Pantai Hantu 1
Goosebumps - Pantai Hantu Bagian 1
Chapter 1 AKU tidak ingat bagaimana kami bisa sampai di pekuburan itu.
Yang kuingat, langit semakin gelap - dan kami telah berada di
sana. Adikku, Terri, dan aku berjalan menyusuri deretan batu nisan
tua. Semuanya sudah miring, retak, dan berlapis lumut. Sebenarnya
waktu itu sedang musim panas, tapi kabut kelabu yang lembap
menyelubungi segala sesuatu, dan udara terasa dingin.
Aku menggigil dan merapatkan jaketku. "Tunggu, Terri!"
seruku. Seperti biasa, dia berjalan mendahuluiku. Aku tidak tahu
kenapa, tapi dia selalu bersemangat sekali kalau ada di pekuburan.
"Kau ada di mana sih?" panggilku.
Mataku berusaha menembus kabut kelabu itu. Samar-samar aku
melihat bayangan Terri di depanku. Sebentar-sebentar dia berhenti
untuk memeriksa batu nisan.
Aku membaca tulisan pada batu nisan di dekat kakiku:
DI SINI TERBARING JOHN, PUTRA DARI DANIEL DAN SARAH KNAPP, MENINGGAL
TANGGAL 25 MARET 1766, DALAM USIA 12 TAHUN 22
HARI. Aneh, pikirku. Anak itu baru seusiaku sekarang waktu
meninggal. Februari lalu usiaku menginjak dua belas tahun, dan di
bulan yang sama, Terri merayakan ulang tahunnya yang kesebelas.
Aku mempercepat langkahku. Angin kencang mulai menyapu
pekuburan. Deretan demi deretan kuburan tua kutelusuri untuk
mencari adikku. Tapi dia seperti hilang ditelan kabut tebal. "Terri!
Kau ke mana sih?" seruku.
Sayup-sayup aku mendengarnya menyahut, "Aku di sebelah
sini, Jerry!" "Di mana?" Aku terus melangkah di tengah kabut dan daun-
daun mati. Angin berputar-putar di sekelilingku.
Tak jauh dari tempatku berada terdengar lolongan panjang.
"Ah, paling-paling cuma anjing," aku bergumam sendiri.
Angin berdesir-desir. Aku menggigil lagi.
"Jerry!" Suara Terri seakan-akan berasal dari jarak sejuta kilometer.
Aku terus berjalan, lalu berhenti dan bersandar pada sebuah
batu nisan tinggi. "Terri! Tunggu! Jangan pindah-pindah tempat
dong!" Sekali lagi terdengar lolongan panjang.
"Kau salah arah!" Terri berseru. "Aku di sebelah sini!"
"Huh, dasar," aku menggerutu. Kenapa aku harus punya adik
yang hobinya menjelajahi pekuburan tua" Kenapa dia tidak pilih
kegiatan lain yang lebih normal, main bisbol, misalnya"
Suara angin menyerupai suara orang menyedot udara. Pusaran
angin mengangkat daun-daun kering, debu, dan tanah, yang kemudian
menerpa wajahku. Aku memejamkan mata.
Waktu membuka mata lagi, aku melihat Terri sedang menunduk
di atas sebuah kuburan kecil. "Jangan pergi dulu!" seruku. "Aku mau ke sana!"
Aku menyelinap di antara batu-batu nisan, dan akhirnya sampai
di sisi adikku. "Eh, sudah mulai gelap nih," kataku. "Ayo, kita pulang saja."
Aku membalik dan mulai melangkah - tapi tiba-tiba ada yang
menggenggam pergelangan kakiku dengan erat.
Aku memekik kaget, dan berusaha membebaskan diri. Tapi
genggamannya malah semakin kuat.
Sebuah tangan. Sebuah tangan yang menyembul dari tanah di
samping kuburan tadi. Jeritanku terdengar melengking. Terri ikut menjerit.
Aku mengayunkan kakiku keras-keras, dan berhasil membebaskan
diri. "Lari!" pekik Terri.
Tapi aku sudah berlari duluan.
Ketika Terri dan aku berlari tunggang-langgang melintasi
rumput yang basah, tangan-tangan hijau bermunculan di mana-mana.
Krak! Krak! Krak! Tangan-tangan itu menggapai-gapai ke arah Terri dan aku,
seakan-akan hendak menyambar pergelangan kaki kami.
Aku mengelak ke kiri. Krak! Aku menghindar ke kanan. Krak!
"Lari, Terri! Lari!" seruku kepada adikku. "Cepat!"
Aku mendengar sepatu ketsnya berdebam-debam di
belakangku. Kemudian aku mendengarnya menjerit ketakutan, "Jerry!
Aku tertangkap!" Aku berbalik sambil menahan napas. Dua tangan besar
mencengkeram mata kaki Terri.
Aku berdiri seperti patung, sementara adikku berusaha
membebaskan diri. "Jerry - tolong! Tangannya tidak mau lepas!"
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menyerbu ke arah Terri.
"Pegang tanganku," kataku sambil kuulurkan tanganku.
Kemudian kutendang kedua tangan yang mencengkeram
pergelangan kakinya. Kutendang sekeras mungkin. Tapi sia-sia. Tangan-tangan itu
tidak bergerak sedikit pun.
"Aku - aku tidak bisa bergerak!" ratap Terri.
Tanah di bawah kakiku terasa bergetar. Aku langsung menatap
ke bawah, dan melihat tangan-tangan lain bermunculan.
Dengan kalang kabut aku menarik-narik pinggang Terri. "Jalan dong!"
seruku. "Tidak bisa!" "Harus bisa! Ayo, coba lagi!"
"Ohhh!" aku memekik tertahan ketika dua tangan mencengkeram pergelangan kakiku.
Sekarang aku juga terperangkap.
Kami sama-sama terperangkap.
Chapter 2 "JERRY! Kau kenapa sih?" tanya Terri.
Aku mengedip-ngedipkan mata. Terri berdiri di sampingku.
Kami ternyata berada di pantai berbatu. Aku memandang ke laut lepas
yang tenang, dan menggeleng-gelengkan kepala. "Wow. Betul-betul aneh," aku
bergumam. "Aku tiba-tiba teringat mimpi buruk yang kualami beberapa bulan yang
lalu." Terri mengerutkan kening. "Kenapa justru sekarang?"
"Waktu itu aku bermimpi tentang pekuburan," aku menjelaskan.
Aku berbalik dan memandang ke arah pekuburan tua dan kecil yang
baru saja kami temukan di tepi hutan cemara di belakang kami.
"Dalam mimpiku ada tangan-tangan hijau yang bermunculan dari
dalam tanah dan mencengkeram pergelangan kaki kita."
"Ih, seram," sahut Terri. Ia menepiskan beberapa helai rambut cokelatnya yang
jatuh ke wajahnya. Adikku memang sedikit lebih
tinggi dariku, tapi selain itu kami merupakan pasangan kakak-adik
yang sangat serasi. Rambut kami sama-sama cokelat dan dipotong
pendek, hidung kami sama-sama berbintik-bintik, dan mata kami
sama-sama berwarna cokelat.
Tapi ada satu hal yang membedakan kami: Terri punya lesung
pipi di kedua pipinya yang terlihat kalau ia sedang tersenyum, dan aku tidak.
Untung saja! Selama beberapa menit kami berjalan menyusuri pantai. Batu-
batu besar dan pohon-pohon cemara berukuran kerdil tampak di
mana-mana. "Barangkali kau ingat mimpi itu karena pikiranmu lagi tidak
tenang," ujar Terri sambil termenung-menung. "Maksudnya, kan baru kali ini kita
pergi berlibur selama satu bulan penuh tanpa Mom dan
Dad." "Ya, mungkin juga," kataku. "Kita memang belum pernah pergi sendirian untuk
waktu yang begitu lama. Tapi sebenarnya kan tak ada
yang perlu kita takutkan di sini, Apalagi Brad dan Agatha begitu
baik." Brad Sadler masih terhitung sepupu kami, padahal ia
sebenarnya sudah tua sekali. Kata ayahku, Brad dan istrinya, Agatha, sudah tua
waktu beliau masih kecil.
Walaupun sudah tua mereka berdua sangat menyenangkan dan
masih penuh semangat. Jadi waktu mereka mengundang kami berlibur
di daerah New England untuk menghabiskan bulan terakhir liburan
musim panas di rumah tua mereka, Terri dan aku langsung setuju.
Berlibur di pantai pasti menarik sekali - apalagi dibandingkan pilihan yang satu
lagi, yaitu berlibur di apartemen kami yang sempit dan
pengap di New Jersey. Baru pagi itu kami tiba naik kereta. Brad dan Agatha telah
berjanji akan menjemput kami di stasiun, dan ternyata mereka sudah
menunggu di peron. Dari stasiun kami naik mobil ke rumah mereka,
melewati hutan cemara yang lebat.
Setelah membongkar koper dan makan siang - Agatha
membuatkan sup kerang yang lezat untuk kami - Agatha berkata,
"Nah, bagaimana kalau kalian jalan-jalan dulu" Di sekitar sini banyak hal
menarik yang bisa dilihat lho."
Jadi begitulah ceritanya bagaimana kami bisa berada di sini.
Terri meraih lenganku. "Eh, bagaimana kalau kita balik lagi ke
pekuburan kecil dan menyelidikinya?" ia mengusulkan dengan berapi-api.
"Ehm, lain kali saja deh...." Mimpi menakutkan tadi masih
segar dalam ingatanku. "Ayo dong. Tak bakal ada tangan-tangan hijau di sana. Percaya
deh. Dan di sana pasti ada batu-batu nisan yang bagus untuk dijiplak."
Terri paling suka menyelidiki pekuburan tua. Ia suka segala sesuatu
yang seram-seram. Apalagi cerita misteri yang membuat bulu kuduk
berdiri. Ia bisa membaca selusin buku berturut-turut. Dan anehnya, ia selalu
mulai dengan bab terakhir.
Terri selalu ingin segera tahu bagaimana pemecahan suatu
misteri. Ia tidak bisa tenang sebelum tahu jawabannya.
Adik perempuanku itu punya minat terhadap seribu satu hal,
tapi menjiplak batu nisan termasuk hobinya yang agak ganjil. Ia biasa
menempelkan selembar kertas roti ke batu nisan, lalu menggosok-gosoknya dengan
sisi krayon khusus, supaya tulisan dan gambarnya
pindah ke kertas itu. "Hei! Tunggu!" seruku.
Tapi seperti biasa Terri sudah mendahuluiku, dan berlari ke
arah pekuburan di tepi hutan. "Ayo dong, Jerry!" panggilnya. "Masa sih kau
takut?" Aku menyusulnya ke hutan. Udara di sini segar dan berbau
cemara. Pekuburannya tak jauh dari tepi hutan, dikelilingi tembok
batu yang sudah roboh sebagian. Kami menyelinap lewat celah
sempit. Terri mulai mengamati batu-batu nisan. "Wah, di sini ada batu
nisan yang sudah tua sekali!" serunya. "Coba lihat yang ini, nih!"
Ia menunjuk batu nisan kecil di hadapannya. Pada bagian depan batu
nisan itu terdapat gambar tengkorak dengan sayap di ke dua sisinya.
"Ini namanya Kepala Sang Maut," adikku menjelaskan. "Lambang ini sering dipakai
kaum Puritan dulu. Seram, ya?" Ia membaca tulisan yang tertera, "Di sini
terbaring jasad Mr. John Sadler, yang
meninggalkan dunia ini tanggal 18 Maret 1642, pada usia 38 tahun."
"Sadler. Seperti kita," ujarku. "Wah, jangan-jangan kita masih punya hubungan
saudara dengan orang ini." Aku mulai berhitung di luar kepala. "Kalau kita
memang bersaudara, John Sadler adalah
kakek buyut dari kakek buyut kita. Dia meninggal lebih dari 350 tahun lalu."
Terri sudah beralih ke kelompok batu nisan lainnya. "Ini ada
yang dari tahun 1647, dan yang ini dari tahun 1652. Wah, aku belum
pernah menjiplak batu nisan setua ini." Ia menghilang ke balik batu nisan
tinggi. Saat itu juga aku tahu di mana kami akan menghabiskan masa
liburan. Tapi aku sendiri tidak berminat berlama-lama di pekuburan.
"Ayo, kita jelajahi pantai saja, oke?" Aku memandang berkeliling untuk mencari
adikku. "Terri! Aduh, ke mana lagi sih kau?" Aku menghampiri batu nisan tinggi
tadi. Ternyata Terri tak ada di situ.
"Terri?" Angin laut menggoyang dahan-dahan cemara di atas
pekuburan. "Terri, jangan bercanda!"
Aku maju beberapa langkah. "Kau tahu kan, kalau aku tidak
suka permainan seperti ini," aku memperingatkannya.
Tiba-tiba kepala Terri menyembul dari balik batu nisan yang
berjarak beberapa meter dari tempat aku berdiri. "Kenapa" Takut?"
tanyanya dengan nada menantang.
Aku sebal melihat senyumnya yang berkesan mengejek.
"Takut" Aku?" aku menyahut. "Enak saja!"
Terri berdiri. "Oke, penakut. Kita ke pantai saja. Tapi besok aku bakal balik ke
sini." Ia menyusulku ke pantai yang berbatu-batu.
"Hmm, apa ya, yang ada di ujung sana?" ujarku sambil
menyusuri tepi air. "Oh, coba lihat ini." Terri berhenti untuk memetik sekuntum bunga liar berwarna
putih-kuning yang tumbuh di sela dua batu besar.
"Namanya butter-and-eggs," katanya. "Aneh, ya?"
"Ya, aneh sekali." Hobi Terri Sadler nomor dua: bunga liar. Ia suka mengumpulkan
bunga liar, lalu memipihkan semuanya dengan
alat besar yang terbuat dari karton, yang dinamakan penjepit tanaman.
Terri mengernyit. "Apa lagi sekarang?" ia bertanya ketika
melihat tampangku yang masam.
"Habis, sebentar-sebentar berhenti. Padahal aku kepingin
menjelajah. Kata Agatha, di ujung sana ada teluk kecil tempat kita
bisa berenang." "Oke, oke," balas Terri sambil memutar-mutar bola mata.
Kami terus berjalan sampai mencapai teluk kecil dengan pantai
berpasir. Sebenarnya lebih banyak batu kerikil ketimbang pasir. Aku
memandang ke laut dan melihat susunan batu yang menjorok ke
tengah. "Untuk apa itu?" tanya Terri.
"Itu pemecah ombak untuk melindungi pantai," aku
menjelaskan. Aku baru saja hendak berceramah tentang pengikisan
pantai, ketika Terri memekik tertahan.
"Jerry - lihat, tuh! Di atas sana!" ia berseru. Tangannya
menunjuk tebing karang tinggi yang menyembul dari laut, persis di
belakang pemecah ombak. Di dekat puncak tebing ada bagian yang
menjorok ke depan, dan di balik tonjolan itu kami melihat mulut gua
yang gelap dan menganga lebar.
"Ayo, kita naik ke sana," ajaknya penuh semangat. "Gua itu harus kita selidiki."
"Jangan! Tunggu dulu!" Aku teringat pesan kedua orangtuaku sebelum Terri dan aku
berangkat berlibur: Awasi Terri dan jangan
biarkan dia berbuat yang aneh-aneh. "Rasanya terlalu berbahaya,"
kataku. Bagaimanapun juga, aku lebih tua. Dan aku yang dibekali akal sehat.
Terri langsung merengut. "Huh, dasar penakut," gerutunya.
Tanpa berkata apa-apa lagi ia melintasi pantai dan menghampiri
tebing itu. "Paling tidak kita lihat dari dekat dulu. Nanti kita bisa tanya pada
Brad dan Agatha apakah aman kalau kita memanjat ke gua itu,"
ujarnya setelah sampai di kaki tebing.
Aku mengikutinya. "Yeah, orang berumur sembilan puluh
memang biasa keluar-masuk gua," komentarku sinis.
Tapi setelah mendekat, aku terpaksa mengakui bahwa gua itu
memang mengesankan. Aku belum pernah melihat gua sebesar itu,
kecuali dalam salah satu majalah Pramuka di rumah.
"Barangkali ada orang yang tinggal di situ," Terri menduga-duga sambil
mendongak. "Maksudnya, orang yang bertapa." Ia menangkupkan tangannya ke mulut
dan berseru, "Huuu!"
Kadang-kadang Terri memang konyol. Coba pikir, kalau kau
tinggal di dalam gua, lalu mendengar orang berseru "huuu", apakah kau akan
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyahut" "Huuu!" adikku kembali berseru.
"Ayo dong. Kita jalan lagi," aku mendesak. Tiba-tiba ada siulan panjang yang
memecahkan keheningan. Siulan itu berasal dari dalam
gua! Kami saling melirik.
"Oh! Apa itu?" bisik Terri. "Burung hantu?"
Aku menelan ludah. "Rasanya bukan. Burung hantu baru
bangun setelah gelap."
Tuh, suara itu terdengar lagi. Suara orang bersiul, yang seakan-
akan berasal dari perut bumi.
Terri dan aku bertukar pandang. Suara apa itu" Suara serigala"
Atau anjing hutan" "Brad dan Agatha pasti sudah mulai cemas karena kita belum
pulang," Terri berkata pelan-pelan. "Mungkin lebih baik kalau kita pulang dulu."
"Yeah. Oke." Aku berbalik dan sudah mau melangkah pergi.
Tapi tiba-tiba terdengar bunyi mengepak-ngepak. Dari dalam gua.
Semakin lama semakin jelas.
Dengan sebelah tangan aku melindungi mataku dari sinar
matahari yang menyilaukan, lalu memandang ke atas.
"Ahhh!" Aku meraih lengan Terri ketika sebuah bayangan besar menyapu kami - lalu
seekor kelelawar raksasa menyambar kami
berdua. Matanya yang merah tampak menyala-nyala, giginya yang
tajam kelihatan berkilau-kilau, dan ia mendesis mengerikan sambil
menyerang. Chapter 3 KELELAWAR itu menukik rendah-rendah. Begitu rendah, sampai
aku merasakan embusan angin dari sayapnya yang mengepak-ngepak.
Terri dan aku langsung menjatuhkan diri, dan aku melindungi
kepalaku dengan kedua belah tangan.
Jantungku berdegup begitu keras, sehingga aku tak bisa
mendengar kepakan sayap kelelawar itu.
"Hei - ke mana dia?" aku mendengar Terri berseru.
Aku mengintip dengan hati-hati. Kelelawar itu sedang terbang
berputar-putar di angkasa, semakin lama semakin tinggi. Kemudian ia
menukik lagi, seakan-akan mendadak kehilangan keseimbangan.
Aku membelalakkan mata. Kelelawar itu jatuh ke batu karang
di dekat kami. Sebelah sayapnya yang hitam masih mengepak-ngepak
tertiup angin. Pelan-pelan aku berdiri. Jantungku masih berdegup-degup.
"Kenapa dia bisa jatuh seperti itu?" aku bertanya dengan suara bergetar, lalu
mulai menghampirinya. Terri berusaha mencegahku. "Jangan dekat-dekat. Kau bisa
kena rabies lho, kalau sampai digigit."
"Aku takkan memegangnya," aku menyahut. "Aku cuma mau lihat kok. Aku belum
pernah melihat kelelawar dari dekat." Aku
memang berminat pada biologi. Aku suka mempelajari semua jenis
binatang. "Ayo, sini dong!" aku berseru sambil memanjat lewat batu-batu besar yang licin.
"Hati-hati, Jerry!" Terri memperingatkan. "Aku yang bakal kena marah kalau kau
sampai kena rabies."
"Terima kasih deh atas perhatianmu," gumamku dengan nada
sarkastis. Aku berhenti kira-kira satu meter dari kelelawar itu. "Hei! Apa-apaan ini"!"
seruku dengan heran. Aku mendengar Terri terbahak-
bahak. Ternyata bukan kelelawar yang tergeletak di depan kakiku, tapi
layang-layang. Aku menatapnya seolah-olah tidak percaya. Kedua mata merah
yang menyorot begitu tajam itu ternyata cuma d igambar pada kertas!
Sebelah sayap layang-layang itu telah terkoyak-koyak karena
menghantam batu karang. Terri dan aku membungkuk untuk memeriksa layang-layang itu.
"Awas! Dia menggigit lho!" seru seseorang dari belakang.
Terri dan aku sama-sama tersentak kaget dan langsung
melompat mundur. Kemudian aku berbalik dan melihat anak laki-laki
sebaya kami berdiri di atas batu besar. Ia menggenggam segulung tali.
"Ha-ha, lucu sekali," Terri berkata dengan sinis. Anak laki-laki itu menatap
kami sambil menyeringai, tapi tidak berkata apa-apa.
Hidungnya berbintik-bintik, persis seperti hidungku, dan warna
rambutnya pun sama dengan warna rambutku. Ia berpaling ke arah
batu-batu karang di belakangnya dan berseru, "Kalian sudah boleh keluar
sekarang!" Dua anak lagi, anak perempuan sebaya kami dan anak laki-laki
berumur sekitar lima tahun, muncul dari balik batu-batu. Anak laki-
laki itu berambut pirang dan bermata biru, telinganya caplang. Anak
perempuan yang menemaninya berambut pirang kemerahan,
dikepang. Ketiganya punya bintik-bintik di hidung masing-masing.
"Kalian bersaudara?" Terri bertanya pada mereka.
Anak yang paling besar, yang muncul paling dulu tadi,
menganggukkan kepala. "Yeah. Kami semua keluarga Sadler. Aku
Sam. Itu Louisa. Dan itu Nat."
"Wow. Kami juga keluarga Sadler." Aku memperkenalkan
Terri dan diriku. Tapi tanggapan Sam biasa-biasa saja. "Di daerah ini memang
banyak keluarga Sadler," katanya.
Kami berpandangan. Sepertinya mereka kurang ramah. Tapi
kemudian Sam mengejutkanku dengan bertanya apakah aku mau ikut
melempar batu ke laut. Terri dan aku mengikutinya ke tepi air.
"Kalian tinggal di sekitar sini?" tanya Terri.
Louisa mengangguk. "Kalian mau apa di sini?" ia balik
bertanya. Nada suaranya curiga.
"Kami berlibur di tempat saudara kami," Terri memberitahunya.
"Mereka juga keluarga Sadler. Mereka tinggal di rumah kecil di dekat mercusuar.
Barangkali kalian kenal mereka?"
"Tentu," sahut Louisa tanpa tersenyum. "Hanya sedikit orang yang tinggal di
sini, jadi semuanya saling mengenal."
Aku menemukan batu yang pipih dan licin, dan
melemparkannya ke air. "Apa saja yang bisa dikerjakan di sini?"
tanyaku. Louisa menjawab sambil memandang ke laut. "Kami suka pergi
memetik blueberry, kami suka macam-macam permainan, atau
bermain-main di pantai." Ia berpaling padaku. "Kenapa memangnya"
Apa saja yang kalian kerjakan hari ini?"
"Belum ada. Kami baru tiba di sini," kataku. Aku menyeringai lebar. "Tapi kami
sudah diserang layang-layang kelelawar."
Mereka tertawa. "Aku mau menjiplak batu nisan dan mencari bunga liar," ujar Terri.
"Oh, di tengah hutan ada beberapa tempat penuh bunga bagus-
bagus," Louisa memberitahunya.
Aku memperhatikan Sam melemparkan batunya. Batunya
terlempar lebih jauh dari batuku.
Ia menatapku sambil tersenyum. "Aku sering latihan."
"Di apartemen kami tidak ada tempat untuk berlatih,"
gumamku. "Apa?" tanya Sam, seakan-akan tidak mendengarku.
"Kami tinggal di Hoboken," aku menjelaskan. "Di New Jersey.
Di sekitar apartemen kami tidak ada kolam atau danau."
Terri menunjuk gua di belakang kami. "Kalian pernah naik ke
sana?" ia bertanya. Nat menahan napas. Sam dan Louisa mengerut-ngerutkan
wajah. "Kau bercanda?" Louisa berseru tertahan.
"Kami tak pernah ke gua itu," ujar Sam sambil melirik adik perempuannya.
"Tak pernah?" Terri terheran-heran.
Ketiganya menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Terri. ''Memangnya ada apa sih di situ?"
"Yeah," aku menimpali. "Kenapa kalian tidak pernah ke gua itu?"
Louisa membelalakkan matanya. "Kalian percaya adanya
hantu?" tanyanya. Ebukulawas.blogspot.com Chapter 4 "PERCAYA hantu" Jelas tidak!" seru Terri.
Aku diam saja. Aku tahu para ilmuwan berpendapat hantu
sebenarnya tidak ada. Tapi bagaimana kalau mereka ternyata keliru"
Begitu banyak cerita hantu yang beredar di seluruh dunia, jadi
bagaimana mungkin hantu hanya ada dalam khayalan"
Mungkin itu sebabnya aku kadang-kadang ngeri kalau berada di
tempat-tempat yang asing bagiku.
Sepertinya aku percaya bahwa hantu memang ada. Tapi tentu
saja aku tak mungkin mengakuinya di depan Terri. Soalnya dia selalu
berpikiran ilmiah. Bisa-bisa aku ditertawakannya seumur hidup!
Ketiga anak Sadler berkerumun.
"Masa sih kalian benar-benar percaya hantu?" tanya Terri.
Louisa maju selangkah. Sam berusaha mencegahnya, tapi
Louisa menepis tangan kakaknya. "Kalau kalian berada di dekat gua itu, kalian
pasti akan berubah pikiran," dia berkata sambil
memicingkan mata. "Hah" Maksudmu, di situ ada hantu?" tanyaku.
"Dari mana kamu tahu" Apakah mereka keluar malam-malam
dan memperlihatkan diri?"
Louisa hendak menjawab, tapi Sam mendahuluinya. "Kami
harus pulang sekarang," katanya, sambil menggiring adik-adiknya melewati Terri
dan aku "Hei - tunggu!" aku berseru. "Bagaimana cerita hantu-hantu yang ada di gua?"
Mereka terus berjalan. Aku melihat Sam memarahi Louisa.
Kurasa dia marah karena adiknya menyinggung soal hantu.
Akhirnya mereka berbelok dan menghilang dari pandangan.
Kemudian, tiba-tiba saja, kembali terdengar siulan panjang dari
dalam gua. Terri langsung menatapku.
"Cuma angin," komentarku sambil lalu. Tapi aku sendiri tidak percaya. Begitu
juga Terri. "Bagaimana kalau kita tanya Brad dan Agatha tentang gua itu?"
aku mengusulkan. "Ya, itu ide bagus," ujar Terri. Dia pun kelihatan agak waswas sekarang.
Rumah Brad dan Agatha tidak seberapa jauh dari gua. Rumah
mereka satu-satunya rumah di tepi hutan cemara, dan menghadap ke
mercusuar. Aku bergegas menghampiri pintu kayu yang berat,
mendorongnya sampai terbuka, lalu mengintip ke ruang tamu yang
sempit. Rumah tua itu berderak-derak ketika aku menginjak papan-
papan lantai yang sudah melengkung di sana-sini. Langit-langitnya
begitu rendah, sehingga aku bisa menyentuhnya kalau aku berjingkat.
Terri menyusulku. "Di mana mereka?"
"Aku tidak tahu," jawabku sambil memandang berkeliling.
Kami melewati sofa tua dan tempat perapian yang terbuat dari
batu, lalu masuk ke dapur. Bersebelahan dengan dapur ada gudang tua
yang bakal jadi kamarku selama berlibur. Kamar Brad dan Agatha ada
di lantai atas. Di sana juga ada semacam terowongan yang menuju
ruangan kecil di atas gudang, yang akan ditempati oleh Terri. Dari
kamar Terri ada tangga kecil yang menuju pekarangan belakang.
Terri menghampiri jendela. "Itu mereka!" katanya. "Di kebun!"
Aku melihat Brad tengah membungkuk di ladang tomat. Agatha
sedang menjemur pakaian yang baru dicucinya.
Kami langsung menghambur keluar lewat pintu dapur.
"Dari mana saja kalian?" tanya Agatha. Dia dan Brad sama-
sama berambut putih, dan sorot mata mereka berkesan sayu dan letih.
Mereka kelihatan begitu rapuh dan ringan. Kurasa kalau digabung
pun, berat badan mereka takkan lebih dari lima puluh kilo.
"Kami habis jalan-jalan di pantai," jawabku.
Aku berlutut di samping Brad. Dua jari tangan kirinya telah
kehilangan ruas paling ujung. Kata Brad, jarinya putus karena terjepit perangkap
serigala waktu dia masih-muda.
"Kami menemukan gua di tebing karang. Kalian pernah
melihatnya?" tanyaku.
Brad hanya mendengus sedikit, lalu kembali mencari tomat-
tomat yang sudah masak. "Tebingnya di tepi pantai, persis di belakang pemecah ombak,"
Terri menambahkan. "Pasti kelihatan kok."
Seprai di tali jemuran berkibar-kibar tertiup angin. "Sudah
hampir waktunya makan malam," ujar Agatha, tanpa menggubris
pertanyaan kami tentang gua itu. "Bagaimana kalau kau membantuku mengatur meja,
Terri?" Terri menatapku sambil angkat bahu.
Aku kembali berpaling kepada Brad. Aku baru mau bertanya
lagi tentang gua itu, ketika dia menyerahkan keranjang berisi tomat
padaku. "Tolong berikan kepada Agatha, ya."
"Oke," sahutku. Aku menyusul Terri ke dalam, lalu meletakkan keranjang tomat di
atas meja racik yang kecil. Dapur mereka kecil dan sempit. Meja racik dan tempat
cuci piring di satu sisi. Oven dan lemari es di sisi yang satu lagi. Terri sudah
mulai mengatur meja makan di
pojok ruang tamu. "Nah, Terri sayang," Agatha berkata dari dapur, "kalau kau mau mencari bunga
aster, tempat terbaik adalah lapangan rumput di
belakang mercusuar. Di sana juga banyak goldenrod."
"Wah, asyik!" Terri berseru penuh semangat, seperti biasanya.
Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu tergila-gila pada bunga.
Agatha melihat keranjang berisi tomat di meja racik. "Oh!
Banyak sekali!" Dia membuka laci dan mengeluarkan pisau kecil.
"Tolong diiris-iris, supaya kita bisa bikin salad."
Rupanya aku meringis tak keruan, sebab Agatha langsung
bertanya, "Kau tidak suka salad?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku bukan kelinci."
Agatha tertawa. "Kau benar," katanya. "Sebenarnya sayang kalau tomat dari kebun
sendiri harus dicampur daun selada. Lebih
baik dimakan begitu saja, mungkin dengan sedikit dressing."
"Wah, boleh juga," ujarku sambil tersenyum.
Selama beberapa menit berikut aku mendengar Agatha dan
Terri berdiskusi tentang bunga liar. Sebenarnya aku berharap
percakapan mereka akan beralih ke gua tadi, tapi ternyata tidak. Aku tidak
mengerti kenapa kedua sepupuku yang sudah tua itu tidak mau
membahasnya. Seusai makan malam, Brad mengeluarkan kartu remi dan
mengajari Terri dan aku bermain whist, permainan kartu yang sudah
tua sekali. Dengan penuh semangat dia menjelaskan semua peraturan, dan
kemudian dia dan aku bermain melawan Terri dan Agatha. Setiap kali
aku membuat kesalahan, dan ini sering terjadi, dia menggoyang-
goyangkan telunjuknya ke arahku. Mungkin karena dengan cara itu
dia tidak perlu berkata apa-apa.
Sehabis bermain kartu, Terri dan aku langsung tidur. Sebetulnya
belum terlalu larut, tapi kami tidak peduli. Hari itu cukup melelahkan, dan aku
senang karena akhirnya bisa beristirahat. Kasur di tempat
tidurku ternyata keras, tapi aku langsung tertidur begitu merebahkan kepala ke
bantal yang berisi bulu angsa.
**** Esok paginya Terri dan aku menuju hutan untuk mengumpulkan
tanaman dan bunga liar. "Apa sih yang kita cari?" aku bertanya pada adikku sambil
menendang setumpuk daun kering.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Indian pipe," balas Terri. "Bentuknya seperti tulang-belulang berwarna putih
kemerahan yang menyembul dari tanah. Nama lainnya
tumbuhan bangkai, karena hidup di atas sisa-sisa tumbuhan yang
sudah mati." "Idih." Tiba-tiba aku teringat pada mimpiku, pada tangan-
Iangan yang menyembul dari tanah di pekuburan.
Terri tertawa. "Seharusnya kau kagum pada tumbuhan ini,"
katanya. "Sampai sekarang para ilmuwan masih dibuat bingung. Daun dan tangkainya
putih karena sama sekali tidak mengandung klorofil.
Kamu tahu, kan, itu zat yang menyebabkan tumbuhan berwarna
hijau." "Menarik sekali," komentarku dengan nada mengejek.
Tapi Terri tidak ambil pusing. "Agatha bilang, Indian pipe
hanya tumbuh di tempat-tempat yang sangat gelap. Sebenarnya lebih
mirip jamur daripada tumbuhan."
Dia menggali-gali tanah selama beberapa saat. "Yang paling
aneh," lanjutnya, "setelah kering, tumbuhan itu malah jadi hitam.
Karena itu aku mau mencoba mengeringkan beberapa."
Aku kembali mengais-ngais daun-daun mati. Terus terang, aku
jadi tertarik juga. Aku suka hal yang janggal.
Aku melirik ke atap dedaunan di atas kepala kami. "Kita sudah
berada di tengah-tengah hutan. Kau yakin tempat ini yang dimaksud
Agatha?" Terri mengangguk. Dia menunjuk pohon ek besar yang telah
tumbang dan melintang d i tanah. "Itu patokan kita. Jangan sampai lupa."
Aku mulai menghampiri pohon besar itu. "Aku mau mencari di
sebelah sana saja," kataku. "Barangkali ada Indian pipe yang tumbuh di batang
pohon itu." Aku berlutut di samping akar-akar yang meliuk-liuk seperti
ular, dan menyingkirkan daun-daun mati yang berserakan. Tak ada
bunga liar. Cuma cacing dan serangga. Menjijikkan sekali.
Aku melirik ke arah Terri. Sepertinya dia juga belum
beruntung. Kemudian aku melihat benda putih menyembul dari tanah.
Langsung saja aku pindah ke sana untuk memeriksanya.
Setangkai tumbuhan tersembul dari tanah gambut. Ujung
tangkainya tertutup daun-daun kering. Aku mulai menarik, tapi tak
berhasil mencabutnya dari tanah.
Aku menarik lebih keras. Tangkainya naik sedikit, dan tanah di sekelilingnya ikut
terangkat. Ini bukan tangkai, aku menyadari. Sepertinya semacam akar.
Akar dengan daun. Aneh. Aku kembali menarik. Benda tersebut ternyata cukup panjang.
Sekali lagi aku menarik. Lalu sekali lagi.
Pada tarikan terakhir aku berhasil mencabutnya. Aku menatap
ke dalam lubang besar yang terbentuk di tanah - dan memekik kaget.
"Terri - sini!" aku berseru dengan suara tertahan. "Aku menemukan tulang-
belulang!" Chapter 5 "HAH?" Terri langsung berlari menghampiriku.
Kami sama-sama memandanginya sambil membisu.
Kerangka yang kutemukan tampak berbaring menyamping, dan
sepertinya semua tulang masih lengkap. Lubang mata yang telah
kosong di tengkoraknya seakan-akan menatap kami.
"A - apakah ini kerangka manusia?" bisik Terri sambil
tergagap-gagap. "Tidak, kecuali kalau ada manusia berkaki empat!" jawabku.
Terri menatap kerangka itu sambil melongo. "Kalau begitu apa
dong?" "Sejenis binatang besar," aku memberitahunya. "Mungkin rusa."
Aku membungkuk agar dapat melihat lebih jelas. "Bukan.
Bukan rusa. Kakinya berjari, bukan berkuku ganda."
Aku mengamati tengkorak, yang berukuran cukup besar itu, dan
menemukan gigi taring yang tajam. Ketika berusia sembilan tahun,
aku tergila-gila pada kerangka. Rasanya, semua buku tentang
kerangka sudah kubaca habis.
"Kelihatannya seperti kerangka anjing," aku nyimpulkan.
"Anjing?" tanya Terri. "Oh, anjing yang malang." Dia menatap tulang-belulang
itu. "Kira-kira kenapa ya, dia bisa mati di sini?"
"Barangkali karena diserang binatang lain."
Terri berlutut di sampingku. "Mana ada binatang yang makan
anjing?" "Siapa tahu" Anjing kan berprotein tinggi!" aku berkelakar.
Terri mendorongku dengan keras. "Jerry! Aku serius nih.
Binatang apa di daerah ini yang makan anjing?"
"Serigala, mungkin. Atau rubah," aku menyahut setelah berpikir sejenak.
"Tapi kalau anjing ini dimakan serigala atau rubah, tulangnya
pasti ada yang remuk, bukan?" ujar Terri. "Kerangka ini masih utuh."
"Barangkali dia mati karena tua," aku menduga-duga. "Atau mungkin juga dia
dikubur pemiliknya di belakang tumbuhan aneh
tadi." "Yeah. Mungkin dia tidak mati diserang," Terri menimpali.
Wajahnya sudah tidak pucat lagi.
Sejenak kami duduk membisu sambil memikirkan anjing
bernasib malang itu. Tiba-tiba terdengar lolongan melengking, dan kami sama-sama
tersentak kaget. Suara menakutkan itu nyaring sekali dan bergema-
gema. Kami sampai menutup telinga karena lolongan itu semakin
keras. "A - apa itu?" Terri memekik.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mata terbelalak. Aku
sendiri tidak tahu jawabannya.
Yang jelas, sumber suara itu semakin mendekati kami.
Chapter 6 LOLONGAN itu mendadak berhenti. Aku berbalik untuk
memastikan bahwa keadaannya aman - dan melihat mereka.
Sam, Nat, dan Louisa sedang jongkok di balik pohon di dekat
kami. Mereka terpingkal-pingkal. Aku langsung mendelik. Seketika
aku sadar bahwa merekalah yang melolong-lolong tadi. Dasar
berengsek! Seenaknya saja mereka mempermainkan orang.
Mereka tertawa dan tertawa, seakan-akan lelucon mereka
adalah lelucon paling lucu di dunia. Baru beberapa menit kemudian
mereka berhenti. Aku melirik ke arah Terri. Wajahnya kelihatan merah.
Telingaku pun terasa panas. Sepertinya aku juga tersipu-sipu.
Setelah mereka akhirnya diam, aku mengajak mereka ke
kerangka tulang yang kutemukan.
Kini giliran mereka yang kaget.
Sam membelalakkan mata. Louisa memekik tertahan. Nat, si
bungsu, berpegangan pada lengan baju Louisa dan mulai merengek-
rengek. Terri merogoh kantong jinsnya dan mengambil tisu selembar.
"Jangan sedih," katanya kepada Nat, kemudian menyeka pipi bocah itu. "Ini bukan
tulang manusia. Ini cuma kerangka anjing."
Ucapannya itu malah membuat Nat menangis tersedu-sedu.
Louisa segera merangkul adiknya. "Ssst," ujarnya. "Jangan menangis. Tidak ada
apa-apa kok." Tapi usahanya sia-sia. Dia tidak berhasil menenangkan Nat.
"Aku tahu anjing ini kenapa," Nat berkata sambil terisak-isak. "Dia dibunuh
hantu. Anjing selalu tahu kalau ada hantu. Kalau ada hantu,
mereka selalu menggonggong keras-keras."
"Nat," Terri berkata dengan sabar, "hantu itu tidak ada. Hantu cuma ada dalam
cerita dongeng." Sam maju sambil menggelengkan kepala. "Kau keliru," dia
menandaskan, lalu menatap Terri dengan tajam. "Di hutan ini banyak tulang-
belulang. Semuanya karena hantu itu. Tulang-belulang itu
digerogotinya sampai bersih, lalu dibiarkan berserakan di tanah."
"Ah, yang benar saja, Sam." Terri bergumam. "Maksudmu, di sini benar-benar ada
hantu?" Sam membalas tatapan adikku, namun tidak berkata apa-apa.
"Jadi bagaimana maksudmu sebenarnya?" Terri mendesak.
Sekonyong-konyong roman muka Sam berubah. Dia
membelalakkan mata dengan ngeri. "Awas! Itu dia!" teriaknya sambil menunjuk. "Di
belakangmu!" Chapter 7 AKU memekik dan langsung meraih lengan Terri.
Tapi saat itu juga aku sadar bahwa aku kembali diperdaya oleh
Sam. Entah kenapa, dia selalu berhasil menipuku dengan lelucon-
leluconnya yang konyol. "Wah, rupanya kalian gampang ditakut-takuti," kata Sam
sambil menyeringai. Terri memelototinya sambil bertolak pinggang. "Bagaimana
kalau kita berdamai saja" Lama-lama aku mulai bosan dengan
permainan kalian." Semua mata beralih kepada Sam.
"Yeah. Oke. Kita berdamai saja," gumamnya pelan. Tapi dia
tetap tersenyum lebar. Aku tidak tahu apakah dia serius atau tidak.
"Sam, kau cerita dong tentang hantu itu," ujar Terri. "Apa kau tadi memang
serius waktu bilang anjing itu mati karena hantu, atau
cuma bercanda?" Sam menendang segumpal tanah. "Lain kali saja deh", dia
mengelak. "Lain kali" Kenapa tidak sekarang saja?" tanyaku.
Louisa sudah mau angkat bicara - tapi Sam cepat-cepat
menariknya pergi. "Ayo kita pulang," kata Sam sengit. "Sekarang juga."
Terri tampak bingung. "Lho, aku pikir..."
Sam mulai menyelinap di antara pohon-pohon, sambil menarik
tangan Louisa. Nat segera mengikuti mereka.
"Sampai ketemu!" seru Louisa.
"Ya ampun, ada-ada saja!" ujar Terri. "Mereka benar-benar percaya hutan ini
dihuni hantu, Dan mereka langsung pergi karena
tidak mau bercerita."
Aku menatap kerangka binatang yang tergeletak di dalam
lubang di tanah. Tulang-belulang itu begitu bersih.
Begitu bersih, karena digerogoti hantu.
Kata-kata itu tak mau keluar dari benakku.
Sekali lagi aku mengamati gigi taring yang tajam di tengkorak
yang pucat. Kemudian aku berbalik.
"Ayo, kita juga pulang saja," aku mengajak adikku.
**** Brad dan Agatha ternyata sedang duduk di kursi goyang di
bawah pohon. Agatha sedang mengiris-iris buah persik, dan Brad
memperhatikannya bekerja.
"Kalian suka pai persik?" Agatha bertanya kepada Terri dan aku.
Kami langsung memberitahunya bahwa pai persik termasuk pai
kegemaran kami. Agatha tersenyum. "Baiklah, nanti malam kita makan pai
persik. Aku tidak tahu apakah ayah kalian sempat menyinggungnya,
tapi aku ini jago bikin kue lho. Oh, ya, apakah kalian berhasil
menemukan Indian pipe di hutan?"
"Ehm, tidak," sahutku. "Kami malah menemukan kerangka tulang anjing."
Agatha mulai mengiris lebih cepat. Pisaunya bergerak-gerak
dengan lincah. "Oh," gumamnya.
"Binatang apa yang mungkin memangsa anjing?" tanya Terri.
"Apakah di sekitar sini ada serigala atau anjing hutan?"
"Kami belum pernah lihat," jawab Brad terburu-buru.
"Kalau begitu, bagaimana tulang-belulang itu bisa sampai ke
sana?" aku mendesak. "Semua tulangnya teratur rapi - dan kelihatan bersih sekali."
Agatha dan Brad berpandangan. "Aku juga tidak mengerti," ujar Agatha. Srek.
Srek. Srek. "Brad" Barangkali kamu tahu?"
Brad bergoyang maju-mundur sebelum menjawab, "Tidak."
Terima kasih atas bantuanmu, Brad, aku berkata dalam hati.
"Kami juga ketemu tiga anak," aku menambahkan, lalu
bercerita tentang Sam, Louisa, dan Nat. "Mereka bilang, mereka kenal kalian."
"Yap," balas Brad. "Anak tetangga."
"Mereka juga bilang anjing itu dibunuh hantu."
Agatha langsung meletakkan pisaunya dan menyandarkan
kepala. Dia tertawa pelan-pelan. "Mereka bilang begitu" Aduh, dasar anak-anak.
Mereka hanya main-main kok. Mereka suka mengarang
cerita hantu. Terutama yang paling besar, si Sam."
"Ya, aku juga sudah curiga," ujar Terri sambil melirik ke
arahku. Agatha mengangguk. "Mereka anak-anak yang baik. Kapan-
kapan kalian bisa mengajak mereka pergi bersama-sama. Misalnya
untuk mencari buah blueberry."
Brad berdeham, dan menatapku dengan matanya yang bening.
"Kau terlalu cerdas untuk percaya cerita hantu, bukan?"
"Ehm, ya," sahutku ragu-ragu.
Sorenya kami membantu Brad membersihkan kebunnya dari
tanaman hama. Mencabuti tanaman sebenarnya membosankan, tapi
setelah Brad menunjukkan mana tanaman yang baik dan mana yang
jelek, tugas itu akhirnya terasa mengasyikkan juga.
Agatha menghidangkan pai persik sebagai hidangan penutup
malam itu. Rasanya lezat sekali. Kemudian dia dan Brad minta kami
bercerita tentang sekolah dan teman-teman kami.
Seusai makan malam, Brad kembali menantang kami bermain
whist. Kali ini aku sudah lebih lihai. Cuma beberapa kali saja Brad
menggoyang-goyangkan jari kepadaku.
Waktu untuk tidur pun tiba, tapi aku sukar memejamkan mata.
Jendela kamarku hanya ditutup tirai tipis berwarna putih, yang mudah diterobos
cahaya. Cahaya bulan purnama langsung menerpa wajahku,
sehingga aku merasa seperti disorot lampu senter.
Aku mencoba menutup wajahku dengan bantal, tapi ternyata
aku tidak bisa bernapas. Lalu aku mencoba melindungi mata dengan
menyilangkan lengan, tapi malah lenganku yang kesemutan.
Kemudian aku menarik selimut sampai menutup kepala. Nah,
ini lebih baik. Aku memejamkan mata. Tapi suara jangkrik di luar
mengganggu sekali. Tiba-tiba aku mendengar sesuatu membentur dinding kamarku
dari luar. Ah, paling-paling dahan pohon, aku berusaha menenangkan
diri. Tuh, ada benturan lagi. Aku merosot semakin jauh ke bawah
selimut. Ketiga kalinya aku mendengar bunyi benturan, aku menarik
napas panjang, duduk tegak, dan menyingkirkan selimut.
Dengan hati-hati aku memandang berkeliling. Tapi tak ada apa-
apa. Aku kembali berbaring. Papan-papan lantai di dekat pintu berderak-derak.
Aku menghadap ke jendela.
Samar-samar aku melihat sesuatu bergerak-gerak di balik tirai.
Aku melihat sebuah bayangan pucat. Seperti hantu.
Papan-papan lantai kembali berderak-derak ketika sosok
menyeramkan itu bergerak mendekatiku.
Chapter 8
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
AKU membuka mulut dan hendak menjerit, tapi suaraku seperti
tersangkut di tenggorokan. Akhirnya aku kembali berlindung di
bawah selimut. Kamarku jadi hening. Seluruh tubuhku gemetar hebat.
Aku mengintip dari bawah selimut.
Terri muncul dari balik tirai. "Kena kau," bisiknya.
"Brengsek!" umpatku. "Kau keterlaluan deh."
"Kau terlalu penakut sih," balas adikku. "Kau ketakutan gara-gara cerita hantu
itu - ya, kan?" Aku menggeram kesal, tapi tidak menyahut. Jantungku masih
berdebar-debar. Terri duduk di tepi tempat tidurku. Dia merapatkan baju
tidurnya. "Sori, tapi aku tidak tahan sih," katanya sambil menyeringai.
"Tadinya aku cuma mau bicara denganmu, tapi waktu aku melihatmu bersembunyi di
bawah selimut, aku langsung tergoda untuk
menjahilimu." Aku menatapnya sambil mendelik. "Lain kali jangan macam-
macam deh," kataku gusar. "Aku sengaja menutup kepalaku dengan selimut, soalnya
aku tidak bisa tidur."
"Aku juga," ujar Terri. "Kasurku keras sekali." Dia memandang ke luar jendela.
"Dan kecuali itu, aku masih memikirkan hantu itu."
"Hei - katanya kau tidak percaya hantu!" seruku tertahan.
"Memang. Tapi Sam, Louisa, dan Nat percaya."
"Terus?" "Jadi aku kepingin tahu kenapa. Aku jadi penasaran nih.
Memangnya kau tidak?"
"Tidak juga. Aku tidak terlalu berminat berteman dengan
mereka," kataku. Terri menguap. "Louisa sepertinya baik. Dia jauh lebih ramah
daripada Sam. Kurasa Louisa mau bercerita tentang hantu itu kalau
kita menanyakannya. Tadi saja dia sebenarnya sudah mau cerita."
"Aduh, Terri, kau ini ada-ada saja," sahutku sambil menarik selimut sampai ke
dagu. "Kaudengar sendiri apa kata Agatha tadi.
Sam suka mengarang cerita yang aneh-aneh."
"Kurasa ini bukan sekadar cerita," ujar Terri. "Memang, selama ini akulah yang
selalu berpikiran ilmiah, tapi sepertinya ada yang
tidak beres di sini."
Aku diam saja. Aku kembali membayangkan kerangka binatang
di tengah hutan. "Besok aku akan menanyakan hantu itu lagi pada mereka,"
Terri memberitahuku. "Dari mana kamu tahu mereka bakal datang lagi?"
Terri menyeringai lebar. "Mereka selalu muncul, kan" Kau
tidak memperhatikannya" Di mana pun kita berada, mereka selalu
muncul tiba-tiba." Dia diam sejenak. "Jangan-jangan mereka menguntit kita ke
mana-mana?" "Mudah-mudahan tidak," kataku.
Terri tertawa. "Dasar penakut."
Aku langsung menyingkirkan selimut. "Aku bukan penakut!"
Terri mulai menggelitikiku. "Penakut! Penakut! Penakut!"
Aku meraih lengannya dan memuntirnya ke belakang.
Kemudian aku membalas menggelitikinya.
"Ayo, bilang lagi aku penakut," ancamku.
"Oke, oke!" serunya. "Aku cuma main-main!"
"Jangan sebut aku penakut lagi, oke?"
"Oke, oke, oke!"
Begitu lengannya kulepas, dia langsung berlari ke pintu.
"Sampai besok pagi - penakut!" serunya. Kemudian dia kabur lewat dapur.
***** Keesokan pagi, ketika kami sedang sarapan,
Agatha bertanya, "Apa rencana kalian hari ini?" "Mungkin kami akan berenang,"
aku menjawab sambil melirik Terri. "Di pantai."
"Hati-hati terhadap air pasang," Brad memperingatkan.
"Arusnya deras sekali. Orang dewasa pun bisa hanyut kalau kurang hati-hati."
Terri dan aku berpandangan. Baru kali ini kami mendengar
Brad mengucapkan tiga kalimat berturut-turut.
"Kami akan berhati-hati," ujar Terri. "Mungkin kami akan berjalan-jalan saja di
air." Agatha menyerahkan ember logam yang sudah penyok-penyok
kepadaku. "Kalian bisa mengumpulkan bintang laut atau bulu babi."
Beberapa menit kemudian, Terri dan aku sudah menyusuri jalan
setapak yang berkelok-kelok ke pantai. Aku membawa ember dan
sepasang handuk tua. Kami naik-turun batu karang, sampai kami tiba di tempat yang
tidak jauh dari pantai dan gua di tebing.
Kami merosot turun, lalu merangkak lewat batu-batu yang lebih
kecil. Akhirnya kami menemukan kolam air pasang yang lebar dan
berlumut, kira-kira satu meter dari tepi laut. Kolam itu kira-kira
seukuran kolam renang anak-anak.
"Wow, Jerry!" seru Terri sambil memandang ke air. "Banyak sekali binatang di
sini." Dia meraih ke dalam air yang hijau, dan mengangkat seekor bintang laut.
"Oh, kecilnya. Barangkali dia masih bayi."
Terri membalikkan bintang laut itu. Lengan-lengannya
bergerak-gerak. "Halo, bayi bintang laut," adikku bersenandung dengan riang.
Idih. "Aku ambil ember dulu, ya," kataku. Aku kembali
memanjat ke batu karang tempat kami meninggalkan barang-barang
kami. Coba tebak siapa yang ada di situ! "Ada yang menarik?" aku berseru dengan ketus.
Sam menoleh pelan-pelan. "Oh, kalian rupanya. Aku sempat
heran, handuk siapa yang tergeletak di sini," sahutnya tenang.
Nat dan Louisa muncul di belakangnya. "Terri mana?" tanya
Louisa. Aku menunjuk ke pantai. "Di bawah, di kolam air pasang,"
jawabku, lalu meraih ember.
Mereka mengikutiku ke bawah. Terri tersenyum ketika melihat
kami. Sepertinya dia senang karena bertemu Louisa dan saudara-
saudaranya. "Coba lihat apa yang kutemukan di sini! Terri berseru.
Dia telah menjajarkan bayi bintang laut tadi, dua ekor bulu babi,
dan seekor kepiting. Kami langsung berkerumun. Terri memungut bintang laut.
"Coba lihat, nih. Lengan-lengannya lucu sekali, ya?" dia bertanya pada Nat.
Nat cuma tertawa cekikikan.
Selama beberapa menit berikut kami sibuk mengamati temuan-
temuan adikku. Nat langsung menceritakan segala sesuatu yang
diketahuinya mengenai kepiting. Louisa sampai terpaksa
menyuruhnya diam. "Bagaimana dengan hantu yang tinggal di sini?" Terri bertanya kepada Louisa.
Louisa angkat bahu. Dengan gelisah dia melirik ke arah
kakaknya. Jangan-jangan Louisa dilarang bercerita oleh Sam" Tapi Terri
belum mau menyerah. "Di mana tempat tinggal hantu itu?"
Louisa dan Sam kembali bertukar pandang.
"Ayo dong. Dia pasti punya tempat tinggal, kan?" Terri
memancing-mancing. Nat memandang ke arah gua di tebing. Rambutnya yang pirang
bergerak-gerak tertiup angin. Dia menepuk lalat hijau yang hinggap di lengannya
yang kurus. "Apakah hantu itu tinggal di pantai?" tanya Terri.
Nat menggeleng. "Atau di dalam gua?" aku menerka.
Nat mengatupkan mulut rapat-rapat.
"Yeah, memang sudah kuduga," ujar Terri. "Di dalam gua." Dia menatapku sambil
tersenyum lebar. "Apa lagi?"
Wajah Nat langsung merah padam. Dia bersembunyi di
belakang Louisa. "Aku tidak bilang apa-apa lho," bisiknya.
"Tidak apa-apa kok," kata Louisa sambil membelai-belai
rambut adiknya. Dia berpaling kepada Terri dan aku. "Hantu itu sudah tua sekali.
Belum pernah ada yang melihatnya keluar dari gua."
"Louisa!" Sam membentak. "Kau jangan cerita soal ini."
"Kenapa?" balas Louisa. "Mereka punya hak untuk tahu."
"Tapi mereka tidak percaya hantu," Sam berkeras.
"Ehm, barangkali aku akan berubah pikiran setelah mendengar
cerita kalian," ujar Terri. "Kalian yakin di situ memang ada hantu"
Kalian pernah melihatnya?"
"Kami sudah melihat tulang-belulang yang ditinggalkannya,"
Louisa menyahut dengan serius.
Nat mengintip dari balik kaki Louisa. "Hantunya cuma keluar
kalau lagi bulan purnama," katanya.
"Tapi kami tidak tahu pasti," Louisa meralat. "Sudah dari dulu dia tinggal di
gua itu. Kata orang, dia sudah tiga ratus tahun di situ."
"Tapi kalau kalian belum pernah melihatnya," ujarku,
"bagaimana kalian tahu dia ada di gua itu?"
"Kadang-kadang ada cahaya berkedap-kedip," kata Sam.
"Cahaya?" tanyaku sambil menahan tawa. "Ya ampun! Cuma karena ada cahaya, kalian
yakin ada hantu di situ" Padahal bisa saja ada orang yang membawa senter."
Louisa menggelengkan kepala dengan tegas. "Cahayanya lain,"
dia berkeras. "Bukan seperti cahaya senter."
"Hmm, cahaya berkedap-kedip dan tulang-belulang anjing
belum cukup sebagai bukti," kataku. "Kurasa kalian cuma mau menakut-nakuti kami
lagi. Tapi kali ini aku takkan termakan."
Sam cemberut. "Ya sudah," dia bergumam. "Kalau kau tidak mau percaya, ya
terserah saja." "Aku memang tidak percaya," aku menegaskan.
Sam angkat bahu. "Sampai ketemu deh," katanya pelan-pelan, lalu kembali ke hutan
bersama kedua adiknya. Begitu mereka tak kelihatan lagi, Terri langsung menonjok
pundakku. "Kenapa sih kau harus ketus begitu, Jerry" Padahal aku sudah mulai
bisa mengorek keterangan dari mereka."
Aku menggelengkan kepala. "Masa kau belum sadar juga"
Mereka cuma mau menakut-nakuti kita. Tidak ada hantu di sini. Cerita itu hanya
karangan mereka." Terri menatapku dengan tajam. "Belum tentu," dia bergumam.
Aku memandang ke mulut gua yang menganga lebar. Aku
merinding, walaupun matahari pagi bersinar dengan cerah.
Betulkah ada hantu tua di situ"
Dan beranikah aku menyelidikinya"
**** Agatha membuat masakan ayam gaya lama untuk makan
malam. Aku menghabiskan seporsi bagianku, namun ercis dan
wortelnya tak kusentuh. Aku memang tidak suka sayur-sayuran.
Terri dan aku sedang membantu Agatha membereskan meja
sehabis makan, ketika dia berkata, "Jerri, sepertinya aku kehilangan satu
handuk. Bukankah kau membawa dua handuk tadi pagi?"
"Ya," jawabku. "Jangan-jangan yang satu lagi ketinggalan di pantai?" tanya Terry.
Aku berusaha mengingat-ingat. "Rasanya sih tidak. Tapi biar
kucari saja ke sana."
"Jangan," Agatha mencegahku. "Besok saja. Sekarang sudah mulai gelap."
"Tidak apa-apa kok," sahutku. Langsung saja aku menaruh lap piring yang sedang
kupegang, dan sebelum Agatha sempat berkata
apa-apa, aku sudah menghambur keluar lewat pintu belakang.
Aku justru bersyukur ada alasan untuk keluar, sebab aku tidak
betah berlama-lama di dapur yang sempit itu. Rasanya kita tidak bisa membalik
badan tanpa menabrak sesuatu.
Sambil bersiul-siul aku menyusuri jalan setapak yang menuju
pantai. Aku gembira karena akhirnya ada kesempatan untuk pergi
seorang diri. Terri sebenarnya cukup menyenangkan, apalagi untuk
ukuran adik perempuan, dan kami biasanya akur-akur saja. Tapi
kadang-kadang aku ingin sendirian, tanpa diganggu orang lain.
Aku menemukan batu besar tempat kami tinggalkan handuk-
handuk tadi pagi. Tapi handuk yang hilang tak ada di sana. Barangkali dibawa
Sam, pikirku. Barangkali dia mau memakainya untuk
menyamar sebagai hantu dan mengagetkan kami.
Aku mendongak dan menatap gua besar. Mulutnya yang lebar
tampak gelap gulita, lebih gelap dari langit yang hitam kebiruan.
"Hah?" Aku mengedip-ngedipkan mata - dan maju selangkah.
Sepertinya aku melihat kelap-kelip cahaya di gua itu.
Aku maju selangkah lagi. Ah, paling-paling cahaya bulan, yang
baru muncul dari balik pohon-pohon cemara.
Bukan. Ternyata bukan pantulan bulan, aku menyadari.
Aku kembali maju beberapa langkah. Aku tak kuasa
mengalihkan pandangan dari cahaya redup yang tampak di mulut gua
yang gelap. Sam! aku berkata dalam hati. Ini pasti ulah Sam. Dia ada di atas
sana, dan menyalakan korek api. Dia pasti mau memperdaya kami
lagi. Perlukah aku memanjat ke sana"
Sepatu ketsku setengah terbenam dalam pasir ketika aku
menghampiri gua itu. Cahaya tadi tampak redup di mulut gua. Seakan-akan
mengambang. Berkedap-kedip. Menari-nari.
Haruskah aku naik" Aku bertanya dalam hati.
Haruskah" Chapter 9 YA. Aku harus naik ke sana.
Cahaya itu mendadak bertambah terang, seolah-olah
memanggilku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu melompati kolam air
pasang dan melintasi batu-batu yang tertutup lumut. Kemudian aku
mulai memanjat tebing. Mulut gua itu berada jauh di atasku, diapit batu-batu besar. Aku
memanjat dengan hati-hati, melewati batu-batu kecil yang licin,
sampai aku mencapai batu besar berikutnya.
Aku beruntung karena cahaya bulan cukup terang, sehingga aku
bisa memilih-milih tempat berpijak dan berpegangan yang tampak
paling kokoh. Apa kata Nat waktu itu" Hantunya cuma keluar kalau
sedang bulan purnama"
Aku melewati batu berikut dan terus memanjat.
Samar-samar kulihat cahaya yang mengambang di mulut gua di
atasku. Aku memanjat semakin tinggi, melewati batu karang yang
tajam dan licin karena embun.
"Oh!" aku berteriak ketika sebelah kakiku terpeleset. Aku
memandang ke bawah dan melihat batu-batu berjatuhan.
Cepat-cepat kuraih batang akar yang tumbuh di sela bebatuan.
Sambil bergelantungan, aku lalu mencari tempat berpijak yang lain.
Uih! Hampir saja! Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas.
Kemudian kutarik tubuhku ke atas batu besar, dan kudongakkan
kepala. Gua itu berada persis di atasku. Kira-kira tinggal tiga meter lagi.
Aku berdiri - dan menahan napas.
Aduh! Bunyi apa itu di belakangku"
Aku berdiri mematung. Menunggu. Memasang telinga.
Mungkinkah ada orang lain di situ" Atau jangan-jangan malah
si hantu" Pertanyaanku segera terjawab. Sebuah tangan dingin
mencengkeram tengkukku dari belakang.
Chapter 10 AKU memekik tertahan - sebenarnya suaraku lebih mirip suara
orang tersedak - dan memaksakan diri untuk berbalik.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cengkeraman jemari dingin itu mengendur sedikit. "Ssst!" bisik Terri. "Ini aku."
Aku langsung menggeram dengan jengkel. "Kau ini macam-
macam saja sih! Kenapa kau ada disini?"
"Sudahlah," balas adikku. "Kau sendiri kenapa ada di sini?"
"Aku - aku lagi cari handuk yang hilang," jawabku sambil
tergagap-gagap. Terri tertawa. "Kau sedang mencari hantu, Jerry. Ya, kan" Akui
saja deh." Kami sama-sama menoleh ke arah gua. "Kau lihat cahaya itu?"
aku berbisik. "Hah" Cahaya apa?" tanya Terri.
"Cahaya berkelap-kelip di dalam gua," sahutku ketus. "Kenapa sih kau" Kau harus
pakai kacamata, Ya?"
"Sori, tapi aku tidak melihat cahaya di situ," Terri berkeras.
"Guanya gelap gulita."
Aku menatap mulut gua. Menatap kegelapan yang pekat.
Terri benar. Kelap-kelip cahaya tadi telah lenyap.
**** Ketika berbaring di tempat tidur malam itu, aku berusaha
menggunakan yang oleh Mr. Hendrickson, guru IPA-ku, disebut
"kemampuan berpikir kritis". Artinya, aku mencoba menggabung-gabungkan fakta
yang ada dan yang tidak ada, lalu menarik
kesimpulan logis. Jadi aku bertanya pada diriku: Apa saja yang kuketahui"
Aku tahu bahwa aku melihat cahaya. Kemudian cahayanya
padam. Jadi bagaimana penjelasannya" Apakah aku sekadar salah lihat"
Atau diperdaya oleh daya khayalku sendiri" Atau ditipu lagi oleh
Sam" Di luar, seekor anjing mulai menggonggong. Aneh, pikirku.
Selama berada di sini, aku belum pernah melihat satu anjing pun.
Aku menutup telinga dengan bantal.
Gonggongan anjing itu bertambah keras, bertambah garang.
Sepertinya anjing itu menggonggong persis di depan jendela kamarku.
Aku duduk tegak dan pasang telinga.
Tiba-tiba aku teringat ucapan Nat. Anjing bisa mengenali hantu.
Itukah sebabnya anjing itu menggonggong begitu keras"
Mungkinkah dia melihat hantu"
Sambil merinding, aku turun dari tempat tidur dan mengendap-
endap ke jendela. Aku mengintip ke luar. Tak ada anjing. Aku memasang telinga. Suara gonggongan tadi telah berhenti.
Sebagai gantinya terdengar suara jangkrik serta desir
pepohonan. "Sini, anjing manis," aku berseru pelan-pelan.
Tak ada jawaban. Aku merinding lagi.
Suasananya hening. Ada apa ini" aku bertanya-tanya dalam hati.
**** "Ssst! Jangan bikin mereka kaget, bisik Terri.
Matahari pagi masih tampak seperti bola merah ketika kami
mendekati sarang burung camar yang ditemukan adikku sehari
sebelumnya. Mengamati burung merupakan hobi Terri Sadler nomor tiga.
Tapi berbeda dari menjiplak batu nisan dan mengumpulkan bunga liar,
hobinya yang satu ini bisa ditekuninya dari jendela apartemen kami di New
Jersey. Kami berjongkok dan mengamati sarang itu. Kira-kira empat
setengah meter di depan kami, si induk camar sedang sibuk
menggiring ketiga anaknya kembali ke sarang. Dia berkuak-kuak dan
mengejar-ngejar mereka ke sana ke mari.
"Anak-anaknya lucu sekali, ya," bisik Terri. "Mereka kelihatan seperti boneka
burung-burungan kelabu berbulu lebat."
"Menurutku sih mereka lebih mirip tikus," sahutku.
Terri menyikutku. "Jangan ngaco deh."
Selama beberapa menit kami memperhatikan tingkah anak-anak
burung itu. Kami sama-sama membisu. "Kau yakin ada anjing
menggonggong semalam?" Terri lalu bertanya padaku. "Aku kok tidak dengar apa-
apa." Tiba-tiba aku melihat ketiga anak Sadler di pantai. Mereka
mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan, dan menyusuri
pantai dengan bertelanjang kaki. Aku langsung berdiri dan berlari
kecil ke arah mereka. "Hei, mau ke mana kau?" seru Terri.
"Aku mau memberitahu mereka tentang cahaya di gua," aku
membalas. "Tunggu!" seru Terri, sambil mengejarku.
Kami melintasi pantai berbatu dan menghampiri kakak-beradik
itu. Aku melihat Sam membawa beberapa joran tua, dan Louisa
menggotong ember berisi air.
"Hai," sapa Louisa ramah. Dia segera menurunkan embernya.
"Sudah dapat ikan?" tanyaku.
"Belum," jawab Nat. "Kami baru mau berangkat."
"Kalau begitu, apa yang ada di ember kalian?" tanyaku.
Nat meraih ke dalam ember dan mengambil seekor ikan kecil
berwarna perak. "Ini. Kita pakai untuk umpan."
Aku membungkuk dan menatap ke dalam ember. Lusinan ikan
kecil tampak berenang-renang. "Wow!"
"Mau ikut memancing?" Louisa mengajak.
Terri dan aku saling melirik. Ajakannya menarik juga. Dan
siapa tahu bakal ada kesempatan untuk menanyakan cahaya di gua
tanpa terlalu mencolok. "Oke," kataku. "Boleh saja."
Kami mengikuti mereka melewati jalan setapak berpasir yang
menuju tempat teduh di tepi air.
"Biasanya kami beruntung di sini," ujar Sam.
Dia mengambil ikan umpan dari ember, dan menjepit salah satu
jorannya dengan kedua kaki. Dengan tangkas dipasangnya ikan itu di
ujung kail, lalu ia menyerahkan joran padaku. Ikan itu menggelepar-
gelepar. "Mau coba?" dia bertanya. Aku agak heran kenapa dia
mendadak begitu ramah. Apakah karena ditegur Louisa" Ataukah dia
sedang mencoba menjebakku lagi"
"Mau," kataku. "Apa yang harus kulakukan?"
Sam menunjukkan cara melempar umpan. Usaha pertamaku
gagal total. Ikannya jatuh kira-kira tiga puluh senti dari pantai.
Sam tertawa dan melemparkan umpan untukku.
"Tenang saja," ujarnya, sambil mengembalikan joran.
"Melempar umpan dengan baik memang harus dilatih berulang-
ulang." Sam yang ini benar-benar bertolak belakang dari Sam yang
kami lihat sebelumnya. Mungkin dia perlu waktu sebelum bisa
berteman dengan orang baru, pikirku.
"Sekarang bagaimana?" aku bertanya padanya.
"Lemparkan umpan dan tarik lagi," dia memberitahuku. "Dan kalau ada sentakan,
teriak saja." Sam berpaling kepada Terri. "Kau juga mau coba?" dia bertanya.
"Tentu!" balas adikku.
Sam hendak meraih umpan di dalam ember.
"Tunggu," Terri mencegahnya. "Biar aku saja."
Sam langsung mundur. Kupikir Terri pasti cuma sok aksi. Aku
tahu dia belum pernah menggunakan ikan hidup sebagai umpan. Dia
paling jijik terhadap benda yang licin dan berlendir.
Terri melemparkan umpannya tanpa minta petunjuk dulu. Huh,
sok aksi, gerutuku dalam hati. Tapi kemudian tali pancingnya
tersangkut di dahan pohon di atas kami.
Tentu saja semuanya terbahak-bahak - apalagi ketika ikan
umpannya menggeliat-geliut sampai terlepas dari mata kail, dan jatuh ke kepala
Terri. Adikku langsung memekik. Tangannya mendayung-dayung, dan ikannya akhirnya
terlempar ke air. Sam tertawa sambil berguling-guling di batu karang. Yang lain
pun terpingkal-pingkal. Kami semua menggeletakkan diri di atas batu
besar yang datar. Rasanya ini kesempatan baik untuk menyinggung soal gua. "Eh,
kalian tahu, tidak?" aku mulai berkata. "Semalam aku turun ke pantai, dan aku
melihat cahaya kelap-kelip yang kalian ceritakan di gua."
Seketika Sam berhenti tersenyum. "Oh, ya?"
Louisa membelalakkan mata dengan ngeri. "Kau... kau tidak
pergi ke sana, kan?"
"Tidak, aku tidak masuk," jawabku.
"Tempat itu sangat berbahaya," ujar Louisa. "Seharusnya kau jangan pergi ke
sana. Sungguh." "Yeah. Betul," Sam segera menimpali. Dia menatapku dengan
tajam. Aku melirik ke arah Terri. Aku langsung tahu apa yang
dipikirkannya. Ketiga anak itu ketakutan sekali. Tapi mereka tidak
mau mengakuinya. Mereka tidak mau membuka rahasia.
Tapi yang jelas, gua itu membuat mereka ngeri. Kenapa"
Hanya satu hal yang sudah pasti: Aku harus mencari
jawabannya. Chapter 11 WAKTU malam, kami duduk di meja bundar di ruang tamu
yang bersebelahan dengan dapur. Brad sedang mencungkil-cungkil
biji jagung dari tongkolnya, supaya bisa dimakan dengan memakai
garpu. "Brad... ehm... aku mau tanya tentang gua itu," aku angkat bicara sambil
memegang-megang sendok dan garpu.
Aku merasakan kaki Terri menyenggol kakiku di bawah meja.
"Ada apa dengan gua itu?" tanya Brad.
"Ada... ehm... ada yang aneh," ujarku ragu-ragu. Agatha
langsung menoleh ke arahku. "Kau tidak masuk ke gua itu, bukan?"
"Tidak," jawabku.
"Kau tidak boleh masuk ke sana," dia memperingatkan. "Terlalu berbahaya."
"Ehm, justru itu yang ingin kutanyakan," kataku lagi. Semuanya berhenti makan.
"Semalam, waktu aku mencari handuk yang hilang di pantai, aku melihat cahaya
berkelap-kelip di gua itu. Barangkali kalian tahu cahaya apa itu?"
Brad memicingkan mata. "Cuma tipuan mata," komentarnya
singkat. Kemudian dia meraih tongkol jagungnya dan kembali
mencungkil-cungkil. "Apa maksudnya?"
Brad meletakkan tongkolnya di piring. "Jerry, kau pernah
mendengar istilah Aurora borealis" Cahaya di langit bagian utara?"
"Tentu," sahutku. "Tapi..."
"Itulah cahaya yang kaulihat," tukasnya. Dia kembali meraih jagungnya.
"Oh." Aku berpaling kepada Agatha, sambil mengharapkan
penjelasan lebih lanjut. "Cahaya itu terlihat hanya pada saat tertentu setiap tahun," dia berkata. "Kalau
udara bermuatan listrik, kau akan melihat pita-pita cahaya di langit."
Dia mengambil mangkuk besar berisi bubur kentang. "Mau
tambah lagi?" "Ya, terima kasih." Kaki Terri kembali menyenggol kakiku di bawah meja. Aku
menggelengkan kepala. Brad dan Agatha keliru.
Yang kulihat pasti bukan Aurora borealis. Cahaya itu berasal dari
dalam gua, bukan dari langit.
Apakah mereka memang keliru"
Ataukah mereka sengaja membohongiku"
Seusai makan malam, Terri dan aku berjalan-jalan menyusuri
pantai. Gumpalan-gumpalan awan kelabu melayang-layang di langit
malam dan menutupi bulan. Bayangan-bayangan di depan kami
berubah-ubah ketika kami melintasi pasir yang berbatu-batu.
"Mereka bohong," aku berkata kepada Terri. Kedua tanganku
terselip dalam kantong celana jinsku.
Ada sesuatu yang ditutup-tutupi Brad dan Agatha. Mereka
sengaja tidak mau bercerita tentang gua itu."
"Mereka cuma khawatir," sahut adikku. "Mereka tidak mau kalau kita sampai cedera
karena memanjat ke sana. Mereka merasa
bertanggung jawab dan..."
"Terri - lihat, tuh!" aku berseru, sambil menunjuk ke gua itu.
Cahaya redup tampak berkelap-kelip di mulut gua. Kali ini
Terri juga melihatnya. Ketika kami memperhatikan cahaya itu, bulan kembali tertutup
awan dan langit bertambah gelap.
"Itu bukan Aurora borealis," aku berbisik. "Pasti ada orang di atas sana."
"Coba kita periksa saja," sahut Terri.
Sebelum sadar apa yang kami lakukan, kami sudah mulai
memanjat tebing. Rasanya seakan-akan ada magnet yang menarik
kami. Aku betul-betul penasaran. Aku harus tahu dari mana cahaya
aneh itu berasal. Di belakang kami, ombak berdebur-debur menerpa batu karang.
Percikan air bercipratan ke segala arah.
Kami sudah hampir sampai di mulut gua. Aku menoleh ke
belakang, dan melihat pantai sudah jauh di bawah kami. Cahaya di
mulut gua masih berkelap-kelip dan menari-nari.
Kami naik sampai ke tonjolan batu yang menjorok di depan
mulut gua, lalu berdiri. Ternyata tonjolan itu cukup lebar. Di hadapan kami, mulut gua
tampak menganga lebar. Aku mengintip ke dalam. Seberapa dalam gua itu" Aku tidak
bisa melihat apa-apa, karena keadaan di dalamnya gelap gulita.
Aku memicingkan mata. Sepertinya aku melihat terowongan
yang menuju samping. Aku maju selangkah. Terri berada tepat di belakangku. Dia
menggigit bibir. Aku tahu dia ketakutan. "Bagaimana?" bisiknya ke telingaku.
"Ayo, kita masuk saja," kataku.
Chapter 12 JANTUNGKU berdebar-debar ketika kami memasuki gua itu.
Seketika kami diselubungi kegelapan. Berulang kali kami nyaris
tergelincir ketika menginjak bebatuan yang licin dan lembap. Aku
hampir tidak bisa bernapas karena udaranya berbau asam dan pengap.
"Hei...!" seruku ketika Terri meraih lenganku. "Cahayanya, tuh!" bisik adikku.
Cahaya itu berkelap-kelip di dekat dinding bel-kang.
Sambil merapatkan badan, kami maju beberapa langkah.
Udaranya terasa lebih hangat di sini.
"A - ada terowongan," aku tergagap-gagap.
Gua itu menyempit, lalu menikung. Cahaya yang kami lihat
berasal dari balik tikungan, jauh di bagian dalam.
Aku menelan ludah. "Ayo, kita maju sedikit lagi," desakku.
Terri merapat ke punggungku. "Tapi terowongan itu kelihatan
seram," katanya lirih.
Sayup-sayup aku mendengar bunyi berdecit-decit. Bunyi itu
berasal dari depan. "Sedikit lagi deh," kataku. "Sudah tanggung nih."
Kami berjalan perlahan-lahan menuju sumber cahaya itu.
Ketika memasuki terowongan, kami terpaksa menundukkan kepala.
Aku mendengar bunyi air menetes-netes di dekat kami. Udaranya
semakin hangat dan lembap.
Terowongan itu membelok, lalu tiba-tiba melebar lagi dan
berakhir di suatu ruangan besar.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bunyi berdecit tadi terdengar lagi, dan aku langsung berhenti.
Kemelut Blambangan 8 Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman Manusia Pemuja Bulan 2
Chapter 1 AKU tidak ingat bagaimana kami bisa sampai di pekuburan itu.
Yang kuingat, langit semakin gelap - dan kami telah berada di
sana. Adikku, Terri, dan aku berjalan menyusuri deretan batu nisan
tua. Semuanya sudah miring, retak, dan berlapis lumut. Sebenarnya
waktu itu sedang musim panas, tapi kabut kelabu yang lembap
menyelubungi segala sesuatu, dan udara terasa dingin.
Aku menggigil dan merapatkan jaketku. "Tunggu, Terri!"
seruku. Seperti biasa, dia berjalan mendahuluiku. Aku tidak tahu
kenapa, tapi dia selalu bersemangat sekali kalau ada di pekuburan.
"Kau ada di mana sih?" panggilku.
Mataku berusaha menembus kabut kelabu itu. Samar-samar aku
melihat bayangan Terri di depanku. Sebentar-sebentar dia berhenti
untuk memeriksa batu nisan.
Aku membaca tulisan pada batu nisan di dekat kakiku:
DI SINI TERBARING JOHN, PUTRA DARI DANIEL DAN SARAH KNAPP, MENINGGAL
TANGGAL 25 MARET 1766, DALAM USIA 12 TAHUN 22
HARI. Aneh, pikirku. Anak itu baru seusiaku sekarang waktu
meninggal. Februari lalu usiaku menginjak dua belas tahun, dan di
bulan yang sama, Terri merayakan ulang tahunnya yang kesebelas.
Aku mempercepat langkahku. Angin kencang mulai menyapu
pekuburan. Deretan demi deretan kuburan tua kutelusuri untuk
mencari adikku. Tapi dia seperti hilang ditelan kabut tebal. "Terri!
Kau ke mana sih?" seruku.
Sayup-sayup aku mendengarnya menyahut, "Aku di sebelah
sini, Jerry!" "Di mana?" Aku terus melangkah di tengah kabut dan daun-
daun mati. Angin berputar-putar di sekelilingku.
Tak jauh dari tempatku berada terdengar lolongan panjang.
"Ah, paling-paling cuma anjing," aku bergumam sendiri.
Angin berdesir-desir. Aku menggigil lagi.
"Jerry!" Suara Terri seakan-akan berasal dari jarak sejuta kilometer.
Aku terus berjalan, lalu berhenti dan bersandar pada sebuah
batu nisan tinggi. "Terri! Tunggu! Jangan pindah-pindah tempat
dong!" Sekali lagi terdengar lolongan panjang.
"Kau salah arah!" Terri berseru. "Aku di sebelah sini!"
"Huh, dasar," aku menggerutu. Kenapa aku harus punya adik
yang hobinya menjelajahi pekuburan tua" Kenapa dia tidak pilih
kegiatan lain yang lebih normal, main bisbol, misalnya"
Suara angin menyerupai suara orang menyedot udara. Pusaran
angin mengangkat daun-daun kering, debu, dan tanah, yang kemudian
menerpa wajahku. Aku memejamkan mata.
Waktu membuka mata lagi, aku melihat Terri sedang menunduk
di atas sebuah kuburan kecil. "Jangan pergi dulu!" seruku. "Aku mau ke sana!"
Aku menyelinap di antara batu-batu nisan, dan akhirnya sampai
di sisi adikku. "Eh, sudah mulai gelap nih," kataku. "Ayo, kita pulang saja."
Aku membalik dan mulai melangkah - tapi tiba-tiba ada yang
menggenggam pergelangan kakiku dengan erat.
Aku memekik kaget, dan berusaha membebaskan diri. Tapi
genggamannya malah semakin kuat.
Sebuah tangan. Sebuah tangan yang menyembul dari tanah di
samping kuburan tadi. Jeritanku terdengar melengking. Terri ikut menjerit.
Aku mengayunkan kakiku keras-keras, dan berhasil membebaskan
diri. "Lari!" pekik Terri.
Tapi aku sudah berlari duluan.
Ketika Terri dan aku berlari tunggang-langgang melintasi
rumput yang basah, tangan-tangan hijau bermunculan di mana-mana.
Krak! Krak! Krak! Tangan-tangan itu menggapai-gapai ke arah Terri dan aku,
seakan-akan hendak menyambar pergelangan kaki kami.
Aku mengelak ke kiri. Krak! Aku menghindar ke kanan. Krak!
"Lari, Terri! Lari!" seruku kepada adikku. "Cepat!"
Aku mendengar sepatu ketsnya berdebam-debam di
belakangku. Kemudian aku mendengarnya menjerit ketakutan, "Jerry!
Aku tertangkap!" Aku berbalik sambil menahan napas. Dua tangan besar
mencengkeram mata kaki Terri.
Aku berdiri seperti patung, sementara adikku berusaha
membebaskan diri. "Jerry - tolong! Tangannya tidak mau lepas!"
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menyerbu ke arah Terri.
"Pegang tanganku," kataku sambil kuulurkan tanganku.
Kemudian kutendang kedua tangan yang mencengkeram
pergelangan kakinya. Kutendang sekeras mungkin. Tapi sia-sia. Tangan-tangan itu
tidak bergerak sedikit pun.
"Aku - aku tidak bisa bergerak!" ratap Terri.
Tanah di bawah kakiku terasa bergetar. Aku langsung menatap
ke bawah, dan melihat tangan-tangan lain bermunculan.
Dengan kalang kabut aku menarik-narik pinggang Terri. "Jalan dong!"
seruku. "Tidak bisa!" "Harus bisa! Ayo, coba lagi!"
"Ohhh!" aku memekik tertahan ketika dua tangan mencengkeram pergelangan kakiku.
Sekarang aku juga terperangkap.
Kami sama-sama terperangkap.
Chapter 2 "JERRY! Kau kenapa sih?" tanya Terri.
Aku mengedip-ngedipkan mata. Terri berdiri di sampingku.
Kami ternyata berada di pantai berbatu. Aku memandang ke laut lepas
yang tenang, dan menggeleng-gelengkan kepala. "Wow. Betul-betul aneh," aku
bergumam. "Aku tiba-tiba teringat mimpi buruk yang kualami beberapa bulan yang
lalu." Terri mengerutkan kening. "Kenapa justru sekarang?"
"Waktu itu aku bermimpi tentang pekuburan," aku menjelaskan.
Aku berbalik dan memandang ke arah pekuburan tua dan kecil yang
baru saja kami temukan di tepi hutan cemara di belakang kami.
"Dalam mimpiku ada tangan-tangan hijau yang bermunculan dari
dalam tanah dan mencengkeram pergelangan kaki kita."
"Ih, seram," sahut Terri. Ia menepiskan beberapa helai rambut cokelatnya yang
jatuh ke wajahnya. Adikku memang sedikit lebih
tinggi dariku, tapi selain itu kami merupakan pasangan kakak-adik
yang sangat serasi. Rambut kami sama-sama cokelat dan dipotong
pendek, hidung kami sama-sama berbintik-bintik, dan mata kami
sama-sama berwarna cokelat.
Tapi ada satu hal yang membedakan kami: Terri punya lesung
pipi di kedua pipinya yang terlihat kalau ia sedang tersenyum, dan aku tidak.
Untung saja! Selama beberapa menit kami berjalan menyusuri pantai. Batu-
batu besar dan pohon-pohon cemara berukuran kerdil tampak di
mana-mana. "Barangkali kau ingat mimpi itu karena pikiranmu lagi tidak
tenang," ujar Terri sambil termenung-menung. "Maksudnya, kan baru kali ini kita
pergi berlibur selama satu bulan penuh tanpa Mom dan
Dad." "Ya, mungkin juga," kataku. "Kita memang belum pernah pergi sendirian untuk
waktu yang begitu lama. Tapi sebenarnya kan tak ada
yang perlu kita takutkan di sini, Apalagi Brad dan Agatha begitu
baik." Brad Sadler masih terhitung sepupu kami, padahal ia
sebenarnya sudah tua sekali. Kata ayahku, Brad dan istrinya, Agatha, sudah tua
waktu beliau masih kecil.
Walaupun sudah tua mereka berdua sangat menyenangkan dan
masih penuh semangat. Jadi waktu mereka mengundang kami berlibur
di daerah New England untuk menghabiskan bulan terakhir liburan
musim panas di rumah tua mereka, Terri dan aku langsung setuju.
Berlibur di pantai pasti menarik sekali - apalagi dibandingkan pilihan yang satu
lagi, yaitu berlibur di apartemen kami yang sempit dan
pengap di New Jersey. Baru pagi itu kami tiba naik kereta. Brad dan Agatha telah
berjanji akan menjemput kami di stasiun, dan ternyata mereka sudah
menunggu di peron. Dari stasiun kami naik mobil ke rumah mereka,
melewati hutan cemara yang lebat.
Setelah membongkar koper dan makan siang - Agatha
membuatkan sup kerang yang lezat untuk kami - Agatha berkata,
"Nah, bagaimana kalau kalian jalan-jalan dulu" Di sekitar sini banyak hal
menarik yang bisa dilihat lho."
Jadi begitulah ceritanya bagaimana kami bisa berada di sini.
Terri meraih lenganku. "Eh, bagaimana kalau kita balik lagi ke
pekuburan kecil dan menyelidikinya?" ia mengusulkan dengan berapi-api.
"Ehm, lain kali saja deh...." Mimpi menakutkan tadi masih
segar dalam ingatanku. "Ayo dong. Tak bakal ada tangan-tangan hijau di sana. Percaya
deh. Dan di sana pasti ada batu-batu nisan yang bagus untuk dijiplak."
Terri paling suka menyelidiki pekuburan tua. Ia suka segala sesuatu
yang seram-seram. Apalagi cerita misteri yang membuat bulu kuduk
berdiri. Ia bisa membaca selusin buku berturut-turut. Dan anehnya, ia selalu
mulai dengan bab terakhir.
Terri selalu ingin segera tahu bagaimana pemecahan suatu
misteri. Ia tidak bisa tenang sebelum tahu jawabannya.
Adik perempuanku itu punya minat terhadap seribu satu hal,
tapi menjiplak batu nisan termasuk hobinya yang agak ganjil. Ia biasa
menempelkan selembar kertas roti ke batu nisan, lalu menggosok-gosoknya dengan
sisi krayon khusus, supaya tulisan dan gambarnya
pindah ke kertas itu. "Hei! Tunggu!" seruku.
Tapi seperti biasa Terri sudah mendahuluiku, dan berlari ke
arah pekuburan di tepi hutan. "Ayo dong, Jerry!" panggilnya. "Masa sih kau
takut?" Aku menyusulnya ke hutan. Udara di sini segar dan berbau
cemara. Pekuburannya tak jauh dari tepi hutan, dikelilingi tembok
batu yang sudah roboh sebagian. Kami menyelinap lewat celah
sempit. Terri mulai mengamati batu-batu nisan. "Wah, di sini ada batu
nisan yang sudah tua sekali!" serunya. "Coba lihat yang ini, nih!"
Ia menunjuk batu nisan kecil di hadapannya. Pada bagian depan batu
nisan itu terdapat gambar tengkorak dengan sayap di ke dua sisinya.
"Ini namanya Kepala Sang Maut," adikku menjelaskan. "Lambang ini sering dipakai
kaum Puritan dulu. Seram, ya?" Ia membaca tulisan yang tertera, "Di sini
terbaring jasad Mr. John Sadler, yang
meninggalkan dunia ini tanggal 18 Maret 1642, pada usia 38 tahun."
"Sadler. Seperti kita," ujarku. "Wah, jangan-jangan kita masih punya hubungan
saudara dengan orang ini." Aku mulai berhitung di luar kepala. "Kalau kita
memang bersaudara, John Sadler adalah
kakek buyut dari kakek buyut kita. Dia meninggal lebih dari 350 tahun lalu."
Terri sudah beralih ke kelompok batu nisan lainnya. "Ini ada
yang dari tahun 1647, dan yang ini dari tahun 1652. Wah, aku belum
pernah menjiplak batu nisan setua ini." Ia menghilang ke balik batu nisan
tinggi. Saat itu juga aku tahu di mana kami akan menghabiskan masa
liburan. Tapi aku sendiri tidak berminat berlama-lama di pekuburan.
"Ayo, kita jelajahi pantai saja, oke?" Aku memandang berkeliling untuk mencari
adikku. "Terri! Aduh, ke mana lagi sih kau?" Aku menghampiri batu nisan tinggi
tadi. Ternyata Terri tak ada di situ.
"Terri?" Angin laut menggoyang dahan-dahan cemara di atas
pekuburan. "Terri, jangan bercanda!"
Aku maju beberapa langkah. "Kau tahu kan, kalau aku tidak
suka permainan seperti ini," aku memperingatkannya.
Tiba-tiba kepala Terri menyembul dari balik batu nisan yang
berjarak beberapa meter dari tempat aku berdiri. "Kenapa" Takut?"
tanyanya dengan nada menantang.
Aku sebal melihat senyumnya yang berkesan mengejek.
"Takut" Aku?" aku menyahut. "Enak saja!"
Terri berdiri. "Oke, penakut. Kita ke pantai saja. Tapi besok aku bakal balik ke
sini." Ia menyusulku ke pantai yang berbatu-batu.
"Hmm, apa ya, yang ada di ujung sana?" ujarku sambil
menyusuri tepi air. "Oh, coba lihat ini." Terri berhenti untuk memetik sekuntum bunga liar berwarna
putih-kuning yang tumbuh di sela dua batu besar.
"Namanya butter-and-eggs," katanya. "Aneh, ya?"
"Ya, aneh sekali." Hobi Terri Sadler nomor dua: bunga liar. Ia suka mengumpulkan
bunga liar, lalu memipihkan semuanya dengan
alat besar yang terbuat dari karton, yang dinamakan penjepit tanaman.
Terri mengernyit. "Apa lagi sekarang?" ia bertanya ketika
melihat tampangku yang masam.
"Habis, sebentar-sebentar berhenti. Padahal aku kepingin
menjelajah. Kata Agatha, di ujung sana ada teluk kecil tempat kita
bisa berenang." "Oke, oke," balas Terri sambil memutar-mutar bola mata.
Kami terus berjalan sampai mencapai teluk kecil dengan pantai
berpasir. Sebenarnya lebih banyak batu kerikil ketimbang pasir. Aku
memandang ke laut dan melihat susunan batu yang menjorok ke
tengah. "Untuk apa itu?" tanya Terri.
"Itu pemecah ombak untuk melindungi pantai," aku
menjelaskan. Aku baru saja hendak berceramah tentang pengikisan
pantai, ketika Terri memekik tertahan.
"Jerry - lihat, tuh! Di atas sana!" ia berseru. Tangannya
menunjuk tebing karang tinggi yang menyembul dari laut, persis di
belakang pemecah ombak. Di dekat puncak tebing ada bagian yang
menjorok ke depan, dan di balik tonjolan itu kami melihat mulut gua
yang gelap dan menganga lebar.
"Ayo, kita naik ke sana," ajaknya penuh semangat. "Gua itu harus kita selidiki."
"Jangan! Tunggu dulu!" Aku teringat pesan kedua orangtuaku sebelum Terri dan aku
berangkat berlibur: Awasi Terri dan jangan
biarkan dia berbuat yang aneh-aneh. "Rasanya terlalu berbahaya,"
kataku. Bagaimanapun juga, aku lebih tua. Dan aku yang dibekali akal sehat.
Terri langsung merengut. "Huh, dasar penakut," gerutunya.
Tanpa berkata apa-apa lagi ia melintasi pantai dan menghampiri
tebing itu. "Paling tidak kita lihat dari dekat dulu. Nanti kita bisa tanya pada
Brad dan Agatha apakah aman kalau kita memanjat ke gua itu,"
ujarnya setelah sampai di kaki tebing.
Aku mengikutinya. "Yeah, orang berumur sembilan puluh
memang biasa keluar-masuk gua," komentarku sinis.
Tapi setelah mendekat, aku terpaksa mengakui bahwa gua itu
memang mengesankan. Aku belum pernah melihat gua sebesar itu,
kecuali dalam salah satu majalah Pramuka di rumah.
"Barangkali ada orang yang tinggal di situ," Terri menduga-duga sambil
mendongak. "Maksudnya, orang yang bertapa." Ia menangkupkan tangannya ke mulut
dan berseru, "Huuu!"
Kadang-kadang Terri memang konyol. Coba pikir, kalau kau
tinggal di dalam gua, lalu mendengar orang berseru "huuu", apakah kau akan
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyahut" "Huuu!" adikku kembali berseru.
"Ayo dong. Kita jalan lagi," aku mendesak. Tiba-tiba ada siulan panjang yang
memecahkan keheningan. Siulan itu berasal dari dalam
gua! Kami saling melirik.
"Oh! Apa itu?" bisik Terri. "Burung hantu?"
Aku menelan ludah. "Rasanya bukan. Burung hantu baru
bangun setelah gelap."
Tuh, suara itu terdengar lagi. Suara orang bersiul, yang seakan-
akan berasal dari perut bumi.
Terri dan aku bertukar pandang. Suara apa itu" Suara serigala"
Atau anjing hutan" "Brad dan Agatha pasti sudah mulai cemas karena kita belum
pulang," Terri berkata pelan-pelan. "Mungkin lebih baik kalau kita pulang dulu."
"Yeah. Oke." Aku berbalik dan sudah mau melangkah pergi.
Tapi tiba-tiba terdengar bunyi mengepak-ngepak. Dari dalam gua.
Semakin lama semakin jelas.
Dengan sebelah tangan aku melindungi mataku dari sinar
matahari yang menyilaukan, lalu memandang ke atas.
"Ahhh!" Aku meraih lengan Terri ketika sebuah bayangan besar menyapu kami - lalu
seekor kelelawar raksasa menyambar kami
berdua. Matanya yang merah tampak menyala-nyala, giginya yang
tajam kelihatan berkilau-kilau, dan ia mendesis mengerikan sambil
menyerang. Chapter 3 KELELAWAR itu menukik rendah-rendah. Begitu rendah, sampai
aku merasakan embusan angin dari sayapnya yang mengepak-ngepak.
Terri dan aku langsung menjatuhkan diri, dan aku melindungi
kepalaku dengan kedua belah tangan.
Jantungku berdegup begitu keras, sehingga aku tak bisa
mendengar kepakan sayap kelelawar itu.
"Hei - ke mana dia?" aku mendengar Terri berseru.
Aku mengintip dengan hati-hati. Kelelawar itu sedang terbang
berputar-putar di angkasa, semakin lama semakin tinggi. Kemudian ia
menukik lagi, seakan-akan mendadak kehilangan keseimbangan.
Aku membelalakkan mata. Kelelawar itu jatuh ke batu karang
di dekat kami. Sebelah sayapnya yang hitam masih mengepak-ngepak
tertiup angin. Pelan-pelan aku berdiri. Jantungku masih berdegup-degup.
"Kenapa dia bisa jatuh seperti itu?" aku bertanya dengan suara bergetar, lalu
mulai menghampirinya. Terri berusaha mencegahku. "Jangan dekat-dekat. Kau bisa
kena rabies lho, kalau sampai digigit."
"Aku takkan memegangnya," aku menyahut. "Aku cuma mau lihat kok. Aku belum
pernah melihat kelelawar dari dekat." Aku
memang berminat pada biologi. Aku suka mempelajari semua jenis
binatang. "Ayo, sini dong!" aku berseru sambil memanjat lewat batu-batu besar yang licin.
"Hati-hati, Jerry!" Terri memperingatkan. "Aku yang bakal kena marah kalau kau
sampai kena rabies."
"Terima kasih deh atas perhatianmu," gumamku dengan nada
sarkastis. Aku berhenti kira-kira satu meter dari kelelawar itu. "Hei! Apa-apaan ini"!"
seruku dengan heran. Aku mendengar Terri terbahak-
bahak. Ternyata bukan kelelawar yang tergeletak di depan kakiku, tapi
layang-layang. Aku menatapnya seolah-olah tidak percaya. Kedua mata merah
yang menyorot begitu tajam itu ternyata cuma d igambar pada kertas!
Sebelah sayap layang-layang itu telah terkoyak-koyak karena
menghantam batu karang. Terri dan aku membungkuk untuk memeriksa layang-layang itu.
"Awas! Dia menggigit lho!" seru seseorang dari belakang.
Terri dan aku sama-sama tersentak kaget dan langsung
melompat mundur. Kemudian aku berbalik dan melihat anak laki-laki
sebaya kami berdiri di atas batu besar. Ia menggenggam segulung tali.
"Ha-ha, lucu sekali," Terri berkata dengan sinis. Anak laki-laki itu menatap
kami sambil menyeringai, tapi tidak berkata apa-apa.
Hidungnya berbintik-bintik, persis seperti hidungku, dan warna
rambutnya pun sama dengan warna rambutku. Ia berpaling ke arah
batu-batu karang di belakangnya dan berseru, "Kalian sudah boleh keluar
sekarang!" Dua anak lagi, anak perempuan sebaya kami dan anak laki-laki
berumur sekitar lima tahun, muncul dari balik batu-batu. Anak laki-
laki itu berambut pirang dan bermata biru, telinganya caplang. Anak
perempuan yang menemaninya berambut pirang kemerahan,
dikepang. Ketiganya punya bintik-bintik di hidung masing-masing.
"Kalian bersaudara?" Terri bertanya pada mereka.
Anak yang paling besar, yang muncul paling dulu tadi,
menganggukkan kepala. "Yeah. Kami semua keluarga Sadler. Aku
Sam. Itu Louisa. Dan itu Nat."
"Wow. Kami juga keluarga Sadler." Aku memperkenalkan
Terri dan diriku. Tapi tanggapan Sam biasa-biasa saja. "Di daerah ini memang
banyak keluarga Sadler," katanya.
Kami berpandangan. Sepertinya mereka kurang ramah. Tapi
kemudian Sam mengejutkanku dengan bertanya apakah aku mau ikut
melempar batu ke laut. Terri dan aku mengikutinya ke tepi air.
"Kalian tinggal di sekitar sini?" tanya Terri.
Louisa mengangguk. "Kalian mau apa di sini?" ia balik
bertanya. Nada suaranya curiga.
"Kami berlibur di tempat saudara kami," Terri memberitahunya.
"Mereka juga keluarga Sadler. Mereka tinggal di rumah kecil di dekat mercusuar.
Barangkali kalian kenal mereka?"
"Tentu," sahut Louisa tanpa tersenyum. "Hanya sedikit orang yang tinggal di
sini, jadi semuanya saling mengenal."
Aku menemukan batu yang pipih dan licin, dan
melemparkannya ke air. "Apa saja yang bisa dikerjakan di sini?"
tanyaku. Louisa menjawab sambil memandang ke laut. "Kami suka pergi
memetik blueberry, kami suka macam-macam permainan, atau
bermain-main di pantai." Ia berpaling padaku. "Kenapa memangnya"
Apa saja yang kalian kerjakan hari ini?"
"Belum ada. Kami baru tiba di sini," kataku. Aku menyeringai lebar. "Tapi kami
sudah diserang layang-layang kelelawar."
Mereka tertawa. "Aku mau menjiplak batu nisan dan mencari bunga liar," ujar Terri.
"Oh, di tengah hutan ada beberapa tempat penuh bunga bagus-
bagus," Louisa memberitahunya.
Aku memperhatikan Sam melemparkan batunya. Batunya
terlempar lebih jauh dari batuku.
Ia menatapku sambil tersenyum. "Aku sering latihan."
"Di apartemen kami tidak ada tempat untuk berlatih,"
gumamku. "Apa?" tanya Sam, seakan-akan tidak mendengarku.
"Kami tinggal di Hoboken," aku menjelaskan. "Di New Jersey.
Di sekitar apartemen kami tidak ada kolam atau danau."
Terri menunjuk gua di belakang kami. "Kalian pernah naik ke
sana?" ia bertanya. Nat menahan napas. Sam dan Louisa mengerut-ngerutkan
wajah. "Kau bercanda?" Louisa berseru tertahan.
"Kami tak pernah ke gua itu," ujar Sam sambil melirik adik perempuannya.
"Tak pernah?" Terri terheran-heran.
Ketiganya menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Terri. ''Memangnya ada apa sih di situ?"
"Yeah," aku menimpali. "Kenapa kalian tidak pernah ke gua itu?"
Louisa membelalakkan matanya. "Kalian percaya adanya
hantu?" tanyanya. Ebukulawas.blogspot.com Chapter 4 "PERCAYA hantu" Jelas tidak!" seru Terri.
Aku diam saja. Aku tahu para ilmuwan berpendapat hantu
sebenarnya tidak ada. Tapi bagaimana kalau mereka ternyata keliru"
Begitu banyak cerita hantu yang beredar di seluruh dunia, jadi
bagaimana mungkin hantu hanya ada dalam khayalan"
Mungkin itu sebabnya aku kadang-kadang ngeri kalau berada di
tempat-tempat yang asing bagiku.
Sepertinya aku percaya bahwa hantu memang ada. Tapi tentu
saja aku tak mungkin mengakuinya di depan Terri. Soalnya dia selalu
berpikiran ilmiah. Bisa-bisa aku ditertawakannya seumur hidup!
Ketiga anak Sadler berkerumun.
"Masa sih kalian benar-benar percaya hantu?" tanya Terri.
Louisa maju selangkah. Sam berusaha mencegahnya, tapi
Louisa menepis tangan kakaknya. "Kalau kalian berada di dekat gua itu, kalian
pasti akan berubah pikiran," dia berkata sambil
memicingkan mata. "Hah" Maksudmu, di situ ada hantu?" tanyaku.
"Dari mana kamu tahu" Apakah mereka keluar malam-malam
dan memperlihatkan diri?"
Louisa hendak menjawab, tapi Sam mendahuluinya. "Kami
harus pulang sekarang," katanya, sambil menggiring adik-adiknya melewati Terri
dan aku "Hei - tunggu!" aku berseru. "Bagaimana cerita hantu-hantu yang ada di gua?"
Mereka terus berjalan. Aku melihat Sam memarahi Louisa.
Kurasa dia marah karena adiknya menyinggung soal hantu.
Akhirnya mereka berbelok dan menghilang dari pandangan.
Kemudian, tiba-tiba saja, kembali terdengar siulan panjang dari
dalam gua. Terri langsung menatapku.
"Cuma angin," komentarku sambil lalu. Tapi aku sendiri tidak percaya. Begitu
juga Terri. "Bagaimana kalau kita tanya Brad dan Agatha tentang gua itu?"
aku mengusulkan. "Ya, itu ide bagus," ujar Terri. Dia pun kelihatan agak waswas sekarang.
Rumah Brad dan Agatha tidak seberapa jauh dari gua. Rumah
mereka satu-satunya rumah di tepi hutan cemara, dan menghadap ke
mercusuar. Aku bergegas menghampiri pintu kayu yang berat,
mendorongnya sampai terbuka, lalu mengintip ke ruang tamu yang
sempit. Rumah tua itu berderak-derak ketika aku menginjak papan-
papan lantai yang sudah melengkung di sana-sini. Langit-langitnya
begitu rendah, sehingga aku bisa menyentuhnya kalau aku berjingkat.
Terri menyusulku. "Di mana mereka?"
"Aku tidak tahu," jawabku sambil memandang berkeliling.
Kami melewati sofa tua dan tempat perapian yang terbuat dari
batu, lalu masuk ke dapur. Bersebelahan dengan dapur ada gudang tua
yang bakal jadi kamarku selama berlibur. Kamar Brad dan Agatha ada
di lantai atas. Di sana juga ada semacam terowongan yang menuju
ruangan kecil di atas gudang, yang akan ditempati oleh Terri. Dari
kamar Terri ada tangga kecil yang menuju pekarangan belakang.
Terri menghampiri jendela. "Itu mereka!" katanya. "Di kebun!"
Aku melihat Brad tengah membungkuk di ladang tomat. Agatha
sedang menjemur pakaian yang baru dicucinya.
Kami langsung menghambur keluar lewat pintu dapur.
"Dari mana saja kalian?" tanya Agatha. Dia dan Brad sama-
sama berambut putih, dan sorot mata mereka berkesan sayu dan letih.
Mereka kelihatan begitu rapuh dan ringan. Kurasa kalau digabung
pun, berat badan mereka takkan lebih dari lima puluh kilo.
"Kami habis jalan-jalan di pantai," jawabku.
Aku berlutut di samping Brad. Dua jari tangan kirinya telah
kehilangan ruas paling ujung. Kata Brad, jarinya putus karena terjepit perangkap
serigala waktu dia masih-muda.
"Kami menemukan gua di tebing karang. Kalian pernah
melihatnya?" tanyaku.
Brad hanya mendengus sedikit, lalu kembali mencari tomat-
tomat yang sudah masak. "Tebingnya di tepi pantai, persis di belakang pemecah ombak,"
Terri menambahkan. "Pasti kelihatan kok."
Seprai di tali jemuran berkibar-kibar tertiup angin. "Sudah
hampir waktunya makan malam," ujar Agatha, tanpa menggubris
pertanyaan kami tentang gua itu. "Bagaimana kalau kau membantuku mengatur meja,
Terri?" Terri menatapku sambil angkat bahu.
Aku kembali berpaling kepada Brad. Aku baru mau bertanya
lagi tentang gua itu, ketika dia menyerahkan keranjang berisi tomat
padaku. "Tolong berikan kepada Agatha, ya."
"Oke," sahutku. Aku menyusul Terri ke dalam, lalu meletakkan keranjang tomat di
atas meja racik yang kecil. Dapur mereka kecil dan sempit. Meja racik dan tempat
cuci piring di satu sisi. Oven dan lemari es di sisi yang satu lagi. Terri sudah
mulai mengatur meja makan di
pojok ruang tamu. "Nah, Terri sayang," Agatha berkata dari dapur, "kalau kau mau mencari bunga
aster, tempat terbaik adalah lapangan rumput di
belakang mercusuar. Di sana juga banyak goldenrod."
"Wah, asyik!" Terri berseru penuh semangat, seperti biasanya.
Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu tergila-gila pada bunga.
Agatha melihat keranjang berisi tomat di meja racik. "Oh!
Banyak sekali!" Dia membuka laci dan mengeluarkan pisau kecil.
"Tolong diiris-iris, supaya kita bisa bikin salad."
Rupanya aku meringis tak keruan, sebab Agatha langsung
bertanya, "Kau tidak suka salad?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku bukan kelinci."
Agatha tertawa. "Kau benar," katanya. "Sebenarnya sayang kalau tomat dari kebun
sendiri harus dicampur daun selada. Lebih
baik dimakan begitu saja, mungkin dengan sedikit dressing."
"Wah, boleh juga," ujarku sambil tersenyum.
Selama beberapa menit berikut aku mendengar Agatha dan
Terri berdiskusi tentang bunga liar. Sebenarnya aku berharap
percakapan mereka akan beralih ke gua tadi, tapi ternyata tidak. Aku tidak
mengerti kenapa kedua sepupuku yang sudah tua itu tidak mau
membahasnya. Seusai makan malam, Brad mengeluarkan kartu remi dan
mengajari Terri dan aku bermain whist, permainan kartu yang sudah
tua sekali. Dengan penuh semangat dia menjelaskan semua peraturan, dan
kemudian dia dan aku bermain melawan Terri dan Agatha. Setiap kali
aku membuat kesalahan, dan ini sering terjadi, dia menggoyang-
goyangkan telunjuknya ke arahku. Mungkin karena dengan cara itu
dia tidak perlu berkata apa-apa.
Sehabis bermain kartu, Terri dan aku langsung tidur. Sebetulnya
belum terlalu larut, tapi kami tidak peduli. Hari itu cukup melelahkan, dan aku
senang karena akhirnya bisa beristirahat. Kasur di tempat
tidurku ternyata keras, tapi aku langsung tertidur begitu merebahkan kepala ke
bantal yang berisi bulu angsa.
**** Esok paginya Terri dan aku menuju hutan untuk mengumpulkan
tanaman dan bunga liar. "Apa sih yang kita cari?" aku bertanya pada adikku sambil
menendang setumpuk daun kering.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Indian pipe," balas Terri. "Bentuknya seperti tulang-belulang berwarna putih
kemerahan yang menyembul dari tanah. Nama lainnya
tumbuhan bangkai, karena hidup di atas sisa-sisa tumbuhan yang
sudah mati." "Idih." Tiba-tiba aku teringat pada mimpiku, pada tangan-
Iangan yang menyembul dari tanah di pekuburan.
Terri tertawa. "Seharusnya kau kagum pada tumbuhan ini,"
katanya. "Sampai sekarang para ilmuwan masih dibuat bingung. Daun dan tangkainya
putih karena sama sekali tidak mengandung klorofil.
Kamu tahu, kan, itu zat yang menyebabkan tumbuhan berwarna
hijau." "Menarik sekali," komentarku dengan nada mengejek.
Tapi Terri tidak ambil pusing. "Agatha bilang, Indian pipe
hanya tumbuh di tempat-tempat yang sangat gelap. Sebenarnya lebih
mirip jamur daripada tumbuhan."
Dia menggali-gali tanah selama beberapa saat. "Yang paling
aneh," lanjutnya, "setelah kering, tumbuhan itu malah jadi hitam.
Karena itu aku mau mencoba mengeringkan beberapa."
Aku kembali mengais-ngais daun-daun mati. Terus terang, aku
jadi tertarik juga. Aku suka hal yang janggal.
Aku melirik ke atap dedaunan di atas kepala kami. "Kita sudah
berada di tengah-tengah hutan. Kau yakin tempat ini yang dimaksud
Agatha?" Terri mengangguk. Dia menunjuk pohon ek besar yang telah
tumbang dan melintang d i tanah. "Itu patokan kita. Jangan sampai lupa."
Aku mulai menghampiri pohon besar itu. "Aku mau mencari di
sebelah sana saja," kataku. "Barangkali ada Indian pipe yang tumbuh di batang
pohon itu." Aku berlutut di samping akar-akar yang meliuk-liuk seperti
ular, dan menyingkirkan daun-daun mati yang berserakan. Tak ada
bunga liar. Cuma cacing dan serangga. Menjijikkan sekali.
Aku melirik ke arah Terri. Sepertinya dia juga belum
beruntung. Kemudian aku melihat benda putih menyembul dari tanah.
Langsung saja aku pindah ke sana untuk memeriksanya.
Setangkai tumbuhan tersembul dari tanah gambut. Ujung
tangkainya tertutup daun-daun kering. Aku mulai menarik, tapi tak
berhasil mencabutnya dari tanah.
Aku menarik lebih keras. Tangkainya naik sedikit, dan tanah di sekelilingnya ikut
terangkat. Ini bukan tangkai, aku menyadari. Sepertinya semacam akar.
Akar dengan daun. Aneh. Aku kembali menarik. Benda tersebut ternyata cukup panjang.
Sekali lagi aku menarik. Lalu sekali lagi.
Pada tarikan terakhir aku berhasil mencabutnya. Aku menatap
ke dalam lubang besar yang terbentuk di tanah - dan memekik kaget.
"Terri - sini!" aku berseru dengan suara tertahan. "Aku menemukan tulang-
belulang!" Chapter 5 "HAH?" Terri langsung berlari menghampiriku.
Kami sama-sama memandanginya sambil membisu.
Kerangka yang kutemukan tampak berbaring menyamping, dan
sepertinya semua tulang masih lengkap. Lubang mata yang telah
kosong di tengkoraknya seakan-akan menatap kami.
"A - apakah ini kerangka manusia?" bisik Terri sambil
tergagap-gagap. "Tidak, kecuali kalau ada manusia berkaki empat!" jawabku.
Terri menatap kerangka itu sambil melongo. "Kalau begitu apa
dong?" "Sejenis binatang besar," aku memberitahunya. "Mungkin rusa."
Aku membungkuk agar dapat melihat lebih jelas. "Bukan.
Bukan rusa. Kakinya berjari, bukan berkuku ganda."
Aku mengamati tengkorak, yang berukuran cukup besar itu, dan
menemukan gigi taring yang tajam. Ketika berusia sembilan tahun,
aku tergila-gila pada kerangka. Rasanya, semua buku tentang
kerangka sudah kubaca habis.
"Kelihatannya seperti kerangka anjing," aku nyimpulkan.
"Anjing?" tanya Terri. "Oh, anjing yang malang." Dia menatap tulang-belulang
itu. "Kira-kira kenapa ya, dia bisa mati di sini?"
"Barangkali karena diserang binatang lain."
Terri berlutut di sampingku. "Mana ada binatang yang makan
anjing?" "Siapa tahu" Anjing kan berprotein tinggi!" aku berkelakar.
Terri mendorongku dengan keras. "Jerry! Aku serius nih.
Binatang apa di daerah ini yang makan anjing?"
"Serigala, mungkin. Atau rubah," aku menyahut setelah berpikir sejenak.
"Tapi kalau anjing ini dimakan serigala atau rubah, tulangnya
pasti ada yang remuk, bukan?" ujar Terri. "Kerangka ini masih utuh."
"Barangkali dia mati karena tua," aku menduga-duga. "Atau mungkin juga dia
dikubur pemiliknya di belakang tumbuhan aneh
tadi." "Yeah. Mungkin dia tidak mati diserang," Terri menimpali.
Wajahnya sudah tidak pucat lagi.
Sejenak kami duduk membisu sambil memikirkan anjing
bernasib malang itu. Tiba-tiba terdengar lolongan melengking, dan kami sama-sama
tersentak kaget. Suara menakutkan itu nyaring sekali dan bergema-
gema. Kami sampai menutup telinga karena lolongan itu semakin
keras. "A - apa itu?" Terri memekik.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mata terbelalak. Aku
sendiri tidak tahu jawabannya.
Yang jelas, sumber suara itu semakin mendekati kami.
Chapter 6 LOLONGAN itu mendadak berhenti. Aku berbalik untuk
memastikan bahwa keadaannya aman - dan melihat mereka.
Sam, Nat, dan Louisa sedang jongkok di balik pohon di dekat
kami. Mereka terpingkal-pingkal. Aku langsung mendelik. Seketika
aku sadar bahwa merekalah yang melolong-lolong tadi. Dasar
berengsek! Seenaknya saja mereka mempermainkan orang.
Mereka tertawa dan tertawa, seakan-akan lelucon mereka
adalah lelucon paling lucu di dunia. Baru beberapa menit kemudian
mereka berhenti. Aku melirik ke arah Terri. Wajahnya kelihatan merah.
Telingaku pun terasa panas. Sepertinya aku juga tersipu-sipu.
Setelah mereka akhirnya diam, aku mengajak mereka ke
kerangka tulang yang kutemukan.
Kini giliran mereka yang kaget.
Sam membelalakkan mata. Louisa memekik tertahan. Nat, si
bungsu, berpegangan pada lengan baju Louisa dan mulai merengek-
rengek. Terri merogoh kantong jinsnya dan mengambil tisu selembar.
"Jangan sedih," katanya kepada Nat, kemudian menyeka pipi bocah itu. "Ini bukan
tulang manusia. Ini cuma kerangka anjing."
Ucapannya itu malah membuat Nat menangis tersedu-sedu.
Louisa segera merangkul adiknya. "Ssst," ujarnya. "Jangan menangis. Tidak ada
apa-apa kok." Tapi usahanya sia-sia. Dia tidak berhasil menenangkan Nat.
"Aku tahu anjing ini kenapa," Nat berkata sambil terisak-isak. "Dia dibunuh
hantu. Anjing selalu tahu kalau ada hantu. Kalau ada hantu,
mereka selalu menggonggong keras-keras."
"Nat," Terri berkata dengan sabar, "hantu itu tidak ada. Hantu cuma ada dalam
cerita dongeng." Sam maju sambil menggelengkan kepala. "Kau keliru," dia
menandaskan, lalu menatap Terri dengan tajam. "Di hutan ini banyak tulang-
belulang. Semuanya karena hantu itu. Tulang-belulang itu
digerogotinya sampai bersih, lalu dibiarkan berserakan di tanah."
"Ah, yang benar saja, Sam." Terri bergumam. "Maksudmu, di sini benar-benar ada
hantu?" Sam membalas tatapan adikku, namun tidak berkata apa-apa.
"Jadi bagaimana maksudmu sebenarnya?" Terri mendesak.
Sekonyong-konyong roman muka Sam berubah. Dia
membelalakkan mata dengan ngeri. "Awas! Itu dia!" teriaknya sambil menunjuk. "Di
belakangmu!" Chapter 7 AKU memekik dan langsung meraih lengan Terri.
Tapi saat itu juga aku sadar bahwa aku kembali diperdaya oleh
Sam. Entah kenapa, dia selalu berhasil menipuku dengan lelucon-
leluconnya yang konyol. "Wah, rupanya kalian gampang ditakut-takuti," kata Sam
sambil menyeringai. Terri memelototinya sambil bertolak pinggang. "Bagaimana
kalau kita berdamai saja" Lama-lama aku mulai bosan dengan
permainan kalian." Semua mata beralih kepada Sam.
"Yeah. Oke. Kita berdamai saja," gumamnya pelan. Tapi dia
tetap tersenyum lebar. Aku tidak tahu apakah dia serius atau tidak.
"Sam, kau cerita dong tentang hantu itu," ujar Terri. "Apa kau tadi memang
serius waktu bilang anjing itu mati karena hantu, atau
cuma bercanda?" Sam menendang segumpal tanah. "Lain kali saja deh", dia
mengelak. "Lain kali" Kenapa tidak sekarang saja?" tanyaku.
Louisa sudah mau angkat bicara - tapi Sam cepat-cepat
menariknya pergi. "Ayo kita pulang," kata Sam sengit. "Sekarang juga."
Terri tampak bingung. "Lho, aku pikir..."
Sam mulai menyelinap di antara pohon-pohon, sambil menarik
tangan Louisa. Nat segera mengikuti mereka.
"Sampai ketemu!" seru Louisa.
"Ya ampun, ada-ada saja!" ujar Terri. "Mereka benar-benar percaya hutan ini
dihuni hantu, Dan mereka langsung pergi karena
tidak mau bercerita."
Aku menatap kerangka binatang yang tergeletak di dalam
lubang di tanah. Tulang-belulang itu begitu bersih.
Begitu bersih, karena digerogoti hantu.
Kata-kata itu tak mau keluar dari benakku.
Sekali lagi aku mengamati gigi taring yang tajam di tengkorak
yang pucat. Kemudian aku berbalik.
"Ayo, kita juga pulang saja," aku mengajak adikku.
**** Brad dan Agatha ternyata sedang duduk di kursi goyang di
bawah pohon. Agatha sedang mengiris-iris buah persik, dan Brad
memperhatikannya bekerja.
"Kalian suka pai persik?" Agatha bertanya kepada Terri dan aku.
Kami langsung memberitahunya bahwa pai persik termasuk pai
kegemaran kami. Agatha tersenyum. "Baiklah, nanti malam kita makan pai
persik. Aku tidak tahu apakah ayah kalian sempat menyinggungnya,
tapi aku ini jago bikin kue lho. Oh, ya, apakah kalian berhasil
menemukan Indian pipe di hutan?"
"Ehm, tidak," sahutku. "Kami malah menemukan kerangka tulang anjing."
Agatha mulai mengiris lebih cepat. Pisaunya bergerak-gerak
dengan lincah. "Oh," gumamnya.
"Binatang apa yang mungkin memangsa anjing?" tanya Terri.
"Apakah di sekitar sini ada serigala atau anjing hutan?"
"Kami belum pernah lihat," jawab Brad terburu-buru.
"Kalau begitu, bagaimana tulang-belulang itu bisa sampai ke
sana?" aku mendesak. "Semua tulangnya teratur rapi - dan kelihatan bersih sekali."
Agatha dan Brad berpandangan. "Aku juga tidak mengerti," ujar Agatha. Srek.
Srek. Srek. "Brad" Barangkali kamu tahu?"
Brad bergoyang maju-mundur sebelum menjawab, "Tidak."
Terima kasih atas bantuanmu, Brad, aku berkata dalam hati.
"Kami juga ketemu tiga anak," aku menambahkan, lalu
bercerita tentang Sam, Louisa, dan Nat. "Mereka bilang, mereka kenal kalian."
"Yap," balas Brad. "Anak tetangga."
"Mereka juga bilang anjing itu dibunuh hantu."
Agatha langsung meletakkan pisaunya dan menyandarkan
kepala. Dia tertawa pelan-pelan. "Mereka bilang begitu" Aduh, dasar anak-anak.
Mereka hanya main-main kok. Mereka suka mengarang
cerita hantu. Terutama yang paling besar, si Sam."
"Ya, aku juga sudah curiga," ujar Terri sambil melirik ke
arahku. Agatha mengangguk. "Mereka anak-anak yang baik. Kapan-
kapan kalian bisa mengajak mereka pergi bersama-sama. Misalnya
untuk mencari buah blueberry."
Brad berdeham, dan menatapku dengan matanya yang bening.
"Kau terlalu cerdas untuk percaya cerita hantu, bukan?"
"Ehm, ya," sahutku ragu-ragu.
Sorenya kami membantu Brad membersihkan kebunnya dari
tanaman hama. Mencabuti tanaman sebenarnya membosankan, tapi
setelah Brad menunjukkan mana tanaman yang baik dan mana yang
jelek, tugas itu akhirnya terasa mengasyikkan juga.
Agatha menghidangkan pai persik sebagai hidangan penutup
malam itu. Rasanya lezat sekali. Kemudian dia dan Brad minta kami
bercerita tentang sekolah dan teman-teman kami.
Seusai makan malam, Brad kembali menantang kami bermain
whist. Kali ini aku sudah lebih lihai. Cuma beberapa kali saja Brad
menggoyang-goyangkan jari kepadaku.
Waktu untuk tidur pun tiba, tapi aku sukar memejamkan mata.
Jendela kamarku hanya ditutup tirai tipis berwarna putih, yang mudah diterobos
cahaya. Cahaya bulan purnama langsung menerpa wajahku,
sehingga aku merasa seperti disorot lampu senter.
Aku mencoba menutup wajahku dengan bantal, tapi ternyata
aku tidak bisa bernapas. Lalu aku mencoba melindungi mata dengan
menyilangkan lengan, tapi malah lenganku yang kesemutan.
Kemudian aku menarik selimut sampai menutup kepala. Nah,
ini lebih baik. Aku memejamkan mata. Tapi suara jangkrik di luar
mengganggu sekali. Tiba-tiba aku mendengar sesuatu membentur dinding kamarku
dari luar. Ah, paling-paling dahan pohon, aku berusaha menenangkan
diri. Tuh, ada benturan lagi. Aku merosot semakin jauh ke bawah
selimut. Ketiga kalinya aku mendengar bunyi benturan, aku menarik
napas panjang, duduk tegak, dan menyingkirkan selimut.
Dengan hati-hati aku memandang berkeliling. Tapi tak ada apa-
apa. Aku kembali berbaring. Papan-papan lantai di dekat pintu berderak-derak.
Aku menghadap ke jendela.
Samar-samar aku melihat sesuatu bergerak-gerak di balik tirai.
Aku melihat sebuah bayangan pucat. Seperti hantu.
Papan-papan lantai kembali berderak-derak ketika sosok
menyeramkan itu bergerak mendekatiku.
Chapter 8
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
AKU membuka mulut dan hendak menjerit, tapi suaraku seperti
tersangkut di tenggorokan. Akhirnya aku kembali berlindung di
bawah selimut. Kamarku jadi hening. Seluruh tubuhku gemetar hebat.
Aku mengintip dari bawah selimut.
Terri muncul dari balik tirai. "Kena kau," bisiknya.
"Brengsek!" umpatku. "Kau keterlaluan deh."
"Kau terlalu penakut sih," balas adikku. "Kau ketakutan gara-gara cerita hantu
itu - ya, kan?" Aku menggeram kesal, tapi tidak menyahut. Jantungku masih
berdebar-debar. Terri duduk di tepi tempat tidurku. Dia merapatkan baju
tidurnya. "Sori, tapi aku tidak tahan sih," katanya sambil menyeringai.
"Tadinya aku cuma mau bicara denganmu, tapi waktu aku melihatmu bersembunyi di
bawah selimut, aku langsung tergoda untuk
menjahilimu." Aku menatapnya sambil mendelik. "Lain kali jangan macam-
macam deh," kataku gusar. "Aku sengaja menutup kepalaku dengan selimut, soalnya
aku tidak bisa tidur."
"Aku juga," ujar Terri. "Kasurku keras sekali." Dia memandang ke luar jendela.
"Dan kecuali itu, aku masih memikirkan hantu itu."
"Hei - katanya kau tidak percaya hantu!" seruku tertahan.
"Memang. Tapi Sam, Louisa, dan Nat percaya."
"Terus?" "Jadi aku kepingin tahu kenapa. Aku jadi penasaran nih.
Memangnya kau tidak?"
"Tidak juga. Aku tidak terlalu berminat berteman dengan
mereka," kataku. Terri menguap. "Louisa sepertinya baik. Dia jauh lebih ramah
daripada Sam. Kurasa Louisa mau bercerita tentang hantu itu kalau
kita menanyakannya. Tadi saja dia sebenarnya sudah mau cerita."
"Aduh, Terri, kau ini ada-ada saja," sahutku sambil menarik selimut sampai ke
dagu. "Kaudengar sendiri apa kata Agatha tadi.
Sam suka mengarang cerita yang aneh-aneh."
"Kurasa ini bukan sekadar cerita," ujar Terri. "Memang, selama ini akulah yang
selalu berpikiran ilmiah, tapi sepertinya ada yang
tidak beres di sini."
Aku diam saja. Aku kembali membayangkan kerangka binatang
di tengah hutan. "Besok aku akan menanyakan hantu itu lagi pada mereka,"
Terri memberitahuku. "Dari mana kamu tahu mereka bakal datang lagi?"
Terri menyeringai lebar. "Mereka selalu muncul, kan" Kau
tidak memperhatikannya" Di mana pun kita berada, mereka selalu
muncul tiba-tiba." Dia diam sejenak. "Jangan-jangan mereka menguntit kita ke
mana-mana?" "Mudah-mudahan tidak," kataku.
Terri tertawa. "Dasar penakut."
Aku langsung menyingkirkan selimut. "Aku bukan penakut!"
Terri mulai menggelitikiku. "Penakut! Penakut! Penakut!"
Aku meraih lengannya dan memuntirnya ke belakang.
Kemudian aku membalas menggelitikinya.
"Ayo, bilang lagi aku penakut," ancamku.
"Oke, oke!" serunya. "Aku cuma main-main!"
"Jangan sebut aku penakut lagi, oke?"
"Oke, oke, oke!"
Begitu lengannya kulepas, dia langsung berlari ke pintu.
"Sampai besok pagi - penakut!" serunya. Kemudian dia kabur lewat dapur.
***** Keesokan pagi, ketika kami sedang sarapan,
Agatha bertanya, "Apa rencana kalian hari ini?" "Mungkin kami akan berenang,"
aku menjawab sambil melirik Terri. "Di pantai."
"Hati-hati terhadap air pasang," Brad memperingatkan.
"Arusnya deras sekali. Orang dewasa pun bisa hanyut kalau kurang hati-hati."
Terri dan aku berpandangan. Baru kali ini kami mendengar
Brad mengucapkan tiga kalimat berturut-turut.
"Kami akan berhati-hati," ujar Terri. "Mungkin kami akan berjalan-jalan saja di
air." Agatha menyerahkan ember logam yang sudah penyok-penyok
kepadaku. "Kalian bisa mengumpulkan bintang laut atau bulu babi."
Beberapa menit kemudian, Terri dan aku sudah menyusuri jalan
setapak yang berkelok-kelok ke pantai. Aku membawa ember dan
sepasang handuk tua. Kami naik-turun batu karang, sampai kami tiba di tempat yang
tidak jauh dari pantai dan gua di tebing.
Kami merosot turun, lalu merangkak lewat batu-batu yang lebih
kecil. Akhirnya kami menemukan kolam air pasang yang lebar dan
berlumut, kira-kira satu meter dari tepi laut. Kolam itu kira-kira
seukuran kolam renang anak-anak.
"Wow, Jerry!" seru Terri sambil memandang ke air. "Banyak sekali binatang di
sini." Dia meraih ke dalam air yang hijau, dan mengangkat seekor bintang laut.
"Oh, kecilnya. Barangkali dia masih bayi."
Terri membalikkan bintang laut itu. Lengan-lengannya
bergerak-gerak. "Halo, bayi bintang laut," adikku bersenandung dengan riang.
Idih. "Aku ambil ember dulu, ya," kataku. Aku kembali
memanjat ke batu karang tempat kami meninggalkan barang-barang
kami. Coba tebak siapa yang ada di situ! "Ada yang menarik?" aku berseru dengan ketus.
Sam menoleh pelan-pelan. "Oh, kalian rupanya. Aku sempat
heran, handuk siapa yang tergeletak di sini," sahutnya tenang.
Nat dan Louisa muncul di belakangnya. "Terri mana?" tanya
Louisa. Aku menunjuk ke pantai. "Di bawah, di kolam air pasang,"
jawabku, lalu meraih ember.
Mereka mengikutiku ke bawah. Terri tersenyum ketika melihat
kami. Sepertinya dia senang karena bertemu Louisa dan saudara-
saudaranya. "Coba lihat apa yang kutemukan di sini! Terri berseru.
Dia telah menjajarkan bayi bintang laut tadi, dua ekor bulu babi,
dan seekor kepiting. Kami langsung berkerumun. Terri memungut bintang laut.
"Coba lihat, nih. Lengan-lengannya lucu sekali, ya?" dia bertanya pada Nat.
Nat cuma tertawa cekikikan.
Selama beberapa menit berikut kami sibuk mengamati temuan-
temuan adikku. Nat langsung menceritakan segala sesuatu yang
diketahuinya mengenai kepiting. Louisa sampai terpaksa
menyuruhnya diam. "Bagaimana dengan hantu yang tinggal di sini?" Terri bertanya kepada Louisa.
Louisa angkat bahu. Dengan gelisah dia melirik ke arah
kakaknya. Jangan-jangan Louisa dilarang bercerita oleh Sam" Tapi Terri
belum mau menyerah. "Di mana tempat tinggal hantu itu?"
Louisa dan Sam kembali bertukar pandang.
"Ayo dong. Dia pasti punya tempat tinggal, kan?" Terri
memancing-mancing. Nat memandang ke arah gua di tebing. Rambutnya yang pirang
bergerak-gerak tertiup angin. Dia menepuk lalat hijau yang hinggap di lengannya
yang kurus. "Apakah hantu itu tinggal di pantai?" tanya Terri.
Nat menggeleng. "Atau di dalam gua?" aku menerka.
Nat mengatupkan mulut rapat-rapat.
"Yeah, memang sudah kuduga," ujar Terri. "Di dalam gua." Dia menatapku sambil
tersenyum lebar. "Apa lagi?"
Wajah Nat langsung merah padam. Dia bersembunyi di
belakang Louisa. "Aku tidak bilang apa-apa lho," bisiknya.
"Tidak apa-apa kok," kata Louisa sambil membelai-belai
rambut adiknya. Dia berpaling kepada Terri dan aku. "Hantu itu sudah tua sekali.
Belum pernah ada yang melihatnya keluar dari gua."
"Louisa!" Sam membentak. "Kau jangan cerita soal ini."
"Kenapa?" balas Louisa. "Mereka punya hak untuk tahu."
"Tapi mereka tidak percaya hantu," Sam berkeras.
"Ehm, barangkali aku akan berubah pikiran setelah mendengar
cerita kalian," ujar Terri. "Kalian yakin di situ memang ada hantu"
Kalian pernah melihatnya?"
"Kami sudah melihat tulang-belulang yang ditinggalkannya,"
Louisa menyahut dengan serius.
Nat mengintip dari balik kaki Louisa. "Hantunya cuma keluar
kalau lagi bulan purnama," katanya.
"Tapi kami tidak tahu pasti," Louisa meralat. "Sudah dari dulu dia tinggal di
gua itu. Kata orang, dia sudah tiga ratus tahun di situ."
"Tapi kalau kalian belum pernah melihatnya," ujarku,
"bagaimana kalian tahu dia ada di gua itu?"
"Kadang-kadang ada cahaya berkedap-kedip," kata Sam.
"Cahaya?" tanyaku sambil menahan tawa. "Ya ampun! Cuma karena ada cahaya, kalian
yakin ada hantu di situ" Padahal bisa saja ada orang yang membawa senter."
Louisa menggelengkan kepala dengan tegas. "Cahayanya lain,"
dia berkeras. "Bukan seperti cahaya senter."
"Hmm, cahaya berkedap-kedip dan tulang-belulang anjing
belum cukup sebagai bukti," kataku. "Kurasa kalian cuma mau menakut-nakuti kami
lagi. Tapi kali ini aku takkan termakan."
Sam cemberut. "Ya sudah," dia bergumam. "Kalau kau tidak mau percaya, ya
terserah saja." "Aku memang tidak percaya," aku menegaskan.
Sam angkat bahu. "Sampai ketemu deh," katanya pelan-pelan, lalu kembali ke hutan
bersama kedua adiknya. Begitu mereka tak kelihatan lagi, Terri langsung menonjok
pundakku. "Kenapa sih kau harus ketus begitu, Jerry" Padahal aku sudah mulai
bisa mengorek keterangan dari mereka."
Aku menggelengkan kepala. "Masa kau belum sadar juga"
Mereka cuma mau menakut-nakuti kita. Tidak ada hantu di sini. Cerita itu hanya
karangan mereka." Terri menatapku dengan tajam. "Belum tentu," dia bergumam.
Aku memandang ke mulut gua yang menganga lebar. Aku
merinding, walaupun matahari pagi bersinar dengan cerah.
Betulkah ada hantu tua di situ"
Dan beranikah aku menyelidikinya"
**** Agatha membuat masakan ayam gaya lama untuk makan
malam. Aku menghabiskan seporsi bagianku, namun ercis dan
wortelnya tak kusentuh. Aku memang tidak suka sayur-sayuran.
Terri dan aku sedang membantu Agatha membereskan meja
sehabis makan, ketika dia berkata, "Jerri, sepertinya aku kehilangan satu
handuk. Bukankah kau membawa dua handuk tadi pagi?"
"Ya," jawabku. "Jangan-jangan yang satu lagi ketinggalan di pantai?" tanya Terry.
Aku berusaha mengingat-ingat. "Rasanya sih tidak. Tapi biar
kucari saja ke sana."
"Jangan," Agatha mencegahku. "Besok saja. Sekarang sudah mulai gelap."
"Tidak apa-apa kok," sahutku. Langsung saja aku menaruh lap piring yang sedang
kupegang, dan sebelum Agatha sempat berkata
apa-apa, aku sudah menghambur keluar lewat pintu belakang.
Aku justru bersyukur ada alasan untuk keluar, sebab aku tidak
betah berlama-lama di dapur yang sempit itu. Rasanya kita tidak bisa membalik
badan tanpa menabrak sesuatu.
Sambil bersiul-siul aku menyusuri jalan setapak yang menuju
pantai. Aku gembira karena akhirnya ada kesempatan untuk pergi
seorang diri. Terri sebenarnya cukup menyenangkan, apalagi untuk
ukuran adik perempuan, dan kami biasanya akur-akur saja. Tapi
kadang-kadang aku ingin sendirian, tanpa diganggu orang lain.
Aku menemukan batu besar tempat kami tinggalkan handuk-
handuk tadi pagi. Tapi handuk yang hilang tak ada di sana. Barangkali dibawa
Sam, pikirku. Barangkali dia mau memakainya untuk
menyamar sebagai hantu dan mengagetkan kami.
Aku mendongak dan menatap gua besar. Mulutnya yang lebar
tampak gelap gulita, lebih gelap dari langit yang hitam kebiruan.
"Hah?" Aku mengedip-ngedipkan mata - dan maju selangkah.
Sepertinya aku melihat kelap-kelip cahaya di gua itu.
Aku maju selangkah lagi. Ah, paling-paling cahaya bulan, yang
baru muncul dari balik pohon-pohon cemara.
Bukan. Ternyata bukan pantulan bulan, aku menyadari.
Aku kembali maju beberapa langkah. Aku tak kuasa
mengalihkan pandangan dari cahaya redup yang tampak di mulut gua
yang gelap. Sam! aku berkata dalam hati. Ini pasti ulah Sam. Dia ada di atas
sana, dan menyalakan korek api. Dia pasti mau memperdaya kami
lagi. Perlukah aku memanjat ke sana"
Sepatu ketsku setengah terbenam dalam pasir ketika aku
menghampiri gua itu. Cahaya tadi tampak redup di mulut gua. Seakan-akan
mengambang. Berkedap-kedip. Menari-nari.
Haruskah aku naik" Aku bertanya dalam hati.
Haruskah" Chapter 9 YA. Aku harus naik ke sana.
Cahaya itu mendadak bertambah terang, seolah-olah
memanggilku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu melompati kolam air
pasang dan melintasi batu-batu yang tertutup lumut. Kemudian aku
mulai memanjat tebing. Mulut gua itu berada jauh di atasku, diapit batu-batu besar. Aku
memanjat dengan hati-hati, melewati batu-batu kecil yang licin,
sampai aku mencapai batu besar berikutnya.
Aku beruntung karena cahaya bulan cukup terang, sehingga aku
bisa memilih-milih tempat berpijak dan berpegangan yang tampak
paling kokoh. Apa kata Nat waktu itu" Hantunya cuma keluar kalau
sedang bulan purnama"
Aku melewati batu berikut dan terus memanjat.
Samar-samar kulihat cahaya yang mengambang di mulut gua di
atasku. Aku memanjat semakin tinggi, melewati batu karang yang
tajam dan licin karena embun.
"Oh!" aku berteriak ketika sebelah kakiku terpeleset. Aku
memandang ke bawah dan melihat batu-batu berjatuhan.
Cepat-cepat kuraih batang akar yang tumbuh di sela bebatuan.
Sambil bergelantungan, aku lalu mencari tempat berpijak yang lain.
Uih! Hampir saja! Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas.
Kemudian kutarik tubuhku ke atas batu besar, dan kudongakkan
kepala. Gua itu berada persis di atasku. Kira-kira tinggal tiga meter lagi.
Aku berdiri - dan menahan napas.
Aduh! Bunyi apa itu di belakangku"
Aku berdiri mematung. Menunggu. Memasang telinga.
Mungkinkah ada orang lain di situ" Atau jangan-jangan malah
si hantu" Pertanyaanku segera terjawab. Sebuah tangan dingin
mencengkeram tengkukku dari belakang.
Chapter 10 AKU memekik tertahan - sebenarnya suaraku lebih mirip suara
orang tersedak - dan memaksakan diri untuk berbalik.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cengkeraman jemari dingin itu mengendur sedikit. "Ssst!" bisik Terri. "Ini aku."
Aku langsung menggeram dengan jengkel. "Kau ini macam-
macam saja sih! Kenapa kau ada disini?"
"Sudahlah," balas adikku. "Kau sendiri kenapa ada di sini?"
"Aku - aku lagi cari handuk yang hilang," jawabku sambil
tergagap-gagap. Terri tertawa. "Kau sedang mencari hantu, Jerry. Ya, kan" Akui
saja deh." Kami sama-sama menoleh ke arah gua. "Kau lihat cahaya itu?"
aku berbisik. "Hah" Cahaya apa?" tanya Terri.
"Cahaya berkelap-kelip di dalam gua," sahutku ketus. "Kenapa sih kau" Kau harus
pakai kacamata, Ya?"
"Sori, tapi aku tidak melihat cahaya di situ," Terri berkeras.
"Guanya gelap gulita."
Aku menatap mulut gua. Menatap kegelapan yang pekat.
Terri benar. Kelap-kelip cahaya tadi telah lenyap.
**** Ketika berbaring di tempat tidur malam itu, aku berusaha
menggunakan yang oleh Mr. Hendrickson, guru IPA-ku, disebut
"kemampuan berpikir kritis". Artinya, aku mencoba menggabung-gabungkan fakta
yang ada dan yang tidak ada, lalu menarik
kesimpulan logis. Jadi aku bertanya pada diriku: Apa saja yang kuketahui"
Aku tahu bahwa aku melihat cahaya. Kemudian cahayanya
padam. Jadi bagaimana penjelasannya" Apakah aku sekadar salah lihat"
Atau diperdaya oleh daya khayalku sendiri" Atau ditipu lagi oleh
Sam" Di luar, seekor anjing mulai menggonggong. Aneh, pikirku.
Selama berada di sini, aku belum pernah melihat satu anjing pun.
Aku menutup telinga dengan bantal.
Gonggongan anjing itu bertambah keras, bertambah garang.
Sepertinya anjing itu menggonggong persis di depan jendela kamarku.
Aku duduk tegak dan pasang telinga.
Tiba-tiba aku teringat ucapan Nat. Anjing bisa mengenali hantu.
Itukah sebabnya anjing itu menggonggong begitu keras"
Mungkinkah dia melihat hantu"
Sambil merinding, aku turun dari tempat tidur dan mengendap-
endap ke jendela. Aku mengintip ke luar. Tak ada anjing. Aku memasang telinga. Suara gonggongan tadi telah berhenti.
Sebagai gantinya terdengar suara jangkrik serta desir
pepohonan. "Sini, anjing manis," aku berseru pelan-pelan.
Tak ada jawaban. Aku merinding lagi.
Suasananya hening. Ada apa ini" aku bertanya-tanya dalam hati.
**** "Ssst! Jangan bikin mereka kaget, bisik Terri.
Matahari pagi masih tampak seperti bola merah ketika kami
mendekati sarang burung camar yang ditemukan adikku sehari
sebelumnya. Mengamati burung merupakan hobi Terri Sadler nomor tiga.
Tapi berbeda dari menjiplak batu nisan dan mengumpulkan bunga liar,
hobinya yang satu ini bisa ditekuninya dari jendela apartemen kami di New
Jersey. Kami berjongkok dan mengamati sarang itu. Kira-kira empat
setengah meter di depan kami, si induk camar sedang sibuk
menggiring ketiga anaknya kembali ke sarang. Dia berkuak-kuak dan
mengejar-ngejar mereka ke sana ke mari.
"Anak-anaknya lucu sekali, ya," bisik Terri. "Mereka kelihatan seperti boneka
burung-burungan kelabu berbulu lebat."
"Menurutku sih mereka lebih mirip tikus," sahutku.
Terri menyikutku. "Jangan ngaco deh."
Selama beberapa menit kami memperhatikan tingkah anak-anak
burung itu. Kami sama-sama membisu. "Kau yakin ada anjing
menggonggong semalam?" Terri lalu bertanya padaku. "Aku kok tidak dengar apa-
apa." Tiba-tiba aku melihat ketiga anak Sadler di pantai. Mereka
mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan, dan menyusuri
pantai dengan bertelanjang kaki. Aku langsung berdiri dan berlari
kecil ke arah mereka. "Hei, mau ke mana kau?" seru Terri.
"Aku mau memberitahu mereka tentang cahaya di gua," aku
membalas. "Tunggu!" seru Terri, sambil mengejarku.
Kami melintasi pantai berbatu dan menghampiri kakak-beradik
itu. Aku melihat Sam membawa beberapa joran tua, dan Louisa
menggotong ember berisi air.
"Hai," sapa Louisa ramah. Dia segera menurunkan embernya.
"Sudah dapat ikan?" tanyaku.
"Belum," jawab Nat. "Kami baru mau berangkat."
"Kalau begitu, apa yang ada di ember kalian?" tanyaku.
Nat meraih ke dalam ember dan mengambil seekor ikan kecil
berwarna perak. "Ini. Kita pakai untuk umpan."
Aku membungkuk dan menatap ke dalam ember. Lusinan ikan
kecil tampak berenang-renang. "Wow!"
"Mau ikut memancing?" Louisa mengajak.
Terri dan aku saling melirik. Ajakannya menarik juga. Dan
siapa tahu bakal ada kesempatan untuk menanyakan cahaya di gua
tanpa terlalu mencolok. "Oke," kataku. "Boleh saja."
Kami mengikuti mereka melewati jalan setapak berpasir yang
menuju tempat teduh di tepi air.
"Biasanya kami beruntung di sini," ujar Sam.
Dia mengambil ikan umpan dari ember, dan menjepit salah satu
jorannya dengan kedua kaki. Dengan tangkas dipasangnya ikan itu di
ujung kail, lalu ia menyerahkan joran padaku. Ikan itu menggelepar-
gelepar. "Mau coba?" dia bertanya. Aku agak heran kenapa dia
mendadak begitu ramah. Apakah karena ditegur Louisa" Ataukah dia
sedang mencoba menjebakku lagi"
"Mau," kataku. "Apa yang harus kulakukan?"
Sam menunjukkan cara melempar umpan. Usaha pertamaku
gagal total. Ikannya jatuh kira-kira tiga puluh senti dari pantai.
Sam tertawa dan melemparkan umpan untukku.
"Tenang saja," ujarnya, sambil mengembalikan joran.
"Melempar umpan dengan baik memang harus dilatih berulang-
ulang." Sam yang ini benar-benar bertolak belakang dari Sam yang
kami lihat sebelumnya. Mungkin dia perlu waktu sebelum bisa
berteman dengan orang baru, pikirku.
"Sekarang bagaimana?" aku bertanya padanya.
"Lemparkan umpan dan tarik lagi," dia memberitahuku. "Dan kalau ada sentakan,
teriak saja." Sam berpaling kepada Terri. "Kau juga mau coba?" dia bertanya.
"Tentu!" balas adikku.
Sam hendak meraih umpan di dalam ember.
"Tunggu," Terri mencegahnya. "Biar aku saja."
Sam langsung mundur. Kupikir Terri pasti cuma sok aksi. Aku
tahu dia belum pernah menggunakan ikan hidup sebagai umpan. Dia
paling jijik terhadap benda yang licin dan berlendir.
Terri melemparkan umpannya tanpa minta petunjuk dulu. Huh,
sok aksi, gerutuku dalam hati. Tapi kemudian tali pancingnya
tersangkut di dahan pohon di atas kami.
Tentu saja semuanya terbahak-bahak - apalagi ketika ikan
umpannya menggeliat-geliut sampai terlepas dari mata kail, dan jatuh ke kepala
Terri. Adikku langsung memekik. Tangannya mendayung-dayung, dan ikannya akhirnya
terlempar ke air. Sam tertawa sambil berguling-guling di batu karang. Yang lain
pun terpingkal-pingkal. Kami semua menggeletakkan diri di atas batu
besar yang datar. Rasanya ini kesempatan baik untuk menyinggung soal gua. "Eh,
kalian tahu, tidak?" aku mulai berkata. "Semalam aku turun ke pantai, dan aku
melihat cahaya kelap-kelip yang kalian ceritakan di gua."
Seketika Sam berhenti tersenyum. "Oh, ya?"
Louisa membelalakkan mata dengan ngeri. "Kau... kau tidak
pergi ke sana, kan?"
"Tidak, aku tidak masuk," jawabku.
"Tempat itu sangat berbahaya," ujar Louisa. "Seharusnya kau jangan pergi ke
sana. Sungguh." "Yeah. Betul," Sam segera menimpali. Dia menatapku dengan
tajam. Aku melirik ke arah Terri. Aku langsung tahu apa yang
dipikirkannya. Ketiga anak itu ketakutan sekali. Tapi mereka tidak
mau mengakuinya. Mereka tidak mau membuka rahasia.
Tapi yang jelas, gua itu membuat mereka ngeri. Kenapa"
Hanya satu hal yang sudah pasti: Aku harus mencari
jawabannya. Chapter 11 WAKTU malam, kami duduk di meja bundar di ruang tamu
yang bersebelahan dengan dapur. Brad sedang mencungkil-cungkil
biji jagung dari tongkolnya, supaya bisa dimakan dengan memakai
garpu. "Brad... ehm... aku mau tanya tentang gua itu," aku angkat bicara sambil
memegang-megang sendok dan garpu.
Aku merasakan kaki Terri menyenggol kakiku di bawah meja.
"Ada apa dengan gua itu?" tanya Brad.
"Ada... ehm... ada yang aneh," ujarku ragu-ragu. Agatha
langsung menoleh ke arahku. "Kau tidak masuk ke gua itu, bukan?"
"Tidak," jawabku.
"Kau tidak boleh masuk ke sana," dia memperingatkan. "Terlalu berbahaya."
"Ehm, justru itu yang ingin kutanyakan," kataku lagi. Semuanya berhenti makan.
"Semalam, waktu aku mencari handuk yang hilang di pantai, aku melihat cahaya
berkelap-kelip di gua itu. Barangkali kalian tahu cahaya apa itu?"
Brad memicingkan mata. "Cuma tipuan mata," komentarnya
singkat. Kemudian dia meraih tongkol jagungnya dan kembali
mencungkil-cungkil. "Apa maksudnya?"
Brad meletakkan tongkolnya di piring. "Jerry, kau pernah
mendengar istilah Aurora borealis" Cahaya di langit bagian utara?"
"Tentu," sahutku. "Tapi..."
"Itulah cahaya yang kaulihat," tukasnya. Dia kembali meraih jagungnya.
"Oh." Aku berpaling kepada Agatha, sambil mengharapkan
penjelasan lebih lanjut. "Cahaya itu terlihat hanya pada saat tertentu setiap tahun," dia berkata. "Kalau
udara bermuatan listrik, kau akan melihat pita-pita cahaya di langit."
Dia mengambil mangkuk besar berisi bubur kentang. "Mau
tambah lagi?" "Ya, terima kasih." Kaki Terri kembali menyenggol kakiku di bawah meja. Aku
menggelengkan kepala. Brad dan Agatha keliru.
Yang kulihat pasti bukan Aurora borealis. Cahaya itu berasal dari
dalam gua, bukan dari langit.
Apakah mereka memang keliru"
Ataukah mereka sengaja membohongiku"
Seusai makan malam, Terri dan aku berjalan-jalan menyusuri
pantai. Gumpalan-gumpalan awan kelabu melayang-layang di langit
malam dan menutupi bulan. Bayangan-bayangan di depan kami
berubah-ubah ketika kami melintasi pasir yang berbatu-batu.
"Mereka bohong," aku berkata kepada Terri. Kedua tanganku
terselip dalam kantong celana jinsku.
Ada sesuatu yang ditutup-tutupi Brad dan Agatha. Mereka
sengaja tidak mau bercerita tentang gua itu."
"Mereka cuma khawatir," sahut adikku. "Mereka tidak mau kalau kita sampai cedera
karena memanjat ke sana. Mereka merasa
bertanggung jawab dan..."
"Terri - lihat, tuh!" aku berseru, sambil menunjuk ke gua itu.
Cahaya redup tampak berkelap-kelip di mulut gua. Kali ini
Terri juga melihatnya. Ketika kami memperhatikan cahaya itu, bulan kembali tertutup
awan dan langit bertambah gelap.
"Itu bukan Aurora borealis," aku berbisik. "Pasti ada orang di atas sana."
"Coba kita periksa saja," sahut Terri.
Sebelum sadar apa yang kami lakukan, kami sudah mulai
memanjat tebing. Rasanya seakan-akan ada magnet yang menarik
kami. Aku betul-betul penasaran. Aku harus tahu dari mana cahaya
aneh itu berasal. Di belakang kami, ombak berdebur-debur menerpa batu karang.
Percikan air bercipratan ke segala arah.
Kami sudah hampir sampai di mulut gua. Aku menoleh ke
belakang, dan melihat pantai sudah jauh di bawah kami. Cahaya di
mulut gua masih berkelap-kelip dan menari-nari.
Kami naik sampai ke tonjolan batu yang menjorok di depan
mulut gua, lalu berdiri. Ternyata tonjolan itu cukup lebar. Di hadapan kami, mulut gua
tampak menganga lebar. Aku mengintip ke dalam. Seberapa dalam gua itu" Aku tidak
bisa melihat apa-apa, karena keadaan di dalamnya gelap gulita.
Aku memicingkan mata. Sepertinya aku melihat terowongan
yang menuju samping. Aku maju selangkah. Terri berada tepat di belakangku. Dia
menggigit bibir. Aku tahu dia ketakutan. "Bagaimana?" bisiknya ke telingaku.
"Ayo, kita masuk saja," kataku.
Chapter 12 JANTUNGKU berdebar-debar ketika kami memasuki gua itu.
Seketika kami diselubungi kegelapan. Berulang kali kami nyaris
tergelincir ketika menginjak bebatuan yang licin dan lembap. Aku
hampir tidak bisa bernapas karena udaranya berbau asam dan pengap.
"Hei...!" seruku ketika Terri meraih lenganku. "Cahayanya, tuh!" bisik adikku.
Cahaya itu berkelap-kelip di dekat dinding bel-kang.
Sambil merapatkan badan, kami maju beberapa langkah.
Udaranya terasa lebih hangat di sini.
"A - ada terowongan," aku tergagap-gagap.
Gua itu menyempit, lalu menikung. Cahaya yang kami lihat
berasal dari balik tikungan, jauh di bagian dalam.
Aku menelan ludah. "Ayo, kita maju sedikit lagi," desakku.
Terri merapat ke punggungku. "Tapi terowongan itu kelihatan
seram," katanya lirih.
Sayup-sayup aku mendengar bunyi berdecit-decit. Bunyi itu
berasal dari depan. "Sedikit lagi deh," kataku. "Sudah tanggung nih."
Kami berjalan perlahan-lahan menuju sumber cahaya itu.
Ketika memasuki terowongan, kami terpaksa menundukkan kepala.
Aku mendengar bunyi air menetes-netes di dekat kami. Udaranya
semakin hangat dan lembap.
Terowongan itu membelok, lalu tiba-tiba melebar lagi dan
berakhir di suatu ruangan besar.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bunyi berdecit tadi terdengar lagi, dan aku langsung berhenti.
Kemelut Blambangan 8 Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman Manusia Pemuja Bulan 2