Guru Monster 1
Goosebumps - Guru Monster Bagian 1
PROLOG KAUPIKIR kau sudah aman di tempat tidur.
Di luar jendela kamarmu, angin mendesing, menggetarkan kaca
jendela. Kau mendengar lolongan nyaring binatang dan suara cabang
pohon mengetuk-ngetuk tembok rumah.
Kau tidak peduli. Tempat tidurmu hangat dan empuk. Kautarik
selimutmu lebih tinggi dan kaubenamkan kepalamu di bantal.
Desing angin dan lolongan binatang itu terdengar jauh di luar.
Kau aman di sini, hangat dan nyaman.
Kau tidak melihat sulur-sulur hijau ramping yang menjulur naik
dari bawah tempat tidurmu. Mereka merayap ke atas, basah berkilat,
terus dan terus naik, seperti tanaman rambat.
Matamu terpejam dan bibirmu tersenyum.
Kau sedang memikirkan hal lucu yang kauucapkan pada
orangtuamu hingga mereka terpingkal-pingkal.
Kau tidak melihat sulur-sulur panjang itu melilitmu,
menggulungmu di dalam selimut, seperti ular-ular yang gemuk.
Kau tidak mendengar geraman makhluk di kolong tempat
tidurmu. Kaukira itu suara angin di luar. Kau tidak mendengar bahwa
geraman makhluk itu semakin keras sementara ia makin erat
melilitkan sulur-sulurnya yang panjang di tubuhmu.
Selimutmu begitu tebal, sampai-sampai kau tidak merasakan
belitan sulur-sulur itu... dan akhirnya sudah terlambat.
Sekarang kau tak bisa bergerak.
Makhluk itu menggeram dan menjepitmu. Lengan-lengannya
yang hijau panjang membelitmu lebih erat... lebih erat.
Kau serasa tenggelam, terus tenggelam ke dalam kegelapan
pekat. Kau membuka mulut untuk menjerit, tapi tak ada suara yang
keluar. Sulur-sulur hijau dan basah itu menjepitmu lebih erat. Di bawah
tempat tidur, makhluk itu menggeram dan terbatuk-batuk.
Kau megap-megap mencari napas. Akhirnya kau menjerit. Kau
membuka mulut, lalu menjerit dan terus menjerit.
Ketika berumur tiga dan empat tahun, aku sering mengalami
mimpi buruk seperti itu. Hampir setiap malam Mom dan Dad lari
masuk ke kamarku, menyalakan lampu, lalu duduk di tempat tidurku
sambil memegangi tanganku dan mengatakan bahwa semua itu hanya
mimpi. "Monster itu tidak ada, Paul."
Begitulah selalu kata mereka.
Waktu masih kecil, aku percaya pada monster. Anak empat
tahun masih harus belajar banyak. Mereka tidak tahu mana kenyataan
mana khayalan. Aku sering ketakutan. Aku percaya pada eksistensi hantu,
monster, dan makhluk-makhluk aneh lainnya.
Anak sebelah rumah mengatakan di bawah garasiku ada mumi,
dan aku percaya. Aku tidak pernah ke garasi sesudah gelap.
Aku tidak mau berenang di danau kalau kami pergi berlibur.
Mom dan Dad tak pernah bisa membujukku. Kubayangkan di dasar
danau itu ada makhluk-makhluk gelap dan lengket, menunggu dengan
cakar, taring, dan sengat mereka.
Oke, oke, kalian boleh bilang aku pengecut. Aku penakut.
Kuakui, memang begitulah aku. Mungkin itu sebabnya aku jadi
senang melucu. Aku melucu agar bisa mengatasi rasa takutku.
Dan cara itu memang ampuh.
Aku belajar membedakan mana yang nyata dan mana yang
tidak. Aku belajar menyadari kalau anak rumah sebelah sedang
menggodaku. Sekarang umurku dua belas tahun dan aku tidak pernah
bermimpi buruk lagi. Aku tak perlu lagi melongok kolong ranjang
sebelum tidur. Desau angin tidak lagi kukira hantu, dan aku berani
pergi ke garasi siang atau malam.
Besok aku akan masuk ke sekolah baru. Untuk pertama kalinya
aku masuk sekolah asrama.
Aku tenang-tenang saja. Memang, tegang juga sih. Tapi aku
tidak takut. Aku tahu kebanyakan manusia itu normal dan baik, ke mana
pun kita pergi. Dunia ini normal dan biasa-biasa saja.
Tidak ada yang namanya monster.
Monster hanya untuk menakut-nakuti anak tiga tahun.
Iya kan" Iya kan" 1 "ITU bukan salahku."
"Jangan membuat alasan lagi, Paul," Mom memperingatkan.
"Tapi itu bukan salahku. Itu salah Harold."
Mom dan Dad saling pandang, lalu menggeleng-geleng dengan
kesal. Oke. Mungkin memang aku yang salah.
Akulah yang membawa Harold, si kakaktua, ke sekolah.
Aku juga yang mengajarinya mengucapkan, Jangan bikin PR.
Gurunya bloon. Mana aku tahu dia akan mengucapkannya di tengah pelajaran"
Dan terus mengulanginya"
Aku sudah minta maaf pada Miss Hammett. Kukatakan Haroldlah yang mengarang-ngarang ucapan itu.
Apa dia percaya" Tidak lah yauw! Ia menyeretku ke kantor KepSek. Tebak apa yang terjadi saat
kami ke sana" Aku tak sengaja menjegal kakinya.
Ia jatuh di kakiku dan lututnya memar. Ia melolong kesakitan
sampai dua guru lain membantunya berdiri dan membawanya pergi.
Aku tidak sengaja. Swear! Aku memang payah. Kukatakan
pada Miss Hammett bahwa aku tidak sengaja. Ia tidak percaya.
Sesudah peristiwa itu, ia menyiksaku. Banyak PR ekstra, aku
selalu disuruh maju paling awal dan dibuat malu setiap ada
kesempatan. Kucoba menarik simpatinya lagi. Kucoba membuat ia tertawa.
Begitulah caraku selalu untuk mengambil hati orang.
"Mr. Perez, coba eja kata MISSISSIPPI."
"Yang nama sungai atau negara bagian?"
Lucu juga kan leluconku"
Tapi Miss Hammett melotot marah padaku.
Kucoba lagi. Berkali-kali. Anak-anak lain tertawa, tapi Miss
Hammett tersenyum pun tidak.
"Miss Hammett benar-benar gawat. Dia benci padaku. Aku
tidak bakal dapat nilai bagus dari dia," aku mengeluh pada
orangtuaku. Mom dan Dad sangat mementingkan nilai bagus. Mereka
berdua orang sukses. Dad diangkat menjadi presiden di perusahaannya tahun lalu.
Mom seorang pengacara, tapi tidak buka praktek. Mom sering menulis
artikel panjang dan serius tentang hukum di semua jurnal hukum
bergengsi, juga tampil di TV untuk membahas semua pengadilan
penting. Ngerti kan" Orangtuaku adalah orang-orang serius. Aku tahu mereka sering
heran, kenapa mereka punya anak yang konyol seperti aku. Aku tahu
mereka kecewa padaku. Begitu mendengar aku mendapat masalah di sekolah, mereka
langsung bicara pada Miss Hammett dan Kepala Sekolah. Minggu
berikutnya mereka memberitahuku bahwa mereka akan memberiku
kesempatan yang lebih baik.
"Kami sudah memilihkan sekolah asrama yang sangat bagus
untukmu," kata Dad. "Sekolah itu biasanya hanya menerima murid-murid terbaik di
seluruh negara," kata Mom, "tapi ayahmu dan aku menelepon
beberapa orang dan menghubungi beberapa koneksi. Mereka akan
menerimamu sebagai murid percobaan."
"Aku dicoba?" seruku. "Maksudnya aku dicicipi enak atau
tidak?" Lihat kan" Aku selalu melucu kalau sedang gugup.
"Mungkin aku bisa coba minta maaf lagi pada Miss Hammett,"
kataku. "Mungkin aku juga bisa menyuruh Harold minta maaf."
"Masalahnya bukan pada Miss Hammett," kata Dad. "Tapi pada
kelakuanmu, Paul. Kau perlu sekolah yang serius untuk menemukan
minat dan bakatmu yang sesungguhnya."
"Kau perlu membuktikan pada dirimu sendiri bahwa kau bisa
mencapai cita-citamu," Mom menambahkan.
Nah, kan" Ini seriusnya benar-benar serius dengan S besar.
Aku berdebar-debar. Mendadak aku menggigil. Aku tidak mau
meninggalkan rumah. Tidak mau masuk sekolah yang asing bagiku,
dengan murid-murid yang serius dan selalu dapat A.
"Apa nama sekolah itu?" tanyaku.
"Caring Academy," sahut Dad. Ia menunjukkan sehelai brosur
dengan foto sebuah bangunan besar dari batu, terletak di puncak bukit.
Kelihatannya seperti puri Drakula.
"Caring Academy?" aku berseru nyaring. "Jelek amat namanya!
Kayak nama rumah sakit."
"Sekolah itu didirikan oleh keluarga Caring," kata Mom.
"Mereka keluarga New England lama dan mendirikan sekolah itu pada
tahun 1730." "Terlalu tua," gerutuku. "Pasti toiletnya sudah rusak semua."
Aku bermaksud melucu, tapi mereka tidak tertawa.
"Ini kesempatan kedua yang sangat bagus bagimu, Paul," kata
Dad sambil meletakkan tangan di bahuku. "Sangat sulit meyakinkan
mereka agar menerimamu. Aku yakin kau akan berusaha sebaik
mungkin." "Tapi kenapa sekolah asrama?" sanggahku. "Aku belum pernah
tinggal di sekolah. Pergi kemping saja tidak pernah."
Dad membimbingku ke ruang tamu. "Dunia di luar sana keras,
Paul," katanya pelan, seperti membisikkan suatu rahasia.
Ia mengerutkan kening. "Semakin lama dunia di luar itu
semakin keras. Kita memakan atau dimakan."
Aku melongo memandangnya, berusaha memahami ucapannya.
Memakan atau dimakan. Memakan atau dimakan. Waktu itu aku tidak mengerti sepenuhnya.
Tak kusangka ucapannya menjadi kenyataan.
2 CARING ACADEMY. Tulisan itu terpampang di gerbang besi
yang tinggi saat mobil kami memasukinya. "Apa ya nama tim sepak
bolanya" Mungkin Tim Cerdas. Atau Tim Cakep!"
Tidak terlalu lucu, sih, tapi aku tertawa juga pada leluconku
sendiri. Aku melompat-lompat seperti bayi di jok belakang mobil.
Aku tak bisa duduk diam. "Ini sekolah yang sangat serius," kata Mom. "Di sini tidak ada
tim sepak bolanya, Paul."
Bangunan sekolah itu benar-benar seperti puri Drakula. Di
kedua ujungnya ada dua menara batu yang tinggi. "Kalau kau nakal,
kau dikurung di menara," seruku dengan suara diseram-seramkan.
Orangtuaku tidak mengacuhkan.
Awan tampak kelabu. Beberapa tetes besar air hujan
membasahi kaca depan mobil kami. Jalan sempit ini membawa kami
ke pekarangan yang gelap. Guntur membahana di atas menara gelap
itu. Suasananya benar-benar seperti di film horor.
"Kenapa sih sekolah ini dibangun di atas bukit begini?"
tanyaku. "Jauhnya minta ampun dari kota terdekat
"Mungkin karena pemandangannya bagus," sahut Dad.
Bercanda. "Mungkin juga karena mereka butuh privasi," kata Mom.
Tak lama kemudian kami sudah berada di dalam gedung
sekolah itu. Ternyata di dalam terang benderang dan suasananya ceria.
Tembok-temboknya berwarna kuning hangat, dihiasi poster warnawarni. Setiap pintu di lorong panjang ini diberi warna cat berbeda.
Seorang lelaki besar berbahu kekar dengan rambut kelabu tebal
dan kacamata berbingkai hitam datang bergegas di lorong yang ramai
itu untuk memperkenalkan diri. "Aku Mr. Klane, Wali Murid,"
katanya dengan suara berat. "Mari kubantu membawa koper-koper
itu." Di balik sweater putihnya orang ini tampak berotot dan berdada
bidang. Seperti Superman. Ia mengangkat koperku yang berat dengan
satu tangan dan mengantar kami ke kamarku.
"Kamar-kamar ada di sayap ini," ia menjelaskan, "Ruang-ruang
kelas ada di ujung lain." Suaranya yang berat menggema di lorong
panjang itu. Ia mendekatkan tubuh padaku. "Ruang penyiksaan ada di
bawah," bisiknya. Aku melongo. Ia tertawa tergelak-gelak. "Hati-hati, Paul," ia mengingatkan.
"Teman-temanmu semuanya cerdas. Dan mereka senang sekali
mempermainkan anak baru."
Sambil berjalan, kuperhatikan anak-anak di sini. Semuanya
kelihatannya normal-normal saja. Pakai jeans dan T-shirt, sweater dan
pullover, dan rompi-rompi tanpa kancing. Tidak berbeda dengan anakanak di sekolahku yang lama.
Memangnya kaupikir mereka seperti apa, Paul" tanyaku pada
diri sendiri. Kaukira anak-anak di sini semuanya pakai kaus
bergambar Beethoven dan suka membaca ensiklopedi sambil jalan"
Kami belok ke sebuah lorong lain yang juga panjang. Mom dan
Dad mengikuti di belakang, membawakan perlengkapanku. Kami
melewati pintu bertuliskan KEPALA SEKOLAH CARING
ACADEMY. "Nanti kau akan bertemu dengan Kepala Sekolah," kata
Mr. Klane. Anak-anak bergegas menyingkir memberi jalan. Mr. Klane
membawa koperku yang besar seperti membawa kotak makan siang
saja. Seorang anak bertubuh pendek gempal dan agak aneh
menyingkir ketika kami lewat. Wajahnya bundar dan pucat, dengan
mata hitam yang kecil serta rambut hitam licin yang dibelah tengah. Ia
seperti tikus mondok. Itu lho, binatang gendut yang warnanya merah
muda dan hidup di bawah tanah.
"Kau sedang apa di sini, Marv?" bentak Mr. Klane padanya.
Sebelum anak itu sempat menjawab, Mr. Klane sudah mendorongnya.
"Pergi sana! Kau kan tahu, kau tidak boleh berada di sini."
Anak itu menggumamkan sesuatu, lalu menjauh. Cara
berjalannya aneh, agak diseret-seret. Bentuk anak ini seperti bola
boling berkaki. Mr. Klane mengawasinya sampai ia menghilang di belokan, lalu
kami melanjutkan perjalanan. "Apa minat utamamu, Paul?" tanyanya.
"Hah" Minat apa?" Aku berusaha menyamai langkahnya.
"Minat utamamu dalam pelajaran," kata Mr. Klane.
"Makan siang?" gurauku.
Kulihat Mom dan Dad merengut sambil geleng-geleng kepala.
"Paul belum menemukan hasrat hatinya," kata Mom pada Mr. Klane.
Hasrat hati" Bleeh! Aku ingin muntah.
Mr. Klane mengangguk. "Murid-murid di sini sangat berbakat,
Paul," katanya. "Mereka hebat. Sayangnya, mereka semua belajar
terlalu keras." Hebat, pikirku sinis. Tempat ini benar-benar cocok buatku.
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang aku sial, atau aku memang sial"
"Ini kamarmu," kata Mr. Klane sambil membuka sebuah pintu
biru. Kami masuk. Kamar itu cerah, dengan dua tempat tidur, dua
lemari pakaian, dua meja, dan sebuah sofa kecil berwarna merah.
"Kau sekamar dengan Brad Caperton. Dia anak baik," kata Mr.
Klane. Ia menaruh koperku di ranjang yang kosong. "Brad sedang
latihan biola. Kalau sudah selesai, dia akan kemari."
"Kamar yang bagus," kata Mom sambil mengelilinginya. "Dan
kau punya teman sekamar, Paul. Asyik, kan?"
Aku menggeleng. "Aku pernah coba main harmonika, tapi
harmonikanya tertelan olehku."
Di luar jendela yang sempit, guntur menggelegar. Suaranya
mengguncangkan ruangan ini.
Mom dan Dad membongkar isi koperku. Mr. Klane
mengamatiku dari balik kacamatanya yang tebal dan berbingkai
hitam. "Tidak mudah masuk sekolah pada bulan November," katanya.
"Tapi kau pasti bisa mengikuti. Kalau kau belajar rajin."
"Paul memang ingin rajin belajar," kata Dad sambil
memandangiku dengan tegas.
"Aku mesti ke kantor sekarang," kata Mr. Klane sambil melihat
arlojinya. Ia berjabat tangan dengan Mom dan Dad. "Senang
berkenalan dengan Anda."
Ia berbalik ke arahku di ambang pintu. "Akan kusuruh dua
orang anak mengantarmu ke kelasmu. Semoga sukses, Paul." Lalu ia
pergi.ebukulawas.blogspot.com
Guntur kembali mengguncangkan ruangan ini. Lampu-lampu
berkeredap, tapi tidak mati.
Setengah jam berlalu. Selesai membongkar isi koper-koper,
kami saling mengucapkan selamat tinggal dan berpelukan.
Lalu Mom dan Dad pergi. Aku ditinggal di puri gelap di atas
bukit ini. Terperangkap di sebuah sekolah dengan anak-anak serius
yang rajin belajar. Mendadak aku teringat Harold. Kakaktuaku yang malang,
sendirian di rumah tanpa ada yang mengajari mengucapkan kalimatkalimat lucu.
"Jangan bikin PR. Gurunya bloon!" Kucoba menirukan suara
Harold. Ternyata mirip sekali.
Kudengar suara tawa cekikikan. Aku menoleh dan melihat dua
cewek di ambang pintu. "Aku... sedang meniru suara kakaktua," kataku. Wajahku merah
padam. "Aku Celeste Majors," kata salah satu cewek itu. Ia bertubuh
pendek, dengan rambut ikal pirang dan wajah berbintik-bintik. Mata
hijaunya berbinar-binar di balik kacamata berbingkai kawat.
Celeste penggemar warna ungu. Sweater ungu, jeans ungu,
sepatu ungu. Cewek satunya bernama Molly Bagby. Ia jangkung dan sangat
kurus, dengan rambut hitam lurus dan poni menutupi mata.
Molly juga mengenakan jeans"warna hitam, dengan kedua
lutut berlubang"dan sweatshirt merah dengan rompi kulit hitam. Di
satu telinganya menggantung tiga anting kecil dari perak.
"Mr. Klane meminta kami menunjukkan kelasmu," kata Molly.
"Kau siap?" Aku mengangguk. Dan hendak beranjak ke pintu.
Tapi kedua cewek itu bergegas masuk sambil menutup pintu
dengan keras. Celeste menoleh ke belakangnya dengan tegang, lalu berpaling
ke Molly. "Ada yang melihat kita, tidak?"
"Ku... kurasa tidak," sahut Molly. "Dengar... Paul?"
Matanya menatapku tajam. "Kau mesti cepat-cepat," katanya
berbisik. "Hah" Cepat-cepat?" Aku melongo memandang mereka.
Kenapa mereka kelihatannya begitu ketakutan"
"Dengarkan kami," bisik Celeste sambil menoleh lagi ke pintu.
"Pergilah dari sini."
"Apa?" tanyaku.
"Jangan tanya-tanya," kata Molly dengan mulut dirapatkan.
Dagunya gemetar. "Pokoknya pergilah dari sekolah ini, Paul. Selagi
masih bisa." 3 CELESTE mencengkeram lenganku dan mendorongku ke
pintu. "Mungkin orangtuamu belum pergi. Mungkin kau masih bisa
menyusul mereka." "Tapi... tapi..." Aku tergagap-gagap.
"Cepat!" seru Molly.
Aku membuka pintu... dan bertumbukan dengan Mr. Klane.
Aku mundur, rasanya seperti tertabrak truk.
"Kalian masih di sini?" tanyanya pada Molly dan Celeste. "Ada
masalah?" "Tidak, tidak ada masalah," sahut Celeste cepat-cepat sambil
menarik-narik lengan sweater-nya. "Kami cuma sedang menunjukkan
pada Paul..." "Ya, menunjukkan letak tempat-tempat," sela Molly. "Ruang
olahraga, ruang makan siang."
"Bagus." Mr. Klane tersenyum padaku. "Tapi Paul tidak boleh
terlambat masuk kelas. Mrs.. Maaargh tidak akan suka."
Mrs. ... siapa" Mr. Klane membuka pintu lebar-lebar. Kedua cewek itu
memimpin jalan ke lorong. Mr. Klane mengikuti sambil bersiul-siul
sendiri. Kedua cewek itu tidak berbicara lagi sepanjang jalan.
Kami melewati jalan masuk depan, lalu masuk ke lorong tempat
ruang-ruang kelas berada. Anak-anak dengan ransel di punggung
bergegas masuk ke ruangan-ruangan di situ.
Mendadak aku tertawa. Aku baru menyadari apa yang
dilakukan Molly dan Celeste padaku tadi. Rupanya begitulah cara
mereka memberi ucapan selamat datang pada anak baru.
Mr. Klane sudah mengingatkanku untuk waspada. Katanya
anak-anak di sini senang mempermainkan anak baru.
Wow, aku benar-benar tertipu, pikirku. Tadi aku sempat
ketakutan. Kulihat kedua cewek itu memandangiku sementara kami
berjalan. Mereka rupanya heran, kenapa aku tertawa. Aku diam saja.
Aku tidak sebodoh tampaknya, pikirku.
Kami masuk ke sebuah ruang kelas. Ruang 333. Mulanya
kukira kami terlambat. Kupikir pelajaran sudah dimulai, sebab
ruangan itu sunyi sekali.
Tapi tidak ada guru di depan kelas.
Beberapa anak asyik membaca buku. Dua anak sedang
mengetik dengan giat di komputer. Beberapa sedang menulis di buku
catatan. Aku mengikuti Molly dan Celeste masuk. "Mrs. Maaargh
sebentar lagi datang," bisik Celeste sambil menyibakkan rambut
pirangnya yang ikal. "Jangan sampai kau membuat dia marah."
"Hati-hatilah...," Molly memperingatkan.
Tapi ucapannya terhenti oleh kehadiran seorang anak lelaki
berambut cokelat kaku seperti paku. Anak itu berjalan ke belakangnya
dan sengaja menabrakkan diri dengan bergurau. "Hentikan, Brad,"
bentak Molly. "Hei, gimana?" tanya Brad padaku. "Aku teman sekamarmu.
Kau sudah lihat ruangan kita?"
"Yeah. Sudah," sahutku. "Tapi ruangannya terlalu sempit untuk
barang-barangku, jadi sebagian barangmu kulemparkan ke lorong."
Sejenak Brad melongo. Ketika tahu aku cuma bercanda, ia
tertawa. Molly dan Celeste tidak ikut tertawa. Mereka masih saja
menatap tegang ke pintu kelas.
"Sebaiknya kita duduk," bisik Molly. "Mrs. Maaargh senang
kalau kita duduk rapi di kursi masing-masing."
Aku menoleh... dan terkejut ketika melihat sepasang kaki
menjulur dari langit-langit. Aku menengadah dan melihat seorang
anak tergantung dengan tali.
Eh... bukan. Bukan anak sungguhan. Hanya boneka. Aku cepat-cepat menoleh, berharap Brad dan
kedua cewek itu tidak mendengar desah kagetku. Aku sangat malu
karena bisa dibodohi. Pada pinggang boneka itu tergantung tulisan: JANGAN LUPA
PERTUNJUKAN BAKAT HARI JUMAT TANGGAL 18
NOVEMBER. Brad melihatku memandangi boneka itu. "Apa bakatmu, Paul?"
tanyanya. "Bakat" Eh... rasanya aku tidak punya," kataku mengakui.
Ketiga anak itu memandangiku. "Tidak punya bakat?" seru
Molly sambil menyibakkan poninya yang hitam. "Kau tidak mungkin
masuk ke sekolah ini tanpa bakat khusus."
Aku mesti bilang apa, ya" Aku tidak mau mengatakan bahwa
aku masuk ke sini karena pengaruh orangtuaku. "Apa bakatmu?"
tanyaku pada Molly, untuk mengalihkan perhatian mereka.
Molly mengernyit. "Aku punya masalah sedikit. Aku main
biola, begitu juga Brad."
"Kok itu kausebut masalah?" tanyaku.
Molly mengangguk. "Kata Mrs. Maaargh, hanya boleh ada satu
pemain biola dalam pertunjukan itu. Brad dan aku mesti bersaing.
Pemenangnya akan tampil dalam pertunjukan. Yang kalah mesti
menampilkan pertunjukan lain."
"Jangan khawatir," kata Brad pada Molly. "Kau kan jauh lebih
hebat daripada aku. Kau bisa menang dengan mudah."
Molly berseru pelan. "Coba kita bisa sama-sama menang, Brad.
Aku... aku takut sekali."
"Hei, ini kan cuma pertunjukan," aku menyela. "Iya kan?"
Tidak ada yang menyahut. Semua anak tekun membaca.
"Aku menyanyi," kata Celeste padaku. "Sejauh ini hanya ada
satu penyanyi, jadi aku aman. Kau tidak akan menyanyi, kan, Paul?"
"Tidak," kataku. "Kata ayahku, suaraku fals. Kenapa sih semua
orang cemas sekali tentang pertunjukan ini?"
Lagi-lagi tak ada yang menjawab. Ketiga anak itu menoleh ke
pintu. Belum ada guru yang datang.
"Kau mesti memutuskan akan menampilkan apa," kata Brad.
"Kalau tidak..." Ia tidak melanjutkan ucapannya.
Mereka cuma menakut-nakutiku, pikirku. Mereka sengaja
menggodaku. "Aku punya bakat, kok!" seruku. "Aku bisa menari. Tarianku
hebat." Aku mulai beraksi, menari dengan boneka yang tergantung dari
langit-langit itu. Aku menari dengan bersemangat sambil
bersenandung keras-keras.
Kukira seisi kelas akan tertawa. Kukira mereka akan berseruseru dan bertepuk tangan.
Di sekolahku yang lama, anak-anak pasti akan ribut bukan
main. Tapi di sini tidak ada yang memperhatikanku. Mereka terus saja
membaca sambil menulis di buku.
Kupeluk boneka itu erat-erat dan kubawa berdansa tango.
Tidak ada yang tertawa. Tidak ada yang berseru-seru. Brad,
Molly, dan Celeste melongo memandangiku dengan ekspresi
ketakutan. Kenapa sih mereka ini" Ini kan lucu.
Aku berputar dengan gila-gilaan. "OOOPS!" Boneka itu
terlepas dari tanganku. Aku meraihnya, dan terpeleset, lalu jatuh menimpa boneka itu.
Seisi kelas tetap bungkam.
Aku mengangkat kepala dan hendak bangkit dari atas boneka
itu. Tapi aku berhenti karena di ambang pintu tampak sesosok
tubuh raksasa. Mrs. Maaargh. Aku ternganga memandanginya dalam posisi merangkak di
lantai. Ibu guru itu mengenakan gaun merah mengilat. Tubuhnya
begitu lebar, sampai-sampai memblokir cahaya dari lorong.
Ia menyipitkan mata cokelatnya yang berair padaku, lalu
menggeram, "Kau pasti Paul."
Sekarang semua anak memandangiku, termasuk anak-anak
yang tadi asyik mengetik di komputer.
Aku berdiri dari lantai. "Maaf," gumamku. Aku membungkuk
untuk mengambil boneka itu, tapi Mrs. Maaargh memberi isyarat
dengan tangannya yang besar agar aku membiarkan saja boneka itu di
lantai. "Kemarilah, Paul." Suaranya serak, seperti ada kerikil di
kerongkongannya. Aku ragu-ragu dan memandangi gaun merah cerahnya yang
memenuhi ambang pintu. "Kemarilah, Paul," ulangnya. Matanya yang berair masih tetap
terarah padaku. Ia tidak mengerjap.
Wajahnya yang bundar sama sekali tanpa ekspresi.
"Kemarilah." Aku melirik Molly dan Celeste. Wajah mereka tegang dan mata
mereka membelalak... ketakutan"
Kumasukkan kedua tanganku ke saku celana, lalu pelan-pelan
aku bergerak ke ambang pintu. "Aku cuma main-main dengan boneka
itu," kataku. Mrs. Maaargh mengangguk. "Aku ingin mencobaimu," katanya
pelan. Aku tertegun. Apa katanya"
"Kemarilah, Paul," ulangnya. "Aku ingin mencicipimu."
Kudengar Celeste terkesiap pelan di belakangku.
Tidak ada suara lain. Ruangan itu begitu sunyi, dan aku hanya
mendengar suara langkah kakiku di lantai kayu.
Aku mendekati Mrs. Maaargh dan tersenyum sangat manis.
"Hai," kataku. Ia meraih lenganku dan menarik tanganku dari saku.
Lalu, sambil menggeram pelan, ia menundukkan kepala,
menjulurkan lidahnya yang gemuk basah dan berwarna merah muda,
seperti lidah sapi. Dan ia menjilati lenganku, mulai dari pergelangan sampai ke
bahu. 4 KUDENGAR erangan muak dari anak-anak di belakangku, tapi
ketika aku menoleh, mereka semua menunduk, pura-pura tidak
melihat. Iiihh! Lenganku terasa geli, lengket, dan basah.
Mrs. Maaargh melepasku, lalu menyeringai. Tetes-tetes ludah
masih menempel di giginya.
"Enak." Rasanya itulah yang dikatakannya.
Aku ternganga kaget. Aku tak percaya. Benarkah tadi dia
menjilatiku" Aku berdiri melongo. Wanita itu benar-benar aneh. Kepalanya besar sekali. Rambut
cokelatnya yang tebal disanggul dan diberi pensil di puncaknya.
Ia balas menatapku dengan mata cokelatnya yang berair. Seperti
mata sapi. Kulitnya kuning pucat, seperti bulu anak ayam di
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
supermarket. Pipinya bergelambir dan bergoyang-goyang kalau ia
menyeringai. Seluruh wajahnya menggantung di atas bahunya, seperti
adonan kue yang masih mentah.
"Kau boleh duduk, Paul," katanya kemudian. "Duduklah di
dekat bagian belakang sana."
Aku senang sekali bisa menjauh darinya. Aku berjalan secepat
mungkin ke bagian belakang. "Kau melihat tidak" Dia menjilatku,"
bisikku pada Celeste ketika aku melewati kursinya.
Celeste pura-pura tidak mendengar. Ia mencengkeram
komputernya erat-erat sampai buku-buku jarinya memutih.
Ini cuma lelucon, pikirku.
Tak lama lagi kami semua akan tertawa ramai-ramai.
Tapi tak ada yang tersenyum.
Saat melangkah ke barisan belakang, kulihat serangkaian
kandang ditaruh di meja, dekat dinding. Di dalamnya ada seekor
kelinci putih, tupai kecil kelabu, guinea pig, dan seekor tikus putih.
Apa kelas ini tidak terlalu tua untuk mempelajari binatangbinatang seperti itu" pikirku.
Dengan hati-hati aku melangkahi kaki seorang gadis berambut
merah, lalu duduk di depan seorang anak lelaki bertampang serius
yang sama sekali tidak mengangkat wajah dari bukunya.
Aku duduk dan meletakkan ranselku. Meja kayu ini sudah
retak-retak dan penuh goresan. Di salah satu sudutnya terukir dua
kata: TOLONG AKU. Kugosok-gosokkan jariku di ukiran itu sambil memandang ke
depan kelas. Mrs. Maaargh masih berdiri di ambang pintu. Ia belum
bergerak. Apa dia terlalu besar dan tidak bisa masuk" pikirku.
"Hari ini kita mulai dengan membahas PR tata bahasa,"
katanya. "Paul, kurasa salah seorang anak di sini akan bersedia
membantumu mengikuti pelajaran."
Sambil menggeram ia mendesak masuk melalui ambang pintu.
Gaun merahnya bergoyang-goyang ketika ia bergerak. Baru kali ini
aku melihat gaun sebesar tenda begitu.
Dagu Mrs. Maaargh bergerak-gerak, begitu juga sanggulnya
yang tinggi. Saat ia berjalan ke mejanya terdengar suara SER SER.
Aku mencondongkan tubuh dan melongok ke bawah... dan
terperangah. Mrs. Maaargh tidak mengenakan alas kaki.
Kakinya besar sekali. Besar dan gemuk, seperti bantal, dan
menimbulkan suara basah yang memuakkan di lantai kayu.
"Ohhhh!" Aku mengerang ketika melihat kakinya yang aneh.
Kakinya tidak berjari. Tidak berjari!
Yang ada adalah cakar-cakar hitam mengilap.
Aku merasa mual dan perutku bergolak.
Lalu suara ibu guru itu memecah kesunyian, "Kau memandangi
apa, Paul" Kau punya masalah?"
5 JANTUNGKU berdebar kencang. Aku menoleh ke Celeste, lalu
ke Molly. Apa mereka melihat kaki yang menjijikkan itu"
Kedua anak itu duduk sangat tegak dengan mata tertuju pada
wajah Mrs. Maaargh. Aku melayangkan pandang, mencari-cari Brad, dan
menemukannya di barisan depan. Ia sedang mengetuk-ngetukkan
pensil di mejanya dengan santai, pura-pura tidak ada apa-apa.
Aku menoleh lagi ke Mrs. Maaargh. Kucoba tidak memandangi
kakinya, tapi tidak bisa.
"Apa yang kaupandangi?" Mrs. Maaargh bertanya lagi.
"Ha" Aku..." Keningku mulai berkeringat. "Aku.. tidak
memandangi apa-apa kok " Suaraku hanya berupa bisikan.
Mrs. Maaargh menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar.
"Apa belum ada yang memberitahumu bahwa aku ini monster?"
Debar jantungku semakin kencang. "Ehm..."
Mrs. Maaargh beranjak ke sebuah tabel di depart kelas. Kakinya
menimbilkan bunyi basah di lantai, setiap kali a bergerak.
Ia mengambil sebuah tongkat penunjuk dan mengarahkannya ke
puncak tabel, ke kata-kata RANTAI MAKANAN.
"Ada yang bisa menjelaskan pada Paul tentang rantai
makanan?" tanyanya. Matanya yang besar bergerak memandang ke
seluruh ruangan. "Mary?"
Mary adalah gadis berambut merah di ujung barisanku. "Yang
besar memakan yang kecil," katanya takut-takut. "Maksudku, yang
kuat memakan yang lebih lemah."
Mrs. Maaargh mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tabel itu
dengan tak sabar. "Kurang tepat," katanya. "Lebih tepat kalau
dikatakan bahwa spesies yang lebih tinggi memakan spesies yang
lebih rendah." Brad mengangkat tangan. "Ikan-ikan kecil memakan plankton,"
katanya. "Ikan-ikan yang lebih besar memakan ikan-ikan kecil, dan
ikan-ikan yang lebih besar dimakan lagi oleh ikan-ikan yang paling
besar." "Dan manusia memakan ikan yang paling besar," kata seorang
anak lelaki gemuk di dekat jendela.
"Dan monster memakan manusia," Mrs. Maaargh menggeram.
Wajahnya yang bergelambir bergoyang-goyang ketika ia membuka
mulutnya dan tertawa terbahak-bahak.
Tak ada yang ikut tertawa.
Aku memandangi tabel itu. Ada sekitar dua puluh sampai dua
puluh lima kartu putih disusun berurutan, masing-masing kartu ditulisi
nama setiap anak di kelas.
Apa ini semacam tabel prestasi" pikirku. Waktu di kelas dua
kami punya tabel semacam itu. Penilaian dilakukan dengan bintang
emas atau perak. Agak kekanak-kanakan untuk anak kelas enam.
"Paul, kau tahu makhluk apa yang menjadi pemakan paling
bawah?" Mrs. Maaargh membuyarkan pikiranku dengan suaranya
yang serak. Aku tercekat. "Eh... di danau atau lautan... pemakan paling
bawah adalah ikan yang berenang di dasar laut dan memakan
segalanya." Kuhapus keringat di keningku dengan punggung tangan.
"Benar." Mrs. Maaargh menyeringai. "Tidak enak berada di
dasar, bukan, anak-anak?"
Beberapa anak menggeleng, beberapa menggumam, "Tidak."
"Kalau kalian berada di dasar, kalian akan dimakan," kata Mrs.
Maaargh dengan bersemangat.
Kulihat Molly memegangi kepalanya, seperti sakit kepala. Di
sampingnya, Celeste menutupi mulutnya dengan dua tangan.
"Paul, di sekolah ini semua muridnya ingin berada di puncak,"
Mrs. Maaargh melanjutkan. Sambil bicara ia mengetuk-ngetukkan
tongkatnya pada tabel rantai makanan itu. "Dan di kelasku semua anak
berusaha keras untuk tetap berada di puncak."
Mrs. Maargh mencondongkan tubuh, dagunya bergoyanggoyang, matanya yang berair tertuju padaku. "Karena apa, Paul"
Karena aku adalah pemakan yang paling bawah. Benar! Setelah
pertunjukan bakat berakhir, aku akan memeriksa rantai makanan ini.
Akan kulihat siapa yang berada paling bawah. Lain aku akan berpesta
pora memakannya." Seluruh tubuhnya bergoyang ketika ia tertawa terbahak-bahak.
Ia terus tertawa sambil memukul-mukul lututnya, hingga gaunnya
berguncang-guncang seperti tenda penuh bola.
Aku ikut tertawa. Aku merasa semua ini lucu sekali.
Gurauannya benar-benar keterlaluan. Tapi sangat lucu. Anak
baru pasti ketakutan kalau tidak menyadari bahwa semua ini hanya
gurauan. Tapi aku sendiri senang melucu. Ingat" Dan aku tidak bisa
dibohongi. Aku tahu apa yang terjadi.
"Bagus sekali!" seruku. "Lucu sekali! Aku tidak tahan nih!
Aduuh, aku tidak tahan!"
Mrs. Maaargh berhenti tertawa dan wajahnya berubah marah.
"Apa yang lucu?" ia menggeram.
"Semuanya," sahutku. "Maksudku, tabel itu dan semuanya."
"Apa ada lelucon yang tidak kupahami di sini?" tanya Mrs.
Maaargh sambil memandangi seisi kelas. "Coba, ada yang bisa
memberitahukan leluconnya padaku" Aku suka lelucon. Apa yang
lucu?" Hening. Anak gemuk di sampingku terbatuk. Tidak ada yang
bersuara. "Apa kau menertawakan aku, Paul?" tanya Mrs. Maaargh. "Apa
ada sesuatu yang lucu pada diriku?"
"Tidak!" seruku. "Tapi rantai makanan itu..."
"Ya" Kenapa rantai makanan itu?" Ia mengetukkan tongkatnya
begitu keras ke tabel itu, hingga tongkat itu patah. Ia melambaikan
patahannya padaku. "Berenanglah secepat mungkin, Paul," geramnya. "Sebab
sesudah pertunjukan bakat tanggal delapan belas nanti, aku akan
melihat siapa yang berada paling bawah pada rantai makanan itu. Dan
aku akan memakannya, siapa pun dia."
"Bagus!" seruku sambil tertawa. "Nanti aku yang bawa saus
kecapnya." Tidak ada yang tertawa. Kenapa sih anak-anak ini" Kan
ucapanku lucu. Iya kan" Celeste menempelkan satu jari di bibirnya dan memberi isyarat
agar aku tutup mulut. Tapi aku tidak mau tertipu. Tidak usyah ya!
"Bisa kita makan buah sebagai hidangan penutup?" tanyaku.
Lagi-lagi tak ada yang tertawa. Tersenyum pun tidak.
Anak-anak ini benar-benar pintar pura-pura.
Mrs. Maaargh membungkuk di mejanya. Kulihat ia menuliskan
sesuatu. Tak lama kemudian, ia mengangkatnya. Sebuah kartu putih
bertuliskan namaku. PAUL PEREZ.
"Di balik kartu ini ada selotipnya, sehingga aku bisa mencabut
dan menempelkannya," katanya padaku. "Namamu kupasang di
puncak rantai makanan, Paul, sebab kau anak baru."
Dengan gerakan cepat ia memindahkan kartukartu lainnya agar
bisa memasang kartuku. "Ini tidak adil," protes seorang gadis kurus dan pucat di dekat
pintu. "Aku sudah belajar keras supaya tetap di puncak. Kenapa
sekarang dia mengambil tempatku?"
"Tak usah cemas, Sharon," sahut Mrs. Maaargh. "Kurasa dia
tidak akan bertahan lama di tempat itu."
"Taruh dia di tempat paling bawah," teriak anak gemuk di
barisanku. "Ya, taruh dia paling bawah. Paling bawah," beberapa anak
mulai berseru. Wow, pikirku, mereka terlalu serius menanggapi lelucon ini.
Kenapa sih tidak disudahi saja" Sebab sekarang sudah tidak lucu lagi.
"Oke, anak-anak!" Mrs. Maaargh menepukkan tangannya satu
kali. Kedengarannya seperti bunyi kakinya di lantai. "Saat bersenangsenang sudah usai. Sekarang saat belajar."
Aku menggeleng. Saat bersenang-senang"
Menakut-nakuti anak baru dianggapnya bersenang-senang"
"Seperti kataku, hari ini kita mulai dengan PR tata bahasa," kata
Mrs. Maaargh. Ia berbalik ke papan tulis dan menuliskan: MAUKAH KAU
DATANG KE RUMAHKU" AKU AKAN SENANG SEKALI
MEMAKANMU! "Siapa yang mau maju ke depan?" tanyanya.
Semua anak mengacungkan tangan. Wow! Malah ada yang
mengangkat dua tangan. "Aku saja." "Aku saja!" Dasar penjilat semua! "Paul, silakan maju ke depan," geram Mrs. Maaargh. "Kita
lihat, apa kau bisa membedakan antara subjek dan predikat."
Kenapa dia tidak memilih anak lain saja" Kan mereka ingin
maju semua. Kenapa mesti aku"
Aku ragu-ragu. "Cepat!" Ia menghantam papan tulis dengan kepalannya yang
kekar. Bekas kepalannya meninggalkan noda bundar dan basah.
Pelan-pelan aku bangkit dan mulai maju ke depan.
Aku merasa semua mata memandangiku. Celeste
mengacungkan ibu jarinya yang dibalik ke bawah ketika aku melewati
mejanya. "Kalau dia gagal, aku saja yang maju!" seru Brad.
"Baik" sekali teman sekamarku itu.
"Tidak, aku saja."
"Tidak, aku!" Kenapa sih mereka ini" Rupanya anak-anak ini suka sekali
bersaing. "Ini." Mrs. Maaargh memberiku sepotong kapur.
Aku maju selangkah lagi... dan mendengar bunyi BUSSSH.
Kakiku menginjak sesuatu yang lunak.
Aku tercekat dan memandang ke bawah. Dan berteriak,
"Tidaaaak! Oh, tidak!"
6 "OWWWW!" Mrs. Maaargh melolong kesakitan.
Rupanya aku menginjak kakinya.
Sepatuku melesak dalam ke dagingnya yang lunak. Aku harus
susah payah menarik kakiku kembali.
Aku terhuyung mundur dan akhirnya menabrak papan tulis.
Mrs. Maaargh mengempaskan tubuh ke kursinya dan
membungkuk untuk memeriksa kakinya. Sambil mengerang pelan ia
meraba kulitnya yang basah.
"Ma... maaf," kataku tergeragap. "Aku tidak sengaja. Sungguh.
Aku memang canggung."
Mrs. Maaaargh memandangiku dengan mata cokelatnya yang
berair. "Baru awalnya saja kau sudah payah," katanya. "Ingat
peringatanku tadi. Berenanglah secepat kau bisa."
Ia kembali menggosok-gosok kakinya, lalu mengambil sesuatu
dari lantai. "Owww, bisa berminggu-minggu untuk ini tumbuh lagi."
Aku terpekik ngeri ketika melihat apa yang dipegangnya.
Sepotong cakar hitam berkilat.
Ia mengamatinya di antara jemarinya.
Aku memandang kakinya. Empat cakar panjang tampak olehku.
Cakar kelima, yang tadi terinjak olehku, sekarang tinggal sepotong.
Dengan satu gerakan Mrs. Maaargh memotes sisa cakar itu,
memasukkannya ke mulut, dan... memakannya.
Aku terkesiap. Mrs. Maaargh berdiri. Ia terpincang-pincang melewatiku, menuju tabel rantai
makanan, dan menurunkan namaku dua baris.
Lalu ia kembali ke kursinya. Tapi, sebelum duduk, ia meremas
lenganku. "Makan yang banyak, Paul," katanya. "Aku ingin kau cepat
gemuk, oke?" ************** Ketika bel makan siang berbunyi, aku cepat-cepat keluar. Tapi
kulihat banyak anak berbaris di depan Mrs. Maaargh.
"Kelasnya asyik sekali tadi," kata si gadis berambut merah.
"Kelas ini yang terbaik," kata seorang gadis lain.
Mrs. Maaargh tersenyum lebar. Kelihatannya ia sangat senang.
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bleeeh! pikirku. Anak-anak ini bukan sekadar penjilat. Mereka
benar-benar memuakkan. Apa mereka begitu kepingin mendapat A,
sampai mesti menjilat-jilat begitu"
"Menurutku anak baru itu mestinya ditempatkan paling bawah,"
kudengar seorang gadis berkata.
"Ya, taruh dia paling bawah," seorang gadis lain menimpali.
Aku tidak tahan lagi mendengarnya. Gurauan mereka tidak lucu
lagi, dan aku akan mengatakan ini pada Mrs. Maaargh sesudah makan
siang. Di mana ruang makan siang" Aku benci hari-hari pertama di
sekolah baru. Semua mesti serba ditunjukkan.
Untung aku melihat Molly dan Celeste. Cepat-cepat aku
mendekati mereka. "Tidak senang ya, tadi?" kata Celeste sambil menggelengkan
kepala. "Memang," kataku. "Mrs. Maaargh aneh sekali. Menurutmu..."
"Kenapa justru kau yang mengeluh?" ratap Molly. "Apa kau
tidak lihat posisiku di rantai makanan tadi" Kedua dari bawah. Kalau
hari Minggu nanti permainan biolaku payah, habislah aku. Aku bakal
jadi makanan monster itu."
"Stop! Stop!" teriakku. "Bisa dihentikan tidak" Lelucon kalian
tidak lucu lagi." "Lelucon?" Molly memiringkan kepala dan menatapku.
"Lelucon apa" Paul, kalau kaupikir dia cuma bercanda..."
Aku tidak mendengar sisa kalimatnya, sebab serombongan anak
lelaki melewati lorong sambil tertawa-tawa, sehingga ucapan Molly
tidak kedengaran. Antrean anak yang hendak makan siang panjang sekali.
"Makanannya pasti enak," kataku. "Apa ada Kejutan Daging Misterius
di sini" Itu makanan kesukaanku."
Setelah mendapatkan jatah, kami tidak bisa duduk bertiga,
karena tidak ada meja dengan tiga kursi. Maka Molly dan Celeste
duduk berdua. Aku mencari tempat lain.
Aku melayangkan pandang di ruangan luas itu yang berisik itu
dan akhirnya menemukan tempat kosong di ujung.
"Hai," sapaku pada seorang anak gemuk berambut hitam licin
yang duduk di hadapanku. Ia sedang asyik menikmati makanannya,
wajahnya yang bundar hampir terbenam di piringnya.
Rasanya aku pernah melihat anak ini.
"Hei," sahutnya dengan mulut penuh spageti, matanya tetap
pada makanannya. Aku menggigit sandwich-ku. "Namaku Paul," kataku padanya.
"Marv," gumamnya sambil mengangkat wajah dari
makanannya. Sepasang matanya hitam dan kecil dan hidungnya
bengkok. Marv" Ini kan anak yang disuruh pergi oleh Mr. Klane kemarin,
ketika aku baru datang. Marv dan aku makan bersama tanpa bicara selama beberapa
saat. "Aku anak baru. Ini hari pertamaku di sini," kataku, mencoba
membuat percakapan. Marv menyipitkan mata ke arahku. Kedua pipinya berlepotan
saus spageti. "Kau yakin mau duduk di sini?" tanyanya.
"Yeah," kataku. "Kenapa tidak?"
Ia angkat bahu. "Siapa gurumu?" Ia meminum susunya dengan
berisik. "Mrs. Maaargh," kataku. "Dia benar-benar aneh." Aku
memelankan suara. "Dia bilang dia itu monster."
"Yang benar nih!" Marv tampak tak percaya.
"Dia pernah mengajar di kelasmu tidak?" tanyaku.
"Tidak." Marv mengambil sepotong bakso dan memasukkannya
ke mulutnya, menelannya tanpa dikunyah dulu. "Aku masuk kelas Mr.
Thomerson." "Kau beruntung sekali!" seruku. "Mrs. Maaargh tidak pakai
sepatu, dan kakinya seram sekali."
Marv mengangguk. "Kakinya menjijikkan," aku melanjutkan. "Kelihatannya seperti
balon isi air. Dan ada cakar-cakar hitam melengkung di ujungnya."
Kulihat Celeste melambai-lambai padaku dari seberang
ruangan. Mungkin di sana sudah ada tempat kosong. Aku hendak
beranjak. Lalu aku berubah pikiran. Aku ingin bicara dengan Marv, siapa
tahu dia tahu sesuatu tentang Mrs. Maaargh.
"Entah mana yang lebih parah... kakinya atau tabel rantai
makanannya," kataku.
"Dua-duanya parah," kata Marv. "Benar-benar parah."
Celeste masih melambai-lambai padaku dari seberang ruangan.
Aku mengangguk padanya, supaya ia tahu aku sudah melihatnya, tapi
aku terus bicara pada Marv.
"Kau tahu kan tentang tabel rantai makanan itu?" tanyaku.
Marv mengangguk. "Itu cuma lelucon kan?"
Marv menggeleng. "Yang benar saja," erangku. "Masa dia benar-benar akan
memakan seseorang sesudah pertunjukan bakat usai?"
"Mungkin saja," kata Marv dengan mulut penuh spageti.
"O ya?" Aku memutar-mutar bola mataku. "Apa dia makan
seseorang di sini tahun lalu?"
"Tidak," kata Marv. "Tahun lalu dia tidak makan siapa-siapa."
"Sip," kataku cepat. "Sebab semua itu cuma lelucon konyol
kan?" "Tahun lalu dia tidak makan siapa-siapa karena tahun ini tahun
pertamanya di sekolah ini," kata Marv.
"Oh." Celeste mulai melompat-lompat dan terus melambai-lambai
padaku. Molly juga. Kenapa sih mereka" pikirku.
Marv mulai bercerita tentang gurunya. Katanya Mr. Thomerson
baik sekali. Aku menggigit sandwich-ku lagi... dan merasa pakaianku
ditarik-tarik dari belakang.
Ternyata Celeste. Ia meraih lenganku dan menarikku menjauh dari meja.
"Kau gimana sih, Paul?" tanyanya. "Kenapa kau duduk semeja
dengan anak Mrs. Maaargh?"
7 HAH" Aku duduk dengan anak Mrs. Maargh" Dan aku
mengatakan padanya bahwa ibunya adalah monster"
Bagus sekali, Paul. Kau bisa mendapat urutan atas di rantai makanan!
"Astaga, gimana nih?" erangku.
Aku sebenarnya tidak terlalu peduli tentang tantai makanan itu.
Toh itu cuma lelucon konyol. Tapi aku kan berada di sekolah ini
karena di sekolah yang lama aku punya masalah dengan guruku. Aku
tidak boleh sampai mendapat masalah dengan guru ini. Orangtuaku
bisa mengamuk. "Aku mengatakan pada anak Mrs. Maaargh bahwa ibunya jelek
dan aneh!" seruku. "Jangan khawatir," kata Celeste pelan. "Aku yakin Marv tidak
akan mengadu pada ibunya."
"Menurutmu bagaimana?" tanyaku pada Molly.
"Menurutku Celeste pembohong besar."
"Maksudmu..." Molly menyibakkan poninya. "Marv sangat dekat dengan
ibunya. Mungkin saat ini dia sedang mengadukan ucapanmu
"Lalu aku mesti bagaimana dong?" ratapku.
Celeste menggigit bibir, lalu menggelengkan kepala. "Kau
dalam kesulitan besar. Aku sudah mencoba memperingatkanmu."
Molly angkat bahu. "Mungkin dia cuma akan memindahkan
urutanmu ke bawah sedikit. Jangan khawatir. Kau tidak akan merosot
sejauh aku." Ia mendesah cemas.
"Begini saja deh... aku akan menemui Mrs. Maaargh sekarang
juga," kataku. "Aku akan minta maaf padanya, sebelum Marv sempat
mengadukan ucapanku."
"Kau yakin itu gagasan bagus?" tanya Celeste. "Bagaimana
kalau..." Aku tidak menunggu ucapannya selesai. Aku sudah melesat ke
lorong. Aku mesti cepat-cepat ke ruang kelas, sebelum Marv sempat
bicara pada ibunya. Apa yang akan kukatakan"
Nanti juga terpikir. Yang jelas aku mesti minta maaf.
Aku berhenti di depan pintu ruang kelas.
Aku menarik napas panjang untuk memberanikan diri.
Lalu aku masuk ke ruangan itu. "Mrs. Maaargh!" panggilku.
Kulihat ia ada di belakang ruangan, di dekat kandang-kandang
binatang. Ia sedang membungkuk di atas salah satu kandang sambil
bersenandung sendiri. "Mrs. Maaargh?" Aku maju lebih dekat.
Sepertinya ia tidak mendengar. Ia sedang menggumam pelan
dan bersenandung. Aku melihat sebuah piring di atas kandang tikus. Di piring itu
ada beberapa potong biskuit. Di bawahnya si tikus memandangi
sambil menggerak-gerakkan hidungnya yang runcing.
Aku maju lebih dekat. Sedang apa dia" Sekarang aku bisa mendengar ucapannya. "Ini dia si pemakan
paling bawah," katanya. "Siapa yang ada paling bawah sekarang?"
Dan sebelum aku menyadari apa yang terjadi, ia sudah
menangkap tikus putih itu.
Ia mengangkatnya dengan dua tangan, lalu membuka mulut
lebar-lebar... dan menggigit kepala tikus itu.
Kejadiannya begitu cepat, sampai si tikus tidak sempat lagi
mencicit. Aku terpaku ngeri. Mrs. Maaargh mengeluarkan kepala tikus itu
dari mulutnya dan menaruhnya ke atas biskuit di piring.
Lalu ia mengambil biskuit itu dari piring.
Dan melihatku! "Ohhhh!" Aku mengerang dan mundur.
"Paul!" seru Mrs. Maaargh. Ia mengangkat biskuit dengan
kepala tikus di atasnya. "Paul... mau coba?"
8 DIA benar-benar monster! Baru saat itulah aku yakin. Aku tak perlu bukti apa pun lagi.
Tapi masih ada yang kulihat.
Kulihat ia memasukkan biskuit itu ke mulutnya, mengunyahnya
dengan nikmat, dan menelannya.
Perutku bergolak. Rasanya aku ingin memuntahkan lagi makan
siangku tadi. Kututupi mulutku dengan tangan, lalu aku berbalik dan lari.
Aku bertabrakan dengan Marv di ambang pintu dan anak itu
hampir terjatuh. "Hei!" panggilnya.
Tapi aku terus lari di lorong, menerobos anak-anak lainnya.
Dia benar-benar monster. Akhirnya aku percaya.
Dia monster, dan dia akan memakan salah satu dari kami.
Dia monster, dan belum apa-apa dia sudah tidak suka padaku.
Aku pernah menginjak kakinya dan mematahkan cakarnya.
Aku mengatakan pada anaknya bahwa dia aneh dan jelek.
Sial. Aku benar-benar sial, pikirku sambil lari dengan panik di
lorong-lorong panjang itu. Sial... kecuali aku bisa keluar dari sini.
Mom dan Dad. Wajah mereka terlintas dalam benakku.
Kalau tahu bahwa guruku adalah monster, mereka akan
langsung datang. Tidak, belum tentu. Mereka tidak akan percaya. Mereka akan mengira aku mulai
berulah lagi. Mereka akan mengatakan akulah yang bandel. Mereka sudah
mengingatkan agar aku menyesuaikan diri di sekolah ini.
Tapi mana bisa aku menyesuaikan diri dengan monster yang
ingin memakanku seperti dia memakan tikus itu"
Aku harus meyakinkan orangtuaku. Mereka mesti
mengeluarkan aku dari sini.
Aku memelankan langkah. Jantungku berdebar kencang.
Mulutku mendadak sangat kering dan aku tak bisa menelan.
Aku mencari-cari telepon umum. Apa saja.
Kenapa anak-anak lain tidak ada yang minta tolong" pikirku.
Molly, Celeste, Brad, dan anak-anak lainnya tahu ini masalah
serius. Kedua cewek itu sudah berusaha memperingatkanku.
Tapi kenapa mereka tidak menelepon orangtua masing-masing"
Kenapa mereka tidak mencoba meloloskan diri"
Aku berbelok dan berjalan ke arah asrama. Tidak ada telepon di
sini. Di lorong juga tidak ada.
Akhirnya aku melihat sebuah telepon umum tersembunyi di
suatu sudut gelap di ujung lorong.
Dengan terengah-engah aku mengangkatnya dan menekan
angka nol. "Halo" Halo?" teriakku panik. "Halo" Operator?"
9 "OPERATOR" Halo?" teriakku dengan nyaring.
Terdengar suara dari mesin penjawab, "Harap menutup telepon.
Para murid hanya diperbolehkan menelepon keluar pada hari-hari
libur." "Hah" Hari libur?" Aku terkesiap. "Aku tidak akan hidup
sampai hari libur berikutnya."
Aku akan menjadi kalkun santapan Mrs. Maaargh untuk hari
Thanksgiving. Aku menutup telepon, lalu mengangkatnya lagi dan mencoba
mengubungi rumahku. Tapi lagi-lagi mesin itu yang menjawab.
Kutinggalkan telepon itu tanpa meletakkannya lagi di
tempatnya. Apa yang harus kulakukan" Kucoba melenyapkan rasa panik
yang mencekik tenggorokanku dan membuat lututku gemetar.
Aku mesti keluar dari sekolah ini. Kami semua mesti pergi dari
sini. Dengan berdebar-debar aku lari kembali ke ruang makan untuk
mencari teman-temanku. Kulihat Molly, Celeste, dan Brad berjalan
bersama-sama sambil berbicara.
"Hei!" panggilku terengah-engah. "Kita mesti pergi. Kita mesti
keluar dari sini." Celeste melihat arlojinya. "Waktu istirahat masih ada sepuluh
menit," katanya. "Bagaimana reaksi Mrs. Maaargh?" tanya Molly.
"Dia benar-benar monster!" teriakku. "Dia benar-benar akan
memakan salah satu dari kita."
"Itu sih kami sudah tahu!" seru Celeste. "Kan kami sudah
memperingatkanmu, Paul."
"Tapi... tapi... kenapa kita masih berdiri di sini" Ayo kita pergi
dari tempat ini!"
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Celeste mendesah. "Tidak bisa. Tidak mungkin."
Brad juga menggeleng. "Kami pernah mencoba, berkali-kali.
Tidak ada jalan keluar dari sekolah ini."
"Kami sudah mencoba berbagai cara," Molly menimpali.
"Segala cara. Begitu tahu bahwa Mrs. Maargh itu monster, kami
mencoba menelepon orangtua kami, tapi anak-anak..."
"Hanya dibolehkan menelepon pada hari-hari libur. Aku sudah
tahu," erangku. "Aku tadi juga berusaha menelepon."
"Kami pernah menulis surat ke rumah," kata Brad, "tapi kurasa
pihak sekolah membuang surat kami. Orangtua kami tidak pernah
membalas." "Kami juga pernah mencoba memberitahu Mr. Klane dan guruguru lainnya, tapi mereka tidak percaya," kata Celeste. "Mereka pikir
kami mengada-ada, cuma karena Mrs. Maaargh tampaknya aneh."
"Kita mesti bertindak," aku memohon. "Kita tidak bisa dudukduduk diam saja. AYOLAH!"
Molly mendesah. Ia menyibakkan poninya yang menutupi mata.
Kelihatannya ia sangat ketakutan. Matanya berkaca-kaca. "Satusatunya yang bisa kita lakukan adalah berusaha agar tidak berada
paling bawah pada rantai makanan," katanya pelan.
"Kita mesti berlatih untuk pertunjukan bakat itu," Brad
menimpali. "Mrs. Maaargh akan mengadakan audisi hari Minggu
sore." "Minggu?" Aku tercekat. "Tapi aku tidak punya bakat.
Maksudku, aku tidak tahu..."
"Kami semua membuat laporan agar mendapat nilai tambahan,"
kata Celeste. "Kau mesti segera membuat laporan, Paul. Yang bagus."
"Laporan?" seruku. "Laporan tentang apa?"
"Dan proyek sains," kata Brad. "Kami semua membuat proyek
sains untuk mendapat nilai ekstra."
"Tapi aku masih baru di sini!" protesku. "Aku tidak tahu mesti
bagaimana." Molly menatapku lekat-lekat. "Kalau kau tidak punya bakat dan
kau tidak membuat proyek tambahan..." Ia tidak menyelesaikan
kalimatnya. Kami semua tahu kelanjutannya. Ia ingin mengatakan bahwa
kalau aku tidak cepat bertindak, aku akan menjadi yang dimangsa.
Aku memandangi yang lainnya. Bagaimana mungkin aku
bersaing dengan mereka" Mereka semua hebat-hebat dan berbakat.
"Ini sinting," kataku. "Aku tidak terima. Tidak! Aku akan
menemui Kepala Sekolah. Dia mesti menolong kita. Dia mesti
percaya pada kita." "Jangan, Paul! Tunggu!" Molly berseru ketakutan.
"Tunggu!" Brad dan Celeste juga memanggil.
Tapi aku tidak menunggu. Aku langsung pergi.
Aku pasti bisa meyakinkan Kepala Sekolah bahwa Mrs.
Maaargh adalah monster, pikirku sambil menerobos kerumunan anakanak yang terkejut. Aku pasti bisa meyakinkannya.
Akan kubawa Kepala Sekolah ke ruang kelas Mrs. Maaargh.
Akan kuperlihatkan padanya tabel rantai makanan itu dan kandangkandang binatang yang kosong. Akan kuminta ia mendengarkan
pernyataan Celeste, Molly, Brad, dan anak-anak lainnya.
Mereka akan mengatakan pada Kepala Sekolah bahwa Mrs.
Maaargh adalah monster, dan Kepala Sekolah pasti percaya kalau
mendengar kesaksian kami semua.
Aku terbang ke kantornya. Aku belum pernah bertemu Kepala
Sekolah, tapi aku tahu letak kantornya. Aku melewatinya ketika aku
datang tadi pagi. Kulihat arlojiku. Sebentar lagi lonceng tanda pelajaran dimulai
berbunyi. Masa bodoh. Urusanku lebih penting.
Aku berusaha menyelamatkan hidup kami semua.
Aku berhenti di depan pintu bertuliskan KEPALA SEKOLAH
CARING ACADEMY. Pintu itu terkunci.
Masih terengah-engah aku mengetuk.
Tak lama kemudian terdengar suara, "Masuk."
Dia ada di dalam. Syukurlah!
Aku menarik napas panjang, lalu membuka pintu. "Anda mesti
menolongku," kataku.
"Menolongmu" Menolong bagaimana?" Kepala Sekolah
mengangkat wajah dari mejanya.
Dan aku berteriak ketakutan.
10 "Di"di mana Kepala Sekolah?" tanyaku terbata-bata. "Aku...
eh... perlu menanyakan sesuatu."
Mrs. Maaargh berdiri di belakang mejanya. "Paul, akulah
kepala sekolahnya," katanya, dagunya bergoyang-goyang di bawah
wajahnya yang lembek. "Apa tidak ada yang memberitahumu?"
"Tidak!" Tanganku gemetar, jadi kumasukkan ke saku
celanaku. "Itu sebabnya aku ada di sini," si monster melanjutkan.
"Sekolah ini membutuhkan kepala sekolah baru. Tapi aku juga senang
mengajar. Aku tidak tahan jauh-jauh dari para murid. Mengajar anakanak sangat... memberikan kepuasan."
Ia keluar dari balik meja. Kakinya yang telanjang menimbulkan
suara basah di karpet. Ia mulai mengitariku, mata cokelatnya
mengawasiku dengan lapar.
Perutnya berkeruyuk. Keras sekali, sampai aku terlompat.
Bunyinya seperti bathtub yang sedang dikosongkan.
"Aku... aku ingin menelepon orangtuaku," kataku.
Mrs. Maaargh menggeleng. Pipinya bergoyang-goyang. "Ini
bukan hari libur," katanya.
"Ini tidak adil!" sentakku. "Ini tidak... manusiawi!"
Senyumnya semakin lebar. "Aku memang bukan manusia,"
katanya. "Aku ini monster."
"Tapi... Anda tidak boleh makan anak-anak," teriakku.
"Aku cuma makan satu anak," sahutnya.
Ia mengangkat daguku dengan satu tangannya. Kulitnya terasa
licin dan lembap. Ia mendekatkan wajah ke wajahku. Napasnya
berbau apa ya" Bau tikus"
"Kau agak kurus," bisiknya. "Apa kau cukup makan selama
ini?" "Aku... aku..."
"Jangan tegang begitu, Paul," ia memarahiku. "Nanti kau tidak
enak dimakan kalau terlalu tegang."
"Tidak!" teriakku. "Lepaskan!"
Aku mencoba mundur, tapi ia mencengkeram tenggorokanku
dan menyipitkan matanya yang kecil padaku.
"Kenapa kau begitu yakin akan menjadi makananku?"
tanyanya. "Tidak...!" jeritku. "Tidak... bukan aku!"
Ia melepaskan cengkeramannya dan kembali tersenyum.
"Belajarlah yang rajin, Paul," katanya. "Berusahalah sebaik mungkin.
Mungkin prestasimu bisa mengejutkanku."
Aku membalikkan tubuh darinya dengan berdebar-debar dan
tubuh gemetar. "Mungkin prestasimu bisa mengejutkanku," ulangnya. "Tapi
kurasa tidak," tambahnya.
Aku terhuyung-huyung ke pintu, membukanya, dan melesat ke
lorong. Lonceng sudah berbunyi. Lorong panjang itu sunyi dan kosong.
Ke mana aku harus pergi" Apa yang mesti kulakukan"
Cuma satu yang bisa kulakukan. Aku mesti membuktikan
bahwa dugaannya salah. Aku tidak akan menjadi mangsanya.
Aku tidak bisa masuk kelas, pikirku. Aku akan ke kamarku saja,
diam di sana dan berpikir, mencoba membuat rencana.
Aku berlari-lari kecil, berbelok... dan bertumbukan dengan
Marv. Kami sama-sama berseru kaget.
"Hei," katanya. Ia mengangkat sebuah kantong kertas kecil
berwarna cokelat dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Ini
untukmu," katanya. Ia mengulurkan tangannya padaku. Kue. Sepotong kue cokelat
besar. "Kau mau?" Ia mendekatkan kue itu ke wajahku.
Dia bersekongkol dengan ibunya, pikirku.
Dia mencoba membuatku gemuk.
"Tidak!" teriakku. Kudorong dia dan aku lari.
Ternyata aku salah besar!
11 SABTU pagi, sesudah sarapan, aku mengikuti Molly, Celeste,
dan Brad ke ruang musik. Mereka akan berlatih untuk audisi
pertunjukan bakat hari Minggu besok.
"Si Marv itu benar-benar nyebelin," keluh Brad.
Aku baru saja menceritakan bahwa Marv berusaha
menggemukkanku agar enak dimakan ibunya. "Apa dia memberimu
kue cokelat juga?" tanyaku pada Brad.
Brad menggeleng sambil membuka kotak biolanya. "Tidak,
kemarin, waktu aku sedang latihan biola, dia masuk kemari, ingin
mencoba biolaku." Molly sudah mengangkat biolanya ke bahunya, untuk
menyelaraskannya. "Lalu bagaimana reaksimu?" tanyanya pada Brad.
"Kauizinkan dia mencoba?"
"Tidak akan!" kata Brad. "Kusuruh dia keluar."
"Dia cuma kesepian," sela Celeste. "Dia tidak cocok berada di
sekolah ini. Mestinya kau lebih ramah padanya, Brad."
"Tidak usyah ya!" kata Brad sambil menyelaraskan biolanya.
"Brad benar," kata Molly. "Marv juga monster. Jangan lupa itu.
Dia sangat dekat dengan ibunya, dan sekarang dia ikut menakut-nakuti
Paul." "Aku tidak takut padanya," gerutu Brad. "Kalau dia
menggangguku lagi, tahu rasa dia."
Molly mendesah. Ia menurunkan biolanya dan berkata pada
Brad, "Aku... aku takut sekali, Brad. Masa kita mesti bersaing"
Kenapa Mrs. Maaargh tidak mengizinkan kita sama-sama bermain
biola dalam pertunjukan itu?"
"Tidak usah dipikirkan," sahut Brad. "Aku yakin kau bisa
menampilkan pertunjukan lain setelah aku memenangkan audisi
besok." Molly memandangi Brad dengan terkejut.
Brad minta maaf. "Sori, cuma bercanda. Wow, semuanya
tegang amat sih!" "Tentu saja kami tegang!" seru Celeste. "Salah satu dari kita
akan dimakan!" Aku merasa sesuatu bergerak di jendela pintu ruang musik. Aku
menoleh dan melihat Marv. Ia memandangi kami dengan mata
bulatnya yang hitam. Memandang tanpa berkedip.
Aku merinding. Marv menjauh. Ketika aku menoleh kembali pada teman-temanku, mereka
sedang memandangiku. "Kau sendiri bagaimana?" tanya Celeste.
"Ya, apa yang akan kautampilkan, Paul?" tanya Molly.
Aku angkat bahu. "Entahlah. Aku sudah memikirkannya
semalaman." "Dan...?" desak Brad sambil menggaruk-garuk rambutnya.
"Ehm... mungkin aku akan menceritakan lelucon," kataku.
"Gagasan buruk," komentar Celeste. "Kalau leluconmu tidak
membuat penonton tertawa, kau akan langsung dipindahkan ke tempat
paling bawah pada rantai makanan."
"Yeah, terlalu riskan," Brad sependapat.
"Lalu aku mesti bagaimana?" teriakku. "Aku tidak bisa nyanyi
seperti kau, Celeste. Aku tidak bisa memainkan alat musik. Dan..."
"Aku punya ide," sela Molly. "Agak aneh, tapi pokoknya ide."
Kami semua memandanginya. Ia meletakkan biolanya di
pangkuan. "Membuat binatang dari balon," katanya.
Aku mengernyit. "Apa?"
"Aku baru ingat, ibuku memasukkan sekotak balon di koperku,"
kata Molly. "Kau pasti bisa berlatih membuat binatang-binatang lucu
dari balon itu, dan sambil membuatnya kau bisa menceritakan
lelucon." "Bagus juga idenya," kata Brad. "Bisa lucu."
"Yeah, lebih baik daripada cuma berdiri menceritakan lelucon,"
tambah Celeste. "Yah..." Aku ragu-ragu. "Oke, akan kucoba. Trims, Molly."
"Kau mesti minta izin dulu pada Mrs. Maaargh," kata Brad.
"Benar, dia mesti memberikan persetujuannya dulu," kata
Celeste. "Pergilah minta izin," kata Molly sambil memasukkan biolanya
ke dalam kotak. "Biasanya dia ada di ruang kelas pada pagi hari
Sabtu." Ia menutup kotaknya, lalu lekas-lekas keluar dari ruang musik.
Aku agak enggan menemui Mrs. Maaargh lagi, tapi aku tak
punya pilihan. Aku menyusuri lorong panjang menuju ruang kelas.
Setelah menarik napas dalam-dalam, aku melangkah ke ruang
kelas yang gelap. "Mrs. Maaargh?"
Aku melayangkan pandang. Tidak ada siapa-siapa. Lampulampu mati, kerai-kerai ditutup.
Aku menyalakan lampu. "Ada orang di sini?"
Kulihat tabel rantai makanan itu ada di depan kelas.
"Wah!" seruku. Namaku sudah diturunkan, ketiga dari bawah,
persis di atas Molly dan seorang anak bernama Peter Clarke.
Kenapa aku dipindahkan begitu rendah" Karena aku menolak
tawaran kue cokelat dari Marv" Atau karena aku berusaha menelepon
ke luar" Atau karena Mrs. Maaargh tidak menyukaiku"
"Kau tidak akan bisa memakanku," kataku keras-keras. "Tidak
akan kubiarkan." Aku berbalik hendak keluar, tapi sesuatu di bagian belakang
ruangan menarik perhatianku.
Kandang kelinci. Pintunya terbuka lebar. Ke mana kelincinya" Aku maju beberapa langkah... dan terhenti. "Ohhhh!" Aku
mengerang mual ketika melihat benda di lantai.
Mulanya kukira itu bola kapas.
Setelah kupandangi, tahulah aku.
Sepotong ekor putih. Ekor kelinci. Kelincinya sudah tidak ada.
Dimakan. ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Mrs. Maaargh mulai beraksi mendaki rantai makanan.
12 MRS. MAAARGH mengadakan audisi di ruang kelas, sebab
auditorium sedang digunakan oleh kelompok lain. "Aku yakin acara
ini menyenangkan untuk kita semua," katanya bersemangat.
Ia mengenakan gaun kuning cerah yang membuatnya tampak
lebih besar daripada matahari. Rambutnya disanggul seperti gunungan
Tiga Naga Sakti 18 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Misteri Serigala Berkaki Tiga 1
PROLOG KAUPIKIR kau sudah aman di tempat tidur.
Di luar jendela kamarmu, angin mendesing, menggetarkan kaca
jendela. Kau mendengar lolongan nyaring binatang dan suara cabang
pohon mengetuk-ngetuk tembok rumah.
Kau tidak peduli. Tempat tidurmu hangat dan empuk. Kautarik
selimutmu lebih tinggi dan kaubenamkan kepalamu di bantal.
Desing angin dan lolongan binatang itu terdengar jauh di luar.
Kau aman di sini, hangat dan nyaman.
Kau tidak melihat sulur-sulur hijau ramping yang menjulur naik
dari bawah tempat tidurmu. Mereka merayap ke atas, basah berkilat,
terus dan terus naik, seperti tanaman rambat.
Matamu terpejam dan bibirmu tersenyum.
Kau sedang memikirkan hal lucu yang kauucapkan pada
orangtuamu hingga mereka terpingkal-pingkal.
Kau tidak melihat sulur-sulur panjang itu melilitmu,
menggulungmu di dalam selimut, seperti ular-ular yang gemuk.
Kau tidak mendengar geraman makhluk di kolong tempat
tidurmu. Kaukira itu suara angin di luar. Kau tidak mendengar bahwa
geraman makhluk itu semakin keras sementara ia makin erat
melilitkan sulur-sulurnya yang panjang di tubuhmu.
Selimutmu begitu tebal, sampai-sampai kau tidak merasakan
belitan sulur-sulur itu... dan akhirnya sudah terlambat.
Sekarang kau tak bisa bergerak.
Makhluk itu menggeram dan menjepitmu. Lengan-lengannya
yang hijau panjang membelitmu lebih erat... lebih erat.
Kau serasa tenggelam, terus tenggelam ke dalam kegelapan
pekat. Kau membuka mulut untuk menjerit, tapi tak ada suara yang
keluar. Sulur-sulur hijau dan basah itu menjepitmu lebih erat. Di bawah
tempat tidur, makhluk itu menggeram dan terbatuk-batuk.
Kau megap-megap mencari napas. Akhirnya kau menjerit. Kau
membuka mulut, lalu menjerit dan terus menjerit.
Ketika berumur tiga dan empat tahun, aku sering mengalami
mimpi buruk seperti itu. Hampir setiap malam Mom dan Dad lari
masuk ke kamarku, menyalakan lampu, lalu duduk di tempat tidurku
sambil memegangi tanganku dan mengatakan bahwa semua itu hanya
mimpi. "Monster itu tidak ada, Paul."
Begitulah selalu kata mereka.
Waktu masih kecil, aku percaya pada monster. Anak empat
tahun masih harus belajar banyak. Mereka tidak tahu mana kenyataan
mana khayalan. Aku sering ketakutan. Aku percaya pada eksistensi hantu,
monster, dan makhluk-makhluk aneh lainnya.
Anak sebelah rumah mengatakan di bawah garasiku ada mumi,
dan aku percaya. Aku tidak pernah ke garasi sesudah gelap.
Aku tidak mau berenang di danau kalau kami pergi berlibur.
Mom dan Dad tak pernah bisa membujukku. Kubayangkan di dasar
danau itu ada makhluk-makhluk gelap dan lengket, menunggu dengan
cakar, taring, dan sengat mereka.
Oke, oke, kalian boleh bilang aku pengecut. Aku penakut.
Kuakui, memang begitulah aku. Mungkin itu sebabnya aku jadi
senang melucu. Aku melucu agar bisa mengatasi rasa takutku.
Dan cara itu memang ampuh.
Aku belajar membedakan mana yang nyata dan mana yang
tidak. Aku belajar menyadari kalau anak rumah sebelah sedang
menggodaku. Sekarang umurku dua belas tahun dan aku tidak pernah
bermimpi buruk lagi. Aku tak perlu lagi melongok kolong ranjang
sebelum tidur. Desau angin tidak lagi kukira hantu, dan aku berani
pergi ke garasi siang atau malam.
Besok aku akan masuk ke sekolah baru. Untuk pertama kalinya
aku masuk sekolah asrama.
Aku tenang-tenang saja. Memang, tegang juga sih. Tapi aku
tidak takut. Aku tahu kebanyakan manusia itu normal dan baik, ke mana
pun kita pergi. Dunia ini normal dan biasa-biasa saja.
Tidak ada yang namanya monster.
Monster hanya untuk menakut-nakuti anak tiga tahun.
Iya kan" Iya kan" 1 "ITU bukan salahku."
"Jangan membuat alasan lagi, Paul," Mom memperingatkan.
"Tapi itu bukan salahku. Itu salah Harold."
Mom dan Dad saling pandang, lalu menggeleng-geleng dengan
kesal. Oke. Mungkin memang aku yang salah.
Akulah yang membawa Harold, si kakaktua, ke sekolah.
Aku juga yang mengajarinya mengucapkan, Jangan bikin PR.
Gurunya bloon. Mana aku tahu dia akan mengucapkannya di tengah pelajaran"
Dan terus mengulanginya"
Aku sudah minta maaf pada Miss Hammett. Kukatakan Haroldlah yang mengarang-ngarang ucapan itu.
Apa dia percaya" Tidak lah yauw! Ia menyeretku ke kantor KepSek. Tebak apa yang terjadi saat
kami ke sana" Aku tak sengaja menjegal kakinya.
Ia jatuh di kakiku dan lututnya memar. Ia melolong kesakitan
sampai dua guru lain membantunya berdiri dan membawanya pergi.
Aku tidak sengaja. Swear! Aku memang payah. Kukatakan
pada Miss Hammett bahwa aku tidak sengaja. Ia tidak percaya.
Sesudah peristiwa itu, ia menyiksaku. Banyak PR ekstra, aku
selalu disuruh maju paling awal dan dibuat malu setiap ada
kesempatan. Kucoba menarik simpatinya lagi. Kucoba membuat ia tertawa.
Begitulah caraku selalu untuk mengambil hati orang.
"Mr. Perez, coba eja kata MISSISSIPPI."
"Yang nama sungai atau negara bagian?"
Lucu juga kan leluconku"
Tapi Miss Hammett melotot marah padaku.
Kucoba lagi. Berkali-kali. Anak-anak lain tertawa, tapi Miss
Hammett tersenyum pun tidak.
"Miss Hammett benar-benar gawat. Dia benci padaku. Aku
tidak bakal dapat nilai bagus dari dia," aku mengeluh pada
orangtuaku. Mom dan Dad sangat mementingkan nilai bagus. Mereka
berdua orang sukses. Dad diangkat menjadi presiden di perusahaannya tahun lalu.
Mom seorang pengacara, tapi tidak buka praktek. Mom sering menulis
artikel panjang dan serius tentang hukum di semua jurnal hukum
bergengsi, juga tampil di TV untuk membahas semua pengadilan
penting. Ngerti kan" Orangtuaku adalah orang-orang serius. Aku tahu mereka sering
heran, kenapa mereka punya anak yang konyol seperti aku. Aku tahu
mereka kecewa padaku. Begitu mendengar aku mendapat masalah di sekolah, mereka
langsung bicara pada Miss Hammett dan Kepala Sekolah. Minggu
berikutnya mereka memberitahuku bahwa mereka akan memberiku
kesempatan yang lebih baik.
"Kami sudah memilihkan sekolah asrama yang sangat bagus
untukmu," kata Dad. "Sekolah itu biasanya hanya menerima murid-murid terbaik di
seluruh negara," kata Mom, "tapi ayahmu dan aku menelepon
beberapa orang dan menghubungi beberapa koneksi. Mereka akan
menerimamu sebagai murid percobaan."
"Aku dicoba?" seruku. "Maksudnya aku dicicipi enak atau
tidak?" Lihat kan" Aku selalu melucu kalau sedang gugup.
"Mungkin aku bisa coba minta maaf lagi pada Miss Hammett,"
kataku. "Mungkin aku juga bisa menyuruh Harold minta maaf."
"Masalahnya bukan pada Miss Hammett," kata Dad. "Tapi pada
kelakuanmu, Paul. Kau perlu sekolah yang serius untuk menemukan
minat dan bakatmu yang sesungguhnya."
"Kau perlu membuktikan pada dirimu sendiri bahwa kau bisa
mencapai cita-citamu," Mom menambahkan.
Nah, kan" Ini seriusnya benar-benar serius dengan S besar.
Aku berdebar-debar. Mendadak aku menggigil. Aku tidak mau
meninggalkan rumah. Tidak mau masuk sekolah yang asing bagiku,
dengan murid-murid yang serius dan selalu dapat A.
"Apa nama sekolah itu?" tanyaku.
"Caring Academy," sahut Dad. Ia menunjukkan sehelai brosur
dengan foto sebuah bangunan besar dari batu, terletak di puncak bukit.
Kelihatannya seperti puri Drakula.
"Caring Academy?" aku berseru nyaring. "Jelek amat namanya!
Kayak nama rumah sakit."
"Sekolah itu didirikan oleh keluarga Caring," kata Mom.
"Mereka keluarga New England lama dan mendirikan sekolah itu pada
tahun 1730." "Terlalu tua," gerutuku. "Pasti toiletnya sudah rusak semua."
Aku bermaksud melucu, tapi mereka tidak tertawa.
"Ini kesempatan kedua yang sangat bagus bagimu, Paul," kata
Dad sambil meletakkan tangan di bahuku. "Sangat sulit meyakinkan
mereka agar menerimamu. Aku yakin kau akan berusaha sebaik
mungkin." "Tapi kenapa sekolah asrama?" sanggahku. "Aku belum pernah
tinggal di sekolah. Pergi kemping saja tidak pernah."
Dad membimbingku ke ruang tamu. "Dunia di luar sana keras,
Paul," katanya pelan, seperti membisikkan suatu rahasia.
Ia mengerutkan kening. "Semakin lama dunia di luar itu
semakin keras. Kita memakan atau dimakan."
Aku melongo memandangnya, berusaha memahami ucapannya.
Memakan atau dimakan. Memakan atau dimakan. Waktu itu aku tidak mengerti sepenuhnya.
Tak kusangka ucapannya menjadi kenyataan.
2 CARING ACADEMY. Tulisan itu terpampang di gerbang besi
yang tinggi saat mobil kami memasukinya. "Apa ya nama tim sepak
bolanya" Mungkin Tim Cerdas. Atau Tim Cakep!"
Tidak terlalu lucu, sih, tapi aku tertawa juga pada leluconku
sendiri. Aku melompat-lompat seperti bayi di jok belakang mobil.
Aku tak bisa duduk diam. "Ini sekolah yang sangat serius," kata Mom. "Di sini tidak ada
tim sepak bolanya, Paul."
Bangunan sekolah itu benar-benar seperti puri Drakula. Di
kedua ujungnya ada dua menara batu yang tinggi. "Kalau kau nakal,
kau dikurung di menara," seruku dengan suara diseram-seramkan.
Orangtuaku tidak mengacuhkan.
Awan tampak kelabu. Beberapa tetes besar air hujan
membasahi kaca depan mobil kami. Jalan sempit ini membawa kami
ke pekarangan yang gelap. Guntur membahana di atas menara gelap
itu. Suasananya benar-benar seperti di film horor.
"Kenapa sih sekolah ini dibangun di atas bukit begini?"
tanyaku. "Jauhnya minta ampun dari kota terdekat
"Mungkin karena pemandangannya bagus," sahut Dad.
Bercanda. "Mungkin juga karena mereka butuh privasi," kata Mom.
Tak lama kemudian kami sudah berada di dalam gedung
sekolah itu. Ternyata di dalam terang benderang dan suasananya ceria.
Tembok-temboknya berwarna kuning hangat, dihiasi poster warnawarni. Setiap pintu di lorong panjang ini diberi warna cat berbeda.
Seorang lelaki besar berbahu kekar dengan rambut kelabu tebal
dan kacamata berbingkai hitam datang bergegas di lorong yang ramai
itu untuk memperkenalkan diri. "Aku Mr. Klane, Wali Murid,"
katanya dengan suara berat. "Mari kubantu membawa koper-koper
itu." Di balik sweater putihnya orang ini tampak berotot dan berdada
bidang. Seperti Superman. Ia mengangkat koperku yang berat dengan
satu tangan dan mengantar kami ke kamarku.
"Kamar-kamar ada di sayap ini," ia menjelaskan, "Ruang-ruang
kelas ada di ujung lain." Suaranya yang berat menggema di lorong
panjang itu. Ia mendekatkan tubuh padaku. "Ruang penyiksaan ada di
bawah," bisiknya. Aku melongo. Ia tertawa tergelak-gelak. "Hati-hati, Paul," ia mengingatkan.
"Teman-temanmu semuanya cerdas. Dan mereka senang sekali
mempermainkan anak baru."
Sambil berjalan, kuperhatikan anak-anak di sini. Semuanya
kelihatannya normal-normal saja. Pakai jeans dan T-shirt, sweater dan
pullover, dan rompi-rompi tanpa kancing. Tidak berbeda dengan anakanak di sekolahku yang lama.
Memangnya kaupikir mereka seperti apa, Paul" tanyaku pada
diri sendiri. Kaukira anak-anak di sini semuanya pakai kaus
bergambar Beethoven dan suka membaca ensiklopedi sambil jalan"
Kami belok ke sebuah lorong lain yang juga panjang. Mom dan
Dad mengikuti di belakang, membawakan perlengkapanku. Kami
melewati pintu bertuliskan KEPALA SEKOLAH CARING
ACADEMY. "Nanti kau akan bertemu dengan Kepala Sekolah," kata
Mr. Klane. Anak-anak bergegas menyingkir memberi jalan. Mr. Klane
membawa koperku yang besar seperti membawa kotak makan siang
saja. Seorang anak bertubuh pendek gempal dan agak aneh
menyingkir ketika kami lewat. Wajahnya bundar dan pucat, dengan
mata hitam yang kecil serta rambut hitam licin yang dibelah tengah. Ia
seperti tikus mondok. Itu lho, binatang gendut yang warnanya merah
muda dan hidup di bawah tanah.
"Kau sedang apa di sini, Marv?" bentak Mr. Klane padanya.
Sebelum anak itu sempat menjawab, Mr. Klane sudah mendorongnya.
"Pergi sana! Kau kan tahu, kau tidak boleh berada di sini."
Anak itu menggumamkan sesuatu, lalu menjauh. Cara
berjalannya aneh, agak diseret-seret. Bentuk anak ini seperti bola
boling berkaki. Mr. Klane mengawasinya sampai ia menghilang di belokan, lalu
kami melanjutkan perjalanan. "Apa minat utamamu, Paul?" tanyanya.
"Hah" Minat apa?" Aku berusaha menyamai langkahnya.
"Minat utamamu dalam pelajaran," kata Mr. Klane.
"Makan siang?" gurauku.
Kulihat Mom dan Dad merengut sambil geleng-geleng kepala.
"Paul belum menemukan hasrat hatinya," kata Mom pada Mr. Klane.
Hasrat hati" Bleeh! Aku ingin muntah.
Mr. Klane mengangguk. "Murid-murid di sini sangat berbakat,
Paul," katanya. "Mereka hebat. Sayangnya, mereka semua belajar
terlalu keras." Hebat, pikirku sinis. Tempat ini benar-benar cocok buatku.
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang aku sial, atau aku memang sial"
"Ini kamarmu," kata Mr. Klane sambil membuka sebuah pintu
biru. Kami masuk. Kamar itu cerah, dengan dua tempat tidur, dua
lemari pakaian, dua meja, dan sebuah sofa kecil berwarna merah.
"Kau sekamar dengan Brad Caperton. Dia anak baik," kata Mr.
Klane. Ia menaruh koperku di ranjang yang kosong. "Brad sedang
latihan biola. Kalau sudah selesai, dia akan kemari."
"Kamar yang bagus," kata Mom sambil mengelilinginya. "Dan
kau punya teman sekamar, Paul. Asyik, kan?"
Aku menggeleng. "Aku pernah coba main harmonika, tapi
harmonikanya tertelan olehku."
Di luar jendela yang sempit, guntur menggelegar. Suaranya
mengguncangkan ruangan ini.
Mom dan Dad membongkar isi koperku. Mr. Klane
mengamatiku dari balik kacamatanya yang tebal dan berbingkai
hitam. "Tidak mudah masuk sekolah pada bulan November," katanya.
"Tapi kau pasti bisa mengikuti. Kalau kau belajar rajin."
"Paul memang ingin rajin belajar," kata Dad sambil
memandangiku dengan tegas.
"Aku mesti ke kantor sekarang," kata Mr. Klane sambil melihat
arlojinya. Ia berjabat tangan dengan Mom dan Dad. "Senang
berkenalan dengan Anda."
Ia berbalik ke arahku di ambang pintu. "Akan kusuruh dua
orang anak mengantarmu ke kelasmu. Semoga sukses, Paul." Lalu ia
pergi.ebukulawas.blogspot.com
Guntur kembali mengguncangkan ruangan ini. Lampu-lampu
berkeredap, tapi tidak mati.
Setengah jam berlalu. Selesai membongkar isi koper-koper,
kami saling mengucapkan selamat tinggal dan berpelukan.
Lalu Mom dan Dad pergi. Aku ditinggal di puri gelap di atas
bukit ini. Terperangkap di sebuah sekolah dengan anak-anak serius
yang rajin belajar. Mendadak aku teringat Harold. Kakaktuaku yang malang,
sendirian di rumah tanpa ada yang mengajari mengucapkan kalimatkalimat lucu.
"Jangan bikin PR. Gurunya bloon!" Kucoba menirukan suara
Harold. Ternyata mirip sekali.
Kudengar suara tawa cekikikan. Aku menoleh dan melihat dua
cewek di ambang pintu. "Aku... sedang meniru suara kakaktua," kataku. Wajahku merah
padam. "Aku Celeste Majors," kata salah satu cewek itu. Ia bertubuh
pendek, dengan rambut ikal pirang dan wajah berbintik-bintik. Mata
hijaunya berbinar-binar di balik kacamata berbingkai kawat.
Celeste penggemar warna ungu. Sweater ungu, jeans ungu,
sepatu ungu. Cewek satunya bernama Molly Bagby. Ia jangkung dan sangat
kurus, dengan rambut hitam lurus dan poni menutupi mata.
Molly juga mengenakan jeans"warna hitam, dengan kedua
lutut berlubang"dan sweatshirt merah dengan rompi kulit hitam. Di
satu telinganya menggantung tiga anting kecil dari perak.
"Mr. Klane meminta kami menunjukkan kelasmu," kata Molly.
"Kau siap?" Aku mengangguk. Dan hendak beranjak ke pintu.
Tapi kedua cewek itu bergegas masuk sambil menutup pintu
dengan keras. Celeste menoleh ke belakangnya dengan tegang, lalu berpaling
ke Molly. "Ada yang melihat kita, tidak?"
"Ku... kurasa tidak," sahut Molly. "Dengar... Paul?"
Matanya menatapku tajam. "Kau mesti cepat-cepat," katanya
berbisik. "Hah" Cepat-cepat?" Aku melongo memandang mereka.
Kenapa mereka kelihatannya begitu ketakutan"
"Dengarkan kami," bisik Celeste sambil menoleh lagi ke pintu.
"Pergilah dari sini."
"Apa?" tanyaku.
"Jangan tanya-tanya," kata Molly dengan mulut dirapatkan.
Dagunya gemetar. "Pokoknya pergilah dari sekolah ini, Paul. Selagi
masih bisa." 3 CELESTE mencengkeram lenganku dan mendorongku ke
pintu. "Mungkin orangtuamu belum pergi. Mungkin kau masih bisa
menyusul mereka." "Tapi... tapi..." Aku tergagap-gagap.
"Cepat!" seru Molly.
Aku membuka pintu... dan bertumbukan dengan Mr. Klane.
Aku mundur, rasanya seperti tertabrak truk.
"Kalian masih di sini?" tanyanya pada Molly dan Celeste. "Ada
masalah?" "Tidak, tidak ada masalah," sahut Celeste cepat-cepat sambil
menarik-narik lengan sweater-nya. "Kami cuma sedang menunjukkan
pada Paul..." "Ya, menunjukkan letak tempat-tempat," sela Molly. "Ruang
olahraga, ruang makan siang."
"Bagus." Mr. Klane tersenyum padaku. "Tapi Paul tidak boleh
terlambat masuk kelas. Mrs.. Maaargh tidak akan suka."
Mrs. ... siapa" Mr. Klane membuka pintu lebar-lebar. Kedua cewek itu
memimpin jalan ke lorong. Mr. Klane mengikuti sambil bersiul-siul
sendiri. Kedua cewek itu tidak berbicara lagi sepanjang jalan.
Kami melewati jalan masuk depan, lalu masuk ke lorong tempat
ruang-ruang kelas berada. Anak-anak dengan ransel di punggung
bergegas masuk ke ruangan-ruangan di situ.
Mendadak aku tertawa. Aku baru menyadari apa yang
dilakukan Molly dan Celeste padaku tadi. Rupanya begitulah cara
mereka memberi ucapan selamat datang pada anak baru.
Mr. Klane sudah mengingatkanku untuk waspada. Katanya
anak-anak di sini senang mempermainkan anak baru.
Wow, aku benar-benar tertipu, pikirku. Tadi aku sempat
ketakutan. Kulihat kedua cewek itu memandangiku sementara kami
berjalan. Mereka rupanya heran, kenapa aku tertawa. Aku diam saja.
Aku tidak sebodoh tampaknya, pikirku.
Kami masuk ke sebuah ruang kelas. Ruang 333. Mulanya
kukira kami terlambat. Kupikir pelajaran sudah dimulai, sebab
ruangan itu sunyi sekali.
Tapi tidak ada guru di depan kelas.
Beberapa anak asyik membaca buku. Dua anak sedang
mengetik dengan giat di komputer. Beberapa sedang menulis di buku
catatan. Aku mengikuti Molly dan Celeste masuk. "Mrs. Maaargh
sebentar lagi datang," bisik Celeste sambil menyibakkan rambut
pirangnya yang ikal. "Jangan sampai kau membuat dia marah."
"Hati-hatilah...," Molly memperingatkan.
Tapi ucapannya terhenti oleh kehadiran seorang anak lelaki
berambut cokelat kaku seperti paku. Anak itu berjalan ke belakangnya
dan sengaja menabrakkan diri dengan bergurau. "Hentikan, Brad,"
bentak Molly. "Hei, gimana?" tanya Brad padaku. "Aku teman sekamarmu.
Kau sudah lihat ruangan kita?"
"Yeah. Sudah," sahutku. "Tapi ruangannya terlalu sempit untuk
barang-barangku, jadi sebagian barangmu kulemparkan ke lorong."
Sejenak Brad melongo. Ketika tahu aku cuma bercanda, ia
tertawa. Molly dan Celeste tidak ikut tertawa. Mereka masih saja
menatap tegang ke pintu kelas.
"Sebaiknya kita duduk," bisik Molly. "Mrs. Maaargh senang
kalau kita duduk rapi di kursi masing-masing."
Aku menoleh... dan terkejut ketika melihat sepasang kaki
menjulur dari langit-langit. Aku menengadah dan melihat seorang
anak tergantung dengan tali.
Eh... bukan. Bukan anak sungguhan. Hanya boneka. Aku cepat-cepat menoleh, berharap Brad dan
kedua cewek itu tidak mendengar desah kagetku. Aku sangat malu
karena bisa dibodohi. Pada pinggang boneka itu tergantung tulisan: JANGAN LUPA
PERTUNJUKAN BAKAT HARI JUMAT TANGGAL 18
NOVEMBER. Brad melihatku memandangi boneka itu. "Apa bakatmu, Paul?"
tanyanya. "Bakat" Eh... rasanya aku tidak punya," kataku mengakui.
Ketiga anak itu memandangiku. "Tidak punya bakat?" seru
Molly sambil menyibakkan poninya yang hitam. "Kau tidak mungkin
masuk ke sekolah ini tanpa bakat khusus."
Aku mesti bilang apa, ya" Aku tidak mau mengatakan bahwa
aku masuk ke sini karena pengaruh orangtuaku. "Apa bakatmu?"
tanyaku pada Molly, untuk mengalihkan perhatian mereka.
Molly mengernyit. "Aku punya masalah sedikit. Aku main
biola, begitu juga Brad."
"Kok itu kausebut masalah?" tanyaku.
Molly mengangguk. "Kata Mrs. Maaargh, hanya boleh ada satu
pemain biola dalam pertunjukan itu. Brad dan aku mesti bersaing.
Pemenangnya akan tampil dalam pertunjukan. Yang kalah mesti
menampilkan pertunjukan lain."
"Jangan khawatir," kata Brad pada Molly. "Kau kan jauh lebih
hebat daripada aku. Kau bisa menang dengan mudah."
Molly berseru pelan. "Coba kita bisa sama-sama menang, Brad.
Aku... aku takut sekali."
"Hei, ini kan cuma pertunjukan," aku menyela. "Iya kan?"
Tidak ada yang menyahut. Semua anak tekun membaca.
"Aku menyanyi," kata Celeste padaku. "Sejauh ini hanya ada
satu penyanyi, jadi aku aman. Kau tidak akan menyanyi, kan, Paul?"
"Tidak," kataku. "Kata ayahku, suaraku fals. Kenapa sih semua
orang cemas sekali tentang pertunjukan ini?"
Lagi-lagi tak ada yang menjawab. Ketiga anak itu menoleh ke
pintu. Belum ada guru yang datang.
"Kau mesti memutuskan akan menampilkan apa," kata Brad.
"Kalau tidak..." Ia tidak melanjutkan ucapannya.
Mereka cuma menakut-nakutiku, pikirku. Mereka sengaja
menggodaku. "Aku punya bakat, kok!" seruku. "Aku bisa menari. Tarianku
hebat." Aku mulai beraksi, menari dengan boneka yang tergantung dari
langit-langit itu. Aku menari dengan bersemangat sambil
bersenandung keras-keras.
Kukira seisi kelas akan tertawa. Kukira mereka akan berseruseru dan bertepuk tangan.
Di sekolahku yang lama, anak-anak pasti akan ribut bukan
main. Tapi di sini tidak ada yang memperhatikanku. Mereka terus saja
membaca sambil menulis di buku.
Kupeluk boneka itu erat-erat dan kubawa berdansa tango.
Tidak ada yang tertawa. Tidak ada yang berseru-seru. Brad,
Molly, dan Celeste melongo memandangiku dengan ekspresi
ketakutan. Kenapa sih mereka ini" Ini kan lucu.
Aku berputar dengan gila-gilaan. "OOOPS!" Boneka itu
terlepas dari tanganku. Aku meraihnya, dan terpeleset, lalu jatuh menimpa boneka itu.
Seisi kelas tetap bungkam.
Aku mengangkat kepala dan hendak bangkit dari atas boneka
itu. Tapi aku berhenti karena di ambang pintu tampak sesosok
tubuh raksasa. Mrs. Maaargh. Aku ternganga memandanginya dalam posisi merangkak di
lantai. Ibu guru itu mengenakan gaun merah mengilat. Tubuhnya
begitu lebar, sampai-sampai memblokir cahaya dari lorong.
Ia menyipitkan mata cokelatnya yang berair padaku, lalu
menggeram, "Kau pasti Paul."
Sekarang semua anak memandangiku, termasuk anak-anak
yang tadi asyik mengetik di komputer.
Aku berdiri dari lantai. "Maaf," gumamku. Aku membungkuk
untuk mengambil boneka itu, tapi Mrs. Maaargh memberi isyarat
dengan tangannya yang besar agar aku membiarkan saja boneka itu di
lantai. "Kemarilah, Paul." Suaranya serak, seperti ada kerikil di
kerongkongannya. Aku ragu-ragu dan memandangi gaun merah cerahnya yang
memenuhi ambang pintu. "Kemarilah, Paul," ulangnya. Matanya yang berair masih tetap
terarah padaku. Ia tidak mengerjap.
Wajahnya yang bundar sama sekali tanpa ekspresi.
"Kemarilah." Aku melirik Molly dan Celeste. Wajah mereka tegang dan mata
mereka membelalak... ketakutan"
Kumasukkan kedua tanganku ke saku celana, lalu pelan-pelan
aku bergerak ke ambang pintu. "Aku cuma main-main dengan boneka
itu," kataku. Mrs. Maaargh mengangguk. "Aku ingin mencobaimu," katanya
pelan. Aku tertegun. Apa katanya"
"Kemarilah, Paul," ulangnya. "Aku ingin mencicipimu."
Kudengar Celeste terkesiap pelan di belakangku.
Tidak ada suara lain. Ruangan itu begitu sunyi, dan aku hanya
mendengar suara langkah kakiku di lantai kayu.
Aku mendekati Mrs. Maaargh dan tersenyum sangat manis.
"Hai," kataku. Ia meraih lenganku dan menarik tanganku dari saku.
Lalu, sambil menggeram pelan, ia menundukkan kepala,
menjulurkan lidahnya yang gemuk basah dan berwarna merah muda,
seperti lidah sapi. Dan ia menjilati lenganku, mulai dari pergelangan sampai ke
bahu. 4 KUDENGAR erangan muak dari anak-anak di belakangku, tapi
ketika aku menoleh, mereka semua menunduk, pura-pura tidak
melihat. Iiihh! Lenganku terasa geli, lengket, dan basah.
Mrs. Maaargh melepasku, lalu menyeringai. Tetes-tetes ludah
masih menempel di giginya.
"Enak." Rasanya itulah yang dikatakannya.
Aku ternganga kaget. Aku tak percaya. Benarkah tadi dia
menjilatiku" Aku berdiri melongo. Wanita itu benar-benar aneh. Kepalanya besar sekali. Rambut
cokelatnya yang tebal disanggul dan diberi pensil di puncaknya.
Ia balas menatapku dengan mata cokelatnya yang berair. Seperti
mata sapi. Kulitnya kuning pucat, seperti bulu anak ayam di
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
supermarket. Pipinya bergelambir dan bergoyang-goyang kalau ia
menyeringai. Seluruh wajahnya menggantung di atas bahunya, seperti
adonan kue yang masih mentah.
"Kau boleh duduk, Paul," katanya kemudian. "Duduklah di
dekat bagian belakang sana."
Aku senang sekali bisa menjauh darinya. Aku berjalan secepat
mungkin ke bagian belakang. "Kau melihat tidak" Dia menjilatku,"
bisikku pada Celeste ketika aku melewati kursinya.
Celeste pura-pura tidak mendengar. Ia mencengkeram
komputernya erat-erat sampai buku-buku jarinya memutih.
Ini cuma lelucon, pikirku.
Tak lama lagi kami semua akan tertawa ramai-ramai.
Tapi tak ada yang tersenyum.
Saat melangkah ke barisan belakang, kulihat serangkaian
kandang ditaruh di meja, dekat dinding. Di dalamnya ada seekor
kelinci putih, tupai kecil kelabu, guinea pig, dan seekor tikus putih.
Apa kelas ini tidak terlalu tua untuk mempelajari binatangbinatang seperti itu" pikirku.
Dengan hati-hati aku melangkahi kaki seorang gadis berambut
merah, lalu duduk di depan seorang anak lelaki bertampang serius
yang sama sekali tidak mengangkat wajah dari bukunya.
Aku duduk dan meletakkan ranselku. Meja kayu ini sudah
retak-retak dan penuh goresan. Di salah satu sudutnya terukir dua
kata: TOLONG AKU. Kugosok-gosokkan jariku di ukiran itu sambil memandang ke
depan kelas. Mrs. Maaargh masih berdiri di ambang pintu. Ia belum
bergerak. Apa dia terlalu besar dan tidak bisa masuk" pikirku.
"Hari ini kita mulai dengan membahas PR tata bahasa,"
katanya. "Paul, kurasa salah seorang anak di sini akan bersedia
membantumu mengikuti pelajaran."
Sambil menggeram ia mendesak masuk melalui ambang pintu.
Gaun merahnya bergoyang-goyang ketika ia bergerak. Baru kali ini
aku melihat gaun sebesar tenda begitu.
Dagu Mrs. Maaargh bergerak-gerak, begitu juga sanggulnya
yang tinggi. Saat ia berjalan ke mejanya terdengar suara SER SER.
Aku mencondongkan tubuh dan melongok ke bawah... dan
terperangah. Mrs. Maaargh tidak mengenakan alas kaki.
Kakinya besar sekali. Besar dan gemuk, seperti bantal, dan
menimbulkan suara basah yang memuakkan di lantai kayu.
"Ohhhh!" Aku mengerang ketika melihat kakinya yang aneh.
Kakinya tidak berjari. Tidak berjari!
Yang ada adalah cakar-cakar hitam mengilap.
Aku merasa mual dan perutku bergolak.
Lalu suara ibu guru itu memecah kesunyian, "Kau memandangi
apa, Paul" Kau punya masalah?"
5 JANTUNGKU berdebar kencang. Aku menoleh ke Celeste, lalu
ke Molly. Apa mereka melihat kaki yang menjijikkan itu"
Kedua anak itu duduk sangat tegak dengan mata tertuju pada
wajah Mrs. Maaargh. Aku melayangkan pandang, mencari-cari Brad, dan
menemukannya di barisan depan. Ia sedang mengetuk-ngetukkan
pensil di mejanya dengan santai, pura-pura tidak ada apa-apa.
Aku menoleh lagi ke Mrs. Maaargh. Kucoba tidak memandangi
kakinya, tapi tidak bisa.
"Apa yang kaupandangi?" Mrs. Maaargh bertanya lagi.
"Ha" Aku..." Keningku mulai berkeringat. "Aku.. tidak
memandangi apa-apa kok " Suaraku hanya berupa bisikan.
Mrs. Maaargh menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar.
"Apa belum ada yang memberitahumu bahwa aku ini monster?"
Debar jantungku semakin kencang. "Ehm..."
Mrs. Maaargh beranjak ke sebuah tabel di depart kelas. Kakinya
menimbilkan bunyi basah di lantai, setiap kali a bergerak.
Ia mengambil sebuah tongkat penunjuk dan mengarahkannya ke
puncak tabel, ke kata-kata RANTAI MAKANAN.
"Ada yang bisa menjelaskan pada Paul tentang rantai
makanan?" tanyanya. Matanya yang besar bergerak memandang ke
seluruh ruangan. "Mary?"
Mary adalah gadis berambut merah di ujung barisanku. "Yang
besar memakan yang kecil," katanya takut-takut. "Maksudku, yang
kuat memakan yang lebih lemah."
Mrs. Maaargh mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tabel itu
dengan tak sabar. "Kurang tepat," katanya. "Lebih tepat kalau
dikatakan bahwa spesies yang lebih tinggi memakan spesies yang
lebih rendah." Brad mengangkat tangan. "Ikan-ikan kecil memakan plankton,"
katanya. "Ikan-ikan yang lebih besar memakan ikan-ikan kecil, dan
ikan-ikan yang lebih besar dimakan lagi oleh ikan-ikan yang paling
besar." "Dan manusia memakan ikan yang paling besar," kata seorang
anak lelaki gemuk di dekat jendela.
"Dan monster memakan manusia," Mrs. Maaargh menggeram.
Wajahnya yang bergelambir bergoyang-goyang ketika ia membuka
mulutnya dan tertawa terbahak-bahak.
Tak ada yang ikut tertawa.
Aku memandangi tabel itu. Ada sekitar dua puluh sampai dua
puluh lima kartu putih disusun berurutan, masing-masing kartu ditulisi
nama setiap anak di kelas.
Apa ini semacam tabel prestasi" pikirku. Waktu di kelas dua
kami punya tabel semacam itu. Penilaian dilakukan dengan bintang
emas atau perak. Agak kekanak-kanakan untuk anak kelas enam.
"Paul, kau tahu makhluk apa yang menjadi pemakan paling
bawah?" Mrs. Maaargh membuyarkan pikiranku dengan suaranya
yang serak. Aku tercekat. "Eh... di danau atau lautan... pemakan paling
bawah adalah ikan yang berenang di dasar laut dan memakan
segalanya." Kuhapus keringat di keningku dengan punggung tangan.
"Benar." Mrs. Maaargh menyeringai. "Tidak enak berada di
dasar, bukan, anak-anak?"
Beberapa anak menggeleng, beberapa menggumam, "Tidak."
"Kalau kalian berada di dasar, kalian akan dimakan," kata Mrs.
Maaargh dengan bersemangat.
Kulihat Molly memegangi kepalanya, seperti sakit kepala. Di
sampingnya, Celeste menutupi mulutnya dengan dua tangan.
"Paul, di sekolah ini semua muridnya ingin berada di puncak,"
Mrs. Maaargh melanjutkan. Sambil bicara ia mengetuk-ngetukkan
tongkatnya pada tabel rantai makanan itu. "Dan di kelasku semua anak
berusaha keras untuk tetap berada di puncak."
Mrs. Maargh mencondongkan tubuh, dagunya bergoyanggoyang, matanya yang berair tertuju padaku. "Karena apa, Paul"
Karena aku adalah pemakan yang paling bawah. Benar! Setelah
pertunjukan bakat berakhir, aku akan memeriksa rantai makanan ini.
Akan kulihat siapa yang berada paling bawah. Lain aku akan berpesta
pora memakannya." Seluruh tubuhnya bergoyang ketika ia tertawa terbahak-bahak.
Ia terus tertawa sambil memukul-mukul lututnya, hingga gaunnya
berguncang-guncang seperti tenda penuh bola.
Aku ikut tertawa. Aku merasa semua ini lucu sekali.
Gurauannya benar-benar keterlaluan. Tapi sangat lucu. Anak
baru pasti ketakutan kalau tidak menyadari bahwa semua ini hanya
gurauan. Tapi aku sendiri senang melucu. Ingat" Dan aku tidak bisa
dibohongi. Aku tahu apa yang terjadi.
"Bagus sekali!" seruku. "Lucu sekali! Aku tidak tahan nih!
Aduuh, aku tidak tahan!"
Mrs. Maaargh berhenti tertawa dan wajahnya berubah marah.
"Apa yang lucu?" ia menggeram.
"Semuanya," sahutku. "Maksudku, tabel itu dan semuanya."
"Apa ada lelucon yang tidak kupahami di sini?" tanya Mrs.
Maaargh sambil memandangi seisi kelas. "Coba, ada yang bisa
memberitahukan leluconnya padaku" Aku suka lelucon. Apa yang
lucu?" Hening. Anak gemuk di sampingku terbatuk. Tidak ada yang
bersuara. "Apa kau menertawakan aku, Paul?" tanya Mrs. Maaargh. "Apa
ada sesuatu yang lucu pada diriku?"
"Tidak!" seruku. "Tapi rantai makanan itu..."
"Ya" Kenapa rantai makanan itu?" Ia mengetukkan tongkatnya
begitu keras ke tabel itu, hingga tongkat itu patah. Ia melambaikan
patahannya padaku. "Berenanglah secepat mungkin, Paul," geramnya. "Sebab
sesudah pertunjukan bakat tanggal delapan belas nanti, aku akan
melihat siapa yang berada paling bawah pada rantai makanan itu. Dan
aku akan memakannya, siapa pun dia."
"Bagus!" seruku sambil tertawa. "Nanti aku yang bawa saus
kecapnya." Tidak ada yang tertawa. Kenapa sih anak-anak ini" Kan
ucapanku lucu. Iya kan" Celeste menempelkan satu jari di bibirnya dan memberi isyarat
agar aku tutup mulut. Tapi aku tidak mau tertipu. Tidak usyah ya!
"Bisa kita makan buah sebagai hidangan penutup?" tanyaku.
Lagi-lagi tak ada yang tertawa. Tersenyum pun tidak.
Anak-anak ini benar-benar pintar pura-pura.
Mrs. Maaargh membungkuk di mejanya. Kulihat ia menuliskan
sesuatu. Tak lama kemudian, ia mengangkatnya. Sebuah kartu putih
bertuliskan namaku. PAUL PEREZ.
"Di balik kartu ini ada selotipnya, sehingga aku bisa mencabut
dan menempelkannya," katanya padaku. "Namamu kupasang di
puncak rantai makanan, Paul, sebab kau anak baru."
Dengan gerakan cepat ia memindahkan kartukartu lainnya agar
bisa memasang kartuku. "Ini tidak adil," protes seorang gadis kurus dan pucat di dekat
pintu. "Aku sudah belajar keras supaya tetap di puncak. Kenapa
sekarang dia mengambil tempatku?"
"Tak usah cemas, Sharon," sahut Mrs. Maaargh. "Kurasa dia
tidak akan bertahan lama di tempat itu."
"Taruh dia di tempat paling bawah," teriak anak gemuk di
barisanku. "Ya, taruh dia paling bawah. Paling bawah," beberapa anak
mulai berseru. Wow, pikirku, mereka terlalu serius menanggapi lelucon ini.
Kenapa sih tidak disudahi saja" Sebab sekarang sudah tidak lucu lagi.
"Oke, anak-anak!" Mrs. Maaargh menepukkan tangannya satu
kali. Kedengarannya seperti bunyi kakinya di lantai. "Saat bersenangsenang sudah usai. Sekarang saat belajar."
Aku menggeleng. Saat bersenang-senang"
Menakut-nakuti anak baru dianggapnya bersenang-senang"
"Seperti kataku, hari ini kita mulai dengan PR tata bahasa," kata
Mrs. Maaargh. Ia berbalik ke papan tulis dan menuliskan: MAUKAH KAU
DATANG KE RUMAHKU" AKU AKAN SENANG SEKALI
MEMAKANMU! "Siapa yang mau maju ke depan?" tanyanya.
Semua anak mengacungkan tangan. Wow! Malah ada yang
mengangkat dua tangan. "Aku saja." "Aku saja!" Dasar penjilat semua! "Paul, silakan maju ke depan," geram Mrs. Maaargh. "Kita
lihat, apa kau bisa membedakan antara subjek dan predikat."
Kenapa dia tidak memilih anak lain saja" Kan mereka ingin
maju semua. Kenapa mesti aku"
Aku ragu-ragu. "Cepat!" Ia menghantam papan tulis dengan kepalannya yang
kekar. Bekas kepalannya meninggalkan noda bundar dan basah.
Pelan-pelan aku bangkit dan mulai maju ke depan.
Aku merasa semua mata memandangiku. Celeste
mengacungkan ibu jarinya yang dibalik ke bawah ketika aku melewati
mejanya. "Kalau dia gagal, aku saja yang maju!" seru Brad.
"Baik" sekali teman sekamarku itu.
"Tidak, aku saja."
"Tidak, aku!" Kenapa sih mereka ini" Rupanya anak-anak ini suka sekali
bersaing. "Ini." Mrs. Maaargh memberiku sepotong kapur.
Aku maju selangkah lagi... dan mendengar bunyi BUSSSH.
Kakiku menginjak sesuatu yang lunak.
Aku tercekat dan memandang ke bawah. Dan berteriak,
"Tidaaaak! Oh, tidak!"
6 "OWWWW!" Mrs. Maaargh melolong kesakitan.
Rupanya aku menginjak kakinya.
Sepatuku melesak dalam ke dagingnya yang lunak. Aku harus
susah payah menarik kakiku kembali.
Aku terhuyung mundur dan akhirnya menabrak papan tulis.
Mrs. Maaargh mengempaskan tubuh ke kursinya dan
membungkuk untuk memeriksa kakinya. Sambil mengerang pelan ia
meraba kulitnya yang basah.
"Ma... maaf," kataku tergeragap. "Aku tidak sengaja. Sungguh.
Aku memang canggung."
Mrs. Maaaargh memandangiku dengan mata cokelatnya yang
berair. "Baru awalnya saja kau sudah payah," katanya. "Ingat
peringatanku tadi. Berenanglah secepat kau bisa."
Ia kembali menggosok-gosok kakinya, lalu mengambil sesuatu
dari lantai. "Owww, bisa berminggu-minggu untuk ini tumbuh lagi."
Aku terpekik ngeri ketika melihat apa yang dipegangnya.
Sepotong cakar hitam berkilat.
Ia mengamatinya di antara jemarinya.
Aku memandang kakinya. Empat cakar panjang tampak olehku.
Cakar kelima, yang tadi terinjak olehku, sekarang tinggal sepotong.
Dengan satu gerakan Mrs. Maaargh memotes sisa cakar itu,
memasukkannya ke mulut, dan... memakannya.
Aku terkesiap. Mrs. Maaargh berdiri. Ia terpincang-pincang melewatiku, menuju tabel rantai
makanan, dan menurunkan namaku dua baris.
Lalu ia kembali ke kursinya. Tapi, sebelum duduk, ia meremas
lenganku. "Makan yang banyak, Paul," katanya. "Aku ingin kau cepat
gemuk, oke?" ************** Ketika bel makan siang berbunyi, aku cepat-cepat keluar. Tapi
kulihat banyak anak berbaris di depan Mrs. Maaargh.
"Kelasnya asyik sekali tadi," kata si gadis berambut merah.
"Kelas ini yang terbaik," kata seorang gadis lain.
Mrs. Maaargh tersenyum lebar. Kelihatannya ia sangat senang.
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bleeeh! pikirku. Anak-anak ini bukan sekadar penjilat. Mereka
benar-benar memuakkan. Apa mereka begitu kepingin mendapat A,
sampai mesti menjilat-jilat begitu"
"Menurutku anak baru itu mestinya ditempatkan paling bawah,"
kudengar seorang gadis berkata.
"Ya, taruh dia paling bawah," seorang gadis lain menimpali.
Aku tidak tahan lagi mendengarnya. Gurauan mereka tidak lucu
lagi, dan aku akan mengatakan ini pada Mrs. Maaargh sesudah makan
siang. Di mana ruang makan siang" Aku benci hari-hari pertama di
sekolah baru. Semua mesti serba ditunjukkan.
Untung aku melihat Molly dan Celeste. Cepat-cepat aku
mendekati mereka. "Tidak senang ya, tadi?" kata Celeste sambil menggelengkan
kepala. "Memang," kataku. "Mrs. Maaargh aneh sekali. Menurutmu..."
"Kenapa justru kau yang mengeluh?" ratap Molly. "Apa kau
tidak lihat posisiku di rantai makanan tadi" Kedua dari bawah. Kalau
hari Minggu nanti permainan biolaku payah, habislah aku. Aku bakal
jadi makanan monster itu."
"Stop! Stop!" teriakku. "Bisa dihentikan tidak" Lelucon kalian
tidak lucu lagi." "Lelucon?" Molly memiringkan kepala dan menatapku.
"Lelucon apa" Paul, kalau kaupikir dia cuma bercanda..."
Aku tidak mendengar sisa kalimatnya, sebab serombongan anak
lelaki melewati lorong sambil tertawa-tawa, sehingga ucapan Molly
tidak kedengaran. Antrean anak yang hendak makan siang panjang sekali.
"Makanannya pasti enak," kataku. "Apa ada Kejutan Daging Misterius
di sini" Itu makanan kesukaanku."
Setelah mendapatkan jatah, kami tidak bisa duduk bertiga,
karena tidak ada meja dengan tiga kursi. Maka Molly dan Celeste
duduk berdua. Aku mencari tempat lain.
Aku melayangkan pandang di ruangan luas itu yang berisik itu
dan akhirnya menemukan tempat kosong di ujung.
"Hai," sapaku pada seorang anak gemuk berambut hitam licin
yang duduk di hadapanku. Ia sedang asyik menikmati makanannya,
wajahnya yang bundar hampir terbenam di piringnya.
Rasanya aku pernah melihat anak ini.
"Hei," sahutnya dengan mulut penuh spageti, matanya tetap
pada makanannya. Aku menggigit sandwich-ku. "Namaku Paul," kataku padanya.
"Marv," gumamnya sambil mengangkat wajah dari
makanannya. Sepasang matanya hitam dan kecil dan hidungnya
bengkok. Marv" Ini kan anak yang disuruh pergi oleh Mr. Klane kemarin,
ketika aku baru datang. Marv dan aku makan bersama tanpa bicara selama beberapa
saat. "Aku anak baru. Ini hari pertamaku di sini," kataku, mencoba
membuat percakapan. Marv menyipitkan mata ke arahku. Kedua pipinya berlepotan
saus spageti. "Kau yakin mau duduk di sini?" tanyanya.
"Yeah," kataku. "Kenapa tidak?"
Ia angkat bahu. "Siapa gurumu?" Ia meminum susunya dengan
berisik. "Mrs. Maaargh," kataku. "Dia benar-benar aneh." Aku
memelankan suara. "Dia bilang dia itu monster."
"Yang benar nih!" Marv tampak tak percaya.
"Dia pernah mengajar di kelasmu tidak?" tanyaku.
"Tidak." Marv mengambil sepotong bakso dan memasukkannya
ke mulutnya, menelannya tanpa dikunyah dulu. "Aku masuk kelas Mr.
Thomerson." "Kau beruntung sekali!" seruku. "Mrs. Maaargh tidak pakai
sepatu, dan kakinya seram sekali."
Marv mengangguk. "Kakinya menjijikkan," aku melanjutkan. "Kelihatannya seperti
balon isi air. Dan ada cakar-cakar hitam melengkung di ujungnya."
Kulihat Celeste melambai-lambai padaku dari seberang
ruangan. Mungkin di sana sudah ada tempat kosong. Aku hendak
beranjak. Lalu aku berubah pikiran. Aku ingin bicara dengan Marv, siapa
tahu dia tahu sesuatu tentang Mrs. Maaargh.
"Entah mana yang lebih parah... kakinya atau tabel rantai
makanannya," kataku.
"Dua-duanya parah," kata Marv. "Benar-benar parah."
Celeste masih melambai-lambai padaku dari seberang ruangan.
Aku mengangguk padanya, supaya ia tahu aku sudah melihatnya, tapi
aku terus bicara pada Marv.
"Kau tahu kan tentang tabel rantai makanan itu?" tanyaku.
Marv mengangguk. "Itu cuma lelucon kan?"
Marv menggeleng. "Yang benar saja," erangku. "Masa dia benar-benar akan
memakan seseorang sesudah pertunjukan bakat usai?"
"Mungkin saja," kata Marv dengan mulut penuh spageti.
"O ya?" Aku memutar-mutar bola mataku. "Apa dia makan
seseorang di sini tahun lalu?"
"Tidak," kata Marv. "Tahun lalu dia tidak makan siapa-siapa."
"Sip," kataku cepat. "Sebab semua itu cuma lelucon konyol
kan?" "Tahun lalu dia tidak makan siapa-siapa karena tahun ini tahun
pertamanya di sekolah ini," kata Marv.
"Oh." Celeste mulai melompat-lompat dan terus melambai-lambai
padaku. Molly juga. Kenapa sih mereka" pikirku.
Marv mulai bercerita tentang gurunya. Katanya Mr. Thomerson
baik sekali. Aku menggigit sandwich-ku lagi... dan merasa pakaianku
ditarik-tarik dari belakang.
Ternyata Celeste. Ia meraih lenganku dan menarikku menjauh dari meja.
"Kau gimana sih, Paul?" tanyanya. "Kenapa kau duduk semeja
dengan anak Mrs. Maaargh?"
7 HAH" Aku duduk dengan anak Mrs. Maargh" Dan aku
mengatakan padanya bahwa ibunya adalah monster"
Bagus sekali, Paul. Kau bisa mendapat urutan atas di rantai makanan!
"Astaga, gimana nih?" erangku.
Aku sebenarnya tidak terlalu peduli tentang tantai makanan itu.
Toh itu cuma lelucon konyol. Tapi aku kan berada di sekolah ini
karena di sekolah yang lama aku punya masalah dengan guruku. Aku
tidak boleh sampai mendapat masalah dengan guru ini. Orangtuaku
bisa mengamuk. "Aku mengatakan pada anak Mrs. Maaargh bahwa ibunya jelek
dan aneh!" seruku. "Jangan khawatir," kata Celeste pelan. "Aku yakin Marv tidak
akan mengadu pada ibunya."
"Menurutmu bagaimana?" tanyaku pada Molly.
"Menurutku Celeste pembohong besar."
"Maksudmu..." Molly menyibakkan poninya. "Marv sangat dekat dengan
ibunya. Mungkin saat ini dia sedang mengadukan ucapanmu
"Lalu aku mesti bagaimana dong?" ratapku.
Celeste menggigit bibir, lalu menggelengkan kepala. "Kau
dalam kesulitan besar. Aku sudah mencoba memperingatkanmu."
Molly angkat bahu. "Mungkin dia cuma akan memindahkan
urutanmu ke bawah sedikit. Jangan khawatir. Kau tidak akan merosot
sejauh aku." Ia mendesah cemas.
"Begini saja deh... aku akan menemui Mrs. Maaargh sekarang
juga," kataku. "Aku akan minta maaf padanya, sebelum Marv sempat
mengadukan ucapanku."
"Kau yakin itu gagasan bagus?" tanya Celeste. "Bagaimana
kalau..." Aku tidak menunggu ucapannya selesai. Aku sudah melesat ke
lorong. Aku mesti cepat-cepat ke ruang kelas, sebelum Marv sempat
bicara pada ibunya. Apa yang akan kukatakan"
Nanti juga terpikir. Yang jelas aku mesti minta maaf.
Aku berhenti di depan pintu ruang kelas.
Aku menarik napas panjang untuk memberanikan diri.
Lalu aku masuk ke ruangan itu. "Mrs. Maaargh!" panggilku.
Kulihat ia ada di belakang ruangan, di dekat kandang-kandang
binatang. Ia sedang membungkuk di atas salah satu kandang sambil
bersenandung sendiri. "Mrs. Maaargh?" Aku maju lebih dekat.
Sepertinya ia tidak mendengar. Ia sedang menggumam pelan
dan bersenandung. Aku melihat sebuah piring di atas kandang tikus. Di piring itu
ada beberapa potong biskuit. Di bawahnya si tikus memandangi
sambil menggerak-gerakkan hidungnya yang runcing.
Aku maju lebih dekat. Sedang apa dia" Sekarang aku bisa mendengar ucapannya. "Ini dia si pemakan
paling bawah," katanya. "Siapa yang ada paling bawah sekarang?"
Dan sebelum aku menyadari apa yang terjadi, ia sudah
menangkap tikus putih itu.
Ia mengangkatnya dengan dua tangan, lalu membuka mulut
lebar-lebar... dan menggigit kepala tikus itu.
Kejadiannya begitu cepat, sampai si tikus tidak sempat lagi
mencicit. Aku terpaku ngeri. Mrs. Maaargh mengeluarkan kepala tikus itu
dari mulutnya dan menaruhnya ke atas biskuit di piring.
Lalu ia mengambil biskuit itu dari piring.
Dan melihatku! "Ohhhh!" Aku mengerang dan mundur.
"Paul!" seru Mrs. Maaargh. Ia mengangkat biskuit dengan
kepala tikus di atasnya. "Paul... mau coba?"
8 DIA benar-benar monster! Baru saat itulah aku yakin. Aku tak perlu bukti apa pun lagi.
Tapi masih ada yang kulihat.
Kulihat ia memasukkan biskuit itu ke mulutnya, mengunyahnya
dengan nikmat, dan menelannya.
Perutku bergolak. Rasanya aku ingin memuntahkan lagi makan
siangku tadi. Kututupi mulutku dengan tangan, lalu aku berbalik dan lari.
Aku bertabrakan dengan Marv di ambang pintu dan anak itu
hampir terjatuh. "Hei!" panggilnya.
Tapi aku terus lari di lorong, menerobos anak-anak lainnya.
Dia benar-benar monster. Akhirnya aku percaya.
Dia monster, dan dia akan memakan salah satu dari kami.
Dia monster, dan belum apa-apa dia sudah tidak suka padaku.
Aku pernah menginjak kakinya dan mematahkan cakarnya.
Aku mengatakan pada anaknya bahwa dia aneh dan jelek.
Sial. Aku benar-benar sial, pikirku sambil lari dengan panik di
lorong-lorong panjang itu. Sial... kecuali aku bisa keluar dari sini.
Mom dan Dad. Wajah mereka terlintas dalam benakku.
Kalau tahu bahwa guruku adalah monster, mereka akan
langsung datang. Tidak, belum tentu. Mereka tidak akan percaya. Mereka akan mengira aku mulai
berulah lagi. Mereka akan mengatakan akulah yang bandel. Mereka sudah
mengingatkan agar aku menyesuaikan diri di sekolah ini.
Tapi mana bisa aku menyesuaikan diri dengan monster yang
ingin memakanku seperti dia memakan tikus itu"
Aku harus meyakinkan orangtuaku. Mereka mesti
mengeluarkan aku dari sini.
Aku memelankan langkah. Jantungku berdebar kencang.
Mulutku mendadak sangat kering dan aku tak bisa menelan.
Aku mencari-cari telepon umum. Apa saja.
Kenapa anak-anak lain tidak ada yang minta tolong" pikirku.
Molly, Celeste, Brad, dan anak-anak lainnya tahu ini masalah
serius. Kedua cewek itu sudah berusaha memperingatkanku.
Tapi kenapa mereka tidak menelepon orangtua masing-masing"
Kenapa mereka tidak mencoba meloloskan diri"
Aku berbelok dan berjalan ke arah asrama. Tidak ada telepon di
sini. Di lorong juga tidak ada.
Akhirnya aku melihat sebuah telepon umum tersembunyi di
suatu sudut gelap di ujung lorong.
Dengan terengah-engah aku mengangkatnya dan menekan
angka nol. "Halo" Halo?" teriakku panik. "Halo" Operator?"
9 "OPERATOR" Halo?" teriakku dengan nyaring.
Terdengar suara dari mesin penjawab, "Harap menutup telepon.
Para murid hanya diperbolehkan menelepon keluar pada hari-hari
libur." "Hah" Hari libur?" Aku terkesiap. "Aku tidak akan hidup
sampai hari libur berikutnya."
Aku akan menjadi kalkun santapan Mrs. Maaargh untuk hari
Thanksgiving. Aku menutup telepon, lalu mengangkatnya lagi dan mencoba
mengubungi rumahku. Tapi lagi-lagi mesin itu yang menjawab.
Kutinggalkan telepon itu tanpa meletakkannya lagi di
tempatnya. Apa yang harus kulakukan" Kucoba melenyapkan rasa panik
yang mencekik tenggorokanku dan membuat lututku gemetar.
Aku mesti keluar dari sekolah ini. Kami semua mesti pergi dari
sini. Dengan berdebar-debar aku lari kembali ke ruang makan untuk
mencari teman-temanku. Kulihat Molly, Celeste, dan Brad berjalan
bersama-sama sambil berbicara.
"Hei!" panggilku terengah-engah. "Kita mesti pergi. Kita mesti
keluar dari sini." Celeste melihat arlojinya. "Waktu istirahat masih ada sepuluh
menit," katanya. "Bagaimana reaksi Mrs. Maaargh?" tanya Molly.
"Dia benar-benar monster!" teriakku. "Dia benar-benar akan
memakan salah satu dari kita."
"Itu sih kami sudah tahu!" seru Celeste. "Kan kami sudah
memperingatkanmu, Paul."
"Tapi... tapi... kenapa kita masih berdiri di sini" Ayo kita pergi
dari tempat ini!"
Goosebumps - Guru Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Celeste mendesah. "Tidak bisa. Tidak mungkin."
Brad juga menggeleng. "Kami pernah mencoba, berkali-kali.
Tidak ada jalan keluar dari sekolah ini."
"Kami sudah mencoba berbagai cara," Molly menimpali.
"Segala cara. Begitu tahu bahwa Mrs. Maargh itu monster, kami
mencoba menelepon orangtua kami, tapi anak-anak..."
"Hanya dibolehkan menelepon pada hari-hari libur. Aku sudah
tahu," erangku. "Aku tadi juga berusaha menelepon."
"Kami pernah menulis surat ke rumah," kata Brad, "tapi kurasa
pihak sekolah membuang surat kami. Orangtua kami tidak pernah
membalas." "Kami juga pernah mencoba memberitahu Mr. Klane dan guruguru lainnya, tapi mereka tidak percaya," kata Celeste. "Mereka pikir
kami mengada-ada, cuma karena Mrs. Maaargh tampaknya aneh."
"Kita mesti bertindak," aku memohon. "Kita tidak bisa dudukduduk diam saja. AYOLAH!"
Molly mendesah. Ia menyibakkan poninya yang menutupi mata.
Kelihatannya ia sangat ketakutan. Matanya berkaca-kaca. "Satusatunya yang bisa kita lakukan adalah berusaha agar tidak berada
paling bawah pada rantai makanan," katanya pelan.
"Kita mesti berlatih untuk pertunjukan bakat itu," Brad
menimpali. "Mrs. Maaargh akan mengadakan audisi hari Minggu
sore." "Minggu?" Aku tercekat. "Tapi aku tidak punya bakat.
Maksudku, aku tidak tahu..."
"Kami semua membuat laporan agar mendapat nilai tambahan,"
kata Celeste. "Kau mesti segera membuat laporan, Paul. Yang bagus."
"Laporan?" seruku. "Laporan tentang apa?"
"Dan proyek sains," kata Brad. "Kami semua membuat proyek
sains untuk mendapat nilai ekstra."
"Tapi aku masih baru di sini!" protesku. "Aku tidak tahu mesti
bagaimana." Molly menatapku lekat-lekat. "Kalau kau tidak punya bakat dan
kau tidak membuat proyek tambahan..." Ia tidak menyelesaikan
kalimatnya. Kami semua tahu kelanjutannya. Ia ingin mengatakan bahwa
kalau aku tidak cepat bertindak, aku akan menjadi yang dimangsa.
Aku memandangi yang lainnya. Bagaimana mungkin aku
bersaing dengan mereka" Mereka semua hebat-hebat dan berbakat.
"Ini sinting," kataku. "Aku tidak terima. Tidak! Aku akan
menemui Kepala Sekolah. Dia mesti menolong kita. Dia mesti
percaya pada kita." "Jangan, Paul! Tunggu!" Molly berseru ketakutan.
"Tunggu!" Brad dan Celeste juga memanggil.
Tapi aku tidak menunggu. Aku langsung pergi.
Aku pasti bisa meyakinkan Kepala Sekolah bahwa Mrs.
Maaargh adalah monster, pikirku sambil menerobos kerumunan anakanak yang terkejut. Aku pasti bisa meyakinkannya.
Akan kubawa Kepala Sekolah ke ruang kelas Mrs. Maaargh.
Akan kuperlihatkan padanya tabel rantai makanan itu dan kandangkandang binatang yang kosong. Akan kuminta ia mendengarkan
pernyataan Celeste, Molly, Brad, dan anak-anak lainnya.
Mereka akan mengatakan pada Kepala Sekolah bahwa Mrs.
Maaargh adalah monster, dan Kepala Sekolah pasti percaya kalau
mendengar kesaksian kami semua.
Aku terbang ke kantornya. Aku belum pernah bertemu Kepala
Sekolah, tapi aku tahu letak kantornya. Aku melewatinya ketika aku
datang tadi pagi. Kulihat arlojiku. Sebentar lagi lonceng tanda pelajaran dimulai
berbunyi. Masa bodoh. Urusanku lebih penting.
Aku berusaha menyelamatkan hidup kami semua.
Aku berhenti di depan pintu bertuliskan KEPALA SEKOLAH
CARING ACADEMY. Pintu itu terkunci.
Masih terengah-engah aku mengetuk.
Tak lama kemudian terdengar suara, "Masuk."
Dia ada di dalam. Syukurlah!
Aku menarik napas panjang, lalu membuka pintu. "Anda mesti
menolongku," kataku.
"Menolongmu" Menolong bagaimana?" Kepala Sekolah
mengangkat wajah dari mejanya.
Dan aku berteriak ketakutan.
10 "Di"di mana Kepala Sekolah?" tanyaku terbata-bata. "Aku...
eh... perlu menanyakan sesuatu."
Mrs. Maaargh berdiri di belakang mejanya. "Paul, akulah
kepala sekolahnya," katanya, dagunya bergoyang-goyang di bawah
wajahnya yang lembek. "Apa tidak ada yang memberitahumu?"
"Tidak!" Tanganku gemetar, jadi kumasukkan ke saku
celanaku. "Itu sebabnya aku ada di sini," si monster melanjutkan.
"Sekolah ini membutuhkan kepala sekolah baru. Tapi aku juga senang
mengajar. Aku tidak tahan jauh-jauh dari para murid. Mengajar anakanak sangat... memberikan kepuasan."
Ia keluar dari balik meja. Kakinya yang telanjang menimbulkan
suara basah di karpet. Ia mulai mengitariku, mata cokelatnya
mengawasiku dengan lapar.
Perutnya berkeruyuk. Keras sekali, sampai aku terlompat.
Bunyinya seperti bathtub yang sedang dikosongkan.
"Aku... aku ingin menelepon orangtuaku," kataku.
Mrs. Maaargh menggeleng. Pipinya bergoyang-goyang. "Ini
bukan hari libur," katanya.
"Ini tidak adil!" sentakku. "Ini tidak... manusiawi!"
Senyumnya semakin lebar. "Aku memang bukan manusia,"
katanya. "Aku ini monster."
"Tapi... Anda tidak boleh makan anak-anak," teriakku.
"Aku cuma makan satu anak," sahutnya.
Ia mengangkat daguku dengan satu tangannya. Kulitnya terasa
licin dan lembap. Ia mendekatkan wajah ke wajahku. Napasnya
berbau apa ya" Bau tikus"
"Kau agak kurus," bisiknya. "Apa kau cukup makan selama
ini?" "Aku... aku..."
"Jangan tegang begitu, Paul," ia memarahiku. "Nanti kau tidak
enak dimakan kalau terlalu tegang."
"Tidak!" teriakku. "Lepaskan!"
Aku mencoba mundur, tapi ia mencengkeram tenggorokanku
dan menyipitkan matanya yang kecil padaku.
"Kenapa kau begitu yakin akan menjadi makananku?"
tanyanya. "Tidak...!" jeritku. "Tidak... bukan aku!"
Ia melepaskan cengkeramannya dan kembali tersenyum.
"Belajarlah yang rajin, Paul," katanya. "Berusahalah sebaik mungkin.
Mungkin prestasimu bisa mengejutkanku."
Aku membalikkan tubuh darinya dengan berdebar-debar dan
tubuh gemetar. "Mungkin prestasimu bisa mengejutkanku," ulangnya. "Tapi
kurasa tidak," tambahnya.
Aku terhuyung-huyung ke pintu, membukanya, dan melesat ke
lorong. Lonceng sudah berbunyi. Lorong panjang itu sunyi dan kosong.
Ke mana aku harus pergi" Apa yang mesti kulakukan"
Cuma satu yang bisa kulakukan. Aku mesti membuktikan
bahwa dugaannya salah. Aku tidak akan menjadi mangsanya.
Aku tidak bisa masuk kelas, pikirku. Aku akan ke kamarku saja,
diam di sana dan berpikir, mencoba membuat rencana.
Aku berlari-lari kecil, berbelok... dan bertumbukan dengan
Marv. Kami sama-sama berseru kaget.
"Hei," katanya. Ia mengangkat sebuah kantong kertas kecil
berwarna cokelat dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Ini
untukmu," katanya. Ia mengulurkan tangannya padaku. Kue. Sepotong kue cokelat
besar. "Kau mau?" Ia mendekatkan kue itu ke wajahku.
Dia bersekongkol dengan ibunya, pikirku.
Dia mencoba membuatku gemuk.
"Tidak!" teriakku. Kudorong dia dan aku lari.
Ternyata aku salah besar!
11 SABTU pagi, sesudah sarapan, aku mengikuti Molly, Celeste,
dan Brad ke ruang musik. Mereka akan berlatih untuk audisi
pertunjukan bakat hari Minggu besok.
"Si Marv itu benar-benar nyebelin," keluh Brad.
Aku baru saja menceritakan bahwa Marv berusaha
menggemukkanku agar enak dimakan ibunya. "Apa dia memberimu
kue cokelat juga?" tanyaku pada Brad.
Brad menggeleng sambil membuka kotak biolanya. "Tidak,
kemarin, waktu aku sedang latihan biola, dia masuk kemari, ingin
mencoba biolaku." Molly sudah mengangkat biolanya ke bahunya, untuk
menyelaraskannya. "Lalu bagaimana reaksimu?" tanyanya pada Brad.
"Kauizinkan dia mencoba?"
"Tidak akan!" kata Brad. "Kusuruh dia keluar."
"Dia cuma kesepian," sela Celeste. "Dia tidak cocok berada di
sekolah ini. Mestinya kau lebih ramah padanya, Brad."
"Tidak usyah ya!" kata Brad sambil menyelaraskan biolanya.
"Brad benar," kata Molly. "Marv juga monster. Jangan lupa itu.
Dia sangat dekat dengan ibunya, dan sekarang dia ikut menakut-nakuti
Paul." "Aku tidak takut padanya," gerutu Brad. "Kalau dia
menggangguku lagi, tahu rasa dia."
Molly mendesah. Ia menurunkan biolanya dan berkata pada
Brad, "Aku... aku takut sekali, Brad. Masa kita mesti bersaing"
Kenapa Mrs. Maaargh tidak mengizinkan kita sama-sama bermain
biola dalam pertunjukan itu?"
"Tidak usah dipikirkan," sahut Brad. "Aku yakin kau bisa
menampilkan pertunjukan lain setelah aku memenangkan audisi
besok." Molly memandangi Brad dengan terkejut.
Brad minta maaf. "Sori, cuma bercanda. Wow, semuanya
tegang amat sih!" "Tentu saja kami tegang!" seru Celeste. "Salah satu dari kita
akan dimakan!" Aku merasa sesuatu bergerak di jendela pintu ruang musik. Aku
menoleh dan melihat Marv. Ia memandangi kami dengan mata
bulatnya yang hitam. Memandang tanpa berkedip.
Aku merinding. Marv menjauh. Ketika aku menoleh kembali pada teman-temanku, mereka
sedang memandangiku. "Kau sendiri bagaimana?" tanya Celeste.
"Ya, apa yang akan kautampilkan, Paul?" tanya Molly.
Aku angkat bahu. "Entahlah. Aku sudah memikirkannya
semalaman." "Dan...?" desak Brad sambil menggaruk-garuk rambutnya.
"Ehm... mungkin aku akan menceritakan lelucon," kataku.
"Gagasan buruk," komentar Celeste. "Kalau leluconmu tidak
membuat penonton tertawa, kau akan langsung dipindahkan ke tempat
paling bawah pada rantai makanan."
"Yeah, terlalu riskan," Brad sependapat.
"Lalu aku mesti bagaimana?" teriakku. "Aku tidak bisa nyanyi
seperti kau, Celeste. Aku tidak bisa memainkan alat musik. Dan..."
"Aku punya ide," sela Molly. "Agak aneh, tapi pokoknya ide."
Kami semua memandanginya. Ia meletakkan biolanya di
pangkuan. "Membuat binatang dari balon," katanya.
Aku mengernyit. "Apa?"
"Aku baru ingat, ibuku memasukkan sekotak balon di koperku,"
kata Molly. "Kau pasti bisa berlatih membuat binatang-binatang lucu
dari balon itu, dan sambil membuatnya kau bisa menceritakan
lelucon." "Bagus juga idenya," kata Brad. "Bisa lucu."
"Yeah, lebih baik daripada cuma berdiri menceritakan lelucon,"
tambah Celeste. "Yah..." Aku ragu-ragu. "Oke, akan kucoba. Trims, Molly."
"Kau mesti minta izin dulu pada Mrs. Maaargh," kata Brad.
"Benar, dia mesti memberikan persetujuannya dulu," kata
Celeste. "Pergilah minta izin," kata Molly sambil memasukkan biolanya
ke dalam kotak. "Biasanya dia ada di ruang kelas pada pagi hari
Sabtu." Ia menutup kotaknya, lalu lekas-lekas keluar dari ruang musik.
Aku agak enggan menemui Mrs. Maaargh lagi, tapi aku tak
punya pilihan. Aku menyusuri lorong panjang menuju ruang kelas.
Setelah menarik napas dalam-dalam, aku melangkah ke ruang
kelas yang gelap. "Mrs. Maaargh?"
Aku melayangkan pandang. Tidak ada siapa-siapa. Lampulampu mati, kerai-kerai ditutup.
Aku menyalakan lampu. "Ada orang di sini?"
Kulihat tabel rantai makanan itu ada di depan kelas.
"Wah!" seruku. Namaku sudah diturunkan, ketiga dari bawah,
persis di atas Molly dan seorang anak bernama Peter Clarke.
Kenapa aku dipindahkan begitu rendah" Karena aku menolak
tawaran kue cokelat dari Marv" Atau karena aku berusaha menelepon
ke luar" Atau karena Mrs. Maaargh tidak menyukaiku"
"Kau tidak akan bisa memakanku," kataku keras-keras. "Tidak
akan kubiarkan." Aku berbalik hendak keluar, tapi sesuatu di bagian belakang
ruangan menarik perhatianku.
Kandang kelinci. Pintunya terbuka lebar. Ke mana kelincinya" Aku maju beberapa langkah... dan terhenti. "Ohhhh!" Aku
mengerang mual ketika melihat benda di lantai.
Mulanya kukira itu bola kapas.
Setelah kupandangi, tahulah aku.
Sepotong ekor putih. Ekor kelinci. Kelincinya sudah tidak ada.
Dimakan. ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Mrs. Maaargh mulai beraksi mendaki rantai makanan.
12 MRS. MAAARGH mengadakan audisi di ruang kelas, sebab
auditorium sedang digunakan oleh kelompok lain. "Aku yakin acara
ini menyenangkan untuk kita semua," katanya bersemangat.
Ia mengenakan gaun kuning cerah yang membuatnya tampak
lebih besar daripada matahari. Rambutnya disanggul seperti gunungan
Tiga Naga Sakti 18 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Misteri Serigala Berkaki Tiga 1