Pencarian

Suro Buldog 2

Suro Buldog Karya Pandir Kelana Bagian 2


buta karenanya. Kopral bangsat, bajingan, asu.... Ah bukan
mataku yang salah. Ruangan laknat ini yang terlalu gelap untuk
mata manusia. Entah kalau mata kucing atau harimau. Sejarum
gelombang sinar pun tak bisa menembus ke dalam."
16 Gema suara seperti kumbang terbang memadati ruangan.
Bunyi ribuan sayap nyamuk berbagai jenis yang beterbangan
berputar-putar mengitari kepalaku yang baru terbentur lantai
itu. Berpesta pora menyedoti darah tubuhku yang telanjang
bulat. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh dentuman keras. Aku belum
tahu sumber bunyi dentuman itu. Barangkali saja benturan
benda-benda keras pada atap besi di atas kepalaku. Aku hanya
mengumpat-umpat saja. Terbayang-bayang di hadapanku
Kopral yang berbadan kurus, tinggi, wajah monyong seperti
http://dewi-kzanfo/ 56 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
celurut, dan menyandang nama Belanda, Kees Van Dorp. Ya,
Belanda jengkol dia, tapi sikap kebelanda-belandaannya bukan
main, padahal bahasa Belandanya lebih bengkok daripada sinyo
Depok. Makan roti pun lauknya sambal terasi barangkali. Si
Kopral Celurut! Waktu itu aku memang hanya bisa mengenang masa lampau
saja, tidak peduli menyenangkan atau tidak. Aku sudah tidak
berharap lagi untuk dapat kembali ke Pulau Jawa. Dua puluh
tahun hu-kumanku. Pikirku, "Yah, cepat atau lambat, aku bakal
bunuh diri kalau disekap dalam kegelapan semacam ini,
17 menggigil-gigil kedinginan di malam hari, dan bertelanjang
kepanasan di siang hari silih berganti. Hotel Holandia jahanam."
Duduk bersandar pada dinding beton lembap, aku
memanjatkan doa ke hadirat Yang Maha Pengampun, "Ya Allah,
ya Tuhanku. Ampunilah hambaMu yang penuh dosa ini. Ampun,
ampun, ya Allah." Batinku yang semula bergejolak penuh rasa dendam pada
Kopral Belanda jengkol itu lambat-laun mereda dan berubah
menjadi tenang pasrah. Lingkungan gelap gulita tak kuhiraukan
lagi. Aku dibangunkan dari lamunanku, begitu cahaya matahari
tertumpah ruah lewat pintu sel bawah tanah itu. Tangga
diturunkan dan sang Kopral sendiri yang menjemputku.
Terdengar suaranya keras-keras, "Kodok, keluar!"
Aku merangkak menuju kaki anak tangga. Baju seragam
hitam dilemparkan ke dalam, seragam rantaian. Kukenakan
pakaian itu dan aku menaiki tangga. Tangan-tangan diulurkan
membantu diriku keluar lewat pintu di atap sel bawah tanah itu.
http://dewi-kzanfo/ 57 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kopral yang namanya Kees Van Dorp menyeringai dan
berkata, "Nah, kau sudah berkenalan dengan Hotel Holandia.
18 Mayor Van der Wal ingin bicara denganmu, Kodok. Kau
melawan petugas. Entah hukuman apa lagi yang akan
ditimpakan padamu oleh Mayor Van der Wal.... Cepat mandi!"
Seorang tahanan mengajakku ke sumur dan aku disuruhnya
mandi. Setelah mandi, Kopral Van Dorp mengantarku ke ruang
kerja Sersan Mayor Van der Wal. Kata Van der Wal, "Corporaal
(kopral), tunggu di luar."
Kepadaku Van der Wal berkata, "Meneer Suro Pranoto,
silakan duduk." Atas ajakan itu aku lalu menempati kursi di
hadapan meja kerjanya. Katanya kemudian, "Tuan Pranoto, saat
ini adalah detik-detik terakhir aku memanggilmu dengan kata-
kata Tuan. Dosir pembuanganmu kemari sudah kupelajari.
Bersikaplah sopan. Siapa tahu, kalau tingkah lakumu baik, kau
bisa dipindahkan ke penjara lain. Entah Ternate, Ambon, atau
Makas-sar. Kuperingatkan, Meneer Pranoto, jangan suka
melawan petugas. Kesempatan yang ada untuk dapat
dipindahkan ke penjara lain akan semakin kecil. Ingatlah! Kali ini
kau masih kuampuni. Tidak masuk Hotel Holandia lagi. Awas
kau! ...Kopraal!" Van Dorp muncul, memberi hormat, dan berkata, "Siap,
Mayor." "Bawa keluar penjahat busuk ini. Serahkan kepada Jajuli biar
belajar mematuhi aturan tangsi," ucap Van der Wal.
"Siap, Mayor," jawab Van Dorp dan menggiringku ke luar
ruang kerja Van der Wal. Tiba di halaman tangsi-penjara itu,
19 langsung saja Van Dorp menyepak pantatku sekuat-kuatnya.
Aku jatuh. Bentaknya, "Ayo jalan! ...Wirooog!"
http://dewi-kzanfo/ 58 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang tahanan datang berlari-lari. Tiba di hadapan Kopral
tahanan yang namanya Wirog itu berkata, "Ada apa, Tuan
Kopral?" "Bawa Kodok ini, ajari aturan sopan santun surga.
Mengerti!" "Baik, Tuan," jawab Wirog. "Kodok, mari ikut.
"Dapat ganjaran berapa tahun, Kodok?" Wirog bertanya.
Jawabku hampa, "Dua puluh tahun. Kau berapa?"
"Terpaut tiga tahun. Aku tujuh belas tahun, tapi apa
bedanya. Kalau bisa tahan lima tahun saja di sini, itu sudah
baik." Bahasa yang digunakan orang-orang di tangsi adalah Melayu
pasar. Wirog membawaku berkeliling. Ada los besar dan luas, itu
asrama serdadu-serdadu tanpa pangkat. Los kedua, ruang tidur
tahanan yang jumlahnya sekitar tiga puluhan. Dapur untuk
serdadu terpisah dari dapur untuk tahanan. Ruang kerja
Komandan, Sersan Mayor Van der Wal, yang sehari-harinya
panggilannya Mayor. Tahanan-tahanan memanggilnya dengan
20 sebutan Tuan Besar Mayor. Kopral yang sombong itu
panggilannya hanya Tuan saja. Aku diperkenalkan kepada
seorang tahanan bernama Cicak yang tugasnya memasak bagi
tahanan-tahanan. Memang tahanan itu pantas menyandang
nama Cicak. Kecil dan tingkah lakunya seperti seorang
perempuan, apalagi kalau dia sedang berjalan, lenggak-lenggok
seperti Cicak. Pembantunya diberi nama Kadal. Lebih besar
daripada Cicak, laki-laki tapi tingkah lakunya juga seperti
perempuan saja. Pikirku, "Apa kesalahan mereka?" Kutanyakan
kepada Wirog, "Di mana serdadu-serdadu dan tahanan-tahanan
lainnya?" http://dewi-kzanfo/ 59 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Serdadu-serdadu sedang latihan dan tahanan-tahanan
sedang kerja luar. Aku sendiri hari ini kena giliran jaga sambree,
ruang tidur tahanan," jawabnya.
"Apa yang harus dikerjakan tahanan, Wirog?" aku bertanya.
Jawabnya, "Begini, Kodok. Di tempat ini nama kita yang
sebenarnya dihapus, lalu mendapat nama panggilan baru.
Tahanan, nama hewan-hewan yang kecil-kecil. Wirog, Gangsir,
Kodok, Cicak, Kadal, dan lain sebagainya..."
Kupotong pembicaraannya. "Siapa yang mengarang nama-
21 nama itu?" tanyaku. "Siapa lagi kalau bukan Kopral Celurut bangsat itu,"
jawabnya. "Apa serdadu-serdadu itu juga diberi nama panggilan yang
aneh-aneh?" "Tidak! Hanya beberapa orang saja yang menyandang nama
panggilan. Si Dardanel, pengawal pribadi Van der Wal, Macan
panggilannya, jago tembak dia, dan juga jago main kelewang.
Memang pantas untuk dijadikan dardanel. Orangnya seperti
orang bisu saja. Jarang orang melihat dia bicara-bicara."
"Serdadu-serdadunya di sini tidak seperti serdadu KNIL
biasa. Pakaian seragamnya biru-biru, tidak hijau, dan tidak ada
yang memakai tanda pangkat. Bagaimana itu?" tanyaku lagi.
"Mereka itu bukan serdadu biasa. Disebut Hare Majesteits
Ongeregelde Troepen, Pasukan Non reguler Sang Ratu. Ya
seperti barisan begitulah," jawab Wirog.
Aku dikejutkan oleh ucapan bahasa Belandanya yang
lengkap dan tidak bengkok-bengkok. Cepat aku bertanya,
http://dewi-kzanfo/ 60 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Meneer Wirog, sebelum kau masuk penjara di tangsi ini, jadi
apa kau itu?" 22 Jawabnya juga mengejutkan, "Dok, jangan kau di sini tanya-
tanya soal itu. Itu barang terlarang. Aku juga tidak tanya
padamu, siapa kau dan kenapa kau dihukum dua puluh tahun di
sini. Sudahlah, kita bukan siapa-siapa lagi. Kau Kodok, aku
Wirog. Titik! Mari kita pergi melihat-lihat keadaan di luar sana."
Kuikuti saja ke mana pun Wirog pergi.
Lewat gardu penjagaan, Wirog memberi hormat kepada
penjaga dengan jalan membungkuk. Aku menirukannya.
Letak benteng-tangsi agak tinggi dibanding dengan padang
alang-alang di sekitarnya yang cukup luas. Aku melihat kawan-
kawan tahanan sedang bekerja mencangkul-cangkul di tepi
hutan, sedangkan di tempat lain aku melihat Sersan Mayor Van
der Wal sedang melatih serdadu-serdadunya. Kutanyakan
kepada Wirog, "Rog, ada berapa serdadu di tempat ini?"
"Satu seksi, 32 serdadu HMOT, seorang kopral KNIL, dan
komandannya yang berpangkat sersan mayor. Kabarnya akan
ditempatkan seorang kepala distrik di Tanah Merah ini yang
berpangkat wedana. Itu rumah dan kantornya yang baru,
berdekatan dengan rumah Van der Wal. Buru-buru dibangun
dan disiapkap. Katanya, dia sudah tiba di sini kemarin dan
membawa istri dan anak-anaknya. Aku kurang mengerti, mau-
maunya ditempatkan di Distrik Tanah Merah ini, dan lagi
keluarganya dibawa."
Tanggapanku, "Aku satu kapal dengan wedana itu. Orang
dari Jawa tampaknya dan memang wedana pangkatnya.
23 Anaknya dua, lelaki dan perempuan. Waduh, masih kecil-kecil,
kasihan. Di sini cukup aman, Rog?"
http://dewi-kzanfo/ 61 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aman, aman, ya aman sih aman, tapi, yaaa siapa tahu"
Suku-suku di sekitar Tanah Merah ini memang sudah dapat
dijinakkan Van der Wal, tapi yang berkuasa di kawasan ini
sebenarnya seorang pastor, Van den Broecke namanya. Karena
sudah memenuhi syarat untuk dibentuk distrik, diangkatlah
seorang kepala distrik. Di sini bukan wedana namanya. Katanya,
kepala-kepala distrik itu kebanyakan orang-orang dari Maluku.
Yang di Tanah Merah ini dari Jawa. Aneh!"
"Ah, siapa tahu dia pegawai buangan seperti kita-kita ini.
Oya, kerja apa di tempat pembuangan ini, Rog?" kutanyakan.
Jawab Wirog, "Yaaa, kerja apa saja. Kawan-kawan sekarang
ini sedang membuat ladang untuk ditanami bibit patatas, ketela
rambat. Beberapa kali sudah dicoba, gagal. Bukannya tanaman
tidak mau tumbuh, sama sekali tidak. Habis semua, dimakan
babi hutan. Kali ini mau dibuatkan pagar dolok kayu yang kuat.
Semua itu sebenarnya hanya pekerjaan tambahan saja. Kita ini
di sini diperlakukan sebagai kuda beban, kuli angkut. Kalau
serdadu-serdadu itu berpatroli mendatangi suku-suku Papua,
24 kita yang dijadikan kuda beban."
"Rog, tugasmu sendiri apa di sini?" aku bertanya.
Wirog tersenyum dan menjawab, "Akulah yang mengurusi
administrasi tahanan-tahanan di sini. Kalau Van der Wal punya
Dardanel yang merangkap sebagai pembantu administrasi
urusan serdadu, dia punya pembantu yang mengurusi
administrasi tahanan. Ya aku ini orangnya. Jauh hari aku sudah
tahu bahwa kau akan memperkuat barisan orang buangan di
sini dan tahu kau itu siapa. Selain Van der Wal, hanya aku yang
dipercaya untuk mengurusi administrasi tahanan. Kopral Van
Dorp juga tidak tahu siapa-siapa kita ini dan mengapa sampai di
sini." http://dewi-kzanfo/ 62 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rog, kepala distrik itu kan harus punya pegawai juga. Siapa
yang akan membantunya?"
"Entahlah! Siapa tahu, kau nanti pembantunya. Mungkin
akan didatangkan belakangan."
"Rog, bagaimana pendapatmu tentang Kopral Celurut itu?"
"Yah... yah... semua tahanan tidak ada yang senang dengan
kopral itu. Lihat saja nanti, kau sudah merasakannya sendiri."
Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa hari itu aku
25 diperlakukan sebagai seorang peninjau saja. Kutanyakan kepada
Wirog, "Rog, kenapa aku tidak disuruh kerja seperti yang lain,
padahal begitu aku tiba, langsung dimasukkan Hotel?"
"Yah, barangkali saja akan dijadikan tradisi di tempat ini.
Pendatang baru harus mencicipi enaknya tidur di Hotel Holandia
itu. Kau orang pertama yang diperlakukan seperti itu oleh Van
der Wal. Entahlah! Mengapa kau diserahkan kepadaku" Itu juga
suatu kebiasaan. Tahanan baru aku yang membimbingnya.
Nasihatku, Kodok, jangan kau melawan kopral bangsat itu. Tidak
ada gunanya, toh kita akan kalah."
Jawabku, "Melihat moncongnya yang seperti celurut bau
busuk itu saja, aku sudah kepingin menyobek-nyobeknya. Aku
belum bisa melupakan tindakannya. Dia begitu saja
melemparkan diriku masuk sel bawah tanah itu. Untung aku
tidak cedera, padahal kalau tak salah hampir tiga meter
dalamnya. Tidak itu saja, lihat mukaku, masih bengkak-bengkak
dibuatnya. Awas!" Lewat rumah yang sekaligus kantor kepala distrik itu, aku
melihat dua anak kecil lari-lari berkejar-kejaran. Aku berhenti
sejenak, mengamati anak-anak kepala distrik yang baru
bertugas itu. Tampaknya mereka tidak merasa bahwa mereka
http://dewi-kzanfo/ 63 26

Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berada di sudut dunia. Dua rumah berdampingan, rumah Van
der Wal sebagai komandan militer setempat, Plaatselijk Militair
Commandant, dan rumah kepala distrik, Binnenlands Bestuur,
Pangreh Praja. Di depan rumah Van der Wal ada pos
penjagaannya. Kutanyakan kepada Wirog, "Rog, kalau malam
hari ada gangguan dari penduduk setempat bagaimana?"
"Kan ada penjagaannya. Kalau ada apa-apa, langsung
serdadu-serdadu digerakkan dari tangsi, dan dalam keadaan
darurat, ada tempat sembunyi di bawah tanah. Kawasan ini
cukup aman. Penduduk setempat sudah mau kerja sama, dalam
arti tidak akan melawan kehadiran kita di tempat ini."
Sekitar jam satu siang, aku resmi menjadi penghuni barak
tahanan. Sebagai pendatang baru aku mendapat tempat tidur
paling ujung, dekat jendela. Tempat tidur itu terbuat dari papan-
papan kayu. Di sampingku, bale-bale Haji Kuskus yang bermata
sayu. Aku diperkenalkan kepada teman-teman senasib oleh
Wirog. Nama-nama tahanan itu aneh-aneh. Gangsir, Trenggiling,
Beruk, Cacing, dan lain sebagainya. Tiga puluh satu jumlahnya,
termasuk aku yang nomor ketiga puluh satu.
Terasa adanya rasa kesetiakawanan yang kuat. Hukuman
maksimum yang harus dijalani, dua puluh tahun. Mengapa
mereka berada di tempat pembuangan ini, tidak jelas. Tidak
banyak yang mau bercerita. Baru kemudian aku dapat menggali
rahasia keberadaan mereka di tempat ini. Sebagian besar
27 pernah melakukan pembunuhan seperti aku ini. Haji Kuskus,
asal Banten, membunuh seorang Belanda perkebunan.
Trenggiling, membunuh seorang mantri polisi, dan Wirog, yang
ternyata seorang pelaut itu, membunuh opsir kapal. Tak ada
seorang pun, terkecuali Gangsir, yang memang seorang
penjahat, perampok, pemerkosa, dan pembunuh. Tanah Merah
sebagai tempat pembuangan masih baru, masuk tahun kedua
http://dewi-kzanfo/ 64 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
waktu aku menginjakkan kakiku di tangsi yang sekaligus penjara
itu. Beberapa minggu sudah aku berada di Tanah Merah. Terasa
benar bahwa Kopral Celurut itu tidak menyukaiku. Entah apa
sebabnya. Walaupun terhadap yang lain dia juga sering berlaku
sewenang-wenang, terhadap diriku kelihatan sikapnya serba
disengaja. Aku masih ingat. Lepas kerja, tahanan-tahanan
diperintahkan olehnya berbaris kembali ke tangsi-penjara untuk
makan siang. Di tengah jalan, kopral itu memanggilku.
Bentaknya, "Eee, Kodok. Aku kehilangan uang ringgit. Entah
jatuh di mana. Mungkin di tegalan patatas sana. Tolong carikan,
aku dipanggil Komandan. Jangan sampai tidak ketemu. Kau
orang yang jujur, kalau orang lain yang menemukan, pasti akan
28 dikantonginya sendiri. Pergi sana!"
Aku tahu, itu hanya permainan Tuan Kopral itu sendiri. Aku
pergi ke tempat kerja kembali. Pikirku, siapa tahu ia memang
benar-benar kehilangan uangnya. Kujelajahi kebun patatas itu,
dari ujung ke ujung. Sudah satu jam aku mencarinya, tanpa
hasil, dua jam berikutnya, sama saja. Sang Kopral kelihatan
datang mendekat dan tiba di kebun, ia juga ikut mencari. Baru
sekitar sepuluh menit, ia berkata, "Eee, Kodok. Di mana
kausimpan matamu, heh" Lihat itu!"
Aku datang melihat ke arah tunjukan ujung jarinya. Benar
apa yang dikatakan oleh kopral itu. Terselip di antara tangkai
daun tanaman patatas, sebuah mata uang logam ringgit. Bentak
Kopral, "Tugas selesai. Kembali ke tangsi. Lari!"
Aku mematuhi apa yang dipesankan oleh Wirog, "Tak ada
gunanya membangkang, apalagi melawan. Pasti kalah. Kita
bukan siapa-siapa lagi." Sambil lari itu aku berpikir. Tidak
mungkin, tidak mungkin. Kopral itu baru sepuluh menit
http://dewi-kzanfo/ 65 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencarinya. Aku tiga jam. Bangsat, bangsat! Memang sulit
untuk menemukan uang ringgit itu di antara daun-daun patatas.
Pasti dia sendiri yang baru saja meletakkan uang itu di tempat
29 itu. Bajingan, bangsat! Kejadian yang lain. Kami harus menjadi kuda beban. Masing-
masing tahanan harus menjunjung karung berisi apa saja yang
diperlukan untuk berpatroli beberapa hari. Karung-karung itu
sudah ada nomornya. Aku mendapat nomor 13. Semula dalam
perjalanan aku mengira bahwa karung-karung itu memang
berat-berat semua. Ada yang berisi beras, garam, dan lain
sebagainya. Setelah aku mencoba mengangkat karung yang
dijunjung orang lain, ternyata karung itu jauh lebih ringan. Pasti
permainan Van Dorp lagi. Perjalanan memakan waktu empat
hari empat malam dan baru pada tempat pemukiman penduduk
yang terakhir, isi karung yang kujunjung itu dibagi-bagikan
kepada penduduk setempat. Isinya garam dan bibit-bibit patatas
yang akan ditanam penduduk setempat.
Pasti ada unsur kesengajaan Van Dorp. Aku harus bekerja
lebih berat daripada tahanan yang lain.
Hal semacam itu diulang-ulanginya. Kutanyakan kepada
Wirog apa dia tahu tentang masalah karung-karung itu.
Jawabnya, "Betul aku tidak tahu, Dok. Sebelum berangkat
karung-karung itu sudah disiapkan di gudang. Ditimbang semua,
biar adil. Kunci disimpan di kamar jaga pengawal. Entah, lagi-lagi
kau yang kena getah."
Pada suatu malam, kopral itu memeriksa barak sebelum
kami pergi tidur. Seperti biasanya, kami berdiri di depan bale-
bale masing-masing. Kopral berjalan dari ujung ke ujung. Tiba di
30 hadapanku, dengan tiba-tiba saja ia jatuh terbanting, padahal
aku tidak berbuat apa-apa dan juga tidak ada rintangan apa pun
http://dewi-kzanfo/ 66 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di tempat itu. Ia bangkit, mendekatiku sambil mengumpat-
umpat, "Kodok bajingan! Kau menjegal, hah! Kau melawan,
hah... Kau tahu aturannya di sini. Melawan Tuan Kopral....
Masuk Hotel olandia." Kepada serdadu yang mendampinginya
Van Dorp memerintahkan, "Jus! ...Tangkap. Hotel Holandia!"
Saat itu aku mata gelap. Aku merasa tidak bersalah.
Kutampar muka kopral itu. Anehnya, kepalanya bergetar saja
tidak. Dengan tenangnya Van Dorp berkata, "Dua kesalahan
sekaligus. Melawan dan menampar. Artinya, tujuh hari masuk
Hotel." Aku memang paling takut pada Hotel Holandia itu. Bukannya
takut nyamuk-nyamuk, kedinginan di malam hari, atau
kepanasan di siang hari, tapi yang paling kutakuti... kesepian
dalam gelap. Yang kutakuti... diriku sendiri. Dalam keadaan
sunyi dan gelap itu, wajah Ten Kate yang berlumuran darah
selalu menampakkan diri. Aku tahu, itu hanya fatamorgana
belaka, tapi penampakan wajahnya begitu jelasnya seperti aku
melihatnya di siang hari bolong saja. Pikirku, apakah Tuan Kate
31 meninggal sudah" Apakah arwahnya terus membuntutiku dan
menggangguku" Balas dendam" Kupejamkan mataku pun ia
masih saja belum mau menghilang. Baru kalau aku sudah
berteriak-teriak ketakutan, lenyaplah wajah Ten Kate yang
mengerikan itu. Tidak itu saja, tapi juga mimpi buruk yang lain.
Aku seperti melihat Hartini dikejar-kejar Ten Kate yang segar
bugar, untuk kemudian... diperkosanya. Aku sadar, cepat atau
lambat, kalau aku terus-menerus masuk sel Hotel Holandia, aku
akan menjadi gila karenanya. Van Dorp tahu betul bahwa
kelemahanku itu ialah Hotel Holandia. Satu hari satu malam saja
sudah cukup baginya untuk menyiksaku. Bukan tangan-
tangannya yang menyiksaku, tapi batinku sendiri yang
menyiksaku. http://dewi-kzanfo/ 67 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hidup berat dan menjemukan di Tanah Merah itu.
Perbuatan asusila di antara tahanan merupakan! hal yang wajar-
wajar saja. Bahkan Sersan Mayor Van der Wal sendiri
memelihara dua tahanan yang dipekerjakan di dapur, si Cicak
dan si Kadal. Sering dua lelaki yang seperti perempuan itu di-
minta bantu-bantu di rumah Van der Wal.
Tahanan-tahanan lainnya juga mengincar mereka, tapi tidak
32 ada seorang pun yang berani menyentuh mereka. Semua
ditakut-takuti oleh Cicak dan Kadal, "Awas, kalau kalian berani,
kulaporkan pada Tuan Besar."
Yang kukhawatirkan... istri kepala distrik. Kalau suaminya
sedang meninjau daerah kekuasaannya dan pergi mendatangi
pemukiman-pemukiman penduduk, istrinya seorang diri di
rumah. Apa saja bisa terjadi. Satu-satunya perempuan di Tanah
Merah. Bulu kudukku sampai berdiri memikirkan hal itu.
Anehnya, kalau kepala distrik itu pergi, justru Kopral Van Dorp
yang mendapat tugas jaga di rumah jaga di depan rumah Van
der Wal. Tidak pernah Van der Wal dan kepala distrik
melakukan perjalanan bersama-sama. Selalu bergiliran. Aku
selalu teringat akan pesan kopral yang mengantarku dari Tual,
"Kalau ada kemungkinan, titip dua anak kecil itu." Ada
hubungan apa antara dua anak kecil itu dengan si Kopral" Aku
baru tahu setelah aku dipekerjakan di rumah kepala distrik yang
namanya Surialegawa itu. Mereka memang anak-anak yang
cepat mampu merebut hati orang.
Pagi itu, begitu aku memasuki halaman rumah kepala distrik,
dua anak lelaki dan perempuan itu berlari-larian menyongsong
kedatanganku. Dalam bahasa Sunda yang cukup halus, anak
perempuan itu berkata, "Mau kerja di sini, Mang" Mari kuantar
ke belakang rumah. Alang-alangnya tinggi. Kemarin aku lihat
ada ular di sana. Item warnanya. Baik lagi, ularnya. Kata Ayah,
http://dewi-kzanfo/ 33 68 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kalau ada ular jangan didekati, ya. Cukup loncat-loncat saja di
tempat, nanti ular itu akan pergi dengan sendirinya. Betul,
Mang, aku loncat-loncat di tempat. Eee, ular itu mengerti. Dia
perlahan-lahan pergi, Mang. Baik kan ular itu, nggak menggigit,
nurut lagi." Aku digandengnya menuju halaman di belakang rumah.
Tampak alang-alangnya sudah cukup tinggi. Belum sempat
dipangkas. Tuan kepala distrik itu bijaksana. Ular memang tuli,
tapi dia peka terhadap getaran. Kalau anak itu loncat-loncat,
tanah bergetar dan pergilah ular itu. Tapi kalau anak itu tidak
melihatnya dan menginjaknya..." Bulu kudukku berdiri. Adiknya
muncul dan berlari-lari mendekat. Tanya anak lelaki yang baru
berumur tiga tahun itu, "Mang, siapa namanya?"
Jawabku, "Kodok, Den."
"Kodok" Kodok" Lucu, ya. Kodok namanya," anak itu
menanggapi. Ia langsung memegangi tanganku sebelah kiri dan dengan
menggandeng kedua anak itu, aku pergi ke halaman belakang.
Kutanyakan kepadu kedua anak itu, "Den siapa namanya?"
Jawab yang besar yang kira-kira baru berumur lima tahun
itu, "Sita aku, Mang. Aku di sini jangan dikasih nama binatang,
34 ya. Aneh! Ad yang namanya Bunglon, Anjing. Namaku Sita saja."
Jawab adiknya, "Namaku Bagus, ya, Bagus."
"Aku kerja dulu ya, Den. Kubersihkan alang-alang, biar nggak
ada ularnya." Aku mulai babat-babat. Kedua anak itu jongkok mengamati
aku kerja. Terdengar suara seorang perempuan memanggil-
manggil, "Sitaa, Baguuus, di mana kalian?"
http://dewi-kzanfo/ 69 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawab Sita keras-keras, "Di sini, Mam, sama Mang Kodok.
Ngerti bahasa Sunda dia."
"Jangan ngganggu, ya," ibunya meneriakkan.
"Tidak, Mam," jawab Bagus.
Aku terharu mendengar tanya-jawab ibu dan anak-anaknya.
Iba hatiku melihat dua anak kecil yang terpaksa harus mengikuti
orang tuanya hidup di tengah-tengah hutan belantara. Aku
menangis. Sita mendekatiku seraya bertanya, "Mang Kodok kok
nangis" Sita dan Bagus kan tidak nakal."
Aku tak mampu menahan diri. Sita kuangkat tinggi-tinggi.
Jawabku, "Nggak nangis, Den. Kena pasir mataku."
Sekitar jam sebelas siang, halaman belakang yang luas itu
sudah mulai kelihatan gundul. Sita dan Bagus yang sementara
35 itu sudah masuk rumah, muncul kembali. Sita membawa baki
berisi segelas minuman teh dan gorengan patatas. Katanya,
"Mang Kodok kan capek. Minum-minum dulu, Mang." Rupa-
rupanya Sita menirukan kata-kata ibunya. Aku berhenti babat-
babat, duduk bersandar ke dinding papan rumah dan menikmati
hidangan yang dibawa Sita. Saat itu baru aku tahu mengapa
Kopral memesan sesuatu kepadaku. Pasti di kapal dia berteman
dengan dua anak itu. Di kapal kecil yang membawaku dari Tual,
aku disekap di palka bawah. Hanya sesekali saja aku diangin-
anginkan di geladak kapal. Biasanya malam hari kalau sudah
sepi. Aku paling senang kalau disuruh babat-babat atau bantu-
bantu di rumah Tuan Surialegawa. Bermain-main dengan dua
anak kecil yang masih lucu-lucu itu merupakan hiburan
tersendiri, dan rupa-rupanya mereka senang juga bila aku
bekerja di rumah mereka. Pada suatu hari aku sedang
http://dewi-kzanfo/ 70 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengganti papan-papan dinding rumah yang dimakan rayap.
Juragan Distrik Surialegawa mendekat, katanya, "Pak Kodok,
kapan-kapan kayu-kayu atap di atas sana dilihat, ya. Siapa tahu
sudah dimakan rayap juga."
36 "Baik, Gan, tapi saya harus lapor dulu," jawabku.
"Tak perlu kau lapor, aku sudah melakukannya, lewat Kopral
Van Dorp," kata kepala distrik itu. ,
Aku memberanikan diri untuk bertanya, "...Eh, Gan, Juragan


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Distrik sampai dipilih untuk ditempatkan di sini itu bagaimana?"
Telanjur, telanjur sudah. Aku menyesal mengajukan pertanyaan
semacam itu. Cepat-cepat aku berusaha memperbaiki keadaan
dengan berkata, "Maaf, Juragan Distrik, tidak pada tempatnya
saya menanyakan soal itu. Sekali lagi beribu-ribu maaf, Gan."
Kepala distrik itu diam, lama, kemudian ia berkata, "Ya,
barangkali tidak hanya kau saja yang dalam hati bertanya-tanya.
Aku tahu, kebanyakan tahanan yang ada di tempat ini bukannya
penjahat. Masing-masing punya persoalan dengan Gubermen.
Tentu kalian juga menduga-duga bahwa aku juga punya
kesalahan terhadap Gubermen. Ya, ya, waktu itu Kiai Safei dan
pengikut-pengikutnya memberontak. Aku tahu dengan pasti
mereka bersembunyi di Desa Parungkujang. Tidak kulaporkan,
dan mereka berhasil lolos dari kejaran polisi, melarikan diri ke
pegunungan di Banten Selatan. Straf overplaatsing (pindahan
hukuman), untuk lima tahun. Nah, di sinilah aku sekarang."
Tanpa kusadari aku menanggapi, "Straf overplaatsing,
kenapa begitu jauh?"
Tuan kepala distrik itu tersenyum lalu berkata, "Aku sudah
mengira. Kau juga orang buangan, bukan bajingan. Kau
berbahasa Belanda. Ya, pindahan hukuman terpaksa harus
37 http://dewi-kzanfo/ 71 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuterima, atau, aku harus mengajukan permohonan berhenti,
dan itu tidak kulakukan. Nasi telah menjadi bubur, sudahlah.
Kau sendiri bagaimana, Dok?"
Surialegawa itu jujur terhadap diriku, mengapa aku tidak.
Kuceritakan padanya mengapa aku sampai jadi orang
perantaian dan dibuang ke Tanah Merah itu.
Surialegawa menanggapi, "Ya, kita semua punya persoalan
masing-masing mengapa sampai dibuang di Tanah Merah ini.
Yang kupikirkan hanya istri dan anak-anak. Mereka tidak
mengeluh, tapi kalau harus lima tahun di sini, anak-anak akan
terlambat masuk sekolah. Yah, apa boleh buat Yang sangat
kutakuti, terutama bagi anak-anak... zwartwaterkoorts (demam
berdarah). Mudah-mudahan dengan minum pil kina sebagai
pencegah dapat terhindar dari penyakit itu, tapi apa tidak ada
hasil sampingan yang merugikan kesehatan?"
Tanggapku, "Saya kira ada, tapi mudah-mudahan tidak
begitu berarti. Di Jawa sana banyak orang menderita malaria,
berkali-kali harus menjalani pengobatan minum pil kina.
Pengaruhnya ada, tapi tidak parah. Biasa-biasa saja. Kalau boleh
tanya, Gan, kalau Juragan pergi turnee, selalu Kopral Van Dorp
38 yang harus menjaga rumah Juragan. Begitu percayanya Van der
Wal kepadanya..." Aku belum sempat menyelesaikan pertanyaanku, Surialegawa sudah memotongnya dengan berkata, "Aku
mengerti yang kaucemaskan. Istriku! Tentu Van der Wal punya
alasannya. Menurut Van der Wal, Kopral itu begitu kepingin naik
pangkat jadi sersan. Nah, dia akan berpikir seribu kali untuk
berbuat jahat, tapi itu hanya salah satu pandangan. Ada hal
yang aneh pada kopral itu. Pernah yang aneh itu kutanyakan
pada Van der Wal. Barangkali kau tahu juga, kopral itu mampu
http://dewi-kzanfo/ 72 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menahan diri untuk tidak memelihara 'pacar laki-laki', padahal
Van der Wal sendiri berbuat begitu. Menurut sersan mayor itu,
entah mengapa, Kopral Van Dorp tidak tertarik pada wanita,
tapi juga tidak pada lelaki. Sebelum kemari Van Dorp sebagai
seorang anggota Marsose (polisi KNIL) pernah ditempatkan di
mana-mana. Ya, biasanya orang Marsose banyak yang berguru.
39 Apa dia itu berguru pada seorang warok" Apakah perguruannya
itu menentukan suatu pantangan" Entahlah!"
Tanggapku, "Menarik sekali, Gan. Saya masih ingat, pada
waktu saya menamparnya, bukan wajahnya yang kesakitan, tapi
tangan saya yang seperti membentur benda keras. Waktu ia
sengaja menjatuhkan diri di atas lantai, seolah-olah saya yang
menjegalnya, saya lihat sendiri benturan dahinya pada lantai
semen itu, tapi tampaknya ia sama sekali tidak merasa sakit.
Punya pegangan apa kopral itu?"
"Ya, ya, orang aneh memang. Aku tahu, dia kejam terhadap
tahanan, tapi ia di sini begitu baik terhadap anak-anak dan ia
begitu hormatnya kepada istriku," kata Surialegawa.
"Ia memang kejam, tapi sulit untuk mengadukan
kekejamannya, sebab ia selalu bisa berlindung di bawah
ketentuan peraturan. Entah mengapa, sayalah yang paling
dibencinya di Tanah Merah ini. Caranya untuk memaksa saya
masuk Hotel Holandia, ada saja. Pokoknya, saya dibuatnya
marah untuk melawan. Nah, kalau saya melawan dan
menanganinya, hukumannya sudah jelas. Masuk Hotel Holandia.
Hukuman yang paling saya takuti. Lebih baik saya dihajarnya
daripada masuk sel itu," kataku.
Terdengar teriakan si Macan Dardanel, "Kumpuuul,
kumpuuul!" Dardanel hari itu mendapat giliran mengawasi
tahanan bekerja. Aku minta diri kepada Tuan Surialegawa dan
http://dewi-kzanfo/ 40 73 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pergi. Hari itu kami harus siap-siap untuk ikut patroli di bawah
pimpinan Sersan Mayor Van der Wal sendiri dan berangkat
keesokan harinya. Keesokan harinya, pagi-pagi benar Kolone Patroli berangkat,
dipimpin langsung oleh Sersan Mayor Van der Wal, Belanda
totok kelahiran Cimahi, Bandung. Kolone Patroli itu terdiri dari
Van der Wal sebagai komandan, Dardanel sebagai komandan
pengganti, dua belas serdadu HMOT, enam tahanan pengganti
kuda beban, tiga orang penunjuk jalan penduduk pendatang
setempat yang paham bahasa suku-suku yang akan dikunjungi.
Entah mengapa, Kopral Van Dorp kali itu tidak mempermainkan
diriku. Karung beban yang harus kujunjung di atas kepala itu
sama beratnya dengan karung-karung yang lain. Karung-karung
yang berisi bata-bata garam untuk hadiah penduduk setempat
dilapisi dengan bahan perlak yang tidak tembus air. Walaupun
waktu itu tidak musim hujan, bahan pelapis perlak itu tetap
digunakan. Setelah berjalan sekitar lima jam naik-turun yang sangat
melelahkan, Van der Wal memerintahkan Kolone Patroli
beristirahat. Duduk-duduk bersandarkan pohon besar, aku bercakap-
41 cakap dengan Wirog. Ia melihat ke kanan-kiri dan setelah
diyakininya bahwa tidak ada orang lain yang ada di dekatnya,
Wirog dengan suara bisik-bisik berkata, "Dok, bagaimana kalau
kita melarikan diri?"
"Jangan mengigau kau, Rog," jawabku. "Mau mengalami
nasib sama seperti Babi, Bulus, dan Marmot" Berputar-putar
dalam hutan selama tiga hari tiga malam, akhirnya muncul
kembali di tepi hutan dekat tangsi. Siapa yang mampu
http://dewi-kzanfo/ 74 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menembus hutan belantara ini" Pakai kompas pun kita tidak
akan sampai di mana-mana. Gagasan gila!"
"Nanti dulu, Dok. Kalau lewat hutan, bunuh diri itu. Tidak
lewat hutan." Kupotong bicaranya dengan berkata, "Terbang, naik kuda
sembrani?" Dengan tenangnya Wirog menanggapi, "Jangan sinis kau.
Tidak lewat udara, tidak lewat daratan, tapi lewat sungai."
Lagi-lagi bicaranya itu langsung kupotong, "Berenang, Rog,
dari Boven Digoel sampai lautan?"
"Nanti dulu, Dok. Belum apa-apa kau sudah berkomentar.
Aku sudah memesan sampan dari kepala suku Papatoro yang
42 kadang-kadang mendekati tangsi."
Tanggapanku, "Orang Papua selalu menepati janjinya. Baik,
sampan sudah tersedia, kita bisa mencapai lautan. Nah, lalu
mau ke mana" Dengan sampan itu berdayung-dayung
menyeberang ke Tual atau ke Dobo" Gila, gila!"
"Jangan menghina, Dok. Aku ini bekas pelaut. Tidak ke Tual,
tidak ke Dobo, atau ke Ambon, tapi ke Australi."
"Ke Australi" Australi" Tiba di sana, langsung ditangkap dan
dikembalikan kemari. Sudahlah, jangan berkhayal. Cari orang
lain saja." "Dok, kau sudah tahu tentang rencanaku. Aku percaya kau
tidak akan mengkhianatiku. Kangguru sudah bersedia. Apa
boleh buat, kalau kau tak bersedia, terpaksa dua orang saja.
Tutup mulut, Dok." "Baik, akan kupikirkan.... Walaupun tidak berhasil,
hukumanku toh sudah maksimum. Tidak bisa ditambah dan
http://dewi-kzanfo/ 75 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak bisa menghapus yang sudah kujalani selama ini.... Paling-
paling masuk Hotel Holandia. Baik, baik, aku ikut."
"Kalau ikut, kau harus ikut juga menanggung biayanya.
Untuk beli tembakau dan garam. Imbalan pembuatan
43 sampan..." Terdengar teriakan keras-keras, "Verzamelen! Verzamelen
(berkumpul, berkumpul) Kami berkumpul kembali mengatur
Kolone. Kelompok tahanan dipimpin oleh Serdadu Simon.
Kelompok serdadu dipimpin oleh Dardanel Pieters, si Macan.
Kami berangkat. Di tengah jalan setapak yang kami lalui itu,
Kolone berpapasan dengan Hok Gi yang dikawal oleh beberapa
orang dari suku tertentu, entah suku apa aku tidak tahu. Orang-
orang itu menjunjung karung. Hok Gi menghormat kepada Van
der Wal. Langsung saja Van der Wal memerintahkan, "Hok Gi,
buka karung-karung!"
Hok Gi mengatakan sesuatu kepada pembantu- pembantunya dalam bahasa entah apa. Mereka lalu
menurunkan karung dan membukanya satu demi satu. Van der
Wal memeriksa isi karung-karung disaksikan oleh Hok Gi. Van
der Wal tidak berhasil menemukan burung hidup atau bangkai
burung. Celetuknya, "Awas kau, kalau sampai aku menemukan
bangkai burung. Jalan terus!"
Hok Gi menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi emasnya.
Jawabnya dalam bahasa Belanda serba bengkok, "Hok Gi jujur,
44 jujur, Tuan Besar. Patuh, patuh peraturan."
Kesal Van der Wal memerintahkan, "Pergi, pergi! Klootzakr
Sebenarnya Van der Wal tahu betul bahwa ia dipermainkan
oleh Hok Gi. Bulu-bulu burung pa-radisa itu bukannya bulu-bulu
lepasan yang dicari dan dikumpulkan penduduk, tapi bulu-bulu
http://dewi-kzanfo/ 76 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
burung yang dijerat hidup-hidup dan kemudian dicabuti bulu-
bulunya. Bisa saja Sersan Mayor penguasa itu mengusir Hok Gi
keluar dari Tanah Merah, tapi Hok Gi itu terlalu diperlukan
kehadirannya di pelosok dunia itu, dan pasti Hok Gi sendiri tahu
tentang kedudukannya itu dan mengusahakan agar dirinya
semakin kuat kedudukannya. Hok Gi adalah satu-satunya
pedagang di tengah-tengah hutan belantara itu. Sebenarnya
hasil dagang bulu-bulu sudah memberikan keuntungan yang
melimpah-limpah padanya. Bayangkan, ia hanya menukarnya
dengan garam dan tembakau saja, padahal berapa harga bulu-
bulu itu di pasaran kota-kota besar di Eropa dan Amerika sana.
Namun demikian ia masih tetap mempertahankan warungnya
itu. Justru warung itu yang membuat dirinya penting di jajahan
Belanda Nieuw Guinea itu. Barang-barang keperluan sehari-hari
seperti sabun, sikat gigi, pasta, pil kina, aspirin, balsem, koyo,
45 ada semua, bahkan bumbu-bumbu pun tersedia.
Hok Gi sendiri mengaku berasal dari Makao, pulau jajahan
Portugis di lepas pantai daratan Cina, sebelah selatan
Hongkong. Kehebatannya yang lain, ia mampu mendidik
pembantu. Seorang penduduk setempat pandai berbahasa
Melayu pasar, bahasa Belanda sepotong-sepotong, dan
menguasai beberapa bahasa lokal - ya, Nieuw Guinea memiliki
bahasa-bahasa setempat lebih dari 200, bukan dialek semata-
mata. Uang saku tahanan dan serdadu mengalir ke warung Hok
Gi. Ya, kadang-kadang Mantri Kesehatan, kepala poliklinik tangsi
yang berasal dari Pulau Saparua terpaksa harus pinjam obat-
obatan dari Hok Gi, manakala persediaan habis. Sampai potret-
potret cabul pun tersedia di warungnya. Ya, maklumlah,
benteng-pen-jara penghuninya hanya kaum lelaki saja.
Kami meneruskan perjalanan. Jalan setapak yang kami lalui
itu menjadi semakin sempit dan semakin padat ditumbuhi
http://dewi-kzanfo/ 77 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semak belukar. Tidak jarang kami harus menggunakan parang
untuk membabat tetumbuhan yang menghalang-halangi
perjalanan kami. Menjelang matahari terbenam, Kolone Patroli
memasuki kampung yang kami tuju, tempat bermukim suku
46 Wamamere. Van der Wal langsung disambut oleh sang kepala
suku. Mereka sudah siap menerima kedatangan kami. Mereka
sudah tahu bahwa kami akan datang, padahal tidak ada
pemberitahuan sebelumnya. Pasti secara diam-diam orang-
orang Wamamere mengamati gerak-gerik kami. Lingkungan
Tanah Merah pun termasuk dalam kekuasaan Obohuma, sang
kepala suku Wamamere yang kuat itu. Gubermen menukarnya
dengan imbalan beberapa puluh ekor babi. Mungkin ada jalan


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setapak lain yang hanya diketahui oleh mereka itu, tidak jauh
dari jalan setapak yang kami lalui. Entahlah!
Kami berkemah dan keesokan harinya baru upacara
sambutan dilakukan. Gendang-gendang kecil ditabuh disertai
dengan tari-tarian yang menggambarkan gerakan tingkah laku
burung-burung para-disa, dibarengi dengan nyanyian yang
monoton memabukkan. Para laki-laki warga suku menari-nari
seperti tidak mengenal lelah saja. Sampai matahari melewati
puncak kulminasinya pun mereka masih saja menari-nari dan
menyanyi-nyanyi. Justru kami yang hanya duduk-duduk saja
yang merasa kecapekan. Obohuma, sang kepala suku, duduk
berdampingan dengan Van der Wal.
Yang paling menarik perhatianku, Obohuma itu sama sekali
tidak menunjukkan rasa rendah diri terhadap Van der Wal. Lain
halnya dengan sang bupati di Jawa yang tak bakal bersikap
semacam itu terhadap sang residen atau sang kontrolir
sekalipun. Mereka memiliki harga diri yang begitu tinggi. Kita
47 orang Jawa ini. melihat Belanda sudah merasa minder, mereka
sama sekali tidak. Angkat topi aku melihat sikap bangsaku yang
http://dewi-kzanfo/ 78 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
teramat sederhana kehidupannya itu. Bayangkan, praktis
mereka itu telanjang bulat dan hanya kemaluannya saja yang
dikantongi kulit akar-akaran yang namanya koteka.
Dengan tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah kami seorang
kulit putih tinggi besar. Van der Wal yang sudah termasuk tinggi
besar masih dikalahkan oleh pastor yang datang itu. Pastor Van
den Broecke namanya. Sudah bertahun-tahun dia membaur
dengan suku-suku pedalaman. Penampilannya benar-benar
mengesankan. Wajah kemerah-merahan akibat sengatan terik
panas matahari, rambut dan jenggot pirang dibiarkan tumbuh
panjang, sorot mata biru kelabu menunjukkan keteguhan
imannya yang tinggi. Van den Broecke tidak mengenakan jubah
seperti pastor-pastor yang kita jumpai di Jawa. Bercelana
panjang coklat, berbaju longgar. Alas kakinya sandal kulit. Pada
pinggangnya tergantung kantong kulit 48 besar. Dalam genggamannya, tongkat panjang yang bercabang pada
ujungnya. Barangkali untuk melawan ular. Melihat penampilannya itu serta-merta terlompat dari mulutku, "Nabi.
Musa." Tanggap Wirog yang duduk di sampingku, "Ya, ya, Nabi
Musa. Barangkali Nabi Musa yang gagah perkasa itu orangnya
ya seperti Pastor Van den Broecke itu. Belanda totok pertama
yang menjelajahi kawasan ini. Terus terang baru sekarang ini
aku melihatnya. Pastor yang legendaris."
Van der Wal bangkit berdiri dan langsung memeluk Van den
Broecke, dan setelah itu Obohuma yang juga sudah berdiri
berjabatan tangan dengan pastor itu. Rupa-rupanya Obohuma
sudah mengikuti tradisi salam-salaman bila ia bertemu dengan
Belanda-Belanda. Dua raksasa itu mengasingkan diri duduk-
duduk di tempat lain. Tergelitik ingin tahu apa yang mereka
perbincangkan, aku bergeser mendekat, diikuti oleh Wirog.
http://dewi-kzanfo/ 79 49 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak terlalu dekat, tapi kami berdua masih mampu menangkap
pembicaraan mereka, Walaupun agak terganggu oleh nyanyian
wargarwarga suku Wamamere.
Kata Van der Wal, "Sulit untuk menegakkan kekuasaan
Gubermen di tempat ini. Coba lihat, Pastor, mereka menyambut
kedatanganku bukannya sebagai penguasa tertinggi di Tanah
Merah, tapi hanya sebagai tamu belaka yang perlu dihormati.
Apa gunanya ada Gubermen di sini" Tidak ada manfaatnya.
Membuang-buang uang, waktu, dan tenaga saja. Tidak efektif
dan juga tidak bakal efektif. Begitu besok kita pergi, mereka juga
pergi mencari tempat bermukim baru yang tidak akan kita
ketahui tempatnya. Kita harus mulai dari nol lagi. Susah untuk
menemukan mereka kembali. Kata pembesar-pembesar di
Batavia sana, orang-orang Papua akan diangkat dari tingkat
kehidupan zaman batunya. Omong kosong semua. Bagaimana
caranya" Apa laporan-laporan yang kubuat itu kurang
meyakinkan" Orang-orang ini bahagia dengan cara hidupnya.
Mereka tidak suka campur tangan orang lain. Jangan diganggu-
ganggu. Yah, barangkali mereka lebih tunduk pada Pastor
daripada kepada Gubermen 50 yang kuwakili ini. Itu kenyataannya." Van den Broecke tertawa terbahak-bahak. Tanggapnya,
"Mayor, kaukira aku ini mampu menguasai mereka" Ooo, jauh,
Mayor. Sudah sekian tahun lamanya aku bekerja, tapi apa
hasilnya" Barangkali kehadiranku hanya dianggap sebagai
tontonan yang luar biasa saja, karena aku ini lain dengan
mereka. Coba bayangkan, Mayor, bagaimana aku harus
membawakan sabda Tuhan kepada mereka, kalau aku kurang
dapat menguasai bahasa mereka" Kelihatannya saja mereka
menghormati Salib, tapi dalam hati, mereka menghormati apa
yang mereka percayai."
http://dewi-kzanfo/ 80 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu untuk apa Pastor bersusah payah di neraka ini?"
potong Van der Wal. Van den Broecke tersenyum, jawabnya, "Walau kujelaskan
padamu, Mayor, kau juga tidak bakal dapat memahaminya.
Panggilan yang sudah menyatu dengan pribadiku. Entah
51 mengapa, aku merasa bahagia dapat melakukan apa yang
kulakukan sekarang ini. Aku merasa diriku bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan mereka. Justru di tempat yang
kaukatakan neraka itu, di hutan belantara ini, aku merasa begitu
dekat dengan Yesus Kristus dan aku mencoba agar asuhanku
juga dapat ikut menghayati apa yang kurasakan itu. Tidak
sekarang, ya besok. Tidak besok, ya lusa. Tidak lusa, ya minggu
depan, dan begitu seterusnya."
Dalam hati aku hormat sedalam-dalamnya kepada Van den
Broecke yang dengan kesadaran sedalam-dalamnya menyerahkan dirinya kepada panggilan yang diyakininya. Tidak
tampak adanya rasa penderitaan sekelumit pun pada wajahnya
yang jernih dan tenang itu. Aku cemburu, ya cemburu kepada
orang seperti Van den Broecke. Tidak pada Van den Broecke
saja, tapi juga kepada sesama tahanan Kiai Haji Abbas alias
Lutung, seorang bekas mubalig dari Bondowoso. Abbas
memberontak terhadap Belanda, mengangkat senjata malahan.
Kitab suci Alquran tidak pernah lepas dari tangannya. Quran
kecil mungil yang namanya Quran Stambul. Mungkin cetakan
dari Istambul sana asal-usulnya. Begitu khusyuknya ia bila
bersalat, ya, begitu intens, dan begitu pasrahnya kepada Tuhan.
52 Aku cemburu kepada dua orang itu.
Kiai Haji Abbas yang nama ejekannya Kiai Lutung, berwajah
sejuk, tenang, dan tenteram. Pada suatu hari aku sempat
bercakap-cakap dengan mubalig itu. Duduk-duduk di tepi pagar
ladang bibit patatas, kutanyakan kepada haji pendiam itu,
http://dewi-kzanfo/ 81 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maaf, Pak Haji, maaf! Aku ini orang yang takut pada Allah. Aku
takut menghadap Allah. Ya, karena aku pembunuh. Pembunuh
yang kejam. Belanda itu masih hidup, tapi hakikatnya ia sudah
mati dalam hidup. Cedera, lumpuh untuk selama-lamanya. Apa
yang harus kuperbuat, Pak Haji?"
Haji pendiam itu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia
membuka-buka Quran Suci, Kitab Stambul kecil yang tergantung
di kalung lehernya. Kemudian ia membaca ayat-ayat tertentu.
Aku sama sekali tidak mengerti apa maksud ayat-ayat itu.
Namun kemudian ia menerjemahkannya dalam bahasa
Jawa. Katanya, "Apa sira ora weruh, yen Allah iku, sakehe kang
ana ing langit lan bumi pada memahasucekake Panjenengane"
Mengkono uga manuk-manuk kang ambeber suwiwi"
Panjenengane temen angudaneni salate siji-sijine sarta anggone
memahasucekake, lan Allah iku udani marang sabarang kang
53 pada dilakoni... Lan ka-gunganing Allah karatoning langit-langit
lan bumi iku sarta tumeka ing Allah wekasaning laku iku... Apa
sira ora weruh yen Allah iku anggiring men-dhung, iku banjur
padha- dikelumpukake, tumuli didadekake tumpa-matumpa,
wasana sira weruh udan metu saka satengahe" Lan
Panjenengane anurunake saka mendhung kang kaya gunung,
ing kono ana udane woh, iku ditibakake marang sapa kang dadi
keparenging karsaNe sarta dienggokake saka sapa kang dadi
keparenging karsaNe. Meh bae celereting kilate nyamber ing
pandeleng... Allah iku ambolak-balekake wengi lan rina. Sayekti
ing kono iku temen ana wulang wuruk tumrap kang pada duwe
pandeleng." Ayat-ayat yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Jawa itu
diulang-ulanginya. Aku mengikuti apa yang diucapkannya itu,
sampai aku hampir hafal keseluruhannya. Ya, Haji Abbas tidak
akan bakal merasa kesepian. Dalam segala hal ia mampu
http://dewi-kzanfo/ 82 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melihat, menghayati, dan meresapi keagungan Tuhan. Tanpa
bicara sepatah kata pun, ia lalu bangkit, berdiri, dan
meninggalkan diriku. Namun, ayat-ayat suci itu terpatri dalam
benakku. Ya, aku takut menghadap Tuhan, tapi aku tidak pernah
54 menjauhiNya. Haji Abbas mempunyai cara sendiri agar sesama
umat sadar akan kehadiran Allah, di mana pun ia berada.
Walaupun aku membenci Kopral Van Dorp setengah mati,
tapi dalam hati kecil aku juga mencemburuinya. Pastor Van den
Broecke dan Kiai Haji Abbas Lutung penuh dedikasi kepada yang
diyakininya. Kees Van Dorp pun tidak kurang dedikasinya pada
panggilan tugasnya. Belanda bilang De Dienst Klopper (petugas
berdedikasi keterlaluan), akan tetapi pada hakikatnya orang-
orang seperti Van Dorp itu yang besar jasanya bagi penjajah
Belanda. Belanda mampu menggembleng ribuan orang-orang
Indonesia menjadi Van Dorp. Setia setengah mati kepadanya
dan mereka itulah alat ampuh pemerintahan kolonial Belanda.
Van Dorp orang yang berdedikasi keterlaluan barangkali, tapi
dalam hati kecilku, aku mengaguminya. Aku belum pernah
melihat kopral itu mengeluh. Pagi-pagi buta sebelum serdadu-
serdadu dan tahanan-tahanan bangun, sang Kopral dalam
seragamnya yang hijau, bersih, rapi, mendatangi pos penjagaan.
Memandang ke arah ja m dinding yang ada di pos penjagaan itu,
dan begitu gema bunyi lonceng yang kelima kalinya lenyap dari
pendengaran, Van Dorp memerintahkan kepada serdadu jaga,
"Bunyikan lonceng." Berkumandanglah bunyi genta lonceng
bertubi-tubi membangunkan penghuni tangsi. Dalam tugasnya,
ia membentak-bentak, menyepak-nyepak, mengumpat-umpat
kotor. Ia dengan kerasnya menegakkan disiplin dan peraturan.
Ia sadar sesadar-sadarnya akan apa yang dilakukan itu. Sehari
55 penuh ia tetap tampak segar, tampak siaga selalu, walaupun di
bawah terik panas matahari yang melelahkan sekalipun. Jam
http://dewi-kzanfo/ 83 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lima sore sehabis bertugas, ia kembali pulang ke kamarnya.
Wajahnya tampak lega bercampur bangga. Barangkali saja di
hadapan kaca ia berkata, "Van Dorp, kau telah melakukan
tugasmu dengan baik." Ya, baru kemudian, aku tahu mengapa ia
itu begitu kejam memuakkan.
Yah, yah, aku Suro Buldog, bukan apa-apa jika dibandingkan
dengan ketiga orang itu. Berlain-lainan motivasinya, tapi sama
derajat dedikasinya, walaupun berbeda lingkungan. Anehnya,
Van Dorp itu sangat menghormati Haji Abbas. Entah mengapa.
Satu-satunya tahanan yang tidak pernah menghayati
tendangannya dan umpatannya secara langsung, walaupun
tetap diperlakukan sebagai tahanan biasa.
Aku dan Wirog semakin tertarik pada pembicaraan dua
orang Belanda berlainan tugas, profesi, dan keyakinan itu. Kami
bergeser-geser lebih dekat lagi supaya mampu menangkap
pembicaraan mereka. Kata Van den Broecke, "Percayalah,
Mayor, biar seabad lagi Gubermen belum akan mampu
56 menguasai Nieuw Guinea (Irian) ini seperti yang telah
dicapainya sekarang di Jawa sana. Kekuasaan Gubermen disini
adalah semu, tidak nyata."
Van der Wal menanggapi, "Lalu, apakah seabad lagi pihak
Gereja akan mampu menguasai mereka?"
Jawab Pastor Van den Broecke, "Maaf, Mayor, Gereja tidak
mengenal kata-kata 'menguasai'. Katakan saja, menggembalai
mereka. Aku tidak tahu, Mayor. Nieuw Guinea begitu luasnya.
Empat kali Pulau Jawa luasnya. Penduduknya tidak begitu
banyak dan tersebar, terpencar-pencar, terisolasi. Dari kampung


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang satu ke kampung yang lain memakan perjalanan berhari-
hari. Setiap kampung punya bahasa sendiri-sendiri yang tidak
dimengerti oleh orang-orang kampung yang lain. Bukan sekadar
http://dewi-kzanfo/ 84 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dialek, Mayor, tapi memang bahasa tersendiri. Bagaimana aku
bisa efektif menggembalai mereka, Mayor?"
"Lalu menurut Pastor, apa yang harus dilakukan
Gubermen?" "Jalan terus, Mayor, jalan terus. Kalau kau mampu
mencegah peperangan antarsuku saja, itu sudah suatu
kemajuan. Sudah baik, Mayor... Nah, maaf, aku masih harus
57 meneruskan perjalanan. Kapan-kapan aku akan mampir di
Tanah Merah," kata Van den Broecke sambil berdiri.
Van den Broecke menghilang, menguap begitu saja dalam
lebatnya pepohonan rimba tropis. Orang Belanda yang
meninggalkan kesan begitu mendalam pada diriku. Orang yang
kucemburui, berkat keyakinannya. Orang yang kuhormati
karena dedikasinya. Van den Broecke.
Keesokan harinya setelah kami menyerahkan hadiah garam
dan tembakau kepada Obohuma, kami tinggalkan kampung
Wamamere. Kolone Patroli itu masih sempat mengunjungi
beberapa kampung lain. Tidak banyak berbeda cara penerimaan
nya. Hampir tiga minggu kami jelajahi kawasan sekitar Tanah
Merah itu. Dalam perjalanan yang memutar seperti lingkaran
itu, aku mendapat kesan bahwa rakyat Nieuw Guinea adalah
bangsa yang masih bebas merdeka sepenuhnya. Tidak memiliki
minderwaardigheidscomplex (rasa rendah diri) sama sekali.
Jiwanya jiwa merdeka. Tidak seperti kita di Jawa. Melihat
Belanda takut, melihat Nip-pon juga takut. Ya, aku
membenarkan apa yang dikatakan Kusno waktu itu. Membuang
jauh-jauh Sklaven Geist, jiwa budak, dan secepatnya
menggantinya dengan Herrn Geist, jiwa tuan. Bangsaku nan
jauh di Nieuw Guinea sana masih tetap memiliki Herrn Geist,
jiwa mandiri itu. http://dewi-kzanfo/ 85 58 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba kembali di Tanah Merah, Kopral Van Dorp melaporkan
bahwa ia kehilangan dua orang serdadunya. Demam lumpur
merenggut nyawa mereka. Pikirku, "Kalau Tuhan menghendaki,
maut memang tidak bisa dihindari. Kalau demam lumpur
menyerangku, itu memang setimpal dengan dosaku. Aku ikhlas,
ya, ikhlas." Sementara itu Kopral Van Dorp masih saja selalu
memancing-mancing agar aku bersedia melawan. Pikirku,
"Mengapa aku di sudut dunia ini masih harus mengalami nasib
yang sama seperti di Tasikmalaya sana" Di Bengkel SS aku
dipaksa untuk berkelahi dengan Bob Muisch, walaupun akhir
perkelahian itu sangat berhikmah. Bob Muisch menjadi
sahabatku yang paling dekat Bob dan aku sama kedudukannya,
tapi Kopral Van Dorp ini lain. Aku seorang tahanan buangan di
Tanah Merah ini. Entahlah! Selama ini aku mampu menahan
diri, karena sebenarnya aku begitu takut masuk Hotel Holandia
yang mengerikan itu. Entahlah, entah!"
Pada suatu hari, kami tahanan dikumpulkan di ruang tidur.
Kami berdiri di depan bale-bale masing-masing. Dengan suara
lantang Van Dorp menuduh, "Bajingan, bajingan! Pangeran
Mahkota kehilangan miliknya. Bukan barang sembarangan,
Tuan-tuan. Sang Pangeran kehilangan kekasihnya, dan jelas
59 salah seorang dari Tuan-tuan yang mulia yang mencurinya.
Terpaksa aku harus menggeledah ruangan ini. Maafkan, Tuan-
tuan bajingan tengik, maafkan."
Dibantu oleh anak buahnya, Van Dorp membongkar-bongkar
apa saja yang kiranya dapat digunakan untuk menyembunyikan
sesuatu, tidak terkecuali bale-baleku yang dijungkirbalikkan, dan
pada akhirnya dengan bangganya sang Kopral itu menemukan
apa yang dicarinya tersimpan rapi di antara dua papan tempat
tidur. http://dewi-kzanfo/ 86 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ditunjukkannya kepada kami "kekasih" yang dicarinya itu,
yang tidak lain adalah potret seorang wanita yang telanj
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
ang bulat menggiurkan. Aku sama sekali tidak terkejut bahwa
gambar semacam itu tersembunyi di tempat tidurku. Itu hanya
permainan busuk Van Dorp saja, tapi yang membuatku seperti
disambar petir, potret telanjang bulat itu tidak lain adalah...
potret Rita De Bruyn! Di Tanah Merah bisa diperoleh gambar-
gambar atau potret-potret pomo semacam itu. Harganya cukup
mahal. Satu gulden Belanda. Siapa yang menjualnya" Siapa lagi
kalau bukan Hok Gi. Cina itu juga tahu kebutuhan tahanan-
tahanan. Yang aku tidak habis pikir saat itu, bagaimana potret
telanjang Rita bisa sampai di tangan Van Dorp. Apa Rita pernah
jadi foto model" Foto model cabul" Entah, entah!
Menghadapi pencurian, lazimnya Van Dorp tidak tanggung-
tanggung. Dihajarnya orang yang ketahuan mencuri milik
sesama kawan tahanan, atau sesama serdadu. Tamparan-
tamparanlah ganjarannya di samping masuk sel Holandia tiga
hari tiga malam. Tapi kali itu dia sama sekali tidak kejam.
Ucapnya, "Tuan Kodok Besar, kau melarikan kekasihku dan
memperkosanya. Nah, kalau kau memang jantan, Kodok, mari
kita selesaikan masalah ini di hutan sana. Soal kekasih adalah
soal kehormatan lelaki. Heee, babi-babi dan anjing-anjing doyan
tai, kalian boleh menyaksikan. Ayo, ke hutan."
Pikirku, sikap Van Dorp agak aneh. Dia mengajak berkelahi.
Ah, kesempatan untuk memuntahkan kemuakanku kepadanya.
1 Jawabku, "Tuan Kopral, teman-teman di sini yang akan menjadi
saksi. Bukan aku yang menantang berkelahi, tapi Tuan Kopral
sendiri. Aku hanya sekadar mematuhi perintah Tuan Kopral."
Van Dorp tertawa, "Jangan khawatir, Tuan Besar Kodok,"
tanggapnya. "Aku yang memerintahkan. Jangan banyak bicara.
Kalian coro-coro, mari babat-babat alang-alang di tepi hutan.
http://dewi-kzanfo/ 87 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekaligus sambil menyaksikan bagaimana caranya aku
membantai Kodok. Dia menerima tantanganku. Ayo, mari!"
Kami berbaris menuju ladang bibit patatas yang letaknya di
tepi hutan dan yang sudah dipagari dolok-dolok kayu kuat-kuat.
Babi hutan tidak mampu merusak tanaman lagi. Tiba di tepi
hutan itu, kawan-kawan tahanan bekerja babat-babat alang-
alang sambil menonton. Van Dorp melepaskan baju seragam
kopralnya dan kemudian ia berkata lantang, "Lihat, Kodok, aku
bukan kopral KNIL lagi, aku Kees Van Dorp. Ayo, kita mulai saja."
Tanpa menunggu didahului oleh Van Dorp aku melenting.
Kaki-kakiku kuarahkan pada lambung Van Dorp. Entah apa yang
terjadi aku tidak tahu, tapi bukannya kakiku yang bersarang
pada lambungnya, tidak! Pukulan tangannya yang mengenai
dadaku. Sakit memang, tapi tidak membuatku lumpuh. Aku
2 sama sekali tidak mengira bahwa Kees Van Dorp itu memang
jago berkelahi. Kopral itu sama sekali tidak pasang kuda-kuda
siap untuk berkelahi. Dia santai-santai saja. Ejeknya, "Ayo,
Kodok, tunjukkan kemahiranmu."
Aku tidak tahan ejekannya. Aku melenting lagi dan lagi-lagi
sebelum aku sadar apa yang telah terjadi, tinjunya sudah
bersarang pada tulang rahangku. Aku roboh di tanah. Malu
rasanya dipermainkan oleh kopral jelek itu. Aku menyerang lagi.
Hasilnya sama saja. Ia jauh lebih cekatan dan lincah daripada
diriku. Aku. memang pantas berguru kepadanya. Aku dihajarnya
habis-habisan, sedemikian rupa sehingga aku tidak harus jatuh
pingsan, tapi serba cukup kesakitan. Babak-belur aku dibuatnya.
Akhirnya... aku kehabisan tenaga. Aku hanya bisa
menggeletak di tanah. Gumamku, "Saya menyerah kalah." Lagi-
lagi aku dibuatnya terheran-heran. la tidak lalu bertolak
pinggang dan ketawa-tawa, sama sekali tidak! Barisan tahanan
http://dewi-kzanfo/ 88 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diistirahatkan dan diperintahkan kembali ke tangsi. Wirog yang
disuruh memimpin barisan.
"Aku yang akan mengurus Kodok," katanya.
Setelah barisan tahanan sudah tidak tampak lagi, aku
3 ditolongnya bangkit dan disandarkannya pada pagar ladang
patatas. Van Dorp sendiri lalu duduk di sampingku. Katanya,
"Aku puas mampu menghajarmu, Kodok, secara jantan.
Tampangmu memang memuakkan. Saat ini aku sudah
memuntahkan kemuakanku."
Tanggapku setelah aku mampu mengatur kembali
pernapasanku, "Benar-benar aku kalah, Tuan Kopral. Aku pantas
berguru kepada Tuan Kopral. Tuan berkelahi tanpa tenaga sama
sekali. Benar-benar aku merasa kagum."
Van Dorp tersenyum, celetuknya, "Sudahlah, lupakan. Mari
pulang kembali ke tangsi."
Semenjak perkelahian itu, aku diperlakukan wajar-wajar saja
olehnya. Akulah yang masih belum lega. Tidak karena Van Dorp
dengan sengaja menaruh potret telanjang miliknya di tempat
tidurku, tidak. Aku belum merasa lega sebelum aku
memperoleh jawaban, dari mana atau dari siapa Van Dorp
memperoleh potret telanjang Rita itu. Bukannya aku cemburu,
tidak. Aku hanya ingin tahu apa potret itu dibelinya dari Hok Gi.
Aku mencoba menganalisa. Seandainya Rita itu begitu berarti
baginya, potretnya tidak akan dibeber-beberkan di muka orang
banyak. Kemungkinan besar, Van Dorp tidak tahu siapa dia. Sulit
juga untuk menanyakannya secara langsung. Ah, aku tidak
punya kepentingan apa-apa lagi dengan Rita.
Entah bagaimana, setelah peristiwa perkelahian itu terjadi,
sikap Van Dorp terhadap diriku terlalu baik. Itu menurut ukuran
4 http://dewi-kzanfo/ 89 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangsi-penjara Tanah Merah. Mungkin ia sudah melampiaskan
kemuakan-nya habis-habisan. Jenuh sudah jadinya.
Anehnya lagi, pada suatu pagi hari aku dipanggil
menghadap. Kukira ada tugas tertentu yang harus kukerjakan.
Ternyata, aku diajaknya berlatih silat. Ah, rasa-rasanya seperti
dalam dongeng saja. Dia benar-benar mengajariku aliran silat
yang katanya berasal dari seorang guru silat di Ngawi, sewaktu
ia berdinas di tangsi Ngawi, dekat Madiun. Mendengar ceritanya
itu, semakin tergelitik keinginanku untuk dapat membuka tabir
potret telanjang Rita De Bruyn. Madiun kota tempat tinggal Rita,
ke Ngawi tidak seberapa jauh. Kami saling bertukar
pengetahuan pencak silat Van Dorp semakin terbuka terhadap
diriku. Malahan sedemikian jauhnya, sehingga ia sampai hati
untuk bertanya tentang pendapatku mengenai dirinya,
terutama tentang sikapnya sehari-harinya. Kujelaskan padanya,
bahwa semua tahanan benci setengah mati kepadanya. Van
Dorp tersenyum dan berkatalah kopral itu, "Ketahuilah, Kodok.
Aku memang sengaja membuat kalian benci kepadaku."
Cepat aku menanggapi, "Mengapa, Kopral" Dan apa
gunanya- membuat tahanan lebih sengsara di neraka ini?"
5 Lagi-lagi Van Dorp tersenyum. Jawabnya, "Justru karena
Tanah Merah ini neraka. Kalian sekarang ini punya orang untuk
dibenci dan dengan begitu kalian tidak membenci diri kalian
sendiri. Ada sesuatu yang menjadi milik bersama kalian.
Kebencian terhadap diriku. Itu penting. Kalau kalian tidak
memiliki sasaran untuk dibenci, pasti kalian akan selalu baku
hantam saja. Kalian akan membenci lingkungan yang tidak
bersahabat dan keras ini. Aku tahu, kau, Kodok, tidak akan
gampang menyesuaikan dirimu di tempat ini. Kau berdarah
panas. Kau akan banyak cari perkara kalau kau tidak
mengarahkan perhatianmu pada sesuatu. Kaulah yang harus
http://dewi-kzanfo/ 90 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kujaga. Oleh karena itu, aku selalu mempermainkan dirimu.
Benci kepada Gubermen yang membuang kalian kemari tidaklah
cukup. Gubermen ada jauh di Batavia sana. Aku mencoba agar
kalian bisa tahan di neraka ini, dengan caraku. Itulah rahasia di
belakang sikapku yang menjengkelkan dan memuakkan."
Aku hanya bisa menganga saja mendengarkan uraiannya.
Walaupun aneh, tapi mengandung kebenaran. Ada sesuatu yang
setiap harinya mengikat kami semua di tangsi itu. Kebencian
kami semua pada Kopral Van Dorp. Setiap hari cukup bahan
6 untuk membicarakan tingkah lakunya. Aku hanya mengangguk-
angguk saja. Di lain kesempatan berbincang-bincang, aku memberanikan
diri untuk mempersoalkan potret telanjang Rita De Bruyn.
Kutanyakan kepadanya, "Kopral, kalau aku boleh bertanya, beli
dari siapa potret perempuan telanjang yang Kopral taruh di
tempat tidurku?" Lama Van Dorp diam dan sambil menghela napas panjang ia
berkata, "Yah, aku sendiri yang membuat potret itu. Tidak perlu
kau tahu siapa dia, tapi aku mempunyai hubungan gelap dengan
perempuan yang luar biasa itu...."
Cepat aku menanggapi, "Luar biasa bagaimana, Kopral?"
"Luar biasa gairahnya dan aku sendiri pernah menjadi
seorang lelaki yang memang tidak pernah dapat dipuaskan
secara tuntas oleh hanya satu perempuan saja. Perempuan itu
dan aku menemukan apa yang kami butuhkan bersama. Yah,
sama-sama hiperseks. Namun akhirnya mencelakakan diriku
sendiri. Dia dan aku tidak hanya mampu saling memuaskan, tapi
akhirnya juga saling mencintai. Celakanya aku sudah beristri dan
dia pun sudah bersuami. Aku hampir saja terbunuh olehnya.
http://dewi-kzanfo/ 91 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

7 Sebelum aku dipindahkan ke Magelang ada kejadian yang luar
biasa. Yah, barangkali hanya terdapat dalan cerita roman saja.
"Pada suatu malam, suaminya yang masinis lokomotif itu
sedang bertugas. Jalur Madiun-Purwokerto yang dilayaninya.
Dia sering menginap di Purwokerto, jadi tidak pulang. Akulah
yang menggantikan kedudukan suaminya. Entah bagaimana,
setelah perempuan itu kuberitahu bahwa aku akan dipindahkan
ke Magelang dan akan meninggalkannya, dia menjadi histeris.
Perempuan itu yang menjadikan diriku seorang laki-laki yang
tidak berguna. Dipotonglah olehnya kebanggaanku itu dengan
pisau cukur. Perempuan itu sendiri yang membawaku ke rumah
sakit. Jiwaku tertolong. Dilaporkannya kepada petugas rumah
sakit bahwa dia menemukan diriku tergeletak di tepi jalan.
"Entah mengapa, aku tidak membuka rahasia itu. Setelah
aku sembuh, aku diperiksa polisi. Aku mengaku melacur. Aku
tidak kenal wanita yang kugauli itu, dan mengapa pelacur itu
sampai berbuat nekat aku juga tidak tahu. Polisi tidak percaya
begitu saja pada keteranganku, dan akhirnya aku hanya berkata,
Tuan Inspektur, aku tidak akan mengadukan perkara ini. Demi
kebaikanku dan demi kebaikan perempuan yang kugauli itu.'
"Perkaranya dimasukkan ke keranjang sampah. Ya... ya, aku
sampai kini pun masih mencintai perempuan yang membuatku
cedera semacam ini. "Sebelum aku berangkat ke Magelang, aku masih diizinkan
untuk 8 memotretnya dalam keadaan telanjang bulat menggiurkan. Kata-kata perpisahannya, 'Kees, maaf beribu
maaf, aku tidak rela milikku yang perkasa itu dimiliki oleh orang
lain. Membayangkan kau dimiliki oleh istrimu saja aku sudah
menjadi setengah gila. Aku kalap saat itu, Kees, aku sudah
kehilangan akal sehatku. Kecemburuanku meledak-ledak,
apalagi aku akan kehilangan senjatamu yang melumpuhkan itu."
http://dewi-kzanfo/ 92 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam hati aku dapat memahaminya, karena aku sendiri
mengenal perempuan itu luar-dalam. Kalau bukan lelaki
hiperseks tidak mungkin ia akan mampu melayaninya,
memuaskannya. Kalau sedang kumat gairahnya yang menyala-
nyala itu, aku benar-benar diterkamnya. Apalagi kalau aku saat
itu sedang tidak ada kemampuan. Aku dipukulinya, digigit-
gigitnya, dicakarnya. Yah, begitulah Rita... kasihan!"
Gumam Kees Van Dorp, "Sebagai seorang lelaki aku tidak
ada gunanya lagi. Aku bercerai dengan istriku. Aku dihinggapi
9 rasa rendah diri yang luar biasa. Walaupun sudah dipotong
sinyoku, itu tidak berarti bahwa gairahku menghilang. Ooo,
tidak sama sekali, tapi kalau aku pergi melacur, aku hanya
memperoleh tertawaan belaka. Tidak hanya orang-orang
perempuan saja yang mencemoohkan dan mengejek-ejek
diriku, tapi teman-teman setangsi juga. Ya maklum, di tangsi
mana pun kita mandi bersama. Rasa minder itu merusak
pribadiku. Ya, akhirnya aku ini lelaki bukan, perempuan pun
bukan. Aku harus keluar dari lingkungan yang mengetahui
keadaanku. Ada tawaran untuk bertugas di Nieuw Guinea, di
tengah hutan belantara. Aku menerima tawaran itu dan... di
sinilah aku sekarang. Sikapku yang aneh-aneh itu bukan karena
aku ini onzijdig (Tidak berkelamin), sama sekali tidak. Hal itu
sudah kuceritakan tadi, mengapa. Padaku tidak ada selera seks
lagi sekarang ini." Ternyata apa yang dikatakan oleh Van Dorp itu memang ada
kebenarannya. Walaupun dia memperlakukan diriku seperti
yang lain, tapi aku sudah tidak membencinya lagi. Aku
menghormatinya, bahkan menyayanginya. Barulah aku
merasakan tekanan batin yang hebat di Tanah Merah itu,
karena tidak ada lagi orang yang kubenci. Aku dihinggapi rasa
bosan yang sangat mencekam. Yah, pokoknya aku harus
http://dewi-kzanfo/ 93 10 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbuat sesuatu untuk mendobrak kejenuhanku itu. Aku
menempuh jalan nekat, asal aku terhindar saja dari rasa bosan
yang mencekam itu. Kudatangi Wirog dan kutanyakan
kepadanya, "Rog, bagaimana kalau aku ikut?"
Tampak adanya kegembiraan pada wajahnya yang beku itu.
Jawabnya, "Kau serius akan ikut?"
"Aku jadi ikut," tanggapku tegas. "Apa pun yang akan terjadi.
Gubermen tidak akan mampu mengubah masa hukumanku.
Sudah maksimum, terkecuali hukuman mati. Itu pun tak bakal
terjadi. Lain halnya kalau seluruh isi tangsi ini kubunuh semua."
Wirog belum dapat mempercayai kata-kataku. Celetuknya,
"Dok, mengapa kau jadi begitu sinis" Kau tidak dibenci lagi oleh
Van Dorp. Mengapa?" "Entah, Rog. Aku sudah tidak tahan lagi hidup di sini.
Walaupun sehari penuh bekerja berat, itu pun tidak mampu
menghalau rasa bosan. Ikut Kolone Patroli pun akhirnya ya itu-
itu juga. Pokoknya aku ikut. Gagal pun jadilah. Bisa untuk cerita
anak-cucu." "Dok, kau datang sebagai seorang penyelamat. Sebenarnya
hampir-hampir kubatalkan niatku itu, padahal kepala suku
Papatoro itu sudah siap dengan sampannya."
Kutanyakan kepadanya, "Lho, mengapa begitu?"
11 "Habis bagaimana?" jawab Wirog. "Kawan-kawan yang
pernah berjanji untuk ikut akhirnya mundur, ganti-berganti.
Sendirian, terlalu berat. Mudah-mudahan kali ini kau tidak akan
ingkar janji." "Percayalah, Rog. Aku ikut. Apa yang harus kulakukan?"
http://dewi-kzanfo/ 94 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau masih ada uang, Dok?" Wirog menanyakan. "Untuk di
perjalanan nanti." "Jangan khawatir. Masih ada, walaupun sebenarnya tidak
punya arti apa-apa. Siapa saja yang sudah tahu tentang
rencanamu itu, Rog?"
Wirog tidak segera menjawab. Katanya kemudian, "Kalau
kawan tahanan, aku percaya mereka tidak bakal berkhianat.
Yang kucemaskan... Hok Gi."
"Lho, apa hubungannya Hok Gi dengan rencana pelarian
itu?" "Cina itu pernah curiga. Untuk apa aku membeli garam dan
tembakau banyak-banyak?"
"Apa jawabmu?" kutanyakan.
"Aku bilang padanya, untuk ditukar dengan perempuan dari
suku Papatoro. Ia tetap tidak mau percaya. 'Lima ekor babi
12 diperlukan untuk itu,' katanya. Apa boleh buat," Wirog
menjelaskan. "Tak perlu ragu-ragu, Rog. Itu risikonya. Pokoknya, katakan
saja apa yang harus kukerjakan. Titik!" kataku tegas-
meyakinkan. Persiapan-persiapan akhir kami lakukan dengan sangat hati-
hati. Beras, gula, garam asal curian dari gudang kami
sembunyikan. Setiap kali bertugas membantu tukang masak si
Cicak dan si Kadal, garam, beras, sagu, jagung, gula, patatas,
gereh, ya apa saja, selalu kukurangi, kucuri. Cicak dan Kadal
kuperlakukan baik-baik. Dua orang itu tidak memerlukan uang
karena dicukupi segala-galanya oleh Van der Wal. Mereka hanya
memerlukan perlakuan yang akrab, memerlukan pengertian dan
http://dewi-kzanfo/ 95 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
persahabatan yang tulus. Itulah yang kami berikan. Kawan-
kawan tahanan lainnya biasanya hanya mengganggu dan
mengejek-ejek saja. Timbul pertanyaanku, mengapa mereka sampai dibuang ke
Tanah Merah ini" Dulu-dulunya aku tidak mempersoalkan,
tetapi semakin 13 akrab hubunganku dengan mereka, keingintahuan semakin menggelitik. Akhirnya aku dapat
menggali jawabannya. Di Ambon mereka pernah menjadi
piaraan seorang letnan KNIL, tapi letnan itu mengkhianati
mereka. Sang Letnan main cinta dengan seorang banci lain.
Cemburu memuncak dan kecemburuan hamba Allah seperti
Cicak dan Kadal itu jauh lebih intens, lebih mendalam sifatnya
daripada kecemburuan orang biasa seperti kita ini. Letnan itu
mereka bunuh. Hukumannya 20 tahun. Ya, suatu pembunuhan
yang direncanakan. Kini Van der Wal yang memelihara mereka.
Hari yang menentukan tiba. Hari itu giliranku dan Wirog
untuk mencari kayu bakar. Kesempatan baik itu yang kami
manfaatkan. Tidak sulit untuk bertemu dengan kepala suku
Papatoro yang bernama Kaboto itu. Ia selalu membayang-
bayangi tangsi penjara. Gerak-gerik orang-orang tangsi terus-
menerus diawasi oleh suku itu. Tiba di tepi hutan, Wirog
melambai-lambaikan kantong berisi garam. Tahu-tahu Kaboto
sudah begitu saja berada di dekat kami. Kantong garam
diberikan kepadanya dan dengan isyarat dan bahasa suku
Papatoro sepotong-sepotong Wirog mencoba menjelaskan
maksudnya. Kaboto menghilang ke dalam lebatnya hutan, tapi
Wirog cukup dapat menangkap isyaratnya agar kami berdua
14 mengikutinya. Cepat-cepat kami mengambil bekal yang
disembunyikan di suatu tempat tidak jauh dari tempat
pertemuan itu dan membuntuti Kaboto. Wirog dan aku
dibuatnya terheran-heran. Di hutan yang lebat itu terdapat
http://dewi-kzanfo/ 96 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lorong jalan setapak yang mudah dilalui orang. Rupa-rupanya
suku Papatoro biasa lewat lorong jalan setapak itu. Mungkin
juga Hok Gi, sebab Cina itu juga mampu menghilang begitu saja
ke dalam hutan, untuk kembali lagi beberapa jam kemudian
dengan kantong-kantong berisi bulu-bulu burung paradisa.
Setelah beberapa jam berjalan, kami tiba di tepi sebuah
sungai kecil, Sungai Miku, hulu Sungai Digoel. Di tempat itu
Kaboto menunjukkan sampan yang terbuat dari satu batang
pohon yang dipahat. Sungguh mengagumkan, kalau diingat
bahwa yang digunakan untuk memahat-mahat batang pohon
yang tidak kecil itu menjadi sampan hanyalah peralatan dari
batu hitam. Sampan itu tidak begitu besar memang, namun
cukup ruang untuk dua orang dan perbekalan. Tersedia dayung
empat batang. Mengapa empat, kami tidak tahu. Bukan
kebiasaan orang-orang suku Papatoro untuk menggunakan dua
dayung untuk setiap pendayung. Tahu-tahu Kaboto sudah
15 menghilang. Kata Wirog, "Tidak sulit untuk mencapai laut. Tinggal ikut
jalannya arus sungai saja."
Aku menanggapi, "Ya, memang logikanya begitu. Di bagian
hulu ini aliran sungai cukup deras, tapi di hilir sana lain.
Bagaimana soal buaya, Rog?"
Wirog tertawa. "Ya kita ini buaya-buaya Tanah Merah.
Jangan khawatir, buaya-buaya tidak akan menyerang manusia
kalau dia tidak kelaparan. Mari naik," jawabnya.
Perbekalan dinaikkan dan akhirnya berangkatlah Wirog dan
aku meninggalkan tepian sungai. Mula-mula aku yang
mendayung sebagai juru mudi. Kukira gampang, nyatanya
sampan itu melaju tidak lurus, zig-zag. Wirog mengumpat-
umpat. Katanya, "Dok, kalau begini caranya, tahun dua ribu
http://dewi-kzanfo/ 97 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nanti kita baru sampai di lautan. Rotsooi! Sini, aku yang
mengemudi." Kami berganti tempat dan sambil mendayung dan
mengemudi Wirog berkata, "Pasti kawan-kawan di tangsi sudah
akan merasa kehilangan dua orang." Ia tertawa berkepanjangan.
Bekas pelaut itu merasa begitu optimis bahwa kami pasti akan
16 dapat mencapai lautan. Entah, tapi bagiku semua itu kuanggap
petualangan saja. Hanya sebagai iseng belaka. Mencapai lautan
syukur, tidak pun bukan soal. Benar-benar aku menikmati
kebebasanku. Rasa-rasanya aku seperti masih anak kecil saja.
Main-main sampan di Kali Brantas Kunikmati apa yang
kurasakan, kulihat, dan kucium. Aku seperti orang yang
dilahirkan kembali. Kutanyakan kepada Wirog, "Berapa kilo ya
dari sini sampai lautan?"
"Berapa kilo" Itu tidak penting. Pokoknya kita sampai di
sana," jawab Wirog. "Ya, kalau sampai di sana, lalu bagaimana, Rog?" tanyaku
lagi. Wirog merasa kesal mendengar pertanyaan-pertanyaanku
yang dianggapnya kekanak-kanakan itu. "Itu soal nanti!"
jawabnya. "Jangan enak-enak saja. Ayo mendayung!"
Setelah beberapa jam lamanya mendayung dan matahari
sudah tinggi letaknya, barulah terasa sengatan sinar matahari.
Sampan tidak beratap. Aku menyeletuk, "Bagaimana, Rog, kalau
kita menepi dulu" Bikin atap dari daun-daunan."
Tanpa memberikan jawaban, Wirog mengemudikan sampan
ke arah tepian. Setelah sampan dilengkapi dengan atap yang
dibuat dari daun-daun pohon sagu, kami meneruskan
perjalanan. Laju sampan memang tidak selalu lurus. "Rog,
http://dewi-kzanfo/ 98 17 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya kau pelaut," celetukku. "Mendayung saja kurang
becus." "Aku pelaut, bukan tukang santang," jawabnya marah.
Lambat-laun kami menjadi mahir juga. Petualangan itu
kuanggap sebagai piknik saja.
Setelah beberapa hari mendayung, kami tiba pada
pertemuan Sungai Miku dengan Sungai Uwi-merah. Sungai
Digoel menjadi semakin melebar. Tiba-tiba Wirog menyeletuk,
"Dok, coba dengarkan... suara apa itu?"
"Tak salah lagi. Itu suara mesin kapal... Kapal Putih,"
jawabku. Perintah Wirog, "Ayo, cepat! Menepi!"
Jawabku bergurau, "Baik, Kapten!"
Kami mendayung sekuat tenaga untuk mencapai tepian
sungai. "Tiaraaap!" perintah Wirog. Sampan kurang ruang untuk
dua orang yang tiarap. Jadinya kami bertumpang tindih. Tidak
lama kemudian kami merasa seperti diayun-ayunkan.
Gelombang yang dilontarkan oleh kapal 18 itu yang menyebabkannya. Setelah gerak naik-turun mereda dan suara
mesin kapal menjauh, kami bangkit lagi. Tahu-tahu sampan itu
sudah terlempar ke dalam semak belukar di tepian. "Untung
tidak terbalik," gumam Wirog.
Kami melanjutkan perjalanan. Lima hari telah lewat. Kami
menepi hanya kalau mau menyiapkan makanan saja. Bahan
makanan sudah mulai menipis. Terbukti Wirog sudah
menyiapkan segala-galanya. Kami memancing dengan umpan
apa adanya. Sisa-sisa makanan. Sehari semalam kami mencoba,
tapi tanpa hasil. Wirog mengumpat-umpat. Ucapnya, "Ada
ikannya tidak Sungai Digoel ini."
http://dewi-kzanfo/ 99 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanggapku, "Sabaaar, sabaaar. Barangkali saja salah umpan.
Ikan di sini barangkali tidak biasa makan sagu. Maunya roti
kismis." Semula kukira Wirog akan menjadi marah. Tidak. Dia
tertawa terbahak-bahak. "Mungkin lebih suka ikan asin,"
celetuknya. Sambil mengaitkan daging ikan asin pada mata kail
ia bergumam, "Ikan Inlander!"
19 Kail dilemparkan ke dalam air. Aneh bin ajaib! Kail disambar
ikan dan berhasillah Wirog. Ikannya berwarna kemerah-
merahan. Cukup besar. Ajak Wirog, "Ayo menepi. Kita bakar.
Sudah lama tidak makan ikan."
Begitu tiba di tepian, kami dikejutkan oleh suara gemuruh.
Sekawanan buaya berloncatan mencebur ke dalam air.
"Awaaas!" teriakku. Gelombang air mengguncang-guncangkan
sampan. Hampir saja terbalik kalau Wirog tidak mempertahankan keseimbangan sampan.
Dalam hati aku mengagumi ketabahan temanku itu. Ia sama
sekali tidak merasa takut melihat kawanan buaya itu.
Kutanyakan kepadanya, "Rog, andaikata sampan terbalik dan
kita bersama-sama buaya-buaya itu masuk ke dalam air, apa
yang akan terjadi, Rog?"
Lagi-lagi Wirog tertawa. "Bodoh kau, Kodok," jawabnya.
"Buaya bukan hewan kanibal. Buaya tidak akan makan hewan
sejenisnya. Siapa kita ini, Dok" Sama-sama buaya."
Setelah selesai menikmati ikan hasil kailan, kami
meneruskan perjalanan lagi. Tampak Wirog memusatkan
20 pendengarannya ke satu arah. Gumamnya, "Bukan suara mesin
Kapal Putih... Astaga, astaga... kapal patroli! Dok, cepaaat,
minggiiiir!" Sekuat tenaga kami berusaha menepi sebelum kapal
http://dewi-kzanfo/ 100 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
patroli itu lewat. Ya, terlambat. Pengamat di kapal patroli itu
lebih dulu melihat kehadiran sampan kami di tengah Sungai
Digoel. Motorboot itu melambatkan putaran baling-balingnya.
Berdiri bertolak pinggang di atas geladak... Sersan Mayor Van
der Wal. Kapal patroli mendekat dan dengan gaya bicara sopan
dibuat-buat komandan KNIL penguasa Distrik Tanah Merah itu
berkata, "Wel, wel, gefeliciteerd, heren. Jullie hebben het wel
ver gebracht. Maar toch nog niet helemaal (Wel, wel, selamat,
selamat, Tuan-tuan. Cukup berhasil, cukup berhasil, tapi sayang
belum cukup" Bentaknya kemudian, "Potver-dorief ...Naik!"
Tangan-tangan diulurkan. Wirog dan aku naik, dan kapal
patroli itu memutar haluan. Kembali ke Tanah Merah. Jarak
tempuh lebih dari seminggu itu hanya ditempuh dalam
beberapa jam pelayaran saja. Sebagai ganjaran, kami berdua
ditelanjangi dan digiring masuk Hotel Holandia untuk satu
minggu lamanya. Entah berapa hari berapa malam kami tepekur
21 dalam suasana kegelapan itu. Kata Wirog, "Terus terang ya, Dok.
Aku sendiri juga sangsi, apa kita akan bisa mencapai lautan."
"Mengapa begitu?" aku bertanya.
"Barang-barang kecil kurang kuperhatikan. Agak lengah."
"Barang kecil apa, Rog?" tanyaku.
"Kantong kecil berisi kail-kail buatanku sendiri itu ada yang
tertinggal di kotak pakaian. Pasti itu yang memberi petunjuk
kepada Van der Wal bahwa kita melarikan diri lewat sungai,
tidak lewat daratan."
"Sudahlah, Rog, tidak perlu kita sesalkan. Aku juga tidak
menyesal. Suatu perjalanan yang mengasyikkan. Sekitar
http://dewi-kzanfo/ 101 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seminggu aku merasa bebas sebebas-bebasnya. Lepas dari
kejemuan dan kejenuhan di neraka ini."
"Ada tambahannya, Dok," kata Wirog, "kita juga lupa
kemahiran anjing kampung jelek kesayangan Van der Wal...."
Dengan tiba-tiba saja, cahaya matahari pagi dimuntahkan ke
dalam ruangan sel. Pintu sel dibuka orang. Terdengar suara
lantang Kopral Van Dorp, "Kodok... keluar!" Seragam tahanan
dilemparkan ke dalam, kupungut dan kukenakan.
Kataku kepada Wirog, "Wah, hukuman apa lagi yang bakal
22 kuterima." Wirog hanya diam saja. Acuh tak acuh ekspresi wajahnya. Ya,
wajah yang tak akan kulihat lagi. Aku menaiki tangga dan begitu
berada di luar sel, Kopral Van Dorp berkata, "Ikuti aku.
Menghadap Komandan."
Aku dikawalnya sampai pintu masuk ruang kerja Van der
Wal. Van Dorp mengetuk pintu angin. Terdengar suara,
"Masuk!" Kami masuk. Van Dorp menghormat dan melapor,
"Menghadapkan Kodok."
"Terima kasih. Keluar kau," jawab Van der Wal. Van Dorp
keluar. Van der Wal bangkit dari tempat duduknya, melangkah
mendekati diriku dan mengamati tubuhku dari kepala sampai
ujung kaki. Celetuknya, "Kau mimpi apa tadi malam, Suro
Pranoto?" Aku tidak bisa menjawab, tapi tegurannya itu agak
mencurigakan. Van der Wal pun menegur tahanan-tahanan
dengan nama baru ciptaan kopralnya. Timbul pertanyaan di
http://dewi-kzanfo/ 102 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benakku, mengapa dia memanggilku Suro Pranoto. Van der Wal
melanjutkan, "Duduklah, duduklah."
23 Aku menempati kursi yang tersedia di depan meja kerjanya.
Van der Wal kembali menempati kursinya. Katanya kemudian,
"Mau merokok lisong, Pranoto?" Tanpa menunggu jawabanku,
ia membuka kotak cerutu dan memberikan sebatang kepadaku.
Celetuknya, "Lisong mahal, Meneer Pranoto. Havana."
Dinyatakannya korek api dan diacungkan di depan ujung
cerutu yang sudah terselip di bibirku. Aku menyedot-nyedotnya
lalu mengepul-ngepulkan asap lisong. Van der Wal menanggapi,
"Heerlijk, heh. Je moet een Chinees er voor hebben om zulke
goede sigaren te kunnen krijgen. Verjaars cadeau van Hok Gi.
Die gladakker! (Enak, ya. Harus punya Cina untuk bisa mendapat
cerutu sebaik ini. Hadiah ulang tahun dari Hok Gi. Bajingan itu!)"
Aku hanya berdiam diri saja. Van der Wal melanjutkan, "Kau
kenal dengan orang Belanda yang bernama Ten Kate, Pranoto?"
Aku terkejut bukan main begitu nama itu disebut. Nama
yang sudah mulai kulupakan. "Insinyur Ten Kate, Tuan" Insinyur
Ten Kate?" "Nah, ketahuilah, Pranoto. Insinyur Ten Kate..."
Kupotong pembicaraan Van der Wal itu dengan berkata,
"Meninggal" Meninggal?"
Van der Wal tertawa terbahak-bahak. "Dood" Dood"
Meninggal " meninggal ")" celetuknya. "Juist niet, Meneer. Het
om-gekeerde. Hij is kerngezond nu. Jaa, kerngezond. (Justru
tidak. Tuan. Sebaliknya malahan. Dia segar bugar sekarang. Ya,
segar bugar.)" 24 Gumamku, "Allahu Akbar, Allahu Akbar!"
http://dewi-kzanfo/ 103 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Van der Wal tersenyum dan berkata, "Je mag op je knieen
gaan knielen en den Heere bedanken (Kau boleh berlutut di
hadapan Tuhan Yang Mahakuasa, dan bersyukur), Pranoto. Nah,
sekarang hadiah untukmu, Pranoto. Putusan hukuman diubah.
Tidak 20 tahun, tapi 15 tahun dan... kau dipindahkan ke
Nusakambangan." "Kembali ke Jawa, ke Jawa" Seperti mimpi saja," gumamku.
"Ya, ke Nusakambangan, Pranoto. Aku tidak salah ucap...
Nusakambangan," kata Van der Wal meyakinkan.
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) http://dewi-kzanfo/ 104 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
NUSAKAMBANGAN DIKAWAL oleh seorang kopral KNIL yang datang dari Tual
dan membawa putusan Gubermen, aku meninggalkan tangsi-
penjara Tanah Merah hari itu juga. Dengan sengaja dipilih waktu
25 sesudah kawan-kawan senasib meninggalkan tangsi untuk pergi
bekerja. Berjalan mundur kupandang untuk terakhir kalinya
tangsi-penjara yang kudiami selama lebih dari dua tahun itu. Tak
pernah aku menghiraukan sebelumnya papan nama yang
terpancang pada pintu gerbang tangsi itu. Tertulis dalam huruf-
huruf yang tidak terlalu besar: PLAA TSELIJK MILITAIR
COMMANDANT, TANAH MERAH, BOVEN DIGOEL. (Komandan
Militer Setempat, Tanah Merah, Boven Digoel.)
Perjalanan balik kuhayati. Tual, Ambon, Makassar, Surabaya,
tapi masih tetap dengan kedua belah tangan diborgol dan
dikawal oleh seorang agen polisi. Akhirnya aku berdiri di atas
dermaga setengah beton setengah kayu, Pelabuhan Cilacap.
Terbentang di hadapanku, di seberang selat yang tidak terlalu
lebar itu... pulau penjara Nusakambangan. Kami menunggu
kapal tambang yang akan menyeberangkan diriku ke tempat
pembuanganku yang baru. Lain sama sekali keadaan
Nusakambangan bila dibandingkan dengan Tanah Merah.
Penjara tetap penjara, tapi bukan penjara di tengah-tengah
hutan belantara di sudut dunia. Sama-sama di tengah-tengah
hutan, tapi yang akan kudiami adalah penjara di tengah hutan
jati tanaman manusia. Air mata meleleh-leleh. Tanya agen polisi pengawal, "Kenapa
kau menangis, Dik?" Jawabku tersendat-sendat, "Terharu aku melihat pulau di
depan itu. Di pulau itu aku akan menghabiskan masa
26 hukumanku." http://dewi-kzanfo/ 105 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Agen polisi itu menanggapi, "Aku sebenarnya tidak boleh
bertanya-tanya, tapi mengapa kau sampai dibuang ke
Nusakambangan" Kau bukan bajingan. Ah, tabahkan saja
hatimu, Dik. Bersikaplah yang wajar-wajar saja di sana. Siapa
tahu kau akan mendapat keringanan hukuman."
"Terima kasih, terima kasih, Tuan," jawabku.
Kapal tambang tiba. Orang menolongku meloncat di atas
geladak dan diikuti oleh agen polisi yang aku tidak tahu
namanya, walaupun dialah yang mengawalku semenjak aku
turun dari kapal di Tanjung Perak. Kapal tambang kecil itu
melaju ke pantai Nusakambangan dan mendarat begitu saja di
pantai pasir. Sebuah kereta tahanan berkuda sudah menunggu
untuk membawaku entah ke mana.
Tiba di sebuah bangunan kantor penjara, aku turun dan
dikawal agen polisi itu, memasuki sebuah ruang tunggu. Rupa-
rupanya agen polisi itu sudah biasa mengawal rantaian yang
akan menghuni Pulau Nusakambangan. Aku disuruhnya duduk
di atas bangku dan tak beberapa lama kemudian seorang
petugas muncul membawa surat-surat. Berdiri di hadapanku
27 seorang petugas yang mengamatiku dengan saksama. Ia masih
saja diam dan menatap wajahku. "Kalau tak salah aku pernah
melihatnya," gumamnya. "Surabaya, Surabaya... Wajah Buldog.
Suro Buldog. Astaga... Kau Suro Pranoto. Aku anak Mulo, ya, aku
pernah berkelahi dengan kau."
Saat itu aku lupa bahwa aku adalah seorang rantaian. Aku
ingat siapa petugas itu, Jopie Vermeer. Serta-merta aku berkata,


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jopie Vermeer!" Aku yang sudah berdiri hendak memeluknya,
terhalang oleh belenggu dan rantai besar yang menghiasi
tangan-tanganku. "Ya, Tuan, aku Suro Pranoto," jawabku.
http://dewi-kzanfo/ 106 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gumam Jopie Vermeer, "Aku baru tahu sekarang ini kalau
ada penjara namanya Tanah Merah, Boven Digoel."
Aku diam saja. Bukan urusanku. Itu urusan Jawatan Penjara.
"Maaf, aku hanya menjalankan tugas, Pranoto. Kau akan
menempati sel Nomor Z-27. Voor zware jongens (Untuk tahanan
berat). ...Bagyooo!"
Tidak sengaja aku menoleh ke kiri. Aku melihat diriku pada
cermin kuno yang terpancang di ruang tunggu itu. Entah apa
fungsinya cermin itu di situ. Aku hampir-hampir tidak mengenali
diriku kembali. Aku bukan Suro Buldog lagi. Aku menjadi
28 langsing sudah. Seorang petugas berseragam muncul. Vermeer memerintahkan, "Administrasinya sudah beres. Bawa surat ini
dan tunjukkan kepada Tuan Sipir Blok Z."
Petugas itu menghormat dan menggandengku menuju
tempatku yang baru. Masih sempat agen polisi berbisik di
telingaku, "Yang tabah saja, Dik." Aku hanya mengangguk saja.
Langsung aku dimasukkan ke sel Z-27. Bukan los tahanan
seperti di Tanah Merah. Aku tamu terhormat, memperoleh sel
tersendiri. Segala-galanya terbuat dari beton, kecuali pintunya
saja yang terbuat dari besi. Tempat tidur pun dari beton, yang
sebenarnya hanya lantai yang dipertinggi saja. Tersedia tikar
kecil untuk salat. Ya, rupa-rupanya aku dianggap tahanan yang
berbahaya, sampai makan pun diantar ke kamar sel. Di
Nusakambangan aku memperoleh predikat sebagai penjahat
ulung. Entah ulung dalam hal apa, aku tidak tahu.
Hari dan malam pertama aku dibiarkan bersantai-santai
dalam kandang. Hari kedua, pagi-pagi sebelum waktu subuh,
http://dewi-kzanfo/ 107 29 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang petugas yang membawa tongkat membangunkan
tahanan dengan cara memukul-mukul jeruji-jeruji dan pintu-
pintu sel-sel. Bukan main ramainya, seperti ada gerhana
matahari saja. Apa saja dipukuli agar kami bangun. Begitu
bangun, kami langsung harus membersihkan kandang, terutama
sudut sel yang ada kakusnya. Setelah itu digiring ke tempat
mandi. Sehabis mandi dibariskan, apel, dicacah jiwa. Digiring
lagi ke ruang makan. Yang bekerja di tempat makan adalah
tahanan-tahanan juga, bergiliran. Peralatan makan semuanya
terbuat dari kayu dan baru kemudian aku tahu bahwa semuanya
produksi Nusakambangan Tahanan yang dianggap super
diperlakukan secara khusus. Tidak banyak jumlahnya, hanya
sekitar lima belasan. Umumnya pembunuh residivis, perampok,
dan sebagainya, yang hukumannya sekitar dua puluh tahunan.
Walaupun hukumanku sudah dikurangi menjadi 15 tahun, aku
masih saja dimasukkan dalam kategori tahanan berat.
Bangunan penjara tidak hanya satu, melainkan terdiri dari
blok-blok yang terpisah-pisah. Bila dibandingkan dengan tangsi-
penjara Tanah Merah, bagiku Nusakambangan itu seperti
sebuah pertamanan yang sangat luas saja. Sama-sama hutan,
tapi berbeda setinggi langit Hutan jati buatan manusia yang-
teratur rapi. Hari pertama aku ikut men-cangkul cangkul lahan
30 untuk ditanami ubi jalar. Di samping pimpinan resmi, sang Sipir
Blok, masih terdapat pimpinan tidak resmi, jagoan Blok Z,
seorang penjahat yang ditakuti tahanan-tahanan lainnya.
Perampok asal Wonogiri, Mudasir namanya, yang tampaknya
bukan hanya pemimpin siluman di Blok Z saja, tapi
kepemimpinannya itu diakui oleh tahanan-tahanan di blok-blok
lainnya. Mula-mula aku tinggal diam saja, mempelajari berbagai
tradisi yang berlaku di antara kaum tahanan. Memang beda
sekali keadaan Nusakambangan dengan Tanah Merah. Tanah
http://dewi-kzanfo/ 108 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Merah diisi dengan tahanan bukan penjahat, tapi Nusakambangan isinya lebih banyak penjahat daripada yang
bukan. Seperti halnya di Tanah Merah, di Nusakambangan pun
tahanan mendapat nama baru dari sesama kawan tahanan dan
Mudasir-lah sang pemberi nama. Aku memperoleh nama Precil,
31 anak kodok. Rasa-rasanya aku seperti dihina saja. "Yah, aku
harus menyesuaikan diri dulu. Tunggu tanggal mainnya saja,"
pikirku. Aku gigih mencangkul-cangkul, tidak karena memang harus
mencangkul, tapi sekaligus aku melatih diri untuk menghadapi
tekanan-tekanan dari tahanan-tahanan lain yang merasa dirinya
jagoan. Di antara tahanan, berlaku hukum rimba. Dia yang kuat,
dia yang berkuasa. Aku mencangkul sambil berdiri pasang kuda-
kuda, naik, turun, naik, turun, untuk mengembalikan kekuatan
otot-otot kaki-kakiku. Malam hari di dalam selku, aku juga
berlatih. Satu-satunya orang yang memperhatikan gerak-gerikku
adalah Mudasir, jagonya Nusakambangan. Sakit rasa hatiku
dijadikan pesuruh oleh teman-teman tahanan jagoan. Masih
untung aku tidak masuk selera para jagoan untuk dijadikan
pacar seks mereka. Sementara waktu aku hanya dijadikan
tahanan kelas kambing. Jadilah!
Makanan cukup baik di Nusakambangan, tidak seperti di
Tanah Merah. Aku tidak perlu takut kekurangan gizi dan kalori.
Lambat-laun rasa percaya pada diri sendiri tumbuh kembali.
Selalu kukatakan pada diriku, "Suro Buldog, laat je niet kennen.
Laat zien wat je waard bent (jangan mau diremehkan orang.
Perlihatkan kemampuanmu)."
Lahan-lahan tanaman ubi jalar, singkong, sayur-mayur, dan
lain sebagainya tersebar di pulau itu. Pulau yang indah
Nusakambangan 32 itu sebenarnya. Samudera Hindia menakjubkan, dengan ombak-ombak besar bergulung-gulung
http://dewi-kzanfo/ 109 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setinggi rumah susun, mengempas-empas pantai batu dan
karang dengan dahsyatnya. Ada kawasan terlarang di situ.
Letaknya di sudut sebelah timur pulau. Di tempat itu ada
benteng bawah tanah. Benteng meriam yang menjaga mulut
masuk Pelabuhan Cilacap. Rupa-rupanya Pelabuhan Cilacap itu
dianggap penting oleh Belanda. Kadang-kadang terdengar
gemuruhnya suara tembakan meriam-meria m. Pasukan meriam
sedang latihan. Pada suatu hari aku sempat bekerja di sudut pulau sebelah
timur. Aku melihat ada beberapa pulau kecil-kecil di seberang
laut. Gumamku, "Ya, di sanalah konon tumbuh bunga
wijayakusuma, bunga yang dikeramatkan dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan bagi upacara penobatan raja-raja
Jawa." Selang beberapa lama, rasa-rasanya aku kembali
berubah menjadi Suro Buldog yang mampu merobohkan Bob
33 Muisch, tapi masih dikalahkan oleh Kopral Van Dorp. Namun
bakal lawan-lawanku di Nusakambangan itu bukan Bob Muisch
dan Van Dorp yang tahu aturan permainan.
Pada suatu hari, kami sedang asyik mencangkuli dan
membersihkan lahan tanaman singkong dari rerumputan yang
tumbuh di sela-sela batang tanaman yang berharga itu. Dengan
tiba-tiba seorang tahanan yang bernama Bligo, begitu saja tanpa
alasan melemparkan paculnya jauh-jauh. Saat itu pengawal
sedang pergi entah ke mana. Bentak Bligo, "Percil... ambilkan
Manusia Meteor 1 Wiro Sableng 019 Pendekar Dari Gunung Naga Prahara Darah Biru 2
^