Pencarian

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 7

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Bagian 7


jangan pernah membuat tanki minyak mesin kosong, itu akan merusak mesin". Abang beli di mana buku ini?"
"Itu hadiah." Aku menjawab perlahan.
"Hadiah dari siapa?" Sarah bertanya, sambil terus membuka-buka halaman.
"Eh, dari" dari Mei." Aku meneguk ludah.
Sarah mengangkat wajahnya dari halaman buku, "Mei" Hadiah dari seorang gadis, ya, Bang Borno" Mei itu pacar abang, ya?"
Aku biasanya selalu tersedak setiap kali ada yang bertanya seperti itu tentang Mei. Tetapi malam ini, entah kenapa aku justeru merasa hambar mendengarnya.
Mei pacarku" Aku menggeleng, "Hanya teman."
"Tidak mungkin," Sarah tertawa renyah, menyelidik menatap wajahku, "Abang Borno tahu, ada sebuah rahasia kecil, jika ada gadis memberikan hadiah sebuah
buku pada seorang laki-laki, terlebih buku kesukaan dan hobi laki-laki itu, maka laki-laki itu amat penting bagi gadis tersebut. Bukan sekadar teman."
Aku terdiam. Sarah sudah mengangkat buku itu, "Lihat, ini buku yang baik sekali tentang mesin, bukan. Nah, bukan soal harganya, tetapi coba bayangkan, berapa hari gadis
itu mencari tahu tentang buku ini, berusaha memilih buku tentang mesin paling baik yang tidak pernah seorang pencinta mesin baca". Kalau Mei itu ada di
sini, mungkin aku bisa bertanya padanya, berapa hari yang dia butuhkan untuk mencari tahu, kemana saja dia mencari tahu, bertanya pada siapa saja."
Aku terdiam"menatap lamat-lamat sampul buku yang dipegang Sarah.
Aku penting bagi Mei" Dia yang tidak tahu apa-apa tentang mesin memaksakan diri mencari buku terbaik untukku sebagai hadiah" Entahlah, kalau aku penting
sekali bagi Mei, dia akan datang minggu pagi di dermaga kayu, menepati janji. Atau setidaknya, dia akan berusaha mengirimkan pesan kalau membatalkan janji.
Apa susahnya menyuruh bibi, anak kecil, tetangga, bila perlu Pak Pos sekalian untuk mengirim pesan, janji plesir seharian batal. Apa susahnya mengirimkan
selembar kertas pembatalan. Tetapi lihatlah" Mei justeru membuatku duduk menunggu menanggung malu berjam-jam.
Aku penting sekali bagi Mei" Omong-kosong, pagi ini saja dia sudah tidak lagi mau naik sepit pergi ke sekolahnya. Dia menghindariku. Aku tahu Mei berangkat
ke sekolah hari ini, tadi siang waktu menarik sepit, rit terakhir sebelum pergi ke bengkel Andi, ada salah-satu murid sekolah itu yang selama ini memang
sering memotong jalan lewat sungai Kapuas, menumpang sepitku. Pulang dari sekolahnya. Dia bilang Ibu Guru Mei mengajar seperti biasa. Aku penting bagi
Mei" "Jadi siapa Mei ini, bang?" Sarah tertawa akrab lagi, mengedipkan matanya, memotong sesakku sepanjang hari yang tiba-tiba kembali, "Pacar abang, ya?"
Kamarku lengang sejenak"hanya suara ponakan Sarah yang asyik menghabiskan batang cokelatnya yang terdengar.
Aku menggeleng, "Hanya teman."
Suaraku terdengar begitu hambar. Kalau aku memang penting sekali bagi Mei, dia tidak akan menolak batang cokelat itu. Apa susahnya menerima cokelat itu,
membiarkan kesenangan meruap dari wajah orang yang telah memberikan hadiah" Bukan sebaliknya.
"Masa" iya?" Sarah tidak percaya, wajahnya riang bergurau.
"Hanya teman." Suara hambarku sekali lagi terdengar di langit-langit kamar.
" *** "Borno! Maju sepit kau." Petugas timer berteriak.
Aku meletakkan buku, menarik pedal gas, propeler berputar lebih kencang, gelembung air menyeruak ke permukaan, sepitku melesat anggun ke bibir steher,
tempat belasan penumpang sudah berdiri antri.
"Bangku kosongnya biarkan saja, Oom. Aku tidak akan menunggu." Aku berseru dengan intonasi senormal mungkin, mengatasi keramaian dermaga.
"Woi?" Petugas timer melipat dahi.
"Mei tidak akan naik sepit pagi ini." Aku tetap berusaha berkata normal.
"Woi" Dia sakit?" Petugas timer bertanya.
Aku mengangkat bahu, "Dia sekarang pergi naik mobil."
"Woi?" Aku tidak berkomentar lagi. Ini hari ketiga Mei tidak berangkat dengan sepit, aku sebenarnya sama gugupnya dengan tiga hari lalu, berharap-harap cemas
Mei akhirnya muncul di gerbang dermaga. Kemarin saat aku bertanya dengan murid sekolah itu, yang naik sepitku, jawabannya tetap sama, "Ibu Guru Mei mengajar
seperti biasa." Jawaban yang mengambil separuh semangatku sepanjang hari. Aku sudah berusaha menuruti saran Bang Togar, selalulah berprasangka baik dalam
urusan ini, tapi itu tidak membantu banyak. Gugup menunggu diantrian nomor 13, berpikir tentang kalimat apa yang akan kukatakan saat melihatnya, pertanyaan
apa yang akan kukeluarkan, ternyata sia-sia, tiga hari berturut-turut Mei tidak muncul di steher.
Padahal dua bulan ini, pukul tujuh lewat seperempat selalu menjadi saat yang menyenangkan. 23 jam, 45 menit, ditukar dengan kebersamaan 15 menit di atas
sepit. Aku tidak tahu, sedih, marah, kesal, atau justeru rindu melihat senyum Mei. Aku tidak tahu, apakah merasa ditinggalkan begitu saja, atau justeru
mencoba memahaminya dari sisi yang lebih positif. Yang aku tahu, dan aku sungguh-sungguh berusaha membujuk hati, aku harus segera terbiasa."
Perahuku menyisakan satu tempat kosong, penumpang terakhir yang berdiri di bibir dermaga, dan sudah paham, urung naik. Menunggu sepit berikutnya merapat.
"Aku jalan, Oom.?"
"Woi" Lantas bagaimana dengan gadis kau?"
"Biarkan saja kosong bangkunya.?"
Petugas timer menyeka peluh di leher. Dari tadi dia celingukan mencari Mei.
"Baiklah, jalan, Borno." Petugas timer menghela nafas, dia juga sudah tiga hari terakhir berusaha menahan penumpang, sia-sia karena Mei tidak datang, perlahan
menoleh ke tambatan sepit, berteriak lantang, "Maju lagi satu sepit, Pak Tua!"
Aku menarik pedal gas. Sepitku langsung meluncur meninggalkan steher, membelah sungai Kapuas. Matahari pagi membasuh permukaannya, membuat berkilat-kilat.
Kesibukan terlihat di mana-mana, di sungai, di jalanan, di toko, di pasar, di kantor, kota Pontianak kembali ramai.
Aku harus segera terbiasa.
Meski aku tidak tahu hingga kapan aku akan tetap mengantri di urutan 13, hingga kapan aku akan membiarkan bangku Mei kosong, menganggapnya tetap duduk
di sana, melihatnya menyibak anak rambut yang mengenai dahi, wajah sendu itu tertawa.
*** "Kau sudah memikirkan tawaran kongsi itu, Borno?" Bapak Andi bertanya.
Petang hari, jadwalku bekerja di bengkel bapak Andi.
Tanganku memasang knalpot motor trail terhenti sejenak, mengangkat kepala, "Sudah kupikirkan, Daeng. Aku tertarik, tapi uang sebanyak itu aku belum punya.?"
Bapak Andi manggut-manggut, "Besok aku akan menemui orang yang mau membeli bengkel dan rumah tua ini, Borno". Semoga kau juga segera mendapatkan cara untuk
memperoleh uang bagian kau."
Aku menghela nafas pelan. Mengangguk.
Bapak Andi sambil bersenandung santai, melangkah menuju gerbang bengkel.
"Bapak mau kemana?" Andi bertanya.
"Dermaga pelampung, ada yang bawa ikan asin dari Surabaya. Boleh jadi harganya cocok. Kalian bereskan dua motor trail itu." Bapak Andi nyengir, melambaikan
tangan. Aku tertawa setelah punggung Bapak Andi hilang di kelokan gang, "Kalau karung-karung ikan asin itu dibawa ke rumah kau ini, Kawan, alamat bau ikan asin
tercium di seluruh bengkel."
Andi tidak membalas olok-olokku, dia kembali sibuk membersihkan knalpot motor trail satunya. Sudah sejak enam bulan lalu, ketika aku sudah bisa mengurus
semua urusan bengkel, bapak Andi tidak turun tangan lagi, "Soal mesin, kau sudah lebih pandai dibandingkan aku, Borno." Demikian alasan bapak Andi. Aku
tidak mengeluh, dengan bantuan Andi, ditambah tidak terlalu banyak pelanggan yang datang, pekerjaan bengkel bisa kuselesaikan paruh waktu.
"Kau sudah bilang Ibu kau tentang rencana membeli bengkel itu?" Andi memecah lengang.
Aku menyeka peluh di dahi, "Sudah."
"Nah, aku punya ide bagus, Borno." Wajah Andi riang.
"Ide bagus apa?" Gerakan tanganku menyesuaikan posisi knalpot terhenti lagi.
"Ide agar kau punya uang, Kawan. Kau jual saja rumah kalian. Mudah dan cepat. Uangnya pasti banyak. Ide bagus, bukan?" Andi berkata serius.
Aku melotot padanya, "Apanya yang ide bagus" Kau gila" Itu warisan bapakku, mana mungkin dijual, mau tinggal di mana Ibuku" Tinggal di bengkel baru itu?"
Andi mengangkat bahu, agak jerih melihat muka galakku, kan sekadar usul. Pura-pura kembali sibuk membersihkan knalpot motor.
*** "Borno! Maju sepit kau." Petugas timer berteriak.
Aku meletakkan buku, menarik pedal gas, propeler berputar lebih kencang, gelembung air menyeruak ke permukaan, sepitku melesat anggun ke bibir steher,
tempat belasan penumpang berdiri antri.
"Jangan menyelak antrian, Kawan." Petugas timer menahan dua remaja yang saling dorong, bergurau satu sama lain, "Hati-hati naik sepitnya, terpeleset kaki
kau, jatuh ke dalam sungai, repot semua orang." Petugas timer sudah mengingatkan penumpang berikutnya, tidak segan membantu memegangi sebentar tas besar.
"Mau kuisi penuh, Borno?""
"Biarkan kosong, Oom." Aku menggeleng.
"Bukankah sejak dua hari lalu kau bilang gadis itu sekarang naik mobil" Kuisi penuh saja ya. Sayang sepit kau kosong satu." Petugas timer berseru pada
antrian penumpang, "Satu lagi, naik sepit Borno satu orang lagi."
"Tidak usah, Oom. Biarkan kosong."
"Woi?" " Aku menarik pedal gas. Sepitku langsung meluncur meninggalkan steher, membelah sungai Kapuas sebelum petugas timer berkata sepatah kata pun. Matahari pagi
membasuh permukaannya, membuat berkilat-kilat. Kesibukan terlihat di mana-mana, di sungai, di jalanan, di toko, di pasar, di kantor, kota Pontianak kembali
ramai. Ini hari kelima Mei tidak naik sepit. Aku harus segera terbiasa.
*** Sore harinya, di bengkel sempit gang tepian Kapuas.
"Bapakku sudah menyelesaikan transaksi jual-beli rumah." Andi berkata pelan.
"Kapan?" Aku mengelap motor trail.
"Tadi pagi. Sudah beres semua." Andi menjawab datar.
"Nah, itu kabar bagus, bukan?" Aku jahil menepuk bahu Andi dengan kanebo basah, "Kenapa wajah kau malah kusut seperti ini."
"Kata bapakku harganya tidak setinggi yang dia harapkan. Uangnya masih kurang untuk menggenapi membeli bengkel baru itu.?"
Aku terdiam. Itu bukan kabar baik.
"Kau jadi berkongsi dengan bapakku, Borno?" Andi bertanya sungguh-sungguh.
Aku diam, tidak punya jawaban baiknya.
"Aku senang sekali kalau kau jadi berkongsi, Kawan. Kita akan membesarkan bengkel itu bersama-sama. Tidak masalah aku hanya jadi asisten kau.?"
Langit-langit bengkel sempit bapak Andi lengang sejenak. Terkadang Andi itu kalau mood baiknya sedang muncul, kalimat-kalimatnya bisa mengharukan."
Aku tetap tidak berkomentar, meneruskan mengelap motor trail di hadapan kami. Setelah hampir dua minggu, motor trail itu beres. Sedang dicuci, agar terlihat
keren saat diambil pemiliknya.
"Kau tahu, keinginanku untuk berkongsi di bengkel itu bahkan lebih besar dibanding kau, Andi." Aku memecah lengang, memeras kanebo, "Lima hari terakhir
aku sudah berusaha menemui Pak Tua, Koh Acung, Cik Tulani, sayangnya, tidak ada satupun diantara mereka yang punya uang sebanyak itu. Aku juga sudah bertanya-tanya
kalau ada kemungkinan meminjam uang ke bank, koperasi, kemana saja, tapi tidak ada yang mau meminjamkan uang.?"
"Siapa pula yang mau meminjamkan uang tanpa jaminan?" Andi menggeleng, "Bapakku saja kesulitan mencari pinjaman hingga menjual rumah dan bengkel."
Aku diam, menatap motor trail yang sudah bersih mengkilap."
"Bagaimana kalau kau jual saja rumah Ibu kau." Andi nyeletuk, mengutarakan kembali ide buruk itu.
Aku melempar kanebo basah padanya, "Astaga, itu tidak akan pernah kulakukan."
Andi melepas kanebo yang telak mengenai jidatnya, melotot sebal, "Hanya usul, alangkah sensitifnya kau". Atau kau minta tolong pada dokter gigi itu. Bukankah
mereka bilang akan melakukan apa saja yang kau inginkan" Jangankan memberikan uang, menjodohkan kau dengan dokter gigi itu mungkin mereka tidak keberatan."
Aku menyambar kunci nomor delapan belas.
Andi bergegas menyingkir, "Hanya usul, woi.?"
*** "Borno! Maju sepit kau." Petugas timer berteriak.
Aku meletakkan buku, menarik pedal gas, propeler berputar lebih kencang, gelembung air menyeruak ke permukaan, sepitku melesat anggun ke bibir steher,
tempat belasan penumpang berdiri antri.
"Ayo, perhatikan kakinya, hati-hati." Petugas timer memegangi ujung perahu kayu agar lebih stabil, barusaja perahu besar melintas, membuat riak sungai
lebih kencang, menoleh padaku, "Pagi ini tetap dibiarkan kosong satu bangkau kau, Borno?""
Aku menghela nafas tipis, mengangguk.
Petugas timer menatapku lamat-lamat, mungkin hendak bilang bukankah ini sudah seminggu" Buat apa pula kau tetap membiarkan satu tempat duduk di papan melintang
terus kosong, balas menghela nafas, lantas berseru prihatin, "Terserah kaulah."
"Silahkan jalan, Borno." Petugas timer memukul pelan pinggir perahu kayuku, berdiri, berteriak ke arah tambatan antrian, "Woi, maju lagi satu sepit, Jauhari."
Aku menarik pedal gas. Sepitku langsung meluncur meninggalkan steher, membelah sungai Kapuas. Matahari pagi membasuh permukaannya, membuat berkilat-kilat.
Kesibukan terlihat di mana-mana, di sungai, di jalanan, di toko, di pasar, di kantor, kota Pontianak kembali ramai.
Ini sudah hari ketujuh. Tetap memaksakan diri antri di urutan 13, tetap berharap Mei akhirnya kembali naik sepit. Aku mungkin tidak akan pernah terbiasa.
*** Halaman praktek dokter gigi Sarah ramai. Ada beberapa sepit tertambat di dermaga kayunya. Meja-meja besar di tengah taman, pegawai katering hilir mudik,
suara percakapan akrab, gelak-tawa.
Malam ini Sarah tetap membuka tempat prakteknya, tapi dokter gigi koleganya yang bertugas di klinik. Sarah sedang sibuk menjadi tuan rumah yang baik. Menyebar
senyum, menyapa setiap undangan.
"Bagaimana, pakaianku sudah keren, bukan?" Bang Togar macam model top tepian sungai Kapuas, sudah berlagak, memamerkan jas pinjamannya.
"Kau salah kostum, Togar." Cik Tulani mencibirkan mulut.
"Sejak dulu alangkah susahnya Cik nih mengakui kalau aku lebih tampan darinya." Bang Togar melambaikan tangan, tidak peduli, "Justeru Cik yang salah kostum,
hanya memakai kemeja butut. Apa dibilang Bu Dokter Sarah itu, pesta gala dinner, nah, mana ada pakaian yang lebih mantap untuk makan malam selain jas."
"Duduklah, Togar. Mereka sudah mulai membagikan makanan, kau menghalangi." Pak Tua yang sejak tadi pusing melihat kelakuan Togar menyuruhnya duduk.
"Sebentar, Pak Tua bilang dulu, keren tidak pakaianku, hah" Sudah macam anggota Dewan, bukan" Atau kacik sikit-lah dengan pakaian walikota Pontianak."
Bang Togar masih mencari dukungan.
Pak Tua menyeringai, sebenarnya sebal memberikan jawaban, "Sepanjang kau nyaman dengan pakaian itu, maka sudah kerenlah kau, Togar.?"
Bang Togar tertawa lebar, menepuk-nepuk ujung jas, sok memperlihatkan kalau dia nyaman sekali dengan pakaiannya, "Terima kasih, Pak Tua. Itu kalimat bijak
dan tepat sekali dibandingkan kalimat sirik tadi. Aku nyaman sekali dengan jas ini."
Cik Tulani kembali mencibirkan mulut.
Malam ini, ada enam meja bundar besar yang disusun rapi di tengah hamparan rumput taman tempat praktek Sarah. Di meja kami ada Pak Tua, Bang Togar, Cik
Tulani, Koh Acung, Andi dan aku. Satu meja lain diisi Ibu-ku, istri Bang Togar, istri Koh Acung, istri Cik Tulani, bersama anak-anak. Empat meja lain diisi
tetangga dan pengemudi sepit yang juga diundang oleh Sarah. Tadi kami berangkat dengan tiga sepit, memakai baju terbaik, macam mau kondangan pernikahan
siapalah. Sudah seminggu lalu Sarah bilang akan mengadakan syukuran, dan meski aku risih, merasa itu berlebihan, serba-salah terus dibujuk olehnya agar menyetujui
dan mengajak datang orang-orang, akhirnya aku menyerah, mengangguk. Tidak ada salahnya. Jadilah malam ini, kami pergi beramai-ramai dengan sepit, menghadiri
syukuran ala modern ini. Piring-piring besar yang tertata rapi di atas meja mulai dibalikkan pegawai katering, gelas-gelas mulai diisi dengan minuman berwarna. Menu pembuka datang,
salad, pasta, mie, apalah namanya, aku belum pernah berkenalan dengan menu ini. Pegawai katering dengan seragam klimis, hilir mudik melayani enam meja
besar, mengirim makanan-makanan. Aku menelan ludah, terlepas dari nama makanan, ada hal lain yang perlu dirisaukan. Lihatlah, setidaknya ada tiga jenis
sendok, tiga jenis garpu, pisau, dan peralatan makan lainnya yang ada di hadapanku.
"Kau pakai yang paling pinggir dulu, Borno." Pak Tua berbisik, memberitahu.
Aku menoleh, memastikan Pak Tua tidak sedang bergurau.
Pak Tua tersenyum, mencontohkan.
Yang lain, yang juga mendengar kalimat Pak Tua mengangguk-angguk. Meniru gaya Pak Tua memasang celemek di dada, mengangguk gaya pada pegawai katering,
mempersilahkan meletakkan makanan.
"Yang mana saja boleh, Bu." Suara Sarah yang tertawa renyah, menjelaskan, terdengar dari seberang meja, "Tidak usah dipikirkan sendok mana. Anggap saja
seperti makan di rumah, bebas."
"Tapi ini banyak sekali sendoknya, Bu Dokter."
"Iya, kayaknya kateringnya kelebihan sendok. Aduh, mana sendoknya bagus-bagus lagi. Kalau mau dikasihkan lebihannya ke saya, tidak menolak." Yang lain
menimpali. Sarah tertawa renyah. "Bagaimana Bang Togar?" Entah sejak kapan, Sarah sudah pindah ke meja kami, berdiri anggun.
Aku melirik tampilannya, ia terlihat cantik dengan kemeja putih berenda-nya. Tanpa saputan riasan, tampil sederhana, wajah riang Sarah terlihat bercahaya.
Aku buru-buru kembali menatap piringku.
"Nah, kebetulan kau kemari". Aku pusing memakai sendok dan garpu ini. Tidak cocok dengan gaya makanku." Bang Togar yang sejak tadi patah-patah menyuap
salad mengeluh. "Pakai tangan langsung juga boleh, Bang." Sarah tertawa, mata hitam beningnya terlihat indah. Aku sekali lagi buru-buru menyendok salad.
"Boleh?" Sarah mengangguk mantap."
"Percuma pula kau pakai kostum keren kalau akhirnya makan pakai tangan, Togar." Cik Tulani terkekeh setelah Sarah pindah ke meja lain.
"Woi, makan itu memang pakai tangan, bukan. Kalau pakai kaki mana boleh." Bang Togar yang tidak mau kalah skak, balas menimpali.
Cik Tulani mendengus kesal.
Meja kami ramai lagi oleh tawa.
Setengah jam berkutat dengan appetizer (itu penjelasan Sarah), pegawai katering berbondong-bondong keluar membawa maincourse. Piring salad, pasta dan mie
segera digantikan ayam panggang bumbu asli China daratan sana"demikian penjelasan Sarah lagi. Meski tidak terbiasa, tapi ayam panggang ini lezat sekali,
dihidangkan bersama kentang rebus gurih. Enam meja bundar kembali ramai oleh denting sendok, kecap mulut mengunyah, slurp mulut meneguk minuman, dan hah
kepedasan." Semua sibuk dengan piring masing-masing.
"Kau sudah bicara dengan dokter gigi itu, Borno?" Andi yang persis duduk di sebelahku tiba-tiba menyikutku, berbisik.
"Bicara apa?" Aku yang asyik mengunyah ayam panggang lezat bertanya balik.
"Apa lagi selain kongsi bengkel itu. Kau sendiri tahu, kan, bapakku harus memutuskan jadi membeli atau tidak bengkel itu dalam tiga hari ke depan. Kalau
kau urung, dia akan mengajak orang lain". Aku tidak mau punya bos selain kau atau bapakku, Kawan." Andi berbisik.
Aku melotot pada Andi, ternyata tentang itu.
"Ini waktu yang tepat, bukan" Dokter gigi itu sedang riang-riangnya. Tinggal kau ajak bicara sebentar," dokter gigi itu pasti akan setuju?"
"Aku tidak akan pernah melakukan itu." Aku memotong kalimat Andi.
"Apa salahnya" Hanya pinjam uang, kan" Syukur-syukur dikasih gratis. Apa bedanya dengan meminjam uang dengan Pak Tua, atau ke bank sekalian?" Andi mengeluarkan
argumen." Salah-satu pegawai katering menambah isi gelas, membuat percakapanku dengan Andi terhenti sejenak.
"Ayolah, kau ajak bicara dokter gigi itu, Kawan." Andi kembali membujuk setelah pegawai itu pindah ke meja berikutnya.
"Tidak akan." Aku mendengus.
"Apa salahnya?"
"Tentu saja salah. Almarhum bapakku yang dibelah dadanya, diambil jantungnya, tidak akan pernah menyetujuinya. Lupakan saja ide buruk kau." Aku berbisik
galak pada Andi. Andi terdiam, jerih menatap wajah jengkelku.
"Ayolah," Pak Tua yang persis di sebelahku, dan pastilah menguping bisik-bisik kami berkata santai, menengahi, "Kita bicarakan bisnis nanti saja, Kawan.
Saatnya menikmati makanan lezat ini. Sudah lama sekali sejak terapi di Surabaya aku tidak makan seenak ini."
"Bisnis apa" Kalian membicarakan apa?" Bang Togar dengan mulut penuh bertanya.
"Bisnis sewa-menyewa jas." Cik Tulani yang menjawab, mencibirkan mulut, "Lihat, susah-susah kau mencari pinjaman jas, bergaya memakainya, tidak sampai
setengah jam, sudah dilepas, disampirkan di bangku."
Bang Togar menyeringai sebal, tidak menjawab. Dia tadi memang mengeluh tidak santai, tidak nikmat menghabiskan ayam panggangnya dengan pakaian jas, tidak
terbiasa, terasa gerah. Akhirnya kostum gala-dinner kebanggaannya itu dilepas, diiringi kalimat sindiran Cik Tulani, "Nah, dengan kaos oblong kau terlihat
keren sekali sekarang, Togar". Apa yang tadi dibilang Pak Tua, sepanjang kau nyaman, maka itulah pakaian terkeren kau."
Meja kami kembali ramai oleh tawa.
*** "Selamat malam, Borno." Pak Tua tertawa riang melihatku, berkata santai, "Itu rantang makanan dari Saijah, bukan" Ibu kau itu tidak pernah absen mengirimi
orang tua ini masakan setiap minggu."
Aku bergegas meletakkan rantang di meja, ada banyak yang ingin kutanyakan pada Pak Tua, aku tahu Pak Tua sengaja memasang wajah santainya, Pak Tua pastilah
melihatku berdiri kaku bersama Mei di tengah anak tangga rumahnya.
"Kita makan malam bersama, Borno" Ayolah, banyak hal bisa dibicarakan lebih baik saat makan. Dan sebaliknya banyak pertengkaran hanya gara-gara urusan
perut kosong. Ayolah, wajah kau ini macam pengungsi yang tidak kebagian selimut, atau anak kecil yang kelupaan dikasih permen, hendak marah-marah, bertanya,
protes, penasaran, gemas, campur aduk jadi satu." Pak Tua mengedipkan mata, lantas melangkah ke dapur. "
Itulah susahnya bicara dengan Pak Tua, dia selalu bisa menebak wajah lawan bicaranya. Pak Tua benar, aku memang tidak sabaran, gemas melihat punggungnya
hilang dibalik pintu. Menunggu sebal hingga dia kembali dengan bakul nasi mengepul serta dua piring.
"Oh iya, tolong kau bawakan gelas dan ceret airnya, Borno. Masih tertinggal di dapur, sekalian dengan tempat cuci tangan." Pak Tua menyuruh, "Orang tua
ini tidak pernah menjadi pelayan rumah makan padang, kau tahu, ngeri sekali melihat mereka membawa banyak piring sekali jalan."
Meski rasanya mulutku siap memuntahkan banyak pertanyaan sejak pertama kali kakiku masuk ke ruang tengah, gregetan aku terpaksa menurut, kalian tidak akan
bisa melawan kharisma Pak Tua kalau dia sedang menggunakannya."
Dua menit berlalu. Duduk berhadap-hadapan.
"Nah, mari kita mulai wawancaranya." Pak Tua membasuh tangan di mangkok, menyentong nasi dari bakul, tertawa padaku.
"Wawancara?" Aku bertanya balik.
"Bukankah di kepala kau sekarang banyak pertanyaan tentang kenapa Mei datang ke rumah orang tua ini" Nah, silahkan. Kau bertanya, aku menjawab. Ada banyak
orang di luar sana yang tidak sabaran menunggu liputan wawancara penting ini." Pak Tua masih terkekeh, menuangkan pindang ikan buatan Ibu ke piring.
"Eh," Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, "Ya, eh, baiklah, kenapa Mei datang ke rumah Pak Tua?" Aku langsung ke pertanyaan paling penting.
"Gadis itu datang untuk bertanya tentang kau." Pak Tua menjawab lugas.
"Bertanya tentangku?" Aku menelan ludah, sungguh tidak menyangka itu jawabannya.
Pak Tua ber-hah menghirup kuah pindang, manggut-manggut, "Masakan Ibu kau ini lezat sekali, Borno. Pantas saja kau tumbuh jadi anak baik hati. Konon katanya,
masakan ibu yang lezat, halal, baik, diberikan penuh kasih-sayang, akan menjadi sumber perangai yang baik pula bagi anak-anaknya."
"Mei bertanya tentangku?" Aku tidak sabaran melihat betapa santainya Pak Tua.
"Ya, dia bertanya apakah kau benar telah menjual sepit." Pak Tua nyengir, "Kau tidak makan, Borno" Ayolah, kita wawancara sambil makan."
Aku menggeleng, aku tidak lapar, aku sedang kesal, "Kenapa Mei bertanya pada Pak Tua soal itu" Kenapa dia tidak bertanya padaku" Memangnya dia tidak bisa
bertanya langsung padaku?"
"Mana aku tahu. Sama mana aku tahu kenapa kau justeru bertanya padaku kenapa Mei tidak datang hari minggu itu, bukan sebaliknya kau datang ke rumah Mei,
bertanya langsung dengan dia." Pak Tua sengaja mengangkat bahu, memasang wajah bingung.
Aku mendengus sebal, "Sudah berapa kali Mei ke sini?"


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua kali dengan sore ini. Yang pertama seminggu lalu, tiga hari setelah memutuskan naik mobil ke sekolahnya."
"DUA KALI" Kenapa Pak Tua tidak cerita?" Aku berseru setengah tidak percaya.
"ASTAGA, kenapa aku harus cerita?" Pak Tua rese, meniru gayaku berteriak, "Lagipula gadis itu melarangku bercerita kemana-mana, terutama pada kau."
Aku terdiam, berusaha menarik nafas panjang, "Dia bertanya apa pada Pak Tua seminggu lalu" Harusnya Pak Tua menceritakan padaku, itu penting sekali". Bukankah
selama ini Pak Tua tidak pernah merahasiakan apapun."
Pak Tua sekali lagi menghirup kuah pindang, ber-decak nikmat, mengangkat kepalanya, menatapku, "Kau tidak mendengar baik-baik kalimatku barusan, Borno.
Bukankah sudah kubilang, seminggu lalu, gadis itu melarangku bercerita, terutama pada kau. Maka jadilah orang tua ini memenuhi janjinya, tidak akan bercerita."
Aku sekali lagi hendak berseru ketus.
"Baiklah, Borno. Baiklah, akan kuceritakan"." Suara bijak Pak Tua menahan teriakanku, "Tetapi kau camkan ini terlebih dahulu". Kau tahu, Nak, perasaan
itu tidak sesederhana satu ditambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap
saja dia bukan angka pasti, rumus matematika, atau ilmu eksakta. Perasaan adalah perasaan, karena terkadang boleh jadi ada awan gelap menutupi misalnya,
membuat redup bahkan sama sekali tidak terlihat gemerlapnya. Atau boleh jadi kita tidak bersabar menunggu awan gelap itu pergi."
Pak Tua menunjukku dengan tangannya yang belepotan nasi, "Baiklah, akan kuceritakan, toh, tadi gadis itu juga bilang orang tua ini sudah bebas bercerita".
Kau ingin tahu kenapa dia tidak datang minggu pagi" Gadis itu tidak datang karena dia tidak siap bertemu. Tiba-tiba merasa semuanya terlalu cepat?"
"Apanya yang terlalu cepat." Aku memotong kesal, tidak tahan melihat betapa santainya Pak Tua.
"Mana aku tahu, Borno. Aku hanya mengulang kata per kata saja dari Mei, melaporkan langsung dari ceritanya tanpa bumbum-bumbu." Pak Tua menatapku sebal"karena
kupotong. Aku terdiam menatap wajah jengkel Pak Tua.
"Sejak pukul enam pagi dia sudah bersiap-siap, sudah memakai kemeja kuning"baju yang dia pakai saat pertama kali bertemu dengan kau. Pukul tujuh dia sudah
mematut-matut, siap berangkat. Pukul delapan dia memutuskan batal pergi. Begitu saja. Jangan tanya orang tua ini kenapa."
"Kenapa dia tidak datang pagi hari senin, menumpang sepit antrian no 13 kau" Juga sama, dia sudah seratus meter dari gerbang dermaga, dia sudah siap menyeberang
naik sepit, tinggal sepuluh meter lagi dari gerbang, saat dia melihat kau menunggu sambil membaca buku di sepit, dia memutuskan batal. Urung begitu saja.
Jangan tanya orang tua ini kenapa. Dan itu juga dia lakukan hari selasa, rabu dan seterusnya."
"Dia datang seminggu lalu padaku, bertanya, apakah abang Borno marah karena dia tidak datang hari minggu" Aku jawab, Borno hanya cengengesan". Jangan kau
potong dulu, biarkan aku selesai". Seluruh penghuni gang sempit ini juga tahu persis, wajah kau hanya cengengesan, diam, mengangguk, mendesah resah, tidak
kurang, tidak lebih setelah janji itu batal dan diketahui semua orang". Jadi orang tua ini hanya menjawab sesuai faktanya. Kenapa abang Borno tidak berusaha
mencari tahu kenapa Mei tidak datang, Pak Tua" Mengunjungi rumah Mei, misalnya" Gadis itu bertanya lagi. Aku jawab, orang tua ini juga menyarankan demikian,
menyuruh Borno mencari tahu langsung, tapi anak muda itu lagi-lagi hanya cengengesan."
"Perasaan adalah perasaan, Borno. Dan orang seperti kau, terkadang lebih suka rusuh dengan perasaan itu sendiri. Rusuh dengan harapan, semoga besok bertemu,
semoga besok ada penjelasan baiknya. Semoga. Semoga. Kau sibuk sendiri, tanpa menyadari Mei juga boleh jadi sibuk sendiri. Astaga, apa susahnya kau datang
menemui Mei, bertanya baik-baik. Dan kalaupun gadis itu menjawab plintat-plintut, tidak jelas apa maunya, serba peragu, tiba-tiba tidak siap, tiba-tiba
mundur satu langkah, bahkan menjadi cemas bertemu kau, memilih naik mobil, itulah sifat perasaan, butuh waktu, butuh proses. Sialnya, kalian berdua punya
karakter yang terlalu naif menyikapi banyak hal. Berbeda dengan ehm" dokter gigi itu, Sarah, dia selalu riang, tidak segan bertanya, dan amat eksplosif
mengutarakan perasaan. Ngomong-ngomong, kau belum menjawab pertanyaan lamaku bukan, cantikan mana, Mei atau Sarah?" Pak Tua terkekeh, sengaja sekali lagi
menggodaku. Aku mendengus kesal."
"Hanya bergurau, Borno. Alangkah mudah marahnya kau sekarang. Nah, tadi Mei datang kemari, bertanya kenapa kau menjual sepit. Dia sambil berkaca-kaca bertanya,
"apakah abang Borno menjual sepit karena aku tidak datang hari minggu" Lantas aku tidak naik sepit lagi pergi ke sekolah" Apakah abang Borno marah padaku
hingga menjual sepit itu?" Alamak, orang tua ini tidak perlu menjelaskan lebih lanjut, Borno. Kau simpulkan sendiri"."
Ruang tengah rumah Pak Tua lengang, menyisakan suara perahu lewat.
Aku menelan ludah. "Nah, kabar baiknya buat kau, menurut hitungan orang-tua ini, lima belas menit lagi, persis saat dia hendak turun dari oplet, gadis itu baru menyadari
kalau tumpukan buku PR muridnya tertinggal di bangku itu," Pak Tua menunjuk bangku di ruang tengah, "Lima belas menit lagi, dia akan bergegas naik oplet
balik arah, bergegas kembali ke rumahku untuk mengambil buku PR muridnya."
Aku bingung, belum mengerti arah pembicaraan Pak Tua.
"Nah, tinggal kau pilih, kau akan menunggunya kembali ke rumah ini, bertemu dengannya di sini, aku bisa menonton kalian bercakap-cakap bodoh, atau kau
akan memutuskan bertindak seperti layaknya laki-laki yang baik-hati, mengambil tumpukan buku PR itu, menyusulnya, bertemu di perempatan dekat gang. Dan
terserah kalian mau bicara di mana setelah bertemu, apalagi kau sama sekali tidak mau menyentuh bakul nasiku sekarang. Dengan uang lebihan menjual sepit,
bisalah kau ajak dia makan malam di manalah dengan pantas, dengan meja bercahaya lilin misalnya." Pak Tua terkekeh.
Aku terdiam, mencerna. "Ayo, jangan jadi peragu seperti ini. Bergegas anak muda! Itu tumpukan buku PR-nya!" Pak Tua menepuk meja.
*** Aku memilih opsi kedua. Perempatan itu ramai, tempat penduduk kota Pontianak biasa naik oplet"ada banyak pertemuan trayek oplet di perempatan itu. Lampu merah perempatan menyala
terang, dengan detik berapa lama lagi berganti hijau. Walikota Pontianak yang sedang giat-giatnya ber-pariwisata memasang lampu hias berbentuk pohon, angsa
dan kuda, dalam rangka menyambut tujuh belasan beberapa minggu lagi, lampu-lampu yang membuat perempatan terlihat lebih meriah.
Suara klakson oplet, motor, mobil terdengar bersahut-sahutan.
Hilir mudik orang bergegas pulang ke rumah."
Pedangan gerobak dorong, warung tenda yang ramai oleh pengunjung.
Di perempatan itulah aku bertemu dengan Mei. Dia bergegas, berjalan kaki cepat, sambil menyeka anak rambut di dahi, sedangkan aku berdiri membawa tumpukan
buku PR. "Abang?" Dia sedikit terperanjat.
"Mei." Aku tidak terperanjat, aku tiba lebih dulu dibanding dia, sempat melihatnya turun dari oplet, sengaja menunggu.
Wajah gadis itu memerah"yang tidak terlihat karena cahaya lampu perempatan membuat merah semuanya, termasuk rimbun pohon sepanjang trotoar."
"Eh, kau ketinggalan buku-buku ini, bukan?" Aku mengangkat tumpukan buku.
Gadis itu mengangguk, tersenyum kaku.
Aku menelan ludah, menatap wajah lelah itu"sepertinya Mei habis mengajar seharian."
Dan suara klakson oplet, motor, mobil tiba-tiba seperti menjauh. Kesibukan pejalan kaki seperti melambat, lantas terhenti. Aroma makanan dari warung tenda
laksana mengambang. Cahaya lampu seolah hanya menyinari kami berdua yang berhadap-hadapan.
Tadi aku sungguh punya banyak pertanyaan. Punya berjuta penasaran. Tetapi sejak turun dari rumah Pak Tua, berjalan kaki menuju perempatan sambil membawa
tumpukan buku, semua pertanyaan itu berguguran. Apalagi lihatlah, menatap wajah Mei, yang terlihat sedikit kusut, kemalaman pulang.
"Kau, eh, kau mau kuantar pulang?" Aku (akhirnya) bertanya (gugup).
Mei ragu-ragu, memperbaiki posisi tas besar di pundak.
"Aku antar pulang, ya?"
"Kalau abang Borno tidak keberatan." Mei mengangguk, mukanya bersemu merah (yang lagi-lagi tidak terlihat karena bahkan kemeja putih Mei terlihat merah).
Aku melangkah ke pinggir jalan, melambaikan tangan ke oplet yang mendekat. Kami naik oplet, duduk di bangku paling pojok, berhadapan. Itulah pengganti
janji plesir seharian hari minggu sepuluh hari lalu. Tidak banyak bicara. Tidak banyak percakapan. Pendar lampu hias sepanjang perjalanan, suara klakson,
penumpang naik turun. Hingga oplet tiba di depan rumah besar milik keluarganya, sepelemparan batu dari balai kota"sebenarnya kami lupa menghentikan oplet,
jadilah terlewat hingga balai kota. Kami turun. Mei tersenyum padaku, menerima tumpukan buku PR muridnya, lantas mengangguk, masuk ke halaman rumahnya.
Meninggalkan aku yang berdiri dengan semua perasaan lega, menatap punggungnya yang hilang dibalik pintu besar.
Ternyata "kalimat maaf", "kalimat penjelasan", bisa digantikan oleh kebersamaan setengah jam tanpa sama sekali pelu berkalimat-kalimat bicara.
*** "Kau dari mana saja, Borno." Andi tersengal, membungkuk.
"Eh, aku tadi dari balai kota. Kau mencariku?" Aku menatap Andi bingung. Dari rumah Mei, aku menumpang oplet menuju perempatan bengkel. Baru juga aku turun,
hendak masuk bengkel, Andi tergopoh-gopoh juga turun dari oplet, nafasnya menderu.
"Aku mencari kau kemana-mana, Borno." Andi ngos-ngosan.
"Mencariku, bukannya kau seharusnya membantu berbenah-benah di bengkel?"
"Tidak ada berbenah-benah, Borno. Aku mencari kau. Ke rumah, dermaga sepit, tempat nongkrong anak-anak, ke rumah Pak Tua, semua tempat. Ya Tuhan, dua jam
terakhir benar-benar kacau-balau." Wajah Andi terlihat pucat, dia berusaha bersandar ke pagar besi.
"Kacau balau?" Aku tidak mengerti.
Andi pasrah menunjuk bengkel.
Aku seketika menelan ludah.
Lihatlah, ada beberapa petugas polisi di sana"kupikir tadi tamu atau kolega bapak Andi yang berkunjung hendak mengucapkan selamat."
Kegembiraanku bersama Mei di oplet menguap begitu saja."
Dua jam lalu, saat bapak Andi dan Andi tiba di bengkel untuk mulai berbenah, jangankan serah-terima dengan satpam seperti yang dibicarakan dua penjual
tadi pagi di lobi hotel, bahkan di bengkel tidak ada siapa-siapa. Gerbang terbuka lebar, bangunan workhsop, kantor, gudang tidak terkunci. Hanya dalam
hitungan detik, bapak Andi segera menyadari kalau ada masalah besar. Bengkel kosong melompong, menyisakan ruangan luas, semua peralatan modern, canggih,
yang termaktub dalam surat jual-beli telah diangkut entah oleh siapa."
Tidak hanya itu. Saat bapak Andi duduk nelangsa mencoba mengerti apa yang telah terjadi, menyuruh Andi bergegas mencariku, datanglah pemilik yang sah.
Dua pemilik bengkel sebelumnya hanya menyewa gedung dan lahan selama lima tahun. Dua tahun berlalu, bisnis bengkelnya tidak berjalan lancar, dan ditambah
niat buruk, mereka pura-pura menjual bengkel itu lengkap dengan isinya. Bapak Andi (dan aku) memakan mentah-mentah umpan itu, berpikir harga bengkel murah,
kesempatan baik. Surat-menyurat itu palsu, petugas notaris juga gadungan.
Bapak Andi menangis, duduk menjeplak di lantai workshop dengan semua kesedihan, berkas dan dokumen jual-beli berserakan di hadapannya. Polisi datang setengah
jam lalu, tidak bisa membantu banyak selain menjanjikan mengejar segera dua pelaku penipuan itu.
Aku berdiri mematung di sudut ruangan. Menatap lamat-lamat tempat yang beberapa hari lalu saat kami survei masih terpasang komputer canggih untuk balancing
roda mobil. Kosong, tidak ada lagi yang tersisa. Hanya bekas kabel, baut, mur, serta minyak dan gemuk tumpah. Polisi masih berusaha menanyai bapak Andi,
yang ditanyai malah tersedan kencang. Hilang semua hartanya, tabungan, rumah, bengkel lama. Pemilik sah gedung dan lahan tidak banyak komentar, ikut menatap
prihatin, mereka tidak tahu-menahu transaksi itu, mereka datang karena tadi pagi ada yang memberi kabar bengkel mendadak dikosongkan.
Andi terduduk di sebelahku, tidak kuasa melihat bapaknya menangis, ikut menangis.
Aku menatap langit-langit ruangan luas.
Aku menghela nafas panjang. Pak Tua benar, hidup ini memang selalu menyimpan pahit-getir, manis-indahnya. Malam ini, di tengah basuhan lampu neon terang,
sekarang giliran kami kebagian pahitnya. Polisi di luar sibuk memasang "garis polisi" kuning. Beberapa polisi mengontak siapalah, bilang cegah tangkal
di bandara, entahlah. Suara kesibukan jalanan terlihat dari ruangan workshop, suara klakson mobil yang tidak sabaran.
Malam ini, giliran kami yang kebagian getirnya kehidupan.
Aku merengkuh bahu Andi, memeluk kawanku yang orang bugis itu, berbisik menghibur, "Sudahlah, Kawan. Sudahlah."
Andi malah menangis lebih keras, menceracau soal kongsi masa depan yang tinggal mimpi kosong.
Aku menelan ludah. Amboi, kalian tahu" Rasa sedih melihat teman baik menangis, bisa berubah menjadi semangat menggebu tiada tara. Rasa pilu melihat teman baik teraniaya,
bahkan bisa merubah seorang pengecut menjadi panglima perang. Aku mendekap erat-erat Andi"teman baikku si mulut ember itu."
"Kita belum kiamat, Andi". Kita justeru baru memulainya. Percayalah, suatu saat kelak nama kau dan namaku akan terpampang besar-besar di banyak bengkel.
Percayalah"." *** "Kami terburu-buru, bisa kau bereskan lima belas menit."
"Tenang saja, Pak. Bengkel ini punya semboyan, "memperbaiki seperti pit-stop balapan Formula 1", lima belas menit lebih dari cukup." Andi sigap mendorong"
sedan ke dalam area parkiran bengkel.
"Kau tidak bergurau."
Andi menunjukkan dua jarinya, "Lima belas menit tidak beres, gratis, Om. Tidak usah bayar."
Tiga orang penumpang sedan ragu-ragu menatap seluruh bangunan bengkel, yang paling depan menoleh pada temannya, yang ditoleh, mengangkat bahu, mau kemana
lagi" Mobil sedan mereka persis mati saat melintasi perempatan jalan Atmo. Tadi mereka sudah senang melihat ada tulisan bengkel, dibantu tukang ojek mendorong
mobil, ternyata isi bengkel tidak sesuai harapan mereka, tidak ada peralatan canggih, hanya geletak kunci dan benda-benda kecil lainnya.
Aku langsung mengambil alih urusan setelah Andi melapor, menceritakan diagnosis kejadian. Tidak beda dengan dokter berpengalaman, gejala-gejala yang telah
Andi tanyakan pada pemilik mobil segera menjadi dasar pemeriksaan mesin dengan cepat.
Mobil mati mendadak saat dikendarai, itu bisa empat hal, filter bensin mampet, rotax alias pompa besin mati, karburator kotor, atau sistem kelistrikan/pengapian
bermasalah. Bahkan sebelum aku mengerti tentang mesin, kasus pertama yang kuhadapi di bengkel lama bapak Andi juga mesin mati mendadak"bedanya dulu kasusnya
pada sepeda motor. "
Aku mendesah, tanganku cekatan membuka kap mesin, berdoa dalam hati, semoga bukan sistem kelistrikannya yang bermasalah, dengan peralatan bengkel serba
terbatas, akan repot sekali memperbaikinya kurang dari lima belas menit seperti bual Andi. Tersenyum lega, ternyata hanya karburator, ini gampang, tinggal
dibersihkan. "Silahkan di-starter, Pak." Lima menit berlalu, aku mengelap telapak tangan yang belepotan.
"Sudah selesai?" Salah-satu dari penumpang sedan justeru bertanya, menurunkan telepon genggam, menatapku, kau sungguh-sungguh.
Aku nyengir, "Iya. Coba nyalakan saja."
Dia menoleh temannya, yang ditoleh mengangkat bahu. Membuka pintu mobil, menyalakan mesin. Sekali putaran kunci, gerung mesin langsung terdengar.
Ketiga penumpang itu tertawa. Salah-satu dari mereka malah menepuk dahi, "Astaga, aku sudah cemas kami terlambat di tempat meeting. Kau hebat, Kawan, lima
menit dua puluh tiga detik."
"Bukankah sudah kubilang, Om. Semboyan bengkel ini adalah, "memperbaki seperti pit stop balapan Formula 1". Ngomong-ngomong Om suka pembalap siapa?""
Aku nyengir, ikut tertawa (menyumpahi Andi yang sok akrab dalam hati).
Itulah pelanggan pertama yang masuk ke bengkel kami. Efek senangnya bukan kepalang. Aku tertawa lega bukan semata-mata karena bengkel mulai beroperasi,
tapi lihatlah, semangat hidup Andi sudah pulih kembali, dia berlari-lari kecil sambil bersenandung menuju kantor (kosong, hanya tersisa satu meja kecil
dan satu kursi plastik) bengkel, mencari kembalian pembayaran dari penumpang sedan. Andi mulai melupakan kejadian menyakitkan seminggu lalu.
Hari itu ada empat pelanggan yang merapat ke bengkel. Satu kasus koplingnya keras dan sering "loss?"mobilnya terpaksa ditinggal karena aku harus membeli
suku cadang, dua kasus ringan, minta ganti oli"Andi tidak perlu disuruh sudah semangat mengerjakannya sendiri sambil teriak, "Kau bergegas saja ke toko
spare-part, Kawan. Aku tadi terlanjur bilang yang koplingnya rusak, besok pagi bisa diambil."
Aku mengangguk, melangkah menuju kantor bengkel."
"Daeng tidak mau ikut membeli suku cadang?" Aku membuka laci meja, mengambil uang, "Sekalian bertemu Koh Huan di tokonya."
Bapak Andi tidak menjawab"matanya kosong menatap workshop bengkel, tempat Andi sedang berkotor-kotor di kolong mobil.
"Aku berangkat, Daeng.?"
Ujung bibir Bapak Andi sedikit berkedut, sisanya lengang.
*** Apapun yang terjadi, aku tetap membuka bengkel itu seminggu kemudian."
Terlepas dari kasus penipuan, pemilik sah bangunan menghormati kontrak sewa yang tersisa tiga tahun, itu menjadi hak kami sekarang. Aku memaksa petugas
melepas pita "garis polisi", mereka awalnya menolak, terlalu banyak omong, terlalu banyak alasan, aku melepas sendiri pita-pitanya. Kami harus segera menjalankan
bisnis, tidak bisa berkabung terlalu lama. Tugas mereka adalah mengejar dua penipu itu, bukan menghambat kami membuka bengkel.
Papan nama baru yang dipesan bapak Andi sebelum kejadian datang dua hari kemudian, spanduk besar, umbul-umbul, aku memasang itu semua dengan bantuan Andi
yang masih diam, tidak banyak bicara. Menjelang sore, ditimpa lampu jalanan, ditulis dengan huruf besar-besar, nama bengkel pilihan bapak Andi, "BENGKEL
BORNEO", terlihat megah. Aku menyeringai, menyikut Andi, "Tersenyumlah sikit, Kawan. Wajah kau itu meski dengan senyum paling manis saja tetap terlihat
kusut, apalagi tidak."
Andi membuka mulutnya, memaksa tersenyum tipis.
Aku tertawa melihatnya. Bapak Andi duduk di kursi kantor, menatap kosong papan nama"sejak kejadian hanya itulah yang dia lakukan, sibuk dengan diri sendiri.
Kami tidak punya peralatan canggih, semua sudah dibawa lari, itu benar. Tetapi montir adalah seorang survivor, dalam salah-satu buku tentang mesin yang
pernah kubaca, seorang montir yang baik, selalu bisa menggunakan apa yang tersedia, selalu pintar mengatasi keterbatasan. Maka aku menemui orang yang membeli
rumah dan bengkel lama bapak Andi. Dia tidak membutuhkan peralatan bengkel lama, dia membeli rumah papan itu untuk dibangun ulang menjadi rumah permanen.
Pembicaraan setengah jam, aku membujuknya menjual peralatan itu dengan harga besi rongsokan. Sepakat. Bengkel baru kami punya peralatan (lama). Aku membeli
sisanya dari uang lebihan menjual sepit, termasuk meja dan bangku di kantor, rak suku cadang, ember, dan sebagainya.
Maka persis seminggu kemudian, bengkel itu resmi dibuka. Tanpa acara syukuran seperti yang telah direncanakan bapak Andi, tanpa prosesi re-opening yang
megah, tanpa banyak kata sambutan di hadapan tamu dan kolega, apalagi karangan bunga ucapan selamat. Aku dan Andi mendorong gerbang pagar, membuka workhsop
lebar-lebar, meletakkan tanda "OPEN" di depan, resmi sudah bengkel kami beroperasi.
Datanglah sedan dengan tiga penumpang itu setelah empat jam bengong menunggu.
Andi berlari-lari ke depan.
Aku menyeringai. Pelanggan pertama telah tiba.
Bapak Andi tetap duduk di kursi plastik kantor, menatap kosong halaman bengkel.
*** "Saya bingung, sudah saya bawa ke bengkel resmi berkali-kali, tapi karena mobilnya sudah tidak standar, mereka malah menyalahkan modifikasinya, alarm-lah,
klakson-lah, speaker-lah. Mana garansi perbaikan dari mereka jadi void. Aduh, ini menyebalkan sekali." Ibu-ibu pemilik mobil mengeluh, menunjuk-nunjuk
mobil hatchback keren miliknya.
Andi mengangguk-angguk, mencatat, "Sudah berapa lama wiper-nya suka nyala sendiri, Bu?"
"Seminggu terakhir. Kadang meski sudah digeser-geser switch wiper-nya, tetap tidak mau mati. Jika saya biarkan, 5-10 menit baru mati. Nanti hidup lagi.
Mati sendiri, hidup lagi. Terus begitu, kecuali saya matikan swith AC, baru mati."
"Astaga." Andi melongo, "Seram sekali, Bu."
Ibu-ibu itu menatap Andi bingung, "Seram apanya?"
"Jangan-jangan nanti mobil ibu malah bisa hidup sendiri. Jalan sendiri." Andi mengusap wajahnya, "Bukankah itu seram."
Aku tertawa, menyikut pinggang Andi (orang sedang pusing bukannya ditenangkan, malah diajak bergurau), "Tenang saja, Bu. Wiper kaca yang nyala-mati sendiri
itu biasanya karena sistem ECU-nya tidak stabil. Ada kabel modifikasi yang mengambil arus berlebih, tidak dikerjakan dengan baik, sehingga menganggu ECU,
itulah sebabnya bengkel resmi Ibu mengomel. Bisa kami perbaiki, Bu, dikembalikan seperti semula, tetapi butuh waktu, peralatan kami terbatas sekali."
"Tetapi bisa beres, kan" Tidak apa lama sedikit."
Aku mengangguk, meyakinkan.
"Tolong dibantu ya, soal perongkosan tidak masalah. Saya pusing sekali nyetir tiba-tiba wiper kacanya nyala sendiri, seperti orang memakai jas hujan padahal
tidak hujan sama sekali. Ditertawakan teman-teman, mobil bagus tapi wiper-nya ngaco."
"Beres, Bu." Kali ini Andi yang menjawab, "Semboyan bengkel kami adalah "tidak ada kerusakan yang tidak bisa diperbaiki kecuali pikun alias mobilnya sudah
tua dan aus". Berikan kami dua hari, mobil keren ibu ini tidak akan memalukan lagi."
Ibu-ibu itu mengangguk senang, menyerahkan kunci mobil.
"Sebenarnya bengkel kita punya berapa semboyan?" Aku berbisik pada Andi saat ibu-ibu itu sudah naik taksi di halaman bengkel.
"Memangnya kenapa?" Andi balik bertanya.
"Woi, setiap ada pelanggan baru kau selalu membuat satu semboyan baru.?"
Andi nyengir, "Semboyan itu agar kita berpikir positif, Kawan. Positif. Bukankah kau yang selama ini sering khotbah soal itu."
Aku tertawa. Dia benar, hanya itulah yang kami punya. Selalu berpikir positif."
Aku melirik bapak Andi yang tetap duduk bengong di kursi kantor. Ini sudah seminggu sejak bengkel kami buka. Sudah cukup banyak pelanggan yang datang.
***" Matahari terik menyiram kota Pontianak.
Aku berlari-lari kecil menuju halaman bengkel sambil menutupkan tangan di atas dahi, silau. Hampir pukul dua, setelah setengah hari berkeliling kota, akhirnya
seluruh sticker dan jaket yang kubawa habis dibagikan.
"Beres, Kawan?" Andi keluar dari kolong mobil, bertanya. Wajahnya kotor. Di workshop ada dua mobil yang sedang dia garap.
Aku mengacungkan jempol."
"Kau mau gantian istirahat?" Aku bertanya.
Andi menggeleng, "Aku sebenarnya mau saja, Kawan. Tetapi sepertinya kau harus keluar lagi, meninggalkan bujang tak laku-laku ini bekerja sendirian di bengkel."
"Eh?" Dahiku terlipat.
"Ada yang menunggu kau di kantor."
"Menungguku" Pelanggan?""
"Kalau pelanggan sudah kugoda dari tadi." Andi nyengir, kembali masuk ke kolong mobil."
Aku meninggalkan Andi yang kembali sibuk membongkar sesuatu"itu tugas dia selain mengganti oli dan pekerjaan ringan lain, tukang bongkar. Siapa pula yang
menungguku di kantor jam segini" Kalau aku tidak ada di tempat, rrusan bengkel cukup dengan Andi."
Aku mendorong pintu kantor.
"Mei?" Aku tiba-tiba (sedikit) gugup.
Lihatlah Mei sedang duduk menunggu"dua minggu terakhir kantor bengkel sudah bertambah perabotan, kursi tunggu dengan mejanya, sudah cukup layak disebut
kantor. "Abang." Gadis itu berdiri, tersenyum.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, semakin gugup, "Sudah lama menunggu?"
"Baru lima belas menit." Mei menyibak anak rambut di dahi.
"Eh, kenapa Mei tidak bilang-bilang sebelumnya." Aku menyeka peluh di leher, menyeringai tanggung, sungguh terkejut dengan kehadirannya.
"Hari ini anak-anak sekolah pulang lebih cepat, ada rapat orang-tua dengan pengurus Yayasan. Jadi daripada Mei bengong ikut rapat itu, lebih baik menyempatkan
mampir di bengkel. Abang sibuk, ya" Mei menganggu, ya?"
"Tidak. Sama sekali tidak sibuk. Sungguh." Aku segera memperbaiki percakapan, "Eh, sebenarnya, eh, aku malah senang. Sungguh." Tertawa fals.
Mei tersenyum, "Abang sudah makan" Tadi kata Andi abang keliling kota sendirian. Pasti belum sempat makan siang, kan?"
Aku mengangguk. Perutku lapar.
Gadis itu menarik plastik besar, mengeluarkan dua kotak ayam goreng cepat saji dan dua teh botol, "Mei juga belum makan siang. Tadi Mei sempat mampir beli
ini, audah dingin ayamnya, tapi pasti masih enak, abang mau makan siang bareng?"
Alamak, mana pula aku akan menolak.
Jadilah siang itu, secara resmi menjadi makan siang bersama kami yang pertama kali. Sebenarnya tidak berdua saja, bapak Andi tetap duduk di posisi bengongnya
selama ini, dibalik meja kasir. Tetapi karena bapak Andi praktis macam patung terus menatap kosong workshop dari dinding kaca, bisa dibilang kami hanya
berdua. "Itu hanya promosi kecil-kecilan." Aku menjelaskan, sambil mengunyah paha ayam, lada hitamnya terasa pedas nikmat di lidah, "Kami membuat sekitar seratus
jaket dan sticker. Sudah dua hari ini kubagikan pada tukang ojek di seluruh perempatan kota Pontianak. Siapapun tukang ojek yang mau memasang sticker itu
di helm, memakai jaketnya saat narik, maka gratis servis motor diluar ongkos suku cadang. Lumayan, mereka kan setiap hari mondar-mandir di jalanan, pasti
banyak yang melihat logo Bengkel Borneo dan alamatnya di jaket dan helm."
Mei mengangguk, "Itu ide cerdas, Bang."
Aku nyengir"hampir tersedak karena pujian.
"Tetapi membuat banyak jaket kan tidak murah, bukan?" Mei menyeruput teh botol.
"Eh, itu juga kerjasama. Ada pegawai minyak pelumas yang survei ke bengkel. Bertanya-tanya tentang bengkel baru. Aku tawarkan kami akan memajang kaleng
minyak, produk, spanduk, apa saja dari mereka di bengkel kalau mereka mau membuatkan barang promo buat bengkel. Lihat, halaman bengkel jadi meriah gara-gara
mereka. Di jaket dan sticker itu juga ada merk pelumas mereka."


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mei manggut-manggut lagu, "Abang tidak kalah dengan manajer bengkel besar. Benar-benar cerdas."
Aku benar-benar tersedak kali ini.
"Abang tidak apa-apa?" Mei bangkit, mengeluarkan tissue.
Aku menggelengkan kepala, meringis dengan muka memerah. Hanya tersedak. Maafkan aku Pak Tua, harus ku-akui, dibandingkan makan bersama Pak Tua, rasa-rasanya
makan siangku bersama Mei sepuluh kali lebih menyenangkan.
"Andi dan bapaknya mengontrak rumah dekat sini. Mereka tidak susah-susah amat sebenarnya." Aku melambaikan tangan, meredakan kalimat prihatin Mei barusan.
Kami lompat ke topik lain.
"Iya, sejak kejadian sebulan lalu bapak Andi selalu seperti itu. Datang pagi-pagi ke bengkel, membuka gembok gerbang, membuka workshop, lantas seharian
hanya duduk bengong di bangkunya. Tidak menanggapi kalau diajak bicara. Baru beranjak saat menjelang malam, menutup bengkel." Aku menatap bapak Andi yang
sama sekali tidak tertarik melihat kami berdua.
"Semoga bapak Andi kembali semangat." Wajah Mei penuh simpati. Kotak makanan cepat saji kami tandas. Aku membantu memasukkannya ke dalam kantong plastik.
"Seharusnya begitu," Aku mengangguk, menenangkan, "Cepat atau lambat dia pasti melupakan kejadian menyakitkan itu. Tabungan, rumah, bengkel lama, toh itu
bisa cari gantinya. Bengkel ini terus maju sebulan terakhir. Kami pasti bisa mengembalikan banyak hal dalam waktu tiga tahun sewa tersisa."
"Abang Borno sekarang berbeda sekali." Mei menatapku lamat-lamat.
"Berbeda apanya." Aku salah-tingkah.
Mei tertawa, "Ya berbeda saja. Dulu abang kan pengemudi sepit. Sekarang pemilik bengkel."
Aku hendak menggaruk kepala, urung, teringat tanganku kotor oleh bumbu ayam goreng.
"Kapan terakhir abang ke dermaga kayu?""
"Sudah lama". Mungkin hampir sebulan." Aku mengingat-ingat.
"Iya, sudah sebulan tidak ada lagi antrian sepit no. 13. Banyak yang bertanya-tanya." Mei tertawa.
Aku ikut tertawa." "Sekarang ada banyak yang berubah di steher, Bang." Mei memberitahu.
"Apa saja?" Aku tertarik.
"Abang lihat saja sendiri." Mei menggeleng, tertawa.
"Ayolah beritahu."
"Tidak mau." "Ayolah, aku tidak sempat. Jadwal berangkat kerjaku sekarang bahkan lebih pagi dibanding pengemudi sepit, dan baru pulang setelah dermaga gelap." Aku pura-pura
mengeluh. "Seharusnya abang mengambil libur, jangan terlalu keras bekerja. Bukan hanya agar sempat melihat dermaga kayu, tapi agar nanti tidak jadi sakit." Wajah
Mei penuh perhatian. Aku terdiam. Balas menatap wajah itu.
Sedetik ruangan kantor bengkel terasa lengang.
Muka kami bersemu merah satu sama lain.
"Eh, kalau aku libur sehari, misalnya, ini baru misal, apakah Mei mau menemani jalan-jalan keliling kota" Menemani membagikan sticker atau jaket berikutnya."
Aku bertanya dengan suara pelan.
"Tapi kalau Mei sibuk, tidak apa." Aku sudah "menjawab" sebelum Mei menjawab.
Mei diam sejenak.Lantas malu-malu mengangguk.
Aku hampir saja berseru riang, mengepalkan tangan.
"ASTAGA!!" Sial, tiba-tiba terdengar seruan ketus, pintu kaca kantor bengkel di dorong. Andi masuk dengan wajah kesal, wajahnya cemong oleh gemuk, "Woi,
kalian asyik makan ayam goreng tidak bilang-bilang. Aku sibuk mengurus mobil, kalian sibuk pacaran. Hanya menyisakan kotaknya saja. Terlalu."
Aku dan Mei buru-buru menarik wajah bersemu merah kami.
"Ayolah, tersenyum sikit, Kawan." Andi menyikutku.
Aku ber-hmm-hmm pelan. Tidak berselera menanggapi Andi.
"Ayolah, apa susahnya tersenyum." Andi tidak menyerah, sengaja terus menggangguku.
Baiklah, aku tersenyum"yang lebih mirip seringai kuda.
Andi tertawa, "Nah, itu baru bagus. Ngomong-ngomong, bukankah seharusnya kau bahagia sekali hari ini" Kudengar kemarin satu dermaga kayu menyoraki kau
dan si sendu menawan itu lewat. Kau tahu, awalnya aku hampir dihukum Bang Togar dkk, mereka sebal menunggu, mengancam kalau aku bohong lagi soal janjian
itu, mereka akan melarangku mendekati steher radius lima ratus meter. Ternyata kau dan si sendu menawan macam film kolosal, malah muncul heroik dan dahsyat,
makan siang di perahu besar, urunglah hukuman itu."
Aku tidak menanggapi tawa Andi, wajahku tegang.
"Bagaimana jalan-jalan sehariannya, Kawan" Menyenangkan, bukan?" Andi menyikutku lagi.
Astaga, aku melotot, bagaimana mungkin dalam situasi menyebalkan sepagi ini Andi masih asyik bergurau, jangan-jangan sugesti selalu berpikir positif padanya
overdosis, membuat Andi tidak tahu tempat. Jelas-jelas kami sedang di ruangan interogasi polisi."
Tadi aku berangkat pagi-pagi ke bengkel, kurang tidur, menguap sepanjang jalan. Jujur saja, semalam aku tidak bisa tidur, bukan karena membaca buku tebal
yang dihadiahkan Mei, tapi lebih karena semalaman memikirkan apa dosaku hingga Papa Mei terlihat amat membenciku."
Setiba di bengkel, bukannya kabar baik, Andi melapor kalau mobil yang seharusnya diserahkan pagi ini belum beres. Aku marah-marah, bilang pelanggannya
pasti komplain, benar saja, pemilik mobil yang datang pagi-pagi itu protes berat, susah payah aku membujuknya, bilang kalau kerusakan mobilnya itu lebih
parah dibandingkan diagnosis awal, makanya bapak Andi semalaman tidak selesai mengerjakannya. Aku menjanjikan sore nanti bisa diambil. Pemilik bengkel
mendengus, memaki Andi yang masih sibuk bilang semboyan bengkel, "pelanggan adalah segalanya". Dia pergi dengan ancaman akan bilang kemana-mana betapa
tidak becusnya bengkel kami kalau nanti sore tidak selesai juga.
Aku segera berkutat dengan mobil itu, menyuruh salah-satu montir bergegas membeli suku cadang ke pasar. Konsentrasiku hari ini ada di mobil ini. Lupakan
urusan lain." Sial, ternyata konsentrasiku harus terpecah dua. Setengah jam kemudian, datang kabar tentang si Lai"yang sejak tadi kucari-cari kenapa belum datang juga
di bengkel padahal hampir pukul sembilan. Lai tertangkap basah oleh polisi bersama teman nge-trek motornya di jalanan kota Pontianak semalam. Bapaknya
tergopoh-gopoh datang ke bengkel, memohon agar aku membantu mengurusnya, bilang si Lai dipukuli di sel, disuruh membersihkan kakus, dibentak-bentak. Aku
meringis, berhitung cepat, baiklah, segera mendatangi kantor polisi bersama Andi."
Sudah satu jam kami menunggu di ruang interogasi, menemui beberapa polisi, membujuk mereka agar membebaskan Lai, menjamin anak itu tidak akan berulah lagi.
Sepertinya semua usahaku sia-sia. Kami akhirnya disuruh bengong menunggu komandan kantor.
Ruangan lengang, hanya suara kipas angin.
"Dua mobil yang lain sudah kau siapkan suku cadangnya?" Aku teringat sesuatu, menoleh pada Andi.
"Woi, alangkah pencemas kau hari ini, Borno"." Andi meluruskan kaki, "Santai saja, berpikir positif."
"Aku tidak mau dua mobil itu juga terlambat, Andi." Aku berseru kesal.
"Beres, bos. Itu sedang dalam pengerjaan. Lagipula bukan salah kita kalau mobil tadi pagi telat, pemiliknya tidak terus terang bilang kalau ada kerusakan
lain di mobilnya". Ayolah, kau jangan tegang begini, rungsing aku melihat kau. Berpikir positif" berpikir positif"." Telapak tangan Andi macam dukun Dayak
sedang membaca mantera, terarah padaku.
Aku hampir menjitak jidat lebar Andi.
"Kalian sudah lama menunggu?" Suara berat menegur, mengurungkan gerakan tanganku.
Akhirnya datang juga, tadi aku ngotot ingin bertemu komandan kantor polisi yang menahan Lai, bawahannya bilang komandan lagi ada urusan di Kapolda. Aku
bersikukuh bilang akan menunggu. Akhirnya komisaris polisi ini muncul juga.
"Bukankah kau yang punya bengkel di perempatan Atmo?" Komandan itu segera tertawa melihatku.
Aku yang sejak tadi bersiap dengan kalimat bujukan, jaminan dan sejenisnya terdiam, berusaha mengingat, lantas ikut tertawa lega. Aku kenal dengan bapak
ini, beberapa minggu lalu mobil hartopnya diperbaiki bengkel, dan dia puas sekali.
Pembicaraan berlangsung lebih mudah.
"Salah-satu anak nakal yang tertangkap semalam itu montir kalian?" Pak Komandan memastikan.
"Sejak dua minggu terakhir dia bekerja di bengkel, Pak." Aku mengangguk, "Saya tahu kebiasaan buruknya suka kelayapan, macam kelambit, nge-trek di mana-mana,
membuat ribut jalanan. Kami justeru sedang mendidiknya agar menjadi montir yang baik, Pak. Saya berjanji, kalau Lai dibebaskan, dia tidak akan mengulanginya
lagi." "Tidak sesederhana itu, Borno." Pak Komandan menggeleng, "Kau harus punya jaminan untuk membebaskan anak itu."
"Jaminan" Bagaimana kalau jaminannya dia tertangkap lagi, maka seluruh petugas di kantor ini bebas men-servis motor atau mobil di bengkel, Pak." Andi yang
menjawab, nyengir. Pak Komandan tertawa, "Astaga, kau selalu pintar bergurau, Bugis. Di bengkel, di kantorku, sama saja kelakuan kau."
Aku menyikut Andi agar dia tutup mulut.
Adalah setengah jam aku membujuk, akhirnya demi hartop yang sudah enak dibawa off road itu, surat-menyurat pembebasan dibuatkan, aku menanda-tanganinya,
menjadi penanggung-jawab kalau ada apa-apa. Pukul dua belas tepat, Lai dikeluarkan dari sel penjara, dibawa ke ruangan, borgolnya dilepas, dia menunduk,
ujung bibirnya biru-biru, lebam, wajahnya kusut, tapi di luar itu dia sehat, mungkin kena bogem mentah polisi saat diinterogasi semalam."
Kami kembali ke bengkel menumpang oplet.
"Maafkan aku, Kak." Lai berkata pelan setiba di kantor bengkel.
"Sudahlah." Aku berkata ketus, "Kau segera pulang ke rumah, mandi, makan, dan kalau kau sudah sehat, segera kembali ke bengkel, ada banyak pekerjaan sekarang."
Lai menyeka ujung matanya, "Bukankah" bukankah aku dipecat, Kak?"
Aku melotot, "Siapa bilang" Tidak ada yang akan memecat kau hari ini. Seluruh pegawai bengkel ini adalah keluarga bagiku. Andi, bapaknya Andi, kau, montir
lain, semuanya keluarga. Membiarkan kau mendekam lebih lama di sel dingin itu saja aku tidak tega, apalagi memecat kau."
Lai benar-benar menangis sekarang. Dia mencium tanganku, bilang terima kasih, lantas pamit pulang"setelah aku menarik kasar tangan yang dicium-ciumnya.
Kantor bengkel lengang. "Kau benar-benar hebat, Kawan." Andi menatapku lamat-lamat setelah punggung Lai hilang di gerbang bengkel, tampang bergurau Andi hilang, berubah menjadi
tatapan serius. "Hebat apanya?" Aku mengangkat bahu, tidak mengerti.
"Si Lai. Dengan kalimat kau tadi, mulai besok, dia akan menjadi montir paling rajin di bengkel ini, bahkan dia akan melakukan apa saja yang kau suruh,
makan baut sekalipun". Kau memang hebat berbual, Kawan. Kupikir kau dulu cuma teman main gitar tidak jelas juntrungan." Andi nyengir, tertawa kecil.
Aku ikut tertawa, bangkit menuju pintu ruangan, "Kerja! Kerja! Woi, ada mobil menunggu kita."
*** Dan kasus mobil yang seharusnya diambil tadi pagi semakin menyebalkan."
Kerusakan mobil itu rumit, karena tidak semua orang mengerti bahasa mesin, maka kuandaikan begini saja. Awalnya, pemilik mobil datang ke bengkel, bilang
kalau yang rusak hanya roda depan sebelah kanan, hanya itu, maka kami bersepakat harga perbaikan untuk roda itu. Ternyata selesai diperbaiki, saat diuji
coba, roda depan sebelah kiri juga rusak. Baiklah, kami perbaiki juga. Nah, sudah diperbaiki dua roda depannya, ternyata lagi roda belakang sebelah kanan
juga rusak, terus hingga semua roda terpaksa diperbaiki. Itulah yang membuatnya berlarut-larut.
"Aku tidak mau tahu, siapa yang menyuruh kalian memperbaiki bagian lainnya" Jangan-jangan itu rusak gara-gara kalian. Mobil ini baik-baik saja waktu kubawa
kemari." Pemilik mobil mendengus.
Astaga, aku menyeka peluh di leher. Aku sebenarnya tidak berminat meminta biaya tambahan. Sama sekali tidak. Tetapi aku jengkel karena sudah dia tidak
sabaran, mendesak, menyalahkan kami pula. Baru setengah jam lalu, aku menemukan kerusakan baru di instalasi kelistrikan, lampu remnya masih korslet, mobil
belum bisa diambil. "Aku tidak mau tahu. Mobil kuambil sekarang. Titik!" Pemilik mobil berseru ketus.
Adalah sepuluh menit bersitegang dengan pemilik mobil.
"Ya sudahlah, Oom." Andi berseru menengahi, "Bawa saja mobilnya pergi. Tidak usah bayar."
"Kalau tidak bisa perbaiki bilang, dong. Jangan sok." Pemilik mobil tetap mengomel, "Tidak usah pakai promo segala, pasang spanduk, sticker, mengaku-ngaku
bengkel hebat. Ternyata kosong."
Aku menghela nafas panjang, berusaha tetap terkendali.
"Menyesal saya membawa mobil ke sini. Hilang percuma waktu berharga saya sejak kemarin." Pemilik membanting pintu mobilnya. Menekan gas kencang-kencang,
lantas berderum meninggalkan halaman parkir bengkel.
Aku dan Andi saling tatap sebal."
"Enak sekali dia. Siang malam kita urus mobilnya. Akhirnya gratis." Andi mengeluh jengkel.
Aku tidak berkomentar, kembali masuk ke dalam workshop.
*** Pukul setengah enam sore, jalanan depan bengkel ramai oleh orang-orang yang pulang dari aktivitas seharian. Cahaya lampu hias mulai menyala, berpendar
indah. Suara klakson mobil dan motor, perempatan yang berisik. Aku tidak sempat memperhatikan, kepalaku berada di kap mobil, membungkuk membongkar mesin,
tanganku licak oleh minyak, wajah cemong, pakaian kotor"tampilanku hanya lebih baik satu senti dibandingkan waktu dulu bekerja di pabrik karet, satu senti
itu setidaknya tidak bau menyengat.
Satu jam setelah pelanggan yang menyebalkan itu pergi, aku sudah berkutat mengurus mobil lain. Pak Tua dulu benar, dia bilang, jika kita terus memikirkan
setiap komplain, kritik, marah, protes yang datang, maka kita tidak akan sempat memperbaiki diri. Dengarkan, terima, lantas terus maju berbuat, itulah
cara terbaik menghadapi sebuah "nasehat". Bengkel sepi, montir lain sudah pulang, termasuk Lai yang masuk setengah hari. Bapak Andi pergi menemui kenalannya,
bicara tentang menyewa peralatan, menyisakan Andi yang sedang membereskan administrasi di kantor.
"Ada yang mencari kau, Borno." Ternyata Andi sudah berdiri di dekatku, mengetuk bumper mobil.
Aku mengangkat kepala. Siapa"
Andi menunjuk ke depan. Di bawah penerangan lampu neon workshop, berdirilah Mei. Dengan kemeja lengan panjang, rok sebetis. Tangannya memangku tumpukan buku PR, tas besar tersampir
di pundak kanan. Aku menelan ludah. Jam segini" Mei datang ke bengkel" Ada apa"
"Kau lanjutkan." Aku menyerahkan kunci pas pada Andi.
"Ye lah, ye lah," Andi pura-pura merengut, "Nasib bujang tak laku. Kawannya bertemu kekasih hati, awak yang disuruh pacaran dengan oli."
Aku tidak menanggapi Andi, menepuk-nepuk tangan yang kotor.
"Eh, aku mencuci tangan dulu sebentar, ya." Aku melangkah mendekati Mei, menunjuk toilet kantor.
"Tak usah, Bang. Mei hanya sebentar." Gadis itu menggeleng.
Gerak kakiku berhenti. Menoleh, menatap wajah yang sedikit menunduk itu.
Ada apa" Suara bergetar Mei barusan bukan pertanda baik.
"Atau setidaknya kita bicara di kantor saja." Aku menunjuk Andi dengan siku, tidak enak didengar Andi.
Gadis itu menggeleng, di sini tidak masalah.
Baiklah, aku tersenyum pada Mei, ada apa"
"Mei tidak mengganggu abang, kan?" Gadis itu bertanya perlahan.
Aku menggeleng, mencoba bergurau, "Sama sekali tidak, aku senang kau datang. Apalagi kalau kau bawa kotak ayam goreng itu. Perutku lapar."
Mei tidak tertawa, wajahnya masih setengah menunduk, sejak tadi dia tidak menatapku secara langsung, "Maaf, Mei terburu-buru, baru pulang dari sekolah,
ada pelajaran ekstra untuk anak kelas enam, langsung singgah di sini."
Dia diam sejenak. Aku yang menunggu lanjutan kalimatnya mengelapkan telapak tangan ke ujung seragam bengkel.
"Abang." Suara Mei terdengar serak.
Aku meneguk ludah. Astaga" Gadis itu mengangkat wajahnya, lampu neon membuat ekspresi sendu itu terlihat jelas. Tangannya memeluk erat tumpukan buku PR.
"Mei pikir". Mei pikir kita tidak usah bertemu lagi."
Bahkan Andi yang (sialnya) justeru pura-pura kerja tapi sejatinya menguping, terhenti gerakan tangannya membuka baut.
"Tidak usah bertemu?" Aku memastikan yang baru saja kudengar.
"Iya" sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi."
Langit-langit workshop terasa lengang.
"Tapi kenapa?" Intonasi suaraku terdengar berbeda.
Mei hanya diam, menunduk lagi.
Aku menepuk dahi, aku sungguh tidak mengerti kalimatnya barusan. Bukankah baru kemarin kami seharian pergi berdua" Jalan-jalan yang menyenangkan terlepas
dari ulah Bang Togar dkk. Kenapa tiba-tiba sore ini dia datang dengan wajah letih, bilang kalimat yang sangat tidak masuk akal"
"Kau hanya bergurau, kan?" Aku menyeringai, menyelidik, tertawa kecil.
Gadis itu mengangkat wajahnya, menggeleng, matanya berkaca-kaca. Membuat tawaku bungkam, badanku mematung.
Ibu, aku belum pernah mengalami situasi seperti ini. Anakmu ini, meski tahu urusan mesin, bertanya ribuan kali pada Pak Tua tentang kebijakan hidup, menyalin
banyak pelajaran dari keseharian gang sempit tepian Kapuas, mencontek cerita cinta dari tontonan, bacaan, pembicaraan dan sebagainya, anakmu ini tidak
pernah membayangkan akan mengalami percakapan model ini secara langsung dengan seorang gadis"ditonton Andi si ember pula.
"Ini" ini tidak ada hubungannya dengan Papa, kan?" Aku putus-asa menebak"setelah Mei hanya diam dua menit berlalu, dan aku tidak tahu apalagi kemungkinannya
kenapa Mei tiba-tiba dengan wajah hendak menangis meminta kami tidak usah bertemu lagi dalam waktu dekat.
"Papa" Memangnya Papa bilang apa dengan abang kemarin?" Gadis itu justeru bertanya padaku.
"Eh, tidak bilang apa-apa"." Mulutku kaku, menilik wajah Mei, ini jelas tidak ada hubungannya dengan dugaanku, "Aku pikir, eh, justeru mungkin Papa yang
bilang sesuatu pada Mei."
Gadis itu menggeleng, "Papa tidak bilang apa-apa.?"
Lantas kenapa" Aku memutuskan mendekat, jarak kami tinggal tiga langkah, berhadap-hadapan.
"Maafkan Mei, abang". Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi." Gadis itu mengulang permintaannya, suaranya hilang di ujung kalimat, dan sebelum aku sempat
bicara, dia sudah balik kanan, berlari kecil melintasi halaman parkir bengkel.
"Tunggu, Mei." Aku berseru, sedikit panik.
Alamak, entahlah bagaimana tampang Andi sekarang melihat kami berkejaran, boleh jadi dia sudah macam menonton adegan dramatis film India kesukaannya.
"Tapi kenapa?" Aku mensejajari Mei.
Gadis itu menggeleng, berusaha menahan tangis.
"Mei, kau tidak bisa melakukan ini tanpa penjelasan." Suaraku serak.
"Maafkan Mei, abang." Gadis itu berulang kali menyebut kalimat itu, seperti mendesah pada langit-langit kota Pontianak yang cerah.
Satu mobil oplet melintas. Mei melambaikan tangan. Oplet berhenti. Mei bergegas naik.
Aku berusaha memaksa ikut naik. Tetapi gerakanku terhenti, bukan karena orang-orang di jalanan dan juga penumpang oplet sibuk menonton kami, tapi karena
seruan sebal, "Woi, Nak, meski kau fans berat opletku ini, tapi bangkunya penuh. Nanti aku ditangkap polisi kalau ada penumpang yang bergelantungan di
pintu." Sopir oplet melongokkan kepala, "Kau naik oplet di belakang sana." Dan oplet itu melaju meninggalkanku yang berdiri terhenyak. Di bawah siraman
lampu hias. Kerlap-kerlip. Timer lampu merah menunjukkan angka 17 detik lagi berganti hijau.
Ya Tuhan" Kupikir kejadian tadi pagi, tadi siang, dan tadi sore sudah cukup untuk membuat hari ini menjadi hari terburukku, runyam. Ternyata tidak, malam
ini lengkap sudah semuanya.
*** " Aku pulang setengah jam setelah Mei pergi.
Sebenarnya saat itu juga aku hendak menyusul Mei ke rumahnya, naik oplet, taksi, ojek, apa saja yang bisa kutumpangi, tapi Andi beranjak menemaniku berdiri
termangu di pinggir jalanan, dia memukul bahuku pelan, berkata, "Kalau aku dalam situasi seperti kau, Kawan, detik ini juga aku akan naik helikopter, terjun
komando di depan jendela kamarnya, lantas menembakkan berjuta pertanyaan. Tapi, kabar baiknya, aku tidak dalam situasi seperti kau, aku lebih waras," Andi
nyengir. Aku menoleh, hendak mencekik Andi"terlalu, dia benar-benar overdosis bergurau, lihatlah, kawannya sedang sedih macam anak habis diomeli ibu tirinya di
film lawas itu, Andi malah bilang dia lebih waras.
"Maksudku, percuma saja kau susul dia. Gadis kau itu, apapun penyebabnya, sedang gundah gulana, sedih, frustasi, marah, entah apalagi menyebutnya. Jika
kau tiba-tiba memaksa bertanya, meminta penjelasan sekarang juga, kau hanya akan membuat gelas retak itu menjadi pecah. Berantakan. Biarkan gadis kau itu
sendirian dulu, berpikir, menenangkan diri. Nah, setelah dia lebih tenang, kau juga lebih siap, pembicaraan akan jauh lebih mudah, lebih masuk akal."
Andi menyeringai, menatap wajah kesalku, "Kau mau bilang aku sok-tahu" Silahkan. Tetapi alkisah aku pernah bertengkar hebat dengan bapakku sepanjang sore.
Malamnya dia berusaha membujukku, sia-sia, jangankan mendengarkan, membukakan pintu aku tidak mau. Justeru setelah beberapa hari, aku sendiri yang duluan
mengajak bicara bapakku. Nah, apakah kau mau belajar dari teladanku atau menurutkan ego, terserah kau, Kawan."
Andi benar. Setelah menghela nafas panjang kesekian kali, aku balik kanan. Meskipun aku dan Mei jelas-jelas tidak bertengkar seperti Andi dan bapaknya
itu, situasi ini sama, Mei pasti tidak akan mudah menjelaskan, memaksanya justeru akan membuat tambah runyam.
Andi menyuruhku pulang lebih cepat. Aku menurut.
Naik oplet, menuju perempatan lampu merah dekat gang sempit.
Langit kota Pontianak cerah, bulan malam dua belas terlihat bundar, seperti diletakkan begitu saja di atas siluet bangunan tinggi sarang burung walet.
Jalanan ramai, mobil dan motor melaju tanpa hambatan. Suara klakson. Warung tenda. Kesibukan. Aku memutuskan turun dari oplet. Melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki. Udara malam kota terasa kering. Aku mengelap keringat di leher, terus menelusuri trotoar. Kenapa" Kenapa begitu tiba-tiba" Bukankah baru juga dua minggu
terakhir kami berbaikan setelah salah-paham janjian plesir dengan sepit" Jika bukan satpam super galaknya yang melarang, lantas apa lagi" Aku menatap bintang
gemintang, tidak ada gumpalan awan di atas. Apakah Mei ragu-ragu" Apakah semua terlalu cepat. Apakah ada yang salah dengan hubungan kami"
Aku menghela nafas panjang, terus berjalan di sisi jalan yang sekarang banyak penjual mainan bercahaya, terbang, berputar-putar. Beberapa motor parkir
sembarang, anak-anak duduk jongkok memilih, berseru, merajuk. Salah-satu pedagang berseru jengkel padaku, "Woi, bang, kalau jalan lihat-lihat dong, hampir
saja mainanku terinjak."
Aku tidak membalas protesnya, bergegas meninggalkan lapak mainan. Urusan ini, pertanyaan-pertanyaan ini, sepertinya aku juga membutuhkan kesendirian untuk
memikirkan banyak hal hingga Mei mau menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
" *** " Ternyata tidak mudah untuk sendirian.
Di jalanan ramai, di rumah juga ramai.
"Kemari, Borno." Bang Togar tertawa riang, "Kau sudah ditunggu dari tadi?"
"Nah, kali ini aku sepakat dengan kau Togar, Borno memang sudah ditunggu dari tadi," Cik Tulani ikut tertawa, "Kalau kau tak datang segera, Borno, jangan-jangan
semua pakaian yang ada diambil semua oleh Togar. Dia paling senang dapat baju kondangan ini."
Bang Togar mencibirkan mulut pada Cik Tulani.
Aku bergumam, baru juga naik tangga, di beranda sudah berkerumun Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acung dan Pak Tua. Sepertinya ada Sarah"aku menebak dalam
hati. Siapa lagi yang akan membuat rumah papan Ibu jadi ramai kalau bukan dia.
"Hallo, abang." Baru saja aku membenak, kepala Sarah sudah nongol di balik pintu, tersenyum riang. Di tangannya ada beberapa baju kurung yang sepertinya
habis dicoba. "Baru pulang dari bengkel?" Sarah meraih tas besar di bawah meja.
Aku mengangguk. "Tidak ada masalah kan, di bengkel?" Sarah bertanya, menatap heran wajah kusutku.
"Paling juga dia habis bertengkar dengan pemilik mobil." Pak Tua berkata santai, sudah mengenakan kemeja baru yang cocok benar di badannya, "Bagaimana"
Apakah orang tua ini jadi terlihat lebih tampan, Sarah?" Dia bertanya pada dokter gigi itu.
Sarah mengangguk, mengacungkan jempol.


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Tua terkekeh, membuat rambut berubannya bergerak-gerak. Aku menghela nafas, kenapa semua orang jadi terlihat genit malam ini. Lihat, Bang Togar asyik
berkaca (yang sengaja dicopot dari kamarku, diletakkan di beranda), mengenakan kemeja berwarna biru. Sedangkan Cik Tulani dan Koh Acong sibuk mematut-matut
satu sama lain, saling mengomentari. Dan Ibu, juga genit, keluar dari ruang depan, dengan baju kurung baru, yang terlihat pas di tubuhnya"dan tentulah
mahal, bertanya malu-malu, "Bagaimana Nak Sarah, apakah Ibu masih terlihat cantik?"
Sarah tertawa, mengacungkan dua jempol"tangannya masih sibuk mencari sesuatu di dalam tas.
Aku langsung menepuk dahi pelan.
"Kita diundang pesta lagi, Borno." Bang Togar menyikutku, berbaik hati memberitahu.
"Pesta?" Aku melipat dahi"bukankah baru beberapa minggu lalu gala dinner yang membuat kami kikuk bergaya meniru orang kaya semalaman.
"Kita diundang menghadiri pernikahan, Borno." Bang Togar melepas kemejanya, menyisakan kaos oblong, menyambar kemeja berikut di atas meja.
"Pernikahan?" Aku menelan ludah, "Pernikahan siapa?"
"Pernikahan Sarah." Pak Tua yang menjawab.
Sarah tertawa, tidak berkomentar, mengeluarkan dua kemeja dari dalam tas.
"Woi, itu baju khusus buat, Borno?" Tangan Bang Togar yang mengaduk tumpukan pakaian di atas meja terhenti, menatap penuh iri pada dua kemeja di tangan
Sarah. "Tentu saja, Togar. Kau pikir Borno akan memakai baju yang sama seperti kita. Punya dia pasti lebih spesial. Geser dikit badan besar kau ini." Cik Tulani
mendorong tubuh Bang Togar minggir, dia masih terus mencari pakaian yang dia sukai.
Aku terdiam, tidak terlalu memperhatikan Bang Togar dan Cik Tulani yang saling melotot, aku sempurna menatap wajah riang Sarah. Dia akan menikah" Dokter
yang baik hati ini akan menikah" Dengan siapa" Mendadak sekali" Astaga, kenapa perasaanku jadi ganjil begini. Bukankah aku seharusnya senang mendengar
kabar baik ini" "Dicoba kemejanya, abang. Sepertinya pas." Sarah menjulurkan dua kemeja itu, tersenyum lembut padaku.
Aku kaku menerimanya. Sarah menikah"
"Mama yang menyuruh datang mengantarkan undangan sekaligus baju buat acara ini, abang. Coba saja. Kalau kebesaran besok saya datang lagi, membawa ukuran
yang lebi pas. Bagaimana Pak Tua" Cocok yang itu, ya" Atau mau coba yang lain?" Sarah sudah menoleh pada Pak Tua.
"Eh," Aku meneguk ludah untuk kedua kali, "Kapan" Kapan pernikahannya?"
"Minggu depan." Sarah kemudian menyebut ruang besar di hotel tengah kota, "Semua kerabat, keluarga, teman diundang. Itu acara besar sejak Papa meninggal
beberapa tahun lalu."
"Cepat sekali?"
"Tidak juga, abang. Sudah direncanakan keluarga berbulan-bulan."
"Siapa, eh siapa calonnya?"
"Kau banyak tanya, Borno." Pak Tua jahil lebih dulu menyikut lenganku, tertawa, "Nasib oh nasib, kau terlambat mengenal Sarah, Borno. Jadi keduluan orang
lain." Sarah ikut tertawa. Bang Togar, Cik Tulani dan Koh Acung asyik dengan pakaian masing-masing, tidak memperhatikan, sedangkan Ibu sudah kembali masuk ke
ruang tengah dengan wajah senang.
Aku meringis, menatap sebal Pak Tua. Apa coba maksudnya" Keduluan" Pak Tua itu kalau sedang bergurau, terkadang terlalu, tidak tahu tempat.
"Ayo dicoba kemejanya, abang. Ditungguin, loh." Sarah mengingatkan.
Aku segera mengusir seringai kaget, ingin tahu, ganjil, dan entahlah yang terlihat jelas dari wajahku. Aku akhirnya mengangguk, beranjak masuk ke dalam
rumah. Dua kemeja itu pas"entah bagaimana caranya Sarah atau Mama-nya memilihkan. Aku orang terakhir yang bergabung ke beranda, malu-malu memamerkan kemeja yang
kupakai. Sarah tertawa senang, mengacungkan dua jempol. Bang Togar menepuk-nepuk pundakku, "Alamak, ternyata kau tampan juga kalau didandani. Kupikir wajah
kau selama ini akan selalu nampak kusut macam propeler sepit. Bukan main."
"Haiya, tentu saja dia tampan. Dia anak bapaknya, Togar." Koh Acong ikut menepuk bahuku.
Aku bersemu merah menjadi pusat perhatian. Tetapi setidaknya itu membuat wajah penasaranku tentang pernikahan Sarah jadi tidak terlihat.
Semua urusan perbajuan selesai, Sarah ijin pamit seperapat jam kemudian"tanpa sempat aku bertanya lebih lanjut. Loncat ke atas boat putih kecil di kolong
rumah papan. Kapal keren itu melesat anggun, meninggalkan tiang rumah, dan langsung ngebut membelah gelap permukaan Kapuas. Lampu sorotnya bersinar terang.
"Aku tadi melihat sendiri gadis itu merapatkan kapalnya ke kolong rumah, mengerem kapal dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba, " Bang Togar menggeleng-gelengkan
kepala, setengah memuji, setengah cemas, "Dia mahir sekali." Pujian yang datang langsung dari mulut juara lomba sepit 17-an, itu berarti bisa dipertanggungjawabkan.
Koh Acong, Cik Tulani dan Bang Togar juga ijin pamit setelah lampu boat Sarah menghilang di kejauhan, membawa pulang kemeja mereka. Berjalan beriringan
menuruni anak tangga. Tinggallah aku yang membereskan plastik pembungkus baju. Masih ada Pak Tua yang bicara sesuatu dengan Ibu di ruang tengah. Aku bergumam, mengumpulkan sembarang
sampah. Baru juga aku mengenal Sarah satu bulan terakhir, dia sudah menikah, kejutan.
Ada sepucuk amplop merah di atas meja. Ini pastilah undangan pernikahannya. Aku meraih amplop besar yang mirip amplop ang pao itu, membukanya.
Sementara Pak Tua melangkah keluar, hendak ijin pamit.
Dahiku terlipat, membaca undangan itu.
"Eh, kenapa" Kenapa tidak ada?" Aku berseru pada Pak Tua yang mengempit kemeja di ketiak, hendak menuruni anak tangga.
"Kenapa tidak ada nama Sarah di sana maksud kau?" Pak Tua seperti biasa, bergaya bisa menebak seringai wajahku.
Aku menatap Pak Tua bingung. Mengangguk.
"Karena itu memang bukan pernikahannya. Itu pernikahan kakak-nya." Pak Tua terkekeh, "Senang saja melihat wajah kau tadi tiba-tiba berubah". Astaga, Borno,
jangan-jangan di hati kau paling dalam, kau suka dengan Sarah. Lantas mau dikemanakan Mei kau itu?"
Aku mendengus sebal, seketika.
Pak Tua sudah menuruni anak tangga, bersenandung dengan siulan, loncat ke atas sepitnya.
Sepit Pak Tua melesat meninggalkan kolong rumah papan, meninggalkanku yang menatap sebal. Hari ini semua memang menyebalkan.
" *** " Episode 53: "Kau, Aku & Kota Kita"
Penutup yang Memulai " " Seumur-umur aku berteman baik dengan Andi, telah berkali-kali, berkali-kali sarannya keliru, sok-tahu, membuatku malu hingga mengacaukan segalanya. Tetapi
untuk kesekian kali juga, aku tetap mengikuti sarannya. Tunggu waktu yang tepat menemui Mei, Andi bilang. Jangan kau paksakan, petuah bijaknya. Baiklah,
aku memaksa hatiku untuk bersabar. Menyibukkan diri dengan pekerjaan bengkel sebelum waktu bertemu dengan Mei tiba.
"Kapan?" "Bukan hari ini, Kawan. Baru juga kemarin malam dia lari dari bengkel ini." Andi menggeleng, menenteng kaleng pelumas mesin. Aku mengangguk. Baiklah.
"Kapan?" "Tunggu sehari lagi-lah. Belum tepat harinya." Kepala Andi keluar dari kolong mobil, menyeka peluh di dahi, menyisakan cemong hitam. Aku mengangguk.
"Kapan?" "Sebaiknya besok, Kawan." Andi menjawab santai, mencuci tangannya.
"Bukankah kemarin kau bilang tunggu sehari lagi. Kenapa jadi besok?" Aku keberatan.
"Di luar gelap, Borno. Mendung, hujan besar. Sabarlah sikit. Si sendu menawan kau itu tidak akan kemana-mana. Lagipula, aku tidak bisa membayangkan kawan
baikku pulang patah-hati, hujan-hujanan, jalan kaki dari perempatan balai kota, karena gadis itu menolak ditemui." Andi takjim melongokkan kepala, menatap
langit yang ditutupi berbuntal-buntal awan hitam.
Baiklah. Aku menurut, masuk akal.
"Kapan?" Andi tidak langsung menjawab, kali ini dia meletakkan kunci pas, melihat jarinya, macam dukun Dayak gadungan, mulai berhitung, merem-melek, kemudian menggeleng,
"Tidak hari ini."
Mukaku merah karena jengkel, "Lantas kapan" Ini sudah empat hari."
"Sabarlah sikit, Kawan. Urusan cinta atau perasaan tidak bisa dipaksa deadline. Kita tidak sedang membicarakan reparasi mesin. Kita membicarakan reparasi
perasaan. Tidak ada suku cadang untuk itu, bukan?" Andi mengangkat bahu, mencoba bergurau.
"Lupakan saja." Aku mendengus, sebal melihat wajah sok-bijak Andi, "Aku berangkat sore ini. Apapun yang terjadi, terjadilah". Mei menolak ditemui, Mei
menghindar, Mei mengusirku, aku harus mendengar penjelasannya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Bisa gila memikirkan penjelasannya."
Andi merem-melek lagi, "Sebentar, sebentar." Menggeleng-geleng, "Sepertinya aku yang keliru. Kau benar, menurut hitunganku yang terbaru, hari ini adalah
waktu yang paling tepat"."
Aku hampir saja melempar Andi dengan lap kotor.
Setidaknya, meski dia sok tahu, Andi ada benarnya menahanku. Dia mengulur waktu hingga aku siap, bukan karena hitungan jarinya. Kalimatku barusan adalah
bentuk sebuah kesiapan. Pukul empat sore aku menuju rumah Mei.
Bibi bertubuh besar dengan wajah gesit itu yang membukakan pintu. Langsung mengenaliku pada pandangan pertama.
"Yang dulu pernah mencari Mei, ya?"
Aku mengangguk. Rumah besar itu lengang.
"Mei masih di sekolah."
"Belum pulang?" Aku menelan ludah.
Bibi mengangguk. Aku memutuskan menunggu. Satu jam. Dua jam. Gerimis turun membasuh kota Pontianak. Musim penghujan telah tiba, hampir setiap hari kota terlihat basah. Jalanan perlahan berubah. Siang digantikan malam.
Lampu hias menyala, kerlap-kerlip indah. Lampu mobil, motor, lampu taman. Hujan semakin deras.
"Ada telepon dari sekolahnya, Nak. Mei tidak akan pulang, dia menginap di wisma sekolah, ada banyak pekerjaan Yayasan yang harus dia kerjakan." Bibi menjelaskan,
menatapku prihatin. Aku menghela nafas panjang, aku tahu itu tidak sepenuhnya benar.
Baiklah, aku pamit pulang.
"Bawa payungnya." Bibi menyerahkan payung besar.
Aku mengangguk. Andi benar, di tengah perjalanan, aku menyuruh oplet minggir, turun, melanjutkan pulang ke bengkel dengan berjalan kaki di bawah hujan deras. Andi menatapku
lamat-lamat saat aku masuk ke workshop bengkel, tidak banyak komentar. Membiarkanku sendirian. Terkadang, meski lebih sering menyebalkan, kalian tahu,
sejak dia menarik kepalaku dari permukaan Kapuas, tersengal menyelamatkanku yang terbentur tiang dermaga, darah membasahi tangannya, Andi sungguh teman
terbaikku. " *** "Kau akan pergi menemuinya lagi hari ini?" Andi bertanya, ber-hah kepedasan.
Aku mengangguk, merekahkan gulai ayam. Ruang kantor bengkel lengang. Dua montir istirahat makan siang, bapak Andi sedang di luar, masih mencari peralatan
bengkel yang bisa disewa. Tinggallah aku dan Andi menghabiskan nasi bungkus dari warung padang dekat bengkel"warung itu jadi favorit kami, rasanya seenak
warung Cik Tulani, semurah makanan warung Cik Tulani, tapi penjualnya tidak sepelit Cik Tulani, suka menambahkan nasi dan lauk banyak-banyak.
"Kita ada jadwal pelatihan nanti malam, bukan?" Andi mengingatkan, ber-hah kepedasan.
Aku mengangguk. "Kau tidak boleh berlama-lama. Si Lai dan Juned bisa pulang duluan kalau kau kemalaman seperti kemarin. Meskipun aku senang-senang saja kalau jadwal malam
ini dibatalkan." Andi mengingatkan, ber-hah kepedasan.
Aku mengangguk, bagaimana mungkin aku lupa itu, melotot pada Andi. Itu jadwal yang kususun sendiri, dua kali seminggu setelah bengkel tutup, kami mengadakan
pelatihan tentang mesin selama dua jam. Menyuruh Lai, Juned dan Andi belajar, membaca fotokopi buku, mengerjakan PR, dan sebagainya. Itu cara tercepat
meningkatkan kemampuan montir bengkel, tidak sepertiku dulu yang mencari jalan sendiri, otodidak.
Aku berangkat pukul empat, meninggalkan tiga mobil teronggok di workshop. Andi bilang dia bisa mengurusnya, pergilah.
"Mei belum pulang, Nak." Kepala Bibi muncul di balik pintu, menggeleng.
Aku menelan ludah. Baiklah, aku akan menyusulnya ke sekolah.
"Terima-kasih payungnya." Aku hendak mengembalikan payung yang dipinjamkan kemarin.
Bibi tersenyum lembut, "Kau bawa saja, Nak. Mendung". Jangan pernah lupa membawa payung minggu-minggu ini, hujan bisa turun kapan saja."
Aku mengangguk. Naik oplet berikutnya.
"Berapa kali harus kujelaskan." Satpam gerbang sekolah menatap galak padaku, "Seluruh guru mengikuti pertemuan tahunan Yayasan. Nona Mei tidak bisa diganggu
bukan karena dia sedang mengajar, dia sedang ikut rapat. Kau ini sejak dulu selalu merepotkan."
"Sebentar saja, Pak. Aku mohon."
"Tidak boleh." "Lima menit, Pak. Ijinkan aku bertemu Mei."
"Tidak bisa." Satpam melintangkan pentungan di depan dada.
Aku mengusap keringat di leher, langit kota gelap, mendung, tapi udara terasa gerah, pertanda hujan deras. Satpam di depanku tidak akan membiarkanku lewat
dengan cara normal. "Sudah berapa lama Bapak kerja di sekolah ini?" Aku bertanya.
"Eh?" Satpam bingung, kenapa anak muda di depannya tiba-tiba membahas hal lain.
"Sudah berapa lama?" Aku mendesak tegas.
"Enam belas tahun." Satpam menyelidik, curiga.
"Pernah tidak ada orang gila yang teriak-teriak di depan gerbang ini selama enam belas tahun itu, hah?" Aku balas melotot galak.
"Eh?" Satpam semakin bingung.
"Ijinkan aku masuk!" Aku berseru ketus, "Atau aku seperti orang gila akan berteriak-teriak hingga diijinkan. Biar semua orang di jalanan melihat, biar
semua murid di dalam menonton, biar saja."
Satpam itu panik, menatapku yang sungguh-sungguh bersiap mengamuk.
"AKU AKAN BERTERIAK!!" Aku mulai melakukannya.
Satpam tergopoh-gopoh masuk ke dalam pos jaganya, meraih telepon, menunggu sejenak, bicara entah dengan siapa di ujung sana. Aku berusaha mengendalikan
nafas, Mei, kau tahu, urusan ini bisa jadi gila sungguhan. Aku mulai gemas untuk bertemu dengan kau, dan aku tidak akan berhenti hanya karena satu orang
satpam galak menghadangku.
Dua menit berlalu, satpam itu keluar sambil memasangkan pentungan di pinggang, mengangguk-angguk lega, "Baiklah, kau diijinkan. Kepala sekolah menunggu
kau. Masih ingat ruangannya?"
Aku menghela nafas kesal. Langsung menerobos masuk.
"Astaga." Satpam itu menepuk dahi, menatap punggungku, "Alangkah nekadnya anak muda itu. Tidak tahu sopan-santun."
Ini berarti untuk ketiga kali aku masuk ruangan kepala sekolah. Pertama kali saat aku dan Andi berurusan dengan kepala sekolahku dulu, yang kedua saat
mencari alamat Mei di Surabaya. Ini yang ketiga kalinya.
Ibu kepsek dengan wajah menyenangkan itu menyambutku, tersenyum.
"Kau terlihat amat berbeda dibandingkan satu setengah tahun lalu, Borno. Pakaian lebih rapi, garis wajah lebih tegas dan mantap, tatapan mata lebih tajam
dan berisi. Kau sepertinya belajar banyak sekali tahun-tahun terakhir. Meski dilihat dari gelagatnya, kau sama tidak sabarannya seperti tahun lalu. Ada
yang bisa saya bantu?" Ibu kepsek tertawa kecil.
"Aku ingin bertemu Mei." Aku langsung pada pokok permasalahan.
Ibu kepsek diam sejenak, "Mei sedang memimpin rapat pengurus Yayasan."
"Aku hanya meminta lima menit."
Ibu kepsek menggeleng, "Dia tidak bisa meninggalkan aula sekolah, atau rapat terpaksa dihentikan, Borno. Kami sedang membicarakan anggaran tahunan, itu
penting bagi masa depan sekolah."
Aku menatap lamat-lamat Ibu kepsek, memohon. Tetapi senyuman lembut darinya membuatku tahu kalau aku tidak bisa memaksanya seperti memaksa satpam gerbang.
"Kalau begitu aku akan menunggunya." Akhirnya aku mengalah.
Ibu kepsek mengangguk, "Itu keputusan yang bijak, kau sekarang jauh lebih dewasa, Borno. Mau kubuatkan segelas cokelat panas" Sebentar." Tanpa menunggu
persetujuanku dia sudah melakukannya, menuju pojok ruangan, tempat termos dan gelas-gelas berada.
"Kau tahu, Borno. Minggu-minggu ini kami banyak melakukan pertemuan pengurus Yayasan. Ini juga penting selain proses belajar-mengajar." Ibu kepsek bicara
sambil tangannya menuangkan air panas, "Mei terlibat di dalamnya seminggu terakhir. Dia menawarkan diri mengurus semuanya, menyiapkan materi pertemuan,
tempat, mengundang pengurus, hingga memimpin rapat. Gadis itu selalu punya tempat yang spesial bagi Yayasan kami, keterlibatan dia membuat kehadiran anggota
Yayasan tahun ini tercatat tertinggi sepuluh tahun terakhir. Saya sampai lupa kapan terakhir kali kami begitu antusias membicarakan Yayasan."
Ibu kepsek meletakkan gelas cokelat panas di hadapanku, "Mei sibuk sekali. Siang, malam. Tiga hari terakhir dia menginap di wisma sekolah, mengurus panitia
rapat selain menunaikan tugas mengajarnya. Aku tentu saja senang dengan uluran tangan Mei. Meski aku akan lebih senang lagi jika dia melakukan semua itu
bukan karena pelarian. Menyibukkan diri."
Ibu kepsek menghembuskan nafas perlahan. Ruangan lengang.
Aku menelan ludah. "Nah, Borno, saya harus kembali ke aula, kembali ke pertemuan. Jika ada apa-apa, kau bisa menyuruh guru lain menyusulku." Punggung Ibu kepsek hilang dibalik
pintu, menyisakanku yang menatap kosong patung Garuda di dinding ruangan.
Satu jam. Dua jam. Gelas cokelat panasku tinggal ampasnya.
Halaman sekolah mulai remang, aku mendesah gelisah, tidak sabaran, waktuku semakin sempit, aku harus kembali ke bengkel. Alangkah lamanya rapat mereka"
Sama sekali tidak ada jeda" Sudah sejak tadi aku hendak merangsek aula itu.
Pintu ruangan didorong. Aku hampir berdiri, menduga Mei yang masuk, rapat sepertinya telah selesai.
"Mei sudah pulang." Ibu kepsek memberitahu, suaranya sedih.
"Pulang?" Ibu kepsek mengangguk, "Dia langsung meninggalkan aula beberapa menit lalu."
"Kenapa" Kenapa Ibu tidak memberitahuku." Aku panik, bagaimanalah ini, bergegas, aku harus menyusul Mei.
"Mei tidak mau ditemui, Borno." Kalimat Ibu kepsek menahanku, dia menatapku perihatin, "Mei justeru langsung pergi setelah rapat selesai karena tahu kau
menunggunya." Ya ampun" Aku setengah tidak percaya mendengar kalimat itu. Tapi kenapa"
Ibu kepsek menggeleng, dia tidak punya penjelasan baiknya.
Aku ijin pamit, berlarian melintasi halaman sekolahan, menerobos gerbang, satpam tadi siang yang bersiap berganti jadwal menyeringai melihatku yang naik
ke oplet"mungkin bersyukur karena aku akhirnya meninggalkan sekolahan.
Gerimis turun saat aku tidak sabaran melihat sopir oplet yang seenak perutnya ngetem, jalan sepuluh meter, ngetem sepuluh detik. Belum lagi gayanya yang
terus teriak, kosong, kosong, padahal mobilnya sejak tadi selalu nyaris penuh. Seperti selalu kurang dengan rezeki penumpang, masih ingin lagi.
Lampu hias di partisi jalan terlihat indah di tengah larik ribuan tetes gerimis. Akhirnya oplet itu melintasi perempatan balai kota, aku loncat turun tidak
sabaran, berlari-lari kecil melintasi taman depan rumah besar keluarga Mei, menekan bel.
Bibi yang membukakan pintu, "Apa kubilang, Nak. Berguna sekali payung itu, bukan?"
Aku menyeringai, "Mei sudah tiba?"
Bibi mengangguk, "Sedang mandi."
Aku menghela nafas, "Bilang Mei, aku menunggunya di luar."
Bibi terdiam, berpikir, lantas masuk ke dalam, membiarkanku sendirian menunggu di beranda depan, sama seperti kemarin malam.
Satu jam. Dua jam. Gelas teh panas yang diberikan Bibi sudah habis.
Malam itu aku tetap meninggalkan rumah besar itu dengan wajah kuyu. Mei menolak bertemu denganku. Setelah dua jam menunggu, dua jam membujuk, dua jam Bibi
macam setrikaan, bolak-balik beranda depan, kamar Mei, sabar menangani kami berdua, Mei akhirnya hanya menitipkan secarik kertas, bertuliskan, "Maafkan
Mei, abang. Seharusnya Mei tidak pernah menemui abang sebelumnya."
Aku menggenggam secarik kertas itu erat-erat.
Melangkah sendirian di bawah jutaan butir air hujan yang turun deras membasuh kota kami. Cahaya lampu mobil menerpa wajah. Membuat silau. Tampias air dari
payung membuat wajahku seperti berembun. Setelah seminggu berlalu, ini jelas bukan skenario penjelasan yang kuharapkan. Justeru dengan dua kalimat pendek
penjelasan itu, mekar berjuta pertanyaan lain. Kenapa" Kenapa sekarang, Mei"
" *** BAB 10. Penutup yang Memulai
Hari ini aku tidak mendatangi rumah Mei, atau sekolahnya."
Sejak pagi Ibu sudah mengingatkan, juga Cik Tulani saat aku lewat depan warungnya, juga Koh Acung saat aku melintasi warung kelontongnya, dan tentu saja
Andi sepanjang siang di bengkel"yang semangat sekali saat mendengar aku mengajaknya. Hari ini kami pergi menghadiri undangan pesta pernikahan kakak Sarah.
Bengkel tutup lebih cepat. Bapak Andi pagi-pagi menumpang ferry besar pergi ke Surabaya, dia bilang, boleh jadi harga sewa alat-alat bengkel di sana lebih
murah, atau malah bisa beli kredit. Daripada Si Lai dan Juned bekerja tidak ada yang mengawasi, daripada Andi terus-menerus mengingatkan sudah pukul berapa,
awas terlambat kondangan, aku memutuskan menutup bengkel sejak pukul empat sore"tidak setiap hari kami pergi, dan jelas tidak setiap hari keluarga Sarah
menikah. "Lama kali kau berdandan, Borno." Bang Togar (rese) berseru, tidak sabaran menunggu, "Gerah ini, berkeringat sedikit saja, ketiakku ini jadi bau, nanti
tidak keren lagi abang kau ini."
Aku mendengus dari dalam kamar, setengah menahan tawa, setengah sebal. Jelas-jelas aku baru pulang, baru mandi, siapa suruh Bang Togar menunggu dari pukul
tiga." "Kenapa kau tidak memakai dalaman kaos singlet, Togar" Biar tidak berkeringat." Pak Tua menyela.
"Pak Tua macam tidak tahu, dalaman kaos singlet itu tidak fashionable, mana ada pria modern pakai kutang. Itu tidak bergaya.?"
Koh Acung dan Cik Tulani kompak tertawa, memegangi perut"juga aku di dalam kamar. Sejak keluar dari penjara gara-gara kasus KDRT dengan Kak Nai, obsesi
Bang Togar bukan lagi membuat peraturan yang aneh-aneh di dermaga sepit, dia sekarang maniak tampil modis, sampai menyempatkan mencatut istilah-istilah
yang dia dengar dari televisi. Lihatlah, dia memakai celana panjang gelap tanpa sabuk, kemeja putih bergaris-garis tipis dimasukkan, lengannya digulung
sedikit, rambut jingkrak berminyak, sepatu hitam mengkilat. Alamak, Bang Togar macam pembawa acara kuis televisi.
Aku menjadi orang terakhir keluar dari kamar"bahkan Ibu sudah siap sejak lima belas menit lalu. Ramai-ramai menuruni anak tangga, menuju kolong rumah.
Andi berlari-lari, sedikit tersengal, "Aku tidak terlambat, bukan?"
Bang Togar (rese) menatap Andi dari ujung kepala hingga ujung kaki, semua penumpang sudah duduk di sepitnya, "Kau mau kemana?"
"Pesta pernikahan, kan?" Andi bingung, gerakan kakinya yang hendak loncat tertahan.
"Siapa yang mengajak kau?" Bang Togar berseru ketus.
Andi manyun, menggaruk rambut."
"Naik, Andi." Pak Tua tertawa, melambaikan tangan, "Jangan dengarkan Togar, dia sirik karena tampilan kau mirip benar dengannya, dan dia jelas kalah keren."
Aku ikut tertawa, menggeser tempat duduk, itu benar, lihat, Andi juga memakai celana panjang gelap tanpa sabuk, kemeja putih bergaris-garis tipis yang
kuberikan, lengannya digulung sedikit, rambut jingkrak, sepatu hitam mengkilat.


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seharusnya dia duduk dekat kakaknya, Borno." Wajah Cik Tulani siap tertawa.
"Kakaknya" Siapa?" Aku bertanya balik.
"Iye-lah. Duduk dekat Togar maksudku. Lihat tampilannya sudah macam kakak-adik saja dengan Togar. Hanya beda sikit di bau ketiaklah." Cik Tulani terpingkal,
senang mendapatkan sansak baru.
Sepit ramai oleh gelak tawa. Bang Togar sebal, empat lawan satu, dia memutuskan tidak membalas cengengesan Ci Tulani, langsung menarik pedal gas.
"Astaga, kau bilang-bilang kalau jalan Togar." Pak Tua mengusap wajahnya, sedikit kaget.
Sepit yang dikemudikan Bang Togar sudah melesat membelah permukaan Kapuas. Tepian sungai mulai bermandikan cahaya lampu, malam tiba menjelang.
*** Kami tiba di hotel pusat kota Pontianak setengah jam kemudian. Menumpang oplet, sepit ditambatkan di dermaga paling dekat. Langit cerah, meski bulan-bulan
ini, langit sudah macam perasaan, tidak bisa ditebak, seringkali berubah mendadak, hujan tiba-tiba turun.
Sarah melakukan hal yang benar dengan menyediakan pakaian untuk kami, selain memberikan undangan dengan amplop merah besar. Lobi hotel dipenuhi oleh ratusan
tamu, dan mereka semua terlihat rapi, klimis dan wangi, setidaknya rombongan kami tidak terlihat terlalu mencolok."
Ini untuk kedua kali aku menghadiri acara pernikahan dengan tradisi China keturunan. Bedanya, di Singkawang dulu lengkap dengan segala ritual, termasuk
acara makan-makannya; pernikahan kakak Sarah hanya ornamen, hiasannya saja yang serba merah, sisanya lebih umum, termasuk tamu undangan lebih banyak mengenakan
pakaian pesta biasa, bukan gaun merah-merah. Resepsi pernikahan dilakukan di ruangan besar hotel yang disulap macam pesta taman besar, tanpa panggung tempat
kedua mempelai duduk menerima ucapan selamat, melainkan meja-meja terhampar di ruangan besar hotel, pengantin dan keluarga yang hilir mudik menyapa tamu.
Sementara pegawai hotel keluar masuk membawa nampan makanan.
Petugas resepsi mengantar rombongan kami ke meja kosong, langsung disambut oleh Mama Sarah dan Sarah dengan gaun serba merah.
"Aduh, aku senang sekali Ibu dan yang lain mau datang." Mama Sarah memeluk Ibu erat-erat, sun pipi kiri, sun pipi kanan, sudah macam memeluk saudara dekatnya
saja, "Ibu cantik sekali dengan baju kurung ini. Aku sendiri yang memilihkannya, membayangkan berkali-kali, agar pas. Aduh senangnya ternyata cocok."
Ibu tersipu malu. Bersemu merah mukanya"sebenarnya tadi Ibu grogi, sudah puluhan tahun dia tidak menghadiri pesta pernikahan seperti ini, yang ada paling
juga tetangga gang menikah. Sambutan Mama Sarah membuatnya lebih nyaman.
"Mana Borno?" Mata Mama Sarah melintasi tubuh tinggi besar Bang Togar, mencariku.
Pak Tua menyikutku, menyuruh maju.
Aku memasang wajah terbaik, menyapa Mama Sarah, "Selamat malam, Tante."
"Lihat, kau tampan sekali dengan kemeja itu, Borno." Mama Sarah tertawa renyah"membuatku tahu darimana kebiasaan tawa Sarah yang khas itu, "Baju kau itu
yang memilihkan Sarah. Dibanding baju kurung Ibu, lebih lama lagi Sarah mencari yang pas, sengaja pergi ke Surabaya, mengaduk belasan butik di sana seharian."
Pak Tua menyikutku, menahan kerling mengolokku. Aku mendengus, tidak memperhatikan, tetap memasang wajah sopan. Sementara Sarah yang berdiri di samping
Mama-nya berseru protes, "Aduh, harusnya Mama nggak bilang itu."
Semua orang yang ada di dekat meja kami tertawa.
"Kau datang sendiri, Nak?" Mama Sarah tidak memedulikan wajah protes Sarah, bertanya padaku.
Eh, aku sedikit bingung, menggeleng, menunjuk yang lain, jelas-jelas malah ada Andi di sebelahku. Aku datang beramai-ramai.
"Maksudku, kau tidak datang dengan pasangan" Pacar misalnya?" Mama Sarah menyelidik.
"Dia belum punya pacar. Pemalu sekali dengan perempuan." Ibu yang menjawab.
Pak Tua menepuk dahi, "Apanya yang pemalu. Borno kurang laku saja."
"Mana mungkin, Pak Tua" Pemuda baik, sopan, pemilik bengkel pula, tidak laku?" Mama Mei pura-pura tidak percaya, "Kau jangan-jangan terlalu sibuk dengan
pekerjaan, Nak" Seperti Mei, hingga hari ini, jangankan bicara tentang menikah, punya teman laki-laki saja bisa dihitung jari. Lebih sibuk pacaran dengan
buku-buku tebal dan tempat prakteknya. Makanya aku senang sekali Sarah mau disuruh-suruh mencari pakaian buat kau Borno, bersemangat malah."
"Aduh, Mama harusnya nggak bilang-bilang itu, Sarah malu pada abang Borno." Sarah menarik lengan Ibunya, protes.
Meja kami ramai lagi oleh tawa."
"Abang?" Mama Sarah memotong tawa, dahinya terlipat.
Yang lain menoleh pada Mama Sarah.
"Kau sekarang memanggil Borno dengan sebutan abang?" Mama Sarah pura-pura baru pertama kali mendengarnya.
Sarah mengamnam mencubit lengan Mama-nya, menyuruh berhenti.
"Umur kau sekarang berapa, Nak?""
"Eh" Aku?""
"Iya, umur kau, Borno?"
"Dua puluh empat, Tante."
"Nah, Sarah itu dua puluh lima. Seperti yang kuduga, Sarah lebih tua setahun dibanding kau. Jadi seharusnya kau yang memanggilnya Kak padanya, bukan sebaliknya
Sarah memanggil kau abang." Mama Sarah seperti sedang serius sekali meluruskan sesuatu.
Aku terdiam. Muka Sarah semakin merah, sudah sama dengan gaun indah yang dipakainya.
"Coba kau panggil dia, Borno." Mama Sarah menyuruhku.
"Eh" Sarah?"
"Itu tidak sopan, Nak. Seluruh kota Pontianak selalu memanggil Kakak pada anak gadis yang lebih tua darinya. Pakai Kak." Mama Sarah berseru tegas.
"Eh?" Aku menyeringai.
"Ayo." Mama Sarah menunggu.
"Kak, eh, Kak Sarah?" Lidahku kaku sekali.
Meja ramai lagi dengan tawa"Bang Togar malah terbahak kencang.
"Bagus. Mulai sekarang kau memanggilnya Kak Sarah." Mama Sarah ikut tertawa, manggut-manggut, "Kecuali kalian punya maksud tersendiri dengan kau tetap
memanggil Sarah saja, dan Sarah tetap memanggil kau abang Borno."
Sepertinya Mama Sarah akan bertahan lama di meja kami, mengajak mengobrol, menggoda Sarah, tapi ada rombongan tamu lain yang datang di pintu masuk, membuat
percakapan terpotong. Mama Sarah harus menyambut, menyapa, mengantar ke meja kosong beberapa keluarga yang amat dekat dengan keluarga mereka"tidak bisa
hanya ditangani oleh panitia acara. Kami mengisi bangku kosong, duduk. Resepsi itu terus mengalir bersamaan dengan mengalirnya makanan ke meja-meja, dan
alunan musik khas China. Lupakan nyanyian yang tidak kumengerti sama sekali, aku lebih tertarik pada belasan jenis makanan yang segera dihidangkan di atas
meja. Lima belas menit berlalu, Bang Togar sudah sibuk mengunyah. Ibu menikmati hidangan sambil bercakap-cakap ringan dengan Pak Tua. Sementara Koh Acung sibuk
menjelaskan jenis-jenis makanan pada Cik Tulani, karena dialah yang paling tahu makanan khas China yang sedang dihidangkan. "Haiya, kenapa kau tertarik
sekali?" Koh Acung terhenti sejenak dari penjelasan panjang tentang bumbu bebek panggang. Yang ditanya nyengir, "Siapa tahu aku bisa menjualnya di warungku,
Acung. Menu baru. Bosanlah pelangganku makan pindang ikan melulu."
Aku tidak memperhatikan percakapan di meja kami, aku asyik mencacah daging bebek bermandikan bumbu dan kecap nikmat.
"Kau tahu toiletnya di mana?" Andi tiba-tiba menyikutku, berbisik.
Aku menggeleng. "Aku kebelet buang air kecil." Wajah Andi meringis.
Aku tertawa, apa urusannya denganku"
"Ayolah, temani aku, Borno."
Aku menggeleng, tidak mau.
Sarah yang baru saja menyambut tamu berikutnya, mengantar ke meja yang tersisa, melintas di dekat meja kami.
"Eh, maaf." Andi mengangkat tangannya.
Langkah Sarah terhenti, tersenyum, ada apa"
"Toiletnya, eh toiletnya di mana?""
Aku menyikut lengan Andi, astaga, tidak bisakah dia bertanya hal itu pada pegawai hotel saja, tidak pada Sarah yang sedang sibuk mengurus tamu. Tetapi
Sarah ringan tangan menunjuk ke arah pintu masuk, "Ada di dekat meja penerima tamu, lorong, belok kiri."
Saat itulah, saat aku ikut mendongak menatap pintu masuk ruangan besar hotel, arah yang ditunjuk Sarah, mataku sempurna terkunci. Apa aku tidak salah lihat"
Senopati Pamungkas 29 Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan Pendekar Pedang Sakti 6
^