Breaking Dawn 2
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 2
hanya bercanda!" Ia mengguncang tubuhku lagi. Kedua tangannya, yang mencengkeram kuat, bergetar,
mengirim getaran hingga jauh ke dalam tulang-tulangku.
"Jake-hentikan!"
Kegelapan tiba-tiba jadi sangat ramai.
"Lepaskan dia!" Suara Edward sedingin es, setajam silet.
Di belakang Jacob, terdengar geraman rendah dari kegelapan malam, disusul
geraman lain, meningkahi yang pertama.
"Jake, mundurlah," kudengar Seth Clearwater membujuk. "Kau kehilangan kendali."
Jacob seperti membeku, matanya yang ngeri membelalak lebar dan terpaku.
"Kau bisa melukainya," bisik Seth. "Lepaskan dia."
"Sekarang!" geram Edward.
Kedua tangan Jacob terjatuh ke sisi tubuhnya, dan darah yang menyerbu ke dalam
pembuluh darahku nyaris terasa menyakitkan. Belum lagi menyadari hal itu,
sepasang tangan dingin menggantikan tangan yang panas, dan aku merasakan desiran
udara melewatiku. Aku mengerjap, tahu-tahu aku mendapati diriku sudah berdiri kira-kira satu
setengah meter dari tempatku berdiri tadi. Edward tegang di depanku. Tampak dua
serigala besar yang siap menerjang di antara dirinya dan Jacob, namun di mataku,
keduanya tak terkesan agresif. Lebih tepatnya berusaha mencegah terjadinya
perkelahian. Dan Seth-Seth yang sangar dan baru berumur lima belas rahun-melingkarkan kedua
lengannya ke tubuh Jacob yang bergetar, dan menyeretnya menjauh. Kalau Jacob
berubah padahal Seth begitu dekat dengannya...
"Ayo, Jake. Kita pergi."
"Akan kubunuh kau," kata Jacob, suaranya tercekik oleh amarah hingga hanya
berupa bisikan rendah. Matanya, terfokus pada Edward, berapi-api marah. "Aku
sendiri yang akan membunuhmu! Aku akan melakukannya sekarang!" Tubuhnya
mengentak-entak. Serigala yang paling besar, yang berwarna hitam, menggeram tajam.
"Seth, minggir," desis Edward.
Seth menyeret Jacob lagi. Jacob begitu dipenuhi amarah sehingga Seth hanya
berhasil menyentakkan tubuhnya beberapa meter ke belakang, "Jangan lakukan itu,
Jake. Menyingkirlah! Ayo."
Sam-serigala yang lebih besar, yang berwarna hitam-bergabung dengan Seth. Ia
meletakkan kepalanya yang besar ke dada Jacob dan mendorong.
Mereka bertiga-Seth yang menyeret, Jake yang gemetaran, dan Sam yang mendorong-
menghilang cepat ditelan kegelapan.
Serigala yang satunya memandangi mereka. Aku tidak tahu persis, dalam penerangan
yang lemah, warna bulunya-cokelat, mungkin" Apakah itu Quil, kalau begitu"
"Maafkan aku," bisikku pada serigala itu. "Semua beres sekarang, Bella," bisik
Edward. Serigala itu menatap Edward. Tatapannya tidak bersahabat. Edward mengangguk
padanya dengan sikap dingin. Serigala itu mendengus kemudian berbalik untuk
mengikuti yang lain-lain, menghilang seperti mereka,
"Baiklah," kata Edward pada diri sendiri, lalu menatapku, "Ayo kita kembali."
"Tapi Jake... "
"Dia sudah berada dalam pengawasan Sam. Dia sudah pergi,"
"Edward, aku benar-benar minta maaf. Sungguh tolol aku... "
"Kau tidak melakukan kesalahan apa pun... "
"Aku memang bermulut besar! Mengapa aku harus... seharusnya aku tidak membiarkan
emosiku terpancing seperti itu. Apa yang kupikirkan?"
"Jangan khawatir." Edward menyentuh wajahku. "Kita harus kembali ke resepsi
sebelum ada yang menyadari kita tidak ada."
Aku menggeleng, berusaha mengembalikan orientasiku. Sebelum ada yang sadar"
Benarkah para tamu tidak melihat kejadian tadi"
Kemudian, waktu aku memikirkannya, sadadah aku bahwa konfrontasi yang bagiku
terasa begitu katastropik, nyatanya berlangsung dengan sangat tenang dan singkat
di bawah ke-remangan bayang-bayang.
"Beri aku waktu dua detik," aku memohon.
Isi hatiku berantakan oleh kepanikan dan kesedihan, tapi itu bukan masalah -
bagian luarlah yang penting sekarang. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa
adalah sesuatu yang kutahu harus bisa kukuasai.
"Gaunku?" "Kau terlihat baik-baik saja. Tidak sehelai rambut pun keluar dari tatanannya."
Aku menarik napas dalam-dalam dua kali. "Oke- Ayo kita pergi"
Edward merangkul pinggangku dan membimbingku kembali ke tengah cahaya.
Aku melirik sekelilingku, memandangi para tamu, tapi sepertinya tidak ada yang
shock atau ketakutan. Hanya wajah-wajah yang paling pucat yang menunjukkan
tanda-tanda stres, tapi mereka menyembunyikannya dengan baik, Jasper dan Emmett
berdiri di tepi lantai dansa, berdekatan, dan dugaanku, mereka tadi berada di
dekat kami saat terjadi konfrontasi,
"Apa kau... " "Aku baik-baik saja," aku meyakinkan dia. "Aku tidak percaya aku berbuat begitu
tadi. Apa yang salah denganku?"
"Tidak ada yang salah dengan dirimu!'
Padahal tadi aku senang sekali Jacob datang ke sini. Aku tahu pengorbanan yang
dia lakukan. Tapi lalu aku merusaknya, mengubah hadiahnya menjadi bencana.
Seharusnya aku dikarantina saja. Tapi ketololanku tidak akan merusak suasana
lagi malam ini. Aku akan mengenyahkannya, menyurukkannya ke dalam Jaci dan
menguncinya, untuk kubereskan belakangan. Akan ada banyak waktu ketika aku bisa
menghukum diriku sendiri karena persoalan ini, tapi untuk saat ini, aku tidak
bisa melakukan apa-apa. "Masalahnya sudah selesai," tukasku. "Kita tidak usah memikirkannya lagi malam
ini." Aku mengira Edward akan langsung menyetujuinya, tapi ia hanya terdiam.
"Edward?" Edward memejamkan mata dan menempelkan dahinya ke dahiku.
"Jacob benar," bisiknya. "Apa yang kupikirkan?"
"Dia tidak benar." Aku berusaha menunjukkan ekspresi seolah tidak ada apa-apa,
karena saat itu banyak teman kami yang memerhatikan. "Jacob terlalu berprasangka
untuk bisa memandang semuanya dengan jernih."
Edward menggumamkan sesuatu dengan suara pelan yang kedengarannya hampir seperti
"seharusnya kubiarkan dia membunuhku karena berani mempertimbangkan hal itu... "
"Hentikan," sergahku galak. Kurengkuh wajah Edward dengan kedua tangan dan
kutunggu sampai ia membuka mata, "Kau dan aku. Hanya itu yang penting. Satu-
satunya hal yang boleh kaupikirkan sekarang. Kaudengar aku?"
"Ya," desah Edward.
"Lupakan bahwa Jacob pernah datang" Aku bisa melakukannya. Aku akan
melakukannya. "Demi aku. Berjanjilah padaku kau akan melupakan masalah ini."
Edward menatap mataku beberapa saat sebelum menjawab. "Aku berjanji."
"Terima kasih, Edward, aku tidak takut."
"Tapi aku takut," bisiknya.
"Tidak perlu." Aku menghela napas dalam-dalam dan tersenyum. "Bagaimanapun, aku
mencintaimu." Ia membalasnya dengan tersenyum kecil. "Itulah sebabnya kita berada di sini."
"Kau memonopoli mempelai wanita" sergah Emmert, tahu-tahu muncul di balik pundak
Edward. "Izinkan aku berdansa dengan kakak perempuanku. Bisa jadi ini kesempatan
terakhirku untuk membuat wajahnya memerah." Emmett tertawa nyaring, seperti
biasa tidak terpengaruh atmosfer yang serius.
Ternyata banyak juga yang belum berdansa denganku, jadi itu memberiku kesempatan
untuk benar-benar menenangkan diri dan memantapkan hati. Setelah Edward meraihku
lagi, aku mendapati "laci Jacob"-ku telah tertutup rapat dan erat. Saat Edward
melingkarkan kedua lengannya ke tubuhku, aku mampu mengeluarkan perasaan
bahagiaku seperti yang tadi kurasakan, keyakinanku bahwa segala sesuatu dalam
hidupku berada di tempatnya yang semestinya malam ini. Aku tersenyum dan
meletakkan kepalaku di dadanya. Ia mempererat pelukannya.
"Aku bisa terbiasa dengan ini," kataku.
"Jadi sekarang kau sudah tidak keberatan lagi berdansa?"
"Berdansa ternyata lumayan juga-bersamamu. Tapi maksudku sebenarnya adalah ini"-
dan aku menempelkan tubuhku lebih rapat lagi ke tubuhnya-"yaitu tidak pernah
harus melepaskanmu" "Tidak akan pernah" janji Edward, dan ia membungkuk untuk menciumku.
Ciuman yang sangat mesra-intens, lambat, tapi makin lama makin panas...
Aku sampai lupa di mana aku berada saat itu sampai mendengar Alice berseru,
"Bella! Sudah waktunya!"
Aku merasakan secercah perasaan jengkel terhadap ipar baruku yang seenaknya saja
menginterupsi ciuman kami.
Edward tak memedulikan Alice; bibirnya melumat bibirku, lebih bergairah daripada
sebelumnya. Jantungku berpacu kencang dan telapak tanganku terasa licin di
lehernya yang sekeras marmer.
"Kalian mau ketinggalan pesawat, ya?" rongrong Alice, berdiri tepat di sampingku
sekarang. "Aku yakin kalian pasti senang, berbulan madu di bandara karena
ketinggalan pesawat dan harus menunggu pesawat lain."
Edward memalingkan wajahnya sedikir dan bergumam, "Pergi, Alice," kemudian
menciumku lagi. "Bella, jadi kau mau memakai gaun itu di pesawat?" tuntutnya.
Aku tidak terlalu memerhatikan kata-kata Alice. Aku benar-benar sedang tidak
peduli. Alice menggeram pelan. "Aku akan membocorkan kepadanya ke mana kau akan
membawanya, Edward. Jadi tolonglah aku, kalau tidak aku benar-benar akan
mengatakannya." Edward membeku. Lalu ia mengangkat wajahnya dan memelototi adik kesayangannya.
"Tubuhmu memang kecil, tapi kau luar biasa menjengkelkan."
"Setelah capek-capek memilih gaun untuk pergi berbulan madu, aku kan tidak mau
baju itu jadi mubazir karena tidak terpakai," Alice balas membentak sambil
meraih tanganku, "Ikut aku, Bella."
Aku balas menarik tanganku yang ditarik olehnya, berjinjit tinggi-tinggi untuk
mencium Edward sekali lagi. Alice menyentakkan tanganku dengan sikap tidak
sabar, menyeretku menjauh dari Edward. Beberapa tamu terkekeh melihar tingkah
kami. Lalu aku menyerah dan membiarkannya menyeretku masuk ke rumah yang kosong,
Alice tampak kesal. "Maaf, Alice," aku meminta maaf.
"Aku tidak menyalahkanmu, Bella." Ia menghela napas. "Kau sepertinya tak bisa
menguasai diri." Aku terkikik melihat ekspresinya yang pasrah, dan ia langsung merengut,
"Terima kasih, Alice, Ini pernikahan terindah yang pernah ada," kataku sungguh-
sungguh. "Semuanya sempurna. Kau adik terbaik, terpintar, dan paling berbakat di
seluruh dunia." Kata-kataku meluluhkan hatinya; Alice tersenyum lebar. "Aku senang kau
menyukainya," Renee dan Esme sudah menunggu di lantai atas. Mereka dengan cepat membantuku
menanggalkan gaun pengantin dan mengenakan gaun bulan madu berwarna biru tua
pilihan Alice. Aku bersyukur seseorang mencopoti jepit dari rambutku dan
membiarkannya tergerai lepas ke punggung, ikal sehabis dikepang, menyelamatkanku
dari kemungkinan sakit kepala. Air mata ibuku tak henti-hentinya mengalir.
"Aku akan langsung menelepon Mom begitu tahu aku akan pergi ke mana," janjiku
pada Renee waktu aku memeluknya untuk berpamitan. Aku tahu bulan madu rahasia
ini mungkin membuatnya sinting; ibuku paling benci rahasia-rahasiaan, kecuali
bila ia diikutsertakan di dalamnya,
"Aku akan memberitahumu kalau dia sudah pergi nanti," Alice mendahuluiku,
tersenyum mengejek melihat ekspresiku yang terluka. Sungguh tidak adil, selalu
saja aku yang terakhir tahu,
"Kau harus mengunjungi aku dan Phil dalam waktu dekat. Sekarang giliranmu petgi
ke selatan-sekali-sekali melihat matahari kan tidak ada salahnya," kata Renee.
"Hari ini tadi kan tidak hujan," aku mengingatkan Renee, mengelak mengiyakan
permintaannya, "Itu mukjizat."
"Semuanya sudah siap," seru Alice, "Koper-kopermu sudah di mobil-Jasper sudah
membawa mobilnya ke depan rumah," la menarikku menuruni tangga diikuti Renee,
yang masih separo memelukku.
"Aku sayang padamu; Mom," bisikku saat kami menuruni tangga, "Aku sangat senang
Mom memiliki Phil, Tetaplah saling menyayangi,"
"Aku juga sayang padamu, Bella, Sayang,"
"Selamat tinggal, Mom. Aku sayang padamu," kataku lagi, leherku tercekat.
Edward menungguku di kaki tangga. Aku menerima uluran tangannya tapi
mencondongkan tubuh menjauh, menyapukan pandanganku ke segelintir orang yang
menunggu untuk melepas kepergian kami.
"Dad!" tanyaku, mataku mencari-cari.
"Di sebelah sini," gumam Edward, Ia menarikku menerobos kerumunan tamu,-mereka
menyingkir membukakan jalan untuk kami. Kami mendapati Charlie bersandar
canggung ke dinding, di belakang semua orang lain, terlihat agak bersembunyi.
Lingkaran merah yang mengitari matanya menjelaskan alasannya. "Oh, Dad!"
Kupeluk pinggangnya rapat-rapat, air mataku kembali membanjir-betapa seringnya
aku menangis malam ini. Chariie menepuk-nepuk punggungku.
"Sudah, sudah. Jangan sampai kau ketinggalan pesawat."
Sulit memang berbicara tentang kasih sayang dengan Chariie-kami sangat mirip,
selalu mengalihkan pembicaraan ke hal remeh untuk menghindar dari keharusan
menunjukkan perasaan yang hanya akan membuat kami malu. Tapi sekarang bukan
saatnya untuk merasa malu.
"Aku sayang padamu selamanya, Dad," kataku padanya. "Jangan lupa itu "
"Aku juga, Bells. Dulu dan sekarang, dan akan selalu." Aku mencium pipinya, dan
pada saat bersamaan ia juga mencium pipiku.
"Telepon aku," pesannya.
"Segera," aku berjanji, tahu hanya itu yang bisa kujanjikan. Hanya menelepon.
Ibu dan ayahku takkan boleh bertemu lagi denganku; aku akan jadi sangat berbeda,
dan jauh, jauh lebih berbahaya,
"Pergilah, kalau begitu," kata Chariie parau, "Jangan sampai terlambat"
Para tamu kembali menyingkir, membentuk lorong untuk kami. Edward merapatkan
tubuhku ke tubuhnya sementara kami menghambur ke luar.
"Kau siap?" tanyanya,
"Siap," jawabku, dan aku tahu itu benar.
Semua bertepuk tangan ketika Edward menciumku di ambang pintu. Kemudian ia
menarikku ke mobil sementara itu tamu menghujani kami dengan beras. Sebagian
besar tidak mengenalku, tapi seseorang, kemungkinan Emmett, melempar dengan
sangat jitu, dan banyak sekali beras yang terpantul di punggung Edward
mengenaiku. Mobil itu dihiasi bunga-bunga yang menjulur di sepanjang bodinya, serta pita-
pita panjang yang mengikat lusinan sepatu-sepatu bermerek yang kelihatannya
masih baru-bergelantungan di bemper.
Edward melindungiku dari hujan beras waktu aku naik ke mobil, kemudian ia masuk
dan kami langsung meluncur pergi sambil melambai-lambaikan tangan ke luar
jendela dan menyerukan kata-kata "aku sayang kalian" ke teras, tempat para
anggota keluarga membalas lambaian kami.
Sosok yang terakhir kulihat adalah orangtuaku. Kedua lengan Phil merangkul
lembut tubuh Renee. Renee melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Phil, tapi
sebelah tangannya yang lain terulur pada Charlie, Begitu banyak jenis cinta yang
berbeda; harmonis pada momen ini. Pemandangan yang membuat hatiku begitu hangat.
Edward meremas tanganku. "Aku cinta padamu," katanya.
Aku menyandarkan kepalaku di lengannya. "Itulah sebabnya kita berada di sini,"
aku mengutip kata-kata yang ia ucapkan tadi.
Edward mengecup rambutku.
Saat kami berbelok memasuki jalan tol yang gelap pekat dan Edward menginjak
pedal gas dalam-dalam, aku mendengar suara lain meningkahi derum suara mobil,
berasal dari hutan di belakang kami. Kalau aku saja bisa mendengarnya, Edward
pasti juga bisa. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa sementara suara itu perlahan-
lahan menghilang ditelan jarak yang semakin membentang. Aku juga tidak
mengatakan apa-apa. Lolongan melengking tinggi yang mengoyak hati itu semakin sayup dan akhirnya
lenyap sama sekali. 5. PULAU ESME "HOUSTON?" tanyaku, mengangkat alis begitu kami tiba di gerbang keberangkatan di
Seattle, "Hanya transit sebentar," Edward meyakinkanku sambil nyengir.
Rasanya aku baru saja tertidur waktu ia membangunkanku. Aku masih sempoyongan
karena mengantuk waktu Edward menyeretku melintasi beberapa terminal, susah
payah berusaha mengingat untuk membuka mata setiap kali selesai mengerjap. Butuh
beberapa menit baru aku bisa sepenuhnya tersadar ketika kami berhenti di depan
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
konter penerbangan internasional, check in untuk penerbangan berikutnya.
"Rio de Janeiro?" tanyaku, sedikit waswas.
"Transit juga," jawab Edward,
Penerbangan menuju Amerika Selatan panjang tapi nyaman, di tempat duduk kelas
satu yang lebar, dalam dekapan Edward yang merangkulku. Aku tertidur pulas dan
terbangun dalam kondisi bugar saat pesawat terbang mengitari bandara,
Cahaya matahari yang mulai terbenam menerobos miring memasuki jendela pesawat.
Kami tidak tinggal di bandara untuk menyambung naik pesawat lain seperti
dugaanku semula. Kami malah naik taksi menembus jalan-jalan kota Rio yang gelap,
hiruk-pikuk, dan ramai. Karena tak bisa memahami sepatah kata pun instruksi yang
diucapkan Edward dalam bahasa Portugis kepada sopir taksi, aku hanya bisa
menduga kami pergi untuk mencari hotel dan beristirahat sebelum melanjutkan
perjalanan. Perutku mulas saat memikirkannya, perasaanku gugup seperti demam
panggung. Taksi terus melaju menembus kerumunan orang hingga akhirnya kerumunan
mulai menipis, dan sepertinya kami mendekati kawasan pinggiran kota di ujung
barat, mengarah ke lautan.
Kami berhenti di dermaga.
Edward membimbingku menyusuri deretan panjang kapal pesiar berwarna putih yang
ditambatkan di air yang hitam kelam di malam hari. Ia berhenti di samping kapal
yang ukurannya lebih kecil dibandingkan kapal-kapal lain, jelas dirancang untuk
bisa melaju cepat dan bukan untuk memperoleh ruang yang lega. Meskipun kapal itu
mewah dan lebih anggun daripada yang lain. Dengan enteng Edward melompat naik ke
kapal itu, padahal tangannya menenteng koper-koper berat, Ia menjatuhkan semua
bawaannya di atas dek, lalu berbalik untuk membantuku naik dengan hati-hati.
Aku menonton sambil berdiam diri sementara Edward menyiapkan kapal untuk
berangkat, terkejut melihat betapa terlatih dan nyaman ia kelihatannya, karena
selama ini ia tidak pernah bercerita bahwa ia tertarik dengan kapal, tapi ia
memang piawai nyaris dalam segala hal.
Saat kami melaju ke arah timur menuju laut lepas, aku meninjau kembali
pengetahuan dasar geografi yang tersimpan di kepalaku. Sepanjang pengetahuanku,
tak ada apa-apa di sebalah timur Brazil... kecuali kau sampai di Afrika.
Tapi Edward terus memacu kapalnya sementara lampu-lampu kota Rio perlahan-lahan
mengecil dan akhirnya lenyap sama sekali di belakang kami. Di wajahnya tampak
ekspresi penuh semangat yang familier itu, yang muncul setiap kali ia sedang
melaju kencang. Kapal menerjang ombak, dan tubuhku basah terkena percikan air
laut. Akhirnya rasa ingin tahuku tak bisa dibendung lagi.
"Masih jauh, ya?" tanyaku.
Tidak biasanya ia lupa bahwa aku manusia, tapi aku penasaran jangan-jangan ia
ingin agar kami tinggal di kapal kecil ini selama beberapa waktu.
"Kira-kira setengah jam lagi." Matanya menatap kedua taanganku yang mencengkeram
kursi, dan menyeringai. Oh well, pikirku dalam hari. Bagaimanapun juga dia kan vampir. Mungkin kami akan
pergi ke Atlantis. Dua puluh menit kemudian ia berseru memanggil namaku, mengalahkan raungan suara
mesin. "Bella, lihat di sana." Ia menuding lurus ke depan.
Awalnya aku hanya melihat kegelapan yang hitam pekat, dan cahaya bulan yang
putih memanjang di permukaan air. Tapi aku berusaha mencari-cari tempat yang
ditunjuk olehnya sampai menemukan sebentuk benda hitam rendah menghalangi jejak
cahaya rembulan yang membentang di atas gelombang. Saat aku menyipitkan mata ke
dalam kegelapan, siluet itu semakin jelas. Benda itu berubah bentuk menjadi
segitiga tak beraturan, satu sisinya membentang lebih panjang daripada sisi
lainnya sebelum terbenam ombak. Kami semakin dekat, dan aku bisa melihat tepian
benda itu bergerak-gerak pelan tertiup angin sepoi-sepoi.
Kemudian pandanganku kembali terfokus dan potongan-potongan itu membentuk
gambaran yang utuh dalam benakku: sebuah pulau kecil menjulang dari dalam laut
di depan kami, pohon-pohon kelapanya melambai-lambai, pantainya berkilau temaram
di bawah cahaya bulan. "Di mana kita?" bisikku takjub sementara Edward mengubah arah kapal, mengarah ke
sisi utara pulau. Ia mendengar, walaupun suara mesin sangat berisik, dan menyunggingkan senyum
lebar yang berkilauan diterpa cahaya bulan.
"Ini namanya Pulau Esme,"
Kapal tiba-tiba melambar, memasuki dermaga pendek dari papan-papan kayu, putih
bersinar tertimpa cahaya bulan. Mesin dimatikan, dan kesunyian yang mengikutinya
begitu senyap. Tidak ada apa-apa kecuali ombak, berdebur pelan mengenai badan
kapal, dan gemersik daun-daun kelapa tertiup angin. Udara hangat, lembap, dan
harum-seperti uap yang tertinggal setelah mandi air panas.
"Pulau Esme?" Suaraku pelan, namun tetap terdengar terlalu keras saat
perkataanku itu memecah keheningan malam.
"Hadiah dari Carlisle-Esme menawarkannya pada kita untuk dipinjam,"
Hadiah. Siapa yang memberikan pulau sebagai hadiah" Keningku berkerut. Aku baru
sadar kemurahan hati Edward yang berlebihan itu ternyata dipelajarinya dari
ayahnya. Edward meletakkan koper-koper kami di dermaga kemudian berbalik ke arahku,
menyunggingkan senyumnya yang sempurna sambil mengulurkan tangan. Bukannya
meraih tanganku, ia malah langsung menarikku ke dalam dekapannya.
"Bukankah seharusnya kau menunggu hingga kita sampai di ambang pintu?" tanyaku
dengan napas terengah, sementara Edward melompat turun dari kapal dengan langkah
ringan, "Edward nyengir, "Aku selalu cermat melakukan segala sesuatu."
Mencengkeram pegangan dua koper besar sekaligus dengan satu tangan sambil
merangkulku dengan tangan satunya, ia menggendongku ke dermaga, menapaki jalan
setapak berpasir pucat yang membelah semak-semak gelap.
Beberapa saat keadaan gelap gulita di tengah semak yang seperti hutan belantara,
tapi kemudian aku melihat cahaya hangat di depan sana. Begitu menyadari cahaya
itu adalah sebuah rumah-dua benda berbentuk bujur sangkar sempurna dan cemerlang
itu ternyata jendela besar yang mengapit pintu depan -demam panggungku menyerang
lagi, lebih kuat daripada sebelumnya, lebih parah daripada waktu kusangka kami
akan pergi mencari hotel.
Jantungku bertalu-talu memukul rusukku, dan napasku seolah tersangkut di
tenggorokan. Aku merasakan mata Edward menatap wajahku, tapi menolak membalas
tatapannya. Aku memandang lurus ke depan, tidak melihat apa-apa.
Edward tidak bertanya apa yang sedang kupikirkan, sesuatu yang tidak biasanya
terjadi. Kurasa itu berarti ia juga tiba-tiba sama gugupnya denganku.
la meletakkan koper-koper di bagian dalam teras untuk membuka pintu- ternyata
tidak terkunci, Edward menunduk memandangiku, menunggu sampai aku membalas tatapannya sebelum
melangkah melewati ambang pintu.
Ia membopongku masuk ke rumah, kami sama-sama terdiam, menyalakan lampu-lampu
sembari berjalan. Kesan sekilasku tentang rumah itu adalah bahwa ukurannya
sangat besar untuk pulau sekecil itu, dan yang aneh, rumah itu terasa familier.
Aku sudah terbiasa dengan skema warna pucat di atas pucat yang disukai keluarga
Cullen; rasanya seperti berada di rumah. Tapi aku tidak bisa fokus pada hal-hal
spesifik. Denyut nadi di belakang telingaku membuat segalanya sedikit kabur.
Lalu Edward berhenti dan menyalakan lampu terakhir.
Ruangan itu besar dan putih, dan dinding rerujung hampir seluruhnya terbuat dari
kaca-dekor standar untuk vampir-vampirku. Di luar, cahaya bulan cemerlang
menerpa pasir yang putih dan, beberapa meter dari rumah, tampak ombak yang
berkilauan. Tapi aku nyaris tidak memerhatikan bagian itu. Perhatianku lebih
terfokus pada tempat tidur putih besar di tengah ruangan, dengan juntaian
kelambu putih yang menggelembung.
Edward menurunkan aku dari gendongannya.
"Aku... akan mengambil koper-koper kita dulu."
Ruangan itu terlalu hangat, lebih pengap daripada hawa tropis di luar. Titik-
titik keringat bermunculan di pangkal leherku. Aku berjalan pelan-pelan sampai
bisa mengulurkan tangan dan menyentuh kelambu putih lembut itu. Entah mengapa
aku merasa perlu memastikan bahwa semuanya nyata.
Aku tidak mendengar Edward kembali. Tiba-tiba jarinya yang sedingin es membelai
tengkukku, menghapus titik keringat.
"Agak panas di sini," kata Edward dengan nada meminta maaf. "Kupikir itulah...
yang terbaik." "Cermat," gumamku pelan, dan Edward terkekeh. Nadanya gugup, sesuatu yang jarang
terjadi padanya. "Aku berusaha memikirkan segala sesuatu yang akan membuat ini... jadi lebih
mudah," ia mengakui.
Aku menelan ludah dengan suara keras, masih memunggunginya. Pernahkah ada bulan
madu seperti ini sebelumnya"
Aku tahu jawabannya. Tidak. Tidak pernah ada.
"Aku ingin tahu," kata Edward lambat-lambat, "apakah... perama-tama... mungkin
kau mau berenang tengah malam bersamaku" la menarik napas dalam-dalam, suaranya
terdengar lebih santai waktu ia berbicara lagi. "Airnya pasti hangat sekali. Ini
jenis pantai yang kausukai."
"Kedengarannya menyenangkan." Suaraku pecah.
"Aku yakin kau pasti membutuhkan 'waktu manusia' sebentar... Perjalanan tadi
sangat jauh." Aku mengangguk kaku. Aku nyaris tidak merasa seperti manusia lagi; mungkin aku
memang membutuhkan waktu sendirian sebentar.
Bibir Edward menyapu leherku, tepat di bawah telinga. Ia tekekeh dan embusan
napasnya yang dingin menggelitik Kulitku yang terlalu panas. "Jangan terlalu
lama, Mrs. Cullen." Aku terlonjak sedikit mendengar nama baruku.
Bibir Edward menyusuri leherku hingga ke pangkal bahu. "Kutunggu kau di dalam
air." Ia berjalan melewatiku menuju pintu kaca yang langsung membuka ke arah pantai
yang berpasir. Sambil berjalan ia melepaskan kemejanya, menjatuhkannya ke
lantai, lalu menyelinap melewati pintu memasuki malam yang diterangi cahaya
bulan. Udara malam yang gerah dan asin berputar-putar memasuki kamar di
belakangnya. Apakah kulitku terbakar" Aku sampai harus menunduk untuk mengecek. Tidak, tidak
ada yang terbakar. Setidaknya, tidak yang bisa dilihat mata.
Aku mengingatkan diriku untuk bernapas, kemudian ber-saruk-saruk menghampiri
koper raksasa yang sudah dibuka Edward di atas rak putih pendek. Itu pasti
koperku, karena tas kosmetikku berada di tumpukan paling atas, dan ada banyak
warna pink di dalamnya, tapi aku tidak mengenali satu helai pakaian pun yang ada
di dalamnya. Saat aku mengaduk' aduk pakaian yang terlipat rapi-mencari sesuatu
yang nyaman dan familier, celana pendek usang, mungkin-kulihat ada banyak sekali
pakaian dalam satin berenda-renda di dalamnya. Lingerie. Lingerie yang sangat
seksi, dengan label berbahasa Prancis.
Aku tidak tahu bagaimana atau kapan, tapi suatu saat nanti, Alice harus membayar
perbuatannya ini. Menyerah, aku pergi ke kamar mandi dan mengintip melalui jendela-jendela panjang
yang menghadap ke arah pantai yang sama dengan pintu-pintu kaca. Aku tidak bisa
melihat Edward; kurasa ia berada di dalam air, tidak merasa perlu muncul ke
permukaan untuk menghirup udara. Di langit di atasnya, bulan menggantung miring,
nyaris purnama, dan pasir tampak putih cemerlang di bawah siraman cahayanya.
Mataku menangkap gerakan kecil-disampirkan di sebatang pohon palem melengkung
yang berjejer sepanjang pantai, pakaian Edward melambai-lambai tertiup angin.
Semburan panas kembali menyerang kulitku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghampiri cermin yang membentang di atas
konter panjang. Wajahku persis orang yang tidur seharian di pesawat. Aku
menemukan sikat rambut dan menyentakkannya dengan kasar ke rambut kusut di
belakang tengkukku sampai rambutku kembali halus dan gigi sikat itu penuh
rambut. Aku menyikat gigi dengan saksama, dua kali. Kemudian aku mencuci muka
dan mencipratkan air ke bagian belakang leherku yang terasa panas. Rasanya
begitu menyegarkan hingga aku juga membasuh kedua tangan-ku, dan akhirnya
memutuskan untuk menyerah dan mandi saja sekalian. Aku tahu memang konyol mandi
sebelum berenang, tapi aku perlu menenangkan diri, dan air panas benar-benar
bisa diandalkan. Dan mencukur bulu kaki lagi rasanya boleh juga.
Setelah selesai aku menyambar handuk putih besar dari konter dan melilitkannya
di bawah ketiak. Kemudian aku dihadapkan pada dilema yang belum pernah kupertimbangkan
sebelumnya. Apa yang harus kukenakan" Bukan baju renang, jelas. Tapi rasanya
konyol mengenakan pakaianku lagi. Aku bahkan tidak ingin memikirkan apa yang
dicemaskan Alice untukku.
Napasku mulai memburu lagi dan tanganku gemetar - hilang sudah efek menenangkan
dari mandi tadi. Aku mulai merasa sedikit pening, rupanya aku mulai panik lagi.
Aku duduk di lantai ubin yang dingin dalam balutan handuk besarku dan meletakkan
kepala di antara lutut. Aku berdoa semoga Edward tidak memutuskan untuk datang
mencariku sebelum aku menenangkan diri. Bisa kubayangkan apa yang akan
dipikirkannya kalau melihatku gugup seperti ini. Tidak sulit baginya meyakinkan
diri bahwa kami melakukan kesalahan.
Dan aku bukannya takut karena menurutku kami melakukan kesalahan. Sama sekali
tidak. Aku panik karena tidak tahu bagaimana melakukan hal ini, dan aku takut
melangkah keluar dari ruangan ini dan menghadapi sesuatu yang tidak kuketahui.
Apalagi dalam balutan lingerie Prancis. Aku tahu aku belum siap untuk itu.
Rasanya persis seperti berjalan memasuki panggung teater yang disesaki ribuan
penonton tapi lupa dialog-dialognya.
Bagaimana orang-orang melakukannya-menelan semua ketakutan mereka dan memercayai
seseorang lain begitu implisit dengan setiap ketidaksempurnaan dan ketakutan
yang mereka miliki-dengan komitmen absolut yang kurang daripada yang diberikan
Edward kepadaku" Seandainya bukan Edward yang berada di luar sana, seandainya
aku tak tahu dengan setiap sel dalam tubuhku bahwa ia mencintaiku sebesar aku
mencintainya-tanpa syarat dan mutlak dan, jujur saja, tidak rasional-aku takkan
pernah bisa bangkit dari lantai ini.
Tapi Edward-lah yang berada di luar sana, maka aku pun membisikkan kata-kata
"Jangan jadi pengecut" pada diriku sendiri lalu buru-buru berdiri, Kulilitkan
handuk semakin rapat lalu berjalan dengan langkah penuh tekad keluar dari kamar
mandi. Melewati koper yang penuh berisi renda dan tempat tidur besar tanpa
sedikit pun melirik ke sana. Keluar dari pintu kaca dan menjejakkan kaki di
pasir yang sehalus bedak.
Segalanya hitam dan putih, disepuh jadi tidak berwarna oleh bulan. Aku berjalan
lambat-lambat menyeberangi pasir hangat, berhenti sebentar di sebelah pohon
melengkung tempat Edward meninggalkan pakaiannya. Aku meletakkan tanganku di
batang pohon yang kasar dan memastikan napasku teratur. Atau cukup teratur.
Aku memandang ke laut yang beriak pelan, hitam dalam kegelapan, mencari Edward.
Tidak sulit menemukannya. Ia berdiri, memunggungiku, terbenam hingga sebatas
pinggang di air tengah malam, menengadah ke bulan bulat telur. Cahaya bulan yang
pucat menjadikan kulitnya putih sempurna, seperti pasir, seperti bulan itu
sendiri, dan membuat rambutnya yang basah sehitam lautan. Ia diam tak bergerak,
kedua tangannya diletakkan di permukaan air; ombak kecil berdebur di sekeliling
tubuhnya seolah-olah ia batu. Kupandangi garis-garis mulus punggung, pundak,
lengan, leher, dan bentuk tubuhnya yang sempurna...
Api di dalam tubuhku bukan lagi hanya menyambar sekilas, tapi sekarang berkobar
lambat dan dalam, membakar semua kecanggunganku, perasaan maluku. Aku melepas
handukku tanpa ragu, meninggalkannya di pohon bersama pakaian Edward, lalu
berjalan memasuki cahaya putih, itu membuat kulitku sepucat pasir.
Aku tidak bisa mendengar suara langkah-langkah kakiku saat berjalan ke tepi air,
tapi kurasa Edward bisa. Ia tidak menoleh. Aku membiarkan ombak pecah di jemari
kakiku, dan mendapati perkiraan Edward tentang air itu ternyata benar-airnya
sangat hangat, seperti air mandi. Aku melangkah masuk, hati-hati melintasi dasar
laut yang tak terlihat, tapi kehati-hatianku ternyata tidak perlu, permukaan
pasir tetap mulus, melandai ke arah Edward. Aku mengarungi arus hingga sampai di
sampingnya, kemudian meletakkan tanganku di atas tangan dinginnya yang berada di
atas air. "Cantik" kataku, menengadah ke bulan juga.
"Lumayan" sahut Edward, tidak terkesan. Perlahan-lahan ia memalingkan tubuhnya
menghadapku, riak-riak kecil bergulir menjauh akibat gerakannya dan mengempas ke
kulitku. Mata Edward tampak perak di wajahnya yang sewarna es. Ia memilin
tangannya sehingga bisa mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jariku di bawah
permukaan air. Air cukup hangat sehingga kulit Edward yang dingin tidak
membuatku merinding. "Tapi aku tidak akan menggunakan kata cantik" sambung Edward. "Tidak kalau kau
berdiri di sini sebagai pembandingnya".
Aku separo tersenyum, kemudian mengangkat tanganku yang bebas-tanganku tidak
gemetar sekarang-dan meletakkannya di dada Edward. Putih di atas putih, sekali
ini kami serasi. Edward bergidik kecil karena sentuhanku yang hangat. Napasnya
semakin memburu.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah berjanji kita akan mencoba?" bisik Edward, mendadak tegang. "Kalau...
kalau aku melakukan kekeliruan, kalau aku menyakitimu, kau harus langsung
memberitahuku." Aku mengangguk tenang, mataku tetap tertuju padanya. Aku maju selangkah dan
meletakkan kepalaku di dadanya,
"Jangan takut" bisikku, "Kita ditakdirkan untuk bersama."
Mendadak hatiku diliputi kebahagiaan oleh kebenaran kata-kataku. Momen ini
teramat sempurna, begitu tepat, tak mungkin meragukannya.
Kedua lengan Edward melingkariku, memelukku rapat ke dadanya, musim panas dan
musim dingin. Rasanya seolah-olah setiap ujung saraf di tubuhku merupakan kabel
listrik. "Selamanya" Edward setuju, kemudian perlahan-lahan menarik tubuh kami ke air
yang lebih dalam. Matahari, terasa panas di kulit punggungku yang terbuka, membangunkanku di pagi
hari. Mungkin sudah menjelang siang, atau telah lewat tengah hari, aku tidak
tahu. Tapi aku bisa mengetahui dengan jelas hal lain selain waktu; aku tahu
persis di mana aku berada-kamar terang benderang dengan tempat tidur putih
besar, sinar matahari menyorot lewat pintu-pintu yang terbuka. Lipatan-lipatan
kelambu melembutkan sinarnya.
Aku tidak membuka mata. Aku terlalu bahagia untuk mengubah apa pun, tak peduli
betapa pun kecilnya. Satu-satunya suara hanyalah debur ombak di luar sana,
embusan napas kami, detak jantungku...
Aku merasa nyaman, walaupun matahari bersinar terik, kulit Edward yang dingin
merupakan penangkal yang sempurna bagi panasnya udara. Berbaring di dadanya yang
sedingin es, kedua lengannya memelukku, terasa sangat mudah dan natural. Malas-
malasan aku mengenang betapa paniknya aku semalam. Semua ketakutanku terasa
konyol sekarang. Jari-jari Edward dengan lembut menyusuri tulang belakangku, dan aku tahu bahwa
ia tahu aku sudah bangun. Mataku ikut terpejam dan aku malah mempererat kedua
lenganku yang melingkari lehernya, semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya.
Edward diam saja. jari-jarinya terus membelai punggungku, nyaris tidak
menyentuhnya saat ia menyusurinya dengan ujung jari, membentuk berbagai pola di
kulitku. Aku sudah cukup bahagia berbaring saja di sini selamanya, tak pernah mengusik
momen ini, tapi tubuhku ternyata berpendapat lain. Aku menertawakan perutku yang
tidak karuan. Sepertinya agak membosankan bila aku kelaparan setelah semua yang
terjadi semalam. Seperti dibawa kembali ke bumi setelah sebelumnya berada di
ketinggian. "Apanya yang lucu?" gumam Edward, masih terus membelai-belai punggungku.
Suaranya, yang serius dan parau, menyeret kembali kenangan semalam, membuat
wajah dan leherku memerah.
Menjawab pertanyaannya, perutku berbunyi. Aku tertawa lagi. "Kau tidak bisa
terlalu lama melepaskan diri dari kemanusiawianmu."
Aku menunggu, tapi Edward tidak ikut tertawa bersamaku, lambat laun, menembus
banyak lapisan kebahagiaan yang memenuhi kepalaku, muncul kesadaran adanya
atmosfer berbeda di luar kebahagiaan yang melingkupiku.
Aku membuka mata. hal pertama yang kulihat adalah kulit leher Edward yang pucat
dan nyaris keperakan, lekuk dagunya di atas wajahku. Dagunya keras. Kutopang
tubuhku dengan siku agar bisa melihat wajahnya.
Ia sedang memandangi kanopi putih di atas kami, dan ia tidak menatapku waktu aku
mengamati garis-garis wajahnya yang muram. Ekspresinya membuatku terguncang-
membuat sekujur tubuhku tersentak.
"Edward" kataku, suaraku sedikit tercekat. "Ada apa" Ada masalah apa?"
"Masa kau harus bertanya lagi?" Suaranya kaku, sinis.
Naluri pertamaku, hasil dari perasaan minder yang kurasakan seumur hidup, adalah
bertanya-tanya apakah aku telah melakukan kesalahan. Otakku berputar, memikirkan
semua yang telah terjadi, tapi sama sekali tidak menemukan keganjilan. Ternyata
semua lebih simpel daripada yang kukira; tubuh kami tepat bagi satu sama lain
seperti kepingan puzzle yang sesuai, dibuat untuk menyatu. Ini memberiku
kepuasan rahasia-secara fisik kami kompatibel, seperti juga dalam hal-hal
lainnya. Api dan es, entah bagaimana bisa hidup berdampingan tanpa saling
menghancurkan. Satu lagi bukti aku memang ditakdirkan untuk bersama dengannya.
Aku tidak bisa memikirkan satu pun yang bisa membuat Edward terlihat seperti
ini-begitu kaku dan dingin. Apa yang terlewatkan olehku"
Jari Edward menghaluskan kerutan khawatir di keningku.
"Apa yang kaupikirkan?" bisiknya.
"Kau marah. Aku tidak mengerti. Apakah aku...?" Aku tak sanggup menyelesaikan
kata-kataku. Mata Edward menegang. "Separah apa cedera yang kau-alami, Bella" Sejujurnya-
jangan coba-coba memperhalus."
"Cedera?" ulangku, nadaku lebih tinggi daripada biasanya, karena kata itu
membuatku terkejut. Edward mengangkat sebelah alis, bibirnya terkatup kaku. Dengan cepat aku membuat
penilaian, otomatis meregang-tubuh, mengejangkan dan mengendurkan otot-ototku.
Tubuhku memang kaku, dan di beberapa tempat terasa nyeri, ini benar, tapi
sebagian besar yang kurasakan hanya sensasi ganjil seakan-akan semua persendian
tulangku lepas, dan aku separo berubah lembek seperti ubur-ubur. Tapi itu bukan
perasaan yang tidak menyenangkan.
Kemudian aku merasa agak marah, karena Edward merusak pagi paling sempurna ini
dengan asumsi-asumsinya yang pesimis.
"Mengapa kau harus langsung mengambil kesimpulan seperti itu" Belum pernah aku
merasa lebih baik daripada sekarang."
Edward memejamkan mata. "Hentikan."
"Hentikan apa?"
"Berhentilah bertingkah seolah-olah aku bukan monster karena sepakat
melakukannya." "Edward!" bisikku, benar-benar marah sekarang. Ia menyeret kenanganku yang indah
ke dalam kegelapan, menodainya. "Jangan pernah berkata begitu."
Edward tidak membuka mata, seolah-olah ia tak ingin melihatku.
"Lihat saja dirimu, Bella. Jangan bilang aku bukan monster."
Sakit hati dan shock, tanpa berpikir aku mengikuti instruksinya dan terkesiap.
Apa yang terjadi padaku" Aku bingung melihat salju putih lembut yang menempel di
kulitku. Aku menggeleng, dan benda-benda putih berjatuhan dari rambutku.
Kupungut sepotong benda putih lembut itu dengan jari-jariku. Ternyata isi
bantal. "Mengapa tubuhku tertutup bulu-bulu"*' tanyaku, kebingungan.
Edward mengembuskan napas tidak sabar. "Aku menggigit satu bantal. Atau dua.
Tapi bukan itu yang kumaksud."
"Kau... menggigit bantal" Mengapa?"
"Dengar, Bella" sergah Edward, nyaris menggeram. Ia meraih tanganku-dengan
sangat hari-hati-dan meluruskannya. "Lihat itu"
Kali ini, aku melihat apa yang dimaksudkannya.
Di balik tebaran bulu aku melihat memar-memar besar keunguan mulai bermunculan
di kulit lenganku yang pucat. Mataku mengikuti jejak memar itu hingga ke bahuku,
kemudian turun ke arah tulang rusuk. Kutarik tanganku dan kutusukkan ke bagian
yang mulai berubah warna di lengan atas sebelah kiri, melihat warnanya memudar
waktu kusentuh tapi kemudian muncul kembali. Rasanya agak berdenyut-denyut.
Dengan sangat hati-hati hingga nyaris tidak menyentuhku, Edward meletakkan
tangannya di atas memar-memar di lenganku, satu demi satu, memasangkan jari-
jarinya yang panjang di atas pola-pola itu.
"Oh," ucapku. Aku berusaha memeras otak-berusaha mengingat-ingat apakah aku merasa sakit-tapi
rasanya tidak. Aku tidak ingat apakah cengkeramannya terlalu kuat, apakah
tangannya terlalu keras memegangku. Yang kuingat hanyalah bahwa aku ingin
memelukku lebih erat lagi, dan merasa bahagia waktu ia melakukannya...
"Aku... sangat menyesal, Bella" bisik Edward saat aku memandangi memar-memar
itu. "Seharusnya aku tahu akan begini jadinya. Seharusnya aku tidak-" Ia
mengeluarkan suara seperti jijik. "Aku sangat menyesal, lebih daripada yang bisa
kuungkapkan." la melontarkan lengannya menutupi wajah dan tubuhnya diam tak bergerak.
Lama sekali aku hanya terduduk diam dan terpaku, berusaha menerima - sekarang
setelah aku mengerti-perasaan merana yang ia rasakan. Itu sangat berlawanan
dengan apa yang kurasakan hingga sulit untuk dicerna.
Perasaan terguncang itu perlahan-lahan memudar, tidak meninggalkan apa-apa. Yang
ada hanya kekosongan. Pikiranku kosong. Aku tidak tahu harus mengatakan apa.
Bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Edward dengan cara yang benar" Bagaimana
aku bisa membuatnya sebahagia yang kurasakan-atau yang tadi kurasakan, beberapa
waktu lalu" Kusentuh lengannya tapi ia diam saja. Kugenggam pergelangan tangannya dan
mencoba menarik lengannya yang menutupi wajah, tapi ia bergeming, rasanya
seperti mencoba menyentakkan patung yang diam tak bergerak.
"Edward." Ia diam saja. "Edward?" Tidak ada sahutan. Jadi, ini akan menjadi monolog, kalau begitu.
"Aku tidak menyesal, Edward. Aku... aku bahkan tidak bisa mengungkapkannya. Aku
sangat bahagia. Itu tidak cukup untuk mengungkapkan kebahagiaanku yang
sebenarnya. Jangan marah. Jangan. Sungguh, aku ba... "
"Jangan bilang kau baik-baik saja." Suara Edward sedingin es. "Kalau kau
menghargai kewarasanku, jangan katakan bahwa kau baik-baik saja."
"Tapi memang itulah yang kurasakan," bisikku.
"Bella" ia nyaris mengerang. "Jangan."
Tidak. "Kau yang jangan, Edward."
Edward menyingkirkan lengannya; matanya yang keemasan menatapku kecut.
"Jangan merusak suasana," kataku. "Aku. Sangat. Bahagia."
"Aku sudah terlanjur merusak suasana," bisiknya.
"Maka hentikan," bentakku. Kudengar ia mengentakkan gigi.
"Ugh!" erangku. "Mengapa kau belum juga bisa membaca pikiranku" Betapa enaknya
kalau kau bisa membaca pikiranku!"
Mata Edward membelalak sedikit, perhatiannya sejenak teralihkan.
"Tumben. Biasanya kau justru senang aku tidak bisa membaca pikiranmu,"
"Hari ini tidak." Ia menatapku.
"Mengapa?" Aku melontarkan kedua tanganku saking frustrasinya, merasakan nyeri di pundakku
yang sebelumnya kuabaikan. Telapak tanganku membentur dada Edward dengan suara
keras. "Karena semua perasaan bersalah ini tidak perlu terjadi kalau saja kau
bisa mengetahui apa yang kurasakan saat ini! Atau lima menit yang lalu,
setidaknya. Aku tadi merasa sangat bahagia. Benar-benar merasa tenang dan damai.
Sekarang- well, bisa dibilang sekarang aku agak marah."
" Memang seharusnya kau marah padaku."
"Well, aku memang marah. Apakah itu membuat perasaanmu lebih enak?"
Edward mendesah. "Tidak. Kurasa tidak ada yang bisa membuat perasaanku lebih
enak sekarang." "itu" bentakku. "Justru itulah sebabnya aku marah. Kau merusak kebahagiaanku,
Edward." Edward memutar bola matanya dan menggeleng.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku merasakan nyeri-nyeri di sekujur tubuhku,
tapi itu bukan sesuatu yang buruk. Nyaris seperti yang kaurasakan setelah
seharian berolahraga mengangkat beban. Aku pernah melakukannya bersama Renee
waktu ia sedang keranjingan fitness. Enam puluh lima kali angkatan, masing-
masing seberat lima kilogram. Besoknya aku tidak bisa berjalan. Sakit yang
kurasakan sekarang ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan itu.
Kutelan kembali kejengkelanku dan berusaha memperdengarkan nada menenangkan.
"Kita sudah tahu ini pasti dulu. Kusangka itu sudah bisa diperkirakan. Kemudian-
well, Kenyataannya ternyata jauh lebih mudah daripada yang kita perkirakan. Dan
ini benar-benar bukan apa-apa." Kusapukan jari-jariku di sepanjang lengan.
"Menurutku, untuk pertama kali, mengingat kita tidak tahu apa yang diharapkan,
kita justru luar biasa. Dengan sedikit berlatih... "
Ekspresi Edward mendadak berubah marah hingga aku langsung menghentikan kata-
kataku. "Diharapkan" Jadi kau mengharapkan hal ini, Bella" Jadi kau sudah mengantisipasi
bahwa aku akan mencederaimu" Apa kaupikir itu akan lebih parah" Jadi kau
menganggap eksperimen ini sukses karena kau selamat" Tidak ada tulangmu yang
patah--itu kauanggap sebagai kemenangan?"
Aku menunggu, membiarkan Edward menumpahkan unek-uneknya. Lalu aku menunggu
beberapa saat lagi sampai napasnya kembali normal. Lalu setelah matanya tenang,
aku menjawab, berbicara lambat-lambat, menekankan setiap kata.
"Aku tidak tahu apa yang kuharapkan-tapi aku jelas tidak mengira betapa...
betapa... indah dan sempurnanya itu." Suaraku berubah menjadi bisikan, mataku
beralih dari wajahnya ke tanganku. "Maksudku, aku tidak tahu bagaimana kau
merasakannya, tapi bagiku, itulah yang kurasakan."
Satu jari dingin mengangkat daguku.
"Jadi, itukah yang kaukhawatirkan?" tanya Edward dengan gigi terkatup rapat.
"Bahwa aku tidak menikmatinya?"
Aku menunduk. "Aku tahu pasti berbeda. Kau bukan manusia. Aku hanya berusaha
menjelaskan bahwa, bagi manusia, well, aku tak bisa membayangkan akan lebih baik
daripada itu." Edward terdiam lama sekali sampai akhirnya aku terpaksa mengangkat wajah. Wajah
Edward kini melembut, berpikir,
"Sepertinya aku harus meminta maaf lagi." Kening Edward berkerut. "Aku sama
sekali tidak mengira kau akan salah menafsirkan perasaanku, menganggap aku tidak
merasa bahwa semalam adalah... well, malam terindah yang pernah kurasakan
sepanjang eksistensiku. Tapi aku tidak ingin berpikir seperti itu, kalau
kenyataannya kau... " Sudut-sudut bibirku sedikit terangkat. "Sungguh" Yang terindah yang pernah
kaurasakan?" tanyaku, suaraku mencicit.
Edward merengkuh wajahku dengan kedua tangan, masih waswas. "Aku sempat
berbicara dengan Carlisle setelah kau dan aku membuat kesepakatan ini, berharap
dia bisa membantuku. Tentu saja dia mengingatkanku bahwa ini akan sangat
berbahaya bagimu." Sejenak ekspresinya disapu mendung. "Tapi dia percaya padaku-
keyakinan yang tidak pantas kudapatkan."
Aku membuka mulut hendak memprotes, tapi Edward menaikkan dua jarinya di bibirku
sebelum aku bisa berkomentar.
"Aku juga bertanya kepadanya apa yang seharusnya aku harapkan akan terjadi. Aku
tidak tahu bagaimana jadinya nantinya bagiku... sebagai vampir." Edward
tersenyum setengah hati. "Menurut Carlisle, itu sesuatu yang sangat kuat, tak ada yang sekuat itu.
Katanya seharusnya aku tidak menganggap remeh hubungan fisik. Dengan temperamen
kami yang jarang berubah, emosi yang sangat kuat dapat mengubah kami secara
permanen. Tapi dia juga berkata aku tidak perlu khawatir tentang hal itu-kau
sudah benar-benar mengubahku." Kali ini senyumnya lebih tulus.
"Aku juga berbicara dengan saudara-saudaraku. Mereka menceritakan itu sesuatu
yang sangat menyenangkan. Hanya kalah dengan minum darah manusia." Keningnya
berkerut. "Tapi aku sudah pernah merasakan darahmu, dan tidak ada darah lain
yang lebih kuat daripada itu... aku tidak menganggap mereka salah, sungguh.
Hanya saja bagi kita berbeda. Ada sesuatu yang lebih."
"Memang lebih. Itu segala-galanya."
"Itu tidak mengubah fakta bahwa perbuatan itu keliru. Walaupun mungkin saja kau
benar-benar merasa seperti yang kau bilang tadi."
"Apa artinya itu" Jadi menurutmu aku mengarang-ngarang, begitu" Mengapa?"
"Untuk meringankan perasaan bersalahku. Aku tidak bisa mengabaikan bukti-bukti
yang ada. Bella. Atau sejarahmu bahwa selama ini kau selalu melepaskan aku dari
tanggung jawab kalau aku melakukan kesalahan."
Aku merenggut dagu Edward dan mencondongkan tubuh sehingga wajah kami hanya
berjarak beberapa sentimeter. "Dengar, Edward Cullen. Aku sama sekali tidak
berpura-pura demi kau, oke" Aku bahkan tidak tahu ada alasan untuk membuatmu
merasa lebih baik sampai kau menunjukkan sikap merana seperti ini. Belum pernah
aku merasa sebahagia ini seumur hidupku -aku tidak merasa sebahagia ini waktu
kau memutuskan bahwa cintamu padaku lebih besar daripada keinginanmu untuk
membunuhku, atau pagi pertama waktu aku terbangun dan kau berada di sana
menungguku... Juga tidak waktu aku mendengar suaramu di studio balet"- Edward
berjengit mengingat bagaimana aku nyaris bertemu dengan vampir yang sedang
berburu, tapi aku tidak menghentikan kata-kataku- "atau waktu kau mengucapkan
'saya bersedia' dan aku menyadari bahwa, entah bagaimana, aku bisa memilikimu
selamanya. Itu kenangan-kenangan paling membahagiakan dalam hidupku, dan ini
lebih baik daripada semua itu. Jadi terima sajalah."
Edward menyentuh kerutan di antara alisku. "Aku membuatmu tidak bahagia
sekarang. Aku tidak ingin seperti itu."
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi jangan merasa tidak bahagia. Hanya itu satu-satunya masalah sekarang."
Mata Edward menegang, lalu ia menghela napas dalam-dalam dan mengangguk. "Kau
benar. Yang sudah berlalu sudah berlalu dan aku tidak bisa melakukan apa-apa
untuk mengubahnya. Tidak masuk akal kalau aku membiarkan suasana hatiku
membuatmu merasa tidak bahagia. Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu
merasa bahagia sekarang."
"Apa saja yang membuatku bahagia?"
Perutku berbunyi saat aku melontarkan pertanyaanku.
"Kau lapar," Edward buru-buru menyergah. Dengan cepat ia melompat turun dari
tempat tidur sehingga bulu-bulu beterbangan. Dan itu mengingatkan aku.
"Jadi, kapan persisnya kau memutuskan menghancurkan bantal-bantal Esme?"
tanyaku, terduduk dan menggoyangkan kepala untuk menyingkirkan bulu-bulu dari
kepalaku. "Mungkin tidak tepat bila dikatakan aku memutuskan melakukan hal apa pun
semalam," gerutu Edward. "Kita beruntung yang kugigit adalah bantal, bukan kau."
Ia menghela napas dalam-dalam dan menggeleng, seperti hendak mengenyahkan
pikiran buruk dari benaknya. Senyum yang sangat identik terkuak di wajahnya,
tapi kurasa ia harus berusaha cukup keras untuk bisa melakukannya.
Aku meluncur turun dengan hati-hati dari tempat tidur yang tinggi dan menggeliat
lagi, kali ini semakin menyadari bagian mana saja yang sakit dan nyeri di
tubuhku. Kudengar Edward terkesiap. Ia membuang muka, kedua tangannya terkepal,
buku-buku jarinya memutih.
"Memangnya penampilanku mengerikan, ya?" tanyaku, berusaha agar nadaku terdengar
ringan. Edward tersentak, tapi tidak berbalik, mungkin menyembunyikan
ekspresinya dariku. Aku berjalan ke kamar mandi untuk melihat sendiri.
Jelas aku pernah mengalami yang lebih parah daripada ini. Tampak bayangan samar
di salah satu tulang pipiku, dan bibirku sedikit bengkak, tapi selain itu,
wajahku baik-baik saja. Sekujur tubuhku penuh bercak-bercak biru dan ungu. Aku
berkonsentrasi pada memar-memar yang paling sulit disembunyikan -di kedua lengan
dan bahu. Tidak parah-parah amat. Kulitku memang gampang memar. Ketika memarnya
muncul, biasanya aku sudah lupa bagaimana aku mendapatkannya. Tentu saja ini
semua baru mulai terbentuk. Aku akan terlihat lebih parah besok. Itu tidak akan
membuat keadaan lebih mudah.
Lalu mataku tertumbuk ke rambutku, dan aku mengerang. "Bella?" Edward sudah
langsung berada di dekatku begitu aku bersuara.
"Aku takkan bisa mengenyahkannya dari rambutku!" Aku menunjuk kepalaku, yang
terlihat seperti sarang ayam. Aku mulai mencabuti bulu-bulu dari kepalaku.
"Kalau rambut saja mengkhawatirkan," gumam Edward, tapi ia berdiri di
belakangku, mencabuti bulu-bulu itu dengan gerakan lebih cepat.
"Bagaimana kau bisa tidak tertawa melihatku" Aku terlihat konyol sekali."
Edward tidak menjawab; ia terus saja mencabuti. Dan aku tahu jawabannya - tidak
ada yang lucu baginya dalam suasana hati seperti ini.
"Percuma saja," keluhku sejurus kemudian. "Sudah telanjur menempel. Aku harus
keramas untuk membersihkan semuanya" Aku berbalik, memeluk pinggang Edward yang
dingin. "Maukah kau membantuku?"
"Sebaiknya aku mencarikan makanan untukmu," kata Edward pelan, dengan lembut
membuka pelukanku. Aku mendesah waktu ia menghilang, bergerak terlalu cepat.
Kelihatannya bulan maduku sudah berakhir. Pikiran itu membuat tenggorokanku
tercekat. Setelah rambutku bersih dari bulu dan aku mengenakan gaun katun putih asing yang
menutupi bercak-bercak ungu yang paling mengerikan, aku berjalan dengan kaki
telanjang ke darat mengikuti semerbak bau telur, bacon, dan keju yang merangsang
selera.Edward berdiri di depan kompor stainless steel, meluncurkan sepotong omelet ke
piring biru muda di atas konter. Aroma lezat makanan membuatku kelabakan.
Rasanya aku sanggup memakan habis piring dan wajannya sekalian saking laparnya;
perutku keroncongan. "Ini," kata Edward. Ia berbalik dengan senyum tersungging di wajah dan
meletakkan piring di meja kecil beralas keramik.
Aku duduk di salah satu kursi logam dan mulai menganyang telur yang masih panas
itu. Panasnya membakar tenggorokanku, tapi aku tak peduli.
Edward duduk di seberangku. "Aku kurang sering memberimu makan"
Aku menelan kemudian mengingatkannya, "Aku kan tidur, omong-omong, ini enak
sekali. Mengesankan untuk ukuran orang yang tidak pernah makan."
"Food Network," jawab Edward, memamerkan senyum miring favoritku.
Aku bahagia melihatnya, bahagia karena Edward sudah bersikap normal lagi.
"Dari mana kau mendapatkan telur-telur ini?"
"Aku memang meminta para petugas kebersihan menyediakan bahan makanan. Itu
pertama kalinya, untuk tempat ini. Aku harus meminta bantuan mereka untuk
membersihkan bulu-bulu itu..." Suaranya menghilang, tatapannya sedikit di atas
kepalaku. Aku tidak menyahut, berusaha tidak mengatakan apa-apa yang hanya akan
membuatnya kalut lagi. Aku memakan habis semuanya, walaupun Edward memasakkan makanan dalam jumlah yang
cukup untuk dua orang. "Terima kasih" kataku. Aku mencondongkan tubuh ke seberang meja untuk
menciumnya. Ia balas menciumku, kemudian tiba-tiba mengejang dan menarik
tubuhnya. Aku mengertakkan gigi, dan pertanyaan yang ingin kutanyakan terlontar seperti
tuduhan. "Kau tidak akan menyentuhku lagi selama kita di sinikan?"
Edward ragu-ragu, lalu menyunggingkan senyum separo dan membelai pipiku. Jari-
jarinya bertengger lembut di kulitku, dan aku tak tahan untuk tidak menyandarkan
wajahku ke telapak tangannya.
"Kau tahu bukan itu maksudku."
Ia mendesah dan menjatuhkan tangannya. "Aku tahu. Dan kau benar." Ia terdiam
sejenak, mengangkat dagunya sedikit. Kemudian berbicara lagi dengan penuh
keyakinan. "Aku tidak akan bercinta lagi denganmu sampai kau berubah. Aku tidak
akan pernah menyakitimu lagi."
6. MENGALIHKAN PERHATIAN Hiburanku menjadi prioritas utama di Pulau Esme. Kami pergi snorkelling (well,
aku yang snorkelling sementara Edward memamerkan kemampuannya menyelam tanpa
oksigen untuk jangka waktu tak terbatas). Kami menjelajahi hutan kecil yang
mengelilingi puncak kecil berbatu. Kami melihat-lihat burung beo yang menghuni
kerindangan pohon di selatan pulau, kami menyaksikan matahari terbenam dari
teluk sebelah bukit yang berbatu. Kami berenang bersama penyu-penyu yang bermain
di perairan dangkal yang hangat di sana. Atau setidaknya, aku yang bermain,
karena begitu Edward masuk ke air, penyu-penyu itu langsung menghilang seolah-
olah ada hiu mendekat. Aku tahu apa yang terjadi. Ia berusaha menyibukkanku, mengalihkan perhatianku,
supaya aku tidak merongrongnya terus mengenai masalah bercinta. Setiap kali aku
berusaha membujuknya untuk santai dan nonton salah satu dari sejuta film DVD
yang tersimpan di bawah TV plasma berlayar besar, ia akan merayuku keluar rumah
dengan kata-kata manis seperti terumbu karang, gua bawah air, dan penyu. Kami
pergi, pergi, pergi terus seharian, supaya akhirnya aku lapar dan kelelahan saat
matahari tenggelam. Aku terkantuk-kantuk di atas piringku setelah makan malam setiap malam; sekali
aku bahkan benar-benar ketiduran di meja dan ia terpaksa membopongku ke tempat
tidur. Sebagian alasannya karena Edward selalu memasakkan makanan terlalu banyak
untuk dihabiskan satu orang, tapi aku begitu lapar sehabis berenang dan mendaki
seharian sehingga kusikat saja sebagian besar makanan yang terhidang. Lalu,
kekenyangan dan kelelahan, aku nyaris tak sanggup membuka mataku lagi. Semua
bagian dari rencananya, tak diragukan lagi.
Kelelahan tidak menolong usahaku untuk membujuknya. Tapi aku tidak menyerah. Aku
mengajaknya bicara baik-baik, memohon, bersungut-sungut, tapi semua sia-sia.
Biasanya aku sudah tertidur sebelum benar-benar bisa menekankan maksudku.
Kemudian mimpi-mimpiku terasa begitu nyata-sebagian besar mimpi buruk, yang
menjadi lebih hidup, dugaanku, karena warna-warna yang terlalu terang di pulau
ini- sehingga aku terbangun dengan perasaan letih, tak peduli selama apa pun
tidurku. Kira-kira seminggu setelah kami sampai di pulau ini, aku memutuskan untuk
mencoba berkompromi. Dulu toh kami bisa melakukannya.
Sekarang aku tidur di kamar biru. Petugas kebersihan baru akan datang besok,
jadi kamar putih masih diselimuti bulu-bulu putih. Kamar biru lebih kecil,
tempat tidurnya lebih proporsional. Dinding-dindingnya berwarna gelap, berlapis
panel kayu jati, dan perabotnya berlapis sutra biru mewah.
Aku sudah terbiasa mengenakan sebagian koleksi lingerie pilihan Alice untuk
tidur malam-itu tidak seterbuka celana bikini minim yang ia kemaskan untukku.
Aku jadi penasaran apakah ia mendapat penglihatan mengapa aku akan menginginkan
benda-benda ini, kemudian bergidik, malu karena pikiran itu.
Mula-mula aku mengenakan pakaian satin putih gading yang sopan, khawatir kalau
aku mengenakan pakaian dalam yang lebih terbuka, itu justru tidak akan membantu,
tapi siap mencoba apa saja. Edward seolah tidak memerhatikan, seakan-akan aku
memakai kaus usang seperti yang biasa kupakai di rumah.
Memar-memarku sekarang sudah jauh lebih baik-menguning di beberapa tempat, dan
beberapa lagi bahkan sudah hilang-jadi malam ini aku mengeluarkan salah satu
pakaian dalam yang potongannya lebih menantang, yang sudah kusiapkan di kamar
mandi berpanel. Pakaian dalam itu berwarna hitam, berenda, dan membuatku malu
saat melihatnya, bahkan sebelum dipakai. Aku berhati-hati agar tidak memandang
bayanganku sendiri di cermin sebelum masuk kembali ke kamar. Aku tidak ingin
kehilangan keberanian. Puas rasanya melihat mata Edward membelalak sedetik .Sebelum akhirnya ia bisa
mengendalikan ekspresinya.
"Menurutmu bagaimana?" tanyaku, berputar-putar genit agar ia bisa melihat dari
setiap sudut. Edward berdeham-deham. "Kau cantik. Kau memang selalu terlihat cantik."
"Trims" sahutku, agak masam.
Aku terlalu letih untuk tidak cepat-cepat naik ke tempat tidur yang empuk.
Edward memeluk dan menarikku ke dadanya, tapi ini sudah biasa-terlalu gerah
untuk tidur tanpa tubuhnya yang dingin mendekapku.
"Aku akan membuat kesepakatan denganmu." kataku dengan suara mengantuk.
"Aku tidak mau membuat kesepakatan apa-apa denganmu," jawab Edward.
"Kau bahkan belum mendengar tawaranku."
"Tidak perlu." Aku mendesah. "Sial. Padahal aku benar-benar ingin... Oh sudahlah." Edward
memutar bola matanya. Aku memejamkan mata dan membiarkan umpan itu menggantung-gantung di depan
matanya. Aku menguap. Hanya butuh satu menit-tidak cukup lama bagiku untuk tertidur.
"Baiklah. Apa yang kauinginkan?"
Aku mengertakkan gigi sebentar, sekuat tenaga menahan senyum. Satu hal yang
tidak bisa ditolaknya adalah kesempatan memberiku sesuatu.
"Well, setelah kupikir-pikir... aku tahu masalah Dartmouth itu seharusnya hanya
jadi alasan untuk menutupi hal sebenarnya, tapi jujur saja, kuliah selama satu
semester mungkin tak ada ruginya," kataku, meniru kata-kata yang pernah ia
ucapkan sekian waktu lalu, ketika ia berusaha membujukku menunda keinginanku
untuk menjadi vampir. "Berani taruhan, Charlie pasti senang sekali kalau
kuceritakan tentang pengalaman-pengalamanku kuliah di Darrmouth. Memang sih,
bakal memalukan kalau aku tak bisa mengimbangi mahasiswa-mahasiswa genius di
sana. Tapi tetap saja... delapan belas, sembilan belas. Tidak terlalu banyak
bedanya. Bukan berarti sudut-sudut mataku bakal keriput kan, tahun depan,"
Edward terdiam lama sekali. Kemudian, dengan suara pelan ia berkata, "Kau mau
menunggu. Kau mau tetap menjadi manusia."
Aku sengaja diam, membiarkan ia mencerna baik-baik tawaran itu.
"Mengapa kau melakukan ini padaku?" sergah Edward dari sela-sela gigi yang
terkatup rapat, nadanya tiba-tiba marah. "Apa semua ini belum cukup
menyulitkan?" Dengan kasar ia menyambar renda yang menghiasi pahaku. Sesaat aku
sempat mengira ia bakal mengoyakkannya. Kemudian tangannya melemas. "Sudahlah,
tidak apa-apa. Aku tidak mau membuat kesepakatan apa-apa denganmu."
"Aku ingin kuliah."
"Tidak, kau tidak ingin kuliah. Itu tidak sepadan dengan mempertaruhkan nyawamu
lagi. Tidak sepadan dengan menyakitimu."
"Padahal aku benar-benar ingin kuliah. Well, sebenarnya bukan kuliah yang benar-
benar kuinginkan-aku hanya ingin menjadi manusia sedikit lebih lama lagi."
Edward memejamkan mata dan mengembuskan napas lewat hidungnya. "Kau membuatku
gila, Bella. Bukankah kita sudah jutaan kali memperdebatkan hal ini, kau selalu
memohon-mohon untuk secepatnya menjadi vampir?"
"Memang, tapi... well, aku punya alasan mengapa aku ingin menjadi manusia,
alasan yang tidak kumiliki sebelumnya."
"Alasan apa itu?"
"Tebak saja," ucapku, lalu menyeret tubuhku dari tumpukan bantal untuk
menciumnya. Ia membalas ciumanku, walaupun sikapnya belum menunjukkan bahwa aku menang.
Lebih tepatnya, ia seperti berhati-hati untuk tidak menyakiti perasaanku;
menjengkelkan, ia begitu pandai mengendalikan diri. Dengan lembut ia menjauhkan
tubuhku beberapa saat kemudian, dan mendekapku di dadanya.
"Kau sangat manusia, Bella. Dikuasai hormonmu." Edward terkekeh.
"Justru itu intinya, Edward. Aku menyukai bagian kemanusiaanku yang ini. Aku
belum mau meninggalkannya. Aku tidak mau menunggu hingga bertahun-tahun lagi,
setelah melewati tahap keranjingan darah sebagai vampir baru, baru bisa
merasakannya lagi." Aku menguap, dan Edward tersenyum.
"Kau lelah. Tidurlah, Sayang." Ia mulai mendendangkan lagu ninabobo yang ia
ciptakan untukku waktu kami pertama kali bertemu.
"Heran, mengapa aku capek sekali, ya," sindirku pedas. "Tidak mungkin itu bagian
rencanamu atau semacamnya, kan?"
Edward hanya terkekeh sebentar, kemudian kembali bersenandung.
"Karena aku lelah sekali, kau pasti mengira tidurku bakal lebih nyenyak."
Lagu itu mendadak berhenti. "Selama ini kau tidur nyenyak sekali seperti orang
mati, Bella. Kau tidak pernah mengigau sejak hari pertama kita di sini. Kalau
saja kau tidak mendengkur, aku pasti khawatir kalau-kalau kau koma."
Aku tak menggubris ejekannya tentang masalah dengkuran itu; aku tidak pernah
mendengkur kok. "Memangnya aku tidak berguling-guling dalam tidurku" Aneh.
Padahal biasanya aku berguling-guling ke sana kemari kalau sedang bermimpi
buruk. Dan berteriak-teriak."
"Memangnya kau sering bermimpi buruk?"
"Mimpi-mimpiku sangat jelas. Aku jadi capek sekali." Aku menguap. "Aku tidak
percaya aku tidak mengigau sepanjang malam."
"Kau bermimpi tentang apa?"
"Macam-macam-tapi sama, kau tahu, karena warna-warnanya... "
"Warna-warna?" "Warna-warnanya begitu cemerlang dan nyata. Biasanya, kalau sedang bermimpi aku
menyadarinya. Kali ini, aku tidak sadar bahwa aku sedang tidur. Itulah yang
membuat mimpi-mimpiku jadi semakin menakutkan."
Suara Edward terdengar cemas waktu ia bicara lagi. "Apa yang membuatmu
ketakutan?" Aku bergidik pelan. "Kebanyakan... " Aku ragu-ragu. "Kebanyakan apa?" desaknya.
Entah mengapa, aku tidak ingin bercerita kepada Edward tentang bocah dalam mimpi
burukku yang selalu berulang, ini sesuatu yang pribadi tentang kengerian yang
satu itu. Jadi, bukannya memberi gambaran lengkap padanya, aku hanya
menceritakan satu elemen saja. Itu jelas cukup membuatku atau siapa pun, takut.
"Keluarga Volturi" bisikku.
Edward memelukku lebih erat lagi. "Mereka tidak akan mengganggu kita lagi.
Sebentar lagi kau akan menjadi makhluk immortal, jadi mereka tidak punya alasan
untuk menyerang kita."
Kubiarkan Edward menenangkan hatiku, merasa sedikit bersalah karena ia salah
menangkap maksudku. Bukan seperti itu tepatnya mimpi burukku. Aku bukannya takut
memikirkan diriku sendiri-aku takut karena memikirkan nasib bocah lelaki itu.
Ia bukan bocah yang sama seperti dalam mimpiku yang pertama-bocah vampir bermata
merah yang duduk di atas onggokan mayat orang-orang yang kusayangi. Bocah yang
ku impikan sebanyak empat kali minggu lalu jelas-jelas manusia, pipinya merah
dan matanya yang lebar berwarna hijau lembut. Tapi persis seperti si bocah
vampir, anak ini gemetar ketakutan dan putus asa ketika keluarga Volturi
mengepung kami. Dalam mimpiku, baik yang dulu maupun sekarang, aku merasa harus melindungi bocah
tak dikenal itu. Tak ada pilihan lain. Namun di saat yang sama, aku tahu aku
bakal gagal. Edward melihat kesedihan di wajahku. "Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?"
Aku menepisnya, "Itu kan hanya mimpi, Edward."
"Kau mau aku menyanyi untukmu" Aku mau kok bernyanyi semalaman kalau dengan
begitu kau tidak bermimpi buruk lagi."
"Tidak semua mimpiku buruk. Beberapa ada yang menyenangkan. Begitu... berwarna.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di dalam air, dengan ikan-ikan dan terumbu karang. Semuanya seperti benar-benar
terjadi-aku tidak tahu bahwa aku hanya bermimpi. Mungkin pulau inilah
masalahnya. Semua terang benderang di sini."
"Kau mau pulang saja?"
"Tidak. Tidak, belum. Tidak bisakah kita tinggal lebih lama di sini?"
"Kita bisa tinggal selama yang kauinginkan, Bella," Edward berjanji padaku.
"Kapan kuliah dimulai" Aku tidak memerhatikannya sebelum ini."
Edward mendesah. Mungkin ia sudah mulai berdendang lagi, tapi aku keburu
terlelap sebelum bisa memastikan.
*** Tak lama kemudian aku terbangun dalam keadaan shock. Mimpiku begitu nyata...
begitu hidup, begitu menggugah panca indra... aku terkesiap dengan suara keras,
kebingungan berada di kamar yang gelap. Baru sedetik yang lalu rasanya, aku
berada dalam cahaya matahari yang terang benderang.
"Bella?" Edward berbisik, kedua lengannya memelukku erat-erat, mengguncangku
lembut. "Kau tidak apa-apa, Sayang?"
"Oh," aku terkesiap. Ternyata hanya mimpi. Tidak nyata. Yang sangat
mengherankan, air mata meleleh begitu saja dari mataku, mengalir deras di
wajahku. "Bella!" seru Edward-suaranya sekatang lebih keras, nadanya cemas. "Ada apa?" Ia
menyeka air mata dari pipiku yang halus dengan jari-jarinya yang dingin dan
panik, tapi air maraki i terus saja mengalir.
"Itu hanya mimpi." Aku tak mampu meredam sedu sedan yung memecah suaraku. Air
mata yang tak kunjung berhenti terasa mengganggu, tapi aku tak kuasa
mengendalikan perasaan sedih yang mencengkeramku. Aku begitu ingin mimpi itu
menjadi kenyataan. "Tidak apa-apa, Sayang, kau baik-baik saja. Aku di sini." Edward menggerakkan
tubuhku maju-mundur, agak terlalu cepat untuk bisa menenangkan. "Kau mimpi buruk
lagi, ya" ini tidak nyata, itu tidak nyata."
"Bukan mimpi buruk." Aku menggeleng-geleng, menggosokkan punggung tanganku ke
mata. "Tapi mimpi yang bagus sekali." Lagi-lagi suaraku pecah.
"Kalau begitu, mengapa kau menangis?" tanya Edward, terheran-heran.
"Karena aku terbangun" rengekku, memeluk leher Edward erat sekali dan tersedu di
sana. Edward tertawa mendengar jalan pikiranku, tapi suaranya tegang karena prihatin.
"Semua beres, Bella. Tarik napas dalam-dalam."
"Mimpi tadi sangat nyata," tangisku. "Aku ingin mimpi ini menjadi kenyataan."
"Ceritakan," bujuk Edward. "Mungkin itu bisa "membantu."
"Kita sedang di tepi pantai... " Suaraku menghilang, aku mundur sedikit untuk
menatap wajah malaikat Edward yang cemas dengan mataku yang berlinang air mata,
tampak samai dalam gelap. Kupandangi dia lekat-lekat sementara kesedihan yang
tidak masuk akal itu mulai mereda.
"Dan?" desak Edward akhirnya.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata unruk menyingkirkan air mata dari mataku, hatiku
sedih sekali. "Oh, Edward... "
"Ceritakan padaku, Bella," ia memohon, sorot matanya liar dipenuhi kekhawatiran
mendengar nada sedih dalam suaraku.
Tapi aku tidak bisa. Aku malah melingkarkan kedua tanganku di lehernya lagi, dan
mencium bibirnya. Itu sama sekali bukan ciuman bergairah-melainkan ungkapan
kebutuhan akut hingga rasanya menyakitkan. Ia langsung merespons, tapi
responsnya dengan cepat berubah menjadi penolakan. Ia berusaha menolakku
selembut mungkin, mencengkeram bahuku dan mendorong tubuhku menjauhinya.
"Tidak, Bella," ia bersikeras, menatapku dengan pandangan seolah-olah ia
khawatir aku sudah sinting.
Kedua lenganku terkulai, kalah, dan air mata yang aneh itu kembali mengalir,
menuruni wajahku, dan aku kembali menangis, Edward benar-aku pasti sudah
sinting. Ia memandangiku dengan tatapan bingung sekaligus sedih.
Ma-ma -maafkan aku," gumamku,
Tapi Edward menarikku lagi ke dalam pelukannya, mendekapku erar-erat di dadanya
yang sekeras marmer. "Aku tidak bisa, Bella, aku tidak bisa!" Erangannya begitu menderita.
"Kumohon," pintaku, suaraku teredam kulitnya. "Kumohon, Edward?"
Entah apakah hatinya luluh karena tangis yang menggetar dari suaraku, atau
apakah ia tidak siap menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba, atau apakah
kebutuhannya saat itu sama tak tertahankannya dengan yang kurasakan. Pokoknya
apa pun alasannya, Edward menarik bibirku kembali ke bibirnya, menyerah sambil
mengerang. Dan kami pun melanjutkan mimpiku yang terputus tadi. Aku diam tak bergerak waktu
terbangun pada pagi hari dan menjaga agar desah napasku tetap teratur. Aku tak
berani membuka mata. Aku berbaring di dada Edward, tapi ia diam tak bergerak dan lengannya tidak
memelukku. Itu pertanda buruk. Aku tidak berani mengakui diriku sudah bangun dan
menghadapi mataharinya-tak peduli kepada siapa amarah itu ditujukan hari ini.
Hati-hati, aku mengintip dari sela-sela bulu mataku. Edward menengadah ke
langit-langit yang gelap, kedua lengannya ditumpukan di belakang kepala.
Kutopang tubuhku dengan siku agar bisa melihat wajahnya lebih jelas lagi.
Wajahnya datar tanpa ekspresi,
"Seberapa besar masalahku?" tanyaku dengan suara kecil.
"Banyak," jawab Edward, tapi ia memalingkan wajah dan tersenyum jail padaku.
Aku mengembuskan napas lega "Aku benar-benar minta maaf" kataku. "Aku tidak
bermaksud- Well, aku tidak tahu persis tadi malam itu apa." Aku menggeleng untuk
mengenyah kan bayangan air mataku yang tidak rasional dan kesedihan yang begitu
mengimpit. "Kau bahkan tidak pernah menceritakan mimpimu pada ku."
"Kurasa memang tidak-tapi aku akan menunjukkan padamu isi mimpiku itu."
"Oh," ucap Edward. Matanya melebar, kemudian ia mengerjapkan mata.
"Menarik." "Mimpi yang bagus sekali," gumamku.
Edward tidak berkomentar, jadi beberapa detik kemudian aku bertanya, "Apakah aku
dimaafkan?" "Aku sedang memikirkannya,"
Aku terduduk tegak, berniat memeriksa keadaanku- tapi setidaknya kelihatannya
tidak ada bulu-bulu. Tapi waktu aku bergerak, gelombang vertigo yang aneh
menghantamku. Aku limbung dan terempas kembali ke bantal.
"Aku tiba-tiba pusing."
Lengan Edward sudah merangkulku ketika itu. "Kau tidur lama sekali. Dua belas
jam," "Dua belas?" Aneh sekali.
Sambil bicara aku melayangkan pandangan sekilas ke sekujur tubuhku, berusaha
agar tidak kentara. Sepertinya aku baik-baik saja. Memar-memar di kedua lenganku
yang sudah berumur satu minggu masih menguning. Aku mencoba menggeliat. Aku juga
merasa baik-baik saja. Well, lebih dari baik-baik saja, sebenarnya.
"Sudah selesai menginventarisir?"
Aku mengangguk malu-malu. "Semua bantal sepertinya selamat."
"Sayangnya, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk, eh, gaun malammu."
Edward menganggukkan kepala ke ranjang, tempat cabikan-cabikan kain hitam
berenda bertebaran di seprai sutra.
"Sayang sekali," kataku. "Padahal aku suka yang itu."
"Aku juga." Apakah ada korban-korban lain?" tanyaku malu-malu. Aku harus membelikan ranjang
baru untuk Esme," Edward mengakui, menoleh ke balik bahunya. Aku mengikuti arah
pandangnya dan kaget bukan kepalang melihat potongan-potongan besar kayu seperti
dicongkel dari bagian kepala ranjang sebelah kiri.
"Hmm." Keningku berkerut. "Kau pasti mengira aku bisa mendengarnya."
"Kelihatannya kau bisa benar-benar tak menyadari apa pun kalau perhatianmu
sedang terfokus ke hal lain."
"Perhatianku memang sedang agak terfokus ke hal lain," aku mengakui, pipiku
merah padam. Edward menyentuh pipiku yang membara dan mendesah. "Aku akan sangat merindukan
itu." Kupandangi wajahnya, mencari tanda-tanda kemarahan atau kesedihan yang
kutakutkan. Ia balas menatapku, ekspresinya tenang tapi tak terbaca.
"Bagaimana perasaanmu?" Edward tertawa. "Apa?" tuntutku.
"Kau terlihat sangat bersalah-seolah-olah kau habis melakukan kejahatan."
"Aku memang merasa bersalah," gerutuku.
"Kau merayu suamimu yang langsung menurut begitu saja Itu kejahatan besar."
Sepertinya ia menggoda. Pipiku semakin panas. "Istilah merayu mengesankan seolah-olah tindakan itu
direncanakan lebih dulu."
"Mungkin istilahnya tidak tepat," Aku mengalah.
"Kau tidak marah?"
Edward tersenyum masam. "Aku tidak marah,"
"Mengapa tidak?"
"Well," Ia terdiam sejenak. "Pertama, karena aku tidak melukaimu. Kali ini lebih
mudah bagiku mengendalikan diri, menyalurkan gairahku yang berlebihan." Lagi-
lagi matanya melirik tempat tidur yang hancur berantakan. "Mungkin karena
sekarang aku sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi."
Senyum penuh harap mengembang di wajahku. "Sudah kubilang, ini hanya masalah
latihan." Edward memutar bola matanya.
Perutku berbunyi, dan Edward tertawa. "Saatnya sarapan untuk manusia?" tanyanya.
"Please" sahutku, melompat dari tempat tidur, tapi gerakanku terlalu cepat,
akibatnya aku terhuyung-huyung untuk mendapatkan kembali keseimbanganku. Ia
menangkapku sebelum aku telanjur menabrak meja rias.
"Kau tidak apa-apa?"
"Kalau keseimbanganku ternyata tidak lebih baik di kehidupan baruku nanti, aku
akan protes." Aku memasak pagi ini, menggoreng telur-kelewat lapar untuk membuat hidangan yang
lebih rumit. Tidak sabaran, sebentar saja aku sudah menyendok telur itu dari
penggorengan ke piring. "Sejak kapan kau makan telur ceplok?" tanya Edward.
"Sejak sekarang"
"Tahukah kau berapa banyak telur yang kauhabiskan selama minggu lalu?" Ia
menarik kantong sampah dari bawah bak cuci piring-kantong itu dipenuhi karton-
karton biru kosong. "Aneh" komentarku setelah menelan sepotong telur yang masih panas. "Tempat ini
mengacaukan selera makanku" Juga mimpiku dan keseimbanganku yang memang sudah
meragukan. "Aku senang di sini. Tapi mungkin kita harus meninggalkan tempat ini
sebentar lagi bukan, agar bisa sampai di Dartmouth tepat waktu" Wow, kurasa kita
juga perlu mencari tempat tinggal dan hal-hal lain juga."
Edward duduk di sebelahku. "Kau bisa berhenti berpura-pura tentang masalah
kuliah sekarang - kau sudah mendapatkan apa yang kauinginkan. Dan kita tidak
membuat kesepakatan apa-apa, jadi tidak ada kewajiban yang mengikat."
Aku mendengus. "Itu bukan pura-pura, Edward. Aku tidak menghabiskan waktu
luangku merencanakan yang tidak-tidak seperti sebagian orang. Apa yang bisa kita
lakukan untuk membuat Bella capek hari ini?" sergahku, mencoba menirukan cara
Edward bicara tapi gagal total.
Ia tertawa, sama sekali tidak merasa malu. "Aku memang ingin memiliki sedikit
waktu lagi untuk menjadi manusia." Aku mencondongkan tubuh dan menyapukan
tanganku di dadanya yang telanjang. "Aku masih belum puas."
Edward menatapku ragu-ragu. "Untuk ini?" tanyanya, menangkap tanganku saat
bergerak turun ke perutnya.
"Jadi bercintalah kuncinya selama ini?" Ia memutar bola matanya. "Mengapa itu
tidak terpikirkan olehku?" gerutunya sarkastis. "Tahu begitu, aku tidak perlu
capek-capek berargumen,"
Aku tertawa. "Yeah, mungkin."
"Kau sangat manusia" tukasnya lagi.
"Memang." Secercah senyum bermain di bibirnya. "Jadi kita akan ke Dartmouth" Sungguh?"
"Kemungkinan aku akan langsung gagal dalam satu semester,"
"Aku akan menjadi tutormu." Sekarang senyumnya lebar "Kau pasti suka kuliah."
"Menurutmu apa kita masih bisa mendapatkan apartemen sekarang ini?"
Edward nyengir, terlihat bersalah. "Well, sebenarnya kita sudah punya rumah di
sana. Kau tahu, untuk jaga-jaga,"
"Kau membeli rumah?"
"Investasi real estate kan bagus."
Aku mengangkat sebelah alis dan tak mempermasalahkannya lebih jauh lagi. "Jadi
kalau begitu kita sudah siap."
"Aku harus melihat apakah kita masih boleh memakai mobil sebelum itu selama
beberapa waktu lagi."
"Ya, jangan sampai aku tak terlindungi dari serbuan tank."
Edward nyengir. "Berapa lama lagi kita bisa tinggal di sini?" tanyaku.
"Kita masih punya banyak waktu. Beberapa minggu lagi, kalau kau mau. Kemudian
kita bisa mengunjungi Charlie sebelum berangkat ke New Hampshire. Kita juga bisa
merayakan Natal bersama Renee..."
Kata-kata Edward melukiskan masa depan yang sangat membahagiakan, masa depan
yang bebas dari kesedihan bagi semua orang yang terlibat. Kecuali Jacob yang
sudah terlupakan, berguncang, dan aku meralat pikiranku-hampir untuk semua
orang. Keadaan tidak akan semakin mudah. Sekarang setelah aku ini benar-benar
mengetahui betapa enaknya menjadi manusia, sungguh menggoda untuk menunda dulu
rencana-rencanaku. Delapan belas atau sembilan belas, sembilan belas atau dua
puluh. Apakah itu penting" Aku toh tidak akan berubah banyak dalam setahun. Dan
menjadi manusia bersama Edward... Pilihannya semakin hari semakin sulit.
"Beberapa minggu," aku setuju. Lalu, karena sepertinya aku selalu saja
kekurangan waktu, aku menambahkan, "Jadi kalau kupikir-pikir-kau tahu yang
kukatakan tentang latihan sebelum ini?"
Edward tertawa. "Bisa tolong tunda sejenak pikiranmu itu" Aku mendengar suara
kapal. Petugas kebersihan pasti sudah datang,"
la ingin aku menunda pikiranku. Jadi, apakah itu berarti ia tidak keberatan bila
harus berlatih lagi" Aku tersenyum.
"Aku mau menjelaskan dulu kekacauan di kamar putih pada Gustavo, lalu kita bisa
pergi. Ada tempat di tengah hutan sebelah selatan... "
"Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau menjelajahi seantero pulau hari ini. Aku
ingin tinggal di sini dan menonton film,"
Edward mengerucutkan bibir, berusaha untuk tidak tersenyum mendengar nadaku yang
menggerutu, "Baiklah, terserah kau saja. Mengapa tidak kaupilih saja satu film
sementara aku membukakan pintu?"
"Aku tidak mendengar suara pintu diketuk."
Edward menelengkan kepala, mendengarkan. Setengah detik kemudian samar-samar
terdengar suara pintu diketuk pelan. Ia nyengir dan berjalan menuju ruang depan.
Aku menghampiri rak di bawah televisi berukuran besar dan mulai mengamati judul-
judul film yang ada. Sulit memutuskan akan mulai dari mana. Koleksi DVD mereka
jauh lebih lengkap daripada tempat penyewaan.
Aku bisa mendengar suara Edward yang pelan dan selembut beludru saat ia kembali
menuju lorong, berbicara dengan fasih dalam bahasa yang asumsiku adalah bahasa
Portugis. Suara manusia lain yang lebih kasar menjawab dalam bahasa yang sama.
Edward berjalan mendahului mereka memasuki ruangan, menuding ke arah dapur
sambil berjalan. Kedua orang Brasil yang menyertainya tampak sangat pendek dan
gelap saat berdampingan dengannya. Satu pria bertubuh gempal, dan satunya lagi
wanita bertubuh ramping, wajah keduanya berkeriput Edward melambaikan tangan ke
arahku sambil tersenyum bangga, dan aku mendengar namaku disebut-sebut,
bercampur dengan kata-kata asing yang diucapkan dalam kecepatan tinggi. Wajahku
sedikit memerah saat pikiranku melayang ke bulu-bulu yang mengotori seantero
kamar putih, yang sebentar lagi akan mereka Lihat. Si pria pendek tersenyum
sopan padaku. Tapi wanita kecil yang kulitnya secokelat kopi sama sekali tidak tersenyum. Ia
menatapku dengan ekspresi shock bercampur khawatir, dan terutama, matanya
membelalak lebar ketakutan. Sebelum aku sempat bereaksi, Edward memberi isyarat
pada mereka untuk mengikutinya ke "kandang ayam" dan mereka pun lenyap.
Waktu muncul lagi, Edward sendirian. Dengan cepat ia berjalan menghampiriku dan
merangkul pundakku. "Wanita itu kenapa?" aku langsung berbisik, teringat ekspresi paniknya tadi.
Edward mengangkat bahu, tidak merasa terusik. "Kaure berdarah campuran Indian
Ticuna. Dia dibesarkan untuk percaya takhayul atau bisa dibilang lebih peka
daripada mereka yang hidup di dunia modern. Dia curiga padaku, atau
kecurigaannya nyaris mendekati kebenaran." la masih tidak khawatir,"Mereka punya
legenda di sini. Namanya Libisbomen setan peminum darah yang khusus memangsa
wanita-wanita cantik." Ia melirikku dengan pandangan meggoda.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya wanita cantik" Well, cukup membuat hati tersanjung. "kelihatannya dia
ketakutan," kataku. "Memang-tapi sebenarnya dia mengkhawatirkanmu,"
"Aku?" "Ia takut mengapa aku membawamu ke sini, sendirian." Ia terkekeh masam dan
memandangi dinding yang dipenuhi film. "Oh well, mengapa kau tidak memilih
sesuatu untuk kita tonton" Itu kegiatan yang sangat manusiawi untuk dilakukan."
"Ya, aku yakin menonton film akan bisa meyakinkan Kaure bahwa kau manusia." Aku
tertawa dan memeluk lehernya erat-erat, berdiri sambil berjinjit. Ia membungkuk
agar aku bisa menciumnya, kemudian kedua lengannya merangkulku lebih erat,
mengangkatku dari lantai agar ia tidak perlu membungkuk.
"Movie, sch movie," gumamku sementara bibir Edward menjelajahi leherku, jari-
jariku meremas rambutnya yang berwarna perunggu.
Kemudian aku mendengar suara terkesiap, dan Edward langsung menurunkanku. Kaure
berdiri terpaku di luar koridor, rambut hitamnya dipenuhi bulu-bulu, menenteng
kantong penuh berisi bulu, ekspresi horor menghantui wajahnya. Ia menatapku,
kedua matanya melotot, sementara wajahku memerah dan aku menunduk. Sejurus
kemudian ia tersadar dan menggumamkan sesuatu yang bahkan walaupun diucapkan
dalam bahasa asing, jelas merupakan permintaan maaf, Edward tersenyum dan
menjawab dengan nada ramah. Kaure memalingkan wajah dan terus menyusuri lorong.
"Dia pasti mengira seperti yang menurutku dia kira, kan?" gerutuku.
Edward tertawa mendengar kalimatku yang berbelit itu. "Ya."
"Ini" kataku, mengulurkan tangan sembarangan dan menyambar film seadanya di
tanganku. "Nyalakan dan kita bisa pura-pura menonton."
Itu film musikal kuno dengan wajah-wajah penuh senyum dan gaun-gaun lebar di
sampulnya. "Sangat cocok untuk berbulan madu," Edward setuju.
Sementara para aktor berdansa diiringi lagu pembukaan yang lincah, aku bersantai
di sofa, bersandar dalam pelukan Edward.
"Jadi sekarang kita pindah lagi ke kamar putih?" tanyaku dengan sikap malas-
malasan. "Entahlah... aku sudah menghancurkan kepala ranjang di kamar lain tanpa bisa
diperbaiki lagi-mungkin kalau kita membatasi kerusakan hanya pada satu area di
dalam rumah, Esme akan mengizinkan kita datang lagi ke sini suatu saat nanti."
Aku tersenyum lebar. "Jadi, akan ada kerusakan lagi?"
Edward tertawa melihat ekspresiku. "Menurutku akan lebih aman kalau itu
direncanakan lebih dulu, daripada aku menunggumu menyerangku lagi."
"Itu hanya masalah waktu," aku sependapat dengan sikap sambil lalu, tapi
jantungku berpacu keras sekali.
"Ada yang tidak beres dengan jantungmu?"
"Tidak. Jantungku sekuat kuda" Aku terdiam sejenak. "Maukah kau menyurvei zona
kehancuran sekarang?"
"Mungkin akan lebih sopan menunggu sampai hanya kita berdua di rumah. Kau
mungkin tidak sadar bahwa aku menghancurkan perabotan, tapi mereka mungkin akan
sangat ketakutan." Terus terang saja, aku bahkan sudah lupa ada orang di ruangan lain. "Benar.
Sial," Gustavo dan Kaure bekerja tanpa suara di seluruh penjuru rumah sementara aku
menunggu mereka selesai dengan sikap tidak sabar, dan berusaha memusatkan
perhatian pada cerita yang berakhir dengan hidup bahagia selama-lamanya di layar
kaca. Aku sudah mulai mengantuk-walaupun, seperti kata Edward tadi, aku tidur
selama setengah hari-waktu suara yang kasar mengagetkanku. Edward terduduk
tegak, sambil letap mendekapku di dadanya, dan menanggapi perkataan Gustavo
dengan bahasa Portugis yang lancar, Gustavo mengangguk dan berjalan tanpa suara
menuju pintu depan. "Mereka sudah selesai," Edward memberitahuku.
"Berarti kita sudah sendirian sekarang?"
"Bagaimana kalau makan siang dulu?" Edward menyarankan.
Aku menggigit bibir, perasaanku terbagi oleh dilema itu. Aku memang lapar
sekali. Sambil tersenyum Edward meraih tanganku dan menggandengku ke dapur. Ia sangat
mengenali wajahku, jadi tidak masalah jika ia tidak bisa membaca pikiranku.
"Ini mulai berlebihan," keluhku waktu akhirnya aku merasa kenyang.
"Kau mau berenang bersama lumba-lumba siang ini-untuk membakar kalori?" tanya
Edward. "Mungkin nanti. Aku punya ide lain untuk membakar kalori"
"Apa itu?" "Well, masih banyak kepala ranjang yang tersisa... "
Tapi aku tidak menyelesaikan kata-kataku. Edward sudah meraupku ke dalam
gendongannya, dan bibirnya membungkam bibirku sementara ia membopong dan
membawaku lari dengan kecepatan tidak manusiawi menuju kamar biru.
7. TAK TERDUGA BARISAN sosok hitam mendekatiku, menembus kabut yang menyelubungi bagai jubah.
Aku bisa melihat mata mereka yang merah tua berkilat penuh gairah, penuh nafsu
membunuh. Bibir mereka tertarik ke belakang, memamerkan gigi mereka yang tajam
dan basah-sebagian menggeram, sebagian tersenyum.
Kudengar bocah di belakangku merintih, tapi aku tak bisa menoleh unruk
menatapnya, Walaupun ingin sekali memastikan ia aman, aku tak boleh mengalihkan
perhatianku sekarang. Mereka melayang semakin dekat, jubah hitam mereka berkibar-kibar pelan. Kulihat
tangan mereka melengkung membentuk cakar seputih tulang. Mereka beringsut
memperlebar jarak, bersiap menyerbu kami dari segala sisi. Kami dikepung. Kami
bakal mati. Kemudian, bagai ledakan cahaya senter, seluruh latar itu berbeda. Meskipun
begitu, tidak ada yang berubah-keluarga Volturi masih maju menghampiri kami,
siap membunuh. Yang benar-benar berubah hanya bagaimana gambar itu tampak
olehku. Tiba-tiba aku benar-benar menginginkannya. Aku ingin mereka menyerang.
Kepanikan berubah menjadi nafsu haus darah saat aku merunduk, senyuman
tersungging di wajah, dan geraman terlontar dari sela-sela gigiku yang
terpampang. Aku terduduk, shock karena mimpiku.
Ruangan gelap gulita. Hawa juga sangat panas. Keringat terasa lengket di
pelipisku dan mengalir menuruni leher.
Tanganku menggapai-gapai di seprai yang panas dan mendapati tempat tidur kosong.
"Edward?" Jari-jariku menemukan sesuatu yang halus, datar, dan kaku. Selembar kertas,
dilipat. Aku mengambilnya dan berjalan sambil meraba-raba mencari saklar lampu.
Di bagian luar kertas tertulis "Mrs. Cullen".
Aku berharap kau tidak terbangun dan menyadari aku tidak ada, tapi kalaupun kau
terbangun, aku akan Segera kembali..
Aku hanya pergi Sebentar- ke daratan untuk
berburu. Tidurlah lagi dan aku pasti sudah kembali. Saat kau bangun lagi nanti,
"Aku mencintaimu. Aku mendesah. Kami sudah dua minggu di sini, jadi seharusnya aku sudah menduga
bahwa suatu saat Edward akan pergi. Tapi masalahnya, aku memang sedang tidak
memikirkan waktu. Kami seperti berada di luar jangkauan waktu di sini, menjalani
hidup yang sempurna. Aku menyeka keringat dari dahiku. Aku tidak lagi mengantuk, padahal jam di atas
rak baru menunjukkan lewat pukul satu. Aku tahu aku takkan pernah bisa tidur
dalam keadaan segerah dan selengket yang kurasakan sekarang. Belum lagi fakta
kalau aku mematikan lampu dan memejamkan mata, aku yakin bakal melihat sosok-
sosok hitam itu berkeliaran lagi dalam benakku.
Aku berdiri dan dengan malas-malasan menjelajahi seluruh penjuru rumah yang
gelap, menyalakan lampu-lampu. Rumah terasa begitu besar dan kosong tanpa Edward
di sana. Berbeda. Aku sampai di dapur dan memutuskan mungkin aku membutuhkan makanan pelipur lara.
Aku mengaduk-aduk isi kulkas sampai menemukan semua bahan untuk membuat ayam
goreng. Bunyi letusan dan desisan ayam goreng di penggorengan terdengar
menyenangkan dan akrab, aku merasa tidak begitu gugup lagi setelah suara itu
mengisi kesunyian. Bau ayam goreng begitu lezat sampai-sampai aku sudah tak sabar lagi dan
memakannya langsung dari penggorengan. Akibatnya, lidahku terbakar. Namun pada
gigitan kelima atau keenam, ayam gorengnya sudah mulai dingin sehingga aku mulai
bisa merasakannya. Kunyahanku melambat. Apakah ada yang aneh dengan rasanya"
Kuperiksa, dan kulihat dagingnya sudah berwarna putih seluruhnya, tapi aku
bertanya-tanya apakah ayam ini benar-benar sudah matang. Kucoba makan gigit
lagi; aku mengunyah dua kali. Ugh-benar-benar tidak enak. Aku melompat dan
memuntahkannya ke bak cuci piring. Tiba-tiba bau ayam bercampur minyak membuatku
mual. Kuambil piring dan kubuang isinya ke tong sampah, Lalu kubuka jendela-
jendela untuk menyingkirkan baunya. Angin sejuk berembus di luar. Terasa nyaman
membelai kulitku. Aku merasa sangat lelah, tapi tidak ingin kembali ke kamar yang gerah. Maka aku
membuka lebih banyak lagi jendela di ruang TV dan berbaring di sofa persis di
bawahnya. Aku menyalakan film sama yang kami tonton kemarin dan langsung
tertidur begitu lagu pembukaannya yang ceria terdengar.
Waktu aku membuka mata lagi, matahari sudah separo beranjak ke langit, tapi
bukan cahaya yang membangunkanku. Lengan dingin merangkulku, mendekapku ke
dadanya. Pada saat bersamaan, rasa sakit tiba-tiba memilin perutku, nyaris
seolah-olah perutku habis ditinju.
"Maaf," bisik Edward sambil mengusapkan tangannya yang sedingin es ke keningku
yang lembap, "Aku tidak berpikir panjang. Tidak terpikir sama sekali olehku
bahwa kau bakal kegerahan kalau aku tidak ada. Aku akan memasang AC sebelum aku
pergi lagi." Aku tidak bisa berkonsentrasi pada kata-katanya,
"Permisi!" sergahku, memberontak dari pelukannya.
Edward melepaskan pelukannya. "Bella?"
Aku menghambur ke kamar mandi dengan tangan membekap mulut. Tubuhku benar-benar
kacau rasanya sehingga awalnya aku bahkan tidak peduli bahwa Edward berada di
sampingku waktu aku membungkuk di atas kloset dan muntah-muntah.
"Bella" Ada apa?"
Aku belum bisa menjawab. Edward memelukku cemas, menyibakkan rambut dari
wajahku, menunggu sampai aku bisa bernapas lagi.
"Ayam basi sialan," erangku.
"Kau tidak apa-apa?" Suara Edward tegang.
"Baik," jawabku terengah-engah. "Hanya keracunan makanan. Kau tidak perlu
melihat. Pergilah." "Jangan harap, Bella."
"Pergilah," erangku lagi, bangkit dengan susah payah agar aku bisa berkumur.
Edward dengan lembut membantuku, tak menggubris meskipun aku berusaha
mendorongnya dengan lemah.
Setelah mulutku bersih, ia membopongku ke tempat tidur mendudukkanku dengan
hati-hati, menyanggaku dengan kedua lengannya.
"Keracunan makanan?"
"Yeah," jawabku parau. "Aku membuat ayam goreng sendiri. Rasanya aneh, jadi
kumuntahkan. Tapi aku sempat makan beberapa suap."
Edward meraba keningku dengan tangannya yang dingin. Rasanya nyaman. "Bagaimana
perasaanmu sekarang?"
Aku memikirkannya sejenak. Mualku sudah hilang, sama mendadaknya dengan
kedatangannya tadi, dan aku merasa sesehat biasanya. "Normal-normal saja.
Sedikit lapar sebenarnya"
Edward menyuruhku menunggu satu jam, dan setelah aku berhasil minum segelas
besar air tanpa memuntahkannya, barulah ia menggorengkan beberapa butir telur
untukku. Aku merasa normal-normal saja, hanya sedikit lelah karena terbangun
tengah malam. Edward menyetel CNN -selama ini kami tidak mengetahui perkembangan
dunia luar, jangan-jangan di luar sana telah pecah perang dunia ketiga tapi kami
sama sekali tidak tahu-dan aku duduk terkantuk-kantuk di pangkuannya.
Aku bosan menonton berita dan berbalik untuk menciumnya. Sama seperti tadi pagi,
rasa sakit yang tajam menusuk perutku waktu aku bergerak. Aku menghambur turun
dari pangkuan Edward dengan tangan membekap mulut. Aku tahu kali ini aku takkan
sampai di kamar mandi tepat pada waktunya, maka aku pun berlari ke bak cuci
piring di dapur. Lagi-lagi Edward memegangi rambutku.
"Mungkin sebaiknya kita kembali ke Rio, periksa ke dokter" Edward mengusulkan
dengan nada cemas waktu aku berkumur sesudahnya.
Aku menggeleng dan beranjak menuju lorong. Dokter berarti suntik. "Aku akan
baik-baik saja setelah menggosok gigi"
Setelah mulutku lebih enak, aku membongkar tas, mencari kotak P3K yang dikemas
Alice untukku, penuh barang-barang kebutuhan manusia seperti plester, obat
penghilang rasa sakit, dan-yang kucari sekarang-Pepto-Bismol. Mungkin aku bisa
mengobati perutku dan menenangkan Edward.
Tapi sebelum menemukan Pepto, aku menemukan benda lain yang dikemas Alice
untukku. Kuambil kotak biru kecil itu dan kupandangi lama sekali, melupakan yang
lain. Lalu aku mulai berhitung dalam hati. Satu kali- Dua kali. Lagi.
Ketukan di pintu mengagetkanku, kotak kecil ini terjatuh kembali ke dalam koper.
"Kau baik-baik saja?" tanya Edward dari balik pintu, "Kau muntah lagi ya?"
"Ya dan tidak" jawabku, tapi suaraku terdengar tercekik. "Bella" Boleh aku masuk
sekarang?" Nadanya sekarang khawatir.
"O... ke?" Edward masuk dan mengamati posisiku, duduk bersila di lantai dekat koper, dan
ekspresiku, yang kosong dan menerawang. Ia duduk di sebelahku, tangannya meraba
keningku sekali lagi. "Ada apa?" "Sudah berapa hari kita menikah?" bisikku.
"Tujuh belas" jawab Edward otomatis. "Bella, ada apa?"
Aku menghitung lagi dalam hati. Aku mengacungkan jari padanya, menyuruhnya
menunggu, dan menghitung sendiri tanpa suara. Ternyata aku salah menghitung
jumlah hari. Ternyata kami sudah lebih lama berada di sini. Aku mulai lagi.
"Bella!" bisik Edward kalut,
"Aku sudah mulai gila"
Aku mencoba menelan ludah. Sia-sia. Maka aku pun merogoh ke dalam tas sampai
menemukan kotak biru kecil berisi tmpon itu lagi. Kuacungkan kotak itu tanpa
suara. Edward memandangiku bingung. "Apa" Maksudmu sakitmu sekarang ini karena sindrom
pramenstruasi?" "Bukan," jawabku dengan suara tercekik, "Bukan, Edward. Maksudku adalah,
menstruasiku terlambat lima hari."
Ekspresi Edward tidak berubah. Seolah-olah aku tidak berbicara sama sekali.
"Kurasa aku bukan keracunan makanan," imbuhku.
Edward tidak merespons. Ia sudah berubah menjadi patung.
"Mimpi-mimpi itu," gumamku pada diri sendiri dengan suara datar. "Tidur terus.
Menangis. Makan banyak sekali. Oh. Oh. Oh."
Tatapan Edward mengeras, seakan-akan ia tidak bisa melihatku lagi.
Refleks, nyaris tidak sengaja, tanganku jatuh ke perut.
"Oh!" pekikku lagi.
Aku langsung berdiri, melepaskan diri dari pegangan tangan Edward yang membeku.
Aku masih mengenakan celana dan kamisol sutra yang kupakai tidur kemarin.
Kusingkapkan kamisol biru itu dan kupandangi perutku.
"Mustahil," bisikku.
Aku tidak punya pengalaman sama sekali dengan kehamilan atau bayi atau apa pun
yang berkaitan dengan itu, tapi aku bukan idiot. Aku sudah cukup sering menonton
film dan acara televisi untuk mengetahui bahwa orang hamil tidak seperti ini.
Haidku baru terlambat lima hari. Kalau aku memang hamil, tubuhku pasti belum
mengenali fakta itu. Aku belum akan mual-mual di pagi hari. Pola makan dan
tidurku juga pasti belum berubah.
Dan yang terpenting, pasti belum ada gundukan yang, meski kecil tapi terlihat
jelas, mencuat di antara kedua pinggulku.
Aku mengamatinya dari segala sudut, seolah-olah gundukan itu akan hilang
sendiri. Kularikan jari-jariku di gundukan kecil itu, terkejut saat menyadari
betapa keras rasanya gundukan itu di bawah kulitku,
"Mustahil," kataku lagi, karena, ada atau tidak ada gundukan, ada atau tidak ada
menstruasi (dan memang jelas tidak ada menstruasi, walaupun aku belum pernah
terlambat sehari pun seumur hidupku), yang jelas aku tidak mungkin hamil Satu-
satunya yang pernah berhubungan seks denganku hanya vampir, jadi tidak mungkin
terjadi kehamilan. Vampir yang masih membeku di lantai tanpa ada tanda-tanda ia akan bergerak
lagi. Kalau begitu pasti ada penjelasan lain. Ada yang tidak beres dengan diriku.
Penyakit Amerika Selatan aneh yang gejala-gejalanya mirip kehamilan, tapi lebih
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat... Kemudian aku ingat sesuatu, pagi saat aku melakukan riset Internet yang
sepertinya sudah terjadi lama berselang. Duduk di meja tua di kamar di rumah
Charlie dengan cahaya bulan bersinar muram menembus jendela, memandangi komputer
tuaku yang berdengung-dengung, melahap semua keterangan yang tercantum dalam
situs web bernama "Vampir dari A sampai Z". Saat itu, kurang dari 24 jam
sebelumnya, Jacob Black, yang mencoba menghiburku dengan cerita tentang legenda-
legenda suku Quileute yang waktu itu belum ia yakini, memberitahuku bahwa Edward
adalah vampir. Waktu itu dengan cemas aku membaca entri pertama dalam situs itu,
yang berisi mitos-mitos tentang vampir di seluruh dunia. Danag bagi orang
Filipina, Estrie bagi bangsa Yahudi, Varacolaci bagi orang Rumania, Stregoni
Benefici bagi orang Italia (legenda yang sebenarnya didasarkan pada pertemuan
awal ayah mertuaku dengan keluarga Volturi, walaupun waktu itu aku tidak
mengetahuinya)... semakin lama aku semakin tidak tertarik karena cerita-
ceritanya juga semakin tidak masuk akal. Samar-samar aku hanya ingat potongan
beberapa kisah yang kubaca belakangan. Sebagian besar terkesan seperti alasan
yang mengada-ada untuk menjelaskan hal-hal seperti tingkat kematian bayi dan
perselingkuhan. Tidak, Sayang, aku bukannya berselingkuh! Wanita sakti yang
kaulihat menyelinap keluar dari rumah sebenarnya adalah succubus (Succubus:
makhlulf halus berwujud wanita cantik (lawan jenisnya adalah incubus, makhluk
halus berwujud lelaki)). Beruntung aku masih hidup! (Tentu saja, dengan apa yang
kuketahui sekarang tentang Tanya dan saudari-saudarinya, aku curiga sebagian
alasan itu bisa jadi benar) Ada juga yang korbannya para wanita. Teganya kau
menuduhku berselingkuh hanya karena kau pulang dari berlayar selama dua tahun
dan aku hamil" Ini gara-gara si incubus. Ia menghipnotisku dengan ilmu vampir
mistiknya... Tulisan itu merupakan bagian dari definisi incubus-kemampuan membenihkan anak
dengan mangsanya yang tidak berdaya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, pusing. Tapi... Ingatanku melayang pada Esme,
dan terutama Rosalie. Vampir tidak bisa punya anak. Kalau itu mungkin, Rosalie
pasti sudah menemukan caranya sekarang. Mitos incubus itu tidak lebih dari
fabel. Kecuali... well, sebenarnya ada bedanya. Tentu saja Rosalie tidak bisa punya
anak, karena tubuhnya membeku selamanya pada saat ia beralih dari manusia
menjadi bukan manusia. Sama sekali tidak berubah. Padahal tubuh wanita manusia
harus berubah saat mengandung. Perubahan konstan siklus bulanan, itu hal
pertama, kemudian dibutuhkan perubahan lain yang lebih besar untuk mengakomodir
pertumbuhan bayi. Sementara tubuh Rosalie tidak bisa berubah.
Tapi tubuhku bisa. Tubuhku berubah. Kusentuh gundukan di perutku yang kemarin
tidak ada. Dan manusia lelaki-well, bisa dibilang tubuh mereka tetap sama mulai dari
pubertas hingga meninggal. Aku jadi ingat pada pertanyaan kuis trivia yang entah
kudengar dari mana: Charlie Chaplin sudah berusia tujuh puluhan waktu ia
membenihkan anak bungsunya. Kaum lelaki tidak memiliki batasan kapan mereka bisa
punya anak dan kapan siklus subur mereka.
Tentu saja, bagaimana orang bisa tahu apakah vampir lelaki bisa mempunyai anak,
kalau orangtua mereka tidak bisa" Vampir apa di bumi ini yang memiliki
pengekangan diri yang diperlukan untuk menguji teori itu dengan wanita manusia"
Atau kecenderungan untuk itu"
Aku hanya bisa memikirkan satu nama.
Sebagian pikiranku memilah-milah berbagai fakta, ingatan, melalui spekulasi,
sementara setengahnya lagi bagian yang mengontrol kemampuan menggerakkan bahkan
otot-otot terkait terpana hingga tak mampu melakukan fungsi-fungsi normal. Aku
tak mampu menggerakkan bibir untuk berbicara, walaupun aku ingin meminta Edward
agar ia bersedia menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi. Aku perlu
kembali ke tempat ia duduk, menyentuhnya, tapi tubuhku menolak mengikuti
instruksi. Aku hanya bisa menatap mataku yang shock di dalam cermin, jari-jariku
dengan hati-hati menekan gundukan kecil di tubuhku.
Kemudian, seperti mimpi buruk yang begitu jelas semalam, adegan itu tiba-tiba
berubah. Semua yang kulihat di dalam cermin tampak benar-benar berbeda, walaupun
sebenarnya tidak ada yang berbeda,
Yang membuat segalanya berubah adalah ada sesuatu yang kecil dan pelan menonjok
tanganku-dari dalam tubuhku.
Detik itu juga telepon Edward berdering, nyaring dan mendesak. Kami sama-sama
bergeming. Telepon berdering berkali-kali. Aku berusaha mengenyahkan suara itu
dari pikiranku sementara menekankan jari-jariku ke perut, menunggu. Di cermin
ekspresiku tak lagi keheranan tapi penasaran. Aku nyaris tidak menyadari ketika
air mata yang asing dan tanpa suara mulai mengalir membasahi pipiku.
Telepon terus berdering. Aku berharap Edward mengangkatnya ini momen besar
bagiku. Mungkin yang terbesar sepanjang hidupku.
Kriing! Kriing! Kriing! Akhirnya, kejengkelanku memuncak. Aku berlutut di samping Edward aku mendapati
diriku bergerak lebih hati-hati, seribu kali lebih menyadari setiap gerakan dan
menepuk nepuk semua kantongnya sampai menemukan ponsel. Aku separo berharap ia
akan mencair dan menjawabnya sendiri, tapi Edward diam tak bergerak.
Aku mengenali nomornya, dan bisa dengan mudah menebak mengapa ia menelepon.
"Hai, Alice," sapaku. Suaraku tidak lebih baik daripada sebelumnya. Aku
berdeham-deham. "Bella" Bella, kau baik-baik saja?"
"Yeah, Eh. Ada Carlisle tidak?"
"Ada. Memangnya ada apa?"
"Aku belum... seratus persen... yakin... "
"Apakah Edward baik-baik saja?" tanya Alice waswas. Ia menjauhkan corong
telepon, berseru memanggil Carlisle, kemudian menuntut penjelasan,"Mengapa dia
tidak mau mengangkat telepon?" sebelum aku bisa menjawab pertanyaan pertamanya.
"Entahlah." "Bella, apa yang terjadi" Barusan aku melihat..." "Apa yang kaulihat?"
Alice tidak menjawab. "Ini Carlisle," akhirnya ia berkata.
Rasanya seolah-olah ada air dingin disuntikkan ke pembuluh darahku. Kalau dalam
visinya Alice melihatku bersama anak bermata hijau dan berwajah malaikat dalam
pelukanku, ia pasti akan menjawab pertanyaanku tadi, bukan"
Sementara menunggu sepersekian detik sebelum Carlisle berbicara, visi yang dalam
bayanganku dilihat Alice menari-nari di pelupuk mataku. Seorang bayi mungil
rupawan, bahkan lebih rupawan daripada bocah dalam mimpiku -Edward kecil dalam
pelukanku. Perasaan hangat menjalari segenap nadiku, mengusir perasaan dingin
tadi. "Bella, ini Carlisle. Ada apa?"
"Aku... " aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Apakah Carlisle akan
menertawakan kesimpulanku, mengataiku sinting. Atau apakah aku sedang bermimpi"
"Aku agak khawatir memikirkan Edward... Bisakah vampir mengalami shock?"
"Apakah dia mengalami cedera?" Suara Carlisle tiba-tiba lirih.
" Tidak, tidak," aku meyakinkan dia. "Hanya... terkejut."
"Aku tidak mengerti. Bella."
"Kupikir... well, kupikir.., mungkin... bisa jadi aku.." Aku menarik napas
dalam- dalam. "Hamil."
Seakan hendak mendukung kebenaran kata-kataku, terasa sundulan kecil di perutku.
Tanganku langsung melayang ke perut.
Setelah terdiam cukup lama, ilmu kedokteran Carlisle langsung beraksi.
"Kapan hari pertama menstruasi terakhirmu?"
"Enam belas hari sebelum menikah." Aku sudah menghitung dalam hati dengan cukup
saksama sehingga bisa memberi jawaban pasti.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Aneh" kataku dan suaraku pecah. Air mata kembali mengalir menuruni pipiku.
"Kedengarannya memang sinting dengar, aku tahu ini masih terlalu dini. Mungkin
aku memang sinting. Tapi aku mengalami mimpi aneh, makan terus, menangis, dan
muntah, dan.. dan... aku berani bersumpah ada sesuatu bergerak di dalam perutku
barusan" Kepala Edward tersentak. Aku mengembuskan napas lega.
Edward mengulurkan tangan, meminta telepon, wajahnya putih dan keras. "Eh,
sepertinya Edward ingin bicara denganmu." "Baiklah," kata Carlisle, suaranya
tegang. Tidak sepenuhnya yakin apakah Edward bisa bicara, aku meletakkan ponsel ke
tangannya yang terulur. Edward menempelkan ponsel ke telinganya. "Apakah itu mungkin?" bisiknya.
Ia mendengarkan lama sekali, matanya menerawang.
"Dan Bella?" tanya Edward. Lengannya memelukku sementara ia berbicara,
mendekapku erat-erat. Pendekar Lembah Naga 16 Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati Kemelut Kerajaan Mancu 7
hanya bercanda!" Ia mengguncang tubuhku lagi. Kedua tangannya, yang mencengkeram kuat, bergetar,
mengirim getaran hingga jauh ke dalam tulang-tulangku.
"Jake-hentikan!"
Kegelapan tiba-tiba jadi sangat ramai.
"Lepaskan dia!" Suara Edward sedingin es, setajam silet.
Di belakang Jacob, terdengar geraman rendah dari kegelapan malam, disusul
geraman lain, meningkahi yang pertama.
"Jake, mundurlah," kudengar Seth Clearwater membujuk. "Kau kehilangan kendali."
Jacob seperti membeku, matanya yang ngeri membelalak lebar dan terpaku.
"Kau bisa melukainya," bisik Seth. "Lepaskan dia."
"Sekarang!" geram Edward.
Kedua tangan Jacob terjatuh ke sisi tubuhnya, dan darah yang menyerbu ke dalam
pembuluh darahku nyaris terasa menyakitkan. Belum lagi menyadari hal itu,
sepasang tangan dingin menggantikan tangan yang panas, dan aku merasakan desiran
udara melewatiku. Aku mengerjap, tahu-tahu aku mendapati diriku sudah berdiri kira-kira satu
setengah meter dari tempatku berdiri tadi. Edward tegang di depanku. Tampak dua
serigala besar yang siap menerjang di antara dirinya dan Jacob, namun di mataku,
keduanya tak terkesan agresif. Lebih tepatnya berusaha mencegah terjadinya
perkelahian. Dan Seth-Seth yang sangar dan baru berumur lima belas rahun-melingkarkan kedua
lengannya ke tubuh Jacob yang bergetar, dan menyeretnya menjauh. Kalau Jacob
berubah padahal Seth begitu dekat dengannya...
"Ayo, Jake. Kita pergi."
"Akan kubunuh kau," kata Jacob, suaranya tercekik oleh amarah hingga hanya
berupa bisikan rendah. Matanya, terfokus pada Edward, berapi-api marah. "Aku
sendiri yang akan membunuhmu! Aku akan melakukannya sekarang!" Tubuhnya
mengentak-entak. Serigala yang paling besar, yang berwarna hitam, menggeram tajam.
"Seth, minggir," desis Edward.
Seth menyeret Jacob lagi. Jacob begitu dipenuhi amarah sehingga Seth hanya
berhasil menyentakkan tubuhnya beberapa meter ke belakang, "Jangan lakukan itu,
Jake. Menyingkirlah! Ayo."
Sam-serigala yang lebih besar, yang berwarna hitam-bergabung dengan Seth. Ia
meletakkan kepalanya yang besar ke dada Jacob dan mendorong.
Mereka bertiga-Seth yang menyeret, Jake yang gemetaran, dan Sam yang mendorong-
menghilang cepat ditelan kegelapan.
Serigala yang satunya memandangi mereka. Aku tidak tahu persis, dalam penerangan
yang lemah, warna bulunya-cokelat, mungkin" Apakah itu Quil, kalau begitu"
"Maafkan aku," bisikku pada serigala itu. "Semua beres sekarang, Bella," bisik
Edward. Serigala itu menatap Edward. Tatapannya tidak bersahabat. Edward mengangguk
padanya dengan sikap dingin. Serigala itu mendengus kemudian berbalik untuk
mengikuti yang lain-lain, menghilang seperti mereka,
"Baiklah," kata Edward pada diri sendiri, lalu menatapku, "Ayo kita kembali."
"Tapi Jake... "
"Dia sudah berada dalam pengawasan Sam. Dia sudah pergi,"
"Edward, aku benar-benar minta maaf. Sungguh tolol aku... "
"Kau tidak melakukan kesalahan apa pun... "
"Aku memang bermulut besar! Mengapa aku harus... seharusnya aku tidak membiarkan
emosiku terpancing seperti itu. Apa yang kupikirkan?"
"Jangan khawatir." Edward menyentuh wajahku. "Kita harus kembali ke resepsi
sebelum ada yang menyadari kita tidak ada."
Aku menggeleng, berusaha mengembalikan orientasiku. Sebelum ada yang sadar"
Benarkah para tamu tidak melihat kejadian tadi"
Kemudian, waktu aku memikirkannya, sadadah aku bahwa konfrontasi yang bagiku
terasa begitu katastropik, nyatanya berlangsung dengan sangat tenang dan singkat
di bawah ke-remangan bayang-bayang.
"Beri aku waktu dua detik," aku memohon.
Isi hatiku berantakan oleh kepanikan dan kesedihan, tapi itu bukan masalah -
bagian luarlah yang penting sekarang. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa
adalah sesuatu yang kutahu harus bisa kukuasai.
"Gaunku?" "Kau terlihat baik-baik saja. Tidak sehelai rambut pun keluar dari tatanannya."
Aku menarik napas dalam-dalam dua kali. "Oke- Ayo kita pergi"
Edward merangkul pinggangku dan membimbingku kembali ke tengah cahaya.
Aku melirik sekelilingku, memandangi para tamu, tapi sepertinya tidak ada yang
shock atau ketakutan. Hanya wajah-wajah yang paling pucat yang menunjukkan
tanda-tanda stres, tapi mereka menyembunyikannya dengan baik, Jasper dan Emmett
berdiri di tepi lantai dansa, berdekatan, dan dugaanku, mereka tadi berada di
dekat kami saat terjadi konfrontasi,
"Apa kau... " "Aku baik-baik saja," aku meyakinkan dia. "Aku tidak percaya aku berbuat begitu
tadi. Apa yang salah denganku?"
"Tidak ada yang salah dengan dirimu!'
Padahal tadi aku senang sekali Jacob datang ke sini. Aku tahu pengorbanan yang
dia lakukan. Tapi lalu aku merusaknya, mengubah hadiahnya menjadi bencana.
Seharusnya aku dikarantina saja. Tapi ketololanku tidak akan merusak suasana
lagi malam ini. Aku akan mengenyahkannya, menyurukkannya ke dalam Jaci dan
menguncinya, untuk kubereskan belakangan. Akan ada banyak waktu ketika aku bisa
menghukum diriku sendiri karena persoalan ini, tapi untuk saat ini, aku tidak
bisa melakukan apa-apa. "Masalahnya sudah selesai," tukasku. "Kita tidak usah memikirkannya lagi malam
ini." Aku mengira Edward akan langsung menyetujuinya, tapi ia hanya terdiam.
"Edward?" Edward memejamkan mata dan menempelkan dahinya ke dahiku.
"Jacob benar," bisiknya. "Apa yang kupikirkan?"
"Dia tidak benar." Aku berusaha menunjukkan ekspresi seolah tidak ada apa-apa,
karena saat itu banyak teman kami yang memerhatikan. "Jacob terlalu berprasangka
untuk bisa memandang semuanya dengan jernih."
Edward menggumamkan sesuatu dengan suara pelan yang kedengarannya hampir seperti
"seharusnya kubiarkan dia membunuhku karena berani mempertimbangkan hal itu... "
"Hentikan," sergahku galak. Kurengkuh wajah Edward dengan kedua tangan dan
kutunggu sampai ia membuka mata, "Kau dan aku. Hanya itu yang penting. Satu-
satunya hal yang boleh kaupikirkan sekarang. Kaudengar aku?"
"Ya," desah Edward.
"Lupakan bahwa Jacob pernah datang" Aku bisa melakukannya. Aku akan
melakukannya. "Demi aku. Berjanjilah padaku kau akan melupakan masalah ini."
Edward menatap mataku beberapa saat sebelum menjawab. "Aku berjanji."
"Terima kasih, Edward, aku tidak takut."
"Tapi aku takut," bisiknya.
"Tidak perlu." Aku menghela napas dalam-dalam dan tersenyum. "Bagaimanapun, aku
mencintaimu." Ia membalasnya dengan tersenyum kecil. "Itulah sebabnya kita berada di sini."
"Kau memonopoli mempelai wanita" sergah Emmert, tahu-tahu muncul di balik pundak
Edward. "Izinkan aku berdansa dengan kakak perempuanku. Bisa jadi ini kesempatan
terakhirku untuk membuat wajahnya memerah." Emmett tertawa nyaring, seperti
biasa tidak terpengaruh atmosfer yang serius.
Ternyata banyak juga yang belum berdansa denganku, jadi itu memberiku kesempatan
untuk benar-benar menenangkan diri dan memantapkan hati. Setelah Edward meraihku
lagi, aku mendapati "laci Jacob"-ku telah tertutup rapat dan erat. Saat Edward
melingkarkan kedua lengannya ke tubuhku, aku mampu mengeluarkan perasaan
bahagiaku seperti yang tadi kurasakan, keyakinanku bahwa segala sesuatu dalam
hidupku berada di tempatnya yang semestinya malam ini. Aku tersenyum dan
meletakkan kepalaku di dadanya. Ia mempererat pelukannya.
"Aku bisa terbiasa dengan ini," kataku.
"Jadi sekarang kau sudah tidak keberatan lagi berdansa?"
"Berdansa ternyata lumayan juga-bersamamu. Tapi maksudku sebenarnya adalah ini"-
dan aku menempelkan tubuhku lebih rapat lagi ke tubuhnya-"yaitu tidak pernah
harus melepaskanmu" "Tidak akan pernah" janji Edward, dan ia membungkuk untuk menciumku.
Ciuman yang sangat mesra-intens, lambat, tapi makin lama makin panas...
Aku sampai lupa di mana aku berada saat itu sampai mendengar Alice berseru,
"Bella! Sudah waktunya!"
Aku merasakan secercah perasaan jengkel terhadap ipar baruku yang seenaknya saja
menginterupsi ciuman kami.
Edward tak memedulikan Alice; bibirnya melumat bibirku, lebih bergairah daripada
sebelumnya. Jantungku berpacu kencang dan telapak tanganku terasa licin di
lehernya yang sekeras marmer.
"Kalian mau ketinggalan pesawat, ya?" rongrong Alice, berdiri tepat di sampingku
sekarang. "Aku yakin kalian pasti senang, berbulan madu di bandara karena
ketinggalan pesawat dan harus menunggu pesawat lain."
Edward memalingkan wajahnya sedikir dan bergumam, "Pergi, Alice," kemudian
menciumku lagi. "Bella, jadi kau mau memakai gaun itu di pesawat?" tuntutnya.
Aku tidak terlalu memerhatikan kata-kata Alice. Aku benar-benar sedang tidak
peduli. Alice menggeram pelan. "Aku akan membocorkan kepadanya ke mana kau akan
membawanya, Edward. Jadi tolonglah aku, kalau tidak aku benar-benar akan
mengatakannya." Edward membeku. Lalu ia mengangkat wajahnya dan memelototi adik kesayangannya.
"Tubuhmu memang kecil, tapi kau luar biasa menjengkelkan."
"Setelah capek-capek memilih gaun untuk pergi berbulan madu, aku kan tidak mau
baju itu jadi mubazir karena tidak terpakai," Alice balas membentak sambil
meraih tanganku, "Ikut aku, Bella."
Aku balas menarik tanganku yang ditarik olehnya, berjinjit tinggi-tinggi untuk
mencium Edward sekali lagi. Alice menyentakkan tanganku dengan sikap tidak
sabar, menyeretku menjauh dari Edward. Beberapa tamu terkekeh melihar tingkah
kami. Lalu aku menyerah dan membiarkannya menyeretku masuk ke rumah yang kosong,
Alice tampak kesal. "Maaf, Alice," aku meminta maaf.
"Aku tidak menyalahkanmu, Bella." Ia menghela napas. "Kau sepertinya tak bisa
menguasai diri." Aku terkikik melihat ekspresinya yang pasrah, dan ia langsung merengut,
"Terima kasih, Alice, Ini pernikahan terindah yang pernah ada," kataku sungguh-
sungguh. "Semuanya sempurna. Kau adik terbaik, terpintar, dan paling berbakat di
seluruh dunia." Kata-kataku meluluhkan hatinya; Alice tersenyum lebar. "Aku senang kau
menyukainya," Renee dan Esme sudah menunggu di lantai atas. Mereka dengan cepat membantuku
menanggalkan gaun pengantin dan mengenakan gaun bulan madu berwarna biru tua
pilihan Alice. Aku bersyukur seseorang mencopoti jepit dari rambutku dan
membiarkannya tergerai lepas ke punggung, ikal sehabis dikepang, menyelamatkanku
dari kemungkinan sakit kepala. Air mata ibuku tak henti-hentinya mengalir.
"Aku akan langsung menelepon Mom begitu tahu aku akan pergi ke mana," janjiku
pada Renee waktu aku memeluknya untuk berpamitan. Aku tahu bulan madu rahasia
ini mungkin membuatnya sinting; ibuku paling benci rahasia-rahasiaan, kecuali
bila ia diikutsertakan di dalamnya,
"Aku akan memberitahumu kalau dia sudah pergi nanti," Alice mendahuluiku,
tersenyum mengejek melihat ekspresiku yang terluka. Sungguh tidak adil, selalu
saja aku yang terakhir tahu,
"Kau harus mengunjungi aku dan Phil dalam waktu dekat. Sekarang giliranmu petgi
ke selatan-sekali-sekali melihat matahari kan tidak ada salahnya," kata Renee.
"Hari ini tadi kan tidak hujan," aku mengingatkan Renee, mengelak mengiyakan
permintaannya, "Itu mukjizat."
"Semuanya sudah siap," seru Alice, "Koper-kopermu sudah di mobil-Jasper sudah
membawa mobilnya ke depan rumah," la menarikku menuruni tangga diikuti Renee,
yang masih separo memelukku.
"Aku sayang padamu; Mom," bisikku saat kami menuruni tangga, "Aku sangat senang
Mom memiliki Phil, Tetaplah saling menyayangi,"
"Aku juga sayang padamu, Bella, Sayang,"
"Selamat tinggal, Mom. Aku sayang padamu," kataku lagi, leherku tercekat.
Edward menungguku di kaki tangga. Aku menerima uluran tangannya tapi
mencondongkan tubuh menjauh, menyapukan pandanganku ke segelintir orang yang
menunggu untuk melepas kepergian kami.
"Dad!" tanyaku, mataku mencari-cari.
"Di sebelah sini," gumam Edward, Ia menarikku menerobos kerumunan tamu,-mereka
menyingkir membukakan jalan untuk kami. Kami mendapati Charlie bersandar
canggung ke dinding, di belakang semua orang lain, terlihat agak bersembunyi.
Lingkaran merah yang mengitari matanya menjelaskan alasannya. "Oh, Dad!"
Kupeluk pinggangnya rapat-rapat, air mataku kembali membanjir-betapa seringnya
aku menangis malam ini. Chariie menepuk-nepuk punggungku.
"Sudah, sudah. Jangan sampai kau ketinggalan pesawat."
Sulit memang berbicara tentang kasih sayang dengan Chariie-kami sangat mirip,
selalu mengalihkan pembicaraan ke hal remeh untuk menghindar dari keharusan
menunjukkan perasaan yang hanya akan membuat kami malu. Tapi sekarang bukan
saatnya untuk merasa malu.
"Aku sayang padamu selamanya, Dad," kataku padanya. "Jangan lupa itu "
"Aku juga, Bells. Dulu dan sekarang, dan akan selalu." Aku mencium pipinya, dan
pada saat bersamaan ia juga mencium pipiku.
"Telepon aku," pesannya.
"Segera," aku berjanji, tahu hanya itu yang bisa kujanjikan. Hanya menelepon.
Ibu dan ayahku takkan boleh bertemu lagi denganku; aku akan jadi sangat berbeda,
dan jauh, jauh lebih berbahaya,
"Pergilah, kalau begitu," kata Chariie parau, "Jangan sampai terlambat"
Para tamu kembali menyingkir, membentuk lorong untuk kami. Edward merapatkan
tubuhku ke tubuhnya sementara kami menghambur ke luar.
"Kau siap?" tanyanya,
"Siap," jawabku, dan aku tahu itu benar.
Semua bertepuk tangan ketika Edward menciumku di ambang pintu. Kemudian ia
menarikku ke mobil sementara itu tamu menghujani kami dengan beras. Sebagian
besar tidak mengenalku, tapi seseorang, kemungkinan Emmett, melempar dengan
sangat jitu, dan banyak sekali beras yang terpantul di punggung Edward
mengenaiku. Mobil itu dihiasi bunga-bunga yang menjulur di sepanjang bodinya, serta pita-
pita panjang yang mengikat lusinan sepatu-sepatu bermerek yang kelihatannya
masih baru-bergelantungan di bemper.
Edward melindungiku dari hujan beras waktu aku naik ke mobil, kemudian ia masuk
dan kami langsung meluncur pergi sambil melambai-lambaikan tangan ke luar
jendela dan menyerukan kata-kata "aku sayang kalian" ke teras, tempat para
anggota keluarga membalas lambaian kami.
Sosok yang terakhir kulihat adalah orangtuaku. Kedua lengan Phil merangkul
lembut tubuh Renee. Renee melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Phil, tapi
sebelah tangannya yang lain terulur pada Charlie, Begitu banyak jenis cinta yang
berbeda; harmonis pada momen ini. Pemandangan yang membuat hatiku begitu hangat.
Edward meremas tanganku. "Aku cinta padamu," katanya.
Aku menyandarkan kepalaku di lengannya. "Itulah sebabnya kita berada di sini,"
aku mengutip kata-kata yang ia ucapkan tadi.
Edward mengecup rambutku.
Saat kami berbelok memasuki jalan tol yang gelap pekat dan Edward menginjak
pedal gas dalam-dalam, aku mendengar suara lain meningkahi derum suara mobil,
berasal dari hutan di belakang kami. Kalau aku saja bisa mendengarnya, Edward
pasti juga bisa. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa sementara suara itu perlahan-
lahan menghilang ditelan jarak yang semakin membentang. Aku juga tidak
mengatakan apa-apa. Lolongan melengking tinggi yang mengoyak hati itu semakin sayup dan akhirnya
lenyap sama sekali. 5. PULAU ESME "HOUSTON?" tanyaku, mengangkat alis begitu kami tiba di gerbang keberangkatan di
Seattle, "Hanya transit sebentar," Edward meyakinkanku sambil nyengir.
Rasanya aku baru saja tertidur waktu ia membangunkanku. Aku masih sempoyongan
karena mengantuk waktu Edward menyeretku melintasi beberapa terminal, susah
payah berusaha mengingat untuk membuka mata setiap kali selesai mengerjap. Butuh
beberapa menit baru aku bisa sepenuhnya tersadar ketika kami berhenti di depan
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
konter penerbangan internasional, check in untuk penerbangan berikutnya.
"Rio de Janeiro?" tanyaku, sedikit waswas.
"Transit juga," jawab Edward,
Penerbangan menuju Amerika Selatan panjang tapi nyaman, di tempat duduk kelas
satu yang lebar, dalam dekapan Edward yang merangkulku. Aku tertidur pulas dan
terbangun dalam kondisi bugar saat pesawat terbang mengitari bandara,
Cahaya matahari yang mulai terbenam menerobos miring memasuki jendela pesawat.
Kami tidak tinggal di bandara untuk menyambung naik pesawat lain seperti
dugaanku semula. Kami malah naik taksi menembus jalan-jalan kota Rio yang gelap,
hiruk-pikuk, dan ramai. Karena tak bisa memahami sepatah kata pun instruksi yang
diucapkan Edward dalam bahasa Portugis kepada sopir taksi, aku hanya bisa
menduga kami pergi untuk mencari hotel dan beristirahat sebelum melanjutkan
perjalanan. Perutku mulas saat memikirkannya, perasaanku gugup seperti demam
panggung. Taksi terus melaju menembus kerumunan orang hingga akhirnya kerumunan
mulai menipis, dan sepertinya kami mendekati kawasan pinggiran kota di ujung
barat, mengarah ke lautan.
Kami berhenti di dermaga.
Edward membimbingku menyusuri deretan panjang kapal pesiar berwarna putih yang
ditambatkan di air yang hitam kelam di malam hari. Ia berhenti di samping kapal
yang ukurannya lebih kecil dibandingkan kapal-kapal lain, jelas dirancang untuk
bisa melaju cepat dan bukan untuk memperoleh ruang yang lega. Meskipun kapal itu
mewah dan lebih anggun daripada yang lain. Dengan enteng Edward melompat naik ke
kapal itu, padahal tangannya menenteng koper-koper berat, Ia menjatuhkan semua
bawaannya di atas dek, lalu berbalik untuk membantuku naik dengan hati-hati.
Aku menonton sambil berdiam diri sementara Edward menyiapkan kapal untuk
berangkat, terkejut melihat betapa terlatih dan nyaman ia kelihatannya, karena
selama ini ia tidak pernah bercerita bahwa ia tertarik dengan kapal, tapi ia
memang piawai nyaris dalam segala hal.
Saat kami melaju ke arah timur menuju laut lepas, aku meninjau kembali
pengetahuan dasar geografi yang tersimpan di kepalaku. Sepanjang pengetahuanku,
tak ada apa-apa di sebalah timur Brazil... kecuali kau sampai di Afrika.
Tapi Edward terus memacu kapalnya sementara lampu-lampu kota Rio perlahan-lahan
mengecil dan akhirnya lenyap sama sekali di belakang kami. Di wajahnya tampak
ekspresi penuh semangat yang familier itu, yang muncul setiap kali ia sedang
melaju kencang. Kapal menerjang ombak, dan tubuhku basah terkena percikan air
laut. Akhirnya rasa ingin tahuku tak bisa dibendung lagi.
"Masih jauh, ya?" tanyaku.
Tidak biasanya ia lupa bahwa aku manusia, tapi aku penasaran jangan-jangan ia
ingin agar kami tinggal di kapal kecil ini selama beberapa waktu.
"Kira-kira setengah jam lagi." Matanya menatap kedua taanganku yang mencengkeram
kursi, dan menyeringai. Oh well, pikirku dalam hari. Bagaimanapun juga dia kan vampir. Mungkin kami akan
pergi ke Atlantis. Dua puluh menit kemudian ia berseru memanggil namaku, mengalahkan raungan suara
mesin. "Bella, lihat di sana." Ia menuding lurus ke depan.
Awalnya aku hanya melihat kegelapan yang hitam pekat, dan cahaya bulan yang
putih memanjang di permukaan air. Tapi aku berusaha mencari-cari tempat yang
ditunjuk olehnya sampai menemukan sebentuk benda hitam rendah menghalangi jejak
cahaya rembulan yang membentang di atas gelombang. Saat aku menyipitkan mata ke
dalam kegelapan, siluet itu semakin jelas. Benda itu berubah bentuk menjadi
segitiga tak beraturan, satu sisinya membentang lebih panjang daripada sisi
lainnya sebelum terbenam ombak. Kami semakin dekat, dan aku bisa melihat tepian
benda itu bergerak-gerak pelan tertiup angin sepoi-sepoi.
Kemudian pandanganku kembali terfokus dan potongan-potongan itu membentuk
gambaran yang utuh dalam benakku: sebuah pulau kecil menjulang dari dalam laut
di depan kami, pohon-pohon kelapanya melambai-lambai, pantainya berkilau temaram
di bawah cahaya bulan. "Di mana kita?" bisikku takjub sementara Edward mengubah arah kapal, mengarah ke
sisi utara pulau. Ia mendengar, walaupun suara mesin sangat berisik, dan menyunggingkan senyum
lebar yang berkilauan diterpa cahaya bulan.
"Ini namanya Pulau Esme,"
Kapal tiba-tiba melambar, memasuki dermaga pendek dari papan-papan kayu, putih
bersinar tertimpa cahaya bulan. Mesin dimatikan, dan kesunyian yang mengikutinya
begitu senyap. Tidak ada apa-apa kecuali ombak, berdebur pelan mengenai badan
kapal, dan gemersik daun-daun kelapa tertiup angin. Udara hangat, lembap, dan
harum-seperti uap yang tertinggal setelah mandi air panas.
"Pulau Esme?" Suaraku pelan, namun tetap terdengar terlalu keras saat
perkataanku itu memecah keheningan malam.
"Hadiah dari Carlisle-Esme menawarkannya pada kita untuk dipinjam,"
Hadiah. Siapa yang memberikan pulau sebagai hadiah" Keningku berkerut. Aku baru
sadar kemurahan hati Edward yang berlebihan itu ternyata dipelajarinya dari
ayahnya. Edward meletakkan koper-koper kami di dermaga kemudian berbalik ke arahku,
menyunggingkan senyumnya yang sempurna sambil mengulurkan tangan. Bukannya
meraih tanganku, ia malah langsung menarikku ke dalam dekapannya.
"Bukankah seharusnya kau menunggu hingga kita sampai di ambang pintu?" tanyaku
dengan napas terengah, sementara Edward melompat turun dari kapal dengan langkah
ringan, "Edward nyengir, "Aku selalu cermat melakukan segala sesuatu."
Mencengkeram pegangan dua koper besar sekaligus dengan satu tangan sambil
merangkulku dengan tangan satunya, ia menggendongku ke dermaga, menapaki jalan
setapak berpasir pucat yang membelah semak-semak gelap.
Beberapa saat keadaan gelap gulita di tengah semak yang seperti hutan belantara,
tapi kemudian aku melihat cahaya hangat di depan sana. Begitu menyadari cahaya
itu adalah sebuah rumah-dua benda berbentuk bujur sangkar sempurna dan cemerlang
itu ternyata jendela besar yang mengapit pintu depan -demam panggungku menyerang
lagi, lebih kuat daripada sebelumnya, lebih parah daripada waktu kusangka kami
akan pergi mencari hotel.
Jantungku bertalu-talu memukul rusukku, dan napasku seolah tersangkut di
tenggorokan. Aku merasakan mata Edward menatap wajahku, tapi menolak membalas
tatapannya. Aku memandang lurus ke depan, tidak melihat apa-apa.
Edward tidak bertanya apa yang sedang kupikirkan, sesuatu yang tidak biasanya
terjadi. Kurasa itu berarti ia juga tiba-tiba sama gugupnya denganku.
la meletakkan koper-koper di bagian dalam teras untuk membuka pintu- ternyata
tidak terkunci, Edward menunduk memandangiku, menunggu sampai aku membalas tatapannya sebelum
melangkah melewati ambang pintu.
Ia membopongku masuk ke rumah, kami sama-sama terdiam, menyalakan lampu-lampu
sembari berjalan. Kesan sekilasku tentang rumah itu adalah bahwa ukurannya
sangat besar untuk pulau sekecil itu, dan yang aneh, rumah itu terasa familier.
Aku sudah terbiasa dengan skema warna pucat di atas pucat yang disukai keluarga
Cullen; rasanya seperti berada di rumah. Tapi aku tidak bisa fokus pada hal-hal
spesifik. Denyut nadi di belakang telingaku membuat segalanya sedikit kabur.
Lalu Edward berhenti dan menyalakan lampu terakhir.
Ruangan itu besar dan putih, dan dinding rerujung hampir seluruhnya terbuat dari
kaca-dekor standar untuk vampir-vampirku. Di luar, cahaya bulan cemerlang
menerpa pasir yang putih dan, beberapa meter dari rumah, tampak ombak yang
berkilauan. Tapi aku nyaris tidak memerhatikan bagian itu. Perhatianku lebih
terfokus pada tempat tidur putih besar di tengah ruangan, dengan juntaian
kelambu putih yang menggelembung.
Edward menurunkan aku dari gendongannya.
"Aku... akan mengambil koper-koper kita dulu."
Ruangan itu terlalu hangat, lebih pengap daripada hawa tropis di luar. Titik-
titik keringat bermunculan di pangkal leherku. Aku berjalan pelan-pelan sampai
bisa mengulurkan tangan dan menyentuh kelambu putih lembut itu. Entah mengapa
aku merasa perlu memastikan bahwa semuanya nyata.
Aku tidak mendengar Edward kembali. Tiba-tiba jarinya yang sedingin es membelai
tengkukku, menghapus titik keringat.
"Agak panas di sini," kata Edward dengan nada meminta maaf. "Kupikir itulah...
yang terbaik." "Cermat," gumamku pelan, dan Edward terkekeh. Nadanya gugup, sesuatu yang jarang
terjadi padanya. "Aku berusaha memikirkan segala sesuatu yang akan membuat ini... jadi lebih
mudah," ia mengakui.
Aku menelan ludah dengan suara keras, masih memunggunginya. Pernahkah ada bulan
madu seperti ini sebelumnya"
Aku tahu jawabannya. Tidak. Tidak pernah ada.
"Aku ingin tahu," kata Edward lambat-lambat, "apakah... perama-tama... mungkin
kau mau berenang tengah malam bersamaku" la menarik napas dalam-dalam, suaranya
terdengar lebih santai waktu ia berbicara lagi. "Airnya pasti hangat sekali. Ini
jenis pantai yang kausukai."
"Kedengarannya menyenangkan." Suaraku pecah.
"Aku yakin kau pasti membutuhkan 'waktu manusia' sebentar... Perjalanan tadi
sangat jauh." Aku mengangguk kaku. Aku nyaris tidak merasa seperti manusia lagi; mungkin aku
memang membutuhkan waktu sendirian sebentar.
Bibir Edward menyapu leherku, tepat di bawah telinga. Ia tekekeh dan embusan
napasnya yang dingin menggelitik Kulitku yang terlalu panas. "Jangan terlalu
lama, Mrs. Cullen." Aku terlonjak sedikit mendengar nama baruku.
Bibir Edward menyusuri leherku hingga ke pangkal bahu. "Kutunggu kau di dalam
air." Ia berjalan melewatiku menuju pintu kaca yang langsung membuka ke arah pantai
yang berpasir. Sambil berjalan ia melepaskan kemejanya, menjatuhkannya ke
lantai, lalu menyelinap melewati pintu memasuki malam yang diterangi cahaya
bulan. Udara malam yang gerah dan asin berputar-putar memasuki kamar di
belakangnya. Apakah kulitku terbakar" Aku sampai harus menunduk untuk mengecek. Tidak, tidak
ada yang terbakar. Setidaknya, tidak yang bisa dilihat mata.
Aku mengingatkan diriku untuk bernapas, kemudian ber-saruk-saruk menghampiri
koper raksasa yang sudah dibuka Edward di atas rak putih pendek. Itu pasti
koperku, karena tas kosmetikku berada di tumpukan paling atas, dan ada banyak
warna pink di dalamnya, tapi aku tidak mengenali satu helai pakaian pun yang ada
di dalamnya. Saat aku mengaduk' aduk pakaian yang terlipat rapi-mencari sesuatu
yang nyaman dan familier, celana pendek usang, mungkin-kulihat ada banyak sekali
pakaian dalam satin berenda-renda di dalamnya. Lingerie. Lingerie yang sangat
seksi, dengan label berbahasa Prancis.
Aku tidak tahu bagaimana atau kapan, tapi suatu saat nanti, Alice harus membayar
perbuatannya ini. Menyerah, aku pergi ke kamar mandi dan mengintip melalui jendela-jendela panjang
yang menghadap ke arah pantai yang sama dengan pintu-pintu kaca. Aku tidak bisa
melihat Edward; kurasa ia berada di dalam air, tidak merasa perlu muncul ke
permukaan untuk menghirup udara. Di langit di atasnya, bulan menggantung miring,
nyaris purnama, dan pasir tampak putih cemerlang di bawah siraman cahayanya.
Mataku menangkap gerakan kecil-disampirkan di sebatang pohon palem melengkung
yang berjejer sepanjang pantai, pakaian Edward melambai-lambai tertiup angin.
Semburan panas kembali menyerang kulitku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghampiri cermin yang membentang di atas
konter panjang. Wajahku persis orang yang tidur seharian di pesawat. Aku
menemukan sikat rambut dan menyentakkannya dengan kasar ke rambut kusut di
belakang tengkukku sampai rambutku kembali halus dan gigi sikat itu penuh
rambut. Aku menyikat gigi dengan saksama, dua kali. Kemudian aku mencuci muka
dan mencipratkan air ke bagian belakang leherku yang terasa panas. Rasanya
begitu menyegarkan hingga aku juga membasuh kedua tangan-ku, dan akhirnya
memutuskan untuk menyerah dan mandi saja sekalian. Aku tahu memang konyol mandi
sebelum berenang, tapi aku perlu menenangkan diri, dan air panas benar-benar
bisa diandalkan. Dan mencukur bulu kaki lagi rasanya boleh juga.
Setelah selesai aku menyambar handuk putih besar dari konter dan melilitkannya
di bawah ketiak. Kemudian aku dihadapkan pada dilema yang belum pernah kupertimbangkan
sebelumnya. Apa yang harus kukenakan" Bukan baju renang, jelas. Tapi rasanya
konyol mengenakan pakaianku lagi. Aku bahkan tidak ingin memikirkan apa yang
dicemaskan Alice untukku.
Napasku mulai memburu lagi dan tanganku gemetar - hilang sudah efek menenangkan
dari mandi tadi. Aku mulai merasa sedikit pening, rupanya aku mulai panik lagi.
Aku duduk di lantai ubin yang dingin dalam balutan handuk besarku dan meletakkan
kepala di antara lutut. Aku berdoa semoga Edward tidak memutuskan untuk datang
mencariku sebelum aku menenangkan diri. Bisa kubayangkan apa yang akan
dipikirkannya kalau melihatku gugup seperti ini. Tidak sulit baginya meyakinkan
diri bahwa kami melakukan kesalahan.
Dan aku bukannya takut karena menurutku kami melakukan kesalahan. Sama sekali
tidak. Aku panik karena tidak tahu bagaimana melakukan hal ini, dan aku takut
melangkah keluar dari ruangan ini dan menghadapi sesuatu yang tidak kuketahui.
Apalagi dalam balutan lingerie Prancis. Aku tahu aku belum siap untuk itu.
Rasanya persis seperti berjalan memasuki panggung teater yang disesaki ribuan
penonton tapi lupa dialog-dialognya.
Bagaimana orang-orang melakukannya-menelan semua ketakutan mereka dan memercayai
seseorang lain begitu implisit dengan setiap ketidaksempurnaan dan ketakutan
yang mereka miliki-dengan komitmen absolut yang kurang daripada yang diberikan
Edward kepadaku" Seandainya bukan Edward yang berada di luar sana, seandainya
aku tak tahu dengan setiap sel dalam tubuhku bahwa ia mencintaiku sebesar aku
mencintainya-tanpa syarat dan mutlak dan, jujur saja, tidak rasional-aku takkan
pernah bisa bangkit dari lantai ini.
Tapi Edward-lah yang berada di luar sana, maka aku pun membisikkan kata-kata
"Jangan jadi pengecut" pada diriku sendiri lalu buru-buru berdiri, Kulilitkan
handuk semakin rapat lalu berjalan dengan langkah penuh tekad keluar dari kamar
mandi. Melewati koper yang penuh berisi renda dan tempat tidur besar tanpa
sedikit pun melirik ke sana. Keluar dari pintu kaca dan menjejakkan kaki di
pasir yang sehalus bedak.
Segalanya hitam dan putih, disepuh jadi tidak berwarna oleh bulan. Aku berjalan
lambat-lambat menyeberangi pasir hangat, berhenti sebentar di sebelah pohon
melengkung tempat Edward meninggalkan pakaiannya. Aku meletakkan tanganku di
batang pohon yang kasar dan memastikan napasku teratur. Atau cukup teratur.
Aku memandang ke laut yang beriak pelan, hitam dalam kegelapan, mencari Edward.
Tidak sulit menemukannya. Ia berdiri, memunggungiku, terbenam hingga sebatas
pinggang di air tengah malam, menengadah ke bulan bulat telur. Cahaya bulan yang
pucat menjadikan kulitnya putih sempurna, seperti pasir, seperti bulan itu
sendiri, dan membuat rambutnya yang basah sehitam lautan. Ia diam tak bergerak,
kedua tangannya diletakkan di permukaan air; ombak kecil berdebur di sekeliling
tubuhnya seolah-olah ia batu. Kupandangi garis-garis mulus punggung, pundak,
lengan, leher, dan bentuk tubuhnya yang sempurna...
Api di dalam tubuhku bukan lagi hanya menyambar sekilas, tapi sekarang berkobar
lambat dan dalam, membakar semua kecanggunganku, perasaan maluku. Aku melepas
handukku tanpa ragu, meninggalkannya di pohon bersama pakaian Edward, lalu
berjalan memasuki cahaya putih, itu membuat kulitku sepucat pasir.
Aku tidak bisa mendengar suara langkah-langkah kakiku saat berjalan ke tepi air,
tapi kurasa Edward bisa. Ia tidak menoleh. Aku membiarkan ombak pecah di jemari
kakiku, dan mendapati perkiraan Edward tentang air itu ternyata benar-airnya
sangat hangat, seperti air mandi. Aku melangkah masuk, hati-hati melintasi dasar
laut yang tak terlihat, tapi kehati-hatianku ternyata tidak perlu, permukaan
pasir tetap mulus, melandai ke arah Edward. Aku mengarungi arus hingga sampai di
sampingnya, kemudian meletakkan tanganku di atas tangan dinginnya yang berada di
atas air. "Cantik" kataku, menengadah ke bulan juga.
"Lumayan" sahut Edward, tidak terkesan. Perlahan-lahan ia memalingkan tubuhnya
menghadapku, riak-riak kecil bergulir menjauh akibat gerakannya dan mengempas ke
kulitku. Mata Edward tampak perak di wajahnya yang sewarna es. Ia memilin
tangannya sehingga bisa mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jariku di bawah
permukaan air. Air cukup hangat sehingga kulit Edward yang dingin tidak
membuatku merinding. "Tapi aku tidak akan menggunakan kata cantik" sambung Edward. "Tidak kalau kau
berdiri di sini sebagai pembandingnya".
Aku separo tersenyum, kemudian mengangkat tanganku yang bebas-tanganku tidak
gemetar sekarang-dan meletakkannya di dada Edward. Putih di atas putih, sekali
ini kami serasi. Edward bergidik kecil karena sentuhanku yang hangat. Napasnya
semakin memburu.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah berjanji kita akan mencoba?" bisik Edward, mendadak tegang. "Kalau...
kalau aku melakukan kekeliruan, kalau aku menyakitimu, kau harus langsung
memberitahuku." Aku mengangguk tenang, mataku tetap tertuju padanya. Aku maju selangkah dan
meletakkan kepalaku di dadanya,
"Jangan takut" bisikku, "Kita ditakdirkan untuk bersama."
Mendadak hatiku diliputi kebahagiaan oleh kebenaran kata-kataku. Momen ini
teramat sempurna, begitu tepat, tak mungkin meragukannya.
Kedua lengan Edward melingkariku, memelukku rapat ke dadanya, musim panas dan
musim dingin. Rasanya seolah-olah setiap ujung saraf di tubuhku merupakan kabel
listrik. "Selamanya" Edward setuju, kemudian perlahan-lahan menarik tubuh kami ke air
yang lebih dalam. Matahari, terasa panas di kulit punggungku yang terbuka, membangunkanku di pagi
hari. Mungkin sudah menjelang siang, atau telah lewat tengah hari, aku tidak
tahu. Tapi aku bisa mengetahui dengan jelas hal lain selain waktu; aku tahu
persis di mana aku berada-kamar terang benderang dengan tempat tidur putih
besar, sinar matahari menyorot lewat pintu-pintu yang terbuka. Lipatan-lipatan
kelambu melembutkan sinarnya.
Aku tidak membuka mata. Aku terlalu bahagia untuk mengubah apa pun, tak peduli
betapa pun kecilnya. Satu-satunya suara hanyalah debur ombak di luar sana,
embusan napas kami, detak jantungku...
Aku merasa nyaman, walaupun matahari bersinar terik, kulit Edward yang dingin
merupakan penangkal yang sempurna bagi panasnya udara. Berbaring di dadanya yang
sedingin es, kedua lengannya memelukku, terasa sangat mudah dan natural. Malas-
malasan aku mengenang betapa paniknya aku semalam. Semua ketakutanku terasa
konyol sekarang. Jari-jari Edward dengan lembut menyusuri tulang belakangku, dan aku tahu bahwa
ia tahu aku sudah bangun. Mataku ikut terpejam dan aku malah mempererat kedua
lenganku yang melingkari lehernya, semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya.
Edward diam saja. jari-jarinya terus membelai punggungku, nyaris tidak
menyentuhnya saat ia menyusurinya dengan ujung jari, membentuk berbagai pola di
kulitku. Aku sudah cukup bahagia berbaring saja di sini selamanya, tak pernah mengusik
momen ini, tapi tubuhku ternyata berpendapat lain. Aku menertawakan perutku yang
tidak karuan. Sepertinya agak membosankan bila aku kelaparan setelah semua yang
terjadi semalam. Seperti dibawa kembali ke bumi setelah sebelumnya berada di
ketinggian. "Apanya yang lucu?" gumam Edward, masih terus membelai-belai punggungku.
Suaranya, yang serius dan parau, menyeret kembali kenangan semalam, membuat
wajah dan leherku memerah.
Menjawab pertanyaannya, perutku berbunyi. Aku tertawa lagi. "Kau tidak bisa
terlalu lama melepaskan diri dari kemanusiawianmu."
Aku menunggu, tapi Edward tidak ikut tertawa bersamaku, lambat laun, menembus
banyak lapisan kebahagiaan yang memenuhi kepalaku, muncul kesadaran adanya
atmosfer berbeda di luar kebahagiaan yang melingkupiku.
Aku membuka mata. hal pertama yang kulihat adalah kulit leher Edward yang pucat
dan nyaris keperakan, lekuk dagunya di atas wajahku. Dagunya keras. Kutopang
tubuhku dengan siku agar bisa melihat wajahnya.
Ia sedang memandangi kanopi putih di atas kami, dan ia tidak menatapku waktu aku
mengamati garis-garis wajahnya yang muram. Ekspresinya membuatku terguncang-
membuat sekujur tubuhku tersentak.
"Edward" kataku, suaraku sedikit tercekat. "Ada apa" Ada masalah apa?"
"Masa kau harus bertanya lagi?" Suaranya kaku, sinis.
Naluri pertamaku, hasil dari perasaan minder yang kurasakan seumur hidup, adalah
bertanya-tanya apakah aku telah melakukan kesalahan. Otakku berputar, memikirkan
semua yang telah terjadi, tapi sama sekali tidak menemukan keganjilan. Ternyata
semua lebih simpel daripada yang kukira; tubuh kami tepat bagi satu sama lain
seperti kepingan puzzle yang sesuai, dibuat untuk menyatu. Ini memberiku
kepuasan rahasia-secara fisik kami kompatibel, seperti juga dalam hal-hal
lainnya. Api dan es, entah bagaimana bisa hidup berdampingan tanpa saling
menghancurkan. Satu lagi bukti aku memang ditakdirkan untuk bersama dengannya.
Aku tidak bisa memikirkan satu pun yang bisa membuat Edward terlihat seperti
ini-begitu kaku dan dingin. Apa yang terlewatkan olehku"
Jari Edward menghaluskan kerutan khawatir di keningku.
"Apa yang kaupikirkan?" bisiknya.
"Kau marah. Aku tidak mengerti. Apakah aku...?" Aku tak sanggup menyelesaikan
kata-kataku. Mata Edward menegang. "Separah apa cedera yang kau-alami, Bella" Sejujurnya-
jangan coba-coba memperhalus."
"Cedera?" ulangku, nadaku lebih tinggi daripada biasanya, karena kata itu
membuatku terkejut. Edward mengangkat sebelah alis, bibirnya terkatup kaku. Dengan cepat aku membuat
penilaian, otomatis meregang-tubuh, mengejangkan dan mengendurkan otot-ototku.
Tubuhku memang kaku, dan di beberapa tempat terasa nyeri, ini benar, tapi
sebagian besar yang kurasakan hanya sensasi ganjil seakan-akan semua persendian
tulangku lepas, dan aku separo berubah lembek seperti ubur-ubur. Tapi itu bukan
perasaan yang tidak menyenangkan.
Kemudian aku merasa agak marah, karena Edward merusak pagi paling sempurna ini
dengan asumsi-asumsinya yang pesimis.
"Mengapa kau harus langsung mengambil kesimpulan seperti itu" Belum pernah aku
merasa lebih baik daripada sekarang."
Edward memejamkan mata. "Hentikan."
"Hentikan apa?"
"Berhentilah bertingkah seolah-olah aku bukan monster karena sepakat
melakukannya." "Edward!" bisikku, benar-benar marah sekarang. Ia menyeret kenanganku yang indah
ke dalam kegelapan, menodainya. "Jangan pernah berkata begitu."
Edward tidak membuka mata, seolah-olah ia tak ingin melihatku.
"Lihat saja dirimu, Bella. Jangan bilang aku bukan monster."
Sakit hati dan shock, tanpa berpikir aku mengikuti instruksinya dan terkesiap.
Apa yang terjadi padaku" Aku bingung melihat salju putih lembut yang menempel di
kulitku. Aku menggeleng, dan benda-benda putih berjatuhan dari rambutku.
Kupungut sepotong benda putih lembut itu dengan jari-jariku. Ternyata isi
bantal. "Mengapa tubuhku tertutup bulu-bulu"*' tanyaku, kebingungan.
Edward mengembuskan napas tidak sabar. "Aku menggigit satu bantal. Atau dua.
Tapi bukan itu yang kumaksud."
"Kau... menggigit bantal" Mengapa?"
"Dengar, Bella" sergah Edward, nyaris menggeram. Ia meraih tanganku-dengan
sangat hari-hati-dan meluruskannya. "Lihat itu"
Kali ini, aku melihat apa yang dimaksudkannya.
Di balik tebaran bulu aku melihat memar-memar besar keunguan mulai bermunculan
di kulit lenganku yang pucat. Mataku mengikuti jejak memar itu hingga ke bahuku,
kemudian turun ke arah tulang rusuk. Kutarik tanganku dan kutusukkan ke bagian
yang mulai berubah warna di lengan atas sebelah kiri, melihat warnanya memudar
waktu kusentuh tapi kemudian muncul kembali. Rasanya agak berdenyut-denyut.
Dengan sangat hati-hati hingga nyaris tidak menyentuhku, Edward meletakkan
tangannya di atas memar-memar di lenganku, satu demi satu, memasangkan jari-
jarinya yang panjang di atas pola-pola itu.
"Oh," ucapku. Aku berusaha memeras otak-berusaha mengingat-ingat apakah aku merasa sakit-tapi
rasanya tidak. Aku tidak ingat apakah cengkeramannya terlalu kuat, apakah
tangannya terlalu keras memegangku. Yang kuingat hanyalah bahwa aku ingin
memelukku lebih erat lagi, dan merasa bahagia waktu ia melakukannya...
"Aku... sangat menyesal, Bella" bisik Edward saat aku memandangi memar-memar
itu. "Seharusnya aku tahu akan begini jadinya. Seharusnya aku tidak-" Ia
mengeluarkan suara seperti jijik. "Aku sangat menyesal, lebih daripada yang bisa
kuungkapkan." la melontarkan lengannya menutupi wajah dan tubuhnya diam tak bergerak.
Lama sekali aku hanya terduduk diam dan terpaku, berusaha menerima - sekarang
setelah aku mengerti-perasaan merana yang ia rasakan. Itu sangat berlawanan
dengan apa yang kurasakan hingga sulit untuk dicerna.
Perasaan terguncang itu perlahan-lahan memudar, tidak meninggalkan apa-apa. Yang
ada hanya kekosongan. Pikiranku kosong. Aku tidak tahu harus mengatakan apa.
Bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Edward dengan cara yang benar" Bagaimana
aku bisa membuatnya sebahagia yang kurasakan-atau yang tadi kurasakan, beberapa
waktu lalu" Kusentuh lengannya tapi ia diam saja. Kugenggam pergelangan tangannya dan
mencoba menarik lengannya yang menutupi wajah, tapi ia bergeming, rasanya
seperti mencoba menyentakkan patung yang diam tak bergerak.
"Edward." Ia diam saja. "Edward?" Tidak ada sahutan. Jadi, ini akan menjadi monolog, kalau begitu.
"Aku tidak menyesal, Edward. Aku... aku bahkan tidak bisa mengungkapkannya. Aku
sangat bahagia. Itu tidak cukup untuk mengungkapkan kebahagiaanku yang
sebenarnya. Jangan marah. Jangan. Sungguh, aku ba... "
"Jangan bilang kau baik-baik saja." Suara Edward sedingin es. "Kalau kau
menghargai kewarasanku, jangan katakan bahwa kau baik-baik saja."
"Tapi memang itulah yang kurasakan," bisikku.
"Bella" ia nyaris mengerang. "Jangan."
Tidak. "Kau yang jangan, Edward."
Edward menyingkirkan lengannya; matanya yang keemasan menatapku kecut.
"Jangan merusak suasana," kataku. "Aku. Sangat. Bahagia."
"Aku sudah terlanjur merusak suasana," bisiknya.
"Maka hentikan," bentakku. Kudengar ia mengentakkan gigi.
"Ugh!" erangku. "Mengapa kau belum juga bisa membaca pikiranku" Betapa enaknya
kalau kau bisa membaca pikiranku!"
Mata Edward membelalak sedikit, perhatiannya sejenak teralihkan.
"Tumben. Biasanya kau justru senang aku tidak bisa membaca pikiranmu,"
"Hari ini tidak." Ia menatapku.
"Mengapa?" Aku melontarkan kedua tanganku saking frustrasinya, merasakan nyeri di pundakku
yang sebelumnya kuabaikan. Telapak tanganku membentur dada Edward dengan suara
keras. "Karena semua perasaan bersalah ini tidak perlu terjadi kalau saja kau
bisa mengetahui apa yang kurasakan saat ini! Atau lima menit yang lalu,
setidaknya. Aku tadi merasa sangat bahagia. Benar-benar merasa tenang dan damai.
Sekarang- well, bisa dibilang sekarang aku agak marah."
" Memang seharusnya kau marah padaku."
"Well, aku memang marah. Apakah itu membuat perasaanmu lebih enak?"
Edward mendesah. "Tidak. Kurasa tidak ada yang bisa membuat perasaanku lebih
enak sekarang." "itu" bentakku. "Justru itulah sebabnya aku marah. Kau merusak kebahagiaanku,
Edward." Edward memutar bola matanya dan menggeleng.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku merasakan nyeri-nyeri di sekujur tubuhku,
tapi itu bukan sesuatu yang buruk. Nyaris seperti yang kaurasakan setelah
seharian berolahraga mengangkat beban. Aku pernah melakukannya bersama Renee
waktu ia sedang keranjingan fitness. Enam puluh lima kali angkatan, masing-
masing seberat lima kilogram. Besoknya aku tidak bisa berjalan. Sakit yang
kurasakan sekarang ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan itu.
Kutelan kembali kejengkelanku dan berusaha memperdengarkan nada menenangkan.
"Kita sudah tahu ini pasti dulu. Kusangka itu sudah bisa diperkirakan. Kemudian-
well, Kenyataannya ternyata jauh lebih mudah daripada yang kita perkirakan. Dan
ini benar-benar bukan apa-apa." Kusapukan jari-jariku di sepanjang lengan.
"Menurutku, untuk pertama kali, mengingat kita tidak tahu apa yang diharapkan,
kita justru luar biasa. Dengan sedikit berlatih... "
Ekspresi Edward mendadak berubah marah hingga aku langsung menghentikan kata-
kataku. "Diharapkan" Jadi kau mengharapkan hal ini, Bella" Jadi kau sudah mengantisipasi
bahwa aku akan mencederaimu" Apa kaupikir itu akan lebih parah" Jadi kau
menganggap eksperimen ini sukses karena kau selamat" Tidak ada tulangmu yang
patah--itu kauanggap sebagai kemenangan?"
Aku menunggu, membiarkan Edward menumpahkan unek-uneknya. Lalu aku menunggu
beberapa saat lagi sampai napasnya kembali normal. Lalu setelah matanya tenang,
aku menjawab, berbicara lambat-lambat, menekankan setiap kata.
"Aku tidak tahu apa yang kuharapkan-tapi aku jelas tidak mengira betapa...
betapa... indah dan sempurnanya itu." Suaraku berubah menjadi bisikan, mataku
beralih dari wajahnya ke tanganku. "Maksudku, aku tidak tahu bagaimana kau
merasakannya, tapi bagiku, itulah yang kurasakan."
Satu jari dingin mengangkat daguku.
"Jadi, itukah yang kaukhawatirkan?" tanya Edward dengan gigi terkatup rapat.
"Bahwa aku tidak menikmatinya?"
Aku menunduk. "Aku tahu pasti berbeda. Kau bukan manusia. Aku hanya berusaha
menjelaskan bahwa, bagi manusia, well, aku tak bisa membayangkan akan lebih baik
daripada itu." Edward terdiam lama sekali sampai akhirnya aku terpaksa mengangkat wajah. Wajah
Edward kini melembut, berpikir,
"Sepertinya aku harus meminta maaf lagi." Kening Edward berkerut. "Aku sama
sekali tidak mengira kau akan salah menafsirkan perasaanku, menganggap aku tidak
merasa bahwa semalam adalah... well, malam terindah yang pernah kurasakan
sepanjang eksistensiku. Tapi aku tidak ingin berpikir seperti itu, kalau
kenyataannya kau... " Sudut-sudut bibirku sedikit terangkat. "Sungguh" Yang terindah yang pernah
kaurasakan?" tanyaku, suaraku mencicit.
Edward merengkuh wajahku dengan kedua tangan, masih waswas. "Aku sempat
berbicara dengan Carlisle setelah kau dan aku membuat kesepakatan ini, berharap
dia bisa membantuku. Tentu saja dia mengingatkanku bahwa ini akan sangat
berbahaya bagimu." Sejenak ekspresinya disapu mendung. "Tapi dia percaya padaku-
keyakinan yang tidak pantas kudapatkan."
Aku membuka mulut hendak memprotes, tapi Edward menaikkan dua jarinya di bibirku
sebelum aku bisa berkomentar.
"Aku juga bertanya kepadanya apa yang seharusnya aku harapkan akan terjadi. Aku
tidak tahu bagaimana jadinya nantinya bagiku... sebagai vampir." Edward
tersenyum setengah hati. "Menurut Carlisle, itu sesuatu yang sangat kuat, tak ada yang sekuat itu.
Katanya seharusnya aku tidak menganggap remeh hubungan fisik. Dengan temperamen
kami yang jarang berubah, emosi yang sangat kuat dapat mengubah kami secara
permanen. Tapi dia juga berkata aku tidak perlu khawatir tentang hal itu-kau
sudah benar-benar mengubahku." Kali ini senyumnya lebih tulus.
"Aku juga berbicara dengan saudara-saudaraku. Mereka menceritakan itu sesuatu
yang sangat menyenangkan. Hanya kalah dengan minum darah manusia." Keningnya
berkerut. "Tapi aku sudah pernah merasakan darahmu, dan tidak ada darah lain
yang lebih kuat daripada itu... aku tidak menganggap mereka salah, sungguh.
Hanya saja bagi kita berbeda. Ada sesuatu yang lebih."
"Memang lebih. Itu segala-galanya."
"Itu tidak mengubah fakta bahwa perbuatan itu keliru. Walaupun mungkin saja kau
benar-benar merasa seperti yang kau bilang tadi."
"Apa artinya itu" Jadi menurutmu aku mengarang-ngarang, begitu" Mengapa?"
"Untuk meringankan perasaan bersalahku. Aku tidak bisa mengabaikan bukti-bukti
yang ada. Bella. Atau sejarahmu bahwa selama ini kau selalu melepaskan aku dari
tanggung jawab kalau aku melakukan kesalahan."
Aku merenggut dagu Edward dan mencondongkan tubuh sehingga wajah kami hanya
berjarak beberapa sentimeter. "Dengar, Edward Cullen. Aku sama sekali tidak
berpura-pura demi kau, oke" Aku bahkan tidak tahu ada alasan untuk membuatmu
merasa lebih baik sampai kau menunjukkan sikap merana seperti ini. Belum pernah
aku merasa sebahagia ini seumur hidupku -aku tidak merasa sebahagia ini waktu
kau memutuskan bahwa cintamu padaku lebih besar daripada keinginanmu untuk
membunuhku, atau pagi pertama waktu aku terbangun dan kau berada di sana
menungguku... Juga tidak waktu aku mendengar suaramu di studio balet"- Edward
berjengit mengingat bagaimana aku nyaris bertemu dengan vampir yang sedang
berburu, tapi aku tidak menghentikan kata-kataku- "atau waktu kau mengucapkan
'saya bersedia' dan aku menyadari bahwa, entah bagaimana, aku bisa memilikimu
selamanya. Itu kenangan-kenangan paling membahagiakan dalam hidupku, dan ini
lebih baik daripada semua itu. Jadi terima sajalah."
Edward menyentuh kerutan di antara alisku. "Aku membuatmu tidak bahagia
sekarang. Aku tidak ingin seperti itu."
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi jangan merasa tidak bahagia. Hanya itu satu-satunya masalah sekarang."
Mata Edward menegang, lalu ia menghela napas dalam-dalam dan mengangguk. "Kau
benar. Yang sudah berlalu sudah berlalu dan aku tidak bisa melakukan apa-apa
untuk mengubahnya. Tidak masuk akal kalau aku membiarkan suasana hatiku
membuatmu merasa tidak bahagia. Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu
merasa bahagia sekarang."
"Apa saja yang membuatku bahagia?"
Perutku berbunyi saat aku melontarkan pertanyaanku.
"Kau lapar," Edward buru-buru menyergah. Dengan cepat ia melompat turun dari
tempat tidur sehingga bulu-bulu beterbangan. Dan itu mengingatkan aku.
"Jadi, kapan persisnya kau memutuskan menghancurkan bantal-bantal Esme?"
tanyaku, terduduk dan menggoyangkan kepala untuk menyingkirkan bulu-bulu dari
kepalaku. "Mungkin tidak tepat bila dikatakan aku memutuskan melakukan hal apa pun
semalam," gerutu Edward. "Kita beruntung yang kugigit adalah bantal, bukan kau."
Ia menghela napas dalam-dalam dan menggeleng, seperti hendak mengenyahkan
pikiran buruk dari benaknya. Senyum yang sangat identik terkuak di wajahnya,
tapi kurasa ia harus berusaha cukup keras untuk bisa melakukannya.
Aku meluncur turun dengan hati-hati dari tempat tidur yang tinggi dan menggeliat
lagi, kali ini semakin menyadari bagian mana saja yang sakit dan nyeri di
tubuhku. Kudengar Edward terkesiap. Ia membuang muka, kedua tangannya terkepal,
buku-buku jarinya memutih.
"Memangnya penampilanku mengerikan, ya?" tanyaku, berusaha agar nadaku terdengar
ringan. Edward tersentak, tapi tidak berbalik, mungkin menyembunyikan
ekspresinya dariku. Aku berjalan ke kamar mandi untuk melihat sendiri.
Jelas aku pernah mengalami yang lebih parah daripada ini. Tampak bayangan samar
di salah satu tulang pipiku, dan bibirku sedikit bengkak, tapi selain itu,
wajahku baik-baik saja. Sekujur tubuhku penuh bercak-bercak biru dan ungu. Aku
berkonsentrasi pada memar-memar yang paling sulit disembunyikan -di kedua lengan
dan bahu. Tidak parah-parah amat. Kulitku memang gampang memar. Ketika memarnya
muncul, biasanya aku sudah lupa bagaimana aku mendapatkannya. Tentu saja ini
semua baru mulai terbentuk. Aku akan terlihat lebih parah besok. Itu tidak akan
membuat keadaan lebih mudah.
Lalu mataku tertumbuk ke rambutku, dan aku mengerang. "Bella?" Edward sudah
langsung berada di dekatku begitu aku bersuara.
"Aku takkan bisa mengenyahkannya dari rambutku!" Aku menunjuk kepalaku, yang
terlihat seperti sarang ayam. Aku mulai mencabuti bulu-bulu dari kepalaku.
"Kalau rambut saja mengkhawatirkan," gumam Edward, tapi ia berdiri di
belakangku, mencabuti bulu-bulu itu dengan gerakan lebih cepat.
"Bagaimana kau bisa tidak tertawa melihatku" Aku terlihat konyol sekali."
Edward tidak menjawab; ia terus saja mencabuti. Dan aku tahu jawabannya - tidak
ada yang lucu baginya dalam suasana hati seperti ini.
"Percuma saja," keluhku sejurus kemudian. "Sudah telanjur menempel. Aku harus
keramas untuk membersihkan semuanya" Aku berbalik, memeluk pinggang Edward yang
dingin. "Maukah kau membantuku?"
"Sebaiknya aku mencarikan makanan untukmu," kata Edward pelan, dengan lembut
membuka pelukanku. Aku mendesah waktu ia menghilang, bergerak terlalu cepat.
Kelihatannya bulan maduku sudah berakhir. Pikiran itu membuat tenggorokanku
tercekat. Setelah rambutku bersih dari bulu dan aku mengenakan gaun katun putih asing yang
menutupi bercak-bercak ungu yang paling mengerikan, aku berjalan dengan kaki
telanjang ke darat mengikuti semerbak bau telur, bacon, dan keju yang merangsang
selera.Edward berdiri di depan kompor stainless steel, meluncurkan sepotong omelet ke
piring biru muda di atas konter. Aroma lezat makanan membuatku kelabakan.
Rasanya aku sanggup memakan habis piring dan wajannya sekalian saking laparnya;
perutku keroncongan. "Ini," kata Edward. Ia berbalik dengan senyum tersungging di wajah dan
meletakkan piring di meja kecil beralas keramik.
Aku duduk di salah satu kursi logam dan mulai menganyang telur yang masih panas
itu. Panasnya membakar tenggorokanku, tapi aku tak peduli.
Edward duduk di seberangku. "Aku kurang sering memberimu makan"
Aku menelan kemudian mengingatkannya, "Aku kan tidur, omong-omong, ini enak
sekali. Mengesankan untuk ukuran orang yang tidak pernah makan."
"Food Network," jawab Edward, memamerkan senyum miring favoritku.
Aku bahagia melihatnya, bahagia karena Edward sudah bersikap normal lagi.
"Dari mana kau mendapatkan telur-telur ini?"
"Aku memang meminta para petugas kebersihan menyediakan bahan makanan. Itu
pertama kalinya, untuk tempat ini. Aku harus meminta bantuan mereka untuk
membersihkan bulu-bulu itu..." Suaranya menghilang, tatapannya sedikit di atas
kepalaku. Aku tidak menyahut, berusaha tidak mengatakan apa-apa yang hanya akan
membuatnya kalut lagi. Aku memakan habis semuanya, walaupun Edward memasakkan makanan dalam jumlah yang
cukup untuk dua orang. "Terima kasih" kataku. Aku mencondongkan tubuh ke seberang meja untuk
menciumnya. Ia balas menciumku, kemudian tiba-tiba mengejang dan menarik
tubuhnya. Aku mengertakkan gigi, dan pertanyaan yang ingin kutanyakan terlontar seperti
tuduhan. "Kau tidak akan menyentuhku lagi selama kita di sinikan?"
Edward ragu-ragu, lalu menyunggingkan senyum separo dan membelai pipiku. Jari-
jarinya bertengger lembut di kulitku, dan aku tak tahan untuk tidak menyandarkan
wajahku ke telapak tangannya.
"Kau tahu bukan itu maksudku."
Ia mendesah dan menjatuhkan tangannya. "Aku tahu. Dan kau benar." Ia terdiam
sejenak, mengangkat dagunya sedikit. Kemudian berbicara lagi dengan penuh
keyakinan. "Aku tidak akan bercinta lagi denganmu sampai kau berubah. Aku tidak
akan pernah menyakitimu lagi."
6. MENGALIHKAN PERHATIAN Hiburanku menjadi prioritas utama di Pulau Esme. Kami pergi snorkelling (well,
aku yang snorkelling sementara Edward memamerkan kemampuannya menyelam tanpa
oksigen untuk jangka waktu tak terbatas). Kami menjelajahi hutan kecil yang
mengelilingi puncak kecil berbatu. Kami melihat-lihat burung beo yang menghuni
kerindangan pohon di selatan pulau, kami menyaksikan matahari terbenam dari
teluk sebelah bukit yang berbatu. Kami berenang bersama penyu-penyu yang bermain
di perairan dangkal yang hangat di sana. Atau setidaknya, aku yang bermain,
karena begitu Edward masuk ke air, penyu-penyu itu langsung menghilang seolah-
olah ada hiu mendekat. Aku tahu apa yang terjadi. Ia berusaha menyibukkanku, mengalihkan perhatianku,
supaya aku tidak merongrongnya terus mengenai masalah bercinta. Setiap kali aku
berusaha membujuknya untuk santai dan nonton salah satu dari sejuta film DVD
yang tersimpan di bawah TV plasma berlayar besar, ia akan merayuku keluar rumah
dengan kata-kata manis seperti terumbu karang, gua bawah air, dan penyu. Kami
pergi, pergi, pergi terus seharian, supaya akhirnya aku lapar dan kelelahan saat
matahari tenggelam. Aku terkantuk-kantuk di atas piringku setelah makan malam setiap malam; sekali
aku bahkan benar-benar ketiduran di meja dan ia terpaksa membopongku ke tempat
tidur. Sebagian alasannya karena Edward selalu memasakkan makanan terlalu banyak
untuk dihabiskan satu orang, tapi aku begitu lapar sehabis berenang dan mendaki
seharian sehingga kusikat saja sebagian besar makanan yang terhidang. Lalu,
kekenyangan dan kelelahan, aku nyaris tak sanggup membuka mataku lagi. Semua
bagian dari rencananya, tak diragukan lagi.
Kelelahan tidak menolong usahaku untuk membujuknya. Tapi aku tidak menyerah. Aku
mengajaknya bicara baik-baik, memohon, bersungut-sungut, tapi semua sia-sia.
Biasanya aku sudah tertidur sebelum benar-benar bisa menekankan maksudku.
Kemudian mimpi-mimpiku terasa begitu nyata-sebagian besar mimpi buruk, yang
menjadi lebih hidup, dugaanku, karena warna-warna yang terlalu terang di pulau
ini- sehingga aku terbangun dengan perasaan letih, tak peduli selama apa pun
tidurku. Kira-kira seminggu setelah kami sampai di pulau ini, aku memutuskan untuk
mencoba berkompromi. Dulu toh kami bisa melakukannya.
Sekarang aku tidur di kamar biru. Petugas kebersihan baru akan datang besok,
jadi kamar putih masih diselimuti bulu-bulu putih. Kamar biru lebih kecil,
tempat tidurnya lebih proporsional. Dinding-dindingnya berwarna gelap, berlapis
panel kayu jati, dan perabotnya berlapis sutra biru mewah.
Aku sudah terbiasa mengenakan sebagian koleksi lingerie pilihan Alice untuk
tidur malam-itu tidak seterbuka celana bikini minim yang ia kemaskan untukku.
Aku jadi penasaran apakah ia mendapat penglihatan mengapa aku akan menginginkan
benda-benda ini, kemudian bergidik, malu karena pikiran itu.
Mula-mula aku mengenakan pakaian satin putih gading yang sopan, khawatir kalau
aku mengenakan pakaian dalam yang lebih terbuka, itu justru tidak akan membantu,
tapi siap mencoba apa saja. Edward seolah tidak memerhatikan, seakan-akan aku
memakai kaus usang seperti yang biasa kupakai di rumah.
Memar-memarku sekarang sudah jauh lebih baik-menguning di beberapa tempat, dan
beberapa lagi bahkan sudah hilang-jadi malam ini aku mengeluarkan salah satu
pakaian dalam yang potongannya lebih menantang, yang sudah kusiapkan di kamar
mandi berpanel. Pakaian dalam itu berwarna hitam, berenda, dan membuatku malu
saat melihatnya, bahkan sebelum dipakai. Aku berhati-hati agar tidak memandang
bayanganku sendiri di cermin sebelum masuk kembali ke kamar. Aku tidak ingin
kehilangan keberanian. Puas rasanya melihat mata Edward membelalak sedetik .Sebelum akhirnya ia bisa
mengendalikan ekspresinya.
"Menurutmu bagaimana?" tanyaku, berputar-putar genit agar ia bisa melihat dari
setiap sudut. Edward berdeham-deham. "Kau cantik. Kau memang selalu terlihat cantik."
"Trims" sahutku, agak masam.
Aku terlalu letih untuk tidak cepat-cepat naik ke tempat tidur yang empuk.
Edward memeluk dan menarikku ke dadanya, tapi ini sudah biasa-terlalu gerah
untuk tidur tanpa tubuhnya yang dingin mendekapku.
"Aku akan membuat kesepakatan denganmu." kataku dengan suara mengantuk.
"Aku tidak mau membuat kesepakatan apa-apa denganmu," jawab Edward.
"Kau bahkan belum mendengar tawaranku."
"Tidak perlu." Aku mendesah. "Sial. Padahal aku benar-benar ingin... Oh sudahlah." Edward
memutar bola matanya. Aku memejamkan mata dan membiarkan umpan itu menggantung-gantung di depan
matanya. Aku menguap. Hanya butuh satu menit-tidak cukup lama bagiku untuk tertidur.
"Baiklah. Apa yang kauinginkan?"
Aku mengertakkan gigi sebentar, sekuat tenaga menahan senyum. Satu hal yang
tidak bisa ditolaknya adalah kesempatan memberiku sesuatu.
"Well, setelah kupikir-pikir... aku tahu masalah Dartmouth itu seharusnya hanya
jadi alasan untuk menutupi hal sebenarnya, tapi jujur saja, kuliah selama satu
semester mungkin tak ada ruginya," kataku, meniru kata-kata yang pernah ia
ucapkan sekian waktu lalu, ketika ia berusaha membujukku menunda keinginanku
untuk menjadi vampir. "Berani taruhan, Charlie pasti senang sekali kalau
kuceritakan tentang pengalaman-pengalamanku kuliah di Darrmouth. Memang sih,
bakal memalukan kalau aku tak bisa mengimbangi mahasiswa-mahasiswa genius di
sana. Tapi tetap saja... delapan belas, sembilan belas. Tidak terlalu banyak
bedanya. Bukan berarti sudut-sudut mataku bakal keriput kan, tahun depan,"
Edward terdiam lama sekali. Kemudian, dengan suara pelan ia berkata, "Kau mau
menunggu. Kau mau tetap menjadi manusia."
Aku sengaja diam, membiarkan ia mencerna baik-baik tawaran itu.
"Mengapa kau melakukan ini padaku?" sergah Edward dari sela-sela gigi yang
terkatup rapat, nadanya tiba-tiba marah. "Apa semua ini belum cukup
menyulitkan?" Dengan kasar ia menyambar renda yang menghiasi pahaku. Sesaat aku
sempat mengira ia bakal mengoyakkannya. Kemudian tangannya melemas. "Sudahlah,
tidak apa-apa. Aku tidak mau membuat kesepakatan apa-apa denganmu."
"Aku ingin kuliah."
"Tidak, kau tidak ingin kuliah. Itu tidak sepadan dengan mempertaruhkan nyawamu
lagi. Tidak sepadan dengan menyakitimu."
"Padahal aku benar-benar ingin kuliah. Well, sebenarnya bukan kuliah yang benar-
benar kuinginkan-aku hanya ingin menjadi manusia sedikit lebih lama lagi."
Edward memejamkan mata dan mengembuskan napas lewat hidungnya. "Kau membuatku
gila, Bella. Bukankah kita sudah jutaan kali memperdebatkan hal ini, kau selalu
memohon-mohon untuk secepatnya menjadi vampir?"
"Memang, tapi... well, aku punya alasan mengapa aku ingin menjadi manusia,
alasan yang tidak kumiliki sebelumnya."
"Alasan apa itu?"
"Tebak saja," ucapku, lalu menyeret tubuhku dari tumpukan bantal untuk
menciumnya. Ia membalas ciumanku, walaupun sikapnya belum menunjukkan bahwa aku menang.
Lebih tepatnya, ia seperti berhati-hati untuk tidak menyakiti perasaanku;
menjengkelkan, ia begitu pandai mengendalikan diri. Dengan lembut ia menjauhkan
tubuhku beberapa saat kemudian, dan mendekapku di dadanya.
"Kau sangat manusia, Bella. Dikuasai hormonmu." Edward terkekeh.
"Justru itu intinya, Edward. Aku menyukai bagian kemanusiaanku yang ini. Aku
belum mau meninggalkannya. Aku tidak mau menunggu hingga bertahun-tahun lagi,
setelah melewati tahap keranjingan darah sebagai vampir baru, baru bisa
merasakannya lagi." Aku menguap, dan Edward tersenyum.
"Kau lelah. Tidurlah, Sayang." Ia mulai mendendangkan lagu ninabobo yang ia
ciptakan untukku waktu kami pertama kali bertemu.
"Heran, mengapa aku capek sekali, ya," sindirku pedas. "Tidak mungkin itu bagian
rencanamu atau semacamnya, kan?"
Edward hanya terkekeh sebentar, kemudian kembali bersenandung.
"Karena aku lelah sekali, kau pasti mengira tidurku bakal lebih nyenyak."
Lagu itu mendadak berhenti. "Selama ini kau tidur nyenyak sekali seperti orang
mati, Bella. Kau tidak pernah mengigau sejak hari pertama kita di sini. Kalau
saja kau tidak mendengkur, aku pasti khawatir kalau-kalau kau koma."
Aku tak menggubris ejekannya tentang masalah dengkuran itu; aku tidak pernah
mendengkur kok. "Memangnya aku tidak berguling-guling dalam tidurku" Aneh.
Padahal biasanya aku berguling-guling ke sana kemari kalau sedang bermimpi
buruk. Dan berteriak-teriak."
"Memangnya kau sering bermimpi buruk?"
"Mimpi-mimpiku sangat jelas. Aku jadi capek sekali." Aku menguap. "Aku tidak
percaya aku tidak mengigau sepanjang malam."
"Kau bermimpi tentang apa?"
"Macam-macam-tapi sama, kau tahu, karena warna-warnanya... "
"Warna-warna?" "Warna-warnanya begitu cemerlang dan nyata. Biasanya, kalau sedang bermimpi aku
menyadarinya. Kali ini, aku tidak sadar bahwa aku sedang tidur. Itulah yang
membuat mimpi-mimpiku jadi semakin menakutkan."
Suara Edward terdengar cemas waktu ia bicara lagi. "Apa yang membuatmu
ketakutan?" Aku bergidik pelan. "Kebanyakan... " Aku ragu-ragu. "Kebanyakan apa?" desaknya.
Entah mengapa, aku tidak ingin bercerita kepada Edward tentang bocah dalam mimpi
burukku yang selalu berulang, ini sesuatu yang pribadi tentang kengerian yang
satu itu. Jadi, bukannya memberi gambaran lengkap padanya, aku hanya
menceritakan satu elemen saja. Itu jelas cukup membuatku atau siapa pun, takut.
"Keluarga Volturi" bisikku.
Edward memelukku lebih erat lagi. "Mereka tidak akan mengganggu kita lagi.
Sebentar lagi kau akan menjadi makhluk immortal, jadi mereka tidak punya alasan
untuk menyerang kita."
Kubiarkan Edward menenangkan hatiku, merasa sedikit bersalah karena ia salah
menangkap maksudku. Bukan seperti itu tepatnya mimpi burukku. Aku bukannya takut
memikirkan diriku sendiri-aku takut karena memikirkan nasib bocah lelaki itu.
Ia bukan bocah yang sama seperti dalam mimpiku yang pertama-bocah vampir bermata
merah yang duduk di atas onggokan mayat orang-orang yang kusayangi. Bocah yang
ku impikan sebanyak empat kali minggu lalu jelas-jelas manusia, pipinya merah
dan matanya yang lebar berwarna hijau lembut. Tapi persis seperti si bocah
vampir, anak ini gemetar ketakutan dan putus asa ketika keluarga Volturi
mengepung kami. Dalam mimpiku, baik yang dulu maupun sekarang, aku merasa harus melindungi bocah
tak dikenal itu. Tak ada pilihan lain. Namun di saat yang sama, aku tahu aku
bakal gagal. Edward melihat kesedihan di wajahku. "Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?"
Aku menepisnya, "Itu kan hanya mimpi, Edward."
"Kau mau aku menyanyi untukmu" Aku mau kok bernyanyi semalaman kalau dengan
begitu kau tidak bermimpi buruk lagi."
"Tidak semua mimpiku buruk. Beberapa ada yang menyenangkan. Begitu... berwarna.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di dalam air, dengan ikan-ikan dan terumbu karang. Semuanya seperti benar-benar
terjadi-aku tidak tahu bahwa aku hanya bermimpi. Mungkin pulau inilah
masalahnya. Semua terang benderang di sini."
"Kau mau pulang saja?"
"Tidak. Tidak, belum. Tidak bisakah kita tinggal lebih lama di sini?"
"Kita bisa tinggal selama yang kauinginkan, Bella," Edward berjanji padaku.
"Kapan kuliah dimulai" Aku tidak memerhatikannya sebelum ini."
Edward mendesah. Mungkin ia sudah mulai berdendang lagi, tapi aku keburu
terlelap sebelum bisa memastikan.
*** Tak lama kemudian aku terbangun dalam keadaan shock. Mimpiku begitu nyata...
begitu hidup, begitu menggugah panca indra... aku terkesiap dengan suara keras,
kebingungan berada di kamar yang gelap. Baru sedetik yang lalu rasanya, aku
berada dalam cahaya matahari yang terang benderang.
"Bella?" Edward berbisik, kedua lengannya memelukku erat-erat, mengguncangku
lembut. "Kau tidak apa-apa, Sayang?"
"Oh," aku terkesiap. Ternyata hanya mimpi. Tidak nyata. Yang sangat
mengherankan, air mata meleleh begitu saja dari mataku, mengalir deras di
wajahku. "Bella!" seru Edward-suaranya sekatang lebih keras, nadanya cemas. "Ada apa?" Ia
menyeka air mata dari pipiku yang halus dengan jari-jarinya yang dingin dan
panik, tapi air maraki i terus saja mengalir.
"Itu hanya mimpi." Aku tak mampu meredam sedu sedan yung memecah suaraku. Air
mata yang tak kunjung berhenti terasa mengganggu, tapi aku tak kuasa
mengendalikan perasaan sedih yang mencengkeramku. Aku begitu ingin mimpi itu
menjadi kenyataan. "Tidak apa-apa, Sayang, kau baik-baik saja. Aku di sini." Edward menggerakkan
tubuhku maju-mundur, agak terlalu cepat untuk bisa menenangkan. "Kau mimpi buruk
lagi, ya" ini tidak nyata, itu tidak nyata."
"Bukan mimpi buruk." Aku menggeleng-geleng, menggosokkan punggung tanganku ke
mata. "Tapi mimpi yang bagus sekali." Lagi-lagi suaraku pecah.
"Kalau begitu, mengapa kau menangis?" tanya Edward, terheran-heran.
"Karena aku terbangun" rengekku, memeluk leher Edward erat sekali dan tersedu di
sana. Edward tertawa mendengar jalan pikiranku, tapi suaranya tegang karena prihatin.
"Semua beres, Bella. Tarik napas dalam-dalam."
"Mimpi tadi sangat nyata," tangisku. "Aku ingin mimpi ini menjadi kenyataan."
"Ceritakan," bujuk Edward. "Mungkin itu bisa "membantu."
"Kita sedang di tepi pantai... " Suaraku menghilang, aku mundur sedikit untuk
menatap wajah malaikat Edward yang cemas dengan mataku yang berlinang air mata,
tampak samai dalam gelap. Kupandangi dia lekat-lekat sementara kesedihan yang
tidak masuk akal itu mulai mereda.
"Dan?" desak Edward akhirnya.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata unruk menyingkirkan air mata dari mataku, hatiku
sedih sekali. "Oh, Edward... "
"Ceritakan padaku, Bella," ia memohon, sorot matanya liar dipenuhi kekhawatiran
mendengar nada sedih dalam suaraku.
Tapi aku tidak bisa. Aku malah melingkarkan kedua tanganku di lehernya lagi, dan
mencium bibirnya. Itu sama sekali bukan ciuman bergairah-melainkan ungkapan
kebutuhan akut hingga rasanya menyakitkan. Ia langsung merespons, tapi
responsnya dengan cepat berubah menjadi penolakan. Ia berusaha menolakku
selembut mungkin, mencengkeram bahuku dan mendorong tubuhku menjauhinya.
"Tidak, Bella," ia bersikeras, menatapku dengan pandangan seolah-olah ia
khawatir aku sudah sinting.
Kedua lenganku terkulai, kalah, dan air mata yang aneh itu kembali mengalir,
menuruni wajahku, dan aku kembali menangis, Edward benar-aku pasti sudah
sinting. Ia memandangiku dengan tatapan bingung sekaligus sedih.
Ma-ma -maafkan aku," gumamku,
Tapi Edward menarikku lagi ke dalam pelukannya, mendekapku erar-erat di dadanya
yang sekeras marmer. "Aku tidak bisa, Bella, aku tidak bisa!" Erangannya begitu menderita.
"Kumohon," pintaku, suaraku teredam kulitnya. "Kumohon, Edward?"
Entah apakah hatinya luluh karena tangis yang menggetar dari suaraku, atau
apakah ia tidak siap menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba, atau apakah
kebutuhannya saat itu sama tak tertahankannya dengan yang kurasakan. Pokoknya
apa pun alasannya, Edward menarik bibirku kembali ke bibirnya, menyerah sambil
mengerang. Dan kami pun melanjutkan mimpiku yang terputus tadi. Aku diam tak bergerak waktu
terbangun pada pagi hari dan menjaga agar desah napasku tetap teratur. Aku tak
berani membuka mata. Aku berbaring di dada Edward, tapi ia diam tak bergerak dan lengannya tidak
memelukku. Itu pertanda buruk. Aku tidak berani mengakui diriku sudah bangun dan
menghadapi mataharinya-tak peduli kepada siapa amarah itu ditujukan hari ini.
Hati-hati, aku mengintip dari sela-sela bulu mataku. Edward menengadah ke
langit-langit yang gelap, kedua lengannya ditumpukan di belakang kepala.
Kutopang tubuhku dengan siku agar bisa melihat wajahnya lebih jelas lagi.
Wajahnya datar tanpa ekspresi,
"Seberapa besar masalahku?" tanyaku dengan suara kecil.
"Banyak," jawab Edward, tapi ia memalingkan wajah dan tersenyum jail padaku.
Aku mengembuskan napas lega "Aku benar-benar minta maaf" kataku. "Aku tidak
bermaksud- Well, aku tidak tahu persis tadi malam itu apa." Aku menggeleng untuk
mengenyah kan bayangan air mataku yang tidak rasional dan kesedihan yang begitu
mengimpit. "Kau bahkan tidak pernah menceritakan mimpimu pada ku."
"Kurasa memang tidak-tapi aku akan menunjukkan padamu isi mimpiku itu."
"Oh," ucap Edward. Matanya melebar, kemudian ia mengerjapkan mata.
"Menarik." "Mimpi yang bagus sekali," gumamku.
Edward tidak berkomentar, jadi beberapa detik kemudian aku bertanya, "Apakah aku
dimaafkan?" "Aku sedang memikirkannya,"
Aku terduduk tegak, berniat memeriksa keadaanku- tapi setidaknya kelihatannya
tidak ada bulu-bulu. Tapi waktu aku bergerak, gelombang vertigo yang aneh
menghantamku. Aku limbung dan terempas kembali ke bantal.
"Aku tiba-tiba pusing."
Lengan Edward sudah merangkulku ketika itu. "Kau tidur lama sekali. Dua belas
jam," "Dua belas?" Aneh sekali.
Sambil bicara aku melayangkan pandangan sekilas ke sekujur tubuhku, berusaha
agar tidak kentara. Sepertinya aku baik-baik saja. Memar-memar di kedua lenganku
yang sudah berumur satu minggu masih menguning. Aku mencoba menggeliat. Aku juga
merasa baik-baik saja. Well, lebih dari baik-baik saja, sebenarnya.
"Sudah selesai menginventarisir?"
Aku mengangguk malu-malu. "Semua bantal sepertinya selamat."
"Sayangnya, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk, eh, gaun malammu."
Edward menganggukkan kepala ke ranjang, tempat cabikan-cabikan kain hitam
berenda bertebaran di seprai sutra.
"Sayang sekali," kataku. "Padahal aku suka yang itu."
"Aku juga." Apakah ada korban-korban lain?" tanyaku malu-malu. Aku harus membelikan ranjang
baru untuk Esme," Edward mengakui, menoleh ke balik bahunya. Aku mengikuti arah
pandangnya dan kaget bukan kepalang melihat potongan-potongan besar kayu seperti
dicongkel dari bagian kepala ranjang sebelah kiri.
"Hmm." Keningku berkerut. "Kau pasti mengira aku bisa mendengarnya."
"Kelihatannya kau bisa benar-benar tak menyadari apa pun kalau perhatianmu
sedang terfokus ke hal lain."
"Perhatianku memang sedang agak terfokus ke hal lain," aku mengakui, pipiku
merah padam. Edward menyentuh pipiku yang membara dan mendesah. "Aku akan sangat merindukan
itu." Kupandangi wajahnya, mencari tanda-tanda kemarahan atau kesedihan yang
kutakutkan. Ia balas menatapku, ekspresinya tenang tapi tak terbaca.
"Bagaimana perasaanmu?" Edward tertawa. "Apa?" tuntutku.
"Kau terlihat sangat bersalah-seolah-olah kau habis melakukan kejahatan."
"Aku memang merasa bersalah," gerutuku.
"Kau merayu suamimu yang langsung menurut begitu saja Itu kejahatan besar."
Sepertinya ia menggoda. Pipiku semakin panas. "Istilah merayu mengesankan seolah-olah tindakan itu
direncanakan lebih dulu."
"Mungkin istilahnya tidak tepat," Aku mengalah.
"Kau tidak marah?"
Edward tersenyum masam. "Aku tidak marah,"
"Mengapa tidak?"
"Well," Ia terdiam sejenak. "Pertama, karena aku tidak melukaimu. Kali ini lebih
mudah bagiku mengendalikan diri, menyalurkan gairahku yang berlebihan." Lagi-
lagi matanya melirik tempat tidur yang hancur berantakan. "Mungkin karena
sekarang aku sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi."
Senyum penuh harap mengembang di wajahku. "Sudah kubilang, ini hanya masalah
latihan." Edward memutar bola matanya.
Perutku berbunyi, dan Edward tertawa. "Saatnya sarapan untuk manusia?" tanyanya.
"Please" sahutku, melompat dari tempat tidur, tapi gerakanku terlalu cepat,
akibatnya aku terhuyung-huyung untuk mendapatkan kembali keseimbanganku. Ia
menangkapku sebelum aku telanjur menabrak meja rias.
"Kau tidak apa-apa?"
"Kalau keseimbanganku ternyata tidak lebih baik di kehidupan baruku nanti, aku
akan protes." Aku memasak pagi ini, menggoreng telur-kelewat lapar untuk membuat hidangan yang
lebih rumit. Tidak sabaran, sebentar saja aku sudah menyendok telur itu dari
penggorengan ke piring. "Sejak kapan kau makan telur ceplok?" tanya Edward.
"Sejak sekarang"
"Tahukah kau berapa banyak telur yang kauhabiskan selama minggu lalu?" Ia
menarik kantong sampah dari bawah bak cuci piring-kantong itu dipenuhi karton-
karton biru kosong. "Aneh" komentarku setelah menelan sepotong telur yang masih panas. "Tempat ini
mengacaukan selera makanku" Juga mimpiku dan keseimbanganku yang memang sudah
meragukan. "Aku senang di sini. Tapi mungkin kita harus meninggalkan tempat ini
sebentar lagi bukan, agar bisa sampai di Dartmouth tepat waktu" Wow, kurasa kita
juga perlu mencari tempat tinggal dan hal-hal lain juga."
Edward duduk di sebelahku. "Kau bisa berhenti berpura-pura tentang masalah
kuliah sekarang - kau sudah mendapatkan apa yang kauinginkan. Dan kita tidak
membuat kesepakatan apa-apa, jadi tidak ada kewajiban yang mengikat."
Aku mendengus. "Itu bukan pura-pura, Edward. Aku tidak menghabiskan waktu
luangku merencanakan yang tidak-tidak seperti sebagian orang. Apa yang bisa kita
lakukan untuk membuat Bella capek hari ini?" sergahku, mencoba menirukan cara
Edward bicara tapi gagal total.
Ia tertawa, sama sekali tidak merasa malu. "Aku memang ingin memiliki sedikit
waktu lagi untuk menjadi manusia." Aku mencondongkan tubuh dan menyapukan
tanganku di dadanya yang telanjang. "Aku masih belum puas."
Edward menatapku ragu-ragu. "Untuk ini?" tanyanya, menangkap tanganku saat
bergerak turun ke perutnya.
"Jadi bercintalah kuncinya selama ini?" Ia memutar bola matanya. "Mengapa itu
tidak terpikirkan olehku?" gerutunya sarkastis. "Tahu begitu, aku tidak perlu
capek-capek berargumen,"
Aku tertawa. "Yeah, mungkin."
"Kau sangat manusia" tukasnya lagi.
"Memang." Secercah senyum bermain di bibirnya. "Jadi kita akan ke Dartmouth" Sungguh?"
"Kemungkinan aku akan langsung gagal dalam satu semester,"
"Aku akan menjadi tutormu." Sekarang senyumnya lebar "Kau pasti suka kuliah."
"Menurutmu apa kita masih bisa mendapatkan apartemen sekarang ini?"
Edward nyengir, terlihat bersalah. "Well, sebenarnya kita sudah punya rumah di
sana. Kau tahu, untuk jaga-jaga,"
"Kau membeli rumah?"
"Investasi real estate kan bagus."
Aku mengangkat sebelah alis dan tak mempermasalahkannya lebih jauh lagi. "Jadi
kalau begitu kita sudah siap."
"Aku harus melihat apakah kita masih boleh memakai mobil sebelum itu selama
beberapa waktu lagi."
"Ya, jangan sampai aku tak terlindungi dari serbuan tank."
Edward nyengir. "Berapa lama lagi kita bisa tinggal di sini?" tanyaku.
"Kita masih punya banyak waktu. Beberapa minggu lagi, kalau kau mau. Kemudian
kita bisa mengunjungi Charlie sebelum berangkat ke New Hampshire. Kita juga bisa
merayakan Natal bersama Renee..."
Kata-kata Edward melukiskan masa depan yang sangat membahagiakan, masa depan
yang bebas dari kesedihan bagi semua orang yang terlibat. Kecuali Jacob yang
sudah terlupakan, berguncang, dan aku meralat pikiranku-hampir untuk semua
orang. Keadaan tidak akan semakin mudah. Sekarang setelah aku ini benar-benar
mengetahui betapa enaknya menjadi manusia, sungguh menggoda untuk menunda dulu
rencana-rencanaku. Delapan belas atau sembilan belas, sembilan belas atau dua
puluh. Apakah itu penting" Aku toh tidak akan berubah banyak dalam setahun. Dan
menjadi manusia bersama Edward... Pilihannya semakin hari semakin sulit.
"Beberapa minggu," aku setuju. Lalu, karena sepertinya aku selalu saja
kekurangan waktu, aku menambahkan, "Jadi kalau kupikir-pikir-kau tahu yang
kukatakan tentang latihan sebelum ini?"
Edward tertawa. "Bisa tolong tunda sejenak pikiranmu itu" Aku mendengar suara
kapal. Petugas kebersihan pasti sudah datang,"
la ingin aku menunda pikiranku. Jadi, apakah itu berarti ia tidak keberatan bila
harus berlatih lagi" Aku tersenyum.
"Aku mau menjelaskan dulu kekacauan di kamar putih pada Gustavo, lalu kita bisa
pergi. Ada tempat di tengah hutan sebelah selatan... "
"Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau menjelajahi seantero pulau hari ini. Aku
ingin tinggal di sini dan menonton film,"
Edward mengerucutkan bibir, berusaha untuk tidak tersenyum mendengar nadaku yang
menggerutu, "Baiklah, terserah kau saja. Mengapa tidak kaupilih saja satu film
sementara aku membukakan pintu?"
"Aku tidak mendengar suara pintu diketuk."
Edward menelengkan kepala, mendengarkan. Setengah detik kemudian samar-samar
terdengar suara pintu diketuk pelan. Ia nyengir dan berjalan menuju ruang depan.
Aku menghampiri rak di bawah televisi berukuran besar dan mulai mengamati judul-
judul film yang ada. Sulit memutuskan akan mulai dari mana. Koleksi DVD mereka
jauh lebih lengkap daripada tempat penyewaan.
Aku bisa mendengar suara Edward yang pelan dan selembut beludru saat ia kembali
menuju lorong, berbicara dengan fasih dalam bahasa yang asumsiku adalah bahasa
Portugis. Suara manusia lain yang lebih kasar menjawab dalam bahasa yang sama.
Edward berjalan mendahului mereka memasuki ruangan, menuding ke arah dapur
sambil berjalan. Kedua orang Brasil yang menyertainya tampak sangat pendek dan
gelap saat berdampingan dengannya. Satu pria bertubuh gempal, dan satunya lagi
wanita bertubuh ramping, wajah keduanya berkeriput Edward melambaikan tangan ke
arahku sambil tersenyum bangga, dan aku mendengar namaku disebut-sebut,
bercampur dengan kata-kata asing yang diucapkan dalam kecepatan tinggi. Wajahku
sedikit memerah saat pikiranku melayang ke bulu-bulu yang mengotori seantero
kamar putih, yang sebentar lagi akan mereka Lihat. Si pria pendek tersenyum
sopan padaku. Tapi wanita kecil yang kulitnya secokelat kopi sama sekali tidak tersenyum. Ia
menatapku dengan ekspresi shock bercampur khawatir, dan terutama, matanya
membelalak lebar ketakutan. Sebelum aku sempat bereaksi, Edward memberi isyarat
pada mereka untuk mengikutinya ke "kandang ayam" dan mereka pun lenyap.
Waktu muncul lagi, Edward sendirian. Dengan cepat ia berjalan menghampiriku dan
merangkul pundakku. "Wanita itu kenapa?" aku langsung berbisik, teringat ekspresi paniknya tadi.
Edward mengangkat bahu, tidak merasa terusik. "Kaure berdarah campuran Indian
Ticuna. Dia dibesarkan untuk percaya takhayul atau bisa dibilang lebih peka
daripada mereka yang hidup di dunia modern. Dia curiga padaku, atau
kecurigaannya nyaris mendekati kebenaran." la masih tidak khawatir,"Mereka punya
legenda di sini. Namanya Libisbomen setan peminum darah yang khusus memangsa
wanita-wanita cantik." Ia melirikku dengan pandangan meggoda.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya wanita cantik" Well, cukup membuat hati tersanjung. "kelihatannya dia
ketakutan," kataku. "Memang-tapi sebenarnya dia mengkhawatirkanmu,"
"Aku?" "Ia takut mengapa aku membawamu ke sini, sendirian." Ia terkekeh masam dan
memandangi dinding yang dipenuhi film. "Oh well, mengapa kau tidak memilih
sesuatu untuk kita tonton" Itu kegiatan yang sangat manusiawi untuk dilakukan."
"Ya, aku yakin menonton film akan bisa meyakinkan Kaure bahwa kau manusia." Aku
tertawa dan memeluk lehernya erat-erat, berdiri sambil berjinjit. Ia membungkuk
agar aku bisa menciumnya, kemudian kedua lengannya merangkulku lebih erat,
mengangkatku dari lantai agar ia tidak perlu membungkuk.
"Movie, sch movie," gumamku sementara bibir Edward menjelajahi leherku, jari-
jariku meremas rambutnya yang berwarna perunggu.
Kemudian aku mendengar suara terkesiap, dan Edward langsung menurunkanku. Kaure
berdiri terpaku di luar koridor, rambut hitamnya dipenuhi bulu-bulu, menenteng
kantong penuh berisi bulu, ekspresi horor menghantui wajahnya. Ia menatapku,
kedua matanya melotot, sementara wajahku memerah dan aku menunduk. Sejurus
kemudian ia tersadar dan menggumamkan sesuatu yang bahkan walaupun diucapkan
dalam bahasa asing, jelas merupakan permintaan maaf, Edward tersenyum dan
menjawab dengan nada ramah. Kaure memalingkan wajah dan terus menyusuri lorong.
"Dia pasti mengira seperti yang menurutku dia kira, kan?" gerutuku.
Edward tertawa mendengar kalimatku yang berbelit itu. "Ya."
"Ini" kataku, mengulurkan tangan sembarangan dan menyambar film seadanya di
tanganku. "Nyalakan dan kita bisa pura-pura menonton."
Itu film musikal kuno dengan wajah-wajah penuh senyum dan gaun-gaun lebar di
sampulnya. "Sangat cocok untuk berbulan madu," Edward setuju.
Sementara para aktor berdansa diiringi lagu pembukaan yang lincah, aku bersantai
di sofa, bersandar dalam pelukan Edward.
"Jadi sekarang kita pindah lagi ke kamar putih?" tanyaku dengan sikap malas-
malasan. "Entahlah... aku sudah menghancurkan kepala ranjang di kamar lain tanpa bisa
diperbaiki lagi-mungkin kalau kita membatasi kerusakan hanya pada satu area di
dalam rumah, Esme akan mengizinkan kita datang lagi ke sini suatu saat nanti."
Aku tersenyum lebar. "Jadi, akan ada kerusakan lagi?"
Edward tertawa melihat ekspresiku. "Menurutku akan lebih aman kalau itu
direncanakan lebih dulu, daripada aku menunggumu menyerangku lagi."
"Itu hanya masalah waktu," aku sependapat dengan sikap sambil lalu, tapi
jantungku berpacu keras sekali.
"Ada yang tidak beres dengan jantungmu?"
"Tidak. Jantungku sekuat kuda" Aku terdiam sejenak. "Maukah kau menyurvei zona
kehancuran sekarang?"
"Mungkin akan lebih sopan menunggu sampai hanya kita berdua di rumah. Kau
mungkin tidak sadar bahwa aku menghancurkan perabotan, tapi mereka mungkin akan
sangat ketakutan." Terus terang saja, aku bahkan sudah lupa ada orang di ruangan lain. "Benar.
Sial," Gustavo dan Kaure bekerja tanpa suara di seluruh penjuru rumah sementara aku
menunggu mereka selesai dengan sikap tidak sabar, dan berusaha memusatkan
perhatian pada cerita yang berakhir dengan hidup bahagia selama-lamanya di layar
kaca. Aku sudah mulai mengantuk-walaupun, seperti kata Edward tadi, aku tidur
selama setengah hari-waktu suara yang kasar mengagetkanku. Edward terduduk
tegak, sambil letap mendekapku di dadanya, dan menanggapi perkataan Gustavo
dengan bahasa Portugis yang lancar, Gustavo mengangguk dan berjalan tanpa suara
menuju pintu depan. "Mereka sudah selesai," Edward memberitahuku.
"Berarti kita sudah sendirian sekarang?"
"Bagaimana kalau makan siang dulu?" Edward menyarankan.
Aku menggigit bibir, perasaanku terbagi oleh dilema itu. Aku memang lapar
sekali. Sambil tersenyum Edward meraih tanganku dan menggandengku ke dapur. Ia sangat
mengenali wajahku, jadi tidak masalah jika ia tidak bisa membaca pikiranku.
"Ini mulai berlebihan," keluhku waktu akhirnya aku merasa kenyang.
"Kau mau berenang bersama lumba-lumba siang ini-untuk membakar kalori?" tanya
Edward. "Mungkin nanti. Aku punya ide lain untuk membakar kalori"
"Apa itu?" "Well, masih banyak kepala ranjang yang tersisa... "
Tapi aku tidak menyelesaikan kata-kataku. Edward sudah meraupku ke dalam
gendongannya, dan bibirnya membungkam bibirku sementara ia membopong dan
membawaku lari dengan kecepatan tidak manusiawi menuju kamar biru.
7. TAK TERDUGA BARISAN sosok hitam mendekatiku, menembus kabut yang menyelubungi bagai jubah.
Aku bisa melihat mata mereka yang merah tua berkilat penuh gairah, penuh nafsu
membunuh. Bibir mereka tertarik ke belakang, memamerkan gigi mereka yang tajam
dan basah-sebagian menggeram, sebagian tersenyum.
Kudengar bocah di belakangku merintih, tapi aku tak bisa menoleh unruk
menatapnya, Walaupun ingin sekali memastikan ia aman, aku tak boleh mengalihkan
perhatianku sekarang. Mereka melayang semakin dekat, jubah hitam mereka berkibar-kibar pelan. Kulihat
tangan mereka melengkung membentuk cakar seputih tulang. Mereka beringsut
memperlebar jarak, bersiap menyerbu kami dari segala sisi. Kami dikepung. Kami
bakal mati. Kemudian, bagai ledakan cahaya senter, seluruh latar itu berbeda. Meskipun
begitu, tidak ada yang berubah-keluarga Volturi masih maju menghampiri kami,
siap membunuh. Yang benar-benar berubah hanya bagaimana gambar itu tampak
olehku. Tiba-tiba aku benar-benar menginginkannya. Aku ingin mereka menyerang.
Kepanikan berubah menjadi nafsu haus darah saat aku merunduk, senyuman
tersungging di wajah, dan geraman terlontar dari sela-sela gigiku yang
terpampang. Aku terduduk, shock karena mimpiku.
Ruangan gelap gulita. Hawa juga sangat panas. Keringat terasa lengket di
pelipisku dan mengalir menuruni leher.
Tanganku menggapai-gapai di seprai yang panas dan mendapati tempat tidur kosong.
"Edward?" Jari-jariku menemukan sesuatu yang halus, datar, dan kaku. Selembar kertas,
dilipat. Aku mengambilnya dan berjalan sambil meraba-raba mencari saklar lampu.
Di bagian luar kertas tertulis "Mrs. Cullen".
Aku berharap kau tidak terbangun dan menyadari aku tidak ada, tapi kalaupun kau
terbangun, aku akan Segera kembali..
Aku hanya pergi Sebentar- ke daratan untuk
berburu. Tidurlah lagi dan aku pasti sudah kembali. Saat kau bangun lagi nanti,
"Aku mencintaimu. Aku mendesah. Kami sudah dua minggu di sini, jadi seharusnya aku sudah menduga
bahwa suatu saat Edward akan pergi. Tapi masalahnya, aku memang sedang tidak
memikirkan waktu. Kami seperti berada di luar jangkauan waktu di sini, menjalani
hidup yang sempurna. Aku menyeka keringat dari dahiku. Aku tidak lagi mengantuk, padahal jam di atas
rak baru menunjukkan lewat pukul satu. Aku tahu aku takkan pernah bisa tidur
dalam keadaan segerah dan selengket yang kurasakan sekarang. Belum lagi fakta
kalau aku mematikan lampu dan memejamkan mata, aku yakin bakal melihat sosok-
sosok hitam itu berkeliaran lagi dalam benakku.
Aku berdiri dan dengan malas-malasan menjelajahi seluruh penjuru rumah yang
gelap, menyalakan lampu-lampu. Rumah terasa begitu besar dan kosong tanpa Edward
di sana. Berbeda. Aku sampai di dapur dan memutuskan mungkin aku membutuhkan makanan pelipur lara.
Aku mengaduk-aduk isi kulkas sampai menemukan semua bahan untuk membuat ayam
goreng. Bunyi letusan dan desisan ayam goreng di penggorengan terdengar
menyenangkan dan akrab, aku merasa tidak begitu gugup lagi setelah suara itu
mengisi kesunyian. Bau ayam goreng begitu lezat sampai-sampai aku sudah tak sabar lagi dan
memakannya langsung dari penggorengan. Akibatnya, lidahku terbakar. Namun pada
gigitan kelima atau keenam, ayam gorengnya sudah mulai dingin sehingga aku mulai
bisa merasakannya. Kunyahanku melambat. Apakah ada yang aneh dengan rasanya"
Kuperiksa, dan kulihat dagingnya sudah berwarna putih seluruhnya, tapi aku
bertanya-tanya apakah ayam ini benar-benar sudah matang. Kucoba makan gigit
lagi; aku mengunyah dua kali. Ugh-benar-benar tidak enak. Aku melompat dan
memuntahkannya ke bak cuci piring. Tiba-tiba bau ayam bercampur minyak membuatku
mual. Kuambil piring dan kubuang isinya ke tong sampah, Lalu kubuka jendela-
jendela untuk menyingkirkan baunya. Angin sejuk berembus di luar. Terasa nyaman
membelai kulitku. Aku merasa sangat lelah, tapi tidak ingin kembali ke kamar yang gerah. Maka aku
membuka lebih banyak lagi jendela di ruang TV dan berbaring di sofa persis di
bawahnya. Aku menyalakan film sama yang kami tonton kemarin dan langsung
tertidur begitu lagu pembukaannya yang ceria terdengar.
Waktu aku membuka mata lagi, matahari sudah separo beranjak ke langit, tapi
bukan cahaya yang membangunkanku. Lengan dingin merangkulku, mendekapku ke
dadanya. Pada saat bersamaan, rasa sakit tiba-tiba memilin perutku, nyaris
seolah-olah perutku habis ditinju.
"Maaf," bisik Edward sambil mengusapkan tangannya yang sedingin es ke keningku
yang lembap, "Aku tidak berpikir panjang. Tidak terpikir sama sekali olehku
bahwa kau bakal kegerahan kalau aku tidak ada. Aku akan memasang AC sebelum aku
pergi lagi." Aku tidak bisa berkonsentrasi pada kata-katanya,
"Permisi!" sergahku, memberontak dari pelukannya.
Edward melepaskan pelukannya. "Bella?"
Aku menghambur ke kamar mandi dengan tangan membekap mulut. Tubuhku benar-benar
kacau rasanya sehingga awalnya aku bahkan tidak peduli bahwa Edward berada di
sampingku waktu aku membungkuk di atas kloset dan muntah-muntah.
"Bella" Ada apa?"
Aku belum bisa menjawab. Edward memelukku cemas, menyibakkan rambut dari
wajahku, menunggu sampai aku bisa bernapas lagi.
"Ayam basi sialan," erangku.
"Kau tidak apa-apa?" Suara Edward tegang.
"Baik," jawabku terengah-engah. "Hanya keracunan makanan. Kau tidak perlu
melihat. Pergilah." "Jangan harap, Bella."
"Pergilah," erangku lagi, bangkit dengan susah payah agar aku bisa berkumur.
Edward dengan lembut membantuku, tak menggubris meskipun aku berusaha
mendorongnya dengan lemah.
Setelah mulutku bersih, ia membopongku ke tempat tidur mendudukkanku dengan
hati-hati, menyanggaku dengan kedua lengannya.
"Keracunan makanan?"
"Yeah," jawabku parau. "Aku membuat ayam goreng sendiri. Rasanya aneh, jadi
kumuntahkan. Tapi aku sempat makan beberapa suap."
Edward meraba keningku dengan tangannya yang dingin. Rasanya nyaman. "Bagaimana
perasaanmu sekarang?"
Aku memikirkannya sejenak. Mualku sudah hilang, sama mendadaknya dengan
kedatangannya tadi, dan aku merasa sesehat biasanya. "Normal-normal saja.
Sedikit lapar sebenarnya"
Edward menyuruhku menunggu satu jam, dan setelah aku berhasil minum segelas
besar air tanpa memuntahkannya, barulah ia menggorengkan beberapa butir telur
untukku. Aku merasa normal-normal saja, hanya sedikit lelah karena terbangun
tengah malam. Edward menyetel CNN -selama ini kami tidak mengetahui perkembangan
dunia luar, jangan-jangan di luar sana telah pecah perang dunia ketiga tapi kami
sama sekali tidak tahu-dan aku duduk terkantuk-kantuk di pangkuannya.
Aku bosan menonton berita dan berbalik untuk menciumnya. Sama seperti tadi pagi,
rasa sakit yang tajam menusuk perutku waktu aku bergerak. Aku menghambur turun
dari pangkuan Edward dengan tangan membekap mulut. Aku tahu kali ini aku takkan
sampai di kamar mandi tepat pada waktunya, maka aku pun berlari ke bak cuci
piring di dapur. Lagi-lagi Edward memegangi rambutku.
"Mungkin sebaiknya kita kembali ke Rio, periksa ke dokter" Edward mengusulkan
dengan nada cemas waktu aku berkumur sesudahnya.
Aku menggeleng dan beranjak menuju lorong. Dokter berarti suntik. "Aku akan
baik-baik saja setelah menggosok gigi"
Setelah mulutku lebih enak, aku membongkar tas, mencari kotak P3K yang dikemas
Alice untukku, penuh barang-barang kebutuhan manusia seperti plester, obat
penghilang rasa sakit, dan-yang kucari sekarang-Pepto-Bismol. Mungkin aku bisa
mengobati perutku dan menenangkan Edward.
Tapi sebelum menemukan Pepto, aku menemukan benda lain yang dikemas Alice
untukku. Kuambil kotak biru kecil itu dan kupandangi lama sekali, melupakan yang
lain. Lalu aku mulai berhitung dalam hati. Satu kali- Dua kali. Lagi.
Ketukan di pintu mengagetkanku, kotak kecil ini terjatuh kembali ke dalam koper.
"Kau baik-baik saja?" tanya Edward dari balik pintu, "Kau muntah lagi ya?"
"Ya dan tidak" jawabku, tapi suaraku terdengar tercekik. "Bella" Boleh aku masuk
sekarang?" Nadanya sekarang khawatir.
"O... ke?" Edward masuk dan mengamati posisiku, duduk bersila di lantai dekat koper, dan
ekspresiku, yang kosong dan menerawang. Ia duduk di sebelahku, tangannya meraba
keningku sekali lagi. "Ada apa?" "Sudah berapa hari kita menikah?" bisikku.
"Tujuh belas" jawab Edward otomatis. "Bella, ada apa?"
Aku menghitung lagi dalam hati. Aku mengacungkan jari padanya, menyuruhnya
menunggu, dan menghitung sendiri tanpa suara. Ternyata aku salah menghitung
jumlah hari. Ternyata kami sudah lebih lama berada di sini. Aku mulai lagi.
"Bella!" bisik Edward kalut,
"Aku sudah mulai gila"
Aku mencoba menelan ludah. Sia-sia. Maka aku pun merogoh ke dalam tas sampai
menemukan kotak biru kecil berisi tmpon itu lagi. Kuacungkan kotak itu tanpa
suara. Edward memandangiku bingung. "Apa" Maksudmu sakitmu sekarang ini karena sindrom
pramenstruasi?" "Bukan," jawabku dengan suara tercekik, "Bukan, Edward. Maksudku adalah,
menstruasiku terlambat lima hari."
Ekspresi Edward tidak berubah. Seolah-olah aku tidak berbicara sama sekali.
"Kurasa aku bukan keracunan makanan," imbuhku.
Edward tidak merespons. Ia sudah berubah menjadi patung.
"Mimpi-mimpi itu," gumamku pada diri sendiri dengan suara datar. "Tidur terus.
Menangis. Makan banyak sekali. Oh. Oh. Oh."
Tatapan Edward mengeras, seakan-akan ia tidak bisa melihatku lagi.
Refleks, nyaris tidak sengaja, tanganku jatuh ke perut.
"Oh!" pekikku lagi.
Aku langsung berdiri, melepaskan diri dari pegangan tangan Edward yang membeku.
Aku masih mengenakan celana dan kamisol sutra yang kupakai tidur kemarin.
Kusingkapkan kamisol biru itu dan kupandangi perutku.
"Mustahil," bisikku.
Aku tidak punya pengalaman sama sekali dengan kehamilan atau bayi atau apa pun
yang berkaitan dengan itu, tapi aku bukan idiot. Aku sudah cukup sering menonton
film dan acara televisi untuk mengetahui bahwa orang hamil tidak seperti ini.
Haidku baru terlambat lima hari. Kalau aku memang hamil, tubuhku pasti belum
mengenali fakta itu. Aku belum akan mual-mual di pagi hari. Pola makan dan
tidurku juga pasti belum berubah.
Dan yang terpenting, pasti belum ada gundukan yang, meski kecil tapi terlihat
jelas, mencuat di antara kedua pinggulku.
Aku mengamatinya dari segala sudut, seolah-olah gundukan itu akan hilang
sendiri. Kularikan jari-jariku di gundukan kecil itu, terkejut saat menyadari
betapa keras rasanya gundukan itu di bawah kulitku,
"Mustahil," kataku lagi, karena, ada atau tidak ada gundukan, ada atau tidak ada
menstruasi (dan memang jelas tidak ada menstruasi, walaupun aku belum pernah
terlambat sehari pun seumur hidupku), yang jelas aku tidak mungkin hamil Satu-
satunya yang pernah berhubungan seks denganku hanya vampir, jadi tidak mungkin
terjadi kehamilan. Vampir yang masih membeku di lantai tanpa ada tanda-tanda ia akan bergerak
lagi. Kalau begitu pasti ada penjelasan lain. Ada yang tidak beres dengan diriku.
Penyakit Amerika Selatan aneh yang gejala-gejalanya mirip kehamilan, tapi lebih
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat... Kemudian aku ingat sesuatu, pagi saat aku melakukan riset Internet yang
sepertinya sudah terjadi lama berselang. Duduk di meja tua di kamar di rumah
Charlie dengan cahaya bulan bersinar muram menembus jendela, memandangi komputer
tuaku yang berdengung-dengung, melahap semua keterangan yang tercantum dalam
situs web bernama "Vampir dari A sampai Z". Saat itu, kurang dari 24 jam
sebelumnya, Jacob Black, yang mencoba menghiburku dengan cerita tentang legenda-
legenda suku Quileute yang waktu itu belum ia yakini, memberitahuku bahwa Edward
adalah vampir. Waktu itu dengan cemas aku membaca entri pertama dalam situs itu,
yang berisi mitos-mitos tentang vampir di seluruh dunia. Danag bagi orang
Filipina, Estrie bagi bangsa Yahudi, Varacolaci bagi orang Rumania, Stregoni
Benefici bagi orang Italia (legenda yang sebenarnya didasarkan pada pertemuan
awal ayah mertuaku dengan keluarga Volturi, walaupun waktu itu aku tidak
mengetahuinya)... semakin lama aku semakin tidak tertarik karena cerita-
ceritanya juga semakin tidak masuk akal. Samar-samar aku hanya ingat potongan
beberapa kisah yang kubaca belakangan. Sebagian besar terkesan seperti alasan
yang mengada-ada untuk menjelaskan hal-hal seperti tingkat kematian bayi dan
perselingkuhan. Tidak, Sayang, aku bukannya berselingkuh! Wanita sakti yang
kaulihat menyelinap keluar dari rumah sebenarnya adalah succubus (Succubus:
makhlulf halus berwujud wanita cantik (lawan jenisnya adalah incubus, makhluk
halus berwujud lelaki)). Beruntung aku masih hidup! (Tentu saja, dengan apa yang
kuketahui sekarang tentang Tanya dan saudari-saudarinya, aku curiga sebagian
alasan itu bisa jadi benar) Ada juga yang korbannya para wanita. Teganya kau
menuduhku berselingkuh hanya karena kau pulang dari berlayar selama dua tahun
dan aku hamil" Ini gara-gara si incubus. Ia menghipnotisku dengan ilmu vampir
mistiknya... Tulisan itu merupakan bagian dari definisi incubus-kemampuan membenihkan anak
dengan mangsanya yang tidak berdaya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, pusing. Tapi... Ingatanku melayang pada Esme,
dan terutama Rosalie. Vampir tidak bisa punya anak. Kalau itu mungkin, Rosalie
pasti sudah menemukan caranya sekarang. Mitos incubus itu tidak lebih dari
fabel. Kecuali... well, sebenarnya ada bedanya. Tentu saja Rosalie tidak bisa punya
anak, karena tubuhnya membeku selamanya pada saat ia beralih dari manusia
menjadi bukan manusia. Sama sekali tidak berubah. Padahal tubuh wanita manusia
harus berubah saat mengandung. Perubahan konstan siklus bulanan, itu hal
pertama, kemudian dibutuhkan perubahan lain yang lebih besar untuk mengakomodir
pertumbuhan bayi. Sementara tubuh Rosalie tidak bisa berubah.
Tapi tubuhku bisa. Tubuhku berubah. Kusentuh gundukan di perutku yang kemarin
tidak ada. Dan manusia lelaki-well, bisa dibilang tubuh mereka tetap sama mulai dari
pubertas hingga meninggal. Aku jadi ingat pada pertanyaan kuis trivia yang entah
kudengar dari mana: Charlie Chaplin sudah berusia tujuh puluhan waktu ia
membenihkan anak bungsunya. Kaum lelaki tidak memiliki batasan kapan mereka bisa
punya anak dan kapan siklus subur mereka.
Tentu saja, bagaimana orang bisa tahu apakah vampir lelaki bisa mempunyai anak,
kalau orangtua mereka tidak bisa" Vampir apa di bumi ini yang memiliki
pengekangan diri yang diperlukan untuk menguji teori itu dengan wanita manusia"
Atau kecenderungan untuk itu"
Aku hanya bisa memikirkan satu nama.
Sebagian pikiranku memilah-milah berbagai fakta, ingatan, melalui spekulasi,
sementara setengahnya lagi bagian yang mengontrol kemampuan menggerakkan bahkan
otot-otot terkait terpana hingga tak mampu melakukan fungsi-fungsi normal. Aku
tak mampu menggerakkan bibir untuk berbicara, walaupun aku ingin meminta Edward
agar ia bersedia menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi. Aku perlu
kembali ke tempat ia duduk, menyentuhnya, tapi tubuhku menolak mengikuti
instruksi. Aku hanya bisa menatap mataku yang shock di dalam cermin, jari-jariku
dengan hati-hati menekan gundukan kecil di tubuhku.
Kemudian, seperti mimpi buruk yang begitu jelas semalam, adegan itu tiba-tiba
berubah. Semua yang kulihat di dalam cermin tampak benar-benar berbeda, walaupun
sebenarnya tidak ada yang berbeda,
Yang membuat segalanya berubah adalah ada sesuatu yang kecil dan pelan menonjok
tanganku-dari dalam tubuhku.
Detik itu juga telepon Edward berdering, nyaring dan mendesak. Kami sama-sama
bergeming. Telepon berdering berkali-kali. Aku berusaha mengenyahkan suara itu
dari pikiranku sementara menekankan jari-jariku ke perut, menunggu. Di cermin
ekspresiku tak lagi keheranan tapi penasaran. Aku nyaris tidak menyadari ketika
air mata yang asing dan tanpa suara mulai mengalir membasahi pipiku.
Telepon terus berdering. Aku berharap Edward mengangkatnya ini momen besar
bagiku. Mungkin yang terbesar sepanjang hidupku.
Kriing! Kriing! Kriing! Akhirnya, kejengkelanku memuncak. Aku berlutut di samping Edward aku mendapati
diriku bergerak lebih hati-hati, seribu kali lebih menyadari setiap gerakan dan
menepuk nepuk semua kantongnya sampai menemukan ponsel. Aku separo berharap ia
akan mencair dan menjawabnya sendiri, tapi Edward diam tak bergerak.
Aku mengenali nomornya, dan bisa dengan mudah menebak mengapa ia menelepon.
"Hai, Alice," sapaku. Suaraku tidak lebih baik daripada sebelumnya. Aku
berdeham-deham. "Bella" Bella, kau baik-baik saja?"
"Yeah, Eh. Ada Carlisle tidak?"
"Ada. Memangnya ada apa?"
"Aku belum... seratus persen... yakin... "
"Apakah Edward baik-baik saja?" tanya Alice waswas. Ia menjauhkan corong
telepon, berseru memanggil Carlisle, kemudian menuntut penjelasan,"Mengapa dia
tidak mau mengangkat telepon?" sebelum aku bisa menjawab pertanyaan pertamanya.
"Entahlah." "Bella, apa yang terjadi" Barusan aku melihat..." "Apa yang kaulihat?"
Alice tidak menjawab. "Ini Carlisle," akhirnya ia berkata.
Rasanya seolah-olah ada air dingin disuntikkan ke pembuluh darahku. Kalau dalam
visinya Alice melihatku bersama anak bermata hijau dan berwajah malaikat dalam
pelukanku, ia pasti akan menjawab pertanyaanku tadi, bukan"
Sementara menunggu sepersekian detik sebelum Carlisle berbicara, visi yang dalam
bayanganku dilihat Alice menari-nari di pelupuk mataku. Seorang bayi mungil
rupawan, bahkan lebih rupawan daripada bocah dalam mimpiku -Edward kecil dalam
pelukanku. Perasaan hangat menjalari segenap nadiku, mengusir perasaan dingin
tadi. "Bella, ini Carlisle. Ada apa?"
"Aku... " aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Apakah Carlisle akan
menertawakan kesimpulanku, mengataiku sinting. Atau apakah aku sedang bermimpi"
"Aku agak khawatir memikirkan Edward... Bisakah vampir mengalami shock?"
"Apakah dia mengalami cedera?" Suara Carlisle tiba-tiba lirih.
" Tidak, tidak," aku meyakinkan dia. "Hanya... terkejut."
"Aku tidak mengerti. Bella."
"Kupikir... well, kupikir.., mungkin... bisa jadi aku.." Aku menarik napas
dalam- dalam. "Hamil."
Seakan hendak mendukung kebenaran kata-kataku, terasa sundulan kecil di perutku.
Tanganku langsung melayang ke perut.
Setelah terdiam cukup lama, ilmu kedokteran Carlisle langsung beraksi.
"Kapan hari pertama menstruasi terakhirmu?"
"Enam belas hari sebelum menikah." Aku sudah menghitung dalam hati dengan cukup
saksama sehingga bisa memberi jawaban pasti.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Aneh" kataku dan suaraku pecah. Air mata kembali mengalir menuruni pipiku.
"Kedengarannya memang sinting dengar, aku tahu ini masih terlalu dini. Mungkin
aku memang sinting. Tapi aku mengalami mimpi aneh, makan terus, menangis, dan
muntah, dan.. dan... aku berani bersumpah ada sesuatu bergerak di dalam perutku
barusan" Kepala Edward tersentak. Aku mengembuskan napas lega.
Edward mengulurkan tangan, meminta telepon, wajahnya putih dan keras. "Eh,
sepertinya Edward ingin bicara denganmu." "Baiklah," kata Carlisle, suaranya
tegang. Tidak sepenuhnya yakin apakah Edward bisa bicara, aku meletakkan ponsel ke
tangannya yang terulur. Edward menempelkan ponsel ke telinganya. "Apakah itu mungkin?" bisiknya.
Ia mendengarkan lama sekali, matanya menerawang.
"Dan Bella?" tanya Edward. Lengannya memelukku sementara ia berbicara,
mendekapku erat-erat. Pendekar Lembah Naga 16 Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati Kemelut Kerajaan Mancu 7