Pencarian

Sepasang Kaos Kaki Hitam 3

Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama Bagian 3


Gw menepuk kasur di sebelah gw. "Malem ini lo tidur di sini ya?" kata gw. "Temenin gw
malem ini." Sejenak Meva diam. "Lo nggak ada niat buruk ke gw kan?" tanyanya ragu.
"Lo boleh nolak kalo memang nggak mau." Meva tersenyum lebar. "Lo pasti udah tau
jawaban gw," katanya. "Lo mau kan?" Meva tersenyum lagi. "Lo emang ngerti banget gw
Ri." "Jadi?" "Gw E-N-G-G-A-K M-A-U!!" Dia mencibir lalu bergegas keluar dan
membanting pintu meninggalkan gw sendirian di dalam kamar. Part 35 Gw langkahkan
kaki menaiki tangga dengan malas. Hari ini kecewa banget gw gagal mudik gara-gara
jadwal penerbangan di delay sampe besok siang jam 10 karena ada trouble di mesin.
Maskapai yg bersangkutan memang mengembalikan ongkos tiket sebagai bentuk
tanggungjawab dan artinya besok gw bisa pulang gratis, tapi tetep aja gw kecewa karna
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
gw pikir malam ini gw udah bisa kumpul bareng orangtua di rumah. Saat itu sudah
hampir jam duabelas malam. Beberapa penghuni lantai 1 dan 2 masih asyik ngobrol di
luar kamar dan memutar lagu-lagu ballade. Sementara di lantai 3, karena penghuninya
memang lebih sedikit, sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Pintu kamar
Indra terkunci. Sepertinya dia lagi keluar. Gw raih gagang pintu kamar gw. Terkunci. Gw
rogoh kantong celana, tadi pagi gw yakin gw taroh di situ. Tapi nggak ada! Gw cek lagi
di kantong kemeja dan dompet, tetep nggak ada! "Jangan-jangan..." otak gw mulai
menerka dan mengingat dengan keras. "Di dalam tas. Kuncinya ada di tas, gw inget
sekarang. Tapi tasnya kan udah masuk bagasi?"" O my god! Kok gw bisa se teledor itu
ya" Malem ini gw tidur dimana" Hp gw low battery dan charger gw juga ada di dalam
tas... Lalu gw inget Meva. Masa sih dalam keadaan darurat gini dia ngga mau nolong
gw" Maka gw berjalan menuju kamarnya. Pintunya sedikit terbuka, memberi celah pada
cahaya kuning dari dalam untuk terbersit keluar. Tadinya gw pikir cahaya kuning itu dari
bohlam tua di kamar itu, tapi ternyata itu adalah nyala lilin. Gw buka sedikit pintunya
untuk gw melihat kedaan di dalam. Tiga buah lilin menyala dipasang berderet di atas
lemari kayu kecil yg merapat ke dinding. Di atasnya, terpaku sebuah kalung yg sudah
gw kenal. Kalung salib polos yg biasa dipakai Meva, saat itu digantung di dinding.
Sementara Meva sendiri berdiri berlutut sambil mengatupkan jemari tangannya
menghadap kalung itu. Dan nggak butuh waktu lama buat gw sadar bahwa ini
seharusnya adalah malam yg spesial untuknya. Ini malam Natal... Meva sedang
memanjatkan beberapa kalimat pengharapan. Api lilin di atasnya sedikit bergoyang
tertiup angin yg menerobos masuk lewat celah pintu yg terbuka. Ditambah sayup-sayup
instrument Kenny G dari bawah, membuat malam yg hening itu terasa hangat. Gw
nggak terlalu memperhatikan doa apa yg sedang diucapkan Meva. Tapi Meva
mengucapkan kalimat demi kalimat itu dengan sangat tulus. Gw bisa merasakannya.
Dan tentu sangat nggak etis kalau gw mengganggunya. Maka gw putuskan menutup
pintu dan menunggu di luar sampai dia selesai. Baru saja gw hendak menutup pintu
ketika sebuah kalimat yg diucapkan Meva menarik perhatian gw. "Tuhan..." ucapnya.
"Seandainya Engkau mengasihiku, dan aku percaya itu, kirimkan malaikat dari langitMu
untuk menemaniku malam ini..." Gw terdiam. Ternyata Meva benar-benar merasa
kesepian. Selama ini gw nggak pernah tahu apa yg terjadi antara dia dan keluarganya,
karena gw yakin seorang anak akan benar-benar merasa sepi kalau hubungan dia
dengan orangtuanya nggak harmonis. Atau karena orangtuanya sudah meninggal" Tapi
gw lebih prefer dengan kemungkinan pertama, karena Meva pernah cerita waktu dia
dapet kiriman uang dari nyokapnya. Akhirnya gw biarkan pintu itu tetap menyisakan
celah terbuka. Dan gw duduk menunggu di depan pintu. Gw masih terenyuh dengan
kalimat Meva tadi. Gw bisa merasakan kesedihan yg mendalam di tiap kalimat yg
diucapkannya. Ah, ternyata gw belum cukup mengenal Meva untuk tahu lebih dalam yg
terjadi padanya. Dan setelah lama menunggu, akhirnya terdengar derit pintu yg ditarik
terbuka. "Ari?" panggil Meva. Bergegas gw berdiri dan balikkan badan menghadapnya.
"Hay Va," gw tersenyum lebar. "Kok loe masih di sini?" tanyanya. Lalu gw ceritakan
tentang penerbangan yg delay sampe besok. "Eh iya, gw lupa kunci kamer gw ada di
dalem tas yg udah masuk bagasi," lanjut gw. "Jadi malem ini gw mau numpang di kamer
lo, kalo boleh?" Meva tampak berpikir. "Pagi-pagi gw pergi kok, karena pesawatnya
terbang jam sepuluh. Gw udah harus ada di sana jam sembilan biar aman." Meva
tersenyum. "Kamer gw selalu terbuka buat elo kok," ucapnya. "Makasih Va, lo malaikat
penolong gw malem ini," kata gw girang. Meva menggelengkan kepala. "Enggak Ri.
Justru loe lah malaikat itu. Malaikat yg dikirim Tuhan buat nemenin gw..." Kami berdua
tertawa. Lalu kami duduk-duduk di kamarnya ngobrol ringan sampai lewat larut malam
dan pada akhirnya, ini untuk kedua kalinya gw dan Meva berada bersebelahan melewati
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
malam yg dingin. Dan jujur, samasekali nggak terlintas di otak gw untuk memanfaatkan
situasi ini demi gejolak yg kadang muncul dalam diri gw. Terlalu jahat buat gw, bahkan
untuk sekedar menyentuh pipinya yg merona. Gw biarkan ini apa adanya. Saat mata gw
terpejam, sayup-sayup gw mendengar sebuah suara berbisik di telinga gw. "Thanks ya
Ri.. Ini malem Natal terindah buat gw...." Entah ini fantasi gw atau bukan, tapi seperti
ada yg mencium kening gw. Hangat dan basah... Lalu sunyi... Dan akhirnya ini membuat
gw tetap terjaga sampai pagi......... Part 36 Gw sudah berkali-kali ganti posisi tidur.
Telungkup, telentang, dan miring ke kiri. Gw nggak berani miring
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
ke kanan coz Meva ada di situ, entah kenapa gw yakin dia belum tidur. Gw bisa
merasakan tatapannya meski mata gw terpejam. Ciumannya di kening gw tadi ternyata
berefek menghilangkan kantuk yg sempat menyergap. Dan entah sudah berapa lama
saat gw benar-benar terbangun dan duduk di tepi kasur. Sepertinya sudah jam 3 pagi.
Di luar hujan sudah mulai turun membuat malam semakin dingin. "Lo belum tidur Ri?"
suara Meva terdengar lembut. Gw menoleh ke arahnya. Dia menopang kepala dengan
satu tangan. Shit! Posenya... "Engga tau nih mendadak panas," gw sekenanya. "Kok
bisa" Ini kan lagi ujan" Gw malah kedinginan." "Emh..iya juga sih. Sekarang dingin,"
jawab gw dengan bodohnya. "Lo aneh Ri." Meva bangun dan duduk di sebelah gw.
"Mau gw bikinin teh anget?" Gw menggeleng. "Enggak usah repot-repot deh," kata gw.
"Gulanya jangan banyak-banyak ya." "Yeeey...kirain nggak mau," cibir Meva. "Ya udah
gw nyalain dulu dispensernya." Lalu Meva pun beranjak menyalakan dispenser,
menyiapkan gelas kecil, menuangkan beberapa sendok gula ke dalam gelas dan
menaruh selembar teh celup di sampingnya. "Ini kamer kenapa sih gelap gini"
Lampunya mati apa emang sengaja pake lilin?" tanya gw. "Sejak kemaren lampunya
mati. Gw belum sempet beli. Lagian biar lebih ngena aja kesan Natal nya." Gw
tersenyum. "Lo selalu sendiri ya kalo malem Natal?" gw beranikan diri bertanya. "Yah
seenggaknya setelah gw dateng ke Indo." "Oh...emang lo bukan asli sini ya?" "Enggak
juga. Nyokap gw asli Padang kok. Cuma gw waktu kecil emang sempet tinggal di desa
kecil di pinggiran Hampshire selama sekitar 10 tahun." "Hampshire" Inggris
maksudnya?" Meva mengangguk. "Iya. Dulu nyokap gw kuliah di London dan akhirnya
married sama salahsatu penduduk sana yg akhirnya jadi bokap gw. Setelah balik ke sini
gw tinggal sama nenek di Jakarta." Gw mengangguk. "Terus" Nyokap lo kemana?"
Meva terdiam dan melamun. Seperti ada sesuatu yg tertahan dalam dirinya. Sesuatu yg
enggan dia utarakan. Gw mengerti itu, dan gw mulai memikirkan pengalih pembicaraan.
"Va, itu airnya udah panas kayaknya," gw menunjuk lampu kecil warna hijau yg menyala
pada dispenser. "Oh..sorry," dia segera mencabut kabel dispenser dan menuangkan air
ke dalam gelas lalu mengaduknya. "Sorry Va..gw ngga ada maksud ngingetin lo ke
kenangan yg nggak mau lo inget," kata gw saat menerima gelas dari Meva. "Enggak
kok. Gw nggak ngerasa gitu.." gw tau dia berusaha menutupi perasaannya, tapi gw
masih bisa ngebaca itu dari raut wajahnya. "Emh..lo nggak bikin teh juga?" "Enggak ah,
lagi nggak begitu pengen. Minta aja ya dari lo?" "Boleh. Nih?" "Nanti aja kalo udah
ademan." Gw aduk-aduk lagi teh panas di gelas biar cepet hangat. "Taun ini kita sama
Va, lebaran kemaren aja gw nggak sempet balik kumpul sama keluarga. Malah elo kan
yg nemenin gw" Kita malah maen catur seharian, lo inget?" Meva tertawa kecil. "Iya
gw inget. Berarti sekarang kita gantian ya?" Gw mengangguk. Mencoba meminum teh
tapi ternyata masih panas. Gw berjengit. "Panas ya" Sini gw tiupin," Meva mengambil
gelas lalu mengaduk dan meniupnya pelan. "Eh, lilinnya pada mati tuh. Tinggal satu yg
nyala," kata gw menunjuk lilin di atas lemari. Nampaknya lilin terakhir juga hampir
padam. Cahayanya bergoyang-goyang tertiup angin. "Pantesan daritadi gelap banget."
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Meva tersenyum lagi. Aneh banget, nih cewek demen banget senyum ke gw!! "Dua lilin
yg padam itu adalah lilin cinta dan perdamaian," katanya. "Rasanya dua lilin itu udah
nggak sanggup lagi memberi terang di hidup gw." Gw kernyitkan dahi. "Kan masih ada
satu lagi?" kata gw. "Ya," jawab Meva. "Dengan lilin itu gw masih punya kesempatan
menyalakan kembali dua lilin yg sudah mati. Lilin terakhir itu adalah lilin harapan. Gw
ingin sekali punya harapan di hidup gw, sekecil apapun itu." Gw diam sejenak. "Lo pasti
bisa Va. Gw yakin lo mampu berubah dari pion kecil jadi menteri, suatu hari nanti."
"Hmm..." dia tersenyum. "Lo bener-bener seperti lilin terakhir itu Ri. Lo selalu bisa
ngasih gw harapan, yg bahkan gw sendiri nggak yakin gw punya itu." "Semua orang
punya harapan kok, termasuk lo Va. Semangat yah! Cepet lulus kuliah terus penuhi
semua mimpi lo selama ini!" Dia menatap gw penuh harap. "Gw pasti bisa. Lo percaya
gw kan Ri?" tanyanya. Gw mengangguk mantap. "Gw selalu percaya lo." Gw
meyakinkannya. "Thanks Ri." Meva menyerahkan gelas teh ke gw. Sekarang teh nya
sudah hangat. "By the way nanti pagi lo berangkat jam berapa?" tanya Meva. "Jam
enam kayaknya. Pesawatnya take off jam sepuluh." "Ya udah buruan tidur, ntar
kesiangan lho. Udah mau jam empat, masih ada waktu buat tidur." Gw mengangguk.
"Gw duluan tidur yah?" Meva beranjak ke kasur dan segera bersembunyi di balik
selimut. Gw cuma bisa menatapnya dari luar. Ah, Meva... Asal lo tau, gw bukan cuma
percaya sama lo. Lebih dari yg gw ungkapkan, gw selalu yakin lo adalah lilin harapan
buat gw. Part 37 Gimanapun cara yg udah gw lakukan, gw tetep nggak bisa tidur.
Guling-gulingan, nutupin mata pake bantal, dan banyak cara lagi yg gw lakukan tapi
mata gw enggan terlelap. Dan HP gw sudah nyaris benarbenar mokad ketika gw lihat
jam nya menunjukkan pukul setengah lima pagi. Gw putuskan mandi, menyeduh teh
anget manis lalu duduk di tembok balkon sambil menunggu waktu berangkat. Meva
akan gw bangunkan beberapa saat sebelum gw pergi, karena gw nggak mau ganggu
tidurnya. Dia nampak nyenyak dalam kamar yg masih berpencahayaan satu lilin. Emh,
pagi ini gw akan melakukan perjalanan balik ke kampung halaman. Ini pertama kalinya
gw mudik, karna sebelum ini gw memang nggak pernah merantau. Ternyata
menyenangkan sekali bisa berada di momen menunggu kepulangan seperti ini. Gw juga
kangen banget dengan keluarga di rumah. Kedua orangtua gw dan adik gw, rasanya
pengen buru-buru ketemu mereka. Mata yg pedih dan kepala yg nggak karuan rasa
gara-gara insomnia semalam seolah bisa tertutupi oleh kebahagiaan ini. "Lo udah
bangun Ri?" suara Meva menyadarkan gw dari lamunan tentang keadaan kampung
halaman gw setelah gw tinggal satu tahun. Meva sedang mengucek-ngucek mata di
depan pintu kamarnya. "Gw memang nggak sempet tidur Va," kata gw. "Kenapa?" dia
berjalan menghampiri gw. Ah, bahkan dalam keadaan kusut baru bangun tidur seperti ini
pun Meva tampak anggun. "Gw nggak ngantuk aja Va. Tapi nanti bisa tidur kok di bus
ama di pesawat." Meva diam. Pandangan matanya masih sayu. "Emh..lo beneran bakal
balik hari ini?" tanyanya tanpa menatap gw. Kedua matanya menatap kosong hamparan
sawah di depan. Entah kenapa waktu berjalan lambat pagi ini. "Kan emang udah
jadwalnya gitu" Jam enam nanti, gw udah harus di terminal." "Jadi loe akan ninggalin
gw hari ini?"" Meva menolehkan kepalanya perlahan, dan kini memandang gw penuh
harap. "Kok ngomong gitu" Gw cuma beberapa hari doank kok. Tahun baru juga udah
ada di sini lagi." 1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Tetep aja artinya lo ninggalin gw.." "Enggak Va...gw nggak ninggalin lo.." "Lo ninggalin
gw!!!" Meva setengah berteriak mengatakannya. Suaranya melengking dan parau. "Lo
jahat!! Lo ninggalin gw!!!" Lalu dia mulai memukul-mukul tubuh gw dengan kedua
tangannya. Gw sadar saat itu dia lagi nggak becanda. Gelas teh yg tersenggol gerakan
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
tangannya jatuh dan pecah berkeping-keping tiga lantai di bawah. Sambil meneriakkan
kalimat yg tadi Meva terus memukul gw dengan brutal. Nggak begitu besar memang
power nya, tapi gw yakin kalau gw lengah gw bisa bernasib sama dengan gelas tadi. Gw
langsung melompat dan menjejakkan kaki di atas keramik kuning sambil berusaha
menepis kedua tangan Meva yg bergerak memburu. Gw panik dan bingung dengan
perubahan sikapnya yg tiba-tiba ini. "Lo ninggalin gw!!" begitu teriaknya berulang-ulang
diselingi isak tangis yg memilukan. "Denger gw dulu Vaa..." masih berusaha menghalau
tanpa menyerang balik. "Apa yg harus gw dengerin!!! Lo jahat Ri!! Lo jahat!!!!" Sebuah
pukulan mendarat telak di wajah gw. Gw nggak menghindar. Yg gw lakukan adalah
mencari celah saat kedua tangannya berayun dan saat itulah gw bergerak memeluknya.
Ini salah satu cara untuk menghilangkan kesempatannya memukul gw karena jarak
pukul yg lenyap. Kedua tangannya cuma bisa memukul punggung gw pelan. "Gw nggak
kemana-mana Va..." bisik gw di telinganya. "Gw ada di sini buat elo. Gw tetep di sini.
Okay?" Pukulan di punggung gw makin melemah hingga akhirnya benar-benar berhenti.
"Dengerin gw, gw nggak akan ninggalin lo. Gw tetep di sini," gw memberikan sugesti yg
meyakinkannya. Meva sudah berhenti berteriak. Kini berganti dengan suara isakannya
yg dalam. Gw bisa merasakan airmatanya membasahi bahu kiri gw. Masih sedikit
bergerak memberontak, gw memeluknya makin erat. "Lo tenang aja, gw akan nemenin
lo......" gw seperti seorang ayah yg menenangkan anaknya yg menangis minta jajan.
Meva makin jadi menangis. Kedua bahunya bergetar mengguncang tubuh gw. Suara
isak nya menelisik ke dalam telinga gw. "Gw nggak kemana-mana Va..." gw usapi
punggungnya sambil gw belai rambutnya yg panjang. Selama beberapa saat itu terus
terjadi. Meva belum mau bicara. Dia masih larut dalam tangisnya. Mau nggak mau gw
juga terenyuh. Gw memang belum terlalu hebat buat benar-benar merasakan
kesedihannya, tapi minimal gw tau apa yg dirasakannya saat ini. Gw mengerti kenapa
reaksinya tadi begitu frontal. "Maafin gw R..i...i......." ucap Meva tertahan. Entah sudah
berapa lama dia menangis. "Enggak papa," jawab gw. "Harusnya gw yg minta maaf. Gw
nggak akan kemana-mana. Gw janji hari ini gw akan nemenin Natal loe. Boleh?" Meva
menganggukkan kepala. "Boleh banget," katanya masih diiringi tangisan yg dalam.
"Udah..jangan nangis lagi yaa....kan gw ada di sini" Hari ini akan jadi Natal istimewa
buat loe....." "Makasih Ri......." "...................." Meva merangkulkan kedua tangannya di
punggung gw. Masih sedikit terisak, dia menyandarkan kepalanya di leher gw. Kami
terdiam dalam pelukan. Hemmmpph..ini momen Natal yg nggak akan gw lupakan....
Part 38 "Gimana Ri, udah beres?" tanya Meva begitu gw selesai menelepon. "Udah.
Mereka akhirnya setuju gw ambil penerbangan besok," kata gw duduk di sebelahnya.
"Nah, barang-barang lo gimana" Kan udah masuk bagasi?" "Nggak papa. Barang gw
ikut sama pesawat yg terbang sekarang. Ntar besok gw ambil langsung begitu sampe di
bandara." Meva menatap gw simpati. "Maaf ya gara-gara gw..." "Ssst..udah ngga usah
dibahas. Emang gw nya yg mau kok. Lagipula skali-kali nemenin lo di hari spesial lo
boleh lah. Tapi sorry yah gw cuma bisa hari ini aja, gw udah janji sama keluarga di
rumah soalnya." Meva nyengir senang. "Enggak papa kok, itu udah lebih dari cukup.
Udah enam tahun ini gw selalu merasa tiap Natal cuma jadi hari biasa yg akan berlalu
seperti biasanya. Tapi hari ini jadi hari istimewa lagi..." dia menatap gw malu. "Emh,
bukan Natal nya yg bikin istimewa. Tapi loe yg bikin 'hari biasa' ini jadi istimewa." Gw
tertawa pelan. "Ya udah sekarang lo siap-siap gieh," kata gw. "Oke," tangan kanan
Meva diangkat membentuk gesture hormat pada upacara bendera lalu bergegas masuk
kamar. Kelihatannya dia gembira sekali. Sore ini gw setuju untuk menemani Meva ke
salahsatu gereja di Peseurjaya, kalo ngga salah. Dia akan mengikuti apa ya
namanya...misa Natal" CMIIW Dan dia sedang bersiap-siap untuk itu. Huft..gw gagal
mudik lagi hari ini. Entah kadang gw ngga habis pikir, kok gw mau ya menukar waktu gw
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
ketemu keluarga dengan nemenin cewe berkaos kaki hitam itu" Ah, udahlah. Gw yakin
Meva akan melakukan sesuatu yg bodoh kalo hari ini tetap dilaluinya seperti
tahun-tahun yg lalu. Seenggaknya gw sudah mencegah hal itu terjadi. Sepuluh menit
kemudian Meva sudah selesai dan kami pun berangkat menuju tempat yg disepakati.
Sampai di sana Meva masuk sementara gw cukup duduk menunggu di warung kecil
seberang gereja. Sambil ngemil gw sms an sama Indra. Dari sms nya gw tau ternyata
Indra lagi asyik menghabiskan libur pendek ini bareng ceweknya di Dufan. Cukup lama
gw menunggu. Meva baru muncul ketika matahari sudah benar-benar lenyap dan hari
berganti malam. Waktu itu sekitar jam tujuh. "Maaf ya..lama nunggunya.." kata Meva.
"No problem. Gw seneng kok bisa nemenin lo." Meva tersenyum lebar. "Lo baik banget
Ri," ucapnya. "Oiya" Wah kalo gitu gw nemenin lo terus deh biar dibilang baik.
Hehehe.." Suara tawa Meva yg renyah merayap masuk ke telinga gw. "Balik sekarang?"
tanya gw. Meva berpikir sebentar. "Gimana kalo jalan-jalan aja dulu?" usulnya.
"Kemana?" "Ke tempat yg waktu itu...Karang Pawitan. Gimana?" "Boleh juga.." Yah gw
pikir boleh lah untuk sedikit merefresh pikiran. Sebenernya gw ngantuk banget, tadi
siang juga cuma bisa tidur dua jam. Entah kenapa hari ini insomnia akrab banget sama
gw. Dan dengan mata yg nyaris redup gw dan Meva sampai di alun-alun Karang
Pawitan. Duduk di salahsatu bangku semen di bawah beringin besar, dari sini terlihat
keramaian para pengunjung. Kebanyakan mereka sama seperti gw dan Meva,
duduk-duduk ngobrol menikmati malam yg cerah sambil ngemil atau melihat koleksi
binatang di kandang yg jumlahnya nggak mencapai angka sepuluh. "Nih," Meva
menyodorkan kaleng minuman bersoda buat gw. Lumayan lah minuman ini bikin mata
gw sedikit terbuka. Seenggaknya buat sepuluh menit pertama, gw masih bisa melihat
sekitar gw dengan jelas. Selanjutnya gw kembali bertarung melawan kantuk yg
menyergap. "Lo ngantuk Ri" Gw ajak ngobrol diem aja," suara Meva mengejutkan gw.
"Eh, ng... Enggak kok. Di sini adem soalnya, jadi kebawa suasana. Pengennya tidur
aja." "Kalo pengen tidur ya udah kita balik aja yukk?" "Bentar deh, kita di sini aja dulu.
Baru dateng masa langsung pergi?" Bukan apa-apa, gw merasa bahkan buat jalan pun
gw udah sempoyongan. "Lo laper nggak" Kita makan yukk" Gw yg traktir deh."
"Makasih, tapi gw belum laperr... Mending beli minuman kayak tadi lagi deh," kata gw
dengan mata setengah terpejam. Mana bisa gw makan sambil mimpi?" Ah, kalo
bisa...gw pengen tidur sekarang juga... Meva sudah kembali abis beli dua minuman
kaleng. Langsung gw tenggak habis. Sensasi asamnya berhasil sedikit membuka lagi
mata gw. 1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Gw liat Meva lagi asyik memandang langit. "Lagi liatin apaan lo Va?" tanya gw. Sial,


Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minuman tadi cuma bereaksi satu menit. "Bintang," jawabnya singkat. "Bukannya itu
matahari ya?" "Haha.. Lo lucu deh, ngelawak aja. Jelas-jelas ini malem, nggak mungkin
ada matahari." Gw bukan ngelawak, tadi tuh salah ngomong. Saking ngantuknya.. "Va,
gw boleh tiduran nggak?" akhirnya gw nyerah. "Lo ngantuk" Ya udh tiduran aja, sini.."
dia dengan halusnya menyandarkan kepala gw di pahanya. Ah, akhirnya tiduran jg gw!
Kayaknya udah berjam-jam tadi berdiri. Meva mengusap-usap rambut gw pelan sambil
bicara, entah apa yg dibicarakan, gw nggak denger gara-gara ngantuk. Satu yg pasti,
gw sangat menikmati momen ini... Ah, seandainya ini terjadi tiap hari.....hehehe, maunya
Dan entah sudah berapa lama sampai akhirnya gw bener-bener menyerah dan akhirnya
tertidur di pangkuannya... BERSAMBUNG Part 39 Malam itu gw terbangun setelah
hampir dua jam terlelap di pangkuan Meva. Kami memutuskan pulang dan sampai di
kosan sekitar jam sebelas malam. "Nah ini dia anaknya," seorang teman penghuni
kamar bawah menyambut kedatangan gw. "Charger gw mana" Hp gw udah berisik
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
daritadi minta diisi batere nya." "Oh iya gw lupa kembaliin," gw menepuk jidat. "Lo
tunggu aja di sini. Gw ambil dulu di atas." Temen gw mengangguk lalu kembali ke
kamarnya. Gw dan Meva melanjutkan ke kamar atas, lalu gw turun mengembalikan
charger punya temen gw dan kembali lagi ke kamar Meva. "Sorry ya Va, gw nginep lagi
di kamer lo malem ini," kata gw. "Enggak papa nyantai aja lah," Meva sedang menulis
sesuatu di sebuah buku kecil warna kuning. Padahal kamar ini cukup gelap buat nulis,
karna masih mengandalkan lilin sebagai pencahayaan. "Lagi nulis apa sih?" Meva
menghentikan sejenak aktivitasnya, menatap gw lalu tersenyum. "Ini diary gw," katanya
kemudian melanjutkan menulis. "Ooh.." gw cuma mengangguk sebagai tanda mengerti.
Gw nggak pernah tertarik membaca diary, apalagi menulis kejadian di hidup gw di
dalamnya. Yg cocok kayak gitu emang cewek. Karena gw malu aja sama diri gw sendiri
kalo suatu hari gw baca lagi riwayat hidup gw, rasanya gimana gitu. "Apa yg lo tulis?"
tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulut gw. Meva diam sebentar. "Tentang hari
ini pastinya," jawab Meva dengan ekspresi bahagia. Belum pernah gw melihat ekspresi
kegembiraan yg seperti ini darinya. "Ini akan jadi Natal terbaik di hidup gw." "Oiya"
Meskipun tanpa kado" Maaf, biasanya kan kalian bertukar kado kalo Natal" Yah,
seenggaknya itu yg gw liat di film-film.." "Emang mau tukeran kado sama siapa?" Meva
balik tanya. Ah, iya. Pertanyaan jenius tuh! Gw nyengir malu dengan pertanyaan bodoh
gw tadi. "Buat gw, Natal nggak mesti diliat dari sebanyak apa kado yg gw dapet. Lagian
itu mah kebiasaan waktu kecil," Meva tertawa sendiri, mengingat masa kecilnya
mungkin. "Yg penting buat gw adalah gimana gw memaknai hari ini, sebagai hari yg
istimewa. Dan setelah bertahun-tahun, akhirnya gw nemuin feel itu. Hari ini, gw bisa
ngerasain hangatnya kebersamaan Natal. Kan emang itu makna sebenernya dari Natal"
Supaya orang-orang bisa saling mengasihi dan mengorbankan sebagian yg dipunyai
demi orang lain yg membutuhkan. Seperti yg udah ditunjukkan Messiah kami.." Meva
seperti tersentak kaget. Lalu buru-buru mengklarifikasi. "Maaf, maaf...gw ngga ada
maksud apa-apa. Semoga lo nggak tersinggung sama yg gw omongin barusan,"
wajahnya merona merah, terlihat jelas tertimpa cahaya lilin yg malam ini nggak bergerak
sedikitpun. "Enggak papa kok, apa salahnya ngomong kayak tadi?" gw tersenyum.
Meva menarik napas lega. "Ngomong-ngomong, kok kalender loe banyak coretannya
sih?" gw menunjuk kalender meja yg tergeletak di sisi kasur. Kalender yg banyak
bulatan-bulatan hitam di angka tanggalnya, dan beberapa coretan di bawah tiap kolom
bulan. "Oh itu... Gw emang biasa nentuin cita-cita gw di kalender." Gw kernyitkan dahi.
"Maksudnya gini loh," Meva menjelaskan. "Tiap planning yg gw punya, gw tulis di
kalender. Misalnya gw pengen beli sepatu baru, gw tentuin deh tanggal berapa gw harus
udah punya sepatu itu. Jadi, mulai hari ini gw sisihkan duit gw biar pas tanggalnya nanti
bisa kebeli tuh sepatu." Gw mendengarkan penuh minat. "Gitu juga sama kuliah gw,"
lanjutnya. "Gw tentuin tanggal berapa gw udah harus selesaikan tugas-tugas gw.
Bahkan gw udah nentuin cita-cita gw tiga tahun ke depan. Liat nih." Meva membuka
diary nya dan menunjukkan halaman bertuliskan "Agustus 2004 - Wisuda". "Pokoknya
gw nggak mau kalo mesti ngulang taun terakhir gw kuliah," ucapnya semangat. Lalu dia
membalik semua halaman di buku dan menunjukkan halaman terakhir. Di sana ada
deretan angka yg ditulis dg ukuran besar, "2005". Dan di bawahnya ada satu kata, yg
ditulis lebih kecil dari angka di atasnya. "Menteri?" gw membaca kata itu penuh tanya.
"Iya, Menteri!" jawabnya masih semangat. "Masih inget kan soal pion catur yg
bertransformasi jadi Menteri, yg pernah lo bilang ke gw?" Gw mengiyakan. "Gw udah
tentuin, tahun pertama gw lulus kuliah, gw udah harus jadi 'Menteri'. Gw ngga mau
selamanya jadi pion yg selalu diremehkan. Gw yakin gw bisa!" Meva tersenyum senang.
Wouw...gw nggak nyangka Meva akan bener-bener menerapkan yg gw ucapkan waktu
itu soal pion catur. "Menurut gw," kata Meva lagi sementara gw tetap jadi pendengar yg
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
baik. "Cita-cita adalah impian yg bertanggal. Gw tinggal nyusun urutan langkah buat
mencapai tanggal itu. Jadi, semakin gw menunda, semakin tanggal itu terdorong
menjauh. Dan semakin gw malas, semakin cita-cita itu jadi nggak berarti. Gw nggak
mau itu terjadi sama gw. Gw akan buktikan gw bisa ngejer deadline cita-cita yg udah gw
tentuin sendiri." Meva tersenyum puas dengan penjelasannya itu. Gw bisa melihat
semangat yg berkobar dalam dirinya. Malam ini lo udah melangkah satu petak ke depan
Va. Masih ada beberapa petak lagi. Dan gw slalu yakin lo pasti bisa ke sana! Part 40
Semangat kerja yg meninggi di awal-awal pengangkatan gw jadi karyawan berimbas
pada menurunnya daya tahan tubuh gw. Berbulan-bulan hampir selalu pulang malam
karena lembur, akhirnya gw mulai jatuh sakit di awal Februari 2002. Tiap minggu nyaris
selalu ada absensi gw yg kosong gara-gara sakit. Demam, pusing, lemas dan gejala
sakit lainnya. Bukan sakit yg parah memang, tapi gw suka kesel sendiri tiap mual
menyerang. Tiap detik rasanya pengen muntah. Untunglah Indra kenal dekat dengan dr.
Yusuf, dokter yg dulu memeriksa Meva di awal perjumpaan kami. Beberapa kali dokter
muda itu menyambangi kosan gw karena gw nggak sanggup keluar saking lemesnya.
Hasilnya lumayan baik. Gw bisa menambal absensi gw meski kadang-kadang juga gw
paksakan berangkat meski dengan wajah pucat dan badan lemas. Alhasil gw cuma
'numpang' tidur di klinik kantor. "Gimana keadaan lo" Udah baikan?" Indra yg baru balik
kerja masuk ke kamer gw. "Yah udah rada mendingan lah," gw membuka selimut yg
menutupi tubuh gw. Rasanya kamer gw mulai berubah panas. "Nih gw beliin bubur buat
lo. Makan dulu gieh." Indra menaruh bungkusan plastik di samping gw. "Thanks dul.."
"Eitts, pala gw sekarang ada rambutnya. Mau gw panjangin nih. Jadi jangan panggil gw
dal-dul lagi," protesnya. Gw nyengir. "Lidah gw udah nempel nama itu, nggak bisa
diubah," kata gw. "Ah elu mah gitu. Ya udah gw mandi dulu yah. Cepet sembuh deh lo."
"Okay." 1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Lalu Indra kembali ke kamarnya. Gw bangkit duduk, dan mendadak kepala gw terasa
berputar-putar selama beberapa detik. Susah payah akhirnya gw bisa menyantap bubur
ayam dari Indra. Rasanya aneh memang (lidah gw mati rasa) tapi gw paksakan
menghabiskan semangkuk bubur itu, karena memang cuma itu yg bisa gw makan. "Hay
Ri, gimana kabar lo?" Meva muncul di depan pintu. Masih dengan tas punggungnya
tanda dia baru balik dari kampus. "Kayak yg dua tahun nggak ketemu aja," jawab gw.
"Kan elo lagi sakit" Wajar lah gw tanya gitu," Meva menaruh tas nya di kasur dan duduk
di lantai. "Nah itu udah tau gw sakit" Ngapain nanya?" "Ah, elo!! Perhatian dikit nggak
boleh ya?" Meva ngambek. "Nggak boleh." kata gw lagi. "Ngapain perhatiannya dikit"
Yg banyak kek." Meva mencibir. "Ini nih, ngapain sih tas lo ditaroh di sini" Gw nggak
bisa tidur nih." Gw melempar tasnya ke lantai. "Yeeee kasar amat lo?" Meva langsung
mengambil tasnya. Gw rebahan di kasur. Ah, rasanya nyaman sekali. Tapi entah
kenapa kamar ini seperti menyempit. "Lo udah minum obat?" tanya Meva. "Udah."
"Makan?" "Udah." "Mandi?" "Mana bisa gw mandi?" gw mendelik. "Lo mau mandiin gw?"
"Yeeey malah ngarep! Ogah gw." "Hehehe.. Masih panas badan gw, belum kuat mandi."
"Pake air anget lah?" "Hadeuh...air anget dari mana" Kompor aja ngga ada." "Ya udah
ngga usah mandi." Giliran gw yg mencibir sementara Meva nyengir bodoh. Ini adalah
hari ke dua gw absen kerja. Kemarin pagi pas bangun tidur gw mendadak demam.
Lumayan panas, tapi hari ini sudah lebih baik dari kemarin. "Muka lo pucat banget Ri,"
Meva mengamati wajah gw lekat. "Namanya juga orang sakit Vaa..." gw menanggapi.
"Masih panas lagi," dia menyentuh leher gw dengan punggung tangannya. "Namanya
juga orang sakit Vaa.." "Gw kompres yah?" Meva bergegas ke kamarnya dan kembali
dengan sebuah handuk kecil basah di dalam baskom kecil. Handuk itu dipasangkan di
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
kening gw. "Liat aja, ntar malem pasti udah adem lagi badan loe." "Kalo belum adem?"
"Gw taro lo ke dalem kulkas. Pasti dingin." "Iya laah! Namanya juga kulkas! Lo bukan
nyembuhin, tapi matiin gw itu mah!" "Sssst...orang sakit nggak boleh ngotot gitu," dia
menempelkan telunjuknya di mulut gw. "Tangan lo wangi banget?" tiba-tiba saja kalimat
itu meluncur dari bibir gw. Yg kemudian buru-buru gw tambahkan. "Abis makan belum
cuci tangan ya?" "Enak aja, gw kalo makan pake sendok." Gantian gw yg nyengir bego.
"Eh mata lo sembab banget tuh..." Meva mengamati kedua mata gw. Wajahnya sudah
sangat dekat dengan wajah gw. "Ehem.. Jujur aja, gw nggak begitu nyaman. Bisa kan lo
liatnya dari jauh aja?" Bukan apa-apa, tau sendiri lah namanya orang sakit. Nggak
mandi dari kemaren, pasti bau banget nih gw! Malu sama Meva yg wangi. Hehehe..
"Emang napa" Lo grogi yah?" ujar Meva tetap pada posisinya. Dia lalu tertawa kecil.
Dia nggak tau apa pura-pura nggak tau sih?" Gw pegang kedua pipinya, bermaksud
mendorongnya menjauh, ketika Indra tertegun di depan pintu. "Sorry gw ganggu yah?"
dia cengar-cengir penuh maksud. Meva langsung berdiri, berusaha menguasai diri
walau gw tahu dia salting, lalu mendehem pelan. "Nah udah ada Indra. Gantian deh, gw
mau mandi. Daah.." lalu bergegas keluar. Indra melirik gw dengan tatapan penuh arti.
"Pantesan tiap sakit bisa langsung sembuh," katanya. "Ternyata ada obat khususnya
toh." "Errr....enggak. Tadi nggak ngapa-ngapain kok!" gw ngotot. "Lo dateng di saat yg
ngga tepat." "Iya gw ngerti kok. Makanya maaf yah.." Berkali-kali gw klarifikasi tapi Indra
tetap sok bego. Dan akhirnya malam itu gw abis tuh disindir si gundul.. Part 41 Satu hal
yg unik, gw lebih suka mengatakannya istimewa, dari diri Meva adalah dia sering tahu
apa yg orang banyak nggak tahu dan menyukai apa yg orang nggak menyukainya. Satu
lagi, dia juga memikirkan yg orang lain nggak memikirkannya. Suatu sore di akhir
Maret... Hujan lagi-lagi turun deras. Gw kepalang basah ada di jalan jadi ya sudah
terpaksa gw basah-basahan nyampe di kamar. Mandi dan berganti pakaian hangat, gw
segera bersembunyi di balik selimut. Masih dingin. Minum teh anget aja deh, lumayan
ngangetin badan. Gw ambil gelas, ah sial. Air di galon belum gw isi ulang. Gw ke kamer
Indra. Pintunya dikunci. Dia pasti masih molor. Lagi shif malem soalnya. "Mevaa," gw
ketuk pintu kamarnya. Mengecek keberadaan penghuni kamar di depan kamar gw.
"Masuuk aja Riii..." terdengar suara cewek dari dalam. Gw masuk dan memburu
dispenser. Sambil nunggu airnya panas gw melompat ke kasur dan menarik selimut
sampai menutup kepala. "Lo kenapa sih Ri?" Maen sradak-sruduk aja." Gw buka
selimut. Lupa gw kalo Meva juga ada di dalem kamer. Dia lagi baca buku. "Dingin,"
jawab gw pendek. Meva melirik sebentar lalu melanjutkan membaca. "Ya udah tidur
aja," komentarnya. "Ini juga mau tidur. Ntar abis minum teh gw tidur deh." Saat itu gw
beneran kedinginan. Telapak tangan dan kaki gw serasa kebas. "Gw tidur di sini yah?"
kata gw. Meva kernyitkan dahi. Sejenak gw pikir dia bakal ngusir gw. "Lo kayak yg baru
ngekos aja pake minta ijin segala," sahutnya. "Itu artinya gw menghormati lo sebagai
tuan rumah." "Sok baik loe." "Haha.. Gw emang baik kali." "Alaaah...tuh aernya panas."
Gw liat lampunya memang sudah menyala. Langsung gw seduh tehnya. "Matiin lagi
dispensernya," kata Meva lagi. Gw melakukan yg dimintanya tanpa berkomentar. Hujan
di luar masih deras menderu atap kamar dan gw sedang asyiknya menikmati
kehangatan teh yg menjalar ke seluruh tubuh ketika Meva bertanya. "Ri, lo tau tentang
lagu Gloomy Sunday nggak?" Gw balikkan badan dan menggeleng. "Apaan tuh" Nggak
pernah denger gw," kembali ke posisi duduk semula membelakangi Meva dan meneguk
lagi teh hangat. "Lagu kematian," jawab Meva. "Banyak orang bunuh diri setelah
dengerin lagu itu." "Oh ya?" gw menanggapinya acuh. Hanya satu kata yg terlintas di
benak gw : mitos. "Kok reaksi lo biasa aja?" "Lha, emang mesti gimana" Heboh gitu?"
"Ya enggak..." Meva menutup bukunya dan menaruhnya di atas bantal. "Kayaknya
ekspresi lo datar aja denger orang mati?" "Ya emang udah kayak gini, mau diapain
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
lagi?" teh di dalam cangkir hampir habis. "Ri..."
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Apa?" "Lo percaya surga nggak sih?" kata Meva. Gw diam sebentar. "Maksudnya?"
gw balik tanya. "Maksud gw, lo percaya nggak kalo surga itu ada?" Meva menjelaskan.
"Pertanyaan lo aneh." "Enggak. Ini samasekali enggak aneh. Gw mau tau pendapat lo."
"Surga ya" Emmmh....bentar ya gw pikir-pikir dulu." "Yah, kelamaan mikir elo mah."
"Emang kenapa sih lo tanya kayak gitu" Bukannya semua agama meyakini ada
kehidupan setelah manusia mati?" "Tapi gimana kalo itu semua nggak pernah ada"
Gimana kalo ini adalah satu-satunya kehidupan yg kita jalani, dan nggak ada kehidupan
lagi setelah ini" Gimana kalo surga ternyata nggak pernah ada?"" Gw diam. Jujur aja,
pertanyaan semacam itu sempat hinggap juga di otak gw. Tapi gw selalu nggak
menemukan jawabannya. "Seandainya ini memang satu-satunya kehidupan, apa yg
akan lo lakukan?" ujar gw tanpa bermaksud apa-apa. Giliran Meva yg diam. "Gw
percaya kok surga itu ada.." akhirnya dia bicara. "Nah ya udah, sekarang tinggal mikirin
aja gimana caranya biar bisa masuk surga. Gampang kan?" "Tapi, apa kita bakal
ketemu lagi di sana?" "Maksud lo?" gw heran. "Ada apa sih sama lo Va, ngomongnya
aneh banget hari ini." Dia menatap gw sayu. "Gw tau, saat-saat seperti ini nggak akan
berlangsung selamanya," ucapnya pelan. Sejenak diam, membiarkan suara rintikan
hujan yg jadi musik pengiring, lalu bicara lagi. "Gw tau Ri, suatu hari nanti kita pasti akan
jalani hidup kita sendiri-sendiri. Tapi, apa nanti kita akan ketemu lagi di surga?"
"Pertanyaan lo terlalu jauh." "Jawab pertanyaan gw." "Iya, kita pasti ketemu di surga.
Tinggal sms aja, ketemunya dimana," kata gw ngelantur. Dan tanpa gw duga, Meva
melompat, memeluk gw, lalu menangis. "Apa saat kita ketemu di surga nanti, kita masih
bisa seperti ini?" "Hei..hei...lo napa Va?" "Apa di surga lo masih akan kenal gw?"
"Meva...." gw dorong tubuhnya menjauh tapi pelukannya terlalu kuat. "Oke. Dengerin
gw." Meva masih menangis. "Terlalu jauh mikirin hal itu. Lebih baik sekarang lo kejar aja
dulu cita-cita lo. Udah, itu aja dulu deh. Ya?" Meva malah makin jadi. Dia menangis
kencang. "Va, gw masih disini kok. Kita masih sama-sama kan" Udah ah, ngapain sih
nangis.." Tapi Meva tetap menangis. Untuk pertama kalinya, gw memeluk Meva. Dia
tetap hangat, sehangat kecupannya di kening gw kemarin. Dia tetap sosok yg nggak
tertebak. Dan diam-diam gw berharap, semua akan tetap seperti ini. Gw nggak mau ini
berakhir. Please God........... Part 42 "Maafin gw," kata Meva. Dia melepaskan
pelukannya dan usapi airmata di kedua pipinya. Di luar hujan masih bergemericik. Tapi
udah nggak sedingin tadi. "Lo kenapa sih mendadak mellow?" tanya gw. Meva
menggeleng. Dia tertawa kecil untuk menghibur dirinya sendiri. "Udah dua hari ini gw
mimpi buruk," ujarnya pelan. "Mimpi buruk apa?" selidik gw. "Cukup buruk. Buruk banget
malah.........." "Mimpi apa sih?" gw penasaran. "Tapi lo jangan marah ya?" Gw
mengangguk. "Gw........mimpi lo meninggal, Ri." Sejenak kami sama-sama terdiam.
"Terus?" kata gw lagi. Datar. "Kok nanya 'terus'" Lo nggak sedih ya ada yg mimpiin lo
mati?" Meva protes. Gw tersenyum lalu berkata. "Kenapa mesti sedih" Itu kan cuma
mimpi" Lagian, semua orang pasti akan mati kok. Nggak usah dipermasalahkan lah,"
saat mengatakan ini bayangan Echi berkelebat di benak gw. "Iya loe mah enak, tinggal
mati, udah! Nah yg sedihnya kan yg ditinggalin!" Gw tertawa pelan. Kenapa sih mesti
ngebahas kayak ginian" "Udahlah, mimpi itu cuma bunganya tidur Va.." kata gw. "Nggak
perlu dipermasalahkan." "Kenapa?" Gw diam. "Kenapa" Kenapa lo nggak bisa
ngerasain takutnya gw kehilangan loe.....?" Gw terhenyak. Meva lagi ngomong apa sih"
"Jangan ngomongin itu sekarang boleh ya" Gw jadi parno nih kalo udah ngebahas soal
mati." Meva menarik napas berat. "Lo pernah nggak ditinggal orang yg paling lo
sayang?" tanya Meva lagi. Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Maksudnya..ditinggal mati?" gw memastikan. Meva mengangguk. "Pernah," jujur aja
berat sekali buat gw ngebahas ini. "Cewek gw. Dia meninggal hampir setahun yg lalu."
"Siapa namanya?" "Penting ya?" "Gw cuma mau tau." "Echi." "Oooh..." Meva
mengangguk pelan. "Terus gimana, apa lo udah relain dia pergi?" "Yaah...gimana yak,
rela nggak rela, masalahnya dia nggak akan kembali lagi kan" Jadi ya udah deh ikhlasin
aja." "Jadi lo nggak terlalu kehilangan ya?" "Bukannya gitu. Jelas gw kehilangan lah!
Cuma kan namanya orang hidup harus move on..nggak boleh terlalu larut sama yg
namanya kesedihan. Yah gw bisa ngomong gini juga karna gw udah ngerasain gimana
sakitnya kehilangan." Kami diam lagi. "Seandainya, ini seandainya loh! Seandainya gw
mati duluan, lo bakal kehilangan gw nggak Ri?" "Ah, napa sih loe hari ini nanya yg
aneh-aneh?" "Udah jawab aja laah.." "Emh, gimana yak" Buat ngebayanginnya aja udah
sakit banget, apalagi kalo sampe kejadian.." Meva tersenyum. "Gini Ri, misalnya gw
adalah cewek lo," katanya. "Terus gw mati. Nah, lo bakal mati juga demi gw nggak?"
Gak perlu waktu lama buat gw jawab. "Masih banyak cewek yg seksi, bahenol dan
cantik. Ngapain susah-susah mati buat lo?" kata gw ngasal. "Aaah! Loe itu!! Gw udah
seiya-iya nangisin loe, malah kayak gitu reaksi loe! Mengecewakan!" Meva ngambek.
Wajahnya berubah cemberut. Sementara gw di depannya cuma cengar-cengir geli.
"Awas aja, kalo nanti loe duluan yg mati, gw juga nggak akan nangisin loe!" Gw tertawa
lebar. "Udah ah, serius, gw nggak suka ngomongin soal mati. Biarin aja ngalir apa
adanya, nggak usah terlalu dipikirin, tapi juga ya jangan sampe dilupain sih." Meva
mendelik masih dengan ekspresi marah yg dibuat-buat. Justru gw malah pengen ketawa
liatnya. "Nyesel gw nanyain loe," gerutunya.
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Haha.. Iya, maaf. Abisnya lo gitu sih.." "Gitu gimana?"?" "Ya itu tadi. Masih muda juga
udah ngomongin soal mati." "Lah, emang apa salahnya" Usia muda nggak menjamin
seseorang punya durasi umur yg lebih lama kan?" Banyak ah, contohnya yg mati di usia
muda." "Iyaa gw tau itu. Yg nikah di usia muda juga banyak kan?" "Ah, loe beneran
nggak bisa diajak serius!!" Meva mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw
sambil ngomel nggak jelas. Gw cuma bisa meringkuk di balik tangan gw. "Gw benci
sama loe!" kata Meva lalu membanting bantal ke kasur. Dia masih cemberut. "Yah
marah nih..." canda gw. Gw yakin tadi dia nggak serius bilang gitu. "Beneran benci?"
"Marah!" "Yakin?" "Kesel!" "Oiya?"" "Iya, iya. Gw sebel," Meva menurunkan taraf
kemarahannya. Gw senyum-senyum geli melihat kelakuan Meva sore ini. "Sini deh Va,"
gw menarik tangannya mendekat. ".............................." Ini kedua kalinya gw memeluk


Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meva. Masih sama seperti tadi, gw bisa merasakan kehangatan tubuhnya. "Dengerin gw
ya Va," bisik gw di telinganya. "Gw emang nggak tau apa-apa soal surga. Tapi satu hal
yg gw yakin....enggak pernah ada airmata di surga. Surga itu tempatnya semua
kebahagiaan berujung. Ketenangan, kedamaian dan kenyamanan." "Lo yakin Ri?"
"Yakin banget," gw peluk dia makin erat. "Saat kita udah dapetin semua ketenangan,
kebahagiaan, kedamaian dan kenyamanan dalam hidup kita..saat itulah kita ada dalam
surga buat diri kita." Ah, ngomong apa sih gw" "Thanks ya Ri," bisik Meva. Dan sore itu
sebenarnya kami sama-sama saling menunjukkan ketakutan dalam diri kami. Sebuah
ketakutan yg nyata. Takut bahwa salahsatu dari kami akan meninggalkan yg lain. Takut
kehilangan. Dan saat itulah gw sadar, ternyata kami saling menyayangi............ Part 43
Well, ngga ada sedikitpun yg berubah dari gw dan Meva. Hanya saja, sekarang gw
sedikit lebih perasa. Gw bisa merasakannya, ada semacam keterikatan antara kami
berdua. Tapi gw nggak terlalu ambil pusing. Gw biarkan semua berjalan apa adanya
tanpa ada satu dari kami yg memaksakan ego. Biar sajalah. "Ciiieeee.... Lisa!!" suara
keras Meva membuat gw terlompat mundur dari pintu kamar. "Ngagetin aja!" gw balas
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
berteriak. Nasi bungkus di tangan gw nyaris terjatuh saking kagetnya. "Apaapaan sih
teriak-teriak nggak jelas?" "Suiit..suiiit.... Ehem!" Gw mengacuhkannya. Dia lagi gila kali,
kata gw dalam hati. Gw masuk dan ambil piring, bersiap menyantap mie ayam favorit
gw. "Pantesan akhir-akhir ini lo keliatan girang banget," lanjut Meva. "Maksudnya?"
tanya gw acuh. "Lisa!" dia berteriak lagi. "Dia pacar baru lo kan?"" Gw tersedak begitu
mendengar ucapannya. Dan seperti gw duga, Meva menggenggam handphone gw. "Dia
bukan pacar gw," kata gw protes. "Cuma rekan kerja di kantor." "Oh ya" Kok sms nya
mesra amat yak" Dan di inbox lo juga cuma ada pesan dari Lisa." Gw mulai merasa
nggak nyaman ngomongin ini. "Ngga sopan lo baca sms orang lain," gw kesal. "Lo
bukan orang lain buat gw, jadi gw sah-sah aja baca sms lo"." "Oh ya" Berarti gw juga
sah aja donk ngelakuin apapun ke loe?" Yah misalnya apa yaa..." "Enggak! Itu beda!"
"Beda di mana nya?"" "Pokoknya sama. Lo mau menang sendiri nih."
"Beda..beda..beda!!" Gw tertawa pelan. "Oke, kembali ke topik pembicaraan," ujar
Meva. "Udah berapa lama lo jadian sama cewek bernama Lisa?" "Udah gw bilang
kan...dia itu temen kerja doank. Nggak lebih! Lo jangan sembarangan ngegosip." gw
masih asyik dengan mie di mulut gw. "Kalo gitu, berarti Lisa suka sama lo." "Darimana lo
tau" Ketemu aja nggak pernah." "Gw tau dari cara dia ngomong di sms loe. Mana ada
sih cewek yg perhatian banget sama cowok, tanpa dia nggak suka sama tuh cowok" Gw
cewek Ri, gw tau itu." "Tapi lo juga perhatian sama gw," kata gw. "Berarti lo suka sama
gw?" Meva diam sejenak, lalu meledaklah tawanya. Gw cuma mencibir. "Punya selotip?"
tanya Meva. Dia nampak mengalihkan pembicaraan. "Di laci lemari baju," jawab gw
singkat. Meva berjalan ke lemari, meninggalkan handphone gw di lantai. Gw ambil dan
segera gw hapus semua pesan di inbox gw. Lisa memang rekan kerja di kantor, dan gw
jamin nggak lebih dari itu. Dia termasuk karyawan senior, satu tahun lebih awal bekerja
di sana. Tadinya dia di HRD, kemudian sejak ganti tahun dia dimutasi ke Divisi
Machining tempat gw selama ini. Jadilah kami saling kenal dan ketemu tiap hari.
Namanya juga temen kerja, sering ngobrol di kantor pas jam kerja atau sms an sepulang
kerja, gw rasa itu normalnormal aja ah. Nggak ada yg lebih dari itu. Gw anggap
perhatiannya ke gw sebatas teman. That's all. Meva duduk di sebelah gw. "Kenapa
diapusin semua?" dia mengintip layar handphone gw. "Pengen aja," jawab gw.
"Gimana sih rasanya pacaran?" kata Meva lagi. Dia sedang mencari ujung selotip hitam
di tangannya. "Gw belum pernah sekalipun pacaran soalnya." "Bohong." "Serius. Mana
gw sempet pacaran, kalo semua cowok aja pada ngejauhin gw?" "Nggak semua." "Iya,
kecuali loe. Terus, gimana rasanya" Pasti seneng ya punya pacar?" dia sudah
menemukan ujung selotip, menariknya sedikit lalu mengguntingnya. "Pertanyaan
bodoh," kata gw dalam hati. Kalo diliat dari fisik, gw yakin nggak ada yg percaya kalo
Meva ternyata nggak pernah pacaran. Dia cantik! (gw semangat banget ngomong ini)
"Sebenernya biasa aja sih, nggak ada sensasi khusus," kata gw. "Masa" Lo pasti
pernah ngelakuinnya kan?" "Ngelakuin apa maksud lo?" Meva meletakkan telunjuknya
tepat di bibirnya. "Kissing," lanjut dia. "Pasti lo pernah kan?" Jujur aja." Gw tertawa kecil.
"Iya gw pernah," kata gw sedikit malu. "Terus terus terus, gimana rasanya?" Kalo gw
ngebayanginnya, kayaknya iiiih.....agak gimana gitu." "Lo mau tau rasanya ciuman"
Sini," gw tarik kepalanya biar mendekat ke gw. Dan... Plakk! Meva menampar pipi kanan
gw. "Udah pernah gw bilang kan?" Jangan bikin gw kaget!!!" teriaknya. "Gw cuma mau
tau aja, bukan praktek!" "Becanda Va...gw becanda tadi!" kata gw kesal. Ini ke empat
kalinya gw kena tampar Meva. "Iya, tapi gw kaget! Makanya gw refleks nampar lo!"
"Nggak asyik ah." Meva masih cemberut. Dia mengeluarkan sesuatu, seperti kalung,
dari saku celananya. Menaruhnya melingkar di lantai, lalu menempelkan selotip hitam di
bagian yg nggak tersambung. "Lagi diapain tuh?" tanya gw.
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Ini kalung salib dari nenek gw." Gw ingat. Itu memang kalung yg biasa dipakainya.
"Patah nih, mau gw sambung." Meva selesai merekatkan selotip di talinya. "Kok bisa sih
putus gitu?" "Tadi ngga sengaja nyangkol di tas waktu di kampus." Meva merentangkan
kalungnya lalu mengenakannya di leher. Meva tersenyum manis. "Gw cantik nggak Ri?"
tiba-tiba dia bertanya. Sejenak gw diam. "Banget," kata gw. Meva tersenyum lagi lalu
beranjak keluar. Selama beberapa saat, wanginya masih tertinggal. Wangi yg khas.......
Part 44 Gw baru beberapa langkah keluar dari gerbang ketika dari belakang terdengar
bunyi klakson motor. Gw menepi, dan pengendara motor itu tersenyum lalu hentikan
motor di depan gw. "Mau bareng?" tanya Lisa. "Gw juga lewat Teluk Jam*e." "Nggak
ngerepotin nih?" kata gw memastikan. "Enggak lah... Lo kayak sama siapa aja sih pake
basa-basi. Udah tinggal naek aja." Dan nggak butuh dua kali berpikir buat gw menyetujui
niat baiknya. Maka sore itu gw pun diantar pulang oleh Lisa, temen kerja gw. Lumayan
lah skali-kali ngirit ongkos. Hehehe.. Motor berhenti tepat di depan gerbang kosan. Gw
turun dan bersiap mengucapkan terimakasih, sebelum Lisa juga turun dan membuka
pintu lalu memarkir motornya ke dalam. "Gw mampir ke kosan lo, boleh khan?" katanya
menjawab pandangan heran gw. "Oh, boleh kok. Enggak papa," ujar gw. Lisa tersenyum
senang. "Gw bosen di rumah terus, skali-kali refreshing," katanya. "Kamer lo yg mana?"
"Kamer gw di atas. Paling atas." Dan kami segera menuju lantai atas. Saat itu kosan
sudah mulai ramai karena rata-rata penghuninya balik kerja jam-jam segini. Jujur aja, gw
sedikit malu karena ini pertama kalinya gw "bawa" cewek ke kosan. Yah walaupun
dalam konotasi yg sedikit berbeda, gw nggak enak aja membalas senyuman
temen-temen yg liat gw jalan sama Lisa. Lisa adalah cewek periang yg punya
pandangan luas tentang hidupnya. Selalu berpikir kritis, dan tentu saja, dia sedikit
banyak bawel. Buat gw Lisa adalah orang yg cocok sebagai partner kerja. Dia giat dan
beberapa kali malah dia yg menyelesaikan job gw di kantor, tentu saja tanpa
sepengetahuan bos. Hehehe. "Capek juga ya tiap hari mesti naik tangga kayak gini,"
Lisa berkomentar. Kami sampai di lantai atas. Sebagai catatan, gw nggak pernah
mengunci kamar gw ketika gw pergi. Kalaupun dikunci, gw taroh di lubang fentilasi,
tempat yg sudah bukan rahasia buat Indra dan Meva. Maka gw nggak begitu terkejut
ketika mendapati Meva ada di dalam kamar gw sedang tiduran di kasur sambil maen
gamewatch. Ekspresi yg berbeda ditunjukkan Lisa. "Eh, lo udah balik Ri.." Meva bangun
dan menatap gw dan Lisa sedikit gugup. Gw tersenyum. "Ini..." kata Lisa menunjuk
Meva. Kelihatannya dia nggak biasa liat cewek di dalem kamer cowok. "Oh, kenalin. Ini
Meva," gw memperkenalkan. "Meva, ini Lisa.." "Ooh...ini Lisa, yg di sms itu ya?" kata
Meva, ingat sms yg dibacanya di handphone gw. "Hay.." Meva menyodorkan tangan,
mengajak salaman. "Eh, hay.." sahut Lisa. Mengacuhkan ajakan Meva berjabat tangan.
Gw mulai merasa nggak enak di sini. Meva berusaha menutupi kekesalannya, menarik
tangannya dan nyengir lebar. "Gw udah beliin mie ayam buat lo Ri, tuh di atas galon.
Piringnya juga udah gw cuciin tuh, tinggal makan aja," katanya. "Gw ke kamer dulu deh."
Lalu Meva bergegas keluar menuju kamarnya. "Ehm, mau di sini atau ngobrol di luar
aja?" kata gw ke Lisa. "Di sini aja deh," Lisa duduk di lantai. Gw merapikan beberapa
barang yg berserakan di lantai. Nggak begitu berantakan sih sebenernya, karena Meva
pasti sudah merapikannya. "Cewek yg tadi siapa sih?" tanya Lisa. "Meva." "Maksud gw,
dia itu siapa nya lo" Kok ada di kamer lo?" "Seperti yg lo liat, dia penghuni kamer depan
gw. Dia cuma temen kok." "Oiya?" Dia temen yg baik yah, sampe beliin lo makan dan
nyuciin piring?" kata Lisa lagi dengan nada menyindir. "Udah biasa kok." "Hebat! Kalo
gw, gw nggak biasa tuh ada cowok tiduran di dalem kamer gw. Nggak tau deh kalo lo
gimana.." Nada bicaranya nggak enak banget. Kayaknya lebih baik nggak
memperpanjang pembicaraan ini. "Lo mau teh?" gw menawarinya. "Boleh. Eh, ada kopi
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
nggak" Kopi aja deh, kalo ada." Gw mengangguk dan mempersiapkan dua gelas kecil
buat gw dan Lisa. "Sejak kapan lo kenal sama cewek itu?" tanya Lisa. Dia sepertinya
masih tertarik membahas soal Meva. "Udah lama. Sejak gw kerja di sini." "Kalian udah
deket banget ya?" "Yah begitulah." "Sedeket apa?" "Emmh..ya pokoknya deket ajah.
Temen gw juga bukan dia aja." "Apa dia cewek lo?" "Maksudnya?" "Pacar. Apa si Meva
itu pacar loe?" Gw tertawa kecil. "Bukan. Dia cuma temen kok." Lisa berdiri. "Numpang
ke kamer mandi yah?" katanya. "Oh, boleh.." Lisa masuk ke kamar mandi, sementara
gw sudah selesai dengan kopi dan teh di tangan gw. "Sebenernya hubungan kalian tuh
apa sih?" kata Lisa begitu keluar dari kamar mandi. Di kedua tangannya ada sesuatu yg
seharusnya cuma ada di kamer cewek, karena itu memang punya cewek. "Ini punya dia
kan?" "Eh..mungkin tadi dia numpang nyuci di sini. Iya, pasti gitu." Lisa menarik nafas
berat. "Oke. Kalian emang deket banget kayaknya," katanya lagi. Melempar 'punya'
Meva ke kasur lalu duduk di dekat gw. "Kami emang deket, tapi cuma sebatas temen."
"Enggak papa kok, nyantai aja. Nggak masalah." Dia tersenyum seperti biasanya.
Sempat sedikit kikuk, lalu suasana mencair kembali. Dan akhirnya kami ngobrol-ngobrol
ringan sampai sore hampir habis. Lisa pamit pulang saat matahari sudah benar-benar
terbenam.. Part 45 "Ciiiiieeeeeeeee..!!" suara Meva terdengar memekakan sebelah
telinga gw. Dia bergelayutan di punggung gw, nyaris membuat gw terpelanting ke
belakang. Untung gw masih bisa meraih gagang pintu. "Udah gede ya lo sekarang,"
katanya mengacak rambut gw. "Udah ngerti pacaran." "Ekh...tokh...log....tagam..lokh...."
leher gw tercekik. Kayaknya gw udah deket sama malaikat pencabut nyawa. "Ups,
sorry." Meva melepaskan tangannya dari leher gw. "Lo mau ngebunuh gw ya?"" gw
usapi leher gw yg memerah. "Hehehe.." Meva malah tertawa tanpa rasa bersalah. Eh,
lebih tepatnya bodoh. "Dia ke mana" Udah balik?"
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Udah, baru aja tuh." Gw buka pintu kamar. Dan Meva menyelinap mendahului gw
masuk. Ketika dilihatnya barang miliknya tergeletak di kasur, buru-buru dia ambil dan
sembunyikan di balik badannya. Dia nyengir lebar. "Kok bisa ada di luar sih" Perasaan
gw taro di dalem kamer mandi deh," katanya malu. "Gw yg ngeluarin," kata gw bohong.
"Hah" Buat apaan?" "Apa yak" Sedikit berimajinasi aja siih." "Whats" Maksud loe?""
dua mata Meva melotot ke gw. Gw tertawa lebar. "Laen kali jangan gantung
barang-barang kayak gitu di kamer mandi gw." "Iya iya sorry gw lupa tadi mah." "Pikun
lo. Kalo aja kepala nggak nempel di leher, kayaknya sekarang lo lagi sibuk nyariin
kepala lo deh. Sekarang lo cocok dipanggil Nenek Meva deh.." "Enak aja! Nggak mau!"
Gw duduk di samping galon. Membuka bungkusan mie ayam yg belum sempat gw
makan. "Ri," kata Meva. "Tadi kayaknya Lisa nggak suka ya sama gw?" "Kata sapa" Dia
fine-fine aja kok. Malah sering nanya soal lo." Gw bohong lagi. "Masa" Tapi tadi nggak
gitu deh yg gw liat." "Lo mah liat semut aja dibilang gajah." "Ih, serius gw Ri!" Meva
ngotot. "Tadi itu keliatan banget dia nggak suka sama gw." "Terus kenapa" Itu hak dia
kan" Sama kayak elo, lo juga berhak buat nggak suka sama dia.." "Ah, enggak ah.
Entar lo nya marah sama gw." "Marah kenapa" Nggak ada hubungannya sama gw." "Ya
ada lah! Lo kan pacarnya!" "Udah berapa kali sih gw bilang dia itu bukan siapa-siapa
gw." "Enggak... Mata lo. Gw bisa baca hati lo, dari tatapan mata lo." "Wah,
jangan-jangan lo bisa liat tembus pandang lagi?" Meva tertawa. "Ngawur lo," katanya.
Hampir setengah mangkok mie sudah gw habiskan. "Oiya, si Indra mana" Kok sekarang
dia jarang keliatan ya?" tanya Meva. "Lagi sibuk dia.. Namanya juga orang penting." "Eh
iya ya, dia sekarang udah jadi bos." "Begitulah." "Lo gimana" Kapan lo jadi bos"
Perasaan gw liat lo nggak ada bosennya jadi anak buah." "Haha.. Enggak papa deh.
Belum waktunya kali. Biar aja, kalo gw emang takdirnya jadi orang gede ya nggak akan
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
kemana. Kalo enggak, ya itu berarti gw emang nggak punya bakat jadi orang sukses."
Meva tertawa lagi. "Eh eh, balik ke topik semula!" katanya lagi. "Soal Lisa!" Gw
meliriknya sebentar. Kayaknya hari ini Lisa jadi trending topic. "Udah berapa lama kalian
jadian?" "Udah berapa lama gw bilang kalo gw sama dia nggak punya hubungan
khusus?" "Ah, sejak kapan lo jadi pembohong?" "Dan sejak kapan lo jadi o-o-n?" Meva
mencibir. "Gw tau kok Ri, lo suka kan sama dia?" "Tau dari mana?" "Kayak yg udah gw
bilang, gw bisa baca pandangan mata lo." "Kalo gitu sama kayak yg gw bilang, apa lo
bisa liat gw tembus pandang?" "Enggak bisa!" "Oooh..." gw mengangguk pelan. "Kalo
gw bisa." "Hah?" Asli nggak?"" Meva menarik selimut di kasur menutupi badannya. Gw
terkikih. "Jadi selama ini...loe..." "Enggak lah! Gw becanda! Punya ilmu dari mana sih gw
bisa liat kayak gituan" Hehe.." "Oh, kirain!" dia melempar selimut ke kasur. Mie sudah
habis. Meskipun rasanya agak sedikit aneh dan lembek gara-gara terlalu lama
didiamkan, perut gw lumayan kenyang. "Oiya, kan lo bilang tadi bisa baca isi hati orang
dari tatapan matanya?" kata gw. Meva mengangguk. "Kalo gitu coba tebak isi hati gw,
dari cara gw ngeliat loe. Bisa?" Sejenak gw dan Meva saling adu pandang. "Gw tau yg
lo pikirin," katanya. "Apa coba?" Dia tersenyum. "Ada deeh....." kata Meva lagi. "Jiaah,
dasar. Bilang aja nggak bisa." Malam baru saja beranjak datang. Masih terlalu sore buat
gw tidur. Dan waktu Meva mengajukan usul maen catur, tanpa ragu gw setujui usulnya.
Kebetulan akhir-akhir ini kami memang jarang tanding catur lagi. Dan rupanya Meva
makin jago aja. Berkali-kali menteri gw diteror, nyaris mati kalau saja gw nggak
mengorbankan dua luncur yg gw punya untuk menyelamatkannya. Meva juga punya
strategi baru. Dia secara frontal mengejar menteri gw dan membuatnya tersudut, sangat
berambisi memakannya. Daaan......hasil pertandingan malam ini adalah : 5-0 !! YESSS
!!! Gw kalah lagi !! Saking kecewanya gw sampe lupa kalo gw belum mandi dari sore.
Huaah...malam ini kerasa panjang banget. Gw baru selesai maen catur pas jam
setengah duabelas malam. Sempat gitar-gitaran juga sebelum akhirnya gw beranjak ke
kasur. Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, gw nggak pernah bisa ngalahin Meva
maen catuur !! Part 46 Waktu bergulir begitu cepat. Nggak kerasa udah nyampe
pertengahan tahun. Kehidupan anak kos di tempat gw juga mulai berubah. Beberapa
orang temen memutuskan pindah ke kosan yg lain. Diganti dengan orang baru yg
tentunya butuh adaptasi lagi sama orang lama kayak gw. Begitu juga Indra. Setelah
sekian lama jarang bertemu, di satu sore yg panas dia menemui gw dengan membawa
sebuah kabar. "Gw mau beli rumah Ri," katanya bersemangat ke gw yg waktu itu lagi
ngadem di balkon sepulang kerja. "Wah serius tuh?"" kata gw hampir nggak percaya,
tapi dari dalam hati gw ikut gembira denger kabar itu. Indra mengangguk. "Insya Allah
bulan depan gw udah pindah ke rumah baru gw itu. Lagi diproses sama bank yg
bersangkutan, dan planning nya beres akhir bulan ini." Gw berdecak kagum. "Beli rumah
dimana lo dul?" gw tetep manggil dia seperti itu meski sekarang potongan rambut dia
sudah sangat mirip dengan Nirvana. "Di Kara*a. Enggak cash sih belinya. Ikut program
dari perusahaan aja." "Mau cash ataupun nyicil, yg penting punya rumah," kata gw.
"Hebat lo Dul, gw ikut seneng deh." Indra tertawa pelan. "Thanks Ri. Gw udah mulai
mikirin hidup gw ke depan soalnya.." "Tunggu dulu," potong gw. "Maksud lo mikirin hidup
ke depan itu ada hubungannya sama KUA?" Dia tertawa lagi, kali ini sambil anggukkan
kepala beberapa kali. "Kurang lebih begitu..." katanya. "Wah udah punya calonnya
emang" Kok nggak pernah cerita siih?" "Haha.. Gw bukan artis Ri. Ngapain juga gw
cerita-cerita soal kehidupan pribadi?" "Ya seenggaknya sama gw laah. Masa temen
sendiri nggak tau lo mau married" Lo juga sih ngilang mulu." "Iya Ri gw terlalu sibuk
ama kerjaan soalnya. Lumayan lah nambah-nambah buat modal nikah nanti." "Kapan lo
nikahnya" Gw diundang nggak nih?"
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Pasti lah. Masa temen sebelah segitu deketnya nggak diundang?" "Jadi kapan
waktunya?" "Emmh...keluarganya cewek gw sih pengennya sebelum tahun depan kita
udah resmi. Gw setuju-setuju aja. Paling lambat akhir tahun lah. Masih dalam tahap
perundingan, gw juga kudu ketemu langsung sama orangtua gw. Nyari hari baiknya
kapan. Kan gitu tradisi orang Jawa." Gw tersenyum. "Sama orang Jawa juga?" tanya
gw. "Enggak," dia menggeleng. "Orang sini kok. Anak Klari." Gw tarik napas panjang.
Baru denger kabar temen married aja gw udah seneng, gimana seandainya gw yg
married yah?" Haha... Gw ketawa sendiri dalam hati. Jujur aja sekarang-sekarang ini gw
belum terlalu kepikiran jauh ke depan, dalam hal ini soal nikah. Tapi liat Indra udah
seserius itu, gw juga jadi mulai berandai-andai. Kapan gw nikah" Dan siapa pasangan
yg tepat buat gw" Begitu nyampe di pertanyaan kedua, yg terbayang di benak gw
adalah Echi. Hati gw mencelos. Seperti ada sebalok es batu yg meluncur dalam perut
gw tiap kali inget dia. Biar gimanapun kami pernah merencanakan mimpi yg sama buat
masa depan kami. Mungkin karena itu juga gw belum berani memikirkan yg jauh-jauh.
Gw masih menikmati masa-masa lajang dan bebas. Bebas memilih, bebas melakukan
apapun bareng temen-temen, dan tentu saja bebas menentukan kapan waktunya gw
mengakhiri kebebasan ini. "Lo nggak kepikiran buat married Ri?" tanya Indra. Sama
persis dengan yg lagi gw pikirin. "Bukan 'enggak' tapi 'belum' aja. Gw belum siap," kata
gw apa adanya. "Terus kapan siapnya" Umur lo udah tua juga. Ditunda-tunda entar
malah jadi bujang lapuk loh." "Haha.. Insya Allah enggak. Gw juga nggak tua-tua amat
kok. Baru juga 22 tahun. Masih mau nikmatin hidup sama temen-temen. Belum mau
terikat aja. Kan kalo udah punya bini pasti susah tuh buat sekedar nongkrong sama
temen-temen" Nggak bebas aja. Beda sama lo, kalo lo kan udah kepala tiga umurnya."
"Busseett!! Gw baru dualima Ri. Emang tampang gw ketuaan banget yah?" Gw
mengangguk bersemangat. "Sialan lo," gerutunya. "Tapi kapanpun lo siap, jangan lupa
undang gw. Gw akan bantu lo sebisa gw. Ya mungkin gw bisa berbagi pengalaman
sama lo nantinya. Pokoknya tenang aja deh, lo itu bestfriend gw. Apapun gw lakuin buat
bantu lo." "Hahaha.. Thanks dul," gw menjabat tangannya. Kami sama-sama tertawa
bahagia. "Tapi pasti nanti kosan ini bakal sepi tanpa loe.." kata gw. "Kan masih ada
Meva?" "Jiaah, beda itu mah. Temen cowok sama temen cewek beda laah. Kalo sama
cowok kan bisa bebas becanda dan ngomong apa juga, nggak kayak sama cewek,
mereka lebih sensi soalnya." "Lo bisa ikut gw kok. Kan gw nikahnya masih lama, jadi lo


Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa bareng sama gw di rumah gw, kalo lo mau. Sampe nanti gw married?" Gw berpikir
sejenak. "Gw di sini aja deh, takut ngerepotin lo kalo gw numpang di rumah lo."
"Hahaha.. Kayak sama siapa aja." Dan sore itu, gw bener-bener menikmati momen itu.
Becanda bareng, ngobrol-ngobrol tentang impian kami ke depan. Dan di titik ini jg gw
mulai sadar, hidup setiap orang pasti akan berubah. Nggak mungkin selamanya
melajang. Nggak mungkin juga terus-terusan jdi anak kos yg males-malesan. Harus ada
titik balik untuk membangun kehidupan bersama keluarga kelak. Dan semoga udah gw
siap untuk itu kalau waktunya tiba nanti. Part 47 Di suatu malam minggu yg cerah.
Waktu itu sekitar seminggu menjelang kepindahan Indra ke rumah barunya. Gw dan
beberapa temen mengadakan semacam acara perpisahan. Dengan beberapa botol soft
drink dan makanan ringan sebagai pelengkap menu ikan bakar malam itu acara
berlangsung sederhana tapi menyenangkan. Mulai bakar ikan jam sembilan dan baru
bisa disantap sekitar jam sebelas. Cukup lama juga buat memastikan ikannya
bener-bener mateng. Ini bukan acara resmi. Nggak ada MC, nggak ada undangan,
semuanya berjalan apa adanya. Kabar tentang acara ini pun cuma menyebar dari mulut
ke mulut sesama anak kos. Yg punya waktu silakan ngeramein, begitu kesepakatannya.
Dan yg namanya anak kos, kapan sih kita nggak punya waktu?" Selain dua kamar di
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
atas yg terpaksa menyesali ketidakhadirannya demi loyalitas lembur, ada juga beberapa
temen yg sudah punya jadwal mudik ataupun ngapel, jadi nggak bisa ikut. Selebihnya
semua yg gw kenal hadir. Ada Raja, Hilman, Akbar, Miko dan Iwan dari lantai bawah
dan juga Nendra dan Teguh serta Kurniawan dari lantai dua. Semua hadir, kecuali
Meva. Sejak selepas isya, pintu kamarnya tertutup rapat. Gw tahu dia ada di dalam dan
tentu saja dia juga mendengar suara-suara kami yg cukup berisik. Becanda, nyetel lagu
lewat speaker aktif di kamernya Indra dan nyanyi-nyanyi nggak jelas diiringi gitar tua
milik Indra, kurang lebih begitulah susunan acara malem itu. Acaranya sendiri diadakan
di depan kamer gw karena kamer gw yg paling ujung, dan berakhir begitu ikan bakarnya
habis dan temen-temen mulai balik ke kamernya masing-masing menjelang dini hari.
Kurniawan dan Teguh bilang mau begadang sampe pagi, tapi baru jam satu mereka
udah tepar dan akhirnya balik ke kamer mereka. Tinggal gw dan Indra di balkon,
ditemani tumpukan piring kotor bekas makan tadi, hasil minjem dari temen-temen juga.
Indra duduk tenang di tembok balkon sementara gw membereskan panggangan ikan,
arangnya ada yg berserakan di lantai dan bekas asapnya tadi meninggalkan jejak hitam
di dinding balkon. "Biar nanti gw aja yg cuci piringnya," kata Indra tetap pada posisinya.
"Oke. Gw cuma beresin bekas bakar ikannya," sahut gw. Setelah selesai berbenah gw
ke kamer mandi, cuci tangan, kemudian balik lagi ke balkon. Suasananya beda banget.
Tadi rame dan berisik, sekarang bahkan suara jangkrik di rerumputan belakang kosan
ini pun terdengar nyaring. Gw duduk di tembok juga. Dan saat itulah terdengar derit
pintu terbuka dari kamar Meva. Yg sebenernya gw harap ikut ngeramein acara tadi
akhirnya nongol juga. Gw sih maklum Meva nggak muncul pas bakaran ikan, dia
memang nggak suka ada di tengah keramaian kayak tadi. Dan kemunculannya pagi ini
gw anggap sebagai bentuk penghormatan kepada Indra yg punya gawe, seenggaknya
Meva tetep hadir. Dia tersenyum pada kami berdua lalu duduk di kursi kecil di depan
kamer gw. "Udah beres yaah acaranya?" katanya. "Belum kok. Masih ada segmen ke
dua, khusus buat lo," sahut Indra. "Wah yg benerr?" Meva terlihat seneng. "Iya. Tuh,"
Indra menunjuk tumpukan piring dengan dua jarinya yg mengepit batang rokok.
"Namanya segmen cuci piring." "Maksudnya, gw nyuciin piring gitu?" ekspresinya
mendadak berubah. Gw dan Indra sontak tertawa. "Enak aja!" cibir Meva. "Lo sih malah
ngumpet. Nggak kebagian kan jadinya," kata gw. "Gw kan udah bilang gw nggak akan
ikut kalo ramean kayak tadi." Indra mengangguk. "Udah gw sisain kok, ada ikan
bakarnya satu di kamer gw." katanya. "Enggak usah Ndra, gw nggak doyan makan
ikan," Meva menolak halus. "Loh, terus siapa dong yg mau ngabisin ikannya?" "Ari aja
tuh," Meva menunjuk gw. "Enggak ah gw udah kenyang. Perut gw mau meledak malah,"
gw juga menolak. Kami bertiga diam. "Ya udah buat sarapan pagi gw aja deh," kata
Indra. Dia embuskan asap putih dari mulutnya. Dan saat itulah mendadak gw merasa
suatu hari nanti gw pasti akan kangen dengan momen-momen kebersamaan seperti ini.
Apalagi tadi sempet ada temen-temen yg lain. Kita emang jarang banget kumpul kayak
tadi. "Gw bakal kangen nih sama kosan ini," kata Indra seolah ikut ada dalam pikiran gw.
"Sama kalian berdua juga pastinya." Gw tersenyum. "Lo bisa ke sini kapanpun lo mau
kok dul," kata gw. Indra balas tersenyum. Dari sela bibirnya keluar asap putih. "Yah
seenggaknya sampe beberapa bulan lagi, sampe gw married. Lo ngerti lah, gw bakal
susah 1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
ngelayab kalo ada bini di rumah. Hehehe.." Gw tertawa. "Huh, kayaknya waktu berjalan
cepet banget..." lanjutnya. "Gw pikir baru kemaren gw lulus sekolah, sekarang udah mau
married aja." Gw ngerti yg Indra rasain. Dia orang pertama yg gw kenal di kosan ini. Dia
temen terdekat gw. Wajar lah kalo gw bakal kangen sama becandaannya yg
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
kadang-kadang garing. Indra juga baik, jadi menurut gw cewek yg jadi istrinya nanti
adalah cewek paling beruntung di dunia ini. Gw, Indra maupun Meva memilih diam.
Kami sedang larut dalam pikiran kami. Tapi gw yakin, kami merasakan hal yg sama pagi
itu. Rasa yg sudah selayaknya dimiliki seorang sahabat. I love friendship.................
Part 48 "Kayaknya asyik ya kalo kita bisa ngeliat masa depan kita kayak apa," tiba-tiba
Meva nyeletuk memecah kesunyian pagi. Gw melirik ke arahnya dan tersenyum lebar.
"Bener banget tuh Va," sahut gw. "Gw pengen liat siapa bini gw di masa depan nanti."
Dan gw tertawa. "Bukannya sekarang lo udah liat yaa?"" Indra menyenggol kaki gw.
Melirik Meva, lalu ke gw lagi, dan akhirnya nyengir nggak jelas. Gw sih ngerti maksud
senggolan dan lirikan Indra itu. Itu yg bikin gw tertawa lagi. "Kalian kenapa?"" Meva
bingung. "Ah, enggak enggak. Nggak usah dipikirin," gw langsung berfikir mencari topik
lain. "Emangnya," Indra memotong. "Apa yg mau lo liat dari masa depan?" tanyanya ke
Meva. Dia mendapatkan topik pengalih yg tepat. "Emmmhh...kalo gw yaa, gw pengen
tau, jadi apa gw setelah lulus kuliah?"" jawab Meva sumringah. "Oke, kalo lo Ri?" tanya
Indra ke gw. "Udah gw bilang tadi," jawab gw. "Oke. Jadi gini loh," katanya. "Menurut
gw, bisa ngeliat masa depan tuh nggak sepenuhnya baik buat kita." "Kenapa nggak
baik" Bukannya justru itu bagus ya" Kan kita bisa mencegah sesuatu yg buruk yg terjadi
di masa depan?" sergah gw. Gw nggak setuju dengan pendapat Indra. "Ari bener
banget tuh. Gw setuju," kata Meva. Indra tertawa pelan. "Oke. Sekarang gini, misalnya
lo tau, di masa yg akan datang, tahun 2020 misalnya, akan ada wabah penyakit yg
mematikan di negeri ini... Apa yg akan lo lakuin" Yah anggep aja lo adalah presiden."
"Gw," gw berpikir. "Kalo gw, gw akan mengumpulkan semua orang sakit di negeri ini
untuk diobati. Jadi, wabah itu nggak akan pernah ada. Gw berhasil mencegahnya
sebelum terjadi. Itu yg gw maksud 'melihat masa depan' dul!" Indra tersenyum senang.
"Gw setuju sama Ari," kata Meva. "Nggak kreatif ah daritadi lo cuma bilang setuju aja,"
ujar gw. Meva nyengir bloon. "Nah kalo loe Va," Indra bertanya ke Meva. "Seandainya lo
tau sepuluh tahun yg akan datang lo akan jadi wanita karir yg sukses, apa yg akan lo
lakukan sekarang?" "Jelas gw enjoy laah!" jawab Meva bersemangat. "Gw bisa lebih
santai ngejalanin hidup. Gw bisa sedikit males-malesan. Toh gw udah dapet kepastian
gw akan jadi orang sukses nantinya." "Gw setuju sama Meva," kata gw disambut cibiran
Meva. Indra malah ketawa. "Nggak ada salahnya kalian berpendapat kayak gitu,"
katanya. "Tapi apa kalian sadar sesuatu yg penting, dari 'melihat masa depan'" Ketika
kita tau ada sesuatu yg buruk yg terjadi di masa depan, yg kita lakukan sekarang justru
adalah mewujudkannya terjadi, bukan mencegahnya. Dan ketika kita mendapatkan
kabar baik, justru kita malah membuatnya nggak terjadi." Gw dan Meva diam. "Maksud
lo" Gw belum ngerti," komentar gw. "Dengan mengumpulkan semua orang sakit di
seluruh negeri, itu bukan mencegah, tapi justru dari situlah wabah mematikan itu lahir.
Iya kan" Ribuan virus yg orang-orang sakit itu bawa, akan bercampur dan jadi wabah
mematikan. Itu dia yg gw maksud, kita malah membuat itu benar-benar terjadi," Indra
menjelaskan panjang lebar. "Nah, soal wanita karir yg sukses.. Dengan lo
malas-malasan kayak yg lo bilang itu Va, apa mungkin dengan malas lo akan bisa jadi
orang sukses di masa depan?" Meva menggelengkan kepala. "Mana ada orang males
bisa sukses" Iya kan?" lanjut Indra. Gw merasakan kebenaran dari penjelasan Indra
barusan. "Lo bener juga dul.." kata gw. Indra tersenyum penuh kemenangan. Gw lirik
Meva. Nampaknya dia satu pikiran dengan gw. "Dari dulu gw benci sama yg namanya
peramal," kata Indra. "Menurut gw, masa depan itu adalah misteri. Jadi dengan
memberitahukan masa depan orang lain, justru dia merampas harapan orang itu untuk
berusaha mewujudkannya. Iya kan?" Lagi-lagi gw terdiam. Gw setuju banget kali ini.
"Buat gw, lebih baik nggak pernah tau apa yg akan terjadi di masa depan. Karena
dengan begitu gw masih punya harapan tentang misteri hidup gw. Gw masih bebas
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
berharap, akan jadi apa gw kelak. Dan gw juga bisa bebas memilih impian gw." Well,
pagi ini gw seperti sedang mendengar motivator yg bicara, dan bukan sahabat gw. "Buat
sebagian orang, hidup itu berawal dari mimpi," lanjutnya. "Tapi buat gw, hidup justru
berawal ketika gw baru memejamkan mata. Gw yg memilih mau mimpi apa gw malam
ini. Gw yg menentukan mimpi buat hidup gw, bukan mimpi yg menentukan hidup gw."
Gw dan Meva saling pandang. Cukup lama, kami mencoba menelaah omongan Indra
tadi. "Ah, ngomong apa sih gw?"" Indra tertawa lagi. "Udahlah anggep aja gw tadi lagi
mabok dan ngoceh nggak jelas. Nggak usah terlalu dipikirin lah." "Thanks dul buat
sedikit wejangannya. Emang ya, yg namanya orang tua itu pasti banyak
pengalamannya?" "Maksud lo, gw tua dong?"" Kami bertiga tertawa. Dan setelah sedikit
membahas tentang masa depan yg tadi dijelaskan Indra, kami mulai ngobrol nggak
jelas. Ketawa-ketiwi sesukanya, sejenak melupakan bahwa momen kebersamaan ini
mungkin akan segera berakhir. Tapi satu yg gw yakini, semua akan berakhir indah
nantinya............... Part 49 Jumat sore di minggu yg sama... Gw baru balik kerja. Tiba di
lantai atas gw mendapati Indra sedang berdiri membelakangi gw. Menyandarkan kedua
tangannya di tembok balkon, dia menatap kosong ke sawah-sawah luas yg letaknya
sekitar tigaratus meter dari sini. Pakaiannya sudah rapi. Di bawahnya, di lantai tepat di
samping kakinya tergeletak sebuah tas ransel berisi pakaian. "Lo udah siap pindahan?"
tanya gw. Dia cukup terkejut. Menatap kaget gw lalu mengangguk pelan. "Gw udah
beresin semuanya. Udah gw pindahin juga barang-barang gw," ujarnya. "Tinggal gw nya
aja yg pindah." "Oke. Gw mandi dulu ya?" gw bergegas ke kamer gw. Sore ini emang
rencananya gw mau nganter Indra pindah ke rumahnya. Dia dapet jatah shif malem,
kayaknya dia udah pindahin barangnya sebelum gw balik. Lagipula barangnya nggak
seberapa kok. Cuma perlengkapan standar anak kos. Limabelas menit kemudian gw
udah siap. Gw berdiri di depan pintu kamar yg sudah gw kunci. "Oke, gw siap." kata gw.
"Gw nggak sabar pengen tau rumah lo dul.." Indra tersenyum. Senyum yg aneh menurut
gw. Senyum yg nggak biasanya. Sebuah senyum yg menandakan dengan jelas bahwa
si pemiliknya begitu berat untuk melakukan itu. Gw maklum. Sama seperti Indra, gw
juga sedih kok temen kos gw selama dua tahun ini pergi. "Boleh gw bicara sama lo dulu,
sebelum pergi?" ujar Indra. Mendadak dia mellow gimana gitu. "Ngomong aja," kata gw
berusaha memberikan ekspresi yg menenangkannya. Indra terdiam. Jelas ada satu
beban yg tergambar jelas di kedua matanya. Beban yg mungkin selama ini dipikulnya.
Apa terlalu berat kepindahan ini sampe dia sebegitunya" Gw rasa enggak. Jadi gw
mulai 1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
menebak-nebak beberapa pertanyaan yg mendadak muncul di otak besar gw. Indra
masih diam. Saat itulah gw menyadari secarik kertas di tangan Indra. Kertas lusuh yg
sepertinya gw kenal. Gara-gara kertas itukah" Masa sih" Apa hebatnya kertas itu
sampe bikin Indra merasa terbebani gitu" Jujur aja, gw masih belum tau apa kaitannya
tingkah Indra yg aneh sore ini dengan kertas itu, yg pasti beberapa kali Indra melirik
kertas di tangannya lalu menarik napas berat. Napas yg sepertinya cuma bisa tertahan
di tenggorokan tanpa mampu mengalir keluar. Dan gw semakin yakin, ada lebih dari
sekedar beban berat yg ada di hatinya. Ada sesuatu yg harus sesegera mungkin
diungkapkan. "Ada apa sih dul?" gw menunggu dengan sabar tiap kata yg akan
dikatakan Indra. Dia menatap gw, lalu kembali menatap kertas di tangannya, dan
seketika tubuhnya bergetar hebat. Kertas di tangannya sampe terjatuh. Indra menangis!
"Lo kenapa dul?" gw heran dengan perubahan sikapnya. Dalam hati gw berharap
semoga ini bukan pertanda buruk. Indra masih terisak. Benar dugaan gw. Ada sesuatu
yg mungkin selama ini dipendamnya. Dan ketika sekarang harus diungkapkan, itu terasa
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
amat berat. Gw bisa melihatnya. Tapi gw nggak tahu harus berbuat apa. Terakhir kali
gw berhadapan dengan perubahan mendadak ekspresi seperti ini adalah waktu Natal
tahun lalu. "Kalo memang ada yg mau lo bagi," kata gw. "Cerita aja. Gw akan dengerin
kok." Indra menggeleng. Dia menyeka kedua matanya. Tapi dengan deras airmatanya
jatuh lagi. "Ada...ada yg harus gw bilang ke elo Ri..." dia berusaha mengatakannya.
"Oke. Bilang aja nggak papa kok." Apa perpisahan ini terlalu berat buat Indra" Gw rasa
nggak segitunya ah. Karaba sama Teluk Jambe deket. Dia bisa mampir ke kosan ini
kapanpun dia mau. Dia juga punya motor, jadi nggak ada kesulitan akses menurut gw.
Lalu apa yg sebenernya mau dikatakan Indra" Gw masih berdiri. Maaf gw ralat. Kami
masih berdiri dalam diam. Gw lebih memperhatikan sohib gw yg sekarang sedang
bergulat dengan isak tangisnya ketimbang menengok barang sebentar saja kertas yg
tergeletak di lantai. Indra menunduk, berjongkok pelan mengambil kertas itu. Jari-jarinya
gemetaran memegangnya. Lalu dia menunjukkan kalimat yg tertera di atas kertas.
Bukan kalimat. Cuma rangkaian huruf dan angka. Gw kenal tulisan itu. Ya, gw yg nulis
sendiri makanya gw kenal. "Ada apa sama plat nomor itu dul?" gw membaca lagi
perlahan nomor polisi kendaraan yg gw tulis di kertas. Ah, bahkan gw sendiri
sebenernya nggak tahu kertas itu masih ada sampe sekarang. N 6689 M, plat nomor
kendaraan asal kota Malang. "Maafin gw Ri....." Indra tampak begitu frustasi. Gw
sangat iba dengannya sekarang. "Maaf untuk apa?" tanya gw masih belum mengerti
arah pembicaraan Indra. "Gw yakin lo pasti nggak pernah berharap denger ini," kata
Indra kemudian. "Sesuatu yg gw sembunyiin cukup lama. Tapi gw juga yakin, lo harus
tahu yg sebenernya. Gw nggak bisa nyimpen rahasia ini selamanya." "Hey...ada apa sih
sama loe dul?"" gw makin nggak ngerti. "Apa ini ada hubungannya sama Echi?" Sekali
lagi Indra menarik napas berat. Lalu perlahan dia anggukkan kepala. "Lo tau tentang
identitas pelaku penabrakan Echi setahun yg lalu?" ini seperti mengorek luka lama.
Indra mengangguk lagi. "Siapa?" lanjut gw. Indra diam sejenak. "Gw," kata Indra. "Gw
yg menyebabkan kecelakaan maut itu Ri.............." Part 50 "Apa maksud lo dul?" gw
cukup terkejut setengah mati mendengar pengakuan Indra tadi. "Lo lagi ngelantur kan"
Plat nomer motor lo bukan N, seinget gw punya lo tuh W..sesuai kota asal lo, Sidoarjo."
"Maksud lo...ini?" dan selanjutnya Indra memutar posisi kertas di tangannya. Dalam
sekejap hati gw mencelos. Rasanya ada ratusan, bahkan ribuan belati yg
menusuk-nusuk ulu hati gw. Sebelumnya, dan selama ini gw selalu yakin pelaku tabrak
lari itu meninggalkan jejak yaitu plat nomor "N 6689 M". Tapi hari ini.... "W 6899 N?"?"
napas gw tertahan membaca tulisan yg sekarang tampak di kertas putih yg lusuh itu. "Ini
kaan..." "Ya, ini plat nomer motor gw," kata Indra. Dia belum berhenti menangis. Gw
menggeleng nggak percaya. Benar-benar nggak percaya! "Mungkin saksi mata waktu
malem itu ngebaca dalam posisi terbalik, asal lo tau motor gw waktu itu emang sempet
kolaps di tengah jalan," lanjutnya. "Lo bisa cek motor gw di bawah kalo lo nggak
percaya." "Gw nggak percaya!! Mana mungkin?"?" "Terima aja Ri, ini kenyataannya. Gw
yg menyebabkan kecelakaan itu!" "Iya. Tapi bukan lo yg nabrak Echi, Ndra!" Ada suara
ke tiga. Bukan Indra, juga bukan gw. Seketika itu gw dan Indra menoleh ke asal suara.
Ada Raja, temen kami yg ngekos di lantai bawah. Dia berdiri di ujung tangga. Gw nggak
pernah menyadari keberadaannya. "Udah gw bilang berapa kali ke elo, berhenti
menyalahkan diri lo sendiri!!" Raja setengah berteriak. "Emang gw yg bersalah!" balas
Indra nggak kalah sengit. "Motor yg dipake nabrak Echi itu motor gw! Dan yg minta si
Benny nganter gw malem itu, gw kan?" Siapa lagi yg layak disalahkan kalo bukan
gw?"" "Iya, tapi yg nabrak itu Benny dan bukan elo!?" Hey, apa lagi ini!!! Gw makin
bingung. "Please....." kata gw antara pasrah dan bingung. "Jelasin ke gw, apa yg
sebenernya terjadi?" Indra diam. Dia masih sesenggukan sambil tangannya meremas
kertas di genggamannya. Raja menatap gw iba. Dia tampak berpikir sebelum
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
mengucapkan apa yg akan dikatakannya. "Gw yg ngebunuh cewek lo Ri..." kata Indra
lemah. "Tolong kasih gw kesempatan buat jelasin yg sebenernya ke Ari," sela Raja. "Dia
berhak tau yg sebenernya." Gw diam. Entah apa yg saat ini gw rasakan. Gw sendiri
malah bingung sedang apa gw di sini. "Malem waktu terjadi kecelakaan itu," Raja mulai
bercerita. "Indra minta Benny, lo kenal Benny kan, anak bawah, buat nganter dia ke
tempat kerja. Waktu itu Indra baru aja ngalamin kecelakaan kerja dan belum bisa bawa
motor. Singkat aja deh, sepulangnya nganter Indra, Benny bermaksud balik ke kosan.
Dan di perjalanan balik itulah semuanya terjadi...." Gw diam mendengarkan. Entah apa
yg harus gw lakukan saat itu. "Benny nabrak seorang cewek, yg belakangan diketahui
adalah Echi. Benny kabur, nggak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Bahkan malem itu dia nggak balik ke kosan. Dia sempet balik beberapa hari kemudian,
tapi itu buat melarikan diri. Dia bener-bener kabur. "Gw dan Indra yg tau kejadian
sebenernya, langsung lapor ke pihak Polisi yg menangani kasus ini. Benny, dia
ketangkep dalam razia di jalanan Gucci. Tentu saja, ini berkat kerjasama pihak polisi di
sini dengan polisi di Gucci." Gw tertunduk lesu. Bener-bener bingung sekaligus
speechless gw dengernya. Beberapa kali bahkan gw memaki dalam hati. Kenapa gw
harus tahu ini" Padahal gw udah anggap semuanya berakhir, dan gw nggak mau
ngungkit lagi masalah ini. Tapi dengan tahu cerita sebenernya, ini bener-bener seperti
mengorek luka yg sudah tertutup rapat. Napas gw tercekat di tenggorokan. Gw
bener-bener speechless! "Indra selalu ngerasa bahwa dia yg menyebabkan semua
malapetaka itu, cuma karena motor yg dipake Benny adalah motornya. Kalo lo tau Ri,
Indra udah cukup merasa bersalah selama lebih dari setahun ini." Gw menarik napas
berat. Kali ini gw berhasil mengembuskannya. "Kenapa kalian berdua nyembunyiin
semua ini dari gw?" tanya gw akhirnya. Indra mengangkat wajahnya. "Sumpah demi
Tuhan Ri, gw nggak punya maksud nyembunyiin ini semua dari lo," katanya. "Gw cuma
nggak mau nambah beban pikiran lo waktu itu. Gw udah janji akan kasihtau yg
sebenernya, kalo situasinya udah memungkinkan. Dan gw pikir saat ini waktu yg tepat.
Saat lo udah dapet semangat baru, ini waktu yg tepat." "Gw masih nyimpen koran
Komp*s edisi Agustus tahun kemaren yg memuat berita penangkapan Benny. Gw yakin
lo akan butuh itu buat ngeyakinin bahwa pelaku tabrakan itu udah mendapat balasan yg


Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setimpal.." kata Raja. "Korannya ada di kamer gw. Sengaja gw rawat baik-baik."
Huffft...entah apa yg harus gw katakan saat ini. Sakit, bingung dan marah seperti
bercampur di hati gw. "Maafin gw Ri..." ucap Indra.
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Lo nggak perlu minta maaf dul," jawab gw. "Bukan lo yg bikin Echi pergi." "Iya, tapi..."
"Gw udah ikhlasin Echi. Itu alasan yg kuat buat gw nggak perlu ngungkit masalah ini.
Okay?" Indra tersenyum senang lalu dia merangkul gw. Beberapa kali dia meminta
maaf. Gw cuma balas dengan anggukan pelan. Entah kenapa saat ini gw justru kangen
banget sama Meva. Part 51 Sebagai sahabat dekat, jujur aja gw merasa kehilangan
setelah kepergian Indra. Biasanya tiap balik kerja gw mendapati pintu kamarnya terbuka
dan di dalamnya dia lagi asyik maen PS. Tapi selama berhari-hari, dan gw yakin akan
sama seterusnya, pintu itu akan terus tertutup. Menunggu sampai ada penghuni
barunya. Memang ada sedikit yg mengganggu dengan pengakuan soal Echi kemarin,
tapi gw nggak bisa begitu saja menepikan Indra sebagai sahabat gw. Dia orang pertama
yg gw utangin waktu pertama dateng ke kota ini dan kehabisan duit. Hahaha.. Masih
cukup banyak yg bisa disebutkan untuk membuktikan dia memang orang yg baik. Tapi
gw juga turut gembira dengan keberhasilannya itu. Sebentar lagi hidupnya akan nyaris
sempurna. Karir yg baik serta materi yg cukup, akan dilengkapi dengan pendamping
setia. Tinggal menunggu kelahiran buah hati beberapa bulan kemudian, maka sudah
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
benar-benar sempurna lah hidupnya. "Kapan lo nyusul Indra?" suara Meva
membuyarkan lamunan gw. "Eh, kenapa?" gw tutup majalah di tangan gw dan
meletakannya di lantai. "Lo tanya apa tadi?" "Yeeee lo ngelamun ya?"" tanya Meva.
"Enggak kok. Dikit doank sih." "Haha...ngelamun jorok pasti, gw tau deh." "Iya, gw
ngebayangin lo tiduran di kasur pake bikini doank, terus...terus manggil gw pake suara
mendesah gitu.... 'Ariii...' " "Cukup, cukup. Sebelum buku ini melayang ke kepala lo,
tolong hentikan cerita konyol itu." "...'sini..'..." dan gw tiduran di kasur sambil
memeragakan yg gw omongkan sementara Meva menatap gw dengan tatapan jijik.
"terus gw deketin lo...." "Aaaah...udah cukup!" Meva mengambil bantal dan menutupi
wajah gw dengan bantal sampe gw susah bernapas. "Cerita lo nggak lucu!" Gw
berteriak tapi yg muncul cuma seperti gumaman. Suara gw tertelan bantal. Dan
beberapa saat setelah gw nyaris sesak napas gw berhasil melepaskan diri dari bantal
Meva. "Otak lo ngeres yah...gw baru tau." Meva berkomentar. "Sialan lo Va, tadi
malaikat pencabut nyawa udah nanyain gw tuh mau di kamer nomer berapa," kata gw
dengan napas memburu. "Untung aja dia pergi lagi." "Kenapa pergi?" "Nggak nemuin
harga yg cocok." Meva tertawa. "Malah ketawa! Orang hampir mati juga malah lo
ketawain," gerutu gw. Glekk...segelas air terasa segar membasahi kerongkongan gw.
"Hehehe..maaf deh," kata Meva. Dia kembali asyik dengan bukunya. Ada tugas kuliah
yg lagi dikerjainnya. "Eh, sejak kapan lo pake kacamata?" gw baru menyadari bingkai
tipis yg melingkari kedua bola matanya. Meva mengangkat wajahnya. Dia tertawa geli.
"Lo kemana aja" Dari dulu kali, gw udah pake kacamata," jawabnya. Gw kernyitkan
dahi. "Masa sih?" dan gw mencoba mengingat-ingat. "Enggak ah, gw baru kali ini liat lo
pake kacamata." "Masa" Syukurlah, berarti mata lo udah sembuh sekarang." Gw
mencibir. Tapi jujur aja gw memang baru liat Meva pake kacamata itu hari ini.
Sebelumsebelumnya nggak pernah. "Mata gw minus setengah, cukup nggak jelas buat
ngebaca tulisan cacing ini," dia menunjuk tulisannya sendiri. "Tiap kuliah juga gw pake
kacamata kok. Ada yg aneh ya kalo gw pake kacamata?" Gw menggeleng. "Enggak. Lo
malah keliatan tambah cantik kalo pake kacamata," kata gw. Tapi dalam hati. Hehehe..
"Berarti selama ini lo nggak bisa liat muka gw donk?" tanya gw tolol. "Ya bisa laah,"
protes Meva. "Cuma emang rada nggak jelas aja sih. Menurut gw lo cakep kok. Tapi
setelah gw pake kacamata, lo keliatan banget jeleknya tuh." Dan dia pun tertawa puas.
"Tapi gw nggak butuh kacamata buat liat seberapa cantiknya elo Va..." kata gw lagi.
Dalam hati tentunya. "Ya ya ya puas-puasin aja deh ngejeknya," gerutu gw. "Hahaha
gitu aja ngambek," sahut Meva. "Iya iya lo cakep kok Ri.." "Kenapa mesti pake 'cakep
kok', nggak 'cakep' aja" Nggak ikhlas banget nih ngomongnya." Meva tertawa lagi.
"Udahlah, gw mau ngerjain tugas. Sore ini lo udah lebih dari sepuluh kali bikin gw
ketawa. Tugas gw nggak kelar-kelar niih." "Yah itu mah elo nya aja Va yg nggak bisa.
Pake nyalahin gw." "Sapa yg nyalahin" Enggak kok, gw nggak nyalahin lo. Cuma nyari
penyebab kenapa gw nggak cepet nyelesein tugas gw." "Sama aja!" "Enggak, beda..."
"Heeuh beda...embe jeung kuda." Meva kernyitkan dahi. Menatap gw lalu meledak lagi
tawanya ke penjuru kamar. "Tuh kan, lo itu bikin gw ketawa mulu. Udah balik sana ke
kamer lo, sampe gw selesai ngerjain ini," katanya. "Gw diusir nih?" "Iya!!" Gw
mendengus keras. Lalu berjalan keluar menuju kamar gw. Dari luar sudah terdengar
dering handphone gw di dalam. Buru-buru gw masuk dan ambil handphone gw. "Halo?"
gw menjawab tanpa melihat siapa yg menelepon. "Hai Ri. Kenapa baru diangkat sih"
Lagi ngapain aja dari tadi?" sepertinya suaranya gw kenal. Gw liat layar handphone gw.
Di situ terpampang nama Lisa_cantik. Weitz! Sejak kapan gw kasih nama itu" Pasti Lisa
sendiri yg edit kontaknya! "Maaf tadi disilent hp nya." "Nggak papa kok. Kamu lagi di
kosan kan?" "Iya. Kenapa?" "Aku ke situ sekarang ya.." Tuut...tuut...tuut... "Halo"
Halo?" Ah, kurang ajar maen nutup telepon aja!! Part 52 "Halo," setelah sepuluh menit
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
berlalu akhirnya Lisa menelepon gw. "Eh Lis, lo jadi ke kosan gw?" tanya gw. "Iyalah
jadi...kan tadi udah gw bilang?" "Mmmm....tapi gw lagi di luar Lis," kata gw. Tentu aja
bohong. Waktu itu gw lagi duduk di ujung tangga. "Yah..kok gitu" Katanya lo ada di
kosan?" "Iya tadi sih ada, tapi sekarang gw lagi keluar. Lo nanti aja ya maennya?"
"Nggh.....kalo gitu gw tunggu di kosan lo aja deh" Udah kepalang tanggung. Lo nya
masih lama nggak?" "Weittz...nunggu?" gw kaget kan ceritanya. "Emang lo sekarang
udah nyampe mana?" "Gw udah di kosan lo," suara Lisa sedikit aneh. Seperti bergema
dan keluar dari speaker handphone gw.
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Oiya?" "Iya. Nih gw bisa liat lo," suaranya benar-benar keluar. Bukan dari speaker
handphone, tapi dari ujung bawah anak tangga. Lisa ada di sana. Berdiri di ujung
belokan tangga sambil menengadah menatap gw yg ada di ujung atas. "Eh, lo udah di
sini aja..." ujar gw. Malu setengah mampus gw! "Katanya lagi di luar?" dia berjalan
menaiki anak tangga menuju gw. Beberapa kali gw presentasi dengan bos-bos gw dan
ditanyai pertanyaan menyulitkan, tapi jujur aja rasanya saat ini pertanyaan sederhana
dari Lisa susah banget dijawab! "Eh, ngg... anu...." apa yg kudu gw jawab yaa"
"I...iya...ini..... Ini lagi di luar kok." Lisa kernyitkan dahi. "Maksud gw tadi, gw lagi di luar
kamer. Iya! Itu dia maksud gw!!" dan gw cengengesan malu. Lisa tertawa pelan. "Wah
lo humoris juga yah?" komentarnya. Hahaha...gw tertawa garing dalem hati. Maaf
Lisa...gw bukan humoris, tapi ngeles-is. Kali ini gw salut sama diri gw sendiri atas
keberhasilan ngeles tadi! Lisa duduk di sebelah gw. Kami berdua mendadak jadi portal
sukarelawan di tangga. "Udah makan?" tanya Lisa ke gw. Gw, yg masih sedikit shock
dengan kesuksesan tadi, menjawab dengan anggukan kepala. "Lo baru balik Lis?" gw
balik tanya. "Enggak juga, gw bareng kok sama lo pulang jam empat tadi. Cuma gw
mampir dulu ke supermarket, ada yg gw beli." Gw nyengir malu. Lisa celingukan
memandang sekitar. "Nyari apa sih?" tanya gw heran. "Mana cewek itu?" katanya.
"Cewek yg mana ah?" "Yg waktu itu di kamer lo. Siapa namanya...Neva ya" Mana dia?"
"Meva. Ada kok di kamernya. Emang kenapa sama dia?" Lisa senyum simpul. "Enggak
papa...enggak papa..." jawabnya. Gw tau nih, cewek kalo ngomong 'enggak papa' justru
artinya 'ada apa-apanya'. "Dia anak mana sih?" lanjut Lisa. "Meva, maksudnya?" Lisa
anggukkan kepala. "Bukan orang sini kok. Rumah di Jakarta, tapi asalnya dari Padang.
Kelahiran Kuala Lumpur dan sempet SD di Inggris sebelum namatin SMA di Padang.
Terus kuliah di Karawang." Lisa menatap gw heran. "Lo tau banyak yaa tentang dia,"
katanya. "Enggak juga kok. Cuma sebatas tau dari obrolan aja." "Dia tipe lo ya?" Kali
ini butuh lima detik buat ngerti pertanyaan Lisa. "Maksud lo, tipe cewek buat pacar gitu?"
"Iyalah." "Emmmh...kalo gw sih nggak terlalu pinter milih cewek. Nggak ada tipe khusus
buat gw, yg penting cocok aja. It's oke." "Oiya" Masa cuma cocok" Kalo cocok tapi
punya penyakit bisul gimana?"" "Hah" Ada-ada aja lo mah." Gw dan Lisa tertawa. "Yah
gw mah standar aja lah. Terlalu muluk kalo gw pengen dapet yg sempurna, karna gw
tau gw sendiri nggak cukup sempurna buat itu." "Haha..sok bijak lo." Gw nyengir. Sore
ini Lisa masih pake pakaian kantor, tapi ada sedikit yg beda dari penampilannya. Tapi
apa ya" Di mana nya" "Kalo tipe cewek lo sesederhana itu," kata Lisa. "Kira-kira gw
masuk kriteria enggak?" Entah gw yg berasa apa emang iya, tapi kalo gw liat Lisa nanya
ini dengan tatapan aneh. Enggak tau gw juga nggak ngeh. "Gw masuk kriteria lo
enggak?" Lisa mengulangi pertanyaannya. "Emmh...masuk nggak ya?" kata gw sambil
bingung nyari jawaban yg pas. "Lo cantik kok." "Ah, masa?" Gw ngangguk-ngangguk
bloon. "Jadi, gw masuk kriteria?" tanyanya penuh harap. "Ehm....." "Ari?" sebuah suara
mengejutkan kami. Suara Meva. Dia berdiri di depan pintu kamarnya. "Kirain lagi
ngobrol sama siapa. Dari dalem rame banget kedengerannya. Hay Lisa," sapanya
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
ramah. Dia senyum lebar ke Lisa. Lisa menatap risih ke arah Meva. "Kita pernah kenal
ya?" sahut Lisa. Cukup mengejutkan gw. Meva sendiri nampaknya nggak terganggu
dengan pertanyaan Lisa tadi. "Hay Va. Gabung sini yuk ngobrol bareng kita," kata gw
berusaha menyenangkan. "Hah?" Lisa menatap gw heran. "Bukannya kita mau jalan ya
Ri?" "Jalan" Kapan?" gw lebih heran lagi. "Sekarang lah, kan tadi udah janjian?" Gw
memandang Meva dan Lisa bergantian. Seinget gw tadi gw samasekali nggak
ngomongin soal jalan deh ke Lisa... "Oh mau jalan ya?" kata Meva. "Ya udah ati-ati di
jalan ya sayang.." dia memandang gw. "Kamer aku nggak dikunci, ntar malem kita
ngobrol-ngobrol lagi yah?" Meva tersenyum nakal ke gw, melambaikan tangan, lalu
menutup pintu kamarnya perlahan... Part 53 "Dia manggil lo apa tadi?" Lisa menatap
sebal ke gw. "Eh, enggak kok...dia lagi becanda doank," gw berkilah. Lisa mendengus
kasar. Dari ekspresi wajahnya keliatan banget dia kesal. Kalo aja di depannya sekarang
ada tumpukan piring, pasti udah langsung dia cuci tuh!! Hehehe...apa hubungannya
yak" "Hubungan kalian apa sih" Kalian enggak pacaran kan?" tanyanya lagi.
"Mmmmh...entahlah. Gw juga bingung nyari kata yg pas buat ngegambarinnya." Lisa
menarik nafas berat. "Lo suka sama dia?" tanyanya kemudian. Sejenak gw diam.
Setelah berpikir beberapa saat akhirnya gw memutuskan menyudahi pembicaraan
tentang Meva. "Lo tunggu di sini bentar. Gw mau ganti pakaian dulu," kata gw. "Mau ke
mana?" "Kan kita udah janjian mau jalan?"" Lisa diam sebentar. "Di sini aja deh," kata
Lisa. "Ntar jalannya kalo hari libur. Sekarang juga udah mau malem." Benar. Jam di
handphone gw menunjukkan pukul lima sore lewat tigapuluh tiga menit. "Kalo gitu
mending lo balik aja," usul gw. Lisa pernah cerita tentang nyokapnya yg rewel kalo dia
pulang telat. "Oke, gw balik. Selamat ngobrol-ngobrol ya sama si Neva?"?"" wajahnya
masih kusut. Gw tertawa geli. "Kalo emang belum mau balik ya udah di sini aja nggak
papa," gw meralat ucapan gw sebelumnya. "Enggak deh makasih, gw cuma jadi
pengganggu aja!" "Hey Lisa..." kata gw. "Kenapa jadi kayak anak kecil gitu sih" Nyantai
aja laah. Gw minta maaf kalo ucapan Meva tadi sedikit nyinggung lo." "Sedikit" Banget
tau nggak!" Gw menatapnya iba. Gw yakin aktifitasnya hari ini sudah cukup
membuatnya lelah. 1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Sini deh," gw menariknya ke balkon. Berdiri berhadapan di sana dengan gw bersikap
sok cool. Haha! "Gw boleh tanya sesuatu?" kata gw. Lisa anggukkan kepala sebagai
jawaban. "Gw cuma pengen tau, sebenernya apa sih yg bikin lo nggak suka sama
Meva?" Lisa tampak sedikit kebingungan dengan pertanyaan yg gw ajukan. "Ya nggak
suka aja!" jawabnya. "Dia nggak asyik." "Nggak asyik gimana" Dari pertama ketemu
bukannya lo yg nggak mau waktu diajak salaman?" "Lho, kok lo malah nyalahin gw"!"
"Enggak kok gw nggak nyalahin lo," gw nyengir. Kayaknya sore ini Lisa beneran lagi
sensi. "Cuma menurut gw, justru lo yg nggak asyik. Yaah apa ya namanya...lo nggak
nunjukin sikap bersahabat aja ke dia..." "Tuh kan nyalahin gw!" seru Lisa sewot. "Udah
aja terus salahin gw! Bela aja tuh cewek itu!" Suaranya cukup keras untuk didengar oleh
Meva di kamarnya. "Gw nggak nyalahin lo. Gw juga nggak ngebela Meva. Gw heran aja,
kenapa sih kalian berdua nggak akur" Lo sama dia tuh sama-sama temen deket gw."
"Karena gw sama dia punya perasaan yg sama." Gw kernyitkan dahi. "Ah iya, sesama
cewek pasti ada semacam ikatan batin buat ngebaca perasaan orang ya?" gw
berkomentar konyol. "Ternyata hebat ya cewek itu!" "Bukannya cewek yg hebat, tapi lo
nya aja yg terlalu bodoh dan nggak bisa ngebaca perasaan cewek," sergah Lisa. "Atau
lo memang pura-pura bodoh?"" Gw tersenyum simpul. "Gw bukan Copperfield yg bisa
baca pikiran orang," kata gw. "Perasaan, Ri..bukan pikiran," tandasnya geram. "Ah yah
apapun itu lah, gw lebih suka baca komik atau koran..." Lisa menggeleng pelan. "Oke,"
1Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
katanya. "Lo pikir selama ini gw bersikap baik ke lo, karna apa coba?" "Karena lo
memang orang baik. Bukan begitu" Atau gw salah" Mungkin ternyata lo adalah monster
jahat dari planet Mars yg berpura-pura baik padahal lagi mengintai manusia, dan
berusaha mencari cara supaya bisa membunuh Ultraman" Haha.. Lucu juga." Lisa
menatap malas ke gw. Tatapan matanya cukup mengatakan "nggak lucu!" yg nggak
dikatakannya. "Oke oke, lo memang orang baik. Menyenangkan dan bersahabat. Itu
aja." Lisa mengembuskan nafas berat. "Yah lo kayaknya butuh les private ke psikiater
biar bisa baca perasaan orang.." katanya dengan ekspresi dan nada bicara yg lebih
kalem. "Udah ah gw balik ya" Males gw buang-buang waktu buat debat nggak penting."
"Oh, oke. Ati-ati di jalan..." cuupppph... Lisa mengecup pipi kanan gw. Berhenti selama
dua detik buat gw merasakan embusan nafasnya di telinga gw. Lalu membisikkan
kalimat perpisahan. "Sampe ketemu besok di kantor," ucapnya. Dan sebelum gw
sempat sadar dari kejadian mengejutkan tadi Lisa sudah beranjak pergi meninggalkan
gw yg terdiam sendiri di balkon. Gw usapi pipi gw. Nggak basah... Tapi sempat ada
sensasi hangat gitu. Kecupan tadi......sama seperti yg pernah gw rasakan, dulu waktu
gw sama Echi! Entah apa yg membuatnya sama, tapi rasanya seperti dejavu! Gw nggak
pernah ngerasain lagi seperti itu setelah kepergian Echi... Dan hari ini.......... Ah,
Tanah Warisan 5 Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie Dewi Kaki Tunggal 1
^