Pencarian

Suro Buldog 3

Suro Buldog Karya Pandir Kelana Bagian 3


paculku!" Lazimnya aku tidak menolak, menurut saja. Tapi kali itu
gairahku untuk menguji kemampuanku menggebu-gebu.
Jawabku santai, "Ambil sendiri!"
Teman-teman tahanan lainnya agak tercengang mendengar
jawabanku itu. Mereka tahu bahwa Bligo bukanlah anak
http://dewi-kzanfo/ 110 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemarin dalam soal berkelahi. Ia termasuk jagoan kelas dua di
pulau penjara itu. "Aaa, mau coba-coba ya, Cil?" tanggap Bligo.
Jawabku singkat, "Bukan di sini tempatnya, Kang. Nanti di
tempat mandi." Terasa pundakku dipegang orang. Aku menoleh.
Berdiri di belakangku Mudasir, alias Celeng.
34 "Kau sudah bosan jadi kacung, ya" Apa kau tahu siapa yang
bakal kauhadapi, Cil" Remuk kau nanti," katanya.
"Benar, Kang, aku bosan jadi kacung. Dia yang akan
kujadikan kacungku," jawabku tenang.
Mudasir tertawa terbahak-bahak, tapi terasa ia mempunyai
perasaan iba kepadaku. Bisiknya di telingaku, "Hati-hati, Cil.
Amati kaki kirinya. Itu yang berbahaya."
"Terima kasih, Kang," jawabku.
Gumam Pedet, "Gila Percil. Mau melawan Bligo."
"Biar tahu rasa," tahanan-tahanan lain menambahkan.
Jam empat sore, kami diistirahatkan dan boleh mandi.
Mengalir dekat lahan itu sebuah sungai kecil yang dibendung
sebagai tempat pemandian. Teman lain mandi-mandi, aku dan
Bligo menyelinap pergi mencari tempat adu jotos, tidak jauh
dari tempat pemandian itu. Anehnya, pengawal yang jaga
berpura-pura tidak melihat kami pergi. Dari tempat pemandian
itu kawan-kawan lainnya masih bisa melihat aku dan Bligo adu
jotos. Sambil berjalan menuju tempat yang lapang, aku berpikir,
"Pasti Bligo akan meremehkan diriku. Itu lebih baik. Aku tidak
boleh berkelahi berkepanjangan. Kaki kirinya yang berbahaya.
Baik!" Kami menemukan tempat yang memenuhi syarat. Berhadap-
hadapan dengan jarak beberapa meter, Bligo langsung saja
http://dewi-kzanfo/ 111 35 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melejit. Bukan kaki kirinya yang digunakan untuk menyepak.
Aku masih sempat menghindar. Pikirku, "Ah, belum waktunya
untuk menggunakan teknik jiu-jitsu ajaran Kopral Van Dorp."
Sengaja aku main kasar, tapi aku yakin, aku mampu
menundukkan Bligo. Bligo melejit lagi, tapi kali itu kaki kanan
Bligo juga tidak mengenai sasaran. Ganti aku meloncat, tapi
Bligo memang cekatan. Ia menunduk. Kakiku juga tidak
mengenai sasaran. Dengan tiba-tiba saja, cepat bagaikan kilat,
kaki kirinya melayang dan tepat mengenai lenganku. Tampaknya
Bligo hendak melumpuhkan tangan-tanganku. Betul apa yang
dikatakan Mudasir. Kaki kirinya memang berbahaya. Pikirku,
"Kaki kirinya yang harus kuhantam." Aku melejit. Bligo tidak
mengira sama sekali bahwa aku akan menghantam kakinya.
Terlambat sudah. Tumitku sudah bersarang pada lutut kirinya,
sedemikian kerasnya, sehingga ia sampai jatuh terduduk di
tempat Kaki yang dibanggakannya itu sudah tak berguna lagi.
Berdiri pun sudah susah, apalagi untuk berkelahi.
Tanpa berbicara sepatah kata pun kutinggalkan arena. Bligo
masih saja jongkok. Pengawal yang secara diam-diam
membiarkan kami berdua berkelahi berteriak, "Bligoooo...
jangan berak di situ!" Meledaklah tawa teman-teman tahanan
yang sambil mandi menyaksikan perkelahian yang sangat
36 singkat itu. Bligo merangkak-rangkak kembali ke tempat pemandian.
Sambil berendam-rendam dalam air di sampingku dan
menggosok-gosok tubuhnya dengan batu apung, Bligo berkata,
"Aku kalah, Cil. Kau bukan kacungku lagi."
Jawabku sopan, "Terima kasih, Kang. Maafkan aku."
Aku heran, di antara jagoan bajingan juga ada jiwa
sportivitas, tapi sebaliknya kawan-kawan tahanan juga terheran-
http://dewi-kzanfo/ 112 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
heran mengapa aku sama sekali tidak unjuk kesombongan
terhadap Bligo. Kataku selanjutnya, "Kang Bligo, kita senasib.
Lima belas tahun. Untuk apa harus bermusuhan dan saling
merendahkan." Bligo memandang ke arahku dengan ekspresi wajah penuh
tanda tanya. Ia belum paham sepenuhnya apa yang kumaksud,
tapi ia hanya diam saja. Sesudah peristiwa perkelahian itu, aku memperoleh namaku
kembali. Kodok! Ajakan adu jotos tidak berhenti di situ saja.
Kawan-kawan lain menantang. Syukurlah, aku masih mampu
mengalahkan mereka, tanpa harus mencederai.
Perkelahian yang cukup memeras keringat bagiku, adalah
37 melawan bajingan yang ngoroknya seperti kambing jantan yang
sedang birahi. Namanya Dahlan Bandot. Pemimpin tahanan
nomor dua, sesudah Kang Mudasir. Walaupun Kang Mudasir
sudah memperingatkan, bahwa aku tidak boleh membiarkan
Dahlan Bandot tetap berdiri di atas kedua belah kakinya,
ternyata tetap masih sulit bagiku untuk mengalahkannya. Aku
terpaksa menggunakan jiu-jitsu ajaran Kopral Van Dorp (yang
sebenarnya kucadangkan bagi Kang Mudasir. Aku tahu, bahwa
pada akhirnya, aku harus berhadapan dengan Kang Mudasir
juga. Celakanya, Kang Mudasir ikut menyaksikan perkelahianku
dengan Dahlan Bandot itu.) Sambil berkelahi, setapak demi
setapak, aku beralih ke gaya jiujitsu. Aku sama sekali tidak
berniat untuk merobohkan Dahlan Bandot. Biar dia roboh
dengan sendirinya saja. Aku tidak menyerang, tetapi hanya
bertahan dengan mengelak-elak saja. Sebaliknya, Dahlan
Bandot memeras segala kekuatan, gaya, dan jurus-jurus yang
ada padanya untuk dapat memenangkan perkelahian itu. Entah
untuk berapa lama kami bertarung. Pada akhirnya, ia kehabisan
jurus, napas, dan tenaga, sedemikian jauhnya, sampai kaki-
http://dewi-kzanfo/ 113 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kakinya tidak mampu lagi menopang tubuhnya yang kekar itu. Ia
38 jatuh menggeletak tak berdaya di atas tanah. Ia kuhampiri,
kubantu berdiri dan kupeluk. Bisikku, "Kang Bandot, aku banyak
belajar dari Kang Bandot. Terima kasih." Bisik Dahlan Bandot
kembali, "Aku menyerah, Dik. Mudah-mudahan kau mampu
mengalahkan Kang Mudasir."
Mula-mula aku heran, mengapa pengawal-pengawal itu
membiarkan saja kami berkelahi. Baru kemudian aku tahu
bahwa perkelahian antar-tahanan memang tidak bisa dicegah.
Kami dibiarkan berkelahi, asal tidak di dalam gedung. Hukum
rimba sulit diberantas memang. Lazimnya perkelahian-
perkelahian itu berlangsung manakala ada penghuni baru yang
masuk. Yang sangat memperhatikan cara-caraku berkelahi tidak
lain adalah Mudasir. Aku tahu, pada akhirnya nanti aku dan
Mudasir pasti akan memperebutkan kedudukan pimpinan
jagoan di Nusakambangan. Ya, pada akhirnya aku harus
berhadapan dengan Mudasir juga, suka tidak suka.
Sore hari itu Mudasir menghampiriku, katanya, "Dik Kodok,
kapan kita bisa latihan bersama" Tak perlu ribut-ribut. Hanya
kau dan aku saja, tidak perlu ada orang lain yang tahu."
"Baiklah, Kang, terserah padamu kapan dan di mana,"
jawabku sopan. Sengaja aku tak pernah memanggilnya Kang
Celeng seperti yang lain. Tetap kupanggil Kang Mudasir. Hal itu
sangat dihargainya. Entahlah, aku menaruh simpati kepada
perampok kaliber besar itu. Anehnya, secara timbal balik
Mudasir juga menghargainya.
39 Hari yang telah ditentukan tiba. Sore hari sehabis kerja
lapangan, seperti biasanya tahanan-tahanan digiring kembali ke
bui. Saat itu Mudasir menghampiri petugas pengawal. Ia
mengatakan sesuatu kepada pengawal itu. Pengawal
http://dewi-kzanfo/ 114 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengangguk. Langsung Mudasir mengajakku pergi, masuk ke
hutan jati. Kutanyakan kepada Mudasir, "Bicara soal apa kau
dengan pengawal, Kang?"
Mudasir tersenyum, jawabnya, "Pengawal itu dulu juga
bekas bajingan jagoan, tapi dia sudah bertobat dan diterima
bekerja di penjara ini, berkat jasanya sewaktu penjara
menghadapi kebakaran besar. Dialah yang mampu mengerahkan tahanan-tahanan untuk ikut memadamkan
kebakaran dan tak ada seorang pun yang menggunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri. Aku minta izin kepadanya
untuk boleh menghajar tahanan yang namanya Kodok Suro
40 Pranoto." Mudasir tertawa.
Kami menemukan tempat yang cukup baik. Ajak Mudasir,
"Mari mulai saja, Dik." Ia membuka jurusnya.
Melihat jurus pembuka itu, aku agak terheran-heran
dibuatnya. Aku paham betul jurus pembuka itu. Silat aliran Kiai
Bondan yang pernah kudalami. Pikirku, "Ah, mengapa aku harus
melayaninya?" Aku menemukan akal. Mengapa tidak kutirukan
saja jurus pembukanya. Mudasir-lah yang ganti terheran-heran.
Ia mempertontonkan jurus-jurus yang gerakan-gerakannya
seperti tarian belaka. Kutirukan lagi jurus-jurusnya dan begitu
seterusnya, sampai Mudasir kehabisan jurus yang pernah
dipelajarinya. Ternyata, aku masih mempunyai beberapa jurus
sisa yang belum pernah dipelajari olehnya. Jurus yang kuperoleh
dari Kiai Bondan sendiri secara khusus. Mudasir tidak mampu
menirukannya. Siasatku berhasil, ya berhasil!
Akhirnya Mudasir mempertontonkan jurus penutup. Lagi-
lagi aku menirukannya dan apa yang kuharap-harapkan itu
betul-betul terjadi. Bekas perampok dan jagoan Nusakambangan itu menghormat ke arahku, melangkah
http://dewi-kzanfo/ 41 115 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendekatiku, dan aku dipeluknya kuat-kuat sambil menangis.
Celetuknya, "Maaf, maaf, Dik Pran. Aku tidak pantas menjadi
murid Kiai Bondan. Aku mendurhakainya. Ajaran alirannya
kugunakan untuk merampok dan membunuh, ya, kugunakan
untuk merebut kekuasaan di Nusakambangan ini. Dua jurus
yang terakhir itu yang tidak aku peroleh dari Kiai Bondan. Bukan
main indah dan hebatnya. Aku menyerah kalah, Dik Kodok."
Terharu aku mendengar pengakuannya itu. "Kang Mudasir
tidak pernah kalah," tanggapku. "Mana aku bisa mengalahkan
Kang Mudasir, walaupun aku memperoleh dua jurus lebih
banyak. Mari pulang, Kang."
Mudasir memegang kedua pundakku, menatap wajahku,
dan berkata, "Menurut keterangan Kiai Bondan, hanya dua
orang yang memperoleh dua jurus terakhir itu. Yang satu aku
tahu, orang yang menangkapku sewaktu aku merampok. Ndara
Asisten Wedana Baturetno. Yang lain aku tidak tahu. Apakah
kau orang yang kedua itu, Dik?"
"Mungkin, aku tidak tahu," jawabku. "Mungkin aku murid
Kiai Bondan yang termuda sebelum beliau wafat. Kang Mudasir
kakakku." "Dik Pran, aku murid yang murtad, murid yang berkhianat.
42 Aku merampok, membunuh," kata Mudasir penuh penyesalan.
"Jangan begitu, Kang. Masih banyak kesempatan untuk
memperbaiki diri. Kukira Kiai Bondan akan dapat memaafkanmu, Kang," aku menanggapi.
Lagi-lagi Mudasir menangis dan kembali mendekapku kuat-
kuat. Celetuknya, "Kau sekarang pemimpin di Nusakambangan
ini. Bukan aku lagi."
http://dewi-kzanfo/ 116 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Kang," jawabku. "Kau lebih tua dariku. Marilah
bekerja sama untuk hal-hal yang baik."
Kami pulang ke gedung penjara, sebagai sahabat, tidak lagi
sebagai lawan yang memperebutkan mahkota jagoan
Nusakambangan. Di jalan pulang Mudasir menanyakan hal
ikhwal tentang sebab-musabab kehadiranku di Nusakambangan
itu. Jawabku, "Aku menganiaya orang sampai cedera, Kang."
43 "Kau membunuh orang" Ah, tidak mungkin. Kalau kau
pembunuh, waktu kau berkelahi dengan Bligo, jago konyol itu
pasti akan kauhajar habis-habisan. Kau tidak berbuat itu. Kau
terlalu baik untuk seorang pembunuh, Dok."
"Kukatakan tadi. Aku menganiaya orang dan bukan
sembarang orang. Seorang pembesar Belanda. Ya, seperti Tuan
Sipir Kepala di sini. Semula ia cedera karena kupukuli dengan
tongkat. Lumpuh dia untuk selama-lamanya. Untuk itu aku
dibuang jauh ke Tanah Merah. Kemudian terbukti Belanda itu
sembuh. Hukumanku dikurangi. Aku

Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipindahkan ke Nusakambangan ini. Hukuman tidak jadi dua puluh tahun, tapi
hanya lima belas." Mudasir mengangguk-angguk lalu berkata, "Kalau begitu aku
benar. Kau bukan bajingan seperti aku dan yang lain-lain."
Aku balik bertanya kepadanya dengan berkata,
"Kalau aku boleh tanya, Kang, mengapa kau... maaf... Kakang
jadi penjahat" Padahal didikan Kiai Bondan tidak begitu. Kau
melanggar sumpah, Kang."
Mudasir diam, kemudian ia berkata, "Entahlah, Dik. Tahu-
tahu aku sudah menjadi perampok. Asal mulanya, aku tergila-
gila pada seorang ledhek (penari). Ke mana pun ia pergi kuikuti.
44 Akhirnya ia mau melayaniku, tapi aku diperasnya habis-habisan,
http://dewi-kzanfo/ 117 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan lambat-laun kekurangan uang. Mula-mula aku jadi pencuri,
maling. Ya, akhirnya aku memilih jalan pintas yang mudah. Aku
merampok dan... tak segan-segan membunuh korbanku.
Ganjaranku tidak hanya sepuluh, dua puluh, tapi... seumur
hidup. Itulah. Aku menyesal, tapi semua itu sudah telanjur, Dik
Kodok, telanjur! Bayangkan, Dik, seumur hidup."
Mudasir, jagoan Nusakambangan itu, menangis. Ia tampak
benar-benar menyesali segala perbuatannya. "Kakang berkeluarga?" aku bertanya.
Jawabnya lunglai, "Itulah yang kurasakan berat, Dik. Semula
aku sopir taksi, malahan sudah mempunyai mobil taksi sendiri.
Kurang apa" Mardiyem si ledhek itu yang bikin gara-gara. Taksi
kabur dan tidak itu saja, rumah dan pekarangan pun kujual
untuk bisa memelihara Mardiyem yang rakus itu. Akhirnya, aku
jadi perampok dan pembunuh. Aku menyesal, tapi terlambat
45 sudah. Aku menjadi kalap begitu melihat Mardiyem dipelihara
orang lain, dan aku tak mampu mengendalikan diriku lagi,
begitu cemburunya aku, dan tidak hanya lelakinya saja, tapi
Mardiyem kubunuh juga. "Setahun sekali keluarga boleh menengok. Berat, Dik,
sungguh berat. Jadi jagoan di Nusakambangan ini hanya sekadar
iseng belaka. Untuk memelihara harga diri dan aku memang
tidak suka diperintah orang, apalagi dikalahkan. Sifat itu
barangkali yang menjerumuskan diriku. Aku tidak mau diungguli
oleh orang lain. Ya, tidak mau kalah dengan orang yang mampu
dan sanggup memanjakan Mardiyem."
"Maaf, Kang, aku tidak bisa memberi nasihat apa pun, tapi
barangkali kita berdua bisa berbuat baik di pulau penjara ini."
"Apa rencanamu, Dik?" Mudasir menanyakan.
http://dewi-kzanfo/ 118 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Entahlah, tapi pasti ada sesuatu yang dapat kita kerjakan,"
jawabku. Hari berikutnya, sambil mencangkul-cangkul aku merasa
bahwa diriku terus diamati teman-teman tahanan, sebab aku
akrab berbincang-bincang dengan Mudasir.
Sama halnya seperti yang kuhayati di Tanah Merah, rasa-
46 rasanya di Nusakambangan ini waktu juga berlalu sangat
lamban. Setiap harinya ya itu-itu juga yang kami lakukan.
Perkelahian antar-tahanan untuk merebut kedudukan terhormat diantara mereka, merupakan intermeso dalam
mengarungi kehidupan yang monoton itu.
Sementara itu Mudasir berubah perangai. Sebagai jagoan ia
tidak semena-mena lagi terhadap kawan-kawan sepenjara.
Pengaruh sikapnya yang berubah itu terasa sekali. Hukum rimba
berangsur-angsur memudar. Pikirku, "Apa selanjutnya" Tanpa
ada kegiatan lain yang baik dan mengasyikkan, suasana yang
mulai berubah itu akan memburuk kembali."
Pikiran untuk menemukan cara bagaimana menyadarkan
kawan-kawanku itu menyibukkan diriku siang-malam. Apa yang
dapat kulakukan" Penjara memang, tapi bukan penjara sangkar
burung atau kurungan jago yang dibatasi oleh tembok-tembok
tinggi. Tidak sama sekali. Kami selalu bekerja di alam terbuka
yang cukup luas. Tahanan-tahanan dipekerjakan sebagai
perawat hutan, diberi latihan berbagai keterampilan seperti
anyam-menganyam, ukir-mengukir, berpandai besi, membuat
sepatu, jahit-menjahit, dan lain sebagainya. Kesempatan untuk
melarikan diri memang ada, asal pandai dan sanggup berenang
47 cukup lama saja. Namun penjagaan begitu ketat, baik di pulau
itu sendiri maupun di seberang selat, sehingga siapa saja yang
http://dewi-kzanfo/ 119 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melarikan diri, akhirnya tertangkap juga. Hukumannya, masuk
sel khusus untuk beberapa minggu.
Setelah beberapa lama berada di Nusakambangan, aku
memperoleh keringanan untuk dapat dikunjungi oleh sanak
keluarga. Langsung saja aku menulis surat kepada Mas Sudibyo,
dengan harapan ia masih bermukim di Tasikmalaya. Kualamat-
kan ke sekolahnya. Begitu selesai menulis, surat itu kubaca
ulang berkali-kali. Rupa-rupanya begitu janggal. Betulkah Pak
Sudibyo itu masih mertua angkatku" Apakah Hartini masih tetap
istriku" Sudah sekian lamanya aku tak mampu memberi kabar
sepatah kata pun, apalagi memberinya nafkah. Sesuai dengan
perjanjian nikah, Hartini mempunyai hak untuk memilih teman
hidup yang lain. Gumamku, "Apa pun yang terjadi, demi
anakku." Akhirnya kuputuskan, surat tetap kukirimkan.
Lama aku tak memperoleh jawaban. Pikirku, "Dugaanku
benar. Hartini sudah menikah lagi. Yah, aku sendiri yang dulu
mengizinkan." Setelah agak lama menunggu, pada suatu hari
datanglah surat jawaban dari Mas Sudibyo. Dengan tangan-
48 tangan gemetar, kubuka dan kubaca surat itu. Isinya terlalu
singkat. Sekalipun aku sudah memperhitungkannya, namun
begitu membaca bahwa Hartini sudah diperistri orang, rasa-
rasanya bumi mulai berputar-putar. Akhirnya aku mampu
menerima kenyataan itu, hanya yang kusesali, suaminya itu
seorang sersan KNIL, tentara penjajah. Baru aku sadar mengapa
jawaban Mas Sudibyo begitu lambat datangnya. Sulit baginya
untuk menjelaskannya. Aku diminta untuk menjatuhkan surat di
sekolah saja, tidak di rumahnya.
Surat-surat berikutnya menyusul, setelah kuberitahukan
kepada Mas Sudibyo bahwa aku sudah dapat menerima
kenyataan itu. Sekaligus kutanyakan juga keadaan anakku. Tak
lama kemudian Mas Dibyo sendiri muncul di Nusakambangan. Ia
http://dewi-kzanfo/ 120 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperoleh izin untuk menjengukku. Itu pun berkat sikap dan
tingkah lakuku di penjara itu yang dianggap sangat baik. Akulah
sebenarnya yang menjadi pimpinan informal 49 di Nusakambangan. Kawan-kawan secara berkelakar menyebutku
"Tuan Besar Sipir Siluman". Hal yang menggembirakan, Hartini
melahirkan seorang anak lelaki. Sersan Tardana tidak membeda-
bedakan Harnoto dengan anak-anaknya sendiri.
"Dik Pran," kata Mas Sudibyo, "janganlah berprasangka
terhadap Sersan Tardana. Ia memasuki KNIL berdasarkan
keyakinan. Bangsa Indonesia sudah tidak memiliki tradisi
keprajuritan lagi. Tradisi itu bisa ditumbuhkan lagi lewat KNIL.
Siapa tahu pada saatnya nanti ada manfaatnya."
Mas Sudibyo juga banyak bercerita tentang perkembangan
pergerakan. Akibat pemberontakan Semaun dan kawan-
kawannya yang gagal itu, Gubermen bertindak lebih keras
terhadap kaum pergerakan.
"Kalau begitu," komentarku, "pendapat Dik Kusno dulu
benar. Hanya menyulitkan yang lain saja."
Sudibyo menjawab, "Begitulah kenyataannya, dan yang
menyedihkan, bukannya pemimpin-pemimpinnya itu solider
ikut dibuang ke Tanah Merah sana. Tidak. Mereka lari ke luar
negeri." Mas Sudibyo agak heran, mengapa aku sama sekali tidak
terkejut bahwa mereka yang dianggap musuh Gubermen
dibuang ke Tanah Merah. Kataku, "Tanah Merah memang tempat untuk mematahkan
semangat juang orang. Bagaimana keadaan Dik Kusno?"
50 "Sudah insinyur dia, Dik Pran," jawab Sudibyo. "Semakin
mantap sikap kepemimpinannya. Orator yang ulung."
http://dewi-kzanfo/ 121 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat wajahku yang sayu bekas mertua angkatku
menepuk-nepuk punggungku sambil berkata, "Jangan kau
berkecil hati, Dik. Masih ada kesempatan di belakang hari.
Teguhkan imanmu. Dugaanmu memang benar, Dik. Dialah yang
paling besar di antara pejuang-pejuang besar yang kita miliki."
Pada suatu hari aku duduk-duduk di atas batu besar di tepi
pantai Samudera Hindia. Gelombang-gelombang raksasa
mengempas-empas pantai berbatu itu. Pikirku, "Seperti apa
yang pernah terucap oleh Kusno. Laksana gelombang samudera,
bangsaku akan terus-menerus mengempas-empas kolonialisme,
sampai pada saatnya nanti kolonialisme itu tumbang."
Selama itu pula aku selalu menutup diri terhadap segala
peristiwa yang terjadi di luar penjara, di luar Nusakambangan.
Surat-surat Mas Sudibyo yang ditulis begitu hati-hatinya, masih
mampu membuka mata hati tahanan yang bernama Kodok Suro
Pranoto. Selama itu pula, aku acuh saja terhadap datangnya
matahari dan rembulan yang silih berganti. Aku tidak
menghitung-hitung hari, minggu, bulan, dan tahun sekalipun.
51 Tersentak aku seperti dibangunkan dari tidur yang nyenyak.
Pikirku, "Apa yang kuperbuat selama ini" Hanya sekadar
menjinakkan bajingan-bajingan saja" Cukupkah itu" Tidak, tidak,
itu belum cukup, kalau belum, lalu apa yang harus kukerjakan?"
Kata-kata Kusno seperti mengiang-ngiang di telingaku kembali,
"Mas Pran, samen-bundeling van alle patriotieke krachten.
Satupadu-kan! Smeedt het ijzer wanneer het heet is. (tempalah
besi selagi sedang membara)"
Gumamku, "Astaga, sebenarnya Tuhan memberikan peluang
kepadaku. Kesempatan yang begitu baik bagi pergerakan
nasional kita. Orang-orang di sini bajingan memang, tapi satu
hal yang pasti. Rasa kesetiakawanannya begitu tinggi dan kuat.
http://dewi-kzanfo/ 122 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Solidaritas sesama kaum bajingan dijunjung setinggi langit.
Setelah bebas nanti, kegiatan mereka bisa diarahkan untuk
perjuangan, untuk pergerakan. Alangkah hebatnya. Ondergronds (dibawah tanah) tentunya. Mendukung mereka
52 yang di atas pentas. Itu, ya. Itu! Mereka harus dimotivasi dan
aku bisa menjalankannya. Dua, tiga, empat, lima orang saja
sudah baik. Ya, for a fighting Suro Buldog there is no journey's
end." Aku keras berupaya agar kawan-kawanku itu lebih menaruh
kepercayaan pada diriku. Oleh pimpinan penjara aku diangkat
sebagai pelatih di bengkel latihan pandai besi dan pengerjaan
logam. Aku menjadi semakin disegani oleh teman-teman,
apalagi setelah Mudasir mengakui keunggulan-keunggulanku.
Kadang-kadang agak berlebih-lebihan malahan.
Pada kesempatan yang baik, langsung kutanyakan kepada
Mudasir, mengapa ia berbuat begitu itu. Jawabnya sambil
tersenyum, "Dik Pran, teman-teman tidak hanya memerlukan
seorang pemimpin di penjara ini, tapi juga di luar penjara
nantinya. Kau masih akan mempunyai kesempatan untuk itu.
Aku tidak lagi. Aku akan mati di tempat ini. Hukumanku kan
seumur hidup." Mudasir kupeluk erat-erat sambil berkata, "Aku tidak pernah
dibimbing oleh bapakku. Ia meninggal sewaktu aku masih dalam
kandungan ibuku. Kang Mudasir membimbingku seperti
orangtuaku sendiri saja. Terima kasih, Kang."
Secara diam-diam Mudasir dan aku melatih teman-teman
pencak silat aliran Teratai Ungu yang halus itu dan terbukti
sangat mereka sukai. Rupa-rupanya gerakan itu juga diketahui
oleh pimpinan penjara, tetapi karena pengaruhnya positif
53 http://dewi-kzanfo/ 123 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhadap ketenangan penjara dan perilaku tahanan, mereka
membiarkannya dan berpura-pura tidak tahu-menahu.
Di samping janji perguruan yang wajib dipatuhi oleh kawan-
kawan itu, sekaligus aku menyelipkan didikan semangat
kebangsaan. Jer ambek bener, jer ambek adil. Jer angudi
kaluhuran bangsane. Jer rukun, saiyeg saekapraya. (Menjunjung
tinggi kebenaran dan bersikap adil. Mengusahakan keluhuran
bangsa. Bersatu teguh.) Siapa tahu janji luhur itu bisa
dimanfaatkan untuk pergerakan

Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nasional sekaligus menanamkan budi pekerti pada mereka agar mereka nantinya,
apabila sudah bebas, tidak mudah tergelincir kembali dalam
kehidupan yang serba sesat.
Aku memperoleh julukan baru. "Mbah Kiai". Ribut-ribut
tentu masih saja terjadi di antara para perantaian. Hal itu
kuanggap wajar-wajar saja. Terutama apabila mereka berebut
"pacar" laki-laki. Lazimnya yang menjadi wasit adalah Pak
54 Mudasir. Persoalan berebut pacar lelaki itulah yang sangat
menusuk hati, tapi bagaimanapun keji dan jijiknya, itu adalah
hal yang harus kita terima sebagai kenyataan, di dunia yang
hanya didiami oleh laki-laki saja itu.
Yang paling laris terjual di antara tahanan-tahanan itu adalah
gambar-gambar wanita. Banyak yang diselundupkan masuk.
Majalah Belanda De Lach yang banyak berisikan potret-potret
wanita bule dalam pakaian renang, sangat laku. Dalam hal ini
pun penguasa penjara menutup mata. Asal tidak menimbulkan
keonaran saja. Pada suatu hari, aku dipanggil oleh Hoofd Cipier, Kepala
Penjara, Meester Van der Valk.
Peristiwa yang biasa-biasa saja, sudah sering kali aku
dipanggilnya untuk memberikan laporan tentang pekerjaanku
http://dewi-kzanfo/ 124 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai pelatih. Kali itu benar-benar aku terkejut. Aku
mendapatkan keringanan hukuman yang tidak tanggung-
tanggung. Sepuluh tahun, ya sepuluh tahun. Dari dua puluh
tahun menjadi lima belas dan dari lima belas kini menjadi
sepuluh tahun. Kata Van der Valk, "Tahukah kau, Suro Pranoto,
siapa yang selalu gigih mengusahakan keringanan hukumanmu
55 itu" Pasti kau tak akan menduganya... Insinyur Ten Kate."
Mulutku seperti dibungkam orang. Aku tak mampu berkata-
kata sepatah pun. Kemudian aku hanya mampu bergumam,
"Insinyur Ten Kate" Ten Kate" Hoe is het nou mogelijk"
(bagaimana mungkin)"
Tanggap Van der Valk, "Tanyakan sendiri kepadanya nanti."
Begitu keluar dari ruang kerja Hoofd Cipier itu, aku mulai
menghitung-hitung, hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya.
Dua puluh tahun dikurangi sepuluh tahun. Tinggal sepuluh
tahun. Sudah kujalani... sekitar tujuh tahun. "Ya Allah... tinggal
tiga tahun, tinggal tiga tahun!" Aku menangis sejadi-jadinya.
Kawan-kawan tahanan yang bernama Mendoan dan
Bongkrek menegurku dengan berkata, "Mbah Kiai, ada apa?"
Jawabku singkat, "Tidak ada apa-apa, Kang."
Baru kemudian aku memperoleh keterangan, bahwa
keringanan itu memang diusahakan oleh Ten Kate sendiri, tapi
tingkah lakuku di penjara juga ikut menentukan keputusan
Gubermen itu. Ten Kate segar bugar kembali. Dia malahan tidak
lagi suka naik pitam, dan justru menjadi orang yang tenang dan
mantap. Sementara itu, aku secara teratur menerima surat-surat dari
teman-teman yang lebih dulu meninggalkan Nusakambangan.
Aku tahu bahwa setiap surat disensor oleh penguasa penjara,
http://dewi-kzanfo/ 125 56 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tapi aku tak perlu khawatir. Kebanyakan hanya bercerita
tentang kehidupan mereka setelah bebas saja. Mereka banyak
yang sudah menemukan cara mencari nafkah yang layak dan
halal. Ada yang membuka bengkel sepeda, jadi tukang jahit,
tukang bubut, tukang las, dan sebagainya. Aku ikut berbesar
hati dan bersyukur mendengar laporan kawan-kawan itu. "Siapa
tahu, aku memerlukan mereka di kemudian hari," pikirku.
Pada suatu hari tanpa pemberitahuan terlebih dulu, Mas
Sudibyo muncul di Nusakambangan, hanya untuk mengabarkan,
bahwa Sukarno telah diperkarakan sehubungan dengan
kegiatan politiknya dan dijatuhi hukuman penjara. Tokoh
pergerakan itu meringkuk di Penjara Sukamiskin. Pembelaannya
yang cemerlang "Indonesia klaagt aan" - "Indonesia
menggugat", tidak berhasil membebaskan Sukarno dari segala
tuduhan. Kutanyakan kepada Mas Dibyo, "Partainya, PNI, lalu
bagaimana nasibnya, Mas Dib?"
Jawab Mas Dibyo, "Sayang, PNI membubarkan diri.
57 Sebenarnya tidak perlu berbuat sejauh itu. Tampaknya kau tidak
begitu terkejut, Dik, mendengar berita itu."
Jawabku, "Untuk apa terkejut. Dia sendiri pernah berkata,
bahwa seorang pemimpin pergerakan menanggung risiko besar.
Kukira Sukarno sadar pula akan kedudukannya. Orang semacam
Kusno yang begitu gigih menentang kolonialisme Belanda dan
begitu besar wibawanya, cepat atau lambat akan mengalami
nasib masuk penjara. Belanda tidak akan tinggal diam.
Kekuasaannya tidak mau dirongrong begitu saja oleh kaum
pergerakan. Yang kukhawatirkan, siapa yang akan menggantikannya?" http://dewi-kzanfo/ 126 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mas Dib tersenyum lalu menanggapi, "Kau sudah tidak
emosional lagi seperti dulu-dulu, Dik. Sudah tidak meledak-
ledak lagi. Entah dari siapa kau belajar mengendalikan diri di
Nusakambangan ini." 58 Kepadanya juga kuceritakan bahwa hukumanku dikurangi
sampai separonya. Sudibyo kelihatan senang sekali mendengar berita itu.
Dipegangnya tanganku kuat-kuat sambil berkata, "Jadi masih
tinggal tiga tahun lagi, Dik?"
"Ya, begitulah, Mas," jawabku.
"Sayang, sayang, Hartini sudah menikah lagi," gumam
Sudibyo. Cepat aku menanggapi, "Hal yang sudah lewat tak perlu
diungkit-ungkit kembali, Mas. Hartini sudah ada yang
melindungi dan mengasihi dan anakku begitu juga..." Aku tidak
mampu melanjutkan kata-kataku.
Pada akhirnya saat-saat yang kunanti-nantikan tiba juga.
Hari itu aku dipanggil oleh Hoofd Cipier, Meester Dubois yang
menggantikan Van der Valk. Begitu aku masuk ke ruangan
kerjanya, Dubois menyongsongku dengan berkata akrab, "Wel,
Tuan Suro Pranoto. Tiba waktunya sudah. Besok pagi kita akan
merayakan hari ulang tahun Hare Majesteit (ratu Belanda) dan...
bebaslah kau, Tuan."
Dengan mata berkaca-kaca penuh haru, aku berucap,
"Terima kasih, Meester. Terima kasih."
"Nah, mari kita selesaikan administrasinya, Tuan Pranoto,
dan sebaiknya kau jangan kembali ke selmu," kata Dubois.
http://dewi-kzanfo/ 127 59 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cepat aku menanggapi, "Mengapa, Meester" Aku ingin
minta diri pada kawan-kawan."
Jawab Meester Dubois, "Bukan peraturan, Meneer Pranoto,
tapi kelaziman. Sekadar menghindari hal-hal yang tidak kita
inginkan bersama. Siapa tahu ada orang yang kurang senang kau
akan bebas, lalu mencari-cari alasan untuk memancing-mancing
perkelahian. Kau tahu sendiri akibat apa yang bisa saja terjadi.
Bukannya kau lalu keluar, tapi malahan... harus masuk lagi."
"Lalu aku akan ditempatkan di mana, Tuan?" aku bertanya.
Meester Dubois tersenyum lalu berkata, "Di ruang
penjagaan. Kau akan dijaga ketat. Jadi tahanan khusus." Dubois
membunyikan bel. Seorang pembantu datang menghadap. Kata
Dubois, "Sudah siap?"
"Sudah, Meester," jawab pegawai administrasi itu.
"Nou, bawalah kemari, Alex," kata Dubois. Pegawai itu
menghilang lagi ke kamar sebelah dan muncul membawa koper
kecil yang terbuat dari kulit. Koper itu diletakkannya di atas
meja kecil, di samping meja kerja Hoofd Cipier itu. "Wel,
Meneer Pranoto, bukalah," kata Dubois.
Kubuka koper itu. Isinya pakaian dan sebuah amplop.
Amplop itu kuambil dan kutanyakan kepada Dubois, "Amplop
apa ini, Meester, dan pakaian itu dari siapa?"
60 Kepala penjara itu lagi-lagi tersenyum lalu menjawab,
"Tanda mata dari pegawai-pegawai penjara yang bersimpati
pada Tuan Pranoto, dan isi amplop itu sebagian uang sakumu
selama sepuluh tahun ditahan. Lumayan untuk bekal keluar
penjara. Enam puluh delapan gulden." Aku diminta untuk
menandatangani beberapa dokumen penting. Segala ketentuan
dalam dokumen itu berlaku tepat jam 01.00, 31 Agustus 1934.
http://dewi-kzanfo/ 128 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pagi-pagi, 31 Agustus itu, aku sudah tegak berdiri di atas
dermaga penyeberangan Pelabuhan Cilacap. Tak terlupakan hari
yang bersejarah itu. Beslit pembebasan jatuh pada 17 Agustus
dan aku bebas pada tanggal 31 Agustus 1934.
Tiga puluh lima tahun umurku sudah. Rasa-rasanya aku
menjadi muda kembali, begitu melihat pulau-penjara
Nusakambangan dari pantai seberang. Kuarahkan pandangan ke
arah pulau, dari sudut ke sudut Pantai Brambang, Pasir Putih,
Gua Selo dekat Segara Anakan, dan Benteng Meriam. Yang tidak
tampak, dua buah pulau padas kecil dengan tebing pantainya
yang tinggi terjal. Konon, tempat tumbuh dan berkembangnya
bunga wijayakusuma. Penjara Blok A, B, C, D, dan Z dan...
kawan-kawan yang masih harus menjalani hukumannya.
61 Mudasir, yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri.
Ya, sebagian hidupku telah kuhabiskan di Pulau
Nusakambangan. Air mata berlinang-linang di kelopak mata.
Aku tidak lagi mengenakan celana komprang dan baju cina
hitam kusut, tidak lagi. Aku berpakaian seperti galibnya manusia
yang beradab. Celana panjang putih dan hem kotak-kotak,
tanda mata pegawai-pegawai penjara. Sepatunya... made in
Nusakambangan. Sadar diri kembali, aku baru tahu, bahwa aku ini bukan
siapa-siapa lagi. Bukan Kodok, bukan Suro Pranoto, entah siapa
aku ini saat itu. Manusia baru yang sedang mencari hak hidup
baru. Untuk sekian lamanya, penjara yang menentukan hidupku.
Hidup serba beraturan. Tidur, bangun, makan, mandi, aku
tinggal melaksanakan saja. Orang lain yang menentukan. Tapi
sekarang... aku sendiri yang harus mengatur diriku sendiri.
Canggung rasa-rasanya. Ya, ke mana aku akan pergi" Ah, ke
stasiun saja. http://dewi-kzanfo/ 129 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil berjalan mundur dan tetap mengamati Pulau
Nusakambangan aku menubruk tukang jualan es lilin. Kata
penjual es itu, "Jalan kok mundur, Den." Imbalan baginya... aku
62 beli es lilin tiga batang sekaligus, moka, kopyor, dan daweL Kuji-
lati es lilin itu satu demi satu, ganti berganti. Dengan mulut
menganga penjaja es lilin itu me-nyeletuk, "Wong edan."
Dokar lewat, kuhentikan, dan aku naik. Tanya Pak Kusir, "Ke
mana, Den?" Jawabku, "Aku sangat tergesa-gesa, Pak. Cari jalan paling
jauh menuju stasiun. Ya, aku tergesa-gesa sekali."
Kusir dokar itu hanya menganga saja. Kemudian ia
memberanikan diri untuk bertanya, "Tergesa-gesa, Den?"
"Iya, aku tergesa-gesa sekali. Ada apa?" jawabku.
"Paling cepat lewat alun-alun, Den," kata Kusir.
Celetukku, "Oo, kusir goblok. Puter kota dulu, baru
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
ke stasiun, tapi cepat."
Pak Kusir dokar itu geleng-geleng kepala. Gumamnya, "Cepat
ke stasiun, tapi keliling kota dulu. Jadi bingung aku."
Dicambuknya kudanya dan dokar itu melaju berkeliling kota.
Dalam perjalanan itu Pak Kusir bertanya, "Den dari mana?"
Jawabku santai, "Dari Nusakambangan."
"Pegawai, Den?" tanya kusir dokar itu setengah kurang
percaya. "Bukan," jawabku lagi, "aku bekas tahanan."
Kusir itu melihat ke belakang sambil tanya lagi, "Berapa
tahun?" Dia sudah meninggalkan kata "Den"-nya.
http://dewi-kzanfo/ 130 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawabku acuh tak acuh, "Ah, tidak lama... hanya dua puluh
tahun saja. Aku pernah membunuh kusir dokar."
Kusir itu melihat ke depan lagi, mencambuki kudanya,
membelok, dan tahu-tahu aku sudah berada di depan gedung
stasiun. "Sudah sampai," celetuknya singkat
Kubayar satu gulden sambil berkata, "Terima kasih."
Kusir itu masih bertanya, "Ini untukku semua, Den?"
1 Jawabku, "Untuk kudanya. Kasihan kaucambuki seenaknya
saja. Kan hewan hidup dia. Kasih makan banyak-banyak, ya.
Belikan gabah, daun kacang, dan tetes, ya." Aku turun dan
cepat-cepat kusir memacu kudanya meninggalkan stasiun. Aku
tetap berdiri di. tempat Aku tahu bahwa kusir itu setelah agak
jauh pasti akan menengok ke belakang. Dugaanku benar. Ia
menengok dan aku melambai-lambaikan tanganku sambil


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa. Bukan main gembiraku hari itu, seperti anak kecil saja. Aku
masuk stasiun lalu duduk-duduk di atas bangku. Pikirku, "Akan
ke mana aku" Ke Tasik" Ah, tidak. Aku tidak mau menyakiti
hatiku sendiri. Lalu ke mana"... Ah, makan-makan saja dulu."
Kutinggalkan stasiun dan aku mencari restoran yang
memenuhi seleraku. Restoran itu kutemukan. Masih sepi, tidak
banyak pengunjung. Daftar makanan kujelajahi dan yang
mampu membuat jatungku berdenyut lebih cepat adalah tulisan
Nasi Goreng Speciaal. Aku tahu apa yang dimaksud dengan kata
speciaal itu. Tambahan telur mata sapi. Teringat lagi aku akan
makan pagi yang selalu dihidangkan oleh Hartini. Nasi goreng,
telur ceplok mata sapi. Aku memesannya, dan hidangan itu
panas-panas kunikmati. Aku juga memesan minuman bir.
Nikmat sekali rasanya. Seperti masa silam saja, minum-minum
http://dewi-kzanfo/ 131 2 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bir bersama Bob Muisch. Gumamku, "Restoran De Galunggung,
ya, masa itu telah lewat dan tak akan kembali lagi. Tiada guna
untuk disesali." Pedih rasa hati, pedih. Pikirku, "Salah sendiri. Siapa yang
menyuruh pesan nasi goreng dan bir?" Selesai makan, lagi-lagi
aku kebingungan. Ke mana aku akan pergi" Ya, lambat laun aku
datang pada suatu keputusan. Aku tidak mungkin lagi
melanjutkan hidup sebagai Suro Pranoto. Manusia baru aku, ya,
manusia baru. Mengapa tidak" Pelayan kupanggil, bon kubayar,
dan kutinggalkan restoran itu. Sambil jalan tegak menengadah,
menjinjing koper kulit, aku menyeletuk, "Ke Wonosobo."
Hari itu sudah tak ada kereta api lagi yang berangkat ke
Wonosobo. Aku menginap di sebuah losmen dan keesokan
harinya, pagi-pagi benar aku naik kereta api SDS, Serayu Dai
Stoomtram Maatschappij, berangkat menuju Wonosobo.
Kunikmati perjalananku ke kota gunung itu, menelusuri
lembah Sungai Serayu. Apa saja yang kulihat, tampaknya jauh
lebih indah daripada kenyataannya. Aku manusia baru memang.
Siang hari kereta tiba di Stasiun Wonosobo. Aku punya rencana
untuk ke rumah Muksin, teman bekas tahanan di
Nusakambangan yang sudah lebih dulu dibebaskan. Nama dan
alamatnya sudah di luar kepala.
Aku naik dokar menuju kampung Sudagaran. Pikirku, "Kayak
3 apa rupa si Muksin, bajingan rampok jadi tukang jahit." Muksin
bergelar Raden Mas Kintel. Turun di jalan besar, aku memasuki
gang menuju kampung Sudagaran. Tidak perlu susah-susah cari
karena rumah Kintel terletak di gang itu juga. Tampak di
hadapanku papan nama usahanya. Kleermaker-De Wijayakusuma. Belum apa-apa aku sudah tertawa geli. Sejak
kapan bajingan itu berbahasa Belanda. Pikirku, "Kuganggu dia."
http://dewi-kzanfo/ 132 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lewat rumahnya yang dijadikan usaha penjahitan itu, aku
melihat Muksin sedang asyik menjahit. Aku lewat saja,
kemudian balik kanan, kembali lewat rumahnya lagi dengan
berbisik, "Tukang jahit bajingan." Balik kanan lagi, lewat
rumahnya, berbisik lagi, "Tukang jahit- kintel." Kuulangi lagi, tapi
yang terakhir kali, tahu-tahu orang sudah mencengkeram
leherku seraya berkata, "Bangsat, jangan main-main kau."
Sengaja topi pandan yang kubeli di Cilacap kukenakan sampai
lewat telinga. Pasti tampangku menjadi semakin jelek. Sudah
4 sekitar lebih dari setahun kami tak pernah berjumpa.
Bentak Muksin, "Mau apa kau, heh! Main-main. Bangsat!"
Jawabku acuh tak acuh, "Daging kintel enaaak."
Muksin mengamati wajahku, teriaknya kemudian, "Kau, Dik,
kau, Kodok. Ya Allah, kukira siapa. Sudah bebas kau, Dik."
Muksin mendekapku erat-erat.
Celetukku, "Kang, aku kelaparan, nih. Punya nasi?"
"Ayo masuk, Dik, masuk," kata Muksin. Kami masuk dan
langsung saja Muksin menutup pintu-pintu rumah yang terdiri
dari rangkaian papan-papan. Gumamnya, "Wijayakusuma hari
ini prei. Tamu agung pemimpin bajingan datang" Muksin
tertawa terbahak-bahak, begitu juga aku. "Duduk, duduk, Dik.
Ini rumahmu juga. Mbok, Mbokneee," teriaknya.
Istrinya muncul, cantik dia. Kata Muksin, "Mbokne, ini orang
yang pernah kuceritakan. Bukan bajingan seperti aku ini, tapi
kesasar masuk bui Nusakambangan, melawan Belanda dia. Dia
kelaparan, siapkan makan, Mbokne."
Mbok Muksin mengangguk lalu menjawab, "Tidak ada apa-
apa, Pak. Adanya hanya abon sama telur asin."
http://dewi-kzanfo/ 133 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Muksin merogoh kantong bajunya, mengeluarkan uang lalu
5 diserahkannya kepada istrinya dengan berkata, "Beli makanan
di koplak sana. Yang enak-enak."
Istrinya masuk rumah, berbenah diri lalu pergi. Begitu istri
Muksin pergi, langsung aku bertanya, "Dapat istri cantik, bisa
buka usaha penjahit, siapa lagi yang kaurampok, Kang?"
Jawab Muksin, "Namanya saja orang baru mujur. Keluar dari
penjara, aku kan sudah jadi tukang jahit. Bikin apa saja bisa.
Setelan jas, eenvoudig, zeer eenvoudig."
Kupotong bicaranya itu dengan berkata, "Belajar bahasa
Belanda dari siapa, Kang?"
Muksin tertawa terbahak-bahak lalu menjawab, "Kau tahu,
Dik, guru jahit-menjahit, allaaa, itu lhooo, Belanda item."
"Si Meneer Jansen?" aku menanggapi.
"Iya, Jansen. Kalau dia mengajar selalu bilang, 'Eenvoudig,
zeer eenvoudig.' (gampang, amat gampang) Ya itu saja yang
kuketahui." "Wah, kaget tadi aku, Kang. Papan nama, berbahasa Belanda
juga. Dapat dari mana?"
Lagi-lagi Muksin tertawa lalu berkata, "Ah, aksi dikit-dikit kan
boleh. Buktinya, Dik, nggak sombong, lho, Ndara Kanjeng Bupati
kalau bikin jas tutup di mana" Tidak di tempat Cina. Aku yang
dipanggil. Begini, Dik. Tadi aku bilang, mujurlah. Begitu keluar
dari penjara aku ikut Pak Sastro Bungkik, ayahnya Mbokne itu.
Tukang jahit yang beken di Wonosobo ini. Dulu waktu mudanya
dia kerja pada Savelkool di Semarang. Sudah tua pulang kemari.
6 Aku berterus terang kepadanya. Aku ini bekas bajingan, dibui di
Nusakambangan. Sepuluh tahun sepuluh bulan. Bisa terima
http://dewi-kzanfo/ 134 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai pembantunya" Di buen (penjara) sana, aku tukang jahit.
Kaget aku, Dik dengar jawabannya. 'Justru bekas bajingan yang
kucari,' begitu jawabnya. Aku di-ujinya. Disuruh bikin setelan
jas. Heh, zeer een-voudig. Puas dia. Aku diterima. Itu belum, Dik.
Anaknya, Halimah, dicerai suaminya, tidak punya anak. Lalu
pulang kemari juga. Aku disuruh mengawini. Apa boleh buatlah,
kunikahi dia." Aku tertawa terbahak-bahak. Muksin agak merasa heran
mengapa aku tertawa. Katanya, "Kenapa tertawa, Dik?"
Jawabku, "Tadi kau bilang, kau disuruh mengawini Halimah.
Betul itu?" "Eee, sampeyan niku, dibilangi. Aku belum selesai cerita nih,
Dik. Begini, ya, kata Pak Sastro, Halimah tidak menolak asal aku
mau sumpah tidak akan menceraikannya. Ooo, zeer eenvoudig.
"Aku bersumpah. Biar tidak punya keturunan, ya nggak
apalah. Kami nikah. Dan dasar orang sedang mujur, ya, eee,
Halimah yang sudah dicap perempuan mandul itu dibantai
orang bekas bajingan yang namanya Raden Mas Kintel,
7 cespleng, langsung saja mengandung dia. Wah, bukan main
senangnya Pak Sastro. Punya cucu dia."
"Di mana anakmu sekarang, Kang?" aku bertanya.
"Ya itu, namanya orang sudah kalah sumpah. Pak Sastro
dipanggil kembali oleh perusahaan penjahit Belanda Savelkool
itu. Dia kembali ke Semarang. Pranoto dibawa. Nggak apalah.
Mboknya yang bolak-balik Wonosobo-Semarang. Itulah
riwayatku." "Kang Muksin, anakmu kaukasih nama Pranoto. Tanpa
izinku, ya!" http://dewi-kzanfo/ 135 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawab Muksin, "Dik, aku sangat mengagumimu. Kau bukan
bajingan, tapi bajingan-bajingan Nusakambangan takut semua
kepadamu. Apalagi Pak Mudasir cerita ke mana-mana, dia
kaukalahkan. Pak Mudasir saja kalah, apalagi kita-kita ini. Kami
juga terima kasih padamu, bisa kembali jadi orang baik-baik.
Nah, kau sendiri, apa rencanamu, Dik?"
Lama aku diam. Sulit untuk menjawab pertanyaan yang
terlalu sederhana itu. Jawabku kemudian, "Entah, Kang, terus
terang aku belum tahu."
"Aneh kau, Dik. Kau kan hanya tersesat saja di
8 Nusakambangan itu. Kau orang baik-baik, pintar, kurang apa
kau" Buka bengkel mobil di sini. Pasti laku. Ya, kecil-kecilan dulu
gitu." "Entahlah, belum ada niat yang pasti," jawabku.
"Maaf ya, Dik, aku bisa ikut merasakan. Maaf ini, ya. Aku
dengar dari Pak Mudasir, istrimu sudah kawin lagi. Tak usah kau
marah. Siapa yang sanggup menunggu begitu lama" Waduh,
sampai lupa aku... bagaimana kau bisa keluar secepat itu, Dik
Kodok, eee maaf, Dik Pranoto?"
Jawabku, "Aku memperoleh pengampunan, Kang. Dari dua
puluh tahun itu, jadi hanya sepuluh tahun. Kawan-kawan
lainnya bagaimana, Kang" Masih punya hubungan dengan
mereka?" "Ya, kadang-kadang ada teman lewat Wonosobo, mampir.
Dari mereka itu aku mendapat kabar. Ya, biasalah, Dik. Ada yang
mau bertobat seperti aku ini, tapi ada juga yang tetap
membandel saja." Muksin menengadah dan seperti bicara terhadap diri sendiri
ia berkata, "Yang terakhir, aku dengar kabar, Dalimin alias
http://dewi-kzanfo/ 136 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Barongan jadi buronan polisi lagi. Barangkali itu penyakitnya.
9 Memperkosa anak kecil, Dik. Apa ya kurang perempuan di dunia
ini?" "Tugiman bagaimana, Kang, bromocorah Pasuruan itu?"
"Darso Bedug mampir sebentar, katanya dia mau adu nasib
di Lampung. Dia cerita tentang Tugiman. Setiap orang nggak
mau percaya. Dia betul-betul bertobat. Kabarnya dia jadi resisur
(reserse, intel). Ituuu, polisi yang pakai pakaian preman."
"Reserse, polisi siluman" Tidak mustahil itu, Kang. Dia tahu
banyak tentang 'perbajingan'. Polisi memerlukan orang
semacam dia," aku menanggapi.
Halimah pulang membawa banyak bungkusan. Aku
bertanya, "Wah, apa saja itu, Yu?"
"Apa, Dik, jajan pasar," jawabnya.
Malam itu di rumah Muksin seperti ada kenduri saja. Segala
macam makanan tersedia dan yang harus menghabiskan hanya
aku dan Muksin. Sampai dini hari kami omong-omong. Lega
hatiku, bertemu kawan yang begitu terbuka dan aku sudah
dianggap sebagai saudaranya saja. Beberapa hari aku tinggal di
rumah Muksin. Pada hari keempat, aku minta diri. Meneruskan
perjalanan. Muksin mengantarku sampai stasiun bis. Kata
Muksin dengan mata merah, "Yang hati-hati, Dik. Kalau ada
kesulitan, datanglah. Siapa tahu aku bisa membantumu."
Terharu aku mendengar kata-katanya yang tulus ikhlas itu.
Bekas perampok yang jadi orang baik. Bis berangkat. Tujuanku
Magelang, menemui teman senasib. Dahlan, ya, Dahlan Bandot
10 namanya yang lengkap. Tiba di Magelang aku langsung mencari
rumah Dahlan Bandot. Geli aku kalau teringat kembali
kebiasaan Dahlan itu. Di samping paling suka pada majalah De
http://dewi-kzanfo/ 137 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lach, kalau tidur, biar di bawah pohon jati sekalipun, ia selalu
mengeluarkan suara seperti kambing jantan yang sedang mabuk
birahi. Oleh sebab itulah ia mendapat kehormatan untuk
menyandang nama Bandot. Kujelajahi kampung Bothon. Banyak juga yang bernama
Dahlan di kampung itu dan tak seorang pun yang kenal Dahlan
Bandot Putus asa aku, sebab yang kuketahui hanya kampungnya
saja. Akhirnya kuubah pertanyaanku. Kutanyakan kepada
penduduk, apakah ada yang kenal Dahlan, bekas tahanan
Nusakambangan. Akhirnya aku mendapat jawaban bahwa ia
sudah pindah ke Magersari, di kaki bukit Tidar. Ke sanalah aku
pergi. Begitu masuk kampung itu, aku sudah agak curiga. Bukan
kampung biasa. Lewat sebuah warung, perempuan yang
menunggui warung itu menegurku dengan kata-kata, "Mampir,
Mas, warung ayu." Pikirku, "Apa salahnya tanya rumah Pak Dahlan?" Aku
mampir, minum-minum. Yang jaga warung itu tidak hanya
11 seorang saja. Ada empat wanita lain yang duduk di seberang
meja warung sambil senyum-senyum menantang. Sambil
omong-omong dan di sana-sini diselipkan kata-kata yang agak
kurang pantas, akhirnya aku bertanya kepada mbakyu penjaga
warung itu, "Aku sedang mencari rumah Pak Dahlan."
Jawabnya, "Dahlan sinten, nggihl Pak Dahlan Bandot?"
Aku terkejut dan langsung aku bertanya kembali, "Siapa"
Dahlan Bandot, Yu?" "Ah, mosok Mase tidak tahu. Pak Dahlan Bandot beken di
sini. Kalau mau plesir sih nggak usah lewat Pak Bandot. Di sini
juga tersedia kok, Mas. Kabarnya ini, Mas, betul apa tidak,


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurang tahu, dia bekas orang buangan Nusakambangan."
http://dewi-kzanfo/ 138 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rumahnya di mana, Yu?" aku bertanya.
"Itu di sudut jalan sana. Bagus rumahnya. Itu untuk ukuran
kampung sini lho, Mas."
Berpura-pura kecewa aku berkata, "Bukan Dahlan itu yang
sedang kucari, Yu. Dia blantik sapi, Yu."
"Ooo, kalau Dahlan yang di sini bukan blantik sapi. Blantik
lain, blantik kemben (BH), Mas," kata perempuan penjaga
warung. "Calo-calo bis di koplak sana orang-orangnya juga."
12 Aku membayar dan sebelum aku pergi, penjaga warung itu
masih sempat menawarkan, "Tidak ngaso-ngaso dulu, Den. Pijet
alus." "Tergesa-gesa kok, Yu. Masih harus ke Yogya," jawabku.
Cepat kutinggalkan warung itu. Aku sudah mendapat kepastian
bahwa Dahlan Bandot Magersari itu yang sedang kucari-cari.
Pikirku, "Jadi germo dia. Mungkin jadi pemeras juga. Apa salahnya
kukunjungi dia." Benar juga apa yang dikatakan penjaga warung
itu. Di sudut jalan buntu itu ada rumah yang seperti dikatakan
perempuan penjaga warung itu. Aku masuk halaman dan berdiri
di muka pintu rumah, aku mengetuk-ngetuk pintu sambil
berkata kulo nuwun berulang-ulang. Terdengar orang batuk-
batuk mendekati pintu rumah. Pikirku, "Tidak salah lagi. Dahlan
Bandot" Pintu dibuka dan berdirilah di hadapanku, bukan Dahlan
Nusakambangan, tapi Dahlan Bandot dalam bentuknya yang
baru. Tidak langsing lagi, tapi gemuk dan berkumis sekepal.
Tanya Dahlan congkak, "Ada apa, heh" Mau cari siapa?"
http://dewi-kzanfo/ 139 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pikirku, "Sombong bener si Dahlan ini sekarang." Karena
13 nama Nusakambangan dan nama Magersari sama, kupakai
nama lain. Jawabku seperti aku sedang menghadap hoofd cipier
saja, "Kalau aku salah alamat, harap dimaafkan, Tuan. Apa di sini
rumah Pak Dahlan De Lach" "
"Siapa" Dahlan siapa?"
Kuulangi lagi kata-kataku, "Betul, Dahlan De Lach, Pak."
Dahlan mengamati wajahku, lama, dan meledaklah kata-
kata, "Bangsat, bajingan... Kau, Dik Kodok." Dipeluknya diriku
sambil memukul-mukul punggungku. Ia melepaskan pelukannya, memegang lengan-lenganku sambil berkata, "Kau
sudah bebas, Dik" Mari, mari!"
Setelah kami duduk, langsung aku menanggapi keadaan
rumahnya dengan kata-kata, "Kau sejahtera, Kang."
Agak malu-malu Dahlan menjawab, "Ya, beginilah. Kapan
kau bebas, Dik?" "Belum ada sebulan. Aku mendapat keringanan. Putusan
hukuman dianggap kurang benar. Dari dua puluh tahun, turun
menjadi sepuluh." Tanya Dahlan, "Apa rencanamu, Dik" Mau kerja apa?"
"Belum tahu, Kang. Masih ingin keliling-keliling dulu,
mengunjungi teman-teman. Kau sendiri bagaimana, Kang" Aku
14 mampir di warung sana, katanya..." '
Cepat-cepat Dahlan memotong, "Betul, aku lain memang.
Aku bajingan, bekas, dan sekarang mungkin masih. Itu menurut
ukuran orang biasa. Coba, Dik, kau menempatkan dirimu dalam
kedudukanku. Aku sudah mencoba untuk jadi orang baik-baik, di
kampung Bothon sana. Jadi sopir taksi, lumayan sudah
http://dewi-kzanfo/ 140 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penghasilanku. Aku hidup berhemat-hemat, bisa beli taksi
sendiri, beranak taksinya.
"Namun, ya namun, Dik Kodok, tidak itu saja yang
didambakan manusia. Dia ingin pengakuan, ingin diakui
keberhasilannya. Karena aku bekas rantaian, orang Bothon sana
menganggapku sebagai orang asing saja di kampungnya. Bisik-
bisik jalan terus, bahwa aku ini pembunuh. Aku bekas pencuri,
maling, pencopet, perampok. Bajingan aku memang, mau apa,
tapi aku tak pernah membunuh sesama manusia. Apalagi
manusia, motong ayam saja aku tidak tegel.
"Aku lalu keliling-keliling, mengunjungi kawan-kawan. Ingin
mendengar dari mulut mereka sendiri apa pengalamannya
setelah keluar penjara. Mirip-mirip, Dik. Kami mau dan bersedia
menyesuaikan, tapi masyarakat tampaknya sulit menerima.
15 Dicurigai terus-menerus. Ada orang kecurian, kami yang paling
dulu dituduh. Ada perampokan, kami yang pertama-tama
ditangkap. Baru dilepaskan kalau kami bisa membuktikan bahwa
bukan kami yang merampok, atau perampoknya kepegang.
"Akhirnya aku main iseng di sini. Apa yang kulihat di tempat
ini, Dik" Lonte-lonte itu... diperas habis-habisan. Tidak hanya
oleh germo-germonya saja. Perempuan-perempuan itu punya
tukang-tukang pukulnya, yang ikut-ikut memeras juga. Ya,
orang-orang di sini baik-baik, Dik. Tidak bertanya-tanya, dari
mana aku datang. Aku lalu menetap di sini. Orang mendakwa
aku punya rumah ini atas hasil pemerasan lonte-lonte itu. O,
jauh, Dik. Jauuuh! Usaha taksiku masih jalan terus. Ya, sebagai
kawan Nusakambangan ya, Dik, terus terang aku masih punya
simpanan hasil rampokan dan lain-lain sebelum masuk penjara.
Betul memang, aku kuasa di sini. Mbahnya germo-germo ya aku
ini, tapi kuatur semuanya, hak dan kewajibannya.
http://dewi-kzanfo/ 141 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aman di sini sekarang. Tukang-tukang pukul kucarikan
pekerjaan lain. Jadi calo bis, calo taksi. Bandel" Aku sendiri yang
menghajar mereka. Aku ditakuti orang. Memang itu yang
kukehendaki. Tidak ada lagi orang datang main cinta di sini pergi
16 begitu saja tanpa bayar. Tidak ada lagi itu. Biar orang
mengatakan yang ini, yang itu, terserah. Sudah, sudah! Tinggal
di sini ya, Dik" Bebas kau di rumah ini. Aku tidak punya istri."
Tertawa terkekeh-kekeh, ia lalu berkata, "Banyak istriku. Tinggal
pilih saja. Kalau kau mau, ayo bagi-bagi."
Tertegun aku mendengarkan uraiannya itu. Sulit memang
untuk menilai, manusia apa Dahlan itu. Penjahat" Bukan,
penjahat" Hanya Tuhan yang mampu menilainya. Aku tinggal
beberapa hari di rumah Dahlan Bandot. Aku meneruskan
perjalanan tanpa tujuan tertentu. Hanya ingin mengunjungi
kawan-kawan saja. Bandot mengantarku sampai koplah bis. Dia
memasukkan amplop dalam saku bajuku dan berkata,
"Percayalah, Dik. Uang halal. Terimalah. Dari kawan senasib."
Aku berkeliling. Ke Surabaya, Pasuruan, Banyuwangi, dan
Kamal di Madura. Tapi menginjakkan kakiku di Tanah Pasundan"
Aku tidak berani. Dalam hal itu, aku memang seorang pengecut.
Banyak menimba pengalaman dan seni hidup dari kawan-
kawan. Di Banyuwangi, aku mencari seorang teman, Dulkamid
namanya. Dia bukan bekas bajingan. Kawan Mas Sudibyo, sama-
sama guru Taman Siswa asuhan Ki Hajar Dewantara. Dulkamid
ini orang aneh. Dia tidak berkeluarga. Orangnya menarik,
simpatik, cerdas. Kesukaannya menjumpai orang-orang yang
dianggapnya penting baginya. Tentu, terutama tokoh-tokoh
politik bangsa kita sendiri. Dulkamid minta tolong kepada Mas
17 Sudibyo untuk dikenalkan kepada Kusno. Rupa-rupanya nama
studen Kusno, calon insinyur itu, sudah sampai di Banyuwangi
http://dewi-kzanfo/ 142 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
juga. Banyak orang datang pada Mas Sudibyo untuk dikenalkan
pada Kusno. Hal semacam itu waktu itu kuanggap hal yang
biasa-biasa saja. Dalam perjalanan menuju Pasuruan, aku teringat kepadanya.
Kutemui dia di Banyuwangi. Tidak sulit mencarinya. Kujelaskan
kepadanya, aku ini jadi orang apa. Bekas menantu Sudibyo dan
bekas asuhan penjara Boven Digoel dan Nusakambangan.
Pokoknya, aku terus terang kepadanya. Dia bukan politikus.
Orang bebas. Dikumpulkannya kata-kata mutiara yang dipetik
dari pertemuan-pertemuannya dengan pemimpin-pemimpin
kita, seperti Kusno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Ratulangi, dan
lain-lainnya. Entah kata-kata mutiara siapa lagi. Aku diajaknya
duduk-duduk di tepi Pantai Meneng, dekat Banyuwangi, sambil
omong-omong tentunya. Membentang di hadapanku Selat Bali, dan di seberang,
Pulau Dewata itu. Kabarnya Bung Karno alias Kusno itu ibunya
berasal dari Bali. Yang sangat menarik perhatianku kata-kata
Dulkamid, "Kolonialime akan tumbang lewat Revolusi Umat
18 Manusia yang akan menuntut kebebasan dan kemerdekaan.
Dahsyat, pertanda adanya perubahan zaman yang drastis."
Kutanyakan kepadanya, "Apa dasarnya, Kang Dul?"
Jawabnya, "Aku percaya apa yang dikatakan oleh Sam
Ratulangi itu. Perang Pasifik tidak dapat dihindari. Biang
keladinya, kolonialis Timur, Jepang, yang melabrak kolonialisme
Barat, Inggris, dan kawan-kawannya."
Tanggapku, "Kusno pun menggali ramalan dari Sam
Ratulangi itu." Dulkamid melanjutkan, "Entah, tapi rasa-rasanya ramalan itu
akan terjadi. Joyoboyo pun meramalkannya. Pak Cilik Syahrir
http://dewi-kzanfo/ 143 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkata, bahwa revolusi tidak mungkin diadakan setiap hari.
Revolusi Prancis tidak muncul begitu saja tanpa adanya
rangkaian peristiwa yang mendahuluinya, jauh sebelum revolusi
itu sendiri meledak. Seorang pemimpin bangsa pun juga tidak
bisa begitu saja mencetuskan revolusi tanpa adanya kondisi
rakyat yang memang sudah matang untuk itu dan bersedia
berevolusi. Revolusi hanya mungkin apabila serangkaian faktor
dipenuhi dan mendukungnya dan secara kebetulan ada
pemimpin-pemimpinnya dalam kandungan masyarakat yang
19 bergolak itu. Namun bagaimanapun, pada akhirnya Yang
Mahakuasa yang menentukan."
Sementara itu pihak Belanda telah mengambil langkah-
langkah yang drastis sekali. Aku terkejut ketika Dulkamid
menjelaskan bahwa Hatta dan Syahrir telah ditangkap dan
mungkin akan dibuang ke Boven Digoel. Pikiranku saat itu,
"Kalau begitu, aku dulu dijadikan kelinci percobaan. Belanda
memang sudah ada niat untuk membangun tempat
pembuangan di Tanah Merah. Celaka, celaka."
Kata Dulkamid, "Tak perlu kecil hati, Mas. Pemimpin-
pemimpin lainnya tidak akan tinggal diam."
Akhirnya aku minta diri kepada Dulkamid. Aku kembali ke
Surabaya. Aku masih sempat berziarah ke makam Bapak dan
Ibu. Ya, apa yang harus kulakukan" Ya, apa saja, walaupun kecil
sumbangan yang dapat kuberikan, tapi itu penting untuk
persiapan bila saatnya yang tepat tiba. Kuulangi kembali
perjalananku, kebalikan arah. Lagi-lagi Dahlan Bandot berkata,
"Jangan ragu-ragu, Dik Pranoto. Aku orang bodoh, tapi cari uang
aku bisa. Soal merdeka, soal politik, aku buta huruf, Dik.
Pokoknya kalau Dik Pranoto perlu uang, datanglah. Rumah ada,
taksi-taksi ada. Kalau perlu jual semuanya. Jangan khawatir, aku
rela." http://dewi-kzanfo/ 144 20 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dahlan Bandot kupeluk-peluk. Begitu gembiranya aku.
Dahlan Bandot, kawan sejati. Aku kembali ke Wonosobo.
(Oo-dwkz-hanaoki-oO) http://dewi-kzanfo/ 145 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
MADUGONDO SELAMA tinggal di rumah Muksin, kerjaku hanya jalan-jalan
berkeliling-keliling saja, menelusuri kota gunung tanpa tujuan
tertentu. Muksin membiarkan saja aku pulang-pergi tanpa
mengenal waktu. Kadang-kadang jauh malam aku baru pulang.
Kawan setahanan itu tahu bahwa aku sedang mencari jalan
keluar dari kebingungan. Pagi-pagi duduk di tepi sawah sambil menikmati pandangan
Gunung Sundoro yang menjulang tinggi, sejenak aku
melepaskan diri dari gangguan rasa resah yang sedang kuderita.
Mobil-mobil oplet menderu-deru melintasi jembatan, ganti
persneling untuk mampu mengatasi tanjakan terakhir sebelum
masuk kota Wonosobo. Tidak jauh dari tempat aku duduk-
duduk beberapa anak belasan tahun sedang bermain sepakbola.
Gumamku melihat lincahnya anak-anak itu bergerak, "Harnoto
21 sebaya usia dengan mereka itu."
Keinginan untuk melihat anakku semakin menggebu-gebu,
namun bagaimana caranya" Mas Sudibyo telah memenuhi
permintaanku sebelum aku menaiki tangga kapal Van Olden
Barneveldt. Begitu masa tunggu dua tahun lewat, diceritakannya kepada Hartini bahwa aku telah meninggal dunia
di Tanah Merah dan Harnoto sama sekali tidak tahu bahwa
Sersan Tardana itu bukan ayah kandungnya. Ya, apa yang harus
kulakukan" Mungkin Mas Dibyo terpaksa harus berdusta dan
mungkin malahan terjurumus ke dalam cerita dusta yang satu
ke kisah bohong yang lain.
Aku bukannya sibuk memikirkan masa depanku, tapi terus-


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerus diganggu oleh kehadiran gambaran anak berusia
sekitar sepuluh tahun yang dalam khayalku sedang bingung
mencari ayahnya yang hilang. Lagi-lagi aku dihinggapi penyakit
http://dewi-kzanfo/ 146 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
22 seperti yang pernah kuderita di Tanah Merah. Dulu dalam gelap
aku dibayang-bayangi oleh kehadiran Ten Kate, tapi kini aku
selalu melihat seorang anak kecil ditinggalkan oleh orangtuanya
di tepi jurang. Aku tidak tahan lagi, aku tidak bisa setiap hari
hanya berkeliling-keliling saja tanpa tujuan. Aku harus bekerja
untuk menghilangkan keresah-anku itu.
Sore itu aku sedang duduk-duduk bercakap-cakap di ruang
kerja Muksin. Sambil mengerjakan jahitannya Muksin berkata,
"Besok lusa jas tutup ini akan diambil oleh utusan Ndara
Kanjeng Bupati. Harus selesai pada waktunya. Dik Kodok, sudah
waktunya kau bekerja. Apa saja! Aku tidak tahu tentang
kehidupanmu sebelum kau jadi orang rantaian di Nusakambangan. Kau belum pernah menceritakannya. Itu
memang bukan urusanku. Setiap orang buangan 23 Nusakambangan mempunyai latar belakang kehidupan yang
serba pahit Pasti tidak terkecuali kau, Kodok. Kalau tidak serba
pahit mana mungkin sampai terdampar di Nusakambangan. Aku
juga pernah mengalami kesulitan yang sama, begitu aku
meninggalkan dermaga Pelabuhan Cilacap. Yah, aku jatuh
mujur, mampu menemukan kehidupan yang serba tenang. Dik
Kodok, terus-menerus menyesali masa lampau, itu hanya
menyiksa diri saja. Maaf, kata-kataku barangkali kurang sedap
didengar." "Kau benar, Kang, benar. Secepatnya aku harus mampu
mengatasi diriku sendiri. Mudah-mudahan aku dapat
menemukan jalan keluar yang baik hari-hari ini."
Tiba-tiba terdengar suara lantang, "Salam-alaikuuum."
"Alaikum salaam," jawab Muksin. Dan begitu dia melihat
orang yang di hadapannya itu, diletakkannya jahitannya di atas
mesin jahit dan dia bangkit menyongsong tamunya, sambil
http://dewi-kzanfo/ 147 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkata, "Astaga, kau, Durahman." Dua orang sahabat itu
berpeluk-pelukan. "Mari, mari, duduk. Kenalkan, kenalkan. Dur,
ini masih saudara juga. Dik Kodok, eee maaf, Dik Pranoto,
Durahman." 24 Kami pindah tempat menuju kursi-kursi tamu di ruangan
yang tidak terlalu luas itu. Tanya Muksin, "Sudah jadi apa kau,
Dur, di perkebunan gula sana" Aku dengar jadi tuan besar
statirnya. Betul itu?"
"Jangan mengejek kau, Sin. Mau jadi apa bekas bakul sate"
Mandor, mandor kebun sekarang aku ini. Yaaa, lumayanlah. Dari
kuli jadi mandor kan baik. Penuh orang Madura sana sekarang.
Areal tanah diperluas, perlu tenaga tambahan. Aku mau pulang
ke Bangkalan, mau mengajak kawan-kawan kerja kebun. Berat
memang, tapi gaji cukup untuk hidup. Itu yang penting.
Kebetulan bersama teman, sekarang dia di Kertek. Ada saudara,
aku jadi mampir kemari. Baik-baik saja, Sin?"
Tanggap Muksin, "Bagaimana, nih, berdiri-berdiri saja. Ayo,
duduk, Dur." Kami duduk dan tamu Muksin yang bernama Durahman itu
bertanya, "Bagaimana keadaanmu sendiri, Sin..." Mana
Halimah?" "Yaaa, begini ini, Dur. Pokoknya periuk nasi bisa tetap tegak.
Mertobat aku sudah, Dur. Tenang jadi tukang jahit Mau apa
lagi" Masuk penjara ada hikmahnya juga. Punya kepintaran
sekarang. Yaaa, mujur, begitulah."
"Sin, mana istrimu yang cantik itu" Disimpan saja di dapur,
ya" Keluarkan, Sin," desak Durahman.
"Mbokne, ada tamu, nih. Dari jauh," teriak Muksin.
http://dewi-kzanfo/ 25 148 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Halimah muncul, sambutnya, "Eee, Kang Durahman. Dari
mana saja, nih" Lama nggak pernah mampir, ya. Sombong
benar." Tanggap Durahman, "Bekas bajingan tengik seperti Muksin
dapat istri cantik, lagi. Berapa ribu kali baca Ayat Kursi, Sin,
sampai Halimah bisa lengket begitu..." Begini, Dik, kebetulan
lewat begitu, lho. Aku mampir."
Tegur Halimah, "Allaaa, Kang Durahman saja, kalau nggak
ada kepentingan mana mau mampir. Ayo, katakan saja, Kang,
terus terang saja, ada apa?"
Durahman tampak agak kebingungan langsung ditegur oleh
Halimah. Mengarahkan pandangan ke arah diriku, Durahman
berkata, "Maaf ya, Dik, maaf. Urusan keluarga, nih."
Begitu Halimah mau masuk ke dalam kembali, Durahman
mencegahnya dengan berkata, "Eee, jangan pergi dulu, Dik. Ada
urusan penting. Halimah, kau jadi saksinya, ya."
Halimah menanggapi, "Saksi apa" Mau utang" Nggak ada
duit" "Utang" Kapan aku pernah utang sama Muksin" Menghina!
Mandor Durahman nggak pernah punya utang. Begini ya, aku
mau tanya. Apa benar... eh, apa benar... Terus terang, ya?"
26 Potong Halimah, "Apa yang benar" Kok seperti bedhes
(monyet) ditulup saja. Yang terang, ah!"
"Begini, apa benar Hatijah sudah jadi janda sekarang,
diceraikan sama si Rokhmat?" tanya Durahman.
Sambil bertolak pinggang Halimah menanggapi, "Ooo, jadi
dateng kemari mau menanyakan Hatijah. Pantas."
http://dewi-kzanfo/ 149 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wah, kejam benar. Aku hanya mau tanya, apa Hatijah
sudah jadi janda. Sin, terus terang nih, ya. Kalau kau nggak
keberatan, bagaimana kalau Tijah kunikahi" Setuju nggak, Sin"
Jelek-jelek Durahman sudah pangkat, nih. Mandor!"
Dengan nada serius Muksin menanggapi, "Benar, Dur, Tijah
menjanda sekarang. Sudah dicerai. Dua anaknya, masih kecil-
kecil. Nggak keberatan kau, Dur?"
"Hohhoo, kalau si Tijah, biar sepuluh kali jadi janda aku
masih tetap mau. Biar anaknya sepuluh aku sanggup
mengurusi," jawab Durahman. "Dari dulu aku naksir, tapi ya
mau apa, kalah sama si Rokhmat bangsat itu."
Cepat Muksin berkata, "Ada syaratnya, Dur. Berat!"
"Katakan apa syaratnya. Apa emas kawinnya" Tiga bulan gaji
mandor, kupenuhi." 27 "Bukan itu, Dur. Kau bajingan busuk suka main perempuan.
Bisa berhenti nggak?" kata Muksin.
"Bener, Sin. Janji. Kalau nanti Tijah sudah jadi istriku, aku
mertobat, Sin. Nggak bakal main perempuan lagi. Habis
bagaimana, Sin, aku ini bujangan. Apa salahnya?"
Sejenak Muksin diam, katanya kemudian, "Kalau memang
bener-bener, terserah Hatijah tentunya, mau apa nggak dia
sama kamu." Dengan nada sedih dibuat-buat, Durahman berkata, "Tolong,
Siiin. Ngecap dikit-dikit gitu, lho. Bilang kalau Kang Dur orangnya
baiiik. Nggak suka main perempuan. Bakal sayang sama
Hatijah." Halimah memotong, "Dosa, dosa! Bilang yang nggak bener,
dosa!" http://dewi-kzanfo/ 150 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tolong ya, Sin. Tulis surat sama Tijah. Aku yang bawa. Bilang
saja terus terang sama Tijah. Kang Dur mau mengawini, gitu,
lho," kata Durahman.
Lagi-lagi Halimah memotong, "Heh, dasar. Tampangnya sih
seperti perampok. Minang sendiri nggak berani. Minta tolong
sama Kang Muksin. Nggak malu kau, Kang Dur" Tapi omong
28 punya omong, ya, Tijah pernah kirim surat sama Halimah.
Nanyakan Kang Dur." "Bener, bener, nih..." Ini seringgit, beli-beli apa situ,"
tanggap Durahman sambil merogoh saku baju dan memberikan
uang seringgit kepada Halimah.
Kata Halimah, "Kalau ditolak Tijah jangan diminta kembali,
ya. Aku pergi dulu, mau belanja."
Halimah menghilang, masuk ke dalam rumah. Kata Muksin,
"Baiklah, Dur, kubuatkan suratnya. Betulan lho, Dur, jangan
main-main." "Siapa bilang main-main. Benar, aku masih tetap cinta
padanya," kata Durahman. "Tulis sekarang, Sin. Aku ditunggu
temen di Kertek sana."
Muksin masuk ke rumah dan tak la ma kemudian muncul
kembali dan menyerahkan surat beramplop kepada Durahman.
Kata Durahman bersungguh-sungguh, "Terima kasih, Sin.
Mudah-mudahan saja nggak ditolak."
Halimah yang muncul kembali dan sudah berpakaian rapi
untuk pergi menanggapi, "Bersihkan itu mukanya. Jangan pakai
kumis sekepal segala. Tijah nggak suka."
http://dewi-kzanfo/ 151 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
29 "Aduh, nggak tahu kau, Mah. Ini untuk nakut-nakuti kuli-kuli
kebun. Kalau ditolak Tijah, bunuh diri aku," Durahman
menanggapi dan tertawa terbahak-bahak.
"Kapan mau terus ke Bangkalan, Dur?" Muksin bertanya.
"Ya sekarang ini. Ke Yogya dulu, terus ke Surabaya," jawab
Durahman. "Gini ya, Dur. Kalau memang jadi, biar adikku si Marbun saja
yang jadi wali. Cukup," kata Muksin.
"Janji, janji! Begitu Tijah mau, langsung ke penghulu," jawab
Durahman. Setelah Halimah keluar rumah untuk pergi berbelanja,
Muksin berkata, "Begini ya, Dur, kalau kau nggak suka sama
anak-anak Tijah, mereka itu biar di sini saja. Halimah bakal
senang. Habis, sudah nggak punya momongan lagi di rumah.
Anak satu dibawa kakeknya."
"Ah, itu terserah Tijah nanti. Aku sih senang-senang saja ada
anak-anak kecil di rumah," Durahman menjelaskan.
Aku agak tertarik pada pembicaraan Muksin dan Durahman
itu. Terutama mengenai tenaga kerja yang sedang dicarinya.
Pikirku, "Apa salahnya aku kerja kebun?" Kataku kepada
Durahman, "Kang Durahman, kalau aku ikut kerja kebun boleh
nggak?" Jawab Durahman serta-merta, "Tentu boleh, tentu. Apalagi
kawan Muksin. Percaya aku."
"Begini, Kang. Betul aku kawan Kang Muksin, tapi kawan di
30 Nusakambangan sana," aku berucap.
"Ah, beres, Dik. Aku yang tanggung nanti. Aku masih harus
cari tiga puluh orang lagi. Tuan Besar Statir percaya penuh
http://dewi-kzanfo/ 152 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepadaku. Daripada salah pilih, ambil tenaga kawan sendiri
lebih aman." Potong Muksin, "Dik Pran, kau orang makan sekolah, mau
kerja kebun" Bagaimana itu?"
Jawabku tegas, "Apa salahnya kerja kebun, Kang" Di
Nusakambangan sana aku juga kerja kebun."
Durahman garuk-garuk kepala. Ucapnya, "Kalau Adik orang
makan sekolah, ya jangan kerja kebun. Sayang itu! Aku yang
mandor saja hanya keluaran perpolek (sekolah desa). Tapi ya
terserahlah kalau memang berniat"
"Bagaimana kalau aku ganti nama, bisa nggak, Kang Dur"
Kalau pakai surat-surat Nusakambangan, wah, bagaimana
nantinya, Kang?" aku mengusulkan.
Jawab Durahman, "Pokoknya kalau memang niat betul,
gampang. Itu sepele, Dik. Lurah desaku bisa ngatur. Yaaa ada
tambahan uang sedikit Nggak seberapa. Gampang itu."
Akhirnya kami bersepakat. Aku bakal ganti nama. Bukan
31 Suro Pranoto lagi. Dalam surat keterangan Lurah Desa Gayam,
Bangkalan, akan ditulis Darmin bin Durasim.
Durahman meneruskan perjalanan ke Madura. Sementara
itu keinginanku untuk dapat melihat Harnoto anakku semakin
tidak tertahankan lagi. Yah, tidak ada jalan lain. Durahman
memperkirakan, tugasnya itu akan memakan waktu sekitar
sebulan. Mencari 30 orang pekerja kebun tidak sulit, tapi juga
perlu waktu. Aku minta diri kepada Muksin untuk pergi dulu,
sementara Durahman ada di Madura. Tidak kujelaskan
kepadanya akan pergi ke mana dan Muksin pun juga tidak
mendesak-desak untuk mengetahuinya. Pesannya sederhana
saja, "Jangan sampai terlambat ya, Dik."
http://dewi-kzanfo/ 153 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lewat Purwokerto, aku berangkat ke Tasikmalaya. Wajahku
yang berkumis tebal itu mudah-mudahan

Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menyembunyikan identitasku yang sebenarnya. Di Tasik aku
32 menginap di sebuah losmen murahan dan dengan hati-hati
sekali kuamati rumah Mas Sudibyo. Jangan sampai aku tiba-tiba
saja bertemu dengan Hartini. Walaupun Hartini bertempat
tinggal di Cimahi, tapi ya siapa tahu ia sedang berkunjung ke
rumah Mas Dibyo. Itu malapetaka. Akhirnya aku datang pada
kesimpulan bahwa keadaan aman. Hartini tidak sedang di
rumah Mas Dibyo. Mas Dibyo akan kucegat saja di jalan raya.
Pagi-pagi benar aku sudah menunggunya di mulut gang di
tepi jalan besar. Pasti Mas Dibyo pagi itu akan pergi mengajar.
Sekitar jam setengah tujuh, keluarlah Mas Dibyo dari mulut
Gang Cikaso, naik sepeda. Cepat-cepat ia kudekati dan
kuhentikan. "Mas Dib, Mas Dib," tegurku.
Sudibyo terkejut melihat diriku di depannya. Celetuknya,
"Kau, Dik Pran!" Ia turun dari sepeda, mendekat, dan
memelukku. Tanya Mas Dib, "Langsung dari Nusakambangan,
Dik" Suratmu yang kaualamatkan ke sekolah sudah kuterima."
Jawabku, "Tidak, Mas. Sudah sekitar dua bulan aku
berkeliling-keliling saja. Ada hal penting yang akan kusampaikan,
Mas, tapi sekarang ini sudah hampir jam tujuh. Mas Dibyo harus
mengajar. Aku di Losmen Galuh, Mas. Dekat alun-alun sana."
"Ya, ya, aku tahu. Bagaimana kalau aku ke sana nanti sekitar
jam dua, Dik?" "Baik, Mas, baik. Jam dua nanti. Kutunggu," jawabku.
Sudibyo melanjutkan perjalanan menuju sekolahnya. Hari itu
33 aku hanya jalan-jalan saja lewat tempat-tempat yang pernah
http://dewi-kzanfo/ 154 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempunyai arti dalam kehidupanku. Kota Tasikmalaya tidak
mengalami banyak perubahan. Lewat Restoran De Galunggung,
rasanya hati seperti tersayat-sayat Niat semula untuk makan-
makan di tempat itu kubatalkan. Akhirnya aku pulang ke
losmen, menunggu kedatangan Mas Dibyo.
Jam dua siang Mas Dibyo datang, membawa makanan
sekadarnya. Kami berbincang-bincang. Kuceritakan perkembanganku yang terakhir. Ia terperanjat begitu ia
mendengar bahwa aku akan mendaftar sebagai kuli kontrak
kebun. Kata Mas Dib, "Apa tidak ada jalan lain yang lebih baik,
Dik?" Jawabku, "Aku mau merenung-renung dulu, Mas. Tidak
mudah untuk menyesuaikan diri. Sepuluh tahun di penjara. Di
situ aku bukan siapa-siapa lagi. Aku diatur orang lain. Aku hanya
sebuah nomor belaka. Biar aku menjalani pekerjaan yang tidak
jauh berbeda dengan kehidupanku dulu di penjara."
34 Mas Dib mengangguk-angguk. Gumamnya, "Aku bisa
mengerti." Kemudian aku berkata, "Mas Dib, aku ingin melihat anakku."
Mas Dibyo tampak kebingungan. Cepat aku melanjutkan, "Aku
dapat memahami, Mas, tapi bukan maksudku untuk secara
terang-terangan melihat anakku, Mas. Aku tidak akan
mengganggu ketenangan Hartini dan suaminya. Aku ingin
melihat Harnoto dari kejauhan saja. Itu sudah cukup bagiku.
Tentang bagaimana kelanjutan hidupku dalam hubungannya
dengan Harnoto, hanya Tuhan yang tahu."
Tampak Mas Dib berpikir, kemudian ia berkata, "Baiklah,
kalau kau memang menghendaki begitu. Rasa-rasanya seperti
kemarin saja, waktu kukatakan kepada Hartini bahwa kau telah
meninggal di Tanah Merah sana. Harnoto baru berumur satu
http://dewi-kzanfo/ 155 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setengah tahun waktu itu. Berat, ya, berat Sudahlah, masa itu
telah lewat Hartini berada dalam tangan suami yang bijaksana.
Baiklah! Aku akan mempertemukan kau dengan Harnoto di
suatu tempat di Bandung. Barangkali kau masih ingat, Dik, di
pojok alun-alun Bandung sana, dekat mesjid ada sebuah
restoran, Parahiyangan namanya. Harnoto dan anak-anak
35 Hartini yang lain sering kuajak makan-makan di tempat itu kalau
aku pada hari Minggu berkunjung ke rumahnya di Cimahi.
Harnoto jadi anak tangsi sekarang. Orang sering menyebutnya
anak kolong. Bagaimana kalau hari Minggu depan ini, Dik"
Sekitar jam sebelas begitu, aku dan anak-anak Hartini akan ada
di tempat itu." Tanggapku, "Baik, Mas. Apa aku juga harus berada di
restoran itu?" Jawab Mas Dib, "Apa salahnya" Dengan kumismu yang
setebal itu, tidak ada orang yang bakal mengenalimu kembali
dan kau bukan pemuda lagi."
Sesuai rencana, aku berangkat ke Bandung dan menginap di
sebuah losmen yang letaknya tidak jauh dari alun-alun. Dalam
jangka waktu sepuluh tahun itu pun Bandung tidak banyak
berubah. Semakin mendekati hari Minggu, kegelisahanku
semakin memuncak dan pada akhirnya hari yang kutunggu-
tunggu tiba. Sejak pagi aku sudah berkeliaran di sekitar alun-
alun. Entah sudah untuk keberapa kalinya aku lewat Restoran
Parahiyangan, aku tidak tahu. Aku telah memperoleh gambaran
dari Mas Dibyo tentang penampilan Harnoto yang beberapa
tahun lebih tua daripada adik perempuannya. Anak Hartini yang
terkecil baru berumur lima tahun, perempuan juga. Jam sebelas
yang telah ditentukan makin dekat, makin dekat. Jantungku
semakin berdebar-debar dan... ya, aku melihat Mas Dibyo
menggandeng anak perempuan lima tahun, dibuntuti oleh
36 http://dewi-kzanfo/ 156 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harnoto dan adiknya yang lain. Aku tidak memberanikan diri
untuk berdiri terlalu dekat dengan restoran itu. Aku takut tidak
akan mampu menahan gejolak emosiku. "Harnoto, Harnoto,"
gumamku, "bukan Suro Buldog kecil."
Anakku satu-satunya itu lebih mirip ibunya daripada
bapaknya. Postur tubuhnya jatuh sedang-sedang saja, tidak
sependek diriku. Walaupun wajahnya mirip ibunya, namun
ekspresi keras beku mengikuti garis keturunan ayahnya. Tanpa
kusadari bintik-bintik air mata sudah meleleh-leleh turun dari
kelopak mata. Melihat diriku Mas Dibyo mengangguk kecil.
Mereka langsung masuk restoran, lenyap dari pandangan mata.
Aku berupaya keras untuk mengendalikan emosi dan setelah
gejolak perasaanku itu mereda, aku tak berpikir panjang lagi.
Aku masuk ke restoran yang belum banyak pengunjungnya.
Masih terlalu pagi untuk makan siang. Aku memilih tempat di
sudut belakang ruangan. Dari tempat itu aku mampu
mengamati Harnoto dan adik-adiknya. Rupa-rupanya Mas Dibyo
sengaja membuat anak-anak itu lapar dengan berangkat tanpa
bersarapan terlebih dahulu. Mereka memesan makan. Kujaga
agar aku tidak terlalu kentara mengamati Harnoto. Anak-anak
37 itu bercakap-cakap dengan Mas Dibyo. Aku masih mampu
menangkap beberapa kalimat yang diucapkan oleh Harnoto,
"Pak De, aku nasi goreng saja. Spesial! Itu lho, Pak De, pakai
telur mata sapi setengah matang."
Tanggap Mas Dibyo, "Ah kau, sekali-sekali coba ganti
makanan yang lain. Nasi goreng saja. Adik-adikmu mau
mencoba makanan macam-macam. Kolot kau."
Harnoto hanya tertawa saja. Katanya, "Habis bagaimana, Pak
De, aku memang paling suka nasi goreng. Teristimewa di
restoran ini. Enak."
http://dewi-kzanfo/ 157 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aneh, aneh! Kesukaan Harnoto sama dengan kesukaanku.
Nasi goreng, telur mata sapi setengah matang. "Sayang ya,
Mamah tidak bisa ikut," celetuk adiknya yang usianya sekitar
tujuh tahun itu. Tanggap Harnoto, "Mamah kan harus tunggu rumah. Papah
latihan di Lembang."
Aku sendiri juga memesan nasi goreng telur mata sapi
setengah matang. Makanan dan minuman datang, untuk Mas
Dib dan anak-anak, baru kemudian nasi gorengku dan segelas
bir. Melihat nasi goreng panas-panas dibawa oleh pelayan
38 menuju tempat dudukku, adik Harnoto yang terkecil
menyeletuk, "Ee, ee, Mas Har, orang yang di pojok sana itu
mesan nasi goreng seperti Mas Har."
Tanggap Harnoto yang melihat ke arahku, "Ssst, jangan
keras-keras. Tidak sopan."
Tidak lebih dari setengah jam aku berkesempatan menikmati
"kebersamaanku" dengan Harnoto. Mas Dibyo memberi isyarat
ke arahku dengan jalan mengangguk kecil. Kujawab dengan
anggukan juga. Mereka akan pergi meninggalkan restoran.
Mereka bangkit setelah Mas Dib membayar. Kuikuti kepergian
mereka dengan pandangan mata sampai lewat pintu. Lega rasa
hatiku. Walaupun Harnoto dan adik-adiknya itu anak kolong,
anak tangsi yang lazimnya berandal-berandal, tapi ketiga anak
itu ternyata sopan-sopan dan tampak terdidik baik. Kelihatan
pada tingkah lakunya selama menikmati makanan. Adat sopan
santun meja mereka pegang teguh, walaupun di restoran.
Bersiul-siul gembira aku meninggalkan restoran.
Aku kembali ke Tasikmalaya dan malam itu aku dan Mas
Dibyo bertemu kembali di pondokanku. Kunyatakan kepadanya
kegembiraanku dapat "bertemu" dengan Harnoto. Keesokan
http://dewi-kzanfo/ 158 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
39 harinya aku berangkat kembali ke Wonosobo. Aku tidak boleh
terlambat. Tekadku semakin bulat untuk menjadi pekerja kebun
saja. Harnoto memperoleh asuhan dan didikan yang baik.
Bagaimana kelanjutannya di kelak kemudian hari, sementara
tidak perlu kurisaukan. Tiba kembali di rumah Muksin, ternyata Durahman juga
belum kembali. Melihat sikapku yang tampak sudah tidak
gelisah itu, Muksin berkata, "Kau tampak gembira, Dik. Dari
mana saja kau?" Jawabku bergurau, "Aku bertapa di Gua Semar, di Dieng."
Muksin tertawa terbahak-bahak. Tanggapnya, "Segila-
gilanya orang bekas rantaian Nusakambangan, dia tidak akan
mengulangi kesengsaraan yang dialami di pembuangan."
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Durahman muncul bersama
Hatijah dan dua anaknya yang masih kecil-kecil, lelaki dan
perempuan. Lucu-lucu anak Tijah itu. Halimah begitu
berkeinginan untuk mengasuh kedua anak itu, tapi Durahman
berkeberatan. Katanya, "Eee, mau enaknya sendiri saja, Dik.
Bikin anak sendiri saja. Beruntung aku, tidak perlu membanting
tulang untuk bikin anak, sekarang anakku sudah dua. Sudah
gede-gede lagi. Mau apa lagi?"
Semalaman sebelum berangkat ke Madugondo, kami
berbincang-bincang. Anak-anak Tijah sudah tidur. Muksin dan
istrinya terus-menerus mengganggu suami-istri baru itu dengan
ejekan-ejekan guraunya. Tanya Halimah, "Tijah, boleh tanya,
40 ya?" Jawab Tijah, "Tanya apa lagi, Yu?"
"Kenapa kau dulu memilih Rokhmat" Kenapa tidak Kang
Durahman saja" Akhirnya dicerai kau."
http://dewi-kzanfo/ 159 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawab Hatijah, "Habis bagaimana, Yu" Ku-tunggu-tunggu
lamaran Kang Durahman nggak kunjung datang. Pengecut dia!
Mau minang aku saja mesti bawa-bawa surat Kang Muksin."
Durahman tertawa. Tanggapnya, "Habis bagaimana, takut
ditolak aku. Kalau seandainya pinanganku ditolak mentah-
mentah, aku sudah bertekad untuk menggantung diri, tapi yaa
pakai benang jahit saja."
Keesokan harinya kami berangkat dan mulailah kehidupanku
sebagai kuli di Perkebunan dan Pabrik Gula Madugondo dekat
kota Tegal sana. Pagi itu, kami, dua puluh delapan calon pekerja kebun,
jongkok di depan sebuah kantor dalam kompleks perkebunan.
Satu demi satu kami dipanggil. Akhirnya terdengar suara
panggilan, "Darmin bin Durasim!"
Sambil mengucap, "Nggiiih," aku masuk. Aku mengaku
keluaran sekolah perpoleg. Tanpa banyak cincong aku diterima
41 dan dipekerjakan di bawah Mandor Jasmin, anak buah Sinder
Suprapto. Kang Durahman sendiri bekerja di bawah seorang
sinder Belanda Indo. Ternyata Sinder Suprapto saat itu adalah
satu-satunya sinder Indonesia. Kebanyakan sinder Belanda-
Belanda Indo. Merawat dan memelihara kebun tanaman tebu bagiku
adalah baru sama sekali, namun tidak terlalu sulit untuk
mempelajarinya. Pedih rasa hati melihat lokomotif kecil mungil
penarik lori-lori tebu. Ingin aku membelai-belainya, tapi aku
menahan diri untuk tidak membuka tabir latar belakangku.
Kalau aku terlalu banyak perhatian pada lokomotif itu, pasti
akan mengundang kecurigaan saja. Mendengar geram
gemuruhnya mesin-mesin giling tebu, jiwa teknikku tergelitik.
http://dewi-kzanfo/ 160 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lagi-lagi aku harus menahan diri untuk mengendalikan gejolak
panggilan mesin-mesin raksasa itu.
Di bawah bimbingan Mandor Jasmin, cepat aku dapat
menguasai tugasku yang tidak terlalu rumit itu. Sebagai kuli aku
tidak perlu banyak menggunakan otak. Lebih banyak tenaga
otot dan cucuran keringat yang diperlukan. Aku banyak
bertanya. Mandor Jasmin orangnya baik, tidak segan-segan
42 untuk membimbing, tapi kadang-kadang kewalahan juga,


Suro Buldog Karya Pandir Kelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

walaupun pertanyaan-pertanyaanku itu kubuat sedemikian rupa
seperti seorang anak kecil yang bertanya-tanya saja. Kalau
sekolah-sekolah sedang liburan, kadang-kadang seorang anak
remaja mengikuti Sinder Suprapto melihat-lihat kebun. Kalau
tak salah Suhono waktu itu masih duduk di HBS (SMTA). Aku
berkenalan dengan pemuda itu sewaktu aku mendapat giliran
untuk bekerja di rumahnya. Suhono bercita-cita menjadi
insinyur sipil. Di rumah Sinder Suprapto itulah aku bertemu dengan
seorang wanita cantik yang bernama... Tomblok. Pembantu
pribadi Ndara Ayu Sinder. Yah, aku tertarik padanya, tapi mau
apa. Aku hanya seorang kuli kebun, dan rasa minder itu masih
saja menempel pada pribadiku yang kurang memenuhi syarat
untuk menggelitik selera kaum wanita.
Sementara itu untuk tidak terlalu tertinggal mengenai peri
kehidupan bangsa, diam-diam aku memunguti koran-koran yang
dibuang di keranjang sampah. Koran-koran berbahasa Belanda.
Dari berita-berita di koran-koran itu aku dapat memahami
mengapa areal kebun diperluas. Malaise atau kelesuan ekonomi
dunia sudah semakin membaik. Permintaan akan gula di
pasaran internasional meningkat.
http://dewi-kzanfo/ 161 43 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belanda tidak mau ketinggalan. Gubernur Jenderal De Jonge
bersikap keras terhadap kaum pergerakan, pemimpin-pemimpin
Indonesia satu demi satu ditangkap dan dibuang. Bung Karno,
Bung Hatta, Syahrir, Maskun, Burhanuddin, dan lain-lainnya.
Kehidupan tokoh-tokoh pergerakan menjadi semakin sulit,
rumah-rumahnya menjadi sasaran penggeledahan Dinas
Rahasia Pemerintahan Kolonial, PID. Tidak sekali-dua kali saja
tapi bertubi-tubi. Terus-menerus dilakukan penggerebekan
terhadap pertemuan-pertemuan pergerakan, pemimpin- pemimpinnya ditangkapi dan ditahan. Politik Menteri Jajahan
Belanda Colijn dan pelaksananya Gubernur Jenderal De Jonge
yang kaku-dan keras itu sangat mempersulit gerak pergerakan.
Partai-partai kehilangan dinamikanya dan komunikasinya
dengan rakyat banyak. Pergerakan yang berpandangan non-
kooperatif, tidak bersedia kerja sama dengan Belanda,
kehilangan inisiatif sama sekali.
Namun yang menganut paham mau kerja sama dengan
pihak Belanda tidak tinggal diam, terutama mereka yang
bergerak di dalam Volksraad, Dewan Rakyat, buatan Belanda.
Seperti ledakan petir di siang hari yang cerah, seorang anggota
44 Dewan Rakyat, Soetardjo mengusulkan diadakannya konferensi
antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk merencanakan
perubahan-perubahan yang dalam jangka waktu sepuluh tahun
dapat memberikan status pemerintahan sendiri kepada bangsa
Indonesia. Petisi Soetardjo ini didukung oleh sebagian besar
organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan. Walaupun nada
petisi itu masih cukup lunak, pihak Belanda malahan
menunjukkan sikapnya yang lebih keras kepala. Dianggapnya
usul itu masih terlalu pagi untuk diajukan. Alasannya, bangsa
Indonesia masih belum matang untuk memperoleh perubahan-
http://dewi-kzanfo/ 162 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perubahan kehidupan politik. Petisi Soetardjo ditolak mentah-
mentah oleh Pemerintah Belanda.
Teringat aku akan pembicaraanku dengan Dulkamid di
Banyuwangi sana. Een steentje bijdragen is al goed genoeg-7-
sekelumit perbuatan untuk perjuangan bangsa itu sudah baik.
Ya, perbuatan apa yang dapat kulakukan sebagai seorang kuli
kebun" Kata-kata mutiara Kusno mendengung-dengung di
telingaku. For a fightingpatriot there is no journey's end. Patriot
macam apa aku ini! Aku tidak berbuat apa-apa.,
Sinder Suprapto dan istrinya sekali dalam sebulan selalu
45 mengadakan pertemuan makan-makan di rumahnya. Yang
diundang makan mandor-mandor dan beberapa kuli atas
penunjukan para mandor. Sekadar makan-makan tapi seperti
berken-duri selamatan saja. Terbukti Suprapto dan Ndara Ayu
mampu menanamkan rasa kebangsaan pada bawahannya.
Ndara Ayu adalah seorang wanita yang pandai berkisah dan
berkidung yang dibacanya dari buku-buku gubahannya sendiri.
Apakah itu Serat Maha-bharata, Ramayana, Serat Panji, Wong
Agung Menak, dan lain sebagainya. Suara emasnya mengalun di
ruang depan sinderan yang cukup luas itu. Duduk di atas tikar
pandan, bersila, Sinder Suprapto sambil mengangguk-angguk
menikmati apa yang dikisahkan oleh istrinya itu dalam bentuk
tembang-tembang. Lewat Serat Mahabharata dan Bharata
Yuda, Ndara Ayu mampu menggugah jiwa patriotisme dalam
hati sanubari pendengarnya. Ndara Ayu sadar bahwa bahasa
Jawa yang digunakannya itu dalam banyak hal terlalu tinggi
untuk dapat dipahami oleh pendengar-pendengarnya. Beliau
tidak segan-segan untuk berhenti berkidung sejenak dan
menjelaskan apa yang dibacanya itu. Dengan bahasa yang
menarik dan terselubung, gambaran tentang Astinapura yang
dikuasai oleh Kawula Kurawa itu tidaklah berbeda dengan Bumi
http://dewi-kzanfo/ 163 46 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nusantara yang diduduki oleh Belanda. Angkara murka
hanya dapat dibasmi lewat perjuangan, ya kalau jalan halus
diplomasi tidak mempan, angkat senjatalah satu-satunya jalan.
Keadilan akan menang selalu, walaupun harus lewat jalan-jalan
yang berliku-liku dan serba berat. Pada akhirnya Pandawa
mampu merebut kembali apa yang menjadi haknya.
Celetuk Jasmin saat itu, "Kalau begitu Belanda itu ya sama
saja dengan Kurawa."
Tanggap Sinder Suprapto, "Ya, kira-kira begitulah, tapi hati-
hati jangan sembarangan bicara semacam itu di luar sana."
Kuperhatikan wajah Ndara Ayu yang tidak dapat
menyembunyikan asal-usulnya itu. Tenang, berwibawa, dan
penuh kepercayaan pada diri sendiri, tawakal... cantik.
Suaminya gagah, kokoh kuat, walaupun tidak dapat dikatakan
ganteng, tapi tidak tanpa daya tarik bagi kaum wanita.
Sehabis masa tebang dan giling, Madugondo selalu
mengadakan keramaian dan selamatan. Tidak ketinggalan
pagelaran wayang kulit. Sinder Prapto-lah biasanya yang
mendapat tugas untuk mengaturnya dan selalu dipilihnya cerita
dan dalang yang mampu secara halus sekali menyelipkan nilai-
nilai patriotisme kepada penonton. Orang-orang Belanda tak
akan mampu memahaminya. Entah bagaimana, Mandor Jasmin sering menugaskan diriku
untuk bekerja sampingan di rumah Sinder Prapto. Tugas yang
47 teramat kusenangi. Aku dapat mengagumi kecantikan
pembantu pribadi Ndara Ayu yang genit-genit cantik dan jinak-
jinak merpati itu.... Waktu berjalan cepat. Terasa adanya kekurangan tenaga
mandor dan pada suatu hari secara mendadak Mandor Jasmin
http://dewi-kzanfo/ 164 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meninggal dunia. Sementara belum diangkat mandor baru,
Mandor Jajuli menggantikannya.
Malam itu sehabis aku membenahi saluran-saluran air, aku
duduk-duduk di tepi parit Pikirku, "Ndara Ayu Sinder yang tidak
paham bahasa Belanda, tidak menguasai tulisan Latin, dan yang
hanya mahir bahasa dan tulisan Jawa itu, mampu menggugah
rasa cinta tanah air. Aku, aku... tidak mampu berbuat apa-apa,
malahan membantu memperkaya pemerintah kolonial." Aku
menangis, ya menangis, tersedu-sedu. Tiba-tiba aku merasa
pundakku dipegang orang. Terkejut aku menoleh. Sinder
Suprapto yang berdiri di belakangku.
Celetuknya, "Ada apa, Darmin" Apa yang sedang
kaupikirkan" Apa atau siapa yang kautangisi itu?"
Aku hendak berdiri, tapi Suprapto mencegahnya. Dialah
yang lalu duduk di sampingku. Katanya, "Darmin, aku
48 bermaksud untuk mengangkatmu jadi mandor. Mandor Jajuli
selalu mengeluh saja. Terlalu berat baginya untuk merangkap.
Areal kebun menjadi semakin luas dan jumlah mandor terbatas.
Tuan Besar sadar akan hal itu. Kau salah seorang yang sudah
kuajukan untuk menjadi mandor. Rupa-rupanya akan gol juga.
Sebagai mandor kau bisa berbuat banyak."
Aku terkejut dengan kata-kata "kau bisa berbuat banyak"
yang diucapkan itu. Langsung aku bertanya, "Apa yang dimaksudkan oleh Ndara
Sinder?" Bangkit berdiri, Sinder Prapto berkata, "Suhono anakku
pernah melihat kau membaca-baca koran berbahasa Belanda.
Kau lupa bahwa kau itu hanya kuli kebun. Tidak mungkin kuli
kebun mampu membaca koran De Locomotif. Aku sendiri juga
http://dewi-kzanfo/ 165 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak buta dan tidak tuli, Darmin. Kalau kadang-kadang Ndara
Ayu berucap Belanda yang tidak sesuai tentunya, kau tampak
tersenyum, Darmin. Kukira cita-citamu tidak hanya terbatas
ingin jadi mandor saja. Jauh lebih mulia daripada itu, tapi hati-
hatilah. Kau masih tetap Darmin, walaupun Mandor Darmin
sekalipun." 49 Sinder Prapto pergi melanjutkan inspeksinya. Aku masih saja
duduk termenung di tepi parit itu. Pikirku, "Ya, aku kurang
berhati-hati, sampai Den Suhono melihatnya."
Akhirnya aku menyandang pangkat mandor.
Sementara itu Tuan Besar Administrator Insinyur De Roo
sudah digantikan oleh seorang insinyur bangsawan Belanda,
Jonkheer van Hoogen-dorp. Seorang tuan besar yang menyatu
dengan pekerjaan dan tugasnya. Istrinya seorang wanita
Belanda Indo yang cantik. Lain dengan De Roo, yang kurang suka
meninjau kebun-kebun di malam hari, Van Hoogendorp ini
justru kebalikannya. Ia malam hari pun sering kelihatan jalan-
jalan di sepanjang jalan inspeksi.
Malam itu aku sedang memeriksa jalur-jalur parit. Belum
terlalu malam. Melihat Nyonya Besar Fien van Hoogendorp
berjalan-jalan santai lewat lorong-lorong inspeksi, itu bukanlah
hal yang luar biasa. Kadang-kadang dengan suaminya, tapi
sering-sering juga sendirian hanya dikawal oleh anjingnya yang
bernama Bimo, seekor anjing ras dalmatian. Saat itu Nyonya
Besar berjalan sendirian. Anjingnya tidak mengawalnya. Dengan
tiba-tiba saja, ia menyelinap masuk ke dalam rimbunnya daun-
daun tanaman tebu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa aku ada di
dekatnya dan melihatnya. Pikirku, "Mau apa Nyonya Besar itu?"
Ia menuju sebuah gubuk yang biasanya digunakan pekerja-
pekerja di waktu istirahat makan siang. Tergelitik untuk
http://dewi-kzanfo/ 50 166 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengetahui apa yang akan dilakukannya, secara diam-diam
kuikuti gerak-geriknya. Saat itu aku tidak dapat mempercayai penglihatanku sendiri.
Pedang Bunga Bwee 8 Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api Kidung Senja Di Mataram 1
^