Naga Berkepala Empat 1
Hardy Boys Naga Berkepala Empat Bagian 1
HARDY BOYS NAGA BERKEPALA EMPAT Franklin W. Dixon Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Judul Asli THE FOUR HEADED DRAGON Oleh Franklin W. Dixon Terjemahan oleh
Prodjosoegito Copyright 1983 oleh Stratemeyer Syndicate
" Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertamakali dalam bahasa
Inggris oleh Wanderer Books dari Simon & Schuster Divisi dari Gulf & Western
Corporation Simon & Schuster Building 1230 Avenue of the Americas New York. New York 10020.
Diterbitkan pertamakali dalam bahasa Indonesia oleh PT. INDIRA, Jalan Sam
Ratulangi 37, Jakarta Anggota IKAPI Jakarta-1984 Cetakan I: Mei 1984 Cetakan II:
Oktober 1985 Dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo. Jakarta
Daftar Isi 1. Kejutan 2. Ketakutan di Malam Hari
3. Ancaman Di Hutan 4. Rencana yang Berbahaya
5. Sabotase Di Lapangan Terbang
6. Anjing-anjing Ganas 7. Terhindar Dari Lubang Jarum
8. Perangkap Telepon 9. Ceritera Sedih 10. Topan Badai 11. Penyelamatan yang Menakjubkan
12. Kunjungan yang Aneh 13. Sayap Bangunan yang Misterius
14. Berita Sandi 15. Tertangkap 16. Penjara Di Bawah Tanah
17. Rencana Jahat 18. Tonio yang Berani 19. Pengejaran Helikopter
20. Sasaran Empuk 1. Kejutan Frank dan Joe Hardy sedang melakukan percobaan kimia di laboratorium mereka, di
atas garasi keluarga Hardy, ketika telepon berdering. Anak-anak itu tak menaruh
perhatian. Tentunya akan disambut oleh ibu mereka.
Tetapi kemudian suara Bu Hardy terdengar dari intercom.
"Frank atau Joe, Chet mau bicara di telepon. Katanya sangat penting!"
Frank meraih pesawat telepon.
"Mungkin ia mogok entah di mana, dan perlu omprengan."
Tetapi Chet tak menghadapi masalah dengan mobil tuanya kali ini.
"Frank, ayahku menemukan Sam Radley berkeliaran di sekitar pertanian kami,"
katanya. Suaranya tegang. "Sam seperti tak sadar di mana dia berada. Ia hanya menggumam,
tetapi kami tak mengerti sepatah kata pun."
Frank melemparkan pandangan ke Joe, yang juga mendengar suara Chet yang tegang.
"Kuberitahu apa yang harus kaukerjakan,
Chet. Panggillah Regu Pertolongan Pertama, dan ..."
"O, sudah kulakukan," Chet cepat memotong.
"Ambulans sudah ada di perjalanan. Aku juga menelepon rumah apartemen Sam sampai
tiga kali, tetapi tak ada jawaban. Kukira Ethel sedang berbelanja."
"Sedang apa Sam sekarang?"
"Ayah dan lola berhasil membawa dia ke sebuah kursi, dan ibu membuatkan kopi
untuknya. Tetapi ia tak mau minum. Ia hanya memandang menerawang ke langit dengan kedua
tangannya di lutut. Kubilang, sungguh mengerikan. Frank, aku harus pergi. Nah
itu dia ambulans datang. Cepat juga mereka itu."
"Kami akan langsung ke rumah sakit sekarang
juga!" kata Frank sebelum Chet terlanjur meletakkan gagang teleponnya.
Ia lalu berpaling kepada adiknya. Joe sudah membenahi alat-alat yang tadi mereka
gunakan untuk percobaan. Frank membunyikan bel intercom ke rumah induk.
"Ya?" jawab bibi Gertrude.
"Kami hendak ke rumah sakit segera," kata Frank kepadanya. "Sam Radley cedera.
Sampaikan kepada ibu, ya?"
"Akan kulaksanakan," kata bibi Gertrude dan segera memutuskan percakapan. Ia tak
pernah menanyakan sesuatu dalam keadaan darurat.
Dalam satu menit, kedua pemuda itu sudah duduk di dalam mobil sport kuning
mereka dan melaju di jalan Elm.
"Aku sungguh berharap ayah ada di sini," kata Joe.
"Kita akan beritahu dia sesanggup kita," kata Frank kepada adiknya.
Sam Radley dan isterinya, Ethel, adalah teman-teman baik keluarga Hardy. Sam dan
pak Hardy, yang pernah menjadi detektif top di Kepolisian kota New York sebelum
menjadi detektif swasta, telah bekerja sama selama beberapa tahun.
Frank memikirkan hal itu sementara ia mengemudikan mobilnya ke arah jalan besar.
Sirene meraung-raung di belakang mereka. Ia menoleh.
"Ini dia ambulansnya!"
Dengan segera ia meminggirkan mobilnya dan berhenti. Mobil ambulans itu melesat
lewat menuju ke rumah sakit.
Ketika menjalankan mobilnya ke dalam lalu-lintas lagi, seseorang membunyikan
klaksonnya dengan kalang kabut di belakang. Ia menginjak rem ketika sebuah sedan
hitam meliuk menghindar lewat, dan hampir menabrak mobil yang datang dari arah
yang berlawanan. Mobil hitam itu tak mau melambatkan jalannya, tetapi terus, saja mengikuti mobil
ambulans. Joe menghembuskan napas. "Hampir saja!" "Sopirnya tak menengok sekali juga!" Frank mengeluh. "Sayang, tak ada mobil
patroli. Polisi dapat menangkapnya atas pelanggaran kecepatan di jalur dua arah. Engkau
melihat sopirnya?" Joe menggeleng. "Tak sedikit pun. Aku mencoba mendapatkan nomor mobilnya, tetapi ia terlalu
cepat." Dengan hati-hati Frank menjalankan mobilnya.
"Menurut teoriku, orang macam itu akhirnya akan tertangkap juga. Kuharap saja
itu terjadi sebelum ia sempat membunuh orang karena kecerobohannya."
Mereka tiba di rumah sakit beberapa menit
kemudian dan bertemu dengan Dokter Kelly di lobby.
"Bagaimana keadaan Sam Radley?" tanya Frank.
"O, apakah dia yang dibawa secara darurat?" tanya dokter itu.
Kedua pemuda itu mengangguk.
"Aku sedang ke sana sekarang ini. Silakan duduk dulu. Aku akan segera kemari
setelah selesai periksa."
Dua puluh menit kemudian, dokter itu datang lagi lalu duduk. "Aneh," katanya.
"Sam seperti sedang shock, tetapi bukan hanya itu rupanya. Ia tak mengalami luka
apa pun, sebab sejauh yang dapat kuketahui, tak ada tulang-tulang yang patah.
Namun aku akan memeriksanya dengan sinar X, untuk meyakinkan diri."
"Apakah anda dapat menduga secara ilmiah, kira-kira apa itu dokter?"
Dokter Kelly mengerutkan alis matanya.
"Ini bukan diagnosa, agar kalian mengerti. Tetapi keadaannya agak seperti gegar
otak. Aku sudah berdinas tiga tahun di Angkatan Bersenjata di seberang, dan aku telah
merawat prajurit-prajurit yang terlalu dekat dengan ledakan. Mereka tidak
terkena, tetapi mendapat guncangan dari ledakan itu. Sam bereaksi seperti para
prajurit itu ... hanya menggumam, pikirannya kacau, hampir tak mau bergerak dan
pandangannya menerawang jauh."
"Menerawang jauh?" tanya Joe.
"Ia seperti tak melihat apa yang ada di dekatnya, tetapi memandang ke kejauhan,"
dokter itu menjelaskan. "Sangat umum bagi prajurit yang telah beberapa hari
berada di pertempuran. Mengapa Sam bersikap demikian, sungguh suatu misteri
bagiku. Apakah sudah ada yang menghubungi isterinya?"
"Chet Morton sudah mecoba meneleponnya, tetapi tak ada di rumah," jawab Frank.
"Nah, kusarankan agar kalian secepat-cepatnya menghubungi nyonya Radley.
Suaminya tidak menghadapi bahaya yang besar. Mungkin, kalau ia melihat isterinya
akan tersentak lepas dari keadaannya."
Dokter Kelly pergi, dan Frank serta Joe menuju ke tempat telepon umum untuk
menelepon Ethel Radley. Setelah telepon berdering sepuluh kali, Frank
meletakkannya kembali. "Mengapa kita tak pergi ke apartemennya saja?" ia mengusulkan. "Mungkin
tetangganya dapat mengatakan ke mana ia pergi."
"Itu pikiran yang bagus," Joe membenarkan.
Di perjalanan, Frank membunyikan jari-jarinya.
"Seharusnya sudah kupikir sebelumnya! Eng-
kau ingat pesawat yang menjawab secara otomatis yang dibeli Sam bulan lalu?"
"Tentu," kata Joe. "Sam menelepon kita sampai tiga kali untuk meyakinkannya."
"Lalu" Mengapa tak ada jawaban?"
"Barangkali Ethel lupa menyetelnya sebelum ia pergi."
"Itu bukan kebiasaannya," kata Frank. "Ia selalu teliti."
"Barangkali pesawatnya agak ngadat," kata Joe.
"Mungkin. Tetapi aku mempunyai perasaan, ada sesuatu yang tidak beres." Dengan
halus Frank menghentikan mobilnya di depan apartemen Radley, dan kedua pemuda
itu bergegas masuk ke lobby.
"Apakah anda melihat nyonya Radley pergi sore ini?" tanya Frank kepada penjaga
pintu yang sedang menyapu.
"Tidak," jawab orang itu. "Tetapi aku memang baru datang pada jam empat. Dan
sejak itu nyonya tak nampak keluar."
"Terima kasih." Joe menekan tombol elevator. Rasanya seperti seabad sebelum
pintu elevator terbuka di lantai lobby. Frank menekan tombol dengan nomor '17',
dan naiklah mereka. Apartemen Radley, 17E, ada di ujung lorong. Kedua pemuda itu cepa't menuju ke
sana. "Lihat, pintunya terbuka sedikit, seru Joe. Ia masuk, diikuti oleh Frank.
Kamar tamu ada di kegelapan.
"Mana tombol lampunya?" tanya Frank dengan tegang.
"Sedikit di kananmu, kukira," jawab adiknya.
Tetapi Frank tak sempat menyalakan lampu. Terdengar suara langkah kaki yang
berat dari seberang kamar, kemudian tiga sosok tubuh membentur kedua pemuda.
Frank dan Joe telah terlatih menghadapi penghadangan. Joe menangkap tangan kanan
penyerang yang paling dekat, lalu menariknya hingga terjatuh ke lantai dan
menindihnya. Kemudian ia memutarnya sedemikian, hingga guru gulatnya di sekolah tentu akan
bangga terhadap muridnya ini. Sekarang ia menindih lawannya.
Frank terpaku pada dinding oleh dua orang lawan. Ia menendang dengan keras, dan
merasa sepatunya mengenai pergelangan kaki. Seorang menjerit dan melepaskan
pegangannya. Frank beralih ke orang yang lain, mengayunkan tinju kanannya dengan
gesit, membentur kepala. Tetapi perkelahian itu berhenti secara mendadak. Joe tak dapat menahan lawannya
yang kekar di lantai. Orang itu melemparkan Joe ke samping. Sementara itu, orang
yang kakinya terkena tendangan Frank, melenguh berteriak: "Mari kita pergi dari
sini!" Ketiga penjahat itu lari ke pintu. Mereka mundur sedemikian cepatnya, hingga
Frank maupun Joe tak sempat menghentikan mereka.
Frank berhasil sampai ke pintu, tepat pada saat ketiga penjahat itu menghilang
ke dalam elevator Ia hanya melihat punggung mereka, tetapi ia melihat dengan
rasa puas, bahwa yang seorang cukup parah pincangnya!
"Aku akan mengejar mereka!" teriaknya kepada Joe, dan segera pula ia mulai
mengejar. Kalau ia beruntung, elevator akan berhenti beberapa kali sampai ke lobby. Ia
meluncur melalui tangga kebakaran secepat-cepatnya.
Barangkali ada orang yang membawa bawaan yang cukup besar yang akan menghalangi
mereka, pikir Frank. Barangkali saja ada orang yang sedang memindahkan
perabotan---- Tetapi harapannya itu tak menjadi kenyataan. Ketika ia tiba di lobby, tersengal-
sengal kehabisan napas, pintu elevator telah terbuka lebar. Tak nampak tanda-
tanda kehadiran ketiga penjahat. Penjaga pintu pun tak nampak pula batang
hidungnya. Frank berlari ke jalan, tetapi orang-orang itu telah lenyap tanpa bekas. Kecewa,
ia kembali naik ke apartemen Radley lagi. Keadaan serba hening ketika ia masuk,
dan lampu tetap belum menyala. Rasa dingin merayapi tulang belakangnya. Apakah
ada sesuatu yang terjadi dengan adiknya"
2. Ketakutan Di Malam Hari
Frank memutar tombol lampu.
"Joe! Di mana engkau?" ia berseru ketakutan.
"Di sini," terdengar suara tertahan dari balik kursi panjang. Perlahan-lahan Joe
muncul, nampak kecewa. "Engkau terluka?" tanya Frank.
"Tidak." Joe meraba-raba tengkuknya. "Tetapi orang itu melemparkan aku seperti
sebuah bantal saja, meskipun aku lebih tinggi dari dia dan lebih berat beberapa
kilo. Bagaimana pun, aku jatuh dengan kepala lebih dulu dan pingsan untuk beberapa
menit." Ia melihat ke sekeliling.
"Semua berantakan!"
Gambar-gambar dibuang dari dinding, kursi dan kursi panjang telah dibalikkan,
laci-laci terbuka dan isinya tertumpuk di lantai. Bahkan permadani telah
diangkat dan dilemparkan ke sudut.
Dapur, kamar mandi dan kamar tidur dalam keadaan yang serupa. Yang paling parah
ialah keadaan kamar yang khusus digunakan sebagai kamar kerja Sam Radley. Kartu-
kartu yang disusun Sam selama beberapa tahun mengenai ratusan kejahatan
dikeluarkan dari almari berkas-berkas, dan kini berserakan di seluruh lantai.
Pesawat jawaban otomatis telah dibanting pula.
"Yah, apa yang dicari para penjahat itu rupanya tak ditemukan," kata Frank
menurut pengamatannya. "Kalau ketemu, mereka tentu telah pergi ketika kita
datang." Pada saat itu mereka mendengar suara dari tempat berganti pakaian di kamar
kerja. Frank melompat ke pintunya dan membukanya dengan segera. Ethel Radley
terbaring di lantai, kaki dan tangan terikat erat dan mulutnya diplester. Ethel
telah menendang-nendangkan kakinya ke dinding.
Mereka segera melepaskannya dan mengangkatnya ke dipan di kamar tamu. Joe
mengambilnya segelas air. Ethel duduk diam beberapa saat, matanya tertutup.
Akhirnya ia memandang ke kedua pemuda
yang khawatir itu dan berkata: "Tak kusangka dapat keluar dari tempat ganti baju
itu!" "Dapatkah engkau mengatakan apa yang telah terjadi?" tanya Joe. "Atau, engkau
masih perlu istirahat sebentar?"
"Tidak." Ethel menggelengkan kepala untuk menjernihkan otaknya. Aku tak apa-apa.
Aku" ingin orang-orang itu sudah ditangkap sebelum mencelakakan orang lain. Aku pergi
berbelanja, dan pulang sekitar jam satu lewat sedikit. Dua di antara mereka
sudah ada di sini, mengaduk-aduk segala-galanya. Mereka mengikat aku dan membawa
ke tempat ganti baju. Sesore ini aku mendengar mereka bergerak ke sana kemari,
melemparkan semua. Aku berusaha mendengarkan apa yang mereka katakan, tetapi
hanya sempat mendengar sedikit sekali. Mereka sedang membicarakan seekor naga.
Hanya itu yang kudengar jelas."
Joe dan Frank memandang Ethel dengan ter-heran-heran.
"Benarkah naga?" tanya Joe.
"Ya." "Ada yang kauingat selain itu" Bagaimana rupa mereka" Barangkali mereka saling
memanggil nama mereka?"
Ethel Radley berpikir keras.
"Semuanya itu terjadi cepat sekali. Aku hanya sempat melihat sekilas wajah
mereka. Seorang jangkung berambut hitam dan seorang lagi pendek. Yang pendek itulah yang
mengikat aku.
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia sangat kuat." "Nampaknya temanku berlatih tadi," kata Joe dengan masam. Ia ingat, bagaimana ia
telah terlempar. "Tetapi ada tiga orang semuanya. Engkau tak melihat yang
ketiga?" "Tidak. Ia datang kemudian. "Ethel mengerutkan alis matanya. "Tunggu sebentar.
Telepon berdering ... mereka menjawab ... dan barangkali berbicara dengan orang
yang ketiga." "Bagaimana mereka melakukannya?" tanya Frank heran. "Kami telah menelepon sampai
tiga kali, dan mereka tak menjawab."
"Mungkin pakai sandi," Ethel menduga. "Telepon itu berdering tiga kali lalu
berhenti. Kemudian berdering lagi satu menit kemudian. Salah seorang lalu berkata: "Itu
tentu Cari." "Carl," Joe mengulang dengan penuh pikiran.
"Bagaimanapun salah seorang mengangkat telepon dan mendengarkannya. Kemudian ia
berkata, 'ikuti ambulans itu dan cari tahu ke mana mereka membawanya.' Kemudian
telepon diletakkan."
Frank dan Joe saling berpandangan. "Itu tentu mobil hitam yang hampir menabrak
kita," kata Joe. "Kalian tahu sesuatu tentang peristiwa ini?" tanya Ethel.
Frank menceritakan apa yang telah terjadi, lalu berkata dengan ramah.
"Sudah merasa enak sekarang?" "O, sudah."
"Ada beberapa berita yang kurang baik bagimu. Sam ditemukan berkeliaran di
sekitar pertanian Morton. Ia seperti tak tahu di mana ia berada. Ambulans telah
membawanya ke rumah sakit Bayport."
"Apa?" Tangan Ethel menutup wajahnya. "Sam yang malang! Bagaimana ia sekarang?"
"Tubuhnya tak menunjukkan apa-apa," jawab Frank. "Tetapi ia bingung. Ia masih
saja belum sadar di mana ia berada. Karena itulah kami mencoba menghubungi
engkau. Itu pula sebabnya kami datang ke mari."
"Aku harus menemani dia!" seru Ethel.
Para pemuda itu membantu Ethel berdiri.
"Kami akan mengantar engkau," kata Frank, lalu menggandengnya. Meskipun masih
gemetar, Ethel berhasil berjalan sampai ke mobil.
Keadaan Sam belum berubah. Ethel duduk di samping ranjangnya, dengan kawatir
memandangi wajah suaminya.
"Kalian berdua boleh pergi sekarang," kata Ethel dengan senyum kecut. "Aku akan
menunggunya." "Engkau harus makan dulu," kata Frank. "Kami akan mengirimkan makanan kemari."
"Terima kasih," kata Ethel.
"Kalau Sam mengatakan sesuatu yang dapat kauketahui, maukah engkau menulisnya?"
Joe memberikan pinsil dan sehelai kertas dari buku catatannya. "Jangan khawatir
kalau seperti tidak ada artinya. Barangkali muncul petunjuk-petunjuk."
Suatu sinar membersit ke dalam mata Ethel yang abu-abu lunak.
"Engkau persis sama dengan Sam."
"Dan ayah," Frank berkata. "Aku jadi teringat harus menghubungi ayah! Ayo, Joe."
Kedua pemuda itu berhenti di kantin rumah-sakit, memesan hamburger dan minuman
segar buat Ethel. Kemudian mereka pulang.
Ketika mereka lewat di Main Street, Frank berkata: "Aku ingin tahu apa yang
sedang dikerjakan Sam. Kalau kita tahu, kita dapat melanjutkannya."
"Barangkali saja ayah tahu."
Fenton Hardy, seorang detektif yang dikenal di dunia internasional, sering
diminta membantu memecahkan perkara-perkara yang rumit oleh
pemerintah federal. Pada saat ini ia sedang ada di Alaska, bekerja untuk FBI.
Ketika kedua pemuda itu tiba di rumah, Bibi Gertrude memanggil mereka dari
dapur. "Makan akan siap sepuluh menit lagi!"
"Kami harus menelepon ayah dulu," kata Frank kepada bibi, sementara ia dan Joe
melangkah ke kamar kerja.
"Ibumu sedang berbicara dengan dia sekarang ini," bibi Gertrude memberitahu.
"Nah, ini mereka," kata Ibu Hardy ke dalam telepon. "Jangan letakkan dulu.
Mereka akan sampaikan kepadamu apa yang sedang terjadi."
la memandang kedua pemuda itu dengan rasa ingin tahu.
"Sebenarnya aku juga ingin tahu. Aku sudah menunggu telepon darimu sesore ini."
"Maaf, bu," Frank meminta maaf seraya mengambil gagang telepon. "Semuanya
terjadi dengan serba cepat. Tak ada waktu untuk itu."
Ia menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa jam sebelumnya kepada
ayahnya. "Buruk sekali," kata pak Hardy dengan suara kuatir. "Aku tak tahu perkara apa
yang sedang ditangani Sam. Mungkin baru saja diperolehnya. Aku baru saja
berbicara dengan dia tiga hari yang lalu, dan ia menyebutkan beberapa kegiatan
yang rutin. Sudah tentu ia mungkin telah menghubungi,
tetapi aku tak ada di kantor selama ini. Aku harus pergi dengan menyamar, bahkan
FBI tak tahu di mana aku berada." Pak Hardy berbicara secara pelan tentang suatu
perkara yang tentunya sangat berbahaya.
"Aku akan segera terbang pulang," ia melanjutkan. Suaranya menunjukkan perhatian
yang besar. "Untung, tugasku di Alaska sudah selesai. Tetapi perkara itu belum
terpecahkan. Kami harus mencari petunjuk-petunjuk di tempat lain. Nah, Frank, sampai ketemu
lagi, besok." "Selamat, ayah. Semoga mendapat perjalanan yang menyenangkan."
Frank baru saja meletakkan gagang telepon, ketika bibi Gertrude menjenguk dari
pintu. "Kalau engkau tak segera turun, makanan akan menjadi dingin," katanya.
Kedua ibu-ibu itu melontarkan pertanyaan-pertanyaan sepanjang makan malam
tersebut dan Frank dan Joe menjawab di antara suapan-suapan setup daging domba
yang lezat itu. "Aku akan gembira ayahmu segera pulang," kata Bu Hardy. "Sudah seperti sebulan
ia pergi." "Bukan untuk mengalihkan pembicaraan," kata bibi Gertrude, "Tetapi apakah kalian
mendengar tentang badai yang mendekati North Carolina" Kuharap saja tidak
membelok dan menimpa Bayport."
Bu Hardy tersenyum. "Banyak sekali badai pada bulan-bulan begini, dan kebanyakan tak menimbulkan
apa-apa. Bagaimanapun North Carolina jauh sekali dari sini, Gertrude."
Itulah yang selalu dikatakan orang beberapa tahun yang lalu," kata bibi Hardy
setengah mengejek. "Tetapi lihat saja badai yang menimpa kita waktu itu."
Frank tertawa. "Kukira engkau tak perlu khawatir akan sesuatu yang belum tentu akan terjadi."
"O, engkau benar," jawab bibi Gertrude. "Tetapi aku percaya motto Kepanduan:
"Bersiaplah'. Aku akan membuat persediaan makanan kalengan dan susu kental besok
pagi-pagi. Untuk menjaga-jaga kalau listrik mati."
Setelah makan malam, kedua pemuda itu menelepon rumah sakit di mana Sam berada.
Ethel Radley menjawab, meskipun detektif itu sudah dapat beristirahat lebih
enak, belum ada perubahan yang berarti pada keadaan dirinya. Ia belum dapat
mencatat sepatah kata pun dari suara-suara tak jelas yang menggumam dari
suaminya. Dokter Kelly begitu ramah dengan memerintahkan menyediakan ranjang
bagi Ethel, dan makanan dikirimkan ke kamar.
Ethel akan segera memberitahukan mereka segera setelah Sam bangun.
"Tetapi tolonglah aku," sambungnya. Aku belum memberitahu Polisi tentang
pendobrakan rumah kami. Maukah kalian melakukannya bagiku?"
"Tentu," jawab Frank. Ia melaporkan peristiwa itu kepada sersan yang saat itu
bertugas. Kemudian setelah itu ia bersama adiknya menyelesaikan percobaan kimia di
laboratorium mereka. Itulah kebiasaan mereka dalam bersantai.
Kemudian, mereka duduk-duduk di dapur, minum coklat dan membicarakan kejadian-
kejadian misterius sore tadi. Mereka mendapatkah beberapa teori, tetapi
dikesampingkan setelah dipertimbang-timbangkan. Akhirnya, karena tak berhasil
menemukan jawaban yang tepat untuk keadaan diri Sam atau pun perihal perusakan
apartemen Sam, mereka pun pergi tidur.
Tiga jam kemudian mereka terbangun ketika bibi Gertrude membangunkan. Joe
menyalakan lampu meja di antara kedua tempat tidur, tetapi sambil meletakkan
jari di bibirnya, bibi menyuruh mereka diam, lalu mematikan lampu.
"Aku mendengarkan radio dengan earphone, kalau-kalau ada pemberitahuan tentang
badai," bibi berbisik. "Ketika aku melepaskan earphone, aku mendengar suara di bawah."
Para pemuda itu memandangi bibinya.
"Aku tak mendengar apa-apa," kata Joe. Ia dan Frank tahu, bagaimana kuatnya daya
ima-ginasi bibinya, terutama bila disertai adanya kemungkinan datangnya badai.
Suara-suara itu mungkin berasal dari khayalannya, demikian anggapan mereka.
"Bagaimana orang bisa masuk?" tanya Frank. "Kita mempunyai sistem pencegah
maling. Tak seorang pun----"
"Aku tahu apa yang kudengar," bibi Gertrude ngotot seperti sifatnya yang selalu
demikian. "Nah, kalian mau melihat sendiri atau tidak?"
Anak-anak mengeluh dalam batin, tetapi turun juga dari tempat tidur, dan pergi
ke tempat tangga. Di sana mereka segera sadar sepenuhnya. Dari bawah terdengar
suara dengan sangat lembut, tetapi tak mungkin salah. Mereka kembali ke kamar
tidur. "Bibi, teleponlah polisi," Frank berbisik, dan Frank serta adiknya segera
mengenakan celana dan baju di kegelapan. "Lalu pergi ke kamar ibu, ceritakan apa
yang sedang terjadi dan kuncilah pintunya. Kami akan ke bawah."
Bibi Gertrude memegang pundak mereka.
"Setelah kupikir, mungkin lebih baik menunggu polisi!"
"Para penjahat sudah akan pergi kalau kita menunggu," Joe menjelaskan.
"Kalau begitu hati-hatilah. Jangan ambil resi-
ko!" Bibi Gertrude keluar dari kamar tanpa bersuara.
Frank dan Joe merangkak ke bawah melalui tangga yang berpermadani. Frank
berhenti di sisi kanan kamar ayahnya yang untuk sementara digunakan sebagai
kamar kerja, karena kamar kerja yang ada di atas sedang dihias kembali. Joe
mengambil posisi di sebelah kiri.
"Hah, tak ada apa-apa tentang naga berkepala empat di sini," terdengar suara
lirih dari dalam. "Mari kita coba kamar yang lain."
Kedua pemuda itu segera teringat perihal naga itu dari Ethel di apartemen Sam
Radley. Tetapi pikiran mereka segera terganggu oleh suara lain.
"Aku tak senang akan hal ini semua, terutama dengan kedua anak-anak di atas
itu." "Ah, engkau selalu takut, Cari," terdengar suara orang ketiga. "Hanya itulah
mereka, anak-anak." "Anak-anak yang kuat," Cari mengingatkan mereka.
Terdengar suara mendengus pendek.
"Aku sudah menangani salah seorang dari
mereka tadi sore." Joe mengepalkan tinjunya. Ia sadar, dengan suara orang yang telah melemparkan
dia di apartemen Radley. "Kita lihat saja, siapa yang akan menang di ronde kedua," pikirnya.
"Kita tak dapat menggeratak di sini semalaman," kata orang yang pertama, rupa-
rupanya pimpinannya. "Ayo, kita pergi."
Kedua pemuda itu menjadi tegang ketika pintu terbuka. Kemudian, ketika ketiga
orang berkedok itu muncul, Frank menyalakan lampu lorong, dan ia bersama Joe
melompat menerjang para penjahat.
Untuk kedua kalinya hanya selama beberapa jam hari itu, mereka menghajar para
penjahat, tetapi kini keduanya mendapat keuntungan atas serangan pendadakan.
Mereka juga berkelahi secara berimbang, sebab salah seorang melepaskan diri lalu
lari keluar dari pintu depan.
Sekali lagi Joe menghadapi orang yang terpendek dari gerombolan tersebut. Ia
memojokkan penjahat itu di dinding. Kedok orang itu terlepas jatuh dan
menampakkan sebuah wajah yang penuh bekas luka.
Kemudian Joe mendengar suara berdebum. Dari sudut matanya ia melihat kakaknya
terkulai di lantai. Penyerangnya berdiri di atasnya dengan pentungan karet di
tangannya. Orang itu mengangkat tangannya lagi untuk melakukan pukulan
berikutnya. Dengan berteriak Joe melepaskan si kecil dan melemparkan dirinya ke
lawan Frank. Tinjunya mengenai dagu dan orang itu terhuyung ke belakang. Tetapi penjahat itu
cepat pulih. Ia mengangkat pentungan itu tinggi-tinggi, mengancam Joe yang
berdiri di atas tubuh kakaknya yang lunglai!
3. Ancaman Di Hutan Tetapi pentungan itu tak pernah memukul.
"Mari keluar dari sini, Slicer," seru orang itu kepada kawannya yang telah
kehilangan kedok. Temannya tak perlu diajak lagi. Bersama-sama, keduanya mundur ke pintu depan
yang kini telah terbuka. Sementara itu Joe memandangi mereka, tinjunya siap
digunakan. "Kita akan ketemu lagi, nak," kata si kecil, sebelum mereka menghilang ke dalam
kegelapan malam. Demikian mereka pergi, Joe mengalihkan perhatiannya kepada kakaknya. Ia heran,
bahwa Frank masih sadar, meskipun nampak sangat pusing.
"Pergilah ... kejar mereka. Ja - jangan khawatir akan ... aku."
"Ibu! Bibi!" seru Joe. Kedua ibu-ibu itu muncul di ujung atas dari tangga.
"Frank cedera! Uruslah dia. Aku akan mengejar para penjahat.
"Jangan!" teriak ibunya. Tetapi Joe sudah keluar dari pintu.
Ia melihat para penjahat itu naik ke mobil hitam di seberang jalan. Joe lari ke
garasi, membuka pintunya, lalu melompat ke sepeda motornya. Sekali injak, dan
motor itu menderu-deru. Pemuda itu melarikan motornya ke halaman, turun ke jalan Elm dan mengejar. Sedan
hitam melaju beberapa blok lalu membelok ke Main Street.
"Mungkin aku akan bertemu dengan mobil patroli," pikir Joe. Kota kecil itu sepi.
Mereka melewati toko-toko, rumah-rumah, sebuah pompa bensin yang lampunya tak
dinyalakan ... tetapi tak nampak seorang polisi pun.
Joe bertahan dua blok di belakang sedan hitam, dengan keyakinan bahwa para
penjahat tak melihatnya. Rupa-rupanya para penjahat merasa aman, tidak menoleh
ke belakang. Setelah melewati bagian pertokoan, mereka membelok ke jalan keluar
kota, kecepatannya berkurang.
Pengemudinya mungkin tak ingin menarik perhatian dengan berjalan cepat, pikir
Joe. Mereka melaju beberapa mil lagi. Demikian mereka melewati gerbang pertanian
Morton, motor Joe mulai batuk-batuk dan berkurang kecepatannya. Akhirnya
mesinnya mati dan ia meluncur hingga berhenti.
Joe tahu benar penyebab matinya mesin motornya, dan ia memaki dirinya. Ia
kehabisan bensin dan lalai untuk mengisinya.
Ia mendorong motornya masuk ke dalam semak-semak. Setelah yakin tak terlihat
dari jalan, ia mulai berjalan kaki pulang. Ketika ia melewati pertanian Morton
lagi, ia berpikir untuk meminjam mobil Chet, tetapi merasa kurang baik untuk
membangunkan keluarga itu. Lima puluh menit kemudian ia masuk ke halaman
keluarga Hardy. Bagian bawah rumah terang benderang, dan sebuah mobil patroli
nampak diparkir di halaman.
Bibi Gertrude, bu Hardy, Frank dan Kepala Polisi Collig yang merupakan teman
keluarga itu sejak beberapa tahun berada di kamar kerja. Mereka mendongak ketika
ia masuk. "Nah, bagaimana?" tanya Frank. Joe mengangkat bahu, lalu menceritakan peristiwa
tangki bensinnya yang kosong.
"Jadi aku tak bisa menyelesaikan sesuatu," ia menyimpulkan. Ia lalu berpaling ke
kakaknya. "Bagaimana engkau?" ia bertanya.
"Ia seharusnya ada di tempat tidur," sahut ibunya. "Tetapi ia memaksa menunggu
engkau." "Polisi telah membawa aku ke rumah sakit," kata Frank. "Aku diperiksa lengkap
dengan sinar X. Tak ada gegar otak atau semacam itu. Tetapi aku harus akui,"
katanya sambil tersenyum masam, "bahwa kepalaku pusing sekali."
"Sersan Moore memberitahu tentang pendobrakan apartemen Radley dan keadaan Sam,"
kata pak Collig. "Aku yakin, bahwa bangsat-bangsat itu merupakan penjahat
profesional. Tidak mudah untuk dilacak. Kalian memiliki alat pengaman pencurian
yang paling rumit, namun mereka mampu pula menjinakkannya tanpa kalian ketahui.
Untuk hal demikian diperlukan seorang ahli elektronik!"
"Anda benar, pak," kata Frank. "Dan untuk kedua kalinya, penjahat-penjahat itu
menyebut seekor naga. Apakah anda tahu apa hubungannya dengan naga itu?"
Kepala polisi menggeleng.
"Tidak. Aku belum pernah mendengar hal itu."
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau melihat Sam, Frank?" tanya Joe dengan khawatir.
Frank menggeleng. "Ethel tidur di depan, dan aku tak ingin mengganggu dia. Seorang jururawat
mengatakan kepadaku, bahwa keadaan Sam belum berubah."
Pak Collig berdiri. "Tak ada sesuatu yang dapat dilakukan di sini untuk sementara waktu," katanya.
"Satu pertanyaan lagi, Joe. Apakah engkau berhasil melihat nomor lisensi mobil
hitam itu?" "Aku tak berhasil mendekatinya," jawab Joe. "Aku takut kalau mereka melihat aku
terlalu dekat." Pak Collig mengangguk. "Itu bijaksana. Tetapi kita hanya mempunyai petunjuk sangat sedikit, kecuali
salah seorang bangsat, Slicer, bertubuh kecil dan wajahnya penuh bekas luka.
Yang lain namanya Cari. Dan sesuatu tentang naga. Aku tak sungkan untuk
mengatakan, bahwa aku senang ayahmu akan pulang hari ini. Bukannya aku tidak
menghargai bakat-bakatmu, anak-anak, tetapi aku mencurigai mereka adalah
gerombolan yang sangat berbahaya!"
Frank dan Joe sebenarnya selalu bangun pagi, tetapi pagi itu, karena lelah oleh
kejadian-kejadian malam sebelumnya, mereka tidur sampai jam sembilan. Mereka
masih akan tinggal di tempat
tidur kalau tidak terbangun oleh ramai-ramai di bawah.
Tiba di kamar depan, mereka bertemu bibi Gertrude.
"Kalian harus makan sarapan sendiri," bibi memberitahu. "Dan jangan mengganggu.
Pak Rogers sedang mulai mengganti permadani. Aku dan ibumu sedang memberes-
bereskan rumah agar pekerjaan itu dapat lekas dimulai."
"Kami tak akan mengganggu," Joe berjanji. "Kami akan pergi mengambil sepeda
motorku." Setelah kedua pemuda itu selesai makan dan sedang keluar, bibi Gertrude
menghambur masuk ke dapur, diikuti oleh pedagang permadani, pak Rogers, serta
seorang yang belum mereka kenal.
"Kami juga ingin dipasang permadani di sini," bibi menerangkan. Ia melemparkan
pandangan tajam kepada kemenakan-kemenakannya.
"Mau pergi?" ia bertanya.
"Ya," kata Frank. "Halo, pak Rogers."
"Halo kalian, Frank dan Joe. "Aku ingin memperkenalkan pembantuku yang baru, Ben
Edler." Orang yang tinggi besar berbahu bidang yang berwajah ramah dan murah senyum itu
mengacungkan tangannya. "Senang sekali mengenal kalian," katanya. "Aku sering membaca tentang kalian di
koran-koran California Kalian sungguh menunjukkan reputasi cemerlang."
"Engkau dari California?" tanya Joe.
"Aku tinggal di sana selama sepuluh tahun. Tetapi asalku dari Boston. Aku suka
California, tetapi saudara-saudaraku ada di bagian timur sini. Maka aku ingin
kembali kepada para leluhurku untuk sementara."
"Apakah Curt sedang cuti, pak Rogers?" tanya Frank. Curt Gutman adalah pembantu
pak Rogers dan tukang memasang permadani sejak beberapa tahun.
"Sedang pulang," jawab pak Rogers menggerutu. "Ia yang seharusnya bekerja di
sini, tetapi ketika pagi tadi aku datang di toko, kutemukan surat dari dia.
Katanya ia harus pergi ke Philadelphia, mengunjungi bibinya yang sakit keras.
Huh! Aku malah tak tahu sama sekali ia punya bibi. Tak pernah menyebutnya.
Untunglah, Ben datang dengan surat-surat rekomendasi dari salah sebuah
perusahaan yang terbaik dari daerah pantai barat.
Langsung saja kuterima."
"Aku akan ada di sekitar sini untuk beberapa hari," Ben menjelaskan. "Tetapi aku
akan berusaha keras untuk tidak menghalangi tugas-tugasmu."
"Yahh," seru bibi Gertrude. "Mana kerjaan yang bisa selesai kalau hanya omong-
omong saja! Kalian ini, anak-anak, katanya mau pergi?"
Frank mengedip ke arah Joe.
"Kami sudah berangkat, bibi!"
Mereka pergi dengan sedan sport kuning mereka. Ketika sudah dekat di daerah
pertanian Morton, Joe berteriak dengan mendadak. "Stop, Frank! Cepat!"
"Ada apa?" Frank menghentikan mobilnya di seberang jalan.
Joe tak mendengar kata-kata kakaknya. Ia memalingkan kepalanya ke belakang dan
tampak sebuah mobil abu-abu yang baru saja berpapasan menuju ke Bayport.
"Kukira, itu dia!" "Siapa?"
Joe kembali melihat ke depan, sambil memaki-maki.
"Ingat orang yang memukul aku di apartemen Sam" Si Slicer" Aku hampir pasti,
dialah yang mengendarai mobil itu!"
"Kalau begitu, kita kejar!" Frank mengusulkan.
"Tak mungkin menangkap dia," kata Joe muram. "Ia berjalan begitu cepat melebihi
batas kecepatan. Bagaimanapun, mungkin memang bukan dia. Aku hanya dapat melihat
sepintas." "Yah, kalau memang Slicer, mereka mempunyai mobil lebih dari satu!"
Joe mengangguk dan mereka turun keluar. Mereka dengan mudah menemukan tempat Joe
meninggalkan sepeda motornya. Ia sedang ber susah payah menarik motornya dari
semak-semak, ketika terdengar suara membentak: "Kalian melanggar hak milik
pribadi!" Seorang pemuda, tidak lebih tua dari mereka, muncul dari hutan. Joe tersenyum
kepadanya. "Kukira ini adalah bagian dari pertanian Morton."
"Bukan! Ini tanah Sayers!"
Joe menjelaskan tentang kehabisan bensin tadi pagi, dan terpaksa menyembunyikan
sepeda motornya di semak-semak. Tetapi pemuda itu menyela dengan kasar.
"Jangan cari alasan! Jangan menginjak tanah milik Sayers lagi! Kalau tidak
kalian akan menemui kesulitan."
Setelah memberikan peringatan itu, pemuda itu kembali merangkak-rangkak masuk ke
semak-semak. Joe memandangi Frank, tak tahu apa-apa.
"Nah, apa pikiranmu tentang ini?"
"Dugaanmu tentu sama denganku. Ia orang asing, itu dapat dipastikan. Tetapi aku
tak faham sikapnya. Engkau?"
Joe menggeleng. "Kukira orang Eropa Timur." "Ada lagi yang menjadi teka-teki
bagiku," kata Frank. "Tanah milik Sayers telah ditinggalkan selama bertahun-tahun,
kecuali Emile Grabb, penjaganya!"
4. Rencana yang Berbahaya
Joe mengisi bensin dan menghidupkan mesin sepeda motornya. Ia mendengar dengan
puas suaranya yang masih stabil. Rupa-rupanya motor itu tak terpengaruh oleh
cuaca malam. "Mari kita mampir di keluarga Morton," usul Frank. "Aku hanya sempat mendengar
sedikit kemarin dari Chet. Mungkin ada sesuatu yang tak kudengar mengenai Sam,
masih ada sesuatu yang ingat untuk mengatakannya. Mungkin ada petunjuk yang
penting." "Akur!" kata Joe.
Frank memasukkan mobilnya ke jalanan tanah yang menuju ke rumah pertanian,
diikuti oleh Joe dengan sepeda motornya. Adik Chet yang cantik berambut hitam, Iola, keluar dari
pintu dapur, menyeka-nyekakan tangannya pada kain kerjanya.
"Halo Frank, Joe. Chet sedang di luar dengan traktornya. Tetapi kukira ia segera
pulang. Masuklah. Aku baru saja membuat kue, kalian boleh mencobanya."
"Senang sekali," kata Joe sambil turun dari sepeda motornya. "Apakah kau kira
tidak lebih baik Chet yang harus mengujinya?" Ia jauh lebih berpengalaman
menguji rasa kue dari padaku."
Mata si cantik bersinar ketika tertawa.
"Wahh, pendapat dia tak bernilai banyak! Ia makan segala-galanya!
"Bagaimana dengan Sam?" Tanya Iola serius.
Baru saja Joe hendak mulai bercerita, ketika Chet masuk.
"Aduh, kue coklat!" serunya. "Tetapi engkau sudah memberikan sebagian besar
kepada mereka!" "Sebagian besar!" adiknya memprotes. "Lihat, mereka baru mendapat sepotong
kecil!" Chet berkedip-kedip kepada keduanya.
"Sepertinya besar benar potongannya," ia berkata, lalu memotong untuk dirinya
sendiri yang besar. "He, bagaimana dengan Sam?"
Kakak beradik itu memberitahukan apa yang mereka ketahui kepada Chet dan Iola,
mengenai keadaan Sam. Kemudian mereka memberitahukan peristiwa yang terjadi
sejak kemarin. Chet bersiul ketika mereka selesai berbicara.
"Ini buruk sekali! Ayah mengira ada dahan pohon yang patah menjatuhi kepala Sam,
hingga ia menderita gegar otak. Tetapi dokter Kelly tak mengatakan begitu, ya?"
"Tak ada cedera sama sekali di kepala," kata Joe.
"Halo, anak-anak," terdengar suara menggelegar, ketika pak Morton masuk ke
kamar. Ia diikuti oleh bu Morton. "Senang bertemu kalian. Bagaimana dengan Sam?"
Sekali lagi kakak beradik itu mengulang cerita mereka. Petani itu menggelengkan
kepala. "Nah, kuharap saja ia segera sembuh dari penyakitnya yang entah apa itu."
"Eh, pernahkah ayah dengar sesuatu tentang orang-orang baru yang menyewa tanah
milik Sayer?" tanya Iola.
"Tak sepatah kata pun. Benarkah itu" Sudah beberapa tahun aku menginginkan
tetangga. Senang juga punya teman yang dekat, untuk saling mengobrol dan saling
mengunjungi." "Kukira mereka tak sedemikian ramah, kalau dipandang dari orang-orang yang telah
kami jumpai," kata Joe. Ia lalu melanjutkan bercerita tentang pemuda yang telah
mengancam mereka di hutan.
Pak Morton mengusap-usap dagunya.
"Kedengarannya tak begitu ramah. Tetapi kukira mereka memang punya hak untuk
melarang orang-orang yang memasuki tanah miliknya."
"Eh, aku hampir lupa, ayah! Aku melihat jejak-jejak anjing liar di dekat kandang
domba," kata Chet. Sekali lagi ia memotong kue buatan Iola.
"Kukira pagar kawat yang tinggi itu dapat menahan mereka di luar," kata pak
Morton. "Tetapi mereka semakin menjadi berani."
"Kukira anda menyukai anjing, pak," kata Joe.
"Memang, tetapi tak dapat kukatakan, bahwa aku menyukai kawanan liar yang
terbentuk empat tahun yang lalu. Ada dua atau tiga ekor memulai hidupnya di
hutan. Kukira mereka melarikan diri dari pemilik pemiliknya yang kejam. Pada
mulanya mereka tidak menyulitkan. Tetapi kini kawanan itu telah menjadi sekitar
lima belas ekor. Mereka selalu mengganggu domba dan ayam-ayam kami. Kasihan
mereka itu, sebenarnya mereka dalam keadaan yang menyedihkan. Kebanyakan
mengidap penyakit-penyakit. Aku sudah memohon kepada Dewan Kota untuk membersih-
kan mereka, tetapi mereka belum juga mau melaksanakannya. Aku khawatir, akhirnya
kawanan itu berani menyerang manusia!"
"Itu pikiran yang mengerikan!" Frank melirik ke arlojinya. "Bu, bolehkah aku
menggunakan telepon untuk menelepon ke rumah?"
"Silakan. Engkau tahu di mana tempatnya. Silakan."
Frank dan Joe menuju ke kamar depan, ke tempat telepon. Frank memutar nomor
telepon rumahnya dan ibunya yang menjawab.
"Pulanglah segera dan jemput aku," kata ibunya. "Jack Wayne baru saja berbicara
melalui radio. Pesawat ayahmu sudah setengah jam penerbangan lagi dari lapangan
terbang Bayport." "Kami segera berangkat, bu," kata Frank.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, mereka berangkat. Lima belas menit kemudian
mereka telah berhenti di halaman rumah mereka.
Mereka lari masuk ke rumah, di mana ibunya telah siap menunggu.
"Tunggu sebentar," kata Frank sebelum keluar dari pintu depan. "Aku hendak
mengambil tape recorder. Mungkin kita dapat merekam ra-cauan Sam." Ia lari naik
ke atas, hampir saja menabrak Ben Ebler yang sedang memasang karpet di ruang
atas. "Sorry!" katanya.
"Jangan kuatir," kata orang itu.
Beberapa saat kemudian Frank memacu mobil ke Elm Street.
"Pikiran yang bagus untuk membawa tape recorder," Joe memuji kakaknya. "Mudah-
mudahan saja berhasil."
Ketika mereka melangkah di halaman parkir dekat terminal, Bu Hardy menunjuk ke
atas sambil berkata: "Ini yang kusebut pengaturan waktu yang tepat."
Kedua pemuda itu mengikuti arah yang ditunjuk dan melihat pesawat Skyhappy Sal,
pesawat Jack Wayne yang bersayap keperak-perakan sedang meluncur turun. Jack
selalu mengemudikan pesawat itu bila sewaktu-waktu diperlukan oleh pak Hardy.
Pada saat Bu Hardy bersama anak-anaknya berjalan di terminal, pesawat itu sedang
menggelinding ke gedung tersebut.
Fenton Hardy yang pertama-tama turun. Setelah memeluk isterinya, ia berpaling
kepada kedua anak-anaknya.
"Ada perbaikan dengan keadaan Sam."
"Sepengetahuan kami belum," jawab Joe. "Tetapi hari ini kami belum mengeceknya."
"Kalau begitu nanti kita ke rumah sakit, sesegera mungkin." Detektif itu
berpaling ke pilot yang sedang turun dari pesawat. "Jack! Kami akan mengantarkan
engkau pulang, agar dapat istirahat yang cukup."
"Terima kasih, Fenton. Tetapi pergilah lebih dulu. Aku akan meninggalkan pesan
dulu agar pesawat diservis." kata Jack Wayne.
"Engkau capai?" tanya bu Hardy kepada suaminya, sementara mobil melaju keluar
dari tempat parkir. Pak Hardy menyandar ke belakang dan tersenyum. "Aku dapat tidur di pesawat, Jack
sungguh mahir menerbangkan pesawat dengan lembut."
"Seperti berbaring di udara, ya ayah?" kata Joe.
Semua tertawa, kemudian Bu Hardy menanyakan apakah suaminya dapat tinggal di
rumah untuk beberapa waktu.
Pak Hardy menghela napas.
"Aku tak pasti kapan aku mendapat panggilan lagi. Perkara di Alaska sudah
selesai, dan pihak FBI tinggal melanjutkan menurut petunjuk-petunjuk yang telah
kuperoleh." "Dapatkah engkau menceritakan perkara itu, ayah?" tanya Frank.
"Ya. Tetapi harus kukatakan kepadamu, kalian harus tutup mulut. Komplotan itu
sungguh bagaikan setan, hampir-hampir tak dapat dipercaya. Kalau peristiwa ini
sampai ditulis di koran, masyarakat dapat menjadi panik."
"Sebegitu serius?" tanya Bu Hardy.
"Boleh kukatakan, penghancuran pipa minyak di Alaska tentu benar-benar serius,"
jawab suaminya dengan tenang.
"Pipa minyak Alaska!" seru kedua anaknya.
"Tidak lain. Beberapa minggu yang lalu Pihak Intel menangkap berita aneh, bahwa
Burl Bantler, seorang kiriminal Amerika, telah berhubungan dengan pemerintah
asing yang bermusuhan dengan kita. Ia menyatakan sanggup menghancurkan instalasi
pipa minyak di Alaska dengan senjata rahasia."
"Rupa-rupanya, sebuah negara, kami tak tahu yang mana, membayar usaha itu, sebab
Bantler baru-baru ini terlihat di Alaska. Hanya sejauh itu yang kuketahui."
"Apakah kaukira ia masih ada di sana?" tanya isterinya dengan khawatir.
"Tidak. Rupanya aku kehilangan dia di Nome, terlambat beberapa jam. Sekarang ia
ada di luar negeri, tetapi menurut cerita ia akan kembali dengan senjata rahasia
tersebut." "Itu harus dicegah!" seru Bu Hardy.
Suaminya mengangguk. "Ia membual, bahwa ia tidak hanya sanggup meledakkan sebagian dari pipa itu,
tetapi seluruh jaringannya. Tak perlu kukatakan, bagaimana akibatnya pada negara
kita." "Sebagian besar cadangan minyak kita akan lenyap," komentar Frank. "Kalau pipa
itu selesai dibangun kembali, berarti akan memakan waktu beberapa tahun lagi."
"Betul," kata pak Hardy dengan geram.
"Bagaimana ayah tahu, kalau Bantler tidak beromong-kosong" tanya Joe. "Mungkin
saja senjata rahasia itu tidak pernah ada."
"Itu mungkin," detektif itu mengakui. "Terutama bila diingat, bahwa Bantler,
selain giat di bidang kriminal, adalah juga seorang penipu. Tetapi aku sangsi
apakah ia berani mencoba hal demikian dengan pemerintahan asing."
"Yang kedua," sambung pak Hardy, "Bantler belum pernah terlibat dalam masalah
mata-mata. Aku tak percaya bahwa ia berani melibatkan diri kalau ia tidak benar-
benar menguasai senjata tersebut. Ketiga, mengapa ia harus pergi ke Alaska
setelah menghubungi pemerintah-pemerintah asing itu" Kalau keseluruhannya itu
merupakan permainan di bawah tangan, ia tentu akan menyembunyikan diri setelah
mendapat uangnya. Atau, yang kukira lebih masuk akal, ia tak akan bisa menerima uang itu kalau
tidak mempunyai bukti yang meyakinkan, bahwa ia dapat menyerahkan senjata
tersebut." Wajah detektif termashur itu menjadi keras bagaikan batu karang. Orang ini harus
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditangkap. Kalau tidak, negara kita akan menghadapi kesulitan yang sangat parah."
5. Sabotase Di Lapangan Terbang "Sayang sekali bahwa Sam cedera dalam saat-saat seperti ini," kata pak Hardy,
ketika mereka masuk ke rumah sakit Bayport. "Tidak hanya karena ia teman baik,
tetapi juga ia pernah menangkap Bantler. Tentu ia mampu mengenalinya. Aku
sendiri belum pernah melihat orang itu, dan aku tak banyak tahu bagaimana rupa
orang itu." "Tidakkah ayah tahu ciri-cirinya?" tanya Frank tak mengerti.
"Yang aku tahu orangnya bertubuh besar," jawab ayahnya. "Tahukah engkau, Bantler
adalah ahli menyamar. Dan Sam, seperti yang kauketahui, adalah penyelidik ahli
yang mengenali setiap penyamaran. Barangkali yang terbaik di negeri kita."
Ethel Radley kelihatan gelisah dan lelah ketika Frank dan Joe bersama orangtua
mereka masuk ke kamar rumah sakit. Di sekeliling matanya tampak kerut kehitam-
hitaman. "Ia tak juga berubah," katanya, ketika ditanya tentang keadaan suaminya.
"Kelihatan lebih tenang, tetapi tetap juga belum sadar."
Fenton duduk di dekat tempat tidur dan berbicara kepada Sam untuk beberapa
menit, tetapi tak ada jawaban dari si sakit, kecuali racauan yang tak dapat
ditangkap maksudnya. Akhirnya detektif itu bangkit sambil menghela napas
panjang. "Mari kita temui dan berbicara dengan dokter Kelly."
"Joe dan aku ingin di sini saja, ayah," kata Frank, "dan merekam apa yang
dikatakan Sam." Pak Hardy mengangguk dan meninggalkan kamar bersama isterinya serta Ethel
Radley. Frank mengecek pesawatnya apakah dalam keadaan baik sebelum meletakkannya di
dekat bantal Sam. Kemudian ia dan Joe duduk bersandar di kursinya. Tetapi
ternyata kini Sam malah tenang.
Setelah lewat lima belas menit, keheningan itu dipecahkan oleh dering telepon.
Kedua pemuda itu melompat terkejut.
Joe meraih pesawat telepon.
"Keluarga Hardy?" terdengar suara kasar.
"Siapa ini?" tanya Joe dengan tajam.
"Engkau Joe, ya" Hanya hendak memberitahu, lepaskanlah perkara ini. Jangan ikut
campur lagi. Apa yang kaulakukan itu berbahaya!"
Joe mengenali suara itu. "Kami tak menghiraukan ancaman-ancaman itu, Slicer."
Terdengar suara tergagap, kemudian lalu mendenging ketika pesawat di sana
diletakkan. Joe perlahan-lahan meletakkannya kembali sambil menggeleng-geleng.
"Aku berbuat salah. Seharusnya aku tidak boleh menyebut-nyebut nama. Tetapi
kudengar temannya memanggil demikian kemarin malam."
"Ia mungkin tak sadar bahwa namanya disebut-sebut selama perkelahian itu," kata
Frank. "Atau mungkin ia mengira engkau tak mendengarnya."
Joe mengangguk dengan muram.
"Kini dia tahu bahwa kita tahu namanya."
Beberapa menit kemudian pak Hardy kembali ke kamar itu.
"Dr. Kelly merasa yakin bahwa Sam akan sadar, cepat atau lambat," katanya. Ia
memandang dengan iba ke orang yang terbaring. "Kuharap saja lebih cepat. Ada
yang sudah kau-rekam?"
"Pitanya baru saja habis," kata Frank. "Aku tak tahu apakah berisi, karena
telepon telah berdering. Akan kita pelajari nanti di rumah."
Ia menceritakan kepada ayahnya tentang telepon dari Slicer, kemudian telepon
berdering lagi. Ketiga-tiganya memandangi pesawat itu.
"Apa kira-kira Slicer lagi?" tanya Joe.
"Hanya ada satu jalan untuk mengetahuinya," kata detektif itu lalu mengambil
gagang telepon. "Fenton Hardy di sini" O, engkau, John! Bagaimana engkau dapat
tahu aku ada di sini" Gertrude yang mengatakannya" Ya, ada apa" Apa" Bagus!
Mungkin itulah justru yang kita tunggu-tunggu! Chicago! Bagus, aku akan menemui
engkau di sana. Selamat!"
Kakak beradik itu memandang ayah mereka dengan penuh harapan ketika gagang
telepon diletakkan. Tetapi ayahnya mengangkat tangannya lalu memutar nomor
telepon lagi. "Halo, Jack. Menyesal harus mengganggu engkau lagi. Tetapi FBI baru saja
menelepon. Ya. Aku khawatir, kita harus segera berangkat lagi. Apakah aku perlu mendapat pilot
lain untuk kali ini" Tidak" Oke, aku sangat menghargai. Aku memang lebih senang
terbang bersamamu dari pada dengan orang lain. Aku segera ke airport.
Kita ketemu di sana. Belum, belum ada perubahan pada Sam. Sampai nanti."
"Kalian berdua, siapkan mobil di depan pintu. Aku akan ke sana lima menit lagi,
setelah aku berbicara dengan ibumu."
Kakak beradik itu penuh pertanyaan, tetapi mereka telah terlatih untuk bertindak
cepat dan mematuhi perintah dalam waktu darurat. Mereka membalikkan tubuh tanpa
berkata apa-apa serta meninggalkan ruangan.
Baru saja Frank menghentikan mobilnya di depan rumah sakit, segera pak Hardy
berlari-lari ke luar. Ia melompat ke tempat duduk belakang dan mereka segera
meluncur di Main Street. "Ke rumah sebentar, tunggu, sementara aku mengemasi pakaian," kata pak Hardy.
"Kemudian kita terus ke airport. Aku harus ke Chicago. Tadi agen FBI John
Mortini yang menelepon. Seorang teman Burl Bantler tertangkap. Ia bertemu Bantler sebulan yang lalu,
tetapi belum mau berbicara."
"Setelah mengantar ayah, apakah kita kembali ke rumah sakit untuk menjemput
ibu?" Tanya Joe. "Tidak usah. Ibumu ingin menemani Ethel sore ini. Dokter Kelly akan mengantarkan
pulang kalau sudah selesai dinasnya, nanti jam lima."
Ketika mereka tiba di depan rumah keluarga
mereka di Elm Street, sebuah mobil yang diparkir di tepi jalan baru saja
berangkat. Bibi Gertrude sedang memangkas pohon-pohon mawar di depan. Pak Hardy bergegas ke
arahnya. "Aku tak punya waktu untuk berbicara, Gertrude. Anak-anak akan memberitahu
kepadamu apa yang sedang terjadi..." seraya terus masuk
ke dalam. Frank dengan segera berkata kepada bibinya perihal pencarian Burl Bantler dan
kepergian ayahnya ke Chicago.
Bibi menghela napas. "Ia selalu bepergian saja. Aku tahu, apa yang dilakukan memang sangat penting,
tetapi ia harus mendapat istirahat sewaktu-waktu. Ia belum pernah berlibur
selama bertahun-tahun!"
"Siapa tadi yang ada di dalam mobil yang pergi itu?" tanya Joe. "Rupanya
sopirnya tergesa-gesa."
"Ben Ebler," kata bibi. "Ia barusan menerima telepon sebelum kalian datang. Ia
menjadi pucat dan lari sambil berteriak kepadaku, bahwa ia harus berangkat
karena keadaan darurat. Ia akan kembali besok."
"Orang yang malang," kata Joe. "Kuharap saja jangan ada kesulitan."
Pak Hardy lari ke luar, di bawah lengannya
dikepitnya pakaian-pakaiannya. Ia mencium dahi bibi lalu melompat ke mobil.
Bibi melemparkan pandangan memuji sementara Frank menghidupkan mesin mobilnya.
"Engkau nampak pucat dan letih. Semua perjalanan ini membuat kesehatanmu kurang
baik. Kukira engkau belum makan siang."
"Jangan khawatir. Aku berjanji untuk makan bistik yang banyak kalau sampai di
Chicago," kata pak Hardy. "Yang banyak sayurannya!" seru bibi, ketika mobil itu mundur untuk keluar ke Elm
Street. "Bibi merawat engkau seperti merawat kami, ayah," kata Joe seenaknya.
"Aku justru khawatir kalau ia tidak demikian," kata detektif itu sambil melambai
ke adiknya. "Nah, sekarang ada beberapa hal yang kuminta kalian lakukan
untukku," ia berkata, tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam tasnya.
"Sebelum aku meninggalkan Alaska aku minta kepada FBI untuk meminta kepada semua
kantor polisi, agar mengirimkan data-data lengkap mengenai Bantler ... apa saja,
bagaimana pun tidak pentingnya. Semua informasi itu akan dikirimkan ke rumah,
karena aku tak tahu berada di mana sewaktu-waktu. Itulah tugasmu untuk menerima
dan menyusunnya, hingga kalian dapat memberitahukan kepadaku secara singkat
kalau aku menelepon."
"Kapan itu ayah?" tanya Frank.
"Tak dapat kukatakan setepatnya. Akan kuatur setiap hari, mungkin lebih sering
lagi. Tetapi aku tak tahu pada jam berapa."
Mereka langsung menuju ke hanggar, bukan seperti biasanya ke tempat parkir di
dekat terminal. Ketika mereka keluar, mereka melihat Jack Wayne berwajah merah
dengan tangan kalang kabut memaki-maki Sy Kramer, kepala montirnya. Kakak
beradik itu belum pernah melihat ia sedemikian marah.
"Engkau tahu, Sy, hanya engkau, aku dan montir-montirmu saja yang boleh
menyentuh pesawat ini! Tak ada orang lain lagi!" Jack menggelegar.
"Apa masalahnya?" tanya pak Hardy.
"Ada orang kemari memakai pakaian kerja putih. Katanya ia kuperintah menservis
Sky happy Sal. Ia menunjukkan surat palsu, surat perintah," Jack berteriak. Ia
kembali berpaling ke Kramer. "Sy, tak teringatkah engkau untuk menelepon aku,
mencari tahu apakah benar orang itu kusuruh kerja pada pesawat?"
"Ya, sepertinya semuanya beres-beres saja!" montir kepala itu menjawab
kebingungan. "Beres-beres saja!" pilot itu meledak. "Seperti ...."
"Aku yakin, Sy bertindak benar," kata pak Hardy tenang, meskipun wajahnya nampak
menegang. "Bagaimanapun sudah terlambat sekarang. Apa yang harus dikerjakan
selanjutnya, Jack?" "Aku menyesal untuk menunda keberangkat-an. Tetapi engkau harus akui, ini sangat
mencurigakan! Aku harus periksa seluruh pesawat dulu, dari hidung pesawat sampai
ke ekor!" "Engkau benar!" pak Hardy membenarkan.
Sementara pilot itu melangkah masuk ke hanggar, pak Hardy berpaling ke Kramer.
"Sy, apa yang kauingat tentang montir palsu itu?"
"Yaa, suaranya kasar. Orangnya kecil, kira-kira satu meter lima puluh lima,
kukira. Tetapi kuat, berotot. Wajahnya penuh bekas luka!"
Kakak beradik itu saling berpandangan.
"Slicer," seru Frank. "Ayah ingat" Orang yang kami ceritakan itu?"
"Aku ingat," kata ayahnya. Wajahnya geram. "Mula-mula ia mengaduk-aduk rumah
kita. Kini ia mencoba lakukan sabotase atas pesawatku. Aku ingin tahu, mengapa?"
Sementara itu Jack dan Sy mengurusi pesawat. Pak Hardy dan anak-anaknya pergi ke
terminal untuk melaporkan kejadian itu kepada polisi.
Setengah jam kemudian, ketika mereka kembali ke hanggar, Jack menjumpai mereka.
Pakaian kerja berlepotan minyak.
"Untunglah Sy menyebut-nyebut nama itu," katanya. "Aku temukan sebuah kebocoran
kecil pada pipa bahan bakar. Sedemikian kecilnya. Untung saja aku melihatnya!"
"Apa yang akan terjadi kalau kau tidak melihatnya!" kata pak Hardy.
"Kita akan kehabisan bensin setelah satu jam atau lebih sedikit. Itu berarti di
daerah Great Lakes. Kalau masih ada lapangan terbang di sekitarnya, aku masih
bisa mendarat. Tetapi kemungkinan besar kita harus mendarat secara darurat di air danau itu!"
6. Anjing-anjing Ganas Wajah Pak Hardy sekali lagi nampak geram Tetapi tetap tenang,
"Ada lagi yang kurang beres, Jack?"
"Pesawat sudah beres sekarang, pak!" jawab Pilot itu. "Aku berani pertaruhkan
jiwaku." ia tersenyum. "Kalau dipikir-pikir, memang itulah pekerjaan yang harus
kulakukan, bukan?" Detektif itu menyambutnya dengan tersenyum pula.
"Kalau kau katakan Sky happy Sal dalam keadaan baik seharusnya demikian. Nah,
mari kita berangkat!"
Kakak beradik Hardy memandangi pesawat yang berada menuju jalur landasan terbang
ke ujung landasan. Sebentar kemudian pesawat itu menderu di sepanjang landasan
beton hingga naik ke udara yang cerah tidak berawan, menuju ke arah barat.
"Ayah telah ajukan pertanyaan yang sangat mahal," kata Frank sambil berjalan
kembali ke mobil. "Apa itu?" tanya Joe.
"Mengapa Slicer melakukan sabotase pada pesawatnya" Apa kejadian ini ada
kaitannya dengan perkara Bantler?"
"Itu mungkin sekali!" Joe mengakui.
Dalam perjalanan pulang, mereka melihat bentuk badan yang telah mereka kenal di
Main Street. Orang itu sedang menendang-nendang ban roda mobilnya, sebuah mobil
tua yang tak keruan bentuknya. Mereka minggir ke tepi jalan dan Joe berseru:
"Chet, sedang apa engkau?"
Chet menendang ban mobilnya dengan tendangan terakhir yang keras, lalu mendongak
memandangi mereka. "Barang rongsokan goblok ini menyusahkan aku lagi!"
Kakak beradik itu tertawa.
"Mobil itu bukan manusia, Chet," kata Frank. "Tak tahu apa yang dilakukan."
"Atau yang tidak dilakukan," sambung Joe tersenyum.
"Heh, mobilnya tahu apa yang dilakukan," Chet menggerutu. "Aku bilang, barang
rongsokan ini memang dendam padaku. Untunglah, aku bertemu orang yang lebih
ramah dari kalian." "Aku khawatir, nak, engkau mengalami kesulitan dengan karburatormu," kata Ben
Ebler. "Ah ... halo ... Frank dan Joe. Kalian kenal orang muda yang malang itu?"
"Kami telah mengetahui dia yang makan apa saja semenjak di Taman Kanak-Kanak,"
Joe menjelaskan. "Dan masih akan melihatnya makan untuk selama hidup kami."
"Aku masih terus bertumbuh," Chet membela diri.
"Ke segala arah," kata Frank, melirik ke perut temannya.
"Pelatih tak akan senang kalau engkau bermain sepakbola."
"Ah, aku sudah akan menjadi fit pada permainan yang pertama," jawab Chet
seenaknya. "Eh, bagaimana kalau kalian membawaku ke Garasi Gordon?"
"Apa maumulah," kata Joe.
Ia membuka bagasi dan mengeluarkan tali untuk menarik. Kemudian Frank
menempatkan mobilnya di depan mobil Chet.
"Apakah engkau perlu kuantarkan?" Frank bertanya kepada Ben, sementara Chet dan
Joe memasang tali penarik.
"Tidak usah. Terima kasih," jawab Ben. "Hanya dekat saja."
Bibi Gertrude khawatir karena engkau harus pergi dengan mendadak sore hari ini,"
kata Frank. "Kuharap saja tidak terlalu menyusahkan."
"Masalah keluarga dari luar kota," orang itu menjelaskan. "Tetapi semuanya sudah
beres sekarang. Tolong katakan kepada bibimu, aku akan datang ke rumahmu besok
pagi-pagi." Ia melambaikan tangan dan pergi berjalan kaki di jalan.
"Orang baik," kata Joe sambil melompat masuk ke mobil, sementara Chet duduk di
belakang kemudi mobil tuanya. "Menolong orang yang tak dikenal sama sekali,
kukatakan benar-benar berhati baik."
Di bengkel, Pak Gordon nampak masam setelah selesai memeriksa mesin.
"Si Ebler itu tepat sekali dugaannya, Chet. Perlu diganti karburatornya. Aku tak
punya persediaan. Diperlukan paling tidak seminggu untuk memperolehnya."
Setelah pak Gordon menyebutkan harganya, Chet kelihatan murung. "Aku jadi
kehilangan selera," katanya kepada Frank. "Dapatkah engkau mengantarkan aku
pulang?" "Kata-katamu adalah perintah bagiku," kata Frank. "Tetapi Joe yang menjadi
sopirmu. Aku hendak pulang untuk melihat apakah ada apa-apa yang terekam dari
Sam." Mereka naik ke mobil, dan Joe berusaha menghibur temannya. "Barangkali engkau
dapat mencari tambahan uang dengan memangkas rumput," ia menyarankan.
Chet menarik napas. "Engkau tahu berapa halaman rumput yang harus kupangkas untuk dapat membeli
karburator" Itu berarti akan memakan waktu seluruh musim panas!"
Frank tertawa. "Tapi itu akan menghindarkan engkau dari kesedihan!"
Chet melemparkan pandangan yang mengharukan, sementara Joe mengerem di depan
halaman rumah mereka untuk menurunkan Frank. Kemudian kedua pemuda itu
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanjutkan perjalanan ke pertanian Morton. Baru saja Joe hendak membelokkan
mobilnya ke jalanan tanah yang menuju ke pertanian, ia mendengar jeritan minta
tolong. "Ada orang minta tolong." seru Joe, melewati jalan yang menuju ke pertanian.
Mereka lewat di sebuah jembatan kecil, dan tiba di tempat yang mereka perkirakan berasal dari
jeritan tersebut. Tetapi mereka tak melihat seorang pun.
"Jangan-jangan hanya orang yang melawak," kata Chet.
"Lebih baik kita periksa, "kata Joe, kepalanya keluar dari kaca jendela mobil.
Ia mematikan mesin, kemudian Chet pun mendengar jeritan itu.
"Datangnya dari hutan," kata Joe, "ayo ke sana!"
Ia berlari di antara pepohonan, diikuti rapat oleh Chet yang ternyata dapat
bergerak gesit meskipun tubuhnya besar. Mereka telah menempuh beberapa ratus
meter, hingga sampai di tempat sedikit terbuka. Seorang wanita muda bersandar
pada sebuah pohon dan memandang ketakutan ke sekawanan anjing liar. Anjing-
anjing tersebut, dengan moncong penuh liur, menggeram-geram seraya maju
perlahan-lahan. "Jangan teriak lagi!" seru Joe kepada gadis itu.
Ia maju beberapa langkah mendekati anjing-anjing tersebut lalu melompat-lompat
dan berteriak. Anjing-anjing itu membalikkan tubuh. Rupanya binatang-binatang tersebut
kekurangan makan dan tubuhnya luka-luka. Beberapa di antaranya demikian
kurusnya, hingga tulang-tulang
rusuknya menonjol. Joe tahu bahwa hewan-hewan itu harus dikasihani, tetapi apa
yang dirasakannya hanya ketakutan. Ia berharap bahwa binatang-binatang itu akan
melarikan diri ketika ia bersama Chet bergerak maju. Tetapi tampaknya mereka
menganggap kedua pemuda itu sebagai lawan baru yang lebih baik. Seekor anjing
mastiff coklat-putih kotor, merupakan kepala kawanan, mendesak kawanannya, maju
menyerang Joe. Chet sementara itu berhasil melarikan diri dengan ketakutan. Joe
berpikir cepat. "Aku akan menarik perhatian mereka!" serunya kepada Chet. "Bawa dia ke mobil
kita dan carilah bantuan!"
Ia lalu berlari masuk semakin dalam ke hutan, dikejar anjing-anjing kelaparan,
yang kini mulai meraung-raung tergugah oleh naluri memburu mangsa.
Chet cepat bereaksi. Ia lari ke gadis yang ketakutan itu lalu menangkap
pergelangan tangannya. "Ayo!" serunya dan mengguncang guncang -kannya melepaskan gadis itu dari
kebekuannya karena takut. Bersama-sama mereka lalu berlari ke arah mobil.
Setiba di mobil, Chet lari mengitar ke tempat pengemudi. Namun kakinya
terserimpat tumbuhan jalar dan jatuh terbaring ke tanah. Chet meng gelepar
hendak bangun, dan ketika ia berhasil duduk di belakang setir, ternyata gadis
itu sudah menghilang. Ia melihat ke sekeliling, tetapi tak mendapatkan jejak
gadis itu. Dengan cepat ia memundurkan mobil dan melaju ke jalanan yang menuju ke pertanian
ayahnya. Ia melompat turun dan menghambur masuk ke kamar tamu, di mana Iola dan ayahnya
sedang membaca koran. "Joe dikejar anjing di hutan!" ia berseru.
Pak Morton melompat bangun tanpa bicara dan segera membuka kunci almari
senapannya. Iola lari mengambil jaket, sementara Chet menelepon ke rumah keluarga Hardy.
Frank yang menyambutnya. Chet menceritakan kepada Joe dan Frank berjanji akan
segera datang. Chet baru saja meletakkan gagang telepon, ketika Iola lari
kembali ke kamar tamu, sementara ayahnya telah selesai mengisi senapan.
Ketiganya lari ke mobil Frank. Chet yang mengemudi, kembali ke tempat mereka
tadi masuk ke hutan. Ia heran melihat gadis itu ada di sana, bersama seorang
pemuda. Keduanya berlari-lari menyongsong mereka.
"Temanku Tonio," kata gadis itu tersengal-sengal, menunjuk ke temannya. "Ia tahu
jalanan di hutan." "Sebab itukah engkau pergi?" tanya Chet, sementara adik dan ayahnya turun dari
mobil. Gadis itu mengangguk. "Ia dapat banyak membantu."
"Aku dapat mengikuti jejak," kata Tonio. "Aku dibesarkan di daerah yang
berhutan. "Chet mendengar, bahwa pemuda itu pun berbicara dengan lafal asing.
"Kami membutuhkan segala bantuan," kata pak Moton.
"Chet, di sinikah engkau masuk ke hutan!"
"Betul. Ayah dapat melihat bekas kami menerjang semak-semak."
"Ayo, engkau tunjukkan jalan!"
Chet masuk ke semak-semak, diikuti yang lain-lain. Segera mereka sampai di
tempat terbuka, di mana ia dan Joe menemukan gadis itu. Tetapi kini tak ada
bekas-bekas binatang maupun Joe.
"Apa sekarang?" tanya Chet tak berdaya. "Aku tak ingat ke mana larinya Joe."
"Tunggu!" kata Tonio sambil mengangkat tangannya.
Mereka menahan napas. "Aku tak mendengar apa-apa kecuali suara burung," kata Iola akhirnya.
"Aku juga," kata Tonio. "Aku tadi menyangka mendengar suara raungan anjing. Aku
harus mencari jejak mereka."
Ia berjalan berkeliling di tempat itu beberapa saat, matanya tertuju ke tanah.
Dua kali ia keluar ke jurusan tertentu, tetapi setiap kali ia kembali lagi,
kepalanya digeleng-gelengkan.
"Kukira jejak, ternyata bukan."
Keheningan dipecahkan oleh suara deru lemah dari jalan, makin lama makin keras.
Akhirnya mereka mengenali suara sepeda motor. Mesin motor itu tak terdengar
lagi, tetapi mereka mendengar seruan Frank.
"Chet!" "Di sini, Frank!" jawab temannya. Dalam beberapa saat Frank menghambur masuk.
Chet dengan singkat menjelaskan bahwa gadis itu dan Tonio datang untuk membantu
mencari Joe. Frank mengenali Tonio sebagai pemuda yang marah-marah dan menghardik Joe dan dia
pagi itu juga. Tetapi ia diam saja.
"Aku menemukannya!" seru Tonio. "Mari!" Mereka mengikuti dia ke dalam kelebatan
pohon-pohonan. Kabut tebal telah turun di hutan itu, dan cuaca semakin menjadi gelap dengan
cepat. "Kuharap saja ia dapat melihat jejak itu," bisik Chet kepada Frank. Matanya
tertuju kepada Tonio, yang membungkuk bungkuk sambil melangkah maju.
Setelah keluar dari tempat terbuka-Joe ber-
hasil mendahului kawanan anjing. Ia lari sekencang-kencangnya. Ia menjadi lelah,
dan ia tahu tak dapat mempertahankan jarak. Anjing-anjing itu semakin dekat.
Pemimpinnya sudah mulai menyambar-nyambar tumitnya.
Kira-kira satu mil dari tempat terbuka, Joe sampai pada sebuah sungai yang deras
alirannya, yang membatasi tanah milik Morton dengan milik Sayer. Ia menghadapi
pilihan, apakah harus terjun dan berenang ke seberang atau tidak. Banyak dari
kekuatannya telah hilang. Ia lalu menjangkau dahan yang rendah lalu menaikkan
dirinya ke atas. Kepala kawanan itu melompat dengan nekad, tetapi moncongnya
menangkap angin, satu senti dari kaki Joe.
Joe berhenti sejenak, memulihkan tenaganya. Kemudian ia naik lagi dua dahan di
atasnya. Di bawah, binatang-binatang itu meraung-raung untuk beberapa menit. Kemudian
mereka diam, menunggu mangsanya turun lagi.
"Jangan sekarang, bung!" kata Joe kepada anjing-anjing itu.
Pohon-pohon itu tumbuh sangat rapat di se-panjang tepi sungai.
"Mungkin aku dapat menjauhkan diri dengan berpindah dari pohon ke pohon," pikir
Joe. Dengan hati-hati ia meraih dahan pohon di sebe-
lahnya. Kemudian ia mengayunkan tubuhnya berpindah.
Para pengejarnya mengikuti dengan tanpa bersuara, hingga mereka ada di bawah Joe
lagi. Joe berpindah ke pohon yang satu, kemudian ke pohon yang lain. Tetapi ia selalu
terus diikuti. Joe berhasil dengan selamat melalui sepuluh batang pohon, tetapi yang kesebelas
salah perhitungan. Dengan segera ia menyadari. Pohon itu telah lama mati, dan
hanya memerlukan angin yang cukup kuat untuk menumbangkannya.
Dahan yang dihinggapinya bergemeratakan menahan berat badannya. Hampir saja ia
ikut jatuh ke bawah, tetapi pada saat terakhir berhasil menggapai dahan lainnya,
dahan itu pun bergemeretak membahayakan. Takut kalau-kalau dahan itu tak kuat,
Joe melepaskan sepatunya. Tali talinya diikat menjadi satu, kemudian sepatu itu
dikalungkannya di leher. Anjing-anjing di bawah menggeram penuh harapan. Apakah sungai itu cukup dalam"
Ia tak punya banyak waktu berpikir. Ketika dahan itu semakin turun, ia melompat
dan mencebur di air dengan kedua kakinya terlebih dahulu.
Untung, sungai itu paling tidak tiga meter dalamnya. Ketika kakinya mengenai
dasar, ia menjejaknya untuk timbul ke atas. Ia timbul tepat pada waktunya,
mendengar suara kecebur di belakangnya. Ia menoleh, melihat pohon itu juga
tumbang masuk ke sungai. Arus sungai yang keras menghanyutkannya dengan cepat ke
arahnya. Ia mengangkat tangannya untuk menghindari, tetapi tidak berhasil.
Bagian yang patah dari batang itu membentur dia dengan keras, dan ia pun
pingsan! 7. Terhindar Dari Lubang Jarum
Untunglah, Joe hanya sekejap saja tak sadarkan diri. Air yang dingin segera
membuatnya sadar dan menghanyutkan dirinya ke hilir, sementara anjing-anjing
liar itu berlari-lari di sepanjang tepi. Moncongnya terbuka lebar dan gigi-
giginya berkilat-kilat. Joe berusaha untuk berenang ke seberang, tetapi terpaksa menyerah setelah
beberapa kayuh. Ia sudah terlalu lelah, juga karena benturan di kepalanya.
"Lebih baik aku menghanyutkan diri dulu, sampai terdapat perubahan keadaan
nanti," pikir Joe. Celakanya, perubahan yang datang justru arus sungai yang semakin
perlahan. Tadi air mengalir terlalu deras bagi anjing-anjing. Tetapi kini pemimpin kawanan
itu merasa mendapat kesempatan. Ia terjun dan berenang mengejar Joe. Dengan
ngeri Joe melihat binatang itu pada jarak dua puluh lima meter, dan mendatangi
semakin dekat dengan cepat.
Tibalah peruntungan yang diharap-harapkan Joe! Di depannya muncul sebuah pulau
kecil. Untung pula bahwa laut sedang surut. Kalau tidak air pasang akan naik dari arah
teluk Barmet, menenggelamkan pulau kecil tersebut, yang hanya berupa tumpukan
lumpur dan dahan-dahan. Dengan lesu Joe naik ke tanah dan membalikkan tubuhnya. Hanya beberapa detik
saja anjing itu telah juga mencapai pulau itu. Binatang itu keluar dari air
dengan bulu-bulunya yang hampir gundul itu basah kuyup. Binatang itu segera
menyerang, dibarengi dengan raungan kawanan anjing lain yang berada di tepi
sungai. Joe menoleh ke kanan, ke kiri mencari senjata ... sebuah batu, sebuah cabang,
atau apa saja. Tetapi yang ada hanya lumpur yang licin!
Sementara itu, Tonio memimpin menerobos hutan yang gelap. Yang lain-lain
mengikutinya dengan rapat. Tiba-tiba mereka mendengar suara lolongan anjing di
depan. "Mereka tak jauh lagi!" seru Tonio.
"Kuharap saja kita tiba pada waktunya," Chet menggumam.
Napasnya tersengal-sengal. Ia menggigil. Bukan karena dinginnya udara, tetapi
karena memikirkan binatang-binatang yang kelaparan dan mengidap penyakit. Frank,
di sampingnya, tak berkata apa-apa. Mulutnya merengut rapat sementara mereka
mempercepat jalannya. Joe mengambil sepatu dari lehernya ketika anjing itu semakin dekat juga. Tangan
kanannya memegangi tali pada simpul ikatan kedua tali sepatunya, lalu mengayun-
ayunkan sepatu itu di atas kepalanya. Anjing yang merunduk itu berhenti,
terkejut sebentar. Dari tenggorokannya terdengar suara menggeram, makin lama makin keras. Kaki
belakangnya ditekuk semakin rendah, dan otot-ototnya menegang untuk melompat.
Anjing itu melompat di udara. Joe telah siap menangkis serangan, pukulannya
dilontarkan tepat pada waktunya. Sepatu yang berat itu menimpa rahang, dan
anjing itu jatuh pada sisi tubuhnya, berkaing-kaing kesakitan.
Han Bu Kong 3 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Bara Naga 10
HARDY BOYS NAGA BERKEPALA EMPAT Franklin W. Dixon Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Judul Asli THE FOUR HEADED DRAGON Oleh Franklin W. Dixon Terjemahan oleh
Prodjosoegito Copyright 1983 oleh Stratemeyer Syndicate
" Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertamakali dalam bahasa
Inggris oleh Wanderer Books dari Simon & Schuster Divisi dari Gulf & Western
Corporation Simon & Schuster Building 1230 Avenue of the Americas New York. New York 10020.
Diterbitkan pertamakali dalam bahasa Indonesia oleh PT. INDIRA, Jalan Sam
Ratulangi 37, Jakarta Anggota IKAPI Jakarta-1984 Cetakan I: Mei 1984 Cetakan II:
Oktober 1985 Dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo. Jakarta
Daftar Isi 1. Kejutan 2. Ketakutan di Malam Hari
3. Ancaman Di Hutan 4. Rencana yang Berbahaya
5. Sabotase Di Lapangan Terbang
6. Anjing-anjing Ganas 7. Terhindar Dari Lubang Jarum
8. Perangkap Telepon 9. Ceritera Sedih 10. Topan Badai 11. Penyelamatan yang Menakjubkan
12. Kunjungan yang Aneh 13. Sayap Bangunan yang Misterius
14. Berita Sandi 15. Tertangkap 16. Penjara Di Bawah Tanah
17. Rencana Jahat 18. Tonio yang Berani 19. Pengejaran Helikopter
20. Sasaran Empuk 1. Kejutan Frank dan Joe Hardy sedang melakukan percobaan kimia di laboratorium mereka, di
atas garasi keluarga Hardy, ketika telepon berdering. Anak-anak itu tak menaruh
perhatian. Tentunya akan disambut oleh ibu mereka.
Tetapi kemudian suara Bu Hardy terdengar dari intercom.
"Frank atau Joe, Chet mau bicara di telepon. Katanya sangat penting!"
Frank meraih pesawat telepon.
"Mungkin ia mogok entah di mana, dan perlu omprengan."
Tetapi Chet tak menghadapi masalah dengan mobil tuanya kali ini.
"Frank, ayahku menemukan Sam Radley berkeliaran di sekitar pertanian kami,"
katanya. Suaranya tegang. "Sam seperti tak sadar di mana dia berada. Ia hanya menggumam,
tetapi kami tak mengerti sepatah kata pun."
Frank melemparkan pandangan ke Joe, yang juga mendengar suara Chet yang tegang.
"Kuberitahu apa yang harus kaukerjakan,
Chet. Panggillah Regu Pertolongan Pertama, dan ..."
"O, sudah kulakukan," Chet cepat memotong.
"Ambulans sudah ada di perjalanan. Aku juga menelepon rumah apartemen Sam sampai
tiga kali, tetapi tak ada jawaban. Kukira Ethel sedang berbelanja."
"Sedang apa Sam sekarang?"
"Ayah dan lola berhasil membawa dia ke sebuah kursi, dan ibu membuatkan kopi
untuknya. Tetapi ia tak mau minum. Ia hanya memandang menerawang ke langit dengan kedua
tangannya di lutut. Kubilang, sungguh mengerikan. Frank, aku harus pergi. Nah
itu dia ambulans datang. Cepat juga mereka itu."
"Kami akan langsung ke rumah sakit sekarang
juga!" kata Frank sebelum Chet terlanjur meletakkan gagang teleponnya.
Ia lalu berpaling kepada adiknya. Joe sudah membenahi alat-alat yang tadi mereka
gunakan untuk percobaan. Frank membunyikan bel intercom ke rumah induk.
"Ya?" jawab bibi Gertrude.
"Kami hendak ke rumah sakit segera," kata Frank kepadanya. "Sam Radley cedera.
Sampaikan kepada ibu, ya?"
"Akan kulaksanakan," kata bibi Gertrude dan segera memutuskan percakapan. Ia tak
pernah menanyakan sesuatu dalam keadaan darurat.
Dalam satu menit, kedua pemuda itu sudah duduk di dalam mobil sport kuning
mereka dan melaju di jalan Elm.
"Aku sungguh berharap ayah ada di sini," kata Joe.
"Kita akan beritahu dia sesanggup kita," kata Frank kepada adiknya.
Sam Radley dan isterinya, Ethel, adalah teman-teman baik keluarga Hardy. Sam dan
pak Hardy, yang pernah menjadi detektif top di Kepolisian kota New York sebelum
menjadi detektif swasta, telah bekerja sama selama beberapa tahun.
Frank memikirkan hal itu sementara ia mengemudikan mobilnya ke arah jalan besar.
Sirene meraung-raung di belakang mereka. Ia menoleh.
"Ini dia ambulansnya!"
Dengan segera ia meminggirkan mobilnya dan berhenti. Mobil ambulans itu melesat
lewat menuju ke rumah sakit.
Ketika menjalankan mobilnya ke dalam lalu-lintas lagi, seseorang membunyikan
klaksonnya dengan kalang kabut di belakang. Ia menginjak rem ketika sebuah sedan
hitam meliuk menghindar lewat, dan hampir menabrak mobil yang datang dari arah
yang berlawanan. Mobil hitam itu tak mau melambatkan jalannya, tetapi terus, saja mengikuti mobil
ambulans. Joe menghembuskan napas. "Hampir saja!" "Sopirnya tak menengok sekali juga!" Frank mengeluh. "Sayang, tak ada mobil
patroli. Polisi dapat menangkapnya atas pelanggaran kecepatan di jalur dua arah. Engkau
melihat sopirnya?" Joe menggeleng. "Tak sedikit pun. Aku mencoba mendapatkan nomor mobilnya, tetapi ia terlalu
cepat." Dengan hati-hati Frank menjalankan mobilnya.
"Menurut teoriku, orang macam itu akhirnya akan tertangkap juga. Kuharap saja
itu terjadi sebelum ia sempat membunuh orang karena kecerobohannya."
Mereka tiba di rumah sakit beberapa menit
kemudian dan bertemu dengan Dokter Kelly di lobby.
"Bagaimana keadaan Sam Radley?" tanya Frank.
"O, apakah dia yang dibawa secara darurat?" tanya dokter itu.
Kedua pemuda itu mengangguk.
"Aku sedang ke sana sekarang ini. Silakan duduk dulu. Aku akan segera kemari
setelah selesai periksa."
Dua puluh menit kemudian, dokter itu datang lagi lalu duduk. "Aneh," katanya.
"Sam seperti sedang shock, tetapi bukan hanya itu rupanya. Ia tak mengalami luka
apa pun, sebab sejauh yang dapat kuketahui, tak ada tulang-tulang yang patah.
Namun aku akan memeriksanya dengan sinar X, untuk meyakinkan diri."
"Apakah anda dapat menduga secara ilmiah, kira-kira apa itu dokter?"
Dokter Kelly mengerutkan alis matanya.
"Ini bukan diagnosa, agar kalian mengerti. Tetapi keadaannya agak seperti gegar
otak. Aku sudah berdinas tiga tahun di Angkatan Bersenjata di seberang, dan aku telah
merawat prajurit-prajurit yang terlalu dekat dengan ledakan. Mereka tidak
terkena, tetapi mendapat guncangan dari ledakan itu. Sam bereaksi seperti para
prajurit itu ... hanya menggumam, pikirannya kacau, hampir tak mau bergerak dan
pandangannya menerawang jauh."
"Menerawang jauh?" tanya Joe.
"Ia seperti tak melihat apa yang ada di dekatnya, tetapi memandang ke kejauhan,"
dokter itu menjelaskan. "Sangat umum bagi prajurit yang telah beberapa hari
berada di pertempuran. Mengapa Sam bersikap demikian, sungguh suatu misteri
bagiku. Apakah sudah ada yang menghubungi isterinya?"
"Chet Morton sudah mecoba meneleponnya, tetapi tak ada di rumah," jawab Frank.
"Nah, kusarankan agar kalian secepat-cepatnya menghubungi nyonya Radley.
Suaminya tidak menghadapi bahaya yang besar. Mungkin, kalau ia melihat isterinya
akan tersentak lepas dari keadaannya."
Dokter Kelly pergi, dan Frank serta Joe menuju ke tempat telepon umum untuk
menelepon Ethel Radley. Setelah telepon berdering sepuluh kali, Frank
meletakkannya kembali. "Mengapa kita tak pergi ke apartemennya saja?" ia mengusulkan. "Mungkin
tetangganya dapat mengatakan ke mana ia pergi."
"Itu pikiran yang bagus," Joe membenarkan.
Di perjalanan, Frank membunyikan jari-jarinya.
"Seharusnya sudah kupikir sebelumnya! Eng-
kau ingat pesawat yang menjawab secara otomatis yang dibeli Sam bulan lalu?"
"Tentu," kata Joe. "Sam menelepon kita sampai tiga kali untuk meyakinkannya."
"Lalu" Mengapa tak ada jawaban?"
"Barangkali Ethel lupa menyetelnya sebelum ia pergi."
"Itu bukan kebiasaannya," kata Frank. "Ia selalu teliti."
"Barangkali pesawatnya agak ngadat," kata Joe.
"Mungkin. Tetapi aku mempunyai perasaan, ada sesuatu yang tidak beres." Dengan
halus Frank menghentikan mobilnya di depan apartemen Radley, dan kedua pemuda
itu bergegas masuk ke lobby.
"Apakah anda melihat nyonya Radley pergi sore ini?" tanya Frank kepada penjaga
pintu yang sedang menyapu.
"Tidak," jawab orang itu. "Tetapi aku memang baru datang pada jam empat. Dan
sejak itu nyonya tak nampak keluar."
"Terima kasih." Joe menekan tombol elevator. Rasanya seperti seabad sebelum
pintu elevator terbuka di lantai lobby. Frank menekan tombol dengan nomor '17',
dan naiklah mereka. Apartemen Radley, 17E, ada di ujung lorong. Kedua pemuda itu cepa't menuju ke
sana. "Lihat, pintunya terbuka sedikit, seru Joe. Ia masuk, diikuti oleh Frank.
Kamar tamu ada di kegelapan.
"Mana tombol lampunya?" tanya Frank dengan tegang.
"Sedikit di kananmu, kukira," jawab adiknya.
Tetapi Frank tak sempat menyalakan lampu. Terdengar suara langkah kaki yang
berat dari seberang kamar, kemudian tiga sosok tubuh membentur kedua pemuda.
Frank dan Joe telah terlatih menghadapi penghadangan. Joe menangkap tangan kanan
penyerang yang paling dekat, lalu menariknya hingga terjatuh ke lantai dan
menindihnya. Kemudian ia memutarnya sedemikian, hingga guru gulatnya di sekolah tentu akan
bangga terhadap muridnya ini. Sekarang ia menindih lawannya.
Frank terpaku pada dinding oleh dua orang lawan. Ia menendang dengan keras, dan
merasa sepatunya mengenai pergelangan kaki. Seorang menjerit dan melepaskan
pegangannya. Frank beralih ke orang yang lain, mengayunkan tinju kanannya dengan
gesit, membentur kepala. Tetapi perkelahian itu berhenti secara mendadak. Joe tak dapat menahan lawannya
yang kekar di lantai. Orang itu melemparkan Joe ke samping. Sementara itu, orang
yang kakinya terkena tendangan Frank, melenguh berteriak: "Mari kita pergi dari
sini!" Ketiga penjahat itu lari ke pintu. Mereka mundur sedemikian cepatnya, hingga
Frank maupun Joe tak sempat menghentikan mereka.
Frank berhasil sampai ke pintu, tepat pada saat ketiga penjahat itu menghilang
ke dalam elevator Ia hanya melihat punggung mereka, tetapi ia melihat dengan
rasa puas, bahwa yang seorang cukup parah pincangnya!
"Aku akan mengejar mereka!" teriaknya kepada Joe, dan segera pula ia mulai
mengejar. Kalau ia beruntung, elevator akan berhenti beberapa kali sampai ke lobby. Ia
meluncur melalui tangga kebakaran secepat-cepatnya.
Barangkali ada orang yang membawa bawaan yang cukup besar yang akan menghalangi
mereka, pikir Frank. Barangkali saja ada orang yang sedang memindahkan
perabotan---- Tetapi harapannya itu tak menjadi kenyataan. Ketika ia tiba di lobby, tersengal-
sengal kehabisan napas, pintu elevator telah terbuka lebar. Tak nampak tanda-
tanda kehadiran ketiga penjahat. Penjaga pintu pun tak nampak pula batang
hidungnya. Frank berlari ke jalan, tetapi orang-orang itu telah lenyap tanpa bekas. Kecewa,
ia kembali naik ke apartemen Radley lagi. Keadaan serba hening ketika ia masuk,
dan lampu tetap belum menyala. Rasa dingin merayapi tulang belakangnya. Apakah
ada sesuatu yang terjadi dengan adiknya"
2. Ketakutan Di Malam Hari
Frank memutar tombol lampu.
"Joe! Di mana engkau?" ia berseru ketakutan.
"Di sini," terdengar suara tertahan dari balik kursi panjang. Perlahan-lahan Joe
muncul, nampak kecewa. "Engkau terluka?" tanya Frank.
"Tidak." Joe meraba-raba tengkuknya. "Tetapi orang itu melemparkan aku seperti
sebuah bantal saja, meskipun aku lebih tinggi dari dia dan lebih berat beberapa
kilo. Bagaimana pun, aku jatuh dengan kepala lebih dulu dan pingsan untuk beberapa
menit." Ia melihat ke sekeliling.
"Semua berantakan!"
Gambar-gambar dibuang dari dinding, kursi dan kursi panjang telah dibalikkan,
laci-laci terbuka dan isinya tertumpuk di lantai. Bahkan permadani telah
diangkat dan dilemparkan ke sudut.
Dapur, kamar mandi dan kamar tidur dalam keadaan yang serupa. Yang paling parah
ialah keadaan kamar yang khusus digunakan sebagai kamar kerja Sam Radley. Kartu-
kartu yang disusun Sam selama beberapa tahun mengenai ratusan kejahatan
dikeluarkan dari almari berkas-berkas, dan kini berserakan di seluruh lantai.
Pesawat jawaban otomatis telah dibanting pula.
"Yah, apa yang dicari para penjahat itu rupanya tak ditemukan," kata Frank
menurut pengamatannya. "Kalau ketemu, mereka tentu telah pergi ketika kita
datang." Pada saat itu mereka mendengar suara dari tempat berganti pakaian di kamar
kerja. Frank melompat ke pintunya dan membukanya dengan segera. Ethel Radley
terbaring di lantai, kaki dan tangan terikat erat dan mulutnya diplester. Ethel
telah menendang-nendangkan kakinya ke dinding.
Mereka segera melepaskannya dan mengangkatnya ke dipan di kamar tamu. Joe
mengambilnya segelas air. Ethel duduk diam beberapa saat, matanya tertutup.
Akhirnya ia memandang ke kedua pemuda
yang khawatir itu dan berkata: "Tak kusangka dapat keluar dari tempat ganti baju
itu!" "Dapatkah engkau mengatakan apa yang telah terjadi?" tanya Joe. "Atau, engkau
masih perlu istirahat sebentar?"
"Tidak." Ethel menggelengkan kepala untuk menjernihkan otaknya. Aku tak apa-apa.
Aku" ingin orang-orang itu sudah ditangkap sebelum mencelakakan orang lain. Aku pergi
berbelanja, dan pulang sekitar jam satu lewat sedikit. Dua di antara mereka
sudah ada di sini, mengaduk-aduk segala-galanya. Mereka mengikat aku dan membawa
ke tempat ganti baju. Sesore ini aku mendengar mereka bergerak ke sana kemari,
melemparkan semua. Aku berusaha mendengarkan apa yang mereka katakan, tetapi
hanya sempat mendengar sedikit sekali. Mereka sedang membicarakan seekor naga.
Hanya itu yang kudengar jelas."
Joe dan Frank memandang Ethel dengan ter-heran-heran.
"Benarkah naga?" tanya Joe.
"Ya." "Ada yang kauingat selain itu" Bagaimana rupa mereka" Barangkali mereka saling
memanggil nama mereka?"
Ethel Radley berpikir keras.
"Semuanya itu terjadi cepat sekali. Aku hanya sempat melihat sekilas wajah
mereka. Seorang jangkung berambut hitam dan seorang lagi pendek. Yang pendek itulah yang
mengikat aku.
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia sangat kuat." "Nampaknya temanku berlatih tadi," kata Joe dengan masam. Ia ingat, bagaimana ia
telah terlempar. "Tetapi ada tiga orang semuanya. Engkau tak melihat yang
ketiga?" "Tidak. Ia datang kemudian. "Ethel mengerutkan alis matanya. "Tunggu sebentar.
Telepon berdering ... mereka menjawab ... dan barangkali berbicara dengan orang
yang ketiga." "Bagaimana mereka melakukannya?" tanya Frank heran. "Kami telah menelepon sampai
tiga kali, dan mereka tak menjawab."
"Mungkin pakai sandi," Ethel menduga. "Telepon itu berdering tiga kali lalu
berhenti. Kemudian berdering lagi satu menit kemudian. Salah seorang lalu berkata: "Itu
tentu Cari." "Carl," Joe mengulang dengan penuh pikiran.
"Bagaimanapun salah seorang mengangkat telepon dan mendengarkannya. Kemudian ia
berkata, 'ikuti ambulans itu dan cari tahu ke mana mereka membawanya.' Kemudian
telepon diletakkan."
Frank dan Joe saling berpandangan. "Itu tentu mobil hitam yang hampir menabrak
kita," kata Joe. "Kalian tahu sesuatu tentang peristiwa ini?" tanya Ethel.
Frank menceritakan apa yang telah terjadi, lalu berkata dengan ramah.
"Sudah merasa enak sekarang?" "O, sudah."
"Ada beberapa berita yang kurang baik bagimu. Sam ditemukan berkeliaran di
sekitar pertanian Morton. Ia seperti tak tahu di mana ia berada. Ambulans telah
membawanya ke rumah sakit Bayport."
"Apa?" Tangan Ethel menutup wajahnya. "Sam yang malang! Bagaimana ia sekarang?"
"Tubuhnya tak menunjukkan apa-apa," jawab Frank. "Tetapi ia bingung. Ia masih
saja belum sadar di mana ia berada. Karena itulah kami mencoba menghubungi
engkau. Itu pula sebabnya kami datang ke mari."
"Aku harus menemani dia!" seru Ethel.
Para pemuda itu membantu Ethel berdiri.
"Kami akan mengantar engkau," kata Frank, lalu menggandengnya. Meskipun masih
gemetar, Ethel berhasil berjalan sampai ke mobil.
Keadaan Sam belum berubah. Ethel duduk di samping ranjangnya, dengan kawatir
memandangi wajah suaminya.
"Kalian berdua boleh pergi sekarang," kata Ethel dengan senyum kecut. "Aku akan
menunggunya." "Engkau harus makan dulu," kata Frank. "Kami akan mengirimkan makanan kemari."
"Terima kasih," kata Ethel.
"Kalau Sam mengatakan sesuatu yang dapat kauketahui, maukah engkau menulisnya?"
Joe memberikan pinsil dan sehelai kertas dari buku catatannya. "Jangan khawatir
kalau seperti tidak ada artinya. Barangkali muncul petunjuk-petunjuk."
Suatu sinar membersit ke dalam mata Ethel yang abu-abu lunak.
"Engkau persis sama dengan Sam."
"Dan ayah," Frank berkata. "Aku jadi teringat harus menghubungi ayah! Ayo, Joe."
Kedua pemuda itu berhenti di kantin rumah-sakit, memesan hamburger dan minuman
segar buat Ethel. Kemudian mereka pulang.
Ketika mereka lewat di Main Street, Frank berkata: "Aku ingin tahu apa yang
sedang dikerjakan Sam. Kalau kita tahu, kita dapat melanjutkannya."
"Barangkali saja ayah tahu."
Fenton Hardy, seorang detektif yang dikenal di dunia internasional, sering
diminta membantu memecahkan perkara-perkara yang rumit oleh
pemerintah federal. Pada saat ini ia sedang ada di Alaska, bekerja untuk FBI.
Ketika kedua pemuda itu tiba di rumah, Bibi Gertrude memanggil mereka dari
dapur. "Makan akan siap sepuluh menit lagi!"
"Kami harus menelepon ayah dulu," kata Frank kepada bibi, sementara ia dan Joe
melangkah ke kamar kerja.
"Ibumu sedang berbicara dengan dia sekarang ini," bibi Gertrude memberitahu.
"Nah, ini mereka," kata Ibu Hardy ke dalam telepon. "Jangan letakkan dulu.
Mereka akan sampaikan kepadamu apa yang sedang terjadi."
la memandang kedua pemuda itu dengan rasa ingin tahu.
"Sebenarnya aku juga ingin tahu. Aku sudah menunggu telepon darimu sesore ini."
"Maaf, bu," Frank meminta maaf seraya mengambil gagang telepon. "Semuanya
terjadi dengan serba cepat. Tak ada waktu untuk itu."
Ia menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa jam sebelumnya kepada
ayahnya. "Buruk sekali," kata pak Hardy dengan suara kuatir. "Aku tak tahu perkara apa
yang sedang ditangani Sam. Mungkin baru saja diperolehnya. Aku baru saja
berbicara dengan dia tiga hari yang lalu, dan ia menyebutkan beberapa kegiatan
yang rutin. Sudah tentu ia mungkin telah menghubungi,
tetapi aku tak ada di kantor selama ini. Aku harus pergi dengan menyamar, bahkan
FBI tak tahu di mana aku berada." Pak Hardy berbicara secara pelan tentang suatu
perkara yang tentunya sangat berbahaya.
"Aku akan segera terbang pulang," ia melanjutkan. Suaranya menunjukkan perhatian
yang besar. "Untung, tugasku di Alaska sudah selesai. Tetapi perkara itu belum
terpecahkan. Kami harus mencari petunjuk-petunjuk di tempat lain. Nah, Frank, sampai ketemu
lagi, besok." "Selamat, ayah. Semoga mendapat perjalanan yang menyenangkan."
Frank baru saja meletakkan gagang telepon, ketika bibi Gertrude menjenguk dari
pintu. "Kalau engkau tak segera turun, makanan akan menjadi dingin," katanya.
Kedua ibu-ibu itu melontarkan pertanyaan-pertanyaan sepanjang makan malam
tersebut dan Frank dan Joe menjawab di antara suapan-suapan setup daging domba
yang lezat itu. "Aku akan gembira ayahmu segera pulang," kata Bu Hardy. "Sudah seperti sebulan
ia pergi." "Bukan untuk mengalihkan pembicaraan," kata bibi Gertrude, "Tetapi apakah kalian
mendengar tentang badai yang mendekati North Carolina" Kuharap saja tidak
membelok dan menimpa Bayport."
Bu Hardy tersenyum. "Banyak sekali badai pada bulan-bulan begini, dan kebanyakan tak menimbulkan
apa-apa. Bagaimanapun North Carolina jauh sekali dari sini, Gertrude."
Itulah yang selalu dikatakan orang beberapa tahun yang lalu," kata bibi Hardy
setengah mengejek. "Tetapi lihat saja badai yang menimpa kita waktu itu."
Frank tertawa. "Kukira engkau tak perlu khawatir akan sesuatu yang belum tentu akan terjadi."
"O, engkau benar," jawab bibi Gertrude. "Tetapi aku percaya motto Kepanduan:
"Bersiaplah'. Aku akan membuat persediaan makanan kalengan dan susu kental besok
pagi-pagi. Untuk menjaga-jaga kalau listrik mati."
Setelah makan malam, kedua pemuda itu menelepon rumah sakit di mana Sam berada.
Ethel Radley menjawab, meskipun detektif itu sudah dapat beristirahat lebih
enak, belum ada perubahan yang berarti pada keadaan dirinya. Ia belum dapat
mencatat sepatah kata pun dari suara-suara tak jelas yang menggumam dari
suaminya. Dokter Kelly begitu ramah dengan memerintahkan menyediakan ranjang
bagi Ethel, dan makanan dikirimkan ke kamar.
Ethel akan segera memberitahukan mereka segera setelah Sam bangun.
"Tetapi tolonglah aku," sambungnya. Aku belum memberitahu Polisi tentang
pendobrakan rumah kami. Maukah kalian melakukannya bagiku?"
"Tentu," jawab Frank. Ia melaporkan peristiwa itu kepada sersan yang saat itu
bertugas. Kemudian setelah itu ia bersama adiknya menyelesaikan percobaan kimia di
laboratorium mereka. Itulah kebiasaan mereka dalam bersantai.
Kemudian, mereka duduk-duduk di dapur, minum coklat dan membicarakan kejadian-
kejadian misterius sore tadi. Mereka mendapatkah beberapa teori, tetapi
dikesampingkan setelah dipertimbang-timbangkan. Akhirnya, karena tak berhasil
menemukan jawaban yang tepat untuk keadaan diri Sam atau pun perihal perusakan
apartemen Sam, mereka pun pergi tidur.
Tiga jam kemudian mereka terbangun ketika bibi Gertrude membangunkan. Joe
menyalakan lampu meja di antara kedua tempat tidur, tetapi sambil meletakkan
jari di bibirnya, bibi menyuruh mereka diam, lalu mematikan lampu.
"Aku mendengarkan radio dengan earphone, kalau-kalau ada pemberitahuan tentang
badai," bibi berbisik. "Ketika aku melepaskan earphone, aku mendengar suara di bawah."
Para pemuda itu memandangi bibinya.
"Aku tak mendengar apa-apa," kata Joe. Ia dan Frank tahu, bagaimana kuatnya daya
ima-ginasi bibinya, terutama bila disertai adanya kemungkinan datangnya badai.
Suara-suara itu mungkin berasal dari khayalannya, demikian anggapan mereka.
"Bagaimana orang bisa masuk?" tanya Frank. "Kita mempunyai sistem pencegah
maling. Tak seorang pun----"
"Aku tahu apa yang kudengar," bibi Gertrude ngotot seperti sifatnya yang selalu
demikian. "Nah, kalian mau melihat sendiri atau tidak?"
Anak-anak mengeluh dalam batin, tetapi turun juga dari tempat tidur, dan pergi
ke tempat tangga. Di sana mereka segera sadar sepenuhnya. Dari bawah terdengar
suara dengan sangat lembut, tetapi tak mungkin salah. Mereka kembali ke kamar
tidur. "Bibi, teleponlah polisi," Frank berbisik, dan Frank serta adiknya segera
mengenakan celana dan baju di kegelapan. "Lalu pergi ke kamar ibu, ceritakan apa
yang sedang terjadi dan kuncilah pintunya. Kami akan ke bawah."
Bibi Gertrude memegang pundak mereka.
"Setelah kupikir, mungkin lebih baik menunggu polisi!"
"Para penjahat sudah akan pergi kalau kita menunggu," Joe menjelaskan.
"Kalau begitu hati-hatilah. Jangan ambil resi-
ko!" Bibi Gertrude keluar dari kamar tanpa bersuara.
Frank dan Joe merangkak ke bawah melalui tangga yang berpermadani. Frank
berhenti di sisi kanan kamar ayahnya yang untuk sementara digunakan sebagai
kamar kerja, karena kamar kerja yang ada di atas sedang dihias kembali. Joe
mengambil posisi di sebelah kiri.
"Hah, tak ada apa-apa tentang naga berkepala empat di sini," terdengar suara
lirih dari dalam. "Mari kita coba kamar yang lain."
Kedua pemuda itu segera teringat perihal naga itu dari Ethel di apartemen Sam
Radley. Tetapi pikiran mereka segera terganggu oleh suara lain.
"Aku tak senang akan hal ini semua, terutama dengan kedua anak-anak di atas
itu." "Ah, engkau selalu takut, Cari," terdengar suara orang ketiga. "Hanya itulah
mereka, anak-anak." "Anak-anak yang kuat," Cari mengingatkan mereka.
Terdengar suara mendengus pendek.
"Aku sudah menangani salah seorang dari
mereka tadi sore." Joe mengepalkan tinjunya. Ia sadar, dengan suara orang yang telah melemparkan
dia di apartemen Radley. "Kita lihat saja, siapa yang akan menang di ronde kedua," pikirnya.
"Kita tak dapat menggeratak di sini semalaman," kata orang yang pertama, rupa-
rupanya pimpinannya. "Ayo, kita pergi."
Kedua pemuda itu menjadi tegang ketika pintu terbuka. Kemudian, ketika ketiga
orang berkedok itu muncul, Frank menyalakan lampu lorong, dan ia bersama Joe
melompat menerjang para penjahat.
Untuk kedua kalinya hanya selama beberapa jam hari itu, mereka menghajar para
penjahat, tetapi kini keduanya mendapat keuntungan atas serangan pendadakan.
Mereka juga berkelahi secara berimbang, sebab salah seorang melepaskan diri lalu
lari keluar dari pintu depan.
Sekali lagi Joe menghadapi orang yang terpendek dari gerombolan tersebut. Ia
memojokkan penjahat itu di dinding. Kedok orang itu terlepas jatuh dan
menampakkan sebuah wajah yang penuh bekas luka.
Kemudian Joe mendengar suara berdebum. Dari sudut matanya ia melihat kakaknya
terkulai di lantai. Penyerangnya berdiri di atasnya dengan pentungan karet di
tangannya. Orang itu mengangkat tangannya lagi untuk melakukan pukulan
berikutnya. Dengan berteriak Joe melepaskan si kecil dan melemparkan dirinya ke
lawan Frank. Tinjunya mengenai dagu dan orang itu terhuyung ke belakang. Tetapi penjahat itu
cepat pulih. Ia mengangkat pentungan itu tinggi-tinggi, mengancam Joe yang
berdiri di atas tubuh kakaknya yang lunglai!
3. Ancaman Di Hutan Tetapi pentungan itu tak pernah memukul.
"Mari keluar dari sini, Slicer," seru orang itu kepada kawannya yang telah
kehilangan kedok. Temannya tak perlu diajak lagi. Bersama-sama, keduanya mundur ke pintu depan
yang kini telah terbuka. Sementara itu Joe memandangi mereka, tinjunya siap
digunakan. "Kita akan ketemu lagi, nak," kata si kecil, sebelum mereka menghilang ke dalam
kegelapan malam. Demikian mereka pergi, Joe mengalihkan perhatiannya kepada kakaknya. Ia heran,
bahwa Frank masih sadar, meskipun nampak sangat pusing.
"Pergilah ... kejar mereka. Ja - jangan khawatir akan ... aku."
"Ibu! Bibi!" seru Joe. Kedua ibu-ibu itu muncul di ujung atas dari tangga.
"Frank cedera! Uruslah dia. Aku akan mengejar para penjahat.
"Jangan!" teriak ibunya. Tetapi Joe sudah keluar dari pintu.
Ia melihat para penjahat itu naik ke mobil hitam di seberang jalan. Joe lari ke
garasi, membuka pintunya, lalu melompat ke sepeda motornya. Sekali injak, dan
motor itu menderu-deru. Pemuda itu melarikan motornya ke halaman, turun ke jalan Elm dan mengejar. Sedan
hitam melaju beberapa blok lalu membelok ke Main Street.
"Mungkin aku akan bertemu dengan mobil patroli," pikir Joe. Kota kecil itu sepi.
Mereka melewati toko-toko, rumah-rumah, sebuah pompa bensin yang lampunya tak
dinyalakan ... tetapi tak nampak seorang polisi pun.
Joe bertahan dua blok di belakang sedan hitam, dengan keyakinan bahwa para
penjahat tak melihatnya. Rupa-rupanya para penjahat merasa aman, tidak menoleh
ke belakang. Setelah melewati bagian pertokoan, mereka membelok ke jalan keluar
kota, kecepatannya berkurang.
Pengemudinya mungkin tak ingin menarik perhatian dengan berjalan cepat, pikir
Joe. Mereka melaju beberapa mil lagi. Demikian mereka melewati gerbang pertanian
Morton, motor Joe mulai batuk-batuk dan berkurang kecepatannya. Akhirnya
mesinnya mati dan ia meluncur hingga berhenti.
Joe tahu benar penyebab matinya mesin motornya, dan ia memaki dirinya. Ia
kehabisan bensin dan lalai untuk mengisinya.
Ia mendorong motornya masuk ke dalam semak-semak. Setelah yakin tak terlihat
dari jalan, ia mulai berjalan kaki pulang. Ketika ia melewati pertanian Morton
lagi, ia berpikir untuk meminjam mobil Chet, tetapi merasa kurang baik untuk
membangunkan keluarga itu. Lima puluh menit kemudian ia masuk ke halaman
keluarga Hardy. Bagian bawah rumah terang benderang, dan sebuah mobil patroli
nampak diparkir di halaman.
Bibi Gertrude, bu Hardy, Frank dan Kepala Polisi Collig yang merupakan teman
keluarga itu sejak beberapa tahun berada di kamar kerja. Mereka mendongak ketika
ia masuk. "Nah, bagaimana?" tanya Frank. Joe mengangkat bahu, lalu menceritakan peristiwa
tangki bensinnya yang kosong.
"Jadi aku tak bisa menyelesaikan sesuatu," ia menyimpulkan. Ia lalu berpaling ke
kakaknya. "Bagaimana engkau?" ia bertanya.
"Ia seharusnya ada di tempat tidur," sahut ibunya. "Tetapi ia memaksa menunggu
engkau." "Polisi telah membawa aku ke rumah sakit," kata Frank. "Aku diperiksa lengkap
dengan sinar X. Tak ada gegar otak atau semacam itu. Tetapi aku harus akui,"
katanya sambil tersenyum masam, "bahwa kepalaku pusing sekali."
"Sersan Moore memberitahu tentang pendobrakan apartemen Radley dan keadaan Sam,"
kata pak Collig. "Aku yakin, bahwa bangsat-bangsat itu merupakan penjahat
profesional. Tidak mudah untuk dilacak. Kalian memiliki alat pengaman pencurian
yang paling rumit, namun mereka mampu pula menjinakkannya tanpa kalian ketahui.
Untuk hal demikian diperlukan seorang ahli elektronik!"
"Anda benar, pak," kata Frank. "Dan untuk kedua kalinya, penjahat-penjahat itu
menyebut seekor naga. Apakah anda tahu apa hubungannya dengan naga itu?"
Kepala polisi menggeleng.
"Tidak. Aku belum pernah mendengar hal itu."
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau melihat Sam, Frank?" tanya Joe dengan khawatir.
Frank menggeleng. "Ethel tidur di depan, dan aku tak ingin mengganggu dia. Seorang jururawat
mengatakan kepadaku, bahwa keadaan Sam belum berubah."
Pak Collig berdiri. "Tak ada sesuatu yang dapat dilakukan di sini untuk sementara waktu," katanya.
"Satu pertanyaan lagi, Joe. Apakah engkau berhasil melihat nomor lisensi mobil
hitam itu?" "Aku tak berhasil mendekatinya," jawab Joe. "Aku takut kalau mereka melihat aku
terlalu dekat." Pak Collig mengangguk. "Itu bijaksana. Tetapi kita hanya mempunyai petunjuk sangat sedikit, kecuali
salah seorang bangsat, Slicer, bertubuh kecil dan wajahnya penuh bekas luka.
Yang lain namanya Cari. Dan sesuatu tentang naga. Aku tak sungkan untuk
mengatakan, bahwa aku senang ayahmu akan pulang hari ini. Bukannya aku tidak
menghargai bakat-bakatmu, anak-anak, tetapi aku mencurigai mereka adalah
gerombolan yang sangat berbahaya!"
Frank dan Joe sebenarnya selalu bangun pagi, tetapi pagi itu, karena lelah oleh
kejadian-kejadian malam sebelumnya, mereka tidur sampai jam sembilan. Mereka
masih akan tinggal di tempat
tidur kalau tidak terbangun oleh ramai-ramai di bawah.
Tiba di kamar depan, mereka bertemu bibi Gertrude.
"Kalian harus makan sarapan sendiri," bibi memberitahu. "Dan jangan mengganggu.
Pak Rogers sedang mulai mengganti permadani. Aku dan ibumu sedang memberes-
bereskan rumah agar pekerjaan itu dapat lekas dimulai."
"Kami tak akan mengganggu," Joe berjanji. "Kami akan pergi mengambil sepeda
motorku." Setelah kedua pemuda itu selesai makan dan sedang keluar, bibi Gertrude
menghambur masuk ke dapur, diikuti oleh pedagang permadani, pak Rogers, serta
seorang yang belum mereka kenal.
"Kami juga ingin dipasang permadani di sini," bibi menerangkan. Ia melemparkan
pandangan tajam kepada kemenakan-kemenakannya.
"Mau pergi?" ia bertanya.
"Ya," kata Frank. "Halo, pak Rogers."
"Halo kalian, Frank dan Joe. "Aku ingin memperkenalkan pembantuku yang baru, Ben
Edler." Orang yang tinggi besar berbahu bidang yang berwajah ramah dan murah senyum itu
mengacungkan tangannya. "Senang sekali mengenal kalian," katanya. "Aku sering membaca tentang kalian di
koran-koran California Kalian sungguh menunjukkan reputasi cemerlang."
"Engkau dari California?" tanya Joe.
"Aku tinggal di sana selama sepuluh tahun. Tetapi asalku dari Boston. Aku suka
California, tetapi saudara-saudaraku ada di bagian timur sini. Maka aku ingin
kembali kepada para leluhurku untuk sementara."
"Apakah Curt sedang cuti, pak Rogers?" tanya Frank. Curt Gutman adalah pembantu
pak Rogers dan tukang memasang permadani sejak beberapa tahun.
"Sedang pulang," jawab pak Rogers menggerutu. "Ia yang seharusnya bekerja di
sini, tetapi ketika pagi tadi aku datang di toko, kutemukan surat dari dia.
Katanya ia harus pergi ke Philadelphia, mengunjungi bibinya yang sakit keras.
Huh! Aku malah tak tahu sama sekali ia punya bibi. Tak pernah menyebutnya.
Untunglah, Ben datang dengan surat-surat rekomendasi dari salah sebuah
perusahaan yang terbaik dari daerah pantai barat.
Langsung saja kuterima."
"Aku akan ada di sekitar sini untuk beberapa hari," Ben menjelaskan. "Tetapi aku
akan berusaha keras untuk tidak menghalangi tugas-tugasmu."
"Yahh," seru bibi Gertrude. "Mana kerjaan yang bisa selesai kalau hanya omong-
omong saja! Kalian ini, anak-anak, katanya mau pergi?"
Frank mengedip ke arah Joe.
"Kami sudah berangkat, bibi!"
Mereka pergi dengan sedan sport kuning mereka. Ketika sudah dekat di daerah
pertanian Morton, Joe berteriak dengan mendadak. "Stop, Frank! Cepat!"
"Ada apa?" Frank menghentikan mobilnya di seberang jalan.
Joe tak mendengar kata-kata kakaknya. Ia memalingkan kepalanya ke belakang dan
tampak sebuah mobil abu-abu yang baru saja berpapasan menuju ke Bayport.
"Kukira, itu dia!" "Siapa?"
Joe kembali melihat ke depan, sambil memaki-maki.
"Ingat orang yang memukul aku di apartemen Sam" Si Slicer" Aku hampir pasti,
dialah yang mengendarai mobil itu!"
"Kalau begitu, kita kejar!" Frank mengusulkan.
"Tak mungkin menangkap dia," kata Joe muram. "Ia berjalan begitu cepat melebihi
batas kecepatan. Bagaimanapun, mungkin memang bukan dia. Aku hanya dapat melihat
sepintas." "Yah, kalau memang Slicer, mereka mempunyai mobil lebih dari satu!"
Joe mengangguk dan mereka turun keluar. Mereka dengan mudah menemukan tempat Joe
meninggalkan sepeda motornya. Ia sedang ber susah payah menarik motornya dari
semak-semak, ketika terdengar suara membentak: "Kalian melanggar hak milik
pribadi!" Seorang pemuda, tidak lebih tua dari mereka, muncul dari hutan. Joe tersenyum
kepadanya. "Kukira ini adalah bagian dari pertanian Morton."
"Bukan! Ini tanah Sayers!"
Joe menjelaskan tentang kehabisan bensin tadi pagi, dan terpaksa menyembunyikan
sepeda motornya di semak-semak. Tetapi pemuda itu menyela dengan kasar.
"Jangan cari alasan! Jangan menginjak tanah milik Sayers lagi! Kalau tidak
kalian akan menemui kesulitan."
Setelah memberikan peringatan itu, pemuda itu kembali merangkak-rangkak masuk ke
semak-semak. Joe memandangi Frank, tak tahu apa-apa.
"Nah, apa pikiranmu tentang ini?"
"Dugaanmu tentu sama denganku. Ia orang asing, itu dapat dipastikan. Tetapi aku
tak faham sikapnya. Engkau?"
Joe menggeleng. "Kukira orang Eropa Timur." "Ada lagi yang menjadi teka-teki
bagiku," kata Frank. "Tanah milik Sayers telah ditinggalkan selama bertahun-tahun,
kecuali Emile Grabb, penjaganya!"
4. Rencana yang Berbahaya
Joe mengisi bensin dan menghidupkan mesin sepeda motornya. Ia mendengar dengan
puas suaranya yang masih stabil. Rupa-rupanya motor itu tak terpengaruh oleh
cuaca malam. "Mari kita mampir di keluarga Morton," usul Frank. "Aku hanya sempat mendengar
sedikit kemarin dari Chet. Mungkin ada sesuatu yang tak kudengar mengenai Sam,
masih ada sesuatu yang ingat untuk mengatakannya. Mungkin ada petunjuk yang
penting." "Akur!" kata Joe.
Frank memasukkan mobilnya ke jalanan tanah yang menuju ke rumah pertanian,
diikuti oleh Joe dengan sepeda motornya. Adik Chet yang cantik berambut hitam, Iola, keluar dari
pintu dapur, menyeka-nyekakan tangannya pada kain kerjanya.
"Halo Frank, Joe. Chet sedang di luar dengan traktornya. Tetapi kukira ia segera
pulang. Masuklah. Aku baru saja membuat kue, kalian boleh mencobanya."
"Senang sekali," kata Joe sambil turun dari sepeda motornya. "Apakah kau kira
tidak lebih baik Chet yang harus mengujinya?" Ia jauh lebih berpengalaman
menguji rasa kue dari padaku."
Mata si cantik bersinar ketika tertawa.
"Wahh, pendapat dia tak bernilai banyak! Ia makan segala-galanya!
"Bagaimana dengan Sam?" Tanya Iola serius.
Baru saja Joe hendak mulai bercerita, ketika Chet masuk.
"Aduh, kue coklat!" serunya. "Tetapi engkau sudah memberikan sebagian besar
kepada mereka!" "Sebagian besar!" adiknya memprotes. "Lihat, mereka baru mendapat sepotong
kecil!" Chet berkedip-kedip kepada keduanya.
"Sepertinya besar benar potongannya," ia berkata, lalu memotong untuk dirinya
sendiri yang besar. "He, bagaimana dengan Sam?"
Kakak beradik itu memberitahukan apa yang mereka ketahui kepada Chet dan Iola,
mengenai keadaan Sam. Kemudian mereka memberitahukan peristiwa yang terjadi
sejak kemarin. Chet bersiul ketika mereka selesai berbicara.
"Ini buruk sekali! Ayah mengira ada dahan pohon yang patah menjatuhi kepala Sam,
hingga ia menderita gegar otak. Tetapi dokter Kelly tak mengatakan begitu, ya?"
"Tak ada cedera sama sekali di kepala," kata Joe.
"Halo, anak-anak," terdengar suara menggelegar, ketika pak Morton masuk ke
kamar. Ia diikuti oleh bu Morton. "Senang bertemu kalian. Bagaimana dengan Sam?"
Sekali lagi kakak beradik itu mengulang cerita mereka. Petani itu menggelengkan
kepala. "Nah, kuharap saja ia segera sembuh dari penyakitnya yang entah apa itu."
"Eh, pernahkah ayah dengar sesuatu tentang orang-orang baru yang menyewa tanah
milik Sayer?" tanya Iola.
"Tak sepatah kata pun. Benarkah itu" Sudah beberapa tahun aku menginginkan
tetangga. Senang juga punya teman yang dekat, untuk saling mengobrol dan saling
mengunjungi." "Kukira mereka tak sedemikian ramah, kalau dipandang dari orang-orang yang telah
kami jumpai," kata Joe. Ia lalu melanjutkan bercerita tentang pemuda yang telah
mengancam mereka di hutan.
Pak Morton mengusap-usap dagunya.
"Kedengarannya tak begitu ramah. Tetapi kukira mereka memang punya hak untuk
melarang orang-orang yang memasuki tanah miliknya."
"Eh, aku hampir lupa, ayah! Aku melihat jejak-jejak anjing liar di dekat kandang
domba," kata Chet. Sekali lagi ia memotong kue buatan Iola.
"Kukira pagar kawat yang tinggi itu dapat menahan mereka di luar," kata pak
Morton. "Tetapi mereka semakin menjadi berani."
"Kukira anda menyukai anjing, pak," kata Joe.
"Memang, tetapi tak dapat kukatakan, bahwa aku menyukai kawanan liar yang
terbentuk empat tahun yang lalu. Ada dua atau tiga ekor memulai hidupnya di
hutan. Kukira mereka melarikan diri dari pemilik pemiliknya yang kejam. Pada
mulanya mereka tidak menyulitkan. Tetapi kini kawanan itu telah menjadi sekitar
lima belas ekor. Mereka selalu mengganggu domba dan ayam-ayam kami. Kasihan
mereka itu, sebenarnya mereka dalam keadaan yang menyedihkan. Kebanyakan
mengidap penyakit-penyakit. Aku sudah memohon kepada Dewan Kota untuk membersih-
kan mereka, tetapi mereka belum juga mau melaksanakannya. Aku khawatir, akhirnya
kawanan itu berani menyerang manusia!"
"Itu pikiran yang mengerikan!" Frank melirik ke arlojinya. "Bu, bolehkah aku
menggunakan telepon untuk menelepon ke rumah?"
"Silakan. Engkau tahu di mana tempatnya. Silakan."
Frank dan Joe menuju ke kamar depan, ke tempat telepon. Frank memutar nomor
telepon rumahnya dan ibunya yang menjawab.
"Pulanglah segera dan jemput aku," kata ibunya. "Jack Wayne baru saja berbicara
melalui radio. Pesawat ayahmu sudah setengah jam penerbangan lagi dari lapangan
terbang Bayport." "Kami segera berangkat, bu," kata Frank.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, mereka berangkat. Lima belas menit kemudian
mereka telah berhenti di halaman rumah mereka.
Mereka lari masuk ke rumah, di mana ibunya telah siap menunggu.
"Tunggu sebentar," kata Frank sebelum keluar dari pintu depan. "Aku hendak
mengambil tape recorder. Mungkin kita dapat merekam ra-cauan Sam." Ia lari naik
ke atas, hampir saja menabrak Ben Ebler yang sedang memasang karpet di ruang
atas. "Sorry!" katanya.
"Jangan kuatir," kata orang itu.
Beberapa saat kemudian Frank memacu mobil ke Elm Street.
"Pikiran yang bagus untuk membawa tape recorder," Joe memuji kakaknya. "Mudah-
mudahan saja berhasil."
Ketika mereka melangkah di halaman parkir dekat terminal, Bu Hardy menunjuk ke
atas sambil berkata: "Ini yang kusebut pengaturan waktu yang tepat."
Kedua pemuda itu mengikuti arah yang ditunjuk dan melihat pesawat Skyhappy Sal,
pesawat Jack Wayne yang bersayap keperak-perakan sedang meluncur turun. Jack
selalu mengemudikan pesawat itu bila sewaktu-waktu diperlukan oleh pak Hardy.
Pada saat Bu Hardy bersama anak-anaknya berjalan di terminal, pesawat itu sedang
menggelinding ke gedung tersebut.
Fenton Hardy yang pertama-tama turun. Setelah memeluk isterinya, ia berpaling
kepada kedua anak-anaknya.
"Ada perbaikan dengan keadaan Sam."
"Sepengetahuan kami belum," jawab Joe. "Tetapi hari ini kami belum mengeceknya."
"Kalau begitu nanti kita ke rumah sakit, sesegera mungkin." Detektif itu
berpaling ke pilot yang sedang turun dari pesawat. "Jack! Kami akan mengantarkan
engkau pulang, agar dapat istirahat yang cukup."
"Terima kasih, Fenton. Tetapi pergilah lebih dulu. Aku akan meninggalkan pesan
dulu agar pesawat diservis." kata Jack Wayne.
"Engkau capai?" tanya bu Hardy kepada suaminya, sementara mobil melaju keluar
dari tempat parkir. Pak Hardy menyandar ke belakang dan tersenyum. "Aku dapat tidur di pesawat, Jack
sungguh mahir menerbangkan pesawat dengan lembut."
"Seperti berbaring di udara, ya ayah?" kata Joe.
Semua tertawa, kemudian Bu Hardy menanyakan apakah suaminya dapat tinggal di
rumah untuk beberapa waktu.
Pak Hardy menghela napas.
"Aku tak pasti kapan aku mendapat panggilan lagi. Perkara di Alaska sudah
selesai, dan pihak FBI tinggal melanjutkan menurut petunjuk-petunjuk yang telah
kuperoleh." "Dapatkah engkau menceritakan perkara itu, ayah?" tanya Frank.
"Ya. Tetapi harus kukatakan kepadamu, kalian harus tutup mulut. Komplotan itu
sungguh bagaikan setan, hampir-hampir tak dapat dipercaya. Kalau peristiwa ini
sampai ditulis di koran, masyarakat dapat menjadi panik."
"Sebegitu serius?" tanya Bu Hardy.
"Boleh kukatakan, penghancuran pipa minyak di Alaska tentu benar-benar serius,"
jawab suaminya dengan tenang.
"Pipa minyak Alaska!" seru kedua anaknya.
"Tidak lain. Beberapa minggu yang lalu Pihak Intel menangkap berita aneh, bahwa
Burl Bantler, seorang kiriminal Amerika, telah berhubungan dengan pemerintah
asing yang bermusuhan dengan kita. Ia menyatakan sanggup menghancurkan instalasi
pipa minyak di Alaska dengan senjata rahasia."
"Rupa-rupanya, sebuah negara, kami tak tahu yang mana, membayar usaha itu, sebab
Bantler baru-baru ini terlihat di Alaska. Hanya sejauh itu yang kuketahui."
"Apakah kaukira ia masih ada di sana?" tanya isterinya dengan khawatir.
"Tidak. Rupanya aku kehilangan dia di Nome, terlambat beberapa jam. Sekarang ia
ada di luar negeri, tetapi menurut cerita ia akan kembali dengan senjata rahasia
tersebut." "Itu harus dicegah!" seru Bu Hardy.
Suaminya mengangguk. "Ia membual, bahwa ia tidak hanya sanggup meledakkan sebagian dari pipa itu,
tetapi seluruh jaringannya. Tak perlu kukatakan, bagaimana akibatnya pada negara
kita." "Sebagian besar cadangan minyak kita akan lenyap," komentar Frank. "Kalau pipa
itu selesai dibangun kembali, berarti akan memakan waktu beberapa tahun lagi."
"Betul," kata pak Hardy dengan geram.
"Bagaimana ayah tahu, kalau Bantler tidak beromong-kosong" tanya Joe. "Mungkin
saja senjata rahasia itu tidak pernah ada."
"Itu mungkin," detektif itu mengakui. "Terutama bila diingat, bahwa Bantler,
selain giat di bidang kriminal, adalah juga seorang penipu. Tetapi aku sangsi
apakah ia berani mencoba hal demikian dengan pemerintahan asing."
"Yang kedua," sambung pak Hardy, "Bantler belum pernah terlibat dalam masalah
mata-mata. Aku tak percaya bahwa ia berani melibatkan diri kalau ia tidak benar-
benar menguasai senjata tersebut. Ketiga, mengapa ia harus pergi ke Alaska
setelah menghubungi pemerintah-pemerintah asing itu" Kalau keseluruhannya itu
merupakan permainan di bawah tangan, ia tentu akan menyembunyikan diri setelah
mendapat uangnya. Atau, yang kukira lebih masuk akal, ia tak akan bisa menerima uang itu kalau
tidak mempunyai bukti yang meyakinkan, bahwa ia dapat menyerahkan senjata
tersebut." Wajah detektif termashur itu menjadi keras bagaikan batu karang. Orang ini harus
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditangkap. Kalau tidak, negara kita akan menghadapi kesulitan yang sangat parah."
5. Sabotase Di Lapangan Terbang "Sayang sekali bahwa Sam cedera dalam saat-saat seperti ini," kata pak Hardy,
ketika mereka masuk ke rumah sakit Bayport. "Tidak hanya karena ia teman baik,
tetapi juga ia pernah menangkap Bantler. Tentu ia mampu mengenalinya. Aku
sendiri belum pernah melihat orang itu, dan aku tak banyak tahu bagaimana rupa
orang itu." "Tidakkah ayah tahu ciri-cirinya?" tanya Frank tak mengerti.
"Yang aku tahu orangnya bertubuh besar," jawab ayahnya. "Tahukah engkau, Bantler
adalah ahli menyamar. Dan Sam, seperti yang kauketahui, adalah penyelidik ahli
yang mengenali setiap penyamaran. Barangkali yang terbaik di negeri kita."
Ethel Radley kelihatan gelisah dan lelah ketika Frank dan Joe bersama orangtua
mereka masuk ke kamar rumah sakit. Di sekeliling matanya tampak kerut kehitam-
hitaman. "Ia tak juga berubah," katanya, ketika ditanya tentang keadaan suaminya.
"Kelihatan lebih tenang, tetapi tetap juga belum sadar."
Fenton duduk di dekat tempat tidur dan berbicara kepada Sam untuk beberapa
menit, tetapi tak ada jawaban dari si sakit, kecuali racauan yang tak dapat
ditangkap maksudnya. Akhirnya detektif itu bangkit sambil menghela napas
panjang. "Mari kita temui dan berbicara dengan dokter Kelly."
"Joe dan aku ingin di sini saja, ayah," kata Frank, "dan merekam apa yang
dikatakan Sam." Pak Hardy mengangguk dan meninggalkan kamar bersama isterinya serta Ethel
Radley. Frank mengecek pesawatnya apakah dalam keadaan baik sebelum meletakkannya di
dekat bantal Sam. Kemudian ia dan Joe duduk bersandar di kursinya. Tetapi
ternyata kini Sam malah tenang.
Setelah lewat lima belas menit, keheningan itu dipecahkan oleh dering telepon.
Kedua pemuda itu melompat terkejut.
Joe meraih pesawat telepon.
"Keluarga Hardy?" terdengar suara kasar.
"Siapa ini?" tanya Joe dengan tajam.
"Engkau Joe, ya" Hanya hendak memberitahu, lepaskanlah perkara ini. Jangan ikut
campur lagi. Apa yang kaulakukan itu berbahaya!"
Joe mengenali suara itu. "Kami tak menghiraukan ancaman-ancaman itu, Slicer."
Terdengar suara tergagap, kemudian lalu mendenging ketika pesawat di sana
diletakkan. Joe perlahan-lahan meletakkannya kembali sambil menggeleng-geleng.
"Aku berbuat salah. Seharusnya aku tidak boleh menyebut-nyebut nama. Tetapi
kudengar temannya memanggil demikian kemarin malam."
"Ia mungkin tak sadar bahwa namanya disebut-sebut selama perkelahian itu," kata
Frank. "Atau mungkin ia mengira engkau tak mendengarnya."
Joe mengangguk dengan muram.
"Kini dia tahu bahwa kita tahu namanya."
Beberapa menit kemudian pak Hardy kembali ke kamar itu.
"Dr. Kelly merasa yakin bahwa Sam akan sadar, cepat atau lambat," katanya. Ia
memandang dengan iba ke orang yang terbaring. "Kuharap saja lebih cepat. Ada
yang sudah kau-rekam?"
"Pitanya baru saja habis," kata Frank. "Aku tak tahu apakah berisi, karena
telepon telah berdering. Akan kita pelajari nanti di rumah."
Ia menceritakan kepada ayahnya tentang telepon dari Slicer, kemudian telepon
berdering lagi. Ketiga-tiganya memandangi pesawat itu.
"Apa kira-kira Slicer lagi?" tanya Joe.
"Hanya ada satu jalan untuk mengetahuinya," kata detektif itu lalu mengambil
gagang telepon. "Fenton Hardy di sini" O, engkau, John! Bagaimana engkau dapat
tahu aku ada di sini" Gertrude yang mengatakannya" Ya, ada apa" Apa" Bagus!
Mungkin itulah justru yang kita tunggu-tunggu! Chicago! Bagus, aku akan menemui
engkau di sana. Selamat!"
Kakak beradik itu memandang ayah mereka dengan penuh harapan ketika gagang
telepon diletakkan. Tetapi ayahnya mengangkat tangannya lalu memutar nomor
telepon lagi. "Halo, Jack. Menyesal harus mengganggu engkau lagi. Tetapi FBI baru saja
menelepon. Ya. Aku khawatir, kita harus segera berangkat lagi. Apakah aku perlu mendapat pilot
lain untuk kali ini" Tidak" Oke, aku sangat menghargai. Aku memang lebih senang
terbang bersamamu dari pada dengan orang lain. Aku segera ke airport.
Kita ketemu di sana. Belum, belum ada perubahan pada Sam. Sampai nanti."
"Kalian berdua, siapkan mobil di depan pintu. Aku akan ke sana lima menit lagi,
setelah aku berbicara dengan ibumu."
Kakak beradik itu penuh pertanyaan, tetapi mereka telah terlatih untuk bertindak
cepat dan mematuhi perintah dalam waktu darurat. Mereka membalikkan tubuh tanpa
berkata apa-apa serta meninggalkan ruangan.
Baru saja Frank menghentikan mobilnya di depan rumah sakit, segera pak Hardy
berlari-lari ke luar. Ia melompat ke tempat duduk belakang dan mereka segera
meluncur di Main Street. "Ke rumah sebentar, tunggu, sementara aku mengemasi pakaian," kata pak Hardy.
"Kemudian kita terus ke airport. Aku harus ke Chicago. Tadi agen FBI John
Mortini yang menelepon. Seorang teman Burl Bantler tertangkap. Ia bertemu Bantler sebulan yang lalu,
tetapi belum mau berbicara."
"Setelah mengantar ayah, apakah kita kembali ke rumah sakit untuk menjemput
ibu?" Tanya Joe. "Tidak usah. Ibumu ingin menemani Ethel sore ini. Dokter Kelly akan mengantarkan
pulang kalau sudah selesai dinasnya, nanti jam lima."
Ketika mereka tiba di depan rumah keluarga
mereka di Elm Street, sebuah mobil yang diparkir di tepi jalan baru saja
berangkat. Bibi Gertrude sedang memangkas pohon-pohon mawar di depan. Pak Hardy bergegas ke
arahnya. "Aku tak punya waktu untuk berbicara, Gertrude. Anak-anak akan memberitahu
kepadamu apa yang sedang terjadi..." seraya terus masuk
ke dalam. Frank dengan segera berkata kepada bibinya perihal pencarian Burl Bantler dan
kepergian ayahnya ke Chicago.
Bibi menghela napas. "Ia selalu bepergian saja. Aku tahu, apa yang dilakukan memang sangat penting,
tetapi ia harus mendapat istirahat sewaktu-waktu. Ia belum pernah berlibur
selama bertahun-tahun!"
"Siapa tadi yang ada di dalam mobil yang pergi itu?" tanya Joe. "Rupanya
sopirnya tergesa-gesa."
"Ben Ebler," kata bibi. "Ia barusan menerima telepon sebelum kalian datang. Ia
menjadi pucat dan lari sambil berteriak kepadaku, bahwa ia harus berangkat
karena keadaan darurat. Ia akan kembali besok."
"Orang yang malang," kata Joe. "Kuharap saja jangan ada kesulitan."
Pak Hardy lari ke luar, di bawah lengannya
dikepitnya pakaian-pakaiannya. Ia mencium dahi bibi lalu melompat ke mobil.
Bibi melemparkan pandangan memuji sementara Frank menghidupkan mesin mobilnya.
"Engkau nampak pucat dan letih. Semua perjalanan ini membuat kesehatanmu kurang
baik. Kukira engkau belum makan siang."
"Jangan khawatir. Aku berjanji untuk makan bistik yang banyak kalau sampai di
Chicago," kata pak Hardy. "Yang banyak sayurannya!" seru bibi, ketika mobil itu mundur untuk keluar ke Elm
Street. "Bibi merawat engkau seperti merawat kami, ayah," kata Joe seenaknya.
"Aku justru khawatir kalau ia tidak demikian," kata detektif itu sambil melambai
ke adiknya. "Nah, sekarang ada beberapa hal yang kuminta kalian lakukan
untukku," ia berkata, tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam tasnya.
"Sebelum aku meninggalkan Alaska aku minta kepada FBI untuk meminta kepada semua
kantor polisi, agar mengirimkan data-data lengkap mengenai Bantler ... apa saja,
bagaimana pun tidak pentingnya. Semua informasi itu akan dikirimkan ke rumah,
karena aku tak tahu berada di mana sewaktu-waktu. Itulah tugasmu untuk menerima
dan menyusunnya, hingga kalian dapat memberitahukan kepadaku secara singkat
kalau aku menelepon."
"Kapan itu ayah?" tanya Frank.
"Tak dapat kukatakan setepatnya. Akan kuatur setiap hari, mungkin lebih sering
lagi. Tetapi aku tak tahu pada jam berapa."
Mereka langsung menuju ke hanggar, bukan seperti biasanya ke tempat parkir di
dekat terminal. Ketika mereka keluar, mereka melihat Jack Wayne berwajah merah
dengan tangan kalang kabut memaki-maki Sy Kramer, kepala montirnya. Kakak
beradik itu belum pernah melihat ia sedemikian marah.
"Engkau tahu, Sy, hanya engkau, aku dan montir-montirmu saja yang boleh
menyentuh pesawat ini! Tak ada orang lain lagi!" Jack menggelegar.
"Apa masalahnya?" tanya pak Hardy.
"Ada orang kemari memakai pakaian kerja putih. Katanya ia kuperintah menservis
Sky happy Sal. Ia menunjukkan surat palsu, surat perintah," Jack berteriak. Ia
kembali berpaling ke Kramer. "Sy, tak teringatkah engkau untuk menelepon aku,
mencari tahu apakah benar orang itu kusuruh kerja pada pesawat?"
"Ya, sepertinya semuanya beres-beres saja!" montir kepala itu menjawab
kebingungan. "Beres-beres saja!" pilot itu meledak. "Seperti ...."
"Aku yakin, Sy bertindak benar," kata pak Hardy tenang, meskipun wajahnya nampak
menegang. "Bagaimanapun sudah terlambat sekarang. Apa yang harus dikerjakan
selanjutnya, Jack?" "Aku menyesal untuk menunda keberangkat-an. Tetapi engkau harus akui, ini sangat
mencurigakan! Aku harus periksa seluruh pesawat dulu, dari hidung pesawat sampai
ke ekor!" "Engkau benar!" pak Hardy membenarkan.
Sementara pilot itu melangkah masuk ke hanggar, pak Hardy berpaling ke Kramer.
"Sy, apa yang kauingat tentang montir palsu itu?"
"Yaa, suaranya kasar. Orangnya kecil, kira-kira satu meter lima puluh lima,
kukira. Tetapi kuat, berotot. Wajahnya penuh bekas luka!"
Kakak beradik itu saling berpandangan.
"Slicer," seru Frank. "Ayah ingat" Orang yang kami ceritakan itu?"
"Aku ingat," kata ayahnya. Wajahnya geram. "Mula-mula ia mengaduk-aduk rumah
kita. Kini ia mencoba lakukan sabotase atas pesawatku. Aku ingin tahu, mengapa?"
Sementara itu Jack dan Sy mengurusi pesawat. Pak Hardy dan anak-anaknya pergi ke
terminal untuk melaporkan kejadian itu kepada polisi.
Setengah jam kemudian, ketika mereka kembali ke hanggar, Jack menjumpai mereka.
Pakaian kerja berlepotan minyak.
"Untunglah Sy menyebut-nyebut nama itu," katanya. "Aku temukan sebuah kebocoran
kecil pada pipa bahan bakar. Sedemikian kecilnya. Untung saja aku melihatnya!"
"Apa yang akan terjadi kalau kau tidak melihatnya!" kata pak Hardy.
"Kita akan kehabisan bensin setelah satu jam atau lebih sedikit. Itu berarti di
daerah Great Lakes. Kalau masih ada lapangan terbang di sekitarnya, aku masih
bisa mendarat. Tetapi kemungkinan besar kita harus mendarat secara darurat di air danau itu!"
6. Anjing-anjing Ganas Wajah Pak Hardy sekali lagi nampak geram Tetapi tetap tenang,
"Ada lagi yang kurang beres, Jack?"
"Pesawat sudah beres sekarang, pak!" jawab Pilot itu. "Aku berani pertaruhkan
jiwaku." ia tersenyum. "Kalau dipikir-pikir, memang itulah pekerjaan yang harus
kulakukan, bukan?" Detektif itu menyambutnya dengan tersenyum pula.
"Kalau kau katakan Sky happy Sal dalam keadaan baik seharusnya demikian. Nah,
mari kita berangkat!"
Kakak beradik Hardy memandangi pesawat yang berada menuju jalur landasan terbang
ke ujung landasan. Sebentar kemudian pesawat itu menderu di sepanjang landasan
beton hingga naik ke udara yang cerah tidak berawan, menuju ke arah barat.
"Ayah telah ajukan pertanyaan yang sangat mahal," kata Frank sambil berjalan
kembali ke mobil. "Apa itu?" tanya Joe.
"Mengapa Slicer melakukan sabotase pada pesawatnya" Apa kejadian ini ada
kaitannya dengan perkara Bantler?"
"Itu mungkin sekali!" Joe mengakui.
Dalam perjalanan pulang, mereka melihat bentuk badan yang telah mereka kenal di
Main Street. Orang itu sedang menendang-nendang ban roda mobilnya, sebuah mobil
tua yang tak keruan bentuknya. Mereka minggir ke tepi jalan dan Joe berseru:
"Chet, sedang apa engkau?"
Chet menendang ban mobilnya dengan tendangan terakhir yang keras, lalu mendongak
memandangi mereka. "Barang rongsokan goblok ini menyusahkan aku lagi!"
Kakak beradik itu tertawa.
"Mobil itu bukan manusia, Chet," kata Frank. "Tak tahu apa yang dilakukan."
"Atau yang tidak dilakukan," sambung Joe tersenyum.
"Heh, mobilnya tahu apa yang dilakukan," Chet menggerutu. "Aku bilang, barang
rongsokan ini memang dendam padaku. Untunglah, aku bertemu orang yang lebih
ramah dari kalian." "Aku khawatir, nak, engkau mengalami kesulitan dengan karburatormu," kata Ben
Ebler. "Ah ... halo ... Frank dan Joe. Kalian kenal orang muda yang malang itu?"
"Kami telah mengetahui dia yang makan apa saja semenjak di Taman Kanak-Kanak,"
Joe menjelaskan. "Dan masih akan melihatnya makan untuk selama hidup kami."
"Aku masih terus bertumbuh," Chet membela diri.
"Ke segala arah," kata Frank, melirik ke perut temannya.
"Pelatih tak akan senang kalau engkau bermain sepakbola."
"Ah, aku sudah akan menjadi fit pada permainan yang pertama," jawab Chet
seenaknya. "Eh, bagaimana kalau kalian membawaku ke Garasi Gordon?"
"Apa maumulah," kata Joe.
Ia membuka bagasi dan mengeluarkan tali untuk menarik. Kemudian Frank
menempatkan mobilnya di depan mobil Chet.
"Apakah engkau perlu kuantarkan?" Frank bertanya kepada Ben, sementara Chet dan
Joe memasang tali penarik.
"Tidak usah. Terima kasih," jawab Ben. "Hanya dekat saja."
Bibi Gertrude khawatir karena engkau harus pergi dengan mendadak sore hari ini,"
kata Frank. "Kuharap saja tidak terlalu menyusahkan."
"Masalah keluarga dari luar kota," orang itu menjelaskan. "Tetapi semuanya sudah
beres sekarang. Tolong katakan kepada bibimu, aku akan datang ke rumahmu besok
pagi-pagi." Ia melambaikan tangan dan pergi berjalan kaki di jalan.
"Orang baik," kata Joe sambil melompat masuk ke mobil, sementara Chet duduk di
belakang kemudi mobil tuanya. "Menolong orang yang tak dikenal sama sekali,
kukatakan benar-benar berhati baik."
Di bengkel, Pak Gordon nampak masam setelah selesai memeriksa mesin.
"Si Ebler itu tepat sekali dugaannya, Chet. Perlu diganti karburatornya. Aku tak
punya persediaan. Diperlukan paling tidak seminggu untuk memperolehnya."
Setelah pak Gordon menyebutkan harganya, Chet kelihatan murung. "Aku jadi
kehilangan selera," katanya kepada Frank. "Dapatkah engkau mengantarkan aku
pulang?" "Kata-katamu adalah perintah bagiku," kata Frank. "Tetapi Joe yang menjadi
sopirmu. Aku hendak pulang untuk melihat apakah ada apa-apa yang terekam dari
Sam." Mereka naik ke mobil, dan Joe berusaha menghibur temannya. "Barangkali engkau
dapat mencari tambahan uang dengan memangkas rumput," ia menyarankan.
Chet menarik napas. "Engkau tahu berapa halaman rumput yang harus kupangkas untuk dapat membeli
karburator" Itu berarti akan memakan waktu seluruh musim panas!"
Frank tertawa. "Tapi itu akan menghindarkan engkau dari kesedihan!"
Chet melemparkan pandangan yang mengharukan, sementara Joe mengerem di depan
halaman rumah mereka untuk menurunkan Frank. Kemudian kedua pemuda itu
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanjutkan perjalanan ke pertanian Morton. Baru saja Joe hendak membelokkan
mobilnya ke jalanan tanah yang menuju ke pertanian, ia mendengar jeritan minta
tolong. "Ada orang minta tolong." seru Joe, melewati jalan yang menuju ke pertanian.
Mereka lewat di sebuah jembatan kecil, dan tiba di tempat yang mereka perkirakan berasal dari
jeritan tersebut. Tetapi mereka tak melihat seorang pun.
"Jangan-jangan hanya orang yang melawak," kata Chet.
"Lebih baik kita periksa, "kata Joe, kepalanya keluar dari kaca jendela mobil.
Ia mematikan mesin, kemudian Chet pun mendengar jeritan itu.
"Datangnya dari hutan," kata Joe, "ayo ke sana!"
Ia berlari di antara pepohonan, diikuti rapat oleh Chet yang ternyata dapat
bergerak gesit meskipun tubuhnya besar. Mereka telah menempuh beberapa ratus
meter, hingga sampai di tempat sedikit terbuka. Seorang wanita muda bersandar
pada sebuah pohon dan memandang ketakutan ke sekawanan anjing liar. Anjing-
anjing tersebut, dengan moncong penuh liur, menggeram-geram seraya maju
perlahan-lahan. "Jangan teriak lagi!" seru Joe kepada gadis itu.
Ia maju beberapa langkah mendekati anjing-anjing tersebut lalu melompat-lompat
dan berteriak. Anjing-anjing itu membalikkan tubuh. Rupanya binatang-binatang tersebut
kekurangan makan dan tubuhnya luka-luka. Beberapa di antaranya demikian
kurusnya, hingga tulang-tulang
rusuknya menonjol. Joe tahu bahwa hewan-hewan itu harus dikasihani, tetapi apa
yang dirasakannya hanya ketakutan. Ia berharap bahwa binatang-binatang itu akan
melarikan diri ketika ia bersama Chet bergerak maju. Tetapi tampaknya mereka
menganggap kedua pemuda itu sebagai lawan baru yang lebih baik. Seekor anjing
mastiff coklat-putih kotor, merupakan kepala kawanan, mendesak kawanannya, maju
menyerang Joe. Chet sementara itu berhasil melarikan diri dengan ketakutan. Joe
berpikir cepat. "Aku akan menarik perhatian mereka!" serunya kepada Chet. "Bawa dia ke mobil
kita dan carilah bantuan!"
Ia lalu berlari masuk semakin dalam ke hutan, dikejar anjing-anjing kelaparan,
yang kini mulai meraung-raung tergugah oleh naluri memburu mangsa.
Chet cepat bereaksi. Ia lari ke gadis yang ketakutan itu lalu menangkap
pergelangan tangannya. "Ayo!" serunya dan mengguncang guncang -kannya melepaskan gadis itu dari
kebekuannya karena takut. Bersama-sama mereka lalu berlari ke arah mobil.
Setiba di mobil, Chet lari mengitar ke tempat pengemudi. Namun kakinya
terserimpat tumbuhan jalar dan jatuh terbaring ke tanah. Chet meng gelepar
hendak bangun, dan ketika ia berhasil duduk di belakang setir, ternyata gadis
itu sudah menghilang. Ia melihat ke sekeliling, tetapi tak mendapatkan jejak
gadis itu. Dengan cepat ia memundurkan mobil dan melaju ke jalanan yang menuju ke pertanian
ayahnya. Ia melompat turun dan menghambur masuk ke kamar tamu, di mana Iola dan ayahnya
sedang membaca koran. "Joe dikejar anjing di hutan!" ia berseru.
Pak Morton melompat bangun tanpa bicara dan segera membuka kunci almari
senapannya. Iola lari mengambil jaket, sementara Chet menelepon ke rumah keluarga Hardy.
Frank yang menyambutnya. Chet menceritakan kepada Joe dan Frank berjanji akan
segera datang. Chet baru saja meletakkan gagang telepon, ketika Iola lari
kembali ke kamar tamu, sementara ayahnya telah selesai mengisi senapan.
Ketiganya lari ke mobil Frank. Chet yang mengemudi, kembali ke tempat mereka
tadi masuk ke hutan. Ia heran melihat gadis itu ada di sana, bersama seorang
pemuda. Keduanya berlari-lari menyongsong mereka.
"Temanku Tonio," kata gadis itu tersengal-sengal, menunjuk ke temannya. "Ia tahu
jalanan di hutan." "Sebab itukah engkau pergi?" tanya Chet, sementara adik dan ayahnya turun dari
mobil. Gadis itu mengangguk. "Ia dapat banyak membantu."
"Aku dapat mengikuti jejak," kata Tonio. "Aku dibesarkan di daerah yang
berhutan. "Chet mendengar, bahwa pemuda itu pun berbicara dengan lafal asing.
"Kami membutuhkan segala bantuan," kata pak Moton.
"Chet, di sinikah engkau masuk ke hutan!"
"Betul. Ayah dapat melihat bekas kami menerjang semak-semak."
"Ayo, engkau tunjukkan jalan!"
Chet masuk ke semak-semak, diikuti yang lain-lain. Segera mereka sampai di
tempat terbuka, di mana ia dan Joe menemukan gadis itu. Tetapi kini tak ada
bekas-bekas binatang maupun Joe.
"Apa sekarang?" tanya Chet tak berdaya. "Aku tak ingat ke mana larinya Joe."
"Tunggu!" kata Tonio sambil mengangkat tangannya.
Mereka menahan napas. "Aku tak mendengar apa-apa kecuali suara burung," kata Iola akhirnya.
"Aku juga," kata Tonio. "Aku tadi menyangka mendengar suara raungan anjing. Aku
harus mencari jejak mereka."
Ia berjalan berkeliling di tempat itu beberapa saat, matanya tertuju ke tanah.
Dua kali ia keluar ke jurusan tertentu, tetapi setiap kali ia kembali lagi,
kepalanya digeleng-gelengkan.
"Kukira jejak, ternyata bukan."
Keheningan dipecahkan oleh suara deru lemah dari jalan, makin lama makin keras.
Akhirnya mereka mengenali suara sepeda motor. Mesin motor itu tak terdengar
lagi, tetapi mereka mendengar seruan Frank.
"Chet!" "Di sini, Frank!" jawab temannya. Dalam beberapa saat Frank menghambur masuk.
Chet dengan singkat menjelaskan bahwa gadis itu dan Tonio datang untuk membantu
mencari Joe. Frank mengenali Tonio sebagai pemuda yang marah-marah dan menghardik Joe dan dia
pagi itu juga. Tetapi ia diam saja.
"Aku menemukannya!" seru Tonio. "Mari!" Mereka mengikuti dia ke dalam kelebatan
pohon-pohonan. Kabut tebal telah turun di hutan itu, dan cuaca semakin menjadi gelap dengan
cepat. "Kuharap saja ia dapat melihat jejak itu," bisik Chet kepada Frank. Matanya
tertuju kepada Tonio, yang membungkuk bungkuk sambil melangkah maju.
Setelah keluar dari tempat terbuka-Joe ber-
hasil mendahului kawanan anjing. Ia lari sekencang-kencangnya. Ia menjadi lelah,
dan ia tahu tak dapat mempertahankan jarak. Anjing-anjing itu semakin dekat.
Pemimpinnya sudah mulai menyambar-nyambar tumitnya.
Kira-kira satu mil dari tempat terbuka, Joe sampai pada sebuah sungai yang deras
alirannya, yang membatasi tanah milik Morton dengan milik Sayer. Ia menghadapi
pilihan, apakah harus terjun dan berenang ke seberang atau tidak. Banyak dari
kekuatannya telah hilang. Ia lalu menjangkau dahan yang rendah lalu menaikkan
dirinya ke atas. Kepala kawanan itu melompat dengan nekad, tetapi moncongnya
menangkap angin, satu senti dari kaki Joe.
Joe berhenti sejenak, memulihkan tenaganya. Kemudian ia naik lagi dua dahan di
atasnya. Di bawah, binatang-binatang itu meraung-raung untuk beberapa menit. Kemudian
mereka diam, menunggu mangsanya turun lagi.
"Jangan sekarang, bung!" kata Joe kepada anjing-anjing itu.
Pohon-pohon itu tumbuh sangat rapat di se-panjang tepi sungai.
"Mungkin aku dapat menjauhkan diri dengan berpindah dari pohon ke pohon," pikir
Joe. Dengan hati-hati ia meraih dahan pohon di sebe-
lahnya. Kemudian ia mengayunkan tubuhnya berpindah.
Para pengejarnya mengikuti dengan tanpa bersuara, hingga mereka ada di bawah Joe
lagi. Joe berpindah ke pohon yang satu, kemudian ke pohon yang lain. Tetapi ia selalu
terus diikuti. Joe berhasil dengan selamat melalui sepuluh batang pohon, tetapi yang kesebelas
salah perhitungan. Dengan segera ia menyadari. Pohon itu telah lama mati, dan
hanya memerlukan angin yang cukup kuat untuk menumbangkannya.
Dahan yang dihinggapinya bergemeratakan menahan berat badannya. Hampir saja ia
ikut jatuh ke bawah, tetapi pada saat terakhir berhasil menggapai dahan lainnya,
dahan itu pun bergemeretak membahayakan. Takut kalau-kalau dahan itu tak kuat,
Joe melepaskan sepatunya. Tali talinya diikat menjadi satu, kemudian sepatu itu
dikalungkannya di leher. Anjing-anjing di bawah menggeram penuh harapan. Apakah sungai itu cukup dalam"
Ia tak punya banyak waktu berpikir. Ketika dahan itu semakin turun, ia melompat
dan mencebur di air dengan kedua kakinya terlebih dahulu.
Untung, sungai itu paling tidak tiga meter dalamnya. Ketika kakinya mengenai
dasar, ia menjejaknya untuk timbul ke atas. Ia timbul tepat pada waktunya,
mendengar suara kecebur di belakangnya. Ia menoleh, melihat pohon itu juga
tumbang masuk ke sungai. Arus sungai yang keras menghanyutkannya dengan cepat ke
arahnya. Ia mengangkat tangannya untuk menghindari, tetapi tidak berhasil.
Bagian yang patah dari batang itu membentur dia dengan keras, dan ia pun
pingsan! 7. Terhindar Dari Lubang Jarum
Untunglah, Joe hanya sekejap saja tak sadarkan diri. Air yang dingin segera
membuatnya sadar dan menghanyutkan dirinya ke hilir, sementara anjing-anjing
liar itu berlari-lari di sepanjang tepi. Moncongnya terbuka lebar dan gigi-
giginya berkilat-kilat. Joe berusaha untuk berenang ke seberang, tetapi terpaksa menyerah setelah
beberapa kayuh. Ia sudah terlalu lelah, juga karena benturan di kepalanya.
"Lebih baik aku menghanyutkan diri dulu, sampai terdapat perubahan keadaan
nanti," pikir Joe. Celakanya, perubahan yang datang justru arus sungai yang semakin
perlahan. Tadi air mengalir terlalu deras bagi anjing-anjing. Tetapi kini pemimpin kawanan
itu merasa mendapat kesempatan. Ia terjun dan berenang mengejar Joe. Dengan
ngeri Joe melihat binatang itu pada jarak dua puluh lima meter, dan mendatangi
semakin dekat dengan cepat.
Tibalah peruntungan yang diharap-harapkan Joe! Di depannya muncul sebuah pulau
kecil. Untung pula bahwa laut sedang surut. Kalau tidak air pasang akan naik dari arah
teluk Barmet, menenggelamkan pulau kecil tersebut, yang hanya berupa tumpukan
lumpur dan dahan-dahan. Dengan lesu Joe naik ke tanah dan membalikkan tubuhnya. Hanya beberapa detik
saja anjing itu telah juga mencapai pulau itu. Binatang itu keluar dari air
dengan bulu-bulunya yang hampir gundul itu basah kuyup. Binatang itu segera
menyerang, dibarengi dengan raungan kawanan anjing lain yang berada di tepi
sungai. Joe menoleh ke kanan, ke kiri mencari senjata ... sebuah batu, sebuah cabang,
atau apa saja. Tetapi yang ada hanya lumpur yang licin!
Sementara itu, Tonio memimpin menerobos hutan yang gelap. Yang lain-lain
mengikutinya dengan rapat. Tiba-tiba mereka mendengar suara lolongan anjing di
depan. "Mereka tak jauh lagi!" seru Tonio.
"Kuharap saja kita tiba pada waktunya," Chet menggumam.
Napasnya tersengal-sengal. Ia menggigil. Bukan karena dinginnya udara, tetapi
karena memikirkan binatang-binatang yang kelaparan dan mengidap penyakit. Frank,
di sampingnya, tak berkata apa-apa. Mulutnya merengut rapat sementara mereka
mempercepat jalannya. Joe mengambil sepatu dari lehernya ketika anjing itu semakin dekat juga. Tangan
kanannya memegangi tali pada simpul ikatan kedua tali sepatunya, lalu mengayun-
ayunkan sepatu itu di atas kepalanya. Anjing yang merunduk itu berhenti,
terkejut sebentar. Dari tenggorokannya terdengar suara menggeram, makin lama makin keras. Kaki
belakangnya ditekuk semakin rendah, dan otot-ototnya menegang untuk melompat.
Anjing itu melompat di udara. Joe telah siap menangkis serangan, pukulannya
dilontarkan tepat pada waktunya. Sepatu yang berat itu menimpa rahang, dan
anjing itu jatuh pada sisi tubuhnya, berkaing-kaing kesakitan.
Han Bu Kong 3 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Bara Naga 10