Pencuri Petir 3
Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan Bagian 3
Kami berjabatan tangan. Luke menepuk kepala Grover di antara tanduknya, lalu memberi pelukan perpisahan kepada Annabeth, yang kelihatan seperti mau pingsan.
Setelah Luke pergi, kataku kepada Annabeth, "Kau terengah-engah."
"Siapa bilang?"
"Kau sengaja membiarkan bendera itu ditangkap olehnya, bukan olehmu, ya?"
"Ih ... kok aku mau-maunya pergi denganmu, Percy?"
Dia menuruni sisi bukit seberang dengan membanting kaki, menuju mobil SUV putih yang menunggu di bahu jalan. Argus mengikuti, sambil menggemerincingkan kunci mobil.
Aku memungut sepatu terbang itu dan tiba-tiba mendapat firasat buruk. Aku menoleh kepada Chiron. "Saya tak akan bisa menggunakan ini, ya?"
Dia menggeleng. "Luke berniat baik, Percy. Tetapi terbang ke udara ... itu tidak bijak untukmu."
Aku mengangguk, kecewa, tetapi lalu aku mendapat ide. "Hei, Grover. Kau mau benda ajaib?"
Matanya berbinar. "Aku?"
Tak lama kemudian, kami sudah mengikat tali sepatu di kaki palsu Grover, dan anak kambing terbang pertama di dunia siap diluncurkan.
"Maia!" teriaknya.
Dia lepas landas dengan baik, tetapi kemudian jatuh ke samping, sehingga ranselnya terseret di atas rumput. Sepatu bersayap itu terus melompat-lompat seperti kuda liar mungil.
"Berlatihlah," seru Chiron kepadanya. "Kau cuma perlu berlatih."
"Aaaaa!" Grover terbang miring menuruni bukit menuju van, seperti mesin pemotong rumput yang dirasuki setan.
Sebelum aku sempat mengikuti, Chiron menangkap lenganku. "Semestinya aku melatihmu lebih baik, Percy,' katanya. "Andai saja aku punya lebih banyak waktu. Hercules, Jason - mereka semua sempat berlatih lebih banyak."
"Nggak apa-apa. Saya cuma ingin-"
Aku menghentikan diri karena aku akan terdengar seperti anak manja. Aku ingin ayahku memberiku benda ajaib yang keren untuk membantu melaksanakan misi ini, sesuatu yang sebaik sepatu terbang Luke, atau topi tak kasat mata Annabeth.
"Aku ini payah," seru Chiron. "Aku tak mungkin membiarkanmu pergi tanpa ini."
Dia mengeluarkan sebuah pena dari saku jas, dan menyerahkannya kepadaku. Pena itu berupa bolpoin sekali-pakai biasa, bertinta hitam, yang tutupnya bisa dilepas. Mungkin harganya tiga puluh sen.
"Wah," kataku. "Makasih."
"Percy, itu hadiah dari ayahmu. Aku sudah bertahun-tahun menyimpannya, tanpa tahu kaulah yang kutunggu-tunggu. Tetapi ramalan itu sudah jelas bagiku sekarang. Kaulah orangnya."
Aku teringat pada karyawisata ke Museum Seni Metropolitan, saat aku memusnahkan Bu Dodds. Waktu itu Chiron melemparkan pena kepadaku, yang berubah menjadi pedang. Mungkinkah ini ..."
Aku mencopot tutupnya, dan pena itu semakin panjang dan berat di tanganku. Dalam setengah detik, aku memegang pedang perunggu bermata dua yang berkilauan, gagangnya berbalut kulit, dan gagang datarnya yang dihiasi jendul-jendul emas. Itulah senjata pertama yang benar-benar terasa seimbang di tanganku.
"Pedang ini memiliki sejarah panjang dan tragis yang tak perlu kita bahas," kata Chiron. "Namanya Anaklusmos."
"Riptide - Air Surut," aku menerjemahkan, kaget sendiri bahwa bahasa Yunani Kuno itu begitu mudah terpikir.
"Hanya gunakan untuk situasi darurat," kata Chiron, "dan hanya untuk melawan monster. Pahlawan tak boleh menyakiti manusia, kecuali benar-benar perlu tentu saja, tetapi pedang ini memang tak akan menyakiti mereka."
Aku menatap pedang yang sangat tajam itu. "Apa maksud Bapak, pedang gini tak bisa menyakiti manusia" Kenapa tak bisa?"
"Pedang ini terbuat dari perunggu surgawi. Ditempa oleh Cyclops, diperkeras di jantung Gunung Etna, didinginkan di Sungai Lethe. Pedang ini maut bagi monster, bagi makhluk apa pun dari Dunia Bawah, asalkan kau tidak terbunuh duluan. Tapi pedang itu melewati manusia seperti sebuah ilusi. Mereka memang tak cukup penting untuk dibunuh pedang itu. Dan harus kuperingatkan: sebagai setengah dewa, kau bisa dibunuh oleh senjata langit ataupun senjata biasa. Kau dua kali lebih terancam."
"Pengetahuan yang bermanfaat."
"Sekarang tutup lagi pena itu."
Aku menyentuhkan tutup pena itu pada ujung pedang dan Riptide langsung menyusut menjadi pena lagi. Kuselipkan ke saku dengan sedikit gugup, karena aku terkenal sering kehilangan pena di sekolah.
"Nggak mungkin," kata Chiron.
"Nggak mungkin apa"'"
"Kau kehilangan pena," katanya. "Pena itu sudah disihir. Akan selalu muncul lagi di sakumu. Coba saja."
Aku tak percaya, tetapi kulempar pena itu sejauh-jauhnya ke kaki bukit dan kulihat lenyap di antara rumput.
"Perlu waktu sebentar," kata Chiron. "Sekarang periksa sakumu."
Benar saja, pena itu ada di sana.
"Oke, yang ini keren banget," aku mengakui. "Tapi bagaimana kalau ada manusia yang melihatku menghunus pedang?"
Chiron tersenyum. "Kabut itu hal yang ampuh, Percy."
"Kabut?" "Ya. Bacalah Iliad. Buku itu sering menyebut Kabut. Setiap kali unsur-unsur dewa atau monster bercampur dengan dunia manusia, Kabut pun timbul, menghalangi pandangan manusia. Kau melihat segala sesuatu sebagaimana aslinya, karena kau blasteran, tetapi manusia menafsirkan situasi tersebut secara sangat berbeda. Sungguh, luar biasa upaya mereka untuk menyesuaikan segala sesuatu ke dalam versi realitas mereka."
Aku memasukkan Riptide kembali ke saku.
Untuk pertama kalinya, misi ini terasa nyata. Aku benar-benar akan meninggalkan Bukit Blasteran. Aku berangkat ke barat tanpa pengawasan orang dewasa, tanpa rencana cadangan, bahkan tanpa ponsel. Kata Chiron, ponsel dapat dilacak oleh monster; kalau kami memakai ponsel, itu lebih buruk daripada menembakkan peluru suar ke udara. Pedanglah senjata yang tersakti bagiku, untuk melawan monster maupun mencapai Negeri Orang Mati.
"Chiron ..." kataku. "Saat kau bilang dewa itu hidup abadi ... maksudku, ada masa sebelum mereka, bukan?"
"Sebenarnya ada empat zaman sebelum mereka. Zaman Titan adalah Zaman Keempat, kadang disebut Zaman Keemasan. Nama itu jelas tidak cocok dengan keadaan sebenarnya. Sekarang ini, zaman peradaban Barat dan kekuasaan Zeus, adalah Zaman Kelima."
"Jadi, seperti apa keadaannya dulu ... sebelum ada dewa?"
Chiron meruncingkan bibir. "Aku saja tidak cukup tua untuk mengingat itu, Nak, tapi aku tahu bahwa masa itu masa kegelapan dan kebiadaban bagi manusia. Kronos, sang penguasa bangsa Titan, menyebut masa kekuasaannya Zaman Keemasan karena manusia hidup tanpa dosa dan bebas dari semua pengetahuan. Tapi, itu hanya propaganda. Sang Raja Titan tak peduli sama sekali tentang bangsamu, kecuali sebagai makanan pembuka atau sumber hiburan murah. Barulah pada masa kekuasaan Raja Zeus, ketika Prometheus, si Titan yang baik, membawa api bagi umat manusia, spesiesmu mulai mengalami kemajuan. Pada masa itu pun Prometheus masih dicap sebagai pemikir radikal. Zeus menghukumnya dengan keras, barangkali kau masih ingat. Tentu saja, pada akhirnya para dewa menyayangi manusia, dan peradaban Barat pun terlahir."
"Tapi sekarang dewa tak bisa mati, kan" Maksudku, sepanjang peradaban Barat masih hidup, mereka juga hidup. Jadi ... sekalipun aku gagal, aku tak bakal menimbulkan peristiwa yang begitu buruk, sehingga mengacaukan semuanya kan?"
Chiron memberiku senyum pilu. "Tak ada yang tahu berapa lama Zaman Barat akan berlangsung, Percy. Para dewa hidup abadi, betul. Tapi bangsa Titan juga begitu. Mereka masih ada, dikurung dalam berbagai penjara, dipaksa mengalami nyeri dan hukuman tanpa akhir, kekuatannya berkurang, tetapi jelas masih hidup. Mudah-mudahan para dewa tidak mengalami nasib buruk seperti itu, atau bahwa kita tidak kembali ke kegelapan dan kekacauan masa silam. Yang dapat kita lakukan, Nak, adalah mengikuti takdir kita."
"Takdir kita ... itu kalau kita tahu apa takdirnya."
"Santai saja," kata Chiron. "Tetap berkepala dingin. Dan ingat, kau mungkin bisa mencegah perang terbesar dalam sejarah manusia."
"Santai"' kataku. "Aku sangat santai kok."
Saat sampai ke kaki bukit, aku menoleh ke belakang. Di bawah pohon pinus yang dulunya adalah Thalia, putri Zeus, Chiron kini berdiri dalam bentuk penuh manusia-kuda, memegang busur tinggi-tinggi sebagai tanda hormat. Hanya salam perpisahan perkemahan musim panas yang biasa dari centaurus biasa.
* * * Argus mengantar kami dari daerah pedesaan ke Long Island barat. Aneh rasanya berada di jalan raya lagi, sementara Annabeth dan Grover duduk di sebelahku seolah-olah kami penumpang mobil biasa. Setelah dua minggu di Bukit Blasteran, dunia nyata terasa seperti khayalan. Aku mendapati diriku menatap setiap McDonald's, setiap anak di belakang mobil orangtuanya, setiap papan iklan dan mal belanja.
"Sejauh ini lancar," kataku kepada Annabeth. "Lima belas kilometer, nggak ada monster satu pun."
Dia menatapku dengan kesal. "Omongan seperti itu membawa nasib buruk, tahu. Dasar otak ganggang."
"Coba ingatkan aku lagi - kenapa sih kau membenciku begitu?"
"Aku nggak benci kok."
"Masa?" Dia melipat topi tak kasat matanya.
"Dengar ... pokoknya kita sudah semestinya nggak rukun, oke" Orangtua kita kan bersaing."
"Kenapa?" Dia menghela napas. "Berapa alasan yang kau mau" Ibuku pernah memergoki Poseidon bersama pacarnya di kuil Athena. Tindakan Poseidon itu sangat melecehkan. Di lain waktu Athena dan Poseidon bersaing untuk menjadi dewa pelindung bagi kota Athena. Ayahmu menciptakan mata air asin konyol sebagai anugerahnya. Ibuku menciptakan pohon zaitun. Warga kota merasa bahwa hadiah ibuku lebih baik, jadi mereka menamakan kota itu menurut namanya."
"Wah, mereka doyan zaitun ya."
"Ah, lupakan saja!"
"Nah, kalau ibumu menciptakan pizza - itu aku bisa mengerti."
"Kataku, lupakan!"
Di kursi depan, Argus tersenyum. Dia tak berkata apa-apa, tetapi satu mata biru di tengkuknya berkedip kepadaku.
Lalu lintas memperlambat mobil kami di Queens. Saat kami masuk ke Manhattan, matahari sedang terbenam dan hujan mulai turun.
Argus mengantar kami di Stasiun Bus Greyhound di Upper East Side, tak jauh dari apartemen ibuku dan Gabe. Pada sebuah kotak pos tertempel selebaran basah yang menampilkan fotoku: PERNAHKAN ANDA MELIHAT ANAK INI"
Kurobek selebaran sebelum Annabeth dan Grover sempat memerhatikan.
Argus menurunkan ransel-ransel kami, memastikan kami mendapat karcis, lalu melaju pergi. Mata di belakang tangannya terbuka untuk mengamati kami sementara dia keluar dari tempat parkir.
Aku memikirkan betapa dekatnya aku dengan apartemen lamaku. Pada hari biasa, ibuku tentu sudah pulang dari toko permen sekarang. Gabe si Bau mungkin sedang berada di sana sekarang, bermain poker, bahkan tak merindukan ibuku.
Grover menyandang ranselnya. Dia memandang ke arah jalan yang kulihat.
"Kau ingin tahu kenapa ibumu menikahinya, Percy?"
Aku menatapnya. "Kau bisa membaca pikiranku, atau apa?"
"Cuma emosimu." Dia mengangkat bahu. "Kayaknya aku lupa menceritakan bahwa satir bisa melakukan itu. Kau memikirkan ibumu dan ayah tirimu, kan?"
Aku mengangguk, sambil bertanya-tanya hal apa lagi yang Grover lupa menceritakan kepadaku.
"Ibumu menikahi Gabe demi kau," Grover memberi tahu. "Kau menjulukinya si 'Bau', tapi kau tak menyadari betapa baunya dia sebenarnya. Dia punya semacam aura ... Ih. Baunya bisa kuendus dari sini. Aku bisa mencium sisa baunya pada tubuhmu, padahal kau belum pernah dekat-dekat dia lagi seminggu ini."
"Trims," kataku. "Di mana kamar mandi terdekat?"
"Kau semestinya berterima kasih, Percy. Ayah tirimu memiliki bau yang begitu manusia dan menjijikkan, sehingga dia bisa menutupi kehadiran setengah-dewa mana pun. Begitu aku mencium bau bagian dalam Camaronya, aku langsung sadar: Gabe sudah bertahun-tahun menutupi baumu. Andai kau tak tinggal bersamanya pada musim panas, kau mungkin sudah lama ditemukan oleh monster. Ibumu bertahan dalam pernikahannya dengan Gabe untuk melindungimu. Dia perempuan yang cerdas. Dia pasti sangat mencintaimu, sampai rela bertahan dengan lelaki itu - barangkali itu bisa menghiburmu."
Sebenarnya tidak menghibur, tetapi aku memaksa diri agar tidak menunjukkannya. Aku akan bertemu dengan ibuku lagi, pikirku. Dia belum tiada.
Aku bertanya-tanya apakah Grover masih bisa membaca emosiku, yang begitu campur-aduk. Aku senang dia dan Annabeth menemaniku, tetapi aku merasa bersalah karena tidak jujur kepada mereka. Aku belum memberi tahu mereka alasan sebenarnya aku menerima misi gila ini.
Sejujurnya, aku tidak peduli soal mengambil petir Zeus, atau menyelamatkan dunia, atau bahkan membantu ayahku dalam masalah ini. Semakin kupikirkan, aku makin membenci Poseidon karena tak pernah mengunjungiku, tak pernah membantu ibuku, bahkan tak pernah mengirim cek tunjangan anak sekalipun. Dia cuma mengakuiku karena dia perlu tugas ini diselesaikan.
Yang kupedulikan hanya ibuku. Hades telah merenggutnya secara tidak adil, dan Hades akan mengembalikannya.
Kau akan dikhianati oleh orang yang menyebutmu teman, bisik Oracle dalam benakku. Dan pada akhirnya kau akan gagal menyelamatkan yang terpenting.
Diam, kataku. * * * Hujan terus turun. Kami menunggu bus datang dengan gelisah. Akhirnya, kami memutuskan bermain sepak takraw dengan salah satu apel Grover. Annabeth hebat. Dia dapat memantulkan apel itu di lututnya, sikunya, bahunya, apa pun. Aku juga tak terlalu jelek.
Permainan itu berakhir ketika aku melontarkan apel itu ke Grover dan buah itu melintas terlalu dekat dengan mulutnya. Dalam satu gigitan raksasa ala kambing, takraw kami pun habis - biji, tangkai, semuanya.
Grover memerah. Dia berusaha meminta maaf, tetapi aku dan Annabeth terlalu sibuk terpingkal-pingkal.
Akhirnya bus itu datang. Sementara kami mengantre untuk naik, Grover mulai memandang ke sekeliling, mengendus-endus udara seperti dia mencium makanan kantin sekolah kesukaannya - enchilada.
"Ada apa?" tanyaku.
"Nggak tahu," katanya tegang. "Mungkin bukan apa-apa."
Tapi aku bisa lihat, ada sesuatu. Aku juga mulai menoleh ke sana kemari.
Aku merasa lega ketika kami akhirnya naik dan menemukan tempat duduk berdampingan di bagian belakang bus. Kami menyimpan ransel. Annabeth terus menepuk-nepukkan topi Yankees-nya pada paha dengan gugup.
Saat penumpang terakhir naik, Annabeth mencengkeram lututku. "Percy."
Seorang nenek tua baru saja naik bus. Dia mengenakan gaun beledu kusut, sarung tangan renda, dan topi rajut jingga tak berbentuk yang menutupi wajahnya, dan dia menenteng tas wol besar. Saat dia mengangkat kepala, mata hitamnya berbinar-binar, dan jantungku melompat.
Itu Bu Dodds. Lebih tua, lebih keriput, tetapi jelas wajah jahat yang sama.
Aku merengket di kursi. Di belakangnya menyusul dua lagi nenek tua: seorang bertopi hijau, seorang bertopi ungu. Selain itu, mereka persis seperti Bu Dodds - tangan keriput, tas wol, dan gaun beledu kusut yang sama. Nenek setan kembar tiga.
Mereka duduk di baris depan, tepat di belakang sopir. Kedua nenek di dekat lorong menyilangkan kaki mereka di atas lantai, membentuk huruf X. Gerakan itu dilakukan cukup santai, tetapi mengirim pesan yang jelas: tak ada yang boleh turun dari bus.
Bus keluar dari stasiun, dan kami melaju di jalan-jalan licin Manhattan. "Dia mati nggak terlalu lama," kataku, berusaha mencegah suaraku gemetar.
"Bukannya kau bilang, mereka terusir seumur hidupku?"
"Kataku, kalau kau beruntung"' kata Annabeth. "Jelas kau lagi sial."
"Ketiga-tiganya," rengek Grover. "Di immortales! "
"Nggak apa-apa," kata Annabeth, jelas sedang berpikir keras. "Erinyes. Ketiga monster terburuk dari Dunia Bawah. Bukan masalah. Bukan masalah. Kita menyelinap keluar dari jendela saja."
"Tapi ini jenis jendela yang nggak bisa dibuka," erang Grover.
"Pintu belakang?" usul Annabeth.
Tak ada pintu belakang. Andaipun ada, pasti tak bisa membantu. Saat itu kami sudah berada di Ninth Avenue, menuju Terowongan Lincoln.
"Mereka nggak akan menyerang kita kalau ada saksi." kataku. "Iya kan?"
"Mata manusia nggak bagus," Annabeth mengingatkan. "Otak mereka hanya bisa memproses yang mereka lihat melalui Kabut."
"Mereka akan melihat tiga orang nenek membunuh kita, kan?"
Dia memikirkannya. "Nggak tahu juga. Tapi, kita nggak bisa mengandalkan bantuan manusia. Mungkin pintu darurat di atap ...?"
Kami memasuki Terowongan Lincoln, dan bus itu menjadi gelap, kecuali deretan lampu di lantai lorong. Suasana sunyi menyeramkan, tanpa bunyi hujan.
Bu Dodds bangkit. Dengan suara datar, seolah sudah dilatih, dia menyatakan kepada seluruh bus. "Aku perlu ke kamar kecil."
"Aku juga," kata si saudari kedua.
"Aku juga," kata si saudari ketiga.
Mereka semua mulai menyusuri lorong.
"Aku punya rencana," kata Annabeth. "Percy, ambil topiku."
"Apa?" "Kaulah yang mereka inginkan. Jadilah kasat mata dan jalan ke depan. Biarkan mereka melewatimu. Mungkin kau bisa sampai ke depan dan kabur."
"Tapi kalian-" "Kecil kemungkinan mereka memerhatikan kami," kata Annabeth. "Kau anak salah satu Tiga Besar. Baumu mungkin terlalu kuat."
"Masa kalian kutinggalkan begitu?"
"Jangan khawatir soal kami," kata Grover. "Ayo!"
Tangaku gemetar. Aku merasa seperti pengecut, tetapi kuambil topi Yankees itu dan kukenakan.
Ketika aku melihat ke bawah, tubuhku sudah tidak kelihatan.
Aku mulai mengendap-endap di lorong. Aku berhasil maju sepuluh baris, lalu masuk ke kursi kosong saat ketiga Erinyes lewat.
Bu Dodds berhenti, mengendus-endus, dan menatap lurus-lurus kepadaku.
Jantungku berdebar-debar.
Rupanya dia tidak melihat apa-apa. Dia dan saudari-saudarinya terus berjalan.
Aku bebas. Aku berhasil sampai ke bagian depan bus. Sekarang kami sudah hampir keluar dari Terowongan Lincoln. Aku baru saja hendak menekan tombol rem darurat, ketika terdengar lolongan mengerikan dari baris belakang.
Ketiga nenek itu bukan nenek-nenek lagi. Wajah mereka masih sama - rupanya tak bisa lebih buruk dari itu - tetapi tubuh mereka telah menciut menjadi tubuh cokelat berkulit yang bersayap kelelawar dan bertangan-kaki seperti cakar gargoyle. Tas mereka berubah menjadi cambuk berapi.
Ketiga Erinyes mengepung Grover dan Annabeth, melecut-lecutkan cambuk, mendesis: "Di mana itu" Di mana?"
Orang-orang lain di bus menjerit-jerit, merengket di kursi masing-masing.
Mereka jelas melihat sesuatu.
"Dia nggak di sini!" teriak Annabeth. "Dia pergi!"
Ketiga Erinyes mengangkat cambuk.
Annabeth menghunus pisau perunggunya. Grover menyambar kaleng timah dari tas kudapannya dan bersiap-siap melemparkannya.
Yang kulakukan berikutnya begitu impulsif dan berbahaya, aku semestinya dinamai duta GPPH terbaik tahun itu.
Perhatian si sopir bus terpecah, berusaha melihat apa yang terjadi di kaca spion.
Masih dalam keadaan tak terlihat, aku menyambar kemudi darinya dan menyentakkannya ke kiri. Semua orang melolong saat terlontar ke kanan, dan terdengar suatu bunyi, yang kuharap adalah bunyi ketiga Erinyes terbanting ke jendela
"Hei!" seru si sopir. "Hei - wah!"
Kami bergulat memperebutkan kemudi. Bus itu menghantam sisi terowongan, logam bergesekan, menyemburkan bunga api sejauh satu kilometer di belakang kami.
Kami keluar dari Terowongan Lincoln dengan oleng dan kembali memasuki badai hujan. Baik orang maupun monster terlontar-lontar di dalam bus. Mobil-mobil lain tergilas ke samping seperti pin boling.
Entah bagaimana, si sopir menemukan jalan keluar. Kami keluar dari jalan bebas hambatan, melewati setengah lusin lampu merah, dan akhirnya meluncur di salah satu jalan pedesaan New Jersey. Daerahnya begitu kosong, kau tentu heran bagaimana bisa ada kehampaan begitu luas di seberang sungai dari New York. Di sebelah kiri ada hutan, di sebelah kanan ada Sungai Hudson, dan si sopir tampaknya membelok ke arah sungai.
Gagasan hebat berikutnya: Aku menginjak rem darurat.
Bus itu melolong, berputar satu lingkaran penuh pada aspal basah, dan menabrak pepohonan. Lampu darurat menyala. Pintu itu terbanting terbuka. Si sopir bus adalah orang pertama yang keluar, penumpang menghambur mengikutinya sambil menjerit-jerit. Aku menyamping ke kursi sopir dan membiarkan mereka lewat.
Ketiga Erinyes berhasil berdiri tegak kembali. Mereka melecutkan cambuk pada Annabeth. Anak itu mengayunkan pisau dan berteriak dalam bahasa Yunani Kuno, menyuruh mereka mundur. Grover melemparkan kaleng-kaleng timah.
Aku melihat ke pintu terbuka. Aku bisa kabur, tetapi aku tak bisa meninggalkan teman-temanku. Aku mencopot topi halimunan. "Hei!Ketiga Erinyes menoleh, memperlihatkan taring kuning, dan tiba-tiba aku merasa kayaknya kabur itu ide yang bagus juga. Bu Dodds merangsek menyusuri lorong, seperti yang dulu sering dilakukannya di kelas, untuk menyerahkan hasil ujian matematikaku yang bernilai F-. Setiap kali dia melecutkan cambuk, lidah api merah menari-nari di sepanjang kulit berduri itu.
Kedua saudarinya yang jelek itu melompat ke atas kursi di samping kiri-kanan dan merayap ke arahku seperti dua kadal raksasa yang jelek.
"Perseus Jackson," kata Bu Dodds, dengan aksen yang jelas berasal dari suatu tempat yang jauh lebih selatan daripada negara bagian Georgia. "Kau telah menyinggung perasaan para dewa. Kau akan mati."
"Aku lebih suka waktu kau menjadi guru matematika," kataku.
Dia menggeram. Annabeth dan Grover bergerak di belakang ketiga Erinyes dengan hati-hati, mencari peluang menyerang.
Aku mengambil pena dari saku dan membuka tutupnya. Riptide memanjang menjadi pedang bermata dua yang berkilap-kilap.
Ketiga Erinyes ragu. Bu Dodds sudah pernah merasakan pedang Riptide. Dia jelas tidak senang melihatnya lagi.
"Menyerahlah sekarang," desisnya. "Supaya kau tak akan menderita siksa abadi."
"Enak saja," kataku.
"Percy, awas!" seru Annabeth.
Bu Dodds melecutkan cambuk sehingga melingkari tanganku yang memegang pedang, sementara Erinyes di kedua sisiku menerkamku.
Tanganku terasa dibungkus lelehan timah panas, tetapi aku berhasil mempertahankan Riptide. Aku menyodok Erinyes di sebelah kiri dengan gagang pedang, membuatnya terjengkang di kursi. Aku berbalik dan menyabet Erinyes di sebelah kanan. Begitu pedang mengenai lehernya, dia menjerit dan meledak menjadi debu.
Annabeth memeluk Bu Dodds dari belakang dan menyentakkannya ke belakang sementara Grover merebut cambuk dari tangannya.
"Aduh!" jerit Grover. "Aduh! Panas! Panas!"
Erinyes yang kutonjok dengan gagang tadi menyerangku lagi, dengan cakar siap-siaga, tetapi aku mengayunkan Riptide dan dia pecah seperti pinata.
Bu Dodds berusaha melepaskan diri dari Annabeth di punggungnya. Dia menendang, mencakar, mendesis, dan menggigit. Tetapi, Annabeth terus bertahan sementara Grover mengikat kaki Bu Dodds dengan cambuknya sendiri. Akhirnya mereka mendorongya mundur ke lorong. Bu Dodds berusaha bangkit, tetapi tak ada ruang untuk mengepakkan sayap kelelawarnya, jadi dia terus terjatuh-jatuh.
"Zeus akan menghancurkanmu!" janjinya. "Hades akan menggenggam jiwamu!"
"Braccas meas vescimini! " teriakku.
Aku tak tahu dari mana asalnya bahasa Latin itu. Kayaknya artinya adalah 'Rasakan!'
Guntur mengguncang bus. Bulu kudukku berdiri.
"Keluar!" teriak Annabeth kepadaku "Sekarang!"
Aku tak perlu disuruh dua kali.
Kami bergegas keluar dan menemukan penumpang lain mondar-mandir dengan bingung, bertengkar dengan sopir, atau berlari berputar-putar sambil berteriak, "Kita akan mati!" Seorang wisatawan berkemeja Hawaii yang membawa kamera mengambil fotoku sebelum aku sempat menutup pedang.
"Tas kita!" Grover menyadari. "Tas kita tertinggal -"
BLAAAAAAM! Jendela bus meledak sementara penumpang berlari untuk berlindung. Petir mengoyakkan kawah besar di atap, tetapi lolongan marah dari dalam menandakan bahwa Bu Dodds belum mati.
"Lari!" kata Annabeth. "Dia memanggil bala bantuan! Kita harus pergi dari sini!"
Kami masuk ke dalam hutan sementara hujan turun deras, bus terbakar di belakang kami, dan hanya kegelapan yang tampak di depan kami.
11. Kami Mengunjungi Pusat BelanjaTaman Patung
Dalam satu segi, enak rasanya mengetahui bahwa dewa-dewa Yunani itu ada, karena ada yang bisa disalahkan kalau terjadi masalah. Misalnya, kalau kita sedang berjalan menjauhi sebuah bus yang baru saja diserang oleh nenek monster dan diledakkan oleh petir, ditambah lagi hujan turun, sebagian besar orang mungkin bahwa itu hanya nasib sial; kalau kita anak blasteran, kita mengerti bahwa ada suatu kekuatan dewata yang memang berusaha merusak harimu.
Jadi, begitulah kami, aku dan Annabeth dan Grover, berjalan di hutan di sepanjang tepi sungai New Jersey, pendar Kota New York menjadikan langit malam berwarna kuning di belakang kami, dan bau Sungai Hudson busuk menusuk hidung.
Grover menggigil dan mengembik, sangat ketakutan, mata kambingnya yang besar berubah menjadi berpupil pilih. "Tiga si Baik. Ketiga-tiganya sekaligus."
Aku sendiri cukup syok. Ledakan jendela bus masih terngiang-ngiang di telingaku. Tapi Annabeth terus menarik kami maju, berkata "Ayo! Semakin jauh kita, semakin baik."
"Semua uang kita ada di sana," kuingatkan dia. "Makanan dan pakaian kita. Semuanya."
"Yah, mungkin kalau kau tidak memutuskan untuk terjun ke pertempuran-"
"Kau ingin aku bagaimana" Membiarkan kalian terbunuh?"
"Aku nggak perlu kaulindungi, Percy. Tanpamu turun tangan, aku pasti baik-baik saja."
"Diiris seperti roti lapis," celetuk Grover, "tapi baik-baik saja."
"Tutup mulut, Bocah Kambing," kata Annabeth.
Grover mengembik sedih. "Kaleng timah ... sekantong kaleng timah yang enak."
Kami berkecipak-kecipuk di tanah becek, menembus pepohonan yang berpuntir-puntir jelek yang baunya seperti rendaman pakaian kelamaan.
Setelah beberapa menit, Annabeth menjajariku.
"Dengar, aku ...." Suaranya menghilang. "Aku berterima kasih, kau kembali untuk menyelamatkan kami lagi, oke" Tindakanmu sangat pemberani."
"Kita satu tim, kan?"
Dia diam selama beberapa langkah lagi.
"Hanya saja, kalau kau mati ... selain pasti nggak enak buatmu, itu berarti misi ini berakhir. Ini mungkin satu-satunya peluangku melihat dunia nyata."
Badai guntur akhirnya berhenti. Pendar kota memudar di belakang kami, sehingga kami berada dalam kegelapan yang hampir gulita. Aku tak bisa melihat Annabeth sama sekali, selain kilau rambut pirangnya.
"Kau belum pernah meninggalkan Perkemahan Blasteran sejak umur tujuh tahun?" tanyaku.
"Belum ... hanya untuk karyawisata pendek. Ayahku -"
"Dosen sejarah itu."
"Ya. Tinggal di rumah ternyata nggak cocok buatku. Maksudku, Perkemahan Blasteran itulah rumahku." Kata-katanya berhamburan keluar sekarang, seolah-olah dia takut dihentikan orang. "Di perkemahan, kita terus-menerus berlatih. Dan itu memang keren, tetapi monster itu berada di dunia nyata. Di dunia nyata kita tahu apakah kita memang lihai atau tidak."
Andai aku tidak mengenalnya, aku berani sumpah aku bisa mendengar keraguan dalam suaranya.
"Kau cukup lihai menggunakan pisau," kataku.
"Benarkah?" "Siapa pun yang bisa main kuda-kudaan dengan Erinyes, menurutku cukup lihai."
Aku tak bisa melihat dengan jelas, tetapi kurasa dia mungkin tersenyum.
"Kau tahu," katanya, "mungkin sebaiknya kukatakan ... Ada yang aneh di bus tadi ..."
Apa pun yang ingin dikatakannya tersela oleh tut-tut-tut melengking, seperti bunyi burung hantu yang disiksa.
"Hei, sulingku nggak rusak," seru Grover. "Kalau aku bisa ingat lagu 'cari jalan', kita bisa keluar dari hutan ini!"
Dia meniupkan beberapa nada, tetapi lagunya tetap saja terdengar mirip lagu Hilary Duff.
Bukannya menemukan jalan, aku malah langsung menabrak pohon dan kepalaku benjol lumayan besar.
Tambah satu lagi daftar kekuatan super yang nggak kumiliki: penglihatan inframerah.
Setelah tersandung dan mengumpat dan pokoknya merasa sengsara setelah sekitar dua kilometer kemudian, aku mulai melihat cahaya di depan: warna-warni plang neon. Tercium bau makanan. Makanan goreng, berminyak, lezat. Kusadari bahwa aku belum pernah makan makanan sehat apa pun sejak aku tiba di Bukit Blasteran. Di sana kami hanya makan anggur, roti, keju, dan daging panggang tanpa lemak yang disiapkan oleh bangsa peri. Anak ini perlu burger keju daging dobel.
Kami terus berjalan sampai terlihat jalan dua jalur terbengkalai di antara pepohonan. Di seberangnya terdapat pompa bensin yang sudah tutup, papan iklan koyak untuk film 1990-an, dan satu toko yang buka, sumber lampu neon dan bau lezat itu.
Bukan restoran siap-saji seperti yang kuharapkan. Toko itu jenis toko barang aneh yang sering ada di tepi jalan, yang menjual patung flamingo untuk hiasan halaman, orang Indian kayu, beruang dari semen, dan barang-barang seperti itu.
Gedung utamanya berupa gudang rendah yang panjang, dikelilingi berhektare-hektare patung. Aku tak mungkin bisa membaca tanda neon di atas gerbang. Bagi disleksiaku, bahasa Inggris biasa saja sudah susah dibaca, apalagi bahasa Inggris dalam lampu neon merah yang melingkar-lingkar.
Bagiku, tanda neon itu sepertinya berbunyi: PTSUA BIALNEA TMANA PTUANG BBII ME.
"Tulisan apa sih itu?" tanyaku.
"Nggak tahu," kata Annabeth.
Dia begitu senang membaca, aku lupa bahwa dia juga disleksia.
Grover menerjemahkan: "Pusat Belanja Taman Patung Bibi Em."
Di kedua sisi pintu masuk, seperti yang diiklankan, ada dua patu jembalang dari semen, berbentuk orang cebol berjenggot yang jelek, tersenyum dan melambai-lambai, seolah-olah mereka akan difoto.
Aku menyeberangi jalan, mengikuti bau hamburger.
"'Hei ..." Grover memperingatkan.
"Lampu di dalamnya menyala," kata Annabeth. "Mungkin toko itu buka."
"Toko camilan," kataku penuh harap.
"Toko camilan," dia setuju.
"Kalian berdua sudah gila?" kata Grover. "Tempat ini aneh."
Kami tak menghiraukannya.
Halaman depannya seperti hutan patung: hewan semen, anak semen, bahkan satir semen bermain suling, yang membuat Grover bergidik.
"Mbeek!" embiknya. "Mirip Paman Ferdinand!"
Kami berhenti di pintu gudang.
"Jangan diketuk," mohon Grover. "Aku mencium bau monster."
"Hidungmu tersumbat gara-gara Erinyes," kata Annabeth. "Aku cuma mencium burger. Kau nggak lapar?"
"Daging!" katanya sebal. "Aku vegetarian, tahu."
"Kau kan makan enchilada keju dan kaleng aluminium juga," aku mengingatkan.
"Itu juga sayuran. Ayo. Kita pergi. Patung-patung ini ... menatapku."
Lalu pintu itu berderit terbuka, dan di depan kami berdiri seorang perempuan Timur Tengah yang bertubuh jangkung - setidaknya, aku menduga dia orang Timur Tengah, karena dia mengenakan gaun hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh kecuali tangan, dan kepalanya tertutup sama sekali. Matanya berkilat-kilat di balik cadar kain kasa hitam, tetapi cuma itu yang bisa kulihat.
Tangannya yang sewarna kopi itu tampak tua, tetapi terawat baik dan anggun, jadi kubayangkan dia seorang nenek yang dulunya wanita cantik.
Aksennya juga terdengar samar-samar Timur Tengah. Katanya, "Anak-anak, sudah terlalu larut untuk sendirian keluar. Di mana orangtuamu?"
"Mereka ... eh ..." Annabeth mulai berkata.
"Kami yatim-piatu," kataku.
"Yatim piatu?" kata perempuan itu. Kata itu terdengar asing di mulutnya.
"Ah, anak-anakku! Benarkah?"
Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami terpisah dari karavan kami," kataku. "Karavan sirkus. Pemimpin sirkus menyuruh kami menemuinya di pom bensin kalau kami tersesat, tapi mungkin dia lupa, atau mungkin yang dia maksud itu pom bensin yang lain. Yang pasti, kami tersesat. Apa yang tercium itu bau makanan?"
"Oh, anak-anakku," kata perempuan itu. "Kalian harus masuk, anak-anak malang. Aku Bibi Em. Langsung saja masuk terus ke bagian belakang gudang, silakan. Ada tempat makan."
Kami mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam.
Annabeth bergumam kepadaku, .Karavan sirkus?"
"Harus selalu punya strategi, kan?"
"Kepalamu penuh ganggang."
Gudang itu juga dipenuhi patung - orang dalam berbagai pose, mengenakan pakaian berbeda-beda dan raut wajah yang berbeda-beda. Aku berpikir, kalau ingin dihiasi dengan salah satu patung ini, tamannya tentu harus berukuran besar karena semua patung ini berukuran seperti orang atau hewan sungguhan. Tapi, terutama aku berpikir tentang makanan.
Ya, silakan, sebut saja aku tolol, sembarangan memasuki toko seorang perempuan aneh seperti itu hanya karena aku lapar, tapi kadang-kadang aku impulsif. Lagi pula, kau belum pernah mencium bau burger Bibi em. Aromanya seperti gas tertawa di kursi dokter gigi - mengusir segala hal lain. Aku hampir tak memerhatikan rengekan gugup Grover, atau bahwa mata patung-patung itu tampaknya mengikutiku, atau kenyataan bahwa Bibi Em mengunci pintu di belakang kami.
Aku cuma peduli soal mencari daerah makan. Dan benar saja, daerah itu ada di bagian belakang gudang, gerai cepat saji yang dilengkapi panggangan, air mancur soda, penghangat kue, dan wadah keju nacho. Segala sesuatu yang kau idamkan, plus beberapa meja piknik besi di depan.
"Silakan duduk," kata Bibi Em.
"Asyik," kataku.
"Eh," kata Grover enggan, "kami nggak punya uang, Bu."
Sebelum aku sempat menyikut tulang iganya, kata Bibi Em, "Tidak, tidak, anak-anak. Tak perlu uang. Ini kasus khusus, ya" Kutraktir, untuk anak-anak yatim piatu yang baik."
"Terima kasih, Bu," kata Annabeth.
Tubuh Bibi Em menjadi kaku, seolah-olah Annabeth berbuat salah, tetapi tubuhnya santai lagi sama cepatnya, jadi kusimpulkan itu hanya khayalanku saja.
"Tak apa-apa, Annabeth," katanya. "Mata abu-abumu indah sekali, Nak."
Baru belakangan aku bertanya-tanya bagaimana dia tahu nama Annabeth, padahal kami belum memperkenalkan diri.
Sang nyonya rumah menghilang di balik meja camilan, dan mulai memasak.
Tahu-tahu saja dia membawakan kami nampan plastik yang berisi burger keju dua daging, milkshake vanili, dan porsi kentang goreng ukuran XXL.
Burgerku sudah habis setengah saat aku ingat bahwa aku harus bernapas.
Annabeth menyeruput milkshake.
Grover memain-mainkan kentang goreng, dan melirik kertas nampan berlilin seolah-olah dia ingin makan itu, tetapi dia tampak terlalu gugup untuk makan.
"Bunyi desis apa itu?" tanyanya.
Aku memasang telinga, tetapi tak mendengar apa-apa. Annabeth menggeleng.
"Desis?" tanya Bibi Em. "Mungkin minyak goreng. Telingamu tajam, Grover."
"Aku makan vitamin. Supaya telinga sehat."
"Bagus sekali," katanya. "Tapi, santailah."
Bibi Em tidak makan apa-apa. Dia tidak mencopot tutup kepalanya, bahkan saat memasak. Sekarang dia memajukan tubuh dan menjalin jemarinya dan mengamati kami makan. Rasanya rikuh juga, ditatap orang yang wajahnya tak bisa kulihat. Tetapi, aku kenyang setelah makan burger, dan agak mengantuk.
Pikirku, sepatutnya paling sedikit aku harus berusaha berbasa-basi dengan sang nyonya rumah.
"Jadi, Ibu menjual patung jembalang," kataku, berusaha terdengar berminat.
"Benar," kata Bibi Em. "Dan hewan. Dan orang. Apa pun untuk taman. Pesanan khusus. Perpatungan sangat populer lho."
"Banyak pembeli di jalan ini?"
"Tidak terlalu banyak. Sejak jalan raya dibangun ... sebagian besar mobil jadi jarang lewat sini lagi. Aku harus menghargai setiap pelanggan yang datang."
Leherku kesemutan, seolah-olah ada orang lain yang menatapku. Aku berbalik, tetapi hanya ada patung anak perempuan yang membawa keranjang Paskah. Detailnya luar biasa, jauh lebih baik daripada patung taman pada umumnya. Tapi, ada yang aneh pada wajahnya. Kelihatannya dia terkejut, atau bahkan takut.
"Ah," kata Bibi Em sedih. "Kau memerhatikan bahwa sebagian patung buatanku tidak bagus. Ada cacatnya. Tak ada yang mau membeli patung seperti itu. Wajah yang paling sulit dibuat bagus. Selalu wajahnya."
"Bibi membuat patung sendiri?" tanyaku.
"Tentu. Dulu aku punya dua saudari yang membantu dalam usaha ini, tetapi mereka sudah meninggal, dan Bibi Em sendirian saja. Aku hanya punya patung. Itu sebabnya aku membuatnya. Mereka menemaniku." Kesedihan dalam suaranya terdengar begitu dalam dan nyata, sehingga mau tak mau aku merasa kasihan padanya.
Annabeth berhenti makan. Dia memajukan tubuh dan berkata, "Dua saudari?"
"Kisah yang menyedihkan," kata Bibi Em. "Sebenarnya tidak cocok untuk anak-anak. Begini, Annabeth, ada perempuan jahat yang cemburu padaku, dulu sekali, sewaktu aku masih muda. Aku punya ... pacar, begitu, dan perempuan jahat itu bertekad memisahkan kami. Dia menyebabkan terjadinya kecelakaan parah. Saudari-saudariku terus menemaniku. Mereka berbagi nasib buruk denganku selama mungkin, tetapi pada akhirnya mereka pergi. Mereka memudar.'Aku sendiri yang bertahan, tetapi aku harus membayar harganya. Harga yang tinggi."
Aku tak tahu apa yang dia maksud, tetapi aku iba padanya. Kelopak mataku semakin berat, perutku yang kenyang membuatku mengantuk. Nenek malang. Siapa yang tega menyakiti orang yang begitu baik hati"
"Percy?" Annabeth mengguncang tubuhku untuk menarik perhatianku.
"Mungkin sebaiknya kita pergi. Maksudku, kepala sirkus pasti menunggu kita."
Dia terdengar tegang. Aku tak tahu kenapa. Grover sedang makan kertas berlilin dari nampan, tetapi jika Bibi Em merasa itu aneh, dia tidak berkomentar apa-apa.
"Mata abu-abu yang begitu cantik," kata Bibi Em kepada Annabeth lagi. "Ya, sudah lama aku tidak melihat mata kelabu seperti itu."
Dia mengulurkan tangan seolah-olah ingin membelai pipi Annabeth, tetapi gadis itu tiba-tiba berdiri.
"Kami benar-benar harus pergi."
"Ya!" Grover menelan kertas berlilin dan berdiri. "Kepala sirkus menunggu! Benar!"
Aku tak ingin pergi. Aku merasa kenyang dan puas. Bibi Em baik sekali. Aku ingin bersamanya beberapa lama.
"Anak-anak, tolong," Bibi Em memohon. "Aku jarang sekali bertemu anak-anak. Sebelum kalian pergi, maukah setidaknya kalian duduk untuk berpose?"
"Berpose?" tanya Annabeth curiga.
"Untuk difoto. Nanti kugunakan sebagai model patung yang baru. Anak-anak sangat populer. Semua orang menyukai anak-anak."
Annabeth memindah-mindahkan berat di antara kedua kakinya. "Rasanya kami tak sempat, Bibi Em. Ayo, Percy."
"Sempat kok," kataku. Aku kesal pada Annabeth karena main perintah-perintah dan tidak sopan kepada nenek yang baru saja memberi kami makan secara gratis. "Cuma berfoto saja, Annabeth. Apa ruginya?"
"Ya, Annabeth," dengkur perempuan itu. "Tidak ada ruginya."
Kelihatan bahwa Annabeth tidak menyukai hal ini, tetapi dia membiarkan Bibi Em mengantar kami keluar pintu depan, ke dalam taman patung.
Bibi Em mengarahkan kami ke bangku taman di sebelah patung satir.
"Nah," katanya, "biar kuatur posisi kalian dulu. Pemudi di tengah-tengah, kurasa, dan kedua pemuda di sebelah-sebelahnya."
"Cahayanya kurang terang untuk mengambil foto," komentarku.
"Cukup kok," kata Bibi Em. "Cukup terang agar kita bisa saling melihat, ya?"
"Di mana kamera Bibi?" tanya Grover.
Bibi Em melangkah mundur, seolah-olah untuk mengagumi foto. "Nah, wajah yang paling sulit. Senyum, ya, anak-anak. Senyum lebar."
Grover melirik ke satir semen di sebelahnya, dan menggumam, "Patung itu benar-benar mirip Paman Ferdinand."
"Grover," tegur Bibi Em, "lihat ke sini, Sayang."
Dia masih belum memegang kamera.
"Percy-" kata Annabeth.
Suatu naluri memperingatkanku agar mengindahkan Annabeth, tetapi aku sedang melawan rasa kantuk itu, rasa lengah dan nyaman yang ditimbulkan oleh makanan dan suara nenek itu.
"Sebentar, ya," kata Bibi Em. "Aku tak bisa melihat kalian dengan jelas dalam cadar terkutuk ini ...."
"Percy, ada yang aneh," Annabeth mendesak.
"Aneh?" kata Bibi Em sambil menaikkan tangan untuk melepaskan balutan dari kepala. "Nggak ada yang aneh kok, Sayang. Aku mendapat teman yang begitu mulia malam ini. Apa yang aneh?"
"Itu memang Paman Ferdinand!" dengap Grover.
"Jangan melihat ke dia!" seru Annabeth. Dia memasang topi Yankees ke kepala dan menghilang. Tangan tak kasat mata mendorongku dan Grover dari bangku.
Aku berada di tanah, menatap kaki Bibi Em yang bersendal.
Kudengar Grover merayap ke satu arah, Annabeth ke arah lain. Tetapi, aku masih terlalu pusing untuk bergerak.
Lalu, terdengar bunyi kasar yang aneh di atasku. Mataku naik ke tangan Bibi Em, yang telah berubah menjadi bertonjol-tonjol dan berkutil, kukunya berubah menjadi cakar perunggu yang tajam.
Aku nyaris melihat lebih ke atas, tetapi di suatu tempat di sebelah kiri, Annabeth berseru, "Jangan! Jangan lihat!"
Bunyi desis lagi - bunyi ular-ular kecil, persis di atasku, dari ... dari tempat yang semestinya ditempati kepala Bibi Em.
"Lari!" embik Grover. Kudengar dia berlari di atas bebatuan, berseru, "Maia!" untuk mengaktifkan sepatu terbangnya.
Aku tak bisa bergerak. Aku menatap cakar Bibi Em yang bertonjol-tonjol, dan berusaha melawan rasa pening yang ditimbulkan nenek itu.
"Sayang sekali merusak wajah muda yang tampan," katanya kepadaku dengan nada membujuk. "Tinggallah bersamaku, Percy. Kau hanya perlu melihat ke atas."
Kulawan keinginan hati untuk mematuhi. Alih-alih, aku menoleh ke samping dan melihat bola kaca yang sering diletakkan orang di taman - bola ramalan.
Kulihat pantulan gelap Bibi Em di kaca jingga; balutan kain kepalanya sudah hilang, menyingkapkan wajahnya sebagai lingkaran pucat berkilauan. Rambutnya bergerak-gerak, menggeliat-geliut seperti ular.
Bibi Em. Bibi "M". Bagaimana aku bisa sebodoh itu"
Coba ingat-ingat, kataku dalam hati. Bagaimana matinya Medusa dalam mitos"
Tetapi, aku tak bisa berpikir. Rasanya, di dalam mitos, Medua sedang tidur saat diserang oleh orang yang namanya dipakai untuk namaku, Perseus. Sekarang dia sama sekali tidak sedang tidur. Kalau mau, dia bisa menggunakan cakar itu sekarang juga dan mengoyak wajahku.
"Si Mata Kelabu yang melakukan ini padaku, Percy," kata Medusa, tetapi suaranya sama sekali tidak seperti suara monster. Suara itu mengundangku untuk melihat ke atas, untuk bersimpati pada seorang nenek tua yang malang. "Ibu Annabeth, Athena terkutuk itu, mengubahku dari wanita cantik menjadi seperti ini."
"Jangan dengarkan dia!" suara Annabeth berseru, di suatu tempat di antara patung-patung. "Lari, Percy!"
"Diam!'"Medusa mengaum. Lalu, suaranya diatur kembali menjadi dengkur yang menyejukkan. "Kau lihat sendiri, kenapa aku harus menghancurkan gadis itu, Percy. Dia putri musuhku. Aku akan menghancurkan patungnya menjadi debu. Tapi kau, Percy sayang, kau tak perlu menderita."
"Tidak," gumamku. Aku berusaha menggerakkan kaki.
"Kau benar-benar ingin membantu para dewa?" tanya Medusa. "Apa kau mengerti apa yang menantimu dalam misi konyol ini, Percy" Apa yang akan terjadi kalau kau sampai ke Dunia Bawah" Jangan mau menjadi pion para dewa Olympia, Sayang. Lebih baik kau menjadi patung saja. Sakitnya lebih sedikit. Sakitnya lebih sedikit."
"Percy!' Di belakangku, terdengar bunyi dengung, seperti burung kolibri seratus kilogram sedang menukik. Grover berseru, "Membungkuk!"
Aku berbalik, dan ternyata dia berada di langit malam, terbang meluncur dari arah jam dua belas dengan sepatu bersayap mengepak-ngepak, Grover, memegang dahan pohon sebesar pemukul bisbol. Matanya tertutup rapat-rapat, kepalanya berkedut ke kanan-kiri. Dia menentukan arah hanya dengan telinga dan hidung.
"Menunduk!" teriaknya lagi. "Akan kuhantam dia!"
Itu akhirnya menyentakkan diriku agar bertindak. Karena mengenal Grover, aku yakin pukulannya akan meleset dan mengenaiku. Aku menukik ke samping.
Buk! Pertama-tama, kusangka itu bunyi Grover menabrak pohon. Lalu, Medusa menggeram murka.
"Dasar satir sialan," geramnya. "Akan kutambahkan kau ke koleksiku!"
"Itu untuk Paman Ferdinand!" Grover balas berteriak.
Aku merangkak pergi dan bersembunyi di antara patung, sementara Grover menukik lagi untuk memukul lagi.
Bruk! "Aduh!" teriak Medusa, rambut ularnya mendesis dan meludah-ludah.
Tepat di sebelahku, suara Annabeth berkata, "Percy!"
Aku melompat begitu tinggi, kakiku hampir lebih tinggi dari patung jembalang. "Aduh! Jangan mengagetkan begitu!"
Annabeth mencopot topi Yankees dan menjadi terlihat. "Kau harus memenggal kepalanya."
"Apa" Kau gila" Ayo kita kabur."
"Medusa itu berbahaya. Dia jahat. Aku ingin membunuhnya sendiri, tapi ...." Annabeth menelan, seolah-olah akan mengakui hal yang sulit. "Tapi senjatamu lebih bagus. Lagi pula, aku tak mungkin bisa mendekatinya. Dia pasti mencincangku karena ibuku. Kau - kau punya peluang."
"Apa" Aku nggak bisa-"
"Dengar, kau mau dia mengubah orang tak bersalah lain menjadi patung?"
Dia menunjuk sepasang patung kekasih, lelaki dan perempuan yang saling berpelukan, diubah menjadi batu oleh monster itu.
Annabeth menyambar bola ramalan hijau dari tiang dekat situ. "Perisai yang dipoles sebenarnya lebih bagus," Dia mempelajari bola itu dengan kritis.
"Kecembungan akan menimbulkan distorsi. Ukuran pantulannya akan berbeda dengan faktor -"
"Pakai bahasa yang normal dong!"
"Pakai kok!" Dia melontarkan bola kaca itu kepadaku. "Pokoknya, lihat dia melalui kaca ini. Jangan melihat dia langsung."
"Teman-teman!" teriak Grover di suatu tempat di atas kami. "Kurasa dia pingsan!"
"Grrrrrr!. .Nggak ding,. Grover mengoreksi. Dia menukik untuk memukul lagi dengan dahan pohon.
"Cepat," kata Annabeth. "Penciuman Grover bagus, tetapi dia nanti akan menabrak juga."
Aku mengeluarkan pena dan melepas tutupnya. Pedang perunggu Riptide memanjang di tanganku.
Aku mengikuti bunyi mendesis dan meludah dari rambut Medusa.
Aku menjaga agar mataku terus melekat pada bola ramal, supaya hanya melihat pantulan Medusa, bukan Medusa sungguhan. Lalu, dalam kaca bernuansa hijau itu, dia terlihat.
Grover sedang menukik untuk memukulnya lagi dengan pentungan, tetapi kali ini dia terbang terlalu rendah. Medusa menyambar dahan itu dan menarik Grover hingga keluar jalur. Anak itu berguling di udara dan menabrak tangan beruang batu dengan "Aduh" yang menyakitkan.
Medusa hendak menerkamnya ketika aku berseru. "Hei!"
Aku mendekatinya. Ini tidak mudah dilakukan, sambil memegang pedang dan bola kaca sekaligus. Jika dia menyerang, aku akan sulit membela diri.
Tapi dia membiarkanku mendekat - enam meter, tiga meter.
Aku dapat melihat pantulan wajahnya sekarang. Pasti wajah itu tidak sejelek itu. Pasti pusaran hijau dalam bola ramal mendistorsinya, sehingga wajahnya tampak lebih buruk.
"Kau tak akan tega menyakiti nenek tua, Percy" bujuknya. "Aku tahu, kau tak tega."
Aku ragu, terpana oleh wajah yang kulihat terpantul di kaca - mata yang tampak membakar menembus warna hijau, membuat lenganku melemah.
Dari balik beruang semen, Grover mengerang, "Percy, jangan dengar dia!"
Medusa terkekeh-kekeh. "Terlambat."
Dia menyerangku dengan cakarnya.
Aku mengayunkan pedang ke atas, mendengar plas! yang memuakkan, lalu desis seperti angin yang bergegas keluar gua -suara monster tercerai-berai.
Sesuatu jatuh ke tanah di sebelah kakiku. Sekuat tenaga aku menahan diri agar tak melihat. Terasa cairan hangat merembes ke kaus kaki, kepala ular-ular kecil sekarat menarik-narik tali sepatuku.
"Idih," kata Grover. Matanya masih terpejam erat-erat, tetapi kulihat dia dapat mendengar benda itu menggelegak dan mengepul. "Idih banget."
Annabeth menghampiriku, matanya menatap langit. Dia memegang cadar hitam Medusa. Katanya, "Jangan bergerak."
Dengan amat-sangat berhati-hati, tanpa melihat ke bawah, dia berlutut dan menyampirkan kain hitam pada kepala monster itu, lalu mengangkatnya. Kepala itu masih menetes-neteskan cairan hijau.
"Kau tak apa-apa?" tanyanya kepadaku, suaranya gemetar.
"Ya," aku memutuskan, meskipun rasanya mau muntah burger keju daging dobel. "Kenapa ... kenapa kepalanya nggak menguap?"
"Begitu kau memenggalnya, kepala ini menjadi rampasan perang," katanya.
"Sama seperti tanduk Minotaurusmu itu. Tapi bungkus kepalanya jangan dibuka. Tatapannya masih bisa mengubahmu menjadi batu."
Grover mengerang sambil memanjat turun dari patung beruang. Ada bilur besar di keningnya. Topi rasta hijaunya menggantung dari salah satu tanduk kambing kecilnya, dan kaki palsunya terlepas dari kaki kambingnya. Sepatu ajaibnya itu terbang tanpa arah di sekeliling kepalanya.
"Sang Superman"' kataku. "Mantap."
Dia berhasil menyeringai malu-malu.
"Tapi benar-benar nggak menyenangkan. Eh, bagian memukulnya dengan dahan, itu asyik. Tapi menabrak beruang beton. Nggak banget."
Dia menyambar sepatunya dari udara. Aku menutup kembali pedangku.
Bersama-sama, kami bertiga tersaruk-saruk ke gudang.
Kami menemukan beberapa kantong plastik tua di belakang meja camilan dan membungkus kepala Medusa dua kali. Kami meletakkannya di atas meja tempat kami makan malam, dan duduk di sekelilingnya, terlalu lelah untuk berbicara.
Akhirnya aku berkata, "Jadi, berkat Athena, monster ini ada?"
Annnabeth mendelikku dengan sebal. "Sebenarnya, berkat ayahmu. Kau lupa, ya" Medusa itu pacar Poseidon. Mereka memutuskan untuk bertemu di kuil ibuku. Itu sebabnya Athena mengubahnya menjadi monster. Medusa dan kedua saudarinya yang membantunya masuk ke kuil, mereka menjadi ketiga gorgon. Itu sebabnya Medusa ingin mencincangku, tetapi dia ingin mengabadikanmu sebagai patung yang bagus. Dia masih naksir ayahmu. Kau mungkin mengingatkan dia pada ayahmu."
Wajahku terbakar. "Oh, jadi sekarang aku yang salah kita bertemu Medusa."
Annabeth menegakkan tubuh. Sambil meniru suaraku, dengan tidak mirip, dia berkata, ?"Cuma foto saja, Annabeth. Apa ruginya"'"
"Sudah dong," kataku. "Nyebelin banget sih."
"Kau yang menyebalkan."
"Kau-" "Hei!" sela Grover. "Kalian berdua membuatku pusing, padahal bangsa satir semestinya nggak pernah merasa pusing. Mau kita apakan kepalanya?"
Aku menatap benda itu. Seekor ular kecil menggelantung dari lubang di plastik. Kata-kata yang tercetak di sisi kantong berbunyi: KAMI MENGHARGAI KUNJUNGAN ANDA!
Aku marah, tak hanya pada Annabeth atau ibunya, tetapi pada semua dewa untuk misi ini, karena menjadikan kami terempas dari jalan dan terlibat dalam dua pertarungan besar pada hari pertama keluar dari perkemahan. Kalau begini terus, kami tak mungkin bisa sampai di L.A. hidup-hidup, apa lagi sebelum titik balik matahari musim panas.
Apa kata Medusa tadi"
Jangan mau menjadi pion para dewa Olympia, Sayang. Lebih baik kau menjadi patung saja.
Aku bangkit. "Aku pergi sebentar."
"Percy," Annabeth memanggilku. "Kau mau apa-"
Aku mencari-cari di belakang gudang sampai menemukan kantor Medusa.
Pembukuannya menampilkan enam penjualan terakhirnya, semua kiriman ke Dunia Bawah untuk menghiasi taman Hades dan Persephone. Menurut salah satu tagihan pengangkutan, alamat penagihan Dunia Bawah adalah DOA Recording Studios, West Hollywood, California. Kulipat tagihan itu dan kujejalkan di saku.
Di mesin kasir aku menemukan beberapa lembar dua puluh dolar, beberapa drachma emas, dan beberapa label kemasan untuk Titipan Kilat Semalam Hermes, masing-masing disertai kantong kulit kecil untuk diisi koin. Aku menggeledah sisa kantor sampai menemukan kotak yang berukuran pas.
Aku kembali ke meja piknik, mengemas kepala Medusa, dan mengisi label pengiriman:
Para Dewa Gunung Olympus Lantai 600 Empire State Building New York, NY Salam manis, PERCY JACKSON "Mereka nggak akan suka itu," Grover memperingatkan. "Mereka akan menganggapmu kurang ajar."
Aku menuangkan beberapa drachma emas ke dalam kantong kecil. Begitu kututup, terdengar bunyi seperti mesin kasir. Paket itu melayang dari atas meja dan lenyap dengan bunyi pop!
"Aku memang kurang ajar," kataku.
Aku menatap Annabeth, menunggu dia mengkritikku.
Dia diam. Sepertinya dia sudah pasrah bahwa aku punya bakat besar membuat marah para dewa. "Ayo," gumamnya. "Kita perlu rencana baru."
12. Kami Mendapat Nasihat dari Anjing Pudel
Kami cukup sengsara malam itu.
Kami berkemah di hutan, seratus meter dari jalan utama, di lapangan berawa-rawa yang sepertinya digunakan anak-anak setempat untuk berpesta. Kaleng soda gepeng dan bungkus makanan cepat-saji berserakan di tanah.
Kami membawa makanan dan selimut dari tempat Bibi Em, tetapi kami tak berani menyalakan api untuk mengeringkan pakaian yang lembap. Dengan Erinyes dan Medusa, cukuplah kesibukan untuk sehari itu. Kami tak ingin menarik perhatian makhluk lain.
Kami memutuskan untuk tidur bergiliran. Aku sukarela mengambil giliran jaga pertama.
Annabeth meringkuk di selimut dan langsung mendengkur begitu kepalanya menyentuh tanah. Grover melayang-layang dengan sepatu terbang ke dahan pohon terendah, bersandar pada batang, dan menatap langit malam.
"Kau tidur saja," kataku. "Nanti kubangunkan kalau ada masalah."
Dia mengangguk, tapi tidak memejamkan mata. "Aku jadi sedih, Percy."
"Sedih kenapa" Karena kau ikut dalam misi ini?"
"Bukan. Ini yang membuatku sedih." Dia menunjuk semua sampah di tanah.
"Dan langit. Bintang saja nggak kelihatan. Mereka mencemari langit. Ini masa yang buruk untuk hidup sebagai satir."
"Benar sekali. Kau cocok jadi pejuang lingkungan."
"Dia mendelik kepadaku. "Cuma manusia yang nggak mau menjadi pejuang lingkungan. Spesiesmu menjejali bumi begitu cepat ... ah, lupakan. Nggak ada gunanya menceramahi manusia. Kalau begini terus, aku nggak akan pernah menemukan Pan."
"Pam" Air leding?"
"Pan!" serunya tersinggung. "P-A-N. Dewa besar Pan. Memangnya kau pikir, buat apa aku ingin mendapat izin pencari?".
Semilir aneh berkeresek di lapangan, sesaat mengalahkan bau sampah dan becek. Angin itu membawa bau berry dan bunga liar dan air hujan bersih, hal-hal yang mungkin dulu ada di hutan ini. Tiba-tiba aku merindukan sesuatu yang tak pernah kukenal.
"Ceritakanlah soal pencarian itu," kataku.
Grover melirikku dengan hati-hati, seolah-olah takut aku cuma mengolok-olok.
"Dewa Alam Liar menghilang dua ribu tahun yang lalu," katanya. Seorang pelaut dari lepas pantai Efesus mendengar sebuah suara misterius berseru dari pantai, "Beri tahu mereka bahwa dewa besar Pan sudah mati!" Ketika manusia mendengar berita itu, mereka percaya. Sejak saat itu mereka menjarah kerajaan Pan. Tetapi, bagi bangsa satir, Pan adalah pemimpin dan majikan kami. Dia melindungi kami dan tempat-tempat liar di bumi. Kami tak mau percaya dia sudah mati. Di setiap generasi, para satir yang paling pemberani berikrar akan mengabdikan hidupnya untuk mencari Pan. Mereka mencari di bumi ini, menjelajahi semua tempat terliar, berharap menemukan tempat dia bersembunyi, dan membangunkannya dari tidurnya."
"Dan kau ingin jadi pencari."
"Itu impian hidupku," katanya. "Ayahku pencari. Dan Paman Ferdinand ... patung yang kau lihat di sana -"
"Oh iya, ikut sedih."
Grover menggeleng. "Paman Ferdinand tahu risikonya. Ayahku juga. Tapi aku pasti berhasil. Aku akan menjadi pencari pertama yang pulang hidup-hidup."
"Tunggu - yang pertama?"
Grover mengeluarkan seruling dari saku. "Belum pernah ada pencari yang pulang. Setelah berangkat, mereka menghilang. Mereka tak pernah lagi terlihat hidup-hidup."
"Tak sekali pun dalam dua ribu tahun?"
"Tidak." "Dan ayahmu" Kau tak tahu apa yang terjadi padanya?"
"Nggak." "Tapi kau tetap ingin berangkat," kataku heran. "Maksudku, kau benar-benar merasa kaulah yang akan menemukan Pan?"
"Aku harus percaya itu, Percy. Semua pencari juga begitu. Itu satu-satunya hal yang membuat kami tak putus asa saat melihat apa yang dilakukan manusia pada dunia. Aku harus percaya bahwa Pan masih bisa dibangunkan."
Aku menatap kabut jingga di langit dan berusaha memahami bagaimana Grover mau mengejar impian yang tampak begitu sia-sia. Tapi, kalau dipikir-pikir, apa bedanya dengan aku"
"Bagaimana cara kita masuk ke Dunia Bawah?" tanyaku. "Maksudku, apa mungkin kita bisa melawan seorang dewa?"
"Nggak tahu," dia mengakui. "Tapi, di tempat Medusa tadi, waktu kau menggeledah kantornya" Annabeth memberitahuku -"
"Iya, ya, aku lupa. Annabeth pasti punya rencana."
"Jangan terlalu galak sama dia, Percy. Hidupnya sulit, tapi dia anak baik. Lagi pula, dia memaafkan aku ..." Suaranya menghilang.
"Apa maksudmu?" tanyaku. "Memaafkanmu untuk apa?"
Tiba-tiba Grover tampak sangat berminat memainkan nada di serulingnya.
"Tunggu sebentar," kataku. "Tugas penjagamu yang pertama itu lima tahun lalu. Annabeth sudah lima tahun tinggal di perkemahan. Dia bukan ... maksudku, tugas pertamamu yang bermasalah-"
"Aku nggak boleh membicarakan itu," kata Grover. Bibir bawahnya yang bergetar menandakan bahwa dia pasti menangis kalau kudesak. "Tapi seperti yang kubilang, tadi di tempat Medusa, aku dan Annabeth sepakat bahwa ada yang aneh soal misi ini. Ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya."
"Itu sih jelas. Aku kan difitnah mencuri petir yang diambil Hades."
"Maksudku bukan itu," kata Grover. "Para Erin - Si Baik agak menahan diri. Seperti Bu Dodds di Akademi Yancy ... kenapa dia menunggu lama, baru mencoba membunuhmu" Lalu di bus, mereka tidak seagresif yang mereka bisa."
"Bagiku, kayaknya mereka cukup agresif."
Grover menggeleng. "Mereka memekik kepada kami: "Di mana itu" Di mana?""
"Menanyakan aku," kataku.
"Mungkin ... tapi aku dan Annabeth mendapat firasat, mereka bukan menanyakan orang. Mereka bilang "Di mana itu?" Mereka sepertinya menanyakan barang."
"Itu nggak masuk akal."
"Aku tahu. Tapi, kalau kita salah memahami sesuatu tentang misi ini, dan kita cuma punya waktu sembilan hari untuk menemukan petir asali ...." Dia menatapku seolah-olah mengharapkan jawaban, tapi aku tak punya jawaban apa-apa.
Aku teringat perkataan Medusa: aku dimanfaatkan oleh para dewa. Hal yang menanti di depan itu jauh lebih buruk daripada dijadikan patung.
"Selama ini aku nggak jujur padamu," kataku kepada Grover. "Aku nggak peduli pada petir asali. Aku mau pergi ke Dunia Bawah supaay aku bisa membawa pulang ibuku."
Grover meniupkan nada lembut di serulingnya. "Aku tahu itu, Percy. Tapi apa kau yakin itu satu-satunya alasan?"
"Ini kulakukan bukan untuk menolong ayahku. Dia nggak peduli padaku. Aku nggak peduli padanya."
Grover memandang ke bawah dari dahan pohon. "Dengar, Percy, aku nggak sepintar Annabeth. Aku nggak sepemberani dirimu. Tapi aku cukup pandai membaca emosi. Kau senang ayahmu masih hidup. Kau gembira dia mengakuimu, dan sebagian dirimu ingin membuatnya bangga. Itu sebabnya kau mengirimkan kepala Medusa ke Olympus. Kau ingin dia memerhatikan keberhasilanmu."
"Ngawur. Barangkali saja emosi satir berbeda dengan emosi manusia. Karena kau salah. Aku nggak peduli bagaimana pendapatnya."
Grover menaikkan kaki ke atas dahan. "Iya deh. Terserah."
"Lagi pula, aku belum melakukan apa-apa yang layak disombongkan. Kita nyaris tak bisa keluar dari New York dan kita terperangkap di sini tanpa uang dan tak tahu cara agar sampai ke barat."
Grover menatap langit malam, seolah-olah merenungkan masalah itu.
"Bagaimana kalau aku saja yang berjaga pertama" Kau tidurlah."
Aku ingin memprotes, tetapi dia mulai memainkan Mozart, lembut dan manis, dan aku berpaling, mataku pedih. Setelah beberapa irama Piano Concerto no. 12, aku tertidur.
* * * Dalam mimpiku, aku berdiri di sebuah gua gelap, di depan lubang yang menganga. Makhluk-makhluk kabut kelabu bergolak di sekelilingku, rumbai-rumbai asap berbisik, yang entah bagaimana kutahu adalah arwah orang mati.
Mereka menarik-narik bajuku, berusaha menarikku mundur, tetapi aku merasa harus berjalan maju ke tepi jurang itu.
Melihat ke bawah membuatku gamang.
Lubang itu menganga begitu lebar dan begitu gelap, aku pun tahu bahwa lubang itu tak berdasar. Namun, aku mendapat perasaan bahwa ada sesuatu yang sedang berusaha naik dari jurang, sesuatu yang besar dan jahat.
Si pahlawan kecil, sebuah suara geli menggema jauh di dalam kegelapan. Terlalu lemah, terlalu muda, tapi mungkin kau memadai.
Suara itu terasa purba"dingin dan berat. Suara itu membungkusku seperti lembar-lembar timah.
Mereka menyesatkanmu, Bocah, katanya. Barterlah denganku. Aku akan memberikan apa yang kau inginkan.
Suatu citra bergetar-getar melayang di atas kehampaan: ibuku, tubuhnya beku dalam pose seperti saat dia larut dalam rintik emas. Wajahnya meringis kesakitan, seolah-olah si Minotaurus masih mencekik lehernya. Matanya menatapku lurus-lurus, memohon: Pergi!
Aku berusaha berseru, tetapi suaraku tak mau keluar.
Tawa dingin menggema dari jurang.
Suatu kekuatan tak kasat mata menarikku maju. Aku bisa terseret ke dalam lubang, kalau tidak berdiri kukuh.
Bantu aku bangkit, Bocah. Suara itu kian lapar. Bawakan petir itu kepadaku. Serang para dewa yang pengkhianat!
Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arwah orang mati berbisik di sekelilingku, Jangan! Bangun!
Citra ibuku mulai memudar. Makhluk di dalam lubang mempererat cengkeraman tak kasat matanya padaku.
Kusadari bahwa ia tak berminat menarikku masuk. dia menggunakan aku untuk menghela dirinya keluar.
Bagus, gumamnya. Bagus. Bangun! Orang-orang mati berbisik. Bangun!
* * * Ada yang mengguncangku. Mataku terbuka, dan hari sudah terang.
"Nah," kata Annabeth," si mayat hidup masih bisa bangun."
Tubuhku gemetar gara-gara mimpi itu. Cengkeraman si monster jurang masih terasa di sekeliling dadaku. "Berapa lama aku tidur?"
"Cukup lama, aku sempat memasak sarapan." Annabeth melemparkan kepadaku sekantong keripik jagung rasa nacho dari kedai camilan Bibi Em. "Dan tadi Grover pergi menjelajah. Lihat, dia menemukan teman."
Mataku sulit berfokus. Grover sedang duduk bersila di atas selimut, memangku sesuatu yang berbulu, sebuah boneka binatang dengan warna merah jambu yang dekil dan tak alami.
Bukan. Itu bukan boneka. Itu anjing pudel merah jambu.
Pudel itu menyalak kepadaku dengan curiga. Kata Grover, "Nggak, dia nggak begitu."
Aku mengerjapkan mata. "Kau ... sedang bicara dengan benda itu?"
Pudel itu menggeram. "Benda ini," Grover memperingatkan, "adalah karcis kita ke Barat. Baik-baiklah padanya."
"Kau bisa bicara dengan binatang?"
Grover tak menggubris pertanyaan itu. "Percy, ini Gladiola. Gladiola, Percy."
Aku menatap Annabeth, menyangka dia akan tertawa karena lelucon yang ditujukan kepadaku ini, tetapi dia tampak serius.
"Aku nggak mau menyapa seekor pudel merah jambu," kataku. "Lupakan saja."
"Percy," kata Annabeth. "Tadi aku menyapa pudel itu. Kau juga harus."
Si pudel menggeram. Aku menyapa pudel itu. Grover menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Gladiola di hutan dan mereka mengobrol. Pudel itu kabur dari sebuah keluarga kaya setempat, yang menawarkan hadiah $200 jika orang mengembalikannya. Gladiola sebenarnya tidak ingin kembali ke keluarga itu, tetapi dia bersedia melakukannya jika itu bisa membantu Grover.
"Bagaimana Gladiola bisa tahu soal hadiah itu?" tanyaku.
"Ya dia baca di posternya dong," kata Grover. "Bego."
"Iya," kataku. "Aku yang bego."
"Jadi, Gladiola kita kembalikan," Annabeth menjelaskan dalam suara strategi terbaiknya, "kita dapat uang, dan kita beli karcis ke Los Angeles. Sederhana."
Aku teringat mimpiku - bisikan suara arwah, makhluk di dalam jurang, dan wajah ibuku, bergetar sambil melarut menjadi emas. Semua hal yang mungkin menantiku di Barat.
"Jangan bus lagi," kataku curiga.
"Setuju," kata Annabeth.
Dia menunjuk ke bawah bukit, ke arah rel kereta yang tak terlihat tadi malam karena gelap. "Ada stasiun kereta Amtrak tujuh ratus meter ke arah sana. Menurut Gladiola, kereta tujuan Barat berangkat pada tengah hari.
13. Aku Terjun Menuju Kematian
Kami melewatkan waktu dua hari di kereta api Amtrak, menuju Barat dengan menembus perbukitan, menyeberangi sungai, melewati ladang gandum yang berombak merah.
Kami tidak diserang sekali pun, tetapi aku tak bisa tenang. Aku merasa seakan kami bergerak di dalam lemari pajangan, diamati dari atas dan mungkin dari bawah, sementara sesuatu sedang menunggu peluang yang tepat.
Aku berusaha tidak menarik perhatian orang karena nama dan fotoku tersebar di halaman depan beberapa koran Pantai Timur. Trenton Register-News menampilkan foto yang diambil seorang wisatawan ketika aku turun dari bus Greyhound. Tatapan mataku tampak liar. Pedang di tanganku seperti logam yang tampak kabur. Bisa saja dikira pemukul bisbol atau tongkat lacrosse.
Keterangan gambar itu berbunyi:
Percy Jackson, dua belas tahun, yang sedang dicari polisi untuk ditanyai tentang ibunya yang menghilang dua minggu lalu di Long Island, terlihat di sini kabur dari bus, tempat dia menyerang beberapa nenek-nenek yang jadi penumpang. Bus itu meledak di tepi jalan New Jersey Timur tak lama setelah Jackson kabur dari sana. Berdasarkan laporan saksi mata, polisi meyakini anak itu ditemani dua kaki-tangan remaja. Ayah tirinya, Gabe Ugliano, menawarkan hadiah uang tunai untuk informasi yan gmembantu penangkapan Jackson.
"Jangan khawatir," kata Annabeth. "Polisi manusia tak mungkin bisa menemukan kita." Namun, suaranya tidak terlalu yakin
Sepanjang sisa hari itu aku gonta-ganti antara mondar-mandir di sepanjang kereta api (karena aku benar-benar kesulitan duduk diam) dan menatap keluar jendela.
Sekali waktu aku melihat sekeluarga centaurus. Mereka berlari melintasi padang gandum, dengan busur siaga, berburu makan siang. Seorang bocah centaurus, yang berukuran sebesar anak kelas dua yang menunggang kuda poni, menangkap mataku dan melambaikan tangan. Aku melihat ke sekeliling gerbong, tetapi tak ada orang lain yang memerhatikan. Semua penumpang dewasa sedang membenamkan wajah di laptop atau majalah.
Kali lain, menjelang malam, aku melihat suatu benda besar bergerak menembus hutan. Aku berani sumpah benda itu seekor singa, tetapi di Amerika tidak ada singa liar, dan hewan ini seukuran truk Hummer. Bulunya berkilauan emas dalam cahaya senja. Lalu, ia melompat menembus pepohonan dan menghilang.
* * * Uang hadiah yang kami terima karena mengembalikan Gladiola si pudel hanya cukup untuk membeli karcis hingga ke Denver. Kami tak berhasil mendapat tempat di gerbong tidur, jadi kami tidur di kursi masing-masing. Leherku menjadi kaku. Aku berusaha tidak mengiler saat tidur, karena Annabeth duduk tepat di sebelahku.
Grover terus mendengkur dan mengembik, membuatku terbangun. Sekali waktu dia lasak dan kaki palsunya jatuh. Aku dan Annabeth harus memasangkannya lagi sebelum ada penumpang lain yang memerhatikan.
"Jadi," tanya Annabeth kepadaku, setelah kami menyesuaikan sepatu Grover.
"Siapa yang meminta bantuanmu?"
"Apa maksudmu?"
"Barusan, waktu kau tidur, kau mengigau, "Aku tak mau membantumu." Kau bermimpi tentang siapa?"
Aku enggan berkata apa-apa. Ini kedua kalinya aku bermimpi tentang suara jahat dari lubang. Tapi mimpi itu sangat menggangguku, jadi akhirnya kuceritakan kepada Annabeth.
Gadis itu diam lama sekali. "Kedengarannya tak seperti Hades. Dia selalu tampil di atas singgasana hitam, dan dia tak pernah tertawa."
"Dia menawarkan ibuku sebagai imbalan. Siapa lagi yang bisa berbuat begitu?"
"Ya mungkin juga sih ... kalau dia bermaksud, "Bantu aku naik dari Dunia Bawah". Benar-benar ingin berperang dengan para dewa Olympia. Tapi, buat apa memintamu membawakan petir kalau dia sudah memegangnya?"
Aku menggeleng, menyayangkan bahwa aku tak tahu jawabannya. Aku memikirkan cerita Grover, bahwa para Erinyes sepertinya sedang mencari sesuatu di bus.
Di mana itu" Di mana"
Mungkin Grover merasakan emosiku. Dia mendengus dalam tidurnya, mengigaukan sesuatu tentang sayur, dan berpaling. Annabeth membetulkan letak topinya agar menutupi tanduk. "Percy, Hades itu nggak bisa diajak tawar-menawar. Kau tahu, kan" Dia penipu, kejam, dan tamak. Aku nggak peduli bahwa Makhluk Baik bawahannya kali ini tidak terlalu agresif-"
"Kali ini?" tanyaku. "Maksudmu, kau pernah bertemu mereka?"
Tangan Annabeth naik ke leher. Dia memainkan manik-manik putih berglasir yang dilukis gambar pohon pinus, salah satu tanda akhir kemah musim panas yang terbuat dari tanah liat. "Pokoknya, aku nggak suka si Penguasa Orang Mati. Kau jangan sampai tergoda membuat perjanjian demi ibumu."
"Kau sendiri bakal berbuat apa, andai ayahmu yang dalam posisi itu?"
"Itu gampang," katanya. "Kubiarkan saja dia membusuk."
"Kau tak serius, kan?"
Mata kelabu Annabeth menatapku lekat-lekat. Air mukanya sama seperti yang tampak di hutan di perkemahan, ketika dia menghunus pedang melawan si anjing neraka. "Ayahku membenciku sejak aku lahir, Percy," katanya. "Dia nggak ingin punya anak. Sewaktu mendapatkan aku, dia meminta Athena mengambilku kembali dan membesarkanku di Olympus karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaan. Athena nggak terlalu senang dengan permintaan itu. Dia memberi tahu ayahku bahwa pahlawan harus dibesarkan oleh orangtua manusianya."
"Tapi bagaimana ... maksudku, kau tentu nggak dilahirkan di rumah sakit ..."
"Aku muncul di depan pintu rumah ayahku, dalam buaian emas, dibawa turun dari Olympus oleh Zephyr si Angin Barat. Kau pasti mengira ayahku mengenang itu sebagai mukjizat kan" Barangkali dia mengambil foto digital atau apa kek. Tapi dia selalu membicarakan kedatanganku seolah-olah itu hal yang paling merepotkan yang pernah terjadi padanya. Waktu aku berumur lima tahun, dia menikah dan melupakan Athena sama sekali. Dia mendapat istri manusia
"biasa", dan punya dua anak manusia "biasa", dan berusaha berpura-pura aku nggak ada."
Aku menatap keluar jendela kereta api. Lampu sebuah kota yang lelap merayap lewat. Aku ingin menghibur Annabeth, tapi tak tahu caranya.
"Ibuku menikahi lelaki yang benar-benar menyebalkan," aku bercerita. "Kata Grover, dia melakukan itu untuk melindungiku, untuk menyembunyikanku dalam bau keluarga manusia. Mungkin itu yang dipikirkan ayahmu."
Annabeth terus memain-mainkan kalung. Dia menjepit cincin emas universitas yang tergantung bersama manik-manik. Terpikir olehku bahwa cincin itu pasti milik ayahnya. Aku heran juga, kenapa dia memakainya kalau dia begitu membenci ayahnya.
"Dia nggak peduli padaku," katanya. "Istrinya - ibu tiriku - memperlakukanku seperti anak aneh. Dia nggak memperbolehkan aku bermain dengan anak-anaknya. Ayahku menurut saja. Setiap kali terjadi sesuatu yang berbahaya - kau tahu, sesuatu yang berkaitan dengan monster - mereka berdua menatapku dengan sebal, seol
ah-olah berkata, "Berani-beraninya kau membahayakan keluarga kami." Akhirnya, aku paham. Aku tidak diinginkan. Aku minggat."
"Berapa umurmu waktu itu?"
"Sama seperti saat aku mulai masuk perkemahan. Tujuh."
"Tapi ... kau tak mungkin bisa sampai jauh-jauh ke Bukit Blasteran sendirian."
"Aku memang nggak sendirian. Athena mengawasiku, membimbingku ke orang yang menolong. Aku mendapat dua teman tak terduga yang mengurusku, setidaknya untuk sementara waktu."
Aku ingin menanyakan apa yang terjadi, tapi Annabeth tampaknya tenggelam dalam kenangan duka. Jadi, aku mendengarkan suara Grover mendengkur dan memandang keluar jendela kereta, sementara padang-padang gelap Ohio melaju lewat.
* * * Menjelang akhir hari kedua kami di kereta api, 13 Juni, delapan hari sebelum titik balik matahari musim panas, kami melewati beberapa bukit keemasan dan menyeberangi Sungai Mississippi, memasuki St. Louis.
Annabeth menjulurkan leher untuk melihat Gateway Arch, yang bagiku mirip pegangan tas belanja raksasa yang menempel pada kota itu. "Aku ingin melakukan itu," Annabeth menghela napas.
"Apa?" tanyaku.
"Membangun sesuatu seperti itu. Kau pernah melihat Parthenon, Percy?"
"Cuma di foto."
"Kapan-kapan aku akan melihatnya langsung. Aku akan membangun monumen terbesar bagi dewa-dewa. Sesuatu yang bertahan seribu tahun."
Aku tertawa. "Kau" Jadi arsitek?"
Entah kenapa, aku merasa itu lucu. Membayangkan Annabeth berusaha duduk diam dan menggambar seharian.
Pipinya merona. "Iya, jadi arsitek. Athena mengharapkan anak-anaknya mencipta, bukan hanya menghancurkan seperti seorang dewa gempa bumi yang bisa kusebutkan namanya.' Aku mengamati air cokelat Sungai Mississippi yang bergolak di bawah.
"Maaf," kata Annabeth. "Aku jahat barusan."
"Apa kita nggak bisa bekerja sama?" aku memohon. "Maksudku, apakah Athena dan Poseidon nggak pernah bekerja sama?"
Annabeth harus mengingat-ingat. "Pernah sih ... kereta perang," dia berkata hati-hati. "Ibuku menciptakannya, tetapi Poseidon yang menciptakan kuda dari puncak ombak. Jadi, mereka harus bekerja sama untuk menjadikannya lengkap."
"Berarti, kita juga bisa bekerja sama. Iya, kan?"
Kami melaju memasuki kota, sementara Annabeth mengamati Gateway Arch menghilang di belakang sebuah hotel.
"Barangkali bisa juga," katanya akhirnya.
Kami masuk ke stasiun Amtrak di tengah kota. Menurut interkom, kami punya waktu singgah tiga jam sebelum berangkat ke Denver.
Grover menggeliat. Bahkan sebelum benar-benar sadar, dia berkata, "Makanan."
"Ayo, Bocah Kambing," kata Annabeth. "Ayo kita cuci mata."
"Cuci mata?" "Gateway Arch," katanya. "Ini mungkin satu-satunya kesempatanku naik ke puncak. Kau mau ikut, nggak?"
Aku dan Grover bertukar pandang.
Aku ingin menolak, tetapi kupikir kalau Annabeth mau ke sana, kami jelas tidak mungkin membiarkan dia pergi sendirian.
Grover mengangkat bahu. "Asalkan di sana ada toko camilan tanpa monster."
* * * Gateway Arch terletak sekitar satu setengah kilometer dari stasiun kereta api. Sore hari begitu, antrean masuknya tidak terlalu panjang. Kami berselap-selip melalui museum bawah tanah, melihat-lihat pedati beratap dan rongsokan lain dari tahun 1800-an. Tidak terlalu mengasyikkan, tetapi Annabeth terus menceritakan berbagai fakta menarik tentang cara Gateway Arch dibangun, dan Grover terus memberiku permen jelly bean, jadi aku cukup menikmati.
Namun, aku terus mengedarkan pandangan, memerhatikan orang-orang yang mengantre. "Kau mencium sesuatu?" bisikku kepada Grover.
Dia mengeluarkan hidungnya dari kantong permen jelly bean cukup lama untuk mengendus.
"Bawah tanah," katanya jijik. "Udara bawah tanah selalu berbau seperti monster. Mungkin tak berarti apa-apa."
Tetapi, ada yang terasa aneh bagiku. Aku mendapat firasat, kami sebaiknya tidak berada di sini.
"Teman-teman," kataku. "Kalian tahu kan lambang-lambang kekuasaan dewa?"
Annabeth sedang membaca alat konstruksi yang digunakan untuk membangun Gateway Arch, tetapi dia menoleh. "Iya, kenapa?"
"Nah, Hades?" Grover berdehem. "Kita sedang berada di tempat umum .... Pasti yang kaumaksud adalah teman kita di lantai bawah?"
"Eh, iya," kataku. "Teman kita di lantai jauh di bawah. Bukankah dia punya topi seperti topi Annabeth?"
"Maksudmu, Helm Kegelapan," kata Annabeth. "Iya, itu lambang kekuasaannya. Aku melihat helm itu di sebelah kursinya pada rapat dewan titik balik matahari musim dingin."
"Dia hadir di sana?" tanyaku.
Annabeth mengangguk. "Satu-satunya waktu dia diperbolehkan berkunjung ke Olympus - hari tergelap setiap tahun. Tapi, helmnya jauh lebih sakti daripada topi tak kasat mataku, kalau yang kudengar benar ..."
"Dengan helm itu, dia bisa menjadi kegelapan"' Grover membenarkan. "Dia bisa meleleh ke dalam bayangan atau menembus tembok. Dia tak bisa disentuh, atau dilihat, atau didengar. Dan dia bisa memancarkan rasa takut yang begitu kuat, sampai-sampai kau bisa menjadi gila atau jantungmu berhenti. Menurutmu, kenapa semua makhluk rasional takut pada kegelapan?"
"Tapi, kalau begitu ... bagaimana caranya kita bisa tahu, bahwa dia sekarang nggak berada di sini, mengamati kita?" tanyaku.
Annabeth dan Grover bertukar pandang.
"Kita nggak mungkin tahu," kata Grover.
"Trims, sangat menghibur," kataku. "Masih punya permen biru?"
Aku sudah hampir berhasil menguasai rasa gugup ketika kulihat lift kecil mungil yang akan kami tumpangi ke puncak Gateway Arch. Gawat, pikirku. Aku benci tempat sempit. Aku bisa gila.
Kami terjepit di dalam lift oleh seorang wanita gembrot dan anjingnya, seekor Chihuahua berkalung batu diamante. Kusimpulkan bahwa anjing itu mungkin Chihuahua yang membantu orang buta, karena para penjaga tidak menyinggungnya sama sekali.
Kami mulai naik, di dalam Gateway Arch. Aku belum pernah naik lift yang bergerak melengkung, dan perutku tak terlalu menyukainya.
"Tidak bersama orangtua?" tanya perempuan gembrot itu.
Matanya seperti manik-manik; giginya runcing-runcing dan bernota kopi; topi jins-nya berkelepai, dan pakaian jinsnya yang begitu berlekuk-lekuk, sehingga dia mirip balon jins biru.
"Mereka di bawah," kata Annabeth. "Takut ketinggian."
"Oh, kasihan." Chihuahua itu menggeram. Kata perempuan itu, "Bocah, jangan nakal."
Anjing itu bermata manik-manik seperti miliknya, cerdas dan jahat.
Kataku, "Bocah. Itu namanya?"
"Bukan," kata perempuan itu.
Dia tersenyum, seolah-olah itu menjelaskan segalanya.
Di puncak Gateway Arch, dek observasi mengingatkanku pada kaleng timah yang diberi karpet. Berbaris-baris jendela kecil di satu sisi menghadap ke kota dan di sisi lain menghadap sungai. Pemandangannya lumayan, tetapi kalau ada yang lebih tidak kusukai daripada tempat sempit, itu adalah tempat sempit setinggi 180 meter. Sebentar saja, aku sudah ingin pulang.
Annabeth terus berbicara soal penopang struktur, dan bahwa dia lebih suka kalau jendelanya lebih besar, dan ingin merancang lantai tembus pandang. Dia mungkin bisa sampai berjam-jam di sini, tapi untungnya si penjaga mengumumkan bahwa dek observasi akan ditutup beberapa menit lagi.
Aku menggiring Grover dan Annabeth ke pintu keluar, memasukkan mereka ke dalam lift. Aku sendiri baru akan masuk ketika kusadari sudah ada dua wartawan lain di dalam. Tak ada tempat buatku.
Si penjaga berkata, "Lift berikutnya, Nak."
"Kami saja yang keluar," kata Annabeth. "Kami akan menemanimu menunggu."
Tetapi, itu akan mengacaukan semua orang dan membuang waktu lebih banyak lagi, jadi kukatakan, "Nggak apa-apa kok. Sampai ketemu di bawah."
Grover dan Annabeth tampak gugup, tetapi mereka membiarkan pintu lift bergeser tertutup. Lift mereka menghilang menuruni lengkungan.
Sekarang yang masih berada di dek observasi tinggal aku, seorang bocah bersama orangtuanya, si penjaga, dan si wanita gembrot yang membawa Chihuahua.
Aku tersenyum kikuk kepada si wanita gembrot. Dia balas tersenyum, lidahnya yang bercabang bergerak-gerak di antara gigi.
Tunggu sebentar. Lidah bercabang" Sebelum aku sempat memutuskan apakah barusan aku benar-benar melihat itu, Chihuahua-nya melompat turun dan mulai menyalak kepadaku.
"Nah-nah, Anak Manis," kata wanita itu. "Ini kan bukan waktu yang tepat" Di sini ada orang-orang baik."
"Anjing!" kata si anak kecil. "Lihat, ada anjing!"
Orangtuanya menahannya. Chihuahua itu memamerkan gigi kepadaku, buih menetes-netes dari bibirnya yang hitam
"Baiklah, Nak," kata wanita gembrot itu sambil menghela napas. "Kalau kau bersikeras."
Es mulai terbentuk di perutku. "Eh, Ibu baru menyebut Chihuahua itu anak?"
"Chimera, Sayang,"si wanita gembrot itu mengoreksi. "Bukan Chihuahua. Memang mudah tertukar."
Dia menggulung lengan baju jins, menyingkapkan kulit lengannya yang berwarna hijau bersisik. Ketika dia tersenyum, kulihat bahwa giginya taring semua. Pupil matanya merupakan celah pipih, seperti mata reptil.
Chihuahua itu menggonggong lebih keras, dan dengan setiap gonggongan, tubuhnya membesar. Pertama hingga sebesar anjing Doberman, lalu sebesar singa.
Gonggongan itu menjadi auman.
Bocah kecil itu menjerit. Orangtuanya menariknya ke arah pintu keluar, langsung ke arah si penjaga, yang berdiri mematung, menganga melihat monster itu.
Chimera itu sekarang begitu besar, sehingga punggungnya menyentuh atap. Ia memiliki kepala singa dengan surai yang bermandikan darah, tubuh dan kaki kambing raksasa, ekor berupa ular derik diamondback sepanjang tiga meter yang tumbuh dari pantatnya. Kalung anjing diamante masih tergantung di lehernya, dan peneng anjing yang sebesar piring sekarang mudah dibaca: CHIMERA - BUAS,BERNAPAS API, BERACUN - JIKA DITEMUKAN, HUBUNGI TARTARUS - PESAWAT 954.
Kusadari bahwa aku bahkan belum membuka tutup pedangku. Tanganku mati rasa. Aku berdiri sejauh tiga meter dari moncong Chimera yang berdarah-darah. Aku tahu bahwa begitu aku bergerak, makhluk itu akan menerkam.
Si wanita ular berdesis, mungkin sebenarnya suara tawa. "Kau semestinya tersanjung, Percy Jackson. Raja Zeus jarang mengizinkanku menguji seorang pahlawan dengan salah satu anakku. Karena akulah Induk Monster, Echidna yang mengerikan!"
Aku menatapnya. Yang terpikir olehku hanyalah mengatakan: "Bukannya echidna itu nama semacam pemakan semut?"
Dia melolong, wajah reptilnya menjadi cokelat dan hijau karena marah. "Aku paling sebal kalau orang bilang begitu! Aku benci Australia! Menamai hewan konyol itu dengan namaku. Untuk hinaan itu, Percy Jackson, anakku akan menghancurkanmu!"
Chimera itu menyerang, gigi singanya beradu. Aku berhasil melompat ke samping dan menghindari gigitan.
Aku mendarat di dekat keluarga itu dan si penjaga, yang semuanya sekarang menjerit-jerit sambil berusaha membuka pintu keluar darurat.
Aku tak bisa membiarkan mereka terluka. Aku membuka tutup pedangku, berlari ke seberang dek, dan berseru, "Hei, Chihuahua!"
Chimera itu berputar lebih cepat daripada yang kukira.
Sebelum aku sempat mengayunkan pedang, Chimera membuka mulut, mengeluarkan bau seperti lubang panggangan terbesar di dunia, dan menembakkan kolom api tepat ke arahku.
Aku melompat menembus ledakan. Karpet terbakar, panasnya begitu tinggi, sampai-sampai alisku hampir terbakar.
Di tempatku berdiri tadi, ada lubang bergerigi di dinding Gateway Arch. Di sekeliling tepi lubang itu, logam meleleh sambil mengepulkan asap.
Bagus, pikirku. Kami baru saja mengelas sebuah monumen nasional.
Riptide sekarang sudah membentuk pedang perunggu bersinar di tanganku, dan saat Chimera berputar, aku menyabet lehernya.
Itu kesalahan fatal. Pedang itu terpantul kalung anjing tanpa melukai. Aku berusaha berdiri tegak kembali, tetapi aku begitu cemas memikirkan cara membela diri dari mulut berapi si singa, aku lupa sama sekali soal ekor ularnya sampai ular itu berputar dan menghunjamkan taringnya pada betisku.
Seluruh kakiku terasa terbakar. Aku berusaha menikamkan Riptide ke dalam mulut Chimera, tetapi ekor ular itu membeli pergelangan kakiku dan menarikku hingga jatuh. Pedangku terlontar dari tangan, berputar-putar keluar dari lubang di Gateway Arch dan jatuh ke Sungai Mississippi.
Aku berhasil berdiri, tetapi aku tahu aku sudah kalah. Aku tak bersenjata.
Terasa olehku racun maut yang berpacu ke dada. Aku ingat Chiron berkata bahwa Anaklusmos akan selalu kembali kepadaku, tetapi di sakuku tak ada pena.
Mungkin jatuhnya terlalu jauh. Mungkin hanya kembali kalau sedang berbentuk pena. Aku tak tahu, dan aku tak akan hidup cukup lama untuk mengetahuinya.
Aku mundur ke arah lubang di dinding. Chimera itu maju, menggeram, asap mengepul dari bibirnya. Si wanita ular, Echidna, terkekeh-kekeh. "Pahlawan zaman sekarang tak sehebat dulu, ya, Nak"'
Monster itu menggeram. Tampaknya ia sudah tak tergesa-gesa lagi menghabisiku, karena aku sudah kalah.
Aku melirik si penjaga dan keluarga itu. Bocah kecil itu bersembunyi di balik kaki ayahnya. Aku harus melindungi orang-orang ini. Aku tak bisa cuma ... mati.
Aku berusaha berpikir, tetapi seluruh tubuhku terasa terbakar. Kepalaku pusing.
Aku tak punya pedang. Aku sedang menghadapi seekor monster raksasa yang bernapas api dan ibunya. Dan aku takut.
Aku tak bisa ke mana-mana lagi, jadi aku melangkah ke tepi lubang. Jauh, jauh di bawah, sungai tampak berkilap-kilap.
Kalau aku mati, apakah monster-monster itu akan pergi" Apakah mereka tak akan mengganggu manusia-manusia itu"
"Kalau kau anak Poseidon," desis Echidna, "kau tak akan takut air. Lompatlah, Percy Jackson. Tunjukkan bahwa air tak akan menyakitimu. Lompat dan ambil pedangmu. Buktikan garis darahmu."
Enak saja, pikirku. Aku pernah membaca di suatu tempat bahwa melompat ke air dari ketinggian puluhan lantai itu sama seperti melompat ke aspal. Dari sini, aku pasti mati saat terbanting.
Mulut Chimera berpendar merah, pemanasan untuk menembak lagi.
"Kau tak punya iman," kata Echidna. "Kau tak memercayai para dewa. Aku tak bisa menyalahkanmu, Pengecut Kecil. Lebih baik kau mati sekarang. Para dewa tak bisa dipercaya. Racun itu berada di hatimu."
Dia benar: aku sudah sekarat. Aku dapat merasakan napasku melambat. Tak ada yang bisa menyelamatkanku, dewa juga tidak.
Aku mundur dan melihat ke air di bawah. Aku ingat pendar hangat senyuman ayahku sewaktu aku masih bayi. Dia pasti pernah menengokku. Dia pasti pernah mengunjungiku saat aku masih dalam buaian.
Aku ingat trisula hijau berputar-putar yang muncul di atas kepalaku pada malam permainan tangkap bendera, ketika Poseidon mengakuiku sebagai anaknya.
Tapi ini bukan laut. Ini Sungai Mississippi, tepat di tengah-tengah Amerika Serikat. Tak ada Dewa Laut di sini.
"Matilah, orang yang tak percaya," kata Echidna parau, dan Chimera menembakkan kolom api ke mukaku.
"Ayah, tolong aku," aku berdoa.
Aku berbalik dan melompat. Dengan pakaian terbakar dan racun menyebar dalam pembuluh darah, aku terjun ke arah sungai.
14. Aku Menjadi Pelarian Terkenal
Maunya sih aku bisa menyombongkan bahwa aku mendapat semacam wahyu agung dalam perjalananku ke bawah, bahwa aku berdamai dengan kefanaanku sendiri, tertawa menghadapi maut, dan seterusnya.
Tapi sebenarnya" Satu-satunya pikiranku cuma: Aaaaakkkhhhhhh!
Sungai berpacu ke arahku secepat truk. Angin merenggut napas dari paru-paruku. Menara dan gedung pencakar langit dan jembatan berguling masuk-keluar pandanganku.
Lalu: Plas! Awan gelembung udara. Aku tenggelam dalam air keruh, yakin bahwa aku akan terbenam dalam tiga puluh meter lumpur dan hilang selamanya.
Tetapi, perbenturanku dengan air tidak sakit. Aku sekarang jatuh dengan lambat, gelembung air melayang naik melalui jemariku. Aku mendarat di dasar sungai tanpa suara. Seekor ikan lele sebesar ayah tiriku tiba-tiba menghilang ke dalam kelam. Awan pasir dan sampah menjijikkan - botol bir, sepatu tua, kantong plastik - berputar-putar di sekelilingku.
Saat itu aku menyadari beberapa hal: pertama, aku tidak gepeng seperti martabak. Aku tidak terpanggang. Aku bahkan tak bisa lagi merasakan racun Chimera mendidih dalam pembuluh darahku. Aku masih hidup, itu bagus.
Hal kedua yang kusadari: aku tidak basah. Maksudku, aku dapat merasakan dinginnya air. Aku dapat melihat tempat-tempat api yang dipadamkan di pakaianku. Tetapi, ketika kemejaku sendiri kusentuh, rasanya kering
Aku memandangi sampah yang melayang lewat dan menyambar sebuah pemantik api tua.
Mustahil, pikirku. Aku menekan tombol nyala. Pemantik itu nyala. Api kecil muncul, di dasar Sungai Mississippi.
Aku menyambar bungkus hamburger basah dari arus dan langsung saja kertas itu menjadi kering. Aku berhasil membakarnya tanpa kesulitan. Begitu kulepaskan, apinya padam. Bungkus kertas itu kembali menjadi carik berlumut.
Aneh. Tapi, pikiran teraneh baru terlintas di benakku terakhir: Aku bernapas. Aku berada dalam air, tetapi aku bernapas secara normal.
Aku berdiri, terbenam lumpur hingga ke paha. Kakiku terasa goyah.
Tanganku gemetar. Semestinya aku sudah mati. Kenyataan bahwa aku tidak mati terasa seperti ... yah, mukjizat. Aku membayangkan suara seorang wanita, suara yang agak mirip ibuku: Percy, harus bilang apa"
"Eh ... terima kasih." Di dalam air, suaraku seperti suara yang direkam, seperti anak yang jauh lebih tua. "Terima kasih ... Ayah."
Tak ada jawaban. Hanya arus sampah gelap ke hilir, si ikan lele raksasa meluncur lewat, kilas cahaya matahari terbenam di permukaan air jauh di atas, mengubah segalanya menjadi warna selai kacang.
Kenapa Poseidon menyelamatkanku" Semakin kupikirkan, aku semakin malu.
Beberapa kali sebelumnya aku kebetulan saja mujur. Melawan makhluk seperti Chimera, aku tak punya peluang menang. Orang-orang malang di Gateway Arch pasti sudah menjadi panggangan. Aku tak bisa melindungi mereka. Aku bukan pahlawan. Mungkin sebaiknya aku tinggal di bawah sini saja bersama si ikan lele, bergabung dengan pemakan dasar sungai.
Bam-bam-bam. Roda lambung kapal sungai berputar di atasku, mengaduk-aduk pasir.
Di sana, tak sampai dua meter di depanku, ada pedangku, gagang perunggunya yang berkilauan mencuat dari lumpur.
Aku mendengar suara wanita itu lagi: "Percy, ambillah pedang itu. Ayahmu meyakini kemampuanmu."
Kali ini aku tahu suara itu bukan khayalanku saja. Aku tidak mengada-ada. Suaranya seolah-olah datang dari semua tempat, beriak melalui air seperti sonar lumba-lumba.
"Kau di mana?" seruku keras-keras.
Lalu, melalui kekelaman, kulihat dia - wanita yang sewarna dengan air, hantu dalam arus, melayang tepat di atas pedang. Rambutnya panjang melayang-layang, dan matanya, yang nyaris tak terlihat, berwarna hijau seperti mataku.
Ganjalan terbentuk di leherku. Kataku, "Ibu?"
"Bukan, Nak, hanya utusan, meskipun nasib ibumu belum seburuk yang kau yakini. Pergilah ke pantai di Santa Monica."
"Apa?" "Itu kehendak ayahmu. Sebelum turun ke Dunia Bawah, kau harus pergi ke Santa Monica. Tolong, Percy, aku tak bisa lama-lama. Sungai di sini terlalu kotor bagi kehadiranku."
"Tapi ..." Aku yakin perempuan ini ibuku, atau setidaknya bayangannya.
"Siapa - bagaimana kau -"
Tapi, begitu banyak yang ingin kutanyakan, kata-katanya tersumbat di tenggorokanku.
"Aku harus pergi, sang pemberani," kata wanita itu. Dia mengulurkan tangan, dan kurasakan arus air mengusap wajahku seperti belaian. "Kau harus ke Santa Monica! Dan Percy, jangan percayai hadiah .... "
Suaranya menghilang. "Hadiah?" tanyaku. "Hadiah apa" Tunggu!"
Dia mencoba berbicara sekali lagi, tetapi suaranya hilang. Sosoknya lenyap.
Kalau itu ibuku, aku kehilangan dia lagi.
Aku merasa ingin menenggelamkan diri. Satu-satunya masalah: Aku tak bisa tenggelam.
"Ayahmu meyakini kemampuanmu," kata wanita itu.
Dia juga menyebutku pemberani ... kecuali kalau dia tadi berbicara dengan si ikan lele.
Aku mengarung ke arah Riptide dan mencengkeram gagangnya. Chimera mungkin masih berada di atas sana bersama ibu ularnya yang gembrot, menunggu menghabisiku. Setidaknya polisi manusia akan datang, berusaha menyelidiki siapa yang melubangi Gateway Arch. Kalau mereka menemukanku, mereka pasti punya banyak pertanyaan.
Aku menutup pedang, memasukkan pena ke saku.
"Terima kasih, Ayah," kataku lagi kepada air gelap.
Lalu, aku menolakkan tubuh pada lumpur dan berenang ke permukaan.
* * * Aku mendarat di sebelah McDonald's terapung.
Satu blok dari situ, semua kendaraan darurat di St. Louis mengelilingi Gateway Arch. Beberapa helikopter polisi berputar-putar di udara. Kerumunan penonton yang penuh sesak mengingatkanku pada Times Square pada malam Tahun Baru.
Seorang anak perempuan berkata, "Mama! Anak itu berjalan keluar dari sungai."
"Bagus, Sayang," kata ibunya, yang menjulurkan leher untuk menonton ambulans.
"Tapi dia kering!"
"Bagus, Sayang."
Seorang penyiar perempuan berbicara di depan kamera: "Kami diberi tahu bahwa ini mungkin bukan serangan teroris, tetapi penyelidikan saat ini masih pada tahap yang sangat awal. Seperti yang Anda lihat, kerusakannya parah. Kami berusaha mendekati beberapa orang yang selamat, untuk menanyai mereka mengenai laporan saksi tentang seseorang yang jatuh dari Gateway Arch.
Orang yang selamat. Aku merasa lonjakan rasa lega. Mungkin si penjaga dan keluarga itu keluar dengan selamat. Kuharap Annabeth dan Grover baik-baik saja.
Aku berusaha menembus keramaian untuk melihat apa yang terjadi di dalam pita polisi.
"... remaja lelaki," seorang wartawan lain berkata. "Saluran Lima mendapat informasi bahwa kamera pengintai menunjukkan seorang remaja lelaki tiba-tiba mengamuk di dek observasi, lalu entah bagaimana memicu ledakan aneh ini. Sulit dipercaya, John, tetapi itulah yang kami dengar. Sekali lagi, tak ada korban jiwa ..."
Aku mundur, berusaha menunduk. Aku harus mengambil jalan memutar ke sekeliling batas polisi. Polisi berseragam dan wartawan ada di mana-mana.
Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku hampir putus asa bisa menemukan Annabeth dan Grover, ketika sebuah suara akrab mengembik, "Perrr-cy!"
Aku berputar dan dihantam oleh pelukan erat Grover. Katanya, "Kami sangka kau sudah pergi ke Hades lewat jalan pintas!"
Annabeth berdiri di belakangnya, berusaha tampak marah, tetapi dia pun kelihatan lega bertemu denganku. "Kau ini memang nggak bisa ditinggal, biar cuma lima menit! Apa yang terjadi?"
"Aku jatuh." "Percy! Dua ratus meter?"
Di belakang kami, seorang polisi berseru, "Buka jalan!" Orang membuka jalan, dan beberapa paramedis bergegas keluar, mendorong seorang wanita dalam usungan. Aku segera mengenalinya sebagai ibu si bocah kecil di dek observasi.
Katanya, "Lalu ada anjing raksasa, Chihuahua raksasa yang bernapas api-"
"Oke, Bu," kata si paramedis. "Tenang dulu. Keluarga Ibu baik-baik saja. Obat itu mulai bekerja."
"Saya tidak gila! Anak itu melompat keluar lewat lubang dan monster itu menghilang." Lalu dia melihatku. "Itu dia! Itu anaknya!"
Aku cepat-cepat berbalik dan menarik Annabeth dan Grover bersamaku. Kami menghilang ke dalam keramaian.
"Ada apa sih?" tanya Annabeth. "Yang dia maksud itu, Chihuahua dalam lift tadi?"
Aku menceritakan semuanya tentang Chimera, Echidna, terjun bebasku, dan pesan dari wanita bawah air.
"Wah"' kata Grover. "Kita harus cepat-cepat ke Santa Monica! Kau tak boleh mengabaikan panggilan dari ayahmu."
Sebelum Annabeth sempat menanggapi, kami melewati seorang wartawan lain yang memberitakan peristiwa ini, dan aku hampir terpaku di tengah jalan ketika dia berkata, "Percy Jackson. Benar, Dan. Saluran Dua Belas mendapat tahu bahwa anak yang mungkin menyebabkan ledakan ini memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan remaja yang dicari polisi untuk kecelakaan bus yang parah di New Jersey tiga hari lalu. Dan anak itu diyakini bergerak ke arah Barat. Untuk permisa di rumah, inilah foto Percy Jackson.'
Kami menunduk mengitari van berita dan menyelinap ke dalam gang.
"Yang paling penting dulu," kataku kepada Grover. Kita harus keluar dari kota ini!"
Entah bagaimana, kami berhasil kembali ke stasiun Amtrak tanpa dikenali.
Kami naik kereta api persis sebelum kereta itu berangkat menuju Denver. Kereta itu meluncur ke Barat sementara kegelapan tiba, lampu polisi masih berdenyar-denyar dengan latar pemandangan kota St. Louis di belakang kami.
15. Seorang Dewa Mentraktir Kami Cheeseburger
Sore berikutnya, tanggal 14 Juni, tujuh hari sebelum titik balik matahari, kereta kami memasuki Denver. Kami belum makan sejak malam sebelumnya di gerbong restoran, di suatu tempat di Kansas. Kami belum mandi sejak dari Bukit Blasteran, dan aku yakin itu terlihat dari penampilan kami.
"Ayo kita coba hubungi Chiron," kata Annabeth. "Aku ingin menceritakan pembicaraanmu dengan arwah air itu."
"Kita nggak bisa memakai telepon, kan?"
"Maksudku bukan dengan telepon."
Kami keluyuran di alun-alun sekitar setengah jam, meskipun aku tak tahu apa yang dicari Annabeth. Udara kering dan panas, yang terasa aneh setelah kelembapan St. Louis. Ke mana pun kami membelok, Pegunungan Rocky seolah-olah menatapku, bagaikan ombak pasang yang akan berdebur ke kota.
Akhirnya, kami menemukan tempat cuci mobil swalayan. Kami membelok ke bilik yang terjauh dari jalan, sambil memasang mata kalau-kalau ada mobil patroli.
Kami tiga remaja yang luntang-lantung di tempat cuci mobil tanpa mobil; polisi mana pun yang cukup pintar tentu menyimpulkan bahwa kami sedang membuat onar.
"Apa persisnya yang akan kita lakukan?" tanyaku, sementara Grover mengambil semprotan.
"Tujuh puluh lima sen," gerutunya. "Aku cuma punya dua keping 25 sen. Annabeth?"
"Jangan lihat aku,' katanya. "Gerbong restoran meludeskan uangku."
Aku merogoh uang receh yang terakhir dan memberikan 25 sen kepada Grover. Itu menyisakan dua keping 10 sen dan satu drachma dari tempat Medusa.
"Bagus," kata Grover. "Ini bisa kita lakukan dengan botol semprot, tentu saja, tetapi koneksinya tidak terlalu bagus, dan tanganku capek memompa.
"Kau bicara apa sih?"
Dia memasukkan koin dan menyetel tombol ke KABUT HALUS. 'I-M.'
' Instant messaging" '
"Iris-messaging," Annabeth mengoreksi. "Dewi Pelangi Iris membawa pesan kepada para dewa. Kalau kita tahu cara memintanya, dan dia tak terlalu sibuk, dia juga mau membawa pesan untuk blasteran."
"Kau memanggil dewi dengan semprotan air?"
Grover mengarahkan semprotan ke udara dan air mendesis keluar menjadi kabut putih yang tebal. "Kecuali kau tahu cara yang lebih mudah untuk membuat pelangi."
Benar saja, cahaya sore tersaring melalui uap dan terurai menjadi warna-warni.
Annabeth menyodorkan tangan kepadaku. "Minta drachmanya."
Aku menyerahkannya. Dia mengangkat koin itu ke atas kepala. "Wahai dewi, terimalah persembahan kami."
Dia melemparkan drachma itu ke pelangi. Koin itu menghilang dalam pendar keemasan.
"Bukit Blasteran," Annabeth meminta.
Sesaat, tak terjadi apa-apa.
Lalu, aku melihat ladang stroberi melalui kabut itu, dan Selat Long Island di kejauhan. Kami tampaknya berada di teras Rumah Besar. Di langkan, seorang pemuda berdiri memunggungi kami, pemuda yang berambut warna pasir, bercelana pendek, dan berkemeja jingga. Dia memegang pedang perunggu dan tampaknya sedang menatap sesuatu di padang rumput lekat-lekat.
"Luke!" panggilku.
Dia berbalik, dengan mata membelalak. Aku berani sumpah dia berdiri satu meter di depanku melalui tabir kabut, tetapi aku hanya bisa melihat bagian tubuhnya yang tampak dalam pelangi.
"Percy!" Wajah bercodetnya menyeringai. "Apa itu Annabeth juga" Terpujilah dewa-dewa! Kalian nggak apa-apa?"
"Kami ... eh ... baik," Annabeth terbata-bata. Dia sibuk merapikan kemejanya yang kotor, berusaha menyisir rambut kusut dari wajahnya. "Kami pikir - Chiron - maksudku -"
"Dia sedang di pondok." Senyum Luke memudar. "Sedang ada masalah dengan pekemah. Dengar, apakah semua baik-baik saja" Grover baik?"
"Aku di sini," seru Grover. Dia memegang semprotan ke satu sisi dan melangkah ke dalam garis pandang Luke. "Masalah apa?"
Saat itu sebuah mobil Lincoln Continental masuk ke tempat cuci mobil, stereonya memperdengarkan lagu hip-hop bersuara nyaring. Sementara mobil itu masuk ke bilik sebelah, bas dari subwoofer-nya bergetar keras, sampai-sampai trotoar berguncang.
"Chiron harus - suara berisik apa itu?" teriak Luke.
"Biar kubereskan!" Annabeth balas berteriak, tampak sangat lega karena punya alasan untuk keluar dari pandangan. "Grover, ayo!"
"Apa?" kata Grover. "Tapi -?"
"Berikan semprotan itu kepada Percy dan ayo!" perintahnya.
Grover menggerutu soal anak perempuan lebih sulit dipahami daripada sang Oracle di delphi, lalu dia menyerahkan semprotan kepadaku dan mengikuti Annabeth.
Aku menyesuaikan slang, supaya aku dapat mempertahankan pelangi sambil tetap bisa melihat Luke.
"Chiron harus melerai perkemahan," teriak Luke kepadaku mengatasi bunyi musik. "Keadaannya cukup tegang di sini, Percy. Kabar bocor tentang perselisihan Zeus-Poseidon. Kami masih belum tahu bagaimana caranya - mungkin bajingan yang memanggil anjing neraka itu. Sekarang pekemah mulai berpihak. Sepertinya bakal seperti Perang Troya lagi. Aphrodite, Ares, dan Apollo mendukung Poseidon, kurang-lebih. Athena mendukung Zeus.'
Aku menggigil, membayangkan pondok Clarisse akan memihak ayahku dalam hal apa pun. Di bilik sebelah, terdengar Annabeth dan seorang lelaki bertengkar, lalu volume musik mengecil secara drastis.
"Jadi, bagaimana status misimu?" Luke bertanya. "Chiron pasti menyesal, tak sempat mengobrol denganmu sekarang."
Aku menceritakan hampir semuanya, termasuk mimpiku. Senang sekali rasanya melihat dia, merasa seperti aku kembali di perkemahan meskipun hanya beberapa menit. Aku sampai tak merasa berapa lama aku berbicara sampai alarm berbunyi di mesin semprot. Kusadari aku hanya punya waktu satu menit sebelum air mati.
"Andai aku bisa di sana," kata Luke. "Sayang, kami tak bisa banyak membantu dari sini, tetapi dengar ... pasti Hades yang mencuri petir asali itu. Dia hadir di Olympus pada titik balik matahari musim dingin. Aku yang memandu karyawisata dan kami melihat dia." "Tapi kata Chiron, dewa tak bisa mengambil benda ajaib dewa lain secara langsung."
"Benar juga." kata Luke, tampak risau. "Tapi ... Hades punya helm kegelapan. Bagaimana mungkin orang lain bisa menyelinap ke ruang singgasana dan mencuri petir asali" Orangnya harus tidak kelihatan."
Kami berdua diam, sampai Luke tampaknya menyadari perkataannya.
"Eh," dia memprotes. "Maksudku bukan Annabeth. Dia dan aku sudah lama kenal. Dia tak mungkin ... Maksudku, dia sudah seperti adik bagiku."
Aku bertanya-tanya apakah Annabeth menyukai sebutan adik itu. Di bilik di sebelah kami, musik berhenti sama sekali. Seorang lelaki menjerit ketakutan, pintu-pintu mobil dibanting, dan mobil Lincoln itu keluar dari tempat cuci mobil.
"Sebaiknya kau periksa ada masalah apa itu," kata Luke. "Eh, kau memakai sepatu terbang itu, kan" Perasaanku lebih enak kalau aku tahu sepatu itu bermanfaat bagimu."
"Oh ... eh, iya!" Aku berusaha tidak terdengar seperti pembohong yang bersalah. "Ya, sepatunya bermanfaat."
"Benar?" Dia menyeringai. "Ukurannya pas?"
Airnya mati. Kabut mulai menguap.
"Jaga dirimu di Denver," kata Luke, suaranya semakin sayup. "Dan bilang pada Grover, kali ini akan lebih baik! Tak akan ada yang berubah menjadi pohon pinus asalkan dia-"
Tetapi, kabut itu hilang, dan bayangan Luke memudar hingga hilang. Aku berdiri sendirian di bilik cuci mobil yang kosong dan basah.
Annabeth dan Grover muncul dari tikungan sambil tertawa, tetapi berhenti ketika melihat wajahku. Senyum Annabeth memudar. "Apa yang terjadi, Percy" Apa kata Luke?"
"Nggak banyak," aku berbohong, perutku terasa sekosong pondok Tiga Besar.
"Ayo, kita cari makan."
* * * Beberapa menit kemudian kami sudah duduk di sebuah bilik di restoran krom yang berkilap. Di sekeliling kami, keluarga-keluarga menyantap burger dan minum susu, serta soda.
Akhirnya si pelayan datang. Dia mengangkat alis dengan skeptis.
"Bagaimana?" Kataku, "Kami, eh, mau memesan makanan." "Kalian anak-anak punya uang untuk membayar?"
Bibir bawah Grover gemetar. Aku khawatir dia akan mulai mengembik, atau lebih buruk lagi, mulai mengunyah linoleum. Annabeth kelihatannya sudah hampir pingsan kelaparan. Aku berusaha memikirkan kisah memelas untuk si pelayan, ketika suara gemuruh mengguncang seluruh bangunan; sebuah sepeda motor sebesar bayi gajah masuk ke tempat parkir.
Semua percakapan di restoran itu berhenti. Lampu depan motor itu menyala merah. Tangki gasnya dicat gambar api, dan sarung senapan dipasang di kedua sisi, lengkap dengan senapannya. Sadelnya terbuat dari kulit - tetapi kulit yang mirip ... yah, kulit manusia kulit putih.
Lelaki di atas motor itu bisa membuat para pegulat profesional kabur berlindung di ketiak ibu mereka. Dia memakai kaus merah tanpa lengan, jins hitam, dan jaket kulit hitam, sementara pisau berburu terikat pada pahanya. Dia mengenakan kacamata gaya warna merah, dan dia memiliki wajah paling brutal dan paling kejam yang pernah kulihat k tampan juga, barangkali, tapi jahat - dengan rambut krukat hitam berminyak dan pipi bercodet dari sangat banyak perkelahian. Anehnya, aku merasa pernah melihat wajahnya di suatu tempat.
Saat dia masuk ke restoran, angin kering dan panas bertiup ke semua tempat.
Semua orang bangkit, seolah-olah dihipnotis, tetapi si pengendara motor melambaikan tangan mengabaikan dan mereka semua duduk lagi. Semua orang kembali mengobrol. Si pelayan mengerjapkan mata, seolah-olah ada yang menekan tombol rewind di otaknya. Dia menanyai kami lagi, "Kalian anak-anak punya uang untuk membayarnya?"
Si pengendara motor berkata, "Aku yang bayar." Dia menyelinap masuk ke bilik kami, yang terlalu kecil baginya, dan mendesak Annabeth ke jendela.
Dia menatap si pelayan, yang terbeliak memandangnya, dan berkata, "Kau masih di sini?"
Dia menunjuk si pelayan, dan tubuh perempuan itu pun menjadi kaku. Dia berbalik seolah-olah tubuhnya diputar, lalu berderap kembali ke dapur.
Si pengendara motor menatapku. Aku tak bisa melihat matanya di balik kacamata merah, tetapi firasat buruk mulai bergolak di perutku. Amarah, benci, getir. Aku ingin menonjok tembok. Aku ingin mengajak orang berkelahi.
Memangnya orang ini pikir dia siapa"
Dia menyeringai jail kepadaku. "Jadi kau anak si Ganggang tua ya?"
Semestinya aku kaget, atau takut, tetapi aku malah merasa seolah-olah sedang menatap ayah tiriku, Gabe. Aku ingin mencabut kepala orang ini. "Memangnya apa urusanmu?"
Mata Annabeth memancarkan peringatan kepadaku. "Percy, ini -"
Si pengendara motor mengangkat tangan.
"Nggak apa-apa," katanya. "Aku nggak keberatan dengan sikap kurang ajar sedikit. Asalkan kau ingat siapa yang berkuasa di sini. Kau tahu siapa aku, Sepupu Cilik?"
Lalu, aku teringat mengapa orang ini tampak tak asing lagi. Dia memiliki seringai jahat yang sama dengan beberapa anak di Perkemahan Blaster, anak-anak yang berasal dari pondok lima.
"Kau ayah Clarisse," kataku. "Ares, Dewa Perang."
Ares menyeringai dan mencopot kacamatanya. Di tempat yang semestinya ditempati matanya, hanya ada api, lubang kosong yang menyala dengan ledakan-ledakan nuklir mini. "Benar, Anak Ingusan. Kudengar kau mematahkan tombak Clarisse."
"Dia yang mencari gara-gara."
"Mungkin. Keren juga. Aku tak mau mewakili anak-anakku berkelahi, kau tahu" Aku di sini karena - kudengar kau sedang di sini. Aku ada tawaran kecil untukmu.'
Si pelayan kembali membawa nampan berisi penuh tumpukan makanan - cheeseburger, kentang goreng, cincin bawang bombai, dan milkshake cokelat.
Ares memberikan beberapa drachma emas kepadanya.
Si pelayan menatap koin itu dengan gugup. "Tapi, ini bukan ..."
Ares menghunus sebilah belati besar dan mulai membersihkan kuku jari. "Ada masalah, Manis?"
Si pelayan menelan ludah, lalu pergi membawa emas itu.
"Kau tak boleh begitu," kataku kepada Ares. "Kau tak boleh mengancam orang dengan pisau begitu saja."
Ares tertawa. "Kau bercanda, ya" Aku suka negara ini. Tempat terbaik sejak Sparta. Kau tak bawa senjata, Bocah Ingusan" Mestinya bawa. Dunia ini berbahaya. Dan kembali lagi ke tawaranku. Aku perlu bantuanmu."
"Bantuan apa yang bisa kulakukan untuk seorang dewa?"
"Sesuatu yang tak sempat dikerjakan dewa seorang diri. Nggak susah kok. Aku meninggalkan perisaiku di taman air terbengkalai di kota ini. Tadi aku sedang ... berkencan dengan pacarku. Kami diganggu. Perisaiku tertinggal. Aku ingin kau mengambilkannya untukku."
"Kenapa tak kauambil sendiri saja?"
Api di lubang matanya menyala lebih panas.
"Kenapa nggak kuubah saja kau menjadi anjing padang rumput dan menggilasmu dengan Harleyku" Karena aku sedang malas saja. Seorang dewa sedang memberimu peluang untuk membuktikan diri, Percy Jackson. Apakah kau akan membuktikan bahwa kau pengecut"' Dia memajukan tubuh. "Atau mungkin kau cuma berani bertempur kalau bisa terjun ke sungai, supaya ayahmu bisa melindungimu?"
Aku ingin menonjok orang ini, tetapi entah bagaimana, aku tahu dia menantikan itu. Kekuatan Areslah yang menyebabkan amarahku. Dia senang kalau aku menyerang. Aku tak mau membuatnya puas.
"Kami nggak tertarik," kataku. "Kami sudah punya misi."
Mata berapi Ares membuatku melihat hal-hal yang tak ingin kulihat - darah dan asap dan mayat-mayat di arena peperangan. "Aku tahu persis soal misimu. Bocah. Saat barang itu pertama kali dicuri, Zeus mengutus bawahan terbaiknya untuk mencarinya: Apollo, Athena, Artemis, dan tentu saja aku. Kalau aku tak bisa mengendus senjata sekuat itu ...." Dia menjilat bibir, seolah-olah bayangan petir asali itu saja sudah membuatnya haus. "Nah ... kalau aku saja tak bica mencarinya, kau mana ada harapan. Meskipun begitu, aku berusaha membiarkanmu membuktikan diri. Aku dan ayahmu sudah lama berteman. Lagi pula, akulah yang memberi tahu dia tentang kecurigaanku soal si Napas Bangkai Tua itu."
"Kau yang memberi tahu dia bahwa Hades yang mencuri petir?"
"Tentu saja. Memfitnah orang untuk memicu perang. Tipuan lama. Aku langsung mengenalinya. Boleh dibilang, kau harus berterima kasih kepadaku atas misi itu."
"Trims," gerutuku.
"Hei, aku ini murah hati. Kau lakukan saja tugas kecil dariku ini, maka aku akan membantu perjalananmu. Aku akan mengurus tumpangan ke barat untukmu dan teman-temanmu."
"Kami baik-baik saja sendiri."
"Betul. Tak ada uang. Tak ada kendaraan. Tak punya gambaran soal apa yang kalian hadapi. Bantulah aku, mungkin aku bisa memberitahumu sesuatu yang perlu kalian ketahui. Sesuatu tentang ibumu."
"Ibuku?" Dia menyeringai. "Nah, begitu dong. Jadi, taman air itu satu setengah kilometer di sebelah barat Delancy. Tak mungkin terlewat. Cari wahana Terowongan Cinta."
"Apa yang mengganggu kencanmu?" tanyaku. "Ada yang membuatmu ketakutan?"
Ares memamerkan giginya, tetapi aku sudah pernah melihat tampang mengancam seperti itu pada wajah Clarisse. Ada yang palsu dalam tampang itu, hampir seolah-olah dia gugup.
"Kau beruntung bertemu denganku, Bocah, dan bukan para dewa Olympia yang lain. Mereka tidak terlalu toleran pada kekurangajaran seperti aku. Kita bertemu lagi di sini setelah kau selesai. Jangan kecewakan aku."
Setelah itu sepertinya aku pingsan, atau trance, karena saat aku membuka mata lagi, Ares sudah menghilang. Aku ingin saja menganggap percakapan itu cuma mimpi, tetapi air muka Annabeth dan Grover menyatakan itu bukan mimpi.
"Nggak bagus," kata Grover. "Ares mencarimu, Percy. Ini nggak bagus."
Aku menatap keluar jendela. Motor itu sudah menghilang.
Apakah Ares benar-benar tahu sesuatu tentang ibuku, atau dia cuma mempermainkanku saja" Sekarang, setelah dia pergi, seluruh amarah surut dari diriku. Aku menyadari bahwa Ares pasti senang mengacaukan emosi orang. Itulah kekuatannya - mendongkrak perasaan menjadi begitu buruk, sehingga mengaburkan kemampuan kita berpikir.
"Ini mungkin semacam jebakan," kataku. "Lupakan Ares. Kita pergi saja."
"Kita nggak bisa begitu," kata Annabeth. "Aku juga membenci Ares, sama seperti orang lain, tapi dewa nggak bisa diabaikan, kecuali kau ingin tertimpa nasib buruk. Dia nggak main-main soal mengubahmu menjadi binatang pengerat."
Aku menatap cheeseburger-ku, yang tiba-tiba tak terlalu lezat lagi. "Kenapa dia memerlukan kita?"
"Mungkin masalahnya perlu dipecahkan pakai otak," kata Annabeth. "Ares memiliki kekuatan. Cuma itu yang dia punya. Kekuatan pun kadang harus tunduk pada kearifan."
"Tapi, taman air ini ... tingkahnya hampir seperti dia ketakutan. Apa yang menyebabkan seorang dewa perang kabur seperti itu?"
Pendekar Pemabuk 3 Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah Petualangan Manusia Harimau 1
Kami berjabatan tangan. Luke menepuk kepala Grover di antara tanduknya, lalu memberi pelukan perpisahan kepada Annabeth, yang kelihatan seperti mau pingsan.
Setelah Luke pergi, kataku kepada Annabeth, "Kau terengah-engah."
"Siapa bilang?"
"Kau sengaja membiarkan bendera itu ditangkap olehnya, bukan olehmu, ya?"
"Ih ... kok aku mau-maunya pergi denganmu, Percy?"
Dia menuruni sisi bukit seberang dengan membanting kaki, menuju mobil SUV putih yang menunggu di bahu jalan. Argus mengikuti, sambil menggemerincingkan kunci mobil.
Aku memungut sepatu terbang itu dan tiba-tiba mendapat firasat buruk. Aku menoleh kepada Chiron. "Saya tak akan bisa menggunakan ini, ya?"
Dia menggeleng. "Luke berniat baik, Percy. Tetapi terbang ke udara ... itu tidak bijak untukmu."
Aku mengangguk, kecewa, tetapi lalu aku mendapat ide. "Hei, Grover. Kau mau benda ajaib?"
Matanya berbinar. "Aku?"
Tak lama kemudian, kami sudah mengikat tali sepatu di kaki palsu Grover, dan anak kambing terbang pertama di dunia siap diluncurkan.
"Maia!" teriaknya.
Dia lepas landas dengan baik, tetapi kemudian jatuh ke samping, sehingga ranselnya terseret di atas rumput. Sepatu bersayap itu terus melompat-lompat seperti kuda liar mungil.
"Berlatihlah," seru Chiron kepadanya. "Kau cuma perlu berlatih."
"Aaaaa!" Grover terbang miring menuruni bukit menuju van, seperti mesin pemotong rumput yang dirasuki setan.
Sebelum aku sempat mengikuti, Chiron menangkap lenganku. "Semestinya aku melatihmu lebih baik, Percy,' katanya. "Andai saja aku punya lebih banyak waktu. Hercules, Jason - mereka semua sempat berlatih lebih banyak."
"Nggak apa-apa. Saya cuma ingin-"
Aku menghentikan diri karena aku akan terdengar seperti anak manja. Aku ingin ayahku memberiku benda ajaib yang keren untuk membantu melaksanakan misi ini, sesuatu yang sebaik sepatu terbang Luke, atau topi tak kasat mata Annabeth.
"Aku ini payah," seru Chiron. "Aku tak mungkin membiarkanmu pergi tanpa ini."
Dia mengeluarkan sebuah pena dari saku jas, dan menyerahkannya kepadaku. Pena itu berupa bolpoin sekali-pakai biasa, bertinta hitam, yang tutupnya bisa dilepas. Mungkin harganya tiga puluh sen.
"Wah," kataku. "Makasih."
"Percy, itu hadiah dari ayahmu. Aku sudah bertahun-tahun menyimpannya, tanpa tahu kaulah yang kutunggu-tunggu. Tetapi ramalan itu sudah jelas bagiku sekarang. Kaulah orangnya."
Aku teringat pada karyawisata ke Museum Seni Metropolitan, saat aku memusnahkan Bu Dodds. Waktu itu Chiron melemparkan pena kepadaku, yang berubah menjadi pedang. Mungkinkah ini ..."
Aku mencopot tutupnya, dan pena itu semakin panjang dan berat di tanganku. Dalam setengah detik, aku memegang pedang perunggu bermata dua yang berkilauan, gagangnya berbalut kulit, dan gagang datarnya yang dihiasi jendul-jendul emas. Itulah senjata pertama yang benar-benar terasa seimbang di tanganku.
"Pedang ini memiliki sejarah panjang dan tragis yang tak perlu kita bahas," kata Chiron. "Namanya Anaklusmos."
"Riptide - Air Surut," aku menerjemahkan, kaget sendiri bahwa bahasa Yunani Kuno itu begitu mudah terpikir.
"Hanya gunakan untuk situasi darurat," kata Chiron, "dan hanya untuk melawan monster. Pahlawan tak boleh menyakiti manusia, kecuali benar-benar perlu tentu saja, tetapi pedang ini memang tak akan menyakiti mereka."
Aku menatap pedang yang sangat tajam itu. "Apa maksud Bapak, pedang gini tak bisa menyakiti manusia" Kenapa tak bisa?"
"Pedang ini terbuat dari perunggu surgawi. Ditempa oleh Cyclops, diperkeras di jantung Gunung Etna, didinginkan di Sungai Lethe. Pedang ini maut bagi monster, bagi makhluk apa pun dari Dunia Bawah, asalkan kau tidak terbunuh duluan. Tapi pedang itu melewati manusia seperti sebuah ilusi. Mereka memang tak cukup penting untuk dibunuh pedang itu. Dan harus kuperingatkan: sebagai setengah dewa, kau bisa dibunuh oleh senjata langit ataupun senjata biasa. Kau dua kali lebih terancam."
"Pengetahuan yang bermanfaat."
"Sekarang tutup lagi pena itu."
Aku menyentuhkan tutup pena itu pada ujung pedang dan Riptide langsung menyusut menjadi pena lagi. Kuselipkan ke saku dengan sedikit gugup, karena aku terkenal sering kehilangan pena di sekolah.
"Nggak mungkin," kata Chiron.
"Nggak mungkin apa"'"
"Kau kehilangan pena," katanya. "Pena itu sudah disihir. Akan selalu muncul lagi di sakumu. Coba saja."
Aku tak percaya, tetapi kulempar pena itu sejauh-jauhnya ke kaki bukit dan kulihat lenyap di antara rumput.
"Perlu waktu sebentar," kata Chiron. "Sekarang periksa sakumu."
Benar saja, pena itu ada di sana.
"Oke, yang ini keren banget," aku mengakui. "Tapi bagaimana kalau ada manusia yang melihatku menghunus pedang?"
Chiron tersenyum. "Kabut itu hal yang ampuh, Percy."
"Kabut?" "Ya. Bacalah Iliad. Buku itu sering menyebut Kabut. Setiap kali unsur-unsur dewa atau monster bercampur dengan dunia manusia, Kabut pun timbul, menghalangi pandangan manusia. Kau melihat segala sesuatu sebagaimana aslinya, karena kau blasteran, tetapi manusia menafsirkan situasi tersebut secara sangat berbeda. Sungguh, luar biasa upaya mereka untuk menyesuaikan segala sesuatu ke dalam versi realitas mereka."
Aku memasukkan Riptide kembali ke saku.
Untuk pertama kalinya, misi ini terasa nyata. Aku benar-benar akan meninggalkan Bukit Blasteran. Aku berangkat ke barat tanpa pengawasan orang dewasa, tanpa rencana cadangan, bahkan tanpa ponsel. Kata Chiron, ponsel dapat dilacak oleh monster; kalau kami memakai ponsel, itu lebih buruk daripada menembakkan peluru suar ke udara. Pedanglah senjata yang tersakti bagiku, untuk melawan monster maupun mencapai Negeri Orang Mati.
"Chiron ..." kataku. "Saat kau bilang dewa itu hidup abadi ... maksudku, ada masa sebelum mereka, bukan?"
"Sebenarnya ada empat zaman sebelum mereka. Zaman Titan adalah Zaman Keempat, kadang disebut Zaman Keemasan. Nama itu jelas tidak cocok dengan keadaan sebenarnya. Sekarang ini, zaman peradaban Barat dan kekuasaan Zeus, adalah Zaman Kelima."
"Jadi, seperti apa keadaannya dulu ... sebelum ada dewa?"
Chiron meruncingkan bibir. "Aku saja tidak cukup tua untuk mengingat itu, Nak, tapi aku tahu bahwa masa itu masa kegelapan dan kebiadaban bagi manusia. Kronos, sang penguasa bangsa Titan, menyebut masa kekuasaannya Zaman Keemasan karena manusia hidup tanpa dosa dan bebas dari semua pengetahuan. Tapi, itu hanya propaganda. Sang Raja Titan tak peduli sama sekali tentang bangsamu, kecuali sebagai makanan pembuka atau sumber hiburan murah. Barulah pada masa kekuasaan Raja Zeus, ketika Prometheus, si Titan yang baik, membawa api bagi umat manusia, spesiesmu mulai mengalami kemajuan. Pada masa itu pun Prometheus masih dicap sebagai pemikir radikal. Zeus menghukumnya dengan keras, barangkali kau masih ingat. Tentu saja, pada akhirnya para dewa menyayangi manusia, dan peradaban Barat pun terlahir."
"Tapi sekarang dewa tak bisa mati, kan" Maksudku, sepanjang peradaban Barat masih hidup, mereka juga hidup. Jadi ... sekalipun aku gagal, aku tak bakal menimbulkan peristiwa yang begitu buruk, sehingga mengacaukan semuanya kan?"
Chiron memberiku senyum pilu. "Tak ada yang tahu berapa lama Zaman Barat akan berlangsung, Percy. Para dewa hidup abadi, betul. Tapi bangsa Titan juga begitu. Mereka masih ada, dikurung dalam berbagai penjara, dipaksa mengalami nyeri dan hukuman tanpa akhir, kekuatannya berkurang, tetapi jelas masih hidup. Mudah-mudahan para dewa tidak mengalami nasib buruk seperti itu, atau bahwa kita tidak kembali ke kegelapan dan kekacauan masa silam. Yang dapat kita lakukan, Nak, adalah mengikuti takdir kita."
"Takdir kita ... itu kalau kita tahu apa takdirnya."
"Santai saja," kata Chiron. "Tetap berkepala dingin. Dan ingat, kau mungkin bisa mencegah perang terbesar dalam sejarah manusia."
"Santai"' kataku. "Aku sangat santai kok."
Saat sampai ke kaki bukit, aku menoleh ke belakang. Di bawah pohon pinus yang dulunya adalah Thalia, putri Zeus, Chiron kini berdiri dalam bentuk penuh manusia-kuda, memegang busur tinggi-tinggi sebagai tanda hormat. Hanya salam perpisahan perkemahan musim panas yang biasa dari centaurus biasa.
* * * Argus mengantar kami dari daerah pedesaan ke Long Island barat. Aneh rasanya berada di jalan raya lagi, sementara Annabeth dan Grover duduk di sebelahku seolah-olah kami penumpang mobil biasa. Setelah dua minggu di Bukit Blasteran, dunia nyata terasa seperti khayalan. Aku mendapati diriku menatap setiap McDonald's, setiap anak di belakang mobil orangtuanya, setiap papan iklan dan mal belanja.
"Sejauh ini lancar," kataku kepada Annabeth. "Lima belas kilometer, nggak ada monster satu pun."
Dia menatapku dengan kesal. "Omongan seperti itu membawa nasib buruk, tahu. Dasar otak ganggang."
"Coba ingatkan aku lagi - kenapa sih kau membenciku begitu?"
"Aku nggak benci kok."
"Masa?" Dia melipat topi tak kasat matanya.
"Dengar ... pokoknya kita sudah semestinya nggak rukun, oke" Orangtua kita kan bersaing."
"Kenapa?" Dia menghela napas. "Berapa alasan yang kau mau" Ibuku pernah memergoki Poseidon bersama pacarnya di kuil Athena. Tindakan Poseidon itu sangat melecehkan. Di lain waktu Athena dan Poseidon bersaing untuk menjadi dewa pelindung bagi kota Athena. Ayahmu menciptakan mata air asin konyol sebagai anugerahnya. Ibuku menciptakan pohon zaitun. Warga kota merasa bahwa hadiah ibuku lebih baik, jadi mereka menamakan kota itu menurut namanya."
"Wah, mereka doyan zaitun ya."
"Ah, lupakan saja!"
"Nah, kalau ibumu menciptakan pizza - itu aku bisa mengerti."
"Kataku, lupakan!"
Di kursi depan, Argus tersenyum. Dia tak berkata apa-apa, tetapi satu mata biru di tengkuknya berkedip kepadaku.
Lalu lintas memperlambat mobil kami di Queens. Saat kami masuk ke Manhattan, matahari sedang terbenam dan hujan mulai turun.
Argus mengantar kami di Stasiun Bus Greyhound di Upper East Side, tak jauh dari apartemen ibuku dan Gabe. Pada sebuah kotak pos tertempel selebaran basah yang menampilkan fotoku: PERNAHKAN ANDA MELIHAT ANAK INI"
Kurobek selebaran sebelum Annabeth dan Grover sempat memerhatikan.
Argus menurunkan ransel-ransel kami, memastikan kami mendapat karcis, lalu melaju pergi. Mata di belakang tangannya terbuka untuk mengamati kami sementara dia keluar dari tempat parkir.
Aku memikirkan betapa dekatnya aku dengan apartemen lamaku. Pada hari biasa, ibuku tentu sudah pulang dari toko permen sekarang. Gabe si Bau mungkin sedang berada di sana sekarang, bermain poker, bahkan tak merindukan ibuku.
Grover menyandang ranselnya. Dia memandang ke arah jalan yang kulihat.
"Kau ingin tahu kenapa ibumu menikahinya, Percy?"
Aku menatapnya. "Kau bisa membaca pikiranku, atau apa?"
"Cuma emosimu." Dia mengangkat bahu. "Kayaknya aku lupa menceritakan bahwa satir bisa melakukan itu. Kau memikirkan ibumu dan ayah tirimu, kan?"
Aku mengangguk, sambil bertanya-tanya hal apa lagi yang Grover lupa menceritakan kepadaku.
"Ibumu menikahi Gabe demi kau," Grover memberi tahu. "Kau menjulukinya si 'Bau', tapi kau tak menyadari betapa baunya dia sebenarnya. Dia punya semacam aura ... Ih. Baunya bisa kuendus dari sini. Aku bisa mencium sisa baunya pada tubuhmu, padahal kau belum pernah dekat-dekat dia lagi seminggu ini."
"Trims," kataku. "Di mana kamar mandi terdekat?"
"Kau semestinya berterima kasih, Percy. Ayah tirimu memiliki bau yang begitu manusia dan menjijikkan, sehingga dia bisa menutupi kehadiran setengah-dewa mana pun. Begitu aku mencium bau bagian dalam Camaronya, aku langsung sadar: Gabe sudah bertahun-tahun menutupi baumu. Andai kau tak tinggal bersamanya pada musim panas, kau mungkin sudah lama ditemukan oleh monster. Ibumu bertahan dalam pernikahannya dengan Gabe untuk melindungimu. Dia perempuan yang cerdas. Dia pasti sangat mencintaimu, sampai rela bertahan dengan lelaki itu - barangkali itu bisa menghiburmu."
Sebenarnya tidak menghibur, tetapi aku memaksa diri agar tidak menunjukkannya. Aku akan bertemu dengan ibuku lagi, pikirku. Dia belum tiada.
Aku bertanya-tanya apakah Grover masih bisa membaca emosiku, yang begitu campur-aduk. Aku senang dia dan Annabeth menemaniku, tetapi aku merasa bersalah karena tidak jujur kepada mereka. Aku belum memberi tahu mereka alasan sebenarnya aku menerima misi gila ini.
Sejujurnya, aku tidak peduli soal mengambil petir Zeus, atau menyelamatkan dunia, atau bahkan membantu ayahku dalam masalah ini. Semakin kupikirkan, aku makin membenci Poseidon karena tak pernah mengunjungiku, tak pernah membantu ibuku, bahkan tak pernah mengirim cek tunjangan anak sekalipun. Dia cuma mengakuiku karena dia perlu tugas ini diselesaikan.
Yang kupedulikan hanya ibuku. Hades telah merenggutnya secara tidak adil, dan Hades akan mengembalikannya.
Kau akan dikhianati oleh orang yang menyebutmu teman, bisik Oracle dalam benakku. Dan pada akhirnya kau akan gagal menyelamatkan yang terpenting.
Diam, kataku. * * * Hujan terus turun. Kami menunggu bus datang dengan gelisah. Akhirnya, kami memutuskan bermain sepak takraw dengan salah satu apel Grover. Annabeth hebat. Dia dapat memantulkan apel itu di lututnya, sikunya, bahunya, apa pun. Aku juga tak terlalu jelek.
Permainan itu berakhir ketika aku melontarkan apel itu ke Grover dan buah itu melintas terlalu dekat dengan mulutnya. Dalam satu gigitan raksasa ala kambing, takraw kami pun habis - biji, tangkai, semuanya.
Grover memerah. Dia berusaha meminta maaf, tetapi aku dan Annabeth terlalu sibuk terpingkal-pingkal.
Akhirnya bus itu datang. Sementara kami mengantre untuk naik, Grover mulai memandang ke sekeliling, mengendus-endus udara seperti dia mencium makanan kantin sekolah kesukaannya - enchilada.
"Ada apa?" tanyaku.
"Nggak tahu," katanya tegang. "Mungkin bukan apa-apa."
Tapi aku bisa lihat, ada sesuatu. Aku juga mulai menoleh ke sana kemari.
Aku merasa lega ketika kami akhirnya naik dan menemukan tempat duduk berdampingan di bagian belakang bus. Kami menyimpan ransel. Annabeth terus menepuk-nepukkan topi Yankees-nya pada paha dengan gugup.
Saat penumpang terakhir naik, Annabeth mencengkeram lututku. "Percy."
Seorang nenek tua baru saja naik bus. Dia mengenakan gaun beledu kusut, sarung tangan renda, dan topi rajut jingga tak berbentuk yang menutupi wajahnya, dan dia menenteng tas wol besar. Saat dia mengangkat kepala, mata hitamnya berbinar-binar, dan jantungku melompat.
Itu Bu Dodds. Lebih tua, lebih keriput, tetapi jelas wajah jahat yang sama.
Aku merengket di kursi. Di belakangnya menyusul dua lagi nenek tua: seorang bertopi hijau, seorang bertopi ungu. Selain itu, mereka persis seperti Bu Dodds - tangan keriput, tas wol, dan gaun beledu kusut yang sama. Nenek setan kembar tiga.
Mereka duduk di baris depan, tepat di belakang sopir. Kedua nenek di dekat lorong menyilangkan kaki mereka di atas lantai, membentuk huruf X. Gerakan itu dilakukan cukup santai, tetapi mengirim pesan yang jelas: tak ada yang boleh turun dari bus.
Bus keluar dari stasiun, dan kami melaju di jalan-jalan licin Manhattan. "Dia mati nggak terlalu lama," kataku, berusaha mencegah suaraku gemetar.
"Bukannya kau bilang, mereka terusir seumur hidupku?"
"Kataku, kalau kau beruntung"' kata Annabeth. "Jelas kau lagi sial."
"Ketiga-tiganya," rengek Grover. "Di immortales! "
"Nggak apa-apa," kata Annabeth, jelas sedang berpikir keras. "Erinyes. Ketiga monster terburuk dari Dunia Bawah. Bukan masalah. Bukan masalah. Kita menyelinap keluar dari jendela saja."
"Tapi ini jenis jendela yang nggak bisa dibuka," erang Grover.
"Pintu belakang?" usul Annabeth.
Tak ada pintu belakang. Andaipun ada, pasti tak bisa membantu. Saat itu kami sudah berada di Ninth Avenue, menuju Terowongan Lincoln.
"Mereka nggak akan menyerang kita kalau ada saksi." kataku. "Iya kan?"
"Mata manusia nggak bagus," Annabeth mengingatkan. "Otak mereka hanya bisa memproses yang mereka lihat melalui Kabut."
"Mereka akan melihat tiga orang nenek membunuh kita, kan?"
Dia memikirkannya. "Nggak tahu juga. Tapi, kita nggak bisa mengandalkan bantuan manusia. Mungkin pintu darurat di atap ...?"
Kami memasuki Terowongan Lincoln, dan bus itu menjadi gelap, kecuali deretan lampu di lantai lorong. Suasana sunyi menyeramkan, tanpa bunyi hujan.
Bu Dodds bangkit. Dengan suara datar, seolah sudah dilatih, dia menyatakan kepada seluruh bus. "Aku perlu ke kamar kecil."
"Aku juga," kata si saudari kedua.
"Aku juga," kata si saudari ketiga.
Mereka semua mulai menyusuri lorong.
"Aku punya rencana," kata Annabeth. "Percy, ambil topiku."
"Apa?" "Kaulah yang mereka inginkan. Jadilah kasat mata dan jalan ke depan. Biarkan mereka melewatimu. Mungkin kau bisa sampai ke depan dan kabur."
"Tapi kalian-" "Kecil kemungkinan mereka memerhatikan kami," kata Annabeth. "Kau anak salah satu Tiga Besar. Baumu mungkin terlalu kuat."
"Masa kalian kutinggalkan begitu?"
"Jangan khawatir soal kami," kata Grover. "Ayo!"
Tangaku gemetar. Aku merasa seperti pengecut, tetapi kuambil topi Yankees itu dan kukenakan.
Ketika aku melihat ke bawah, tubuhku sudah tidak kelihatan.
Aku mulai mengendap-endap di lorong. Aku berhasil maju sepuluh baris, lalu masuk ke kursi kosong saat ketiga Erinyes lewat.
Bu Dodds berhenti, mengendus-endus, dan menatap lurus-lurus kepadaku.
Jantungku berdebar-debar.
Rupanya dia tidak melihat apa-apa. Dia dan saudari-saudarinya terus berjalan.
Aku bebas. Aku berhasil sampai ke bagian depan bus. Sekarang kami sudah hampir keluar dari Terowongan Lincoln. Aku baru saja hendak menekan tombol rem darurat, ketika terdengar lolongan mengerikan dari baris belakang.
Ketiga nenek itu bukan nenek-nenek lagi. Wajah mereka masih sama - rupanya tak bisa lebih buruk dari itu - tetapi tubuh mereka telah menciut menjadi tubuh cokelat berkulit yang bersayap kelelawar dan bertangan-kaki seperti cakar gargoyle. Tas mereka berubah menjadi cambuk berapi.
Ketiga Erinyes mengepung Grover dan Annabeth, melecut-lecutkan cambuk, mendesis: "Di mana itu" Di mana?"
Orang-orang lain di bus menjerit-jerit, merengket di kursi masing-masing.
Mereka jelas melihat sesuatu.
"Dia nggak di sini!" teriak Annabeth. "Dia pergi!"
Ketiga Erinyes mengangkat cambuk.
Annabeth menghunus pisau perunggunya. Grover menyambar kaleng timah dari tas kudapannya dan bersiap-siap melemparkannya.
Yang kulakukan berikutnya begitu impulsif dan berbahaya, aku semestinya dinamai duta GPPH terbaik tahun itu.
Perhatian si sopir bus terpecah, berusaha melihat apa yang terjadi di kaca spion.
Masih dalam keadaan tak terlihat, aku menyambar kemudi darinya dan menyentakkannya ke kiri. Semua orang melolong saat terlontar ke kanan, dan terdengar suatu bunyi, yang kuharap adalah bunyi ketiga Erinyes terbanting ke jendela
"Hei!" seru si sopir. "Hei - wah!"
Kami bergulat memperebutkan kemudi. Bus itu menghantam sisi terowongan, logam bergesekan, menyemburkan bunga api sejauh satu kilometer di belakang kami.
Kami keluar dari Terowongan Lincoln dengan oleng dan kembali memasuki badai hujan. Baik orang maupun monster terlontar-lontar di dalam bus. Mobil-mobil lain tergilas ke samping seperti pin boling.
Entah bagaimana, si sopir menemukan jalan keluar. Kami keluar dari jalan bebas hambatan, melewati setengah lusin lampu merah, dan akhirnya meluncur di salah satu jalan pedesaan New Jersey. Daerahnya begitu kosong, kau tentu heran bagaimana bisa ada kehampaan begitu luas di seberang sungai dari New York. Di sebelah kiri ada hutan, di sebelah kanan ada Sungai Hudson, dan si sopir tampaknya membelok ke arah sungai.
Gagasan hebat berikutnya: Aku menginjak rem darurat.
Bus itu melolong, berputar satu lingkaran penuh pada aspal basah, dan menabrak pepohonan. Lampu darurat menyala. Pintu itu terbanting terbuka. Si sopir bus adalah orang pertama yang keluar, penumpang menghambur mengikutinya sambil menjerit-jerit. Aku menyamping ke kursi sopir dan membiarkan mereka lewat.
Ketiga Erinyes berhasil berdiri tegak kembali. Mereka melecutkan cambuk pada Annabeth. Anak itu mengayunkan pisau dan berteriak dalam bahasa Yunani Kuno, menyuruh mereka mundur. Grover melemparkan kaleng-kaleng timah.
Aku melihat ke pintu terbuka. Aku bisa kabur, tetapi aku tak bisa meninggalkan teman-temanku. Aku mencopot topi halimunan. "Hei!Ketiga Erinyes menoleh, memperlihatkan taring kuning, dan tiba-tiba aku merasa kayaknya kabur itu ide yang bagus juga. Bu Dodds merangsek menyusuri lorong, seperti yang dulu sering dilakukannya di kelas, untuk menyerahkan hasil ujian matematikaku yang bernilai F-. Setiap kali dia melecutkan cambuk, lidah api merah menari-nari di sepanjang kulit berduri itu.
Kedua saudarinya yang jelek itu melompat ke atas kursi di samping kiri-kanan dan merayap ke arahku seperti dua kadal raksasa yang jelek.
"Perseus Jackson," kata Bu Dodds, dengan aksen yang jelas berasal dari suatu tempat yang jauh lebih selatan daripada negara bagian Georgia. "Kau telah menyinggung perasaan para dewa. Kau akan mati."
"Aku lebih suka waktu kau menjadi guru matematika," kataku.
Dia menggeram. Annabeth dan Grover bergerak di belakang ketiga Erinyes dengan hati-hati, mencari peluang menyerang.
Aku mengambil pena dari saku dan membuka tutupnya. Riptide memanjang menjadi pedang bermata dua yang berkilap-kilap.
Ketiga Erinyes ragu. Bu Dodds sudah pernah merasakan pedang Riptide. Dia jelas tidak senang melihatnya lagi.
"Menyerahlah sekarang," desisnya. "Supaya kau tak akan menderita siksa abadi."
"Enak saja," kataku.
"Percy, awas!" seru Annabeth.
Bu Dodds melecutkan cambuk sehingga melingkari tanganku yang memegang pedang, sementara Erinyes di kedua sisiku menerkamku.
Tanganku terasa dibungkus lelehan timah panas, tetapi aku berhasil mempertahankan Riptide. Aku menyodok Erinyes di sebelah kiri dengan gagang pedang, membuatnya terjengkang di kursi. Aku berbalik dan menyabet Erinyes di sebelah kanan. Begitu pedang mengenai lehernya, dia menjerit dan meledak menjadi debu.
Annabeth memeluk Bu Dodds dari belakang dan menyentakkannya ke belakang sementara Grover merebut cambuk dari tangannya.
"Aduh!" jerit Grover. "Aduh! Panas! Panas!"
Erinyes yang kutonjok dengan gagang tadi menyerangku lagi, dengan cakar siap-siaga, tetapi aku mengayunkan Riptide dan dia pecah seperti pinata.
Bu Dodds berusaha melepaskan diri dari Annabeth di punggungnya. Dia menendang, mencakar, mendesis, dan menggigit. Tetapi, Annabeth terus bertahan sementara Grover mengikat kaki Bu Dodds dengan cambuknya sendiri. Akhirnya mereka mendorongya mundur ke lorong. Bu Dodds berusaha bangkit, tetapi tak ada ruang untuk mengepakkan sayap kelelawarnya, jadi dia terus terjatuh-jatuh.
"Zeus akan menghancurkanmu!" janjinya. "Hades akan menggenggam jiwamu!"
"Braccas meas vescimini! " teriakku.
Aku tak tahu dari mana asalnya bahasa Latin itu. Kayaknya artinya adalah 'Rasakan!'
Guntur mengguncang bus. Bulu kudukku berdiri.
"Keluar!" teriak Annabeth kepadaku "Sekarang!"
Aku tak perlu disuruh dua kali.
Kami bergegas keluar dan menemukan penumpang lain mondar-mandir dengan bingung, bertengkar dengan sopir, atau berlari berputar-putar sambil berteriak, "Kita akan mati!" Seorang wisatawan berkemeja Hawaii yang membawa kamera mengambil fotoku sebelum aku sempat menutup pedang.
"Tas kita!" Grover menyadari. "Tas kita tertinggal -"
BLAAAAAAM! Jendela bus meledak sementara penumpang berlari untuk berlindung. Petir mengoyakkan kawah besar di atap, tetapi lolongan marah dari dalam menandakan bahwa Bu Dodds belum mati.
"Lari!" kata Annabeth. "Dia memanggil bala bantuan! Kita harus pergi dari sini!"
Kami masuk ke dalam hutan sementara hujan turun deras, bus terbakar di belakang kami, dan hanya kegelapan yang tampak di depan kami.
11. Kami Mengunjungi Pusat BelanjaTaman Patung
Dalam satu segi, enak rasanya mengetahui bahwa dewa-dewa Yunani itu ada, karena ada yang bisa disalahkan kalau terjadi masalah. Misalnya, kalau kita sedang berjalan menjauhi sebuah bus yang baru saja diserang oleh nenek monster dan diledakkan oleh petir, ditambah lagi hujan turun, sebagian besar orang mungkin bahwa itu hanya nasib sial; kalau kita anak blasteran, kita mengerti bahwa ada suatu kekuatan dewata yang memang berusaha merusak harimu.
Jadi, begitulah kami, aku dan Annabeth dan Grover, berjalan di hutan di sepanjang tepi sungai New Jersey, pendar Kota New York menjadikan langit malam berwarna kuning di belakang kami, dan bau Sungai Hudson busuk menusuk hidung.
Grover menggigil dan mengembik, sangat ketakutan, mata kambingnya yang besar berubah menjadi berpupil pilih. "Tiga si Baik. Ketiga-tiganya sekaligus."
Aku sendiri cukup syok. Ledakan jendela bus masih terngiang-ngiang di telingaku. Tapi Annabeth terus menarik kami maju, berkata "Ayo! Semakin jauh kita, semakin baik."
"Semua uang kita ada di sana," kuingatkan dia. "Makanan dan pakaian kita. Semuanya."
"Yah, mungkin kalau kau tidak memutuskan untuk terjun ke pertempuran-"
"Kau ingin aku bagaimana" Membiarkan kalian terbunuh?"
"Aku nggak perlu kaulindungi, Percy. Tanpamu turun tangan, aku pasti baik-baik saja."
"Diiris seperti roti lapis," celetuk Grover, "tapi baik-baik saja."
"Tutup mulut, Bocah Kambing," kata Annabeth.
Grover mengembik sedih. "Kaleng timah ... sekantong kaleng timah yang enak."
Kami berkecipak-kecipuk di tanah becek, menembus pepohonan yang berpuntir-puntir jelek yang baunya seperti rendaman pakaian kelamaan.
Setelah beberapa menit, Annabeth menjajariku.
"Dengar, aku ...." Suaranya menghilang. "Aku berterima kasih, kau kembali untuk menyelamatkan kami lagi, oke" Tindakanmu sangat pemberani."
"Kita satu tim, kan?"
Dia diam selama beberapa langkah lagi.
"Hanya saja, kalau kau mati ... selain pasti nggak enak buatmu, itu berarti misi ini berakhir. Ini mungkin satu-satunya peluangku melihat dunia nyata."
Badai guntur akhirnya berhenti. Pendar kota memudar di belakang kami, sehingga kami berada dalam kegelapan yang hampir gulita. Aku tak bisa melihat Annabeth sama sekali, selain kilau rambut pirangnya.
"Kau belum pernah meninggalkan Perkemahan Blasteran sejak umur tujuh tahun?" tanyaku.
"Belum ... hanya untuk karyawisata pendek. Ayahku -"
"Dosen sejarah itu."
"Ya. Tinggal di rumah ternyata nggak cocok buatku. Maksudku, Perkemahan Blasteran itulah rumahku." Kata-katanya berhamburan keluar sekarang, seolah-olah dia takut dihentikan orang. "Di perkemahan, kita terus-menerus berlatih. Dan itu memang keren, tetapi monster itu berada di dunia nyata. Di dunia nyata kita tahu apakah kita memang lihai atau tidak."
Andai aku tidak mengenalnya, aku berani sumpah aku bisa mendengar keraguan dalam suaranya.
"Kau cukup lihai menggunakan pisau," kataku.
"Benarkah?" "Siapa pun yang bisa main kuda-kudaan dengan Erinyes, menurutku cukup lihai."
Aku tak bisa melihat dengan jelas, tetapi kurasa dia mungkin tersenyum.
"Kau tahu," katanya, "mungkin sebaiknya kukatakan ... Ada yang aneh di bus tadi ..."
Apa pun yang ingin dikatakannya tersela oleh tut-tut-tut melengking, seperti bunyi burung hantu yang disiksa.
"Hei, sulingku nggak rusak," seru Grover. "Kalau aku bisa ingat lagu 'cari jalan', kita bisa keluar dari hutan ini!"
Dia meniupkan beberapa nada, tetapi lagunya tetap saja terdengar mirip lagu Hilary Duff.
Bukannya menemukan jalan, aku malah langsung menabrak pohon dan kepalaku benjol lumayan besar.
Tambah satu lagi daftar kekuatan super yang nggak kumiliki: penglihatan inframerah.
Setelah tersandung dan mengumpat dan pokoknya merasa sengsara setelah sekitar dua kilometer kemudian, aku mulai melihat cahaya di depan: warna-warni plang neon. Tercium bau makanan. Makanan goreng, berminyak, lezat. Kusadari bahwa aku belum pernah makan makanan sehat apa pun sejak aku tiba di Bukit Blasteran. Di sana kami hanya makan anggur, roti, keju, dan daging panggang tanpa lemak yang disiapkan oleh bangsa peri. Anak ini perlu burger keju daging dobel.
Kami terus berjalan sampai terlihat jalan dua jalur terbengkalai di antara pepohonan. Di seberangnya terdapat pompa bensin yang sudah tutup, papan iklan koyak untuk film 1990-an, dan satu toko yang buka, sumber lampu neon dan bau lezat itu.
Bukan restoran siap-saji seperti yang kuharapkan. Toko itu jenis toko barang aneh yang sering ada di tepi jalan, yang menjual patung flamingo untuk hiasan halaman, orang Indian kayu, beruang dari semen, dan barang-barang seperti itu.
Gedung utamanya berupa gudang rendah yang panjang, dikelilingi berhektare-hektare patung. Aku tak mungkin bisa membaca tanda neon di atas gerbang. Bagi disleksiaku, bahasa Inggris biasa saja sudah susah dibaca, apalagi bahasa Inggris dalam lampu neon merah yang melingkar-lingkar.
Bagiku, tanda neon itu sepertinya berbunyi: PTSUA BIALNEA TMANA PTUANG BBII ME.
"Tulisan apa sih itu?" tanyaku.
"Nggak tahu," kata Annabeth.
Dia begitu senang membaca, aku lupa bahwa dia juga disleksia.
Grover menerjemahkan: "Pusat Belanja Taman Patung Bibi Em."
Di kedua sisi pintu masuk, seperti yang diiklankan, ada dua patu jembalang dari semen, berbentuk orang cebol berjenggot yang jelek, tersenyum dan melambai-lambai, seolah-olah mereka akan difoto.
Aku menyeberangi jalan, mengikuti bau hamburger.
"'Hei ..." Grover memperingatkan.
"Lampu di dalamnya menyala," kata Annabeth. "Mungkin toko itu buka."
"Toko camilan," kataku penuh harap.
"Toko camilan," dia setuju.
"Kalian berdua sudah gila?" kata Grover. "Tempat ini aneh."
Kami tak menghiraukannya.
Halaman depannya seperti hutan patung: hewan semen, anak semen, bahkan satir semen bermain suling, yang membuat Grover bergidik.
"Mbeek!" embiknya. "Mirip Paman Ferdinand!"
Kami berhenti di pintu gudang.
"Jangan diketuk," mohon Grover. "Aku mencium bau monster."
"Hidungmu tersumbat gara-gara Erinyes," kata Annabeth. "Aku cuma mencium burger. Kau nggak lapar?"
"Daging!" katanya sebal. "Aku vegetarian, tahu."
"Kau kan makan enchilada keju dan kaleng aluminium juga," aku mengingatkan.
"Itu juga sayuran. Ayo. Kita pergi. Patung-patung ini ... menatapku."
Lalu pintu itu berderit terbuka, dan di depan kami berdiri seorang perempuan Timur Tengah yang bertubuh jangkung - setidaknya, aku menduga dia orang Timur Tengah, karena dia mengenakan gaun hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh kecuali tangan, dan kepalanya tertutup sama sekali. Matanya berkilat-kilat di balik cadar kain kasa hitam, tetapi cuma itu yang bisa kulihat.
Tangannya yang sewarna kopi itu tampak tua, tetapi terawat baik dan anggun, jadi kubayangkan dia seorang nenek yang dulunya wanita cantik.
Aksennya juga terdengar samar-samar Timur Tengah. Katanya, "Anak-anak, sudah terlalu larut untuk sendirian keluar. Di mana orangtuamu?"
"Mereka ... eh ..." Annabeth mulai berkata.
"Kami yatim-piatu," kataku.
"Yatim piatu?" kata perempuan itu. Kata itu terdengar asing di mulutnya.
"Ah, anak-anakku! Benarkah?"
Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami terpisah dari karavan kami," kataku. "Karavan sirkus. Pemimpin sirkus menyuruh kami menemuinya di pom bensin kalau kami tersesat, tapi mungkin dia lupa, atau mungkin yang dia maksud itu pom bensin yang lain. Yang pasti, kami tersesat. Apa yang tercium itu bau makanan?"
"Oh, anak-anakku," kata perempuan itu. "Kalian harus masuk, anak-anak malang. Aku Bibi Em. Langsung saja masuk terus ke bagian belakang gudang, silakan. Ada tempat makan."
Kami mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam.
Annabeth bergumam kepadaku, .Karavan sirkus?"
"Harus selalu punya strategi, kan?"
"Kepalamu penuh ganggang."
Gudang itu juga dipenuhi patung - orang dalam berbagai pose, mengenakan pakaian berbeda-beda dan raut wajah yang berbeda-beda. Aku berpikir, kalau ingin dihiasi dengan salah satu patung ini, tamannya tentu harus berukuran besar karena semua patung ini berukuran seperti orang atau hewan sungguhan. Tapi, terutama aku berpikir tentang makanan.
Ya, silakan, sebut saja aku tolol, sembarangan memasuki toko seorang perempuan aneh seperti itu hanya karena aku lapar, tapi kadang-kadang aku impulsif. Lagi pula, kau belum pernah mencium bau burger Bibi em. Aromanya seperti gas tertawa di kursi dokter gigi - mengusir segala hal lain. Aku hampir tak memerhatikan rengekan gugup Grover, atau bahwa mata patung-patung itu tampaknya mengikutiku, atau kenyataan bahwa Bibi Em mengunci pintu di belakang kami.
Aku cuma peduli soal mencari daerah makan. Dan benar saja, daerah itu ada di bagian belakang gudang, gerai cepat saji yang dilengkapi panggangan, air mancur soda, penghangat kue, dan wadah keju nacho. Segala sesuatu yang kau idamkan, plus beberapa meja piknik besi di depan.
"Silakan duduk," kata Bibi Em.
"Asyik," kataku.
"Eh," kata Grover enggan, "kami nggak punya uang, Bu."
Sebelum aku sempat menyikut tulang iganya, kata Bibi Em, "Tidak, tidak, anak-anak. Tak perlu uang. Ini kasus khusus, ya" Kutraktir, untuk anak-anak yatim piatu yang baik."
"Terima kasih, Bu," kata Annabeth.
Tubuh Bibi Em menjadi kaku, seolah-olah Annabeth berbuat salah, tetapi tubuhnya santai lagi sama cepatnya, jadi kusimpulkan itu hanya khayalanku saja.
"Tak apa-apa, Annabeth," katanya. "Mata abu-abumu indah sekali, Nak."
Baru belakangan aku bertanya-tanya bagaimana dia tahu nama Annabeth, padahal kami belum memperkenalkan diri.
Sang nyonya rumah menghilang di balik meja camilan, dan mulai memasak.
Tahu-tahu saja dia membawakan kami nampan plastik yang berisi burger keju dua daging, milkshake vanili, dan porsi kentang goreng ukuran XXL.
Burgerku sudah habis setengah saat aku ingat bahwa aku harus bernapas.
Annabeth menyeruput milkshake.
Grover memain-mainkan kentang goreng, dan melirik kertas nampan berlilin seolah-olah dia ingin makan itu, tetapi dia tampak terlalu gugup untuk makan.
"Bunyi desis apa itu?" tanyanya.
Aku memasang telinga, tetapi tak mendengar apa-apa. Annabeth menggeleng.
"Desis?" tanya Bibi Em. "Mungkin minyak goreng. Telingamu tajam, Grover."
"Aku makan vitamin. Supaya telinga sehat."
"Bagus sekali," katanya. "Tapi, santailah."
Bibi Em tidak makan apa-apa. Dia tidak mencopot tutup kepalanya, bahkan saat memasak. Sekarang dia memajukan tubuh dan menjalin jemarinya dan mengamati kami makan. Rasanya rikuh juga, ditatap orang yang wajahnya tak bisa kulihat. Tetapi, aku kenyang setelah makan burger, dan agak mengantuk.
Pikirku, sepatutnya paling sedikit aku harus berusaha berbasa-basi dengan sang nyonya rumah.
"Jadi, Ibu menjual patung jembalang," kataku, berusaha terdengar berminat.
"Benar," kata Bibi Em. "Dan hewan. Dan orang. Apa pun untuk taman. Pesanan khusus. Perpatungan sangat populer lho."
"Banyak pembeli di jalan ini?"
"Tidak terlalu banyak. Sejak jalan raya dibangun ... sebagian besar mobil jadi jarang lewat sini lagi. Aku harus menghargai setiap pelanggan yang datang."
Leherku kesemutan, seolah-olah ada orang lain yang menatapku. Aku berbalik, tetapi hanya ada patung anak perempuan yang membawa keranjang Paskah. Detailnya luar biasa, jauh lebih baik daripada patung taman pada umumnya. Tapi, ada yang aneh pada wajahnya. Kelihatannya dia terkejut, atau bahkan takut.
"Ah," kata Bibi Em sedih. "Kau memerhatikan bahwa sebagian patung buatanku tidak bagus. Ada cacatnya. Tak ada yang mau membeli patung seperti itu. Wajah yang paling sulit dibuat bagus. Selalu wajahnya."
"Bibi membuat patung sendiri?" tanyaku.
"Tentu. Dulu aku punya dua saudari yang membantu dalam usaha ini, tetapi mereka sudah meninggal, dan Bibi Em sendirian saja. Aku hanya punya patung. Itu sebabnya aku membuatnya. Mereka menemaniku." Kesedihan dalam suaranya terdengar begitu dalam dan nyata, sehingga mau tak mau aku merasa kasihan padanya.
Annabeth berhenti makan. Dia memajukan tubuh dan berkata, "Dua saudari?"
"Kisah yang menyedihkan," kata Bibi Em. "Sebenarnya tidak cocok untuk anak-anak. Begini, Annabeth, ada perempuan jahat yang cemburu padaku, dulu sekali, sewaktu aku masih muda. Aku punya ... pacar, begitu, dan perempuan jahat itu bertekad memisahkan kami. Dia menyebabkan terjadinya kecelakaan parah. Saudari-saudariku terus menemaniku. Mereka berbagi nasib buruk denganku selama mungkin, tetapi pada akhirnya mereka pergi. Mereka memudar.'Aku sendiri yang bertahan, tetapi aku harus membayar harganya. Harga yang tinggi."
Aku tak tahu apa yang dia maksud, tetapi aku iba padanya. Kelopak mataku semakin berat, perutku yang kenyang membuatku mengantuk. Nenek malang. Siapa yang tega menyakiti orang yang begitu baik hati"
"Percy?" Annabeth mengguncang tubuhku untuk menarik perhatianku.
"Mungkin sebaiknya kita pergi. Maksudku, kepala sirkus pasti menunggu kita."
Dia terdengar tegang. Aku tak tahu kenapa. Grover sedang makan kertas berlilin dari nampan, tetapi jika Bibi Em merasa itu aneh, dia tidak berkomentar apa-apa.
"Mata abu-abu yang begitu cantik," kata Bibi Em kepada Annabeth lagi. "Ya, sudah lama aku tidak melihat mata kelabu seperti itu."
Dia mengulurkan tangan seolah-olah ingin membelai pipi Annabeth, tetapi gadis itu tiba-tiba berdiri.
"Kami benar-benar harus pergi."
"Ya!" Grover menelan kertas berlilin dan berdiri. "Kepala sirkus menunggu! Benar!"
Aku tak ingin pergi. Aku merasa kenyang dan puas. Bibi Em baik sekali. Aku ingin bersamanya beberapa lama.
"Anak-anak, tolong," Bibi Em memohon. "Aku jarang sekali bertemu anak-anak. Sebelum kalian pergi, maukah setidaknya kalian duduk untuk berpose?"
"Berpose?" tanya Annabeth curiga.
"Untuk difoto. Nanti kugunakan sebagai model patung yang baru. Anak-anak sangat populer. Semua orang menyukai anak-anak."
Annabeth memindah-mindahkan berat di antara kedua kakinya. "Rasanya kami tak sempat, Bibi Em. Ayo, Percy."
"Sempat kok," kataku. Aku kesal pada Annabeth karena main perintah-perintah dan tidak sopan kepada nenek yang baru saja memberi kami makan secara gratis. "Cuma berfoto saja, Annabeth. Apa ruginya?"
"Ya, Annabeth," dengkur perempuan itu. "Tidak ada ruginya."
Kelihatan bahwa Annabeth tidak menyukai hal ini, tetapi dia membiarkan Bibi Em mengantar kami keluar pintu depan, ke dalam taman patung.
Bibi Em mengarahkan kami ke bangku taman di sebelah patung satir.
"Nah," katanya, "biar kuatur posisi kalian dulu. Pemudi di tengah-tengah, kurasa, dan kedua pemuda di sebelah-sebelahnya."
"Cahayanya kurang terang untuk mengambil foto," komentarku.
"Cukup kok," kata Bibi Em. "Cukup terang agar kita bisa saling melihat, ya?"
"Di mana kamera Bibi?" tanya Grover.
Bibi Em melangkah mundur, seolah-olah untuk mengagumi foto. "Nah, wajah yang paling sulit. Senyum, ya, anak-anak. Senyum lebar."
Grover melirik ke satir semen di sebelahnya, dan menggumam, "Patung itu benar-benar mirip Paman Ferdinand."
"Grover," tegur Bibi Em, "lihat ke sini, Sayang."
Dia masih belum memegang kamera.
"Percy-" kata Annabeth.
Suatu naluri memperingatkanku agar mengindahkan Annabeth, tetapi aku sedang melawan rasa kantuk itu, rasa lengah dan nyaman yang ditimbulkan oleh makanan dan suara nenek itu.
"Sebentar, ya," kata Bibi Em. "Aku tak bisa melihat kalian dengan jelas dalam cadar terkutuk ini ...."
"Percy, ada yang aneh," Annabeth mendesak.
"Aneh?" kata Bibi Em sambil menaikkan tangan untuk melepaskan balutan dari kepala. "Nggak ada yang aneh kok, Sayang. Aku mendapat teman yang begitu mulia malam ini. Apa yang aneh?"
"Itu memang Paman Ferdinand!" dengap Grover.
"Jangan melihat ke dia!" seru Annabeth. Dia memasang topi Yankees ke kepala dan menghilang. Tangan tak kasat mata mendorongku dan Grover dari bangku.
Aku berada di tanah, menatap kaki Bibi Em yang bersendal.
Kudengar Grover merayap ke satu arah, Annabeth ke arah lain. Tetapi, aku masih terlalu pusing untuk bergerak.
Lalu, terdengar bunyi kasar yang aneh di atasku. Mataku naik ke tangan Bibi Em, yang telah berubah menjadi bertonjol-tonjol dan berkutil, kukunya berubah menjadi cakar perunggu yang tajam.
Aku nyaris melihat lebih ke atas, tetapi di suatu tempat di sebelah kiri, Annabeth berseru, "Jangan! Jangan lihat!"
Bunyi desis lagi - bunyi ular-ular kecil, persis di atasku, dari ... dari tempat yang semestinya ditempati kepala Bibi Em.
"Lari!" embik Grover. Kudengar dia berlari di atas bebatuan, berseru, "Maia!" untuk mengaktifkan sepatu terbangnya.
Aku tak bisa bergerak. Aku menatap cakar Bibi Em yang bertonjol-tonjol, dan berusaha melawan rasa pening yang ditimbulkan nenek itu.
"Sayang sekali merusak wajah muda yang tampan," katanya kepadaku dengan nada membujuk. "Tinggallah bersamaku, Percy. Kau hanya perlu melihat ke atas."
Kulawan keinginan hati untuk mematuhi. Alih-alih, aku menoleh ke samping dan melihat bola kaca yang sering diletakkan orang di taman - bola ramalan.
Kulihat pantulan gelap Bibi Em di kaca jingga; balutan kain kepalanya sudah hilang, menyingkapkan wajahnya sebagai lingkaran pucat berkilauan. Rambutnya bergerak-gerak, menggeliat-geliut seperti ular.
Bibi Em. Bibi "M". Bagaimana aku bisa sebodoh itu"
Coba ingat-ingat, kataku dalam hati. Bagaimana matinya Medusa dalam mitos"
Tetapi, aku tak bisa berpikir. Rasanya, di dalam mitos, Medua sedang tidur saat diserang oleh orang yang namanya dipakai untuk namaku, Perseus. Sekarang dia sama sekali tidak sedang tidur. Kalau mau, dia bisa menggunakan cakar itu sekarang juga dan mengoyak wajahku.
"Si Mata Kelabu yang melakukan ini padaku, Percy," kata Medusa, tetapi suaranya sama sekali tidak seperti suara monster. Suara itu mengundangku untuk melihat ke atas, untuk bersimpati pada seorang nenek tua yang malang. "Ibu Annabeth, Athena terkutuk itu, mengubahku dari wanita cantik menjadi seperti ini."
"Jangan dengarkan dia!" suara Annabeth berseru, di suatu tempat di antara patung-patung. "Lari, Percy!"
"Diam!'"Medusa mengaum. Lalu, suaranya diatur kembali menjadi dengkur yang menyejukkan. "Kau lihat sendiri, kenapa aku harus menghancurkan gadis itu, Percy. Dia putri musuhku. Aku akan menghancurkan patungnya menjadi debu. Tapi kau, Percy sayang, kau tak perlu menderita."
"Tidak," gumamku. Aku berusaha menggerakkan kaki.
"Kau benar-benar ingin membantu para dewa?" tanya Medusa. "Apa kau mengerti apa yang menantimu dalam misi konyol ini, Percy" Apa yang akan terjadi kalau kau sampai ke Dunia Bawah" Jangan mau menjadi pion para dewa Olympia, Sayang. Lebih baik kau menjadi patung saja. Sakitnya lebih sedikit. Sakitnya lebih sedikit."
"Percy!' Di belakangku, terdengar bunyi dengung, seperti burung kolibri seratus kilogram sedang menukik. Grover berseru, "Membungkuk!"
Aku berbalik, dan ternyata dia berada di langit malam, terbang meluncur dari arah jam dua belas dengan sepatu bersayap mengepak-ngepak, Grover, memegang dahan pohon sebesar pemukul bisbol. Matanya tertutup rapat-rapat, kepalanya berkedut ke kanan-kiri. Dia menentukan arah hanya dengan telinga dan hidung.
"Menunduk!" teriaknya lagi. "Akan kuhantam dia!"
Itu akhirnya menyentakkan diriku agar bertindak. Karena mengenal Grover, aku yakin pukulannya akan meleset dan mengenaiku. Aku menukik ke samping.
Buk! Pertama-tama, kusangka itu bunyi Grover menabrak pohon. Lalu, Medusa menggeram murka.
"Dasar satir sialan," geramnya. "Akan kutambahkan kau ke koleksiku!"
"Itu untuk Paman Ferdinand!" Grover balas berteriak.
Aku merangkak pergi dan bersembunyi di antara patung, sementara Grover menukik lagi untuk memukul lagi.
Bruk! "Aduh!" teriak Medusa, rambut ularnya mendesis dan meludah-ludah.
Tepat di sebelahku, suara Annabeth berkata, "Percy!"
Aku melompat begitu tinggi, kakiku hampir lebih tinggi dari patung jembalang. "Aduh! Jangan mengagetkan begitu!"
Annabeth mencopot topi Yankees dan menjadi terlihat. "Kau harus memenggal kepalanya."
"Apa" Kau gila" Ayo kita kabur."
"Medusa itu berbahaya. Dia jahat. Aku ingin membunuhnya sendiri, tapi ...." Annabeth menelan, seolah-olah akan mengakui hal yang sulit. "Tapi senjatamu lebih bagus. Lagi pula, aku tak mungkin bisa mendekatinya. Dia pasti mencincangku karena ibuku. Kau - kau punya peluang."
"Apa" Aku nggak bisa-"
"Dengar, kau mau dia mengubah orang tak bersalah lain menjadi patung?"
Dia menunjuk sepasang patung kekasih, lelaki dan perempuan yang saling berpelukan, diubah menjadi batu oleh monster itu.
Annabeth menyambar bola ramalan hijau dari tiang dekat situ. "Perisai yang dipoles sebenarnya lebih bagus," Dia mempelajari bola itu dengan kritis.
"Kecembungan akan menimbulkan distorsi. Ukuran pantulannya akan berbeda dengan faktor -"
"Pakai bahasa yang normal dong!"
"Pakai kok!" Dia melontarkan bola kaca itu kepadaku. "Pokoknya, lihat dia melalui kaca ini. Jangan melihat dia langsung."
"Teman-teman!" teriak Grover di suatu tempat di atas kami. "Kurasa dia pingsan!"
"Grrrrrr!. .Nggak ding,. Grover mengoreksi. Dia menukik untuk memukul lagi dengan dahan pohon.
"Cepat," kata Annabeth. "Penciuman Grover bagus, tetapi dia nanti akan menabrak juga."
Aku mengeluarkan pena dan melepas tutupnya. Pedang perunggu Riptide memanjang di tanganku.
Aku mengikuti bunyi mendesis dan meludah dari rambut Medusa.
Aku menjaga agar mataku terus melekat pada bola ramal, supaya hanya melihat pantulan Medusa, bukan Medusa sungguhan. Lalu, dalam kaca bernuansa hijau itu, dia terlihat.
Grover sedang menukik untuk memukulnya lagi dengan pentungan, tetapi kali ini dia terbang terlalu rendah. Medusa menyambar dahan itu dan menarik Grover hingga keluar jalur. Anak itu berguling di udara dan menabrak tangan beruang batu dengan "Aduh" yang menyakitkan.
Medusa hendak menerkamnya ketika aku berseru. "Hei!"
Aku mendekatinya. Ini tidak mudah dilakukan, sambil memegang pedang dan bola kaca sekaligus. Jika dia menyerang, aku akan sulit membela diri.
Tapi dia membiarkanku mendekat - enam meter, tiga meter.
Aku dapat melihat pantulan wajahnya sekarang. Pasti wajah itu tidak sejelek itu. Pasti pusaran hijau dalam bola ramal mendistorsinya, sehingga wajahnya tampak lebih buruk.
"Kau tak akan tega menyakiti nenek tua, Percy" bujuknya. "Aku tahu, kau tak tega."
Aku ragu, terpana oleh wajah yang kulihat terpantul di kaca - mata yang tampak membakar menembus warna hijau, membuat lenganku melemah.
Dari balik beruang semen, Grover mengerang, "Percy, jangan dengar dia!"
Medusa terkekeh-kekeh. "Terlambat."
Dia menyerangku dengan cakarnya.
Aku mengayunkan pedang ke atas, mendengar plas! yang memuakkan, lalu desis seperti angin yang bergegas keluar gua -suara monster tercerai-berai.
Sesuatu jatuh ke tanah di sebelah kakiku. Sekuat tenaga aku menahan diri agar tak melihat. Terasa cairan hangat merembes ke kaus kaki, kepala ular-ular kecil sekarat menarik-narik tali sepatuku.
"Idih," kata Grover. Matanya masih terpejam erat-erat, tetapi kulihat dia dapat mendengar benda itu menggelegak dan mengepul. "Idih banget."
Annabeth menghampiriku, matanya menatap langit. Dia memegang cadar hitam Medusa. Katanya, "Jangan bergerak."
Dengan amat-sangat berhati-hati, tanpa melihat ke bawah, dia berlutut dan menyampirkan kain hitam pada kepala monster itu, lalu mengangkatnya. Kepala itu masih menetes-neteskan cairan hijau.
"Kau tak apa-apa?" tanyanya kepadaku, suaranya gemetar.
"Ya," aku memutuskan, meskipun rasanya mau muntah burger keju daging dobel. "Kenapa ... kenapa kepalanya nggak menguap?"
"Begitu kau memenggalnya, kepala ini menjadi rampasan perang," katanya.
"Sama seperti tanduk Minotaurusmu itu. Tapi bungkus kepalanya jangan dibuka. Tatapannya masih bisa mengubahmu menjadi batu."
Grover mengerang sambil memanjat turun dari patung beruang. Ada bilur besar di keningnya. Topi rasta hijaunya menggantung dari salah satu tanduk kambing kecilnya, dan kaki palsunya terlepas dari kaki kambingnya. Sepatu ajaibnya itu terbang tanpa arah di sekeliling kepalanya.
"Sang Superman"' kataku. "Mantap."
Dia berhasil menyeringai malu-malu.
"Tapi benar-benar nggak menyenangkan. Eh, bagian memukulnya dengan dahan, itu asyik. Tapi menabrak beruang beton. Nggak banget."
Dia menyambar sepatunya dari udara. Aku menutup kembali pedangku.
Bersama-sama, kami bertiga tersaruk-saruk ke gudang.
Kami menemukan beberapa kantong plastik tua di belakang meja camilan dan membungkus kepala Medusa dua kali. Kami meletakkannya di atas meja tempat kami makan malam, dan duduk di sekelilingnya, terlalu lelah untuk berbicara.
Akhirnya aku berkata, "Jadi, berkat Athena, monster ini ada?"
Annnabeth mendelikku dengan sebal. "Sebenarnya, berkat ayahmu. Kau lupa, ya" Medusa itu pacar Poseidon. Mereka memutuskan untuk bertemu di kuil ibuku. Itu sebabnya Athena mengubahnya menjadi monster. Medusa dan kedua saudarinya yang membantunya masuk ke kuil, mereka menjadi ketiga gorgon. Itu sebabnya Medusa ingin mencincangku, tetapi dia ingin mengabadikanmu sebagai patung yang bagus. Dia masih naksir ayahmu. Kau mungkin mengingatkan dia pada ayahmu."
Wajahku terbakar. "Oh, jadi sekarang aku yang salah kita bertemu Medusa."
Annabeth menegakkan tubuh. Sambil meniru suaraku, dengan tidak mirip, dia berkata, ?"Cuma foto saja, Annabeth. Apa ruginya"'"
"Sudah dong," kataku. "Nyebelin banget sih."
"Kau yang menyebalkan."
"Kau-" "Hei!" sela Grover. "Kalian berdua membuatku pusing, padahal bangsa satir semestinya nggak pernah merasa pusing. Mau kita apakan kepalanya?"
Aku menatap benda itu. Seekor ular kecil menggelantung dari lubang di plastik. Kata-kata yang tercetak di sisi kantong berbunyi: KAMI MENGHARGAI KUNJUNGAN ANDA!
Aku marah, tak hanya pada Annabeth atau ibunya, tetapi pada semua dewa untuk misi ini, karena menjadikan kami terempas dari jalan dan terlibat dalam dua pertarungan besar pada hari pertama keluar dari perkemahan. Kalau begini terus, kami tak mungkin bisa sampai di L.A. hidup-hidup, apa lagi sebelum titik balik matahari musim panas.
Apa kata Medusa tadi"
Jangan mau menjadi pion para dewa Olympia, Sayang. Lebih baik kau menjadi patung saja.
Aku bangkit. "Aku pergi sebentar."
"Percy," Annabeth memanggilku. "Kau mau apa-"
Aku mencari-cari di belakang gudang sampai menemukan kantor Medusa.
Pembukuannya menampilkan enam penjualan terakhirnya, semua kiriman ke Dunia Bawah untuk menghiasi taman Hades dan Persephone. Menurut salah satu tagihan pengangkutan, alamat penagihan Dunia Bawah adalah DOA Recording Studios, West Hollywood, California. Kulipat tagihan itu dan kujejalkan di saku.
Di mesin kasir aku menemukan beberapa lembar dua puluh dolar, beberapa drachma emas, dan beberapa label kemasan untuk Titipan Kilat Semalam Hermes, masing-masing disertai kantong kulit kecil untuk diisi koin. Aku menggeledah sisa kantor sampai menemukan kotak yang berukuran pas.
Aku kembali ke meja piknik, mengemas kepala Medusa, dan mengisi label pengiriman:
Para Dewa Gunung Olympus Lantai 600 Empire State Building New York, NY Salam manis, PERCY JACKSON "Mereka nggak akan suka itu," Grover memperingatkan. "Mereka akan menganggapmu kurang ajar."
Aku menuangkan beberapa drachma emas ke dalam kantong kecil. Begitu kututup, terdengar bunyi seperti mesin kasir. Paket itu melayang dari atas meja dan lenyap dengan bunyi pop!
"Aku memang kurang ajar," kataku.
Aku menatap Annabeth, menunggu dia mengkritikku.
Dia diam. Sepertinya dia sudah pasrah bahwa aku punya bakat besar membuat marah para dewa. "Ayo," gumamnya. "Kita perlu rencana baru."
12. Kami Mendapat Nasihat dari Anjing Pudel
Kami cukup sengsara malam itu.
Kami berkemah di hutan, seratus meter dari jalan utama, di lapangan berawa-rawa yang sepertinya digunakan anak-anak setempat untuk berpesta. Kaleng soda gepeng dan bungkus makanan cepat-saji berserakan di tanah.
Kami membawa makanan dan selimut dari tempat Bibi Em, tetapi kami tak berani menyalakan api untuk mengeringkan pakaian yang lembap. Dengan Erinyes dan Medusa, cukuplah kesibukan untuk sehari itu. Kami tak ingin menarik perhatian makhluk lain.
Kami memutuskan untuk tidur bergiliran. Aku sukarela mengambil giliran jaga pertama.
Annabeth meringkuk di selimut dan langsung mendengkur begitu kepalanya menyentuh tanah. Grover melayang-layang dengan sepatu terbang ke dahan pohon terendah, bersandar pada batang, dan menatap langit malam.
"Kau tidur saja," kataku. "Nanti kubangunkan kalau ada masalah."
Dia mengangguk, tapi tidak memejamkan mata. "Aku jadi sedih, Percy."
"Sedih kenapa" Karena kau ikut dalam misi ini?"
"Bukan. Ini yang membuatku sedih." Dia menunjuk semua sampah di tanah.
"Dan langit. Bintang saja nggak kelihatan. Mereka mencemari langit. Ini masa yang buruk untuk hidup sebagai satir."
"Benar sekali. Kau cocok jadi pejuang lingkungan."
"Dia mendelik kepadaku. "Cuma manusia yang nggak mau menjadi pejuang lingkungan. Spesiesmu menjejali bumi begitu cepat ... ah, lupakan. Nggak ada gunanya menceramahi manusia. Kalau begini terus, aku nggak akan pernah menemukan Pan."
"Pam" Air leding?"
"Pan!" serunya tersinggung. "P-A-N. Dewa besar Pan. Memangnya kau pikir, buat apa aku ingin mendapat izin pencari?".
Semilir aneh berkeresek di lapangan, sesaat mengalahkan bau sampah dan becek. Angin itu membawa bau berry dan bunga liar dan air hujan bersih, hal-hal yang mungkin dulu ada di hutan ini. Tiba-tiba aku merindukan sesuatu yang tak pernah kukenal.
"Ceritakanlah soal pencarian itu," kataku.
Grover melirikku dengan hati-hati, seolah-olah takut aku cuma mengolok-olok.
"Dewa Alam Liar menghilang dua ribu tahun yang lalu," katanya. Seorang pelaut dari lepas pantai Efesus mendengar sebuah suara misterius berseru dari pantai, "Beri tahu mereka bahwa dewa besar Pan sudah mati!" Ketika manusia mendengar berita itu, mereka percaya. Sejak saat itu mereka menjarah kerajaan Pan. Tetapi, bagi bangsa satir, Pan adalah pemimpin dan majikan kami. Dia melindungi kami dan tempat-tempat liar di bumi. Kami tak mau percaya dia sudah mati. Di setiap generasi, para satir yang paling pemberani berikrar akan mengabdikan hidupnya untuk mencari Pan. Mereka mencari di bumi ini, menjelajahi semua tempat terliar, berharap menemukan tempat dia bersembunyi, dan membangunkannya dari tidurnya."
"Dan kau ingin jadi pencari."
"Itu impian hidupku," katanya. "Ayahku pencari. Dan Paman Ferdinand ... patung yang kau lihat di sana -"
"Oh iya, ikut sedih."
Grover menggeleng. "Paman Ferdinand tahu risikonya. Ayahku juga. Tapi aku pasti berhasil. Aku akan menjadi pencari pertama yang pulang hidup-hidup."
"Tunggu - yang pertama?"
Grover mengeluarkan seruling dari saku. "Belum pernah ada pencari yang pulang. Setelah berangkat, mereka menghilang. Mereka tak pernah lagi terlihat hidup-hidup."
"Tak sekali pun dalam dua ribu tahun?"
"Tidak." "Dan ayahmu" Kau tak tahu apa yang terjadi padanya?"
"Nggak." "Tapi kau tetap ingin berangkat," kataku heran. "Maksudku, kau benar-benar merasa kaulah yang akan menemukan Pan?"
"Aku harus percaya itu, Percy. Semua pencari juga begitu. Itu satu-satunya hal yang membuat kami tak putus asa saat melihat apa yang dilakukan manusia pada dunia. Aku harus percaya bahwa Pan masih bisa dibangunkan."
Aku menatap kabut jingga di langit dan berusaha memahami bagaimana Grover mau mengejar impian yang tampak begitu sia-sia. Tapi, kalau dipikir-pikir, apa bedanya dengan aku"
"Bagaimana cara kita masuk ke Dunia Bawah?" tanyaku. "Maksudku, apa mungkin kita bisa melawan seorang dewa?"
"Nggak tahu," dia mengakui. "Tapi, di tempat Medusa tadi, waktu kau menggeledah kantornya" Annabeth memberitahuku -"
"Iya, ya, aku lupa. Annabeth pasti punya rencana."
"Jangan terlalu galak sama dia, Percy. Hidupnya sulit, tapi dia anak baik. Lagi pula, dia memaafkan aku ..." Suaranya menghilang.
"Apa maksudmu?" tanyaku. "Memaafkanmu untuk apa?"
Tiba-tiba Grover tampak sangat berminat memainkan nada di serulingnya.
"Tunggu sebentar," kataku. "Tugas penjagamu yang pertama itu lima tahun lalu. Annabeth sudah lima tahun tinggal di perkemahan. Dia bukan ... maksudku, tugas pertamamu yang bermasalah-"
"Aku nggak boleh membicarakan itu," kata Grover. Bibir bawahnya yang bergetar menandakan bahwa dia pasti menangis kalau kudesak. "Tapi seperti yang kubilang, tadi di tempat Medusa, aku dan Annabeth sepakat bahwa ada yang aneh soal misi ini. Ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya."
"Itu sih jelas. Aku kan difitnah mencuri petir yang diambil Hades."
"Maksudku bukan itu," kata Grover. "Para Erin - Si Baik agak menahan diri. Seperti Bu Dodds di Akademi Yancy ... kenapa dia menunggu lama, baru mencoba membunuhmu" Lalu di bus, mereka tidak seagresif yang mereka bisa."
"Bagiku, kayaknya mereka cukup agresif."
Grover menggeleng. "Mereka memekik kepada kami: "Di mana itu" Di mana?""
"Menanyakan aku," kataku.
"Mungkin ... tapi aku dan Annabeth mendapat firasat, mereka bukan menanyakan orang. Mereka bilang "Di mana itu?" Mereka sepertinya menanyakan barang."
"Itu nggak masuk akal."
"Aku tahu. Tapi, kalau kita salah memahami sesuatu tentang misi ini, dan kita cuma punya waktu sembilan hari untuk menemukan petir asali ...." Dia menatapku seolah-olah mengharapkan jawaban, tapi aku tak punya jawaban apa-apa.
Aku teringat perkataan Medusa: aku dimanfaatkan oleh para dewa. Hal yang menanti di depan itu jauh lebih buruk daripada dijadikan patung.
"Selama ini aku nggak jujur padamu," kataku kepada Grover. "Aku nggak peduli pada petir asali. Aku mau pergi ke Dunia Bawah supaay aku bisa membawa pulang ibuku."
Grover meniupkan nada lembut di serulingnya. "Aku tahu itu, Percy. Tapi apa kau yakin itu satu-satunya alasan?"
"Ini kulakukan bukan untuk menolong ayahku. Dia nggak peduli padaku. Aku nggak peduli padanya."
Grover memandang ke bawah dari dahan pohon. "Dengar, Percy, aku nggak sepintar Annabeth. Aku nggak sepemberani dirimu. Tapi aku cukup pandai membaca emosi. Kau senang ayahmu masih hidup. Kau gembira dia mengakuimu, dan sebagian dirimu ingin membuatnya bangga. Itu sebabnya kau mengirimkan kepala Medusa ke Olympus. Kau ingin dia memerhatikan keberhasilanmu."
"Ngawur. Barangkali saja emosi satir berbeda dengan emosi manusia. Karena kau salah. Aku nggak peduli bagaimana pendapatnya."
Grover menaikkan kaki ke atas dahan. "Iya deh. Terserah."
"Lagi pula, aku belum melakukan apa-apa yang layak disombongkan. Kita nyaris tak bisa keluar dari New York dan kita terperangkap di sini tanpa uang dan tak tahu cara agar sampai ke barat."
Grover menatap langit malam, seolah-olah merenungkan masalah itu.
"Bagaimana kalau aku saja yang berjaga pertama" Kau tidurlah."
Aku ingin memprotes, tetapi dia mulai memainkan Mozart, lembut dan manis, dan aku berpaling, mataku pedih. Setelah beberapa irama Piano Concerto no. 12, aku tertidur.
* * * Dalam mimpiku, aku berdiri di sebuah gua gelap, di depan lubang yang menganga. Makhluk-makhluk kabut kelabu bergolak di sekelilingku, rumbai-rumbai asap berbisik, yang entah bagaimana kutahu adalah arwah orang mati.
Mereka menarik-narik bajuku, berusaha menarikku mundur, tetapi aku merasa harus berjalan maju ke tepi jurang itu.
Melihat ke bawah membuatku gamang.
Lubang itu menganga begitu lebar dan begitu gelap, aku pun tahu bahwa lubang itu tak berdasar. Namun, aku mendapat perasaan bahwa ada sesuatu yang sedang berusaha naik dari jurang, sesuatu yang besar dan jahat.
Si pahlawan kecil, sebuah suara geli menggema jauh di dalam kegelapan. Terlalu lemah, terlalu muda, tapi mungkin kau memadai.
Suara itu terasa purba"dingin dan berat. Suara itu membungkusku seperti lembar-lembar timah.
Mereka menyesatkanmu, Bocah, katanya. Barterlah denganku. Aku akan memberikan apa yang kau inginkan.
Suatu citra bergetar-getar melayang di atas kehampaan: ibuku, tubuhnya beku dalam pose seperti saat dia larut dalam rintik emas. Wajahnya meringis kesakitan, seolah-olah si Minotaurus masih mencekik lehernya. Matanya menatapku lurus-lurus, memohon: Pergi!
Aku berusaha berseru, tetapi suaraku tak mau keluar.
Tawa dingin menggema dari jurang.
Suatu kekuatan tak kasat mata menarikku maju. Aku bisa terseret ke dalam lubang, kalau tidak berdiri kukuh.
Bantu aku bangkit, Bocah. Suara itu kian lapar. Bawakan petir itu kepadaku. Serang para dewa yang pengkhianat!
Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arwah orang mati berbisik di sekelilingku, Jangan! Bangun!
Citra ibuku mulai memudar. Makhluk di dalam lubang mempererat cengkeraman tak kasat matanya padaku.
Kusadari bahwa ia tak berminat menarikku masuk. dia menggunakan aku untuk menghela dirinya keluar.
Bagus, gumamnya. Bagus. Bangun! Orang-orang mati berbisik. Bangun!
* * * Ada yang mengguncangku. Mataku terbuka, dan hari sudah terang.
"Nah," kata Annabeth," si mayat hidup masih bisa bangun."
Tubuhku gemetar gara-gara mimpi itu. Cengkeraman si monster jurang masih terasa di sekeliling dadaku. "Berapa lama aku tidur?"
"Cukup lama, aku sempat memasak sarapan." Annabeth melemparkan kepadaku sekantong keripik jagung rasa nacho dari kedai camilan Bibi Em. "Dan tadi Grover pergi menjelajah. Lihat, dia menemukan teman."
Mataku sulit berfokus. Grover sedang duduk bersila di atas selimut, memangku sesuatu yang berbulu, sebuah boneka binatang dengan warna merah jambu yang dekil dan tak alami.
Bukan. Itu bukan boneka. Itu anjing pudel merah jambu.
Pudel itu menyalak kepadaku dengan curiga. Kata Grover, "Nggak, dia nggak begitu."
Aku mengerjapkan mata. "Kau ... sedang bicara dengan benda itu?"
Pudel itu menggeram. "Benda ini," Grover memperingatkan, "adalah karcis kita ke Barat. Baik-baiklah padanya."
"Kau bisa bicara dengan binatang?"
Grover tak menggubris pertanyaan itu. "Percy, ini Gladiola. Gladiola, Percy."
Aku menatap Annabeth, menyangka dia akan tertawa karena lelucon yang ditujukan kepadaku ini, tetapi dia tampak serius.
"Aku nggak mau menyapa seekor pudel merah jambu," kataku. "Lupakan saja."
"Percy," kata Annabeth. "Tadi aku menyapa pudel itu. Kau juga harus."
Si pudel menggeram. Aku menyapa pudel itu. Grover menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Gladiola di hutan dan mereka mengobrol. Pudel itu kabur dari sebuah keluarga kaya setempat, yang menawarkan hadiah $200 jika orang mengembalikannya. Gladiola sebenarnya tidak ingin kembali ke keluarga itu, tetapi dia bersedia melakukannya jika itu bisa membantu Grover.
"Bagaimana Gladiola bisa tahu soal hadiah itu?" tanyaku.
"Ya dia baca di posternya dong," kata Grover. "Bego."
"Iya," kataku. "Aku yang bego."
"Jadi, Gladiola kita kembalikan," Annabeth menjelaskan dalam suara strategi terbaiknya, "kita dapat uang, dan kita beli karcis ke Los Angeles. Sederhana."
Aku teringat mimpiku - bisikan suara arwah, makhluk di dalam jurang, dan wajah ibuku, bergetar sambil melarut menjadi emas. Semua hal yang mungkin menantiku di Barat.
"Jangan bus lagi," kataku curiga.
"Setuju," kata Annabeth.
Dia menunjuk ke bawah bukit, ke arah rel kereta yang tak terlihat tadi malam karena gelap. "Ada stasiun kereta Amtrak tujuh ratus meter ke arah sana. Menurut Gladiola, kereta tujuan Barat berangkat pada tengah hari.
13. Aku Terjun Menuju Kematian
Kami melewatkan waktu dua hari di kereta api Amtrak, menuju Barat dengan menembus perbukitan, menyeberangi sungai, melewati ladang gandum yang berombak merah.
Kami tidak diserang sekali pun, tetapi aku tak bisa tenang. Aku merasa seakan kami bergerak di dalam lemari pajangan, diamati dari atas dan mungkin dari bawah, sementara sesuatu sedang menunggu peluang yang tepat.
Aku berusaha tidak menarik perhatian orang karena nama dan fotoku tersebar di halaman depan beberapa koran Pantai Timur. Trenton Register-News menampilkan foto yang diambil seorang wisatawan ketika aku turun dari bus Greyhound. Tatapan mataku tampak liar. Pedang di tanganku seperti logam yang tampak kabur. Bisa saja dikira pemukul bisbol atau tongkat lacrosse.
Keterangan gambar itu berbunyi:
Percy Jackson, dua belas tahun, yang sedang dicari polisi untuk ditanyai tentang ibunya yang menghilang dua minggu lalu di Long Island, terlihat di sini kabur dari bus, tempat dia menyerang beberapa nenek-nenek yang jadi penumpang. Bus itu meledak di tepi jalan New Jersey Timur tak lama setelah Jackson kabur dari sana. Berdasarkan laporan saksi mata, polisi meyakini anak itu ditemani dua kaki-tangan remaja. Ayah tirinya, Gabe Ugliano, menawarkan hadiah uang tunai untuk informasi yan gmembantu penangkapan Jackson.
"Jangan khawatir," kata Annabeth. "Polisi manusia tak mungkin bisa menemukan kita." Namun, suaranya tidak terlalu yakin
Sepanjang sisa hari itu aku gonta-ganti antara mondar-mandir di sepanjang kereta api (karena aku benar-benar kesulitan duduk diam) dan menatap keluar jendela.
Sekali waktu aku melihat sekeluarga centaurus. Mereka berlari melintasi padang gandum, dengan busur siaga, berburu makan siang. Seorang bocah centaurus, yang berukuran sebesar anak kelas dua yang menunggang kuda poni, menangkap mataku dan melambaikan tangan. Aku melihat ke sekeliling gerbong, tetapi tak ada orang lain yang memerhatikan. Semua penumpang dewasa sedang membenamkan wajah di laptop atau majalah.
Kali lain, menjelang malam, aku melihat suatu benda besar bergerak menembus hutan. Aku berani sumpah benda itu seekor singa, tetapi di Amerika tidak ada singa liar, dan hewan ini seukuran truk Hummer. Bulunya berkilauan emas dalam cahaya senja. Lalu, ia melompat menembus pepohonan dan menghilang.
* * * Uang hadiah yang kami terima karena mengembalikan Gladiola si pudel hanya cukup untuk membeli karcis hingga ke Denver. Kami tak berhasil mendapat tempat di gerbong tidur, jadi kami tidur di kursi masing-masing. Leherku menjadi kaku. Aku berusaha tidak mengiler saat tidur, karena Annabeth duduk tepat di sebelahku.
Grover terus mendengkur dan mengembik, membuatku terbangun. Sekali waktu dia lasak dan kaki palsunya jatuh. Aku dan Annabeth harus memasangkannya lagi sebelum ada penumpang lain yang memerhatikan.
"Jadi," tanya Annabeth kepadaku, setelah kami menyesuaikan sepatu Grover.
"Siapa yang meminta bantuanmu?"
"Apa maksudmu?"
"Barusan, waktu kau tidur, kau mengigau, "Aku tak mau membantumu." Kau bermimpi tentang siapa?"
Aku enggan berkata apa-apa. Ini kedua kalinya aku bermimpi tentang suara jahat dari lubang. Tapi mimpi itu sangat menggangguku, jadi akhirnya kuceritakan kepada Annabeth.
Gadis itu diam lama sekali. "Kedengarannya tak seperti Hades. Dia selalu tampil di atas singgasana hitam, dan dia tak pernah tertawa."
"Dia menawarkan ibuku sebagai imbalan. Siapa lagi yang bisa berbuat begitu?"
"Ya mungkin juga sih ... kalau dia bermaksud, "Bantu aku naik dari Dunia Bawah". Benar-benar ingin berperang dengan para dewa Olympia. Tapi, buat apa memintamu membawakan petir kalau dia sudah memegangnya?"
Aku menggeleng, menyayangkan bahwa aku tak tahu jawabannya. Aku memikirkan cerita Grover, bahwa para Erinyes sepertinya sedang mencari sesuatu di bus.
Di mana itu" Di mana"
Mungkin Grover merasakan emosiku. Dia mendengus dalam tidurnya, mengigaukan sesuatu tentang sayur, dan berpaling. Annabeth membetulkan letak topinya agar menutupi tanduk. "Percy, Hades itu nggak bisa diajak tawar-menawar. Kau tahu, kan" Dia penipu, kejam, dan tamak. Aku nggak peduli bahwa Makhluk Baik bawahannya kali ini tidak terlalu agresif-"
"Kali ini?" tanyaku. "Maksudmu, kau pernah bertemu mereka?"
Tangan Annabeth naik ke leher. Dia memainkan manik-manik putih berglasir yang dilukis gambar pohon pinus, salah satu tanda akhir kemah musim panas yang terbuat dari tanah liat. "Pokoknya, aku nggak suka si Penguasa Orang Mati. Kau jangan sampai tergoda membuat perjanjian demi ibumu."
"Kau sendiri bakal berbuat apa, andai ayahmu yang dalam posisi itu?"
"Itu gampang," katanya. "Kubiarkan saja dia membusuk."
"Kau tak serius, kan?"
Mata kelabu Annabeth menatapku lekat-lekat. Air mukanya sama seperti yang tampak di hutan di perkemahan, ketika dia menghunus pedang melawan si anjing neraka. "Ayahku membenciku sejak aku lahir, Percy," katanya. "Dia nggak ingin punya anak. Sewaktu mendapatkan aku, dia meminta Athena mengambilku kembali dan membesarkanku di Olympus karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaan. Athena nggak terlalu senang dengan permintaan itu. Dia memberi tahu ayahku bahwa pahlawan harus dibesarkan oleh orangtua manusianya."
"Tapi bagaimana ... maksudku, kau tentu nggak dilahirkan di rumah sakit ..."
"Aku muncul di depan pintu rumah ayahku, dalam buaian emas, dibawa turun dari Olympus oleh Zephyr si Angin Barat. Kau pasti mengira ayahku mengenang itu sebagai mukjizat kan" Barangkali dia mengambil foto digital atau apa kek. Tapi dia selalu membicarakan kedatanganku seolah-olah itu hal yang paling merepotkan yang pernah terjadi padanya. Waktu aku berumur lima tahun, dia menikah dan melupakan Athena sama sekali. Dia mendapat istri manusia
"biasa", dan punya dua anak manusia "biasa", dan berusaha berpura-pura aku nggak ada."
Aku menatap keluar jendela kereta api. Lampu sebuah kota yang lelap merayap lewat. Aku ingin menghibur Annabeth, tapi tak tahu caranya.
"Ibuku menikahi lelaki yang benar-benar menyebalkan," aku bercerita. "Kata Grover, dia melakukan itu untuk melindungiku, untuk menyembunyikanku dalam bau keluarga manusia. Mungkin itu yang dipikirkan ayahmu."
Annabeth terus memain-mainkan kalung. Dia menjepit cincin emas universitas yang tergantung bersama manik-manik. Terpikir olehku bahwa cincin itu pasti milik ayahnya. Aku heran juga, kenapa dia memakainya kalau dia begitu membenci ayahnya.
"Dia nggak peduli padaku," katanya. "Istrinya - ibu tiriku - memperlakukanku seperti anak aneh. Dia nggak memperbolehkan aku bermain dengan anak-anaknya. Ayahku menurut saja. Setiap kali terjadi sesuatu yang berbahaya - kau tahu, sesuatu yang berkaitan dengan monster - mereka berdua menatapku dengan sebal, seol
ah-olah berkata, "Berani-beraninya kau membahayakan keluarga kami." Akhirnya, aku paham. Aku tidak diinginkan. Aku minggat."
"Berapa umurmu waktu itu?"
"Sama seperti saat aku mulai masuk perkemahan. Tujuh."
"Tapi ... kau tak mungkin bisa sampai jauh-jauh ke Bukit Blasteran sendirian."
"Aku memang nggak sendirian. Athena mengawasiku, membimbingku ke orang yang menolong. Aku mendapat dua teman tak terduga yang mengurusku, setidaknya untuk sementara waktu."
Aku ingin menanyakan apa yang terjadi, tapi Annabeth tampaknya tenggelam dalam kenangan duka. Jadi, aku mendengarkan suara Grover mendengkur dan memandang keluar jendela kereta, sementara padang-padang gelap Ohio melaju lewat.
* * * Menjelang akhir hari kedua kami di kereta api, 13 Juni, delapan hari sebelum titik balik matahari musim panas, kami melewati beberapa bukit keemasan dan menyeberangi Sungai Mississippi, memasuki St. Louis.
Annabeth menjulurkan leher untuk melihat Gateway Arch, yang bagiku mirip pegangan tas belanja raksasa yang menempel pada kota itu. "Aku ingin melakukan itu," Annabeth menghela napas.
"Apa?" tanyaku.
"Membangun sesuatu seperti itu. Kau pernah melihat Parthenon, Percy?"
"Cuma di foto."
"Kapan-kapan aku akan melihatnya langsung. Aku akan membangun monumen terbesar bagi dewa-dewa. Sesuatu yang bertahan seribu tahun."
Aku tertawa. "Kau" Jadi arsitek?"
Entah kenapa, aku merasa itu lucu. Membayangkan Annabeth berusaha duduk diam dan menggambar seharian.
Pipinya merona. "Iya, jadi arsitek. Athena mengharapkan anak-anaknya mencipta, bukan hanya menghancurkan seperti seorang dewa gempa bumi yang bisa kusebutkan namanya.' Aku mengamati air cokelat Sungai Mississippi yang bergolak di bawah.
"Maaf," kata Annabeth. "Aku jahat barusan."
"Apa kita nggak bisa bekerja sama?" aku memohon. "Maksudku, apakah Athena dan Poseidon nggak pernah bekerja sama?"
Annabeth harus mengingat-ingat. "Pernah sih ... kereta perang," dia berkata hati-hati. "Ibuku menciptakannya, tetapi Poseidon yang menciptakan kuda dari puncak ombak. Jadi, mereka harus bekerja sama untuk menjadikannya lengkap."
"Berarti, kita juga bisa bekerja sama. Iya, kan?"
Kami melaju memasuki kota, sementara Annabeth mengamati Gateway Arch menghilang di belakang sebuah hotel.
"Barangkali bisa juga," katanya akhirnya.
Kami masuk ke stasiun Amtrak di tengah kota. Menurut interkom, kami punya waktu singgah tiga jam sebelum berangkat ke Denver.
Grover menggeliat. Bahkan sebelum benar-benar sadar, dia berkata, "Makanan."
"Ayo, Bocah Kambing," kata Annabeth. "Ayo kita cuci mata."
"Cuci mata?" "Gateway Arch," katanya. "Ini mungkin satu-satunya kesempatanku naik ke puncak. Kau mau ikut, nggak?"
Aku dan Grover bertukar pandang.
Aku ingin menolak, tetapi kupikir kalau Annabeth mau ke sana, kami jelas tidak mungkin membiarkan dia pergi sendirian.
Grover mengangkat bahu. "Asalkan di sana ada toko camilan tanpa monster."
* * * Gateway Arch terletak sekitar satu setengah kilometer dari stasiun kereta api. Sore hari begitu, antrean masuknya tidak terlalu panjang. Kami berselap-selip melalui museum bawah tanah, melihat-lihat pedati beratap dan rongsokan lain dari tahun 1800-an. Tidak terlalu mengasyikkan, tetapi Annabeth terus menceritakan berbagai fakta menarik tentang cara Gateway Arch dibangun, dan Grover terus memberiku permen jelly bean, jadi aku cukup menikmati.
Namun, aku terus mengedarkan pandangan, memerhatikan orang-orang yang mengantre. "Kau mencium sesuatu?" bisikku kepada Grover.
Dia mengeluarkan hidungnya dari kantong permen jelly bean cukup lama untuk mengendus.
"Bawah tanah," katanya jijik. "Udara bawah tanah selalu berbau seperti monster. Mungkin tak berarti apa-apa."
Tetapi, ada yang terasa aneh bagiku. Aku mendapat firasat, kami sebaiknya tidak berada di sini.
"Teman-teman," kataku. "Kalian tahu kan lambang-lambang kekuasaan dewa?"
Annabeth sedang membaca alat konstruksi yang digunakan untuk membangun Gateway Arch, tetapi dia menoleh. "Iya, kenapa?"
"Nah, Hades?" Grover berdehem. "Kita sedang berada di tempat umum .... Pasti yang kaumaksud adalah teman kita di lantai bawah?"
"Eh, iya," kataku. "Teman kita di lantai jauh di bawah. Bukankah dia punya topi seperti topi Annabeth?"
"Maksudmu, Helm Kegelapan," kata Annabeth. "Iya, itu lambang kekuasaannya. Aku melihat helm itu di sebelah kursinya pada rapat dewan titik balik matahari musim dingin."
"Dia hadir di sana?" tanyaku.
Annabeth mengangguk. "Satu-satunya waktu dia diperbolehkan berkunjung ke Olympus - hari tergelap setiap tahun. Tapi, helmnya jauh lebih sakti daripada topi tak kasat mataku, kalau yang kudengar benar ..."
"Dengan helm itu, dia bisa menjadi kegelapan"' Grover membenarkan. "Dia bisa meleleh ke dalam bayangan atau menembus tembok. Dia tak bisa disentuh, atau dilihat, atau didengar. Dan dia bisa memancarkan rasa takut yang begitu kuat, sampai-sampai kau bisa menjadi gila atau jantungmu berhenti. Menurutmu, kenapa semua makhluk rasional takut pada kegelapan?"
"Tapi, kalau begitu ... bagaimana caranya kita bisa tahu, bahwa dia sekarang nggak berada di sini, mengamati kita?" tanyaku.
Annabeth dan Grover bertukar pandang.
"Kita nggak mungkin tahu," kata Grover.
"Trims, sangat menghibur," kataku. "Masih punya permen biru?"
Aku sudah hampir berhasil menguasai rasa gugup ketika kulihat lift kecil mungil yang akan kami tumpangi ke puncak Gateway Arch. Gawat, pikirku. Aku benci tempat sempit. Aku bisa gila.
Kami terjepit di dalam lift oleh seorang wanita gembrot dan anjingnya, seekor Chihuahua berkalung batu diamante. Kusimpulkan bahwa anjing itu mungkin Chihuahua yang membantu orang buta, karena para penjaga tidak menyinggungnya sama sekali.
Kami mulai naik, di dalam Gateway Arch. Aku belum pernah naik lift yang bergerak melengkung, dan perutku tak terlalu menyukainya.
"Tidak bersama orangtua?" tanya perempuan gembrot itu.
Matanya seperti manik-manik; giginya runcing-runcing dan bernota kopi; topi jins-nya berkelepai, dan pakaian jinsnya yang begitu berlekuk-lekuk, sehingga dia mirip balon jins biru.
"Mereka di bawah," kata Annabeth. "Takut ketinggian."
"Oh, kasihan." Chihuahua itu menggeram. Kata perempuan itu, "Bocah, jangan nakal."
Anjing itu bermata manik-manik seperti miliknya, cerdas dan jahat.
Kataku, "Bocah. Itu namanya?"
"Bukan," kata perempuan itu.
Dia tersenyum, seolah-olah itu menjelaskan segalanya.
Di puncak Gateway Arch, dek observasi mengingatkanku pada kaleng timah yang diberi karpet. Berbaris-baris jendela kecil di satu sisi menghadap ke kota dan di sisi lain menghadap sungai. Pemandangannya lumayan, tetapi kalau ada yang lebih tidak kusukai daripada tempat sempit, itu adalah tempat sempit setinggi 180 meter. Sebentar saja, aku sudah ingin pulang.
Annabeth terus berbicara soal penopang struktur, dan bahwa dia lebih suka kalau jendelanya lebih besar, dan ingin merancang lantai tembus pandang. Dia mungkin bisa sampai berjam-jam di sini, tapi untungnya si penjaga mengumumkan bahwa dek observasi akan ditutup beberapa menit lagi.
Aku menggiring Grover dan Annabeth ke pintu keluar, memasukkan mereka ke dalam lift. Aku sendiri baru akan masuk ketika kusadari sudah ada dua wartawan lain di dalam. Tak ada tempat buatku.
Si penjaga berkata, "Lift berikutnya, Nak."
"Kami saja yang keluar," kata Annabeth. "Kami akan menemanimu menunggu."
Tetapi, itu akan mengacaukan semua orang dan membuang waktu lebih banyak lagi, jadi kukatakan, "Nggak apa-apa kok. Sampai ketemu di bawah."
Grover dan Annabeth tampak gugup, tetapi mereka membiarkan pintu lift bergeser tertutup. Lift mereka menghilang menuruni lengkungan.
Sekarang yang masih berada di dek observasi tinggal aku, seorang bocah bersama orangtuanya, si penjaga, dan si wanita gembrot yang membawa Chihuahua.
Aku tersenyum kikuk kepada si wanita gembrot. Dia balas tersenyum, lidahnya yang bercabang bergerak-gerak di antara gigi.
Tunggu sebentar. Lidah bercabang" Sebelum aku sempat memutuskan apakah barusan aku benar-benar melihat itu, Chihuahua-nya melompat turun dan mulai menyalak kepadaku.
"Nah-nah, Anak Manis," kata wanita itu. "Ini kan bukan waktu yang tepat" Di sini ada orang-orang baik."
"Anjing!" kata si anak kecil. "Lihat, ada anjing!"
Orangtuanya menahannya. Chihuahua itu memamerkan gigi kepadaku, buih menetes-netes dari bibirnya yang hitam
"Baiklah, Nak," kata wanita gembrot itu sambil menghela napas. "Kalau kau bersikeras."
Es mulai terbentuk di perutku. "Eh, Ibu baru menyebut Chihuahua itu anak?"
"Chimera, Sayang,"si wanita gembrot itu mengoreksi. "Bukan Chihuahua. Memang mudah tertukar."
Dia menggulung lengan baju jins, menyingkapkan kulit lengannya yang berwarna hijau bersisik. Ketika dia tersenyum, kulihat bahwa giginya taring semua. Pupil matanya merupakan celah pipih, seperti mata reptil.
Chihuahua itu menggonggong lebih keras, dan dengan setiap gonggongan, tubuhnya membesar. Pertama hingga sebesar anjing Doberman, lalu sebesar singa.
Gonggongan itu menjadi auman.
Bocah kecil itu menjerit. Orangtuanya menariknya ke arah pintu keluar, langsung ke arah si penjaga, yang berdiri mematung, menganga melihat monster itu.
Chimera itu sekarang begitu besar, sehingga punggungnya menyentuh atap. Ia memiliki kepala singa dengan surai yang bermandikan darah, tubuh dan kaki kambing raksasa, ekor berupa ular derik diamondback sepanjang tiga meter yang tumbuh dari pantatnya. Kalung anjing diamante masih tergantung di lehernya, dan peneng anjing yang sebesar piring sekarang mudah dibaca: CHIMERA - BUAS,BERNAPAS API, BERACUN - JIKA DITEMUKAN, HUBUNGI TARTARUS - PESAWAT 954.
Kusadari bahwa aku bahkan belum membuka tutup pedangku. Tanganku mati rasa. Aku berdiri sejauh tiga meter dari moncong Chimera yang berdarah-darah. Aku tahu bahwa begitu aku bergerak, makhluk itu akan menerkam.
Si wanita ular berdesis, mungkin sebenarnya suara tawa. "Kau semestinya tersanjung, Percy Jackson. Raja Zeus jarang mengizinkanku menguji seorang pahlawan dengan salah satu anakku. Karena akulah Induk Monster, Echidna yang mengerikan!"
Aku menatapnya. Yang terpikir olehku hanyalah mengatakan: "Bukannya echidna itu nama semacam pemakan semut?"
Dia melolong, wajah reptilnya menjadi cokelat dan hijau karena marah. "Aku paling sebal kalau orang bilang begitu! Aku benci Australia! Menamai hewan konyol itu dengan namaku. Untuk hinaan itu, Percy Jackson, anakku akan menghancurkanmu!"
Chimera itu menyerang, gigi singanya beradu. Aku berhasil melompat ke samping dan menghindari gigitan.
Aku mendarat di dekat keluarga itu dan si penjaga, yang semuanya sekarang menjerit-jerit sambil berusaha membuka pintu keluar darurat.
Aku tak bisa membiarkan mereka terluka. Aku membuka tutup pedangku, berlari ke seberang dek, dan berseru, "Hei, Chihuahua!"
Chimera itu berputar lebih cepat daripada yang kukira.
Sebelum aku sempat mengayunkan pedang, Chimera membuka mulut, mengeluarkan bau seperti lubang panggangan terbesar di dunia, dan menembakkan kolom api tepat ke arahku.
Aku melompat menembus ledakan. Karpet terbakar, panasnya begitu tinggi, sampai-sampai alisku hampir terbakar.
Di tempatku berdiri tadi, ada lubang bergerigi di dinding Gateway Arch. Di sekeliling tepi lubang itu, logam meleleh sambil mengepulkan asap.
Bagus, pikirku. Kami baru saja mengelas sebuah monumen nasional.
Riptide sekarang sudah membentuk pedang perunggu bersinar di tanganku, dan saat Chimera berputar, aku menyabet lehernya.
Itu kesalahan fatal. Pedang itu terpantul kalung anjing tanpa melukai. Aku berusaha berdiri tegak kembali, tetapi aku begitu cemas memikirkan cara membela diri dari mulut berapi si singa, aku lupa sama sekali soal ekor ularnya sampai ular itu berputar dan menghunjamkan taringnya pada betisku.
Seluruh kakiku terasa terbakar. Aku berusaha menikamkan Riptide ke dalam mulut Chimera, tetapi ekor ular itu membeli pergelangan kakiku dan menarikku hingga jatuh. Pedangku terlontar dari tangan, berputar-putar keluar dari lubang di Gateway Arch dan jatuh ke Sungai Mississippi.
Aku berhasil berdiri, tetapi aku tahu aku sudah kalah. Aku tak bersenjata.
Terasa olehku racun maut yang berpacu ke dada. Aku ingat Chiron berkata bahwa Anaklusmos akan selalu kembali kepadaku, tetapi di sakuku tak ada pena.
Mungkin jatuhnya terlalu jauh. Mungkin hanya kembali kalau sedang berbentuk pena. Aku tak tahu, dan aku tak akan hidup cukup lama untuk mengetahuinya.
Aku mundur ke arah lubang di dinding. Chimera itu maju, menggeram, asap mengepul dari bibirnya. Si wanita ular, Echidna, terkekeh-kekeh. "Pahlawan zaman sekarang tak sehebat dulu, ya, Nak"'
Monster itu menggeram. Tampaknya ia sudah tak tergesa-gesa lagi menghabisiku, karena aku sudah kalah.
Aku melirik si penjaga dan keluarga itu. Bocah kecil itu bersembunyi di balik kaki ayahnya. Aku harus melindungi orang-orang ini. Aku tak bisa cuma ... mati.
Aku berusaha berpikir, tetapi seluruh tubuhku terasa terbakar. Kepalaku pusing.
Aku tak punya pedang. Aku sedang menghadapi seekor monster raksasa yang bernapas api dan ibunya. Dan aku takut.
Aku tak bisa ke mana-mana lagi, jadi aku melangkah ke tepi lubang. Jauh, jauh di bawah, sungai tampak berkilap-kilap.
Kalau aku mati, apakah monster-monster itu akan pergi" Apakah mereka tak akan mengganggu manusia-manusia itu"
"Kalau kau anak Poseidon," desis Echidna, "kau tak akan takut air. Lompatlah, Percy Jackson. Tunjukkan bahwa air tak akan menyakitimu. Lompat dan ambil pedangmu. Buktikan garis darahmu."
Enak saja, pikirku. Aku pernah membaca di suatu tempat bahwa melompat ke air dari ketinggian puluhan lantai itu sama seperti melompat ke aspal. Dari sini, aku pasti mati saat terbanting.
Mulut Chimera berpendar merah, pemanasan untuk menembak lagi.
"Kau tak punya iman," kata Echidna. "Kau tak memercayai para dewa. Aku tak bisa menyalahkanmu, Pengecut Kecil. Lebih baik kau mati sekarang. Para dewa tak bisa dipercaya. Racun itu berada di hatimu."
Dia benar: aku sudah sekarat. Aku dapat merasakan napasku melambat. Tak ada yang bisa menyelamatkanku, dewa juga tidak.
Aku mundur dan melihat ke air di bawah. Aku ingat pendar hangat senyuman ayahku sewaktu aku masih bayi. Dia pasti pernah menengokku. Dia pasti pernah mengunjungiku saat aku masih dalam buaian.
Aku ingat trisula hijau berputar-putar yang muncul di atas kepalaku pada malam permainan tangkap bendera, ketika Poseidon mengakuiku sebagai anaknya.
Tapi ini bukan laut. Ini Sungai Mississippi, tepat di tengah-tengah Amerika Serikat. Tak ada Dewa Laut di sini.
"Matilah, orang yang tak percaya," kata Echidna parau, dan Chimera menembakkan kolom api ke mukaku.
"Ayah, tolong aku," aku berdoa.
Aku berbalik dan melompat. Dengan pakaian terbakar dan racun menyebar dalam pembuluh darah, aku terjun ke arah sungai.
14. Aku Menjadi Pelarian Terkenal
Maunya sih aku bisa menyombongkan bahwa aku mendapat semacam wahyu agung dalam perjalananku ke bawah, bahwa aku berdamai dengan kefanaanku sendiri, tertawa menghadapi maut, dan seterusnya.
Tapi sebenarnya" Satu-satunya pikiranku cuma: Aaaaakkkhhhhhh!
Sungai berpacu ke arahku secepat truk. Angin merenggut napas dari paru-paruku. Menara dan gedung pencakar langit dan jembatan berguling masuk-keluar pandanganku.
Lalu: Plas! Awan gelembung udara. Aku tenggelam dalam air keruh, yakin bahwa aku akan terbenam dalam tiga puluh meter lumpur dan hilang selamanya.
Tetapi, perbenturanku dengan air tidak sakit. Aku sekarang jatuh dengan lambat, gelembung air melayang naik melalui jemariku. Aku mendarat di dasar sungai tanpa suara. Seekor ikan lele sebesar ayah tiriku tiba-tiba menghilang ke dalam kelam. Awan pasir dan sampah menjijikkan - botol bir, sepatu tua, kantong plastik - berputar-putar di sekelilingku.
Saat itu aku menyadari beberapa hal: pertama, aku tidak gepeng seperti martabak. Aku tidak terpanggang. Aku bahkan tak bisa lagi merasakan racun Chimera mendidih dalam pembuluh darahku. Aku masih hidup, itu bagus.
Hal kedua yang kusadari: aku tidak basah. Maksudku, aku dapat merasakan dinginnya air. Aku dapat melihat tempat-tempat api yang dipadamkan di pakaianku. Tetapi, ketika kemejaku sendiri kusentuh, rasanya kering
Aku memandangi sampah yang melayang lewat dan menyambar sebuah pemantik api tua.
Mustahil, pikirku. Aku menekan tombol nyala. Pemantik itu nyala. Api kecil muncul, di dasar Sungai Mississippi.
Aku menyambar bungkus hamburger basah dari arus dan langsung saja kertas itu menjadi kering. Aku berhasil membakarnya tanpa kesulitan. Begitu kulepaskan, apinya padam. Bungkus kertas itu kembali menjadi carik berlumut.
Aneh. Tapi, pikiran teraneh baru terlintas di benakku terakhir: Aku bernapas. Aku berada dalam air, tetapi aku bernapas secara normal.
Aku berdiri, terbenam lumpur hingga ke paha. Kakiku terasa goyah.
Tanganku gemetar. Semestinya aku sudah mati. Kenyataan bahwa aku tidak mati terasa seperti ... yah, mukjizat. Aku membayangkan suara seorang wanita, suara yang agak mirip ibuku: Percy, harus bilang apa"
"Eh ... terima kasih." Di dalam air, suaraku seperti suara yang direkam, seperti anak yang jauh lebih tua. "Terima kasih ... Ayah."
Tak ada jawaban. Hanya arus sampah gelap ke hilir, si ikan lele raksasa meluncur lewat, kilas cahaya matahari terbenam di permukaan air jauh di atas, mengubah segalanya menjadi warna selai kacang.
Kenapa Poseidon menyelamatkanku" Semakin kupikirkan, aku semakin malu.
Beberapa kali sebelumnya aku kebetulan saja mujur. Melawan makhluk seperti Chimera, aku tak punya peluang menang. Orang-orang malang di Gateway Arch pasti sudah menjadi panggangan. Aku tak bisa melindungi mereka. Aku bukan pahlawan. Mungkin sebaiknya aku tinggal di bawah sini saja bersama si ikan lele, bergabung dengan pemakan dasar sungai.
Bam-bam-bam. Roda lambung kapal sungai berputar di atasku, mengaduk-aduk pasir.
Di sana, tak sampai dua meter di depanku, ada pedangku, gagang perunggunya yang berkilauan mencuat dari lumpur.
Aku mendengar suara wanita itu lagi: "Percy, ambillah pedang itu. Ayahmu meyakini kemampuanmu."
Kali ini aku tahu suara itu bukan khayalanku saja. Aku tidak mengada-ada. Suaranya seolah-olah datang dari semua tempat, beriak melalui air seperti sonar lumba-lumba.
"Kau di mana?" seruku keras-keras.
Lalu, melalui kekelaman, kulihat dia - wanita yang sewarna dengan air, hantu dalam arus, melayang tepat di atas pedang. Rambutnya panjang melayang-layang, dan matanya, yang nyaris tak terlihat, berwarna hijau seperti mataku.
Ganjalan terbentuk di leherku. Kataku, "Ibu?"
"Bukan, Nak, hanya utusan, meskipun nasib ibumu belum seburuk yang kau yakini. Pergilah ke pantai di Santa Monica."
"Apa?" "Itu kehendak ayahmu. Sebelum turun ke Dunia Bawah, kau harus pergi ke Santa Monica. Tolong, Percy, aku tak bisa lama-lama. Sungai di sini terlalu kotor bagi kehadiranku."
"Tapi ..." Aku yakin perempuan ini ibuku, atau setidaknya bayangannya.
"Siapa - bagaimana kau -"
Tapi, begitu banyak yang ingin kutanyakan, kata-katanya tersumbat di tenggorokanku.
"Aku harus pergi, sang pemberani," kata wanita itu. Dia mengulurkan tangan, dan kurasakan arus air mengusap wajahku seperti belaian. "Kau harus ke Santa Monica! Dan Percy, jangan percayai hadiah .... "
Suaranya menghilang. "Hadiah?" tanyaku. "Hadiah apa" Tunggu!"
Dia mencoba berbicara sekali lagi, tetapi suaranya hilang. Sosoknya lenyap.
Kalau itu ibuku, aku kehilangan dia lagi.
Aku merasa ingin menenggelamkan diri. Satu-satunya masalah: Aku tak bisa tenggelam.
"Ayahmu meyakini kemampuanmu," kata wanita itu.
Dia juga menyebutku pemberani ... kecuali kalau dia tadi berbicara dengan si ikan lele.
Aku mengarung ke arah Riptide dan mencengkeram gagangnya. Chimera mungkin masih berada di atas sana bersama ibu ularnya yang gembrot, menunggu menghabisiku. Setidaknya polisi manusia akan datang, berusaha menyelidiki siapa yang melubangi Gateway Arch. Kalau mereka menemukanku, mereka pasti punya banyak pertanyaan.
Aku menutup pedang, memasukkan pena ke saku.
"Terima kasih, Ayah," kataku lagi kepada air gelap.
Lalu, aku menolakkan tubuh pada lumpur dan berenang ke permukaan.
* * * Aku mendarat di sebelah McDonald's terapung.
Satu blok dari situ, semua kendaraan darurat di St. Louis mengelilingi Gateway Arch. Beberapa helikopter polisi berputar-putar di udara. Kerumunan penonton yang penuh sesak mengingatkanku pada Times Square pada malam Tahun Baru.
Seorang anak perempuan berkata, "Mama! Anak itu berjalan keluar dari sungai."
"Bagus, Sayang," kata ibunya, yang menjulurkan leher untuk menonton ambulans.
"Tapi dia kering!"
"Bagus, Sayang."
Seorang penyiar perempuan berbicara di depan kamera: "Kami diberi tahu bahwa ini mungkin bukan serangan teroris, tetapi penyelidikan saat ini masih pada tahap yang sangat awal. Seperti yang Anda lihat, kerusakannya parah. Kami berusaha mendekati beberapa orang yang selamat, untuk menanyai mereka mengenai laporan saksi tentang seseorang yang jatuh dari Gateway Arch.
Orang yang selamat. Aku merasa lonjakan rasa lega. Mungkin si penjaga dan keluarga itu keluar dengan selamat. Kuharap Annabeth dan Grover baik-baik saja.
Aku berusaha menembus keramaian untuk melihat apa yang terjadi di dalam pita polisi.
"... remaja lelaki," seorang wartawan lain berkata. "Saluran Lima mendapat informasi bahwa kamera pengintai menunjukkan seorang remaja lelaki tiba-tiba mengamuk di dek observasi, lalu entah bagaimana memicu ledakan aneh ini. Sulit dipercaya, John, tetapi itulah yang kami dengar. Sekali lagi, tak ada korban jiwa ..."
Aku mundur, berusaha menunduk. Aku harus mengambil jalan memutar ke sekeliling batas polisi. Polisi berseragam dan wartawan ada di mana-mana.
Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku hampir putus asa bisa menemukan Annabeth dan Grover, ketika sebuah suara akrab mengembik, "Perrr-cy!"
Aku berputar dan dihantam oleh pelukan erat Grover. Katanya, "Kami sangka kau sudah pergi ke Hades lewat jalan pintas!"
Annabeth berdiri di belakangnya, berusaha tampak marah, tetapi dia pun kelihatan lega bertemu denganku. "Kau ini memang nggak bisa ditinggal, biar cuma lima menit! Apa yang terjadi?"
"Aku jatuh." "Percy! Dua ratus meter?"
Di belakang kami, seorang polisi berseru, "Buka jalan!" Orang membuka jalan, dan beberapa paramedis bergegas keluar, mendorong seorang wanita dalam usungan. Aku segera mengenalinya sebagai ibu si bocah kecil di dek observasi.
Katanya, "Lalu ada anjing raksasa, Chihuahua raksasa yang bernapas api-"
"Oke, Bu," kata si paramedis. "Tenang dulu. Keluarga Ibu baik-baik saja. Obat itu mulai bekerja."
"Saya tidak gila! Anak itu melompat keluar lewat lubang dan monster itu menghilang." Lalu dia melihatku. "Itu dia! Itu anaknya!"
Aku cepat-cepat berbalik dan menarik Annabeth dan Grover bersamaku. Kami menghilang ke dalam keramaian.
"Ada apa sih?" tanya Annabeth. "Yang dia maksud itu, Chihuahua dalam lift tadi?"
Aku menceritakan semuanya tentang Chimera, Echidna, terjun bebasku, dan pesan dari wanita bawah air.
"Wah"' kata Grover. "Kita harus cepat-cepat ke Santa Monica! Kau tak boleh mengabaikan panggilan dari ayahmu."
Sebelum Annabeth sempat menanggapi, kami melewati seorang wartawan lain yang memberitakan peristiwa ini, dan aku hampir terpaku di tengah jalan ketika dia berkata, "Percy Jackson. Benar, Dan. Saluran Dua Belas mendapat tahu bahwa anak yang mungkin menyebabkan ledakan ini memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan remaja yang dicari polisi untuk kecelakaan bus yang parah di New Jersey tiga hari lalu. Dan anak itu diyakini bergerak ke arah Barat. Untuk permisa di rumah, inilah foto Percy Jackson.'
Kami menunduk mengitari van berita dan menyelinap ke dalam gang.
"Yang paling penting dulu," kataku kepada Grover. Kita harus keluar dari kota ini!"
Entah bagaimana, kami berhasil kembali ke stasiun Amtrak tanpa dikenali.
Kami naik kereta api persis sebelum kereta itu berangkat menuju Denver. Kereta itu meluncur ke Barat sementara kegelapan tiba, lampu polisi masih berdenyar-denyar dengan latar pemandangan kota St. Louis di belakang kami.
15. Seorang Dewa Mentraktir Kami Cheeseburger
Sore berikutnya, tanggal 14 Juni, tujuh hari sebelum titik balik matahari, kereta kami memasuki Denver. Kami belum makan sejak malam sebelumnya di gerbong restoran, di suatu tempat di Kansas. Kami belum mandi sejak dari Bukit Blasteran, dan aku yakin itu terlihat dari penampilan kami.
"Ayo kita coba hubungi Chiron," kata Annabeth. "Aku ingin menceritakan pembicaraanmu dengan arwah air itu."
"Kita nggak bisa memakai telepon, kan?"
"Maksudku bukan dengan telepon."
Kami keluyuran di alun-alun sekitar setengah jam, meskipun aku tak tahu apa yang dicari Annabeth. Udara kering dan panas, yang terasa aneh setelah kelembapan St. Louis. Ke mana pun kami membelok, Pegunungan Rocky seolah-olah menatapku, bagaikan ombak pasang yang akan berdebur ke kota.
Akhirnya, kami menemukan tempat cuci mobil swalayan. Kami membelok ke bilik yang terjauh dari jalan, sambil memasang mata kalau-kalau ada mobil patroli.
Kami tiga remaja yang luntang-lantung di tempat cuci mobil tanpa mobil; polisi mana pun yang cukup pintar tentu menyimpulkan bahwa kami sedang membuat onar.
"Apa persisnya yang akan kita lakukan?" tanyaku, sementara Grover mengambil semprotan.
"Tujuh puluh lima sen," gerutunya. "Aku cuma punya dua keping 25 sen. Annabeth?"
"Jangan lihat aku,' katanya. "Gerbong restoran meludeskan uangku."
Aku merogoh uang receh yang terakhir dan memberikan 25 sen kepada Grover. Itu menyisakan dua keping 10 sen dan satu drachma dari tempat Medusa.
"Bagus," kata Grover. "Ini bisa kita lakukan dengan botol semprot, tentu saja, tetapi koneksinya tidak terlalu bagus, dan tanganku capek memompa.
"Kau bicara apa sih?"
Dia memasukkan koin dan menyetel tombol ke KABUT HALUS. 'I-M.'
' Instant messaging" '
"Iris-messaging," Annabeth mengoreksi. "Dewi Pelangi Iris membawa pesan kepada para dewa. Kalau kita tahu cara memintanya, dan dia tak terlalu sibuk, dia juga mau membawa pesan untuk blasteran."
"Kau memanggil dewi dengan semprotan air?"
Grover mengarahkan semprotan ke udara dan air mendesis keluar menjadi kabut putih yang tebal. "Kecuali kau tahu cara yang lebih mudah untuk membuat pelangi."
Benar saja, cahaya sore tersaring melalui uap dan terurai menjadi warna-warni.
Annabeth menyodorkan tangan kepadaku. "Minta drachmanya."
Aku menyerahkannya. Dia mengangkat koin itu ke atas kepala. "Wahai dewi, terimalah persembahan kami."
Dia melemparkan drachma itu ke pelangi. Koin itu menghilang dalam pendar keemasan.
"Bukit Blasteran," Annabeth meminta.
Sesaat, tak terjadi apa-apa.
Lalu, aku melihat ladang stroberi melalui kabut itu, dan Selat Long Island di kejauhan. Kami tampaknya berada di teras Rumah Besar. Di langkan, seorang pemuda berdiri memunggungi kami, pemuda yang berambut warna pasir, bercelana pendek, dan berkemeja jingga. Dia memegang pedang perunggu dan tampaknya sedang menatap sesuatu di padang rumput lekat-lekat.
"Luke!" panggilku.
Dia berbalik, dengan mata membelalak. Aku berani sumpah dia berdiri satu meter di depanku melalui tabir kabut, tetapi aku hanya bisa melihat bagian tubuhnya yang tampak dalam pelangi.
"Percy!" Wajah bercodetnya menyeringai. "Apa itu Annabeth juga" Terpujilah dewa-dewa! Kalian nggak apa-apa?"
"Kami ... eh ... baik," Annabeth terbata-bata. Dia sibuk merapikan kemejanya yang kotor, berusaha menyisir rambut kusut dari wajahnya. "Kami pikir - Chiron - maksudku -"
"Dia sedang di pondok." Senyum Luke memudar. "Sedang ada masalah dengan pekemah. Dengar, apakah semua baik-baik saja" Grover baik?"
"Aku di sini," seru Grover. Dia memegang semprotan ke satu sisi dan melangkah ke dalam garis pandang Luke. "Masalah apa?"
Saat itu sebuah mobil Lincoln Continental masuk ke tempat cuci mobil, stereonya memperdengarkan lagu hip-hop bersuara nyaring. Sementara mobil itu masuk ke bilik sebelah, bas dari subwoofer-nya bergetar keras, sampai-sampai trotoar berguncang.
"Chiron harus - suara berisik apa itu?" teriak Luke.
"Biar kubereskan!" Annabeth balas berteriak, tampak sangat lega karena punya alasan untuk keluar dari pandangan. "Grover, ayo!"
"Apa?" kata Grover. "Tapi -?"
"Berikan semprotan itu kepada Percy dan ayo!" perintahnya.
Grover menggerutu soal anak perempuan lebih sulit dipahami daripada sang Oracle di delphi, lalu dia menyerahkan semprotan kepadaku dan mengikuti Annabeth.
Aku menyesuaikan slang, supaya aku dapat mempertahankan pelangi sambil tetap bisa melihat Luke.
"Chiron harus melerai perkemahan," teriak Luke kepadaku mengatasi bunyi musik. "Keadaannya cukup tegang di sini, Percy. Kabar bocor tentang perselisihan Zeus-Poseidon. Kami masih belum tahu bagaimana caranya - mungkin bajingan yang memanggil anjing neraka itu. Sekarang pekemah mulai berpihak. Sepertinya bakal seperti Perang Troya lagi. Aphrodite, Ares, dan Apollo mendukung Poseidon, kurang-lebih. Athena mendukung Zeus.'
Aku menggigil, membayangkan pondok Clarisse akan memihak ayahku dalam hal apa pun. Di bilik sebelah, terdengar Annabeth dan seorang lelaki bertengkar, lalu volume musik mengecil secara drastis.
"Jadi, bagaimana status misimu?" Luke bertanya. "Chiron pasti menyesal, tak sempat mengobrol denganmu sekarang."
Aku menceritakan hampir semuanya, termasuk mimpiku. Senang sekali rasanya melihat dia, merasa seperti aku kembali di perkemahan meskipun hanya beberapa menit. Aku sampai tak merasa berapa lama aku berbicara sampai alarm berbunyi di mesin semprot. Kusadari aku hanya punya waktu satu menit sebelum air mati.
"Andai aku bisa di sana," kata Luke. "Sayang, kami tak bisa banyak membantu dari sini, tetapi dengar ... pasti Hades yang mencuri petir asali itu. Dia hadir di Olympus pada titik balik matahari musim dingin. Aku yang memandu karyawisata dan kami melihat dia." "Tapi kata Chiron, dewa tak bisa mengambil benda ajaib dewa lain secara langsung."
"Benar juga." kata Luke, tampak risau. "Tapi ... Hades punya helm kegelapan. Bagaimana mungkin orang lain bisa menyelinap ke ruang singgasana dan mencuri petir asali" Orangnya harus tidak kelihatan."
Kami berdua diam, sampai Luke tampaknya menyadari perkataannya.
"Eh," dia memprotes. "Maksudku bukan Annabeth. Dia dan aku sudah lama kenal. Dia tak mungkin ... Maksudku, dia sudah seperti adik bagiku."
Aku bertanya-tanya apakah Annabeth menyukai sebutan adik itu. Di bilik di sebelah kami, musik berhenti sama sekali. Seorang lelaki menjerit ketakutan, pintu-pintu mobil dibanting, dan mobil Lincoln itu keluar dari tempat cuci mobil.
"Sebaiknya kau periksa ada masalah apa itu," kata Luke. "Eh, kau memakai sepatu terbang itu, kan" Perasaanku lebih enak kalau aku tahu sepatu itu bermanfaat bagimu."
"Oh ... eh, iya!" Aku berusaha tidak terdengar seperti pembohong yang bersalah. "Ya, sepatunya bermanfaat."
"Benar?" Dia menyeringai. "Ukurannya pas?"
Airnya mati. Kabut mulai menguap.
"Jaga dirimu di Denver," kata Luke, suaranya semakin sayup. "Dan bilang pada Grover, kali ini akan lebih baik! Tak akan ada yang berubah menjadi pohon pinus asalkan dia-"
Tetapi, kabut itu hilang, dan bayangan Luke memudar hingga hilang. Aku berdiri sendirian di bilik cuci mobil yang kosong dan basah.
Annabeth dan Grover muncul dari tikungan sambil tertawa, tetapi berhenti ketika melihat wajahku. Senyum Annabeth memudar. "Apa yang terjadi, Percy" Apa kata Luke?"
"Nggak banyak," aku berbohong, perutku terasa sekosong pondok Tiga Besar.
"Ayo, kita cari makan."
* * * Beberapa menit kemudian kami sudah duduk di sebuah bilik di restoran krom yang berkilap. Di sekeliling kami, keluarga-keluarga menyantap burger dan minum susu, serta soda.
Akhirnya si pelayan datang. Dia mengangkat alis dengan skeptis.
"Bagaimana?" Kataku, "Kami, eh, mau memesan makanan." "Kalian anak-anak punya uang untuk membayar?"
Bibir bawah Grover gemetar. Aku khawatir dia akan mulai mengembik, atau lebih buruk lagi, mulai mengunyah linoleum. Annabeth kelihatannya sudah hampir pingsan kelaparan. Aku berusaha memikirkan kisah memelas untuk si pelayan, ketika suara gemuruh mengguncang seluruh bangunan; sebuah sepeda motor sebesar bayi gajah masuk ke tempat parkir.
Semua percakapan di restoran itu berhenti. Lampu depan motor itu menyala merah. Tangki gasnya dicat gambar api, dan sarung senapan dipasang di kedua sisi, lengkap dengan senapannya. Sadelnya terbuat dari kulit - tetapi kulit yang mirip ... yah, kulit manusia kulit putih.
Lelaki di atas motor itu bisa membuat para pegulat profesional kabur berlindung di ketiak ibu mereka. Dia memakai kaus merah tanpa lengan, jins hitam, dan jaket kulit hitam, sementara pisau berburu terikat pada pahanya. Dia mengenakan kacamata gaya warna merah, dan dia memiliki wajah paling brutal dan paling kejam yang pernah kulihat k tampan juga, barangkali, tapi jahat - dengan rambut krukat hitam berminyak dan pipi bercodet dari sangat banyak perkelahian. Anehnya, aku merasa pernah melihat wajahnya di suatu tempat.
Saat dia masuk ke restoran, angin kering dan panas bertiup ke semua tempat.
Semua orang bangkit, seolah-olah dihipnotis, tetapi si pengendara motor melambaikan tangan mengabaikan dan mereka semua duduk lagi. Semua orang kembali mengobrol. Si pelayan mengerjapkan mata, seolah-olah ada yang menekan tombol rewind di otaknya. Dia menanyai kami lagi, "Kalian anak-anak punya uang untuk membayarnya?"
Si pengendara motor berkata, "Aku yang bayar." Dia menyelinap masuk ke bilik kami, yang terlalu kecil baginya, dan mendesak Annabeth ke jendela.
Dia menatap si pelayan, yang terbeliak memandangnya, dan berkata, "Kau masih di sini?"
Dia menunjuk si pelayan, dan tubuh perempuan itu pun menjadi kaku. Dia berbalik seolah-olah tubuhnya diputar, lalu berderap kembali ke dapur.
Si pengendara motor menatapku. Aku tak bisa melihat matanya di balik kacamata merah, tetapi firasat buruk mulai bergolak di perutku. Amarah, benci, getir. Aku ingin menonjok tembok. Aku ingin mengajak orang berkelahi.
Memangnya orang ini pikir dia siapa"
Dia menyeringai jail kepadaku. "Jadi kau anak si Ganggang tua ya?"
Semestinya aku kaget, atau takut, tetapi aku malah merasa seolah-olah sedang menatap ayah tiriku, Gabe. Aku ingin mencabut kepala orang ini. "Memangnya apa urusanmu?"
Mata Annabeth memancarkan peringatan kepadaku. "Percy, ini -"
Si pengendara motor mengangkat tangan.
"Nggak apa-apa," katanya. "Aku nggak keberatan dengan sikap kurang ajar sedikit. Asalkan kau ingat siapa yang berkuasa di sini. Kau tahu siapa aku, Sepupu Cilik?"
Lalu, aku teringat mengapa orang ini tampak tak asing lagi. Dia memiliki seringai jahat yang sama dengan beberapa anak di Perkemahan Blaster, anak-anak yang berasal dari pondok lima.
"Kau ayah Clarisse," kataku. "Ares, Dewa Perang."
Ares menyeringai dan mencopot kacamatanya. Di tempat yang semestinya ditempati matanya, hanya ada api, lubang kosong yang menyala dengan ledakan-ledakan nuklir mini. "Benar, Anak Ingusan. Kudengar kau mematahkan tombak Clarisse."
"Dia yang mencari gara-gara."
"Mungkin. Keren juga. Aku tak mau mewakili anak-anakku berkelahi, kau tahu" Aku di sini karena - kudengar kau sedang di sini. Aku ada tawaran kecil untukmu.'
Si pelayan kembali membawa nampan berisi penuh tumpukan makanan - cheeseburger, kentang goreng, cincin bawang bombai, dan milkshake cokelat.
Ares memberikan beberapa drachma emas kepadanya.
Si pelayan menatap koin itu dengan gugup. "Tapi, ini bukan ..."
Ares menghunus sebilah belati besar dan mulai membersihkan kuku jari. "Ada masalah, Manis?"
Si pelayan menelan ludah, lalu pergi membawa emas itu.
"Kau tak boleh begitu," kataku kepada Ares. "Kau tak boleh mengancam orang dengan pisau begitu saja."
Ares tertawa. "Kau bercanda, ya" Aku suka negara ini. Tempat terbaik sejak Sparta. Kau tak bawa senjata, Bocah Ingusan" Mestinya bawa. Dunia ini berbahaya. Dan kembali lagi ke tawaranku. Aku perlu bantuanmu."
"Bantuan apa yang bisa kulakukan untuk seorang dewa?"
"Sesuatu yang tak sempat dikerjakan dewa seorang diri. Nggak susah kok. Aku meninggalkan perisaiku di taman air terbengkalai di kota ini. Tadi aku sedang ... berkencan dengan pacarku. Kami diganggu. Perisaiku tertinggal. Aku ingin kau mengambilkannya untukku."
"Kenapa tak kauambil sendiri saja?"
Api di lubang matanya menyala lebih panas.
"Kenapa nggak kuubah saja kau menjadi anjing padang rumput dan menggilasmu dengan Harleyku" Karena aku sedang malas saja. Seorang dewa sedang memberimu peluang untuk membuktikan diri, Percy Jackson. Apakah kau akan membuktikan bahwa kau pengecut"' Dia memajukan tubuh. "Atau mungkin kau cuma berani bertempur kalau bisa terjun ke sungai, supaya ayahmu bisa melindungimu?"
Aku ingin menonjok orang ini, tetapi entah bagaimana, aku tahu dia menantikan itu. Kekuatan Areslah yang menyebabkan amarahku. Dia senang kalau aku menyerang. Aku tak mau membuatnya puas.
"Kami nggak tertarik," kataku. "Kami sudah punya misi."
Mata berapi Ares membuatku melihat hal-hal yang tak ingin kulihat - darah dan asap dan mayat-mayat di arena peperangan. "Aku tahu persis soal misimu. Bocah. Saat barang itu pertama kali dicuri, Zeus mengutus bawahan terbaiknya untuk mencarinya: Apollo, Athena, Artemis, dan tentu saja aku. Kalau aku tak bisa mengendus senjata sekuat itu ...." Dia menjilat bibir, seolah-olah bayangan petir asali itu saja sudah membuatnya haus. "Nah ... kalau aku saja tak bica mencarinya, kau mana ada harapan. Meskipun begitu, aku berusaha membiarkanmu membuktikan diri. Aku dan ayahmu sudah lama berteman. Lagi pula, akulah yang memberi tahu dia tentang kecurigaanku soal si Napas Bangkai Tua itu."
"Kau yang memberi tahu dia bahwa Hades yang mencuri petir?"
"Tentu saja. Memfitnah orang untuk memicu perang. Tipuan lama. Aku langsung mengenalinya. Boleh dibilang, kau harus berterima kasih kepadaku atas misi itu."
"Trims," gerutuku.
"Hei, aku ini murah hati. Kau lakukan saja tugas kecil dariku ini, maka aku akan membantu perjalananmu. Aku akan mengurus tumpangan ke barat untukmu dan teman-temanmu."
"Kami baik-baik saja sendiri."
"Betul. Tak ada uang. Tak ada kendaraan. Tak punya gambaran soal apa yang kalian hadapi. Bantulah aku, mungkin aku bisa memberitahumu sesuatu yang perlu kalian ketahui. Sesuatu tentang ibumu."
"Ibuku?" Dia menyeringai. "Nah, begitu dong. Jadi, taman air itu satu setengah kilometer di sebelah barat Delancy. Tak mungkin terlewat. Cari wahana Terowongan Cinta."
"Apa yang mengganggu kencanmu?" tanyaku. "Ada yang membuatmu ketakutan?"
Ares memamerkan giginya, tetapi aku sudah pernah melihat tampang mengancam seperti itu pada wajah Clarisse. Ada yang palsu dalam tampang itu, hampir seolah-olah dia gugup.
"Kau beruntung bertemu denganku, Bocah, dan bukan para dewa Olympia yang lain. Mereka tidak terlalu toleran pada kekurangajaran seperti aku. Kita bertemu lagi di sini setelah kau selesai. Jangan kecewakan aku."
Setelah itu sepertinya aku pingsan, atau trance, karena saat aku membuka mata lagi, Ares sudah menghilang. Aku ingin saja menganggap percakapan itu cuma mimpi, tetapi air muka Annabeth dan Grover menyatakan itu bukan mimpi.
"Nggak bagus," kata Grover. "Ares mencarimu, Percy. Ini nggak bagus."
Aku menatap keluar jendela. Motor itu sudah menghilang.
Apakah Ares benar-benar tahu sesuatu tentang ibuku, atau dia cuma mempermainkanku saja" Sekarang, setelah dia pergi, seluruh amarah surut dari diriku. Aku menyadari bahwa Ares pasti senang mengacaukan emosi orang. Itulah kekuatannya - mendongkrak perasaan menjadi begitu buruk, sehingga mengaburkan kemampuan kita berpikir.
"Ini mungkin semacam jebakan," kataku. "Lupakan Ares. Kita pergi saja."
"Kita nggak bisa begitu," kata Annabeth. "Aku juga membenci Ares, sama seperti orang lain, tapi dewa nggak bisa diabaikan, kecuali kau ingin tertimpa nasib buruk. Dia nggak main-main soal mengubahmu menjadi binatang pengerat."
Aku menatap cheeseburger-ku, yang tiba-tiba tak terlalu lezat lagi. "Kenapa dia memerlukan kita?"
"Mungkin masalahnya perlu dipecahkan pakai otak," kata Annabeth. "Ares memiliki kekuatan. Cuma itu yang dia punya. Kekuatan pun kadang harus tunduk pada kearifan."
"Tapi, taman air ini ... tingkahnya hampir seperti dia ketakutan. Apa yang menyebabkan seorang dewa perang kabur seperti itu?"
Pendekar Pemabuk 3 Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah Petualangan Manusia Harimau 1