Pencarian

Serangan Mutan Bertopeng 1

Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng Bagian 1


R.L. Stine Serangan Mutan Bertopeng (Goosebumps # 25) BACALAH KALAU BERANI Skipper senang sekali membaca komik. Salah satu tokoh komik favoritnya
adalah Si Mutan Bertopeng, tokoh super jahat yang datang ke bumi untuk
menguasai planet ini beserta isinya!
Suatu hari Skipper tersesat ke bagian kota yang asing baginya. Di sana Ia
menemukan gedung yang persis sama dengan markas rahasia si Mutan
Bertopeng. Dan anehnya lagi, gedung itu bisa tiba-tiba saja lenyap, lalu muncul
kembali. Mungkinkah mega penjahat itu benar-benar nyata dan tinggal di Riverview
Falls" Walaupun takut, Skipper merasa sangat penasaran. Dia bertekad untuk
memasuki gedung itu, dan berharap bisa menemukan si Mutan di sana!
Goosebumps Ya! Dijamin kalian pasti ber -goosebumps- ria alias merinding ketakutan kalau
membaca seri ini. Soalnya, seri Goosebumps memang menyajikan kisah-kisah horor
yang superseram dan mengerikan! Tidak percaya" Baca saja sendiri kalau berani!!!
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
JI Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270 ISBN 979-655-O17-2 Penerjemah: Hendarto Setiadi
Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 "HEI - Jangan pegang-pegang!"
Aku merampas komik itu dari tangan Wilson Clark dan mengusap-usap sampul
plastiknya. "Aku kan cuma mau lihat," gerutunya.
"Kalau sampai ada bekas jari, nilainya langsung turun setengah," kuberitahu dia
sambil menatap sampul yang terbungkus plastik bening. "Ini Angsa Perak Nomor
Nol, kataku. Dan kondisinya masih seperti baru."
Wilson geleng-geleng kepala. Rambutnya ikal dan pirang menjurus putih,
sedangkan matanya bulat dan berwarna biru. Dia selalu kelihatan bingung.
"Yang benar saja," ujarnya. "Mana ada Nomor Nol, Skipper?"
Wilson sebenarnya sahabat karibku, tapi kadang-kadang aku heran sendiri
kenapa aku bisa berteman dengan dia. Habis, apa-apa dia tidak tahu.
Aku menyodorkan Angsa Perak ke bawah hidungnya, supaya dia bisa melihat angka
nol besar yang tercantum di pojok. "Ini edisi kolektor," aku menjelaskan
"Nomor Nol terbit sebelum Nomor Satu. Dan nilainya sepuluh kali lipat Angsa
Perak Nomor Satu." "Masa sih?" Wilson menggaruk-garuk kepalanya . Dia jongkok di lantai dan mulai
menggeledah kardus berisi koleksi komikku. "Kenapa sih semua komik
ini kaubungkus plastik, Skipper" Kan jadi tidak bisa dibaca?"
Nah, benar, kan" Wilson tidak tahu apa-apa.
"Dibaca" Komik-komik ini bukan untuk dibaca," jawabku "Kalau dibaca,
nilainya langsung turun."
Dia menatapku dengan heran "Bukan untuk dibaca"
"Komik-komik ini jangan dikeluarkan dari sampul," aku menjelaskan, "Kalau
dikeluarkan, kondisinya tidak seperti baru lagi"
"Ooh. Yang ini keren nih!" dia berseru sambil menarik satu eksemplar Serigala
Bintang. "Sampulnya dari logam"
"Yang itu tak ada harganya," aku bergumam, "Soalnya itu edisi cetak ulang."
Sampul berwarna perak itu ditatapnya sambil diputar-putar, sehingga tampak
berkilau-kilau terkena sinar lampu.
"Keren," gumamnya. Kata favoritnya.
Kami sedang di kamarku, kira-kira sejam habis makan malam. Langit di luar
tampak hitam pekat. Di musim dingin seperti sekarang hari memang cepat
gelap. Lain dengan di planetnya Angsa Perak, Orcos III, di mana matahari tak
pernah - terbenam dan semua superhero memakai kostum ber-AC.
Wilson datang untuk menyalin tugas matematika. Rumahnya di sebelah
rumahku, dan buku matematikanya selalu ditinggal di sekolah - jadi dia selalu
datang untuk menanyakan PR.
"Seharusnya kau juga bikin koleksi buku komik," kataku "Kira-kira dua puluh
tahun lagi, komik-komik ini bakal bernilai jutaan."
"Aku punya koleksi stempel," Wilson menyahut sambil meraih edisi tahunan
Pasukan-Z. Kemudian dia mengamati ikian sepatu kets di sampul belakang.
"Stempel?" "Yeah. Aku sudah punya sekitar seratus," ujarnya.
"Apa gunanya stempel?" tanyaku.
Dia mengembalikan komik itu ke kardus, lalu berdiri "Ehm, bisa dipakai untuk
memberi cap pada barang-barang," dia menjawab sambil menepis debu pada
lutut celana jinsnya. "Aku punya beberapa bantalan cap dengan tinta berwarna
macam-macam. Atau bisa juga cuma dilihat-lihat saja."
Dia memang aneh. "Memangnya stempel-stempel itu bernilai tinggi?" aku kembali bertanya.
Dia menggelengkan kepala "Rasanya tidak" Dia meraih lembaran tugas
matematika dan ujung tempat tidurku "Aku pulang dulu deh. Sampai besok,
Skipper." Wilson jangkung, kurus, pirang, dan bermata biru. Di samping dia, aku selalu
agak minder. Kalau saja kami berdua tokoh buku komik, maka Wilson pasti jadi jagoan,
sedangkan aku sekadar pendamping yang setia. Aku pasti jadi si gemuk yang
konyol, yang selalu bikin gara-gara.
Untung saja hidup ini bukan komik - ya, kan"
Begitu Wilson pergi, aku langsung berpaling ke meja rias. Sepintas lalu aku
melihat banner komputer di atas cermin: SKIPPER MATTHEWS, ALIEN
AVENGER. Ayahku minta tolong teman kantornya membuatkan banner itu sebagai kado ulang
tahunku yang kedua belas beberapa minggu yang lalu.
Di bawah banner itu ada dua poster keren yang kutempel di kiri-kanan meja rias.
Yang satu Captain America yang digambar oleh Jack Kirby. Poster ini
sudah tua sekali dan nilainya mungkin lebih dari seribu dolar.
Yang satu lagi lebih baru - poster Spawn yang digambar oleh Todd McFarlane.
Tapi biar masih baru, poster ini tidak kalah keren.
Buru-buru aku menghampiri amplop besar berwarna cokelat di atas meja rias.
Orangtuaku sebenarnya sudah berpesan amplop itu baru boleh kubuka setelah
PR-ku selesai. Tapi aku sudah tidak sabar.
Jantungku berdebar-debar ketika kutatap amplop itu.
Aku sudah tahu apa yang ada di dalamnya. Dan membayangkannya saja sudah
membuat detak jantungku bertambah kencang.
Dengan hati-hati kuraih amplop itu. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Aku harus membukanya, sekarang juga.
2 PERLAHAN-LAHAN dengan hati-hati sekali kubuka amplop itu. Kemudian
kukeluarkan isinya yang teramat sangat berharga.
Si Mutan Bertopeng edisi bulan ini.
Sambil memegang buku itu dengan kedua tangan, kuamati sampulnya Si Mutan
Bertopeng #24. Di bagian bawah tertulis dengan huruf-huruf merah bergerigi:
"SEPON BAJA YANG SAKTI
DALAM CENGKERAMAN MAUT!"
Gambar sampulnya luar biasa. Si Sepon Baja berada dalam kesulitan besar. Dia
terlilit lengan-lengan gurita raksasa. Dan gurita itu seakan-akan hendak
meremukkannya. Luar biasa. Betul-betul luar biasa.
Semua buku komikku terbungkus sampul plastik supaya tetap dalam kondisi
seperti baru. Tapi ada satu komik yang harus kubaca setiap bulan. Dan itu Si
Mutan Bertopeng. Aku harus membacanya begitu terbit. Dan aku membacanya dari awal sampai
akhir, setiap kata dalam setiap gambar. Surat-surat pembaca pun tidak
kulewatkan. Soalnya, Si Mutan Bertopeng adalah komik dengan gambar dan cerita paling seru di
seluruh dunia. Dan Si Mutan Bertopeng sendiri adalah tokoh penjahat paling hebat
dan paling lihai yang pernah dibuat.
Bayangkan saja, dia bisa menggeser molekul-molekul tubuhnya dengan sesuka
hati. Berarti dia bisa mengubah wujudnya menjadi apa saja yang berupa benda padat.
Apa saja! Di gambar sampul ini, gurita tadi sebenarnya si Mutan Bertopeng. Aku tahu
karena gurita itu memakai topeng yang selalu dipakai si Mutan Bertopeng.
Tapi dia bisa berubah menjadi binatang apa pun. Atau benda apa pun.
Karena itu dia selalu lolos dari Kelompok Pembela Kebenaran, yang
beranggotakan enam superhero. Mereka juga mutan, dan masing-masing
mempunyai kelebihan yang mengagumkan. Mereka juga penegak hukum
terbaik di dunia. Tapi mereka tidak bisa menangkap si Mutan Bertopeng.
Pimpinan mereka pun - si Rusa Melesat - Orang tercepat di tata surya, masih
kurang cepat untuk meringkus si Mutan Bertopeng.
Gambar sampul itu kuamati selama beberapa menit. Kuperhatikan bagaimana
lengan-lengan si gurita mencengkeram si Sepon Baja sampai loyo. Dan roman
muka si Sepon Baja langsung ketahuan bahwa dia sedang kesakitan.
Keren. Kubawa komik itu ke tempat tidur, lalu berbaring tengkurap membacanya.
Ceritanya kali ini sambungan dari Si Mutan Bertopeng #23.
Si Sepon Baja, penyelam paling hebat di seluruh dunia, sedang berada di dasar
laut. Dia berusaha mati-matian supaya bisa lolos dari kejaran si Mutan
Bertopeng. Tapi jubah si Sepon Baja tersangkut pada pinggiran terumbu karang.
Aku membalik halaman. Sambil mendekat, si Mutan Bertopeng mulai
menggeser molekul-molekulnya. Dan kemudian dia berubah menjadi gurita
raksasa yang mengerikan. Ada delapan gambar yang menunjukkan perubahan si Mutan Bertopeng. Dan
setelah itu ada gambar satu halaman yang memperlihatkan bagaimana gurita
raksasa itu menjulurkan lengan-lengannya yang gemuk untuk menangkap si
Sepon Baja yang tak berdaya.
Si Sepon Baja berusaha mengelak.
Tapi lengan-lengan itu semakin dekat. Semakin dekat.
Aku hendak membalik halaman. Tapi tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang
dingin dan licin melilit leherku.
3 AKU memekik kaget dan langsung meronta-ronta.
Tapi cengkeraman lengan yang dingin itu malah semakin erat.
Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa berteriak.
Aku mendengar suara tawa.
Dengan susah payah aku menoleh. Dan aku melihat Mitzi, adik perempuanku
yang berumur sembilan tahun. Dia segera melepaskan tangannya dari leherku
dan melompat mundur ketika aku memelototinya.
"Kenapa tanganmu begitu dingin?" tanyaku.
Dia menatapku sambil pasang senyum tak berdosa, "Karena kumasukkan ke
lemari es." "Hah?" seruku "Kaumasukkan ke lemari es" Untuk apa?"
"Supaya dingin," jawabnya sambil nyengir.
Adikku ini memang konyol. Rambutnya lurus dan berwarna cokelat tua, seperti aku.
Tubuhnya pun sama seperti aku, pendek dan agak gemuk
"Aku kaget setengah mati," kataku sambil duduk tegak di tempat tidur
"Aku tahu," sahutnya. Dia menempelkan tangan ke pipiku. Kedua tangan itu
masih dingin. "Jangan macam-macam, Mitzi" Aku langsung mendorongnya "Mau apa sih kau
ke sini" Cuma mau menakut-nakuti aku?"
Dia menggelengkan kepala. "Dad yang menyuruhku ke sini. Kata Dad, kalau kau baca
buku komik dan bukannya mengerjakan PR, maka kau bakal dapat
kesulitan besar." Pandangannya beralih ke komik yang tergeletak di tempat tidurku.
"Kelihatannya kau bakal dapat kesulitan besar, Skipper."
"Jangan Tunggu" Cepat-cepat kusambar tangannya "Ini Si Mutan Bertopeng.
Aku harus membacanya. Bilang saja aku sedang mengerjakan PR matematika,
dan -" Kalimatku yang terakhir tidak sempat kuselesaikan, karena ayahku keburu
muncul di pintu. Lampu di langit-langit tercermin pada kacamatanya. Tapi aku
langsung tahu dia sedang memperhatikan komik di tempat tidur.
"Skipper - " dia menegurku dengan suaranya yang besar dan berat.
Mitzi segera menyelinap ke luar Dia memang suka bikin gara-gara. Tapi kalau
keadaan sudah benar-benar gawat, dia pasti langsung angkat kaki.
Aku sendiri juga tahu keadaannya bakal gawat - soalnya dalam minggu ini aku
sudah tiga kali ditegur karena terlalu banyak menghabiskan waktu untuk koleksi
buku komikku. "Skipper, kau tahu kenapa nilai-nilai sekolahmu begitu jelek" ayahku
menggeram. "Karena aku bukan murid yang pandai?" balasku - sambil berlagak tidak tahu apa
yang dimaksudnya. Kesalahan besar. Ayahku paling tidak senang kalau aku menjawab asal bunyi.
Kalau melihat ayahku, aku sering teringat beruang besar. Bukan saja karena dia
sering menggeram. Tapi juga karena badannya yang tinggi besar. Rambutnya
pendek dan hitam, dan bisa dibilang dia tidak punya kening. Sungguh.
Rambutnya mulai tumbuh hampir persis di atas kacamatanya. Dan suaranya
menggelegar, persis seperti auman beruang.
Nah, setelah mendengar jawabanku yang asal bunyi, dia langsung menggeram.
Kemudian dia melintasi kamarku dan meraih kardus berisi buku-buku komik -
seluruh koleksiku. "Sori, Skipper, buku-buku ini terpaksa kusingkirkan!" dia berseru, lalu
membalik dan menuju ke pintu.
4 KAU pasti menyangka aku bakal panik, memohon-mohon dan merengek-
rengek supaya koleksiku yang berharga tidak jadi dibuang.
Tapi aku diam saja. Aku cuma berdiri di samping tempat tidur dan menunggu.
Masalahnya, ini bukan pertama kali ayahku mengancam begitu. Dia sudah
sering mengeluarkan ancaman, tapi aku tahu dia tidak serius.
Ayahku memang cepat marah, tapi sebenarnya dia tidak jahat. Malahan,
menurutku dia pantas jadi anggota Kelompok Pembela Kebenaran.
Persoalan utamanya adalah dia tidak suka aku mengumpulkan komik. Di
matanya, komik cuma bacaan sampah. Padahal sudah berkali-kali kujelaskan
koleksiku bakal bernilai jutaan kalau aku sudah seumur dia.
Tapi sudahlah. Yang jelas, aku cuma berdiri dan menunggu.
Ayahku berhenti di ambang pintu lalu menoleh. Kardusku digenggamnya
dengan dua tangan. Dia menatapku sambil memicingkan matanya yang gelap di
balik kacamatanya yang berbingkai hitam.
"Kamu mau mengerjakan PR-mu?" tanyanya dengan tegas.
Aku mengangguk "Ya," ujarku pelan-pelan, sambil menunduk.
Kardusku diturunkannya sedikit. Kardus itu memang berat, biarpun untuk orang
yang besar dan kuat seperti ayahku.
"Dan malam ini kau tidak akan buang-buang waktu lagi dengan membaca
komik?" aku dicecarnya.
"Aku baca yang satu ini saja, ya" aku berusaha menawar sambil menunjuk
komik Si Mutan Bertopeng di tempat tidur.
Kesalahan kedua. Ayahku kembali menggeram dan mulai membawa kardusku pergi.
"Oke, oke." seruku cepat-cepat "Sori. Aku akan menyelesaikan PR-ku, Dad.
Aku janji. Mulai sekarang juga."
Ia mendengus dan kembali ke kamarku. Kemudian ia meletakkan kardusku di
tempat semula, merapat ke dinding. "Siang dan malam hanya itu yang
kaupikirkan, Skipper," komentarnya "Komik, komik, komik Itu tidak baik.
Sungguh. Tidak baik."
Aku diam saja. Aku tahu dia sudah mau turun.
"Aku tidak mau dengar apa-apa lagi soal komik," ayahku menggerutu
"Mengerti?" "Oke," aku bergumam. "Maaf, Dad."
Aku menunggu sampai kudengar langkahnya menuruni tangga. Kemudian aku
kembali berpaling pada edisi terbaru Si Mutan Bertopeng. Aku penasaran bagaimana
si Sepon Baja bisa lolos dari cengkeraman gurita raksasa itu.


Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi aku mendengar Mitzi di dekat kamarku. Dia masih di atas. Kalau dia tahu aku
lagi membaca komik, dia pasti langsung turun dan melapor pada Daddy.
Dia memang hobi memata-matai orang.
Karena itu kubuka ranselku dan kukeluarkan buku catatan matematika dan buku IPA
serta segala sesuatu yang kuperlukan.
Semua soal matematika kukerjakan secepat mungkin. Sepertinya sih sebagian
besar jawabanku keliru. Tapi itu tidak penting. Aku kan bukan jago matematika.
Habis itu kubuka bab mengenai atom dan molekul di buku IPA. Waktu
membaca tentang molekul, aku langsung teringat Si Mutan Bertopeng.
Aku sudah tak sabar mgm membaca komik itu.
Seluruh PR-ku selesai pukul setengah sepuluh lewat beberapa menit. Memang
ada beberapa pertanyaan esai pada tugas sastra yang terpaksa kulewatkan. Tapi di
kelasku, cuma para kutu buku yang menjawab semua pertanyaan.
Aku turun ke dapur dan menyiapkan semangkuk Frosted Flakes, makanan kegemaranku
kalau sudah larut malam. Setelah itu aku mengucapkan selamat
malam pada orangtuaku dan bergegas ke atas lagi. Cepat-cepat kututup pintu
kamarku dan naik ke tempat tidur dan mulai membaca.
Kembali ke dasar laut Si Sepon Baja meloloskan diri dengan mengecilkan
badan sampai bisa lepas dari tentakel-tentakel gurita. Boleh juga, pikirku.
Dengan kesal si Mutan Bertopeng mengacungkan tentakel-tentakelnya, dan dia
bersumpah lain kali si Sepon Baja takkan diberi kesempatan lagi. Kemudian dia
menggeser molekul-molekulnya sampai kembali ke wujudnya yang asli, dan
terbang ke markas besarnya.
Markas besarnya! Aku membelalakkan mata seakan-akan tidak percaya.
Markas rahasia besar si Mutan Bertopeng belum pernah diperlihatkan. Oh,
memang sih, sekali-sekali ada satu atau dua ruangan di dalamnya.
Tapi ini pertama kali bangunan itu digambarkan dari luar.
Aku langsung mengamatinya dengan teliti. "Wow tempatnya memang ajaib."
ujarku Markas besar si Mutan Bertopeng berbeda dari semua bangunan yang pernah
kulihat. Kalau tidak diberitahu, aku takkan menyangka ini tempat
persembunyian penjahat paling berbahaya di seluruh dunia.
Bangunan itu menyerupai hidran kebakaran berukuran raksasa. Hidran
kebakaran yang menjulang ke langit. Warnanya merah jambu, dan di puncaknya
ada atap kubah berwarna hijau.
"Ajaib," kataku sekali lagi.
Tapi di pihak lain, tempat itu memang tempat persembunyian yang sempurna.
Siapa yang menyangka penjahat yang paling dicari-cari ternyata tinggal di
gedung yang menyerupai hidran kebakaran raksasa berwarna merah jambu"
Aku membalik halaman. Si Mutan Bertopeng sudah menyelinap ke markasnya
dan masuk ke lift. Dia naik sampai ke puncak, lalu melangkah ke pusat
komunikasi pribadinya. Di sana dia sudah ditunggu oleh wah... ini baru kejutan.
Aku melihat sosok gelap. Wajahnya tidak tampak. Tapi aku langsung tahu siapa
dia. Ternyata si Rusa Melesat, pemimpin Kelompok Pembela Kebenaran.
Bagaimana si Rusa bisa masuk" Dan kenapa dia ada di sana"
Bersambung bulan depan. Wow. Kututup buku komikku. Kelopak mataku terasa berat, dan mataku terlalu
letih untuk membaca huruf-huruf kecil pada halaman Surat Penggemar, jadi
kuputuskan surat-surat itu kubaca besok saja.
Sambil menguap kuletakkan komikku di meja samping tempat tidur. Dan
sebelum kepalaku ketemu bantal, aku sudah tertidur lelap.
*** Dua hari kemudian, waktu itu cuacanya cerah tapi dingin sekali, Wilson berlari
mengejarku seusai jam pelajaran. Ritsleting jaketnya yang biru tidak ditutup.
Dia memang tidak pemah menutup jaketnya. Katanya, bentuknya kurang bagus
kalau ditutup. Aku sendiri memakai kemeja, sweter, dan jaket tebal dengan lapisan bulu di
bagian dalam. Tapi meskipun jaketku tertutup rapat sampai ke bawah dagu, aku
tetap kedinginan. "Ada apa, Wilson?"tanyaku.
Embusan napasnya tampak mengembun "Mau main ke rumahku" Kau belum
pernah lihat koleksi stempelku, kan?"
Yang benar saja! "Aku harus ke dokter gigi," aku berdalih. "Kawat gigiku sudah nyaman
sekarang, jadi dia harus mengencangkannya supaya sakit lagi."
Wilson mengangguk. Warna matanya sama dengan warna jaketnya. "Naik apa
ke sana?" Aku menunjuk ke halte bus. "Naik bus," sahutku.
"Aku sering lihat kau naik bus itu," katanya.
"Di Goodale Street ada toko buku komik," aku menjelaskan sambil
memindahkan ransel dan pundak kanan ke kiri. "Sekali seminggu aku naik bus
ke sana untuk melihat buku-buku komik yang baru terbit. Praktek dokter gigiku
tidak jauh dan situ."
"Toko buku komik itu juga jualan stempel?" tanya Wilson.
"Rasanya sih tidak," ujarku. Di belakangnya aku melihat bus kota yang
berwarna putih-biru membelok di persimpangan. "Oh, busnya sudah datang.
Sampai ketemu!" aku berseru.
Aku segera berbalik dan berlarii ke halte bus.
Pengemudinya baik hati. Dia melihatku berlari dan menunggu sampai aku naik.
Dengan napas tersengal-sengal aku mengucapkan terima kasih dan mencari
tempat duduk kosong. Kalau saja aku tahu ke mana busnya akan membawaku , aku pasti takkan
mengucapkan terima kasih. Tapi waktu itu aku memang belum tahu kalau bus
itu akan mengantarkanku ke petualangan paling menakutkan sepanjang
hidupku. 5 BUSNYA ternyata lebih penuh dari biasanya, dan aku terpaksa berdiri sebentar.
Kemudian ada dua penumpang yang turun, dan aku segera menyelinap ke
bangku yang kosong. Bus itu menyusuri Main Street, dan aku mengamati rumah-rumah dan
pekarangan-pekarangan yang kulewati. Awan-awan gelap seakan-akan
menyentuh atap-atap rumah Tidak lama bakal turun salju, aku berkata dalam
hati. Toko buku komik berjarak beberapa blok. Aku melirik jam tangan. Siapa tahu
aku masih sempat mampir ke sana sebelum ke dokter gigi. Tapi ternyata tidak ada
waktu lagi. "Hei, kau sekolah di Franklin, ya?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh dan melihat tempat di sampingku telah diduduki anak cewek.
Rambutnya yang berwarna merah wortel dikepang satu. Matanya berwarna
hijau, dan di hidungnya terbayang bintik-bintik berwarna merah kecokelatan.
Dia pakai celana jins belel dan sweter tebal bermotif kotak-kotak biru-merah.
Dan di pangkuannya ada ransel berwarna merah.
"Yeah, aku sekolah di Franklin," sahutku.
"Bagaimana sekolahnya" Enak?" tanyanya. Dia memicingkan matanya yang
hijau seakan-akan sedang menilaiku.
"Lumayan." "Siapa namamu?" dia bertanya lagi.
"Skipper" Dia ketawa cekikikan. "Itu bukan namamu yang asli, kan"
"Semua orang memanggilku begitu," ujarku.
"Skipper kan berarti nakhoda. Memangnya kamu tinggal di kapal?" Matanya
berbinar-binar Aku sadar dia menertawakanku.
Oke, Skipper memang nama yang konyol. Tapi aku sudah terbiasa. Lagi pula,
itu masih mending dibandingkan namaku sesungguhnya - Bradley.
"Waktu aku masih kecil, aku selalu terburu-buru," aku bercerita "Jadi aku
sering melompat-lompat (skip). Karena itu aku dijuluki Skipper."
"Lucu," dia berkomentar sambil tersenyum mengejek.
Lama-lama cewek ini menyebalkan juga, aku berkata dalam hati. "Siapa
namamu?" aku bertanya padanya.
"Skipper," dia menyahut sambil nyengir "Sama seperti kamu."
"Aku serius," ujarku
"Libby," dia akhirnya berkata, "Libby Zacks." Dia memandang ke luar jendela di
belakangku. Bus kami berhenti di lampu merah. Di belakang ada bayi yang
mulai menangis. "Kau mau ke mana?" tanya Libby. "Pulang?"
Aku enggan menjawab aku harus ke dokter gigi. Kedengarannya terlalu norak
"Aku mau ke toko buku komik. Di Goodale."
"Kau koleksi komik" Sepertinya dia kaget. "Aku juga."
Kini giliran aku yang kaget. Sebagian besar kolektor komik yang kukenal
adalah cowok. "Komik apa saja yang kaukoleksi?"
"High School Harry & Beanhead," jawabnya. "Aku mengumpulkan edisi mini, tapi aku
juga punya beberapa edisi biasa"
"Ih. Amit-amit." Aku meringis. "High School Harry dan temannya si
Beanhead" Komik itu tidak ada bagus-bagusnya."
"Enak saja" Libby memprotes.
"Itu bacaan bayi," aku bergumam "Bukan komik benaran."
"Siapa bilang?" balas Libby. "Ceritanya bagus. Dan lucu." Dia menjulurkan
lidah padaku. "Barangkali kau saja yang tidak tahu lucunya di mana"
"Yeah," aku menyahut sambil memutar-mutar bola mata.
Aku memandang ke luar jendela. Langit bertambah gelap. Aku tidak mengenali
toko-toko yang dilewati bus. Aku melihat Restoran Pearl's dan tempat cukur
berukuran mungil. Jangan-jangan tokonya sudah kelewatan!
Libby menyilangkan tangan di atas ranselnya yang merah "Kau koleksi apa"
Pasti komik super-hero"
"Yeah," kataku. "Koleksiku bernilai seribu dolar. Mungkin malah dua ribu."
"Jangan mimpi, Libby menanggapi, lalu tertawa
"Nilai komik High School Harry tidak bakal naik," aku memberitahunya. "Edisi
perdananya pun tidak ada harganya. Seluruh koleksimu tak bakal laku dijual
lima dolar." "Siapa yang mau menjualnya?" Libby membalas dengan sengit "Koleksiku
bukan untuk dijual, tapi untuk dibaca. Aku tidak peduli berapa nilainya."
"Kalau begitu kau bukan kolektor benaran," kataku.
"Apakah semua cowok di Franklin seperti kau?" tanya Libby.
"Tidak. Aku yang paling hebat,' ujarku.
Kami sama-sama ketawa. Aku masih ragu apakah aku suka dia atau tidak. Sebenarnya dia kece juga. Dan
lumayan lucu, Walaupun menjurus menyebalkan.
Aku berhenti tertawa waktu aku menoleh keluar dan sadar halteku sudah
terlewat. Aku melihat pohon-pohon gundul di sebuah taman kecil yang belum
pernah kulihat. Bus-ku melewatinya, dan aku kembali mehhat toko-toko yang
asing bagiku. Tiba-tiba saja aku mulai panik. Aku tidak kenal daerah itu.
Aku menekan bel tanda berhenti dart langsung berdiri.
"Ada apa sih?" tanya Libby
"Ha... halte-ku sudah kelewatan," aku tergagap-gagap.
Dia menggeser kakinya ke gang supaya aku bisa lewat. Bus berhenti di halte
berikut. Aku berseru, "Sampai ketemu", lalu turun dan pintu belakang.
Di mana aku" aku bertanya dalam hati sambil memandang berkeliling. Kenapa
aku berdebat dengan Libby tadi" Kenapa aku tidak memperhatikan di mana aku
harus turun. "Kau kesasar?" sebuah suara bertanya.
Aku menoleh, dan tanpa disangka-sangka aku melihat Libby di sampingku.
Rupanya dia menyusulku turun dari bus. "Kok kau ada di sini sini?" tanyaku
heran. "Aku memang turun di sini," katanya "Rumahku dua blok ke arah sana,"
tambahnya sambil menunjuk.
"Aku harus balik ke sana," ujarku sambil membalikkan badan.
Kemudian aku melihat sesuatu yang membuatku serasa tercekik.
"Ohh!" aku memekik kaget sambil memandang ke seberang jalan "Ti-tidak
mungkin!" seruku. Aku menatap gedung jangkung di pojok seberang. Sebuah gedung berwarna
merah jambu dengan atap kubah berwarna hijau terang.
Gedung itu markas besar rahasia si Mutan Bertopeng.
6 "SKIPPER - ada apa?" Libby berseru.
Aku tidak bisa menjawab. Kutatap bangunan di seberang jalan sambil
membelalakkan mata. Bola mataku nyaris copot!
Aku menengadah dan memandang atap berwarna hijau terang yang seakan-akan
mencakar langit. Kemudian pandanganku bergerak turun, menyusuri dinding-
dinding yang berwarna merah jambu. Belum pernah aku melihat warna-warna
seperti itu dalam kehidupan nyata. Warna-warna itu cuma ada dalam buku-buku
komik. Gedung itu gedung buku komik.
Tapi nyatanya, gedung tersebut berdiri megah di seberang jalan.
"Skipper" Ada apa sih?" Suara Libby terdengar sayup-sayup, seolah-olah dia
berada di tempat yang jauh sekali.
Gedung itu memang ada! aku berkata dalam hati. Markas besar rahasia si Mutan
Bertopeng ternyata memang ada!
Tapi, masa sih" Dua tangan mengguncang-guncangkan pundakku, lamunanku buyar seketika.
"Skipper! Ada apa" Kau mau menakut-nakuti aku, ya?"
"Ge-gedung itu!" aku tergagap-gagap.
"Ya, gedung itu memang gedung paling jelek yang pernah kulihat," Libby
berkomentar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia memasang ranselnya di
pundak. "Ta-tapi -" Aku tetap tidak sanggup bicara.
"Ayahku bilang arsiteknya pasti buta warna," ujar Libby. "Bentuknya saja
bukan seperti bangunan, tapi cerutu raksasa yang menancap di tanah."
"Sudah berapa lama bangunan ini ada di sini?" tanyaku, sambil mengamati
pintu kaca yang merupakan satu-satunya jalan masuk.
Libby angkat bahu. "Entahlah. Keluargaku baru musim semi yang lalu pindah
kemari. Waktu itu gedungnya sudah ada."
Awan-awan kelabu di langit semakin gelap. Angin dingin tiba-tiba berembus.
"Kira-kira siapa, ya, yang bekerja di Situ?" tanya Libby. "Tidak ada ada tanda
atau papan nama di gedung itu."
Tentu saja tidak ada papan nama, aku berkata dalam hati. Itu kan markas besar
rahasia penjahat paling ditakuti di seluruh dunia. Mana mungkin si Mutan
Bertopeng pasang papan nama di depan!
Soalnya dia tidak mau lokasi markas besar rahasianya diketahui. Kelompok
Pembela Kebenaran, pikirku.
"Ini tidak masuk akal!" seruku.
Aku berbalik dan melihat Libby menatapku sambil mengerutkan kening.
"Kenapa sih kau" Itu kan cuma gedung, Skipper. Tidak perlu sewot begitu
dong." Wajahku langsung terasa panas Libby pasti menyangka aku sakit jiwa, aku
menyadari. "Ra-rasanya aku pernah melihat gedung ini di tempat lain," aku
berusaha menjelaskan. "Aku pulang deh," ujar Libby sambil mengamati langit yang mendung. "Kau
mau ikut" Kau bisa melihat koleksi komikku."
"Lain kali saja. Aku harus ke dokter gigi," aku keceplosan.
"Lho?" Dia menatapku dengan matanya yang hijau. "Tadi kau bilang kau mau
ke toko buku komik."
Wajahku semakin panas. "Ehm... maksudku, aku ke sana setelah dari dokter gigi,"
aku berkilah. "Sudah berapa lama kamu pakai kawat gigi?" tanyanya.
Aku menghela napas. "Dan zaman kuda gigit besi."
Dia mulai mundur. "Hmm, sampai ketemu deh."
"Yeah, sampai ketemu."
Dia segera berlari kecil menyusuri trotoar. Dia pasti menganggapku orang
paling kampungan sedunia, ujarku dalam hati.
Tapi bagaimana lagi" Aku benar-benar kaget waktu melihat gedung itu. Mau
tak mau aku menoleh lagi. Puncak gedung tersebut telah terselubung awan.
Sekarang gedung itu menyerupai roket merah jambu yang menembus awan.
Sebuah truk besar lewat di jalanan. Aku menunggu sampai truk itu melintas,
lalu menyeberang. Tak ada siapa-siapa di trotoar. Dan sepertinya dari tadi juga tidak ada yang
keluar-masuk bangunan. Ini cuma gedung kantor besar, aku berusaha meyakinkan diri. Kau tidak perlu
senewen.

Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi jantungku berdebar-debar ketika aku berhenti beberapa langkah di depan
pintu kaca. Setelah menarik napas panjang, aku memberanikan diri memandang
ke pintu kaca. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aku berharap melihat orang-orang
berkostum superhero mondar-mandir.
Aku memicingkan mata dan berusaha melihat ke dalam.
Tak seorang pun terlihat. Ruangan di balik kaca sepertinya gelap gulita.
Aku maju selangkah. Lalu selangkah lagi.
Kutempelkan mukaku ke kaca dan mengintip ke dalam. Aku (melihat) lobi yang
besar. Dengan dinding-dinding berwarna merah jambu dan kuning Dan
sederetan lift di sisi belakang.
Tapi tidak ada orang sama sekali. Ruangan itu kosong melompong.
Aku meraih pegangan pintu dan menelan ludah.
Perlukah aku masuk" aku bertanya pada diriku sendiri. Beranikah aku masuk"
7 SAMBIL menggenggam pegangan pintu erat-erat, aku mulai menarik pintu
kaca itu. Tiba-tiba, dari sudut mata, aku melihat bus berwarna biru-putih mendekat.
Cepat-cepat kulirik jam tanganku. Ternyata aku baru telat lima menit untuk
kunjunganku ke dokter gigi. Kalau aku naik bus itu, maka dalam beberapa
menit saja aku sudah bisa sampai di tempat prakteknya.
Gagang pmtu segera kulepaskan, dan aku berlari ke halte bus. Ranselku mental-
mental. Aku kecewa, tapi sekaligus lega.
Masuk ke markas besar mutan paling jahat di seluruh dunia memang agak
menakutkan. Bus berhenti. Aku menunggu laki-laki setengah baya turun. Kemudian aku naik,
memasukkan beberapa keping ke kotak uang, dan bergegas ke bagian belakang
bus. Kutolehkan kepalaku sekali lagi pada gedung misterius itu.
Dua wanita duduk di deret belakang. Aku menyusup ke antara mereka dan
menempelkan mukaku ke jendela.
Bus mulai maju lagi, dan aku menatap gedung yang sempat membuatku
terbengong-bengong. Warna-warnanya tetap cerah, meskipun langit, di
belakangnya mendung. Trotoar di sampingnya lengang. Sejak tadi tetap belum
ada orang yang keluar atau masuk.
Beberapa detik setelah itu, gedung tersebut menghilang di kejauhan. Aku
menjauhi wajahku dan kaca jendela, lalu menyusuri gang untuk mencari tempat
duduk di depan. Aneh, aku berkata dalam hati. Betul-betul aneh.
*** "Dan gedungnya persis sama seperti di buku komikmu?" tanya Wilson. Kami
sedang duduk berseberangan di salah satu meja kantin, dia menatapku dengan
matanya yang biru. Aku mengangguk. "Begitu aku sampai di rumah kemarin sore, buku komik itu
langsung kuperiksa. Gedungnya persis sama."
Wilson mengeluarkan sandwich dan kotak makan siangnya dan mulai membuka plastik
yang membungkusnya, "Kau dibuatkan sandwich apa oleh ibumu?"
tanyanya Aku mengintip ke dalam sandwich- ku "Salad tuna. Kau?"
Giliran dia mem?riksa sandwich- nya "Sama," sahutnya, "Mau tukaran?"
"Kita sama-sama dapat sandwich salad tuna," ujarku "Jadi untuk apa kita
tukaran?" Dia angkat bahu. "Entahlah?"
Kami bertukar sandwich. Salad tuna buatan ibu Wilson ternyata lebih enak
daripada buatan ibuku. Aku mengambil minuman kotak dari tasku. Selain itu
masih ada apel, tapi apelnya kubuang ke tempat sampah. Sudah berkali-kali
kuberitahu, ibuku aku tidak mau dibawakan apel. Dan aku juga sudah bilang
apelnya selalu kubuang ke tempat sampah. Tapi dia tetap nekat..
"Aku saja yang makan pudingmu, ya?" aku bertanya pada Wilson.
"Jangan," sahutnya.
Aku makan pelan-pelan. Pikiranku tertuju pada gedung misterius itu. Setelah
melihat gedung tersebut, aku tidak sanggup menyingkirkannya dari pikiranku.
"Aku tahu jawabannya," ujar Wilson. Dia menggaruk-garuk rambutnya yang
ikal pirang, lalu mengembangkan senyumnya. "Ya! Aku tahu jawaban misteri
itu." "Bagaimana?" tanyaku dengan berapi-api.
"Gampang saja," katanya. "Siapa yang menggambar si Mutan Bertopeng?"
"Yang menggambarnya?" tanyaku. "Jimmy Starenko, siapa lagi" Starenko
pencipta si Mutan Bertopeng dan Kelompok Pembela Kebenaran." Aku sampai terheran
sekali mengetahui Wilson tidak tahu hal itu.
"Nah, kurasa si Starenko ini pernah datang kemari," Wilson melanjutkan sambil
menancapkan sedotan ke minuman kotaknya.
"Starenko" Ke sini" Ke Riverview Falls?" ujarku dengan bingung. Terus-
terang, aku tidak bisa mengikuti jalan pikiran Wilson.
Dia mengangguk. "Coba bayangkan. Starenko ada di sini. Dia lagi naik mobil, dan
tiba-tiba dia lihat gedung yang aneh itu. Dia berhenti. Dia turun dan mobil dan
mengamati gedung itu. Dan dalam hati dia berkata: Wah, gedung ini cocok untuk
markas besar si Mutan Bertopeng."
"Oh, begitu," gumamku. Aku mulai memahami maksud Wilson. "Maksudmu,
dia suka gedung itu dan dia menirunya waktu menggambar gedung markas
besar. Wilson mengangguk. Sepotong seledri tersangkut di sela giginya, "Yeah,
mungkin dia turun dan mobil dan membuat sketsa dari gedung kita. Lalu dia
menyimpan sketsa itu sampai dia memerlukannya."
Masuk akal. Malahan terlalu masuk akal. Aku kecewa sekali. Aku tahu kedengarannya
konyol, tapi sebenamya aku berharap gedung itu memang markas besar rahasia si
Mutan Bertopeng. Wilson telah membuyarkan khayalanku. Kenapa justru sekarang dia punya
pikiran yang masuk akal" "Eh, aku punya stempel baru lho," dia berkata sambil menghabiskan pudingnya.
"Mau lihat" Kalau mau, pulang sekolah nanti kubawa ke rumahmu."
"Tidak usah deh," sahutku. "Itu terlalu seru untukku."
*** Sore itu aku sebenarnya ingin naik bus sekali lagi untuk mendatangi gedung
misterius tersebut. Tapi kami diberi setumpuk PR oleh Ms. Partridge. Karena itu
aku langsung pulang. Esoknya turun salju. Wilson dan aku dan beberapa anak lagi pergi main kereta
luncur di Grover's Hill. Baru seminggu kemudian aku akhirnya sempat mendatangi gedung itu. Kali ini
aku harus masuk, ujarku dalam hati. Pasti ada penerima tamu atau satpam di
dalam. Kutanya dia saja siapa pemilik gedungnya dan siapa saja yang bekerja di
sana. Aku tidak gentar sedikit pun ketika menaiki bus kota seusai sekolah. Gedung itu
cuma gedung kantor biasa. Tak ada yang perlu dirisaukan.
Setelah duduk di bagian depan bis, aku mencaricarl Libby. Bus itu penuh anak
sekolah yang baru pulang. Di belakang ada anak cewek berambut merah yang
sedang berdebat dengan anak cewek lain. Tapi ternyata dia bukan Libby.
Dia tidak kelihatan. Aku memandang ke luar ketika bus melewati toko buku komik. Beberapa blok
kemudian aku melihat tempat praktek dokter gigiku, dan gigiku langsung terasa
ngilu. Cuaca sore itu cukup menyenangkan. Langit tak berawan dan matahari bersinar
dengan cerah, sehingga aku harus melmdungi mata waktu memandang ke luar.
Kali ini aku tidak boleh lengah, sebab aku tidak tahu di halte mana aku harus
turun. Daerah itu sama sekali tak kukenal.
Gang di tengah dipadati anak-anak sekolah, jadi aku tidak bisa memandang
lewat jendela seberang. Moga-moga gedungnya belum kelewatan, aku berkata dalam hati Perutku serasa
kaku. Terus-terang, aku benar-benar takut tersesat.
Ibuku bilang aku pemah hilang di bagian makanan beku di Pic 'n Pay waktu
berumur dua tahun. Dan sepertinya sejak itu aku selalu ngeri kalau sampai
tersasar. Bus menepi di sebuah halte. Aku mengenali taman di seberang jalan. Inilah
halte tempat aku harus turun!
"Permisi!" aku berseru sambil melompat ke gang. Tanpa disengaja ranselku
menabrak anak lain ketika aku menuju ke pintu. "Sori. Permisi! Permisi!"
Aku menerobos kerumunan anak-anak, lalu melompat ke trotoar. Busnya
langsung berangkat lagi. Aku dibanjiri sinar matahari yang terang bendeang.
Aku melangkah ke pojok jalan. Ya Aku turun di halte yang benar. Sekarang
kuingat semuanya. Aku berbalik dan menengadah untuk mengamati gedung aneh itu.
Tapi ternyata di hadapanku hanya ada tanah kosong.
Gedungnya sudah lenyap. 8 "HEI!" aku berseru kaget.
Aku memandang ke seberang jalan sambil melindungi mata dengan sebelah
tangan. Bagaimana mungkin gedung raksasa itu lenyap dalam satu minggu"
Pertanyaan itu tak sempat kupikirkan lebih lanjut. Bus lain menepi di halte
"Skipper! Hei - Skipper!" Libby turun dan bus sambil melambaikan tangan dan
memanggil-manggil namaku.
Sama seperti waktu aku terakhir ketemu dia, Libby mengenakan jins belel dan
sweter bermotif kotak-kotak merah-biru. Rambutnya disisir ke belakang dan
dikuncir. "Hei - kok kau ada di sini?" tanyanya sambil tersenyum ketika menghampiriku.
"Ge-gedung itu!" aku tergagap-gagap, lalu menunjuk tanah kosong di seberang
jalan, "Gedungnya hilang."
Roman muka Libby berubah, "Bilang halo dulu kek," gumamnya sambil
mengerutkan kening. "Halo,"ujarku. "Gedungnya ke mana?"
Dia memandang ke arah yang kutunjuk "Mungkin sudah dibongkar."
"Tapi - tapi -," aku kembali tergagap-gagap.
"Gedungnya jelek sekali," kata Libby "Mungkin ada perintah untuk
membongkar dari pemerintah kota."
"Kau lihat gedungnya dibongkar" aku mendesak "Kau tinggal di sekitar sini, kan"
Kau lihat sendiri bagaimana gedungnya dibongkar?"
Dia mengingat-ingat sejenak. "Ehm. tidak," dia akhirnya mengakui "Aku
beberapa kali lewat sini, tapi -"
"Kau tidak lihat alat-alat berat?" tanyaku dengan bingung, "Barangkali
buldoser" Atau rombongan tukang?"
Libby menggeleng "Tidak. Sebenarnya aku tidak lihat gedung itu dibongkar.
Tapi aku memang tidak memperhatikannya."
Dia menurunkan ranselnya yang merah dari pundak dan menggenggam talinya
dengan kedua tangan, "Kenapa sih kau begitu sewot tentang gedung itu,
Skipper" Aku justru bersyukur gedungnya sudah hilang."
"Tapi gedungnya ada di dalam buku komik." seruku.
"Hah?" Dia menatapku sambil mengerutkan kening, "Apa maksudmu?"
Dari pertama aku sudah tahu dia tak bakal mengerti, "Tidak apa-apa,"
gumamku. "Skipper, kau jauh-jauh datang kemari cuma untuk melihat gedung jangkung
itu?" tanya Libby. "Tentu saja tidak," aku berbohong "Yang benar saja."
"Mau ikut ke rumahku" Kau kan belum lihat koleksi komikku."
Aku begitu bingung, sehingga ajakan itu kuterima saja.
*** Kurang dari satu jam kemudian aku sudah kabur dari rumah Libby. Di seluruh
dunia tidak ada komik yang lebih membosankan daripada komik High School Harry &
Beanhead! Dan gambar-gambarnya juga minta ampun. Masa tidak ada yang sadar bahwa
tampang kedua cewek yang jadi tokoh utama persis sama,
hanya saja yang satu berambut pirang dan yang satu berambut hitam"
Idih! Libby memaksaku melihat semua edisi High School Harry & Bean head yang
dimilikinya. Dan asal tahu saja, koleksinya mengisi beberapa rak!
Tapi tentu saja aku tidak bisa memusatkan pikiran pada komik-komik konyol
itu. Aku terus teringat gedung aneh di pojok jalan. Mana mungkin gedung
pencakar langit lenyap begitu saja, tanpa meninggalkan bekas"
Aku berlari kecil sampai ke halte bus di Main Street. Matahari sudah condong ke
barat dan mulai menghilang di balik bangunan-bangunan.
Bayangan-bayangan panjang berwarna kebiruan tampak melintang di trotoar.
Kalau aku sampai ke pojok jalan, gedung itu pasti ada lagi! aku berkata dalam
hati. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Ya, aku tahu, aku tahu. Jalan pikiranku memang agak aneh. Mungkin aku
memang terlalu banyak membaca komik.
Hampir setengah jam aku menunggu bus. Dan selama itu aku memandang tanah
kosong di seberang jalan sambil memikirkan gedung yang hilang.
Ketika akhirnya sampai di rumah, aku menemukan amplop cokelat di meja kecil di
ruang depan, tempat ibuku selalu meletakkan surat-surat. Amplop itu
ditujukan padaku. "Yeah!" aku berseru dengan riang. Edisi khusus si Mutan Bertopeng! Bulan ini
perusahaan komik tersebut menerbitkan dua edisi khusus, dan ini yang pertama.
Aku menyapa, "Hai." kepada ibuku, menjatuhkan jaket dan ranselku ke lantai, lalu
berlari menaiki tangga ke kamarku, sambil tetap menggenggam komik itu.
Aku sudah tak sabar melihat apa yang terjadi setelah si Rusa Melesat berhasil
menyusup ke markas besar si Mutan Bertopeng. Dengan hati-hati kukeluarkan
buku komik itu dari amplop, lalu kuamati sampulnya dengan seksama.
Itu dia. Gedung markas besar berwarna merah jambu dan hijau. Langsung pada
gambar sampul. Tanganku gemetaran ketika membuka halaman pertama. Judul Pagi Hari si
Mutan terpampang dengan huruf-huruf berwarna merah. Si Mutan Bertopeng berdiri
di depan konsol komunikasi yang besar.
Dia sedang memperhatikan sekitar dua puluh monitor TV. Masing-masing
monitor memperlihatkan satu anggota Kelompok Pembela Kebenaran.
"Semuanya dipantau," adalah ucapan pertama yang keluar dari mulut si Mutan
Bertopeng "Dan mereka takkan bisa menemukanku. Seluruh markas besar telah
ditutup Selubung Ajaib, sehingga tidak kelihatan!"
Aku langsung melongo waktu membaca kata-kata itu. Tiga kali aku membaca
kalimat yang terakhir, sebelum akhirnya membiarkan buku komik itu jatuh ke
tempat tidur. Selubung Ajaib. Markas besar si Mutan Bertopeng tidak kelihatan karena dia telah menutupnya
dengan Selubung Ajaib. Aku mengayunkan kaki ke samping dan duduk tegak di tepi tempat tidur.
Napasku terengah-engah dan jantungku berdegup kencang.
Itukah yang terjadi"
Itukah sebabnya aku tidak bisa melihat gedung berwarna merah jambu dan hijau
tadi sore" Mungkinkah buku komik itu telah menjawab teka-teki pencakar langit yang
hilang" Kedengarannya tidak masuk akal. Sangat tidak masuk akal.
Tapi mungkinkah memang itu yang terjadi" Mungkinkah memang ada
Selubung Ajaib yang menyembunyikan gedung tersebut"
Kepalaku serasa berputar-putar lebih kencang daripada Si Manusia Tornado!
Hanya ada satu hal yang sudah jelas. Aku harus kembali ke sana untuk
memperoleh kepastian. 9 SEUSAI sekolah keesokan sore, aku harus ikut ibuku ke mal untuk membeli
sepatu kets baru. Biasanya aku mencoba sepuluh sampai dua belas pasang
sepatu sebelum akhirnya memilih yang paling mahal. Yang itu lho yang pakai
lampu yang akan menyala saat kita berjalan.
Tapi kali ini aku memilih sepatu pertama yang kulihat, sepasang Reebok polos
berwarna putih-hitam. Habis, siapa yang peduli soal sepatu kets kalau ada
misteri gedung hilang yang perlu diselidiki.
Dalam perjalanan pulang dari mal, aku bercerita tentang gedung itu. Tapi
setelah beberapa kalimat saja, ibuku langsung memotong, "Soal komik kau
selalu bersemangat, tapi untuk mengerjakan PR, kau selalu harus disuruh," dia
mengeluh. Itulah yang selalu dikatakannya.
"Kapan terakhir kali kau membaca buku yang bermutu?" lanjutnya.


Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu hal berikut yang selalu diungkit-ungkitnya.
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, "Aku membedah cacing waktu
pelajaran biologi di sekolah tadi," ujarku.
Ibuku malah meringis. "Apakah gurumu tidak punya ide yang lebih berguna
daripada menyuruh kalian memotong-motong cacing malang yang tak
berdosa?" Oh, serba salah deh. *** Esoknya aku memakai sepatu kets yang baru ke sekolah. Dan seusai jam
pelajaran, aku cepat-cepat berlari ke halte dan naik bus kota. Setelah
memasukkan ongkos ke kotak uang, aku melihat Libby duduk di belakang. Dan
ketika bus berangkat lagi, aku menyusuri gang dan duduk di sebelahnya.
Ranselku kuletakkan di lantai.
"Aku mau ke gedung itu lagi," aku bercerita penuh semangat . "Sepertinya gedung
itu tersembunyi di balik Selubung Ajaib."
"Kau tidak pernah bilang halo dulu, ya?" dia menggerutu sambil geleng-geleng.
Aku bilang, 'Halo'. Kemudian kembali bercerita mengenai Selubung Ajaib.
Libby kuberitahu bahwa selubung itu disinggung dalam edisi terbaru si Mu- tan
Bertopeng, dan bahwa komik tersebut mungkin merupakan petunjuk untuk kejadian di
dunia nyata. Libby mendengarkan dengan serius, tanpa berkedip, tanpa bergerak. Rupanya
akhirnya dia mulai mengerti kenapa aku begitu sewot mengenai gedung itu.
Setelah kujelaskan semuanya, dia menempelkan sebelah tangan ke keningku.
"Hmm, kau tidak demam," katanya. "Sudah pernah konsultasi dengan ahli
jiwa?" "Hah?" Tangannya segera kusingkirkan.
"Sudah pernah konsultasi dengan ahli jiwa" Kau benar-benar tidak waras."
"Hei, aku tidak gila!" seruku. "Dan aku bisa membuktikannya. Ayo, ikut aku
nanti" Dia bergeser ke jendela, seakan-akan ngeri berdekatan denganku.
"Tidak,' jawabnya dengan tegas. "Aku tidak mau ikut orang yang tidak bisa
membedakan mana yang khayalan dan mana yang nyata."
Dia menunjuk ke luar jendela. "Hei, lihat tuh, Skipper - ada Kelinci Paskah! Dia
sedang memberi telur paskah kepada Peri Gigi!" Libby tertawa, tertawa
mengejek. "Ha-ha," aku bergumam sambil mendongkol. Sebenarnya aku suka bercanda,
tapi aku tidak suka ditertawakan oleh anak cewek yang mengumpulkan komik
High School Harry & Beanhead.
Kami sampai di halte tempat kami harus turun. Aku meraih ransel dan turun
lewat pintu belakang. Libby segera menyusulku.
Bus berangkat lagi sambil meninggalkan kepulan asap hitam, dan aku
memandang ke seberang jalan.
Tak ada bangunan. Hanya tanah kosong.
"Bagaimana?" Aku berpaling kepada Libby "Jadi ikut?"
Dia mengerutkan kening seakan-akan berpikir keras. "Ke tanah kosong itu"
Aduh, Skipper, apa kau tidak malu kalau ternyata tidak ada apa-apa di sana?"
"Ya sudah, kau pulang saja deh," kataku ketus.
"Oke. Aku ikut," sahutnya sambil nyengir.
Kami menyeberang, dan nyaris ditabrak dua anak muda yang ngebut naik
sepeda. "Wah, tidak kena!" salah satu dari mereka berseru. Temannya ketawa.
"Bagaimana caranya menerobos Selubung Ajaib itu?" tanya Libby. Nada
suaranya serius, tapi sorot matanya menunjukkan dia cuma berolok-olok.
"Kalau dalam buku komik, sih, orang bisa lewat begitu saja," ujarku. "Mereka
tidak merasakan apa-apa Selubung itu seperti tirai asap. Tapi kalau sudah
diterobos, gedungnya bakal kelihatan."
"Oke kita coba saja," kata Libby. Dia menepis kucirnya ke belakang. "Biar
urusan ini cepat selesai."
Kami berjalan berdampingan, dan selangkah demi selangkah kami mendekati
tanah kosong itu. "Ya ampun, kenapa aku jadi ikut-ikutan begini?" Libby menggerutu. Kami
maju selangkah lagi. "Kenapa aku -"
Sekonyong-konyong dia terdiam karena gedung aneh itu muncul di hadapan
kami. "Ohhh!" kami berseru serempak. Libby meraih pergelangan tanganku,
meremasnya keras-keras. Tangannya dingin bagaikan es.
Kami berdiri di depan pintu kaca. Di atas kami, dinding gedung yang berwarna
merah jambu dan hijau menjulang sampai ke langit.
"Ka-kau benar!" Libby tergagap-gagap. Tanganku masih diremasnya.
Aku menelan ludah. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutku mendadak
kering-kerontang. Aku cuma bisa terbatuk-batuk.
"Sekarang bagaimana?" tanya Libby sambil memandang dindmg-dinding yang
berkilauan. Aku tetap tidak sanggup bicara.
Cerita di buku ternyata benar! ujarku dalam hati. Ceritanya benar.
Apakah ini berarti gedung tersebut memang markas rahasia si Mutan
Bertopeng" Hei! kutegur diriku sendiri. Jantungku berdegup lebih kencang daripada
Speedboy. "Sekarang bagaimana?"Libby mendesak. "Ayo, kita pergi saja, oke?"
Sepertinya dia ketakutan.
"Nanti dulu!"aku mencegahnya. "Kita harus masuk. Ayo,sudah tanggung nih."
Dia menarik lenganku. "Masuk ke situ" Yang benar saja! Kau sudah gila?"
"Kita harus masuk," aku menegaskan. "Sudahlah, jangan dipikir panjang-lebar.
Ayo!" Aku menarik napas panjang. Kemudian kutarik pintu kaca yang berat, dan kami
menyelinap ke dalam. 10 Kami masuk ke lobi yang terang benderang. Jantungku berdegup begitu
kencang sehingga dadaku terasa nyeri. Kedua lututku gemetaran Seumur hidup
aku belum pemah setakut sekarang!
Kuberanikan diri memandang berkeliling. Lobinya besar sekali, seakan-akan tak
ada batasnya. Dinding-dinding yang berwarna merah jambu dan kuning seolah-olah
berpendar. Dan langit-langit yang putih menyilaukan seakan-akan berada satu mil
di atas kami. Tak ada meja resepsionis. Tak ada kursi maupun meja tamu. Tak ada perabot
apa pun. "Kok sepi sekali?" bisik Libby. Dari tampangnya langsung ketahuan bahwa dia juga
ngeri. Dia terus berpegangan pada lenganku.
Ruangan besar itu lengang. Tak satu orang pun kelihatan.
Aku maju selangkah lagi. Tiba-tiba terdengar suara bip pelan.
Seberkas sinar kuning keluar dari dinding dan menyelubungi tubuhku.
Aku merasa seperti ditusuk ribuan jarum mungil. Rasanya persis seperti kalau
tangan kita kesemutan. Sinar itu menyapu tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Satu atau dua
detik kemudian, sinar tersebut menghilang dan aku merasa biasa lagi.
"Apa itu?" bisikku kepada Libby.
"Memangnya ada apa?" sahutnya.
"Kau tidak merasakannya?"
Dia menggelengkan kepala. "Aku tidak merasakan apa-apa. Kau mau menakut-
nakuti aku, ya, Skipper?"
"Seperti ada sinar listrik," kuberitahu dia, "Sinar itu menyorotku waktu aku
maju." "Sudah deh, kita keluar saja dari sini," dia mendesak. "Tempat ini begitu sunyi
sampai aku jadi ngeri."
Kualihkan pandangan ke deretan lift di dinding kuning. Beranikah aku naik lift
itu" Beranikah aku mengadakan penyelidikan"
"I-ini cuma gedung kantor biasa," aku berkata kepada Libby sambil berusaha
membangkitkan keberanianku.
"Hmm, kalau ini gedung kantor, mana orang-orang yang bekerja di sini?"
tanyanya. "Barangkali kantornya lagi tutup," aku menduga-duga.
"Tutup" Sekarang kan hari Kamis!" balas Libby. "Ini bukan hari libur.
Sepertinya gedung ini memang kosong, Skipper. Kelihatannya tidak ada yang
bekerja di sini." Aku maju beberapa langkah ke arah lift. Sepatu ketsku berdecit-decit di lantai
marmer yang licin. "Tapi semua lampunya menyala, Libby," ujarku "Dan pintunya juga tidak
terkunci." Dia bergegas mengejarku. Dengan gugup dia memandang ke kiri dan kanan.
Sepertinya dia benar-benar ketakutan.
"Aku tahu yang kaupikirkan," katanya "Menurutmu ini bukan gedung kantor
biasa. Kaukira ini markas rahasia tokoh komik itu - ya, kan, Skipper"!"
Sekali lagi aku menelan ludah. Kedua lututku masih gemetaran. Aku sudah
berusaha memaksa lututku diam, tapi tidak berhasil.
"Hmm, mungkin saja, kan?" sahutku sambil mengamati deretan lift di depan
kami, "Rasanya tidak ada penjelasan untuk Selubung Ajaib itu. Selubungnya
ada di dalam buku komik - dan juga di sekeliling gedung ini."
"I-itu memang aneh," Libby tergagap-gagap. "Terlalu aneh, malahan. Tempat ini
membuatku merinding, Skipper. Kukira lebih baik kalau kita -"
"Hanya ada satu cara untuk mendapat kepastian," kataku. Aku mencoba
menggalang keberanian, tapi suaraku gemetaran seperti lututku!
Libby ikut menoleh ke arah lift. Dia langsung bisa menebak apa yang
kupikirkan. "Hei - nanti dulu" serunya sambil mundur ke arah pintu kaca.
"Cuma naik-turun satu kali saja," aku berusaha membujuknya."Sekalian kita
berhenti di beberapa lantai untuk mengintip ke luar."
"Aku tidak mau ikut," Libby menandaskan. Mukanya mendadak pucat-pasi.
Matanya yang hijau terbelalak lebar karena ngeri.
"Ayo dong, Libby. Sebentar saja," aku berkeras. "Sudah tanggung nih. Tempat ini
harus kita selidiki . Aku tidak mau pulang sebelum tahu gedung
apa ini." "Kau saja yang naik," sahutnya. "Aku mau pulang." Dia menuju ke pintu kaca.
Aku melihat bus berwarna biru-putih berhenti di luar. Seorang wanita turun.
Dengan sebelah tangan dia menggendong bayi, sementara tangannya yang satu
lagi menarik keretanya. Aku bisa saja berlari ke luar dan naik bus itu, pikirku. Aku bisa saja keluar
dan sini dan langsung pulang.
Tapi apa yang bakal terjadi kalau aku sudah sampai di rumah"
Aku bakal merasa seperti pengecut. Dan setiap hari aku akan penasaran pada
gedung ini. Setiap hari pikiranku bakal diusik oleh pertanyaan apakah aku
berhasil menemukan markas rahasia penjahat ulung sungguhan atau tidak.
Kalau aku naik bus dan pulang ke rumah, maka misteri gedung ini tetap tak
terpecahkan. Dan misteri itu bakal terus menghantuiku.
"Oke, Libby, kau pulang saja deh kalau memang tidak berani ikut,' aku berkata
padanya. "Biar aku saja yang naik ke puncak gedung terus turun lagi."
Dia menatapku sambil mengerutkan kening. Kemudian dia memutar bola mata.
"Oke. Oke. Aku ikut deh," gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Dalam hati aku bersyukur. Sebenarnya aku juga tidak berani naik lift seorang
diri. "Aku ikut karena aku kasihan padamu," ujar Libby ketika mengikutiku ke
deretan lift. "Hah" Kenapa kau harus merasa kasihan padaku" " tanyaku sengit.
"Karena pikiranmu kacau-balau," sahutnya. "Kau percaya cerita komik bisa terjadi
di dunia nyata. Bagaimana aku tidak kasihan."
"Untung saja High School Harry dan Beanhead tidak mungkin terjadi di dunia
nyata!" aku mengejeknya. Lalu kutambahkan, "Bagaimana dengan Selubung
Ajaib di luar" Itu nyata - bukan?"
Libby tidak menjawab. Dia malah ketawa. "Kau memang serius, ya?" katanya.
Tawanya terdengar menggema di lobi yang besar dan kosong.
Tawanya membuatku lebih tenang, dan aku ikut ketawa.
Apa sih yang harus ditakuti" aku bertanya dalam hati. Kita cuma mau naik lift
kok. Kenapa mesti takut"
Si Mutan Bertopeng tidak akan ikut naik lift bersama kita, aku berusaha
meyakinkan diriku. Paling-paling kita akan melihat ruang-ruang kantor yang
sepi. Itu saja. Kutekan tombol berlampu di samping pmtu lift. Seketika pintu berwarna
keperakan di hadapan kami membuka.
Aku mengintip ke dalam. Dinding-dinding lift terbuat dari kayu berwarna
cokelat tua, dan kira-kira setinggi dada ada pegangan tangan yang mengelilingi
tiga sisi. Tak ada petunjuk apa pun di dinding. Tak ada daftar nama kantor. Tak ada apa-apa
Dan tiba-tiba aku sadar di lobi juga tidak ada tanda petunjuk sama sekali. Papan
nama gedung itu pun tak ada.
Aneh. "Ayo," kataku. Libby tampak ragu-ragu. Aku terpaksa menyeretnya.
Begitu kami masuk, pintu lift langsung menutup tanpa bersuara. Aku berpaling
pada panil kontrol di sebelah kin pintu. Panil itu berbentuk persegi panjang
berwarna keperakan yang penuh tombol.
Aku menekan tombol lantai paling atas.
Seketika lift-nya berdengung, lalu tersentak sedikit ketika kami mulai bergerak.
Aku menoleh ke arah Libby. Dia berdiri sambil merapatkan punggung ke
dinding belakang, kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana jins.
"Lift-nya sudah jalan," aku bergumam.
Lift itu menambah kecepatan.
"Hei!" Libby dan aku berseru berbarengan. "Ki-kita turun!" aku memekik.
Aku telah menekan tombol lantai paling atas. Tapi ternyata kami bergerak ke
bawah. Kencang sekali. Semakin kencang. Pegangan tangan di dinding kugenggam erat-erat.
Mau dibawa ke mana kami"
Di mana lift-nya akan berhenti"
11 LIFT-NYA berhenti begitu mendadak sehingga lututku ikut menekuk seruku.
Kulepaskan pegangan dan menoleh ke arah Libby di sampingku. "Kau baik-
baik saja?" Dia mengangguk. Pandangannya seakan-akan melekat pada pintu lift.
"Seharusnya kita ke atas," gumamku dengan nada tegang "Aku menekan tombol naik"
"Kenapa pintunya tidak membuka" Libby bertanya dengan suara bergetar.
Kami sama-sama menatap pintu di hadapan kami. Aku maju ke tengah-tengah
lift. "Buka!" kuperintahkan.
Pintunya tidak bergerak. "Kita terperangkap di sini," ujar Libby. Suaranya semakin kecil dan
melengking. "Tenang saja," aku menyahut dengan sikap yang diberani-beranikan. "Pintunya
pasti membuka. Lihat saja. Pintunya agak lamban."
Tapi pintu itu tetap tidak bergerak.
"Lift-nya rusak," Libby meratap. "Kita terperangkap di sini untuk selama-
lamanya. Kita bakal kehabisan udara dan oh, aku tidak bisa napas!"
"Jangan panik," aku mewanti-wanti sementara aku sendiri semakin sukar
mengendalikan suaraku "Tarik napas dalam-dalam, Libby. Udara di sini lebih
dari cukup." Dengan patuh dia menarik napas dalam-dalam. Kemudian dia
mengembuskannya dengan suara hshhh. "Tapi kenapa pintunya tidak mau membuka" Aku
kan sudah bilang kita jangan nekat naik lift!"
Aku berpaling ke panil kontrol. Tombol paling bawah bertulisan BUKA.
Langsung saja kutekan. Seketika pintu lift membuka.
Aku menoleh ke arah Libby "Nah" Tidak ada apa-apa, kan?"
"Tapi di mana kita?" serunya.
Aku bergeser selangkah dan menyembulkan kepala. Keadaan di luar gelap
gulita. Samar-samar kulihat berbagat peralatan dan mesin-mesin berat.
"Kelihatannya kita ada di basement," ujarku kepada Libby "Di luar ada segala
macam pipa dan tungku besar dan benda-benda lain."
"Kita naik lagi deh," Libby mendesak. Dia masih berdiri merapat ke dinding
belakang. Aku melangkah ke luar dan melirik ke kiri dan ke kanan. Tidak banyak yang
bisa kulihat. Berbagai mesin lain. Sederetan tong sampah. Setumpuk kotak
logam berbentuk memanjang.
"Ayo dong, Skipper!" Libby berkata dengan nada memaksa "Kita naik lagi.
Sekarang!"

Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku kembali ke dalam lift, lalu menekan tombol bertuhsan LOBI.
Pintunya tidak menutup. Lift-nya juga diam saja, berdengung pun tidak.
Sekali lagi kutekan tombol LOBI.
Kutekan sampai lima atau enam kali.
Tak terjadi apa-apa. Tiba-tiba saja tenggorokanku seperti tersekat. Rasanya seperti ada semangka utuh
di dalamnya. Terus-terang, aku sendiri ngeri membayangkan bahwa kami
terperangkap di basement yang gelap gulita ini.
Dengan kalang-kabut aku mulai menekan-nekan tombol-tombol yang ada.
Semuanya. Lima atau enam kali kutekan tombol merah bertulisan DARURAT.
Sia-sia. "Oh, kok. jadi begini?" aku berkata seolah-olah tercekik.
"Bagaimana kalau kita coba lift yang lain saja?" Libby mengusulkan.
Ide bagus, pikirku. Di lobi tadi ada sederetan lift. Kami tinggal keluar dari
lift ini, lalu menekan tombol untuk memanggil lift lain.
Aku yang lebih dulu melangkah ke basement yang gelap. Libby berada tepat di
belakangku. "Oh!" Kami sama-sama memekik tertahan ketika pintu lift menutup di belakang
kami. "Ada apa ini?" tanyaku "Kenapa pintunya tiba-tiba bisa menutup sekarang?"
Libby diam saja. Aku menunggu sampai mataku terbiasa dengan kegelapan yang menyelubungi
kami. Kemudian aku melihat apa yang sedang diperhatikan Libby.
"Mana lift-lift yang lainnya" dia berseru.
Kami berhadapan dengan dinding yang licin. Lift yang membawa kami ke sini
ternyata satu-satunya lift di dinding itu.
Aku membalik untuk memeriksa dinding-dinding yang lain. Tapi keadaannya
terlalu gelap untuk dapat melihat dengan jelas:
"Sepertinya lift-lift yang lain tidak turun sampai ke sini," aku mendengar Libby
bergumam dengan suara gemetar.
Tanganku meraba-raba dinding untuk mencari tombol lift kami. Tapi tak ada
tombol sama sekali. "Tidak ada jalan keluar!" Libby berseru dengan suara melengking. "Kita tidak
bisa keluar dan sini!"
12 "BARANGKALI ada lift lagi di tempat lain," ujarku sambil menunjuk ke
seberang ruangan yang besar dan gelap itu.
"Barangkali," Libby berkata dengan ragu.
"Barangkali ada tangga, atau jalan keluar lainnya," kutambahkan.
"Ya , barangkali," sahutnya.
Tiba-tiba aku tersentak karena bunyi gemuruh yang diikuti suara berdengung
kasar. "Itu suara tungku," aku memberitahu Libby.
"Kita harus cari jalan keluar," dia mendesak "Pokoknya, seumur hidup aku tak
bakal mau naik lift lagi!"
Aku merasakan tangannya menggamit pundakku ketika kami mulai mencari
jalan dalam kegelapan. Tungku besar berwarna kelabu itu terbatuk-batuk. Mesin
besar lainnya terdengar berdentang pelan ketika kami melewatinya.
"Halo?" aku berseru. Suaraku memantul pada pipa-pipa panjang dan penuh
debu yang terpasang di langit-langit yang rendah. Dengan kedua tangan
kubentuk corong di depan mulut, lalu kembali memanggil, "Halo" Ada siapa di
sini?" Hening. Yang terdengar hanya gemuruh tungku dan suara langkah Libby dan aku.
Ketika mendekati dinding seberang, kami menyadari di sana pun tidak ada lift.
Lapisan plesteran pada dinding tampak mulus, dan hanya di dekat langit-langit
ada sarang labah-labah yang tumpang tindih.
"Seharusnya ada tangga untuk naik dan sini," Libby berbisik ke telingaku.
Cahaya redup tampak di pintu di depan kami. "Kita ke sana saja," ujarku,
sambil membersihkan sarang labah-labah yang menempel di muka.
Kami melewati pintu itu dan masuk ke lorong panjang. Lampu-lampu berdebu
di langit-langit memancarkan cahaya redup kelantai beton.
"Halo" Ada siapa di sini?" aku memanggil sekali lagi. Suaraku terdengar
menyeramkan di lorong itu. Tak ada jawaban. Pintu keluar-masuk yang gelap berderet di kedua sisi, dan aku mengintip setiap
kali kami melewati salah satu. Aku melihat tumpukan kardus, lemari-lemari
arsip yang tinggi, mesin-mesin ganjil yang tidak kukenali. Satu ruangan berisi
gulungan-gulungan kabel yang besar sekali. Ruangan lain dipenuhi lempengan-
lempengan logam yang menumpuk hampir sampai ke langit-langit.
"Halooo!" seruku. "Halooo!"
Tetap tak ada jawaban. Perhatianku beraith kepada cahaya merah berkedap-kedip di dalam suatu
ruangan besar. Aku berhenti di ambang pintu dan menatap semacam panil
kontrol. Satu dinding dipenuhi lampu-lampu berwarna merah dan hijau yang berkedap-
kedip. Di depan lampu-lampu itu ada meja panjang dengan aneka macam
tombol, kenop, dan tuas. Tiga kursi tinggi tampak di muka meja tersebut. Tapi
tak ada yang menduduki kursi-kursi itu.
Tak ada yang menjaga panil kontrol. Ruangannya kosong. Sama kosongnya
seperti basement yang aneh dan mengerikan ini.
"Aneh, ya?" aku berbisik kepada Libby.
Karena Libby tidak menyahut, aku menoleh untuk memastikan dia tidak apa-
apa. "Libby?" Cewek itu lenyap. 13 AKU langsung membalikkan badan. "Libby?"
Seluruh tubuhku gemetar. "Di mana kau?" Sambil memicingkan mata, aku memandang ke lorong yang panjang dan gelap
di belakangku, tapi libby tetap tidak kelihatan.
"Libby" Jangan bercanda dong. Kita.."aku mulai berkata. Tapi sisa ucapanku
tersangkut di tenggorokan.
Dengan jantung berdebar-debar aku memaksakan diri untuk kembali ke arah
ruang tungku. "Libby?" Aku berhenti di setiap pintu keluar-masuk dan
memanggil namanya. "Libby?"
Lorong itu membelok dan aku terus menelusurinya. Aku mulai berlari kecil
dengan kedua tangan kaku di samping tubuh. Aku memanggilnya berulang-
ulang. Aku berhenti di setiap pintu yang terbuka, dan mengintip ke ruangan-
ruangan yang gelap gulita.
Bagaimana mungkin dia sampai tersesat" aku bertanya dalam hati. Aku mulai
dicekam panik, sehingga nyaris tak bisa bemapas. Dia kan persis di belakangku
tadi. Aku membelok sekali lagi, dan memasuki lorong yang belum kujelajahi
"Libby?" Lorong sempit itu menuju ke ruangan besar yang terang-benderang. Aku sampai
harus memejamkan mata sejenak supaya tidak silau.
Ketika mataku kubuka lagi, aku berhadapan dengan sebuah mesin raksasa.
Sejumlah lampu sorot di langit-langit yang tinggi membanjiri dengan cahaya.
Panjang mesin itu kira-kira satu blok. Di satu sisinya ada panil kontrol besar,
yang penuh kenop dan tombol dan lampu penunjuk. Satu bagian berbentuk
pipih memanjang, seperti ban berjalan, dan menuju ke beberapa rol. Dan di
ujung mesin tersebut ada roda besar berwarna putih. Bukan - sebuah tabung.
Bukan - gulungan kertas putih.
Oh, mesin cetak! aku menyadari.
Perlahan-lahan aku memasuki ruangan itu, menyelinap di antara tumpukan
kertas dan kardus-kardus. Lantainya penuh kertas, kertas berlepotan tinta,
kertas diremas, dlipat, dirobek.
Dengan sempoyongan aku mendekati mesin cetak tersebut, dan kakiku
terbenam sampai ke lutut dalam lautan kertas itu.
"Libby" Kau di sini" Libby?"
Hening. Ruangan ini juga kosong, sama dengan ruangan-ruangan lainnya.
Lembaran-lembaran kertas di lantai bergemerisik ketika kuinjak. Aku
mengelilingi meja panjang di bagian belakang ruangan, menemukan kursi
berwarna merah, dan langsung mendudukinya.
Kakiku kuayun-ayunkan untuk melepaskan lembaran-lembaran kertas yang
menempel. Kemudian aku memandang berkeliling. Seratus pertanyaan
sekaligus melintas dalam benakku.
Di mana Libby" Bagaimana mungkin dia menghilang seperti itu"
Mungkinkah dia di belakangku" Barangkali dia akan menyusulku ke ruangan
besar ini" Tapi kenapa tempat ini begitu sepi" Kenapa tidak ada orang sama sekali"
Inikah tempat buku-buku komik dicetak" Mungkinkah aku berada di basement
Collectable Comics, perusahaan yang menerbitkan si Mutan Bertopeng"
Begitu banyak pertanyaan, dan tak satu pun yang sanggup kujawab.
Kepalaku serasa mau pecah. Sekali lagi aku memandang berkeliling.
Pandanganku menyapu mesin cetak raksasa itu, mencari-cari Libby.
Di mana dia" Di mana"
Aku kembali. berpaling ke meja dan membelalakkan mata dengan ngeri.
Hampir saja aku terjatuh dan kursi. Wajah yang menatapku adalah wajah si
Mutan Bertopeng. 14 AKU berhadapan dengan gambar si Mutan Bertopeng yang tergeletak di meja.
Serta-merta kuraih gambar besar berwarna itu, dan kuamati dengan saksama.
Gambar itu dibuat dengan tinta berwarna pada kertas poster tebal. Jubah si
Mutan Bertopeng tampak melambai di belakangnya. Sepasang matanya seakan-
akan menatapku dari balik topeng. Aku merinding. Sorot matanya begitu tajam dan
jahat. Tintanya masih mengilap, seolah-olah belum kering. Aku menggosokkan
jempol ke tepi jubah. Ternyata tintanya tidak menempel di jempolku.
Bisa jadi Starenko sendiri yang membuat gambar ini, ujarku dalam hati sambil
mengamatinya. Ketika mengalihkan pandangan ke seberang meja, aku melihat tumpukan kertas
pada lemari rendah yang membentang di sepanjang dinding belakang. Langsung
saja aku turun dan kursi dan mulai memeriksa kertas-kertas itu.
Rahasia Hiolo Kumala 16 Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis Naga Dari Selatan 18
^