Pencarian

Paket Bergambar Tengkorak 2

Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak Bagian 2


Tetapi mulutnya kering. "Aku hanya punya seorang ibu. Dulu ia memang baik,
tetapi setelah kawin lagl... Pokoknya ia jadi lain. Paul Lorenz, yang katanya
jadi ayah tiriku, ternyata benar-benar brengsek. Malas kerja, selalu mabuk,
jahat dan kasar. Ia benci padaku. Ibuku tergila-gila padanya. Karena itu ia
selalu menurut pada kemauan ayah tiriku. Sejak itu aku tidak pernah
diperhatikannya lagi. Jadi, untuk apa aku tinggal bersama mereka. Sudah lama aku
kabur dari rumah. Mereka sama sekali tidak berusaha untuk mencariku, Barangkali
aku sudah dianggap mati."
"Jangan ngaco. Kemungkinan besar ibumu menangis terus karena kau pergi dari
rumah," "Sayang kenyataannya tidak begitu, Sporty. Tempat tinggalku di Jalan Burghof
dipakai beramai-ramai. Tetapi sejak beberapa waktu tinggal aku yang mash di
sana. Yang lain sudah pada pindah. Tempatnya tidak istimewa, tetapi lumayanlah.
Yang penting ada atap di atas kepala,"
Sporty merasa sangat terpukul. "Dan bagaimana dengan kursus montirmu itu?"
tanyanya. "Sudah lama berhenti."
"Lalu, apa pekerjaanmu sekarang?"
"Nggak ada." "Tapi dari mana kau dapat uang untuk makan?"
"Aku minta-minta pada orang-orang yang kukenal, seperti tadi di WC waktu aku mau
pinjam duitmu. Tapi sebagian besar habis untuk beli barang."
Mereka telah berjalan agak jauh dan kini membelok ke sebuah jalan kecil.
"Kau tidak bisa terus-terusan begini, Frank. Kau menghancurkan dirimu sendiri."
"Ah, masa bodoh amat! Aku tak peduli."
"He, mikir dong! Kau masih muda. Kau masih punya waktu banyak. Kau harus
melepaskan ketergantunganmu pada heroin. Mulai hari ini! Thomas, Oskar, dan aku
akan membantumu." Frank berhenti. Dengan pandangan curiga ia menatap Sporty.
"Kau bilang mau kasih sepuluh Mark padaku!"
"Aku mau membantumu. Di mana Jalan Burghof?"
"Jalan berikut belok ke kiri."
Sebelum mereka mencapai belokan itu, Frank sudah tidak kuat lagi. Ia ambruk
begitu saja. Untung Sporty sempat menangkapnya. Dengan demikian kepala anak itu tidak sampai
membentur aspal jalanan. Dengan susah payah Frank mencoba menarik napas. Sekujur tubuhnya menggigil. Ia
mengatakan sesuatu, tetapi Sporty tidak dapat memahaminya, Sporty segera
mengangkat anak itu dan menggendongnya. Ia terkejut ketika menyadari betapa
entengnya tubuh Frank, seakan-akan hanya terdiri dari tulang yang dibungkus
kulit. Sporty mengangkat temannya dan berlari kecil menuju alamat yang diberikan
anak itu. Rumah nomor sebelas ternyata merupakan sebuah bangunan dengan kondisi sangat
menyedihkan, Orang-orang yang semula tinggal di sana sudah lama meninggalkan
rumah itu. Sejak itu gedungnya tidak diurus. Kaca jendelanya pecah semua. Dan
pintu rumah hampir copot dari engselnya.
Lampu di selasar tidak menyala. Sambil meraba-raba mencari jalan, Sporty menaiki
tangga. "Tuh, pintu di sebelah sana," kata Frank dengan tersendat-sendat, ketika mereka
sampai di tingkat tiga. Pintunya terkunci. Frank bersandar ke dinding dan menyerahkan sebuah anak kunci
pada Sporty. Tenaganya sudah agak pulih kembali, sehingga ia dapat berjalan
tanpa perlu dibantu. Mereka memasuki tempat tinggal Frank yang hanya terdiri dari dua kamar. Sporty
menghidupkan lampu dan memandang sekelilingnya. Tidak ada perabot kecuali sebuah
kasur yang tergeletak di lantai yang kotor sekali. Sebuah selimut tipis menutupi
sebagian kasur. Dinding kamar itu penuh dengan poster-poster. Pada kusen jendela
Sporty melihat beberapa buah botol yang pernah berisi anggur murahan.
Frank langsung berbaring di atas kasur tadl. Napasnya masih tersengal-sengal.
Tetapi kondisinya sudah agak membaik.
"Perlu panggil dokter?" tanya Sporty.
"Jangan, aku nggak apa-apa, kok. Aku memang biasa begini kalau sudah lama tidak
dapat barang." Dengan pandangan iba Sporty menatap temannya.
Aku tak bisa membiarkannya begitu saja, ujarnya dalam hati. Itu sama saja dengan
menjatuhkan hukuman mati padanya. Aku harus membantunya. Tapi tak seorang pun di
antara anggota STOP yang punya pengalaman dalam mengurus pecandu narkotika.
Hanya ada satu jalan, aku harus menghubungi pusat rehabilitasi korban narkotika.
Tiba-tiba Frank hendak berdiri. "Sporty, aku..."
"Jangan banyak bergerak," Sporty memotong sambil mendorongnya kembali ke kasur.
"Kau tiduran saja dulu. "
"Aku perlu barang untuk nyuntik," Frank berkata. "Kau harus menolongku, aku
tidak tahan lagi!" "Aku akan menolongmu. Tetapi bukan dengan cara membelikan heroin untukmu. Sadar
dong, kau tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini."
"Tapi aku tidak kecanduan!" Frank ngotot
"Lalu. kenapa keadaanmu bisa seperti itu, hah?".
Frank tidak menjawab. Ia membalikkan badan dan menghadap ke tembok. Tiba-tiba ia
menangis sambil menutupi kepalanya dengan selimut.
"Kau menipuku," ujarnya terisak-isak. "Kau tidak mau menolongku. Dan sekarang
sudah terlambat. Jatahku sudah dijual ke orang lain. Aku... aku tak tahan lagi.
Aku pasti mampus" "Mumgkin saja keadaanmu memang tak keruan, Frank. Aku tidak dapat memastikannya.
Tapi kita bisa mengatasinya. Kau takkan mampus, kecuali kalau kau masih mau
diperbudak oleh heroin. Kau harus menghentikan kebiasaanmu. Sekarang! Malam ini
juga! Aku yakin kau dapat melakukannya. Aku tidak percaya kau sudah bosan hidup.
Umurmu baru empat belas tahun! Bukan begini caranya membalas dendam pada ayah
tirimu. Kau harus menunjukkan bahwa kau lebih mampu daripada dia! Kau harus mau
belajar dan bekerja keras. Hanya dengan cara itu kau bisa maju."
Sporty mengangkat kepala. Di luar terdengar suara langkah. Ia membuka pintu dan
teman-temannya masuk. Petra benar-benar ikut, walaupun tanpa Bello.
"Eh, kau tahu ke mana kita bisa membawanya?" gadis itu berbisik pada Sporty. "Ke
rumah Doktor Bienert! Soalnya ia sering membimbing remaja-remaja yang kecanduan
narkotika. Ia pasti bisa membantu Frank. "
"Oh, ya! Aku benar-benar tidak ingat!" seru Sporty,
Doktor Bienert adalah salah seorang guru di sekolah mereka. Bersama istrinya, ia
membina anak-anak muda yang kehilangan pegangan, terutama para remaja yang
ketagihan narkotika. Mereka siap membantu siapa saja, asal orang itu memang
berkemauan untuk memperbaiki diri. Sampai sekarang usaha mereka telah membuahkan
hasH yang menggembirakan.
Keempat anggota STOP duduk mengelilingi Frank. Anak itu masih saja menggigil.
Tetapi Petra membawa dua pil obat tidur yang cukup ampuh. Ia tahu obat itu dapat
meringankan penderitaan seorang pecandu yang sedang nagih. Obat itu ternyata
memang membantu, dan Frank mulai agak tenang.
Kemudian ia menceritakan pengalamannya sejak berhenti sekolah sampai sekarang.
Masalah yang dihadapinya serupa dengan persoalan ribuan remaja lain. Ia kurang
diperhatikan oleh orang tuanya. Kegagalannya dalam menempuh pendidikan
membuatnya merasa rendah diri dan tidak berguna. Suatu ketika, seorang temannya
menawarkan ganja, sejenis narkotika yang diisap seperti rokok. Iseng-iseng ia
menerimanya. Tidak lama kemudian, ia mulai menyuntikkan heroin. Sejak itu
kesehatannya memburuk dengan cepat.
"Kami akan membawamu ke rumah Doktor Bienert," kata Petra. "Apakah kau sudah
pernah mendengar kabar tentang kelompok yang dibinanya?"
Frank mengangguk dengan lemah.
"Kau pasti akan berhasil," Sporty mencoba memberi semangat pada temannya itu.
"Dan dalam berapa minggu kau akan merasa heran sendiri bagaimana kau bisa
terjerumus dalam lingkaran setan ini."
"Ya, mudah-mudahan."
"Dari mana sih kau memperoleh heroin itu?"
"Dari seorang pengedar. Aku salah seorang langganannya. "
"Siapa namanya?"
"Ia nggak pernah menyebutkan namanya. Di dalam lingkungan kami, nama tidak
penting, Aku hanya tahu di mana orang itu biasa mangkal."
"Di mana?" "Di depan Super-Sound-Disco. Dan di dekat sebuah kios majalah."
"Kau kenal Detlef Egge?" tanya Sporty.
"Aku hanya pernah melihatnya."
"Apakah ia salah seorang pengedar?"
Frank kelihatan ragu-ragu sebelum menjawab, "Aku dengar ia punya hubungan dengan
seorang pedagang heroin kelas kakap, Tapi aku nggak tahu pasti. Si Egge itu
selalu bergerak di balik layar Ia nggak pernah langsung terlibat."
"Apakah ia juga kecanduan?"
"Siapa" Si Egge" Mana mungkin! Dia tidak pernah nyuntik. Paling-paling ia cari
untung dengan menjual heroin. Anak itu benar-benar mata duitan. Padahal, orang-
orang bilang dia anak orang kaya."
"Dan Toni?" "Toni Wiedemann, maksudmu?"
"Mungkin," Sporty menjelaskan ciri-cirinya.
"Benar, itu Toni Wiedemann," Frank berkomentar. "Dia salah seorang pengedar.
Nggak punya orang tua. Sejak kecil ia tinggal di sebuah asrama. Dulu sempat
bekerja, tetapi sekarang hidup dari hasil penjualan heroin. Aku tidak kenal dia,
tetapi menurut anak-anak, si Toni itu amat licik."
Frank berusaha bangkit. "Ada satu hal lagi. Aku akan ke rumah si Bienert, tapi dengan satu syarat: tidak
ada yang bertanya mengenai teman-temanku. Atau tentang para pengedar. Aku takkan
mengeluarkan sepatah kata pun mengenai mereka. Kalau sampai mereka tahu bahwa
aku ngomong, maka tamatlah riwayatku! Kalian mengerti?"
Sporty menenangkannya. Kemudian mereka berangkat menuju rumah Doktor Bienert.
9. Evi Naksir Detlef Egge
MEREKA naik taksi. Soalnya Frank tidak akan sanggup berjalan kaki sejauh itu.
Salju kembali turun, Jalanan sepi. Si pengemudi taksi bertanya mengapa wajah
Frank begitu pucat Sporty terpaksa berbohong sedikit. Ia mengatakan bahwa
temannya itu salah makan.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di tempat tujuan, Petra mendahului teman-
temannya. Ia mengenal Dr. Bienert. Ayahnya dan Dr. Bienert sering bekerja sama
dalam menangani kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak muda yang
kecanduan narkotika. Sporty membayar taksi. Thomas dan Oskar memapah Frank masuk ke rumah Dr.
Bienert. "Semuanya sudah beres," ujar Petra sambil mendesah. "Frank bisa tinggal di sini.
Doktor Bienert akan menghubungi Bu Weyler."
"Berarti, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan," kata Sporty. "Sekarang
semuanya tergantung pada Frank."
Oskar mengeluarkan persediaan coklatnya,
"Nih, siapa yang mau?" ia menawarkan. "Aku jadi lapar setelah segala kesibukan
tadi. Ternyata aku juga sudah kecanduan. Bukan kecanduan narkotika, tetapi
coklat! " " Ah, kau bukannya kecanduan," Thomas berkomentar. "Kau hanya rakus."
"Pokoknya aku senang," Oskar memprotes. "Dan kondisiku juga tidak pernah separah
Frank." "Tetapi kakimu semakin lama semakin pendek."
"Ah, yang benar?"
"Benar! Soalnya mereka tidak sanggup menahan bobot tubuhmu yang gembrot itu."
"Daripada kurus kering seperti kau," balas Oskar. "Kau hanya iri karena badanmu
mirip tiang bendera."
Sporty dan Petra memperhatikan pertengkaran itu sambil tersenyum. Setelah
mengalami kejadian menyedihkan, mereka kini membutuhkan sedikit hiburan. Tetapi
bayangan wajah Frank tidak mau hilang dari kepala Sporty.
"Padahal mula-mula ia hanya iseng," ujar anak itu sambil merenung. "Dan sekarang
ia telah diperbudak oleh heroin Untuk apa sebenarnya narkotika itu di-
ciptakan?" "Kau jangan memandang masalah ini hanya dari satu segi saja," kata Thomas, si
Komputer. Dengan gaya menggurui ia menambahan, "Narkotika tidak selamanya
merusak. Kadang-kadang malah dapat membantu. Dalam dunia kedokteran, misalnya.
Bayangkan kesulitan yang akan dihadapi oleh para ahli bedah, seandainya mereka
tidak dapat membius pasien-pasien yang akan menjalani operasi. Narkotika hanya
membahayakan jika disalahgunakan. Dan ini memang semakin sering terjadi.
"Apakah kalian tahu bahwa narkotika dibagi dalam tiga kelompok besar" Yang
pertama adalah kelompok obat penenang, yang meliputi obat tidur dan semua obat
yang dihasilkan dengan bahan dasar opium. Yang Kedua adalah kelompok obat yang
dapat mempercepat metabolisme, Hampir semua obat yang termasuk kelompok ini
hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Tetapi dalam arti luas, alkohol dan
tembakau juga dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Dan yang terakhir meliputi
semua bahan yang dapat mengubah tingkat kesadaran seseorang, seperti LSD,
meskalin, marijuana, dan hashis. Semua jenis narkotika mengakibatkan
ketergantungan. Tetapi di tangan seorang dokter, dan dengan dosis yang tepat,
narkotika dapat mengurangi rasa sakit serta menyembuhkan penyakit tertentu."
"Apa sih hashis itu?" tanya Oskar.
"Getah yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar daun tanaman hashis. Nama Latinnya
canabis sativa.- Tanaman itu terutama terdapat di India, Amerika Selatan, dan di
Afrika." "Kalau heroin?" Oskar kembali bertanya.
"Sejenis narkotika yang dihasilkan dari tanaman opium. Oleh para ilmuwan disebut
diacethyl-morphium. Pembuatannya harus melalui proses kimia. Heroin paling
berbahaya di antara semua jenis obat bius, karena cepat sekali mengakibatkan
kecanduan." "Jadi, persoalan itu sudah jelas," ujar Petra cepat-cepat. "Tapi ada hal lain
yang juga perlu diketahui. Mengenai Detlef Egge, " gadis itu menambahkan sambil
menoleh ke arah Sporty. "Percaya atau tidak, Evi ternyata mengenal Detlef."
"Evi?" tanya Sporty.
"Ya, saudara sepupuku yang aku jemput di stasiun kereta api tadi sore. Aku
benar-benar sebal. Mana aku tahu ia kenal si Egge itu. Waktu kami berbincang-
bincang di rumah, aku-dan Thomas serta Oskar juga - memperoleh kesan bahwa Evi
hanya datang karena Detlef. Bukan karena ingin mengunjungiku atau orang tuaku.
Ternyata, ia sudah berkenalan dengan si Egge ketika terakhir kali berkunjung ke
rumahku. Mereka bertemu di salah satu diskotek. Tetapi ia tidak pernah
menceritakan hal itu padaku. Mungkin waktu itu Evi beranggapan bahwa aku masih
terlalu kecil. Nah, sejak itu mereka berhubungan melalui surat. Kata Evi,
tampang Detlef lumayan keren, walaupun memang agak sok."
"Apakah kalian memberi tahu Evi tentang kelakuan DetIef?" Sporty bertanya.
"Tentu saja tidak. Apalagi yang menyangkut persoalan kita dengan Detlef," jawab
Petra. "Sepupuku benar-benar tergila-gila pada Detlef," gadis itu menambahkan kemudian.
"Detlef besok akan mengadakan pesta karnaval di rumahnya. Evi diundang. Ia juga
boleh membawa beberapa orang lagi. Aku diajaknya. Ia menyuruhku mencari teman-
teman lain yang mau ikut. Tapi semua orang harus datang dengan menyamar. Supaya
lebih meriah, katanya."
"Boleh pakai topeng?" tanya Sporty.
"Tentu saja." "Kalau begitu mungkin ada baiknya kita ikut meramaikan pesta itu," ujar Sporty.
"Barangkali kita bisa memperoleh keterangan mengenai Detlef."
"Asyik!" seru Oskar. "Siapa tahu Detlef membagi-bagikan heroin pada semua tamu.
Asal penyamaran kita tepat, maka tidak akan ada orang yang tahu siapa kita
sebenarnya." Sporty melirik jam tangannya. "Sudah waktunya aku dan Oskar kembali ke asrama,"
katanya. "Sayang, padahal sekarang baru mulai ramai," Oskar mengeluh.
"Nanti malam keadaannya lebih ramai lagi," Sporty berkomentar.
"Kenapa" Ada pesta lagi?" tanya Oskar. "He, tunggu dulu! Kau kan tadi pergi ke
rumah Detlef" Bagaimana hasilnya?"
"Ya, kita sampai lupa map ibumu itu hilang," ujar Petra. "Habis, kita terlalu
sibuk mengurus Frank, sih. Ayo, cerita dulu, dong!"
Sambil berjalan pulang, Sporty melaporkan hasil kunjungannya ke rumah DetIef
Egge, dan juga isi percakapan antara Toni Wiedemann dan Dieter Lembke yang
sempat didengarnya di Super-Sound-Disco.
"Busyet!" bisik Oskar. "Jadi tengah malam nanti mereka harus ke tempat
penampungan gelandangan di dekat Kuburan Lama, dan menyerahkan uang sejumlah
50.000 Mark" Gila, aku tak sangka kalau penjahat ternyata bisa diperas juga! Dan
kau, Sporty, tidak akan melewatkan kesempatan ini, bukan" Pokoknya, aku harus


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikut kalau kau ke sana."
"Aku juga!" kata Petra. "Tapi pasti tidak boleh." Dengan kesal ia menghentakkan
kaki. "Kaum wanita memang selalu dirugikan. Semuanya terlalu berbahaya untuk
kami." "Ada untungnya juga," ujar Sporty sambil nyengir. "Kau tidak perlu repot-repot
bercukur setiap pagi."
Thomas dan Oskar tertawa terbahak-bahak. Sporty kembali serius.
"Kalian kan belum tahu apa rencanaku," katanya. "Aku..."
Ia tidak melanjutkan kalimatnya karena Petra sama sekali tidak memperhatikannya.
Gadis itu rupanya melihat seekor anjing yang berdiri di pojok jalanan. Secara
bergantian, anjing itu mengangkat kedua kaki depannya dan menjilatnya.
"Garam!" seru Petra dan bergegas ke arah anjing itu. Langsung saja gadis itu
berjongkok di depannya, lalu membelai kepalanya.
"Aku perlu sapu tangan," ia berseru pada teman- temannya.
"Sapu tanganku terlalu kotor," balas Oskar. "Kasihan anjingnya, nanti."
"Aku lupa bawa," ujar Thomas cepat-cepat.
"Terpaksa, deh." Sporty merogoh kantung celananya. "Nih, pakai saja sapu
tanganku." "Tuh, lihat. Susi berterima kasih," kata Petra. "Ayo, Susi, salaman dulu, dong!"
"Ia benar-benar hafal setiap anjing di kota ini," bisik Oskar sambil menggeleng-
geleng, Petra membersihkan keempat kaki anjing itu. Kemu- dian ia mengangkat dan
menggendong Susi-atau apa pun nama anjing itu. Seratus meter dari tempat tadi,
Petra melepaskannya. "Di sini kau bisa berjalan dengan tenang. Petugas-petugas jalan raya belum
menyebarkan garam di sini."
Dengan gembira Susi mengibas-ngibaskan ekor. Kemudian anjing itu berlari
menjauh. "Sebenarnya aku tadi hendak menerangkan rencanaku," kata Sporty ketika Petra
telah kembali, "Kalau Saudara-saudara sekalian bisa diam sebentar, aku akan
mencobanya sekali lagi. Jadi begini, nanti malam, aku akan mendatangi tempat
penampungan gelandangan itu. Ini benar-benar suatu kesempatan emas untuk
memperoleh kembali map berisi dokumen-dokumen milik ibuku itu."
"Lho, bagaimana caranya?" tanya Oskar terheran-heran.
"Aku menduga Detlef Egge terlibat dalam pemerasan itu. Kalau dugaanku benar,
maka aku akan dapat memaksanya untuk mengembalikan map itu.
"Maksudmu?" tanya Petra.
"Aku menduga bahwa pemeras itu tak lain adalah Detlef sendiri."
"Apa" Detlef memeras rekan-rekannya sendiri" Tapi itu..."
"Masuk akal, bukan?" ujar Sporty. "Si Egge benar-benar mata duitan. Baginya,
yang terpenting adalah uang. Hanya uang. Karena itulah ia terlibat dalam
penjualan narkotika, Si Zaulich yang membawa obat bius itu. Detlef bertindak
sebagai semacam perantara. Ia membagi-bagikan barang itu kepada para pengedar.
Antara lain kepada Toni Wiedemann, dan terutama kepada Dieter Lembke, pemilik
Super-Sound DIsco. Kita tahu bahwa ketiga orang itu berkomplot. Tetapi aku ragu
apakah mereka juga berteman. Berteman seperti kita, maksudku. Satu-satunya
ikatan di antara mereka adalah kerakusan memperoleh uang.
"Aku takkan heran kalau si Egge memeras rekan-rekannya. Ia mengenal mereka dan
tahu persis sejauh mana ia bisa melangkah. Ia juga mengetahui rencana-rencana
mereka dalam menghadapi pemeras tak dikenal itu. Agar tidak dicurigai, ia turut
menyumbangkan 10.000 Mark. Tetapi ia akan memperoleh keuntungan sebesar 40.000
Mark kalau usaha pemerasannya berhasil. Lembke sebenarnya merasa agak heran dari
mana si pemeras itu memperoleh informasi mengenai mereka. Soalnya kecuali mereka
sendiri tidak ada orang yang tahu bahwa mereka bertiga terlibat dalam penjualan
narkotika. Tetapi ia sama sekali tidak menduga bahwa Detlef-lah biang keladinya.
Memang, kita juga belum punya bukti-bukti. Tetapi aku merasa yakin bahwa
dugaanku itu benar. Kita lihat saja nanti."
"Aku ikut," ujar Thomas,
"Aku juga!" seru Oskar bersemangat. "Di mana kita akan berkumpul lagi" Dan jam
berapa?" Petra memasang wajah sebal. "Sebenarnya aku juga ingin ikut. Mana bisa aku tidur
dengan tenang kalau kalian sedang berkeliaran malam-malam. Tapi apa boleh buat.
Mudah-mudahan saja Evi tidak membuat aku jengkel dengan ocehannya mengenai pesta
di rumah Detlef itu."
10. Tengah Malam di Kuburan Lama
PUKUL sembilan lewat sepuluh Sporty dan Oskar tiba di asrama. Dengan hldung
merah dan kaki basah. Mereka langsung melapor pada petugas piket. Orang itu
melirik ke arah jam dinding, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Anak-anak yang
tinggal di asrama memang diperbolehkan pulang agak malam kalau orang tua mereka
sedang berkunjung. Oskar langsung menuju SARANG RAJAWALI, kamar mereka. Tadi siang secara tidak
sengaja ia mematikan alat pemanas. Sekarang ia menyesal. Suhu di kamar itu sama
dinginnya dengan suhu di luar.
Sementara itu, Sporty menelepon Hotel Kaiserhof dan minta disambungkan dengan
ibunya. Bu Carsten senang ketika mendengar suara anaknya. Ia berusaha kedengaran
gembira, tetapi Sporty tetap merasakan kesedihan ibunya. Ia mencoba menghiburnya
dan berkata bahwa ia segera akan menemukan pencuri map berisi dokumen-dokumen
itu. "Tetapi jangan sampai kau terancam bahaya," Bu Carsten menanggapinya. "Kau harus
berjanji bahwa kau akan berhati-hati!"
Ketika Sporty kembali ke SARANG RAJAWALl Oskar sedang berbaring di tempat
tidurnya sambil mengunyah coklat.
"Aku menabung tenaga dulu." katanya. "Jam berapa kita mau berangkat?"
Sporty nyengir. Oskar selalu saja mencoba membuat lelucon. Sayangnya, ia tidak
terlalu berbakat. SARANG RAJAWAll terletak di lantai dua bangunan utama asrama itu. Hanya ada satu
pintu untuk meninggalkan asrama itu, dan pintu itu setiap malam dikunci oleh
petugas piket. Berarti, kalau salah seorang penghuni asrama mau keluar malam-
malam, ia harus turun melalui jendela. Tetapi itu bukan halangan bagi Sporty.
Setiap kali hendak kabur, ia memasang seutas tali pada kusen jendela dan
melemparkannya ke bawah. Tali itu ia pergunakan untuk turun, kemudian untuk naik
lagi kalau sudah kembali dari petualangannya. Tidak ada masalah baginya.
Lain halnya dengan Oskar. Anak itu terpaksa tinggal di kamar sementara Sporty
berkeliaran di luar. Soalnya ia tidak sanggup menuruni tali itu. Apalagi naik!
Badannya yang gendut tidak memungkinkannya.
Karena itu, Sporty menduga bahwa Oskar tadi hanya bergurau.
"Jadi, jam berapa kita berangkat?" Oskar mengulangi pertanyaannya.
"Memangnya kau punya kunci pintu depan?"
"Tidak. Untuk apa?"
"Bagaimana caranya kau bisa keluar asrama kalau begitu" Aku tak sanggup
menggendongmu kalau harus memanjat tali. Lagi pula, mana ada tali yang kuat
menahan berat badanmu?"
"Jangan sok," ujar Oskar sambil nyengir. "Aku tak butuh bantuanmu. Aku juga bisa
naik-turun tali " "Sejak kapan" Setiap kali pelajaran olahraga, kau hanya terbengong-bengong kalau
disuruh manjat tali."
"Siapa yang mau manjat tali" Gengsi, dong! Aku punya tangga khusus."
"Apa?" tanya Sporty, Kali ini ia sendiri yang terbengong-bengong.
"Kaukira aku senang tinggal di kamar sementara kau bertualang di luar" Nah,
sekarang aku bisa ikut. denganmu. Tangganya kubawa dari rumah. Diam-diam
tentunya. Aku menyimpannya di lemari pakaianku. Di bawah tumpukan celana
panjang." "Kenapa baru sekarang kau memberitahuku?"
"Aku ingin bikin kejutan."
Sporty tertawa. "Tapi ingat," katanya kemudian, "kekuatan tangga itu juga ada
batasnya. Maka dari itu, kau harus berhenti makan coklat. Kalau tidak, badanmu
semakin gembrot saja."
"Ah, aku kan hanya makan sedikit saja."
"Yang kausebut sedikit itu sebenarnya cukup untuk empat orang!"
Sporty berganti baju dan naik ke tempat tidurnya. Oskar mulai membaca buku.
Petualangan Tom Sawyer dan Huckleberry Finn, buku yang paling ia senangi. Ia
telah delapan kali membaca buku itu. Beberapa bab sudah ia hafal luar kepala.
"Paling lambat jam sebelas kurang seperempat kita kabur dari sini." kata Sporty.
"Kita ketemu Thomas di depan Bioskop Top."
"Thomas pasti kaget kalau lihat aku ikut, " ujar Oskar sambil tersenyum senang.
"Ngomong-ngomong, apa kau pernah datang ke Kuburan Lama" Tengah malam begini,
maksudku." "Sudah. Aku malah berkawan baik dengan hantu-hantu di sana. Tapi hati-hati kalau
kau berjabatan tangan dengan mereka. Kasihan, tangan mereka tidak ada
dagingnya." "Kau mau menakut-nakuti aku, ya?" Oskar mengomel.
"Bukan, malah sebaliknya. Nanti aku akan memperkenalkan kau pada mereka," balas
Sporty sambil tertawa "Lebih baik kita sikat gigi sekarang saja. Nanti malam mungkin tidak
sempat. Aku lebih senang sikat gigi daripada harus berkunjung ke dokter gigi
untuk dibor. " "Oh ya, aku juga harus ke dokter gigi," Oskar mendesah. "Soalnya gigiku banyak
lubangnya Katanya, aku harus..."
"Kau harus berhenti ngemil coklat, bukan?" Sporty meneruskan kalimatnya
"Busyet, dari mana kau tahu?"
"Anak kecil pun tahu bahwa terlalu banyak makan makanan yang manis-manis akan
merusak gigi. Aku sendiri hanya sekali setahun ke dokter gigi. Tetapi setiap
kali datang, gigiku hanya diperiksa sebentar, terus sudah, aku bisa pulang lagi.
Seumur hidup gigiku belum pernah ada yang terpaksa dibor. Kenapa bisa begitu"
Karena aku jarang makan permen dan coklat. Coba bandingkan dengan keadaanmu.
Badanmu semakin bengkak. Gigimu bolong-bolong. Dan nilaimu dalam pelajaran
olahraga tidak pernah beranjak dari lima. Sudah waktunya kau menghentikan
kebiasaanmu itu." Untuk beberapa saat Oskar terdiam.
"Mungkin aku harus bergabung dengan kelompok yang diasuh Pak Bienert. Aku. bukan
kecanduan narkotika, tetapi kecanduan coklat. Mereka pasti belum pernah
mengobati kecanduan seperti itu."
"Nggak lucu," ujar Sporty. Ia bangun lagi dan menuju kamar mandi untuk menyikat
gigi dan cuci muka. Suasana di asrama semakin hening. Hanya dari beberapa kamar saja masih terdengar
suara para penghuni saling berbisik-bisik.
Sporty menghadap ke jendela. Di luar, langit terlihat kelabu. Bulan tersembunyi
di balik awan tebal. Salju turun tak henti-hentinya.
Oskar telah tertidur lelap. Sebentar-sebentar Sporty melirik jam tangannya.
Pukul setengah sebelas ia membangunkan teman-temannya itu. Cepat-cepat mereka
berpakaian. Tentu saja mereka memilih pakaian yang tebal-tebal. Sporty tidak
lupa membawa sebuah senter. Oskar mengeluarkan tangganya. Masih terbungkus
plastik. Harganya juga masih tertempel
"Kuat tidak, ya?" tanya Oskar agak ragu-ragu.
"Kita lihat saja."
Tangga itu ternyata dapat menahan berat badan Oskar. Dengan napas tersengal-
sengal, anak itu sampai di bawah.
Udara pada malam hari dingin sekali. Hujan salju telah berubah menjadi hujan es.
Oskar menggigil kedinginan. Untuk menghangatkan badannya. ia melompat-lompat di
tempat. Sporty memperhatikan bangunan asrama itu. Di semua kamar lampu sudah dipadamkan.
Dengan cuaca dingin seperti itu, memang paling enak berbaring di tempat tidur
sambil berlindung di bawah selimut tebal.
Kedua anak itu berlari menuju pintu gerbang, Sebenarnya mereka bisa saja
menggunakan sepeda, walaupun lapisan salju dan es membuat jalanan menjadi licin.
Tetapi sayangnya, gudang penyimpanan sepeda setiap malam digembok oleh petugas
piket. Karena itu mereka terpaksa berjalan kaki.
Sambil berjalan, mereka menundukkan kepala untuk melindungi wajah dari hujan es.
Kaki mereka meninggalkan jejak yang terlihat jelas di salju. Sebenarnya Sporty
bisa berjalan lebih cepat, tetapi ia merasa kasihan melihat Oskar yang
mengikutinya dengan napas tersengal-sengal.
Ladang-ladang di kedua sisi jalan yang menghubungkan asrama dengan kota
diselimuti lapisan salju.
Pada siang hari, tempatitu biasa diramaikan oleh suara puluhan burung gagak.
Tetapi suasana pada malam hari berbeda sekali. Semuanya hening.
"Aku rasa kau benar," ujar Oskar dengan napas memburu. "Badanku memang sudah
terlalu gemuk. Ah, kenapa aku tadi ngotot ingin ikut denganmu"!"
"Tahu rasa kau sekarang," ujar Sporty. Namun ia segera memperlambat langkahnya.
Seperempat jam kemudian, kedua anak itu sampai di pusat kota. Thomas sudah
menunggu di depan Bioskop Top. Lampu-lampu di gedung pertunjukan itu masih
menyala, karena pemutaran film yang terakhir belum selesai.
"Lama betul sih kalian. Aku sudah hampir beku menunggu kalian," ujar Thomas.
"Mudah-mudahan saja masih ada bis ke jurusan Kessenich. Dari sana sudah tidak
terlalu jauh ke Kuburan Lama. Aku kasihan sama si Gendut kalau kita harus jalan
kaki dari sini." "Lebih baik aku menunggu di sini daripada harus jalan kaki ke Kuburan Lama,"
ujar Oskar cepat-cepat. "Nih, coba kalian lihat apa yang kubawa," Thomas kembali berkata, ketika mereka
berjalan menuju halte bis. "Sebuah teropong baru. Hadiah dari pamanku. Dengan
alat ini kita bisa melihat dalam keadaan gelap. Walaupun tidak sejelas siang
hari. Tetapi mungkin saja ada gunanya nanti."
Mereka beruntung. Tidak lama setelah mereka sampai di halte, bis ke jurusan
Kessenich datang. Langsung saja ketiga anak itu naik.
Bis itu kosong. Genangan air yang berasal dari salju yang mencair membasahi
lantainya. Sambil merokok sopir bis mengemudikan kendaraannya melalui jalanan
yang sepi. Ia nampak lelah.
Ketika sampai di Kessenich, ketiga anak itu segera turun, Jam tangan Sporty
menunjukkan pukul setengah dua belas. Sopir tadi memutar bisnya, lalu
menjalankan kendaraan itu menuju pangkalan bis
Ketiga anak itu berjalan menyusuri suatu jalan kecil. Sepanjang jalan itu, rumah
tinggal berderet-deret. Kessenich adalah suatu bagian kota tanpa gedung-gedung
besar dan kantor-kantor pemerintah.
Kuburan Lama merupakan batas kota di sebelah barat. Di belakang kuburan itu
hanya terdapat ladang-ladang pertanian. Makin lama, suasananya semakin sepi.
Anak-anak itu telah berjalan cukup jauh. Deretan rumah-rumah kini diganti
deretan kebun-kebun. Sebagian ditanami pohon buah-buahan, tetapi beberapa
dibiarkan terlantar. Anak-anak itu berjalan menembus kegelapan malam.
"Untung kau sudah akrab dengan hantu-hantu di sini," bisik Oskar. Ucapannya
tertuju pada Sporty. "Apa maksudnya?" tanya Thomas.
"Sporty sudah berkawan baik dengan makhluk halus yang tinggal di sekitar tempat
ini," jawab Oskar. Kemudian ia tertawa. Tapi kedengarannya tidak terlalu
meyakinkan. Di hadapan mereka terlihat sekelompok pohon. Mereka telah sampai di Kuburan
Lama. Tempat pemakaman itu cukup luas dan dalam beberapa tahun terakhir
diperluas lagi ke arah ladang-ladang tadi. Sebuah pagar yang terbuat dari besi
mengelilingi kuburan. Tetapi anak-anak tidak menemui kesulitan untuk memanjat
pagar itu. Bahkan Oskar pun dengan mudah dapat melewatinya.
Mereka kini berdiri di atas sebuah jalan setapak beraspal. Awan kelabu masih
saja menggantung rendah di langit. Baik bulan maupun bintang-bintang tidak
terlihat. Walaupun demikian, keadaannya tidak gelap gulita. Mereka masih dapat
melihat barisan batu nisan di kiri-kanan jalan setapak.
Suasana kuburan di malam hari memang menyeramkan. Angin berhembus kencang sambil
mengguncang-guncangkan dahan-dahan pohon. Beberapa kali anak-anak itu terkecoh
oleh bayangan tanaman perdu yang menyerupai sosok manusia. Bulu kuduk mereka
berdiri. Suatu kali Sporty merasa seperti diikuti, tetapi ketika ia menengok ke
belakang, ternyata tidak ada apa-apa.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ketiga anak itu menyusuri jalan setapak
tadi, melewati deretan kuburan, batu nisan dan pohon-pohon gelap. Angin yang
bertiup kencang kadang-kadang terdengar seperti suara manusia yang memanggil-
manggil dengan memelas. Kini Oskar menyesal karena ia senang membaca cerita
hantu. Semua kisah seram itu tiba-tiba teringat kembali dengan jelas. Jantungnya
berdebar-debar Sporty berjalan paling belakang. Langkah kakinya meninggalkan bekas yang dalam
pada lapisan salju. Ia kedinginan. Tetapi ia tidak menyesal telah datang ke
tempat itu. Baginya tidak ada pengorbanan yang terlalu besar, asal saja ia dapat
memperoleh kembali map berisi dokumen-dokumen milik ibunya.
Sejumlah jalan yang lebih kecil bercabang dari jalan setapak yang sedang mereka
lalui Tapi anak-anak itu tetap saja berjalan lurus ke depan, sampai ke pintu
gerbang yang menuju ke ladang-ladang pertanian Salah satu ladang di belakang
Kuburan Lama pernah dibeli oleh suatu perusahaan ekspedisi. Ladang itu kemudian


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan untuk membangun kantor dan gudang. Namun beberapa tahun yang lalu,
perusahaan itu terpaksa gulung tikar. Hanya gudang tadi yang tetap dibiarkan
berdiri, Bangunan itu kemudian digunakan sebagai tempat penginapan oleh para
gelandangan di kota itu. Tetapi hanya pada musim panas. Pada musim dingin, tak
seorang pun mau menempati gudang tanpa alat pemanas itu.
Ketiga anak itu berhenti di pintu gerbang kuburan. Gudang kosong berdiri di
hadapan mereka. Gelap, dan tanpa tanda-tanda kehidupan. Sebuah pintu reot
bergoyang-goyang tertiup angin. Suara yang ditimbulkan oleh engsel-engsel yang
telah karatan itu mirip erangan yang mengerikan.
Sporty melihat jam. Ia terpaksa menyalakan senternya agar dapat melihat dengan
jelas. "Pukul dua belas kurang sepuluh," katanya dengan suara tertahan. "Sebentar lagi
Toni akan datang. Masalahnya adalah, apakah si pemeras sudah ada di sini, atau
ia baru datang setelah Toni pulang. Tapi bagaimanapun juga, aku harus
memergokinya. Begini saja, kita kelilingi gudang itu. Oskar, kau mengawasi
bagian depan dari sini Kau bisa bersembunyi di balik pagar. Aku akan ke sebelah
kiri. Dan kau, Thomas, berjaga di sebelah kanan. Di sana ada tumpukan kayu bekas
yang bisa kaugunakan sebagai tempat berlindung."
"A... Apa?" tanya Oskar terkejut. "Kita akan berpencar?"
"Memangnya kenapa?"
"Tapi... eh... maksudku... oke deh!"
"He, Oskar, hantu hanya ada di dalam buku-buku yang suka kaubaca itu."
"Tentu saja! Apa kaukira aku takut hantu?"
"Aku tidak dapat melihat melalui teropongku," bisik Thomas tiba-tiba. "Kaca
mataku mengganggu. Nih, kaubawa saja."
Ia menyerahkan alat itu pada Sporty.
"Ayo, ke pos masing-masing. Tapi hati-hati. Kita harus waspada. Si pemeras
mungkin saja sudah datang. Jangan sampai ketahuan kalau kita ada di sini."
Oskar tidak perlu mengendap-endap seperti orang Indian yang sedang mengintai
musuh. Soalnya dengan tiga langkah saja ia telah mencapai tempat
persembunyiannya. Sambil menunduk, Thomas menyusuri pagar sampai berada di dekat tumpukan kayu
bekas tadi. Kemudian ia menyeberang, lalu menghilang dalam kegelapan.
Sporty memperhatikannya melalui teropong. Dengan mata telanjang gerak-genk
Thomas tidak akan terlihat.
"Sip!" ujar Sporty dalam hati "Pemeras itu pasti tidak membawa perlengkapan
seperti ini." Dengan hati-hati anak itu bergegas ke arah kiri. Ia menyusuri pagar tadi sampai
gudang kosong itu tidak terlihat lagi. Kemudian ia mengambil jalan memutar dan
mendekati bangunan itu dan arah ladang-ladang pertanian. Di tempat itu angin
berhembus tanpa halangan. Sporty hampir saja terdorong jatuh oleh tiupan angin
yang amat kencang. Rasa dingin menusuk-nusuk sampai ke sumsum tulang, tetapi ia
tidak ambil pusing. Ia berhenti kira-kira seratus langkah dari gudang itu. Dengan sarung tangannya
yang tebal, ia hampir tidak dapat menggenggam teropong itu. Dengan terkejut ia
memandang melalui alat itu. Malam yang gelap tiba-tiba terlihat seperti
diterangi cahaya remang-remang. Dengan jelas ia dapat melihat bangunan di
depannya. Untuk beerapa detik angin berhenti bertiup.
Dalam keheningan yang tiba-tiba meliputi daerah itu, ia dapat mendengar bunyi
mobil yang makin mendekat. Sesaat kemudian, suara tadi tertelan oleh angin yang
kembali menderu-deru. Toni Wiedemann datang, pikir Sporty. Ia harus melewati kuburan untuk menuju ke
sini. Berarti ia akan lewat di dekat tempat persembunyian Oskar. Hebat, ia
datang tepat pada waktunya. Sekarang sudah hampir pukul dua belas. Dan Detlef
Egge, si pemeras pasti juga telah berada di sekitar sini. Kemungkinan besar si
Lembke ikut di mobil, tapi tidak turun. Ia tentu ingin memastikan bahwa Toni
tidak kabur dengan uang sebanyak itu.
Dua-tiga menit berlalu. Kemudian sebuah bayangan gelap muncul di pintu gerbang
kuburan. 11. Penghuni Wisma Gelandangan
SETENGAH jam berlalu kemudian tiga perempat jam. Belum terjadi apa-apa.
Aku harus bertindak, pikir Sporty Jangan-jangan si pemeras sudah datang sebelum
kita. Aku akan ke dalam untuk melihat apakah tas itu masih ada di sana.
Pelan-pelan ia menuju tempat persembunyian Oskar. Ketika sudah hampir sampai,
Oskar baru menyadari kedatangannya.
"Ih, kaget aku," ujar Oskar. "Kau sengaja, ya" Hampir saja aku kira kau mayat
yang bangkit dari kubur."
"Maka dari itu, jangan bengong saja. Waspada sedikit dong! Seperti tadi, waktu
kau membuntuti Toni. Bagaimana hasilnya?"
"Toni ternyata tidak datang sendirian. Seorang temannya menunggu di mobil,
mungkin Lembke. Ketika Toni kembali dari gudang kosong itu, ia sempat menghilang
di balik sebuah kuburan keluarga. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di sana.
Tetapi sekitar dua menit kemudian ia muncul lagi. Kali ini ia segera menuju
mobil. Setelah masuk. temannya itu langsung tancap gas. Mereka menuju pusat
kota." "Aku akan mencari tas yang dibawanya, .. ujar Sporty. "Kita sudah terlalu lama
menunggu di sini. Tolong kasih tahu Thomas. Kalau ada orang datang, kautiru
suara burung hantu saja. Tapi yang keras, biar aku bisa mendengar tandamu itu."
Sporty menyerahkan teropong pada Oskar. Temannya itu segera berjalan ke arah
persembunyian Thomas. Kemudian Sporty melangkah ke arah gudang. Ia mencoba
mencari bekas kaki Toni, tetapi ternyata jejaknya sudah terhapus salju yang
jatuh. Sporty sampai di pintu masuk. Ia mengeluarkan senter. Sejenak ia ragu-
ragu. Tetapi kemudian wajah ibunya terbayang. Segera segala kebimbangannya
sirna. Sewaktu ia memasuki Wisma Gelandangan. suasana tiba-tiba berubah menjadi hening.
Suara angin yang menderu-deru tertinggal di luar. Ia berada di dalam suatu ruang
tanpa jendela. Dalam kesunyian yang meliputinya, detak jantungnya seakan-akan
terdengar dengan jelas. Lantai bangunan itu terbuat dari kayu. Setiap kali melangkah, Sporty mendengar
suara berderit yang berasal dan papan-papan kayu yang sudah lapuk.
Sporty berhenti, dan memasang telinga. Ia menyalakan senter dan mengarahkan
cahayanya ke sekeliling. Di depannya terdapat dua buah pintu. Yang pertama menuju suatu bangsal besar.
Ruangan itu kosong, tanpa perabot sama sekali. Angin bertiup melalui lubang-
lubang jendela yang tak berkaca. Potongan-potongan kayu berserakan di lantai.
Bukan ruang ini yang dimaksud oleh si pemeras, ujar Sporty dalam hatL
Ia lalu menuju pintu kedua, Sebuah selasar. Beberapa ruangan kosong. Sebuah
tangga menuju ruangan bawah tanah. Sampah tertimbun di mana-mana.
Aku tidak sendirian di sini, pikir Sporty. Aku dapat merasakan kehadiran orang
lain. Dengan setiap langkah, keyakinannya bertambah tebal. Seseorang bersembunyi
di sekitarnya! Ia mematikan senter. Dengan hati-hati ia melangkah.
Apakah si pemeras telah menunggu di sini, terlintas di benaknya. Mungkin saja
bajingan itu baru sekarang berani keluar dari persembunyiannya. Tetapi jangan-
jangan aku hanya membayangkan yang tidak-tidak.
Sambil meraba-raba dinding selasar, Sporty bergerak maju. Ruangan berisi meja
bilyar itu seharusnya terletak di ujung selasar.
Sial, gelap sekali di sini, ujar anak itu dalam hati. Tetapi terlalu berbahaya
untuk menyalakan senter. Mana sih, meja bilyar itu"
Tiba-tiba sesosok tubuh terlihat bergerak-gerak di depannya. Sporty berhenti.
Sebuah papan lantai berderit. Dan kini terdengar bunyi benturan pelan.
Itu si pemeras, pikir Sporty. Apa benar ia bersenjata" Mudah-mudahan ia hanya
menggertak. Tapi masa bodoh! Aku memang harus mengambil risiko. Aku akan
menyergapnya begitu ia muncul di depanku. Ia pasti belum mengetahui kehadiranku.
Sporty mengangkat senter, Telinganya menangkap suara napas tertahan. Segera ia
berpaling ke arah itu, dan menghidupkan senter,
Orang yang tersorot cahaya itu diam terpaku di tempatnya. Seorang pria! Ia
membelakangi Sporty, tetapi lalu berbalik badan.
Pria itu berpakaian kumal. Bajunya berlapis-lapis dan mungkin sudah berbulan-
bulan tidak pernah dicuci. Baunya sama sekali tidak sedap. Di sana-sini terdapat
tambalan yang dijahit secara asal-asalan.
Sebuah topi rajutan berwarna mencolok menutupi kepala pria itu. Sebuah syal
bergaris-garis merah putih meliliti lehernya. Tetapi perhatian Sporty langsung
terarah pada hidung orang itu. Hidungnya sebesar ubi dan berwarna merah.
Sporty pernah melihat laki-laki itu. Orang itu kadang-kadang berkumpul dengan
para gelandangan dan peminum lainnya di depan stasiun kereta api. Biasanya dalam
keadaan mabuk. "Hei," ia berseru pada Sporty.
Anak itu melihat ke arah meja bilyar, Benar saja! Tas itu ada di sana.
"Apa ini?" gelandangan itu bertanya dengan suara serak. "Matikan sentermu,
Bung!" Matanya memang langsung terkena sorotan cahaya senter Sporty, Oleh karena
itu si gelandangan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan.
"Sebentar jangan terburu-buru," balas Sporty sambil mendekati meja itu.
"Lho, anak kecil tahunya" kata gelandangan itu ketika mendengar suara Sporty.
Ketika Sporty hendak meraih tas itu orang tadi langsung melompat maju.
"He, tas ini milikku!" serunya. Tangannya segera menggenggam pegangan tas.
"Tas ini bukan milik Bapak," ujar Sporty. "Lepaskan!"
Tetapi gelandangan itu ternyata berbeda pendapat. Karena tahu bahwa lawan
bicaranya hanya seorang remaja, keberaniannya timbul. Ia yakin benar bahwa anak
itu dapat digertaknya dengan mudah.
"Cepat, serahkan tas itu padaku," ia mengancam. "Jangan macam-macam, atau kau
akan merasakan akibatnya." Sambil berkata demikian, ia merogoh kantung
mantelnya. Tiba-tiba saja tangannya telah menggenggam sebilah pisau,
Sporty melepaskan tas itu. Ia mundur satu langkah, Cahaya senternya diarahkan
pada wajah gelandangan itu.
Dengan sebelah tangan orang itu melindungi matanya dan sinar yang menyilaukan
itu. Tetapi pada detik berikutnya, ia menyerang. Pisaunya diayun-ayunkan di
depan Sporty. Anak itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras ke arah perut. Kemudian
dengan sekuat tenaga, ia menyepak tulang kering penyerangnya.
Gelandangan itu mengerang-erang. Tetapi pisau itu tetap di tangannya Sambil
membungkuk, ia menusuk-nusuk ke arah kaki Sporty. Namun ia salah perhitungan.
Dengan gerakan secepat kilat, Sporty menginjak tangan orang itu dengan kaki
kanannya. Seluruh berat badannya ditumpukannya pada kaki itu.
Sambil berteriak kesakitan, gelandangan itu melepaskan pisaunya Dengan satu
tendangan Sporty menjauhkan senjata tajam itu Kemudian ia melangkah mundur.
Gelandangan itu tetap tergeletak di lantai. Ia merintih-rintih.
"Bajingan, kau mencoba untuk membunuhku"!"
Sporty membentaknya. "Orang seperti kau harus diserahkan ke polisi. Mereka pasti
akan berterima kasih. "
"Jangan... jangan...," orang itu mendesah. "Aku hanya main-main tadi. Aku tidak
bermaksud melukaimu. "
"Oh, tentu saja tidak. Dan pisaumu itu juga hanya sebuah pisau karet, bukan?"
Gelandangan itu terdiam. Senjata yang dipakainya untuk menyerang Sporty bukan
pisau mainan. Pisau itu memang agak berkarat, tetapi masih cukup tajam.
"Sekarang aku ingin tahu, siapa namamu," ujar Sporty kemudian
"Erich, Eddi Tato, maksudku. Kau belum pernah mendengar namaku" Aku..."
"Aku tanya nama lengkapmu!"
"Erich Stranowski. Kau akan melaporkanku pada polisi, bukan?"
"Itu bukan urusanmu. Sekarang jawab dulu pertanyaanku: apa yang kaukerjakan di
sini?" "Aku hanya..." Ia berhenti berkata dan matanya dikedip-kedipkan. "Tolong dong,
sentermu dimatikan dulu."
Sporty tidak mempedulikan permintaan si gelandangan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," katanya kemudian
Gelandangan itu bangkit sambil mengeluh. Dengan hati-hati ia meraba seluruh
tubuhnya. Jangan-jangan ada tulang yang patah, pikirnya. Setelah yakin bahwa
badannya masih utuh, ia menjawab,
"Aku tinggal di sini, di ruang bawah tanah. Sudah beberapa hari. Dan tadi.., kau
yang ke sini tadi?" "Bukan. Orang lain."
"Aku tadi lagi tidur-tiduran di bawah." Stranowski menerangkan. "Tiba-tiba aku
mendengar suara langkah kaki. Polisi, pikirku. Aku paling segan berurusan dengan
petugas-petugas itu, soalnya aku tidak punya KTP. Karena itu aku diam saja di
bawah dan menunggu. Tetapi tidak terjadi apa-apa. Lalu aku memutuskan untuk naik
ke sini. Aku ingin tahu siapa yang datang kemari, tengah malam buta begini.
Mungkin saja salah seorang temanku yang juga membutuhkan tempat menginap.
Lumayan kan, dapat teman ngobrol. Aku masuk ke ruangan ini dan melihat tas di
atas meja bilyar. Barangkali ketinggalan di sini. Tapi... kau jangan hubungi
polisi, ya?" Sambil mengedip-ngedipkan mata ia menatap Sporty.
"Cepat, menghadap ke dinding, " perintah anak itu. "Dan jangan bergerak."
Sporty mendekati meja bilyar. Cahaya senternya tetap diarahkan ke Stranowski. Ia
membuka tas yang dibawa Toni tadi untuk melihat uang itu. 50.000 Mark bukan
suatu jumlah yang kecil. Ketika memeriksa tas itu, mata Sporty tiba-tiba terbelalak. Tas itu ternyata
kosong! 12. Toni Berkhianat UNTUK sesaat Sporty merasa terpukul sekali, Tanpa berkata apa-apa, ia menatap
tas yang tak berisi itu. Apa yang telah terjadi" Apakah uang itu sudah diambil
Stranowski" Atau barangkali si pemeras sendiri yang mendahuluinya" Tapi
bagaimana mungkin. Tak seorang pun dapat masuk atau keluar gudang kosong itu
tanpa terlihat oleh Sporty dan teman-temannya. Berarti ada kemungkinan, si
pemeras masih berada di sekitar situ .
"Isi tas ini telah diambil orang," kata Sporty. "Dan kau yang melakukannya.
Stranowski. Aku akan menggeledahmu. Jangan bergerak!"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Tas sialan itu sama sekali tidak kupegang,"
gelandangan itu memprotes. "Tapi kalau kau mau menggeledahku-silakan! Asal
jangan kaugelitik aku."
Sporty berjalan menuju pintu, lalu mencopot sarung tangannya. Ia hendak bersuit
untuk memanggil kedua temannya. Sporty tidak peduli bahwa suitan itu mungkin
terdengar oleh si pemeras. Uangnya telah hilang! Jadi mereka tidak perlu
sembunyi-sembunyi lagi. Sporty yakin Stranowski tidak berdusta. Menggeledah
gelandangan itu sebenarnya tidak perlu. Tetapi..
Sporty telah meletakkan jari pada bibirnya. Senternya masih terarah pada
gelandangan itu. Tiba-tiba saja pikiran itu melintas di benaknya. Secara mendadak Sporty
menyadari apa yang telah terjadi. .
"Oke, Stranowski. Kami tidak akan mengusik kutu-kutu yang kaupelihara itu.
Kasihan mereka nanti. Karena itu, kami tidak jadi menggeledahmu."
Sporty mengambil tas di atas meja, kemudian keluar dari ruangan itu. Ia
menyusuri lorong tadi sampai tiba di pintu masuk. Angin dingin langsung menerpa
wajahnya, begitu ia melangkah keluar.
Ia berlari menuju pintu gerbang kuburan. Thomas dan Oskar telah keluar dari
persembunyian dan menyambutnya. Sporty mengayun-ayunkan tas itu, lalu bercerita,
"Lho, kenapa kau tidak jadi menggeledah gelandangan itu?" tanya Oskar terheran-
heran. "Siapa lagi yang mengambil uang itu kalau bukan dia?"
"Bukan, bukan Stranowski. Tapi aku tahu di mana uang itu sekarang."
"Dari mana kau tahu?"
"Kau juga tahu, Oskar. Atau tepatnya, hanya kau yang tahu. Dan kau akan
menunjukkan tempat itu Untung saja kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik. "
"Kau bicara soal apa sih?" tanya Oskar. "Yang jelas dong, kalau bicara."
"Aku juga tidak mengerti maksudmu," ujar Thomas sambil geleng-geleng kepala.
"Mungkin Oskar belum bercerita padamu, apa yang terjadi ketika ia membuntuti
Toni Wiedemann tadi. Si Toni ternyata tidak langsung kembali ke mobil. Ia sempat
menghilang selama dua menit di balik sebuah kuburan keluarga. Aku berani
bertaruh bahwa ia menyembunyikan uang itu di sana
"Nah, sekarang kita harus cepat-cepat menemukan kuburan itu. Mungkin Detlef Egge
telah datang dan mengambil uang itu, sementara kita berjaga sambil menggigil
kedinginan di sini. Kali ini kita memang terkecoh! Tapi, kejadian ini juga
membuktikan-atau hampir membuktikan - bahwa Toni dan Detlef bersekongkol. Mereka
bermaksud menipu Lembke. Tetapi Toni tetap harus masuk ke gudang itu. Soalnya
mungkin saja Lembke menyuruh anak buahnya mengawasi gerak-genk Toni. Sesuai
dengan pesan si pemeras, Toni kemudian meninggalkan tas yang dibawanya di atas
meja bilyar. Tetapi ia lalu mengeluarkan uang 50.000 Mark itu, dan
menyembunyikannya di bawah jaket yang ia kenakan. Di suatu tempat yang dirasanya
aman, Toni meninggalkan uang itu, sebelum ia akhirnya kembali ke mobil."
"Kau benar!" seru Thomas bersemangat. "Sekarang semuanya sudah jelas. Ayo,
Oskar, tunjukkan tempat di mana Toni menghilang tadi!"


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ampun," ujar Oskar. "Mudah-mudahan aku belum lupa tempatnya. Semuanya serba
gelap sih tadi. Pokoknya, aku masih ingat bahwa di tempat itu ada sebuah patung
malaikat. Patung itu terbuat dan marmer."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga anak itu mulai mencari.
Sporty agak waswas. Jangan-jangan Oskar kehilangan arah. Tetapi akhirnya mereka
berhasil menemukan patung itu berdiri di depan tiga buah batu nisan yang
membentuk setengah lingkaran.
"Di sini Toni menghilang tadi," kata Oskar sambil menunjuk ke celah di antara
batu nisan pertama dan kedua.
Sporty menyalakan sen1ernya. Dengan jelas anak-anak dapat melihat bekas kaki
yang tercetak dalam salju. Karena terlindung di balik batu-batu nisan, jejak itu
belum terhapus angin. Dengan mengikuti jejak itu, Sporty mengetahui bahwa Toni berlutut di balik batu
nisan kedua. Di tempat itu, Toni telah menggali sebuah lubang. Dengan tangan
telanjang, tentunya. Kemudian, setelah memasukkan bungkusan bensi uang, ia
meimbunkembali lubang tadi dengan salju. Suatu tempat penyembunyian yang nyaris
sempurna. Oskar langsung mulai menggali.
Paket yang tersembul kemudian, tidak lebih besar dan sebuah kotak cerutu. Paket
itu dibungkus dengan kantung plastik rangkap tiga, dan diikat dengan tali.
Semuanya klihatannya dikerjakan dengan terburu-buru.
Dengan senyum kemenangan, Oskar mengeluarkan bungkusan itu. Tali pengikat
langsung dilepaskannya, Dan kantung plastik tadi, ia mengeluarkan segepok uang.
Semuanya lembaran ratusan dan lima ratusan. Jumlahnya tepat 50.000 Mark.
"Kau benar, kau benar!" Oskar bersorak dengan gembira.
Thomas hanya terbengong-bengong. Baru kali ini ia melihat uang begitu banyak.
Untuk ketiga kalinya Oskar menghitung uang itu.
"Tak kurang sepeser pun," ia berkomentar setelah selesai.
"Jujur juga si Toni," ujar Sporty sambil nyengir. "Ternyata tidak semua orang
ditipunya" Anak-anak itu tertawa. "Bagaimana rencana kita selanjutnya?" tanya Thomas. "Kita tidak akan membiarkan
uang ini kedinginan di sini, bukan?"
"Sekarang kita telah memperoleh satu barang bukti," kata Sporty. "Detlef dan
Toni ternyata benar-benar bersekongkol. Jelas, bahwa pemerasan ini tidak mungkin
dilaksanakan oleh Toni sendiri. Soalnya, si pemeras hanya menghubungi Detlef.
Berarti si Egge juga terlibat. Mereka menipu Lembke, dan berhasil memperoleh
40.000 Mark dari kantungnya, Tapi untuk apa" Mungkin karena selama ini sebagian
besar hasil penjualan narkotika dimakan sendiri oleh Lembke. Atau, mungkin juga,
karena mereka berdua sudah mau menarik diri dari bisnis kotor itu, tetapi
sebelumnya masih ingin menikmati hasilnya. Untuk kita sih sama saja. Pokoknya,
kita sekarang telah dapat memaksa mereka untuk mengembalikan map ibuku."
"Tetapi apa yang bisa kita lakukan sekarang?" tanya Thomas. "Uang ini belum
membuktikan bahwa mereka terlibat dalam penjualan narkotika. Polisi tidak akan
menindak mereka, hanya karena uang ini. Paling-paling kita bisa mengadukan
perbuatan Toni pada si Lembke. "
"Jangan dulu," ujar Sporty cepat-cepat. Ia berpikir. "Kalau kita memberi tahu si
Lembke soal penipuan Toni, bisa-bisa terjadi perang antar gang. Bagaimana kalau
kita menunggu di sini saja" Mudah-mudahan saja Detlef datang malam ini juga
untuk mengambil uangnya. "
"Apa?" Oskar mengeluh. "Menunggu lagi" Belum tentu si Egge muncul malam ini!"
Ternyata Thomas juga keberatan. Ia mengatakan, bahwa ia sudah tidak bersemangat
lagi untuk menunggu kedatangan Detlef.
"Aku ada akal," Sporty berkata tiba-tiba. "Aku akan meninggalkan sebuah pesan di
sini. Thomas, kau bawa buku catatanmu?"
Thomas tidak pernah meninggalkan rumah tanpa buku catatan dan alat tulis. Segera
ia menyerahkan buku catatannya dan sebuah bolpen pada Sporty, Thomas membungkuk.
Punggungnya digunakan sebagai alas untuk menulis. Oskar memegang senter, dan
mengarahkan sinarnya pada lembaran kertas di hadapan Sporty
Anak itu menulis, Aku telah menemukan dan membawa uangmu. Kalau kau masih berminat, temui aku
pukul 14.00 hari Sabtu besok-dalam kurung ia menambahkan tanggal-nya-di Istana
Es Krim. Jangan lupa, bawa map bensi dokumen-dokumen itu. S.
Kemudian ia bacakan isi pesan itu pada teman-temannya, Thomas dan Oskar setuju.
Sporty melipat lembaran kertas itu, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik
tadi. Oskar lalu mengembalikan kantung itu ke tempat semula dan menutup lubang
itu dengan salju. Uang itu dimasukkan ke dalam tas yang dibawa Sporty dari Wisma Gelandangan. Lalu
mereka pulang. Cuaca tidak berubah, malah semakin dingin. Tetapi, ketiga anak itu tidak sempat
merasa kedinginan. Sambil berjalan ke arah pusat kota, mereka berbincang-bincang
mengenai kejadian yang baru saja mereka alami. Mereka memang terpaksa jalan
kaki, karena kendaraan umum sudah tidak ada pada jam selarut itu.
Akhirnya mereka sampai di kota. Thomas segera pulang ke rumahnya. Tentu saja ia
tidak ingin orang tuanya tahu bahwa ia berkeliaran malam-malam di luar rumah.
Tetapi karena kamarnya di lantai bawah, keluar-masuk rumah tidak menjadi masalah
baginya. Mereka berpisah. Thomas membelok ke suatu jalan kecil. Sporty dan Oskar
meneruskan perjalanan menuju asrama. Ketika akhirnya mereka tiba, jam tangan
Sporty telah menunjukkan pukul 03.00 subuh.
Oskar berjalan dengan langkah gontai. Ia benar-benar lelah.
"Gila, paling sedikit berat badanku turun dua kilo" ujar Oskar. "Ini perlu
dirayakan." Langsung ia mengeluarkan sekeping coklat yang ia bawa sejak
berangkat. "Kurang tidur tidak apa-apa asal makan tetap terjaga," katanya pada Sporty.
"Mudah-mudahan tanggamu masih ada," bisik Sporty sewaktu mereka melewati pintu
gerbang asrama. "Kau jangan menakut-nakuti aku," kata Oskar. "Dalam keadaan begini aku tidak
bakalan sanggup memanjat talimu. Daripada begitu, lebih baik aku tidur di teras
depan. Peduli amat, kalau ketahuan."
Tetapi tangga itu ternyata masih ada di tempat semula.
Dengan susah payah Oskar memanjat ke atas. Sporty terpaksa mendorongnya dari
bawah. Setelah berjuang selama beberapa menit, Oskar sampai di atas. Ia membuka
jendela dan masuk ke dalam. Sporty segera menyusulnya. Dalam sekejap ia telah
berdiri di samping temannya itu.
Seluruh penghuni asrama tidur dengan nyenyak. Di bangunan sebelah, tempat
tinggal para guru, semua penghuninya juga telah memadamkan lampu.
Sporty melepaskan tangga, menutup jendela, lalu mengikuti Oskar berjingkat-
jingkat menuju SARANG RAJAWALI.
Begitu masuk kamar, Oskar langsung menyalakan lampu baca di samping tempat
tidurnya. Dengan tenang ia mulai melahap sekeping coklat.
"Nih, simpan tanggamu," ujar Sporty,
"Sebenarnya sayang ya kita tidak berjumpa dengan hantu-hantu penunggu kuburan
tadi," kata Oskar sambil menyimpan tangganya dalam lemari pakaiannya.
"Sekarang kau baru berani bicara begitu," balas Sporty sambil nyengir. "Coba
dari tadi." "Di mana akan kausembunyikan uang itu?"
"Aku juga masih bingung. Pokoknya, uang ini jangan sampai jatuh ke tangan guru.
Tapi aku tidak bisa menyembunyikan tas ini di gudang. Risikonya terlalu besar.
Tempat penyimpanannya harus bisa dikunci. Berarti, satu-satunya pilihan adalah
lemari pakaianku. " "Benar, di situ saja. Pemeriksaan lemari kan baru kemarin. Sebelum minggu depan,
tidak akan ada yang mengutak-atik isi lemarimu. Percaya saja, deh."
Sporty masih agak ragu-ragu. Tetapi kemudian ia mengikuti saran Oskar. Tas
berisi uang itu disembunyikannya di bawah tumpukan baju. Sepintas, tas itu sama
sekali tidak nampak. Sporty menengok ke arah Oskar. Temannya itu sudah tertidur pulas Sporty segera
mengikuti contohnya, dan membaringkan diri di tempat tidur.
"Aku,.. kepingin tahu... bagaimana... bagaimana reaksi si Egge," ia bergumam
sambil memejamkan mata. "Mudah-mudahan., ia besok muncul.., di... di Istana Es
Krim.... "Tapi... sebaiknya... aku mengawasi... gerak-geriknya. Kalau... ia pergi...
ke... Kuburan... Lama...."
Sporty berhenti bergumam. Oskar mendengkur keras. Beberapa menit kemudian,
Sporty akhirnya tertidur.
Kedua anak itu sama sekali tidak menduga bahwa besok pagi bencana telah menunggu
mereka. Hari berikutnya adalah Sabtu. Hari libur. Tidak ada pelajaran. Siapa yang mau,
boleh tidur sepuas-puasnya. Dan hampir semua penghuni asrama tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Biasanya, Sporty tetap bangun pagi. walaupun pada hari
libur. Tetapi hari ini, ia baru bangun pukul setengah sembilan. Hal mi tidak
mengherankan, mengingat pengalamannya semalam.
Masih setengah mengantuk, ia menengok keluar jendela. Untuk pertama kali sejak
beberapa hari, matahari bersinar cerah. Langit bersih tanpa awan.
Ia menoleh ke arah Oskar. Anak itu ternyata masih dibuai mimpi indah.
Dengan gesit Sporty melompat turun dari tempat tidurnya. Ia mengguncang-guncang
bahu Oskar untuk membangunkannya. Kemudian ia bergegas menuju ruang mandi
bersama. Cepat-cepat ia menghidupkan pancuran. Air dingin dan air panas secara
bergantian membasahi tubuhnya.
Sebelum pukul sembilan, Sporty telah muncul di ruang makan. Pada hari Sabtu,
sarapan disediakan antara pukul 8.00 sampai pukul 10.00. Hanya beberapa penghuni
asrama yang mendahului Sporty.
Anak itu mengambil sepotong roti madu dan segelas teh manis. Kemudian ia
melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan. Di salah satu sudut ruangan ia
menemukan dua teman sekelas sedang makan. Segera ia bergabung dengan mereka.
Sambil menikmati sarapan. ketiga anak itu berbincang-bincang mengenai
pertandingan hoki es yang akan diadakan nanti malam. Kedua temannya itu kepingin
nonton. Mereka sudah membeli karcis berdiri.
"Mau ikut?" salah seorang mengajak.
Sporty menggeleng. "Ibuku datang, dan..."
Kalimatnya terpotong oleh sebuah pengumuman yang disampaikan melalui pengeras
suara Pengumuman itu dibacakan oleh Pak Kepala Sekolah.
Mendengar nada bicaranya, Sporty langsung dapat menebak bahwa ada yang tidak
beres. "Semua penghuni bangunan utama harap segera kembali ke kamar, lalu menunggu
penjelasan dari guru pembimbing masing-masing. "
"Lho, apa lagi ini?" tanya Sporty. "Hari Sabtu pun tidak bisa santai. Selalu
saja kita diburu-buru "
"Ah, paling-paling hanya latihan kebakaran," Rainer berkomentar.
Dengan ogah-ogahan, ketiga anak itu kembali ke kamar masing-masing. Kalau Kepala
Sekolah mengatakan segera kembali, maka perintah itu harus dituruti oleh semua
penghuni asrama. Sporty masih sempat mereguk tehnya sampai habis. Sambil mengunyah roti, ia
menaiki tangga dan menuju SARANG RAJAWALI.
Oskar masih saja tidur. Cepat-cepat Sporty membangunkannya.
"He, Gendut! Bangun!"
Anak itu menggosok-gosok matanya. Antara sadar dan tidak, ia menatap ke arah
Sporty, lalu menguap. "Aku masih capek," katanya sambil terkantuk-kantuk. "Badanku pegal semuanya,
gara-gara kunjungan kita ke Kuburan Lama semalam. Eh, kita kan benar-benar ke
sana" Jangan-jangan aku hanya bermimpi. "
Sporty hendak menanggapi ucapan temannya itu, tetapi tiba-tiba terdengar tiupan
peluit di lorong. "Ah, itu pasti si Weniger," ujar Oskar dengan kesal. "Bikin ribut saja."
Dr. Weniger adalah salah seorang guru di sekolah mereka. Ia masih muda, tetapi
hampir semua murid tidak menyukainya. Guru itu mempunyai kebiasaan memberikan
berbagai macam aba-aba dengan tiupan peluit. Kebiasaannya itu mungkin merupakan
sisa-sisa didikan para pelatih ketika ia menjalani masa dinas militernya. Setiap
kali ia membunyikan peluitnya, anak-anak harus segera keluar dari kamar masing-
masing. "Brengsek," ujar Oskar sambil mengeluh. Cepat-cepat ia merapikan pakaiim
tidurnya. Setelah memakai sandal, ia keluar ke lorong.
Sporty sebenarnya tidak senang diperintah dengan cara seperti itu. Tetapi apa
boleh buat. Dengan berat hati ia terpaksa mengikuti Oskar.
Ketika Sporty keluar kamar, semua murid yang tinggal di lantai dua telah
berkumpul di lorong. Sebagian besar baru bangun tidur. Dengan tampang loyo,
mereka menunggu penjelasan dari guru pembimbing masing-masing.
Sporty agak heran melihat keenam guru pembimbing hadir semua. Pak Kepala Sekolah
juga ada. Dr. Freund adalah seorang pria berumur sekitar enam puluh tahun.
Perawakannya tinggi besar. Rambutnya berwarna kelabu. Ia mengajar bahasa Latin
dan Yunani Kuno, Dr. Freund dikenal berwatak keras. Tetapi murid-murid sekolah
itu menyukainya, karena ia selalu bersikap adil pada semua orang. Tak terkecuali
pada anaknya sendiri. Anak Dr. Freund pernah mendapat nilai lima, walaupun
dengan sedikit berbaik hati, ayahnya dapat saja memberinya nilai enam.
Dengan wajah kaku Pak Kepala Sekolah menatap barisan anak-anak itu.
Ketika ia mengangkat tangan, semuanya terdiam.
"Kalian tentu menyadari bahwa mencuri adalah perbuatan yang tercela," Dr. Freund
mulai berkata. "Apalagi kalau mencuri barang milik kawan sendiri. Sebenarnya saya tidak dapat
mempercayai bahwa salah seorang di antara kalian tega berbuat seperti itu. Namun
demikianlah kenyataannya, Seorang teman kalian, Dieter Heidergott dari kelas 8a,
kemarin sore minta izin pada guru pembimbingnya untuk mengambil sejumlah uang
dari tabungannya. Uang itu telah dipakainya untuk membeli lima keping emas
sebagai hadiah ulang tahun untuk ayahnya. Keping-keping itu berada dalam sebuah
kotak berwarna biru, dan disimpan di dalam laci lemari pakaiannya. Kotak itu
kemudian lenyap Sebelum melaporkan kejadian ini, Dieter telah memeriksa seluruh
sudut-sudut kamarnya, tetapi tanpa hasil. Karena itu, kemudian timbul kecurigaan
bahwa kotak itu hilang dicuri.
"Saya lihat kalian hadir semua. Atau, sudah ada yang meninggalkan asrama" Tidak
ada" Baiklah, sekarang saya ingin memberi kesempatan pada si pencuri untuk
mengakui perbuatannya. Kalau tidak ada yang mengaku, maka kami terpaksa
menggeledah kamar-kamar kalian."
Ya ampun, pikir Sporty. Ini benar-benar nasib buruk. Yang pertama-tama digeledah
pasti lemari-lemaripakaian. Bagaimana kalau mereka menemukan uang 50.000 Mark
itu" Apa yang harus kukatakan pada mereka" Menceritakan kejadian sesungguhnya"
Mereka takkan percaya. Tapi... masih ada harapan untuk lolos dari lubang jarum
ini. Asal... Ayo, mengakulah, pencuri brengsek! Kepsek kelihatannya sudah benar-
benar marah. Oskar malah hampir ketiduran lagi. Dari tadi ia memguap terus. Apa
ia tidak menyadari bahwa situasinya gawat" Di lemarinya ada tangga, dan di
lemariku ada uang yang tidak ketahuan asalnya. Aku sudah bisa membayangkan judul
berita yang akan terpampang di koran-koran. Dua murid terbukti mencuri! Ah,
kalau saja aku bisa menyelinap ke kamar sejenak. Tapi Pak Freund tidak pernah
menengok ke arah lain barang sedetik pun.
"Jadi tidak ada yang mengaku?" tanya Dr Freund dengan suara bergetar. "Baiklah,
Jangan ada yang beranjak dari tempatnya. Dr. Weniger akan mengawasi kalian,
sementara guru-guru lain menggeledah kamar-kamar kalian."
Masih ada kesempatan, pikir Sporty. Mungkin saja mereka menemukan keping emas
itu sebelum SARANG RAJAWALI mendapat giliran untuk diperiksa.
Tapi mana mungkin! Si pencuri tidak akan sebodoh itu. Keping-keping emas itu
pasti sudah disembunyikannya di tempat lain. Dan kotak itu tentu telah dibuang.
Dasar sial! Tanpa dapat berbuat apa-apa, Sporty menyaksikan kamar-kamar di ujung lorong
mulai diperiksa. Dr. Weniger berdiri di tengah-tengah lorong. Sesuai dengan pesan Kepala Sekolah,
ia mengawasi anak-anak yang berdiri di de pan pintu kamar masing-masing. Tak
sekali pun ia mengalihkan pandangannya.
Tiba-tiba saja Sporty mendapat akal.
13. Sebuah Kejutan AKU harus cari alasan yang tepat, terlintas di kepala Sporty. Untuk menerangkan
bagaimana uang 50.000 Mark itu bisa berada di lemari pakaianku. Hanya Ibu yang
dapat membantuku. Kalau Ibu mengatakan bahwa ia menitipkan uang itu padaku
karena beranggapan bahwa di sini lebih aman daripada di hotel, maka... aduh, aku
terpaksa melibatkannya dalam urusan ini. Dan untuk itu, Ibu harus berbohong
sedikit. Aku tahu bahwa Ibu tidak akan keberatan. Tetapi... ah, tidak. Tindakan
ini tidak akan merugikan siapa-siapa. Dengan cara itu, aku bisa melaksanakan
rencanaku. Jadi.. . "Pak Weniger!" Sporty mendekati guru yang langsung memasang wajah masam. "Apakah
saya boleh menelepon sebentar. Ibu saya sedang berkunjung ke sini. Ia tinggal di
Hotel Kaiserhof. Saya sudah berjanji akan meneleponnya pagi ini. Ia pasti
bingung kalau saya terlambat menghubunginya."


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dr. Weniger menatap tajam ke arah Sporty.
"Apa harus sekarang?" tanyanya.
Sporty mengangkat bahu, "Masalahnya penting sekali untuk saya. Dan juga untuk
ibu saya. Silakan Bapak geledah saya, kalau Bapak beranggapan bahwa saya hendak
menyembunyikan keping-keping emas itu. "
"Hmm saya rasa Pak Kepala Sekolah tidak akan keberatan," guru itu berkata. "Tapi
kau tidak boleh ke kamarmu sebelumnya."
"Tentu saja tidak. Tapi kecurigaan Bapak yang berlebihan itu membuat saya agak
tersinggung. Saya kari bukan pencuri!"
"Sudahlah. Cepat, pergi sana."
Sporty mengangguk lalu berjalan ke arah tangga. Ketika Dr. Weniger sudah tidak
melihat ke arahnya, anak itu berlari secepat kilat.
Pesawat telepon yang boleh dipakai oleh para penghuni asrama dipasang di suatu
ruang kecil dekat papan pengumuman di lantai bawah. Ruang kecil itu dijuluki
Gudang Sapu oleh anak-anak. Dulunya ruang itu memang pernah dipakai sebagai
tempat penyimpanan alat-alat. Tapi kini, pihak pengelola asrama telah memasang
sebuah pesawat telepon di ruang itu. Pintunya telah diganti dengan pintu kaca.
Sporty baru saja hendak membuka pintu, ketika ia menyadari ada orang di dalam
ruangan itu. Pak Braun, guru kesenian. sedang menelepon.
Kemungkinan besar ia sedang berbincang-bincang dengan pacarnya. Senyum yang
tersungging di bibirnya membuktikan dugaan Sporty. Sebentar-sebentar ia tertawa
kecil. Wah, kacau, pikir Sporty. Bisa berjam-jam aku menunggu di sini. Ia mulai memaki-
maki kelakuan guru muda itu, tetapi hanya dalam hati. Dengan pandangan kesal,
anak itu memperhatikan Pak Braun yang makin asyik berbincang-bincang.
Setelah beberapa saat, guru itu baru menyadari bahwa ia sedang diperhatikan, Ia
mengerutkan kening begitu melihat Sporty. Rupanya ia merasa terganggu. Kemudian
ia membelakangi anak itu,
Lima menit berlalu, Sporty berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca itu. Ia
semakin gelisah. Tetapi guru kesenian itu tidak menyadari hal itu. Dengan tenang
ia meneruskan pembicaraannya. Hampir saja Sporty nekat, dan memaksa guru itu
untuk meletakkan gagang telepon.
Berapa lama lagi sampai SARANG RAJAWALI mendapat giliran digeledah"
"Sporty!" Ia berbalik ke arah tangga, di mana Oskar sedang melompati anak tangga paling
bawah. "Sporty! Kita selamat!" seru Oskar sambil terengah-engah. "Pencuri itu akhirnya
mengaku. Coba kautebak siapa orangnya, Alfred Guttlich! Ia mengaku begitu saja,
dan mengambil keping-keping emas itu dari bawah bantalnya. Tidak lama setelah
kau turun. Apa kau sudah menghubungi ibumu" Ah.., itu sudah tidak perlu
sekarang. Kau tadi pasti hendak memberitahunya bahwa kita hampir saja celaka,
bukan" Tapi masih ada yang lebih seru. Kenapa si Alfred tiba-tiba mengaku, coba"
Karena ia ingin mencegah para guru untuk menggeledah isi lemari pakaiannya.
Tetapi mereka tetap melakukannya. Dan apa yang mereka temukan" Ayo, kau bisa
menebaknya?" Wajah Oskar merah padam, Ia sangat gembira karena pertanyaan itu menurut
dugaannya tidak mungkin bisa dijawab oleh Sporty.
"Jangan-jangan..," ujar Sporty, "heroin."
"Apaaa" Busyet, dari mana kau tahu?"
"Aku hanya menebak."
"Tebakan kau tepat sekali, Bagaimana caranya kau bisa menebak seperti itu?"
"Dengan melihat tingkah lakumu. Kau takkan berlari-lari ke sini, seandainya yang
ditemukan hanya sebungkus rokok atau seekor kadal mati. Yang paling masuk akal
adalah heroin. Gila. berarti barang terkutuk itu benar-benar sudah sampai di
asrama kita." "Hanya sebungkus kecil. Isinya serbuk putih keabu- abuan. Wagner, itu guru kimia
mereka, langsung tahu bahwa serbuk itu heroin. Guru-guru lain sama sekali tidak
memperhatikan bungkusan itu."
"Kacau," bisik Sporty. Kedua tangannya memegang kepalanya. "Sekarang Kepala
Sekolah malah punya alasan yang lebih kuat untuk melakukan penggeledahan. Bukan
karena keping-keping emas itu, tetapi karena mereka ingin mengetahui siapa lagi
yang menyimpan heroin. Kenapa kau tidak mengeluarkan tangga dan uang itu dati
lemari" Kau kan bisa..."
"Lalu apa yang kubawa ini heh?" tanya Oskar sambil tersenyum simpul.
"Kau...?" "Jelas, dong. Memangnya aku tidak punya otak" Aku punya pikiran yang sama
denganmu. Begitu para guru sibuk mengerubungi lemari Alfred, aku langsung masuk
kamar kita Cepat-cepat kukeluarkan tangga dan uang itu dari lemari. Setelah itu
aku lari ke sini." "Oskar, kadang-kadang idemu memang cemerlang."
"Hal itu boleh kauceritakan ke teman-teman kita," ujar Oskar sambil nyengir.
"Tapi kalau mereka tahu kita tidak ada di tempat, maka,.."
Sporty terdiam. Ia menarik tangan Oskar, mengajaknya pergi. Anak itu menyadari
maksud Sporty. Karena terlalu terburu-buru, sandalnya sampai ketinggalan.
Sambil berjalan, Sporty melirik ke arah Gudang Sapu.
Pak Braun masih sibuk bercengkerama dengan pacarnya. Ia membelakangi pintu kaca.
Apa yang terjadi di lorong sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Lorong itu memang sepi, seperti biasanya setiap Sabtu. Baik guru maupun murid
seakan-akan menghindari tempat itu.
Kedua anak itu berlari sampai ke ruang laboratorium biologi. Sporty tahu bahwa
pintu ke ruang itu tidak dapat dikunci. Tanpa menimbulkan suara, mereka
melangkah masuk. Belasan lemari berderet sepanjang dinding. Isinya berbagai
perlengkapan yang berhubungan dengan pelajaran biologi.
Theo, misalnya, diam mematung di salah satu pojok ruangan. Perlu diketahui bahwa
Theo adalah julukan yang diberikan oleh anak-anak pada sebuah rangka tulang
manusia yang berdiri tegak. Pada siang hari, Theo tidak terlalu menyeramkan.
Kesan itu pasti akan berubah, seandainya rangka itu diselimuti jubah hitam dan
ditempatkan di sebuah lorong gelap di malam hari.
Dari balik kaca lemari, beberapa ekor burung yang telah diawetkan melotot ke
arah Sporty dan Oskar. Sporty mengeluarkan burung elang yang sedang melebarkan
sayap dari lemari. Setelah menyembunyikan bungkusan berisi uang, anak itu
mengembalikan burung tadi pada tempat semula.
"Tolong jaga uang ini," Sporty menitipkan pesan.
Oskar menyembunyikan tangganya di bawah sebuah lemari.
Beberapa saat kemudian, kedua anak itu telah kembali ke lantai dua. Mereka tiba
tepat pada waktu penggeledahan kamar mereka dimulai Dr. Weniger memimpin
penggeledahan, Ia memeriksa setiap laci dengan teliti. Setiap potong pakaian
diamatinya dengan cermat. Tak satu kantung celana pun luput dari rogohannya,
Dengan penuh perhatian ia mengangkat kasur di tempat tidur Oskar. Setelah yakin
bahwa anak itu tidak menyembunyikan sesuatu di bawahnya, ia lalu meraba-raba
seluruh permukaan kasur, sentimeter demi sentimeter. Ketika ia menemukan
persediaan coklat di atas lemari Oskar,
Dr. Weniger berseru, "Nah! Apa ini?"
"Itu," ujar Oskar, "coklat, Pak Guru."
"Siapa tahu ada heroin di dalamnya."
"Pak Guru," Oskar berkata sambil memasang wajah masam, "ayah saya, Herrmann
Sauerlich, pemilik pabrik coklat yang terkenal di seluruh dunia, membuat coklat
ini berdasarkan suatu resep rahasia. Saya dapat memastikan bahwa heroin tidak
termasuk dalam bahan bakunya. Kalau saya memberi tahu ayah saya tentang tuduhan
ini, maka Bapak akan dilaporkan pada polisi dengan tuduhan memfitnah."
"Jangan mengada-ada, Oskar," Dr. Weniger berkata dengan kesal. "Kau tahu apa
maksud saya. Mungkin saja ada kantung-kantung kecil berisi heroin di bawah
kertas pembungkus coklatmu itu Coba kaubuka satu per satu,"
Oskar tidak dapat membantah. Dengan berat hati ia melepaskan kertas pembungkus
dari semua keping coklat. Tapi tentu saja Dr. Weniger tidak menemukan heroin
yang dicarinya. Oskar tersenyum-senyum. Sporty langsung dapat menebak apa yang dipikirkan temannya itu.
"Kau tidak perlu menghabiskan semuanya, walaupun kertas pembungkusnya sudah
terbuka," katanya setelah Dr. Weniger meninggalkan kamar mereka
"Tetapi coklat ini tidak bisa tahan lama kalau bungkusnya sudah dibuka," jawab
Oskar. "Ingat talimu itu, Kalau berat badanmu bertambah terus, kau tidak mungkin bisa
ikut bertualang lagi denganku Tangga itu takkan kuat menahan bobot badanmu. "
"Aku tahu, Tenang saja. Aku sudah menemukan model lain yang jauh lebih kuat.
Tangga itu kuat menahan lima kuintal."
"Terserah deh, kalau kau mau bertambah gembrot. Tapi ingat, begitu beratmu
melewati satu kuintal, aku tidak mau kenal lagi denganmu, Daripada orang-orang
nanti berkomentar: 'Tuh lihat, itu Sporty dengan bola coklatnya.' "
Dengan tenang Oskar memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya. "Aku rasa
berat badanku belum berlebihan. Masalahnya hanya bahwa aku kurang tinggi
dibandingkan dengan ukuran tubuhku. Tapi itu kan bukan salahku" Sekarang, apa
yang akan kita lakukan selanjutnya?"
"Aku ingin tahu apa yang akan terjadi dengan si Alfred. "
Anak itu berumur lima belas tahun Ia satu tingkat dengan Sporty dan Oskar.
Alfred tidak mempunyai kawan akrab. Tetapi karena ia tidak pernah membuat
keributan, ia juga tidak punya musuh di asrama itu. Orang tuanya termasuk
golongan berkecukupan, Namun rupanya mereka tidak terIalu memperhatikan anak
mereka. Sudah dua kali Sporty memergoki Alfred sedang mengadukan perbuatan
teman-temannya pada guru pembimbing. Sejak itu Sporty berpendapat anak itu tidak
dapat dipercaya. Kenyataan bahwa salah seorang penghuni asrama menyimpan heroin di lemarinya.
sungguh-sungguh mengejutkan semua orang. Pak Kepala Sekolah tidak mempunyai
pilihan lain. Ia terpaksa menghubungi polisi.
Dari jendela kamarnya, Sporty menyaksikan kedatangan Komisaris Glockner, ayah
Petra. Tidak lama kemudian, Alfred Guttlich dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.
Walaupun pintu kantor tertutup rapat, anak-anak asrama dapat mehgikuti
pembicaraan yang terjadi di dalam. Soalnya, Peter Henschel, penghuni asrama yang
berbadan paling kecil, memanjat ke lemari di samping pintu kantor. Melalui
celah-celah ventilasi, ia dapat mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan.
Alfred mengaku bahwa ia tidak mengenal orang yang menjual heroin itu padanya, Ia
membeli heroin itu hanya karena terdorong rasa ingin tahu saja. Komisaris
Glockner masih belum puas. Tetapi walaupun telah didesak-desak, Alfred tetap
pada pernyataannya itu. Petugas polisi tidak berhasil mengorek keterangan yang
lebih berarti. Sporty juga tidak mempercayai pengakuan Alfred. Ia curiga anak
itu mempunyai maksud yang tersembunyi.
Sementara itu, penggeledahan kamar-kamar telah selesai. Ternyata hanya Alfred
yang menyimpan heroin. Ketika suasana mulai tenang kembali, Sporty pergi ke laboratorium biologi dan
mengambil bungkusan berisi uang serta tangga milik Oskar. Uang itu kembali Ia
masukkan ke dalam lemari pakaiannya. Ia yakin lemarinya tidak akan diperiksa
lagi. Komisaris Glockner kembali ke kota. Alfred Guttlich untuk sementara waktu tidak
boleh meninggalkan kamarnya. Anak itu kemudian menjadi pusat perhatian penghuni
asrama. Ia sangat senang semua orang menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. Ia
berlagak seperti seorang pengedar narkotika kelas kakap yang tertangkap polisi.
14. Para Pengedar Narkotika Beraksi
SEMENTARA itu Pak Braun akhirnya selesai berbincang-bincang dengan pacarnya.
Segera Sporty menelepon ibunya. Ia sebenarnya belum mempunyai kabar yang
menggembirakan. Walaupun demikian, Sporty berusaha meyakinkan ibunya bahwa
persoalan mereka akan dapat diselesai kan dalam waktu yang tidak terlalu lama
lagi. Sporty kemudian berjanji untuk menemui ibunya di Hotel Kaiserhof. Berdua
dengan Oskar, ia berangkat ke sana. Sporty memiliki sebuah sepeda balap yang ia
beli dengan uang hasil usahanya sendiri. Dengan memakai sepeda, mereka dapat
menghemat waktu, walaupun harus berhati-hati karena jalanan licin.
Cuaca pada hari itu tetap cerah. Cocok sekali untuk berjalan-jalan di pusat
kota. Namun Bu Carsten tidak begitu bersemangat. Ia nampak lesu. Setengah jam
kemudian, ia mengajak Sporty dan Oskar kembali ke hotel. Tidak lama kemudian,
kedua anak itu berpamitan.
"Masih banyak yang harus kami kerjakan hari ini, Bu," Sporty menerangkan.
"Pencuri map Ibu sudah berhasil kami temukan. Orang itu ternyata telah mengamati
kita sejak Ibu tiba di stasiun kereta api. Aku memang ada persoalan dengannya.
Dengan menggunakan kunci palsu, salah seorang rekan orang itu berhasil memasuki
kamar Ibu di hotel ini. Ia lalu membawa map berisi dokumen-dokumen itu. Mengenai
persoalanku dengan orang itu, akan kujelaskan setelah urusan ini selesai."
Bu Carsten mengangguk. Wajahnya pucat dan murung. Tetapi dengan tabah ia
memaksakan diri untuk tersenyum, karena tidak ingin menambah beban pikiran
Sporty. "Kau kelihatannya kurang tidur, Peter," wanita itu berkata pada Sporty. "Jaga
kesehatanmu baik-baik. Dan, apa pun yang akan kalian lakukan, jangan sampai kau
atau teman-temanmu terancam bahaya."
Sporty merangkul ibunya. "Jangan khawatir, Bu," katanya. "Kami akan berhati-
hati. " Kemudian ia menambahkan bahwa ia akan menelepon kembali sore hari.
Bersama Oskar ia lalu pergi ke rumah Petra. Thomas telah menunggu di sana. Anak
itu sedang menceritakan pengalaman mereka di Kuburan Lama semalam.
Sporty dan Oskar. baru saja duduk, ketika Evi Pertigo, saudara sepupu Petra,
pulang sehabis berbelanja. Petra memperkenalkan teman-temannya pada saudaranya
itu. Petra sudah pernah bercerita bahwa Evi berumur tujuh belas tahun. Tetapi hal itu
agak sulit dipercaya, melihat perawakannya yang kecil mungil. Tingginya anya 158
sentimeter. Dalam hati Sporty mengakui bahwa Evi memang mirip dengan wanita-
wanita gypsy yang sering muncul menjadi peramal di pasar malam
Dengan ramah Evi menyapa ketiga teman saudara sepupunya. Selama beberapa saat ia
menatap Sporty. Lalu mengeluarkan belanjaannya, dan memamerkannya pada anak-anak
itu. Sebagian besar merupakan barang-barang untuk keperluan pesta topeng di
rumah Detlef nanti malam.
Sporty mengamati barang-barang itu.
"Hmmm, bagus," ia berkomentar dengan singkat.
"Hebat. Menarik." Kata-kata itu diulang-ulangnya setiap kali Evi mengeluarkan
sesuatu dari kantung plastik yang diletakkannya di atas meja. Tetapi tentu saja
Sporty mengucapkannya dalam urutan yang berbeda-beda.
Ketika Evi membawa barang-barang itu ke kamar Petra, Sporty merenung sejenak.
"Evi." ujarnya ketika gadis itu kembali, "apa kau tahu bahwa si Detlef Egge itu
seorang bajingan tengik?"
Gadis itu terperanjat. "Apa" Kenapa kau berkata begitu?" tanyanya agak kesal.
"Tunggu sebentar. Nanti akan kuterangkan duduk persoalannya padamu," jawab
Sporty. Sambil menengok ke arah teman-temannya, ia lalu berkata, "Tidak ada
jalan lain. Evi harus diberi tahu. Ia kan akan menghadiri pesta topeng di rumah
Detlef nanti malam. Tidak adil rasanya, jika kita tidak memperingatkannya
mengenai kelakuan Detlef"
"Memangnya ada apa dengan Detlef?" tanya Evi. "Kenapa aku perlu diperingatkan?"
"Detlef terlibat dalam penjualan narkotika. Ia adalah seorang pengedar heroin.
Di samping itu, ia juga seorang pemeras."
Dengan mata terbelalak Evi menatap Sporty. Melihat hal itu. senyum tipis
tersungging di wajah Petra. Ia merasa gembira bahwa Sporty secara terus terang
mengungkapkan kebejatan Detlef di hadapan saudara sepupunya itu. Sejak
kedatangan Evi, ia terpaksa mendengarkan ocehan saudara sepupunya yang tergila-
gila pada Detlef. "Sebelum aku mulai, kau harus berjanji bahwa kau tidak akan bercerita pada siapa
pun juga mengenai persoalan ini," Sporty mengajukan syarat. "Hal ini harus
dirahasiakan. Orang lain tidak perlu tahu."
"Dirahasiakan" Tidak ada yang perlu tahu?" tanya Evi. Ia mempunyai kebiasaan
mengomentari perkataan orang lain dengan dua buah pertanyaan. Tetapi rupanya
tidak pernah, disadarinya. Cepat-cepat ia mengangkat tangan kanannya untuk
bersumpah. "Aku takkan mengucapkan sepatah kata pun," janjinya. "Bagaimana" Oke?"
Sporty mengangguk. Lalu mulai bercerita.
Ekspresi wajah gadis itu berubah-ubah ketika mendengar penjelasan Sporty. Berapa
kali ia memekik tertahan sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa Detlef tega berbuat seperti itu.
"Aduh, hampir saja aku tertipu olehnya," Evi berkata sambil mengepalkan tangan.
"Untung kalian memberitahuku bagaimana sifat anak itu sesungguhnya. Heran,
kenapa aku bisa merasa tertarik pada orang semacam dia"! Sayang, terpaksa aku
tidak datang ke pestanya nanti malam."
"Kau tak perlu kecewa," ujar Petra cepat-cepat. "Bagaimana kalau kita merayakan
karnaval di sini saja. Pasti tidak kalah meriah dengan pesta di rumah Detlef.
Lagi pula, si Detlef kan hanya kepingin memamerkan kekayaan orang tuanya saja.
Ia senang kalau teman-temannya terkagum-kagum karena di rumahnya ada kolam
renang."

Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sporty melirik jam tangannya.
"Ada kemungkinan Detlef akan membatalkan pesta itu," katanya kemudian, "Karena-
seperti sudah kukatakan tadi-aku akan menemuinya di Istana Es Krim pukul 14.00
tepat. Mudah-mudahan saja ia muncul. Tapi aku yakin ia akan datang. Ia takkan
berani mengambil risiko. 50.000 Mark tidak sedikit, untuk orang macam Detlef
sekalipun. Dan, siapa tahu, mungkin Detlef akan kehilangan semangat untuk
berhura-hura setelah aku bertemu dengannya. Yuk ah. aku berangkat sekarang."
Mula-mula ketiga temannya hendak menyertai Sporty, Tetapi anak itu menolak.
"Sori, urusan ini adalah tanggung jawabku sendiri. Aku harus mendapatkan kembali
map ibuku, Map itu hilang karena kesalahanku. Karena itu, aku sendiri yang harus
membereskan persoalan ini. Kecuali itu, Detlef mungkin akan merasa keder kalau
kita berempat datang. Sebaiknya aku menemuinya sendirian. Setelah bertemu
Detlef, aku akan segera kembali ke sini."
Sporty harus bersepeda selama sepuluh menit untuk sampai di Istana Es Krim.
Tempat itu sangat terkenal di kalangan anak muda. Dalam musim dingin sekalipun.
Istana Es Krim tidak pernah sepi dari pengunjung, Soalnya pemiliknya tidak hanya
menyediakan es krim dalam porsi raksasa dan dengan harga yang disesuaikan dengan
kantung remaja. Papan iklan yang terpasang di atas pintu masuk menyatakan, bahwa
para pengunjung dapat memperoleh susu murni dengan berbagai rasa, dingin maupun
panas. Susu murni itulah yang paling banyak dicari dalam cuaca dingin seperti
ini. Namun bukan hanya anak muda yang merupakan langganan setia. Orang-orang tua yang
telah pensiun juga banyak yang datang ke Istana Es Krim. Sambil menikmati susu
panas, mereka dapat berbincang- bincang dengan santai.
Ketika tiba di tempat itu, Sporty menyandarkan sepedanya pada sebatang pohon,
dan menguncinya. Lalu ia melangkah masuk.
Seperti biasa, Istana Es Krim dipadati pengunjung, walaupun belum sampai penuh
sesak. Hampir semua kursi telah terisi. Tetapi Sporty tidak mengalami kesulitan
unuk menemukan orang yang dicarinya.
Detlef Egge dan Toni Wiedemann duduk di bagian belakang ruangan itu. Sewaktu
Sporty masuk, keduanya sedang termenung-menung. Sebentar-sebentar Detlef
menengok ke arah pintu masuk dengan gelisah. Tetapi begitu mengetahui kedatangan
Sporty, ia langsung pura-pura sibuk berbincang-bincang dengan Toni.
Sambil melewati deretan meja, Sporty berjalan ke arah mereka.
Tiga buah kursi mengelilingi meja kecil yang ditempati Toni dan Detlef. Satu
kursi masih kosong. Sporty segera duduk.
Pertama-tama kedua pemuda itu tidak bereaksi. Namun akhirnya mereka menoleh ke
arah anak itu. Mereka menatapnya sambil menyipitkan mata. Detlef Egge berusaha
memasang tampang mengejek. Wajah Toni nampak kaku.
"Luka itu merupakan hadiah dariku, bukan?" kata Sporty sambil menunjuk luka
kecil di pergelangan tangan Toni. Jangan khawatir, sebentar lagi juga sembuh
dengan sendirinya." Kemudian ia menoleh ke arah Detlef. "Bagaimana, kau bawa map
itu?" ia kembali bertanya.
"Ya, ampun!" ujar Detlef. "Lagi-lagi si gila ini. Eh, Toni, masa anak ingusan
ini menyangka aku menyimpan map ibunya"! Aneh sekali, bukan" Aku tidak mengerti
jalan pikirannya. He, Bocah, kau bermimpi atau apa?"
"Aku tidak punya waktu untuk bermimpi, Egge, Soalnya aku senang berkeliaran di
Kuburan Lama di tengah malam buta."
"Kenapa kau tidak sekalian menggali liang kuburmu sendiri?" Toni mengejek -
"Karena aku punya 50.000 Mark yang belum sempat kuhambur-hamburkan," balas
Sporty dengan tenang. "Sayang sekali, kan, kalau uang itu tidak terpakai.
Apalagi karena 10.000 Mark berasal dari kantungmu, Egge. Sisanya disumbangkan
oleh Lembke. Informasiku cukup lengkap, bukan" Kalian pasti penasaran dari mana
aku mengetahui semuanya itu. Mudah saja. Aku menguping ketika kau, Wiedemann,
berunding dengan Lembke di Super-Sound-Disco. Aku lalu mengajak teman-temanku
untuk mengunjungi Kuburan Lama. Kami menyaksikan bagaimana kau menipu Lembke di
sana. Kau hanya pura-pura masuk ke Wisma Gelandangan, bukan" Uang tebusan itu
kausembunyikan di balik batu nisan yang terdapat di dekat sebuah patung
malaikat. Seharusnya kau. Egge, yang mengambil uang itu kemudian. Sayang sekali,
kami telah menduluimu. Kalian tidak perlu mungkir, kami sudah mengetahui bahwa
kalian berdua hendak menipu Lembke. Cerita mengenai pemeras yang meneleponmu,
Egge, hanyalah isapan jempol belaka. Tapi itu sih terserah kalian, Kalau mau
mencurangi Lembke, silakan saja. Itu bukan urusanku. Aku hanya minta agar kalian
mengembalikan map ibuku."
Untuk sesaat, semuanya terdiam Kemudian Detlef angkat bicara.
"Nah, Toni, apa aku bilang! Bocah ini memang agak kurang waras. Ia selalu saja
berceloteh tentang map ibunya yang katanya hilang dicuri." Kemudian ia berpaling
pada Sporty. "He, Bocah, aku tidak tahu-menahu tentang map ibumu itu, Tetapi kenapa kau tidak
membeli map lain saja" Katanya kau punya 50.000 Mark. Dengan uang segitu banyak,
kau bisa membeli ribuan map. Jadi untuk apa kau bersusah-susah?" Detlef berkata
sambil nyengir mengejek. "Jangan berlagak bodoh," jawab Sporty. "Kau tahu persis map mana yang kumaksud.
Kalau kau mengembalikan map itu, aku bisa mengambil uangnya sekarang juga."
"Oh, jadi kau tidak membawanya"! Jangan-jangan uang itu hanya ada dalam
khayalanmu saja." "Apa kaupikir aku sebodoh itu" Uang itu kusimpan di suatu tempat yang aman."
Detlef menoleh ke arah Toni. Tanpa berkata apa-apa ia menatap temannya itu Toni
langsung berdiri. "Aku harus ke belakang sebentar," katanya pada Detlef. "Perutku agak mulas.
Mungkin kebanyakan minum susu." Tanpa menengok ke arah Sporty, ia menuju kamar
kecil. "Jadi bagaimana?" Sporty kembali bertanya.
"Apanya yang bagaimana?"
"Mana map itu?"
"Dasar bocah bebal! Aku kan sudah bilang..."
"He, Bung! Jaga omonganmu, kalau kau mau pulang dalam keadaan utuh," Sporty
menghardiknya. Egge tersentak. Tetapi dengan cepat ia dapat menguasai diri.
"Bagaimana kalau aku mengadu pada Lembke?" kata Sporty. "Aku bisa mengatakan
padanya bahwa kalian hendak menipunya."
"Apakah kau dapat membuktikan ucapanmu itu?" Detlef berkomentar sambil
tersenyum. "Tanpa bukti, kau tidak dapat berbuat apa-apa! Lembke tidak akan
mempercayaimu. " Sporty kehabisan akal. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Detlef akan menolak
tawarannya. Dengan susah payah ia berusaha untuk tidak memperlihatkan
kekecewaannya. Tetapi kemudian Sporty menyadari bahwa ia telah salah langkah. Kedua bajingan
itu memang tidak mungkin mengaku bahwa mereka hendak menipu Lembke, si pemilik
diskotek itu. Risikonya terlalu besar bagi mereka berdua. Bagaimanapun juga,
Sporty adalah musuh mereka. Detlef dan Toni tidak mempunyai alasan untuk
mempercayainya. Brengsek! pikir Sporty. Mereka nampaknya tidak peduli. Tapi pasti ada udang di
balik batu Detlef tidak akan membiarkan uangnya hilang begitu saja. Hm,
seandainya saja aku tahu rencana busuk apa lagi yang telah mereka persiapkan.
Toni kembali dari kamar kecil. Sewaktu menarik kursinya, ia mengangguk ke arah
Detlef. "Eh, Toni, masa si bocah gila ini hendak mengadukan kita pada Lembke," kata
Egge. "Terserah deh! Aku akan memberi tahu Lembke bahwa omongan anak ingusan ini tidak
perlu diperhatikannya. Lagi pula, kalau ia memang mengambil uang tebusan yang
katanya diminta oleh si pemeras itu, maka sudah jelas bahwa ia sendiri
dalangnya." "Logika bengkok," Sporty berkomentar.
"Itu katamu," balas Toni sambil nyengir lebar-lebar, "Kau telah mencoba
memfitnah kami. Padahal kau sendiri yang mendalangi pemerasan itu, bukan" Lembke
pasti senang kalau tahu kami telah berhasil membuka kedokmu. Dengar, Bocah, aku
punya nasihat untukmu."
Sporty tidak memberi tanggapan. Perhatiannya tersita oleh pelayan yang
menghampirinya dan menanyakan pesanannya. Ia minta segelas susu murni. Toni
menunggu sampai pelayan itu pergi. Kemudian ia kembali berkata, "Nasihatku
singkat saja. Jangan buka mulut, apa pun yang terjadi! Sebaiknya kauperhatikan
nasihatku ini. Daripada kau menyesal nanti. Dan siapa tahu, mungkin saja map itu
akan kauperoleh kembali kapan-kapan."
"Rekanmu ini telah menganjurkan hal yang sama ketika aku mendatangi rumahnya
kemarin malam," kata Sporty. "Hebat sekali petuah kalian. Padahal kau sendiri
mengatakan bahwa kalian tidak terlibat dengan urusan ini. Sekarang begini saja:
kalau sampai pukul 20.00 nanti malam kalian belum mengembalikan map itu, maka
aku akan serahkan uang itu pada polisi. Aku akan mengatakan semua yang kuketahui
tentang kalian. .. "Fitnah," Egge berkata sambil tersenyum.
"Ya, kau hanya ingin menjelek-jelekkan kami." Toni menyeringai.
"Tapi silakan saja, kalau kau memang ingin melapor," kata Egge. "Kami tidak
takut." "Benar," Toni menimpali. "Apa yang perlu dikhawatirkan" Kami tidak melakukan
apa-apa kok." Keduanya berdiri. Pelayan langsung mendatangi mereka sambil membawa bon. Egge
mengeluarkan dompet dan menyerahkan selembar uang.
"Ambil saja uang kembaliannya, " katanya pada pelayan itu. "Tapi bocah ini, biar
bayar sendiri. Tapi hati-hati, anak ini agak terganggu pikirannya, Kalau terlalu
banyak minum susu, gilanya kumat."
Pelayan itu hanya tertawa, Mungkin ia menyangka Egge sedang bergurau.
Dengan perasaan tidak menentu, Sporty menyaksikan kedua bajingan itu
meninggalkan Istana Es Krim. Ia merasa heran, Egge dan Toni sama sekali tidak
menggubris ancamannya. Hal itu membuat Sporty merasa tidak tenang. Apakah mereka
hanya berpura-pura" Atau mereka memang memegang kartu as yang belum
diketahuinya. Pelan-pelan ia menghabiskan susunya. Rasanya agak hambar. Selama beberapa saat
ia duduk memandang gelas yang kosong itu. Tiba-tiba ia sadar. Seperti tersengat
tawon, ia melompat berdiri. Sambil berlari menuju pintu, ia membayar pesanannya.
Pelayan yang menerima uangnya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Terburu-buru Sporty menaiki sepeda balapnya. Dengan kecepatan penuh, ia menyusul
mobil-mobil yang berada di depannya. Tikungan-tikungan dilewatinya tanpa
mengerem. Dua kali ia nyaris terjatuh.
Akhirnya ia tiba di jalan kedl yang menuju asrama.
Ia bertemu dengan sejumlah murid yang sedang dalam perjalanan pulang. Beberapa
berjalan kaki, tetapi sebaglan besar bersepeda. Sporty tidak sempat menegur
anak-anak yang dikenalnya.
Kemudian sebuah taksi berpapasan dengannya. Sambll lalu Sporty mengenali wajah
penumpangnya: Alfred Guttlich.
"Ya, ampun!" pikir Sporty, "Itu dia. Berarti aku terlambat. "
Untuk sesaat, perasaan marah, kesal, jengkel bercampur baur menjadi satu dalam
diri anak itu. Dengan lesu Sporty meneruskan perjalanannya. Ia sudah tidak perlu terburu-buru
seperti tadi. Ketika sampai di pekarangan asrama, ia menyimpan sepedanya dalam
gudang,lalu menuju SARANG RAJAWALI.
Lorong di lantai dua itu sepi. Tak seorang pun nampak.
Sporty menutup pintu kamar dan menghampiri lemari pakaiannya. Kunci pintu lemari
telah dibongkar, isiya diobrak-abrik. Apa yang dikhawatirkannya menjadl
kenyataan: uang itu hilang.
Toni telah menelepon ke asrama, pikir Sporty. Ia minta bicara dengan Alfred
Guttlich, kemudian menyuruh anak itu membongkar lemanku. Duganku ternyata tepat.
Alfred memperoleh hroin itu dari Toni dan Detlef. Jelas saja ia menuruti semua
perintah mereka. Brengsek! Aku terpaksa mencari cara lain untuk memperoleh
kembali map Ibu. Tapi aku tidak akan menyerah! Apalagi setelah kejadian ini.
Sporty memeriksa kamar-kamar yang bersebelahan dengan SARANG RAJAWALI. Semuanya
kosong. Anak-anak pergi semua. Mungkin ke kota. Tidak ada saksi mata bahwa
Alfred masuk ke kamarnya.
15. Kesempatan Terakhir bagi Sporty
KETIKA Sporty kembali ke kota, ia merasa sangat terpukul. Bukan karena merasa
ditipu. Soalnya, dari mana ia dapat mengetahui bahwa Egge dan Wiedemann dapat
memaksa Alfred Guttlich untuk mencuri uang itu dari lemarinya" Bukan, bukan itu
sebabnya. Yang membuatnya kecewa adalah kenyataan bahwa kemungkinan untuk
memperoleh kembali map ibunya sema kin kecil saja. Dengan uang 50.000 Mark ia
akan dapat memaksa Detlef untuk mengembalikan map itu. Tetapi sekarang" Semua
rencananya buyar. Ia juga tidak dapat membuktikan bahwa Detlef terlibat dalam
penjualan heroin. Memang, polisi tentu akan mencatat keterangannya, tetapi
apakah mereka juga akan dapat mengambil tindakan - hal itu masih perlu
dipertanyakan. Bahkan Komisaris Glockner, ayah Petra yang selalu siap membantu,
belum tentu dapat berbuat apa-apa.
Dengan wajah murung, Sporty tiba di rumah Petra, Teman-temannya tidak perlu
bertanya macam-macam. Dengan memandang wajahnya saja, mereka sudah dapat
membayangkan bahwa ia gagal.
Hanya Oskar yang tidak dapat membaca situasi
"Bagaimtma hasilnya?" tanyannya penuh rasa ingin. tahu,
"Oh. sukses besar." jawab Sporty dengan sinis. "Semua penjahat telah dijebloskan
ke penjara. Dan aku bahkan diberi hadiah berupa uang. Sayang sekali aku belum
sempat menghitung jumlahnya."
"Maaf deh, bertanya kan boleh," ujar Oskar. Ia agak tersinggung oleh jawaban
ketus Sporty. "Sori, Gendut. Aku tak bermaksud mnyinggung perasaanmu. Hanya saja, aku merasa
begitu kesal. Sial! Brengsek! Mereka berhasil mengelabuiku!".
Ia menceritakan kejadian itu pada teman-temannya. Keempat anak itu-Evi juga
hadir-tidak dapat berkata apa-apa.
"Membongkar... membongkar lemari"!" kata Oskar terbata-bata. "Bangsat benar si
Alfred! Tetapi bagaimana kau dapat membuktikan perbuatannya" Paling-paling kau
hanya dapat mengancamnya supaya mengaku. Padahal si brengsek itu tahu betul
bahwa kau tidak akan mempergunakan kekerasan terhadapnya. Di lain pihak, ia
tentu dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya seandainya ia
mengkhianati Detlef dan Toni. Mereka akan menghajarnya habis-habisan. Karena itu
ia takkan buka mulut."
"Justru itu masalahnya," kata Sporty. "Alfred tidak akan membantu kita,"
"Lalu, bagaimana dong?" tanya Oskar.
Sporty merenung. Pandangannya terarah pada lemari pakaian Petra, Evi telah
menggantungkan pakaiannya untuk pesta topeng di bagian samping lemari pakaian
itu. Sebuah rok berwarna-warni, sebuah blus berwarna putih, sebuah syal
berumbai-rumbai berwarna merah, sepasang anting-anting sebesar tatakan, dan
sebuah topeng berenda berwarna hitam. Evi pasti akan kelihatan cantik sekali
dalam pakaian itu. Dengan gerakan menyentak, Sporty mengangkat kepala.
"He, aku tahu! Hanya ada satu cara. Aku akan menghadiri pesta topeng di rumah
Detlef, Tanpa diketahui olehnya, tentu saja. Evi dan aku akan pergi ke sana.
Tapi kau tidak bisa ikut, Oskar. Potongan tubuhmu terlalu menyolok Kecuali kalau
kau bisa mengurangi berat badanmu sampai sepuluh kilo. Sayang, waktunya terlalu
singkat. Dan kau juga terlalu mudah dikenali, Thomas. Kalau Petra hmm... sebenarnya... bisa saja... tapi..."
"Jelas dong, aku ikut," kata Petra cepat-cepat. "Kalau kau pergi ke sana, maka
aku harus ikut" "Egge mengatakan bahwa aku boleh mengjak siapa saja," ujar Evi.
Sporty mengangguk. "Tapi dari mana kuperoleh pakaian yang cocok" Aku harus
menyamar, supaya tidak langsung dikenali. Kalau sudah berhasil masuk ke
rumahnya, aku tinggal menunggu kesempatan untuk memeriksa kamar tidur si Egge,
Mudah-mudahan saja kepala pelayan yang konyol itu tidak berjaga-jaga di depan
pintu. Tapi kalau aku beruntung,.. Egge yakin bahwa kita tidak akan bertindak
selama ia masih menyimpan map ibuku. Ia yakin bahwa kita tak mungkin menghubungi
polisi untuk menggeledah rumahnya. Dalam hal ini, keyakinannya memang beralasan.
Tapi kalau aka sendiri yang melakukannya... Tidak ada jalan lain. Aku harus
memeriksa kamarnya. Map itu pasti ada di sana."
"Aku akan membantumu untuk menyamar," kata Petra. Gadis itu bersemangat sekali.
"Tetapi kepalamu harus ditutupi dengan sesuatu. Sesuatu yang tidak mudah dibuka-
buka, Barang itu harus menjadi titik perhatian utama dalam penyamaranmu."
"Aku punya topeng monster di rumah!" Thomas berseru.
"Itu tepat sekali," ujar Petra sambil bertepuk tangan. "Sekalian kuambilkan baju
montir ayahku. Ayah selalu memakai baju itu kalau berkebun. Aku rasa, ukurannya
pas untukmu. Bagaimana, kau setuju?"
Sporty mengangguk sambil tersenyum lebar Kemudian ia berpaling pada Evi.
"Kalau ketemu Detlef nanti malam, katakan saja bahwa Petra dan aku adalah
saudara-saudara sepupumu. Kau dapat saja menyebutkan nama asliku, Peter. Soalnya
kecuali ibuku, dan beberapa guru di sekolah, tidak ada yang memanggilku dengan
nama itu. Tetapi Petra terpaksa ganti nama. Aku usul kita menamakannya
Rosalinde, atau Pauline, atau Walburga, atau..."


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah, sudah! Stop!" seru Petra sambil tertawa. "Enak saja kau memilih-milih
nama-nama kuno itu untukku. Kalau aku setuju dengan salah satu nama yang
kauusulkan itu, maka Detlef pasti ingin melihat wajahku. Itu tak boleh terjadi.
Soalnya aku yakin ia mengenalku. Aku takut rencana kita akan terbongkar."
"Benar juga," ujar Sporty. "Mana ada murid sekolah kita yang tidak mengenal
gadis paling can., eh... maksudku, aku akan menyamar sebagai monster. Dan kau?"
"Sepertinya, masih ada yang hendak kaukatakan," kata Petra.
Sporty merasakan wajahnya menjadi merah. Lagi-Iagi aku salah omong! Lihat, tuh,
si Thomas cengar-cengir terus. Oskar malah cekikikan. Dasar brengsek semuanya.
Dan Petra juga sama saja. Busyet, setiap kali ia berhasil membuat wajahku
menjadi merah padam, "Ehm, sebenarnya tidak ada!" jawab Sporty. "Jadi kau akan menyamar sebagai
drakula?" "Sembarangan!" seru Petra terkejut. "Nanti pasti ada anak-anak konyol yang
mengharapkan aku bersedia menggigit leher mereka. Tidak ah, aku akan menyamar
sebagai badut saja. Aku masih menyimpan pakaian badut yang kupakai tahun lalu.
Mudah mudahan saja masih cukup."
Gadis itu segera mencari baju badut itu di lemari pakaiannya. Sementara itu,
Thomas pulang sebentar untuk mengambil topeng monster dan baju montir ayahnya.
Petra mengeluarkan baju badutnya dan meletakkannya di atas tempat tidur. Ia juga
mengambil sebuah topeng dari lacinya.
"Hebat," Sporty berkomentar. "Pasti takkan ada yang mengenalimu. Sekarang kita
tinggal menunggu Thomas."
Thomas kembali dengan mengenakan topeng monsternya. Petra dan Evi memekik kaget
ketika tiba-tiba ia muncul di ambang pintu.
Topeng itu terbuat dari karet, dan menutupi seluruh kepala sampai sebatas leher.
Empat buah celah terdapat pada topeng itu. Dua buah untuk mata, lalu masing-
masing satu untuk mulut dan hidung. Sisanya tertutup rapat. Orang yang
mengenakan topeng itu pasti akan merasa kepanasan.
Topeng itu memang menakutkan.
Sporty segera mencobanya lalu memandang ke cermin.
"Apa kau masih bisa mengenaliku," ia bertanya pada Petra.
"Jelas. Soalnya wajahmu hampir tidak berubah"
"Terima kasih atas pujianmu. Aku baru tahu bahwa kau perlu memakai kaca mata."
Semuanya tertawa. Sporty pergi ke kamar mandi dan berganti pakaian. Baju montir
yang dibawakan Thomas ternyata pas sekali.
"Suaramu juga lain, kalau kau memakai topeng itu," ujar Oskar. "Penyamaranmu
benar-benar hebat. si Egge takkan menduga bahwa kau yang berada di balik topeng
itu." Pintu kamar Petra diketuk dari luar. Bu Glockner melangkah masuk. Ia membawa
baki berisi minuman dan makanan kecil untuk tamu putri-putrinya itu Ketika
melihat Sporty, ia kaget setengah mati. Hampir saja baki itu terlepas dari
tangannya Tetapi untung Thomas cukup sigap. Ia melompat mendekat dan membantu Bu
Glockner. "Ya ampun, Sporty." wanita itu berkata sambil tertawa. "Jangan sekali-kali naik
kendaraan umum dengan topengmu itu. Penumpang-penumpang lain bisa pingsan kalau
melihat tampangmu. Rupanya kalian jadi pergi ke pesta itu, ya?"
Karena tahu bahwa Sporty juga akan menghadiri pesta itu, Bu Glockner mengizinkan
Petra dan Evi pulang agak lebih malam daripada biasanya. Ia juga bertanya,
apakah anak-anak telah mempersiapkan kado untuk tuan rumah nanti
"Wah, kita sama sekali lupa," ujar Petra. Tadinya kita memang hampir tidak jadi
pergi ke pesta itu. Aduh, bagaimana ya" Hari ini kan Sabtu, toko-toko tutup
lebih cepat daripada biasanya. Mana sempat kita beli hadiah?"
"Jangan bingung." Bu Glockner berkomentar. "Ibu masih punya sekeranjang buah-
buahan segar di toko. Kalian boleh membawanya, kalau mau."
Tentu saja anak-anak setuju dengan usul itu.
Ketika Bu Glockner kembali dari toko dengan membawa sekeranjang buah-buahan.
Oskar langsung tergiur. Ia berpendapat bahwa Detlef Egge sebenarnya tidak patut
menerima hadiah itu. "Lebih baik. kita sendiri yang menikmati buah-buahan ini," ujarnya dengan
serius. "Sayang kan, kalau dihadiahkan ke orang lain."
Tetapi teman-temannya hanya tertawa mendengar usulnya itu.
Sambil minum teh, mereka kemudian merundingkan bagaimana sebaiknya mereka
bersikap di rumah Detlef nanti.
Sewaktu anak-anak masih asyik menyusun rencana, Sporty menelepon ibunya.
"Nanti malam aku akan datang ke Hotel Kaiserhot.... Wah, aku belum tahu..... Ada
pekerjaan penting yang harus segera kami selesaikan. Ya, aku akan berhati-
hati.... Aku akan memberi tahu hal ini pada petugas piket di asrama."
Lama sekali ia berbicara dengan ibunya. Kemudian ia menelepon ke asrama. dan
minta bicara dengan guru piket. Ternyata Dr. Weniger yang sedang bertugas. Guru
itu sedang kesal karena terpaksa berdinas pada malam Minggu. Walaupun demikian,
ia memberi izin pada Sporty untuk pulang pukul 23.00.
"Oh, ya. Saya hampir saja lupa." Sporty menambahkan. "Oskar Sauerlich juga
ikut." Oskar juga diizinkan pulang malam. Berdua dengan Thomas, ia akan berpatroli di
depan rumah Detlef Egge. Sekadar berjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu di luar
dugaan. Mungkin saja Sporty tertangkap basah sewaktu menyelinap ke kamar Detlef.
Dalam keadaan seperti itu, bantuan Thomas dan Oskar sangat dibutuhkan.
Menurut rencana, pesta akan dimulai pukul 19.30. Kelima anak itu berangkat
setengah jam sebelumnya. Mereka menumpang bis kota. Sesuai anjuran Bu Glockner,
Sporty mencopot topengnya ketika naik kendaraan umum. Tetapi Evi dan Petra. yang
telah memakai penyamaran lengkap, menjadi pusat perhatian penumpang-penumpang
lain. Halte bis berada beberapa ratus meter dari rumah keluarga Egge. Jarak itu mereka
tempuh dengan berjalan kaki. Ketika hampir sampai, Sporty kembali memakai topeng
monsternya. Rumah Detlef terang-benderang. Sama seperti kemarin malam, seluruh kejadian di
sekitar kolam renang terlihat dengan jelas dari jalanan. Sejumlah pengunjung
bertopeng telah datang. Sporty menaksir jumlahnya sekitar dua puluh orang.
Evi dan Petra agak gugup ketika mereka mendekati pintu rumah DetIef. Sporty
berusaha menenangkan kedua gadis itu. Kemudian ia menekan bel, lalu mengambil
posisi di belakang Evi. Evi telah melepaskan topeng, supaya Detlef dapat segera mengenalinya.
Detlef sendiri yang membuka pintu.
Tidak jelas Detlef menyamar sebagai apa. Mungkin gabungan antara playboy dan
bajak laut. Seluruh pakaiannya terbuat dari sutera berwarna putih. Sebuah
anting. berukuran raksasa tergantung di kuping kirinya.
"EVI! Aku senang sekali kau ternyata memenuhi janji. Ayo, masuk."
Evi menyalaminya, kemudian memperkenalkan Petra dan Sporty.
"Ini Helga, saudara sepupuku. Ia sedang berlibur di sini. Dan ini Peter. Maaf,
ia tidak bisa membuka topeng, soalnya sulit sekali untuk memasangnya lagi."
Detlef hanya mengangguk. Kemudian ia merangkul pinggang Evi dan mengajaknya ke
kolam renang. Sporty dan Petra mengikuti mereka.
Musik yang hingar-bingar menyambut mereka. Sebuah tape deck dipasang sekeras-
kerasnya. Orang-orang terpaksa menggunakan bahasa isyarat kalau ingin mengatakan
sesuatu. Para pengunjung berdansa di sekeliling kolam renang. Suasananya meriah
sekali. Begitu masuk, Sporty langsung melihat deretan botol minuman keras di bar.
Sebagian besar telah dibuka. Seorang pengunjung dengan pakaian koboi sedang
menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Dari gerakannya yang klkuk segera terlihat
bahwa koboi itu telah mulai mabuk.
Sporty dan Petra bergabung dengan tamu-tamu lainnya. Mereka berdansa. Namun
Sporty tetap memperhatikan Evi. Detlef Egge tidak beranjak dari sisi gadis itu,
kecuali kalau ia menuju pintu rumah untuk menyambut tamu yang baru datang. Dan
itu memang sering terjadi. Dalam sekejap, ruangan itu telah penuh sesak. Para
tamu harus berhati-hati agar tidak kecebur ke kolam renang.
Siapa yang berada di balik topeng-topeng itu tidak dapat diketahui. Tetapi
beberapa tamu rupanya merasa tidak perlu menyembunyikan wajah mereka. Toni
Wiedemann, misalnya, yang berpakaian seperti pelaut. Atau Alfred Guttlich, yang
mengenakan sebuah kemeja putih yang penuh dengan coretan-coretan spidol.
Sebagian besar pengunjung memanfaatkan minuman keras yang disediakan dengan
sebaik mungkin. Beberapa di antara mereka sudah memperlihatkan kelakuan yang
aneh-aneh. Dua kali Sporty terpaksa melindungi Petra dari tamu-tamu yang mulai
kurang ajar. Rupanya mereka dapat menebak bahwa di balik topeng badut itu
terdapat seraut wajah cantik. Tetapi, setiap kali Sporty berhasil mengusir
mereka tanpa terlalu menarik perhatian.
Beberapa menit sebelum setengah sepuluh, Sporty mengajak Petra ke tangga yang
menuju lantai atas. Kebetulan tidak ada siapa-siapa di sekitar tangga
"Aku akan ke atas," katanya pada gadis itu. "Kau tungu di sini saja. Aku akan
kembali dalam beberapa menit."
Cepat-cepat Sporty menaiki tangga. Jantungnya berdebar-debar. Ia harus bersiap-
siap untuk menghadapi kmungkinan bertemu dengan opang tua Detlef atau Si kepala
pelayan. Pintu, pintu, pintu. Sporty menempelkan telinganya pada setiap pinu sebelum
membukanya. Ia juga mengintip melalui lubang kunci. Semua kamar dalam keadaan
gelap. Keika hendak memasuki salah satu kamar. Sporty tiba-tiba mendengar suara
langkah. Seseorang sedang mendekat ke arahnya. Terburu-buru Sporty bersembunyi
di balik sebuah kursi antik yang terdapat di samping pintu tadi.
Dengan tegang ia menyaksikan si kepala pelayan berjalan ke arahnya. Namun
kemudian pria itu berhenti beberapa langkah di depan Sporty. Seakan-akan
teringat sesuatu. laki-laki itu akhirnya berbalik dan menuruni tangga.
Uih. hampir saja, pikir Sporty lega. Keringat dingin membasahi keningnya.
Sporty keluar dari persembunyiannya dan mendekati pintu berikutnya. Kali ini ia
beruntung. Begitu membuka pintu, ia langsung tahu bahwa ia berada di kamar
Detlef. Poster-poster berukuran besar tertempel di dinding. Perabot di ruangan
menyerupai di kapal pesiar zaman dulu. Semuanya serba mahal.
Tanpa berpikir panjang. Sporty menyelinap masuk. Ia menutup pintu lalu
menghidupkan lampu. Segera Ia membuka lemari pakaian Detlef dan memeriksanya.
Map ibunya ada di bawah tumpukan baju. Kegembiraan Sporty meluap-luap.
Ia sudah hendak meninggalkan kamar itu, ketika melihat meja tulis di sudut
kamar. "Kenapa tidak?" pikirnya. "Tanggung, aku toh sudah sampai di sini."
Ia memeriksa setiap laci, namun tidak menemukan apa-apa. Kemudian ia teringat
pada laci di lemari pakaian yang belum sempat ia buka tadi. Benar saja! Paket
bergambar tengkorak, serta tas berisi uang tebusan itu terdapat di dalamnya.
Sporty tidak mengutak-atik barang-barang itu. Ia menutup laci tadi, lalu
meninggalkan kamar kerja Detlef dan menuruni tangga. Petra masih menunggunya.
Gadis itu melompat-lompat dengan gembira sewaktu melihat map yang dibawa Sporty.
"Aku akan menemui Thomas dan Oskar. Map ini sebaiknya kutitipkan pada mereka
saja. Sebentar, ya."
Cepat-cepat Sporty bergegas keluar. Hampir saja ia bertabrakan dengan Sepasang
tamu yang sedang bermesraan di dalam kegelapan yang menyelimuti halaman rumah
itu. Sporty berlari ke jalanan. Ia bersuit. Thomas dan Oskar langsung datang
menghampirinya. "Tolong jaga map ibuku. Jangan sampai hilang lagi. Dan sekarang kalian harus
menelepon Komisaris Glockner. Katakan padanya, bahwa kita membutuhkan bantuannya
Paket bergambar tengkorak itu ada di kamar Detlef. Isinya heroin. Seperempat
kilo, paling tidak. Uang tebusan itu juga ada di sana. Berarti bukti sudah
lengkap." "Busyet!" ujar Oskar singkat.
Kemudian kedua anak itu berbalik. Mereka berlari menuju kotak telepon umum yang
terlihat di ujung jalan. Sporty kembali ke rumah Detlef Secara kebetulan ia melihat ke arah kolam renang.
Jantungnya hampir copot ketika ia menyadari apa yang sedang terjadi.
Sekelompok orang berdiri di sekeliling kolam renang. Semuanya sedang tertawa
terbahak-bahak. Mereka menertawakan Petra.
Gadis itu tidak lagi bertopeng. Entah siapa yang merampas topeng itu dari
wajahnya. Dua laki-laki memegang tangan dan kakinya dengan kasar. Petra meronta-ronta, dan
berusaha menendang mereka. Tetapi kedua orang tadi mengayun-ayunkan gadis itu,
diiringi teriakan dan tawa para tamu lain.
Detlef Egge menyaksikan kejadian itu dengan wajah merah padam. Ia melotot ke
arah Petra, seakan-akan hendak membunuhnya dengan sorot matanya. Detlef rupanya
telah menyuruh kedua orang tadi untuk melemparkan Petra ke dalam air.
Sporty berlari ke pintu masuk. Pintunya ternyata dikunci dari dalam. Ia memencet
bel, berulang-ulang, dan tak henti-henti. Jantungnya berdetak kencang. Kemarahan
yang amat sangat menguasai dirinya.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Evi yang membukanya. Gadis itu juga sudah tidak
mengenakan topengnya. Air mata membasahi pipinya.
"Sporty! Rencana kita berantakan. Entah kenapa, si Egge tiba-tiba ingin melihat
wajah Petra, dan merenggut topeng dari wajahnya. Ternyata ia langsung
mengenalinya. Sekarang mereka lagi mempermainkan Petra di kolam renang. Egge
membentak-bentak kami agar mengaku bahwa kaulah yang berada di balik topeng
monster itu. Ia..." Sporty tidak memperhatikan kata-kata Evi selanjutnya.. .
Ia terbang menuju kolam renang. Sambil berlari, ia membuka topengnya.
Tape deck di kolam renang telah dimatikan. Namun suasananya malah bertambah
hiruk-pikuk. Tawa dan sorak-sorai terdengar dengan jelas.
Petra berteriak-teriak. Kedua laki-laki tadi masih saja mempermainkannya dengan
kasar. Petra pasti kesakitan.
"Berhenti!" Sporty mengamuk. Tanpa mengurangi kecepatannya, ia menembus kerumunan orang itu.
Lima-enam orang terpental ke samping. Kemudian ia sampai di hadapan Petra dan
kedua laki-laki tadi. Dengan satu tendangan, Sporty menyapu kaki salah seorang
penyiksa Petra. Sambil memekik, bajingan itu terjatuh ke dalam kolam renang. Air
memercik membasahi lantai di sekitarnya. Rekannya segera mendesak maju.
Rupanya ia belum tahu bahwa lawannya jago judo. Dengan sekali angkat, Sporty
telah melemparkannya ke tengah-tengah kolam renang.
Pada detik berikutnya, Toni Wiedemann ikut campur. Tangannya menggenggam sebuah
tongkat kayu. Sporty menyambutnya dengan sebuah tendangan ke arah tulang kering.
Dengan lengan kirinya, ia menangkis pukulan Toni. Bersamaan dengan itu, Sporty
menghantam dada Wiedemanh dengan sikunya. Toni roboh sambil menyeringai
kesakitan. Penonton lainnya segera mundur. Banyak di antara mereka yang berbadan lebih
besar daripada Sporty. Tetapi tiba-tiba semuanya kehilangan keberanian.
"Hajar bangsat itu!" Detlef Egge berteriak dari belakang.
Namun tidak ada yang beraksi.
Sporty meraih tangan Petra dan menariknya ke pintu, di mana Evi sedang berdiri
dengan mata terbelalak. Ia sudah berhenti menangis.
"Cepat. keluar dari sini," perintah Sporty "Thomas dan Oskar ada di luar. Aku
akan berjaga di sini."
Sporty tetap berdiri di ambang pintu. Tidak ada yang berani mendekat. Sebenarnya
anak itu kalah seandainya dikeroyok. Tetapi ternyata penampilannya tadi telah
menciutkan nyali teman-teman Detlef.
Tiba-tiba terdengar bunyi sirene mobil patroli Suara itu semakin nyaring, dan
baru berhenti di depan rumah Detlef.
Yang terjadi kemudian adalah mimpi buruk bagi Detlef Egge, Toni Wiedemann, dan
Alfred Guttlich. Komisaris Glockner, dibantu dua orang petugas polisi lainnya, mengamankan paket
bergambar tengkorak yang tersimpan di lemari pakaian Detlef. Isinya ternyata
memang heroin. Tas berisi uang 50.000 Mark dibawa sekalian. Detlef Egge dan Toni
Wiedemann dikenakan tahanan sementara.
Sporty dan teman-temannya ikut ke kantor polisi. Di sana mereka memberikan
kesaksian. Sebuah mobil polisi segera berangkat ke Super-Sound-Disco untuk
menangkap Dieter Lembke. Tanpa berkedip, Komisaris Glockner mendengarkan cerita anak-anak itu. Ketika
Sporty menyinggung Zaulich, si Hidung Bengkok, Komisaris Glockner langsung
mengangguk. "Zaulich adalah seorang pedagang narkotika yang bermarkas di Frankfurt. Untung
kalian berhasil mengenalinya. Saya akan segera melaporkan hal itu pada dinas
kepolisian di sana" Setelah selesai melaporkan apa yang mereka ketahui sebuah mobil patroli
mengantar keempat sahabat itu ke Hotel Kaiserhof. Evi juga diajak. Begitu tiba
di hotel semuanya langsung menuju kamar Bu Carsten.
Bu Carsten sangat gembira melihat anak-anak. Kegembiraannya bertambah besar
ketika Sporty menyerahkan sebuah map.


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ka... kau... berhasil... Peter!" ujarnya seakan-akan tidak percaya.
Bu Carsten terdiam. Keharuan mencekam dirinya. Ia hanya dapat menggeleng-
gelengkan kepala. Matanya mulai berair. Kemudian ia memeluk anaknya.
"Aku sangat berterima kasih, Peter. Dan untung kalian selamat semuanya."
"Nanti kuceritakan semuanya, Bu. Tapi sekarang aku harus melampiaskan
kegembiraanku dulu," kata Sporty dengan suara bergetar. "Syukurlah semuanya
sudah berlalu." TAMAT Suling Emas Dan Naga Siluman 22 Mustika Lidah Naga 7 Jejak Di Balik Kabut 23
^