Suro Buldog 1
Suro Buldog Karya Pandir Kelana Bagian 1
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suro Buldog Karya Pandir Kelana Sumber djvu : Syaugy_arr Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
http://dewi-kzanfo/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suro Pranoto nama aslinya, tetapi karena penampilannya
yang mampu menggugah imajinasi akan "anjing buldog" itu, ia
memperoleh nama panggilan Suro Buldog dari teman-
temannya. Ia bangga akan nama itu.
Seusai mengikuti pendidikan teknik pada Europese Ambacht
School, idam-idamannya untuk bekerja di Staats Spoorwegen,
Jawatan Kereta Api, terkabul dan ia mulai meniti karir sebagai
montir di bengkel lokomotif Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia
menikah dengan seorang mojang Priangan. Namun nasib
1 menentukan lain. Di luar kehendaknya, ia mencederai kepala
bengkel yang Belanda totok itu dan memperoleh ganjaran
hukuman 20 tahun, di penjara darurat Boven Digoel, Tanah
Merah, Irian Jaya. Ternyata, kepala bengkel yang semula dinyatakan akan
menjadi lumpuh seumur hidup itu sembuh. Suro Buldog
memperoleh keringanan hukuman dan dipindahkan ke Penjara
Nusakambangan. Sesudah dinyatakan bebas hukuman, ia bekerja sebagai
mandor kebun, di sebuah perkebunan dan pabrik gula, dengan
menyandang nama Mandor Darmin. Di tempat itulah Mandor
Darmin merasa terpanggil untuk "dapat berbuat sesuatu bagi
bangsanya. Perjalanan hidupnya mempertemukan Darno Kusir
yang Suro Buldog itu, dengan suami bekas istrinya, Chudancho
Tardana, yang perwira PETA dan untuk selanjutnya ia bergerak
di bawah tanah, sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
untuk kemudian menghilang begitu saja.
Apakah para pembaca akan berjumpa kembali dengan Suro
Buldog, Mandor Darmin, Darno Kusir dalam novel lain, hanya
Pandir Kelana yang mengetahuinya.
http://dewi-kzanfo/ 1 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
2 Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000 000,-
(lima puluh juta rupiah).
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) Pandir Kelana SURO BULDOG Orang Buangan Tanah Merah, Boven Digoel
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1992
SURO BULDOG Orang Buangan Tanah Merah, Boven Digoel
3 oleh Pandir Kelana GM 401 92.522 ? Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh Toni Masdiono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Juli 1992
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
http://dewi-kzanfo/ 2 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
KELANA, Pandir Suro Buldog : orang buangan tanah merah, Boven Digoel /
oleh Pandir Kelana. - Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992.
272 hlm. : ilus. ; 21 cm.
ISBN 979-511-522-7. I. Judul.
813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) http://dewi-kzanfo/ 3 4 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
NAN JAUH DI SANA PAGI hari yang cerah. Dengan gulungan ijazah di ngan, aku
memasuki ruang kerja Kepala Sekolah Europese Ambacht
School, Surabaya, Sekolah Teknik Pertukangan. Entah mengapa,
aku dipanggil oleh kepala sekolah yang bernama Meneer Van
Dam, seorang Belanda totok berwajah bundar kemerah-
merahan seperti buah tomat Begitu ia melihat diriku, langsung
saja Van Dam bangkit dari tempat duduknya, mendekatiku,
memegangi kedua pundakku seraya berkata, "Meneer Pranoto,
terimalah sepatah-dua patah kata dariku. Mudah-mudahan bisa
bermanfaat bagimu. Pranoto, kau memiliki otak yang cerdas,
lengan-lengan yang kuat, jari-jemari yang terampil, akan tetapi,
anak muda... kau harus lebih mampu mengendalikan dirimu.
Mengendalikan emosimu. Kalau tidak... kau bakal banyak
menjumpai kesulitan dalam hidupmu nanti. Camkanlah kata-
kataku ini, Meneer Pranoto."
Rupa-rupanya hanya aku saja yang secara khusus dipanggil
oleh Meneer Van Dam. Hal itu sangat kuhargai. Ia bermaksud
baik dengan petuah-petuahnya itu. Keluar dari ruang kerja
kepala sekolah itu, untuk terakhir kalinya aku berjalan-jalan
mengelilingi kompleks sekolahan. Tiba di tempat buang air, aku
mengamati diriku di cermin besar yang terpancang pada
tembok tempat buang air itu. Selama lebih dari tiga tahun
cermin besar itu kuanggap wajar-wajar saja, tapi saat itu aku
5 baru sadar akan arti cermin yang sepintas nampaknya salah
tempat. Untuk apa dipasang cermin besar di tempat
pembuangan hajat besar maupun kecil" Ya, pelajar-pelajar
Europese Ambacht School memang suka nampang, termasuk
aku ini. Bukannya nampang untuk menikmati kegantengan diri,
tidak sama sekali. Aku bukan tipe bintang film yang didambakan
teman-temanku. Kuamati penampilanku sendiri pada cermin
http://dewi-kzanfo/ 4 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar itu. Nampak di cermin seorang pemuda berwajah kasar,
sepasang mata menyala-nyala, bergairah, tapi dengan roman
muka yang... ya, siapa pun tidak perlu berkhayal terlalu jauh
untuk mampu menemukan persamaannya dengan moncong
seekor anjing bul-dog. Tidak itu saja. Tubuh yang kokoh kekar,
pendek berotot, lengan bisep bak paha pemain sepakbola, dada
bidang, menambah-nambah imajinasi orang yang melihatnya,,
bahwa aku ini memang tak ubahnya seperti seekor anjing
buldog saja. Teman-teman memberiku beraneka nama panggilan. Ada
yang memanggilku Suro Edan.
Dari lain teman, aku memperoleh gelar Suro Bled-hcg.
Akhirnya aku terkenal sebagai Suro Buldog, I igonya Europese
6 Ambacht School Surabaya. Jago berkelahi, lebih tidak. Bahwa
aku yang paling pintar di sekolah, itu jarang dibicarakan orang.
Aku memang seorang pelajar yang paling suka eftengkar dan
berkelahi, namun aku selalu memilih lawan-lawan yang
seimbang dan sejauh mungkin bukan sesama Inlander. Belanda-
Belanda totok maupun Indo yang jadi sasaranku. Bangga rasa
hati apabila aku mampu merobohkan lawan-lawan yang jauh
lebih besar posturnya daripada diriku.
Sebagai jagoan, aku memang gemar disanjung-sanjung
orang, tapi juga mudah dipancing-pancing untuk berkelahi.
Melihat diriku di cermin itu aku mengakui bahwa nama
panggilan Suro Buldog itu memang tidak berlebihan. Ya, Meneer
Van Dam tahu benar keperluan pelajar-pelajar Europese
Ambacht School. Cermin tidak untuk bersolek-solek dan
bergenit-genit, tapi untuk bouwmaken, kracht-patsen, unjuk
nampang otot-otot. http://dewi-kzanfo/ 5 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Idola pelajar-pelajar sekolahku bukan kondisi tubuh yang
serba harmonis atletis seperti Tarzan. Jauh dari itu. Yang
didambakan malahan sebaliknya, badan kekar berotot sampai
keluar proporsi. Cabang-cabang olahraga yang favorit adalah
7 binaraga, angkat besi, tarik katrol, ringen, dan olahraga bela diri
terutama. Bukannya benar-benar untuk bela diri, tapi justru
untuk berkelahi. Gulat dan tinju sangat populer. Pelajar-pelajar
Inlander masih menambahnya dengan menekuni seni bela diri
pencak silat, tidak terkecuali pemuda yang bernama Suro
Pranoto alias Suro Buldog ini. Bahkan yang kutekuni tidak hanya
satu aliran persilatan saja, tapi berbagai aliran yang cukup
mempunyai nama gemilang. Walaupun tidak mendalam, aku
juga mempelajari seni bela diri Cina, kundhau, dan seni bela diri
Jepang, jiu-jitsu. Aku mampu menekuni bermacam-macam seni
bela diri itu, berkat otakku yang lumayan' encer. Aku tidak
memerlukan banyak waktu untuk menguasai pelajaran-
pelajaran sekolah, bahkan pelajaran bahasa Inggris yang tidak
wajib itu kuikuti juga. Ya, sekadar iseng saja, tapi nilai-nilainya
tidak mengecewakan. Kutinggalkan cermin dan aku tidak langsung pulang, tapi
pergi ke stasiun kereta api untuk mengagumi lokomotif-
lokomotif berbagai jenis. Cita-citaku memang ingin menjadi
masinis lokomotif. Lewat bantuan sekolah, aku memang sudah
mengajukan lamaran kerja pada Staats Spoor-wegen, SS
(Perusahaan Jawatan Kereta Api). Tinggal menunggu jawaban
saja, diterima tidaknya. Ya, siapa tahu, Van Dam mendukung
lamaranku. Lamaranku masuk kerja pada SS ternyata tidak sia-sia. Aku
diterima dengan baik, berkat hasil ujian masuk yang jauh
8 melampaui nilai pelamar-pelamar lainnya. Bukan main
gembiraku. Semenjak masih kecil aku sudah mengagumi
http://dewi-kzanfo/ 6 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lokomotif-lokomotif uap yang begitu gagah perkasa. Sering aku
pergi ke stasiun kereta api hanya untuk melihat lok-lok dan
terutama tangguhnya lok De Een-daagse (satu hari) yang
mampu menjalani jarak Surabaya-Batavia hanya dalam jangka
waktu sepuluh jam saja. Melihat masinisnya yang bersera-gam
biru, menarik-narik kabel peluit, disusul dengan bunyi peluit
melengking-lengking, roda-rodanya" mula-mula berputar-putar
cepat untuk kemudian menggelinding perlahan-lahan meninggalkan emplasemen stasiun, memperkuat niatku untuk
jadi masinis. Setiap kali melihat lokomotif tekadku menjadi
semakin bulat. Tidak ada orang yang lebih gagah daripada sang
masinis yang mengendalikan lokomotif itu. Aku harus bisa jadi
masinis. Setelah melewati berbagai kursus dan latihan, aku
9 dipekerjakan sebagai masinis magang, leerling machinist, pada
lokomotif berukuran sedang, trayek Purwokerto-Madiun.
Walaupun belum menjadi masinis penuh dan belum melayani
lokomotif gunung, si Badak, atau lokomotif jarak jauh, si
Banteng, rasa-rasanya jalan menuju cita-cita sudah terintis.
Bangga rasa hatiku. Masinis yang kudam-pingi dan yang
sekaligus juga menjadi guruku adalah seorang Belanda Indo
yang fasih berbahasa Jawa, baik bahasa rendahan ngoko
maupun bahasa tinggi krama dan krama inggil. Aku yang orang
Jawa, yang kukuasai malahan hanya bahasa Jawa gaya Jawa
Timur yang padat bahasa umpatan itu. Sangat baik terhadap
diriku Meneer De Bruyn itu. Aku sampai dimintanya agar
indekos di rumahnya saja, di Madiun. Tawaran yang sulit untuk
ditolak tentunya. Begitu Pak Bakhrawi, si stoker, tukang api, mengetahui
bahwa aku indekos di rumah De Bruyn, dalam kesempatan
http://dewi-kzanfo/ 7 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
luang ia menghampiriku seraya bertanya, "Pran, kau indekos di
rumah De Bruyn, ya?"
"Betul, Pak," jawabku. "Ada apa?" Stoker itu hanya
tersenyum-senyum saja. "Tidak ada apa-apa," tanggapnya.
10 Baru kemudian aku tahu apa arti senyum-senyum Pak
Bakhrawi yang mencurigakan itu.
Istri De Bruyn, Rita namanya, jauh lebih muda usia daripada
suaminya. Cantik sih tidak, tapi semenjak aku tiba untuk
menetap di rumahnya, rasa-rasanya aku seperti mau ditelannya
saja. Sorot matanya bila memandang diriku berkedip-kedip
penuh gairah birahi. Entah mengapa, suaminya sering pergi
meninggalkan rumah membiarkan Rita dan aku berdua-duaan
saja di rumah. Pada suatu malam, De Bruyn tidak a da di rumah.
Entah ke mana ia pergi aku tidak tahu. Saat itu aku sedang
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membaca-baca buku roman Emile Zola. Tiba-tiba... Rita muncul
dalam pakaian tidur yang merangsang, lalu duduk di seberang
meja kerjaku. Aku diajaknya ngobrol, tapi obrolannya menjurus
ke arah hal-hal yang mencurigakan. Dari Rita aku tahu bahwa De
Bruyn sedang pergi ke Surabaya dan malam itu ia belum akan
pulang. Walaupun Rita tidak dapat dikatakan cantik, tapi tubuhnya
memang menggiurkan sekali, apalagi bagiku, seorang pemuda
remaja yang masih serba hijau dalam segala-galanya.
Pemandangan indah menggiurkan di hadapanku membuat
darahku deras mengalir. Anehnya, walaupun Rita sudah tahu,
bahwa ia tinggal menerkam diriku saja, ia tidak berbuat begitu.
Kursinya digesernya ke depan dan kakinya yang mulus itu
digosok-gosokkannya ke kakiku. Mula-mula dimulai pada jari-
jari kaki-kakiku, naik ke betis-betisku, paha-pahaku, dan begitu
11 seterusnya. Sulit bagiku untuk menahan godaan semacam itu,
http://dewi-kzanfo/ 8 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan habislah ketahananku malam itu. Loyo dan lunglai aku
dibuatnya. Rita tertawa terbahak-bahak, meninggalkan kamar
tidurku sambil berkata, "Lain kali jangan kebocoran, ya." Rasa-
rasanya aku ini seperti dipermainkan saja.
Peristiwa semacam itu diulanginya beberapa kali dan
akhirnya setelah ia tahu bahwa aku sudah mampu
mengendalikan diriku, barulah aku diterkamnya. Yah, aku bukan
Nabi Yusuf yang mampu menolak ajakan istri Potivar. Akhirnya
aku, Suro Pranoto, bukan perjaka murni thing-thing lagi.
Kegembiraanku tidak berlangsung lama, baik sebagai masinis
magang, maupun sebagai kekasih gelap Rita De Bruyn yang
direstui suaminya secara diam-diam. Di setiap kesempatan yang
ada, Rita meminta aku melayaninya, tidak mempeduli-kan
tempat dan waktu. Kamar mandi, gudang, kamar tamu, WC,
pagi, siang, sore, malam, dini hari, jadilah. Yah, Rita seorang
wanita yang hiperseks. Siapa pun yang menjadi suaminya, kalau
dia sendiri tidak hiperseks juga, dia pasti akan kewalahan. De
Bruyn bukan seorang suami hiperseks. Ia membiarkan, bahkan
selalu memberikan kesempatan kepada istrinya untuk
12 memuaskan dirinya. Bukan masinis magang yang bernama Suro
Pranoto saja yang pernah dimintanya indekos di rumahnya.
Anehnya... hubungan suami-istri Rita dan Dirk De Bruyn tetap
akrab dan mesra. Aku memperoleh pengangkatan resmi sebagai montir
pembantu di Bengkel Kereta Api SS, Tasikmalaya, dekat kota
Bandung. Sebelum aku berangkat ke Bandung, kuungkapkan
kekecewaanku kepada De Bruyn. Aku mengingini jabatan
masinis bukan montir. Kata De Bruyn, "Pran, itu suatu
kehormatan bagimu. Tidak sembarang masinis magang yang
diangkat menjadi montir pembantu. Apa yang kulaporkan
kepada Balai Besar, ya apa adanya. Bukannya kau tidak cakap
http://dewi-kzanfo/ 9 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai calon masinis, tidak, anak muda. Kau memenuhi segala
syarat untuk menjadi masinis kelak, tapi di samping itu, kau
seorang yang teramat sayang pada lokomotif, mematuhi segala
peraturan, tertib, dan teliti. Itu saja. Balai Besar yang mengambil
kesimpulan dan memutuskan. Kau tidak perlu merasa kecewa,
Pran." Masih dengan perasaan setengah hati aku berangkat ke
Bandung. Masih saja selalu terbayang-bayang di hadapanku,
13 Rita De Bruyn yang terisak isak tertahan dalam pelukanku.
Tampaknya Rita inenyukaiku. Bukannya menyukai wajahku yang
lak ubahnya seperti anjing buldog saja, tapi dia mcnggairahi
tubuhku yang pendek kokoh kuat ini dan barangkali juga karena
aku bukannya seorang perjaka egois yang hanya mementingkan
kepuasan-ku sendiri saja. Aku selalu berusaha mendahulukan
kepuasan Rita, baru kepuasan diriku sendiri.
Kekecewaanku cepat terobati, begitu aku melihat lokomotif
berbagai jenis yang akan menjadi tanggung jawabku untuk
dirawat dan diperbaiki. Si Madak, l okomotif gunung yang kekar,
kokoh kuat. Si Banteng, lok jarak jauh, De Eendaagse Ba-tavia-
Surabaya, si Kancil, lok bentuk kotak jalur Tasik-l'arigi, dan lok-
lok uap lainnya. Di Bengkel SS itu aku menyatu dengan
pekerjaanku. Kubelai-belai lok-lok itu. Aku jatuh hati tidak pada
lok-lok yang berukuran serba besar, tapi justru pada si Kancil,
kecil-kecil cabe rawit, tangguh.
Dalam berbagai tes ternyata kemahiran teknikku tidak
mengecewakan, bahkan tidak jarang melampaui prestasi
teman-teman yang setingkat pendidikannya dengan diriku.
Kemudian montir-montir pembantu dididik dan dilatih
setempat, baik teori maupun praktek selama liga bulan secara
intensif sekali. Tidak jarang pula aku mendapat pujian langsung
http://dewi-kzanfo/ 10 14 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari Insinyur Praktek Hilkema, tuan kepala bengkel yang
memperoleh gelar insinyur berdasarkan pengalamannya dalam
tugas. Seorang Belanda totok teramat jangkung, berambut
pirang bergelombang dengan pipa cangklong yang tak pernah
terpisahkan dari sudut-sudut mulutnya. Sambil berbicara pun
cangklong itu tetap pada tempatnya.
Lambat-laun terasa keberhasilanku di bengkel itu kurang
berkenan di hati teman-teman sejawatku yang berstatus
Belanda dan yang kebanyakan lebih coklat warna kulitnya
daripada bule. Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi, seandainya
Hans Hilkema tidak selalu saja memuji-muji kemahiran teknikku
di hadapan mereka. Seperti kata-kata "Nou, Tuan-tuan, kalau
seorang Jawa bisa berprestasi baik, mengapa kalian yang
mengaku Belanda tidak bisa lebih baik?" Aneh memang
Hilkema, ia tidak pernah menggunakan kata Inlander di bengkel
itu. Hal itu juga kurang disukai oleh Belanda-Belanda bukan
bule. Yang paling tidak suka kepadaku seorang montir
pembantu keluaran Europese Ambacht School Meester Cornelis
di Jatinegara, Batavia, Bob Muisch namanya. Ia seorang Belanda
Indo, tinggi besar, ganteng, warna kulitnya antara coklat dan
bule. Pada suatu pagi, aku sedang merawat si Kancil di luar
bangunan bengkel. Seorang pegawai administrasi tiba-tiba
15 datang mendekat dan menegur, "Meneer Pranoto, telegram
untukmu. Kilat. Ini!"
Surat telegram kuterima dan langsung kubaca. Isinya
sederhana, "Lekas pulang. Ibu sakit keras. Hermawan kirim."
Telegram itu kubaca berulang-ulang. Pikirku, "Ah, Ibu mengada-
ada saja. Ibu tak pernah sakit, tapi mengapa Oom Hermawan
yang kirim telegram" Pasti ada sesuatu yang kurang beres."
http://dewi-kzanfo/ 11 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari itu juga aku menghadap Ir. Hilkema. Telegram
kutunjukkan kepadanya dan aku mendapat izin untuk
menengok Ibu di Surabaya. Kata Hilkema, "Pranoto, urus Ibu
sampai selesai. Mudah-mudahan ibumu lekas sembuh."
Keesokan harinya aku pulang ke Surabaya. Hilkema tidak
memberikan batas waktu kepadaku. Aneh! Ia begitu percaya
padaku bahwa aku tidak akan memperpanjang-panjang
kepergianku. Aku masih sempat menunggui Ibu sebelum beliau-
mengembuskan napasnya yang terakhir. Pesannya sederhana
sekali, "Ngger, jagalah dirimu baik-baik. Ikhlaskan aku pergi
menyusul ayahmu. Kau sudah menjadi orang. Lekas-lekas punya
istri dan keturunan. Jangan sampat darah Ayah dan Ibu
terputus. Sudah ya, Pran, aku sudah ditunggu-tunggu Ayah...."
16 Yatim piatu aku. Satu-satunya hamba Allah yang kusayangi di
dunia ini sudah tiada. Sejak bayi aku tak pernah mengenal Ayah.
Beliau meninggal sewaktu aku masih dalam kandungan Ibu.
Ibulah yang membesarkan diriku, membiayai sekolahku dengan
jalan membuka toko kelontong.
Oom Hermawan, tetangga yang mengirim telegram itu,
sambil memegangi pundakku mencoba menghiburku dengan
kata-kata, "Jangan kautahan-tahan tangismu, Pran. Menangislah, agar kau merasa lega."
Baru hari berikutnya aku mampu menangis sepuas-puasnya
di samping makam Ibu. Bisik Oom Hermawan yang selalu
mendampingiku, "Pran, ikhlaskan ibumu pergi. Ikhlaskan, biar
lapang jalannya menghadap Tuhan. Ibumu sudah bersatu
kembali dengan ayahmu."
Kukirimkan telegram kepada Ir. Hilkema, mengabarkan
bahwa aku tidak dapat pulang segera karena ibuku meninggal.
Aku memerlukan waktu untuk menyelesaikan urusan-urusan
http://dewi-kzanfo/ 12 17 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang ditinggalkan oleh ibuku. Ada orang datang untuk menagih
utang, tapi tidak sedikit pula yang muncul untuk
mengembalikan utang, antara lain mereka yang ngebon di toko.
Rumah dan toko menjadi persoalan bagiku. Siapa yang akan
mengurusnya" Lagi-lagi Oom Hermawan yang datang
menolong. Kata tetangga pemilik toko besi di samping rumahku
itu, "Nak Pran, kalau saja aku punya cukup uang, akulah yang
akan membeli rumah dan tokomu, lapi aku kurang mampu. Ada
orang Arab, Pran, Aljufri namanya. Kawan baik, bahkan pernah
bersama-sama naik haji setahun yang lalu. Arab itu tertarik
untuk membeli rumah dan tokomu. Bagaimana, Pran?"
Jawabku waktu itu, "Wah,-terima kasih sekali, Oom, tapi aku
buta-tuli soal harganya."
"Nak Pran, jangan khawatir. Kau tidak akan tertipu. Aljufri
sudah menawarkan harga pembelian dan kiranya wajar. Tujuh
ratus lima puluh gulden, seluruhnya, termasuk barang-barang
toko dan peralatan rumah tangga. Ini urusan dagang, Pran. Aku
sebagai perantara berhak mendapat komisi dua selengah
persen. Bagaimana?" Aku tak berpikir panjang lagi. Rumah dan toko berganti
pemilik. Hanya isi lemari Ibu saja yang masih tetap milikku. Aku
menganga dibuatnya begitu melihat tempurung bathok yang tak
pernah kuperhatikan sebelumnya. Ibu sering berkata padaku,
"Pran, kusediakan untukmu perhiasan untuk emas kawinmu
18 nanti bila kau akan menikah." Tempurung itu isinya emas
berlian yang cukup berharga. Ada di antaranya yang hasil
warisan, ada yang dibeli oleh Ibu sendiri. Aku kembali ke
Tasikmalaya sebagai orang yang berkecukupan. Pikirku, "Semua
itu untuk istriku nanti."
http://dewi-kzanfo/ 13 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam perjalanan pulang, di kereta api, baru aku sadar akan
arti seorang ibu bagiku. Kesadaran yang tak pernah kuhayati
sebelumnya. Aku benar-benar merasa kehilangan sesuatu yang
tak mungkin ada penggantinya. Kasih sayang seorang ibu. Dunia
ini rasa-rasanya mendadak sontak menjadi sunyi sepi. Ya, aku
tak punya siapa-siapa lagi. Ayahku... anak tunggal, begitu juga
ibuku. Yah, padahal aku sering tidak menghiraukan omelan Ibu
manakala aku pulang dengan baju koyak-koyak dan muka
bengkak-bengkak. Yah, sampai saat ini pun aku. belum sempat
memuliakan makam bapak dan ibuku. Aku telah berjanji untuk
melakukannya. Tidak kepada siapa-siapa, tapi pada diriku
sendiri. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kehadiran Bob
Muisch 19 masih saja terus-menerus menggangguku. Ketenanganku sangat terganggu. Selama beberapa bulan aku
mampu mengendalikan diri bila Bob Muisch mencari-cari
peluang untuk bertengkar denganku, dengan segala sikap
keangkuhannya yang tampaknya dibuat-buat. Petuah dua orang
yang bermaksud baik pada diriku selalu mengiang-ngiang di
telingaku. Petuah Meneer Van Dam dan ibuku sendiri. Aku harus
menjaga diriku baik-baik, walaupun aku sudah mulai muak
dengan sikapnya yang sering menyakitkan hati. Rasa-rasanya
sudah gatal tanganku ingin melabrak wajahnya yang terlalu
ganteng itu. Kelihatannya Bob Muisch juga sudah tidak mampu
untuk mengendalikan dirinya lebih lama lagi.
Mengapa ia begitu benci kepadaku, aku tidak tahu. Pujian-
pujian Ir. Hilkema yang ditujukan kepadaku dengan kata-kata
seperti, "Meneer Pranoto, kalau pekerja-pekerja di bengkel ini
seperti kau semua, aku bisa tidur nyenyak," sangat menusuk
hatinya. Ya, itu barangkali yang menjadi sebabnya. Kuperhatikan
http://dewi-kzanfo/ 14 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
20 wajah Bob Muisch lewat sudut-sudut mata waktu itu. Raut
mukanya berkerut-kerut menahan kebenciannya. Pujian-pujian
Hilkema yang berkelebihan itu sudah tidak proporsional lagi. Risi
rasanya memperolehnya di hadapan orang banyak. Barangkali
kalau orang lain yang menerimanya, ia justru akan membusung
busungkan dadanya. Aku tidak, dan lagi itu hanya akan
membakar-bakar kebencian Bob Muisch saja.
Pada suatu pagi lagi-lagi Hilkema memujiku tepat di depan
hidung Bob Muisch. Kata Hilkema, "Meneer Pranoto, bagus,
bagus!" Begitu Hilkema meninggalkan tempat, Bob Muisch
mendekatiku seraya berkata, "Zeg, Meneer Pranoto, kau itu
anjing buldog asli apa hanya anjing kampung belaka?" Di
Bengkel SS itu teman-temanku juga memberikan nama Buldog
kepadaku. Hal itu tidak aneh lagi bagiku. Dengan sedikit
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkhayal saja, siapa pun akan menemukan nama panggilan itu.
Aku tahu sudah apa yang sebenarnya dikehendaki Bob
Muisch. Adu jotos, berkelahi! Mencari-cari alasan agar aku naik
pitam dan mau mendahuluinya menantang. Menurut tradisi
yang berlaku di Europese Ambacht School, ucapan Bob Muisch
semacam itu sudah merupakan tantangan terbuka. Aku masih
berusaha untuk menghindarinya. Dengan tenang dan bernada
gurau aku menjawab, "Kau sendiri bagaimana, Bob" Kukira
anjing geladak masih lebih bersih daripada tikus selokan."
Bahasa Belanda untuk tikus adalah muis.
Wajah Bob Muisch seketika saja menjadi merah padam.
21 Dilemparnya kunci pas yang dipegangnya di atas lantai.
Bentaknya, "Anjing geladak kampungan... Pungut!" Tantangan
final sudah. Kalau aku mau memungutnya dan menyerahkannya
kembali kepadanya, itu artinya aku sudah menyerah kalah
sebelum berkelahi. Kawan-kawan lain yang menyaksikan
kejadian itu, menunggu-nunggu apa yang bakal jadi jawabanku.
http://dewi-kzanfo/ 15 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sama-sama keluaran Europese Ambacht School, mereka
mengetahui aturan permainannya. Pokoknya adu jotos. Kalah
atau menang itu bukan soal.
Kutanggapi tantangannya yang benar-benar menyakitkan
hati itu dengan kata-kata, "Bob, jangan banyak mbacot. Nanti
malam jam delapan. Di dekat menara air."
Gumam Tabrani, seorang montir pembantu, "Gila Pranoto.
Bakal dibantai dia."
Orang lain lagi menanggapi, "Ah, siapa tahu, jago silat dia.
Bakal hebat." Sambil tersenyum-senyum puas Bob Muisch memungut
kunci pasnya, dan sambil meninggalkan tempat ia masih sempat
menjawab, "Baik, nanti malam jam delapan. Di dekat menara
air. Jangan menyesal kau, Pran."
22 Malam itu sewaktu berjalan menuju menara air di kawasan
stasiun, aku berpikir, "Siasat apa yang akan kugunakan"
Berkelahi melawan orang sebesar Bob Muisch memang tidak
baru kali ini saja. Pasti Bob juga bukan pertama kali ini saja
berhadapan dengan seseorang yang pandai pencak silat.
Nalurinya berkata bahwa aku memang jago berkelahi. Kondisi
tubuhku meyakinkan. Ia pasti tahu bahwa aku akan lebih banyak
menggunakan kaki-kakiku daripada tinjuku... Tapi ia barangkali
belum pernah melawan seseorang yang sependek diriku. Ah,
baiknya justru main rendah saja."
Aku lebih dulu tiba di arena perkelahian. Berbondong-
bondong kawan-kawan sekerja berdatangan. Mereka bergairah
sekali untuk menyaksikan pertandingan yang dianggap kurang
seimbang itu. Aku tak perlu menunggu lama. Bob Muisch tiba di
http://dewi-kzanfo/ 16 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
arena perkelahian tepat jam delapan. Lagi-lagi aku mendengar
kata-kata, "Wah, tidak seimbang."
Malam itu aku sengaja memakai celana pendek, kaus
oblong, dan sepatu basket, ringan dan tak mudah lepas. Bob
mengenakan celana pendek juga, baju kaus, dan memakai
sepatu tenis. Arena perkelahian itu tidak asing bagi kami
23 berdua, cukup penerangan dan berkerikil. Bob dan aku saling
berjabat tangan. Wajah-wajah tegang mengelilingi kami berdua.
Ternyata penerangan listrik dekat menara air itu terlalu terang-
benderang, mudah menarik perhatian orang bila kami berkelahi
di tempat itu. Siapa tahu ada orang yang melihatnya dan lapor
polisi. Kukatakan kepada Bob Muisch, "Terlalu mencolok mata
di sini. Bagaimana kalau mencari tempat lain saja, Bob?"
Bob Muisch mengangguk. Bersama-sama kami menemukan
tempat baru, terlindung dari penglihatan orang oleh gerbong-
gerbong barang dan tidak terlalu gelap. Letaknya di antara dua
jalur rel di luar bangunan stasiun. Kutanyakan kepada Bob,
"Cukup baik, Bob?"
"Jangan banyak bicara, mari mulai saja. Ini jagonya Europese
Ambacht School Meester Cornelis," jawabnya.
Bualannya kutanggapi dengan kata-kata, "Silakan mulai. Ini
arek Europese Ambacht School Surabaya."
Lewat sudut-sudut mata aku melihat penonton-penonton
bertebaran. Ada di antaranya yang malahan duduk-duduk di
atap gerbong. Kuamati gerak-gerik Bob. Ia pasang kuda-kuda
gaya tinju. Lega hatiku. Aku khawatir kalau-kalau ia seorang pegulat.
Bakal kewalahan aku. Bob membungkukkan tubuhnya dalam-
http://dewi-kzanfo/ 17 24 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam, melindungi perutnya dengan siku-sikunya. Tangan-
tanganku tidak akan mampu mencapai mukanya.
"Ya maaf saja, Bob, aku terpaksa pakai kaki, dan kalau tak
ada jalan lain... apa boleh buat, alat vitalmu itu," ucapku dalam
hati. Sambil berloncat-loncatan itu, aku masih mendengar orang
berkomentar, "David dan Goliath."
Langsung Bob Muisch meninju, aku menghindar, tapi kurang
cepat. Tinjunya masih sempat menyerempet daun telingaku.
Panas membara rasanya. Pikirku saat itu, "Indo berpengalaman
si Bob ini. Sulit untuk mengenai perutnya. Ketat terlindungi
selalu oleh siku-sikunya yang mampu menangkisi tendanganku.
Goblok, goblok aku! Lutut-Iututnya itu. Dia tak bakal mampu
melindunginya...." Tinjunya mengenai dahiku. Kunang-kunang bertebaran di
hadapanku. Hanya sebentar. Ada peluang emas. Aku melenting
dan sepatu basket itu tepat mengenai kakinya yang sedang lurus
menegang. Aku mundur lagi beberapa langkah, melenting lagi
dan lutut itu kuhantam keras-keras untuk kedua kalinya.
Lawanku itu mulai bergerak terpincang-pincang, ia masih
mampu menjotos ubun-ubunku. Lagi-lagi kunang-kunang
bertebaran di hadapan mataku. Aku mundur menjauh,
berancang-ancang, dan dengan satu lompatan lututnya yang
25 lain kuhunjam sekuat tenaga. Aku mundur lagi dan melihat
dengan jelas lawanku melengahkan perutnya dan kaki-kakinya
sudah nampak gemetaran, kurang mampu menopang tubuh
yang begitu berat itu. Dengan teriakan nyaring, aku melenting
lagi dan kedua belah kakiku bersarang pada perut Bob Muisch.
Lawanku itu jatuh telentang dan berguling-guling kesakitan.
Napasnya terengah-engah. Naluriku mengatakan, bahwa aku
http://dewi-kzanfo/ 18 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak boleh mendekatinya. Siapa tahu dia hanya berpura-pura
saja dan aku digulatnya... celaka aku. Namun kemudian tampak
jelas bahwa Bob memang sudah tak berdaya sama sekali.
Bernapas saja sudah payah. "Selesailah sudah," gumamku.
Kudekati Bob Muisch, kutepuk-tepuk punggungnya sambil
berkata, "Terima kasih, Bob. Perkelahian yang menyenangkan.
Aku menikmatinya." Dengan tangan sebelah masih memegangi perutnya, Bob
mengulurkan tangan satunya. Kami saling berjabatan.
Kutinggalkan arena perkelahian itu dan langsung pulang. Entah
apa yang diperbuat kawan-kawan penonton. Keesokan harinya
aku baru tahu bahwa Bob dipapah pulang oleh teman-teman.
Perkelahian di dekat menara air itu cukup berpengaruh pada
26 sikap pegawai-pegawai berstatus Belanda terhadap kaum
Inlander di Bengkel SS itu. Walaupun unjuk rasa lebih super
tidaklah hilang sepenuhnya, tapi kesombongan mereka sudah
sangat berkurang. Tradisi yang berlaku di Europese Ambacht School kami
pegang teguh. Persoalan telah diselesaikan lewat baku hantam.
Kalah atau menang, itu soal lain. Bob Muisch akhirnya menjadi
sahabat karibku yang paling dekat.
Pada suatu sore Bob dan aku pergi minum-minum bir di
Restoran De Galunggung. Kami bicara-bicara tentang
rasionalisasi kepegawaian yang sedang dijalankan oleh
Gubernur Jenderal Meester De Fock. Kataku, "Tidak mustahil
Kereta Api juga akan terkena tindakan rasionalisasi. Tinggal
menunggu waktunya saja."
http://dewi-kzanfo/ 19 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gelagatnya memang begitu," Bob Muisch menanggapi.
"Tapi bagimu, Pran, tak perlu kau bercemas-cemas.
Kedudukanmu kuat di Bengkel SS. Lain halnya dengan diriku."
"Ah, kau berstatus 27 Belanda, Bob. Pasti yang diuangtunggukan atau dirumahkan lebih dulu, siapa lagi kalau
bukan pekerja-pekerja kaum Inlander."
"Kau tahu, Pran. Itu VSTP, bakal menentang keras
rasionalisasi di lingkungan perkeretaapian."
(VSTP = Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel-
Perhimpunan Pegawai Kereta Api dan Trem)
"Omong-omong ya, Bob, IEV (Ikatan Kaum Indo-Eropa) giat
bergerak akhir-akhir ini. Bagaimana itu, Bob?"
Jawab Bob agak kesal, "Bagaimana, ya. Kedudukan kaum
Indo memang repot. Kami ini sebenarnya Belanda bukan,
Inlander pun bukan. Mencari identitas pun tidak gampang.
Kenyataannya dalam segala hal, Belanda totok-Iah yang di-
anakemaskan. Kami ini anak tiri. Bagi kalian kaum Inlander
masalahnya jelas. Kaum yang dijajah, tapi kami ini... entahlah!
Anak negeri yang berstatus Belanda. IEV katanya menuntut
persamaan perlakuan kaum Indo dengan Belanda-Belanda
lotok, antara lain cuti pulang kampung ke Negeri Belanda atas
tanggungan negara." Aku tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Bob Muisch
sendiri. Celetukku, "Aku bisa membayangkan. Itu ya Tom
Beusekom si tukang las, pergi cuti ke Nederland sana. Wah,
28 kayak apa rupanya dan ribuan Tom yang lain. Apa bukan
tuntutan yang gila itu, Bob?"
Bob Muisch tertawa-tawa geli. Ucapnya, "Kalau Tom
Beusekom, masih jadilah, tapi si Slamet Simon" Bahasa Belanda-
http://dewi-kzanfo/ 20 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nya, burung kakaktuaku masih lebih baik. Memang tuntutan
yang tidak masuk di akal, tapi begitulah keadaannya. Tidak itu
saja, Pran, IEV juga menuntut persamaan hak dengan Belanda
totok dalam hal skala gaji. Walaupun statusnya Belanda, tapi
tetap ada perbedaan yang mencolok antara skala gaji Belanda
totok dan Belanda Indo."
"Tapi ya maaf saja ya, Bob. Nasib kami kaum Inlander lalu
bagaimana" Skala gaji kami dengan yang Indo saja kalah, apalagi
kalau dibandingkan dengan Belanda totok, wah, jauh
ketinggalan. Kalau begitu, apa salahnya kami kaum Inlander
ikut-ikut menuntut skala gaji yang lebih adil dan tidak
diskriminatif?" "Pran, IEV itu juga tidak bersatu, terpecah belah alirannya.
Kesulitannya ya terletak pada diri kami sendiri. Terhadap kaum
Inlander, kami ini merasa lebih super, tetapi terhadap Belanda
keju, kami merasa minder. Alternatifnya memang ada dua, jadi
29 Belanda apa jadi Inlander, maaf ya, Pran. Ada pandangan yang
ketiga, tapi juga tidak kalah gila. Kalau Hindia Belanda lepas dari
Negeri Belanda, yang memegang kekuasaan harus kaum Indo."
Cepat aku memotong, "Apa kalian akan mampu memerintah
negeri ini" Apa kalian akan bisa diterima oleh kaumku,
Inlander?" "Entahlah, Pran, tapi pandangan ketiga itu cukup kuat hidup
pada kaum intelektual Indo dan banyak pendukungnya."
"Lalu pendirianmu sendiri bagaimana, Bob, ikut mendukung,
atau menolak?" Sejenak Bob Muisch diam, berpikir, kemudian ia menjawab,
"Bagaimanapun gilanya pandangan ketiga itu, banyak
pendukungnya, tapi aku berpendapat bahwa itu sulit dapat
http://dewi-kzanfo/ 21 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dilaksanakan. Kaum Inlander pasti akan menentangnya mati-
matian, apalagi ada tokoh Indo juga yang gigih menentangnya,
Dr. Douwes Dekker." Aku memotong, "Aku ingin tahu pendirianmu, Bob, bukan
pendirian orang lain."
"Terus terang, aku belum tahu. Ibuku pemakan sambel asal
Madura. Ayah, Belanda totok kelahiran Arnhem di Holland sana,
30 yang dibesarkan di Semarang. Nah, lahirlah aku ini, Bob
Muisch," jawabnya. "Omong punya omong ya, Bob. Seandainya bangsaku
memberontak terhadap kekuasaan Belanda. Seandainya ini,
Bob, jangan kau salah paham. Di pihak mana kau akan berdiri?"
tanyaku kepadanya. Bob Muisch diam, menguji-uji hati nuraninya. "Aku akan
tetap berdiri di pihak Belanda," jawab Bob tegas.
"Kukira tidak kau saja yang akan berpendirian begitu, Bob.
Sebagian besar kaum Indo akan memihak Belanda, Slamet
Simon dan Tom Beusekom tidak terkecuali," tanggapku.
Dengan tiba-tiba saja Bob Muisch yang duduk menghadap
pintu masuk restoran itu menyepak-nyepak kakiku. "Jangan
menoleh dulu, Pran," bisiknya. "Terlalu kentara nanti. Lihat itu,
ada gadis cantik masuk, bersama teman-temannya. Berkebaya
hijau dan pakai kerudung. Cocok untukmu, Pran."
Atas isyarat yang diberikan oleh Bob Muisch itu, perlahan-
lahan aku menggeser-geser kursi sehingga aku mampu melihat
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa yang baru masuk itu. "Yang mana, Bob?" tanyaku.
http://dewi-kzanfo/ 22 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Goblok banget kau, Pran. Itu yang pakai kebaya hijau muda
31 dan pakai kerudung lila. Tidak terlalu tinggi bagimu. Ya apa
tidak, Pran?" Dalam hati aku membenarkan penglihatan Bob Muisch.
Beberapa gadis memasuki restoran itu. Semuanya tanpa
terkecuali berkain kebaya dan memakai kerudung yang sama
sekali tidak menutupi wajah-wajah mereka. Kerudung i tu hanya
sebagai tutup kepala sambil lalu saja. Kerudung berwarna lila
yang dikenakan gadis yang ditunjuk oleh Bob Muisch itu
memang agak menarik perhatianku juga. Bukan karena
kecantikan pemakainya, tapi dialah yang paling lincah di antara
teman-temannya. Dalam bahasa Sunda yang bukan logat Tasik,
tapi lebih berirama bahasa Jawa, gadis itu memesan sesuatu
kepada seorang pelayan restoran yang mendekatinya.
Gadis-gadis itu lalu duduk-duduk saja, memilih tempat di
sudut ruangan bagian depan.
"Bagaimana, Pran, cocok tidak kau?" celetuk Bob Muisch.
Aku hanya diam saja. Terbayang-bayang di hadapanku Rita
De Bruyn. Tubuhnya yang padat kekuning-kuningan, besar, dan
mulus menggairahkan. Dalam khayal jorok kutelanjangi gadis
berkebaya hijau itu. Memang jauh berbeda. Yang ini langsing,
ramping malahan. "Pran! Cocok tidak!" bentak Bob Muisch.
Rasa minder menelusuri pribadiku. Rita mau dengan diriku,
karena dia memang seorang wanita hiperseks. Biar wajahku
seperti anjing buldog, aku lapnya juga. Rita, Rita De Bruyn. Lain
32 dengan gadis yang masih murni ini. Aku menggeser kembali
kursiku. "Ah, siapa yang mau dengan moncongku yang seperti
ini, Bob," jawabku. http://dewi-kzanfo/ 23 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan begitu, Pran. Kau selalu merasa minder saja. Coba
lihat Mandor Langsir Karyono itu. Tampangnya seperti celurut
kekencingan, tapi istrinya! ...Uwah!" Bob menanggapi.
"Kau lebih pantas baginya," celetukku.
Bob Muisch tertawa, sahutnya, "Pembunuhan, itu
pembunuhan. Ia terlalu kecil untukku."
"Coba lihat ini!" kataku. Kumasukkan jari-jariku satu demi
satu ke dalam lubang hidung, dari jari kelingking yang kecil
sampai jempol yang besar. Semuanya dengan mudah dapat
masuk lubang hidung. Lagi-lagi Bob tertawa. "Pran, dari siapa kau belajar falsafah
jari dan hidung" Itu memang tidak salah, betul, betul, tapi
kurang seimbang dengan posturku. Ayo, Pran, bagaimana kalau
mereka kita buntuti" Sayang kalau hilang lenyap begitu saja."
Sengaja aku mengalihkan pembicaraan dengan bertanya,
"Jootje bagaimana, Bob?"
"Jootje?" jawab Bob. "Ah, mana mungkin Belanda singkong
33 montir pembantu seperti aku ini mengingini anak asisten
residen yang Belanda keju."
"Kau tahu, Bob, itu. si Rustam, montir pembantu juga.
Istrinya anak bupati, Bob," kataku meyakinkan.
"Ah, bagaimana kau itu, Pran" Bukan istri Rustam yang kita
persoalkan. Itu, si gadis berkebaya hijau," ucap Bob Muisch.
Gadis-gadis itu ternyata hanya memesan sesuatu untuk
dibawa pulang saja. Mereka sendiri hanya minum-minum.
Seorang pelayan muncul membawa bungkusan. Gadis
berkebaya hijau itu membayar lalu mengajak gadis-gadis yang
lain pergi meninggalkan restoran.
http://dewi-kzanfo/ 24 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Celetuk Bob Muisch, "Bagaimana, Pran, kita ikuti untuk bisa
tahu di mana rumah gadis berkebaya hijau itu?"
"Ah, biarkan mereka pergi. Aku tidak ingin ketenanganku
terganggu," jawabku.
Bob mengumpat-umpat, tapi aku tetap pada pendirianku.
Setelah dua botol bir habis, kami pulang.
Pada suatu hari seorang teman sekerja memperkenalkan
diriku pada seorang kepala sekolah partikelir yang bernama
Sudibyo. Ia orang pergerakan. Dari Mas Sudibyo itu aku setapak
34 demi setapak belajar politik. Kuceritakan padanya bahwa
sewaktu aku masih sekolah, aku sangat gemar berkelahi dengan
Belanda-Belanda. Rasa-rasanya puas kalau mampu merobohkan
lawan-lawanku itu. Mas Dibyo tertawa. Katanya, "Dik Pran, dengan merobohkan
sinyo-sinyo Belanda itu tidak berarti bahwa kau dapat
merobohkan kekuasaan Belanda. Seorang diri melawan Belanda
tidak akan ada urtinya apa-apa. Kekuasaan Belanda hanya dapat
tumbang kalau seluruh bangsa Indonesia serentak bangkit
melawannya. Masalahnya, bagaimana caranya menggerakkan
bangsaku itu." Kata-kata "bangsa Indonesia" itu diucapkan dengan nada
tegas meyakinkan. Bulu kudukku berdiri mendengarnya. Aku
baru sadar bahwa aku ini bagian dari bangsa yang besar, tetapi
sedang meringkuk dalam kekejaman kolonialisme. Kutanyakan
kepadanya, "Apa Belanda ada niat untuk memerdekakan bangsa
Indonesia, Mas?" Sudibyo tersenyum, jawabnya, "Menurut perkiraanku, tidak
ada kemungkinan. Belanda harus h lempar keluar dari tanah air
kita. Ingat, Dik, seorang politikus Belanda sendiri pernah berkata
http://dewi-kzanfo/ 25 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
35 bahwa, Indie is de kurk waarop Nederland drijft. Hindia adalah
gabus di atas mana Negeri Belanda mengapung. Pernyataan itu
memberikan kejelasan kepada kita bahwa Belanda tidak akan
pernah begitu saja bersedia memerdekakan bangsaku. Harus
dipaksa, ditendang ke luar Nusantara, atau terpaksa."
Minggu pagi yang tak pernah kulupakan. Aku diajak pergi ke
Bandung oleh Mas Dibyo. Semula aku mengira hanya diajak
jalan-jalan saja. Ter nyata di Bandung aku diperkenalkan kepada
seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik. Kusno namanya.
Begitu aku melihatnya, langsung saja aku menaruh simpati
kepadanya. Kusno memang seorang pemuda yang mengagumkan. Sudah
ganteng, berwibawa, berotak cemerlang, dan daya ingatnya
yang menakjubkan, lagi. Semangatnya menyala-nyala selalu. Ia
masih begitu muda, tapi tentang masalah-masalah politik, ia
bukan anak hijau lagi. Masih saja mengiang-ngiang di gendang
telingaku kata-katanya, "Mas Pran, memang sekarang ini
bangsaku adalah bangsa kuli-kuli dan kuli di antara bangsa-
bangsa lain di dunia ini. Begitu keadaannya. Tapi jangan lupa,
Mas Pran, kita pernah menjadi bangsa yang jaya. Ingat Sriwijaya,
Mataram, Syailendra, Majapahit, atau Wilatikta, Aceh yang
sanggup menggempur Portugis di Malaka, Makassar dan Goa di
Sulawesi, dan Ternate-Tidore yang kekuasaannya sampai ke
wilayah Nieuw-Guinea. Ingat, Mas Pran, Belanda belum bisa
apa-apa, kita sudah mampu membangun Borobudur dan
36 Prambanan yang sampai kini masih tetap dikagumi oleh seluruh
dunia. Tapi mengapa, ya mengapa Belanda yang negerinya
hanya selebar daun pisang itu mampu menguasai Nusantara ini"
Bukan karena Belanda itu begitu kuatnya, begitu hebatnya,
tidak. Tapi karena kita bangsa Indonesia tidak mampu bersatu.
Dengan mudahnya Belanda mengadu domba bangsaku. Devide
http://dewi-kzanfo/ 26 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
et impera-nya berhasil dengan baik. Nah, akhirnya kita dijajah
Belanda sekarang ini. Jadi sebenarnya kita ini ambruk karena
kita sendiri yang meruntuhkannya.
"Kita harus mulai dari permulaan lagi. Menyatukan bangsaku
ini dan membentuknya, dari Sabang sampai Merauke."
"Memalukan, ya memalukan, Mas Pran. Berapa liimlah
orang Belanda di bumi kita sekarang ini" Dengan Belanda-
Belanda Indo-nya sekaligus hanya sekitar 250 ribu. Kita bangsa
Indonesia, yaaa sekitar 50 juta sudah, dan berapa jumlah
serdadu KNIL tentara kolonial itu, Mas Pran, berapa" En toch,
kita tidak bisa berkutik, karena jiwa kita sudah menjadi jiwa
budak, jiwa pengabdi. Sklaven Gieist, jiwa budak itu yang harus
kita ubah menjadi Herrrn Geist, jiwa tuan, terlebih dulu. Itu
tidak gampang, Mas Pran, tapi tidak ada jalan lain. Mari kita
37 satukan bangsa kita ini. Ya, kita satukan jiwanya. Yang paling
pokok, samenbundeling van ulle patriotieke krachten -
penyatupaduan semua kekuatan patriotik. Itu dulu, dan
kemudian baru smeedt het ijzer wanneer het heet is. Itulah
hakikat dari machtvorming dan machtaanwending."
Kutanyakan kepadanya, "Berapa waktu diperlukan untuk
menyatupadukan semua kekuatan patriotik itu, dan apakah saat
penempaan besi yang membara itu akan muncul, Dik Kusno?"
Pertanyaan itu langsung dijawabnya dengan berkata,
"Wallahualam, Mas Pranoto. Allah Ta'alla yang menguasai ruang
dan waktu. Ikhtiar, ikhtiar tempalah besi ilu sewaktu sedang
membara pembentukan kekuatan dan penggunaannya terus-
menerus dan pantang berhenti. Ingat, for a fighting nation there
is no journey's end."
Kusno berhenti berbicara, ia menggigit-gigit bibirnya seperti
orang yang gemas. Ya, gemas menghadapi kenyataan yang
http://dewi-kzanfo/ 27 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedang menimpa bangsanya. Kemudian ia melanjutkan, "Mas
Pranoto, senjata ampuh yang digunakan kolonial is-imperialis
adalah strategi dan taktik devide et im-pera. Ngobrak-abrik itu
lebih mudah daripada membentuk, padahal kitalah yang harus
38 membentuk, menghimpun, dan menggalang semua kekuatan
patriotik itu. Mas Pranoto dapat memahami bagaimana sulitnya.
Pihak Belanda tidak akan berhenti memecah belah kekuatan
kita, tapi kita juga tidak boleh berhenti menyatupadukan
kekuatan-kekuatan kita. Nah, itulah perjuangan mati-matian
yang tidak boleh dibatasi ruang dan waktu."
Lagi-lagi Kusno alias Sukarno itu berhenti berbicara,
mengepal-ngepalkan tinjunya seraya berkata, "Masih segar di
ingatanku ramalan Doktor Gerungan Saul Samuel Jacob
Ratulangi. Apa yang dikatakan oleh doktor Naturphilosophie
keluaran Universiteit Zurich itu" Ia meramal bahwa pendukung-
pendukung kolonialisme-imperialisme akan bertabrakan satu
dengan lainnya. Akan baku hantam satu dengan lainnya lewat
suatu peperangan mahadahsyat yang tak ada bandingannya
dalam sejarah umat manusia, dan peperangan itu akan melanda
Asia Tenggara juga. Ya, siapa tahu bangsa Indonesia akan
mempunyai kesempatan untuk menempa besi yang sedang
membara itu. Menggunakan kesempatan untuk menjungkirbalikkan k ilonialisme-imperialisme...."
Tampak kelopak mata Kusno berkaca-kaca. Emosinya
meluap-luap, dan ia begitu yakin bahwa ramalan Dr. Ratulangi
39 yang didasarkan pada perhitungan-perhitungan yang cermat
rasional itu benar-benar akan menjadi kenyataan. Mas Dibyo
dan aku yang ikut terharu sudah tidak mampu bertanya-tanya
lagi. Kata-kata mutiara for a fight-ing nation there is no
journey's end itu kupegang teguh sampai saat ini. Tidak peduli
http://dewi-kzanfo/ 28 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa kemungkinan dan harapannya. Berjuang, berjuang terus...
untuk kemerdekaan. Kusno melanjutkan, "Samenbundeling van alle patriotieke
krachten, penyatupaduan semua kekuatan patriotik, itu
perjuangan jangka panjang, Mas. Jangan mengejar kemenangan
yang sifatnya hanya tijdelijk, sementara. Tidak ada gunanya.
Saat kita menempa besi yang membara, itu harus final, final!
Kemenangan akhir harus ada pada kita. Jangan lupa, Mas,
jangan lupa. Kita tidak sendirian. Kolonialisme-imperialisme itu
internasional sifatnya, tapi perjuangan pembebasan dari
penjajahan, itu universal juga. Tidak hanya Indonesia saja, tapi
di seantero muka bumi ini. Ya di Asia, ya di Afrika, ya di Amerika
Latin." Begitu Kusno berhenti berbicara, langsung saja Mas Dibyo
bertanya, "Karena hakikat perjuangan pembebasan dari
40 belenggu kolonialisme itu universal seperti dikatakan oleh Dik
Kusno tadi, apa akan ada peluang ruang dan waktu untuk itu?"
Jawabnya, "Aku bukan ahli nujum, bukan orang yang
membabi buta menerima begitu saja ramalan Joyoboyo yang
begitu mengakar kuat dalam hati sanubari orang-orang Jawa.
Sebagai motivasi itu penting. Tapi tidak, tidak. Perhitungan
rasional-historis Doktor Ratulangi itu masuk di akal. Nah, kalau
itu benar-benar terjadi di kelak kemudian hari, barangkali di
situlah letak kesempatan kita dan pada saat itu, besi sudah
harus membara, membara, ya membara untuk ditempa. Artinya
bangsa Indonesia sudah cukup matang untuk bergerak, saiyeg
saeka praya, serentak. Rawe-rawe rdntas, malang-malang
pulung, dalam arti siap berjuang mati-matian. To be or not to
be, ya, nu of nooit (sekarang atau tidak sama sekali). Saat itu
akan ada een samenloop van omstandigheden (Keadaan
tertentu serba kebetulan), yang memungkinkan adanya
http://dewi-kzanfo/ 29 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesempatan itu, barangkali. Entahlah, tapi dalam sejarah umat
manusia banyak sekali terjadi samenloop van omstandigheden
itu. Suatu paduan kaitan kondisi dan situasi yang mengubah
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arah sejarah, seperti halnya dengan kelahiran Majapahit.
41 Barangkali itu yang dimaksud oleh Doktor Ratulangi."
Kusno mengeluarkan jam sakunya, kemudian ia berkata,
"Wah, maaf, maaf ya, Mas Dib, aku ada janji dengan teman-
teman untuk belajar bersama-ama. Lain kali kita teruskan."
Jawab Mas Dibyo, "Ooo, silakan, silakan, Dik. Kami juga ingin
menemui kawan-kawan di Tega-Icga sana.. Terima kasih, Dik."
Kami meninggalkan pondokan calon insinyur itu dengan
perasaan puas, lega, penuh harapan, walaupun kami tahu
bahwa perjuangan itu akan masih memerlukan jangka waktu
yang panjang, ya, sangat panjang, tapi kata-kata mutiaranya
terpatri dalam hati sanubariku. Dalam perjalanan pulang, di
kereta api kutanyakan kepada Mas Dibyo, "Bagaimana pendapat
Mas Dibyo?" Jawabnya, "Masih muda, tapi sulit menemukan tandingannya. Bisa banyak belajar dari dia, anak didik Haji
Oemar Said Tjokroaminoto. Kabarnya inak menantu malahan.
Seorang pemuda yang banyak membaca dan belajar dan apa
yang dibacanya benar-benar mengendap dalam benak
ingatannya. Tidak itu saja, tapi juga diolahnya, sehingga
ditemukan apa yang baik bagi kita semua ini. Mukan kali ini saja
42 aku bertemu dengan pemuda ganteng itu. Sudah untuk
kesekian kali. Tadi pagi ia berusaha menjelaskannya dengan
bahasa yang mudah ditangkap orang. Tidak mengungkapkan
teori-teori perjuangan yang digalinya dari buku-buku
bacaannya. Cukup jelas kan bagi Dik Pranoto?"
http://dewi-kzanfo/ 30 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawabku, "Ya, cukup jelas, cukup jelas. Siapa tahu, dialah
nantinya salah seorang pemimpin bangsa yang akan dapat
berbuat banyak bagi bangsa Indonesia ini."
"Ya, mudah-mudahanlah. Ia memiliki segala-galanya untuk
itu," kata Mas Dib. Sementara itu rasionalisasi pegawai di kalangan Gubermen
Belanda dijalankan dengan drastisnya, sebagai akibat
memburuknya keadaan perekonomian Hindia Belanda. Tidak
Hindia Belanda saja, tapi seluruh dunia. Penghematan-
penghematan juga dilakukan dalam tubuh Staats Spoorwegen,
termasuk di Bengkel SS Tasikmalaya. Sepertiga dari pekerjanya
dirumahkan, di-opwachtgeld-kan istilahnya. Boleh tinggal di
rumah dengan hanya menerima gaji sepertiga dari yang
lazimnya mereka peroleh. Lagi-lagi terasa adanya tindakan
diskriminatif 43 yang menyakitkan .hati. Nyatanya yang dirumahkan pekerja-pekerja Inlander Bumiputra. Sebagai akibat
kurangnya tenaga di bengkel itu, yang tinggal terpaksa harus
kerja berat, melembur tanpa imbalan uang lembur yang
memadai. Perhimpunan pegawai-pegawai kereta api, VSTP, bergerak
dan menuntut agar mereka yang dirumahkan dipekerjakan
kembali dan bahkan mengancam akan mengadakan pemogokan
total apabila tuntutan-tuntutannya tidak dipenuhi. Pekerja-
pekerja yang bersimpati dengan gerakan VSTP meminta agar
aku bersedia menjadi pimpinan gerakan di Bengkel SS
Tasikmalaya itu. Darah muda bergelora dan tabiat asliku muncul
di permukaan. Lupa daratan mendapat kepercayaan teman-
teman, apalagi mereka tidak lupa untuk menyanjung-nyanjung
diriku. http://dewi-kzanfo/ 31 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kata Jan De Wolf, "Pran, posisimu paling kuat di Bengkel
44 Tasik ini. Pihak pimpinan begitu terpesona atas prestasi kerjamu
di sini." Aku tidak segera menerima tawaran teman-teman.
Malamnya, aku berkunjung ke rumah Mas Sudibyo. Kuceritakan
kepadanya Bengkel yang sedang bergolak dan adanya orang-
orang VSTP dari Bandung yang kasak-kusuk.
Kata Sudibyo, "Aku belum bisa memberikan pandanganku,
Dik Pran. Aku awam tentang perkembangan di perkeretaapian.
Ada baiknya kita minta pendapat Dik Kusno. Bagaimana, Dik?"
Belum aku sempat menanggapi sarannya itu, muncul
membawa minuman dan hidangan... gadis berkebaya hijau di
Restoran De Galunggung. Aku seperti melihat hantu di siang hari
bolong. Kata Mas Dib setelah gadis itu meletakkan hidangan di atas
meja, "Kenalkan Dik Pran, adik istriku, Hartini."
Hartini hanya mengangguk kecil. Aku sudah telanjur berdiri
untuk berjabat tangan, tapi Hartini sama sekali tidak
mengulurkan tangannya. Aku hanya berdiri mematung.
Celetuk Mas Dibyo, "Duduklah, Dik."
Aku duduk kembali. Hartini masih saja tetap berdiri di
samping kursi Mas Sudibyo.
Tanya Sudibyo, "Ada apa, Tin?"
"Mas, Mbakyu ingin dibelikan pepes ikan. Aku mau pergi ke
restoran sebentar." "Sudah malam begini" Apa masih buka?" kata Sudibyo.
45 "Masih, Mas, belum jam delapan," jawabnya.
http://dewi-kzanfo/ 32 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak Sudibyo terdiam, ucapnya kemudian, "Wah,
bagaimana, ya. Sudah malam begini dan lagi ada urusan
koperasi yang tidak bisa kuhafalkan. Aku harus pergi ke rumah
Pak Jamin. Ada rapat... Eehh, bagaimana, Dik Pran, kalau aku
minta tolong... Ehh, itu kalau Dik Pranoto tidak berkeberatan."
Mas Dibyo tampajc ragu. Saat itu akulah yang seharusnya
menawarkan .jasa baik, tapi dasar orang yang selalu merasa
minder, mulutku seperti dibungkam setan saja. Aku hanya
mampu mengangguk kecil. Melihat anggukanku yang kurang meyakinkan itu, Mas Dibyo
berkata, "Dik Pran tidak ada acara lain malam ini?"
Jawabku singkat, "Tidak."
Rasa-rasanya aku ingin meninju mulutku sendiri, mengapa
mulutku itu tidak dapat diajak berteman saat itu.
Imbau Mas Sudibyo, "Tolong antarkan Hartini, ya."
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk saja. Pikirku, apa
Hartini tidak akan malu dikawal lelaki seperti aku ini.
"Nah, Tin, Mas Pranoto yang akan mengantarmu. Sana siap-
siap," kata Mas Dib.
46 "Baik, Mas," jawab Hartini agak manja. Aku tak perlu
menunggu, lama-lama. Hartini yang semula mengenakan
kebaya coklat lusuh, muncul kembali, siap berangkat Jantungku
berdenyut-denyut keras sampai aku khawatir kalau-kalau Mas
Sudibyo akan mendengarnya. Berdiri di hadapanku, si gadis
berkebaya hijau lumut yang pernah hilang. Hanya kerudungnya
yang berganti warna. Bukan ungu lila lagi, tapi merah jambu.
Mas Dibyo mengantar kami berdua sampai di tepi uang. Tiba di
jalan besar, Hartini berkata, "Jalan saja dulu ya, Mas, sambil
http://dewi-kzanfo/ 33 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menunggu dokar lewat" Mulutku tetap membangkang.
Walaupun aku pernah mempunyai pengalaman dengan seorang
wanita seperti Rita De Bruyn, tapi aku tidak cukup mengalami
pergaulan dengan gadis-gadis di waktu aku masih bersekolah.
Perhatianku hanya tertumpu pada pelajaran sekolah dan... adu
jotos. Walaupun hegitu, naluriku berkata, bahwa aku harus
berjalan di sebelah kanan Hartini, melindunginya dari
kemungkinan sambaran kendaraan yang malam itu sama sekali
tidak ada yang lewat. Mulutku tetap bungkam. Aku tidak tahu
bagaimana harus memulai bercakap-cakap. Hartini-lah yang
memulainya dengan berkata, "Aku sekarang tinggal di rumah
47 Mas Dib. Belum lama kok, Mas, baru seminggu kira-kira. Waktu
masa liburan yang lalu aku kemari. Tiga bulan lalu barangkali.
Bagus ya kota Tasik. Hawanya cukup sejuk. Lain dari di Sragen
sana." Aku memaksa diriku untuk menanggapi. Dengan susah
payah keluar dari mulutku kata-kata, "Eeh... sebelum ikut Mas
Dib... Dik Hartini di mana?"
"Di Sragen, Mas. Begitu keluar Huishoud School (Sekolah
Kepandaian Putri), aku tinggal di rumah saja. Kolot ya
orangtuaku. Yaaa, bantu-bantu Ibu dan Ayah. Mas Dib yang
minta agar aku tinggal di Tasik saja. Mas Pranoto kan tahu,
Mbakyu terserang beroerte (Pendarahan Otak) dan sampai
sekarang masih tetap lumpuh dan tidak bisa bicara. Kasihan lho
Mbakyu." Saat itu baru aku tahu mengapa Mas Dibyo tidak pernah
memperkenalkan diriku kepada istrinya, padahal sudah sekian
lamanya aku mengenalnya. Gaya bahasa Hartini agak aneh.
Bahasa Jawa krama yang diucapkannya dengan logat Sunda.
Sebaliknya kalau ia berbicara dalam bahasa Sunda, logatnya
Jawa. http://dewi-kzanfo/ 34 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
48 Hartini tampaknya tidak terlalu tergesa-gesa untuk sampai di
Restoran De Galunggung. Dokar pertama dibiarkannya lewat
saja. Dalam hati aku gembira ia tidak menghentikannya. Dengan
tiba-tiba saja, seekor tikus wirog besar menyeberangi jalan,
tepat melewati kaki-kaki kami. Hartini menjelih-jelih, melompat,
dan erat-erat berpegangan lenganku yang kokoh berotot itu.
Celetuknya, "Idiiih, idiiih! Tikus wirog. Kaget aku!" Anehnya,
tikus sudah menghilang, ia masih saja berpegangan lenganku.
Dipegangi lenganku saja rasa-rasanya seperti sudah berada di
surga ketujuh. Lain sama sekali dengan kebersamaanku dengan
Rita. Postur Hartini memang tidak tinggi. Aku masih lebih tinggi,
walaupun hanya beberapa senti saja. Bob Muisch mempunyai
penglihatan yang cukup tajam waktu itu. Pas memang. Hanya
wajah dan penampilanku yang kurang serasi dengan
penampilan Hartini. Baru setelah sampai bagian jalan yang berpenerangan listrik,
Hartini menghentikan dokar yang lewat. Entah mengapa, saat
itu aku mempunyai keberanian untuk menolongnya naik. Kata
Hartini, "Terima kasih, Mas. Kau begitu kuat, hampir-hampir aku
terangkat." Bangga rasa hatiku mendapat pujian dari Hartini. Di tempat
duduk dokar yang sempit aku merasakan sentuhan lutut-lutut
gadis yang ramping itu. Tubuhku mendadak sontak menjadi
panas membara. Agar. kaki-kaki kami tidak bergesek-gesekan,
lututku kuimpitkan pada pangkal paha Hartini. Hartini
49 membiarkannya dan mulai saat itu, Hartini yang tak pernah
kehilangan bahan untuk bicara itu, sekonyong-konyong saja
hanya bungkam seribu bahasa sampai dokar berhenti di depan
Restoran De Galunggung. Sewaktu Hartini akan turun, aku lagi-
lagi memberanikan diri untuk menolongnya. Hartini tersenyum.
Dalam hati kupuji diriku yang sudah semakin berani bersikap
http://dewi-kzanfo/ 35 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jantan. Kupompakan kata-kata dorongan pada diriku sendiri,
"Ayo, Pran, jangan memalukan."
Begitu masuk ke ruang restoran, kami berpapasan dengan
Bob Muisch yang akan pergi meninggalkan De Galunggung.
Melihat kami berdua, raksasa Belanda Indo itu hanya mampu
menganga saja. Ia tidak mampu mempercayai penglihatannya
sendiri. Terlompat dari mulutnya kata-kata kasar dalam bahasa
Belanda, "Wat een klootzak ben jij (bajingan kau), Pran!" Sadar
bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan Pranoto saja, ia
meminta maaf, mengangguk, mengulurkan tangannya sambil
berkata dalam bahasa Belanda, "Maaf, Nona, aku teman baik
Pranoto, Bob Muisch namaku."
Saat itu ganti aku yang tak mau percaya pendengaranku
sendiri. Setelah Hartini dan Bob berjabatan tangan, Hartini
50 menjawab dalam kata-kata bahasa Belanda yang sangat
sempurna, "Ooo, kau yang bernama Tuan Muisch. Meneer
Pranoto banyak bercerita tentang dirimu, Tuan."
Tanggap Bob Muisch, "Aku tahu. Pasti dia menjelek-jelekkan
diriku." "Sama sekali tidak, Tuan. Mas Pranoto begitu mengagumimu. Si raksasa yang ganteng, katanya. Ternyata
memang tidak berlebihan."
Bukan aku saja yang terpesona atas kelincahan cara bicara
Hartini, tapi tampaknya Bob Muisch begitu juga. Ia berpamitan
pada Hartini dan menepuk punggungku begitu kerasnya sampai
aku hampir-hampir menubruk Hartini.
Hartini memesan pepes ikan mas untuk dibawa pulang.
Sambil menunggu, kami hanya minum-minum limun saja. Aku
http://dewi-kzanfo/ 36 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
51 mau membayarnya, tapi Hartini mencegahnya. Katanya, "Kali ini
aku yang traktir, Mas."
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah peristiwa pengantaran ke Restoran De Galunggung
itu, aku sering diminta Mas Dibyo untuk mengawal Hartini. Ya ke
pasar, ke toko, nonton film (film bisu), dan untuk keperluan
lainnya. Pada suatu hari Mas Dibyo memperkenalkan diriku kepada
istrinya. Ternyata Mas Dibyo dan Hartini mampu berkomunikasi
dengan Mbakyu Dibyo dengan menggunakan bahasa isyarat
Morse. Caranya, mengedip-ngedipkan kelopak mata. Huruf-
huruf isyarat Morse itu dapat dimengerti oleh Mbakyu Dibyo.
Sebaliknya, Mbakyu Dibyo yang lumpuh itu masih mampu
mengedip-ngedipkan kelopak matanya. Sungguh suatu penemuan yang orisinal. Aku sebagai seorang pekerja
perkeretaapian tidak sulit untuk mempraktekkan komunikasi
lewat kedipan kelopak mata. Mbakyu Dibyo sangat
menghargainya. Kegembiraannya nampak pada senyuman di
mulutnya yang sudah tak mampu berkata-kata lagi itu.
Dari Mas Dib aku mendapat keterangan bahwa Hartini sudah
tak mempunyai orangtua lagi. Secara kebetulan, Hartini yang
saudara sepupu Mbakyu Dibyo itu, juga anak tunggal. Kedua
52 orangtua Hartini meninggal dalam kecelakaan bis yang mereka
tumpangi, dekat kota Solo.
Sementara aku sibuk dengan diriku sendiri bersama Hartini,
permasalahan berbagai tuntutan teman-teman bengkel sama
sekali tidak menjadi perhatianku lagi. Pada suatu malam, Mas
Dib dengan nada serius berkata, "Besok hari Minggu, mari jalan-
jalan ke Bandung." Jawabku, "Baik, Mas. Sudah lama kita tidak bertemu dengan
Dik Kusno." Semula aku mengira bahwa kami akan berkunjung
http://dewi-kzanfo/ 37 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ke rumah pondokan calon insinyur Kusno, tapi terbukti tidak.
Hartini ikut dan di Bandung itu aku diperkenalkan pada sanak
saudara Hartini. Aku mengerti maksudnya, tentu ada sangkut
pautnya dengan hubunganku dengan Hartini yang sudah
semakin akrab itu. Selang beberapa lama kemudian, aku ditanya oleh Mas
Sudibyo, "Dik Pran, kulihat hubunganmu dengan Hartini
semakin akrab dan rupa-rupanya Hartini tidak menolak untuk
melestarikan hubungan itu. Bagaimana pendapatmu, Dik?"
Lagi-lagi aku seperti kehilangan lidahku saja. Mas Dib
tersenyum, menepuk-nepuk punggungku seraya berkata,
53 "Akulah sekarang wali Hartini semenjak kedua orangtuanya
meninggal. Kiranya sudah waktunya untuk menetapkan hari dan
tanggalnya. Bagaimana, Dik?"
Aku hanya mengangguk dan menjawab singkat, "Terserah
Mas Dibyo saja." Hartini dan aku menjadi suami-istri. Seluruh perhiasan
peninggalan ibuku jadi emas kawinnya.
Masa bulan madu lewat. Aku mulai menaruh perhatian
kembali pada perikehidupan perkeretaapian. Tenaga kerja di
bengkel semakin menjadi kurang sebagai akibat bertambahnya
jumlah teman-teman yang dirumahkan, sehingga kami yang
masih bekerja terpaksa harus terus-menerus kerja lembur. Uang
lembur tidak memadai sama sekali. Melihat keadaan yang
semakin menjadi parah itu, akhirnya aku menerima desakan
kawan-kawan untuk memimpin gerakan. Menuntut dipekerjakannya kembali para wachtgelders yang dirumahkan.
Berbagai surat dikirimkan kepada Kepala Bengkel SS
Tasikmalaya yang sementara itu sudah diganti oleh Insinyur Ten
http://dewi-kzanfo/ 38 54 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kate. Hilkema dianggap terlalu lunak dalam menghadapi
gerakan-gerakan anti pengrumahan itu. Untuk seorang Belanda
to-tok, Ten Kate termasuk pendek, gemuk, berkepala botak,
sombong, dan sinis. Melihat wajahnya saja aku sudah merasa
muak kepadanya. Bersama Mas Sudibyo kami mengusahakan agar mereka
yang dirumahkan dengan uang tunggu minim itu tidak terlunta-
lunta keadaannya. Mas Dibyo yang sudah banyak makan garam
dalam perkoperasian membentuk koperasi untuk para
wachtgelders. Tidak hanya bagi mereka yang dari perkeretaapian saja, tapi bagi semua wachtgelders yang ada di
kota Tasik dan sekitarnya. Usaha koperasinya mampu
meringankan beban mereka.
Pada suatu hari Minggu aku pergi sendiri ke Bandung untuk
menemui Dik Kusno. Aku ingin memperoleh pertimbangannya.
Kuceritakan kepadanya tentang keadaan bengkel. Kusno tampak
sedih. Katanya, "Mas Pranoto, Sarekat Islam yang dengan susah
55 payah dibangun oleh Pak Tjokro-aminoto, dirongrong dan
dikoyak-koyak oleh cecunguk-cecunguk benalu yang menamakan dirinya Sarekat Islam Merah. Gegabah, gegabah!
Belum apa-apa mereka sudah mau memberontak. Bakal
mengacau organisasi pergerakan yang lain. Ooo, kita masih jauh
dari kuat untuk mampu menumbangkan kolonialisme Belanda.
Kekuatan-kekuatan nasional patriotik belum, ya, belum
samengebundeld. Menyedihkan, Mas, ya, menyedihkan
keadaannya, Mas Pran. Gontok-gontokan antara kita sama kita.
Belanda kolonialis yang tertawa-tawa gembira. Quo Vadisf Ke
mana kita akan pergi?"
Semula aku hendak minta nasihat kepadanya, tapi
tampaknya ada persoalan-persoalan lain yang bersatu padu
lebih penting yang mengganggu pikiran dan perasaannya. Kusno
http://dewi-kzanfo/ 39 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sama sekali tidak menaruh perhatian pada keadaan Bengkel SS.
Pertemuan kami tidak berlangsung lama. Ia dijemput teman-
56 temannya untuk pergi. Entah ke mana. Suasananya seperti
genting saja. Aku pulang dengan tangan hampa. Kuceritakan
kepada Mas Dibyo tentang pertemuan singkatku dengan Kusno.
Kata Mas Dib, "Ya, Kusno memang begitu gandrung akan
persatuan bangsanya. Kenyataannya, kaum pergerakan itu
sampai kini hanya gontok-gontokan melulu. Penjajah yang
tertawa-tawa kecil. Pada pertemuanku yang terakhir, sebulan
yang lalu, Kusno berkata, 'Yah, aku harus mampu menemukan
sesuatu, menemukan landasan, menemukan suh pengikat yang
mampu menyatukan sapu lidi kebangsaan. Sesuatu yang
sepenuh hati dapat diterima bangsa dari Sabang sampai
Merauke."' Sementara itu teman-teman sekerja sepakat untuk lebih
mempertegas tuntutannya. Petisi disusun dan ditandatangani
oleh sebagian besar pekerja-pekerja kaum Inlander di Bengkel
SS Tasikmalaya itu. Semula dimaksudkan untuk mengajukan
petisi agar mempekerjakan kembali teman-teman yang
dirumahkan, tapi karena sudah terlalu banyak gerakan yang
mengajukan petisi semacam itu, diputuskan untuk menuntut
persamaan uang lembur antara kaum Inlander dan mereka yang
berstatus Belanda. Hal itu dianggap lebih tepat, karena langsung
menyangkut masalah di Bengkel SS itu sendiri. Aku ditetapkan
untuk memimpin delegasi yang akan menghadap Ten Kate.
Kupilih teman-teman yang mempunyai kedudukan kuat di
bengkel untuk menjadi pendamping. Teman-teman yang mahir
57 dalam bidang tertentu sulit untuk dilepaskan begitu saja.
Akhirnya lima orang yang akan menemui Ir. Ten Kate. Aku
sendiri, Munir, Jayus-man, Sitompul, dan Matulesi. Kami
diterima di ruang kerja Kepala Bengkel. Petisi dibuat dalam dua
http://dewi-kzanfo/ 40 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bahasa, bahasa Belanda dan Melayu. Yang kubacakan di
hadapan Ten Kate yang berbahasa Belanda. Ten Kate
mendengarkan pembacaan petisi itu dengan bertolak pinggang
dan memutar-mutar tongkat kesayangannya. Selesai membacakan, kuserahkan surat petisi itu kepadanya.
Dengan angkuhnya Ten Kate berkata, "Bagus, bagus, Tuan-
tuan. Aku setuju seratus lima puluh persen dengan tuntutan
Tuan-tuan. Prestasi kerja yang sama harus disertai imbalan yang
sama. Apa dia itu Bumiputra apa Belanda. Setuju, setuju, Tuan-
tuan. Masuk akal, rasional itu. Sayang seribu sayang, Tuan-tuan,
harus ada petisi lain terlebih dahulu."
Cepat aku memotong pembicaraannya, "Petisi yang lain apa,
58 Tuan Insinyur?" Ten Kate tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Kalian harus
menuntut kepada Gubernur Jenderal agar aku diangkat menjadi
kepala perusahaan SS terlebih dulu. Nah, kalau aku sudah
menjadi kepala SS, baru tuntutan kalian bisa kupertimbang-kan.
Baiklah, tuntutan kalian akan kuteruskan ke Balai Besar di
Bandung. Aku tidak punya kekuasaan untuk memutuskan. Yaaa,
barangkali dua minggu begitu, baru akan ada jawaban."
Wajahnya yang menjengkelkan itu menggambarkan ekspresi
yang serba mengejek. Dengan susah payah aku harus menahan
diri untuk tidak marah, tapi dalam khayalan sudah kutinju muka
jelek Ten Kate itu. Sementara itu aku dirisaukan oleh sikap Hartini yang aneh-
aneh. Ia tidak mau kudekati lagi, seolah-olah ia membenciku,
tapi kalau aku lambat pulang, ia menangis sejadi jadinya. Suatu
waktu tengah malam aku dibangunkannya. Ia minta dibelikan
bakmi kopyok. Jawabku setengah marah, "Kau tahu, Tin, sudah
lewat tengah malam sekarang ini. Apa kau kelaparan" Pasti di
http://dewi-kzanfo/ 41 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belakang masih ada nasi. Bikin saja telur ceplok. Besok
kubelikan bakmi kopyok."
59 Hartini menangis dan berkata tersendat-sendat, "Mas Pran
masih sayang pada Hartini?"
"Tentu masih sayang, tentu, Tin," jawabku sambil mencium
dahinya. "Kalau benar-benar masih sayang... tolong Mas belikan
bakmi kopyok. Aku begitu ketagihan, Mas," desaknya.
"Tin, di mana ada bakmi kopyok malam-malam begini?"
jawabku. "Ada, Mas, percayalah. Di alun-alun sana masih ada. Pasti
masih ada yang jualan," tanggapnya.
Terpaksa aku berangkat. Pikirku, "Ada apa dengan Dik Tin
itu" Apa dia sedang menguji kecin-taanku kepadanya"
Barangkali." Kuayunkan sepeda yang kunaiki menuju alun-alun.
Tiba di alun-alun itu aku melihat lampu minyak bergerak-gerak.
Gumamku, "Astaga, Dik Tin benar. Itu dia Mang Iin."
Langsung aku menghampirinya dan kutanyakan padanya,
"Mang Iin, masih ada bakminya?"
Jawabannya mengejutkan, "Masih ada, Den, biasanya
menjelang tengah malam sudah habis, tapi malam ini aneh.
Tidak banyak orang yang membeli. Langganan-langganan pun
tidak muncul, padahal tidak ada keramaian di tempat lain. Baru
sial malam ini barangkali."
Pikirku, "Aneh! Dari alun-alun ke rumah, itu sekitar dua
kilometer. Hartini mampu mencium bakmi kopyok sejauh itu"
Bukan main." 60 http://dewi-kzanfo/ 42 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan lega hati aku membawa pulang bakmi kopyok
serantang penuh. Tiba di rumah, bukannya Hartini langsung
melahapnya, ooo tidak! Ia hanya mencium-cium baunya saja.
Katanya kemudian, "Terima kasih, Mas. Sudah kenyang
sekarang aku. Terima kasih." Diciumnya pipiku, direbahkannya
dirinya di tempat tidur, dan... tidurlah dia.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kejadian yang aneh-
aneh tidak berhenti sekali itu saja. Di lain hari, ia mengingini
pepaya setengah matang pada pohon tetangga. Ia terus
mendesak-desak agar aku mau memintanya, kalau perlu dibeli
saja berapa pun harganya. Aku benar-benar dalam posisi sulit
waktu itu. Apa yang harus kukatakan pada tetangga" Apa boleh
buat. Kebetulan pohon pepaya tetangga itu tumbuhnya tidak
begitu jauh dari tembok pagar rumah. Malam-malam kucuri
pepaya yang sedang mau matang itu. Dengan bangga seperti
seorang jenderal menang perang, kutunjukkan hasil curianku itu
kepada Dik Tin. Hartini berloncat-loncat kecil menerima buah
pepaya itu dari tanganku. Anehnya lagi, bukannya terus
dipotong, dikuliti, dan dimakan, tidak! Buah pepaya itu dibawa
tidur dan didekapnya seperti mendekap bayi saja.
61 Setiap saat aku bisa dihadapkan pada kejutan-kejutan
permintaan ini dan itu yang tidak masuk di akal orang waras.
Aku mengkhawatirkannya. Pikirku, "Apa Hartini sudah menjadi
sinting?"
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lambat-laun aku tak tahan lagi. Dia minta dipinjamkan kuali
tetangga untuk membuat masakan lodeh kecombrang. Itu
sudah keterlaluan. Buah pepaya, aku berhasil mencurinya,
walaupun Pak Haji Makbul di hari Jumat mengumpat-umpat
karena kehilangan buah pepaya. Tapi kalau aku harus mencuri
kuali tempayan tetangga, bagaimana caranya" Untuk
meminjamnya, malu aku. Mbok Haji pasti akan bertanya-tanya.
http://dewi-kzanfo/ 43 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk apa pinjam kuali tempayan" Kenapa bukan istrinya yang
datang sendiri" Apa tidak bisa beli sendiri" Berapa harganya,
tidak seberapa. Betul-betul aku tidak bisa melakukan. Aku pergi
ke pasar dan membeli kuali. Kutunjukkan kepada Hartini.
Kataku, "Ini kualinya."
"Bukan, bukan, bukan itu. Itu kuali baru. Aku tahu rupa
kualinya Mbok Haji."
Aku tak tahan lagi. Langsung saja aku pergi ke rumah Mas
Sudibyo dan kuceritakan padanya apa yang terjadi dengan
62 Hartini. Semula aku mengira Mas Dib akan terkejut karenanya.
Tidak! Ia tertawa terbahak-bahak, katanya, "Dik Pran, pergilah
ke rumah Mbok Haji Makbul. Katakan saja bahwa Hartini ingin
meminjam kualinya. Mbok Haji akan mengerti. Ketahuilah, Dik
Pran, istrimu itu sedang ngidam, mengandung. Itulah!" Begitu
gembiranya (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
aku dibuatnya. Sementara itu masa tunggu telah lewat. Kami berlima
menghadap kembali kepada Ten Kate. Lagi-lagi aku yang
ditunjuk untuk mengetuai delegasi petisi lima orang itu.
Sebelum memasuki ruang kerja Ten Kate, Bob Muisch
mencegatku di dekat pintu masuk. Tegurnya, "Pran, berhati-
hatilah. Ten Kate orangnya memang memuakkan. Jangan
sampai kau terpancing. Kendalikan emosimu."
Aku mengangguk dan menjawab, "Terima kasih, Bob. Aku
sangat menghargainya. Akan kuingat-ingat selalu nasihatmu."
Hari itu hari Sabtu Pahing, 13 Juni 1923, jam 10.00 tepat,
kami memasuki ruang kerja Ten Kate. Aku, Jayusman, Munir,
Sitompul, dan Matulesi. http://dewi-kzanfo/ 44 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berlima kami berdiri di seberang meja kerjanya yang lebar
memanjang. Sambut Ten Kate, "Hah, datang lagi. Membawa
petisi baru" Mau apa lagi kalian?"
Jawabku tenang, "Tuan Insinyur, sesuai perjanjian, hari ini
akan sudah ada jawaban."
"Heh, jawaban apa" Ooo ya, aku hampir-hampir lupa. Surat
1 cinta itu, ya" Ingin tahu jawabannya, ya?" jawab Ten Kate
dengan nada mengejek dan meremehkan.
Kepala Bengkel SS Tasikmalaya itu bangkit dari kursinya yang
besar dan lebar. Berdiri, bertolak pinggang, dan tersenyum.
Senyumnya saja sudah dapat membangkitkan kejengkelan. Tipe
Belanda kolonialis yang angkuh dan merasa dirinya super.
Melihat penampilannya yang congkak dan wajahnya yang jauh
dari simpatik itu, darahku rasa-rasanya sudah mulai mendidih.
"Sabar, sabar," ku-tegur diriku sendiri, "ingat nasihat Bob
Muisch, temanmu yang jujur itu."
Dengan suara lantang Ten Kate membentak, "Inlanders!
Onbeschoft (kurang ajar)! Minta disamakan dengan orang
Belanda, hah! Sudah tidak waras otak kalian, ya..."
Kupotong kata-katanya, "Tuan kira Belanda selalu superior"
Boleh diadu keterampilan kami ini dengan Belanda mana pun
yang setingkat. Bule pun jadilah."
Yang kalap dan tidak mampu mengendalikan dirinya
malahan Tuan Ten Kate sendiri. Bentaknya, "Inlander kotor tidak
tahu adat. Keluar, ke-luaaar!"
Ten Kate meraih tongkat antiknya yang terletak di atas meja,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan sebelum tongkat itu jatuh di
atas pundak Munir... secara refleks kurebut tongkat itu, dan
antara sadar dan tidak sadar kuhantam Ten Kate bertubi-tubi
http://dewi-kzanfo/ 45 2 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tongkat kesayangannya. Kepalanya yang botak
bercucuran darah. Ia berteriak-teriak nyaring dan jatuh roboh di
sisi kursi kerjanya, berlumuran darah.
Aku berdiri tertegun. Saat itu aku baru sadar bahwa aku
telah kehilangan penguasaan diri dan berlaku terlampau jauh.
Terlambat sudah. Orang berdatangan, kami disekap. Orang lain
menelepon kantor polisi. Polisi berdatangan dan kami berlima
ditangkap dan ditahan, diperiksa dan diajukan ke pengadilan.
Munir, Jayus, Sitompul, dan Matulesi dibebaskan, tapi
dipecat dari pekerjaan. Suro Pranoto bin Suro Menggolo
dinyatakan bersalah. Tuduhannya menghasut, membuat onar,
menganiaya Ten Kate sampai cedera untuk seumur hidupnya,
dan entah apa lagi. Aku dibela oleh Meester Sumarman, namun
ahli hukum yang baik hati itu tidak dapat berbuat apa-apa. Aku
memang merasa bersalah, apalagi setelah aku mendengar
bahwa Ten Kate cedera untuk selama-lamanya. Kuakui saja
semua tuduhan. Meester Sumarman hanya bisa geleng-geleng
kepala. Ia bertanya kepadaku, "Mas Pranoto, mengapa kau tidak
membantuku untuk dapat meringankan hukumanmu?"
Jawabku tegas, "Dihukum mati pun aku bersedia
menjalaninya. Aku memang bersalah."
Berdasarkan Gouvernements Besluit No. Gb/K5C/1923, Suro
3 Pranoto bin Suro Menggolo dihukum kurungan di Tanah Merah,
Boven Digoel, Nieuw Guinea... untuk masa 20 tahun. Aku tidak
merataptangisi hukumanku yang 20 tahun itu, tapi menyesal
begitu dalam, bahwa aku telah mencelakakan dan membuat
cedera orang sampai dia lumpuh dan kehilangan ingatan untuk
selama-lamanya. Itulah yang kurasakan sebagai beban yang
amat berat. Aku tidak mempersoalkan apakah hukuman i tu adil
atau tidak, apakah hukuman itu dikait-kaitkan dengan masalah
http://dewi-kzanfo/ 46 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
politik atau tidak. Bagiku hanya sekelumit kegembiraan yang
tinggal, Hartini sudah mengandung. Seandainya aku mati jauh di
pembuangan sana, anakku yang akan meneruskan kehidupanku,
akan tetapi begitu sadar diri bahwa aku mewariskan noda
kepada anak yang akan lahir itu nanti, aku menangis sejadi-
jadinya. Rasa-rasanya aku mau bunuh diri saja, tapi kemudian
aku juga sadar, kalau aku sampai bunuh diri, aku akan
menambah-nambahi beban noda kepada anakku yang kini
masih dalam kandungan itu.
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) http://dewi-kzanfo/ 4 47 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
TANAH MERAH - BOVEN DIGOEL
GUBERMEN masih bermurah hati. Keluarga diperbolehkan
melepas keberangkatanku menuju Tanah Merah di dermaga
pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hartini yang lincah manja
ternyata adalah juga seorang wanita yang cukup tabah
menghadapi musibah berantai yang teramat berat itu. Yah,
belum ada setahun semenjak ia kehilangan kedua orangtuanya,
kini ia sudah harus kehilangan suaminya.
Aku masih berkesempatan untuk berbicara dengan Mas
Dibyo. Kupesankan kepadanya, "Mas Dib, anggaplah aku ini
orang yang sudah hilang saja. Untuk selanjutnya Hartini bebas
menentukan nasibnya. Aku bukan orang buangan politik yang
terhormat di mata orang. Aku hanya seorang ran-taian. Orang
hukuman biasa, Mas. Hartini masih muda. Ia masih bisa
menempuh hidup baru yang lebih baik. Nanti pada waktunya
yang tepat, katakanlah kepadanya bahwa aku telah meninggal
dalam pembuangan. Janjilah kepadaku, Mas."
Mas Dib yang tabah tawakal itu menangis sambil memelukku
erat-erat. Bisiknya di dekat telingaku, "Dik Pranoto, aku
mengerti dan memahaminya. Aku berjanji akan melaksanakan
pesanmu itu." 5 Di tangga kapal, dikawal oleh seorang agen polisi, Hartini
sempat bertanya kepadaku, "Mas, berikanlah nama kepada
jabang bayi yang bakal lahir."
Akulah malahan yang tak mampu menahan derasnya aliran
air mata. Hartini kudekap kuat-kuat dan kubisikkan di
telinganya, "Kalau lahir lelaki, berilah kepadanya nama Suro
Harnoto dan kalau perempuan, Hartini Pratiwi."
http://dewi-kzanfo/ 48 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nama-nama itu sudah terpatri dalam benak semenjak aku
dipenjarakan di Penjara Banceuy, Bandung. Aku tahu bahwa
Hartini pasti akan meminta nama kepadaku bagi bayi
keturunanku itu. Celetuk Hartini, "Mas Pran ada pesan apa?"
Aku tahu, Hartini mengharapkan bahwa aku akan meminta
kesetiaannya sampai aku pulang kembali ke Tanah Jawa. Aku
bukan orang yang bisa berlaku romantis dan idealistis lagi.
Aku hanya mampu berkata, "Jagalah dirimu baik-baik, Tin,
agar jabang bayi kelak bisa lahir dengan selamat. Dialah milik
kita bersama. Itu saja."
Mas Sudibyo dengan air mata berlinang linang menyaksikan
perpisahanku dengan Hartini. Agen polisi yang berkewajiban
mengawalku, menggandengku menaiki tangga kapal Johan van
6 Olden Barneveldt yang akan membawaku ke tempat tujuan.
Dengan kedua belah tangan diborgol rantai besi besar dan
panjang, aku menaiki jembatan tangga kapal, anak tangga demi
anak tangga, tanpa menoleh. Dengan jelas aku masih
mendengar suara teriakan seorang wanita, "Mas Praaan!" Itu
saja. Aku dapat memastikan bahwa Hartini jatuh pingsan, tapi
aku tetap tidak menoleh walaupun aku mendengar teriakan
yang menyayat-nyayat hati itu. Aku bukan siapa-siapa lagi,
bukan Suro Pranoto, bukan Suro Buldog. Entah siapa aku ini,
entah. Ya, aku juga bukan suami Hartini lagi.
Tiba di Makassar, aku dititipkan di penjara Makassar,
menunggu keberangkatan kapal lain yang akan membawaku ke
Ambon. Aku sudah tidak peduli lagi akan dibawa ke mana, ke
neraka pun jadilah. Masih saja terbayang-bayang di hadapanku
wajah Ten Kate yang mendelik-delik berlumuran darah,
berteriak nyaring, dan jatuh lenyap di seberang meja.
Pandangan wajah itu yang selalu mengikutiku, ke mana pun aku
http://dewi-kzanfo/ 49 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pergi. Sampai ke dalam mimpi pun wajah itu membuntutiku.
Setiap kali wajah itu muncul aku keras-keras berteriak, "Allahu
Akbar, Allahu Akbar!" Agen polisi yang mengawalku mengira
7 aku ini sudah menjadi gila.
Agen polisi lain mengawalku sampai di Ambon. Ganti kapal
yang lebih kecil dan seorang kopral Tentara KNIL mengawal
diriku sampai Tual di Kepulauan Kai. Dipindahkan lagi ke kapal
yang lebih kecil, lazimnya disebut Kapal Putih, kapal milik
pemerintah. Seorang kopral KNIL lain yang mengawalku. Entah
berapa hari lamanya Kapal Putih itu menelusuri Sungai Digoel,
aku tidak tahu. Pergantian siang dan malam sudah tidak penting
lagi bagiku. Akhirnya, ya akhirnya... sampailah aku di tempat tujuan,
Tanah Merah, Boven Digoel. Sepanjang pelayaran menelusuri
Sungai Digoel, bila malam tiba, rantai borgolku dikaitkan pada
salah sebuah tiang di geladak kapal. Perjalanan itu sungguh
mengesankan, seandainya aku bukan orang rantaian. Hutan
belantara di kanan-kiri sungai, kadang-kadang sekelompok
buaya dengan tiba-tiba saja menceburkan diri ke dalam air
sungai. Pagi hari tampak burung-burung paradisa (burung
cendrawasih), beterbangan dari ranting ke ranting. Begitu
lincahnya, warna-warni bulu-bulunya. Burung-burung kroonduif
(merpati mahkota), nuri, kakaktua... yah, batinku gelap, aku tak
mampu melihat segala keindahan itu. Pagi-pagi buta sebelum
aku dimasukkan kembali ke dalam palka aku masih mampu
melihat orang-orang Papua berdiri di tepi sungai, melambai-
lambai begitu kapal lewat. Bangsaku penghuni-penghuni tepian
sungai. 8 Kapal merapat pada dermaga kayu di tepi Sungai Digoel
Hulu. Penumpang-penumpang dengan tujuan Tanah Merah
turun. Tiga serdadu berse-ragam biru-biru tanpa tanda pangkat,
http://dewi-kzanfo/ 50 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang kopral KNIL yang mengawalku sejak dari Tual, dan
seorang Cina yang membawa tumpukan barang dagangannya...
dan yang turun terakhir sepasang suami-istri... dengan dua
orang anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanan hanya
sekali saja aku melihat mereka itu. Pikirku saat itu, "Untuk apa
mereka kemari" Apakah mereka orang buangan politik?"
Sudah menunggu di dermaga kayu itu, seorang Belanda
totok anggota Tentara KNIL berseragam hijau, berpangkat
sersan mayor, didampingi oleh seorang kopral. Kopral pengawal
asal Tual itu melapor kepada si sersan mayor dan kemudian
menyerahkan diriku kepada kopral setempat. Sersan mayor
yang tinggi besar itu menyambut kedatangan suami-istri tadi
dengan kata-kata, "Welkom, welkom (Selamat datang, selamat
datang), Wedana. Kantor dan rumah kediaman Wedana sudah
kusiapkan. Tentu tidak sebaik seperti di Banten sana, tapi sudah
kuusahakan sebisa-bisaku. Mudah-mudahan Wedana akan
merasa kerasan di tempat ini. Mari, mari, Tuan Wedana.
9 Barang-barang ditinggal di sini saja, anak buahku yang akan
mengurus." Melihat ke arah dua anak kecil lelaki dan perempuan, sersan
mayor itu kelihatan iba kepada mereka. Ia geleng-geleng kepala.
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah apa yang sedang dipikirkan dan dirasakannya melihat
anak-anak kecil itu. Kepada seorang pengawal yang juga
berseragam biru-biru tanpa tanda pangkat, ia memerintahkan
dalam bahasa Melayu pasar campur aduk, "Dardanel, antar
Tuan Wedana, ya. Aku masih ada urusan."
Wedana, istrinya, dan kedua anak kecil berangkat mengikuti
pengawal sersan mayor yang panggilannya Dardanel itu. Pikirku,
"Dardanel" Aneh! Biasanya pengawal pribadi seorang kapten."
http://dewi-kzanfo/ 51 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kepada kopral pendampingnya, Belanda totok itu
memerintahkan, "Kopral, rantaian itu langsung masuk Hotel
Holandia." Jawab kopral itu menyeringai, "Siap, Mayor, langsung masuk
Hotel Holandia." Sersan mayor itu lalu bercakap-cakap dengan awak kapal.
Kopral yang mengantarku dari Tual dan sepanjang perjalanan
hanya menegurku kalau dianggapnya perlu saja, berkata
10 kepadaku dalam bahasa Melayu pasar, "Aku pulang ke Tual.
Selamat tinggal. Entah siapa kau itu, jagalah dirimu. Kalau kau
ada kesempatan dan kemampuan, jaga baik-baik dua anak kecil
itu." Ia naik ke kapal kembali dan menghilang.
Aku masih sempat melihat sersan mayor itu bercanda
dengan si Cina pedagang. Ia membisikkan sesuatu di telinga Cina
itu. Si Cina tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan gigi-
giginya yang dilapis emas semuanya. Kata Cina itu dalam bahasa
Belanda bengkok-bengkok, "Hok Gi bawa tembakau untuk Tuan
Besar dan bir satu krat. Gratis, gratis, Tuan Besar."
Sersan Mayor menepuk-nepuk punggung Cina itu dan
berkata, "Bagus, bagus! Tapi satu kali lagi kau ketahuan
menangkapi burung-burung paradisa hidup-hidup dan kaubawa
pergi, kau akan kulempar ke sungai. Biar dimakan buaya."
Sambil membungkuk-bungkuk Cina itu menjawab, "Tidak
lagi, Tuan Besar. Tidak lagi."
Sersan Mayor pergi menyusul suami-istri yang sudah
berangkat lebih dulu. Kini tinggal aku dan sang kopral yang tampangnya
menjijikkan itu. Ia mengamati diriku dari ubun-ubun sampai
kaki. Tertawa terbahak-bahak lalu berkala, "He, bajingan! Mulai
http://dewi-kzanfo/ 52 11 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saat ini namamu Kodok, lapi aku yakin, sebentar lagi kau bukan
kodok lagi, tapi anak kodok, precil. Ayo, ikut aku!"
Sang kopral itu menyalami awak kapal, memberi hormat
kepada kapten Kapal Putih dan pergi meninggalkan dermaga.
Aku membuntutinya. Lewat jalan setapak di tengah hutan
belantara aku merasa diriku begitu kecil. Pikirku, "Dua puluh
tahun di tempat seperti ini" Apa aku bakal mampu bertahan?"
Benar-benar di sudut dunia. Aku melihat ke kanan dan ke kiri.
Kopral itu membentak, "He, Kodok, hutan itu milikku. Kau
tidak berhak melihatnya. Sersan Mayor kehilangan uang
segobang di jalan ini. Ayo, amati sampai ketemu."
Aku menundukkan kepala seperti orang mencari sesuatu.
Pikirku, "Punya humor juga bangsat-bangsat di tempat ini."
Di kejauhan terdengar suara mesin kapal. Rupa-rupanya
Kapal Putih berangkat berlayar kembali ke Tual.
Aneka bau-bauan menyengat indera penciumanku. Yah,
mungkin berasal dari bunga-bungaan, daun-daunan, cendawan,
dan entah apa lagi. Jalan setapak itu turun-naik, walaupun tidak
terlalu sempit, tapi tampak jelas bahwa jalan itu jarang dilalui
orang. Pikirku, "Apa yang bakal kutemui di seberang jalan
setapak itu" Tidak masuk di akalku bahwa di tengah rimba raya
semacam itu ada penjaranya. Sepanjang hidup aku belum
pernah mendengar ada penjara di Tanah Merah, Boven Digoel.
Nusakambangan cukup diketahui orang, tapi Tanah Merah?"
12 Terkejut aku mendengar bentakan Tuan Kopral, "Hee,
Kodok, hampir sampai, lihat!"
Aku melihat lurus ke muka dan beberapa ratus meter di
hadapanku, aku melihat pagar kayu gelondongan berkeliling
yang tinggi dengan pos-pos penjagaan pada sudut-sudutnya.
http://dewi-kzanfo/ 53 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kosong tidak ada pengawalnya. Letak bangunan itu di atas
ketinggian yang sudah gundul. Di Jawa bentuk bangunan
penjara tidak asing bagiku, tapi belum pernah kutemui
bangunan penjara seperti itu. Itu bukan penjara, tapi barangkali
saja tangsi tentara. Akhirnya kami tiba di depan pintu gerbang bangunan yang
terbuat dari besi. Di samping pintu besi yang cukup lebar itu ada
pos jaga. Begitu pengawal pos melihat sang Kopral, ia keluar
dari lindungan, menghormat, dan berteriak, "Aman!"
Bentak sang Kopral, "Buka pintu!"
Penjaga itu membunyikan lonceng tiga kali dan perlahan-
lahan pintu besi yang beroda itu menggeser, sebagian ke kiri,
yang lain ke kanan. Dua orang serdadu berseragam biru berdiri
di tepi pintu. Rupa-rupanya merekalah yang membuka pintu itu.
Kepada seorang serdadu, Kopral memerintahkan, "Luwak, bawa
13 masuk Kodok ini ke Hotel Holandia."
Kemudian ganti Luwak yang membentak, "Kodok, ayo ikut!"
Kuikuti serdadu yang dipanggil Luwak itu. Dalam hati aku
angkat topi kepada entah siapa yang memberikan nama-nama
panggilan kepada penghuni-penghuni Tanah Merah ini. Si Luwak
pun pantas untuk menyandang nama itu. Di Jawa aku
memperoleh nama kehormatan "Buldog", tapi kalau aku di
sudut dunia ini ganti nama panggilan "Kodok", tidak salah juga.
Aku tak perlu berjalan jauh. Kami berhenti di samping papan
lebar dan panjang yang juga terbuat dari besi, rata-rata air
dengan tanah, agak tinggi sedikit. Saat itu aku belum tahu untuk
apa tempat itu. Mungkin tempat penyimpanan peluru.
Mengamati sekelilingku, barulah aku tahu bahwa bangunan
itu memang bukanlah bangunan penjara, tapi sebuah tangsi
http://dewi-kzanfo/ 54 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentara. Tidak seperti bekas benteng-benteng VOC yang tebal-
tebal dan kokoh kuat tembok-tembok kelilingnya. Yah, yang
dihadapi penegak-penegak kolonialisme di tempat ini adalah
suku-suku Papua yang hanya bersenjatakan tombak-tombak dan
anak-anak panah dari gelagah.
Serdadu itu memerintahkan, "Buka pakaian!" Saat itu aku
14 ragu. Untuk apa harus buka pakaian" Apa aku harus
bertelanjang" Aku tetap berdiri mematung di tempat. Serdadu
itu membentak lagi, "Buka pakaian!" Aku tetap tidak
menghiraukan perintahnya, tapi aku sudah berketetapan hati
kalau serdadu itu berani menjamah tubuhku, apa boleh buat.
Benar saja, serdadu itu menampar pipiku. Hilang
pengendalian diriku dan langsung saja kubalas. Tidak hanya
sekadar menampar, tapi kutinju wajah serdadu yang bernama
Luwak itu. Ia roboh. Terdengar bunyi lonceng seperti bunyi
lonceng kendaraan pemadam kebakaran saja. Beberapa
serdadu muncul hendak menangkap diriku. Aku melawan dan
dua orang serdadu yang lain ikut roboh menggeletak di samping
si Luwak. Akhirnya muncul sang Kopral mengacungkan pistolnya
di hadapanku. Serdadu-serdadu lain menyekap diriku dari belakang. Aku
sudah tak berdaya lagi. Langsung sang Kopral itu menghajarku.
Aku ditelanjangi, pintu atap besi dibuka, dan aku dilemparkan
ke dalam. Untung kaki-kakiku tidak cedera, hanya kepalaku yang
membentur lantai. Ternyata tempat itu adalah tempat tahanan
di bawah tanah. Pintu atap ditutup kembali dan gelap gulitalah
keadaan sekelilingku. Pikirku, "Inilah yang dimaksud dengan
Hotel Holandia." Apakah aku akan disekap dalam penjara
semacam ini selama dua puluh tahun" Walaupun kaki-kakiku
http://dewi-kzanfo/ 15 55 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih terasa sakit, aku mencoba menyelidiki ruangan gelap itu.
Berjalan tertatih-tatih aku menelusuri dan meraba-raba dinding
yang terbuat dari beton. Aku mencoba meraih-raih atap besi di
atas kepala. Tangan-tanganku tidak mampu mencapainya. Aku
mencoba loncat, juga tanpa hasil. Konklusiku, sel di bawah
tanah itu cukup dalam, memanjang sekitar empat meter dan
lebarnya sekitar tiga meter. Mula-mula aku kurang paham
mengapa aku ini ditelanjangi. Baru malam harinya aku tahu
bahwa aku dijadikan umpan nyamuk yang ribuan jumlahnya.
Berulang-ulang sudah tangan-tanganku kukibas-kibaskan di
depan hidung dengan harapan aku masih akan mampu
melihatnya. Namun hanya embusan-embusan lemah udara yang
dibelah oleh tangan-tanganku saja yang kurasakan. Kugosok-
gosokkan punggung tangan pada kedua mata. Hasilnya sama
saja. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhku. Pikirku,
"Aku menjadi buta. Ya, buta... Ah, tidak mungkin! Berapa kali
sudah mataku pernah dijotosi orang. Aku tidak pernah menjadi
Sukma Pedang 8 12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Kisah Pedang Di Sungai Es 3
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suro Buldog Karya Pandir Kelana Sumber djvu : Syaugy_arr Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
http://dewi-kzanfo/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suro Pranoto nama aslinya, tetapi karena penampilannya
yang mampu menggugah imajinasi akan "anjing buldog" itu, ia
memperoleh nama panggilan Suro Buldog dari teman-
temannya. Ia bangga akan nama itu.
Seusai mengikuti pendidikan teknik pada Europese Ambacht
School, idam-idamannya untuk bekerja di Staats Spoorwegen,
Jawatan Kereta Api, terkabul dan ia mulai meniti karir sebagai
montir di bengkel lokomotif Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia
menikah dengan seorang mojang Priangan. Namun nasib
1 menentukan lain. Di luar kehendaknya, ia mencederai kepala
bengkel yang Belanda totok itu dan memperoleh ganjaran
hukuman 20 tahun, di penjara darurat Boven Digoel, Tanah
Merah, Irian Jaya. Ternyata, kepala bengkel yang semula dinyatakan akan
menjadi lumpuh seumur hidup itu sembuh. Suro Buldog
memperoleh keringanan hukuman dan dipindahkan ke Penjara
Nusakambangan. Sesudah dinyatakan bebas hukuman, ia bekerja sebagai
mandor kebun, di sebuah perkebunan dan pabrik gula, dengan
menyandang nama Mandor Darmin. Di tempat itulah Mandor
Darmin merasa terpanggil untuk "dapat berbuat sesuatu bagi
bangsanya. Perjalanan hidupnya mempertemukan Darno Kusir
yang Suro Buldog itu, dengan suami bekas istrinya, Chudancho
Tardana, yang perwira PETA dan untuk selanjutnya ia bergerak
di bawah tanah, sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
untuk kemudian menghilang begitu saja.
Apakah para pembaca akan berjumpa kembali dengan Suro
Buldog, Mandor Darmin, Darno Kusir dalam novel lain, hanya
Pandir Kelana yang mengetahuinya.
http://dewi-kzanfo/ 1 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
2 Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000 000,-
(lima puluh juta rupiah).
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) Pandir Kelana SURO BULDOG Orang Buangan Tanah Merah, Boven Digoel
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1992
SURO BULDOG Orang Buangan Tanah Merah, Boven Digoel
3 oleh Pandir Kelana GM 401 92.522 ? Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh Toni Masdiono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Juli 1992
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
http://dewi-kzanfo/ 2 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
KELANA, Pandir Suro Buldog : orang buangan tanah merah, Boven Digoel /
oleh Pandir Kelana. - Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992.
272 hlm. : ilus. ; 21 cm.
ISBN 979-511-522-7. I. Judul.
813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) http://dewi-kzanfo/ 3 4 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
NAN JAUH DI SANA PAGI hari yang cerah. Dengan gulungan ijazah di ngan, aku
memasuki ruang kerja Kepala Sekolah Europese Ambacht
School, Surabaya, Sekolah Teknik Pertukangan. Entah mengapa,
aku dipanggil oleh kepala sekolah yang bernama Meneer Van
Dam, seorang Belanda totok berwajah bundar kemerah-
merahan seperti buah tomat Begitu ia melihat diriku, langsung
saja Van Dam bangkit dari tempat duduknya, mendekatiku,
memegangi kedua pundakku seraya berkata, "Meneer Pranoto,
terimalah sepatah-dua patah kata dariku. Mudah-mudahan bisa
bermanfaat bagimu. Pranoto, kau memiliki otak yang cerdas,
lengan-lengan yang kuat, jari-jemari yang terampil, akan tetapi,
anak muda... kau harus lebih mampu mengendalikan dirimu.
Mengendalikan emosimu. Kalau tidak... kau bakal banyak
menjumpai kesulitan dalam hidupmu nanti. Camkanlah kata-
kataku ini, Meneer Pranoto."
Rupa-rupanya hanya aku saja yang secara khusus dipanggil
oleh Meneer Van Dam. Hal itu sangat kuhargai. Ia bermaksud
baik dengan petuah-petuahnya itu. Keluar dari ruang kerja
kepala sekolah itu, untuk terakhir kalinya aku berjalan-jalan
mengelilingi kompleks sekolahan. Tiba di tempat buang air, aku
mengamati diriku di cermin besar yang terpancang pada
tembok tempat buang air itu. Selama lebih dari tiga tahun
cermin besar itu kuanggap wajar-wajar saja, tapi saat itu aku
5 baru sadar akan arti cermin yang sepintas nampaknya salah
tempat. Untuk apa dipasang cermin besar di tempat
pembuangan hajat besar maupun kecil" Ya, pelajar-pelajar
Europese Ambacht School memang suka nampang, termasuk
aku ini. Bukannya nampang untuk menikmati kegantengan diri,
tidak sama sekali. Aku bukan tipe bintang film yang didambakan
teman-temanku. Kuamati penampilanku sendiri pada cermin
http://dewi-kzanfo/ 4 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar itu. Nampak di cermin seorang pemuda berwajah kasar,
sepasang mata menyala-nyala, bergairah, tapi dengan roman
muka yang... ya, siapa pun tidak perlu berkhayal terlalu jauh
untuk mampu menemukan persamaannya dengan moncong
seekor anjing bul-dog. Tidak itu saja. Tubuh yang kokoh kekar,
pendek berotot, lengan bisep bak paha pemain sepakbola, dada
bidang, menambah-nambah imajinasi orang yang melihatnya,,
bahwa aku ini memang tak ubahnya seperti seekor anjing
buldog saja. Teman-teman memberiku beraneka nama panggilan. Ada
yang memanggilku Suro Edan.
Dari lain teman, aku memperoleh gelar Suro Bled-hcg.
Akhirnya aku terkenal sebagai Suro Buldog, I igonya Europese
6 Ambacht School Surabaya. Jago berkelahi, lebih tidak. Bahwa
aku yang paling pintar di sekolah, itu jarang dibicarakan orang.
Aku memang seorang pelajar yang paling suka eftengkar dan
berkelahi, namun aku selalu memilih lawan-lawan yang
seimbang dan sejauh mungkin bukan sesama Inlander. Belanda-
Belanda totok maupun Indo yang jadi sasaranku. Bangga rasa
hati apabila aku mampu merobohkan lawan-lawan yang jauh
lebih besar posturnya daripada diriku.
Sebagai jagoan, aku memang gemar disanjung-sanjung
orang, tapi juga mudah dipancing-pancing untuk berkelahi.
Melihat diriku di cermin itu aku mengakui bahwa nama
panggilan Suro Buldog itu memang tidak berlebihan. Ya, Meneer
Van Dam tahu benar keperluan pelajar-pelajar Europese
Ambacht School. Cermin tidak untuk bersolek-solek dan
bergenit-genit, tapi untuk bouwmaken, kracht-patsen, unjuk
nampang otot-otot. http://dewi-kzanfo/ 5 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Idola pelajar-pelajar sekolahku bukan kondisi tubuh yang
serba harmonis atletis seperti Tarzan. Jauh dari itu. Yang
didambakan malahan sebaliknya, badan kekar berotot sampai
keluar proporsi. Cabang-cabang olahraga yang favorit adalah
7 binaraga, angkat besi, tarik katrol, ringen, dan olahraga bela diri
terutama. Bukannya benar-benar untuk bela diri, tapi justru
untuk berkelahi. Gulat dan tinju sangat populer. Pelajar-pelajar
Inlander masih menambahnya dengan menekuni seni bela diri
pencak silat, tidak terkecuali pemuda yang bernama Suro
Pranoto alias Suro Buldog ini. Bahkan yang kutekuni tidak hanya
satu aliran persilatan saja, tapi berbagai aliran yang cukup
mempunyai nama gemilang. Walaupun tidak mendalam, aku
juga mempelajari seni bela diri Cina, kundhau, dan seni bela diri
Jepang, jiu-jitsu. Aku mampu menekuni bermacam-macam seni
bela diri itu, berkat otakku yang lumayan' encer. Aku tidak
memerlukan banyak waktu untuk menguasai pelajaran-
pelajaran sekolah, bahkan pelajaran bahasa Inggris yang tidak
wajib itu kuikuti juga. Ya, sekadar iseng saja, tapi nilai-nilainya
tidak mengecewakan. Kutinggalkan cermin dan aku tidak langsung pulang, tapi
pergi ke stasiun kereta api untuk mengagumi lokomotif-
lokomotif berbagai jenis. Cita-citaku memang ingin menjadi
masinis lokomotif. Lewat bantuan sekolah, aku memang sudah
mengajukan lamaran kerja pada Staats Spoor-wegen, SS
(Perusahaan Jawatan Kereta Api). Tinggal menunggu jawaban
saja, diterima tidaknya. Ya, siapa tahu, Van Dam mendukung
lamaranku. Lamaranku masuk kerja pada SS ternyata tidak sia-sia. Aku
diterima dengan baik, berkat hasil ujian masuk yang jauh
8 melampaui nilai pelamar-pelamar lainnya. Bukan main
gembiraku. Semenjak masih kecil aku sudah mengagumi
http://dewi-kzanfo/ 6 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lokomotif-lokomotif uap yang begitu gagah perkasa. Sering aku
pergi ke stasiun kereta api hanya untuk melihat lok-lok dan
terutama tangguhnya lok De Een-daagse (satu hari) yang
mampu menjalani jarak Surabaya-Batavia hanya dalam jangka
waktu sepuluh jam saja. Melihat masinisnya yang bersera-gam
biru, menarik-narik kabel peluit, disusul dengan bunyi peluit
melengking-lengking, roda-rodanya" mula-mula berputar-putar
cepat untuk kemudian menggelinding perlahan-lahan meninggalkan emplasemen stasiun, memperkuat niatku untuk
jadi masinis. Setiap kali melihat lokomotif tekadku menjadi
semakin bulat. Tidak ada orang yang lebih gagah daripada sang
masinis yang mengendalikan lokomotif itu. Aku harus bisa jadi
masinis. Setelah melewati berbagai kursus dan latihan, aku
9 dipekerjakan sebagai masinis magang, leerling machinist, pada
lokomotif berukuran sedang, trayek Purwokerto-Madiun.
Walaupun belum menjadi masinis penuh dan belum melayani
lokomotif gunung, si Badak, atau lokomotif jarak jauh, si
Banteng, rasa-rasanya jalan menuju cita-cita sudah terintis.
Bangga rasa hatiku. Masinis yang kudam-pingi dan yang
sekaligus juga menjadi guruku adalah seorang Belanda Indo
yang fasih berbahasa Jawa, baik bahasa rendahan ngoko
maupun bahasa tinggi krama dan krama inggil. Aku yang orang
Jawa, yang kukuasai malahan hanya bahasa Jawa gaya Jawa
Timur yang padat bahasa umpatan itu. Sangat baik terhadap
diriku Meneer De Bruyn itu. Aku sampai dimintanya agar
indekos di rumahnya saja, di Madiun. Tawaran yang sulit untuk
ditolak tentunya. Begitu Pak Bakhrawi, si stoker, tukang api, mengetahui
bahwa aku indekos di rumah De Bruyn, dalam kesempatan
http://dewi-kzanfo/ 7 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
luang ia menghampiriku seraya bertanya, "Pran, kau indekos di
rumah De Bruyn, ya?"
"Betul, Pak," jawabku. "Ada apa?" Stoker itu hanya
tersenyum-senyum saja. "Tidak ada apa-apa," tanggapnya.
10 Baru kemudian aku tahu apa arti senyum-senyum Pak
Bakhrawi yang mencurigakan itu.
Istri De Bruyn, Rita namanya, jauh lebih muda usia daripada
suaminya. Cantik sih tidak, tapi semenjak aku tiba untuk
menetap di rumahnya, rasa-rasanya aku seperti mau ditelannya
saja. Sorot matanya bila memandang diriku berkedip-kedip
penuh gairah birahi. Entah mengapa, suaminya sering pergi
meninggalkan rumah membiarkan Rita dan aku berdua-duaan
saja di rumah. Pada suatu malam, De Bruyn tidak a da di rumah.
Entah ke mana ia pergi aku tidak tahu. Saat itu aku sedang
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membaca-baca buku roman Emile Zola. Tiba-tiba... Rita muncul
dalam pakaian tidur yang merangsang, lalu duduk di seberang
meja kerjaku. Aku diajaknya ngobrol, tapi obrolannya menjurus
ke arah hal-hal yang mencurigakan. Dari Rita aku tahu bahwa De
Bruyn sedang pergi ke Surabaya dan malam itu ia belum akan
pulang. Walaupun Rita tidak dapat dikatakan cantik, tapi tubuhnya
memang menggiurkan sekali, apalagi bagiku, seorang pemuda
remaja yang masih serba hijau dalam segala-galanya.
Pemandangan indah menggiurkan di hadapanku membuat
darahku deras mengalir. Anehnya, walaupun Rita sudah tahu,
bahwa ia tinggal menerkam diriku saja, ia tidak berbuat begitu.
Kursinya digesernya ke depan dan kakinya yang mulus itu
digosok-gosokkannya ke kakiku. Mula-mula dimulai pada jari-
jari kaki-kakiku, naik ke betis-betisku, paha-pahaku, dan begitu
11 seterusnya. Sulit bagiku untuk menahan godaan semacam itu,
http://dewi-kzanfo/ 8 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan habislah ketahananku malam itu. Loyo dan lunglai aku
dibuatnya. Rita tertawa terbahak-bahak, meninggalkan kamar
tidurku sambil berkata, "Lain kali jangan kebocoran, ya." Rasa-
rasanya aku ini seperti dipermainkan saja.
Peristiwa semacam itu diulanginya beberapa kali dan
akhirnya setelah ia tahu bahwa aku sudah mampu
mengendalikan diriku, barulah aku diterkamnya. Yah, aku bukan
Nabi Yusuf yang mampu menolak ajakan istri Potivar. Akhirnya
aku, Suro Pranoto, bukan perjaka murni thing-thing lagi.
Kegembiraanku tidak berlangsung lama, baik sebagai masinis
magang, maupun sebagai kekasih gelap Rita De Bruyn yang
direstui suaminya secara diam-diam. Di setiap kesempatan yang
ada, Rita meminta aku melayaninya, tidak mempeduli-kan
tempat dan waktu. Kamar mandi, gudang, kamar tamu, WC,
pagi, siang, sore, malam, dini hari, jadilah. Yah, Rita seorang
wanita yang hiperseks. Siapa pun yang menjadi suaminya, kalau
dia sendiri tidak hiperseks juga, dia pasti akan kewalahan. De
Bruyn bukan seorang suami hiperseks. Ia membiarkan, bahkan
selalu memberikan kesempatan kepada istrinya untuk
12 memuaskan dirinya. Bukan masinis magang yang bernama Suro
Pranoto saja yang pernah dimintanya indekos di rumahnya.
Anehnya... hubungan suami-istri Rita dan Dirk De Bruyn tetap
akrab dan mesra. Aku memperoleh pengangkatan resmi sebagai montir
pembantu di Bengkel Kereta Api SS, Tasikmalaya, dekat kota
Bandung. Sebelum aku berangkat ke Bandung, kuungkapkan
kekecewaanku kepada De Bruyn. Aku mengingini jabatan
masinis bukan montir. Kata De Bruyn, "Pran, itu suatu
kehormatan bagimu. Tidak sembarang masinis magang yang
diangkat menjadi montir pembantu. Apa yang kulaporkan
kepada Balai Besar, ya apa adanya. Bukannya kau tidak cakap
http://dewi-kzanfo/ 9 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai calon masinis, tidak, anak muda. Kau memenuhi segala
syarat untuk menjadi masinis kelak, tapi di samping itu, kau
seorang yang teramat sayang pada lokomotif, mematuhi segala
peraturan, tertib, dan teliti. Itu saja. Balai Besar yang mengambil
kesimpulan dan memutuskan. Kau tidak perlu merasa kecewa,
Pran." Masih dengan perasaan setengah hati aku berangkat ke
Bandung. Masih saja selalu terbayang-bayang di hadapanku,
13 Rita De Bruyn yang terisak isak tertahan dalam pelukanku.
Tampaknya Rita inenyukaiku. Bukannya menyukai wajahku yang
lak ubahnya seperti anjing buldog saja, tapi dia mcnggairahi
tubuhku yang pendek kokoh kuat ini dan barangkali juga karena
aku bukannya seorang perjaka egois yang hanya mementingkan
kepuasan-ku sendiri saja. Aku selalu berusaha mendahulukan
kepuasan Rita, baru kepuasan diriku sendiri.
Kekecewaanku cepat terobati, begitu aku melihat lokomotif
berbagai jenis yang akan menjadi tanggung jawabku untuk
dirawat dan diperbaiki. Si Madak, l okomotif gunung yang kekar,
kokoh kuat. Si Banteng, lok jarak jauh, De Eendaagse Ba-tavia-
Surabaya, si Kancil, lok bentuk kotak jalur Tasik-l'arigi, dan lok-
lok uap lainnya. Di Bengkel SS itu aku menyatu dengan
pekerjaanku. Kubelai-belai lok-lok itu. Aku jatuh hati tidak pada
lok-lok yang berukuran serba besar, tapi justru pada si Kancil,
kecil-kecil cabe rawit, tangguh.
Dalam berbagai tes ternyata kemahiran teknikku tidak
mengecewakan, bahkan tidak jarang melampaui prestasi
teman-teman yang setingkat pendidikannya dengan diriku.
Kemudian montir-montir pembantu dididik dan dilatih
setempat, baik teori maupun praktek selama liga bulan secara
intensif sekali. Tidak jarang pula aku mendapat pujian langsung
http://dewi-kzanfo/ 10 14 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari Insinyur Praktek Hilkema, tuan kepala bengkel yang
memperoleh gelar insinyur berdasarkan pengalamannya dalam
tugas. Seorang Belanda totok teramat jangkung, berambut
pirang bergelombang dengan pipa cangklong yang tak pernah
terpisahkan dari sudut-sudut mulutnya. Sambil berbicara pun
cangklong itu tetap pada tempatnya.
Lambat-laun terasa keberhasilanku di bengkel itu kurang
berkenan di hati teman-teman sejawatku yang berstatus
Belanda dan yang kebanyakan lebih coklat warna kulitnya
daripada bule. Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi, seandainya
Hans Hilkema tidak selalu saja memuji-muji kemahiran teknikku
di hadapan mereka. Seperti kata-kata "Nou, Tuan-tuan, kalau
seorang Jawa bisa berprestasi baik, mengapa kalian yang
mengaku Belanda tidak bisa lebih baik?" Aneh memang
Hilkema, ia tidak pernah menggunakan kata Inlander di bengkel
itu. Hal itu juga kurang disukai oleh Belanda-Belanda bukan
bule. Yang paling tidak suka kepadaku seorang montir
pembantu keluaran Europese Ambacht School Meester Cornelis
di Jatinegara, Batavia, Bob Muisch namanya. Ia seorang Belanda
Indo, tinggi besar, ganteng, warna kulitnya antara coklat dan
bule. Pada suatu pagi, aku sedang merawat si Kancil di luar
bangunan bengkel. Seorang pegawai administrasi tiba-tiba
15 datang mendekat dan menegur, "Meneer Pranoto, telegram
untukmu. Kilat. Ini!"
Surat telegram kuterima dan langsung kubaca. Isinya
sederhana, "Lekas pulang. Ibu sakit keras. Hermawan kirim."
Telegram itu kubaca berulang-ulang. Pikirku, "Ah, Ibu mengada-
ada saja. Ibu tak pernah sakit, tapi mengapa Oom Hermawan
yang kirim telegram" Pasti ada sesuatu yang kurang beres."
http://dewi-kzanfo/ 11 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari itu juga aku menghadap Ir. Hilkema. Telegram
kutunjukkan kepadanya dan aku mendapat izin untuk
menengok Ibu di Surabaya. Kata Hilkema, "Pranoto, urus Ibu
sampai selesai. Mudah-mudahan ibumu lekas sembuh."
Keesokan harinya aku pulang ke Surabaya. Hilkema tidak
memberikan batas waktu kepadaku. Aneh! Ia begitu percaya
padaku bahwa aku tidak akan memperpanjang-panjang
kepergianku. Aku masih sempat menunggui Ibu sebelum beliau-
mengembuskan napasnya yang terakhir. Pesannya sederhana
sekali, "Ngger, jagalah dirimu baik-baik. Ikhlaskan aku pergi
menyusul ayahmu. Kau sudah menjadi orang. Lekas-lekas punya
istri dan keturunan. Jangan sampat darah Ayah dan Ibu
terputus. Sudah ya, Pran, aku sudah ditunggu-tunggu Ayah...."
16 Yatim piatu aku. Satu-satunya hamba Allah yang kusayangi di
dunia ini sudah tiada. Sejak bayi aku tak pernah mengenal Ayah.
Beliau meninggal sewaktu aku masih dalam kandungan Ibu.
Ibulah yang membesarkan diriku, membiayai sekolahku dengan
jalan membuka toko kelontong.
Oom Hermawan, tetangga yang mengirim telegram itu,
sambil memegangi pundakku mencoba menghiburku dengan
kata-kata, "Jangan kautahan-tahan tangismu, Pran. Menangislah, agar kau merasa lega."
Baru hari berikutnya aku mampu menangis sepuas-puasnya
di samping makam Ibu. Bisik Oom Hermawan yang selalu
mendampingiku, "Pran, ikhlaskan ibumu pergi. Ikhlaskan, biar
lapang jalannya menghadap Tuhan. Ibumu sudah bersatu
kembali dengan ayahmu."
Kukirimkan telegram kepada Ir. Hilkema, mengabarkan
bahwa aku tidak dapat pulang segera karena ibuku meninggal.
Aku memerlukan waktu untuk menyelesaikan urusan-urusan
http://dewi-kzanfo/ 12 17 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang ditinggalkan oleh ibuku. Ada orang datang untuk menagih
utang, tapi tidak sedikit pula yang muncul untuk
mengembalikan utang, antara lain mereka yang ngebon di toko.
Rumah dan toko menjadi persoalan bagiku. Siapa yang akan
mengurusnya" Lagi-lagi Oom Hermawan yang datang
menolong. Kata tetangga pemilik toko besi di samping rumahku
itu, "Nak Pran, kalau saja aku punya cukup uang, akulah yang
akan membeli rumah dan tokomu, lapi aku kurang mampu. Ada
orang Arab, Pran, Aljufri namanya. Kawan baik, bahkan pernah
bersama-sama naik haji setahun yang lalu. Arab itu tertarik
untuk membeli rumah dan tokomu. Bagaimana, Pran?"
Jawabku waktu itu, "Wah,-terima kasih sekali, Oom, tapi aku
buta-tuli soal harganya."
"Nak Pran, jangan khawatir. Kau tidak akan tertipu. Aljufri
sudah menawarkan harga pembelian dan kiranya wajar. Tujuh
ratus lima puluh gulden, seluruhnya, termasuk barang-barang
toko dan peralatan rumah tangga. Ini urusan dagang, Pran. Aku
sebagai perantara berhak mendapat komisi dua selengah
persen. Bagaimana?" Aku tak berpikir panjang lagi. Rumah dan toko berganti
pemilik. Hanya isi lemari Ibu saja yang masih tetap milikku. Aku
menganga dibuatnya begitu melihat tempurung bathok yang tak
pernah kuperhatikan sebelumnya. Ibu sering berkata padaku,
"Pran, kusediakan untukmu perhiasan untuk emas kawinmu
18 nanti bila kau akan menikah." Tempurung itu isinya emas
berlian yang cukup berharga. Ada di antaranya yang hasil
warisan, ada yang dibeli oleh Ibu sendiri. Aku kembali ke
Tasikmalaya sebagai orang yang berkecukupan. Pikirku, "Semua
itu untuk istriku nanti."
http://dewi-kzanfo/ 13 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam perjalanan pulang, di kereta api, baru aku sadar akan
arti seorang ibu bagiku. Kesadaran yang tak pernah kuhayati
sebelumnya. Aku benar-benar merasa kehilangan sesuatu yang
tak mungkin ada penggantinya. Kasih sayang seorang ibu. Dunia
ini rasa-rasanya mendadak sontak menjadi sunyi sepi. Ya, aku
tak punya siapa-siapa lagi. Ayahku... anak tunggal, begitu juga
ibuku. Yah, padahal aku sering tidak menghiraukan omelan Ibu
manakala aku pulang dengan baju koyak-koyak dan muka
bengkak-bengkak. Yah, sampai saat ini pun aku. belum sempat
memuliakan makam bapak dan ibuku. Aku telah berjanji untuk
melakukannya. Tidak kepada siapa-siapa, tapi pada diriku
sendiri. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kehadiran Bob
Muisch 19 masih saja terus-menerus menggangguku. Ketenanganku sangat terganggu. Selama beberapa bulan aku
mampu mengendalikan diri bila Bob Muisch mencari-cari
peluang untuk bertengkar denganku, dengan segala sikap
keangkuhannya yang tampaknya dibuat-buat. Petuah dua orang
yang bermaksud baik pada diriku selalu mengiang-ngiang di
telingaku. Petuah Meneer Van Dam dan ibuku sendiri. Aku harus
menjaga diriku baik-baik, walaupun aku sudah mulai muak
dengan sikapnya yang sering menyakitkan hati. Rasa-rasanya
sudah gatal tanganku ingin melabrak wajahnya yang terlalu
ganteng itu. Kelihatannya Bob Muisch juga sudah tidak mampu
untuk mengendalikan dirinya lebih lama lagi.
Mengapa ia begitu benci kepadaku, aku tidak tahu. Pujian-
pujian Ir. Hilkema yang ditujukan kepadaku dengan kata-kata
seperti, "Meneer Pranoto, kalau pekerja-pekerja di bengkel ini
seperti kau semua, aku bisa tidur nyenyak," sangat menusuk
hatinya. Ya, itu barangkali yang menjadi sebabnya. Kuperhatikan
http://dewi-kzanfo/ 14 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
20 wajah Bob Muisch lewat sudut-sudut mata waktu itu. Raut
mukanya berkerut-kerut menahan kebenciannya. Pujian-pujian
Hilkema yang berkelebihan itu sudah tidak proporsional lagi. Risi
rasanya memperolehnya di hadapan orang banyak. Barangkali
kalau orang lain yang menerimanya, ia justru akan membusung
busungkan dadanya. Aku tidak, dan lagi itu hanya akan
membakar-bakar kebencian Bob Muisch saja.
Pada suatu pagi lagi-lagi Hilkema memujiku tepat di depan
hidung Bob Muisch. Kata Hilkema, "Meneer Pranoto, bagus,
bagus!" Begitu Hilkema meninggalkan tempat, Bob Muisch
mendekatiku seraya berkata, "Zeg, Meneer Pranoto, kau itu
anjing buldog asli apa hanya anjing kampung belaka?" Di
Bengkel SS itu teman-temanku juga memberikan nama Buldog
kepadaku. Hal itu tidak aneh lagi bagiku. Dengan sedikit
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkhayal saja, siapa pun akan menemukan nama panggilan itu.
Aku tahu sudah apa yang sebenarnya dikehendaki Bob
Muisch. Adu jotos, berkelahi! Mencari-cari alasan agar aku naik
pitam dan mau mendahuluinya menantang. Menurut tradisi
yang berlaku di Europese Ambacht School, ucapan Bob Muisch
semacam itu sudah merupakan tantangan terbuka. Aku masih
berusaha untuk menghindarinya. Dengan tenang dan bernada
gurau aku menjawab, "Kau sendiri bagaimana, Bob" Kukira
anjing geladak masih lebih bersih daripada tikus selokan."
Bahasa Belanda untuk tikus adalah muis.
Wajah Bob Muisch seketika saja menjadi merah padam.
21 Dilemparnya kunci pas yang dipegangnya di atas lantai.
Bentaknya, "Anjing geladak kampungan... Pungut!" Tantangan
final sudah. Kalau aku mau memungutnya dan menyerahkannya
kembali kepadanya, itu artinya aku sudah menyerah kalah
sebelum berkelahi. Kawan-kawan lain yang menyaksikan
kejadian itu, menunggu-nunggu apa yang bakal jadi jawabanku.
http://dewi-kzanfo/ 15 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sama-sama keluaran Europese Ambacht School, mereka
mengetahui aturan permainannya. Pokoknya adu jotos. Kalah
atau menang itu bukan soal.
Kutanggapi tantangannya yang benar-benar menyakitkan
hati itu dengan kata-kata, "Bob, jangan banyak mbacot. Nanti
malam jam delapan. Di dekat menara air."
Gumam Tabrani, seorang montir pembantu, "Gila Pranoto.
Bakal dibantai dia."
Orang lain lagi menanggapi, "Ah, siapa tahu, jago silat dia.
Bakal hebat." Sambil tersenyum-senyum puas Bob Muisch memungut
kunci pasnya, dan sambil meninggalkan tempat ia masih sempat
menjawab, "Baik, nanti malam jam delapan. Di dekat menara
air. Jangan menyesal kau, Pran."
22 Malam itu sewaktu berjalan menuju menara air di kawasan
stasiun, aku berpikir, "Siasat apa yang akan kugunakan"
Berkelahi melawan orang sebesar Bob Muisch memang tidak
baru kali ini saja. Pasti Bob juga bukan pertama kali ini saja
berhadapan dengan seseorang yang pandai pencak silat.
Nalurinya berkata bahwa aku memang jago berkelahi. Kondisi
tubuhku meyakinkan. Ia pasti tahu bahwa aku akan lebih banyak
menggunakan kaki-kakiku daripada tinjuku... Tapi ia barangkali
belum pernah melawan seseorang yang sependek diriku. Ah,
baiknya justru main rendah saja."
Aku lebih dulu tiba di arena perkelahian. Berbondong-
bondong kawan-kawan sekerja berdatangan. Mereka bergairah
sekali untuk menyaksikan pertandingan yang dianggap kurang
seimbang itu. Aku tak perlu menunggu lama. Bob Muisch tiba di
http://dewi-kzanfo/ 16 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
arena perkelahian tepat jam delapan. Lagi-lagi aku mendengar
kata-kata, "Wah, tidak seimbang."
Malam itu aku sengaja memakai celana pendek, kaus
oblong, dan sepatu basket, ringan dan tak mudah lepas. Bob
mengenakan celana pendek juga, baju kaus, dan memakai
sepatu tenis. Arena perkelahian itu tidak asing bagi kami
23 berdua, cukup penerangan dan berkerikil. Bob dan aku saling
berjabat tangan. Wajah-wajah tegang mengelilingi kami berdua.
Ternyata penerangan listrik dekat menara air itu terlalu terang-
benderang, mudah menarik perhatian orang bila kami berkelahi
di tempat itu. Siapa tahu ada orang yang melihatnya dan lapor
polisi. Kukatakan kepada Bob Muisch, "Terlalu mencolok mata
di sini. Bagaimana kalau mencari tempat lain saja, Bob?"
Bob Muisch mengangguk. Bersama-sama kami menemukan
tempat baru, terlindung dari penglihatan orang oleh gerbong-
gerbong barang dan tidak terlalu gelap. Letaknya di antara dua
jalur rel di luar bangunan stasiun. Kutanyakan kepada Bob,
"Cukup baik, Bob?"
"Jangan banyak bicara, mari mulai saja. Ini jagonya Europese
Ambacht School Meester Cornelis," jawabnya.
Bualannya kutanggapi dengan kata-kata, "Silakan mulai. Ini
arek Europese Ambacht School Surabaya."
Lewat sudut-sudut mata aku melihat penonton-penonton
bertebaran. Ada di antaranya yang malahan duduk-duduk di
atap gerbong. Kuamati gerak-gerik Bob. Ia pasang kuda-kuda
gaya tinju. Lega hatiku. Aku khawatir kalau-kalau ia seorang pegulat.
Bakal kewalahan aku. Bob membungkukkan tubuhnya dalam-
http://dewi-kzanfo/ 17 24 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam, melindungi perutnya dengan siku-sikunya. Tangan-
tanganku tidak akan mampu mencapai mukanya.
"Ya maaf saja, Bob, aku terpaksa pakai kaki, dan kalau tak
ada jalan lain... apa boleh buat, alat vitalmu itu," ucapku dalam
hati. Sambil berloncat-loncatan itu, aku masih mendengar orang
berkomentar, "David dan Goliath."
Langsung Bob Muisch meninju, aku menghindar, tapi kurang
cepat. Tinjunya masih sempat menyerempet daun telingaku.
Panas membara rasanya. Pikirku saat itu, "Indo berpengalaman
si Bob ini. Sulit untuk mengenai perutnya. Ketat terlindungi
selalu oleh siku-sikunya yang mampu menangkisi tendanganku.
Goblok, goblok aku! Lutut-Iututnya itu. Dia tak bakal mampu
melindunginya...." Tinjunya mengenai dahiku. Kunang-kunang bertebaran di
hadapanku. Hanya sebentar. Ada peluang emas. Aku melenting
dan sepatu basket itu tepat mengenai kakinya yang sedang lurus
menegang. Aku mundur lagi beberapa langkah, melenting lagi
dan lutut itu kuhantam keras-keras untuk kedua kalinya.
Lawanku itu mulai bergerak terpincang-pincang, ia masih
mampu menjotos ubun-ubunku. Lagi-lagi kunang-kunang
bertebaran di hadapan mataku. Aku mundur menjauh,
berancang-ancang, dan dengan satu lompatan lututnya yang
25 lain kuhunjam sekuat tenaga. Aku mundur lagi dan melihat
dengan jelas lawanku melengahkan perutnya dan kaki-kakinya
sudah nampak gemetaran, kurang mampu menopang tubuh
yang begitu berat itu. Dengan teriakan nyaring, aku melenting
lagi dan kedua belah kakiku bersarang pada perut Bob Muisch.
Lawanku itu jatuh telentang dan berguling-guling kesakitan.
Napasnya terengah-engah. Naluriku mengatakan, bahwa aku
http://dewi-kzanfo/ 18 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak boleh mendekatinya. Siapa tahu dia hanya berpura-pura
saja dan aku digulatnya... celaka aku. Namun kemudian tampak
jelas bahwa Bob memang sudah tak berdaya sama sekali.
Bernapas saja sudah payah. "Selesailah sudah," gumamku.
Kudekati Bob Muisch, kutepuk-tepuk punggungnya sambil
berkata, "Terima kasih, Bob. Perkelahian yang menyenangkan.
Aku menikmatinya." Dengan tangan sebelah masih memegangi perutnya, Bob
mengulurkan tangan satunya. Kami saling berjabatan.
Kutinggalkan arena perkelahian itu dan langsung pulang. Entah
apa yang diperbuat kawan-kawan penonton. Keesokan harinya
aku baru tahu bahwa Bob dipapah pulang oleh teman-teman.
Perkelahian di dekat menara air itu cukup berpengaruh pada
26 sikap pegawai-pegawai berstatus Belanda terhadap kaum
Inlander di Bengkel SS itu. Walaupun unjuk rasa lebih super
tidaklah hilang sepenuhnya, tapi kesombongan mereka sudah
sangat berkurang. Tradisi yang berlaku di Europese Ambacht School kami
pegang teguh. Persoalan telah diselesaikan lewat baku hantam.
Kalah atau menang, itu soal lain. Bob Muisch akhirnya menjadi
sahabat karibku yang paling dekat.
Pada suatu sore Bob dan aku pergi minum-minum bir di
Restoran De Galunggung. Kami bicara-bicara tentang
rasionalisasi kepegawaian yang sedang dijalankan oleh
Gubernur Jenderal Meester De Fock. Kataku, "Tidak mustahil
Kereta Api juga akan terkena tindakan rasionalisasi. Tinggal
menunggu waktunya saja."
http://dewi-kzanfo/ 19 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gelagatnya memang begitu," Bob Muisch menanggapi.
"Tapi bagimu, Pran, tak perlu kau bercemas-cemas.
Kedudukanmu kuat di Bengkel SS. Lain halnya dengan diriku."
"Ah, kau berstatus 27 Belanda, Bob. Pasti yang diuangtunggukan atau dirumahkan lebih dulu, siapa lagi kalau
bukan pekerja-pekerja kaum Inlander."
"Kau tahu, Pran. Itu VSTP, bakal menentang keras
rasionalisasi di lingkungan perkeretaapian."
(VSTP = Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel-
Perhimpunan Pegawai Kereta Api dan Trem)
"Omong-omong ya, Bob, IEV (Ikatan Kaum Indo-Eropa) giat
bergerak akhir-akhir ini. Bagaimana itu, Bob?"
Jawab Bob agak kesal, "Bagaimana, ya. Kedudukan kaum
Indo memang repot. Kami ini sebenarnya Belanda bukan,
Inlander pun bukan. Mencari identitas pun tidak gampang.
Kenyataannya dalam segala hal, Belanda totok-Iah yang di-
anakemaskan. Kami ini anak tiri. Bagi kalian kaum Inlander
masalahnya jelas. Kaum yang dijajah, tapi kami ini... entahlah!
Anak negeri yang berstatus Belanda. IEV katanya menuntut
persamaan perlakuan kaum Indo dengan Belanda-Belanda
lotok, antara lain cuti pulang kampung ke Negeri Belanda atas
tanggungan negara." Aku tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Bob Muisch
sendiri. Celetukku, "Aku bisa membayangkan. Itu ya Tom
Beusekom si tukang las, pergi cuti ke Nederland sana. Wah,
28 kayak apa rupanya dan ribuan Tom yang lain. Apa bukan
tuntutan yang gila itu, Bob?"
Bob Muisch tertawa-tawa geli. Ucapnya, "Kalau Tom
Beusekom, masih jadilah, tapi si Slamet Simon" Bahasa Belanda-
http://dewi-kzanfo/ 20 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nya, burung kakaktuaku masih lebih baik. Memang tuntutan
yang tidak masuk di akal, tapi begitulah keadaannya. Tidak itu
saja, Pran, IEV juga menuntut persamaan hak dengan Belanda
totok dalam hal skala gaji. Walaupun statusnya Belanda, tapi
tetap ada perbedaan yang mencolok antara skala gaji Belanda
totok dan Belanda Indo."
"Tapi ya maaf saja ya, Bob. Nasib kami kaum Inlander lalu
bagaimana" Skala gaji kami dengan yang Indo saja kalah, apalagi
kalau dibandingkan dengan Belanda totok, wah, jauh
ketinggalan. Kalau begitu, apa salahnya kami kaum Inlander
ikut-ikut menuntut skala gaji yang lebih adil dan tidak
diskriminatif?" "Pran, IEV itu juga tidak bersatu, terpecah belah alirannya.
Kesulitannya ya terletak pada diri kami sendiri. Terhadap kaum
Inlander, kami ini merasa lebih super, tetapi terhadap Belanda
keju, kami merasa minder. Alternatifnya memang ada dua, jadi
29 Belanda apa jadi Inlander, maaf ya, Pran. Ada pandangan yang
ketiga, tapi juga tidak kalah gila. Kalau Hindia Belanda lepas dari
Negeri Belanda, yang memegang kekuasaan harus kaum Indo."
Cepat aku memotong, "Apa kalian akan mampu memerintah
negeri ini" Apa kalian akan bisa diterima oleh kaumku,
Inlander?" "Entahlah, Pran, tapi pandangan ketiga itu cukup kuat hidup
pada kaum intelektual Indo dan banyak pendukungnya."
"Lalu pendirianmu sendiri bagaimana, Bob, ikut mendukung,
atau menolak?" Sejenak Bob Muisch diam, berpikir, kemudian ia menjawab,
"Bagaimanapun gilanya pandangan ketiga itu, banyak
pendukungnya, tapi aku berpendapat bahwa itu sulit dapat
http://dewi-kzanfo/ 21 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dilaksanakan. Kaum Inlander pasti akan menentangnya mati-
matian, apalagi ada tokoh Indo juga yang gigih menentangnya,
Dr. Douwes Dekker." Aku memotong, "Aku ingin tahu pendirianmu, Bob, bukan
pendirian orang lain."
"Terus terang, aku belum tahu. Ibuku pemakan sambel asal
Madura. Ayah, Belanda totok kelahiran Arnhem di Holland sana,
30 yang dibesarkan di Semarang. Nah, lahirlah aku ini, Bob
Muisch," jawabnya. "Omong punya omong ya, Bob. Seandainya bangsaku
memberontak terhadap kekuasaan Belanda. Seandainya ini,
Bob, jangan kau salah paham. Di pihak mana kau akan berdiri?"
tanyaku kepadanya. Bob Muisch diam, menguji-uji hati nuraninya. "Aku akan
tetap berdiri di pihak Belanda," jawab Bob tegas.
"Kukira tidak kau saja yang akan berpendirian begitu, Bob.
Sebagian besar kaum Indo akan memihak Belanda, Slamet
Simon dan Tom Beusekom tidak terkecuali," tanggapku.
Dengan tiba-tiba saja Bob Muisch yang duduk menghadap
pintu masuk restoran itu menyepak-nyepak kakiku. "Jangan
menoleh dulu, Pran," bisiknya. "Terlalu kentara nanti. Lihat itu,
ada gadis cantik masuk, bersama teman-temannya. Berkebaya
hijau dan pakai kerudung. Cocok untukmu, Pran."
Atas isyarat yang diberikan oleh Bob Muisch itu, perlahan-
lahan aku menggeser-geser kursi sehingga aku mampu melihat
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa yang baru masuk itu. "Yang mana, Bob?" tanyaku.
http://dewi-kzanfo/ 22 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Goblok banget kau, Pran. Itu yang pakai kebaya hijau muda
31 dan pakai kerudung lila. Tidak terlalu tinggi bagimu. Ya apa
tidak, Pran?" Dalam hati aku membenarkan penglihatan Bob Muisch.
Beberapa gadis memasuki restoran itu. Semuanya tanpa
terkecuali berkain kebaya dan memakai kerudung yang sama
sekali tidak menutupi wajah-wajah mereka. Kerudung i tu hanya
sebagai tutup kepala sambil lalu saja. Kerudung berwarna lila
yang dikenakan gadis yang ditunjuk oleh Bob Muisch itu
memang agak menarik perhatianku juga. Bukan karena
kecantikan pemakainya, tapi dialah yang paling lincah di antara
teman-temannya. Dalam bahasa Sunda yang bukan logat Tasik,
tapi lebih berirama bahasa Jawa, gadis itu memesan sesuatu
kepada seorang pelayan restoran yang mendekatinya.
Gadis-gadis itu lalu duduk-duduk saja, memilih tempat di
sudut ruangan bagian depan.
"Bagaimana, Pran, cocok tidak kau?" celetuk Bob Muisch.
Aku hanya diam saja. Terbayang-bayang di hadapanku Rita
De Bruyn. Tubuhnya yang padat kekuning-kuningan, besar, dan
mulus menggairahkan. Dalam khayal jorok kutelanjangi gadis
berkebaya hijau itu. Memang jauh berbeda. Yang ini langsing,
ramping malahan. "Pran! Cocok tidak!" bentak Bob Muisch.
Rasa minder menelusuri pribadiku. Rita mau dengan diriku,
karena dia memang seorang wanita hiperseks. Biar wajahku
seperti anjing buldog, aku lapnya juga. Rita, Rita De Bruyn. Lain
32 dengan gadis yang masih murni ini. Aku menggeser kembali
kursiku. "Ah, siapa yang mau dengan moncongku yang seperti
ini, Bob," jawabku. http://dewi-kzanfo/ 23 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan begitu, Pran. Kau selalu merasa minder saja. Coba
lihat Mandor Langsir Karyono itu. Tampangnya seperti celurut
kekencingan, tapi istrinya! ...Uwah!" Bob menanggapi.
"Kau lebih pantas baginya," celetukku.
Bob Muisch tertawa, sahutnya, "Pembunuhan, itu
pembunuhan. Ia terlalu kecil untukku."
"Coba lihat ini!" kataku. Kumasukkan jari-jariku satu demi
satu ke dalam lubang hidung, dari jari kelingking yang kecil
sampai jempol yang besar. Semuanya dengan mudah dapat
masuk lubang hidung. Lagi-lagi Bob tertawa. "Pran, dari siapa kau belajar falsafah
jari dan hidung" Itu memang tidak salah, betul, betul, tapi
kurang seimbang dengan posturku. Ayo, Pran, bagaimana kalau
mereka kita buntuti" Sayang kalau hilang lenyap begitu saja."
Sengaja aku mengalihkan pembicaraan dengan bertanya,
"Jootje bagaimana, Bob?"
"Jootje?" jawab Bob. "Ah, mana mungkin Belanda singkong
33 montir pembantu seperti aku ini mengingini anak asisten
residen yang Belanda keju."
"Kau tahu, Bob, itu. si Rustam, montir pembantu juga.
Istrinya anak bupati, Bob," kataku meyakinkan.
"Ah, bagaimana kau itu, Pran" Bukan istri Rustam yang kita
persoalkan. Itu, si gadis berkebaya hijau," ucap Bob Muisch.
Gadis-gadis itu ternyata hanya memesan sesuatu untuk
dibawa pulang saja. Mereka sendiri hanya minum-minum.
Seorang pelayan muncul membawa bungkusan. Gadis
berkebaya hijau itu membayar lalu mengajak gadis-gadis yang
lain pergi meninggalkan restoran.
http://dewi-kzanfo/ 24 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Celetuk Bob Muisch, "Bagaimana, Pran, kita ikuti untuk bisa
tahu di mana rumah gadis berkebaya hijau itu?"
"Ah, biarkan mereka pergi. Aku tidak ingin ketenanganku
terganggu," jawabku.
Bob mengumpat-umpat, tapi aku tetap pada pendirianku.
Setelah dua botol bir habis, kami pulang.
Pada suatu hari seorang teman sekerja memperkenalkan
diriku pada seorang kepala sekolah partikelir yang bernama
Sudibyo. Ia orang pergerakan. Dari Mas Sudibyo itu aku setapak
34 demi setapak belajar politik. Kuceritakan padanya bahwa
sewaktu aku masih sekolah, aku sangat gemar berkelahi dengan
Belanda-Belanda. Rasa-rasanya puas kalau mampu merobohkan
lawan-lawanku itu. Mas Dibyo tertawa. Katanya, "Dik Pran, dengan merobohkan
sinyo-sinyo Belanda itu tidak berarti bahwa kau dapat
merobohkan kekuasaan Belanda. Seorang diri melawan Belanda
tidak akan ada urtinya apa-apa. Kekuasaan Belanda hanya dapat
tumbang kalau seluruh bangsa Indonesia serentak bangkit
melawannya. Masalahnya, bagaimana caranya menggerakkan
bangsaku itu." Kata-kata "bangsa Indonesia" itu diucapkan dengan nada
tegas meyakinkan. Bulu kudukku berdiri mendengarnya. Aku
baru sadar bahwa aku ini bagian dari bangsa yang besar, tetapi
sedang meringkuk dalam kekejaman kolonialisme. Kutanyakan
kepadanya, "Apa Belanda ada niat untuk memerdekakan bangsa
Indonesia, Mas?" Sudibyo tersenyum, jawabnya, "Menurut perkiraanku, tidak
ada kemungkinan. Belanda harus h lempar keluar dari tanah air
kita. Ingat, Dik, seorang politikus Belanda sendiri pernah berkata
http://dewi-kzanfo/ 25 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
35 bahwa, Indie is de kurk waarop Nederland drijft. Hindia adalah
gabus di atas mana Negeri Belanda mengapung. Pernyataan itu
memberikan kejelasan kepada kita bahwa Belanda tidak akan
pernah begitu saja bersedia memerdekakan bangsaku. Harus
dipaksa, ditendang ke luar Nusantara, atau terpaksa."
Minggu pagi yang tak pernah kulupakan. Aku diajak pergi ke
Bandung oleh Mas Dibyo. Semula aku mengira hanya diajak
jalan-jalan saja. Ter nyata di Bandung aku diperkenalkan kepada
seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik. Kusno namanya.
Begitu aku melihatnya, langsung saja aku menaruh simpati
kepadanya. Kusno memang seorang pemuda yang mengagumkan. Sudah
ganteng, berwibawa, berotak cemerlang, dan daya ingatnya
yang menakjubkan, lagi. Semangatnya menyala-nyala selalu. Ia
masih begitu muda, tapi tentang masalah-masalah politik, ia
bukan anak hijau lagi. Masih saja mengiang-ngiang di gendang
telingaku kata-katanya, "Mas Pran, memang sekarang ini
bangsaku adalah bangsa kuli-kuli dan kuli di antara bangsa-
bangsa lain di dunia ini. Begitu keadaannya. Tapi jangan lupa,
Mas Pran, kita pernah menjadi bangsa yang jaya. Ingat Sriwijaya,
Mataram, Syailendra, Majapahit, atau Wilatikta, Aceh yang
sanggup menggempur Portugis di Malaka, Makassar dan Goa di
Sulawesi, dan Ternate-Tidore yang kekuasaannya sampai ke
wilayah Nieuw-Guinea. Ingat, Mas Pran, Belanda belum bisa
apa-apa, kita sudah mampu membangun Borobudur dan
36 Prambanan yang sampai kini masih tetap dikagumi oleh seluruh
dunia. Tapi mengapa, ya mengapa Belanda yang negerinya
hanya selebar daun pisang itu mampu menguasai Nusantara ini"
Bukan karena Belanda itu begitu kuatnya, begitu hebatnya,
tidak. Tapi karena kita bangsa Indonesia tidak mampu bersatu.
Dengan mudahnya Belanda mengadu domba bangsaku. Devide
http://dewi-kzanfo/ 26 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
et impera-nya berhasil dengan baik. Nah, akhirnya kita dijajah
Belanda sekarang ini. Jadi sebenarnya kita ini ambruk karena
kita sendiri yang meruntuhkannya.
"Kita harus mulai dari permulaan lagi. Menyatukan bangsaku
ini dan membentuknya, dari Sabang sampai Merauke."
"Memalukan, ya memalukan, Mas Pran. Berapa liimlah
orang Belanda di bumi kita sekarang ini" Dengan Belanda-
Belanda Indo-nya sekaligus hanya sekitar 250 ribu. Kita bangsa
Indonesia, yaaa sekitar 50 juta sudah, dan berapa jumlah
serdadu KNIL tentara kolonial itu, Mas Pran, berapa" En toch,
kita tidak bisa berkutik, karena jiwa kita sudah menjadi jiwa
budak, jiwa pengabdi. Sklaven Gieist, jiwa budak itu yang harus
kita ubah menjadi Herrrn Geist, jiwa tuan, terlebih dulu. Itu
tidak gampang, Mas Pran, tapi tidak ada jalan lain. Mari kita
37 satukan bangsa kita ini. Ya, kita satukan jiwanya. Yang paling
pokok, samenbundeling van ulle patriotieke krachten -
penyatupaduan semua kekuatan patriotik. Itu dulu, dan
kemudian baru smeedt het ijzer wanneer het heet is. Itulah
hakikat dari machtvorming dan machtaanwending."
Kutanyakan kepadanya, "Berapa waktu diperlukan untuk
menyatupadukan semua kekuatan patriotik itu, dan apakah saat
penempaan besi yang membara itu akan muncul, Dik Kusno?"
Pertanyaan itu langsung dijawabnya dengan berkata,
"Wallahualam, Mas Pranoto. Allah Ta'alla yang menguasai ruang
dan waktu. Ikhtiar, ikhtiar tempalah besi ilu sewaktu sedang
membara pembentukan kekuatan dan penggunaannya terus-
menerus dan pantang berhenti. Ingat, for a fighting nation there
is no journey's end."
Kusno berhenti berbicara, ia menggigit-gigit bibirnya seperti
orang yang gemas. Ya, gemas menghadapi kenyataan yang
http://dewi-kzanfo/ 27 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedang menimpa bangsanya. Kemudian ia melanjutkan, "Mas
Pranoto, senjata ampuh yang digunakan kolonial is-imperialis
adalah strategi dan taktik devide et im-pera. Ngobrak-abrik itu
lebih mudah daripada membentuk, padahal kitalah yang harus
38 membentuk, menghimpun, dan menggalang semua kekuatan
patriotik itu. Mas Pranoto dapat memahami bagaimana sulitnya.
Pihak Belanda tidak akan berhenti memecah belah kekuatan
kita, tapi kita juga tidak boleh berhenti menyatupadukan
kekuatan-kekuatan kita. Nah, itulah perjuangan mati-matian
yang tidak boleh dibatasi ruang dan waktu."
Lagi-lagi Kusno alias Sukarno itu berhenti berbicara,
mengepal-ngepalkan tinjunya seraya berkata, "Masih segar di
ingatanku ramalan Doktor Gerungan Saul Samuel Jacob
Ratulangi. Apa yang dikatakan oleh doktor Naturphilosophie
keluaran Universiteit Zurich itu" Ia meramal bahwa pendukung-
pendukung kolonialisme-imperialisme akan bertabrakan satu
dengan lainnya. Akan baku hantam satu dengan lainnya lewat
suatu peperangan mahadahsyat yang tak ada bandingannya
dalam sejarah umat manusia, dan peperangan itu akan melanda
Asia Tenggara juga. Ya, siapa tahu bangsa Indonesia akan
mempunyai kesempatan untuk menempa besi yang sedang
membara itu. Menggunakan kesempatan untuk menjungkirbalikkan k ilonialisme-imperialisme...."
Tampak kelopak mata Kusno berkaca-kaca. Emosinya
meluap-luap, dan ia begitu yakin bahwa ramalan Dr. Ratulangi
39 yang didasarkan pada perhitungan-perhitungan yang cermat
rasional itu benar-benar akan menjadi kenyataan. Mas Dibyo
dan aku yang ikut terharu sudah tidak mampu bertanya-tanya
lagi. Kata-kata mutiara for a fight-ing nation there is no
journey's end itu kupegang teguh sampai saat ini. Tidak peduli
http://dewi-kzanfo/ 28 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa kemungkinan dan harapannya. Berjuang, berjuang terus...
untuk kemerdekaan. Kusno melanjutkan, "Samenbundeling van alle patriotieke
krachten, penyatupaduan semua kekuatan patriotik, itu
perjuangan jangka panjang, Mas. Jangan mengejar kemenangan
yang sifatnya hanya tijdelijk, sementara. Tidak ada gunanya.
Saat kita menempa besi yang membara, itu harus final, final!
Kemenangan akhir harus ada pada kita. Jangan lupa, Mas,
jangan lupa. Kita tidak sendirian. Kolonialisme-imperialisme itu
internasional sifatnya, tapi perjuangan pembebasan dari
penjajahan, itu universal juga. Tidak hanya Indonesia saja, tapi
di seantero muka bumi ini. Ya di Asia, ya di Afrika, ya di Amerika
Latin." Begitu Kusno berhenti berbicara, langsung saja Mas Dibyo
bertanya, "Karena hakikat perjuangan pembebasan dari
40 belenggu kolonialisme itu universal seperti dikatakan oleh Dik
Kusno tadi, apa akan ada peluang ruang dan waktu untuk itu?"
Jawabnya, "Aku bukan ahli nujum, bukan orang yang
membabi buta menerima begitu saja ramalan Joyoboyo yang
begitu mengakar kuat dalam hati sanubari orang-orang Jawa.
Sebagai motivasi itu penting. Tapi tidak, tidak. Perhitungan
rasional-historis Doktor Ratulangi itu masuk di akal. Nah, kalau
itu benar-benar terjadi di kelak kemudian hari, barangkali di
situlah letak kesempatan kita dan pada saat itu, besi sudah
harus membara, membara, ya membara untuk ditempa. Artinya
bangsa Indonesia sudah cukup matang untuk bergerak, saiyeg
saeka praya, serentak. Rawe-rawe rdntas, malang-malang
pulung, dalam arti siap berjuang mati-matian. To be or not to
be, ya, nu of nooit (sekarang atau tidak sama sekali). Saat itu
akan ada een samenloop van omstandigheden (Keadaan
tertentu serba kebetulan), yang memungkinkan adanya
http://dewi-kzanfo/ 29 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesempatan itu, barangkali. Entahlah, tapi dalam sejarah umat
manusia banyak sekali terjadi samenloop van omstandigheden
itu. Suatu paduan kaitan kondisi dan situasi yang mengubah
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arah sejarah, seperti halnya dengan kelahiran Majapahit.
41 Barangkali itu yang dimaksud oleh Doktor Ratulangi."
Kusno mengeluarkan jam sakunya, kemudian ia berkata,
"Wah, maaf, maaf ya, Mas Dib, aku ada janji dengan teman-
teman untuk belajar bersama-ama. Lain kali kita teruskan."
Jawab Mas Dibyo, "Ooo, silakan, silakan, Dik. Kami juga ingin
menemui kawan-kawan di Tega-Icga sana.. Terima kasih, Dik."
Kami meninggalkan pondokan calon insinyur itu dengan
perasaan puas, lega, penuh harapan, walaupun kami tahu
bahwa perjuangan itu akan masih memerlukan jangka waktu
yang panjang, ya, sangat panjang, tapi kata-kata mutiaranya
terpatri dalam hati sanubariku. Dalam perjalanan pulang, di
kereta api kutanyakan kepada Mas Dibyo, "Bagaimana pendapat
Mas Dibyo?" Jawabnya, "Masih muda, tapi sulit menemukan tandingannya. Bisa banyak belajar dari dia, anak didik Haji
Oemar Said Tjokroaminoto. Kabarnya inak menantu malahan.
Seorang pemuda yang banyak membaca dan belajar dan apa
yang dibacanya benar-benar mengendap dalam benak
ingatannya. Tidak itu saja, tapi juga diolahnya, sehingga
ditemukan apa yang baik bagi kita semua ini. Mukan kali ini saja
42 aku bertemu dengan pemuda ganteng itu. Sudah untuk
kesekian kali. Tadi pagi ia berusaha menjelaskannya dengan
bahasa yang mudah ditangkap orang. Tidak mengungkapkan
teori-teori perjuangan yang digalinya dari buku-buku
bacaannya. Cukup jelas kan bagi Dik Pranoto?"
http://dewi-kzanfo/ 30 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawabku, "Ya, cukup jelas, cukup jelas. Siapa tahu, dialah
nantinya salah seorang pemimpin bangsa yang akan dapat
berbuat banyak bagi bangsa Indonesia ini."
"Ya, mudah-mudahanlah. Ia memiliki segala-galanya untuk
itu," kata Mas Dib. Sementara itu rasionalisasi pegawai di kalangan Gubermen
Belanda dijalankan dengan drastisnya, sebagai akibat
memburuknya keadaan perekonomian Hindia Belanda. Tidak
Hindia Belanda saja, tapi seluruh dunia. Penghematan-
penghematan juga dilakukan dalam tubuh Staats Spoorwegen,
termasuk di Bengkel SS Tasikmalaya. Sepertiga dari pekerjanya
dirumahkan, di-opwachtgeld-kan istilahnya. Boleh tinggal di
rumah dengan hanya menerima gaji sepertiga dari yang
lazimnya mereka peroleh. Lagi-lagi terasa adanya tindakan
diskriminatif 43 yang menyakitkan .hati. Nyatanya yang dirumahkan pekerja-pekerja Inlander Bumiputra. Sebagai akibat
kurangnya tenaga di bengkel itu, yang tinggal terpaksa harus
kerja berat, melembur tanpa imbalan uang lembur yang
memadai. Perhimpunan pegawai-pegawai kereta api, VSTP, bergerak
dan menuntut agar mereka yang dirumahkan dipekerjakan
kembali dan bahkan mengancam akan mengadakan pemogokan
total apabila tuntutan-tuntutannya tidak dipenuhi. Pekerja-
pekerja yang bersimpati dengan gerakan VSTP meminta agar
aku bersedia menjadi pimpinan gerakan di Bengkel SS
Tasikmalaya itu. Darah muda bergelora dan tabiat asliku muncul
di permukaan. Lupa daratan mendapat kepercayaan teman-
teman, apalagi mereka tidak lupa untuk menyanjung-nyanjung
diriku. http://dewi-kzanfo/ 31 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kata Jan De Wolf, "Pran, posisimu paling kuat di Bengkel
44 Tasik ini. Pihak pimpinan begitu terpesona atas prestasi kerjamu
di sini." Aku tidak segera menerima tawaran teman-teman.
Malamnya, aku berkunjung ke rumah Mas Sudibyo. Kuceritakan
kepadanya Bengkel yang sedang bergolak dan adanya orang-
orang VSTP dari Bandung yang kasak-kusuk.
Kata Sudibyo, "Aku belum bisa memberikan pandanganku,
Dik Pran. Aku awam tentang perkembangan di perkeretaapian.
Ada baiknya kita minta pendapat Dik Kusno. Bagaimana, Dik?"
Belum aku sempat menanggapi sarannya itu, muncul
membawa minuman dan hidangan... gadis berkebaya hijau di
Restoran De Galunggung. Aku seperti melihat hantu di siang hari
bolong. Kata Mas Dib setelah gadis itu meletakkan hidangan di atas
meja, "Kenalkan Dik Pran, adik istriku, Hartini."
Hartini hanya mengangguk kecil. Aku sudah telanjur berdiri
untuk berjabat tangan, tapi Hartini sama sekali tidak
mengulurkan tangannya. Aku hanya berdiri mematung.
Celetuk Mas Dibyo, "Duduklah, Dik."
Aku duduk kembali. Hartini masih saja tetap berdiri di
samping kursi Mas Sudibyo.
Tanya Sudibyo, "Ada apa, Tin?"
"Mas, Mbakyu ingin dibelikan pepes ikan. Aku mau pergi ke
restoran sebentar." "Sudah malam begini" Apa masih buka?" kata Sudibyo.
45 "Masih, Mas, belum jam delapan," jawabnya.
http://dewi-kzanfo/ 32 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak Sudibyo terdiam, ucapnya kemudian, "Wah,
bagaimana, ya. Sudah malam begini dan lagi ada urusan
koperasi yang tidak bisa kuhafalkan. Aku harus pergi ke rumah
Pak Jamin. Ada rapat... Eehh, bagaimana, Dik Pran, kalau aku
minta tolong... Ehh, itu kalau Dik Pranoto tidak berkeberatan."
Mas Dibyo tampajc ragu. Saat itu akulah yang seharusnya
menawarkan .jasa baik, tapi dasar orang yang selalu merasa
minder, mulutku seperti dibungkam setan saja. Aku hanya
mampu mengangguk kecil. Melihat anggukanku yang kurang meyakinkan itu, Mas Dibyo
berkata, "Dik Pran tidak ada acara lain malam ini?"
Jawabku singkat, "Tidak."
Rasa-rasanya aku ingin meninju mulutku sendiri, mengapa
mulutku itu tidak dapat diajak berteman saat itu.
Imbau Mas Sudibyo, "Tolong antarkan Hartini, ya."
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk saja. Pikirku, apa
Hartini tidak akan malu dikawal lelaki seperti aku ini.
"Nah, Tin, Mas Pranoto yang akan mengantarmu. Sana siap-
siap," kata Mas Dib.
46 "Baik, Mas," jawab Hartini agak manja. Aku tak perlu
menunggu, lama-lama. Hartini yang semula mengenakan
kebaya coklat lusuh, muncul kembali, siap berangkat Jantungku
berdenyut-denyut keras sampai aku khawatir kalau-kalau Mas
Sudibyo akan mendengarnya. Berdiri di hadapanku, si gadis
berkebaya hijau lumut yang pernah hilang. Hanya kerudungnya
yang berganti warna. Bukan ungu lila lagi, tapi merah jambu.
Mas Dibyo mengantar kami berdua sampai di tepi uang. Tiba di
jalan besar, Hartini berkata, "Jalan saja dulu ya, Mas, sambil
http://dewi-kzanfo/ 33 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menunggu dokar lewat" Mulutku tetap membangkang.
Walaupun aku pernah mempunyai pengalaman dengan seorang
wanita seperti Rita De Bruyn, tapi aku tidak cukup mengalami
pergaulan dengan gadis-gadis di waktu aku masih bersekolah.
Perhatianku hanya tertumpu pada pelajaran sekolah dan... adu
jotos. Walaupun hegitu, naluriku berkata, bahwa aku harus
berjalan di sebelah kanan Hartini, melindunginya dari
kemungkinan sambaran kendaraan yang malam itu sama sekali
tidak ada yang lewat. Mulutku tetap bungkam. Aku tidak tahu
bagaimana harus memulai bercakap-cakap. Hartini-lah yang
memulainya dengan berkata, "Aku sekarang tinggal di rumah
47 Mas Dib. Belum lama kok, Mas, baru seminggu kira-kira. Waktu
masa liburan yang lalu aku kemari. Tiga bulan lalu barangkali.
Bagus ya kota Tasik. Hawanya cukup sejuk. Lain dari di Sragen
sana." Aku memaksa diriku untuk menanggapi. Dengan susah
payah keluar dari mulutku kata-kata, "Eeh... sebelum ikut Mas
Dib... Dik Hartini di mana?"
"Di Sragen, Mas. Begitu keluar Huishoud School (Sekolah
Kepandaian Putri), aku tinggal di rumah saja. Kolot ya
orangtuaku. Yaaa, bantu-bantu Ibu dan Ayah. Mas Dib yang
minta agar aku tinggal di Tasik saja. Mas Pranoto kan tahu,
Mbakyu terserang beroerte (Pendarahan Otak) dan sampai
sekarang masih tetap lumpuh dan tidak bisa bicara. Kasihan lho
Mbakyu." Saat itu baru aku tahu mengapa Mas Dibyo tidak pernah
memperkenalkan diriku kepada istrinya, padahal sudah sekian
lamanya aku mengenalnya. Gaya bahasa Hartini agak aneh.
Bahasa Jawa krama yang diucapkannya dengan logat Sunda.
Sebaliknya kalau ia berbicara dalam bahasa Sunda, logatnya
Jawa. http://dewi-kzanfo/ 34 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
48 Hartini tampaknya tidak terlalu tergesa-gesa untuk sampai di
Restoran De Galunggung. Dokar pertama dibiarkannya lewat
saja. Dalam hati aku gembira ia tidak menghentikannya. Dengan
tiba-tiba saja, seekor tikus wirog besar menyeberangi jalan,
tepat melewati kaki-kaki kami. Hartini menjelih-jelih, melompat,
dan erat-erat berpegangan lenganku yang kokoh berotot itu.
Celetuknya, "Idiiih, idiiih! Tikus wirog. Kaget aku!" Anehnya,
tikus sudah menghilang, ia masih saja berpegangan lenganku.
Dipegangi lenganku saja rasa-rasanya seperti sudah berada di
surga ketujuh. Lain sama sekali dengan kebersamaanku dengan
Rita. Postur Hartini memang tidak tinggi. Aku masih lebih tinggi,
walaupun hanya beberapa senti saja. Bob Muisch mempunyai
penglihatan yang cukup tajam waktu itu. Pas memang. Hanya
wajah dan penampilanku yang kurang serasi dengan
penampilan Hartini. Baru setelah sampai bagian jalan yang berpenerangan listrik,
Hartini menghentikan dokar yang lewat. Entah mengapa, saat
itu aku mempunyai keberanian untuk menolongnya naik. Kata
Hartini, "Terima kasih, Mas. Kau begitu kuat, hampir-hampir aku
terangkat." Bangga rasa hatiku mendapat pujian dari Hartini. Di tempat
duduk dokar yang sempit aku merasakan sentuhan lutut-lutut
gadis yang ramping itu. Tubuhku mendadak sontak menjadi
panas membara. Agar. kaki-kaki kami tidak bergesek-gesekan,
lututku kuimpitkan pada pangkal paha Hartini. Hartini
49 membiarkannya dan mulai saat itu, Hartini yang tak pernah
kehilangan bahan untuk bicara itu, sekonyong-konyong saja
hanya bungkam seribu bahasa sampai dokar berhenti di depan
Restoran De Galunggung. Sewaktu Hartini akan turun, aku lagi-
lagi memberanikan diri untuk menolongnya. Hartini tersenyum.
Dalam hati kupuji diriku yang sudah semakin berani bersikap
http://dewi-kzanfo/ 35 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jantan. Kupompakan kata-kata dorongan pada diriku sendiri,
"Ayo, Pran, jangan memalukan."
Begitu masuk ke ruang restoran, kami berpapasan dengan
Bob Muisch yang akan pergi meninggalkan De Galunggung.
Melihat kami berdua, raksasa Belanda Indo itu hanya mampu
menganga saja. Ia tidak mampu mempercayai penglihatannya
sendiri. Terlompat dari mulutnya kata-kata kasar dalam bahasa
Belanda, "Wat een klootzak ben jij (bajingan kau), Pran!" Sadar
bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan Pranoto saja, ia
meminta maaf, mengangguk, mengulurkan tangannya sambil
berkata dalam bahasa Belanda, "Maaf, Nona, aku teman baik
Pranoto, Bob Muisch namaku."
Saat itu ganti aku yang tak mau percaya pendengaranku
sendiri. Setelah Hartini dan Bob berjabatan tangan, Hartini
50 menjawab dalam kata-kata bahasa Belanda yang sangat
sempurna, "Ooo, kau yang bernama Tuan Muisch. Meneer
Pranoto banyak bercerita tentang dirimu, Tuan."
Tanggap Bob Muisch, "Aku tahu. Pasti dia menjelek-jelekkan
diriku." "Sama sekali tidak, Tuan. Mas Pranoto begitu mengagumimu. Si raksasa yang ganteng, katanya. Ternyata
memang tidak berlebihan."
Bukan aku saja yang terpesona atas kelincahan cara bicara
Hartini, tapi tampaknya Bob Muisch begitu juga. Ia berpamitan
pada Hartini dan menepuk punggungku begitu kerasnya sampai
aku hampir-hampir menubruk Hartini.
Hartini memesan pepes ikan mas untuk dibawa pulang.
Sambil menunggu, kami hanya minum-minum limun saja. Aku
http://dewi-kzanfo/ 36 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
51 mau membayarnya, tapi Hartini mencegahnya. Katanya, "Kali ini
aku yang traktir, Mas."
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah peristiwa pengantaran ke Restoran De Galunggung
itu, aku sering diminta Mas Dibyo untuk mengawal Hartini. Ya ke
pasar, ke toko, nonton film (film bisu), dan untuk keperluan
lainnya. Pada suatu hari Mas Dibyo memperkenalkan diriku kepada
istrinya. Ternyata Mas Dibyo dan Hartini mampu berkomunikasi
dengan Mbakyu Dibyo dengan menggunakan bahasa isyarat
Morse. Caranya, mengedip-ngedipkan kelopak mata. Huruf-
huruf isyarat Morse itu dapat dimengerti oleh Mbakyu Dibyo.
Sebaliknya, Mbakyu Dibyo yang lumpuh itu masih mampu
mengedip-ngedipkan kelopak matanya. Sungguh suatu penemuan yang orisinal. Aku sebagai seorang pekerja
perkeretaapian tidak sulit untuk mempraktekkan komunikasi
lewat kedipan kelopak mata. Mbakyu Dibyo sangat
menghargainya. Kegembiraannya nampak pada senyuman di
mulutnya yang sudah tak mampu berkata-kata lagi itu.
Dari Mas Dib aku mendapat keterangan bahwa Hartini sudah
tak mempunyai orangtua lagi. Secara kebetulan, Hartini yang
saudara sepupu Mbakyu Dibyo itu, juga anak tunggal. Kedua
52 orangtua Hartini meninggal dalam kecelakaan bis yang mereka
tumpangi, dekat kota Solo.
Sementara aku sibuk dengan diriku sendiri bersama Hartini,
permasalahan berbagai tuntutan teman-teman bengkel sama
sekali tidak menjadi perhatianku lagi. Pada suatu malam, Mas
Dib dengan nada serius berkata, "Besok hari Minggu, mari jalan-
jalan ke Bandung." Jawabku, "Baik, Mas. Sudah lama kita tidak bertemu dengan
Dik Kusno." Semula aku mengira bahwa kami akan berkunjung
http://dewi-kzanfo/ 37 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ke rumah pondokan calon insinyur Kusno, tapi terbukti tidak.
Hartini ikut dan di Bandung itu aku diperkenalkan pada sanak
saudara Hartini. Aku mengerti maksudnya, tentu ada sangkut
pautnya dengan hubunganku dengan Hartini yang sudah
semakin akrab itu. Selang beberapa lama kemudian, aku ditanya oleh Mas
Sudibyo, "Dik Pran, kulihat hubunganmu dengan Hartini
semakin akrab dan rupa-rupanya Hartini tidak menolak untuk
melestarikan hubungan itu. Bagaimana pendapatmu, Dik?"
Lagi-lagi aku seperti kehilangan lidahku saja. Mas Dib
tersenyum, menepuk-nepuk punggungku seraya berkata,
53 "Akulah sekarang wali Hartini semenjak kedua orangtuanya
meninggal. Kiranya sudah waktunya untuk menetapkan hari dan
tanggalnya. Bagaimana, Dik?"
Aku hanya mengangguk dan menjawab singkat, "Terserah
Mas Dibyo saja." Hartini dan aku menjadi suami-istri. Seluruh perhiasan
peninggalan ibuku jadi emas kawinnya.
Masa bulan madu lewat. Aku mulai menaruh perhatian
kembali pada perikehidupan perkeretaapian. Tenaga kerja di
bengkel semakin menjadi kurang sebagai akibat bertambahnya
jumlah teman-teman yang dirumahkan, sehingga kami yang
masih bekerja terpaksa harus terus-menerus kerja lembur. Uang
lembur tidak memadai sama sekali. Melihat keadaan yang
semakin menjadi parah itu, akhirnya aku menerima desakan
kawan-kawan untuk memimpin gerakan. Menuntut dipekerjakannya kembali para wachtgelders yang dirumahkan.
Berbagai surat dikirimkan kepada Kepala Bengkel SS
Tasikmalaya yang sementara itu sudah diganti oleh Insinyur Ten
http://dewi-kzanfo/ 38 54 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kate. Hilkema dianggap terlalu lunak dalam menghadapi
gerakan-gerakan anti pengrumahan itu. Untuk seorang Belanda
to-tok, Ten Kate termasuk pendek, gemuk, berkepala botak,
sombong, dan sinis. Melihat wajahnya saja aku sudah merasa
muak kepadanya. Bersama Mas Sudibyo kami mengusahakan agar mereka
yang dirumahkan dengan uang tunggu minim itu tidak terlunta-
lunta keadaannya. Mas Dibyo yang sudah banyak makan garam
dalam perkoperasian membentuk koperasi untuk para
wachtgelders. Tidak hanya bagi mereka yang dari perkeretaapian saja, tapi bagi semua wachtgelders yang ada di
kota Tasik dan sekitarnya. Usaha koperasinya mampu
meringankan beban mereka.
Pada suatu hari Minggu aku pergi sendiri ke Bandung untuk
menemui Dik Kusno. Aku ingin memperoleh pertimbangannya.
Kuceritakan kepadanya tentang keadaan bengkel. Kusno tampak
sedih. Katanya, "Mas Pranoto, Sarekat Islam yang dengan susah
55 payah dibangun oleh Pak Tjokro-aminoto, dirongrong dan
dikoyak-koyak oleh cecunguk-cecunguk benalu yang menamakan dirinya Sarekat Islam Merah. Gegabah, gegabah!
Belum apa-apa mereka sudah mau memberontak. Bakal
mengacau organisasi pergerakan yang lain. Ooo, kita masih jauh
dari kuat untuk mampu menumbangkan kolonialisme Belanda.
Kekuatan-kekuatan nasional patriotik belum, ya, belum
samengebundeld. Menyedihkan, Mas, ya, menyedihkan
keadaannya, Mas Pran. Gontok-gontokan antara kita sama kita.
Belanda kolonialis yang tertawa-tawa gembira. Quo Vadisf Ke
mana kita akan pergi?"
Semula aku hendak minta nasihat kepadanya, tapi
tampaknya ada persoalan-persoalan lain yang bersatu padu
lebih penting yang mengganggu pikiran dan perasaannya. Kusno
http://dewi-kzanfo/ 39 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sama sekali tidak menaruh perhatian pada keadaan Bengkel SS.
Pertemuan kami tidak berlangsung lama. Ia dijemput teman-
56 temannya untuk pergi. Entah ke mana. Suasananya seperti
genting saja. Aku pulang dengan tangan hampa. Kuceritakan
kepada Mas Dibyo tentang pertemuan singkatku dengan Kusno.
Kata Mas Dib, "Ya, Kusno memang begitu gandrung akan
persatuan bangsanya. Kenyataannya, kaum pergerakan itu
sampai kini hanya gontok-gontokan melulu. Penjajah yang
tertawa-tawa kecil. Pada pertemuanku yang terakhir, sebulan
yang lalu, Kusno berkata, 'Yah, aku harus mampu menemukan
sesuatu, menemukan landasan, menemukan suh pengikat yang
mampu menyatukan sapu lidi kebangsaan. Sesuatu yang
sepenuh hati dapat diterima bangsa dari Sabang sampai
Merauke."' Sementara itu teman-teman sekerja sepakat untuk lebih
mempertegas tuntutannya. Petisi disusun dan ditandatangani
oleh sebagian besar pekerja-pekerja kaum Inlander di Bengkel
SS Tasikmalaya itu. Semula dimaksudkan untuk mengajukan
petisi agar mempekerjakan kembali teman-teman yang
dirumahkan, tapi karena sudah terlalu banyak gerakan yang
mengajukan petisi semacam itu, diputuskan untuk menuntut
persamaan uang lembur antara kaum Inlander dan mereka yang
berstatus Belanda. Hal itu dianggap lebih tepat, karena langsung
menyangkut masalah di Bengkel SS itu sendiri. Aku ditetapkan
untuk memimpin delegasi yang akan menghadap Ten Kate.
Kupilih teman-teman yang mempunyai kedudukan kuat di
bengkel untuk menjadi pendamping. Teman-teman yang mahir
57 dalam bidang tertentu sulit untuk dilepaskan begitu saja.
Akhirnya lima orang yang akan menemui Ir. Ten Kate. Aku
sendiri, Munir, Jayus-man, Sitompul, dan Matulesi. Kami
diterima di ruang kerja Kepala Bengkel. Petisi dibuat dalam dua
http://dewi-kzanfo/ 40 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bahasa, bahasa Belanda dan Melayu. Yang kubacakan di
hadapan Ten Kate yang berbahasa Belanda. Ten Kate
mendengarkan pembacaan petisi itu dengan bertolak pinggang
dan memutar-mutar tongkat kesayangannya. Selesai membacakan, kuserahkan surat petisi itu kepadanya.
Dengan angkuhnya Ten Kate berkata, "Bagus, bagus, Tuan-
tuan. Aku setuju seratus lima puluh persen dengan tuntutan
Tuan-tuan. Prestasi kerja yang sama harus disertai imbalan yang
sama. Apa dia itu Bumiputra apa Belanda. Setuju, setuju, Tuan-
tuan. Masuk akal, rasional itu. Sayang seribu sayang, Tuan-tuan,
harus ada petisi lain terlebih dahulu."
Cepat aku memotong pembicaraannya, "Petisi yang lain apa,
58 Tuan Insinyur?" Ten Kate tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Kalian harus
menuntut kepada Gubernur Jenderal agar aku diangkat menjadi
kepala perusahaan SS terlebih dulu. Nah, kalau aku sudah
menjadi kepala SS, baru tuntutan kalian bisa kupertimbang-kan.
Baiklah, tuntutan kalian akan kuteruskan ke Balai Besar di
Bandung. Aku tidak punya kekuasaan untuk memutuskan. Yaaa,
barangkali dua minggu begitu, baru akan ada jawaban."
Wajahnya yang menjengkelkan itu menggambarkan ekspresi
yang serba mengejek. Dengan susah payah aku harus menahan
diri untuk tidak marah, tapi dalam khayalan sudah kutinju muka
jelek Ten Kate itu. Sementara itu aku dirisaukan oleh sikap Hartini yang aneh-
aneh. Ia tidak mau kudekati lagi, seolah-olah ia membenciku,
tapi kalau aku lambat pulang, ia menangis sejadi jadinya. Suatu
waktu tengah malam aku dibangunkannya. Ia minta dibelikan
bakmi kopyok. Jawabku setengah marah, "Kau tahu, Tin, sudah
lewat tengah malam sekarang ini. Apa kau kelaparan" Pasti di
http://dewi-kzanfo/ 41 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belakang masih ada nasi. Bikin saja telur ceplok. Besok
kubelikan bakmi kopyok."
59 Hartini menangis dan berkata tersendat-sendat, "Mas Pran
masih sayang pada Hartini?"
"Tentu masih sayang, tentu, Tin," jawabku sambil mencium
dahinya. "Kalau benar-benar masih sayang... tolong Mas belikan
bakmi kopyok. Aku begitu ketagihan, Mas," desaknya.
"Tin, di mana ada bakmi kopyok malam-malam begini?"
jawabku. "Ada, Mas, percayalah. Di alun-alun sana masih ada. Pasti
masih ada yang jualan," tanggapnya.
Terpaksa aku berangkat. Pikirku, "Ada apa dengan Dik Tin
itu" Apa dia sedang menguji kecin-taanku kepadanya"
Barangkali." Kuayunkan sepeda yang kunaiki menuju alun-alun.
Tiba di alun-alun itu aku melihat lampu minyak bergerak-gerak.
Gumamku, "Astaga, Dik Tin benar. Itu dia Mang Iin."
Langsung aku menghampirinya dan kutanyakan padanya,
"Mang Iin, masih ada bakminya?"
Jawabannya mengejutkan, "Masih ada, Den, biasanya
menjelang tengah malam sudah habis, tapi malam ini aneh.
Tidak banyak orang yang membeli. Langganan-langganan pun
tidak muncul, padahal tidak ada keramaian di tempat lain. Baru
sial malam ini barangkali."
Pikirku, "Aneh! Dari alun-alun ke rumah, itu sekitar dua
kilometer. Hartini mampu mencium bakmi kopyok sejauh itu"
Bukan main." 60 http://dewi-kzanfo/ 42 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan lega hati aku membawa pulang bakmi kopyok
serantang penuh. Tiba di rumah, bukannya Hartini langsung
melahapnya, ooo tidak! Ia hanya mencium-cium baunya saja.
Katanya kemudian, "Terima kasih, Mas. Sudah kenyang
sekarang aku. Terima kasih." Diciumnya pipiku, direbahkannya
dirinya di tempat tidur, dan... tidurlah dia.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kejadian yang aneh-
aneh tidak berhenti sekali itu saja. Di lain hari, ia mengingini
pepaya setengah matang pada pohon tetangga. Ia terus
mendesak-desak agar aku mau memintanya, kalau perlu dibeli
saja berapa pun harganya. Aku benar-benar dalam posisi sulit
waktu itu. Apa yang harus kukatakan pada tetangga" Apa boleh
buat. Kebetulan pohon pepaya tetangga itu tumbuhnya tidak
begitu jauh dari tembok pagar rumah. Malam-malam kucuri
pepaya yang sedang mau matang itu. Dengan bangga seperti
seorang jenderal menang perang, kutunjukkan hasil curianku itu
kepada Dik Tin. Hartini berloncat-loncat kecil menerima buah
pepaya itu dari tanganku. Anehnya lagi, bukannya terus
dipotong, dikuliti, dan dimakan, tidak! Buah pepaya itu dibawa
tidur dan didekapnya seperti mendekap bayi saja.
61 Setiap saat aku bisa dihadapkan pada kejutan-kejutan
permintaan ini dan itu yang tidak masuk di akal orang waras.
Aku mengkhawatirkannya. Pikirku, "Apa Hartini sudah menjadi
sinting?"
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lambat-laun aku tak tahan lagi. Dia minta dipinjamkan kuali
tetangga untuk membuat masakan lodeh kecombrang. Itu
sudah keterlaluan. Buah pepaya, aku berhasil mencurinya,
walaupun Pak Haji Makbul di hari Jumat mengumpat-umpat
karena kehilangan buah pepaya. Tapi kalau aku harus mencuri
kuali tempayan tetangga, bagaimana caranya" Untuk
meminjamnya, malu aku. Mbok Haji pasti akan bertanya-tanya.
http://dewi-kzanfo/ 43 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk apa pinjam kuali tempayan" Kenapa bukan istrinya yang
datang sendiri" Apa tidak bisa beli sendiri" Berapa harganya,
tidak seberapa. Betul-betul aku tidak bisa melakukan. Aku pergi
ke pasar dan membeli kuali. Kutunjukkan kepada Hartini.
Kataku, "Ini kualinya."
"Bukan, bukan, bukan itu. Itu kuali baru. Aku tahu rupa
kualinya Mbok Haji."
Aku tak tahan lagi. Langsung saja aku pergi ke rumah Mas
Sudibyo dan kuceritakan padanya apa yang terjadi dengan
62 Hartini. Semula aku mengira Mas Dib akan terkejut karenanya.
Tidak! Ia tertawa terbahak-bahak, katanya, "Dik Pran, pergilah
ke rumah Mbok Haji Makbul. Katakan saja bahwa Hartini ingin
meminjam kualinya. Mbok Haji akan mengerti. Ketahuilah, Dik
Pran, istrimu itu sedang ngidam, mengandung. Itulah!" Begitu
gembiranya (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
aku dibuatnya. Sementara itu masa tunggu telah lewat. Kami berlima
menghadap kembali kepada Ten Kate. Lagi-lagi aku yang
ditunjuk untuk mengetuai delegasi petisi lima orang itu.
Sebelum memasuki ruang kerja Ten Kate, Bob Muisch
mencegatku di dekat pintu masuk. Tegurnya, "Pran, berhati-
hatilah. Ten Kate orangnya memang memuakkan. Jangan
sampai kau terpancing. Kendalikan emosimu."
Aku mengangguk dan menjawab, "Terima kasih, Bob. Aku
sangat menghargainya. Akan kuingat-ingat selalu nasihatmu."
Hari itu hari Sabtu Pahing, 13 Juni 1923, jam 10.00 tepat,
kami memasuki ruang kerja Ten Kate. Aku, Jayusman, Munir,
Sitompul, dan Matulesi. http://dewi-kzanfo/ 44 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berlima kami berdiri di seberang meja kerjanya yang lebar
memanjang. Sambut Ten Kate, "Hah, datang lagi. Membawa
petisi baru" Mau apa lagi kalian?"
Jawabku tenang, "Tuan Insinyur, sesuai perjanjian, hari ini
akan sudah ada jawaban."
"Heh, jawaban apa" Ooo ya, aku hampir-hampir lupa. Surat
1 cinta itu, ya" Ingin tahu jawabannya, ya?" jawab Ten Kate
dengan nada mengejek dan meremehkan.
Kepala Bengkel SS Tasikmalaya itu bangkit dari kursinya yang
besar dan lebar. Berdiri, bertolak pinggang, dan tersenyum.
Senyumnya saja sudah dapat membangkitkan kejengkelan. Tipe
Belanda kolonialis yang angkuh dan merasa dirinya super.
Melihat penampilannya yang congkak dan wajahnya yang jauh
dari simpatik itu, darahku rasa-rasanya sudah mulai mendidih.
"Sabar, sabar," ku-tegur diriku sendiri, "ingat nasihat Bob
Muisch, temanmu yang jujur itu."
Dengan suara lantang Ten Kate membentak, "Inlanders!
Onbeschoft (kurang ajar)! Minta disamakan dengan orang
Belanda, hah! Sudah tidak waras otak kalian, ya..."
Kupotong kata-katanya, "Tuan kira Belanda selalu superior"
Boleh diadu keterampilan kami ini dengan Belanda mana pun
yang setingkat. Bule pun jadilah."
Yang kalap dan tidak mampu mengendalikan dirinya
malahan Tuan Ten Kate sendiri. Bentaknya, "Inlander kotor tidak
tahu adat. Keluar, ke-luaaar!"
Ten Kate meraih tongkat antiknya yang terletak di atas meja,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan sebelum tongkat itu jatuh di
atas pundak Munir... secara refleks kurebut tongkat itu, dan
antara sadar dan tidak sadar kuhantam Ten Kate bertubi-tubi
http://dewi-kzanfo/ 45 2 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tongkat kesayangannya. Kepalanya yang botak
bercucuran darah. Ia berteriak-teriak nyaring dan jatuh roboh di
sisi kursi kerjanya, berlumuran darah.
Aku berdiri tertegun. Saat itu aku baru sadar bahwa aku
telah kehilangan penguasaan diri dan berlaku terlampau jauh.
Terlambat sudah. Orang berdatangan, kami disekap. Orang lain
menelepon kantor polisi. Polisi berdatangan dan kami berlima
ditangkap dan ditahan, diperiksa dan diajukan ke pengadilan.
Munir, Jayus, Sitompul, dan Matulesi dibebaskan, tapi
dipecat dari pekerjaan. Suro Pranoto bin Suro Menggolo
dinyatakan bersalah. Tuduhannya menghasut, membuat onar,
menganiaya Ten Kate sampai cedera untuk seumur hidupnya,
dan entah apa lagi. Aku dibela oleh Meester Sumarman, namun
ahli hukum yang baik hati itu tidak dapat berbuat apa-apa. Aku
memang merasa bersalah, apalagi setelah aku mendengar
bahwa Ten Kate cedera untuk selama-lamanya. Kuakui saja
semua tuduhan. Meester Sumarman hanya bisa geleng-geleng
kepala. Ia bertanya kepadaku, "Mas Pranoto, mengapa kau tidak
membantuku untuk dapat meringankan hukumanmu?"
Jawabku tegas, "Dihukum mati pun aku bersedia
menjalaninya. Aku memang bersalah."
Berdasarkan Gouvernements Besluit No. Gb/K5C/1923, Suro
3 Pranoto bin Suro Menggolo dihukum kurungan di Tanah Merah,
Boven Digoel, Nieuw Guinea... untuk masa 20 tahun. Aku tidak
merataptangisi hukumanku yang 20 tahun itu, tapi menyesal
begitu dalam, bahwa aku telah mencelakakan dan membuat
cedera orang sampai dia lumpuh dan kehilangan ingatan untuk
selama-lamanya. Itulah yang kurasakan sebagai beban yang
amat berat. Aku tidak mempersoalkan apakah hukuman i tu adil
atau tidak, apakah hukuman itu dikait-kaitkan dengan masalah
http://dewi-kzanfo/ 46 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
politik atau tidak. Bagiku hanya sekelumit kegembiraan yang
tinggal, Hartini sudah mengandung. Seandainya aku mati jauh di
pembuangan sana, anakku yang akan meneruskan kehidupanku,
akan tetapi begitu sadar diri bahwa aku mewariskan noda
kepada anak yang akan lahir itu nanti, aku menangis sejadi-
jadinya. Rasa-rasanya aku mau bunuh diri saja, tapi kemudian
aku juga sadar, kalau aku sampai bunuh diri, aku akan
menambah-nambahi beban noda kepada anakku yang kini
masih dalam kandungan itu.
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) http://dewi-kzanfo/ 4 47 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
TANAH MERAH - BOVEN DIGOEL
GUBERMEN masih bermurah hati. Keluarga diperbolehkan
melepas keberangkatanku menuju Tanah Merah di dermaga
pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hartini yang lincah manja
ternyata adalah juga seorang wanita yang cukup tabah
menghadapi musibah berantai yang teramat berat itu. Yah,
belum ada setahun semenjak ia kehilangan kedua orangtuanya,
kini ia sudah harus kehilangan suaminya.
Aku masih berkesempatan untuk berbicara dengan Mas
Dibyo. Kupesankan kepadanya, "Mas Dib, anggaplah aku ini
orang yang sudah hilang saja. Untuk selanjutnya Hartini bebas
menentukan nasibnya. Aku bukan orang buangan politik yang
terhormat di mata orang. Aku hanya seorang ran-taian. Orang
hukuman biasa, Mas. Hartini masih muda. Ia masih bisa
menempuh hidup baru yang lebih baik. Nanti pada waktunya
yang tepat, katakanlah kepadanya bahwa aku telah meninggal
dalam pembuangan. Janjilah kepadaku, Mas."
Mas Dib yang tabah tawakal itu menangis sambil memelukku
erat-erat. Bisiknya di dekat telingaku, "Dik Pranoto, aku
mengerti dan memahaminya. Aku berjanji akan melaksanakan
pesanmu itu." 5 Di tangga kapal, dikawal oleh seorang agen polisi, Hartini
sempat bertanya kepadaku, "Mas, berikanlah nama kepada
jabang bayi yang bakal lahir."
Akulah malahan yang tak mampu menahan derasnya aliran
air mata. Hartini kudekap kuat-kuat dan kubisikkan di
telinganya, "Kalau lahir lelaki, berilah kepadanya nama Suro
Harnoto dan kalau perempuan, Hartini Pratiwi."
http://dewi-kzanfo/ 48 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nama-nama itu sudah terpatri dalam benak semenjak aku
dipenjarakan di Penjara Banceuy, Bandung. Aku tahu bahwa
Hartini pasti akan meminta nama kepadaku bagi bayi
keturunanku itu. Celetuk Hartini, "Mas Pran ada pesan apa?"
Aku tahu, Hartini mengharapkan bahwa aku akan meminta
kesetiaannya sampai aku pulang kembali ke Tanah Jawa. Aku
bukan orang yang bisa berlaku romantis dan idealistis lagi.
Aku hanya mampu berkata, "Jagalah dirimu baik-baik, Tin,
agar jabang bayi kelak bisa lahir dengan selamat. Dialah milik
kita bersama. Itu saja."
Mas Sudibyo dengan air mata berlinang linang menyaksikan
perpisahanku dengan Hartini. Agen polisi yang berkewajiban
mengawalku, menggandengku menaiki tangga kapal Johan van
6 Olden Barneveldt yang akan membawaku ke tempat tujuan.
Dengan kedua belah tangan diborgol rantai besi besar dan
panjang, aku menaiki jembatan tangga kapal, anak tangga demi
anak tangga, tanpa menoleh. Dengan jelas aku masih
mendengar suara teriakan seorang wanita, "Mas Praaan!" Itu
saja. Aku dapat memastikan bahwa Hartini jatuh pingsan, tapi
aku tetap tidak menoleh walaupun aku mendengar teriakan
yang menyayat-nyayat hati itu. Aku bukan siapa-siapa lagi,
bukan Suro Pranoto, bukan Suro Buldog. Entah siapa aku ini,
entah. Ya, aku juga bukan suami Hartini lagi.
Tiba di Makassar, aku dititipkan di penjara Makassar,
menunggu keberangkatan kapal lain yang akan membawaku ke
Ambon. Aku sudah tidak peduli lagi akan dibawa ke mana, ke
neraka pun jadilah. Masih saja terbayang-bayang di hadapanku
wajah Ten Kate yang mendelik-delik berlumuran darah,
berteriak nyaring, dan jatuh lenyap di seberang meja.
Pandangan wajah itu yang selalu mengikutiku, ke mana pun aku
http://dewi-kzanfo/ 49 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pergi. Sampai ke dalam mimpi pun wajah itu membuntutiku.
Setiap kali wajah itu muncul aku keras-keras berteriak, "Allahu
Akbar, Allahu Akbar!" Agen polisi yang mengawalku mengira
7 aku ini sudah menjadi gila.
Agen polisi lain mengawalku sampai di Ambon. Ganti kapal
yang lebih kecil dan seorang kopral Tentara KNIL mengawal
diriku sampai Tual di Kepulauan Kai. Dipindahkan lagi ke kapal
yang lebih kecil, lazimnya disebut Kapal Putih, kapal milik
pemerintah. Seorang kopral KNIL lain yang mengawalku. Entah
berapa hari lamanya Kapal Putih itu menelusuri Sungai Digoel,
aku tidak tahu. Pergantian siang dan malam sudah tidak penting
lagi bagiku. Akhirnya, ya akhirnya... sampailah aku di tempat tujuan,
Tanah Merah, Boven Digoel. Sepanjang pelayaran menelusuri
Sungai Digoel, bila malam tiba, rantai borgolku dikaitkan pada
salah sebuah tiang di geladak kapal. Perjalanan itu sungguh
mengesankan, seandainya aku bukan orang rantaian. Hutan
belantara di kanan-kiri sungai, kadang-kadang sekelompok
buaya dengan tiba-tiba saja menceburkan diri ke dalam air
sungai. Pagi hari tampak burung-burung paradisa (burung
cendrawasih), beterbangan dari ranting ke ranting. Begitu
lincahnya, warna-warni bulu-bulunya. Burung-burung kroonduif
(merpati mahkota), nuri, kakaktua... yah, batinku gelap, aku tak
mampu melihat segala keindahan itu. Pagi-pagi buta sebelum
aku dimasukkan kembali ke dalam palka aku masih mampu
melihat orang-orang Papua berdiri di tepi sungai, melambai-
lambai begitu kapal lewat. Bangsaku penghuni-penghuni tepian
sungai. 8 Kapal merapat pada dermaga kayu di tepi Sungai Digoel
Hulu. Penumpang-penumpang dengan tujuan Tanah Merah
turun. Tiga serdadu berse-ragam biru-biru tanpa tanda pangkat,
http://dewi-kzanfo/ 50 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang kopral KNIL yang mengawalku sejak dari Tual, dan
seorang Cina yang membawa tumpukan barang dagangannya...
dan yang turun terakhir sepasang suami-istri... dengan dua
orang anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanan hanya
sekali saja aku melihat mereka itu. Pikirku saat itu, "Untuk apa
mereka kemari" Apakah mereka orang buangan politik?"
Sudah menunggu di dermaga kayu itu, seorang Belanda
totok anggota Tentara KNIL berseragam hijau, berpangkat
sersan mayor, didampingi oleh seorang kopral. Kopral pengawal
asal Tual itu melapor kepada si sersan mayor dan kemudian
menyerahkan diriku kepada kopral setempat. Sersan mayor
yang tinggi besar itu menyambut kedatangan suami-istri tadi
dengan kata-kata, "Welkom, welkom (Selamat datang, selamat
datang), Wedana. Kantor dan rumah kediaman Wedana sudah
kusiapkan. Tentu tidak sebaik seperti di Banten sana, tapi sudah
kuusahakan sebisa-bisaku. Mudah-mudahan Wedana akan
merasa kerasan di tempat ini. Mari, mari, Tuan Wedana.
9 Barang-barang ditinggal di sini saja, anak buahku yang akan
mengurus." Melihat ke arah dua anak kecil lelaki dan perempuan, sersan
mayor itu kelihatan iba kepada mereka. Ia geleng-geleng kepala.
Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah apa yang sedang dipikirkan dan dirasakannya melihat
anak-anak kecil itu. Kepada seorang pengawal yang juga
berseragam biru-biru tanpa tanda pangkat, ia memerintahkan
dalam bahasa Melayu pasar campur aduk, "Dardanel, antar
Tuan Wedana, ya. Aku masih ada urusan."
Wedana, istrinya, dan kedua anak kecil berangkat mengikuti
pengawal sersan mayor yang panggilannya Dardanel itu. Pikirku,
"Dardanel" Aneh! Biasanya pengawal pribadi seorang kapten."
http://dewi-kzanfo/ 51 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kepada kopral pendampingnya, Belanda totok itu
memerintahkan, "Kopral, rantaian itu langsung masuk Hotel
Holandia." Jawab kopral itu menyeringai, "Siap, Mayor, langsung masuk
Hotel Holandia." Sersan mayor itu lalu bercakap-cakap dengan awak kapal.
Kopral yang mengantarku dari Tual dan sepanjang perjalanan
hanya menegurku kalau dianggapnya perlu saja, berkata
10 kepadaku dalam bahasa Melayu pasar, "Aku pulang ke Tual.
Selamat tinggal. Entah siapa kau itu, jagalah dirimu. Kalau kau
ada kesempatan dan kemampuan, jaga baik-baik dua anak kecil
itu." Ia naik ke kapal kembali dan menghilang.
Aku masih sempat melihat sersan mayor itu bercanda
dengan si Cina pedagang. Ia membisikkan sesuatu di telinga Cina
itu. Si Cina tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan gigi-
giginya yang dilapis emas semuanya. Kata Cina itu dalam bahasa
Belanda bengkok-bengkok, "Hok Gi bawa tembakau untuk Tuan
Besar dan bir satu krat. Gratis, gratis, Tuan Besar."
Sersan Mayor menepuk-nepuk punggung Cina itu dan
berkata, "Bagus, bagus! Tapi satu kali lagi kau ketahuan
menangkapi burung-burung paradisa hidup-hidup dan kaubawa
pergi, kau akan kulempar ke sungai. Biar dimakan buaya."
Sambil membungkuk-bungkuk Cina itu menjawab, "Tidak
lagi, Tuan Besar. Tidak lagi."
Sersan Mayor pergi menyusul suami-istri yang sudah
berangkat lebih dulu. Kini tinggal aku dan sang kopral yang tampangnya
menjijikkan itu. Ia mengamati diriku dari ubun-ubun sampai
kaki. Tertawa terbahak-bahak lalu berkala, "He, bajingan! Mulai
http://dewi-kzanfo/ 52 11 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saat ini namamu Kodok, lapi aku yakin, sebentar lagi kau bukan
kodok lagi, tapi anak kodok, precil. Ayo, ikut aku!"
Sang kopral itu menyalami awak kapal, memberi hormat
kepada kapten Kapal Putih dan pergi meninggalkan dermaga.
Aku membuntutinya. Lewat jalan setapak di tengah hutan
belantara aku merasa diriku begitu kecil. Pikirku, "Dua puluh
tahun di tempat seperti ini" Apa aku bakal mampu bertahan?"
Benar-benar di sudut dunia. Aku melihat ke kanan dan ke kiri.
Kopral itu membentak, "He, Kodok, hutan itu milikku. Kau
tidak berhak melihatnya. Sersan Mayor kehilangan uang
segobang di jalan ini. Ayo, amati sampai ketemu."
Aku menundukkan kepala seperti orang mencari sesuatu.
Pikirku, "Punya humor juga bangsat-bangsat di tempat ini."
Di kejauhan terdengar suara mesin kapal. Rupa-rupanya
Kapal Putih berangkat berlayar kembali ke Tual.
Aneka bau-bauan menyengat indera penciumanku. Yah,
mungkin berasal dari bunga-bungaan, daun-daunan, cendawan,
dan entah apa lagi. Jalan setapak itu turun-naik, walaupun tidak
terlalu sempit, tapi tampak jelas bahwa jalan itu jarang dilalui
orang. Pikirku, "Apa yang bakal kutemui di seberang jalan
setapak itu" Tidak masuk di akalku bahwa di tengah rimba raya
semacam itu ada penjaranya. Sepanjang hidup aku belum
pernah mendengar ada penjara di Tanah Merah, Boven Digoel.
Nusakambangan cukup diketahui orang, tapi Tanah Merah?"
12 Terkejut aku mendengar bentakan Tuan Kopral, "Hee,
Kodok, hampir sampai, lihat!"
Aku melihat lurus ke muka dan beberapa ratus meter di
hadapanku, aku melihat pagar kayu gelondongan berkeliling
yang tinggi dengan pos-pos penjagaan pada sudut-sudutnya.
http://dewi-kzanfo/ 53 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kosong tidak ada pengawalnya. Letak bangunan itu di atas
ketinggian yang sudah gundul. Di Jawa bentuk bangunan
penjara tidak asing bagiku, tapi belum pernah kutemui
bangunan penjara seperti itu. Itu bukan penjara, tapi barangkali
saja tangsi tentara. Akhirnya kami tiba di depan pintu gerbang bangunan yang
terbuat dari besi. Di samping pintu besi yang cukup lebar itu ada
pos jaga. Begitu pengawal pos melihat sang Kopral, ia keluar
dari lindungan, menghormat, dan berteriak, "Aman!"
Bentak sang Kopral, "Buka pintu!"
Penjaga itu membunyikan lonceng tiga kali dan perlahan-
lahan pintu besi yang beroda itu menggeser, sebagian ke kiri,
yang lain ke kanan. Dua orang serdadu berseragam biru berdiri
di tepi pintu. Rupa-rupanya merekalah yang membuka pintu itu.
Kepada seorang serdadu, Kopral memerintahkan, "Luwak, bawa
13 masuk Kodok ini ke Hotel Holandia."
Kemudian ganti Luwak yang membentak, "Kodok, ayo ikut!"
Kuikuti serdadu yang dipanggil Luwak itu. Dalam hati aku
angkat topi kepada entah siapa yang memberikan nama-nama
panggilan kepada penghuni-penghuni Tanah Merah ini. Si Luwak
pun pantas untuk menyandang nama itu. Di Jawa aku
memperoleh nama kehormatan "Buldog", tapi kalau aku di
sudut dunia ini ganti nama panggilan "Kodok", tidak salah juga.
Aku tak perlu berjalan jauh. Kami berhenti di samping papan
lebar dan panjang yang juga terbuat dari besi, rata-rata air
dengan tanah, agak tinggi sedikit. Saat itu aku belum tahu untuk
apa tempat itu. Mungkin tempat penyimpanan peluru.
Mengamati sekelilingku, barulah aku tahu bahwa bangunan
itu memang bukanlah bangunan penjara, tapi sebuah tangsi
http://dewi-kzanfo/ 54 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentara. Tidak seperti bekas benteng-benteng VOC yang tebal-
tebal dan kokoh kuat tembok-tembok kelilingnya. Yah, yang
dihadapi penegak-penegak kolonialisme di tempat ini adalah
suku-suku Papua yang hanya bersenjatakan tombak-tombak dan
anak-anak panah dari gelagah.
Serdadu itu memerintahkan, "Buka pakaian!" Saat itu aku
14 ragu. Untuk apa harus buka pakaian" Apa aku harus
bertelanjang" Aku tetap berdiri mematung di tempat. Serdadu
itu membentak lagi, "Buka pakaian!" Aku tetap tidak
menghiraukan perintahnya, tapi aku sudah berketetapan hati
kalau serdadu itu berani menjamah tubuhku, apa boleh buat.
Benar saja, serdadu itu menampar pipiku. Hilang
pengendalian diriku dan langsung saja kubalas. Tidak hanya
sekadar menampar, tapi kutinju wajah serdadu yang bernama
Luwak itu. Ia roboh. Terdengar bunyi lonceng seperti bunyi
lonceng kendaraan pemadam kebakaran saja. Beberapa
serdadu muncul hendak menangkap diriku. Aku melawan dan
dua orang serdadu yang lain ikut roboh menggeletak di samping
si Luwak. Akhirnya muncul sang Kopral mengacungkan pistolnya
di hadapanku. Serdadu-serdadu lain menyekap diriku dari belakang. Aku
sudah tak berdaya lagi. Langsung sang Kopral itu menghajarku.
Aku ditelanjangi, pintu atap besi dibuka, dan aku dilemparkan
ke dalam. Untung kaki-kakiku tidak cedera, hanya kepalaku yang
membentur lantai. Ternyata tempat itu adalah tempat tahanan
di bawah tanah. Pintu atap ditutup kembali dan gelap gulitalah
keadaan sekelilingku. Pikirku, "Inilah yang dimaksud dengan
Hotel Holandia." Apakah aku akan disekap dalam penjara
semacam ini selama dua puluh tahun" Walaupun kaki-kakiku
http://dewi-kzanfo/ 15 55 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih terasa sakit, aku mencoba menyelidiki ruangan gelap itu.
Berjalan tertatih-tatih aku menelusuri dan meraba-raba dinding
yang terbuat dari beton. Aku mencoba meraih-raih atap besi di
atas kepala. Tangan-tanganku tidak mampu mencapainya. Aku
mencoba loncat, juga tanpa hasil. Konklusiku, sel di bawah
tanah itu cukup dalam, memanjang sekitar empat meter dan
lebarnya sekitar tiga meter. Mula-mula aku kurang paham
mengapa aku ini ditelanjangi. Baru malam harinya aku tahu
bahwa aku dijadikan umpan nyamuk yang ribuan jumlahnya.
Berulang-ulang sudah tangan-tanganku kukibas-kibaskan di
depan hidung dengan harapan aku masih akan mampu
melihatnya. Namun hanya embusan-embusan lemah udara yang
dibelah oleh tangan-tanganku saja yang kurasakan. Kugosok-
gosokkan punggung tangan pada kedua mata. Hasilnya sama
saja. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhku. Pikirku,
"Aku menjadi buta. Ya, buta... Ah, tidak mungkin! Berapa kali
sudah mataku pernah dijotosi orang. Aku tidak pernah menjadi
Sukma Pedang 8 12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Kisah Pedang Di Sungai Es 3