Langit Runtuh 3
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon Bagian 3
"Saya datang ke sini untuk mencari informasi."
Wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Informasi?"
"Ya. Apakah Julie Winthrop memperoleh skinya di sini?"
Ia mengamati Dana lebih cermat. "Ya. Ia memakai yang paling top, yaitu ski super Volant Ti. Ia menyukainya. Sungguh menyedihkan kejadian yang menimpanya di Eaglecrest."
"Apakah Miss Winthrop pemain ski yang baik?"
"Baik" Ia yang terbaik. Ia punya piala satu lemari penuh."
"Tahukah Anda apakah ia sendirian ke sini?"
"Setahu saya, ia sendirian." Ia menggeleng. "Yang mengejutkan, ia sangat mengenal Eaglecrest. Ia biasa main ski di sini setiap tahun. Anda tentu mengira kecelakaan seperti itu tidak mungkin terjadi padanya, bukan?"
Dana berkata perlahan-lahan, "Ya, saya kira begitu."
Kepolisian Juneau hanya dua blok dari Inn at the Waterfront.
Dana masuk ke ruang penerimaan tamu yang sempit, yang dihiasi bendera negara bagian Alaska, bendera Juneau, dan bendera Amerika Serikat. Di sana ada karpet biru, sofa biru, dan kursi biru.
Seorang polisi berseragam bertanya, "Bisa saya bantu?"
"Saya perlu informasi mengenai kematian Julie Winthrop."
Ia mengernyit. "Anda harus bicara dengan Bruce Bowler. Ia kepala regu penyelamat Sea Dog Rescue. Kantornya di atas, tapi saat ini ia tidak ada di tempat."
"Apakah Anda tahu di mana saya bisa menemuinya?"
Perwira itu melihat jam tangan. "Saat ini mestinya Anda bisa menemukannya di Hanger on the Wharf. Letaknya dua blok di Marine Way."
"Terima kasih banyak."
*** Hanger on the Wharf adalah restoran besar yang penuh pelanggan yang datang untuk makan siang.
Pelayan restoran berkata pada Dana, "Maaf, kami tidak punya meja lagi saat ini. Anda mungkin perlu menunggu sekitar dua puluh menit kalau?"
"Saya mencari Mr. Bruce Bowler. Apakah Anda?"
Si pelayan mengangguk. "Bruce" Ia ada di meja sana."
Dana melihat ke arah yang ditunjuknya. Di sana tampak laki-laki berusia awal empat puluhan, dengan penampilan yang kasar tapi berwajah baik dan jujur, duduk sendirian.
"Terima kasih." Dana menghampiri meja itu. "Mr. Bowler?"
Ia mengangkat muka. "Ya."
"Saya Dana Evans. Saya butuh bantuan Anda."
Ia tersenyum. "Anda beruntung. Kami masih punya satu kamar. Saya akan menelepon Judy."
Dana memandangnya bingung. "Maaf?"
"Bukankah Anda menanyakan tentang Cozy Log, penginapan milik kami?"
"Tidak. Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Julie Winthrop."
"Oh." Ia tampak malu. "Maaf. Silakan duduk. Saya dan Julie memiliki penginapan kecil di luar kota. Saya tadi mengira Anda sedang mencari kamar. Anda sudah makan siang?"
"Belum, saya?" "Bergabunglah dengan saya." Senyumnya ramah.
"Terima kasih," Dana berkata.
Sesudah Dana memesan makanan, Bruce Bowler berkata, "Apakah yang ingin Anda ketahui mengenai Julie Winthrop?"
"Mengenai kematiannya. Apakah ada kemungkinan itu bukan kecelakaan?"
Bruce Bowler mengernyit. "Apakah Anda menanyakan kemungkinan ia bunuh diri?"
"Tidak. Saya menanyakan apakah... apakah ada kemungkinan seseorang membunuhnya."
Ia mengedipkan mata. "Membunuh Julie" Tidak mungkin. Itu kecelakaan."
"Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi?"
"Tentu." Bruce Bowler berpikir sejenak, menimbang-nimbang dari mana akan mulai. "Kami punya tiga kelompok lereng di sini. Ada lereng-lereng untuk pemula, seperti Muskeg, Dolly Varden, dan Sourdough... Ada yang lebih sulit, Sluice Box, Mother Lode, dan Sundance... Ada juga yang benar-benar sulit, Insane, Spruce Chute, Hang Ten... Dan kemudian ada Steep Chutes. Itulah yang paling sulit."
"Dan Julie Winthrop main ski di...?"
"Di Steep Chutes."
"Jadi ia pemain ski yang ahli?"
"Benar sekali," kata Bruce Bowler. Ia ragu-ragu. "Itulah yang sangat ganjil."
"Apa yang sangat ganjil?"
"Well, tiap hari Kamis pukul empat sore sampai sembilan malam, kami mengadakan permainan ski di malam hari. Banyak sekali pemain ski malam itu. Mereka semua kembali pukul sembilan, kecuali Julie. Kami pergi mencarinya. Kami menemukan tubuhnya di dasar Steep Chutes. Ia menabrak pohon. Pasti tewas seketika."
Dana memejamkan mata sebentar, merasakan kengerian dan kesakitannya. "Jadi"jadi ia sendirian ketika kecelakaan itu terjadi?"
"Yeah. Para pemain ski biasanya bepergian bersama-sama, tetapi kadang pemain-pemain terbaik suka melakukannya sendirian. Kami di sini punya tanda pembatas daerah, dan siapa pun yang bermain ski di luarnya, ia melakukannya atas risiko sendiri. Julie Winthrop main ski di luar batas itu, di jalur tertutup. Kami butuh waktu cukup lama untuk menemukan jenazahnya."
"Mr. Bowler, bagaimana prosedur bila ada pemain ski hilang?"
"Segera setelah seseorang dilaporkan hilang, kami mulai melakukan bastard search."
"Bastard search?"
"Kami menelepon teman-temannya untuk memeriksa apakah pemain ski itu bersama mereka. Kami menelepon beberapa bar. Ini pencarian cepat dan tidak terperinci. Gunanya untuk menghindarkan kru kami dari segala kerepotan melakukan pencarian habis-habisan terhadap pemabuk yang ternyata sedang duduk-duduk di bar."
"Dan kalau benar-benar ada yang hilang?" Dana bertanya.
"Kami mencari data deskripsi fisik pemain ski yang hilang itu, kemampuannya bermain ski, dan lokasi terakhir ia dilihat. Kami selalu menanyakan apakah mereka punya kamera."
"Mengapa?" "Bila mereka punya kamera, maka kami akan punya gambaran tentang tempat yang mungkin mereka datangi. Kami mengecek rencana transportasi apa yang dimiliki pemain ski itu untuk kembali ke kota. Kalau penyisiran ini tidak menghasilkan apa-apa, maka kami mengasumsikan pemain ski yang hilang itu berada di luar batas daerah bermain ski. Kami mengabari pasukan khusus Alaska untuk melakukan pencarian dan penyelamatan dan mereka akan mengoperasikan helikopter. Ada empat orang dalam masing-masing kelompok pencari, dan patroli udara sipil juga ikut bergabung."
"Banyak sekali sumber daya manusia yang dibutuhkan."
"Benar. Tetapi ingat, kami memiliki enam ratus tiga puluh ekar tempat bermain ski di sini, dan dalam setahun, kami rata-rata melakukan empat puluh pencarian. Kebanyakan berhasil baik." Bruce Bowler melihat langit dingin berwarna kelabu gelap di luar jendela. "Saya ingin sekali yang ini pun demikian." Ia berpaling kembali pada Dana. "Omong-omong, patroli ski melakukan penyisiran setiap hari sesudah lift dimatikan."
Dana berkata, "Saya diberitahu bahwa Julie Winthrop biasa main ski di puncak Eaglecrest."
Ia mengangguk. "Benar. Tapi itu tetap bukan jaminan. Awan bisa saja datang, Anda bisa kehilangan orientasi, dan Anda bisa saja bernasib sial. Miss Winthrop bernasib sial."
"Bagaimana Anda menemukan jenazahnya?"
"Mayday yang menemukannya."
"Mayday?" "Itu anjing kami yang paling top. Patroli ski bekerja dengan anjing Labrador hitam dan herder. Anjing-anjing itu luar biasa. Mereka bisa mencium bau manusia, pergi ke tepi zona bau itu, dan melacak sumbernya. Kami mengirim bombardier ke tempat kecelakaan, dan ketika?"
"Bombardier?" "Mesin salju kami. Kami membawa mayat Julie Winthrop dengan usungan Stokes. Tiga kru ambulans memeriksanya dengan monitor EKG, kemudian memotretnya, dan memanggil pengurus jenazah. Mereka membawa jenazahnya ke Bartlett Regional Hospital."
"Dan tak seorang pun tahu bagaimana kecelakaan itu terjadi?"
Ia mengangkat bahu. "Yang kami ketahui hanyalah ia berjumpa pohon cemara raksasa yang kurang ramah. Saya melihat mayatnya. Bukan pemandangan yang bagus."
Dana memandang Bruce Bowler sesaat. "Apakah memungkinkan bagi saya untuk melihat puncak Eaglecrest?"
"Kenapa tidak" Mari kita selesaikan makan siang dulu, setelah itu saya akan membawa Anda ke sana."
*** Mereka mengendarai Jeep ke pondok ski dua tingkat di kaki gunung.
Bruce Bowler bercerita pada Dana, "Di bangunan inilah kami rapat untuk menyusun rencana pencarian dan penyelamatan. Kami membawa peralatan toko penyewaan ski ke sini dan kami punya instruktur ski bagi mereka yang membutuhkannya. Kita akan naik lift ini ke puncak gunung."
Mereka naik chairlift Ptarmigan, menuju puncak Eaglecrest. Dana menggigil.
"Saya seharusnya mengingatkan Anda. Untuk cuaca seperti ini, Anda perlu pakaian propylene, pakaian dalam panjang, dan Anda harus mengenakan berlapis-lapis pakaian."
Dana menggigil. "Akan sa-saya ingat."
"Dengan chairlift inilah Julie Winthrop naik. Ia membawa ranselnya."
"Ranselnya?" "Ya. Berisi sekop untuk longsoran salju, suar yang bisa mencapai jarak lima puluh meter, dan tongkat penjajak." Ia menghela napas. "Tentu saja semua itu tidak menolong kalau ia menabrak pohon."
Mereka hampir mendekati puncak. Ketika mereka sampai pelataran dan hati-hati turun dari kursi-kursi, seorang pria di puncak menyambut mereka.
"Apa yang membawamu ke atas sini, Bruce" Ada yang hilang?"
"Tidak. Aku cuma mengantar teman melihat-lihat pemandangan. Ini Miss Evans."
Mereka saling menyapa. Dana memandang sekelilingnya. Di sana ada pondok penghangat yang nyaris hilang ditelan awan tebal. Apakah Julie Winthrop masuk ke sana sebelum pergi main ski" Dan apakah ada yang mengikutinya" Seseorang yang merencanakan membunuhnya"
Bruce Bowler menoleh pada Dana. "Ptarmigan ini adalah puncak gunung. Dari sini semua turun ke bawah."
Dana berpaling dan memandang tanah yang tak kenal ampun nun jauh di bawah sana. Ia bergidik.
"Anda kelihatannya kedinginan, Miss Evans. Sebaiknya saya bawa Anda turun."
"Terima kasih."
Dana baru saja kembali ke Inn at the Waterfront ketika terdengar ketukan di pintu. Dana membukanya. Seorang laki-laki berperawakan besar dan berwajah pucat berdiri di sana.
"Miss Evans?" "Ya." "Hai. Nama saya Nicholas Verdun. Saya dari surat kabar Juneau Empire."
"Ya." "Saya dengar Anda sedang melakukan penyelidikan atas kematian Julie Winthrop" Kami ingin memuat cerita tentang hal itu."
Alarm berbunyi dalam benak Dana. "Saya khawatir Anda keliru. Saya tidak melakukan penyelidikan apa-apa."
Laki-laki itu memandangnya dengan skeptis. "Saya dengar?"
"Kami sedang menggarap tayangan tentang bermain ski di seluruh penjuru dunia. Ini cuma salah satu tempat."
Ia terpaku sesaat. "Begitu. Maaf telah mengganggu Anda."
Dana mengawasinya pergi. Bagaimana ia bisa tahu apa yang sedang kulakukan di sini" Dana menelepon Juneau Empire. "Halo. Saya ingin bicara dengan salah satu reporter Anda, Nicholas Verdun..." Ia mendengarkan sebentar. "Tidak ada yang bernama itu" Saya mengerti. Terima kasih."
Dana perlu waktu sepuluh menit untuk berkemas. Aku harus menyingkir dari sini dan mencari tempat lain. Sekonyong-konyong ia teringat sesuatu. Bukankah Anda menanyakan tentang Cozy Log, penginapan milik kami" Anda beruntung. Kami masih punya satu kamar. Dana turun ke lobi untuk check out. Pegawai hotel memberinya petunjuk jalan ke penginapan dan menggambarkan peta kecil.
Di lantai bawah tanah sebuah gedung pemerintah, laki-laki itu melihat peta digital di komputer dan berkata, "Subjek sedang meninggalkan pusat kota, menuju barat."
*** Cozy Log Bed-and-Breakfast Inn adalah rumah balok kayu Alaska satu lantai, setengah jam perjalanan dari pusat kota Juneau. Sempurna. Dana membunyikan bel dan pintu dibuka seorang wanita menarik dan ceria yang berusia tiga puluhan.
"Halo. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ya. Saya bertemu suami Anda, dan ia mengatakan Anda masih punya satu kamar kosong."
"Benar. Saya Judy Bowler."
"Dana Evans." "Silakan masuk."
Dana melangkah ke dalam dan melihat sekitarnya. Penginapan itu terdiri atas ruang duduk yang luas dan nyaman, dilengkapi perapian batu, ruang makan tempat para penginap bersantap, dan dua kamar tidur dengan kamar mandi di dalam.
"Saya yang memasak semuanya di sini," kata Judy Bowler. "Rasanya lumayan kok."
Dana tersenyum hangat. "Saya sudah tidak sabar untuk mencicipinya."
Judy Bowler mengantar Dana ke kamarnya. Kamar itu bersih dan seperti kamar rumah biasa. Dana membongkar bawaannya.
Di penginapan itu menginap pasangan lain, dan percakapannya santai. Tak satu pun mengenali Dana.
Sesudah makan siang, Dana mengemudi kembali ke kota. Ia masuk ke bar Cliff House dan memesan minuman. Semua pegawai di sana tampak kecokelatan terbakar matahari dan sehat. Tentu saja.
"Cuaca bagus," kata Dana pada si bartender muda yang berambut pirang.
"Yeah. Cuaca yang sangat bagus untuk main ski."
"Apakah Anda sering main ski?"
Ia tersenyum. "Setiap saya ada waktu senggang."
"Terlalu berbahaya bagi saya." Dana mengembuskan napas. "Seorang teman saya tewas di sini beberapa bulan yang lalu."
Bartender itu meletakkan gelas yang sedang dilapnya. "Tewas?"
"Ya. Julie Winthrop."
Ekspresinya berubah muram. "Ia biasa datang ke sini. Wanita yang menyenangkan."
Dana mencondongkan badan ke depan. "Saya dengar itu bukan kecelakaan."
Matanya melebar. "Apa maksud Anda?"
"Saya dengar ia dibunuh."
"Dibunuh?" katanya takjub. "Tidak mungkin. Itu kecelakaan."
Dua puluh menit kemudian Dana berbicara pada bartender lain di Prospector Hotel.
"Cuaca bagus." "Cuaca yang cocok untuk main ski," kata si bartender.
Dana menggeleng. "Terlalu berbahaya bagi saya. Seorang teman saya tewas main ski di sini. Anda mungkin pernah bertemu dengannya. Julie Winthrop."
"Oh, tentu. Saya sangat suka dengannya. Maksud saya, ia tidak congkak, berbeda dengan beberapa orang tertentu. Ia rendah hati."
Dana memajukan badan. "Saya dengar kematiannya bukan kecelakaan."
Ekspresi wajah bartender itu berubah. Ia memelankan suara. "Saya memang tahu itu bukan kecelakaan."
Jantung Dana berdenyut cepat. "Benarkah?"
"Sungguh." Ia mencondongkan badan ke depan, seolah akan membicarakan masalah rahasia. "Makhluk-makhluk Mars itu..."
Ia berski ke puncak Ptarmigan Mountain, dan dapat merasakan angin dingin menggigitnya. Ia melihat ke lembah di bawah, mencoba memutuskan apakah hendak kembali sekarang, ketika tiba-tiba ia merasakan dorongan dari belakang. Ia terlontar menuruni lereng, makin lama makin cepat, menuju sebatang pohon raksasa. Tepat sebelum menabrak pohon itu, ia terjaga sambil menjerit.
Dana duduk di ranjang, gemetar. Itukah yang terjadi pada Julie Winthrop" Siapakah yang mendorongnya hingga tewas"
Elliot Cromwell tidak sabar.
"Matt, kapan Jeff Connors kembali" Kita membutuhkannya."
"Segera. Ia terus memberi kabar."
"Dan bagaimana dengan Dana?"
"Ia berada di Alaska, Elliot. Kenapa?"
"Aku ingin melihatnya berada di sini. Peringkat siaran malam kita turun."
Dan Matt Baker memandangnya, bertanya-tanya dalam hati apakah itu alasan keprihatinan Elliot Cromwell yang sebenarnya.
Keesokan paginya, Dana berpakaian dan kembali ke pusat kota.
Di bandara, ketika menunggu penerbangannya, Dana menyadari seorang laki-laki di sudut sesekali memandangnya. Rasanya orang itu pernah dilihatnya. Ia memakai setelan jas abu-abu gelap, dan mengingatkan Dana pada seseorang. Dan Dana ingat siapa orang itu. Laki-laki lain di bandara Aspen. Pria itu juga memakai setelan jas abu-abu tua. Tetapi bukan pakaian itu yang memicu ingatan Dana. Ada sesuatu pada sikap mereka. Mereka berdua memancarkan aura angkuh yang tak menyenangkan. Pria itu mengawasinya dengan pandangan yang nyaris mencemooh. Dana bergidik.
Sesudah Dana naik ke pesawat, laki-laki itu berbicara di telepon genggam dan meninggalkan bandara.
LIMA BELAS KETIKA tiba di rumah, Dana menemukan pohon Natal kecil dan indah yang dibeli dan dihias Mrs. Daley.
"Lihat ornamen ini," kata Mrs. Daley bangga. "Kemal yang membuatnya sendiri."
Penghuni apartemen sebelah menyaksikan adegan itu di televisinya.
Dana mencium pipi perempuan tua itu. "Saya sayang Anda, Mrs. Daley."
Wajah Mrs. Daley merona merah. "Oh, tidak usah meributkan soal kecil begini."
"Mana Kemal?" "Ia di kamarnya. Ada dua pesan untuk Anda, Miss Evans. Anda diminta menelepon Mrs. Hudson. Saya taruh catatan nomornya di meja rias. Dan ibu Anda menelepon."
"Terima kasih."
Ketika Dana masuk ke ruang belajar, Kemal sedang asyik di depan komputer.
Ia mengangkat mata. "Hei, kau sudah kembali."
"Aku kembali," kata Dana.
"Dope. Aku memang berharap kau ada di sini untuk merayakan Natal."
Dana memeluknya. "Pasti. Aku takkan melewatkannya. Bagaimana keadaanmu selama ini?"
"Rad." Bagus. "Kau suka Mrs. Daley?"
Ia mengangguk. "Ia asyik."
Dana tersenyum. "Aku tahu. Aku perlu menelepon beberapa orang. Aku akan segera kembali."
Berita buruk dulu, pikir Dana. Ia menelepon ibunya. Ia belum bicara dengannya sejak kejadian di Westport. Bagaimana ia bisa menikah dengan laki-laki seperti itu" Dana mendengar telepon berdering beberapa kali, lalu terdengar rekaman suara ibunya.
"Kami sedang tidak ada di rumah, tapi kalau kau meninggalkan pesan, kami akan meneleponmu kembali. Tunggu sampai terdengar nada..."
Dana menunggu. "Selamat Natal, Ibu." Ia lalu menutup telepon.
Telepon berikutnya untuk Pamela.
"Dana, saya senang Anda sudah kembali!" Pamela Hudson berkata. "Kami dengar di siaran berita Jeff sedang pergi, tapi saya dan Roger telah mengundang beberapa orang untuk jamuan makan malam Natal besok. Kami ingin Anda serta Kemal datang. Jangan katakan Anda sudah punya rencana lain."
"Tidak," kata Dana. "Saya tidak punya rencana apa-apa. Dan kami ingin sekali datang. Terima kasih, Pamela."
"Bagus. Kami menunggu Anda pukul lima. Pakaiannya santai." Ia diam sejenak. "Bagaimana situasinya?"
"Saya tidak tahu," kata Dana terus terang. "Saya tidak tahu apakah ada situasi apa pun."
"Yah, lupakan segalanya sementara ini. Beristirahatlah. Sampai jumpa besok."
Ketika Dana dan Kemal tiba di rumah keluarga Hudson pada Hari Natal, mereka disambut Cesar di pintu. Wajahnya berseri-seri ketika ia melihat Dana.
"Miss Evans! Sungguh senang melihat Anda lagi." Ia tersenyum pada Kemal. "Dan Master Kemal."
"Hai, Cesar," sapa Kemal.
Dana menyerahkan bingkisan berbungkus warna-warni pada Cesar. "Selamat Natal, Cesar."
"Saya tidak tahu apa?" Ia terbata-bata. "Saya tidak"Anda terlalu baik, Miss Evans!"
Si raksasa lembut hati itu, demikian julukan Dana padanya, merona merah. Dana mengangsurkan dua bingkisan lain. "Yang ini untuk Mr. dan Mrs. Hudson."
"Ya, Miss Evans. Saya akan meletakkannya di bawah pohon Natal. Mr. dan Mrs. Hudson ada di ruang duduk." Cesar berjalan duluan.
Pamela berkata, "Kalian sudah datang! Kami sangat gembira kalian bisa datang."
"Kami juga," kata Dana.
Pamela melihat lengan kanan Kemal. "Dana, Kemal punya"bagus sekali!"
Dana tersenyum lebar. "Bagus, ya" Berkat atasan saya. Ia begitu murah hati. Saya rasa ini telah mengubah seluruh hidup Kemal."
"Saya senang mendengarnya."
Roger mengangguk. "Selamat, Kemal."
"Terima kasih, Mr. Hudson."
Roger Hudson berkata pada Dana. "Sebelum tamu-tamu lain tiba, ada yang harus saya sampaikan. Ingat saya pernah mengatakan bahwa Taylor Winthrop memberitahu teman-temannya ia akan mengundurkan diri dari kehidupan publik tapi kemudian malah jadi duta besar untuk Rusia?"
"Ya. Saya menduga Presiden mendesaknya untuk?"
"Begitulah perkiraan semula saya. Tetapi sepertinya Winthrop-lah yang mendesak Presiden agar mengangkatnya sebagai duta besar. Pertanyaannya adalah, mengapa?"
Tamu-tamu lain mulai berdatangan. Hanya ada dua belas orang lain dalam jamuan tersebut, dan suasana malam itu terasa hangat serta ceria.
Sesudah hidangan penutup, semua pergi ke ruang duduk. Di depan perapian tampak pohon Natal besar. Semua orang mendapat hadiah, tetapi Kemal memperoleh yang paling hebat: game komputer, Rollerblades, sweter, sarung tangan, dan kaset video.
Waktu berlalu cepat. Kegembiraan bersama orang-orang yang demikian ramah, sesudah tekanan beberapa hari terakhir ini, begitu besar. Seandainya saja Jeff ada di sini.
Dana Evans duduk di meja pembaca berita, menunggu siaran berita pukul 23.00 dimulai. Di sampingnya duduk rekannya, Richard Melton. Maury Falstein duduk di kursi yang biasanya ditempati Jeff. Dana mencoba untuk tidak memikirkan hal itu.
Richard Melton berkata pada Dana, "Aku merasa kehilangan saat kau bepergian."
Dana tersenyum. "Terima kasih, Richard. Aku pun kehilangan kau."
"Kau pergi cukup lama. Semua baik-baik?"
"Semua baik-baik."
"Ayo kita makan bersama sesudah ini."
"Aku harus memastikan dulu Kemal baik-baik saja."
"Kita bisa bertemu di suatu tempat."
Kita harus bertemu di tempat lain. Saya rasa saya diawasi. Di kandang burung besar di kebun binatang. Melton meneruskan. "Mereka mengatakan kau sedang menyelidiki berita besar. Mau membicarakannya?"
"Belum ada yang bisa dibicarakan, Richard."
"Aku mendengar selentingan Cromwell tidak terlalu senang kau begitu banyak bepergian. Aku harap kau tidak menemui masalah dengannya."
Saya nasihati Anda. Jangan mencari-cari masalah, atau Anda akan menemukannya. Itu janji saya. Dana merasa sulit memusatkan pikiran pada apa yang diucapkan Richard Melton.
"Ia senang memecat orang," kata Melton.
Bill Kelly menghilang sehari sesudah kebakaran itu. Ia bahkan tidak mengambil bayarannya, pergi begitu saja.
Richard Melton terus berbicara. "Dengan Tuhan sebagai saksinya, aku bersumpah tidak ingin bekerja dengan penyiar baru."
Saksi kecelakaan itu turis Amerika, Ralph Benjamin. Seorang tuna netra.
"Lima"empat"tiga"dua..." Anastasia Mann menudingkan satu jari ke arah Dana. Lampu merah kamera menyala.
Suara announcer menggelegar, "Kini siaran berita pukul sebelas di WTN bersama Dana Evans dan Richard Melton."
Dana tersenyum ke arah kamera "Selamat malam. Saya Dana Evans."
"Dan saya Richard Melton."
Mereka kembali mengudara.
"Hari ini di Arlington, tiga siswa Wilson High School ditahan sesudah polisi menggeledah locker mereka dan menemukan tujuh ons mariyuana dan berbagai senjata, termasuk sepucuk pistol curian. Laporan selengkapnya oleh Holly Rapp."
Kembali pada rekaman. Kami tidak banyak menghadapi kasus pencurian benda seni, tetapi modus operandi-nya hampir selalu sama. Yang ini beda.
Siaran selesai. Richard Melton memandang Dana.
"Kita ketemu nanti?"
"Jangan malam ini, Richard. Ada yang harus kulakukan."
Richard berdiri. "Oke." Dana merasa pria itu ingin menanyainya soal Jeff. Namun Richard berkata, "Sampai jumpa besok."
Dana berdiri. "Selamat malam, semuanya."
Dana berjalan keluar dari studio dan masuk ke kantornya. Ia duduk, menghidupkan komputer, log on ke Internet, dan mulai mencari lagi di antara artikel-artikel tentang Taylor Winthrop yang tak terhitung jumlahnya. Di salah satu Web site, Dana kebetulan menemukan informasi tentang Marcel Falcon, pejabat pemerintah Prancis yang pernah menjadi duta besar untuk NATO. Artikel itu menyebutkan Marcel Falcon menegosiasikan perjanjian dagang dengan Taylor Winthrop. Di tengah negosiasi itu, Falcon mendadak mengundurkan diri dari kedudukannya dalam pemerintah dan pensiun. Di tengah negosiasi antar pemerintah" Ada apa"
Dana mencoba Web site lain, tetapi tidak ada informasi lebih jauh tentang Marcel Falcon. Aneh sekali. Aku harus memeriksanya. Dana memutuskan.
*** Ketika Dana selesai, waktu menunjukkan pukul 02.00. Terlalu pagi untuk menelepon Eropa. Ia pulang ke apartemen. Mrs. Daley sudah menunggunya.
"Maaf saya pulang selarut ini," kata Dana. "Saya?"
"Tidak ada masalah. Saya melihat siaran Anda malam ini. Saya rasa tetap sehebat biasanya, Miss Evans."
"Terima kasih."
Mrs. Daley menghela napas. "Saya cuma berharap semua berita tersebut tidak begitu mengerikan. Dunia macam apa yang kita tinggali ini?"
"Pertanyaan bagus. Bagaimana Kemal?"
"Jagoan cilik itu baik-baik saja. Saya biarkan ia mengalahkan saya waktu main kartu."
Dana tersenyum. "Bagus. Terima kasih, Mrs. Daley. Kalau besok Anda ingin datang lebih siang?"
"Tidak, tidak. Saya akan ke sini pagi-pagi seperti biasa untuk menyiapkan kalian berangkat sekolah dan bekerja."
Dana mengamati Mrs. Daley pergi. Betul-betul langka, pikirnya bersyukur. Telepon genggamnya berdering. Ia berlari untuk mengambilnya. "Jeff?"
"Selamat Natal, Sayang." Suara Jeff bagai mengaliri sekujur tubuhnya. "Apakah aku menelepon terlalu larut malam?"
"Tidak pernah terlalu larut. Ceritakan padaku tentang Rachel."
"Ia sudah pulang ke rumah."
Yang dimaksud Jeff, ia sudah pulang ke rumahnya sendiri.
"Di sini ada perawat, tapi Rachel mau ia tinggal sampai besok saja."
Dana tidak suka menanyakan ini. "Dan setelah itu?"
"Hasil tes menunjukkan kanker itu sudah menyebar. Rachel tidak ingin aku pergi sekarang."
"Aku mengerti. Aku tidak bermaksud egois, tapi apa tidak ada orang yang?"
"Ia tidak punya siapa pun, Sayang. Ia sendirian dan panik. Ia tidak mau ada orang lain di sini. Terus terang, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Rachel kalau aku meninggalkannya."
Dan aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tinggal di sana.
"Mereka ingin segera memulai kemoterapi."
"Berapa lama?" "Ia butuh satu kali perawatan setiap tiga minggu selama empat bulan."
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat bulan. "Matt sudah memintaku untuk mengambil cuti. Aku sangat prihatin mengenai semua ini, Sayang."
Apa sebenar maksudnya" Prihatin soal pekerjaan" Prihatin soal Rachel" Atau prihatin hidup kami terpisah seperti ini" Bagaimana aku bisa egois seperti ini" Dana bertanya pada diri sendiri. Wanita itu sedang sakit berat.
"Aku juga," akhirnya Dana berkata. "Aku harap semuanya berakhir baik." Baik untuk siapa" Untuk Rachel dan Jeff" Untuk Jeff dan aku"
Setelah meletakkan telepon, Jeff mendongak dan melihat Rachel berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan gaun tidur dan mantel. Rachel tampak menawan, dengan kulit yang tampak hampir transparan.
"Dari Dana?" "Ya," jawab Jeff.
Rachel mendekatinya. "Jeff yang malang. Aku tahu betapa tersiksanya kalian berdua gara-gara semua ini. Ta"tapi aku tidak sanggup menjalani ini tanpa dirimu. Aku membutuhkanmu, Jeff. Aku membutuhkanmu sekarang."
Dana tiba di kantor pagi-pagi dan log on ke Internet lagi. Dua informasi menarik perhatiannya. Jika terpisah, dua informasi itu wajar-wajar saja, tetapi jika disatukan, mereka menyiratkan misteri.
Informasi pertama berbunyi: "Vincent Mancino, menteri perdagangan Italia, mendadak mengundurkan diri sewaktu negosiasi kontrak dagang dengan Taylor Winthrop, wakil dari Amerika Serikat, tengah berlangsung. Asisten Mancino, Ivo Vale, menggantikannya."
Informasi kedua berbunyi: "Taylor Winthrop, penasihat khusus NATO di Brussel, minta agar dirinya diganti dan kembali ke rumahnya di Washington."
Marcel Falcon mengundurkan diri, Vincent Mancino mengundurkan diri, Taylor Winthrop berhenti mendadak. Apakah semua itu berkaitan" Kebetulan"
Menarik. Telepon Dana yang pertama adalah kepada Dominick Romano, yang bekerja pada jaringan Italia 1 di Roma.
"Dana! Senang sekali mendengar suaramu. Ada apa?"
"Aku akan datang ke Roma, dan aku ingin bicara."
"Bene! Soal apa?"
Dana ragu. "Aku lebih suka membicarakannya setelah aku sampai di sana."
"Kapan kau datang?"
"Aku akan tiba di sana hari Sabtu."
"Akan kubuatkan pasta yang lezat."
Telepon Dana yang berikutnya adalah kepada Jean Somville, yang bekerja di kantor urusan pers NATO di rue des Chapeliers, Brussels.
"Jean" Dana Evans."
"Dana! Kita tidak pernah bertemu lagi sejak Sarajevo. Hebat sekali waktu itu. Kau akan kembali ke sana?"
Dana meringis. "Tidak, kalau bisa."
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, ch?rie?"
"Beberapa hari lagi aku akan ke Brussels. Apakah kau akan ada di tempat?"
"Untukmu" Tentu. Ada yang istimewa?"
"Tidak," kata Dana cepat-cepat.
"Baiklah. Kau cuma melancong, heh?" Terdengar nada skeptis, kurang percaya, dalam suaranya.
"Kurang-lebih seperti itulah," kata Dana.
Ia tertawa. "Aku menunggumu. Au revoir."
"Au revoir." "Matt Baker ingin bertemu denganmu."
"Katakan padanya aku akan segera ke sana, Olivia."
Dua telepon lagi dan Dana sudah dalam perjalanan ke kantor Matt.
Matt berkata tanpa basa-basi, "Kita mungkin beruntung. Ada sesuatu. Tadi malam aku mendengar cerita yang mungkin bisa jadi petunjuk tentang apa yang kita cari."
Dana merasa jantungnya berdebar lebih cepat. "Ya?"
"Ada laki-laki bernama" "ia memeriksa secarik kertas di atas mejanya" "Dieter Zander, di D?sseldorf. Ia pernah berhubungan bisnis dengan Taylor Winthrop."
Dana mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku tidak mendapatkan seluruh ceritanya, tapi tampaknya pernah terjadi sesuatu yang sangat buruk di antara mereka. Mereka putus hubungan setelah berseteru hebat, dan Zander bersumpah akan membunuh Winthrop. Rasanya ini pantas dicek."
"Tentu. Aku akan segera mengeceknya, Matt."
Mereka bercakap-cakap beberapa menit lagi, lalu Dana berlalu.
Aku ingin tahu bagaimana aku bisa mencari lebih banyak informasi tentang masalah ini. Ia mendadak teringat pada Jack Stone dan FRA. Ia mungkin tahu sesuatu. Ia menemukan nomor telepon pribadi yang diberikan Jack Stone padanya dan menghubunginya.
Suara pria itu terdengar di telepon. "Jack Stone."
"Di sini Dana Evans."
"Halo, Miss Evans. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya mencoba mencari informasi tentang orang bernama Zander di D?sseldorf."
"Dieter Zander?"
"Ya. Anda tahu dia?"
"Kami tahu siapa dia."
Dana menyadari pemakaian kata kami itu. "Bisa Anda menceritakan sesuatu tentang dia?"
"Apakah ini ada kaitannya dengan Taylor Winthrop?"
"Ya." "Taylor Winthrop dan Dieter Zander bermitra dalam suatu transaksi bisnis. Zander dipenjara karena memanipulasi saham, dan sewaktu berada di dalam penjara, rumahnya terbakar habis, menewaskan istri dan tiga anaknya. Ia menyalahkan Taylor Winthrop atas musibah itu."
Dan Taylor Winthrop dan istrinya tewas dalam kebakaran. Dana mendengarkan dengan perasaan terguncang, "Apakah Zander masih berada dalam penjara?"
"Tidak. Saya yakin ia sudah keluar tahun lalu. Ada yang lain?"
"Tidak. Terima kasih banyak,"
"Ini hanya di antara kita."
"Saya mengerti."
Sambungan terputus. Sekarang ada tiga kemungkinan, pikir Dana. Dieter Zander di D?sseldorf.
Vincent Mancino di Roma. Marcel Falcon di Brussels.
Aku akan pergi ke D?sseldorf dulu.
Olivia berkata, "Mrs. Hudson di saluran tiga."
"Terima kasih." Dana mengangkat telepon. "Pamela?"
"Halo, Dana. Saya tahu pemberitahuan ini mendadak. Teman baik kami datang, karena itu saya dan Roger akan mengadakan pesta kecil untuknya hari Rabu ini. Saya tahu Jeff masih di luar kota, tapi kami ingin Anda datang. Apakah ada waktu luang?"
"Saya rasa tidak bisa. Saya berangkat ke D?sseldorf malam ini."
"Oh. Sayang." "Dan, Pamela?" "Ya?" "Jeff mungkin pergi agak lama."
Mereka terdiam. "Saya harap semuanya baik-baik."
"Ya. Saya yakin begitu." Harus begitu.
ENAM BELAS Malam itu di bandara Dulles, Dana naik jet Lufthansa menuju D?sseldorf. Sebelumnya ia sudah menelepon Steffan Mueller, yang bekerja di Kabel Network untuk memberitahu bahwa ia dalam perjalanan ke sana. Pikiran Dana dipenuhi perkataan Matt Baker padanya. Kalau Dieter Zander menyalahkan Taylor Winthrop atas"
"Guten Abend. Ich heisse Hermann Friedrich. Ist es das ersten mal das sie Deutschland besuchen?"
Dana menoleh untuk melihat laki-laki yang duduk di sebelahnya. Pria itu berusia lima puluhan, langsing, memakai sebelah penutup mata, dan berkumis tebal.
"Selamat malam," kata Dana.
"Ah, Anda orang Amerika?"
"Ya." "Banyak orang Amerika berkunjung ke D?sseldorf. Kota yang indah."
"Begitulah yang saya dengar" Dan keluarganya meninggal dalam kebakaran.
"Ini kunjungan pertama Anda?"
"Ya." Mungkinkah itu cuma kebetulan"
"Kota itu sangat indah. Anda tahu, D?sseldorf dibelah Sungai Rhine menjadi dua bagian. Bagian lama terletak di sisi kanan?"
Steffan Mueller bisa menceritakan lebih banyak tentang Dieter Zander.
?"dan bagian yang modern berada di sisi kiri. Lima jembatan menghubungkan kedua sisi itu." Hermann Friedrich bergeser mendekati Dana sedikit. "Anda mengunjungi teman di D?sseldorf?"
Semua mulai kelihatan hubungannya.
Friedrich mencondongkan badan. "Kalau Anda sendirian, saya tahu?"
"Apa" Oh. Tidak, saya akan menemui suami saya di sana."
Senyum Hermann Friedrich menghilang. "Gut. Er ist ein gl?cklicher Mann."
Taksi berderet di luar D?sseldorf International Airport. Dana naik salah satu di antaranya menuju Breidenbacher Hof di pusat kota. Tempat itu adalah hotel tua yang anggun dengan lobi penuh hiasan.
Resepsionis di belakang meja berkata, "Kami sudah menunggu Anda, Miss Evans. Selamat datang di D?sseldorf."
"Terima kasih." Dana menandatangani formulir.
Petugas itu mengangkat telepon dan berbicara. "Der Raum sollte betriebsbereit sein. Hast." Ia meletakkan gagang telepon dan menoleh pada Dana. "Maaf, Fr?ulein, kamar Anda belum siap. Silakan menikmati makanan sebagai tamu kami, dan saya akan memanggil Anda segera setelah petugas selesai membersihkannya."
Dana mengangguk. "Baiklah."
"Mari saya antar Anda ke ruang makan."
Di kamar Dana di lantai atas, dua ahli elektronika sedang memasang kamera di dalam jam dinding.
Tiga puluh menit kemudian, Dana sudah berada di kamarnya, membongkar bawaan. Telepon pertama ia tujukan ke Kabel Network.
"Aku sudah tiba, Steffan," kata Dana.
"Dana! Kau benar-benar datang. Apa acaramu untuk makan malam nanti?"
"Aku berharap bisa makan malam bersamamu."
"Tentu. Kita pergi ke Im Schiffchen. Pukul delapan?"
"Bagus." Dana berpakaian dan sudah keluar pintu ketika telepon genggamnya berbunyi. Ia cepat-cepat mengeluarkannya dari tas.
"Halo?" "Halo, Sayang. Apa kabar?"
"Aku baik-baik, Jeff."
"Dan ada di mana kau sekarang?"
"Aku di Jerman. D?sseldorf. Kurasa aku akhirnya menemukan sesuatu."
"Dana, hati-hati. Ya Tuhan, aku ingin sekali bersamamu."
Aku juga, pikir Dana. "Bagaimana kabar Rachel?"
"Kemoterapi menghabiskan tenaganya. Lumayan berat."
"Apakah ia akan?"" Ia tak dapat menyelesaikan kalimat itu.
"Terlalu dini untuk memastikannya. Kalau kemoterapi ini efektif, peluangnya untuk sembuh besar."
"Jeff, katakan padanya aku ikut prihatin."
"Tentu. Apakah ada yang bisa kulakukan untukmu?"
"Terima kasih, aku tidak apa-apa."
"Aku akan meneleponmu besok. Aku cuma ingin mengatakan aku mencintaimu, Manis."
"Aku cinta padamu, Jeff. Selamat tinggal."
"Selamat tinggal."
Rachel keluar dari kamar tidur. Ia memakai mantel dan sandal, dan handuk Turki membungkus kepalanya.
"Bagaimana kabar Dana?"
"Ia baik-baik saja, Rachel. Ia minta aku mengatakan padamu ia ikut prihatin."
"Ia sangat mencintaimu."
"Aku pun sangat mencintainya."
Rachel bergeser lebih dekat padanya. "Kau dan aku pernah saling mencintai, bukan, Jeff" Apa yang terjadi?"
Jeff mengangkat bahu. "Kehidupan. Atau aku seharusnya mengatakan "dua kehidupan". Kita menjalani kehidupan yang tak pernah menyatu."
"Aku terlalu sibuk dengan karier modelingku." Ia mencoba untuk menahan air mata. "Well, aku tidak akan dapat melakukannya lagi, bukan?"
Jeff merangkul pundaknya. "Rachel, kau akan sembuh. Kemoterapi ini akan berhasil."
"Aku tahu. Sayang, terima kasih kau telah menemani aku di sini. Aku tidak mungkin menghadapi semua ini seorang diri. Entah apa yang akan kulakukan tanpa dirimu."
Jeff tidak bisa menjawabnya.
Im Schiffchen adalah restoran anggun di bagian indah D?sseldorf. Steffan Mueller melangkah masuk dan tersenyum lebar ketika melihat Dana.
"Dana! Mein Gott. Aku tidak pernah bertemu denganmu sejak Sarajevo."
"Rasanya sudah berabad-abad, bukan?"
"Apa yang kaukerjakan di sini" Apakah kau datang untuk menyaksikan festival?"
"Tidak. Seseorang memintaku mencari informasi tentang temannya, Steffan." Pelayan datang dan mereka memesan minuman.
"Siapa si teman itu?"
"Namanya Dieter Zander. Kau pernah mendengar tentang dia?"
Steffan Mueller mengangguk. "Semua orang pernah mendengar tentang pria itu. Ia orang terkenal. Ia terlibat skandal besar. Zander milyarder, tetapi ia begitu tolol karena menipu beberapa pemegang saham, dan tertangkap. Hukumannya seharusnya dua puluh tahun, tetapi ia menggunakan kekuasaannya dan mereka melepaskannya dalam tiga tahun. Ia menyatakan dirinya tak bersalah."
Dana mengawasinya. "Benarkah ia tidak bersalah?"
"Siapa yang tahu" Di pengadilan ia mengatakan Taylor Winthrop menjebaknya dan mencuri jutaan dolar. Pengadilan itu sangat menarik. Menurut Dieter Zander, Taylor Winthrop menawarinya kemitraan untuk mengelola tambang zink, yang seharusnya bernilai milyaran dolar. Winthrop memakai Zander sebagai tameng, dan Zander menjual saham bernilai jutaan dolar. Tetapi ternyata tambang itu direkayasa."
"Rekayasa?" "Tidak ada zink di situ. Winthrop menyimpan uang itu dan Zander yang menanggung akibatnya."
"Juri tidak percaya cerita Zander?"
"Seandainya ia menuduh siapa saja selain Taylor Winthrop, mungkin mereka akan percaya. Tapi Winthrop seperti manusia setengah dewa." Steffan memandangnya dengan wajah ingin tahu. "Apa kepentinganmu dalam hal ini?"
Dana berkata samar, "Seperti kataku tadi, temanku meminta aku menyelidiki Zander."
Tiba saatnya untuk memesan santap malam.
Makanannya lezat. Selesai bersantap, Dana berkata, "Aku pasti bakal benci pada diri sendiri besok pagi. Tapi tidak apa-apalah, makanan ini enak sekali."
Saat mengantarkan Dana sampai hotel, Steffan berkata, "Apakah kau tahu boneka teddy bear diciptakan di sini oleh wanita bernama Margarete Steiff" Boneka kecil itu populer di seluruh penjuru dunia."
Dana mendengarkan, sambil dalam hati bertanya-tanya ke mana arah cerita ini.
"Di Jerman kami memang punya beruang betulan, dan binatang itu berbahaya. Bila kau bertemu Dieter Zander, berhati-hatilah. Ia kelihatan seperti teddy bear, tetapi sesungguhnya bukan. Ia beruang betulan."
Zander Electronics International menempati gedung raksasa di daerah industri di pinggiran D?sseldorf. Dana mendekati salah satu resepsionis di lobi yang ramai itu.
"Saya ingin bertemu Mr. Zander."
"Apakah Anda ada janji?"
"Ya. Saya Dana Evans."
"Gerade ein Moment, bitte." Resepsionis itu bicara di telepon, lalu mengangkat pandangan pada Dana. "Fr?ulein, kapan Anda membuat janji ini?"
"Beberapa hari yang lalu," Dana berbohong.
"Es tut mir leid. Sekretarisnya tidak punya catatan mengenai hal itu." Ia bicara di telepon lagi, lalu meletakkan gagang telepon. "Tidak mungkin menemui Mr. Zander tanpa janji."
Resepsionis itu berpaling pada kurir di sampingnya. Sekelompok pegawai memasuki pintu. Dana menjauhi meja dan bergabung dengan mereka, bergerak ke tengah. Mereka masuk lift.
Ketika lift itu naik, Dana berkata, "Aduh. Saya lupa ada di lantai berapa Mr. Zander sekarang."
Salah seorang wanita berkata, "Vier."
"Danke," kata Dana. Ia turun di lantai empat dan berjalan ke meja yang dijaga seorang wanita muda. "Saya ke sini untuk menemui Dieter Zander. Saya Dana Evans."
Wanita itu mengernyit. "Tapi Anda tidak punya janji, Fr?ulein."
Dana membungkuk ke depan dan berkata lirih, "Anda katakan pada Mr. Zander bahwa saya akan membuat siaran nasional di Amerika Serikat tentang ia dan keluarganya kalau ia tidak mau bicara dengan saya, dan untuk kepentingannyalah ia harus bicara dengan saya sekarang."
Sekretaris itu mengamatinya, bingung. "Tunggu sebentar. Bitte." Dana mengawasinya berdiri, membuka pintu bertuliskan PRIVAT, dan melangkah ke dalam.
Dana memandang sekeliling ruang penerimaan tamu itu. Ada foto-foto dari berbagai pabrik Zander Electronics di seluruh penjuru dunia. Perusahaan itu punya cabang di Amerika, Prancis, Italia... negara-negara tempat pembunuhan terhadap keluarga Winthrop terjadi.
Si sekretaris keluar satu menit kemudian. "Mr. Zander akan menemui Anda," katanya dengan nada tidak senang. "Tapi beliau hanya punya beberapa menit. Ini sangat"sangat di luar kebiasaan."
"Terima kasih," kata Dana.
Dana dibawa masuk ke sebuah kantor luas berpanel, "Ini Fr?ulein Evans."
Dieter Zander duduk di balik meja besar. Ia berusia enam puluhan, laki-laki berperawakan besar dengan wajah tulus dan mata cokelat yang lembut. Dana teringat cerita Steffan tentang boneka teddy bear.
Ia memandang Dana dan berkata, "Saya kenal Anda. Anda koresponden di Sarajevo."
"Ya." "Saya tidak mengerti apa yang Anda inginkan dari saya. Anda menyinggung-nyinggung keluarga saya pada sekretaris saya."
"Boleh saya duduk?"
"Bitte." "Saya ingin bicara dengan Anda tentang Taylor Winthrop."
Ekspresi Zander menyuram. "Kenapa dia?"
"Saya sedang melakukan investigasi, Mr. Zander. Saya yakin Taylor Winthrop dan keluarganya dibunuh."
Sorot mata Dieter Zander berubah dingin. "Saya kira sebaiknya Anda pergi sekarang, Fr?ulein."
"Anda pernah berbisnis dengannya," kata Dana. "Dan?"
"Pergi!" "Herr Zander, saya sarankan lebih baik Anda membicarakannya secara pribadi dengan saya daripada Anda dan teman-teman Anda menyaksikannya di televisi. Saya ingin bersikap fair. Saya ingin mendengar cerita dari pihak Anda."
Dieter Zander lama terdiam. Ketika ia bicara, ada kepahitan luar biasa dalam suaranya. "Taylor Winthrop itu scheisse. Oh, ia pintar, sangat pintar. Ia menjebak saya. Dan sewaktu saya di dalam penjara, Fr?ulein, anak-istri saya tewas. Seandainya saya ada di rumah... saya mungkin bisa menyelamatkan mereka." Suaranya penuh kepedihan. "Memang benar saya benci orang itu. Tapi membunuh Taylor Winthrop" Tidak." Ia menyunggingkan senyum teddy bear-nya lagi. "Auf wiedersehen, Miss Evans."
Dana menelepon Matt Baker. "Matt, aku di D?sseldorf. Kau benar. Aku mungkin menemukan sesuatu. Dieter Zander terlibat dalam bisnis dengan Taylor Winthrop. Ia mengatakan Winthrop menjebak dan menjebloskannya ke penjara. Anak-istri Zander tewas dalam kebakaran ketika ia masih berada di balik jeruji."
Mereka diam, terguncang. "Mereka tewas dalam kebakaran?"
"Benar," kata Dana.
"Sama seperti Taylor dan Madeline."
"Ya. Kau seharusnya melihat sorot mata Zander ketika aku bicara soal pembunuhan."
"Semuanya cocok, bukan" Zander punya motif untuk menyapu habis seluruh keluarga Winthrop. Selama ini kau benar mengenai pembunuhan itu. Aku"aku sulit sekali mempercayainya."
"Ini kedengarannya kisah bagus, Matt, tapi masih belum ada bukti apa pun. Masih ada dua tempat lagi yang harus kukunjungi. Aku berangkat ke Roma besok pagi," Dana memberitahu. "Aku akan pulang satu atau dua hari lagi."
"Jaga dirimu." "Beres." Di markas besar FRA, tiga laki-laki sedang mengamati layar televisi besar di dinding. Di sana tampak Dana tengah berbicara di telepon di kamar hotelnya.
Pria-pria itu melihat Dana meletakkan gagang telepon, berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Gambar pada layar beralih pada kamera di dalam lemari obat kamar mandi. Dana mulai melepas pakaian. Ia menanggalkan blus dan bra.
"Man, lihat payudara itu!"
"Spektakuler." "Tunggu. Ia mencopot rok dan celana dalamnya."
"Aduh, lihat pantat itu! Aku ingin mencubitnya."
Mereka menyaksikan Dana masuk bilik pancuran dan menutup pintunya. Pintu mulai berembun karena uap.
Salah seorang laki-laki itu mendesah. "Sementara sampai di sini dulu. Film pukul sebelas."
Kemoterapi itu seperti neraka bagi Rachel. Obat-obatan Adriamycin dan Taxotere diberikan lewat infus, dan proses itu memakan waktu empat jam.
Dr. Young berkata pada Jeff, "Ini saat yang sangat sulit baginya. Ia akan merasa mual dan letih, dan rambutnya akan rontok. Bagi seorang wanita, itu bisa merupakan efek samping yang paling mengerikan."
"Benar." Esok siangnya, Jeff berkata pada Rachel, "Ganti pakaianlah. Kita akan jalan-jalan."
"Jeff, aku rasanya tidak sanggup?"
"Jangan membantah."
Dan tiga puluh menit kemudian mereka sudah berada di toko wig dan Rachel mencoba beberapa. Sambil tersenyum, ia berkata pada Jeff, "Wig-wig ini bagus. Mana yang lebih kausukai, yang panjang atau yang pendek?"
"Aku suka dua-duanya," kata Jeff. "Dan kalau kau bosan dengan yang ini, kita kembali lagi dan mengubahmu jadi si rambut cokelat atau merah." Suaranya melembut. "Aku sendiri lebih suka kau apa adanya."
Mata Rachel berkaca-kaca. "Aku suka kau apa adanya."
TUJUH BELAS SETIAP kota punya irama masing-masing, dan Roma sama sekali lain dibanding kota mana pun di dunia. Roma adalah metropolis modern yang terbungkus kepompong sejarah kejayaan selama berabad-abad. Roma bergerak dengan iramanya sendiri yang terukur, karena tak ada alasan baginya untuk bergegas. Hari esok akan datang sendiri pada saatnya.
Dana belum pernah lagi ke Roma sejak berumur dua belas tahun, waktu ayah dan ibunya membawanya ke sana. Pendaratan di bandara Leonardo da Vinci memicu berbagai kenangan. Ia ingat hari pertamanya di Roma, ketika ia menjelajahi Colosseum, tempat orang-orang Kristen kuno dilemparkan pada singa. Ia tidak tidur seminggu sesudah itu.
Ia dan orangtuanya berkunjung ke Vatikan dan Spanish Steps, dan ia melemparkan koin uang lira ke Trevi Fountain, sambil memohon agar orang-tuanya berhenti cekcok. Ketika ayahnya menghilang, Dana merasa pancuran itu telah mengkhianatinya.
Ia menyaksikan opera Otello di Terme di Caracalla, rumah mandi gaya Romawi, dan itu adalah malam yang tak akan pernah dilupakannya.
Ia makan es krim di Doney"s yang tersohor di Via Veneto dan menjelajahi jalan-jalan padat Trastevere. Dana mengagumi Roma dan penduduknya. Siapa bisa membayangkan ia kembali lagi ke sini bertahun-tahun kemudian, mencari pembunuh berantai"
Dana check in di Hotel Ciceroni, dekat Piazza Navona.
"Buon giorno." Manager hotel menyambutnya. "Kami senang Anda tinggal bersama kami, Miss Evans. Anda akan menginap di sini selama dua hari?"
Dana ragu. "Saya belum pasti."
Ia tersenyum. "Tidak masalah. Kami sudah menyediakan suite yang indah untuk Anda. Kalau ada yang bisa kami kerjakan untuk Anda, beritahukan saja."
Italia negara yang sangat ramah. Dan Dana teringat pada bekas tetangganya dulu, Dorothy dan Howard Wharton. Aku tidak tahu bagaimana mereka tahu tentang aku, tapi mereka mengirim orang jauh-jauh ke sini hanya untuk merundingkan pekerjaan denganku.
*** Terdorong impuls, Dana memutuskan untuk menelepon suami-istri Wharton. Ia minta operator menyambungkannya ke Italiano Ripristino Corporation.
"Saya ingin bicara dengan Howard Wharton."
"Bisakah Anda mengejanya?"
Dana mengeja nama itu. "Terima kasih. Tunggu sebentar."
Sebentar ternyata jadi lima menit. Wanita itu kembali berbicara di telepon.
"Maaf. Kami tidak punya orang bernama Howard Wharton di sini."
Satu-satunya masalah, kami harus ada di Roma besok pagi.
Dana menelepon Dominick Romano, pembaca berita di televisi Italia 1.
"Ini Dana. Aku ada di sini, Dominick."
"Dana! Aku senang kau ada di sini. Di mana kita bisa bertemu?"
"Sebut saja tempatnya."
"Di mana kau menginap?"
"Di Hotel Ciceroni."
"Naik taksi dan minta sopirnya membawamu ke Toula. Aku akan menemuimu di sana tiga puluh menit lagi."
Toula di Via Della Lupa, adalah salah satu restoran paling ternama di Roma. Ketika Dana datang, Romano sudah menunggu.
"Buon giorno. Senang bertemu denganmu tanpa mendengar suara bom."
"Aku juga, Dominick."
"Perang yang sia-sia." Ia menggeleng. "Mungkin lebih sia-sia daripada perang-perang lainnya. Bene! Apa yang kaukerjakan di Roma?"
"Aku datang untuk menemui seseorang di sini."
"Dan nama laki-laki yang beruntung ini?"
"Vincent Mancino."
Ekspresi wajah Romano berubah. "Mengapa kau ingin menemuinya?"
"Ini mungkin bukan apa-apa, tapi aku sedang melakukan penyelidikan. Ceritakan padaku tentang Mancino."
Dominick Romano berpikir baik-baik sebelum berbicara. "Mancino tadinya menteri perdagangan. Ia punya latar belakang Mafia. Koneksinya kuat. Yah, ia mendadak mundur dari posisi yang sangat penting itu dan tak seorang pun tahu apa sebabnya." Romana memandang Dana dengan tatapan ingin tahu. "Mengapa kau tertarik padanya?"
Dana menghindari pertanyaan itu. "Aku tahu Mancino sedang menegosiasikan transaksi dagang pemerintah dengan Taylor Winthrop ketika ia mundur."
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Winthrop menyelesaikan negosiasi itu dengan orang lain."
"Berapa lama Taylor Winthrop tinggal di Roma?"
Romano berpikir sesaat. "Sekitar dua bulan. Mancino dan Winthrop jadi sahabat minum." Kemudian ia menambahkan, "Lalu ada yang tidak beres."
"Apa?" "Siapa yang tahu" Berbagai kabar beredar. Mancino punya putri tunggal, Pia, dan anak itu menghilang. Istri Mancino sampai gila karenanya."
"Apa maksudmu putrinya menghilang" Apakah ia diculik?"
"Tidak. Ia cuma" "sia-sia ia berusaha mencari kata yang tepat" "menghilang. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi padanya." Ia menghela napas. "Bisa kukatakan padamu, Pia itu cantik."
"Di mana istri Mancino sekarang?"
"Desas-desus mengatakan ia berada di sanatorium."
"Kau tahu lokasinya?"
"Tidak. Kau pun tidak ingin tahu." Pelayan mereka datang ke meja. "Aku tahu restoran ini," kata Dominick. "Kau mau aku memesankan makanan untukmu?"
"Baiklah." "Bene." Ia menoleh pada si pelayan. "Prima, pasta fagioli. Dopo, abbacchio arrosta con polenta."
"Grazie." Makanannya luar biasa lezat dan pembicaraan berlangsung ringan dan santai. Tetapi ketika mereka berdiri untuk pulang, Romano berkata, "Dana, jangan usik Mancino. Ia bukan orang yang suka ditanya-tanyai."
"Tapi kalau ia?"
"Lupakanlah orang itu. Dalam satu kata" omert?."
"Terima kasih, Dominick. Aku menghargai nasihatmu."
Kantor Vincent Mancino terletak di gedung modern miliknya di Via Sardegna. Penjaga bertubuh kekar duduk di belakang meja penerimaan tamu di lobi dari pualam.
Ia mendongak ketika Dana masuk. "Buona giorno. Posso aiutarla, Signorina?"
"Nama saya Dana Evans. Saya ingin menemui Vincent Mancino."
"Anda punya janji?"
"Tidak." "Kalau begitu, maaf."
"Katakan padanya ini soal Taylor Winthrop."
Penjaga itu mengamati Dana sesaat, lalu mengangkat telepon dan berbicara. Ia meletakkan gagang telepon. Dana menunggu.
Apa yang akan kutemukan"
Telepon berdering, dan si penjaga mengangkatnya dan mendengarkan sejenak. Ia berpaling pada Dana. "Lantai dua. Akan ada yang menemui Anda di sana."
"Terima kasih."
"Prego." *** Kantor Vincent Mancino ternyata sempit dan tak mengesankan, sama sekali di luar perkiraan Dana. Mancino duduk di balik meja kerja tua dan usang. Ia berusia enam puluhan, berperawakan sedang, dengan dada lebar, bibir tipis, rambut putih, dan hidung bengkok seperti paruh elang. Ia memiliki mata paling dingin yang pernah dilihat Dana. Di meja itu ada foto remaja cantik berbingkai emas.
Ketika Dana memasuki kantornya, Mancino berkata, "Anda datang mengenai Taylor Winthrop?" Suarany
a parau dan dalam. "Ya. Saya ingin bicara tentang?"
"Tidak ada yang bisa dibicarakan, Signorina. Ia mati dalam kebakaran. Ia sekarang terbakar di neraka, begitu juga anak-istrinya."
"Boleh saya duduk, Mr. Mancino?"
Ia sudah hendak melarang. Namun akhirnya ia berkata, "Scusi. Kadang kalau sedang marah, saya lupa sopan santun. Prego, si accomodi. Silakan duduk."
Dana menempati kursi di depan pria itu. "Anda dan Taylor Winthrop waktu itu menegosiasikan transaksi perdagangan antara dua negara."
"Ya." "Dan Anda jadi bersahabat?"
"Selama beberapa waktu, forse."
Dana melirik foto di meja kerja. "Inikah putri Anda?"
Ia tidak menjawab. "Cantik." "Ya, ia dulu sangat cantik."
Dana memandangnya, kebingungan. "Bukankah ia masih hidup?" Ia melihat laki-laki itu mengamati dirinya, mencoba memutuskan apa yang akan dikatakannya.
Ketika akhirnya bersuara, ia berkata, "Hidup" Itu kan kata Anda." Suaranya penuh gelora perasaan. "Saya bawa teman Amerika Anda itu, Taylor Winthrop, ke rumah. Ia ikut menikmati roti kami. Saya perkenalkan dia pada sahabat-sahabat. Anda tahu bagaimana ia membalasnya" Ia menghamili putri cantik saya yang masih perawan itu. Putri saya baru berumur enam belas tahun. Dan ia takut menceritakannya pada saya sebab ia tahu saya akan membunuh bangsat itu, maka ia... ia melakukan aborsi." Ia mengucapkan kata itu penuh kemarahan. "Winthrop takut publisitas, jadi ia tidak membawa Pia ke dokter. Tidak. Ia... ia menyuruhnya pergi ke tukang jagal." Air matanya menggenang. "Tukang jagal yang merobek-robek kandungannya. Anak perempuan saya yang baru berumur enam belas tahun, Signorina..." Suaranya tercekat di tenggorokan. "Taylor Winthrop bukan cuma menghancurkan putri saya, ia juga membunuh cucu-cucu saya, serta seluruh anak dan cucu mereka. Ia menyapu habis masa depan keluarga Mancino." Ia menarik napas dalam untuk menenangkan diri. "Kini Winthrop dan keluarganya sudah menebus dosanya yang mengerikan."
Dana tertegun, tak mampu berkata apa-apa.
"Anak perempuan saya tinggal di biara, Signorina. Saya tidak akan pernah melihatnya lagi. Ya, saya membuat perjanjian dengan Taylor Winthrop." Mata kelabu baja yang dingin itu menatap tajam mata Dana. "Tetapi itu perjanjian dengan iblis."
Jadi ada dua sekarang, pikir Dana. Dan masih ada Marcel Falcon.
Dalam penerbangan KLM menuju Belgia, Dana menyadari seseorang duduk di sebelahnya. Ia mengangkat muka. Laki-laki itu menarik, wajahnya menyenangkan, dan ia jelas telah meminta pramugari untuk memindahkan tempat duduknya ke samping Dana.
Ia memandang Dana dan tersenyum, "Selamat pagi. Perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya David Haynes." Ia berbicara dengan aksen Inggris.
"Dana Evans." Wajah pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalinya. "Hari yang bagus untuk terbang, bukan?"
"Bagus sekali," Dana menyetujui.
Ia mengamati Dana dengan kagum. "Apakah Anda pergi ke Brussel untuk bisnis?"
"Bisnis dan bersenang-senang."
"Anda punya teman di sana?"
"Beberapa." "Saya cukup mengenal Brussels."
Tunggu sampai aku menceritakan ini pada Jeff, pikir Dana. Lalu ingatan itu menusuknya kembali. Ia sedang bersama Rachel.
Laki-laki itu mengamati wajahnya. "Anda tampak familier."
Dana tersenyum. "Wajah saya memang pasaran."
Ketika pesawat mendarat di bandara Brussels dan Dana turun dari pesawat, seorang laki-laki yang berdiri di terminal mengangkat telepon genggamnya dan melapor.
David Haynes berkata, "Anda ada transportasi?"
"Tidak, tapi saya bisa?"
"Izinkan saya mengantar." Ia membawa Dana ke limusin panjang yang ditunggui sopir. "Saya akan mengantar Anda sampai hotel," katanya pada Dana. Ia memberi perintah kepada si sopir dan limusin itu bergerak memasuki lalu lintas. "Apakah ini kunjungan pertama Anda ke Brussels?"
"Ya." Mereka sampai di depan pusat perbelanjaan luas yang berpenerangan alami. Haynes berkata, "Kalau Anda merencanakan untuk berbelanja, saya sarankan Anda melakukannya di sini"Galeries St. Hubert."
"Kelihatannya indah."
Haynes berkata pada si pengemudi, "Berhenti sebentar, Charles." Ia menoleh pada Dana. "Itu air mancur Manneken Pis yang terkenal." Air mancur itu berupa patung tembaga bocah kecil yang sedang buang air kecil, dipasang tinggi di dalam kulit kerang. "Salah satu patung paling terkenal di dunia."
Sewaktu saya di dalam penjara, Fr?ulein, anak-istri saya tewas. Seandainya saya tidak dipenjara... saya mungkin bisa menyelamatkan mereka.
David Haynes berkata, "Kalau Anda punya waktu senggang malam ini, saya ingin?"
"Maaf," kata Dana. "Sayangnya, tidak."
Matt dipanggil ke kantor Elliot Cromwell.
"Kita kehilangan dua pemain kunci kita, Matt. Kapan Jeff kembali?"
"Aku tidak tahu pasti, Elliot. Seperti kauketahui, ia terlibat dalam situasi pribadi dengan mantan istrinya, dan aku sudah menyarankan agar ia cuti."
"Begitu. Kapan Dana kembali dari Brussels?"
Matt memandang Elliot Cromwell dan berpikir: Aku tidak pernah memberitahu dia bahwa Dana ada di Brussels.
DELAPAN BELAS MARKAS besar NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, berada di Building Leopold III, dan di atapnya berkibar bendera Belgia, tiga garis vertikal berwarna hitam, kuning, dan merah.
Dana tadinya yakin akan mudah mendapatkan informasi tentang pengunduran diri Taylor Winthrop dari posnya di NATO, dan setelah itu ia akan pulang. Namun NATO ternyata bagai mimpi buruk tumpukan abjad. Selain kantor untuk enam belas negara anggotanya, masih ada kantor NAC, EAPC, NACC, ESDI, CJTF, CSCE, dan sedikitnya selusin akronim lain.
Dana pergi ke markas besar pers NATO di rue des Chapeliers dan menemui Jean Somville di ruang pers.
Somville berdiri menyambutnya. "Dana!"
"Halo, Jean." "Apa yang membawamu ke Brussels?"
"Aku sedang menggarap cerita," kata Dana. "Aku butuh beberapa informasi."
"Ah. Satu cerita lagi tentang NATO."
"Bisa dibilang begitu," kata Dana hati-hati. "Taylor Winthrop pernah menjadi penasihat Amerika Serikat untuk NATO di sini."
"Ya. Ia bekerja dengan baik. Ia orang besar. Menyedihkan sekali tragedi yang menimpa keluarga itu." Ia memandang Dana, ingin tahu. "Apa yang sebenarnya ingin kauketahui?"
Dana memilih kata-kata selanjutnya dengan hati-hati. "Ia meninggalkan posnya di Brussels lebih awal dari seharusnya. Aku ingin tahu apa alasannya."
Jean Somville mengangkat bahu. "Sangat sederhana. Ia sudah menyelesaikan tugasnya di sini."
Dana merasakan tusukan perasaan kecewa. "Sewaktu Winthrop bertugas di sini, apakah pernah terjadi... sesuatu yang luar biasa" Apakah pernah ada skandal yang menyangkut dirinya?"
Jean Somville memandangnya terkejut. "Sama sekali tidak! Apakah ada yang mengatakan Taylor Winthrop terlibat skandal di NATO?"
"Tidak," jawab Dana cepat-cepat. "Aku mendengar pernah terjadi suatu... pertengkaran, semacam perselisihan antara Winthrop dengan seseorang di sini."
Somville mengernyit. "Maksudmu pertengkaran pribadi?"
"Ya." Ia mengerutkan bibir. "Aku tidak tahu. Mungkin aku bisa menyelidikinya."
"Aku akan sangat berterima kasih."
*** Dana menelepon Jean Somville keesokan harinya.
"Apakah kau berhasil menemukan lebih banyak informasi tentang Taylor Winthrop?"
"Maaf, Dana. Aku sudah mencoba. Tapi sayangnya tidak ada yang bisa kutemukan." Dana sudah menduga jawaban Jean Somville.
"Bagaimanapun, terima kasih." Ia merasa kecewa.
"Sama-sama. Aku turut prihatin perjalananmu ini sia-sia."
"Jean, aku membaca bahwa duta besar Prancis untuk NATO, Marcel Falcon, mendadak mengundurkan diri dan kembali ke Prancis. Bukankah itu ganjil?"
"Di tengah masa jabatan, ya. Kukira begitu."
"Mengapa ia mengundurkan diri?"
"Tidak ada misteri apa pun dalam hal itu. Penyebabnya kecelakaan yang patut disayangkan. Putranya tewas karena tabrak lari."
"Tabrak lari" Apakah mereka pernah menangkap sopirnya?"
"Oh, ya. Tak lama sesudah kecelakaan, orang itu menyerahkan diri pada polisi."
Satu lagi jalan buntu. "Oh, begitu."
"Pelakunya bernama Antonio Persico. Ia sopir Taylor Winthrop."
Dana tiba-tiba bergidik. "Oh" Di mana Persico sekarang?"
"Penjara St. Gilles, di Brussels sini." Somville menambahkan dengan nada menyesal, "Maaf aku tidak bisa membantu lebih banyak."
Dana meminta faks ringkasan berita itu dikirim dari Washington. Antonio Persico, sopir Duta Besar Taylor Winthrop, divonis penjara seumur hidup oleh pengadilan Belgia hari ini sesudah ia menyatakan diri bersalah telah menabrak hingga tewas Gabriel Falcon. putra duta besar Prancis untuk PBB.
Penjara St. Gilles terletak di dekat pusat kota Brussels, di gedung tua berwarna putih yang memiliki beberapa menara sehingga membuatnya tampak seperti puri. Dana sudah menelepon lebih dulu dan diizinkan mewawancarai Antonio Persico. Dana memasuki halaman penjara dan diantar menuju kantor kepala penjara.
"Anda ke sini untuk menemui Persico."
"Ya." "Baiklah." Sesudah pemeriksaan cepat, Dana diantar penjaga memasuki ruang bicara, tempat Antonio Persico menunggu. Ia berperawakan kecil, pucat, dengan mata hijau lebar dan wajah yang terus berkedut.
Ketika Dana melangkah masuk, yang pertama diucapkan Persico adalah "Terima kasih Tuhan, akhirnya ada yang datang! Kau akan mengeluarkan aku dari sini."
Dana memandangnya, kebingungan. "Ma"maaf. Saya rasa saya tidak bisa melakukan itu."
Mata Persico menyipit. "Kalau begitu mengapa kau datang" Mereka menjanjikan seseorang akan datang dan mengeluarkan aku."
"Saya datang untuk bicara dengan Anda mengenai kematian Gabriel Falcon."
Suara Persico meninggi. "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan hal itu. Aku tidak bersalah."
"Tetapi Anda sudah mengaku."
"Aku bohong." Dana berkata, "Mengapa Anda..."
Antonio Persico memandang matanya dan berkata pahit, "Aku dibayar. Taylor Winthrop-lah yang membunuhnya." Mereka lama terdiam.
"Ceritakanlah pada saya."
Wajahnya makin berkedut. "Terjadinya pada malam Sabtu. Akhir pekan itu istri Mr. Winthrop berada di London." Suaranya tegang. "Mr. Winthrop sendirian. Ia pergi ke Ancienne Belgique, sebuah kelab malam. Aku menawarkan diri untuk membawanya ke sana, tapi ia mengatakan akan mengemudi sendiri." Persico berhenti, mengingat-ingat.
"Apa yang terjadi kemudian?" Dana mendesak.
"Mr. Winthrop pulang larut malam, sangat mabuk. Ia menceritakan padaku tadi ada pemuda berlari di depan mobilnya. Ia"ia menabraknya. Mr. Winthrop tidak ingin ada skandal, maka ia langsung pergi. Kemudian ia jadi ketakutan kalau-kalau ada yang melihat kecelakaan itu dan melaporkan nomor pelat mobilnya pada polisi. Mereka tentu akan mendatanginya. Mr. Winthrop punya kekebalan diplomatik, tetapi ia berkata kalau berita itu sampai bocor keluar, maka rencana Rusia akan hancur."
Dana mengernyit. "Rencana Rusia?"
"Ya. Itulah yang dikatakannya."
"Rencana Rusia itu apa?"
Ia mengangkat bahu. "Entahlah. Aku mendengar ia mengatakannya di telepon. Ia jadi seperti orang gila." Persico menggeleng. "Berulang kali ia mengatakan di telepon, "Rencana Rusia itu harus diteruskan. Kita sudah terlalu jauh untuk membiarkannya terhenti sekarang.?"
"Dan Anda tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakannya?"
"Tidak." "Bisakah Anda mengingat hal lain yang dikatakannya?"
Persico berpikir sejenak. "Ia mengatakan "Semua potongan sudah terpasang pada tempatnya.?" Ia memandang Dana. "Apa pun persoalannya, kedengarannya sangat penting."
Dana menyerap setiap patah kata. "Mr. Persico, mengapa Anda mengaku bersalah atas kecelakaan itu?"
Rahang Persico mengeras. "Sudah kukatakan padamu. Aku dibayar. Taylor Winthrop mengatakan kalau aku mau mengaku bahwa akulah yang duduk di belakang kemudi, maka ia akan memberiku satu juta dolar dan mengurus keluargaku selama aku di penjara. Ia bilang ia bisa mengusahakan masa hukuman singkat." Ia mengertakkan gigi. "Seperti orang tolol, aku setuju." Ia menggigit bibir. "Dan kini ia sudah mati, dan aku akan menghabiskan sisa hidupku di tempat ini." Matanya penuh perasaan putus asa.
Dana berdiri terpaku, terguncang karena apa yang baru saja didengarnya. Akhirnya ia bertanya, "Pernahkah Anda menceritakan semua ini pada orang lain?"
Persico berkata pahit, "Tentu saja. Segera sesudah aku mendengar Taylor Winthrop mati, aku menceritakan pada polisi tentang perjanjian kami."
"Dan?" "Mereka menertawakan aku."
"Mr. Persico, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat penting. Pikirkanlah baik-baik sebelum Anda menjawab. Pernahkah Anda mengatakan pada Marcel Falcon bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya?"
"Tentu. Kupikir ia akan menolongku."
"Ketika Anda bercerita padanya, apa yang dikatakan Marcel Falcon?"
"Kata-kata persisnya adalah "Semoga seluruh keluarganya mengikutinya ke neraka.?"
Dana berpikir, Ya Tuhan. Sekarang ada tiga.
Aku harus bicara dengan Marcel Falcon di Paris.
Tidak mungkin orang tidak merasakan pesona kota Paris, bahkan meskipun mereka tengah berada dalam pesawat di atas kota itu, siap untuk mendarat. Paris adalah kota cahaya, kota para kekasih. Paris bukan tempat untuk dikunjungi seorang diri. Kota itu membuat Dana merindukan Jeff.
Dana berada di Relais di Hotel Plaza Ath?n?e, berbicara dengan Jean-Paul Hubert, dari televisi Metro 6.
"Marcel Falcon" Tentu saja. Semua orang tahu siapa dia."
"Apa yang bisa kauceritakan padaku tentang pria itu?"
"Ia tokoh yang cukup hebat. Kalian, orang Amerika, mungkin menyebutnya "orang besar"."
"Apa yang dilakukannya sekarang?"
"Falcon memiliki perusahaan farmasi raksasa. Beberapa tahun yang lalu ia dituduh menyudutkan perusahaan-perusahaan kecil hingga bangkrut, tetapi ia punya koneksi politik, dan tidak ada yang terjadi. Kemudian perdana menteri Prancis mengangkatnya sebagai duta besar NATO."
"Tetapi ia mengundurkan diri," kata Dana. "Mengapa?"
"Kisahnya sedih. Putranya tewas di Brussels gara-gara sopir mabuk, dan Falcon tidak kuat menanggung kejadian itu. Ia meninggalkan NATO dan kembali ke Paris. Istrinya sampai gila. Wanita itu tinggal di sanatorium di Cannes." Jean-Paul memandang Dana dan berkata sungguh-sungguh, "Dana, kalau kau merencanakan untuk menggarap berita tentang Falcon, berhati-hatilah. Ia punya reputasi sebagai orang yang suka membalas dendam."
Dana butuh waktu satu hari untuk membuat janji pertemuan dengan Marcel Falcon.
Ketika akhirnya ia diantar ke kantor laki-laki itu, Marcel Falcon berkata, "Saya setuju menemui Anda sebab saya pengagum Anda, Mademoiselle. Siaran-siaran Anda dari zona peperangan sangat berani."
"Terima kasih."
Marcel Falcon berpenampilan berwibawa, kekar, dengan garis wajah kokoh dan mata biru yang tajam. "Silakan duduk. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya ingin bertanya tentang anak Anda."
"Ah, ya." Sorot matanya tampak sedih. "Gabriel anak yang luar biasa."
Dana berkata, "Orang yang menabraknya?"
"Sopir itu." Dana memandangnya, terperanjat.
Pikirkanlah baik-baik sebelum Anda menjawab. Pernahkah Anda mengatakan pada Marcel Falcon bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya"
Tentu. Segera sesudah aku mendengar Taylor Winthrop mati.
Apa yang dikatakan Marcel Falcon"
Kata-kata persisnya adalah "Semoga seluruh keluarganya mengikutinya ke neraka."
Dan kini Marcel Falcon berlagak tidak tahu-menahu kejadian sebenarnya.
"Mr. Falcon, ketika Anda bekerja di NATO, Taylor Winthrop juga bekerja di sana." Dana mengamati wajah Falcon, mencari perubahan ekspresi. Ternyata tidak ada.
"Ya. Kami bertemu." Nada suaranya biasa-biasa saja.
Begitu saja" kata Dana dalam hati. Ya. Kami bertemu. Apa yang disembunyikannya"
"Mr. Falcon, saya ingin bicara dengan istri Anda kalau?"
"Sayang ia sedang berlibur."
Istrinya sampai gila. Wanita itu tinggal di sanatorium di Cannes.
Kalau bukan melakukan pengingkaran total, Marcel Falcon pasti mengaku tidak tahu karena alasan yang lebih mengerikan.
Dana menelepon Matt dari kamarnya di Plaza Ath?n?e.
"Dana, kapan kau pulang?"
"Aku masih harus mengikuti satu petunjuk lagi, Matt. Sopir Taylor Winthrop di Brussels mengatakan Winthrop bicara soal rencana rahasia menyangkut Rusia yang tidak ingin dihentikannya. Aku harus mencari tahu apa yang dibicarakannya. Aku ingin bicara dengan beberapa rekannya di Moskow."
"Baiklah. Tetapi Cromwell ingin kau kembali ke studio secepatnya. Koresponden kita di Moskow bernama Tim Drew. Aku akan minta ia menemuimu. Ia bisa membantu."
"Terima kasih. Rasanya aku tidak akan berada di Rusia lebih dari satu atau dua hari."
"Dana?" "Ya." "Sudahlah. Selamat tinggal."
Terima kasih. Rasanya aku tidak akan berada di Rusia lebih dari satu atau dua hari.
Dana" Ya. Sudahlah. Selamat tinggal.
Rekaman selesai. Dana menelepon ke rumah. "Selamat malam, Mrs. Daley"atau lebih tepat, selamat siang."
"Miss Evans! Senang sekali mendengar suara Anda."
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Baik-baik saja."
"Bagaimana Kemal" Ada masalah?"
"Sama sekali tidak. Ia amat merindukan Anda."
"Saya juga. Bisa saya bicara dengannya?"
"Ia sedang tidur siang. Apakah Anda ingin saya membangunkannya?"
Dana berkata terkejut, "Tidur siang" Ketika saya menelepon beberapa hari yang lalu, ia juga sedang tidur siang."
"Ya. Anak itu kelelahan ketika pulang sekolah, saya pikir sebaiknya ia tidur siang saja."
"Begitu... Yah, sampaikan saja salam sayang saya. Saya akan menelepon lagi besok. Katakan padanya saya akan membawa oleh-oleh beruang Rusia."
"Beruang" Wah! Ia pasti sangat senang."
Dana menelepon Roger Hudson.
"Roger, sebenarnya saya tidak ingin mengganggu, tapi saya butuh bantuan."
"Kalau ada yang bisa saya lakukan..."
"Saya akan berangkat ke Moskow, dan saya ingin bicara dengan Edward Hardy, duta besar Amerika di sana. Saya pikir barangkali Anda kenal dengannya."
"Saya memang kenal."
"Sekarang ini saya berada di Paris. Kalau Anda bisa mengirimkan faks surat perkenalan, saya akan sangat berterima kasih."
"Saya bisa melakukan lebih dari itu. Saya akan menelepon dan meminta ia menunggu kedatangan Anda."
"Terima kasih, Roger. Saya sangat menghargainya."
Saat itu Malam Tahun Baru. Dana terguncang ketika mengingat seharusnya sekarang hari pernikahannya. Segera, kata Dana pada diri sendiri. Segera. Ia mengenakan mantel dan pergi ke luar.
Penjaga pintu berkata, "Taksi, Miss Evans?"
"Tidak, terima kasih." Ia tidak punya rencana tertentu. Jean-Paul Hubert sedang pergi mengunjungi keluarga. Paris bukan kota untuk sendirian, pikir Dana.
Ia mulai berjalan kaki, mencoba untuk tidak memikirkan Jeff dan Rachel. Berusaha untuk tidak berpikir. Ia melewati gereja kecil yang masih buka, dan berdasarkan impuls, ia masuk. Bagian dalamnya yang sejuk dengan langit-langit melengkung memberi Dana suasana damai. Ia duduk di bangku dan memanjatkan doa tanpa bersuara.
Tengah malam, ketika Dana sedang berjalan kaki, Paris penuh suara ledakan kembang api dan taburan kertas confetti. Ia ingin tahu apa yang tengah dilakukan Jeff sekarang. Apakah ia dan Rachel sedang bercinta" Jeff belum menelepon. Bagaimana ia bisa lupa bahwa malam ini sangat istimewa"
Di kamar hotel Dana, di lantai dekat meja rias, telepon genggam yang tadi terjatuh dari tas Dana berdering-dering.
Ketika Dana kembali ke Plaza Ath?n?e, waktu sudah menunjukkan pukul 03.00. Ia berjalan ke kamar, menanggalkan pakaian, dan naik ke ranjang. Mula-mula ayahnya, kini Jeff. Berkali-kali ia ditinggalkan. Aku tidak mau mengasihani diri sendiri, tekadnya. Memangnya kenapa kalau sekarang mestinya menjadi malam pernikahanku" Oh, Jeff, mengapa kau tidak meneleponku"
Ia menangis hingga tertidur.
SEMBILAN BELAS PENERBANGAN ke Moskow dengan Sabena Airlines memakan waktu tiga setengah jam. Dana melihat hampir semua penumpang mengenakan pakaian hangat, dan rak-rak bagasi dipenuhi mantel bulu, topi, dan syal. Aku seharusnya memakai pakaian yang lebih hangat, pikir Dana. Ah, aku tidak akan tinggal di Moskow lebih dari satu atau dua hari.
Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Antonio Persico. Berulang kali ia mengatakan di telepon, "Rencana Rusia itu harus diteruskan. Kita sudah terlalu jauh untuk membiarkannya terhenti sekarang."
Rencana penting apa yang sedang disusun Winthrop" Kepingan-kepingan apakah yang sudah jatuh pada tempatnya" Dan tak lama sesudah itu, Presiden mengangkatnya sebagai dubes untuk Moskow. Makin banyak informasi yang kudapatkan, makin tidak masuk akal saja rasanya, pikir Dana.
*** Dana heran melihat Sheremetyevo II, bandara internasional Rusia, ternyata penuh turis. Untuk apa orang waras berkunjung ke Rusia pada musim dingin" tanya Dana dalam hati.
Ketika Dana sampai di bagian pengambilan bagasi, seorang laki-laki yang berdiri di dekatnya beberapa kali mencuri-curi mengawasinya. Jantung Dana bagai berhenti berdenyut. Mereka tahu aku datang ke sini, pikirnya Bagaimana mereka bisa tahu"
Laki-laki itu menghampirinya. "Dana Evans?" Ia berbicara dengan aksen Slovakia kental.
"Ya..." Ia tersenyum lebar dan berkata penuh semangat, "Saya penggemar berat Anda! Saya selalu menonton Anda di televisi."
Dana merasakan luapan perasaan lega. "Oh. Ya. Terima kasih."
"Maukah Anda memberikan tanda tangan Anda?"
"Tentu saja." Ia menyodorkan secarik kertas ke hadapan Dana. "Saya tidak punya pena."
"Saya punya." Dana mengeluarkan pena emas baru miliknya dan memberikan tanda tangannya.
"Spasiba! Spasiba!"
Sewaktu Dana hendak memasukkan kembali pena itu ke dalam tas, seseorang menyenggolnya dan pena itu pun jatuh ke lantai beton. Dana mengulurkan tangan ke bawah dan memungutnya. Selongsongnya retak.
Mudah-mudahan aku bisa membetulkannya, pikir Dana. Kemudian ia mengamatinya lebih teliti. Seutas kabel kecil menyembul dari retakan itu. Karena heran, ia menariknya pelan-pelan. Di kabel itu menempel pemancar mikro. Dana memandangnya dengan perasaan tak percaya. Ternyata beginilah mereka tahu ke mana pun aku pergi. Tetapi siapa yang meletakkannya di sana dan apa alasannya" Ia ingat kartu yang menyertai pena itu.
Dear Dana, semoga selamat di perjalanan. The Gang.
Dengan perasaan geram, Dana mencabut kabel itu, melemparkannya ke tanah, dan meremukkannya dengan tumit sepatu.
Di dalam sebuah laboratorium terpencil, penanda sinyal di peta tiba-tiba menghilang.
"Oh, sialan!" "Dana?"
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berbalik. Di hadapannya tampak koresponden WTN di Moskow.
"Aku Tim Drew. Maaf aku terlambat. Lalu lintas di luar sana benar-benar seperti mimpi buruk."
Tim Drew berusia empat puluhan, tinggi, berambut merah, dan memiliki senyum hangat. "Aku membawa mobil. Matt mengatakan kau hanya akan tinggal satu-dua hari di sini."
"Benar." Mereka mengambil barang bawaan Dana dan pergi ke luar.
Pemandangan selama perjalanan memasuki Moskow bagaikan adegan dalam film Doctor Zhivago. Bagi Dana, seluruh kota itu seperti terbungkus selimut salju putih.
"Indah sekali!" Dana berseru. "Sudah berapa lama kau di sini?"
"Dua tahun." "Kau menyukainya?"
"Tempat ini agak menakutkan. Yeltsin selalu sulit diduga, dan tak seorang pun tahu apa yang bisa diharapkan dari Vladimir Putin. Sekarang pasien yang mengelola rumah sakit gila." Ia mendadak menginjak rem untuk memberi jalan beberapa pejalan kaki yang menyeberang sembarangan. "Kami sudah memesankan kamar di Sevastopol Hotel."
"Ya. Bagaimana hotel itu?"
"Salah satu hotel Intourist biasa. Bisa dipastikan akan ada yang terus mengawasimu."
Jalanan dipenuhi orang-orang yang terbungkus baju bulu, sweter, serta mantel tebal. Tim Drew melirik Dana. "Kau sebaiknya mencari pakaian yang lebih hangat. Kalau tidak, kau akan membeku."
"Tidak apa-apa. Aku akan pulang besok atau lusa."
Di depan mereka tampak Lapangan Merah dan Kremlin. Kremlin sendiri berdiri menjulang di bukit di kiri Sungai Moskva.
"Aduh, indah sekali," kata Dana.
"Yeah. Seandainya dinding-dinding itu bisa bicara, kau akan mendengar banyak jeritan." Tim Drew meneruskan, "Ini salah satu bangunan paling terkenal di dunia. Terletak di sebidang tanah yang meliputi Bukit Little Borovitsky di sisi utara dan..."
Dana sudah berhenti mendengarkan. Ia sedang berpikir, Bagaimana bila Antonio Persico bohong" Bagaimana kalau ia mengarang cerita tentang Taylor Winthrop membunuh pemuda itu" Dan berbohong mengenai rencana Rusia.
"Di luar dinding timur itu Lapangan Merah. Menara Kutafya di sana adalah pintu masuk pengunjung di dinding barat."
Tetapi mengapa Taylor Winthrop begitu ingin datang ke Rusia" Sekadar jadi duta besar tidak mungkin berarti sepenting itu baginya.
Tim Drew berkata, "Di sinilah tempat berkumpul orang-orang berkuasa Rusia selama berabad-abad. Ivan the Terrible, Stalin, Lenin, dan Khrushchev memakainya sebagai markas besar."
Semua kepingan sudah jatuh pada tempatnya. Aku harus mencari tahu apa yang dimaksudkannya dengan ucapan itu.
Mereka berhenti di depan sebuah hotel besar. "Kita sampai," kata Tim Drew.
"Terima kasih, Tim." Dana turun dari mobil dan diterpa gelombang udara beku.
"Kau masuk saja," Tim berseru. "Akan kubawakan tas-tasmu. Omong-omong, kalau kau punya waktu senggang malam ini, aku ingin mengundangmu makan malam."
"Terima kasih banyak."
"Ada sebuah klub pribadi yang menghidangkan makanan lezat. Kukira kau akan menyukainya."
"Bagus." Lobi Sevastopol Hotel amat luas dan penuh hiasan, juga penuh manusia. Beberapa pegawai hotel berdiri di balik meja resepsionis. Dana menghampiri salah satu di antara mereka.
Pria itu mengangkat muka. "Da?"
"Saya Dana Evans. Saya sudah memesan kamar."
Laki-laki itu memandangnya sejenak dan berkata gugup, "Ah, ya. Miss Evans." Ia mengangsurkan sehelai kartu reservasi. "Silakan mengisi ini. Dan saya perlu paspor Anda."
Ketika Dana mulai menulis, pegawai hotel itu melihat ke seberang lobi, ke laki-laki yang berdiri di sudut dan mengangguk. Dana menyodorkan kartu registrasi itu pada si pegawai.
"Saya akan menyuruh orang mengantar Anda ke kamar."
"Terima kasih."
Kamar itu samar-samar menyisakan suasana kemewahan zaman dulu, dan perabotannya tampak usang, lusuh, dan berbau lembap.
Seorang wanita berperawakan kekar yang mengenakan seragam tanpa bentuk membawakan tas-tas Dana. Dana memberikan tip, perempuan itu mendengus dan berlalu. Dana mengangkat telepon dan menekan angka 252-2451.
"Kedutaan Besar Amerika."
"Tolong sambungkan ke kantor Duta Besar Hardy."
"Tunggu sebentar."
"Kantor Duta Besar Hardy."
"Halo. Di sini Dana Evans. Boleh saya bicara dengan Duta Besar?"
"Bisa Anda katakan mengenai apa?"
"Ini"ini masalah pribadi."
"Silakan tunggu sebentar."
Tiga puluh detik kemudian Duta Besar Hardy berbicara di telepon. "Miss Evans?"
"Ya." "Selamat datang di Moskow."
"Terima kasih."
"Roger Hudson menelepon, mengatakan Anda akan datang. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya ingin tahu apakah saya bisa datang dan menemui Anda."
"Tentu. Saya"tunggu sebentar." Ia diam sebentar, dan sang dubes kembali berbicara. "Bagaimana kalau besok pagi" Pukul sepuluh?"
"Baiklah. Terima kasih banyak."
"Sampai besok."
Dana memandang ke luar jendela, pada orang-orang yang berjalan bergegas di udara dingin. Ia berpikir, Tim benar. Sebaiknya aku membeli pakaian hangat.
Toserba GUM tidak terlalu jauh dari hotel Dana. Tempat itu adalah toko serba ada raksasa yang dipenuhi barang murah, dari pakaian sampai perangkat keras.
Dana berjalan ke bagian wanita, yang berisi deretan rak mantel tebal. Ia memilih mantel wol dan syal merah. Ia butuh waktu dua puluh menit untuk bisa menemukan penjaga toko untuk menangani transaksinya.
Ketika Dana kembali ke kamar, telepon genggamnya berdering. Dari Jeff.
"Halo, Sayang. Aku mencoba meneleponmu pada Malam Tahun Baru kemarin, tapi kau tidak menjawab, dan aku tidak tahu ke mana harus menghubungimu."
"Maaf, Jeff." Jadi ia tidak lupa! Diberkatilah ia.
"Di mana kau sekarang?"
"Di Moskow." "Apakah semua baik-baik, Manis?"
"Baik sekali. Jeff, ceritakanlah tentang Rachel."
"Sekarang masih terlalu dini untuk mengatakannya. Mereka akan mencoba terapi baru padanya besok. Terapi ini masih sangat eksperimental. Kami akan mendapatkan hasilnya dalam beberapa hari."
"Kuharap cara itu berhasil," kata Dana.
"Apakah dingin di sana?"
Dana tertawa. "Kau takkan percaya. Aku jadi manusia es."
"Coba aku bisa berada di sana untuk melelehkanmu."
Mereka berbicara selama lima menit lagi, dan Dana bisa mendengar suara Rachel memanggil Jeff.
Jeff berkata di telepon, "Aku harus pergi, Sayang. Rachel membutuhkan aku."
Aku pun membutuhkanmu, pikir Dana. "Aku sayang padamu."
"Aku sayang padamu."
Kedutaan Besar Amerika di Novinsky Bul"var nomor 19-23 adalah gedung kuno yang sudah reyot. Beberapa penjaga Rusia berdiri di gardu-gardu jaga di luarnya. Antrean panjang menunggu dengan sabar. Dana melewati antrean itu dan menyebutkan namanya pada penjaga. Pria itu melihat daftar dan melambaikan tangan, mempersilakannya masuk.
Di lobi, seorang marinir Amerika berdiri di dalam gardu jaga dari kaca antipeluru. Penjaga wanita Amerika berseragam memeriksa isi tas Dana.
"Oke." "Terima kasih." Dana berjalan ke meja. "Dana Evans."
Laki-laki yang berdiri di dekat meja berkata, "Duta Besar sudah menunggu Anda, Miss Evans. Silakan ikuti saya."
Dana mengikutinya menaiki tangga marmer menuju kantor di ujung lorong panjang. Ketika Dana masuk, seorang wanita menarik berusia awal empat puluhan tersenyum dan berkata, "Miss Evans, menyenangkan sekali. Saya Lee Hopkins, sekretaris duta besar. Anda boleh langsung masuk."
Dana melangkah ke dalam kantor. Duta Besar Edward Hardy berdiri ketika ia menghampiri meja kerjanya.
"Selamat pagi, Miss Evans."
"Selamat pagi," balas Dana. "Terima kasih Anda bersedia menemui saya."
Sang duta besar adalah laki-laki berperawakan tinggi dengan dandanan rapi dan sikap hangat politisi.
"Saya senang bertemu Anda. Adakah yang bisa saya ambilkan untuk Anda?"
"Tidak perlu repot. Terima kasih."
"Silakan duduk."
Dana duduk. "Saya senang ketika Roger Hudson memberitahu saya Anda akan berkunjung. Anda datang pada saat yang menarik."
"Oh?" "Saya tidak suka mengatakan ini, tetapi, antara Anda dan saya saja, saya khawatir negeri ini akan ambruk." Ia menghela napas. "Terus terang, saya tidak tahu apa yang akan terjadi di sini selanjutnya, Miss Evans. Negeri ini memiliki sejarah delapan ratus tahun, dan kita sedang menyaksikannya terpuruk. Para penjahatlah yang mengendalikan negeri ini."
Dana memandangnya dengan tatapan ingin tahu. "Apa maksud Anda?"
Sang dubes duduk bersandar. "Undang-undang di sini mengatakan tak satu pun anggota Duma" majelis rendah dalam parlemen"bisa diadili karena kejahatan apa pun. Akibatnya, Duma dipenuhi orang-orang yang menginginkan segala macam kejahatan"para gangster yang pernah mendekam di penjara, dan penjahat-penjahat yang sedang dalam proses melakukan kejahatan. Tak satu pun di antara mereka bisa disentuh hukum."
"Luar biasa," kata Dana.
"Ya. Rakyat Rusia adalah orang-orang yang hebat, tetapi pemerintah mereka... Yah, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Miss Evans?"
"Saya ingin menanyai Anda tentang Taylor Winthrop. Saya sedang menggarap cerita tentang keluarga itu."
Dubes Hardy menggeleng sedih. "Kisahnya seperti tragedi Yunani, bukan?"
"Ya" Istilah itu lagi.
Dubes Hardy memandang Dana dengan perasaan ingin tahu. "Dunia sudah mendengar kisah itu berkali-kali. Saya kira tidak banyak lagi yang bisa dibicarakan."
Dana berkata hati-hati. "Saya ingin menuturkannya dari sudut pribadi. Saya ingin tahu seperti apa Taylor Winthrop sebenarnya, orang macam apa ia, siapa teman-temannya sewaktu di sini, apakah ia pernah punya musuh..."
"Musuh?" Hardy tercengang. "Tidak. Semua orang menyayangi Taylor. Ia mungkin duta besar terbaik yang pernah kita punyai di sini."
"Apakah Anda pernah bekerja dengannya?"
"Ya. Saya adalah deputi chief of mission di bawahnya selama satu tahun."
"Duta Besar Hardy, tahukah Anda apakah Taylor Winthrop sedang menggarap sesuatu yang?" Ia berhenti, tidak tahu bagaimana mengutarakannya. ?"semua kepingannya harus menyatu?"
Dubes Hardy mengernyit. "Anda maksud semacam transaksi bisnis atau pemerintah?"
"Saya tidak tahu pasti apa yang saya maksudkan," Dana mengaku.
Dubes Hardy berpikir sejenak. "Saya pun tidak. Tidak, saya tidak tahu apakah itu."
Dana berkata, "Beberapa orang yang sekarang bekerja di kedutaan ini"apakah mereka pun tadinya bekerja padanya?"
"Oh, ya. Bahkan sekretaris saya, Lee, dulu adalah sekretaris Taylor."
"Apakah Anda keberatan kalau saya bicara dengannya?"
"Sama sekali tidak. Lebih dari itu, saya akan memberi Anda daftar orang-orang di sini yang mungkin bisa membantu."
"Bagus sekali. Terima kasih."
Dubes Hardy berdiri. "Berhati-hatilah selama Anda berada di sini, Miss Evans. Banyak kejahatan di jalan."
"Begitulah yang saya dengar."
"Jangan minum air dari keran. Bahkan orang Rusia pun tidak meminumnya. Oh, dan kalau Anda makan di luar, selalu sebutkan chisti sol"itu artinya meja bersih"kalau tidak, meja Anda akan dipenuhi hidangan pembuka mahal yang tidak Anda inginkan. Kalau Anda pergi berbelanja, Arbat adalah tempat yang paling baik. Toko-toko di sana punya segalanya. Dan hati-hati dengan taksi di sini. Pilihlah mobil yang tua dan usang. Penjahat-penjahat kebanyakan mengemudikan taksi-taksi baru."
"Terima kasih." Dana tersenyum. "Akan saya ingat."
Lima menit kemudian Dana berbicara dengan Lee Hopkins, sekretaris sang dubes. Mereka hanya berdua di dalam ruangan sempit dengan pintu tertutup.
"Berapa lama Anda bekerja pada Dubes Winthrop?"
"Delapan belas bulan. Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Apakah Dubes Winthrop pernah punya musuh sewaktu bertugas di sini?"
Lee Hopkins tercengang memandang Dana. "Musuh?"
"Ya. Dalam pekerjaan seperti ini, saya rasa kadang-kadang Anda harus mengatakan tidak pada orang-orang yang tak suka ditolak. Saya yakin Dubes Winthrop tentu tidak bisa menyenangkan semua orang."
Lee Hopkins menggeleng, "Saya tidak tahu apa yang Anda cari, Miss Evans, tetapi kalau Anda berniat menulis hal-hal buruk tentang Taylor Winthrop, Anda datang pada orang yang salah. Beliau orang paling baik, paling penuh pengertian yang pernah saya kenal."
Lagi-lagi, pikir Dana. Selama dua jam berikutnya, Dana berbicara dengan lima orang lain yang pernah bekerja di kedutaan selama masa jabatan Taylor Winthrop.
Ia orang yang brilian... Ia benar-benar menyukai orang...
Ia mau bersusah payah menolong kami...
Musuh" Taylor Winthrop tidak punya...
Aku menyia-nyiakan waktuku, pikir Dana. Ia kembali menemui Duta Besar Hardy.
"Apakah Anda mendapatkan yang Anda inginkan?" pria itu bertanya. Suaranya terdengar kurang ramah.
Dana ragu. "Bisa dibilang begitu," katanya jujur.
Ia mencondongkan badan ke depan. "Dan saya kira Anda tidak akan menemukannya, Miss Evans. Tidak akan, kalau Anda mencari-cari hal negatif tentang Taylor Winthrop. Anda membingungkan semua orang di sini. Mereka menyayanginya. Begitu juga saya. Jangan mencoba mengorek aib yang sebenarnya tidak ada. Kalau hanya itu tujuan Anda ke sini, maka silakan Anda pergi."
"Terima kasih," kata Dana. "Saya memang mau pergi."
Dana sama sekali tidak berniat pergi.
*** VIP National Club, yang terletak tepat di seberang Kremlin dan Lapangan Manezh, adalah restoran dan kasino. Tim Drew sudah menunggu ketika Dana tiba.
"Selamat datang," katanya. "Aku menduga kau akan menyukai ini. Tempat ini ajang berkumpul tokoh-tokoh masyarakat paling terkemuka di Moskow. Seandainya restoran ini dibom, maka pemerintah akan langsung runtuh."
Makan malamnya lezat. Mereka mulai dengan blini dan kaviar, disusul borscht, ikan Georgian sturgeon dengan saus walnut, beef stroganoff dan nasi s"loukom, serta kue keju vatrushki sebagai hidangan penutup.
"Luar biasa," kata Dana. "Aku pernah mendengar makanan di Rusia tidak enak."
"Memang," Tim Drew membenarkan. "Ini bukan Rusia. Ini oasis kecil yang istimewa."
"Bagaimana rasanya tinggal di sini?" Dana bertanya.
Tim Drew memikirkannya sejenak. "Rasanya seperti berdiri di dekat gunung berapi, menunggunya meletus. Kau tidak pernah tahu kapan itu akan terjadi. Orang-orang yang sedang berkuasa mencuri bermilyar-milyar dari negara dan rakyat kelaparan. Itulah yang memicu revolusi terakhir. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi sekarang. Kalau mau fair, itu tadi memang cuma satu sisi negara ini. Kebudayaan di sini sungguh mengagumkan. Mereka punya Teater Bolshoi, Hermitage, Museum Pushkin, balet Rusia, Sirkus Moskow"daftarnya bisa berlanjut tak ada habisnya. Rusia menghasilkan lebih banyak buku daripada seluruh dunia digabung jadi satu, dan dalam setahun orang Rusia rata-rata membaca buku tiga kali lipat lebih banyak daripada warga negara Amerika Serikat kebanyakan."
"Mungkin mereka membaca buku-buku yang salah," kata Dana kering.
"Mungkin. Saat ini rakyat terperangkap di tengah, antara kapitalisme dan komunisme, dan tak satu pun di antaranya yang jalan. Pelayanan buruk, harga-harga melambung, dan angka kejahatan melonjak." Ia memandang Dana. "Kuharap aku tidak membuatmu tertekan."
"Tidak. Coba katakan, Tim, apakah kau kenal Taylor Winthrop?"
"Aku pernah beberapa kali mewawancarainya."
"Apakah kau pernah mendengar tentang proyek besar yang ditanganinya?"
"Ia terlibat dalam banyak proyek. Bagaimanapun, ia kan duta besar kita."
"Maksudku bukan itu. Yang kumaksud hal lain. Sesuatu yang rumit"yang semua kepingannya harus jatuh pada tempatnya."
Tim Drew berpikir sejenak. "Rasanya aku tidak pernah mendengarnya."
"Apakah ada orang-orang tertentu yang berkali-kali berhubungan dengannya?"
"Beberapa rekan Rusianya, kukira. Kau mungkin bisa bicara dengan mereka."
"Benar," kata Dana. "Aku akan melakukannya."
Pelayan datang membawa bon. Tim Drew membacanya sekilas, lalu memandang Dana. "Ini khas Rusia. Ada tiga biaya tambahan yang berbeda. Dan tidak usah repot-repot bertanya untuk apa semua biaya itu." Ia membayar.
Ketika mereka sudah keluar, Tim Drew berkata pada Dana, "Kau membawa pistol?"
Dana memandangnya kaget. "Tentu saja tidak. Mengapa?"
"Ini Moskow. Apa pun bisa terjadi." Ia mendapat ide. "Begini saja. Kita akan mampir ke suatu tempat."
Mereka naik taksi, dan Tim Drew memberikan alamat pada si sopir. Lima menit kemudian mereka berhenti di depan toko senjata dan turun dari taksi.
Dana melihat ke dalam toko dan berkata, "Aku tidak mau membawa-bawa senjata."
Tim Drew berkata, "Aku tahu. Ikuti saja aku." Etalase toko itu dipenuhi segala macam senjata yang bisa dibayangkan.
Dana memandang berkeliling. "Apakah semua orang bisa masuk dan membeli senapan di sini?"
"Asal punya uang, semua lancar," kata Tim Drew.
Laki-laki di belakang konter bergumam dalam bahasa Rusia pada Tim. Tim memberitahukan apa yang diinginkannya.
"Da." Ia mengulurkan tangan ke bawah konter dan mengeluarkan tabung kecil berwarna hitam.
"Untuk apa ini?" Dana bertanya.
"Ini untukmu. Ini semprotan merica." Tim Drew mengambilnya. "Kau tinggal menekan tombol di atas ini dan penjahat-penjahat itu akan kesakitan sehingga tidak bisa mengganggumu."
Dana berkata, "Kurasa?"
"Percayalah padaku. Ambillah." Ia mengangsurkannya pada Dana, membayar laki-laki itu, dan mereka pun berlalu.
"Apakah kau mau melihat salah satu kelab malam Moskow?" tanya Tim Drew.
"Kedengarannya menarik."
"Bagus. Ayo kita pergi."
Night Flight Club di Tverskaya Street ternyata tempat yang mewah, indah, dan dipenuhi orang Rusia berpakaian indah yang makan, minum, dan berdansa.
"Kelihatannya tidak ada masalah ekonomi di sini," Dana berkomentar.
"Bukan. Mereka menyingkirkan para pengemis ke jalanan di luar."
Pukul 02.00, Dana kembali ke hotel, kehabisan tenaga. Hari ini melelahkan. Seorang wanita yang duduk di meja gang mencatat tamu-tamu yang keluar-masuk.
Ketika Dana sudah masuk kamar, ia memandang ke luar jendela. Tampak hujan salju di bawah cahaya rembulan, bak gambar kartu pos.
Besok, pikir Dana penuh tekad, aku akan tahu untuk apa aku datang ke sini.
Deru pesawat jet di atas begitu keras sehingga kedengaran seakan pesawat itu akan menabrak bangunan tersebut. Laki-laki itu cepat-cepat berdiri dari meja tulis, mengambil teropong, dan melangkah ke jendela. Ekor pesawat yang menjauh itu turun dengan cepat saat pesawatnya bersiap mendarat di lapangan udara kecil, setengah kilometer lebih dari sana. Selain landas pacu, sejauh mata memandang tampak seluruh daratan tertutup salju. Saat ini musim dingin dan tempat ini Siberia.
"Jadi," ia berkata pada asistennya, "pihak Cina yang pertama tiba." Komentarnya tidak mengharapkan jawaban. "Aku diberitahu bahwa sahabat kita, Ling Wong, tidak akan kembali. Ketika ia pulang dengan tangan kosong dari pertemuan terakhir, sambutan atas kepulangannya tidak begitu menyenangkan. Menyedihkan. Ia pria yang baik."
Saat itu, jet kedua menderu di atas. Ia tidak mengenali jenis pesawat itu. Sesudah pesawat itu mendarat, ia mengarahkan teropong berkekuatan besar pada para laki-laki yang turun dari kabin ke landas pacu. Beberapa di antara mereka sama sekali tidak berusaha menyembunyikan senapan mesin yang mereka bawa.
"Utusan Palestina sudah tiba."
Satu jet lagi menderu di atas. Masih ada dua belas lagi, pikirnya. Bila kami mulai negosiasi besok, ini akan jadi lelang paling besar. Tak boleh ada yang keliru.
Ia berpaling pada asistennya. "Buat memo."
MEMO RAHASIA UNTUK SELURUH PERSONALIA OPERASI: MUSNAHKAN SEGERA SESUDAH DIBACA.
TERUSKAN PENGAWASAN KETAT TERHADAP SASARAN. LAPORKAN SEGALA KEGIATAN DAN SIAGA UNTUK KEMUNGKINAN MENGHABISINYA.
DUA PULUH KETIKA Dana terjaga, ia menelepon Tim Drew.
"Apakah kau sudah mendengar kabar lebih jauh dari Dubes Hardy?" Tim bertanya.
"Tidak. Kukira aku telah menyinggung perasaannya. Tim, aku perlu bicara denganmu."
"Baik. Naik taksi dan temui aku di Boyrsky Club di Treatrilny Proyez Street satu empat."
"Di mana" Aku tidak akan pernah?"
"Sopir taksinya pasti tahu. Pilih yang sudah butut."
"Baik." Dana melangkah ke luar hotel dan disambut angin yang dingin sekali dan menderu-deru. Ia bersyukur tadi memakai mantel wol merahnya yang baru. Papan petunjuk di gedung seberang jalan menunjukkan suhu saat ini 29 derajat Celcius. Astaga, pikirnya.
Di depan hotel tampak taksi baru yang mengilat. Dana menjauh dan menunggu sampai ada penumpang naik. Taksi berikutnya tampak sudah tua.
Dana menaikinya. Si sopir mengamatinya dari kaca spion.
Dana berkata hati-hati, "Saya ingin pergi ke Teat?" Ia ragu-ragu. ?"rilny?" Ia menarik napas dalam. ?"Proyez?"
Si sopir berkata tak sabar, "Anda mau ke Boyrsky Club?"
"Da." Mereka berangkat. Mereka melalui jalan-jalan besar dan panjang, padat dengan mobil dan pejalan kaki muram yang bergegas di jalanan yang beku. Kota ini seperti dilapisi lapisan kelabu, suram. Dan ini bukan karena cuaca saja, pikir Dana.
Boyrsky Club ternyata tempat yang modern dan nyaman, dengan kursi-kursi serta sofa kulit. Tim Drew menunggunya di kursi dekat jendela.
"Kulihat kau tidak ada masalah untuk menemukan tempat ini."
Dana duduk. "Sopir taksinya bisa berbahasa Inggris."
"Kau beruntung. Banyak di antara mereka bahkan tidak bisa berbahasa Rusia. Mereka datang dari provinsi-provinsi yang jauh. Menakjubkan bahwa negara ini bisa berfungsi. Rusia mengingatkan aku pada dinosaurus yang sedang sekarat. Tahukah kau sebesar apa Rusia?"
"Tidak." "Luasnya hampir dua kali lipat Amerika Serikat. Punya tiga belas zona waktu dan berbatasan dengan empat belas negara. Empat belas negara."
"Luar biasa," kata Dana. "Tim, aku ingin bicara dengan beberapa orang Rusia yang pernah berurusan dengan Taylor Winthrop."
"Berarti hampir semua orang dalam pemerintah Rusia."
Dana berkata, "Aku tahu. Tetapi pasti ada beberapa orang Rusia yang punya hubungan lebih dekat dengannya daripada yang lain. Presiden?"
"Mungkin orang yang kedudukannya lebih rendah sedikit," kata Tim Drew tak acuh. "Menurutku, dari semua orang yang pernah berurusan dengannya, ia mungkin paling dekat dengan Sasha Shdanoff."
"Siapa Sasha Shdanoff?"
"Ia kepala Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Aku yakin Winthrop berhubungan dengannya secara resmi dan pribadi." Ia memandang Dana lekat-lekat. "Apakah yang kau cari, Dana?"
"Aku tidak tahu pasti," katanya jujur. "Aku tidak tahu pasti."
Biro Pembangunan Ekonomi Internasional berada di gedung bata merah raksasa di Ozernaya Street, menempati satu blok penuh. Di jalan masuk utamanya, dua polisi Rusia berseragam berdiri di samping pintu, penjaga berseragam ketiga duduk di belakang meja.
Dana berjalan menghampiri meja. Penjaga itu mengangkat muka.
"Dobry dyen," kata Dana.
"Zdrastvuytye. Ne?"
Dana menghentikannya. "Maaf. Saya ke sini untuk menemui Commissar Shdanoff. Saya Dana Evans. Saya dari Washington Tribune Network."
Si penjaga membaca lembaran di hadapannya dan menggeleng. "Anda ada janji?"
"Tidak, tapi?" "Kalau begitu, Anda harus membuat janji dulu. Anda orang Amerika?"
"Ya." Penjaga itu mengaduk-aduk sejumlah formulir di mejanya dan mengangsurkan sehelai pada Dana. "Silakan Anda mengisi ini."
"Baiklah," kata Dana. "Apa saya bisa menemui commissar siang ini?"
Matanya berkedip. "Ya ne ponimayu. Kalian orang Amerika selalu terburu-buru. Di hotel mana Anda menginap?"
"Sevastopol. Saya hanya perlu beberapa men?"
Ia mencatat. "Anda akan dikabari. Dobry dyen."
"Tapi?" Ia melihat ekspresi pria itu. "Dobry dyen."
Dana tinggal di kamarnya sepanjang siang, menunggu telepon. Pukul 18.00, ia menelepon Tim Drew.
"Apakah kau berhasil menemui Shdanoff?" ia bertanya.
"Tidak. Mereka akan meneleponku."
"Jangan ditunggu, Dana. Kau berurusan dengan birokrasi dari planet lain."
Pagi-pagi keesokan harinya, Dana kembali pergi ke Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Penjaga yang sama duduk di balik meja.
"Dobry dyen," kata Dana.
Ia memandang Dana dengan wajah sedingin batu. "Dobry dyen."
"Apakah Commissar Shdanoff menerima pesan saya kemarin?"
"Nama Anda?" "Dana Evans." "Anda meninggalkan pesan kemarin?"
"Ya," katanya datar, "pada Anda."
Penjaga itu mengangguk. "Kalau begitu beliau sudah menerimanya. Semua pesan diterima."
"Boleh saya bicara dengan sekretaris Commissar Shdanoff?"
"Apakah Anda ada janji?"
Dana menarik napas dalam. "Tidak."
Penjaga itu angkat pundak. "Izvinitye, nyet."
"Apa yang bisa saya?"
"Anda akan ditelepon."
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Dana melewati Detsky Mir, toko mainan anak-anak, dan ia pun masuk serta melihat-lihat. Ada bagian toko yang khusus untuk game. Di satu sudut ada rak berisi game komputer. Kemal pasti suka salah satu di antaranya, pikir Dana. Ia membeli sebuah game dan terperanjat melihat betapa mahal harganya. Ia kembali ke hotel untuk menunggu telepon. Pukul 18.00 ia berhenti berharap akan menerima telepon itu. Ia sudah hendak turun ke bawah untuk makan malam ketika telepon berdering. Dana bergegas menghampiri dan mengangkatnya.
"Dana?" Ternyata dari Tim Drew.
"Ya, Tim."
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah ada kabar?"
"Aku khawatir belum."
"Well, mumpung ada di Moskow, kau seharusnya tidak melewatkan hal-hal yang bagus di sini. Ada pertunjukan balet malam ini. Mereka mementaskan Giselle. Kau tertarik?"
"Sangat tertarik, terima kasih."
"Aku akan menjemputmu satu jam lagi."
Pertunjukan balet itu diadakan di Palace of Congresses yang berkapasitas enam ribu tempat duduk di dalam Kremlin. Malam itu sungguh luar biasa. Musiknya indah, tariannya fantastis, dan bagian pertama tak terasa sudah berlalu.
Ketika lampu-lampu dinyalakan sebagai pertanda jeda, Tim berdiri. "Ikuti aku. Cepat."
Orang-orang berdesakan naik.
"Ada apa?" "Kau akan lihat sendiri."
Ketika sampai di lantai atas, mereka disambut setengah lusin meja yang penuh mangkuk kaviar dan botol vodka di dalam ember es. Para pengunjung teater yang sudah lebih dulu sampai di sana sedang sibuk mengambil makanan.
Dana menoleh pada Tim. "Mereka tahu sekali cara menggelar pertunjukan."
Tim berkata, "Beginilah kehidupan kelas atas di sini. Ingat, tiga puluh persen rakyat negara ini hidup di bawah garis kemiskinan."
Dana dan Tim bergeser ke arah jendela, menjauh dari kerumunan orang banyak.
Lampu mulai berkedip. "Saat untuk babak kedua."
Babak kedua sungguh memesona, tetapi dalam pikiran Dana terus terngiang-ngiang potongan-potongan percakapan tadi.
Taylor Winthrop itu scheisse. Oh, ia pintar, sangat pintar. Ia menjebak saya...
Kecelakaan yang patut disayangkan. Gabriel anak yang luar biasa...
Taylor Winthrop menyapu habis masa depan keluarga Mancino...
Ketika pertunjukan balet itu selesai, dan mereka berada di dalam mobil, Tim Drew berkata, "Mau minum sebelum tidur di apartemenku?"
Dana menoleh padanya. Tim menarik, cerdas, dan memesona. Tetapi ia bukan Jeff. Jawaban yang keluar dari bibirnya adalah, "Terima kasih, Tim. Tapi tidak."
"Oh." Kekecewaannya terdengar jelas. "Mungkin besok."
"Sebetulnya aku ingin, tapi aku harus siap pagi-pagi." Dan aku jatuh cinta setengah mati dengan orang lain.
Keesokan paginya Dana datang kembali ke Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Penjaga yang sama duduk di belakang meja.
"Dobry dyen." "Dobry dyen." "Saya Dana Evans. Kalau saya tidak bisa menemui commissar, boleh saya menemui asistennya?"
"Anda punya janji?"
"Tidak. Saya?" Ia menyodorkan selembar kertas pada Dana. "Silakan isi formulir ini..."
Ketika Dana kembali ke kamarnya, telepon genggamnya berdering, dan jantung Dana serasa berhenti berdetak.
"Dana..." "Jeff!" Begitu banyak yang ingin mereka ucapkan. Tetapi Rachel berdiri di antara mereka seperti bayang-bayang, dan mereka tidak bisa membicarakan masalah yang paling mengganggu benak mereka: penyakit Rachel. Mereka bercakap-cakap dengan hati-hati.
*** Telepon dari kantor Commissar Shdanoff datang tanpa diduga-duga pada pukul 08.00 keesokan harinya. Suara sangat beraksen itu berkata, "Dana Evans?"
"Ya." "Di sini Yerik Karbava, Asisten Commissar Shdanoff. Anda ingin bertemu dengan commissar?"
"Ya!" Ia sudah bersiap-siap mendengar pria itu mengatakan, "Apakah Anda punya janji?" Namun Karbava berkata, "Datanglah ke Biro Pembangunan Ekonomi tepat satu jam lagi."
"Baik. Terima kasih banyak?" Telepon ditutup.
Satu jam kemudian Dana kembali memasuki gedung bata raksasa itu. Ia menghampiri penjaga yang sama, yang duduk di belakang meja.
Ia mengangkat muka. "Dobry dyen."
Dana memaksakan diri untuk tersenyum. "Dobry dyen. Saya Dana Evans, dan saya ke sini untuk menemui Commissar Shdanoff."
Ia mengangkat pundak. "Maaf. Tanpa janji?"
Dana menahan marah. "Saya punya janji."
Ia memandang Dana dengan skeptis. "Da?" Ia mengangkat telepon dan berbicara beberapa saat. Lalu ia berpaling pada Dana. "Lantai tiga," katanya enggan. "Akan ada yang menemui Anda di sana."
Kantor Commissar Shdanoff ternyata luas dan kusam, perabotannya tampak dibeli pada awal tahun 1920-an. Ada dua laki-laki di dalam kantor itu.
Ketika Dana masuk, mereka berdiri. Yang lebih tua berkata, "Saya Commissar Shdanoff."
Sasha Shdanoff tampak berusia lima puluhan. Perawakannya pendek dan kekar, dengan rambut kelabu kaku, wajah bulat, pucat, dan mata cokelat yang terus-menerus memandang ke seluruh penjuru ruangan seakan sedang mencari sesuatu. Ia bicara dengan aksen kental. Ia memakai setelan jas cokelat tanpa bentuk dan sepatu hitam yang sudah lecet di sana-sini. Ia menunjuk laki-laki kedua.
"Ini adik saya, Boris Shdanoff."
Boris Shdanoff tersenyum. "Apa kabar, Miss Evans?"
Boris Shdanoff berbeda jauh dari kakaknya. Kelihatannya ia lebih muda sepuluh tahun. Ia memiliki hidung rajawali dan dagu yang kokoh. Ia mengenakan setelan Armani biru muda dengan dasi Herm?s kelabu. Bicaranya hampir tanpa aksen sama sekali.
Sasha Shdanoff berkata bangga, "Boris datang berkunjung dari Amerika. Ia bekerja di kedutaan Rusia di ibukota negara Anda, Washington, D.C."
"Sudah lama saya mengagumi hasil kerja Anda, Miss Evans," kata Boris Shdanoff.
"Terima kasih."
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya Sasha Shdanoff. "Apakah Anda ada masalah?"
"Sama sekali tidak," kata Dana. "Saya ingin bertanya pada Anda mengenai Taylor Winthrop."
Ia memandang heran pada Dana. "Apakah yang ingin Anda ketahui tentang Taylor Winthrop?"
"Saya tahu Anda dulu bekerja dengannya, dan Anda juga kadang-kadang bergaul dengannya sebagai teman."
Sasha Shdanoff berkata hati-hati, "Da."
"Saya ingin tahu pendapat pribadi Anda tentang dia."
"Apa lagi yang bisa disebutkan" Ia duta besar yang baik bagi negara Anda."
"Setahu saya, ia sangat populer di sini dan?"
Boris Shdanoff menyela. "Oh, ya. Kedutaan-kedutaan di Moskow sering mengadakan pesta, dan Taylor Winthrop selalu?"
Sasha Shdanoff memandang marah pada adiknya. "Dovolno!" Ia menoleh kembali pada Dana. "Dubes Winthrop sering menghadiri pesta-pesta di kedutaan. Ia menyukai orang. Masyarakat Rusia menyukainya."
Boris Shdanoff berbicara lagi. "Sebenarnya, ia pernah mengatakan pada saya bahwa kalau bisa, ia?"
Sasha Shdanoff membentak, "Molchat!" Ia berpaling. "Seperti saya katakan tadi, Miss Evans, ia dubes yang baik."
Dana memandang Boris Shdanoff. Jelas pria itu berusaha mengatakan sesuatu padanya. Ia beralih kembali pada sang Commissar. "Apakah Dubes Winthrop pernah terlibat suatu masalah sewaktu ia berada di sini?"
Sasha Shdanoff mengernyit. "Masalah" Tidak." Ia menghindari tatapan Dana.
Ia bohong, pikir Dana. Ia mendesak lebih jauh. "Commissar, bisakah Anda memikirkan alasan mengapa seseorang mungkin ingin membunuh Taylor Winthrop dan keluarganya?"
Mata Sasha Shdanoff melebar. "Membunuh" Keluarga Winthrop" Nyet. Nyet."
"Anda tidak bisa memikirkan satu alasan pun?"
Boris Shdanoff berkata, "Sebenarnya?"
Sasha Shdanoff memotongnya. "Tidak ada alasan apa pun. Ia duta besar yang hebat." Ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotak perak, dan Boris buru-buru menyalakannya.
"Apakah ada hal lain yang ingin Anda ketahui?" Sasha Shdanoff bertanya.
Dana memandang mereka berdua. Mereka menyembunyikan sesuatu, pikirnya, tapi apa" Semua ini terasa seperti berjalan di dalam labirin tanpa pintu keluar. "Tidak." Ia melirik Boris sambil berkata perlahan-lahan, "Kalau Anda teringat apa saja, saya tinggal di Sevastopol Hotel sampai besok pagi."
Boris Shdanoff berkata, "Anda akan pulang?"
"Ya. Pesawat saya berangkat besok siang."
"Saya?" Boris Shdanoff hendak mengatakan sesuatu, melihat kakaknya, dan terdiam.
"Selamat tinggal," kata Dana.
"Proshchayte." "Proshchayte." *** Sekembalinya ke kamar, Dana menelepon Matt Baker.
"Ini ada apa-apanya, Matt, tapi aku tidak bisa mengetahui apa masalahnya. Aku merasa aku bisa tinggal berbulan-bulan di sini dan tetap tidak akan memperoleh informasi bermanfaat. Aku akan pulang besok."
Ini ada apa-apanya, Matt, tapi aku tidak bisa mengetahui apa masalahnya. Aku merasa aku bisa tinggal berbulan-bulan di sini dan tetap tidak akan memperoleh informasi bermanfaat. Aku akan pulang besok.
Rekaman selesai. Bandara Sheremetyevo II malam itu penuh orang. Sementara menunggu pesawat, Dana merasa dirinya sedang diawasi. Ia mengamati orang banyak itu, tetapi tak dapat menemukan siapa pun yang mencurigakan. Mereka ada di luar sana, entah di mana. Dan kesadaran itu membuatnya bergidik.
DUA PULUH SATU MRS. DALEY dan Kemal menunggu di bandara Dulles untuk menjemput Dana. Dana tak menyadari betapa ia merindukan Kemal. Ia merangkulkan kedua tangannya dan mendekap anak itu erat-erat.
Kemal berkata, "Hai, Dana. Aku senang kau sudah pulang. Kau membawakan aku beruang Rusia?"
"Ya, tapi sayang, ia kabur."
Kemal tersenyum lebar. "Apakah kau akan tinggal di rumah sekarang?"
Dana berkata hangat, "Tentu saja."
Mrs. Daley tersenyum. "Itu kabar baik, Miss Evans. Kami sangat senang Anda telah kembali."
"Saya pun senang sudah kembali," kata Dana.
Di dalam mobil, sambil mengemudi menuju apartemen, Dana berkata, "Bagaimana dengan lengan barumu, Kemal" Apakah kau sudah terbiasa memakainya?"
"Lengan ini asyik."
"Aku senang sekali. Bagaimana keadaanmu di sekolah?"
"Tidak ada masalah."
"Tidak ada perkelahian-perkelahian lagi?"
"Ya." "Bagus sekali, Sayang." Dana mengamatinya sejenak. Kemal lain sekarang, jadi pendiam. Seakan telah terjadi sesuatu yang mengubahnya, tetapi apa pun penyebabnya, ia jelas tampak bahagia.
Ketika mereka sampai di apartemen, Dana berkata, "Aku harus pergi ke studio, tapi aku akan segera kembali, dan kita makan bersama. Kita akan pergi ke McDonald"s." Tempat yang biasa kita datangi bersama Jeff.
Ketika Dana memasuki gedung WTN yang besar, ia merasa seolah sudah seabad meninggalkannya. Ketika berjalan menuju kantor Matt, ia disambut setengah lusin rekan kerjanya.
"Senang kau kembali, Dana. Kami merasa kehilangan."
"Senang juga pulang kembali."
"Wah, lihat siapa ini. Apakah kau menikmati perjalananmu?"
"Menyenangkan. Terima kasih."
"Tempat ini tidak sama rasanya tanpa dirimu."
Ketika Dana memasuki kantor Matt, atasannya itu berkata, "Berat badanmu turun. Kau kelihatan kurus."
"Terima kasih, Matt."
"Duduklah." Dana duduk. "Kau kurang tidur belakangan ini?"
"Begitulah." "Omong-omong, peringkat kita merosot sejak kau pergi."
"Aku merasa tersanjung."
"Elliot pasti senang kau menghentikan penyelidikan ini. Ia mengkhawatirkanmu." Matt tidak menyebutkan betapa khawatir ia memikirkan Dana.
Mereka berbicara selama setengah jam.
Ketika Dana kembali ke kantornya, Olivia berkata. "Selamat datang kembali. Selama ini?" Telepon berdering. Ia mengangkatnya. "Kantor Miss Evans... Tunggu sebentar." Ia memandang Dana. "Pamela Hudson di saluran satu."
"Akan kuterima." Dana masuk ke kantornya sendiri dan mengangkat telepon. "Pamela."
"Dana, kau sudah kembali! Kami sangat khawatir. Rusia bukan tempat paling aman belakangan ini."
"Saya tahu." Ia tertawa. "Teman saya membelikan saya semprotan lada."
"Kami merasa kehilangan. Aku dan Roger ingin kau datang minum teh siang ini. Apakah kau punya waktu luang?"
"Ya." "Pukul tiga?" "Bagus." Sisa pagi itu tersita persiapan siaran malam nanti.
Pukul 15.00, Cesar menyambut Dana di pintu.
"Miss Evans!" Seulas senyum lebar tersungging di wajahnya. "Senang sekali bertemu lagi dengan Anda. Selamat datang."
"Terima kasih, Cesar. Bagaimana kabarmu?"
"Baik-baik saja, terima kasih."
"Apakah Mr. dan Mrs.?"
"Ya. Mereka sudah menanti Anda. Boleh saya bawakan mantel Anda?"
Ketika Dana berjalan masuk ke ruang duduk, Roger dan Pamela berseru berbarengan, "Dana!"
Pamela Hudson memeluknya. "Si anak yang hilang sudah kembali."
Roger Hudson berkata, "Kau kelihatan letih."
"Tampaknya semua orang berpendapat begitu."
"Duduk, duduk," kata Roger.
Pelayan masuk membawa nampan berisi teh, biskuit, kue scone, dan croissant. Pamela menuangkan teh.
Mereka duduk, dan Roger berkata, "Well, ceritakanlah pada kami apa yang terjadi."
"Yang terjadi, saya merasa penyelidikan saya tidak berkembang. Saya frustrasi sekali." Dana menarik napas dalam. "Saya menemui orang bernama Dieter Zander yang mengatakan dirinya dijebak Taylor Winthrop dan dipenjarakan. Sewaktu ia mendekam di sana, keluarganya habis dalam kebakaran. Ia menyalahkan Winthrop atas kematian mereka."
Pamela berkata, "Jadi ia punya motif untuk membunuh seluruh keluarga Winthrop."
"Benar. Tetapi ada yang lebih dari itu," kata Dana. "Saya bicara dengan orang yang bernama Marcel Falcon di Prancis. Putra tunggalnya tewas sebagai korban tabrak lari. Sopir Taylor Winthrop mengaku bersalah, tetapi si sopir kini mengatakan Taylor Winthrop-lah pengemudi itu."
Roger berkata sungguh-sungguh, "Falcon dulu anggota Komisi NATO di Brussels."
"Benar. Dan si sopir memberitahunya bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya."
"Menarik." "Sangat menarik. Pernahkah kalian mendengar soal Vincent Mancino?"
Roger Hudson berpikir sejenak. "Tidak."
"Ia anggota Mafia. Taylor Winthrop menghamili anak perempuannya, mengirimnya ke dukun, dan orang itu melakukan aborsi asal-asalan. Gadis itu kini tinggal di biara dan ibunya di sanatorium."
"Ya Tuhan." "Masalahnya, mereka bertiga sama-sama punya motif kuat untuk membalas dendam." Dana menghela napas kesal. "Tetapi saya tidak bisa membuktikan apa-apa."
Roger memandang Dana sambil berpikir, "Jadi Taylor Winthrop benar-benar bersalah melakukan segala perbuatan mengerikan itu."
"Tidak ada keraguan dalam hal ini, Roger. Saya sudah bicara dengan orang-orang itu. Siapa pun di antara mereka yang berada di belakang pembunuhan-pembunuhan tersebut, ia mengaturnya dengan sangat cemerlang. Tidak ada jejak apa pun"sama sekali tidak ada. Setiap pembunuhan dilakukan dengan modus operandi yang berlainan, jadi tidak ada pola yang jelas. Setiap detail digarap cermat. Tidak ada yang dibiarkan berisiko. Tidak ada satu saksi pun atas semua kematian itu."
Pamela berkata hati-hati, "Aku tahu ini mungkin kedengaran terlalu mengada-ada, tapi"apakah mungkin mereka bekerja sama merancangnya untuk membalas dendam?"
Dana menggeleng. "Saya tidak percaya ada kolusi dalam hal ini. Orang-orang yang saya ajak bicara itu punya kekuasaan besar. Saya kira masing-masing tentunya ingin melakukannya sendiri. Hanya salah satu di antara mereka yang bersalah."
Tapi yang mana" Dana mendadak melihat arloji. "Maaf. Saya tadi berjanji mengajak Kemal makan malam di McDonald"s, dan kalau bergegas, saya bisa melakukannya sebelum pergi bekerja."
"Tidak apa," kata Pamela. "Kami sepenuhnya mengerti. Terima kasih kau telah bersedia mampir."
Dana bangkit untuk pergi. "Dan terima kasih untuk Anda berdua atas teh dan dukungan moral Anda."
*** Senin pagi, saat mengantar Kemal ke sekolah, Dana berkata, "Sudah lama aku rindu melakukan ini, tapi aku sekarang sudah kembali."
"Aku senang." Kemal menguap.
Dana sadar Kemal terus-menerus menguap sejak bangun. Dana bertanya, "Tidurmu nyenyak semalam?"
"Yeah. Kurasa begitu." Kemal menguap lagi.
"Apa yang kaukerjakan di sekolah?" Dana bertanya.
"Maksudmu selain pelajaran sejarah dan bahasa Inggris yang membosankan?"
"Ya." "Aku main sepak bola."
"Kegiatanmu tidak terlalu banyak, kan, Kemal?"
"Tidak." Ia melirik sosok rapuh di sampingnya. Dana melihat seluruh energi seakan telah menguap dari diri Kemal. Sikap diamnya tak wajar. Dalam hati Dana menimbang apakah ia perlu membawanya ke dokter. Mungkin ia bisa mengecek dan menanyakan apakah ada vitamin yang dapat memberi Kemal energi. Ia melihat arloji. Rapat untuk siaran malam ini tinggal setengah jam lagi.
Pagi itu lewat dengan cepat, dan menyenangkan sekali rasanya berada di dunianya lagi. Ketika Dana kembali ke kantor, di meja kerjanya ada sehelai amplop bertuliskan namanya. Ia membukanya. Surat di dalamnya berbunyi:
"Miss Evans, saya punya informasi yang Anda inginkan. Saya sudah memesankan kamar atas nama Anda di Soyuz Hotel di Moskow. Datanglah segera. Jangan beritahu siapa pun mengenai hal ini."
Surat itu tanpa tanda tangan. Dana membaca surat tersebut sekali lagi, tak percaya. Saya punya informasi yang Anda inginkan.
Pasti ini cuma tipuan. Kalau seseorang di Rusia memiliki informasi yang dicarinya, mengapa orang itu tidak menceritakannya ketika ia ada di sana" Dana memikirkan pertemuannya dengan Commissar Sasha Shdanoff dan adiknya, Boris. Boris sepertinya sangat ingin berbicara dengannya, dan Sasha terus menyelanya. Dana duduk di belakang meja, sambil berpikir. Bagaimana surat itu bisa sampai ke mejanya" Apakah ia diawasi"
Aku akan melupakannya, Dana memutuskan. Ia menjejalkan surat itu ke dalam tas. Aku akan merobeknya begitu tiba di rumah.
Dana menghabiskan malam itu bersama Kemal. Ia mengira Kemal akan gembira karena game komputer yang baru dibelikannya di Moskow, tetapi anak itu seperti tak peduli. Pukul 21.00 matanya mulai terpejam.
"Aku ngantuk, Dana. Aku mau tidur."
"Baiklah, Sayang." Dana mengawasinya pergi ke ruang belajar dan berpikir, Ia begitu berubah. Aku seperti tidak mengenalnya lagi. Ah, mulai sekarang kami akan bersama-sama. Kalau ada yang mengusik hatinya, aku pasti akan tahu. Tiba saatnya untuk berangkat ke studio.
Di apartemen sebelah, penghuninya melihat layar televisi dan berbicara pada tape recorder.
"Subjek sudah berangkat ke studio televisi untuk siaran. Anak itu sudah tidur. Pengurus rumah sedang menjahit."
Istana Tulang Emas 1 Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah Darah Ksatria 4
"Saya datang ke sini untuk mencari informasi."
Wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Informasi?"
"Ya. Apakah Julie Winthrop memperoleh skinya di sini?"
Ia mengamati Dana lebih cermat. "Ya. Ia memakai yang paling top, yaitu ski super Volant Ti. Ia menyukainya. Sungguh menyedihkan kejadian yang menimpanya di Eaglecrest."
"Apakah Miss Winthrop pemain ski yang baik?"
"Baik" Ia yang terbaik. Ia punya piala satu lemari penuh."
"Tahukah Anda apakah ia sendirian ke sini?"
"Setahu saya, ia sendirian." Ia menggeleng. "Yang mengejutkan, ia sangat mengenal Eaglecrest. Ia biasa main ski di sini setiap tahun. Anda tentu mengira kecelakaan seperti itu tidak mungkin terjadi padanya, bukan?"
Dana berkata perlahan-lahan, "Ya, saya kira begitu."
Kepolisian Juneau hanya dua blok dari Inn at the Waterfront.
Dana masuk ke ruang penerimaan tamu yang sempit, yang dihiasi bendera negara bagian Alaska, bendera Juneau, dan bendera Amerika Serikat. Di sana ada karpet biru, sofa biru, dan kursi biru.
Seorang polisi berseragam bertanya, "Bisa saya bantu?"
"Saya perlu informasi mengenai kematian Julie Winthrop."
Ia mengernyit. "Anda harus bicara dengan Bruce Bowler. Ia kepala regu penyelamat Sea Dog Rescue. Kantornya di atas, tapi saat ini ia tidak ada di tempat."
"Apakah Anda tahu di mana saya bisa menemuinya?"
Perwira itu melihat jam tangan. "Saat ini mestinya Anda bisa menemukannya di Hanger on the Wharf. Letaknya dua blok di Marine Way."
"Terima kasih banyak."
*** Hanger on the Wharf adalah restoran besar yang penuh pelanggan yang datang untuk makan siang.
Pelayan restoran berkata pada Dana, "Maaf, kami tidak punya meja lagi saat ini. Anda mungkin perlu menunggu sekitar dua puluh menit kalau?"
"Saya mencari Mr. Bruce Bowler. Apakah Anda?"
Si pelayan mengangguk. "Bruce" Ia ada di meja sana."
Dana melihat ke arah yang ditunjuknya. Di sana tampak laki-laki berusia awal empat puluhan, dengan penampilan yang kasar tapi berwajah baik dan jujur, duduk sendirian.
"Terima kasih." Dana menghampiri meja itu. "Mr. Bowler?"
Ia mengangkat muka. "Ya."
"Saya Dana Evans. Saya butuh bantuan Anda."
Ia tersenyum. "Anda beruntung. Kami masih punya satu kamar. Saya akan menelepon Judy."
Dana memandangnya bingung. "Maaf?"
"Bukankah Anda menanyakan tentang Cozy Log, penginapan milik kami?"
"Tidak. Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Julie Winthrop."
"Oh." Ia tampak malu. "Maaf. Silakan duduk. Saya dan Julie memiliki penginapan kecil di luar kota. Saya tadi mengira Anda sedang mencari kamar. Anda sudah makan siang?"
"Belum, saya?" "Bergabunglah dengan saya." Senyumnya ramah.
"Terima kasih," Dana berkata.
Sesudah Dana memesan makanan, Bruce Bowler berkata, "Apakah yang ingin Anda ketahui mengenai Julie Winthrop?"
"Mengenai kematiannya. Apakah ada kemungkinan itu bukan kecelakaan?"
Bruce Bowler mengernyit. "Apakah Anda menanyakan kemungkinan ia bunuh diri?"
"Tidak. Saya menanyakan apakah... apakah ada kemungkinan seseorang membunuhnya."
Ia mengedipkan mata. "Membunuh Julie" Tidak mungkin. Itu kecelakaan."
"Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi?"
"Tentu." Bruce Bowler berpikir sejenak, menimbang-nimbang dari mana akan mulai. "Kami punya tiga kelompok lereng di sini. Ada lereng-lereng untuk pemula, seperti Muskeg, Dolly Varden, dan Sourdough... Ada yang lebih sulit, Sluice Box, Mother Lode, dan Sundance... Ada juga yang benar-benar sulit, Insane, Spruce Chute, Hang Ten... Dan kemudian ada Steep Chutes. Itulah yang paling sulit."
"Dan Julie Winthrop main ski di...?"
"Di Steep Chutes."
"Jadi ia pemain ski yang ahli?"
"Benar sekali," kata Bruce Bowler. Ia ragu-ragu. "Itulah yang sangat ganjil."
"Apa yang sangat ganjil?"
"Well, tiap hari Kamis pukul empat sore sampai sembilan malam, kami mengadakan permainan ski di malam hari. Banyak sekali pemain ski malam itu. Mereka semua kembali pukul sembilan, kecuali Julie. Kami pergi mencarinya. Kami menemukan tubuhnya di dasar Steep Chutes. Ia menabrak pohon. Pasti tewas seketika."
Dana memejamkan mata sebentar, merasakan kengerian dan kesakitannya. "Jadi"jadi ia sendirian ketika kecelakaan itu terjadi?"
"Yeah. Para pemain ski biasanya bepergian bersama-sama, tetapi kadang pemain-pemain terbaik suka melakukannya sendirian. Kami di sini punya tanda pembatas daerah, dan siapa pun yang bermain ski di luarnya, ia melakukannya atas risiko sendiri. Julie Winthrop main ski di luar batas itu, di jalur tertutup. Kami butuh waktu cukup lama untuk menemukan jenazahnya."
"Mr. Bowler, bagaimana prosedur bila ada pemain ski hilang?"
"Segera setelah seseorang dilaporkan hilang, kami mulai melakukan bastard search."
"Bastard search?"
"Kami menelepon teman-temannya untuk memeriksa apakah pemain ski itu bersama mereka. Kami menelepon beberapa bar. Ini pencarian cepat dan tidak terperinci. Gunanya untuk menghindarkan kru kami dari segala kerepotan melakukan pencarian habis-habisan terhadap pemabuk yang ternyata sedang duduk-duduk di bar."
"Dan kalau benar-benar ada yang hilang?" Dana bertanya.
"Kami mencari data deskripsi fisik pemain ski yang hilang itu, kemampuannya bermain ski, dan lokasi terakhir ia dilihat. Kami selalu menanyakan apakah mereka punya kamera."
"Mengapa?" "Bila mereka punya kamera, maka kami akan punya gambaran tentang tempat yang mungkin mereka datangi. Kami mengecek rencana transportasi apa yang dimiliki pemain ski itu untuk kembali ke kota. Kalau penyisiran ini tidak menghasilkan apa-apa, maka kami mengasumsikan pemain ski yang hilang itu berada di luar batas daerah bermain ski. Kami mengabari pasukan khusus Alaska untuk melakukan pencarian dan penyelamatan dan mereka akan mengoperasikan helikopter. Ada empat orang dalam masing-masing kelompok pencari, dan patroli udara sipil juga ikut bergabung."
"Banyak sekali sumber daya manusia yang dibutuhkan."
"Benar. Tetapi ingat, kami memiliki enam ratus tiga puluh ekar tempat bermain ski di sini, dan dalam setahun, kami rata-rata melakukan empat puluh pencarian. Kebanyakan berhasil baik." Bruce Bowler melihat langit dingin berwarna kelabu gelap di luar jendela. "Saya ingin sekali yang ini pun demikian." Ia berpaling kembali pada Dana. "Omong-omong, patroli ski melakukan penyisiran setiap hari sesudah lift dimatikan."
Dana berkata, "Saya diberitahu bahwa Julie Winthrop biasa main ski di puncak Eaglecrest."
Ia mengangguk. "Benar. Tapi itu tetap bukan jaminan. Awan bisa saja datang, Anda bisa kehilangan orientasi, dan Anda bisa saja bernasib sial. Miss Winthrop bernasib sial."
"Bagaimana Anda menemukan jenazahnya?"
"Mayday yang menemukannya."
"Mayday?" "Itu anjing kami yang paling top. Patroli ski bekerja dengan anjing Labrador hitam dan herder. Anjing-anjing itu luar biasa. Mereka bisa mencium bau manusia, pergi ke tepi zona bau itu, dan melacak sumbernya. Kami mengirim bombardier ke tempat kecelakaan, dan ketika?"
"Bombardier?" "Mesin salju kami. Kami membawa mayat Julie Winthrop dengan usungan Stokes. Tiga kru ambulans memeriksanya dengan monitor EKG, kemudian memotretnya, dan memanggil pengurus jenazah. Mereka membawa jenazahnya ke Bartlett Regional Hospital."
"Dan tak seorang pun tahu bagaimana kecelakaan itu terjadi?"
Ia mengangkat bahu. "Yang kami ketahui hanyalah ia berjumpa pohon cemara raksasa yang kurang ramah. Saya melihat mayatnya. Bukan pemandangan yang bagus."
Dana memandang Bruce Bowler sesaat. "Apakah memungkinkan bagi saya untuk melihat puncak Eaglecrest?"
"Kenapa tidak" Mari kita selesaikan makan siang dulu, setelah itu saya akan membawa Anda ke sana."
*** Mereka mengendarai Jeep ke pondok ski dua tingkat di kaki gunung.
Bruce Bowler bercerita pada Dana, "Di bangunan inilah kami rapat untuk menyusun rencana pencarian dan penyelamatan. Kami membawa peralatan toko penyewaan ski ke sini dan kami punya instruktur ski bagi mereka yang membutuhkannya. Kita akan naik lift ini ke puncak gunung."
Mereka naik chairlift Ptarmigan, menuju puncak Eaglecrest. Dana menggigil.
"Saya seharusnya mengingatkan Anda. Untuk cuaca seperti ini, Anda perlu pakaian propylene, pakaian dalam panjang, dan Anda harus mengenakan berlapis-lapis pakaian."
Dana menggigil. "Akan sa-saya ingat."
"Dengan chairlift inilah Julie Winthrop naik. Ia membawa ranselnya."
"Ranselnya?" "Ya. Berisi sekop untuk longsoran salju, suar yang bisa mencapai jarak lima puluh meter, dan tongkat penjajak." Ia menghela napas. "Tentu saja semua itu tidak menolong kalau ia menabrak pohon."
Mereka hampir mendekati puncak. Ketika mereka sampai pelataran dan hati-hati turun dari kursi-kursi, seorang pria di puncak menyambut mereka.
"Apa yang membawamu ke atas sini, Bruce" Ada yang hilang?"
"Tidak. Aku cuma mengantar teman melihat-lihat pemandangan. Ini Miss Evans."
Mereka saling menyapa. Dana memandang sekelilingnya. Di sana ada pondok penghangat yang nyaris hilang ditelan awan tebal. Apakah Julie Winthrop masuk ke sana sebelum pergi main ski" Dan apakah ada yang mengikutinya" Seseorang yang merencanakan membunuhnya"
Bruce Bowler menoleh pada Dana. "Ptarmigan ini adalah puncak gunung. Dari sini semua turun ke bawah."
Dana berpaling dan memandang tanah yang tak kenal ampun nun jauh di bawah sana. Ia bergidik.
"Anda kelihatannya kedinginan, Miss Evans. Sebaiknya saya bawa Anda turun."
"Terima kasih."
Dana baru saja kembali ke Inn at the Waterfront ketika terdengar ketukan di pintu. Dana membukanya. Seorang laki-laki berperawakan besar dan berwajah pucat berdiri di sana.
"Miss Evans?" "Ya." "Hai. Nama saya Nicholas Verdun. Saya dari surat kabar Juneau Empire."
"Ya." "Saya dengar Anda sedang melakukan penyelidikan atas kematian Julie Winthrop" Kami ingin memuat cerita tentang hal itu."
Alarm berbunyi dalam benak Dana. "Saya khawatir Anda keliru. Saya tidak melakukan penyelidikan apa-apa."
Laki-laki itu memandangnya dengan skeptis. "Saya dengar?"
"Kami sedang menggarap tayangan tentang bermain ski di seluruh penjuru dunia. Ini cuma salah satu tempat."
Ia terpaku sesaat. "Begitu. Maaf telah mengganggu Anda."
Dana mengawasinya pergi. Bagaimana ia bisa tahu apa yang sedang kulakukan di sini" Dana menelepon Juneau Empire. "Halo. Saya ingin bicara dengan salah satu reporter Anda, Nicholas Verdun..." Ia mendengarkan sebentar. "Tidak ada yang bernama itu" Saya mengerti. Terima kasih."
Dana perlu waktu sepuluh menit untuk berkemas. Aku harus menyingkir dari sini dan mencari tempat lain. Sekonyong-konyong ia teringat sesuatu. Bukankah Anda menanyakan tentang Cozy Log, penginapan milik kami" Anda beruntung. Kami masih punya satu kamar. Dana turun ke lobi untuk check out. Pegawai hotel memberinya petunjuk jalan ke penginapan dan menggambarkan peta kecil.
Di lantai bawah tanah sebuah gedung pemerintah, laki-laki itu melihat peta digital di komputer dan berkata, "Subjek sedang meninggalkan pusat kota, menuju barat."
*** Cozy Log Bed-and-Breakfast Inn adalah rumah balok kayu Alaska satu lantai, setengah jam perjalanan dari pusat kota Juneau. Sempurna. Dana membunyikan bel dan pintu dibuka seorang wanita menarik dan ceria yang berusia tiga puluhan.
"Halo. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ya. Saya bertemu suami Anda, dan ia mengatakan Anda masih punya satu kamar kosong."
"Benar. Saya Judy Bowler."
"Dana Evans." "Silakan masuk."
Dana melangkah ke dalam dan melihat sekitarnya. Penginapan itu terdiri atas ruang duduk yang luas dan nyaman, dilengkapi perapian batu, ruang makan tempat para penginap bersantap, dan dua kamar tidur dengan kamar mandi di dalam.
"Saya yang memasak semuanya di sini," kata Judy Bowler. "Rasanya lumayan kok."
Dana tersenyum hangat. "Saya sudah tidak sabar untuk mencicipinya."
Judy Bowler mengantar Dana ke kamarnya. Kamar itu bersih dan seperti kamar rumah biasa. Dana membongkar bawaannya.
Di penginapan itu menginap pasangan lain, dan percakapannya santai. Tak satu pun mengenali Dana.
Sesudah makan siang, Dana mengemudi kembali ke kota. Ia masuk ke bar Cliff House dan memesan minuman. Semua pegawai di sana tampak kecokelatan terbakar matahari dan sehat. Tentu saja.
"Cuaca bagus," kata Dana pada si bartender muda yang berambut pirang.
"Yeah. Cuaca yang sangat bagus untuk main ski."
"Apakah Anda sering main ski?"
Ia tersenyum. "Setiap saya ada waktu senggang."
"Terlalu berbahaya bagi saya." Dana mengembuskan napas. "Seorang teman saya tewas di sini beberapa bulan yang lalu."
Bartender itu meletakkan gelas yang sedang dilapnya. "Tewas?"
"Ya. Julie Winthrop."
Ekspresinya berubah muram. "Ia biasa datang ke sini. Wanita yang menyenangkan."
Dana mencondongkan badan ke depan. "Saya dengar itu bukan kecelakaan."
Matanya melebar. "Apa maksud Anda?"
"Saya dengar ia dibunuh."
"Dibunuh?" katanya takjub. "Tidak mungkin. Itu kecelakaan."
Dua puluh menit kemudian Dana berbicara pada bartender lain di Prospector Hotel.
"Cuaca bagus." "Cuaca yang cocok untuk main ski," kata si bartender.
Dana menggeleng. "Terlalu berbahaya bagi saya. Seorang teman saya tewas main ski di sini. Anda mungkin pernah bertemu dengannya. Julie Winthrop."
"Oh, tentu. Saya sangat suka dengannya. Maksud saya, ia tidak congkak, berbeda dengan beberapa orang tertentu. Ia rendah hati."
Dana memajukan badan. "Saya dengar kematiannya bukan kecelakaan."
Ekspresi wajah bartender itu berubah. Ia memelankan suara. "Saya memang tahu itu bukan kecelakaan."
Jantung Dana berdenyut cepat. "Benarkah?"
"Sungguh." Ia mencondongkan badan ke depan, seolah akan membicarakan masalah rahasia. "Makhluk-makhluk Mars itu..."
Ia berski ke puncak Ptarmigan Mountain, dan dapat merasakan angin dingin menggigitnya. Ia melihat ke lembah di bawah, mencoba memutuskan apakah hendak kembali sekarang, ketika tiba-tiba ia merasakan dorongan dari belakang. Ia terlontar menuruni lereng, makin lama makin cepat, menuju sebatang pohon raksasa. Tepat sebelum menabrak pohon itu, ia terjaga sambil menjerit.
Dana duduk di ranjang, gemetar. Itukah yang terjadi pada Julie Winthrop" Siapakah yang mendorongnya hingga tewas"
Elliot Cromwell tidak sabar.
"Matt, kapan Jeff Connors kembali" Kita membutuhkannya."
"Segera. Ia terus memberi kabar."
"Dan bagaimana dengan Dana?"
"Ia berada di Alaska, Elliot. Kenapa?"
"Aku ingin melihatnya berada di sini. Peringkat siaran malam kita turun."
Dan Matt Baker memandangnya, bertanya-tanya dalam hati apakah itu alasan keprihatinan Elliot Cromwell yang sebenarnya.
Keesokan paginya, Dana berpakaian dan kembali ke pusat kota.
Di bandara, ketika menunggu penerbangannya, Dana menyadari seorang laki-laki di sudut sesekali memandangnya. Rasanya orang itu pernah dilihatnya. Ia memakai setelan jas abu-abu gelap, dan mengingatkan Dana pada seseorang. Dan Dana ingat siapa orang itu. Laki-laki lain di bandara Aspen. Pria itu juga memakai setelan jas abu-abu tua. Tetapi bukan pakaian itu yang memicu ingatan Dana. Ada sesuatu pada sikap mereka. Mereka berdua memancarkan aura angkuh yang tak menyenangkan. Pria itu mengawasinya dengan pandangan yang nyaris mencemooh. Dana bergidik.
Sesudah Dana naik ke pesawat, laki-laki itu berbicara di telepon genggam dan meninggalkan bandara.
LIMA BELAS KETIKA tiba di rumah, Dana menemukan pohon Natal kecil dan indah yang dibeli dan dihias Mrs. Daley.
"Lihat ornamen ini," kata Mrs. Daley bangga. "Kemal yang membuatnya sendiri."
Penghuni apartemen sebelah menyaksikan adegan itu di televisinya.
Dana mencium pipi perempuan tua itu. "Saya sayang Anda, Mrs. Daley."
Wajah Mrs. Daley merona merah. "Oh, tidak usah meributkan soal kecil begini."
"Mana Kemal?" "Ia di kamarnya. Ada dua pesan untuk Anda, Miss Evans. Anda diminta menelepon Mrs. Hudson. Saya taruh catatan nomornya di meja rias. Dan ibu Anda menelepon."
"Terima kasih."
Ketika Dana masuk ke ruang belajar, Kemal sedang asyik di depan komputer.
Ia mengangkat mata. "Hei, kau sudah kembali."
"Aku kembali," kata Dana.
"Dope. Aku memang berharap kau ada di sini untuk merayakan Natal."
Dana memeluknya. "Pasti. Aku takkan melewatkannya. Bagaimana keadaanmu selama ini?"
"Rad." Bagus. "Kau suka Mrs. Daley?"
Ia mengangguk. "Ia asyik."
Dana tersenyum. "Aku tahu. Aku perlu menelepon beberapa orang. Aku akan segera kembali."
Berita buruk dulu, pikir Dana. Ia menelepon ibunya. Ia belum bicara dengannya sejak kejadian di Westport. Bagaimana ia bisa menikah dengan laki-laki seperti itu" Dana mendengar telepon berdering beberapa kali, lalu terdengar rekaman suara ibunya.
"Kami sedang tidak ada di rumah, tapi kalau kau meninggalkan pesan, kami akan meneleponmu kembali. Tunggu sampai terdengar nada..."
Dana menunggu. "Selamat Natal, Ibu." Ia lalu menutup telepon.
Telepon berikutnya untuk Pamela.
"Dana, saya senang Anda sudah kembali!" Pamela Hudson berkata. "Kami dengar di siaran berita Jeff sedang pergi, tapi saya dan Roger telah mengundang beberapa orang untuk jamuan makan malam Natal besok. Kami ingin Anda serta Kemal datang. Jangan katakan Anda sudah punya rencana lain."
"Tidak," kata Dana. "Saya tidak punya rencana apa-apa. Dan kami ingin sekali datang. Terima kasih, Pamela."
"Bagus. Kami menunggu Anda pukul lima. Pakaiannya santai." Ia diam sejenak. "Bagaimana situasinya?"
"Saya tidak tahu," kata Dana terus terang. "Saya tidak tahu apakah ada situasi apa pun."
"Yah, lupakan segalanya sementara ini. Beristirahatlah. Sampai jumpa besok."
Ketika Dana dan Kemal tiba di rumah keluarga Hudson pada Hari Natal, mereka disambut Cesar di pintu. Wajahnya berseri-seri ketika ia melihat Dana.
"Miss Evans! Sungguh senang melihat Anda lagi." Ia tersenyum pada Kemal. "Dan Master Kemal."
"Hai, Cesar," sapa Kemal.
Dana menyerahkan bingkisan berbungkus warna-warni pada Cesar. "Selamat Natal, Cesar."
"Saya tidak tahu apa?" Ia terbata-bata. "Saya tidak"Anda terlalu baik, Miss Evans!"
Si raksasa lembut hati itu, demikian julukan Dana padanya, merona merah. Dana mengangsurkan dua bingkisan lain. "Yang ini untuk Mr. dan Mrs. Hudson."
"Ya, Miss Evans. Saya akan meletakkannya di bawah pohon Natal. Mr. dan Mrs. Hudson ada di ruang duduk." Cesar berjalan duluan.
Pamela berkata, "Kalian sudah datang! Kami sangat gembira kalian bisa datang."
"Kami juga," kata Dana.
Pamela melihat lengan kanan Kemal. "Dana, Kemal punya"bagus sekali!"
Dana tersenyum lebar. "Bagus, ya" Berkat atasan saya. Ia begitu murah hati. Saya rasa ini telah mengubah seluruh hidup Kemal."
"Saya senang mendengarnya."
Roger mengangguk. "Selamat, Kemal."
"Terima kasih, Mr. Hudson."
Roger Hudson berkata pada Dana. "Sebelum tamu-tamu lain tiba, ada yang harus saya sampaikan. Ingat saya pernah mengatakan bahwa Taylor Winthrop memberitahu teman-temannya ia akan mengundurkan diri dari kehidupan publik tapi kemudian malah jadi duta besar untuk Rusia?"
"Ya. Saya menduga Presiden mendesaknya untuk?"
"Begitulah perkiraan semula saya. Tetapi sepertinya Winthrop-lah yang mendesak Presiden agar mengangkatnya sebagai duta besar. Pertanyaannya adalah, mengapa?"
Tamu-tamu lain mulai berdatangan. Hanya ada dua belas orang lain dalam jamuan tersebut, dan suasana malam itu terasa hangat serta ceria.
Sesudah hidangan penutup, semua pergi ke ruang duduk. Di depan perapian tampak pohon Natal besar. Semua orang mendapat hadiah, tetapi Kemal memperoleh yang paling hebat: game komputer, Rollerblades, sweter, sarung tangan, dan kaset video.
Waktu berlalu cepat. Kegembiraan bersama orang-orang yang demikian ramah, sesudah tekanan beberapa hari terakhir ini, begitu besar. Seandainya saja Jeff ada di sini.
Dana Evans duduk di meja pembaca berita, menunggu siaran berita pukul 23.00 dimulai. Di sampingnya duduk rekannya, Richard Melton. Maury Falstein duduk di kursi yang biasanya ditempati Jeff. Dana mencoba untuk tidak memikirkan hal itu.
Richard Melton berkata pada Dana, "Aku merasa kehilangan saat kau bepergian."
Dana tersenyum. "Terima kasih, Richard. Aku pun kehilangan kau."
"Kau pergi cukup lama. Semua baik-baik?"
"Semua baik-baik."
"Ayo kita makan bersama sesudah ini."
"Aku harus memastikan dulu Kemal baik-baik saja."
"Kita bisa bertemu di suatu tempat."
Kita harus bertemu di tempat lain. Saya rasa saya diawasi. Di kandang burung besar di kebun binatang. Melton meneruskan. "Mereka mengatakan kau sedang menyelidiki berita besar. Mau membicarakannya?"
"Belum ada yang bisa dibicarakan, Richard."
"Aku mendengar selentingan Cromwell tidak terlalu senang kau begitu banyak bepergian. Aku harap kau tidak menemui masalah dengannya."
Saya nasihati Anda. Jangan mencari-cari masalah, atau Anda akan menemukannya. Itu janji saya. Dana merasa sulit memusatkan pikiran pada apa yang diucapkan Richard Melton.
"Ia senang memecat orang," kata Melton.
Bill Kelly menghilang sehari sesudah kebakaran itu. Ia bahkan tidak mengambil bayarannya, pergi begitu saja.
Richard Melton terus berbicara. "Dengan Tuhan sebagai saksinya, aku bersumpah tidak ingin bekerja dengan penyiar baru."
Saksi kecelakaan itu turis Amerika, Ralph Benjamin. Seorang tuna netra.
"Lima"empat"tiga"dua..." Anastasia Mann menudingkan satu jari ke arah Dana. Lampu merah kamera menyala.
Suara announcer menggelegar, "Kini siaran berita pukul sebelas di WTN bersama Dana Evans dan Richard Melton."
Dana tersenyum ke arah kamera "Selamat malam. Saya Dana Evans."
"Dan saya Richard Melton."
Mereka kembali mengudara.
"Hari ini di Arlington, tiga siswa Wilson High School ditahan sesudah polisi menggeledah locker mereka dan menemukan tujuh ons mariyuana dan berbagai senjata, termasuk sepucuk pistol curian. Laporan selengkapnya oleh Holly Rapp."
Kembali pada rekaman. Kami tidak banyak menghadapi kasus pencurian benda seni, tetapi modus operandi-nya hampir selalu sama. Yang ini beda.
Siaran selesai. Richard Melton memandang Dana.
"Kita ketemu nanti?"
"Jangan malam ini, Richard. Ada yang harus kulakukan."
Richard berdiri. "Oke." Dana merasa pria itu ingin menanyainya soal Jeff. Namun Richard berkata, "Sampai jumpa besok."
Dana berdiri. "Selamat malam, semuanya."
Dana berjalan keluar dari studio dan masuk ke kantornya. Ia duduk, menghidupkan komputer, log on ke Internet, dan mulai mencari lagi di antara artikel-artikel tentang Taylor Winthrop yang tak terhitung jumlahnya. Di salah satu Web site, Dana kebetulan menemukan informasi tentang Marcel Falcon, pejabat pemerintah Prancis yang pernah menjadi duta besar untuk NATO. Artikel itu menyebutkan Marcel Falcon menegosiasikan perjanjian dagang dengan Taylor Winthrop. Di tengah negosiasi itu, Falcon mendadak mengundurkan diri dari kedudukannya dalam pemerintah dan pensiun. Di tengah negosiasi antar pemerintah" Ada apa"
Dana mencoba Web site lain, tetapi tidak ada informasi lebih jauh tentang Marcel Falcon. Aneh sekali. Aku harus memeriksanya. Dana memutuskan.
*** Ketika Dana selesai, waktu menunjukkan pukul 02.00. Terlalu pagi untuk menelepon Eropa. Ia pulang ke apartemen. Mrs. Daley sudah menunggunya.
"Maaf saya pulang selarut ini," kata Dana. "Saya?"
"Tidak ada masalah. Saya melihat siaran Anda malam ini. Saya rasa tetap sehebat biasanya, Miss Evans."
"Terima kasih."
Mrs. Daley menghela napas. "Saya cuma berharap semua berita tersebut tidak begitu mengerikan. Dunia macam apa yang kita tinggali ini?"
"Pertanyaan bagus. Bagaimana Kemal?"
"Jagoan cilik itu baik-baik saja. Saya biarkan ia mengalahkan saya waktu main kartu."
Dana tersenyum. "Bagus. Terima kasih, Mrs. Daley. Kalau besok Anda ingin datang lebih siang?"
"Tidak, tidak. Saya akan ke sini pagi-pagi seperti biasa untuk menyiapkan kalian berangkat sekolah dan bekerja."
Dana mengamati Mrs. Daley pergi. Betul-betul langka, pikirnya bersyukur. Telepon genggamnya berdering. Ia berlari untuk mengambilnya. "Jeff?"
"Selamat Natal, Sayang." Suara Jeff bagai mengaliri sekujur tubuhnya. "Apakah aku menelepon terlalu larut malam?"
"Tidak pernah terlalu larut. Ceritakan padaku tentang Rachel."
"Ia sudah pulang ke rumah."
Yang dimaksud Jeff, ia sudah pulang ke rumahnya sendiri.
"Di sini ada perawat, tapi Rachel mau ia tinggal sampai besok saja."
Dana tidak suka menanyakan ini. "Dan setelah itu?"
"Hasil tes menunjukkan kanker itu sudah menyebar. Rachel tidak ingin aku pergi sekarang."
"Aku mengerti. Aku tidak bermaksud egois, tapi apa tidak ada orang yang?"
"Ia tidak punya siapa pun, Sayang. Ia sendirian dan panik. Ia tidak mau ada orang lain di sini. Terus terang, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Rachel kalau aku meninggalkannya."
Dan aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tinggal di sana.
"Mereka ingin segera memulai kemoterapi."
"Berapa lama?" "Ia butuh satu kali perawatan setiap tiga minggu selama empat bulan."
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat bulan. "Matt sudah memintaku untuk mengambil cuti. Aku sangat prihatin mengenai semua ini, Sayang."
Apa sebenar maksudnya" Prihatin soal pekerjaan" Prihatin soal Rachel" Atau prihatin hidup kami terpisah seperti ini" Bagaimana aku bisa egois seperti ini" Dana bertanya pada diri sendiri. Wanita itu sedang sakit berat.
"Aku juga," akhirnya Dana berkata. "Aku harap semuanya berakhir baik." Baik untuk siapa" Untuk Rachel dan Jeff" Untuk Jeff dan aku"
Setelah meletakkan telepon, Jeff mendongak dan melihat Rachel berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan gaun tidur dan mantel. Rachel tampak menawan, dengan kulit yang tampak hampir transparan.
"Dari Dana?" "Ya," jawab Jeff.
Rachel mendekatinya. "Jeff yang malang. Aku tahu betapa tersiksanya kalian berdua gara-gara semua ini. Ta"tapi aku tidak sanggup menjalani ini tanpa dirimu. Aku membutuhkanmu, Jeff. Aku membutuhkanmu sekarang."
Dana tiba di kantor pagi-pagi dan log on ke Internet lagi. Dua informasi menarik perhatiannya. Jika terpisah, dua informasi itu wajar-wajar saja, tetapi jika disatukan, mereka menyiratkan misteri.
Informasi pertama berbunyi: "Vincent Mancino, menteri perdagangan Italia, mendadak mengundurkan diri sewaktu negosiasi kontrak dagang dengan Taylor Winthrop, wakil dari Amerika Serikat, tengah berlangsung. Asisten Mancino, Ivo Vale, menggantikannya."
Informasi kedua berbunyi: "Taylor Winthrop, penasihat khusus NATO di Brussel, minta agar dirinya diganti dan kembali ke rumahnya di Washington."
Marcel Falcon mengundurkan diri, Vincent Mancino mengundurkan diri, Taylor Winthrop berhenti mendadak. Apakah semua itu berkaitan" Kebetulan"
Menarik. Telepon Dana yang pertama adalah kepada Dominick Romano, yang bekerja pada jaringan Italia 1 di Roma.
"Dana! Senang sekali mendengar suaramu. Ada apa?"
"Aku akan datang ke Roma, dan aku ingin bicara."
"Bene! Soal apa?"
Dana ragu. "Aku lebih suka membicarakannya setelah aku sampai di sana."
"Kapan kau datang?"
"Aku akan tiba di sana hari Sabtu."
"Akan kubuatkan pasta yang lezat."
Telepon Dana yang berikutnya adalah kepada Jean Somville, yang bekerja di kantor urusan pers NATO di rue des Chapeliers, Brussels.
"Jean" Dana Evans."
"Dana! Kita tidak pernah bertemu lagi sejak Sarajevo. Hebat sekali waktu itu. Kau akan kembali ke sana?"
Dana meringis. "Tidak, kalau bisa."
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, ch?rie?"
"Beberapa hari lagi aku akan ke Brussels. Apakah kau akan ada di tempat?"
"Untukmu" Tentu. Ada yang istimewa?"
"Tidak," kata Dana cepat-cepat.
"Baiklah. Kau cuma melancong, heh?" Terdengar nada skeptis, kurang percaya, dalam suaranya.
"Kurang-lebih seperti itulah," kata Dana.
Ia tertawa. "Aku menunggumu. Au revoir."
"Au revoir." "Matt Baker ingin bertemu denganmu."
"Katakan padanya aku akan segera ke sana, Olivia."
Dua telepon lagi dan Dana sudah dalam perjalanan ke kantor Matt.
Matt berkata tanpa basa-basi, "Kita mungkin beruntung. Ada sesuatu. Tadi malam aku mendengar cerita yang mungkin bisa jadi petunjuk tentang apa yang kita cari."
Dana merasa jantungnya berdebar lebih cepat. "Ya?"
"Ada laki-laki bernama" "ia memeriksa secarik kertas di atas mejanya" "Dieter Zander, di D?sseldorf. Ia pernah berhubungan bisnis dengan Taylor Winthrop."
Dana mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku tidak mendapatkan seluruh ceritanya, tapi tampaknya pernah terjadi sesuatu yang sangat buruk di antara mereka. Mereka putus hubungan setelah berseteru hebat, dan Zander bersumpah akan membunuh Winthrop. Rasanya ini pantas dicek."
"Tentu. Aku akan segera mengeceknya, Matt."
Mereka bercakap-cakap beberapa menit lagi, lalu Dana berlalu.
Aku ingin tahu bagaimana aku bisa mencari lebih banyak informasi tentang masalah ini. Ia mendadak teringat pada Jack Stone dan FRA. Ia mungkin tahu sesuatu. Ia menemukan nomor telepon pribadi yang diberikan Jack Stone padanya dan menghubunginya.
Suara pria itu terdengar di telepon. "Jack Stone."
"Di sini Dana Evans."
"Halo, Miss Evans. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya mencoba mencari informasi tentang orang bernama Zander di D?sseldorf."
"Dieter Zander?"
"Ya. Anda tahu dia?"
"Kami tahu siapa dia."
Dana menyadari pemakaian kata kami itu. "Bisa Anda menceritakan sesuatu tentang dia?"
"Apakah ini ada kaitannya dengan Taylor Winthrop?"
"Ya." "Taylor Winthrop dan Dieter Zander bermitra dalam suatu transaksi bisnis. Zander dipenjara karena memanipulasi saham, dan sewaktu berada di dalam penjara, rumahnya terbakar habis, menewaskan istri dan tiga anaknya. Ia menyalahkan Taylor Winthrop atas musibah itu."
Dan Taylor Winthrop dan istrinya tewas dalam kebakaran. Dana mendengarkan dengan perasaan terguncang, "Apakah Zander masih berada dalam penjara?"
"Tidak. Saya yakin ia sudah keluar tahun lalu. Ada yang lain?"
"Tidak. Terima kasih banyak,"
"Ini hanya di antara kita."
"Saya mengerti."
Sambungan terputus. Sekarang ada tiga kemungkinan, pikir Dana. Dieter Zander di D?sseldorf.
Vincent Mancino di Roma. Marcel Falcon di Brussels.
Aku akan pergi ke D?sseldorf dulu.
Olivia berkata, "Mrs. Hudson di saluran tiga."
"Terima kasih." Dana mengangkat telepon. "Pamela?"
"Halo, Dana. Saya tahu pemberitahuan ini mendadak. Teman baik kami datang, karena itu saya dan Roger akan mengadakan pesta kecil untuknya hari Rabu ini. Saya tahu Jeff masih di luar kota, tapi kami ingin Anda datang. Apakah ada waktu luang?"
"Saya rasa tidak bisa. Saya berangkat ke D?sseldorf malam ini."
"Oh. Sayang." "Dan, Pamela?" "Ya?" "Jeff mungkin pergi agak lama."
Mereka terdiam. "Saya harap semuanya baik-baik."
"Ya. Saya yakin begitu." Harus begitu.
ENAM BELAS Malam itu di bandara Dulles, Dana naik jet Lufthansa menuju D?sseldorf. Sebelumnya ia sudah menelepon Steffan Mueller, yang bekerja di Kabel Network untuk memberitahu bahwa ia dalam perjalanan ke sana. Pikiran Dana dipenuhi perkataan Matt Baker padanya. Kalau Dieter Zander menyalahkan Taylor Winthrop atas"
"Guten Abend. Ich heisse Hermann Friedrich. Ist es das ersten mal das sie Deutschland besuchen?"
Dana menoleh untuk melihat laki-laki yang duduk di sebelahnya. Pria itu berusia lima puluhan, langsing, memakai sebelah penutup mata, dan berkumis tebal.
"Selamat malam," kata Dana.
"Ah, Anda orang Amerika?"
"Ya." "Banyak orang Amerika berkunjung ke D?sseldorf. Kota yang indah."
"Begitulah yang saya dengar" Dan keluarganya meninggal dalam kebakaran.
"Ini kunjungan pertama Anda?"
"Ya." Mungkinkah itu cuma kebetulan"
"Kota itu sangat indah. Anda tahu, D?sseldorf dibelah Sungai Rhine menjadi dua bagian. Bagian lama terletak di sisi kanan?"
Steffan Mueller bisa menceritakan lebih banyak tentang Dieter Zander.
?"dan bagian yang modern berada di sisi kiri. Lima jembatan menghubungkan kedua sisi itu." Hermann Friedrich bergeser mendekati Dana sedikit. "Anda mengunjungi teman di D?sseldorf?"
Semua mulai kelihatan hubungannya.
Friedrich mencondongkan badan. "Kalau Anda sendirian, saya tahu?"
"Apa" Oh. Tidak, saya akan menemui suami saya di sana."
Senyum Hermann Friedrich menghilang. "Gut. Er ist ein gl?cklicher Mann."
Taksi berderet di luar D?sseldorf International Airport. Dana naik salah satu di antaranya menuju Breidenbacher Hof di pusat kota. Tempat itu adalah hotel tua yang anggun dengan lobi penuh hiasan.
Resepsionis di belakang meja berkata, "Kami sudah menunggu Anda, Miss Evans. Selamat datang di D?sseldorf."
"Terima kasih." Dana menandatangani formulir.
Petugas itu mengangkat telepon dan berbicara. "Der Raum sollte betriebsbereit sein. Hast." Ia meletakkan gagang telepon dan menoleh pada Dana. "Maaf, Fr?ulein, kamar Anda belum siap. Silakan menikmati makanan sebagai tamu kami, dan saya akan memanggil Anda segera setelah petugas selesai membersihkannya."
Dana mengangguk. "Baiklah."
"Mari saya antar Anda ke ruang makan."
Di kamar Dana di lantai atas, dua ahli elektronika sedang memasang kamera di dalam jam dinding.
Tiga puluh menit kemudian, Dana sudah berada di kamarnya, membongkar bawaan. Telepon pertama ia tujukan ke Kabel Network.
"Aku sudah tiba, Steffan," kata Dana.
"Dana! Kau benar-benar datang. Apa acaramu untuk makan malam nanti?"
"Aku berharap bisa makan malam bersamamu."
"Tentu. Kita pergi ke Im Schiffchen. Pukul delapan?"
"Bagus." Dana berpakaian dan sudah keluar pintu ketika telepon genggamnya berbunyi. Ia cepat-cepat mengeluarkannya dari tas.
"Halo?" "Halo, Sayang. Apa kabar?"
"Aku baik-baik, Jeff."
"Dan ada di mana kau sekarang?"
"Aku di Jerman. D?sseldorf. Kurasa aku akhirnya menemukan sesuatu."
"Dana, hati-hati. Ya Tuhan, aku ingin sekali bersamamu."
Aku juga, pikir Dana. "Bagaimana kabar Rachel?"
"Kemoterapi menghabiskan tenaganya. Lumayan berat."
"Apakah ia akan?"" Ia tak dapat menyelesaikan kalimat itu.
"Terlalu dini untuk memastikannya. Kalau kemoterapi ini efektif, peluangnya untuk sembuh besar."
"Jeff, katakan padanya aku ikut prihatin."
"Tentu. Apakah ada yang bisa kulakukan untukmu?"
"Terima kasih, aku tidak apa-apa."
"Aku akan meneleponmu besok. Aku cuma ingin mengatakan aku mencintaimu, Manis."
"Aku cinta padamu, Jeff. Selamat tinggal."
"Selamat tinggal."
Rachel keluar dari kamar tidur. Ia memakai mantel dan sandal, dan handuk Turki membungkus kepalanya.
"Bagaimana kabar Dana?"
"Ia baik-baik saja, Rachel. Ia minta aku mengatakan padamu ia ikut prihatin."
"Ia sangat mencintaimu."
"Aku pun sangat mencintainya."
Rachel bergeser lebih dekat padanya. "Kau dan aku pernah saling mencintai, bukan, Jeff" Apa yang terjadi?"
Jeff mengangkat bahu. "Kehidupan. Atau aku seharusnya mengatakan "dua kehidupan". Kita menjalani kehidupan yang tak pernah menyatu."
"Aku terlalu sibuk dengan karier modelingku." Ia mencoba untuk menahan air mata. "Well, aku tidak akan dapat melakukannya lagi, bukan?"
Jeff merangkul pundaknya. "Rachel, kau akan sembuh. Kemoterapi ini akan berhasil."
"Aku tahu. Sayang, terima kasih kau telah menemani aku di sini. Aku tidak mungkin menghadapi semua ini seorang diri. Entah apa yang akan kulakukan tanpa dirimu."
Jeff tidak bisa menjawabnya.
Im Schiffchen adalah restoran anggun di bagian indah D?sseldorf. Steffan Mueller melangkah masuk dan tersenyum lebar ketika melihat Dana.
"Dana! Mein Gott. Aku tidak pernah bertemu denganmu sejak Sarajevo."
"Rasanya sudah berabad-abad, bukan?"
"Apa yang kaukerjakan di sini" Apakah kau datang untuk menyaksikan festival?"
"Tidak. Seseorang memintaku mencari informasi tentang temannya, Steffan." Pelayan datang dan mereka memesan minuman.
"Siapa si teman itu?"
"Namanya Dieter Zander. Kau pernah mendengar tentang dia?"
Steffan Mueller mengangguk. "Semua orang pernah mendengar tentang pria itu. Ia orang terkenal. Ia terlibat skandal besar. Zander milyarder, tetapi ia begitu tolol karena menipu beberapa pemegang saham, dan tertangkap. Hukumannya seharusnya dua puluh tahun, tetapi ia menggunakan kekuasaannya dan mereka melepaskannya dalam tiga tahun. Ia menyatakan dirinya tak bersalah."
Dana mengawasinya. "Benarkah ia tidak bersalah?"
"Siapa yang tahu" Di pengadilan ia mengatakan Taylor Winthrop menjebaknya dan mencuri jutaan dolar. Pengadilan itu sangat menarik. Menurut Dieter Zander, Taylor Winthrop menawarinya kemitraan untuk mengelola tambang zink, yang seharusnya bernilai milyaran dolar. Winthrop memakai Zander sebagai tameng, dan Zander menjual saham bernilai jutaan dolar. Tetapi ternyata tambang itu direkayasa."
"Rekayasa?" "Tidak ada zink di situ. Winthrop menyimpan uang itu dan Zander yang menanggung akibatnya."
"Juri tidak percaya cerita Zander?"
"Seandainya ia menuduh siapa saja selain Taylor Winthrop, mungkin mereka akan percaya. Tapi Winthrop seperti manusia setengah dewa." Steffan memandangnya dengan wajah ingin tahu. "Apa kepentinganmu dalam hal ini?"
Dana berkata samar, "Seperti kataku tadi, temanku meminta aku menyelidiki Zander."
Tiba saatnya untuk memesan santap malam.
Makanannya lezat. Selesai bersantap, Dana berkata, "Aku pasti bakal benci pada diri sendiri besok pagi. Tapi tidak apa-apalah, makanan ini enak sekali."
Saat mengantarkan Dana sampai hotel, Steffan berkata, "Apakah kau tahu boneka teddy bear diciptakan di sini oleh wanita bernama Margarete Steiff" Boneka kecil itu populer di seluruh penjuru dunia."
Dana mendengarkan, sambil dalam hati bertanya-tanya ke mana arah cerita ini.
"Di Jerman kami memang punya beruang betulan, dan binatang itu berbahaya. Bila kau bertemu Dieter Zander, berhati-hatilah. Ia kelihatan seperti teddy bear, tetapi sesungguhnya bukan. Ia beruang betulan."
Zander Electronics International menempati gedung raksasa di daerah industri di pinggiran D?sseldorf. Dana mendekati salah satu resepsionis di lobi yang ramai itu.
"Saya ingin bertemu Mr. Zander."
"Apakah Anda ada janji?"
"Ya. Saya Dana Evans."
"Gerade ein Moment, bitte." Resepsionis itu bicara di telepon, lalu mengangkat pandangan pada Dana. "Fr?ulein, kapan Anda membuat janji ini?"
"Beberapa hari yang lalu," Dana berbohong.
"Es tut mir leid. Sekretarisnya tidak punya catatan mengenai hal itu." Ia bicara di telepon lagi, lalu meletakkan gagang telepon. "Tidak mungkin menemui Mr. Zander tanpa janji."
Resepsionis itu berpaling pada kurir di sampingnya. Sekelompok pegawai memasuki pintu. Dana menjauhi meja dan bergabung dengan mereka, bergerak ke tengah. Mereka masuk lift.
Ketika lift itu naik, Dana berkata, "Aduh. Saya lupa ada di lantai berapa Mr. Zander sekarang."
Salah seorang wanita berkata, "Vier."
"Danke," kata Dana. Ia turun di lantai empat dan berjalan ke meja yang dijaga seorang wanita muda. "Saya ke sini untuk menemui Dieter Zander. Saya Dana Evans."
Wanita itu mengernyit. "Tapi Anda tidak punya janji, Fr?ulein."
Dana membungkuk ke depan dan berkata lirih, "Anda katakan pada Mr. Zander bahwa saya akan membuat siaran nasional di Amerika Serikat tentang ia dan keluarganya kalau ia tidak mau bicara dengan saya, dan untuk kepentingannyalah ia harus bicara dengan saya sekarang."
Sekretaris itu mengamatinya, bingung. "Tunggu sebentar. Bitte." Dana mengawasinya berdiri, membuka pintu bertuliskan PRIVAT, dan melangkah ke dalam.
Dana memandang sekeliling ruang penerimaan tamu itu. Ada foto-foto dari berbagai pabrik Zander Electronics di seluruh penjuru dunia. Perusahaan itu punya cabang di Amerika, Prancis, Italia... negara-negara tempat pembunuhan terhadap keluarga Winthrop terjadi.
Si sekretaris keluar satu menit kemudian. "Mr. Zander akan menemui Anda," katanya dengan nada tidak senang. "Tapi beliau hanya punya beberapa menit. Ini sangat"sangat di luar kebiasaan."
"Terima kasih," kata Dana.
Dana dibawa masuk ke sebuah kantor luas berpanel, "Ini Fr?ulein Evans."
Dieter Zander duduk di balik meja besar. Ia berusia enam puluhan, laki-laki berperawakan besar dengan wajah tulus dan mata cokelat yang lembut. Dana teringat cerita Steffan tentang boneka teddy bear.
Ia memandang Dana dan berkata, "Saya kenal Anda. Anda koresponden di Sarajevo."
"Ya." "Saya tidak mengerti apa yang Anda inginkan dari saya. Anda menyinggung-nyinggung keluarga saya pada sekretaris saya."
"Boleh saya duduk?"
"Bitte." "Saya ingin bicara dengan Anda tentang Taylor Winthrop."
Ekspresi Zander menyuram. "Kenapa dia?"
"Saya sedang melakukan investigasi, Mr. Zander. Saya yakin Taylor Winthrop dan keluarganya dibunuh."
Sorot mata Dieter Zander berubah dingin. "Saya kira sebaiknya Anda pergi sekarang, Fr?ulein."
"Anda pernah berbisnis dengannya," kata Dana. "Dan?"
"Pergi!" "Herr Zander, saya sarankan lebih baik Anda membicarakannya secara pribadi dengan saya daripada Anda dan teman-teman Anda menyaksikannya di televisi. Saya ingin bersikap fair. Saya ingin mendengar cerita dari pihak Anda."
Dieter Zander lama terdiam. Ketika ia bicara, ada kepahitan luar biasa dalam suaranya. "Taylor Winthrop itu scheisse. Oh, ia pintar, sangat pintar. Ia menjebak saya. Dan sewaktu saya di dalam penjara, Fr?ulein, anak-istri saya tewas. Seandainya saya ada di rumah... saya mungkin bisa menyelamatkan mereka." Suaranya penuh kepedihan. "Memang benar saya benci orang itu. Tapi membunuh Taylor Winthrop" Tidak." Ia menyunggingkan senyum teddy bear-nya lagi. "Auf wiedersehen, Miss Evans."
Dana menelepon Matt Baker. "Matt, aku di D?sseldorf. Kau benar. Aku mungkin menemukan sesuatu. Dieter Zander terlibat dalam bisnis dengan Taylor Winthrop. Ia mengatakan Winthrop menjebak dan menjebloskannya ke penjara. Anak-istri Zander tewas dalam kebakaran ketika ia masih berada di balik jeruji."
Mereka diam, terguncang. "Mereka tewas dalam kebakaran?"
"Benar," kata Dana.
"Sama seperti Taylor dan Madeline."
"Ya. Kau seharusnya melihat sorot mata Zander ketika aku bicara soal pembunuhan."
"Semuanya cocok, bukan" Zander punya motif untuk menyapu habis seluruh keluarga Winthrop. Selama ini kau benar mengenai pembunuhan itu. Aku"aku sulit sekali mempercayainya."
"Ini kedengarannya kisah bagus, Matt, tapi masih belum ada bukti apa pun. Masih ada dua tempat lagi yang harus kukunjungi. Aku berangkat ke Roma besok pagi," Dana memberitahu. "Aku akan pulang satu atau dua hari lagi."
"Jaga dirimu." "Beres." Di markas besar FRA, tiga laki-laki sedang mengamati layar televisi besar di dinding. Di sana tampak Dana tengah berbicara di telepon di kamar hotelnya.
Pria-pria itu melihat Dana meletakkan gagang telepon, berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Gambar pada layar beralih pada kamera di dalam lemari obat kamar mandi. Dana mulai melepas pakaian. Ia menanggalkan blus dan bra.
"Man, lihat payudara itu!"
"Spektakuler." "Tunggu. Ia mencopot rok dan celana dalamnya."
"Aduh, lihat pantat itu! Aku ingin mencubitnya."
Mereka menyaksikan Dana masuk bilik pancuran dan menutup pintunya. Pintu mulai berembun karena uap.
Salah seorang laki-laki itu mendesah. "Sementara sampai di sini dulu. Film pukul sebelas."
Kemoterapi itu seperti neraka bagi Rachel. Obat-obatan Adriamycin dan Taxotere diberikan lewat infus, dan proses itu memakan waktu empat jam.
Dr. Young berkata pada Jeff, "Ini saat yang sangat sulit baginya. Ia akan merasa mual dan letih, dan rambutnya akan rontok. Bagi seorang wanita, itu bisa merupakan efek samping yang paling mengerikan."
"Benar." Esok siangnya, Jeff berkata pada Rachel, "Ganti pakaianlah. Kita akan jalan-jalan."
"Jeff, aku rasanya tidak sanggup?"
"Jangan membantah."
Dan tiga puluh menit kemudian mereka sudah berada di toko wig dan Rachel mencoba beberapa. Sambil tersenyum, ia berkata pada Jeff, "Wig-wig ini bagus. Mana yang lebih kausukai, yang panjang atau yang pendek?"
"Aku suka dua-duanya," kata Jeff. "Dan kalau kau bosan dengan yang ini, kita kembali lagi dan mengubahmu jadi si rambut cokelat atau merah." Suaranya melembut. "Aku sendiri lebih suka kau apa adanya."
Mata Rachel berkaca-kaca. "Aku suka kau apa adanya."
TUJUH BELAS SETIAP kota punya irama masing-masing, dan Roma sama sekali lain dibanding kota mana pun di dunia. Roma adalah metropolis modern yang terbungkus kepompong sejarah kejayaan selama berabad-abad. Roma bergerak dengan iramanya sendiri yang terukur, karena tak ada alasan baginya untuk bergegas. Hari esok akan datang sendiri pada saatnya.
Dana belum pernah lagi ke Roma sejak berumur dua belas tahun, waktu ayah dan ibunya membawanya ke sana. Pendaratan di bandara Leonardo da Vinci memicu berbagai kenangan. Ia ingat hari pertamanya di Roma, ketika ia menjelajahi Colosseum, tempat orang-orang Kristen kuno dilemparkan pada singa. Ia tidak tidur seminggu sesudah itu.
Ia dan orangtuanya berkunjung ke Vatikan dan Spanish Steps, dan ia melemparkan koin uang lira ke Trevi Fountain, sambil memohon agar orang-tuanya berhenti cekcok. Ketika ayahnya menghilang, Dana merasa pancuran itu telah mengkhianatinya.
Ia menyaksikan opera Otello di Terme di Caracalla, rumah mandi gaya Romawi, dan itu adalah malam yang tak akan pernah dilupakannya.
Ia makan es krim di Doney"s yang tersohor di Via Veneto dan menjelajahi jalan-jalan padat Trastevere. Dana mengagumi Roma dan penduduknya. Siapa bisa membayangkan ia kembali lagi ke sini bertahun-tahun kemudian, mencari pembunuh berantai"
Dana check in di Hotel Ciceroni, dekat Piazza Navona.
"Buon giorno." Manager hotel menyambutnya. "Kami senang Anda tinggal bersama kami, Miss Evans. Anda akan menginap di sini selama dua hari?"
Dana ragu. "Saya belum pasti."
Ia tersenyum. "Tidak masalah. Kami sudah menyediakan suite yang indah untuk Anda. Kalau ada yang bisa kami kerjakan untuk Anda, beritahukan saja."
Italia negara yang sangat ramah. Dan Dana teringat pada bekas tetangganya dulu, Dorothy dan Howard Wharton. Aku tidak tahu bagaimana mereka tahu tentang aku, tapi mereka mengirim orang jauh-jauh ke sini hanya untuk merundingkan pekerjaan denganku.
*** Terdorong impuls, Dana memutuskan untuk menelepon suami-istri Wharton. Ia minta operator menyambungkannya ke Italiano Ripristino Corporation.
"Saya ingin bicara dengan Howard Wharton."
"Bisakah Anda mengejanya?"
Dana mengeja nama itu. "Terima kasih. Tunggu sebentar."
Sebentar ternyata jadi lima menit. Wanita itu kembali berbicara di telepon.
"Maaf. Kami tidak punya orang bernama Howard Wharton di sini."
Satu-satunya masalah, kami harus ada di Roma besok pagi.
Dana menelepon Dominick Romano, pembaca berita di televisi Italia 1.
"Ini Dana. Aku ada di sini, Dominick."
"Dana! Aku senang kau ada di sini. Di mana kita bisa bertemu?"
"Sebut saja tempatnya."
"Di mana kau menginap?"
"Di Hotel Ciceroni."
"Naik taksi dan minta sopirnya membawamu ke Toula. Aku akan menemuimu di sana tiga puluh menit lagi."
Toula di Via Della Lupa, adalah salah satu restoran paling ternama di Roma. Ketika Dana datang, Romano sudah menunggu.
"Buon giorno. Senang bertemu denganmu tanpa mendengar suara bom."
"Aku juga, Dominick."
"Perang yang sia-sia." Ia menggeleng. "Mungkin lebih sia-sia daripada perang-perang lainnya. Bene! Apa yang kaukerjakan di Roma?"
"Aku datang untuk menemui seseorang di sini."
"Dan nama laki-laki yang beruntung ini?"
"Vincent Mancino."
Ekspresi wajah Romano berubah. "Mengapa kau ingin menemuinya?"
"Ini mungkin bukan apa-apa, tapi aku sedang melakukan penyelidikan. Ceritakan padaku tentang Mancino."
Dominick Romano berpikir baik-baik sebelum berbicara. "Mancino tadinya menteri perdagangan. Ia punya latar belakang Mafia. Koneksinya kuat. Yah, ia mendadak mundur dari posisi yang sangat penting itu dan tak seorang pun tahu apa sebabnya." Romana memandang Dana dengan tatapan ingin tahu. "Mengapa kau tertarik padanya?"
Dana menghindari pertanyaan itu. "Aku tahu Mancino sedang menegosiasikan transaksi dagang pemerintah dengan Taylor Winthrop ketika ia mundur."
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Winthrop menyelesaikan negosiasi itu dengan orang lain."
"Berapa lama Taylor Winthrop tinggal di Roma?"
Romano berpikir sesaat. "Sekitar dua bulan. Mancino dan Winthrop jadi sahabat minum." Kemudian ia menambahkan, "Lalu ada yang tidak beres."
"Apa?" "Siapa yang tahu" Berbagai kabar beredar. Mancino punya putri tunggal, Pia, dan anak itu menghilang. Istri Mancino sampai gila karenanya."
"Apa maksudmu putrinya menghilang" Apakah ia diculik?"
"Tidak. Ia cuma" "sia-sia ia berusaha mencari kata yang tepat" "menghilang. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi padanya." Ia menghela napas. "Bisa kukatakan padamu, Pia itu cantik."
"Di mana istri Mancino sekarang?"
"Desas-desus mengatakan ia berada di sanatorium."
"Kau tahu lokasinya?"
"Tidak. Kau pun tidak ingin tahu." Pelayan mereka datang ke meja. "Aku tahu restoran ini," kata Dominick. "Kau mau aku memesankan makanan untukmu?"
"Baiklah." "Bene." Ia menoleh pada si pelayan. "Prima, pasta fagioli. Dopo, abbacchio arrosta con polenta."
"Grazie." Makanannya luar biasa lezat dan pembicaraan berlangsung ringan dan santai. Tetapi ketika mereka berdiri untuk pulang, Romano berkata, "Dana, jangan usik Mancino. Ia bukan orang yang suka ditanya-tanyai."
"Tapi kalau ia?"
"Lupakanlah orang itu. Dalam satu kata" omert?."
"Terima kasih, Dominick. Aku menghargai nasihatmu."
Kantor Vincent Mancino terletak di gedung modern miliknya di Via Sardegna. Penjaga bertubuh kekar duduk di belakang meja penerimaan tamu di lobi dari pualam.
Ia mendongak ketika Dana masuk. "Buona giorno. Posso aiutarla, Signorina?"
"Nama saya Dana Evans. Saya ingin menemui Vincent Mancino."
"Anda punya janji?"
"Tidak." "Kalau begitu, maaf."
"Katakan padanya ini soal Taylor Winthrop."
Penjaga itu mengamati Dana sesaat, lalu mengangkat telepon dan berbicara. Ia meletakkan gagang telepon. Dana menunggu.
Apa yang akan kutemukan"
Telepon berdering, dan si penjaga mengangkatnya dan mendengarkan sejenak. Ia berpaling pada Dana. "Lantai dua. Akan ada yang menemui Anda di sana."
"Terima kasih."
"Prego." *** Kantor Vincent Mancino ternyata sempit dan tak mengesankan, sama sekali di luar perkiraan Dana. Mancino duduk di balik meja kerja tua dan usang. Ia berusia enam puluhan, berperawakan sedang, dengan dada lebar, bibir tipis, rambut putih, dan hidung bengkok seperti paruh elang. Ia memiliki mata paling dingin yang pernah dilihat Dana. Di meja itu ada foto remaja cantik berbingkai emas.
Ketika Dana memasuki kantornya, Mancino berkata, "Anda datang mengenai Taylor Winthrop?" Suarany
a parau dan dalam. "Ya. Saya ingin bicara tentang?"
"Tidak ada yang bisa dibicarakan, Signorina. Ia mati dalam kebakaran. Ia sekarang terbakar di neraka, begitu juga anak-istrinya."
"Boleh saya duduk, Mr. Mancino?"
Ia sudah hendak melarang. Namun akhirnya ia berkata, "Scusi. Kadang kalau sedang marah, saya lupa sopan santun. Prego, si accomodi. Silakan duduk."
Dana menempati kursi di depan pria itu. "Anda dan Taylor Winthrop waktu itu menegosiasikan transaksi perdagangan antara dua negara."
"Ya." "Dan Anda jadi bersahabat?"
"Selama beberapa waktu, forse."
Dana melirik foto di meja kerja. "Inikah putri Anda?"
Ia tidak menjawab. "Cantik." "Ya, ia dulu sangat cantik."
Dana memandangnya, kebingungan. "Bukankah ia masih hidup?" Ia melihat laki-laki itu mengamati dirinya, mencoba memutuskan apa yang akan dikatakannya.
Ketika akhirnya bersuara, ia berkata, "Hidup" Itu kan kata Anda." Suaranya penuh gelora perasaan. "Saya bawa teman Amerika Anda itu, Taylor Winthrop, ke rumah. Ia ikut menikmati roti kami. Saya perkenalkan dia pada sahabat-sahabat. Anda tahu bagaimana ia membalasnya" Ia menghamili putri cantik saya yang masih perawan itu. Putri saya baru berumur enam belas tahun. Dan ia takut menceritakannya pada saya sebab ia tahu saya akan membunuh bangsat itu, maka ia... ia melakukan aborsi." Ia mengucapkan kata itu penuh kemarahan. "Winthrop takut publisitas, jadi ia tidak membawa Pia ke dokter. Tidak. Ia... ia menyuruhnya pergi ke tukang jagal." Air matanya menggenang. "Tukang jagal yang merobek-robek kandungannya. Anak perempuan saya yang baru berumur enam belas tahun, Signorina..." Suaranya tercekat di tenggorokan. "Taylor Winthrop bukan cuma menghancurkan putri saya, ia juga membunuh cucu-cucu saya, serta seluruh anak dan cucu mereka. Ia menyapu habis masa depan keluarga Mancino." Ia menarik napas dalam untuk menenangkan diri. "Kini Winthrop dan keluarganya sudah menebus dosanya yang mengerikan."
Dana tertegun, tak mampu berkata apa-apa.
"Anak perempuan saya tinggal di biara, Signorina. Saya tidak akan pernah melihatnya lagi. Ya, saya membuat perjanjian dengan Taylor Winthrop." Mata kelabu baja yang dingin itu menatap tajam mata Dana. "Tetapi itu perjanjian dengan iblis."
Jadi ada dua sekarang, pikir Dana. Dan masih ada Marcel Falcon.
Dalam penerbangan KLM menuju Belgia, Dana menyadari seseorang duduk di sebelahnya. Ia mengangkat muka. Laki-laki itu menarik, wajahnya menyenangkan, dan ia jelas telah meminta pramugari untuk memindahkan tempat duduknya ke samping Dana.
Ia memandang Dana dan tersenyum, "Selamat pagi. Perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya David Haynes." Ia berbicara dengan aksen Inggris.
"Dana Evans." Wajah pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalinya. "Hari yang bagus untuk terbang, bukan?"
"Bagus sekali," Dana menyetujui.
Ia mengamati Dana dengan kagum. "Apakah Anda pergi ke Brussel untuk bisnis?"
"Bisnis dan bersenang-senang."
"Anda punya teman di sana?"
"Beberapa." "Saya cukup mengenal Brussels."
Tunggu sampai aku menceritakan ini pada Jeff, pikir Dana. Lalu ingatan itu menusuknya kembali. Ia sedang bersama Rachel.
Laki-laki itu mengamati wajahnya. "Anda tampak familier."
Dana tersenyum. "Wajah saya memang pasaran."
Ketika pesawat mendarat di bandara Brussels dan Dana turun dari pesawat, seorang laki-laki yang berdiri di terminal mengangkat telepon genggamnya dan melapor.
David Haynes berkata, "Anda ada transportasi?"
"Tidak, tapi saya bisa?"
"Izinkan saya mengantar." Ia membawa Dana ke limusin panjang yang ditunggui sopir. "Saya akan mengantar Anda sampai hotel," katanya pada Dana. Ia memberi perintah kepada si sopir dan limusin itu bergerak memasuki lalu lintas. "Apakah ini kunjungan pertama Anda ke Brussels?"
"Ya." Mereka sampai di depan pusat perbelanjaan luas yang berpenerangan alami. Haynes berkata, "Kalau Anda merencanakan untuk berbelanja, saya sarankan Anda melakukannya di sini"Galeries St. Hubert."
"Kelihatannya indah."
Haynes berkata pada si pengemudi, "Berhenti sebentar, Charles." Ia menoleh pada Dana. "Itu air mancur Manneken Pis yang terkenal." Air mancur itu berupa patung tembaga bocah kecil yang sedang buang air kecil, dipasang tinggi di dalam kulit kerang. "Salah satu patung paling terkenal di dunia."
Sewaktu saya di dalam penjara, Fr?ulein, anak-istri saya tewas. Seandainya saya tidak dipenjara... saya mungkin bisa menyelamatkan mereka.
David Haynes berkata, "Kalau Anda punya waktu senggang malam ini, saya ingin?"
"Maaf," kata Dana. "Sayangnya, tidak."
Matt dipanggil ke kantor Elliot Cromwell.
"Kita kehilangan dua pemain kunci kita, Matt. Kapan Jeff kembali?"
"Aku tidak tahu pasti, Elliot. Seperti kauketahui, ia terlibat dalam situasi pribadi dengan mantan istrinya, dan aku sudah menyarankan agar ia cuti."
"Begitu. Kapan Dana kembali dari Brussels?"
Matt memandang Elliot Cromwell dan berpikir: Aku tidak pernah memberitahu dia bahwa Dana ada di Brussels.
DELAPAN BELAS MARKAS besar NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, berada di Building Leopold III, dan di atapnya berkibar bendera Belgia, tiga garis vertikal berwarna hitam, kuning, dan merah.
Dana tadinya yakin akan mudah mendapatkan informasi tentang pengunduran diri Taylor Winthrop dari posnya di NATO, dan setelah itu ia akan pulang. Namun NATO ternyata bagai mimpi buruk tumpukan abjad. Selain kantor untuk enam belas negara anggotanya, masih ada kantor NAC, EAPC, NACC, ESDI, CJTF, CSCE, dan sedikitnya selusin akronim lain.
Dana pergi ke markas besar pers NATO di rue des Chapeliers dan menemui Jean Somville di ruang pers.
Somville berdiri menyambutnya. "Dana!"
"Halo, Jean." "Apa yang membawamu ke Brussels?"
"Aku sedang menggarap cerita," kata Dana. "Aku butuh beberapa informasi."
"Ah. Satu cerita lagi tentang NATO."
"Bisa dibilang begitu," kata Dana hati-hati. "Taylor Winthrop pernah menjadi penasihat Amerika Serikat untuk NATO di sini."
"Ya. Ia bekerja dengan baik. Ia orang besar. Menyedihkan sekali tragedi yang menimpa keluarga itu." Ia memandang Dana, ingin tahu. "Apa yang sebenarnya ingin kauketahui?"
Dana memilih kata-kata selanjutnya dengan hati-hati. "Ia meninggalkan posnya di Brussels lebih awal dari seharusnya. Aku ingin tahu apa alasannya."
Jean Somville mengangkat bahu. "Sangat sederhana. Ia sudah menyelesaikan tugasnya di sini."
Dana merasakan tusukan perasaan kecewa. "Sewaktu Winthrop bertugas di sini, apakah pernah terjadi... sesuatu yang luar biasa" Apakah pernah ada skandal yang menyangkut dirinya?"
Jean Somville memandangnya terkejut. "Sama sekali tidak! Apakah ada yang mengatakan Taylor Winthrop terlibat skandal di NATO?"
"Tidak," jawab Dana cepat-cepat. "Aku mendengar pernah terjadi suatu... pertengkaran, semacam perselisihan antara Winthrop dengan seseorang di sini."
Somville mengernyit. "Maksudmu pertengkaran pribadi?"
"Ya." Ia mengerutkan bibir. "Aku tidak tahu. Mungkin aku bisa menyelidikinya."
"Aku akan sangat berterima kasih."
*** Dana menelepon Jean Somville keesokan harinya.
"Apakah kau berhasil menemukan lebih banyak informasi tentang Taylor Winthrop?"
"Maaf, Dana. Aku sudah mencoba. Tapi sayangnya tidak ada yang bisa kutemukan." Dana sudah menduga jawaban Jean Somville.
"Bagaimanapun, terima kasih." Ia merasa kecewa.
"Sama-sama. Aku turut prihatin perjalananmu ini sia-sia."
"Jean, aku membaca bahwa duta besar Prancis untuk NATO, Marcel Falcon, mendadak mengundurkan diri dan kembali ke Prancis. Bukankah itu ganjil?"
"Di tengah masa jabatan, ya. Kukira begitu."
"Mengapa ia mengundurkan diri?"
"Tidak ada misteri apa pun dalam hal itu. Penyebabnya kecelakaan yang patut disayangkan. Putranya tewas karena tabrak lari."
"Tabrak lari" Apakah mereka pernah menangkap sopirnya?"
"Oh, ya. Tak lama sesudah kecelakaan, orang itu menyerahkan diri pada polisi."
Satu lagi jalan buntu. "Oh, begitu."
"Pelakunya bernama Antonio Persico. Ia sopir Taylor Winthrop."
Dana tiba-tiba bergidik. "Oh" Di mana Persico sekarang?"
"Penjara St. Gilles, di Brussels sini." Somville menambahkan dengan nada menyesal, "Maaf aku tidak bisa membantu lebih banyak."
Dana meminta faks ringkasan berita itu dikirim dari Washington. Antonio Persico, sopir Duta Besar Taylor Winthrop, divonis penjara seumur hidup oleh pengadilan Belgia hari ini sesudah ia menyatakan diri bersalah telah menabrak hingga tewas Gabriel Falcon. putra duta besar Prancis untuk PBB.
Penjara St. Gilles terletak di dekat pusat kota Brussels, di gedung tua berwarna putih yang memiliki beberapa menara sehingga membuatnya tampak seperti puri. Dana sudah menelepon lebih dulu dan diizinkan mewawancarai Antonio Persico. Dana memasuki halaman penjara dan diantar menuju kantor kepala penjara.
"Anda ke sini untuk menemui Persico."
"Ya." "Baiklah." Sesudah pemeriksaan cepat, Dana diantar penjaga memasuki ruang bicara, tempat Antonio Persico menunggu. Ia berperawakan kecil, pucat, dengan mata hijau lebar dan wajah yang terus berkedut.
Ketika Dana melangkah masuk, yang pertama diucapkan Persico adalah "Terima kasih Tuhan, akhirnya ada yang datang! Kau akan mengeluarkan aku dari sini."
Dana memandangnya, kebingungan. "Ma"maaf. Saya rasa saya tidak bisa melakukan itu."
Mata Persico menyipit. "Kalau begitu mengapa kau datang" Mereka menjanjikan seseorang akan datang dan mengeluarkan aku."
"Saya datang untuk bicara dengan Anda mengenai kematian Gabriel Falcon."
Suara Persico meninggi. "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan hal itu. Aku tidak bersalah."
"Tetapi Anda sudah mengaku."
"Aku bohong." Dana berkata, "Mengapa Anda..."
Antonio Persico memandang matanya dan berkata pahit, "Aku dibayar. Taylor Winthrop-lah yang membunuhnya." Mereka lama terdiam.
"Ceritakanlah pada saya."
Wajahnya makin berkedut. "Terjadinya pada malam Sabtu. Akhir pekan itu istri Mr. Winthrop berada di London." Suaranya tegang. "Mr. Winthrop sendirian. Ia pergi ke Ancienne Belgique, sebuah kelab malam. Aku menawarkan diri untuk membawanya ke sana, tapi ia mengatakan akan mengemudi sendiri." Persico berhenti, mengingat-ingat.
"Apa yang terjadi kemudian?" Dana mendesak.
"Mr. Winthrop pulang larut malam, sangat mabuk. Ia menceritakan padaku tadi ada pemuda berlari di depan mobilnya. Ia"ia menabraknya. Mr. Winthrop tidak ingin ada skandal, maka ia langsung pergi. Kemudian ia jadi ketakutan kalau-kalau ada yang melihat kecelakaan itu dan melaporkan nomor pelat mobilnya pada polisi. Mereka tentu akan mendatanginya. Mr. Winthrop punya kekebalan diplomatik, tetapi ia berkata kalau berita itu sampai bocor keluar, maka rencana Rusia akan hancur."
Dana mengernyit. "Rencana Rusia?"
"Ya. Itulah yang dikatakannya."
"Rencana Rusia itu apa?"
Ia mengangkat bahu. "Entahlah. Aku mendengar ia mengatakannya di telepon. Ia jadi seperti orang gila." Persico menggeleng. "Berulang kali ia mengatakan di telepon, "Rencana Rusia itu harus diteruskan. Kita sudah terlalu jauh untuk membiarkannya terhenti sekarang.?"
"Dan Anda tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakannya?"
"Tidak." "Bisakah Anda mengingat hal lain yang dikatakannya?"
Persico berpikir sejenak. "Ia mengatakan "Semua potongan sudah terpasang pada tempatnya.?" Ia memandang Dana. "Apa pun persoalannya, kedengarannya sangat penting."
Dana menyerap setiap patah kata. "Mr. Persico, mengapa Anda mengaku bersalah atas kecelakaan itu?"
Rahang Persico mengeras. "Sudah kukatakan padamu. Aku dibayar. Taylor Winthrop mengatakan kalau aku mau mengaku bahwa akulah yang duduk di belakang kemudi, maka ia akan memberiku satu juta dolar dan mengurus keluargaku selama aku di penjara. Ia bilang ia bisa mengusahakan masa hukuman singkat." Ia mengertakkan gigi. "Seperti orang tolol, aku setuju." Ia menggigit bibir. "Dan kini ia sudah mati, dan aku akan menghabiskan sisa hidupku di tempat ini." Matanya penuh perasaan putus asa.
Dana berdiri terpaku, terguncang karena apa yang baru saja didengarnya. Akhirnya ia bertanya, "Pernahkah Anda menceritakan semua ini pada orang lain?"
Persico berkata pahit, "Tentu saja. Segera sesudah aku mendengar Taylor Winthrop mati, aku menceritakan pada polisi tentang perjanjian kami."
"Dan?" "Mereka menertawakan aku."
"Mr. Persico, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat penting. Pikirkanlah baik-baik sebelum Anda menjawab. Pernahkah Anda mengatakan pada Marcel Falcon bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya?"
"Tentu. Kupikir ia akan menolongku."
"Ketika Anda bercerita padanya, apa yang dikatakan Marcel Falcon?"
"Kata-kata persisnya adalah "Semoga seluruh keluarganya mengikutinya ke neraka.?"
Dana berpikir, Ya Tuhan. Sekarang ada tiga.
Aku harus bicara dengan Marcel Falcon di Paris.
Tidak mungkin orang tidak merasakan pesona kota Paris, bahkan meskipun mereka tengah berada dalam pesawat di atas kota itu, siap untuk mendarat. Paris adalah kota cahaya, kota para kekasih. Paris bukan tempat untuk dikunjungi seorang diri. Kota itu membuat Dana merindukan Jeff.
Dana berada di Relais di Hotel Plaza Ath?n?e, berbicara dengan Jean-Paul Hubert, dari televisi Metro 6.
"Marcel Falcon" Tentu saja. Semua orang tahu siapa dia."
"Apa yang bisa kauceritakan padaku tentang pria itu?"
"Ia tokoh yang cukup hebat. Kalian, orang Amerika, mungkin menyebutnya "orang besar"."
"Apa yang dilakukannya sekarang?"
"Falcon memiliki perusahaan farmasi raksasa. Beberapa tahun yang lalu ia dituduh menyudutkan perusahaan-perusahaan kecil hingga bangkrut, tetapi ia punya koneksi politik, dan tidak ada yang terjadi. Kemudian perdana menteri Prancis mengangkatnya sebagai duta besar NATO."
"Tetapi ia mengundurkan diri," kata Dana. "Mengapa?"
"Kisahnya sedih. Putranya tewas di Brussels gara-gara sopir mabuk, dan Falcon tidak kuat menanggung kejadian itu. Ia meninggalkan NATO dan kembali ke Paris. Istrinya sampai gila. Wanita itu tinggal di sanatorium di Cannes." Jean-Paul memandang Dana dan berkata sungguh-sungguh, "Dana, kalau kau merencanakan untuk menggarap berita tentang Falcon, berhati-hatilah. Ia punya reputasi sebagai orang yang suka membalas dendam."
Dana butuh waktu satu hari untuk membuat janji pertemuan dengan Marcel Falcon.
Ketika akhirnya ia diantar ke kantor laki-laki itu, Marcel Falcon berkata, "Saya setuju menemui Anda sebab saya pengagum Anda, Mademoiselle. Siaran-siaran Anda dari zona peperangan sangat berani."
"Terima kasih."
Marcel Falcon berpenampilan berwibawa, kekar, dengan garis wajah kokoh dan mata biru yang tajam. "Silakan duduk. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya ingin bertanya tentang anak Anda."
"Ah, ya." Sorot matanya tampak sedih. "Gabriel anak yang luar biasa."
Dana berkata, "Orang yang menabraknya?"
"Sopir itu." Dana memandangnya, terperanjat.
Pikirkanlah baik-baik sebelum Anda menjawab. Pernahkah Anda mengatakan pada Marcel Falcon bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya"
Tentu. Segera sesudah aku mendengar Taylor Winthrop mati.
Apa yang dikatakan Marcel Falcon"
Kata-kata persisnya adalah "Semoga seluruh keluarganya mengikutinya ke neraka."
Dan kini Marcel Falcon berlagak tidak tahu-menahu kejadian sebenarnya.
"Mr. Falcon, ketika Anda bekerja di NATO, Taylor Winthrop juga bekerja di sana." Dana mengamati wajah Falcon, mencari perubahan ekspresi. Ternyata tidak ada.
"Ya. Kami bertemu." Nada suaranya biasa-biasa saja.
Begitu saja" kata Dana dalam hati. Ya. Kami bertemu. Apa yang disembunyikannya"
"Mr. Falcon, saya ingin bicara dengan istri Anda kalau?"
"Sayang ia sedang berlibur."
Istrinya sampai gila. Wanita itu tinggal di sanatorium di Cannes.
Kalau bukan melakukan pengingkaran total, Marcel Falcon pasti mengaku tidak tahu karena alasan yang lebih mengerikan.
Dana menelepon Matt dari kamarnya di Plaza Ath?n?e.
"Dana, kapan kau pulang?"
"Aku masih harus mengikuti satu petunjuk lagi, Matt. Sopir Taylor Winthrop di Brussels mengatakan Winthrop bicara soal rencana rahasia menyangkut Rusia yang tidak ingin dihentikannya. Aku harus mencari tahu apa yang dibicarakannya. Aku ingin bicara dengan beberapa rekannya di Moskow."
"Baiklah. Tetapi Cromwell ingin kau kembali ke studio secepatnya. Koresponden kita di Moskow bernama Tim Drew. Aku akan minta ia menemuimu. Ia bisa membantu."
"Terima kasih. Rasanya aku tidak akan berada di Rusia lebih dari satu atau dua hari."
"Dana?" "Ya." "Sudahlah. Selamat tinggal."
Terima kasih. Rasanya aku tidak akan berada di Rusia lebih dari satu atau dua hari.
Dana" Ya. Sudahlah. Selamat tinggal.
Rekaman selesai. Dana menelepon ke rumah. "Selamat malam, Mrs. Daley"atau lebih tepat, selamat siang."
"Miss Evans! Senang sekali mendengar suara Anda."
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Baik-baik saja."
"Bagaimana Kemal" Ada masalah?"
"Sama sekali tidak. Ia amat merindukan Anda."
"Saya juga. Bisa saya bicara dengannya?"
"Ia sedang tidur siang. Apakah Anda ingin saya membangunkannya?"
Dana berkata terkejut, "Tidur siang" Ketika saya menelepon beberapa hari yang lalu, ia juga sedang tidur siang."
"Ya. Anak itu kelelahan ketika pulang sekolah, saya pikir sebaiknya ia tidur siang saja."
"Begitu... Yah, sampaikan saja salam sayang saya. Saya akan menelepon lagi besok. Katakan padanya saya akan membawa oleh-oleh beruang Rusia."
"Beruang" Wah! Ia pasti sangat senang."
Dana menelepon Roger Hudson.
"Roger, sebenarnya saya tidak ingin mengganggu, tapi saya butuh bantuan."
"Kalau ada yang bisa saya lakukan..."
"Saya akan berangkat ke Moskow, dan saya ingin bicara dengan Edward Hardy, duta besar Amerika di sana. Saya pikir barangkali Anda kenal dengannya."
"Saya memang kenal."
"Sekarang ini saya berada di Paris. Kalau Anda bisa mengirimkan faks surat perkenalan, saya akan sangat berterima kasih."
"Saya bisa melakukan lebih dari itu. Saya akan menelepon dan meminta ia menunggu kedatangan Anda."
"Terima kasih, Roger. Saya sangat menghargainya."
Saat itu Malam Tahun Baru. Dana terguncang ketika mengingat seharusnya sekarang hari pernikahannya. Segera, kata Dana pada diri sendiri. Segera. Ia mengenakan mantel dan pergi ke luar.
Penjaga pintu berkata, "Taksi, Miss Evans?"
"Tidak, terima kasih." Ia tidak punya rencana tertentu. Jean-Paul Hubert sedang pergi mengunjungi keluarga. Paris bukan kota untuk sendirian, pikir Dana.
Ia mulai berjalan kaki, mencoba untuk tidak memikirkan Jeff dan Rachel. Berusaha untuk tidak berpikir. Ia melewati gereja kecil yang masih buka, dan berdasarkan impuls, ia masuk. Bagian dalamnya yang sejuk dengan langit-langit melengkung memberi Dana suasana damai. Ia duduk di bangku dan memanjatkan doa tanpa bersuara.
Tengah malam, ketika Dana sedang berjalan kaki, Paris penuh suara ledakan kembang api dan taburan kertas confetti. Ia ingin tahu apa yang tengah dilakukan Jeff sekarang. Apakah ia dan Rachel sedang bercinta" Jeff belum menelepon. Bagaimana ia bisa lupa bahwa malam ini sangat istimewa"
Di kamar hotel Dana, di lantai dekat meja rias, telepon genggam yang tadi terjatuh dari tas Dana berdering-dering.
Ketika Dana kembali ke Plaza Ath?n?e, waktu sudah menunjukkan pukul 03.00. Ia berjalan ke kamar, menanggalkan pakaian, dan naik ke ranjang. Mula-mula ayahnya, kini Jeff. Berkali-kali ia ditinggalkan. Aku tidak mau mengasihani diri sendiri, tekadnya. Memangnya kenapa kalau sekarang mestinya menjadi malam pernikahanku" Oh, Jeff, mengapa kau tidak meneleponku"
Ia menangis hingga tertidur.
SEMBILAN BELAS PENERBANGAN ke Moskow dengan Sabena Airlines memakan waktu tiga setengah jam. Dana melihat hampir semua penumpang mengenakan pakaian hangat, dan rak-rak bagasi dipenuhi mantel bulu, topi, dan syal. Aku seharusnya memakai pakaian yang lebih hangat, pikir Dana. Ah, aku tidak akan tinggal di Moskow lebih dari satu atau dua hari.
Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Antonio Persico. Berulang kali ia mengatakan di telepon, "Rencana Rusia itu harus diteruskan. Kita sudah terlalu jauh untuk membiarkannya terhenti sekarang."
Rencana penting apa yang sedang disusun Winthrop" Kepingan-kepingan apakah yang sudah jatuh pada tempatnya" Dan tak lama sesudah itu, Presiden mengangkatnya sebagai dubes untuk Moskow. Makin banyak informasi yang kudapatkan, makin tidak masuk akal saja rasanya, pikir Dana.
*** Dana heran melihat Sheremetyevo II, bandara internasional Rusia, ternyata penuh turis. Untuk apa orang waras berkunjung ke Rusia pada musim dingin" tanya Dana dalam hati.
Ketika Dana sampai di bagian pengambilan bagasi, seorang laki-laki yang berdiri di dekatnya beberapa kali mencuri-curi mengawasinya. Jantung Dana bagai berhenti berdenyut. Mereka tahu aku datang ke sini, pikirnya Bagaimana mereka bisa tahu"
Laki-laki itu menghampirinya. "Dana Evans?" Ia berbicara dengan aksen Slovakia kental.
"Ya..." Ia tersenyum lebar dan berkata penuh semangat, "Saya penggemar berat Anda! Saya selalu menonton Anda di televisi."
Dana merasakan luapan perasaan lega. "Oh. Ya. Terima kasih."
"Maukah Anda memberikan tanda tangan Anda?"
"Tentu saja." Ia menyodorkan secarik kertas ke hadapan Dana. "Saya tidak punya pena."
"Saya punya." Dana mengeluarkan pena emas baru miliknya dan memberikan tanda tangannya.
"Spasiba! Spasiba!"
Sewaktu Dana hendak memasukkan kembali pena itu ke dalam tas, seseorang menyenggolnya dan pena itu pun jatuh ke lantai beton. Dana mengulurkan tangan ke bawah dan memungutnya. Selongsongnya retak.
Mudah-mudahan aku bisa membetulkannya, pikir Dana. Kemudian ia mengamatinya lebih teliti. Seutas kabel kecil menyembul dari retakan itu. Karena heran, ia menariknya pelan-pelan. Di kabel itu menempel pemancar mikro. Dana memandangnya dengan perasaan tak percaya. Ternyata beginilah mereka tahu ke mana pun aku pergi. Tetapi siapa yang meletakkannya di sana dan apa alasannya" Ia ingat kartu yang menyertai pena itu.
Dear Dana, semoga selamat di perjalanan. The Gang.
Dengan perasaan geram, Dana mencabut kabel itu, melemparkannya ke tanah, dan meremukkannya dengan tumit sepatu.
Di dalam sebuah laboratorium terpencil, penanda sinyal di peta tiba-tiba menghilang.
"Oh, sialan!" "Dana?"
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berbalik. Di hadapannya tampak koresponden WTN di Moskow.
"Aku Tim Drew. Maaf aku terlambat. Lalu lintas di luar sana benar-benar seperti mimpi buruk."
Tim Drew berusia empat puluhan, tinggi, berambut merah, dan memiliki senyum hangat. "Aku membawa mobil. Matt mengatakan kau hanya akan tinggal satu-dua hari di sini."
"Benar." Mereka mengambil barang bawaan Dana dan pergi ke luar.
Pemandangan selama perjalanan memasuki Moskow bagaikan adegan dalam film Doctor Zhivago. Bagi Dana, seluruh kota itu seperti terbungkus selimut salju putih.
"Indah sekali!" Dana berseru. "Sudah berapa lama kau di sini?"
"Dua tahun." "Kau menyukainya?"
"Tempat ini agak menakutkan. Yeltsin selalu sulit diduga, dan tak seorang pun tahu apa yang bisa diharapkan dari Vladimir Putin. Sekarang pasien yang mengelola rumah sakit gila." Ia mendadak menginjak rem untuk memberi jalan beberapa pejalan kaki yang menyeberang sembarangan. "Kami sudah memesankan kamar di Sevastopol Hotel."
"Ya. Bagaimana hotel itu?"
"Salah satu hotel Intourist biasa. Bisa dipastikan akan ada yang terus mengawasimu."
Jalanan dipenuhi orang-orang yang terbungkus baju bulu, sweter, serta mantel tebal. Tim Drew melirik Dana. "Kau sebaiknya mencari pakaian yang lebih hangat. Kalau tidak, kau akan membeku."
"Tidak apa-apa. Aku akan pulang besok atau lusa."
Di depan mereka tampak Lapangan Merah dan Kremlin. Kremlin sendiri berdiri menjulang di bukit di kiri Sungai Moskva.
"Aduh, indah sekali," kata Dana.
"Yeah. Seandainya dinding-dinding itu bisa bicara, kau akan mendengar banyak jeritan." Tim Drew meneruskan, "Ini salah satu bangunan paling terkenal di dunia. Terletak di sebidang tanah yang meliputi Bukit Little Borovitsky di sisi utara dan..."
Dana sudah berhenti mendengarkan. Ia sedang berpikir, Bagaimana bila Antonio Persico bohong" Bagaimana kalau ia mengarang cerita tentang Taylor Winthrop membunuh pemuda itu" Dan berbohong mengenai rencana Rusia.
"Di luar dinding timur itu Lapangan Merah. Menara Kutafya di sana adalah pintu masuk pengunjung di dinding barat."
Tetapi mengapa Taylor Winthrop begitu ingin datang ke Rusia" Sekadar jadi duta besar tidak mungkin berarti sepenting itu baginya.
Tim Drew berkata, "Di sinilah tempat berkumpul orang-orang berkuasa Rusia selama berabad-abad. Ivan the Terrible, Stalin, Lenin, dan Khrushchev memakainya sebagai markas besar."
Semua kepingan sudah jatuh pada tempatnya. Aku harus mencari tahu apa yang dimaksudkannya dengan ucapan itu.
Mereka berhenti di depan sebuah hotel besar. "Kita sampai," kata Tim Drew.
"Terima kasih, Tim." Dana turun dari mobil dan diterpa gelombang udara beku.
"Kau masuk saja," Tim berseru. "Akan kubawakan tas-tasmu. Omong-omong, kalau kau punya waktu senggang malam ini, aku ingin mengundangmu makan malam."
"Terima kasih banyak."
"Ada sebuah klub pribadi yang menghidangkan makanan lezat. Kukira kau akan menyukainya."
"Bagus." Lobi Sevastopol Hotel amat luas dan penuh hiasan, juga penuh manusia. Beberapa pegawai hotel berdiri di balik meja resepsionis. Dana menghampiri salah satu di antara mereka.
Pria itu mengangkat muka. "Da?"
"Saya Dana Evans. Saya sudah memesan kamar."
Laki-laki itu memandangnya sejenak dan berkata gugup, "Ah, ya. Miss Evans." Ia mengangsurkan sehelai kartu reservasi. "Silakan mengisi ini. Dan saya perlu paspor Anda."
Ketika Dana mulai menulis, pegawai hotel itu melihat ke seberang lobi, ke laki-laki yang berdiri di sudut dan mengangguk. Dana menyodorkan kartu registrasi itu pada si pegawai.
"Saya akan menyuruh orang mengantar Anda ke kamar."
"Terima kasih."
Kamar itu samar-samar menyisakan suasana kemewahan zaman dulu, dan perabotannya tampak usang, lusuh, dan berbau lembap.
Seorang wanita berperawakan kekar yang mengenakan seragam tanpa bentuk membawakan tas-tas Dana. Dana memberikan tip, perempuan itu mendengus dan berlalu. Dana mengangkat telepon dan menekan angka 252-2451.
"Kedutaan Besar Amerika."
"Tolong sambungkan ke kantor Duta Besar Hardy."
"Tunggu sebentar."
"Kantor Duta Besar Hardy."
"Halo. Di sini Dana Evans. Boleh saya bicara dengan Duta Besar?"
"Bisa Anda katakan mengenai apa?"
"Ini"ini masalah pribadi."
"Silakan tunggu sebentar."
Tiga puluh detik kemudian Duta Besar Hardy berbicara di telepon. "Miss Evans?"
"Ya." "Selamat datang di Moskow."
"Terima kasih."
"Roger Hudson menelepon, mengatakan Anda akan datang. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya ingin tahu apakah saya bisa datang dan menemui Anda."
"Tentu. Saya"tunggu sebentar." Ia diam sebentar, dan sang dubes kembali berbicara. "Bagaimana kalau besok pagi" Pukul sepuluh?"
"Baiklah. Terima kasih banyak."
"Sampai besok."
Dana memandang ke luar jendela, pada orang-orang yang berjalan bergegas di udara dingin. Ia berpikir, Tim benar. Sebaiknya aku membeli pakaian hangat.
Toserba GUM tidak terlalu jauh dari hotel Dana. Tempat itu adalah toko serba ada raksasa yang dipenuhi barang murah, dari pakaian sampai perangkat keras.
Dana berjalan ke bagian wanita, yang berisi deretan rak mantel tebal. Ia memilih mantel wol dan syal merah. Ia butuh waktu dua puluh menit untuk bisa menemukan penjaga toko untuk menangani transaksinya.
Ketika Dana kembali ke kamar, telepon genggamnya berdering. Dari Jeff.
"Halo, Sayang. Aku mencoba meneleponmu pada Malam Tahun Baru kemarin, tapi kau tidak menjawab, dan aku tidak tahu ke mana harus menghubungimu."
"Maaf, Jeff." Jadi ia tidak lupa! Diberkatilah ia.
"Di mana kau sekarang?"
"Di Moskow." "Apakah semua baik-baik, Manis?"
"Baik sekali. Jeff, ceritakanlah tentang Rachel."
"Sekarang masih terlalu dini untuk mengatakannya. Mereka akan mencoba terapi baru padanya besok. Terapi ini masih sangat eksperimental. Kami akan mendapatkan hasilnya dalam beberapa hari."
"Kuharap cara itu berhasil," kata Dana.
"Apakah dingin di sana?"
Dana tertawa. "Kau takkan percaya. Aku jadi manusia es."
"Coba aku bisa berada di sana untuk melelehkanmu."
Mereka berbicara selama lima menit lagi, dan Dana bisa mendengar suara Rachel memanggil Jeff.
Jeff berkata di telepon, "Aku harus pergi, Sayang. Rachel membutuhkan aku."
Aku pun membutuhkanmu, pikir Dana. "Aku sayang padamu."
"Aku sayang padamu."
Kedutaan Besar Amerika di Novinsky Bul"var nomor 19-23 adalah gedung kuno yang sudah reyot. Beberapa penjaga Rusia berdiri di gardu-gardu jaga di luarnya. Antrean panjang menunggu dengan sabar. Dana melewati antrean itu dan menyebutkan namanya pada penjaga. Pria itu melihat daftar dan melambaikan tangan, mempersilakannya masuk.
Di lobi, seorang marinir Amerika berdiri di dalam gardu jaga dari kaca antipeluru. Penjaga wanita Amerika berseragam memeriksa isi tas Dana.
"Oke." "Terima kasih." Dana berjalan ke meja. "Dana Evans."
Laki-laki yang berdiri di dekat meja berkata, "Duta Besar sudah menunggu Anda, Miss Evans. Silakan ikuti saya."
Dana mengikutinya menaiki tangga marmer menuju kantor di ujung lorong panjang. Ketika Dana masuk, seorang wanita menarik berusia awal empat puluhan tersenyum dan berkata, "Miss Evans, menyenangkan sekali. Saya Lee Hopkins, sekretaris duta besar. Anda boleh langsung masuk."
Dana melangkah ke dalam kantor. Duta Besar Edward Hardy berdiri ketika ia menghampiri meja kerjanya.
"Selamat pagi, Miss Evans."
"Selamat pagi," balas Dana. "Terima kasih Anda bersedia menemui saya."
Sang duta besar adalah laki-laki berperawakan tinggi dengan dandanan rapi dan sikap hangat politisi.
"Saya senang bertemu Anda. Adakah yang bisa saya ambilkan untuk Anda?"
"Tidak perlu repot. Terima kasih."
"Silakan duduk."
Dana duduk. "Saya senang ketika Roger Hudson memberitahu saya Anda akan berkunjung. Anda datang pada saat yang menarik."
"Oh?" "Saya tidak suka mengatakan ini, tetapi, antara Anda dan saya saja, saya khawatir negeri ini akan ambruk." Ia menghela napas. "Terus terang, saya tidak tahu apa yang akan terjadi di sini selanjutnya, Miss Evans. Negeri ini memiliki sejarah delapan ratus tahun, dan kita sedang menyaksikannya terpuruk. Para penjahatlah yang mengendalikan negeri ini."
Dana memandangnya dengan tatapan ingin tahu. "Apa maksud Anda?"
Sang dubes duduk bersandar. "Undang-undang di sini mengatakan tak satu pun anggota Duma" majelis rendah dalam parlemen"bisa diadili karena kejahatan apa pun. Akibatnya, Duma dipenuhi orang-orang yang menginginkan segala macam kejahatan"para gangster yang pernah mendekam di penjara, dan penjahat-penjahat yang sedang dalam proses melakukan kejahatan. Tak satu pun di antara mereka bisa disentuh hukum."
"Luar biasa," kata Dana.
"Ya. Rakyat Rusia adalah orang-orang yang hebat, tetapi pemerintah mereka... Yah, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Miss Evans?"
"Saya ingin menanyai Anda tentang Taylor Winthrop. Saya sedang menggarap cerita tentang keluarga itu."
Dubes Hardy menggeleng sedih. "Kisahnya seperti tragedi Yunani, bukan?"
"Ya" Istilah itu lagi.
Dubes Hardy memandang Dana dengan perasaan ingin tahu. "Dunia sudah mendengar kisah itu berkali-kali. Saya kira tidak banyak lagi yang bisa dibicarakan."
Dana berkata hati-hati. "Saya ingin menuturkannya dari sudut pribadi. Saya ingin tahu seperti apa Taylor Winthrop sebenarnya, orang macam apa ia, siapa teman-temannya sewaktu di sini, apakah ia pernah punya musuh..."
"Musuh?" Hardy tercengang. "Tidak. Semua orang menyayangi Taylor. Ia mungkin duta besar terbaik yang pernah kita punyai di sini."
"Apakah Anda pernah bekerja dengannya?"
"Ya. Saya adalah deputi chief of mission di bawahnya selama satu tahun."
"Duta Besar Hardy, tahukah Anda apakah Taylor Winthrop sedang menggarap sesuatu yang?" Ia berhenti, tidak tahu bagaimana mengutarakannya. ?"semua kepingannya harus menyatu?"
Dubes Hardy mengernyit. "Anda maksud semacam transaksi bisnis atau pemerintah?"
"Saya tidak tahu pasti apa yang saya maksudkan," Dana mengaku.
Dubes Hardy berpikir sejenak. "Saya pun tidak. Tidak, saya tidak tahu apakah itu."
Dana berkata, "Beberapa orang yang sekarang bekerja di kedutaan ini"apakah mereka pun tadinya bekerja padanya?"
"Oh, ya. Bahkan sekretaris saya, Lee, dulu adalah sekretaris Taylor."
"Apakah Anda keberatan kalau saya bicara dengannya?"
"Sama sekali tidak. Lebih dari itu, saya akan memberi Anda daftar orang-orang di sini yang mungkin bisa membantu."
"Bagus sekali. Terima kasih."
Dubes Hardy berdiri. "Berhati-hatilah selama Anda berada di sini, Miss Evans. Banyak kejahatan di jalan."
"Begitulah yang saya dengar."
"Jangan minum air dari keran. Bahkan orang Rusia pun tidak meminumnya. Oh, dan kalau Anda makan di luar, selalu sebutkan chisti sol"itu artinya meja bersih"kalau tidak, meja Anda akan dipenuhi hidangan pembuka mahal yang tidak Anda inginkan. Kalau Anda pergi berbelanja, Arbat adalah tempat yang paling baik. Toko-toko di sana punya segalanya. Dan hati-hati dengan taksi di sini. Pilihlah mobil yang tua dan usang. Penjahat-penjahat kebanyakan mengemudikan taksi-taksi baru."
"Terima kasih." Dana tersenyum. "Akan saya ingat."
Lima menit kemudian Dana berbicara dengan Lee Hopkins, sekretaris sang dubes. Mereka hanya berdua di dalam ruangan sempit dengan pintu tertutup.
"Berapa lama Anda bekerja pada Dubes Winthrop?"
"Delapan belas bulan. Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Apakah Dubes Winthrop pernah punya musuh sewaktu bertugas di sini?"
Lee Hopkins tercengang memandang Dana. "Musuh?"
"Ya. Dalam pekerjaan seperti ini, saya rasa kadang-kadang Anda harus mengatakan tidak pada orang-orang yang tak suka ditolak. Saya yakin Dubes Winthrop tentu tidak bisa menyenangkan semua orang."
Lee Hopkins menggeleng, "Saya tidak tahu apa yang Anda cari, Miss Evans, tetapi kalau Anda berniat menulis hal-hal buruk tentang Taylor Winthrop, Anda datang pada orang yang salah. Beliau orang paling baik, paling penuh pengertian yang pernah saya kenal."
Lagi-lagi, pikir Dana. Selama dua jam berikutnya, Dana berbicara dengan lima orang lain yang pernah bekerja di kedutaan selama masa jabatan Taylor Winthrop.
Ia orang yang brilian... Ia benar-benar menyukai orang...
Ia mau bersusah payah menolong kami...
Musuh" Taylor Winthrop tidak punya...
Aku menyia-nyiakan waktuku, pikir Dana. Ia kembali menemui Duta Besar Hardy.
"Apakah Anda mendapatkan yang Anda inginkan?" pria itu bertanya. Suaranya terdengar kurang ramah.
Dana ragu. "Bisa dibilang begitu," katanya jujur.
Ia mencondongkan badan ke depan. "Dan saya kira Anda tidak akan menemukannya, Miss Evans. Tidak akan, kalau Anda mencari-cari hal negatif tentang Taylor Winthrop. Anda membingungkan semua orang di sini. Mereka menyayanginya. Begitu juga saya. Jangan mencoba mengorek aib yang sebenarnya tidak ada. Kalau hanya itu tujuan Anda ke sini, maka silakan Anda pergi."
"Terima kasih," kata Dana. "Saya memang mau pergi."
Dana sama sekali tidak berniat pergi.
*** VIP National Club, yang terletak tepat di seberang Kremlin dan Lapangan Manezh, adalah restoran dan kasino. Tim Drew sudah menunggu ketika Dana tiba.
"Selamat datang," katanya. "Aku menduga kau akan menyukai ini. Tempat ini ajang berkumpul tokoh-tokoh masyarakat paling terkemuka di Moskow. Seandainya restoran ini dibom, maka pemerintah akan langsung runtuh."
Makan malamnya lezat. Mereka mulai dengan blini dan kaviar, disusul borscht, ikan Georgian sturgeon dengan saus walnut, beef stroganoff dan nasi s"loukom, serta kue keju vatrushki sebagai hidangan penutup.
"Luar biasa," kata Dana. "Aku pernah mendengar makanan di Rusia tidak enak."
"Memang," Tim Drew membenarkan. "Ini bukan Rusia. Ini oasis kecil yang istimewa."
"Bagaimana rasanya tinggal di sini?" Dana bertanya.
Tim Drew memikirkannya sejenak. "Rasanya seperti berdiri di dekat gunung berapi, menunggunya meletus. Kau tidak pernah tahu kapan itu akan terjadi. Orang-orang yang sedang berkuasa mencuri bermilyar-milyar dari negara dan rakyat kelaparan. Itulah yang memicu revolusi terakhir. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi sekarang. Kalau mau fair, itu tadi memang cuma satu sisi negara ini. Kebudayaan di sini sungguh mengagumkan. Mereka punya Teater Bolshoi, Hermitage, Museum Pushkin, balet Rusia, Sirkus Moskow"daftarnya bisa berlanjut tak ada habisnya. Rusia menghasilkan lebih banyak buku daripada seluruh dunia digabung jadi satu, dan dalam setahun orang Rusia rata-rata membaca buku tiga kali lipat lebih banyak daripada warga negara Amerika Serikat kebanyakan."
"Mungkin mereka membaca buku-buku yang salah," kata Dana kering.
"Mungkin. Saat ini rakyat terperangkap di tengah, antara kapitalisme dan komunisme, dan tak satu pun di antaranya yang jalan. Pelayanan buruk, harga-harga melambung, dan angka kejahatan melonjak." Ia memandang Dana. "Kuharap aku tidak membuatmu tertekan."
"Tidak. Coba katakan, Tim, apakah kau kenal Taylor Winthrop?"
"Aku pernah beberapa kali mewawancarainya."
"Apakah kau pernah mendengar tentang proyek besar yang ditanganinya?"
"Ia terlibat dalam banyak proyek. Bagaimanapun, ia kan duta besar kita."
"Maksudku bukan itu. Yang kumaksud hal lain. Sesuatu yang rumit"yang semua kepingannya harus jatuh pada tempatnya."
Tim Drew berpikir sejenak. "Rasanya aku tidak pernah mendengarnya."
"Apakah ada orang-orang tertentu yang berkali-kali berhubungan dengannya?"
"Beberapa rekan Rusianya, kukira. Kau mungkin bisa bicara dengan mereka."
"Benar," kata Dana. "Aku akan melakukannya."
Pelayan datang membawa bon. Tim Drew membacanya sekilas, lalu memandang Dana. "Ini khas Rusia. Ada tiga biaya tambahan yang berbeda. Dan tidak usah repot-repot bertanya untuk apa semua biaya itu." Ia membayar.
Ketika mereka sudah keluar, Tim Drew berkata pada Dana, "Kau membawa pistol?"
Dana memandangnya kaget. "Tentu saja tidak. Mengapa?"
"Ini Moskow. Apa pun bisa terjadi." Ia mendapat ide. "Begini saja. Kita akan mampir ke suatu tempat."
Mereka naik taksi, dan Tim Drew memberikan alamat pada si sopir. Lima menit kemudian mereka berhenti di depan toko senjata dan turun dari taksi.
Dana melihat ke dalam toko dan berkata, "Aku tidak mau membawa-bawa senjata."
Tim Drew berkata, "Aku tahu. Ikuti saja aku." Etalase toko itu dipenuhi segala macam senjata yang bisa dibayangkan.
Dana memandang berkeliling. "Apakah semua orang bisa masuk dan membeli senapan di sini?"
"Asal punya uang, semua lancar," kata Tim Drew.
Laki-laki di belakang konter bergumam dalam bahasa Rusia pada Tim. Tim memberitahukan apa yang diinginkannya.
"Da." Ia mengulurkan tangan ke bawah konter dan mengeluarkan tabung kecil berwarna hitam.
"Untuk apa ini?" Dana bertanya.
"Ini untukmu. Ini semprotan merica." Tim Drew mengambilnya. "Kau tinggal menekan tombol di atas ini dan penjahat-penjahat itu akan kesakitan sehingga tidak bisa mengganggumu."
Dana berkata, "Kurasa?"
"Percayalah padaku. Ambillah." Ia mengangsurkannya pada Dana, membayar laki-laki itu, dan mereka pun berlalu.
"Apakah kau mau melihat salah satu kelab malam Moskow?" tanya Tim Drew.
"Kedengarannya menarik."
"Bagus. Ayo kita pergi."
Night Flight Club di Tverskaya Street ternyata tempat yang mewah, indah, dan dipenuhi orang Rusia berpakaian indah yang makan, minum, dan berdansa.
"Kelihatannya tidak ada masalah ekonomi di sini," Dana berkomentar.
"Bukan. Mereka menyingkirkan para pengemis ke jalanan di luar."
Pukul 02.00, Dana kembali ke hotel, kehabisan tenaga. Hari ini melelahkan. Seorang wanita yang duduk di meja gang mencatat tamu-tamu yang keluar-masuk.
Ketika Dana sudah masuk kamar, ia memandang ke luar jendela. Tampak hujan salju di bawah cahaya rembulan, bak gambar kartu pos.
Besok, pikir Dana penuh tekad, aku akan tahu untuk apa aku datang ke sini.
Deru pesawat jet di atas begitu keras sehingga kedengaran seakan pesawat itu akan menabrak bangunan tersebut. Laki-laki itu cepat-cepat berdiri dari meja tulis, mengambil teropong, dan melangkah ke jendela. Ekor pesawat yang menjauh itu turun dengan cepat saat pesawatnya bersiap mendarat di lapangan udara kecil, setengah kilometer lebih dari sana. Selain landas pacu, sejauh mata memandang tampak seluruh daratan tertutup salju. Saat ini musim dingin dan tempat ini Siberia.
"Jadi," ia berkata pada asistennya, "pihak Cina yang pertama tiba." Komentarnya tidak mengharapkan jawaban. "Aku diberitahu bahwa sahabat kita, Ling Wong, tidak akan kembali. Ketika ia pulang dengan tangan kosong dari pertemuan terakhir, sambutan atas kepulangannya tidak begitu menyenangkan. Menyedihkan. Ia pria yang baik."
Saat itu, jet kedua menderu di atas. Ia tidak mengenali jenis pesawat itu. Sesudah pesawat itu mendarat, ia mengarahkan teropong berkekuatan besar pada para laki-laki yang turun dari kabin ke landas pacu. Beberapa di antara mereka sama sekali tidak berusaha menyembunyikan senapan mesin yang mereka bawa.
"Utusan Palestina sudah tiba."
Satu jet lagi menderu di atas. Masih ada dua belas lagi, pikirnya. Bila kami mulai negosiasi besok, ini akan jadi lelang paling besar. Tak boleh ada yang keliru.
Ia berpaling pada asistennya. "Buat memo."
MEMO RAHASIA UNTUK SELURUH PERSONALIA OPERASI: MUSNAHKAN SEGERA SESUDAH DIBACA.
TERUSKAN PENGAWASAN KETAT TERHADAP SASARAN. LAPORKAN SEGALA KEGIATAN DAN SIAGA UNTUK KEMUNGKINAN MENGHABISINYA.
DUA PULUH KETIKA Dana terjaga, ia menelepon Tim Drew.
"Apakah kau sudah mendengar kabar lebih jauh dari Dubes Hardy?" Tim bertanya.
"Tidak. Kukira aku telah menyinggung perasaannya. Tim, aku perlu bicara denganmu."
"Baik. Naik taksi dan temui aku di Boyrsky Club di Treatrilny Proyez Street satu empat."
"Di mana" Aku tidak akan pernah?"
"Sopir taksinya pasti tahu. Pilih yang sudah butut."
"Baik." Dana melangkah ke luar hotel dan disambut angin yang dingin sekali dan menderu-deru. Ia bersyukur tadi memakai mantel wol merahnya yang baru. Papan petunjuk di gedung seberang jalan menunjukkan suhu saat ini 29 derajat Celcius. Astaga, pikirnya.
Di depan hotel tampak taksi baru yang mengilat. Dana menjauh dan menunggu sampai ada penumpang naik. Taksi berikutnya tampak sudah tua.
Dana menaikinya. Si sopir mengamatinya dari kaca spion.
Dana berkata hati-hati, "Saya ingin pergi ke Teat?" Ia ragu-ragu. ?"rilny?" Ia menarik napas dalam. ?"Proyez?"
Si sopir berkata tak sabar, "Anda mau ke Boyrsky Club?"
"Da." Mereka berangkat. Mereka melalui jalan-jalan besar dan panjang, padat dengan mobil dan pejalan kaki muram yang bergegas di jalanan yang beku. Kota ini seperti dilapisi lapisan kelabu, suram. Dan ini bukan karena cuaca saja, pikir Dana.
Boyrsky Club ternyata tempat yang modern dan nyaman, dengan kursi-kursi serta sofa kulit. Tim Drew menunggunya di kursi dekat jendela.
"Kulihat kau tidak ada masalah untuk menemukan tempat ini."
Dana duduk. "Sopir taksinya bisa berbahasa Inggris."
"Kau beruntung. Banyak di antara mereka bahkan tidak bisa berbahasa Rusia. Mereka datang dari provinsi-provinsi yang jauh. Menakjubkan bahwa negara ini bisa berfungsi. Rusia mengingatkan aku pada dinosaurus yang sedang sekarat. Tahukah kau sebesar apa Rusia?"
"Tidak." "Luasnya hampir dua kali lipat Amerika Serikat. Punya tiga belas zona waktu dan berbatasan dengan empat belas negara. Empat belas negara."
"Luar biasa," kata Dana. "Tim, aku ingin bicara dengan beberapa orang Rusia yang pernah berurusan dengan Taylor Winthrop."
"Berarti hampir semua orang dalam pemerintah Rusia."
Dana berkata, "Aku tahu. Tetapi pasti ada beberapa orang Rusia yang punya hubungan lebih dekat dengannya daripada yang lain. Presiden?"
"Mungkin orang yang kedudukannya lebih rendah sedikit," kata Tim Drew tak acuh. "Menurutku, dari semua orang yang pernah berurusan dengannya, ia mungkin paling dekat dengan Sasha Shdanoff."
"Siapa Sasha Shdanoff?"
"Ia kepala Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Aku yakin Winthrop berhubungan dengannya secara resmi dan pribadi." Ia memandang Dana lekat-lekat. "Apakah yang kau cari, Dana?"
"Aku tidak tahu pasti," katanya jujur. "Aku tidak tahu pasti."
Biro Pembangunan Ekonomi Internasional berada di gedung bata merah raksasa di Ozernaya Street, menempati satu blok penuh. Di jalan masuk utamanya, dua polisi Rusia berseragam berdiri di samping pintu, penjaga berseragam ketiga duduk di belakang meja.
Dana berjalan menghampiri meja. Penjaga itu mengangkat muka.
"Dobry dyen," kata Dana.
"Zdrastvuytye. Ne?"
Dana menghentikannya. "Maaf. Saya ke sini untuk menemui Commissar Shdanoff. Saya Dana Evans. Saya dari Washington Tribune Network."
Si penjaga membaca lembaran di hadapannya dan menggeleng. "Anda ada janji?"
"Tidak, tapi?" "Kalau begitu, Anda harus membuat janji dulu. Anda orang Amerika?"
"Ya." Penjaga itu mengaduk-aduk sejumlah formulir di mejanya dan mengangsurkan sehelai pada Dana. "Silakan Anda mengisi ini."
"Baiklah," kata Dana. "Apa saya bisa menemui commissar siang ini?"
Matanya berkedip. "Ya ne ponimayu. Kalian orang Amerika selalu terburu-buru. Di hotel mana Anda menginap?"
"Sevastopol. Saya hanya perlu beberapa men?"
Ia mencatat. "Anda akan dikabari. Dobry dyen."
"Tapi?" Ia melihat ekspresi pria itu. "Dobry dyen."
Dana tinggal di kamarnya sepanjang siang, menunggu telepon. Pukul 18.00, ia menelepon Tim Drew.
"Apakah kau berhasil menemui Shdanoff?" ia bertanya.
"Tidak. Mereka akan meneleponku."
"Jangan ditunggu, Dana. Kau berurusan dengan birokrasi dari planet lain."
Pagi-pagi keesokan harinya, Dana kembali pergi ke Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Penjaga yang sama duduk di balik meja.
"Dobry dyen," kata Dana.
Ia memandang Dana dengan wajah sedingin batu. "Dobry dyen."
"Apakah Commissar Shdanoff menerima pesan saya kemarin?"
"Nama Anda?" "Dana Evans." "Anda meninggalkan pesan kemarin?"
"Ya," katanya datar, "pada Anda."
Penjaga itu mengangguk. "Kalau begitu beliau sudah menerimanya. Semua pesan diterima."
"Boleh saya bicara dengan sekretaris Commissar Shdanoff?"
"Apakah Anda ada janji?"
Dana menarik napas dalam. "Tidak."
Penjaga itu angkat pundak. "Izvinitye, nyet."
"Apa yang bisa saya?"
"Anda akan ditelepon."
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Dana melewati Detsky Mir, toko mainan anak-anak, dan ia pun masuk serta melihat-lihat. Ada bagian toko yang khusus untuk game. Di satu sudut ada rak berisi game komputer. Kemal pasti suka salah satu di antaranya, pikir Dana. Ia membeli sebuah game dan terperanjat melihat betapa mahal harganya. Ia kembali ke hotel untuk menunggu telepon. Pukul 18.00 ia berhenti berharap akan menerima telepon itu. Ia sudah hendak turun ke bawah untuk makan malam ketika telepon berdering. Dana bergegas menghampiri dan mengangkatnya.
"Dana?" Ternyata dari Tim Drew.
"Ya, Tim."
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah ada kabar?"
"Aku khawatir belum."
"Well, mumpung ada di Moskow, kau seharusnya tidak melewatkan hal-hal yang bagus di sini. Ada pertunjukan balet malam ini. Mereka mementaskan Giselle. Kau tertarik?"
"Sangat tertarik, terima kasih."
"Aku akan menjemputmu satu jam lagi."
Pertunjukan balet itu diadakan di Palace of Congresses yang berkapasitas enam ribu tempat duduk di dalam Kremlin. Malam itu sungguh luar biasa. Musiknya indah, tariannya fantastis, dan bagian pertama tak terasa sudah berlalu.
Ketika lampu-lampu dinyalakan sebagai pertanda jeda, Tim berdiri. "Ikuti aku. Cepat."
Orang-orang berdesakan naik.
"Ada apa?" "Kau akan lihat sendiri."
Ketika sampai di lantai atas, mereka disambut setengah lusin meja yang penuh mangkuk kaviar dan botol vodka di dalam ember es. Para pengunjung teater yang sudah lebih dulu sampai di sana sedang sibuk mengambil makanan.
Dana menoleh pada Tim. "Mereka tahu sekali cara menggelar pertunjukan."
Tim berkata, "Beginilah kehidupan kelas atas di sini. Ingat, tiga puluh persen rakyat negara ini hidup di bawah garis kemiskinan."
Dana dan Tim bergeser ke arah jendela, menjauh dari kerumunan orang banyak.
Lampu mulai berkedip. "Saat untuk babak kedua."
Babak kedua sungguh memesona, tetapi dalam pikiran Dana terus terngiang-ngiang potongan-potongan percakapan tadi.
Taylor Winthrop itu scheisse. Oh, ia pintar, sangat pintar. Ia menjebak saya...
Kecelakaan yang patut disayangkan. Gabriel anak yang luar biasa...
Taylor Winthrop menyapu habis masa depan keluarga Mancino...
Ketika pertunjukan balet itu selesai, dan mereka berada di dalam mobil, Tim Drew berkata, "Mau minum sebelum tidur di apartemenku?"
Dana menoleh padanya. Tim menarik, cerdas, dan memesona. Tetapi ia bukan Jeff. Jawaban yang keluar dari bibirnya adalah, "Terima kasih, Tim. Tapi tidak."
"Oh." Kekecewaannya terdengar jelas. "Mungkin besok."
"Sebetulnya aku ingin, tapi aku harus siap pagi-pagi." Dan aku jatuh cinta setengah mati dengan orang lain.
Keesokan paginya Dana datang kembali ke Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Penjaga yang sama duduk di belakang meja.
"Dobry dyen." "Dobry dyen." "Saya Dana Evans. Kalau saya tidak bisa menemui commissar, boleh saya menemui asistennya?"
"Anda punya janji?"
"Tidak. Saya?" Ia menyodorkan selembar kertas pada Dana. "Silakan isi formulir ini..."
Ketika Dana kembali ke kamarnya, telepon genggamnya berdering, dan jantung Dana serasa berhenti berdetak.
"Dana..." "Jeff!" Begitu banyak yang ingin mereka ucapkan. Tetapi Rachel berdiri di antara mereka seperti bayang-bayang, dan mereka tidak bisa membicarakan masalah yang paling mengganggu benak mereka: penyakit Rachel. Mereka bercakap-cakap dengan hati-hati.
*** Telepon dari kantor Commissar Shdanoff datang tanpa diduga-duga pada pukul 08.00 keesokan harinya. Suara sangat beraksen itu berkata, "Dana Evans?"
"Ya." "Di sini Yerik Karbava, Asisten Commissar Shdanoff. Anda ingin bertemu dengan commissar?"
"Ya!" Ia sudah bersiap-siap mendengar pria itu mengatakan, "Apakah Anda punya janji?" Namun Karbava berkata, "Datanglah ke Biro Pembangunan Ekonomi tepat satu jam lagi."
"Baik. Terima kasih banyak?" Telepon ditutup.
Satu jam kemudian Dana kembali memasuki gedung bata raksasa itu. Ia menghampiri penjaga yang sama, yang duduk di belakang meja.
Ia mengangkat muka. "Dobry dyen."
Dana memaksakan diri untuk tersenyum. "Dobry dyen. Saya Dana Evans, dan saya ke sini untuk menemui Commissar Shdanoff."
Ia mengangkat pundak. "Maaf. Tanpa janji?"
Dana menahan marah. "Saya punya janji."
Ia memandang Dana dengan skeptis. "Da?" Ia mengangkat telepon dan berbicara beberapa saat. Lalu ia berpaling pada Dana. "Lantai tiga," katanya enggan. "Akan ada yang menemui Anda di sana."
Kantor Commissar Shdanoff ternyata luas dan kusam, perabotannya tampak dibeli pada awal tahun 1920-an. Ada dua laki-laki di dalam kantor itu.
Ketika Dana masuk, mereka berdiri. Yang lebih tua berkata, "Saya Commissar Shdanoff."
Sasha Shdanoff tampak berusia lima puluhan. Perawakannya pendek dan kekar, dengan rambut kelabu kaku, wajah bulat, pucat, dan mata cokelat yang terus-menerus memandang ke seluruh penjuru ruangan seakan sedang mencari sesuatu. Ia bicara dengan aksen kental. Ia memakai setelan jas cokelat tanpa bentuk dan sepatu hitam yang sudah lecet di sana-sini. Ia menunjuk laki-laki kedua.
"Ini adik saya, Boris Shdanoff."
Boris Shdanoff tersenyum. "Apa kabar, Miss Evans?"
Boris Shdanoff berbeda jauh dari kakaknya. Kelihatannya ia lebih muda sepuluh tahun. Ia memiliki hidung rajawali dan dagu yang kokoh. Ia mengenakan setelan Armani biru muda dengan dasi Herm?s kelabu. Bicaranya hampir tanpa aksen sama sekali.
Sasha Shdanoff berkata bangga, "Boris datang berkunjung dari Amerika. Ia bekerja di kedutaan Rusia di ibukota negara Anda, Washington, D.C."
"Sudah lama saya mengagumi hasil kerja Anda, Miss Evans," kata Boris Shdanoff.
"Terima kasih."
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya Sasha Shdanoff. "Apakah Anda ada masalah?"
"Sama sekali tidak," kata Dana. "Saya ingin bertanya pada Anda mengenai Taylor Winthrop."
Ia memandang heran pada Dana. "Apakah yang ingin Anda ketahui tentang Taylor Winthrop?"
"Saya tahu Anda dulu bekerja dengannya, dan Anda juga kadang-kadang bergaul dengannya sebagai teman."
Sasha Shdanoff berkata hati-hati, "Da."
"Saya ingin tahu pendapat pribadi Anda tentang dia."
"Apa lagi yang bisa disebutkan" Ia duta besar yang baik bagi negara Anda."
"Setahu saya, ia sangat populer di sini dan?"
Boris Shdanoff menyela. "Oh, ya. Kedutaan-kedutaan di Moskow sering mengadakan pesta, dan Taylor Winthrop selalu?"
Sasha Shdanoff memandang marah pada adiknya. "Dovolno!" Ia menoleh kembali pada Dana. "Dubes Winthrop sering menghadiri pesta-pesta di kedutaan. Ia menyukai orang. Masyarakat Rusia menyukainya."
Boris Shdanoff berbicara lagi. "Sebenarnya, ia pernah mengatakan pada saya bahwa kalau bisa, ia?"
Sasha Shdanoff membentak, "Molchat!" Ia berpaling. "Seperti saya katakan tadi, Miss Evans, ia dubes yang baik."
Dana memandang Boris Shdanoff. Jelas pria itu berusaha mengatakan sesuatu padanya. Ia beralih kembali pada sang Commissar. "Apakah Dubes Winthrop pernah terlibat suatu masalah sewaktu ia berada di sini?"
Sasha Shdanoff mengernyit. "Masalah" Tidak." Ia menghindari tatapan Dana.
Ia bohong, pikir Dana. Ia mendesak lebih jauh. "Commissar, bisakah Anda memikirkan alasan mengapa seseorang mungkin ingin membunuh Taylor Winthrop dan keluarganya?"
Mata Sasha Shdanoff melebar. "Membunuh" Keluarga Winthrop" Nyet. Nyet."
"Anda tidak bisa memikirkan satu alasan pun?"
Boris Shdanoff berkata, "Sebenarnya?"
Sasha Shdanoff memotongnya. "Tidak ada alasan apa pun. Ia duta besar yang hebat." Ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotak perak, dan Boris buru-buru menyalakannya.
"Apakah ada hal lain yang ingin Anda ketahui?" Sasha Shdanoff bertanya.
Dana memandang mereka berdua. Mereka menyembunyikan sesuatu, pikirnya, tapi apa" Semua ini terasa seperti berjalan di dalam labirin tanpa pintu keluar. "Tidak." Ia melirik Boris sambil berkata perlahan-lahan, "Kalau Anda teringat apa saja, saya tinggal di Sevastopol Hotel sampai besok pagi."
Boris Shdanoff berkata, "Anda akan pulang?"
"Ya. Pesawat saya berangkat besok siang."
"Saya?" Boris Shdanoff hendak mengatakan sesuatu, melihat kakaknya, dan terdiam.
"Selamat tinggal," kata Dana.
"Proshchayte." "Proshchayte." *** Sekembalinya ke kamar, Dana menelepon Matt Baker.
"Ini ada apa-apanya, Matt, tapi aku tidak bisa mengetahui apa masalahnya. Aku merasa aku bisa tinggal berbulan-bulan di sini dan tetap tidak akan memperoleh informasi bermanfaat. Aku akan pulang besok."
Ini ada apa-apanya, Matt, tapi aku tidak bisa mengetahui apa masalahnya. Aku merasa aku bisa tinggal berbulan-bulan di sini dan tetap tidak akan memperoleh informasi bermanfaat. Aku akan pulang besok.
Rekaman selesai. Bandara Sheremetyevo II malam itu penuh orang. Sementara menunggu pesawat, Dana merasa dirinya sedang diawasi. Ia mengamati orang banyak itu, tetapi tak dapat menemukan siapa pun yang mencurigakan. Mereka ada di luar sana, entah di mana. Dan kesadaran itu membuatnya bergidik.
DUA PULUH SATU MRS. DALEY dan Kemal menunggu di bandara Dulles untuk menjemput Dana. Dana tak menyadari betapa ia merindukan Kemal. Ia merangkulkan kedua tangannya dan mendekap anak itu erat-erat.
Kemal berkata, "Hai, Dana. Aku senang kau sudah pulang. Kau membawakan aku beruang Rusia?"
"Ya, tapi sayang, ia kabur."
Kemal tersenyum lebar. "Apakah kau akan tinggal di rumah sekarang?"
Dana berkata hangat, "Tentu saja."
Mrs. Daley tersenyum. "Itu kabar baik, Miss Evans. Kami sangat senang Anda telah kembali."
"Saya pun senang sudah kembali," kata Dana.
Di dalam mobil, sambil mengemudi menuju apartemen, Dana berkata, "Bagaimana dengan lengan barumu, Kemal" Apakah kau sudah terbiasa memakainya?"
"Lengan ini asyik."
"Aku senang sekali. Bagaimana keadaanmu di sekolah?"
"Tidak ada masalah."
"Tidak ada perkelahian-perkelahian lagi?"
"Ya." "Bagus sekali, Sayang." Dana mengamatinya sejenak. Kemal lain sekarang, jadi pendiam. Seakan telah terjadi sesuatu yang mengubahnya, tetapi apa pun penyebabnya, ia jelas tampak bahagia.
Ketika mereka sampai di apartemen, Dana berkata, "Aku harus pergi ke studio, tapi aku akan segera kembali, dan kita makan bersama. Kita akan pergi ke McDonald"s." Tempat yang biasa kita datangi bersama Jeff.
Ketika Dana memasuki gedung WTN yang besar, ia merasa seolah sudah seabad meninggalkannya. Ketika berjalan menuju kantor Matt, ia disambut setengah lusin rekan kerjanya.
"Senang kau kembali, Dana. Kami merasa kehilangan."
"Senang juga pulang kembali."
"Wah, lihat siapa ini. Apakah kau menikmati perjalananmu?"
"Menyenangkan. Terima kasih."
"Tempat ini tidak sama rasanya tanpa dirimu."
Ketika Dana memasuki kantor Matt, atasannya itu berkata, "Berat badanmu turun. Kau kelihatan kurus."
"Terima kasih, Matt."
"Duduklah." Dana duduk. "Kau kurang tidur belakangan ini?"
"Begitulah." "Omong-omong, peringkat kita merosot sejak kau pergi."
"Aku merasa tersanjung."
"Elliot pasti senang kau menghentikan penyelidikan ini. Ia mengkhawatirkanmu." Matt tidak menyebutkan betapa khawatir ia memikirkan Dana.
Mereka berbicara selama setengah jam.
Ketika Dana kembali ke kantornya, Olivia berkata. "Selamat datang kembali. Selama ini?" Telepon berdering. Ia mengangkatnya. "Kantor Miss Evans... Tunggu sebentar." Ia memandang Dana. "Pamela Hudson di saluran satu."
"Akan kuterima." Dana masuk ke kantornya sendiri dan mengangkat telepon. "Pamela."
"Dana, kau sudah kembali! Kami sangat khawatir. Rusia bukan tempat paling aman belakangan ini."
"Saya tahu." Ia tertawa. "Teman saya membelikan saya semprotan lada."
"Kami merasa kehilangan. Aku dan Roger ingin kau datang minum teh siang ini. Apakah kau punya waktu luang?"
"Ya." "Pukul tiga?" "Bagus." Sisa pagi itu tersita persiapan siaran malam nanti.
Pukul 15.00, Cesar menyambut Dana di pintu.
"Miss Evans!" Seulas senyum lebar tersungging di wajahnya. "Senang sekali bertemu lagi dengan Anda. Selamat datang."
"Terima kasih, Cesar. Bagaimana kabarmu?"
"Baik-baik saja, terima kasih."
"Apakah Mr. dan Mrs.?"
"Ya. Mereka sudah menanti Anda. Boleh saya bawakan mantel Anda?"
Ketika Dana berjalan masuk ke ruang duduk, Roger dan Pamela berseru berbarengan, "Dana!"
Pamela Hudson memeluknya. "Si anak yang hilang sudah kembali."
Roger Hudson berkata, "Kau kelihatan letih."
"Tampaknya semua orang berpendapat begitu."
"Duduk, duduk," kata Roger.
Pelayan masuk membawa nampan berisi teh, biskuit, kue scone, dan croissant. Pamela menuangkan teh.
Mereka duduk, dan Roger berkata, "Well, ceritakanlah pada kami apa yang terjadi."
"Yang terjadi, saya merasa penyelidikan saya tidak berkembang. Saya frustrasi sekali." Dana menarik napas dalam. "Saya menemui orang bernama Dieter Zander yang mengatakan dirinya dijebak Taylor Winthrop dan dipenjarakan. Sewaktu ia mendekam di sana, keluarganya habis dalam kebakaran. Ia menyalahkan Winthrop atas kematian mereka."
Pamela berkata, "Jadi ia punya motif untuk membunuh seluruh keluarga Winthrop."
"Benar. Tetapi ada yang lebih dari itu," kata Dana. "Saya bicara dengan orang yang bernama Marcel Falcon di Prancis. Putra tunggalnya tewas sebagai korban tabrak lari. Sopir Taylor Winthrop mengaku bersalah, tetapi si sopir kini mengatakan Taylor Winthrop-lah pengemudi itu."
Roger berkata sungguh-sungguh, "Falcon dulu anggota Komisi NATO di Brussels."
"Benar. Dan si sopir memberitahunya bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya."
"Menarik." "Sangat menarik. Pernahkah kalian mendengar soal Vincent Mancino?"
Roger Hudson berpikir sejenak. "Tidak."
"Ia anggota Mafia. Taylor Winthrop menghamili anak perempuannya, mengirimnya ke dukun, dan orang itu melakukan aborsi asal-asalan. Gadis itu kini tinggal di biara dan ibunya di sanatorium."
"Ya Tuhan." "Masalahnya, mereka bertiga sama-sama punya motif kuat untuk membalas dendam." Dana menghela napas kesal. "Tetapi saya tidak bisa membuktikan apa-apa."
Roger memandang Dana sambil berpikir, "Jadi Taylor Winthrop benar-benar bersalah melakukan segala perbuatan mengerikan itu."
"Tidak ada keraguan dalam hal ini, Roger. Saya sudah bicara dengan orang-orang itu. Siapa pun di antara mereka yang berada di belakang pembunuhan-pembunuhan tersebut, ia mengaturnya dengan sangat cemerlang. Tidak ada jejak apa pun"sama sekali tidak ada. Setiap pembunuhan dilakukan dengan modus operandi yang berlainan, jadi tidak ada pola yang jelas. Setiap detail digarap cermat. Tidak ada yang dibiarkan berisiko. Tidak ada satu saksi pun atas semua kematian itu."
Pamela berkata hati-hati, "Aku tahu ini mungkin kedengaran terlalu mengada-ada, tapi"apakah mungkin mereka bekerja sama merancangnya untuk membalas dendam?"
Dana menggeleng. "Saya tidak percaya ada kolusi dalam hal ini. Orang-orang yang saya ajak bicara itu punya kekuasaan besar. Saya kira masing-masing tentunya ingin melakukannya sendiri. Hanya salah satu di antara mereka yang bersalah."
Tapi yang mana" Dana mendadak melihat arloji. "Maaf. Saya tadi berjanji mengajak Kemal makan malam di McDonald"s, dan kalau bergegas, saya bisa melakukannya sebelum pergi bekerja."
"Tidak apa," kata Pamela. "Kami sepenuhnya mengerti. Terima kasih kau telah bersedia mampir."
Dana bangkit untuk pergi. "Dan terima kasih untuk Anda berdua atas teh dan dukungan moral Anda."
*** Senin pagi, saat mengantar Kemal ke sekolah, Dana berkata, "Sudah lama aku rindu melakukan ini, tapi aku sekarang sudah kembali."
"Aku senang." Kemal menguap.
Dana sadar Kemal terus-menerus menguap sejak bangun. Dana bertanya, "Tidurmu nyenyak semalam?"
"Yeah. Kurasa begitu." Kemal menguap lagi.
"Apa yang kaukerjakan di sekolah?" Dana bertanya.
"Maksudmu selain pelajaran sejarah dan bahasa Inggris yang membosankan?"
"Ya." "Aku main sepak bola."
"Kegiatanmu tidak terlalu banyak, kan, Kemal?"
"Tidak." Ia melirik sosok rapuh di sampingnya. Dana melihat seluruh energi seakan telah menguap dari diri Kemal. Sikap diamnya tak wajar. Dalam hati Dana menimbang apakah ia perlu membawanya ke dokter. Mungkin ia bisa mengecek dan menanyakan apakah ada vitamin yang dapat memberi Kemal energi. Ia melihat arloji. Rapat untuk siaran malam ini tinggal setengah jam lagi.
Pagi itu lewat dengan cepat, dan menyenangkan sekali rasanya berada di dunianya lagi. Ketika Dana kembali ke kantor, di meja kerjanya ada sehelai amplop bertuliskan namanya. Ia membukanya. Surat di dalamnya berbunyi:
"Miss Evans, saya punya informasi yang Anda inginkan. Saya sudah memesankan kamar atas nama Anda di Soyuz Hotel di Moskow. Datanglah segera. Jangan beritahu siapa pun mengenai hal ini."
Surat itu tanpa tanda tangan. Dana membaca surat tersebut sekali lagi, tak percaya. Saya punya informasi yang Anda inginkan.
Pasti ini cuma tipuan. Kalau seseorang di Rusia memiliki informasi yang dicarinya, mengapa orang itu tidak menceritakannya ketika ia ada di sana" Dana memikirkan pertemuannya dengan Commissar Sasha Shdanoff dan adiknya, Boris. Boris sepertinya sangat ingin berbicara dengannya, dan Sasha terus menyelanya. Dana duduk di belakang meja, sambil berpikir. Bagaimana surat itu bisa sampai ke mejanya" Apakah ia diawasi"
Aku akan melupakannya, Dana memutuskan. Ia menjejalkan surat itu ke dalam tas. Aku akan merobeknya begitu tiba di rumah.
Dana menghabiskan malam itu bersama Kemal. Ia mengira Kemal akan gembira karena game komputer yang baru dibelikannya di Moskow, tetapi anak itu seperti tak peduli. Pukul 21.00 matanya mulai terpejam.
"Aku ngantuk, Dana. Aku mau tidur."
"Baiklah, Sayang." Dana mengawasinya pergi ke ruang belajar dan berpikir, Ia begitu berubah. Aku seperti tidak mengenalnya lagi. Ah, mulai sekarang kami akan bersama-sama. Kalau ada yang mengusik hatinya, aku pasti akan tahu. Tiba saatnya untuk berangkat ke studio.
Di apartemen sebelah, penghuninya melihat layar televisi dan berbicara pada tape recorder.
"Subjek sudah berangkat ke studio televisi untuk siaran. Anak itu sudah tidur. Pengurus rumah sedang menjahit."
Istana Tulang Emas 1 Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah Darah Ksatria 4