebar sampai akhirnya menutupi cahaya di sekelilingnya.
Ketika kegelapan semakin meluas dan cahaya itu melenyap,
indra penglihatan Simon kembali normal. Kini dia bisa melihat
dengan jelas lagi. Dia masih memegangi kayu eboni pegangan pedangnya yang
panjang. Matanya terbelalak menatap darah yang menodai pakaian
gadis itu. Tapi... sekarang Simon bisa melihat jelas.
Dia bisa melihat yang ditusuknya bukan Lucy Goode.
Dia telah menghunjamkan pedangnya dalam-dalam ke dada
putrinya sendiri. "Simon! Simon.!" Jeritan Angelica terngiang-ngiang di
telinganya, hingga suara-suara lain tak terdengar, membuat pikirannya
buntu dan kelu karena ngeri. "Simon! Simon! Simon!"
Kemudian Hannah terpuruk ke depan, jatuh ke pelukan
ayahnya. Pedang itu jatuh berdentang ke lantai.
Darah hangat menyembur membasahi kemeja Simon. Darah
Hannah. Gadis itu mengerang lirih. Bibirnya terus bergerak-gerak, tetapi
tak ada suara yang keluar.
Tak ada suara apa pun kecuali jeritan Angelica yang berulangulang: "Simon! Simon! Simon!"
Hannah mati di pelukan Simon, kepalanya terkulai di bahu
ayahnya, rambutnya yang halus pirang menyapu-nyapu pipi Simon
dan terjurai ke balik bahunya.
Hannah mati. Julia mati. Angelica menjerit, matanya terpejam erat-erat. Ia menarik-narik
rambutnya yang hitam panjang.
Robert memeluk adik-adiknya, mengalihkan mata mereka dari
pemandangan yang mengerikan itu.
Mrs. Mackenzie menangis tersedu-sedu sambil bersandar ke
dinding. Wajahnya tersembunyi di balik celemeknya.
"Aku... kukira dia Lucy Goode," gagap Simon.
"Lucy Goode berhenti kerja tadi siang," kata Mrs. MacKenzie
di antara sedu-sedannya. "Dia tak tahan dituduh macam-macam oleh
Miss Hannah. Dia mengemasi barang-barangnya lalu pergi."
Dengan tubuh gemetar Simon memeluk mayat putrinya. Ketika
dia berusaha menegakkan tubuh Hannah, mereka tampak seperti
sedang berdansa, menarikan dansa terakhir yang ganjil, canggung, dan
menyedihkan. Hannah sudah pergi, kata Simon dalam hati. Julia sudah pergi.
Bagian terbaik dari hidupku sudah berakhir.
"Simon! Simon! Simon!" Angelica menjerit-jerit di
belakangnya. "Simon! Simon! Simon!"
Simon Fear tahu jeritan istrinya akan menghantuinya sampai
akhir hayatnya. BAGIAN TIGA Shadyside Village 1900 Bab 22 PADA suatu hari yang suram di musim gugur, seorang pemuda
turun dari kereta api yang berjalan ke barat, ke peron berlantai beton
di stasiun Shadyside. Dia pemuda tampan berumur delapan belas,
dengan rambut cokelat halus, mata cokelat bercahaya, dan wajah
ramah yang banyak senyum.
Dengan cepat dia memandang jalan utama kota kecil itu.
Shadyside tampak makmur dan nyaman dengan deretan bangunan
beratap rendah dari bata di balik pohon-pohon rindang. Kemudian dia
melambai memanggil kereta sewaan dengan teriakannya yang riang.
"Kereta! Kereta!"
Saisnya, seorang lelaki tua berkumis putih dan bercambang
panjang putih di bawah topi biru yang sudah usang, menghentikan
kuda-kudanya lalu melompat turun dan membantu pemuda itu
menaikkan kopernya. "Aku bisa melakukannya sendiri, Bung," kata pemuda itu
sambil tersenyum ramah. "Aku hanya punya satu koper. Lihat, ini."
"Kau datang dari mana?" sais itu bertanya sambil memandangi
pemuda itu dengan curiga.
"Boston" adalah jawabannya. "Namaku Daniel. Daniel Fear.
Aku datang untuk menjenguk kakekku."
Mata sais tua itu menyipit karena terkejut. "Daniel Fear,
katamu" Kau datang untuk menjenguk Simon Fear dan istrinya?"
"Mereka kakek-nenekku. Aku belum pernah bertemu mereka,"
Daniel mengakui. Dia mengayunkan kopernya dan meletakkannya di
bagian barang di belakang kereta. Salah satu kuda meringkik. Kereta
itu terguncang-guncang. "Namaku McGuire," kata si sais sambil menyentuh topinya,
Kitab Pusaka 15 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Pena Wasiat 8
^