Pencarian

Kisah Hantu Goosebumps I 2

Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 Bagian 2


Kalian bisa baca tentang diriku di koran lokal. "MICHAEL
BURNS ANDALAN KITA". "MICHAEL BURNS LAGI-LAGI
MEMBAWA KEMENANGAN BAGI LYNNFIELD".
Itulah aku. Michael Burns. Tapi sekarang aku menyesal pernah
menjadi pemain bisbol. Sekarang segalanya berbeda. Aku juga
berbeda. Berapa lama waktu telah berlalu sejak siang hari yang
mengubah hidupku itu" Entahlah. Tapi aku bisa mengingat segalanya
dengan jelas, seolah semua itu baru kemarin terjadi.
********* Latihan bisbol. Kami baru saja selesai pemanasan di lapangan.
Coach Manning berseru, "Hei, Mike, giliranmu memukul!"
Dalam setiap permainan aku selalu menjadi pemukul kunci.
Jelas saja. Aku yang terbaik.
Tapi ini cuma latihan, dan pelatih suka mengganti posisi kami,
supaya semuanya senantiasa gesit.
Otot-ototku mengetat ketika aku maju ke plate. Aku punya
masalah. Masalah besar. Penampilanku sedang payah.
Pada pertandingan terakhir waktu itu aku gagal empat kali.
Dan pada beberapa latihan memukul belakangan ini pukulanku
selalu meleset. Aku tidak bisa konsentrasi. Semua orang tahu itu. Aku
khawatir kelak julukanku berubah menjadi Mike si Pemukul Gagal.
"Ayo, Mike," seru Coach Manning ketika aku sedang
mengayun-ayunkan pemukul. "Konsentrasilah. Besok pertandingan
memperebutkan tempat pertama dengan Lakeland."
"Yeah, Mike, jangan sampai gagal," kata Jimmy dari tempat
pitcher. Aku membungkuk pada plate. Tongkat pemukulku rasanya
tidak enak. Terlalu berat. "Santailah," pikirku. "Santai saja. Semuanya
akan beres." Bola datang. Tinggi melayang. Kubiarkan. "Strike!" Ron
berseru dari belakangku. Aku menoleh padanya. "Sejak kapan catcher jadi wasit?"
"Sejak kapan si pemukul hebat strike out terus?" balasnya.
Yah, ini dia. Tak mungkin aku santai sesudah kejadian ini.
Kucoba menampilankan pukulan andalanku yang biasa, tapi
tongkat di tanganku semakin berat. Kulihat para rekanku gelenggeleng kepala.
Setelah latihan memukul sekitar sepuluh menit, pelatih
memanggil orang lain untuk menggantikanku.
"Dengar, Mike," katanya sambil menaruh tangannya yang berat
di bahuku. "Kau pulang saja dan istirahat untuk pertandingan besok."
Kupikir ia simpati padaku, tapi kemudian ia menambahkan
dengan suara tajam, "Sebaiknya kauperbaiki penampilanmu, Nak.
Pertandingan besok sangat penting."
Aku keluar lapangan dengan murung.
"Hei, Mike, tunggu!" Aku mengenali orang yang lari-lari kecil
ke arahku itu. Tom Scott, reporter TV lokal.
Olahraga sekolah adalah peristiwa penting di Lynnfield, tapi
kalau sampai diliput reporter TV... wow!
"Kau baik-baik saja, Mike?" tanyanya. "Apa usahamu untuk
memperbaiki penampilanmu?"
"Aku sudah berusaha," gerutuku, wajahku merah padam. Aku
lari ke ruang loker dengan sangat malu.
Aku mandi dan cepat-cepat berpakaian. Aku ingin keluar dari
sini sebelum timku selesai latihan. Aku tidak akan tahan dengan
godaan mereka. Tak lama kemudian aku keluar dan menuju parkiran sepeda.
Aku berjalan menunduk dengan murung. "Aku bersedia melakukan
apa saja untuk bisa tampil baik lagi," gumamku sendirian.
Aku tidak melihat lelaki kecil yang aneh itu, sampai ketika aku
hampir bertumbukan dengannya. "Oops, sori," kataku.
Ia tersenyum padaku. "Aku mendengar ucapanmu tadi. Kau
cuma memerlukan tongkat pemukul yang lebih ringan," katanya.
"Hah?" Aku memandangnya dengan terperanjat.
Lelaki itu mengenakan setelan wol hitam yang berat. Kepalanya
bundar kecil, botak. Kulitnya pucat sekali. Bentuk kepalanya seperti
bohlam. Apa orang ini tidak pernah keluar rumah"
"Apa kata Anda?" tanyaku padanya.
"Kau perlu tongkat yang lebih ringan," ulangnya. Matanya
keperakan dan sudut-sudutnya berkerut ketika senyumnya merekah.
Saat itulah baru kulihat bahwa ia menggenggam sebuah tongkat
bisbol di tangannya. Ia mengangkatnya, supaya bisa kulihat lebih
jelas. Tongkat itu terbuat dari kayu hitam mengilap, dengan tape
dililitkan di ujungnya. Sepertinya tongkat itu sudah pernah digunakan.
"Ini ringan sekali, dan pukulannya sangat kuat," kata orang itu.
Ia berdecak, seperti baru menceritakan lelucon.
"S-siapa Anda?" tanyaku sambil memandangi tongkat itu.
"Aku penggemar olahraga," katanya. Dengan tangan satunya ia
merogoh saku jasnya dan mengeluarkan kartu nama. Ia memberikan
kartu itu padaku. Di situ tertulis: MR. SMITH, DIREKTUR. MUSEUM
OLAHRAGA LYNNFIELD. Kukembalikan kartu itu padanya dan kupandangi tongkat itu.
"Anda ingin menjual tongkat itu padaku?"
Ia berdecak lagi dan menggelengkan kepalanya yang botak.
"Akan kuberikan tongkat ini padamu, Mike." Sepasang matanya yang
aneh keperakan bersinar-sinar.
Dari mana dia tahu namaku"
"Tongkat ini bagus sekali. Kau pasti suka," katanya. "Dan
sangat kuat." Tongkat itu tidak kelihatan istimewa di mataku. "Anda
memberikannya padaku?"
Ia mengangguk. "Ambillah. Tapi kau mesti berjanji."
Ini dia! "Janji apa?"
"Kau mesti berjanji akan mengembalikan tongkat itu ke
museum, tepat sesudah pertandingan usai. Kau tidak usah ganti
pakaian, tidak usah pulang dulu. Kau langsung pergi ke museum.
Mengerti?" Ia menyodorkan tongkat itu padaku.
Dia sinting, pikirku. Tapi kenapa aku mau saja mengambil
tongkat ini" Apa aku begitu bingungnya mengatasi permasalahanku"
Memang! Kuambil tongkat itu. Rasanya sama saja seperti tongkat yang
tadi kugunakan latihan. Lalu mendadak aku merinding. Tangan Mr. Smith yang dingin
menyentuh bahuku. "Ingat," katanya, "kembalikan tongkat itu tepat
sesudah pertandingan."
Aku mengangguk dan memanggul tongkat itu. Lalu aku pulang
naik sepeda secepat mungkin.
********* Keesokan harinya cerah dan sejuk. Hari yang sempurna untuk
pertandingan bisbol. Ruang loker bising. Semua anak bicara dan tertawa, tapi aku
duduk sendirian, mencoba membangkitkan semangat.
"Hei, Mike," Jimmy memanggil sambil melemparkan botol air
padaku, "kami semua mendukungmu. Kami mengandalkanmu, Bung!"
"Yeah." Ron mengacungkan jempol padaku. "Kami yakin kau
tidak akan mengecewakan kami."
Aku sangat gugup. Botol air itu hampir jatuh dari tanganku.
Kuteguk air banyak-banyak. "Aku tidak akan gagal," kataku pada diri
sendiri. "Aku tidak boleh gagal."
Dan akhirnya tibalah saatnya.
Coach Manning memanggil semua anak untuk menentukan
pergantian posisi. "Aku membuat beberapa perubahan," katanya
sambil menatapku. Aku tahu maksudnya, begitu pula para anggota tim lainnya.
Aku akan dipindahkan dari posisi biasanya. "Ron menjadi pemukul
keempat," katanya, "dan Mike yang kedua."
Yang kedua" Mudah! Akan kutunjukkan pada semua orang
bahwa aku masih tetap yang terbaik.
Rick yang pertama memukul.
Lalu aku. "Aku tidak berani lihat," kudengar Jimmy berkata pada Ron.
Kuangkat tongkat pemukulku yang baru. Mendadak tongkat itu
terasa sangat ringan, seperti telah dikatakan lelaki aneh itu padaku.
Aku berjalan ke home plate dan mengambil posisi.
Aneh, pikirku. Tongkat ini mulai bergetar. Mendadak aku
merasakan getaran-getaran kecil sampai ke jemari kakiku.
Bola datang. Lemparan rendah dan di luar. "Strike!" teriak
wasit. Lemparan kedua kubiarkan lewat. Strike lagi.
Aku harus memukul bola ketiga, tak boleh tidak. Tongkat di
tanganku bergetar. Bola datang dalam satu lemparan cepat. Aku menahan napas
dan mengayunkan tongkat, berusaha mengendalikan diri.
Buk! Bola melayang tinggi di udara. Aku menudungi mata sambil lari
ke base pertama. Tapi bola itu begitu tinggi, hingga tak bisa kulihat.
Apakah bola itu melewati pagar atau menuju home run"
Ya, ternyata home run. "Berhasil!" aku berseru senang. "Tongkat ini ampuh!"
Aku lari ke base kedua dengan tangan teracung membentuk
huruf V, tanda kemenangan. Coach di base ketiga tersenyum lebar
sambil melambai. Teman-temanku bersorak saat aku lari ke base tiga, dan
akhirnya ke base empat. Angka dua untuk Lynnfield. Berkat diriku.
Pada inning berikutnya aku malah membuat home run lebih
tinggi. Dua inning berikutnya aku memukul dua kali dan berhasil lagi.
Begitulah setiap kali giliranku memukul. Ketika aku berhasil
untuk ketujuh kalinya, penonton bersorak-sorak seperti kesurupan.
Tujuh home run! Ini sudah melampaui rekor sekolah. Dan
ketika aku berhasil membuat home run kesembilan... aku
memecahkan rekor negara bagian.
Hasil akhir: Lynnfield 19, Lakeland: 3. Sangat bagus. Sama
sekali tidak memalukan. Usai pertandingan penonton menyerbu diriku. Jimmy dan Ron
mengangkatku di bahu mereka. Tom Scott, reporter TV itu,
mewawancaraiku sementara para juru kamera dan fotografer
memotretku. "Hei, Mike!" Ron melambai padaku setelah suasana agak
tenang. "Kita mau ke Pat's Pizza untuk merayakan. Ayo ikut, kau
bintangnya." Aku melompat ke sepedaku. "Ayo!" seruku. Dadaku serasa
hampir meledak karena gembira.
Kami berangkat, masih dalam seragam tim. Para anggota tim
berseru-seru, "Mike! Mike! Mike!"
Aku senang sekali. Tapi mendadak aku teringat. Tongkat itu!
Aku sudah janji akan langsung mengembalikannya pada Mr. Smith di
museum. Aku memelankan sepedaku dan membiarkan yang lainnya
mendahuluiku. Mereka masih menyerukan namaku ketika berbelok.
"Aku menyusul nanti!" seruku. Entah mereka mendengar atau tidak.
Tapi satu hal sudah pasti. Aku tak mungkin mengembalikan
tongkat itu. Aku mesti menyimpannya. Mesti. Tongkat itu sangat hebat. Aku tak mau berpisah dengannya.
Janji atau tidak, aku mesti memiliki tongkat itu.
Aku berdiri di sepedaku dengan menggenggam tongkat itu,
mencoba mengambil keputusan. Yang pertama terpikir olehku adalah
pulang ke rumah dan menyembunyikan tongkat itu di kamarku. Mr.
Smith tidak tahu tempat tinggalku. Kemungkinan ia takkan bisa
menemukanku. Tapi... tidak, itu tidak baik.
Akhirnya kuputuskan pergi ke museum untuk mengatakan yang
sebenarnya pada Mr. Smith. Bahwa aku mesti memiliki tongkat itu.
Aku akan membayarnya. Berapa mahal pun harganya.
Aku ingat alamat yang tercantum di kartu nama Mr. Smith.
Lama sekali baru aku sampai di sana. Museum itu terletak di bagian
kota yang aneh. Tak ada siapa pun di jalanan. Tak ada mobil atau apa
pun. Bangunan museum itu pendek dan kelabu, tidak terlalu
menarik. Kuparkir sepedaku di samping jalan masuk. Aku masuk
membawa tongkat itu. Hebat sekali tempat ini! Rasanya aku belum pernah kemari.
Ruangan besar dan terang ini penuh dengan patung seukuran manusia.
Ada patung dua pemain hockey dari lilin atau apalah. Ada
patung seorang pemain tenis muda sedang bersiap memukul bola.
Kelihatannya seperti manusia sungguhan.
Aku melewati dua pemain basket yang sedang memasukkan
bola. Otot-otot mereka mengetat dan aku bahkan melihat butir-butir
keringat di wajah mereka.
Hebat, pikirku sambil memandangi patung-patung di depanku.
Ruang untuk tampilan permainan bisbol sedang dibuat.
Sebagian garis lapangannya sudah ada, tapi belum ada para
pemainnya. Saat aku memandangi tampilan yang sungguh nyata itu, Mr.
Smith muncul. "Halo, Mike," katanya sambil tersenyum. Kepalanya
bersinar dalam cahaya lampu. "Terima kasih kau mau mengembalikan
tongkat itu." Aku ragu-ragu. "Aku... eh... tidak bisa mengembalikannya,"
kataku terbata-bata. Mata lelaki itu menyipit kaget. "Apa?"
"Aku ingin memilikinya," kataku. "Tongkat ini hebat sekali.
Aku bersedia melakukan apa pun untuk memilikinya, Mr. Smith,"
pintaku. Lelaki itu menggosok-gosok dagunya yang pucat. "Hmmm..."
"Sungguh," desakku, "aku sangat memerlukan tongkat ini. Aku
ingin memilikinya selamanya."
"Baiklah," Mr. Smith setuju. "Kau boleh memilikinya
selamanya." Aku ternganga, terperanjat. "Maksud Anda... aku boleh
menyimpannya?" Ia mengangguk dan tersenyum. "Kalau itu yang kauinginkan,"
gumamnya. "Aku ingin melihat pukulanmu, Mike. Tunjukkan pukulan
yang bagus, oke?" Aku sangat senang. Kuangkat tongkat itu dan mulai
mengayunkannya... tapi aku membeku ketika seberkas cahaya
benderang menerpaku. Dan sejak itu aku tetap berada di sini. Terpaku di tempat ini
dalam posisi mengayunkan tongkat untuk memukul bola.
Sekian lama telah berlalu. Entah berapa lama. Aku membeku
sambil menatap ke arah backdrop dari tripleks.
Orang-orang mengunjungi museum ini. Dan mereka
memandangiku, berkomentar betapa aku tampak seperti manusia


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguhan, dan betapa bagusnya pukulanku.
Aku senang mereka menyukai pukulanku.
Dan kurasa ada satu hal yang membuatku bahagia.
Tongkat ini menjadi milikku. Selamanya.
MR.TEDDY "MOM, belikan aku boneka beruang itu ya" Ya" Aku tidak
akan minta apa-apa lagi deh."
Willa menangkupkan kedua tangannya dan memandangi
boneka beruang di rak toko itu dengan penuh keinginan.
Willa senang mengumpulkan macam-macam"mulai dari
boneka, poster, telur keramik, apa saja. Kamarnya penuh dengan
barang-barang koleksinya.
"Mom, lihat dong!" bujuk Willa. "Cakar-cakarnya yang cokelat
itu lucu sekali kan" Juga matanya yang bundar besar. Bersinar-sinar."
Gina, adik Willa yang baru sebelas tahun, mulai merengek juga.
"Mom, tidak adil! Willa sudah punya banyak boneka."
"Lalu kenapa?" bentak Willa. "Memangnya salahku kalau
kamarmu sendiri kosong, Gina?"
Gina cemberut pada kakaknya. "Itu karena kau selalu minta
dibelikan ini-itu pada Mom. 'Mom, belikan ini dong. Mom, belikan itu
dong'," ejek Gina. "Anak-anak, jangan bertengkar," Mrs. Stewart menyela. Willa
dan Gina saling melotot. "Willa, kau kan sudah dua belas tahun. Masa
kau masih suka boneka beruang?" tanya ibunya.
"Habis bagaimana dong?" sahut Willa. "Aku kepingin
memilikinya. Dia... dia tidak seperti mainan lainnya."
"Sorot matanya aneh," komentar Gina.
"Tidak!" protes Willa. Tapi ia tahu bahwa Gina benar. Ia sendiri
merasa seolah boneka beruang itu mengawasinya dengan sepasang
matanya yang besar itu. "Willa," kata ibunya, "kamarmu kan sudah penuh. Di mana
akan kautaruh boneka itu?"
"Si Kakek Beruang akan kutaruh di rak dan yang ini akan
kubawa tidur," kata Willa.
Gina melipat tangan. "Memangnya kenapa dengan si Kakek
Beruang?" "Tidak kenapa-kenapa," kata Willa. "Pokoknya aku suka
dengan yang ini." Ia menempelkan boneka itu di pipinya. "Lihat, lucu
sekali dia ya" Mom, beli ya?"
Mrs. Stewart ragu-ragu. "Yah..."
"Mom, tidak adil!" rengek Gina. "Willa selalu dibelikan ini-itu!
CD player yang kuminta bagaimana?"
"Gina, CD player jauh lebih mahal daripada boneka beruang,"
sahut ibunya dengan galak. "Kau baru bisa minta CD player saat ulang
tahunmu." "Mom, boleh ya?" kata Willa, masih sambil memeluk boneka
beruang itu. "Baiklah," kata ibunya sambil mendesah. "Tapi tidak boleh
minta apa-apa lagi, mengerti, Willa?"
Willa memeluk ibunya. "Oh, terima kasih, terima kasih, Mom."
Sementara itu, Gina melotot pada Willa.
"Kadang-kadang aku benci sekali padamu, Willa," gerutu Gina.
Willa melambaikan boneka beruang itu di depan Gina.
"Namanya Mr. Teddy, Gina," katanya. "Sebaiknya kau manis
padanya." Begitu pulang ke rumah, Willa membawa Mr. Teddy ke
kamarnya untuk melihat-lihat. "Ini kamarku," katanya sambil
membuka pintu. Di sebelah kanan pintu ada meja rias yang penuh dengan
koleksi telur keramik. Willa menjelaskan asal-usul setiap telur pada
Mr. Teddy. Lalu ia menunjukkan semua poster bintang rock yang
menghiasi dindingnya. Berikutnya mereka berkeliling ke dua rak
panjang yang penuh dengan boneka binatang empuk.
Terakhir Willa membawa Mr. Teddy ke koleksi boneka di sudut
seberang. Koleksi boneka Willa banyak sekali.
Setelah itu, Willa mengajak Mr. Teddy ke tempat tidurnya.
"Halo, Kakek Beruang," katanya. Ia mengambil boneka beruangnya
yang sudah tua dan lusuh dari bantalnya. Sejak ia masih bayi boneka
itu sudah menemaninya. Diciumnya dahi boneka itu. "Sekarang kau
akan tidur di sana." Ia membawa Kakek Beruang ke rak dan
menaruhnya di samping sebuah boneka kuda. "Tidur nyenyak ya?"
katanya. Gina melongok ke kamar Willa. "Ada siapa di sini?" tanyanya.
"Tidak ada siapa-siapa," sahut Willa.
"Lalu kau bicara dengan siapa?"
"Tidak dengan siapa-siapa."
Mata Gina bersinar-sinar. "Kau bicara dengan bonekamu lagi
ya?" Ia mulai tertawa.
"Diam, Gina!" bentak Willa. "Kau marah karena tidak dibelikan
CD player." "Tidak," sahut Gina. "Aku marah karena Mom selalu menurut
padamu. Setiap kali kau minta sesuatu, pasti dibelikan." Lalu Gina
keluar sambil membanting pintu.
Willa menatap Mr. Teddy. "Tidak usah dipikirkan," bisiknya
sambil dengan hati-hati menaruh Mr. Teddy di bantalnya. "Kurasa dia
juga kepingin punya boneka kesayangan, tapi tidak ada. Kau milikku,
Mr. Teddy, hanya milikku."
********* Malam itu Willa tidur dengan memeluk Mr. Teddy. Mulanya
lucu rasanya tidur dengan boneka yang sangat halus dan berbulu
lembut. Bulu-bulu Kakek Beruang sudah lepas lama berselang.
Tapi sepertinya Mr. Teddy terus memandanginya. Setiap kali
berpindah posisi, Willa merasa mata boneka itu mengawasinya.
Keesokan harinya Willa bangun lebih awal. Matahari belum
muncul sepenuhnya. Di luar terdengar kicau burung.
Rasanya ada yang tidak beres. Willa mengangkat kepala dan
menatap tempat tidurnya. Di mana Mr. Teddy" Ia meraba-raba, tapi tidak menemukan boneka itu di mana pun.
Di mana dia" Willa bangun dan menajamkan mata dalam keremangan
kamarnya. Apa Mr. Teddy jatuh dari ranjang"
Ia melongok ke lantai. Tidak ada.
Ia memeriksa selimutnya lagi, lalu melongok lagi ke bawah
tempat tidur. "Kau ada di bawah, Mr. Teddy?" tanyanya pelan.
Hanya ada debu di kolong ranjang. Di mana sih Mr. Teddy"
Willa melayangkan pandang ke meja rias, lalu ke ambang
jendela di atas sudut rak boneka.
Ia tercekat. Mr. Teddy duduk di ambang jendela,
memandanginya. Matanya bersinar-sinar.
"Hah?" gumam Willa. "Bagaimana kau bisa ada di situ?"
Ia turun dari ranjang dan mengangkat boneka itu dari ambang
jendela. "Mr. Teddy, kenapa kau ada di situ?" omelnya. "Apa kau
jalan ke situ tadi malam?"
Mata beruang itu bersinar ke arahnya.
"Jangan pandangi aku begitu," kata Willa, tertawa. "Aku jadi
ngeri." Ia mengecup dahi beruang itu, lalu menaruhnya kembali ke
bantalnya. "Mungkin semalam aku terbangun dan menaruhnya di situ, tapi
aku tidak ingat," kata Willa pada dirinya sendiri.
Saat sarapan ia melihat Gina memandanginya. "Kenapa lihatlihat?" tanyanya ketus.
"Tidak kenapa-kenapa." Gina tersenyum menang.
"Kau masuk ke kamarku semalam ya?" tuduh Willa.
"Tidak," sahut Gina, masih tersenyum. "Buat apa?"
Malam berikutnya, sebelum tidur, Willa memastikan Mr. Teddy
ada dalam pelukannya. Lama kemudian barulah ia bisa tidur, meski
gelisah. Ia sering terbangun dan memeriksa Mr. Teddy, tapi boneka itu
selalu ada dalam pelukannya, memandangi seisi ruangan dengan
sepasang matanya yang besar. Entah kenapa, Willa merasa boneka itu
melindunginya. Keesokan paginya ia terbangun dengan kaget. Ia langsung
mencari-cari Mr. Teddy. Hilang lagi. Dengan curiga Willa memandang ke ambang jendela. Tidak
ada. Ia duduk di ranjang dan mulai melayangkan pandang ke tempat
boneka, ke lantai, dan ke meja rias.
"Hei!" serunya ketika melihat Mr. Teddy duduk di meja rias.
"Ada apa, Teddy" Sedang apa kau di situ?" Ia melompat turun
dari ranjang dan mendekati bonekanya.
Dan ia tercekat ketika melihat kedua telur keramiknya
tergeletak pecah di bawah boneka beruang itu.
Mata Mr. Teddy bersinar-sinar jahat.
"Siapa yang memecahkan ini?" teriak Willa. "Siapa?"
Ia mencoba berpikir. Tak mungkin Mr. Teddy. Masa boneka itu
bisa memanjat ke meja rias dan memecahkan telur-telur itu" Mustahil!
Jadi, siapa" Pasti pelakunya adalah orang yang iri padanya.
"Gina!" teriak Willa dengan marah. "Kenapa kau jahat sekali
sih!" Willa menyerbu masuk ke kamar Gina. Kosong. Di mana anak
itu" Willa kembali ke lorong dan berdiri di puncak tangga. "Gina,
awas, akan kubalas kau!"
Ibunya muncul di bawah tangga. "Kenapa kau teriak-teriak,
Willa?" "Gina mana?" "Dia berangkat sekolah pagi-pagi," kata ibunya. "Dia harus
latihan paduan suara."
Willa mengepalkan tinjunya. "Awas dia nanti," pikirnya. "Dia
akan menyesal." ********* Sore itu Willa tak sabar menunggu Gina pulang. Ia terus
mondar-mandir, melongok ke luar jendela.
Akhirnya dilihatnya Gina berjalan ke pintu. Dengan marah
Willa membuka pintu untuk menyambut adiknya.
"Aku tahu kau yang memecahkan telur keramikku semalam!"
katanya dengan suara gemetar. Ia menghalangi jalan Gina.
Gina mendorongnya. "Kau ngomong apa sih" Apa kau sudah
sinting?" "Kau tahu maksudku," desak Willa. Ia mengikuti adiknya ke
tangga. "Kau memecahkan telur keramikku tanpa alasan. Lalu kau
memindahkan Mr. Teddy ke meja riasku supaya kelihatannya dialah
pelakunya. Lelucon konyol yang tidak lucu!"
Gina berhenti. "Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu."
"Bohong!" teriak Willa.
Pasti Gina pelakunya. Siapa lagi"
"Kau cuma ingin aku dimarahi Mom," kata Gina. "Jangan
ganggu aku, Willa. Kuperingatkan."
Ketika pergi tidur, Willa memasukkan Mr. Teddy ke bawah
selimut. "Malam ini kau mesti tetap di sini, oke?" katanya. Lalu ia
meringkuk sambil memeluk boneka itu dan menarik selimutnya
sampai ke leher. Tidak ada yang bisa mengambil Mr. Teddy malam ini, pikir
Willa. Sebab aku pasti terbangun.
Ternyata ia keliru. ********* Begitu terbangun keesokan paginya, Willa mencari-cari Mr.
Teddy di bawah selimut. Hilang lagi. "Hah?" Ia terduduk kaget. "Ke mana dia?"
Ia terpekik ketika melihat meja riasnya. Semua lacinya terbuka
dan terbalik. Pakaiannya berantakan di lantai.
Dengan marah ia turun dari ranjang dan menendang setumpuk
kaus. "Gina!" teriaknya. "Awas kau kali ini!"
Lalu ia melihat Mr. Teddy. Boneka itu nyengir padanya dari
atas meja rias. Willa meraihnya. "Kenapa aku mengalami yang begini?"
teriaknya. "Katakan, katakan ini cuma mimpi!"
Mata Mr. Teddy bersinar cerah. Willa melemparkannya ke
tempat tidur. Lalu ia turun tangga dan masuk ke dapur. Gina sedang makan
semangkuk sereal. "Kenapa kaulakukan itu, Gina?" tanya Willa
sambil mengepalkan tinjunya. "Kenapa" Kenapa kau masuk ke
kamarku dan membuat semuanya berantakan?"
Gina mengangkat wajah. "Aku tidak masuk ke kamarmu.
Sungguh," katanya, tapi ia nyengir lebar.
Willa menjerit marah. "Lihat, Mom! Lihat! Dia tersenyum."
Mrs. Stewart menatap Gina dengan tajam. "Apa kau iseng pada
kakakmu, Gina?" tanyanya.
"Tidak!" jerit Gina. "Kenapa aku yang disalahkan" Aku tidak
melakukan apa-apa. Aku tersenyum karena merasa lucu saja."
Willa menatap marah pada Gina. "Aku tahu kau berbohong!"
katanya pelan. "Kau pembohong, Gina. Pembohong besar."
"Tidak!" Gina berteriak. Ia memundurkan kursinya dan
melompat bangkit. "Kau yang pembohong!" balasnya pada Willa.
"Kau cuma ingin aku mendapat masalah, tanpa alasan." Lalu ia
berbalik dan menghambur keluar dari dapur.
"Jangan dekat-dekat kamarku, Gina!" teriak Willa. "Kau akan
menyesal! Aku serius!"
********** Malam itu, sebelum tidur, Willa mengganjal pintunya dengan
meja rias. "Nah," katanya sambil memeluk Mr. Teddy. "Gina tidak
akan bisa masuk. Bagaimana menurutmu, Mr. Teddy?"
Mata Mr. Teddy yang bundar besar bersinar padanya.
Malam itu Willa tak bisa tidur nyenyak. Merasa kepanasan, ia
menendang selimutnya dan mengganti posisi. Ia banyak bermimpi
buruk. Ketika terbangun keesokan paginya, Willa langsung meraih Mr.
Teddy. Hilang. Mata Willa langsung terbuka lebar.
Dan ia menjerit. Meja riasnya sudah didorong ke tengah ruangan.
Ia duduk tegak dengan jantung berdebar. "Ka... kamarku...,"
gumamnya. Dengan tercekat ia berdiri dan melayangkan pandang.
Semua posternya sudah dirobek dari dinding dan menumpuk di
lantai. Mata Willa beralih ke rak-rak boneka. Rasa mual menyebar di
perutnya. Hampir semua boneka binatangnya sudah disobek-sobek.
Potongan-potongannya bertebaran di lantai. Mata mereka dicongkel
keluar, lengan dan kaki mereka lepas.
Willa terhuyung-huyung menghampiri rak bonekanya. Semua
boneka sudah hancur dan rusak.
"Hei!" Willa menoleh ke puncak rak. Mr. Teddy berdiri di sana
dengan mata bersinar senang. Satu cakarnya terangkat mengacungkan
sepotong lengan boneka. "Tidak!" gumam Willa. "Tidak... jangan!"


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Mr. Teddy merunduk ke depan, lengannya meraih
tenggorokan Willa. Willa menjerit dan mengelak.
Beruang itu mendarat di lantai dengan bunyi debuk pelan.
Willa berbalik. Ia melompat ke luar kamar, turun tangga, dan
masuk ke dapur. "Willa! Ada apa" Ada yang tidak beres?" tanya ibunya.
"Mom! Ayo ke kamarku!" ia terisak. "Semuanya berantakan!
Semua bonekaku rusak. Dirusakkan oleh Gina!"
"Apa?" Ibunya tampak heran. "Gina?"
"Ya, Gina! Kemarin dia masuk ke kamarku, Mom. Dia merusak
semuanya! Semuanya!"
"Tapi itu tak mungkin, Willa," seru ibunya. "Gina tidak di
rumah semalam. Kau tidak ingat" Dia kan menginap di rumah
Maggie." Willa terperanjat. Ruangan itu serasa berputar.
Benar juga, pikirnya. Gina tidak ada di rumah semalam.
"Tidaaaak!" Ia keluar dari dapur sambil menggeleng-geleng.
Ia tak ingin percaya. Tak mungkin! Tapi tak ada penjelasan lain.
Dengan membabi buta ia lari ke atas dan mengambil Mr. Teddy
dari lantai. Mata beruang itu bersinar padanya ketika Willa merobekrobeknya dengan marah.
"Jadi, selama ini kau pelakunya?" teriaknya sambil menarik
lepas lengan boneka itu dan menarik keluar busa pengisinya hingga
berterbangan ke seisi kamar. "Ternyata kau! Kau! Kau!"
Sambil berteriak marah Willa menarik lepas kepala Mr. Teddy.
"Aku benci kau!" jeritnya. Ia melemparkan kepala boneka itu ke luar
jendela. "Boneka jahat! Sekarang kau sudah kubuang. Kau tidak bisa
menjahatiku lagi!" Dengan terengah-engah dan jantung berdebar keras Willa
beranjak ke rak dan mengambil Kakek Beruang yang lusuh. Ia
memeluk boneka lamanya itu erat-erat. "Tinggal kau yang tersisa,
Kakek Beruang. Yang lain sudah dirusak oleh boneka jahat itu."
Dipeluknya boneka itu dengan sayang. "Mulai saat ini tinggal
kau dan aku." Willa tidak melihat senyum senang di wajah Kakek Beruang. Ia
juga tidak melihat mata boneka itu mulai bersinar-sinar gembira.
Lain kali mungkin kau tidak akan semudah itu
menyingkirkanku, Willa, pikir Kakek Beruang. Mungkin kau sudah
mendapat pelajaran sekarang. Kau tidak akan menaruhku di rak lagi.
Aku tidak mau. Aku bonekamu. Dan aku akan terus bersamamu
sepanjang hidup. KLIK NAMAKU Seth Gold dan umurku dua belas tahun. Hobiku
nonton TV dan ganti-ganti saluran. Tapi itu dulu.
Kalian pikir kenapa aku senang duduk berjam-jam di depan TV,
sambil gonta-ganti saluran dengan remote control" Soalnya dengan
begitu aku jadi merasa berkuasa.
Ada acara membosankan" Klik... ganti saluran. Ada iklan
menyebalkan" Klik... ganti lagi ke saluran lain.
Kadang-kadang kucoba membayangkan, seperti apa rasanya
kalau untuk ganti saluran TV saja orang mesti bangun dari kursi dan
menghampiri TV. Wah, pasti repot sekali.
Suatu hari ayahku pulang kantor membawa sebuah kotak kecil.
Ia menaruhnya di meja dapur. "Lihat apa yang kubawa," katanya
sambil membuka pembungkus kotak itu.
Adikku, Megan, yang baru empat tahun, mendekat. "Apa itu"
Apa itu" Aku mau lihat," katanya.
Aku membaca huruf-huruf hitam besar di kotak itu
REMOTE MULTIFUNGSI "Aku beli ini murah sekali," kata Dad. "Aku sedang dalam
perjalanan pulang dan melewati sebuah toko kecil yang belum pernah
kulihat. Toko itu akan tutup. Alat ini kubeli hanya enam dolar. Murah
ya?" "Apa gunanya alat ini?" tanyaku sambil mengeluarkan benda itu
dari dalam kotak dengan hati-hati.
"Fungsinya sama seperti remote biasa, tapi bisa digunakan
untuk apa saja," kata Dad. "Bisa untuk TV, VCR, CD. Untuk laser
disc player juga bisa."
"Wow!" seruku senang. "Boleh kucoba?"
"Boleh," kata Dad. "Isi saja dulu dengan baterai."
Kuambil beberapa baterai AA dari laci dapur dan kuisikan ke
alat tersebut. Lalu kuperiksa benda itu. Warnanya hitam dan
bentuknya langsing, pas sekali untuk tanganku. Dan tombolnya
banyak sekali. Wuih, ini bakal hebat!
Aku lari ke gudang di atas.
"Jangan terlalu lama nonton TV!" seru ibuku. "Kau ada PR,
ingat?" Tapi aku sudah menghilang.
Selama satu jam berikutnya aku asyik mencoba-coba remote
baru itu. Alat ini benar-benar oke. Aku bisa bolak-balik menyalakan
video dan TV. Aku bisa memutar CD sambil nonton Ramalan Cuaca
dengan suara dikecilkan, sehingga pembawa acaranya seperti sedang
menyanyi. Mendadak Megan masuk. "Aku mau nonton film kartun,"
katanya. "Jangan sekarang," ujarku. "Aku sedang sibuk."
"Aku kepingin," rengeknya.
"Jangan sekarang, Megan. Keluarlah."
"Aku mau ngadu!" ancamnya.
"Tidak!" teriakku sambil mengulurkan tangan untuk
menghentikannya. Tapi tahu-tahu Megan menyambar remote itu dari tanganku dan
membantingnya ke seberang ruangan. Benda itu menghantam radiator
dan terpental ke lantai. "Lihat tuh akibatnya!" teriakku marah.
Kuambil remote itu dari lantai dan ku guncang-guncang.
Terdengar suara gemeretak, padahal sebelumnya tidak. Kuarahkan
remote itu ke TV. Tidak berfungsi. "Kau sih!" teriakku. "Sekarang kita tidak bisa nonton apa-apa."
"Maaf," sahut Megan pelan. Ia memasukkan ibu jarinya ke
mulut dan keluar pelan-pelan.
Aku duduk di sofa, masih berusaha mengotak-atik remote itu.
Dengan uang logam kubuka bagian belakangnya dan kuamati isinya.
Hanya ada beberapa kabel dan lempengan. Kuotak-atik sedapat
mungkin, lalu kututup lagi.
Kemudian kuguncang-guncang benda itu di dekat telingaku.
Tidak terdengar suara gemeretak lagi.
Kuarahkan benda itu ke TV. Klik. Bisa berfungsi lagi.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah sibuk ganti-ganti saluran
lagi. Mendadak ibuku masuk dengan marah. "Seth, aku kecewa sekali
padamu! Sudah kubilang, jangan nonton terlalu lama. Banyak tugas
rumah yang mesti kauselesaikan, dan adikmu bilang kau tidak mau
gantian dengannya, dan..."
Ibuku terus mengomel sambil geleng-geleng kepala. Kucoba
menenangkannya, tapi ia malah berteriak semakin keras.
Jadi, kuarahkan remote itu padanya dan kutekan tombol MUTE
untuk menghilangkan suara. Cuma bercanda.
Tapi sungguh ajaib! Ibuku masih terus mengomel... tapi
suaranya tidak kedengaran. Aku berhasil membuatnya tidak
kedengaran. Kutekan lagi tombol tadi. "... Kamarmu berantakan dan kau
belum buat PR, dan..."
Klik. Kudiamkan lagi ia. Mom terus mengomel tanpa suara.
Hebat! Ini benar-benar hebat! Aku bisa menghilangkan suara
ibuku dengan alat baru ini.
"... Sebaiknya kauubah kelakuanmu, Tuan Besar," Mom
mengakhiri omelannya, lalu keluar dengan marah.
"Wow!" aku berseru senang. Kuamati tombol-tombol di remote
itu. Tak lama kemudian, Sparky, anjingku, masuk. "Sini, Sparky,"
panggilku. Sparky mendekat sambil menggaruk-garuk belakang
telinganya dengan kaki belakang.
Kuamati lagi remote itu. Mesti dicoba lagi.
Kulihat ada tombol SLOW MOTION. Kuarahkan alat itu ke
Sparky dan kutekan tombol tadi.
Gerakan menggaruk Sparky jadi amat sangat pelan. Bisa kulihat
mulutnya bergerak-gerak sementara kepalanya maju-mundur dan
sepasang telinganya melambai-lambai.
"Luar biasa!" seruku. Kulepaskan tombol itu dan gerakan
Sparky kembali pada kecepatan normal.
Aku bisa mengontrol dunia dengan remote ini! pikirku. Aku
gembira sekali, hingga hampir menjatuhkan benda itu.
"Makan malam!" Mom memanggil dari bawah.
"Sebentar!" balasku. Kumasukkan remote itu ke saku celanaku.
Takkan kubiarkan benda ini jauh-jauh dariku. Lalu aku turun dengan
bersemangat. Aku terlalu gembira, sehingga tak bisa memusatkan perhatian
pada makananku. Aku cuma makan sedikit sambil memikirkan remote
itu. Ibuku mengerutkan kening ketika mengambil piring-piring
bekas makan. "Mungkin kau akan lebih tertarik dengan makanan
penutupnya, Seth," katanya.
Aku melirik isi mangkuk. Puding cokelat kesukaanku.
Mom menyendokkan puding itu ke piringku dan aku
menghabiskannya dengan cepat.
Mendadak aku punya gagasan hebat. Pelan-pelan kukeluarkan
remote itu dan kuamati tombol-tombolnya di bawah meja. Nah, ini
dia. Tombol REWIND untuk memutar ulang. Kutekan tombol itu.
Dalam serangkaian gerakan cepat, Mom, Dad, dan
Megan pun mengulangi adegan sebelum makan puding.
Aku terus memencet tombol itu sampai saat ketika Mom
muncul membawa mangkuk puding. Lalu tombol kulepaskan.
"Mungkin kau akan lebih tertarik dengan makanan penutupnya, Seth,"
ibuku mengulangi. Lalu kami semua makan puding lagi.
"Asyik," pikirku sambil mengunyah porsiku.
Ha, ini benar-benar bagus! Setelah selesai makan puding, ku
tekan lagi tombol REWIND, terus... sampai aku sudah empat kali
makan puding. Aku kenyang.
********* Keesokan paginya kubawa remote itu ke sekolah. Aku tahu
mestinya aku tidak main-main dengan benda itu, tapi bagaimana ya"
Asyik sih! Setelah bel pertama berbunyi, semuanya duduk. "Sekarang kita
ulangan geografi," kata Ms. Gifford. Ia mulai membagikan kertas.
Aduh! Ulangan" Kemarin aku terlalu asyik dengan remote itu,
sampai lupa membuat PR. Aku tidak tahu apa-apa tentang materi hari
ini. Amerika Selatan. Aku tercekat dan berpikir keras. Lalu aku teringat remote itu
dan kembali tenang. Aku punya rencana.
"Oke, anak-anak," kata Ms. Gifford setelah selesai membagikan
kertas. "Waktunya dua puluh menit. Selamat bekerja."
Aku melirik kertas ulanganku sebentar. Penuh dengan soal-soal
yang tidak bisa kujawab. Ibu kota Brazil" Apa ya"
Tapi aku tidak cemas. Aku mencoret-coret di buku catatanku
sementara anak-anak lain sibuk menjawab soal.
"Tinggal tiga puluh detik," kata Ms. Gifford.
Kutunggu lima belas detik lagi, lalu kukeluarkan remote itu dari
sakuku dan kupencet tombol FREEZE FRAME.
Semua orang menjadi beku. Ms. Gifford mematung di tengah
gerakan menguap, sambil memandang ke luar jendela. Mickey
Delaney terhenti dalam gerakan menggaruk hidung. Annie Schwartz,
murid paling pandai di kelas, terdiam dalam gerakan sedang menaruh
pensil di meja. Aku berdiri dan menghampiri meja Annie, sambil membawa
kertas ulanganku. Kubaca jawaban soal-soal di kertas Annie.
"San Salvador... oke. Pegunungan Andes... oke." Kusalin semua
jawaban Annie, lalu aku kembali ke mejaku, duduk, dan memencet
tombol FREEZE FRAME lagi.
Semua orang kembali bergerak. "Oke, anak-anak," kata Ms.
Gifford. "Letakkan pensil kalian."
Kuletakkan pensilku dengan pura-pura lelah, lalu kuserahkan
kertasku ke depan. Asyik sekali.
Selesai ulangan, aku mencari kesempatan untuk main-main lagi.
Kucepatkan gerakan seisi kelas sejenak, lalu kulambatkan ketika
Kepala Sekolah datang untuk bicara dengan guruku, lalu seisi kelas
kembali kubekukan. Ketika guruku menulis di papan, kukeraskan suaranya.
Akhirnya bel makan siang berbunyi. Aku tak sabar ingin segera ke
ruang makan. Di sana aku bisa main-main.
Ruang makan ramai sekali. Anak-anak berteriak-teriak dan
tertawa-tawa, saling timpuk dengan pembungkus sedotan dan kotak
minuman. Ada juga yang jatuh dari kursi dan menumpahkan makanan
mereka. Mr. Pinkus, pengawas ruang makan, menyuruh semuanya
duduk. Kuarahkan remote-ku padanya dan kubekukan dia ketika
sedang melangkah. Lalu aku ikut antre. Kuambil sebuah burger, salad, dan dua
porsi makanan penutup. "Kau tidak boleh mengambil dua porsi makanan penutup," kata
petugas ruang makan. "Kau kan tahu peraturannya."
Tanpa pikir panjang kuarahkan remote padanya dan kutekan
tombol MUTE. Ia terus mengomeliku tanpa suara.
Merasa puas, aku terus antre dan mengambil sekotak susu.
Sebelum duduk kuarahkan remote-ku ke si petugas ruang makan
untuk mengembalikan suaranya.
Tapi tidak terjadi apa-apa.
Kutekan lagi tombol itu. Ia masih tetap bicara tanpa suara.
Kuentakkan remote itu ke nampanku untuk mencoba lagi, tapi suara
petugas itu tidak kembali.
Yah, tidak apalah dia tidak bersuara untuk sementara, pikirku.
Aku toh tidak pernah menyukainya.
Kurasa remote ini perlu diguncang sedikit. Pasti bisa
kubetulkan. Aku mengulurkan tangan untuk mengambil makanan
penutup lagi. Tapi ketika aku menaruh piring kue di nampanku, aku terkejut.
Remote itu sudah tidak ada.
Dengan panik aku mencoba mengingat-ingat. Di mana benda
itu" Aku tadi menaruhnya di nampan kan" Aku semakin panik.
"Freeze, Seth!"
Aku menoleh dan melihat Danny Wexler, anak kelas delapan
yang bertubuh besar dan berambut merah, berdiri beberapa meter
dariku dengan remote diarahkan padaku.
"Danny, jangan sentuh itu!" pintaku. "Jangan tekan apa-apa."
Danny nyengir lebar padaku. "Kenapa tidak boleh" Hei, kenapa
kau membawa-bawa remote control ke sekolah?" Ia memilih-milih
tombol mana yang akan dipencetnya.
"Jangan disentuh!" pintaku. Kusambar benda itu dari
tangannya. "Sini, Seth!" bentak Danny dengan mata menyipit. Wajahnya


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah jahat. Ia hendak menghampiriku dengan tangan terulur.
Karena panik kupencet tombol FREEZE FRAME.
Ia pun membeku di tempat.
Aku mundur, tapi teriakan seorang gadis membuatku berhenti.
"Hei, ada apa" Kenapa Danny jadi membeku begitu?"
Melissa Fink melongo memandangi kami. Dengan kaget
kusadari bahwa ia bisa melihat Danny. Anak-anak lain mulai
mengerumuni kami. "Apa itu?" tanya Melissa. Ia mencoba merebut remote dari
tanganku. "Jangan sentuh!" aku memperingatkan. "Jangan."
"Ada apa ini?" tanya seorang wanita. Aku menoleh dan melihat
Kepala Sekolah. "Kenapa ribut-ribut?"
Ia melihat remote di tanganku. "Seth, mari kulihat."
Dengan panik kupencet tombol FREEZE FRAME untuk
membekukannya. Ruang makan itu dipenuhi seruan-seruan panik. "Seth
membekukan Kepala Sekolah. Tolong. Seth membekukan Kepala
Sekolah." Mereka mengerumuniku. Aku mulai mundur.
Kutekan tombol FREEZE FRAME lagi untuk membebaskan
Kepala Sekolah. Tapi tidak berhasil. Ia tetap berdiri mematung.
Pikiranku berkecamuk. Seluruh ruangan serasa berputar.
Teriakan dan seruan anak-anak lainnya membuatku sulit berpikir
jernih. Apa yang telah kulakukan"
Bagaimana kalau aku tidak bisa membebaskan Kepala Sekolah"
pikirku dengan gemetar. Bagaimana kalau aku tak bisa membebaskan
Danny atau Mr. Pinkus. Apa mereka akan tetap seperti itu selamanya"
Gawat! Aku akan mendapat masalah besar.
"Tangkap Seth!" seseorang berseru. "Ambil benda itu darinya."
Aku berbalik dan lari ke pintu. Anak-anak lain mengejarku.
"Hentikan dia! Hentikan dia!" teriak mereka.
Aku menghadap ke arah mereka dan menujukan remote itu
pada mereka sambil menekan berbagai tombol dengan panik.
Aku tidak menyadari apa yang kulakukan. Aku sangat panik
dan ketakutan. Jantungku berdebar kencang dan perutku bergolak hebat.
Kutekan semua tombol, tapi tidak ada yang berfungsi.
"Hentikan Seth! Hentikan dia!" Orang-orang itu masih terus
mengejarku. Aku memencet tombol lain. Dan lainnya lagi.
Tidak berfungsi. Lalu kutekan tombol OFF.
"Hei!" teriakku ketika semuanya mendadak gelap.
Aku mengedip beberapa kali, tapi kegelapan itu tidak
berkurang. Sekarang semua sunyi. Sunyi dan gelap.
Aku sendirian di sini. Tidak ada anak-anak. Tidak ada sekolah. Tidak ada cahaya.
Tidak ada gambar atau suara.
Seberkas cahaya suram di tanganku membuatku mengangkat
remote control itu. Kudekatkan benda itu ke wajahku. Sebuah lampu
merah kecil berkedip-kedip.
Sambil menajamkan mata kubaca tulisan di bawah lampu itu.
BATERAI HABIS. BONEKA-BONEKA CANTIK "KAU merusak bonekaku!" teriak Tamara Baker.
"Tidak!" protes Neal, adiknya yang berumur tujuh tahun.
"Lengannya lepas sendiri. Bukan aku yang merusaknya!"
Tamara merebut boneka itu dari tangan adiknya. Lengan
boneka yang berwarna merah muda jatuh ke lantai. "Ini boneka ketiga
yang kaurusak, Neal!" serunya. "Kenapa kau selalu mengganggu
koleksi bonekaku?" "Kau kan masih punya banyak," gerutu Neal sambil menunjuk
ke rak-rak boneka Tamara.
"Setidaknya kau bisa bilang maaf, kan?" bentak Tamara.
"Maaf," kata Neal pelan. Lalu ia nyengir lebar dan
menambahkan, "TIDAK MENYESAL!" Ia berbalik dan lari ke luar
kamar Tamara. Dengan marah Tamara membanting pintu. Ia menaruh kembali
boneka yang rusak itu di rak, sambil menggeleng-geleng. Lalu ia
menyikat rambutnya di depan cermin.
Tamara memandangi sosoknya di cermin. Ia berumur dua belas
tahun. Wajahnya lebih panjang dan lebih kurus sekarang. Tidak apa,
sebab Tamara memang ingin tampak lebih dewasa.
Matanya besar dan cokelat, kulitnya kecokelatan, hidungnya
mancung kecil, dan tahun ini ia tidak lagi memakai kawat gigi.
Tamara tersenyum puas. Tapi rambutnya...
Rambut Tamara panjang bergelombang dan sukar diatur. Setiap
hari rambutku selalu jelek, pikirnya kesal. Ia menyibakkannya, lalu
mengenakan baretnya. "Tamara, kau mau ikut, tidak?" Ayahnya memanggil dari
bawah. Ayahnya tak suka menunggu. Mereka akan pergi ke pasar
raya, dan Dad ingin tiba di sana tepat saat pasar raya itu buka pada
pukul sepuluh pagi. Tamara membuka pintu kamarnya dan menginjak sesuatu yang
lembek. Benda itu berbunyi dan Tamara terlompat kaget. Lalu ia
melihat Neal mengintip dari pintu kamarnya sendiri, tertawa terbahakbahak.
"Takut ya" Takut?" nyanyinya.
Tamara mengambil benda itu. Mainan yang ditaruh di dalam
kaus kaki dan diletakkan di tempat Tamara pasti akan menginjaknya.
Ia melemparkan mainan itu pada Neal. Neal lari naik tangga dan
Tamara mengejarnya. "Anak-anak!" seru Mrs. Baker ketika kedua anak itu lari
berputar-putar mengitarinya. "Hentikan!"
"Dia yang memulai!" kata Neal merengek.
"Mom, dia merusak bonekaku lagi," kata Tamara.
"Hentikan! Hentikan!" perintah Mom. "Kalian masuk ke
mobil!" Lama sekali rasanya mereka naik mobil. Tamara duduk di
belakang bersama Neal. Neal benar-benar tidak bisa diam. Sebentar-
sebentar ia bergerak, melongok ke luar jendela, ingin melihat ke
segala arah sekaligus. Tamara menjadi kesal.
Begitu tiba di pasar raya, Neal semakin menjengkelkan. Ia ingin
melihat semuanya sekaligus.
"Tamara," kata Mrs. Baker, "ayahmu dan aku ingin melihat
barang keramik, tapi aku tidak mau Neal dekat-dekat barang yang
mudah pecah." "Bagus, Mom," sahut Tamara sambil memutar-mutar bola
matanya. "Nah, bagaimana kalau kau mengajaknya jalan-jalan selama
setengah jam, lalu kalian susul aku dan ayahmu di bagian informasi?"
kata Mrs. Baker. "AKU?" protes Tamara kaget. "Kenapa aku" Apa aku
kelihatannya seperti pelatih binatang buas?"
"Tidak," Neal terkikik, "justru kau binatang buasnya!
Hahahaha!" Tamara merasa terjebak. "Baiklah," gerutunya. "Ayo, monster
kecil!" Tamara menggenggam tangan Neal erat-erat, supaya anak itu
tidak bisa kabur. Sayang tidak ada borgol, pikirnya. Ia berjalan sambil
melihat-lihat, tidak mengacuhkan celoteh Neal.
Tamara tidak begitu suka pada benda seni. Ibunyalah yang
tergila-gila. Melihat T-shirt biasa saja ibunya bisa langsung ingin
menghiasnya dengan pernak-pernik.
Tapi Tamara senang juga melihat-lihat. Ada kios yang menjual
selimut, wadah-wadah dari tanah liat, perhiasan buatan tangan, dan
mainan-mainan dari kayu yang diukir. Neal juga tertarik pada mainanmainan itu.
"Wow, gimana cara memakai pistol air ini ya?" tanyanya.
Tamara tidak terlalu tertarik pada pistol air. Ia berbelok ke kios
di seberang lorong. Dan melihat boneka-boneka itu.
Ada sekitar lima belas atau dua puluh boneka. Semuanya seperti
manusia sungguhan. Boneka-boneka itu memiliki wajah berbeda, dengan ekspresi
berbeda pula. Ada yang tampak manis, ada yang cemberut, menangis,
atau tidur. Semuanya seperti deretan anak kecil yang hidup, tapi diam.
Tamara memandangi semua boneka satu per satu. Benar-benar
seperti sungguhan. Kalau ia menyentuhnya, mungkin mereka akan
terasa hangat, tidak dingin seperti umumnya boneka. Tamara
mengulurkan tangan. "Kau suka boneka-boneka itu?" Sebuah suara serak berkata dari
belakangnya. Tamara terlonjak kaget. Ia berbalik dan melihat seorang wanita
yang sangat tua. Kulit wanita itu keriput dan berlipat-lipat. Rambut
putihnya kaku seperti jerami dan matanya kecil sekali.
"Anda yang membuat boneka-boneka ini?" tanya Tamara.
"Ya, Sayang, semuanya."
"Aku belum pernah melihat yang seperti ini. Mereka seperti
anak sungguhan." "Tidak ada yang serupa," sahut wanita tua itu. "Dan mereka
sempurna, hingga detail yang sekecil-kecilnya. Lihatlah lebih dekat."
Neal mendekati Tamara. "Aku lapar," rengeknya.
"Nanti kubelikan makanan," bentak Tamara.
"Oh, anak yang manis!" seru si wanita tua pada Neal. "Kau lucu
sekali. Aku punya kue untuk anak manis seperti kau."
Neal senang mendengar ada kue untuknya. Tamara kembali
mengalihkan perhatian pada boneka-boneka itu. Ada satu boneka yang
mengenakan gaun ungu gelap dengan renda tepi putih.
Tamara mengambil boneka itu. "Wow, beratnya sama dengan
berat bayi sungguhan," katanya. "Hebat sekali."
Tamara meletakkan boneka itu dan menoleh. Ia melihat si
wanita tua sedang meletakkan tangan di atas kepala Neal dengan
gerakan aneh, seperti sedang memberkati.
Lebih aneh lagi ekspresi wajah Neal. Ia berdiri diam.
Tamara langsung menyambar tangan Neal dan menariknya
menjauh dari kios itu. "Ayo, kita harus pergi," katanya. "Bilang terima
kasih atas kuenya." "Terima kasih," gumam Neal dengan mulut penuh.
Tamara dan Neal menyusul orangtua mereka, lalu mereka
melihat-lihat bersama-sama, dan tidak melewati kios boneka tadi.
Setelah puas melihat-lihat, mereka pulang. Sepanjang
perjalanan Neal tidak bergerak-gerak terus seperti ketika berangkat
tadi. Ia duduk diam, memandang ke depan.
Begitu tiba di rumah, Mrs. Baker baru menyadari sikap diam
Neal yang tidak biasa. Ia memegang dahi Neal. "Ted, dia demam,"
katanya pada ayah Neal. "Mungkin karena terlalu lama jalan-jalan," sahut Mr. Baker.
"Akan kuambilkan aspirin untuk anak-anak. Neal, tidurlah di kamar."
"Aku tidak mau tidur. Ini kan masih siang," protes Neal. Tapi ia
naik juga ke kamarnya. Mrs. Baker memakaikan piama pada Neal dan membelai
kepalanya dengan sayang. Tamara ikut naik tepat saat Mrs. Baker
bergumam sambil menarik tangannya dari kepala Neal. "Kau kenapa,
Neal" Di rambutmu kok ada lendir?"
"Lendir boneka," Tamara mendengar Neal bergumam, lalu anak
itu tertidur. ********* Sorenya kulit Neal berbercak-bercak merah dan wajahnya pucat
sekali. "Seperti alergi, Marge," kata Mr. Baker. "Dia makan apa tadi?"
"Oh, Ted," desah Mrs. Baker, "apa pun dimakannya."
Tamara merasa sedih adiknya sakit. Ia pergi ke kamar Neal
untuk menemaninya sebentar.
Neal pucat sekali, seolah-olah wajahnya mulai memudar.
Tamara memegang dahi adiknya. Panas sekali. Neal
menggumamkan sesuatu dalam tidurnya. Tamara mendengarkan.
"Tidak mau. Tidak mau jadi boneka. Tidak mau."
Boneka" Tamara teringat wanita penjual boneka itu. Dan kuenya.
Mungkin ada sesuatu dalam kue itu yang membuat Neal sakit.
Ia juga ingat wanita tua itu meletakkan tangannya di kepala
Neal. Lendir boneka..."
"Mom, aku mau keluar sebentar," kata Tamara sambil
mengenakan jaketnya. "Mau ke mana?" "Naik sepeda." Lalu Tamara bergegas keluar dari pintu
belakang. Ia melompat ke sepedanya dan memacunya secepat mungkin.
Pasar raya itu letaknya beberapa mil dari rumahnya, dan ia tidak tahu
sampai pukul berapa pasar raya itu buka.
Ia tiba di sana tepat ketika pintu gerbangnya ditutup. "Yah, aku
sudah di sini," pikirnya. "Sekarang, apa yang mesti kulakukan?"
Para pedagang sedang membereskan dagangan mereka dan
menutup kios. Tamara melihat wanita penjual boneka itu keluar dari salah satu
sudut, membawa kotak. Tamara memperhatikan dengan saksama
ketika wanita itu membawa kotak tersebut ke sebuah trailer
bertuliskan HANYA UNTUK PESERTA.
Dengan tetap berlindung dalam bayang-bayang, Tamara
mengendap-endap ke arah trailer tersebut, dan mengintai. Si wanita
tua keluar, mengambil kotak demi kotak untuk dibawa ke trailer.
Tamara menunggu sampai wanita itu tidak tampak lagi, lalu
dengan tegang ia mendekati trailer tersebut.
Dengan berdebar-debar Tamara memeriksa isi trailer. Ia ingat
ucapan Neal tentang lendir boneka itu.
Sambil terus mengawasi pintu, Tamara membuka beberapa
kotak bertuliskan "boneka" dan melihat isinya. Ternyata yang ada di
dalamnya bukan boneka-boneka yang tadi dipamerkan.
Boneka-boneka dalam kotak-kotak ini belum memiliki wajah.
Tamara merinding. Entah kenapa, seram rasanya melihat
boneka tanpa wajah. Kepala boneka yang putih dan halus itu seakan
memandanginya seperti hantu.
Dengan gemetar Tamara membuka kotak lain. Boneka di
dalamnya mempunyai wajah pucat, sangat pucat, hingga bagianbagian wajahnya tidak kentara. Tamara menyentuh kepala boneka itu
dan tangannya terkena lendir yang sama dengan yang ada di rambut
Neal. Lendir boneka. "Ohh!" Tamara berseru ketika wajah boneka itu jadi lebih
kentara. Semakin jelas. Ia mengenali mata Neal, hidung Neal, dan
mulut Neal yang terpeta pada boneka di hadapannya.
Wajah boneka itu semakin jelas. Wajah Neal tampak lebih
kentara di situ. Lalu Tamara teringat betapa pucat adiknya yang sedang tertidur
tadi. Dan wajahnya seperti memudar.
"Apa yang dilakukan wanita tua itu?" pikirnya ngeri. "Aku
mesti menghentikannya."
"Hhhhentikan dia," kata sebuah suara.


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tamara terkesiap dan membalikkan tubuh. Apakah yang
berbicara itu si wanita tua"
Tidak. Tak ada siapa-siapa di pintu. Dari mana asal suara itu"
Dari lemari. "Hhhentikan dia," kata suara itu lagi.
Dengan tercekat Tamara membuka pintu lemari itu.
Boneka. Banyak sekali boneka di dalamnya.
Boneka yang tadi dipajang di kios.
Tapi tak mungkin mereka hanya boneka, sebab mereka
bergerak, mengulurkan lengan mereka yang kecil dan merah muda
pada Tamara. "Tidak!" teriak Tamara. "Kalian tak mungkin hidup! Tak
mungkin!" Ia mundur dari lengan-lengan yang terulur itu. "Jangan sentuh
aku! Jangan!" pintanya.
Mendadak ia tersadar. Neal! Ia mesti menolong Neal.
Tamara menutup pintu lemari itu, lalu menyambar boneka yang
wajahnya seperti wajah Neal dan ia lari keluar dari trailer tersebut.
"Mau ke mana, Sayang?" Si wanita tua menyeringai pada
Tamara. "Jangan dekati aku!" teriak Tamara terengah-engah. "Boneka
ini ada di tanganku, dan aku akan ke polisi."
Mata wanita tua itu berkilat-kilat. "Bagaimana kalau kita
bicarakan ini di dalam?" tanyanya lembut.
"Tidak!" jerit Tamara. "Aku melihat boneka-bonekamu. Aku
tahu apa yang kaulakukan!"
Wanita tua itu hendak mendekati Tamara. Ia berjalan pelan tapi
pasti, wajahnya jahat dan keras. "Kau tidak tahu apa yang kulakukan,"
katanya dengan gigi dikatupkan. "Duniamu tidak mengerti tentang
seni kuno ini." Mendadak Tamara merasa pening. Apa maksud wanita itu
dengan kata "duniamu" tadi" Berapa umur wanita itu sebenarnya"
Si wanita tua mengambil sesuatu dari balik sweater-nya. Wadah
berisi lendir yang disebut lendir boneka oleh Neal.
"Kurasa sudah waktunya kau pergi, Sayang," kata wanita itu.
"Pada abad ini banyak sekali orang muda menghilang begitu saja. Kau
cuma akan menjadi salah satu di antaranya."
Ia mengoleskan sedikit lendir itu di jemarinya, lalu
menghampiri Tamara sambil menggumamkan semacam mantera.
Tamara berusaha bergerak, tapi tak bisa.
Ia merasa seperti seekor burung yang terhipnotis oleh ular.
Wanita tua itu bagaikan seekor ular yang merayap makin dekat dan
makin dekat... "Tidak!" jerit Tamara, lalu ia menyerbu ke depan. Suara
jeritannya sendiri telah memberinya kekuatan.
Ia menyambar wadah lendir itu dari tangan si wanita tua, lalu
berbalik dan lari. "Kembalikan!" teriak wanita tua itu.
Tamara melihat sebuah kolam kecil di dekat tempat berjualan.
Ia mengangkat wadah di tangannya dan melemparkannya ke kolam
itu. "Bodoh kau!" ratap si wanita tua. "Bodoh! Apa yang
kaulakukan?" Tamara terbelalak tak percaya ketika air kolam itu mulai
mendesis dan berbuih. Gumpalan awan hitam naik dari dalam kolam.
Air kolam berubah hijau, lalu biru, lalu merah, bergolak dalam
gelombang-gelombang dahsyat, lalu terbanting ke bawah awan hitam
pekat itu. Ketika Tamara menoleh, wanita tua itu sudah lenyap.
Ia mendengar seruan dan sorakan gembira dari arah trailer.
Apakah boneka-boneka di dalam sana sedang merayakan kebebasan
mereka" Ia tak punya waktu untuk memeriksa. Ia lari ke sepedanya dan
memasukkan boneka berwajah Neal ke keranjang di sepeda.
Tapi ia terkejut melihat boneka itu sekarang tidak lagi berwajah.
Bagian wajahnya kosong dan putih.
Dengan gemetar ketakutan Tamara melemparkan boneka itu
sejauh mungkin, lalu ia mengayuh sepedanya cepat-cepat.
********** "Tamara, dari mana saja kau?" kata Mrs. Baker. "Coba lihat,
kau berantakan sekali!"
"Maaf, Mom," gumam Tamara. "Aku akan mandi nanti."
Neal melongok ke dapur dan nyengir pada Tamara. "Kau
seperti habis masuk kubangan!" serunya. "Piggy! Piggy!"
"Neal! Kau sudah sembuh?" Tamara berseru gembira. Ia
berlutut dan memeluk adiknya dengan antusias.
"Astaga!" kata Mrs. Baker. "Mendadak demam Neal sembuh
dan dia sudah seperti biasa lagi."
"Ya, sudah cerewet lagi," kata Tamara sambil mengacak-acak
rambut Neal. "Yah, aku senang melihatnya."
Segalanya sudah kembali normal. Tamara memutuskan untuk
melupakan kejadian dengan wanita tua itu, serta boneka-boneka hidup
yang menakutkan tersebut.
Ia memaksakan diri melupakan wanita tua itu... hingga suatu
malam, beberapa minggu kemudian.
Orangtuanya sedang keluar dan Tamara harus menjaga Neal.
Seseorang mengetuk pintu.
"Siapa?" seru Tamara.
Tak ada jawaban. "Siapa?" ulang Tamara.
Tetap tak ada jawaban. Tamara mengintip dari jendela depan. Malam gelap tanpa
bulan. Ia tidak melihat siapa-siapa di luar.
Dengan penasaran ia membuka pintu dan menemukan sebuah
kotak di undak-undak depan. "Hei..." Ia memandang jalanan yang
gelap. Siapa yang menaruh kotak ini di sini"
Dibawanya kotak itu ke dalam dan dibukanya kertas
pembungkusnya. "Itu buatku ya?" Neal masuk ke ruang tamu. "Hadiah buatku
ya?" "Aku tidak tahu," sahut Tamara yang masih membuka kertas
pembungkus. Di dalamnya ada sebuah kotak biasa. Tamara membuka
tutupnya. ebukulawas.blogspot.com
Ia terbelalak memandang boneka di dalamnya. Boneka jelek
dengan rambut putih kaku, wajah keriput berlipat, dan mata kecil.
"Ohh." Ia langsung mengenali boneka itu. Boneka itu adalah si
wanita tua pembuat boneka.
Dia mengikutiku, pikir Tamara.
Dan dia telah menemukanku.
Dia sekarang ada di rumah ini dengan kekuatan jahatnya.
Tamara merasa ngeri. Ia serasa tak bisa bernapas melihat
boneka jelek yang menakutkan itu.
Hampir-hampir ia menjatuhkan kotak di tangannya. Apa yang
mesti kulakukan" Mendadak gagasan itu muncul.
Diberikannya boneka itu pada Neal. "Taruhan kau tidak bisa
merusak boneka ini," katanya.
"Apa?" Neal memandangi boneka itu, lalu ganti menatap
Tamara. "Kutantang kau untuk merusak boneka ini," kata Tamara.
"Kau menantang?"
Tamara mengangguk. "Taruhan lima dolar, kau tidak bakal
bisa." "Jadi," sahut Neal. Dan ia pun mulai beraksi.
ANAK BARU KAMI sudah tahu ada yang aneh pada diri Helga, sejak pertama
kali kami melihatnya. Pertama-tama, namanya saja aneh. Helga. Nama yang kuno.
Penampilannya juga kuno. Setiap hari ia ke sekolah memakai
rok hitam yang sama. Modelnya kuno dan agak lusuh. Sama sekali
tidak bermodel. Temanku Carrie dan aku sedang mengikuti pelajaran Miss
Wheeling di kelas enam ketika Helga pertama kali masuk ke kelas
kami. "Lihat, Maddy," bisik Carrie, memberi isyarat dengan matanya.
Aku menoleh ke depan kelas dan memandangi gadis yang
sedang bicara dengan Miss Wheeling itu. Dengan rambut hitamnya
yang ikal dan blus kelabu pucat serta rok hitam, ia tampak seperti
tokoh dalam film lama. "Ini Helga Nuegenstorm," kata Miss Wheeling. "Dia anak baru
di sini, dan aku yakin kalian semua akan membantunya agar kerasan
di sini." Helga menunduk. Kulitnya pucat sekali, seperti tidak pernah
kena matahari. Dan ia mengenakan lipstik hitam.
"Dia aneh," bisik Carrie.
"Dia cantik," sahutku. "Belum pernah aku melihat yang seperti
dia." Siangnya Carrie, Yvonne, Joey, dan aku duduk bersama di
ruang makan. Kami berempat bersahabat karib... sudah lama sekali.
Setiap hari kami duduk bersama di ruang makan siang.
"Kalian lihat anak baru itu?" tanyaku. Kami sedang saling
lempar apel. "Dia aneh ya?" kata Carrie.
Yvonne dan Joey mengangguk. "Dia pucat sekali, dan dia
mengenakan lipstik hitam yang aneh itu," kata Yvonne.
"Mungkin itu bukan lipstik," canda Joey. "Mungkin warna
bibirnya memang begitu."
"Kalian tahu dia tinggal di mana?" tanyaku sambil menangkap
apel itu dan melemparkannya pada Joey.
"Di rumah bekas keluarga Dobson," kata Yvonne. "Aku
melihatnya pindah ke situ."
Carrie, Joey, dan aku terkesiap. Apel itu jatuh dari tangan Joey
dan terguling ke lantai. Rumah keluarga Dobson letaknya terpencil di tepi Hutan
Culver. Sudah lama sekali rumah itu dibiarkan kosong.
"Rumah itu seram sekali," kata Carrie. "Kalian pernah melihat
orangtua Helga?" Yvonne menggeleng. "Tidak. Rasanya agak aneh. Aku melihat
truk pengangkut membawa semua perabot rumah yang kuno dan
berat. Dan aku melihat Helga. Tapi aku tidak melihat ada orang
dewasa." "Aneh," kata Carrie lagi. Itu memang kata favoritnya.
Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi kulihat Helga berdiri
canggung di ambang pintu ruang makan. "Akan kuajak dia duduk
bersama kita," kataku sambil berdiri.
"Kenapa, Maddy?" tanya Joey.
"Mungkin kita bisa tahu lebih banyak tentang dia," sahutku.
Aku bergegas menghampiri Helga. "Aku Maddy Simon," kataku.
"Aku sekelas denganmu. Mau duduk bersama aku dan temantemanku?"
Helga memandangiku dengan sepasang matanya yang kelabu
pucat. Mata paling aneh yang pernah kulihat. Mata hantu, pikirku.
"Tidak, terima kasih," sahutnya pelan. "Aku tidak pernah
makan siang." ********* Dia pasti vampir, begitulah dugaan kami.
Kami berempat selalu mencari vampir.
"Helga pasti vampir," kata Carrie. "Dia tidak pernah makan.
Penampilannya kuno, dan dia selalu menyendiri. Dia juga pucat
setengah mati." Saat itu tiga hari sudah berlalu. Kami sedang mengintai rumah
Helga dari seberang jalan. Kami bersembunyi di balik barisan
tanaman pagar yang panjang, sambil berbisik-bisik.
Rumah kuno itu menjulang di depan kami, pucat dalam cahaya
bulan purnama. Di belakang rumah itu, pepohonan di Hutan Culver
bergoyang-goyang tertiup angin.
"Di mana Helga?" bisik Yvonne. "Rumah itu gelap gulita."
"Dia ada di dalam," sahutku sambil memandangi jendelajendela yang gelap. "Dia ada di tengah kegelapan itu."
"Aneh," bisik Carrie.
"Tadi aku mencoba mengajaknya bicara di sekolah," lapor Joey.
"Tapi dia melewatiku begitu saja. Dia memakai sepatu hitam yang
berat, tapi langkah kakinya sama sekali tidak menimbulkan suara."
"Kenapa ada yang mau tinggal di rumah tua yang seram itu?"
tanya Carrie. "Rumah itu jauh sekali dari kota, dan di sekitarnya cuma
ada hutan." "Supaya tidak terganggu," sahutku. "Vampir kan memerlukan
privasi." Yang lain terkikik. Rasanya aku melihat sesuatu bergerak di jendela. Sebuah
bayangan kelabu di antara kegelapan. "Ayo," bisikku. "Kita lihat lebih
dekat." Kami beringsut maju. Kesunyian di sekitar kami sangat
mencekam. Yang terdengar hanyalah bisikan pelan angin di antara
pepohonan. Rumah tua itu seakan semakin gelap ketika kami mendekatinya.
Kami menerobos alang-alang tinggi yang menyelimuti seluruh
pekarangan depan. Pelan-pelan kami bergerak, lalu meringkuk di
bawah jendela depan yang besar, bersandar di tembok yang dingin
berlumut. "Dorong aku ke atas," bisikku pada Joey. "Supaya aku bisa
melongok ke jendela."
"Hati-hati, Maddy," Carrie mengingatkan. "Nanti Helga
melihatmu." Aku tidak mengacuhkannya. Aku mesti melihat. Aku ingin
tahu. Joey dan Yvonne membantu mengangkatku. Kucengkeram tepi
jendela yang terbuat dari batu dan kuangkat tubuhku supaya bisa
melongok ke dalam. Aku menatap ke balik jendela yang berdebu, ke ruang tamu
yang luas dan gelap. Sebaris cahaya bulan masuk ke ruangan itu dan
aku bisa melihat sebuah sofa panjang dari kayu serta dua kursi model
kuno. Aku hampir jatuh ketika kulihat Helga di dalam.
"Dia ada," bisikku tegang pada teman-temanku. "Aku
melihatnya. Dia berdiri dalam gelap, di depan sebuah cermin
panjang." "Apa dia punya bayangan?" bisik Joey. "Perhatikan, Maddy.
Apa dia punya bayangan?"
Kutajamkan mataku, mencoba memfokuskannya dalam
kegelapan. Vampir tidak punya bayangan. Aku tahu itu. Apakah Helga
punya bayangan" "Terlalu gelap. Tidak kelihatan," laporku.
Mendadak Helga menoleh ke jendela. Sepertinya ia menatap
langsung padaku. "Turunkan aku! Cepat!" pintaku. Aku merosot ke tanah.
"Apa dia melihatmu?" tanya Carrie tak sabar.
"Entah ya," kataku. "Mudah-mudahan tidak."
"Kenapa dia berdiri dalam gelap?" tanya Joey. "Apa dia punya
bayangan" Apa dia berjalan atau melayang?"
Aku tidak bisa menjawab.

Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita kembali kemari besok," kataku.
********** Kami berempat bertemu di situ setiap malam, bersembunyi di
balik tanaman pagar dan mengintai rumah Helga. Kami mengintip dari
jendela, menyelinap ke belakang rumah dan mencoba melongok dari
dapur. Kadang-kadang ada lampu buram menyala di jendela atas, tapi
kebanyakan tidak ada lampu sama sekali.
Sesekali kami melihat Helga di dalam rumah, selalu sendirian.
Orangtuanya tak pernah kelihatan. Orang lain juga tidak ada.
Kami jadi terobsesi dengan Helga. Kami ingin tahu yang
sebenarnya. Kami coba bicara dengan Helga di sekolah, tapi ia cuma
memandang kami dengan matanya yang dingin kelabu dan tidak
pernah berusaha bersikap ramah.
Kuundang dia main basket bersama pada hari Jumat malam,
tapi katanya ia tidak suka basket.
Kami coba agar ia mengundang kami ke rumahnya. Suatu hari
Joey bertanya apakah ia boleh datang ke rumah Helga untuk
meminjam catatan sejarah.
Kata Helga, ia tidak ada di rumah malam itu.
"Bagaimana kalau besok, sepulang sekolah?" desak Joey.
"Tidak bisa," sahut Helga misterius.
Setiap hari ia selalu mengenakan rok hitam yang sama dan gaya
rambutnya tak pernah berubah. Rambut ikalnya yang hitam itu
membingkai wajahnya yang sangat pucat.
Suatu hari sengaja aku meraih tangannya. Waktu itu kami
sedang berdiri berdampingan di lorong sekolah, menunggu masuk ke
aula. Aku tidak tahan. Kusambar tangannya dan kuremas. Ingin tahu
rasanya, apakah seperti tangan manusia biasa.
Tapi aku langsung tersentak kaget karena tangan Helga dingin
sekali. Amat sangat dingin.
Dia memang vampir, pikirku.
Helga menyatukan kedua tangannya dan memandangiku dengan
mata kelabunya yang menakutkan itu. "Dingin sekali di sini,"
bisiknya. "Apa kau tidak merasakannya, Maddy?"
Baru kali itu ia menyebutkan namaku dan aku jadi merinding
mendengarnya. ******** Malam itu aku dan teman-temanku berkumpul lagi di depan
rumah Helga. Bulan pucat bersinar di atas. Di rumah Helga hanya
tampak satu cahaya buram dari salah satu jendela di atas.
Kami memandangi jendela itu dari balik pagar tanaman.
Jendelanya ditutup, tapi tampak bayangan Helga yang sedang mondarmandir di baliknya.
"Dia sendirian di situ," bisik Carrie. "Tanpa orangtua. Tanpa
siapa-siapa." "Mungkin usianya sudah ratusan tahun," aku balas berbisik.
"Kelihatannya tidak," kata Joey.
Kami terkikik, tapi langsung terdiam begitu lampu di jendela itu
mati. "Dia pergi tidur," tebak Yvonne. "Apa dia tidur di peti mati?"
"Pasti," sahutku sambil menatap jendela gelap itu. Ada sesuatu
yang bergerak rendah di atap rumah yang landai. Kelelawarkah"
"Semua vampir tidur di peti mati," gumam Joey. "Peti mati
yang penuh debu lama dari kubur mereka."
"Aku ingin melihat peti Helga," bisikku sambil berdiri. Aku
maju dengan mata menatap rumah itu.
"Maddy, kembalilah," kata Carrie.
"Aku mesti melihat peti Helga," kataku. "Aku mesti
memastikan." Kami semua ingin tahu. Itu sebabnya kami mengintai Helga
setiap malam. Pelan-pelan aku menyeberang jalan dan masuk ke pekarangan
depan rumah Helga. Yang lain mengikuti.
Sebatang pohon tua tumbuh tinggi di depan jendela kamar
Helga. Aku memanjatnya. Cabang pohon itu terasa dingin dan kasar di tanganku. Batangbatangnya yang ramping bergoyang-goyang, seperti ingin
menjatuhkanku. Aku berpegangan erat-erat dan mencari cabang yang lebih
tinggi. Aku mengangkat tubuhku, lalu mengintip ke rumah itu di
antara dedaunan. Jendela kamar Helga masih tinggi di atasku. Aku melongok ke
bawah dan melihat ketiga temanku sedang memandang ke arahku di
atas. Bahkan dalam kegelapan pun bisa kulihat ketegangan di wajah
mereka. Aku terus memanjat, tidak menghiraukan goresan-goresan
cabang pohon di tanganku serta ranting-ranting yang bergoyanggoyang.
Dengan pelan tapi pasti aku terus memanjat, sampai aku cukup
tinggi untuk bisa melihat ke dalam jendela kamar tidur.
Sambil memeluk batang pohon erat-erat, aku menoleh perlahanlahan dan merundukkan kepala agar bisa melihat dari balik
segerumbul dedaunan berwarna gelap. Aku melihat ke balik jendela
itu... Dan melihat Helga sedang menatapku juga.
Wajahnya bersinar keperakan dalam cahaya bulan. Matanya
yang kelabu berkilat jahat ketika ia memandangiku dari balik jendela.
Tanpa bisa menjerit peganganku mengendur dan aku meluncur
tanpa terkendali. "Tidak!" Kusambar batang pohon yang keras itu dan
berpegangan lagi. "Dia melihatku!" Aku berseru pada teman-temanku. "Helga
melihatku!" Aku merosot turun dengan panik di batang pohon.
Ketika aku tiba di tanah, ketiga temanku sudah lari ke depan
rumah. "Tunggu!" panggilku serak.
Tapi sudah terlambat. Pintu depan mengayun membuka.
Helga keluar dengan cepat, menuruni undakan, dan melangkah
ke pekarangan untuk menghalangi jalan kami.
"Aku tahu kalian mengintaiku!" serunya marah. "Sebaiknya
kalian hentikan! Kuperingatkan!"
Aku berhenti, begitu juga ketiga temanku. Kami memandangi
Helga yang mendatangi kami dengan marah.
Helga mengepalkan tinjunya dengan geram, matanya yang
seram menatap kami dengan tajam.
Kami berdiri ketakutan di tengah pekarangan gelap itu.
Pepohonan bergoyang-goyang dan bergemeresak. Alang-alang yang
tinggi berayun-ayun di sekeliling kami.
Lalu mendadak pertanyaan itu meluncur begitu saja dari
mulutku. "Helga, apa kau ini vampir?" tanyaku.
Helga bergerak mendekat, mata kelabunya berkilat-kilat.
"Ya," bisiknya.
"Tunjukkan taringmu," kataku.
Seulas senyum aneh merekah perlahan di wajah Helga. "Tidak,"
sahutnya. "Kau dulu yang mesti menunjukkan taringmu."
Sejenak aku ragu, tapi lalu kuperlihatkan taringku.
Kemudian Carrie, Yvonne, dan Joey memperlihatkan taring
mereka juga. Taring kami keluar dengan mudah, hingga ke dagu.
Kami tersenyum penuh harapan pada Helga. "Giliranmu,"
kataku. Tapi aku terkejut, sebab Helga mundur sambil mengerang
ketakutan. "Aku cuma bercanda," katanya. "Kukira... kukira kalian
juga bercanda." "Tidak," kataku.
Kami tidak bercanda. Kami memang vampir. Aku, Carrie,
Yvonne, dan Joey. Kami berempat adalah vampir-vampir.
Kami sangat kecewa pada Helga. END
Rahasia Peti Wasiat 8 Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Permainan Maut 1
^