Sahabat Karib 2
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend Bagian 2
ketemu Mom, dan..." "Sudah kubilang. Dia keluar, kupikir," kata Honey, tidak
beranjak dari ranjang. "Yah, aku harus mengerjakan beberapa tugas, dan..."
"Kau mau ke rumahku dan belajar nanti malam?" tanya Honey.
Ia menunduk sekilas dan mulai menggosok noda pada blus sutra biru
itu. "Ah, nanti malam aku tak bisa," sahut Becka.
"Yah, bagaimana kalau besok malam?"
"Oh, sori, Honey. Besok malam aku tak bisa juga," Becka
mengatakan yang sebenarnya. "Aku sudah janji pada Lilah akan ke
rumahnya dan membantu keluarganya untuk menghias pohon
mereka." EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Menyenangkan sekali," kata Honey dingin sambil menunduk.
Kemudian sepintas wajahnya menjadi tegang dan aneh, lalu ia
menambahkan, "Kau menghabiskan banyak waktumu dengan Lilah,
ya kan?" "Ya. Lilah, Trish, dan aku adalah teman baik," jawab Becka
tidak sabar. "Aku harus mengerjakan beberapa hal, Honey, jadi..."
Honey beranjak berdiri dari ranjang. "Oke. Kunjungan yang
menyenangkan." Ia menyeringai kepada Becka ketika berjalan
melintasi kamar itu. "Rasanya seolah aku tak pernah pergi semenit
pun. Tapi, kita punya banyak hal yang harus kita lakukan. Ada begitu
banyak yang harus dibicarakan, begitu banyak hal untuk dilakukan
bersama." "Ya," jawab Becka dengan aneh.
"Sampai jumpa besok pagi," kata Honey, mulai menuruni
tangga. "Tak usah kauantar. Bye!"
Becka berdiri kaku di tempatnya dengan mata terpejam, tidak
bergerak, bahkan tidak bernapas. Ia tidak bergerak sampai mendengar
pintu depan dibanting tertutup oleh Honey. Kemudian ia menghela
napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan-pelan, dan berjalan
keluar kamar menuju tangga.
"Mom, Anda di rumah" Mom?"
Tidak ada jawaban. ebukulawas.blogspot.com
Honey benar, Becka memutuskan. Mom pergi.
Bagus. Aku bisa bicara dengan Bill tanpa kuatir. Tanpa
gangguan Mom. Becka buru-buru menghampiri pesawat telepon dan memencet
nomor telepon Bill. Nada panggil berbunyi dua kali sebelum Bill
mengangkat telepon di seberang.
"Lagi ngapain?" tanya Becka berbisik, walaupun ia sendirian di
rumah itu. Bill tertawa kecil. "Kau percaya aku lagi mengerjakan PR?"
Bill seharusnya sudah lulus musim semi lalu. Tapi karena
diskors dan ternyata ia telah gagal dalam ujiannya, tahun ini adalah
tahun keduanya di kelas terakhir.
"Pelajaran-pelajaran ini jadi lebih kumengerti pada putaran
kedua," katanya, hanya setengah bercanda. "Aku pasti lulus. Kau lagi
ngapain?" Becka menghela napas. "Cewek yang kuceritakan padamu,
Honey, tetangga baruku itu, dia ke rumah. Maksudku, dia sudah ada di
sini ketika aku pulang."
"Kedengarannya kau tak terlalu takut," komentar Bill.
"Yah... Sikap Honey agak berlebihan," kata Becka. "Tak apaapa, kukira. Dia cuma membuatku gugup."
"Apa yang tak apa-apa?" Bill terkekeh.
"Apa maksudmu?" tanya Becka tajam.
"Bukan apa-apa. Cuma bergurau. Maksudku, kau bukan orang
yang paling sabar di dunia ini, Becka." Bill buru-buru mengubah
pokok pembicaraan untuk menghindari kesulitan. "Apakah kau akan
menemuiku malam Minggu ini?"
Becka ragu-ragu. "Aku tak tahu. Aku sungguh-sungguh tak
ingin keluar diam-diam."
"Tapi, Becka..."
"Aku selalu jujur pada orangtuaku, Bill. Aku tak yakin ingin
mulai pergi diam-diam tanpa sepengetahuan mereka sekarang."
"Kalau begitu katakan pada mereka kau akan menemuiku,"
desak Bill. "Aku ingin begitu. Cuma aku belum menemukan waktu yang
tepat. Kelihatannya..."
"Aku bukan pembunuh berantai, kau tahu itu," kata Bill tajam.
"Aku terjerumus dalam kesulitan kecil tahun lalu. Tapi aku sudah
berubah jadi baik secara total sekarang. Aku takkan merusak putri
keluarga Norwood yang berharga." Dan kemudian Bill menambahkan
dengan main-main, "Yah... mungkin sedikit."
"Aku tahu, aku tahu," kata Becka. "Masalahnya kau tak
mengenal orangtuaku."
"Well, aku sangat senang bertemu denganmu malam Minggu
nanti," kata Bill pendek. "Mungkin aku akan mampir dan sungguhsungguh kelihatan sinting di hadapan mereka."
Becka akan menjawab, tapi mendengar mobil ibunya memasuki
halaman. "Sudah dulu, ya. Sampai jumpa di sekolah," katanya dengan
menahan napas, lalu meletakkan gagang telepon, jantungnya
berdebar-debar. Ia buru-buru turun ke lantai bawah untuk menyambut ibunya.
Mrs. Norwood masuk lewat pintu dapur sambil menjinjing dua
kantong penuh bahan makanan. "Bisa mencair di luar sana," keluhnya
sambil meletakkan kantong-kantong itu dan membungkuk untuk
melepaskan sepatu botnya yang basah. "Aku benci ini, ketika salju
melembek dan mulai mencair."
Ia mengalihkan perhatiannya kepada Becka. "Apa kabar" Apa
yang sedang kaukerjakan" PR?"
"Belum," jawab Becka. "Aku sibuk dengan Honey."
"Honey?" Mrs. Norwood mulai membongkar barang-barang
belanjaannya. "Ya," ujar Becka, sambil berjalan ke meja untuk membantu.
"Kenapa Mom mengizinkan Honey naik ke kamarku" Mom tahu aku
tak suka orang-orang yang mencoba barang-barang milikku."
"Hah?" Ibu Becka meletakkan kantong tepung. "Apa yang
sedang kaubicarakan, Becka?"
"Mom tidak bilang pada Honey dia boleh menunggu di
kamarku?" "Bagaimana aku bisa bilang begitu?" tanya Mrs. Norwood
sambil menatap Becka. "Aku tak di rumah sepanjang siang ini."
Bab 8 "ASYIK sekali tadi malam," ujar Becka kepada Lilah. "Aku
gembira sekali. Adik laki-lakimu itu sangat lucu lho."
"Kau pernah ketemu orang yang punya begitu banyak cara
untuk memecahkan hiasan pohon Natal?" tanya Lilah sambil
menggeleng-geleng. "Tapi pohon Natal itu kelihatan sempurna," kata Becka. "Kurus
kering tapi sempurna."
Hari itu Rabu siang, hari yang cerah, hangat untuk musim
dingin, dan hanya ada beberapa petak kecil salju yang masih melapisi
aspal di tempat parkir untuk murid. Sekolah baru saja selesai. Becka
dan Lilah, dengan ransel tersandang di pundak mereka, berjalan
menuju tempat sepeda. "Kau ingin bersepeda ke mana?" tanya Lilah, sambil melambai
kepada beberapa anak yang berdesak-desakan di dalam Civic merah.
"Ke mana saja," jawab Becka antusias. "Aku cuma pengin
jalan-jalan. Rasanya sudah berminggu-minggu aku tak memakai
kakiku." "Ya. Aku juga," kata Lilah. "Aku senang sekali salju akhirnya
meleleh, jadi kita bisa bersepeda. Ayo kita lewat Park Drive ke River
Road, oke?" Becka menggangguk. "Bukit-bukit itu akan jadi tantangan."
"Betul-betul indah pemandangan di atas sungai itu," kata Lilah.
Mendadak ia berhenti. "Lihat, itu dia sahabatmu Honey di tempat
sepeda." Becka mengeluh. "Untung dia keluar lewat pintu sebelah. Dia
seperti bayanganku saja. Cuma lebih dekat."
"Kenapa kau tak bilang padanya kalau dia keliru?" tanya Lilah
sambil melompat mundur ketika Civic merah itu meraung melewati
mereka, klaksonnya berbunyi keras.
"Terkadang aku suka juga," sahut Becka sungguh-sungguh.
"Tapi kemudian kuputuskan dia tak terlalu jelek. Kupikir dia hanya
benar-benar gelisah."
"Siapa yang tak jelek?" tanya Lilah tidak acuh.
Mereka berjalan menuju tempat sepeda di belakang tempat
parkir murid. Honey sedang mengamat-amati salah satu sepeda, tapi
meninggalkannya ketika melihat Becka dan Lilah mendekat. "Hai!
Apa kabar?" sapanya sambil melambai. Ia mengenakan jaket kuning.
Rambutnya diikat ke belakang kepalanya dengan pita kuning.
"Hai, Honey," kata Lilah ceria.
Honey tampaknya tidak mendengar sapaan Lilah. "Bisakah aku
pulang denganmu?" tanya Honey kepada Becka.
"Tidak. Lilah dan aku akan bersepeda ke tempat jauh," jawab
Becka, sambil menaikkan ranselnya ke atas setang sepedanya. "Kami
cuma duduk-duduk selama berminggu-minggu. Kami butuh olahraga."
Honey cemberut. "Aku harus punya sepeda. Aku ingin sepeda
yang persis sepedamu. Sepuluh persneling, kan?"
Becka menggeleng. "Bukan. Dua puluh satu persneling."
"Aku suka model rambutmu," kata Lilah kepada Honey.
"Kau di rumah nanti malam?" tanya Honey kepada Becka.
"Ya. Barangkali. Aku harus mengerjakan laporan penelitian
sainsku." "Aku juga," kata Honey. "Aku akan meneleponmu, oke?"
"Oke," sahut Becka sambil memundurkan sepedanya keluar.
"Sampai nanti," kata Honey Dia berdiri di samping tempat
sepeda, kedua tangannya dimasukkan ke saku jaketnya, sambil
mengawasi Becka dan Lilah mengayuh sepedanya.
Mereka keluar dari tempat parkir dan belok kanan ke Park
Drive. Pinggir jalan masih digenangi salju yang mencair. Roda sepeda
mereka memercikkan genangan salju itu ketika mereka melewatinya.
"Kaulihat raut wajah Honey ketika kau bilang dia tak boleh ikut
kita?" teriak Lilah sambil mengayuh sepedanya kuat-kuat beberapa
meter di depan Becka. "Dia kelihatan seakan kau baru saja membunuh
anak anjingnya." "Dia sangat emosional," jawab Becka sambil membungkuk di
atas setangnya. "Semenit dia benar-benar bahagia, menit selanjutnya
dia siap mencucurkan air mata."
"Aneh," komentar Lilah.
Mereka melewati depan sekolah, bendera terkulai di siang yang
tak berangin itu, kemudian lurus melewati rumah-rumah besar yang
halaman depannya dipenuhi pepohonan. Daerah itu dinamakan North
Hills. "Kakiku sudah sakit," keluh Becka.
"Kita bahkan belum sampai di bukit indah itu," kata Lilah
sambil mengayuh sepedanya lebih kuat.
"Akhir-akhir ini aku malas sekali. Bersepeda ini benar-benar
terasa enak," kata Becka.
"Kami seharusnya bermain ski liburan ini," kata Lilah, sambil
menatap lurus ke depan ketika jalanan menurun ke arah timur. "Tapi
kami tak jadi pergi. Ayahku harus pergi ke Akron untuk urusan
bisnis." "Akron" Di Hari Natal?" teriak Becka, sambil mengayuh kuatkuat agar tidak tertinggal Lilah.
"Tidak, dia kembali sebelum Natal. Tapi kami tak bisa pergi."
"Kasihan," keluh Becka. Ia melepaskan kedua tangannya dari
setang sepeda untuk membuka ritsleting jaketnya.
Matahari berbentuk bola oranye tepat di atas puncak
pepohonan. Di tengah-tengah halaman di seberang jalan tampak topi
dan sapu jerami, pasti sisa-sisa manusia salju yang dulunya amat
bagus. Becka mengayuh sepedanya cepat-cepat untuk mengejar Lilah,
dan mereka berdampingan untuk sementara. "Nah, kita sampai di
bukit," Becka memberitahu.
"Yang pertama, menuruni bukit. Gampang!" seru Lilah.
"Hati-hati. Masih ada beberapa petak es," kata Becka sambil
menunjuk ke depan. Becka berhenti mengayuh sepedanya ketika mereka mulai
menuruni bukit menuju persimpangan jalan dengan River Road. Bukit
itu curam, dan mereka mulai mengurangi kecepatan.
Mula-mula Becka melihat truk pengirim barang berwarna
cokelat. Truk itu melaju menuju persimpangan, mesinnya meraungraung.
"Awas!" Becka memperingatkan. Ia menekan rem tangannya
dan sepedanya mulai melambat.
Tapi Lilah tidak. Semuanya terjadi begitu cepat.
Dalam sedetik. Mungkin kurang.
Becka melihat wajah Lilah yang panik.
"Remku!" jerit Lilah.
Becka memekik dan berhenti dengan selamat.
Masih dengan kecepatan tinggi, Lilah melayang di atas
sepedanya menuju persimpangan itu.
Becka memejamkan matanya.
Kemudian ia mendengar bunyi buk yang keras.
Diikuti bunyi krak yang membuatnya mual.
Bab 9 SEKARANG matahari bersembunyi di balik pepohonan. Angin
meniupkan udara musim dingin yang menggigit.
Cahaya merah di atas ambulans berpendar-pendar.
Becka duduk di pinggir jalan dan memandangi cahaya merah
yang berpendar-pendar di tanah, di jalanan, di sepeda Lilah yang
ringsek. Sepeda itu masih teronggok di tengah-tengah persimpangan.
Di atas lingkaran darah yang menghitam di jalan.
Ia mendengar suara melengking berbicara cepat, menggebugebu.
Itu suara sopir truk, seorang laki-laki muda yang memakai
kemeja kerja denim dan jins hitam, kepalanya diikat dengan bandana
merah. Ia sedang menerangkan kepada polisi yang berwajah seram
mengenai apa yang telah terjadi. Tangannya bergerak-gerak dengan
penuh semangat. Suaranya masih tak jelas.
Becka tidak memperhatikan sopir itu. Ia tetap menatap cahaya
merah yang berpendar-pendar di atas ambulans itu.
Entah bagaimana cahaya itu membuatnya terhibur. Terhipnotis.
Begitu saja. Sangat mekanis.
Ada dua ambulans di sana, Becka tahu. Dan beberapa mobil
polisi berwarna hitam dan putih.
Petugas-petugas polisi itu ingin bicara dengannya, tapi ia
mengatakan belum siap bicara. Ia ingin duduk di pinggir jalan, di atas
beton yang kuat dan dingin, serta mengawasi cahaya yang berpendarpendar itu untuk sementara.
Berpendar dan berpendar. Ia menengadah sejenak untuk melihat petugas medis yang
berjaket putih mengangkat usungan masuk ke salah satu ambulans itu.
Usungan yang membawa tubuh Lilah.
Usungan itu didorong tanpa suara masuk ke bagian belakang
ambulans. Hening seperti kematian. Kemudian pintu-pintu ditutup dengan keras.
Lilah masih hidup.
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Polisi memberitahunya bahwa Lilah masih hidup.
Lilah tak sadar. Dia luka parah.
Tapi dia masih hidup. Becka memejamkan matanya. Cahaya merah yang berpendarpendar itu menghilang.
Ia mendengar bunyi gedebuk lagi.
Dan kemudian ia mendengar bunyi berderak.
Ketika ia membuka matanya, napasnya terengah-engah,
jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya.
Apakah akan kudengar bunyi-bunyi itu setiap kali kupejamkan
mataku" Becka sadar ia masih berdiri. Ia tidak ingat sedang berdiri di
atas kedua kakinya. Tapi ia sedang berdiri sekarang.
Apakah aku shock" Polisi itu menggumamkan sesuatu tentang shock.
Cahaya merah itu berpendar-pendar di atasnya ketika ia
mendapati dirinya sendiri sedang berjalan menuju persimpangan.
Berpendar dan berpendar. Aku berada di dalam cahaya merah itu sekarang.
Sangat dingin. Begitu dingin.
Apakah aku akan pernah hangat"
Merah itu dingin. Dan kemudian ia mengangkat sepeda Lilah. Sepeda itu
tersentak dan terhenti, lalu meluncur ke persimpangan menyusul
Lilah. Begitu bengkok. Begitu hancur total. Sadelnya serata lembaran
kertas karton. Dan remnya... Hah" Mulut Becka ternganga. Ia menatap lekat-lekat sepeda yang
rusak di tangannya ketika cahaya merah itu menyapunya. Lalu gelap,
lalu cahaya merah lagi. Salah satu kabel rem. Kabel rem sepeda Lilah. Kabel itu lenyap, Becka melihatnya.
Ia mencari-cari di jalan itu. Tidak ada bekas potongannya di
sana. "Remku!" Kata itulah yang dijeritkan Lilah tepat sebelum...
sebelum sepedanya terempas hingga berhenti dan ia terlempar.
Sepeda Lilah tak punya rem roda belakang. Tak ada kabel rem
di roda belakangnya. Kabel itu tak mungkin terlepas dari kedua ujungnya, Becka
tahu. Kabel itu tak mungkin jatuh dari kedua ujungnya.
Kabel itu harus dicabut. "Hei... kabel roda belakangnya"lenyap!" teriak Becka.
Adakah yang mendengarnya"
Apakah ia benar-benar meneriakkan kata-kata itu"
Atau apakah ia hanya membayangkan meneriakkan kata-kata
itu" "Kabel rem Lilah! Di mana kabel rem Lilah?"
Apakah ia sedang bicara pada dirinya sendiri"
Tidakkah ada yang mendengar teriakannya"
Becka merasa ada tangan di bahunya. Tangan itu lembut.
Melindungi. Ia membuka matanya menatap wajah polisi yang masih muda.
"Temanmu dalam perjalanan ke rumah sakit," kata polisi itu lembut,
sambil menatap mata Becka dengan matanya yang sangat biru.
"Apakah kau merasa baikan?"
"Aku tak tahu," Becka mendengar dirinya sendiri menjawab.
"Apakah kau juga mau pergi ke rumah sakit?" tanya polisi itu,
tidak berkedip, tidak mengalihkan pandangannya dari mata Becka.
"Atau apakah kau mau kami mengantarmu pulang?"
"Pulang," sahut Becka.
********************* "Lilah masih tidak sadar," bisik Becka di pesawat telepon.
"Mom baru saja bicara dengan ibunya. Dokter mengatakan Lilah
stabil." "Stabil" Apa artinya itu?" tanya Bill di ujung sambungan
telepon yang lain. Becka membungkuk di atas mejanya. "Aku tak tahu. Kukira itu
artinya kondisinya tidak jadi lebih buruk."
"Dan bagaimana keadaanmu?" tanya Bill lembut.
"Baik, kukira. Lebih baik. Aku masih kedinginan. Mom tetap
memberiku sup. Sepertinya aku ini sakit atau apa ya."
"Kau akan ke sekolah besok?" tanya Bill.
"Ya. Kukira. Aku tak tahu." Ia terisak keras. "Aku hanya tak
bisa mempercayainya, Bill. Tadi malam aku di rumah Lilah dan kami
bersenang-senang. Kami menghias pohon Natalnya. Semua orang
begitu bahagia, dan sekarang..."
"Dia akan sembuh," kata Bill menghibur. "Aku tahu dia akan
sembuh." Becka memaksa dirinya sendiri untuk tidak menangis.
Ia sudah berhenti menangis. Tidak ada air mata lagi.
Setiap kali keinginan untuk menangis itu timbul, ia berusaha
sekuatnya menahan. "Kau mengalami shock," ujar Bill.
"Aku selalu dibayangi peristiwa itu," kata Becka terbata-bata.
"Lilah akan sembuh," Bill mengulangi.
Bill tidak sungguh-sungguh mempercayainya, Becka sadar. Ia
sedang mencoba membuatku merasa lebih baik.
Bill memang baik. "Ayo kita pergi malam Minggu nanti," desak Bill. "Cobalah
melupakan semuanya."
"Oke," Becka setuju. Kata itu bergulir keluar dari mulutnya. Ia
merasa begitu dekat dengan Bill sekarang. Bill begitu penuh
pengertian, begitu penuh perhatian.
Becka baru saja menyetujui tanpa berpikir.
"Kau akan melakukannya?" Bill sepertinya heran sekali.
"Ya. Aku akan keluar diam-diam," sahut Becka. "Gampang
saja. Aku akan bilang pada orangtuaku bahwa aku mau pergi ke
rumah Trish." "Lebih baik Trish kauberitahu tentang rencana ini," Bill
mengingatkan. "Hei, aku tak goblok, tahu," hardik Becka.
"Aku tahu. Tapi kau juga tak pintar bohong."
"Aku bisa mengatasinya," Becka meyakinkan Bill. "Aku
sungguh butuh sesuatu untuk melupakan semua ini. Lilah yang
malang." Sekali lagi ia menahan air matanya.
"Kita akan nonton film. Film komedi," Bill berjanji. "Kita akan
tertawa sepanjang malam. Kaulihat saja."
"Aku tak ingin tertawa semalaman," Becka menegaskan. "Aku
hanya ingin..." Tiba-tiba Becka merasa tidak sendirian.
Ia menoleh ke pintu kamarnya"dan berteriak karena terkejut.
Bab 10 "HONEY!" teriak Becka. "Sudah berapa lama kau berdiri di
sini" Bagaimana kau bisa masuk ke sini?"
Honey, dengan raut muka penuh perhatian, melangkah masuk
ke kamar Becka. "Dengar, sampai di sini dulu ya. Bye," kata Becka buru-buru di
pesawat telepon. Ia meletakkan gagang pesawat telepon dan berdiri.
Berapa banyak yang didengar Honey" Becka bertanya dalam
hati. "Becka, aku mendengar kabar buruk itu. Tentang Lilah," seru
Honey. "Kau pasti sedih!"
"Ya," jawab Becka hati-hati. "Bagaimana kau bisa masuk ke
sini" Apakah ibuku menyuruhmu masuk?"
Honey mengangguk, kemudian masuk kamar dan memeluk
Becka kuat-kuat, pelukan melindungi.
"Nah, nah," kata Honey pelan bermaksud menghibur. "Sudah
sudah sudah sudah sudah."
"Honey, ayolah..."
"Kau tak harus bilang apa-apa," kata Honey, tidak melepaskan
Becka. "Aku mengerti apa yang kaurasakan. Itulah sebabnya kenapa
aku datang ke sini begitu mendengar kabar itu. Aku tahu tempatku di
sini." "Well, sungguh, Honey..." Becka berusaha melepaskan diri dari
pelukan Honey yang kuat. Akhirnya Honey melepaskan pelukannya dan mundur
selangkah. Ia menatap Becka dengan ekspresi penuh simpati dan
pengertian. "Betapa menyedihkan bagimu, Becka. Betapa menyedihkan.
Tapi kau bisa menumpahkan kesedihanmu padaku. Kau bisa menjadi
dirimu sendiri, curahkan perasaanmu tanpa merasa malu. Itulah
gunanya sababat karib, ya kan?"
Setelah lega terlepas dari pelukan kuat Honey, Becka
menghampiri ranjang dan menjatuhkan diri ke atas selimut dengan
menghela napas sebal. "Aku sungguh-sungguh tak ingin bicara
tentang semua ini, Honey."
"Tentu. Aku mengerti," jawab Honey sambil menyilangkan
kedua lengannya di depan dada. Lalu ia maju sampai berdiri tepat di
depan Becka. Diikuti keheningan yang kaku.
Honey menunduk dan menatap Becka, yang sedang duduk
membungkuk di ranjangnya dengan kedua tangan terkatup rapat di
pangkuannya. Becka menghindari tatapan Honey, pandangannya tetap
tertuju pada kegelapan malam di luar jendela.
"Kau tak harus membicarakannya," kata Honey akhirnya. "Pasti
kau terguncang. Seperti menyaksikan sesuatu yang mengerikan."
"Ya," Becka setuju, tenggorokannya terasa tercekik.
"Apakah Lilah tak melihat truk itu?" tanya Honey.
Becka menghela napas. "Honey, aku tak ingin menyinggung
perasaanmu. Sungguh, aku tak ingin. Tapi aku benar-benar ingin
sendiri saat ini." Bibir Honey yang gelap membentuk huruf O kecil karena
terkejut, tapi ia buru-buru mengembalikan ekpresi wajahnya yang
penuh perhatian. "Tentu, Becka. Kau selalu seperti itu. Bahkan ketika
kita masih kecil. Kau selalu duduk dan memecahkan semuanya
sendiri." Honey menggeleng. "Kadang-kadang kau seperti
penyendiri." "Ya, barangkali," sahut Becka, merasa ingin menangis lagi dan
bersusah payah menahannya.
"Yah, aku akan pulang," Honey melanjutkan. "Aku datang
hanya untuk mengatakan ada aku di sini jika kau memerlukanku. Kau
tak memiliki Lilah lagi, jadi aku ingin kau tahu aku berada di sini
untukmu. Kapan pun."
Kau tak memiliki Lilah lagi" Itukah yang dikatakan Honey"
"Apa yang kaukatakan?" teriak Becka.
"Aku bilang aku ada di sini untukmu," sahut Honey sambil
mundur ke pintu. Tidak. Aku mendengar apa yang kaukatakan. Aku mendengar
apa yang kaukatakan tentang Lilah.
Kau tak memiliki Lilah lagi. Sesuatu dalam cara Honey
mengucapkan kata-kata itu membuat Becka merinding.
Tiba-tiba, bahkan sebelum Becka sadar, air mata yang panas
bergulir turun ke pipinya, pundaknya berguncang, dan ia menangis
tersedu-sedu, tangis keras yang pilu.
Tidak! Tidak! Aku tak ingin menangis! pikir Becka.
Tapi ia tidak bisa menghentikan tangisnya sekarang. Sambil
membungkuk di ranjangnya, ia menangis semakin keras, terisak-isak,
dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Nah, begitu. Keluarkan semuanya." Suara Honey mengapung
di dalam kesadaran Becka.
Becka merasakan lengan Honey melingkari bahunya. Honey
berada di sampingnya di atas ranjang sekarang, sedang memeluknya,
merangkulnya, berbisik menghiburnya. "Sudah, sudah. Keluarkan
semuanya. Aku ada di sini, Becka. Ya. Ya. Aku ada di sini."
"Becka...?" Ada suara lain yang menyadarkan Becka.
Suara dari pintu. Becka mengusap matanya dengan kedua tangannya dan
menatap ke pintu. Trish sedang berdiri di sana, tampak heran dan
tidak senang. "Becka, kau baik-baik, kan?" tanya Trish, sambil melangkah
enggan memasuki kamar. Becka berdeham, mencoba menjawab.
Sebelum ia bisa menjawab Trish, Honey berdiri dan berjalan
menyeberangi ruangan. Honey mencengkeram siku Trish dan memaksanya pergi. "Sori,
Trish, jangan sekarang." Becka mendengar Honey berkata dengan
kaku. "Becka ingin sendirian."
Trish memandang Becka sekilas dengan tatapan tak berdaya.
Tapi Honey mendesak. Sambil memegang siku Trish, ia menuntun
Trish keluar dari kamar itu.
Becka mendengar mereka berdua menuruni tangga.
Kemudian ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya dan
menangis lagi. Bab 11 BECKA melingkarkan tangannya ke belakang leher Bill dan
menarik wajah Bill mendekati wajahnya. Ia balas memeluk Bill,
pelukan yang lama dan kuat, sambil memejamkan matanya, kemudian
membuka matanya dan menatap kaca depan mobil yang berembun.
Ia suka bau jaket kulit Bill.
Ia suka kelembutan rambut Bill yang panjang dan kusut di
belakang kepala tempat ia menyusupkan jemarinya, memeluk pemuda
itu erat-erat. Bill melepaskan diri, tapi Becka menarik wajah Bill mendekati
wajahnya dan memeluk Bill lagi.
Ia tidak ingin membiarkan Bill pergi.
Becka memarkir mobilnya di River Ridge, kaca-kaca jendela
semuanya berembun, diselubungi kegelapan malam, mereka asyik
dalam dunia mereka sendiri.
Aman dan hangat. Serta sunyi. Jauh di bawah, Sungai Conononka mengalir tenang, pelan,
airnya terhambat es. Di balik sungai itu terhampar kota Shadyside,
cahaya lampu berkelip-kelip dari sela-sela pepohonan di Sabtu malam
yang dingin dan cerah. Tetapi jauh di atas karang tinggi yang disebut River Ridge,
berpelukan di jok depan mobil kecil itu, Becka dan Bill hanya
berduaan. Jauh dari semua orang. Jauh dari orang-orang yang
membuat mereka berpisah. Setelah beberapa lama, Bill menjangkau dan melepaskan kedua
tangan Becka dari belakang kepalanya. "Aku... aku tak bisa bernapas,"
bisik Bill, sambil tertawa geli.
Becka bersandar di jok dan menghela napas. Ia menekankan
keningnya ke bahu jaket kulit Bill.
"Aku suka di sini," katanya lembut, masih menikmati pelukan
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bill. "Mau keluar dan memandang kota di bawah?" tanya Bill,
sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya, merapikan
rambutnya yang kusut. "Tidak. Aku tak ingin pergi," jawab Becka. "Sungguh."
Becka menekan tangan Bill, kemudian memeganginya. Dengan
tangannya yang bebas, Bill iseng membuat bulatan di kaca jendela
penumpang yang berembun. "Inilah pertama kalinya aku merasa santai," ujar Becka. "Aku
begitu senewen sepanjang minggu ini."
Bill menoleh kepada Becka, ekspresinya serius. "Karena Lilah,
maksudmu?" "Karena semuanya," sahut Becka sambil merapat manja ke
bahu Bill yang bidang. "Lilah. Honey. Kau."
"Aku?" "Karena pergi diam-diam malam ini," sahut Becka lembut.
"Mesti bohong pada orangtuaku. Aku betul-betul tak suka."
"Yah, kenapa tak kaukatakan saja pada mereka bahwa kau
dengan aku lagi?" tanya Bill. "Maksudku, aku sudah bukan cowok
brengsek lagi." Becka tidak menyahut beberapa lama. Akhirnya, ia berkata,
"Kau tak mengenal orangtuaku. Sekali mereka punya pendapat
tentang seseorang di dalam kepala mereka..."
Becka menyingkirkan tangan Bill dan membenamkan dirinya di
jok. "Barangkali mereka menyerah setelah itu," lanjut Becka, sambil
menatap kaca depan mobil yang gelap. "Setelah banyak menjerit dan
berteriak dan berdebat. Dan aku lagi tak pengin... tak pengin menjerit
dan berteriak. Tahu yang kumaksud?"
Bill mengangguk sungguh-sung'guh. "Mungkin. Lain dari
keadaan di rumahku," Bill menambahkan dengan serius. "Tak pernah
ada jeritan dan teriakan di rumahku, karena tak seorang pun peduli."
"Yah, orangtuaku terlalu memperhatikan aku," kata Becka
cemberut. "Kadang-kadang aku ingin mereka pergi, menjauh dari
hadapanku. Dan lalu Honey muncul." Becka mengerang dan memutarmutar kemudi.
"Honey itu pengacau, ya?"
"Pengacau bukan kata yang tepat," jawab Becka sedih. "Aku...
aku punya pikiran yang mengerikan tentang Honey. Maksud-ku,
tentang Honey dan kecelakaan yang menimpa Lilah. Aku sungguh tak
tahu apa yang harus kupikirkan. Honey itu aneh sekali. Begitu aneh!
Dia percaya sekali kami dulu sahabat karib. Tapi kami tak pernah
berteman. Kami hampir tak saling mengenal. Aku benar-benar
mengira dia mengarang semua fantasi tentang betapa dekatnya kami
dulu. Dia percaya pada fantasinya, dan berusaha memaksaku
mempercayai semua itu juga."
"Maksudnya baik, ya kan?" tanya Bill, sambil bersandar
mendekati Becka, mimik wajahnya penuh perhatian.
"Aku tak tahu," sahut Becka. "Kadang-kadang dia bersikap
manis. Maksudku, dia berusaha keras menjadi teman yang baik. Tapi
usahanya terlalu keras."
"Dengan kata lain, dia pengacau," kata Bill tergelak. Ia menulis
kata PENGACAU pada jendela yang berembun.
"Nggak lucu," kata Becka tajam. "Sejak... sejak kecelakaan
yang menimpa Lilah, Honey meneleponku tiga kali tiap malam. Dia
ke rumah sepanjang waktu. Setiap kali aku menoleh, ada dia,
menatapku, memberiku tampang yang simpatik sepenuh hati dengan
bola mata abu-abunya yang besar."
Bill meraih Becka dan meletakkan tangan kirinya dengan
lembut di bahu cewek itu. "Tenanglah. Kau membuat dirimu senewen
lagi." "Aku sudah tak tahan," Becka meratap. "Honey membikinku
jadi gila! Dia selalu memelukku. Pelukannya seperti ingin
mencekikku!" "Becka, sudahlah..."
"Diambilnya blus biruku yang paling bagus. Kau tahu"blus
sutra itu. Dibawanya pulang untuk dibersihkan nodanya, katanya. Dan
aku tak pernah melihat blus itu lagi."
"Kenapa kau tak memintanya?" saran Bill.
"Sudah. Dia menatapku seakan dia tak tahu apa yang sedang
kubicarakan!" "Yah, aku tak mengerti," kata Bill menjadi tidak sabar. "Jika
Honey begitu menyebalkan, kenapa kau tak bilang padanya agar
jangan ke rumahmu" Kenapa kau tak bilang kau tak ingin jadi
temannya?" "Memang gampang bilang begitu," jawab Becka panas. "Tapi
tak gampang melaksanakannya. Kau tahu bagaimana aku tak suka
menyakiti perasaan orang. Aku tak bisa cuma bilang, 'Honey, kau
keliru.'" Bill menggeleng. "Seharusnya tak begitu susah
menyingkirkannya." "Kau tak tahu Honey. Kayaknya dia bahkan tak mendengarkan
omonganku!" teriak Becka. "Dia terlalu bersemangat. Begitu ingin
jadi sahabat karibku. Dia berdiri di depan pintu setiap pagi setelah
sarapan. Kami harus berangkat ke sekolah bersama. Kami duduk
sebangku di kelas dalam beberapa mata pelajaran. Dia selalu
memburuku di ruang makan, dan kami harus makan siang bersama.
Dia bahkan membawa makan siang yang sama seperti aku!"
Bill tertawa. "Nggak lucu!" teriak Becka, sambil mendorong Bill. "Trish
pikir semua ini juga lucu. Tapi tidak. Ini memuakkan!"
"Kau sudah menceritakan semua ini pada orangtuamu?" tanya
Bill, sambil menggeser duduknya untuk menatap Becka.
"Tentu," sahut Becka. "Mereka berpendapat Honey itu manis.
Itu karena Honey selalu memuji mereka"mengatakan betapa
hebatnya mereka, betapa sedihnya dia tak punya ibu, sedangkan
ayahnya selalu bepergian dan tak pernah menemaninya, dan betapa
dia berharap punya keluarga seperti aku."
"Ih." Bill meletakkan jarinya di teng-gorokannya.
"Ya, begitulah. Semuanya itu memuakkan!" seru Becka. "Tapi
orangtuaku cuma menelan semuanya. Dan sekarang, tiap kali aku
mulai mengeluh tentang Honey, mereka tak ingin mendengar
keluhanku. Mereka malahan membela Honey!"
"Tenang, Becka. Tenanglah," pinta Bill dengan perhatian
sungguh-sungguh. Ia meraih dan menggenggam tangan kanan Becka.
"Kau gemetar." "Aku tak tahan," pekik Becka. "Dia benar-benar membuatku
gila." "Bagaimana keadaan Lilah?" tanya Bill, dengan sengaja
mengubah pembicaraan. "Kondisinya lebih baik," jawab Becka. "Aku menjenguk ke
rumah sakit tiap pagi. Keadaannya membaik. Lebih baik daripada
yang diharapkan para dokter. Kami ngobrol, tapi..." Suara Becka
bertambah lemah. "Tapi apa?" desak Bill.
"Yah, Lilah mengatakan padaku hal yang paling aneh." Becka
menelan ludah, kemudian melanjutkan, "Kata Lilah, Honey bertanyatanya tentang sepedanya. Sehari atau dua hari sebelum kecelakaan itu.
Kau tahu. Pertanyaan mengenai sepedanya jenis apa, bagaimana cara
kerja remnya"pertanyaan semacam itu."
"Jadi?" tanya Bill, ia tampak bingung.
"Aku tak tahu. Aku cuma berpikir, itu aneh," jawab Becka
sungguh-sungguh. "Aku tak ingat hal itu sampai aku ngobrol dengan
Lilah pagi ini. Tapi Honey ada di tempat sepeda ketika aku dan Lilah
akan mengambil sepeda kami. Dia sedang mengamat-amati salah satu
sepeda. Kemudian dia..."
"Kau tak menduga Honey melakukan sesuatu pada sepeda
Lilah, kan?" tanya Bill ragu-ragu.
Tiba-tiba sinar terang menyeruak ke dalam mobil ketika mobil
lain lewat. Becka menutupi matanya. Kegelapan kembali menyelimuti
mobil ketika mobil lain itu melaju terus.
"Mungkin sebaiknya kita pergi dari sini," kata Becka gugup. Ia
gemetar. "Sebentar lagi," kata Bill, sambil memandangi Becka sungguhsungguh. "Pertama, katakan padaku apa yang kaumaksud mengenai
Honey." "Tak ada," jawab Becka dengan tidak enak. "Seharusnya aku
tak mengatakannya. Aku hanya... sepanjang hari aku memikirkan hal
itu, membayangkan Honey di tempat sepeda. Lalu..." Becka mulai
mengusap kaca depan mobil untuk membersihkannya.
Bill menarik Becka ke jok. "Becka, ayolah," tegurnya pelan.
"Kau benar-benar tak berpikir Honey berusaha membunuh Lilah
hanya karena Lilah itu sahabatmu, kan?"
"Tidak, rasanya tidak," kata Becka bimbang. "Aku tak tahu.
Maksudku, aku memikirkan begitu banyak hal yang gila. Honey
cuma... dia cuma... aku ini tak berguna, Bill. Sungguh!" Becka terisak.
Bill meraih Becka, melingkarkan kedua lengannya di
pundaknya, dan memeluknya.
Becka menatap ke luar lewat kaca depan ketika Bill
mengangkat wajahnya untuk menciumnya. Matanya terbelalak ketika
melihat sekilas sesuatu di luar, sesuatu berwarna merah di balik
pohon. "Bill, dia di sana!" teriak Becka, menarik diri dari Bill tiba-tiba.
"Honey! Dia di sana! Dia sedang mengawasi kita!"
Becka meraba-raba mencari pegangan pintu.
"Tunggu"!" teriak Bill.
Bill menangkap Becka dengan kedua tangannya. Tapi Becka
mendorong pintu hingga terbuka dan melompat keluar dari mobil.
"Itu dia! Dia mengikuti kita!" Becka menjerit panik, sambil
berlari menuju pohon itu.
Bab 12 EMBUSAN napas Becka menguap di depannya ketika ia berlari
di kegelapan menuju pohon itu. Jantungnya berdegup kencang.
Ia sangat marah, serasa akan meledak.
Lancang sekali Honey! Punya hak apa dia hingga berani membuntuti Becka" Mematamatainya"
Itu gila. Sungguh gila. Becka mendengar langkah kaki Bill berdebam keras di
belakangnya. "Becka, tunggu!"
Mereka berdua sampai di dekat pohon itu pada saat yang
bersamaan. "Honey?" panggil Becka hampir tanpa bernapas. "Honey?"
Becka terengah-engah di udara yang dingin itu.
Dan menatap saputangan merah itu. Saputangan merah yang
terjuntai dari sebatang pohon kurus, bercabang rendah.
Bagaimana dia bisa mengira saputangan merah itu milik
Honey" Bill meraih saputangan itu dan menariknya. Ia menyodorkan
saputangan itu kepada Becka.
Becka mengira Bill akan menertawakannya. Tapi wajah Bill
amat serius, tatapannya terpusat pada Becka penuh perhatian.
"Becka, aku sungguh-sungguh mencemaskanmu," kata Bill
lembut. Ia menurunkan saputangan itu, kemudian menjatuhkannya ke
tanah. "Kau harus menemukan cara untuk menenangkan diri," kata
Bill, sambil menatap Becka sungguh-sungguh.
"Aku tahu," jawab Becka, sekujur tubuhnya gemetar. "Tapi apa
yang bisa kulakukan, Bill" Apa yang bisa kulakukan?"
******************** Becka mengerang dan berusaha duduk.
Kepalanya seakan dibebani dua ton. Ia kembali membenamkan
kepalanya di bantal. Ia menggapai termometer, kemudian ingat ia baru saja
mengukur suhu badannya sepuluh menit lalu. Suhu badannya 38,7
derajat Celsius. O ya, jam berapa sekarang"
Ia bersusah payah memusatkan pandangan pada jam radio di
samping ranjang. Pukul dua belas lewat sedikit. Senin siang.
Ia merasa agak aneh Minggu malam. Agak mual. Agak tidak
enak badan. Ketika bangun dari ranjang Senin pagi, ia segera tahu bahwa ia
sakit berat. Flu, mungkin. Atau akibat semacam virus. Sesuatu yang
selalu berkeliaran. "Andai saja aku bisa tinggal di rumah dan merawatmu," ibunya
berkata sambil membawakan teh dan roti bakar yang diolesi mentega
di atas nampan. Becka memaksa diri meneguk teh. Ia tidak bisa
makan roti bakar itu. "Tak apa-apa, Mom. Aku bukan anak kecil. Aku bisa mengurus
diriku sendiri," kata Becka. Kepalanya berdenyut-denyut seakan ada
orang di dalamnya, sedang memukul-mukul dengan palu ingin keluar.
"Aku hanya ingin tidur sepanjang hari."
"Kuusahakan pulang lebih awal," kata Mrs. Norwood sambil
mengernyitkan dahi. "Minumlah banyak-banyak, oke" Ini. Tunggu
sebentar. Akan kuambilkan Tylenol untukmu."
Rasanya lama sekali ibu Becka kembali. Becka berbaring,
merasa tidak enak tapi terlalu lemah untuk mengubah posisinya. Ia
menatap langit-langit, berusaha mengingat-ingat apa yang sedang
terjadi di sekolah. "Ini Tylenol-nya. Minumlah dengan jus." Ibunya membungkuk
di atasnya, sambil memegang segelas kecil jus dan dua butir pil. "Ada
Honey di bawah," katanya, ketika Becka berusaha bangun. "Dia ingin
ke atas, tapi kukatakan sakitmu parah sekali."
"Terima kasih," kata Becka lemah. Ia menelan dua butir pil dan
mengembalikan gelas jus itu kepada ibunya.
"Kata Honey, dia pasti akan membawakan PR-mu sepulang
sekolah," kata Mrs. Norwood. "Dia begitu penuh perhatian, ya kan?"
"Siapa yang butuh PR?" gumam Becka getir. Ia membenamkan
kepalanya di bantal dan mengerang keras.
"Sebelah mana yang sakit?" tanya Mrs. Norwood, sambil
menggigit bibir bawahnya.
"Semuanya sakit," Becka merintih.
"Yah, kalau begitu tidurlah sepanjang hari," kata Mrs. Norwood
sambil meletakkan tangannya yang dingin di atas kening Becka yang
panas. "Ooh. Panas sekali. Nanti aku akan meneleponmu. Jangan Iupa
minum yang banyak. Jika besok kau tak merasa lebih baik, lebih baik
kita memanggil Dokter Klein."
Ibu Becka menghilang keluar pintu.
Becka menatap langit-langit lama sekali. Kemudian ia
memiringkan tubuhnya. Aku sedang sekarat, pikirnya. Aku merasa sakit sekali.
Ia tidur dengan gelisah. Ibunya menelepon sekitar pukul
sebelas, membangunkannya. Setelah mengatakan sesuatu kepadanya,
Becka berjalan kaki menuju dapur dan menuang segelas tinggi jus
apel, kemudian kembali ke ranjangnya.
Siang itu berlalu dalam remang-remang demam. Setengah
sadar, setengah tertidur, Becka berguling ke kanan dan ke kiri dengan
gelisah, merasa panas dan berkeringat, kemudian menarik selimut
sampai ke dagunya ketika demam menyerangnya.
Ia bermimpi seram, menyala dengan warna-warna cerah yang
menyilaukan. Mimpi dikejar-kejar. Ia sedang berlari, berlari mati-matian, berusaha melarikan diri
dari sesuatu yang tidak diketahuinya.
Mimpi-mimpi itu bertabrakan dengan mimpi lain.
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia dan Lilah sedang bersepeda berboncengan. Kemudian Honey
berlari sepanjang jalan di sisinya.
Lalu mereka bertiga berada di atas sepeda dan sepeda itu roboh.
Mimpi-mimpi aneh, mimpi-mimpi yang mengganggu.
Yang satu menyusul yang lainnya.
Telepon berdering pada pukul tiga seperempat.
Setelah telepon itu berdering tiga kali, Becka baru sadar bunyi
apa itu. "Halo?" Suaranya tercekik. Ia batuk keras-keras untuk
membersihkan tenggorokannya.
"Oh. Kau di rumah," kata suara yang tidak asing lagi di ujung
sana. "Trish?" "Kupikir kau tak di rumah," jawab Trish.
"Hah" Kenapa tidak?"
"Yah, kupikir mungkin kau di rumah sakit, Becka. Aku begitu
cemas. Aku tak sabar ingin pulang untuk meneleponmu."
Becka merasa kamar itu berputar-putar. Sambil mencengkeram
gagang telepon erat-erat, ia memejamkan mata dan berbaring di
bantal. "Trish, demi Tuhan kenapa aku di rumah sakit?"
"Yah," Trish ragu-ragu di ujung sana. "Honey bilang pada
semua orang kau mengalami gangguan saraf."
Bab 13 TENGGOROKAN Becka seperti tercekik.
Mendadak sekujur tubuhnya terasa dingin. Ia menggigil.
"Trish, apa katamu?" tanya Becka dengan suara bergetar.
"Mmm... ketika kau tak muncul di kelas tadi pagi, aku
menanyakan pada Honey, kau ke mana. Dan Honey bilang dia punya
kabar yang sangat buruk. Katanya kau mengalami gangguan saraf."
"Hah" Dia bilang begitu?"
"Ya, katanya itu karena kecelakaan yang menimpa Lilah."
Becka mencoba bicara, tapi tak ada sepatah kata pun yang bisa
keluar. Tiba-tiba ia menyadari sedang mencengkeram gagang telepon
itu erat-erat sampai tangannya sakit.
"Kata Honey kau jadi sinting," lanjut Trish. "Semua orang
diberitahunya. Aku yakin kau di rumah sakit atau semacamnya. Aku
cemas sekali, Becka."
"Aku tak percaya!" Becka menjerit dengan suara melengking.
"Aku tak percaya!"
"Jadi, kau tak mengalami gangguan saraf?" tanya Trish takuttakut.
"Trish, aku terserang virus," jawab Becka. "Virus konyol. Itu
saja." "Wuh." Trish mengembuskan napasnya dengan berisik.
"Kenapa Honey begitu?" seru Becka. "Kenapa?"
"Bikin gara-gara," jawab Trish. "Pasti dia sudah gila. Aku
senang sekali. Maksudku, aku tak senang kau kena virus. Aku senang
karena kau tidak..."
"Apa dia gila?" potong Becka. "Apa dia termasuk jenis orang
yang punya kecenderungan berbohong, atau semacam itu?"
"Aku tak tahu," sahut Trish. "Aku tak tahu harus bilang apa.
Honey itu aneh. Itu yang pasti. Dengar, Becka, aku punya kabar baik
mengenai pestaku." "Pesta?" Kepala Becka berputar. Pikirannya campur aduk,
saling tumpang tindih seperti mimpi waktu demam.
"Kau tahu. Pesta Natalku."
"Ah, betul." "Aku yakin nanti kau akan sembuh,"
Trish melanjutkan. "Kabar baik itu adalah orangtuaku setuju
untuk pergi. Jadi tak ada orangtua yang mengawasi setiap gerak-gerik
kita." "Bagus," ujar Becka lemah, ia mencoba berkonsentrasi.
"Artinya orangtuaku takkan tahu Bill hadir di pesta itu," lanjut
Trish. "Mereka takkan bisa memberitahu orangtuamu. Jadi kau aman.
Tak ada masalah!" "Hebat," gumam Becka.
"Wah, kayaknya sakitmu parah," ujar Trish penuh simpati.
"Mau kubawakan sesuatu" Sup ayam. Es krim cokelat panas..."
Becka mengerang sebagai jawabannya.
"Aku bicara dengan Lilah. Tadi malam," kata Trish.
"Kelihatannya dia agak baikan, mengingat apa yang telah
dialaminya." "Ya. Aku menengoknya kemarin," kata Becka. "Memang sudah
mendingan. Dia ingin sekali keluar dari rumah sakit sekarang."
"Kasihan sekali," jawab Trish sambil berdecak. "Perlu waktu
yang lama sekali. Mungkin berbulan-bulan. Setelah itu dilanjutkan
dengan banyak terapi untuk melatih kedua kakinya. Tapi paling tidak
dia akan sembuh nanti. Aku sedih sekali dia tak bisa menghadiri
pestaku, tapi kau akan hadir, kan?"
"Aku akan hadir," Becka merintih. "Walau seandainya aku
sekarat." Ia menyepak seprai dan selimut. Ia merasa panas dan
berkeringat lagi. Mulutnya sekering kapas.
"Jadi kau tak ketemu Honey hari ini?" tanya Trish.
"Bagaimana mungkin?" hardik Becka. "Aku terbaring di
ranjang sepanjang hari, menguap dan mengerang."
"Tunggu sampai kau melihatnya."
"Hah" Kenapa dia?" desak Becka.
"Aku tak ingin mengurangi kejutan ini," sahut Trish misterius.
"Kejutan" Trish?"
"Sudah dulu, ya," kata Trish. "Telepon aku jika ada yang bisa
kulakukan. Semoga kau cepat sembuh. Kau tahu maksudku, kan."
Ia menutup telepon. Becka menatap gagang telepon itu lama sekali, kemudian
akhirnya meletakkannya kembali ke tempatnya.
Ia duduk, merasa pusing. Lalu ia meneguk jus apel yang telah
diambilnya. Rasanya hangat dan asam.
Dikibaskannya termometer dan dimasukkannya ke mulut.
Aku tahu aku demam, pikirnya. Besok hari terakhir sekolah
sebelum liburan. Tapi aku tak bisa masuk.
Suhu badannya masih 38 derajat lebih sedikit.
Ia mengambil termometer itu dan menggembungkan bantalnya.
Ia baru saja kembali meletakkan kepalanya di bantal ketika
didengarnya langkah kaki di atas tangga.
"Hai, Becka. Ini aku!" Honey berseru riang. "Pintu depan tak
terkunci, jadi aku masuk sendiri. Bagaimana perasaanmu hari ini"
Aku menguatirkanmu sepanjang hari."
Becka tersentak bangkit. Sekujur tubuhnya tegang. Aku akan menanyakan apa maunya menyebarkan berita bohong
yang mengerikan tentang diriku, Becka memutuskan.
Honey menyerbu masuk kamar. "Hai. Kau merasa baikan?"
Mulut Becka ternganga karena terkejut sekali.
Matanya terbelalak menatap Honey.
"Kau suka?" tanya Honey sambil bergaya.
Becka tidak bisa menyahut.
Honey berputar-putar. Rambut pirangnya yang tebal dan panjang seperti bulu tengkuk
singa itu sudah lenyap. Dia meniru model rambut pendekku, Becka menyadari. Dia
memotong rambutnya sama persis seperti rambutku!
Bab 14 SETELAH Honey akhirnya pulang, Becka tertidur tapi
sebentar-sebentar terbangun. Ia memaksakan diri menghabiskan dua
potong roti bakar yang diolesi mentega dan secangkir teh untuk makan
malam. Kemudian ia kembali susah tidur, lalu menonton televisi.
Dering telepon membangunkannya dari mimpinya yang tidak
menyenangkan. Dengan terhuyung-huyung, ia meraih pesawat
telepon, bersusah payah memusatkan pandangannya pada jam di meja
samping ranjang. Pukul 22.33.
"Halo?" Suaranya masih mengantuk. Kepalanya sakit.
Semuanya sakit. "Becka, ini aku lagi. Honey."
Siapa lagi" "Honey, aku sedang tidur." Dengan mengerang, Becka
mengangkat kepala dari bantal.
"Oh. Sori. Aku harus menelepon sekali lagi, Becka."
Siang itu Honey sudah menelepon dua kali.
"Rasanya aku agak baik," Becka berbisik. "Tapi aku tak tahu
apakah besok aku akan berangkat ke sekolah."
"Aku menelepon bukan untuk itu," jawab Honey, suaranya
bergetar. "Aku cuma tak bisa berhenti memikirkan... aku tak tahan
kalau kau menduga aku menyebarkan kabar yang mengerikan tentang
kau di sekolah hari ini."
"Honey, masalah ini sudah kita anggap selesai," kata Becka,
menghela napas capek. Mulutnya terasa kering. Ia menjepit gagang
telepon dengan dagu dan bahunya, lalu meraih gelas di meja samping
ranjangnya. "Aku tahu kita sudah membicarakannya. Sori," kata Honey.
"Tapi aku harus tahu kau percaya padaku, Becka. Kau harus percaya
padaku. Aku tak pernah bilang pada semua orang bahwa kau kena
gangguan saraf. Itu betul-betul konyol sekali. Kenapa aku
melakukannya?" "Honey, sungguh," Becka mencoba memotongnya, tapi Honey
memaksa melanjutkan. "Aku tak pernah bilang begitu," kata Honey emosional.
"Sungguh. Trish bohong. Aku tak pernah bilang padanya atau pada
semua orang yang lainnya bahwa kau kena gangguan saraf. Trish itu
pembohong, Becka. Kau harus percaya padaku."
Kepala Becka terasa seberat bola boling. Ia meletakkan
kepalanya kembali di bantal dan memejamkan matanya. "Honey, aku
sakit. Aku benar-benar harus tidur. Tolong..."
"Tapi katakan padaku kau percaya aku," desak Honey.
Becka menarik napas dalam-dalam. "Oke. Aku percaya kau."
Apa pun akan dilakukannya untuk memutuskan pembicaraan
lewat telepon itu. "Oh, terima kasih!" teriak Honey penuh rasa syukur. "Trims,
Becka. Aku tahu kau takkan percaya cerita konyol seperti itu. Cuma
bikin kita merasa tidak enak waktu aku menengokmu siang tadi.
Maksudku, aku tahu kau tak suka potongan rambutku, dan..."
"Aku tadi tak mengatakan tidak menyukainya," Becka
mengerang. "Aku... aku cuma kaget, itu saja. Aku tak menyangka..."
"Maksudmu kau benar-benar suka model rambutku?" tanya
Honey. "Ya, kau kelihatan cantik," sahut Becka.
"Tapi apa kau menyukainya?" desak Honey.
"Ya. Mengagumkan," Becka berbohong. "Dengar, Honey, aku
benar-benar capek. Aku harus kembali tidur, oke?"
"Oke. Aku merasa jauh lebih baik tentang semuanya. Aku
takkan menelepon lagi, Becka, tapi aku ada di sini jika kau butuh aku,
oke" Aku akan meneleponmu besok pagi. Kuharap kau akan cukup
sehat untuk pergi ke sekolah. Besok kan hari terakhir sekolah."
"Aku tahu," kata Becka. "Selamat malam." Ia meletakkan
gagang telepon tanpa menunggu jawaban.
Honey membuatku sinting! pikir Becka.
Sinting! Ia menarik bantal ke dadanya dan menekannya.
Apa yang akan kulakukan terhadapnya"
Ia mencengkeram bantal itu erat-erat, memeluknya seolah
hidupnya tergantung pada bantal itu.
Apa yang akan kulakukan"
Honey membuatnya terlalu bingung, Becka membutuhkan
waktu hampir dua jam untuk kembali tidur.
****************** Becka memutar angka kombinasi dan menarik pintu locker-nya
hingga terbuka. Ia menjangkau untuk mengambil map looseleaf dari
rak. "Auw!" Kepalanya berdenyut-denyut ketika ia menengadah.
Ia masih merasa lemah. Barangkali seharusnya ia masih
berbaring di ranjang sehari lagi. Tapi ia tidak ingin kehilangan hari
terakhir sekolah sebelum liburan Natal.
"Oh! Becka, kau di sini!"
Didengarnya teriakan heran di belakangnya, Becka menoleh.
"Oh, hai, Cari," balasnya. Ia menyeimbangkan letak ranselnya di atas
salah satu lutut yang diangkatnya, lalu bersusah payah menjejalkan
map itu ke dalamnya. Itu adalah Cari Taylor, temannya, cewek mungil dan cantik
dengan bola mata biru cerah dan rambut pirang lurus diikat ke
samping membentuk ekor kuda pendek. Locker Cari di samping
locker Becka. "Aku... kupikir kau tak ada di sini," kata Cari kikuk, sambil
mengamati Becka dengan penuh rasa ingin tahu. "Maksudku,
kudengar..." "Aku terserang virus atau semacamnya," kata Becka, cemberut.
Diktat matematikanya meluncur dan jatuh ke lantai. "Aku sudah
baikan hari ini." Wajah Cari memerah. "Aku senang," katanya. "Maksudku, aku
tak senang kau sakit. Aku... aku cuma dengar kau benar-benar sakit."
"Siapa yang bilang itu?" tanya Becka tajam, sambil
membungkuk untuk mengambil diktat matematikanya. Kepalanya
berdenyut-denyut lagi begitu ia menunduk untuk meraih buku itu.
Cari mengangkat bahu. "Kata beberapa anak, kau kena
gangguan saraf," sahutnya dengan merendahkan suaranya hingga
seperti bisikan. Becka menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Sungguh."
"Gosip konyol, kukira," kata Cari, jelas ia malu sekali. "Siapa
yang tahu bagaimana ini dimulai?"
"Aku tahu," Becka bergumam pahit.
Ia menutup ranselnya. Bel pertama berbunyi. Pintu locker
dibanting sepanjang koridor. Kunci kombinasi diputar. Anak-anak
berlalu, sambil mengobrol dan tertawa, menuju kelas masing-masing.
Becka memutar kuncinya dan mulai berjalan sepanjang koridor
bersama Cari. Honey benar-benar pembohong, Becka sadar, amarahnya
timbul. Ternyata dia benar-benar mengatakan pada semua orang
bahwa aku mengalami gangguan saraf.
Dilihatnya anak-anak yang berkerumun menunggu
perpustakaan dibuka. Mereka tampak heran sekali melihat Becka
lewat. Mereka pasti mendengar kabar angin itu juga.
"Apa rencanamu liburan ini?" tanya Becka, sambil berusaha
keras untuk tidak memikirkan Honey.
"Oh, Reva Dalby mengajakku bermain ski bersama dia dan
ayahnya," jawab Cari sambil tersenyum. "Mereka pergi main ski
setiap Natal, begitu kira-kira. Aku tak sabar. Aku belum pernah ke
Aspen. Mestinya asyik sekali waktu Natal."
Mereka berhenti di luar kelas Cari. "Kalau kau, apa
rencanamu?" tanya Cari.
"Tak banyak," sahut Becka. "Kami selalu tetap di sekitar rumah
saja. Kami punya berjuta-juta saudara untuk dikunjungi. Dan kau tahu
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Trish akan mengadakan pesta besar hari Sabtu."
Bel kedua berbunyi. "Ya. Sayang sekali aku tak bisa menghadirinya. Bye. Semoga
kau senang!" teriak Cari, sambil masuk ke kelasnya. Kemudian ia
menambahkan, "Aku senang kau baik-baik."
Becka tergesa-gesa melintasi koridor menuju kelasnya,
melemparkan ranselnya ke lantai, dan menyelinap ke bangkunya.
Apakah ini cuma khayalanku" tanyanya dalam hati. Atau
apakah semua orang memang sedang menatapku"
Apakah Honey memberitahu semua orang di ruangan ini bahwa
aku mengalami gangguan saraf"
Ia berpaling untuk melihat Honey di sampingnya. Ia masih
kaget, kaget sekali, melihat rambut pirang Honey yang pendek, benarbenar tiruan rambutnya.
Dia memakai blus biru sutraku, Becka menyadari dengan
marah. Dan dia memasang bros burung beoku di kerahnya.
Sebuah buku terbuka di pangkuan Honey. Ia menutup buku itu
dan tersenyum kepada Becka.
"Bagaimana rasanya, Becka" Kau kelihatan pucat sekali."
"Tidak begitu baik," gumam Becka cemberut.
"Kan sudah kubilang padamu sebelum kita berangkat, kau
seharusnya di rumah saja," Honey mengomel. "Akan kubawakan
semua PR-mu. Akan kuurus semuanya untukmu. Segalanya."
Apa yang akan kulakukan terhadapnya" tanya Becka kepada
dirinya sendiri dengan perasaan tidak keruan.
Pertanyaan itu telah menjadi obsesi, refrein yang tak ada
akhirnya. Apa yang akan kulakukan"
************************ "Apa yang akan kuperbuat, Trish?" tanya Becka. Pertanyaan itu
terdengar lebih seperti permohonan daripada pertanyaan.
Trish menggigil dan menarik ritsleting jaket wolnya sampai ke
kerah. Ia menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dan
mempercepat langkahnya untuk menyusul Becka, sepatu botnya
terbenam ke dalam tanah yang lunak.
Saat itu waktu makan siang. Tapi Becka tidak punya selera
makan. Setelah membujuk-bujuk, ia berhasil mengajak Trish yang
ogah-ogahan untuk berjalan-jalan di belakang sekolah.
Hari itu udara dingin, cuaca kelabu, awan berat melayanglayang rendah. Udara lembap. Tercium bau seolah akan turun salju
beberapa menit lagi. "Kau seharusnya tak berjalan-jalan di luar. Kau kan sedang
sakit," Trish mengomel.
"Aku harus keluar," kata Becka. "Aku tak tahan duduk di ruang
makan, berusaha menelan sandwich dengan Honey yang menatapku di
seberang meja. Mereka menyusuri jalan setapak menuju belakang stadion.
Lapangan sepak bola sunyi dan kosong. Salah satu gawang tumbang
dilanda angin kencang beberapa minggu lalu.
"Honey mengacaukan hidupku," keluh Becka. "Apa yang akan
kuperbuat?" "Kenapa kau tak membunuhnya?" saran Trish.
Bab 15 BECKA berhenti dan menatap Trish dengan mulut ternganga.
Trish tertawa. "Oh, Trish," teriak Becka, sambil menggeleng-geleng. "Honey
membuatku begitu kacau, aku benar-benar mempercayaimu. Kupikir
kau serius." "Tidak dong, cuma bercanda," kata Trish, menarik topi wol
hijaunya lebih rendah menutupi kepalanya, menekan rambut
merahnya yang keriting di dalamnya. "Kau benar-benar kacau-balau,
Becka." Mereka telah mengitari stadion. Di belakang mereka terhampar
Taman Shadyside, pepohonan yang tak berdaun di musim dingin
tampak gundul dan gelap, bergoyang-goyang ditiup angin. Mereka
meninggalkan taman itu. Angin mengembus punggung mereka.
Mereka mulai berjalan pelan-pelan menuju tempat parkir untuk murid.
"Aku tak percaya kubiarkan kau mengajakku bicara di luar
tanpa makan siang. Aku lapar sekali!" keluh Trish.
"Kau tak membantu sepenuh hati," kata Becka. "Maksudku,
dalam soal Honey." "Dan aku beku," Trish melanjutkan, mengabaikan Becka.
"Udara dingin ini membuat kawat gigiku membeku!"
Mula-mula Trish yang berhenti, mulutnya melongo keheranan.
Ia mengangkat lengannya untuk menghentikan Becka.
Becka mengikuti pandangan temannya ke tempat parkir.
Honey di sana. Ia berjalan pelan-pelan di antara dua baris
mobil. Berjalan dengan seorang cowok.
Cowok itu merangkul bahu Honey.
Mereka berhenti dan berpelukan.
"Aku tak percaya," bisik Becka, berjalan ke belakang Trish
seolah-olah untuk bersembunyi.
Mereka menatap dengan diam ketika Honey menyandarkan
punggungnya ke mobil, lalu ia dan cowok itu berpelukan lagi.
"Dia dengan siapa?" bisik Becka.
"Aku tak bisa melihat wajahnya," jawab Trish. "Kita terlalu
jauh." Mereka berdiri di dekat pagar dari mata rantai logam yang
memagari lapangan sepak bola, kemudian mereka mendekati tempat
parkir. "Oh, wow! Itu Eric!" seru Trish.
"Eric siapa?" desak Becka. "Eric-ku?"
"Ya." Trish mengangguk.
Becka mencengkeram kawat logam pagar itu dan menekannya
sampai tangannya sakit. "Yah, kau sudah putus dengannya," kata Trish. "Kukira Honey
berhak..." "Trish! Lihat dia!" teriak Becka panas. "Rambutnya dipotong
seperti rambutku. Dia memakai jaket sama persis seperti punyaku. Dia
memakai blus biruku yang dibawanya pulang dan tak pernah
dikembalikan. Dan bros burung beoku, bros enamel yang diberikan
Bill padaku. Dan sekarang dia berdiri di sana di tempat parkir,
memeluk mantan pacarku!"
"Becka..." "Ini memuakkan! Benar-benar memuakkan!"
"Becka, kau menjerit. Tenanglah, oke" Tenang saja!" Trish
mencengkeram bahu Becka dan menatapnya penuh perhatian.
Becka bahkan tidak menyadari ia sedang menjerit. Ia
menghirup napas dalam-dalam dan menahannya. Ia melepaskan pagar
itu dan memasukkan tangannya yang beku ke saku jaketnya.
"Aku tahu seharusnya kita tetap di dalam saja," kata Trish
cemberut. "Apa yang akan kulakukan?" tanya Becka sekali lagi, memaksa
suaranya tetap rendah dan tegar. Matanya kembali memandang tempat
parkir. Honey dan Eric sedang berjalan bergandengan tangan
sepanjang jalan, menuju ke arah Becka dan Trish.
"Kau harus jujur dengan dia," kata Trish, sambil memainkan
topi wolnya. "Jujur" Apa maksudmu?" desak Becka.
"Kau harus bilang padanya kau tak ingin berteman dengannya."
Dua ekor burung hitam yang besar menukik rendah di atas
kepala mereka, berkaok keras, dalam perjalanan mereka menuju
taman. Aku berharap bisa terbang bersama mereka, pikir Becka sedih,
sambil memperhatikan Eric dan Honey mendekat.
"Tapi jika itu kukatakan pada Honey, aku tak tahu apa yang
akan dilakukannya," kata Becka. "Dia sangat emosional. Dia gila. Dia
benar-benar gila. Malahan menurutku dialah yang menyebabkan
kecelakaan yang menimpa Lilah."
Trish menatap Becka, raut wajahnya berubah. "Kau tak sinting,
kan, Becka," ia memperingatkan dengan tenang. "Jangan gila
sungguhan dong! Honey mungkin pengacau yang menjengkelkan.
Dan penjiplak. Tapi jika kau mulai mengajukan tuduhan yang tidaktidak..." Ia tidak menyelesaikan ucapannya.
"Kau tak mengenal Honey sebaik aku," Becka mendebat.
Waktu ia melihat sekilas ke depan, Eric tiba-tiba berbalik dan
tergesa-gesa kembali ke gedung sekolah. Honey sedang menghampiri
mereka dengan cepat, berlari-lari kecil ke arah mereka, sambil
melambai-lambai. Eric pasti malu, pikir Becka.
"Hai, Becka!" seru Honey. Ia berhenti di hadapan Becka,
napasnya tersengal-sengal, uap mengepul dari mulutnya, senyum lebar
terpampang di wajahnya. "Hai," gumam Becka, jelas terlihat tanpa semangat.
"Ngapain kau di luar sini?" tanya Honey.
"Lagi bicara dengan Trish."
"Oh." Honey seakan baru melihat kehadiran Trish di situ. "Hai."
Trish mengangguk. "Boleh aku bergabung?" Honey bertanya kepada Becka.
Becka menggeleng. "Tidak sekarang, Honey. Aku sungguhsungguh ingin bicara dengan Trish secara pribadi."
"Pribadi?" ebukulawas.blogspot.com
"Ya," jawab Becka dingin.
Mulut Honey melongo. Bola matanya yang kelabu menyempit.
"Ada apa, Becka?" desaknya, kedengarannya ia tersinggung. "Tak ada
yang tak bisa kaubagi dengan sahabat karibmu."
"Itulah sebabnya aku bicara dengan Trish!" kata Becka ketus.
Nah, pikir Becka. Seharusnya itu sudah cukup jelas. Sekarang
mungkin Honey akan mengerti isyarat itu.
Ekspresi Honey menjadi kosong. Tanpa emosi, tetapi wajahnya
berubah jadi merah padam.
Ia memasukkan kedua tangannya yang besar ke saku jaketnya
dan berbalik pergi cepat-cepat. "Sampai nanti," teriaknya tanpa
menoleh dan mulai berlari-lari kecil menuju sekolah.
"Halus sekali," komentar Trish tak acuh. Ia tertawa kecil.
"Kupikir Honey sudah mengerti."
Becka tidak tersenyum. Tiba-tiba dirinya dipenuhi rasa sesal
dan takut. "Seharusnya aku tak begitu kasar," ujarnya seperti berbisik.
"Ya, kau harus begitu," Trish menekankan. "Kau sudah lama
sekali bersabar. Itulah satu-satunya jalan."
"Lebih baik kau hati-hati, Trish," kata Becka sambil menggigiti
ujung ibu jari tangannya.
"Hah" Apa maksudmu?"
"Lebih baik kau hati-hati. Memang kedengarannya sinting.
Seperti selalu curiga. Tapi menurutku Honey bisa berbahaya. Jika dia
iri hati padamu, jika dia mulai membencimu, dia mungkin mencoba
melakukan sesuatu." Trish tertawa dan menggeleng-geleng. "Ih, ngeri, Becka,"
ejeknya. "Sungguh lho. Apa yang bisa diperbuatnya?"
Bab 16 "JAGA dirimu," kata Trish ketika mereka melangkah memasuki
kehangatan gedung itu. "Kau tak boleh melewatkan pesta Natalku
Sabtu nanti." "Aku akan baik-baik kok," kata Becka menggigil. "Sampai
nanti, Trish. Trims mau menemaniku jalan-jalan."
Becka melambai kepada temannya, kemudian berbalik dan
berjalan ke arah koridor yang ramai menuju locker-nya. Ia masih
merasa tidak enak dan sakit.
Barangkali seharusnya aku tak berdiri di luar dalam udara
dingin seperti itu, pikirnya.
Ia melambai kepada beberapa anak, kemudian berbelok di
pojok dan berjalan terus. Diliriknya jam dinding di atas, waktu makan
siang masih sepuluh menit lagi.
Bagus, pikirnya. Masih ada waktu untuk pergi ke WC cewek
dan bergabung dengan mereka.
Setelah melewati sekelompok anak laki-laki yang sedang
bergerombol, menertawakan sesuatu, saling mempertemukan tangan
ber-high-five, ia berhenti di depan locker-nya.
"Oh." Ia terkejut, pintu locker-nya telah dibuka dengan paksa.
Aku yakin sudah menguncinya, katanya kepada diri sendiri.
Ia membuka pintu locker dan tercengang.
"Becka, ada apa?"
Becka menoleh. Dilihatnya Cari Taylor di sampingnya, mulai
membuka locker-nya. "Lihat," kata Becka, sambil menunjuk.
"Oh, wow!" teriak Cari, sambil mendekat untuk mengintip ke
dalam locker Becka. "Ada yang sudah mengobrak-abriknya!"
"Semuanya," kata Becka lemah sekali.
Diktat-diktatnya, yang biasanya disusun rapi di rak, telah
berjatuhan ke lantai locker. Map-mapnya disobek, kertas-kertasnya
berhamburan. Scarf wol yang disimpannya di locker itu kusut
bercampur baur dengan kertas-kertas. Kartu catatan untuk
penelitiannya tersebar ke mana-mana.
"Kurang ajar sekali!" seru Cari. "Siapa yang melakukannya?" Ia
memegang bahu Becka yang gemetar. "Kau harus melaporkan ini."
"Ya, aku tahu," jawab Becka.
Gelombang rasa mual menyapu dirinya. Ia memaksa diri
berpaling dari barang-barang yang berantakan itu.
"Siapa yang melakukannya?" ulang Cari.
Beberapa anak lain bergegas ingin melihat ada keributan apa.
Aku tahu siapa yang melakukan ini, pikir Becka getir.
Aku tak usah menebak. Honey yang melakukannya. Segala hal yang konyol dan kekanak-kanakan!
Hanya karena aku menyinggungnya, ia merasa harus langsung
membalas dengan mengobrak-abrik barang-barangku.
"Aaaagh!" teriak Becka jengkel dan mendadak menyingkir dari
anak-anak yang berisik dan berkerumun di depan locker- nya.
"Becka, mau ke mana kau?" Cari memanggil di belakangnya.
"Ke WC cewek," sahut Becka.
Becka menerobos kerumunan cheerleader, yang memakai
kostum untuk suatu acara, dan tergesa-gesa melewati koridor yang
bising, suara-suara bergaung di telinganya.
Ia masuk ke WC cewek di ujung koridor.
Napasnya tersengal-sengal.
Cahaya abu-abu menerobos masuk melalui kaca jendela tinggi
yang membeku. Honey berdiri di depan bak cuci.
Masih mengenakan jaketnya.
"Oh!" pekik Becka.
Honey menoleh, juga terkejut. "Hai." Ia mematikan keran air
dan menarik selembar handuk kertas dari tempatnya di samping
cermin. "Honey!" jerit Becka. Rasanya ia tak dapat mengendalikan diri
lagi. Ia sudah tak tahan. Ia menahannya begitu lama. "Tega-teganya
kau?" Mata Honey terbelalak bingung. Ia berhenti mengelap
tangannya. "Hah?"
"Tega-teganya kau?"
"Apa, Becka" Tega kenapa?"
"Kau tahu, kau pembohong!" Becka berteriak.
Honey meremas kertas handuk di tangannya dan kertas itu
terjatuh ke lantai keramik. "Becka, kau menjerit," katanya, ekspresi
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bingungnya berubah jadi penuh perhatian. "Kau baik-baik saja, kan?"
"Tidak, Honey, aku marah!" teriak Becka, dengan gusar
menghampiri Honey. "Aku marah, dan kau tahu."
Dengan gelisah Honey mundur selangkah merapat ke dinding
kamar mandi. Ia mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat
menyerah. "Betapa teganya kau?" jerit Becka, lehernya tegang. Kedua
tangannya dikepalkan menjadi tinju di samping badannya. Urat-urat di
pelipisnya berdenyut-denyut. Cahaya putih dari jendela berkilauan di
depannya. Honey menghela napas. Ia berdiri dengan tegang, membalas
tatapan Becka. "Sungguh, Becka. Kau harus tenang. Aku tak tahu apa
yang sedang kaubicarakan. Sungguh aku tak tahu."
"Pembohong," kata Becka dengan nada menuduh. "Aku sedang
membicarakan locker-ku, tentu saja."
"Locker-mu, memangnya kenapa?" tanya Honey, seakan-akan
tidak bersalah. Becka menarik napas, akan menjawab tapi sadar ia tidak bisa
bicara. Ia terlalu marah untuk mengeluarkan suara.
"Kenapa kau mencari kesalahanku hari ini?" desak Honey, air
mata mengembang di sudut matanya yang abu-abu. Dagunya bergetar.
"Katakan padaku, Becka. Apa yang telah kulakukan?"
Becka bersandar ke bak cuci, menekankan kedua tangannya ke
perselen yang dingin, berusaha keras mengendalikan diri kembali.
"Kau sangat jahat padaku di lapangan sepak bola tadi," seru
Honey, dua butir besar air mata bergulir turun di kedua pipinya yang
merah padam. "Lalu sekarang kau menerobos masuk dan menjeritjerit padaku tanpa alasan." Honey menangis tersedu-sedu. "Kenapa,
Becka" Kenapa kau mencari-cari kesalahanku?"
"Enyahlah dari milikku," Becka bicara dengan rahang
dikatupkan. "Jangan campuri urusanku."
"Oh." Honey menghapus air mata dengan kedua tangannya.
"Aku mengerti. Maksudmu Eric. Kau melihat aku dengan Eric."
"Tidak," bantah Becka ketus.
"Kau marah karena aku pacaran dengan Eric sekarang," potong
Honey. "Tapi itu tak adil, Becka. Kau sudah putus dengannya."
"Aku tak peduli Eric," teriak Becka. Ia sadar bahwa sekujur
badannya gemetar. Ia menghela napas dalam-dalam dan menahannya.
Sambil mencengkeram bak cuci, ia memejamkan matanya.
Tapi getaran itu tidak berhenti.
"Maksudku bukan Eric," Becka mengulangi.
"Kau sudah memutuskan dia. Sekarang dia pacaran denganku,"
Honey menekankan. Ia berbalik ke cermin dan memperhatikan dirinya
sendiri, sambil menyeka air mata dari pipinya.
Apa dia sedang memeriksa model rambutnya" pikir Becka getir.
Model rambutku! Apa dia akan membasahi noda di blus birunya" Blus biruku!
Makam Ke Tiga 2 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Topeng Setan 1
ketemu Mom, dan..." "Sudah kubilang. Dia keluar, kupikir," kata Honey, tidak
beranjak dari ranjang. "Yah, aku harus mengerjakan beberapa tugas, dan..."
"Kau mau ke rumahku dan belajar nanti malam?" tanya Honey.
Ia menunduk sekilas dan mulai menggosok noda pada blus sutra biru
itu. "Ah, nanti malam aku tak bisa," sahut Becka.
"Yah, bagaimana kalau besok malam?"
"Oh, sori, Honey. Besok malam aku tak bisa juga," Becka
mengatakan yang sebenarnya. "Aku sudah janji pada Lilah akan ke
rumahnya dan membantu keluarganya untuk menghias pohon
mereka." EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Menyenangkan sekali," kata Honey dingin sambil menunduk.
Kemudian sepintas wajahnya menjadi tegang dan aneh, lalu ia
menambahkan, "Kau menghabiskan banyak waktumu dengan Lilah,
ya kan?" "Ya. Lilah, Trish, dan aku adalah teman baik," jawab Becka
tidak sabar. "Aku harus mengerjakan beberapa hal, Honey, jadi..."
Honey beranjak berdiri dari ranjang. "Oke. Kunjungan yang
menyenangkan." Ia menyeringai kepada Becka ketika berjalan
melintasi kamar itu. "Rasanya seolah aku tak pernah pergi semenit
pun. Tapi, kita punya banyak hal yang harus kita lakukan. Ada begitu
banyak yang harus dibicarakan, begitu banyak hal untuk dilakukan
bersama." "Ya," jawab Becka dengan aneh.
"Sampai jumpa besok pagi," kata Honey, mulai menuruni
tangga. "Tak usah kauantar. Bye!"
Becka berdiri kaku di tempatnya dengan mata terpejam, tidak
bergerak, bahkan tidak bernapas. Ia tidak bergerak sampai mendengar
pintu depan dibanting tertutup oleh Honey. Kemudian ia menghela
napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan-pelan, dan berjalan
keluar kamar menuju tangga.
"Mom, Anda di rumah" Mom?"
Tidak ada jawaban. ebukulawas.blogspot.com
Honey benar, Becka memutuskan. Mom pergi.
Bagus. Aku bisa bicara dengan Bill tanpa kuatir. Tanpa
gangguan Mom. Becka buru-buru menghampiri pesawat telepon dan memencet
nomor telepon Bill. Nada panggil berbunyi dua kali sebelum Bill
mengangkat telepon di seberang.
"Lagi ngapain?" tanya Becka berbisik, walaupun ia sendirian di
rumah itu. Bill tertawa kecil. "Kau percaya aku lagi mengerjakan PR?"
Bill seharusnya sudah lulus musim semi lalu. Tapi karena
diskors dan ternyata ia telah gagal dalam ujiannya, tahun ini adalah
tahun keduanya di kelas terakhir.
"Pelajaran-pelajaran ini jadi lebih kumengerti pada putaran
kedua," katanya, hanya setengah bercanda. "Aku pasti lulus. Kau lagi
ngapain?" Becka menghela napas. "Cewek yang kuceritakan padamu,
Honey, tetangga baruku itu, dia ke rumah. Maksudku, dia sudah ada di
sini ketika aku pulang."
"Kedengarannya kau tak terlalu takut," komentar Bill.
"Yah... Sikap Honey agak berlebihan," kata Becka. "Tak apaapa, kukira. Dia cuma membuatku gugup."
"Apa yang tak apa-apa?" Bill terkekeh.
"Apa maksudmu?" tanya Becka tajam.
"Bukan apa-apa. Cuma bergurau. Maksudku, kau bukan orang
yang paling sabar di dunia ini, Becka." Bill buru-buru mengubah
pokok pembicaraan untuk menghindari kesulitan. "Apakah kau akan
menemuiku malam Minggu ini?"
Becka ragu-ragu. "Aku tak tahu. Aku sungguh-sungguh tak
ingin keluar diam-diam."
"Tapi, Becka..."
"Aku selalu jujur pada orangtuaku, Bill. Aku tak yakin ingin
mulai pergi diam-diam tanpa sepengetahuan mereka sekarang."
"Kalau begitu katakan pada mereka kau akan menemuiku,"
desak Bill. "Aku ingin begitu. Cuma aku belum menemukan waktu yang
tepat. Kelihatannya..."
"Aku bukan pembunuh berantai, kau tahu itu," kata Bill tajam.
"Aku terjerumus dalam kesulitan kecil tahun lalu. Tapi aku sudah
berubah jadi baik secara total sekarang. Aku takkan merusak putri
keluarga Norwood yang berharga." Dan kemudian Bill menambahkan
dengan main-main, "Yah... mungkin sedikit."
"Aku tahu, aku tahu," kata Becka. "Masalahnya kau tak
mengenal orangtuaku."
"Well, aku sangat senang bertemu denganmu malam Minggu
nanti," kata Bill pendek. "Mungkin aku akan mampir dan sungguhsungguh kelihatan sinting di hadapan mereka."
Becka akan menjawab, tapi mendengar mobil ibunya memasuki
halaman. "Sudah dulu, ya. Sampai jumpa di sekolah," katanya dengan
menahan napas, lalu meletakkan gagang telepon, jantungnya
berdebar-debar. Ia buru-buru turun ke lantai bawah untuk menyambut ibunya.
Mrs. Norwood masuk lewat pintu dapur sambil menjinjing dua
kantong penuh bahan makanan. "Bisa mencair di luar sana," keluhnya
sambil meletakkan kantong-kantong itu dan membungkuk untuk
melepaskan sepatu botnya yang basah. "Aku benci ini, ketika salju
melembek dan mulai mencair."
Ia mengalihkan perhatiannya kepada Becka. "Apa kabar" Apa
yang sedang kaukerjakan" PR?"
"Belum," jawab Becka. "Aku sibuk dengan Honey."
"Honey?" Mrs. Norwood mulai membongkar barang-barang
belanjaannya. "Ya," ujar Becka, sambil berjalan ke meja untuk membantu.
"Kenapa Mom mengizinkan Honey naik ke kamarku" Mom tahu aku
tak suka orang-orang yang mencoba barang-barang milikku."
"Hah?" Ibu Becka meletakkan kantong tepung. "Apa yang
sedang kaubicarakan, Becka?"
"Mom tidak bilang pada Honey dia boleh menunggu di
kamarku?" "Bagaimana aku bisa bilang begitu?" tanya Mrs. Norwood
sambil menatap Becka. "Aku tak di rumah sepanjang siang ini."
Bab 8 "ASYIK sekali tadi malam," ujar Becka kepada Lilah. "Aku
gembira sekali. Adik laki-lakimu itu sangat lucu lho."
"Kau pernah ketemu orang yang punya begitu banyak cara
untuk memecahkan hiasan pohon Natal?" tanya Lilah sambil
menggeleng-geleng. "Tapi pohon Natal itu kelihatan sempurna," kata Becka. "Kurus
kering tapi sempurna."
Hari itu Rabu siang, hari yang cerah, hangat untuk musim
dingin, dan hanya ada beberapa petak kecil salju yang masih melapisi
aspal di tempat parkir untuk murid. Sekolah baru saja selesai. Becka
dan Lilah, dengan ransel tersandang di pundak mereka, berjalan
menuju tempat sepeda. "Kau ingin bersepeda ke mana?" tanya Lilah, sambil melambai
kepada beberapa anak yang berdesak-desakan di dalam Civic merah.
"Ke mana saja," jawab Becka antusias. "Aku cuma pengin
jalan-jalan. Rasanya sudah berminggu-minggu aku tak memakai
kakiku." "Ya. Aku juga," kata Lilah. "Aku senang sekali salju akhirnya
meleleh, jadi kita bisa bersepeda. Ayo kita lewat Park Drive ke River
Road, oke?" Becka menggangguk. "Bukit-bukit itu akan jadi tantangan."
"Betul-betul indah pemandangan di atas sungai itu," kata Lilah.
Mendadak ia berhenti. "Lihat, itu dia sahabatmu Honey di tempat
sepeda." Becka mengeluh. "Untung dia keluar lewat pintu sebelah. Dia
seperti bayanganku saja. Cuma lebih dekat."
"Kenapa kau tak bilang padanya kalau dia keliru?" tanya Lilah
sambil melompat mundur ketika Civic merah itu meraung melewati
mereka, klaksonnya berbunyi keras.
"Terkadang aku suka juga," sahut Becka sungguh-sungguh.
"Tapi kemudian kuputuskan dia tak terlalu jelek. Kupikir dia hanya
benar-benar gelisah."
"Siapa yang tak jelek?" tanya Lilah tidak acuh.
Mereka berjalan menuju tempat sepeda di belakang tempat
parkir murid. Honey sedang mengamat-amati salah satu sepeda, tapi
meninggalkannya ketika melihat Becka dan Lilah mendekat. "Hai!
Apa kabar?" sapanya sambil melambai. Ia mengenakan jaket kuning.
Rambutnya diikat ke belakang kepalanya dengan pita kuning.
"Hai, Honey," kata Lilah ceria.
Honey tampaknya tidak mendengar sapaan Lilah. "Bisakah aku
pulang denganmu?" tanya Honey kepada Becka.
"Tidak. Lilah dan aku akan bersepeda ke tempat jauh," jawab
Becka, sambil menaikkan ranselnya ke atas setang sepedanya. "Kami
cuma duduk-duduk selama berminggu-minggu. Kami butuh olahraga."
Honey cemberut. "Aku harus punya sepeda. Aku ingin sepeda
yang persis sepedamu. Sepuluh persneling, kan?"
Becka menggeleng. "Bukan. Dua puluh satu persneling."
"Aku suka model rambutmu," kata Lilah kepada Honey.
"Kau di rumah nanti malam?" tanya Honey kepada Becka.
"Ya. Barangkali. Aku harus mengerjakan laporan penelitian
sainsku." "Aku juga," kata Honey. "Aku akan meneleponmu, oke?"
"Oke," sahut Becka sambil memundurkan sepedanya keluar.
"Sampai nanti," kata Honey Dia berdiri di samping tempat
sepeda, kedua tangannya dimasukkan ke saku jaketnya, sambil
mengawasi Becka dan Lilah mengayuh sepedanya.
Mereka keluar dari tempat parkir dan belok kanan ke Park
Drive. Pinggir jalan masih digenangi salju yang mencair. Roda sepeda
mereka memercikkan genangan salju itu ketika mereka melewatinya.
"Kaulihat raut wajah Honey ketika kau bilang dia tak boleh ikut
kita?" teriak Lilah sambil mengayuh sepedanya kuat-kuat beberapa
meter di depan Becka. "Dia kelihatan seakan kau baru saja membunuh
anak anjingnya." "Dia sangat emosional," jawab Becka sambil membungkuk di
atas setangnya. "Semenit dia benar-benar bahagia, menit selanjutnya
dia siap mencucurkan air mata."
"Aneh," komentar Lilah.
Mereka melewati depan sekolah, bendera terkulai di siang yang
tak berangin itu, kemudian lurus melewati rumah-rumah besar yang
halaman depannya dipenuhi pepohonan. Daerah itu dinamakan North
Hills. "Kakiku sudah sakit," keluh Becka.
"Kita bahkan belum sampai di bukit indah itu," kata Lilah
sambil mengayuh sepedanya lebih kuat.
"Akhir-akhir ini aku malas sekali. Bersepeda ini benar-benar
terasa enak," kata Becka.
"Kami seharusnya bermain ski liburan ini," kata Lilah, sambil
menatap lurus ke depan ketika jalanan menurun ke arah timur. "Tapi
kami tak jadi pergi. Ayahku harus pergi ke Akron untuk urusan
bisnis." "Akron" Di Hari Natal?" teriak Becka, sambil mengayuh kuatkuat agar tidak tertinggal Lilah.
"Tidak, dia kembali sebelum Natal. Tapi kami tak bisa pergi."
"Kasihan," keluh Becka. Ia melepaskan kedua tangannya dari
setang sepeda untuk membuka ritsleting jaketnya.
Matahari berbentuk bola oranye tepat di atas puncak
pepohonan. Di tengah-tengah halaman di seberang jalan tampak topi
dan sapu jerami, pasti sisa-sisa manusia salju yang dulunya amat
bagus. Becka mengayuh sepedanya cepat-cepat untuk mengejar Lilah,
dan mereka berdampingan untuk sementara. "Nah, kita sampai di
bukit," Becka memberitahu.
"Yang pertama, menuruni bukit. Gampang!" seru Lilah.
"Hati-hati. Masih ada beberapa petak es," kata Becka sambil
menunjuk ke depan. Becka berhenti mengayuh sepedanya ketika mereka mulai
menuruni bukit menuju persimpangan jalan dengan River Road. Bukit
itu curam, dan mereka mulai mengurangi kecepatan.
Mula-mula Becka melihat truk pengirim barang berwarna
cokelat. Truk itu melaju menuju persimpangan, mesinnya meraungraung.
"Awas!" Becka memperingatkan. Ia menekan rem tangannya
dan sepedanya mulai melambat.
Tapi Lilah tidak. Semuanya terjadi begitu cepat.
Dalam sedetik. Mungkin kurang.
Becka melihat wajah Lilah yang panik.
"Remku!" jerit Lilah.
Becka memekik dan berhenti dengan selamat.
Masih dengan kecepatan tinggi, Lilah melayang di atas
sepedanya menuju persimpangan itu.
Becka memejamkan matanya.
Kemudian ia mendengar bunyi buk yang keras.
Diikuti bunyi krak yang membuatnya mual.
Bab 9 SEKARANG matahari bersembunyi di balik pepohonan. Angin
meniupkan udara musim dingin yang menggigit.
Cahaya merah di atas ambulans berpendar-pendar.
Becka duduk di pinggir jalan dan memandangi cahaya merah
yang berpendar-pendar di tanah, di jalanan, di sepeda Lilah yang
ringsek. Sepeda itu masih teronggok di tengah-tengah persimpangan.
Di atas lingkaran darah yang menghitam di jalan.
Ia mendengar suara melengking berbicara cepat, menggebugebu.
Itu suara sopir truk, seorang laki-laki muda yang memakai
kemeja kerja denim dan jins hitam, kepalanya diikat dengan bandana
merah. Ia sedang menerangkan kepada polisi yang berwajah seram
mengenai apa yang telah terjadi. Tangannya bergerak-gerak dengan
penuh semangat. Suaranya masih tak jelas.
Becka tidak memperhatikan sopir itu. Ia tetap menatap cahaya
merah yang berpendar-pendar di atas ambulans itu.
Entah bagaimana cahaya itu membuatnya terhibur. Terhipnotis.
Begitu saja. Sangat mekanis.
Ada dua ambulans di sana, Becka tahu. Dan beberapa mobil
polisi berwarna hitam dan putih.
Petugas-petugas polisi itu ingin bicara dengannya, tapi ia
mengatakan belum siap bicara. Ia ingin duduk di pinggir jalan, di atas
beton yang kuat dan dingin, serta mengawasi cahaya yang berpendarpendar itu untuk sementara.
Berpendar dan berpendar. Ia menengadah sejenak untuk melihat petugas medis yang
berjaket putih mengangkat usungan masuk ke salah satu ambulans itu.
Usungan yang membawa tubuh Lilah.
Usungan itu didorong tanpa suara masuk ke bagian belakang
ambulans. Hening seperti kematian. Kemudian pintu-pintu ditutup dengan keras.
Lilah masih hidup.
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Polisi memberitahunya bahwa Lilah masih hidup.
Lilah tak sadar. Dia luka parah.
Tapi dia masih hidup. Becka memejamkan matanya. Cahaya merah yang berpendarpendar itu menghilang.
Ia mendengar bunyi gedebuk lagi.
Dan kemudian ia mendengar bunyi berderak.
Ketika ia membuka matanya, napasnya terengah-engah,
jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya.
Apakah akan kudengar bunyi-bunyi itu setiap kali kupejamkan
mataku" Becka sadar ia masih berdiri. Ia tidak ingat sedang berdiri di
atas kedua kakinya. Tapi ia sedang berdiri sekarang.
Apakah aku shock" Polisi itu menggumamkan sesuatu tentang shock.
Cahaya merah itu berpendar-pendar di atasnya ketika ia
mendapati dirinya sendiri sedang berjalan menuju persimpangan.
Berpendar dan berpendar. Aku berada di dalam cahaya merah itu sekarang.
Sangat dingin. Begitu dingin.
Apakah aku akan pernah hangat"
Merah itu dingin. Dan kemudian ia mengangkat sepeda Lilah. Sepeda itu
tersentak dan terhenti, lalu meluncur ke persimpangan menyusul
Lilah. Begitu bengkok. Begitu hancur total. Sadelnya serata lembaran
kertas karton. Dan remnya... Hah" Mulut Becka ternganga. Ia menatap lekat-lekat sepeda yang
rusak di tangannya ketika cahaya merah itu menyapunya. Lalu gelap,
lalu cahaya merah lagi. Salah satu kabel rem. Kabel rem sepeda Lilah. Kabel itu lenyap, Becka melihatnya.
Ia mencari-cari di jalan itu. Tidak ada bekas potongannya di
sana. "Remku!" Kata itulah yang dijeritkan Lilah tepat sebelum...
sebelum sepedanya terempas hingga berhenti dan ia terlempar.
Sepeda Lilah tak punya rem roda belakang. Tak ada kabel rem
di roda belakangnya. Kabel itu tak mungkin terlepas dari kedua ujungnya, Becka
tahu. Kabel itu tak mungkin jatuh dari kedua ujungnya.
Kabel itu harus dicabut. "Hei... kabel roda belakangnya"lenyap!" teriak Becka.
Adakah yang mendengarnya"
Apakah ia benar-benar meneriakkan kata-kata itu"
Atau apakah ia hanya membayangkan meneriakkan kata-kata
itu" "Kabel rem Lilah! Di mana kabel rem Lilah?"
Apakah ia sedang bicara pada dirinya sendiri"
Tidakkah ada yang mendengar teriakannya"
Becka merasa ada tangan di bahunya. Tangan itu lembut.
Melindungi. Ia membuka matanya menatap wajah polisi yang masih muda.
"Temanmu dalam perjalanan ke rumah sakit," kata polisi itu lembut,
sambil menatap mata Becka dengan matanya yang sangat biru.
"Apakah kau merasa baikan?"
"Aku tak tahu," Becka mendengar dirinya sendiri menjawab.
"Apakah kau juga mau pergi ke rumah sakit?" tanya polisi itu,
tidak berkedip, tidak mengalihkan pandangannya dari mata Becka.
"Atau apakah kau mau kami mengantarmu pulang?"
"Pulang," sahut Becka.
********************* "Lilah masih tidak sadar," bisik Becka di pesawat telepon.
"Mom baru saja bicara dengan ibunya. Dokter mengatakan Lilah
stabil." "Stabil" Apa artinya itu?" tanya Bill di ujung sambungan
telepon yang lain. Becka membungkuk di atas mejanya. "Aku tak tahu. Kukira itu
artinya kondisinya tidak jadi lebih buruk."
"Dan bagaimana keadaanmu?" tanya Bill lembut.
"Baik, kukira. Lebih baik. Aku masih kedinginan. Mom tetap
memberiku sup. Sepertinya aku ini sakit atau apa ya."
"Kau akan ke sekolah besok?" tanya Bill.
"Ya. Kukira. Aku tak tahu." Ia terisak keras. "Aku hanya tak
bisa mempercayainya, Bill. Tadi malam aku di rumah Lilah dan kami
bersenang-senang. Kami menghias pohon Natalnya. Semua orang
begitu bahagia, dan sekarang..."
"Dia akan sembuh," kata Bill menghibur. "Aku tahu dia akan
sembuh." Becka memaksa dirinya sendiri untuk tidak menangis.
Ia sudah berhenti menangis. Tidak ada air mata lagi.
Setiap kali keinginan untuk menangis itu timbul, ia berusaha
sekuatnya menahan. "Kau mengalami shock," ujar Bill.
"Aku selalu dibayangi peristiwa itu," kata Becka terbata-bata.
"Lilah akan sembuh," Bill mengulangi.
Bill tidak sungguh-sungguh mempercayainya, Becka sadar. Ia
sedang mencoba membuatku merasa lebih baik.
Bill memang baik. "Ayo kita pergi malam Minggu nanti," desak Bill. "Cobalah
melupakan semuanya."
"Oke," Becka setuju. Kata itu bergulir keluar dari mulutnya. Ia
merasa begitu dekat dengan Bill sekarang. Bill begitu penuh
pengertian, begitu penuh perhatian.
Becka baru saja menyetujui tanpa berpikir.
"Kau akan melakukannya?" Bill sepertinya heran sekali.
"Ya. Aku akan keluar diam-diam," sahut Becka. "Gampang
saja. Aku akan bilang pada orangtuaku bahwa aku mau pergi ke
rumah Trish." "Lebih baik Trish kauberitahu tentang rencana ini," Bill
mengingatkan. "Hei, aku tak goblok, tahu," hardik Becka.
"Aku tahu. Tapi kau juga tak pintar bohong."
"Aku bisa mengatasinya," Becka meyakinkan Bill. "Aku
sungguh butuh sesuatu untuk melupakan semua ini. Lilah yang
malang." Sekali lagi ia menahan air matanya.
"Kita akan nonton film. Film komedi," Bill berjanji. "Kita akan
tertawa sepanjang malam. Kaulihat saja."
"Aku tak ingin tertawa semalaman," Becka menegaskan. "Aku
hanya ingin..." Tiba-tiba Becka merasa tidak sendirian.
Ia menoleh ke pintu kamarnya"dan berteriak karena terkejut.
Bab 10 "HONEY!" teriak Becka. "Sudah berapa lama kau berdiri di
sini" Bagaimana kau bisa masuk ke sini?"
Honey, dengan raut muka penuh perhatian, melangkah masuk
ke kamar Becka. "Dengar, sampai di sini dulu ya. Bye," kata Becka buru-buru di
pesawat telepon. Ia meletakkan gagang pesawat telepon dan berdiri.
Berapa banyak yang didengar Honey" Becka bertanya dalam
hati. "Becka, aku mendengar kabar buruk itu. Tentang Lilah," seru
Honey. "Kau pasti sedih!"
"Ya," jawab Becka hati-hati. "Bagaimana kau bisa masuk ke
sini" Apakah ibuku menyuruhmu masuk?"
Honey mengangguk, kemudian masuk kamar dan memeluk
Becka kuat-kuat, pelukan melindungi.
"Nah, nah," kata Honey pelan bermaksud menghibur. "Sudah
sudah sudah sudah sudah."
"Honey, ayolah..."
"Kau tak harus bilang apa-apa," kata Honey, tidak melepaskan
Becka. "Aku mengerti apa yang kaurasakan. Itulah sebabnya kenapa
aku datang ke sini begitu mendengar kabar itu. Aku tahu tempatku di
sini." "Well, sungguh, Honey..." Becka berusaha melepaskan diri dari
pelukan Honey yang kuat. Akhirnya Honey melepaskan pelukannya dan mundur
selangkah. Ia menatap Becka dengan ekspresi penuh simpati dan
pengertian. "Betapa menyedihkan bagimu, Becka. Betapa menyedihkan.
Tapi kau bisa menumpahkan kesedihanmu padaku. Kau bisa menjadi
dirimu sendiri, curahkan perasaanmu tanpa merasa malu. Itulah
gunanya sababat karib, ya kan?"
Setelah lega terlepas dari pelukan kuat Honey, Becka
menghampiri ranjang dan menjatuhkan diri ke atas selimut dengan
menghela napas sebal. "Aku sungguh-sungguh tak ingin bicara
tentang semua ini, Honey."
"Tentu. Aku mengerti," jawab Honey sambil menyilangkan
kedua lengannya di depan dada. Lalu ia maju sampai berdiri tepat di
depan Becka. Diikuti keheningan yang kaku.
Honey menunduk dan menatap Becka, yang sedang duduk
membungkuk di ranjangnya dengan kedua tangan terkatup rapat di
pangkuannya. Becka menghindari tatapan Honey, pandangannya tetap
tertuju pada kegelapan malam di luar jendela.
"Kau tak harus membicarakannya," kata Honey akhirnya. "Pasti
kau terguncang. Seperti menyaksikan sesuatu yang mengerikan."
"Ya," Becka setuju, tenggorokannya terasa tercekik.
"Apakah Lilah tak melihat truk itu?" tanya Honey.
Becka menghela napas. "Honey, aku tak ingin menyinggung
perasaanmu. Sungguh, aku tak ingin. Tapi aku benar-benar ingin
sendiri saat ini." Bibir Honey yang gelap membentuk huruf O kecil karena
terkejut, tapi ia buru-buru mengembalikan ekpresi wajahnya yang
penuh perhatian. "Tentu, Becka. Kau selalu seperti itu. Bahkan ketika
kita masih kecil. Kau selalu duduk dan memecahkan semuanya
sendiri." Honey menggeleng. "Kadang-kadang kau seperti
penyendiri." "Ya, barangkali," sahut Becka, merasa ingin menangis lagi dan
bersusah payah menahannya.
"Yah, aku akan pulang," Honey melanjutkan. "Aku datang
hanya untuk mengatakan ada aku di sini jika kau memerlukanku. Kau
tak memiliki Lilah lagi, jadi aku ingin kau tahu aku berada di sini
untukmu. Kapan pun."
Kau tak memiliki Lilah lagi" Itukah yang dikatakan Honey"
"Apa yang kaukatakan?" teriak Becka.
"Aku bilang aku ada di sini untukmu," sahut Honey sambil
mundur ke pintu. Tidak. Aku mendengar apa yang kaukatakan. Aku mendengar
apa yang kaukatakan tentang Lilah.
Kau tak memiliki Lilah lagi. Sesuatu dalam cara Honey
mengucapkan kata-kata itu membuat Becka merinding.
Tiba-tiba, bahkan sebelum Becka sadar, air mata yang panas
bergulir turun ke pipinya, pundaknya berguncang, dan ia menangis
tersedu-sedu, tangis keras yang pilu.
Tidak! Tidak! Aku tak ingin menangis! pikir Becka.
Tapi ia tidak bisa menghentikan tangisnya sekarang. Sambil
membungkuk di ranjangnya, ia menangis semakin keras, terisak-isak,
dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Nah, begitu. Keluarkan semuanya." Suara Honey mengapung
di dalam kesadaran Becka.
Becka merasakan lengan Honey melingkari bahunya. Honey
berada di sampingnya di atas ranjang sekarang, sedang memeluknya,
merangkulnya, berbisik menghiburnya. "Sudah, sudah. Keluarkan
semuanya. Aku ada di sini, Becka. Ya. Ya. Aku ada di sini."
"Becka...?" Ada suara lain yang menyadarkan Becka.
Suara dari pintu. Becka mengusap matanya dengan kedua tangannya dan
menatap ke pintu. Trish sedang berdiri di sana, tampak heran dan
tidak senang. "Becka, kau baik-baik, kan?" tanya Trish, sambil melangkah
enggan memasuki kamar. Becka berdeham, mencoba menjawab.
Sebelum ia bisa menjawab Trish, Honey berdiri dan berjalan
menyeberangi ruangan. Honey mencengkeram siku Trish dan memaksanya pergi. "Sori,
Trish, jangan sekarang." Becka mendengar Honey berkata dengan
kaku. "Becka ingin sendirian."
Trish memandang Becka sekilas dengan tatapan tak berdaya.
Tapi Honey mendesak. Sambil memegang siku Trish, ia menuntun
Trish keluar dari kamar itu.
Becka mendengar mereka berdua menuruni tangga.
Kemudian ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya dan
menangis lagi. Bab 11 BECKA melingkarkan tangannya ke belakang leher Bill dan
menarik wajah Bill mendekati wajahnya. Ia balas memeluk Bill,
pelukan yang lama dan kuat, sambil memejamkan matanya, kemudian
membuka matanya dan menatap kaca depan mobil yang berembun.
Ia suka bau jaket kulit Bill.
Ia suka kelembutan rambut Bill yang panjang dan kusut di
belakang kepala tempat ia menyusupkan jemarinya, memeluk pemuda
itu erat-erat. Bill melepaskan diri, tapi Becka menarik wajah Bill mendekati
wajahnya dan memeluk Bill lagi.
Ia tidak ingin membiarkan Bill pergi.
Becka memarkir mobilnya di River Ridge, kaca-kaca jendela
semuanya berembun, diselubungi kegelapan malam, mereka asyik
dalam dunia mereka sendiri.
Aman dan hangat. Serta sunyi. Jauh di bawah, Sungai Conononka mengalir tenang, pelan,
airnya terhambat es. Di balik sungai itu terhampar kota Shadyside,
cahaya lampu berkelip-kelip dari sela-sela pepohonan di Sabtu malam
yang dingin dan cerah. Tetapi jauh di atas karang tinggi yang disebut River Ridge,
berpelukan di jok depan mobil kecil itu, Becka dan Bill hanya
berduaan. Jauh dari semua orang. Jauh dari orang-orang yang
membuat mereka berpisah. Setelah beberapa lama, Bill menjangkau dan melepaskan kedua
tangan Becka dari belakang kepalanya. "Aku... aku tak bisa bernapas,"
bisik Bill, sambil tertawa geli.
Becka bersandar di jok dan menghela napas. Ia menekankan
keningnya ke bahu jaket kulit Bill.
"Aku suka di sini," katanya lembut, masih menikmati pelukan
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bill. "Mau keluar dan memandang kota di bawah?" tanya Bill,
sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya, merapikan
rambutnya yang kusut. "Tidak. Aku tak ingin pergi," jawab Becka. "Sungguh."
Becka menekan tangan Bill, kemudian memeganginya. Dengan
tangannya yang bebas, Bill iseng membuat bulatan di kaca jendela
penumpang yang berembun. "Inilah pertama kalinya aku merasa santai," ujar Becka. "Aku
begitu senewen sepanjang minggu ini."
Bill menoleh kepada Becka, ekspresinya serius. "Karena Lilah,
maksudmu?" "Karena semuanya," sahut Becka sambil merapat manja ke
bahu Bill yang bidang. "Lilah. Honey. Kau."
"Aku?" "Karena pergi diam-diam malam ini," sahut Becka lembut.
"Mesti bohong pada orangtuaku. Aku betul-betul tak suka."
"Yah, kenapa tak kaukatakan saja pada mereka bahwa kau
dengan aku lagi?" tanya Bill. "Maksudku, aku sudah bukan cowok
brengsek lagi." Becka tidak menyahut beberapa lama. Akhirnya, ia berkata,
"Kau tak mengenal orangtuaku. Sekali mereka punya pendapat
tentang seseorang di dalam kepala mereka..."
Becka menyingkirkan tangan Bill dan membenamkan dirinya di
jok. "Barangkali mereka menyerah setelah itu," lanjut Becka, sambil
menatap kaca depan mobil yang gelap. "Setelah banyak menjerit dan
berteriak dan berdebat. Dan aku lagi tak pengin... tak pengin menjerit
dan berteriak. Tahu yang kumaksud?"
Bill mengangguk sungguh-sung'guh. "Mungkin. Lain dari
keadaan di rumahku," Bill menambahkan dengan serius. "Tak pernah
ada jeritan dan teriakan di rumahku, karena tak seorang pun peduli."
"Yah, orangtuaku terlalu memperhatikan aku," kata Becka
cemberut. "Kadang-kadang aku ingin mereka pergi, menjauh dari
hadapanku. Dan lalu Honey muncul." Becka mengerang dan memutarmutar kemudi.
"Honey itu pengacau, ya?"
"Pengacau bukan kata yang tepat," jawab Becka sedih. "Aku...
aku punya pikiran yang mengerikan tentang Honey. Maksud-ku,
tentang Honey dan kecelakaan yang menimpa Lilah. Aku sungguh tak
tahu apa yang harus kupikirkan. Honey itu aneh sekali. Begitu aneh!
Dia percaya sekali kami dulu sahabat karib. Tapi kami tak pernah
berteman. Kami hampir tak saling mengenal. Aku benar-benar
mengira dia mengarang semua fantasi tentang betapa dekatnya kami
dulu. Dia percaya pada fantasinya, dan berusaha memaksaku
mempercayai semua itu juga."
"Maksudnya baik, ya kan?" tanya Bill, sambil bersandar
mendekati Becka, mimik wajahnya penuh perhatian.
"Aku tak tahu," sahut Becka. "Kadang-kadang dia bersikap
manis. Maksudku, dia berusaha keras menjadi teman yang baik. Tapi
usahanya terlalu keras."
"Dengan kata lain, dia pengacau," kata Bill tergelak. Ia menulis
kata PENGACAU pada jendela yang berembun.
"Nggak lucu," kata Becka tajam. "Sejak... sejak kecelakaan
yang menimpa Lilah, Honey meneleponku tiga kali tiap malam. Dia
ke rumah sepanjang waktu. Setiap kali aku menoleh, ada dia,
menatapku, memberiku tampang yang simpatik sepenuh hati dengan
bola mata abu-abunya yang besar."
Bill meraih Becka dan meletakkan tangan kirinya dengan
lembut di bahu cewek itu. "Tenanglah. Kau membuat dirimu senewen
lagi." "Aku sudah tak tahan," Becka meratap. "Honey membikinku
jadi gila! Dia selalu memelukku. Pelukannya seperti ingin
mencekikku!" "Becka, sudahlah..."
"Diambilnya blus biruku yang paling bagus. Kau tahu"blus
sutra itu. Dibawanya pulang untuk dibersihkan nodanya, katanya. Dan
aku tak pernah melihat blus itu lagi."
"Kenapa kau tak memintanya?" saran Bill.
"Sudah. Dia menatapku seakan dia tak tahu apa yang sedang
kubicarakan!" "Yah, aku tak mengerti," kata Bill menjadi tidak sabar. "Jika
Honey begitu menyebalkan, kenapa kau tak bilang padanya agar
jangan ke rumahmu" Kenapa kau tak bilang kau tak ingin jadi
temannya?" "Memang gampang bilang begitu," jawab Becka panas. "Tapi
tak gampang melaksanakannya. Kau tahu bagaimana aku tak suka
menyakiti perasaan orang. Aku tak bisa cuma bilang, 'Honey, kau
keliru.'" Bill menggeleng. "Seharusnya tak begitu susah
menyingkirkannya." "Kau tak tahu Honey. Kayaknya dia bahkan tak mendengarkan
omonganku!" teriak Becka. "Dia terlalu bersemangat. Begitu ingin
jadi sahabat karibku. Dia berdiri di depan pintu setiap pagi setelah
sarapan. Kami harus berangkat ke sekolah bersama. Kami duduk
sebangku di kelas dalam beberapa mata pelajaran. Dia selalu
memburuku di ruang makan, dan kami harus makan siang bersama.
Dia bahkan membawa makan siang yang sama seperti aku!"
Bill tertawa. "Nggak lucu!" teriak Becka, sambil mendorong Bill. "Trish
pikir semua ini juga lucu. Tapi tidak. Ini memuakkan!"
"Kau sudah menceritakan semua ini pada orangtuamu?" tanya
Bill, sambil menggeser duduknya untuk menatap Becka.
"Tentu," sahut Becka. "Mereka berpendapat Honey itu manis.
Itu karena Honey selalu memuji mereka"mengatakan betapa
hebatnya mereka, betapa sedihnya dia tak punya ibu, sedangkan
ayahnya selalu bepergian dan tak pernah menemaninya, dan betapa
dia berharap punya keluarga seperti aku."
"Ih." Bill meletakkan jarinya di teng-gorokannya.
"Ya, begitulah. Semuanya itu memuakkan!" seru Becka. "Tapi
orangtuaku cuma menelan semuanya. Dan sekarang, tiap kali aku
mulai mengeluh tentang Honey, mereka tak ingin mendengar
keluhanku. Mereka malahan membela Honey!"
"Tenang, Becka. Tenanglah," pinta Bill dengan perhatian
sungguh-sungguh. Ia meraih dan menggenggam tangan kanan Becka.
"Kau gemetar." "Aku tak tahan," pekik Becka. "Dia benar-benar membuatku
gila." "Bagaimana keadaan Lilah?" tanya Bill, dengan sengaja
mengubah pembicaraan. "Kondisinya lebih baik," jawab Becka. "Aku menjenguk ke
rumah sakit tiap pagi. Keadaannya membaik. Lebih baik daripada
yang diharapkan para dokter. Kami ngobrol, tapi..." Suara Becka
bertambah lemah. "Tapi apa?" desak Bill.
"Yah, Lilah mengatakan padaku hal yang paling aneh." Becka
menelan ludah, kemudian melanjutkan, "Kata Lilah, Honey bertanyatanya tentang sepedanya. Sehari atau dua hari sebelum kecelakaan itu.
Kau tahu. Pertanyaan mengenai sepedanya jenis apa, bagaimana cara
kerja remnya"pertanyaan semacam itu."
"Jadi?" tanya Bill, ia tampak bingung.
"Aku tak tahu. Aku cuma berpikir, itu aneh," jawab Becka
sungguh-sungguh. "Aku tak ingat hal itu sampai aku ngobrol dengan
Lilah pagi ini. Tapi Honey ada di tempat sepeda ketika aku dan Lilah
akan mengambil sepeda kami. Dia sedang mengamat-amati salah satu
sepeda. Kemudian dia..."
"Kau tak menduga Honey melakukan sesuatu pada sepeda
Lilah, kan?" tanya Bill ragu-ragu.
Tiba-tiba sinar terang menyeruak ke dalam mobil ketika mobil
lain lewat. Becka menutupi matanya. Kegelapan kembali menyelimuti
mobil ketika mobil lain itu melaju terus.
"Mungkin sebaiknya kita pergi dari sini," kata Becka gugup. Ia
gemetar. "Sebentar lagi," kata Bill, sambil memandangi Becka sungguhsungguh. "Pertama, katakan padaku apa yang kaumaksud mengenai
Honey." "Tak ada," jawab Becka dengan tidak enak. "Seharusnya aku
tak mengatakannya. Aku hanya... sepanjang hari aku memikirkan hal
itu, membayangkan Honey di tempat sepeda. Lalu..." Becka mulai
mengusap kaca depan mobil untuk membersihkannya.
Bill menarik Becka ke jok. "Becka, ayolah," tegurnya pelan.
"Kau benar-benar tak berpikir Honey berusaha membunuh Lilah
hanya karena Lilah itu sahabatmu, kan?"
"Tidak, rasanya tidak," kata Becka bimbang. "Aku tak tahu.
Maksudku, aku memikirkan begitu banyak hal yang gila. Honey
cuma... dia cuma... aku ini tak berguna, Bill. Sungguh!" Becka terisak.
Bill meraih Becka, melingkarkan kedua lengannya di
pundaknya, dan memeluknya.
Becka menatap ke luar lewat kaca depan ketika Bill
mengangkat wajahnya untuk menciumnya. Matanya terbelalak ketika
melihat sekilas sesuatu di luar, sesuatu berwarna merah di balik
pohon. "Bill, dia di sana!" teriak Becka, menarik diri dari Bill tiba-tiba.
"Honey! Dia di sana! Dia sedang mengawasi kita!"
Becka meraba-raba mencari pegangan pintu.
"Tunggu"!" teriak Bill.
Bill menangkap Becka dengan kedua tangannya. Tapi Becka
mendorong pintu hingga terbuka dan melompat keluar dari mobil.
"Itu dia! Dia mengikuti kita!" Becka menjerit panik, sambil
berlari menuju pohon itu.
Bab 12 EMBUSAN napas Becka menguap di depannya ketika ia berlari
di kegelapan menuju pohon itu. Jantungnya berdegup kencang.
Ia sangat marah, serasa akan meledak.
Lancang sekali Honey! Punya hak apa dia hingga berani membuntuti Becka" Mematamatainya"
Itu gila. Sungguh gila. Becka mendengar langkah kaki Bill berdebam keras di
belakangnya. "Becka, tunggu!"
Mereka berdua sampai di dekat pohon itu pada saat yang
bersamaan. "Honey?" panggil Becka hampir tanpa bernapas. "Honey?"
Becka terengah-engah di udara yang dingin itu.
Dan menatap saputangan merah itu. Saputangan merah yang
terjuntai dari sebatang pohon kurus, bercabang rendah.
Bagaimana dia bisa mengira saputangan merah itu milik
Honey" Bill meraih saputangan itu dan menariknya. Ia menyodorkan
saputangan itu kepada Becka.
Becka mengira Bill akan menertawakannya. Tapi wajah Bill
amat serius, tatapannya terpusat pada Becka penuh perhatian.
"Becka, aku sungguh-sungguh mencemaskanmu," kata Bill
lembut. Ia menurunkan saputangan itu, kemudian menjatuhkannya ke
tanah. "Kau harus menemukan cara untuk menenangkan diri," kata
Bill, sambil menatap Becka sungguh-sungguh.
"Aku tahu," jawab Becka, sekujur tubuhnya gemetar. "Tapi apa
yang bisa kulakukan, Bill" Apa yang bisa kulakukan?"
******************** Becka mengerang dan berusaha duduk.
Kepalanya seakan dibebani dua ton. Ia kembali membenamkan
kepalanya di bantal. Ia menggapai termometer, kemudian ingat ia baru saja
mengukur suhu badannya sepuluh menit lalu. Suhu badannya 38,7
derajat Celsius. O ya, jam berapa sekarang"
Ia bersusah payah memusatkan pandangan pada jam radio di
samping ranjang. Pukul dua belas lewat sedikit. Senin siang.
Ia merasa agak aneh Minggu malam. Agak mual. Agak tidak
enak badan. Ketika bangun dari ranjang Senin pagi, ia segera tahu bahwa ia
sakit berat. Flu, mungkin. Atau akibat semacam virus. Sesuatu yang
selalu berkeliaran. "Andai saja aku bisa tinggal di rumah dan merawatmu," ibunya
berkata sambil membawakan teh dan roti bakar yang diolesi mentega
di atas nampan. Becka memaksa diri meneguk teh. Ia tidak bisa
makan roti bakar itu. "Tak apa-apa, Mom. Aku bukan anak kecil. Aku bisa mengurus
diriku sendiri," kata Becka. Kepalanya berdenyut-denyut seakan ada
orang di dalamnya, sedang memukul-mukul dengan palu ingin keluar.
"Aku hanya ingin tidur sepanjang hari."
"Kuusahakan pulang lebih awal," kata Mrs. Norwood sambil
mengernyitkan dahi. "Minumlah banyak-banyak, oke" Ini. Tunggu
sebentar. Akan kuambilkan Tylenol untukmu."
Rasanya lama sekali ibu Becka kembali. Becka berbaring,
merasa tidak enak tapi terlalu lemah untuk mengubah posisinya. Ia
menatap langit-langit, berusaha mengingat-ingat apa yang sedang
terjadi di sekolah. "Ini Tylenol-nya. Minumlah dengan jus." Ibunya membungkuk
di atasnya, sambil memegang segelas kecil jus dan dua butir pil. "Ada
Honey di bawah," katanya, ketika Becka berusaha bangun. "Dia ingin
ke atas, tapi kukatakan sakitmu parah sekali."
"Terima kasih," kata Becka lemah. Ia menelan dua butir pil dan
mengembalikan gelas jus itu kepada ibunya.
"Kata Honey, dia pasti akan membawakan PR-mu sepulang
sekolah," kata Mrs. Norwood. "Dia begitu penuh perhatian, ya kan?"
"Siapa yang butuh PR?" gumam Becka getir. Ia membenamkan
kepalanya di bantal dan mengerang keras.
"Sebelah mana yang sakit?" tanya Mrs. Norwood, sambil
menggigit bibir bawahnya.
"Semuanya sakit," Becka merintih.
"Yah, kalau begitu tidurlah sepanjang hari," kata Mrs. Norwood
sambil meletakkan tangannya yang dingin di atas kening Becka yang
panas. "Ooh. Panas sekali. Nanti aku akan meneleponmu. Jangan Iupa
minum yang banyak. Jika besok kau tak merasa lebih baik, lebih baik
kita memanggil Dokter Klein."
Ibu Becka menghilang keluar pintu.
Becka menatap langit-langit lama sekali. Kemudian ia
memiringkan tubuhnya. Aku sedang sekarat, pikirnya. Aku merasa sakit sekali.
Ia tidur dengan gelisah. Ibunya menelepon sekitar pukul
sebelas, membangunkannya. Setelah mengatakan sesuatu kepadanya,
Becka berjalan kaki menuju dapur dan menuang segelas tinggi jus
apel, kemudian kembali ke ranjangnya.
Siang itu berlalu dalam remang-remang demam. Setengah
sadar, setengah tertidur, Becka berguling ke kanan dan ke kiri dengan
gelisah, merasa panas dan berkeringat, kemudian menarik selimut
sampai ke dagunya ketika demam menyerangnya.
Ia bermimpi seram, menyala dengan warna-warna cerah yang
menyilaukan. Mimpi dikejar-kejar. Ia sedang berlari, berlari mati-matian, berusaha melarikan diri
dari sesuatu yang tidak diketahuinya.
Mimpi-mimpi itu bertabrakan dengan mimpi lain.
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia dan Lilah sedang bersepeda berboncengan. Kemudian Honey
berlari sepanjang jalan di sisinya.
Lalu mereka bertiga berada di atas sepeda dan sepeda itu roboh.
Mimpi-mimpi aneh, mimpi-mimpi yang mengganggu.
Yang satu menyusul yang lainnya.
Telepon berdering pada pukul tiga seperempat.
Setelah telepon itu berdering tiga kali, Becka baru sadar bunyi
apa itu. "Halo?" Suaranya tercekik. Ia batuk keras-keras untuk
membersihkan tenggorokannya.
"Oh. Kau di rumah," kata suara yang tidak asing lagi di ujung
sana. "Trish?" "Kupikir kau tak di rumah," jawab Trish.
"Hah" Kenapa tidak?"
"Yah, kupikir mungkin kau di rumah sakit, Becka. Aku begitu
cemas. Aku tak sabar ingin pulang untuk meneleponmu."
Becka merasa kamar itu berputar-putar. Sambil mencengkeram
gagang telepon erat-erat, ia memejamkan mata dan berbaring di
bantal. "Trish, demi Tuhan kenapa aku di rumah sakit?"
"Yah," Trish ragu-ragu di ujung sana. "Honey bilang pada
semua orang kau mengalami gangguan saraf."
Bab 13 TENGGOROKAN Becka seperti tercekik.
Mendadak sekujur tubuhnya terasa dingin. Ia menggigil.
"Trish, apa katamu?" tanya Becka dengan suara bergetar.
"Mmm... ketika kau tak muncul di kelas tadi pagi, aku
menanyakan pada Honey, kau ke mana. Dan Honey bilang dia punya
kabar yang sangat buruk. Katanya kau mengalami gangguan saraf."
"Hah" Dia bilang begitu?"
"Ya, katanya itu karena kecelakaan yang menimpa Lilah."
Becka mencoba bicara, tapi tak ada sepatah kata pun yang bisa
keluar. Tiba-tiba ia menyadari sedang mencengkeram gagang telepon
itu erat-erat sampai tangannya sakit.
"Kata Honey kau jadi sinting," lanjut Trish. "Semua orang
diberitahunya. Aku yakin kau di rumah sakit atau semacamnya. Aku
cemas sekali, Becka."
"Aku tak percaya!" Becka menjerit dengan suara melengking.
"Aku tak percaya!"
"Jadi, kau tak mengalami gangguan saraf?" tanya Trish takuttakut.
"Trish, aku terserang virus," jawab Becka. "Virus konyol. Itu
saja." "Wuh." Trish mengembuskan napasnya dengan berisik.
"Kenapa Honey begitu?" seru Becka. "Kenapa?"
"Bikin gara-gara," jawab Trish. "Pasti dia sudah gila. Aku
senang sekali. Maksudku, aku tak senang kau kena virus. Aku senang
karena kau tidak..."
"Apa dia gila?" potong Becka. "Apa dia termasuk jenis orang
yang punya kecenderungan berbohong, atau semacam itu?"
"Aku tak tahu," sahut Trish. "Aku tak tahu harus bilang apa.
Honey itu aneh. Itu yang pasti. Dengar, Becka, aku punya kabar baik
mengenai pestaku." "Pesta?" Kepala Becka berputar. Pikirannya campur aduk,
saling tumpang tindih seperti mimpi waktu demam.
"Kau tahu. Pesta Natalku."
"Ah, betul." "Aku yakin nanti kau akan sembuh,"
Trish melanjutkan. "Kabar baik itu adalah orangtuaku setuju
untuk pergi. Jadi tak ada orangtua yang mengawasi setiap gerak-gerik
kita." "Bagus," ujar Becka lemah, ia mencoba berkonsentrasi.
"Artinya orangtuaku takkan tahu Bill hadir di pesta itu," lanjut
Trish. "Mereka takkan bisa memberitahu orangtuamu. Jadi kau aman.
Tak ada masalah!" "Hebat," gumam Becka.
"Wah, kayaknya sakitmu parah," ujar Trish penuh simpati.
"Mau kubawakan sesuatu" Sup ayam. Es krim cokelat panas..."
Becka mengerang sebagai jawabannya.
"Aku bicara dengan Lilah. Tadi malam," kata Trish.
"Kelihatannya dia agak baikan, mengingat apa yang telah
dialaminya." "Ya. Aku menengoknya kemarin," kata Becka. "Memang sudah
mendingan. Dia ingin sekali keluar dari rumah sakit sekarang."
"Kasihan sekali," jawab Trish sambil berdecak. "Perlu waktu
yang lama sekali. Mungkin berbulan-bulan. Setelah itu dilanjutkan
dengan banyak terapi untuk melatih kedua kakinya. Tapi paling tidak
dia akan sembuh nanti. Aku sedih sekali dia tak bisa menghadiri
pestaku, tapi kau akan hadir, kan?"
"Aku akan hadir," Becka merintih. "Walau seandainya aku
sekarat." Ia menyepak seprai dan selimut. Ia merasa panas dan
berkeringat lagi. Mulutnya sekering kapas.
"Jadi kau tak ketemu Honey hari ini?" tanya Trish.
"Bagaimana mungkin?" hardik Becka. "Aku terbaring di
ranjang sepanjang hari, menguap dan mengerang."
"Tunggu sampai kau melihatnya."
"Hah" Kenapa dia?" desak Becka.
"Aku tak ingin mengurangi kejutan ini," sahut Trish misterius.
"Kejutan" Trish?"
"Sudah dulu, ya," kata Trish. "Telepon aku jika ada yang bisa
kulakukan. Semoga kau cepat sembuh. Kau tahu maksudku, kan."
Ia menutup telepon. Becka menatap gagang telepon itu lama sekali, kemudian
akhirnya meletakkannya kembali ke tempatnya.
Ia duduk, merasa pusing. Lalu ia meneguk jus apel yang telah
diambilnya. Rasanya hangat dan asam.
Dikibaskannya termometer dan dimasukkannya ke mulut.
Aku tahu aku demam, pikirnya. Besok hari terakhir sekolah
sebelum liburan. Tapi aku tak bisa masuk.
Suhu badannya masih 38 derajat lebih sedikit.
Ia mengambil termometer itu dan menggembungkan bantalnya.
Ia baru saja kembali meletakkan kepalanya di bantal ketika
didengarnya langkah kaki di atas tangga.
"Hai, Becka. Ini aku!" Honey berseru riang. "Pintu depan tak
terkunci, jadi aku masuk sendiri. Bagaimana perasaanmu hari ini"
Aku menguatirkanmu sepanjang hari."
Becka tersentak bangkit. Sekujur tubuhnya tegang. Aku akan menanyakan apa maunya menyebarkan berita bohong
yang mengerikan tentang diriku, Becka memutuskan.
Honey menyerbu masuk kamar. "Hai. Kau merasa baikan?"
Mulut Becka ternganga karena terkejut sekali.
Matanya terbelalak menatap Honey.
"Kau suka?" tanya Honey sambil bergaya.
Becka tidak bisa menyahut.
Honey berputar-putar. Rambut pirangnya yang tebal dan panjang seperti bulu tengkuk
singa itu sudah lenyap. Dia meniru model rambut pendekku, Becka menyadari. Dia
memotong rambutnya sama persis seperti rambutku!
Bab 14 SETELAH Honey akhirnya pulang, Becka tertidur tapi
sebentar-sebentar terbangun. Ia memaksakan diri menghabiskan dua
potong roti bakar yang diolesi mentega dan secangkir teh untuk makan
malam. Kemudian ia kembali susah tidur, lalu menonton televisi.
Dering telepon membangunkannya dari mimpinya yang tidak
menyenangkan. Dengan terhuyung-huyung, ia meraih pesawat
telepon, bersusah payah memusatkan pandangannya pada jam di meja
samping ranjang. Pukul 22.33.
"Halo?" Suaranya masih mengantuk. Kepalanya sakit.
Semuanya sakit. "Becka, ini aku lagi. Honey."
Siapa lagi" "Honey, aku sedang tidur." Dengan mengerang, Becka
mengangkat kepala dari bantal.
"Oh. Sori. Aku harus menelepon sekali lagi, Becka."
Siang itu Honey sudah menelepon dua kali.
"Rasanya aku agak baik," Becka berbisik. "Tapi aku tak tahu
apakah besok aku akan berangkat ke sekolah."
"Aku menelepon bukan untuk itu," jawab Honey, suaranya
bergetar. "Aku cuma tak bisa berhenti memikirkan... aku tak tahan
kalau kau menduga aku menyebarkan kabar yang mengerikan tentang
kau di sekolah hari ini."
"Honey, masalah ini sudah kita anggap selesai," kata Becka,
menghela napas capek. Mulutnya terasa kering. Ia menjepit gagang
telepon dengan dagu dan bahunya, lalu meraih gelas di meja samping
ranjangnya. "Aku tahu kita sudah membicarakannya. Sori," kata Honey.
"Tapi aku harus tahu kau percaya padaku, Becka. Kau harus percaya
padaku. Aku tak pernah bilang pada semua orang bahwa kau kena
gangguan saraf. Itu betul-betul konyol sekali. Kenapa aku
melakukannya?" "Honey, sungguh," Becka mencoba memotongnya, tapi Honey
memaksa melanjutkan. "Aku tak pernah bilang begitu," kata Honey emosional.
"Sungguh. Trish bohong. Aku tak pernah bilang padanya atau pada
semua orang yang lainnya bahwa kau kena gangguan saraf. Trish itu
pembohong, Becka. Kau harus percaya padaku."
Kepala Becka terasa seberat bola boling. Ia meletakkan
kepalanya kembali di bantal dan memejamkan matanya. "Honey, aku
sakit. Aku benar-benar harus tidur. Tolong..."
"Tapi katakan padaku kau percaya aku," desak Honey.
Becka menarik napas dalam-dalam. "Oke. Aku percaya kau."
Apa pun akan dilakukannya untuk memutuskan pembicaraan
lewat telepon itu. "Oh, terima kasih!" teriak Honey penuh rasa syukur. "Trims,
Becka. Aku tahu kau takkan percaya cerita konyol seperti itu. Cuma
bikin kita merasa tidak enak waktu aku menengokmu siang tadi.
Maksudku, aku tahu kau tak suka potongan rambutku, dan..."
"Aku tadi tak mengatakan tidak menyukainya," Becka
mengerang. "Aku... aku cuma kaget, itu saja. Aku tak menyangka..."
"Maksudmu kau benar-benar suka model rambutku?" tanya
Honey. "Ya, kau kelihatan cantik," sahut Becka.
"Tapi apa kau menyukainya?" desak Honey.
"Ya. Mengagumkan," Becka berbohong. "Dengar, Honey, aku
benar-benar capek. Aku harus kembali tidur, oke?"
"Oke. Aku merasa jauh lebih baik tentang semuanya. Aku
takkan menelepon lagi, Becka, tapi aku ada di sini jika kau butuh aku,
oke" Aku akan meneleponmu besok pagi. Kuharap kau akan cukup
sehat untuk pergi ke sekolah. Besok kan hari terakhir sekolah."
"Aku tahu," kata Becka. "Selamat malam." Ia meletakkan
gagang telepon tanpa menunggu jawaban.
Honey membuatku sinting! pikir Becka.
Sinting! Ia menarik bantal ke dadanya dan menekannya.
Apa yang akan kulakukan terhadapnya"
Ia mencengkeram bantal itu erat-erat, memeluknya seolah
hidupnya tergantung pada bantal itu.
Apa yang akan kulakukan"
Honey membuatnya terlalu bingung, Becka membutuhkan
waktu hampir dua jam untuk kembali tidur.
****************** Becka memutar angka kombinasi dan menarik pintu locker-nya
hingga terbuka. Ia menjangkau untuk mengambil map looseleaf dari
rak. "Auw!" Kepalanya berdenyut-denyut ketika ia menengadah.
Ia masih merasa lemah. Barangkali seharusnya ia masih
berbaring di ranjang sehari lagi. Tapi ia tidak ingin kehilangan hari
terakhir sekolah sebelum liburan Natal.
"Oh! Becka, kau di sini!"
Didengarnya teriakan heran di belakangnya, Becka menoleh.
"Oh, hai, Cari," balasnya. Ia menyeimbangkan letak ranselnya di atas
salah satu lutut yang diangkatnya, lalu bersusah payah menjejalkan
map itu ke dalamnya. Itu adalah Cari Taylor, temannya, cewek mungil dan cantik
dengan bola mata biru cerah dan rambut pirang lurus diikat ke
samping membentuk ekor kuda pendek. Locker Cari di samping
locker Becka. "Aku... kupikir kau tak ada di sini," kata Cari kikuk, sambil
mengamati Becka dengan penuh rasa ingin tahu. "Maksudku,
kudengar..." "Aku terserang virus atau semacamnya," kata Becka, cemberut.
Diktat matematikanya meluncur dan jatuh ke lantai. "Aku sudah
baikan hari ini." Wajah Cari memerah. "Aku senang," katanya. "Maksudku, aku
tak senang kau sakit. Aku... aku cuma dengar kau benar-benar sakit."
"Siapa yang bilang itu?" tanya Becka tajam, sambil
membungkuk untuk mengambil diktat matematikanya. Kepalanya
berdenyut-denyut lagi begitu ia menunduk untuk meraih buku itu.
Cari mengangkat bahu. "Kata beberapa anak, kau kena
gangguan saraf," sahutnya dengan merendahkan suaranya hingga
seperti bisikan. Becka menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Sungguh."
"Gosip konyol, kukira," kata Cari, jelas ia malu sekali. "Siapa
yang tahu bagaimana ini dimulai?"
"Aku tahu," Becka bergumam pahit.
Ia menutup ranselnya. Bel pertama berbunyi. Pintu locker
dibanting sepanjang koridor. Kunci kombinasi diputar. Anak-anak
berlalu, sambil mengobrol dan tertawa, menuju kelas masing-masing.
Becka memutar kuncinya dan mulai berjalan sepanjang koridor
bersama Cari. Honey benar-benar pembohong, Becka sadar, amarahnya
timbul. Ternyata dia benar-benar mengatakan pada semua orang
bahwa aku mengalami gangguan saraf.
Dilihatnya anak-anak yang berkerumun menunggu
perpustakaan dibuka. Mereka tampak heran sekali melihat Becka
lewat. Mereka pasti mendengar kabar angin itu juga.
"Apa rencanamu liburan ini?" tanya Becka, sambil berusaha
keras untuk tidak memikirkan Honey.
"Oh, Reva Dalby mengajakku bermain ski bersama dia dan
ayahnya," jawab Cari sambil tersenyum. "Mereka pergi main ski
setiap Natal, begitu kira-kira. Aku tak sabar. Aku belum pernah ke
Aspen. Mestinya asyik sekali waktu Natal."
Mereka berhenti di luar kelas Cari. "Kalau kau, apa
rencanamu?" tanya Cari.
"Tak banyak," sahut Becka. "Kami selalu tetap di sekitar rumah
saja. Kami punya berjuta-juta saudara untuk dikunjungi. Dan kau tahu
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Trish akan mengadakan pesta besar hari Sabtu."
Bel kedua berbunyi. "Ya. Sayang sekali aku tak bisa menghadirinya. Bye. Semoga
kau senang!" teriak Cari, sambil masuk ke kelasnya. Kemudian ia
menambahkan, "Aku senang kau baik-baik."
Becka tergesa-gesa melintasi koridor menuju kelasnya,
melemparkan ranselnya ke lantai, dan menyelinap ke bangkunya.
Apakah ini cuma khayalanku" tanyanya dalam hati. Atau
apakah semua orang memang sedang menatapku"
Apakah Honey memberitahu semua orang di ruangan ini bahwa
aku mengalami gangguan saraf"
Ia berpaling untuk melihat Honey di sampingnya. Ia masih
kaget, kaget sekali, melihat rambut pirang Honey yang pendek, benarbenar tiruan rambutnya.
Dia memakai blus biru sutraku, Becka menyadari dengan
marah. Dan dia memasang bros burung beoku di kerahnya.
Sebuah buku terbuka di pangkuan Honey. Ia menutup buku itu
dan tersenyum kepada Becka.
"Bagaimana rasanya, Becka" Kau kelihatan pucat sekali."
"Tidak begitu baik," gumam Becka cemberut.
"Kan sudah kubilang padamu sebelum kita berangkat, kau
seharusnya di rumah saja," Honey mengomel. "Akan kubawakan
semua PR-mu. Akan kuurus semuanya untukmu. Segalanya."
Apa yang akan kulakukan terhadapnya" tanya Becka kepada
dirinya sendiri dengan perasaan tidak keruan.
Pertanyaan itu telah menjadi obsesi, refrein yang tak ada
akhirnya. Apa yang akan kulakukan"
************************ "Apa yang akan kuperbuat, Trish?" tanya Becka. Pertanyaan itu
terdengar lebih seperti permohonan daripada pertanyaan.
Trish menggigil dan menarik ritsleting jaket wolnya sampai ke
kerah. Ia menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dan
mempercepat langkahnya untuk menyusul Becka, sepatu botnya
terbenam ke dalam tanah yang lunak.
Saat itu waktu makan siang. Tapi Becka tidak punya selera
makan. Setelah membujuk-bujuk, ia berhasil mengajak Trish yang
ogah-ogahan untuk berjalan-jalan di belakang sekolah.
Hari itu udara dingin, cuaca kelabu, awan berat melayanglayang rendah. Udara lembap. Tercium bau seolah akan turun salju
beberapa menit lagi. "Kau seharusnya tak berjalan-jalan di luar. Kau kan sedang
sakit," Trish mengomel.
"Aku harus keluar," kata Becka. "Aku tak tahan duduk di ruang
makan, berusaha menelan sandwich dengan Honey yang menatapku di
seberang meja. Mereka menyusuri jalan setapak menuju belakang stadion.
Lapangan sepak bola sunyi dan kosong. Salah satu gawang tumbang
dilanda angin kencang beberapa minggu lalu.
"Honey mengacaukan hidupku," keluh Becka. "Apa yang akan
kuperbuat?" "Kenapa kau tak membunuhnya?" saran Trish.
Bab 15 BECKA berhenti dan menatap Trish dengan mulut ternganga.
Trish tertawa. "Oh, Trish," teriak Becka, sambil menggeleng-geleng. "Honey
membuatku begitu kacau, aku benar-benar mempercayaimu. Kupikir
kau serius." "Tidak dong, cuma bercanda," kata Trish, menarik topi wol
hijaunya lebih rendah menutupi kepalanya, menekan rambut
merahnya yang keriting di dalamnya. "Kau benar-benar kacau-balau,
Becka." Mereka telah mengitari stadion. Di belakang mereka terhampar
Taman Shadyside, pepohonan yang tak berdaun di musim dingin
tampak gundul dan gelap, bergoyang-goyang ditiup angin. Mereka
meninggalkan taman itu. Angin mengembus punggung mereka.
Mereka mulai berjalan pelan-pelan menuju tempat parkir untuk murid.
"Aku tak percaya kubiarkan kau mengajakku bicara di luar
tanpa makan siang. Aku lapar sekali!" keluh Trish.
"Kau tak membantu sepenuh hati," kata Becka. "Maksudku,
dalam soal Honey." "Dan aku beku," Trish melanjutkan, mengabaikan Becka.
"Udara dingin ini membuat kawat gigiku membeku!"
Mula-mula Trish yang berhenti, mulutnya melongo keheranan.
Ia mengangkat lengannya untuk menghentikan Becka.
Becka mengikuti pandangan temannya ke tempat parkir.
Honey di sana. Ia berjalan pelan-pelan di antara dua baris
mobil. Berjalan dengan seorang cowok.
Cowok itu merangkul bahu Honey.
Mereka berhenti dan berpelukan.
"Aku tak percaya," bisik Becka, berjalan ke belakang Trish
seolah-olah untuk bersembunyi.
Mereka menatap dengan diam ketika Honey menyandarkan
punggungnya ke mobil, lalu ia dan cowok itu berpelukan lagi.
"Dia dengan siapa?" bisik Becka.
"Aku tak bisa melihat wajahnya," jawab Trish. "Kita terlalu
jauh." Mereka berdiri di dekat pagar dari mata rantai logam yang
memagari lapangan sepak bola, kemudian mereka mendekati tempat
parkir. "Oh, wow! Itu Eric!" seru Trish.
"Eric siapa?" desak Becka. "Eric-ku?"
"Ya." Trish mengangguk.
Becka mencengkeram kawat logam pagar itu dan menekannya
sampai tangannya sakit. "Yah, kau sudah putus dengannya," kata Trish. "Kukira Honey
berhak..." "Trish! Lihat dia!" teriak Becka panas. "Rambutnya dipotong
seperti rambutku. Dia memakai jaket sama persis seperti punyaku. Dia
memakai blus biruku yang dibawanya pulang dan tak pernah
dikembalikan. Dan bros burung beoku, bros enamel yang diberikan
Bill padaku. Dan sekarang dia berdiri di sana di tempat parkir,
memeluk mantan pacarku!"
"Becka..." "Ini memuakkan! Benar-benar memuakkan!"
"Becka, kau menjerit. Tenanglah, oke" Tenang saja!" Trish
mencengkeram bahu Becka dan menatapnya penuh perhatian.
Becka bahkan tidak menyadari ia sedang menjerit. Ia
menghirup napas dalam-dalam dan menahannya. Ia melepaskan pagar
itu dan memasukkan tangannya yang beku ke saku jaketnya.
"Aku tahu seharusnya kita tetap di dalam saja," kata Trish
cemberut. "Apa yang akan kulakukan?" tanya Becka sekali lagi, memaksa
suaranya tetap rendah dan tegar. Matanya kembali memandang tempat
parkir. Honey dan Eric sedang berjalan bergandengan tangan
sepanjang jalan, menuju ke arah Becka dan Trish.
"Kau harus jujur dengan dia," kata Trish, sambil memainkan
topi wolnya. "Jujur" Apa maksudmu?" desak Becka.
"Kau harus bilang padanya kau tak ingin berteman dengannya."
Dua ekor burung hitam yang besar menukik rendah di atas
kepala mereka, berkaok keras, dalam perjalanan mereka menuju
taman. Aku berharap bisa terbang bersama mereka, pikir Becka sedih,
sambil memperhatikan Eric dan Honey mendekat.
"Tapi jika itu kukatakan pada Honey, aku tak tahu apa yang
akan dilakukannya," kata Becka. "Dia sangat emosional. Dia gila. Dia
benar-benar gila. Malahan menurutku dialah yang menyebabkan
kecelakaan yang menimpa Lilah."
Trish menatap Becka, raut wajahnya berubah. "Kau tak sinting,
kan, Becka," ia memperingatkan dengan tenang. "Jangan gila
sungguhan dong! Honey mungkin pengacau yang menjengkelkan.
Dan penjiplak. Tapi jika kau mulai mengajukan tuduhan yang tidaktidak..." Ia tidak menyelesaikan ucapannya.
"Kau tak mengenal Honey sebaik aku," Becka mendebat.
Waktu ia melihat sekilas ke depan, Eric tiba-tiba berbalik dan
tergesa-gesa kembali ke gedung sekolah. Honey sedang menghampiri
mereka dengan cepat, berlari-lari kecil ke arah mereka, sambil
melambai-lambai. Eric pasti malu, pikir Becka.
"Hai, Becka!" seru Honey. Ia berhenti di hadapan Becka,
napasnya tersengal-sengal, uap mengepul dari mulutnya, senyum lebar
terpampang di wajahnya. "Hai," gumam Becka, jelas terlihat tanpa semangat.
"Ngapain kau di luar sini?" tanya Honey.
"Lagi bicara dengan Trish."
"Oh." Honey seakan baru melihat kehadiran Trish di situ. "Hai."
Trish mengangguk. "Boleh aku bergabung?" Honey bertanya kepada Becka.
Becka menggeleng. "Tidak sekarang, Honey. Aku sungguhsungguh ingin bicara dengan Trish secara pribadi."
"Pribadi?" ebukulawas.blogspot.com
"Ya," jawab Becka dingin.
Mulut Honey melongo. Bola matanya yang kelabu menyempit.
"Ada apa, Becka?" desaknya, kedengarannya ia tersinggung. "Tak ada
yang tak bisa kaubagi dengan sahabat karibmu."
"Itulah sebabnya aku bicara dengan Trish!" kata Becka ketus.
Nah, pikir Becka. Seharusnya itu sudah cukup jelas. Sekarang
mungkin Honey akan mengerti isyarat itu.
Ekspresi Honey menjadi kosong. Tanpa emosi, tetapi wajahnya
berubah jadi merah padam.
Ia memasukkan kedua tangannya yang besar ke saku jaketnya
dan berbalik pergi cepat-cepat. "Sampai nanti," teriaknya tanpa
menoleh dan mulai berlari-lari kecil menuju sekolah.
"Halus sekali," komentar Trish tak acuh. Ia tertawa kecil.
"Kupikir Honey sudah mengerti."
Becka tidak tersenyum. Tiba-tiba dirinya dipenuhi rasa sesal
dan takut. "Seharusnya aku tak begitu kasar," ujarnya seperti berbisik.
"Ya, kau harus begitu," Trish menekankan. "Kau sudah lama
sekali bersabar. Itulah satu-satunya jalan."
"Lebih baik kau hati-hati, Trish," kata Becka sambil menggigiti
ujung ibu jari tangannya.
"Hah" Apa maksudmu?"
"Lebih baik kau hati-hati. Memang kedengarannya sinting.
Seperti selalu curiga. Tapi menurutku Honey bisa berbahaya. Jika dia
iri hati padamu, jika dia mulai membencimu, dia mungkin mencoba
melakukan sesuatu." Trish tertawa dan menggeleng-geleng. "Ih, ngeri, Becka,"
ejeknya. "Sungguh lho. Apa yang bisa diperbuatnya?"
Bab 16 "JAGA dirimu," kata Trish ketika mereka melangkah memasuki
kehangatan gedung itu. "Kau tak boleh melewatkan pesta Natalku
Sabtu nanti." "Aku akan baik-baik kok," kata Becka menggigil. "Sampai
nanti, Trish. Trims mau menemaniku jalan-jalan."
Becka melambai kepada temannya, kemudian berbalik dan
berjalan ke arah koridor yang ramai menuju locker-nya. Ia masih
merasa tidak enak dan sakit.
Barangkali seharusnya aku tak berdiri di luar dalam udara
dingin seperti itu, pikirnya.
Ia melambai kepada beberapa anak, kemudian berbelok di
pojok dan berjalan terus. Diliriknya jam dinding di atas, waktu makan
siang masih sepuluh menit lagi.
Bagus, pikirnya. Masih ada waktu untuk pergi ke WC cewek
dan bergabung dengan mereka.
Setelah melewati sekelompok anak laki-laki yang sedang
bergerombol, menertawakan sesuatu, saling mempertemukan tangan
ber-high-five, ia berhenti di depan locker-nya.
"Oh." Ia terkejut, pintu locker-nya telah dibuka dengan paksa.
Aku yakin sudah menguncinya, katanya kepada diri sendiri.
Ia membuka pintu locker dan tercengang.
"Becka, ada apa?"
Becka menoleh. Dilihatnya Cari Taylor di sampingnya, mulai
membuka locker-nya. "Lihat," kata Becka, sambil menunjuk.
"Oh, wow!" teriak Cari, sambil mendekat untuk mengintip ke
dalam locker Becka. "Ada yang sudah mengobrak-abriknya!"
"Semuanya," kata Becka lemah sekali.
Diktat-diktatnya, yang biasanya disusun rapi di rak, telah
berjatuhan ke lantai locker. Map-mapnya disobek, kertas-kertasnya
berhamburan. Scarf wol yang disimpannya di locker itu kusut
bercampur baur dengan kertas-kertas. Kartu catatan untuk
penelitiannya tersebar ke mana-mana.
"Kurang ajar sekali!" seru Cari. "Siapa yang melakukannya?" Ia
memegang bahu Becka yang gemetar. "Kau harus melaporkan ini."
"Ya, aku tahu," jawab Becka.
Gelombang rasa mual menyapu dirinya. Ia memaksa diri
berpaling dari barang-barang yang berantakan itu.
"Siapa yang melakukannya?" ulang Cari.
Beberapa anak lain bergegas ingin melihat ada keributan apa.
Aku tahu siapa yang melakukan ini, pikir Becka getir.
Aku tak usah menebak. Honey yang melakukannya. Segala hal yang konyol dan kekanak-kanakan!
Hanya karena aku menyinggungnya, ia merasa harus langsung
membalas dengan mengobrak-abrik barang-barangku.
"Aaaagh!" teriak Becka jengkel dan mendadak menyingkir dari
anak-anak yang berisik dan berkerumun di depan locker- nya.
"Becka, mau ke mana kau?" Cari memanggil di belakangnya.
"Ke WC cewek," sahut Becka.
Becka menerobos kerumunan cheerleader, yang memakai
kostum untuk suatu acara, dan tergesa-gesa melewati koridor yang
bising, suara-suara bergaung di telinganya.
Ia masuk ke WC cewek di ujung koridor.
Napasnya tersengal-sengal.
Cahaya abu-abu menerobos masuk melalui kaca jendela tinggi
yang membeku. Honey berdiri di depan bak cuci.
Masih mengenakan jaketnya.
"Oh!" pekik Becka.
Honey menoleh, juga terkejut. "Hai." Ia mematikan keran air
dan menarik selembar handuk kertas dari tempatnya di samping
cermin. "Honey!" jerit Becka. Rasanya ia tak dapat mengendalikan diri
lagi. Ia sudah tak tahan. Ia menahannya begitu lama. "Tega-teganya
kau?" Mata Honey terbelalak bingung. Ia berhenti mengelap
tangannya. "Hah?"
"Tega-teganya kau?"
"Apa, Becka" Tega kenapa?"
"Kau tahu, kau pembohong!" Becka berteriak.
Honey meremas kertas handuk di tangannya dan kertas itu
terjatuh ke lantai keramik. "Becka, kau menjerit," katanya, ekspresi
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bingungnya berubah jadi penuh perhatian. "Kau baik-baik saja, kan?"
"Tidak, Honey, aku marah!" teriak Becka, dengan gusar
menghampiri Honey. "Aku marah, dan kau tahu."
Dengan gelisah Honey mundur selangkah merapat ke dinding
kamar mandi. Ia mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat
menyerah. "Betapa teganya kau?" jerit Becka, lehernya tegang. Kedua
tangannya dikepalkan menjadi tinju di samping badannya. Urat-urat di
pelipisnya berdenyut-denyut. Cahaya putih dari jendela berkilauan di
depannya. Honey menghela napas. Ia berdiri dengan tegang, membalas
tatapan Becka. "Sungguh, Becka. Kau harus tenang. Aku tak tahu apa
yang sedang kaubicarakan. Sungguh aku tak tahu."
"Pembohong," kata Becka dengan nada menuduh. "Aku sedang
membicarakan locker-ku, tentu saja."
"Locker-mu, memangnya kenapa?" tanya Honey, seakan-akan
tidak bersalah. Becka menarik napas, akan menjawab tapi sadar ia tidak bisa
bicara. Ia terlalu marah untuk mengeluarkan suara.
"Kenapa kau mencari kesalahanku hari ini?" desak Honey, air
mata mengembang di sudut matanya yang abu-abu. Dagunya bergetar.
"Katakan padaku, Becka. Apa yang telah kulakukan?"
Becka bersandar ke bak cuci, menekankan kedua tangannya ke
perselen yang dingin, berusaha keras mengendalikan diri kembali.
"Kau sangat jahat padaku di lapangan sepak bola tadi," seru
Honey, dua butir besar air mata bergulir turun di kedua pipinya yang
merah padam. "Lalu sekarang kau menerobos masuk dan menjeritjerit padaku tanpa alasan." Honey menangis tersedu-sedu. "Kenapa,
Becka" Kenapa kau mencari-cari kesalahanku?"
"Enyahlah dari milikku," Becka bicara dengan rahang
dikatupkan. "Jangan campuri urusanku."
"Oh." Honey menghapus air mata dengan kedua tangannya.
"Aku mengerti. Maksudmu Eric. Kau melihat aku dengan Eric."
"Tidak," bantah Becka ketus.
"Kau marah karena aku pacaran dengan Eric sekarang," potong
Honey. "Tapi itu tak adil, Becka. Kau sudah putus dengannya."
"Aku tak peduli Eric," teriak Becka. Ia sadar bahwa sekujur
badannya gemetar. Ia menghela napas dalam-dalam dan menahannya.
Sambil mencengkeram bak cuci, ia memejamkan matanya.
Tapi getaran itu tidak berhenti.
"Maksudku bukan Eric," Becka mengulangi.
"Kau sudah memutuskan dia. Sekarang dia pacaran denganku,"
Honey menekankan. Ia berbalik ke cermin dan memperhatikan dirinya
sendiri, sambil menyeka air mata dari pipinya.
Apa dia sedang memeriksa model rambutnya" pikir Becka getir.
Model rambutku! Apa dia akan membasahi noda di blus birunya" Blus biruku!
Makam Ke Tiga 2 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Topeng Setan 1