Rumah Bisikan 3
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers Bagian 3
Itu akan terjadi segera. Malam ini. Sekarang juga.
Dan David akan membunuhnya.
Amy lari dari kamar. Sandalnya menggesek-gesek lantai kayu
ek saat ia meluncur menuruni tangga dan keluar dari pintu muka.
Air hujan membuat rambut dan gaunnya basah kuyup. Kilat
berkelebat, diikuti gemuruh yang nyaris menggetarkan bumi.
Amy mengabaikannya. Tak ada sesuatu pun yang akan
menghalanginya menemui Mrs. Hathaway.
"Kumohon," napasnya memburu. "Tolong jangan biarkan aku
terlambat. Kali ini aku tidak boleh terlambat."
Ia melompati dahan pohon yang tergeletak di tanah, membuat
genangan air di situ bercipratan. Kini ia bisa melihat mansion
Hathaway. Tak tampak satu lampu pun di jendelanya.
Apa yang akan ditemukannya di sini" Apakah ia akan sempat
menyelamatkan Mrs. Hathaway"
Amy memaksa dirinya berlari lebih cepat. Ia terpeleset saat
menaiki undakan, jatuh berlutut dengan keras hingga lututnya terasa
perih. Namun sedetik kemudian ia langsung bangkit berdiri. Ia tidak
boleh terlambat. Tak boleh.
Pintunya tidak terkunci. Amy mengempaskannya hingga
terbuka dan menyerbu masuk. Kilat berkeriap di angkasa.
Menciptakan cahaya putih yang menebar ke dalam rumah.
Dan tampaklah di sana, berdiri di puncak tangga yang tinggi
dan curam, Mrs. Hathaway.
Kilat lenyap. Kini Amy hanya bisa melihat gaun pucat Mrs.
Hathaway. "Mrs. Hathaway!" serunya.
Wanita tua itu tidak menyahut. Kilatan petir kembali menyinari
tangga. Mata Mrs. Hathaway kosong dan hampa. Persis seperti orang
yang berjalan dalam tidur.
Ia maju selangkah lagi ke tepian puncak tangga.
Ruangan kembali gelap. "Mrs. Hathaway!" jerit Amy. "Claire!"
Amy berlari menuju tangga. Kakinya bergerak dengan
kelambanan yang aneh bagai dalam mimpi. Terlalu pelan. Ia tahu
dirinya akan terlambat. Sekarang ia bisa menangkap bayang-bayang gelap di belakang
Mrs. Hathaway. Bayang-bayang itu membentuk dinding"dinding
yang bergerak maju. Mrs. Hathaway berjalan pelan sekali ke bibir tangga.
Satu langkah lagi"dan ia akan terjatuh sampai ke bawah.
Mrs. Hathaway mengangkat satu kaki. Dan menahannya di
udara. Amy merasa kesal sekali. Ia tidak datang sampai sejauh ini
hanya untuk gagal! "Tidak!" jerit Amy. Diulurkannya tangannya jauh-jauh seolaholah ingin mendorong wanita itu ke belakang. "Hentikan!"
Bayang-bayang di belakang Mrs. Hathaway nyaris seperti ragu.
Mrs. Hathaway berdiri tak bergerak, membeku dengan satu kaki di
udara. David melangkah keluar dari kegelapan di belakang ibunya,
ekspresinya dingin dan marah.
Ia mengulurkan tangan dan menyambar bahu ibunya.
Semuanya akan terjadi, pikir Amy. Dan tak ada sesuatu pun
yang bisa kulakukan untuk menghentikannya. Aku tak bisa
menyelamatkannya tepat pada waktunya.
David akan membunuh ibunya.
Bab 14 KILAT kembali menyambar. Memantulkan penutup mata
David yang berwarna hitam.
Jemarinya mencengkeram bahu ibunya.
Amy mencoba menjerit, tapi tak sebuah suara pun keluar.
Kemudian David menyeret ibunya menjauh dari tepi tangga.
Kembali ke tempat aman. Rasa terkejut dan lega menyerbu Amy. Selama ini ia telah
membayangkan hal-hal mengerikan tentang David! Dan dia keliru.
Ia merasa seolah-olah seluruh tulangnya meleleh. Ia jatuh
berlutut, sama sekali kehabisan tenaga.
"Ibu," panggil David. Melihat ibunya tidak memberi respons, ia
mengguncang-guncangnya dengan lembut. "Ibu!"
Mrs. Hathaway mulai sadar. Kesadaran mengisi wajahnya.
"Apa yang terjadi?" ia menahan napas. "Bagaimana aku sampai di
sini?" "Ibu berjalan sambil tidur," David menjelaskan. Wajahnya
tampak pucat dalam pendaran cahaya petir. "Kalau aku tidak
mendengar Amy memanggil Ibu..." Sekonyong-konyong, ia memeluk
ibunya erat-erat. Air mata memenuhi mata Amy. Belum pernah ia melihat
ungkapan emosi dan cinta yang sedalam itu di wajah seorang pria.
Dan ia yakin, seyakin ia mengetahui namanya sendiri, bahwa David
tidak mungkin membunuh Chantal atau wanita mana pun juga.
Amy tak ingin menangis. Karena begitu menangis, ia mungkin
takkan sanggup menghentikannya. Ditekannya telapak tangannya di
matanya untuk menahan air mata.
Tadinya dia bingung"tapi sekarang tidak lagi. Dia tidak akan
pernah menyangsikan David lagi.
"Kau... katamu Amy memanggilku?" Mrs. Hathaway bertanya.
"Apakah dia ada di sini?"
Dengan lembut David memutarkan tubuh ibunya. Mata Mrs.
Hathaway melotot saat ia melihat Amy duduk berlutut di lantai di
bawah sana. "Kalau aku tidak mendengar Amy berteriak, Ibu pasti sudah
jatuh dan leher Ibu patah."
"Bagaimana dia bisa tahu...?" suara Mrs. Hathaway
menghilang. "Aku sendiri juga ingin tahu," David menimpali.
Dibimbingnya ibunya turun ke lantai bawah. Kemudian ia
membungkuk dan membantu Amy bangkit berdiri.
Dengan lembut diangkatnya dagu Amy dan ditengadahkannya
wajah gadis itu. "Bagaimana semua ini bisa terjadi?" ia bertanya.
Amy memalingkan wajah. Ia yakin pria itu akan jijik padanya
bila ia mengetahui yang sebenarnya. Tapi ia harus memberitahunya. Ia
menarik napas dalam-dalam.
"Ketika aku datang untuk tinggal bersama keluarga Fear, Bibi
Angelica menunjukkan setumpuk kartu aneh padaku. Katanya dia bisa
menggunakan kartu itu untuk membaca masa depan. Dan katanya aku
juga bisa"jika aku menginginkannya."
David dan ibunya terpana menatap Amy, seolah-olah untuk
selamanya. Apa yang mereka pikirkan" ia bertanya-tanya. Apakah
menurut mereka kekuatan seperti itu hanya datang dari iblis" Apa
yang mereka pikirkan tentang aku"
"Apakah kau belajar untuk menggunakan kartu-kartu itu?"
David bertanya. "Ya, tapi tidak seperti Angelica. Ia tahu makna setiap kartu, dan
berbagai kombinasi kartu-kartu itu. Tapi kartu-kartu itu...
memanggilku. Mereka memberitahuku berbagai hal."
"Seperti apa?" desak Mrs. Hathaway.
Sepertinya dia ketakutan. Amy tidak menyalahkannya.
Kekuatan yang aneh itu pun masih membuatnya takut.
"Mereka menunjukkan padaku bahwa tiga orang akan mati, dan
begitulah yang kemudian terjadi," sahut Amy.
David menarik napas keras. "Nellie, Bernice, dan Chantal."
Amy mendengar Mrs. Hathaway mendesah pelan.
"Bagaimana kau tahu dirimu harus datang kemari malam ini?"
tanya David. Digosoknya tangannya di atas matanya yang sehat.
Amy melanjutkan kisahnya. "Aku tahu sesuatu yang buruk akan
menimpa Anda malam ini, Mrs. Hathaway. Kartu-kartu itu
memberiku penglihatan. Jadi aku kemari secepatnya. Tapi aku nyaris
terlambat. Kalau David tak ada di sini..."
Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Kenangan itu terlalu
nyata, terlalu jelas. "Aku takut," bisik Amy. Gelombang dingin menyapunya.
"Sejak aku kemari, aku telah dikelilingi kematian. Aku telah melihat
orang-orang mati"lagi dan lagi dan lagi. Sepertinya seolah-olah aku
ini pusat sebuah badai. Aku tak bisa menghentikannya, aku tak bisa
melarikan diri darinya, dan aku akan terus dan terus dan terus?" ia
terdiam. Kalau ia mengatakan satu patah kata saja lagi, tangisnya pasti
akan meledak. "Tidak," geram David. "Itu takkan berhenti sekarang. Kau tak
boleh kembali ke rumah itu."
"David benar," Mrs. Hathaway setuju. "Kau akan tinggal di sini
bersama kami. Di sini aman."
Mereka tidak membencinya! Mereka tidak menganggapnya
jahat. Air mata menyengat mata Amy.
Ia hanya berharap bisa mempercayai mereka mengenai soal
aman itu. Lebih dari segalanya, ia ingin merasa aman.
"Aku harus kembali," ia memberitahu mereka.
Perasaan syok membuat mata David membeliak. "Tidak bisa!"
protesnya. "Aku tidak akan membiarkan kau membahayakan dirimu
sendiri." "Tapi aku tidak dalam bahaya kok," tukas Amy. "Aku cuma
takut"takut terhadap apa yang bakal kulihat berikutnya."
"Bagaimana dengan Angelica?" potong David. "Ada banyak
desas-desus tentang kemampuannya mempraktekkan ilmu hitam.
Mungkinkah dia bertanggung jawab atas semua kematian itu?"
Amy memeluk dirinya sendiri agar tubuhnya berhenti gemetar.
"Ya," sahutnya. Kok bisa-bisanya ia percaya bahwa David-lah si
pembunuh" "Lalu kenapa kau kembali ke sana?" desak David.
"Aku kerabatnya," sahut Amy. "Dia tidak akan melukaiku. Tapi
tak seorang pun aman" termasuk kau dan ibumu, jika kalian
mencoba menolongku."
Mata Mrs. Hathaway melebar. "Maksudmu"
"Kalau aku tinggal di sini bersama kalian, dia bakal tahu aku
bukan di pihaknya," Amy menjelaskan. "Dan dia akan mengejarku.
Dan kalian berdua akan berada dalam bahaya."
"Jangan khawatir tentang hal itu. Aku?" David berkata.
"Tidak," Amy memohon. "Kau tidak memahami kekuatannya."
"Lalu apa usulmu?" Mrs. Hathaway bertanya.
"Orangtuaku tak lama lagi pasti akan memintaku pulang.
Kurasa Angelica akan melepasku tanpa susah payah. Jadi yang harus
kulakukan adalah menunggu sampai saat itu tiba. Aku akan berpurapura tak ada yang terjadi, dan aku akan amat sangat hati-hati."
"Aku tidak menyukainya," erang David.
"Tapi tak ada cara lain," tukas Amy. "Kau lihat kan apa yang
terjadi di sini malam ini. Kau sudah lihat apa yang bisa dilakukannya.
Aku harus kembali ke sana."
"Dia benar, David," suara Mrs. Hathaway gemetar. "Tapi, Amy,
kau harus janji akan memberitahu kami begitu kau dalam bahaya."
"Baiklah," janji Amy.
"Biarkan aku mengantarmu pulang," ujar David. Dengan
enggan ia menyampirkan jubah ibunya di atas bahu Amy yang basah.
Kemudian ia membimbingnya ke halaman. Hujan masih turun, namun
badai telah bergerak ke selatan.
Begitu mereka tak terlihat lagi dari rumah, David menghentikan
langkah Amy. "Amy..." Ia bimbang sebentar, lalu menghela napas panjang.
"Aku harus memberitahumu sesuatu. Aku jatuh cinta padamu."
Amy menatapnya terpana. "Apa?"
"Kurasa aku merasakannya sejak pertama kali aku bertemu
denganmu. Tapi aku takut. Kusangka kau akan lari menjauhiku karena
ini." Disentuhnya penutup matanya.
"Itu hal paling konyol yang pernah kudengar," tukas Amy.
"Sudah kubilang itu sama sekali tidak menggangguku"dan kau tahu
aku selalu bicara terus terang."
David nyengir. Amy memeluk leher pemuda itu. "Aku juga
mencintaimu." David menciumnya. Amy memeluknya erat-erat, berharap ia
tak perlu melepaskannya lagi. Namun akhirnya, ia mundur selangkah.
"Pada malam Bernice tewas..." ia berhenti, menatap mata David
lurus-lurus. "Kau bilang padaku untuk tidak mempercayaimu.
Mengapa?" Senyum David lenyap. "Waktu perang, aku berteman dengan
seorang anak laki-laki dari South Carolina. Katanya umurnya enam
belas tahun, tapi aku tahu dia tak mungkin lebih tua dari empat belas.
Ayahnya tewas dalam perang. Dia meninggalkan ibu dan lima saudara
perempuannya untuk menggantikan tempat ayahnya. Aku bersumpah
pada diriku sendiri bahwa aku akan melindunginya. Dia percaya
padaku." Sambil mendesah, David mengusapkan tangannya di
rambutnya. "Aku mengecewakannya. Dia tewas terbunuh, dan aku
tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Aku tak ingin
merasakan kepedihan itu lagi. Jadi aku bersumpah pada diriku. Aku
tidak akan pernah bertanggung jawab pada orang lain lagi."
David menunduk menatap Amy. "Dan kemudian kau datang,"
lanjutnya. "Kulakukan apa pun agar tidak mengusikmu. Dan aku ingin
kau bergantung padaku untuk menjagamu."
"Aku percaya padamu," gumam Amy.
David mendengus, mengangkat tangannya dan mengeluarkan
sesuatu dari balik kemejanya. "Aku ingin kau menyimpan ini," ia
berkata, seraya meletakkan benda itu dalam genggaman Amy.
Liontin emas berbentuk cincin dengan sulur-sulur ivy yang
halus terukir di atasnya. Liontin itu terpasang pada rantai yang halus.
"Indah sekali," gumam Amy.
"Kalung itu milik nenekku, dan nenek buyutku," David
memberitahunya. Digenggamnya tangan gadis itu, mengunci benda itu
dalam genggaman Amy. Air mata menyengat mata Amy. "Oh, David." Dimasukkannya
kalung itu melewati kepalanya dan diselipkannya ke balik gaunnya.
Rasanya sempurna sekali, kalung itu berada tepat di sisi hatinya.
"Aku harus mengantarmu pulang," ujar David. "Sebelum aku
mengubah pikiran dan tidak membiarkanmu pergi sama sekali."
Mereka tidak berbicara sepanjang perjalanan menuju mansion
Fear. Mereka tidak perlu bicara. Amy mengangkat wajahnya
menyambut angin dingin yang telah ditinggalkan oleh badai tadi.
Hatinya ingin meledak rasanya. David mencintainya!
Rumah itu bagai menjulang di atas mereka di dalam kegelapan
malam. Amy berharap ia bisa berbalik dan pergi dari situ, dan tidak
pernah perlu masuk ke dalamnya lagi.
"Masih ada waktu untuk berubah pikiran," David berbisik. "Kau
hanya perlu mengatakannya, dan kita akan pergi dari sini."
Sebelum Amy mengatakan apa-apa, pintu telah terayun
membuka. Angelica melotot menatap mereka dari ambang pintu.
Bab 15 MATA Angelica tampak sedingin dan sekeras es.
"Aku tidak tahu kau keluar, Amy," ia berkata pelan.
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
David melangkah maju. "Dia bersama kami, Mrs. Fear."
"Tentu saja," tukas Angelica. "Well, terima kasih telah
mengantarnya pulang, David. Aku akan menjaganya sekarang."
Sebelum David mengatakan apa pun, Amy buru-buru masuk. Ia
berbalik tepat ketika Angelica menutup pintu. Mengurung Amy di
dalam. Menghalangi David masuk.
Amy menelan dengan susah payah, menunggu konfrontasi dari
bibinya. Tapi Angelica hanya menatapnya lama sekali. Kemudian ia
menunjuk tangga. Amy tidak berani mengatakan apa-apa. Bersyukur mendapat
kesempatan untuk pergi, ia lari menaiki tangga menuju kamarnya.
*************** Amy bangun dengan terkejut. Ada orang di balik pintu
kamarnya. Kenop pintu berputar. Pintu berderit terbuka.
Amy menatap kegelapan. Julia. Julia berdiri di ambang pintu. Jantung Amy kembali
tenang. Julia menoleh gugup ke belakang, seolah-olah ingin
memastikan tidak ada siapa-siapa. Kemudian ia buru-buru masuk dan
menutup pintu. "Ada yang tidak beres?" Amy bertanya.
Julia meletakkan jarinya di bibir dan menggeleng.
Dikeluarkannya secarik kertas yang sudah lecek dan hangus dari saku
gaunnya dan mengulurkannya kepada Amy.
"Ambil ini," ia berbisik. "Aku menemukannya di timbunan abu
di belakang rumah. Jangan beritahu siapa pun aku telah
memberikannya padamu. Berjanjilah!"
"Aku berjanji," ujar Amy. "Tapi?"
Julia berbalik dan lari meninggalkan kamar Amy.
Amy menatapnya sebentar. Kemudian ia menutup pintu dan
mulai melicinkan kertas yang itu.
Napasnya seperti tersangkut. Ini tulisan ibunya!
Amy tersadar seseorang telah mencoba membakar surat ibunya
untuknya. Kertas surat itu bergetar saat tangannya mulai gemetar.
Bukan karena takut. Tapi karena marah. Siapa yang melakukan ini"
Angelica, tentu saja. Angelica tak ingin ia berhubungan dengan
orangtuanya. Angelica ingin menguasai Amy sepenuhnya.
Apalagi sekarang, setelah ia curiga aku tahu yang sebenarnya
tentang dirinya, pikir Amy. Seberapa banyakkah yang diketahui
Angelica" Apakah kartu-kartu itu memberitahu Angelica bahwa Amy
telah berbalik melawannya"
Yang bisa kaulakukan adalah berhati-hati dan mencoba
bersikap seperti biasanya, Amy memberitahu dirinya.
Ia menyalakan lampu dan mendekatkan kertas itu ke lampu.
"Kepulihan ayahmu lambat tapi stabil," ibunya menulis. Beberapa
paragraf berikutnya terlalu hangus untuk bisa dibaca. Amy mengerang
frustrasi. "Ayahmu takkan bisa meninggalkan Richmond untuk
sementara waktu," Amy membaca keras-keras.
Dipeluknya surat itu ke dadanya, perasaan senang dan puas
melandanya. Mereka di Richmond! David akan bisa menemukan
mereka sekarang. Aku akan menulis surat pada mereka, dan meminta
mereka menyuruh Angelica mengirimku pulang!
Amy menemukan secarik kertas, pena, dan tinta. Ia duduk di
meja dan menulis suratnya. Setelah selesai, ia merekatkannya dan
menuliskan nama orangtuanya dan Richmond, Virginia di sebelah
luarnya. Sekarang ia hanya perlu mengantar surat itu kepada David.
Disibakkannya sedikit tirai kamarnya dan memandang mansion
Hathaway. Seberkas sinar tampak di sebuah jendela di tingkat atas.
Bagus. Masih ada yang bangun. Ia bisa menyelinap keluar dan
kembali lagi sebelum Angelica menyadari kepergiannya.
Amy menangkap sebuah gerakan kecil. Ia mendoyongkan
tubuhnya ke muka. David tampak berdiri di sisi lain pintu gerbang
halaman, setengah tersembunyi di bawah bayang-bayang.
Amy tersenyum. Ia sedang mengawasi rumah ini. Menjaganya.
Senyumnya lenyap saat ia melihatnya akan berbalik. "Jangan
pergi!" bisiknya. "Oh, David, jangan pergi dulu!"
Amy menyambar lampu dari meja. Mungkin kalau ia entah
bagaimana bisa memberinya sinyal...
Embusan angin menggetarkan jendela. Sebatang dahan pohon
mencakar-cakar permukaan kacanya.
Perasaan yang akrab berdesir di tulang punggung Amy. Ada
yang tidak beres. Sangat tidak beres. Ia bisa merasakannya.
Seberkas sinar menyeruak dari pintu belakang rumah keluarga
Fear yang terkuak. David telah kembali ke pagar. Angin mengacakacak rambutnya dan menyentakkan jaketnya.
Saat Amy memandang ke bawah, sebuah bayangan jatuh
menimpa cahaya itu. Amy membuka jendelanya sepelan mungkin. Ia
mendoyongkan tubuhnya ke luar dan melihat Angelica berdiri di
ambang pintu. Wanita itu berjalan menyeberangi halaman" langsung menuju
David. Apa yang sedang dilakukannya"
Angelica berhenti di pintu gerbang. Amy memperhatikan reaksi
David. Tapi pria itu terlalu jauh hingga ia tak bisa membaca ekspresi
wajahnya. Apa sih yang mereka bicarakan" Amy bertanya-tanya. Ia rela
memberikan apa pun untuk mengetahuinya.
Angelica dan David meneruskan bicara, kepala mereka
berdekatan. Kemudian David berbalik dan pergi dari situ.
Angelica mengawasinya pergi. Ketika ia berbalik kembali
menuju rumah, giginya berkilauan dalam senyum.
Sesuatu yang buruk bakal terjadi. Sudah Amy duga. Angin
bagai mengamuk, seolah-olah ada badai tepat di atas rumah. Amy
tidak menyukai hal ini. Ia sama sekali tidak menyukainya.
Perlahan-lahan Angelica mengangkat tangan. Angin berputar di
sekelilingnya. Dedaunan dan bunga-bunga yang berguguran berputar
di atas tanah. Angin semakin kencang dan liar, melolong seperti serigala gila.
Pepohonan mengerang saat dahan-dahannya menekuk.
Angelica berdiri tepat di tengah-tengah pusaran angin"sama
sekali tak tersentuh. Hanya rambutnya yang bergerak, terangkat
membentuk kabut gelap di sekeliling kepalanya.
Amy ingin pergi dari situ. Ia ingin membenamkan kepalanya di
balik bantal-bantalnya dan berpura-pura semua ini tidak terjadi.
Tapi ia harus melihatnya. Ia harus tahu.
Pohon-pohon willow yang merintih nyaris seperti menggeliat
kesakitan. Dahan-dahannya melecut-lecut kolam ikan hingga berbuih.
Dan nun di sana, di tempat yang paling dalam dan paling gelap
di balik pohon-pohon itu, sesuatu mulai bercahaya. Dua bola api hijau
yang kecil.ebukulawas.blogspot.com
Kedua bola itu bergerak ke tepi pohon willow. Amy menelan
dengan susah payah, namun mulutnya tetap kering.
Mata. Itu sepasang mata, pikirnya.
Hanya sepasang mata binatang yang bisa menangkap cahaya
seperti itu, ia memberitahu dirinya.
Tapi ia tahu tak ada binatang di halaman. Kedua mata itu adalah
milik sesuatu... yang gaib.
Amy lega sekali David telah kembali ke rumahnya. Dan lega
sekali ia tadi tidak keluar untuk menyerahkan suratnya kepada
pemuda itu. Angin yang menyapu kamar Amy semakin dingin. Dan ia tahu
kenapa. Angelica sedang menggunakan ilmu hitamnya. Apa yang
direncanakan oleh bibinya itu"
Angelica membungkuk ke sepasang mata hijau yang bercahaya
itu. Amy memperhatikan saat wanita itu merogoh sakunya.
Kemudian ia mengangkat tangannya ke atas kepalanya lagi"secarik
kain putih segi empat masing-masing terlihat di tangannya. Angin
meniup kedua kain itu, mencambuk mereka seperti bendera mini.
Noda-noda kehitaman tampak di kedua kain itu.
Darah. Darah Nellie. Darah Chantal. Apa yang diminta Angelica malam ini" Kematian lagi"
Amy bergidik. Dia telah meremehkan bibinya itu.
Tak ada bedanya bagi Angelica apakah Amy kerabatnya atau
bukan. Jika Angelica tahu apa yang dilakukan Amy, ia akan
membunuhnya. Karena Angelica itu jahat. Amat sangat jahat.
Bab 16 ANGELICA menjatuhkan kedua tangannya. Angin serta-merta
berhenti mengamuk. "Kuasa iblis," bisik Amy.
Ia mengawasi saat Angelica berjalan kembali ke rumah dan
menutup pintu di belakangnya.
Kemudian ia memperhatikan sesuatu yang membuat sekujur
tubuhnya merinding. Sepasang mata hijau yang berkilauan itu tetap berada di
halaman. Mereka menatap ke luar dari balik pepohonan willow,
kemudian mulai bergerak. Hilang-timbul. Mereka meluncur dari satu
bayang-bayang ke bayang-bayang lain.
Amy tak bisa melihat makhluk itu. Ia hanya bisa melihat
sosoknya yang besar dan hitam, begitu pekat hingga kemungkinan
makhluk itu terbuat dari bayang-bayang. Ia lega dirinya tidak bisa
melihat sisanya. Sepasang mata hijau itu bergerak sepanjang kaki dinding
halaman. Kemudian mereka berbalik dan bergerak lagi. Nyaris, pikir
Amy, seolah-olah makhluk itu bergerak mondar-mandir.
Makhluk itu sedang berjaga, Amy tersadar. Angelica menyuruh
makhluk itu berjaga agar aku tidak keluar melewati pintu gerbang.
Sekarang ia tidak bisa pergi ke David.
Dan Amy berharap dengan segenap hatinya, agar David tidak
mencoba datang kepadanya.
Ia tidak ingin memikirkan apa yang akan dilakukan oleh"oleh
makhluk itu"terhadap David.
***************** Amy duduk di jendela dan menunggu malam berakhir. Rasanya
seperti selamanya. Tapi akhirnya, bayang-bayang di halaman menipis.
Dan sepasang mata hijau yang bercahaya itu meredup.
Ia memandang saat tepian matahari muncul di kaki langit.
Cahaya tercurah di atas kota, membanjiri halaman.
Sepasang mata itu mengedip, lalu hilang. Liukan asap tipis
melayang keluar dari balik pepohonan willow.
Amy merinding. Kemudian ia melihat gerakan di halaman
rumah keluarga Hathaway. Jantungnya berdebar semakin cepat saat ia
melihat sosok David. Mungkin inilah satu-satunya kesempatan baginya untuk
menyerahkan surat itu pada David. Angelica pasti masih tidur, dan
para pelayan baru akan bangun beberapa menit lagi. Ia mungkin
punya cukup waktu untuk pergi ke rumah keluarga Hathaway dan
kembali lagi tanpa ketahuan.
Ia menyeberangi rumah tanpa suara dan lari ke luar. Bungabunga tergeletak hancur di tanah dan dedaunan serta ranting-ranting
pohon mengotori jalan setapak.
Goresan putih di salah satu pohon willow menarik perhatian
Amy. Ia menghampiri untuk memeriksa"dan menemukan tiga
goresan paralel di batang pohonnya. Kelihatannya seperti bekas cakar.
Cuping hidung Amy serasa terbakar. Bau menjijikkan
menyengat hidungnya. Ia tak bisa menebak apa itu.
Sambil mengerutkan kening, ia mundur menjauhi pohon itu.
Pohon itu akan mati. Kuasa iblis telah menyentuhnya, dan pohon itu
bakal mati. "Amy!" David berbisik.
Amy berputar. Pemuda itu berdiri di balik pintu pagar.
Wajahnya tampak prihatin.
"Aku senang sekali melihatmu!" seru Amy lembut.
Ia berlari menghampiri pemuda itu. Namun ketika ia mencoba
membuka pintu gerbang, pintu itu terkunci. Pandangannya beralih
kepada David. "Angelica menguncinya semalam," David memberitahunya.
"Katanya aku tidak akan pernah bisa menginjak halaman rumahnya
lagi. Dan aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi."
"Dia tidak bisa menghalangi kita untuk bertemu." Amy
mengulurkan tangannya melewati pagar, dan David menyambut salah
satu tangannya. "Aku tahu. Ciumlah aku," David berkata.
Amy menekankan wajahnya di jeruji pagar. Bibirnya nyaris tak
bisa menyentuh bibir pria itu.
David mengguncang-guncang pagar itu dengan segenap
tenaganya. "Ingin sekali kuhancurkan gerbang ini," erangnya. "Dia
menguncinya tepat di depan hidungku, dan kemudian dia tertawa."
Amy merogoh sakunya dan mengeluarkan suratnya. Ia harus
segera masuk. "Aku berhasil mengetahui bahwa orangtuaku berada di
Richmond," ia memberitahu. "Apakah menurutmu kau bisa
menemukan mereka?" "Akan kucoba. Sekarang akan lebih mudah karena aku tahu
kota tempat mereka berada," sahut David. "Tapi, Amy, kita tak bisa
menunggu sampai orangtuamu memintamu pulang. Kau harus pergi
sekarang juga." "Kau tahu aku tidak bisa," protes Amy. "Dan kau juga tahu
kenapa. Terlalu berbahaya. Kau tidak tahu betapa besar kekuatan
Angelica." Amy menoleh ke arah rumah. Sekarang para pelayan sudah
bangun. Ia tak bisa mengambil risiko ketahuan. Tidak pagi ini. "Aku
harus kembali sebelum ada yang melihat kita," ia berbisik.
Ia berbalik, namun David tak mau melepaskan tangannya.
"Aku harus menemuimu lagi," kata pemuda itu. "Temui aku di
sini malam ini." "Tidak! Jangan malam!" Amy mendengar suaranya bergetar.
"Berjanjilah padaku kau takkan pernah datang kemari malam-malam!"
"Kenapa?" desak David. "Dia tak bisa mengawasi kita setiap
saat!" "Pokoknya, berjanjilah padaku!" desis Amy.
"Tapi aku tidak mengerti?"
"David, kau memintaku mempercayaimu, dan aku percaya
padamu," ia berkata. "Sekarang aku memintamu mempercayaiku.
Kumohon, tolong, jangan mencoba datang kemari setelah malam
tiba." David menatap Amy sekilas. Kemudian ia mengangguk. "Aku
berjanji. Tapi kapan kita akan bertemu lagi?"
"Awasi aku. Aku akan mencoba keluar sebelum malam turun.
Tapi kalau tidak bisa, aku akan berada di sini besok pagi." Amy
menarik dirinya dari pemuda itu.
"Aku cinta padamu," ujar David.
Amy meniupkan kecupannya pada David, kemudian berbalik
dan buru-buru kembali ke rumah. Ia mendengar seseorang menuruni
anak tangga belakang, jadi Amy meluncur berputar menuju muka
rumah. Ia menyelinap masuk dan perlahan-lahan menutup pintu di
belakangnya.
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Amy." Seruan Angelica datang dari ruang tamu. Amy ingin
berlari dari situ. Namun sebaliknya, ia malah berjalan memasuki
ruangan, mencoba tampil tenang.
Angelica duduk di sofa, menjahit. Sama seperti ribuan wanita
lain di kota, pikir Amy. Namun Angelica sama sekali tidak mirip
mereka. "Selamat pagi, Angelica," gumam Amy.
Angelica melihat ke atas dan tersenyum tenang. "Kau bangun
pagi benar, sayangku."
"Aku selalu bangun pagi," sahut Amy.
Angelica mengangkat kepalanya. "Benar. Mendekatlah, Amy."
Amy menurut. Ia tidak punya pilihan.
Angelica tampak cantik sekali dalam cahaya matahari pagi.
Matanya tampak terang, rambutnya berkilauan. Kulitnya bersinar
sehat. "Kau tampak sehat sekali pagi ini, Angelica," Amy berkata.
"Terima kasih," sahut Angelica. "Itu pasti karena aku begitu
bersemangat menghadapi pesta malam ini."
"Pesta?" tanya Amy.
"Halloween, Sayang. Kita akan mengadakan pesta malam ini,"
Angelica menjelaskan. "Aku bertanya-tanya apakah kau mau
membantuku menghias rumah hari ini. Ibumu memberitahuku bahwa
kau punya bakat untuk hal-hal seperti itu."
"Tentu saja," sahut Amy. Seberapa banyak yang diketahui
Angelica" Apakah pikirnya Amy keluar diam-diam hanya untuk
bertemu David" Ataukah ia sadar bahwa Amy telah mengetahui yang
sebenarnya" Bahwa Angelica adalah pembunuh.
"Oh, bagus!" seru Angelica. "Aku suka sekali Halloween.
Kurasa itu perayaan paling bagus sepanjang tahun."
"Lebih bagus dari Hari Natal?" Amy bertanya. Ia ingin
kelihatan tertarik pada perayaan itu"supaya Angelica tidak curiga.
"Oh, ya." Angelica tertawa. "Kita akan bersenang-senang
malam ini!" Setidaknya akan ada banyak orang yang hadir di sini, Amy
berkata pada dirinya sendiri. Walaupun itu sama sekali tidak
menolong Bernice yang malang. Dienyahkannya pikiran itu.
"Kau ingin aku melakukan apa dulu, Angelica?" Amy bertanya.
"Aku ingin setiap vas di rumah ini penuh dengan bunga dan
mungkin beberapa daun gugur dan beri," ujar Angelica.
"Kalau Julia dan Hannah turun nanti, mereka mungkin mau
membantuku," Amy berkata. "Aku suka melakukan hal-hal seperti itu
waktu masih seumur mereka."
"Oh, hari ini anak-anak sedang mengunjungi beberapa teman,"
sahut Angelica. "Salah seorang pelayan sedang mengantar mereka ke
sana. Mereka tadi berangkat pagi-pagi benar, karena perjalanan
mereka panjang. Namun mereka akan kembali tepat pada waktunya
untuk menghadiri pesta kita."
Dia bohong, pikir Amy. Ia ingin anak-anak keluar rumah untuk
suatu alasan. Tiba-tiba saja Amy tersadar betapa sunyi rumah saat itu. Di
manakah para pelayan" Apakah mereka juga pergi"
"Apakah koki menyiapkan sesuatu yang istimewa?" Amy
bertanya. Angelica menggeleng. "Aku memutuskan untuk meliburkan
semua pelayan. Sekarang mereka akan bisa menikmati perayaan itu
juga." Angelica ingin mengosongkan rumah. Mengapa" Apa yang
direncanakannya" Kartu-kartu itu, pikir Amy. Kartu-kartu itu akan
memberitahunya. Jika ia tahu apa yang direncanakan Angelica, ia
akan mendapat keuntungan.
Namun Angelica tidak akan membiarkan Amy jauh-jauh
darinya. Mereka mengumpulkan bunga dan dedaunan dari halaman
bersama-sama. Mereka makan siang bersama. Mereka merangkai
bunga bersama-sama. Amy semakin gelisah saat hari bergulir semakin sore. Sebentar
lagi akan gelap, pikirnya. Aku harus tahu apa rencana Angelica.
Ia menatap Angelica. Wanita itu tampak asyik sekali merangkai
dedaunan di atas rak perapian. Amy mengambil sebuah vas dan
dengan sengaja menumpahkan air di dalamnya ke atas gaunnya.
"Ohh!" Amy menahan napas. "Ceroboh sekali aku ini. Lebih
baik aku naik dan berganti pakaian."
"Tentu saja," sahut Angelica, kedengaran jengkel.
Amy melesat ke lantai tiga. Kalau ia pergi terlalu lama,
Angelica bakal curiga. Udara di dalam ruang baca Angelica terasa tebal dan bau apak,
seolah-olah ruangan itu telah ditutup selama bertahun-tahun. Tapi
begitu Amy menyentuh kartu-kartu itu, kesadarannya terhadap hal-hal
lain lenyap. "Angelica bukan satu-satunya yang memiliki kekuatan," ia
bergumam. Tangannya mulai terasa gatal dan panas, dan Amy mulai
mengocok kartunya. Kartu-kartu itu seperti sedang terburu-buru, seolah-olah mereka
harus memberitahu sesuatu yang tak bisa menunggu. Apa yang
direncanakan Angelica" pikir Amy.
Amy membagi kartu itu menjadi tiga tumpuk, dan kemudian
menyatukannya lagi, dari kanan ke kiri. Kartu-kartu itu terasa panas.
Tangannya mulai gemetaran.
"Ada apa?" ia berbisik. Diletakkannya kartu-kartu itu dan
dibalikkannya kartu paling atas.
Kematian. Ia bergidik. Tentu saja. Kematian mengikutinya ke mana saja.
Napasnya memburu di telinganya saat ia membuka kartu
berikutnya. Kematian. Tidak. Amy menunduk menatap kedua kartu yang sama persis
itu. Tidak mungkin, pikirnya. Hanya ada satu kartu Kematian pada
kartu tarot. Dengan hati-hati sekali, ia mengulurkan tangan dan membuka
semua kartu. Kartu-kartu beterbangan di atas meja kayu yang terpoles
itu. Amy setengah mendesah setengah mengisak.
Kematian. Semuanya kartu Kematian. Bab 17 "TIDAK!" teriak Amy. "Aku tidak mengerti apa yang ingin
kalian katakan padaku. Aku harus tahu lebih banyak. Aku harus tahu
siapa yang bakal mati!"
Diambilnya kartu-kartu itu, tapi mereka terasa sejuk dan mati di
tangannya. Tak ada lagi yang bisa didapatkannya dari kartu-kartu itu.
Dan kemudian Amy sadar apa yang ingin dikatakan kartu-kartu
itu. Korban Angelica berikutnya adalah Amy sendiri. Itulah sebabnya
semua kartu merupakan kartu Kematian.
Tenang, Amy memerintahkan dirinya sendiri. Cobalah untuk
tenang. Ingat apa yang terjadi pada Mrs. Hathaway. Kartu-kartu itu
mengatakan dialah yang akan mati berikutnya. Tapi kau dan David
berhasil menyelamatkannya.
Ia harus kembali sebelum bibinya curiga. Kemudian ia harus
mencari cara untuk kabur dari situ. Oh, mengapa kartu-kartu itu tak
bisa memberitahunya lebih banyak"
Tanpa suara Amy menyelinap keluar dari ruang baca Angelica
dan mengunci pintu di belakangnya. Ketika ia melesat menyusuri
koridor, ia menginjak sesuatu yang keras. Sesuatu yang merobek sol
sepatunya yang tipis. Amy bersandar di dinding dan menarik benda tajam itu dari
kakinya. Apa itu" pikirnya. Ia membalik-balikkannya.
Tulang, ia tersadar. Sepotong tulang!
Amy bergidik dan melempar tulang itu. Sekali lagi ia seperti
mendengar peringatan Julia: Makhluk itu memakannya"daging dan
tulang dan darah. Apakah makhluk iblis yang dilihat Julia malam itu
telah berkeliaran di rumah lagi"
Amy melesat turun ke lantai dua. Kakinya yang tertusuk tulang
seperti berdenyut-denyut saat ia berlari sepanjang koridor ke tangga
utama. Ia mengabaikan sakitnya.
Disambarnya birai tangga, siap meluncur menuruni tangga yang
melengkung. Namun birai itu terasa licin. Amy mengangkat tangan
dan menatap telapak tangannya. Tangannya berlumuran darah.
Daging dan tulang dan darah. Kata-kata itu menggema di
benaknya. Makhluk itu menelannya daging dan tulang dan darah.
Amy menelan dengan susah payah. Ia melompati tangga
pualam itu dua atau tiga anak tangga sekaligus.
Ia memilih mematahkan lehernya daripada membiarkan iblis itu
memangsanya, pikir Amy. Ia melompati anak-anak tangga terakhir. Sambil terengah-engah
ia berlari ke pintu muka.
Terkunci. "Tidak!" Dengan napas memburu ia menarik-narik
kenop pintu sekuat tenaga. "Oh, tidak!"
"Kau tidak bermaksud pergi sebelum pesta kita dimulai, kan?"
Amy berputar. Angelica berdiri memperhatikannya.
"Iblis apakah yang Anda bawa ke rumah ini" Apa yang Anda
lakukan?" seru Amy. "Hanya sesuatu yang terpaksa kulakukan gara-gara dirimu,"
sahut Angelica. Amy tak bisa bersuara. Ia hanya bisa menatap saat Angelica
memejamkan mata dan mengangkat kedua tangannya ke atas kepala"
seperti yang dilakukannya di halaman.
Desir angin berputar memasuki kamar, membuat kandelar
bergerak-gerak. Ketika Angelica membuka mata, lutut Amy
berkeretak. Mata Angelica tidak lagi hijau. Warnanya kini hitam. Hitam
pekat. Panel-panel pintu seperti menusuk punggung Amy saat ia
bersandar rapat-rapat di situ. "Tak mungkin!" erangnya.
"Ah, kau keliru," ujar Angelica. Bola matanya yang hitam
berkilat-kilat. Tak ada belas kasihan dalam matanya, tak ada
kelembutan dalam garis-garis wajahnya yang indah dan bagai dipahat.
Dia dingin. Kejam. Iblis.
"Sudah kubilang Halloween adalah perayaan favoritku,"
Angelica berkata. "Begitu juga dengan tamu-tamuku. Pada Hari
Halloween mereka menanti-nantikan suguhan istimewa, dan aku
selalu menyediakannya untuk mereka."
Ia tersenyum. Giginya tampak lebih panjang daripada biasanya,
berkilauan dan tajam. "Malam ini," lanjutnya, menatap Amy luruslurus, "aku akan memberi mereka... kau."
Bab 18 ANGELICA mengalihkan pandangannya ke puncak tangga.
Amy mengangkat kepala menengadah"dan menahan
jeritannya. Tiang asap hitam yang tebal menjulang dari puncak tangga ke
langit-langit. Ia akan menyerahkan diriku pada makhluk mengerikan itu!
"Di dalam tiang asap itu terdapat roh-roh piaraanku, temantemanku, pelindung-pelindungku. Sebagian dari mereka telah
menemaniku sejak aku masih sangat muda. Dulu, aku ini seperti kau.
Takut terhadap kekuatan di dalam diriku. Tapi sekarang tidak lagi."
Ia sangat dingin, sangat tenang, pikir Amy. Ia berbicara seolaholah kami sedang menghadiri pesta bersama-sama. Padahal dia
bermaksud membunuhku! "Aku sangat kecewa padamu," katanya lagi, kerutan tipis
menodai keindahan wajahnya.
"K-kenapa?" Amy tergagap. Bikin dia terus bicara, ia
mengingatkan dirinya. Itu akan memberinya lebih banyak waktu
untuk mencari jalan melarikan diri dari situ.
"Aku ingin sekali menemukan wanita Pierce lain yang punya
kemampuan khusus seperti diriku," Angelica menjelaskan. "Mestinya
kita bisa melakukan banyak hal bersama-sama. Kau sudah kehilangan
kesempatan emas dengan berbalik melawanku."
"Menjadi pengikut iblis?" tanya Amy. Ia tahu pintu di
belakangnya terkunci. Dan kalau ia mencoba berjalan menerobos
Angelica, roh-roh iblis itu akan segera menyambarnya.
"Ada kekuatan yang besar sekali di dalam ilmu hitam,"
Angelica menjelaskan. "Oh, Amy. Padahal kau bisa mendapatkan apa
pun yang kauinginkan." ebukulawas.blogspot.com
Amy mengangguk, pura-pura menyimak setiap perkataannya.
Angelica tersenyum. "Yah, apa pun kecuali David," ia
menambahkan. "Aku menyimpannya untuk Hannah."
"Hannah!" seru Amy, seluruh pikirannya kini terpusat pada
Angelica. "Nanti kalau dia sudah lebih besar, tentu saja," Angelica
berkata. "Mereka cocok."
"Bagaimana Anda bisa bilang begitu?" tuntut Amy.
"Keluarga Hathaway sangat kaya," Angelica memberitahunya.
"David akan menikahi Hannah dan membawa kekayaan itu ke dalam
keluarga Fear." "Kalaupun Anda membunuhku, David takkan pernah menikahi
Hannah," protes Amy.
"David takkan mengatakan apa-apa tentang hal itu. Aku dengan
mudah bisa mengontrolnya," timpal Angelica. "Dia akan menikahi
Hannah, dan aku akan memastikan dia melaksanakan semua
keinginanku." "Itu tidak akan berhasil." Amy mengenal David lebih baik
daripada Angelica. Ia tahu betapa kuatnya pemuda itu. Berapa banyak
kematian yang telah disaksikannya dan bagaimana ia berhasil
melewatinya. Angelica menatap Amy dengan sepasang matanya yang
hitam"dan Amy merasakan rasa sakit menusuk otaknya. "Oh, ya,
Amy. David akan melaksanakan semua perintahku."
Angelica mendekatkan tubuhnya. Amy merasakan gelombang
dingin keluar dari tubuh bibinya. "Kekuatanmu sangat besar. Tapi kau
tak punya keberanian menggunakannya. Setelah roh-rohku selesai
denganmu, kekuatanmu akan menjadi milikku."
"Aku tahu Anda-lah yang membunuh mereka semua," bisik
Amy. "Nellie, Bernice, Chantal?"
"Tentu saja," sahut Angelica. "Kematian membuat roh-rohku
senang. Dan juga menambah kekuatanku."
Ia mengulurkan tangannya dan membelai pipi Amy dengan
ujung jemarinya. Amy sampai harus mengepalkan tangan agar tidak
menarik dirinya dari sentuhannya yang dingin.
"Apakah kau sekaget itu mendengarnya, sayangku?" Angelica
bertanya. "Aku membunuh Chantal karena kau tak mau
mendengarkan aku. Kau selalu mencari cara untuk bertemu David.
Jadi kusuruh roh-rohku membunuh Chantal dan memberimu
penglihatan itu. Kebanyakan orang akan segera menjauhi David. Tapi
kau tidak. Kau terlalu keras kepala."
Angelica menoleh memandang tiang asap hitam yang menanti
di puncak tangga. "Mungkin memang beginilah sesebaiknya.
Sekarang roh-rohku akan berpesta. Mereka akan menikmati dirimu.
Dan kemudian aku akan mendapatkan kekuatanmu untuk diriku
sendiri." Angelica setengah berbalik, dan Amy tahu itulah satu-satunya
kesempatannya. Ia berlari ke kanan, ke belakang rumah.
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Angelica terlalu cepat. Jauh lebih cepat.
Dicengkeramnya tangan Amy erat-erat hingga membuatnya lumpuh
sampai ke siku. Amy meronta-ronta, menendang-nendang, dan mencakar-cakar
sementara Angelica menyeretnya ke atas.
"Gadis bodoh," ejek Angelica. "Sudah terlambat. Sudah sangat
terlambat." Ketika mereka hampir tiba di puncak tangga, tiang asap itu
bergerak menjauhi mereka.
Angelica mengikutinya naik ke ruang baca, menyeret Amy di
belakangnya. Napas Amy memburu. "Angelica, jangan lakukan ini. Apa...
apa yang akan Anda katakan pada orangtuaku?"
"Akan kukatakan kau jatuh sakit," sahut Angelica. Dipaksanya
Amy masuk ke ruang baca dan ditutupnya pintu di belakang mereka.
"Atau akan kukatakan pada mereka kau mendapat kecelakaan. Hal-hal
seperti itu sering terjadi, kan?"
Amy bisa merasakan rasa lapar yang merebak dari dalam pilar
asap yang hitam itu. Ia tahu seberapa besar makhluk itu
menginginkannya. Kakinya menggesek lantai kayu yang licin itu saat Angelica
menariknya semakin dekat ke asap hitam itu. "Oh, tolong, jangan!"
Angelica mendorong Amy ke lantai di belakang tiang asap yang
berputar-putar itu. Gelombang dingin menyembur keluar darinya.
Amy merasakan tubuhnya bergerak semakin pelan dan mulai
membeku. Sengatan bau daging busuk memenuhi mulutnya, membuatnya
ingin muntah. Ia bisa merasakannya di lidah, di leher.
Sulur-sulur asap yang hitam melayang ke arahnya, bergerak
maju-mundur di sepanjang lantai bagai cacing-cacing buta yang
mengerikan. Mereka datang menjemputnya.
Bab 19 MAKHLUK itu menginginkan darah. Dan bukan sembarang
darah. Tapi darahnya. Daging dan tulang dan darah.
"Ambil dia!" teriak Angelica penuh kemenangan.
Jeritan ngeri keluar dari mulut Amy.
"Benar, Amy," ujar Angelica, suaranya sejuk dan tenang.
"Menjeritlah. Roh-roh itu menyukainya. Itu membuat akhir yang jauh
lebih manis bagi mereka."
Pilar hitam itu menyapu Amy. Membungkusnya rapat-rapat.
Amy bergelung erat hingga seperti bola kecil. Dipejamkannya
matanya. "Aaa-mmm-yyy?" sebuah suara memanggil. "Aaa-mmmmyyy."
Suara wanita. Tapi bukan suara Angelica.
"Aaa-mmm-yyy." Amy membuka mata. Ia hanya bisa melihat asap yang hitam itu.
Asap itu tebal dan berminyak. Rasanya seperti lapisan tipis yang
berminyak di tangan dan wajahnya. Apa yang terjadi dengannya"
"Aaa-mmm-yyy." Seraut wajah muncul di tengah asap. Seraut wajah yang penuh
sayatan. Luka-lukanya dalam dan merekah sampai ke tulang. Lukaluka itu mengeluarkan nanah.
Rasa yang tajam dan pahit menusuk bagian belakang
tenggorokan Amy. Ia menelan dengan susah payah.
Lebih banyak wajah lagi bermunculan di sekeliling Amy.
"Jangan," erangnya. "Kumohon. Aku tidak tahan lagi."
Seraut wajah bersimbah darah. Sepasang bola matanya
bergelantungan di uratnya.
Seraut wajah berlubang di keningnya. Amy bisa melihat
gumpalan jaringan otak di dalamnya.
Satu wajah lagi sudah dikuliti, meninggalkan topeng darah
telanjang yang dihiasi jaringan pembuluh darah berwarna biru.
Ada juga wajah lain yang saking bengkaknya hingga tidak
mirip wajah manusia sama sekali. Wajah itu membuka mulut ingin
menjerit, dan segerombolan belatung putih yang menggeliat-geliat pun
merayap keluar dari dalamnya.
Aku kenal dia, pikir Amy, ngeri. Aku tahu wanita itu.
Itu Chantal Duvane. Dengan perasaan syok Amy menyadari wajah-wajah itu.
Wajah-wajah siapakah itu.
Itu wajah-wajah semua orang yang telah dibunuh Angelica.
Kalau Angelica menang, Amy juga akan tertawan dalam pilar
asap yang berputar-putar ini.
Amy menjerit, menjerit sampai kehabisan napas.
"Kaulah yang menyebabkan semua ini, Amy sayang,"
didengarnya Angelica berseru.
"Teganya kau!" teriak Amy. "Teganya kau berbuat begini
padaku!" "Tapi, Amy, aku memang bisa melakukan apa saja!" sahut
Angelica. Wajah-wajah itu mengerubungi Amy, mengerang dan
mencericit. Mata mereka menatap matanya lurus-lurus. Mereka
menjilatinya dengan lidah busuk mereka.
Kemudian tangan-tangan terulur tampak di balik asap hitam itu.
Mereka berusaha mencakar Amy.
Ia memaksa dirinya bangkit dan berputar ke satu arah, lalu ke
arah lain. Menghindari serangan yang paling buruk.
"Cukup," seru Angelica. Suaranya terdengar jauh sekali.
"Lawanlah, Amy. Atau mungkin lebih baik kau memohon. Mereka
senang kalau korban mereka memohon-mohon."
Cakar-cakar mereka menyentuh rambut Amy. Gaunnya.
Mencakar tangan-tangannya.
Mereka bisa membunuhku dengan sangat mudah, Amy tersadar.
Mereka bermain denganku. Menyiksaku demi kesenangan mereka.
Atau mereka menginginkan lebih banyak dariku selain
nyawaku. Ya! Pasti itu. Mereka tak hanya menginginkan tubuhnya.
Mereka menginginkan jiwanya juga.
Kalau mereka mengambil jiwanya, ia akan tertawan selamanya
di dalam pilar ini bersama yang lainnya. Melolong dan menjerit-jerit.
Berulang kali mengulangi kematiannya.
"Tidaaaak!" jeritnya.
Asap hitam yang berminyak itu mengangkatnya hingga kakinya
tak menyentuh lantai. Amy pikir ia akan merasa kesakitan. Tapi ia hanya merasa
dingin. Sangat kedinginan.
Pejamkan matamu, Amy. Suara itu menyelinap masuk
menembus benaknya. Halus dan lembut dan sama sekali tidak
manusia. Sangat berbeda dari suara-suara yang melolong kesakitan di
sekelilingnya. Ini bukan suara salah satu korban Angelica, pikir Amy. Ini pasti
salah satu pelindungnya. Kalau begitu suara itu jahat, Amy
memberitahu dirinya. Kau tak boleh mendengarkannya.
Pejamkan matamu, dan segalanya akan berakhir.
Suara itu menarik Amy. Ia berusaha keras untuk mengingat
mengapa ia tidak boleh mematuhinya. Kelopak matanya bergetar dan
mulai menutup. Tamatlah sudah, pikirnya. Semuanya tamat.
Ia akan menyelinap memasuki kegelapan, dan ketakutannya
akan lenyap selama-lamanaya. Akan mudah sekali...
Dan kemudian Amy mendengar Angelica tertawa. Tertawa
keras. Kemarahan menyiramnya, membakar perasaan dingin yang
melumpuhkannya. Ia tidak akan menyerah. Ia tidak bisa menyerah.
Orangtuanya membutuhkannya. David membutuhkannya. Dan ia tidak
akan membiarkan Angelica menang.
Perlahan-lahan, ia memaksa matanya terbuka. Sesuatu yang
baru mendadak hidup di dalam dirinya, sesuatu yang dalam dan kuat
sekali. Percikan api membara di depan matanya dan cairan api bagai
mengaliri sekujur tubuhnya.
Pejamkan matamu, Amy, dan semuanya akan berakhir.
"Tidak!" seru Amy. Ia merasa kuat. Sangat kuat.
Inilah yang ingin dicuri Angelica dariku, Amy tersadar.
Kekuatan ini. Kekuatanku.
"Kau tak boleh mendapatkannya," jerit Amy. Sekali lagi
dilawannya kegelapan yang mengepungnya.
Wajah-wajah itu merubunginya, seolah-olah takut akan
kehilangan dirinya. Bau busuk mereka menyembur masuk ke hidung
dan mulutnya, membuat Amy tercekik.
Jangan, pikirnya. Jangan!
Kekuatan Amy membakar sekujur tubuhnya, semakin panas dan
semakin panas. Semakin kuat dan semakin kuat.
Kemudian meledak dalam semburan cahaya yang menyilaukan.
Sesaat Amy tak bisa melihat. Kemudian dilihatnya pilar asap
hitam yang berminyak itu mengerut bagai rambut terbakar.
Amy tersungkur ke lantai. Bebas! Ia bebas!
Kemudian ia menunduk menatap dirinya sendiri"dan menahan
napas. Nyala api putih kecil-kecil berkelap-kelip di sekujur tubuhnya.
Terang, sangat terang hingga menyengat mata. Namun tidak
membakarnya. Amy melihat sesuatu bergerak di sudut matanya. Pilar yang
berminyak itu mulai berputar semakin dan semakin cepat.
Wajah-wajah itu memandang Amy, melolong-lolong penuh
kemarahan. "Stop," bisik Amy. Tapi mereka mengabaikannya. Lolongan
mereka semakin tinggi, semakin keras.
Rasa sakit menyerang Amy. "Stop!" bentaknya.
Bola-bola api berwarna putih melayang terbang dari tubuhnya
dan masuk ke dalam pilar itu.
Sebuah lubang merekah di tengah-tengah pilar hitam itu.
Semakin lama semakin besar.
Kemudian pilar itu bagai terbelah. Wajah-wajah itu tercabikcabik. Menjerit kesakitan.
Campuran darah dan cairan hitam yang berminyak menyembur
ke seluruh ruangan. Kemudian lolongan mengerikan itu berhenti.
Amy gemetaran. Selesai sudah, ia berkata pada dirinya sendiri.
Selesai sudah. Tapi bagaimana dengan Angelica" Amy berbalik.
Angelica tergeletak di lantai, tangan dan kakinya dalam posisi
aneh. Genangan hitam tampak di bawah rambut dan di sekeliling
tubuhnya. Apakah aku telah membunuhnya" Amy bertanya-tanya. Apakah
menghancurkan roh-roh Angelica berarti membunuhnya juga"
Bab 20 "APA yang kaulakukan?" seru Angelica lemah.
Dia tidak mati! "Roh-rohmu telah lenyap," Amy berkata.
"Tidak! Itu tidak mungkin!"
"Tapi begitulah kenyataannya," tukas Amy tegas. "Semuanya
sudah berakhir, Angelica. Kau gagal. Kau bisa menggunakan rohrohmu untuk membunuh Chantal dan Bernice. Dan Nellie yang
malang. Mereka tak bisa menentangmu. Tapi aku bisa. Dan aku
menang." Amy menunduk menatap Angelica. Dilihatnya mata bibinya
telah berubah hijau lagi.
"Selamat tinggal, Angelica," Amy berkata pelan. Kemudian ia
buru-buru lari keluar meninggalkan ruangan.
"Kau tidak bisa pergi!" jerit Angelica saat Amy meluncur
menuruni anak-anak tangga.
Suaranya mendorong Amy melesat lebih cepat lagi. Ia harus
pergi sekarang juga. Angelica bisa mengumpulkan kembali
kekuatannya kapan saja. Ia harus menemui David. Ia harus mengingatkan pria itu.
Ia berlari ke pintu muka.
Terkunci. Amy lupa pintu itu terkunci. Mungkin pengurus rumah
menyimpan kunci cadangan di dapur atau pantri. Ia meluncur ke dapur
dan mencari-cari di setiap laci dan lemari.
Di mana kunci-kunci itu" Di mana"
Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Angelica terhadapnya
bila ia turun kemari. Ia tahu pilar roh itu telah hancur. Ia bisa
merasakannya. Tapi itu tidak berarti Angelica sudah kehilangan
kekuatannya sama sekali. Amy menyeberang menuju pintu pantri. Ketika ia
membukanya, ia mendengar sesuatu bergemerincing. Selembar
celemek disangkutkan di kenop pintu. Dan di dalam sakunya"
terdapat kunci-kunci itu!
Ia berlari ke pintu muka. Ia mencoba tiga anak kunci"dan
menemukan satu yang cocok.
Kemudian ia meluncur ke rumah keluarga Hathaway. Di pintu
gerbang, ia mencoba anak-anak kunci itu satu per satu. Apakah
pengurus rumah menyimpan anak kunci gerbang di rencengannya ini"
Tangan Amy gemetaran saat ia mencoba anak kunci yang lain.
Ia mendengar suara ranting berkeretak di belakangnya.
Angelica datang. Atau sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih
buruk daripada Angelica. "Kumohon," bisiknya, dengan panik menyelipkan anak kunci
lain ke lubang kunci. Diputarnya anak kunci itu ke kiri dan kanan.
"Ayo, ayo!" Anak kunci itu berbunyi klik. Amy mendorong pintu gerbang
hingga terbuka dan berlari cepat menuju mansion Hathaway.
Ia melihat seberkas cahaya di balik kabut. Bagus. Ada orang di
rumah. Sebuah sosok gelap muncul di depannya. Ia tak punya waktu
untuk berhenti. Napasnya tersembur saat ia menabrak sosok itu.
Tangan yang kokoh memeluknya hingga ia tidak terjatuh. Amy
menyentakkan kepalanya ke atas. "David!" teriaknya. "Lekas, kita
harus segera kembali ke rumahmu. Kita dalam bahaya. Angelica
akan?" Ucapannya tiba-tiba terhenti saat pria itu mengangkatnya
dengan tangannya yang sehat. "Kau tak perlu menggendongku, David.
Aku tidak apa-apa kok. Sungguh. Dan kita akan bisa lebih cepat
sampai kalau kita sama-sama lari."
David tidak mendengarkan. Tangannya memeluk Amy eraterat, meremas tulang rusuknya hingga sakit sekali.
Amy menatapnya dengan perasaan ngeri yang semakin tebal.
"David," teriaknya. "Ada apa?"
Ia tidak menyahut. Ia mulai berjalan. Berjalan langsung ke mansion Fear.
Ia mengantarnya kembali kepada Angelica!
Bab 21 "TIDAK!" rintih Amy. "Oh, tolong, jangan!"
David tidak menjawabnya. Ia bahkan tidak memandang ke
arahnya. Ia hanya terus berjalan"berjalan ke mansion Fear.
Amy meronta-ronta ingin melepaskan diri, namun tangan David
seperti besi di sekeliling pinggangnya.
"David, ini aku"Amy," teriaknya. "Tidakkah kau mendengar
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku?" Disambarnya wajah David dan dipaksanya pria itu menatapnya.
Wajahnya tidak menunjukkan bahwa ia mengenali Amy. Tak
ada sedikit pun ekspresi di sana.
Angelica-lah yang melakukan semua ini, pikir Amy. Angelica
mengendalikannya. Bahkan David pun tak bisa menolongnya sekarang.
Air mata Amy mengalir menuruni wajahnya. Tadi saja ia nyaris
tak berhasil melarikan diri dari Angelica. Apa yang bisa dilakukannya
menghadapi bibinya sekarang"
Amy menggelengkan kepala. "Tidak. Angelica tidak boleh
memilikimu, David. Aku akan berjuang untukmu"dan diriku sendiri.
Dan aku akan mengalahkannya."
Amy memukul-mukul dada David dengan tinjunya, bertekad
memaksanya mendengar dirinya. "David, ini Amy. Katamu kau
mencintaiku. Dan aku mencintaimu. Oh, tolong ingatlah, David!"
Pria itu mengabaikannya. Langkah-langkahnya yang panjang
membuat tubuh Amy berguncang-guncang saat ia mengangkatnya
kembali ke mansion Fear. Amy harus mencari jalan untuk menyadarkan David. Kalau
tidak, Angelica akan menghancurkan mereka berdua.
David nyaris mencapai pintu belakang.
Angelica tahu inilah cara paling jitu untuk menyakiti Amy.
Kemarahan membakar hati Amy. Aku takkan membiarkannya
mengambil David. Aku tidak akan membiarkan David menikahi
Hannah. "David, dengarkan aku," perintah Amy, suaranya tajam. "Kau
harus melawan. Jangan biarkan dia mengendalikanmu. Lawan!"
David membawanya ke dalam rumah dan menurunkan Amy. Ia
terus mencengkeram tangan gadis itu.
Amy mencoba melepaskan cengkeramannya. Namun David
tidak sudi melepaskannya.
"Selamat datang lagi, Amy," Angelica berkata. Ia berjalan
menuju mereka, sikapnya seagung ratu.
"Lepaskan dia," desak Amy.
"Ah, tapi dia milikku," sahut Angelica, tersenyum. "Mari
kutunjukkan padamu."
Digerakkannya jemarinya ke arah David. "David, bawa dia
kepadaku." "Jangan, David," seru Amy. "Jangan! Kau menyuruhku
mempercayaimu dan aku percaya padamu. Kau tak boleh
menyerahkan aku padanya."
David ragu. Sudah kuduga ia mendengarku! pikir Amy. Sudah kuduga entah
bagaimana ia bisa mendengarku.
Kemudian David melangkah maju, masih mencengkeram
tangan Amy. Sepatu gadis itu berdecit di lantai saat David
menyeretnya maju. "Sekarang semuanya sudah berakhir," kata Angelica.
Amy menatap wajah David lekat-lekat. Mungkin saja Angelica
tidak melihat keraguan yang menerpa David sekilas tadi, tapi Amy
melihatnya. David sedang berjuang. Di dalam ia tengah berjuang sekuat
tenaga. "David tercintamu adalah milikku," Angelica melanjutkan.
"Selama Hannah menyukainya. Kalau putriku sudah bosan padanya,
aku akan menjadikannya santapan makhluk-makhluk piaraanku."
Amy melihat seberkas cahaya berkedip di mata David. Seberkas
kesadaran. Kalau saja ia bisa meraihnya, kalau saja ia bisa
membebaskannya dari pengaruh Angelica, mereka mungkin masih
punya kesempatan. Ia berbalik supaya mereka berhadap-hadapan. Saat itulah liontin
kalungnya menyelinap keluar dari balik gaunnya.
Liontin yang diberikan David padanya. Lambang cinta mereka.
Amy memeluk pria itu dengan kedua tangannya. Ia
memusatkan seluruh pikirannya pada pria itu. Seluruh perasaannya.
Memanggil David dengan segala cara yang diketahuinya.
Kekuatannya sendiri bagai bergemuruh di dalam dirinya.
Kemudian menyembur bebas dan meledak seperti amukan api di
setiap pembuluh darahnya.
"David," bujuknya. "Pandanglah aku."
David memandang ke bawah.
"David," bentak Angelica. "Kau hanya akan melihat padaku.
Kau hanya akan mendengar suaraku."
Wajah David kembali kaku seperti topeng kosong. Tatapannya
terpusat pada Angelica. "Bunuh dia, David," perintah Angelica. "Bunuh Amy sekarang
juga!" "Tidak, David," bisik Amy. "Pandanglah aku. Ingatlah siapa
dirimu. Ingatlah bahwa aku mencintaimu."
Diangkatnya tangannya yang bebas dan dibelainya pipi David.
Cahaya putih bagai bangkit dan hidup di tempat dia menyentuh
pemuda itu. Cahaya itu menyusuri tangan Amy dan bergerak ke
lehernya. Dari sana cahaya itu meluncur ke liontin emas itu.
Begitu mengenai liontin itu, cahaya itu bersinar begitu
terangnya hingga Amy nyaris tak bisa melihatnya.
David mengedipkan mata. Dilepaskannya tangan Amy. Ia
mundur beberapa langkah menjauhi gadis itu.
Kemudian, dengan gerakan luwes dan mematikan, dia
mengeluarkan pistolnya. Dan mengarahkannya kepada Amy.
Bab 22 AMY menatap tepat ke moncong pistol itu.
Ia bahkan tak bisa menjerit.
Tamatlah sudah, pikirnya. Ia menantikan peluru menghantam
wajahnya. Kemudian David mengayunkan pistolnya melewati Amy. Lurus
ke arah Angelica. Dunia bagai meledak. Percikan-percikan cahaya menari-nari di depan mata Amy, dan
telinganya berdenging. Namun ia masih bisa mendengar jeritan
Angelica. Amy berbalik dan melihat Angelica jatuh berlutut. Noda merah
tampak di bagian bahu gaunnya.
"Ayo pergi!" teriak David. Ditariknya Amy keluar dan mereka
berlari ke pintu gerbang.
Sementara mereka berlari sekuat tenaga, taman itu sendiri
seperti ingin menangkap dan menahan mereka. Dahan-dahan
mencengkeram baju mereka. Sulur tumbuhan ivy melilit kaki mereka.
"Angelica mencoba menghentikan kita!" seru Amy. "Dia
mengerahkan ilmu hitamnya."
"Ayo, lekas," desak David. Begitu kita tiba di halaman
rumahku, kita mungkin akan selamat."
Amy berlari lebih cepat, dadanya seperti terbakar, kakinya
sakit. Kemudian sesuatu mencengkeram kakinya. Ia terjerembap ke
tanah. Tumbuhan ivy merayap ke atas tubuhnya.
David merenggutnya. Namun tumbuhan itu kembali bertunas,
tumbuh semakin cepat hingga David tak bisa mengenyahkannya.
Tumbuhan itu melilit mencekik leher Amy. Mencekiknya
semakin erat dan semakin erat lagi.
Amy tak bisa bernapas. Ia mencakar-cakar tumbuhan itu. Mencoba menancapkan
kukunya agar bisa merenggutnya lepas.
Terlalu kencang. Terlalu erat.
Geraman memenuhi telinganya.
Bintik-bintik hitam muncul di depan matanya.
Terlalu erat... ebukulawas.blogspot.com
Bab 23 "BERTAHANLAH, Amy!" seru David. "Jangan menyerah!"
Disentakkannya sulur ivy itu dari leher Amy"cukup baginya
untuk menarik napas pendek.
"Tidak!" jerit Amy. Ia tak boleh kalah sekarang!
"Tidak!" jeritnya lagi"dan tumbuhan itu pun meledak terbakar
api. Kekuatanku, pikir Amy. Kekuatanku.
Sebarisan api berwarna putih menyilaukan memancar darinya.
Api itu menyambar seluruh halaman. Membentuk dinding untuk
melindungi Amy dan David dari Angelica dan kekuatan sihirnya.
David mengangkat Amy berdiri. Ditopangnya gadis itu dengan
tangannya yang sehat. Bersama-sama mereka bergegas berlari
melintasi halaman keluarga Fear.
Begitu mereka tiba di halaman rumah Hathaway, segalanya
hening. Amy menghentikan langkah dan menoleh menatap halaman
keluarga Fear. Angelica tampak berdiri di seberang dinding api. Tak
ada luka di bahunya. Tak ada noda sama sekali di gaunnya.
Pandangan mereka bertemu. Kemudian Amy berbalik.
************** Kereta kuda itu meluncur tanpa suara di sepanjang jalan.
"Kau yakin kita harus meninggalkan rumah kita, David?" Mrs.
Hathaway bertanya lembut.
"Yakin sekali," sahut David.
Amy melemparkan pandangannya ke luar jendela.
Memperhatikan mansion Fear yang menjulang semakin kecil di
belakang mereka. Ia teringat ketika pertama kalinya ia melihat bangunan itu.
Bahkan pada saat itu pun, jauh di dalam hatinya, ia sudah tahu ada
yang tidak beres di rumah itu.
Fear. Nama yang tepat untuk rumah dan wanita yang hidup di
dalamnya. "Kalau saja aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada Julia,"
gumam Amy. "Julia milik keluarga Fear," David berkata. "Tak seorang pun
bisa membantunya." Amy kembali duduk di kursinya. Julia yang malang, pikirnya.
Setidaknya gadis itu tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana pertarungan antara Amy dan Angelica. Kalau ia bernasib
baik, ia takkan pernah mengetahui sisi gelap ibunya.
Amy menyandarkan kepalanya di kursi. Semakin jauh mereka
dari rumah itu, semakin ringan rasanya hatinya.
"Mari kita sama-sama bersumpah," ia mengusulkan.
"Sumpah apa?" tanya Mrs. Hathaway.
"Aku telah melihat cukup banyak hal mengerikan selama
hidupku," Amy berkata. "Dan aku ingin meninggalkannya di
belakang." "Kurasa aku mengerti," timpal David.
"Kita tidak akan pernah menyebut-nyebut nama Fear lagi,"
Amy berkata. Mereka mengulurkan tangan masing-masing dan
menyatukannya seolah-olah dengan begitu sumpah mereka telah
dimateraikan.END Terjerat Asmara Mistik 2 Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api Pengejaran Ke Cina 3
Itu akan terjadi segera. Malam ini. Sekarang juga.
Dan David akan membunuhnya.
Amy lari dari kamar. Sandalnya menggesek-gesek lantai kayu
ek saat ia meluncur menuruni tangga dan keluar dari pintu muka.
Air hujan membuat rambut dan gaunnya basah kuyup. Kilat
berkelebat, diikuti gemuruh yang nyaris menggetarkan bumi.
Amy mengabaikannya. Tak ada sesuatu pun yang akan
menghalanginya menemui Mrs. Hathaway.
"Kumohon," napasnya memburu. "Tolong jangan biarkan aku
terlambat. Kali ini aku tidak boleh terlambat."
Ia melompati dahan pohon yang tergeletak di tanah, membuat
genangan air di situ bercipratan. Kini ia bisa melihat mansion
Hathaway. Tak tampak satu lampu pun di jendelanya.
Apa yang akan ditemukannya di sini" Apakah ia akan sempat
menyelamatkan Mrs. Hathaway"
Amy memaksa dirinya berlari lebih cepat. Ia terpeleset saat
menaiki undakan, jatuh berlutut dengan keras hingga lututnya terasa
perih. Namun sedetik kemudian ia langsung bangkit berdiri. Ia tidak
boleh terlambat. Tak boleh.
Pintunya tidak terkunci. Amy mengempaskannya hingga
terbuka dan menyerbu masuk. Kilat berkeriap di angkasa.
Menciptakan cahaya putih yang menebar ke dalam rumah.
Dan tampaklah di sana, berdiri di puncak tangga yang tinggi
dan curam, Mrs. Hathaway.
Kilat lenyap. Kini Amy hanya bisa melihat gaun pucat Mrs.
Hathaway. "Mrs. Hathaway!" serunya.
Wanita tua itu tidak menyahut. Kilatan petir kembali menyinari
tangga. Mata Mrs. Hathaway kosong dan hampa. Persis seperti orang
yang berjalan dalam tidur.
Ia maju selangkah lagi ke tepian puncak tangga.
Ruangan kembali gelap. "Mrs. Hathaway!" jerit Amy. "Claire!"
Amy berlari menuju tangga. Kakinya bergerak dengan
kelambanan yang aneh bagai dalam mimpi. Terlalu pelan. Ia tahu
dirinya akan terlambat. Sekarang ia bisa menangkap bayang-bayang gelap di belakang
Mrs. Hathaway. Bayang-bayang itu membentuk dinding"dinding
yang bergerak maju. Mrs. Hathaway berjalan pelan sekali ke bibir tangga.
Satu langkah lagi"dan ia akan terjatuh sampai ke bawah.
Mrs. Hathaway mengangkat satu kaki. Dan menahannya di
udara. Amy merasa kesal sekali. Ia tidak datang sampai sejauh ini
hanya untuk gagal! "Tidak!" jerit Amy. Diulurkannya tangannya jauh-jauh seolaholah ingin mendorong wanita itu ke belakang. "Hentikan!"
Bayang-bayang di belakang Mrs. Hathaway nyaris seperti ragu.
Mrs. Hathaway berdiri tak bergerak, membeku dengan satu kaki di
udara. David melangkah keluar dari kegelapan di belakang ibunya,
ekspresinya dingin dan marah.
Ia mengulurkan tangan dan menyambar bahu ibunya.
Semuanya akan terjadi, pikir Amy. Dan tak ada sesuatu pun
yang bisa kulakukan untuk menghentikannya. Aku tak bisa
menyelamatkannya tepat pada waktunya.
David akan membunuh ibunya.
Bab 14 KILAT kembali menyambar. Memantulkan penutup mata
David yang berwarna hitam.
Jemarinya mencengkeram bahu ibunya.
Amy mencoba menjerit, tapi tak sebuah suara pun keluar.
Kemudian David menyeret ibunya menjauh dari tepi tangga.
Kembali ke tempat aman. Rasa terkejut dan lega menyerbu Amy. Selama ini ia telah
membayangkan hal-hal mengerikan tentang David! Dan dia keliru.
Ia merasa seolah-olah seluruh tulangnya meleleh. Ia jatuh
berlutut, sama sekali kehabisan tenaga.
"Ibu," panggil David. Melihat ibunya tidak memberi respons, ia
mengguncang-guncangnya dengan lembut. "Ibu!"
Mrs. Hathaway mulai sadar. Kesadaran mengisi wajahnya.
"Apa yang terjadi?" ia menahan napas. "Bagaimana aku sampai di
sini?" "Ibu berjalan sambil tidur," David menjelaskan. Wajahnya
tampak pucat dalam pendaran cahaya petir. "Kalau aku tidak
mendengar Amy memanggil Ibu..." Sekonyong-konyong, ia memeluk
ibunya erat-erat. Air mata memenuhi mata Amy. Belum pernah ia melihat
ungkapan emosi dan cinta yang sedalam itu di wajah seorang pria.
Dan ia yakin, seyakin ia mengetahui namanya sendiri, bahwa David
tidak mungkin membunuh Chantal atau wanita mana pun juga.
Amy tak ingin menangis. Karena begitu menangis, ia mungkin
takkan sanggup menghentikannya. Ditekannya telapak tangannya di
matanya untuk menahan air mata.
Tadinya dia bingung"tapi sekarang tidak lagi. Dia tidak akan
pernah menyangsikan David lagi.
"Kau... katamu Amy memanggilku?" Mrs. Hathaway bertanya.
"Apakah dia ada di sini?"
Dengan lembut David memutarkan tubuh ibunya. Mata Mrs.
Hathaway melotot saat ia melihat Amy duduk berlutut di lantai di
bawah sana. "Kalau aku tidak mendengar Amy berteriak, Ibu pasti sudah
jatuh dan leher Ibu patah."
"Bagaimana dia bisa tahu...?" suara Mrs. Hathaway
menghilang. "Aku sendiri juga ingin tahu," David menimpali.
Dibimbingnya ibunya turun ke lantai bawah. Kemudian ia
membungkuk dan membantu Amy bangkit berdiri.
Dengan lembut diangkatnya dagu Amy dan ditengadahkannya
wajah gadis itu. "Bagaimana semua ini bisa terjadi?" ia bertanya.
Amy memalingkan wajah. Ia yakin pria itu akan jijik padanya
bila ia mengetahui yang sebenarnya. Tapi ia harus memberitahunya. Ia
menarik napas dalam-dalam.
"Ketika aku datang untuk tinggal bersama keluarga Fear, Bibi
Angelica menunjukkan setumpuk kartu aneh padaku. Katanya dia bisa
menggunakan kartu itu untuk membaca masa depan. Dan katanya aku
juga bisa"jika aku menginginkannya."
David dan ibunya terpana menatap Amy, seolah-olah untuk
selamanya. Apa yang mereka pikirkan" ia bertanya-tanya. Apakah
menurut mereka kekuatan seperti itu hanya datang dari iblis" Apa
yang mereka pikirkan tentang aku"
"Apakah kau belajar untuk menggunakan kartu-kartu itu?"
David bertanya. "Ya, tapi tidak seperti Angelica. Ia tahu makna setiap kartu, dan
berbagai kombinasi kartu-kartu itu. Tapi kartu-kartu itu...
memanggilku. Mereka memberitahuku berbagai hal."
"Seperti apa?" desak Mrs. Hathaway.
Sepertinya dia ketakutan. Amy tidak menyalahkannya.
Kekuatan yang aneh itu pun masih membuatnya takut.
"Mereka menunjukkan padaku bahwa tiga orang akan mati, dan
begitulah yang kemudian terjadi," sahut Amy.
David menarik napas keras. "Nellie, Bernice, dan Chantal."
Amy mendengar Mrs. Hathaway mendesah pelan.
"Bagaimana kau tahu dirimu harus datang kemari malam ini?"
tanya David. Digosoknya tangannya di atas matanya yang sehat.
Amy melanjutkan kisahnya. "Aku tahu sesuatu yang buruk akan
menimpa Anda malam ini, Mrs. Hathaway. Kartu-kartu itu
memberiku penglihatan. Jadi aku kemari secepatnya. Tapi aku nyaris
terlambat. Kalau David tak ada di sini..."
Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Kenangan itu terlalu
nyata, terlalu jelas. "Aku takut," bisik Amy. Gelombang dingin menyapunya.
"Sejak aku kemari, aku telah dikelilingi kematian. Aku telah melihat
orang-orang mati"lagi dan lagi dan lagi. Sepertinya seolah-olah aku
ini pusat sebuah badai. Aku tak bisa menghentikannya, aku tak bisa
melarikan diri darinya, dan aku akan terus dan terus dan terus?" ia
terdiam. Kalau ia mengatakan satu patah kata saja lagi, tangisnya pasti
akan meledak. "Tidak," geram David. "Itu takkan berhenti sekarang. Kau tak
boleh kembali ke rumah itu."
"David benar," Mrs. Hathaway setuju. "Kau akan tinggal di sini
bersama kami. Di sini aman."
Mereka tidak membencinya! Mereka tidak menganggapnya
jahat. Air mata menyengat mata Amy.
Ia hanya berharap bisa mempercayai mereka mengenai soal
aman itu. Lebih dari segalanya, ia ingin merasa aman.
"Aku harus kembali," ia memberitahu mereka.
Perasaan syok membuat mata David membeliak. "Tidak bisa!"
protesnya. "Aku tidak akan membiarkan kau membahayakan dirimu
sendiri." "Tapi aku tidak dalam bahaya kok," tukas Amy. "Aku cuma
takut"takut terhadap apa yang bakal kulihat berikutnya."
"Bagaimana dengan Angelica?" potong David. "Ada banyak
desas-desus tentang kemampuannya mempraktekkan ilmu hitam.
Mungkinkah dia bertanggung jawab atas semua kematian itu?"
Amy memeluk dirinya sendiri agar tubuhnya berhenti gemetar.
"Ya," sahutnya. Kok bisa-bisanya ia percaya bahwa David-lah si
pembunuh" "Lalu kenapa kau kembali ke sana?" desak David.
"Aku kerabatnya," sahut Amy. "Dia tidak akan melukaiku. Tapi
tak seorang pun aman" termasuk kau dan ibumu, jika kalian
mencoba menolongku."
Mata Mrs. Hathaway melebar. "Maksudmu"
"Kalau aku tinggal di sini bersama kalian, dia bakal tahu aku
bukan di pihaknya," Amy menjelaskan. "Dan dia akan mengejarku.
Dan kalian berdua akan berada dalam bahaya."
"Jangan khawatir tentang hal itu. Aku?" David berkata.
"Tidak," Amy memohon. "Kau tidak memahami kekuatannya."
"Lalu apa usulmu?" Mrs. Hathaway bertanya.
"Orangtuaku tak lama lagi pasti akan memintaku pulang.
Kurasa Angelica akan melepasku tanpa susah payah. Jadi yang harus
kulakukan adalah menunggu sampai saat itu tiba. Aku akan berpurapura tak ada yang terjadi, dan aku akan amat sangat hati-hati."
"Aku tidak menyukainya," erang David.
"Tapi tak ada cara lain," tukas Amy. "Kau lihat kan apa yang
terjadi di sini malam ini. Kau sudah lihat apa yang bisa dilakukannya.
Aku harus kembali ke sana."
"Dia benar, David," suara Mrs. Hathaway gemetar. "Tapi, Amy,
kau harus janji akan memberitahu kami begitu kau dalam bahaya."
"Baiklah," janji Amy.
"Biarkan aku mengantarmu pulang," ujar David. Dengan
enggan ia menyampirkan jubah ibunya di atas bahu Amy yang basah.
Kemudian ia membimbingnya ke halaman. Hujan masih turun, namun
badai telah bergerak ke selatan.
Begitu mereka tak terlihat lagi dari rumah, David menghentikan
langkah Amy. "Amy..." Ia bimbang sebentar, lalu menghela napas panjang.
"Aku harus memberitahumu sesuatu. Aku jatuh cinta padamu."
Amy menatapnya terpana. "Apa?"
"Kurasa aku merasakannya sejak pertama kali aku bertemu
denganmu. Tapi aku takut. Kusangka kau akan lari menjauhiku karena
ini." Disentuhnya penutup matanya.
"Itu hal paling konyol yang pernah kudengar," tukas Amy.
"Sudah kubilang itu sama sekali tidak menggangguku"dan kau tahu
aku selalu bicara terus terang."
David nyengir. Amy memeluk leher pemuda itu. "Aku juga
mencintaimu." David menciumnya. Amy memeluknya erat-erat, berharap ia
tak perlu melepaskannya lagi. Namun akhirnya, ia mundur selangkah.
"Pada malam Bernice tewas..." ia berhenti, menatap mata David
lurus-lurus. "Kau bilang padaku untuk tidak mempercayaimu.
Mengapa?" Senyum David lenyap. "Waktu perang, aku berteman dengan
seorang anak laki-laki dari South Carolina. Katanya umurnya enam
belas tahun, tapi aku tahu dia tak mungkin lebih tua dari empat belas.
Ayahnya tewas dalam perang. Dia meninggalkan ibu dan lima saudara
perempuannya untuk menggantikan tempat ayahnya. Aku bersumpah
pada diriku sendiri bahwa aku akan melindunginya. Dia percaya
padaku." Sambil mendesah, David mengusapkan tangannya di
rambutnya. "Aku mengecewakannya. Dia tewas terbunuh, dan aku
tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Aku tak ingin
merasakan kepedihan itu lagi. Jadi aku bersumpah pada diriku. Aku
tidak akan pernah bertanggung jawab pada orang lain lagi."
David menunduk menatap Amy. "Dan kemudian kau datang,"
lanjutnya. "Kulakukan apa pun agar tidak mengusikmu. Dan aku ingin
kau bergantung padaku untuk menjagamu."
"Aku percaya padamu," gumam Amy.
David mendengus, mengangkat tangannya dan mengeluarkan
sesuatu dari balik kemejanya. "Aku ingin kau menyimpan ini," ia
berkata, seraya meletakkan benda itu dalam genggaman Amy.
Liontin emas berbentuk cincin dengan sulur-sulur ivy yang
halus terukir di atasnya. Liontin itu terpasang pada rantai yang halus.
"Indah sekali," gumam Amy.
"Kalung itu milik nenekku, dan nenek buyutku," David
memberitahunya. Digenggamnya tangan gadis itu, mengunci benda itu
dalam genggaman Amy. Air mata menyengat mata Amy. "Oh, David." Dimasukkannya
kalung itu melewati kepalanya dan diselipkannya ke balik gaunnya.
Rasanya sempurna sekali, kalung itu berada tepat di sisi hatinya.
"Aku harus mengantarmu pulang," ujar David. "Sebelum aku
mengubah pikiran dan tidak membiarkanmu pergi sama sekali."
Mereka tidak berbicara sepanjang perjalanan menuju mansion
Fear. Mereka tidak perlu bicara. Amy mengangkat wajahnya
menyambut angin dingin yang telah ditinggalkan oleh badai tadi.
Hatinya ingin meledak rasanya. David mencintainya!
Rumah itu bagai menjulang di atas mereka di dalam kegelapan
malam. Amy berharap ia bisa berbalik dan pergi dari situ, dan tidak
pernah perlu masuk ke dalamnya lagi.
"Masih ada waktu untuk berubah pikiran," David berbisik. "Kau
hanya perlu mengatakannya, dan kita akan pergi dari sini."
Sebelum Amy mengatakan apa-apa, pintu telah terayun
membuka. Angelica melotot menatap mereka dari ambang pintu.
Bab 15 MATA Angelica tampak sedingin dan sekeras es.
"Aku tidak tahu kau keluar, Amy," ia berkata pelan.
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
David melangkah maju. "Dia bersama kami, Mrs. Fear."
"Tentu saja," tukas Angelica. "Well, terima kasih telah
mengantarnya pulang, David. Aku akan menjaganya sekarang."
Sebelum David mengatakan apa pun, Amy buru-buru masuk. Ia
berbalik tepat ketika Angelica menutup pintu. Mengurung Amy di
dalam. Menghalangi David masuk.
Amy menelan dengan susah payah, menunggu konfrontasi dari
bibinya. Tapi Angelica hanya menatapnya lama sekali. Kemudian ia
menunjuk tangga. Amy tidak berani mengatakan apa-apa. Bersyukur mendapat
kesempatan untuk pergi, ia lari menaiki tangga menuju kamarnya.
*************** Amy bangun dengan terkejut. Ada orang di balik pintu
kamarnya. Kenop pintu berputar. Pintu berderit terbuka.
Amy menatap kegelapan. Julia. Julia berdiri di ambang pintu. Jantung Amy kembali
tenang. Julia menoleh gugup ke belakang, seolah-olah ingin
memastikan tidak ada siapa-siapa. Kemudian ia buru-buru masuk dan
menutup pintu. "Ada yang tidak beres?" Amy bertanya.
Julia meletakkan jarinya di bibir dan menggeleng.
Dikeluarkannya secarik kertas yang sudah lecek dan hangus dari saku
gaunnya dan mengulurkannya kepada Amy.
"Ambil ini," ia berbisik. "Aku menemukannya di timbunan abu
di belakang rumah. Jangan beritahu siapa pun aku telah
memberikannya padamu. Berjanjilah!"
"Aku berjanji," ujar Amy. "Tapi?"
Julia berbalik dan lari meninggalkan kamar Amy.
Amy menatapnya sebentar. Kemudian ia menutup pintu dan
mulai melicinkan kertas yang itu.
Napasnya seperti tersangkut. Ini tulisan ibunya!
Amy tersadar seseorang telah mencoba membakar surat ibunya
untuknya. Kertas surat itu bergetar saat tangannya mulai gemetar.
Bukan karena takut. Tapi karena marah. Siapa yang melakukan ini"
Angelica, tentu saja. Angelica tak ingin ia berhubungan dengan
orangtuanya. Angelica ingin menguasai Amy sepenuhnya.
Apalagi sekarang, setelah ia curiga aku tahu yang sebenarnya
tentang dirinya, pikir Amy. Seberapa banyakkah yang diketahui
Angelica" Apakah kartu-kartu itu memberitahu Angelica bahwa Amy
telah berbalik melawannya"
Yang bisa kaulakukan adalah berhati-hati dan mencoba
bersikap seperti biasanya, Amy memberitahu dirinya.
Ia menyalakan lampu dan mendekatkan kertas itu ke lampu.
"Kepulihan ayahmu lambat tapi stabil," ibunya menulis. Beberapa
paragraf berikutnya terlalu hangus untuk bisa dibaca. Amy mengerang
frustrasi. "Ayahmu takkan bisa meninggalkan Richmond untuk
sementara waktu," Amy membaca keras-keras.
Dipeluknya surat itu ke dadanya, perasaan senang dan puas
melandanya. Mereka di Richmond! David akan bisa menemukan
mereka sekarang. Aku akan menulis surat pada mereka, dan meminta
mereka menyuruh Angelica mengirimku pulang!
Amy menemukan secarik kertas, pena, dan tinta. Ia duduk di
meja dan menulis suratnya. Setelah selesai, ia merekatkannya dan
menuliskan nama orangtuanya dan Richmond, Virginia di sebelah
luarnya. Sekarang ia hanya perlu mengantar surat itu kepada David.
Disibakkannya sedikit tirai kamarnya dan memandang mansion
Hathaway. Seberkas sinar tampak di sebuah jendela di tingkat atas.
Bagus. Masih ada yang bangun. Ia bisa menyelinap keluar dan
kembali lagi sebelum Angelica menyadari kepergiannya.
Amy menangkap sebuah gerakan kecil. Ia mendoyongkan
tubuhnya ke muka. David tampak berdiri di sisi lain pintu gerbang
halaman, setengah tersembunyi di bawah bayang-bayang.
Amy tersenyum. Ia sedang mengawasi rumah ini. Menjaganya.
Senyumnya lenyap saat ia melihatnya akan berbalik. "Jangan
pergi!" bisiknya. "Oh, David, jangan pergi dulu!"
Amy menyambar lampu dari meja. Mungkin kalau ia entah
bagaimana bisa memberinya sinyal...
Embusan angin menggetarkan jendela. Sebatang dahan pohon
mencakar-cakar permukaan kacanya.
Perasaan yang akrab berdesir di tulang punggung Amy. Ada
yang tidak beres. Sangat tidak beres. Ia bisa merasakannya.
Seberkas sinar menyeruak dari pintu belakang rumah keluarga
Fear yang terkuak. David telah kembali ke pagar. Angin mengacakacak rambutnya dan menyentakkan jaketnya.
Saat Amy memandang ke bawah, sebuah bayangan jatuh
menimpa cahaya itu. Amy membuka jendelanya sepelan mungkin. Ia
mendoyongkan tubuhnya ke luar dan melihat Angelica berdiri di
ambang pintu. Wanita itu berjalan menyeberangi halaman" langsung menuju
David. Apa yang sedang dilakukannya"
Angelica berhenti di pintu gerbang. Amy memperhatikan reaksi
David. Tapi pria itu terlalu jauh hingga ia tak bisa membaca ekspresi
wajahnya. Apa sih yang mereka bicarakan" Amy bertanya-tanya. Ia rela
memberikan apa pun untuk mengetahuinya.
Angelica dan David meneruskan bicara, kepala mereka
berdekatan. Kemudian David berbalik dan pergi dari situ.
Angelica mengawasinya pergi. Ketika ia berbalik kembali
menuju rumah, giginya berkilauan dalam senyum.
Sesuatu yang buruk bakal terjadi. Sudah Amy duga. Angin
bagai mengamuk, seolah-olah ada badai tepat di atas rumah. Amy
tidak menyukai hal ini. Ia sama sekali tidak menyukainya.
Perlahan-lahan Angelica mengangkat tangan. Angin berputar di
sekelilingnya. Dedaunan dan bunga-bunga yang berguguran berputar
di atas tanah. Angin semakin kencang dan liar, melolong seperti serigala gila.
Pepohonan mengerang saat dahan-dahannya menekuk.
Angelica berdiri tepat di tengah-tengah pusaran angin"sama
sekali tak tersentuh. Hanya rambutnya yang bergerak, terangkat
membentuk kabut gelap di sekeliling kepalanya.
Amy ingin pergi dari situ. Ia ingin membenamkan kepalanya di
balik bantal-bantalnya dan berpura-pura semua ini tidak terjadi.
Tapi ia harus melihatnya. Ia harus tahu.
Pohon-pohon willow yang merintih nyaris seperti menggeliat
kesakitan. Dahan-dahannya melecut-lecut kolam ikan hingga berbuih.
Dan nun di sana, di tempat yang paling dalam dan paling gelap
di balik pohon-pohon itu, sesuatu mulai bercahaya. Dua bola api hijau
yang kecil.ebukulawas.blogspot.com
Kedua bola itu bergerak ke tepi pohon willow. Amy menelan
dengan susah payah, namun mulutnya tetap kering.
Mata. Itu sepasang mata, pikirnya.
Hanya sepasang mata binatang yang bisa menangkap cahaya
seperti itu, ia memberitahu dirinya.
Tapi ia tahu tak ada binatang di halaman. Kedua mata itu adalah
milik sesuatu... yang gaib.
Amy lega sekali David telah kembali ke rumahnya. Dan lega
sekali ia tadi tidak keluar untuk menyerahkan suratnya kepada
pemuda itu. Angin yang menyapu kamar Amy semakin dingin. Dan ia tahu
kenapa. Angelica sedang menggunakan ilmu hitamnya. Apa yang
direncanakan oleh bibinya itu"
Angelica membungkuk ke sepasang mata hijau yang bercahaya
itu. Amy memperhatikan saat wanita itu merogoh sakunya.
Kemudian ia mengangkat tangannya ke atas kepalanya lagi"secarik
kain putih segi empat masing-masing terlihat di tangannya. Angin
meniup kedua kain itu, mencambuk mereka seperti bendera mini.
Noda-noda kehitaman tampak di kedua kain itu.
Darah. Darah Nellie. Darah Chantal. Apa yang diminta Angelica malam ini" Kematian lagi"
Amy bergidik. Dia telah meremehkan bibinya itu.
Tak ada bedanya bagi Angelica apakah Amy kerabatnya atau
bukan. Jika Angelica tahu apa yang dilakukan Amy, ia akan
membunuhnya. Karena Angelica itu jahat. Amat sangat jahat.
Bab 16 ANGELICA menjatuhkan kedua tangannya. Angin serta-merta
berhenti mengamuk. "Kuasa iblis," bisik Amy.
Ia mengawasi saat Angelica berjalan kembali ke rumah dan
menutup pintu di belakangnya.
Kemudian ia memperhatikan sesuatu yang membuat sekujur
tubuhnya merinding. Sepasang mata hijau yang berkilauan itu tetap berada di
halaman. Mereka menatap ke luar dari balik pepohonan willow,
kemudian mulai bergerak. Hilang-timbul. Mereka meluncur dari satu
bayang-bayang ke bayang-bayang lain.
Amy tak bisa melihat makhluk itu. Ia hanya bisa melihat
sosoknya yang besar dan hitam, begitu pekat hingga kemungkinan
makhluk itu terbuat dari bayang-bayang. Ia lega dirinya tidak bisa
melihat sisanya. Sepasang mata hijau itu bergerak sepanjang kaki dinding
halaman. Kemudian mereka berbalik dan bergerak lagi. Nyaris, pikir
Amy, seolah-olah makhluk itu bergerak mondar-mandir.
Makhluk itu sedang berjaga, Amy tersadar. Angelica menyuruh
makhluk itu berjaga agar aku tidak keluar melewati pintu gerbang.
Sekarang ia tidak bisa pergi ke David.
Dan Amy berharap dengan segenap hatinya, agar David tidak
mencoba datang kepadanya.
Ia tidak ingin memikirkan apa yang akan dilakukan oleh"oleh
makhluk itu"terhadap David.
***************** Amy duduk di jendela dan menunggu malam berakhir. Rasanya
seperti selamanya. Tapi akhirnya, bayang-bayang di halaman menipis.
Dan sepasang mata hijau yang bercahaya itu meredup.
Ia memandang saat tepian matahari muncul di kaki langit.
Cahaya tercurah di atas kota, membanjiri halaman.
Sepasang mata itu mengedip, lalu hilang. Liukan asap tipis
melayang keluar dari balik pepohonan willow.
Amy merinding. Kemudian ia melihat gerakan di halaman
rumah keluarga Hathaway. Jantungnya berdebar semakin cepat saat ia
melihat sosok David. Mungkin inilah satu-satunya kesempatan baginya untuk
menyerahkan surat itu pada David. Angelica pasti masih tidur, dan
para pelayan baru akan bangun beberapa menit lagi. Ia mungkin
punya cukup waktu untuk pergi ke rumah keluarga Hathaway dan
kembali lagi tanpa ketahuan.
Ia menyeberangi rumah tanpa suara dan lari ke luar. Bungabunga tergeletak hancur di tanah dan dedaunan serta ranting-ranting
pohon mengotori jalan setapak.
Goresan putih di salah satu pohon willow menarik perhatian
Amy. Ia menghampiri untuk memeriksa"dan menemukan tiga
goresan paralel di batang pohonnya. Kelihatannya seperti bekas cakar.
Cuping hidung Amy serasa terbakar. Bau menjijikkan
menyengat hidungnya. Ia tak bisa menebak apa itu.
Sambil mengerutkan kening, ia mundur menjauhi pohon itu.
Pohon itu akan mati. Kuasa iblis telah menyentuhnya, dan pohon itu
bakal mati. "Amy!" David berbisik.
Amy berputar. Pemuda itu berdiri di balik pintu pagar.
Wajahnya tampak prihatin.
"Aku senang sekali melihatmu!" seru Amy lembut.
Ia berlari menghampiri pemuda itu. Namun ketika ia mencoba
membuka pintu gerbang, pintu itu terkunci. Pandangannya beralih
kepada David. "Angelica menguncinya semalam," David memberitahunya.
"Katanya aku tidak akan pernah bisa menginjak halaman rumahnya
lagi. Dan aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi."
"Dia tidak bisa menghalangi kita untuk bertemu." Amy
mengulurkan tangannya melewati pagar, dan David menyambut salah
satu tangannya. "Aku tahu. Ciumlah aku," David berkata.
Amy menekankan wajahnya di jeruji pagar. Bibirnya nyaris tak
bisa menyentuh bibir pria itu.
David mengguncang-guncang pagar itu dengan segenap
tenaganya. "Ingin sekali kuhancurkan gerbang ini," erangnya. "Dia
menguncinya tepat di depan hidungku, dan kemudian dia tertawa."
Amy merogoh sakunya dan mengeluarkan suratnya. Ia harus
segera masuk. "Aku berhasil mengetahui bahwa orangtuaku berada di
Richmond," ia memberitahu. "Apakah menurutmu kau bisa
menemukan mereka?" "Akan kucoba. Sekarang akan lebih mudah karena aku tahu
kota tempat mereka berada," sahut David. "Tapi, Amy, kita tak bisa
menunggu sampai orangtuamu memintamu pulang. Kau harus pergi
sekarang juga." "Kau tahu aku tidak bisa," protes Amy. "Dan kau juga tahu
kenapa. Terlalu berbahaya. Kau tidak tahu betapa besar kekuatan
Angelica." Amy menoleh ke arah rumah. Sekarang para pelayan sudah
bangun. Ia tak bisa mengambil risiko ketahuan. Tidak pagi ini. "Aku
harus kembali sebelum ada yang melihat kita," ia berbisik.
Ia berbalik, namun David tak mau melepaskan tangannya.
"Aku harus menemuimu lagi," kata pemuda itu. "Temui aku di
sini malam ini." "Tidak! Jangan malam!" Amy mendengar suaranya bergetar.
"Berjanjilah padaku kau takkan pernah datang kemari malam-malam!"
"Kenapa?" desak David. "Dia tak bisa mengawasi kita setiap
saat!" "Pokoknya, berjanjilah padaku!" desis Amy.
"Tapi aku tidak mengerti?"
"David, kau memintaku mempercayaimu, dan aku percaya
padamu," ia berkata. "Sekarang aku memintamu mempercayaiku.
Kumohon, tolong, jangan mencoba datang kemari setelah malam
tiba." David menatap Amy sekilas. Kemudian ia mengangguk. "Aku
berjanji. Tapi kapan kita akan bertemu lagi?"
"Awasi aku. Aku akan mencoba keluar sebelum malam turun.
Tapi kalau tidak bisa, aku akan berada di sini besok pagi." Amy
menarik dirinya dari pemuda itu.
"Aku cinta padamu," ujar David.
Amy meniupkan kecupannya pada David, kemudian berbalik
dan buru-buru kembali ke rumah. Ia mendengar seseorang menuruni
anak tangga belakang, jadi Amy meluncur berputar menuju muka
rumah. Ia menyelinap masuk dan perlahan-lahan menutup pintu di
belakangnya.
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Amy." Seruan Angelica datang dari ruang tamu. Amy ingin
berlari dari situ. Namun sebaliknya, ia malah berjalan memasuki
ruangan, mencoba tampil tenang.
Angelica duduk di sofa, menjahit. Sama seperti ribuan wanita
lain di kota, pikir Amy. Namun Angelica sama sekali tidak mirip
mereka. "Selamat pagi, Angelica," gumam Amy.
Angelica melihat ke atas dan tersenyum tenang. "Kau bangun
pagi benar, sayangku."
"Aku selalu bangun pagi," sahut Amy.
Angelica mengangkat kepalanya. "Benar. Mendekatlah, Amy."
Amy menurut. Ia tidak punya pilihan.
Angelica tampak cantik sekali dalam cahaya matahari pagi.
Matanya tampak terang, rambutnya berkilauan. Kulitnya bersinar
sehat. "Kau tampak sehat sekali pagi ini, Angelica," Amy berkata.
"Terima kasih," sahut Angelica. "Itu pasti karena aku begitu
bersemangat menghadapi pesta malam ini."
"Pesta?" tanya Amy.
"Halloween, Sayang. Kita akan mengadakan pesta malam ini,"
Angelica menjelaskan. "Aku bertanya-tanya apakah kau mau
membantuku menghias rumah hari ini. Ibumu memberitahuku bahwa
kau punya bakat untuk hal-hal seperti itu."
"Tentu saja," sahut Amy. Seberapa banyak yang diketahui
Angelica" Apakah pikirnya Amy keluar diam-diam hanya untuk
bertemu David" Ataukah ia sadar bahwa Amy telah mengetahui yang
sebenarnya" Bahwa Angelica adalah pembunuh.
"Oh, bagus!" seru Angelica. "Aku suka sekali Halloween.
Kurasa itu perayaan paling bagus sepanjang tahun."
"Lebih bagus dari Hari Natal?" Amy bertanya. Ia ingin
kelihatan tertarik pada perayaan itu"supaya Angelica tidak curiga.
"Oh, ya." Angelica tertawa. "Kita akan bersenang-senang
malam ini!" Setidaknya akan ada banyak orang yang hadir di sini, Amy
berkata pada dirinya sendiri. Walaupun itu sama sekali tidak
menolong Bernice yang malang. Dienyahkannya pikiran itu.
"Kau ingin aku melakukan apa dulu, Angelica?" Amy bertanya.
"Aku ingin setiap vas di rumah ini penuh dengan bunga dan
mungkin beberapa daun gugur dan beri," ujar Angelica.
"Kalau Julia dan Hannah turun nanti, mereka mungkin mau
membantuku," Amy berkata. "Aku suka melakukan hal-hal seperti itu
waktu masih seumur mereka."
"Oh, hari ini anak-anak sedang mengunjungi beberapa teman,"
sahut Angelica. "Salah seorang pelayan sedang mengantar mereka ke
sana. Mereka tadi berangkat pagi-pagi benar, karena perjalanan
mereka panjang. Namun mereka akan kembali tepat pada waktunya
untuk menghadiri pesta kita."
Dia bohong, pikir Amy. Ia ingin anak-anak keluar rumah untuk
suatu alasan. Tiba-tiba saja Amy tersadar betapa sunyi rumah saat itu. Di
manakah para pelayan" Apakah mereka juga pergi"
"Apakah koki menyiapkan sesuatu yang istimewa?" Amy
bertanya. Angelica menggeleng. "Aku memutuskan untuk meliburkan
semua pelayan. Sekarang mereka akan bisa menikmati perayaan itu
juga." Angelica ingin mengosongkan rumah. Mengapa" Apa yang
direncanakannya" Kartu-kartu itu, pikir Amy. Kartu-kartu itu akan
memberitahunya. Jika ia tahu apa yang direncanakan Angelica, ia
akan mendapat keuntungan.
Namun Angelica tidak akan membiarkan Amy jauh-jauh
darinya. Mereka mengumpulkan bunga dan dedaunan dari halaman
bersama-sama. Mereka makan siang bersama. Mereka merangkai
bunga bersama-sama. Amy semakin gelisah saat hari bergulir semakin sore. Sebentar
lagi akan gelap, pikirnya. Aku harus tahu apa rencana Angelica.
Ia menatap Angelica. Wanita itu tampak asyik sekali merangkai
dedaunan di atas rak perapian. Amy mengambil sebuah vas dan
dengan sengaja menumpahkan air di dalamnya ke atas gaunnya.
"Ohh!" Amy menahan napas. "Ceroboh sekali aku ini. Lebih
baik aku naik dan berganti pakaian."
"Tentu saja," sahut Angelica, kedengaran jengkel.
Amy melesat ke lantai tiga. Kalau ia pergi terlalu lama,
Angelica bakal curiga. Udara di dalam ruang baca Angelica terasa tebal dan bau apak,
seolah-olah ruangan itu telah ditutup selama bertahun-tahun. Tapi
begitu Amy menyentuh kartu-kartu itu, kesadarannya terhadap hal-hal
lain lenyap. "Angelica bukan satu-satunya yang memiliki kekuatan," ia
bergumam. Tangannya mulai terasa gatal dan panas, dan Amy mulai
mengocok kartunya. Kartu-kartu itu seperti sedang terburu-buru, seolah-olah mereka
harus memberitahu sesuatu yang tak bisa menunggu. Apa yang
direncanakan Angelica" pikir Amy.
Amy membagi kartu itu menjadi tiga tumpuk, dan kemudian
menyatukannya lagi, dari kanan ke kiri. Kartu-kartu itu terasa panas.
Tangannya mulai gemetaran.
"Ada apa?" ia berbisik. Diletakkannya kartu-kartu itu dan
dibalikkannya kartu paling atas.
Kematian. Ia bergidik. Tentu saja. Kematian mengikutinya ke mana saja.
Napasnya memburu di telinganya saat ia membuka kartu
berikutnya. Kematian. Tidak. Amy menunduk menatap kedua kartu yang sama persis
itu. Tidak mungkin, pikirnya. Hanya ada satu kartu Kematian pada
kartu tarot. Dengan hati-hati sekali, ia mengulurkan tangan dan membuka
semua kartu. Kartu-kartu beterbangan di atas meja kayu yang terpoles
itu. Amy setengah mendesah setengah mengisak.
Kematian. Semuanya kartu Kematian. Bab 17 "TIDAK!" teriak Amy. "Aku tidak mengerti apa yang ingin
kalian katakan padaku. Aku harus tahu lebih banyak. Aku harus tahu
siapa yang bakal mati!"
Diambilnya kartu-kartu itu, tapi mereka terasa sejuk dan mati di
tangannya. Tak ada lagi yang bisa didapatkannya dari kartu-kartu itu.
Dan kemudian Amy sadar apa yang ingin dikatakan kartu-kartu
itu. Korban Angelica berikutnya adalah Amy sendiri. Itulah sebabnya
semua kartu merupakan kartu Kematian.
Tenang, Amy memerintahkan dirinya sendiri. Cobalah untuk
tenang. Ingat apa yang terjadi pada Mrs. Hathaway. Kartu-kartu itu
mengatakan dialah yang akan mati berikutnya. Tapi kau dan David
berhasil menyelamatkannya.
Ia harus kembali sebelum bibinya curiga. Kemudian ia harus
mencari cara untuk kabur dari situ. Oh, mengapa kartu-kartu itu tak
bisa memberitahunya lebih banyak"
Tanpa suara Amy menyelinap keluar dari ruang baca Angelica
dan mengunci pintu di belakangnya. Ketika ia melesat menyusuri
koridor, ia menginjak sesuatu yang keras. Sesuatu yang merobek sol
sepatunya yang tipis. Amy bersandar di dinding dan menarik benda tajam itu dari
kakinya. Apa itu" pikirnya. Ia membalik-balikkannya.
Tulang, ia tersadar. Sepotong tulang!
Amy bergidik dan melempar tulang itu. Sekali lagi ia seperti
mendengar peringatan Julia: Makhluk itu memakannya"daging dan
tulang dan darah. Apakah makhluk iblis yang dilihat Julia malam itu
telah berkeliaran di rumah lagi"
Amy melesat turun ke lantai dua. Kakinya yang tertusuk tulang
seperti berdenyut-denyut saat ia berlari sepanjang koridor ke tangga
utama. Ia mengabaikan sakitnya.
Disambarnya birai tangga, siap meluncur menuruni tangga yang
melengkung. Namun birai itu terasa licin. Amy mengangkat tangan
dan menatap telapak tangannya. Tangannya berlumuran darah.
Daging dan tulang dan darah. Kata-kata itu menggema di
benaknya. Makhluk itu menelannya daging dan tulang dan darah.
Amy menelan dengan susah payah. Ia melompati tangga
pualam itu dua atau tiga anak tangga sekaligus.
Ia memilih mematahkan lehernya daripada membiarkan iblis itu
memangsanya, pikir Amy. Ia melompati anak-anak tangga terakhir. Sambil terengah-engah
ia berlari ke pintu muka.
Terkunci. "Tidak!" Dengan napas memburu ia menarik-narik
kenop pintu sekuat tenaga. "Oh, tidak!"
"Kau tidak bermaksud pergi sebelum pesta kita dimulai, kan?"
Amy berputar. Angelica berdiri memperhatikannya.
"Iblis apakah yang Anda bawa ke rumah ini" Apa yang Anda
lakukan?" seru Amy. "Hanya sesuatu yang terpaksa kulakukan gara-gara dirimu,"
sahut Angelica. Amy tak bisa bersuara. Ia hanya bisa menatap saat Angelica
memejamkan mata dan mengangkat kedua tangannya ke atas kepala"
seperti yang dilakukannya di halaman.
Desir angin berputar memasuki kamar, membuat kandelar
bergerak-gerak. Ketika Angelica membuka mata, lutut Amy
berkeretak. Mata Angelica tidak lagi hijau. Warnanya kini hitam. Hitam
pekat. Panel-panel pintu seperti menusuk punggung Amy saat ia
bersandar rapat-rapat di situ. "Tak mungkin!" erangnya.
"Ah, kau keliru," ujar Angelica. Bola matanya yang hitam
berkilat-kilat. Tak ada belas kasihan dalam matanya, tak ada
kelembutan dalam garis-garis wajahnya yang indah dan bagai dipahat.
Dia dingin. Kejam. Iblis.
"Sudah kubilang Halloween adalah perayaan favoritku,"
Angelica berkata. "Begitu juga dengan tamu-tamuku. Pada Hari
Halloween mereka menanti-nantikan suguhan istimewa, dan aku
selalu menyediakannya untuk mereka."
Ia tersenyum. Giginya tampak lebih panjang daripada biasanya,
berkilauan dan tajam. "Malam ini," lanjutnya, menatap Amy luruslurus, "aku akan memberi mereka... kau."
Bab 18 ANGELICA mengalihkan pandangannya ke puncak tangga.
Amy mengangkat kepala menengadah"dan menahan
jeritannya. Tiang asap hitam yang tebal menjulang dari puncak tangga ke
langit-langit. Ia akan menyerahkan diriku pada makhluk mengerikan itu!
"Di dalam tiang asap itu terdapat roh-roh piaraanku, temantemanku, pelindung-pelindungku. Sebagian dari mereka telah
menemaniku sejak aku masih sangat muda. Dulu, aku ini seperti kau.
Takut terhadap kekuatan di dalam diriku. Tapi sekarang tidak lagi."
Ia sangat dingin, sangat tenang, pikir Amy. Ia berbicara seolaholah kami sedang menghadiri pesta bersama-sama. Padahal dia
bermaksud membunuhku! "Aku sangat kecewa padamu," katanya lagi, kerutan tipis
menodai keindahan wajahnya.
"K-kenapa?" Amy tergagap. Bikin dia terus bicara, ia
mengingatkan dirinya. Itu akan memberinya lebih banyak waktu
untuk mencari jalan melarikan diri dari situ.
"Aku ingin sekali menemukan wanita Pierce lain yang punya
kemampuan khusus seperti diriku," Angelica menjelaskan. "Mestinya
kita bisa melakukan banyak hal bersama-sama. Kau sudah kehilangan
kesempatan emas dengan berbalik melawanku."
"Menjadi pengikut iblis?" tanya Amy. Ia tahu pintu di
belakangnya terkunci. Dan kalau ia mencoba berjalan menerobos
Angelica, roh-roh iblis itu akan segera menyambarnya.
"Ada kekuatan yang besar sekali di dalam ilmu hitam,"
Angelica menjelaskan. "Oh, Amy. Padahal kau bisa mendapatkan apa
pun yang kauinginkan." ebukulawas.blogspot.com
Amy mengangguk, pura-pura menyimak setiap perkataannya.
Angelica tersenyum. "Yah, apa pun kecuali David," ia
menambahkan. "Aku menyimpannya untuk Hannah."
"Hannah!" seru Amy, seluruh pikirannya kini terpusat pada
Angelica. "Nanti kalau dia sudah lebih besar, tentu saja," Angelica
berkata. "Mereka cocok."
"Bagaimana Anda bisa bilang begitu?" tuntut Amy.
"Keluarga Hathaway sangat kaya," Angelica memberitahunya.
"David akan menikahi Hannah dan membawa kekayaan itu ke dalam
keluarga Fear." "Kalaupun Anda membunuhku, David takkan pernah menikahi
Hannah," protes Amy.
"David takkan mengatakan apa-apa tentang hal itu. Aku dengan
mudah bisa mengontrolnya," timpal Angelica. "Dia akan menikahi
Hannah, dan aku akan memastikan dia melaksanakan semua
keinginanku." "Itu tidak akan berhasil." Amy mengenal David lebih baik
daripada Angelica. Ia tahu betapa kuatnya pemuda itu. Berapa banyak
kematian yang telah disaksikannya dan bagaimana ia berhasil
melewatinya. Angelica menatap Amy dengan sepasang matanya yang
hitam"dan Amy merasakan rasa sakit menusuk otaknya. "Oh, ya,
Amy. David akan melaksanakan semua perintahku."
Angelica mendekatkan tubuhnya. Amy merasakan gelombang
dingin keluar dari tubuh bibinya. "Kekuatanmu sangat besar. Tapi kau
tak punya keberanian menggunakannya. Setelah roh-rohku selesai
denganmu, kekuatanmu akan menjadi milikku."
"Aku tahu Anda-lah yang membunuh mereka semua," bisik
Amy. "Nellie, Bernice, Chantal?"
"Tentu saja," sahut Angelica. "Kematian membuat roh-rohku
senang. Dan juga menambah kekuatanku."
Ia mengulurkan tangannya dan membelai pipi Amy dengan
ujung jemarinya. Amy sampai harus mengepalkan tangan agar tidak
menarik dirinya dari sentuhannya yang dingin.
"Apakah kau sekaget itu mendengarnya, sayangku?" Angelica
bertanya. "Aku membunuh Chantal karena kau tak mau
mendengarkan aku. Kau selalu mencari cara untuk bertemu David.
Jadi kusuruh roh-rohku membunuh Chantal dan memberimu
penglihatan itu. Kebanyakan orang akan segera menjauhi David. Tapi
kau tidak. Kau terlalu keras kepala."
Angelica menoleh memandang tiang asap hitam yang menanti
di puncak tangga. "Mungkin memang beginilah sesebaiknya.
Sekarang roh-rohku akan berpesta. Mereka akan menikmati dirimu.
Dan kemudian aku akan mendapatkan kekuatanmu untuk diriku
sendiri." Angelica setengah berbalik, dan Amy tahu itulah satu-satunya
kesempatannya. Ia berlari ke kanan, ke belakang rumah.
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Angelica terlalu cepat. Jauh lebih cepat.
Dicengkeramnya tangan Amy erat-erat hingga membuatnya lumpuh
sampai ke siku. Amy meronta-ronta, menendang-nendang, dan mencakar-cakar
sementara Angelica menyeretnya ke atas.
"Gadis bodoh," ejek Angelica. "Sudah terlambat. Sudah sangat
terlambat." Ketika mereka hampir tiba di puncak tangga, tiang asap itu
bergerak menjauhi mereka.
Angelica mengikutinya naik ke ruang baca, menyeret Amy di
belakangnya. Napas Amy memburu. "Angelica, jangan lakukan ini. Apa...
apa yang akan Anda katakan pada orangtuaku?"
"Akan kukatakan kau jatuh sakit," sahut Angelica. Dipaksanya
Amy masuk ke ruang baca dan ditutupnya pintu di belakang mereka.
"Atau akan kukatakan pada mereka kau mendapat kecelakaan. Hal-hal
seperti itu sering terjadi, kan?"
Amy bisa merasakan rasa lapar yang merebak dari dalam pilar
asap yang hitam itu. Ia tahu seberapa besar makhluk itu
menginginkannya. Kakinya menggesek lantai kayu yang licin itu saat Angelica
menariknya semakin dekat ke asap hitam itu. "Oh, tolong, jangan!"
Angelica mendorong Amy ke lantai di belakang tiang asap yang
berputar-putar itu. Gelombang dingin menyembur keluar darinya.
Amy merasakan tubuhnya bergerak semakin pelan dan mulai
membeku. Sengatan bau daging busuk memenuhi mulutnya, membuatnya
ingin muntah. Ia bisa merasakannya di lidah, di leher.
Sulur-sulur asap yang hitam melayang ke arahnya, bergerak
maju-mundur di sepanjang lantai bagai cacing-cacing buta yang
mengerikan. Mereka datang menjemputnya.
Bab 19 MAKHLUK itu menginginkan darah. Dan bukan sembarang
darah. Tapi darahnya. Daging dan tulang dan darah.
"Ambil dia!" teriak Angelica penuh kemenangan.
Jeritan ngeri keluar dari mulut Amy.
"Benar, Amy," ujar Angelica, suaranya sejuk dan tenang.
"Menjeritlah. Roh-roh itu menyukainya. Itu membuat akhir yang jauh
lebih manis bagi mereka."
Pilar hitam itu menyapu Amy. Membungkusnya rapat-rapat.
Amy bergelung erat hingga seperti bola kecil. Dipejamkannya
matanya. "Aaa-mmm-yyy?" sebuah suara memanggil. "Aaa-mmmmyyy."
Suara wanita. Tapi bukan suara Angelica.
"Aaa-mmm-yyy." Amy membuka mata. Ia hanya bisa melihat asap yang hitam itu.
Asap itu tebal dan berminyak. Rasanya seperti lapisan tipis yang
berminyak di tangan dan wajahnya. Apa yang terjadi dengannya"
"Aaa-mmm-yyy." Seraut wajah muncul di tengah asap. Seraut wajah yang penuh
sayatan. Luka-lukanya dalam dan merekah sampai ke tulang. Lukaluka itu mengeluarkan nanah.
Rasa yang tajam dan pahit menusuk bagian belakang
tenggorokan Amy. Ia menelan dengan susah payah.
Lebih banyak wajah lagi bermunculan di sekeliling Amy.
"Jangan," erangnya. "Kumohon. Aku tidak tahan lagi."
Seraut wajah bersimbah darah. Sepasang bola matanya
bergelantungan di uratnya.
Seraut wajah berlubang di keningnya. Amy bisa melihat
gumpalan jaringan otak di dalamnya.
Satu wajah lagi sudah dikuliti, meninggalkan topeng darah
telanjang yang dihiasi jaringan pembuluh darah berwarna biru.
Ada juga wajah lain yang saking bengkaknya hingga tidak
mirip wajah manusia sama sekali. Wajah itu membuka mulut ingin
menjerit, dan segerombolan belatung putih yang menggeliat-geliat pun
merayap keluar dari dalamnya.
Aku kenal dia, pikir Amy, ngeri. Aku tahu wanita itu.
Itu Chantal Duvane. Dengan perasaan syok Amy menyadari wajah-wajah itu.
Wajah-wajah siapakah itu.
Itu wajah-wajah semua orang yang telah dibunuh Angelica.
Kalau Angelica menang, Amy juga akan tertawan dalam pilar
asap yang berputar-putar ini.
Amy menjerit, menjerit sampai kehabisan napas.
"Kaulah yang menyebabkan semua ini, Amy sayang,"
didengarnya Angelica berseru.
"Teganya kau!" teriak Amy. "Teganya kau berbuat begini
padaku!" "Tapi, Amy, aku memang bisa melakukan apa saja!" sahut
Angelica. Wajah-wajah itu mengerubungi Amy, mengerang dan
mencericit. Mata mereka menatap matanya lurus-lurus. Mereka
menjilatinya dengan lidah busuk mereka.
Kemudian tangan-tangan terulur tampak di balik asap hitam itu.
Mereka berusaha mencakar Amy.
Ia memaksa dirinya bangkit dan berputar ke satu arah, lalu ke
arah lain. Menghindari serangan yang paling buruk.
"Cukup," seru Angelica. Suaranya terdengar jauh sekali.
"Lawanlah, Amy. Atau mungkin lebih baik kau memohon. Mereka
senang kalau korban mereka memohon-mohon."
Cakar-cakar mereka menyentuh rambut Amy. Gaunnya.
Mencakar tangan-tangannya.
Mereka bisa membunuhku dengan sangat mudah, Amy tersadar.
Mereka bermain denganku. Menyiksaku demi kesenangan mereka.
Atau mereka menginginkan lebih banyak dariku selain
nyawaku. Ya! Pasti itu. Mereka tak hanya menginginkan tubuhnya.
Mereka menginginkan jiwanya juga.
Kalau mereka mengambil jiwanya, ia akan tertawan selamanya
di dalam pilar ini bersama yang lainnya. Melolong dan menjerit-jerit.
Berulang kali mengulangi kematiannya.
"Tidaaaak!" jeritnya.
Asap hitam yang berminyak itu mengangkatnya hingga kakinya
tak menyentuh lantai. Amy pikir ia akan merasa kesakitan. Tapi ia hanya merasa
dingin. Sangat kedinginan.
Pejamkan matamu, Amy. Suara itu menyelinap masuk
menembus benaknya. Halus dan lembut dan sama sekali tidak
manusia. Sangat berbeda dari suara-suara yang melolong kesakitan di
sekelilingnya. Ini bukan suara salah satu korban Angelica, pikir Amy. Ini pasti
salah satu pelindungnya. Kalau begitu suara itu jahat, Amy
memberitahu dirinya. Kau tak boleh mendengarkannya.
Pejamkan matamu, dan segalanya akan berakhir.
Suara itu menarik Amy. Ia berusaha keras untuk mengingat
mengapa ia tidak boleh mematuhinya. Kelopak matanya bergetar dan
mulai menutup. Tamatlah sudah, pikirnya. Semuanya tamat.
Ia akan menyelinap memasuki kegelapan, dan ketakutannya
akan lenyap selama-lamanaya. Akan mudah sekali...
Dan kemudian Amy mendengar Angelica tertawa. Tertawa
keras. Kemarahan menyiramnya, membakar perasaan dingin yang
melumpuhkannya. Ia tidak akan menyerah. Ia tidak bisa menyerah.
Orangtuanya membutuhkannya. David membutuhkannya. Dan ia tidak
akan membiarkan Angelica menang.
Perlahan-lahan, ia memaksa matanya terbuka. Sesuatu yang
baru mendadak hidup di dalam dirinya, sesuatu yang dalam dan kuat
sekali. Percikan api membara di depan matanya dan cairan api bagai
mengaliri sekujur tubuhnya.
Pejamkan matamu, Amy, dan semuanya akan berakhir.
"Tidak!" seru Amy. Ia merasa kuat. Sangat kuat.
Inilah yang ingin dicuri Angelica dariku, Amy tersadar.
Kekuatan ini. Kekuatanku.
"Kau tak boleh mendapatkannya," jerit Amy. Sekali lagi
dilawannya kegelapan yang mengepungnya.
Wajah-wajah itu merubunginya, seolah-olah takut akan
kehilangan dirinya. Bau busuk mereka menyembur masuk ke hidung
dan mulutnya, membuat Amy tercekik.
Jangan, pikirnya. Jangan!
Kekuatan Amy membakar sekujur tubuhnya, semakin panas dan
semakin panas. Semakin kuat dan semakin kuat.
Kemudian meledak dalam semburan cahaya yang menyilaukan.
Sesaat Amy tak bisa melihat. Kemudian dilihatnya pilar asap
hitam yang berminyak itu mengerut bagai rambut terbakar.
Amy tersungkur ke lantai. Bebas! Ia bebas!
Kemudian ia menunduk menatap dirinya sendiri"dan menahan
napas. Nyala api putih kecil-kecil berkelap-kelip di sekujur tubuhnya.
Terang, sangat terang hingga menyengat mata. Namun tidak
membakarnya. Amy melihat sesuatu bergerak di sudut matanya. Pilar yang
berminyak itu mulai berputar semakin dan semakin cepat.
Wajah-wajah itu memandang Amy, melolong-lolong penuh
kemarahan. "Stop," bisik Amy. Tapi mereka mengabaikannya. Lolongan
mereka semakin tinggi, semakin keras.
Rasa sakit menyerang Amy. "Stop!" bentaknya.
Bola-bola api berwarna putih melayang terbang dari tubuhnya
dan masuk ke dalam pilar itu.
Sebuah lubang merekah di tengah-tengah pilar hitam itu.
Semakin lama semakin besar.
Kemudian pilar itu bagai terbelah. Wajah-wajah itu tercabikcabik. Menjerit kesakitan.
Campuran darah dan cairan hitam yang berminyak menyembur
ke seluruh ruangan. Kemudian lolongan mengerikan itu berhenti.
Amy gemetaran. Selesai sudah, ia berkata pada dirinya sendiri.
Selesai sudah. Tapi bagaimana dengan Angelica" Amy berbalik.
Angelica tergeletak di lantai, tangan dan kakinya dalam posisi
aneh. Genangan hitam tampak di bawah rambut dan di sekeliling
tubuhnya. Apakah aku telah membunuhnya" Amy bertanya-tanya. Apakah
menghancurkan roh-roh Angelica berarti membunuhnya juga"
Bab 20 "APA yang kaulakukan?" seru Angelica lemah.
Dia tidak mati! "Roh-rohmu telah lenyap," Amy berkata.
"Tidak! Itu tidak mungkin!"
"Tapi begitulah kenyataannya," tukas Amy tegas. "Semuanya
sudah berakhir, Angelica. Kau gagal. Kau bisa menggunakan rohrohmu untuk membunuh Chantal dan Bernice. Dan Nellie yang
malang. Mereka tak bisa menentangmu. Tapi aku bisa. Dan aku
menang." Amy menunduk menatap Angelica. Dilihatnya mata bibinya
telah berubah hijau lagi.
"Selamat tinggal, Angelica," Amy berkata pelan. Kemudian ia
buru-buru lari keluar meninggalkan ruangan.
"Kau tidak bisa pergi!" jerit Angelica saat Amy meluncur
menuruni anak-anak tangga.
Suaranya mendorong Amy melesat lebih cepat lagi. Ia harus
pergi sekarang juga. Angelica bisa mengumpulkan kembali
kekuatannya kapan saja. Ia harus menemui David. Ia harus mengingatkan pria itu.
Ia berlari ke pintu muka.
Terkunci. Amy lupa pintu itu terkunci. Mungkin pengurus rumah
menyimpan kunci cadangan di dapur atau pantri. Ia meluncur ke dapur
dan mencari-cari di setiap laci dan lemari.
Di mana kunci-kunci itu" Di mana"
Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Angelica terhadapnya
bila ia turun kemari. Ia tahu pilar roh itu telah hancur. Ia bisa
merasakannya. Tapi itu tidak berarti Angelica sudah kehilangan
kekuatannya sama sekali. Amy menyeberang menuju pintu pantri. Ketika ia
membukanya, ia mendengar sesuatu bergemerincing. Selembar
celemek disangkutkan di kenop pintu. Dan di dalam sakunya"
terdapat kunci-kunci itu!
Ia berlari ke pintu muka. Ia mencoba tiga anak kunci"dan
menemukan satu yang cocok.
Kemudian ia meluncur ke rumah keluarga Hathaway. Di pintu
gerbang, ia mencoba anak-anak kunci itu satu per satu. Apakah
pengurus rumah menyimpan anak kunci gerbang di rencengannya ini"
Tangan Amy gemetaran saat ia mencoba anak kunci yang lain.
Ia mendengar suara ranting berkeretak di belakangnya.
Angelica datang. Atau sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih
buruk daripada Angelica. "Kumohon," bisiknya, dengan panik menyelipkan anak kunci
lain ke lubang kunci. Diputarnya anak kunci itu ke kiri dan kanan.
"Ayo, ayo!" Anak kunci itu berbunyi klik. Amy mendorong pintu gerbang
hingga terbuka dan berlari cepat menuju mansion Hathaway.
Ia melihat seberkas cahaya di balik kabut. Bagus. Ada orang di
rumah. Sebuah sosok gelap muncul di depannya. Ia tak punya waktu
untuk berhenti. Napasnya tersembur saat ia menabrak sosok itu.
Tangan yang kokoh memeluknya hingga ia tidak terjatuh. Amy
menyentakkan kepalanya ke atas. "David!" teriaknya. "Lekas, kita
harus segera kembali ke rumahmu. Kita dalam bahaya. Angelica
akan?" Ucapannya tiba-tiba terhenti saat pria itu mengangkatnya
dengan tangannya yang sehat. "Kau tak perlu menggendongku, David.
Aku tidak apa-apa kok. Sungguh. Dan kita akan bisa lebih cepat
sampai kalau kita sama-sama lari."
David tidak mendengarkan. Tangannya memeluk Amy eraterat, meremas tulang rusuknya hingga sakit sekali.
Amy menatapnya dengan perasaan ngeri yang semakin tebal.
"David," teriaknya. "Ada apa?"
Ia tidak menyahut. Ia mulai berjalan. Berjalan langsung ke mansion Fear.
Ia mengantarnya kembali kepada Angelica!
Bab 21 "TIDAK!" rintih Amy. "Oh, tolong, jangan!"
David tidak menjawabnya. Ia bahkan tidak memandang ke
arahnya. Ia hanya terus berjalan"berjalan ke mansion Fear.
Amy meronta-ronta ingin melepaskan diri, namun tangan David
seperti besi di sekeliling pinggangnya.
"David, ini aku"Amy," teriaknya. "Tidakkah kau mendengar
Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku?" Disambarnya wajah David dan dipaksanya pria itu menatapnya.
Wajahnya tidak menunjukkan bahwa ia mengenali Amy. Tak
ada sedikit pun ekspresi di sana.
Angelica-lah yang melakukan semua ini, pikir Amy. Angelica
mengendalikannya. Bahkan David pun tak bisa menolongnya sekarang.
Air mata Amy mengalir menuruni wajahnya. Tadi saja ia nyaris
tak berhasil melarikan diri dari Angelica. Apa yang bisa dilakukannya
menghadapi bibinya sekarang"
Amy menggelengkan kepala. "Tidak. Angelica tidak boleh
memilikimu, David. Aku akan berjuang untukmu"dan diriku sendiri.
Dan aku akan mengalahkannya."
Amy memukul-mukul dada David dengan tinjunya, bertekad
memaksanya mendengar dirinya. "David, ini Amy. Katamu kau
mencintaiku. Dan aku mencintaimu. Oh, tolong ingatlah, David!"
Pria itu mengabaikannya. Langkah-langkahnya yang panjang
membuat tubuh Amy berguncang-guncang saat ia mengangkatnya
kembali ke mansion Fear. Amy harus mencari jalan untuk menyadarkan David. Kalau
tidak, Angelica akan menghancurkan mereka berdua.
David nyaris mencapai pintu belakang.
Angelica tahu inilah cara paling jitu untuk menyakiti Amy.
Kemarahan membakar hati Amy. Aku takkan membiarkannya
mengambil David. Aku tidak akan membiarkan David menikahi
Hannah. "David, dengarkan aku," perintah Amy, suaranya tajam. "Kau
harus melawan. Jangan biarkan dia mengendalikanmu. Lawan!"
David membawanya ke dalam rumah dan menurunkan Amy. Ia
terus mencengkeram tangan gadis itu.
Amy mencoba melepaskan cengkeramannya. Namun David
tidak sudi melepaskannya.
"Selamat datang lagi, Amy," Angelica berkata. Ia berjalan
menuju mereka, sikapnya seagung ratu.
"Lepaskan dia," desak Amy.
"Ah, tapi dia milikku," sahut Angelica, tersenyum. "Mari
kutunjukkan padamu."
Digerakkannya jemarinya ke arah David. "David, bawa dia
kepadaku." "Jangan, David," seru Amy. "Jangan! Kau menyuruhku
mempercayaimu dan aku percaya padamu. Kau tak boleh
menyerahkan aku padanya."
David ragu. Sudah kuduga ia mendengarku! pikir Amy. Sudah kuduga entah
bagaimana ia bisa mendengarku.
Kemudian David melangkah maju, masih mencengkeram
tangan Amy. Sepatu gadis itu berdecit di lantai saat David
menyeretnya maju. "Sekarang semuanya sudah berakhir," kata Angelica.
Amy menatap wajah David lekat-lekat. Mungkin saja Angelica
tidak melihat keraguan yang menerpa David sekilas tadi, tapi Amy
melihatnya. David sedang berjuang. Di dalam ia tengah berjuang sekuat
tenaga. "David tercintamu adalah milikku," Angelica melanjutkan.
"Selama Hannah menyukainya. Kalau putriku sudah bosan padanya,
aku akan menjadikannya santapan makhluk-makhluk piaraanku."
Amy melihat seberkas cahaya berkedip di mata David. Seberkas
kesadaran. Kalau saja ia bisa meraihnya, kalau saja ia bisa
membebaskannya dari pengaruh Angelica, mereka mungkin masih
punya kesempatan. Ia berbalik supaya mereka berhadap-hadapan. Saat itulah liontin
kalungnya menyelinap keluar dari balik gaunnya.
Liontin yang diberikan David padanya. Lambang cinta mereka.
Amy memeluk pria itu dengan kedua tangannya. Ia
memusatkan seluruh pikirannya pada pria itu. Seluruh perasaannya.
Memanggil David dengan segala cara yang diketahuinya.
Kekuatannya sendiri bagai bergemuruh di dalam dirinya.
Kemudian menyembur bebas dan meledak seperti amukan api di
setiap pembuluh darahnya.
"David," bujuknya. "Pandanglah aku."
David memandang ke bawah.
"David," bentak Angelica. "Kau hanya akan melihat padaku.
Kau hanya akan mendengar suaraku."
Wajah David kembali kaku seperti topeng kosong. Tatapannya
terpusat pada Angelica. "Bunuh dia, David," perintah Angelica. "Bunuh Amy sekarang
juga!" "Tidak, David," bisik Amy. "Pandanglah aku. Ingatlah siapa
dirimu. Ingatlah bahwa aku mencintaimu."
Diangkatnya tangannya yang bebas dan dibelainya pipi David.
Cahaya putih bagai bangkit dan hidup di tempat dia menyentuh
pemuda itu. Cahaya itu menyusuri tangan Amy dan bergerak ke
lehernya. Dari sana cahaya itu meluncur ke liontin emas itu.
Begitu mengenai liontin itu, cahaya itu bersinar begitu
terangnya hingga Amy nyaris tak bisa melihatnya.
David mengedipkan mata. Dilepaskannya tangan Amy. Ia
mundur beberapa langkah menjauhi gadis itu.
Kemudian, dengan gerakan luwes dan mematikan, dia
mengeluarkan pistolnya. Dan mengarahkannya kepada Amy.
Bab 22 AMY menatap tepat ke moncong pistol itu.
Ia bahkan tak bisa menjerit.
Tamatlah sudah, pikirnya. Ia menantikan peluru menghantam
wajahnya. Kemudian David mengayunkan pistolnya melewati Amy. Lurus
ke arah Angelica. Dunia bagai meledak. Percikan-percikan cahaya menari-nari di depan mata Amy, dan
telinganya berdenging. Namun ia masih bisa mendengar jeritan
Angelica. Amy berbalik dan melihat Angelica jatuh berlutut. Noda merah
tampak di bagian bahu gaunnya.
"Ayo pergi!" teriak David. Ditariknya Amy keluar dan mereka
berlari ke pintu gerbang.
Sementara mereka berlari sekuat tenaga, taman itu sendiri
seperti ingin menangkap dan menahan mereka. Dahan-dahan
mencengkeram baju mereka. Sulur tumbuhan ivy melilit kaki mereka.
"Angelica mencoba menghentikan kita!" seru Amy. "Dia
mengerahkan ilmu hitamnya."
"Ayo, lekas," desak David. Begitu kita tiba di halaman
rumahku, kita mungkin akan selamat."
Amy berlari lebih cepat, dadanya seperti terbakar, kakinya
sakit. Kemudian sesuatu mencengkeram kakinya. Ia terjerembap ke
tanah. Tumbuhan ivy merayap ke atas tubuhnya.
David merenggutnya. Namun tumbuhan itu kembali bertunas,
tumbuh semakin cepat hingga David tak bisa mengenyahkannya.
Tumbuhan itu melilit mencekik leher Amy. Mencekiknya
semakin erat dan semakin erat lagi.
Amy tak bisa bernapas. Ia mencakar-cakar tumbuhan itu. Mencoba menancapkan
kukunya agar bisa merenggutnya lepas.
Terlalu kencang. Terlalu erat.
Geraman memenuhi telinganya.
Bintik-bintik hitam muncul di depan matanya.
Terlalu erat... ebukulawas.blogspot.com
Bab 23 "BERTAHANLAH, Amy!" seru David. "Jangan menyerah!"
Disentakkannya sulur ivy itu dari leher Amy"cukup baginya
untuk menarik napas pendek.
"Tidak!" jerit Amy. Ia tak boleh kalah sekarang!
"Tidak!" jeritnya lagi"dan tumbuhan itu pun meledak terbakar
api. Kekuatanku, pikir Amy. Kekuatanku.
Sebarisan api berwarna putih menyilaukan memancar darinya.
Api itu menyambar seluruh halaman. Membentuk dinding untuk
melindungi Amy dan David dari Angelica dan kekuatan sihirnya.
David mengangkat Amy berdiri. Ditopangnya gadis itu dengan
tangannya yang sehat. Bersama-sama mereka bergegas berlari
melintasi halaman keluarga Fear.
Begitu mereka tiba di halaman rumah Hathaway, segalanya
hening. Amy menghentikan langkah dan menoleh menatap halaman
keluarga Fear. Angelica tampak berdiri di seberang dinding api. Tak
ada luka di bahunya. Tak ada noda sama sekali di gaunnya.
Pandangan mereka bertemu. Kemudian Amy berbalik.
************** Kereta kuda itu meluncur tanpa suara di sepanjang jalan.
"Kau yakin kita harus meninggalkan rumah kita, David?" Mrs.
Hathaway bertanya lembut.
"Yakin sekali," sahut David.
Amy melemparkan pandangannya ke luar jendela.
Memperhatikan mansion Fear yang menjulang semakin kecil di
belakang mereka. Ia teringat ketika pertama kalinya ia melihat bangunan itu.
Bahkan pada saat itu pun, jauh di dalam hatinya, ia sudah tahu ada
yang tidak beres di rumah itu.
Fear. Nama yang tepat untuk rumah dan wanita yang hidup di
dalamnya. "Kalau saja aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada Julia,"
gumam Amy. "Julia milik keluarga Fear," David berkata. "Tak seorang pun
bisa membantunya." Amy kembali duduk di kursinya. Julia yang malang, pikirnya.
Setidaknya gadis itu tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana pertarungan antara Amy dan Angelica. Kalau ia bernasib
baik, ia takkan pernah mengetahui sisi gelap ibunya.
Amy menyandarkan kepalanya di kursi. Semakin jauh mereka
dari rumah itu, semakin ringan rasanya hatinya.
"Mari kita sama-sama bersumpah," ia mengusulkan.
"Sumpah apa?" tanya Mrs. Hathaway.
"Aku telah melihat cukup banyak hal mengerikan selama
hidupku," Amy berkata. "Dan aku ingin meninggalkannya di
belakang." "Kurasa aku mengerti," timpal David.
"Kita tidak akan pernah menyebut-nyebut nama Fear lagi,"
Amy berkata. Mereka mengulurkan tangan masing-masing dan
menyatukannya seolah-olah dengan begitu sumpah mereka telah
dimateraikan.END Terjerat Asmara Mistik 2 Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api Pengejaran Ke Cina 3