Pencarian

Jangan Sembarangan Mengucapkan 1

Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan Bagian 1


JUDITH BELLWOOD sengaja membuatku tersandung sewaktu
pelajaran Matematika. Aku melihat sepatu putihnya terjulur ke gang antar bangku.
Terlambat. Aku sedang membawa buku catatan ke papan tulis karena akan
mengerjakan soal. Mataku menatap tulisan cakar ayam di buku
catatanku. Tulisanku memang tidak rapi.
Aku tidak sempat berhenti lagi ketika melihat sepatu putih itu terjulur.
Aku tersandung dan jatuh lintang-pukang di lantai, mendarat
bertelekan pada siku dan lutut. Semua kertas beterbangan dari buku
catatanku dan berserakan di mana-mana.
Seluruh kelas menganggap kejadian itu lucu. Semua tertawa dan
bersorak waktu aku bersusah payah bangun. Judith dan teman
akrabnya, Anna Frost, tertawa paling keras.
Aku mendarat di ujung siku dan sakitnya terasa sampai ke sekujur
tubuh. Aku tahu wajahku pasti semerah tomat waktu bangun dan
memungut buku catatan. "Gerakan hebat, Sam!" teriak Anna, ia tersenyum lebar.
"Bagus!" teriak seseorang.
Aku menoleh sekilas dan melihat kilatan puas di mata hijau Judith.
Aku anak perempuan paling jangkung di kelas tujuhku. Bukan. Salah.
Aku anak paling jangkung di kelas. Aku paling tidak lebih tinggi lima senti dari
temanku, Cory Blinn, padahal ia anak laki-laki paling
jangkung. Aku juga anak paling kikuk yang pernah ada di muka bumi ini.
Maksudku, meskipun tinggi dan langsing, bukan berarti aku juga
anggun. Percaya deh, aku sama sekali tidak anggun.
Tapi kenapa orang selalu tertawa kalau aku jatuh tersandung tempat
sampah atau menjatuhkan baki makanan di ruang makan siang atau
tersandung kaki orang waktu pelajaran Matematika"
Judith dan Anna memang jahat, itu saja.
Aku tahu mereka diam-diam menjuluki aku "Bangau". Cory yang memberitahu aku.
Dan Judith selalu mengolok-olok nama keluargaku, yaitu Byrd.
Samantha Byrd. "Terbang sana, Byrd!" Itulah yang selalu
dikatakannya padaku. Lalu ia dan Anna tertawa seakan-akan itulah
lelucon paling lucu yang pernah mereka dengar.
"Terbang sana, Byrd!"
Ha-ha. Tidak lucu. Kata Cory, Judith sebenarnya iri padaku. Tapi itu kan konyol.
Maksudku, buat apa Judith iri" Tingginya bukan dua koma tujuh
meter. Tingginya kira-kira satu koma lima enam meter, pas untuk
anak berusia dua belas tahun. Ia anggun. Ia atletis. Dan ia manis
sekali, kulitnya pucat halus, matanya hijau besar, dan rambutnya
warna tembaga, berombak, tergerai sampai bahu.
Jadi apa yang diirikannya"
Kurasa Cory cuma berusaha menyenangkan perasaanku - dan sama
sekali tidak berhasil. Yah, kukumpulkan semua kertas-kertasku dan menjejalkannya ke
dalam buku tulis lagi. Sharon bertanya apa aku baik-baik saja. (Sharon guruku.
Di Sekolah Menengah Montrose sini, kami semua memanggil
guru dengan nama depan mereka.)
Aku menggumam mengatakan aku tidak apa-apa, meskipun sikuku
berdenyut-denyut sakit bukan main. Langsung saja kutulis soal di
papan tulis. Kapurnya berdecit-decit, semua orang jadi mengerang dan berkeluh
kesah. Yah, bagaimana lagi. Tiap kali aku menulis di papan tulis,
kapurnya selalu berdecit-decit.
Mestinya orang tidak perlu ribut begitu, kan"
Kudengar Judith berbisik membicarakan aku pada Anna, tapi aku
tidak bisa mendengar apa yang dibisikkannya itu. Aku menoleh dan
melihat mereka berdua mencibir dan menyeringai.
Dan yang lebih parah - aku tidak bisa mengerjakan soalnya.
Persamaannya ada yang salah, dan aku tidak tahu yang mana.
Sharon melangkah ke belakangku, lengannya yang kurus terlipat di
depan baju hangat warna hijau mudanya yang norak. Bibirnya
bergerak-gerak ketika membaca pekerjaanku, berusaha melihat di
mana kesalahanku. Dan tentu saja Judith mengacungkan tangan dan berseru, "Aku tahu salahnya,
Sharon. Byrd tidak bisa menambah. Empat tambah dua jadi
enam, bukan lima." Aku merasa wajahku merah padam lagi.
Entah bagaimana nasibku kalau tidak ada Judith yang menunjukkan
kesalahanku di depan anak-anak sekelas.
Semua orang tertawa lagi. Bahkan Sharon pun mengganggapnya lucu.
Dan aku terpaksa berdiri saja dan pasrah menerima ejekan begitu.
Dasar si Samantha, anak paling goblok di kelas.
Tanganku gemetar waktu menghapus kesalahanku dan menuliskan
angka yang benar. Aku marah sekali. Pada Judith. Dan pada diri sendiri.
Tapi aku berusaha tenang waktu berjalan - hati-hati - ke tempat
dudukku. Aku bahkan tidak melirik Judith ketika melewati dia.
Aku bisa tetap tenang sampai pelajaran Ekonomi Rumah Tangga
siang harinya. Lalu jadi konyol. GURU pelajaran Ekonomi Rumah Tangga adalah Daphne. Aku suka
pada Daphne. Ia wanita bertubuh besar, riang, dagunya berlipat-lipat, dan suka
bergurau. Menurut desas-desus, Daphne selalu menyuruh kami memasak kue,
pai, brownies, supaya bisa dimakannya sendiri setelah pelajaran
selesai. Kurasa omongan begitu jahat juga. Tapi mungkin ada benarnya juga.
Pelajaran Ekonomi Rumah Tangga dimulai tepat setelah makan siang,
jadi kami tidak pernah terlalu lapar. Lagi pula, sebagian besar hasil masakan
kami tidak enak, anjing saja rasanya tidak akan suka. Jadi
biasanya kami tinggalkan saja di kelas.
Aku selalu menunggu-nunggu pelajaran itu. Selain karena Daphne
guru yang asyik, cuma pelajaran itulah yang tidak pernah ada
pekerjaan rumahnya. Satu-satunya hal yang menyebalkan pada pelajaran Ekonomi Rumah
Tangga, Judith juga ada di situ. Tadi Judith dan aku bertengkar di
ruang makan siang. Aku duduk di ujung meja, sejauh mungkin dari
dia. Tapi aku masih bisa mendengar ia bercerita pada dua anak kelas
delapan. "Byrd berusaha terbang waktu pelajaran matematika."
Semua orang tertawa dan memandangi aku.
"Kau menjegal aku, Judith!" teriakku marah. Mulutku sedang penuh selada telur,
yang mengalir ke daguku waktu aku berteriak.
Semua orang menertawakan aku lagi.
Judith mengatakan sesuatu, aku tidak bisa mendengarnya karena
ruang makan siang berisik sekali. Ia mencibir padaku dan
mengibaskan rambut merahnya ke belakang bahu.
Aku berdiri dan mendatanginya. Aku tidak tahu apa yang sedang
kulakukan. Tapi aku marah sekali sampai tidak bisa berpikir jernih.
Untunglah Cory muncul di seberang meja. Diletakkannya baki makan
siangnya di meja, dibalikkannya kursi seperti biasa, dan duduk.
"Berapa empat tambah dua?" godanya.
"Empat puluh dua," jawabku sambil membelalakkan mata. "Kau percaya Judith?"
tanyaku suram. "Tentu saja aku percaya Judith," katanya sambil membuka bungkusan makan
siangnya. "Judith ya Judith."
"Apa maksudmu?" bentakku.
Ia mengangkat bahu. Ia meringis. "Entah."
Cory lumayan cakep. Matanya cokelat tua yang agak berkerut di
sudut, hidung yang sedikit terlalu panjang, dan senyum bengkok yang
lucu. Rambutnya bagus, tapi tidak pernah disisirnya. Jadi ia selalu pakai
topi. Topi Orlando Magic, meskipun ia tidak tahu dan tidak peduli
pada tim itu. Ia cuma suka topinya.
Ia mengintip bungkusan makan siangnya dan memberengut.
"Lagi-lagi?" tanyaku sambil mengelap selada telur dari bagian depan baju kausku
dengan serbet. "Yeah. Lagi-lagi," jawabnya sebal. Dikeluarkannya makan siang yang selalu
dibuatkan ayahnya setiap pagi. Sandwich keju panggang dan
jeruk. "Hii!" "Kenapa setiap hari ayahmu selalu membuatkan keju panggang?"
tanyaku. "Tidak kau bilang padanya kejunya jadi dingin dan lengket waktu makan
siang?" "Sudah kubilang," geram Cory sambil meletakkan selembar
sandwichnya di satu tangan dan diamatinya seperti mengamati bahan
laboratorium ilmiah. "Katanya keju protein bagus."
"Bagaimana bisa jadi protein bagus kalau tiap hari kau buang ke tempat sampah?"
tanyaku. Cory tersenyum miring. "Aku tidak bilang padanya tiap hari
membuang sandwich ke tempat sampah." Dimasukkannya sandwich
liat itu ke dalam bungkusan dan mengupas jeruk.
"Untung kau datang," kataku sambil menelan gigitan terakhir sandwich selada
telurku. "Aku tadi baru saja akan bangun dan
membunuh Judith di sana itu."
Kami berdua memandang sekilas ke ujung meja.
Judith dan kedua anak kelas delapan itu memiringkan kursi dan
menertawakan sesuatu. Salah satu anak kelas delapan itu memegang
majalah, kurasa majalah People, ia sedang menunjukkan gambar di
majalah pada teman-temannya.
"Jangan bunuh Judith," kata Cory sambil terus mengupas jeruk. "Kau bisa susah
nanti." Aku tertawa, tertawa mengejek. "Kau bercanda" Aku bisa dapat
penghargaan." "Kalau kau bunuh Judith, tim bola basketmu bisa kalah melulu nanti,"
kata Cory, asyik mengupas jeruk.
"Oh, jahat sekali kau!" seruku. Kulemparkan bola kertas alumunium ke arahnya.
Bola itu mental di dadanya dan jatuh ke lantai.
Ia benar, tentu saja. Judith pemain terbaik tim kami, the Montrose
Mustangs. Ia satu-satunya pemain terbaik. Ia pintar sekali membawa
bola, bolanya takkan terselip di kakinya. Dan matanya tajam sekali
sehingga bisa menembak dari jauh.
Aku, tentu saja, pemain paling parah di tim. Kuakui itu. Aku benar-
benar goblok, seperti kubilang tadi, yang tidak bisa macam-macam di
lapangan basket. Sebetulnya aku tidak mau ikut bermain di tim Mustangs. Aku tahu aku
bakal bermain jelek. Tapi Ellen ngotot. Ellen adalah pelatih bola basket tim anak
perempuan. Ia ngotot memaksaku bergabung..
"Sam, kau tinggi sekali!" katanya padaku. "Kau harus bermain bola basket. Kau
punya bakat alam!" Yah, aku memang punya bakat alam. Bakat alam jadi orang goblok.
Aku sama sekali tidak bisa menembak, tembakan hukuman pun tidak
bisa. Terutama tembakan hukuman.
Dan aku tidak bisa berlari tanpa tersandung sepatu Reebok-ku sendiri.
Tanganku kecil, meskipun bagian lain tubuhku tidak, jadi aku tidak
terlalu pandai melempar atau menangkap bola.
Kurasa Ellen sudah dapat pelajaran: tinggi bukanlah segalanya
Tapi sekarang ia malu untuk mengeluarkan aku dari tim. Jadi aku
masih saja bergabung terus. Aku berlatih keras. Maksudku, aku tetap
merasa nanti akan pandai juga main basket. Jangan sampai
permainanku semakin parah.
Kalau saja Judith tidak sejahat itu.
Dan kalau saja ia lebih ramah padaku.
Tapi, seperti kata Cory, "Judith ya Judith." Ia selalu membentak-bentak aku
selama latihan, mengolok-olok aku, dan membuatku
merasa setinggi enam puluh senti (yang kadang-kadang memang
itulah harapanku)! "Byrd, bantulah kami, terbang sajalah kau jauh-jauh!" Kalau sekali lagi dia
bicara begitu, akan kutinju dia. Betul.
"Apa yang kau pikirkan, Sam?" Suara Cory membuyarkan lamunan pahitku.
"Tentu saja tentang Judith," gumamku. "Si Nona Sempurna."
"Hei, stop," kata Cory sambil membagi jeruk.
"Tahu tidak, kau juga punya sifat yang baik."
"Oya?" bentakku. "Apa sifat baikku" Tinggi badanku?"
"Bukan." Akhirnya dimakannya potongan jeruknya. Belum pernah kulihat orang makan
jeruk segitu lamanya! "Kau juga pandai,"
katanya. "Dankau lucu."
"Terima kasih banyak," kataku, dengan dahi berkerut.
"Dan kau sangat baik hati," tambahnya. "Kau sangat baik hati, makanya kau akan
memberikan sebungkus keripik kentang itu buatku,
kan?" Disambarnya bungkusan itu sebelum aku bisa
menyembunyikannya. Aku tahu pasti ada apa-apanya di balik pujian itu.
Kuamati Cory menyikat keripik kentangku. Aku tidak ditawari sedikit
pun. Lalu bel berbunyi, dan aku segera masuk ke kelas Ekonomi Rumah
Tangga. Di sanalah aku jadi kacau.
Kejadiannya begini: kami membuat puding tapioka. Dan semuanya
berantakan. Kami semua punya mangkuk adonan besar warna jingga, dan bahan-
bahan untuk memasak diletakkan di meja panjang di sebelah kompor.
Aku sibuk mengaduk adonanku. Adonanku kelihatan bagus dan
empuk, suaranya plop plop kalau kuaduk dengan sendok kayu
panjang. Entah kenapa tanganku jadi lengket. Mungkin ketumpahan puding
sedikit. Jadi aku berhenti mengaduk dan melap tanganku di celemek.
Aku lumayan bersih - untuk ukuranku. Cuma ada sedikit genangan
puding kuning di mejaku. Sisanya sebagian besar ada di dalam
mangkuk adonan. Aku selesai mengaduk, dan ketika kuangkat kepala, ada Judith.
Aku agak terkejut karena tadi ia bekerja di seberang sana, di dekat
jendela. Biasanya kami selalu berusaha memisahkan diri sejauh
mungkin. Judith tersenyum aneh. Dan ketika mendekati aku, ia pura-pura
tersenyum. Aku bersumpah ia cuma pura-pura tersandung. Ditumpahkannya
seluruh isi mangkuk adonan tapiokanya ke sepatuku.
Sepatu Doc Martens biruku yang baru.
"Ups!" katanya.
Cuma itu. Cuma "Ups."
Kupandang sepatu baruku yang tertutup adonan puding kuning
empuk. Saat itulah aku jadi kacau.
Aku meraung marah dan mengulurkan tangan ke tenggorokan Judith.
Aku tidak bermaksud melakukannya. Kurasa aku jadi gila sesaat
begitu karena marah sekali.
Aku mengulurkan kedua tanganku dan mencengkeram tenggorokan
Judith, dan mulai mencekiknya.
Sepatu baruku! Sepatu baruku jadi hancur!
Judith meronta-ronta dan berusaha berteriak. Dijambaknya rambutku
dan mencoba mencakarku. Tapi kupegang terus tenggorokannya dan meraung lagi, seperti
harimau marah. Daphne terpaksa memisahkan kami.
Ditariknya bahuku, lalu dijejalkannya tubuhnya yang besar di antara


Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami, menghalangi pandangan kami.
Napasku memburu. Dadaku naik turun.
"Samantha! Samantha! Kenapa kau ini?" Kurasa itu yang diteriakkan Daphne.
Aku tidak terlalu mendengarnya. Di telingaku terdengar suara
menggemuruh, keras seperti suara air terjun. Kurasa cuma karena
perasaanku sedang marah saja.
Sebelum aku sadar, aku sudah menjauh dari meja dan lari ke luar
ruangan. Aku berlari ke lorong sekolah yang sepi - dan berhenti.
Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku marah sekali.
Kalau aku bisa mengajukan permintaan, kataku pada diri sendiri, aku
tahu akan minta apa: Hancurkan Judith! Hancurkan Judith! Hancurkan
Judith! Aku tidak tahu harapanku itu akan segera terkabul.
Ketiga-tiganya! DAPHNE menyeretku masuk ke kelas lagi dan memaksa Judith dan
aku bersalaman dan saling minta maaf. Kalau tidak begitu, kami akan
dikeluarkan dari sekolah.
"Tadi benar-benar kecelakaan," gumam Judith samar. "Kenapa kau ini, Byrd?"
Minta maaf apaan tuh. Tapi aku mau bersalaman dengan dia. Aku tidak mau orangtuaku
sampai dipanggil ke sekolah karena anak perempuan mereka berusaha
mencekik teman sekelasnya.
Dan aku ikut latihan basket sepulang sekolah - meskipun segan-segan.
Aku tahu kalau aku tidak datang, Judith akan mengatakan pada semua
orang berhasil ia menakut-nakuti aku.
Aku datang karena tahu Judith tidak mau aku datang. Yang menurutku
adalah alasan tepat. Selain itu, aku juga perlu gerak badan. Aku perlu berlari bolak-balik melintasi
lapangan beberapa ratus kali supaya perasaan marahku bisa
hillang. Aku perlu menghilangkan rasa frustrasi karena tidak bisa
mencekik Judith sampai puas.
"Ayo lari cepat," usul Ellen.
Beberapa anak lain mengeluh, tapi aku tidak. Aku sudah berlari
sebelum Ellen meniup peluit.
Kami semua mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan. Ellen
mengenakan baju olah-raga kelabu yang longgar di mana-mana.
Rambut Ellen merah keriting kribo, tubuhnya lurus dan kurus, ia
kelihatan seperti korek api.
Ellen tidak terlalu suka berolahraga. Ia memberitahu kami ia jadi
pelatih basket anak perempuan karena dibayar ekstra, dan ia perlu
uangnya. Setelah berlari di sekeliling aula, latihan berlangsung seperti biasanya.
Judith dan Anna sering saling memberi bola. Dan mereka berdua
sering menembakkan bola - tembakan melompat, tembakan lay-up,
bahkan tembakan melengkung.
Anak-anak lain berusaha menyamai mereka. Aku berusaha tidak
diperhatikan. Aku masih terbayang-bayang kekacauan gara-gara puding tapioka tadi
dan ingin sebisa mungkin tidak berhubungan dengan Judith - atau
siapa saja. Maksudku, aku benar-benar sedang suntuk.
Dan mengamati Judith menembak sejauh enam meter, menangkap
pantulan bolanya sendiri, dan memberikan bola pada Anna dengan
teknik dua tangan yang sempurna, sama sekali tidak mengurangi
kesuntukanku. Tentu saja, keadaan jadi semakin parah.
Anna ternyata memberikan bola padaku. Aku tidak berhasil
menangkapnya. Bola itu lolos dari tanganku, mengenai dahiku, dan
menggelinding ke luar. "Bangun, Byrd!" kudengar Ellen berteriak.
Aku tetap berlari-lari. Aku berusaha tidak kelihatan gugup karena
telah menggagalkan kesempatanku berlatih.
Beberapa menit kemudian, kulihat bolanya terbang ke arahku lagi, dan kudengar
Judith berteriak, "Tangkap yang ini, Bangau!"
Aku terkejut sekali mendengar ia terang-terangan menyebutku
"Bangau" sehingga aku jadi bisa menangkap bola. Aku mulai
membawa bola ke jaring - tiba-tiba Anna mengulurkan tangan dan
dengan mudah mencuri bola. Ia berbalik dan menembak bola ke
jaring, hampir saja masuk.
"Hebat, Anna!" teriak Ellen.
Dengan napas terengah-engah, aku berbalik dan berkata marah pada
Judith, "Kau bilang apa aku tadi?"
Judith pura-pura tidak mendengar.
Ellen meniup peluit. "Fast break!" teriaknya.
Kami berlatih fast break sekaligus tiga-tiga. Kami membawa bola
cepat-cepat, memberikan bola ke depan dan ke belakang. Lalu anak
yang berada di bawah hoop sambil membawa bola harus menembak.
Aku harus latihan slow break! pikirku sendiri.
Aku tidak punya masalah untuk menyamai anak-anak lain. Kakiku
kan paling panjang. Aku bisa lari lumayan cepat. Tapi aku tidak bisa melakukan
apa-apa kalau sedang lari.
Ketika Judith, Anna, dan aku ribut berlari-lari di lapangan, aku berdoa semoga
permainanku tidak memalukan. Keringat bercucuran di
dahiku. Jantungku berdebar-debar kencang.
Kuambil bola pendek dari Anna, membawanya ke bawah jaring, dan
menembak. Bolanya terbang lurus ke atas, lalu mental di lantai.
Mendekati papan ring saja tidak.
Kudengar anak-anak di pinggir lapangan tertawa. Judith dan Anna
seperti biasa mencibir meremehkan. "Tembakan bagus!" seru Judith, anak-anak
semakin keras tertawa. Setelah dua puluh menit siksaan fast break, Ellen meniup peluit.
"Latihan," teriaknya. Itu tanda supaya kami membuat dua tim dan bertanding.
Aku menarik napas, kuusap keringat di dahi dengan punggung tangan.
Aku berusaha ikut terlibat dalam permainan. Aku berkonsentrasi
keras, sebagian besar agar tidak kacau. Tapi aku agak patah semangat juga.
Lalu, setelah bermain beberapa menit, Judith dan aku sama-sama
menyerbu bola. Entah bagaimana caranya, ketika aku menyerbu bola, lenganku
terjulur, lutut Judith terangkat kuat-kuat - dan menusuk dadaku seperti pisau.
Rasa sakitnya menyambar ke sekujur tubuhku.
Aku berusaha berteriak. Tapi suaraku tidak mau keluar.
Napasku megap-megap, suaranya aneh, seperti suara anjing laut
sakit - lalu aku sadar aku tidak bisa bernapas.
Semuanya jadi merah. Merah terang yang bersinar-sinar.
Lalu hitam. Aku tahu aku akan mati. Ebukulawas.blogspot.com MERASAKAN napas putus seperti itu pastilah perasaan paling tidak
enak sedunia. Mengerikan sekali rasanya. Kau berusaha bernapas, tapi tidak bisa.
Dan rasa sakitnya terus saja semakin mengembang, seperti ada balon ditiup di
dalam dadamu. Aku benar-benar mengira aku sudah mati.
Tentu saja beberapa menit kemudian aku sudah sembuh. Aku masih
merasa lemas sedikit, agak pusing. Tapi pada dasarnya aku baik-baik
saja. Ellen menyuruh salah satu ada yang mengantarkan aku ke ruang ganti
pakaian. Tentu saja, Judith bersedia. Ketika kami berjalan, ia minta maaf.
Katanya tadi itu kecelakaan. Benar-benar kecelakaan.
Aku diam saja. Aku tidak butuh permintaan maafnya. Aku sama sekali
tidak mau bicara dengannya. Aku cuma ingin mencekiknya lagi.
Sekali ini sampai mati. Maksudku, seberapa yang bisa ditahan orang dalam satu hari" Judith
sudah menjegalku waktu pelajaran matematika, menumpahkan puding
tapiokanya yang menjijikkan di sepatu Doc Martens baruku waktu
pelajaran Ekonomi Rumah Tangga, dan menendangku sampai pingsan
waktu latihan basket. Apa sekarang aku harus tersenyum dan menerima permintaan
maafnya" Tidak usah ya! Sampai kapan pun aku tidak sudi.
Aku berjalan diam ke ruang ganti pakaian, kepalaku tertunduk,
mataku menatap lantai. Ketika dilihatnya aku tidak mau memaafkannya, Judith jadi marah.
Coba lihat kelakuannya! Dadaku ditendangnya - eeh, malah dia yang
marah! "Terbang saja kau, Byrd!" gumamnya. Lalu ia lari lagi ke aula.
Aku ganti pakaian tanpa mandi lagi. Lalu kukumpulkan barang-
barangku, keluar dari gedung, dan mengambil sepeda.
Cukup sudah, pikirku sambil menuntun sepeda melintasi pelataran
parkir di belakang sekolah.
Setengah jam kemudian. Langit siang tampak kelabu dan mendung.
Kurasakan sedikit tetesan hujan di kepala.
Cukup sudah, ulangku dalam hati.
Rumahku dua blok dari sekolah, tapi aku sedang tidak ingin pulang.
Aku ingin naik sepeda terus. Aku ingin naik sepeda lurus saja dan
tidak menoleh-noleh lagi.
Aku marah, sebal, dan gemetaran. Tapi lebih banyak marahnya.
Tidak kupedulikan hujan, aku naik ke atas sepeda dan mengayuhnya
menjauh dari rumah. Halaman depan dan rumah-rumah berseliweran.
Aku tidak melihatnya. Aku tidak melihat apa-apa.
Aku menggenjot semakin kuat dan semakin kuat. Enak sekali rasanya
menjauh dari sekolah. Menjauh dari Judith.
Hujan mulai turun semakin deras. Aku tidak peduli. Kutengadahkan
kepala ke langit sambil menggenjot sepeda. Air hujan terasa dingin
dan menyegarkan di kulitku yang panas.
Ketika memandang ke depan lagi, kulihat aku sudah sampai Hutan
Jeffers, deretan panjang pepohonan yang membatasi lingkungan
rumahku dengan lingkungan sebelah.
Di antara pohon-pohon yang tinggi dan tua itu ada jalan setapak kecil untuk naik
sepeda. Pohon-pohon itu gundul dan tampak sedih dan
kesepian tanpa daun-daunnya. Kadang-kadang aku bersepeda di situ,
untuk mengetahui seberapa cepat aku bisa naik sepeda di jalan yang
berkelok-kelok dan tidak rata.
Tapi langit semakin gelap, awan hitam melayang rendah. Dan kulihat
ada kilatan petir di langit di atas pepohonan.
Kuputuskan sebaiknya berbalik dan pulang saja. Tapi ketika aku
berbalik, ada orang melangkah di depanku. Seorang wanita!
Aku terkesiap, terkejut melihat ada orang di jalan sepi di samping
pepohonan ini. Aku memicingkan mata menatapnya, sementara hujan semakin deras,
bergemericik di jalanan sekitarku. Wanita itu tidak muda, dan tidak
tua. Matanya kelam, seperti batu bara, wajahnya putih pucat.
Rambutnya yang hitam lebat tergerai di belakang.
Pakaiannya agak kuno. Di bahunya melingkar syal wol merah cerah
yang tebal. Ia mengenakan rok hitam panjang sampai ke mata kaki.
Matanya yang kelam kelihatan seperti menyala ketika menatap
mataku. Ia kelihatan bingung. Mestinya aku lari. Mestinya aku menggenjot sepedaku menjauh dari dia secepat-
cepatnya. Kalau saja aku tahu... Tapi aku tidak menjauh. Aku tidak pergi.
Aku malah tersenyum padanya. "Bisa saya bantu?" tanyaku.
MATA wanita itu menyipit. Aku tahu ia sedang mengamati aku.
Kujejakkan kaki ke tanah, berusaha agar sepedaku tidak sampai jatuh.
Hujan gemericik di jalanan, tetesannya besar-besar dan dingin.
Tiba-tiba aku ingat mantelku ada tudung kepalanya. Kujulurkan
tangan ke belakang kepala dan memasang tudung menutupi rambut.
Langit semakin gelap dan berubah warna menjadi warna buah zaitun
yang mengerikan. Pepohonan gundul di hutan bergetar ditiup angin
yang berputar. Wanita itu maju beberapa langkah. Pucat sekali dia, pikirku. Hampir
seperti hantu, tapi matanya dalam dan kelam, terus menatapku tajam.
"Rasa - rasanya aku tersesat," katanya. Aku terkejut, suaranya seperti suara
wanita tua, agak gemetar dan lemah.
Kupicingkan mata. Rambutnya yang hitam lebat menempel
bergumpal-gumpal di kepalanya karena kena hujan. Umurnya tidak
bisa ditebak. Bisa saja dua puluh atau enam puluh tahun!
"Ini Montrose Avenue," kataku keras-keras karena suara hujan berisik sekali.
"Sebetulnya, Montrose cumaa sampai sini. Sampai di hutan."
Dia mengangguk serius, dikerutkannya bibirnya yang pucat. "Aku
ingin ke Madison," katanya. "Kurasa aku benar-benar kehilangan arah."
"Anda lumayan jauh dari Madison," kataku. "Madison di sebelah sana." Aku
menunjuk. Wanita itu menggigit bibir bawahnya. "Biasanya aku pintar membaca arah,"
sesalnya dengan suara gemetar. Dirapikannya syal merah tebal di bahunya yang
langsing. "Madison jauh di sebelah timur sana," kataku sambil menggigil. Hujan terasa
dingin. Aku tidak sabar ingin pulang dan berganti pakaian.
"Kau bisa mengantarkan aku ke sana?" tanya wanita itu.
Dicengkeramnya pergelangan tanganku.
Aku nyaris terkesiap keras-keras. Tangannya dingin seperti es!
"Bisa kau antarkan aku ke sana?" ulangnya, didekatkannya wajahnya.
"Aku akan sangat berterima kasih."
Ia sudah menarik tangannya. Tapi aku masih bisa merasakan
genggamannya yang sedingin es di pergelangan tanganku.
Kenapa aku tidak lari saja"
Kenapa tidak kuangkat saja kakiku ke pedal sepeda dan mengayuhnya
secepat mungkin" "Tentu. Akan kutunjukkan di mana letaknya," kataku.
"Terima kasih, Sayang." Ia tersenyum. Kalau tersenyum, tampak ada lesung pipit
di salah satu, pipinya. Aku sadar ia lumayan cantik juga, dalam ukuran kuno.
Aku turun dari sepeda dan mendorongnya sambil memegangi setang.
Wanita itu berjalan di sampingku, dirapatkannya syalnya. Ia berjalan di tengah
jalan, matanya tak henti-hentinya menatapku.
Hujan terus turun. Kulihat ada kilatan petir di kejauhan di langit yang berwarna
buah zaitun. Angin yang berputar-putar membuat mantelku
berkibar-kibar mengenai kakiku.
"Apa jalanku terlalu cepat" tanyaku.
"Tidak, Sayang. Aku bisa menyamai langkahmu," jawabnya sambil tersenyum. Di
bahunya tersampir tas ungu kecil. Dikepitnya tas itu
supaya tidak basah. Ia mengenakan sepatu bot hitam di bawah roknya yang panjang.
Kulihat di bagian samping sepatu botnya itu ada deretan kancing-
kancing kecil. Ketika kami berjalan, sepatunya berdetik-detik di
jalanan yang basah. "Maaf aku jadi merepotkan kau," kata wanita itu dikerutkannya bibirnya dengan
penuh penyesalan lagi. "Tidak apa-apa," jawabku. Amalku untuk hari ini, pikirku, kuusap tetesan hujan
dari hidungku. "Aku suka hujan," katanya, diangkatnya tangannya, dibiarkannya air hujan
membasahi telapak tangannya yang terbuka. "Kalau tidak ada hujan, siapa yang
akan menyingkirkan setan?"
Aneh omongannya, pikirku. Aku menggumam tidak jelas. Aku ingin
tahu setan apa yang dimaksudkannya tadi.
Rambut hitam panjangnya sudah basah kuyup,
kelihatannya ia tidak peduli. Ia berjalan cepat dengan langkah yang
panjang dan mantap sambil mengayun satu tangan, dan melindungi tas
ungu di kepitan tangan yang satu lagi.
Beberapa blok kemudian, setang sepeda terlepas dari peganganku.
Sepedaku jatuh, dan lututku luka tergores pedal waktu aku berusaha


Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar sepeda supaya jangan jatuh.
Dasar goblok! Kutarik sepedaku dan berjalan lagi. Lututku berdenyut-denyut. Aku
menggigil. Angin meniup hujan ke wajahku.
Buat apa aku di sini" pikirku dalam hati.
Wanita itu terus saja berjalan cepat-cepat, wajahnya kelihatan serius.
"Hujannya deras juga," katanya, dipandangnya awan-awan gelap.
"Kau baik sekaIi, Sayang."
" Tidak terlalu jauh dari tujuanku, kok," kataku sopan. Cuma delapan atau
sepuluh blok lagi saja! "Entah kenapa aku bisa tersesat begitu jauh," katanya sambil menggeleng-geleng.
"Aku yakin menuju arah yang benar. Lalu waktu aku sampai i pepohonan itu..."
"Kita hampir sampai," kataku.
"Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba.
"Samantha," kataku. "Tapi panggilanku Sam."
"Namaku Clarissa," katanya. "Aku Sang Wanita Kristal."
Aku tidak yakin apa pendengaranku mengenai perkataannya yang
terakhir itu benar begitu. Aku bingung sebentar, lalu kulupakan saja.
Aku tahu sekarang sudah sore. Mom dan Dad mungkin sudah pulang
kerja. Kalaupun mereka belum sampai di rumah, abangku, Ron,
mungkin saja ada di rumah, kebingungan kenapa aku belum juga
pulang. Ada mobil station wagon melaju ke arah kami, lampu depannya
menyala. Kulindungi mataku supaya tidak silau kena cahaya terang itu dan hampir
saja menjatuhkan sepedaku lagi.
Wanita itu tetap berjalan di tengah jalan. Ak berjalan ke pinggir
supaya ia bisa menyingkir dari jalanan mobil tadi. Tapi tampaknya ia tidak
peduli. Ia tetap saja berjalan lurus ke depan, ekspresi wajahnya tidak berubah,
meskipun wajahnya terang benderang kena sinar
lampu. "Awas!" teriakku.
Aku tidak tahu apakah ia mendengarku.
Mobil itu berbelok untuk menghindarinya dan membunyikan klakson
sambil berlalu. Wanita itu tersenyum hangat padaku ketika kami terus berjalan. "Baik sekali kau
mau mengurus orang yang benar-benar tidak kau kenal,"
katanya. Tiba-tiba lampu jalanan menyala. Jalanan yang basah jadi berkilau-
kilau. Semak-semak dan pagar tanaman, rumput, trotoar - semua
kelihatan berkilau. Semua kelihatan aneh.
"Sudah sampai. Ini Madison," kataku sambil menunjuk papan nama jalan. Akhirnya!
pikirku. Aku cuma ingin mengucapkan selamat tinggal pada wanita aneh ini
dan pulang secepat mungkin.
Kilat menyambar. Sekali ini lebih dekat.
Melelahkan sekali hari ini, pikirku sambil menarik napas.
Lalu aku teringat Judith.
Sepanjang hari yang menyebalkan tadi tiba-tiba memasuki pikiranku
lagi. Aku merasa marah sekali.
"Arah timur ke mana?" tanya wanita itu, suaranya yang gemetaran membuyarkan
lamunanku. "Timur?" Kupandang kedua arah Madison, berusaha menghilangkan Judith dari
pikiranku. Kutunjukkan. Tiba-tiba angin berembus, meniup hujan ke arahku. Kueratkan
peganganku di setang. "Kau baik sekali," kata wanita itu sambil melilitkan syal di lehernya.
Matanya yang kelam menatap tajam mataku. "Begitu baik.
Kebanyakan anak muda tidak baik seperti kau."
"Terima kasih," jawabku kikuk. Udara dingin membuat aku menggigil lagi. "Yah...
selamat tinggal" Aku naik ke sepeda.
"Tidak. Tunggu," pintanya. "Aku ingin membalas budimu."
"Hah?" seruku. "Jangan. Betul. Tidak usah."
"Aku ingin membalas budimu," kata wanita itu ngotot.
Dicengkeramnya pergelangan tanganku lagi. Dan sekali lagi
kurasakan dingin yang mengejutkan.
"Kau sudah begitu berbaik hati," ulang wanita itu. "Begitu baik pada orang yang
tidak kau kenal." Aku mencoba melepaskan pergelangan tanganku, tapi
cengkeramannya kuat sekali. "Anda tidak harus membalas budi
padaku," kataku. "Aku ingin membalas budi," jawabnya, didekatkannya wajahnya, tangannya masih
memegangi pergelangan tanganku. "Begini saja.
Akan kukabulkan tiga permintaanmu."
DIA gila, pikirku. Kutatap matanya yang hitam seperti batu bara. Air hujan menetes dari rambutnya,
turun ke bagian samping wajahnya yang pucat. Bisa
kurasakan tangannya yang dingin, meskipun tanganku tertutup mantel.
Wanita ini gila, pikirku.
Dua puluh menit aku berjalan di tengah hujan lebat dengan orang gila.
"Tiga permintaan," ulang wanita itu, dipelankannya suaranya seolah-olah tidak
ingin kedengaran orang lain.
"Terima kasih. Aku benar-benar harus pulang," kataku. Kutarik
pergelangan tanganku dari cengkeramannya dan kuputar sepedaku.
"Akan kukabulkan tiga permintaanmu," ulang wanita itu. "Apa saja yang kau minta
akan jadi kenyataan." Dibawanya tas ungunya ke
depan dan dengan hati-hati dikeluarkannya sesuatu. Bola kaca,
warnanya merah cerah, seukuran anggur besar. Bola kaca itu menyala
meskipun sekeliling kami gelap.
"Anda baik sekali," kataku sambil mengusap air hujan di sadel sepeda dengan
tangan. "Tapi sekarang ini aku tidak ingin minta apa-apa."
"Tolonglah - biarkan aku membalas kebaikan hatimu," wanita itu berkeras.
Diangkatnya bola yang menyala itu dengan satu tangan.
Tangannya kecil dan pucat seperti wajahnya, jari-jarinya kurus. "Aku benar-benar
ingin membalas budi."
"Ibu - uh - ibu saya pasti sudah cemas," kataku sambil memandang ke jalanan.
Tidak ada orang. Tidak ada orang yang bisa melindungi aku dari orang gila ini kalau ia jadi
berbahaya. Seberapa gilanya dia" pikirku. Apa dia bisa jadi berbahaya" Apa aku
membuatnya marah karena tidak mau menurut, karena tidak mau
meminta sesuatu" "Ini tidak main-main," kata wanita itu, ia bisa melihat ada perasaan ragu di
mataku. "Permintaanmu akan jadi kenyataan. Aku berjanji."
Disipitkannya matanya. Bola merah itu tiba-tiba menyala semakin
terang. "Ucapkan permintaan pertamamu, Samantha."
Kupandang dia lagi sambil berpikir keras. Aku kedinginan, basah,
lapar - dan agak ketakutan. Aku cuma ingin pulang dan ganti baju.
Bagaimana kalau dia tidak mau membiarkan aku pergi"
Bagaimana kalau aku tidak bisa menyingkirkannya" Bagaimana kalau
ia mengikuti aku sampai ke rumah"
Kupandang lagi jalanan. Lampu-lampu di sebagian besar rumah sudah
dinyalakan. Mungkin kalau perlu aku bisa lari ke rumah paling dekat
dan minta tolong. Tapi, pikirku, mungkin lebih mudah kalau dituruti saja wanita gila ini dan minta
sesuatu. Mungkin ia akan puas dan meneruskan
perjalanannya, membiarkan aku pulang.
"Apa keinginanmu, Samantha?" desaknya. Matanya yang hitam
menyala merah, sama seperti bola menyala yang dipegangnya.
Tiba-tiba ia kelihatan sangat tua. Kuno. Kulitnya pucat dan kencang
sekali, aku sampai merasa bisa melihat tengkoraknya.
Aku berdiri kaku. Aku tidak tahu harus minta apa.
Lalu aku keterlepasan bicara, "Saya ingin... menjadi pemain paling kuat di tim
bola basket saya!" Entah kenapa waktu itu aku berkata begitu. Kurasa karena gugup. Dan
karena teringat pada Judith dan semua kejadian hari itu, yang berakhir dengan
bencana waktu latihan basket.
Jadi itulah permintaanku. Tentu saja aku segera merasa seperti orang yang benar-
benar goblok. Maksudku, dari segitu banyaknya hal yang
bisa diminta di dunia ini, buat apa minta yang seperti itu"
Tapi wanita itu sama sekali tidak kelihatan terkejut.
Ia mengangguk, dipejamkannya matanya sebentar.
Bola merah itu menyala semakin terang, semakin terang sambil
cahaya merahnya yang seperti api bersinar menyelimuti aku. Lalu
segera meredup. Clarissa mengucapkan terima kasih sekali lagi, berbalik,
dimasukkannya bola kacanya ke dalam tas ungu, dan cepat-cepat
berjalan pergi. Aku menarik napas lega. Aku senang sekali ia pergi!
Aku naik ke sepeda, kuputar, dan cepat-cepat kukayuh ke arah rumah.
Akhir yang sempurna untuk hari yang sempurna, pikirku pahit.
Terjebak di tengah hujan dengan wanita gila.
Dan permintaan tadi"
Aku tahu semuanya benar-benar goblok.
Aku tahu aku tidak usah memikirkannya lagi.
WAKTU sedang makan malam tiba-tiba aku teringat pada permintaan
itu. Aku tidak bisa melupakan bagaimana bola kristal tadi memancarkan
cahaya merah aneh. Mom berusaha menyuruhku makan bubur kentang lagi, aku tidak
mau. Bubur kentang ini dari kotak - kau tahu kan, seperti potongan
kentang, atau makanan kotakan lainnya - dan rasanya sama kali tidak
seperti rasa bubur kentang asli.
"Sam, kau harus makan lebih banyak kalau mau tummbuh besar dan
kuat," kata Mom sambil menyodorkan mangkuk kentang padaku.
"Mom, aku tidak ingin tumbuh lagi!" seruku. "Aku sudah lebih tinggi dari Mom,
padahal umurku baru dua belas!"
"Tolong jangan teriak-teriak," kata Dad sambil mengambil buncis.
Buncis kalengan. Mom tadi terlambat pulang kerja dan tidak sempat
memasak makanan asli. "Aku juga tinggi waktu berusia dua belas tahun," kata Mom serius.
Disodorkannya kentang pada Dad.
"Lalu Mom menciut!" seru Ron, mengejek. Abangku mengira ia lucu.
"Maksudku aku tinggi untuk anak seusiaku," kata Mom.
"Yah, aku terlalu tinggi untuk anak seumurku," gerutuku. "Aku terlalu tinggi
untuk anak seumur berapa pun."
"Beberapa tahun lagi kau tidak akan bicara begitu," kata Mom.
Ketika ia melihat ke arah lain, kumasukkan tanganku ke kolong meja
dan memberikan buncis pada Punkin. Punkin anjingku, anjing
kampung cokelat kecil. Ia makan segalanya.
"Ada bakso lagi?" tanya Dad. Ia sebetulnya tahu masih ada bakso. Ia cuma ingin
Mom bangun dan mengambilkannya.
Mom mengambilkannya. "Bagaimana latihan bola basketmu?" tanya Dad padaku.
Aku mencibir dan mengacungkan dua jempol ke bawah.
"Dia terlalu tinggi untuk main basket," gumam Ron dengan mulut penuh makanan.
"Bola basket butuh stamina," kata Dad.
Kadang kadang aku tidak tahu kenapa Dad mengucapkan hal-hal yang
diucapkannya. Maksudku, mesti kujawab apa perkataan sepert itu"
Tiba-tiba aku teringat pada wanita gila tadi dan permintaan yang
kuucapkan. "Hei, Ron, mau main basket sebentar setelah makan
malam?" tanyaku sambil mengaduk-aduk buncis di piringku dengan
garpu. Kami punya ring basket di depan garasi dan ada lampu sorot untuk
menerangi jalan masuk. Kadang-kadang setelah makan malam Ron
dan aku main basket satu lawan satu. Kau tahu, kan. Untuk
menyegarkan diri sebelum mengerjakan pekerjaan rumah.
Ron memandang ke luar jendela ruang makan. "Hujan sudah
berhenti?" "Yeah. Sudah," kataku. "Kira-kira setengah jam vang lalu."
"Lapangannya masih basah," katanya.
"Sedikit genangan air tidak akan merusak permainanmu," kataku sambil tertawa.
Ron jago sekali main bola basket. Ia punya bakat jadi atlet. Jadi tentu saja ia
nyaris tidak berminat main denganku. Ia lebih suka membaca
buku di kamar. Buku apa saja.
"Aku banyak pekerjaan rumah," kata Ron sambil mendorong kaca mata berbingkai
hitamnya yang melorot. "Sebentar saja," kataku memohon-mohon. "Cuma latihan menembak sedikit."
"Bantu adikmu," desak Dad. "Kau bisa mengajarinya."
Ron terpaksa setuju. "Tapi cuma sebentar, ya." Ia memandang ke luar jendela
lagi. "Kita bakal basah kuyup."
"Kubawakan handuk," kataku sambil meringis.
"Jangan sampai Punkin keluar," kata Mom. "Nanti kakinya basah semua dan
mengotori lantai." "Entah kenapa kita mau melakukan hal ini," gerutu Ron.
Aku tahu ini konyol, tapi aku harus melihat apakah permintaanku jadi kenyataan.
Mungkinkah aku tiba-tiba jadi jago main bola basket"
Mungkinkan aku tiba-tiba bisa mengalahkan Ron"
Benar-benar bisa memasukkan bola ke ring"
Bisakah aku membawa bola tanpa tersandung" Membawa bola ke
arah yang kuinginkan" Menangkap bola tanpa mental di dadaku"
Aku terus mengejek diriku karena memikirkan permintaanku tadi.
Konyol. Benar-benar konyol.
Cuma karena seorang wanita gila menawarkan untuk mengabulkan
tiga permintaan, kataku dalam hati, bukan berarti kau harus
bersemangat dan mengira kau langsung berubah jadi Michael Jordan!
Tapi aku tetap tidak sabar ingin melawan bersama Ron.
Apakah aku akan menerima kejutan besar"
Aku benar-benar menerima kejutan.
Tembakanku semakin parah!
Ketika kulemparkan bola ke ring, tembakanku meleset jauh dari garasi dan aku
harus mengejar-ngejar bola di rumput basah.
Ron tertawa. "Ternyata kau sudah berlatih!" godanya.
Kudorong bola basket basah ke perutnya kuat-kuat.
Ia pantas menerimanya. Ucapannya tadi tidak lucu.
Aku kecewa sekali. Kukatakan berulang-ulang pada diriku permintaan tidak akan terkabul, terutama
permintaan yang diajukan pada wanita gila yang keluyuran
di tengah hujan. Tapi aku tetap saja berharap.
Maksudku, Judith dan Anna dan anggota tim lainnya jahat sekali
padaku. Pasti hebat rasanya kalau besok ikut bertanding melawan
Sekolah Dasar Jefferson dan tiba-tiba jadi bintang tim.
Bintang. Ha-ha. Ron membawa bola ke ring dan menembak dengan mudah.
Ditangkapnya pantulan tembakannya dan diserahkannya bola padaku.
Bola itu lewat di sela-sela tanganku dan membal ke jalan masuk. Aku
lari mengejarnya, terpeleset karena licin, dan jatuh tersungkur ke
genangan air. Bintang apaan. Permainanku semakin parah! kataku dalam hati.
Jauh lebih parah. Ron membantu aku berdiri. Kubersihkan diriku.
"Ingat, ini idemu sendiri!" katanya.
Sambil berteriak penuh tekad, kusambar bola, melesat melewati Ron,
dan cepat-cepat kubawa bola ke ring.
Aku harus memasukkannya ke ring. Harus!
Tapi ketika aku melompat untuk menembakkaan bola, Ron berhasil
menyusul aku. Ia melompat tinggi, mengangkat tangannya, dan


Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melemparkan bola. "Aaaaaagggh!" Aku berteriak frustrasi. "Aku berharap tinggimu cuma tiga puluh senti!"
teriakku. Ia tertawa dan lari mengejar bola.
Tapi aku gemetar ketakutan.
Apa yang baru kulakukan" tanyaku dalam hati menatap halaman
belakang yang gelap, menunggu Ron kembali membawa bola. Apakah
aku sudah mengucapkan permintaanku yang kedua"
Aku tidak sengaja! kataku pada diri sendiri, jantungku berdebar-debar kencang.
Tadi itu kecelakaan. Bukan permintaan yang sebenarnya.
Apa aku telah menciutkan abangku jadi setinggi puluh senti"
Tidak. Tidak. Kukatakan berulang-ulang,menunggu ia muncul lagi.
Permintaan pertama tidak terkabul. Tidak ada alasan untuk
mengharapkan permintaan kedua akan jadi kenyataan.
Aku memicingkan mata menatap halaman belakang yang gelap.
"Ron - di mana kau?"
Aku lalu tersentak ketika ia datang berlari-lari mendekatiku di atas rumput -
tingginya cuma tiga senti - seperti permintaanku tadi!
AKU berdiri kaku seperti patung. Badanku rasanya dingin seperti
batu. Lalu, ketika sosok kecil itu keluar dari kegelapan, aku jadi tertawa.
"Punkin!" teriakku. "Kok kau bisa keluar?"
Aku bahagia sekali melihatnya - bahagia sekali karena ternyata bukan
Ron yang berlari-lari d rumput - sehingga kuangkat anjing kecil itu
dan kupeluk erat-erat. Tentu saja aku jadi penuh lumpur karena kakinya kotor. Tapi aku
tidak peduli. Sam, tenangkan dirimu, kataku mengejek diri sendiri, sementara
Punkin meronta-ronta. Harapanmu mengenai Ron tidak akan jadi
kenyataan karena Clarissa dan bola merah menyalanya tidak ada di
sini. Kau harus berhenti memikirkan tiga permintaan itu, kataku dalam
hati. Konyol sekali. Dan kau jadi gila karena memikirkannya.
"Ada apa" Kok dia bisa keluar?" teriak Ron, muncul dari garasi sambil membawa
bola. "Pasti menyelinap ke luar," jawabku sambil mengangkat bahu. Kami main lagi
selama beberapa menit. Tapi udara dingin dan basah. Dan
sama sekali tidak asyik, terutama buatku.
Aku tidak berhasil memasukkan satu bola pun.
Kami mengakhiri permainan dengan lomba tembakan penalti,
permainan pendek seperti KUDA. Ron menang mudah. Nilaiku masih
nol besar. Ketika kami berlari ke rumah, Ron menepuk punggungku. "Mau main lempar-lemparan
ke dalam gelas saja?" godanya. "Atau mungkin Parcheesi?"
Aku mengeluh kesal. Tiba-tiba aku ingin sekali menceritakan padanya
kenapa aku merasa begitu kecewa, menceritakan tentang wanita aneh
tadi dan tiga permintaanku.
Aku belum bercerita pada Mom dan Dad. Ceritanya terlalu konyol,
sih. Tapi kurasa mungkin saja abangku akan menganggap ceritaku lucu.
"Aku harus menceritakan kejadian tadi sore padamu," kataku ketika kami membuka
sepatu di dapur. "Kau takkan percaya pada apa yang kualami. Aku - "
"Nanti saja," katanya, dibukanya kaus kakinya yang basah dan dimasukkannya ke
dalam sepatu. "Aku harus mengerjakan pekerjaan
rumah." Ia masuk ke kamar. Aku berjalan ke kamarku, tapi telepon berdering. Kuangkat setelah
dering pertama. Dari Cory, ia menelepon untuk menanyakan bagaimana latihan bola
basketku. "Hebat," kataku kasar. "Hebat sekali. Aku begitu menakjubkan sampai mereka akan
menghapus nomorku." "Kau mana punya nomor," kata Cory mengingatkan.
Teman yang hebat. Keesokan siangnya Judith berusaha menjegalku di ruang makan lagi.
Tapi sekali ini aku berhasil melangkahi kakinya yang terjulur.
Aku berjalan melewati meja Judith dan melihat Cory nyaris
tersembunyi di sudut dekat tempat sampah. Ia sudah membuka
bungkusan makan siangnya dan wajahnya kelihatan sebal sekali.
"Keju panggang lagi, ya?" tanyaku, kuletakkan bungkusan kertas cokelat makan
siangku dan menarik kursi di hadapannya.
"Keju panggang lagi," gumamnya. "Lihatlah. Kurasa keju Amerika pun bukan. Kurasa
ayahku berusaha menyelipkan keju murahan di
rotiku." Kubuka kotak susu cokelatku, lalu kutarik kursiku lebih dekat. Di
seberang ruangan beberapa anak tertawa keras sambil melempar-
lemparkan boneka Troll berambut pirang. Boneka itu jatuh ke sup
seseorang dan anak-anak yang duduk di meja itu ribut bersorak-sorai.
Ketika sedang mengangkat sandwich, tiba-tiba ada bayangan di
mejaku. Aku tahu ada orang berdiri di belakangku.
"Judith!" seruku sambil memandangnya.
Ia mencibir. Ia mengenakan baju hangat sekolah warna hijau dan putih dan celana
warna hijau tua. "Kau datang ke pertandingan sepulang sekolah Byrd?" desaknya dingin.
Kuletakkan sandwichku. "Yeah. Tentu aku datang" jawabku, bingung mendengar
pertanyaannya. "Sayang sekali," jawabnya, dahinya berkerut. "Kita jadi tidak punya kesempatan
menang." Sahabat karib Judith, Anna, tiba-tiba muncul di sebelahnya. "Kau sakit atau
kenapa sajalah biar tidak usah datang," katanya.
"Hei, jangan ganggu Sam terus!" seru Cory marah.
"Kami betul-betul ingin mengalahkan Jefferson," kata Anna, tidak dipedulikannya
Cory. Di dagu Anna ada noda lipstik warna merah tua.
Lipstik Anna paling tebal di antara semua lipstik anak-anak kelas
tujuh. "Aku akan berusaha sebaik-baiknya," jawabku dengan gigi
menggeretak. Mereka berdua tertawa seolah-olah aku bercanda. Lalu mereka pergi
sambil menggeleng. Kalau saja permintaan konyolku bisa terkabul! Pikirku kesal.
Tapi tentu saja aku tahu itu tidak mungkin.
Kurasa aku akan membuat diriku semakin malu dan terhina dalam
pertandingan nanti. Aku tidak tahu betapa akan mengejutkannya pertandingan itu.
DARI awal pertandingan sudah terasa aneh.
Pemain-pemain Jefferson sebagian besar anak kelas enam, dan
badannya kecil-kecil. Tapi mereka cukup terlatih. Mereka benar-benar tahu apa
yang harus dilakukan. Dan mereka sangat enerjik serta
kompak. Ketika mereka berlari-lari ke tengah lapangan untuk memulai
pertandingan, perutku mulas dan rasanya berat badanku jadi beratus-
ratus kilo. Aku betul-betul deg-degan bermain di pertandingan ini. Aku tahu aku
akan mengacau. Dan aku tahu Judith dan Anna pasti akan
membiarkan aku tahu betapa kacaunya tim gara-gara aku, dan betapa
sebalnya tim padaku. Jadi aku gemetaran waktu pertandingan dimulai. Dan waktu bola
melayang ke arahku, kusambar dan kubawa ke ring tim-ku sendiri!
Untung Anna sempat menarik dan membalikkan aku sebelum
kumasukkan bola ke ring kami! Kudengar tawa para pemain kedua
tim. Dan ketika kulirik ke pinggir lapangan, kulihat pelatih kedua rim
- Ellen dan pelatih Jefferson - tertawa juga.
Wajahku jadi merah padam. Aku langsung ingin keluar saat itu juga
dan masuk ke dalam lubang di tanah dan tidak muncul-muncul lagi.
Tapi - anehnya - bolanya masih ada padaku.
Aku berusaha memberikannya pada Judith. Tapi lemparanku terlalu
kuat, pemain Jefferson merebut dan membawanya ke ring kami.
Permainan baru berlangsung sepuluh detik, dan aku sudah melakukan
dua kesalahan! Aku berusaha menghibur diri, ini kan cuma permainan, tapi rasanya
sama saja. Setiap kali kudengar orang tertawa, aku tahu mereka pasti
menertawakan aku, menertawakan bagaimana aku tadi memulai
pertandingan dengan berlari ke arah yang salah.
Ketika kulihat hasil pertandingan untuk pertama kalinya, angkanya
enam-kosong, untuk Jefferson.
Tiba-tiba bola terbang ke arahku, entah dari mana datangnya.
Kusambar, tapi tangkapanku meleset.
Salah satu anggota timku mengambilnya, lalu mengembalikannya
padaku. Aku melepaskan tembakan pertamaku. Bolanya mengenai papan -
menurutku sudah hebat bisa kena papan! - tapi masih jauh dari ring.
Jefferson mengambil pantulannya. Beberapa saat kemudian,
kedudukan sudah delapan-kosong.
Permainanku semakin payah! erangku dalam hati.
Aku bisa melihat Judith melotot marah dari seberang lapangan.
Aku mundur, diam di sudut, jauh dari ring. Aku memutuskan akan
berusaha sebisa mungkin aku tidak berbuat apa-apa. Mungkin dengan
begitu aku jadi tidak terlalu mempermalukan diriku sendiri.
Kira-kira lima menit sebelum babak pertama berakhir, kejadian mulai
aneh. Kedudukan dua belas-dua, untuk Jefferson.
Judith melempar bola ke dalam lapangan.
Ia bermaksud melemparkannya ke Anna.Tapi lemparan Judith lemah,
bolanya mental ke pemain Jefferson yang berambut pirang pendek.
Kulihat Judith menguap ketika mengejar anak itu.
Beberapa detik kemudian, bola terlepas, mental di dekat tengah
lapangan. Anna berusahe menyambar.Tapi gerakannya lambat sekali,
pemain Jefferson berambut pirang tadi berhasil merebut bola.
Anna berdiri mengamatinya, napasnya terengah- engah, keringat
mengalir di dahinya. Aku terpaksa berhenti dan memandanginya.
Anna kelihatan kepayahan - padahal kami baru bermain lima menit!
Tim Jefferson membawa bola melintasi lapangan pemain-pemainnya
saling melemparkan bola, s mentara tim kami cuma berdiri bengong.
"Ayo, Mustangs!" teriak Judith, berusaha membangkitkan semangat.
Tapi kulihat ia menguap lagi ketika berjalan ke pinggir lapangan
untuk melempar bola ke dalam.
"Ayo, anak-anak! Semangat! Semangat!" teriak Ellen dari pinggir, tangannya
dibulatkan seperti terompet di mulut. "Lari, Judith - jangan jalan saja!Semangat
dong!" Dengan lemah Judith melempar bola ke lantai.
Bola itu mental menjauh dari pemain Jefferson.
Kusambar dan kubawa sambil berlari secepat mungkin.
Tepat di luar key, aku berhenti, berbalik, dan mencari teman untuk
diberi bola. Aku terkejut, teman-temanku masih jauh di belakang, berjalan pelan
kecapekan ke arahku. Ketika pemain-pemain Jefferson mengerumuni aku, berusaha merebut
bola, kutembakkan bolanya.
Kena pinggiran ring - dan memantul lagi ke tanganku.
Kutembakkan lagi. Dan gagal lagi.
Pelan-pelan Judith mengangkat tangan untuk menangkap pantulan
bola. Tapi bola mental melewati tangannya. Dahinya berkerut karena
kaget,tapi ia tidak berusaha mengejar.
Kusambar bola, ku-dribble dua kali, nyaris tersandung - dan
kutembakkan. Aku terkejut waktu melihat bolanya membal di atas ring, mendarat di
lingkaran besinya, lalu masuk.
"Bagus, Sam!" kudengar Ellen berteriak dari pinggir lapangan.
Teman-teman satu tim-ku bersorak lemah. Kulihatmereka mengejar
pemain Jefferson sambil menguap dan bergerak pelan, seperti terbius.
"Ambil! Ambil!" Ellen memompa semangat kami. Tapi percuma saja.
Judith tersandung dan jatuh. Aku bingung melihat ia tidak bangun.
Anna menguap keras-keras sambil berjalan ke arah bola, bukannya
lari. Dua teman tim Mustangs-ku juga kelihatan seperti berjalan pelan
begitu saja, usaha mereka untuk menjaga ring kami lemah sekali.
Dengan mudah Jefferson menambah angka. Judith masih berlutut,
matanya setengah terpejam. Astaga, apa-apaan ini" pikirku.
Suara peluit yang tinggi melengking membuyarkan lamunanku. Agak
lama baru aku sadar Ellen ingin time out.
"Mustangs - semangat! Semangat!" teriaknya sambil memberi tanda agar berkumpul d
sekelilingnya. Aku cepat-cepat berlari mendatanginya. Ketika aku berbalik, kulihat
Judith, Anna, dan anak-anak lain berjalan pelan sambil menguap,
terseret-seret. Dan ketika Ellen berteriak agar kami "bersemangat", kulihat mereka mendekat
kepayahan. Aku terkejut ketika menyadari harapanku jadi
kenyataan! " KENAPA kalian ini, anak-anak?" desak Ellen ketika kami berdesak-desakan di
pinggir lapangan. Dipandanginya kami, diamatinya satu
per satu dengan prihatin.
Anna terduduk lemas di lantai, bahunya membungkuk. Kelihatannya
untuk buka mata saja ia sudah tidak sanggup.
Judith bersandar di dinding ruang olahraga. Napasnya terengah-engah, tampak
titik-titik keringat di dahinya yang pucat.
"Ayo, yang semangat, dong," desak Ellen sambil menepuk tangannya.
"Kukira kalian bersemangat untuk bertanding."
"Di sini udaranya pengap," keluh salah satu pemain.
"Rasanya capek sekali," kata yang lain sambil menguap.
"Mungkin kami terkena sesuatu," kata Anna dari bawah.
"Kau merasa tidak enak juga?" tanya Ellen padaku.
"Tidak," kataku. "Aku baik-baik saja."
Di belakangku Judith mengerang kepayahan dan berusaha menjauh
dari dinding. Wasit, anak sekolah menengah yang mengenakan pakaian garis-garis
hitam putih yang sangat kedodoran, meniup peluit. Ia memberi tanda
agar kami kembali ke lapangan.
Aku tidak mengerti," Ellen menarik napas sambil menggeleng.
Dibantunya Anna berdiri. "Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti."
Aku mengerti. Aku sangat mengerti. Harapanku jadi kenyataan. Aku benar-benar tidak percaya! Wanita
aneh itu benar-benar punya kekuatan gaib. Dan ia telah memenuhi
permintannku. Meskipun tidak seperti yang kubayangkan.
Aku ingat sekali kata-kata yang kuucapkan. Aku berharap jadi pemain
terkuat di tim bola basket. Artinya aku ingin wanita itu membuatku
jadi pemain yang lebih kuat, lebih baik.
Tapi ia malah membuat pemain-pemain lain jadi lebih lemah!
Aku tetap saja pemain payah. Aku tetap tidak bisa membawa,
mengoper, menembakkan bola. Tapi aku pemain paling kuat di tim!
Kenapa aku dulu bisa goblok begitu" Aku marah-marah sendiri sambil
berlari ke tengah lapangan. Harapan tidak pernah menjadi kenyataan
seperti yang kau inginkan. Ketika sampai di tengah lapangan, aku
berbalik dan melihat Judith, Anna, dan pemain-pemain lain timku
berjalan malas-malasan masuk lapangan.
Bahu mereka membungkuk, dan mereka berjalan dengan sepatu
diseret-seret. Harus kuakui aku agak senang juga melihatnya. Maksudku, aku


Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa sangat sehat. Dan mereka kelihatan begitu lemah dan
memelas. Judith dan Anna pantas menerimanya, kataku dalam hati. Aku
berusaha supaya tidak tersenyum ketika mereka ogah-ogahan berdiri
di posisi mereka. Tapi mungkin aku tersenyum juga sedikit.
Wasit meniup peluit dan memanggil kami sebelum ia melempar bola
tanda permainan dimulai. Judith berhadap-hadapan dengan seorang
pemain fefferson di lingkaran tengah.
Wasit melemparkan bola ke atas. Pemain Jefferson melompat tinggi.
Judith setengah mati berusaha melompat. Aku bisa melihat
ketegangan di wajahnya. Tapi kakinya tetap saja menempel di lantai.
Pemain Jefferson memberikan bola pada salah satu teman satu timnya,
dan mereka segera berlari membawa bola ke ujung lapangan.
Aku berlari sekuat tenaga mengejar mereka. Tapi teman-temanku
cuma bisa berjalan. Dengan mudah Jefferson memasukkan bola. "Ayo, Judith - kita bisa
menyusul mereka!" teriakku sambil bersemangat bertepuk tangan.
Judith menatapku hampa. Matanya yang hijau tampak pudar, seperti
luntur. "Ambil! Ambil! Ayo, Mustangs!" teriakku penuh semangat.
Aku suka sekali memanas-manasi begini.
Dengan lemah Judith melempar bola ke dalam lapangan. Kuambil dan
kubawa ke ujung lapangan.
Di bawah ring, salah satu pemain Jefferson menabrakku dari belakang
ketika aku berusaha menembak.
Dua tembakan penalti untukku.
Rasanya lama sekali teman-temanku baru datang dan berbaris di dekat
ring. Tentu saja kedua tembakanku gagal.
Tapi aku tidak peduli. "Ayo, Mustangs!" teriakku sambil bertepuk tangan penuh semangat.
"Bertahan! Bertahan!"
Tiba-tiba aku jadi pemain dan cheerleader juga. Aku benar-benar
menikmati jadi pemain paling hebat di tim.
Asyik sekali rasanya melihat Judith dan Anna berjalan membungkuk
dan terseret-seret di lapaan seperti regu kalah yang kecapekan! Benar-benar
asyik! Kami kalah dengan kedudukan dua puluh-empat.
Judith, Anna, dan pemain lain tampak senang pertandingan sudah
selesai. Aku berlari-larl ke ruang ganti pakaian sambil tersenyum
lebar. Aku hampir selesai berganti pakaian ketika teman-teman satu timku
terseret-seret masuk. Judith berjalan mendekatiku dan bersandar di lemariku.
Dipandanginya aku dengan tatapan curiga.
"Kenapa kau bisa penuh semangat begini?" desaknya.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah," kataku. "Persaanku baik-baik saja.
Seperti biasanya." Keringat mengalir di dahi Judith. Rambut merahnya menempel di
kepalanya karena basah. "Ada apa, Byrd?" desaknya sambil menguap. "Aku tidak mengerti."
"Mungkin kau kena flu atau apalah," kataku, berusaha menutupi betapa senangnya
aku. lni benar-benar hebat! "Ohh, aku capek sekali," erang Anna sambil mendekati Judith.
"Aku yakin besok kalian pasti sudah baikan," kataku riang.
"Ada yang aneh di sini," gumam Judith lemah. Ia berusaha menatapku tajam, tapi
matanya terlalu lelah untuk difokuskan.
"Sampai ketemu besok!" kataku gembira, kuambil barang-barangku dan berjalan ke
luar. "Baikan, ya, teman-teman!"
Aku berhenti di luar ruang ganti pakaian.
Mereka akan merasa baikan besok, kuyakinkan diriku sendiri. Mereka
akan kembali normal. Mereka tidak mungkin tetap seperti sekarang -
kan" Keesokan harinya kabar buruk menimpaku seperti satu ton batu bata.
Ebukulawas.blogspot.com KEESOKAN paginya Judith dan Anna tidak sekolah.
Aku memandangi kursi mereka yang kosong sambil berjalan ke
tempat dudukku di deretan depan. Aku menoleh terus, mencari-cari
mereka. Tapi sampai bel berbunyi, mereka tetap tidak ada.
Absen. Dua-duanya absen. Aku ingin tahu apa pemain-pemain lain di timku absen juga.
Aku bergidik. Apa mereka masih lemah dan capek" Terlalu lemah dan capek
sehingga tidak masuk sekolah"
Aku punya pikiran mengerikan: Bagaimana kalau mereka tidak pernah
kembali normal" Bagaimana kalau kekuatan gaibnya tidak pernah
habis" Lalu aku punya pikiran yang lebih mengerikan lagi: Bagaimana kalau
Judith, Anna, dan pemain-pemain lain terus saja semakin lemah"
Bagaimana kalau mereka terus melemah sampai akhirnya mati - dan
semuanya gara-gara aku"
Semuanya salahku. Semuanya salahku.
Seluruh tubuhku terasa dingin. Perutku rasanya seperti ada batunya.
Seumur hidup belum pernah aku merasa begitu bersalah, amat sangat
bersalah. Kucoba menyingkirkan pikiran-pikiran itu dari kepalaku, tapi tidak
bisa. Aku terus saja berpikir bagaimana kalau mereka sampai mati karena
permintaanku yang ceroboh. Aku akan jadi pembunuh, kataku dalam
hati sambil gemetaran. Pembunuh.
Sharon, guru kami, berdiri tepat di depanku, sedang membicarakan
sesuatu. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya sedikit pun.
Aku terus saja bergerak-gerak di kursiku, memandangi dua kursi
kosong di belakang. Judith dan Anna. Apa yang telah kulakukan pada kalian"
Saat makan siang kuceritakan semuanya pada Cory.
Tentu saja ia menertawakan aku. Mulutnya penuh dengan keju
panggang, ia nyaris tercekik karena tertawa.
"Kau percaya juga Kelinci Paskah itu ada?" tanyanya.
Tapi aku sedang tidak ingin bercanda. Aku benar-benar sedang cemas.
Kupandangi makan siangku yang belum kumakan, aku merasa mual.
"Seriuslah, Cory," kataku. "Aku tahu hal ini kedengarannya konyol - "
"Maksudmu kau sungguh-sungguh?" tanyanya, matanya mengamati wajahku. "Kukira kau
bercanda, Sam. Kukira tadi itu cerita untuk penulisan kreatif atau apalah."
Aku menggeleng. "Dengar, Cory - kalau kemarin kau menonton
pertandingan basket anak perempuan, kau akan tahu aku tidak main-
main," kataku sambil bersandar di meja dan berbisik. "Mereka melangkah terseret-
seret seperti sedang berjalan sambil tidur," kataku.
"Benar-benar mengerikan!"
Saking bingungnya, bahuku jadi bergetar. Kututupi mataku supaya
tidak menangis. "Oke... ayo kita pikirkan," kata Cory pelan, senyumnya yang lucu dan bengkok
hilang, dahinya berkerut. Akhirnya, mau juga ia
menganggapku serius. "Seharian ini aku terus-terusan memikirkannya; kataku sambil
berusaha menahan tangis. "Bagaimana kalau aku pembunuh, Cory"
Bagaimana kalau mereka betul-betul mati?"
"Sam, tolong," katanya, dahinya masih berkerut, matanya yang cokelat tua menatap
mataku. "Mungkin saja Judith dan Anna sama
sekali tidak sakit. Mungkin ini cuma khayalanmu. Mungkin saja
mereka sehat-sehat saja."
"Tidak mungkin," gumamku suram.
"Oh. Aku tahu!" Wajah Cory berubah cerah. "Kita tanya saja Audrey."
"Audrey?" Audrey adalah perawat kesehatan sekolah kami. Lama aku baru mengerti
apa yang dimaksudkan Cory. Tapi akhirnya tahu juga.
Ia betul. Kalau kau akan absen, orangtuamu harus menelepon Audrey
pagi-pagi dan memberilahukan penyebabnya.
Kemungkinan besar Audrey akan bisa mengatakan pada kami kenapa
Judith dan Anna hari ini tidak masuk sekolah.
Aku melompat, kursiku sampai hampir jatuh. "Ide hebat, Cory!"
seruku. Aku berlari melintasi ruang makan siang menuju pintu.
"Tunggu! Aku ikut kau!" teriak Cory sambil bergegas menyusul.
Sepatu kami berdetak-detak di lantai yang keras ketika kami berlari di lorong
panjang menuju kantor perawat. Kami sampai ketika Audrey
sedang mengunci pintu. Ia wanita yang agak gemuk, pendek, kurasa umurnya sekitar empat
puluhan, rambutnya pirang dan disanggul di atas kepala. Ia selalu
mengenakan jins longgar dan baju hangat gombrong, tidak pernah ia
mengenakan seragam perawat.
"Waktu makan siang," katanya ketika melihat kami berhenti di sampingnya. "Apa
yang mereka masak hari ini" Aku lapar sekali."
"Audrey, Anda bisa mengatakan pada kami kenapa hari ini Judith dan Anna tidak
masuk sekolah?" desakku dengan napas terengah-engah, tidak kujawab pertanyaannya
tadi. "Hah?" Karena bicara terlalu cepat, terlalu bersemangat, kurasa ia
tidak tahu apa yang kumaksudkan.
"Judith Bellwood dan Anna Frost?" ulangku, jantungku berdebar-debar. "Kenapa
hari ini mereka tidak masuk sekolah?"
Kulihat mata Audrey yang kelabu pucat tampak terkejut. Lalu
ditundukkannya pandangannya. Judith dan Anna, mereka sudah tidak
ada,"katanya sedih. AKU bengong menatapnya. Mulutku ternganga ketakutan. "Mereka
sudah tidak ada?" "Mereka tidak ada paling tidak selama seminggu," kata Audrey. Ia membungkuk dan
mengunci pintu kantor. "Mereka - apa?" jeritku.
Audrey berusaha menarik kunci dari pintu. "Mereka pergi ke dokter,"
ulangnya. "Tadi pagi ibu mereka menelepon. Mereka sakit parah.
Kedua anak itu terkena flu atau apalah. Mereka merasa lemah. Tidak
sanggup masuk sekolah."
Aku menarik napas lega. Aku senang Audrey sedang berkonsentrasi
menarik kunci, ia jadi tidak melihat wajahku yang ketakutan.
Audrey berjalan cepat di lorong. Begitu ia tidak kelihatan, aku
merosot di dinding. "Paling tidak mereka tidak mati," keluhku. "Ia bikin aku
setengah mati ketakutan!"
Cory menggeleng. "Audrey bikin aku takut juga," akunya. "Lihat"
Judith dan Anna cuma kena flu. Aku yakin dokter - "
"Mereka tidak kena flu," aku ngotot. "Mereka jadi lemah karena permintaanku."
"Telepon mereka nanti," usulnya. "Kau akan lihat sendiri. Mungkin saja mereka
sudah merasa baikan."
"Aku tidak bisa menunggu sampai nanti," kataku dengan suara gemetar. "Aku harus
melakukan sesuatu, Cory. Aku harus melakukan sesuatu untuk mencegah mereka jadi
makin lemah dan akhirnva mati!" "Tenanglah, Sam - "
Aku berjalan mondar-mandir di depannya. Beberapa anak bergegas
lewat, menuju ke lemari penyimpanan mereka. Ada yang
memanggilku, tapi tidak kujawab.
"Kita harus masuk kelas," kata Cory. "Kurasa kau mengada-ada tanpa sebab, Sam.
Kalau kau mau menunggu sampai besok - "
"Dia bilang aku punya tiga permintaan!" seruku tidak kudengar perkataan Cory
sepatah pun. "Baru satu yang kugunakan."
"Sam - " Cory menggeleng tidak setuju.
"Aku harus menemukan dia!" kataku. "Aku harus menemukan wanita aneh itu. Kau
tidak lihat" Aku bisa minta permintaan pertama
dibatalkan. Dia bilang aku punya tiga permintaan. Jadi permintaan
keduaku bisa untuk menghapus permintaan pertama!"
Ide ini membuatku merasa jauh lebih baik.
Tapi Cory lalu membuatku merasa suram dengan satu pertanyaan:
"Bagaimana caramu menemukan dia, Sam?"
SEPANJANG siang aku memikirkan pertanyaan Cory. Nyaris tidak
kudengarkan perkataan orang padaku.
Menjelang pulang kami ada ujian perbendaharaan kata. Kupandangi
kata-kata itu seolah-olah mereka berasal dari Planet Mars saja!
Sesaat kemudian, kudengar Lisa, guruku, memanggil namaku. Ia
berdiri tepat di depanku, tapi kurasa aku baru mendengar
panggilannya setelah yang kelima atau keenam.
"Kau baik-baik saja, Samantha?" tanyanya, ia membungkuk ke arahku. Aku tahu ia
heran kenapa aku belum mulai mengerjakan ujian.
"Saya merasa agak kurang enak badan," jawabku pelan. "Sebentar lagi juga
sembuh." Saya akan sembuh begitu saya menemukan wanita aneh itu dan
menyuruhnya menghilangkan mantranya!
Tapi di mana aku bisa menemukannya" pikirku.
Di mana" Sepulang sekolah, aku pergi ke ruang olahraga untuk latihan basket.
Racun Kecantikan 2 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Sepasang Pendekar Bertopeng 1
^