Pencarian

Horor Di Camp Jellyjam 2

Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam Bagian 2


basah karena air mata. Ia meraih tanganku dan menarik-nariknya
dengan keras. "Cepat! Kita harus kabur! Aku melihatnya!"
"Melihat apa?" seruku.
Alicia tidak sempat menjawab.
Seorang pembina berambut gelap melangkah ke depan semak-semak.
"Nah, sedang apa kau!" serunya.
AKU seperti lumpuh. Seluruh tubuhku dingin.
Mata si pembina tampak berbinar-binar karena memantulkan cahaya
lampu sorot. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya dengan nada mendesak.
Aku menarik napas dalam-dalam dan hendak menjawab.
Tapi sebelum sempat buka mulut, terdengar suara lain menduluiku.
"Mau tahu saja." Ternyata pembina lain. Seorang wanita muda dengan rambut hitam
dipotong pendek. Sambil berusaha untuk tidak bersuara, aku merunduk di balik semak-
semak. Kedua temanku langsung berlutut.
"Kau membuntuti aku, ya?" pembina pertama menggoda rekannya.
"Untuk apa aku membuntutimu" Jangan-jangan justru kau yang
membuntuti aku!" balas wanita muda itu.
Mereka tidak melihat kami, aku menyadari dengan gembira. Padahal
tempat persembunyian kami hanya berjarak satu meter dari tempat
mereka berdiri. Tapi rupanya mereka tidak bisa melihat kami di balik semak-
semak. Beberapa detik kemudian, kedua pembina itu pergi bersama-sama.
Kami menunggu cukup lama sambil memasang telinga, dan baru
berani keluar setelah suara kedua pembina itu tak terdengar lagi.
"Alicia?" tanyaku. "Kau tidak apa-apa?"
"Alicia?" Ivy dan Jan berseru berbarengan.
Gadis cilik itu telah lenyap.
Kami menyelinap masuk ke asrama lewat pintu samping. Untung saja tak ada pembina
yang berpatroli di koridor. Tak seorang pun
kelihatan. "Dierdre - kau sudah di sini?" Jan memanggil ketika kami masuk ke kamar.
Tak ada jawaban. Aku menyalakan lampu. Tempat tidur Dierdre tetap kosong.
"Sebaiknya lampu dimatikan saja," Ivy mewanti-wanti. "Nanti malah ada yang
curiga karena lampu kita masih menyala."
Kupadamkan lampu. Kemudian aku menuju ke tempat tidurku sambil
menunggu mataku terbiasa dengan kegelapan yang menyelubungi
kami. "Di mana Dierdre?" tanya Ivy. "Aku jadi agak kuatir. Barangkali ada baiknya kita
melapor bahwa dia belum kembali."
"Lapor kepada siapa?" tanya Jan. Ia menjatuhkan diri di tempat tidurnya. "Tak
ada siapa-siapa di sini. Para pembina semua sedang keluar."
"Aku yakin dia lagi ikut pesta dan melupakan kita," ujarku sambil menguap. Aku
membungkuk untuk menyingkap selimut di tempat
tidurku. "Menurut kalian, apa yang dilihat anak kecil tadi?" tanya Ivy sambil memandang
ke luar jendela. "Alicia" Kurasa dia cuma bermimpi buruk," sahutku.
"Tapi dia begitu ketakutan!" kata Jan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan
kenapa dia ada di luar malam-malam begini?"
"Dan kenapa dia kabur dan meninggalkan kita?" Ivy menambahkan.
"Aneh," aku bergumam.
"Yeah, aneh sekali," Jan menimpali. "Semua kejadian malam ini memang aneh." Ia
menuju ke lemari pakaian. "Aku mau ganti baju.
Besok hari penting. Aku harus memenangkan dua King Coin lagi."
"Aku juga," ujar Ivy. Ia menguap lebar.
Jan membuka salah satu laci. "Ya, ampun!" pekiknya. "Ya, ampun!
Ada apa ini?" "JAN - ada apa?" seruku.
Ivy dan aku langsung berlari ke meja rias.
Jan terus menatap laci yang baru dibukanya. "Aku salah buka laci,"
katanya. "Karena gelap aku menarik lacinya Dierdre. Dan - dan -
lacinya kosong!" "Hah?" Ivy dan aku memekik karena kaget.
Sambil memicingkan mata aku mengamati laci itu. Ternyata memang
kosong sama sekali. "Coba periksa lemari pakaian," aku menyarankan.
Ivy melintasi ruangan dengan tiga atau empat langkah panjang. Cepat-cepat ia
membuka pintu lemari. "Barang-barang Dierdre - sudah tidak ada semua!" serunya.
"Aneh," gumamku. Kejadian-kejadian malam ini memang aneh.
"Kenapa dia pergi tanpa memberitahu kita?" tanya Jan.
"Dan ke mana dia?" Ivy menambahkan. Pertanyaan bagus, pikirku sambil menatap
lemari yang kosong. Ke mana Dierdre" Sarapan adalah acara makan paling ramai sepanjang hari. Mangkuk-mangkuk sereal
berdenting-denting terkena sendok. Botol-botol jus
jeruk berdebam-debam ketika ditaruh kembali ke meja kayu yang
panjang. Suara-suara terdengar nyaring, seakan-akan ada orang yang memutar
tombol volume sampai habis. Semua orang asyik bercerita mengenai
olahraga yang akan diikuti hari ini, dan permainan-permainan yang
hendak dimenangkan. Aku yang terakhir mandi. Jadi Jan dan Ivy sudah mulai sarapan waktu aku masuk ke
ruang makan. Aku menyusuri gang sempit di antara meja-meja sambil mencari-cari
Dierdre. Tapi ia tidak kelihatan.
Semalam aku tidak bisa tidur, padahal aku sebenarnya capek sekali.
Aku terus memikirkan Dierdre dan Alicia., Dan aku juga heran kenapa Mom dan Dad
belum juga menjemput atau paling tidak menghubungi
kami. Aku melihat Elliot di ujung meja yang ditempati anak-anak laki-laki sebayanya.
Piring di hadapannya berisi setumpuk panekuk, dan ia
sedang menuangkan sirop berwarna gelap.
"Hai, Elliot!" aku memanggil sambil menghampirinya.
Adikku tidak merasa perlu berbasa-basi, meskipun sekadar berkata
selamat pagi. "Habis ini aku mau ikut turnamen one-on-one," katanya dengan
semangat berkobar-kobar. Barangkali aku bisa memenangkan
King Coin yang ketiga!"
"Yeah, kau maunya memang menang melulu," sahutku sambil
memutar-mutar bola mata. "Ngomong-ngomong, sudah ada kabar dari Mom dan Dad?"
Elliot menatapku seakan-akan tidak ingat siapa mereka. Lalu ia
menggelengkan kepala. "Belum. Camp ini asyik sekali, ya" Kita
benar-benar beruntung."
Aku diam saja. Mataku tertuju pada meja satunya. Sepintas lalu aku
mengira telah melihat Dierdre. Tapi ternyata itu anak lain yang juga berambut
panjang dan pirang. "Kau sudah dapat King Coin?" tanya Elliot. Ia bicara dengan mulut penuh panekuk.
Siropnya menetes-netes dari dagunya.
"Belum," jawabku.
Ia ketawa mengejek. "Khusus untukmu, slogan camp ini harus diubah, Wendy. Hanya
Yang Terburuk!" Elliot terbahak-bahak. Teman-temannya di meja itu ikut-ikutan
tertawa. Aku kan sudah bilang, adikku itu memang konyol.
Aku lagi tidak kepingin bercanda. Aku masih sibuk memikirkan
Dierdre. "Sampai nanti," kataku.
Aku berdiri, lalu berjalan menuju ke sisi anak-anak cewek. Sorak-
sorai dan tawa berderai terdengar dari meja di dekat dinding. Rupanya ada perang
telur dadar. Tiga pembina segera bergegas ke sana untuk
menghentikan keramaian itu.
Meja Jan dan Ivy sudah penuh, jadi aku mengambil tempat di meja
sebelahnya yang masih kosong. Aku menuang segelas jus jeruk dan
semangkuk sereal. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu lapar.
"Hei - !" seruku ketika melihat Buddy lewat di depan mejaku. Ia tidak mendengarku
di tengah hiruk-piruk, jadi aku langsung berdiri dan
mengejarnya. "Hai. Ada apa?" Ia menyambutku dengan senyum lebar. Rambutnya yang pirang masih basah karena ia baru selesai mandi. Aku mencium
wangi bunga, mungkin dari aftershave-nya.
"Kau tahu ke mana Dierdre?" tanyaku.
Ia mengerutkan kening karena bingung. "Dierdre?"
"Teman sekamarku," aku menjelaskan. "Dia tidak pulang ke kamar semalam. Dan
lemari pakaiannya sudah kosong."
"Dierdre," ia mengulangi sambil berpikir keras. la mengangkat clipboard dan
mengamati daftar nama yang terpasang di situ. "Oh, yeah. Ia sudah pergi."
Pipinya jadi agak merah. "Hah?" Aku menatapnya sambil terbengong-bengong. "Dierdre sudah pergi" Pergi ke
mana" Pulang ke rumahnya?"
Buddy kembali menatap daftar nama itu. "Mungkin. Di sini cuma
ditulis bahwa dia sudah pergi." Pipinya semakin merah.
"Aneh," ujarku. "Kenapa dia tidak pamitan" Ia sama sekali tidak bilang apa-apa."
Buddy angkat bahu, kemudian mengembangkan senyum. "Selamat
bersaing hari ini!" Ia menuju ke meja pembina di bagian depan ruangan yang luas. Tapi
cepat-cepat aku mengejarnya dan menarik tangannya.
"Buddy, satu pertanyaan lagi," kataku. "Aku sedang mencari gadis cilik bernama
Alicia. Kau tahu di mana aku bisa menemukan dia?"
Buddy melambaikan tangan ke arah serombongan anak cowok di
seberang ruangan. "Ayo, tunjukkan kehebatan kalian! Hanya Yang Terbaik!" serunya
kepada mereka. Kemudian ia berpaling padaku.
"Alicia?" "Aku tidak tahu nama belakangnya. Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun,"
ceritaku. "Rambutnya panjang berwarna merah, dan mukanya penuh bintik-bintik."
"Alicia..." Buddy menggigit-gigit bibir. Lalu ia kembali melihat clipboardnya.
Aku memperhatikannya menyusuri daftar nama dengan telunjuknya.
Waktu jarinya berhenti, pipinya jadi merah lagi.
"Oh, yeah. Alicia," katanya sambil menurunkan clipboard. Ia menatapku sambil
nyengir. Tapi senyumnya agak aneh. Agak
menakutkan. "Ia juga sudah pergi."
"JAN! Ivy!" aku langsung mengejar mereka ketika melihat mereka bergegas
meninggalkan ruang makan. "Kita harus bicara!" kataku sambil tersengal-sengal.
"Nanti saja. Sudah telat, nih." Jan merapikan rambutnya dengan sebelah tangan.
"Kalau terlambat sampai di lapangan voli, kita tidak bisa ikut turnamen."
"Tapi ini penting!" teriakku ketika mereka berlari ke pintu.
Sepertinya mereka tidak mendengarku. Mereka pergi tanpa menoleh
lagi. Jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba seluruh tubuhku terasa dingin.
Aku kembali menghampiri adikku. Ternyata ia sedang bermain tinju
dengan anak laki-laki kurus jangkung berambut pirang. "Elliot - coba ke sini," aku
memerintahkan. "Sebentar saja."
"Sori, tidak bisa," sahutnya. "Aku kan mau ikut kontes one-on-one."
Teman adikku itu bergegas ke pintu. Aku cepat-cepat melangkah maju
untuk menghalangi jalan Elliot.
"Jangan macam-macam!" serunya. "Nanti aku telat Aku akan melawan Jeff. Masih
ingat dia, kan" Aku bisa mengalahkan dia.
Tubuhnya memang besar, tapi agak lamban."
"Elliot, ada sesuatu yang aneh di sini," ujarku. Aku mendesaknya mundur sampai
ke dinding. Anak-anak yang hendak keluar menatap
kami sambil mengerutkan kening. Tapi aku tidak ambil pusing.
"Kau yang aneh!" balas Elliot. "Cepat, minggir. Aku harus ke lapangan basket."
Ia hendak melewatiku. Tapi aku menahan bahunya dengan kedua
tangan. "Sebentar saja!" aku berkeras. "Ada yang tidak beres di camp ini, Elliot." Aku
melepaskannya. "Maksudmu, bunyi gemuruh itu?" ia bertanya sambil mengusap rambutnya yang gelap
dengan sebelah tangan. "Itu cuma gas di bawah tanah atau semacamnya. Aku juga
sudah tanya pada salah satu
pembina, dan dia bilang begitu."
"Bukan itu maksudku," kataku. "Ada beberapa anak yang hilang."
Ia ketawa. "Hilang" Maksudmu, hilang tanpa bekas, seperti tipuan sulap?"
"Jangap bercanda, dong!" hardikku. "Ini tidak lucu, Elliot. Memang ada anak-anak
yang hilang. Kau tahu Dierdre, teman sekamarku"
Semalam dia ikut Upacara Juara. Setelah itu dia tidak kembali ke
kamar." Senyum Elliot lenyap. "Tadi aku diberitahu Buddy bahwa Dierdre sudah pergi," aku melanjutkan. Aku
menjentikkan jari. "Pergi begitu saja. Dan gadis cilik bernama Alicia - dia juga
hilang." Elliot menatapku dengan matanya yang cokelat. "Paling-paling
mereka pulang ke rumah mereka. Masa mereka harus di sini terus?"
sahutnya. "Yang benar saja!"
"Dan bagaimana dengan Mom dan Dad?" aku bertanya. "Mana mungkin mereka tidak
segera tahu bahwa karavannya lepas. Kenapa
mereka belum menjemput kita" Kenapa mereka belum juga bisa
dihubungi?" Elliot angkat bahu. "Mana kutahu," katanya dengan santai. Ia membungkuk lalu
langsung menuju ke pintu. "Wendy, kau tidak betah di sini soalnya kau memang
tidak begitu suka olahraga. Tapi aku
senang sekali di camp ini. Jangan ganggu kesenanganku - oke?"
"Tapi - tapi - Elliot - " aku tergagap-gagap.
Sambil menggelengkan kepala ia membuka pintu dan langsung ke
luar. Aku mengepalkan tangan karena jengkel. Rasanya ingin kugebuk dia.
Kenapa ia tidak mau mendengarkan aku" Masa ia tidak tahu bahwa
aku benar-benar cemas dan takut"
Elliot termasuk anak yang tidak pernah kuatir pada apa pun.
Sepertinya segala sesuatu selalu sesuai keinginannya. Jadi kenapa
harus repot" Tapi paling tidak, seharusnya ia agak mencemaskan Mom dan Dad, ya
kan" Mom dan Dad... Perasaanku tidak enak ketika aku berjalan meninggalkan ruang
makan. Bagaimana kalau mereka mengalami kecelakaan" Bagaimana
kalau karena itulah mereka belum menemukan Elliot dan aku"
Jangan. Jangan bikin situasi bertambah buruk, aku memarahi diriku
sendiri. Jangan biarkan daya khayalmu lepas kendali, Wendy.
Tiba-tiba aku teringat rencanaku untuk menelepon ke rumah. Ya,
ujarku dalam hati. Itulah yang akan kulakukan sekarang. Aku akan
menelepon ke rumah dan meninggalkan pesan untuk Mom dan Dad
pada mesin penerima telepon.
Aku berhenti di tengah jalan setapak dan mencari-cari telepon umum.
Serombongan anak cewek yang membawa tongkat hoki berpapasan
denganku. Suara peluit terdengar nyaring dari kolam renang di balik deretan
lapangan tenis. Lalu aku mendengar suara anak-anak terjun ke air.
Semuanya riang gembira, pikirku - kecuali aku.
Aku memutuskan untuk menelepon ke rumah dulu, lalu mengikuti
salah satu olahraga. Aku butuh kesibukan untuk melupakan segala hal yang
membuatku kuatir dan bingung.
Aku kembali ke deretan telepon umum berwarna biru-putih di sisi
gedung utama. Aku berlari sekuat tenaga dan langsung mengangkat
gagang telepon terdekat. Gagangnya kutempelkan ke telinga, lalu kutekan nomor telepon
rumah kami. Kemudian aku memekik tertahan karena kaget.
"HALO, Teman! sebuah suara berat berkata dengan riang. "Selamat menikmati Camp
Jellyjam. Ini King Jellyjam. Bersainglah dengan
sungguh-sungguh. Ikutilah pertandingan sebanyak mungkin. Dan
menanglah sesering mungkin. Dan ingatlah selalu - Hanya Yang
Terbaik!"

Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduh!" seruku. "Rekaman konyol - !"
"Halo, Teman! Selamat menikmati - " Pesan itu berulang di telingaku.
Kubanting gagang telepon dan kucoba telepon berikutnya.
"Halo, Teman! Selamat menikmati camp Jelly..." Huh, sama saja.
Aku mencoba setiap telepon di deretan itu. Tapi semuanya memutar
rekaman yang sama. Ternyata tak ada satu pun telepon sungguhan.
Mana sih telepon umum di sini" aku bertanya-tanya. Mestinya ada
telepon umum yang benar-benar bisa dipakai.
Aku berpaling dari gedung utama, menyusuri jalan setapak. Ketika
lewat di depan semak-semak tempat Jan, Ivy, dan aku bersembunyi
semalam, aku langsung merinding. Mau tidak mau aku teringat Alicia.
Sinar matahari yang terang benderang membanjiri bukit landai yang
ditumbuhi rumput. Aku melindungi mata dari cahaya yang
menyilaukan, dan memperhatikan seekor kupu-kupu berwarna hitam
dan emas. Kupu-kupu itu mengepak-ngepakkan sayap dan hinggap di
bunga geranium merah dan pink.
Aku berjalan tanpa tujuan, mencari-cari telepon umum. Ke mana pun
aku memandang aku melihat anak-anak yang berseru-seru, tertawa-
tawa dan bersaing dengan sekuat tenaga. Tapi aku tidak menghiraukan mereka. Aku
terlalu sibuk dengan pikiranku yang gelisah.
"Hei! Hei! Hei!"
Suara adikku membuatku berhenti. Aku berkedip-kedip beberapa kali
untuk memfokuskan pandangan.
Rupanya aku sudah sampai di lapangan basket. Elliot dan Jeff sedang bertanding
satu lawan satu. Jeff mendribble bola. Bolanya berdebam-debam pada lapangan aspal.
Adikku menggerak-gerakkan tangan di depan hidung Jeff. Lalu
berusaha merebut bola. Gagal. Jeff membungkuk sedikit. Ia mendesak Elliot dengan pundaknya,
menggiring bola ke ring - dan melempar.
"Dua angka!" serunya sambil nyengir.
Elliot merengut dan menggelengkan kepala. "Itu pelanggaran."
Jeff berlagak tidak mendengarnya. Tubuhnya dua kali lebih besar dari Elliot.
Kalau mau, ia bisa menabrak adikku sampai terjengkang.
Aku tidak mengerti kenapa Elliot menyangka dirinya bisa
mengalahkan Jeff. "Berapa skornya?" tanya Jeff sambil menyeka keringat dari keningnya.
"Delapan belas sepuluh," balas adikku lesu. Tanpa bertanya dulu pun aku langsung
tahu bahwa Elliot-lah yang kalah.
Lapangan basket dibatasi pagar kawat. Kupegang pagarnya dengan
kedua tangan, menempelkan wajahku, dan menonton mereka
bertanding. Elliot men-dribble bola. Ia bergerak mundur sambil mencari-cari
kesempatan menyerang. Jeff terus mengikutinya. Ia membungkuk ke
depan, siap menyambar bola.
Tiba-tiba Elliot melesat maju. Pandangannya tertuju pada ring.
Dengan sigap ia melompat, mengangkat tangan kanan untuk
melempar - bolanya direbut Jeff.
Elliot melayang dengan tangan kosong.
Jeff men-dribble dua kali, lalu menyarangkan bola dengan dua tangan.
Kedudukannya jadi dua puluh lawan sepuluh.
Beberapa detik kemudian pertandingan selesai, dan Jeff keluar sebagai pemenang.
Ia bersorak dengan gembira dan mengajak Elliot ber-high
five. Elliot mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. "Kau cuma
beruntung," gumamnya.
"Yeah. Beruntung," sahut Jeff. Ia memakai bagian depan t-shirt-nya yang berwarna
biru untuk menyeka wajahnya yang penuh keringat.
"Hei, kau harus memberi selamat padaku. Kau korbanku yang
keenam!" "Hah?" Elliot menatapnya sambil membungkuk dan memegang lutut.
Napasnya masih terengah-engah. "Jadi - ?"
"Yeah." Jeff nyengir lebar. "King Coin-ku yang keenam. Nanti malam aku ikut
Upacara Juara!" "Wah, hebat," balas Elliot lesu. "Aku masih perlu tiga keping lagi."
Tiba-tiba aku merasa ada yang memperhatikanku. Aku melepaskan
pagar kawat dan mundur selangkah.
Ternyata Buddy sedang mengamati aku dari jalan setapak. Ia
memicingkan mata, ada kesan tidak senang pada wajahnya.
Sudah berapa lama ia berdiri di situ"
Kenapa ia kelihatan tidak senang" Roman mukanya yang kencang
membuatku merinding. Ketika aku berbalik, ia segera melangkah meng-ampiriku. Matanya
yang biru menatapku tanpa berkedip.
"Maaf, Wendy," pembina itu berkata pelan-pelan. "Kau harus pergi."
"HAH" Apa?" Aku menatapnya sambil terbengong-bengong.
Apa maksudnya" Ke mana aku harus pergi" Apakah aku harus
pergi - seperti Dierdre dan Alicia"
"Kau harus pergi dari sini kecuali kalau kau ikut bertanding," Buddy menjawab.
Roman mukanya tidak berubah. "Kau tidak bisa cuma
menonton terus. King Jellyjam takkan setuju."
Rasanya gumpalan jelek itu ingin kuinjak saja! kataku dalam hati.
Namanya pun konyol. King Jellyjam. Idih!
Ucapan Buddy sempat membuatku kaget setengah mati. Jangan-
jangan ia memang sengaja menakut-nakutiku" aku bertanya-tanya.
Tidak mungkin, pertanyaan itu segera kujawab sendiri. Buddy tidak
tahu bahwa aku curiga. Dari mana ia bisa tahu"
Ia bergegas ke lapangan basket. Punggung Jeff ditepuk-tepuknya.
Kemudian ia menyerahkan King Coin emas. "Nah, selamat ya!"
serunya sambil mengacungkan jempol. "Sampai ketemu nanti malam di Upacara Juara.
Hanya Yang Terbaik!"
Buddy juga berbicara sebentar dengan adikku. Elliot cuma angkat
bahu. Lalu ia mengatakan sesuatu yang membuat Buddy ketawa. Tapi
aku tidak tahu apa yang dikatakannya.
Ketika Elliot pergi untuk mengikuti pertandingan olahraga berikutnya, Buddy
kembali menghampiriku. Ia merangkulku dan menggiringku
pergi dari lapangan basket.
"Kelihatannya kau ini perlu bimbingan khusus, Wendy," ujarnya.
"Bisa jadi," sahutku. Apalagi yang bisa kukatakan"
"Hmm, aku akan memberikan jadwal untuk hari ini. Coba lihat apakah kau suka,"
kata Buddy. "Pertama-tama ada pertandingan tenis. Kau bisa main tenis, kan?"
"Bisa sih bisa," jawabku. "Aku tidak seberapa hebat, tapi - "
"Setelah main tenis, datanglah ke lapangan softball, oke?" Buddy melanjutkan.
"Kami akan mencarikan tempat untukmu di salah satu tim."
Ia menampilkan senyum ramah. "Aku yakin kau akan jauh lebih
senang kalau kau mengikuti kegiatan-kegiatan di sini - betul, tidak?"
"Yeah. Kurasa begitu," balasku. Sebenarnya aku ingin lebih bersemangat. Tapi
tidak bisa. Buddy mengajakku ke salah satu lapangan tenis. Seorang gadis
sebayaku sedang melakukan pemanasan dengan memukul-mukul bola
tenis ke dinding. Gadis itu berbalik dan menyapaku ketika kami mendekat. "Hei, mau main?"
"Boleh," kataku. Kami saling memperkenalkan diri.
Namanya Rose. Ia cantik dan jangkung. Ia mengenakan kaus tanpa
lengan berwarna ungu dan celana pendek hitam. Aku melihat anting
perak menggelantung dari telinganya.
Buddy menyerahkan raket. "Selamat bertanding," ujarnya. "Dan awas, Wendy. Rose
sudah punya lima King Coin!"
"Kau jago main tenis, ya?" tanyaku sambil memutar-mutar raket di tanganku.
Rose mengangguk. "Yeah. Lumayan. Kau bagaimana?"
"Entahlah," aku berterus terang. "Temanku dan aku selalu bermain sekadar iseng
saja." Rose ketawa. Aku suka suara tawanya. Rasanya aku jadi kepingin ikut ketawa. "Aku
tidak pernah main sekadar iseng!" ia memberitahuku.
Dan nyatanya memang begitu.
Kami pukul-pukulan bola selama beberapa menit, sebagai pemanasan.
Rose membungkuk, mengencangkan otot-otot, memicingkan mata -
lalu membalas pukulanku seakan-akan ini set terakhir dalam suatu
kejuaraan. Pukulannya malah lebih keras lagi setelah kami mulai bertanding.
Dalam waktu singkat aku sadar bahwa aku bukan tandingannya.
Masih untung aku bisa mengembalikan beberapa servis-nya!
Rose tidak sok. Aku sempat melihatnya tersenyum sendiri ketika
melihat pukulan backhandku, tapi ia tidak mengejekku. Ia justru
memberikan petunjuk-petunjuk berguna sambil bermain.
Ia menang straight set. Aku mengucapkan selamat padanya. Ia tampak gembira sekali karena
berhasil memenangkan King Coin-nya yang keenam.
Seorang pembina yang belum pernah kulihat memasuki lapangan dan
menyerahkan keping itu kepada Rose. "Sampai ketemu di Upacara
Juara nanti malam," wanita muda itu berkata sambil tersenyum lebar.
Kemudian si pembina berpaling padaku. "Lapangan softball ada di sebelah sana,
Wendy," ujarnya sambil menunjuk.
Aku mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan ke arah yang
ditunjuknya. "Jangan jalan - lari!" serunya. "Ayo, semangat sedikit!
Hanya Yang Terbaik!"
Aku menggerutu. Tapi sepertinya ia tidak mendengar. Dengan
setengah hati kupatuhi sarannya dan mulai berlari.
Kenapa sih aku selalu diburu-buru di sini" omelku dalam hati. Kenapa aku tidak
boleh bersantai dan berjemur di sisi kolam renang"
Aku agak terhibur ketika lapangan softball terlihat di hadapanku. Aku memang
senang main softball. Aku memang tidak terlalu jago dalam
menangkap bola. Tapi untuk urusan memukul bola, akulah orangnya.
Kedua tim yang sedang bertanding merupakan tim campuran cowok-
cewek. Aku mengenali dua cewek yang kulihat saat waktu sarapan
tadi pagi. Salah satu dari mereka memberiku tongkat pemukul. "Hai. Aku
Ronni. Kau bisa ikut tim kami," katanya. "Kau bisa lempar bola?"
"Lumayan," sahutku. Tongkat pemukulnya kugenggam erat-erat.
"Kadang-kadang aku jadi pitcher kalau pulang sekolah."
Ronni mengangguk. "Oke. Kalau begitu kau jadi pitcher di babak-babak awal."
Ia memanggil anak-anak yang lain untuk berkumpul. Semuanya
menyebutkan nama masing-masing dan diberi posisi tertentu.
"Kalau kita menang, kita semua dapat King Coin?" tanya anak laki-laki dengan
tato elang di pundaknya. Aku langsung tahu itu bukan
tato, tapi gambar tempel.
"Ya, semuanya," jawab Ronni.
Para pemain langsung bersorak-sorai.
"Jangan senang dulu. Belum juga mulai main!" seru Ronni.
Kemudian ia menentukan urut-urutan memukul bola. Karena aku jadi
pitcher, aku dapat urutan kesembilan.
Tapi berhubung aku sudah pegang tongkat, aku memutuskan untuk
melatih ayunanku dulu. Aku menjauhi yang lain dan menuju ke base
ketiga. Sambil melonggarkan genggaman, kuayunkan tongkat pemukul. Pelan
saja. Aku biasa mengambil ancang-ancang tinggi. Aku tidak seberapa
kuat, dan dengan cara itu aku bisa memukul lebih keras.
Tongkat pemukulnya lumayan enak di tanganku. Aku
mengayunkannya beberapa kali lagi.
Lalu aku ambil ancang-ancang tinggi sekali - dan mengayunkan
sekeras mungkin. Aku tidak tahu Buddy berdiri di situ.
Langsung saja pukulanku menghantam dadanya. Aku mendengar
bunyi tokkk yang menakutkan ketika tongkatku membentur rusuknya.
Serta-merta kulepaskan tongkat. Lalu aku melangkah mundur sambil
membelalakkan mata. SENYUM Buddy langsung lenyap. Ia menatapku sambil
memicingkan matanya yang biru.
Lalu ia mengangkat tangan dan menudingku.
"Aku suka caramu mengambil ancang-ancang," katanya. "Tapi mungkin lebih baik
kalau kami carikan tongkat yang lebih ringan
untukmu." "Hah?" Aku terbengong-bengong. Aku tidak bisa bergerak. Aku cuma berdiri dan
menatap Buddy sambil melongo. "Buddy - ?"
Ia memungut tongkat yang tergeletak di tanah. "Kau suka tongkat ini"
Coba kulihat ayunanmu lagi, Wendy." Tongkat itu diserahkannya
padaku. Tanganku gemetaran ketika menerima tongkat itu. Pandanganku terus
melekat pada Buddy. Aku menunggu ia berteriak kesakitan. Aku
menunggu ia memegangi dadanya dan ambruk sambil mengerang-
erang. "Tongkat aluminium ada yang lebih ringan," katanya. Ia mengusap rambutnya yang
pirang dengan sebelah tangan. "Ayo. Coba lagi."
Dengan langkah gemetar aku mundur menjauhinya. Aku tak ingin
menghantamnya lagi. Lalu aku mengambil ancang-ancang dan
mengayunkan tongkat. "Bagaimana?" tanyanya.
"L-lumayan," jawabku.
Ia mengacungkan jempol dan berpaling kepada Ronni.
Wah! pikirku. Ada apa ini"
Pukulanku tadi cukup keras untuk mematahkan tulang rusuknya. Atau
paling tidak membuatnya meraung-raung kesakitan.
Tapi sepertinya Buddy sama sekali tidak sadar bahwa ia kena hantam!
Ada apa ini" Waktu makan malam kuceritakan kejadian itu kepada Jan dan Ivy.
Jan ketawa. "Barangkali pukulanmu tidak sekeras yang kauduga."
"Tapi bunyinya mengerikan sekali! Seperti bunyi telur pecah!" seruku.
"Dan ia cuma tersenyum dan berbicara seperti tidak terjadi apa-apa."
"Kurasa dia menunggu sampai kau tidak bisa melihatnya. Habis itu baru dia
meraung-raung!" Ivy menduga-duga.
Aku memaksakan diri untuk ikut ketawa bersama kedua temanku.
Tapi dalam hati aku pikir ini tidak lucu.
Terlalu banyak kejadian aneh di sini.
Mana mungkin ada orang kena hantam di dadanya seperti itu tapi
sama sekali tidak bereaksi!
Tim kami kalah sepuluh angka. Tapi setelah kejadian itu, aku tidak
bisa berkonsentrasi. Aku melirik ke meja pembina di seberang ruangan. Buddy duduk di
ujung, ia sedang bercanda dengan Holly. Sepertinya ia memang tidak
apa-apa. Sepanjang makan malam aku terus melirik ke arahnya. Bunyi tokkk
yang dibuat tongkatku ketika menghantam dadanya masih terngiang-
ngiang di telingaku. Aku tidak bisa melupakan kejadian itu.
Aku terus memikirkannya ketika kami berjalan ke lapangan atletik
untuk menyaksikan Upacara Juara. Angin bertiup cukup keras. Obor-
obor yang dibawa tampak berkerlap-kerlip dan nyaris padam.
Pohon-pohon di sekeliling lapangan atletik pun bergoyang-goyang
dan merunduk. Dahan-dahan pohon seolah-olah hendak menjangkau
tanah. Musik mars kembali terdengar, dan para pemenang berpawai
melewati tribun. Rose melambaikan tangan ketika melihatku. Jeff
berjalan dengan bangga di bagian belakang barisan, enam King Coin
menggantung di lehernya. Seusai upacara aku cepat-cepat kembali ke kamar dan langsung naik
ke tempat tidur. Terlalu banyak pikiran mencemaskan yang
berkecamuk dalam benakku. Aku ingin segera tidur untuk melupakan
semuanya. Pada waktu sarapan keesokan paginya, Rose dan Jeff sudah
menghilang.

Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

AKU mencari Rose dan Jeff. Aku juga mencari adikku sepanjang
pagi. Ia pasti sedang mengikuti salah satu pertandingan olahraga. Aku berjalan
dari lapangan sepak bola di ujung sebelah sini sampai ke
tempat berlatih golf di ujung sebelah sana, tapi aku tidak melihatnya.
Jangan-jangan Elliot ikut menghilang"
Pikiran yang mengerikan itu terus menghantuiku.
Kami harus kabur dari camp ini!
Kata-kata itu terus kuulangi dalam hati sambil menyusuri jalan-jalan setapak
yang bersilangan. Ke mana pun aku pergi, King Jellyjam menatapku sambil nyengir.
Gambarnya ada di mana-mana. Dan senyumnya membuatku
merinding. Aku semakin yakin ada yang tidak beres di sini. Dan semakin lama
aku berkeliling untuk mencari adikku, semakin waswas pula
perasaanku. Buddy menemuiku sehabis makan siang. Ia menggiringku kembali ke
lapangan softball. "Wendy, kau tidak bisa meninggalkan tim-mu
begitu saja," katanya tegas. "Lupakan soal kemarin. Kau masih punya kesempatan.
Kalau tim-mu menang hari ini, maka kalian semua akan
memenangkan King Coin."
Aku tidak mau memenangkan King Coin. Aku mau bertemu
orangtuaku. Aku mau bertemu adikku. Dan aku mau pergi dari sini!
Hari ini aku tidak jadi pitcher. Aku mengambil posisi di sisi kiri
lapangan. Di situ aku punya cukup waktu untuk berpikir.
Aku merencanakan pelarian kami.
Mestinya tidak terlalu sukar, kataku dalam hati. Elliot dan aku akan menyusup
keluar sehabis makan malam, saat semua orang sedang
asyik menyaksikan Upacara Juara. Kami akan menuruni bukit dan
kembali ke jalan raya. Dari situ kami akan berjalan kaki atau
menumpang mobil menuju ke kota terdekat yang memiliki kantor
polisi. Dengan bantuan polisi, aku yakin kami bisa menemukan Mom dan
Dad dalam waktu singkat. Gampang sekali, bukan" Nah, sekarang tinggal menemukan Elliot.
Tim-ku kalah tujuh sembilan.
Aku melakukan kesalahan yang sekaligus mengakhiri pertandingan.
Anak-anak yang lain kecewa sekali, tapi aku sama sekali tidak peduli.
Sampai sekarang belum satu King Coin pun yang kumenangkan.
Ketika kami menuju ke asrama, kulihat Buddy memperhatikanku. Ia
kelihatan jengkel. "Wendy - setelah ini kau ikut olahraga apa?" serunya padaku.
Aku berlagak tidak mendengarnya dan terus saja berjalan.
Olahragaku yang berikut adalah lari, pikirku dengan galau. Lari dari tempat yang
mengerikan ini. Tanah mulai bergetar dan bergoyang ketika aku melewati gedung
utama. Kali ini aku tidak ambil pusing dan terus berjalan ke asrama.
Elliot baru kutemukan sehabis makan malam. Aku melihatnya keluar
lewat pintu ruang makan bersama dua temannya. Mereka asyik
mengobrol, tertawa-tawa, dan saling membenturkan dada sambil
berjalan. "Elliot!" aku memanggil sambil mengejarnya. "Hei, Elliot - tunggu!"
Ia berpaling. "Oh. Hai," katanya. "Bagaimana, beres?"
"Kau lupa ya kalau kau punya kakak?" tanyaku dengan gusar.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Apa sih maumu?"
"Ke mana saja kau?" tanyaku.
Serta-merta ia nyengir lebar. "Aku sibuk memenangkan ini!"
sahutnya. Ia mengangkat kalung di lehernya untuk memamerkan
keping-keping emasnya. "Aku sudah dapat lima."
"Hebat," ujarku sinis. "Elliot - kita harus pergi dari sini!"
"Hah" Pergi?" Ia mengerutkan kening karena bingung.
"Ya," aku berkeras. "Kita harus keluar dari camp ini - malam ini juga!"
"Tidak bisa," balas Elliot. "Pokoknya tidak bisa."
Beberapa anak melewati kami. Mereka sedang menuju ke tempat
Upacara Juara. Aku mengikuti Elliot keluar lewat pintu ruang makan.
Kemudian aku menariknya dari jalan setapak, ke rumput di sisi
bangunan. "Kau tidak bisa pergi" Kenapa tidak bisa?" tanyaku.
"Soalnya aku harus memenangkan King Coin keenam dulu,"
jawabnya. Sekali lagi ia memamerkan keping-keping emas yang telah
diperolehnya. "Elliot - tempat ini berbahaya!" aku berseru. "Dan Mom dan Dad pasti sudah - "
"Ah, kau cuma iri," ia memotong sambil menyodorkan semua King Coin-nya ke depan
hidungku. "Kau belum dapat satu pun - ya, kan?"
Tanganku langsung mengepal. Rasanya aku ingin mencekiknya.
Sungguh. Ia selalu ingin bersaing. Ia selalu ingin menang dalam segala hal.
Aku menarik napas panjang dan berusaha berbicara dengan tenang.
"Elliot, kau tidak mencemaskan Mom dan Dad?"
Sejenak pandangannya beralih ke rumput. "Sedikit."
"Nah, kita harus pergi dari sini dan mencari mereka!" ujarku berapi-api.
"Besok, deh," sahutnya. "Setelah pertandingan atletik besok pagi.
Setelah aku dapat kepingku yang keenam."
Aku membuka mulut untuk berdebat dengannya. Tapi untuk apa"
Aku tahu kadang-kadang adikku sangat keras kepala. Kalau ia sudah
berniat memenangkan satu keping lagi, maka ia takkan pergi sebelum
berhasil. Percuma saja berdebat dengannya. Dan aku juga tidak mungkin
menyeretnya pergi. "Begitu pertandingan atletik selesai besok pagi,"
kataku padanya, "kita pergi dari sini! Tidak peduli kau menang atau kalah.
Setuju?" Elliot berpikir sejenak. "Oke. Setuju," akhirnya ia berkata. Kemudian ia pergi
bersama kedua temannya. Kali ini ada empat anak yang ikut dalam Upacara Juara. Sambil menonton dari
tribun, aku memikirkan anak-anak yang sudah ikut
sebelumnya. Dierdre. Rose. Jeff... Apakah mereka semua sudah pulang ke rumah masing-masing"
Apakah mereka dijemput orangtua mereka" Apakah mereka sudah
selamat sampai di rumah masing-masing"
Barangkali aku merasa cemas tanpa alasan, kataku dalam hati.
Semua orang di camp ini tampak riang gembira. Kenapa cuma aku
yang merasa kuatir" Lalu aku teringat bahwa aku bukan satu-satunya orang yang cemas.
Wajah Alicia yang basah karena air mata langsung terbayang.
Apa yang dilihatnya hingga ia begitu ketakutan" Kenapa ia begitu
ngotot mewanti-wanti kami agar segera pergi"
Kemungkinan besar aku takkan pernah tahu, pikirku.
Setelah Upacara Juara selesai, aku enggan kembali ke asrama. Aku
tahu aku pasti takkan bisa tidur. Terlalu banyak masalah yang
membebani pikiranku. Sementara anak-anak lain menuju ke kamar masing-masing, aku
menyelinap ke bayang-bayang pepohonan. Kemudian aku menyusuri
jalan setapak ke bukit landai yang menuju ke gedung utama.
Sambil bersembunyi di balik semak-semak, aku merebahkan diri di
rumput. Hawanya sejuk dan langit tertutup awan. Udara malam terasa
lembap. Aku memandang ke langit. Bulan dan bintang tertutup awan. Di
kejauhan aku melihat titik-titik cahaya berwarna merah bergerak
melintasi kegelapan. Pesawat terbang. Dalam hati aku bertanya ke
mana pesawat itu pergi. Jangkrik-jangkrik mulai bersuara. Angin membelai-belai rambutku.
Sekali lagi aku memandang ke langit yang tak berbintang. Aku
berusaha mengendurkan otot-otot dan menenangkan pikiran.
Setelah beberapa menit aku mendengar suara-suara. Bunyi langkah.
Serta-merta aku berlutut dan menunduk di balik semak-semak.
Suara-suara itu bertambah keras. Aku mendengar suara tawa anak
cewek. Dengan hati-hati aku mengintip dari tempat persembunyianku. Aku
melihat dua pembina bergegas menyusuri jalan setapak menuju ke
puncak bukit. Di belakang mereka serombongan pembina lain juga berjalan cepat ke
arah bukit. Sepertinya mereka semua sedang terburu-buru.
Mereka mau ke gedung utama, kataku dalam hati. Barangkali ada
pertemuan pembina di sana.
Seragam mereka yang serba putih mudah terlihat, biarpun malam
begitu gelap. Sambil berjaga-jaga agar tidak terlihat, aku
memperhatikan mereka menaiki bukit.
Di luar dugaanku mereka ternyata tidak masuk ke gedung utama.
Mereka membelok beberapa meter sebelum pintu masuk dan
menyusup ke hutan. Mau ke mana mereka" Aku melihat dua rombongan pembina lain menyusul ke hutan. Wah,
kelihatannya ada sekitar seratus pembina di camp ini. Dan semuanya
malam ini masuk ke hutan.
Setelah yakin semua pembina sudah lewat, aku berdiri pelan-pelan.
Aku memandang ke hutan. Tapi yang terlihat hanya kegelapan.
Bayangan demi bayangan. Tiba-tiba aku mendengar suara lagi. Cepat-cepat aku kembali
bersembunyi. Aku mengintip dari balik semak-semak, dan melihat Holly dan
Buddy. Mereka berjalan berdampingan, dengan langkah panjang.
Aku menunggu sampai mereka lewat. Kemudian aku langsung berdiri.
Sambil menyelinap dari satu bayangan ke bayangan berikut, aku
mengikuti mereka ke dalam hutan.
Aku sama sekali tidak memikirkan risiko ketahuan. Aku harus
mencari tahu pergi ke mana semua pembina itu.
Buddy dan Holly berjalan dengan cepat menerobos hutan. Mereka
membelah ilalang tinggi dan melangkahi pohon-pohon tumbang.
Tiba-tiba aku melihat bangunan putih di hadapanku. Bangunan itu
seakan-akan bercahaya dalam kegelapan malam.
Dinding-dindingnya rendah. Bagian atapnya melengkung.
Aku memicingkan mata dari balik pepohonan. Kelihatannya seperti
igloo, rumah orang Eskimo, pikirku.
Bangunan apa ini" aku bertanya-tanya. Dan kenapa bangunannya
tersembunyi di tengah hutan"
Di salah satu sisi terdapat pintu masuk yang menyerupai lubang gelap.
Holly melangkah masuk. Buddy segera mengikutinya.
Aku menunggu hampir satu menit. Kemudian aku pun menyusul
mereka. Jantungku berdegup-degup. Bangunannya aneh sekali. Bulat, dan licin bagaikan es.
Aku berhenti sejenak. Aku mengintip melalui pintu masuk, tapi tidak bisa melihat
apa pun di dalamnya. Tak ada suara yang terdengar.
Apa yang harus kulakukan" aku bertanya pada diriku sendiri.
Haruskah aku masuk" Ya. Aku menarik napas panjang, lalu melangkah maju.
AKU menuruni tiga anak tangga yang menuju ke ruangan yang
remang-remang. Satu-satunya sumber cahaya adalah sebuah lampu
berwarna merah yang dipasang di dekat lantai.
Aku maju pelan-pelan. Kemudian aku berhenti dan pasang telinga.
Samar-samar aku mendengar suara-suara dari ruang sebelah.
Sambil meraba-raba permukaan dinding beton yang tidak diplester,
aku bergerak mendekati suara-suara itu. Dalam waktu singkat aku
menemukan sebuah pintu terbuka di sebelah kananku.
Aku kembali berhenti. Kemudian, hati-hati sekali aku memberanikan
diri untuk mengintip. Aku memandang ke ruangan besar berbentuk bujur sangkar. Empat
obor yang terpasang pada dinding di bagian depan memancarkan
cahaya jingga yang berkerlap-kerlip.
Para pembina menduduki bangku-bangku panjang yang terbuat dari
kayu. Semuanya menghadap ke panggung rendah di depan. Di atasnya
terbentuk spanduk berwarna ungu dengan tulisan: HANYA YANG
TERBAIK. Rupanya ini gedung teater, pikirku. Semacam tempat pertemuan.
Tapi kenapa letaknya di tengah-tengah hutan" Dan kenapa semua
pembina berkumpul di sini malam-malam begini"
Aku tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban
pertanyaanku. Buddy naik ke panggung. Dengan langkah panjang ia berjalan dalam
cahaya obor yang berkerlap-kerlip, lalu berbalik menghadap rekan-
rekannya. Aku beringsut maju. Di bagian belakang ruangan itu tak ada obor.
Keadaannya gelap gulita. Sambil berjinjit aku menyusuri dinding belakang.
Aku menemukan semacam lemari yang pintunya terbuka, dan tanpa
pikir panjang aku menyelinap masuk.
Buddy mengangkat kedua tangan. Para pembina langsung berhenti
mengobrol. Seketika semuanya duduk tegak dan memandang ke arah
panggung. "Sudah waktunya untuk menyegarkan diri," Buddy berseru. Suaranya bergema pada
dinding-dinding beton. Para pembina duduk dengan kaku. Tak seorang pun bergerak. Tak
seorang pun bersuara. Buddy mengeluarkan keping emas dari sakunya. Pasti sebuah King
Coin, kataku dalam hati. Keping itu tergantung pada rantai emas yang panjang.
"Sudah waktunya untuk menyegarkan diri," ujar Buddy. "Sudah waktunya untuk
memantapkan misi kita."
Keping emas itu diangkatnya tinggi-tinggi. Permukaannya tampak
berkilau-kilau dalam cahaya obor. Buddy mulai mengayun-
ayunkannya. Maju?mundur. Pelan-pelan.
"Kosongkan pikiran kalian," katanya kepada rekan-rekannya. Nada suaranya
terdengar lembut. "Kosongkan pikiran kalian, seperti aku mengosongkan
pikiranku." Keping emas yang berkilau-kilau itu berayun maju-mundur. Maju-
mundur. Perlahan-lahan. "Kosongkan... kosongkan... kosongkan
pikiran kalian," Buddy berkata, seakan-akan membaca mantra. Ia menghipnotis
mereka! aku menyadari. Buddy menghipnotis semua pembina lain. Dan ia sendiri juga sudah
dihipnotis! Aku maju selangkah. Rasanya yang kulihat dan kudengar itu tak bisa
kupercaya! "Kosongkan pikiran kalian untuk mengabdi kepada sang pemimpin!"
kata Buddy. "Itulah sebabnya kita berada di sini. Untuk mengabdi kepada sang
pemimpin dalam segenap kemuliaannya!"
"Mengabdi kepada sang pemimpin!" para pembina lain menyahut berbarengan.
Siapa sang pemimpin itu" tanyaku dalam hati. Apa maksud mereka"
Buddy terus berbicara kepada para pembina. Matanya terbuka lebar.
Tak sekali pun ia berkedip. "Kita tidak berpikir!" ia berseru. "Kita tidak
merasa! Kita menyerahkan seluruh diri kita untuk mengabdi
kepada sang pemimpin!"
Tiba-tiba aku mendapatkan jawaban terhadap beberapa pertanyaanku.
Sekarang aku tahu kenapa Buddy tidak meraung-raung kesakitan,
kenapa ia tidak ambruk ketika tongkat softball menghantam dadanya.
Ia berada di bawah pengaruh hipnotis.
Ia dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak merasakan hantaman tongkat
itu. Ia tidak merasakan apapun.
"Hanya Yang Terbaik!" teriak Buddy sambil mengacungkan kedua tangannya yang
terkepal. "Hanya Yang Terbaik!" para pembina mengikutinya. Wajah mereka yang tak berkedip
tampak aneh, seakan-akan beku, dalam cahaya


Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jingga yang menari-nari. "Hanya Yang Terbaik! Hanya Yang Terbaik!"
Slogan itu mereka serukan berulang-ulang. Suara-suara mereka
bergema keras pada dinding-dinding. Hanya mulut mereka yang
bergerak. Seperti boneka.
"Hanya Yang Terbaik yang pantas mengabdi sang pemimpin!" seru Buddy.
"Hanya Yang Terbaik!" rekan-rekannya menyahut sekali lagi.
Sejak awal pertemuan Buddy terus mengayun-ayunkan keping
emasnya. Kini ia menyimpannya kembali ke dalam saku celananya.
Suasana menjadi hening. Hening dan menyeramkan. Kemudian, aku pun bersin.
CEPAT-CEPAT kututup mulutku dengan sebelah tangan. Terlambat.
Aku bersin lagi. Saking kagetnya, Buddy sampai melongo. Kemudian ia menuding-
nuding ke arahku. Langsung saja beberapa pembina berdiri dan berbalik.
Aku berpaling ke pintu. Sanggupkah aku meloloskan diri sebelum
salah satu dari mereka menangkapku"
Tidak. Aku takkan sempat berlari ke pintu.
Kakiku gemetaran. Tapi aku memaksakan diri untuk melangkah. Aku
mundur ke dinding belakang.
Kenapa aku nekat masuk begitu jauh" Kenapa aku tidak mengintip
dari pintu saja" "Siapa itu?" aku mendengar Buddy berseru. "Ah, gelap sekali. Siapa itu?"
Bagus! pikirku. Ia tidak tahu kalau aku yang menyusup masuk.
Tapi sebentar lagi aku bakal ditangkap dan diseret ke tempat terang.
Aku kembali mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Kegelapan menyelubungiku.
Aku berbalik. "Ohh!" seruku ketika menyadari aku nyaris jatuh ke tangga yang
curam sekali. Tempat persembunyianku ternyata bukan lemari sungguhan.
Tangga batu yang hitam membelok ke bawah. Menuju ke mana
tangga itu" Aku tidak bisa menebaknya. Tapi aku tidak punya pilihan. Tangga itu satu-satunya
jalan bagiku untuk meloloskan diri.
Sambil menempelkan pundak ke dinding aku bergegas menuruni
tangga. Sepatuku tergelincir di tangga batu yang licin.
Hampir saja aku terpeleset dan terjun dengan kepala lebih dulu. Tapi untung saja
aku masih sempat berpegangan dan menjaga
keseimbangan. Tangganya berputar-putar. Turun terus.
Udara mulai panas dan berbau tidak sedap. Aku menahan napas.
Baunya seperti susu basi.
Gemuruh aneh terdengar dari bawah.
Aku berhenti untuk menarik napas.
Dan pasang telinga. Gemuruh itu terdengar lagi. Embusan udara apak menusuk-nusuk
hidungku. Aku menoleh ke belakang. Apakah ada yang mengejarku" Apakah
para pembina sempat melihatku kabur lewat pintu lemari yang
terbuka" Tidak. Keadaannya terlalu gelap. Aku tidak mendengar suara apa pun
dari atas. Mereka tidak mengikutiku.
Aduh, apa sih yang berbau begitu tajam di bawah sana"
Sebenarnya aku ingin berhenti saja. Aku enggan turun lebih jauh lagi.
Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tahu orang-orang di atas pasti
sedang mencari-cari. Sambil berpegangan pada dinding batu, aku kembali menuruni tangga.
Akhirnya aku sampai di sebuah terowongan yang panjang dan sempit.
Udaranya bertambah panas dan lembap. Sepatuku menginjak-injak air
yang tergenang di dasar terowongan.
Kira-kira ke mana arah terowongan ini" aku bertanya dalam hati.
Apakah aku bisa keluar lewat sini"
Aku maju pelan-pelan. Ketika hampir tiba di ujung terowongan,
embusan udara apak menyergapku. Aku terbatuk-batuk dan berusaha
keras agar perutku tidak berontak.
Baunya memualkan sekali! Seperti daging busuk dicampur telur busuk. Seperti sampah yang
dibiarkan terjemur matahari selama berhari-hari.
Kutempelkan kedua tanganku pada mulutku. Baunya begitu keras
sehingga aku bisa mengecapnya!
Aku hampir muntah. Satu kali. Dua kali.
Jangan pedulikan bau itu! kataku dalam hati. Pikirkan hal lain.
Pikirkan bunga segar. Pikirkan parfum yang harum.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi akhirnya aku berhasil
menenangkan perutku. Kemudian, sambil menjepit hidung rapat-rapat agar baunya tidak
masuk, aku memaksakan diri melangkah ke ujung terowongan.
Aku berhenti ketika tiba di sebuah ruangan besar yang terang
benderang. Lalu aku membelalakkan mata - sebab di hadapanku tampak
pemandangan paling buruk dan paling mengerikan yang pernah
kulihat seumur hidup! SAMBIL memicingkan mata karena silau, aku melihat lusinan anak
yang membawa tongkat pel, ember, dan selang air.
Semula aku menyangka mereka sedang membersihkan balon ungu
berukuran raksasa. Lebih besar dari balon mana pun di pawai
Thanksgiving Day! Tapi ketika disiram air dan digosok-gosok dengan tongkat pel, balon itu mendadak
mengerang keras-keras. Serta-merta aku sadar bahwa yang kulihat itu bukan balon. Aku
sedang melihat makhluk. Dan makhluk itu hidup. Aku sedang
menatap monster. Aku sedang menatap King Jellyjam.
Ternyata ia bukan maskot kecil yang lucu, tapi gumpalan lendir
berwarna ungu hampir sebesar rumah. Gumpalan raksasa bermahkota
emas. Sepasang mata sebesar sapi tampak berputar-putar di kepalanya.
Kedua mata itu berwarna kuning dan berair terus. Ia berkecap-kecap
dengan bibir ungunya yang tebal, lalu mengerang lagi. Gumpalan-
gumpalan lendir berwarna putih menetes-netes dari lubang hidungnya
yang besar dan berbulu. Bau memuakkan yang kucium sejak tadi ternyata berasal dari badan
King Jellyjam. Meskipun aku sudah menjepit hidung rapat-rapat, bau
menjijikkan itu tetap tercium juga. Baunya seperti ikan mati, sampah busuk, susu
basi, dan karet dibakar - sekaligus!
Mahkota emasnya bergeser-geser di puncak kepalanya yang licin.
Perutnya yang ungu mengembang dan mengempis, seakan-akan
ombak samudra sedang bergelora di dalamnya. Dan ia bersendawa
begitu keras sehingga dinding-dinding bergetar.
Anak-anak di ruangan itu - aku melihat lusinan-bekerja tanpa henti.
Mereka mengelilingi monster jelek itu. Mereka menyiramnya dengan
selang. Menggosok-gosok tubuhnya dengan tongkat pel,spons dan
sikat. Dan sambil bekerja, mereka dihujani benda-benda kecil berbentuk
bulat. Klik. Klik. Klik. Benda-benda berjatuhan ke lantai.
Keong! Keong-keong muncul dari kulit King Jellyjam. Aku ingin muntah lagi
sewaktu menyadari bahwa keringat makhluk itu berupa keong!
Terhuyung-huyung aku mundur ke terowongan sambil menempelkan
tangan ke mulut. Aku tidak habis pikir bagaimana anak-anak itu bisa tahan menghadapi bau
memuakkan yang menyelubungi mereka.
Kenapa mereka membersihkan makhluk itu" Kenapa mereka bekerja
begitu keras" Aku menahan napas ketika mengenali beberapa dari mereka.
Alicia! Ia memegang selang dengan kedua tangan dan menyiram perut King
Jellyjam yang menggembung. Rambutnya yang merah tampak basah
kuyup dan melekat di keningnya. Dan ia terus menangis sambil
bekerja. Aku juga melihat Jeff. Ia sedang menggosok bagian samping monster
itu dengan tongkat pel. Aku membuka mulut untuk memanggil Alicia dan Jeff. Tapi suaraku
seolah-olah tersangkut di tenggorokan.
Dan kemudian seseorang berlari ke arahku. Terhuyung-huyung.
Memasuki terowongan. Melangkah keluar dari cahaya yang terang-
benderang. Dierdre! Dengan sebelah tangan ia memegang spons yang menetes-netes.
Rambutnya yang pirang melekat di kepala. Pakaiannya kusut dan
basah kuyup. "Dierdre!" aku memekik tertahan.
"Pergi dari sini!" ia berseru. "Cepat, Wendy - lari!"
"Tapi - tapi - " aku tergagap-gagap. "Ada apa ini" Kenapa kau ada di sini?"
Dierdre terisak-isak. "Hanya Yang Terbaik," bisiknya. "Hanya Yang Terbaik yang
dijadikan budak King Jellyjam!"
"Hah?" Aku menatapnya sambil melonga, sementara dia menggigil kedinginan di
hadapanku. "Coba lihat," seru Dierdre. "Anak-anak yang berada di sini semuanya juara.
Semuanya sudah dapat enam keping. Dia mendapatkan anak-anak yang paling kuat.
Yang paling ulet." "Tapi - kenapa?" tanyaku.
Keong-keong masih terus bermunculan dari kulit makhluk itu, dan
berjatuhan ke lantai. Embusan berbau busuk menyelubungi kami
ketika King Jellyjam kembali bersendawa.
"Kenapa kalian semua sibuk membersihkan dia?" aku bertanya pada Dierdre.
"Dia - dia harus dimandikan terus-menerus," jawab Dierdre sambil berusaha menahan
tangis. "Dia harus basah terus. Dan dia tidak tahan baunya sendiri. Jadi dia
membawa anak-anak yang paling kuat ke
bawah sini. Dan kami dipaksa membersihkannya siang dan malam."
"Tapi, Dierdre - " aku berusaha menyela.
"Kalau kami berhenti bekerja," ia melanjutkan, "kalau kami nekat mencoba
beristirahat, kami - kami bakal dimakan!" Seluruh tubuhnya bergetar hebat. "Dia -
dia sudah makan tiga anak hari ini!"
"Ya ampun!" aku berseru karena ngeri.
"Dia begitu menjijikkan," Dierdre meratap. "Dari badannya terus keluar keong...
dan baunya, minta ampun."
Ia meraih lenganku. Tangannya basah dan dingin.
"Para pembina dihipnotis," bisiknya. "Mereka sepenuhnya di bawah kendali King
Jellyjam." "A-aku tahu," kataku.
"Pergi dari sini! Cepat!" Dierdre mendesak sambil meremas tanganku.
"Cari bantuan, Wendy. Tolonglah kami - "
Bunyi gemuruh membuat kami tersentak kaget. "Oh, aduh!" Dierdre memekik. "Dia
melihat kita! Sekarang sudah terlambat!"
SUARA monster itu kembali menggelegar.
Dierdre mengendurkan genggamannya. Sambil gemetaran karena
ngeri, kami berdua berpaling ke arah King Jellyjam.
Ternyata ia meraung sekadar untuk membuat semua orang ketakutan.
Matanya yang kuning dan berair terpejam rapat. Ia belum melihat
Dierdre dan aku. "Cari bantuan!" Dierdre berbisik padaku. Kemudian ia mengangkat sponsnya dan
berlari ke sisi King Jellyjam.
Sejenak aku berdiri seperti patung. Aku sampai tidak bisa bergerak
saking ngerinya. Raungan monster itu membuatku lari terbirit-birit menyusuri
terowongan. Paling tidak, sekarang aku sudah tahu kenapa tanah di
camp begitu sering terguncang-guncang!
Bau memuakkan dari ruang bawah tanah itu terus mengikutiku ketika
aku menaiki tangga batu yang berputar-putar. Aku takut bau itu akan terus
melekat pada diriku. Jangan-jangan aku takkan pernah bisa
bernapas bebas lagi. Bagaimana aku bisa menolong anak-anak itu" tanyaku dalam hati.
Apa yang bisa kulakukan"
Aku terlalu takut untuk berpikir dengan tenang.
Ketika aku berlari menerobos kegelapan, aku membayangkan King
Jellyjam berkecap-kecap dengan bibirnya yang ungu. Aku
membayangkan bagaimana ia memutar-mutar matanya yang kuning.
Sementara keong-keong hitam terus bermunculan dari kulitnya.
Perutku terasa mual ketika aku sampai di puncak tangga. Tapi aku
tahu aku tidak punya waktu untuk memikirkan diriku. Anak-anak
yang dipaksa menjadi budak monster itu harus kuselamatkan. Begitu
juga anak-anak lain di camp - sebelum mereka pun ikut jadi korban.
Aku menyembulkan kepala lewat pintu lemari. Keempat obor di
bagian depan ruang pertemuan masih menyala. Tapi ruangannya
sudah kosong. Ke mana para pembina itu" Apakah mereka sedang mencari-cari aku
di luar" Kemungkinan besar sih begitu.
Apa yang harus kulakukan sekarang" aku bertanya dalam hati. Aku
tidak mungkin bermalam di dalam lemari ini. Aku harus menghirup
udara segar. Aku harus mencari tempat di mana aku bisa berpikir
dengan tenang. Dengan hati-hati aku meninggalkan igloo itu. Melangkah ke malam
yang tak berbintang. Sambil bersembunyi di balik pohon besar, aku
mengamati keadaan sekeliling.
Berkas-berkas sinar berwarna putih berkerlap-kerlip di balik
pepohonan. Cahaya senter.
Ya, pikirku. Para pembina sedang mencariku.
Aku mundur, menjauhi berkas-berkas sinar yang saling bersilangan.
Sambil berusaha untuk tidak bersuara, aku menyelinap di antara
pohon-pohon dan ilalang, menuju ke jalan setapak yang akan
membawaku ke gedung utama.
Barangkali aku bisa kembali ke asrama dan memperingatkan semua
anak. Tapi apakah mereka akan percaya" Dan bagaimana kalau ada
pembina yang berjaga-jaga di situ" Bagaimana kalau mereka sengaja
menunggu aku muncul"
Aku mendengar suara-suara di jalan setapak. Cepat-cepat aku
bersembunyi di balik pohon dan membiarkan dua pembina lewat.
Cahaya senter di tangan mereka menyapu seluruh lereng bukit.
Begitu mereka tidak kelihatan, aku keluar dari persembunyianku. Aku berlari
menuruni bukit. Sambil berlindung di kegelapan bayang-bayang, aku bergegas
melewati kolam renang. Melewati deretan
lapangan tenis. Semuanya gelap dan sunyi.
Semak-semak tinggi di sisi lapangan atletik akan melindungiku dari
segala arah, pikirku. Cepat-cepat aku menyelinap. Napasku terengah-
engah. Aku segera berlutut dan merangkak ke tempat
persembunyianku yang baru.
Aku menduduki lapisan daun cemara di bawah semak-semak. Dan
memandang berkeliling. Tak ada apa-apa selain kegelapan yang pekat.
Aku menarik napas panjang. Satu kali. Dua kali. Udaranya begitu
segar. Aku harus berpikir, aku berkata dalam hati. Harus berpikir...
Aku terbangun karena suara-suara yang berseru-seru.
Rupanya aku sempat ketiduran. Wah, di mana aku"
Aku berkedip beberapa kali. Lalu duduk tegak sambil meregangkan
otot-otot. Seluruh tubuhku terasa kaku. Punggungku pegal sekali.
Aku memandang berkeliling. Ternyata aku masih di tempat


Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persembunyianku di tengah semak-semak. Hari sudah terang, tapi
langit masih mendung dan kelabu. Matahari masih berusaha
menembus lapisan awan dengan sinarnya.
Dan suara-suara yang kudengar"
Siapa itu yang bersorak-sorai"
Aku berdiri dan mengintip dari balik semak-semak.
Pertandingan atletik! Pertandingannya baru saja dimulai. Aku melihat enam anak
cowok dengan celana pendek dan t-shirt, berlari sekuat
tenaga mengelilingi lapangan. Segerombolan anak dan pembina
berseru-seru menyemangati mereka.
Dan siapa yang berada paling depan"
Elliot! "Aduh!" seruku. Suaraku masih parau karena aku baru bangun.
Aku keluar dari semak-semak. Melintasi rumput, menuju lapangan.
Aku tahu aku harus menghentikan Elliot. Ia tidak boleh memenangkan
pertandingan ini. Jangan sampai ia mendapatkan kepingnya yang
keenam. Kalau ia sampai menang, maka ia juga bakal dijadikan
budak! Elliot berlari dengan kencang. Ia berada jauh di depan kelima pelari lainnya.
Apa yang harus kulakukan" Apa"
Tiba-tiba aku teringat isyaratku.
Suitanku dengan dua jari. Isyaratku agar Elliot jangan terlalu
menggebu-gebu. Ia akan mendengarnya dan mengurangi kecepatan, kataku dalam hati.
Kutempelkan dua jari ke bibir.
Kemudian aku meniup keras-keras.
Tapi tak ada suara apa pun. Mulutku terlalu kering.
Jantungku berdegup-degup. Aku mencoba sekali lagi.
Tetap saja tidak berhasil.
Elliot memasuki putaran terakhir. Aku tidak bisa berbuat apa-apa
untuk mencegah kemenangannya.
AKU tidak bisa berbuat apa-apa - kecuali kalau aku bisa
menduluinya. Sambil memekik keras aku menerjang maju dan mulai berlari ke
lintasan. Langkahku berdebam-debam di rumput. Pandanganku melekat pada
Elliot dan garis finis. Tambah kencang. Lebih kencang lagi.
Kalau saja aku bisa terbang.
Sorak-sorai para penonton terdengar membahana ketika Elliot
mendekati garis finis. Kelima pelari lain tertinggal jauh di
belakangnya. Aku telah sampai di lintasan yang berlapis aspal. Dadaku serasa mau pecah.
Setiap tarikan napas membuatku seperti ditusuk-tusuk.
Napasku tersengal-sengal.
Lebih kencang. Lebih kencang.
Aku mendengar orang-orang berseru kaget ketika aku melesat di
lintasan. Aku mendekati Elliot, mengangkat kedua tangan - dan
menyergapnya dari belakang.
Kami sama-sama jatuh, berguling-guling di lintasan yang keras, lalu di rumput.
Para pelari yang lain melewati kami dan terus menuju ke
garis finis. "Wendy, apa-apaan sih kau!?" Elliot membentakku sambil berdiri.
"A-aku tidak bisa menjelaskannya sekarang!" balasku. Aku megap-megap dan
berusaha menenangkan diri agar dadaku tidak terlalu nyeri.
Aku bangkit dan menggamit lengan Elliot. Dengan kesal ia menarik
tangannya. "Kenapa kau menjegalku, Wendy" Kenapa?"
Aku melihat tiga pembina bergegas menghampiri kami.
"Cepat - !" kataku. Serta-merta kuseret Elliot. "Pokoknya cepat!"
Aku seolah melihat rasa ngeri terpancar dari matanya. Sepertinya ia menyadari
bahwa ia kusergap karena memang tidak ada jalan lain.
Kelihatannya ia sadar aku tidak main-main.
Elliot berhenti memprotes dan mulai berlari.
Ia mengikutiku menaiki bukit di samping gedung utama. Memasuki
hutan. "Mau ke mana kita?" tanyanya terengah-engah. "Ada apa sebenarnya?"
"Sebentar lagi kau bakal lihat sendiri!" jawabku. "Bersiap-siaplah menyambut bau
busuk!" "Hah" Wendy - kau sudah gila, ya?"
Aku tidak menyahut. Aku terus saja berlari. Aku mengajaknya ke
tengah hutan. Ke bangunan yang menyerupai igloo.
Ketika kami sampai di pintu masuk yang rendah, aku menoleh untuk
melihat apakah ada yang mengikuti kami. Tak seorang pun kelihatan.
Elliot mengikutiku ke ruang pertemuan. Obor-obor telah padam.
Suasana gelap gulita. Sambil meraba-raba aku menyusuri dinding belakang sampai ke pintu
lemari. Kemudian aku membukanya dan mulai menuruni tangga.
Di tengah jalan kami sudah disambut bau yang membuat perut serasa
diaduk-aduk. Elliot berseru tertahan dan langsung menutup mulut dan hidungnya.
"Huh, baunya minta ampun!" Seruan itu teredam di balik kedua tangannya.
"Ini belum seberapa," ujarku. "Jangan pedulikan baunya."
Kami berlari berdampingan menyusuri terowongan yang panjang.
Sebenarnya Elliot ingin kuperingatkan dulu. Aku ingin
memberitahukan apa yang bakal dilihatnya.
Tapi aku harus menyelamatkan Dierdre Alicia, dan yang lain.
Tanpa menghiraukan bau yang menusuk hidung aku menyerbu ke
ruangan yang terang-benderang di ujung terowongan. Air dari selusin selang
menyiram badan monster berwarna ungu itu. Belasan anak dari
segala umur sibuk menggosok sementara monster itu mengerang-
erang. Aku melihat Elliot membelalakkan mata. Tapi aku tidak punya waktu
untuk memikirkannya. "Tiarap!" teriakku sekencang mungkin, sambil menempelkan
tangan di sekeliling mulut. "SEMUANYA - TIARAP!
CEPAT!" Aku sudah punya rencana. Masalahnya - apakah rencanaku akan berhasil"
MONSTER itu tampak kaget. Ia membelalakkan matanya yang
kuning dan berair. Mulutnya yang berbibir tebal pun menganga. Di
dalamnya aku melihat dua lidah berwarna pink bergerak maju-
mundur. Beberapa anak langsung melepaskan selang dan tongkat pel yang
mereka pegang dan menjatuhkan diri ke lantai. Tapi ada juga yang
berbalik dan memandang ke arahku.
"Jangan mandikan dia lagi!" aku berseru. "Letakkan selang dan sikat kalian!
Berhenti bekerja! Dan cepat tiarap!"
Elliot terbatuk-batuk di sampingku. Aku melirik dan melihat ia sedang berusaha
untuk tidak muntah. King Jellyjam meraung keras ketika anak-anak yang lain mengikuti
perintahku. Lendir kental berwarna putih menetes-netes dari
hidungnya. Kedua lidahnya menjulur-julur di antara bibirnya yang
ungu. "Tiarap!" aku berteriak kepada anak-anak. "Diam di lantai!"
Dan kemudian aku melihat monster itu mengangkat tangan ungunya
yang gemuk. Ia membungkuk sambil mengerang keras. Kulit
tubuhnya yang berlendir pecah dan retak ketika ia mengulurkan
tangan. Ia hendak meraih Alicia! "Tolong! Aku mau dimakan!" Alicia menjerit. Ia hendak berdiri.
"Jangan!" teriakku. "Jangan berdiri! Tetap tiarap!" Sambil memekik ketakutan,
Alicia kembali merebahkan diri ke lantai.
Tangan King Jellyjam berayun ke bawah. Menggapai-gapai di atas
tubuh Alicia. Ia berusaha mengangkat gadis cilik itu. Berkali-kali.
Tapi ternyata dugaanku tepat! Jari-jemari monster itu terlalu gemuk, terlalu
kaku untuk mengangkat orang yang tergeletak di lantai.
King Jellyjam mendongakkan kepala dan meraung-raung dengan
kesal. Bau memuakkan di sekelilingku semakin keras. Aku segera menutup
hidung dengan sebelah tangan. Keong-keong hitam terus bermunculan
dari kulitnya. Menggelinding di tubuhnya yang berlendir. Berjatuhan ke lantai.
Monster itu melambai-lambaikan tangan. Sekali lagi ia membungkuk,
berusaha meraih anak-anak yang lain.
Tapi mereka merapatkan diri ke lantai, sehingga King Jellyjam tidak berhasil
mengangkat mereka. King Jellyjam kembali meraung. Kali
ini suaranya sudah lebih lemah. Bola matanya berputar-putar tak
terkendali di kepalanya yang besar.
Bau yang menyebar membuat mataku serasa terbakar.Bau itu
menyelubungiku dari segala arah.
King Jellyjam mencoba meraih selang. Tapi gagal. Ia memasukkan
tangan ke dalam air, berusaha membasuh badannya.
Aku berdiri sambil gemetaran. Segala gerak-geriknya kuperhatikan
tanpa berkedip. Rencanaku berhasil. Sejak awal aku sudah yakin ini akan berhasil.
Bau yang menyelubungiku bertambah keras lagi. Bau itu seolah-olah
menempel di kulitku. Aku bahkan bisa mengecapnya dengan lidah.
King Jellyjam melambai-lambaikan kedua tangannya. Kalang kabut ia
berusaha memandikan dirinya sendiri.
Raungannya berubah menjadi erangan. Tubuhnya mulai gemetar.
Aku menahan napas ketika dia menatapku sambil memicingkan mata.
Ia menudingku dengan jarinya yang bengkak!
Ia mencondongkan badan ke depan.
Mengulurkan tangannya yang besar.
Aku tidak sanggup bergerak karena terlalu ngeri. Aku merinding.
Tangannya menggenggam tubuhku. Dan sebelum aku sempat
memberontak, ia sudah mencengkeramku dengan jari-jemarinya yang
berlendir dan bau. "OHHH." Aku mengerang ketakutan.
Jari-jemari yang bengkak dan basah itu mencengkeramku dengan erat.
Bau busuk menyerang dari segala arah.
Aku menahan napas. Tapi bau itu ada di mana-mana.
Cengkeraman monster itu bertambah keras.
Aku mulai terangkat dari lantai. Terangkat ke mulut yang menganga
lebar. Kedua lidahnya tampak bergerak maju-mundur.
Sekonyong-konyong kedua lidah dibalik bibir berwarna yang ungu itu
terkulai lemas. Cengkeraman jari-jemari pun mengendur.
Aku membebaskan diri ketika King Jellyjam mengerang dan terguling
ke depan. Anak-anak di dekatnya cepat-cepat menghindar. King
Jellyjam jatuh berdebam. Mahkota emasnya terpental. Lendir dari tubuh King Jellyjam
bercipratan ke segala arah ketika monster itu ambruk.
"Yes!" aku berseru dengan gembira. Aku masih gemetaran, masih berusaha melupakan
cengkeraman jari-jemarinya yang berlendir.
"Yes!" Rencanaku berjalan dengan sempurna.
Anak-anak berhenti memandikannya - dan King Jellyjam tumbang
karena baunya sendiri! "Ka-kau tidak apa-apa?" Elliot bertanya dengan suara bergetar.
"Aku baik-baik saja," sahutku.
Elliot masih menjepit hidung. "Mulai sekarang aku takkan mengeluh lagi mengenai
bau pupuk yang dipakai Daddy di kebun!" katanya.
Anak-anak yang lain berdiri sambil bersorak-sorai.
"Terima kasih!" seru Alicia. Ia memelukku erat-erat. Yang lain pun bergegas
mengucapkan terima kasih.
Aku terus dipeluk ketika kami keluar dari ruang pertemuan dan
memasuki hutan. Tak sedikit anak yang menitikkan air mata.
"Kita berhasil lolos!" aku berseru kepada Elliot. Tapi mendadak kami berhenti
ketika melihat para pembina di tepi hutan.
Mereka berdiri di hadapan kami. Jumlahnya banyak sekali, dan
semuanya berdiri berdampingan dengan seragam mereka yang serba
putih. Mereka telah membentuk barisan di sepanjang jalan setapak.
Melihat roman muka mereka yang kencang, aku langsung tahu
kedatangan mereka bukan untuk menyambut kami.
Buddy melangkah maju ketika aku menatap mereka satu per satu. Ia
memberi isyarat kepada rekan-rekannya. "Jangan biarkan mereka
lolos!" serunya. PARA pembina maju serempak. Tampang mereka tetap keras dan
menakutkan. Lengan mereka tidak berayun mengiringi langkah
mereka. Mereka bergerak dengan kaku. Seperti robot. Seakan-akan tidak sadar.
Mereka maju dua langkah lagi.
Lalu bunyi peluit yang melengking memecahkan keheningan.
"Berhenti! Tak ada yang bergerak!" suara seorang pria menggelegar.
Sekali lagi terdengar bunyi peluit.
Aku menoleh dan melihat sejumlah polisi berseragam biru berlari
menaiki bukit. Para pembina menggeleng-gelengkan kepala, berkedip-kedip, dan
berseru-seru dengan bingung. Mereka tidak berusaha melarikan diri.
"Di mana kita?" aku mendengar Holly bergumam.
"Apa yang terjadi?" pembina lainnya bertanya.
Mereka semua kelihatan linglung dan bingung. Rupanya bunyi peluit
polisi telah membuyarkan pengaruh hipnotis yang semula menguasai
mereka. Semua anak bersorak-sorai dengan gembira ketika semakin banyak
polisi menyerbu ke bukit.
"Dari mana Anda tahu bahwa kami perlu bantuan?" seruku.
"Sebenarnya kami tidak tahu," salah satu petugas menyahut. "Tapi di kota tiba-
tiba tercium bau yang busuk sekali. Kami ingin tahu apa
penyebabnya. Jadi kami melacaknya ke sini!"
Aku ketawa. Bau yang membunuh monster itu ternyata sekaligus
menyelamatkan kami. "Tadinya kami tidak tahu bahwa ada masalah di camp ini," ujar seorang petugas.
"Kami akan segera menghubungi orangtua kalian."
Elliot dan aku berjalan menuruni bukit. Kami sudah tak sabar ingin
ketemu Mom dan Dad! Para pembina saling berbisik dan memandang berkeliling sambil
mereka-reka apa yang telah terjadi.
Aku berpaling pada Buddy ketika Elliot dan aku melewatinya.
"Bagaimana rasanya sekarang?" tanyaku.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. Sepertinya ia tak sanggup
memfokuskan pandangan. "Hanya Yang Terbaik," ia bergumam.
"Hanya Yang Terbaik."
Elliot dan aku bersyukur ketika kami sampai di rumah.
"Kenapa Mom dan Dad tidak segera menemukan kami?" tanya
adikku. Mereka menggelengkan kepala. "Polisi sudah mencari kalian ke
mana-mana," jawab Daddy. "Sudah berkali-kali mereka menelepon ke camp itu. Tapi
pembina yang menerima telepon memberitahu mereka
bahwa kalian tidak di situ."
"Mom dan Dad kuatir sekali," ujar Mom sambil menggigit bibir.
"Ketika kami menemukan karavan dalam keadaan kosong, kami tidak tahu harus
bagaimana." "Hmm, yang penting Elliot dan aku sudah selamat sampai di rumah,"
sahutku sambil nyengir. "Barangkali musim panas tahun depan kalian mau berlibur di camp sungguhan," Dad
menawarkan. "Ehm... trims deh!" Elliot dan aku berkata berbarengan.
Dua minggu setelah itu kami mendapat kunjungan tamu tak terduga.
Ketika bel berdering, aku membuka pintu. Ternyata Buddy yang
berdiri di teras depan. Rambutnya yang pirang tersisir rapi. Ia
memakai celana katun, kemeja lengan pendek bergaris biru-putih, dan dasi biru
tua.

Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku menyesal atas kejadian di camp," ujar Buddy.
Karena kaget, aku sampai tidak bisa berkata apa-apa. Aku cuma
memegang pegangan pintu dan menatapnya sambil terbengong-
bengong. "Elliot ada di rumah?" tanya Buddy.
"Hai." Elliot muncul di sampingku. "Buddy! Ada apa?"
"Aku membawakan ini untukmu," jawab Buddy. Ia merogoh saku dan mengeluarkan
keping emas. "Ini King Coin," katanya kepada adikku. "Kau memenangkannya ketika kau ikut
perlombaan lari." Elliot hendak meraih keping itu. Tapi tiba-tiba ia terdiam. Tangannya tetap
terangkat lurus ke depan.
Aku tahu apa yang dipikirkan adikku. Ini adalah King Coin-nya yang
keenam. Haruskah ia menerimanya"
Akhirnya keping itu diambil juga. "Thanks, Buddy," ujarnya.
Buddy berpamitan dan melambaikan tangan. Elliot dan aku
memperhatikannya pergi naik mobil. Lalu kami menutup pintu.
"Kau yakin tidak terjadi apa-apa karena kau menerima keping ini?"
tanyaku kepada Elliot. "Memangnya kenapa?" sahutnya. "Monster ungu itu sudah mati, kan"
Jadi apa yang perlu ditakuti?"
Lima menit kemudian kami sama-sama mencium bau yang tak sedap.
"Oh!" Elliot mengerang. Ia langsung menelan ludah. "Wendy, b-bau apa itu?"
tanyanya tergagap-gagap. "A-aku tidak tahu," jawabku dengan suara gemetaran.
Lalu aku mendengar Mom ketawa di belakang kami. Elliot dan aku
berbalik dan melihat Mom berdiri di ambang pintu dapur. "Ada apa?"
tanyanya. "Mom cuma sedang memasak brussels sprouts 1!" END
1 Sebangsa kubis yang menimbulkan bau khas
Petualangan Manusia Harimau 3 Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal Dendam Iblis Seribu Wajah 16
^