Pencarian

Jam Antik Pembawa Bencana 2

Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana Bagian 2


Perputaran waktu jadi kacau-balau. Dan aku tidak bisa
menghentikannya. Aku mulai gemetaran. Ini benar-benar menakutkan.
Kapan ini semua akan berakhir" Aku tidak tahu. Aku cuma tahu
bahwa semakin lama aku semakin ngeri.
Malam itu aku tidak berselera makan. Tentu saja makanan yang
dihidangkan sudah pernah kumakan, dan waktu itu pun aku sudah
tidak suka. Kacang polong, wortel, dan jamur dengan nasi.
Nasi dan wortelnya kujumput-jumput. Kacang polongnya tidak
kusentuh. Dan ketika Mom dan Dad menoleh ke arah lain, semua
kacang polong itu kuselipkan ke lipatan serbet.
Kuperhatikan Mom, Dad, dan Tara. Mereka makan seolah-olah tidak
ada apa-apa. Dengan tenang mereka duduk mengelilingi meja, dan
mengucapkan hal-hal yang sudah mereka ucapkan waktu pertama kali.
Mom dan Dad pasti sadar bahwa ada yang tidak beres, pikirku. Pasti.
Tapi kenapa mereka diam saja"
Aku menunggu sampai Dad selesai bercerita mengenai kesibukannya
di kantor tadi. Kemudian aku kembali menyinggung persoalanku. Aku
sengaja mulai pelan-pelan.
"Mom" Dad" Rasanya kita sudah pernah makan seperti ini, bukan?"
"Ya," balas Dad. "Makan malam ini mengingatkanku pada makan siang di restoran
vegetarian bulan lalu. Ih."
Mom langsung melotot. "Sebenarnya apa yang mau kauceritakan,
Michael?" tanyanya dengan ketus. "Kau sudah bosan makan makanan yang sehat?"
"Aku sudah bosan," ujar Dad.
"Aku juga," Tara menimpali.
"Bukan, bukan itu," kataku. "Maksudku, kita sudah pernah makan makanan ini.
Hidangan yang sama. Ini sudah kedua kalinya."
Dad mengerutkan kening. "Teori-teori aneh jangan dibawa ke meja makan, Michael."
Mereka tetap tidak mengerti. Aku maju terus. "Bukan cuma makan malam ini.
Seluruh hari ini. Masa tidak ada yang sadar" Semuanya
kita ulangi persis seperti waktu pertama kali! Waktu berjalan
mundur!" "Diam kau, Michael," kata Tara. "Aku malas dengar cerita yang aneh-aneh."
"Tara," tegur Mom. "Kau tidak boleh kasar begitu." Dia berpaling padaku. "Kau
habis baca buku komik lagi, ya?"
Aku mulai putus asa. "Kenapa sih tidak ada yang mau mendengarkan aku?" seruku.
"Besok bakal jadi kemarin. Dan besok lusa bakal jadi kemarin dulu. Semuanya
terbalik!" Mom dan Dad bertukar pandang. Sepertinya mereka mengetahui
sesuatu yang tidak kuketahui.
Ah, ada sesuatu yang mereka rahasiakan, pikirku. Semangatku mulai
bangkit lagi. Mereka mengetahui sesuatu, tapi mereka takut
menceritakannya padaku. Mom menatapku dengan serius. "Baiklah, Michael. Kau memang
berhak diberitahu," katanya. "Kita semua terperangkap dalam lipatan waktu, dan
tak ada yang bisa kita lakukan."
MOM menggeser kursinya ke belakang. Dia berjalan mundur ke
kompor. Kemudian mulai memindahkan nasi dari piringnya ke panci
di atas kompor. "Gnayas, isan habmat uam?" dia bertanya pada Dad.
Hah" "Hisak amiret, ay," jawab Dad.
"Aguj uka," ujar Tara. Dia meludahkan beberapa butir nasi ke sendoknya dan
mengembalikannya ke piring. Dia makan terbalik!
Dad berdiri dan menghampiri Mom sambil berjalan mundur. Lalu
giliran Tara menuju ke kompor, juga sambil mundur.
Mereka bicara dan bergerak terbalik. Kami benar-benar terperangkap
dalam lipatan waktu! "Hei!" seruku. "Ternyata benar!"
Lho, kenapa ucapanku tidak terbalik"
"Ugnud," kata Tara.
Dia yang pertama tertawa. Lalu Dad. Lalu Mom. Akhirnya aku sadar.
Mereka cuma bercanda. "Ka?kalian keterlaluan!" teriakku.
Tawa mereka semakin keras.
"Aduh, kau telmi benar sih," Tara mencemooh.
Mereka kembali duduk di meja makan. Mom masih belum sanggup
menahan senyum. "Maaf, Michael. Kami tidak bermaksud mengolok-
olokmu." "Ah, aku sih memang sengaja!" Tara menimpali.
Aku menatap mereka dengan mata terbelalak.
Peristiwa ini adalah peristiwa paling menakutkan yang pernah terjadi padaku.
Tapi orangtuaku malah menganggapnya sebagai lelucon.
Kemudian Dad berkata, "Michael, kau pernah mendengar istilah deja vu?"
Aku menggeleng. "Itu artinya kau mengalami sesuatu, dan kau merasa bahwa kau sudah pernah
mengalaminya," dia menjelaskan. "Sesekali semua orang merasa begitu. Kau tidak
perlu takut." "Barangkali ada sesuatu yang membuatmu gelisah," Mom
menambahkan. "Misalnya ulang tahunmu yang tinggal beberapa hari lagi. Kau pasti
agak gelisah karena kau akan berumur dua belas,
bukan" Belum lagi soal pesta dan sebagainya."
"Tidak juga," protesku. "Aku tahu perasaan itu. Tapi ini lain! Ini - "
"Michael," Dad memotong. "Tunggu saja sampai kau lihat hadiah yang kami belikan
untukmu. Kau pasti akan melompat-lompat
kegirangan. Tapi untuk sementara ini masih rahasia."
Kata siapa" aku bertanya dalam hati.
Apanya yang rahasia" Sudah dua kali aku menerima kado ulang tahun
dari kalian. Berapa kali lagi harus kuterima sepeda itu"
"Mom, kacang polong Michael ditaruh di serbet lagi," kata Tara.
Langsung saja kuremas serbetku dan kulemparkan ke mukanya.
* * * Keesokan paginya aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Tapi aku
tidak tahu hari apa sekarang. Aku benar-benar kacau dalam hal waktu.
Pelajaran-pelajaranku, makan siangku, cerita-cerita teman-temanku,
semuanya terasa normal. Tak ada kejadian yang tidak lazim. Segala
sesuatu berjalan seperti pada hari sekolah lainnya.
Seperti biasa, seusai pelajaran aku bermain basket. Tapi sambil
bermain, aku mulai diliputi perasaan tidak enak.
Sangat tidak enak. Pertandingan basket ini sudah pernah kulakukan, aku menyadari. Dan
aku ingat bahwa akhirnya tidak menyenangkan.
Tapi aku terus bermain sambil menunggu apa yang akan terjadi.
Tim-ku menang. Kami mengambil barang masing-masing.
Lalu Kevin Flowers berteriak, "Topi Blue Devilsku hilang!"
Oh, yeah, aku ingat lagi.
Ternyata pertandingan yang itu. Bagaimana mungkin aku sampai
lupa" Tara telah beraksi kembali!
"Pokoknya, tak ada yang boleh pergi sebelum kutemukan topiku!"
Aku memejamkan mata dan menyerahkan ranselku.
Aku sudah tahu apa yang menantiku. Jadi untuk apa harus diulur-ulur"
Dihajar oleh Kevin Flowers benar-benar tidak menyenangkan. Tapi
paling tidak, rasa sakitnya tidak bertahan lama.
Ketika aku terbangun keesokan paginya, aku sudah segar bugar lagi.
Rasa sakitnya, memar-memarnya, semuanya sudah lenyap.
Hari apa ini" aku bertanya-tanya. Mestinya beberapa hari sebelum aku dihajar
Kevin. Moga-moga aku tidak perlu mengalaminya untuk ketiga kali.
Tapi apa yang bakal terjadi hari ini"
Sepanjang jalan ke sekolah aku sibuk mencari-cari petunjuk. Aku
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sehari atau dua hari
sebelum aku dihajar Kevin.
Tes matematika" Mungkin. Mudah-mudahan tidak. Tapi paling tidak
kali ini bakal lebih mudah. Siapa tahu aku masih ingat soal-soal yang akan
keluar, dan masih sempat mencari semua jawaban sebelum tes-nya dimulai!
Aku agak terlambat. Apakah ada pengaruhnya" aku bertanya-tanya.
Apakah aku bakal dimarahi"
Wali kelasku, Ms. Jacobson, telah menutup pintu ruang kelas. Aku
membukanya. Ruang kelas ternyata sudah penuh.
Ms. Jacobson tidak menoleh waktu aku masuk. Rupanya aku cuma
telat sedikit, pikirku. Jadi tidak ada masalah.
Aku menuju ke bagian belakang, tempat aku biasa duduk. Ketika aku
melewati meja demi meja, aku memperhatikan anak-anak yang lain.
Hei, siapa itu" aku bertanya dalam hati sambil menatap anak gendut
berambut pirang yang belum pernah kulihat.
Kemudian pandanganku beralih kepada cewek cantik dengan rambut
dikepang dan tiga anting di satu telinga. Dia pun belum pernah
kulihat. Aku memandang berkeliling. Tak ada satu anak pun yang kukenal.
Wah, ada apa ini" aku bertanya-tanya. Tenggorokanku mulai tercekik
perasaan panik. Tidak ada yang kukenal! Jangan-jangan aku salah masuk"
Ms. JACOBSON akhirnya menoleh. Dia menatapku sambil
terbengong-bengong. "Hei," seru anak berambut pirang tadi. "Ada anak kelas tiga kesasar!"
Semuanya ketawa. Aku tidak mengerti kenapa. Anak kelas tiga" Siapa
yang dia maksud" Aku tidak melihat anak kelas tiga.
"Kau salah masuk ruang kelas, anak muda," ujar Ms. Jacobson. Dia membukakan
pintu dan mempersilakan aku keluar.
"Kalau tidak salah, ruang kelasmu ada di bawah, di lantai dua," dia menambahkan.
"Trims," kataku. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang
dimaksudnya. Tapi aku menurut saja.
Setelah aku keluar, dia segera menutup pintu. Aku masih sempat
mendengar murid-muridnya terbahak-bahak. Aku langsung pergi ke
WC cowok. Barangkali ada baiknya kalau mukaku dibasuh air dingin
dulu. Siapa tahu itu bisa membantu.
Cepat-cepat kubuka keran air dingin. Kemudian aku melirik ke
cermin, sepintas lalu saja.
Cerminnya agak lebih tinggi dari biasanya, aku berkata dalam hati.
Kubasuh tanganku dan wajahku dengan air dingin.
Hmm, tempat cuci tangannya juga lebih tinggi, aku menyadari. Aneh.
Jangan-jangan aku salah masuk sekolah.
Sekali lagi aku menoleh ke cermin - dan langsung seperti tersambar
petir. Betulkah itu aku" Aku kelihatan begitu kecil.
Dengan sebelah tangan kuusap rambutku yang dipotong pendek,
seperti sikat. Rambutku dipotong begitu waktu aku masih duduk di
kelas tiga. Ya ampun, pikirku sambil geleng-geleng. Aku jadi anak kelas tiga
lagi! Rambutku seperti waktu aku masih kelas tiga. Pakaianku seperti
waktu aku masih kelas tiga. Badanku juga seperti waktu aku masih
kelas tiga. Tapi otakku tetap seperti anak kelas tujuh. Hmm, mudah-mudahan.
Kelas tiga. Berarti aku mundur empat tahun - dalam satu malam.
Seluruh tubuhku mulai gemetaran. Aku terpaksa berpegangan pada
pinggiran tempat cuci tangan untuk menjaga keseimbangan.
Tiba-tiba aku tercekam perasaan panik.
Segala sesuatu terjadi semakin cepat. Aku baru saja kehilangan
beberapa tahun dalam waktu semalam saja! Berapa umurku kalau aku
bangun besok pagi" aku bertanya dalam hati.
Waktu mundur semakin cepat - dan aku belum juga menemukan cara
untuk menghentikannya! Kumatikan aliran air dan kukeringkan wajahku dengan sepotong tisu.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku begitu ketakutan, sehingga aku tidak bisa
berkonsentrasi dan berpikir.
Pelan-pelan aku menuju ke kelasku.
Pertama-tama aku mengintip lewat jendela ruang kelasku. Ah, itu dia, Mrs.
Harris, wali kelasku waktu aku masih di kelas tiga. Rambutnya
yang berwarna keperakan takkan pernah kulupakan
Dan begitu aku melihat dia, aku langsung yakin bahwa waktu benar-
benar telah mundur empat tahun.
Sebab seharusnya Mrs. Harris tidak ada di sekolah. Dia sudah pensiun dua tahun
yang lalu. Waktu aku duduk di kelas lima.
Aku membuka pintu dan memasuki ruang kelas.
Mrs. Harris cuma menoleh sebentar. "Duduklah, Michael," katanya dengan tenang.
Dia tidak pernah bilang apa-apa kalau aku terlambat.
Aku memang salah satu murid kesayangannya.
Aku mengamati anak-anak lain di sekelilingku. Ada Henry, Josh,
Ceecee, dan Mona, dan semuanya sudah kembali menjadi murid kelas
tiga. Rambut Mona yang berkilau dikepang dua. Rambut Ceecee dikucir di
samping. Kening Josh tidak berjerawat, dan di punggung tangan Henry ada
stiker - Donatello, dari the Teenage Mutant Ninja Turtles.
Ya, ini memang kelasku. Aku mengambil tempat di meja kosong di bagian belakang. Mejaku
yang lama. Di samping Henry.
Aku melirik ke arahnya. Dia sedang mengupil.
Idih. Tadinya aku sudah lupa bahwa anak kelas tiga masih norak
begitu. "Michael, coba buka halaman 33 di buku mengeja," Mrs. Harris berkata padaku.
Aku meraih ke laci meja dan menemukan buku yang dimaksudnya.
Langsung saja kubuka halaman 33.
"Inilah kata-kata yang perlu kalian pelajari untuk ulangan mengeja besok," Mrs.
Harris mengumumkan. Dia menuliskan kata-kata itu di papan tulis, padahal
semuanya tercantum dalam buku pelajaran
mengeja: Taste, sense, grandmother, easy, happiness.
"Wah," Henry berbisik padaku. "Ini sih susah benar. Coba lihat berapa banyak
huruf dalam grandmother!"
Aku tidak tahu harus berkata apa. Dalam ulangan mengeja yang
terakhir (waktu aku masih di kelas tujuh), kami diminta mengeja kata psychology.
Grandmother sudah bukan tantangan berarti bagiku.
Hampir sepanjang hari aku duduk sambil melamun. Sebenarnya dari
dulu aku memang berharap sekolah lebih mudah, tapi jangan semudah
ini. Jam istirahat dan makan siang malah lebih parah lagi. Josh
mengunyah pisang lalu menjulurkan lidah padaku. Henry mencorat-
coret wajahnya dengan puding cokelat.
Akhirnya bel berbunyi, dan aku segera pulang ke rumah.
Waktu aku membuka pintu depan, aku mendengar jeritan yang
mengerikan. Bubba, yang kini Cuma anak kucing, berlari melewatiku.
Tara mengejarnya. "Jangan ganggu Bubba," aku berkata pada Tara.
"Kau bego," sahutnya.
Aku menatap Tara. Umurnya baru tiga tahun. Aku berusaha
mengingat-ingat: Apakah dia dan aku lebih kompak waktu dia masih
kecil" "Aku mau gendong!" dia berseru sambil menarik-narik ranselku.
"Hei, jangan macam-macam!"
Ranselku jatuh ke lantai. Aku membungkuk untuk memungutnya.
Tara langsung menjambakku dengan keras.
"Aduh!" aku memekik.
Dia tertawa terpingkal-pingkal.


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sakit nih!" teriakku sambil mendorongnya - persis waktu Mom muncul di ruang
depan. Dia langsung menghampiri Tara. "Michael, jangan dorong adikmu!
Dia kan masih kecil!"
Aku segera bergegas ke kamarku untuk berpikir. Ternyata dari kecil
Tara memang sudah brengsek. Dia brengsek dari lahir, dan bakal
brengsek untuk selama-lamanya, aku menyimpulkan. Sampai tua pun
dia takkan berhenti menggangguku.
Kalau kami sempat menjadi tua, aku menyadari sambil merinding.
Kalau begini terus, kami takkan pernah jadi dewasa.
Apa yang harus kulakukan" aku bertanya dalam hati. Aku sudah
mundur empat tahun ke masa lalu! Kalau aku diam saja, bisa-bisa
besok aku bakal jadi bayi lagi.
Dan kalau sudah begitu, bagaimana selanjutnya" Sekali lagi aku
merinding. Habis itu bagaimana" aku bertanya-tanya. Mungkinkah aku bakal
lenyap dari muka bumi"
Ebukulawas.blogspot.com SETIAP pagi aku terbangun dengan panik.
Ini hari apa" Ini tahun kapan"
Aku sama sekali tidak tahu.
Aku turun dari tempat tidur - rasanya agak jauh jaraknya dari lantai, dari
biasanya - lalu menyusuri selasar ke kamar mandi.
Aku menatap bayanganku di cermin. Berapa umurku sekarang" Pasti
lebih muda daripada kemarin, aku berkata dalam hati.
Aku kembali ke kamarku dan mulai berpakaian. Mom sudah
menyiapkan baju yang akan kupakai hari ini.
Aku mengamati celana jeans yang tergantung pada sandaran kursi. Di
kedua kantong belakangnya ada gambar koboi.
Oh, yeah, aku teringat. Jeans yang ini. Jeans koboi. Kelas dua.
Berarti umurku tujuh tahun sekarang.
Aku mengenakan jeans itu sambil menggerutu. Aku nyaris tidak bisa
percaya bahwa jeans konyol itu harus kupakai lagi.
Kemudian kubuka kemeja yang dipilihkan Mom untukku.
Aku langsung lemas waktu melihatnya: kemeja koboi - lengkap
dengan rumbai-rumbai dan sebagainya.
Ini memalukan sekali, pikirku. Kenapa kubiarkan Mom berbuat begini
padaku" Dalam hati aku sebenarnya sadar bahwa aku pernah menyukai pakaian
ini. Kemungkinan besar malah aku sendiri yang memilih semuanya.
Hanya saja aku tidak mau mengakui bahwa aku pernah begitu norak.
Aku turun ke lantai dasar. Tara masih memakai baju tidur, dan dia
sedang nonton film kartun di TV. Umurnya dua tahun sekarang.
Waktu dia melihatku melewati ruang duduk, dia langsung
merentangkan tangan lebar-lebar. "Sun! Sun!" serunya.
Dia minta disun olehku" Hmm, aneh.
Tapi mungkin juga waktu umur dua tahun, Tara masih manis dan
polos. Mungkin dia cukup menyenangkan waktu masih kecil.
"Sun! Sun!" dia memohon-mohon.
"Ayo, sun adikmu," Mom berseru dari dapur. "Kau kan kakaknya, Michael. Dia
mengagumimu." Aku menghela napas. "Oke."
Aku membungkuk untuk mengecup pipi Tara. Tapi dia langsung
mencolok mataku dengan telunjuknya.
"Aduh!" aku memekik.
Tara ketawa. Ternyata dari dulu dia memang sudah nakal, aku mengomel dalam
hati ketika aku menuju ke dapur sambil menutup mata dengan sebelah
tangan. Dia memang brengsek dari lahir!
Kali ini aku tidak keliru masuk ruang kelas lagi waktu aku sampai di sekolah.
Semua teman lamaku ada, Mona dan yang lain, semuanya lebih muda
dari sebelumnya. Tadinya aku sudah lupa betapa konyolnya tampang
kami waktu kami masih kecil-kecil.
Sekali lagi aku melewatkan satu hari di sekolah dengan mempelajari
hal-hal yang sudah kuketahui. Mengurangi. Membaca buku dengan
huruf-huruf besar. Berlatih menulis huruf L besar.
Paling tidak aku jadi punya banyak waktu untuk berpikir.
Setiap hari aku memikirkan apa yang harus kulakukan. Tapi aku tak
pernah mendapatkan jawaban.
Kemudian aku teringat bagaimana Dad bercerita bahwa jam antik itu
sudah lima belas tahun diincarnya.
Lima belas tahun! Itu dia! Jam itu pasti ada di toko barang antik!
Jam itu harus kutemukan, aku berkata dalam hati. Aku tak sabar
menunggu sampai bel sekolah berdering.
Kalau saja kepala burungnya bisa kuputar ke depan lagi, maka aku
yakin waktu akan maju kembali. Jarum yang menunjukkan tahun pasti
juga berjalan mundur. Jadi aku tinggal menggesernya ke tahun yang
seharusnya, dan aku akan kembali berumur dua belas.
Aku ingin segera kembali berumur dua belas. Anak tujuh tahun tidak
boleh berbuat apa-apa. Selalu saja ada yang mengawasi kita.
Seusai sekolah, aku mulai berjalan ke arah rumahku. Aku tahu petugas pengatur
lalu lintas di depan sekolah sedang mengawasiku untuk
memastikan aku selamat sampai di rumah.
Tapi setelah melewati blok kedua, aku cepat-cepat membelok dan
bergegas ke halte bus. Moga-moga saja petugas itu tidak melihatku.
Aku bersembunyi di balik pohon.
Beberapa menit kemudian sebuah bus berhenti. Pintunya membuka
diiringi bunyi mendesis. Aku langsung naik.
Si pengemudi menatapku sambil mengerutkan kening. "Rasanya kau masih terlalu
kecil untuk naik bus sendirian, bukan?" tanyanya padaku.
"Itu bukan urusan Anda," sahutku.
Dia tampak kaget, jadi aku menambahkan, "Aku mau ketemu Dad di kantornya. Mom
bilang boleh." Dia mengangguk dan menutup pintu.
Aku hendak memasukkan tiga keping uang ke kotak pembayaran, tapi
si pengemudi mencegahku setelah keping kedua.
"Hei, tunggu," katanya sambil mengembalikan keping ketiga padaku.
"Ongkosnya hanya lima puluh sen. Simpan uangmu untuk menelepon saja."
"Oh, yeah. Betul." Aku lupa. Tarif bus dinaikkan menjadi 75 sen ketika aku
berumur sebelas. Tapi sekarang umurku baru tujuh tahun.
Sambil cengar-cengir kuselipkan keping itu ke dalam kantong celana.
Bus mulai melaju ke arah pusat kota.
Aku teringat cerita Dad bahwa Anthony's Antiques and Stuff berada di seberang
jalan dari kantornya. Aku turun dari bus di blok kantor Dad.
Mudah-mudahan saja dia tidak melihatku. Aku pasti mendapat
masalah besar kalau aku sampai kepergok.
Aku tidak diizinkan naik bus seorang diri ketika umurku tujuh tahun.
Aku bergegas melewati kantor Dad, lalu menyeberang jalan. Di pojok
jalan ada gedung yang sedang dibangun. Sedikit lebih jauh aku
melihat papan hitam bertulisan huruf-huruf emas: ANTHONY'S
ANTIQUES AND STUFF. Jantungku mulai berdegup-degup.
Sudah hampir sampai, aku berkata dalam hati. Sebentar lagi semuanya akan beres.
Aku tinggal masuk ke toko dan mencari jam itu. Lalu, kalau
keadaannya sedang aman, aku akan memutar kepala burungnya dan
memajukan jarum penunjuk tahunnya.
Aku tidak perlu kuatir bahwa besok pagi aku akan terbangun sebagai
anak tiga tahun. Hidupku akan kembali normal.
Semuanya akan terasa begitu mudah, pikirku, kalau waktu bergerak
maju seperti seharusnya. Biarpun ada Tara!
Aku memandang melalui jendela toko yang berukuran besar. Ah, itu
dia. Jam antik yang kucari-cari.
Perasaanku begitu tegang, sehingga telapak tanganku mulai
berkeringat. Aku bergegas ke pintu toko dan menekan gagangnya.
Tapi pintu tidak mau bergerak. Aku mendorong lebih keras.
Pintu itu terkunci rapat.
Kemudian aku melihat sebuah pemberitahuan yang tertempel di pojok
bawah pintu. Pemberitahuan itu berbunyi, TUTUP KARENA LIBUR.
AKU langsung mengerang kecewa. "Uuuh!" seruku. Air mataku mulai berlinang.
"Aduh! Kenapa bisa begini?"
Kubenturkan kepalaku ke pintu. Aku tidak tahan lagi.
Tutup karena libur. Kenapa aku begitu sial"
Berapa lama Anthony akan berlibur" aku bertanya dalam hati. Sampai
kapan tokonya akan tutup"
Pada waktu dia buka lagi, bisa-bisa aku sudah jadi bayi!
Aku mengertakkan gigi dan berkata dalam hati, aku tidak bisa diam
saja. Tidak bisa! Aku harus melakukan sesuatu. Apa pun! Pokoknya, jangan menyerah.
Sekali lagi kutempelkan hidungku ke jendela toko. Jam antik itu
berada dua kaki di hadapanku. Tapi aku tidak bisa menyentuhnya.
Aku dan jam itu dipisahkan oleh jendela. Jendela....
Dalam keadaan normal, apa yang kuputuskan saat itu takkan terlintas dalam
benakku. Tapi aku sudah hampir putus asa. Aku harus bisa mencapai jam itu.
Masalah yang kuhadapi benar-benar masalah hidup atau mati!
Aku berjalan ke arah gedung yang sedang dibangun di pojok tadi
sambil bersikap seakan-akan tidak ada apa-apa. Jangan sampai ada
orang yang curiga bahwa aku hendak memecahkan jendela toko.
Kuselipkan tanganku ke kantong celana jeans dan bersiul-siul. Dalam hati aku
bersyukur bahwa aku mengenakan baju koboi yang kekanak-kanakan, karena aku jadi
kelihatan polos dan tak berdosa.
Takkan ada yang curiga bahwa seorang anak umur tujuh tahun
berpakaian koboi hendak memecahkan jendela toko antik.
Aku mondar-mandir di tempat bangunan sambil menendang-nendang
kerikil. Sepertinya tak ada orang yang sedang bekerja.
Perlahan-lahan aku menghampiri setumpuk batu bata. Kemudian aku
memandang berkeliling untuk melihat apakah ada yang
memperhatikan aku. Aman. Aku memungut sepotong bata dan menimang-nimangnya. Rasanya
berat sekali. Aku takkan sanggup melemparnya jauh-jauh dengan
tanganku yang mungil. Tapi aku tidak perlu melempar jauh-jauh. Aku cuma perlu
memecahkan sebuah jendela.
Aku berusaha menyelipkan bata itu ke kantong celanaku, tapi batanya terlalu
besar. Jadi terpaksa kugotong dengan kedua tanganku ketika
aku kembali ke toko. Aku mencoba bersikap seakan-akan semua anak kecil membawa batu
bata berjalan-jalan. Beberapa orang dewasa berpapasan denganku. Tak satu pun dari
mereka memperhatikanku. Aku berhenti di depan jendela toko, dan kembali menimang-nimang
batu bata yang kubawa. Hmm, jangan-jangan alarmnya akan berbunyi
kalau jendelanya kupecahkan.
Jangan-jangan aku bakal ditangkap polisi.
Mungkin tak ada pengaruhnya. Kalau saja aku bisa kembali ke waktu
yang benar, maka aku bisa lolos dari kejaran polisi.
Ayo, aku berkata dalam hati. Tunggu apa lagi" Batu bata itu kuangkat tinggi-
tinggi dengan kedua tangan...
...dan tiba-tiba ada yang menarikku dari belakang.
"TOLONG!" aku memekik. Serta-merta aku membalik. "Daddy!"
"Michael, sedang apa kau di sini?" tanya Dad. "Sendirian lagi."
Batu bata di tanganku kubiarkan jatuh ke trotoar. Sepertinya Dad tidak
menghiraukan hal itu. "A-aku mau mengejutkan Dad," aku berbohong. "Aku mau berkunjung ke kantor Dad
sehabis sekolah." Dad menatapku seakan-akan tidak mengerti. Untuk meyakinkannya,
aku cepat-cepat menambahkan, "Aku kangen sama Dad."
Dad tersenyum. "Kau kangen sama aku?" Aku tahu Dad terharu.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Dad. "Naik bus?"
Aku mengangguk. "Kau kan tahu kau tidak boleh naik bus sendirian," ujar Dad. Tapi kedengarannya
Dad tidak marah. Dari pertama aku sudah yakin bahwa
alasan yang kukemukakan bakal ampuh.
Tapi sementara itu, aku tetap menghadapi masalah besar - bagaimana
caranya mendapatkan jam antik itu.
Mungkinkah Dad bisa membantuku" Maukah dia membantuku" Aku
bersedia mencoba segala cara. "Dad," kataku, "jam itu - "
Dad merangkulku. "Indah sekali, bukan" Sudah bertahun-tahun aku mengaguminya."
"Dad, aku harus dapat jam itu," aku berkeras. "Ini penting sekali! Dad tahu
kapan toko ini buka lagi" Kita harus bisa mendapatkan jam itu."
Dad salah tangkap. Dia menepuk-nepuk kepalaku dan berkata, "Aku mengerti,
Michael. Kalau bisa, aku pun ingin membawanya pulang
sekarang juga. Tapi Dad belum punya uang. Mungkin suatu hari..."
Dia menarikku pergi. "Ayo, kita pulang saja. Kira-kira apa ya yang dimasak Mom
untuk makan malam nanti?"
Sepanjang perjalanan pulang naik mobil aku tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Segenap pikiranku tercurah pada jam itu - dan pada
apa yang bakal terjadi padaku setelah ini.
Berapa tahun umurku kalau aku terbangun esok pagi"
KETIKA aku terbangun keesokan paginya, segala sesuatu telah
berubah. Dinding-dinding di sekelilingku berwarna biru muda. Selimut di
tempat tidur dan gorden di jendela dihiasi gambar kanguru yang
sedang melompat. Di salah satu dinding ada gambar sapi.
Kamar ini bukan kamarku, tapi sepertinya sangat kukenal.
Tiba-tiba tenggorokanku seperti tersekat.
Aku meraih ke bawah selimut kanguru dan mengeluarkan Harold,
boneka beruang yang dulu amat kusayangi.
Perlahan-lahan aku mulai mengerti. Aku berada di kamarku yang
lama. Bagaimana aku bisa sampai ke situ" Kamar itu kan dipakai Tara
sekarang. Aku melompat turun dari tempat tidur. Ternyata aku memakai piama
bergambar smurf. Sumpah mati, aku tidak ingat bahwa aku pernah menyukai smurf.
Langsung saja aku berlari ke kamar mandi untuk berkaca di cermin.
Berapa umurku sekarang"
Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku terpaksa memanjat ke WC
supaya bisa melihat ke cermin. Pertanda buruk.
Oh! Kelihatannya aku berumur sekitar lima tahun. Aku turun dari WC
dan bergegas ke lantai bawah.
"Halo, Mikey," Mom menyambutku. Aku dipeluk dan diciumnya.
"Hai, Mom," sahutku. Aku sempat tersentak kaget ketika mendengar suaraku yang
begitu kekanak-kanakan. Dad duduk di meja dapur sambil mengirup kopinya. Dia meletakkan
cangkirnya dan merentangkan tangan. "Lho, mana ciuman selamat
pagi untukku?" tanyanya.
Aku menghela napas, lalu memaksakan diri berlari ke pelukannya dan
mencium pipinya. Aku sudah lupa betapa banyak hal konyol yang
harus dikerjakan oleh anak-anak kecil.
Aku berlari melintasi dapur, melintas ruang duduk, ruang baca, lalu kembali ke
dapur. Sepertinya ada sesuatu yang kurang.
Oh, bukan sesuatu; tapi seseorang.
Tara. "Diam dulu, Sayang. Satu menit saja," Mom membujukku.
Dia mengangkatku dan mendudukkanku di salah satu kursi. "Kau mau sereal?"


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tara mana?" tanyaku.
"Siapa?" balas Mom.
"Tara," aku mengulangi.
Mom melirik ke arah Daddy. Daddy cuma angkat bahu.
"Itu lho," aku berkeras. "Adik perempuanku."
Mom tersenyum. "Oh, Tara," katanya. Sepertinya dia akhirnya mengerti.
Dia kembali melirik ke arah Daddy dan berkata pelan, "Teman
khayalan." "Hah"!" tanya Dad keras-keras. "Dia punya teman khayalan?"
Mom menatapnya sambil mengerutkan kening. Kemudian dia
memberikan semangkuk sereal padaku. "Seperti apa tampang
temanmu Tara itu, Mikey?"
Aku tidak menjawab. Aku terlalu terkesima untuk berbicara.
Mereka tidak tahu siapa yang kumaksud! aku menyadari.
Tara belum ada. Dia belum lahir!
Sepintas lalu aku merasakan kegembiraan yang meluap-luap. Tara
belum ada! Aku bisa melewatkan satu hari penuh tanpa perlu melihat, mendengar,
maupun mencium Tara si brengsek! Wow, benar?benar
asyik! Tapi segera saja aku menyadari arti sesungguhnya dari situasi ini.
Satu anak keluarga Webster telah lenyap.
Dan habis ini giliranku. *** Setelah menghabiskan serealku, aku diajak Mom ke atas untuk
berpakaian. Dia membantuku mengenakan baju dan celana dan kaus
kaki dan sepatu. Tapi tali sepatuku tidak diikatnya.
"Oke, Mikey," kata Mom. "Sekarang kita berlatih mengikat tali sepatu. Kau masih
ingat bagaimana kita melakukannya kemarin?"
Dia memegang tali sepatuku dan sambil mengikatnya, dia
bersenandung, "The bunny hops around the tree and ducks under the bush. Masih
ingat?" Kemudian dia kembali duduk tegak untuk memperhatikan bagaimana
aku mengikat tali sepatuku yang satu lagi. Dari roman mukanya aku
tahu bahwa dia yakin aku takkan berhasil.
Aku membungkuk dan mengikat sepatuku dengan mudah. Aku tidak
punya waktu untuk bermain-main seperti itu.
Mom menatapku heran. "Ayo, Mom, kita harus berangkat," ujarku sambil berdiri.
"Mikey!" seru Mom. "Kau berhasil! Kau berhasil mengikat tali sepatumu untuk
pertama kali!" Dia mengangkatku dan mendekapku
erat-erat. "Tunggu sampai aku memberitahu ayahmu!"
Aku mengikutinya ke bawah.
Oke, aku berhasil mengikat tali sepatuku. Itu kan tidak perlu
digembar-gemborkan. "Sayang!" seru Mom. "Mikey berhasil mengikat tali sepatunya - tanpa dibantu!"
"Hei!" Dad menanggapinya dengan riang. Dia mengangkat sebelah tangan untuk ber-
high five denganku. "Ini baru anak Daddy."
Kali ini aku melihatnya menggerakkan bibir pada Mom: "Memang
sudah waktunya!" Aku terlalu cemas untuk merasa tersinggung.
Mom mengantarku ke TK. Dia memberitahu guruku bahwa aku sudah
bisa mengikat tali sepatu tanpa dibantu. Semua orang jadi ikut ramai.
Sepanjang pagi aku terpaksa mendekam di TK sambil menggambar
dan menyanyikan lagu ABC. Huh, buang-buang waktu saja.
Aku tahu aku harus kembali ke toko barang antik itu. Rencana itu
terus mengusik pikiranku.
Aku harus bisa mengubah jam antik itu, aku berkata dalam hati.
Secepatnya. Bisa jadi besok pagi aku belum bisa jalan.
Tapi bagaimana aku bisa sampai ke sana" Anak kelas dua saja sudah
sulit sampai di pusat kota. Apalagi anak TK!
Dan lagi pula, kalaupun aku bisa naik bus tanpa ada orang yang
curiga, aku tetap tidak punya uang.
Aku melirik dompet guruku. Barangkali aku bisa mengambil beberapa
keping uang. Aku yakin dia takkan memperhatikannya.
Tapi kalau aku sampai kepergok, aku bakal dapat masalah besar.
Padahal sekarang saja aku sudah kewalahan menghadapi masalah
yang menghadangku. Kuputuskan untuk menyelinap ke dalam bus.
Entah bagaimana caranya, tapi harus bisa. Aku yakin aku bisa mencari jalan.
Setelah siksaan taman kanak-kanak berakhir, aku berlari keluar untuk mengejar
bus - - dan menabrak Mom. "Hai, Mikey," ujarnya. "Kau belajar apa saja hari ini?"
Aku lupa bahwa dia selalu datang menjemputku. Dia meraih tanganku
dan menggandengnya dengan erat. Aku tidak mungkin meloloskan
diri. SYUKURLAH aku belum lenyap, pikirku ketika terbangun keesokan
paginya. Syukurlah aku masih hidup.
Tapi sekarang aku berumur empat tahun.
Aku mulai kehabisan waktu.
Mom masuk ke kamarku sambil bernyanyi, "Good morning to you,
good morning to you, good morning dear Mikey, good morning to
you! Sudah siap berangkat ke play group?"
Idih. Play group. Keadaannya semakin parah saja.
Aku tidak tahan lagi. Mom mengantarku ke play group. Seperti biasa
dia menciumku dan berpesan, "Jangan nakal, ya!"
Aku berjalan ke pojok terdekat dan langsung duduk. Aku tidak mau
melakukan apa pun. Aku enggan bernyanyi, enggan menggambar,
enggan bermain pasir. "Michael, ada apa?" tanya guruku, Ms. Sarton. "Kau tidak enak badan, ya?"
"Aku tidak apa-apa," sahutku.
"Hmm, kalau begitu, kenapa kau tidak ikut bermain?" Dia
mengamatiku sejenak, kemudian menambahkan, "Sebaiknya kau ikut bermain dengan
teman-temanmu." Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mengangkatku, membawaku keluar,
dan menurunkanku di tempat pasir.
"Mona mau bermain denganmu," dia berkata dengan ceria.
Mona manis sekali waktu dia berumur empat tahun. Kenapa aku tidak
ingat itu" Mona tidak berkata apa-apa padaku. Perhatiannya tertuju pada kubah
pasir yang sedang dibuatnya. Aku sudah hendak menyapanya, tapi
tiba-tiba aku merasa malu.
Kemudian aku langsung sadar. Kenapa aku mesti malu kepada cewek
empat tahun" Lagi pula, aku berkata dalam hati, dia belum melihatku hanya
berpakaian dalam. Itu masih delapan tahun lagi dari sekarang.
"Hai, Mona," kataku. Aku meringis ketika mendengar suara seperti suara bayi yang
keluar dari mulutku. Namun sepertinya anak-anak
yang lain sudah terbiasa.
Mona mengerutkan hidung. "Huh," dia mendengus. "Anak cowok.
Aku benci anak cowok."
"Hmm," aku membalas dengan suaraku yang melengking, "kalau begitu, anggap saja
aku tidak bilang apa-apa."
Mona menatapku dengan heran, seakan-akan tidak mengerti apa yang
kukatakan. "Kau bego," komentarnya.
Aku angkat bahu dan mulai menggambar lingkaran-lingkaran di pasir.
Mona menggali selokan di sekeliling kubahnya. Kemudian dia berdiri.
"Awas kalau ada yang merusak istana pasirku," dia berpesan dengan nada
mengancam. Ternyata bukan kubah yang dibikinnya. Tebakanku salah.
"Oke," kataku. Dia pergi. Beberapa menit kemudian dia kembali sambil membawa
ember. Dengan hati-hati dia menuangkan air ke selokan di sekeliling
istananya. Sisanya dituangnya ke kepalaku.
"Anak cowok bego!" dia memekik sambil melarikan diri.
Aku berdiri dan menggelrng-gelengkan kepala bagaikan anjing yang
basah kuyup. Aku merasakan dorongan untuk menangis dan mengadu
pada guruku, tapi aku masih bisa menahan diri.
Mona berdiri beberapa meter dariku, siap lari lagi. "Nyah nyah!" dia mengejek.
"Coba tangkap aku kalau bisa, Mikey!"
Rambutku yang basah kusingkirkan dari wajahku, lalu kutatap Mona
sambil mengerutkan kening.
"Kau tak bakal bisa menangkapku!" dia berseru.
Apa lagi yang bisa kulakukan" Mau tidak mau aku harus
mengejarnya. Aku mulai berlari. Mona menjerit dan melesat ke pohon di pagar
taman bermain. Di situ ada anak cewek lain. Betulkah itu Ceecee"
Dia mengenakan kacamata tebal dengan bingkai pink, dan sebelah
matanya ditutup. Aku sama sekali lupa soal tutup mata itu. Padahal dia memakainya
sampai pertengahan kelas satu.
Mona kembali menjerit dan memeluk Ceecee. Ceecee juga
memeluknya dan ikut menjerit.
Aku berhenti di depan pohon. "Jangan teriak-teriak. Kalian takkan kuapa-apakan,"
aku berusaha menenangkan mereka.
"Siapa bilang!" balas Mona. "Tolong!"
Aku duduk di rumput untuk membuktikan aku tidak bermaksud jahat.
"Tolong! Tolong!" mereka berseru-seru. Kemudian mereka melompat maju dan
menerjangku. "Aduh!" aku memekik.
"Pegang tangannya!" Mona memberi perintah. Ceecee menurut saja.
Mona mulai menggelitik ketiakku.
"Berhenti!" aku memohon. Aku benar-benar tersiksa. "Berhenti dong!"
"Tidak!" seru Mona. "Ini balasannya karena kau mau menangkap kami!"
"Aku... tidak..." Aku nyaris tak sanggup bicara karena terus digelitik.
Kalau aku bisa kembali ke umurku yang seharusnya, kataku dalam
hati, bisa jadi aku takkan menyukai Mona seperti dulu.
"Berhenti! Berhenti dong!" aku memohon-mohon.
"Aku mau berhenti," ujar Mona. "Tapi sebelumnya kau harus berjanji dulu."
"Berjanji apa?"
"Kau harus memanjat pohon itu." Dia menunjuk pohon di dekat pagar.
"Oke?" Aku mengamati pohon itu. Kelihatannya tidak terlalu sukar dipanjat.
"Oke," kataku. "Asal kalian berhenti menggelitikku!"
Mona berdiri. Ceecee melepaskan tanganku.
Aku bangkit dan menepis-nepis rumput yang menempel di celanaku.
"Kau tak bakal berani," Mona mengejek.
"Enak saja!" sahutku. Brengsek juga dia! Hampir separah Tara!
Mona dan Ceecee mulai bersenandung, "Mikey tak berani! Mikey tak berani!"
Aku tidak menggubris mereka. Aku meraih dahan terendah dan
menarik tubuhku ke atas. Ternyata lebih sukar dari yang
kubayangkan. Tubuhku belum besar pada waktu berumur empat
tahun. "Mikey tak berani! Mikey tak berani!"
"Diam!" bentakku kepada mereka dari atas. "Aku kan sudah memanjat. Kenapa kalian
masih mengolok-olokku?"
Mereka menatapku sambil terbengong-bengong, seakan-akan tidak
mengerti apa yang kukatakan.
"Mikey tak berani," keduanya kembali bersenandung.
Aku menghela napas dan terus memanjat. Tanganku masih kecil
sehingga aku sulit menggenggam dahan-dahan. Sebelah kakiku
tergelincir. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu yang membuat bulu kudukku
berdiri. Hei, tunggu dulu. Seharusnya aku jangan nekat begini.
Bukankah aku pernah patah tangan waktu aku masih di play group"
ADUUUUHHHH! PAGI lagi. Aku menguap lebar dan membuka mata. Aku menggoyangkan lengan
kiriku, lengan yang patah waktu aku memanjat pohon kemarin.
Lenganku terasa biasa saja. Sedikit pun tak ada rasa nyeri.
Rupanya aku mundur ke masa lalu lagi, aku berkata dalam hati. Ini
sisi menyenangkan dari masalah yang kuhadapi: aku tidak perlu
menunggu sampai lenganku sembuh.
Aku bertanya-tanya seberapa jauh aku mundur.
Sinar matahari masuk lewat jendela kamar Tara - atau lebih tepat,
jendela kamarku - dan menghasilkan bayangan yang janggal pada
wajahku: bayangan bergaris-garis.
Aku berusaha turun dari tempat tidur. Tapi badanku membentur
sesuatu. Apa itu" Aku berguling untuk memeriksanya. Terali!
Aku dikelilingi terali! Apakah aku di penjara"
Aku berusaha duduk agar dapat melihat lebih jelas. Gerakan itu tidak semudah
seperti biasanya. Rupanya otot perutku telah bertambah
lemah. Akhirnya aku berhasil duduk tegak dan memandang berkeliling.
Aku bukan di penjara. Aku di tempat tidur bayi!
Selimut bayiku yang berwarna kuning dan bergambar bebek tergeletak
di sampingku. Aku sendiri duduk berdampingan dengan setumpuk
boneka binatang. Aku mengenakan kaus mungil berwarna putih, dan
Oh, jangan! Yang satu ini jangan!
Aku memejamkan mata dengan ngeri.
Jangan. Moga-moga aku keliru! aku berdoa dalam hati.
Aku kembali membuka mata untuk memeriksa apakah doaku terkabul.
Ternyata tidak. Aku memang memakai pampers.
Pampers! Berapa umurku sekarang" Berapa jauh aku mundur ke masa lalu" aku
bertanya-tanya. "Sudah bangun, Mikey?"
Mom masuk ke kamarku. Dia kelihatan muda sekali. Rasanya aku
belum pernah melihat dia semuda ini.
"Tidak enak, ya, Sayang?" Mom bertanya. Aku langsung tahu dia tidak mengharapkan
jawaban dariku, sebab dia segera menjejalkan
botol berisi juice ke mulutku.
Idih! Botol dengan dot! Aku menariknya dari mulut dan melemparnya ke lantai.
Mom memungutnya. "Tidak boleh begitu," dia berkata dengan sabar.
"Mikey tidak boleh nakal. Mikey harus minum. Ayo."
Dia kembali menjejalkan botol itu. Kebetulan aku memang haus, jadi
kuminum saja isinya. Minum dari botol sebenarnya tidak terlalu
parah, kalau kita sudah terbiasa.
Mom keluar kamar. Botolnya segera kubiarkan jatuh.
Aku harus mencari tahu berapa umurku sekarang. Aku harus tahu
berapa waktu yang masih tersisa untukku.
Kuraih terali tempat tidur dan menarik tubuhku sampai berdiri.
Oke, aku berkata dalam hati. Aku bisa berdiri.
Aku maju selangkah. Otot-otot kakiku tidak bisa kukendalikan dengan baik.
Tertatih-tatih aku berjalan mengelilingi tempat tidur.
Aku bisa jalan, aku menyadari. Langkahku memang belum stabil, tapi
aku bisa jalan. Mestinya umurku sekitar satu tahun!
Tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh dan kepalaku
membentur terali. Air mataku mulai keluar. Aku mulai menangis dan
merengek-rengek. Mom segera masuk lagi. "Ada apa, Mikey" Kenapa kau?"


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengangkatku dan mulai menepuk-nepuk punggungku.
Aku tidak bisa berhenti menangis. Dan aku malu sekali karenanya.
Apa yang mesti kulakukan" aku bertanya-tanya. Dalam satu malam
aku mundur tiga tahun lagi!
Umurku cuma setahun sekarang. Berapa umurku kalau aku bangun
besok" Aku merinding. Aku harus mencari jalan supaya waktu berjalan maju lagi - hari ini
juga! aku membulatkan tekad. Tapi apa yang bisa kulakukan"
Aku sudah bukan anak play group.
Aku cuma bayi! MOM bilang kami akan pergi. Dia hendak memakaikan bajuku.
Kemudian dia mengucapkan kata-kata yang paling kutakuti.
"Aku tahu kenapa kau rewel begini, Mikey. Kau pasti perlu ganti pampers."
"Dak!" aku berseru. "Dak!"
"Oh, ya, Mikey. Ayolah..."
Aku tidak mau mengingat apa yang terjadi sesudah itu. Lebih baik
kejadian itu kuhapus saja dari ingatanku.
Kalian pasti mengerti. Setelah bagian yang terburuk lewat, Mom memasukkan aku ke play
pen - lagi-lagi terali - dan kemudian mulai mondar-mandir untuk
membereskan rumah. Aku menggoyang-goyangkan mainan bayi. Aku memukul-mukul
mainan yang tergantung di atasku. Aku memperhatikannya berputar-
putar. Aku menekan tombol-tombol pada mainan plastik. Setiap kali aku
menekan satu tombol, satu bunyi tertentu akan terdengar. Ada bunyi
melengking. Ada bunyi klakson. Ada bunyi melenguh.
Aku benar-benar bosan. Lalu Mom kembali mengangkatku. Dia memakaikan sweter dan topi
rajut yang konyol sekali. Semuanya berwarna biru muda.
"Mau ketemu Dad, ya?" dia merayuku. "Mau ketemu Daddy dan pergi belanja?"
"Da-da," sahutku.
Sebenarnya aku ingin berkata, "Kalau aku tidak dibawa ke Anthony's Antiques, aku
mau terjun dari sini biar kepalaku retak!"
Tapi aku belum bisa bicara. Huh, benar-benar menyebalkan!
Mom menggendongku ke mobil. Dia mengikatku di kursi bayi di
bangku belakang. Aku ingin berkata, "Jangan kencang-kencang,
Mom!" Tapi yang keluar dari mulutku cuma, "Dak dak dak dak dak!"
"Jangan macam-macam, Mikey," ujar Mom ketus. "Aku tahu kau tidak suka diikat di
kursi, tapi peraturannya memang begitu." Tali pengikatku ditariknya sekali lagi.
Kemudian dia berangkat ke pusat kota.
Paling tidak masih ada harapan, aku berkata dalam hati. Kalau kami
mau ketemu Daddy, maka kami akan berada di dekat toko barang
antik. Mungkin saja aku akan dapat kesempatan.
Mom memarkir mobilnya di depan gedung kantor Daddy. Dia
melepaskanku dari krsiku.
Aku bisa bergerak lagi. Tapi kebebasanku tidak bertahan lama. Mom
mengeluarkan kereta bayi dari tempat bagasi, menyiapkannya, lalu
kembali mengikatku. Hidup bayi tak ubahnya bagai tawanan, pikirku ketika dia
mendorongku menyusuri trotoar. Baru sekarang aku sadar betapa
tidak menyenangkan hidup bayi!
Waktu makan siang telah tiba. Serombongan karyawan keluar dari
gedung kantor. Dad muncul dan mencium Mom.
Dia berjongkok dan menggelitik daguku. "Mana anak Daddy?"
katanya. "Coba bilang hai sama Daddy?" Mom memancingku.
"Hai, Daddy," aku menyahut tak jelas.
"Hai, Mikey," kata Dad hangat. Tapi waktu dia berdiri lagi, dia berbisik kepada
Mom, seakan-akan aku tidak bisa mendengarnya.
"Seharusnya dia sudah bisa bicara beberapa kata, bukan" Anak Ted Jackson
sepantar Mikey, tapi sudah bisa mengucapkan kalimat
lengkap. Dia bisa bilang 'bohlam', dan 'dapur', dan 'Mana boneka
beruangku.'" "Jangan mulai lagi," balas Mom ketus. "Mikey tidak lamban."
Aku menggeliat-geliut di keretaku. Lamban! Siapa bilang aku
lamban"! "Aku tidak bilang dia lamban, Sayang," Dad kembali bicara. "Aku cuma bilang - "
"Oh, ya," Mom berkeras. "Oh, ya! Waktu itu, waktu dia memasukkan kacang polong
ke hidungnya, kau katakan menurutmu dia sebaiknya
diperiksa!" Aku pernah memasukkan kacang polong ke hidungku" Ya, ampun!
Masa sih" Memasukkan kacang polong ke hidung memang konyol, tapi aku
masih bayi. Rasanya Daddy terlalu berlebihan, bukan"
Aku sih merasa begitu. Coba kalau aku bisa memberitahu mereka bahwa aku bakal baik-baik
saja - paling tidak sampai umurku dua belas tahun. Maksudnya, aku
bukan jenius, tapi nilaiku di sekolah hampir selalu A atau B.
"Nanti saja kita bicarakan ini, oke?" ujar Dad. "Aku cuma punya waktu satu jam
untuk makan siang. Kalau kita mau beli meja makan,
lebih baik kita berangkat sekarang."
"Habis, kau yang mulai," ujar Mom. Dia memutar keretaku dan mulai menyeberang
jalan. Dad mengikuti kami.
Pandanganku menyapu deretan bangunan di seberang jalan. Ada
gedung apartemen. Pegadaian. Kedai kopi.
Kemudian kutemukan yang kucari: Anthony's Antiques and Stuff.
Jantungku langsung berdegup kencang. Toko itu masih ada!
Pandanganku terus menempel pada papan nama tersebut.
Bawa aku ke sana, Mom, aku berharap dalam hati. Tolong bawa aku
ke sana! Mom terus menyusuri trotoar. Melewati gedung apartemen. Melewati
tempat pegadaian. Melewati kedai kopi.
Kami berhenti di depan Anthony's. Dad berdiri di depan jendela,
dengan tangan terselip dalam kantong celana, matanya mengamati
barang-barang yang dipajang. Mom dan aku berhenti di sampingnya.
Aku hampir tak percaya. Akhirnya, setelah sekian lama, aku
memperoleh sedikit keberuntungan!
Aku pun memandang ke jendela sambil mencari-carinya.
Jam antik itu. Barang-barang di jendela diatur seperti ruang tamu bergaya kuno.
Pandanganku beralih dari satu perabot ke perabot berikutnya: ada
lemari buku, ada lampu meja berumbai-rumbai, karpet Persia, kursi
santai, sebuah jam... sebuah jam meja. Bukan jam antik itu.
Bukan jam antik yang kucari-cari.
Aku langsung patah semangat.
Aduh, kenapa aku mesti bernasib buruk seperti ini" Akhirnya aku
berhasil sampai di toko barang antik. Tapi jamnya tidak ada!
RASANYA air mataku sulit dibendung.
Hampir saja aku menangis.
Bagaimanapun juga, aku masih bayi. Takkan ada yang heran kalau
aku tiba-tiba menangis. Tapi aku menahan diri. Biarpun penampilanku seperti bayi, umurku
sebenarnya sudah dua belas tahun. Aku tetap memiliki harga diri.
Dad melangkah ke pintu dan membukanya untuk Mom dan aku. Mom
mendorong keretaku ke dalam.
Toko itu dipenuhi perabotan kuno. Seorang laki-laki gempal berusia
empat puluhan menghampiri kami.
Di belakang orang itu, di ujung gang, di sudut di bagian belakang
toko, aku melihatnya. Jam antik itu. Jam yang kucari-cari.
Seketika semangatku mulai bangkit lagi. Aku mulai berayun-ayun di
keretaku. Aku sudah begitu dekat!
"Bisa saya bantu?" laki-laki itu bertanya kepada Mom dan Dad.
"Kami mencari meja makan," ujar Mom.
Aku harus turun dari kereta. Aku harus bisa mencapai jam itu.
Aku berayun lebih keras, tapi sia-sia. Tali pengikatku terlalu kencang.
"Turunkan aku dari sini!" seruku.
Mom dan Dad menoleh ke arahku. "Dia bilang apa?" tanya Dad.
"Kedengarannya seperti 'Tu tu tu tu'," ujar si pemilik toko.
Aku berayun lebih keras lagi dan menjerit-jerit.
"Dia tidak senang diikat di keretanya," Mom menjelaskan. Dia membungkuk dan
melepaskan tali pengikatku. "Saya akan
menggendongnya sebentar. Biar dia tenang."
Aku menunggu sampai aku berada dalam dekapannya. Kemudian aku
menjerit lagi sambil meronta-ronta.
Muka Dad jadi merah. "Michael, ada apa ini?"
"Turun! Turun!" aku berseru.
"Baiklah," Mom bergumam sambil menurunkanku ke lantai. "Tapi jangan teriak-
teriak lagi." Aku langsung terdiam, dan mencoba berjalan dengan kakiku yang
mungil. Aku takkan bisa berjalan jauh, tapi tak ada pilihan lain.
"Tolong awasi dia," si pemilik toko mewanti-wanti. "Di sini banyak barang yang
mudah pecah." Mom meraih tanganku. "Ayo, Mikey. Kita cari meja."
Dia berusaha menarikku ke sudut toko di mana terdapat sejumlah
meja kayu. Aku merengek dan meronta untuk membebaskan diri. Tapi
genggaman Mom terlalu keras.
"Mikey, ssst," katanya.
Aku membiarkan diriku digiring ke meja-meja itu. Aku melirik ke
arah jam antik. Sudah hampir pukul dua belas siang.
Tepat pukul dua belas burungnya akan keluar. Itu satu-satunya
kesempatan bagiku untuk meraih kepalanya dan memutarnya ke
depan. Aku berusaha menarik tanganku. Tapi Mom malah mempererat
genggamannya. "Bagaimana dengan yang ini, Sayang?" tanya Dad kepada Mom sambil mengusap-usap
meja kayu berwarna gelap.
"Warna kayunya terlalu gelap untuk kursi kita, Herman," sahut Mom.
Perhatiannya beralih ke meja lain. Ketika dia menuju ke sana, aku
kembali berusaha menarik tanganku. Tapi lagi-lagi gagal.
Aku terpaksa ikut menghampiri meja kedua. Sekali lagi aku melirik ke arah jam.
Jarum menitnya sudah bergerak maju.
Sekarang pukul dua belas kurang dua menit.
"Jangan terlalu pilih-pilih, Sayang," ujar Dad. "Pak dan Bu Berger mau datang
malam Minggu - dua hari lagi - untuk makan malam.
Kita tidak bisa mengadakan acara makan malam tanpa meja makan!"
"Aku tahu, Sayang. Tapi apa gunanya kita beli meja yang tidak kita suka."
Suara Daddy mulai meninggi. Dan Mom mulai pasang tampang
kencang. Aha. Mereka akan bertengkar. Inilah kesempatan yang kutunggu-
tunggu. Dad berseru, "Kenapa tidak kita gelar selimut saja di lantai dan menyuruh mereka
makan di situ. Anggap saja piknik!"
Genggaman Mom akhirnya mengendur.
Aku segera beraksi dan menghampiri jam antik. Jarum menitnya
sudah bergerak lagi. Aku mempercepat langkahku.
Aku mendengar Mom dan Dad saling membentak. "Aku tidak mau
beli meja jelek. Titik!" seru Mom.
Moga-moga mereka tidak. memperhatikanku, aku berdoa dalam hati.
Akhirnya aku sampai di depan jam antik itu. Aku berdiri di
hadapannya dan mengamatinya sambil mendongakkan kepala.
Piringan jamnya jauh di atas, di luar jangkauanku.
Jarum menit maju lagi. Aku mendengar suara gong.
Pintu kecil di atas piring jam membuka. Burungnya muncul dan
berbunyi satu kali. Dua kali. Aku menatapnya tanpa dapat berbuat apa-apa. Anak dua belas tahun
terperangkap dalam tubuh bayi.
Tak berdaya aku menatap jam itu.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, pokoknya aku harus bisa meraih
burung itu. Entah bagaimana caranya, aku harus memutar kepalanya ke depan.
KU-KUUK! Ku-kuuk! Tiga kali. Empat kali. Aku tahu bahwa kalau burung itu berbunyi dua belas kali, maka
tamatlah riwayatku. Burung itu akan masuk lagi ke sarangnya.
Dan satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan diri akan terlepas
dari tanganku. Satu atau dua hari lagi aku akan lenyap. Lenyap untuk selama-
lamanya. Dengan kalang kabut aku memandang berkeliling untuk mencari
tangga, atau apa saja yang bisa kupanjat.
Yang ada cuma sebuah kursi makan.
Aku menghampiri kursi itu dan berusaha mendorongnya ke arah jam.
Tapi kursinya cuma bergerak satu inci.
Aku mendorongnya sekuat tenaga.
Berhasil. Kursi itu mulai bergeser di lantai. Ku-kuuk! Ku-kuuk! Lima.
Enam. Kudorong kursi itu sampai merapat ke jam. Bantalannya kira-kira
setinggi daguku. Aku berusaha menarik tubuhku ke atas. Tapi lenganku kurang kuat.
Kutempelkan sebelah kakiku ke kaki kursi. Aku menolak badanku ke
atas. Cepat-cepat aku meraih sandaran kursi dan menarik diriku ke
atas. Berhasil. Ku-kuuk! Ku-kuuk! Tujuh. Delapan.
Aku berlutut, lalu berdiri.
Aku mengangkat tangan untuk meraih burung itu.
Ku-kuuk! Ku-kuuk! Sembilan. Sepuluh.
Sedikit lagi. Sedikit lagi.
Kemudian aku mendengar si pemilik toko berseru, "Tahan bayi itu!"
AKU mendengar langkah berdebam-debam.
Mereka berlari ke arahku.
Aku memaksakan diri untuk meraih burung itu. Satu inci lagi...
Ku-kuuk! Sebelas. Mom menangkapku. Aku terangkat ke atas. Selama satu detik burung
itu berada dalam jangkauanku.
Cepat-cepat aku meraihnya dan memutar kepalanya.
Ku-kuuk! Dua belas. Burung itu kembali masuk ke sarangnya. Tapi kini kepalanya sudah
menghadap ke arah yang benar.
Ke depan. Aku melepaskan diri dari dekapan Mom, dan mendarat di kursi.
"Mikey, ada apa sih denganmu?" seru Mom. Dia berusaha
menangkapku lagi. Aku mengelak. Aku meraih bagian pinggir jam.
Aku melihat jarum kecil yang menunjukkan tahun. Kuraba-raba
permukaan jam untuk mencari tombol yang mengaturnya. Aku bisa
meraihnya dengan berdiri di atas kursi,
Cepat-cepat kutekan tombol itu. Jarumnya mulai bergerak dari tahun
ke tahun. Si pemilik toko berteriak, "Jauhkan bayi itu dari jam saya!"
Mom kembali menangkapku, tapi aku menjerit. Aku menjerit begitu
keras sehingga dia tersentak kaget dan melepaskanku.
"Mikey! Jangan pegang jam itu!" Dad berseru.
Aku melepaskan tanganku dari tombol. Jarumnya menunjukkan tahun


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang benar. Tahun sekarang. Tahun di mana aku berumur dua belas.
Sekali lagi Mom mencoba menangkapku. Kali ini aku diam saja.
Sekarang aku cuma bisa menunggu, pikirku. Akankah jam itu bekerja,
dan aku kembali jadi anak dua belas tahun..."
...atau jamnya tidak bekerja. Lalu bagaimana"
Lalu aku menghilang. Lenyap ditelan waktu. Untuk selama-lamanya.
Aku menunggu. "Saya minta maaf," Dad berkata kepada si pemilik toko. "Mudah-mudahan anak saya
tidak merusak jam Anda."
Otot-otot leherku menegang. Tak terjadi apa-apa.
Aku menunggu semenit lagi.
Si pemilik toko memeriksa jamnya. "Kelihatannya tidak ada yang rusak," dia
memberitahu Dad. "Tapi dia mengubah tahunnya.
Jarumnya harus saya mun?durkan."
"JANGAN!" teriakku. "Jangan!"
"Anak itu perlu belajar disiplin," si pemilik toko berkomentar.
Dia meraih bagian pinggir jam untuk memundurkan jarum penunjuk
tahun. "JANGAN!" ratapku. "Jangan!"
Habislah aku, aku menyadari. Aku bakal celaka. Aku bakal lenyap.
Tapi si pemilik toko tak sempat menyentuh tombol itu.
Tiba-tiba saja terlihat kilatan cahaya putih. Aku kaget, terbengong-bengong. Aku
berkedip. Lalu berkedip sekali lagi.
Beberapa detik berlalu sebelum aku bisa melihat lagi.
Aku merasakan udara yang dingin dan lembap. Aku mencium bau
pengap. Bau garasi. "Michael" Kau suka?" Suara Daddy.
Aku berkedip lagi. Perlahan-lahan mataku mulai terbiasa dengan
keadaan di sekelilingku. Aku melihat Mom dan Dad. Mereka
kelihatan lebih tua. Kelihatan normal.
Kami berada di garasi. Daddy memegang sepeda baru dengan 21 gigi.
Mom mengerutkan kening. "Michael, kau tidak apa-apa?"
Mereka sedang memberikan sepeda padaku. Berarti ini hari ulang
tahunku! Jamnya bekerja. Aku berhasil kembali ke zaman seharusnya!
Hampir ke zaman seharusnya. Sampai ke ulang tahunku yang kedua
belas. Cukup dekat. Aku begitu gembira, rasanya aku bisa meledak. Kupeluk Mom erat-
erat. Kemudian Dad. "Wow!" ujar Dad. "Rupanya kau benar-benar menyukai sepedamu yang baru."
Aku tersenyum lebar. "Aku suka sekali!" seruku. "Aku suka semuanya! Seluruh
dunia!" Yang paling kusukai adalah kenyataan bahwa aku sudah berumur dua
belas lagi. Aku bisa jalan! Aku bisa bicara! Aku bisa naik bus seorang diri!
Hei, tunggu dulu, pikirku. Sekarang ulang tahunku.
Jangan-jangan segala siksaan itu harus kualami sekali lagi.
Aku bersiap-siap menghadapi hari mengerikan yang menungguku.
Tapi tidak apa-apa, aku berkata dalam hati. Aku tidak keberatan, asal waktu juga
berjalan maju lagi, seperti seharusnya.
Aku tahu persis apa yang akan terjadi sesudah ini.
Tara. Dia akan berusaha naik ke sepedaku. Sepedaku akan terbalik dan
tergores. Oke, Tara, pikirku. Aku sudah siap. Silakan berbuat sesuka hatimu.
Aku menunggu. Tara tidak muncul-muncul.
Sepertinya dia malah tidak ada di rumah.
Dia tidak ada di garasi. Dan tak ada tanda-tanda tentang dia.
Mom dan Dad sibuk mengagumi sepedaku. Mereka bersikap seakan-
akan semuanya beres. "Tara mana?" tanyaku.
Mereka menoleh. "Siapa?" Mereka menatapku dengan bingung.
"Kau mengundangnya untuk datang ke pesta ulang tahunmu?" tanya Mom. "Rasanya aku
tidak mengirim undangan kepada anak yang
bernama Tara." Dad menatapku sambil nyengir. "Tara" Kau naksir dia, ya?"
"Tidak," sahutku, dan wajahku langsung merah.
Sepertinya mereka belum pernah mendengar nama Tara. Belum
pernah mendengar nama anak perempuan mereka sendiri.
"Sebaiknya kau masuk dulu dan bersiap-siap untuk pestamu,
Michael," Mom menyarankan. "Sebentar lagi teman-temanmu
datang." "Oke." Aku masuk dalam keadaan linglung. "Tara?" aku memanggil.
Hening. Dia pasti sedang bersembunyi.
Aku mencarinya di seluruh rumah. Kemudian aku memeriksa
kamarnya. Aku membuka pintu. Tadinya kusangka aku akan
menemukan kamar anak cewek berwarna serba pink, dengan tempat
tidur putih berlangit-langit.
Tapi ternyata aku melihat dua tempat tidur yang rapi. Satu kursi. Satu lemari
kosong. Tak ada barang-barang pribadi.
Bukan kamar Tara. Kamar tidur tamu. Wow. Aku tercengang. Tak ada Tara. Bagaimana ini bisa terjadi"
Aku menuju ke ruang kerja untuk mencari jam antik itu.
Jamnya tidak ada. Sepintas lalu aku kembali tercekam panik. Kemudian perasaanku
tenang lagi. Oh yeah, aku teringat. Jam itu belum kami beli. Dad membelinya
beberapa hari setelah ulang tahunku.
Tapi aku tetap belum mengerti. Apa yang terjadi dengan adik
perempuanku. Di mana Tara"
Teman-temanku mulai berdatangan. Kami memutar CD dan makan
tortilla. Ceecee mengajakku ke pojok ruangan dan bercerita bahwa
Mona naksir aku. Wow. Aku menoleh ke arah Mona. Dia tersipu-sipu dan memalingkan
muka. Tara tidak muncul-muncul. Kali ini dia tidak mempermalukanku. Dan
bedanya terasa sekali. Semua temanku membawa kado ulang tahun. Dan semuanya kubuka
sendiri. Tak ada Tara yang mengacaukan acaraku.
Pada waktu potong kue, aku membawa kuenya ke ruang makan dan
menaruhnya di tengah-tengah meja. Tak ada masalah. Aku tidak jatuh
dan ditertawakan semua orang.
Sebab tak ada Tara yang bisa menjegal kakiku.
Inilah pesta ulang tahun paling meriah yang pernah kualami. Mungkin ini bahkan
hari paling menyenangkan yang pernah kualami. Sebab tak
ada Tara yang menggangguku tanpa henti.
Wah, asyik juga, aku berkata dalam hati. Beberapa hari kemudian jam antiknya
diantar ke rumah kami. "Bagus sekali, bukan?" ujar Dad, persis seperti waktu pertama kali.
"Anthony menjualnya dengan harga yang murah sekali. Katanya ada kerusakan
kecil." Oh, aku hampir lupa soal itu.
Kami tetap belum tahu apa kerusakannya. Tapi aku terus bertanya-
tanya apakah ada sangkut paut dengan menghilangnya Tara.
Barangkali jam itu tidak bekerja sempurna" Barangkali Tara tertinggal di masa
lalu" Aku nyaris tidak berani menyentuh jam itu. Aku tidak mau kalau
petualanganku terulang kembali.
Tapi aku harus tahu apa yang telah terjadi.
Dengan cermat aku mengamati piringan jam dan semua hiasannya.
Kemudian aku menatap jarum yang menunjukkan tahun.
Jarumnya menunjuk tahun yang benar.
Tanpa sadar pandanganku bergerak dua belas angka ke belakang, ke
tahun kelahiranku. Itu dia. Kemudian aku membaca angka-angka yang tertera. 1984. 1985. 1986.
1987. 1988. 1990.... Tunggu dulu. Rasanya aku lompat satu tahun.
Sekali lagi kuperiksa angka-angka itu.
Sembilan belas delapan sembilan tidak ada. Angka 1989 tidak
tercantum. Dan 1989 adalah tahun kelahiran Tara!
"Daddy!" seruku. "Aku tahu apa kerusakannya! Lihat - ada satu tahun yang tidak
tercantum!" Dad menepuk-nepuk punggungku. "Matamu memang jeli, Michael.
Wah, aneh juga, ya?"
Bagi Daddy, ini cuma kesalahan kecil yang konyol.
Dia tidak tahu bahwa anak perempuannya tak sempat dilahirkan.
Sebenarnya aku bisa saja kembali ke masa lalu untuk menjemput
Tara. Sepertinya aku harus menjemput dia.
Dan aku pun akan melakukannya.
Sungguh. Kapan-kapan. Mungkin. END Pedang Bayangan Panji Sakti 12 Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi Mutiara Hitam 16
^